Harimau Kumala Putih 1

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Selasa, 13 September 2011

1
___________________________________________________________________________
Judul asli Bai Yu Laohu, disadur oleh Tjan sebanyak 33 jilid. Salah satu karya terbaik
Gu Long, sayang tamat di bagian yang sedang seru-serunya dan belum ada yang
melanjutkannya dalam Bahasa Indonesia. Selamat penasaran membaca.
__________________________________________________________________________
Jilid 1________
Bulan tiga tanggal dua puluh tujuh, hari baik.
Hari ini cocok untuk melakukan pekerjaan apapun!
Tio Bu Ki berbaring diatas pembaringan.
Setelah menempuh perjalanan sejauh tiga ratus li tanpa berhenti, begitu turun dari kudanya, ia
langsung masuk kamar dan menjatuhkan diri di atas pembaringan.
Yaa, pembaringan yang empuk, lembut dan harun....
Pembaringan ini milik Hiang hiang, seorang gadis, seorang gadis yang halus, lembut dan
harum...
Setiap kali bertemu dengan Tio Bu Ki, sekulum senyuman yang lebih manis dari gula akan
menghiasi bibirnya.
Cahaya matahari mencorong masuk lewat celah jendela, hari ini udara cerah, angin
berhembus lewat membawa bau harum bunga yang semerbak.
Agak termangu Tio Bu Ki memandang langit nan biru di luar jendela, akhirnya ia
menghembuskan napas panjang seraya bergumam:
“Ooo....hari ini memang hari baik!”
Hiang hiang tidak tertawa, ia menyambung dengan nada hambar:
“Aaa, betul! Hari ini memang hari baik, hari baik untuk membunuh orang...!”
2
“Kau ingin membunuh orang?” Tio Bu Ki memegang dagunya dan mengangkat wajahnya.
“Yaa, aku ingin membunuh orang”
“Siapa yang ingin kau bunuh?”
“Kau!”
Tio Bu Ki tidak dibuat terkejut, dia malah tertawa, tertawa lebar dengan penuh kehangatan.
“Sebenarnya aku sungguh sungguh ingin membunuhmu” kata Hiang hiang sambil menggigit
bibir.
“Tapi setelah kupikir kembali, apalagi setelah kau datang menjengukku...niat itu terpaksa
kuurungkan”
“Kau tahu kalau aku akan datang?”
“Tentu saja. Hari ini kan hari baik Tio Koncu. Hari baik untuk melangsungkan perkawinan”
Matanya yang jeli mulai berkaca kaca, lanjutnya:
“”Akupun tahu hari ini Tio koncu datang hanya ingin memberitahukan kepadaku, bahwa
sejak hari ini hubungan kita putus sampai disini, walaupun lain waktu masihn sempat
bertemu, kita harus saling menganggap saing, kita tak boleh saling menyapa lagi”
Tio Bu Ki tak dapat menyangkal, diapun sedikit merasa sedih.
“Aku emmbawa sebuah hadiah untukmu” bisiknya.
Sambil mengeluarkan seuntai mutiara, ia menambahkan:
“Aku pernah penyanggupi permintaanmu, dan sampai sekarang aku belum melupakannya”
Seuntai mutiara yang bening dan bercahaya tajam, seperti butiran air mata seorang gadis suci.
Hiang hiang menerima hadiah itu, embelainya penuh kasih sayang, lalu bergumam:
“Aku tahu, suatu ketika kau pasti membawakan benda ini untukku, sebab kau adalah seorang
laki laki yang pegang janji, selalu dan sepanjang masa”
Air mata tak sampai meleleh keluar, tapi tangannya sudah gemetar keras, seluruh tubuhnya
hampir sja ikut menggetar keras...
Tiba tiba ia melompat bangun, mencampakkan untaian mutiara tersebut ke wajah Tio Bu Ki,
lalu berteriak penuh emosi:
“Kau anggap aku sudi menerima uintaian mutiara busuk ini? Kau anggap aku sudi menerima
telur busuk kecil macam kau?”
Untung mutiara tersebut tak sampai mengena di wajah Tio Bu ki benda itu melayang keluar
dari jendela dan jatuh ke halaman depan sana.
Tio Bu Ki kembali tertawa.
"Masih mendingan kalau cuma telur busuk kecil" katanya,
"sebab sedikit banyak toh ada kebaikkannya juga!"
3
"Kebaikkan apa? Katakan!" Hiang hiang mencak mencak semakin marah.
"Jelek jelek toh telur busuk kecil lebih mendingan daripada telur busuk tua, apalagi
dibandingkan telur busuk mampus!"
Dia ingin membuat Hiang hiang tertawa, ingin menyaksikan gadis itu terpingkal karena geli.
Memang, diantara mereka tiada ikatan ataupun hubungan menurut hukum, tapi perpisahan
memang cukup memedihkan hati siapapun...
Ia selalu berharap, dikala perpisahan itu terjadi, mereka masih dapat tertawa atau paling tidak
tersenym sedikit saja.
Tapi Hiang hiang tidak tertawa, atau tepatnya sebelum senyuman sempat menghiasi bibirnya,
untaian mutiara yang terlempar keluar jendela itu telah melayang kembali.
"Craat...!" sebatang anak panah sepanjang tiga depa enam inci menyambar masuk ke ruangan
dan memantek mutiara itu di ats tiang.
Batang anak panah itu berwarna perak, bulu peraknya masih bergerak keras ketika sebatang
panah yang lebih pendek kembali menyambar masuk dan membelah anak panay yang
pertama menjadi dua bagian.
Hiang hiang tertegun, belum pernah ia saksikan permainan panah selihay ini, belum pernah ia
jumpai seseorang yang sanggup memanah setepat ini....
Senyuman yang menghiasi bibir Tio Bu Ki seketika berubah menjadi senyuman getir, dia
menghela napas.
"Ooooh...para penagih hutang telah datang!"
"Mau apa mereka kemari?" tanya Hiang hiang dengan paras muka berubah.
"Si penagih hutang tentu saja datang untuk menagih hutang, apakah kau tidak tahu kalau hari
ini adalah hari baik pula untuk menagih hutang?"
........................................
Tempatnya di depan sebuah loteng kecil, waktunya musim semi yang cerah.
Bunga beraneka warna tumbuh dengan suburnya disekeliling loteng kecil, ada yang berwarna
merah, ada yang berwarna hijau dan ada pula yang berwarna kuning telur.
Dua orang manusia berbaju hitam berdiri di tengah bunga yang indah, mereka adalah seorang
pria dan seorang wanit, seorang masih muda dan seorang sudah lanjut usia.
4
Yang muda adalah seorang laki laki kekar setinggi delapan depa, sedang yang tua adalah
seorang nenek bungkuk, meski bungkuk dia memiliki sepasang mata yang tajam, setajam
binta fajr dipagi hari.
Kedua orang itu sama sama menggembol busur, busur emas dengan sarung kulit hitam, yang
satu panjang dan yang lain pendek.
Waktu itu Haing hiang berdiri di tepi jendela di atas loteng kecil, menyaksikan dua orang itu,
dia lantas bertanya keheranan:
"Siapakah mereka berdua?"
"Hek popo dengan putranya!" jawab Bu Ki.
"Manusia macam apakah Hek popo itu?"
"Seorang jago silat yang sanggup membidik sepasang mata lalat dari jarak sepuluh kaki
dengan anak panahnya!"
"Oooh, begitu hebakah nenek bungkuk itu..." keluh Hiang hiang dengan paras berubah.
"Meski putranya tidak sejitu ibunya, namun dia memiliki tenaga dalam yang maha dahsyat,
bila dia sedang gembira setiap saat anak panahnya dapat menembusi dada dua orang yang
berdiri beriring"
Ia menghela napas lalu menambahkan:
"Kim kiong gin ciam (Busur emas panah perak) Cu bu siang hui (ibu anak terbang bersama),
siapa yang bertemu dengan mereka siapa pula yang ketimpa sial"
"Tapi justru kau telah berhutang kepada mereka"
Tio Bu Ki tertawa getir.
"memang selamanya aku selalu sial!"
"Kau hutang apa dengan mereka?"
“Hutang dua orang manusia!”
“Hutang dua manusia? Apakah maksudmu?” Tentu saja Hiang hiang tidak akan mengerti.
“Suatu ketika, aku pulang dari minum arak di telaga Beng ou dimalam sepi kusaksikan ada
dua orang nona kecil sedang melarikan diri dikejar oleh putranya, salah seorang nona kecfil
itu sudah terbidik panahnya dan berteriak minta tolong!”
Ia menghela napas, terusnya:
“Tentu aku lantas turun tangan untuk memberi bantuan setelah menyaksikan seorang laki laki
mengejar dua orang nona kecil, kubantu mereka menahan pengejaran tersebut dan memberi
kesempatan sang noan untuk mneyelamatkan diri”
“Lantas”
“Sesudah kejadian itu, aku baru tahu kalau dua orang nona cilik yang kutolong sebernya
bukan nona cilik”
“Kalau bukan nona cilik lantas apa Tanya Hiang hiang semakin tidak mengerti.
“Rupanya mereka adalah orang laki laki yang menyaru sebagai nona cilik...!”
Hiang hiang tertegun, ia berdiri bodoh.
5
Pelan pelan Tio Bu Ki menarik napas tuturnya:
“Rupanya dlaam dunia persilatan terdapat organisasi yang bernama It oh hong (sarang
tawon),m perkumpulan itu adalah perkumpulan orang orang jai hoa cat (Penjahat pemetik
bunga), untuk memperlancar usaha mereka sering kali anggotanya menyaru sebagai nona
nona cilik”
“Kalau begitu, kedua orang nona yang kau tolong juga penjahat penjahat pemitik bunga?”
Sambil tertawa getir Tio Bu Ki mengangguk.
“Untung mereka ibu dan anak tidak menuduh aku sebagai komplotan Jay hoa cat, coba kalau
tidak, wah....rusak nama baikku!”
“Meskipun begitu, tentu saja mereka tak akan membebaskan kau dengan begitu saja bukan?”
“Benar, mereka memberi batas waktu tiga bulan kepadaku, dalam waktu yang disediakan itu
aku harus dapat menangkap kembali kedua orang Jay hoa cat tersebut dan diserahkan kepada
mereka”
“Dan kini batas waktunya sudah habis?”
“Belum! Cuma sudah hampir...”
“Sudah berhasil kau tangkap kembali kedua orang itu?”
“Belum!”
Hiang hiang mencoba menatap wajahnya, lalu sambil gelengkan kepalanya ia menghela
napas.
“Aku lihat tampaknya didunia ini masih terdapat sejenis orang yang suka menangkap kutu
untuk dilepaskan kembali diatas rambut sendiri, mengapa kau adalah manusia semacam itu?”
“Mendingan kalau cuma sat dua ekor kutu rambut saja!”
“Lalu masih ada apa lagi dirambutmu?”
“Agaknya masih ada lima atau enam ekor kalajengking serta tujuh atau delapan ekor ular
beracun!”
Hiang hiang tidak bertanya lagi, dia terbisu untuk beberapa saat, saking kagetnya dia berubah
seperti orang bodoh.
Sekarang, ia telah melihat beberapa ekor ular beracun yang betul betul masih hidup.
..............................
Ular beracun itu berada dalam sebuah karung goni, kepalanya terjulur keluar dari sebuah
lubang dan lidahnya yang merah menyala kelihatan pula seperti jilatan api. Karung goni tadi
kebetulan berada dipunggung seseorang.
Dia adalah seorang manusia yang aneh bentuknya, bukan saja hidungnya tinggal separuh,
telinganya juga tidak utuh, daun telinganya sudah terkoyak koyak hingga tidak berujud lagi.
Sepasang matanya merah membara seperti jilatan lidah dari ular berbisa itu.
Dengan tampang sejelek itu justru dia mengenakan baju lebar yang berwarna warni, ini semua
menciptkan suatu kemisteriusan, suatu keanehan yang membuat hati mereka bergidik.
6
Seekor ular beracun merambat naik diatas bahunya dan melilit pada tengkuknya, lalu dengan
lidah yang merah membara menjilati pipinya.
Tapi dia seperti tidak merasa, kalau pipnya dijilati ular.
Hiang hiang yang melihatnya justru merasa mual saking mualnya hampir saja semua isi
perutnya tumpah keluar.
“Orang itu juga penagih hutangmu?” ia berbisik.
“Ehmm...!”
:”Kau hutang apa dengannya?”
“Lima ekor ular!” Tio Bu Ki seperti merasa mulutnya menjadi pahit.
“Lima ekor ular yang paling beracun”
Mendengar keterangn tersebut, Hiang hiang sedikit tidak puas, katanya:
“Kau menolong dua orang Jay hoa cat, itulah kesalahanmu. Tapi ular berbisa seperti itu,
sekalipun dibunuh beberapa ekor lagi juga tak mengapa, kenapa kau harus mengembalikan
kepadanya?”
“Sebab dia adalah Tok Pousat (dewa racun)”
“Tok pousat?”
“Meskipun seluruh badannya penuh dengan racun, tapi hatinya lembut dan penu welas kasih.,
sewelas hati pousat”
“Mana ada pousat memelihara ular?”
“Kalau orang lain memelihara ular untuk mencelakai orang, dia memelihara ular untuk
menolong manusia”
Ia tahu, Hiang hiang tentu tidak emngerti, maka ia menjelaskan lebih jauh:
“Dari liur racun yang berada dimulut ular dicampur dengan darah segera akan terbuat serum
anti racun ular yang hebat, dan ia selalu menggunakan cara tersebut untuk menolong orang”
“Kelima ekor ular racun macam apa yang kau bunuh?” tanya Hiang hiang lagi.
“Kelima ekor ular beracun itu semuany termasuk jenis yang langka, untuk memperolehnya
dia harus menjelajahi bukit yang curam dan memasuki hutan yang lebat disepanjang
perbatasan selama tiga tahun. Itupun setelah bersusah payah kelima jenis ular tadi baru
berhasil ditangkapnya bersama”
“Setelah ditangkap lalu apa gunanya?”
“Dengan campuran air liur dari kelima jenis ular beracun itu dapat dibuat semacam serum
yang luar biasa hebatnya, serum tersebut dapat memunahkan segala jenis racun, tapi hanya
liur beracun yang dimuntahkan sendiri dari ular ular yang hidup yang bisa dipakai untuk
membuat obat itu”
7
“Aku dengan orang bilang, bisa ular baru akan keluar bila binatang itu sedang menggigit
orang?”
“Benar!”
“Lantas untuk mendapatkan bisa dari kelima jenis ular beracun itu, apakah dia membiarkan
ular ular tadi mematuk orang lain?”
“Tidak, dia mempunyai cara lain”
“Siapa yang akan digitkan ular ular tersebut?” tanya Hiang hiang makin keheranan.
“Dia sendiri!”
Hiang hiang tertegun, ia berdiri bodoh.
“Dan waktu kutemui dirinya, kusaksikan kelima ekor ular beracun itu sedang menggigit
tubuhnya sendiri” Bu Ki menerangkan.
“Apa yang kau lakukan waktu itu?”
Tio Bu Ki tertawa getir.
“Terkalah....apa yang kulakukan jika menemui keadaan seperti ini? Tanpa berpikir untuk
kedua kalinya, kucabut pedangku dan kubacok mampus kelima jenis ular beracun itu, setiap
ekor ular kucincang menjadi tujuh delapan potong”
Sekarang Haing hiang ikut tertawa getir.
“Rupanya ilmu pedangmu sudah memperolehkemajuan yang pesat!”
“Tapi dalam peristiwa ini, kembali aku telah berbuat kesalahan besar...”Keluh pemuda itu.
Suasana dalam kebun sangat hening, rupanya baik Hek Popo maupun Tok pusat adalah orang
orang yang pandai mengendalikan perasaan.
“Tok Tok!” mendadak dari kejauhan berkumandang suara kentongan, suara itu seperti datang
dari jauh, seperti juga berasal dari sisi telinga mereka...
Ketika mendengar suara itu, paras muka Hek popo maupun Tok pusat kelihatan sedikit
berubah.
“Eeeh...coba kau dengar, bukankah itu suara kentongan?” bisik Hiang hiang keheranan.
“Yaa, betul!”
“Aku tdiak salah mendengar bukan?”
“Tidak, kau tidak salah!”
“Tapi...sekarang kan masih pagi hari, kenapa kentongan dibunyikan? Jangan janganorang itu
sudah sinting?”
“Tidak, dia tidak sinting, sebab kapan dia ingin menbunyikan kentongan, pada waktu itulah
kentongan dibnunyikan”
“Kenapa?”
“Sebab kentongan yang dia bunyikan berbeda dengan kentongan orang lain, yang diberitakan
bukan soal waktu”
8
“Lalu kentongan apa yang diwartakan?”
“Kentongan pencabut nyawa!”
“Apa? Kentongan pencabut nyawa?”
“Benar, bila kentongan sudah dibunyikan tiga kali, itu berarti ada orang akan kehilangan
nyawa”
Wajah Tio Bu Ki terlintas pula suatu perubahan aneh, kembali ia berkata:
“Tohn mia keng hu (Tukang kentongan pencabut naywa) Liu sam keng, tiga kali kentongan
dibunyikan nyawa manusia akan terbang melayang”
Kembali suara kentongan, kali ini suaranya berasal dari tempat yang lebih dekat.
Walaupun kentongan tersebut tak ubahnya dengan suara kentongan yang sangat aneh.
“Coba kau dengar, berapa kentongan yang dia bunyikan?” tanya Hiang hiang tidak tenang.
“Dua kentongan lebih satu ketukan!”
Tanpa sadar menggigil sekujur badan Hiang hiang karena ngeri, bisiknya:
“Kalau...bukankan kentongan ketiga akan segera tiba?”
“Benar, begitu dua kentongan lebih satu ketukan lewat kentongan ketiga segara akan tiba”
“Apakah dia pun penagih hutang?”
“Bukan penagih hutang saja, dia adalah seorang penagih yang amat gigih...!”
“Kau hutang apa dengannya?”
“Hutang sebuah bacokan!”
“Berapa orang penagih hutang lagi yang akan datang?”
“Penagih penagih hutang yang paling besar, hanya mereka tiga orang!”
“Jadi mereka sudah tahu kalau hari ini kau akan datang kemari?”
“Tentu saja, sebab akulah yang mengundang mereka datang”
“Kau yang mengundang mereka datang?” hamnpir saja Hiang hiang menjerit saking
kagetnya.
“Mengapa kau undang kemari semua penagih penagih hutangmu itu?”
“Sebab barangsiapa merasa berhutang, cepat atau lambat hutang itu harus dibayar”
Tiba tiba pemuda itu tertawa, tambahnya:
“Masa kau tidak merasa, hari ini toh hari paling baik untuk menagih hutang?”
................................
Kentongan pencabut nyawa kembali berbunyi.
“Tok tok tik” Masih dua kentongan lebih satu ketukan, sampai kapan kentongan ketiga baru
akan dibunyikan?
Kecuali si tukang kentongan pencabut nyawa, rasanya tak seorangpun dapat menjawab
pertanyaan itu.
9
Pelan pelan Liu sam keng muncul dari balik ekbun bunga yang rindang, ia mengenakan baju
hiaju, kaos kaki putih, sepatu rumput dan mempuyai raut wajah yang pucat.
Sebenarnya didalam kebun bunga tida manusia semcam ini, tapi sekarang justru muncul
seorang manusia seperti itu.
Dia membawa sebuah gembrengan kecil, sebuah alat pemukul, sebuah bambu kentongan,
ditambah lagi sebuah tongkat pendek berwarna putih.
Beginilah alat senjata yang dipakai Tukang kentong pencabut nyawa untuk merenggut nyawa
orang?
Bagi orang sepanjang tahun tidak melihat sinar matahari, mukanya selalu memang pucat, dan
hal ini tidak aneh.
Tapi yang aneh justru adalah sepasang matanya!
Sepasang matanya putih pula warnanya, suatu warna putih keupcat pucatan yang aneh, tidak
nampak biji matanya, tidak nampak pula manik matanya.
Mungkingkah tukang kentongan pencabut nyawa Liu samkeng yang menggetarkan perasaan
orang adalah seorang buta?
Diluar kebun bunga merupakan sebuah jalan yang sempit. Jalan kecil itu berliku liku, sebagai
alas jalan adalah batu batu kerikil ptih sebesar telur itik.
Hek Popo dengan putranya berdiri dalam semak ditepi jalanan sempit tersebut. Tentu saja
orang buta tak mungkin bisa melihat mereka!
Tapi anehnya, ketika Liu sam keng lewat disisi mereka, tiba tiba ia berhenti lalu berpaling.
“Hek popo, baik baikkah selama ini?” sapanya.
Lama sekali Hek popo memandang kearahnya dengan pandangan dingi, lalu jawabnya
hambar:
“Berkat doa restu Liu siangseng, kami janda dan anak yatim yang malang tak sampai mati
dibuat mendongkol orang lain”
Liu sam keng menegadah memandang ke angkasa, seakan akan sedang memikirkan sesuatu.
Lama, lama sekali, dia baru menghela napas panjang.
“Perpisahan kita kalau dihitung sudah lebih dari tiga belas tahun, waktu memang berlalu
dengan cepatnya”
“Setiap hari tentu ada kentongan ketiga, kesana kentongan ketiga, kemari kentongan ketiga,
siapa bilang waktu tidak berlalu dengan cepatnya?” kata Hek popo lagi.
10
Pelan pelan Liu sam keng mengangguk diatas wajahnya yang pucat tidak nampak pancaran
emosi, mukanya tetap dingin, kaku...
“aaaai...betul juga perkataanmu, apalagi dalam sehari bukan hanya ada sekali kentongan
ketiga, kemari kentongan ketiga...ada pula yang sudah mampus, aaai....betul juga siapa yang
bilang waktu tidak lewat dengan cepatnya?”
Seolah olah sedang bergumam diri, dengan tongkat putihnya sebagai petunjuk jalan, pelan
pelan dia maju ke depan.
Ketika tiba kedepan Tok pusat, kembali ia berhenti.
Ia tidak embuka suara, Tok pousat pun tidak membuka suara, tapi dua ekor ular beracun yang
berada didalam karung telah menyusup keluar secepat kilat, waktu muncul sedikitpun tidak
menimbulkan suara.
Sebagai orang buta tentu saja ia tak dapat melihat, biasanya ia menggantukan diri pada suara,
tapi kini ular ular tersebut menyergap tanpa suara, bayangkan sendiri apakah orang buta
seperti itu bisa mendengarnya?
Tetapi, baru saja kedua ekor ular itu mendekati tubuhnya, ia telah menggerakkan tongkat
pendeknya untuk memukul, yang dipukul tepat baian tujuh inci yang paling lemah bagi kedua
ekor ular beracun itu....
Bagaikan dua utas tali rami, dua ekor ular tersebut rontok ekt tanha, tergeletak di bumi dan
tak berkutik lagi.
Saat itulah Liu sam keng kembali menghela napas.
“Aaai...apakah aku telah membinasakan lagi dua ekor ular beracunmu?”
“Hnmnmm...!” Tok pusat hanya mendengus.
“Apakah kau menuntut kepadaku untuk menggantinya?”
“Kau anggap mampu untuk emmbayar ganti ruginya?”
Liu sam keng tertawa ewa.
“Aku tahu, kedua ekor ular itu cuma jenis Tiok yap cing dan seekor Hoan jam tau, kalau kau
ingin ganti rugi, setiap saat aku dapat mengkapkan tujuh sampai delapan puluh ekor bagimu.”
Dengan nada agak kaget Tok pusat memandang ke arahnya, meski wajahnya berubah,
suaranya tetap dingin dan hambar.
“Tak usah repot repot, aku masihn mampu untuk menangkap sendiri!”
“Kalau memang kau tidak membutuhkan ganti rugi, aku hendak menasehatimu dengan
beberapa patah kata.”
“Katakan!”
“Kau mengorbankan badanmu untuk makanan ular, dengan darah dan daging tubuhmu, kau
mendapatkan bisa ular mereka, sekalipun setiap saat racun ular bisa diserap keluar pada
11
saatnya, namun sedikit banyak tentu masih ada sisa racun yang masih tertinggal dalam
darahmu.”
Dia menghela napas kembali ujarnya:
“Aku tahu kau memiliki ilmu rahasia pencabut bisa dari badan warisan Thian to cuncu, tapi
belum tentu kepandaian tersebut selalu manjur untukmu....
Tok pusat hanya membungkam, dia tidak mengakui, pun tidak menyangkal...
“Sekarang sisa racun yang tertinggal ditubuhmu sudah mencapai seratus tiga jenis” kata Liu
sam keng lagi.
“Kau dapat melihatnya?” bisik Tok pusat kaget.
Setelah berhenti sejenak, terusnya dengan ewa:
“Meski begitu, aku tahu dengan pasti, jika dalam darahmnu tercampur lagi dengan lima jenis
racun ular, maka dari seorang pusat kau akan beruba menjadi sesosok mayat hidup.”
Tio Bu Ki sudah turun dari loteng, ia berdiri dibawah sina sang surya dan mengawasi tukang
kentongan pecabut nyawa tanpa berkedip.
Dalam hati kecilnyha ia sedang bertanya pada diri sendiri.
Benarkah dia adalah orang buta sungguhan? Atau mungkin cuma pura pura buta?
Ia tidak tahu.
Yaa, tentu saja ia tak tahu, kecuali Liu sam keng pribadi, siapa yang akan tahu?
Sebagai alas jalan kecil itu adalah batu bulat berwarna putih ketika tongkat pendek
membentur di atas batu terdengarlah suara dentingan yang aneh.
Suara itu pasti bukan suara bambu yang membentur bambu, juga bukan suara emas atau baja
menyentuh batu.
Terbuat dari apakah tongkat pendek itu?
Tio Bu Ki tidak mampu menebaknya.
Ketika ia menengadah, Liu sam keng sudah ada dihadapan matanya.
Setelah saling berhadapan muka, Tio Bu Ki baru yakin kalau Liu sam keng benar benar buta
sebab biji matanya mati, biji mata yang tak dapat bergerak gerak.
Seorang yang normal, seorang yang dapat melihat tak mungkin bisa ditirukan”
“Hei, kau sedang memperhatikan biji mataku!” tiba tiba, Liu sam keng menegur.
Tio Bu Ki terperanjat, hampir saja ia menjerit tertahan.
12
Walaupun orang ini tidak dapat melihat, tampaknya dia seperti memiliki sepasang mata yang
aneh. Sepasang mata yang misterius yang tersimpan disetiap bagian tubuhnya, sehingga
semua perbuatan orang, semua tingkah laku orang tak akn mampu mengelabuhinya.
“Kau tak perlu memperhatikan lagi dengan seksama” kembali Liu sam keng berkata.
Pada hakekatnya, Tio Bu Ki sangat ingin memperhatikan sepasang mata lawan dengan lebih
seksama. Tiba tiba Liu sam keng berkata lagi:
“Baiklah, kalau kau masih belum percaya, ambil dan periksalah sendiri....!”
Dia mengorek keluar biji matanya itu dengan jari tangan, sekarang kelopak matanya kosong
seperti sebuah gua yang mengerikan.
Biji matanya berwarna kelabu, entah terbuar dari kaca atau batu kaca, benda tersebut
menggelinding tiada hentinya di tangan, seperti sebuah benda hidup.
Sekalipun dengan jelas kau tahu bahwa biji mata itu palsu, toh akan terperanjat juga setelah
menyaksikan kejadian tersebut.
“Sekarang sudah kau lihat dengan jelas?” tegur Liu sam keng lagi.
“Sudah” akhnirnya Tio Bu Ki menghembuskan napas panjang.
“Lebih baik perhatikan lebih seksama lagi, sebab inilah pengorbanan yang harus kubayar
untuk kesalahan yang pernah kulakukan”
Selintas perasaan sedih, perasaan murung dan kesal tiba tiba menghiasi wajahnya yang pucat.
Pelan pelan dia berkata lebih lanut:
“Dua puluh tahun berselang, aku telah salah melihat orang, meskipun sepasang mataku di
korek orang, aku tidak menyesal ataupun mengucapkan keluhan, sebab prinsipku barangsiapa
telah melakukan dia harus membayar mahal kesalahan yang telah dilakukan itu, baik orang
lain ataupun diri sendiri”
“Aku mengerti!'
“Menurut pendapatmu, apakah perbuatan temanmu itu adalah perbuatan salah?”
“Yaa, memang salah!”
“Pantaskah dia membayar mahal untuk kesalahan yang telah dilakukan itu?”
“Dia memang pantas!” untuk kedua kalinya Tio Bu Ki menangguk.
“Sekalipun kubacok badannya dengan golok pantaskah dia cuma membungkam tanpa
mengeluh?”
“Yaaa, pantas!”
“Dan sekarang, bersediakah kau menerima bacokanku untuk mewakili dirinya?”
“:Aku bersedia”
“Mengapa?”
Tio Bu Ki menghela napas panjang.
“Sebab dia adalah sahabatku, dan lagi sudah terluka parah, dia tak akan mampu untuk
menerima bacokanmu lagi”
“Tahukan kau berapa beratnya bacokaku ini?” desak Liu sam keng lebih jauh.
13
“Enteng atau berat semua sama saja!”
“Dan kau tidak menyesal?”
“Selama hidup, kata menyesal tak pernah kukenal dalam kamus hidupku...”
Pelan pelan Liu sam keng masukan kembali biji amtanya ke dalam kelopak mata, sepasang
biji mata yang kelabu seolaholah sedang menatap ke arahnya tanpa berkedip.
Apa yang bisa dilihat oleh sepasang biji mata palsu?
“Mulai sekarang, setiap waktu setiap saat kau boleh turn tangan atas diriku” kata Tio Bu Ki.
“Baik!”
Sebenarnya tongkat pendek itu sudah dikempit dibawah ketiaknya, tapi sekali membnalik
tangannya tahu tahu ia sudah mencabut keluar sebilah pisau.
Rupanya dibalik tongkat pendek itu tersimpan sebilah pisau, sebilah pisau yang tajamnya luar
biasa.
Tio Bu Ki membusungkan dadanya, ia sudah bertekad menerima bacokan itu, walau
tengkuknya yang dibacok, dia tak akan gentar.
“Eeeh...tunggu sebentar!” tiba tiba Tok pusat berseru.
“Tunggu apa?” tanya Liu sam keng.
“Penagihnya bukan cuma kau seorang, paling sedikit sepantasnyakalau kau beri kesempatan
kepadanya untuk membereskan danhulu hutangnya denganorang lain”
“Hutang kepada orang cepat atau lambat memang harus dibayar, siapa lebih duluan siapa
belakangan toh sama saja” Tio Bu Ki mengomentari.
“Apakah kau sudah bersiap sedia untuk membayar semua hutangmu pada hari ini juga? Tanya
Tok pusat.
“Kalau tidak begitu, buat apa aku undang kalian semua?”
“Apa kau benar benar bernama Tio Bu Ki?” tanya Tok pousat.
“Kalu bukan, lantas aku ini sapa?”
“Aku hanya kenal dengan seorang Tio Bu Ki dari Tay hong tong” suara Tok pusat
kendengaran sangat berat.
Bolenh dibilang segenap jago persilatan mengetahu perkumpulan macam apakahn Tay hong
tong itu. Tay hong tong bukan cuma suatu perkumpulan biasa, organisasi mereka amat besar
dan ketat, pengaruhnya meliputi perlbagai wilayah didaratan tionggoan.
Cita cita mereka hanya satu, yakni: MENOLONG KAUM LEMAH MEMBERANTAS
KAUM PENINDAS”
Sebab itu bukan saja mereka disegani orang, semua orangpun menaruh hormat kepada
mereka.
14
Kedengaran Tok pousat sedang berkata:
“Tongcu dari Tay hong tong memang Im hui yang, Im loyacu! Tapi pada hakekatnya ytang
menjalankan roda pemerintahan adalah Tio Kian, Sugong siau hong dan Sangkoan Jin tiga
orang, aku tahu Tio Bu Ki yang kumaksudkan adalah Tio Bu Ki putra Tio Kian”
“Aaaai...tak kusangka kau telah menyelidiki seluk beluk perkumpulan kami selejas ini” keluh
Tio Bu Ki sambil menghela napas.
“Bila kau adalah Tio Bu Ki yang kumaksudkan hari ini tidak seharusnya berada di sini”
“Lantas, semestinya aku berada di mana?”
“Dalam ruang penganten gedung di keluarga Tio dan menanti datangnya para tetamu yang
menyampaikan selamat”
Ditatapnya Tio Bu Ki tanpa berkedip, lalu pelan pelan ujarnya lebih lanjut:
“Aku tahu Sugong siau hong maupun Sangkoan Jin akan datang pula kesana, dengan
hardirnya mereka semua, siapakah didiunia ini yang berani mendatangi engkau untuk
menagih hutang?”
“Aku pribadi yang berhutang, sudah sepantasnya kalau aku pula yang membayar, persoalan
ini tak ada hubungannya dengan Tay hong tong, tak ada pula hubungannya dengan ayahku”
ujuar Tio Bu Ki dengan gagah·
“Bila kau adalah Tio Bu Ki yang tulen, maka hari ini adalah hari baik untuk perkawinanmu!”
“Benar!”
“Hari baik untuk perkawinan, biasanya bukan hari baik untuk membayar hutang”
“Tapi setelah lewat hari ini, aku adalah seorang yang lain, sebab aku telah mempunyai
keluarga, mempunyai istri, diriku sudah tak akan sebebas diriku yang dulu”
Tiba tiba matanya memancarkan sinar yang terang, tambahnya:
“Istriku adalah temanhidupku sepanjang masa, aku akan saling menghormati dengannya, aku
tak ingin membuat ia kecewa seorang laki laki yang suka menuggak hutang”
“Oooh...jadi karena itu semua pertikaian dan semua hutang hutang akan kau bayar lunas
sebelum ia kawin denganmu?”
“Benar”
Tiba tiba Hek popo menghela napas panjang
“aku rasa ia pasti seorang gadis yang lembut. Seorang gadis yang cantik dan betul betul hok
ki” bisiknya.
“Aku bisa kawin dengannya bukan dia yang hok ki, justru inilah rejeki buat diriku”
“Oleh sebab itu kau mengingkan agar ia bisa mengawini seorang laki laki yang benar benar
bersih dan gagah?”
“Betul. Asal seorang bisa hidup tanpa pernah melakukan dosa atau kesalahan yang menyalahi
naluri sendiri, sekalipun dia kehilangan sebuah kaki atau kutng sebuah lengannya, juga tak
menjadi soal”
“Karena itu walau kau gagal menemukan kembali kedua orang jay hoa cat tersebut, kau toh
datang juga untuk memenuhi janji?”
“Benar!”
15
Pelan pelan Hek popo maju menghampirinya, kemudian bertanya dengan hambar:
“Dengan apa kau hendak membayar hutangmu kepadaku? Dengan tanganmu atau kakimu?”
Sorot matanya memancarkan cahaya berkilat bahkan jauh lebith tajam dari golok ditangan Liu
sam keng.
Tio Bu Ki tidak berusaha menghindari tatapan itu, dia malah ballik bertanya:
“Apa pula yang kau tuntut atas diriku?”
Hek pop tidak langsung menjawab, ia berpaling ke arah Tok pusat dan bertanya lagi:
“Apa yang kau tuntut darinya?”
Tok pousat termenung sejenak, lalu menjawab:
“Tak terhitung jumlah jenis ular berbisa yang ada didunia ini, tapi yang paling beracun hanya
ada sembilan jenis”
“Tentu saja kau akan lebinh jelas dalam soal tersebut dari padaku, aku segan untuk
memikirnya” tukas Hek popo.
Tok pusat tidak menanggapi ucapan itu, dia berkata lebih lanjut:
“Ia sudah berhutang lima ekor ular beracun dariku, tiga diantaranya malah terhitung dalam
jenis ular paling beracung yang langka didunia ini. Kecuali aku, mungkin hanya dua tiga
orang saja didunia ini yang sanggup menagkap ketiga jenis ular beracun itu dalam keadaan
hidup”
“Siapakah kedua orang itu?” kembali Hek pop bertanya.
“Kau tak perlu tahu siapakah mereka, pokoknya yang pasti dia bukan Tio Bu Ki”
“Karena itu kau yakin kalau dia tak akan mampu mengganti ular ular racunmu yang telah
terbunuh itu?”
“Aku memang bukan datang untuk menagih hutang!”
“Lantas mau apa kau kemari?”
“Membalas bud!”
“Membalas budi?”
“Betul. Seperti apay yang dikatakan Li sianseng, racun yang berada dalam darahku memang
sudah mencapai titik kejenuhan”
“Apakah sebelumnya kau tak tahu tentang hal ini?” tanya Hek pop sambil menatap tajam
wajahnya.
Tok pusat menghela napas panjang.
“Aaai...dikala kurasakan hal ini, kelima ekor ular itu sudah terlanjur melekat ditubuhku, ingin
diurungkan juga tak sempat lagi!”
“Apakah Tio Bu Ki yang menyelamatkan jiwamu?”
“Benar. Seandainya kelima ekor ular itu tidak dibunuhnya tanpa sengaja, mungkin sekarang
aku telah menjadi sesosok mayat hidup”
“Perduli dia bermaksud atau tidak bermaksud, yang pasti jiwamu kan sudah diselamatkan?”
16
“Benar”
“Sebab itu bukan saja ia tidak berhutang apa apa kepadamu, sebaliknya kaulah yang telah
berhutang nyawa kepadanya”
“Benar”
“Aku pikir selembar nyawa Tok pusat bukanlah selembar nyawa yang tidak berharga, lalu apa
rencanamu untuk membayar hutang budi itu?”
“Aku bisa mewakilinya untuk membayar hutangnya kepadamu”
“Kau hendak menangkap kembali dua orang Jay hoa cat yang ditolongnya itu?”
“bahkan akupun bersedia untuk membayar rentenya”
“Membayar rentenya? Rente apa?”
“Sekaligus dengan satu sarang tawonnya!”
“Masa kau mampu?”
Tok pusat tertawa.
“Ah, racunku bukan hanya bisa menolong orang saja, untuk merenggut nyawa orangpun
bukan suatu pekerjaan yang sulit”
Hek pop tertawa pula.
“Dengan racun melwan racun, menggunakan racun ularmu untuk menghadapi seoang tawon
beracun, memang cara ini merupakan suatu cara terbaik”
“Jadi kau mengabulkan?” Tok pusat menegaskan.
“Kenapa aku mesti menampik?” Hek popo balik bertanya.
Tok pousat berpaling kearah Tio Bu Ki lalu tersenyum.
“Kalau begitu kita sudah impas, siapaun tidak ada yang berhutang kepada yang lain” katanya
Tio Bu Ki tidak berbicara lagi, walau sepatah katapun.
Dalam keadaan dan suasana seperti ini, apa lagi yang mampu dia ucapkan?
“Bukankah sekarang aku tidak lagi berhutang apa apa kepadamu?” tanya Tok pusat lagi.
“Sejak dulu sampai sekarang kau memang tak pernah berhutang kepadaku...”jawab sang
pemuda.
“Kalau begitu kau harus menyanggupi sebuah permintaanku!”
“Hari ini adalah hari perkawinanmu, har baik untukmu, maka kau harus mengundang aku
untuk minum secawan arak kegirangan”
“Masa cuman secawan? Tio Bu Ki tertawa, “Kalau pingin minum, paling sedikit harus
menghabiskan lima puluh cawan”
“Tidak, kau tidak boleh minum” tiba tiba Liu sam keng menukas.
“Kenapa”
“Sebab kau sudah terluka”
“Aku terluka? Terluka dibagian mana” pekik Tio Bu Ki tercengang.
“Dimana golokku mampir ditubuhmu, disanalah letak lukamu itu!” jawaban dari Liu sam
keng ini cukup menggidikkan.
17
Golok masih berada digengamannya, itulah golok yang tipis bersinar dan sangat tajam.
Pantulan sinar golok memancar diwajah Liu sam keng yang pucat, muka yang hambar tanpa
emosi.
Siapapun juga meski dia orang bodoh segera akan tahu dia bukan seorang laki laki yang
gampang terpengaruh oleh keadaan, apalagi mengampuni seseorang yang berhutang
kepadanya.
Sudah menjadi wataknya, kalau kau merasa berhutang satu bocokan maka dia akan membalas
dengan satu bacokan pula. Jangan harap kau dapat menghindarinya dan diapun tak akan
menampik pemberianmu.
Persoalan apapun juga, jangan harap bisa merubah jalan pikirannya apalagi keputusan telah
diambil.
Kentongan pencabut nyawa kembali berkumandang.
“Tok, tok, tok!”
Tiga kentongan! Yaa,m tiga kentongan!
Ketiga kentongan tersebut dibunyikan dengan ujung golok yang tajam....
Tangan Tio Bu Ki sudah basah, basah oleh keringat dingin. Dia bukan tidak merasa takut
namun sekalipun takutnya setengah mati tak nanti dia akan mengambil langkah seribu.
Liu sam keng memandangnya dengan dingin lalu menegur dengan suara yang paling
menggidikan hati.
“Bacokan ini harus kujatuhkan dibagian yang mana?”
“Aaaai...apakah aku masihn mempunyai hak untuk menentukan pilihan sendiri?” bisik Tio Bu
Ki sambil menghela napas.
“Tidak ada!”
Cahaya golok berkelebat lewat, sesosok tubuh ikut terkapar di tanah.
Bacokan itu bersarang telak diatas tekukannya walau bukan bacokan yang terlampau berat.
Namun ujung golok yang tipis dan tajam itu telah memenggal kutung urat nadi besar
dibelakang tengkuk disebelah kirnya, darah telah memancar kemana mana, hampir mencapai
seluar satu kaki malah.
Darah...darah...yaa, itulah dara yang pucat kehijau hijauan.
Ahen! Kenapa darahitu pucat kehijau hijauan? Apakah didalam darah terlampau banyak
racunnya?
Dalam darah Tio Bu Ki tiada racunnya. Bacokan itu juga tidak mengena ditubuhnya.
18
Ketika sinar golok berkelebat lewat, ia sudah bersedia menerimanya dengan hati yang pasrah
tapi kilatan cahaya golok itu tidak mampir ditengkuknya melainkan tengkuk Tok pousat.
Tok pousat tidak menghindar, bukan dia tak mau menghindar, hanya sewaktu niat untuk
menghindar menysusp ke dalam benaknya keadaan sudah terlambat.
Mimpipun tak pernah ia sangka bacokan tersebut akan mampir ditengkuk kirinya.
Hek popo dan putranya juga tidak menduga lebih lebih Tio Bu Ki yang telah siap menerima
bacokan tersebut.
Dengan mata terbelalak lebar, dengan pandangan yang amat jelas mereka saksikan Tok pusat
terkapar ditanah, mereka menyaksikan pula darah berwarna pucat kehijau hijauan meleleh
dari ujung golok dan menetes ke atas tanah.
Sekalipun semua adegan mereka saksikan dengan jelas, meskipun semua peristiwa mereka
ikuti dengan mata kepala sendiri, namun mereka masih tak paham, mereka tak tahu apa
gerangan yang telah terjadi.
“Apakah tidak kau sadari bahwa bacokanmu salah sasaran?” bisik Tio Bu Ki tak tahan.
“Selama hidup hanya sekali aku melakukan kesalahan!” jawab Liu sam keng tegas.
Tentu saja kesalahan tersebut bukan dilakukan sekarang ini.
Sebab semenjak biji matanya dicukil orang, ia tak pernah melakukan kesalahan untuk kedua
kalinya.
“Tapi yang hutang sebuah bacokan adalah aku bukan dia!” sela Tio Bu ki lagi.
“Meskipun kau yang berhutang sebuah bacokan dariku, toh sudah kau sanggupi sendiri, aku
bebas membacokkan golokku ke bagian manapun”
“Yaa, tapi tidak seharusnya kau serangkan bacokan tersebut diatas tubuhnya”
“Bacokan ini sudah sewajarnya kalau dibacokan diatas tubuhnya”
“Kenapa?”
“Karena hari ini kau tak boleh mati dan tidak pantas mati! Yang pantas mati bukan kau
melainkan dia!”
Tubuh Tok pousat yang tergeletak ditanah sudah tak berkutik lagi, ular ular beracun yang
berada dalam karung goni di punggungnya masih bergerak malah.
Seekor ular beracun merambat keluar dari karung, menyusup ke permukaan tanah dan
mendekati genangan darah, dengan mulutnya yang berbisa ia menghisap darah itu, darah yang
berbisa.
“Bukankah dipunggungnya ia menggembol karung goni?” Liu sam keng telah bertanya lagi.
“Benar!” Tio Bu Ki membenarkan
“Apa isi karung goni itu?”
“Tentu saja ular!”
19
“Berapa ekor jumlahnya?”
“Kecuali dua ekor yang sudah mampus, masih ada tujuh ekor ular hidup”
“Apakah ketujuh ekor ular tersebut sudah merangkak keluar semua dari karung goni itu?”
“Yaa, sudah”
“Tapi aku yaking karung itu belum kosong”
Betul! Karung goni itu belum kosong.
Tok pusat roboh tertelungkup ditanah, karung goni itu berada dipunggungnya tampak
tersembul keatas, meski semua ular berbisa telah merangkak keluar.
“Kenapa tidak kau buka karung goni itu dan memeriksa apa gerangan isi yang masih
tertinggal itu?” kata Liu sam keng lagi.
“Biar aku yang periksa!” sela Hek popo cepat.
Dengan busur emasnya dia mencukil karung goni itu, belasan biji kelereng sebesar buah jeruk
segera menggelinding keluar dan terjatuh diatas genangan darah.
Dimana kelereng kelereng itu bergelindingan, disana pula kawanan ular beracun itu kabur
terbirit birit.
Sebenarnya Tio Bu Ki masih keheranan, dia tahu Tok pusat mempunyai kepandaian
menaklukan ular yang sangat lihay. Dia adalah seorang pawang ular yang boleh diandalkan,
tapi anehnya kenapa kawanan ular beracun yang berada di karung goni masih kelabakan
seperti tak tenang?
Sekarang, Tio Bu Ki baru tahu mengapa bisa demikian. Tentu saja ular ular beracun itu tak
tenang, pasti ular tesebut membentur benda benda seperti kelereng itu, sebab ular dengan
kelereng itu ibaratnya manusia dengan ular berbisa.
Dengan busur emasnya kembali Hek popo mencukil sebutir kelereng dari atas genangan
darah. Ia tidak berkata apa apa dan tak perlu mengatakan apa apa, sebab antara ibu dan anak
berdua seperti mempunyai suatu kontak batin yang hebat, sekalipun tidak berkata apa apa
namnun kedua belah pihak sama sama dapat memahami maksud lawannya.
Begitulah, ketika ia mencukil bulatan besi itu ke atas, putranya asegera membidikkan anak
panahnya ke depan.
“Creeet....!” sebatang anak panah menyambar ke arah bulatan besi itu dan menghajarnya
telak.
Benda tersebut segera hancur berkeping keping bau harum campuran antara apotas dan
belirang segera tersebar dimana mana.
“Coba kalian perhatikan, bau apakah ini?” kata Liu sam keng kemudian.
20
Hek popo masih berpikir, tapi Tio Bu Ki telah menjawab dengan cepat:
“Aaah...itu kan pek lek!”
Pek lek adalah suara guntur yang bisa menggetarkan seluruh bumi, serentetan cahaya kilat.
Pek lek tidak harum pun tidak berbau, kau dapat membayangkan, dapat melihat tapi tak dapat
tercium. Tapi aneh, kenapa Tio Bu Ki dapat menciumnya?
Sebab Pek Lek yang dimaksudkan bukan kilat dan guntur yang mneggelegar diangkasa. Pek
lek yang dia maksudkan adalah sejenis senjata rahasia yang maha dahsyat.
“Yaa, itulah sejenis senjata rahasia yang dapat merenggut nyawa manusia secara mudah,
sejenis senjata rahasia yang dapat merontokan nyali siapapun.
Hek popo adalah seorang jago kawakan dalam dunia persilatan, pengalamannya sangat luas.
Sejak berusia enam belas tahun ia sudah melakukan perjalanan dalam dunia persilatan, kini
usianya telah mencapai enam puluh satu.
Sepanjang hidupnya, ia pernah kawin tiga kali. Suami suaminya kebanyakan adalah ahli
dalam melepaskan senjjata rahasia, dan ia sendiri termasuk juga diantara tiga puluh orang ahli
senjata rahasia yang paling tersohor dalam dunia persilatan dewasa itu...busur dan anak panah
termasuk juga sejenis senjata rahasia. Walaupun demikian, ia tidak begitu paham tentang jenis
senjata rahasia ini, malah jauh dibawah pengetahuan Tio Bu Ki.
Hal ini tak aneh, sebab Pek lek tong adalah sejenis senjata rahasia yang berdiri manunggal.
Nama Pek lek tong cukup menggetarkan seluruh dunia persilatan. Ketenaran ini sebagian
besar disebabkan mereka memiliki jenis senjata rahasia tersebut.
Pemilik Pek lek cu tong yang bernama Liu Ceng thian bisa menduduki urutan kedua diantara
tiga puluh ahli senjata rahasia didunia, hal inipun disebabkan karena dia memiliki senjata
rahasia itu.
Tentang segala sesuatu yang bersangkutan dengan senjata rahasia tersebut, tetap anak murid
Tay hong tong mengetahuinya dengan jelas sejak masih kanak kanak mereka sudah mendapat
petunjuk tentang hal ini.
Sebab Tay hong tong dan Pek lek tong adalah musuh buyutan yang sudah bermusuhan turun
temurun.
Hingga kini kedua belah pihak masih dapat bertahan, ini semua disebabkan karena kedua
belah pihak sama sama telah menjajaki kekuatan lawan. Kedua belah pihak tahu kekuatan
yang dimiliki musuh hingga tak berani bergerak secara sembarangan.
21
Mengikuti hancuran bahan peledak, panah perak tadi melesat ke samping dan...”Creeet!”
menancap diatas tiang loteng, bulu bulunya yang berwarna perak bergetar keras.
Dengan membawa perasaan kagum Hek popo melirik sekejap ke arah putranya kemudian
baru berpaling seraya bertanya:
“Inikah yang dinamakan Pek lek?”
“Tak mungkin salah” jawab Tio Bu Ki.
Ia yakin seyakin yakinnya kalau ucapan tersebut tak salah.
“Tapi mengapa tiada kedahsyatan Pek lek seperti yang digembor gemborkan orang?” Hek
popo keheranan.
“Sebab diatas tanah terdapat genangan darah beracun” sela Liu sam keng.
Pelan pelan ia membungkukkan badan, dijepitnya sebutir Pek lek cu, yang menggelinding ke
sisi kakinya dengan japitan dua jari.
Walaupun dia tidak melihat, ia dapat mendengar. Ia dapat mendengar suara angin
menggoyangkan daun dan ranting, ia mendengar suara Pek lek cu yang menggelinding keluar,
diapun mendengar suara busur serta anak panah yang menyambar....bukan begitu saja, setiap
suara yang timbul dari daerah seluar tiga puluh kaki disekelilingnya tak akan lolos dari
telinganya.
Pek lek cu itu kelihatan begitu segar lagi kering seperti buah yang baru dipetik dari atas
pohon.
Liu sam keng menyentil dengan ujung jarinya...”Sreeet...!” secepat sambaran petir Pek lek cu
itu meluncur ke depan.
Sentilan jarinya ibarat sebuah busur berpegas tinggi yang dapat melontarkan tiga ratus biji
batu sekaligus, benda peledak itu terlempar sejauh puluhan kaki, melewati kebun bunga yang
lebar dan membentur diatas batu gunung gunung disudut halaman sana.
“Blaaar...!” suatu ledakan dahsyat yang menggelegar di udara, batu dan pasir beterbangn di
angkasa membuat pemandangan menjadi kabur.
Paras muka Hek popo berubah hebat, akhirnya ia menyaksikan juga kedanhsyatan Pek lek cu,
sekarang ia membuktikan sendiri bahwa Pek lek cu adalah benda yang amat menakutkan, jauh
lebih menakutkan dari apa yang pernah didengar sebelumnya.
Segulung angin berhembus lewat membawa bau apotas dan belirang, seakan akan tertawa
juga bau harum bunga yang sangat aneh.
Tidak lazim dalam Pek lek cu terdapat pula harum bunga yang demikian aneh...
22
“Eeeeh...coba diperhatikan, aneh benar! Bau harum apa ini” bisik Tio Bu Ki keheranan.
“Kenapa tidak kau hampiri tempat ledakan itu untuk memeriksa sendiri...?” Li sam keng balik
bertanya.
Tio Bu Ki tak perlu ke sana untuk memeriksa sendiri, sebab paras mukanya telah berubah
hebat.
Segumpal serbuk halus tersebar luas di atas kumpulan bunga Bo tan yang sedang mekar, tiba
tiba bunga Bo tan yang segar itu menjadi layu, lalu rontok ke tanah dan berubah menjadi
hitam pekat.
“Haaa! Hian khi pek tok! ( seratus racun hawa harum)” pekik Ti oBu ki amat terkejut.
Sedikitpun tak salah, rupanya dalam bahan peledak tersebut telah dicampuri bubuk racun
yang menyiarkan bau harum. Apabila darah beracun yang menggenangi tanah tidak
memunahkan dulu racun yang terkandung dalam beahan peledak tersebut, sebaran racun keji
dari ledakan tadi sudah cukup untuk merenggut nyawa kita semua” demkian kata Li sam
keng.
Kendatipun kali ini ledakan tersebut terjadi pada suatu wilayah sejauh tiga puluh kaki dari
mereka berada, walaupun arah angin tidak berhembus ke arah mereka, namun beberapa orang
it toh merasakan juga kepalanya menjadi pening, perut menjadi mual dan seperti mau tumpah.
“Jangan lupa!” kembali Liu sam keng berkata,” racun dari Tok pousat bukan hanya bisa
menolong orang, racun itu dapat pula diapaki untuk merenggut nyawa manusia!”
Tentu saja sekantong bahan peledak berisi bubuk beracun itu disediakan untuk menghadapi
para tamu yang akan datang minum arak ekgirangan dari perkawinan Tio Bu Ki.
Orang orang yand dapat diundang Tio Kian untuk mendatangi perkampungan Ho hong san
ceng, sudah barang tentu adalah inti kekuatan dari Tay hong ton.
Cukup sepercik kilatan api sudahlebih dari cukup untuk mledakkan tiga empat biji Pek lek cu
itu, sudah barang tentu seluruh ruang tengah perkampungan Ho hong san ceng akan
bermandikan cahaya lampu pada hari ini, tentu banyak pula lampu lentara serta cahaya lilin
yang ikut menyemarakkan suasana.
Andaikata Tok pusat sampai ikut menyusup ke dalam ruangan, cukup ia meletakkan sebuah
lampu lentera disisi dua tiga biji Pek lek cu, bila suhu panas yang dipancarkan oleh lentera itu
cukup melelehkan lapisan lilin diluar benda itu bayangkan sendiri apa akibatnya bila dua tiga
biji baha peledak itu meledak bersama?
Terbayang sampai kesitu hampir saja seluruh pakaian yang dikenakan Tio Bu Ki basah kuyup
oleh keringat dingin.
23
“Tentu tak pernah kau sangka bukan jika Tok pusat telah menggabungkan diri dengan pihak
Pek lek tong?” tanya Liu sam keng.
Memang, Tio Bu Ki tak pernah menyangka sampai kesitu.
“Dan kau, tentunya tak akan menyangka bukan kalau mereka berani turun tangan sekeji ini
terhadap orang orang dalam perkampungan Ho hong san ceng kata Liu sam keng lebih lanjut.
Yaa, mereka berani berbuat demikian pada hakekatnya sama artnya dengan suatu tantangan
perang terbuka kepada pihak Tay hong tong.
Bila pertempuran sampai berkobar, pertempuran itu pasti merupakan suatu pertempuran yang
menentukan mati hidup mereka, kesengitan dan kedahsyatannya hampir tak terbayangkan
oleh Tio Bu Ki.
“Sekalipun usaha mereka untuk melakukan sabotase mengalami kegagalan, kerugian yang
mereka derita paling cuma Tok pusat seorang” kata Liu sam keng.
“Dia bukan tulang punggung Pek lek tong, bahkan mungkin mereka tak pernah
memperhatikan soal mati hidupnya dihati”
Sebaliknya jika peristiwa ini sampai berhasil mereka lakukan, maka kemungkinan besar
segenap inti kekuatan dari Tay hong ton akan hancur dan musnah.
Tio Bu Ki mengepal sepasang tangannya kencang kencang, katanya dengan suara keras:
“Padahal rencana itu berhasil atau tidak, akibatnya adalah sama saja...”
“Kenapa?”
“Sebab bila mereka sampai berani berbuat demikian, itu berarti mereka sudah berencana
untuk melangsungkan pertempuran terbuka dengan kami”
Setelah berhenti sejenak, dengan suara yang lebih emosi dan nada yang lebih berat dia
melanjutkan,
“Beribu ribu anggota Tay hong tong kami tidak akan jeri atau mundur karena takut!”
Dalam perkumpulan Tay hnong tong cuma ada pahlawan yang berani bertempur sampai mati
tak pernah ada kurcaci yang penakut dan bernyali seperti tikus.
Hampir saja dia seperti melinhat anak murid Tay hong tong sedang melangsungkan
pertarungan sengit diantara dentuman dentuman keras yang menggentarkan sukma.
Diantara sekian banyak orang, ada para cianpwe yang dihormati, ada pula sahabat sahabat
karibnya.
Setiap saat mungkin mereka akan mati bersamanya, menderita bersamanya....
Ia sendiripun telah bersiap sedia untuk berbuat demikian.
24
Mungkin saja mereka tidak memiliki keyakinan untuk menang, tapi bila pertempuran telak
berkorban, siapa lagi yang akan memperdulikan mati hidup, menang atau kalah?
Ia percaya anggota Tay hong ton pasti dapat berbuat demikian.
Tiba tiba Liu sam keng untuk pertama kalinya dia tertawa, dengan terkejut Tio Bu Ki
memandang ke arahnya, dia tak habis mengerti kenapa dia bisa tertawa.
“Aku sedang mentertawakan kau!” Liu sam keng menerangkan.
“Mentertawakan aku?” Kenapa mentertawakan aku?”
“Sebab kembali kau berbuat salah”
Ia tidak memberi kesempatan kepada Tio Bu Ki untuk buka suara, kembali ujarnya:
“Kini Tok pusat telah mati, Ho hong san ceng juga aman tenteram tak kekurangan sesuatu
apapun, maka peristiwa ini pada hakekatnya seperti tak pernah terjadi, pihak Pek lek tong
hanya berani mengutus manusia semacam Tok pusat untuk menjalankan misinya, ini
disebabkan mereka pribadi tak berani bergerak secara gegabah, sekalipun ada orang
menanyakan persoalin ini kepada mereka, belum tentu mereka akan mengakui kalau peristiwa
ini adalah ide mereka”
“Tapi....”
“Sudah tiga puluhan tahun lamanya Tay ho tong berhadap hadapan dengan mereka sebagai
musuh bebuyutan, dan keadaan ini mungkin akan berlangsung dua tiga puluh tahun lagi,
bahkan mungkin saja dikemudian hari permusuhan ini akan berubah menjadi persahatan. Apa
gunanya kau berpikir terlalu panjang?”
“lantas apa yang harus kulalukan sekarang?”
“Kau harus lebih banyak memikirkan pengantinmu yang cantik lagi lembut itu, kau harus
memikirkan juga sahabat sahabat baik kalian yang khusus datang ke Ho hong san ceng untuk
minum arak kegiranganmu”
Mencorong sinar terang dari mata Tio Bu Ki, bagaimanapun juga dia masih sangat muda.
Sebernya dia termasuk seorang pemuda yang berperasaan panas, gampang marahnya tapi
gampang pula menjadi gembira.
“Oleh karena itu sekarang kau harus menunggang kuda yang paling cepat untuk pulang ke
rumah” kata Liu sam keng lebih lanjut “ gantilah baju pengatinmu dan langsungkan upacara
perkawinanmu di ruang perkawinan...!”
“Tapi aku...”
“Kini kau tidak lagi berhutang kepadaku, demikian pula dengan Hek popo, kalau kau tidak
cepat berangkat, kalau masih ingin membiarkan pengantinmu gelisah, jangan salahkan kalau
aku menjadi marah”
“Dan aku pasti akan lebih marah!” Hek popo menambahkan.
25
Tio Bu Ki memandang sekejap ke arahnya, lalu memandang pula ke arah Liu sam keng, tiba
tiba ia merasa didunia ini seakan akan penuh dengan orang baik, dimanapun juga dia dapat
bertemu dengan orang baik.
Yaa, bagaimanapun juga dunia ini penuh dengan kehangatan, bagaimanapun juga kehidupan
adalah suatu keindahan yang indah, suatu kejadian yang menyenangkan.
Dia tertawa kembali...ia gembira sekali....
Bencana rupanya masih jauh dari dirinya, masa depan yang penuh kehangatan, penuh kasih
sayang seakan akan sudah terbentang lebar dihadapan matanya.
Ia melompat bangun dan berteriak:
"Baik, sekarang juga aku berangkat!"
"Oya, masih ada satu hal yang perlu kau ingat baik baik" Liu sam keng kembali
memperingatkan.
"Soal apa?"
"Kau harus ingat baik baik, jangan sampai diloloh orang hingga menjadi mabok!"
Sekulum senyum tersunggin diujung bibirnya
"Ketahuilah seorang pengantin perempuan tak akan suka menerima seorang suami yang sudah
mabok kepayang pada malam pertamanya"
"Tepat sekali perkataan itu" Hek popo menambahkan.
TIba tiba mukanya yang tua reyot seakan akan menjadi muda kembali.
"Aku masih teringat sewaktu menjadi pengantin dulu, saking gemasnya aku telah menendang
suamiku yang mabok hebat ke dalam kolong pembaringan, bahkan paling sedikit selama tiga
hari aku segan bercakap cakap dengannya"
Selapis warna merah menghiasi pipinya sambil tertawa ringan ia menambahkan:
"Untungnya ada perbuatan yang dapat berlangsung juga sekalipun tanpa berbicara"
Li sam keng terbahak bahak mendengar perkataan ini.
Tio Bu Ki percaya, sepanjang hidupnya kemungkinan besar belum pernah ia tertawa terbahak
bahak sekeras ini. Tentu saja Tio Bu ki juga tertawa.
"Akan kuingat selalu, bila ada orang meloloh diriku dengan arak, maka aku..."
"Apa yang hendak kau lakukan?" sela Hek popo
Jawab Tio Bu Ki sambil mengerdipkan matanya,
"Aku bersiap siap untuk bersembunyi dikolong ranjang lebih dulu, sebab kan lebih enak
masuk sendiri ke kolong ranjang dari pada ditendang orang lain,betul tidak?"
"Haaaahhh...haaahhh....haaahhh...suatu ide yang sangat bagus!"
.......................................
26
Hutang telah terbayar lunas, persoalan telah menjadi beres, dan lagi kini masih tengah hari. itu
berarti masih ada waktu untuk pulang kerumah.
Perasaan Tio Bu Ki ketika itu sungguh bebas, riang dan gembira...
Satu hal yang membuat dia sangat gembira adalah, Hiang hiang! Nona cantik itu bukan saja
tidak menghalangi kepergiannya, dia malah menuntun kudanya dan menunggu didepan pintu.
Kemurungan dan kesedihan memang masih nampak jelas dimatanya, tapi paling sedikit air
matanya sudah mengering.
Dia menundukkan kepalanya dan berkata dengan lirih:
"Kau bersikeras akan pergi tinggalkan tempat ini, aku tahu menahan kau dtempat inipun tak
ada gunanya...toh sekalipun ingin menahan juga tak akan berhasil"
"Terima kasih" sahut Tio Bu Ki
Perasaannya benar benar merasa berterimna kasih. Berterima kasih atas kesudiannya untuk
memahami dia lebih lebih untuk kebesaran jiwanya untuk memaklumi keadaan sekarang.
Bagaimanapun juga sedikit banyak ia tetap merasa berdosa kepadanya, merasa telah berbuat
salah kepadanya.
Tiba tiba Hiang hiang menengadah lalu memandang tajam wajahnya.
"Walaupun demikian" begitu katanya, "Aku tetap yakin, suatu saat, entah kapan...kau pasti
akan datang kemari dan menjenguk aku lagi"
Tio Bu Ki menghela napas panjang.
"Aku tak mungkin akan kemari lagi" bisiknya lembut.
"Mengapa?"
"Sebab datang kemari hanya akan menambah kemurungan serta kekesalan dalam hati kita
masing masing, apa gunanya aku datang kemari lagi?
Setiap orang, setiap manusia, dikala dia masih muda tentu pernah melakukan perbuatan yang
melanggar peraturan.
Pemuda manakah yang tidak romantis? Pemuda manakah yang tidak haus akan bercinta?
Namun ia sudah memutuskan, ia harus menjadi suami yang baik, seorang suami teladan. Dan
apa yang telah diputuskan harus dilaksanakan sebaik baiknya, walau dengan pengorbanan.
"Tapi aku tidak percaya" kata Hiang hiang lagi sambil menggigit bibir.
"Kau tidak percaya?"
27
"Aku tidak percaya kalau kau tak akan melihat perempuan lain, aku tak percaya selamanya
kau tak akan berbuat demikan"
"Kecuali orang buta atau manusia munafik, seorang laki laki yang normal akan selalu tertarik
untuk melihat perempuan cantik, siapapun tak akan terkecuali termasuk pula diriku"
"Tapi aku hanya melihat saja, yaaa....cuma terbatas pada melihat saja, lain tidak!"
Hiang hiang tak mau menyerah dengan begitu saja kembali dia berkata,
"Aku tidak percaya hanya mengandalkan dia seorang, maka selamanya kau dapat dikekang,
kau dapat dikendalikan olehnya!"
"Mungkin dia memang tak dapat mengendalikan aku, dia tak dapat pula mengekang
kebebasanku, tapi aku yaking dikemudian hari pasti ada seseorang akan membantunya untuk
mengekang diriku"
"Masa orang itu dapat mengekang kebebasanmu?"
"Dia pasti dapat! Sebab hanya dia yang mampu mengekang diriku!"
"Siapakah dia?"
"Aku sendiri!"
------------------------------------
Wi Hong Nio duduk di depan toliet, diam diam ia merasa puas..., puas sekali terhadap diri
sendiri.
Ia memang seorang gadis yang amat cantik, terutama hari ini, kelihatan begitu semarak,
begitu mentereng dan begitu cantik....
Dihari hari biasa, jarang sekali ia kenakan pakaian sementereng ini, wajahnya jarang pula
memakai bedak, apalagi gincu. Selamanya ia pandai mengekang diri, pandai mengatur diri.
Ia tahu, hanya seorang perempuan yang pandai mengatur diri yang pantas untuk menjadi
menatunya keluarga Tio.
Sejak ia bertemu untuk pertama kalinya dengan Tio Bu Ki, ia sudah mengambil keputusan
untuk menjadi menantunya keluarga Tio.
Dan sejak hari itu pula ia telah menetap target bagi dirinya, suatu target kemampuan yang
harus dicapainya dalam waktu singkat. Maka dia mulai belajar membuat masak masak,
belajar pula bagaimana cara mengatur rumah tangga.
Sayur yang dimasaknya sekarang boleh dibandingkan dengan hasil masakan dari koki
terkenal pun yang ada didunia ini. Pakaian yang ia buat dapat dikenakan oleh siapapun
dengan pas tanpa keluhan, siapapun akan merasa enak memakai baju jahitannya.
Sekalipun seorang tukang kritik, mau tak mau harus mengakui bahwa dia memang seorang
istri yang andal.
28
Semua perjuangannya ternyata memang tidak sia sia, semua ketekunan dan usahanya tidak
terbuang dengan percuma.
Bagaimanapun juga, kini ia sudah masuk kedalam keluarga Tio, ia sudah menjadi orangnya
keluarga Tio. Itu semua bukan berarti ia sudah bersiap sedia menjadi seorang nyonya besar
yang congkak.
Tidak! Ia tidak mau menjadi manusia semacam itu, dia malah sudah bertekad dikemudian hari
akan menjadi seorang menantu yang baik bagi keluarga Tio, agar Tio Bu Ki selamanya tak
akan menyesal karena memperistri dirinya....
Tio Bu Ki itu ganteng, sehat, pintar, meski wataknya agak jelek, toh dia adalah seorang
pemuda yang sangat baik.
Bagi pemuda seganteng dia, sebaik dia, sudah barang tentu banyak gadis yang terpikat
kepadanya, banyak pula yang jatuh cinta kepadanya.
Diapun tahu, dahulu pernah romantis pernah royal, dalam soal percintaan. Bahkan diapun
tahu dia mepunyai seorang gadis simpanan yang bernama Hiang hiang.
Tapi ia sudah memutuskan bahwa semua kejadian yang sudah lewat akan dilupakan dengan
begitu saja, sebab diapun percaya sejak kini ia dapat dilupakan, ia dapat dikuasainya.
Iapun dapat melihat kalau dia adalah seorang pemuda jujur, lain kali dia pasti dapat pula
menjadi seorang suami yang jujur.
Bisa kawin dengan seorang suami baik itu siapakah yang tidak puas? Apalagi yang
diharapkan seorang gadis biasa?
Walaupun demikian, ia sedikit agak tegang apalagi terbayang malam nanti...malam
pertamanya setelah perkawinan...membayangkan pembaringan yang begitu besar, mereka
akan berduaan...jantungnya akan berdebar pikirnya...seperti juga sekarang, jantungnya
berdebar keras...
Sesungguhnya ia bukan benar benar kuatir, setiap gadis akan mengalami peristiwa malam
pertama, apa yang mesti dikuatirkan?
Hanya satu hal yang ia betul betul kuatirkan, sejak pagi tadi Tio Bu Ki telah keluar rumah,
hingga sekarang dia belum kembali.
Kini hari sudah mulai malam, upacara perkawinan segera akan dilangsungkan.
Ia bukan cuma kuatir, hatinya mulai gelisah. Untung pada saat itu jerit kegirangan dari Cian
Cian sudah kedengaran.
“Bu Ki telah pulang!”
29
Tio Cian Cian adalah adiknya Tio Bu Ki. Seperti juga kakanya, dia adalah seorang gadis yang
lincah, pintar dan cantik.
Bukan saja dia tersohor sebagai gadis rupawan, diapun seorang pendekar wanita yang punya
nama dalam dunia persilatan. Sejak masih kecil, ia sudah mulai belajar pedang. Banyak jago
lihay dari Tay hong tong yang keok ditangannya, malah kakaknya juga pernah dia kalahkan.
Tentu saja dia tahu kalau kakaknya sengaja mengalah, meski begitu dia toh sangat gembira.
Tahun ini dia berusia tujuh belas tahun, masa berkembangnya gadis remaja.
Bagi dirinya, kehidupan manusia ibaratnya arak wangi yang manis dan segar, arak manis yang
menunggu orang untuk mencicipinya.
Tapi diapun mempunyai rahasia hati.
Yaa, siapa bilang seorang gaid berusia tujuh belas tidak mempunyai rahasia hati?
*****
Sebetulnya ia selalu hidup dengan hati yang riang gembira, hingga pada suatu senja.
Hari itu musim semi, ia duduk seorang diri di kebun belakang, sambil menikmati keindahan
bunga serta langit nan biru.
Tiba tiba ia merasa kesepian.
Pada umumnya hanya ada satu cara untuk melenyapkan kesepian yang dialami gadis
remaja...yaitu dicintai dan diperhatikan oleh seorang pria yang dicintainya.
Tapi ia belum berhasil menemukan pria seperti ini.
Sebab ia selalu beranggapan di dunia ini hanya ada dua orang laki laki sejati, mereka adalah
ayahnya dan kakaknya.
Sedang laki laki lain tak pernah ia pandang sebelah matapun.
Seandainya dia masih mempunyai ibu, isi hatinya dapat dia ungkapkan kepada ibunya, sayang
ibunya sudah lama meninggal dunia.
Ia memang rapat hubungannya dengan ayahnya toh itupun masih terdapat suatu perbedaan
suatu jarak pemisah yang tak mungkin bagi mereka untuk berhubungan lebih rapat. Hanya
ada seorang yang bisa berhubungan akrab, dia adalah kakaknya.
Tapi sekarang kakaknya hampir menikah, ia pasti akan kesepian kembali.
30
Kesepian...kesepian...suatu kejadian yang mengerikan!
Sejak pagi Bu Ki telah pergi, hingga kini ia belum juga kembali tentu saja dia yang paling
kuatir. Sebab hanya dia yang tahu kemana pemuda itu pergi.
Diantara mereka berdua selamanya tak pernah ada rahasia apa apa.
“Aku hendak membayar hutang, dan aku harus pergi, tapi ada sementara hutang yang belum
tentu bisa kubayar, maka jika sampai malam nanti aku belum juga kembali, itu berarti
kemungkinan besar aku tak akan kembali untuk selamanya.”
Ia tidak berusaha untuk menghalanginya, dia pun tidak mencoba untuk menasehatinya.
Karena dia paling memahami watak kakaknya. Ia tahu tidak adalah seorang laki laki, bila ia
sudah mengambil keputusan untuk melakukan sesuatu pekerjaan, maka jangan harap niatnya
bisa dicegah, apalagi dinasehati.
Justru karena itu, dia selalu bangga, ia selalu merasa kagum oleh kehebatan kakaknya itu
*****
Sejak senja menjelang tiba, ia sudah menunggu, berdiri diluar pintu kebun sambil menantikan
kedatangannya.
Kini hari sudah mulai gelap, tapi ia belum nampak juga, hatinya mulai gelisah, perasaannya
mulai cemas.....
Pada saat itulah ia saksikan seseorang melarikan kudanya seperti orang kesetanan, dengan
kecepatan paling tinggi ia menerjang masuk kelorong sempit di belakang kebun.
Sekalipun ia belum melihat jelas bagaimanakah rupa wajah orang itu, tapi dia tahu siapakah
orang itu.
Hanya Bu Ki yang akan segila ini, hanya Bu Ki yang bisa melarikan kudanya seperti orang
kesetanan.
Ia melompat bangun dan bersorak kegirangan.
“Bu Ki telah pulang!”
Bu Ki sedang tukar pakaian.
Tiada waktu baginya untuk membersihkan badan lagi, ia mulai tukar pakaian dan
mengenakan pakaian pengantinnya.
31
Badannya masih basah oleh keringat busuk, sepasang kakinya bukan saja linu, sakitnya bukan
kepalang, malah kulit kakinya sudah lecet kena lali kuda.
Ia pulang dengan menunggang seokor kuda jempolan yang bisa lari cepat, walaupun begitu
sekarang kuda itu sudah roboh terkulai.
Masih untung kuda itu baru roboh sekarang, coba ditengah jalan tadi...
Sekarang dia baru merasa, untuk menjadi seorang pengantin, bukan suatu pekerjaan yang
amat gampang.
Sejak berganti pakaian pengantin ia sudah merasakan kesulitan. Dulu tak pernah ia sangka
kalau pakaian pengatin adalah pakaian yang paling repot untuk dikenakan, jauh lebih repot
daripada seorang nona cilik mengenakan baju bonekanya.
Untung dia masih bisa bersabar, sebab dia tahu sepanjang hidup paling banyak hanya sekali
mengalaminya.
Tiga orang sedang membantunya mengenakan pakaian.
Sebetulnya tiga orang perempuan yang akan membantunya, tapi ia bersikeras minta dibantu
seorang lelaki.
Meski begitu, dalam ruangan masih ada seorang gadis. Walaupun dalam pandangannya gadis
itu tak bisa terhitung sebagai gadis namun dalam pandangan pria lain, dia adalah seorang
gadis yang betul betul cantik, seorang gadis yang benar benar berperawakan aduhai, kecuali
wataknya sedikit jelek, hampir boleh dibilang dia adalah gadis ditengah gadis.
Cian Cian duduk disudut ruangan, tepatnya diatas lantai sambil menyaksikan ia tukar pakaian.
Sekalipun dalam ruangan tersedia delapan ratus kursi, dia tak akan duduk dikursi kursi itu,
sebab dia lebih suka duduk diatas lantai.
Dia paling suka duduk di lantai.
Pakaian akan kotor? Perduli amat! Orang lain mengatakan ia tak pantas duduk di lantai, ia tak
ambil peduli. Disinilah letak perbedaannya dengan Wi Hong Nio.
Selamanya Cian Cian hanya akan melakukan pekerjaan yang dia senangi.
Melihat perbuatan adiknya itu, Bu Ki cuma bisa menggeleng sambil mengeluh.
“Coba lihat caramu duduk, bagaimana mungkin orang akan memperistri gadis macam kau?”
“Hmm...! Perduli amat” Cian Cian lalu mendengus dengan gemas,
“Buat apa kau urusi aku bakal kawin atau tidak? Yang pasti aku toh tak akan kawin
denganmu!”
32
Bu Ki tertawa getir. Yaaa...kecuali tertawa getir, apalagi yang dapat dia laukan?
Dengan perasaan tidak puas Cian Cian kembali berkata:
“Bayangkan saja laki laki macam kaupun dapat mempunyai bini, kenapa aku tak laku
kawin?”
“Tapi kau seorang perempuan” bantah Bu Ki, “Sedikit banyak kau harus mempunyai
potongan sebagai seorang perempuan!”
Cian Cian menyibirkan bibirnya.
“Kalau perempuan, lantas harus seperti apa? Seperti Hiang hiangmu itu...?”
Menyinggung soal Hiang hiang, Bu Ki tak dapat berbicara lagi.
Sekali berhasil dengan ucapannya Cian Cian mendesak lebih lanjut.
“Apakah dia sungguh amat harum? Sampai dimana harumnya?”
Rupanya gadis itu mempunyai minat yang sangat besar terhadap persoalan itu, terpaksa Bu Ki
harus mengalihkan pokok pembicaraan kesoal lain.
“Banyakkah yang datang pada hari ini?” demikian ia bertanya.
“Ehmm, banyak sekali!”
“Siapa saja yang datang?”
“Yang semestinya datang pada tidak datang, yang semestinya tidak datang telah berdatangan”
Dengan ujung matanya Bu Ki mengerling sekejap adiknya, kemudian ia berseru:
“”Aku tahu, putranya Toa toaya pasti tidak datang!”
“Dari mana kau bisa tahu?” tanya Cian Cian keheranan.
Sengaja Bu Ki memperlihatkan sekulum senyuman yang misterius.
“Sebab dia semestinya harus datang”
Merah padam air muka Cian Cian karena jengah.
Toa toaya adalah orang nomor satu yang paling berkuasa dalam perkumpulan Tay hong tong,
orang persilatan mengenalinya sebagai seorang tokoh yang amat cerdas, Sugong Siau hong
namanya.
Ia mempunyai seoang putra yang bernama Sugong Ki.
Perhatian Sugong Ki terhadap Tio Cian Cian boleh dibilang sudah bukan merupakan rahasia
lagi bagi setiap orang.
Bu Ki sangat bangga. Sekarang ia berhasil juga untuk membungkam adiknya yang cerewet
ini, meski hanya untuk sementara waktu, sayang dia lupa, dia lupa kalau dia sendiripun
mempunyai rahasia yang sudah bukan merupakan rahasia lagi.
33
Cian Cian memutar biji matanya, lalu secara tiba tiba menghela napas:
“Aaaai....sayang, sungguh amat sayang!”
“Apanya yang sayang?” tanya Bu Ki keheranan,
“Sayang ada seorang yang tidak datang”
“Siapa?”
“Seorang yang sebenarnya harus datang!”
“Siapakah orang itu?”
“Lian lian yang patut dikasihani!”
“Apa urusannya denganku? Jangankan berbicara, bertemu muka saja belum pernah”
“Oleh karena kau belum pernah bertemu muka dengannya, maka aku baru merasa sayang!”
Ia mengerling sekejap wajah kakanya, lalu menambahkan:
“Bukankah kau selalu ingin bertemu dengannya serta menyaksikan bagaimanakah potongan
wajahnya?”
Bu Ki tak bisa menyangkal.
Pada hakekatnya dia memang selalu ingin bertemu dengan Lian lian yang patut dikasihani,
dia ingin tahu bagaimanakah potongan wajahnya dan bagaimanakah potongan badannya. Hal
ini juga bukan merupakan rahasia lagi....
*****
Lian lian yang patut dihasihani adalah putri tunggal dari Sam toaya mereka, Sangkoan Jin! Ia
bernama Lian lian, lengkapnya Sangkoan Lian lian.
Setiap orang tahu kalau dia adalah seorang gadis brilian, seorang gadis yang cantik pula. Tapi
belum pernah ada orang yang pernah berjumpa dengannya.
Mengapa begini? Sebab semenjak kecil, dia sudah dikirim ayahnya ke bukit Hong san, ada
orang bilang ia sedang belajar ilmu.
“Ilmu silat dari Biau hi Sutay yang berdiam di kuil Biau hi koan bukit Hong san, paling cocok
untuk anak perempuan”
Sementara orang memang berpendapat demikian. Tapi ada pula sebagian orang berkata
bahwa ia pergi untuk merawat penyakitnya akut.
“Sejak dihadirkan ia sudah mengidap suatu penyakit aneh, seperti juga ibunya, kalau tidak
beristirahat dan hidup dengan perasaan tenang, umur dua puluh pun sukar dilampaui”
Tapi apakah yang menyebabkan dia pergi?
34
Tak seorangpun yang tahu, selamanya tak ada yang tahu selamanya tak ada yang berani
menanyakan persoaln ini kepada Sangkoan Jin.
Sangkoan Jin, buka seorang yang mudah didekati, lebih lebih tentang masalah putrinya.
Kematian dari istrinya dan kepergian dari putrinya merupakan dua masalah yang pantang
baginya untuk ditanyakan.
Bila Sangkoan Jin telah menetapkannya sebagai pantangan, maka berani siapa menyinggung
soal itu berarti dia hanya ingin mencari penyakit buat diri sendiri.
Baik dia manusia biasa maupun manusia yang telah dikenalnya.
Konon pemilik Tay hong tong yakni Im loyacu juga mengetahui watak anehnya ini.
Jilid 2________
Menyinggung soal Lian lian, mau tak mau Bu Ki harus mengalihkan kembali pokok
pembicaraannya.
“Hari ini apakah si tua sudah minum obat?” ia bertanya.
Masalah tersebut, selamanya merupakan masalah yang paling mereka perhatikan, sebab “si
tua” yang dimaksud tak lain adalah ayah mereka.
Sebutan “si tua” sama sekali tidak mengandung maksud kurang hormat, panggilan itu hanya
merupakan pertanda bahwa antara ayah dan anak bertiga sebernya mempunyai hubungan
yang sangat akrab, hubungan yang luar biasa yang tak akan dipahami siapaun.
Dalam pandangan orang lain, mungkin ayah mereka adalah seorang manusia yang
menakutkan, sebagian besar jago persilatan pasti akan merasa kagum, hormat dan bila
menyinggung nama Kim Kiong Kiam (Pedang naga emas) Tio kian.
Tapi dalam pandangan kedua orang itu, bukan saja ia adalah ayah mereka yang tercinta,
diapun sekaligus merupakan ibu mereka yang tersayang.
Tio hujin sudah lama meninggal dunia, Tio kian lah yang memelihara mereka hingga menjadi
dewasa.
Bila musimn dingin telah tiba, bila salju turun dengan derasnya, dia akan bangun dari tidur
untuk menyelimuti anak anaknya.
Bila musim semi tiba, dikala angin berhembus sepoi, dia pula yang menemani putra putrinya
untuk bermain layang layang dikebun.
35
Demi pendidikan serta memelihara putra putrinya ini, jago yang pernah malang melintang
dalam dunia persilatan dengan pedang saktinya, serta pernah membantu sahabat karibnya Im
Hui Yang untuk mendirikan Tay hong tong ini banyak mengalami perubahan, terutama dalam
perubahan soal tabiat...
Walaupun belakangan ini wataknya berubah menjadi jauh lebih baik, namun tubuhnya justru
bertambah lemah, ia berubah menjadi gampang lelah gampang kehabisan tenaga.
Bila urusan penting dalam tubuh Tay hong ton telah diselesaikan sering kali seorang diri ia
duduk dalam kamar bacanya, ia tak mampu berkata kata karena kelelahan, bahkan kadangkala
sekujur badannya mengejang keras, mengejang penuh derita.
Lambat laun putra putrinya mengetahui penderitaanya itu, mereka yakin kalau ayah mereka
telah mengindap suatu penyakit yang sangat aneh.
Walaupun dengan bersusah payah putra putrinya berhasil juga memaksanya untuk
memeriksakan diri pada seorang tabib, tapi si tua yang keras kepala seringkali tak mau minum
obat.
Seringkali dia berkata begini:
“Hanya anak perempuan yang setiap malam minum obat, apakah kalian sudah menganggap
diriku sebagai perempuan?”
Meskipun jalan pikiran seperti ini sama sekali tak benar, tapi asal ia bersikeras mengatakan
benar, siapa lagi yang dapat merubah pendapatnya itu?”
Cian cian menghela napas ringan katanya:
“Diam diam, obat jatahnya untuk hari ini telah dibuang ke dalam selokan...”
Mendengar itu Bu ki tertawa getir.
“Aku sungguh tak habis mengerti, kenapa ia selalu saja berbuat seperti anak kecil? Hanya
anak kecil yang takut minum obat”
“Konon orang yang telah menginjak usia tua, seringkali wataknya tak berbeda jauh dengan
anak kecil”
“Apakah Toa sauya berada disini?”
Baik Bu ki maupun Cian cian segera mengenali suara terxebut sebagai suaranya Lo ciang.
Sudah puluhan tahun Lo ciang berdiam dalam gedung keluarga Tio, sejak sebagai seorang
kacung bukunya Tio kian, kini dia sudah menjadi congkoannya perkampungan Ho hong san
ceng, semula dia mempunyai sepasang kaki yang kuat, malah juara bermain “Kancu” (Sejenis
36
permainan yang terbuat dari bulu ayam) tapi belakangan ini kakinya terserang rhematik, untuk
berjalan saja susah apalagi bermain “kiancu”
Walaupun demikian dalam pandangannya sejak dulu, sekarang maupun nanti Tio kian tetap
adalah “Toa sauya nya”. Malah panggilan itu tak pernah berubah.
Cian cian melompat bangun dari tanah, membuka daun jendela dan terlihat Lo cian yang
selalu tenang, kini tampak agak gelisah meski napasnya sudah tidak tersengkal lagi.
Tak tahan lagi dia bertanya:
“Hei, apa gerangan yang telah terjadi? Mengapa kau tampak begitu gelisah?”
Sambil mengatur napasnya yang sedikit terengah jawab Lo ciang:
“Sugong toaya telah datang dari kota Po ting dan sekarang sedang menanti di ruang tengah
untuk bertemu dengan toa sauya, tapi toa sauya tidak diketahui kemana perginya”
“Sudah kau cari?”
“Aku telah mencarinya kesana kemari, bukan saja toa sauya tidak kutemukan, sangkoan
samya pun ikut lenyap tak berbekas”
Mendengar kabar tersebut, Cian cian ikut sedikit gelisah.
Sudah hampir empat puluh tahun lamanya Lo ciang mengikuti ayahnya, boleh dibilang semua
tempat semua ruangan yang ada dalam perkampungan Ho hong san ceng dikenal olehnya.
Kalau manusia seperti Lo ciang pun tak dapat menemukan siapa lagi yang bisa menemukan?
“Aku bisa menemukannya!” tiba tiba Bu ki menyela.
“Masa kau tahu dia ada dimana?” Lo ciang seperti kurang percaya.
Tio Bu ki tertawa lebar.
“Tempat itu hanya aku seorang yang tahu, biar kucarikan untukmu!” demikan katanya.
Pemuda itu tak ambil perduli apakah dia sedang berganti pakaian pengantin atau tidak, sekali
melompat tubuhnya sudah menerjang ke muka.
Memandang bayangan punggungnya, Lo cian hanya bisa gelengkan kepalanya sambil
menghela napas.
“Aaaai.....tabiat siau sauya persis dengna tabiat toa sauya dimasa mudanya dulu!”
Walaupun ia menghela napas, toh sinar matanya adalah sinar mata kagum bercampur girang.
Selama hidupnya, toa sauya tak pernah melakukan perbuatan yang merugikan orang lain, dan
sekarang ia mendapat balasan untuk kebaikannya itu....
37
Bayangkan saja, siapa yang tidak berbahagia menyaksikan putranya tumnbuh menjadi
dewasa, mempunyai istri dan melahirkan anak, siapakah di dunia ini yang tak ingin menimang
cucu?
Lo cian hanya berharap siau sauyanya bisa cepat cepat menemukan toa sauya, lalu upacara
perkawinan dilangsungkan dan sepasang pengantin masuk ke kamar.
Bila ucapan telah selesai, diapun bisa menemui rekan rekannya untuk minum arak sampai
puas.
Cian cian kelihatan sedikit tak puas, dengan hati mendongkol ia berseru:
“Aku tidak percaya kalau ditempat ini terdapat suatu tempat yang tidak kuketahui.”
“Aaaaiii,,,ada sementara tempat memang tidak seharusnya kita ketahnui..”sela Lo ciang.
“Kenapa?”
“Sebab tempat itu pasti merupakan tempat rahasia dimana toa sauya biasanya menyelesaikan
urusan perkumpulan, sauya selalu pandai memisahkan antara tugas umum dan kepentingan
pribadi, tentu saja tempat rahasia semacam itu tak boleh kita ketahui”
“Lantas, kenapa Bu ki bisa tahu?”
“Siau sauya adalah ahli waris dari toa sauya setelah toa sauya mengundurkan diri lain hari,
dialah yang akan meneruskan karier serta perjuangan toa sauya, sebab itu sudah sepantasnya
kalau siau sauya ikut mengetahui segala sesuatu.”
“Apa yang dia andalkan sehingga cuma dia seorang yang boleh tahu?” teriak Cian cian tidak
puas,
“Masa aku bukan anak kandung ayah?”
“Oooh...Sudah barang tentu kau adalah anak kandung toa sauya! Cuma, bagaimanapun juga
kau toh seorang perempuan”
“Kalau perempuan lantas kenapa?”
“Kalau perempuan, maka cepat atau lambat kau bakal kawin, setelah kawin maka kau adalah
orangnya keluarga lain”
Apa yang diucapkan memang ucapan yang sejujurnya, ia memang selalu berbicara jujur.
Cian cian ingin mendebat namun tak tahu bagaimana harus mendebatnya, terpaksa ia cuma
bisa melotot sekejap kearahnya dengan gemas.
“Aku justru sengaja tak mau kawin, akan kulihat apa yang bisa kau perbuat” teriaknya.
Lo ciang tertawa:
“Aku bisa apa? Tentu saja aku tak bisa apa apa” sambil picingkan matanya ia tertawa,
lanjutnya:
“Justru yang kukuatirkan, setelah sampai waktunya, mau tak mau kau harus menerima
pinangan orang lain dan menikah”
*****
38
Tay hong tong adalah suatu organisasi yang besar dengan peraturan yang ketat, bukan saja
pengaruhnya meliputi seluruh dataran Tionggoan bahkan merembas pula hingga jauh keluar
perbatasan.
Keberhasilan Tay hong tong seperti apa yang disaksikan pada saat ini, kecuali disebabkan
karena ambisi serta kewibawaan Liang kian hong sintang in (angin sakti menggulung naga)
Im Hui yang maha hebat, hal ini disebabkan pula oleh perjuangan tiga serangkai yang berani
menantang segala kesulitan yang dihadapinya.
Ketiga serangkai tersxebut tak lain adalah Sugong siau hong, Tio Kian serta Sangkoan Jin.
Merekalah yang memerjuangkan Tay hong tong dengan keringat dan darah, maka sudah
wajarnya kalau mereka juga yang menikmati kemenangan serta kemuliaan.
Sejak Im Hui yang, Im Laytacu menutup diri selama lima tahun untuk melatih sejenis ilmu
pedang yang tiada taranya di dunia ini, tanggung jawab Tay hong tong serta otomatis terjatuh
dipundak mereka bertiga.
Pada hakekatnya mereka adalah saudara sehidup semati, bukan saja menanggulangi bersama
semua kesulitan yang dihadapi, emrekapun dapat menikmati bersama semua kebahagian yang
berhasil diraih.
Oleh karena itu tak timbul perselisihan diantara mereka untuk saling menggeser dan menjegal
untuk memperebutkan kekuasaan serta kedudukan paling tinggi, semua perhatian dan
kekuatan mereka hanya ditujukan keluar: Menolong mereka yang lemah dan menantang kaum
penindas.
Usia Sugong siau hong paling tua, tapi tabiatnya paling lembut dan ramah, dia tersohor
sebagai seorang jago yang berotak “brilian”.
Sepanjang hidupnya ia enggan ribut denganorang, dia pun enggan melakukan perbuatan yang
mengakibatkan mengalirnya darah.
Sebab menurut pendapatnya, segala persoalan dapat diselesaikan dengan mengandalkan
kecerdasan otak, tak usah menggunakan golok tanpa kekerasanpun urusan bisa diselesaikan
sama baiknya.
Karena wataknya ini, banyak orang persilatan yang secara diam diam memberi julukan
kepadanya, mereka memanggilnya sebagai Sugong popo, si nenek Sugong!
39
Anak murid perkumpulan Tay hong tong memang menaruh hormat kepadanya, tapi bukan
berarti mereka benar benar puas dengna kebijaksanaan pemimpinnya.
Pemuda pemuda yang berdarah panas ini berangggapan bahwa cara kerja pemimpinnya ini
terlalu berpura pura.
Mereka menghendaki suatu tindakan yang tegas dan keras, karena dengan begitu kobaran
semangat mereka yang menyala nyala baru bisa terlampiaskan keluar.
Sayang apa yang mereka harpkan tinggal harapan, Sugong siau hong sudah mempunyai
prinsip dalam perlawannya terhadap Pek lek tong, yakni:
“Bila orang lain tidak mengganggu aku, akupun tak akan mengganggu orang lain. Apabila
keadaan tidak terlalu memaksa, mereka tak akan turun tangan secara gegabah!”
Barang siapa diantara murid murid Tay hong tong berani memasuki wilayah kekuasaan Pek
lek tong, dia bakal dihukum mati!
Sangkoan Jin adalah seorang manusia emas yang tak pernah mengucapkan sepatah katapun
walau menghadapi kejadian seperti apapun juga.
Sekalipun para pengikut setianya yang sudah banyak tahun mengiringi disisinya, belum tentu
setahun mendengar suara perkataanya.
Dia selalu bernaggapan bahwa setiap orang mempunyai hak untuk merahasiakan kepentingan
pribadinya, ia tak perkenankan siapapun juga untuk menanyakan masalah pribadinya.
Ruangan tidurnya selalu dijaga dengan ketat, siapapun tak berani mendekati tempat itu secara
gegabah.
Seperti juga Tio Kian istrinya sudah lama meninggal, putrinya yang cuma satu satunya itu
sudah dikirim ke tempat yang amat jauh.
Sekarang, bukan saja ia tak punya sanak, teman akrabpun cuma satu dua orang.
Keangkuhannya, keanehannya serta kekerasan hatinya sudah diketahui siapapun, pada
hakekatnya tak seorangpun yang dapat mendekatinya.
Oleh karena itulah diantara ketiga orang pemipin tersebut, Tio Kian yang paling banyak
penggemarnya.
Semasa mudanya Tio Kian tersohor karena kebesaran jiwanya serta sifat kependekarannya
yang suka menolong kaum lemah dan menentang kaum penindas.
40
Sekalupun tabiatnya sekarang sudah jauh lebih lembut dan kalem, toh ia masih terhitung
seorang jago yang berjiwa terbuka.
Asal kau adalah sahabat karibnya, sekalipun kepala harus dipenggal dan diberikan kepadamu
tak nanti dia akan kerutkan dahi.
Manusia seperti inilah merupakan type manusia yang paling dihormati oleh orang muda.
Dan hari ini putra tunggalnya melangsungkan perkawinan, sudah barang tentu semuanya
berdatangan untuk ikut minum secawan arak eegirangan.
Malah Im loyacu yang sedang menutup diri dipuncak bukit Cing siu san pun mengutus
seorang untuk menyampaikan hadiah khusus.
Semua orang menunggu dengan tak sabar, semua orang ingin cepat cepat menyaksikan
pengantin lelaki yang ganteng serta pengantin perempuan yang cantik jelita lagi lembut itu.
Ketika Bu ki mnculkan diri, semua orang mengerumuni dirinya.
Sekalipun ia tak sampai melangkah untuk ke ruang tengah, tapi dikebun belakangpun ada
orang dimana mana penuh sesak dengan lautan manusia.
Ketika semua orang menyaksikan pengantin laki laki lari kesana kemari dengan “Baju
kebesaran” nya sebelum upacara dimulai, semua orang merasa kaget, heran dan gembira, tak
seorangpun yang menaggap perbuatannya itu melanggar adat kesopanan.
Putra Tio Kian memang sudah tersohor karena kebebasannya dari segala ikatan adat, dia
adalah seorang pemuda yang berbuat bebas menurut suara hati sendiri.
Dengan susah payah akhirnya Bu ki berhasil juga melepaskan diri dari kepungan orang
banyak. Sesudah menebusi hutan bunga tho dikebun belakang, dengan melewati sebuah jalan
kecil yang berliku liku akhirnya sampailah dia dalam sebuah halaman kecil ynag penuh
ditumbuhi bambu.
Angin berhembus sepoi sepoi menggoyangkan daun bambu, suasana disitu hening dan sepi
suara gelak tertawa manusia diruang depan sama sekali tak terdengar disitu.
Dalam halaman kecil itu semuanya terdapat lima buah bilik, tiga buah bilik lebar dan dua
bilik tersembunyi, disinilah biasanya pemilik perkampungan Ho hong san ceng membaca
buku.
Tentu saja Lo ciang mengetahui tempat ini dan sudah barang tentu telah mencari pula disana.
41
Tapi dia tidak menemukan toa sauyanya, sebab orangnya memang tak ada disana, dari depan
sampai belakang ruangan tak seoang manusiapun yang kelihatan.
Walau begitu, Bu ki tidak kecewa, sebab ia tahu ditempat ini masih ada rahasianya.
Dan rahasia terxebut hanya dia seorang yang tahu.
Kamar baca Tio Kian yang sebenarnya terletak di ruang paling belakang, sekeliling ruangan
penuh dengan rak buku yang tinggi, barang siapa masuk ke situ ibarat seseorang yang masuk
kekota buku.
Tapi disanapun tak ada orang.
Dengan langkah lebar Bu ki masuk ke dalam ruangan, setelah yakin kalau disana tak ada
orang bukan saja tidak gelisah malah sebaliknya justru ia merasakan lega hati.
Sebab ia tahu dibelakang rak buku sebelah kiri masih terdapat sebuah ruang rahasia, disitulah
ayahnya mengatur segala sesuatu urusan Tay hong tong yang bersifat rahasia.
Ia percaya ayahnya pasti berada disana, bahkan kemungkinan besar sedang merundingkan
suatu masalah besar dengna Sangkoan samya.
Ia tak langsung masuk, diambilnya sebuah pemberat kertas yang terbuat dari tembaga dan
dketukkan perlahan pada rak nomor tiga dari rak buku tersebut.
Tiga kali sudah dia mengetuk rak tersebut, namun tiada suara jawaban yang kedengaran.
Sekarang hatinya baru gelisah, sekuat tenaga dia mendorong rak buku itu kesamping, lalu
badannya menerobos masuk celah celah yang terbuka.
Ayahnya memang berada dalam ruang rahasia itu malah dia mengenakan jubah panjang
bersulamkan naga indah, jubah indah yang khusus disiapkan untuk merayakan hari
perkawinan putranya, dan huncwe kemala hijau kesayangan masih berada pula dalam
genggamannya.
Cuma, ia tergeletak ditanah, tegeletak ditanah tanpa batok kepala!
Bu ki berlutut ditanah, ia tidak meraung raung tidak pula lemlelelhkan air mata.
Dalam kelopak matanya tiada air mata, yang ada hanya darah!
Segulung angin berhembus lewat dari luar ruangan dan menyingkapkan kalender diatas meja
seakan akan ada tenaga tak berwujud yang membaliknya, secara kebetulan kalender itu
menunjukkan, bulan tiga, tanggal dua puluh tujuh, rejeki besar, cocok untuk mengadakan
perkawinan.
42
Kim Liong Kiam Khek (jago pedang naga emas) Tio Kian, orang kedua dari Tay-hong tong
ternyata kehilangan batok kepalanya secara misterius dihari perkawinan putra kesayangannya.
Sudah barang tentu peristiwa ini menghebohkan segenap dunia persilatan.
Sekalipun tidak kenal atau belum pernah bertemu dengan Tio Kian, paling sedikit mereka
pernah mendengar nama besarnya.
Dia punya teman, tentu saja punya musuh. Tapi baik itu temannya atau musuhnya, mereka
rata rata merasa kaget bercampur tecengang oleh peristiwa tersebut.
Mereka yang agak mengetahui jelas duduknya peristiwa itu mendadak menjadi pusat
perhatian orang, dimana saja mereka berada, semua orang memusatkan perhatiannya kepada
mereka, dan orang orang itu hanya ingin mengajukan satu pertanyaan: Siapakah
pembunuhnya?
Tak seorangpun dapat menjawab pertanyaan itu, tak seorangpun berani mengadakan penilaian
sendiri. Sebab bila ada yang salah berbicara, kemungkinan besar mereka akan kehilangan pula
batok kepalanya ditengah malam buta.
Oleh karena itu berbagai reaksi, berbagai pertanyaan berkecamuk dihati setiap orang.
“Benarkah Tio Kian telah mati? Benarkah dia mati lantaran kepalanya dipenggal orang?”
“Benar! Memang itulah kejadiannya”
“Kapan peristiwa itu berlangsung?”
“Bulan tiga tanggal dua puluh tujuh, tepat disaat putranya hendak melangsungkan
perkawinan”
“Konon hari itu adalah hari baik, paling baik untuk menyelenggarakan usaha apapun?”
“Benar hari itu memang hari yang paling baik untuk melakukan pekerjaan apapun”
“Untuk mencari menantu sudah tentu harus memilih hari baik, masa membunuh orangpun
harus mencari hari baik juga?”
“Hari itu adalah hari baik untuk melakukan pekerjaan apapun, baik menyelenggarakan
perkawinan ataupun membunuh orang”
“Makanya si pembunuh itu hingga sekarang belum juga ketahuan”
“Aku rasa bukan pekerjaan yang gampang untuk menemukan pembunuh tersebut”
“Tapi sedikit banyak pihak keluarga Tio Kian sudah mempunyai titik terang bukan?”
“Agaknya memang begitu”
Maka bermunculanlah berbagai lapisan manusia yang membantu keluarga Tio untuk melacaki
jejak pembunuh tersebut.
“Tio Kian terbunuh dimana?” demikian pertanyaan itu berkumandang diantara kumpulan
manusia.
“Katanya mati di perkampungan Ho hong san ceng”
43
“Tapi orang hadir diperkampungan Ho hong san ceng waktu itu tentu banyak sekali, kenapa
tak seorangpun yang menyaksikan peristiwa pembunuhan tersebut?”
“Sebab dia mati di ruang rahasia”
“Begitu rahasiakah ruang rahasianya itu?”
“Tentu saja rahasia sekali, bahkan aku dengar putrinya sendiri juga tidak tahu”
“Lantas siapa yang tahu?”
“Konon kecuali dia sendiri yang pernah masuk ruang rahasia itu, hanya tiga orang yang tahu”
“Siapakah ketiga orang itu?”
“Sugong Siau hong, Sangkoan Jin serta putranya”
“Apakah hanya salah satu diantara ketiga orang itu yang ada kemungkinan untuk
membnunuhnya?”
“Aku rasa sulit untuk menemukan orang keempat”
“Kenapa?”
“Tio Kian bukan manusia sembarangan. Sebelum berusia duapuluh tahun ia sudah mulai
mengembara dalam dunia persilatan dengan mengandalkan sebilah pedang”
“Aku juga pernah mendengar, sebelum usia tujuh belas, ia telah membunuh Tiang an hau
(Harimau Tiang an) di kota Tiang an”
“Ya, betul!” sambung yang lain,
“Dalam tiga tahun kemudian bahkan ia telah membinasakan juga Kwan tiong jit hiong (tujuh
orang gagah dari Kwan tiong) Huang ho su ciau (empat ular sakti dari sungai kuning), malah
mengalahkan juga siau tojin serta Tan tiong hiong yang merupakan jago pedang waktu itu.”
“Tak aneh kalau namanya amat tersohor sebelum berusia dua puluh tahun” kata jago lain.
“Konon sebelum berusia tiga puluh tahun, ia telah membantu Im Hui yang mendirikan Tay
hong tong, bayangkan saja, amnusia tangguh semacam ini mana mungkin dipenggal
kepalanya secara gampang.
“Aku merasa tidak habis mengerti”
“Seharusnya kau mengerti, orang yang bisa memenggal kepalanya pastilah seseorang yang
sangat dikenal olehnya, sebab itu dia tidak bersikap waspada terhadap orang tersebut”
'Wah, kalau betul begitu, ilmu silat yang dimiliki orang itu tentu lihay sekali, dan caranya
turun tanganpun sangat cepat”
“Betul, konon pada waktu itu si tabib pertapa dari Hoa san juga hadir disitu, malah dialah
yang memeriksa jenasah Tio jiya”
“Apa yang dia katakan?”
“Dia yakin kalau alat senjata yang digunakan untuk membunuh Tio jiya adalah sebilah
pedang, bahkan dalam sekali tebasan ia berhasil menguntungi batok kepala Tio jiya.”
“Dan kebetulan Sugong Siau hong dan Sangkoan Jin adalah jago jago lihay yang
menggunakan pedang”
“Yaa, mereka semua adalah jago silat kelas satu dalam dunia persilatan...!”
“Putra Tio jin apakah pemuda yang bernama Tio Bu ki itu?”
“Benar dialah orangnya”
“Sudah barang tentu dia pembunuhnya?”
“Tentu saja bukan”
“Kalau begitu, menurut pendapatmu pembunuhnya adalah Sangkoan jin”? Ataukah Sugong
Siau hong?”
44
“Aku tidak tahu!”
“Coba terkalah!”
“Aku tidak berani menerka”
Perdebatan dan pembicaraan tersebut adalah pembicaraan bebas yang kedengaran dikalaangan
umum.
Di tengah malam buta, baik dikaki lima, ditepi jalan maupun dalam warung makan yang
memakai merek mentereng, masih kedengaran banyak orang yang membicarakan peristiwa
itu.
Konon orang yang paling mecurigakan adalah Sugong Siau hong!” demikian mereka berkata.
“Kenapa?”
“Sebab dia adalah orang terakhnir yang tiba diperkampungan Ho hong san ceng, ia baru tiba
pada malam bulan tiga tanggal dua puluh tujuh”
“Kenapa dia yang dicurigai?” bantah yang lain.
“Justru orang terakhir yang datang seharusnya malah tak pantas dicurigai”
“Yaaa, kalau cuma begitu memang tak pantas dicurigai, tapi menurut hasil meneylidikan yang
kemudian diadakan, katanya pada tanggal dua puluh lima ia sudah meninggal kota Po teng”
“Jadi semestinya tanggal dua puluh enam ia sudah sampai di perkampungan Ho hong san
ceng?”
“Yaaa, paling lambatpun sore itu harus sudah tiba”
“Lalu sejak sore tanggal dua puluh enam sampai malam tanggal dua puluh tujuh dia telah
kemana?”
“Tak seorangpun yang tahu”
“Maka orang lantas menduga bahwa dialah yang paling mencurigakan?”
“Begitulah!”
“Tapi aku dengar sejak sore hari tanggal dua puluh tujuh, hanya Sangkoan Jin seorang yang
menemani Tio jiya hingga berlangsungnya peristiwa tersebut”
“Karena itu Sangkoan Jin juga seseorang yang patut dicurigai”
“Sekarang,dimanakah orang itu?”
“Hingga kini mereka berdua masih tetap tinggal di perkampungan Ho hong san ceng”
“Yaaa, betul! Siapa berani berangkat dulu, dialah yang pantas dicurigai sebagai
pembunuhnya, tentu saja apapun diantara mereka tak ada yang berani berangkat
meninggalkan tempat itu”
“Padahal mereka mau pergi atau tidak juga sama sja”
“Kenapa?”
“Karena mereka berdua adalah saudara sehidup semati dari Tio jiya, tiada alasan buat mereka
untuk melakukan pembunuhan keji tersebut, bila tidak menemukan bukti bukti yang kuat,
siapakah yang berani mencurigai kedua orang itu?”
“Dan sekarang apakah mereka menemukan buktu buktinya?”
“Belum”
*****
45
Hari ini sudah tanggal empat bulan empat, peringatan hari ketujuh sejak kematian sudah
lewat.
Malam sudah menjelang tiba, suasana sangat hening.
Sejak Tio Bu ki menemukan jenasah ayahnya hingga kini, tujuh hari lewat tanpa terasa.
Selama tujuh hari ini, Bu ki tidak pernah menagis, setitik air matapun tak pernah meleleh
keluar membasahi pipinya.
Ia tidak minum, tentu saja tidak pula makan.
Bibir sudah mengering dan rretak retak, bahkan seluruh kulit badannya ikut kering dan pecah
pecah.
Matanya cekung kedalam wajahnya yang semula merah segar telah berubah menjadi sepucat
kertas.
Bukan begitu saja, badannya sudah kaku dan tak berkutik.
Tampangnya tersebut mengerikan sekali. Semua orang takut kepadanya, bahkan Cian cian
juga takut.
Tapi tak seorang manusiapun yang mampu menghibur hatinya.
Pada hakekatnya ia seperti patung, apapun suara pembicaraan manusia ia tidak mendengar,
apapun yang berada dihadapannya dia tidak melihat.
Tentu saja yang paling menderita adalah Wi Hong nio, ia menangis sepanjang hari, tapi
sekarang air matanya telah mengering.
Selama tujuh hari ini, setiap orang jarang berbicara, setiap orang berusaha mencari....mencari
jejak dari pembunuh tersebut.
Tapi mereka gagal untuk menemukannya.
Setiap jengkal tanah dan disekitar perkampungan Ho hong san ceng telah mereka geladah,
tapi semua usahanya itu cuma sia sia belaka, mereka tidak berhasil melacaki jejak sang
pembunuh tersebut.
Siapapun tak berani mencurigai Sangkoan Jin lebih lebih mecurigai Sugong Siau hong, tapi
kecuali kedua orang itu tiada orang lain yang dapat mereka curigai lagi.
46
Seandainya pembumuh itu adalah orang lain maka pembunuh tersebut tentu dapat datang
tanpa wjud pergi tanpa bayangan, seakan akan setan iblis yang mengerikan.
Walaupun semua orang jarang berbicara, sedikit banyak mereka toh berbicara juga.
Lain halnya dengan Sangkoan Jin boleh dibilang dia sama sekali tidak bersuara.
Iapun tidak memberikan alibinya, ia tidak menerangkan dimanakah dia berada, tak ada
seorangpun yang berani minta penjelasan kepadanya.
Akhirnya orang lain baru tahu kalau waktu itu rupanya dia sudah mabok, oleh Cian congkoan,
ia dibaringkan dalam kamar tamu.
Kamarnya terletak nomor lima dalam halaman yang terpisah, dia maupun pengikutnya semua
berada disana.
Orang yang bertugas mengatur segala kebutuhan mereka adalah Tio Piau.
Tio Piau, bukan saja seorang pembantu tua dari keluarga Tio, dia masih terhitung famili
jauhnya Tio jiya.
Tio Piau telah memberikan kesaksiannya pada tanggal dua puluh tujuh bulan tiga, sejak
maghrib Sangkoan samya terus tidur didalam kamarnya.
Sekalipun sewaktu sadar dari maboknya, ia tidak menimbulkan suara apa apa, tapi setelah
mabok, ia tidur sambil mendengkur, banyak orang mendengar suara dengkurannya itu.
Kebanyakkan orang persilatan beranggapan, keberhasilan Sugong Siau hong untuk mencapai
kedudukannya seperti hari ini bukan lantaran ilmu silatnya yang hebat melainkan karena
imannya yang tebal.
Tenaga dalamnya maupun ilmu pedang Sip ci hui kiamnya belum sampai mencapai puncak
kesempurnaan, tapi soal ketebalan imam, soal kesabaran dan tahan uji dia adalah nomor satu
di dunia.
Dia tahu banyak sekali jago Ho hong san ceng yang mencurigai dirinya, sebab pada tanggal
dua puluh enam bulan tiga, seharusnya dia sudah harus sampai disana.
Walau begitu, ia sedikitpun tidak menunjukkan perasaan tak tenang, apalagi memberi
sanggahan ataupun penerangan.
47
Ia berangkat lebih awal dari tanggal yang sebenarnya, hal ini disebabkan karena persoalan
lain.
Tapi soal itu adalah suatu rahasia besar, ia tidak akan membiarkan orang lain tahu.
Selama beberapa hari ini dia masih tetap tenang dan bersikap wajar seperti ini, seseorang
harus tetap mempertahankan ketenangannya, dengan demikian urusan jadi tak sampai kalut.
Walau berada dalam keadaan seperti apapun, dia tak akan lupa untuk melakukan apa yang
harus dilakukan.
Ia berusaha keras untuk mengaturkan upacara penguburan bagi jenasah Tio Kian, lalu
menasehati anak murid Tay hong tong agar selalu bersikap tenang, ia percaya cepat atau
lambat duduknya persoalan pasti akan menjadi jelas.
Terlepas dari apa yang dikatakan orang lain, siapapun mengakui bahwa dia memang memiliki
daya ketenangan yang luar biasa.
Sebab itu, Tay hong tong selamanya tak bisa kehilangan dia.
Setelah upacara peringatan “hari ketujuh” lewat, sisa anggota Tay hong tong yang masih
tertinggalpun telah kembali ke posnya masing masing.
Sekalipun Tio Kian adalah batu tonggak bagi Tay hong tong, namun Tay hong tong tak dapat
roboh dan hancur hanya lantaran kehnilangan sebuah tongkat saja.
Yaa, jika pondasinya sudah kuat dan kokoh sekalipun kehilangan sebuah tongkatnya, hal ini
tak menyebabkan bangunan menjadi roboh, walau ditiup oleh angin sekencang apapun.
Sugong Siau hong berhasil membuat anak muridnya memahami persoalan ini, dia berharap
semua orang dapat merubah kesedihan menjadi kekuatan yang besar.
Yang masih tertinggal dalam ruangan waktu itu kecuali orang orang dari keluarga Tio, hanya
sedikit saja orang luar.
Tiba tiba Sangkoan Jin bangkit seraya berkata:
“Ouyang sedang menunggu aku!”
Habis mengucapkan kata kata tersebut, dia berlalu dengan langkah lebar....
Empat kata itu terlampau singkat, kecuali Sugong Siau hong, yang lain boleh dibilang tak ada
yang mengerti.
Sekalipun begitu asal satu orang bisa memahami, hal ini sudah lebih dari cukup.
48
Yaaa, memang begitulah watak Sangkoan Jin, kalau dengan empat katapun bisa menjelaskan
maksudnya maka tak akan dia gunakan kata kelima.
Ketika melihat Sangkoan Jin pergi, tak tahan lagi Cian cian segera berseru:
“Apakah dia akan pergi dengan begitu saja?”
“Yaa, bagaimanapun juga dia harus pergi!” jawab Sugong Siau hong.
“Kenapa?”
“Sebab dia sudah mempunyai janji dengan Ouyang untuk berjumpa”
“Siapakah Ouyang itu?”
“Dia adalah Ouyang Peng an”
Ouyang Peng an adalah congpiautau dari delapan belas perusahaan ekspedisi di daratan
Tionggoan, mereka telah berencana untuk membentuk perserikatan dengan pihak Tay hong
tong.
Sudah barang tentu apa yang hendak dirundingkan antara Ouyang Peng an dengan Sangkoan
Jin adalah suatu persoan yang amat penting.
Cian cian tidak bertanya lagi. Secara lamat lamat ia sudah mendengar tentang persoalan itu.
Tay hong tong memang membutuhkan persekutuan yang tangguh untuk memupuk kekuatan.
Sejak mereka mengetahui kalau Pek lek tong telah mengikat hubungan berbesan dengan
keluarga Tong dari sechuan, merekapun berharap bisa memperoleh persekutuan pula.
Senjata rahasia bahan peledak dari Pek lek tong sudah cukup menakutkan siapaun, sekarang
bila ditambah pula dengan senjata rahasia dari keluarga Tong yang telah berusia seratus enam
puluh tahun, keadaan tersebut ibaratnya harimau tumbuh sayap.
Persoalan inilah yang selalu menjadi ganjalan dihati Sugong Siau hong, ia selalu berharap
agar Ouyang Peng an jangan membatalkan rencana semulanya karena peristiwa tersebut.
Suara derap kaki kuda secara lamat lamat kedengaran berkumandang diluar sana, rupanya
Sangkoan Jin beserta anak buahnya telah meninggalkan perkampungan Ho hong san ceng.
Ketika suara derap kuda itu makin menjauh, suasana dalam ruang tengah kembali diliputi
keheningan.
Bu Ki masih berlutut didepan meja abu ayahnya tanpa bergerak barang sedikitpun, bibirnya
yang kering sudah pecah dan berdarah.
Saat itulah Sugon Siau hong berkata:
“Aku rasa semua persoalan disini telah dapat diatasi, satu dua hari lagi aku harus pergi
meninggalkan tempat ini.”
49
Tentu saja, cepat atau lambat dia memang harus pergi.
Im Hui Yang masih berada dalam masa pertappan, sedang Tio Kian telah tewas secara tiba
tiba, Tay hong tong lebih lebih tak boleh kekurangan dirinya.
Cian cian tundukkan kepalanya, ia seperti hendak mengucapkan sesuatu, tapi niat tersebut
akhirnya dibatalkan.
Diapun tak berani bicara sembarangan, dia tahu sepatah kata saja salah berbicara bisa
mengkibatkan hancurnya keluarga mereka.
Namun pada hakekatnya dia sedikit merasa takut. Ayahnya telah tewas dan kakaknya berubah
menjadi begini, dia merasa bagaimanapun juga perkampungan Ho hong seng harus
dipertahankan.
Beban dan tanggung jawab yang amat berat ini tak bisa dibantah lagi terjatuh diatas
pudaknya.
Lalu apa yang ia harus lakukan?
Sugong Siau hong memandang sekejap kearahnya, seakan akan dia dapat menebak suara
hatinya.
“Aku tahu bahwa kau adalah seorang gadis yang berhati teguh” demikian katanya dengan
lembut, justru yang kami kuatirkan adalah dia”
Tentu saja orang yang paling dikuatirkan adalah Bu Ki.
Setiap orang menguatirkan Bu Ki, semua orang berharap dia bisa bangkit berdiri dan
membusungkan dadanya.
Tapi siapapun tidak tahu,s ampai kapankah pemuda itu baru bangkit berdiri dan
membusungkan dadanya.
Ditengah keheningan yang mencekam ruang tengah, tiba tiba berkumandang suara langkah
kaki yang berat dan mantap, tak usah berpalingpun Cian Cian tahu bahwa orang itu adalah Lo
Ciang.
Napasnya tersengkal sengkal baru mukanya merah membara, dia lari masuk dengan tergesa
gesa, ditangannya membawa sebuah cawan arak.
Apakah dia mabok karena arak?
Tidak!.
Dalam cawan arak itu bukan berisi arak, melainkan selapis debu yang tebal.
50
Dengan napas tersengkal teriak Lo Ciang:
“Benda ini kudapatkan dari dalam kamar yang ditempati Sangkoan samya”
Kemudian setelah berhenti sebentar, ia menerangkan lebih lanjut:
“Setelah Sangkoan samya pergi, aku lantas membawa orang untuk membersihkan kamar itu”
Yang dimaksudkan melakukan pembersihan tentu saja hanya suatu alasan belaka!
Sangkoan Jin termasuk orang yang dicurigai, cuma selama orangnya masih berada disana, tak
seorang manusiapun berani menggeledah kamarnya.
“Apa yang sebenarnya kau temukan itu?” tanya Sugong Siau hong.
“Aku justru mohon toaya sudi memeriksanya sendiri”
Dalam cawan arak hanya terdapat separuh cawan bubuk berwarna kuning, bubuk itu seperti
tanah lumpur yang baru diambil dari atas tanah.
Cuma anehnya, lumpur kuning itu menyiarkan sejenis bau harum yang aneh sekali.
Dengan sepasang jari tangannya Sugong Siau hong mengambil sedikit bubuk kuning itu,
diremas remas dengan jari tangannya, lalu dicium.
Tiba tiba paras mukanya menunjukkan suatu perubahan yang aneh sekali...
Lo Ciang kembali berkata:
“Lo Tan yang mengurusi pesta perjamuan adalah seorang ahli dalam penciuman, aku telah
menyuruh dia mencium bubuk tersebut katanya campuran tersebut bukan saja terdiri dari batu
gamping tapi terdapat juga wangi wangian dan tanduk naga”
Mau tak mau dia harus mengakui juga atas ketajaman penciuman dari Lo Tan tersebut,
diantara tanah liat memang terdapat wangi wangian, tanduk naga dan batu gamping.
“Semua benda ini kudapatkan dari dasar meja yang berada dikamar Sangkoan samya, aku
berhasil mendapatkannnya setelah mengorek dengan memakai pisau belati”
Biji matanya seakan akan melompat keluar tanganpun agak gemetar, lanjutnya:
“Bukan ditanah saja terdapat benda itu, diantara celah celah mejapun ada, aku...aku menjadi
tak habis mengerti, buat apa Sangkoan samya membutuhkan benda benda seperti itu?”
Bahkan suaranya kedengaran agak gemetar, sebab dia tahu apa gunanya benda benda itu.
Wangi wangian dan tanduk naga adalah bahan pengawet yang mahal harganya, bukan saja
dipakai sebagai obat, dapat pula digunakan sebagai pencegah pembusukan.
51
Dan batu gamping adalah bahan umum yang digunakan untuk menjaga keringnya suatu
benda, sebab bahan itu anti kelembaban.
Lalu benda apa yang dimiliki Sangkoan Jin dalam kamarnya sehingga ia membutuhkan bahan
bahan seperti itu untuk mencegah kelembaban dan pembusukkan?
Dalam peti mati Tio Kian terdapat pula benda benda tersebut, dan ketiga macam bahan itu
digunakan untuk menjaga keringnya suasana dan utuhnya mayat tersebut.
Walau begitu, batok kepalanya tak berada didalam peti mati.
Lalu ditangan siapakahn batok kepala itu?
Benarkah orang itu membutuhkan juga ketiga macam bahan tersebut guna menyimpan batok
kepala yang diperolehnya?
Bila semua persoalan itu disangkut pautkan antara yang satu dengan yang lainnya, maka
munculah suatu persoalan yang sangat mengerikan.
Benarkah Sangkoan Jin menyimpan bahan bahan tersebut karena dia membutuhkannya untuk
menyimpan batok kepala Tio Kian?
Mungkinkah dialah pembunuh Tio Kian?
Hingga kini belum ada orang yang berani, bahkan berbicarapun tak berani.
Namun paras muka Cian Cian telah berubah mnenjadi pucat pias seperti mayat, sekujur
badannya mulai gemetar malah.
Bukan dia saja, bahkan paras muka Sugong Siau hong pun ikut berubah hebat.
Sekuat tenaga ia berusaha memnepertahankan ketenangannya hatinya, dengan suara berat ia
bertanya:
“Hari itu, siapakah yang melihat Sangkoan samya tidur didalam kamarnya?”
“Tio Pian!”
“Bawa orang itu kemari!”
“Sudah kukirim orang untuk memanggilnya kemari”
Dia sudah mengutus dua belas orang, dua belas orang itu adalah jagoan paling baik dalam
gedung keluarga Tio.
Dan sekarang mereka sudah datang menghadap.
“Dimanakah Tio Pian?” Lo Ciang segera menegur.
“Diluar!”
52
“Suruh dia masuk!”
“Ia sudah tak mampu untuk masuk sendiri!”
“Kalau begitu gotong dia kedalam”
Dengan sebuah daun pintu, empat orang menggotong masuk Tio Pian kedalam ruangan,
sekalipun Lo Ciang adalah rekan sejawatnya, namun sekarang hampir saja ia tidak kenali
kembali orang itu sebagai Tio Pian.
Sekujur badannya sudah berubah hitam dan membengkak, lagi mukanya besar membengkak
dan berwarna hitam pula, panca indranya sudah sama sekali berubah.
Sewaktu digotong masuk dia masih terengah, tapi sesudah bertemu dengan Sugong Siau
hong,nyawanya segera putus.
“Siapa yang membunuhnnya?” tanya Sugong Siau hong kemudian dengan wajah berubah.
“Entahlah, didadanya terkena sebatang senjata rahasia tadi sepertinya tidak mengapa, tak
tahunya dalam waktu singkat dia telah berubah menjadi begini rupa!”
Diatas wajah para jagoan yang menggotongnya masuk itu masih tertera jelas rasa ngeri dan
takut yang amat tebal.
Walaupun dengan mata kepala sendiri mereka menyaksikan perubahan yang menakutkan itu,
toh mereka masih belum mempercayainya.
:Ambil sebilah pisau!” perintah Sugong Siau hong dengan suara berat.
Seseorang mencabut pisau belatinya dari balik laras sepatu.
Dengan ujung pisau Siau hong merobek pakaian dibagian dada yang dikenakan Tio Pian,
tampaklah sebatang senjata rahasia berbentuk duri yang kecil sekali menancap didada sebelah
kirinya, sekalipun sekitar mulut luka tiada darah, namun sudah berubah menjadi hitam dan
membusuk lagi.
“Oooh...betapa kejinya snejata rahasia beracun ini!” pekik Lo Ciang sambil menghembuskan
napas panjang.
Sugon Siau hong memeriksa sekejap ujung pisaunya, ujung pisau itu cuma terkena sedikit
nanah beracun disekitar mulut luka, tapi sekarang pisau tersebut telah berubah menjadi hitam
perak.
Paras mukanya berubah makin serius.
Dalam kolong langit dewasa ini, hanya semacam senjata rahasia yang membawa racun keji
itu.
53
Cian Cian mengigit bibirnya, darah nampak meleleh dari luka luka bibir, bisiknya agak
gemetar:
“Bu...bukankah benda itu adalah duri beracun dari keluarga Tong di Siok tiong?”
Pelan pelan Sugong Siau hong mengangguk.
“Benar!” jawabnya sepatah demi sepatah kata.
“Benda ini memang senjata rahasia dari keluarga Tong, duri beracun yang membunuh korban
setelah terkena darah!”
Paras muka semua orang berubah hebat.
Semua orang sudah tahu, hubungan antara keluarga Tong di Siok tiong dengan Pek lek tong
adalah hubungan berbesan. Dan sekarang, jago lihay dari keluarga Tong telah menyusup
kedalam perkampungan Ho hong san ceng.
Peristiwa ini benar benar merupakan suatu peristiwa yang mengerikan!
Salah seorang jago muda yang ikut menggotong Tio Piau itu seperti hendak mengucapkan
sesuatu, namun ia tak berani sembarangan berbicara, takut kesalahan.
Sugong Siau hong telah memperhatikan sikapnya itu, dengan cepat dia berseru:
“Apa yang hendak kau katakan?”
Jago muda itu sedikit rada sangsi, tapi akhirnya ia berkata juga:
“Ada suatu persoalan, siaujin tak tahu harus dikatakan ataukah tidak...!”
“katakan! Apa persoalan itu?”
Jago muda itu kembali tampak seperti sangsi,
Setengah harian kemudian ia baru memberanikan diri untuk berkata:
“Diantara pengiring yang dibawa Sangkoan samya, tampaknya ada seorang memang berasal
dari wilayah Suzhuan sana!”
“Darimana kau bisa tahu?” tanya Sugong Siau hong dengan perasaaan agak tergetar.
“Sebab siaujin juga berasal dari daerah Suzhuan, siaujin dapat pula dialek Suzhuan sana.
Tanpa sengaja kemarin hamba mendengar orang itu sedang berbicara dengan dialek
suzhuannya dalam kamar Sangkoan samya...!”
Ia berpkir sebentar, lalu katanya lagi,
“Selain itu orang Suzhuan sangat mengagumi kehebatan Cukat liang, dihari hari biasa mereka
gemar mengenakan kain putih sebagai pengikat kepala. Siaujin saksikan sewaktu hendak tidur
orang itu selalu mengenakan ikat kepala warna putih dikepalanya. Aku sebetulnya ingin
berbicara dengannya memakai dialek Suzhuan, siapa tahu dia bersikeras tidak mengakui kalau
dirinya orang Suzhuan bahkan sampai akhirnya hampir saja aku ribut dengan orang itu”
54
“Yaa betul!” Lo Ciang menimbrung pula, diantara pengiring yang dibawa Sangkoan samya
kali ini memang terdapat seseorang yang belum pernah kujumpai sebelumnya, sebetulnya aku
ingin bertanya sejak kapan menjadi pengikutnya Sangkoan samya, tapi aku pun cukup
memahami watak Sangkoan samya, maka pertanyaan tersebut tak berani kuajukan...”
Dan sekarang, tentu saja perkataan atau pertanyaan apapun tak perlu diajukan lagi.
Semua bukti, semua kenyataan yang tertera didepan mereka sudah lebih dari cukup untuk
menerangkan siapakah pembunuh yang sebenarnya. Siapakah pembunuh keji yang telah
membinasakan Tio Kian.
Rupanya Sangkoan Jin telah menyuap Tio Paiu agar memberikan kesaksian palsu baginya,
kemudian memerintahkan pengiringnya yang berasal dari Suzhuan itu untuk membunuh Tio
Pian.
Tetapi...bukankah anak murid keluarga Tong dari wilayah Suzhuan selamanya congkak dan
tinggi hati, mengapa ia bersedia menjadi pengiringnya Sangkoan Jin?
Itu berarti dibalik kesemuanya itu sebetulnya masih terselip suatu rencana besar yang
mengerikan.
“Mungkinkah Sangkoan Jin telah bersekongkol dengan keluarga Tong dan Pek lek tong?”
“Apakah tindakannya membunuh Tio Kian, adalah demi untuk membaiki mereka?”
Persoalan persoalan tersebut, bukan saja tak berani diutarakan keluar, bahkan mereka tak
berani memikirkannya.
Sugong Siau hong mengepal kencang kencang tangannya, peluh dingin telah membasahi
tubuhnya.
Pada saat itulah Tio Bu Ki yang selama ini berlutut terus ditanah, tiba tiba melompat bangun
dan menerjang keluar.
Sebenarnya sekujur badan Tio Bu Ki telah kaku, semua persendian tulangnya seakan akan
sudah hampir rontok.
Anehnya, perasaannya waktu itu justru jauh lebih tajam dan reaksinya pun semaking sensitif,
suara yang bagaimana lirihpun seakan akan merupakan guntur yang membelah bumi.
Dalam pendengarannya, semua pembicaraa orang orang tersebut seperti jeritan keras disisi
telinganya.
55
Jilid 3________
Mungkin hal ini disebabkan karena pikirannya kosong dan tubuhnya amat lemah, amat rapuh.
Sekalipun begitu, bukan berarti ia kehilangan kesadarannya...yaa, disinilah terletak keajaiban
manusia, sering kali dikala manusia berada dalam keadaan lemah, perasaan dan pikirannya
justru jauh lebih tajam, jauh lebih sensitif.
Kini, ia telah berhasil menemukan siapa pembunuh ayahnya!
Ia melompat bangun dan menerjang keluar. Tiada orang yang menghalanginya kecuali
Sugong Siau hong.
Ketika Sugong Siau hong menahan tubuhnya dengan uluran tangan, Tio Bu Ki segera roboh
terkapar ditanah.
Oleh kobaran api benci dan pergolakkan rasa dendam yang berkecamuk dalam dadanya, Bu
Ki masih dapat bertahan hingga kini.
Tapi sekarang, ia terkapar lemas, sekalipun seorang bocah kecil cukup mampu untuk
merobohkan dirinya pula.
“Aku tahu kemana kau akan pergi” demikian Sugong Siau hong berkata, “Sebernarnya aku
tak ingin menghalangimu, namun karena aku sendiri juga ingin kesana, maka terpaksa
kupersilahkan kau untuk menunggu”
Sepasang mata Tio Bu Ki merah membara, sepintas lalu tampangnya seperti harimau terluka
yang siap menerkam mangsanya, mengerikan sekali keadaan pemuda itu.
“Tapi kau tak boleh pergi dalam keadaan seperti ini” hibur Sugong Siau hong lebih jauh,
“Sebab kalau kau besikeras kesitu, maka kau hanya akan menghantar nyawa saja”
Sepasang mata Cian Cian juga merah membara, teriaknya pula dengan suara lantang:
“Bagaimanapun juga, kami harus pergi! Walau apapun juga resikonya”
“Sangkoan Jin orangnya jeli dan pikirannya panjang, semenjak dulu dia sudah memelihara
kelompok jago yang setiap saat bersedia menjual nyawa baginya, sekarang ditambah lagi
senjata rahasia beracun dari keluarga Tong, sekalipun kita harus kesana, tentu saja tak boleh
pergi tanpa persiapan”
“Lantas dalam keadaan yang bagaimana kita baru boleh pergi?” ngotot Cian Cian.
“Kita harus menunggu sampai kita mempunyai keyakinan bahwa sergapan kita pasti
mendatangkan hasil!”
Ia menghela napas panjang, katanya lagi:
56
“Bila sergapan kita tidak menemui sasarannya, sehingga ia mendapat kesempatan untuk
mengundurkan diri maka selamanya jangan harap kita bisa memperoleh kesempatan baik
untuk kedua kalinya”
Apa yang dikatakan memang merupakan suatu kenyataan, namun anak murid Ho Hong San
Ceng tak mau menerima nasehat tersebut dengan begitu saja.
Dalam waktu singkat, dibawah pimpinan Lo Ciang seratus tiga puluh enam orang jagoan telah
disiapkan dihalaman ruangan depan, mereka semua telah siap dengan senjata lengkap ada
yang membawa busur dan panah ada yang membawa tombak dan ada pula yang membawa
golok.
Diantara ke seratus tiga puluh enam orang itu ada separuh diantaranya telah mendapat
didikkan ilmu silat paling sedikit selama sepuluh tahun lamanya.
Lo Cian berlutut dihapadan Sugong Siau hong sambil memohon mohon, kepalanya yang
membentur lantai sudah nanar dan mengucurkan darah.
Meskipun begitu, dia memohon terus, memohon kepada Sugong Siau hong agar diijinkan
untuk membalas dendam.
Tentu saja Sugong Siu hong dapat merasakan gelagat tersebut, ia tahu semangat mereka untuk
membalas dendam telah berkobar kobar, siapapun jangan harap bisa membatalka niatnya itu.
Padahl ia tidak setuju kalau memakai kekerasan, tapi keadaan memaksa dia untuk
menyetujuinya juga.
“Baik ,kalian boleh pergi, aku akan mengiring keberangkatan kalian, tapi bagaimana dengan
Bu Ki...?”
“Siau sauya harus ikut pergi” sela Lo Cian dengan cepat, “kami telah meneydiakan satu
mangkuk kuah jinsom untuknya, dikala kereta kita tiba dimuka benteng Sangkoan po,
kesehatan tubuhnya pasti sudah pulih kembali!”
Selama hidup Bu Ki paling enggan minum kuah jinsom, tapi sekarang mau tak mau dia harus
menghabiskan semangkuk kuah tersebut.
Kekuatan tubuhnya harus dipulihkan dalwam waktu singkat.
Dia harus pula membunuh pembunuh ayahnya dengan tangan sendiri.
Sayang ada satu hal yang telah ia lupakan...
Kendatipun kekuatan tubuhnya berada dalam kondisi yang terbaik, ia masih bukan tandingan
Sangkoan Jin.
57
*****
Sugong Siau hong belum melupakan hal ini.
Terhadap ilmu pedang, limu silat keganasan dalam melancarkan serangan dan ketepatan
dalam melepaskan pululan maut dari Sangkoan Jin, tiada orang kedua yang lebih memahami
daripada dirinya.
Semenjak masih muda, mereka sudah seringkali bahu membahu untuk melakukan
pertarungan, rata rata dalam satu tahun mereka harus bekerja sama tiga puluh kali.
Sebelum perkumpulan Tay hong tong didirikan, paling sedikit mereka pernah melakukan tiga
ratus kali pertarungan besar maupun kecil.
Berulang kali ia pernah menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana Sangkoan Jin
menyarangkan ujung pedangnya ketenggorokan musuh, setiap kali selalu tenggorokan yang
menjadi sasaran, setiap kali tentu merenggut nyawa orang dan hampir boleh dibilang tak
pernah meleset...
Suatu kali, ketika mereka harus menghadapi Kwan tion jin kiam (tujuh pedang sakti dari
Kwan tiong), musuh yang dihadapi Sangkoan Jin waktu itu adalah San tian kuay kiam
(pedang cepat sambaran kilat) Cho Sut, seorang jago pedang yang amat tersohor namanya
ketika itu, begitu pertarungan dimulai, ia sudah menderita luka tusukan ditujuh tempat,
bahkan sebuah tusukan kilat telah menembusi bahunya.
Akan tetapi akhirnya Cho Sut tewas ditangannya, sebelum musuh roboh ke tanah seperti juga
yang lainnya sebuah tusukannya berhasil menembusi tenggorokkannya. Itu baru merupakan
ancaman yang paling menakutkan.
Hampir boleh dibilang, ia mempunyai daya kemampuan untuk menahan penderitaan seperti
cacing ditengah gurun pasir, tapi diapun memiliki daya tahan yang ulet seperti seekor unta.
Suatu ketika, enam biji tulang iganya kena dihantam patah, ketika orang sedang membantu
untuk membalutkan lukanya, peluh dingin telah membasahi seprei pembaringannya lantaran
menahan sakit, tapi merintihpun ia tidak....
Waktu itu kebetulan Im Hui Yang juga hadir disana, setelah menyaksikan pertistiwa itu
segera katanya kepada orang orang lain.
“Barang siapa mempunyai musuh semacam Sangkoan Jin, malam harinya mereka tentu tak
bisa tidur nyenyak!”
Perkataan itu masih mendengung disisi telinga Sugong Siau hong, dia tak pernah
melupakannya.
58
Tentu saja pandangan Im Hui Yang terhadap dirinya juga tak akan terlupakan untuk
selamanya.
“Bila suatu hari Sugong Siau hong hendak menantang aku untuk berduel, maka begitu ia
datang aku akan cepat cepat mengambil langkah seribu”
Ketika ada orang bertanya:
“Kenapa?”
Maka Im Hui Yang menjawab:
“Sebab ia tak pernah melakukan pertarungan yang tidak ia yakini bisa menang, itu berarti jika
ia sampai datang maka keyakinannya untuk menang pasti sudah ada!”
*****
Im Hui Yang tersohor sebagai manusia yang lihay seorang manusia yang pandai menilai
keadaan orang, tentu saja iapun pandai pula memilih kawan perjuangan.
Dengan bekal kemampuan semacam ini, tentu saja diapun tak akan salah memilih teman.
Selama hidupnya, Sugong Siau hong memang belum pernah melakukan suatu perbuatan yang
tidak diyakini.
Mungkinkah dalam tindakannya sekarang ia telah mempunyai keyakinan untuk menang?
Lo Ciang berada pula dalam ruang kereta.
Sakit encok yang dideritanya sejak banyak tahun membuat pelayan tua ini tak sanggup lagi
melkaukan perjalan jauh, diapun tak kuat untuk menunggang kuda.
Ruangan kereta sangat lebar dan luas, cukup bagi empat orang untuk duduk dengan nyaman.
Tapi ia bukan duduk dengan nyaman, sebab pada hakikatnya hampir seperti berdiri.
Ia selalu memahami apakah kedudukannya ditempat itu, sekalipun tuan mudanya sudah lama
menganggapnya sebagai orang sendiri, tapi belum pernah ia melampaui batas batas yang telah
dipertahankannya selama banyak tahun.
Mengenai persoalan ini, Sugong Siau hong selalu merasa kagum dan memujinya, karena
sepanjang hidup ia paling benci dengan segala macam manusia yang melanggar peraturan.
Oleh karena itulah mereka tidak meminta kepada Lo Ciang untuk duduk lebih nyaman, hanya
tanyanya:
“Dengan cara apa kita akan memasuki benteng Sangkoan po? Dengan cara apa menghadapi
Sangkoan Jin? Apakah kau sudah mempunyai suatu rencana yang matang?
59
“Benar” jawab Lo Ciang.
“Kenapa tidak kau katakan?” Sugong Siau hong kembali bertanya.
“Karena toaya belum menanyakannya!”
“Sekarang aku sudah bertanya, katakanlah dengan cepat!”
“Baik!”
Lama sekali ia termenung, kemudian pikirnya sekali lagi dengan seksama semua rencana
yang telah disusun secara rapi itu, ketika ia sudah yakin bahwa diantara rencana rencananya
itu tiada sesuatu kekurangan, barulah secara terperinci rencana itu diutarakan keluar.
Sangkoan Jin adalah seorang manusia yang aneh suka menyendiri dan berdisiplin ketat, sudah
barang tentu benteng Sangkoan po yang berada dibawah komandonya mempunyai penjagaan
yang sangat kuat, jangan harap orang luar bisa memasukinya secara gegabah. Untung Sugong
Siau hong bukan orang luar.
Kata Lo Ciang lagi,
“Maka dari itu, bila kita akan masuk secara aman, toaya yang musti menampilkan diri lebih
dahulu, sekarang Sangkoan Jin masih belum tahu kalau rahasianya telah terbongkar, bukan
saja tiada hadangan hadangan, bahkan pintu gerbang bentengnya pasti akan dibentangkan
lebar lebar untuk menyambut kedatangan kita”
Rupanya secara diam diam ia telah memperhitungkan kekuatan lawan, sebab dia tahu dalam
benteng Sangkoan po semuanya terdapat tiga ratus orang centeng penjaga rumah, bahkan
hampir semua centeng itu pernah berlatih silat, diantaranya terdapat banyak jago berani mati
yang telah dilatih untuk menjual nyawa setiap saat.
Kata Lo Ciang lebih jauh,
“Kali ini kita hanya membawa seratus tiga puluh enam orang, musuh lebih banyak jumlahnya
dari pada kekuatan kita, kemungkianan besar kita masih bukan tandingan mereka”
Sugong Siau hong menyetujui pendapat tersebut,
“Tapi, jika Sangkoan Jin menyambut sendiri kedatangan kita” kata Lo Ciang lagi,
“pengiring yang dibawanya pasti tidak terlalu banyak”
“Jadi kau bersiap siap untuk turun tangan pada waktu itu?” tanya Sugong Siau hong.
“Untuk membasmi kaum penjahat kita musti membekuk pentolannya lebih dulu, asal
Sangkoan Jin telah berhasil kita kuasai, anak buahnya tentu tak berani sembarangan
berkutik!”
“Siapa yang mempunyai kepandaian untuk membekuknya?”
“Bila kita biarkan siau sauya menyerang dari depan, toaya dan ji siocia menyergap dari kedua
sayap, sedang aku dengan memimpin sepasukan jago mematahkan bala bantuan yang datang
dari belakang tidak sulit rasanya untuk merobohkannya”
“Seandainya ia tidak keluar apa yang mesti kita lakukan?”
“Terpaksa kita harus menyerbu ke dalam dan beradu jiwa dengan mereka”
“Dengan menggunakan apa kau akan beradu dengan mereka?”
“Tentu saja beradu dengan mengandanlkan nyawa kita”
60
Lo Ciang berhenti sebentar, kemudian sambil mengepal sepasang tangannya ia berkata lebih
jauh:
“Walaupun jumlah mereka lebih banyak, belum tentu mereka berani beradu jiwa dengan kita”
“Beradu jiwa” memang merupakan cara yang paling menakutkan dalam medan pertarungan,
baik itu dilakukan disaat apa dan tempat macam apapun, bahkan kadangkala lebih mudah
memberikan hasilnya.
Sugong Siau hong menghela napas panjang, katanya:
“Urusan telah berkembang menjadi begini, agaknya terpaksa kita harus menempuh dengan
cara tersebut”
*****
Sayang cara tersebut tak mungkin bisa mereka laksankan, karena hakekatnya mereka tidak
mendapat kesempatan untuk menggunakannya.
Pada saat itulah mereka telah mnenyaksikan kobaran api ditempat kejauhan sana, jilatan api
yang membuat separuh langit berubah menjadi merah.
Tempat terjadinya kebakaran itu tampaknya speerti benteng Sangkoan po yang sedang mereka
tuju.
Ketika mereka tiba, Sangkoan po sudah tinggal puing puing yang berserakkan, sesosok
bayangan manusiapun tidak nampak.
Ditempat bekas kebakaran tidak ditemukan kerangka manusia, Sangkoan Jin dan segenap
anak buahnya berjumlah empat ratus orang telah lenyap dengan begitu saja, seakan akan
mereka lenyap dengan begitu saja dari permukaan tanah.
Sungguh tegas, keji, bersih dan rapi tindakan ini, sulit rasanya untuk menemukan orang kedua
yang dapat melakukan tindakan setegas ini...
“Kemunafikkan, ketebalan muka, kekejian serta kelicikkannya sudah cukup membuat orang
untuk mengaguminya, disamping takut pula kepadanya!”
Itulah penjelasan yang kemudian diberikan Sugong Siau hong tentang lenyapnya Sangkoan
Jin dari benteng Sangkoan po.
Ucapan tersebut tak pernah dilupakan lagi oleh Tio Bu Ki untuk selamanya...
*****
Selain mempersiapkan segala kepandaian untuk menjadi seorang istri yang setia dan
bijaksana, Wi Hong Nio mempunyai pula suatu kebiasaan yang baik.
61
Setiap hari menjelang tidur, ia tentu mencatat semua kejadian besar yang dialami atau
diketahuinya sepanjang hari serta semua jalan pikirannya pada hari itu dalam catatan harian.
Semenjak masih kecil, ia sudah mempunyai kebiasaaan baik itu, sekalipun ia berada dalam
suasana yang sedih, belum pernah ia membengkalaikan kebiasaannya itu.
Tentu saja kejadian besar yang dialaminya selama beberapa hari ini telah dicatat semua,
kendatipun agak sedikit kacau, tapi sikap serta cara berpikirnya tentang Bu Ki dan pelbagai
persoalan ternyata jauh berbeda dengan pandangan orang lain
Berikut ini adalah beberapa diantara catatan hariannya.
*****
Bulan empat tanggal empat, hari cerah.
Pembunuh loyacu ternyata Sangkoan Jin, suatu kejadian yang tak pernah disangka sangka.
Aku selalu beranggapan hubungannya dengan loyacu paling akrab dari pada hubungannya
dengan orang lain, bahkan sampai sore itu ketika mereka berdua minum arak dalam kebun,
aku masih mempunyai anggapan demikian.
Sekalipun demikian, hari itu aku menemukan sesuatu kejadian yang aneh sekali.
Menengok dari daun jendela diatas loteng tempat tinggalku, kebetulan dapat kusaksikan gardu
tempat mereka minum arak dengan jelas.
Hari itu kusaksikan dengan mata kepala sendiri Sangkoan Jin seperti akan menjatuhkan diri
dan berlutut dan mnyembah dihadapan Loyacu, tapi niatnya itu dapat dihalangi oleh Loyacu.
Aku tahu, hubungan persaudaraan diantara mereka memang diimbangi dengan segala
peraturan dan tata cara yang banyak, Samte menyembah kepada jikonya memang bukan suatu
kejadian yang luar biasa.
Ditambah pula hari itu aku selalu merindukan Bu Ki, maka waktu terjadi peristiwa itu aku tak
begitu menaruh perhatian hampir saja melupakan kejadian itu.
Tapi Setelah kupikirkan kembali sekarang, dapat kurasakan bahwa peristiwa menyembah itu
pasti mengandung alasan yang luar biasa.
Mungkinkah lantaran Sangkoan Jin mempunyai rahasia yang memalukan dan berhasil
diketahui oleh Loyacu, maka dia hendak menyembah untuk minta maaf?
62
Meskipun Loyacu telah mengampuni dirinya, tentu ia belum merasa lega maka dibunuhnya
Loyacu untuk menghilangkan jejak.
Bu Ki, Cian Cian telah berangkat ke benteng Sangkoan po bersama Sugong toaya, hingga kini
mereka belum kembali.
Sebelum berangkat , ia tidak melihat kepadaku, melirik sekejappun tidak, tapi aku tidak
membencinya.
Aku dapat memahami perasaannya, sebab perasaanku sendiripun ikut menjadi takut.
Aku tahu malam ini aku pasti tak dapat tidur nyenyak.
*****
Bulan enam tanggal lima, hari cerah.
Pagi pagi sekali Bu Ki sekalian telah pulang, wajah mereka tampak gelisah, murung dan tak
sedap dipandang.
Akhirnya kuketahui ketika mereka tiba ditempat tujuan, ternyata benteng Sangkoan po telah
terbakar tinggal puing puing yang berserakkan, Sangkoan Jin sendiri juga ikut kabur.
Ia memang selalu bertindak sangat cermat dan hati hati, tentu saja ia telah menduga kalau
rahasiannya cepat atau lambat bakal ketahuan orang, maka sebelum terjadi sesuatu ia telah
sedia payung sebelum hujan.
Kalau bukan demikian, tak mungkin ia bisa kabur membawa serta segenap anak buahnya.
Bila ada rombongan melakukan perjalanan bersama, kejadian ini pasti akan menimbulkan
perhatian orang, sedikit banyak mereka tentu akan meninggalkan jejak pula.
Rupanya Sugong toaya telah berpikir sampai kesitu, ia telah mengutus orang untuk
melakukan pengejaran ke empat penjuru.
Tapi menurut perasaanku, pengejaran ini pasti sia sia belaka dan tak akan mendatangkan hasil
apa apa, sebab Sangkoan Jin tentu sudah berpikir pula sampai kesitu, seluruh anak buahnya
tentu sudah diperintahkan untuk menyaru dan memecahkan diri dalam keompok kecil.
Hari ini Bu Ki masih belum mengajak aku berbicara, tapi aku tidak menyalahkan dirinya.
Bagaimana juga aku telah masuk ke dalam keluarga Tio, aku telah menjadi orangnya keluarga
Tio, sampai berapa lamapun aku harus menunggu hatiku tak akan menyesal.
63
Aku sangat ingin membuatkan semangkuk kuah ayam masak kaki babi yang paling
disukainya dan menyuapi sendiri kemulutnya.
Tapi akupun tahu bahwa aku tak boleh berbuat demikian.
Tempat yang kuhuni sekarang adalah suatu keluarga besar, aku harus berhati hati dalam setiap
gerak gerikku, aku tak boleh membiarkan orang lain membicarakan kejelekkanku secara diam
diam.
Aku hanya bisa berharap semoga ia bisa baik baik menjaga diri.
*****
Bulan empat tanggal enam, hari mendung.
Hingga kini berita tentang Sangkoan Jin masih belum diketahui, semua orang tampak lebih
gelisah dan tak tenang.
Yang aneh, keadaan Bu Ki justru lebih tenang dari pada beberapa hari berselang, bahkan
setiap hari dia selalu menghabiskan semangkuk besar nasi beserta lauk pauknya.
Semenjak kecil ia sudah kuperhatikan, tentu saja sangat kupahami bagaimanakah tabiatnya,
bila secara tiba tiba ia berubah menjadi begini, berarti ia telah mengambil satu keputusan
dalam hatinya untuk mengerjakan sesuatu.
Sekalipun tidak ia ungkapkan, tapi aku percaya ia tentu hendak mencari sendiri jejak
Sangkoan Jin serta membalaskan dendam bagi kematian loyacu.
Tapi akupun tahu, kekuatan yang dimilikinya terlalu minim, bukan saja usahanya ini sangat
berbahaya, harapannya pun tipis.
Tapi siapakah yang bisa menghalangi niatnya itu? Aku cukup memahami wataknya, bila ia
sudah bertekad untuk mengerjakan suatu pekerjaan maka jangan harap niat tersebut dapat
dihalangi.
Aku hanya berharap ia mau kemari dan menjumpaiku sekejap, memberitahu kepadaku kapan
dia siap akan pergi, agar akupun dapat memberitahukan kepadanya bahwa kemanapun dia
pergi, berapa lamapun ia akan tinggalkan diriku, aku selalu akan menantikan kedatangannya
kembali.Sekalipun harus menunggu seumur hidup, aku juga rela.
*****
Bulan empat tanggal tujuh, hari mendung.
64
Empat kelompok pengejar yang diperintahkan melacaki jejak Sangkoan Jin, sudah ada dua
kelompok yang telah kembali, betul juga dugaanku, mereka pulang dengan tangan hampa.
Sebetulnya, kemanakah perginya Sangkoan Jin? Tempat manakah yang dapat ia gunakan
sebagai tempat persembunyian?
Aku dapat menduga tempat manakah yang ia gunakan sebagai tempat persembunyian, tapi
aku tak berani mengatakannya.
Persoalan ini mempunyai hubungan yang amat besar dengan keadaan dalam dunia persilatan,
aku tak akan sembarangan berbicara.
Semoga Bu Ki jangan teringat pula dengan tempat itu, sebab kalau sampai dia kesana,
mungkin tiada harapan lagi baginya untuk kembali dalam keadaan selamat.
Setelah cuaca menjadi gelap, hujan mulai turun dengan derasnya pikiran dan perasaanku
terasa makin kalut.
Oh, Bu Ki! Mengapa kau tidak datang menengokku? Tahukah kau berapa banyaknya
persoalan yang hendak kubicarakan denganmu? Tahukah berapa inginnya aku berbicara
denganmu? Walau hanya sepatah kata saja.
*****
Kemarin, dikala aku menulis sampai disini tiba tiba ada orang mengetuk pintu diluar, akupun
berhenti untuk sementara waktu.
Bagian yang kutulis sekarang adalah tambahan untuk catatan semalam, karena setelah Bu Ki
pergi semalam, aku tak mampu untuk memegang pit lagi.
Tentu saja orang yang datang menjengukku malam malam tak lain adalah Bu Ki.
Ketika kujumpai kemunculannya, tak terlukiskan rasa gembira dihatiku, namun akupun
merasakan kesedihan yang tak terkirakan.
Aku gembira karena akhirnya ia datang menjengukku, tapi akupun sedih karena sudah kuduga
ia tentu datang untuk mengucapkan selamat berpisah denganku.
Ternyata dugaanku memang tidak salah.
Ia bilang dia mau pergi, pergi mencari Sangkoan Jin, kendatipun harus menjelajahi seluruh
ujung dunia, Sangkoan Jin akan dicari sampai ketemu dan dendam Loyacu harus dibalas.
Ia bilang setelah menjumpai dia akan pergi kecuali aku tiada orang lain yang diberitahu,
bahkan Cian Cian pun tidak tahu.
65
Sebetulnya aku tak ingin menangis dihadapannya. Tapi setelah mendengar perkataan itu tak
bisa ditahan lagi air mataku jatuh bercucuran.
Dia hanya memberitahukan persoalan ini kepadaku, sebelum berangkat diapun hanya
berpamit padaku, ini berarti dalam hatinya masih terdapat aku, tapi mengapa ia tidak
membawa serta diriku?
Padahal aku juga tahu, tak mungkin dia akan pergi membawaku, akupun tahu kepergiannya
kali ini tanpa tujuan, aku tak boleh menyusahkan dia.
Tapi aku tak dapat mengendalikan rasa sedih yang mencekam perasaanku saat itu.
Aku merasa berat hati untuk melepaskan dia pergi, tapi akupun tak dapat menahan dirinya
terus.
Jika aku melarang ia pergi untuk membalaskan sakit hati ayahnya, bukankah diriku akan
menjadi orang yang berdosa dari keluarga Tio? Lain kali aku mana aku punya muka untuk
bertemu dengan Loyacu di alam baka?
Ketika ia melihat air amataku bercucuran, aku segera dihiburnya dengan kata kata lembut, ia
bilang selama beberapa tahun ini selalu berlatih dengan tekun, ia merasa sudah mempunyai
keyakinan dengan ilmu silat yang dimilikinya, lagipula sebelum keberangkatannya sekarang,
ia telah mengadakan persiapan pula.
Yaa, ia memang sudah menyiapkan segala sesuatunya, bukan saja membawa ongkos jalan
yang cukup, diapun mencatat semua alamat dari sahabat sahabat loyacu semasa hidupnya.
Semua alamat dari kantor kantor cabang perkumpulan Tay hong tong telah diingat semua
dengan jelas, maka ia minta aku berlega hati karena diluar masih ada orang yang merawat
dirinya.
Sesungguhnya ingin sekali kuberitahukan kepadanya betapa berharapnya aku bisa
mendampinginya serta merawat sendiri semua kebutuhannya.
Tapi akhirnya aku tidak berkata apa apa, aku tak ingin membuat ia mengalami kesulitan
ditempat luar karena terlalu merindukan diriku.
Aku lebih rela mencucurkan air mata sendiri disini.
Hari ini adalah bulan empat tanggal tujuh, hujan telah berhenti, tiba tiba saja udara berubah
sangat panas, semacam musim panas saja.
Pagi tadi aku baru tahu, rupanya Sugong Siau hong pun telah pergi, ia berangkat lebih dulu,
kemudian Bu Ki baru ikut berangkat.
66
Ketika fajar baru menyingsing, sudah beberapa rombongan yang keluar rumah untuk mencari
Bu Ki, betapa berharapku bila mereka bisa menemukannya kembali, tapi akupun berharap
agar mereka jangan menemukan dirinya, agar ia dapat melaksanakan apa yang sudah menjadi
tugasnya untuk dilaksanakan.
Bagaimanapun juga, aku telah bertekad untuk tidak mengunci diri sepanjang hari dalam
kamar. Aku tak ingin menangis terus meratapi nasibku yang malang, akupun tak ingin
menikmati semua penderitaan serta percobaan yang sedang menimpa diriku.
Aku tahu merenung tak ada faedahnya, menutup diri dalam kamar hanya akan merusak
kesehatan badan sendiri, aku tak ingin menjadi perempuan yang lemah.
Yaa, bagaimanapun pedihnya perasaaanku, bagaimana hancurnya hatiku karena
kepergiannya, aku harus bangkitkan kembali semangatku...
Aku harus tampilkan diri dirumah ini untuk membantu Cian Cian mengurusi rumah tangga,
sebab rumah in telah menjadi rumahku pula.
Aku ingin membuktikan kepada arwah Loyacu yang berada dialam baka bahwa aku adalah
menantu keluarga Tio yang baik, menantu keluarga Tio yang setia dan bukan perempuan
lemah yang tak berjiwa jantan.
Akupun ingin membuktikan kepada setiap orang bahwa aku merupakan istri Tio Bu Ki yang
setia, istri yang bijaksana dan dapat mengendalikan keadaan.
*****
Bulan empat tanggal tujuh, hari mendung.
Empat kelompok pengejar yang diperintahkan melacaki jejak Sangkoan Jin, sudah ada dua
kelompok yang telah kembali, betul juga dugaanku, mereka pulang dengan tangan hampa.
Sebetulnya, kemanakah perginya Sangkoan Jin? Tempat manakah yang dapat ia gunakan
sebagai tempat persembunyian?
Aku dapat menduga tempat manakah yang ia gunakan sebagai tempat persembunyian, tapi
aku tak berani mengatakannya.
Persoalan ini mempunyai hubungan yang amat besar dengan keadaan dalam dunia persilatan,
aku tak akan sembarangan berbicara.
Semoga Bu Ki jangan teringat pula dengan tempat itu, sebab kalau sampai dia kesana,
mungkin tiada harapan lagi baginya untuk kembali dalam keadaan selamat.
67
Setelah cuaca menjadi gelap, hujan mulai turun dengan derasnya pikiran dan perasaanku
terasa makin kalut.
Oh, Bu Ki! Mengapa kau tidak datang menengokku? Tahukah kau berapa banyaknya
persoalan yang hendak kubicarakan denganmu? Tahukah berapa inginnya aku berbicara
denganmu? Walau hanya sepatah kata saja.
*****
Kemarin, dikala aku menulis sampai disini tiba tiba ada orang mengetuk pintu diluar, akupun
berhenti untuk sementara waktu.
Bagian yang kutulis sekarang adalah tambahan untuk catatan semalam, karena setelah Bu Ki
pergi semalam, aku tak mampu untuk memegang pit lagi.
Tentu saja orang yang datang menjengukku malam malam tak lain adalah Bu Ki.
Ketika kujumpai kemunculannya, tak terlukiskan rasa gembira dihatiku, namun akupun
merasakan kesedihan yang tak terkirakan.
Aku gembira karena akhirnya ia datang menjengukku, tapi akupun sedih karena sudah kuduga
ia tentu datang untuk mengucapkan selamat berpisah denganku.
Ternyata dugaanku memang tidak salah.
Ia bilang dia mau pergi, pergi mencari Sangkoan Jin, kendatipun harus menjelajahi seluruh
ujung dunia, Sangkoan Jin akan dicari sampai ketemu dan dendam Loyacu harus dibalas.
Ia bilang setelah menjumpai dia akan pergi kecuali aku tiada orang lain yang diberitahu,
bahkan Cian Cian pun tidak tahu.
Sebetulnya aku tak ingin menangis dihadapannya. Tapi setelah mendengar perkataan itu tak
bisa ditahan lagi air mataku jatuh bercucuran.
Dia hanya memberitahukan persoalan ini kepadaku, sebelum berangkat diapun hanya
berpamit padaku, ini berarti dalam hatinya masih terdapat aku, tapi mengapa ia tidak
membawa serta diriku?
Padahal aku juga tahu, tak mungkin dia akan pergi membawaku, akupun tahu kepergiannya
kali ini tanpa tujuan, aku tak boleh menyusahkan dia.
Tapi aku tak dapat mengendalikan rasa sedih yang mencekam perasaanku saat itu.
Aku merasa berat hati untuk melepaskan dia pergi, tapi akupun tak dapat menahan dirinya
terus.
68
Jika aku melarang ia pergi untuk membalaskan sakit hati ayahnya, bukankah diriku akan
menjadi orang yang berdosa dari keluarga Tio? Lain kali aku mana aku punya muka untuk
bertemu dengan Loyacu di alam baka?
Ketika ia melihat air amataku bercucuran, aku segera dihiburnya dengan kata kata lembut, ia
bilang selama beberapa tahun ini selalu berlatih dengan tekun, ia merasa sudah mempunyai
keyakinan dengan ilmu silat yang dimilikinya, lagipula sebelum keberangkatannya sekarang,
ia telah mengadakan persiapan pula.
Yaa, ia memang sudah menyiapkan segala sesuatunya, bukan saja membawa ongkos jalan
yang cukup, diapun mencatat semua alamat dari sahabat sahabat loyacu semasa hidupnya.
Semua alamat dari kantor kantor cabang perkumpulan Tay hong tong telah diingat semua
dengan jelas, maka ia minta aku berlega hati karena diluar masih ada orang yang merawat
dirinya.
Sesungguhnya ingin sekali kuberitahukan kepadanya betapa berharapnya aku bisa
mendampinginya serta merawat sendiri semua kebutuhannya.
Tapi akhirnya aku tidak berkata apa apa, aku tak ingin membuat ia mengalami kesulitan
ditempat luar karena terlalu merindukan diriku.
Aku lebih rela mencucurkan air mata sendiri disini.
Hari ini adalah bulan empat tanggal tujuh, hujan telah berhenti, tiba tiba saja udara berubah
sangat panas, semacam musim panas saja.
Pagi tadi aku baru tahu, rupanya Sugong Siau hong pun telah pergi, ia berangkat lebih dulu,
kemudian Bu Ki baru ikut berangkat.
Ketika fajar baru menyingsing, sudah beberapa rombongan yang keluar rumah untuk mencari
Bu Ki, betapa berharapku bila mereka bisa menemukannya kembali, tapi akupun berharap
agar mereka jangan menemukan dirinya, agar ia dapat melaksanakan apa yang sudah menjadi
tugasnya untuk dilaksanakan.
Bagaimanapun juga, aku telah bertekad untuk tidak mengunci diri sepanjang hari dalam
kamar. Aku tak ingin menangis terus meratapi nasibku yang malang, akupun tak ingin
menikmati semua penderitaan serta percobaan yang sedang menimpa diriku.
Aku tahu merenung tak ada faedahnya, menutup diri dalam kamar hanya akan merusak
kesehatan badan sendiri, aku tak ingin menjadi perempuan yang lemah.
Yaa, bagaimanapun pedihnya perasaaanku, bagaimana hancurnya hatiku karena
kepergiannya, aku harus bangkitkan kembali semangatku...
69
Aku harus tampilkan diri dirumah ini untuk membantu Cian Cian mengurusi rumah tangga,
sebab rumah in telah menjadi rumahku pula.
Aku ingin membuktikan kepada arwah Loyacu yang berada dialam baka bahwa aku adalah
menantu keluarga Tio yang baik, menantu keluarga Tio yang setia dan bukan perempuan
lemah yang tak berjiwa jantan.
Akupun ingin membuktikan kepada setiap orang bahwa aku merupakan istri Tio Bu Ki yang
setia, istri yang bijaksana dan dapat mengendalikan keadaan.
*****
Dia berbuat demikian karena dia ingin meninggalkan sejauh-jauhnya tatapan mata Hong-nio
yang bening dan menghanyutkan. Ia kuatir tatapan mata yang lembut tersebut akan
meluluhkan tekad hatinya.
MANUSIA TAK BERTULANG PUNGGUNG
MALAM sangat gelap. Hujan turun dengan derasnya .......
Percikan air yang dingin bagaikan cambuk yang menyayat wajah Bu-ki, sekalipun udara
serasa dingin membekukan badan tak nanti bisa memadamkan kobaran api dihatinya.
Api itu berkobar karena dendam kesumat yaug membara, air mata Hong-nio pun tak mampu
memadamkannya, apalagi hanya percikan air hujan?
Sepanjang jalan ia melarikan kudanya kencang-kencang, bukan berarti ia telah mempunyai
suatu tujuan tertentu dan terburu-buru ingin tiba disitu, bukan.
ooo0ooooo0oo ooo0oo
Malam sudah semakin kelam, ditengah jalan raya yang gelap gulita tiba- tiba muncul sebuah
lampu lentera.
Aneh! Ditengah kegelapan malam yang diguyur oleh hujan yang membekukan badan,
darimana datangnya pembawa lentera itu?
Tapi Bu- ki tidak berpikir ke sana, diapun tidak mendekati sumber lentera itu untuk
memeriksa keadaan yang sesungguhnya.
Yaa, pada hakekatnya ia tak mau perduli urusan orang lain, siapa tahu justru oranglah yang
telah menghadang jalan perginya.
70
Kuda tunggangannya yang perkasa tiba-tiba meringkik panjang dan mengangkat keatas
sepasang kaki depannya, nyaris melemparkan tubuh Bu-ki ke belakang.
Kejadian tersebut segera mengobarkru amarahnya, sayang amarah itu tak mungkin
dilampiaskan keluar sebab orang yang menghadang jalan perginya tak lebih hanya seorang
bocah cilik.
Seorang bocah cilik yang berbaju merah membara dengan dua kepang yang kecil, ditangan
kirinya ia membawa payung sedang ditangan kanannya membawa lampu lentera.
Ketika itu bocah tadi sedang menatapnya sambil tertawa, tampak sepasang lesung pipinya
yang menambah manisnya raut wajah bocah itu.
Mustahil bukan ia harus marah dengan bocah cilik?
Tapi anehnya, kenapa bocah cilik seperti ini bisa muncul ditengah jalanan yang sepi dan gelap
ini ditengah malam buta?
Bu-ki mengendalikan kudanya lebih dahulu, kemudian baru bertanya:
"Mengapa kau tidak menyingkir kesamping? Apa kali kau tidak takut diinjak kuda ini sampai
mati?
Bocah cilik itu menggelengkan kepalanya, sepasang rambut kepangnya yang cilik ikut
bergoyang kesana kemari, lucu dan menawan persis seperti sebuah boneka.
Sesungguhnya Bu-ki suka dengan anak cilik bocah itu sebenarnya juga menawan hati. Tapi
bagaimanapun juga nyalinya terlalu besar, ia sudah tidak mirip dengan seorang bocah meski
tampangnya masih kebocah-bocahan..
"Kau benar-benar tidak takut?°" kembali Bu-ki bertanya.
"Aku hanya takut kalau kuda ini sampai kuinjak mati, sebab aku tak kuat untuk membayar
ganti ruginya"
Bu-ki tertawa, tapi ia berusaha untuk menahan rasa gelinya, sambil menarik muka katanya
dengan dingin:
"Kau tidak takut ayah ibumu menunggu dengan cemas dirumah?"
"Aku tidak punya ayah juga tidak punya ibu!"
"Perduli bagaimanapun juga, sekarang kau harus segera pulang ke rumah ."
71
"Tapi baru saja aku keluar dari rumah!" sera bocah cilik itu.
"Semalam ini mau apa kau keluar rumah?"
"Mencari kau!"
Meskipun setiap jawaban dari bocah itu berada diluar dugaan tapi yang paling diluar dugaan
adalah ucapannya yang terakhir ini.
Kau keluar rumah untuk mencari aku?" tanya Bu-ki keheranan.
"Ehmm betul"
''Kau masa tahu siapakah aku?"
'Tentu saja tahu, kau she Tio bernama Tio Bu-ki, Toa sauyanya Tio jiya dari perkumpulau
Tay-hong-tong!"
Bu-ki tertegun, untuk sesaat ia tak sanggup berbicara.
Bocah cilik itu memutar sepasang biji matanya, kemudian sambil tertawa kembali berkata:
"Tapi aku berani bertaruh tentu kau tak akan tahu siapakah aku ini, bukan begitu?"
Bu-ki memang tidak tahu, selama hidupnya hingga detik ini ia belum pernah berjumpa
dengan seorang bocah cilik macam itu.
Tarpaksa iapun bertanya:
"Siapakah kau?"
"Aku adalah bocah cilik!"
"Aku sudah tahu kalau kau adalah bocah cilik!"
"Kalau sudah tahu, kenapa musti bertanya lagi?
"Aku ingin mengetahui namamu!"
Tiba tiba bocah, itu menghela napas panjang, katanya:
"Ayah ibupun aku tak punya, dari mana bisa mempunyai nama?"
72
Bu-ki ikut menghela napas sesudah mendengar jawaban itu, selang sesaat kemudian kembali
ia bertanya:
"Lantas dirumahmu ada siapa saja?"
"Kecuali guruku masih ada seorang tamu"
Siapa gurumu?"
"Sekalipun kusebutkan namanya, belum tentu kau mengenalinya!"
Itu kalau dia tidak kenal dengan aku, kenapa suruh kau datang mencariku....?"
"Siapa bilang kalau dia yang suruh aku kemari?" "Kalau bukan dia, masa tamu itu yang
suruh?"
Tiba-tiba bocah itu menghela napas lagi.
"Aaaai... aku masih mengira kau tak bisa menebak untuk selamanya, tak kusangka kalau
kaupun ada saatnya menjadi pintar"
"Apakah tamu kalian itu bernama Sugong Siau-hong?" kembali Tio Bu-ki bertanya.
Bocah itu segera bertepuk tangan sambil bersorak kegirangan:
"Horee .... tak nyana makin lama kau semakin pintar, kalau begini terus kemajuan yang dapat
kau raih, siapa tahu kalau suatu hari kau bisa menjadi secerdik aku sekarang"
Bu-ki tak bisa menjawab, ia hanya tertawa getir .
"Mau kesana tidak? kembali bocah itu bertanya
Mana mungkin dari Bu-ki untuk menghindarkan diri? Setelah Sugong Siau-hong berhasil
menemukan jejaknya, mau bersembunyipun tak ada gunanya ........
"Rumahmu berada dimana? akhirnya ia bertanya.
"Itu disana!" kata si bocah sambil menuding ke arah hutan ditepi jalan sana.
*****
Hujan rintik masih turun tiada hentinya, tetesan air tersebut ibaratnya sabuah tirai dan hutan
tersebut berada dibalik tirai.
73
Maka kau harus masuk dulu kedalam sebelum dapat melihat sinar lampu yang memancar
keluar dari balik daun jendela.
Kalau ada sinar lampu, berarti disitu ada manusia yang menghuni.
Daun jendela itu tidak terlampau besar, sudab barang tentu bangunan rumahnya juga tidak
terlalu besar, hakikatnya bangunan itu sebuah bangunan rumah kecil.
Bagaimana mungkin Sugong Siau-hong bisa sampai disini?
Bu-ki tak dapat mengendalikan perasaannya, ia bertanya:
"Mengapa gurumu harus mendirikan rumahnya ditempat seperti ini?"
"Masa disini ada rumah! Kenapa aku tidak menemukan rumah yang kau maksudkan itu?" kata
si bocah keheranan.
"Itukan rumah? Kalau bukan, lantas apa namanya?”
Sambil menggelengkan kepalanya bocah itu menghela napas sedih.
"Aaai. ... kenapa secara tiba. tiba kau menjadi bodoh lagi?" keluhnya, "masa sebuah kereta
kudapun tak dapat kau bedakan?
Bu-ki tertegun, ia benar-benar tercenung dibuatnya.
Untunglah sepasang matanya masih dapat melihat bagian bawah dari "bangunan rumah" itu
memang dibawahnya terdapat empat buab roda kereta yang besar.
*****
Seandainya tempat itu adalah sebuah bangunan rumah, tentu saja tak dapat dianggap sebagai
bangunan rumah, bila dianggap sebagai sebuah kereta, maka tempat itu betul-betul merupakan
sebuah kereta kuda yang luar biasa besarnya.
Tapi pada hakekatnya tempat itu memang sungguh-sungguh sebuah kereta kuda.
Belum pernah Bu-ki menjumpai kereta kuda sebesar itu, hakekatnya lebih mirip dengan
sebuah bangunan rumah kecil.
"Pernahkah kau tinggal diatas sebuah kereta?" tiba-tiba bocah itu bertanya.
"Belum pernah!"
74
"Tak heran kalau kau tidak tahu bahwa tinggal diatas kereta kuda jauh lebih nikmat dan
nyaman daripada tinggal dalam sebuah rumah"
"Bagaimana nyamannya?"
"Dapatkah bangunan rumah berpindah-pindah?"
"Tentu saja tak dapat!"
"Tapi kereta kuda dapat berpindah-pindah, hari ini misalnya masih berada di bo-tong,
besoknya sudah berada di Hoo-se, pada hakekatnya seakan-akan dimanapun kita pergi disitu
ada rumah kita!"
"Apakah kalian selalu menganggap kereta kuda ini sebagai rumah tempat tinggal?"
Bocah itu manggut-manggut, tapi sebelum ia mengucapkan sesuatu, dari dalam kereta sudah
ada orang menegur:
"Apakah Bu-ki telah datang?"
Tentu saja suara itu adalah suara dari Sugong Siau-hong!
Ruangan kereta yang luas dan lebar dibagi menjadi dua oleh sebuah kain korden berwarna
merah menyala, bisa diduga dibalik tirai korden itu tentu merupakan kamar beristirahat dari
tuan rumah.
Diruang depan terdapat sebuah pembaringan baru dan sebuah meja sebuah meja kecil,
beberapa buah kursi kayu beberapa lembar lukisan kenamaaan beberapa macam barang antik
dan selain itu terdapat juga sebuah bangku, sebuah tungku kecil dan satu stel catur.
Setiap macam benda itu tampaknya sudah dia atur secara teliti dam persis diletakkdn pada
bagian ruangan yang paling cocok.
Setiap jengkal tempat yang berada dalam ruangan itu telah dipergunakan sebaik-baiknya.
Orang yang berbaring diatas pembaringan bambu itu adalah seorang setengah umur yang
rambutnya sudah banyak yang memutih, ia berdandan amat rajin dan bersih, bajunya amat
serasi sekulum senyuman ramah yang lembut menghiasi wajahnya yang tampan.
Siapapun juga yang bertemu dengannya pasti dapat merasakan bahwa dulunya ia tentu
merupakan seorang laki-laki yang paling disukai oleh orang-orang perempuan.
Seandainya kalau bukan lantaran punggungnya mungkin sampai sekarangpun dia tetap akan
disenangi oleh kaum perempuan.
75
Sayang punggungnya terdapat sebuah rangka besi yang menopang tubuhnya. orang itu
seakan-akan ditopang keseluruhannya oleh rangka besi tadi, seolah-olah bila tiada rangka besi
itu maka seluruh tubuhnya akan terlepas dan hancur berkeping-keping
Baik siapapun juga, bila pertama kali ia menjumpai pemandangan semacam ini pasti akan
menimbulkan perasaan aneh dalam hatinya.
Perasaan itu seperti seseorang yang baru pertama kalinya menyaksikan seorang manusia
sedang menjalankan siksaan hidup didepan matamu.
Bedanya, kalau siksaan orang lain dengan cepat akan berlalu, maka orang ini harus merasakan
penderitaannya selama hidup.
*****
Tio- Bu-ki hanya memandang orang itu sekejap.
Karena ia sudah tak ingin untuk memandang kedua kalinya, ia tak tega untuk menyaksikan ke
dua kalinya.
Sugong Siau-hong duduk disebuah kursi tepat berhadapan dengan pintu kereta, ketika melihat
kedatangannya, sambil tersenyum ia hanya berkata.
"Ooo...., akhirnya kau datang kemari juga!"
Bu-ki tidak mengajukan pertanyaan kepadanya, ia tidak bertanya.
"'Darimana kau kau bisa tahu kalau aku bisa datang?"'
Seakan-aksn orang ini selalu dapat mengetahui segala sesuatu persoalan yang sesungguhnya
tidak pantas diketahui olehnya.
Sugong Siau-hong kembali berkata:
"Sebenarnya aku ingin menyambut sendiri kedatanganmu, tapi aku ....."
"Tapi kau takut kehujanan" tukas Bu-ki tiba-tiba sambil menyambung kata-katanya yang
belum selesai itu.
"Darimana kau bisa tahu?" Agaknya Sugong Siau-hong merasa terkejut bercampur keheranan
oleh kenyataan itu
76
"Yaa, tentu saja aku tahu hanya ada tiga pekerjaan di dunia ini yang kau paling takuti,
pertama memikul kotoran manusia, kedua bermain catur dan ketiga kehujanan"
Mendengar perkataan itu, Sugong Siau-hong segera mendongakkan kepalanya dan tertawa
terbahak-habak.
"Hingga sekarang aku tetap tak habis mengerti kenapa kau takut bermain catur?" kata Bu-ki.
"Sebab untuk bermain catur bukan saja harus pusatkan semua pikiran dan tenaga lagi pula
terlalu banyak membuang energi ."
Kalau ada manusia macam Sugong Siau-hong, tentu saja ia tak sudi membuang-buang
energinya dengan percuma, apalagi untuk melakukan pekerjaan macam bermain catur yang
banyak membuang waktu.
Didunia ini masih terdapat banyak persoalan yang butuh ia pikir secara tenang, jauh lebih
penting dari urusan seperti bermain citur.
Tiba-tiba tuan rumah yang berbaring diatas pembaringan itu ikut berkata sambil tertawa:
"Ooh, kalau seorang manusia cacad macam aku yang selalu bergelandangan ke empat
penjuru, tentu saja tak akan kuatir untuk membuang tenaga dan pikiran secara percuma!”
Sekalipun senyumannya masih tetap lembut dan ramah, tapi jelas menunjukkan rasa kesepian
yang tebal, kembali katanya:
"Bagiku, aku hanya takut kalau tak ada orang yang mau menemani aku untuk bermain catur
lagi"
*****
Hujan rintik-rintik dan hembusan angin dingin malam berlangsung diluar jendela, diatas meja
kecil masih tertera permainan catur yang terhenti ditengah jalan.
Mungkinkah sepanjang tahun ia selalu hidup dalam suasana seperti ini?
Selalu hidup dengan rangka besi yang menopang puuggungnya?
Meskipun Bu-ki selalu berpura-pura tidak memperhatikan penderitaannya, sayang ia bersikap
kurang baik.
Tiba-tiba tuan rumah itu tertawa dan berkata:
77
"Tentu saja akupun takut sekali dengan rangka besi yang selalu menopang punggungku ini,
sayang aku tak bisa kehilangan dia"
Dalam keadaan seperti ini, Bu-ki tak dapat berpura-pura tidak melihat lagi, tak tahan dia
lantas bertanya:
"Kenapa?.'
"Sebab tulang punggung yang menopang segenap kekuatan tubuhku telah hancur dan rusak,
bila tubuhku tidak ditopang oleh kerangka besi ini, niscaya keadaanku akan berubah menjadi
mengenaskan sekali, yaa .... bayangkan sendiri bagaimana jadinya bila orang sudah tidak
memiliki tulang punggung yang menopang tubuhnya lagi?"
"Oleh sebab itu kadangkala aku sendiripun merasa keheranan kenapa aku masih dapat hidup
hingga sekarang"
Tiba-tiba Bu-ki menemukan bahwa punggungnya merinding karena basah oleh peluh dingin,
hawa dingin yang mencekat perasaan itu muncul dari punggung dan langsung menembusi
telapak kakinya
Meskipun ia tak dapat memahami sampai berapa besar penderitaan yang dijalankan orang ini,
tapi mau tak mau dia harus merasa kagum juga terhadap orang ini, karena kendatipun dirinya
su-dah tahu kalau selama hidupnya harus berada dia atas rangka besi yang menopang
tubuhnya, ternyata ia selalu dapat tersenyum bahkan senyumannya begitu lembut dan ramah.
Agaknya tuan rumah berhasil menebak apa yang sedang ia pikirkan, katanya:
"Akan tetapi aku tak usah mengagumiku, sebab ditubuh setiap orang pasti terdapat rangka
semacam ini hanya saja kau tak dapat melihat dengan mata telanjang"
Ditatapnya Bu-ki tajam-tajam, seperti seorang kolektor yang sedang mengamati sebuah benda
antik lalu tambahkan:
"Bahkan kau sendiripun sama saja!'
"Akupun sama saja?" ulang Bu-ki dengan perasaan tidak habis mengerti.
"Kalau seorang yang mengidap penyakit, dalam tubuhmu juga terdapat sebuah kerangka yang
menopang tubuhmu..maka hingga kini kau tak sampai roboh ke tanah"
Jelas Bu-ki masih belum dapat memahami maksudnya, cuma ia tetap menjaga ketenangannya
dan siap mendengarkan perkataan orang itu lebih jauh.
Kata tuan rumah itu lagi:
78
"Kalau kutinjau dari pakaian berkabung yang kau kenakan, rupanya dalam beberapa waktu
berselang kau telah kehilangan seorang yang paling kau kasihi?"
Bu-ki tertunduk sedih.
Setiap kali bila teringat kembali akan kematian ayahnya, ia selalu merasa hatinya perih dan
sakit, sedemikian sakitnya sehingga hampir saja sukar ditahan.
"Wajahmu pucat pasti, sinar matamu sayu dan penuh dengan garis-garis merah semu ini
menunjukkan bukan saja hatimu kelewat sedih, bahkan penuh dengan kobaran api dendam"
kata tuan rumah lebih jauh.
Setelah menghela napas tambahnya:
"Kesedihan dan api kebencian merupakan suatu wabah penyakit yang sangat berbahaya, kau
sudah sakit parah"
Diam-diam Bu-ki harus mengakui akan kebenaran dari perkataan itu, yaa, memang begitulah
keadaan yang sesungguhnya.
Kembali tuan rumah berkata.
"Hingga sekarang kau belum juga roboh ketanah hal ini disebabkan karena kau masih ingin
membalas dendam, maka kau tak boleh roboh duluan ke tanah"
Bu-ki mengepal sepasang tangannya kencang-kencang.
"Pandanganmu tepat sekali!" ia mengakui.
Nah, ingatan untuk membalas dendam itulah kerangka yang telah menopang tubuhmu, tanpa
kerangka penopang tersebut, mungkin sejak dulu-dulu kau sudah hancur dan musnah!"
Sekarang Bu-ki telah memahami maksud dari perkataannya itu.
Meskipun cara berpikir orang itu sedikit aneh dan luar biasa, namun mengandung suatu
pendapat pelajaran yang dalam sekali artinya, yang membuat orang tak dapat membantah.
Sekalipun tubuhnya telab cacad, namun kecerdasan serta jalan pikirannya justru lebih tajam
dan lebih hebat dari kebanyakan manusia.
Timbul suatu keinginan dihati Bu-ki untuk mengajukan suatu pertanyaan.
"Sesungguhnya siapakah orang ini?"
79
Tapi sebelum pertanyaan itu diajukan, sambil tersenyum Sugong Siau-hong telah keburu
memberi keterangan lebih dahulu;
"Orang ini adalah seorang manusia aneh!"
Mengapa dia adalah seorang manusia aneh?”
"Selamanya belum pernah kusaksikan ia mencari untung setengek uangpun, tapi ia dapat
melewatkan kehidupannya bagaikan seorang raja muda" kata Sugong Siau-hong lagi.
Dalam hal ini Bu-ki sudah dapat melihat sendiri, setiap benda dan barang antik yang tertera
dalam kereta itu nilainya berada diatas ribuan tahil emas, pakaian yang dikenakan terbuat pula
dari bahan yang termahal dan terhalus.
Tentu saja selain apa yang dapat dilihat, masih banyak diantaranya yang tak dapat dilihat oleh
Bu-ki.
Kata Sugong Siau hong lagi:
"Meskipun ia sendiri selalu tinggal dalam keretanya, namun paling sedikit ada tiga puluh
orang lebih yang siap sedia menantikan perintahnya setiap saat kurang lebih lima ratus
langkah dari kereta ini, diantaranya termasuk juga empat orang ko-ki terbaik yang belum
tentu bisa diundang oleh istana kaisar, dan empat orang ahli kuda yang pernah menjadi
penanggung jawab perawatan kuda dari Tay ciangkun yang melakukan operasi penyerbuan ke
barat!"
Bukan empat, tapi enam orang!" tuan rumah membenarkan kesalahan tamunya sambil
tersenyum.
Diantara senyuman itu tidak terselip nada sombong atau tinggi hati, pun nada pula nada
membanggakan diri.
Ia mengucapkan perkataan itu tak lebih hanya bermaksud untuk membenarkan kesalahan
yang di buat oleh tamunya.
"Baik ruang kereta maupun roda kereta yang berada disini dibuat secara khusus oleh ahli-ahli
kenamaan" kembali Sugong Siau-hong menerangkan, "bukan indah saja bentuknya, bahkan
jauh lebih kokoh daripada bangunan rumab biasa, maka dari itu bobotnyapun lebih berat dari
kereta biasa, delapan ekor kuda penghela keretanya meski merupakan kuda-kuda jempolan,
tapi setiap kali setelah menempuh perjalanan sejauh tiga-lima ratus li, harus diganti satu kali"
"Bagaimana cara untuk menggantinya?" tanya Bu-ki keheranan.
80
"Asal tempat yang disinggahi adalah tempat-tempat yang sering dikunjungi, maka setiap jarak
tiga sampai lima ratus li tentu terdapat sebuan pos untuk nengganti kuda"
Ia menghela napas panjang, katanya lagi:
"Menurut penilaianku, paling sedikit kuda yang dipeliharanya mencapai delapan ratus ekor
lebih, bahkan diantaranya separuh bagian merupakan kuda-kuda pilihan kelas satu"
Seorang cacad ternyata memelihara delapan ratus ekor kuda, inilah kejadian sensasi yang
jarang dijumpai didunia ini.
Tapi Sugong Siau-hong mengucapkan kata-kata itu dengan wajah bersungguh-sungguh, Bu-ki
tahu ia tak mungkin sedang mengibul atau sengaja membesar-besarkan keadaan.
"Hanya khusus untuk membeayai hidup ke tiga puluh orang pengiringnya serta delapan ratus
ekor kuda ini setiap bulan ia memerlukan untuk mengeluarkan beaya paling sedikit lima laksa
tahil perak !
"Akan tetapi kau belum pernah melihat ia mendapat untung barang sepeser uang pun? lanjut
Bu-ki.
"Jangankan mendapat untung, sejengkal tanahpun ia tidak memiliki"
"Siapa tahu kalau ia mempunyai banyak rumah pegadaian? Aku dengar rumah pegadaian
merupakan suatu usaha perdagangan yang paling cepat mendapatkan untung"
Tiba-tiba tuan rumah menghela napas, katanya: "Apakah kau telah menganggap diriku
sebagai seorang pengusaha? Apakah aku mempunyai tampang sebagai seorang pengusaha?'
Mau tak mau Bu-ki harus mengakui, orang ini memang tidak mirip sebagai seorang
pengusaha, bahkan tampang untuk ke situpun tidak ia miliki ....
Kembali tuan rumah menghela napas:
"Barang siapa tega menganiaya seseorang yang sudah menjadi cacad, Thian pasti akan
menurunkan kesialan seumur hidup kepadanya, bahkan kemungkinan besar akan menjatuhkan
hukuman mati kepadanya!"
Sugong Siau-hong segera menimbrung:
"Aku selalu merasa tak habis mengerti, Thiankah yang telah melimpahkan hukuman ini
kepada orang-orang itu, ataukah dia sendiri yang melakukannya?"
Setelah tersenyum lanjutnya:
81
"Aku cuma tahu, diantara ke tiga puluh orang pengiringnya, paling sedikit ada belasan orang
di antaranya merupakan jago persilatan kelas satu dalam dunia dewasa ini"
Bu-ki yang mendengarkan pembicaraan itu seakan-akan merasa seperti mendengarkan suatu
cerita dongeng yang menarik.
"Sekarang sudahkah kau tahu manusia macam apakah dirinya itu?" tiba-tiba Sugong Siauhong
bertanya.
"Tidak tahu!"
Sugong Siau-hong tertawa getir.
"Padahal aku sendiripun tak tahu, sudah banyak tahun aku menjadi sahabat karibnya, tapi
hingga kini belum pernah kuketahui siapakah namanya yang sesungguhnya, tapi setiap kali
aku mengetahui kalau dia berada disekitar sini, maka aku dapat meninggalkan semua
pekerjaaaku untuk menyusul kemari dan menjenguk dirinya!"
"Yaa, kita memang sudah lama tak bersua, maka kau ingin sekali bertemu denganku" kata
tuan rumah sambil tersenyum.
Kepada Bu-ki kembali katanya:
"Tapi aku percaya pemuda ini belum tentu ingin datang kemari untuk menjenguk manusia
cacad macam aku ini, siapa tahu perasaan hati kecil nya sekarang sudah timbul perasaan muak
atau bosan"'
"Siapapun tak akan merasa muak atau bosan bila dapat berjumpa dengan manusia macam
kau!" katanya dengan nada bersungguh-sungguh,"sayang aku masih ada urusan lain, terpaksa
aku harus mohon diri lebih dahulu!"
"Bila kau setuju untuk tetap tinggal disini, aku jamin pada malam ini nanti kau dapat melihat
lebih banyak manusia yang menarik dan lebih banyak peristiwa yang menawan hati!"
Bu-ki ragu sejenak, tapi akhirnya, ia lebih dicekam oleh perasaan ingin tahunya, ia tak dapat
menampik undangan yang sangat menarik hatinya itu...
Gelak tertawa tuan rumah kedengaran lebih nyaring dan melengking.
Seseorang yang sepanjang tahun hidup menyendiri dalam alam suka dan siksaan, kadangkala
memang lebih pandai untuk menyenangkan hati tamu-tamunya.
Sekali lagi ia memberi jaminan kepada Bu-ki.
82
"Aku tak akan membuat kau kecewa!"
*****
Sesungguhnya siapa saja yang akan berdatangan kesitu malam nanti?
Bila duduk dalam sebuah kereta yang berbentuk aneh dan duduk dihadapan seorang tuan
rumah yang aneh pula, hal ini sudah cukup meninggalkan kesan istimewa yang sulit untuk
dilupakan selamanya.
Bu-ki benar-benar tak dapat menebak peristiwa menarik apa lagi yang bisa ia temui pada
malam nanti!
Ditepi pembaringan bambu tempat bersandar tangan tergantung sebuah lonceng emas kecil,
tuan rumah mengambil sebuah pemukul lonceng kecil yang terbuat dari emas dan
memukulnya.
Kemudian sambil tersenyum ia menjelaskan:
"Lonceng ini kugunakan untuk memanggil orang-orangku bila kubunyikan satu kali berarti
yang kuundang datang adalah pengurus rumah tanggaku Oh-Ki!"
Baru saja lonceng dibunyikan, dan ucapannya belum habis diutarakan Oh-Ki sudah muncul
didepan pintu, seakan-akan dia adalah sesosok siluman raksasa yang setiap saat siap
menantikan perintah.
Oh Ki adalah seorang manusia raksasa yang tinggi badannya mencapai sembilan depa lebih,
sepasang matanya cekung ke dalam, rambutnya lurus dan kaku seperti kawat, mukanya hitam
berminyak dan membawa sifat garang dari seekor binatang buas, ia mempunyai sepasang
tangan yang besar dan penuh berotot hijau, sebilah golok lengkung model persia tersisip
dipinggangnya, membuat raksasa ini kelihatan amat berbahaya dan menakutkan orang.
Kendatipun tampangnya garang dan perawakan tububnya menakutkan namun dihadapan
majikanna ia memperlihatkan sikap hormat, tunduk dan takluknya yang tulus ikhlas.
Setelah menampakkan diri, serentak ia menjatuhkan diri dibawah kaki majikannya dan
dengan sikap yang hormat ia cium sepatu majikannya.
Baginya, bisa mencium kaki majikannya sudah merupakan suatu kehormatan yang amat
besar.
Dengan sikap yang dingin, angker dan serius tuan rumah berkata:
83
"Bukankah sekarang sudah mendekati tengah malam?”
"Benar!"
"Sudah selesai kau siapkan segala sesuatunyal"
"Sudah!”
Walaupun majikannya merasa sangat puas, namun ia tidak menunjukkan sikapnya untuk
memuji atau memberi pahala, hanya pesannya lagi dengan suara hampa:
"Kalau begitu, kita mulai sekarang juga"
"Baik!"
Sekali lagi Oh Ki menjatuhkan diri menyembah di kaki majikaunya, kemudian baru
mengundurkan diri,
Sekalipun dia hanya mengucapkan sepatah kata setiap kali menjawab pertanyaan majikannya,
namun Bu-ki dapat menangkap betapa kaku, aneh dan lucunya logat orang itu.
Rupanya tuan rumah dapat meraba keheranan tamunya, ia lantas menerangkan:
"Ayahnya adalah seorang pedagang persia dan ia sendiri sesungguhnya adalah soorang
penjaga dari Tay-ciangkun, suatu kali lantaran ia telah melanggar peraturannya militer. Tayciangkun
menitahkan menjatuhi hukuman mati kepadanya"
Perintah Tay-ciangkun (sang jenderal) lebih berat dari bukit karang, semua orang mengetahui
hal ini dan belum pernah ada orang yang mampu meloloskan diri dari cengkeramannya.
Akulah yang telah menukar jiwanya dari cengkeraman Tay ciangkun dengan seekor Han-hiatbe
(kuda keringat darah), tuan rurnah menerangkan.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa Tay-ciangkun sangat menggemari kuda-kuda jempolan,
bahkan kegemarannya itu membuat ia tergila-gila, dalam pandangannya nilai dari seekor kuda
jempolan jauh lebih tinggi dan berharga dari pada nilai manusia macam apapun.
Sugong Siau-hong segera menghela napas panjang katanya pula.
"Untung mempunyai seekor kuda jempolan yang tak ternilai harganya sehingga dapat ditukar
dengan seorang pembantu yang begini setianya kepadamu"
Dia bukan pelayanku, dia adalah budakku, setiap saat aku dapat suruh dia pergi mati!"
84
Perkataan itu diucapkan dengan suara yang hambar, tiada nada untuk membanggakan diri,
melainkan hanya mengucapkan suatu kenyataan belaka.
Tapi bagi pendengaran orang lain, pada hakekatnya ucapan tersebut lebih mirip dengan suatu
kisah dongeng.
Pada saat itulah dari kegelapan hutan belantara tiba-tiba memancarkan keluar sinar terang
yang aneh sekali,
Sesungguhnya Bu-ki tak pernah melihat sebuah lenterapun disekitar tempat itu, akan tetapi
sekarang sinar terang memancar dari empat penjuru membuat sesuatu disana lebih terang dari
siang hari.
Pepohonan yang tumbuh berderet-deret dimuka kereta, tiba-tiba pada bertumbangan kemanamana.
dan semua pohon yang tumbang dengan cepatnya diseret pergi oloh seutas tali yang
luar biasa besarnya.
Dalam sekejap mata hutan yang berada disekitar kereta telah berubah menjadi sebuah tanah
datar.
Kendatipun selama ini Bu-ki menyaksikan semua adegan tersebut dengan mata kepala sendiri,
namun hampir saja ia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya didepan mata.
Diatas wajah sang tuan rumah yang pucat pias, akhirnya tersungging juga sekulum senyuman
bangga.
Terhadap kebaktian dan kehebatan anak buahnya untuk melaksanakan perintah seperti yang di
harapkan, tak ada seorang manusiapun tidak merasa bangga dan puas.
Sekali lagi Sugong Siau-hong menghela napas, ia selalu berharap anak buahnya bisa
melaksana kan pekerjaan sehebat dan setepat orang-orang itu ... ..
Tak tahan lagi ia berkata:
"Kalau aku bisa mendapatkan manusia macam Oh Ki, harus membayar dengan sepuluh
pasang kuda mestika pun aku rela!"
Tuan rumah hanya tersenyum.
Meskipun orang ini bukan seorang pengusaha, tapi belum pernah ia melakukan suatu barter
yang merugikan pihaknya.
Hujan telah berhenti, udara menjadi cerah kembali.
85
Tiba-tiba dari luar hutan sama kedengaran suara ketukan kayu yang nyaring, menyusul
kemudian seseorang berteriak lantang:
"Daging sapi masak bumbu Ngo-hiang... daging sayur sari Tay-im-tun"
Menyusul teriakan itu, seorang laki-laki gemuk yang mengenakan topi lebar dari anyaman
bambu dengan memikul pikulan jualan masuk ke tanah lapang itu.
Pada pikulannya yang depan terdapat sebuah tungku api dengan kuah penuh kuah yang masih
panas, sedang pada bagian belakangnya dipakai untuk lemari penyimpan mangkuk sumpit dan
sumbu, bentuk pikulannya tak ubahnya seperti tukang cangkring penjual bakso sapi.
Bila kau kebetulan berada di wilayah kanglamdan tengah malam tak dapat tidur, setiap saat di
setiap tempat dapat kau jumpai tukang penjual daging ngo-hiang macam ini untuk ngiras.
Tapi mimpipun Bu-ki tak pernah menyangka kalau ditempat seperti ini ia dapat bertemu
dengan penjajah makanan macam ini.
Ditempat seperti ini sinpakah yang bakal jajan daging Ngo-hiang?
Baru saja orang itu menurunkan pikulannya, dari luar hutan kembali kedengaran seseorang
berteriak menjajakan dagangannya, ia berteriak dengan logak propinsi Shezuan:
"Kueh lapis gula putih .. . . kueh lapis gula merah, pia isi kacang ijo. . .”
Seorang kakek kurus jangkung sambil membawa pikulan yang ditutup dengan kain hijau
masuk ke dalam lapangan.
Orang ini khusus berjualan aneka macam kue basah dan kueh kering, semuanya merupakan
kueh-kueh manis yang paling disukai orang di wilayah Shezuan... .
Tapi, aneh benar! mengapa mereka berdatangan kesitu untuk menjajakan barang
dagangannya?
Yang lebih hebat lagi, ternyata yang datang bukan hanya mereka berdua, mesyusul kemudian
kedatangan dua orang pertama, secara beruntun berdatangan pula penjual-penjual sayur asin,
penjual arak, penjual kulit kedelai dari propinsi Oh-pak, penjual Cah-kwee, penjual bak-pao
model Shoa-tang, penjual pia yang dari Hok-kian, Penjual tepung telur ikan dari Leng-jam.
penjual ayam goreng, penjual daging kambing bakar, penjual ikan gurami, penjual wedang
tahu, penjual kueh-kueh hidangan kecil serta aneka ragam penjualan makanan lain yang tak
dapat disebutkan satu-persatu.
86
Pokoknya dalam waktu singkat telah berdatangan dari empat penjuru penjaja-penjaja
makanan yang pada berteriak menawarkan dagangannya dengan logak daerah masing-masing
........
Tentu saja suasana disekitar tanah lapangpun berubah menjadi ramai dan sangat gaduh,
macam dalam pasar malam saja.
Sampai melongo Bu-ki menyaksikan kesemuanya itu.
Belum pernah ia saksikan begitu banyak penjaja makanan kecil yang berkumpul menjadi satu
di satu tempat, lebih lebih lagi tak pernah ia sangka kalau mereka akan berkumpul semua
ditempat seperti ini.
Mau apa sesungguhnya kedatangan mereka semua ke tempat seperti ini ?
Siapakah yang akan membeli barang dagangan mereka itu.
Kalau dikatakan bukan barang jualan lantas apa kah makanan sebanyak itu hendak dimakan
sendiri.
Yaa, tampaknya dugaan ini memang tak salah, mereka memang sengaja menyiapkan makanan
untuk dimakan sendiri?
Namun sebelum mereka mulai bersantap, setiap orang telah menyiapkan semangkuk hidangan
barang penjualannya yang terbaik untuk dipersembahkan kepada pemilik kereta berkuda yang
misterius itu.
Pertama-tama masuk dulu penjual daging ngo-hiang sambil membawa semangkuk penuh
dagiug ngo-hiang yang terbaik, ia berlutut didepan pintu dan berkata dengan penuh rasa
hormat:
"Hanya ini yang bisa tecu persembahkan untuk majikan, semoga majikan selalu diberi badan
yang sehat dan sukses selalu dalam segala pekerjaan ....."
Tuan rumah cuma tersenyum sambil manggut-mangut, kata terima kasih tak pernah meluncur
keluar dari mulutnya.
Kendatipun demikian, anggukan tersebut sudah cukup membuat penjual daging ngo-hiang
kegirangan setengah mati, sebab ia telah melihat senyuman dari majikannya.
Menyusul kemudian penjual kueh, penjual sayur asin, penjual arak penjual wedang tahu,
penjual pia dan semua penjajah makanan lainnya maju mempersembahkan barang
dagangannya untuk majikan mereka .
87
Yaa, mereka satu persatu maju ke muka secara teratur, bahkan sambil berlutut mengucapkan
selamat untuk majikannya dengan logat daerah masing-masing, tentu saja apa yang mereka
ucapkan adalah kata-kata yang bisa mendatangkan rasa gembira buat majikannya.
Bila didengar dari logat mereka, semua bukan saja dari utara selatan bahkan dari setiap
pelosok dunia telah berdatangan semua kemari.
Jauh-jauh dari ribuan li mereka datang secara bersama-sama ketempat ini, apakah tujuannya
hanya ingin mempersembahkan semangkuk daging ngo-hiang atau semangkuk wedang tahu"
Bu-ki benar-benar dibuat tercengang.
Apalagi ketika ia menyaksikan si nenek penjual wedang kacang tanah sedang
mempersembahkan barang dagangannya, hampir saja ia menjerit saking kagetnya.
Ia kenal baik dengan nenek tersebut, sebab sinenek penjual wedang kacang tanah itu bukan
lain adalah Hek Popo yang tersohor di dunia persilatan sebagai Kim-kiang-gin-tan( busur
emas panah perak)
Hek Popo seperti sama sekali tidak melihat ke hadirannya disana. bahkan seperti tidak kenal
dengan sikap yang sangat hormat ia berlutut ditanah sambil mempe sembahkan hadiahnya,
lalu dengan perasaan yang gembira mengundurkan diri dari sana setelah mendapat sekulum
senyuman dari majikannya.
Dalam keadaan seperti ini, Bu-ki hanya dapat menyimpan semua perasaan heran dan ingin
tahunya didalam hati, sebab dia adalah seerang pemuda yang mempunyai pendidikan, dia tak
ingin bersikap kurang hormat didepan tuan rumah.
*****
Para penjajan makanan itu sudah mulai berpesta pora, caranya arak yang menjadi miliknya
dibe-rikan kepada orang lain, dan ia mengambil barang dagangan orang, pokoknya kau makan
wedang kacangku, aku makan daging sapimu, ternyata pesta semacam ini jauh lebih menarik
dan berkesan dari pada makan semeja yang lebih komplit hidangannya.
Orang-orang itu bukan saja saling mengenal satu sama lainnya, bahkan tampaknya merupakan
sahabat-sahabat yang paling karib.
Cuma lantaran semua orang harus lari kesana kemari untuk menyambung hidup, maka dihari
biasa sangat jarang mereka dapat berjumpa muka.
Didalam satu tahun hanya satu kali dapat berkumpul menjadi satu dalam suasaha semacam
ini, tak heran kalau pesta berjalan sangat meriah dan penuh dengan gelak tertawa.
88
Yang lebih aneh lagi, si penjual daging ngo-hiang hakekatnya tidak mirip seorang penjual
daging ngo-hiang, yang menjual pia pun tidak mirip dengan seorang penjual pia.
Sekalipun asal-usul orang lain tak bisa diketahui dengan pasti, paling sedikit Bu-ki tahu kalau
Hek popo bukanlah seorang nenek penjual wedang kacang tanah.
Apakah orang lainpun sama semua seperti dirinya?
Mereka hanya menggunakan penjaja makanan kecil untuk merahasiakan asal-usul yang
sebenarnya.
Lantas apa pekerjaan mereka diwaktu-waktu biasa?
*****
Bu ki telah menghabiskan beberapa kacang, arak, mencicipi bubur kedelai, hidangan dari Oupak
dan mencicipi pula aneka macam hidangan yang berpuluh-puluh jumlahnya itu, yang
jelas semua hidangan tersebut tak mungkin bisa ia cicipi sekaligus di hari biasa.
Tuan rumah memandangnya dengan senyuman di kulum.
"Aku paling suka dengan pemuda yang kuat takaran makannya, sebab hanya orang yang kuat
perkasa dan tak pernah melakukan perbuatan yang merugikan orang saja yang dapat
mempunyai takaran makan yang besar ......
Apa yang dia katakan selalu kedengaran aneh dan janggal, tapi justru dibalik kejanggalannya
itu terselip suatu kebenaran yang tak mungkin bisa di bantah.
Kembali ia bertanya kepada Bu-ki:
"Coba lihatlah, bukankah mereka semua amat menarik hati?"
Bu-ki mengakuinya.
"Tapi aku masih belum melihat sesuatu kejadian yang menarik, mencicipi aneka macam
makanan bukan termasuk suatu kejadian yang amat menarik hati"
Tuan rumah tersenyum.
"Sebentar lagi kau akan menyaksikannya sendiri"
89
Jilid 4________
SEBELUM Bu-ki sempat menikmati suatu yang menarik hati, orang orang itu sudah pada
meng-undurkan diri.
Sebelum berangkat, sekali lagi orang-orang itu menyembah pada tuan rumah yang misterius
sambil mengucapkan selamat.
Setelah itu diantara mereka sendiri baru saling mengucapkan selamat berpisah:
°Sampai jumpa tahun depan!'
Suaranya itu masih berdengung ditepi telinga tapi orang-orang itu sudah berlalu semua hingga
tak berbekas, hanya pikulan-pikulan penjaja makanan mereka yang ditinggal semua . . . .
'Mungkinkah mereka sudah sedemikian mabuknya sampai alat peraga pencari makanpun
kelupaan untuk dibawa serta ?”
Sugong Siau-hong tak dapat menahan rasa ingin tahunya, tiba tiba ia bertanya:
'Mengapa kau tidak suruh mereka membawa pergi semua barang barang miliknya?''
'Benda-benda itu memang khusus mereka bawa untuk diberikan kepadaku, masa barang yang
telah dipersembahkan mereka bawa pulang lagi?'
“Mengapa mereka harus mengirim barang-barang seperti ini kepadamu?"
"Karena mereka tahu aku harus memelihara tiga puluh orang pengiring dan delapan ratus ekor
kuda!°
Sugong Siau-Kong tak dapat menahan rasa gelinya, ia terbahak-bahak.
"Haaahh . . baaahhh . . haaahhh apa gunanya barang-barang semacam itu untukmu ? Masa
kaupun ingin bertukar usaha dengan berjualan daging bumbu ngo-hiang?" Tuan rumah ikut
tertawa bergelak.
SETAN JUDI DAN MAYAT HIDUP
TlBA - TIBA dari luar hutan berkumandang suara teriakan seseorang, suara itu keras seperti
guntur yang membelah bumi, membuat telinga orang mendengung tajam.
'Haaahh . . haaahhh . . . haaahhh . . . aku sudah tahu kalau kau pasti berada di sini, kau tak
dapat menghindari pencarianku!" kata orang itu sambil terbahak-bahak.
90
Ketika gelak tertawa itu mulai kedengaran, suaranya masih berada ditempat yang sangat jauh,
tapi ketika gelak tertawa itu terhenti, orang itu sudah berada dihadapan mereka.
Seorang laki-laki tinggi besar yang hampir menandingi besarnya Oh Ki dengan memanggul
sebuah karung goni yang amat besar di pangung dan menenteng sebuah lagi ditangan,
bagaikan burung walet terbang di udara meluncur datang dengan cepatnya.
Bu-ki cuma merasakan berkelebatan bayangan manusia, tahu-tahu orang itu sudah berdiri di
muka pintu kereta.
Seandainya tidak menyaksikan dengan mata kepala sendiri, orang tak akan percaya kalau
seorang laki-laki sebesar ini ternyata memiliki ilmu meringankan tubuh yang lincah dan gesit.
Udara di bulan keempat ini sudah mulai panas, tapi laki-laki itu mengenakan sebuah baju
tebal yang terbuat dari kulit kambing, rambutnya yang awut-awutan macam rumput kering
diikat dengan seutas tali. kakinya segede gajah mengenakan sepasang sepatu rumput yang
sudah butut.
Belum lagi kakinya berdiri tegak, ia sudah menuding hidung tuan rumah sambil tertawa
terbahak-bahak.
"Haaahh . . . haaahh . . . haaahh . . . bocah keparat, kau memang hebat sekali, sampai akupun
tidak menyangka kalau tahu ini kau bakal memilih suatu tempat pertemuan yang begini dekat
dengan jalan raya, akupun tak mengira kalau kau telah menitahkan anak cucu muridmu untuk
menyaru sebagai penjaja makanan kecil."
Kalau orang lain bersikap amat hormat kepada tuan rumah, maka orang ini bukan saja tidak
menaruh sikap hormat, bahkan mencaci maki seenaknya dengan kata kata yang paling kasar.
Tapi tuan rumah tidak menegur atau kurang senang hati, bahkan diapun ikut tertawa dengan
gembira.
''Akupun tidak menyangka kalau tahun ini masih dapat bertemu lagi denganmu.°
Laki laki itu tertawa.
"Meskipun aku Samwan Kong setiap kali berjudi tentu kalah, tapi kepandaianku mencari
orang adalah nomor satu di dunia!'
°Kepandaianmu untuk kalah berjudipun merupakan nomor satudi dunia!' tuan rumah
menambahkan.
Samwan Kong tergelak gelak.
91
"Haahhh....haaahhh...haahh. ... betul betul, neneknya kura-kura, tepat memang perkataanmu
itu!'
'Kalau kau sudah tahu bila berjudi pasti kalah, mengapa tahun ini datang ke mari lagi.”
"Setiap orang pasti mempunyai saat beruntung dan saat sial, siapa tahu setelah kalah habishabisan
tahun lalu, tahun ini nasibku akan mengslami perubahan?°
"Jadi tahun ini kau betul-betul ingin berjudi lagi?
°Siapa yang tak mau berjudi dia adalah cucu kura-kura !° Samwan Kong berteriak.
Tiba-tiba ia menumpahkan seluruh isi karung goninya ke atas tanah, lalu katanya lagi:
"Akan kugunakan benda-benda ini untuk mempertaruhkan pikulan pikulan penjaja makanan
milik anak cucu muridmu !°
Untuk kesekian kalinya Bu-ki tertegun.
Meskipun semua benda yang berhamburan ke luar dari karung goni itu termasuk juga barang
acak-acakan yang beraneka ragam, namun diantara sekian banyak barang itu tak ada satupun
yang bukan merupakan benda berharga.
Cahaya gemerlapan memantul dari atas tanah, diantara benda-benda yang berserakan di tanah
itu tampak tempat lilin yang terbuat dari emas, tungku emas patung emas, perhiasan-perhiasan
dari emas, kopiah emas, ikat pinggang emas, lantakan emas, poci emas, cawan emas dan
aneka macam benda lain yang keseluruhannya terbuat dari emas murni.
Pokoknya semua benda yang bisa dibuat dari emas, dapat ditemukan semua dari atas tanah,
malahan diantara gemilangnya sinar emas terdapat pula butiran butiran intan permata, berlian
dan mutiara yang tak ternilai harganya.
Jangan-jangan orang ini sudah edan? Demikian Bu-ki berpikir.
Sebab hanya orang edan saja yang akan menggunakan begini banyak emas murni dan benda
berharga lainnya untuk mempertaruhkan beberapa puluh buah pikulan penjaja makanan itu.
"Tidak, aku tak mau bertaruh!" ternyata tuan rumah lebih edan, ia telah menolak tawaran
tersebut.
Paras muka Samwan Kong segera berubah menjadi merah padam seperti kena ditampar,
teriaknya dengan penasaran:
"Kenapa kau tak mau bertaruh?"
92
"Karena barang yang kau pertaruhkan belum cukup!" jawab tuan rumah tenang.
Tak seorangpun yang beranggapan bahwa modal taruhannya kurang memadahi, siapa tahu ia
sendiri ternyata mengakuinya.
Dengan wajah masam ia berkata:
"Sekalipun modal taruhan yang kubawa kali ini masih belum memadahi, tapi bagaimanapun
juga kau harus bertaruh denganku!"
"Kenapa?"
"Sebab selama sepuluh tahun terakhir, sekalipun aku tak pernah menangkan dirimu, kau musti
memberi satu kesempatan kepadaku untuk menangkan taruhan ini."
Tuan rumah masih juga mempertimbangkan hal ini, lama sekali ia termenung sambil
menghitung untung ruginya, akhirnya secara terpaksa dia menyetujui juga :
"Baiklah, kuberi kesempatan yang baik untukmu guna mencari kemenangan . . . . . bersiapsiaplah!"
Belum habis kata-kata itu, Samwan Kong lelah berjingkrak kegirangan.
"Cepat ambil dadu . . . . . cepat ambit dadu . . . . mari kita bertaruh sekarang juga."
Dadu telah dipersiapkan sejak tadi, seakan-akan tuan rumah memang telah persiapkan benda
itu semenjak tadi.
Dadunya terbuat dari batu kemala putih, sedang mangkuknya dibuat dari emas murni.
Dengan semangat yang menyala-nyala Samwan Kong berseru:
"Setiap kali aku bisa melihat ketiga biji dadu ini, belum-belum hatiku sudah merasa puas
sekali, sekalipun musti kalah, akupun tetap puas sekali !"
"Siapa yang akan melemparkan dadu ini lebih dulu?" tanya tuan rumah kemudian.
"Aku !"
"Pertaruhan ini hanya berlangsung antara kau melawan aku, perlu tidak seorang bandar?"
"Tidak, tidak perlu bandar!" Samwan Kong gelengkan kepalanya.
93
"Kalau begitu, sekalipun kau berhasil melemparkan dadumu dengan angka empat lima dan
enam, aku masih sanggup untuk menyusulnya.
"Baik, kalau begitu akan kulempar dadu ini dengan angka empat, lima dan enam, ingin
kulihat dengan cara apa kau hendak menyusulnya!"
Sekali comot dia ambil dadu dadu itu dari mangkuk, kemudian dengan jepitan jari tengah, jari
telunjuk dan jari manisnya ia angkat dadu-dadu itu lalu diketukkan tiga kali di tepi mangkuk .
. . . . .”
"Ting, ting, ting!" diiringi dentingan nyaring dadu itupun disebarkan dalam mangkuk.
Gaya tangannya bukan cuma berpengalaman bahkan sangat indah, tampaklah ketiga biji dadu
yang putih mulus itu bergelinding lalu berputar tiada hentinya di dalam mangkuk.
Akhirnya dadu yang pertama telah berhenti, dadu itu menunjukkan angka "empat," menyusul
kemudian dadu keduapun berhenti, dadu ini menunjukan angka "enam".
Samwan Kong segera membentak nyaring "Lima!"
Dadu ketiga yang berhenti berputar benar-benar menunjukkan angka "lima," dengan begitu
maka ia benar benar berhasil meraih angka "empat, lima dan enam."
Dalam perjudian dadu, kecuali tiga angka kembar maka angka tertinggi yang bisa diraih orang
adalah angka "empat lima enam"
Tentu saja untuk mendapatkan angka "macan tutul" atau angka kembar itu jauh lebih sulit dari
pada mengharapkan pohon besi berbunga.
Samwan Kong segera tergelak gelak dengan riangnya.
"Haaahhh . . . huaahhh . . . haaahhh . . . . agaknya nasibku tahun ini telah mengalami
perubahan besar, coba lihat hasil angka yang berhasil kuraih . . . rasa-rasanya untuk menderita
kalah kali ini bukan suatu hal yang gampang terjadi."
Tuan rumah menghela napas panjang.
"Aaaai . . . yaa, memang tidak mudah!" keluhnya.
Tiba-tiba ia berpaling ke arah Bu-ki, kemudian tegurnya:
"Kau pernah bermain dadu?"
Tentu saja Bu-ki pernah bermain dadu.
94
Ia bukan termasuk seorang anak baik-baik, perjudian macam apapun pernah ia lakukan
seringkali uang sakunya ludas di meja judi.
"Bagaimana kalau kau membantu aku untuk menyebarkan dadu-dadu itu?" pinta tuan rumah
lagi.
"Baik!”
Sudah menjadi kebiasaan baginya, setiap masalah yang belum tentu bisa ditolak olehnya,
serta merta dia akan menyanggupi dengan begitu saja.
Jarang sekali ia tolak permohonan orang lain.
"Bolehkah kuminta bantuannya untuk memutarkan biji-biji dadu itu?" tanya tuan rumah
kemudian kepada lawan judinya.
"Tentu saja boleh!" Samwan long segera menyetujui.
"Andaikata ia mampu meraih tiga angka kembar si macan tutul, kaupun tak akan menyesal?"
desak tuan rumah lagi.
"Kalau dia mampu meraih tiga angka kembar, maka aku akan . . . . "
"Apa yang hendak kau lakukan?"
"Terserah apa yang dia minta! pokoknya semua yang dia harapkan akan kulaksanakan." tukas
Samwan Kong cepat.
"Oooh . . . . jadi maksudmu, apapun yang ia minta kau lakukan, akan kau laksanakan tanpa
membantah?"
"Betul !"
"Tahukah kau bahwa perkataan semacam ini tak boleh diutarakan secara sembarangan?"
"Kenapa?"
"Dahulu aku pernah kenal dengan seorang anak gadis yang gemar bertaruh dengan seorang
kawanku, seringkali ia mengucapkan kata-kata seperti apa yang barusan kau katakan!"
"Dan akhirnya?"
"Akhirnya dia menjadi bininya temanku”
95
Tiba-tiba Bu-ki tertawa lebar.
"Tapi kau tak usah kuatir" selanya, "bagaimanapun juga, tak nanti kupaksa kau untuk menjadi
biniku!"
Seperti juga apa yang dilakukan Samwan Kong, dengan ketiga jari tangannya ia mencekal
dadu-dadu itu, lalu diketukkan tiga kali ditepi mangkuk emas.
"Ting ting, ting . . . !" dentingan nyaring menggema di udara dan . . . . . Kerontang . . , !" tiga
biji dadu itu tersebar di dalam mangkuk dan berputar tiada hentinya.
Samwan Kong menatap tajam ketiga biji dadu yang sedang berputar itu, matanya terbelalak
lebar dan berkedip pun tidak.
Tiba tiba tuan rumah menghela napas panjang.
"Aaaai... lagi-lagi kau yang kalah!" bisiknya.
Belum habis kata-katanya itu, ketiga biji dadu tersebut telah berhenti berputar, benar juga,
dadu-dadu itu menunjukkan ke angka "enam" semuanya.
"Lak pa° atau kembar enam merupakan angka paling top dari dadu.
Untuk sesaat lamanya Samwan Kong berdiri tertegun, lama, lama sekali, tiba-tiba ia berteriak
penasaran:
°Maknya, bikin mendongkol hati orang saja!'
Tanpa banyak komentar ia berjumpalitan tiga kali di udara dan tahu-tahu bayangan tubuhnya
sudah lenyap tak berbekas.
Begitu berkata akan pergi, dia lantas pergi bahkan sewaktu pergi jauh lebih cepat gerakannya
ketimbang sewaktu datang, andaikata cawan emas mangkuk emas, lantakan emas dan
batangan emas yang berserakan di tanah tidak masih tersebar di atas tanah, orang akan
mengira bahwa di sana tak pernah kedatangan seorang manusia semacam dia.
Sugong Siau-hong selalu duduk di samping dengan senyuman dikulum selama adegan demi
adegan berlangsung, dia hanya duduk menikmati dengan mulut membungkam, saat itulah
tiba-tiba ia berkata:
Setelah menyaksikan semua adegan yang berlangsung barusan, aku jadi teringat dengan Captoa-
ok-jiu (sepuluh orang paling jahat) di dunia yang pernah menggetarkan sungai telaga
belum lama berselang, terutama si Ok-to-kui (si setan judi) Samwan Kong!
96
Tentu saja kejadian itu diketahui siapapun juga didunia persilatan, sebab tokoh tokoh
persilatan yang terlibat di dalamnya merupakan tokoh tokoh sakti yang punya nama besar.
Yaaa, siapa yang tidak kenal dengan Ok-to-kui (setan judi) Samwan Kong, Hiat-jiu (si tangan
darah) To Sat, Put-si-jin-tan (tidak makan kepala manusia) Li Toa jui, Put-lam-put-li
(setengah laki setengah perempuan) To Kiau kiau, Mi-si-jin-put-bei-mia (memikat orang
sampai mati tidak ganti nyawa) Coa Mie mie, Sian-li-cong-to (senyuman dibalik golok) Ha ha
ji . . .
Masih ada lagi Siau Hi ji yang tersohor karena kecerdikannya beserta saudara kembarnya Hoa
Bu koat, semuanya merupakan tokoh-tokoh persilatan yang menggempaikan seluruh dunia.
Walaupun kini, sepuluh orang jahat Cap-toa-ok-jiu sudah punah, Siau Hi ji dan Hoa Bu koat
telah mengasingkan diri dari dunia persilatan, tapi nama mereka masih terkenang selalu dalam
ingatan semua orang.
'Aku menjadi curiga, mungkinkah Samwan Kong yang kujumpai sekarang adalah saudara
kembar dari Samwan Kong yang dulu?'
Tuan rumah segera tersenyum.
°Tentu saja kau tak akan tahu kalau mereka adalah satu orang yang sama . . .!” katanya.
'Kenapa?'
'Karena kau tak pernah berjudi!`
'Apakah dia masih segila dulu?"
°Tentu saja, bahkan cara berjudinya lebih garang lagi ketimbang dulu, dan kalahnya tentu saja
lebih besar ketimbang dulu.'
°Yaa, dia memang biasanya cuma kalah dalam bertaruh.' Sugong Siau-hong mengakui.
'Kalau Samwan Kong dimasanya Siau Hi-ji baru akan ludas uang dan hartanya bila fajar telah
menyingsing . . .°
'Bagaimana sekarang?”
"Sebelum fajar menyingsing, sebelum penjudi buyar, uangnya sudah ludas lebih duluan,
bahkan ludas dalam sekali bertaruh!°
97
"Kayakah dia”, tanya Sugong Siau-hong lagi. Tuan rumah tidak menjawab, sebaliknya sambil
berpaling ke arah Bu-ki ia balik bertanya:
'Menurut pandanganmu, dia kaya tidak?°
'Tentu saja!'° Terpaksa Bu ki harus mengakui.
°Selamanya dia pasti tak akan melupakan dirimu, sebab orang yang bisa meraih tiga angka
enam dalam satu kali putaran dadu tidak terlampau banyak jumlahnya'
°Yaa, manusia dengan kepandaian khusus ini memang tidak banyak jumlahnya .
'°Kau bisa meraihkan kemenangan besar bagiku berarti nasib mujur memang masih berada di
pihakku, tentu saja aku harus memberi persen atas jerih payahmu itu”
Bu ki tidak menyatakan sikap keberatan.
“Kau boleh memilih beberapa buah pikulan di antara pikulan-pikulan yang berserakan di luar
sana" kata tuan rumah lagi.
'Baik!' jawab Bu ki singkat.
Pemuda itu tidak banyak komentar, diapun tidak berkata demikian.
'Aku toh tak akan menjadi penjual daging ngo-hiang, gunanya pikulan sebanyak itu bagiku?”
Dalam anggapannya persoalan semacam ini tidak perlu ditampik, tidak ada gunanya pula
untuk ditanyakan.
Ketika tuan rumah menyaksikan di balik sinar matanya memancarkan cahaya riang, kembali
katanya .
'Kau boleh memilih lima batang pikulan!"
'Baik?"
Ia segera maju menghampiri pikulan-pikulan itu dan sembarangan mengambil satu
diantaranya, tapi begitu pikulan itu diangkat, rasa kaget dan tercengang segera menghiasi
wajahnya.
Ternyata pikulan itu beratnya bukan kepalang hampir saja dia tak kuat untuk mengangkatnya
ke atas.
Ketika ia memilih sebuah pikulan lagi, rasa kaget dan tercengangnya makin menjadi, akhirnya
tak tahan lagi ia bertanya.
98
'Apakah semua pikulan pikulan ini terbuat dari emas murni?°
'Betul, semuanya terbuat dari emas!'
'Emas murni?”
°Yaa, seratus persen emas murni!'
Bukan pikulannya saja yang terbuat dari emas murni, agaknya benda benda yang lainnya pun
sama saja, sekalipun bukan terdiri dari emas murni semua paling sedikit yang bukan terdiri
dari perak.
Sekarang Bu ki baru sadar, Samwan Kong tidak edan, tuan rumah juga tidak edan, yang edan
justru adalah pedagang-pedagang kecil itu.
'Padahal mereka semua tidak edan!° tuan rumah menerangkan sambil tertawa.
°Tidak edan?'
'Mereka tahu aku musti menghidupkan tiga puluh orang pembantu dan delapan ratus ekor
kuda jempolan, mereka juga tahu biaya hidup sehari-hari ku sangat besar, padahal pemasukan
hampir tak ada, maka setiap tahun pada hari ini mereka selalu berkumpul di sini sambil
memberi sedikit hadiah untukku.°
Tentu saja orang orang itu bukan penjual makanan kecil, sebab berjualan selama tiga ratus
tahun penuhpun belum tentu bisa mendapat laba sebentar satu pikulan emas murni.
°Dahulu mereka adalah bekas-bekas bawahanku,” demikian tuan rumah menerangkan, " tapi
sekarang sebagian besar dari mereka sudah menjadi pedagang pedagang besar'
"Agaknya dagangan mereka pada saat ini bagus sekali, tentu laba, yang diperolehpun
berlimpah ruah.”
Ia tak ingin bertanya terlalu banyak, diapun tak ingin mengetahui terlalu banyak.
Kau kenal dengan Hek popo?° tiba tiba tuan rumah bertanya lagi.
“Kenal!”
''Tahukah kau pekerjaan apa yang ia lakukan?'
°Tidak tahu°
99
"Kau juga tak ingin tahu?"
“Tidak ingin!'
'Mengapa tak ingin?'
°Sebab setiap orang mempunyai hak untuk menyimpan sedikit rahasia pribadinya, kenapa aku
musti mengetahui rahasia pribadi orang lain ?°`
Kembali tuan rumah tertawa.
"Mereka sedikitpun tak ingin rahasia pribadinya diketahui orang, maka bila mereka akan
datang ke mari setiap tahun, jejak mereka pasti dirahasiakan dengan sebaik baiknya'
'Aku dapat melihatnya!"
°Tempat pertemuan yang kami adakan setiap tahun selalu berbeda dan rahasia sekali, tiap
tahun kami selalu berpindah dari satu tempat ke tempat lain"
Bu-ki termenung untuk berpikir sejenak, tiba-tiba ia berkata:
"Tapi yang pasti setiap tahun Samwan Kong selalu berhasil menemukan tempat pertemuan
kalian!"
“Yaa, karena itulah saat yang paling bagus baginya untuk bertaruh sampai puas, tak pernah ia
sia-siakan kesempatan yang paling baik itu barang satu kalipun!"
Bu-ki tersenyum.
“Kepandaiannya untuk kalah bertaruh memang sangat hebat sekali!” pujinya lirih.
Bukan cuma hebat saja, hakekatnya nomor satu di dunia'
'Apakah kepandaiannya untuk mencari orang juga nomor satu di dunia...?"
“Benar!”
Mencorong sinar terang dari balik mata Bu-ki, ia menundukkan kepalanya dan sembarangan
me-milih lima batang pikulan, lalu dibopong dengan kedua belah tangannya.
Lima batang pikulan itu sungguh-sungguh berat sekali.
Tuan rumah memandang sekejap ke arahnya lalu tertawa tawa.
100
"Jika dia ingin mencari jejak seseorang, kemanapun orang itu menyembunyikan diri, ia
mampu untuk mencarinya sampai ketemu, sayangnya jika orang lain yang ingin mencari
jejaknya, kalau dia belum ingin menampakkan diri, jangan harap kau bisa menemukannya,"
demikian ia berkata.
Bu-ki bersikap seolah-olah tidak mendengar apa yang sedang ia katakan, pelan-pelan pikulan
itu diletakkan ke lantai kemudian katanya secara tiba-tiba:
°Meskipun kudaku bukan termasuk jenis kuda kenamaan yang mahal harganya, tapi aku tak
ingin, menggencetnya sehingga mati karena keberatan."
Tuan rumah segera memahami maksud hatinya, ia berkata:
"Masa kelima batang pikulan itu dapat menindihnya hingga mati karena keberatan?"
"Jangankan dia, akupun hampir mati keberatan karena musti menggotong kelima batang
pikulan ini!'
"Tentu saja kau tidak ingin mati bukan?° sambung tuan rumah sambil tertawa lebar.
"Sebab itulah benda-benda ini terpaksa kutinggalkan dulu di sini, apabila aku sangat
mem-butuhkannya, pasti, akan kucari dirimu untuk memintanya kembali."
'Masa kau bisa menemukan jejakku?°
“Sekalipun aku tak berhasil menemukan jejakmu, yang pasti kau punya cara untuk membuat
aku bisa menemukan kembali jejakmu, bukankah demikian?"
"Apakah kau selalu jarang sekali menampik keinginan orang lain ?°
°Yaa, jarang sekali!!
Tuan rumah segera menghela napas panjang.
°Aaaai . . . kalau begitu tampaknya akupun tak punya cara lain untuk menampik keinginanmu
itu' keluhnya.
Bu-ki mengangkat kepalanya dan menatap wajah orang itu, lalu katanya pula:
“Maka dari itu, kau harus mencarikan sebuah akal bagiku, agar setiap saat akupun bisa
me-nemukan jejakmu".
Tuan rumah segera tertawa, sambil berpaling ke arah Sugong Siau-hong katanya:
101
'Aku lihat tampaknya pemuda ini jauh lebih cerdas dalam segala-galanya dari pada dirimu.°
°Yaa, dia memang tidak bodoh!" Sugong Siau-hong membenarkan sambil tersenyum.
'Aku suka dengan orang-orang yang cerdik, aku selalu mengharapkan orang-orang yang
cerdik bisa hidup lebih panjang."
Lagi-lagi perkataan itu diucapkan secara aneh, seakan-akan dibalik kata katanya itu
terkandung suatu maksud tertentu.
Entah Bu-ki dapat memahami perkataan itu atau tidak?
Tiba-tiba tuan rumah mengambil lonceng emas yang berada pada sandaran tangannya dan
dilemparkan kepada pemuda itu.
"Jika kau ingin mencari jejakku, bunyikan saja lonceng emas ini sebanyak tujuh kali, lalu
ketuk tujuh kali untuk masa berikutnya, segera akan muncul seseorang yang akan
menghantarmu untuk menjumpai diriku"
Bu-ki tidak bertanya lagi, dia pungut lonceng emas itu dan disimpan ke dalam sakunya,
bahkan disimpan secara teliti dan rahasia sekali . . . .”
Sekulum senyuman puas segera menghiasi wajah Sugong Siau-hong, agaknya ia puas sekali
dengan apa yang dilihat barusan.
Pada waktu itulah dari tempat ke jauhan berkumandang suara kentongan, rupanya kentongan
kedua sudah menjelang tiba.
*****
Bila malam sudah menjelang tiba suara kentongan memang sudah umum terdengar di manamana,
sesungguhnya hal itu bukan suatu peristiwa yang patut diherankan atau dikejutkan.
Tapi Bu-ki seperti merasa kaget bercampur tercengang.
Sekalipun suara dua kali kentongan itu berasal dari tempat yang jauh sekali, tapi cukup
nyaring dalam pendengaran mereka, seakan-akan kentongan itu dibunyikan orang dari sisi
telinganya.
Tak kuasa lagi dia bertanya:
°Benarkah pada saat ini kentongan ketiga belum menjelang tiba?”
Tiada seorangpun yang menjawab pertanyaannya itu.
102
Semua lampu-lampu yang semula menyinari sekelilingnya, kini sudah dipadamkan semua.
Seketika itu juga suasana dalam hutan berubah menjadi gelap gulita. di tengah kerdipan sinar
lirih yang memancar ke luar dari sela-sela ruang kereta, lamat-lamat ia saksikan munculnya
serombongan manusia yang menggotong sebuah peti kotak yang besar sekali.
Kalau dilihat dari kejauhan, maka kotak itu mirip sekali dengan sebuah peti mati.
*****
Tiba tiba tuan rumah menghela napas sambil bergumam: "Aaaai . . . akhirnya ia datang juga!'
“Siapa yang telah datang?' tanya Bu-ki keheranan.
Suatu perubahan mimik wajah yang sangat aneh tercermin di wajah tuan rumah, lewat lama
sekali, sepatah demi sepatah dia baru menjawab:
"Dia adalah seseorang yang telah mati!'
Pada umumnya orang mati selalu berada dalam peti mati !
Ternyata kotak itu memang bukan sebuah kotak, melainkan sebuah peti mati, peti mati tempat
mayat disimpan.
Delapan orang laki laki berbaju hitam yang kurus dan jangkung menggotong peti mati
berwarna hitam itu dan selangkah demi selangkah menghampiri kearah mereka.
Di atas peti mati itu ternyata duduk seseorang, dia adalah seorang bocah berusia sepuluh
tahunan yang mengenakan baju serba putih.
Dikala sinar lampu menyorot di atas wajah bocah itu, tiba tiba Bu-ki merasa terkejut sekali.
Ternyata bocah itu tak lain adalah bocah yang membawanya datang ke sana, cuma kali ini dia
telah mengganti pakaiannya dengansatu stel pakaian berwarna putih bersih.
Mengapa secara tiba-tiba bocah itu duduk di atas peti mati?
Ketika Bu-ki masih berpikir dengan perasaan tidak habis mengerti, tiba-tiba ada seseorang
men-jawil ujung bajunya sambil bertanya dengan suara lirih:
°Hei, coba lihatlah! Bukan bocah yang duduk di atas peti mati itu mirip sekali dengan
wajahku?!”
103
Sekali lagi Bu-ki merasa terkejut. Ternyata bocah yang menarik ujung bajunya adalah bocah
yang membawanya datang ke sini, ia masih mengenakan baju warna merahnya yang menyala.
Yaa, hakekatnya dua orang bocah itu mempunyai wajah maupun potongan badan yang lama,
ibaratnya pinang yang dibelah dua.
°Tok! Tok! Tok!`
Bunyi kentongan kembali terdengar, akhirnya Bu-ki sempat melihat si tukang kentongan itu,
dia memakai baju warna hijau, kaus putih sepatu dari rumput kering dan bermuka pucat pias,
di tangan yang satu membawa gemberengan kecil, pemukul kecil tangan yang lain memegang
tambur, bambu dan sebuah pemukulnya berwarna putih.
Toh mia keng hu (tukang kentongan perenggut nyawa) Liu Sam keng telah datang pula!
Ia tidak melihat kehadiran Bu ki di sana apapun tidak terlihat olehnya ....
Ia masih memusatkan segenap perhatiannya untuk memukul kentongan mautnya. . .
Walaupun sekarang belum sampai kentongan ketiga, tapi kentongan kedua sudah lewat
mungkin-kah kentongan ketiga masih jauh?
Tapi, sampai kapankah kentongan ketiga baru tiba?
Nyawa siapa yang kali ini hendak direnggutnya?
*****
Bocah berbaju putih duduk tegak dan kaku di atas peti mati, bergerak sedikitpun tidak.
Sedang si bocah "berba ju merah sedang" memandang ke arah bocah yang lain sambil
men-tertawakannya.
Dengan muka cemberut bocah berbaju putih itu diam dalam seribu basa berkutik tidak
mem-perdulipun juga tidak.
Bocah berbaju merah itu segera memburu ke muka dan menunjukkan muka setan ke arahnya.
Tapi dengan cepat bocah berbaju putih itu melengos ke arah lain, melirik sekejappun tidak.
Meskipun kedua orang bocah cilik itu mempunyai raut wajah bagaikan pinang dibelah dua,
tapi watak mereka tampaknya jauh berbeda antara satu dengan lainnya.
Lama kelamaan Bu-ki tak dapat mengendalikan diri, diam-diam ia berbisik lirih:
104
"Kau kenal dengan dia?'
°Tentu saja kenal!" sahut, bocah berbaju merah itu.
'Apakah dia adalah saudaramu?°
Bukan, dia adalah musuh bebuyutanku!°
Bu-ki lebih terkejut lagi sesudah mendengar jawaban itu, katanya lagi:
Kalian ber dua sama-sama masih bocah, kenapa bisa menjadi musuh bebuyutan?'
Kami memang sudah ditakdirkan menjadi sepasang musuh bebuyutan, semenjak dilahirkan
sudah menjadi musuh bebuyutan!' jawab bocah berbaju merah itu.
Siapa pula yang berada dalam peti mati itu?'
Tiba-tiba bocah berbaju merah itu menghela napas sambil mengeluh:
Kenapa makin lama kau semakin bodoh? Yang berada dalam peti mati tentu saja orang mati,
masa persoalan semacam inipun tidak kau pahami?°
Peti mati itu sudah diturunkan dan diletakkan di muka pintu kereta, warna hitam yang
berkilauan dari peti mati itu terasa makin bercahaya ketika tertimpa sinar lampu.
Sinar itu bukan pantulan sinar karena cairan minyak!
Mungkinkah peti mati ini seperti juga dengan pikulan-pikulan itu? Terbuat pula dari emas
murni.
Delapan orang laki laki berbaju hitam yang gotong peti mati itu meski berdiri dengan muka
hijau membesi dan tanpa emosi, namun butiran peluh telah membasahi jidat mereka.
Jelas peti mati itu beratnya bukan kepalang, seakan-akan memang terbuat dari emas murni.
Dengan menggunakan sebuah peti mati yang terbuat dari emas murni, hendak digotong ke
manakah orang mati itu?
Bocah berbaju putih yang masih duduk di atas peti mati itu tiba-tiba menggape ke arah Liu
Sam keng.
Seakan-akan melihat gapean tersebut Liu Sam keng segera menghampirinya sambil
membungkuk kan badan.
105
Pelan-pelan bocah berbaju putih itu bangkit berdiri, kemudian melangkahkan kakinya
menginjak di atas bahunya.
Kelihatan sekali betapa jeri dan hormatnya Toh mia keng hu si tukang kentongan perenggut
nyawa yang tersohor namanya dalam dunia persilatan ini terhadap bocah cilik tersebut, ia
mem-biarkan bocah itu berdiri diatas bahunya, sedang ia sendiri sama sekali tidak
menunjukkan perasaan tak senang hati.
Lagi-lagi bocah berbaju merah itu berbisik kepada Bu ki, katanya:
°Percayalah kau, sejak dilahirkan belum pernah kakinya menginjak debu atau pasir barang
satu kalipun"
'Aku percaya!'
Bocah berbaju merah itu segera menghela napas.
'Aaaai . . . . . tapi, sepasang kakiku justru penuh dengan pasir, debu dan lumpur!”
'Aku lebih suka anak-anak yang kakinya berlumpur, sewaktu masih kecil dulu bukan cuma
kaki saja yang berlumpur, mukakupun ikut berlumpur . . . . .°
Bocah berbaju merah itu segera tertawa riang, tiba tiba digenggamnya tangan pemuda itu lalu
katanya:
Akupun amat suka kepadamu, meski kadangkala kau bisa berubah menjadi bodohnya luar
biasa, tapi aku masih tetap menyukai dirimu ..... percaya tidak?°
Bu-ki ingin ikut tertawa, tapi ia tak sanggup tertawa lagi.
Penutup peti mati itu sudah diangkat orang, terlihatlah sesosok tubuh berbaring membujur
dalam peti mati itu, sepasang tangannya disilangkan di depan dada, bajunya yang putih mulus
tampak sangat bersih dan tak berdebu, mukanya pucat pias seperti tak ada warna darah barang
sedikitpun juga, sehingga kelihatan seperti orang yang sudah mati lagi, sesosok mayat yang
sudah lama menjadi kaku.
Peti matinya berwarna hitam pekat, sedang wajah mayatnya berwarna putih seperti kertas,
warna kontras yang sangat berlawanan ini tampak lebih menyeramkan dan menggidikkan di
bawah timpaan sinar lampu yang redup . . . .
Mengapa mereka membuka peti mati itu? Mungkinkah mereka bermaksud agar mayat itu
dapat melihat si tuan ramah? Atau mungkin mereka menghendaki agar tuan rumah bisa
melihat mayat itu?
106
Mayat kering itu memejamkan sepasang matanya. Mayat kering memang tak ada yang
menarik, malah menyeramkan bagi siapa yang melihatnya.
Tapi tuan rumah benar-benar sedang memperlihatkan mayat itu, lalu secara tiba-tiba
menghela napas panjang.
“Aaaai . . . setahun kembali sudah lewat, baikkah penghidupanmu selama ini?"
Masakan mayat kering bisa mendengar pembicaraan manusia?”
Aneh betul tuan rumah itu, ternyata dia mengajak berbicara si mayat kering tersebut!
*****
Mayat kering itu bukan saja dapat mendengar, bisa berbicara malah.
Tiba tiba ia menjawab:
'Aku tidak baik”
Ketika mendengar jawaban tersebut sepatah demi sepatah diucapkan oleh sesosok mayat
kering, bahkan Sugong Siau-hong pun ikut merasa terperanjat sekali.
Mau tak mau dia jadi teringat kembali dengan dongeng-dongeng kuno yang ada hubungannya
dengan mayat hidup pula.
'Bagaimana dengan kau?' mayat itu bertanya.
"Akupun tidak baik!”
'Tiba-tiba mayat itu menghela napas panjang.
°Aaaai . . . Siau Tanglo wahai Siau Tanglo, kau telah mencelakai diriku, dan akupun telah
mecelakai dirimu'
*****
Hingga sekarang Bu-ki baru tahu bahwa nama tuan rumah yang misterius itu ternyata
bernama Siau Tang lo.
Lantas siapa pula mayat hidup itu?
107
Meskipun suaranya serak-serak basah dan kedengaran ketus sekali, namun dibalik
kesemuanya itu terselip suatu perasaan sedih dan menyesal yang sukar dilukiskan dengan
kata-kata.
Seseorang, apabila ia benar-benar sudah mati, benar-benar telah berubah menjadi mayat, tidak
mungkin dalam tubuhnya masih mengalir segala perasaan, apalagi emosi.
Tapi kelihatannya ia justru lebih mirip dari pada sesosok mayat, seorang manusia yang tidak
membawa hawa kehidupan lagi, lebih-lebih lagi semangat dari hidup.
Sekalipun dia masih hidup, bukan berarti dialah yang ingin tetap hidup di dunia ini.
Karena ia sudah tidak memiliki kesenangan atau gairah untuk melanjutkan hidup.
Raut wajah Siau Tang lo yang selalu dihiasi sekulum senyuman, dalam detik itu pula seakanakan
telah berubah menjadi sedih, benci dan menyesal, tapi luapan emosi itu hanya
berlangsung sebentar, sekulum senyuman kembali menghiasi wajahnya.
°Sudah kuduga, begitu datang di sini kau akan segera menyebutkan namaku' katanya sambil
tersenyum.
'Apabila kau tidak menghendaki orang lain mengetahui namamu, aku boleh mewakilimu
untuk membunuh semua orang yang ikut mendengarkan namamu itu!'
"Tahukah kau siapakah mereka ini?°
°Perduli siapapun orangnya, bagiku adalah sama saja!°
Sepasang matanya belum juga dipentangkan, seakan-akan tiada seorang manusiapun yang
terpandang olehnya di dunia ini.
Sekalipun ia sendiri cuma sesosok mayat hidup yang sepanjang tahun berbaring dalam peti
mati sepanjang tahun tak dapat menyaksikan indahnya sinar matahari, tapi ucapannya begitu
besar, begitu sombong dan menggelilan hati.
Bu-ki tak dapat mengendalikan perasaannya, tiba-tiba ia tertawa tergelak, tertawa dengan
suara yang melengking dan tak sedap didengar.
Selamanya dia tak ingin menampik kebaikan orang lain, tapi selamanya diapun tak ingin
me-nerima dampratan atau cemoohan dari orang lain.
Meskipun mayat hidup itu berbaring dengan mata yang terpejamkan rapat, bukan berarti
telinganya tersumbat.. tentu saja ia dapat menangkap maksud dibalik kata-katanya itu.
108
Benar juga, mayat hidup itu segera bertanya:
°Siapa yang sedang kau tertawakan?°
'Kau! Aku sedang mentertawakan kau!" jawaban Bu-ki ternyata gamblang dan langsung.
°Kelucuan apa yang kumiliki sehingga kau tertawakan?°
'Bukan cuma perkataanmu saja yang lucu dan menggelikan, bahkan hakekatnya seperti
dagelan saja.*
Tiba-tiba mayat hidup itu membuka matanya dan memancarkan sinar tajam yang melebihi
tajamnya sembilu, siapapun tak akan menyangka kalau mayat hidup yang hakekatnya sudah
mati banyak tahun ini ternyata memiliki sepasang sorot mata yang tajamnya bukan kepalang.
Sorot mata itu langsung ditujukan ke atas wajah Bu-ki.
Bu ki sendiri sedang melototkan pula sepasang matanya, sama sekali tak berubah paras
mukanya walau menjumpai kejadian seperti itu.
°Tahukah kau siapakah aku ini?' Tegur mayat hidup itu.
°Perduli amat siapakah kau, bagiku semua orang itu sama” jawab Bu-ki ketus.
Baru saja ia menyelesaikan kata katanya, mendadak mayat hidup itu sudah bangkit dari peti
matinya.
Yang aneh ternyata sewaktu menggerakkan tubuhnya untuk bangkit tadi, sekujur badannya
sama sekali tak berkutik, siapapun tidak sempat melihat dengan cara bagaimana ia bangkit
dari peti matinya.
la tidak menggerakkan kakinya, tidak pula mengangkat kakinya, tapi tahu-tahu orangnya
sudah berada di luar peti mati.. ketika sepasang tangannya yang kurus kering itu diayunkan ke
tengah udara, beberapa jenis benda emas yang semula berserakan di tanah segera terbang dan
terjatuh ke dalam cengkeramannya.
Baik poci, cawan maupun mangkuk emas Itu semuanya terbuat dari emas murni, tapi setelah
berada dalam cengkeramannya, benda benda itu berubah seperti barang rongsokan, ketika
dipencet dan digencet menjadi satu, benda benda emas itu segera remuk dan ketika diremasremas
maka terbentuklah emas-emas tadi menjadi sebuah tongkat emas yang lurus dan
panjang.
Peluh dingin mulai membasahi telapak tangan Bu ki.
109
Kalau dibilang ia sama sekali tidak takut setelah menyaksikan demonstrasi kekuatan hawa
murni dan kekuatan telapak tangan yang dilakukan mayat hidup itu, hakekatnya pengakuan
tersebut adalah pengakuan yang tidak jujur.
Tentu saja, walaupun hatinya ketakutan setengah mati, hal ini tak sampai membuat anak muda
itu mundur dengan badan gemetar atau putar badan mengambil langkah seribu.
Mayat hidup itu lagi lagi bertanya:
"Sekarang kau sudah percaya bukan bahwa setiap saat aku dapat membinasakan dirimu?"
"Aku percaya!' Bu-ki mengakuinya.
“Lantas siapa yang barusan kau tertawakan?"
'Kau!'
Tiba-tiba mayat hidup itu menengadah dan berpekik nyaring, toya emasnya segera disodok ke
muka dengan kecepatan serta tenaga serangan yang tiada bandingannya di dunia, rasanya tak
seorang manusiapun di dunia ini yang sanggup menghindari serangan tersebut.
Tapi tusukan toya itu bukan tertuju ke tubuh Bu ki.
Yaa, sasaran dari sodokan toya emasnya ternyata adalah Siau Tang lo.
Tentu saja lebih lebih tak mungkin bagi Siau Tang lo untuk menghindarkan diri dari serangan
tersebut.
Tampak cahaya emas berkilauan memenuhi angkasa, menyelusuri jalan darah Sau yang hiat
di atas telapak tangan, dalam waktu singkat ia telah menotok enam puluh empat jalan darah
besar dan kecil di tubuh tuan rumah . . .
Tiba-tiba toya emasnya kembali dijungkit ke atas membuat tuan rumah terjungkit dengan
enteng kemudian sambil memutar telapak tangannya secara beruntun dia lancarkan kembali
enampuluh empat buah totokan diatas punggung tuan rumah.
Semua gerak serangannya bukan saja dilakukan dengan kecepatan luar biasa, gayanyapun
aneh sekali bukan cuma seram rasanya bahkan hakekatnya belum pernah kedengaran dalam
dunia persilatan.
Diantara tiga puluh enam buah jalan darah besar dan tujuh puluh dua jalan darah kecil di
tubuh manusia, sesungguhnya paling sedikit ada separuh di antaranya merupakan jalan darah
110
ke-matian. tapi totokan yang dilancarkan mayat hidup pada saat ini justru semuanya ditujukan
pada bagian-bagian yang mematikan.
Anehnya, ternyata Siau Tang lo tidak tewas akibat serangan tersebut. Dengan tubuh yang
enteng dan lembut tubuhnya melayang kembali ke atas pembaringannya yang empuk, bukan
pen-deritaan yang terlihat sebaliknya justru ia kelihatan lebih segar dan enteng, seakan-akan
seseorang yang baru sembuh dari penyakit parah. seperti juga seseorang yang baru saja
menurunkan beban yang berat sekali.
Setelah menghembuskan napas panjang, ia bergumam:
'Aaaai.. tampaknya aku bisa bertahan selama satu tahun lagi!°
'Bagaimana pula dengan aku?" tanya si mayat hidup.
'Asal aku tidak mampus, kau tentu saja tak akan sampai mampus.!”
“Yaa, tentu saja! Sebab kau tahu cuma aku seorang yang dapat mampertahankan
kehidupanmu'
"Oooh . . tentang soal ini, aku tak akan melupakan untuk selamanya . . .
'Di mana obat pemunah bagiku?'
Pelan-pelan Siau Tang lo merogoh ke dalam sakunya dan mengeluarkan sebuah botol hijau
kecil yang berbentuk panjang.
Setelah minum obat itu paras muka mayat hidup itu menunjukkan pula perubahan mimik
wajah seperti apa yang dialami Siau Tang lo barusan.
Tanpa mengucapkan sepatah katapun dia masuk ke dalam peti matinya dan berbaring
membujur dalam peti mati, matanya terpejam rapat-rapat seakan-akan sudah tertidur pulas.
Selama kejadian itu berlangsung, bocah berbaju merah itu menggenggam terus tangan Bu ki
erat-erat, dia seperti kuatir kalau pemuda itu tak bisa mengendalikan emosinya dan
mencampuri urusan tersebut.
Menanti si mayat hidup itu telah berbaring kembali di dalam peti matinya, bocah itu baru
merasa amat lega, bisiknya kemudian:
'Barusan aku benar-benar merasa agak takut!°
"Apa yang kau takuti?"
111
'Aku takut kau menyerbu ke muka dan coba menolong guruku, bila kau sampai berbuat
demikian maka tindakanmu itu sama halnya dengan mencelakai selembar jiwanya."
" Kenapa?'
'Aku sendiripun kurang begitu jelas," kata bocah berbaju merah itu, 'aku cuma tahu bahwa
hawa murni dalam tubuhnya telah membeku, hawa yang beku itu hanya dapat ditembusi oleh
mayat hidup itu dengan ilmu totokan menunggalnya, sebab dengan tubuhnya yang lemas dan
setengah lumpuh, hakekatnya tak mungkin baginya untuk mengalirkan sendiri hawa murni
dalam tubuhnya, kecuali mayat hidup ini seorang, tak mungkin ada orang kedua di dunia ini
yang mampu menembusi ke seratus duapuluh delapan buah jalan darahnya dalam sekejap
mata.
Setelah berpikir sebentar, kembali katanya. "Yang paling penting adalah hawa murninya tak
boleh putus, sebab satu kali terputus berarti jiwanya tak tertolong lagi`
"Sebetulnya soal itu merupakan rahasia pribadi dari gurumu, tidak seharusnya kau
menceritakan rahasia tersebut kepadaku.*
"Kita sudah berteman, kenapa aku tak boleh memberitahukan rahasia ini kepadamu?* bantah
bocah berbaju merah itu.
Bu-ki tidak berbicara apa-apa lagi.
Dia adalah seorang pemuda yang gampang dibikin terharu oleh keadaan yang dijumpainya,
bila hatinya sedang terharu, seringkali ia tak sanggup mengucapkan sepatah katapun.
Bocah berbaju merah itu memutar sepasang biji matanya, tiba tiba ia bertanya:
"Seandainya mayat hidup itu bertanya lagi kepadamu, siapa yang kau tertawakan tadi,
bagaimana jawabanmu?"
"Aku sedang mentertawakan dia!" jawab Bu-ki tanpa berpikir panjang lagi.
Bocah berbaju merah itu kembali bertanya:
"Dapatkah kau saksikan gerakan apa yang digunakan olehnya ketika melancarkan totokan
tadi?"
'Bukankah ilmu pedang?”
'Betul, memang gerakan ilmu pedang!° bocah berbaju merah itu membenarkan. "bila
meng-gunakan gerakan pedang untuk menotok jalan darah orang, hal ini bukan merupakan
suatu pekerjaan yang gampang"
112
Bu-ki mengakui keheranan dari perkataan tersebut.
Yang diutamakan dalam gerakan ilmu pedang adalah gaya yang enteng dan lincah, dengan
gerakan semacam ini tidak gampang baginya untuk mengincar dengan tepat jalan darah orang
lain.
Kembali si bocah berbaju merah itu berkata:
"Pernahkah kau saksikan ilmu pedang dengan gerakan secepat ini?'
°Belum pernah!' jawab Bu ki.
'Akupun belum pernah menyaksikan gerakan ilmu pedang setepat ini', ia menambahkan,
'bukan saja sekaligus dapat menusukkan seratus dua puluh delapan buah tusukan, lagi pula
setiap tusukan tersebut dapat mengarah jalan darah secara tepat, setengah milipun tidak
meleset°
"Jangan jangan kau sudah kagum kepadanya?' bisik bocah berbaju merah itu lagi.
“Aku hanya mengagumi ilmu pedangnya!"
Bocah berbaju merah itu segera tertawa.
'Tahukah kau kenapa aku sangat menyukai dirimu?' katanya.
Ia percaya sekalipun Bu-ki tahu, belum tentu dia akan mengucapkannya ke luar.
Maka ia menerangkan lebih lanjut: “Sebab tulang-belulangmu sungguh keras sekali, kerasnya
bukan kepalang . . . ! °
Bu-ki sama sekali tidak bermaksud membantah atau menyangkal, sebab dalam hal inilah
seringkali ia merasa bangga.
Tiba-tiba si bocah berbaju merah itu bertanya lagi: 'Coba lihatlah, bukankah bocah itu terus
menerus mendelik kepadaku . . . ?”
Sejak pertama kali tadi, Bu-ki telah memperhatikan tentang hal itu.
Si bocah berbaju putih yang selama hidup tak pernah menginjak tanah itu sejak tadi sampai
sekarang selalu melotot ke arah mereka dengan sepasang matanya yang bulat, jeli dan terang.
'Dia pasti mendongkolnya setengah mati!' demikian bocah berbaju merah itu berkata lagi.
113
'Kenapa ia marah kepadamu?'
"Sebab ia sedang menunggu diriku, sebaliknya aku tidak menggubrisnya malahan mengajak
kau bercakap cakap"
'Apa yang sedang ia nantikan?*
'Ia menunggu untuk berkelahi dengan diriku!'
"Berkelahi?"
*Kedatangan suhunya kemari disamping untuk mendapatkan obat pemunah baginya, bocah
itu memang sengaja datang untuk berkelahi dengan diriku . . . . !"
Bocah itu tertawa sejenak, lalu terusnya: °Semenjak kami berusia delapan tahun, setiap tahun
tentu akan berkelahi satu kali, kami sudah melangsungkan pertarungan semacam ini selama
lima tahun°
'Kenapa kalian musti berkelahi?" tanya Tio Bu-ki dengan perasaan tak habis mengerti.
"Sebab suhunya dan suhuku sudah tak mungkin untuk berkelahi lebih jauh, maka dari itu
masing-masing pula menerima seorang murid, kalau suhunya tak mampu melanjutkan
pertarungan. tentu saja muridnya yang harus melanjutkan, murid siapa yang berhasil
menangkan pertarungan, kepandaiannya pula yang terhitung nomor satu di dunia'
Bu-ki memandang sekejap ke arahnya, lalu memandang pula bocah yang kakinya tak pernah
menempel tanah itu, kemudian tak tahan lagi ia bertanya: “Apakah kaliau adalah saudara
kembar ?"
Bocah berbaju merah itu segera menarik wajahnya.
“Kami bukan saudara kembar, kami adalah musuh bebuyutan yang sudah ditakdirkan sejak
dilahirkan'
'Kalau memang dia sedang menunggu dirimu, kenapa tidak suruh kau menghampirinya!’
°Sebab dia musti bergaya seolah-olah seorang yang terpelajar, seseorang yang berwibawa dan
mempunyai iman yang tebal, karena itu dia musti sabar dan mengendalikan emosinya"
“Maka dari itu, kau sengaja memanasi hatinya agar cepat menjadi mendongkol dan mangkel
?° tanya Bu-ki.
"Yaa, yang dia pelajari adalah ilmu pedang, sedang aku belajar ilmu tenaga dalam, apa bila ia
tidak kubikin mendongkol lebih dahulu, mungkin sudah lima kali aku dikalahkan olehnya "
114
Bu-ki dapat memahami maksud hatinya.
Bagi siapa yang belajar ilmu pedang maka dia lebih menitik beratkan pada kecerdasan,
sebaiknya bagi yang mempelajari tenaga dalam lebih menitik beratkan soal pondasi,
walaupun kedua-duanya mempunyai perjalanan yang sama, namun kemajuan yang dicapai
bagi orang yang mempelajari ilmu pedang biasanya jauh lebih cepat.
Cuma, walau apapun yang dipelajari, sebelum pertarungan dilangsungkan orang tak boleh
marah.
Marah akan menciptakan keteledoran, bagai manapun kecilnya keteledoran itu bisa
mengakibatkah kematian yang fatal.
Bocah berbaju putih itu sudah mulai tak sanggup mengendalikan diri, tiba-tiba teriaknya:
"Hei !"
Tapi bocah berbaju merah itu masih juga tidak memperdulikan dirinya. Suara teriakan dari
bocah berbaju putih itu semakin lantang, kembali dia berseru:
°Hei, semenjak kapan kau menjadi tuli?°
Bocah berbaja merah itu berpaling dan memandang sekejap kearahnya, kemudian ia bertanya:
“Eeeh . . . kau lagi berbicara dengan siapa?'
“Dengan kau" jawab bocah baju putih itu gemas.
"Keliru mungkin kau, sebab aku tidak merasa bernama hei !"
Tiba-tiba bocah berbaju putih itu mengenjotkan badannya, dari atas bahu Liu Sam-keng tahutahu
ia sudah berada di atas atap kereta.
"Apapun namamu aku tak ambil perduli, pokoknya ke mari dulu kau!' bentaknya.
Akhirnya dengan ogah-ogahan bocah berbaju merah itu melangkah maju kedepan.
"Sekarang aku sudah datang!' katanya lirih.
'Naik ke mari !”
'Ogah, aku ogah naik ke atas!" tampik bocah berbaju merah itu sambil gelengkan kepalanya
berulang kali.
115
'Kenapa'?
"Bagaimanapun juga tidak mungkin bagiku untuk berkelahi dengan dirimu di atas kepala
guruku"
Lalu setelah tertawa sebentar katanya lagi: "Kau boleh saja tak tahu aturan, tapi aku tak bisa
menuruti cara berandalmu yang tak tak tahu aturan itu!"
Paras muka bocah berbaju putih itu sudah berubah menjadi merah padam, tiba-tiba ia
meloncat turun.
Sebagaimana diketahui, waktu itu hujan baru saja berhenti, bagai manapun sempurnanya ilmu
meringankan tubuh yang dimilikinya. tak urung berlepotan lumpur juga kakinya.
"Adduuh mak!" bocah berbaju merah itu pura-pura berteriak.
"Hei, kenapa kau aduh-aduh?" tegur bocah berbaju putih itu semakin mendongkol.
'Aku lagi aduhkan kakimu itu, manusia terhormat macam kau mana boleh berlepotan lumpur
kakinya?”
Bocah berbaju putih itu kontan saja tertawa dingin.
“Kau tak perlu menguatirkan bagiku, setiap saat aku membawa sepatu cadangan untuk di
tukar! ° katanya.
"Waaah . . . berapa banyak sepatu yang kau miliki?' tanya bocah berbaju merah pura-pura
ingin tahu.
Kembali bocah berbaju putih tertawa dingin.
'Paling sedikit juga mencapai tujuh-delapan puluh pasang!'
'Haaahhh . . . haaahhh . . . baaahhh . . . bagus, bagus sekali!" bocah berbaju merah itu
terbahak-bahak, "hakekatnya sepatumu jauh lebih banyak dari pada sepatu yang dimiliki
permaisuli Nyo Kui-hui!"'
Lalu pura-pura menunjukkan sikap ber sungguh-sungguh, kembali katanya:
'Cuma bagaimanapun juga, aku masih rada kuatir bagimu!”
'Apa lagi yang kau kuatirkan?" tanya bocah berbaju putih itu tak tahan lagi, pucat pias sudah
wajahnya karena gemas bercampur mendongkol.
116
“Aku kuatir kau tak bisa tumbuh lebih tinggi!° kata si bocah berbaju merah.
Sepintas lalu dua orang bocah itu bagaikan pinang dibelah dua, baik wajahnya maupun tinggi
badan dan perawakannya, tapi setelah mereka berdiri bersama, oracg lain baru bisa melihat
dengan jelas bahwa tinggi badan bocah berbaju merah itu dua inci lebih tinggi daripada bocah
berbaju putih itu.
Lagi-lagi bocah berbaju merah berkata:
'Bocah manapun yang kakinya enggan menempel tanah, badannya tak bakal bisa tumbuh
menjadi tinggi, apalagi kau terlalu gampang naik darah . . . wah, wah, sulit . . . sulit . . .”
Bocah yang satu sengaja menggoda bocah yang lain, meski bocah yang digoda telah berusaha
untak menunjukkan gaya dari seorang dewasa, walaupun ia berusaha untuk tidak ribut dengan
bocah yang menggodanya, akan tetapi justru ia tak sanggup mengendalikan emosinya, justru
kata-kata yang ditujukan kepadanya adalah olok-oloknya yang sangat mengena, hampir saja
ia tak bisa mengendalikan diri lagi.
Yaa, sewaktu saling olok mengolok, dua orang bocah kembar itu kelihatan menarik sekali,
tapi begitu mereka mulai turun tangan, tak ada yang merasa menarik lagi.
DUA ORANG BOCAH
DUA orang bocah sedang bermain.
Wajah mereka mirip satu sama yang lain.
Yang satu tertawa terkikik.
Yang lain marah mendelik.
Yang satu naik kuda.
Yang lain naik kaki dua.
0h sayang !
Kalau tahu bersaudara kembar.
Kenapa harus bertengkar ?
117
*****
Senjata yang mereka pergunakan adalah pedang, dua bilah pedang yang sama bentuknya,
sama panjangnya, sama beratnya dan sama bahannya.
Bocah berbaju merah itu memilih sebilah lebih dulu, kemudian berkata: "Kau adalah seorang
ahli dalam ilmu pedang, sudah sepantasnya kalau mengalah tiga jurus untukku."
Tapi kenyataannya, satu juruspun bocah berbaju putih itu tidak mengalah . . . . .
Gerakannya dikala meloloskan pedang jauh lebih cepat daripada gerakan bocah berbaju
merah itu, sewaktu melancarkan serangan, gerakannya juga cepat, dalam sekejap mata ia
sudah melepaskan sebelas buah tusukan berantai.
Bocah berbaju merah itu segera tertawa.
Lagi-lagi . bocah berbaju putih itu terperangkap dalam siasatnya, dia memang sengaja
memancing bocah itu agar melancarkan serangan terlebih dahulu.
Sebab ilmu pedangnya bukan termasuk ilmu pedang yang sanggup merebut kemenangan
dengan kecepatan.
"Dengan tenang mengendalikan gerak, dengan lambat membendung cepat, meski menyerang
belakangan tapi merobohkan lebih duluan", itulah menjadi inti pokok dari ilmu pedang yang
dipelajarinya.
Akan tetapi, ilmu pedang dari bocah barbaju putih itu tidak berhasil dikendalikan olehnya.
Kecepatan, ketepatan serta keganasannya sewaktu melancarkan serangan benar-benar
me-rupakan serangan mematikan yang luar biasa, sedikitpun tidak memberi kesempatan
kepada lawan untuk banyak berkutik.
Walaupun kedua orang bocah itu kelihatan menarik sekali, tapi ilmu pedang yang mereka
miliki jauh lebih menakutkan dari pada apa yang dibayangkan orang sebelumnya.
Siau Tang lo sempat menangkap rasa kaget dan tercengang di atas wajah Sugong Siau-hong,
sambil tersenyum tanyanya:
"Coba lihatlah, bagaimana pendapatmu dengan ilmu pedang yang mereka miliki?"
"Seandainya Pek Siau-seng masih hidup di dunia, ilmu pedang yang dimiliki kedua orang
bocah ini tentu akan tercantum pula dalam deretan nama orang-orang terkenal dalam kitab
catatan senjatanya!"
118
Atau dengan perkataan lain, ilmu pedang yang dimiliki kedua orang bocah itu sudah berhak
untuk tercantum pula dalam deretan nama dari kelima puluh orang jago kenamaan.
Padahal usia mereka sakarang belum lagi mencapai sebelas dua belas tahun.
Tiba tiba Sian Tang lo menghela napas panjang, lalu katanya: "Cuma sayang selamanya
mereka tak mungkin
bisa menjadi jago nomor satu di kolong langit."
"Kenapa?" tanya Sugong Siau-hong keheranan.
"Sebab mereka berdua terlampau cerdik."
"Apa jeleknya menjadi orang cerdik?"
"Untuk menjadi seorang jagoan nomor wahid di kolong langit, kecuali ilmu pedangnya harus
mengungguli orang lain, merekapun harus mempunyai jiwa yang besar serta keberanian dan
niat yang tak pernah lumer atau rontok, agar bisa berhasil mendapatkan kesemuanya itu maka
mereka harus meraihnya dari pelbagai pengalaman dan penderitaan yang luar biasa."
Ia tertawa getir lalu melanjutkan: "Biasanya orang yang terlalu cerdik tak tahan untuk
menerima siksaan dan penderitaan semacam ini, mereka pasti akan menggunakan kecerdikan
otaknya untuk menghindarkan diri dari penderitaan tersebut, lagi pula biasanya mereka selalu
berhasil menghindarinya."
"Barang siapa tidak pernah merasakan penderitaan dan siksaan yang sungguh-sungguh,
selamanya jangan harap ia bisa berhasil dengan sukses" kata Sugong Siau-hong kemudian.
"Yaa, tak mungkin bisa!" Siau Tang lo membenarkan.
"Akan tetapi mereka yang pernah merasakan penderitaan dan siksaan, belum tentu pada
akhirnya bisa menjadi sukses pula."
"Oleh sebab itulah selama puluhan tahun belakangan ini pada hakekatnya dalam dunia
persilatan tak pernah ada orang yang bisa meraih gelar Thian-he tit it ko jiu (jago tangguh
nomor wahid di kolong langit)!"
"Bagaimana pendapatmu dengan See bun kongcu yang pernah bertarung sengit melawan Liok
Siau-hong, Liok tayhiap di puncak bukit Kun lun itu ?"
"Tahukah kau bagaimana akhir dari pertarungan itu?" Siau Tang lo balik bertanya.
119
"Konon mereka berdua sudah terjatuh ke dalam jurang yaug tak terhingga dalamnya keduaduanya
tewas!"
"Seandainya See bun kongcu memang jago tangguh nomor wahid di kolong langit, siapakah
yang sanggup untuk mendesaknya hingga terjatuh ke dalam jurang dan mati bersama?"
Berkilauan sepasang mata Sugong Siau-hong setelah mendengar perkataan itu, katanya lagi:
"Bagaimana pula dengan sahabat yang kini sedang berbaring di dalam peti matinya?"
Siau Tang lo tertawa hambar.
"Apabila dia adalah seorang jago tangguh nomor satu di dunia, bagaimana mungkin keadaan
sekarang bisa berubah menjadi begini?"
Sugong Siau-hong tidak bertanya lebih lanjut.
Dalam beberapa waktu yang amat singkat, kedua orang bocah itu sudah terlibat dalam suatu
pertarungan yang kian lama kian bertambah sengit.
Serangan demi serangan yang mereka lancarkan makin lama semakin berbahaya, bila dilihat
dari cara pertarungan itu berlangsung, akhirnya mungkin akan mengulangi kembali tragedi
yang telah dialami See-bun kongcu serta Liok Siau-hong, yakni kedua belah pihak sama-sama
terluka parah dan tewas.
Akan tetapi keadaan mereka pada saat ini sudah tidak terkendalikan lagi, sebab kedua belah
pihak sama-sama tak mungkin menarik kembali serangannya.
Dalam keadaan yang kritis itulah, tiba tiba . . . "Triiing!" sekilas cahaya putih menyambar
lewat dan mematahkan ujung pedang dari dua orang bocah itu.
Jilid 5________
MENGIKUTI rontoknya kutungan pedang tersebut, rontok pula sebatang tongkat pendek
berwarna putih, tubuh kedua bocah itu segera tergetar keras dan terpisah satu sama lainnya.
Ternyata orang yang berdiri diantara mereka berdua tak lain adalah Liu Sam-keng, si buta
yang tidak melihat apa-apa itu.
Paras muka bocah berbaju putih itu kontan saja berubah menjadi hijau membesi, dengan suara
nyaring bentaknya:
°Hei, apa-apaan kau ini?'
120
Dengan ogah-ogahan Liu Sam-keng memungut tongkat pendeknya dari tanah, lalu dengan
kepala tertunduk dan mulut membungkam ia mengundurkan diri dari situ.
Sambil tersenyum Sian Tang lo segera menegur: 'Liu sianseng. kenapa kau membungkam
saja?°
*Aku tak lebih cuma seorang budak belaka, mana aku berani ikut ambil bicara?° jawab Liu
Sam keng.
Toh mia keng hu, si tukang kentongan perenggut nyawa yang sudah termashur namanya di
kolong langit, mana mungkin bisa menjadi budaknya orang lain?' kata Sian Tang lo lagi
sambil tertawa.
°Dia memang seorang budak,° tiba-tiba mayat hidup itu menyela.
*****
Hingga detik ini, Bu-ki masih belum percaya kalau Liu Sam keng telah mengakui dirinya
sebagai budak orang lain.
Akan tetapi Liu Sam keng serdiri telah mengakuinya, bahkan paras mukanya sama sekali
tidak menampilkan rasa marah atau penasaran.
'Jiwanya, tubuhnya dan darahnya sudah menjidi milikku!° demikian mayat hidup berkata,
setiap saat aku bisa memintanya untuk mati bagiku, putraku pun setiap saat bisa menyuruhnya
untuk pergi mati!'
Paras muka Liu Sam keng tawar dan sedikitpun tiada emosi, katanya pula dengan suara datar:
°Setiap waktu, setiap saat, aku selalu bersiap sedia untuk mati bagi Ho ya!'
'Kalau begitu matilah sekarang juga!' ejek bocah berbaju putih itu sambil tertawa dingin.
Tanpa mempertimbangkan lebih jauh, Liu Sam keng segera mencabut keluar pedang pendek
dalam tongkatnya, lalu menggorok leher sendiri.
Bu ki ingin menerjang maju ke muka dan menolong jiwanya, sayang waktu sudah tidak
mengijinkan lagi.
Mata pedang yang tajam telah merobek lehernya, darah segar segera menyembur ke luar
bagaikan sumber mata air.
Paras muka bocah berbaju putih itu berubah hebat, ia cuma berdiam diri dengan mata
terbelalak
121
`Tahan!' tiba tiba mayat hidup membentak.
Gerakan nekad dari Liu Sam kengpun segera ikut berhenti.
“Sekarang, apakah kau masih menghendaki kematiannya?° tegur mayat hidup dengan suara
dingin .
Tentu saja pertanyaan itu diajukan kepada bocah berbaju putih itu.
Sambil menggigit bibirnya menahan emosi, bocah berbaju putih itu gelengkan kepalanya
berulangkali.
*Bagus sekali!° seru mayat hidup.
Pedang pendek di tangan Liu Sam keng telah terkulai ke bawah, meskipun sebuah mulut luka
yang panjang dan dalam telah muncul di atas tenggorokannya, tapi paras mukanya masih
tetap tenang dan tanpa emosi.
Mayat hidup kembali bertanya kepada bocah berbaju putih itu:
°Sekarang, fahamkah kau bahwa setiap patah kata yang kau ucapkan karena dorongan emosi,
bisa mengakibatkan orang lain mati di tanganmu!”
"'Aku mengerti!'
'Kalau sudah mengerti, itu lebih bagus lagi!°
"Akan tetapi jika lain kali dia masih berani memutuskan ujung pedangku, aku masih akan
menghendaki dia mati!”
°Bagus sekali!'
Rupanya rasa marah dan mendongkol yang menggelora dalam dada bocah berbaju putih itu
belum mereda, dengan suara penasaran kembali ia bertanya:
°Barusan, siapa yang suruh dia turun tangan?°
"Aku!" jawab si mayat hidup.
Jawaban yang sama sekali tak terduga ini kontan saja membuat bocah berbaju putih itu
tertegun.
122
'Lain kali, sekalipun sudah jelas kau tahu bahwa akulah yang suruh dia turun tangan, asal ia
mematahkan kembali pedangmu, kau masih boleh membinasakan dirinya,' kata mayat hidup
lagi.
Kemudian setelah tertawa dingin, ia menambahkan.
'Baik siapapun itu orangnya, asal dia telah mematahkan pedangmu, walau apapun sebabnya,
sekalipun kau tahu bila tidak melepaskan dirinya kau bakal mati, kau harus membinasakan
dulu orang itu . . .”
Sambil membusungkan dadanya, bocah berbaju putih itu segera lantang berkata dengan suara:
"Aku mengerti aku pasti akan melakukannya!°
. . . . Pedang, adalah kehormatan dari seorang pendekar pedang .
. . . . Kehormatan dari seorang pendekar pedang jauh lebih berharga dari pada selembar
nyawa, entah nyawa siapakah itu.
Itulah nasehat serta pelajaran yang telah diwariskan mayat hidup itu kepada si bocah berbaju
putih,
Dia mengharapkan bocah itu bisa menjadi seorang jago pedang yang tiada taranya di dunia
ini, dia ingin menggunakan keberhasilan bocah itu untuk menjadikan kebanggaan baginya.
*****
Tiba tiba Siau Tang lo berkata:
'Kau ke marilah!°
`Tentu saja yang dia panggil adalah bocah berbaju merah itu.
'Apakah pedangmu juga dipatahkan orang?' ia bertanya.
"'Benar!' bocah berbaju merah membenarkan.
°Sekarang apa yang siap kau lakukan?'
'Bagaimanapun juga pedang itu toh mereka yang bawa, mereka mematahkan pedangnya
sendiri”
"Siapakah mereka berdua?, apa pula sangkut pautnya dengan diriku?'
123
'°Seandainya pedangmu sendiri yang dipatahkan orang?' tanya Siau Tang lo lagi.
'Maka aku akan membeli sebilah pedang lagi untuk latihan, aku akan berlatih terus sehingga
orang lain tak mampu mematahkan pedangku lagi' Mendengar jawaban tersebut, Siau Tang lo
segera menengadah dan tertawa terbahak-bahak.
°Haaahhh....haaahhh...haaahhh....bagus, bagus sekali!° pujinya dengan bangga.
Ia menginginkan bocah itu menjadi seorang manusia yang berjiwa besar, jangan dikarenakan
suatu menang kalah yang dideritanya, lantas mempersoalkan masalah sepele itu secara serius.
Apabila tak dapat menjadi seorang laki laki yang jujur dan bijaksana, mana mungkin bisa
menjadi seorang pendekar pedang yang tiada taranya di dunia ini?'
Tanpa sadar Bu ki mulai bertanya pada diri sendiri.
Walaupun hari ini, kedua orang bocah tersebut tak dapat menentukan menang kalahnya,
bagaimana pula dengan dikemudian hari?
Fajar telah menyingsing di ufuk timur, bunyi kokok ayam kedengaran dari tempat kejauhan
sana.
'Fajar sudah hampir menyingsing, kau sudah sepantasnya segera pergi!" kata Siau Tang lo
tiba-tiba.
Hanya mayat hidup yang takut bertemu dengan sinar matahari, mungkinkah mayat tersebut
benar-benar adalah sesosok mayat hidup?
Dengan mata melotot bocah berbaju putih itu mendelik ke arah bocah berbaju merah itu,
katanya kemudian :
'Tahun depan aku pasti berhasil mengalahkan dirimu, tunggu saja tanggal mainnya!'
Bocah berbaju merah itu tertawa: 'Aku tidak mengharapkan apa-apa, aku hanya berharap
tahun depan kau bisa tumbuh lebih tinggian sedikit.”
Kali ini Bu-kl tidak tertawa.
Dia tahu, mayat hidup itu pasti tak akan melepaskan dirinya dengan begitu saja, selama ini dia
sedang menanti terus.
Ternyata apa yang diduganya meleset sama sekali.
124
Mayat hidup itu sudah berbaring kembali ke dalam peti matinya, lalu pejamkan matanya dan
seakan-akan sudah lupa kepadanya.
Tiba-tiba Bu ki menyerbu ke depan, kemudian teriaknya keras-keras:
'Hei, tadi aku sedang mentertawakan dirimu!'
'Aku tahu' jawab si mayat hidup itu, 'aku mengetahuinya cukup jelas, karena kau telah
menyebutnya dua kali'
'Apakah kau akan pergi dengan begitu saja?l
'Apakah kau memaksa aku untuk membunuh dirimu?' si mayat hidup balik bertanya.
" Benar!'
Akhirnya si mayat hidup itu membuka kembali matanya, bagaimanapun juga belum pernah
ditemui di dunia ini bahwa ada orang ingin mencari mati, maka barang siapapun jua yang
men-dengar perkataan itu dia pasti akan membuka matanya serta menengoknya sebentar.
°Aku tahu, kau tidak bersedia turun tangan karena pada hakekatnya kau tidak memandang
sebelah matapun kepadaku' teriak Bu ki keras-keras, 'hidup sebagai seorang manusia di dunia,
apa artinya kehidupan itu jika ia dipandang rendah dan hina oleh orang lain?°
'Jadi kau tidak takut mati?”
°Sebagai seorang lelaki sejati kenapa aku musti takut menghadapi kematian, padahal waktu
dilahirkanpun aku tikak takut dan mengharapkan itu . . . .?”
Si mayat hidup menatapnya lekat lekat, dari balik sepasang matanya tiba-tiba memancarkan
sinar tajam yang menggidikkan hati.
Bu ki melirik pula kearahnya, ia tidak tampak takut atau jeri, bahkan niat untuk mundurpun
tak ada.
Dengan dingin mayat hidup itu berkata lagi:
'Jika kau benar benar ingin mati, selewatnya bulan purnama nanti datang saja ke bukit Kiuhoa-
san, aku pasti akan memenuhi harapanmu”
'Aku pasti akan ke sana! jawab Bu ki dengan segera tanpa berpikir panjang lagi.
*****
125
Sepasang mata si mayat hidup itu kembali dipejamkan, penutup peti matipun sudah
ditutupkan kembali di tempatnya semula . . . . . mayat yang bangkit dan hidup kembali, pada
umumnya akan balik kembali ke neraka sebelum fajar menyingsing.
Si bocah berbaju putih itu masih saja mendelik ke arah si bocah berbaju merah dengan penuh
kemarahan, tiba-tiba ia berseru:
°Dapatkah kau lakukan sebuah pekerjaan bagiku?'
'Pekerjaan apa?'
'Hari ini pada tahun depan, dapatkah kau bersihkan dulu seluruh badanmu . . . ?"
Selesai mengucapkan kata kata itu dia lantas melompat naik ke atas peti mati dan duduk
bersila di situ. Para lelaki berbaju hitampun segera menggotong peti mati tersebut, diiringi
bunyi kentongan dari si tukang kentongan pemutus nyawa mereka berjalan ke luar dari hutan
itu dan tiba-tiba saja lenyap di antara remang-remangnya cuaca dan tebalnya kabut menjelang
pagi.
Bocah berbaju merah itu masih memandang ke depan dengan termangu-mangu, seolah-olah
dia masih ingin mencari si bocah berbaju putih itu untuk diajak berkelahi.
Bu-ki sedang memperhatikan pula tingkah lakunya itu, lalu sengaja ia menghela napas seraya
berkata:
'Aaaaai . . . . tampaknya kalian benar-benar memang sepasang bocah kembar yang menarik
hati!"
Suatu perubahan mimik wajah yang sangat aneh melintas di atas wajah si bocah berbaju
merah itu, tiba tiba ia menggelengkan kepalanya.
'Kami bukan musuh bebuyutan, sesungguhnya kami adalah saudara kembar, seandainya aku
tidak dilahirkan setengah jam lebih duluan darinya dia adalah kakakku!'
Ternyata mereka berdua adalah saudara kembar.
Ternyata Sian Tang lo dan si mayat hidup telah menggunakan murid-muridnya untuk
mengadu kepandaian silat mereka, agar terjamin kehebatannya tentu saja mereka harus
mencari dua orang bocah yang sama bakatnya, sama usianya dan sama pula kecerdasan
otaknya.
Saudara kembar pada hakekatnya memang merupakan suatu pilihan yang paling tepat.
126
Walaupun demikian, meski dua biji yang sama bila ditanam dan dibesarkan dalam suasana
lingkungan yang berbeda, belum tentu akan meng hasilkan pula bunga yang sama.
Bu ki diam-diam menghela napas di hati, ia merasa nasib dari kedua orang saudara kembar itu
kurang baik, takdir yang kejam mengharuskan mereka berpisah bahkan saling bermusuhan.
Tiba-tiba bocah berbaju merah itu tertawa.
'Apa lagi yang kau tertawakan? Lagi-lagi sedang mentertawakan diriku . . . ?' tegur Bu-ki
Bocah berbaju merah itu menggelengkan kepalanya berulang kali.
"Kali ini aku sedang mentertawakan diriku sendiri, aku selalu salah menilai dirimu', katanya.
“O, ya?°
“Aku selalu menganggap kau rada bodoh dan ketolol-tololan, tapi sekarang aku baru tahu
ternyata kau jauh lebih pintar dari siapapun juga..!'
Sepasang matanya dibelalakkan lebar lebar, kemudian sambungnya lebih lanjut.
“Sewaktu kau akan pergi mencari si mayat hidup itu, bukankah kau telah menduga bahwa dia
tak akan turun tangan kepadamu dan orang lain pun, tak akan membiarkan ia membunuhmu?”
Bu ki tidak menjawab, dia hanya membungkam dalam seribu basa.
Kelihatanlah sekarang kalau kaupun tidak mempunyai keyakinan yang sungguh-sungguh
aman.° kata bocah berbaju merah itu lebih jauh. 'Kau pernah bertaruh uang?° tiba tiba Bu ki
bertanya.
Si bocah berbaju merah itu melirik sekejap ke arah gurunya. kemudian berbisik:
`Secara diam-diam aku pernah bertaruh!°
'Kalau begitu kau harus tahu, jika kau ingin memenangkan uang milik orang lain maka diri
sendiripun harus berani berspekulasi.°
Ia tertawa lebar, lalu terusnya : "'Dalam kehidupan manusia di dunia ini, banyak persoalan
adalah sama dengan bertaruh di meja judi, bila kau tak berani berspekulasi maka jangan harap
kau bisa memperoleh apa yang kau inginkan . . .'
Fajar telah menyingsing.
127
Pohon-pohon besar yang tercabut semalam kini sudah berdiri kembali seperti sedia kala,
benda-benda yang kotor dan memenuhi permukaan tanah kinipun telah dibersihkan.
Bila kemarin pagi ada orang berkunjung ke situ dan pagi ini datang kembali ke sana, dia tidak
akan mengetahui bahwa di tempat tersebut semalam telah berlangsung banyak sekali
peristiwa yang seram, aneh dan mendebarkan hati .. . . .
Apa yang telah terjadi bukan dongeng, melainkan suatu peristiwa yang benar benar telah
terjadi.
Siau Tang lo menitahkan orang untuk buatkan sepoci teh Thi koan im dari bukit Bu gi, lalu
sambil tersenyum katanya:
'Kejadian ini bukan suatu keajaiban, di dunia hakekatnya tidak terdapat keajaiban, seandainya
ada, jelas itupun hasil bikinan manusia sendiri ....°
Di balik setiap ucapannya selalu membawa nada falsafah hidup yang membuat orang mau tak
mau harus meresapinya sedikit demi sedikit.
“Hanya makhluk yang disebut manusia yang dapat menciptakan keajaiban,° kembali katanya,
“menggunakan daya ciptanya, kecerdasannya serta kemampuannya untuk berkarya apapun
bisa dibuat olehnya, apalagi kalau ini ditambah dengan latihan yang ketat serta . . . .”
"Serta uang emas yang melimpah !° sambung Bu-ki.
Siau Tang lo segera mendongakkan kepalanya dan tertawa terbahak bahak.
"Haaahhh . . . haaahhh. . . . luaaahhh . . . benar, benar sekali, tentu saja uang emas selamanya
merupakan benda yang tak boleh ketinggalan dalam usaha untuk melakukan apapun jua.'
"Untungnya uang emas masih bukan merupakan benda kebutuhan utama yang paling
dibutuhkan oleh umat manusia," kata Sugong Siau-hong pula, “dan belum tentu semua orang
yang punya uang dapat melakukan apa yang hendak kau lakukan itu.'
Setelah berhenti sejenak, ia menambah-kan: °Uang seperti juga sebilah pedang, harus
diperhatikan dulu berada di tangan siapakah benda tersebut !°
Ternyata di balik ucapan tersebut terkandung arti falsafah hidup yang amat mendalam.
Akan tetapi Bu ki tak ingin memutar otaknya untuk mendalami makna dari kala-kata tersebut.
Sebab kedatangannya ke situ bukan untuk mendengarkan kuliah mengenai falsafah hidup dari
orang lain.'
128
Siau Tang lo seolah-olah dapat menebak suara hati tamunya, tiba-tiba ia berkata:
'Aku mengerti, bukankah kau ingin pergi?'
Bu ki segera bangkit berdiri, ia menggunakan gerakan badan sebagai jawaban dari pertanyaan
itu.
"Aku pikir kau pasti akan mendatangi bukit Kiu hoa san !" kembali Siau Tang lo berkata.
'Aku pasti akan berkunjung ke sana !°
"Bukit Kini hoa san berada di selatan kota Lang yang, sebelah barat kota Ciu boh,
berhubungan dengan Ngo si toa thong di utara dan berdempetan dengan bukit Siang liong
hong di timur, ada empat puluh delapan puncak bukitnya yang ternama, selain itu terdapat dua
sumber mata air, empat belas tebing, lima gua, sebelas puncak dan delapan belas sumber air
bawah tanah, tempat tersebut adalah suatu tempat yang besar, besar sekali . . . .”
"Aku tahu !°
"Kalau sudah tahu, kenapa tidak kau tanyakan ke manakah dia akan pergi . . . . ?"
"Aku tidak perlu bertanya.”
'Kau saaggup menemukan dirinya?"
"Aku pasti berhasil menemukannya
Tiba-tiba pemuda itu bertanya lagi:
'Seandainya kau ingin mendaki sebuah bukit, dan kau suruh gunung itu mendekat, dapatkah
gunung itu menghampiri dirimu,"
“Tidak dapat !°
Lantas apa yang harus kau lakukan?"
°Tentu saja aku yang mendatangi bukit!" Kata Siau Tang lo.
°Seringkali kugunakan cara ini untuk melakukan pekerjaanku, bila aku tidak dapat
me-nemukannya, aku bisa mencari akal agar dia yang datang mencariku.°
Bu ki telah pergi.
129
Apabila dia berniat untuk pergi, jarang sekali ada orang yang bisa menghalangi kepergiannya
itu . . . bahkan hampir boleh dibilang tak seorang manusiapun dapat menghalangi niatnya.
Memandang hingga bayangan tubuhnya pergi menjauh, Siau Tang lo baru bertanya:
'Kau mengatakan pemuda itu bernama Tio Bu ki?"
'Benar!' Sugong Siau-hong manggut-manggut.
°Tampaknya dia pun seorang manusia yang amat pintar!"
°Yaa, dia memang seorang yang pintar!"
°Tapi aku lihat dia seperti juga mempunyai banyak persoalan hati yang tak mampu
dipecahkan, orang cerdik tidak seharusnya memiliki begitu banyak persoalan yang mencekam
di hatinya.'
'Aku mengharapkan kedatangannya ke mari karena aku ingin agar dia berubah menjadi jauh
lebih cerdik.'
Kemudian katanya lebih jauh: °Satu-satunya persoalan hati yang tak terpecahkan olehnya
adalah karena hingga sekarang ia masih belum berhasil menemukan jejak musuh besar-nya . .
. ."
"Siapakah musuh besarnya?'
"Sangkoan Jin!"
°Apakah manusia emas yang terbuat dari emas murni itu?'
" Benar!'
Siau Tang lo segera menghela napas panjang.
"Aaaaai . . tampaknya dia memang masih kurang pintar, dengan ilmu silat yang dimilikinya,
asal ia mampu menahan sepuluh jurus serangan dari Sangkoan Jin hal ini sudah tidak mudah!'
"Sebab itulah aku suruh dia ke mari, agar dia tahu bahwa dunia persilatan penuh dengan
manusia-manusia pintar yang tak terhitung jumlahnya, agar dia tahu bahwa ilmu silat yang
dimilikinya masih belum cukup untuk berkelana dalam dunia persilatan, apalagi pergi
membalas dendam?'
Tiba-tiba ia menghela napas pxojing, lalu katanya lagi:
130
'Aaaai...! Tapi sekarang aku baru tahu bahwa aku keliru besar!"
"Di manakah letak kesalahanmu itu! tanya Siau Tang-lo.
“Aku tidak seharusnya menyuruh dia datang ke mari!”
“Kenapa?°
°Sangkoan Jin licik dan banyak tipu muslihatnya, setelah dia mengambil langkah seribu dan
kabur ke ujung langit, untuk menemukan kembali jejaknya hal ini akan jauh lebih sukar dari
pada mendaki ke langit."
°Bukankah itu berarti Bu-ki tetap akan mengalami kesulitan untuk menemukan jejaknya?°
°Yaa, tapi sekarang Bu-ki telah berkenalan pula dengan Samwan Kong ....!" keluh Sugong
Siau-hong.
Apabila Samwan Kong hendak mencari jejak seseorang, kendatipun orang itu bersembunyi di
ujung langit, ia tetap akan menemukannya kembali...
Hal ini bukan hanya berita sensasi belaka, tapi memang demikianlah kenyataannya.
Kembali Sugong Siau-hong berkata:
"Sangkoan Jin sudah berpengalaman dalam menghadapi beratus ratus kali pertempuran, baik
tenaga dalamnya maupun tenaga luarnya telah mencapai puncak kesempurnaan, pada
hakekatnya Bu-ki sama sekali tidak mempunyai keyakinan untuk bisa menghadapinya,
sekalipun ia tahu di manakah musuhnya berada, belum tentu ia berani bertindak secara
sembarangan dan gegabah ....''
'Bagaimana sekarang?° tanya Siau Tang lo.
Sekarang ia telah memiliki keleningan emasmu, diapun mempunyai sepatah kata janji dari
sahabat yang berdiam dalam peti mati tadi."
°Ehmm. ..! Apabila ia benar-benar berkunjung ke bukit Kiu-hoa-san, jikalau tidak sampai
mampus di ujung pedang sahabat yang menyebut dirinya Kin Yu ho tersebut, sedikit banyak
pasti ada kebaikan yang berhasil dinikmatinya.°
Sugong Siau-hong tertawa getir.
"Sebab itulah nyalinya pasti akan bertambah besar!' keluhnya.
°Tapi kejadian ini bisa pula dikatakan sebagai nasibnya yang memang bagus!°
131
“Aaaai.. tapi kami tidak berharap ia bisa mempunyai nasib mujur seperti itu,' kata Sugong
Siau-hong lagi sambil menghela napas.
'Aku jadi teringat kembali dengan ucapan seorang manusia pintar dijaman dulu kala."
“Apa yang dia katakan?"
`Ia bilang bagaimanapun cerdiknya seseorang, atau bagaimanapun beraninya orang itu, ia
masih kalah jauh bila dibandingkan dengan seseorang yang pada dasarnya mempunyai nasib
yang baik.'
Kemudian setelah tersenyum katanya lagi
`Setelah Bu-ki memiliki nasib sebaik dan semujur ini, apa lagi yang perlu kau kuatirkan?*
Sugong Siau-hong tidak berkata apa-apa lagi, namun wajahnya kelihatan tambah murung dan
masgul, seakan-akan dalam hatinya tersimpan suatu rahasia besar yang tidak ia uarkan kepada
siapapun.
JUDI
MAKAN dan berahi adalah watak manusia.
Ucapan itu berarti bahwa setiap orang harus makan, setiap orang harus pula melakukan
"pekerjaan" yang telah diwariskan oleh leluhurnya turun temurun . . . . entah dia merasakan
kesenangan dan kenikmatan ataupun tidak . . .°
Oleh karena itulah disetiap tempat pasti ada rumah makan, disetiap tempat pasti pula ada
perempuan yang hanya menjadi milik seorang lelaki saja, tapi ada pula perempuan yang bisa
dibeli oleh setiap pria.
Selain dari pada itu ada pula sebagian perempuan yang hanya bisa dibeli oleh sebagian pria
saja . . . sebagian pria yang mempunyai uang agak banyak dan sebagian pria yarg rela
mengeluarkan uang lebih banyak.
Kecuali 'Makan dan perempuan', konon makhluk yang disebut manusia itu masih memiliki
pula watak judi
Atau paling sedikit manusia yang mempunyai watak 'berjudi" jauh lebih banyak dari pada
manusia yang tidak memiliki watak tersebut.
Ada banyak manusia yang seringkali berjudi di dalam rumah, entah di rumah sendiri, entah
pula di rumah teman.
132
Sayangnya berjudi di rumah biasanya kurang begitu leluasa, kadangkala si bini kurang senang
hati, kadangkala konsentrasi dibuyarkan jeritan anak-anak yang berkelahi, kadangkala susah
juga mencari partner yang mau diajak berjudi.
Untungnya di dunia ini selalu tersedia suatu tempat yang tak akan membuat kau merasakan
ketidak leluasaan tersebut . . . .
Dan tempat itu tak lain adalah rumah perjudian.
Oleh karena itu di setiap tempat tentu akan kau jumpai rumah perjudian . . . .
Adakah rumah perjudian yang terletak di atas tanah, ada yang terletak di bawah tanah, ada
pula rumah perjudian yang terbuka untuk umum, ada yang tidak terbuka untuk umum, ada
yang besar jumlah taruhannya tapi ada pula rumah perjudian dengan taruhan yang kecil.
Tapi bila kau sampai berjudi di tempat semacam itu, maka setiap saat kemungkinan besar
binimupun akan kalah bertaruh dan ikut tergadaikan.
Di dalam beberapa kota yang agak besar, di balik rumah-rumah perjudian yang agak besar
jumlah taruhannya, belakangan ini telah muncul seorang penjudi yang amat mujur.
Dalam istilah rumah perjudian si penjudi yang mujur biasanya diartikan sebagai penjudipenjudi
yang berhasil menarik keuntungan duri meja perjudian, atau istilah lain disebut
'°pemenang °.
Terlepas dari apapun yang dikatakan orang lalu tentang "'Judi", sedikit banyak selalu ada
orang yang berhasil mendapatkan keuntungan dari meja perjudian, meski jumlahnya itu cuma
beberapa tahil atau bahkan sanpai ratusan atau ribuan tahil perak.
Sekalipun jumlah orang yang kalah di meja judi jauh lebih banyak kau temui di rumah rumah
perjudian tersebut, tapi seringkali kau akan temukan juga para pemegang itu.
Cuma saja, pemenang yang akan diceritakan di sini mempunyai beberapa keistimewaan . . .
Dia hanya berjudi dadu.
Setiap kali dadu-dadu itu berada di tangannya lalu ditebarkan ke meja, maka angkanya selalu
'enam, enam, enam.'
Itu berarti “Lak-pa!'
Lak-pa, merupakan angka tertinggi dalam judi dadu, menurut penilaian dari sementara
penjudi ulung dan penjudi berpengalaman, kira-kira orang harus melemparkan sembilan puluh
laksa kali gundu sebelum bisa mendapatkan angka keramat tersebut.
133
Bahkan ada pula yang berjudi selama hidupnya, setiap hari berjudi, setiap hari melemparkan
dadu akan tetapi belum pernah ia berhasil mendapatkan angka 'keramat° tersebut.
Tapi si mujur itu, bukan saja dapat meraih angka keramat tersebut, bahkan setiap kali
melemparkan dadunya, ia selalu berhasil mendapatkan angka "enam, enam, enam* tersebut.
Tio Bu-ki menghela napas panjang.
'Jangan-jangan dia adalah seorang Long tiong?° banyak orang yang mulai curiga.
Istilah 'Long - tiong° di arena meja judi bukan berarti si Tabib yang memeriksa orang sakit,
melainkan istilah orang yang selalu menipu di meja judi dengan menggunakan permainan
kotor.
Tentu saja Long-tiong yang sesungguhnya tidak akan berbuat sedemikian brutal sehingga
menimbulkan sensasi, apa lagi menarik perhatian begitu banyak orang.
Sebab perbuatan semacam itu merupakan pantangan terbesar bagi setiap long-tiong.
Long-tiong yang sebenarnya tak akan melanggar pantangan tersebut, andaikata angka tiga
yang berhasil kau capai dalam pelemparan dadumu, maka paling banyak dia hanya
mengeluarkan angka lima saja dalam giliran pelemparan dadunya.
bukankah angka lima sudah dapat menangkan angka tiga?
Bagi seorang Liong- tiong yang sesungguhnya, asal ia dapat menangkan uang mu, hal ini
sudah lebih dari cukup baginya.
Kadangkala bahkan ia sengaja akan pura-pura kalah satu-dua kali, sebab ia takut kau tak
berani bertaruh lagi.
Berbeda dengan si mujur ini, dia belum pernah kalah walau satu kalipun . . . .
Asal ia menebarkan dadu-dadunya maka angka yang berhasil di raih tentu tiga angka enam,
belum pernah ia dapatkan angka kurang dari itu.
*****
'Benarkah terdapat seorang manusia macam begini?”
"Benar!”
"Benarkah setiap kali melemparkan dadunya ia selalu berhasil meraih tiga angka enam?"
134
'Benar!"
"Apakah kau menyaksikan dengan mata kepala sendiri?"
'Bukan cuma aku yang menyaksikan sendiri, banyak orang juga melihat hal itu."
"Dengan cara apakah ia malemparkan dadu-dadu itu?'
"Ya, begini! Dia pegang ketiga biji dadu tersebut kemudian ditebarkan dengan seenaknya."
"Tidakkah kau lihat gerakan tangan yang dipergunakan orang itu ...."
"Bukan aku saja yang tidak mengetahuinya, bahkan Toa-you pun tidak tahu .... !"
Toa-you she Thio, dia adalah seorang penjudi ulung yang amat tersohor, ia pernah menangkan
sisa setahil perak yang dimiliki sahabat yang besar bersamanya itu dengan hanya mengundang
sababatnya itu untuk minum semangkuk wedang tahu.
Orang-orang yang pada mulanya masih menaruh curiga kepada si mujur tersebut, sekarang
sudah tidak curiga lagi.
"'Bila Toa-you pun tidak mengetahuinya, siapa lagi yang dapat mengetahuinya . . . . . ?°
demikian orang-orang berpendapat.
°Yaa, siapa lagi? Tentu saja tak ada yang lain!'
"Masa sejak dilahirkan orang itu memang ditakdirkan menjadi orang yang mujur? Orang yang
memang sudah takdir menjadi pemenang?"
°Aaaaai . . . sukar untuk dikatakan!°
"Bila ia benar-benar mempunyai nasib sebaik ini, aku bersedia untuk memotong sepuluh
tahun usiaku untuk mendapatkan nasib yang sama dengannya.'
`Jangankan baru sepuluh tahun, aku bersedia umurku duapuluh tahun lebih pendek.'
"Aaaaai . . . !' dan orangpun hanya bisa menghela napas.
"Aaaai!" adalah tanda orang sedang menghela napas.
Bukan menghela napas lantaran dirinya tidak memiliki rejeki sebaik itu, sedikit banyak timbul
juga perasaan kagum dan iri di hati masing-masing orang.
135
'Kau pernah bertemu dengannya?"
"Tentu saja pernah bertemu!°
'Manusia macam apakah dia?'
°Seorang pemuda yang masih muda belia dan berwajah tampan, konon dia dari keluarga
orang kaya, dan sekarang tentu uangnya sedemikian banyak sehingga ia sendiripun tidak tahu
bagaimana caranya untuk menghambur-hamburkan uang tersebut."
"Tahukah kau siapa nama orang itu?"
*Aku dengar ia bernama Tio Bu-ki!"
*****
Gedung ini merupakan sebuah gedung model kuno yang sudah di makan usia, dipandang dari
luar, bentuknya mirip sekali dengan sebuah kelenteng desa.
Tapi bagi orang yang berpengalaman, mereka tahu bahwa bangunan kuno itu bukan kuil desa
melainkan sebuah rumah perjudian.
Sebuah rumah perjudian paling besar yang tiada tandingannya di sekitar limaratus li seputar
daerah tersebut.
Seperti juga rumah-rumah perjudian lainnya, tauke pemilik rumah perjudian inipun
merupakan seorang komandan dari suatu perkumpulan rahasia. Ia she Cia, kebanyakan orang
menyebutnya sebagai Cia toaya, sedang sahabat-sahabat yang agak akrab hubungannya
menyebut dia sebagai Lo-cia, oleh karena itu nama sebenarnya dari orang ini kian lama kian
tidak diketahui oleh orang.
Bagi seorang tauke yang menyelenggarakan sebuah arena perjudian besar, nama dan she
bukan suatu hal yang terlalu penting baginya.
Meskipun ia she Cia, namun tak ada orang yang berani berbuat curang di rumah perjudiannya,
kalau tidak maka tukang-tukang pukul yang dipeliharanya itu dengan amat sungkan akan
mem-persilahkan orang itu untuk ke luar dari ruangan.
Menanti orang itu tersadar kembali dari rasa sakit di sekujur badannya, seringkali ia akan
menjumpai tubuhnya sedang terkapar dalam sebuah selokan dengan air pecomberannya yang
sangat bau.
Kemudian dia akan menemukan juga bahwa tiga biji tulang iganya sudah patah.
136
*****
Ruang dalam dari bangunan tersebut sudah barang tentu jauh lebih megah dan mentereng dari
pada bentuk luarnya, tempat itupun jauh lebih menawan hati.
Ditengah ruangan besar yang terang benderang bermandikan cahaya kelihatan begitu banyak
manusia dari pelbagai lapisan masyarakat yang saling bardesak-desakan, tumpukan uang
kertas, tumpukan uang perak dan uang emas berpindah dari satu tangan ke tangan yang lain
mengikuti menggelindingnya dadu-dadu tersebut.
Diantaranya tentu saja sebagian besar masuk ke tangan sang bandar pada akhirnya, maka
tangan si bandar selamanya tetap kering, tenang dan mantap.
Tio Bu-ki dengan mengenakan satu stel baju baru yang indah, pelan-pelan menembusi
hembusan angin malam yang sejuk dan nyaman melangkah masuk ke dalam ruang besar yang
benderang dan mentereng itu.
Pada mulanya ia merasa sedikit kegerahan, tapi suasana panas dalam ruangan tersebut dengan
cepat membuat ia melupakan segala sesuatu yang kurang menyenangkan itu.
Untuk memasuki ruang besar ini, prosedurnya tidak termasuk terlalu gampang.
Tentu saja diapun harus diajak datang oleh seorang "sahabat" yang cukup berpengalaman, dia
harus menghamburkan uang sebesar limapuluh tahil perak dan suatu perjamuan makan malam
yang mewah dan megah untuk berkenalan dengan sahabat ini.
Pakaian yang baru dan pas membuat ia tampak lebih mentereng, lebih tampan dan perlente,
persis saperti seorang kongcu romantis yang kelebihan uang saku.
Pada umumnya manusia-manusia semacam inilah yang paling menarik perhatian orang lain
walau ke manapun kau pergi.
Apalagi belakangan ini ia berhasil pula mendapatkan suatu julukan istimewa yang belum
pernah ada dari rumah-rumah perjudian...Heng-in-pacu (si macan tutul yang mujur)!
Itulah julukan yang diam-diam dihadiahkan oleh para penjudi kepadanya, karena ia khusus
pandai melemparkan tiga angka enam dalam permainan judi dadu.
Biasanya para penjudi tidak menetap di suatu tempat tertentu, mereka biasa berpindah-pindah
tempat dari satu rumah perjudian ke rumah perjudian yang lain. Tidak heran kalau diantara
penjudi-penjudi yang berada dalam rumah perjudian tersebut ia jumpai pula para penjudi yang
pernah dijumpainya di rumah perjudian lain.
137
Belum lama ia melangkah masuk ke dalam rumah perjudian tersebut, suasana gaduh sudah
menyelimuti seluruh ruaugan, suara bisikan dan kasak kusukpun kedengaran di mana-mana.
"Si macan tutul yang mujur telah datang!" demikian orang-orang mewartakan kehadirannya.
"Coba terka, hari ini dapatkah ia melemparkan tiga angka enam lagi dalam pelemparan
dadunya?" "Apakah kau ingin bertaruh denganku?"
"Bagaimana bertaruhnya?"
"Kugunakan seratus tahil perak untuk mempertaruhkan limapuluh tahil perakmu, aku
memegang ia masih bisa mendapatkan angka tiga kali pada hari ini."
"Hey, mengapa kau seyakin itu?"
"Karena aku sudah menyaksikan ia melemparkan dadunya sebanyak sembilan kali!"
"Apakah sembilan kali ia selalu berhasil meraih angka enam tiga kali?"
"Yaa, sembilan kali selalu tiga angka enam!"
*****
Orang-orang yang sedang mengerubung di sekitar meja perjudian terbesar dalam ruangan itu
tiba-tiba menyingkir ke samping dan mempersilahkan Bu-ki berjalan lewat.
Setiap orang mengalihkan perhatian mereka ke tangannya.
Sesungguhnya kekuatan hitam apakah yang dimiliki sepasang tangannya itu? Kenapa setiap
kali ia dapat melemparkan tiga angka enam?
Jari-jari tangannya kelihatan begitu ramping, panjang dan bertenaga, kukunya terawat rapi
dan bersih, tampaknya tidak jauh berbeda dengan jari-jari tangan orang lain.
Pemilik sapasang tangan itupun kelihatannya masih begitu muda, begitu tampan dan
terpelajar lagi.
Terserah bagaimanakah pandanganmu terhadap pemuda tersebut, ia sama sekali tidak mirip
seperti seorang Long-tiong, seorang penjudi yang bermain curang dalam perjudiannya.
Semua orang benar-benar tidak berharap bahwa ia dipersilahkan ke luar oleh tukang-tukang
pukul yang mulut tersenyum, kulit tidak ikut tersenyum itu.
138
Dalam hati kecil setiap penjudi selalu berharap, agar mereka dapat menyaksikan seorang
pahlawan yang dapat menguras habis harta kekayaan dari sang bandar.
Begitulah, dibawah tatapan beratus-ratus pasang mata, Bu-ki melangkah masuk ke dalam
ruangan dengan senyuman dikulum, seperti seorang bintang tenar yang sedang naik ke
panggung kehormatan,
Ia memperlihatkan sikap yang begitu tenang dan wajar, begitu tebal rasa percayanya pada diri
sendiri, seakan-akan ia merasa yakin bahwa penampilannya kali inipun tak bakal gagal.
Sang bandar mulai merasa tegang, lamat-lamat peluh sebesar kacang kedelai telah membasahi
jidatnya.
Bu-ki tersenyum tenang, katanya dengan lembut. "Apakah meja ini adalah meja perjudian
dadu?"
Tentu saja ucapannya benar.
Sebab di tengah meja terdapat sebuah mangkuk besar, tiga biji dadu tergeletak dalam
mangkuk tersebut dan memantulkan sinar tajam ketika tertimpa cahaya lampu.
Kembali Bu-ki bertanya lagi.
"Apakah disinipun tidak membatasi besar kecilnya jumlah taruhan?" Sang bandar belum
men-jawab, orang-orang disekitarlah telah menimbrung, "Di tempat ini tak pernah membatasi
jumlah besar kecilnya taruhan!"
"Akan tetapi di tempat ini hanya bertaruh dengan uang kontan serta uang-uang kertas dari San
see-piau-hau, bila hendak bertaruh dengan perhiasan atau mutiara maka benda-benda itu
musti ditukarkan dulu dengan uang uang kontan."
"Bagus sekali!"
Sambil tersenyum Bu-ki merogoh sakunya dan mengeluarkan setumpuk uang kertas,
semuanya uang kertas keluaran bank terkenal pada jaman itu. Katanya kemudian:
"Pertama kali ini aku akan bertaruh sepuluh laksa tahil lebih dahulu!"
*****
Pepatah kuno berkata: "Uang berada di meja judi, manusia berada di meja pengadilan."
139
Artinya, bila seseorang sudah berada di meja pengadilan maka ia tak bisa dianggap sebagai
se-orang manusia lagi, sebaliknya bila uang sudah berada di meja perjudian, maka uang
tersebut tak bisa dianggap sebagai uang yang bisa dihambur-hamburkan lagi.
Akan tetapi, bagaimanapun juga sepuluh laksa tetap merupakan sepuluh laksa, bukan sepuluh
laksa tahil besi tembaga, melainkan sepuluh laksa tahil perak.
Apabila uang yang sepuluh laksa tahil perak itu dipergunakan untuk menindih orang, paling
sedikit bisa menindih mati beberapa orang….
Suasana dalam ruang perjudian kembali terjadi kegaduhan, para penjudi yang sebelumnya
sedang berjudi di meja lain, kini berdatangan semua ke situ dan mengerubung meja judi
tersebut untuk menonton keramaian.
Sang bandar mulai mendehem, kemudian bertanya:
"Apakah kau pertaruhkan uangmu sekaligus dalam sekali lemparan?” .
Bu ki mengangguk sambil tersenyum.
°Masih ada orang lain yang ikut bertaruh?" teriak sang bandar.
Tiada yang menyahut.
°Bagus!' kata bandar itu lagi, "bila dua orang bertaruh, maka siapa yang berhasil meraih
enam, tiga kali lebih dulu, dialah yang menang."
"Siapa yang akan melempar dulu?" tanya Buki lembut.
Butiran keringat sebesar kacang sudah membasahi ujung hidung sang Bandar, setelah
men-dehem beberapa kali, akhirnya meluncur juga sepatah kata yang sesungguhnya enggan ia
ucapkan:
'Kau!'
Jika terjadi pertaruhan yang melibatkan dua orang, maka bandar akan selalu mengalah buat
tamunya. Hal ini sudah merupakan peraturan di dalam setiap rumah perjudian, tidak
terkecuali pula rumah perjudian di tempat ini.
Dengan senyuman dikulum Bu ki mengambil ketiga biji dadu itu kemudian dilemparkan
sekena-nya ke dalam mangkuk.
Ketika dadu-dadu itu mulai berputar, orang-orang yang berada disekitar meja perjudian itu
mulai berteriak memberi angin kepadanya:
140
'Enam tiga kali !°
Macan tutul besar !"
Teriakan-teriakan itu belum sirap, biji-biji dadu itu sudah berhenti berputar, betul juga, angka
dadu menunjukkan enam tiga kali . . . .
macan tutul besar !
Suara teriakan-teriakan itu seketika berubah menjadi tempik sorak yang gegap gempita,
se-demikian kerasnya sorak sorai tersebut membuat atap rumah nyaris ikut ambruk.
Sang bandar mulai menyeka keringat, makin diseka makin banyak keringat yang bercucuran.
Bu-ki sama sekali tidak memperhatikan dadu-dadu dalam mangkuk tersebut, seakan-akan
hasil yang dicapainya itu sudah berada dalam dugaannya semula.
Seakan-akan ia sudah mengetahui sejak awal bahwa dadu-dadu yang dilemparkan itu sudah
pasti akan menunjukkan tiga angka enam.
*****
Sang bandar sudah mulai menghitung uang untuk membayar pertaruhan tersebut, tapi
sepasang matanya justru masih juga celingukan ke sana ke mari dengan liarnya.
Pada saat itulah sebuah tangan mampir di atas bahu Bu-ki, sebuah tangan yang besar dan
kasar, punggung tangan penuh dengan otot-otot hijau yang menonjol ke luar, keempat buah
jarinya hampir mempunyai ukuran yang sama panjangnya, jari itu kelimis tanpa kuku barang
secuwil-pun.
Sekalipun seseorang yang tak pernah berlatih ilmu silat, juga akan mengetahui bahwa tangan
tersebut pasti sudah pernah digunakan untuk melatih ilmu Thiat sah ciang (pukulan pasir besi)
-atau sebangsanya.
Sekalipun seseorang yang belum pernah merasakan kerasnya pukulan tangan itu, mereka pasti
dapat pula membayangkan bahwa akibat dari pukulan itu pasti sangat tak sedap.
Sorak sorai dan suara tertawa yang gegap gempita seketika sirap dan lenyap dengan begitu
saja, suasana menjadi hening, sepi dan tak kedengaran sedikit suarapun.
Hanya satu orang yang masih tertawa, sambil senyum senyum katanya kepada Bu ki: "Toaya,
kau she apa?" "Aku she Tio!" 'Oooh . . . .! Rupanya adalah Tio kongcu, selamat bertemu,
selamat bertemu . , , haaahhhh . . . haaahhh . . . haaahhh . . .° Meskipun ia mengucapkan
141
"Selamat ber-jumpa", akan tetapi mimik wajahnya sama sekali ticiak menunjukkan maksud
“selamat berjumpa' itu sendiri, bahkan menggunakan ibu jarinya yang amat besar itu ia
menuding ke ujung hidung sendiri sambil berkata:
"Aku she Sun, orang lain menyebut diriku sebagai Thiat pa ciang (pukulan pasir besi)!"
"Selamat berjumpa, selamat berjumpa!' kata Bu ki pula.
'Aku ingin sekali mengundang Tio kongcu untuk bercakap-cakap sebentar di luar!'
"Membicarakan soal apa?'
"Aaah, membicarakan apa saja yang dapat dibicarakan!”
'Baik, kalau begitu tunggulah aku setelah bertaruh beberapa kali lagi . . .!"
Mendengar perkataan itu, Thiat pa ciang segera menarik muka, kemudian bentaknya: "Aku
minta sekarang juga kau ke luar sebentar!"
Mengikuti perubahan wajahnya itu, tangan yang semula hanya menempel di atas bahu Bu ki
pun ikut mencengkeram kencang.
Setiap orang merasakan peluh dingin membasahi tubuh mereka, setiap orang menguatirkan
keselamatan Bu ki.
Apabila bahu seseorang dicengkeram oleh sepasang tangannya yang kuat secara demikian
rupa, sekalipun tulang bahu itu tak sampai hancur remuk, rasanya tentu sangat tak sedap.
Akan tetapi Tio Bu ki sama sekali tidak merasa kesakitan, keningnya juga tidak berkerut,
sebaliknya sambil tersenyum ia berkata: "Apabila kau ingin sekarang juga berbicara
denganku, nah, bicarakanlah di tempat ini saja!°
Paras muka Thiat pa ciang berubah hebat, dengan geramnya ia membentak: “Aku memberi
muka untukmu, tapi kau tak mau muka, baik, jangan salahkan kalau kubongkar semua
kecurangamu dihadapan umum. Huuuh! Jika kau bukan seorang Long tiong, dengan
mengandalkan apakah kau “berani bertaruh sepuluh laksa tahil perak dalam sekali
pertaruhan?”
“Pertama karena aku punya uang, kedua karena aku senang dan ketiga karena kau tak berhak
mencampuri urusanku!”
“Kalau aku sengaja mau mencampuri urusanmu, lantas mau apa kau?” teriak Thiat-pa ciang
semakin geram.
142
Telapak tangan bajanya segera diangkat ke udara, kemudian sekali sapu ia hantam batok
kepala Bu-Ki.
Sayang pukulan dahsyatnya itu tidak mengenai sasaran.
Yaa, pukulannya tentu saja tidak mengenai sasaran, sebab sebelum pukulan tersebut bersarang
telak di tubuh si anak muda, tubuhnya sudah keburu melayang dulu ke tengah ke udara.
Bu Ki hanya mencenkeram pergelangan tangannya dengan enteng, kemudian mengangkat dan
melemparkannya ke depan, seperti layang layang putus benang, tubuhnya segera melayang ke
udara, melewati puluhan batok kepala manusia dan...”Blaaang!” menumbuk di atas sebuah
tiang besar, kepalanya segera terluka dan darah bercucuran ke luar dengan derasnya.
Peristiwa ini segera mengundang kehebohan, suasana menjadi amat kacau dan ramai, tujuh
delapan belas orang laki laki kekar yang bertubuh tinggi besar berorot bagaikan harimau
kelaparan segera bermunculan dari empat penjuru.
Akan tetapi, rombongan harimau harimau kelaparan tersebut pada hakekatnya tak lebih hanya
serombongan anjing berpenyakitan dalam pandangan Bu Ki.
Baru saja ia bersia sedia memberikan sedikit pelajaran untuk segerombolan anjing anjing
berpenyakitan itu ketika kain tirai di belakang ruangan sana disingkap orang, menyusul
seseorang membentak keras:
“Tahan!”
Tirai di depan pintu itu terbuat dari kain sutera halus yang mahal harganya, di atas kain
tersebut terdapat pula sebuah sulaman bunga Botan yang besar dan sangat indah.
Seorang laki laki botak berbaju perlente, sambil membawa sebuah huncwee yang terbuat dari
batu batu pualam berdiri angker di depan pintu.
Semua suara teriakan dan bentakan yang semula memenuhi ruangan itu seketika menjadi
reda, diam-diam orang mulai menguatirkan keselamatan jiwa Bu-ki.
Kini bahkan Cia tauke sendiripun sudah campur tangan, itu berarti sulit sekali bagi Bu-ki
untuk ke luar dari ruangan perjudian itu dalam keadaan utuh.
"Mundur semua!° bentakan nyaring kembali bargeletar memecahkan kesunyian.
Cia tauke memang memiliki wibawa sebagai seorang tauke besar, cukup dia mengulapkan
tangannya dengan pelan, gerombolan anjing anjing berpenyakitan itu segera mengundurkan
diri dengan munduk-munduk.
143
'Tak ada urusan lagi, tak ada kejadian apa-apa... hayo semua orang silahkan melanjutkan
permainan, kalau ada yang ingin minum arak, hari ini kuundang kalian untuk minum sampai
puas.° teriak Cia tauke dengan suara lantang.
Di mulut dia berkata demikian, sementara ia sendiri pelan-pelan menghampiri Tio Bu-ki,
setelah mengamatinya dari atas hingga ke bawah, tiba-tiba sekulum senyuman tersungging
menghiasi wajahnya yang lebar.
°Saudarakah yang disebut sebagai Tio kongcu," ia menegur.
"Benar, aku she Tio!°
"Aku she Cia, sahabat-sahabat menyebutku Lo-cia, rumah perjudian kecil ini adalah milikku!"
"Apakah Cia tauke juga ingin mengundangku untuk bercakap-cakap di luar . . . . ?"
"Tidak usah di luar, di dalam saja!" jawab Cia tauke.
Kemudian sambil menuding ke ruangan di balik tirai tersebut dengan huncwe kemalanya, ia
berkata lebih jauh: "Di dalam sana ada seorang teman yang ingin sekali bertaruh dengan Tio
kongcu!"'
"Berapa besar jumlah taruhannya?"
Cia tauke segera tertawa.
"Jumlah taruhannya tidak dibatasi makin besar tentu saja semakin baik"
Bu-ki ikut tertawa.
"Seandainya aku diajak bercakap-cakap, mungkin tiada waktu luang bagiku, tapi kalau ingin
bertaruh denganku, setiap saat aku pasti akan melayaninya."
"Kalau begitu bagus sekali !" kata Cia tauke sambil manggut-manggut.
Bu-ki dan Cia tauke sudah masuk ke balik pintu, kain tirai di depan pintu telah menutup
kembali.
Semua orang mulai kasak kusuk, semua orang mulai berbisik bisik.
“Siapakah orang yang berani bertaruh dengan si macan tutul yang mujur itu? Bukankah hal
ini bagaikan seekor babi gemuk yang mengantarkan diri?”
Disisinya segera ada seseorang yang menanggapi sambil tertawa dingin, bisknya pula,
144
“Dari mana kau bisa tahu kalau di dalam sana benar benar ada orang yang hendak bertaruh
dengannya? Siapa tahu yang sedang menunggu di dalam sana adalah sebilah golok? Begitu si
macan tutul yang mujur masuk ke dalam, maka ia akan segera berubah menjadi si macan tutul
yang mampus...?”
Di dalam ruangan tak ada golok, yang ada hanya manusia.
Termasuk Cia tauke, di situ ada sembilan orang manusia, delapan orang berdiri dan seorang
duduk.
Delapan orang yang berdiri tidak mengenakan baju mentereng atau dandanan yang mewah
dan perlente, mereka adalah delapan orang laki laki kekar yang berperawakan tinggi besar
dengan sepasang mata yang memancarkan sinar amat tajam.
Kalau dilihat dari gerak gerik mereka yang cekatan dan gesit, jelas orang orang itu
mempunyai kepandaian yang hebat pula.
Sedangkan orang yang duduk di atas sebuah kursi terbuat dari kayu cendana yang beralaskan
permadani berwarna merah itu adalah seorang kakek kurus kecil macam orang penyakitan.
Raut wajahnya berwarna kuning dan kering, dia mempunyai sepasang mata yang kecil dan
sipit, pada dagunya memelihara beberapa lembar jenggot kambing gunung yang telah
memutih, sedang rambutnya telah beruban bahkan banyak yang telah mulai berguguran.
Kalau dibilang kakek kecil itu mirip seekor kambing hutan, maka jauh lebih pantas bila
dikatakan ia lebih mirip dengan seekor monyet.
Sekalipun demikian, justru ia mempunyai kedudukan serta daya pengaruh yang luar biasa,
bahkan jauh di atas dari siapapun dalam ruangan tersebut.
Jangan dilihat ke delapan orang yang berdiri di hadapannya itu berperawakan tinggi besar,
bermata tajam bahkan mungkin berilmu silat sangat tinggi, akan tetapi sikapnya terhadap
kakek kurus kecil macam moneyt kekeringan amat hormat dan munduk-munduk, sedikitpun
tidak berani menunjukkan sikap gegabah atau kurang hormat.
Ditinjau dari semuanya ini dapatlah ditarik kesimpulan bahwa kakek kurus kecil yang sama
sekali tidak bertampang orang kenamaan itu sesungguhnya adalah seorang ternama yang
mempunyai kedudukan, nama serta pengaruh yang besar sekali.
Diam-diam Tio Bu ki mulai menarik napas dingin, jantungnya terasa berdebar keras dan
peluh serasa mulai membasahi tubuhnya.
Bagaimanapun bodohnya Bu-ki, lamat-lamat ia mulai merasakan juga bahwa manusia yang
dihadapinya bukan manusia sembarangan, tapi siapakah orang ini ?
145
Tiba-tiba satu ingatan melintas dalam benaknya, iapun berpikir: 'Jangan-jangan kakek kurus
kecil macam monyet ini adalah si Raja Judi yang nama besarnya telah menggetarkan tujuh
propinsi di selatan dan enam propinsi di utara?"
RAJA JUDI
DALAM setiap bidang pekerjaan selalu ada raja nya, demikian pula dalam bidang judi.
Si Raja judi she Ciau, entah orang yang kenal dengannya atau tidak, mereka semua selalu
menyebutnva Ciao jit-tayya.
Dalam judi menjudi Ciau Jit-tayya bukan saja sangat ternama, tapi juga ia mempunyai
kedudukan yang sangat terhormat.
Selama hidupnya, sudah beribu-ribu laksa kali Ciau Jit tayya melangsungkan perjudian baik
yang kecil maupun yang besar, konon ia belum pernah kalah walau satu kalipun . . . . atau
paling sedikit semenjak berusia tigapuluh tahun ia sudah tak pernah kalah.
Tahunini Ciau Jittayya berusia tujuh puluh dua tahun.
Bukan dalam soal judi saja Ciau Jittayya sangat lihay, sepasang matanya juga luar biasa, baik
Long tiong kelas kakap, Long tiong kelas teri, long tiong main kartu atau Long tiong
profesional, belum pernah ada orang yang berani bermain gila dihadapannya, sebab dengan
permainan busuk macam apapun, Ciau Jittayya segera akan mengetahuinya dalam sekejap
pandangan mata.
Semenjak ulang tahunnya yang ke enam puluh enam, Ciau Jittayya sudah cuci tangan di
baskom emas dan mengundurkan diri dari bidang perjudian.
Konon kemunculan kembali Ciau Jit tayya kali ini adalah atas permohonan dari pat toa kim
kong (delapan orang kim kong), delapan orang murid utamanya .
Dengan usianya yang setua itu, dengan kedudukannya yang begitu tinggi pula, mau apa ia
munculkan diri kembali ?
. . . Konon ia muncul kembali karena ingin menghadapi si macan tutul yang mujur, dia orang
tua ingin sekali mengetahui kemujuran apakah yang sedang dilakukan oleh si macan tutul itu?
Kenapa setiap kali melemparkan dadunya selalu berhasil meraih tiga angka enam?
Semenjak semula Bu-ki sudah mendengar berita tersebut, tentu saja ia mendengar soal
tersebut dari sahabatnya.
Sekalipun demikian, ia tetap tidak menduga kalau si Raja judi yang namanya sudah termashur
di tiga belas propinsi itu sesungguhnya hanya seorang kakek kecil yang kurus macam monyet.
146
Menggunakan jari-jari tangannya yang memelihara kuku sepanjang tiga inci itu Ciau Jit tayya
mengangkat huncwe peraknya dan menghisap asap tembakau beberapa kali, setelah itu sambil
tertawa baru katanya:
"Duduk, silahkan duduk!"
Tentu saja Bu-ki segera duduk, ia tak pernah mempunyai kebiasaan untuk berdiri dihadapan
orang lain.
Dengan sepasang matanya yang kecil Ciau Jittayya memperhatikan Bu-ki, lalu katanya sambil
tertawa:
"Engkaukah yang disebut Tio kongcu?"
"Siapa namamu?" Bu-ki balik bertanya.
"Aku she Ciau, lantaran di rumah aku menempati urutan ke tujuh maka orang lain
memanggilku sebagai Ciau Jit! '
Bu-ki sama sekali tidak menunjukkan reaksi apa-apa, seakan-akan sepanjang hidupnya belum
pernah ia mendengar nama tersebut.
Ciau Jittayya tertawa ringan, kembali katanya:
"Konon belakangan ini Tio kungcu selalu mujur?"
"Yaa, biasa-biasa saja!"
"Entah apakah Tio kongcu bersedia memberi muka kepada aku si kakek kecil dan menemani
aku bertaruh beberapa kali?"
"Mau berjudi apa?"
"Tentu saja berjudi dadu!"
Bu-ki segera tertawa lebar.
"Seandainya berjudi dalam soal lain mungkin aku tak berani melayaninya, akan tetapi kalau
berjudi dadu, aku tak pernah menampik keinginan orang lain."
"Kenapa?"
"Sebab setiap kali aku berjudi dadu, aku merasa nasibku selalu mujur . . .”
147
Tiba-tiba Ciau Jittayya mementangkan sepasang matanya yang kecil dan sipit itu untuk
menatap wajah Bu-ki tajam-tajam.
Setelah sepasang matanya dipentangkan lebar-lebar maka terasalah seperti ada dua jalur sinar
tajam yang menyorong keluar, bila orang menjumpai sinar mata semacam itu untuk pertama
kalinya, dia pasti akan merasa sangat terperanjat.
Akan tetapi Bu-ki sama sekali tidak terperanjat, jangankan baru sinar mata Ciau Jittayya,
sekalipun ketika si mayat hidup mementangkan matanya untuk menatap ke arahnya, dia juga
tidak terperanjat.
Semenjak dilahirkan dia memang bukan seorang manusia yang gampang merasa terperanjat.
Setelah mengawasinya beberapa kejap dengan mata melotot besar, Ciau Jittayya kembali
me-nyipitkan kembali matanya, kemudian berkata:
"Akan tetapi nasib yang mujur kadangkala bisa berubah juga, orang yang bernasib mujur
kadangkala bisa menjadi sial, sebaliknya orang yang sial kadangkala bisa pula berubah
menjadi mujur,"
Ia tertawa ringan, kemudian katanya lagi:
"Hanya ada seorang manusia yang selamanya tak akan terpengaruh oleh perubahan tersebut."
"Manusia macam apakah itu?"
"Manusia yang tak menggantungkan pada kemujuran tangan!" jawab Ciau Jittayya.
"Kalau tidak menggantungkan pada kemujuran tangan lantas menggantungkan dalam hal
apa?"
"Mmggantungkan pada soal kepandaian!"
Dengan menggunakan sebuah tangan yang terawat sangat baik, ia melakukan suatu gerakan
yang sangat indah, setelah itu plan-pelan baru berkata lagi:
"Asal menggunakan sedikit kepandaian saja maka bereslah sudah!"
Bu-ki seperti orang yang sama sekali tidak memahami perkataannya, dengan agak ketololtololan
ia bertanya:
"Kepandaian apakah itu?"
148
Sepcrti orang yang sedang memberi penjelasan kcpada seseorang yang benar-benar tidak
faham Ciau jittayya berkata kembali:
"Kepandaian untuk mengendalikan perputaran dadu!"
Setelah tersenyum kembali katanya:
"Dadu alalah suatu benda yang amat sederhana, benda tersebut tidak bernyawa juga tak
berotak, asal kau mempunyai sedikit kepandaian saja maka apa yang kau kehendaki dia akan
berbuat seperti yang kau kehendaki itu ...."
Bu-ki tertawa, ia seperti kurang percaya dengan penjelasan tersebut, kembali tanyanya:
"Benarkah di dunia ini terdapat kepandaian semacam itu?"
"Yaa, pasti ada!"
"Dapatkah kau untuk melakukannya?
Ciau Jittayya tertawa lirih.
"Jadi kau ingin membuktikannya?" ia bertanya.
"Yaa, aku ingin sekali."
"Baik!"
Ciau Jittayya segera bertepuk tangan, dengan sikap hormat Cia tauke segera mengangsurkan
sebuah mangkuk besar dengan tiga biji dadu indah di dalamnya.
"Mangkuk ini adalah hasil pecah belah kenamaan dari kota Keng-tek-tin di wilayah Kang-see,
sedang dadunya adalah dadu hasil karya Po-sik-cay yang berdiam di pcrempatan jalan Ong
Kua-hu di ibukota."
Tampaknya Ciau Jittayya sangat puas dengan benda tersebut, katanya dengan segera:
"Bagus sekali, berjudi bukan saja merupakan suatu kepandaian yang tiada taranya, termasuk
juga suatu kenikmatan yang menyenangkan, tentu saja alat-alat yang dia gunakan tak boleh
terlampau biasa."
"Aku sangat setuju dengan pandapatmu itu!" sambung Bu-ki dengan cepat.
Ciau Jittayya manggut- manggut, kembali katanya:
149
"Yang lebih penting lagi adalah merek dagang Po Sik-cay marupakan merak dagang
terpercaya, semua dadu hasil bikinannya selalu mempunyai bobot yang tepat dan seimbang,
dan lagi tak mungkin merupakan dadu-dadu palsu yang di dalamnya diisi dengan air raksa
hingga timpang beratnya."
"Aku percaya!"
Kembali Ciau Jittayya mengeluarkan tangannya yang halus dengan jari-jari tangan yang
terawat itu untuk mengambil ketiga biji dadu tersebut.
Dadu yang berada di tangannya, seakan-akan berubah menjadi sebilah pedang di tangan
seorang ahli pedang kenamaan di kolong langit, sebab tampaklah gerakannya yang begitu
matang, berpengalaman dan indah.
Dalam soal berjudi, Ciau Jittayya memang tak malu disebut sebagai seorang Raja Judi.
Dengan gerakan yang begitu sederhana, begitu matang dan indah, ketiga biji dadu itu sudah
di-lemparkan ke dalam mangkuk.
Tanpa dilihat lagi Bu-ki juga tahu bahwa hasil lemparan dadu itu sudah pasti adalah tiga
angka enam.
*****
Dadu telah berhenti berputar, benak juga angka menunjukkan tiga angka enam.
Bu-ki segera menghcla napas panjang, katanya:
"Aku lihat kemujuran tanganmu belakangan ini juga sangat bagus!"
"Ini bukan termasuk kemujuran tangan tapi kemujuran kepandaian, setiap orang dapat
melemparkan dadu-dadu itu dengan tiga angka enam!"
"Oya?"
"Kau tidak percaya?'
Bu-ki masih tertawa.
"Baik kalau begitu kalian cobalah satu kali agar dilihat oleh Tio kongcu!" kata Ciau Jittayya.
Cia tauke mencoba paling dulu.
150
Dia mengambil dadu-dadu itu dan menebarkannya, betul juga ia berhasil meraih tiga angka
enam.
Menyusul kemudian tujuh orang lainnya juga melemparkan dadu-dadu itu, ternyata
merekapun berhasil meraih tiga angka enam semua.
Bu-ki seakan-akan tertegun menyaksikan adegan tersebut.
"Sudahkah kau ketahui apa gerangan yang telah terjadi?" tanya Ciau Jittayya kemudian.
Bu-ki menggeleng.
Ciau Jittayyapun menganggap dia benar-benar tak tahu, katanya kemudian dengan lembut:
"Di dalam dadu ini telah diberi air raksa, asal seseorang yang mengerti sedikit kepandaian
maka dengan sangat mudah ia akan berhasil mendapatkan tiga angka enam."
Lalu sambil picingkan matanya dan tertawa ia berkata lebih jauh:
"Sekalipun dadu-dadu merek Po Sik-cay tidak ada yang palsu, tetapi asal kita beri sedikit
hadiah untuk lo-suhu yang membuat dadu itu, maka keadaannya tentu berbeda."
Bu-ki seakan-akan tertegun mendengarkan kesemuanya itu.
Ciau Jittayya berpaling dan tanyanya kepada seorang laki-laki setengah umur berdahi tinggi
dan bermuka kuning yang berdiri di belakangnya:
"Tempo hari, hadiah apakah yang telah kau berikan kepada lo-suhu itu untuk dadu
buatannya?"
"Sebuah gedung megah di barat kota yang komplit dengan segala perabot dan peralatan yang
dibutuhkan, ditambah lagi seribu tahil perak setiap tahunnya sebagai ongkos hidup."
"Selama ia bekerja di Po sik-cay, berapa banyak uang bisa dia dapatkan dalam setahunnya?"
tanya Ciau Jittayya lagi.
"Tigaratus enampuluh tahil perak uang gaji ditambah uang pembagian laba, semuanya kalau
ditotal tak sampai mencapai tujuhratus tahil."
Ciau Jittayya lantas berpaling kembali ke arah Bu-ki, lalu sambil tertawa katanya:
"Sekarang kau pasti sudah mengerti bukan?"
Bu-ki menghela napas panjang.
151
"Aaai,seandainya tiada petunjukmu, dulu aku benar-benar tidak menyangka kalau di balik
sebiji dadu sesungguhnya masih terkandung suatu pengetahuan serta kepandaian yang begini
besar."
"Setiap penjudi di dunia ini, asal ia mengetahui bahwa dadu tersebut buatan Po Sik-cay, maka
dengan hati lega dan berani mereka akan bertaruh sebab itulah meski binipun ikut digadai
untuk membayar hutang, mereka masih bersikeras mengatakan bahwa mereka kalah dengan
puas, meski kalah tidak penasaran."
Setelah menghela napas panjang, katanya lagi:
Jilid 6________
"PADAHAL diantara sepuluh penjudi sembilan adalah penipu, orang yang tidak berjudilah
yang benar-benar merupakan pemenang!"
"Tapi kau . . ."
Ciau Jit tayya menghela napas panjang.
"Aaaai . . . aku sudah terjerumus ke bidang itu, sekalipunhendak merangkak bangun, tubuhku
sudah keburu berlepotan lumpur!"
Kemudian ia melanjutkan kembali: “Meski pun begitu, putra-putriku dan cucu-cucuku tak
seorangpun yang akan berani berjudi lagi"
"Apakah mereka tidak suka berjudi?" tanya Bu-ki keheranan.
"Setiap manusia suka berjudi, cuma mereka lebih suka tangan sendiri!"
Setelah mendehem pelan, lanjutnya dengan hambar: "Diantara tigabelas orang putraku, ada
enam orang diantaranya yang memiliki sebuah lengan!"
"Kenapa?”
"Karena secara diam-diam mereka telah berjudi!"
"Dan kaupun memenggal kutung sebuah lengan mereka?" sambung Bu-ki dengan cepat.
"Yaa, untuk anak cucu keluarga Ciau, barang siapa berani berjudi maka pertama kali berjudi
kupenggal kutung sebuah lengannya, jika ketahuan berjudi untuk kedua kalinya maka akupun
akan memotong sebuah kakinya."
152
"Jika mereka berjudi untuk ketiga kalinya?" tanya Bu ki.
Ciau Jit tayya tertawa ewa.
"Tak seorang manusiapun berani berjudi untuk ketiga kalinya, yaa, seorangpun tak ada!"
Bu-ki tertawa getir.
"Andaikata aku adalah anak cucu keluarga Ciau, aku pasti berani berjudi untuk ketiga
kalinya," demikian ia berkata.
Ciau Jit tayya tersenyum.
"Akan tetapi aku tidak keberatan bila orang lain berjudi, sebab semakin banyak orang berjudi
di dunia ini, maka semakin baik pula penghidupan dari kami !”
Tiba-tiba ia berpaling ke arah Cia tauke sambil bertanya: "Kau punya berapa orang anak ?"
"Tidak banyak !" jawab Cia tauke sambil tertawa paksa.
"Yang dimaksudkan tidak banyak itu berapa?"
“Tujuhbelas orang !"
"Setiap tahun berapakah pengeluaran yang dibutuhkan mereka setiap orangnya?"
"Kecuali Lo toa, setiap orang rata-rata mendapatkan limaratus tahil perak setiap tahunnya."
Kemudian tambahnya lagi:
"Sedang sang Lo toa mendapat seribu tahil perak !”
"Jadi kalau begitu berapa besar ongkos pengeluaran rumah tanggamu setiap tahunnya?"
"Wah, hal ini sulit untuk dikatakan, tapi kalau dihitung secara kasarnya paling sedikit juga
diantara tujuh sampai delapan ribu tahil perak ....!”
"Apakah sudah termasuk juga pengeluaran-pengeluaran pribadimu setiap harinya?`
Kembali Cia tauke tertawa paksa.
"Hampir setiap hari aku harus mengeluar-kan uang untuk ini itu, teman-teman dari petugas
keamanan negara dan pegawai pengadilan harus kulayani, engkoh-engkoh dari gedung
153
pembesar harus juga kulayani, jadi paling sedikit tiap tahunnya kami butuh uang sebesar
sepuluh laksa tahil perak lebih untuk menutup semua perongkosan.`
Mendengar itu Ciau Jit tayya menghela napas panjang.
`Aaaai . . . akan tetapi bagi keluarga keluarga biasa, beberapa ratus tahil perakpun sudah
cukup bagi mereka untuk hidup dengan tenang dan berbahagia! `
Ia berpaling ke arah Bu-ki dan tanyanya lagi:
`Tentunya kau bisa berpikir bukan, dari manakah biaya-biaya tersebut didapatkan untuk
menutup semua kebutuhan tersebut?`
Bu-ki manggut-manggut, mendadak ia tertawa dan berkata: "Akan tetapi ongkos
pengeluaranku justru harus didapatkan dari tempatnya itu.”
"Oleh karena itulah aku menganggap kau sebagai seorang manusia yang berbakat, asal tidak
terlalu kelewat batas, dikemudian hari penghidupanmu pasti akan jauh lebih baik dari pada
mereka semua.!”
"Aku bukan seorang manusia yang berbakat, akupun tidak mempunyai kepadaian apa-apa,
cuma kemujuran tanganku mungkin rada baik.."
Kembali Ciau Jit-tayya picingkan matanya dan tertawa, tiba-tiba diambilnya dadu-dadu itu
dan dilemparkan kembali ke dalam mangkuk.
Ternyata hasil yang diraih dalam pelemparannya kali ini bukan tiga angka enam, melainkan
angka yang terkecil . . .
Satu, dua dan tiga.
`Hey, tampaknya kemujuran tanganmu telah berubah menjadi jelek!` kata Bu ki sambil
tertawa.
`Tidak, sama sekali tidak berubah!`
Tangan yang sesungguhnya kosong itu tiba-tiba melemparkan kembali tiga biji dadu.
Ketika ketiga biji dadu itu berputar dalam mangkuk, dadu-dadu yang menunjukkan angka
"satu, dua, tiga" itu segera tertumbuk hingga berguling, dengan demikian maka keenam biji
dadu itu segera berubah semua menjadi enam buah angka enam.
154
Ciau Jit tayya mengayunkan kembali tangannya, tangan yang kosong tiba-tiba berisi kembali
dengan enam biji dadu, ketika ditebarkan ke mangkuk, dua belas biji dadu itu segera berputar
bersama, ketika berhenti kemudian ternyata semuanya menunjukkan angka enam.
Tampaknya Bu ki tertegun menyaksikan semua adegan itu.
Ciau Jit tayya tersenyum, katanya kemudian: "Inipun termasuk kepandaian tangan, bagi
seseorang yang betul betul ahli dalam berjudi, maka dalam tangannya sekaligus bisa
tersimpan beberapa biji dadu-dadu cadangan, dan lagi orang lain tak akan melihat permainan
kotornya itu.”
"Bahkan akupun tidak melihatnya", keluh Bu ki sambil tertawa getir.
"Oleh sebab itulah sekalipun dadu-dadu yang berada dalam mangkuk adalah dadu-dadu asli,
asal dirubah olehnya dengan sedikit kepandaian maka dadu yang asli segera akan berubah
menjadi dadu palsu, dan berapa yang ingin didapatkan, dia akan dapat meraih angka tersebut".
"Apakah kedua belas biji dadu itu semuanya telah diberi air raksa?" tanya Bu ki.
"Silahkan dicoba!"
Bu ki menengok sekejap ke arah Cia Tauke, dan Cia Taukepun menjepit dadu tersebut dengan
kedua jari tangannya, ketika ditekan dadu tadi, dadu yang lebih keras dari batu itu segera
hancur dan air raksapun menetes keluar membasahi meja.
"Bagaimana pendapatmu?" tanya Ciau Jit Tayya kemudian.
"Bagus, bagusnya bukan kepalang!" sahut Bu ki sambil menghela napas panjang.
"Bagi orang yang melatih ilmu khikang, kepandaiannya jauh lebih hebat lagi, sekalipun kau
jelas mengetahui bahwa angka yang diraih adalah angka enam, asal ia menggetarkan meja
dengan ilmu khikangnya maka angka tersebut mungkin segera berubah menjadi angka satu."
Setelab tersenyum, tambahnya: "Tetapi berbicara dari sudut berjudi, cara semacam ini adalah
cara curang yang tak boleh ditiru, sebab bagi seseorang yang benar-benar ahli, tak nanti dia
menggunakan cara-cara semacam itu."
"Kenapa?" tanya Bu ki.
"Sebab berjudi adalah suatu perbuatan yang harus disertai dengan pengetahuan yang cukup,
juga merupakan suatu kenikmatan yang tersendiri, sekalipun hendak mempergunakan sedikit
kepandaian tangan di balik perjudian itu, hal ini perlu dilakukan secara halus dan lembut, tak
boleh memakai sistim keras lawan keras, sehingga meskipun orang kalah, orang akan kalah
dengan puas"
155
Sambil tersenyum lanjutnya: "Jika orang lain kalah dengan hati yang puas dan lega, lain kali
mereka baru mau datang untuk berjudi lagi."
Bu ki menghela napas panjang.
"Aaaai . . . rupanya memang harus disertai dengan pengetahuan".
Dari balik sepasang mata Ciau Jit Tayya yang sipit kembali mencorong ke luar sinar tajam
yang menatap wajah Bu-ki lekat-lekat, kemudian katanya:
"Akan tetapi dalam pertaruhan kita nanti, tentu saja tak boleh menggunakan kepandaian
tangan untuk memperoleh kemenangan".
Bu-ki tertawa.
"Sekalipun aku pingin mempergunakannya, sayang aku tak mampu untuk melaksanakannya.
Ciau Jit Tayya menarik wajahnya, lalu berkata lagi:
"Bila kita ingin bertaruh, maka kita harus bertaruh secara adil, sama sekali tak boleh bermain
curang atau memakai segala macam akal bulus . . . . !”
"Tepat!”
"Baik!" sekali lagi Ciau Jii Tayya memicingkan sepasang matanya, kalau begitu aku akan
menemani Tio kongcu untuk bermain beberapa kali"
"Buat apa musti bermain beberapa kali?”
Lebih baik sekali bertaruh ditentukan siapa bakal menang dan siapa bakal kalah, itu baru
sedap namanya
Sekali lagi Ciau jit tayya mementangkan sepasang matanya lebar-lebar, lewat lama sekali dia
baru bertanya:
"Kau benar benar hanya ingin bertaruh sekali saja?"
"Asal bisa diketahui siapa menang dan siapa kalah, aku rasa satu kalipun sudah lebih dari
cukup,"
Berapa besar yang hendak kau pertaruhkan?" "Harus kuperiksa dulu, tampaknya tidak terlalu
banyak uang yang kubawa kali ini."
156
Dari sakunya ia mengeluarkan setumpuk uang kertas, selain itu terdapat pula setumpuk daun
emas yang dibuat tipis-tipis.
Sambil menghitung jumlahnya, dia menghela napas panjang dan bergumam seorang diri.
"Sasungguhnya tidak terlalu banyak yang kubawa kali ini, termasuk daun-daun emas yang tak
ada artinya ini, paling banter juga cuma tigapuluh delapan laksa limaribu tahil perak!"
Kecuali Ciau Jit tayya, hampir dibilang paras muka setiap orang berubah hebat.
Sekalipun setiap orang di antara delapan orang yang hadir dalam ruangan itu merupakan jagojago
paling top dalam soal berjudi, akan tetapi sekaligus mempertaruhkan harta sebesar
tigapuluh laksa tahil perak lebih dalam sekali taruhan adalah sesuatu yang luar biasa, belum
pernah mereka temui kejadian semacam ini sebelumnya:
Tiba tiba Bu ki tertawa lebar, lalu katanya dengan cepat:
"Oh . . teringat aku sekarang, di meja. luarsanamasih ada dua laksa tahil perak, jadi jumlahnya
persis mencapai empatpuluh laksa tahil perak . . . !"
Di luarsanamasih ada dua laksa tahil perak?” ulang Cia tauke dengan wajah berubah.
"Yaa, satu laksa tahil perak sebagai modalku dan si bandar wajib membayar selaksa tahil
perak lagi sebagai taruhannya."
Paras muka Ciau Jit tayya sama sekali tidak berubah, segera ia menitahkan: "Kalau begitu
keluarlah kesanadan ambit dua laksa tahil perak untuk Tio kongcu ini."
"Baik!" sahut Cia tauke.
"Sekalian pergilah ke kas uang dan coba lihat di situ ada uang berapa banyak, ambil
semuanya ke mari!"
"Baik!"
Seorang laki-laki bermuka merah yang tinggi kekar tiba-tiba menyela dari samping:
"Bagaimana kalau kutemani Lak ko untuk pergi ke luar?"
"Memang ada baiknya kalau Lau Lo pat bersedia menemaninya," kata Ciau Jit tayya, "apalagi
kau memang punya usaha pula di tempas ini, bila kas hanya ada uang sedikit, kau boleh
menambahkan sedikit lagi!”
"Baik”
157
“Menanti mereka sudah pergi, Ciau Jit Tayya baru berpaling k6 arah Bu-ki seraya berkata
dengan senyuman dikulum:
"Tio kongcu, inginkah kau menghisap huncwe lebih dulu?”
Begitu ke luar dari ruangan, dengan kening berkerut Lau Lo pat lantas berkata:
""Aku benar benar tidak habis mengerti apa yang hendak dilakukan oleh tua bangka itu?"
"Dalam bagian yang mana kau tidak mengerti?" tanya Cia tauke.
"Kenapa tua bangka itu menceritakan semua perkembangan dan taktik permainan kita kepada
penyakit itu? Kenapa tidak gunakan saja cara tersebut untuk menghadapinya?"
"Karena tua bangka tahu bahwa penyakit itu sesungguhnya bukan penyakit” kata Cia tauke.
"Tapi cara permainan si tua bangka sebenarnya tidak diketahui sama sekali olehnya"".
"Yaa, karena ia sedang menyamar sebagai babi untuk memakan harimau"
Setelah tertawa, kembali katanya:
"Akan tetapi si tua bangka juga bukan orang sederhana, sekalipun dia tahu bahwa cara itu tak
akan mengelabuinya, maka didemonstrasikan kepandaian-kepandaian simpanannya di
hadapan orang itu, dia berharap agar ia tahu lihay dan mengucapkan sepatah dua patah kata
yang enak didengar, siapa tahu si tua bangka akan melepaskannya dengan begitu saja."
"Akan tetapi bajingan cilik itu justru tak tahu diri,” sambung Lau Lopat cepat.
"Oleh sebab itu menurut pendapatku, kali ini lo yacu telah bersiap sedia untuk turun tangan
menghadapinya.”
"Tapi sudah tujuh delapan tahun si tua bangka tak pernah turun tangan, sedangkan bajingan
cilik itu . . ."
Cia tauke segera tertawa.
"Jangan kuatir, jahe selamanya lebih tua lebih pedas, sekalipun siluman monyet Sun Go
khong mempunyai ilmu tujuhpuluh dua merubah, ia tak mampu kabur dari telapak tangan Ji
lay Hud!"
Kemudian tanyanya pula: "Sudah hampir duapuluh tahun kau mengikuti si tua bangka itu,
pernahkah kau saksikan dia kalah bertaruh? "
158
Belum pernah!” jawab Lau lo-pat.
Akhirnya sekulum senyuman tenang dan hati lega tersungging di ujung bibirnya, dan diapun
menambahkan:
"Yaa, selamanya memang belum pernah!"
Kecuali suara "Bluup! Bluupl" bunyi asap huncwee yang berbunyi bagaikan peluit, dalam
ruangan tidak terdengar suara apapun.
Dalam hati masing-masing sedang terlibat dalam suatu pemikiran yang serius. .
Semua orang sedang berpikir, harus mengunakan cara apakah untuk menangkan, "si macan
tutul yang mujur" itu?
Tapi mereka gagal untuk menemukan sesuatu cara.
Setiap macam cara yang berhasil mereka bayangkan, tidak menjamin kemenangan seratus
persen buat pihak mereka.
Si anak muda itu terlalu tenang, membuat orang susah menduga jalan pemikirannya, bahkan
membuat orang merasa sedikit rada takut. Mungkinkah tangannya benar-benar lagi sangat
mujur?
Atau mungkin karena dia percaya bahwa Ciau Jit tayya tak akan dapat mengetahui dengan
cara permainan apakah dia berjudi?
Bagaikan motor uap, Ciau Jit tayya menghembuskan asap huncweenya secara beruntun,
begitu nikmat ia merasakan harumnya tembakau, hampir saja matanya yang sipit terpicing
rapat-rapat.
Mungkinkah ia telah mempunyai keyakinan menang dalam dadanya? Ataukah ia masih
me-mikirkan dengan cara apakah dia akan menghadapi si anak muda itu?
Bu-ki cuma tersenyum sambil memandang ke arahnya, seperti seorang pengumpul barang
kuno sedang mengamati sebuah benda antik dan memastikan keasliannya, seperti juga seekor
rase kecil sedang mengamati gerak gerik dari seekor rase tua dan berharap dari gerak geriknya
dapat mempelajari sedikit ilmu rahasia yang berguna bagi bekal hidupnya.
Apakah Ciau Jit tayya juga sedang memperhatikannya secara diam-diam?
Akhirnya Cia tauke dan Lau lo-pat muncul kembali sambil membawa setumpuk uang kertas,
mereka sisihkan dulu dua tumpuk untuk diserahkan kepada Bu-ki.
159
"Ini dua laksa tahil perak!" katanya.
"Kalian berhasil mengumpulkan empat puluh laksa tahil perak?"
"Yaa, dan ini semua jumlahnya persis empatpuluhlaksa tahil perak!”
Cia tauke meletakkan uang kertas di meja dan menampilkan sekulum senyuman bangga di
wajahnya.
Bisa mengumpulkan uang kontan sebanyak empat puluh laksa tahil perak dalam waktu
singkat, hal ini merupakan suatu pekerjaan yang tidak gampang . . . .
Bu-ki segera berkata sambil tertawa:
"Rupanya usaha Cia tauke memang maju amat pesat dan mendatangkan keberuntungan yang
melimpah.!
Cia tauke segera tertawa tergelak: "Haahhh.. . . haahhh . . . haahhh . . . usaha semacam ini
memang merupakan suatu usaha yang mendatangkan keberuntungan paling melimpah!"
"Bagus, sekarang bagaimana cara kita bertaruh?"
Lelaki setengah umur yang berwajah kuning kepucat-pucatan itu mendehem lebih dahulu, lalu
katanya;
"Setiap permainan ada peraturan permainan, setiap pertaruhan ada pula peraturan pertaruhan!"
"Untuk melakukan suatu pekerjaan, kita memang harus melakukannya menurut aturan,
apalagi dalam bertaruh uang, petaturannya tentu akan lebih besar lagi.”
"Akan tetapi, terlepas dari peraturan macam apakah itu, kedua belah pihak harus
menyetujuinya lebih dahulu," sambung laki-laki setengah umur berwajah kuning itu.
“Benar!”
"Bila hanya ada dua orang yang akan bertaruh, maka pertaruhan akan berlangsung tanpa
bandar."
"Tepat!"
"Oleh karena itu barang siapa yang berhasil meraih angka tertinggi dalam pelemparannya
yang pertama, pihak kedua harus angkat kaki."
160
"Andaikata jumlah angka yang diraih kedua belah pihak sama?" tanya Bu ki.
"Kalau sampai begitu, maka dalam pelemparan itu tak ada yang menang atau kalah, kita
anggap seri dan harus diulang kembali.""
"Aku pikir cara ini kurang baik" tiba-tiba Bu ki menampik sambil menggelengkan kepalanya.
"Bagaimana kurang baiknya?"
"Kalau kedua belah pihak memperoleh jumlah lemparan yang sama terus menerus, bukankah
pertaruhan itu akan berlangsung tiada habisnya? Wah, kalau begini caranya, Sekalipun
bertaruh selama tiga hari tiga malampun belum tentu bisa menentukan siapa pemenangnya-"
"Lantas sistim judi yang bagaimanakah yang kau inginkan?"
“Barang siapa berhasil melemparkan dadunya dengan memperoleh angka paling tinggi, maka
pihak yang lain harus mengaku kalah."
Angka yang paling besar adalah tiga angka enam, asal ia melemparkan dadunya maka angka
yang bakal diraih adalah tiga angka enam.
Serentak delapan orang itu membelalakkan matanya lebar lebar, hampir dalam waktu yang
bersamaan mereka bertanya:
"Siapa yang akan melempar lebih dulu?"
"Aku lihat Loya cu ini sudah tua dan lebih tinggi tingkatannya dariku, tentu saja sudah
se-pantasnya kalau kupersilahkan kepadanya untuk melempar lebih dulu.”
Perkataan itu bukan saja membuat setiap orang merasa terperanjat, bahkan Ciau Jit Tayya
sendiripun merasa sedikit di luar dugaan.
Jangan-jangan bocah muda itu sudah edan? Atau mungkin ia merasa mempunyai keyakinan
yang amat besar?
Dengan paras muka sedikitpun tidak berubah, Bu-ki tersenyum dan berkata lagi:
"Silahkan kau melempar lebih dulu !"
Kembali Ciau Jit tayya menatap lawan judinya lekat-lekat, setengah harian kemudian tiba-tiba
ia berseru:
"Lo toa, ambil seperangkat dadu !”
161
Dari sakunya lelaki setengah umur berwajah kuning itu mengambil ke luar sebuah kotak kecil
yang terbuat dari batu kemala putih.
Dalam kotak berlapiskan kain sutera berwarna kuning dan isinya hanya tiga biji dadu yang
terbuat dari batu kemala putih.
"Dadu batu kemala putih ini adalah dadu yang dipakai oleh para utusan dari negeri asing, asli
buatan pribadi dari pemilik tokoPosik cay, benda ini ditanggung tak akan palsu."
"Berikan kepada Tio kongcu agar diperiksa!" perintah Ciau Jit Tayya.
Dengan menggunakan sepasang tangannya, laki laki serengah umur itu mengangsurkan
dadunya kepada anak muda itu.
Bu-ki segera menolaknya dengan tangan sebelah, katanya sambil tersenyum lirih:
"Tak usah diperiksa lagi, aku percaya dengan Loya cu ini !"
Sekali lagi Ciau Jit tayya menatapnya setengah harian, kemudian baru pelan-pelan
mengangguk.
""Bagus, punya semangat !" pujinya.
Dengan mempergunakan sepasang jari tangannya yang berkuku panjang tiga inci itu
diambilnya dadu tersebut satu demi satu, lalu sambil diletakkan dalam telapak tangannya
kembali ia bertanya:
"Sekali lemparan menentukan menang kalah?"
"Benar !"
Pelan pelan Ciau Jit tayya bangkit berdiri, tangannya diluruskan ke depan tepat mengarah di
atas mangkuk, lalu dadu-dadu itu diletakkannya dengan seksama.
Cara pelemparan ini merupakan cara yang paling memakai aturan, barang siapa menyaksikan
cara tersebut maka siapapun tak akan menaruh curiga walau sedikitpun.
*Triing . . . . . !" Diiringi bunyi dentingan, ketiga biji dadu itu sudah terjatuh ke dalam
mangkuk.
Putaran dadu yang kencang membuat jantung tiap orang serasa ikut berputar pula.
Akhirnya dadu dadu itu berhenti.
162
Tiga angka enam, benar benar tiga angka enam. angka yang paling top yang berarti tiada
bandingannya.
Bu-ki pun tertawa, sambil menepuk sakunya pelan-pelan ia bangkit berdiri.
"Aku kalah!"
Setelah mengucapkan kata tersebut, tanpa berpaling ia segera angkat kaki dari situ.
AKAL BULUS
RUANGAN itu sudah lama berada dalam keadaan hening. Padahal ada sembilan orang berada
dalam ruangan itu, biasanya ruangan dengan sembilan orang di dalamnya tak akan setenang
itu.
Ke sembilan orang tersebut bukan saja tidak bisu bahkan mereka pandai sekali berbicara,
orang-orang yang pandai bersilat lidah dengan segala kelicikan serta kecerdasannya.
Mereka semua tidak berbicara karena dalam hati kecil masing-masing sedang memikirkan
satu hal . . . . Mengapa si macan tutul yang mujur berbuat demikian ?
Siapapun tidak menyangka kalau dia hanya mengucapkan dua patah kata saja: "Aku kalah!"
dan kemudian ambil langkah seribu.
Penyelesaian dari suatu pertaruhan ini datangnya terlalu mendadak, terlalu di luar dugaan.
Lama sekali setelah ia pergi, Ciau Jit tayya baru mulai mengisi huncwenya dengan tembakau,
lalu . . . . "Bluup! Bluuup! Bluuup!" menghisapnya dengan penuh kenikmatan.
Kembali lewat lama sekali, akhirnya baru kedengaran ada orang yang menyatakan
pendapatnya, tentu saja orang pertama yang baka suara adalah Lau Lo pat.
"Kuberitahukan kepada kalian atas apa yang sesungguhnya telah terjadi, kalah yaa kalah,
menang yaa menang, ia kalah maka dia harus angkat kaki."
"Sekalipun kekalahannya cukup manis, waktu pergipun manis juga, setelah terbukti kalah,
kalau tidak pergi lantas mau apa lagi ia tetap mengendon disitu?"
Tak seorangpun yang menjawab, kecuali dia seorang hakekatnya tak ada orang lain, yang
buka suara.
Ciau Jit Tayya menghisap huncwenya dengan penuh kenikmatan, selang sejenak kemudian
setelah tertawa dingin katanya tiba-tiba:
"Lo-toa, menurut pendapatmu apa yang telah terjadi?"
163
Lo-toa adalah laki-laki setengah umur yang berwajah kuning itu, dia she Pui, diantara delapan
orang Kim kong di bawah pimpinan Cian Jit tayya, ia merupakan Lo-toa.
Pui lo-toa ragu-ragu sejenak, kemudian jawabnya : “Aku tidak mengerti . . “
"Kenapa tidak mengerti?"
"Apa yang dikatakan Lo pat memang ada benarnya juga, setelah kalah kalau tidak pergi lantas
mau apa lagi?"
Tapi setelah berpikir sebentar kembali ujarnya: "Tapi aku selalu beranggapan bahwa kejadian
tersebut tampaknya tak akan sederhana itu."
"Kenapa?"
"Sebab kekalahannya terlalu memuaskan!"
Itu memang kata-kata yang jujur. Sesungguhnya Bu-ki memang tak perlu kalah secepat itu,
apa lagi sedemikian mengenaskan, sebab sebetulnya ia tak perlu mempersilahkan Ciau Jit
tayya turun tangan lebih dulu.
Lau lo-pat tak dapat mengendalikan perasaannya, ia segera berseru: "Menurut pendapatmu,
apakah dia mempunyai tujuan lain?"
Pui lotoa mengakuinya.
Kembali Lau lo-pat berkata: "Kalau memang demikian, tadi kenapa kita tidak menahannya
saja di sini?"
Pui lotoa segera tertawa dingin.
"Orang lain sudah menderita kalah, lagi pula kalah dengan semanis dan seindah itu, dengan
dasar apa kita hendak menahannya tetap berada di sini?"
Lau lopat tak sanggup berbicara lagi.
Ciau Jit tayya segera berkata :
“Apakah kaupun dapat menebak kenapa ia berbuat demikian?”
“Aku tak sanggup menebaknya” jawab Pui lotoa.
Orang lain telah kalah dalam berjdi, ludas seluruh uang taruhannya dan telah angkat kaki, apa
lagi yang dapat kau lakukan terhadapnya?
164
Ciau Jit tayya kembali mengisi huncwenya dengan tembakau, tapi dalam beberapa hisapan
asap tembakau kembali padam, ia sendiripun tidak mengerti.
Sesungguhnya ia bukan lagi menghisap huncwe, ia sedang berpikir. Lewat lama, lama sekali
akhirnya diatas wajahnya yang kurus dan kuning mendadak melintas suatu perubahan mimik
wajah yang sangat aneh.
Delapan orang yang berdiri dihadapannya sudah dua puluh tahun lebih mengikutinya, mereka
tahu hanay diakala teringat akan sesuautu urusan yang menakutkan dia baru menujukkan
perubahan wajah semacam itu. Tapi siapapun tidak tahu apa yang sednag dipikirkan olehnya?
Bagi seorang kakek yang telah berusia tujuh puluh dua tahun dan sudah kenyang mengalamai
pelbagai badai serta percobaan, sesungguhnya tiada masalah yang menakutkan lagi baginya.
Oleh sebab itu perasaan setiap orang serasa ditarik ke atas dan tergantung di tengah awang
awang, mereka semua merasa dag dig dug dan tidak tenteram.
Akhirnya Ciau Jit tayya berkata juga. Ditatapnya Lau Lo Pat sekejap, kemudian katanya:
“Aku tahu, hubunganmu dengan Lolak paling akrab, kau punya modal dalam rumah
perjudiannya, tentu saja diapun punya modal di rumah perjudianmu, bukan?”
Lau lopat tidak berani menyangkal, dengan kepala tertunduk sahutnya:
“Benar!”
“Aku dengar modalmu ditempa ini tidak terhitung sedikit?”
“Benar!”
“Berapa besar modal yang kau ikut sertakan dalam usaha di sini?”
“Enam laksa tahil perak!”
Berada di hadapan Ciau Jit tayya, persoalan macam apapun tak berani ia rahasiakan, maka
kembali ujarnya lebih jauh:
“Kami sudah bekerja hampir empat tahun lebih dan selama ini berhasil meraih keuntungan
sebesar dua puluh laksa tahil perak lebih, kecuali untuk pengeluaran sehari-hari, semuanya
masih tersimpan di sini tanpa berkutik.”
Ia sedang tertawa, namun suara tertawanya kelihatan kurang begitu leluasa, sambungnya lebih
jauh:
"Karena perempuanku ingin mempergunakan uang tersebut untuk membuka beberapa buah
rumah pelacuran!"
“Konon perempuan yang paling kau sayangi diantara perempuan-perempuan yang berada di
sekelilingmu bernama Bi-go?” kembali Ciau Jit tayya bertanya.
165
"Benar!"
"Konon diapun suka sekali berjudi?"
Lau lopat tertawa paksa: "Judinya jauh lebih garang dari pada diriku, cuma lebih banyak
menangnya dari pada kalah."
Tiba-tiba Ciau Jit tayya menghela napas panjang.
“Aaai...! Kalau memangnya lebih banyak urusan akan bertambah runyam...!” demikian
keluhnya.
“... Bila seseorang mulai berjudi, makin sering dia menang makin runyamlah keadaannya,
sebab dia selalu akan beranggapan bahwa tangannya amat mujur, mempunyai rejeki besar
untuk berjudi, dalam keadaan demikian ia akan semakin ingin berjudi, bahkan makin berjudi
taruhannya semakin besar, kendatipun suatu ketika menderita kalah sedikit, dia tak akan
ambil perduli, sebab ia merasa kekalahan tersebut pada akhirnya toh akan tertebus kembali.”
Manusia macam beginilah yang dinamakan seorang penjudi, karena manusia dari jenis ini
seringkali bisa kalah habis habisan, bahkan sampai modalpun ikut ludas.
Itu termasuk nasehat dari Ciau Jit tayya juga merupakan pembicaraan atas dasar pengalaman,
entah sudah berapa ratus kali mereka berdelapan mendengar nasehat itu, siapapun tak akan
melupakan untuk selamanya.
Tapi siapapun tidak habis mengerti kenapa dalam keadaan seperti ini Ciau Jit tayya
menyinggung kembali persoalan tersebut.
Kembali Ciau Jit tayya bertanya:
“Berikut modal ditambah bunga berapa banyak yang bisa dibayar setiap saat dari meja
perjudianmu itu?”
“Kalau seluruhnya dijumlahkan menjadi satu, mungkin ada duapuluh laksa tahil perak lebih”
“Bila kau tak ada di rumah, siapa yang mengurusi gedung perjudianmu itu...?”
“Perempuanku itu!” jawab Lau lopat.
Kemudian sambil tertawa paksa kembali ujarnya:
“Tapi kau orang tua jangan kuatir, sekalipun ia dapat makan cuka (ccemburu), selamanya
belum pernah makan aku”
“Bagaimanapun jua, sedikit banyak dalam genggamannya tentu ada sedikit uang kontan
bukan” tukas Ciau Jit tayya dengan suara dingin.
Lau lopat tak berani membantah lagi.
Ciau Jit-tayyapun mendesak lebih jauh: "Menurut perkiraanmu, berapa banyak uang yang dia
miliki"
166
Lau lopat agak ragu-ragu sejenak, akhirnya ia menjawab juga:
"Paling sedikit mungkin juga ada tujuh-delapan laksa tahil perak lebih .........”
"Paling banyak?" desak Ciau Jittayya lebih lanjut.
"Sukar untuk ditetapkan, mungkin saja ia memiliki uang sebesar tujuh belas sampai delapan
belas laksa tahil perak, tapi mungkin juga lebih dari itu."
Ciau-Jittayya termenung beberapa saat lamanya sambil memandangi tumpukan uang kertas di
meja lewat lama sekali pelan-pelan ia baru berkata lagi:
"Lotoa, loji, losam, losu, longo dan lojit masing-masing mendapat dua laksa tahil perak."
Serentak keenam orang itu maju ke muka sambil menyatakan rasa terima kasihnya atas
pemberian dari Ciau Jittayya, selamanya mereka tak berani menampik perintah orang tua itu.
"Lolak yang mengeluarkan modal, dia pula yang menanggung rasikonya, maka Lolak pantas
mendapat bagianlimalaksa tahil perak."
Cia taukepun maju mengucapkan terima kasih, sedang dalam hatinya diam-diam merasa
keheranan kalau memang setiap orang mendapat bagian, kenapa lopat sendiri yang tidak
memperoleh bagian?
Akan tetapi berhubung Ciau Jittayya tidak menyinggung soal itu, siapapun tak berani
menyinggungnya pula.
"Tiga laksa tahil perak kubagikan untuk orang-orang yang kubawa kali ini," kata Ciau
Jittayya lebih jauh, sedangkan sisanya yang duapuluh laksa tahil perak untuk Lopat semua!
Ciau Jittayya selalu bertindak secara adil, bijaksana dan tidak berat sabelah, terhadap ke
delapan orang muridnya boleh dibilang ia tak pernah pilih kasih, tapi kali ini Lau lopat
hakekatnya tidak mengeluarkan tenaga apa-apa, tapi justru dia yang memperoleh bagian
terbesar, sedikit banyak semua orang merasa tercengang juga.
Lau lopat sendiripun merasa amat terperanjat, buru-buru serunya: “Kenapa bagianku yang
paling banyak!"
Ciau Jittayya segera menghela napas panjang: "Aaai, karana dengan cepat kau akan
membutuhkan uang tersebut!" jawabnya lirih.
167
Sebelum Lau Lopat sempat mengucapkan sesuatu, tiba-tiba lelaki setengah umur yang
berwajah kuning itu sudah berseru tertahan: "Oooh, sungguh amat lihay, sungguh amat lihay..
...!"
"Siapa yang kau katakan amat lihay?" Cia tauke segera bertanya.
Sambil menghela napas panjang lelaki setengah umur itu gelengkan kepalanya berulang kali.
"Pemuda she Tio itu benar-benar amat lihay!" katanya.
"Sesungguhnya akupun sudah berpikir sampai ke situ barusan, jalas ia berbuat demikian
karena kuatir loya-cu berhasil mengetahui rahasia permainannya, diapun tak ingin merusak
nama baik "si macan tutul yang mujur" tersebut, maka ia lebih suka mengalah pada permainan
kali ini agar orang lain selamanya tak akan mengetahui dengan permainan apakah ia berhasil
sukses dalam perjudiannya selama ini" kata Cia tauke.
Pelan-plan lelaki setengah umur itu mengangguk.
"Berbicara dari perbuatannya ini sudah cukup membuktikan bahwa dia memang cukup lihay!"
"Akan tetapi bagaimanapun jua ia toh tetap kalah empat puluh laksa tahil perak, jumlah
tersebut bukan suatu jumlah yang sedikit!" kata Cia tauke kemudian.
"Asal orang lain tidak berhasil mengetahui rahasia permainannya, kesempatan baginya untuk
meraih kembali kekalahan tersebut masih selalu tersedia."
"Bagaimana cara meraihnya?"
"Ia kalah dalam perjudian tentu saja kekalahan tersebut akan diraihnya pula dari meja
perjudian."
Losam yang selama ini cuma membungkam dan tidak ikut berbicara apa-apa mendadak
menghela napas, lalu katanya.
"Di sini dia kalah empat puluh laksa tahil perak, apakah jumlah tersebut tak bisa ia
menangkan kembali dari tempat lain?"
"Dia akan meraihnya kembali di mana?" tanya Lau lopat.
Lelaki sctengah umur itu, hanya memandang kearahnya sambil tertawa getir dan gelengkan
kepalanya berulang kali.
Tiba-tiba Cia tauke melompat bangun sambil berteriak:
168
"Jangan-jangan ia telah menyantroni gedung perjudian milik lopat?"
"Aaaah ...tentunya sekarang kau mengerti bukan, apa sebabnya loya-cu menyisihkan bagian
yang paling besar untuk lopat," sela Losam.
"Tapi aku masih tidak percaya secepat itu gerakan tubuhnya, masa dalam sekejap mata
gedung perjudian milik Lopat telah ludas ditangannya?"
Ciau Jittayya mengerdipkan matanya lalu tertawa dingin.
"Kalau tidak percaya, mengapa kau tidak menyusul ke situ untuk membuktikannya sendiri?"
demikian ia berkata.
Lau lopat telah menyerbu ke luar dari ruangan tersebut, disusul Cia tauke dibelakangnya.
Lelaki setengah umur itu masih saja menggelengkan kepalanya sambil menghela napas.
"Seandainya ia tidak menyerahkan gedung perjudiannya ke tangan seorang perempuan,
mungkin tak akan secepat itu hartanya menjadi ludas, sayang kini .....”
Setiap orang dapat memahami maksud perkataannya itu.
Kalau perempuan sudah kalah berjudi, hatinya pasti amat sakit, bila hati sudah sakit maka dia
akan berusaha meraih kembali kekalahannya, apabila bertemu dengan seorang ahli berjudi,
maka makin kalah tentu semakin banyak, dia baru berakhir bila harta kekayaannya sudah
ludas semua.
"Memburu kembali modal yang hilang" merupakan pantangan terbesar bagi penjudi, kalau
seorang penjudi yang benar-benar ulung maka begitu kalah dia lantas angkat kaki, tak nanti
dia akan mengendon terus di tempat tersebut.
"Sekali kalah segera angkat kaki, mendapat hasil mujur lantas berhenti". Kata-kata nasehat
tersebut selalu dipegang teguh oleh Ciau Jit Tayya, sebab sebagai seorang ahli dalam berjudi,
dia tak akan melupakan kata kata nasehat tersebut.
Sekali lagi Losam menghela napas, katanya: "Aku berharap harta kekayaan milik lopat jangan
sampai berada di tangan perempuan itu".
"Menurut penglihatanku, lolak pasti mempunyai bagian juga dalam usaha perjudian di situ, ia
pasti mempunyai sejumlah modal yang di tanamkan disana."
Lalu setelah menghela napas panjang kembali katanya:
"Siapa tahu kalau diapun mempunyai seorang perempuan yang ditugaskan disana."
169
Kalau dua orang perempuan yang menderita kalah, tentu saja jauh lebih cepat dari pada
seorang perempuan saja.
Ketika Cia tauke muncul dalam ruangan itu, wajahnya hijau membesi, peluh sebesar kacang
membasahi sekujur tubuhnya.
"Bagaimana?" tanya lelaki setengah umur itu.
Cia tauke ingin tertawa paksa, sayang suara tertawanya tak mampu diutarakan ke luar.
"Dugaan loya-cu dan toako memang benar benar luar biasa!"
"Berapa banyak yang berhasil ia menangkan darisana?"
Limapuluh empat laksa tahil uang kertas dan dua buah gedung besar dalamkota!"
"Di antaranya berapa banyak yang merupakan uangmu?" tanya lelaki setengah umur itu lagi.
"Sepuluh laksa tahil perak.”
Lelaki setengah umur itu memandang ke arah Losam, kedua-duanya saling berpandangan lalu
tertawa getir.
Dengan gemas dan penuh kebencian Cia tauke segera berseru:
"Tidak kusangka bajingan yang masih muda usia itu ternyata lihay bukan kepalang!"
Sambil picingkan matanya Ciau Jit tayya seperti sedang memikirkan sesuatu, tiba-tiba ia
bertanya.
""Apakah Lopat telah membawa orang untuk pergi mencari kesulitan baginya. .. ?"
"Ia telah merobohkan beberapa orang saudara petugas keamanan gedung tersebut, mau tak
mau terpaksa kita harus mencarinya kembali."
"Sudah menangkan uang orang masih memukul orang, perbuatannya ini sedikit kelewat ganas
dan keterlaluan," kata Ciau Jit tayya.
"Benar!"
Tiba tiba Ciau Jit tayya tertawa dingin.
*Aku takut yang garang dan keterlaluan bukan orang lain melainkan kita sendiri" jengeknya.
170
"Kita . . ."
Tiba tiba Ciau Jit tayya menarik muka dengan wajah menyeramkan ia membentak: "Aku
hendak bertanya kepadamu, sesungguhnya siapa yang turun tangan lebih dahulu?"
Melihat paras muka Ciau Jit tayya sudah membesi, Cia tauke semakin gugup dibuatnya,
dengan terbata-bata sahutnya ;
"Aku . . . aku rasa . . . saudara-saudara kita yang bertugas di . . . di gedung yang turun tangan
lebih . . . lebih dahulu!”
"Mengapa mereka turun tangan ? Apakah lantaran orang lain berhasil menang banyak maka
kalian tidak mengijinkan orang itu angkat kaki?" tegur Ciau Jit tayya ketus.
"Saudara-saudara kita menganggap dia sedang bermain curang!" Hawa amarah telah
menyelimuti seluruh wajah Ciau Jit tayya, setelah tertawa dingin katanya:
“Sekalipun dia bermain curang, selama kalian tidak berhasil memergokinya sendiri, hal ini
harus diakui sebagai kemampuan orang, dengan dasar apa kalian tidak memperkenankan
orang pergi?"
Dari balik matanya kembali mencorong ke luar serentetan sinar tajam, ditatapnya Cia Lak
lekat--lekat kemudian tegurnya lebih jauh:
`Aku ingin bertanya kepadamu, tempat kaliansanasesungguhnya adalah gedung perjudian
ataukah sarang penyamun?"
Cia tauke tak berani buka suara, ia menundukkan kepalanya rendah-rendah sambil menyeka
keringat yang telah membasahi seluruh wajahnya.
Pergolakan emosi yang mencekam perasaan Ciau Jit Tayya dengan cepatnya mereda kembali.
Yang dibutuhkan oleh para penjudi bukan cuma "keberuntungan", melainkan harus ada
"ketenangan".
Seorang penjudi yang mulai dengan kariernya sejak berusia belasan, bahkan sekarang telah
menjadi "Raja judi", tentu saja ia harus pandai mengendalikan perasaan sendiri.
Sejak ia menerima orang-orang itu sebagai anak muridnya, ia telah menanamkan pengertian
tersebut dalam benak mereka semua.
. . Sekalipun usaha perdagangan semacam itu tidak terlalu terhormat, tapi selalu mantap dan
tenang,
171
. . . Kita semua adalah pedagang, bukan pencoleng atau pembegal .
. . . Untuk melakukan usaha dagang semacam ini, yang dipergunakan adalah kepandaian serta
kecerdikan, bukan kekerasan.
Satu satunya perbuatan yang paling dibenci oleh Ciau Jit tayya selama hidupnya adalah
mempergunakan kekerasan.
Kembali ia bertanya:
"Sekarang, apakah kau telah paham dengan maksud hatiku?"
"Yaa, aku telah paham!”
"Kalau begitu kau harus selekasnya memanggil Lopat agar segera kembali ke mari!"
Cia tauke menundukkan kepalanya sambil tertawa paksa.
"Kalau sekarang baru pergi, aku kuatir sudah tak sempat lagi!" katanya lirih.
"Kenapa?"
`Sebab ia telah membawa serta tiga bersaudara dari keluarga Kwik!"
"Macam apakah tiga bersaudara Kwik itu?"
“Tiga orang manusia yang paling top di antara saudara-saudara kita lainnya."
Setelah berhenti sebentar, Cia tauke menjelaskan kembali:
"Mereka jauh berbeda dibandingkan dengan saudara-saudara lainnya, mereka tak suka berjudi
juga tak suka minum arak atau main perempuan, yang paling mereka sukai adalah menghajar
orang, asal ada mangsa yang dapat dihajar, mereka tak pernah melepaskan kesempatan
tersebut dengan begitu saja "
""Top" di sini dalam arti kata bukan cuma ganas, agresip, pemberani dan liar, bahkan
termasuk juga sedikit gila".
"Gila" adalah sesuatu kata yang sukar di lukiskan dengan sepatah dua patah kata saja.
Tentu saja gila di sini bukan mengartikan sungguh-sungguh gila, melainkan suatu penyakit
histeris yang seringkali tanpa diketahui sebab musababnya mengadu jiwa tanpa memikirkan
hal-hal yang lain.
172
Tiga bersaudara dari keluarga Kwik semuanya amat ‘Gila", apalagi setelah meneguk beberapa
cawan arak.
Sekarang mereka semua telah minum arak, bukan cuma beberapa cawan saja, mereka telah
minum banyak sekali.
Dari ketiga bersaudara Kwik tersebut, si Bungsu bersama Kwik Kau (anjing), loji
bernamaKwikPa( si macan tutul ) serta lo ngo bernama Kwik Long ( si serigala ).
Kwik Kau sesungguhnya merupakan nama yang kurang sedap di dengar, ia sendiripun kurang
begitu suka dengan nama itu, tapi lantaran bapaknya telah memberi nama tersebut kepadanya,
maka mau tak mau nama itupun dipakainya terus sampai sekarang.
Bapak mereka adalah seseorang yang sangat garang, ia selalu berharap bisa memberikan
nama yang garang untuk anak-anaknya, suatu nama binatang buas yang kedengarannya seram
dan mengerikan.
Sayang sekali nama-nama binatang buas yang diketahuinya tidak terlalu banyak, sebaliknya
putra yang dilahirkan tidak sedikit. Kecuali nama-nama seperti Hou (macan), Pa (macan
tutul), Him (beruang), Say (singa), Long (serigala) . . . dan lain-lainnya, ia tak dapat
menemukan kembali nama-nama binatang buas lainnya yang dapat dipergunakan.
Maka terpaksa putra bungsunya diberi name "Kau" atau anjing, sebab paling sedikit anjing
masih bisa menggigit orang.
Kwik Kau memang bisa menggigit orang, bahkan sangat suka menggigit orang, kalau
menggigit dia paling garang . . . tentu saja bukan menggigit dengan moncongnya, tapi
mempergunakan goloknya.
Dalam sakunya selalu menggembol sebilah pisau tipis yang terbuat dari baja murni, karena
ditempa secara terus menerus dengan sistim yang istimewa maka bentuknya bukan saja pipih,
dan lagi amat lemas, bisa disabukkan pada pinggang nya sebagai sebuah ikat pinggang.
Ilmu goloknya sendiri bukan termasuk warisan jurus golok kenamaan yang bisa diandalkan,
tapi sangat ganas dan penuh bertenaga.
Sekalipun seorang jago kenamaan yang sungguh-sungguh lihay bertarung dengannya,
seringkali merekapun mampus di ujung goloknya.
Karena seringkali dia beradu jiwa dengan orang lain tanpa diketahui sebab musababnya.
Karena dia sangat "Top".
173
Sekarang mereka semua telah tiba di rumah penginapan yang memakai merek Peng-an
(selamat), sebab Tio Bu-ki menginap dalam rumah penginapan Peng-an.
Peng-an atau selamat adalah rejeki, setiap orang yang sedang melakukan perjalanan selalu
berharap sepanjang perjalanan bisa aman tenteram, maka di setiap tempat hampir dijumpai
rumah penginapan yang memakai merek Peng-an atau selamat.
Kendatipun belum tentu semua orang yang menginap di rumah penginapan Peng-an pasti
akan selamat, tapi semua orang lebih suka memilih tempat yang bertuah.
Rumah penginapan Peng-an bukan saja merupakan rumah penginapan terbesar dikotaitu,
lagipula merupakan rumah penginapan kuno yang paling termashur untuk wilayah di
sekitarnya.
Ketika Lau lopat dengan membawa sekalian tukang pukulnya tiba di situ, kebetulan seorang
asing sedang berdiri sambil bergendong tangan di luar pintu untuk berteduh dari hembusan
angin, memperhatikan empat huruf emas yang terpancang di depan rumah penginapan, ia
tertawa dingin tiada hentinya.
Orang ini berusia tigapuluh tahunan, berbahu lebar dengan pinggang ramping, mukanya licik
dan cekatan, ia mengenakan baju hijau yang lebar dengan kaus putih sepatu rumput dan ikat
kepala berwarna putih pula.
Semua perhatian Lau Lopat hanya tertuju untuk menghadapi orang she Tio, pada hakekatnya
ia tidak memperhatikan kehadiran manusia tersebut di situ.
Tiba-tiba orang itu tertawa dingin sambil bergumam:
“Menurut penglihatanku, rumah penginapan Peng-an sedikitpun tidak peng-an (aman), setiap
orang yang telah masuk kedalam, mungkin bukan pekerjaan yang gampang untuk ke luar lagi
dalam keadaan Peng-an!"
Lau Lopat segera berpaling dan menatapnya tajam-tajam, lalu bentaknya dengan penuh
kegusaran:
"Bangsat, apa yang sedang kau gerutukan?"
Laki-laki berikat kepala putih itu sama sekali tidak gentar, wajahnya berubahpun tidak,
ditatapnya dua kejap orang she Lau itu dengan pandangan dingin, kemudian ejeknya:
*Aku berbicara sekehendak hatiku sendiri, apa pula sangkut pautnya dengan dirimu?"
174
Tidak sedikit jagoan kenamaan di wilayah sekitar situ yang dikenali Lau Pat, tapi orang itu
tampaknya sangat asing, rupanya baru datang dari luar daerah, apa lagi dialeknya sewaktu
berbicara jelas kedengaran membawa logat wilayah Shezuan yang amat tebal.
Lau Pat masih juga melotot ke arah orang itu, sebaliknya Kwik Kaucu (si anjing Kwik) telah
menyerbu datang siap menghajar orang tersebut.
Orang itu masih juga mengejek sambil tertawa dingin:
“Heehh . . . heeehhh . . . heeehhh . . . bukan sasaran yang dicari sebaliknya mau menggigit
sembarangan orang di luar, hati-hati saja, jangan sampai mulutmu yang hancur karena salah
gigit."
Kepalan baja Kwik Kaucu sudah menonjok ke luar, tapi segera ditarik oleh Lau Pat sambil
serunya dengan suara dalam:
`Lebih back kita layani dulu manusia she Tio itu, kemudian baru kita bereskan bajingan
keparat ini!"
Bagaimanapun berang dan berangasannyaLau Pat,iatoh tetap merupakan seorang jago
kawakan yang sangat berpengalaman dalam dunia persilatan, rupanya ia sudah merasa bahwa
asal usul orang itu tidak sederhana, tampaknya di balik ucapan tersebut terkandung pula
maksud lain yang sangat mendalam, maka dia tak ingin menimbulkan banyak kesulitan
dengan orang tersebut.
Anjing Kwik masih tidak puas, sebelum berlalu dari situ ia sempat melotot beberapa kejap
kearahnya sambil menantang:
“Bangsat, kalau betul-betul bernyali, tunggu saja di situ"
Sambil bergendong tangan orang itu mendongakkan kepalanya sambil tertawa dingin,
sekejappun ia tidak memandang kearahnya.
Menunggu rombongan itu sudah masuk semua, orang itu baru mengangkat sebuah bangku
panjang dan diletakkan di tepi pintu masuk, lalu sambil duduk dan menepuk-nepuk paha
sendiri, ia mulai bersenandung menyanyikan lagu daerah.
Sebuah lagu belum habis disenandungkan, dari dalam ruangan kedengaran suara jeritanjeritan
ngeri yang menyayatkan hati, bahkan suara patahnya tulangpun secara lamat-lamat
dapat kedengaran dengan jelas.
Orang itu mengernyitkan alis matanya sambil gelengkan kepala, sedang mulutnya mulai
menghitung satu persatu.
175
"Seorang, dua orang, tiga orang, empat orang,limaorang, enam orang .
Duabelas orang jago semuanya yang ikut Lau Pat masuk kedalam, tapi kini tinggal enam
orang yang masih dapat ke luar dari ruangan tersebut dengan mempergunakan kaki sendiri.
Lau Pat sendiri walaupun masih bisa berjalan, tapi tulang pergelangan tangannya sudah patah,
ia sedang memegangi pergelangan tangan kanannya dengan tangan kiri, peluh dingin
membasahi sekujur badannya karena menahan sakit.
Kembali orang itu melirik ke arahnya sambil bergumam lagi:
"Tampaknya rumah penginapan Peng-an benar-benar tidak aman sedikitpun jua.”
*****
Dalam keadaan demikian Lau Pat hanya bisa pura-pura tidak mendengar . . .
Si Macan tutul yang mujur bukan cuma pandai melemparkan dadu, kenyataannya ilmu silat
yang dia miliki jauh lebih tinggi dari pada apa yang diduganya semula.
Baru saja tiga bersaudara dari keluarga Kwik turun tangan, mereka telah dihajar seperti seekor
anjing sehingga tak mampu merangkak bangun lagi, dari antara mereka bertiga paling sedikit
ada sepuluh buah jari tangannya yang telah patah dan remuk.
Sebenarnya ia sendiri merasa amat yakin dengan ilmu Toa-eng- jiau-jiu (ilmu cakar elang)
yang dimilikinya, siapa tahu orang lain justru menghadapinya dengan ilmu cakar elang pula,
bahkan sekali gebrakan telah berhasil menghancur lumatkan pergelangan tangannya.
Sekarang sekalipun dia ingin mencari gara-gara lagipun tak berguna, karena itulah meski ia
mendengar setiap ucapan orang itu dengan jelas, terpaksa ia harus berpura-pura tidak
mendengar.
Siapa tahu orang itu justru tak mau melepaskannya dengan begitu saja, tiba-tiba ia bangkit
berdiri lalu berkelebat dan menghadang di hadapan mukanya.
"Hey, mau apa kau?" tegur Lau Pat dengan paras muka berubah.
Orang itu cuma tertawa dingin, tiba-tiba ia turun tangan.
Lau Pat mencoba untuk mengibaskan serangan tersebut dengan mempergunakan tangannya
yang tidak putus, tapi belum tahu apa yang terjadi, tiba-tiba sikutnya sudah menjadi kaku,
bahkan lengan yang masih normalpun kini terjulai ke bawah tak mampu digerakkan lagi.
176
Dua orang jago segera menubruk dari belakang, tapi tanpa berpaling ia menyodokkan
sikutnya ke belakang dan . . . . "Duk! Dukl" dua orang itu segera mengaduh kesakitan dan
roboh terguling di tanah.
Orang itu tidak berhenti sampai di situ saja, kembali ia cengkeram pergelangan tangan Lau
Pat yang telah patah itu, lalu bentaknya nyaring: "Kena!"
"Kreeek . . . . !" Peluh dingin seperti air hujan membasahi sekujur badan Lau Pat, tapi
pergelangan tangannya yang putus kini telah tersambung kembali.
Orang itu mundur beberapa langkah lalu bergendong tangan, tegurnya sambil tersenyum:
"Bagai mana?"
Lau Pat cuma berdiri tertegun di situ, tertegun sampai cukup lama, dilihatnya pergelangan
tangan sendiri lalu digoyangkan keras-keras, kini ia baru mengerti apa gerangan yang
sebenarnya telah terjadi, dan iapun sadar bahwa orang ini adalah seorang jago tangguh yang
berilmu tinggi.
"Dapatkah aku mengundang kau minum beberapa cawan arak?" tiba-tiba tanyanya.
"Hayo berangkat!"
Ternyata jawaban orang itu cukup ringkas dan jelas.
Araktelah dihidangkan secara beruntun, Lau Pat dan orang itu mengeringkan tiga cawan arak
kemudian baru menghembuskan napas panjang.
Tangannya yang semula patah pada bagian pergelangannya itu diluruskan ke muka, sambil
acungkan jempolnya ia memuji:
"Bagus, suatu kepandaian yang amat jitu!"
"Sesungguhnya kepandaianku memang tidak jelek, tapi nasibmu justru jauh lebih bagus lagi."
kata orang itu hambar.
Lau Pat segera tertawa getir.
"Nasib bagus apa yang kuperoleh?" keluhnya, "semenjak dilahirkan di dunia ini belum pernah
aku Lau Pat menderita kekalahan total di tangan orang seperti apa yang kualami sekarang."
"Justru karena kau terjungkal di tangan orang itu dan menderita kekalahan tersebut, maka
kukatakan bahwa nasibmu benar-benar amat bagus." kata orang itu lagi.
177
Agaknya ia tahu kalau Lau Pat tidak mengerti dengan apa yang dikatakan, maka sambungnya
kembali:
"Seandainya kau berhasil mengalahkan orang she Tio itu, maka kau benar-benar akan
tertimpa sial."
Lau Pat semakin tidak mengerti lagi.
Orang itu meneguk dua cawan arak lagi sebelum bertanya lebih jauh:
"Engkau tahu, dari manakah si cucu kura-kura itu datang? Tahukah kau siapakah dia
sesungguhnya?"
Lau Pat menggeleng.
"Aku tidak tahu!"
"Tio Kian, Tio jiya dariTayhong tong tentunya kau ketahui bukan?"
Sudah lama Tio Kian termashur dalam dunia persilatan, sejak dua puluh tahun berselang
namanya sudah menggetarkan seluruh dunia, baik kedua pantai sungai Huang-ho, wilayah
Kwan tiong maupun Kwan pak, semuanya termasuk daerah kekuasaanTayhong tong, tentu
saja nama Tio jiya diketahui hampir oleh setiap orang di daerah tersebut.
"Kalau Tio jiya saja tidak kuketahui namanya, sia-sialah hidupku selama ini." kata Lau Pat.
"Nah, cucu kura-kura she Tio itu bukan lain adalah toa kongcunya Tio Kian . . . . !"
Paras muka Lau Pat kontan berubah hebat.
Orang itu kembali tertawa dingin.
"Heehhh . . , heeehhh . . . heeehhh . . ., bayangkan sendiri, seandainya kau berhasil
merobohkannya, apakah pihakTayhong tong akan melepaskan dirimu dengan begitu saja?"
Sambil minum arak, Lau Pat menyeka tiada hentinya peluh yang membasahi jidat dan
dagunya, tiba tiba ia gelengkan kepalanya berulang kali.
"Tidak benar, tidak, jelas ini tidak benar!"
"Bagaimana mungkin tidak benar?"
178
"Seandainya ia benar benar adalah kongcu-nya Tio jiya, asal sebutkan saja nama besarnya ke
manapun dia pergi, bukan suatu perbuatan yang menyulitkan baginya untuk memperoleh
sokongan sebesar beberapa puluh laksa tahil perak."
"Benar, perkataanmu memang benar!"
"Kalau memang demikian, apa gunanya ia musti mencari uang dengan memasuki rumah
perjudian?"
Orang itu cuma tertawa, bahkan tertawanya kelihatan begitu aneh dan misterius pula.
"Apakah ia bermaksud hendak mencari kesulitan untuk kami dan berusaha untuk
meng-hancurkan rumah-rumah perjudian kami?" desak Lau Pat lebih jauh.
Orang itu sedang minum arak, ternyata takaran araknya cukup hebat, sekalipun puluhan
cawan sudah diteguk sekaligus, ternyata wajah nya sama sekali tidak berubah.
"Akan tetapi aku cukup mengetahui peraturan dalam lingkunganTayhong tong, dalam hal
perjudian dan pelacuran mereka tak pernah mencampurinya."
Orang itu tersenyum.
"Peraturan tinggal peraturan, dia tetap adalah dia!"
Paras muka Lau Pat segera berubah hebat.
"Apakah hal ini merupakan ideenya sendiri untuk mengobrak abrik rumah-rumah perjudian
kami? Apakah diapun ingin menancapkan pengaruhnya pula dalam soal perjudian dan
pelacuran? Karena terbelenggu oleh peraturan Tay-hong-tong maka ia tak berani
mengemukakan nama serta asal usulnya . . . . . . ?"
"Hidup sebagai seorang anak muda yang gemar berfoya-foya, tidak sedikit tentu uang
pengeluarannya sehari hari, terbentur oleh peraturan Tay hong tong yang amat besar dan
ketat, bila ia tidak secara diam-diam mencoba untuk meraih sedikit keuntungan dengan cara
lain, bagaimana mungkin penghidupannya bisa dilanjutkan terus?" kata orang itu ewa.
Setelah berhenti sejenak, segera sambungnya kembali:
"Jika ingin meraih uang yang sebanyak-banyaknya dalam waktu yang sesingkat-singkat nya,
tentu saja hanya dari dua cara itu saja paling gampang untuk mempe-rolehnya.
"Ditempat inipun Tay-hong-tong punya orang, aku dapat mengadukan kejadian ini kepada
mereka," kata Lau Pat dengan gusar.
179
Jilid 7________
BAGAIMANA caramu untuk mengadukan persoalan ini? Dalam tubuh Tay-hong-tong, Tio
jiya selamanya adalah seorang yang ternama, apakah mereka bersedia membantumu untuk
menghadapi putranya sendiri?"
Lau Pat tidak berbicara lagi, peluh yang mengucur ke luar semakin banyak, tiba-tiba ia
berteriak keras:
"Tidak, bagaimanapun juga tidak bisa, ini semua adalah hasil karya yang kami perjuangkan
dengan keringat serta darah kami sendiri, tak mungkin kami rela untuk memberikan kepada
orang lain dengan begitu saja."
Orang itu menghela napas. "Sayang sekalipun tidak ingin kau serahkan juga percuma, kecuali
. . . Ya, kecuali . . .”
"Kecuali kenapa?”
“Kecuali secara tiba-tiba Tio kongcu mengidap suatu penyakit yang sangat parah dan pergi
menyusul bapaknya."
Ia penuhi cawan sendiri dengan arak dan meneguk habis dalam sekali tegukan.
"Hanya orang mati yang selamanya tak akan mencari uang untuk dipergunakan!"
Lau Pat menatapnya lama sekali dengan sinar mata tajam, tiba-tiba sambil merendahkan
suaranya ia bertanya:
Menurut pendapatmu, mungkinkah secara tiba-tiba ia akan terserang penyakit parah?”
“Kemungkinan besar!"
“Apakah kau mempunyai cara yang dapat membuatnya secara tiba-tiba terserang penyakit
parah?"
"Hal ini tergantung kepadamu!”
"Tergantung kepadaku bagaimana maksudmu".
"Tergantung apakah kau mempunyai uang kontan sebesar lima laksa tahil perak?”
Mencorong sinar tajam dari balik mata Lau Pat setelah mendengar perkataan itu.
“Kalau aku bersedia menyiapkan uang kontan sebesar lima laksa tahil perak?"
180
“Kalau kau telah bersedia menyiapkan uang kontan sebesar itu maka tugasmu cukup hanya
menyiapkan sebuah kartu undangan, undanglah kepadanya agar besok tengah hari bersedia
datang ke rumah makan masakan Shucuan yang memakai merek “Siu oh khang" di tengah
kota sana, karena kau hendak mengundangnya untuk makan siang bersama-sama."
Orang itu tersenyum, setelah menarik napas, panjang panjang terusnya lebih jauh:
“Bila ia selesai bersantap siang bersamamu, aku tanggung ia pasti akan kejangkitan suatu
penyakit aneh, bahkan sakitnya makin lama akan semakin parah.
"Sampai di manakah parahnya penyakit yang bakal diderita orang she Tio itu?"
"Pokoknya parah setengah mati, bahkan mungkin juga segera akan merenggut jiwanya."
`Bila kusebarkan undangan kepadanya, apakah dia pasti akan datang memenuhi undangan
tersebut?"
"Dia pasti akan datang.”
"Apakah aku harus mengundang pula orang lain.?" kembali Lau Pat bertanya.
"Kecuali Cia-tauke, kau jangan undang orang-orang lain, kalau t1idak . . . "
“Kalau tidak mengapa?"
Dengan wajah membesi dan suara dingin kata orang itu:
"Kalau tidak bukan dia yang terjangkit sakit parah melainkan kau sendiri."
Lau Pat mulai minum arak, menyeka keringat dan menghabiskan tiga cawan, tiba-tiba sambil
memukul meja teriaknya:
"Baik, kita lakukan seperti apa yang kita rencanakan!”
PERTARUNGAN BERDARAH
RUMAH makan "Siu-oh-kang" merupakan rumah makan termashur di wilayah Siok-tiong,
pemiliknya she Phang, bukan saja seorang pedagang yang pandai sekali melayani kebutuhan
tamunya, diapun merupakan seorang koki yang sangat pandai membuat hidangan lezat.
Masakannya yang paling terkenal adalah masakan ikan gurame masak tausi, daging masak
kecap, hati dan jerohan masak cabe, ikan masak terong serta ikan masak daging sapi.
181
Sekalipun hidangan-hidangan tersebut termasuk hidangan yang seringkali dijumpai dalam
kehidupan rumah tangga, tapi hidangan yang ia masak justru terasa lebih harum, lebih sedap
dan lebih enak rasanya . .
Terutama seekor ikan gurame kalau dimasak dengan tausi ditambah dengan cabe, bukan saja
empuk, segar, pedas bahkan boleh dimakan sebagai teman nasi atau teman minum arak,
siapapun akan doyan makan masakan tersebut sekalipun harus ketinggalan kereta.
Kemudian Phang tauke punya anak, menarik menantu dan punya cucu, diapun mengangkat
diri menjadi kepala keluarga sedang anak cucunya yang meneruskan usaha tersebut.
Sekalipun Phang tauke sudah mengundur-kan diri, tapi merek "Siu oh khang" masih tetap
dipakai, setelah anak cucunya belajar memasak darinya, merekapun membuka rumah makan
di tempat-tempat lain dengan tetap mempergunakan merek itu, kenyataan-nya setiap rumah
makan yang dibuka dengan merek tersebut selalu ramai dikunjungi orang.
Rumah makan "Siau oh khang" di kota ini baru dibuka belum lama, kokinya konon masih
keturunan langsung dari Phang tauke, hidangan ikan guramenya juga terbitung pedas, segar,
enak dan empuk.
Sebab itulah meski baru dibuka setengah tahun, tapi namanya sudah tersohor sampai di manamana.
Bu-ki mengetahui pula tempat itu, ketika hari pertama ia datang ke kota itu, makan malamnya
telah dilakuken di rumah makan Siu oh khang.
Kecuali masakan Ang sio leihi yang amat mahal harganya, ia memesan pula empat macam
hidangan yang pedas, seporsi telur dimasak ikan, seporsi daging masak kecap dan semangkuk
kuah tahu.
Ia bersantap dengan amat puas, peluh membasahi tubuhnya karena kepedasan. Bahkan ia
menghadiahkan tujuh uang tembaga untuk sang pelayan.
Seorang tamu yang datang bersantap seorang diri ternyata mampu menghadiahkan tujuh mata
uang tembaga sebagai tip, hal ini sudah terhitung suatu yang luar biasa.
Oleh karena itulah, baru saja hari ini dan melangkah masuk. "Mo sut telah menyambut
kedatangannya dari kejauhan sambil membungkukkan badan.
Mo-sut adalah kakak dialek Suchuan. Mo-su artinya pelayan, baik pelayan rumah makan atau
pelayan warung . . . . .
Konon semua pelayan yang bekerja di situ asli import dari Suchuan, sekalipun sudah tidak
terdengar lagi kata kata seperti "Khek locu." cucu kura-kura2 dan lain sebagainya, tapi setiap
182
orang mengenakan ikat kepala berwarna putih, ini sebagai pertanda bahwa mereka adalah
orang asli Shucuan.
Orang Shucuan gemar mengenakan ikat kepala berwarna putih, konon sebagai peringatan
untuk Cukat Hu ho (Khong Beng).
Setelah memasuki wilayah Shucuan, bila bertemu dengan orang yang tidak memakai ikat
kepala putih, dia pasti adalah orang orang yang disebut sebagai "Orang udik" atau "orang di
bawah telapak kaki" oleh orang-orang Shucuan, sekalipun ia cuma menghabiskan makanan
seharga tigapuluh mata uang tembaga, paling sedikit yang dibayar harus satu tahil perak.
Untungnya tempat itu bukan wilayah Shucuan, hari ini Bu-ki pun tidak mengundang orang.
Maka ketika kakinya melangkah masuk dari pintu gerbing "Siu oh-khang", wajahnya
me-nunjukkan perasaan yang riang.
Benarkah hati kecilnya ikut riang, hanya Thianlah yang tahu.
Tuan rumahnya ada dua orang, Cia Lak dan Lau Pat. Sebaliknya tamunya cuma Bu-ki
seorang.
Hidangan yang telah disiapkan di meja beraneka macam, sekilas pandangan saja dapat di
ketahui bahwa semua masakan yang dipesan adalah hidangan-hidangan mewah yang mahal
harganya.
Arakpun merupakan arak Tay mie yang paling enak dan tersohor.
Sambil tersenyum Bu ki lantas berkata:
"Kalian berdua betul-betul terlalu sungkan!”
Cia Lak dan Lau Pat memang teramat sungkan terhadap seseorang yang sudah hampir mati,
sungkan sedikit memang tak ada artinya.
Sebelum datang ke sana, mereka telah merundingkan persoalan ini lama sekali, bahkan
berunding secermat-cermatnya.
"Meskipun orang itu asal usulnya kurang begitu jelas bahkan amat misterius, tapi apa yang
dikatakannya cukup dapat dipercaya."
"Percayakah kau bahwa orang itu sanggup menghadapi Tio Bu ki?”
"Aku yakin!”
183
"Kau pernah menyaksikan ilmu silatnya?" sebenarnya Cia Lak selalu menunjukkan sikap
menaruh curiga.
"Bukan saja ilmu silatnya tidak menjadi soal, bahkan dari balik tubuhnya seakan-akan
membawa sejenis hawa sesat yang menggidikkan hati."
"Hawa sesat bagaimana maksudmu?"
"Sulit bagiku untuk mengucapkannya, tapi setiap kali mendekati orang itu, aku selalu merasa
hatiku mengkirik dan bulu kudukku tanpa terasa pada bangun berdiri, aku selalu merasa
bahwa di balik badannya seakan-akan tersembunyi seekor ular beracun, yang setiap saat bisa
menongol ke luar dan memagut orang.”
"Dengan cara apakah dia hendak turun tangan?"
"Ia tidak bersedia memberitahukan kepadaku, ia cuma memesankan ruangan vip di rumah
makan Siou oh khang tersebut.”
"Kenapa musti memilih rumah makan Siou oh khang?"
"Ia berbicara dengan dialek Shucuan, sedang Siou oh khang adalah rumah makan yang khusus
menghidangkan masakan Shucuan, aku rasa di rumah makan itu dia pasti mempunyai
pembantu."
Pelayan yang bekerja di rumah makan Siou oh khang berjumlah sepuluh orang, lima di atas
loteng dan lima di bawah loteng.
Secara diam-diam Cia Lak telah memperhatikan mereka semua, ternyata dari sepuluh orang
tersebut ada empat orang yang bertubuh enteng dan cekatan, jelas merupakan seorang jago
silat.
Menanti mereka sudah duduk di atas loteng telah bertambah lagi dengan seorang pelayan, dia
adalah "sahabat" mereka itu.
"Kami telah berjanji, ongkos yang lima laksa tahii perak itu akan kubayar tiga laksa tahil lebih
dulu, sedang sisanya akan dibayar setelah berhasil nanti".
"Kau telah membayar kepadanya?"
"Pagi tadi sudah kuberikan kepadanya".
"Surat undangannya?"
184
"Surat undangan itu telah kuberikan kepada orang she Tio itu, malah kusertakan juga sepucuk
surat pendek".
"Siapa yang menulis surat itu".
"Engkuku"!
Meskipun engku Lau Pat bukan seorang sastrawan, namun untuk menulis sepucuk surat jelas
bukan persoalan yang menyulitkan.
Dalam surat itu mula-mula dinyatakan rasa sesal dan kagumnya kepada Bu-ki, kemudian
berharap kedatangan Bu ki untuk makan siang sambil menghilangkan rasa permusuhan di
antara mereka.
"Menurut pendapatmu, mungkinkah dia akan datang memenuhi janji?"
"Aku rasa dia pasti datang!"
"Kenapa? “
"Sebab pada dasarnya dia adalah seorang pemberani, terhadap persoalan apapun tidak
mengambil perduli.”
Tentu saja Bu ki telah datang.
Ia tak pernah menampik undangan orang lain, entah siapapun yang mengundang
kedatangannya.
"Sampai kapan mereka baru akan turun tangan?"
"Dikala Ang sio leihi dihidangkan dan kujepit kepala ikan dengan sumpit, mereka segeraa
akan turun tangan!"
*****
Kini hidangan utama belum ke luar, yang dihidangkan baru empat macam makanan dingin
dan empat macam masakan panas. namun telapak tangan Lau Pat sudah di basahi oleh
keringat dingin.
Ia bukannya tak pernah membunuh orang, dia pun bukannya tak pernah melihat orang lain
membunuh orang, tapi saat penantian adalah saat yang paling menegangkan urat syaraf, ia
cuma berharap persoalan ini dapat segera diselesaikan, agar manusia yang bernama Tio Bu ki
selamanya lenyap dari permukaan tanah.
185
Karena persoalan ini tak boleh sampai diketahui Ciau Jit Tayya, maka sekali turun tangan tak
boleh sampai salah bertindak.
Bu-ki selalu menunjukkan wajah riang, seakan-akan tak pernah dirasakan olehnya bahwa
dalam persoalan ini terdapat kecurigaan yang perlu dikuatirkan.
Meskipun ia tidak pernah minum arak disiang hari, tidak makan terlalu banyak, tapi
per-kataannya tidak sedikit.
Karena pada saat ia sedang berbicara, orang lainpun tidak akan menemukan bahwa selama ini
dia terus menerus melakukan pengawasan.
Ia tidak menemukan sesuatu yang tak beres tentang tempat itu, beberapa macam sayur yang
dihidangkan jelas tidak pula mengandung racun! Buktinya Cia Lak dan Lau Pat makan sayur-
-sayur itu dalam jumlah yang tidak sedikit.
Bahkan pengawal pribadipun tidak mereka bawa, jelas di luar di sekeliling rumah makan itu
juga tidak disiapkan orang-orangnya yang siap melakukan sergapan.
Jangan-jangan mereka memang betul-betul berniat menghilangkan rasa permusuhan dan
mengikat diri menjadi sahabat.
Hanya ada satu hal yang kelihatannya aneh, yakni beberapa orang pelayan rumah makan itu
kelihatannya luar biasa bersihnya.
Sewaktu mereka menghidangkan sayur tadi, Bu ki telah memperhatikan secara khusus jari
jemari mereka, buktinya jangankan telapak tangan, kuku mereka yang terawat rapihpun tidak
ditemukan tanda-tanda minyak ataupun kotoran.
Jarang ditemukan manusia sebersih ini di tempat tempat rumah makan semacam ini.
Tapi, bila dikatakan mereka benar-benar mempunyai rencana busuk, sudah seharusnya
berpikir pula sampai ke situ, paling tidak tubuh mereka dibuat sedikit rada kotor.
Ia merasa, salah seorang di antara pelayan-pelayan itu mempunyai bayangan punggung yang
cukup dikenal olehnya, seakan-akan di suatu tempat ia pernah menjumpainya.
Tapi sayang, justru pada saat seperti ini Bu ki tak dapat mengingatnya kembali.
Ia ingin sekali menyaksikan raut wajah orang itu, tapi dia cuma bergerak lewat di pintu depan
saja, lalu turun loteng.
"Heran, kenapa aku bisa kenal dengan pelayan di rumah makan ini? Tidak terlalu banyak
manusia di dunia ini yang memiliki potongan badan sepersis itu."
186
Dia selalu mencarikan jawaban dan penjelasan bagi masalah pelik yang dihadapinya, karena
ia tidak berniat sungguh-sungguh untuk mencari satroni dengan manusia macam Cia Lak dan
Lau Pat.
Ia selama ini berbuat demikian tidak lebih karena dia ingin mempergunakan cara ini untuk
mencari seseorang.
Menurut pendapatnya, hanya dengan cara ini saja jejak orang itu dapat ditemukan.
*****
Masakan ikan leihi yang paling tersohor bagi rumah makan Siu oh khang akhirnya
dihidangkan juga, masakan ikan tersebut dihidangkan khusus menggunakan sebuah baki besar
yang panjangnya mencapai dua depa lebih, hawa panas menyiarkan bau harum dan pedas,
suatu perpaduan bau yang menggelitik selera makan siapapun.
Selama ini ada dua orang pelayan yang secara khusus melayani kebutuhan mereka, setelah
menghidangkan air teh, orang itu kembali mundur dengan kepala yang ditundukkan.
"Adakah di antara kalian yang suka makan kepala ikan?" Tiba tiba Lau Pat berkata.
Cia Lak segera tertawa.
"Kecuali kau, hanya kucing yang suka makan kepala ikan!"
Mendengar itu Lau Pat segera tertawa terbahak bahak.
"Haaahhh...haaahhh....haaahhh...kalau begitu biar kunikmati sendiri kegemaranku ini."
Sambil berkata, dia lantas menyumpit kepala ikan tersebut.
Pada saat itulah tiba-tiba meja perjamuan di tendang orang hingga terbalik, menyusul
kemudian sambil menerjang ke muka Bu ki membentak keras:
"Oooh . . . . rupanya kau!"
Pelayan yang menghidangkan sayur itu baru saja mundur ke depan pintu, tubuhnya baru saja
berputar setengah jalan, Bu ki telah menerkam ke depan.
Pada saat yang berbarengan itulah, dua orang pelayan yang selama ini berada dalam ruangan
melancarkan serangan pula secara serentak.
187
Serangan yang mereka bertiga lancarkan semuanya merupakan senjata rahasia, secara terpisah
dua orang melancarkan enam buah titik bintang berwarna hitam yang masing-masing
mengancam kaki serta punggung Bu-ki.
Setelah serangan dilancarkan, barulah kelihatan kalau di tangan mereka masing-masing
mengenakan sebuah sarung tangan yang terbuat dari kulit menjangan.
Laki-laki kekar yang merundingkan rencana tersebut dengan Lau Pat segera manfaatkan
kesempatan itu dengan sebaik-baiknya, di kala tubuhnya berputar ia lantas mengenakan
sarung tangannya.
Maka ketika Bu ki menerjang kearahnya, ia lantas berkelit ke samping lalu dengan gerakan
Hui tau wang gwat ( berpaling memandang rembulan ) segenggam pasir beracun yang
berwarna hitam segera ditebarkan ke arah depan.
Cia Lak dan Lau Pat yang sebenarnya telah mengundurkan diri ke sudut ruangan segera
berubah wajahnya. tanpa sadar mereka berseru kaget.
Meskipun mereka belum tahu kalau senjata rahasia yang dipergunakan adalah Tok ci li
(ilalang beracun) dan Toan hun sah (pasir pemutus nyawa) dari keluarga Tong yang sudah
termashur di seluruh dunia, namun mereka tahu, biasanya bila seseorang mengenakan sarung
tangan kulit menjangan sebelum melepaskan senjata rahasianya maka hal ini menunjukkan
bahwa senjata rabasia yang dilancarkan pasti mengandung racun yang amat jahat.
Waktu itu tubuh Bu ki masih melambung di udara, jangankan untuk menghindari serangan
beribu ribu-biji pasir beracun yang datang dari muka, berkelit dari keduabelas biji Tok ci li
dari belakangpun sukarnya melebihi merangkak naik ke langit.
Di antara jenis-jenis senjata rahasia dari keluarga Tong, pasir beracun Toan hun sah terhitung
senjata rahasia yang paling ampuh dan merupakan juga jenis yang paling menakutkan.
Pasir-pasir beracun itu lebih kecil bentuknya dari pada biji beras. sekalipun tak bisa mencapai
jarak yang cukup jauh, tapi begitu dilancarkan, langit akan berubah menjadi gelap gulita.
Dalam keadaan begini, jika musuh berada dalam radius satu kaki sampai dua kaki, maka
jangan harap ia bisa menghindarkan diri, sebiji saja bersarang di tubuh akan mengakibatkan
badan menjadi busuk dan racun itu meresap ke dalam tulang.
Ini semua sekali lagi membuktikan bahwa setiap langkah dari setiap kemungkinan yang bakal
terjadi dalam operasi ini telah melalui suatu rencana serta pemikiran yang cermat.
Tentu saja persiapan-persiapan itu meliputi juga bagaimana penempatan posisi dari ketiga
penyerangnya dan arah serta bagian tubuh manakah yang harus diserang sehingga sama sekali
tidak memberi kesempatan bagi musuhnya untuk menghindarkan diri.
188
Ya, jelas sudah bahwa semuanya itu telah mereka perhitungkan secara tepat dan masakmasak.
Tapi mereka tidak menyangka kalau Bu ki akan mengenali kembali laki-laki berikat kepala
putih itu disaat terakhir menjelang dimulainya operasi mereka, mereka tidak mengira kalau
Bu ki akan mengenali kembali lelaki itu sebagai salah seorang pengiring Sangkoan Jin tempo
hari, atau pembunuh dari Tio Piau yang dikuatirkan akan membocorkan rahasia mereka.
Kendatipu Bu ki tindak terlalu memperhatikan manusia semacam ini, tapi paling tidak dalam
benaknya telah mempunyai sedikit kesan yang cukup mendalam.
Dan kini justru karena kesannya itu, selembar jiwanya berhasil diselamatkan.
Ia telah turun tangan selangkah lebih duluan, sebelum pihak lawan mulai melancarkan
serangan mautnya, ia telah menubruk ke depan lebih dahulu . . . .
Sekalipun sambil memutar tubuhnya laki-laki itu masih sempat melancarkan serangan dengan
pasir beracunnya, namun dalam keadaan kaget dan gugup serangan itu toh tetap masih agak
lambat.
Ketika tanganya baru saja diayukan, Bu ki telah tiba di bawah iganya, kepalannya yang lebih
keras dari baja itu tahu-tahu sudah bersarang di atas tulang iganya yang nomor satu dan
nomor dua.
Bunyi gemeretuk remuknya tulang baru kedengaran, tubuhnya sudah terlempar ke belakang
dan secara kebetulan menyongsong datangnya serangan Tok ci li yang datang dari belakang.
Diantara kedua belas batang Tok ci li tersebut adalah sembilan batang diantaranya telah
bersarang di atas tubuhnya.
Tentu saja ia mengetahui sampai di manakah kehebatan dari senjata rahasia tersebut,
ketakutan dan rasa ngeri telah menyumbat tenggorokannya membuat dia ingin berteriakpun
tak sanggup berteriak lagi.
Selang sejenak kemudian, ia mulai merasa kehilangan seluruh daya kontrol dan daya kendali
terhadap semua organ di dalam tubuhnya, air mata, ingus, air liur, air seni dan kotoran tubuh,
serentak meleleh ke luar secara otomatis.
Menanti Bu ki melemparkan tubuhnya ke luar, sekujur badannya telah telah menjadi lemas
dan tak bertenaga, tapi justru dia belum juga mau mati.
Bahkan ia masih sempat mendengar suara remuknya tulang belulang dari kedua orang
rekannya itu, kemudian terdengar pula jeritan mereka yang memilukan hati.
189
Setelah itu dia merasakan juga sebuah tangan yang dingin bagaikan es menampar pipinya,
lalu seseorang bertanya:
"Sangkoan Jin berada di mana?"
Tangan itu menampar tiada hentinya di kedua belah pipinya, tentu saja dengan harapan agar ia
tetap mempertahankan kesadarannya, tapi sayang pada saat itulah ia merasa suara pertanyaan
itu kedengaran makin lama semakin jauh makin lama semakin lirih . . . .
Dia membuka mulutnya ingin berbicara, tapi yang mengalir ke luar cuma air liur yang getir
rasanya, bukan cuma getir bahkan bau dan tak sedap rasanya.
Waktu itu ia mulai bisu, mulai buta dan tuli, bahkan perasaanpun ikut mati . . .
Akhirnya pelan-pelan Bu ki bangkit berdiri, wajahnya dipalingkan ke arah Cia Lak dan Lau
Pat.
Wajahnya pucat pias tiada pancaran cahaya darah. tapi tubuhnya penuh berlepotan darah,
entah darah siapa yang telah menodai tubuh serta bajunya itu?
Bukan darah orang lain saja yang terdapat di tubuhnya, darah sendiripun ikut terdapat
di-antaranya.
Ia tahu beberapa biji pasir beracun sempat menggesek di atas wajahnya dan melukainya,
malah ada sebatang senjata rahasia Tok ci li yang bersarang pada bahunya.
Tapi ia tak tahan membiarkan orang lain tahu.
Sekarang sari racun itu belum mulai bekerja, dia harus mempertahankan sedapat mungkin,
kalau tidak maka diapun akan mampus secara konyol di tempat itu.
Telapak tangan Lau Pat telah basah, malah pakaian yang dikenakanpun ikut basah oleh peluh
dingin yang mengucur ke luar dengan derasnya.
Apa yang berlangsung barusan seakan-akan hanya suatu impian buruk, suatu impian buruk
yang mencekam perasaan siapapun.
Bunyi tulang yang remuk, jeritan kesakitan yang menyayat hati serta rintihan yang
memilukan, kini hampir telah berhenti semua.
Tapi ruangan tersebut masih saja penuh diliputi oleh bau darah serta bau busuk yang membuat
orang sukar untuk menahannya.
190
Ia sudab ingin tumpah.
Ia pingin menerjang ke luar dari situ, tapi tak berani berkutik.
Bu ki berdiri tepat di hadapan mereka, sedang memandang ke arahnya dengan pandangan
dingin.
"Idee siapakah ini?" ia menegur dengan suara yang ketus dan menyeramkan hati orang.
Tak seorangpun yang buka suara, tak seorangpun yang mengakuinya.
Kembali Bu ki berkata sambil tertawa dingin.
"Bila kalian sungguh-sungguh ingin membunuhku, mau turun tangan pada saat inipun masih
belum terlambat."
Tak seorang manusiapun berani berkutik.
Bu ki memandangnya dengan dingin, tiba-tiba ia putar badan dan berjalan ke luar dari situ.
"Aku tak akan membunuh kalian, sebab kalian masih belum pantas kubunuh dengan tanganku
sendiri."
Langkah kakinya masih begitu tenang, begitu mantap dan bertenaga. Bagaimanapun juga ia
tak akan membiarkan siapapun tahu kalau ia sudah hampir tidak tahan.
Mulut luka itu sedikitpun tidak sakit, hanya sedikit kaku, seperti kena digigit oleh semut.
Tapi kepalanya sudah pusing tujuh keliling, pandangan matanya sudah mulai menjadi gelap.
Senjata rahasia beracun dari keluarga Tong memang bukan cuma nama kosong, dalam rumah
makan itu pasti masih ada orang-orang dari keluarga Tong, sebab pelayan yang tampak
istimewa bersihnya itu paling tidak masih ada dua-tiga orang.
Biasanya orang yang suka menggunakan racun memang memiliki dandanan tubuh yang
kelewat bersih.
Bu ki membusungkan dadanya dan berjalan ke luar dari rumah makan itu dengan langkah
yang mantap.
Ia sama sekali tidak tahu apakah luka yang dideritanya masih bisa tertolong atau tidak, tapi
bagaimanapun juga dia harus ke luar dari tempat tersebut.
191
Sekalipun bakal mampus, dia tak akan mampus di sini, apalagi mampus di hadapan musuhmusuh
besarnya.
Tak seorang manusiapun berani menghalangi jalan perginya, sekalipun di sana terdapat
orang--orang dari keluarga Tong, nyali mereka sudah dibuat pecah oleh kegagahan musuhnya.
Akhirnya ia berhasil juga ke luar dari pintu gerbang rumah makan yang tampak megah serta
gagah itu.
Tapi berapa jauhkah ia masih sanggup berjalan?
Sinar matahari mencorong dengan teriknya, tapi pandangan matanya makin lama semakin
gelap, orang yang berlalu lalang di sekeliling tempat itupun tampak olehnya bagaikan
bayangan-bayangan hitam yang sedang melompat-lompat.
Dia ingin mencari sebuah kereta kuda tapi trak berhasil menemukannya, sekalipun ada sebuah
kereta besar yang tepat berhenti di hadapannya, belum tentu ia sanggup melihatnya sendiri.
Entah berapa jauh sudah ia berjalan . . tiba-tiba ia merasa tubuhnya seperti menumbuk di atas
tubuh seseorang.
Kemudian orang itu seperti lagi mengajaknya berbicara, apa mau dikata suara orang itu justru
kedengaran begitu sayup-sayup sampai, begitu kabur dan seakan-akan datang dari tempat
yang jauh sekali, ia tak dapat mendengarnya dengan jelas.
Tapi . . siapakah orang itu, sahabat atau musuh besarkah orang itu . . . ? Kenapa ia
mengajaknya berbicara?
Sekuat tenaga ia berusaha membuka matanya lebar-lebar, raut wajah orang itu tepat berada di
hadapannya, namun ia masih belum dapat melihatnya dengan teramat jelas.
Tiba-tiba orang itu berteriak dengan sepenuh tenaga :
"Hei . . . ! Aku adalah Samwan Kong, masih kenalkah kau dengan diriku ini? Hei, masih
kenal tidak?"
Bu-ki segera tertawa, ia tertawa lebar sekalipun suara tertawa sendiri tak begitu kedengaran
lagi olehnya.
Sambil mencengkeram bahunya, diapun berseru: "Tahukah kau bahwa aku sedang bertaruh
kepada diriku sendiri . . . . . . . ?"
"Apa yang sedang kau pertaruhkan?"
192
"Aku bertaruh kau pasti akan datang mencariku, pasti dan tak mungkin tidak."
Setelah tersenyum sebentar, ia menambahkan: "Dan buktinya sekarang, kau benar-benar telah
muncul di hadapanku, aku menang!"
Setelah mengucapkan kata kata tersebut, ia roboh tak sadarkan diri . . . .
Setalah bertahan sekian lama, bertahan agar jangan diketahui oleh musuhnya bahwa ia
terluka, kini ia tak sanggup mempertahankan diri lagi, terutama setelah mengetahui bahwa
Samwan Kong berhasil ditemukan. segenap tenaganya membuyar dan diapun roboh tak
sadarkan diri.
Tinggal Samwan Kong seorang yang memandang kearahnya dengan wajah melongo.
RACUN DAN SENJATA RAHASIA
KELUARGA Tong di wilayab Siok-tiong bukan suatu perguruan ilmu silat, bukan pula
sebuah perkumpulan atau organisasi rahasia, melainkan adalah suatu keluarga persilatan.
Akan tetapi sudah hampir dua ratus tahun lebih keluarga persilatan ini menjagoi wilayah
Suchuan, selama ini belum pernah ada perguruan lain atau anak buah dari perguruan lain yang
berani sembarangan memasuki wilayah kekuasaan mereka. Sebab obat racun dan senjata
rahasia terlalu menakutkan.
Konon senjata rabasia mereka terdiri dari tujuh jenis, yang sering ditemui dalam dunia
persilatan tak lebih hanya jarum beracun, Tok-ci li serta pasir Toan hun sah.
Kendatipun cuma tiga macam, namun sudah cukup menggetarkan sukma dan memecahkan
nyali setiap umat persilatan, sebab barang siapa terkena sejenis saja dari senjata rahasia
mereka itu, maka dia hanya menunggu saat datangnya ajal, menunggu hingga mulut lukanya
membusuk dan hancur kemudian baru pelan-pelan mati, mati dalam keadaan yang jauh lebih
menderita dan sengsara dari pada kematian macam apapun juga.
Racun jahat yang dipoleskan di ujung senjata rahasia mereka bukannya tiada obat
penawarnya. Cuma saja obat penawar dari keluarga Tong, seperti juga senjata rahasia beracun
dari keluarga Tong, selamanya merupakan rahasia nomor satu bagi umat persilatan.
Kecuali anak cucu dan keturunan langsung dari keluarga Tong, tak nanti ada orang lain yang
mengetahui rahasia tersebut, malahan diantara sekian banyak anak cucu keluarga Tong tak
lebih dari tiga orang manusia belaka yang memiliki obat penawar bagi racun senjata rahasia
mereka.
193
Oleh sebab itu bila kau sampai terkena senjata rahasia beracun dari keluarga Tong, berarti kau
sedang menunggu tibanya ajal, menunggu mulut luka itu mulai membusuk lalu mati dengan
pelan-pelan. Yaa, pelan sekali .........
*****
Bu-ki belum mati, dalam keadaan tak sadar ia selalu merasa tubuhnya terombang-ambing naik
turun tiada hentinya, seakan-akan selembar daun yang sedang dipermainkan oleh gelombang
samudra yang amat besar.
Akan tetapi dikala ia sadar kembali dari pingsannya, ditemukan tubuhnya sedang berbaring
dengan tenang di atas sebuah pembaringan yang bagus dan nyaman.
Samwan Kong tepat berdiri di ujung pembaringan sambil memperhatikan ke arahnya dengan
wajah yang kesemsem tapi tampak juga keseriusannya, sehingga wajahnya yang pada
dasarnya memang aneh kelihatan lebih lucu dan menggelikan.
Ketika menyaksikan Bu-ki membuka matanya dan sadar kembali, manusia yang berwatak
aneh ini segera tertawa terkekeh kekeh seperti seorang anak kecil.
Ia mengerdipkan sepasang matanya, lalu berkata:
"Tahukah kau bahwa akupun sedang bertaruh kepada diriku sendiri ?"
"Bertaruh apa?" tanya Bu ki dengan suaranya yang lemah dan lirih setelah membasahi
bibirnya yang getir, kering dan merekah itu dengan ujung lidahnya.
"Aku bertaruh aku pasti dapat mempertahankan selembar jiwamu itu."
Mencorong sinar tajam dari balik matanya, senyum dan gelak tertawanya jauh lebih riang dari
gelak tertawa seorang anak kecil, kembali ujarnya: "Dan kali ini akupun berhasil menang!"
*****
Bu ki sudah mulai bersantap sedikit bubur manis yang dibuat dari jinsom serta Yang oh.
Tapi mulutnya masih terasa amat getir, sedemikian getirnya hingga ingin tumpah rasanya.
Sehabis makan bubur manis itu, ia baru merasakan tubuhnya agak segar.
Bubur itu dimasak deagan cara yang unik tapi lezat, seperti juga perabot dalam ruangan itu,
unik tapi menyenangkan, tidak tawar pun tidak terlalu asin, persis dan sedap dirasakan.
194
Ia percaya rumah ini bukan milik Samwan Kong, bagi seorang peujudi yang setiap kali
berjudi selalu kalah, atau mungkin saja ia memiliki rumah sebagus ini, tapi tak mungkin akan
memiliki sebuah keluarga seperti ini.
Menanti kekuatan tububnya sudah mulai pulih kembali, tak tahan lagi dia pun lantas bertanya:
"Tempat manakah ini?"
"Inilah tempat yang ke delapan!" jawab Samwan Kong.
Tempat ke delapan? Apa artinya?”
Tentu saja kau tak akan faham.
"Dalam semalaman kemarin, aku telah membawamu mengunjungi tujuh-delapan buah tempat
yang berbeda," Samwan Kong menerangkan.
Ia telah menunggang kuda semalaman suntuk menunggangnya dengan sangat cepat . . . itulah
sebabnya mengapa Bu ki selalu merasa tubuhnya seakan-akan sedang terombang ambing di
tengah gelombang samudra yang maha dahsyat ........
Ia telah mencari tujuh delapan orang yang kemungkinan bisa menyembuhkan luka yang
diderita Bu ki, tapi setelah orang lain mengetahui bahwa Bu ki, terkena senjata rahasia
beracun dari keluarga Tong, mereka selalu memberi jawaban yang sama: "Maaf!"
Kembali Samwan Kong bertanya:
"Tahukah kau, kenapa sampai sekarang kau masih dapat hidup segar bugar . . . ?"
"Kenapa?" Bu ki balik bertanya.
"Pertama, karena ketiga orang cucu kura-kura dari keluarga Tong itu bukan jago lihay dari
keluarga Tong, senjata rahasia yang mereka pergunakanpun tidak lebih merupakan sisa-sisa
senjata rahasia yang tak terpakai oleh anak cucu keturunan keluarga Tong".
Setelah berhenti sejenak, ia melanjutkan kembali.
"Seandainya Tok ci li yang bersarang di tubuhmu itu adalah barang asli, sekarang kau sudah
remuk dan hancur menjadi cairan yang amat busuk".
Bu-ki cuma tertawa getir.
"Kedua, karena tuan rumah tempat ini secara kebetulan memiliki sebiji teratai salju dari
Thian-san, dan kebetulan juga dia adalah sahabat karibku".
195
Soat lian cu atau teratai salju dari bukit Thian-san merupakan obat mustajab yang paling
manjur untuk memunahkan daya kerja racun jahat, kemujarabannya diakui secara umum oleh
setiap umat persilatan di dunia, benda itu merupakan benda yang langka dan harganya jauh
melebihi intan permata yang jumlahnya mencapai segudangpun.
Ternyata tuan rumah gedung itu bersedia mengorbankan obat mustajabnya demi
menyelamatkan seseorang yang masih asing baginya, maskipun sebagian besar karena
memandang di atas wajah Samwan Kong, namun Bu kipun merasa amat berterima kasih
kepadanya.
"Ketiga," ujar Samwan Kong lebih lanjut, "tentu saja karena aku telah bertaruh dengan diriku
sendiri, aku tak akan membiarkan kau mati karena keracunan."
Tiba-tiba Bu ki mengangguk.
"Yaa, aku tahu, kau berbuat demikian pasti karena ingin tahu kenapa setiap kali kulemparkan
daduku pasti akan ke luar angka enam tiga kali? Bukankah kau ingin mempelajari cara
tersebut? Kaupun ingin tahu, apakah kekalahan yang kau derita kali ini merupakan kekalahan
yang penasaran atau tidak?"
"Kau tahu?" tanya Samwan Kong sambil membelalakkan matanya.
Yaa, tentu saja aku tahu."
"Apakah kau sengaja berbuat demikian?"
"Sudah barang tentu aku sengaja berbuat demikian.*
Kenapa?"
"Sebab aku tidak berhasil menemukan kau, maka terpaksa musti kugunakan suatu akal agar
kau yang datang mencariku."
"Kau tahu dengan pasti bahwa aku pasti akan datang mencarimu?"
Bu ki segera tertawa, "Tentu saja, sebelum persoalan ini kau bikin terang, aku yakin selama
ini kau pasti makan tak enak tidur tak nyenyak!" katanya.
Mendengar itu Samwan Kong tertawa terbahak bahak.
"Haaahhh . . haaahhh . . haaahh . . bagus, bagus, bocah muda, kau memang betul-betul sangat
lihay!"
196
"Bukan cuma lihay saja!"
Tiba tiba Samwan Kong menghentikan gelak tertawanya, dengan wajah serius dan mata
melotot ditatapnya wajah Bu ki lekat lekat, kemudian ujarnya bersungguh sungguh:
"Sesungguhnya kau telah mempergunakan kepandaian tangan atau tidak? Sebetulnya
kekalahan yang kuderita waktu itu adalah kekalahan yang penasaran atau tidak?"
"Menurut dugaanmu?" Bu ki bL"~ik bertanya sambil tersenyum.
Tiba-tiba Samwan Kong meloncat ke udara, lompatan itu mencapai ketinggian satu kaki
lebih, teriaknya keras keras:
"Bocah muda, dengan sudah payah kuselamatkan selembar jiwa kecilmu, demikianlah
pem-balasanmu?"
Bu ki sama sekali tidak dibikin terkejut oleh teriakannya itu, dia malah tertawa semakin riang.
"Perduli bagaimanapun jalan pikiranmu waktu itu, pokoknya karena waktu itu kau tak dapat
me-lihatnya, maka kau musti mengaku kalah!"
"Apakah tidak kau saksikan emas-emas yang kuserahkan karena kalah bertaruh?” teriak
Samwan Kong lagi dengan marah.
"Itu kan kau kalah bertaruh dari Siau sianseng, jangan lupa kau masih kalah bertaruh sebuah
benda kecil kepadaku!"
"Aku kalah apa lagi kepadamu?"
"Yaa, sepatah kata saja!"
Seakan akan daya ingatan Samwan Kong secara mendadak menjadi amat jelek, ia
meng-gelengkan kepalanya berulang kali.
“Sayang aku sudah tak mengingatnya lagi!"
"Aaah . .! Kau pasti masih ingat, kau bilang asal aku bisa melemparkan enam tiga kali maka
terserah apapun yang kuminta!"
Sekalipun Samwan Kong ingin mungkir, ia tak mungkin mungkir lebih jauh, apalagi dia
memang bukan seseorang yang gemar mungkir, daya ingatannyapun tidak sejelek apa yang
diperlihatkan tadi.
197
Kembali dia melompat ke udara sambil mencak mencak, teriaknya dengan suara yang keras
seperti geledek:
"Mau apa kau sekarang ? Mengawiniku sebagai binimu?"
"Aaah . . . Tidak, masa kau akan kujadikan biniku? Aku hanya berharap agar kau bisa
mencarikan seseorang bagiku."
Sorot mata pengharapan dan kehangatan segera terpancar ke luar dari balik matanya, kembali
ia berkata:
"Kau pernah berkata, bukan cuma bertaruh saja kau memiliki kepandaian besar,
kepandaianmu mencari orangpun nomor satu di dunia."
Rada senang Samwan Kong mendengar pujian itu, terutama kata kata seperti "nomor satu di
dunia", yaa, setiap orang pasti suka mendengarkan pujian setinggi langit, siapakah yang tidak
menyukainya?
Maka dia lantas bertanya: "Siapakah yang kau cari?*
Bu ki mengepal sepasang tangannya kencang-kencang dan berusaha mengendalikan
pergolakan emosinya, sepatah demi sepatah kata ia menjawab:
*Sangkoan Jin."
“Sangkoan Jin dari Tay hong tong?" seperti tersengat lebah, Samwan Kong menjerit kaget.
Bu ki mengangguk, jidatnya telah dibasahi oleh peluh dingin yang penuh mengandung rasa
benci, sedih dan dendam.
“Kau adalah putra Tio Kian, maka kau hendak mencari Sangkoan Jin untuk membalas
dendam?" kata Samwan Kong lagi.
Kembali Bu ki manggut manggut, jawabnya dengan sedih:
"Kau telah menyelamatkan jiwaku, selama hidup tak akan kulupakan budi kebaikanmu itu,
aku bukan seorang manusia yang lekas melupakan budi kebaikan orang, tapi bagaimanapun
juga aku harus menemukan Sangkoan Jin sampai dapat!"
"Setitik tanda terangpun tidak kau miliki?"
"Sama sekali tidak ada."
Samwan Kong tidak berbicara lagi, ia berjalan mengitari ruangan itu sampai sepuluh kali
banyaknya, tiba-tiba ia berteriak keras.
198
"Baik, aku akan mencarikan untukmu, cuma . . . . . "
“Cuma kenapa?"”
“Setelah dia kau temukan, apa yang hendak kau lakukan? Dengan kepandaianmu sekarang,
telur-telur busuk kecil yang merupakan kurcaci dari keluarga Tong saja tak mampu kau
hadapi, bahkan nyaris nyawamu ikut melayang, apa yang hendak kau andalkan untuk
menghadapi Sangkoan Jin?"
Bu-ki termenung, lama, lama sekali ia membungkam diri, akhirnya pelan-pelan ia baru
berkata:
"Tentang masalah tersebut, aku telah memikirkannva!"
"Oya?”
"Sejak aku berkunjung ke rumahnya Siau sianseng, telah kuketahui bahwa orang pintar yang
ada di dunia ini jauh lebih banyak dari pada apa yang kubayangkan semula, akupun tahu
bahwa ilmu silatku masih teramat cetek daripada apa yang pernah kubayangkan sebelumnya!
"Rupanya kau masih sedikit tahu diri!"
"Aku hanya ingin membalas dendam, bukan pergi untuk menghantar kematianku sendiri."
"Ehmm, kau memang tidak bodoh!"
"Oleh sebab itu asal kau dapat membantuku untuk menemukan Sangkoan Jin, akupun
mem-punyai akal untuk menghadapinya!"
"Untuk menemukan jejak Sangkoan Jin, bukanlah suatu pekerjaan yang amat gampang!"
"Aku mengerti!"
"Dia sendiripun pasti tahu bahwa perbuatan yang dia lakukan adalah suatu perbuatan yang
memalukan dan tak boleh diketahui orang, ia pasti akan berganti nama dan hidup
mengasingkan diri di suatu tempat yang terpencil dan sulit ditemukan oleh siapapun!"
"Aku hanya berharap dalam jangka waktu satu tahun kau telah memberi kabar gembira
kepadaku!"
"Kau dapat menunggu selama setahun ?" tanya Samwan Kong.
199
"Ada orang, demi terlaksananya cita-cita membalas dendam, sepuluh tahun saja dapat mereka
tunggu, kenapa aku tak dapat menunggu hanya setahun saja?"
Sikapnya begitu tenang, begitu mantap dan meyakinkan, sedikitpun tidak memperlihatkannya
sebagai seorang pemuda tak tahu diri yang matanya sudah dibuat melamur oleh baranya api
dendam serta melakukan sepak terjang yang ngawur serta gegabah.
Jelas ia sudah mempunyai tekad yang besar serta rasa percaya pada diri sendiri yang tebal.
Sekali lagi Samwan Kong menatapnya lama sekali, tiba tiba ia menepuk bahunya keras-keras
seraya berkata:
"Baik, setahun kemudian berkunjunglah kembali ke mari, aku pasti akan membawa berita
baik untukmu!"
Ia tidak memberi kesempatan kepada Bu-ki untuk menyampaikan rasa terima kasihnya,
dengan cepat katanya lagi:
"Sekarang dapatkah kau memberitahukan kepadaku, apakah kau telah mempergunakan
kepandaian tangan atau tidak dalam permainan dadumu?"
"Aku memang sedikit mempergunakan kepandaian tangan tapi bukan kepandaian tangan yang
biasa dipergunakan oleh para Long-tiong."
"Kepandaian tangan apakah yang sesungguhnya telah kau pergunakan?" desak Samwan Kong
lebih jauh.
"Semacam kepandaian tangan tak mungkin bisa disingkap rahasianya oleh siapapun, sebab
sekalipun kuberitahukan kepada orang lain bahwa aku telah mempergunakan semacam
kepandaian tangan orang lainpun terpaksa harus mengaku kalah!"
"Kenapa demikian ?"
Sambil tersenyum Bu-ki manggut manggut, katanya: "Kau membawa dadu ?"
"Tentu saja !"
Seperti juga sebagian besar setan judi lainnya, kemanapun ia pergi alat berjudi yang paling
disukainya selalu dibawa dalam sakunya.
Yang paling disukai olehnya adalah permainan dadu, maka ketika tangannya merogoh ke
dalam saku, ia telah mengeluarkan segenggam biji-biji dadu.
Bu-ki menimang sebentar sebiji dadu, lalu berkata:
200
"Setiap permukaan dadu terukir angka yang tertentu dan setiap angka jumlahnya tak sama,
pada bagian permukaan yang berangka enam biasanya jauh lebih berat sedikit dari pada
permukaan yang berangka lima."
"Kenapa ?"
"Karena cat yang melekat pada angka tersebut akan membuat permukaan dadu menjadi lebih
berat ketimbang pada permukaan lain!"
Kemudian ia menjelaskan lebih jauh:
"Kalau dadu itu terbuat dari batu kemala, maka permukaan yang menunjukkan angka enam
akan jauh lebih enteng dari pada permukaan yang menunjukkan angka lima !"
Pengamatannya terhadap dadu ternyata memang amat teliti dan seksama, belum pernah
Samwan Kong berpikir sampai ke situ kendatipun setiap hari kerjanya hanya bermain dadu
melulu.
"Sudah barang tentu perbedaan berat enteng setiap permukaan amat kecil dan minim sekali,"
kata Bu-ki lebih jauh, "pada hakekatnya sementara orang tak akan memperhatikan sampai ke
situ, meski memperhatikannya belum tentu dapat merasakan secara tepat, tapi berbeda sekali
bagi seseorang yang telah lama melatih kepandaian tersebut!"
"Apa bedanya?" tanya Samwan Kong.
"Jika kau seringkali melatihnya maka kau dapat mempergunakan selisih bobot yang amat
minim itu untuk kepentingan sendiri, kau dapat mempergunakan selisih bobot itu untuk
memperoleh angka yang diharapkan menghadap ke atas, atau dengan perkataan lain, angka
berapa yang kau inginkan angka berapa pula kau dapatkan!"
Samwan Kong mendengarkan penjelasan itu dengan mata terbelalak lebar, seakan-akan ia
sedang mendengarkan suatu cerita Hong sin pang yang amat tegang dan menarik.
"Sejak berusia delapan sembilan tahun aku sudah mulai berlatih, bahkan sewaktu tidurpun
akan kubawa serta ketiga biji dadu itu untuk melatihnya di balik selimut, setiap hari entah
berapa kali kulemparkan dadu tersebut, hingga mencapai usia duapuluh tahun, aku baru
berhasil meyakini kepandaian khususku itu, aku baru yakin berapa angka yang kuminta, aku
dapat memperolehnya dengan lemparan daduku itu!"
Hampir setengah harian lamanya Samwan Kong duduk termangu-mangu, selang sesaat
kemudian pelan-pelan ia baru menghembuskan napas panjang.
"Kenapa kau bisa berpikir untuk melatih kepandaian semacam itu ?"
201
"Dalam keluargaku sudah tergaris suatu peraturan yang melarang setiap anggota keluarganya
berjudi uang, hanya sebelum dan setelah tahun baru larangan itu dicabut selama beberapa
hari, itupun masih tetap terlarang bagi anak kecil."
Ia manggut- manggut pelan, lalu terusnya:
"Justru karena kami anak kecil dilarang berjudi, maka semakin besar pula niat kami untuk
diam-diam secara mencuri main judi!"
Tentu saja Samwan Kong dapat memahami teori ilmu kejiwaan semacam itu, makin dilarang
seseorang untuk melakukan suatu perbuatan, makin besar pula minatnya untuk melakukan
perbuatan itu secara sembunyi-sembunyi.
Bu-ki berkata lebih lanjut:
"Waktu itu nasibku kurang begitu mujur, setiap tahun uang celenganku pasti ludas di meja
judi, atas kejadian tersebut makin kupikir hatiku semakin tidak puas, aku bersumpah untuk
menangkan kembali semua uang yang telah kukalahkan pada tahun-tahun sebelumnya!"
"Kemudian, kau pasti berhasil menangkan semua kekalahanmu bukan," sambung Samwan
Kong.
Bu ki tertawa..
"Setelah berlatih dua tiga tahun, nasib mujurku baru kian lama kian kentara, tapi akhirnya
setiap kali berlangsung permainan dadu, jika mereka melihat kemunculanku di situ, serentak
orang-orang itu membenahi uangnya dan mengambil langkah seribu."
Samwan Kong bertepuk tangan sambil tertawa terbahak-bahak, saking geli dan senangnya ia
sampai terbungkuk-bungkuk menahan perutnya yang menjadi mulas.
Asal ia mambayangkan kembali betapa keren dan gagahnya Bu- ki pada waktu itu, Setan judi
yang pasti kalah setiap bertaruh dan namanya termashur sampai di mana-mana ini menjadi
mencak-mencak sambil tertawa tergelak persis seperti seorang anak kecil.
Bu ki meliriknya sekejap dengan ujung matanya, kemudian ia berkata lebih jauh.
"Sayang sekarang kau baru mulai berlatih, sudah tidak sempat lagi!"
"Kenapa?" Samwan Kong segera menghentikan gelak tertawanya dan berdiri melenggong.
202
"Sebab tangan orang dewasa tidak selemas tangan seorang anak kecil, kaupun tak mungkin
bisa seperti seorang anak-anak, sepanjang hari hanya bersembunyi terus di bawah selimut
sambil bermain lempar dadu."
Samwan Kong segera menggenggam tangan Bu ki sambil memohon:
"Coba pikirkanlah masak-masak, mungkinkah masih ada cara lain yang bisa dipergunakan
untuk menutupi kekurangan ini?"
Bu-ki tidak menjawab, dia hanya menggelengkan kepalanya berulang kali .......
Samwan Kong tertegun setengah harian lamanya, mendadak ia tertawa tergelak lagi, seakanakan
secara tiba-tiba teringat akan sesuatu kejadian yang amat lucu.
"Apakah kau telah berhasil menemukan satu cara untuk menanggulangi kekurangan ini?" tak
tahan Bu-ki bertanya.
Kali ini Samwan Kong cuma tertawa dan tidak menjawab sepatah katapun.
Pintu kamar itu terbuka lebar, tiba-tiba ada orang terbatuk batuk pelan dari luar pintu,
kemudian muncullah seorang perempuan setengah umur yang cantik jelita sambil
menggandeng tangan seorang bocah perempuan. yang mungil dan menawan hati.
"Persoalan apakah yang membuat kau tampak begitu gembira?" tegur perempuan itu
kemudian.
Sebelum Samwan Kong sempat menjawab, si bocah perempuan itu sambil memutar biji
matanya yang jeli telah tertawa cekikan, kemudian katanya dengan manja:
"Barusan aku mendengar paman ini berkata hendak menjadi bininya Tio kongcu, sekarang
Tio kongcu pasti telah mengabulkan permintaannya, maka ia tertawa senang!"
Perempuan cantik itu melotot sekejap kepada anaknya, kemudian tak tahan ia sendiripun ikut
tertawa geli.
Menyaksikan kehadiran perempuan cantik itu sikap maupun gerak-gerik Samwan Kong
ternyata berubah menjadi begitu sopan dan tahu aturan, bahkan gerak-geriknya tampak sedikit
kurang leluasa.
Sementara Bu-ki masih menduga-duga hubungan apakah yang terjalin di antara mereka
berdua. Samwan Kong telah berkata kepadanya:
"Dia adalah Bwe hujin, tuan penolong yang benar-benar telah menyelamatkan jiwamu ....”
203
"Akulah yang benar-benar telah menyelamatkan jiwa orang ini," sela bocah perempuan itu
dengan cepat, "sebab ibu telah menghadiahkan teratai salju tersebut kepadaku."
Sekali lagi Bwe hujin mendelik kepada putrinya, lalu sambil memberi hormat buru-buru
katanya:
"Anakku tak tahu aturan, harap Tio kongcu jangan sampai tersinggung atau tak senang hati."
Buru-buru Bu-ki melompat bangun, dia ingin mengucapkan beberapa patah kata yang bernada
terima kasih, tapi untuk sesaat tidak diketahui olehnya perkataan apa yang mesti dikatakan.
Yaaa, budi pertolongan yang besar dan menyelamatkan jiwanya ini sukar dilukiskan dengan
kata kata, tentu saja rasa terima kasihnya tak bisa diutarakan hanya lewat perkataan belaka.
Bwee hujin lantas berkata lagi:
"Seandainya toako tidak memotong daging yang busuk di sekitar mulut luka Tio kongcu tepat
pada waktunya, sekalipun tersedia teratai salju, belum tentu racun yang mengeram dalam
tubuh Tio kongcu bisa dipunahkan hingga ludas."
Kemudian setelah tersenyum ujarnya kembali:
"Itulah yang dinamakan orang budiman selalu dilindungi Thian, karena Tio kongcu adalah
orang yang baik barulah kau jumpai kejadian demi kejadian secara kebetulan."
Bocah perempuan itu lagi-lagi menimbrung:
"Sayang dikemudian hari sebuah codet besar pasti akan menghiasi pipinya. mukamu waktu
itu tentu buruk dan jelek sekali."
Setelah tertawa cekikikan tambahnya:
"Untung kau tak usah kuatir tak punya bini, sebab paling tidak masih ada paman yang
bersedia kawin denganmu."
Buki- tertawa geli.
Kecerdasan bocah perempuan ini sudah pasti tak ada di bawah kecerdasan dua bersaudara
kembar yang saling bermusuhan itu, cuma agaknya bocah perempuan ini lebih nakal dan lebih
pandai berbicara dari pada kedua orang saudara kembar tersebut.
Meskipun ibunya melotot kearahnya, memakinya tapi sorot mata serta nada pembicaraannya
sama sekali tidak mengandung maksud menegur atau menyalahkan, yang ada hanya rasa
sayang, rasa senang dan raga bangga.
204
Jangankan ibu kandungnya seadiri, bahkan Bu-ki sendiripun amat menyukai bocah itu, tak
tahan lagi dia lantas bertanya:
"Adik kecil, siapa namamu?"
Bocah perempuan itu memutar sepasang biji matanya, tiba tiba ia menggelengkan kepalanya.
"Tidak,aku tidak bisa memberitahukan kepadamu!"
"Kenapa?
"Karena kau adalah seorang pria, padahal antara pria dan kaum wanita ada batas-batasnya,
mana boleh seorang anak perempuan sembarangan memberitahukan namanya kepada orang
lelaki lain?"
Samwan Kong tak dapat mengendalikan rasa gembiranya lagi, ia tertawa terbahak bahak.
"Haaahhh.. haaabhh….haahhh.. . mestikaku, kau memang benar benar po pei (mestika) yang
bagus!
Tiba-tiba bocah perempuan itu melompat ke tubuh Samwan Kong dan menarik kumisnya.
"Kenapa kau memberitahukan namaku kepada orang lain" tentunya, "hayo kau musti
membayar ganti rugi!"
Ternyata bocah perempuan itu bernama Po pei, Lengkapnya Bwee Po pei.
Bu ki telah mengingat baik baik nama itu, mengingat pula nama nyonya cantik tersebut, budi
kebaikannya, budi pertolongan mereka tak akan dia lupakan untuk selamanya.`
"Akupun tahu kalau kau bernama Tio Bu ki,” seru Po pei kemudian.
Bu ki tertawa kepadanya, ia berkata:
“Lain kali, apakah kau masih dapat mengingat diriku?"
"Tentu saja akan kuingat selalu dirimu, sebab di atas wajahmu pasti akan bertambah dengan
sebuah codet yang sangat besar. “
Dalam hati Bu-ki, secara tiba-tiba muncul pula beberapa persoalan yang membuatnya menjadi
pelik.
Kesulitan tersebut bukan lantaran di wajahnya telah bertambah dengan sebuah codet besar
bukan pula lantaran bahunya telah kehilangan sepotong daging . . .
205
Persoalan semacam itu pada hakekatnya tak pernah diperdulikan olehnya, bahkan
memikirkan-nyapun tidak.
Tapi ada persoalan lain yang mau tak mau harus dipikirkan juga.
Hidangan malam yang disiapkan Bwe hujin untuk mereka ternyata mewah dan lezat, akhirnya
yang membuat Tio Bu-ki bertambah riang adalah ia tinggal di sana menemani mereka.
Seorang perempuan yang pintar selalu dapat menghindarkan diri disaat yang paling cocok dan
serasi, agar kaum pria dapat membicarakan persoalan yang dapat mendatangkan kegembiraan
bagi kaum pria sendiri.
Mungkin saja dia bukan termasuk seorang ibu yang sangat baik, karena terhadap anaknya ia
kelewat memanjakannya.
Tapi tak bisa diragukan lagi kalau dia adalah seorang isteri yang ideal, seorang istri yang
menjadi idaman setiap orang.
Tapi di manakah suaminya?
Anda sedang membaca artikel tentang Harimau Kumala Putih 1 dan anda bisa menemukan artikel Harimau Kumala Putih 1 ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/09/harimau-kumala-putih-1.html,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Harimau Kumala Putih 1 ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Harimau Kumala Putih 1 sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Harimau Kumala Putih 1 with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/09/harimau-kumala-putih-1.html. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar