heng rasanya tiada orang yang lebih sesuai lagi.
Tiba-tiba suara parau itu terdengar berseru lagi, “Setelah melalui ruangan bunga sepanjang
sepuluh tombak. Saudara2 akan berhadapan dengan pemandangan luar biasa yang belum pernah
saudara jumpahi. Benda aneh, permata2 yang indah tiada taranya. Walaupun benda berharga dan
permata itu memang sedianya hendak kuhaturkan kepada saudara2 tetapi kuminta harus diambil
dengan cara yang terang, jangan secara menggelap. Setelah aku bertemu muka dengan saudara2,
mungkin diantara saudara2 terdapat orang yang bakal memiliki harta karun itu bila ada orang
yang berani mempunyai hati jahat hendak mengambilnya, saudara2 semua akan menerima
hukuman yang paling ngeri dan kejam….”
Dengan girang Ih Thian heng berseru nyaring, “Hukuman ngeri yang bagaimana, dapatkah
memberitahu dulu agar Kami dapat bersiap siap?”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Terdengar tertawa panjang, “Akan kugerakkan pekakas rahasia, untuk mengurung saudara2
dalam sebuah kamar batu. Kemudian akan kuhamburkan asap beracun agar kesadaran dan
semangat saudara2 hilang dan saling bunuh membunuh sendiri,”
“Cara itu memang paling ngeri dan akupun percaya kalau engkau memiliki asap beracun semacam
itu. Baiklah, kami setuju untuk mentaati kedua pantangan itu. Apabila ada angauta rombongan
kami yang melanggar, tak usah engkau turun tangan, kami akan dapat menindaknya sendiri!”
“Bagus, kita anggap saudara2 sudah setuju mentaati perjanjian itu,” kata suara parau itu pula.
Seiring dengan lenyapnya suara parau itu tiba-tiba ujung peti mati besar yang berada didalam
ruangan, mereka pecah.
Ketika sekalian orang memandang kearah peti mati itu ternyata disebelah dalamnya terang sekali
dan sosok2 tubuh pun tampak berkelebatan.
Pengemis-tua Cong To kerutkan alis, serunya, “Adakah kita barus masuk melalui peti mati itu?”
Ih Thian-heng tersenyum, “Biarlah aku yang berjalan dimuka.” ia terus endapkan tubuh dan
melangkah maju “
Sekalian tokohpun segera mengikuti dibelakangnya.
Ternyata peti mati besar itu merupakan sebuah pintu dari lorong terowongan yang panjangnya
empat lima tombak. Tiba diujung lorong, pemandanganyapun berobah. Mereka tiba disebuah pintu
bercat merah. Pintu itu ditulisi tiga buah huruf besar ‘Seng-si-bun’ atau Pintu Mati-hidup.
Dibelakang pintu itu merupakan sebuah ruang yang luas, terang benderang dan penuh dengan
gadis2 cantik.
Sambil masih memondong mayat tabib alis panjang, Ih Thian-heng melangkah masuk seraya
berseru nyaring, “Nona2 sekalian, harap memberi jalan agar janganlah pakaian nona terlumur
darah merah!”
Kawanan gadis2 jelita yang berdiri dengan kepala menunduk itu, mengenakan pakaian warna
warni, merah, kuning, biru putih dan hitam.
Jaraknya satu sama lain menurut ukuran tertentu. Sepintas merupakan jajaran yang berbunyi Si
atau mati.
Tiba-tiba terdengar suara tambur. Dan kawanan gadis jelita yang menunduk kepala itu, serempak
mengangkat kepala, tertawa cerah.
Mereka cantik sekali, bibirnya semerah delima merekah, raut wajahnya bagai kuntum bunga
mekar bersen. Alis melengkung bagai bulan muda. Kecantikannya benar-benar dapat
menyebabkan orang tua, merasa muda kembali. Bahkan orang yang tengah meregang jiwa dapat
bangun lagi.
Ih Thian-heng berpaling kearah rombongan tokoh-tokoh, tertawa, “kalau saudara2 merasa tak
Kuat bertahan untuk melintasi ruangan sepanjang sepuluh tombak ini, lebih baik saudara berjalan
dengan menutup mata….”
Seiring dengan kata-kata Ih Thian-heng itu, kawanan gadis2 jelita itupun mulai pelahan-lahan
bergerak.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Oleh karena sebelumnya sudah mendapat peringatan maka rombongan tokoh-tokoh itupun sudah
bersiap. Berhadapan dengan kawanan bidadari cantik itu, buru-buru merekapun sudah
mengempos semangat dan mengerahkan tenaga-dalam untuk menguasai perasaan hatinya.
Gerakan kawanan gadis2 itupun mulai makin cepat, saling bersilang berpindah tempat sehingga
menimbulkan hamburan warna yang menyilaukan.
Dengan mengandalkan tenaga dalamnya yang sakti Ih Thian heng tak terkecoh dengan kecantikan
gadis2 itu. Sambil memandang kesekeliling ia tertawa nyaring dan melangkah maju.
Sekalian tokohpun mengikuti rapat2 dibelakangnya, Tiba-tiba kawanan gadis cantik yang takhenti-
hentinya bergerak itu, berhamburan menyisih ke kanan kiri sambil melepaskan pakaiannya. Dalam
sekejab saja, merekapun sudah tak berpakaian lagi.
Ih Thian-heng batuk-batuk dan berseru nyaring, “Majikanmu sudah memberi perintah, tak boieh
kami melukai kalian. Tetapi kalianpun jangan menghadang jalan….”
Ia tertawa lagi, lain berkata, “Silahkan nona sekalian beraksi sekehendak hati nona agar kami
dapat menikmati melihatnya.”
Dalam pada itu kawanan gadis cantik itupun sudah membentuk diri dalam sebuah barisan. Masing-
masing menduduki tempat yang tertentu. Dan salah seorangpun segera berderu dengan suara
yang merdu, “Silahkan tuan2 lewat ditengah barisan kami. Dalam saat tuan2 lewat nanti, mereka
akan menggunakan kepandaiannya untuk merayu dan memikat agar tun2 suka memilih
mereka….”
Ketika ih Thian heng memperhatikan dengan seksama, dilihatnya sinar mata kawanan gadis cantik
itu memancarkan harapan kasih, bagaikan musafir di padang pasir yang mengharapkan air….
Tiba-tiba hati Ih Thian-heng tergerak. Berpaling kearah rombongannya ia berkata, “Selain
memang luar biasa cantiknya, gadis2 itu lelah minum semacam obat. Apabila diantara saudara
yang merasa tak kuat menahan nafsu, lebih baik pejamkan mata. Dengan mengandalkan
pendengaran, ikutilah dibelakangku.” Habis berkata ia terus pelahan-lahan melangkah maju.
Pengemis sakti Cong To tertawa gelak-gelak, “Selama hidup, belum pernah pengemis tua
menyaksikan pemandangan yang begini hebat Apa yang terlihat saat ini, matipun sudah puas!
Ia terus maju mengikuti dibelakang Ih Thian-heng.
Ting Ling tiba-tiba cepatkan langkah menyusul kesamping Han Ping lalu membisiki, “walaupun
kawanan gadis2 itu cantik sekali tetapi kalau dibanding dengan dara baju ungu puteri ketua Lam-
hay-bun itu, masih kalah jauh sekali. Asal engkau curahkan pikiranmu mengenangkan wajah dara
baju ungu itu, tak mungkin hatimu terpengaruh oleh kawanan gadis2 itu.”
Karena seumur hidup belum pernah menyaksikan pemandangan yang sedemikian hebat, tanpa
disadari Han Pingpun memandang lekat kepada mereka, ia baru gelagapan ketika mendengar
kisikan Ting Ling. Buru-buru ia kerahkan semangat dan tenangkan hati lalu melangkah maju.
Berjalan beberapa saat memang mereka tak merasakan suatu apa. Tetapi setelah beberapa saat
kemudian, mereka merasa ada sesuatu yang tak wajar. Bau harum dari tubuh gadis2 cantik itu
berhamburan menusuk hidung dan menggetarkan hati. Pelahan-lahan hati merekapun mulai tak
tenang….Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tubuh yang putih mulus dan bau yang harum, sudah cukup membuat hati orang kebat kebit dan
darah merangsang. Apalagi gadis2 cantik yang telanjang itu mulai memancarkan tertawa yang
menggelitik kalbu.
Rombongan tokoh-tokoh itu berjalan dengan menutup mata. Tetapi saat itu telinga mereka seperti
mendengar suara napas yang lembut dan bisik-bisik yang merdu…. , sesaat napas dan suara itu
seperti dihembuskan dari tenggorokan, sesaat dari dada dan sesaat pula dari hidung.
Sekalipun dapat menutup mata tetapi rombongan tokoh itu tak dapat menutup telinga. Oleh
karena itu, walaupun sudah menutup mata, tetapi karena mendengar bisik-bisik lembut yang
penuh dengan cumbu rayuan menantang kecabulan, mereka tak tahan lalu membuka mata lagi.
Ih Thian heng berpaling kebelakang. Tampak wajah mereka berobah merah, mata bersinar lain.
Bahkan ada yang dahinya bercucuran keringat dan geraham digigitkan erat2 seperti orang yang
tengah menahan nafsu.
Kebalikannya mereka yang biasanya hidup dengan cara tak teratur, tampak bahkan lebih tenang.
Karena mereka banyak pengalaman, jadi sudah biasa dengan pemandangan semacam itu. Dan
mereka yang biasa hidup baik, saat itu seperti dibakar api panas rasanya.
Sekonyong-konyong terdengar suaru menggerung keras dan Theng Ban-li terus memeluk seorang
gadis telanjang itu lalu dibawa lari kebelakang. Gadis jelita itu tertawa menggelitik dan
menyerahkan diri dibawa lari oleh jago tua itu.
ih Thian-heng menghela napas, “Ah, sungguh tak kira, seorang jantan seperti dia, akhirnya harus
menyerah pada paras cantik….”
Tiba-tiba dari samping terdengar orang menyelutuk, “Walaupun dia tak dapat keluar dari makam
ini tetapi dia telah dapat merobah keadaannya. Dan seorang yang paling menderita menjadi orang
yang paling bahagia didunia.”
Ih thian-heng kerutkan sepasang alis lalu beralih pandang. Tampak Ca Giok sedang kepalkan tinju
dengan geram tetapi tubuhnya gemetar. Matanya buas seperti seekor serigala lepas, memandang
seorang dara ayu yang telanjang.
‘Fui!” ih thian-heng menbentaK dan menampar punggung pemuda itu.
Ca Giok tergetar dan tertegun beberapa saat. Kemudian ia menjurah, “Terima kasih, cianpwe.” ia
terus mengikuti dibelakang Ih Thian-heng, melanjutkan langkah.
Barisan dara2 telanjang itu walaupun tak berapa menyeramkan tetapi jalanan yang harus
ditempuh, melingkar lingkar dan berbiluk-biluk. Langkah kaki orang-orang itu makin sarat. Sampai
sekian lama belum juga mereka keluar dari barisan itu. Sepanjang hidup, belum pernah mereka
menempuh suatu perjalanan seberat itu.
Tiba-tiba Ih Thian heng membentak keras lalu menyanyi dengan suara nyaring. Lagunya lagu
bersemangat dan keras, seperti palu besi menghantam batu. Seketika tergugahlah semangat
sekalian orang. Merekapun lalu tegakkan kepala, busungkan dada melangkah kearah jalan yang
dirintis Ih Thian-heng.
“Seumur hidup aku tak pernah mengagumi orang. Tetapi hari ini aku harus memberi hormat
kepadamu karena belum pernah aku bertemu dengan orang seperti engkau,” seru Pengemis-sakti
Cong To kepada Ih Thian heng.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ih Thian heng tak menyahut melainkan tetap menyanyi dan tersenyum. Tak berapa lama mereka
pun dapat melintasi barisan itu.
“Sungguh berbahaya….”Ca Cu jing menengadah dan menghela napas pangjang.
Wajah Ih Thian-heng berobah serius, serunya, “Barisan paras cantik, walaupun Kita sudah berhasil
melintasi tetapi masih ada sebuah rintangan yang tak kurang hebatnya yalah Harta. Mungkin
godaan ini jauh lebih hebat dari paras cantik. Peribahasa mengatakan, “Semut mati di gula,
manusia mati di harta. Harap saudara2 ingat hal itu.”
Rombongan Ih Thian-heng melanjutkan perjalanan kemuka. Setelah membiluk sebuah tikungan,
tiba-tiba disebelah muka tampak terang. Sederet lentera istana, bergelantungan tinggi diatas
lorong terowongan. Cahayanya terang benderang seperti hari pagi. Papan batu yang menonjol
dari kedua tepi lorong terowongan itu, penuh bertabur batu2 permata yang berkilau-kilauan
cahayanya.
Makin berjalan mendekati, makin hebat perhiasan yang menantang. Semua terdiri dan benda2
berharga yang jarang terlihat manusia. Setiap macam benda, cukup untuk menimbulkan rangsang
keinginan orang.
Tak henti-hentinya Ih Thian-heng menghambur pujian, ujarnya, “Benar-benar sebuah istana
permata yang hebat. Walaupun istana raja belum tentu dapat menandingi tempat ini.”
Nyo Bun-gian memberi sambutan, “Ah, intan permata, zamrud ratna mutu manikam yang jarang
terdapat diduma! Selama berpuluh-puluh tahun telah mengumpulkan barang2 permata. Dimana
terdapat permata yang aneh, tentu kubeli tanpa kuhiraukan harganya. Semula kukira kumpulan
benda2 permata yang berada di rumahku itu sudah paling banyak dan lengkap. Tetapi apa yang
kulihat saat ini, benar? menghapus kebangaanku itu. Seperti langit dengan bumi atau bukit
dengan gunung bedanya….”
Tiba-tiba ia hentikan kata-katanya dan melangkah maju, lari melampaui Ih Thian-neng, terus
menyelinap masuk kedalam sebuah ruang besar.
Didalam ruang besar yang diterangi dengan lampu dan lilin itu, penuh bertumpukan benda2 kuno
dan zamrud permata yang tak ternilai indahnva.
Tiba-tiba terdengar suara orang berseru kaget, “Hai, Tenggoret-kumala dan Kupu2 Emas….!”
Sekalian orang terbeliak, mengangkat muka. Tampak diatas meja yang dibuat dalam bentuk
istimewa, terdapat kedua benda pusaka yang menggemparkan dunia persilatan itu.
Tenggoret Kumala, putih seperti salju, berbuat dari batu kumala yang bening dan cemerlang.
Sepasang matanya sebesar kedele berwarna merah bercahaya seperti benar-benar hidup.
Sedang Kupu2 Emas itu lebih besar dari Tenggoret Kumala. Panjangnya tak kurang dari
tigapuluhan senti. Entah terbuat dari apa, kedua sayapnya amat tipis sekali. Sepasang matanya
berkilauan jernih sekali.
Saat itu seseorang sudah menyelimpat ketempat kedua benda pusaka itu. Sambil berteliku tangan,
dia tegak berdiri dimukanya, memandang lekat2 pada kedua benda pusaka itu. Dari pandang
matanya jelas dia itu mengiler sekali melihat kedua pusaka itu.
Ih Thian-heng cepat dapat mengetahui bahwa orang yang berada didepan meja itu yaiah Nyo
Buti-giau. Dan yang berteriak kaget tadi, tentulah orang she Nyo itu juga.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ih Thian hengpun memperhatikan, kecuali Pengemis-sakti Cong To seorang, yang lain2
memandang lekas-lekas pada kedua benda itu dengan sinar mata penuh keinginan.
Kedengaran Nyo Bun-giau menghela “napas panjang, ujarnya, “Orang mati karena harta, burung
mati karena makanan. Rupanya pepatah kuno itu memang benar. Memperoleh pusaka yang hebat
ini, rasanya matipun puas “
Habis berkata ia terus ulurkan tangan hendak mengambil kedua benda pusaka itu.
“Tahan!” tiba-tiba Ca Cu-jing berteriak seraya maju menghampiri.
Nyo Bun giau memandang ketua marga Ca itu, serunya dingin, “Mau apa engkau?”
Ih Tbian-heng berseru, “kalaupun mati atau hidup saudara Nyo tidak perlu disayangkan, tetapi
kami semua tak mau menenami mati….” Ia berhenti sejenak ia berkata pula . “Apakah engkau tak
mendengar kata-kata pemilik makam itu?”
Kata Nyo Bun-gian, “Ini….”
‘Kalau saudara Nyo tetap hendak mengambil, dikuatirkan sekalian orang yang berada disini takkan
membiarkan saudara.”
Pengemis sakti Cong To tertawa gelak-gelak, “Nyo Bun-giau, berpalinglah kemari!”
Ketika Nyo Bun-giau berpaling, dilihatnya berpuluh mata sekalian tokoh-tokoh itu mencurah
kepadanya. Jelas mereka sudah bersiap-siap hendak bertindak apabila Nyo Bun-giau berani
mengambil kedua pusaka itu.
Tetapi kebalikannya, saat itu Nyo Bun-giau malah tenang2 memandang sekalian orang, serunya,
“Apakah saudara2 sungguh percaya akan omongan pemilik makam ini tadi? Kalau dia memang
hendak membunuh kita, sekalipun kita tak megambil benda disini, dia tetap akan turun tangan
juga.”
“Tak peduli omongannya benar atau tidak,” seru Ih thian-heng, “harap saudara Nyo jangan
temaha. Apabila saudara hendak mengambil kedua pusaka itu, sekalian orang disini termasuk aku
sendiri, tentu akan mengambil jiwamu.”
Nyo Bun-giau terdiam lalu melangkah ke muka. Ih thian-heng tetap tegak tak bergerak. Setelah
sekalian tokoh-tokoh berjalan keluar barulah ia mengikuti dari belakang.
Sekeluarnya dari ruang harta permata itu mereka menghadapi sebuah lorong panjang lagi. Dan
pada ujung lorong, terdapat sebuah pintu batu yang setengah terbuka.
Pada pintu itu terdapat selembar kertas putih yang ditulis, Masuk pintu ini, semua larangan hapus.
Silahkan mengeluarkan se luruh kepandaian untuk menjaga serangan. Apabila dapat melintasi
Jalan maut sepanjang tigabelas tombak ini, baru dapat berjumpa dengan pelik makam ini.
Sekalian orang mengerumuni dan membaca kertas itu. Ih Thian- hengpun menghampiri. Satelah
meletakkan tubuh tabib alis paujang, ia berkata, “Saudara2 tentu sudah membaca tulisan itu. Mau
tak mau atu harus mengagumi kelicikan pemilik makam ini. Dia benar-benar dapat mengetahui
kelemahan2 orang dan sudah memperhitungkannya….”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Berhenti sejenak ia melanjutkan berkata, “Atas kepercayaan saudara2 yang telah menganggap
aku sebagai pemimpin darurat dan rombongan ini, kuanggap telah kuselesaikan. Sampai ditempat
dan saat ini, pimpinan rombongan akan kukembalikan kepada saudara2 lagi.”
Habis berkata ia terus miringkan tubuh dan menyusup ke pintu batu.
“Ih Thian-heng, lekas mundur’“ teriak Ting Ling.
Ih Thian-heng yang sudah berada didalam, karena teriakan si nona, lalu keluar lagi dan
tersenyum, “Nona cerdik, apa yang engkau pikirkan.
Ting Ling berkata dingin, “Kepintaran besar seperti tolol, Kejahatan besar pun seperti bijaksana.
Apabila menilik gerak gerikmu selama berada dalam makam ini, memang sukar orang untuk
percaya bahwa sebenarnya engkau ini seorang durjana besar….”
In Thian heng kerutkan alis, serunya, “Kalau mau omong, bicaralah yang baik, jangan memaki
orang.”
Ting Ling maju menghampiri kesamping Ih Thian-heng, serunya, “Ya, memang aku memakimu.
Apakah engkau berani membunuh aku?”
Ih Thian-h;ng mengangkat tangan kanan keatas, serunya, “Mengapa tak berani . , . .” tiba-tiba ia
menurunkan tangannya lagi, “engkau seorang gadis muda, kalau aku membunuhmu, bukankah
aku akan ditertawai seluruh kaum persilatan?”
Ting Ling mengangguk, “Benar, bukannya engkau lak mau membunuh aku. Tetapi engkau merasa
tak leluasa untuk turun tangan pada saat dan tempat seperti ini.”
Ih Thian heng hanya tersenyum.
Ting Ling berpaling kearah rombongan tokoh-tokoh persilatan itu dan berkata pula, “Ih Thian-heng
telah membawa kita melintasi barisan gadis2 telanjang dan ruang harta karun. Tetapi pada saat
tiba ditempat yang segawat ini, bukan saja dia lepas tangan bahkan terus hendak ngacir pergi,
meminjam golok untuk membunuh orang….”
Wajah Ih Thian-heng agak berobah. Dahinya tiba-tiba mengerut hawa pembunuhan dan
berserulah dia dengan suara yang sarat, “Saudara Ting, jika engkau tak dapat mengajar putrimu
yang nakal ini, terpaksa aku akan mewakili saudara untuk memberi hajaran kepadanya….”
Ting Ling tertawa mengikik, serunya, “Apakah engkau takut? Kukatakan kepadamu, aku taK
percaya dalam saat dan tempat seperti ini, engkau akan membunuh aku….”
Tiba-tiba Ih Thian-heng gerakkan tangannya menutuk, “Kalau tak percaya, cobalah ini ‘.”
Tetapi serempnak dengan gerakan itu. Ih Thian-hengpun mendengar dua buah gelombang angin
pukulan menyambar kearahnya. yang satu melanda dada, yang satu menggempur jarinya yang
akan menutuk Ting Ling.
Ternyata kedua orang yang turun tangan menolong Ting Ling itu, Han ping dan Pengemis-sakti
Cerig To. Han Ping menolong, Cong To menyerang.
Kecuali kedua orang itu yang lain2 karena tak menyangka kalau Ih Thian-heng benar-benar akan
turun tangan. Maka mereka hanya tertegun dan tak sempat berbuat suatu apa. Bahkan Ting Ko
sendiri juga tertegun dan tak menyangka hal itu.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Walau Han Ping bertindak cepat tetapi gerakan Ih Thian-heng itupun lebih cepat dan tenaga-
dalam yang dipancarkan pada pukalan itu juga teramat dahsyatnya. Sekalipun dapat dihalangi Han
Ping tetapi sisa tenaganya masih dapat menembus dan mengenai tubuh Ting Ling sehingga nona
itu gemetar, berguncang lalu rubuh kebelakang….
Ting Ko cepat menghampiri, “Ting-ji. apakah engkau terluka?”dengan tangkas ia menyambuti
tubuh putrinya.
Ting Ling batuk-batuk lalu dengan menahan kesakitan menjawab, “Parah sekali….”
Ca Cu-jing mendengus dingin, “Hm, tak kira kalau….
Ting Ling cepat memberi isyarat tangan, serunya, “Harap kalian jangan bicara. Dengarkan sampai
aku bicara habis. Kalau tidak sia2 aku menderita….
Ia paksakan diri melakukan pernapasan, lalu melanjutkan berkata, “Pemilik makam ini memang
ganas sekali. Setelah dapat melalui dua buah rintangan Harta dan Paras cantik, dia sudah
mempersiapkan Jalan maut ini. Dia me
manfaatkan terjadinya permusuhan sewaktu melintasi dua macam rintangan tadi, lalu
menghendaki agar disini kita saling berbunuhan sendiri. Disitulah letak kelemahan orang, terutama
orang persilatan yang paling mengutamakan soal balas dendam. Ih Thian-heng hendak
menggunakan kepercayaan yang telah diperolehnya selama memimpin rombongan melintasi
kedua buah rintangan tadi, untuk mencelakai orang yang paling ditakutinya —-”
Ting Ling pejamkan mata, menghela napas dan berkata pula, “Tetapi seharusnya dia tak perlu
mengatakan hal itu sehingga aku terpaksa harus merangkai dugaan untuk meneropong isi hatinya.
Sepandai tupai melompat, sesekali terpeleset juga. Ih Thian-heng lengah memperhitungkan kalau
Ting Ling berada disini….”
Berhenti sebenar ia tertawa, “Apabila dia tak terasang kemarahannya dan memukul aku, mungkin
saudara2 takkan percaya pada omongan Ting Ling ini.”
Setelah menangkis pukulan Pengemis-sakti Cong To, Ih Thian heng berseru, “Pemilik makam itu
berada disekeliling Jalan Maut ini. Dia tentu diam-diam sudah mempersiapkan jago2 sakti.
Apabila kita masuk kedalam pintu batu ini, serangan secara terang maupun gelap, tentu akan
segera melancar.
Pemilik makam itu hendak menggunakan jalan yang gelap ini untuk membasmi kita.”
Ting Ling berusaha mengangkat kepalanya dari pelukan sang ayah, serunya, “Engkau hendak
memancing ikan di air keruh. Engkau lebih dahulu hendak masuk lalu bersembunyi ditempat gelap
dan menggunakan kesempatan itu untuk menyerang orang, Dengan kepandaian yang engkau
miliki, sudah tentu mudah sekali engkau melaksanakan rencanamu itu….”
Ting Ling tak dapat melanjutkan kata-katanya karena kerongkongannya serasa tersumbat oleh
hawa panas.
“Nak, engkau memang terluka berat,” kata Ting Ko lalu menepuk punggung puterinya. Ting Ling
batuk dan muntahkan ludah kental campur darah.
“Dengan meminjam tempat yang gelap ini, engkau hendak membunuh orang yang paling engkau
takuti,” kata nona itu pula.” setelah itu baru engkau akan menghadapi pemilik makam. Orang yangTiraikasih Website http://kangzusi.com/
ikut masuk kedalam ruangan itu tentu tak tahu apa yang telah terjadi.Mereka hanya mengira
engkau. Ih Thian heng. benar-benar telah menjadi pelopor untuk membuka jalan. Sudah tentu
mereka akan berterima kasih kepadamu. Engkau sudah mengucapkan sumpah yang bagus.
Sekalian rombongan patuh mendengar perintahmu. Uh, hebat benar siasatmu itu! Sayang Ting
Ling dapat membongkarnya”’
Wajah Ih Thian-heng makin membesi, serunya, “Budak setan, memang benar-benar cerdik….”
tiba-tiba pula ia tertawa nyaring, “Sayang masih ada sedikit yang belum dapat engkau, pikirkan.
Keadaan saat ini, sudah serba sukar. Maju, menghadapi Jalan Maut yang belum diketahui
bagaimana keadaannya. Mundur pun terbentur jalan ke matian. Ibarat anakpanah sudah direntang
pada busur, mau tak mau harus dilepas.”
Ting Ling tertawa, “Jangan coba memaksakan dirimu bersikap tenang. Kutahu hatimu sudah
gelisah resah.”
Ih Thian-heng mengangkat tangan kanannya, berseru dingin, “Engkau sudah ibarat seperti lampu
kehabisan minyak. Cukup kugerakkan tanganku pelahan-lahan saja, tentu jiwamu sudah
melayang.”
Seiring dengan gerakan tangan Ih Thian heng, Han Ping dan Cong Tongpun serempak tampil
melindungi di muka Ting Ling.
Ih Thian-heng tertawa, “Tanpa kulepas hantaman, dia toh takkan hidup.” Habis berkata ia terus
berputar tubuh dan menyelinap kedalam pintu batu.
Ting Ling tiba-tiba berdiri dan berkata kepada nya, “Yah, aku hendak pergi.
Dalam pertemuan ini aku belum dapat menunaikan kewajiban bhaktiku kepada ayah tetapi malah
menyuruh ayah mengantar kepergianku….”
Serta merta nona itu terus jatuhkan diri berlutut dihadapan ayahnya, “Yah, terimalah hormatku….”
Dalam tempat dan suasana yang seperti itu, berapa ganas hati ketua Lembah Raja-setan Ting Ko,
namun tak urung orangtua itu mengucurkan airmata juga. Cepat ia ulurkan kedua tangan dan
mengangkat puterinya.
“Ling, engkau terluka dibagian mana?” tanyanya, “lekas beritahu kepada ayahmu. Demi
membongkar kelicikan Ih Ihian-heng engkau sampai menderita luka, tentu sekalian orang yang
hadir disini takkan tinggal diam. Nak, lekas bilanglah, dibagian mana engkau terluka?”
Ting Ling tertawa rawan, “Tak usah ayah sibuk, aku tahu bagaimana keadaan lukaku…. .” ia
berpaling kearah Han Ping. Tampak pemuda itu tengah memandangnya dengan pandang
keharuan.
Tiba-tiba dari dalam pintu batu itu terdengar dua buah bentakan keras dan menyusul gelombang
tenaga dahsyat mendampar keluar.
Cong To cepat menghantam dan tenaga dari dalam pintu batu itupun terdampar kembali.
Sejenak Ting Ling memandang kepada rombongan tokoh-tokoh itu. Ia memegang tangan ayahnya
dan berdiri. Wajahnya mengerut kesakitan, ia melambai kearah Han Ping, serunya, “Aku sudah
hampir mati. Entah apakah engkau mau mendengarkan dua patah pesanku?”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
“Silahkan nona bilang, apabila mampu, aku tentu akan berusaha sekuat tenaga untuk
melaksakakan,” kata Han Ping.
Ting Ling mengangguk, katanya, “Engkau harus baik2 merawat adikku si Hong. . . dia seorang
anak perempuan yang tulus dan masih kekanak kanakan….” tiba-tiba ia batuk dan hentikan
ucapannya.
“Jangan kuatir, nona,” kata Han Ping, “nona Hong sudah kuanggap sebagai adikku sendiri. Dalam
hidupku ini, dia adalah adikku sekandung.”
Berkata Ting LiDg dengan sedih, “Kutahu engkau selalu pegang janji. Dengan memperoleh janjimu
itu, aku dapat mati dengan meram….”
Tiba-tiba darah dalam tubuhnya meluap, menyumbat kerongkongannya sehingga ia tak dapat
bernapas. Dan rubuhlah nona itu.
Ting Ko menyambut! tubuh puterinya dengan kedua tangan, “Ling, Ling….”
Tetapi Ting Ling sudah pejamkan mata Wajahnya pucat lesi dan jiwanyapun melayanglah….
“Puteri sakti dari Lembah Setan, bermulut tajam, berotak cerdas, Disohorkan orang sebagai gadis
yang licin banyak muslihat.
Tetapi tipu muslihat demi budi kebajikan, kelicinan demi kebaikan,” seru Pengemis-sakti Cong To,”
sayang Tian tak memberinya umur panjang sehingga kematiannya sangat disayangkan sekali.
Aku sipengemis tua Cong To, paling merasa kagum pada orang begini. Harap nona tunggu
sebentar, terimalah sembahhormat pengemis tua….”
Tokoh yang menggemparkan dunia parsilatan, to k oh yang mendapat peindahan dari kaum
persilatan, saat itu dengan serta merta menjurah dan memberi hormat dihadapan jenazah Ting
Ling.
Demikian pula Han Ping. Teringat akan budi kebaikan nona itu, Han Pingpun mengucurkan airmata
dan berlutut memberi hormat dalam2, “Nona banyak melepas budi kepadaku tetapi slama itu aku
belum dapat membalas Terimalah hormat Han Ping yang tulus ihklas….”
Sekalian tokoh-tokoh yang lain amat penasaran. Disamping timbullah rasa syukur yang tak
terhingga terhadap nona itu yang dalam detik-detik terakhir masih memberi peringatan kepada
sekalian orang, betapa licik dan jahat siasat hati ih Thian-heng yang sebenarnya terhadap mereka
itu.
Sekalian tokoh-tokoh yang ternama dalam dunia persilatan itu serempak menjurah memberi
hormat yang terakhir kepada Ting Ling.
Tiba-tiba ketua lembah Raja-setan Ting Ko tertawa keras, serunya, “Anakku Ling, setelah
meninggal engkau mendapat penghormatan dari seluruh tokoh-tokoh persilatan begini rupa,
sungguh jauh lebih hebat dari aku. Matimu, Ling, adalah mati yang terhormat, mati yang
disayangkan oleh sekalian tokoh persilatan. Engkau akan terkubur dalam hati mereka!”
Kim loji tiba-tiba menghela napas panjang, serunya, “’Sayang tabib alis panjang itu sudah mati
Kalau tidak, mungkin dia tentu dapat menghidupkan engkau.”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tiba-tiba terdengar suara melengking, “Ah, tak mesti begitu. Apakah didunia ini tak terdapat orang
yang lebih pandai dari dia?”
Sekalian orang berpaling kebelakang. Tampak dara baju ungu yang berkerudung muka melangkah
masuk dibawah pengawalan dari jago2 Lam-hay-bun Han Ping, Kim loji dan Cong To diam-diam
girang dan berkata dalam hati, “Ya, benar, mengapa melupakan dia?”
Cepat Han Ping maju selangkah dan berseru gembira, “Sungguh menggirangkan sekali engkau
datang Kalau engkau tak datang, aku sungguh….”
“Engkau girang karena aku datang, bukan?” tukas dara baju ungu itu.
“Ya, tentu,” sahut Han Ping.
“Engkau girang karena melihat aku, atau karena kedatanganku ini akan dapat menolong nona
Ting “ kata si dara pula.
Han Ping tercengang. Sampai beberapa saat ia tak dapat menjawab.
dara itu terdengar mendesah pelahan lalu perlahan-lahan melangkahkan kaki. Han Pingpun
menghela napas dalam2.
Saat itu nenek Bwe Nio sudah berada disamping Han Ping dan berkata pelahan, “Anak itu memang
luar biasa pintarnya. Dalam menghadapi setiap persoalan, cara berpikir, membahas dan
menyimpulkan, tak ada seorang persilatan didunia ini yang mampu menandingi. Tetapi…. ah,
betapa pun dia itu tetap seorang anak perempuan.”
Kembali Han Ping terkesiap. Walaupun mulut diam tetapi hatinya diam-diam berkata, “Ah, sudah
tentu aku tahu kalau dia seorang anak perempuan masakan….”
Belum sempat ia merenung lebih lanjut, nenek Bwe sudah melanjutkan berkata lagi, “Betapapun
pintarnya seorang anak perempuan itu apabila dia itu seorang anak perempuan, tentu masih
mempunyai hati cemburu. Terutama terhadap orang yang dicintainya. Memang itulah penyakit
dari anak perempuan, apakah engkau sudah mengerti?”
Han Ping tegak seperti patung. Dia memandang seorang pemuda yang mencurahkan seluruh
hidupnya untuk mengajar ilmu kesaktian agar danpat menuntut balas atas kematian kedua
orangtuanya Terhadap pergaulan dengan anak gadis, hampir dikata ia masih hijau.
Tiba di samping Ting Ling, sejenak dara baju ungu mengeliarkan pandang kearah sekalian orang
yang mengunjuk rasa sedih atas ke matian Ting Ling.
“Ah apabila aku mati, entah apakah ada orang yang berdukacita seperti itu?”
Kemudian ia berpikir lebih lanjut, “ia seorang anak perempuan, mengapa bisa mendapat perhatian
besar dari tokoh-tokoh itu? Karena ia telah mengorbankan diri untuk menolong lain orang. Lalu
aku ini?….”
Memang seorang yang cerdik dan cerdas, perasaannya makin keras, pikirannya makin luas.
Orang-orang begini, memang sukar dirabah hatinya. Dalam banyak hal, memang orang sukar
mengerti isi hatinya. Dia seorang manusia yang mempunyai perasaan kuat sehingga dapat
menindas perasaan hatinya sendiri.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Mata sekalian tokoh itu mencurah kearah dara baju ungu. Tampak dara itu berjongkok dan
memeriksa dada Ting Ling dan pergelangan. tangannya. Lalu membuka kelopak mata nona itu,
menengadah memandang keatas dan dara itupun merenung diam.
“Bagaimana, apakah dapat ditolong?” karena tak kuat menahan hatinya, Ting Ko segera bertanya.
Dara baju ungu itu tundukkan kepala dan menghela napas pelahan, “Ah, tiga urat besar sudah
berhenti, itu delapan nadi putus. Walaupun mendapat pil dari dewa tetap sukar untuk
menolongnya.
Sekalian tokoh terkejut dan terkesiap. Dara baju ungu itu merupakan satu-satunya harapan
mereka. Dan keterangan dara itu, membuat lenyap harapan itu…. .
“Tetapi,” tiba-tiba dara baju ungu itu melanjutkan berkata lagi, “walaupun aku tak berdaya untuk
merebut jiwanya tetapi aku mempunyai cara untuk merawat jenazahnya agar tak rusak selama-
lamanya. Dengan demikian engkau dapat….”
Tiba-tiba kata-kata dara itu terputus oleh suara teriakan keras. Serentak tokoh-tokoh itu berpaling.
Tampak Han Ping melangkah maju dengan gopoh dan tegang. Ketika berhenti, tubuhnya masih
gemetar.
“Ping ji. engkau kenapa “ seru Kim loji terkejut.
Han Ping memandang lekat2 pada tubuh si dara baju ungu dan berserulah ia dengan keras serta
tersendat-sendat, “Engkau…. engkau, engkau…. engkau mengapa tak mau menolongnya?
Mengapa hatimu begitu ganas….”
Dara baju ungu tegak; berdiam diri.
‘Eh, saudara, mengapa engkau berkata begitu?” tegur Pengemis-sakti Cong To, “nona Ting sudah
putus jiwanya. Hanya dapat menyalahkan nasib, mengapa engkau menyalahkan orang?”
“bukan begitu!” bentak Han Ping lalu menuding pada dara baju ungu,” karena dia merasa
Cemburu, mencemburui nona Ting maka dia tak mau menolongnya.”
Ujung jari dari itupun tampak gemetar, ujar, nya, “Engkau…. sangka aku ini…. orang macam
begitu?”
”Benar orang semacam itu atau tidak, hanya engkau sendiri yang tahu. Asal tiap malam engkau
merenung dan merasa hari itu tak berbuat sesuatu yang menyalahi orang, orang tentu takkan
dapat berbuat apa-apa terhadapmu “
Tampak sekalian tokoh mengerut dahi. Mereka bersangsi dan kesangsian itu jatuh pada diri si dara
baju ungu.
“Ji Han Ping!” seru nenek Bwe dengan bengis, mengapa seenakmu saja engkau berani menghina
anakku ‘
Tetapi diam-diam nenek itupun sudah tahu akan watak si dara yang angkuh dan keras kepala.
Diam ia sendiripun juga mempunyai setitik kesangsian. Maka walaupun menyemprot Han Ping
dengan keras tetapi nadanya tidak marah.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ting Ko berbangkit, serunya, “Nona, asal engkau dapat menghidupkan anakku ini, apapun yang
hendak engkau perintahkan, aku ketua Lembah Raja-setan akan menurut perintahmu untuk
selama-lamanya…. .”
Tubuh dara baju unga itu gemetar. Kain kerudung yang menutupi mukanyapun ikut berguncang
ketika ia menjawab, “Apakah kalian mengira aku dapat menolongnya?”
Sekalian tokoh tak menjawab. Diam mereka mengakui pernyataan dara itu.
Tiba-tiba dara itu menengadahkan muka dan tertawa nyaring, “Mengapa aku harus menghidupkan
dia? Mengapa yang lain orang tak mampu melakukan, kalian suruh aku mengerjakan? Kalau aKu
tak mampu, kalian terus menuduh aku berhati iri dan cemburu, berhati kejam dan ganas….”
Mendengar itu sekalian tokoh terkesiap. Tampak dara itu terus menerus tertawa sampai pada
akhirnya ia terkulai rubuh.
Nenek Bwe Nio terkejut. Cepat ia memeluk tubuh dara itu.
“Ai…. engkau…. kenapa…. ah….”
bersambung….
JILID 5
Bara Asmara.
Siangkwan Ko hendak marah tetapi tiba-tiba ia teringat bahwa Ih Thian-heng itu pernah
menolong jiwa puterinya. Terpaksa ia menghela napas dan tak lanjutkan kata-katanya.
Ih Thian-heng tersenyum, “Harap saudara Siang-kwan jangan salah faham. Sungguh
menggirangkan sekali kalian ayah dan anak dapat berjumpa kembali. Tentu banyak sekali yang
hendak diceritakan maka silahkan saja. Akupun hendak bicara dengan nona ini….”
Tiba-tiba ia berhenti tetapi menggunakan ilmu Menyusup-suara, melanjutkan bicara kepada
kedua ayah dau puterinya itu, “Kalau bicara disini, kurasa kurang leluasa. Kalau musuh
menyerang, kukuatir kalian tentu sukar menghindar.”
“Terima kasih saudara Ih,” Tiba-tiba Siangkwan Ko menghaturkan terima kasih lalu memimpin
Siangkwan Wan-ceng menuju kesudut.
Pengemis sakti Cong To tertawa dingin. Ia mengambil buli2 araknya dan meneguk dua kali.
Ih Thian-heng berpaling kearah pengemis itu, tertawa, “Apakah saudara Cong mencurigai aku
mengadu domba saudara dengan saudara Siang-kwan?”
“Hm, mulut anjing tentu tak dapat tumbuh gading gajah,” sahut Cong To.
Berobahlah seketika wajah Ih Thian-heng, “Dengan baik2 aku bicara kepada saudara, mengapa
saudara menghina begitu? Apakah saudara kira akan takut kepadamu?”
“Memang bicaraku kasar,” sahut Cong To,” kalau engkau tak suka dengar, jangan bicara lagi
dengan aku.”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
“Ih Thian-heng,” tiba-tiba dara baju ungu itu berseru,” apakah perjanjian kita masih berlaku?”
Ih Thian-heng tertawa, “Aku memang hendak bicara penting dengan nona.”
“Bicaralah!”
“Kecerdasan nona, aku sangat mengagumi,” kata Ih Thian-heng,” tetapi bahwa dalam makam
ini ternyata terdapat penghuninya, adakah nona sudah menduga hal itu?”
“Sebelumnya memang tak tahu,” sahut dara baju ungu.
“Nah. begitulah.” kata Ih Thian-heng, “kepandaian dari pencipta makam ini, bukan saja jauh
diatas kepandaianku, tetapipun juga lebih tinggi dari nona.”
“Kalau dinilai dari bangunan yang diciptakan ini, memang benar begitu,” kata dara baju ungu.
“Kalau nona mempunyai anggapan begitu, itu memang benar,” kata Ih Thiang heng pula.
“Apakah engkau bermaksud hendak menasehati aku supaya bekerja-sama dengan engkau
untuk membuka rahasia makam ini?” tanya si dara.
Ih Thian-heng berpaling memandang kepada rombongan jago2 silat yang berdiri
dibelakangnya, tertawa, “Tokoh-tokoh silat yang berkumpul disini, kebanyakan satu sama lain
tentu mempunyai dendam permusuhan. Tetapi pada saat dan tempat seperti sekarang ini, mereka
rela untuk melepaskan urusan ptribadi masing-masing. Dan mereka mau bersatu padu untuk
menbungkar rahasia makam ini, menghadapi orang gang menciptakan makam ini.
Apabila nona mau bekerja sama dengan aku, aku siorang she Ih ini tentu yakin akan menang.”
“Jika sudah dapat menciptakan bangunan sehebat ini dengan perlengkapan pekakas2 rahasia
yang sedemikian hebat, orang itu tentu sudah mempunyai rencana yang sempurna….” tiba-tiba
dara baju ungu itu berhenti, melangkah dua tindak kemuka lalu menyandarkan diri pada tubuh
nenek Bwe, ujarnya pulA,, “Menilik keadaan saat ini, betapa hebat orang itu menyediakan alat dan
orang, tetapi tentu tak mampu mengadu kekerasan dengan kita. Dalam ilmu kepandaian silat saja,
merekapun tentu tak dapat mengimbangi kita. Tetapi apabila sebelumnya mereka memang sudah
mengatur berbagai alat pekakas rahasia, persoalannya tentu lain lagi. Taruh kata dia kalah,
kitapun tentu tak dapat keluar dari tempat ini atau berarti kita akan mati bersama-sama lawan.”
Ih Thian-heng tertegun, serunya, “Ah, aku tak memikirkan sampai langkah itu.”
“Karena itu,” kata dara baju ungu pula, “apa bila kalian hendak mengharapkan kesempatan
hidup, kalian harus mendengarkan perintahku.”
Kata-kata itu diucapkan dengan nyaring sehingga sekalian orang dapat mendengar jelas.
Ih Thian heng tersenyum, serunya, “Ah, nona terlalu menganggap diri nona kelewat tinggi.
Terus terang saja, dalam rombongan tokoh-tokoh yang berada disini, siapapun tak dapat
menguasai lain orang. Maka siapapun dapat memberi saran dan pendapat bahkan perintah. Tetapi
itupun hanya terbatas pada satu soal yang sedang dihadapi. Pada lain soal dilain saat, sudah tak
berlaku lagi.”
“Kalau kalian mau mendengar perintahku, aku bersedia kerjasama. Tetapi kalau tidak mau
mendengar perintahku, lebih baik kita kerja mennurut rencana masing-masing tanpa saling
mengganggu.”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ih Thian-heng tertawa, “Apa yang kuharap
mengharap agar sebelum rahasia makam ini terbongkar, permusuhan diantara kita dengan kita
supaya dihentikan dulu.
“Baik, kami akan menjadi penonton saja,” kata dara baju ungu.
Sejenak Ih Thian-heng memandang kearah tokoh yang bertubuh pendek dan berkata pula,
“Aku masih ada sebuah permintaan lagi.”
“Bukankah engkau meminta supaya kubebaskan ketua Lembah-seribu-racun itu?” cepat dara
baju ungu menyambuti.
Ih Thian-heng mengangguk, “Entah rahasia makam ini dapat terbongkar atau tidak, tetapi
orang-orang yang berada dalam makam ini ibarat anak-anak yang menerjang api, tentu akan
mengalami akhir yang menyedihkan. Dan setelah rahasia makam ini terbongkar, sukar kiranya
untuk nona berada di luar garis.”
‘Tak apa,” sahut dara baju ungu, “agar kami dapat melihat kehebatan ilmu silat dari
Tionggoan….”
Habis bertata dara itu berpaling dan berkata bisik-bisik kepada si Pendek, “Oh ay-cu, lepaskan
ketua Lembah-seribu-racun itu!”
Oh Ay-cu atau orang she Oh yang pendek, mengiakan lalu mengangkat tangan dan diayunkan
ke punggung ketua Lembah-seribu racun. Bluk …. tubuh ketua Lembahah-seribu-racun yang kate
itu segera terlempar sampai lima enam langkah kemuka.
Ih Thian-heng ulurkan tangan menyambuti lengan kiri ketua Lembah-seribu racun, seraya
berkata, “Saudara Leng….”
Tepat pada saat Ih Thian-heng berbuat begitu, tangan kanan ketua Lembah-seribu-racun pun
berayun menghantam kearah dagu Ih Thian-heng. Pukulan keras, jaraknya dekat. Sekalian orang
terkejut dan menyangka Ih Thian-heng tentu terluka. Tetapi sebagian besar, tokoh-tokoh itu
malah mengharap, agar pukulan itu benar-benar dapat melukai Ih Thian- heng, makin berat
lukanya makin baik.
Ketika melihat si dara baju ungu muncul, tergetarlah hati Han Ping. Tak tahu ia bagaimana
sesungguhnya perasaan hatinya itu.
Tiba-tiba ia melihat ketua Lembah-seribu-racun menyerang Ih Thian-heng secara licik. Cepat ia
melesat dan menutuk siku lengan ketua Lembah-seribu-racun saat itu.
Tetapi tepat pada saat ia bergerak, tangan kiri Ih Thian hengpun sudah menangkis dengan
tangan cepat bum….Tubuh Ih Thian heng agak tergetar, ketua Lembah seribu racunpun tersurut
dua langkah. Tetapi tangan kapannya dapat dicengkeram tangan kiri lh Thian heng keras2
sehingga tak dapat berkutik. Sekali Ih thian heng kencangkan cengkeramannya, pucatlah wajah
ketua Lembah-seribu racun itu. Namun ketua lembah Seribu-racun itu masih berusaha untuk
bersikap garang agar jangan terlihat orang.
Sejenak memandang kesekeliling, Ih Thian-hengpun tertawa, “Harap saudara2 jangan kuaur.
Sebelum saudara2 mati, tak nanti aku mendahului mati lebih dulu.”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kata-kata yang bernada sindiran itu membuat sekalian orang merah mukanya. Kemudian Ih
Thian-heng memandang Han Ping dan tertawa, “Sekalipun aku tak dapat menjadi sahabat saudara
Ji, tetapi dengan mendapat lawan seorang pemuda yang perwira seperti saudara, akupun merasa
bahagia ‘
Sahut Han Ping, “Aku tak bermaksud menolongmu. Hanya aku tak senang melihat perbuatan
orang yang menyerang secara gelap.”
Ih Thian-heng tertawa, “Oh, begitu….
Ia beralih memandang ketua Lembah seribu-racun dan berkata dengan serius, “Tetapi saudara
Ji salah terka Saudara Leng ini sama sekali bukan hendak menyerang aku dan memang dia bukan
orang yang suka melakukan penyerangan secara begitu licik. Adalah karena dari tiga buah
jalandarahnya yang tertutuk, baru dibuka dua buah oleh si Pendek itu, maka sekalipun kaki dan
tangannya dapat bergerak tetapi kesadaran pikirannya masih belum terang. Sehingga dia
melakukan serangan tadi.”
Dalam pada berkata-kata itu, Ih Thian-heng diam-diam sudah kerahkan tenaga-dalam untuk
membuka jalan darah ketua Lembah-seribu- racun yang masih
tertutuk itu. Kemudian baru pelahan-lahan dilepas.
Ketua Lembah-seribu-racun mundur selangkah berdiri terlongong longong beberapa saat lalu
berpaling memandang nenek Bwe dan si Bungkuk serta si Pendek. Tiba-tiba wajahnya merah
padam.
“Ho, bagus orang Pendek!” serunya seraya merentang kedua lengan sehingga terdengar suara
berkerotekan dari tulang2nya, lalu maju menghampiri Oh Pendek.
Si Pendek hanya tertawa dingin, serunya, “Bagus orang pendek, kemarilah engkau!”
Ternyata ketua Lembah seribu racun itu juga orang pendek, hanya terpaut sedikit dengan si
pendek Oh. Tetapi walaupun keduanya bertubuh kate, mereka memiliki ilmusilat yang keras.
Saat itu keduanya sudah saling berhadapan. Begitu bergerak, tentu akan hebat akibatnya.
Tiba-tiba Ih Thian-heng melangkah ketengah mereka dan mecegah, “Harap saudara Leng,
jangan marah dulu!” Dan ia memandang kearah si dara.
“Oh Ay-cu, mundurlah’“ seru dara baju ungu.
Dalam pada itu lari tumpukan kain bertulisan yang ngelumpruk dlantai, tiba-tiba dihembas
angin dingin sehingga kain2 itu terangkat naik. Dan tampaklah apa yang terdapat dibalik kain2 itu.
Sebuah jajaran lilin, dari kecil hingga makin kebelakang makin besar. Panjang jajaran lilin itu
tak kurang dari berpuluh tombak jauhnya. Pada ujung jajaran lilin, terdapat sebuah peti mati
hitam. Dikedua samping peti mati itu tergantung dua buah lian (kain bertulis kata berdukacita).
Tetapi karena jaraknya amat jauh, sekalian orangpun tak dapat melihat jelas.
Ih Thian-heng memandang kepada dara baju ungu dan berkata, “Sungguh suatu persiapan
yang hebat “
“Seorang yang mati, apabila dikubur ditempat semacam ini tentu akan merasa lebih senang
mati daripada hidup,” sahut si dara baju ungu.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kemudian Ih Thian-heng memandang kearah sekalian tokoh-tokoh silat lalu tertawa nyaring,
“Rahasia dari makam yang begitu menggemparkan dunia persilatan, segera akan terbongkar. Pada
tempat dan saat ini, kuharap saudara2 sekalian tetap menghapus dendam permusuhan pribadi.
Dan jangan melakukan rencana gelap untuk mencelakai lain orang. Apabila terdapat orang yang
bertindak begitu, dia akan dianggap sebagai musuh kita sekalian. Setiap orang berhak
membunuhnya.
Pletek…. tiba-tiba terdengar letupan kecil dari sebatang lilin yang pecah. Apinya muncrat
kemana-mana lalu padam.
Tetapi menyusul pun lain2 lilin meletus satu demi satu sehingga bunga api berhamburan
mememenuhi ruangan. Pada lain kejab ruangan gelap gulita. Sebagai gantinya, batang lilin2 yang
tinggi pada jajaran dibelakang sendiri, segera menyala makin terang.
Ih thian heng menghela napas, “Diluar langit masih ada langit, dibelakang orang masih ada
orang. Kepandaian orang itu benar membuat aku siorang she Ih harus mengangkat topi.”
Buru-buru dara baju ungu menukas, “Sayang ayahku belum datang kemari. Mungkin dialah
yang dapat mengimbangi kepandaian pencipta makam ini.”
Jawab Ih Thian-heng, “Dahulu dalam rapat besar di Jang-san, ayah nona telah membantah
tentang kehebatan ilmusilat Tiong goan. Kata-katanya yang tajam, sangat menusuk telinga.
Memang aku sangat berharap agar dia dapat datang kemari menyaksikan peristiwa yang ramai
ini.”
Ong Kwan tiong mendengus dingin, “Hm, jangan meremehkan kepandaian suhuku. Apabila dia
mau turun kedunia persilatan, bukan saja pencipta makam ini takkan mampu mengelabuhi orang,
pun kalian yang berada disini mungkin tak mempunyai kesempatan untuk hadir disini.”
Mendengar omongan besar itu, Han Ping tak puas. Ia kerutkan alis hendak membantah. Tiba-
tiba hidungnya terbaur angin wangi. Si dara baju ungu melangkah datang. Han Ping memandang
dara itu dengan gelisah. Ia hendak membuka mulut menegurnya tetapi tak jadi.
Tetapi ia rasakan angin berhembus dan dara baju ungu itupun melangkah kearah Ting Ling.
Ong K-wan-tiong dan nenek bwe ikut dibelakangnya.
Ting Ko cepat melangkah kemuka Ting Ling dan berseru dingin, “Mau apa kalian?”
Ih Thian-heng tertawa gelak-gelak, “Harap saudara Ting jangan salah faham. Kupercaya nona
Siau takkan mengganggu puterimu.”
Terdengar dara baju ungu berkata dengan suara lembut, “Nona Ting, engkau terluka.”
Ting Ling menyelinap keluar dari samping ayahnya lalu menyawab, “Aku memang menderita
luka parah, mungkin tak dapat hidup sampai beberapa hari lagi”
“Tak apa,” kata dara baju ungu, “aku dapat menyembuhkan engkau. Harap kemari agar dapat
kuperiksa bagaimana lukamu itu.”
ting Ling maju menghampiri dan bertanya, “Mengapa engkau mengenakan kain kerudung muka
sutera hitam itu? Apakah takut kalau kulihat kecantikanmu yang dapat menilaikan orang-orang
itu?”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Soal itu, soal wajah si dara baju ungu, memang amat menarik perhatian sekalian orang. Setiap
membayangkan betapa cantik dara itu. Tetapi tiada seorangpun yang pernah melihatnya.
Tampak kain selubung muka dara itu bergetaran. Dan entah dari mana, tiba dari dalam
selubung muka terdengar suara bersenandung.
Makin lama makin tinggi dan lagunyapun makin sedih. Menggambarkan seorang isteri yang
lama sekali-ditinggal pergi oleh suaminya, penuh hamburan pilu, ratapan kalbu.
Suasana sedih itu membuat hati orang seperti disayat-sayat dan airmata turun berderai-derai.
Tak berapa lama nyanyian sedih itupun makin menurun rendah dan akhirnya lenyap. Sekalian
orangpun ikut tersadar dari buaian yang rawan.
Tiba-tiba Han Ping menggembor keras dan muntahkan segumpal darah segar. Tubuhnya
terhuyung-huyung beberapa kali baru kemudian berdiri tegak.
Ih Thian heng batuk-batuk dan menghela napas, “Nyanyian itu bagaikan lagu sorga, tiada
terdapat didunia, Apabila dulu2 aku mendengar lagu semacam itu, dunia persilatan mungkin akan
terhindar dari malapetaka.”
Habis berkata ia terus mengharapiri Han Ping, Melihat itu Pengemis sakti Cong To cepat maju
dua langkah, serunya, “Ih Thian-heng, apakah engkau bermaksud hendak melanggar janji yang
engkau ucapkan sendiri Sahut ih Thian heng dengan serius, “Kalau hatiku gentar, tentulah akan
kugunakan kesempatan saat ini untuk melenyapkannya….” tiba-tiba ia tertawa, “Tetapi aku
bukanlah manusia serendah itu….”
Pengemis sakti menukis dengan helaan napas, “Durjana dan orang budiman, memang orang-
orang yang luar biasa. Aku sipengemis tua harus banyak berpikir.”
Ih Thian-heng ulurkan tangan mencengkeram lengan kanan Han Ping. Dirasakannya darah
dalam nadi pemuda itu mengalir deras sekali. Jelas pemuda itu sedang menderita goncangan hati
yang hebat. Segera Ih Thian-heng memijat keras2 urat nadi Han Ping lalu menepuk punggung
pemuda itu seraya berseru, “Dendam sakithati orangtua belum terhimpas, kalau sampai mati tentu
masih penasaran.”
Han Ping menggigil lalu pelahan-lahan membuka mata, sahutnya, “Terima kasih ia terus
menggeliat, lepaskan tangannya dari cekalan orang dan mundur dua langkah, lalu pejamkan mata
mengatur pernapasan.
Ih Thian-heng berpaling memandang kain bertulisan yang berkibar-kibar menyiak kemudian
meruntuh kebawah lagi Sinar lilin disebelah dalampun teraling pula.
“Apakah budak perempuan itu? ‘ tiba-tiba terdengar suara yang aneh melengking.
Sekalian orang serempak berpaling. Kiranya yang berseru itu siorang tua alis panjang atau tabib
racun. Sambil tangan kiri mencekal kera bulu kuning emas yang matanya meram, orangtua alis
panjang itu memandang lekas-lekas kearah Siangkwan Wan-ceng.
Melihat sikap orangtua alis panjang tampak begitu mendendam kepada putrinya. Siangkwan Ko
marah, bisiknya, “Ceng-ji, jangan takut, akan kuberi hajaran pada si tua itu!”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
“Jangan ayah,” seru Siangkwan Wan-ceng gopoh, “lo-cianpwe itu telah melepas budi
kepadaku….” ia memandang kearah sitabib alis panjang, berseru pula, “Apakah engkau hendak
menanyakan orang yang menulis resep obat itu?”
“Ya, apakah dara baju ungu itu?” seru sitabib alis panjang.
“Benar, memang dia!” sahut Siangkwan Wan-ceng.
Tabib alis panjang menengadahkan muka tertawa keras, “Bagus! Akhirnya dapat juga
bertemu!” Ia terus melangkah kearah si dara baju ungu.
“Berhenti!” cepat nenek Bwe ayunkan tongkat membentak.
“Bwe-ni. biarkan dia,” kata dara baju ungu.
Nenek Bwe menurut lalu mundur kesamping dara baju ungu. Tetapi matanya tetap tak lepas
memandang gerak gerik tabib itu. Sekali tabib itu berani berbuat yang membahayakan diri si dara
baju ungu, nenek Bwe tentu akan menghancurkannya.
Dara baju ungu menghela napas panjang, tanyanya, “Apakah maksudmu hendak mencari aku?”
Sahut tabib alis panjang, “Seumur hidup kuabdikan diri dalam soal pengobatan. Dan aku
bangga kepada diriku, tetapi tak tahu kalau didunia ini masih terdapat orang yang melebihi
kepandaianku.”
“Apakah hanya begitu keperluanmu?” tanya si dara baju ungu.
“Baru-baru ini aku telah melihat secarik resep. Obat yang ditulis pada resep itu benar-benar
membuat aku kagum dan tunduk benar-benar,” kata tabib alis panjang.
Kemudian ia berpaling kearah Han Ping, serunya, “Resep itu sayang telah dihancurkan oleh dia.
Aku ingin sekali bertemu muka dengan pembuat resep itu.”’
Dara baju ungu menghela napas, “Ah, usiamu sudah begitu tua, mengapa masih mengandung
pikiran untuk memburu kebanggaan?”
tetapi tanpa menghiraukan ucapan si dara, tabib alis panjang itu berseru lantang, “Apakah
engkau yang menulis resep itu?’
“Kalau ya, lalu bagaimana?”
“Aku tak percaya!” seru tabib alis panjang, “sepanjang hidupku aku telah mengumpulkan
banyak sekali resep obat tetapi tak pernah kulihat resep seperti itu ….”
“Kalau benar aku yang menulis resep itu, lalu engkau hendak mengapa?”
“Kalau engkau yang menulis engkau tentu masih ingat isi resep itu.”
“Apakah engkau masih ingat ramuan obat pada resep itu?” tanya si dara.
“Walaupun tak dapat mengingat seluruhnya tetapi dapat juga mengingat enam tujuh bagian,”
kata tabib alis panjang.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tiba-tiba dara baju ungu itu mengucapkan beberapa jenis obat, “I-Long-ong, Pi-he, Hong hoa,
Liong yan-hiang…. seluruhnya dia mengatakan duabelas jenis ramuan obat.
Mendengar itu barulah tabib alis panjang mengangguk, “Tepat semua Kalau begitu tak dapat
diragukan lagi, resep itu memang engkau yang menulis ia berhenti sejenak tersenyum lalu
bertanya pula, “Berapakah usiamu tahun ini?”
“Buat apa engkau tanyakan umurku? Aku berumur 19 tahun,” sahut si dara.
Tiba-tiba wajah tabib alis panjang itu berobah pucat, serunya, “Aku sudah hidup sampai
berpuluh puluh tahun tetapi ternyata tak dapat melebihi kepandaianmu seorang anak perempuan
yang bara berumur 19 tahun. Apakah orang semacam aku ini masih ada muka untuk hidup
didinia….?”
Habis berkata tiba-tiba tabib alis panjang itu benturkan kepalanya ke tanah.
Saat itu sekalian orang masih termangu dari buaian nyanyian sedih si dara. Dan merekapun tak
menyangka sama sekali bahwa karena selembar resep obat saja, orang tua alis panjang itu telah
nekad membenturkan kepalanya ketanah.
Brak…. darah muncrat keempat penjuru ketika batok kepala tabib alis panjang itu pecah
berhamburan ditanah….
Empat orang tokoh silat hendak menolongnya tetapi sudah tak keburu.
“Ah, kasihan orangtua itu…. “ dara baju ungu menghela napas panjang.
Sambil berjongkok untuk mengangkat mayat tabib itu, Ih Thian-heng berkata seorang diri, “Ah,
lo cianpwe terlalu terburu-buru meninggal dunia. Sebenarnya masih banyak peristiwa ramai yang
lo cianpwe dapat saksikan….”
Sambil memondong mayat ia melangkah kearah jajaran kain lian (bertulis). Kira2 dua tiga
langkah dari kain lian itu, ia meniup untuk menyiak kain2 itu lalu melangkah maju. Setelah
melawati meja, ia berpaling dan berseru kepada sekalian orang, “Aku yang akan menjadi pelopor
jalan” berseru pengemis Cong To, “Baik dan Jahat itu hanya sepercik lintasan pikiran. Harap
saudara Ih tunggu dulu aku si pengemis tua.
Pengemis-sakti itu apungkan tubuh dan pada lain saat ia sudah berada disamping Ih thian-
heng, serunya “Mari kita jalan bersama!”
“Tigapuluh tahun hidup dalam dunia persilatan baru pertama kali ini aku merasakan sikap yang
ramah dari saudara Cong.”
Sahut Cong To dengan nada bersungguh, “Sepanjang hidupku, entah sudah berapa banyak
jiwa manusia yang kubunuh. Tetapi tidak seorang dari mereka yang kukenang. Satu satunya
peristiwa yang tak pernah Kulupakan dalam hidupku ….”
“Bukankah yang ada hubungannya dengan sumoay saudara?” tukas Ih Thian-heng.
“Kata saudara Ih, walaupun tidak tepat tetapipun tak jauh” kata pengemis Cong To, “peristiwa
yang selalu menggandul pada pikiranku yalah karena selama ini aku belum dapat mengambil
lencana emas lambang pimpinan ketua….”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ih Thian-heng merogoh kedalam baju, katanya, “Aku dapat menyerahkan lencana emas itu
kepada saudara. Sejak ini, saudara Cong tak perlu tunduk pada perintah sumoay saudara.”Ih
menyerahkan sebuah lencana emas kepada Cong To.
Cong To melihat lencana emas itu memang lencana dari suhunya yang hilang. Ia terkesiap.
Peraturan dari perguruan Kim pay bun yalah harus menghormati lencana emas lambang
perguruan. Setiap murid yang melihat lencana emas itu harus berlutut memberi hormat seperti
berhadapan dengan suhunya.
Sejenak tertegun, Cong To terus berlutut memberi hormat dengan khidmat seraya menyambuti
dengan kedua tangaanya.
berkata pula Ih Thian-beng, “Kalau aku beruntung dapat keluar dari makam ini dengan masih
hidup, aku bersedia akan membawa saudara ber temu dengan sumoay saudara.
Cong To menghela napas, “Ah. peristiwa lampau seperti impian. Asal sudah mendapatkan
lencana-emas itu kembali, aku tak ingin bertemu muka lagi dengannya.”
Ih Thian heng tertawa meloroh, “Walaupun, aku sendiri tak melakukan kebaikan tetapi anak
buahku kebanyakan gemar melakukan kejahatan. Sumoay saudara telah kupenjarakan dalam
sebuah gua. Apabila aku tak dapat keluar dari makam ini, sumoay saudarapun tentu tak mungkin
dapat keluar dari guha itu. Dan itu memang sudah layak sebagai akibat dari perbuatannya.
Sambil berkata Ih Thian hengpun terus melangkah kemuka Cong To mengikuti dibelakangnya.
ia kerahkan tenaga dalam bersiap siap. Setelah meragu sejenak, sekalian orangpun segera
menyusul. Hanya orang Lam hay-bun yang tetap tinggal ditempatnya. Begitu pula Han Ping yang
masih berada disitu karena sedang melakukan penyaluran napas. Kim loji berdiri didamping
pemuda itu dengan penuh perhatian. Hendak bertanya bagaimana keadaan pemuda itu tetapi
akhirnya tak jadi karena kuatir mengganggunya.
Tampak dada pemuda itu berkembang kempis, wajahnya tetap pucat lesi.
“Heran, sungguh heran sekali. Orang bertanya mengapa dara itu terus menyanyikan lagu
sesedih itu?” gumam Kim loji.
Tiba-tiba nenek Bwe gentakkan tongkat bambunya, berseru, “Hai apa yang engkau sebut
mengherankan itu!”
“Kumaksudkan orang yang bertingkah mengherankan,” seru Kim loji.
Nenek Bwe berseru dingin, “Orang semacam engkau, juga berani…. …. “
Dara baju ungu menghela napas, “Sudahlah Bwe Nio, jangan menghiraukannya.”
Kim loji masih mendengus geram, “Walaupun aku….”
Tiba-tiba Han Ping membuka mata dan menghela napas panjang, “Paman Kim, engkaupun
harap jangan bicara lagi!”
Kim loji dan nenek Bwepun diam. Tetapi mata mereka masih saling berpandang. Yang seorang
setiap saat bersedia berkorban jiwa untuk Han Ping. Dan yang satu seorang inang pengasih yang
amat taat dan sayang kepada si dara baju ungu. Keduanya sama-sama mentaati perintah
momongannya.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Pelahan-lahan dara baju ungu melangkah kemuka Han Ping lalu berputar jalan balik kembali.
Kemudian terlonjong longong memandang pemuda itu. Rupanya hati dara itu tegang sekali. Sinar
matanya bertamburan seperti hendak menumpah keluar dari balik kain kerudungnya. Slnar mata
yang ipenuh dengan ribuan kata.
“Nak, apa yang hendak engkau katakan, bilanglah, tak perlu takut,” kata nenek Bwe dengan
menghela napas.
Dara baju ungu mengangguk. Dilihatnya Han Ping memandang dirinya dengan mata merentang
lebar. Dara itu menghela napas, ujarnya, “Mengapa hatimu masih mengenang aku? Apabila
engkau anggap aku sudah mati, alangkah baiknya.”
Han Ping tetap menutup mulut rapat2. Tetapi kerut wajahnya makin tegang.
Kata si dara pula, “Kalau hatimu melupakan aku, tak mungkin tadi engkau sampai begitu
tegang sehingga…. sehingga…. ah!”’
Tiba-tiba dara itu beralih memandang Kim loji. katanya pula, “Nyanyianku tadi sama sekali
bukan hendak melukai hatinya. Hanya dalam hatiku memang penuh dengan hal yang duka tetapi
tak dapat kutumpahkan dengan kata-kata. Maka terpaksa kucurahkan melalui nyanyian itu.”
Kim loji terlongong, katanya, “Nona amat cerdas sekali, mengapa tak dapat menumpahkan
kesedihan yang menghuni dihati nona?”
Dara baju ungu itu tertawa, “Ada kalanya aku mengharap diriku ini seorang tolol saja. Seorang
yang tolol, tentu lebih tenang pikirannya dan lebih sedikit pula kedukaan hatinya.”
Tiba-tiba Han Ping menyelutuk, “Kalau engkau menganggap aku sudah mati, kesedihan hatimu
mungkin tentu banyak berkurang….”
Tampak pemuda itu dengan paksakan diri baru dapat mengucap kata-kata itu.
Kala dara baju ungu, “Ada kalanya aku benar-benar mengharap engkau meninggal dalam
makam yang kubangun dengan tanganku sendiri. Tetapi…. tetapi nasib mempermainkan orang
dan membuat aku sering berjumpa dengan engkau.”
Dalam mengucapkan kata-kata itu, tampaknya si dara mengerahkan ketabahan hatinya.
Sesungguhnya kedua muda mudi itu masing-masing dicengkam oleh getar2 Asmara. Namun
selama itu, mereka hanya menyimpan dalam hati tak mau mengutarakan.
Tetapi kini. karena menyadari bahwa hidup mereka sudah takkan lama lagi, kesempatan untuk
berjumpapun tak banyak, barulah mereka tak tahan dan menumpahkannya.
Nenek Bwe memberi isyarat agar Lam-hay-bun menyingkir. Tiba-tiba nenek itu menegur Kim
Loji yang masih tak pergi, “Hai, mengapa engkau tak mau pergi?”
Kim loji sejenak memandang Han Ping lalu memandang dara baju ungu. Dengan perasaan yang
campur aduk, diapun terus ayunkan langkah, menuju ke sudut ruang. Tetapi beberapa saat
kemudian ia tak tahan keinginan hatinya dan berpaling lagi.
“Hai, lihat apa!” bentak neneK Bwe. Tetapi nenek itu sendiripun tak henti-hentinya
memperhatikan keadaan si dara baju ungu.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kim lojin berputar tubuh dan menghadap tembok. Tetapi berulang kali ia tak tahan dan
berpaling kebelakang.
Demikianlah besarnya rasa sayang nenek Bwe kepada si dara baju ungu dan rasa sayang Kim
loji kepada Han Ping.
Saat itu tinggallah Han Ping dan si dara baju ungu saling berhadapan dan beradu pandang.
Tetapi kedua hanya tegak seperti patung yang tak dapat bicara.
Tiba-tiba nenek Bwe berseru keras, “Hai, tahukah kalian tentang pepatah kuna yang
mengatakan” Sedetik itu berharga seribu mas? Pepatah itu hendak mengajarkan kepada orang
betapa berharganya sang tempo. Walaupun tak seluruhnya tetapi sebagaian besar pepatah itu
memang tepat sekali!”
Sekalian anak buah Lam-hay-bun heran dan saling berpandangan. Mereka tak tahu apa yang
dimaksudkan nenek Bwe. Tetapi mereka terpaksa menyambut, “Ya, tepat, tepat sekali….”
Dara baju ungu menghela napas, ujarnya kepada Han Ping, “Ah, Bwe Nio menganjurkan kita
bicara?”
“Lalu mengapa engkau tak bicara?” sahut Han Ping.
“Bicara apa….?” kata si dara. “Bicara apa….?” kata Han Ping pula.
“Pada hari itu aku bertemu Ih Thian-heng. Dia mengatakan kalau engkau sudah meninggal,”
kata dara baju ungu.
Han Ping menghela napas, “Ah, memang ada orang, walaupun mati tetapi masih seperti hidup.
Tetapipun ada orang yang walaupun masih hidup tetapi seperti mati….”
“Usiamu masih muda.” kata si dara, “tetapi setiap orang persilatan yang mendengar namamu Ji
Han Ping itu, kalau tidak memuji dalam hati, tentu diam-diam mengakui bahwa engkau seorang
tunas muda yang amat cemerlang. Walaupun sampai seratus tahun lagi namamu tetap akan
diucapkan orang. Dengan demikian walaupun engkau sudah meninggal, tetapi masih hidup.
Mengapa engkau mengatakan walaupun masih hidup tetapi sudah seperti mati?”
Han Ping terdiam beberapa jenak, lalu berkata pelahan, “Engkau …. engkau masakan tak tahu
diriku?”
“Aku…. aku bagaimana tak mengetahui engkau,” sahut si dara.
Keduanya lalu menundukkan kepala. Walaupun tidak mengucap apa-apa lagi, tetapi dalam hati
kedua remaja iu sudah saling bersentuhan rasa, saling merasakan suatu pancaran Asmara murni
yang mengalir dalam hati masing-masing.
Saat itu mereka rasakan suatu saat yang paling bahagia dalam hidupnya….
Asmara terpendam.
“Ada orang yang menggunakan kata-kata untuk menguturakan maksud hatinya. Tetapi
menurut yang dilalukan kedua remaja itu, ternyata bahasa yang paling halus dan paling
menyentuh perasaan hati, bahasa yang paling berharga dan paling indah, adalah bahasa hati.
bahasa yang tak diucapkan dengan mulut melainkan dengan pancaran mata. Dan getar2 alunanTiraikasih Website http://kangzusi.com/
halus dari Asmara terpendam….diam-diam Kim loji yang menyaksikan pertemuan Kedua remaja
itu, mendapat kesan yang mendalam.
Tengah dia melamun, tiba-tiba nenek Bwe berseru melengking, “Hilang dan tumbuh, ada dan
tiada, dari manakah datangnya?”
Han Ping si dara baju ungu terkesiap dan serempak berpaling.” Dibawah kain lian, tegak
seorang dara baju biru yakni Siangkwan Wan ceng.
Walaupun dara itu berusaha hendak menenangkan hatinya, tetapi kedua kakinya yang gemetar
keras itu tak dapat menyembunyikan lagi luapan hatinya yang bergoncang keras.
Dara baju ungu menghela napas pelahan lalu menghadap kemuka lagi.
“Huh, anak perempuan yang tak tahu diri,” teriak nenek Bwe. Tetapi Siangkwan Wan-ceng tak
menghiraukannya. Pandang matanya makin kabur dan kabur, seperti terbungkus kabut.
“Nona Siangkwan….” baru Han Ping menegur, tiba-tiba dari belakang tumpukan kain lian itu
terdengar suara bentakan keras. Jelas berasal dari rombongan tokoh-tokoh yang masuk kedalam
tadi. Mereka tentu menghadapi kesulitan.
Tetapi kesemuanya itu tak dihiraukan Siangkwan Wan ceng. Dunia ini bagi Siangkwan Wan-
ceng sudah tak dirasakan apa-apa lagi. Ia tak mengacuhkan segala apa.
Oleh karena nona itu berdiri mengalingi sinar lilin dibelakang deretan kain2 bertulisan itu. maka
orang yang berada diruang muka, tak dapat melihat apa yang terjadi diruang dalam.
Tiba-tiba dara baju ungu menghela napas, serunya kepada Han Ping, “Dia tentu bersikap baik
sekali kepadamu. Selama beberapa hari ini berada bersama-sama, apakah kalian tidak gembira?”
Kata Han Ping, “Ah, dia seorang nona yang baik….”
“Kalau begitu mengapa engkau tak memanggilnya kemari.” kata si dara baju ungu, “dia telah
minum racun buatan perguruan Lam-hay-bun yang bekerjanya pelahan. Dia hanya dapat hidup
selama satu bulan saja…. “
“Apa?” Han Ping terkejut.
“Dia hanya dapat hidup sebulan lagi,” kata dara baju ungu. “Oleh karena itu dia sangat
menghargakan sekali waktu yang tak berapa lama itu….”
“O, kiranya begitu,” seru Han Ping.
Kembali dari ruargan dibelakang jajaran kain lian itu terdengar suara tertawa panjang dan
bentakan keras. Dan lilin yang menerangi tempat itupun tiba-tiba padam.
Seiring dengan suasana gelap, tiba-tiba hidung Han Ping tebaur bau yang harum. Dara baju
ungu menghampirinya dan pada lain saat terdengarlah bisikan lembut ditelingannya. Sedemikian
dekat suara itu sehingga hampir menyentuh pipi Han Ping, “Dalam beberapa waktu terakhir ini,
aku telah membohongi diriku sendiri. Aku telah mengubur engkau ditanah pegunungan itu. Pun
telah kubakar banyak sekali kertas-uang untukmu. Dan kubangun sebuah makam yang indah
bagimu agar engkau dapat hidup bahagia di alam baka…. .”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Han Ping tertawa lawar . “Sayang orang yang engkau kubur itu bukan aku…. tetapi orang itu
benar-benar mempunyai rejeki besar….
“Aku mengharuskan diri untuk mempercayai bahwa yang kukubur itu adalah engkau. Walau
pun kutahu engkau masih hidup tetapi aku harus berusaha mengelabuhi diriku sendiri….”
“Mengapa?” tanya Han Ping.
“Karena selama ini belum pernah ada orang orang yang bersikap begitu dingin kepadaku.”
Han Ping tak menyahut melainkan dalam hati berkata, “Ah, kapankah aku bersikap dingin
kepadamu….”
Kata-kata itu diucapkan dalam hati tetapi entah bagaimana si dara baju ungu rupanya seperti
mengerti. Segera ia berkata pula, “Ah, aku salah omong. Aku hendak mengatakan bahwa selama
ini tiada seorangpun yang tak mengalah kepadaku. Tetapi engkau tak mau mengalah kepadaku….”
Han Ping tertawa, “Mengapa aku harus mengalah kepadamu?”
Tiba-tiba dara baju ungu itu ulurkan tangan dan berbisik, “Aku tak minta engkau mengalah
Seorang anak perempuan memang harus bersikap lemah lembut. Ai, aku memang terlalu manja.”
Pada saat tangan si dara bersentuhan dengan tangan Han Ping, seketika jantung Han Ping
barguncang keras sehingga ia menarik diri kebelakang.
Dara itupun perlahan-lahan menarik kembali tangannya lalu berbisik, “Sekarang aku baru
menyadari bahwa betapa hebat dan luar biasa kecerdasan dan bakat yang dimiliki seseorang,
namun akhirnya sukar juga untuk menentang kodrat alam. Lihatlah, peristiwa-peristiwa pada
waktu lampau, betapapun orang dapat mengerjakan usaha2 besar, namun tiada seorangpun yang
mampu untuk memutar balik jalannya rembulan dan matahari. Dan tak mungkin pula dapat
mengembalikan tempo yang telah lalu. Walaupun perjumpaan kita ini belum terlalu terlambat,
tetapi ruangan ini tak dapat memuat dua orang yang suka membawa kemauannya sendiri. Yang
lampau biarlah berlalu, biarlah seperti sang tempo yang takkan dapat kembali lagi….”
Berkata Han Ping dengan nada bersungguh, “Apa yang nona katakan memang benar. Aku
masih menyandang dendam sakithati orangtuaku yang belum terhimpas. Saat ini musuhku berada
disini. Kami tentu akan menghadapi suatu pertempuran maut. Dan siapa yang akan menang masih
sukar diketahui. Apa yang akan terjadi dihari depan masih belum pasti, kuharap nona suka
menjaga diri baik2. Nah, akupun hendak mohon diri….”
Habis berkata Han Ping terus ayunkan langkah kedepan.
Tunggu,” seru dara baju ungu. Han Ping berhenti lalu berpaling, “Adakah nona masih hendak
memberi pesan lagi?”
“Nasib akan menentukan orang. Dunia ini penuh dengan orang yang ingin mancari nasib dan
ingin melepaskan nasib. Inilah dua butir pil penawar racun. Berikanlah kepada nona Siangkwan
itu. Kuberinya minum racun karena aku cemburu dan iri hati. Hendak kusuruh dia merasakan
derita siksaan yang hebat sebelum mati. Sekarang berikanlah pil itu kepadanya. Agar dia tetap
hidup dengan penderitaan kehidupannya.”
Sambil menyambuti pil, Han Ping berkata, “Ucapan nona penuh dengan ujar2 yang bernilai
tinggi sehingga orang harus mengcamkan benar-benar.”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
“Lebih baik engkau jangan terlalu mengerti, lekas pergilah,” kata si dara baju ungu.
Han Pingpun segera lanjutkan langkah.
Siangkwau Wan ceng masih berdiri diam dibelakang jajaran kain lian itu. Ia terlongong-longong
seperti patung. Ketika Hati Ping datang, nona itupun menyonsongnya, “Orangtua alis panjang itu
telah menolong jiwamu, tetapi dia yang mati lebih dulu “
“Hendak kuminta jenazah tabib itu dari Ih Thian-heng,” kata Han Ping, “apabila kelak aku dapat
keluar dari makam ini, tentu akan kubangun sebuah makam untuknya.”
“Dia seorang sakti yang menyembunyikan diri dipegunungan sepi,” kata Siangkwan Wan-ceng,
“karena hendak menyertai engkau masuk kedalam kancah pergolakan dendam disini, dan berakhir
dengan kehilangan jiwa “
“Engkau telah memberiku minum racun, kebaikanmu lebih besar dari tabib itu,” kata Han Ping.
“Tetapi aku mempunyai pamrih agar selalu dapat bersama engkau. Sebaliknya tabib itu tak ada
pamrih apa-apa. Bagaimana engkau mengatakan kebaikanku melebihi kebaikannya?” bantah si
nona.
Sesaat Han Ping tak dapat menyelami kata-kata si nona. Perlahan lahan ia mengangsurkan pil,
“Nona Siau pesan kepadaku supaya menyerahkan pil penawar racun ini kepadamu.”
“Apakah dia menghendaki aku supaya mengalami penderitaan hidup selama beberapa tahun
lagi?”
“Dia memang mengatakan begitu,” kata Han Ping, “tetapi aku tak mengerti maksudnya.”
Siangkwan Wan-ceng menghela napas, ujarnya, “Tak perlu memikirkan hal itu,” katanya,
“engkau harus menyapu semua keruwetan pikiran dan tumpahkan seluruh perhatian untuk
membalas dendam ayahbundamu. Ih Thian heng bukan seorang tokoh biasa. Dalam pertempuran
nanti, sukar ditentukan siapa yang akan menang….”
Berhenti sejenak ia melanjutkan pula, “lekas pergilah, jangan memikirkan budak setan dari
Lam-hay- bun itu lagi. Karena hal itu akan menyebabkan engkau kesengsam dengan
kecantikannya. Suatu hal yang akan menyebabkan engkau lengah dalam kewaspadaan terhadap
musuh.”
Han Ping terdiam sejenak, lalu mengucapkan terima kasih dan terus melangkah ke muka.
Diam-diam ia telah merenungkan ucapan Siangkwan Wan-ceng. Memang sejak berhadapan
muka dengan si dara baju ungu, pikirannya selalu terbayang akan wajahnya yang cantik dan
senyumnya yang mengikat suksma. Kekerasan hati untuk membalas dendam sakithati
orangtuanya seolah-olah terpudar oleh bayangan si dara jelita itu. Beberapa patah kata Siangkwan
Wan-ceng itu telah menyadarkan hatinya.
Jalan terowongan itu gelap sekali dan amat sunyi pula. Seolah olah orang-orang yang masuk
kesitu tadi, hilang lenyap ditelan suatu tenaga gaib.
Han Ping berhenti dan diam-diam menyalurkan tenaga-dalam, Kegelapan suasana yang
mencengkam aneh itu seolah-olah membawa firasat akan sesuatu yang mengejutkan. Dalam
suasana yang seperti orang, indera perasaan orangpun makin bertambah tajam.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dalam waktu akhir2 ini, bukan saja tenaga-dalam Han Ping telah mencapai kemajuan pesat,
pun pengertiannya tentu ilmu bernapas menurut ajaran kitab Tat-mo ih-kin-keng bertambah maju.
Dua kali bernapas, ia sudah dapat menjernihkan pikiran dan mempertajam kelima inderanya.
Secepat itu pula ia dapat mendegarkan suara napas dari tokoh-tokoh yang berada disitu.
Han Ping melangkah maju lagi, langkah kakinya tangkas sekali, seringan kapas jatuh ketanah,
sama sekali tak mengeluarkan suara apa-apa. Dan indera penglihatannyapun bertambah tajam.
Dilihatnya para tokoh-tokoh tadi tengah tegak berdiri bersiap-siap2, seperti menunggu sesuatu.
Han Ping melintasi mereka terus menuju kesamping Ih Thian-heng. Tiba-tiba Ih Thian heng
ulurkan tangan kiri; Harap saudara Ji, jangan buru-buru masuk.”
“Mengapa?” tanya Han Ping agak kurang puas.
Ih Tbian heng tersenyum, “Pemilik makam sudah mengeluarkan pernyataan, suruh kita
menunggu dulu “
Han Ping mendengus, “Biasanya engkau angkuh sekali, heran mengapa sekarang engkau mau
menurut kata orang?”
“Aku benat2 kagum kepada pemilik makam ini,” kata Ih thian-heng, “kupercaya dia tentu
takkan mengelabuhi secara licik….
Dalam pada itu tiba-tiba terdengar ngiang suara yang halus tetapi cukup jelas, “Sepeminum teh
lamanya lagi, pintu Seng si bun akan terbuka dayang2 cantik akan menyambut dan melayani para
tetamu….”
Berhenti sejenak, suara lembut itu berkata pula, “Sungguh tak kusangka kalau tuan2 datang
begitu cepat. Tetapi kaum persilatan Tiong goan tak pernah kehabisan orang sakti. Karena salah
menafsirkan kekuatan saudara sehingga tak sempat mengadakan penyambutan. Harap
dimaafkan.”
Han Ping kerutkan alis, berseru, “Siapakah orang itu?”
“Menilik nada bicaranya, tentulah pemilik makam ini,” kata Ih Thian-heng.
Han Ping tertawa nyaring, “Apakah kita begini banyak orang harus mendengar saja
omongannya?”
“Kegagahan saudara Ji, membuat aku kagum,” kata Ih Thian-heng” kalau kita dapat menempur
pemilik makam, hanya tinggal pertempuran kita berdua. Apabila engkau dapat mengalahkan aku.
dengan mudah engkau pasti akan mendapat kehormatan sebagai pemimpin dunia persilatan….”
Terdengar beberapa kali tertawa dingin dan dengus menggeram, “Mungkin tak begitu.”
Ih Thian-heng tertawa tawar, serunya, “Harap saudara jangan percaya omonganku. Tetapi soal
itu memang aku tak dapat berbuat apa-apa. Tetapi aku teringat akan suatu hal yang terpaksa
harus kuberitahukan lebih dulu. Siapa yang dapat menghadapi Pedang-terbang dialah yang mem
ilmu pedang terbang itu.”
Ilmu pedang-terbang itu, bukan saja termasuk ilmu pedang yang paling hebat, pun dalam
kalangan ilmu kepandaian dunia persilatan, jarang sekali orang yang memilikinya.
Sekalian tokoh-tokoh itu terdiam.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ih Thian-heng tertawa dan berkata pula, “Tetapi pada saat ini diantara kita, terdapat seorang
yang memiliki ilmu kepandaian itu. Dia bukan lain seorang pemuda yang masih muda belia yalah Ji
Han Ping….”
“Perlu kuceritakan lagi,” kata Ih Thian-heng pula, “bahwa pada pertama bertemu dengan
saudara Ji itu bukan aku menyombongkan diri, tetapi memang dia jauh sekali tingkatnya dengan
aku. Tetapi setiap kali bertempur dengan dia, dia tentu memperoleh kemajuan yang pesat sekali.
Belum sampai setengah tahun, dia sudah dapat mengimbangi kepandaianku. Hal yang tak wajar
dalam cara meyakinkan ilmusilat itu, benar-benar membuat orang….”
Tiba-tiba terdengar gelaran keras sehingga ucapan Ih Thian heng terputus. Dua buah lentera
berayun keluar.
Dan sebuah suara yang parau, segera meluncur, “’Pintu Seng-si-bun telah kubuka, silahkan
para tetamu masuk. Sebelum masuk, harap saudara2 tahu akan dua buah larangan. Para jelita
yang menyambut tetamu itu, dara2 yang luar biasa cantiknya. Tetapi mereka tak mengenakan
pakaian yang dapat mencelakai suadara. Apabila saudara2 yakin takkan terpengaruh oleh
kecantikan dara2 itu, silahkan masuk, tetapi kalau hati saudara tak kuat dan tersengsam dengan
bidadari2 itu, silahkan pilih saja yang mana dan ajaklah bersenang-senang dalam kamar sampai
puas. Ha, ha…. ha, ha, ha”
Setelah tertawa, orang itu berseru pula, “Tetapi janganlah sekali kali saudara mencelakai
mereka.
Apabila ada seorang saja yang melanggar pantangan itu, seluruh rombongan akan
kuhancurkan.
Dan akupun tak mau lagi bertemu muka dengan saudara2 Segera akan kubuka alat rahasia dan
melepaskan ratusan ribu tawon beracun, tiga ribu ular berbisa, kupadamkan penerangan dalam
ruangan ini agar saudara menderita serangan tawon dan ular beracun. Betapapun kesaktian
saudara, tetapi dalam tempat sepanjang sepuluh tombak ini dan ditempat yang gelap, tak
mungkin saudara dapat menghindarkan diri dari serangan binatang2 itu. Inilah larangan yang
pertama.
Harap saudara suka mematuhi, agar jangan terjadi hal yang tak diinginkan,”
ih Thian-heng berpaling kearah rombongan tokoh-tokoh, katanya, “Ular tanpa Kepala tentu tak
dapat berjalan. Burung tanpa sayap tentu tak dapat terbang. Baiklah kita mengangkat seorang
pemimpin rombongan untuk menjawab tuan rumah. Silahkan saudara menunjuk siapa yang layak
menjadi wakil rombongan ini.”
Sambil mengambil buli2 arak dan meneguknya Pengemis-sakti Coag To berkata, “Menurut
pandangan pengemis tua, engkaulah yang paling tepat menjadi pemimpin rombongan kita.”
“Ah, tetapi aku kuatir tak dapat memenuhi harapan saudara2,” kata Ih Thian-heng.
Han Ping mendengus, “ Ih Thian- heng, jangan lupa bahwa kita masih mempunyai hutang
piutang darah yang belum diselesaikan….
Ih Thian-heng tertawa, “Ditempat langit dan bumi buntu semua seperti ini, masakan engkau
takut aku akan melarikan diri.”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
“Jembatan kembali pada jembatan, jalanpun kembali pada jalan,” kata Cong To, “kecuali Ih
Thian-heng rasanya tiada orang yang lebih sesuai lagi.
Tiba-tiba suara parau itu terdengar berseru lagi, “Setelah melalui ruangan bunga sepanjang
sepuluh tombak. Saudara2 akan berhadapan dengan pemandangan luar biasa yang belum pernah
saudara jumpahi. Benda aneh, permata2 yang indah tiada taranya. Walaupun benda berharga dan
permata itu memang sedianya hendak kuhaturkan kepada saudara2 tetapi kuminta harus diambil
dengan cara yang terang, jangan secara menggelap. Setelah aku bertemu muka dengan saudara2,
mungkin diantara saudara2 terdapat orang yang bakal memiliki harta karun itu bila ada orang
yang berani mempunyai hati jahat hendak mengambilnya, saudara2 semua akan menerima
hukuman yang paling ngeri dan kejam….”
Dengan girang Ih Thian heng berseru nyaring, “Hukuman ngeri yang bagaimana, dapatkah
memberitahu dulu agar Kami dapat bersiap siap?”
Terdengar tertawa panjang, “Akan kugerakkan pekakas rahasia, untuk mengurung saudara2
dalam sebuah kamar batu. Kemudian akan kuhamburkan asap beracun agar kesadaran dan
semangat saudara2 hilang dan saling bunuh membunuh sendiri,”
“Cara itu memang paling ngeri dan akupun percaya kalau engkau memiliki asap beracun
semacam itu. Baiklah, kami setuju untuk mentaati kedua pantangan itu. Apabila ada angauta
rombongan kami yang melanggar, tak usah engkau turun tangan, kami akan dapat menindaknya
sendiri!”
“Bagus, kita anggap saudara2 sudah setuju mentaati perjanjian itu,” kata suara parau itu pula.
Seiring dengan lenyapnya suara parau itu tiba-tiba ujung peti mati besar yang berada didalam
ruangan, mereka pecah.
Ketika sekalian orang memandang kearah peti mati itu ternyata disebelah dalamnya terang
sekali dan sosok2 tubuh pun tampak berkelebatan.
Pengemis-tua Cong To kerutkan alis, serunya, “Adakah kita barus masuk melalui peti mati itu?”
Ih Thian-heng tersenyum, “Biarlah aku yang berjalan dimuka.” ia terus endapkan tubuh dan
melangkah maju “
Sekalian tokohpun segera mengikuti dibelakangnya.
Ternyata peti mati besar itu merupakan sebuah pintu dari lorong terowongan yang panjangnya
empat lima tombak. Tiba diujung lorong, pemandanganyapun berobah. Mereka tiba disebuah pintu
bercat merah. Pintu itu ditulisi tiga buah huruf besar ‘Seng-si-bun’ atau Pintu Mati-hidup.
Dibelakang pintu itu merupakan sebuah ruang yang luas, terang benderang dan penuh dengan
gadis2 cantik.
Sambil masih memondong mayat tabib alis panjang, Ih Thian-heng melangkah masuk seraya
berseru nyaring, “Nona2 sekalian, harap memberi jalan agar janganlah pakaian nona terlumur
darah merah!”
Kawanan gadis2 jelita yang berdiri dengan kepala menunduk itu, mengenakan pakaian warna
warni, merah, kuning, biru putih dan hitam.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Jaraknya satu sama lain menurut ukuran tertentu. Sepintas merupakan jajaran yang berbunyi Si
atau mati.
Tiba-tiba terdengar suara tambur. Dan kawanan gadis jelita yang menunduk kepala itu,
serempak mengangkat kepala, tertawa cerah.
Mereka cantik sekali, bibirnya semerah delima merekah, raut wajahnya bagai kuntum bunga
mekar bersen. Alis melengkung bagai bulan muda. Kecantikannya benar-benar dapat
menyebabkan orang tua, merasa muda kembali. Bahkan orang yang tengah meregang jiwa dapat
bangun lagi.
Ih Thian-heng berpaling kearah rombongan tokoh-tokoh, tertawa, “kalau saudara2 merasa tak
Kuat bertahan untuk melintasi ruangan sepanjang sepuluh tombak ini, lebih baik saudara berjalan
dengan menutup mata….”
Seiring dengan kata-kata Ih Thian-heng itu, kawanan gadis2 jelita itupun mulai pelahan-lahan
bergerak.
Oleh karena sebelumnya sudah mendapat peringatan maka rombongan tokoh-tokoh itupun
sudah bersiap. Berhadapan dengan kawanan bidadari cantik itu, buru-buru merekapun sudah
mengempos semangat dan mengerahkan tenaga-dalam untuk menguasai perasaan hatinya.
Gerakan kawanan gadis2 itupun mulai makin cepat, saling bersilang berpindah tempat sehingga
menimbulkan hamburan warna yang menyilaukan.
Dengan mengandalkan tenaga dalamnya yang sakti Ih Thian heng tak terkecoh dengan
kecantikan gadis2 itu. Sambil memandang kesekeliling ia tertawa nyaring dan melangkah maju.
Sekalian tokohpun mengikuti rapat2 dibelakangnya, Tiba-tiba kawanan gadis cantik yang
takhenti-hentinya bergerak itu, berhamburan menyisih ke kanan kiri sambil melepaskan
pakaiannya. Dalam sekejab saja, merekapun sudah tak berpakaian lagi.
Ih Thian-heng batuk-batuk dan berseru nyaring, “Majikanmu sudah memberi perintah, tak
boieh kami melukai kalian. Tetapi kalianpun jangan menghadang jalan….”
Ia tertawa lagi, lain berkata, “Silahkan nona sekalian beraksi sekehendak hati nona agar kami
dapat menikmati melihatnya.”
Dalam pada itu kawanan gadis cantik itupun sudah membentuk diri dalam sebuah barisan.
Masing-masing menduduki tempat yang tertentu. Dan salah seorangpun segera berderu dengan
suara yang merdu, “Silahkan tuan2 lewat ditengah barisan kami. Dalam saat tuan2 lewat nanti,
mereka akan menggunakan kepandaiannya untuk merayu dan memikat agar tun2 suka memilih
mereka….”
Ketika ih Thian heng memperhatikan dengan seksama, dilihatnya sinar mata kawanan gadis
cantik itu memancarkan harapan kasih, bagaikan musafir di padang pasir yang mengharapkan
air….
Tiba-tiba hati Ih Thian-heng tergerak. Berpaling kearah rombongannya ia berkata, “Selain
memang luar biasa cantiknya, gadis2 itu lelah minum semacam obat. Apabila diantara saudara
yang merasa tak kuat menahan nafsu, lebih baik pejamkan mata. Dengan mengandalkan
pendengaran, ikutilah dibelakangku.” Habis berkata ia terus pelahan-lahan melangkah maju.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Pengemis sakti Cong To tertawa gelak-gelak, “Selama hidup, belum pernah pengemis tua
menyaksikan pemandangan yang begini hebat Apa yang terlihat saat ini, matipun sudah puas!
Ia terus maju mengikuti dibelakang Ih Thian-heng.
Ting Ling tiba-tiba cepatkan langkah menyusul kesamping Han Ping lalu membisiki, “walaupun
kawanan gadis2 itu cantik sekali tetapi kalau dibanding dengan dara baju ungu puteri ketua Lam-
hay-bun itu, masih kalah jauh sekali. Asal engkau curahkan pikiranmu mengenangkan wajah dara
baju ungu itu, tak mungkin hatimu terpengaruh oleh kawanan gadis2 itu.”
Karena seumur hidup belum pernah menyaksikan pemandangan yang sedemikian hebat, tanpa
disadari Han Pingpun memandang lekat kepada mereka, ia baru gelagapan ketika mendengar
kisikan Ting Ling. Buru-buru ia kerahkan semangat dan tenangkan hati lalu melangkah maju.
Berjalan beberapa saat memang mereka tak merasakan suatu apa. Tetapi setelah beberapa
saat kemudian, mereka merasa ada sesuatu yang tak wajar. Bau harum dari tubuh gadis2 cantik
itu berhamburan menusuk hidung dan menggetarkan hati. Pelahan-lahan hati merekapun mulai
tak tenang….
Tubuh yang putih mulus dan bau yang harum, sudah cukup membuat hati orang kebat kebit
dan darah merangsang. Apalagi gadis2 cantik yang telanjang itu mulai memancarkan tertawa yang
menggelitik kalbu.
Rombongan tokoh-tokoh itu berjalan dengan menutup mata. Tetapi saat itu telinga mereka
seperti mendengar suara napas yang lembut dan bisik-bisik yang merdu…. , sesaat napas dan
suara itu seperti dihembuskan dari tenggorokan, sesaat dari dada dan sesaat pula dari hidung.
Sekalipun dapat menutup mata tetapi rombongan tokoh itu tak dapat menutup telinga. Oleh
karena itu, walaupun sudah menutup mata, tetapi karena mendengar bisik-bisik lembut yang
penuh dengan cumbu rayuan menantang kecabulan, mereka tak tahan lalu membuka mata lagi.
Ih Thian heng berpaling kebelakang. Tampak wajah mereka berobah merah, mata bersinar lain.
Bahkan ada yang dahinya bercucuran keringat dan geraham digigitkan erat2 seperti orang yang
tengah menahan nafsu.
Kebalikannya mereka yang biasanya hidup dengan cara tak teratur, tampak bahkan lebih
tenang. Karena mereka banyak pengalaman, jadi sudah biasa dengan pemandangan semacam itu.
Dan mereka yang biasa hidup baik, saat itu seperti dibakar api panas rasanya.
Sekonyong-konyong terdengar suaru menggerung keras dan Theng Ban-li terus memeluk
seorang gadis telanjang itu lalu dibawa lari kebelakang. Gadis jelita itu tertawa menggelitik dan
menyerahkan diri dibawa lari oleh jago tua itu.
ih Thian-heng menghela napas, “Ah, sungguh tak kira, seorang jantan seperti dia, akhirnya
harus menyerah pada paras cantik….”
Tiba-tiba dari samping terdengar orang menyelutuk, “Walaupun dia tak dapat keluar dari
makam ini tetapi dia telah dapat merobah keadaannya. Dan seorang yang paling menderita
menjadi orang yang paling bahagia didunia.”
Ih thian-heng kerutkan sepasang alis lalu beralih pandang. Tampak Ca Giok sedang kepalkan
tinju dengan geram tetapi tubuhnya gemetar. Matanya buas seperti seekor serigala lepas,
memandang seorang dara ayu yang telanjang.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
‘Fui!” ih thian-heng menbentaK dan menampar punggung pemuda itu.
Ca Giok tergetar dan tertegun beberapa saat. Kemudian ia menjurah, “Terima kasih, cianpwe.”
ia terus mengikuti dibelakang Ih Thian-heng, melanjutkan langkah.
Barisan dara2 telanjang itu walaupun tak berapa menyeramkan tetapi jalanan yang harus
ditempuh, melingkar lingkar dan berbiluk-biluk. Langkah kaki orang-orang itu makin sarat. Sampai
sekian lama belum juga mereka keluar dari barisan itu. Sepanjang hidup, belum pernah mereka
menempuh suatu perjalanan seberat itu.
Tiba-tiba Ih Thian heng membentak keras lalu menyanyi dengan suara nyaring. Lagunya lagu
bersemangat dan keras, seperti palu besi menghantam batu. Seketika tergugahlah semangat
sekalian orang. Merekapun lalu tegakkan kepala, busungkan dada melangkah kearah jalan yang
dirintis Ih Thian-heng.
“Seumur hidup aku tak pernah mengagumi orang. Tetapi hari ini aku harus memberi hormat
kepadamu karena belum pernah aku bertemu dengan orang seperti engkau,” seru Pengemis-sakti
Cong To kepada Ih Thian heng.
Ih Thian heng tak menyahut melainkan tetap menyanyi dan tersenyum. Tak berapa lama
mereka pun dapat melintasi barisan itu.
“Sungguh berbahaya….”Ca Cu jing menengadah dan menghela napas pangjang.
Wajah Ih Thian-heng berobah serius, serunya, “Barisan paras cantik, walaupun Kita sudah
berhasil melintasi tetapi masih ada sebuah rintangan yang tak kurang hebatnya yalah Harta.
Mungkin godaan ini jauh lebih hebat dari paras cantik. Peribahasa mengatakan, “Semut mati di
gula, manusia mati di harta. Harap saudara2 ingat hal itu.”
Rombongan Ih Thian-heng melanjutkan perjalanan kemuka. Setelah membiluk sebuah
tikungan, tiba-tiba disebelah muka tampak terang. Sederet lentera istana, bergelantungan tinggi
diatas lorong terowongan. Cahayanya terang benderang seperti hari pagi. Papan batu yang
menonjol dari kedua tepi lorong terowongan itu, penuh bertabur batu2 permata yang berkilau-
kilauan cahayanya.
Makin berjalan mendekati, makin hebat perhiasan yang menantang. Semua terdiri dan benda2
berharga yang jarang terlihat manusia. Setiap macam benda, cukup untuk menimbulkan rangsang
keinginan orang.
Tak henti-hentinya Ih Thian-heng menghambur pujian, ujarnya, “Benar-benar sebuah istana
permata yang hebat. Walaupun istana raja belum tentu dapat menandingi tempat ini.”
Nyo Bun-gian memberi sambutan, “Ah, intan permata, zamrud ratna mutu manikam yang
jarang terdapat diduma! Selama berpuluh-puluh tahun telah mengumpulkan barang2 permata.
Dimana terdapat permata yang aneh, tentu kubeli tanpa kuhiraukan harganya. Semula kukira
kumpulan benda2 permata yang berada di rumahku itu sudah paling banyak dan lengkap. Tetapi
apa yang kulihat saat ini, benar? menghapus kebangaanku itu. Seperti langit dengan bumi atau
bukit dengan gunung bedanya….”
Tiba-tiba ia hentikan kata-katanya dan melangkah maju, lari melampaui Ih Thian-neng, terus
menyelinap masuk kedalam sebuah ruang besar.
Didalam ruang besar yang diterangi dengan lampu dan lilin itu, penuh bertumpukan benda2
kuno dan zamrud permata yang tak ternilai indahnva.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tiba-tiba terdengar suara orang berseru kaget, “Hai, Tenggoret-kumala dan Kupu2 Emas….!”
Sekalian orang terbeliak, mengangkat muka. Tampak diatas meja yang dibuat dalam bentuk
istimewa, terdapat kedua benda pusaka yang menggemparkan dunia persilatan itu.
Tenggoret Kumala, putih seperti salju, berbuat dari batu kumala yang bening dan cemerlang.
Sepasang matanya sebesar kedele berwarna merah bercahaya seperti benar-benar hidup.
Sedang Kupu2 Emas itu lebih besar dari Tenggoret Kumala. Panjangnya tak kurang dari
tigapuluhan senti. Entah terbuat dari apa, kedua sayapnya amat tipis sekali. Sepasang matanya
berkilauan jernih sekali.
Saat itu seseorang sudah menyelimpat ketempat kedua benda pusaka itu. Sambil berteliku
tangan, dia tegak berdiri dimukanya, memandang lekat2 pada kedua benda pusaka itu. Dari
pandang matanya jelas dia itu mengiler sekali melihat kedua pusaka itu.
Ih Thian-heng cepat dapat mengetahui bahwa orang yang berada didepan meja itu yaiah Nyo
Buti-giau. Dan yang berteriak kaget tadi, tentulah orang she Nyo itu juga.
Ih Thian hengpun memperhatikan, kecuali Pengemis-sakti Cong To seorang, yang lain2
memandang lekas-lekas pada kedua benda itu dengan sinar mata penuh keinginan.
Kedengaran Nyo Bun-giau menghela “napas panjang, ujarnya, “Orang mati karena harta,
burung mati karena makanan. Rupanya pepatah kuno itu memang benar. Memperoleh pusaka
yang hebat ini, rasanya matipun puas “
Habis berkata ia terus ulurkan tangan hendak mengambil kedua benda pusaka itu.
“Tahan!” tiba-tiba Ca Cu-jing berteriak seraya maju menghampiri.
Nyo Bun giau memandang ketua marga Ca itu, serunya dingin, “Mau apa engkau?”
Ih Tbian-heng berseru, “kalaupun mati atau hidup saudara Nyo tidak perlu disayangkan, tetapi
kami semua tak mau menenami mati….” Ia berhenti sejenak ia berkata pula . “Apakah engkau tak
mendengar kata-kata pemilik makam itu?”
Kata Nyo Bun-gian, “Ini….”
‘Kalau saudara Nyo tetap hendak mengambil, dikuatirkan sekalian orang yang berada disini
takkan membiarkan saudara.”
Pengemis sakti Cong To tertawa gelak-gelak, “Nyo Bun-giau, berpalinglah kemari!”
Ketika Nyo Bun-giau berpaling, dilihatnya berpuluh mata sekalian tokoh-tokoh itu mencurah
kepadanya. Jelas mereka sudah bersiap-siap hendak bertindak apabila Nyo Bun-giau berani
mengambil kedua pusaka itu.
Tetapi kebalikannya, saat itu Nyo Bun-giau malah tenang2 memandang sekalian orang,
serunya, “Apakah saudara2 sungguh percaya akan omongan pemilik makam ini tadi? Kalau dia
memang hendak membunuh kita, sekalipun kita tak megambil benda disini, dia tetap akan turun
tangan juga.”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
“Tak peduli omongannya benar atau tidak,” seru Ih thian-heng, “harap saudara Nyo jangan
temaha. Apabila saudara hendak mengambil kedua pusaka itu, sekalian orang disini termasuk aku
sendiri, tentu akan mengambil jiwamu.”
Nyo Bun-giau terdiam lalu melangkah ke muka. Ih thian-heng tetap tegak tak bergerak. Setelah
sekalian tokoh-tokoh berjalan keluar barulah ia mengikuti dari belakang.
Sekeluarnya dari ruang harta permata itu mereka menghadapi sebuah lorong panjang lagi. Dan
pada ujung lorong, terdapat sebuah pintu batu yang setengah terbuka.
Pada pintu itu terdapat selembar kertas putih yang ditulis, Masuk pintu ini, semua larangan
hapus. Silahkan mengeluarkan se luruh kepandaian untuk menjaga serangan. Apabila dapat
melintasi Jalan maut sepanjang tigabelas tombak ini, baru dapat berjumpa dengan pelik makam
ini.
Sekalian orang mengerumuni dan membaca kertas itu. Ih Thian- hengpun menghampiri.
Satelah meletakkan tubuh tabib alis paujang, ia berkata, “Saudara2 tentu sudah membaca tulisan
itu. Mau tak mau atu harus mengagumi kelicikan pemilik makam ini. Dia benar-benar dapat
mengetahui kelemahan2 orang dan sudah memperhitungkannya….”
Berhenti sejenak ia melanjutkan berkata, “Atas kepercayaan saudara2 yang telah menganggap
aku sebagai pemimpin darurat dan rombongan ini, kuanggap telah kuselesaikan. Sampai ditempat
dan saat ini, pimpinan rombongan akan kukembalikan kepada saudara2 lagi.”
Habis berkata ia terus miringkan tubuh dan menyusup ke pintu batu.
“Ih Thian-heng, lekas mundur’“ teriak Ting Ling.
Ih Thian-heng yang sudah berada didalam, karena teriakan si nona, lalu keluar lagi dan
tersenyum, “Nona cerdik, apa yang engkau pikirkan.
Ting Ling berkata dingin, “Kepintaran besar seperti tolol, Kejahatan besar pun seperti bijaksana.
Apabila menilik gerak gerikmu selama berada dalam makam ini, memang sukar orang untuk
percaya bahwa sebenarnya engkau ini seorang durjana besar….”
In Thian heng kerutkan alis, serunya, “Kalau mau omong, bicaralah yang baik, jangan memaki
orang.”
Ting Ling maju menghampiri kesamping Ih Thian-heng, serunya, “Ya, memang aku memakimu.
Apakah engkau berani membunuh aku?”
Ih Thian-h;ng mengangkat tangan kanan keatas, serunya, “Mengapa tak berani . , . .” tiba-tiba
ia menurunkan tangannya lagi, “engkau seorang gadis muda, kalau aku membunuhmu, bukankah
aku akan ditertawai seluruh kaum persilatan?”
Ting Ling mengangguk, “Benar, bukannya engkau lak mau membunuh aku. Tetapi engkau
merasa tak leluasa untuk turun tangan pada saat dan tempat seperti ini.”
Ih Thian heng hanya tersenyum.
Ting Ling berpaling kearah rombongan tokoh-tokoh persilatan itu dan berkata pula, “Ih Thian-
heng telah membawa kita melintasi barisan gadis2 telanjang dan ruang harta karun. Tetapi pada
saat tiba ditempat yang segawat ini, bukan saja dia lepas tangan bahkan terus hendak ngacir
pergi, meminjam golok untuk membunuh orang….”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Wajah Ih Thian-heng agak berobah. Dahinya tiba-tiba mengerut hawa pembunuhan dan
berserulah dia dengan suara yang sarat, “Saudara Ting, jika engkau tak dapat mengajar putrimu
yang nakal ini, terpaksa aku akan mewakili saudara untuk memberi hajaran kepadanya….”
Ting Ling tertawa mengikik, serunya, “Apakah engkau takut? Kukatakan kepadamu, aku taK
percaya dalam saat dan tempat seperti ini, engkau akan membunuh aku….”
Tiba-tiba Ih Thian-heng gerakkan tangannya menutuk, “Kalau tak percaya, cobalah ini ‘.”
Tetapi serempnak dengan gerakan itu. Ih Thian-hengpun mendengar dua buah gelombang
angin pukulan menyambar kearahnya. yang satu melanda dada, yang satu menggempur jarinya
yang akan menutuk Ting Ling.
Ternyata kedua orang yang turun tangan menolong Ting Ling itu, Han ping dan Pengemis-sakti
Cerig To. Han Ping menolong, Cong To menyerang.
Kecuali kedua orang itu yang lain2 karena tak menyangka kalau Ih Thian-heng benar-benar
akan turun tangan. Maka mereka hanya tertegun dan tak sempat berbuat suatu apa. Bahkan Ting
Ko sendiri juga tertegun dan tak menyangka hal itu.
Walau Han Ping bertindak cepat tetapi gerakan Ih Thian-heng itupun lebih cepat dan tenaga-
dalam yang dipancarkan pada pukalan itu juga teramat dahsyatnya. Sekalipun dapat dihalangi Han
Ping tetapi sisa tenaganya masih dapat menembus dan mengenai tubuh Ting Ling sehingga nona
itu gemetar, berguncang lalu rubuh kebelakang….
Ting Ko cepat menghampiri, “Ting-ji. apakah engkau terluka?”dengan tangkas ia menyambuti
tubuh putrinya.
Ting Ling batuk-batuk lalu dengan menahan kesakitan menjawab, “Parah sekali….”
Ca Cu-jing mendengus dingin, “Hm, tak kira kalau….
Ting Ling cepat memberi isyarat tangan, serunya, “Harap kalian jangan bicara. Dengarkan
sampai aku bicara habis. Kalau tidak sia2 aku menderita….
Ia paksakan diri melakukan pernapasan, lalu melanjutkan berkata, “Pemilik makam ini memang
ganas sekali. Setelah dapat melalui dua buah rintangan Harta dan Paras cantik, dia sudah
mempersiapkan Jalan maut ini. Dia me
manfaatkan terjadinya permusuhan sewaktu melintasi dua macam rintangan tadi, lalu
menghendaki agar disini kita saling berbunuhan sendiri. Disitulah letak kelemahan orang, terutama
orang persilatan yang paling mengutamakan soal balas dendam. Ih Thian-heng hendak
menggunakan kepercayaan yang telah diperolehnya selama memimpin rombongan melintasi
kedua buah rintangan tadi, untuk mencelakai orang yang paling ditakutinya —-”
Ting Ling pejamkan mata, menghela napas dan berkata pula, “Tetapi seharusnya dia tak perlu
mengatakan hal itu sehingga aku terpaksa harus merangkai dugaan untuk meneropong isi hatinya.
Sepandai tupai melompat, sesekali terpeleset juga. Ih Thian-heng lengah memperhitungkan kalau
Ting Ling berada disini….”
Berhenti sebenar ia tertawa, “Apabila dia tak terasang kemarahannya dan memukul aku,
mungkin saudara2 takkan percaya pada omongan Ting Ling ini.”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Setelah menangkis pukulan Pengemis-sakti Cong To, Ih Thian heng berseru, “Pemilik makam
itu berada disekeliling Jalan Maut ini. Dia tentu diam-diam sudah mempersiapkan jago2 sakti.
Apabila kita masuk kedalam pintu batu ini, serangan secara terang maupun gelap, tentu akan
segera melancar.
Pemilik makam itu hendak menggunakan jalan yang gelap ini untuk membasmi kita.”
Ting Ling berusaha mengangkat kepalanya dari pelukan sang ayah, serunya, “Engkau hendak
memancing ikan di air keruh. Engkau lebih dahulu hendak masuk lalu bersembunyi ditempat gelap
dan menggunakan kesempatan itu untuk menyerang orang, Dengan kepandaian yang engkau
miliki, sudah tentu mudah sekali engkau melaksanakan rencanamu itu….”
Ting Ling tak dapat melanjutkan kata-katanya karena kerongkongannya serasa tersumbat oleh
hawa panas.
“Nak, engkau memang terluka berat,” kata Ting Ko lalu menepuk punggung puterinya. Ting
Ling batuk dan muntahkan ludah kental campur darah.
“Dengan meminjam tempat yang gelap ini, engkau hendak membunuh orang yang paling
engkau takuti,” kata nona itu pula.” setelah itu baru engkau akan menghadapi pemilik makam.
Orang yang ikut masuk kedalam ruangan itu tentu tak tahu apa yang telah terjadi.Mereka hanya
mengira engkau. Ih Thian heng. benar-benar telah menjadi pelopor untuk membuka jalan. Sudah
tentu mereka akan berterima kasih kepadamu. Engkau sudah mengucapkan sumpah yang bagus.
Sekalian rombongan patuh mendengar perintahmu. Uh, hebat benar siasatmu itu! Sayang Ting
Ling dapat membongkarnya”’
Wajah Ih Thian-heng makin membesi, serunya, “Budak setan, memang benar-benar cerdik….”
tiba-tiba pula ia tertawa nyaring, “Sayang masih ada sedikit yang belum dapat engkau, pikirkan.
Keadaan saat ini, sudah serba sukar. Maju, menghadapi Jalan Maut yang belum diketahui
bagaimana keadaannya. Mundur pun terbentur jalan ke matian. Ibarat anakpanah sudah direntang
pada busur, mau tak mau harus dilepas.”
Ting Ling tertawa, “Jangan coba memaksakan dirimu bersikap tenang. Kutahu hatimu sudah
gelisah resah.”
Ih Thian-heng mengangkat tangan kanannya, berseru dingin, “Engkau sudah ibarat seperti
lampu kehabisan minyak. Cukup kugerakkan tanganku pelahan-lahan saja, tentu jiwamu sudah
melayang.”
Seiring dengan gerakan tangan Ih Thian heng, Han Ping dan Cong Tongpun serempak tampil
melindungi di muka Ting Ling.
Ih Thian-heng tertawa, “Tanpa kulepas hantaman, dia toh takkan hidup.” Habis berkata ia terus
berputar tubuh dan menyelinap kedalam pintu batu.
Ting Ling tiba-tiba berdiri dan berkata kepada nya, “Yah, aku hendak pergi.
Dalam pertemuan ini aku belum dapat menunaikan kewajiban bhaktiku kepada ayah tetapi
malah menyuruh ayah mengantar kepergianku….”
Serta merta nona itu terus jatuhkan diri berlutut dihadapan ayahnya, “Yah, terimalah
hormatku….”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dalam tempat dan suasana yang seperti itu, berapa ganas hati ketua Lembah Raja-setan Ting
Ko, namun tak urung orangtua itu mengucurkan airmata juga. Cepat ia ulurkan kedua tangan dan
mengangkat puterinya.
“Ling, engkau terluka dibagian mana?” tanyanya, “lekas beritahu kepada ayahmu. Demi
membongkar kelicikan Ih Ihian-heng engkau sampai menderita luka, tentu sekalian orang yang
hadir disini takkan tinggal diam. Nak, lekas bilanglah, dibagian mana engkau terluka?”
Ting Ling tertawa rawan, “Tak usah ayah sibuk, aku tahu bagaimana keadaan lukaku…. .” ia
berpaling kearah Han Ping. Tampak pemuda itu tengah memandangnya dengan pandang
keharuan.
Tiba-tiba dari dalam pintu batu itu terdengar dua buah bentakan keras dan menyusul
gelombang tenaga dahsyat mendampar keluar.
Cong To cepat menghantam dan tenaga dari dalam pintu batu itupun terdampar kembali.
Sejenak Ting Ling memandang kepada rombongan tokoh-tokoh itu. Ia memegang tangan
ayahnya dan berdiri. Wajahnya mengerut kesakitan, ia melambai kearah Han Ping, serunya, “Aku
sudah hampir mati. Entah apakah engkau mau mendengarkan dua patah pesanku?”
“Silahkan nona bilang, apabila mampu, aku tentu akan berusaha sekuat tenaga untuk
melaksakakan,” kata Han Ping.
Ting Ling mengangguk, katanya, “Engkau harus baik2 merawat adikku si Hong. . . dia seorang
anak perempuan yang tulus dan masih kekanak kanakan….” tiba-tiba ia batuk dan hentikan
ucapannya.
“Jangan kuatir, nona,” kata Han Ping, “nona Hong sudah kuanggap sebagai adikku sendiri.
Dalam hidupku ini, dia adalah adikku sekandung.”
Berkata Ting LiDg dengan sedih, “Kutahu engkau selalu pegang janji. Dengan memperoleh
janjimu itu, aku dapat mati dengan meram….”
Tiba-tiba darah dalam tubuhnya meluap, menyumbat kerongkongannya sehingga ia tak dapat
bernapas. Dan rubuhlah nona itu.
Ting Ko menyambut! tubuh puterinya dengan kedua tangan, “Ling, Ling….”
Tetapi Ting Ling sudah pejamkan mata Wajahnya pucat lesi dan jiwanyapun melayanglah….
“Puteri sakti dari Lembah Setan, bermulut tajam, berotak cerdas, Disohorkan orang sebagai
gadis yang licin banyak muslihat.
Tetapi tipu muslihat demi budi kebajikan, kelicinan demi kebaikan,” seru Pengemis-sakti Cong
To,”
sayang Tian tak memberinya umur panjang sehingga kematiannya sangat disayangkan sekali.
Aku sipengemis tua Cong To, paling merasa kagum pada orang begini. Harap nona tunggu
sebentar, terimalah sembahhormat pengemis tua….”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tokoh yang menggemparkan dunia parsilatan, to k oh yang mendapat peindahan dari kaum
persilatan, saat itu dengan serta merta menjurah dan memberi hormat dihadapan jenazah Ting
Ling.
Demikian pula Han Ping. Teringat akan budi kebaikan nona itu, Han Pingpun mengucurkan
airmata dan berlutut memberi hormat dalam2, “Nona banyak melepas budi kepadaku tetapi slama
itu aku belum dapat membalas Terimalah hormat Han Ping yang tulus ihklas….”
Sekalian tokoh-tokoh yang lain amat penasaran. Disamping timbullah rasa syukur yang tak
terhingga terhadap nona itu yang dalam detik-detik terakhir masih memberi peringatan kepada
sekalian orang, betapa licik dan jahat siasat hati ih Thian-heng yang sebenarnya terhadap mereka
itu.
Sekalian tokoh-tokoh yang ternama dalam dunia persilatan itu serempak menjurah memberi
hormat yang terakhir kepada Ting Ling.
Tiba-tiba ketua lembah Raja-setan Ting Ko tertawa keras, serunya, “Anakku Ling, setelah
meninggal engkau mendapat penghormatan dari seluruh tokoh-tokoh persilatan begini rupa,
sungguh jauh lebih hebat dari aku. Matimu, Ling, adalah mati yang terhormat, mati yang
disayangkan oleh sekalian tokoh persilatan. Engkau akan terkubur dalam hati mereka!”
Kim loji tiba-tiba menghela napas panjang, serunya, “’Sayang tabib alis panjang itu sudah mati
Kalau tidak, mungkin dia tentu dapat menghidupkan engkau.”
tiba-tiba terdengar suara melengking, “Ah, tak mesti begitu. Apakah didunia ini tak terdapat
orang yang lebih pandai dari dia?”
Sekalian orang berpaling kebelakang. Tampak dara baju ungu yang berkerudung muka
melangkah masuk dibawah pengawalan dari jago2 Lam-hay-bun Han Ping, Kim loji dan Cong To
diam-diam girang dan berkata dalam hati, “Ya, benar, mengapa melupakan dia?”
Cepat Han Ping maju selangkah dan berseru gembira, “Sungguh menggirangkan sekali engkau
datang Kalau engkau tak datang, aku sungguh….”
“Engkau girang karena aku datang, bukan?” tukas dara baju ungu itu.
“Ya, tentu,” sahut Han Ping.
“Engkau girang karena melihat aku, atau karena kedatanganku ini akan dapat menolong nona
Ting “ kata si dara pula.
Han Ping tercengang. Sampai beberapa saat ia tak dapat menjawab.
dara itu terdengar mendesah pelahan lalu perlahan-lahan melangkahkan kaki. Han Pingpun
menghela napas dalam2.
Saat itu nenek Bwe Nio sudah berada disamping Han Ping dan berkata pelahan, “Anak itu
memang luar biasa pintarnya. Dalam menghadapi setiap persoalan, cara berpikir, membahas dan
menyimpulkan, tak ada seorang persilatan didunia ini yang mampu menandingi. Tetapi…. ah,
betapa pun dia itu tetap seorang anak perempuan.”
Kembali Han Ping terkesiap. Walaupun mulut diam tetapi hatinya diam-diam berkata, “Ah,
sudah tentu aku tahu kalau dia seorang anak perempuan masakan….”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Belum sempat ia merenung lebih lanjut, nenek Bwe sudah melanjutkan berkata lagi,
“Betapapun pintarnya seorang anak perempuan itu apabila dia itu seorang anak perempuan, tentu
masih mempunyai hati cemburu. Terutama terhadap orang yang dicintainya. Memang itulah
penyakit dari anak perempuan, apakah engkau sudah mengerti?”
Han Ping tegak seperti patung. Dia memandang seorang pemuda yang mencurahkan seluruh
hidupnya untuk mengajar ilmu kesaktian agar danpat menuntut balas atas kematian kedua
orangtuanya Terhadap pergaulan dengan anak gadis, hampir dikata ia masih hijau.
Tiba di samping Ting Ling, sejenak dara baju ungu mengeliarkan pandang kearah sekalian
orang yang mengunjuk rasa sedih atas ke matian Ting Ling.
“Ah apabila aku mati, entah apakah ada orang yang berdukacita seperti itu?”
Kemudian ia berpikir lebih lanjut, “ia seorang anak perempuan, mengapa bisa mendapat
perhatian besar dari tokoh-tokoh itu? Karena ia telah mengorbankan diri untuk menolong lain
orang. Lalu aku ini?….”
Memang seorang yang cerdik dan cerdas, perasaannya makin keras, pikirannya makin luas.
Orang-orang begini, memang sukar dirabah hatinya. Dalam banyak hal, memang orang sukar
mengerti isi hatinya. Dia seorang manusia yang mempunyai perasaan kuat sehingga dapat
menindas perasaan hatinya sendiri.
Mata sekalian tokoh itu mencurah kearah dara baju ungu. Tampak dara itu berjongkok dan
memeriksa dada Ting Ling dan pergelangan. tangannya. Lalu membuka kelopak mata nona itu,
menengadah memandang keatas dan dara itupun merenung diam.
“Bagaimana, apakah dapat ditolong?” karena tak kuat menahan hatinya, Ting Ko segera
bertanya.
Dara baju ungu itu tundukkan kepala dan menghela napas pelahan, “Ah, tiga urat besar sudah
berhenti, itu delapan nadi putus. Walaupun mendapat pil dari dewa tetap sukar untuk
menolongnya.
Sekalian tokoh terkejut dan terkesiap. Dara baju ungu itu merupakan satu-satunya harapan
mereka. Dan keterangan dara itu, membuat lenyap harapan itu…. .
“Tetapi,” tiba-tiba dara baju ungu itu melanjutkan berkata lagi, “walaupun aku tak berdaya
untuk merebut jiwanya tetapi aku mempunyai cara untuk merawat jenazahnya agar tak rusak
selama-lamanya. Dengan demikian engkau dapat….”
Tiba-tiba kata-kata dara itu terputus oleh suara teriakan keras. Serentak tokoh-tokoh itu
berpaling. Tampak Han Ping melangkah maju dengan gopoh dan tegang. Ketika berhenti,
tubuhnya masih gemetar.
“Ping ji. engkau kenapa “ seru Kim loji terkejut.
Han Ping memandang lekat2 pada tubuh si dara baju ungu dan berserulah ia dengan keras
serta tersendat-sendat, “Engkau…. engkau, engkau…. engkau mengapa tak mau menolongnya?
Mengapa hatimu begitu ganas….”
Dara baju ungu tegak; berdiam diri.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
‘Eh, saudara, mengapa engkau berkata begitu?” tegur Pengemis-sakti Cong To, “nona Ting
sudah putus jiwanya. Hanya dapat menyalahkan nasib, mengapa engkau menyalahkan orang?”
“bukan begitu!” bentak Han Ping lalu menuding pada dara baju ungu,” karena dia merasa
Cemburu, mencemburui nona Ting maka dia tak mau menolongnya.”
Ujung jari dari itupun tampak gemetar, ujar, nya, “Engkau…. sangka aku ini…. orang macam
begitu?”
”Benar orang semacam itu atau tidak, hanya engkau sendiri yang tahu. Asal tiap malam engkau
merenung dan merasa hari itu tak berbuat sesuatu yang menyalahi orang, orang tentu takkan
dapat berbuat apa-apa terhadapmu “
Tampak sekalian tokoh mengerut dahi. Mereka bersangsi dan kesangsian itu jatuh pada diri si
dara baju ungu.
“Ji Han Ping!” seru nenek Bwe dengan bengis, mengapa seenakmu saja engkau berani
menghina anakku ‘
Tetapi diam-diam nenek itupun sudah tahu akan watak si dara yang angkuh dan keras kepala.
Diam ia sendiripun juga mempunyai setitik kesangsian. Maka walaupun menyemprot Han Ping
dengan keras tetapi nadanya tidak marah.
Ting Ko berbangkit, serunya, “Nona, asal engkau dapat menghidupkan anakku ini, apapun yang
hendak engkau perintahkan, aku ketua Lembah Raja-setan akan menurut perintahmu untuk
selama-lamanya…. .”
Tubuh dara baju unga itu gemetar. Kain kerudung yang menutupi mukanyapun ikut
berguncang ketika ia menjawab, “Apakah kalian mengira aku dapat menolongnya?”
Sekalian tokoh tak menjawab. Diam mereka mengakui pernyataan dara itu.
Tiba-tiba dara itu menengadahkan muka dan tertawa nyaring, “Mengapa aku harus
menghidupkan dia? Mengapa yang lain orang tak mampu melakukan, kalian suruh aku
mengerjakan? Kalau aKu tak mampu, kalian terus menuduh aku berhati iri dan cemburu, berhati
kejam dan ganas….”
Mendengar itu sekalian tokoh terkesiap. Tampak dara itu terus menerus tertawa sampai pada
akhirnya ia terkulai rubuh.
Nenek Bwe Nio terkejut. Cepat ia memeluk tubuh dara itu.
“Ai…. engkau…. kenapa…. ah….”
JILID 6
Suami dan isteri.
Si dara baju ungu setengah membuka kelopak mata dan berkata tersendat-sendat, “Bwe Nio….
aku…. tak bersalah….”
Nenek Bwe memeluknya erat2. Dengan airmata berlinang-linang ia menghibur, “Nak, engkau….
menolong orang tetapi sekarang…. siapakah yang akan menolongmu….”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Nenek itu terus menangis keras.
Kim loji terkejut, serunya, “Apakah…. apakah dia….”
“Engkaulah yang mencelakainya. Dia penasaran sekali dan terus mengigit mutiara beracun….
tiada obatnya lagi…. nenek Bwe berseru geleng sedih.
Han Ping maju selangkah, “Apakah dia benar-benar meninggal dunia?”
Tampak rambut nenek Bwe gemetar. Jelas nenek itu sedang dilanda kesedihan, kemarahan dan
ketenangan. Airmatanya membanjir….
“Engkau pembunuh .,,….” tiba-tiba terdengar sebuah bentakan serta angin hantaman tongkat
kearah Han Ping.
Han Ping berpaling dan melihat bahwa yang menyerangnya itu lelaki baju merah yang kakinya
buntung. Namun dia hanya tertawa tawar, “Baik, aku akan mengganti jiwanya Han Ping;
pejamkan mata menunggu maut.
Pada saat tongkat hendak merenggut jiwa Han Ping, tiba-tiba sebatang tongkat bambu
menjulur untuk merintangi tongkat besi sibaju merah.
“Jangan melukainya’“ seru Bwe Nio.
Lelaki berkaki buntung itu merah padam mukanya. Matanyapun merah seperti terbakar api.
Tetapi ketika mengetahui bahwa yang merintangi itu nenek Bwe Nio, diapun tak berani
melanjutkan serangannya.
“Bwe Nio…. ia mengapa….?” seru lelaki kaki buntung itu dengan wajah pucat membesi.
Bwe Nio memeluK tubuh si dara baju ungu dan menyahut, “To ji sudah meninggal. Engkau
membunuhnya, To jipun tak dapat hidup kembali….”
Memandang pada tubuh si dara yang berada dalam pelukan nenek Bwe, meluaplah kemarahan
lelaki kaki buntung itu serunya, “Membunuh dia berarti dapat menghilangkan penasaran sumoay di
alam baka. Mengapa engkau setan tua…. .”
“Tutup mulutmu! Apa engkau sudah gila ‘.”
tiba-tiba Ong Kwan-tiong, suheng dari dara baju ungu membentak keras.
Menyurutlah nyali lelaki kaki buntung itu. Ia menghela napas dan menitikkan dua butir airmata,
ujarnya, “Adakah kita tinggal diam atas kematian sumoay?”
Ong Kwan-tiong tak kalah tegangnya tetapi dia lebih kuat untuk menekan perasaan hatinya.
Sahutnya, “Kurasa Bwe Niolo-cianpwe tentu dapat mengatur, tak perlu engkau sibuk tak
keruan….”
Bwe Nio menghela napas panjang, ujarnya, “Jangan menyalahkan dia seorang. Dalam soal
kematian Toji ini, aku sendiri juga merasa sedih sekali. Ingin kubunuh semua orang disini, apalagi
dia…. .”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ong Kwan-tiong tertawa rawan, “Memang Lau sute terlalu merangsang. Tetapi apa yang
diucapkan itu benar. Sumoay tak kuat menerima hinaan orang lalu bunuh diri. Masakan kita tak
menyelesaikan perhitungan itu?’
“Memang Toji mati dengan membawa penasaran. Tetapi sebab dan Kemauannya itu, bukan
dan peristiwa saat ini. Penyelesaiannya tak bisa dilakukan dari apa yang kita lihat saat ini.”
Tiba-tiba lelaki kaki buntung itu tertawa nyaring dalam nada yang seram, “Benar, setiap orang
yang terlibat dalam kematian sumoay,satupun takkan diberi ampun…. “
Pengemis-sakti Cong To tertawa dingin, “Jangan kata belum tentu orang Lam-hay-bun
mempunyai tokoh yang mampu melakukan pembersihan itu. Taruh kata ada, pun dara yang sudah
mati itu takkan hidup kembali. Ha, ha, ha, ha…. Kiranya orang-orang Lam hay-bun itu tak lebih
dari kantong nasi semua…. “
Ong Kwan-tiong menyambut dingin, “Sudah lama kudengar nama Pengemis Sakti itu. Apakah
saudara berani bertanding dengan aku sampai mati?”
“Jangan ribut2….!” bentak nenek Bwe dan matanyapun memancarkan sinar yang seram.
Memandang kesekeliling dan berseru pula, “Urusan ini memang harus dibereskan. Kalau bukan
orang Lam-hay-bun yang akan berserakan menjadi mayat di makam ini, tentulah kalian orang-
orang persilatan Tiong-goan….”
Tiba-tiba Han Ping membuka mata memandang kearah jenazah dara baju ungu dan Ting Ling
lalu menghela napas panjang, “Dosa paling besar yang menyebabkan kematian kedua nona itu,
seharusnya terletak pada ih Thian-heng yang menganti jiwa….”
“Benar.” sahut nenek Bwe. “pertama memang dia. Dan kedua yalah engkau!”
han Ping tertawa hambar, “Daripada bercermin bangkai, lebih baik berkalang kubur. Kalau
kalian menganagap aku yang seharusnya mengganti jiwa nona Siau, aku takkan menolak. Tetapi
daripada kalian harus turun tangan dua kali, membunuh aku lalu membunuh Ih Thian-heng,
mengapa kalian tak membiarkan aku dan dia bertempur sampai mati. Bukankah kalian boleh
melihat di samping dan nanti tinggal membunuh saja siapa yang menang dalam pertempuran itu?”
“Apakah engkau mempunyai dendam kepadanya?” tanya nenek Bwe.
“Sakit hati ayah bunda dibunuh, merupakan musuh yang tak dapat kubiarkan hidup bersama
aku ‘.” sahut Han Ping.
bwe Nio tiba-tiba berpaling kearah Cong To. serunya, “Engkau bilang kalau orang-orang Lam-
hay-bun itu hanya kantong nasi sernja. Dapatkah engkau menunjukkan alasanya?”
Cong To tertawa dingin, “Seharusnya engkau sudah tahu kalau dia mengulum mutiara-beracun.
Mengapa tak lekas-lekas mengambilnya dan menunggu sampai dia mengunyah mutiara itu?
Satelah nona itu meninggal, lalu kalian mengumbar suara basar seperti geledek?”
“Soal menjaga bahaya, masakan aku tak tahu,” sahut nenek Bwe.
“Yang tahu tetapi diam, dia berdosa. Menurut keadilan, engkaulah yang harus dibunuh lebih
dulu untuk menemani jiwanya” seru Cong To pula.
Bwe Nio menunduk memandang dara baju ungu yang berada dalam pelukannya. Ia tertawa
sedih, ujarnya, “Ah, anak yang manja, Thian telah mengaruniai engkau kecantikan dan kecerdasanTiraikasih Website http://kangzusi.com/
yang luar biasa tetapi Thian tak memberikan engkau kebahagiaan dan umur panjang, Engkau
seperti bercengkerama di sorga tetapi hatimu rawan dan resah. Anak yang malang, jika engkau
tak begitu pandai, tentu engkau takkan mengalami hari penghabisan seperti saat ini. Nak, dengan
sisa-hidupku, kuiringkan engkau berkelana ke daerah Tiong-goan. Dengan harapan mudah-
mudahan kesepian dan kerawanan hatimu dapat terhibur oleh alam pemandangan Tiong-goan
yang indah permai. Sunggah tak kira hal itu malah membuat engkau lekas-lekas tinggalkan dunia
fana ini. Nak, betapa menderita engkau dalam menjelang kematianmu itu….”
Nada nenek Bwe penuh dengan jeritan hati yang tersayat kesedihan. Rambutnya yang putih
gemetar dan airmatanya berderai-derai seperti banjir dan akhirnya menangislah ia tersedu sedan.
Anak buah Lam hay-bun menangis semua.
Tampak wajah Han Ping merah padam dan tubuhnya gemetar. Jelas dia sedang mengalami
ketegangan hebat dalam hatinya. Kemudian berserulah ia, “Apa yang Cong lo cianpwe katakan
tadi memang benar. Sudah tahu bahwa nona Siau mengulum mutiara-beracun, mengapa tak lekas
berusaha untuk mengambilnya .
Dalam pada itu dari belakang pintu batu terdengar suara angin pukulan menderu-duru.
Rupanya telah berlangsung pertempuran yang dahsyat.
Nenek Bwe menghela napas . “Hal itu yang harus disesalkan yalah mengapa Thian
memberkahinya kecantikan yang luar biasa. Demi menjaga kesucian dirinya ia memang selalu
mengulum mutiara beracun. Sungguh tak terduga kalau karena tak kuat menahan goncangan
hatinya, ia terus menelan mutiara itu.”
Memikirkan kematian kedua nona cantik itu, diam-diam Han Ping merasa bahwa kematian
mereka mempunyai sangkut paut juga dengan dirinya. Ia menimang, “Sebelum meninggal,
mereka berdua merupakan gadis yang amat cantik sekali. Entah berapa banyak lelaki yang jatuh
binasa dibawah kaki mereka. Tetapi saat ini mereka sudah menjadi mayat, dan dalam beberapa
bulan lagi akan berobah menjadi seperangkat kerangka tulang Jelita dan ksatrya hampir setali tiga
uang. Akhirnya hanya merupakan sosok kerangka tulang yang di timbuni gunduk tanah. Matinya
seseorang ternyata hanya begitu tawar dan dingin, mudah….”
Tiba-tiba nenek Bwe seperti teringat sesuatu yang penting Ia cepat berpaling dan membisiki
kepada Ong Kwan-tiong.
Ong Kwan-tiong tampak mengangguk kepala. Ia terus ayunkan langkah kemuka. Tetapi baru
dua langkah ia berputar balik lagi dan gelengkan kepala, “Jalanan dimuka panjang dan penuh
dengan pekakas rahasia yang berbahaya. Sekali pun aku dapat melintasi keluar tetapi sukar untuk
kembali kedalam makam ini lagi. Kalau mau kita sama-sama pergi.”
Nenek Bwe merenung. Pelahan lahan ia letakkan mayat dara baju ungu, serunya, “Jagalah
baik2 jenazahnya, aku hendak pergi sebentar dan segera kembali.” Habis berkata nenek itu
berputar tubuh lalu lari. Tampak wajahnya amat tegang. Rupanya ia teringat sesuatu.
Dalam pada itu Ting Kopun mengangkat mayat puterinya. katanya, “Anakku, makam ini penuh
bahaya maut. Masih belum dapat diketahui apakah ayah bisa keluar dan makam ini dengan
selamat atau tidak. Waktu engkau masih hidup, ayah tak menyayangimu. Apabila kita ayah dan
anak dapat mati bersama dalam satu tempat, tentu akan kurawatmu dengan baik.”
Han Ping menjurah dihadapan jenazah si dara baju ungu. katanya, “Harap nona suka tunggu
sebentar. Setelah dapat membalaskan sakithati orangtuaku, aku tentu akan menyusul nona….Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Habis berkata, tiba? ia. berputar tubuh lalu melesat masuk kedalam pintu batu.
Sikaki buntung baju merah hendak mencegah tetapi terlambat. Dan serempak dengan itu
terdengar Pengemis-sakti Cong tertawa gelak-gelak.
“Hampir sembilanpuluh bagian dari perjalanan sudah dapat dilalui. Masakan kita takut untuk
menghadapi dengan Jalan Maut ini…. “serunya lalu melangkah menyusul Han Ping. Tetapi baru
dua langkah, tiba-tiba ia berpaling.
“Jalanan sepanjang tigabelas tombak ini, selain jago2 yang diperintahkan pemilik makam untuk
menjaga, pun terdapat juga Ih Thian-heng yang secara sembunyi akan melancarkan serangan2
gelap. Pengemis tua mengharap agar saudara2 mengubur dendam permusuhan pribadi dan suka
saling membantu agar dapat melintasi bahaya ini,” serunya.
“Baik, aku setuju dengan pendapat saudara Cong,” sambut Nyo Bun giau.
Ting Ko dan Ca Cujirgpun mengangguk, “Memang Ih Thiau-heng luar biasa liciknya. Kalau satu
lawan satu. terus terang tiada seorangpun diantara kita yang mampu menandingi kesaktian dan
kepandaiannya. Dan seorang manusia jahat yang pura2 baik. Dia gemar sekali mempelajari
kepandaian untuk mencelakai orang. Tak perlu kita harus menggunakan cara2 perwira seperti
yang lazim dalam dunia persilatan. Marilah kita bersatu padu membasmi orang itu!”
Cong To hendak bicara tetapi tak jadi. Ia terus berputar tubuh dan berjalan kemuka.
Sejenak memandang kesekalian orang, Nyo Bun-giau berbisik, “Saudara Leng….”
Sejak berkumpul dengan rombongan tokoh-tokoh itu. ketua lembah Seribu-racun tak mau
bicara. Dia hanya meramkan mata. Baru setelah Nyo Bun-biau menegurnya, ia gelagapan dan
membuka mata, “Apa?”
Kiranya dia tengah salurkan tenaga-dalam untuk memulihkan tenaganya dan saat itu
semangatnya pun sudah tampak penuh.
Nyo Bun-giau agak terkesiap, serunya, “Pikirku, aku dan saudara Leng akan berjalan di muka.
Saudara Ca, berjalan dibelakang kita. Dengan ilmu pukulannya Peh-poh sin kun, dapat membantu
rombongan ini untuk melintasi serangan Ih Thian heng.”
Ketika ketua Lembah-seribu racun hendak menjawab tiba-tiba nenek Bwe Nio muncul.
Dibelakang nenek itu mengikuti seorang dara berambut panjang.
Melihat dara itu serentak ketua Lembah-seribu-racun berseru, “Ceng, lekas kemari!”
Tetapi Siangkwan Kopun cepat berseru, “Ceng, kemari!”
Ketua Lembah-seribu-racun tertawa meloroh, “Saudara Siangkwan. marga Siangkwan dan
Lembah-seribu-racun, sama-sama mempunyai nama yang gemilang dalam dunia persilatan.
Apabila kita bisa terangkap dalam perjodohan, sungguh merupakan keluarga yang hebat,
Siangkwan Ko tertawa dingin, “ Masakan puteriku yang begitu cantik dan pintar, sudi menjadi
isteri puteramu yang buruk muka, hm! Saudara Leng, harap hapus saja keinginanmu itu agar
jangan menimbulkan kesusahan.”
Seketika berobahlah wajah Leng Kong-siau, serunya dingin, “Dalam tempat dan saat yang
masih belum diketahui bagaimana jadinya dengan diri kita, aku tak mau bertengkar mulut denganTiraikasih Website http://kangzusi.com/
saudara Siangkwan. Tetapi soal pernikahan itu puterimu sendiri yang sudah meluluskan. Kalau tak
percaya silahkan tanya kepadanya.”
Siangkwan Ko terlawa dingin, “Urusan penting seperti pernikahan itu, masakan seperti
permainan kanak-anak. Harus ada juga jomlang dan enam yang saksi. Satupun tak boleh kurang.
Lalu siapakah saksi saudara Leng itu?”
Dengan terlongong Siangkwan Wan-ceng memandang ayahnya dan Leng Kong-siau. Kemudian
tanpa mengacuhkan keduanya,ia terus melangkah masuk kedalam pintu batu.
Rupanya Siangkwan Ko dapat melihaT perubahan muka puterinya. Maka cepat ia berseru “
Ceng Ji, Ceng Ji! Mengapa engkau tak kenal lagi ayahmu?”
Tetapi bukan berhenti atau menyahut, nona itu malah terus pesatkan langkah masuk ke dalam.
Tetapi Leng Kongsian lebih cepat. Apalagi dia lebih dekat dengan pintu. Maka ia terus
mendahului menyusul masuk.
Nyo Bun-giau, Siangkwan Ko, Ting Ko dan Kim loji. pun segera mengikuti masuk kedalam pintu
batu itu.
Kini yang tinggal di ruang itu hanya orang Lam-hay bun. Nenek Bwe segera mengeluarkan
mustika Tenggoret Kumala, “Menurut apa yang tersiar dalam dunia persilatan Tiong-goan, mustika
ini dapat menyembuhkan segala macam racun. Entah apakah dapat menyembuhkan racun
mutiara yang berada dalam tubuh “to-ji?”
Ong Kwan-tiong menyahut gopoh, “Sumoay sudah menelan mutiara racun itu kedalam perut.
Apakah kita harus menghancurkan mustika itu dan diminumkan pada sumoay?”
Bwe Nio tertegun, “Ah, hal itu sebelumnya tak pernah kupikirkan.”
Ong Kwan-tiong menghela napas, “Entah apakah suhu sudah mengetahui kalau sumoay biasa
mengulum mutiara beracun itu?”
“Ayah To ji, tahu segala apa. Kukira dia ten tu sudah tahu hal itu dan mempunyai cara untuk
menolongnya. Sayang dia tinggal di Lam hay yang jauh sehingga tak tahu kalau to ji sudah
menelan mutiara beracun itu….”
Sibuntung baju merahpun mcnyelutuk, “Sekali pun tahu, tentu terlambat juga Begitu dia tiba
jenazah sumoay tentu sudah membeku.”
Tiba-tiba sibungkuk Au yang sejak tadi diam saja, saat itu berkata, “Maafkan aku yang lancang
mulut. Karena hal ini sudah begini, menurut pendapatku, lebih baik kita hancurkan saja mustika
Tenggoret Kumala itu dan kita minumkan pada nona Siau. Mustika itu sudah termasyhur sebagai
obat mujarab untuk menyembuhkan segala rupa racun, mungkin saja masih ada harapan untuk
menolong nona.”
Nenek Bwe menghela napas, “Makam ini memang tak baik terhadap kaum wanita. To-ji
menelan mutiara beracun lalu bedak perempuan dari lembah Raja setan itupun karena terluka lalu
meninggal Nona Siangkwan tadipun telah kututuk jalandarahnya sehingga menjadi orang longong.
Empat jam lagi, dia tentu takkan tertolong jiwanya….Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
“Waktu Bwe Nio lo-cianpwe hendak mengambil mustika Tenggoret Kumala, aku lantas….”
belum Ong Kwan-iiong menyelesaikan kata-katanya, nenek Bwe sudah menukas, “Engkau lantas
tak setuju, bukan?”
Ong Kwan-tiong mengangguk.
“Maka kuminta engkau pergi. Tetapi walaupun meluluskan, engkau tetap tak mau pergi,” kata
nenek Bwe pula.
Ong Kwan-tiong menghela napas panjang, “Bwe Nio cianpwe, apakah karena nona Siaugkwaa
melihat engkau hendak mengambil mustika Tenggoret Kumala itu engkau lalu menutuk
jalandarahnya?”
“Ya,” nenek Bwe mengiakan.
“Bwe Nio cianpwe. engkau…. huh, huh….” tiba-tiba Ong Kwan-tiong tundukkan kepala batuk-
batuk tak henti-hentinya.
“Sudahlah, jangan batuk-batuk,” kata Bwe Nio, “kutahu apa yang hendak engkau katakan.
Bukankah engkau mengatakan aku keliwat ganas?” Ong Kwan- tiong diam saja. ‘Benar, memang
aku keliwat ganas,” kata nenek Bwe, “tetapi demi To ji, perbuatan yang lebih kejam dari itu, pun
akan kulakukan juga.!”’ Ong Kwan liong mengangkat kepala, berkata dengan nada sarat, “Bwe Nio
cianpwe, mustika Tenggoret Kumala itu jangan sekali-kali dibuat mengobati sumoay!”
“Mengapa?”
“Segala yang terdapat dalam makam ini, penuh dengan hal yang diluar dugaan orang. Kita
harus hati-hati Selruh isi makam dan kabar tentang makam ini ternyata hanya bohong semua.
Maka tentang kedua mustika Tenggoret Kumala dan Ku-pu2 Emas itu, tentulah juga….”
“Palsu?” Bwe Nio menukas.
“Ya,” Ong Kwan-tiong mengiakan.
Bwe Nio menghela napas, “Akupun juga mempunyai kecurigaan begitu. Maka aku masih sangsi
untuk memberikan kepada To ju tetapi dia benar-benar terancam jiwanya, kecuali dengan jalan
mencobakan mustika ini, rasanya kita sudah tak ada lain daya lagi.”
Ong Kwan-tiong menjawab dengan serius, “Lebih baik kita biarkan keadaan begini dan
menunggu perobahan, daripada bertindak dengan gegabah,”
Sejenak merenung, Bwe Nio menghela napas pelahan, “Menuruf engkau….”
Rupanya nenek itupun juga tak berani mengambil keputusan sendiri.
Ong Kwan-tiong menjurah, “Harap cianpwe memondong tubuh sumoay dan aku yang akan
membuka jalan.”
“Aku saja” tiba-tiba sikaki buntung baju merah berseru.
Ong Kwan tiong berkata dengan wajah serius, “Saat ini gawat sekali, soal mati hidup. Engkau
dan aku demi kepentingan sumoay, seharusnya lekas keluar dari makam ini. Tak mungkin kita
mundur dan kalau maju terus kita harus hati-hati. Sejak saat ini, dendam dan kepentinganTiraikasih Website http://kangzusi.com/
peribadi diantara engkau dan aku harus disingkirkan. Perlu apa engkau hendak berebut dengan
aku?”
Kata-katanya itu tepat dan serius. Kaki buntung tundukkan kepala diam.
Diam-diam nenek Bwe merenung, “Ong Kwan tiong anak ini, biasanya tak tampak
keluarbiasaannya.
Tetapi pada saat yang genting, dapatlah diketahui betapa tegas dan tepat ia mengambil
keputusan. Tak heran kalau ayah To ji, suruh dia mengawal perjalanannya. Hanya sayang dia.”“
ia tak mau melanjutkan pemikirannya. Mengangkat tubuh si dara baju ungu terus melangkah
masuk kedalam pintu batu. Melihat itu Ong Kwan- tiong cepat mendahului berjalan dimuka nenek
itu.
Si kaki buntung, si Bungkuk dan si Pendekpun segera mengikuti dibelakang nenek bwe.
Seketika mereka mendengar deru angin pukulan yang keras kira2 pada jarak beberapa tombak
jauhnya. Jelas kalau disebelah muka sedang berlangsung pertempuran dahsyat.
Suasana sunyi tetapi penuh maut.
Tiba-tiba Ong Kwan tiong tergelincir dan menginjak sebuah benda yang lunak. Cepat ia
menyambar dan mengangkatnya Ternyata sesosok mayat.
“Ah, ruangan ini penuh mayat,” ia menghela napas.
Tampak sinar berkilat-kilat sampai beberapa tombak dan menyusul terdengar suara jeritan
melengking. Jelas terdapat seseorang yang mati.
“Kawan tiong,” bisik nenek Bwe, “pelahan saja. Biarlah mereka yang membukakan jalan untuk
kita….”
Kaki buntung menyelutuk, “Bwe Nio memang tepat. Kita memang tak dapat menghindari
bertempur dengan jago2 Tionggoan. Baiklah kita beristirahat untuk memulangkan tenaga dulu.”
Angin pukulan makin menderu tajam dan tak henti-hentinya. Tetapi tetap ditempat itu saja.
Suatu pertanda bahwa rombongan tokoh-tokoh silat tadi sedang menghadapi musuh yang
tangguh dan tak dapat melintasi maju.
“Pemilik makam ini, memang tak boleh dianggap enteng. Dia dapat menahan jurus serangan
dari sekian banyak jago2 silat Tionggoan yang sakti,” kata Ong Kwan-liong. Iapun terus maju
kearah tempat pertempuran itu.
Wut…. tiba-tiba serangkum angin pukulan melanda dada Ong Kwan-tiong. Cepat ia kebutkan
lengan bajunya untuk menghalau lalu cepat-cepat balas memukul.
Tiba-tiba kedengaran Pengemis sakti Ceng To berseru, “Saudara Siangkwan, kita harus lekas
menahan kebelakang Rupanya orang Lam-hay-bun menggunakan kesempatan saat ini untuk
menyerang kita! “
Dalam keadaan yang remang, terdengar Han Ping berteriak marah, “Siapa yang menghadang
aku, tentu mati!”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sinar berkelebatan menyilaukan lorong jalan yang sunyi dan gelap itu Sesaat terdengar jeritan
ngeri susul menyusul. Rupauya ada beberapa orang yang rubuh dibawah sabatan pedangnya.
Sebuah suara yang parau terdengar dari tengah lorong, “Kalau kalian tak mampu merintangi,
baik menyisih saja!”
Tiba-tiba Bwe Nio rasakan tubuhnya gemetar hampir mau rubuh. Ia segera berbisik kepada
Ong Kwan-tiong, “Kwan-tiong, suara itu benar-benar tak asing lagi.”
“Ya, akupun merasa demikian juga. Seperti nada suara suhu?” kata Ong Kwan-tiong.
“Aneh,” kata Bwe Nio, “dalam beberapa tahun ini, dia belum pernah pergi dari Lam-hay. Mana
mempunyai waktu untuk membangun makam kuna ini?”
Jawab Ong Kwan-tiong, “Kepandaian suhu, setanpun tak dapat menduga….”
Tiba-tiba beberapa mata manusia memancar disebelah muka. Rupanya ada beberapa orang
yang hendak menghadang jalan.
“Siapa?” bentak Ong Kwan-tiong. Si kaki buntung, si bungkuk dan si Kate cepat berhamburan
menerjang maju.
Rupanya orang-orang Lam-hay-bun itu sudah terbakar dengan kemarahan. Kesedihan atas
meninggalnya suamoay mereka, hendak ditumpahkan kepada setiap musuh yang dijumpahinya.
Wut…. si Bungkuk mendahului lepaskan hantaman. Siangkwan Ko menggembor keras dan
menangkis, benturan kedua tenaga pukulan itu, kumandangnya bergulung-gulung memenuhi
terowongan jalan.
“Kalau ayah To-ji benar berada dalam makam ini, anak ini tentu tertolong,” kala bwe Nio.
“Mudah mudahan Thian melindungi agar sumoay dapat hidup kembali,” kata Ong Kwan tiong.
Tiba-tiba terdengar si kaki buntung baju merah berseru keras, “Pengemis tua benar-benar tak
bernama kosong. Cobalah engkau terima lagi sebuah pukulanku ini!”
Pengemis sakti Cong To tertawa nyaring, “Kita memperoleh kesempatan baik sekali untuk
mengadu kepandaian. Tak usah heran.”
Pedang berkelebat dan Siangkwan Ko berteriak, “Saudara Cong hanya bertangan kosong dan
dia menyerang dengan tongkat besi. apakah tak rugi? Baiklah saudara Cong menghadapi si
Bungkuk dan si Pendek itu saja, aku yang menghadapi dia!”
Cong To tertawa, “Tak perlu saudara Siangkwan sungkan. Karena kedua orang itu maju
berbareng, saudara boleh gunakan senjata menghadapi mereka.
Siangkwan Ko dua kali menahas dan mengundurkan kedua Bungkuk dan Pendek lalu berteriak
keras, “Bungkuk dan Pendek itu penghianat dari Tionggoan. Dahulu ketika di Sepak, aku pernah
bertempur dengan mereka berdua sampai lebih dari tiga ratus jurus. Kepandaiannya hanya begitu
saja….”
“Saudara Siangkwan jangan bermulut besar,” bentak si Pendek,” hari ini kalau tidak sampai ada
yang rubuh, kita jangan berhenti.”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sambil berkata si Pendek sudah mengeluarkan senjatanya, sebatang pit (pena) besi lalu
menyerang maju.
Serentak terdengar dering tajam ketika pit besi beradu dengan pedang. Dalam terowongan
yang gelap, bunga api memercik berhamburan.
Siangkwan Ko menggembor keras. Tangan kiri menabas dingan jurus Heng toan-san atau
Menebas- putus awan-gunung. Dan pedang di tangan kanan menusuk kearah si kaki buntung
dengan jurus Pek-hun jut-san atau Awan putih-keluar-gunung, seraya membentak, “Siapakah
yang melukai puteriku?”
Mendengar itu segera Cong To dapat menyadari bahwa karena Siangkwan Wan-ceng terluka
maka Siangkwan Ko baru mau menempur orang-orang Lam-haybun. Diam-diam Cong Topun
hendak membantu Siangkwan Ko mencari balas. Setelah menghindari tongkat si kaki buntung, ia
mengangkat tangan kanan menangkis pukulan si Bungkuk. Dengan peralihan yang cepat itu, kini
mereka bertukar lawan.
Rupanya antara Siangkwan Ko dan lelaki kaki buntung itu sebelumnya memang sudah saling
mengincar dan hendak mendahului menyerang. Begitu terjadi perkisaran, keduanyapun cepat
gerakkan pit besi dan pedang. Tring, tring, terdengar dering senjata beradu tak mendenging-
denging sampai lama.
Walaupun Siangkwan Ko menggunakan sepasang pedang tetapi kedua pedangnya itu amat
berat, paling sedikit setiap pedang beratnya sepuluh kati.
Beda dengan pedang pusaka yang umumnya tipis dan ringan. Sepasang pedang pusaka dari
Siangkwan Ko itu dapat dibuat menyerang tetapi pun dapat digunakan untuk beradu dengan
senjata lawan.
Kedua orang itu, yang seorang bersedih karena sumoaynya meninggal dan marah terhadap
semua jago2 silat daerah Tionggoan. Dan yang seorang marah karena puterinya dilukai orang
Lamhay-bun. Keduanya sama-sama mengandung dendam kemarahan. Yang satu hendak
membasmi orang Tiong-goan yang satu hendak membunuh orang Lam-hay-bun.
Maka begitu bertempur, keduanyapun segera lancarkan serangan yang ganas dan dahsyat.
Tengah bertempuran berlangsung seru, tiba-tiba Han Ping berseru, “Harap cianpwe berdua
berhenti bertempur. Pemilik makam sudah memberi perintah kepada anak buahnya supaya
berhenti….”
Tergopoh-gopoh Pengemis-sakti Cong To lepaskan hantaman untuk mengundurkan si Bungkuk
dan si Pendek, kemudian berseru, “Saudara Siangkwan, jangan menyia-nyiakan waktu, mari kita
jalan terus!”
Sesaat kemudian pengemis sakti itupun berseru kepada orang-orang Lam-hay-bun, “Pemilik
makam sudah memerintahkan anak buahnya untuk berhenti. Pintupun sudah terbuka untuk para
tetamu. Kalau kalian memang benar-benar hendak adu kepandaian dengan jago2 persilatan
Tiong-goan, tak mesti harus kalian lakukan sekarang. Mari kita temui pemilik makam itu dulu,
setelah itu kita boleh lanjutkan pertempuran lagi.”
Si kaki buntung tak mau menghiraukan tetapi ia terpaksa menurut setelah diperintah nenek
Bwe supaya berhenti menyerang.
“Mari kita pergi,” Cong To menarik lengan baju Siangkwan Ko terus diajak melangkah kemuka.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Cepat sekali mereka sudah mencapai sepuluh tombak jauhnya. Kecuali lorong terowongan,
pemandangan disitu tiba-tiba berobah. Sebuah ruang yang besar penuh dihias dengan pot2
bunga. Delapan anak berpakaian biru, dengan pedang terhunus menjaga dimuka pintu bercat
merah.
Leng Kong-siau, ketua Lembah-seribu-racun cepat maju menyambut dan berkata kepada
Siangkwan Ko, “Selamat saudara Siangkwan Berkat lindunganku, puterimu telah selamat tak
kurang suatu apa dapat melintasi jalan Maut tadi.”
Siangkwan Ko memandang kemuka. Tampak puterinya tegak di samping dengan sinar mata
yang rawan.
“Ceng….” jago tua itu berseru seraya menghampiri.
Siangkwan Wan ceng memandang ayahnya, tertawa dan pelahan-lahan berputar tubuh.
Siangkwan Ko terhenti, dua butir airmata menitik keluar. Perasaan orangtua itu terharu sekali.
Merawat dan mendidik berpuluh tahun dari kecil sehingga sampai remaja, menyebabkan ayah
itu merasa terharu karena dirinya diperlakukan sebagai orang tak dikenal oleh puterinya.
Penderitaan itu amat menyiksa batin Siangkwan Ko.
“Saudara Siaugkwan,” bisik Pengemis-sakti Cong To, “puterimu hanya menderita serangan
gelap dari orang dan untuk sementara ini hanya pingsan saja. Asal kita dapat keluar dari makam
ini, tentu mudah kita dapat mengobatinya.”
Siangkwan Ko berpaling memandang pengemis tua itu, mengusap airmatanya dan berkata, “
Terima kasih saudara Cong.”
Sejenak memandang kesekeliling. Pengemis-sakti Cong To tiba-tiba tersenyum, “Ah, rupanya
tempat ini sangat bagus sekali untuk kuburan tulang2 manusia.”
Ih Thian-heng berseru nyaring, “Kalau saudara sudah menggantikan orang-orang saudara dan
mempersilahkan kita masuk, mengapa saudara tak lekas mengunjuk diri?”
Tiba-tiba terdengar pintu bercat merah yang tertutup rapat tadi, berderak-derak terbuka.
Seorang yang bertubuh pendek kecil dan berpakaian hitam, melangkah keluar, dandanan orang itu
memang lucu, memelihara kumis berkepang dan tangannya memegang sebatang pipa yang
mengkilap, berbaju pendek tetapi celananya panjang sekali sampai menebar ke tanah.
Han Ping kerutkan alis, berpaling kearah Kim loji, “Paman, apakah orang itu juga tergolong
orang sakti dalam dunia persilatan?”
“Aku sendiri juga belum pernah melihat dia, entah dari golongan apa,” sahut Kim loji.
Tampak orang pendek baju hitam itu berputar-putar tubuh dan tegak berdiri di samping kiri
pintu bercat merah.
Tak lama kemudian, muncul pula seorang wanita pendek baju putih yang terus berdiri
disamping kanan pintu merah itu.
Kemunculan kedua orang pendek itu, disambut dengan gerakan dari kedelapan kacung baju
biru yang berkisar dari pintu dan berhenti pada jarak dua meter. Serempak mereka acungkan
pedang merebah kmuka sehingga membentuk sebuah pagar pedang.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Pengemis-sakti Cong To mendengus ejek, “Hm, hebat benar pertunjukan mereka. “
Tepat pada saat ia bicara, dari dalam ruang terdengar suara orang tertawa gelak-gelak.
Seorang lelaki tua berpakaian biru, sambil memanggul kedua tangannya kepunggung, berjalan
pelahan-lahan keluar.
Sekalian tokoh tegang regang. Pada saat itu mereka bakal menghadapi jawaban dari rahasia
makam gua yang selama berpuluh-puluh tahun menjadi buah pembicaraan didunia persilatan.
Dengan suara yang “nyaring orangtua itu berseru, “Sejak berpisah digunung Heng-san, cepat
sekali sekarang sudah sepuluh tahun lamanya Entah apakah diantara seudara2 yang datang ini,
ada yang kenal padaku.”
Pada saat dia bicara, kedelapan kacung itupun segera berpencar mundur ke dua belah samping
dan tegak berdiri dengan menjulaikan pedangnya.
Ih Thian-hengpun tertawa keras, “O, kukira siapa, kiranya engkaulah! Sungguh hebat sekali
engkau ini karena dapat mengelabuhi kaum persilatan Tionggoan selama lebih dari sepuluh
tahun!”
Tenang2 orangtua baju biru itu keliarkan matanya memandang sekalian tokoh lalu berkata,
“Yang merancang siasat pengelabuhan ini, bukan berasal dari aku. Tetapi kalian tokoh-tokoh sakti
dari dunia persilatan Tiong-goan yang mengadakan dan menciptakannya sendiri. Siasat kalian itu
cepat dapat kucium dan kugunakan jerih payah mereka untuk mempermainkan kawan2 mereka!”
Sekalian tokoh terkesiap. Mereka mendugaduga siapakah yang dimaksud oleh orangtua baju
biru atau pemilik makam itu.
Cong To memandang kearah tokoh-tokoh itu, akhirnya Pandang matanya runtuh pada diri Ih
Thian-heng, serunya, “Kecuali Ih Thian-heng, aku tak percaya didunia persilatan ini terdapat orang
yang mempunyai akal daya begitu!”
Ih Thian-heng tertawa hambar, “Terpaksa aku harus mengecewakan harapan saudara Cong.
Tetapi kali ini saudara telah menebak salah.”
Wajah orangtua baju biru itu berobah serius, katanva, “Orang itu masih berada dalam makam
ini. Nanti akan kusuruh keluar untuk bertemu dengan saudara2 .
Ia berhenti sejenak lalu berkata pula, “Makam ini dihias indah sekali dan dilengkapi dengan
bermacam-macam pekakas rahasia. Apabila terkubur disini, sungguh tak mengecewakan.”
Wajah ih Thian heng berobah, “Apakah maksud ucapanmu, itu?”
Orangtua baju biru tertawa gelak-gelak, “Karena saudara2 sudah berkunjung kemari, masakan
saudara hendak keluar?”
Ih Thian-heng memandang kearah Pengemis-sakti Cong To, hendak bicara tetapi tak jadi.
Rupanya dia menyadari bahwa saat itu, ia sudah dimusuhi oleh rombongan tokoh-tokoh itu.
Apabila ia berdebat dengan orangtua baju biru itu. kemungkinan rombongan tokoh-tokoh itu
takkan membelanya. Maka lebih baik ia diam Saja.
Tiba-tiba Nyo Bun-giau menyelutuk, “Dengan kekuatanmu seorang diri, apakah engkau yakin
dapat menahan kami? Ah aku tak percaya.”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tetapi Pengemis sakti Cong To mencurahkan pikirannya kepada pemilik makam yang
sesungguhnya, maka ia berseru, “Kalau memang pencipta dan pemilik dari makam itu berada
disini. mengapa tak mengundangnya keluar?”
Orangtua baju biru itu tertawa hambar, “Ini, tak usah terburu-buru tiba-tiba wajahnya berobah
dan tak melanjutkan kata katanya.
Ketika sekalian tokoh berpaling ternyata nenek Bwe Niopun sudah muncul dibelakang mereka.
Sambil membopong tubuh si dara baju ungu, nenek itu pelahan-lahan menghampiri.
Rupanya nenek itu juga terkejut melihat orang tua baju biru sehingga tubuh si dara hampir
terle pas jatuh.
Pun sekalian anak buah Lam-hay-bun tegang sekali memandang kearah lelaki baju biru itu.
Sekalian tokoh yang berada disitu sebagian besar adalah tokoh-tokoh persilatan yang ternama.
Mereka mempunyai pengalaman yang luas dalam dunia persilatan. Melihat wajah anak buah Lam-
hay-bun mengerut tak wajar, sekalian tokoh itu cepat dapat menduga bahwa tentu ada sesuatu
hal yang aneh.
Benar juga, setelah menenangkan hatinya, nenek Bwe tertawa dingin dan mendamprat, “Hm,
nyalimu besar sekali….”
Lelaki baju biru itu mengangkat tangan memberi hormat, serunya, “Bwe Nio, peristiwa yang
lampau, baiklah besok saja kita bicarakan.”
Saat ini karena para tetamu kaum persilatan Tiong-goan berkunjung datang, aku tak
mempunyai waktu untuk membicarakan urusan kita….”
Nenek bwe yang sudah putih rambutnya tiba-tiba merahlah pipinya, ia membentak bengis: Aku
ingin sekali makan dagingmu dan membeset kulitmu. Kwantiong, pondonglah sumoyku ini….”
Ong Kwan-tiong cepat melangkah maju dan membisiki, “Harap lo cianpwe jangan marah dulu,
dalam tempat dan saat seperti ini ….
Tetapi nenek Bwe sudah dirangsang kemarahan. Cepat ia berputar tubuh dan menyerahkan si
dara baju ungu kepada ong Kwan-tiong. Kemudian gentakkan tongkat bambunya menyerang
orang-tua baju biru mi.
Rupanya lelaki baju biru itu takut sekali kepada nenek bwe. Ia terkejut ketika melihat nenek itu
menyerangnya. Buru-buru ia berteriak memberi perintah kepada anak buahnya; “Lekas tangkap
dia!”
Kedelepan kacung baju biru cepat mengiakan dan berhamburan berbaris menghadang nenek
Bwe.
“Siapa yang menghadang aku, tentu mati!” nenek Bwe menyapu dengan tongkatnya. Tring,
tring!
Terdengar gemerincing senjata beradu keras. Pedang kedelapan kacung itu tersiak kebelakang.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tetapi kedelapan kacung itu rupanya sudah berpengalaman dalam pertempuran. Mereka
menyadari kalah sakti dengan si nenek. Kalau adu kekerasan terang tentu kalah. Maka mereka
membentuk barisan pedang Untuk mengepung nenek itu rapat2.
Sekalian tokoh tahu bahwa nenek Bwe itu memang sakti. Tetapi selama itu belum pernah
seorangpun dari mereka yang bertempur dengan Bwe Nio. Sekalipun demikian apa yang mereka
saksikan saat itu, benar-benar menimbulkan kekaguman hati mereka.
Tongkat bambu dari nenek itu menjulur surut bagai ular memagut, cepat dan sukar diduga
gerak perobahannya. Waktu melancarkan serangan, pun permainan nenek itu rapat sekali.
Namun barisan pedang dari kedelapan kacung baju biru itupun bukan kepalang hebatnya.
Gerak perobahannya indah dan sukar diduga juga. Walaupun didesak gencar oleh tongkat, namun
mereka tetap dapat berputar-putar dan bertahan sampai! duapuluh jurus. Nenek Bwe tetap belum
mampu maju selangkahpun juga.
Si Bungkuk dan si Pendek serta si Kaki buntung baju merah, diam-diam sudah kerahkan
tenaga-dalam untuk sewaktu-waktu memberi bantuan.
Karena sampai sekian lama belum juga dapat menghancurkan barisan lawan, tiba-tiba Bwe Nio
membentak keras. Tongkat dimainkan lebih gencar.
Tongkat menyambar-nyambar laksana kilat merobek angkasa, Anginpun menderu-deru bagai
prahara, mengamuk. Dahsyatnya serangan nenek itu membuat barisan pedang kedelapan kacung
agak kacau. Gerak silang perpindahan-tempat, pun mulai ricuh.
Melihat itu Nyo Bun-giau berbisik kepada Ca Cu-jing: Saudara Ca, kepandaian perempuan tua
itu hebat sekali! Gerakan tongkatnya menghamburkan tenaga seperti gelombang lautan. Sungguh
seorang lawan yang tak boleh dipandang enteng.
“Benar,” sahut CaCujing. “seorang yang sudah mencapai umur tua masih memiliki tenaga
begitu hebat, sungguh sukar dicari keduanya ‘.”
Nyo Bun-giau menggunakan ilmu Menyusup suara untuk berkata lagi, “Saudara Ca,
bagaimanakah kepandaian nenek itu dibanding dengan Ih Thian-heng?”
Ca Cu jing terkesiap tetapi sesaat rupanya ia dapat menebak maksud pertanyaan orang. Ia
tertawa hambar lalu gunakan ilmu Menyusup-suara untuk menjawab, “Menurut kesanku, agaknya
Ih Ihian-heng masih setingkat lebih tinggi.”
“Kalau kita dapat mengadu Ih Thian-heng supaya bertempur dengan nenek itu lebih dulu.
kemudian ia ajak seorang lagi dan ditambah dengan putera saudara, tentulah akan dapat
mengatasi keadaan.”
Jawab Ca Cu jing, “Budak lelaki she Ji itu, mempunyai dendam darah atas kematian kedua
orangtuanya. Dia tentu takkan melepaskan Ih Thian-heng. Soal itu harap saudara Nyo tenang-2
saja, tak perlu kita bersusah payah membuang tenaga, mereka tentu sudah beres sendiri.”
Berkata pula Nyo Bun-giau, “Asal selain Ih Thian-heng dan anak she Ji itu, tokoh-tokoh yang
lainnya entah karena memperhitungkan untung rugi atau karena menjaga gengsi atau karena
terikat dendam permusuhan, sehingga tak dapat bersatu. Kita dapat menggunakan siasat
mengeruhkan keadaan dan mengadu domba mereka. Kemudian satu demi satu, kita lenyapkan
mereka. Dengan begitu harta karun dalam makam ini beserta kedua benda mustika Tenggoret
Kumala dan Kupu2 Emas itu, pasti akan jatuh ketangan kita berdua….”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Karena dalam pembicaraan itu mereka menggunakan ilmu Menyusup-suara, maka lain
orangpun tak dapat mendengar yang mereka bicarakan.
“’hm kalian hendak merancang siasat apa?” tiba-tiba Pengemis-sakii Cong To mendengus
dingin.
Nyo Bun-giau tertawa, “Aku dan saudara Ca sedang membicarakan keadaan makam ini. Liku2
perobahan yang terdapat dalam makam ini, benar-benar membingungkan orang dan sukar
diduga.”
Pengemis- sakti CongTo tertawa “Nyo bun giau, tak usah engkau jual sandiwara dihadapan
pengemis tua ini. Kejahatan Ih Thian heng karena nafsunya besar sekali untuk menjadi pemimpin
dunia persilatan. Mungkin setelah dapat menaklukkan dunia persilatan dia akan mempersiapkan
pasukan untuk memberontak. Tetapi dalam soal kelicikan dan keserakahan mengumpulkan harta
benda, engkau jauh lebih menang dari dia. Aku tak percaya, mulut anjing itu dapat tumbuh
gading.”
Makian pengemis tua ilu benar-benar tajam dan tepat sekali. Dia seolah olah menelanjangi diri
Nyo Bun giau dimuka umum. Betapa tebalpun kulit muka Nyo Bun-giau, tetapi mendengar makian
itu, merah juga mukanya.
Saat itu pertempuran antara nenek Bwe dengan kedelapan kacung baju biru sudah hampir
mencapai penyelesaian. Tongkat nenek Bwe bergerak menyambar keatas dan menabas kebawah
dengan perkasa. Barisan kedelapan kacung itu sudah terkuasai amukan nenek Bwe. Bagian tengah
barisan sudah terpecah dua, perputaran gerak barisanpun macet. Sehingga mereka seperti sudah
tak dapat berhubungan lagi dan harus bertempur sendiri2. Dalam beberapa detik lagi, jelas
kedelapan kacung itu tentu akan remuk dibawah tongkat nenek Bwe.
Melihat gelagat buruk, lelaki tua baju biru tadi cepat berputar tubuh terus lari masuk.
Nenek Bwe menggembor keras, rambut kepalanya yang sudah putih itu sama tegak berdiri. Ia
menghantam sekuatnya, dua orang kacung terlempar ke belakang, secepat itu nenek Bwepun
terus menerjang kemuka. Orangtua baju biru baru tiba dimuka pintu merah, tongkat nenek
Bwepun sudah tiba dibelakangnya.
Lelaki kate dan perempuan kate yang menjaga di kanan kiri pintu, saling bertukar pandang dan
diam saja. Rupanya mereka tak mengacungkan keselamatan orangtua baju biru itu.
Pada saat2 maut hendak merenggut, tiba-tiba lelaki baju biru itu berputar tubuh dan menjerit:
Bwe Nio….”
Nenek Bwe yang berhati baja, tiba-tiba tubuhnya gemetar dan tongkat yang menghantam lurus
kemuka itupun tiba-tiba ia miringkan ke samping Bum…. daun pintu yang bercat merah itu
termakan ujung tongkat hingga menggurat sampai dua tiga dim dalamnya.
Lelaki baju biru itu leletkan lidah, “Sayangku kalau tongkat itu jatuh di tubuhku, tentu
punggungku sudah berlubang.”
Nenek Bwe mendengus, “Manusia yang lebih nista dari binatang, ternyata engkau masih
hidup.”
Orangtua baju biru itu memandang sekalian tokoh. Wajahnya sama sekali tak merah karena
dampratan nenek Bwe itu. Ia berkata. “Karena melakukan perintah tang-cu (majikan)Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
“Apakah suhu juga berada disini?” bentak Omg Kwan-tiong.
Lelaki baju biru itu kerutkan alis dan berpaling kearah nenek Bwe, “Apakah orang ini juga anak
murid Lam-hay-bun?”
Ong Kwan-tiong memperhatikan bahwa orang tua baju biru itu selain mempunyai hubungan
erat dengan perguruan Lam-hay-bun, pun agaknya mempunyai hubungan juga dengan nenek
Bwe. Maka cepat ia menyusuli kata-kata lagi dengan nada yang ramah, “Aku memang murid
pertama dari Lam-hay-bun ….’….”
Tiba-tiba Ong Kwan-tiong hentikan kata-katanya. Ia menyadari kalau dirinya sudah diusir dari
perguruan dan sampai saat itu masih belum resmi diberi ampun oleh suhunya.
Nenek Bwe menjawab dingin, “Kita tak ada waktu bicara dengan engkau. Dimana tangcu
sekarang? Lekas bilang!”
Orangtua baju biru itu merenung lalu menjawab, “Tangcu sedang melakukan semedhi….”
“Toto terancam maut jiwanya, harus menemui tangcu. Lekas menyisih, aku hendak menghadap
tangcu,” seru nenek Bwe cemas.
Tiba-tiba orangtua baju biru itu berbisik, “Bwe Nio, dekatkanlah telingamu kemari.”
Sebagai jawaban, nenek Bwe ayunkan tongkatnya dan membentak, “Enyah kau!” Ia terus
melangkah masuk kedalam pintu merah.”
Orangtua baju biru itu kaget dan terus ulurkan tangan mencengkeram nenek Bwe, “Jangan
Bwe Nio, jangan masuk.”
Plak, nenek Bwe ayunkan tangan menampar bahu lelaki itu sehingga jatuh jungkir balik sampai
beberapa langkah.
“Jangan bergerak,” cepat Han Ping mencekal tangan orang itu dan melekatkan pedang
kemukanya Orang itupun tak berani berkutik lagi.
Tetapi nenek Bwe memandang Han Ping dengan beringas, serunya, “Anak buah Larn-hay-bun,
betapapun besar kesalahannya, lain orang tak boleh ikut menghukumnya. Lekas lepaskan dia!”
Wajah Han Ping berobah gelap. Setelah merenung beberapa saat, barulah pelahan lahan ia
lepaskan tangan orang itu. Jelas pemuda itu tak senang dengan ucapan neneK Bwe, tetapi dia tak
mau memperbesar bentrokannya dengan orang Lam-hay-bun dan terpaksa melepas orangtua baju
biru itu.
Begitu dibebaskan, lelaki baju biru itu terus lari menghadang dimuka pintu dan berkata dengan
nada bersungguh kepada Bwe Nio, “Bwe Nio, apabila tangcu tak menderita sesuatu yang terpaksa,
masakan dia mau melepaskan aku keluar. Kalau engkau tak mau mendengar kataku dan tetap
berkeras hendak masuk, tentulah kelak engkau akan menderita dendam kusumat seumur hidup.
Semula nenek Bwe tertegun tetapi kemudian ia tertawa dingin, “Selama hidup, aku takkan
percaya omonganmu lagi.” Ia terus menyiak orang itu dengan tongkatnya lalu melangkah masuk.
“Berhenti!” sekonyong-konyong lelaki tua baju biru yang ketakutan tadi berobah memberingas
bengis dan menyerang Bwe Nio.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
“Hm, engkau cari mati!” nenek Bwe marah, ayunkan tangannya menghantam kebelakang.
Hantaman itu cepat mengenai dada seorang baju biru. Ia mendesah, muntah darah terus rubuh
terkapar ditanah.
Tiba-tiba Bwe Nio menghela napas panjang. Ia tertegun seperti patung. Lelaki tua baju biru itu
merangkak bangun, berseru, “Tangcu, tangcu menduga…. salah….” ia deliki mata lalu rubuh lagi.
Sikaki buntung baju merah cepat maju. Tangan kirinya mencengkeram tubuh lelaki baju biru itu
dan tangan kanannya menampar punggung orang. Lelaki baju biru itu menghembus panjang dan
pelahan-lahan membuka mata.
“Suhuku bagaimana?” seru si kaki buntung cemas.
Kata lelaki baju biru itu, “Kalau dalam waktu sepenanak nasi tangcu masih belum keluar,
silakan kalian masuk….”
Si kaki buntung membentak, “Aku tanyakan bagaimana keadaan suhu?”
“Ji-sute, jangan bersikap keras!” bentak Ong Kwan-tiong.
Lelaki tua baju biru berkata, “Tangcu, tangcu, saat ini berada dalam keadaan yang gawat…. ah,
peristiwa dunia, mengapa…. begini…. . kebe…. tulan…. pada saat dia….” orang itu tak dapat
melanjutkan kata-katanya karena darah dalam tubuhnya menggelora keras dan pingsanlah dia.
Walaupun demikian, jelas orang itu mengatakan bahwa ketua Lam-hay-bun yang mendirikan
makam kuna itu, sedang menghadapi suatu peristiwa hebat.
Rupanya Bwe Nio juga menyadari hal itu. Cepat ia mencengkeram lelaki baju biru itu lagi dan
membentak, “Apa yang terjadi dengan tangcu, lekas bilang?”
Pun si kaki buntung segera lekatkan tangan kanannya kepunggung orang untuk menyaluri
tenaga-dalam. Tak berapa lama darah orang itupun mengalir lagi. Setelah menumpahkan dua kali
muntahan darah dari mulut, ia dapat membuka mata lagi dan berkata, “Tancu…. pada saat
hendak keluar menghadapi mereka…. tidak terduga-duga…. bertemu dengan subo….”
“Engkau maksudkan ibu dari Toto?”
“Benar….”
Bercucuran airmata Bwe Nio ketika mendengar berkata, “Ibu dari To-to, apakah benar-benar
masih hidup?”
Lelaki baju biru menjawab, “Tak mungkin salah, aku melihat jelas dengan mata kepalaku
sendiri. Sesaat berjumpa kembali, keduanya segera bicara nericis…. ah, tangcu dan cu-bo
memang sepasang suami isteri yang luar biasa. Mereka bercakap Cakap lama sekali tetapi aku tak
mengerti bahasa apa yang mereka gunakan….”
Sambil memondong tubuh si dara baju ungu yang ternyata bernama Siau Toio iiu. Ong Kwan-
tiong menghampiri dan bertanya, “Lalu….”
Lelaki baju biru menghela napas panjang, “Mengapa engkau terburu- buru? Lalu…. mereka….
tiba-tiba bertempur….”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
“Sekarang mereka dimana?”
Lelaki baju biru berkata, “Mereka adu tenaga-dalam. Saling berlekatan tangan dengan tegang.”
“Ai, pertempuran semacam itu merupakan pantangan besar dalam dunia persilat,” seru Bwe
Nio, “lekas bahwa aku kesana!”
Tetapi lelaki baju biru itu gelengkan kepala, “Sambil bertempur dengan cu-bo, tang cu gunakan
ilmu Menyusup-suara memberitahu kepadaku. Suruh aku menyaru menjadi dia dan keluar untuk
menyambut mereka. Asal dapat mengulur waktu sampai sepenanak nasi saja, tangcu tentu sudah
dapat mencari daya.”
“Daya apa?” seru nenek Bwe. “Aku tak tahu….”
Berkata Ong Kwan-tiong dengan nada seram, “Apakah suhu hendak…. membunuh subo?”
“Hal itu sukar dibilang,” kata nenek Bwe, “suhumu itu berwatak angkuh dan subomu juga keras
hati. Sekali keduanya beradu kepandaian, tentu tak mau berhenti sebelum ada yang mati….
kemungkinan sukar untuk menghentikan mereka.”
Lelaki tua baju biru itu terengah-engah. Namun ia masih paksakan diri berkata, “Jika saat ini
kalian hendak menerobos masuk, dikuatirkan kedua orang itu akan menderita luka…. . .”
“Jangan bilang lagi….” bentak nenek Bwe.
Lalu ia meminta kepada Ong Kwan-tiong supaya menyerahkan Toto kepadanya.
Setelah menerima tubuh Toto, nenek Bwe berkata pula, “Mereka sedang mengerahkan tenaga.
Jaga pintu ini, jangan sampai ada orang yang masuk.”
Ong Kwan-tiong mengiakan, ia terus berkisar kesamping pintu dan mencabut senjatanya yang
aneh, disebut Liang-gi ci yang bentuknya seperti penggaris.
Nenek Bwe lalu menghampiri ketempat sikaki buntung baju merah dan memberi pesan,
“Usahakan supaya dia jangan mati.”
Sikaki buntungpun giat menyalurkan tenaga-dalam pada punggung leaki baju biru itu.
Darah kesatrya.
Selesai mengatur seperlunya, nenek Bwe pun segera melangkah masuk kedalam pintu merah.
Setelah nenek itu masuk, Ong Kwan-tiong lalu mengangkat kedua tangan dan berseru keras,
“Thian te goan hong, su jiong hoa seng….
Kata-kata itu merupakan aba2 barisan. Artinya: Langit dan bumi menguning, empat gajah
hidup kembali.
Kedelapan kacung baju biru yang sudah porak poranda barisannya dan saat itu bersembunyi
disamping, begitu mendengar suara aba2 dari Ong Kwan-tiong segera loncat keluar dan pada lain
saat sudah membentuk sebuah barisan pedang dimuka pintu merah.
Ong Kwan-tiong tegak ditengah pintu. Memandang sekalian tokoh dengan sikap seperti seorang
panglima yang berwibawa.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Beberapa tokoh itu saling bertukar pandang. Pertama tama kedengaran Pengemis-sakti Cong
To menghela napas, “Perobahan kejadian didunia ini memang sukar diduga Benar-benar membuat
orang kehilangan faham. Makam tua yang didupa hanya sebuah perangkap, ternyata berisi Lam-
hay Ki-siu ketua perguruan Lain hay-bun. Tetapi aku sipengemis tua ini masih belum percaya dan
masih mengira dia itu seorang gila. Tetapi apa yang terjadi saat ini….ah, sekalipun andaikata
pengemis tua ini beruntung dapat keluar dan makam tua ini, kelak pengemis tua tak mau keluar
kedunia persilatan lagi.”
Ih Thian-heng tertawa gelak-gelak, “Ah, tak kira saudara Cong yang biasanya selalu bersikap
gembira, juga dapat mengeluarkan ucapan begitu!”
Ketua Lembah-seribu racun tertawa dingin, “Orang yang mau mati, kata-katanya tentu baik.
Pengemis tua mungkin sudah tahu kalau takkan hidup lebih panjang….”
“Bukan begitu,” tukas Ih Thian-heng.
“Bukan begitu?” sahut ketua Lembah seribu-racun. “apakah engkau kira aku dan engkau akan
dapat keluar dengan selamat dari makam tua ini….”
Kata Ih Thian- heng, “Kata peribahasa, dua orang yang bersatu hati, kekuatannya tak dapat
diperkirakan. Apalagi kita sekian banyak orang dengan berbagai kesaktian dan kepandaian.
Apabila dapat bersatu padu, jangan lagi hanya sebuah makam tua seperti ini, liang nerakapun kita
tentu dapat menerobos keluar!”
Dalam berkata-kata itu, mata Ih Thian-heng berkeliar memandang kewajah sekalian tokoh
untuk menyelidik kesan mereka.
Ketua Lembah-seribu-racun memandang Ca Cu-jing dan jago tua she Ca itu, segera berkata
dengan sarat, “Benar, benar!”
Tiba-tiba ia mengangkat muka memandang Ih Thian-heng, katanya, “Saudara Ih, sebenarnya
aku ingin bersatu dengan engkau. Tetapi tiba-tiba saja aku teringat akan sebuah cerita.”
“Cerita bagaimana?” tanya Ih Thian heng.’ “Cerita tentang kelinci yang mengadakan perjanjian
dengan seekor serigala. Mereka hendak berhasil melintasi sungai, serigala itupun terus menerkam
kelinci dan memakannya!”
Ih Thian-heng tertawa gelak-gelak!
“Cerita yang bagus, benar bagus. Tetapi kalau kelinci itu tak mau berkawan dengan serigala,
dia tentu akan dimakan oleh harimau yang sudah berada didapat tempatnya!”
Ca Cu-jing tertegun dan berpaling, “Bagaimana pendapat saudara Ting?”
TingKo memondong tubuh puterinya menyahut dingin “Bagiku untuk bekerja sama dengan Ih
Thian-heng, syaratnya dia harus menghidupkan lagi jiwa puteriku!”
“Tepat,” seru Pengemis sakti Cong To, “aku pengemis tuapun sejak saat ini tak mau lagi
bekerja-sama dengan seorang manusia yang selicik itu!”
Ih Thian-heng menengadah tertawa, “Bagus, bagus….”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tiba-tiba Leng Kong-siau, kakek pendek ketua dari Lembah-seribu-racun menutuk jalandarah di
punggung Ting Ko.
Serempak dengan itu Ca Cu jingpun berseru nyaring, “Saudara Ih, aku bersama saudara
Siangkwan Ko dan leng Kong-siau. berdiri difihakmu!” Habis berkata dia terus menerobos kearah
pintu merah.
Ternyata ketiga orang itu, ketua Lembah-seribu-racun, Siangkwan Ko dan Ca Cu-jing diam-diam
telah berunding dengan menggunakan ilmu Menyusup-suara. Mereka memutuskan, lebih dulu
menggabung diri dengan Ih Thian-heng untuk melawan orang Lam-hay bun. Diperhitungkan,
walaupun Pengemis sakti Cong To dan mereka yang tak setuju dengan Ih Thian-heng, teiapi tentu
takkan membantu orang Lam hay-bun. Setidak-tidaknya mereka tentu netral.
Seiring dengan gerakan tubuh ketua Lembah-seribu-racun, dia mengayunkan kedua tangan dan
berpuluh puluh larik sinar perak sehalus bulu kerbau segera memancar kemuka.
Ong Kwan-tiong menggembor keras. Senjata Liang-gi-ci di ayunkan. Tring, tring, tring, senjata
rahasia yang dilepas ketua Lembah-seribu-racun itu, berhamburan lenyap.
Ca Cu jing dan Siangkwan Kopun bergerak. Yang satu melintas dari kiri kekanan, yang satu
memotong dari kanan ke kiri. Mereka menyerang barisan pedang ke delapan kacung. Seketika
pecahlah pertempuran, seru. Pedang dari kedelapan kacung baju biru itu segera berhamburan
bagai hujan mencurah.
Walaupun Ca Cu jing dan Siangkwan Ko itu tokoh-tokoh yang hebat, namun mereka tetap tak
mampu maju setapakpun juga.
Ih Thian-heng berpaling “Harap saudara2 tunggu dan melihat di samping. Biarlah aku yang
akan membuka jalan-darah untuk saudara2.”
“Kentut!” bentak Pengemis-sakti Cong To, “siapa suruk engkau membuka jalan!”
Memang pengemis tua itu masih berdarah panas. Walaupun ia menyadari bahwa ucapan ih
Thian-heng itu hanya suatu provokasi untuk membakar hati orang, namun pengemis tua tak dapat
menahan diri. Habis berkata ia terus menerjang maju.
Ong Kwan-tiong membentak, “Urusan ini bukan main-main. Kalau saudara2 berkeras hendak
masuk, jangan salahkan kalau kami orang Lam-hay bun akan membuka pantangan membunuh!”
“Silahkan.” Ih Thian-heng tersenyum.
Dalam berkata itu dia sudah lancarkan tujuh buah serangan sehingga membuat si Pendek tak
sempat menggunakan senjata pit-nya. Barulah saat itu si Pendek terbuka matanya bahwa durjana
nomor saru dalam dunia persilatan Tiong goan, benar-benar seorang tokoh yang sakti dan cerdas.
Ketika deru sambaran pedang sedang berkecamuk hebat, tiba-tiba dari dalam piatu terdengar
suara nenek Bwe berseru, “Harap tangcu memberi perintah supaya para ketua dan tokoh-tokoh
terkemuka dalam dunia persilatan Tiong-goan suka bersabar karena sebentar lagi tangcu akan
keluar menyambut mereka.”
Ong Kwan-tiong tertegun sejenak. Sesaat kemudian ia merasa longgar hati karena tahu bahwa
suhunya tak kurang suatu apa.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kiranya dengan memodong tubuh si dara baju ungu masuk kedalam pintu merah, Didalam
pintu terbentang sebuah lorong panjang yang tanpa penerangan. Tetapi keadaan lorong itu
remang2 tidak gelap sekali. Ada semacam sinar lembut yang memancar, entah dari mana….”
Nenek Bwe tak berani gunakan ilmu Meringankan tubuh lagi. Selangkah demi selangkah ia
maju kedepan. Pada ujung lorong tergantung sehelai tirai mutiara. Dari tirai mutiara itulah kiranya
sinar remang tadi memancar.
Dengan hati-hati nenek bwe menyingkap tirai mutiara itu. Didalamnya ternyata sebuah ruang
yang bersih, tanpa meja kursi dan alat-alat perabot lainnya. Hanya disudut dinding berjajar
belasan kim-teng atau dingklik emas. Namun suasana ruang itu cukup indah berwibawa.
Seorang lelaki tua baju biru, rambut panjang menjulai ke bahu, tengah duduk membelakangi
pintu. Dia berhadapan dengan seorang wanita pertengahan umur yang cantik dengan sanggul
rambut dan pakaian indah seperti puteri keraton. Seri wajahnya yang berseri gemilang laksana
bidadari, membuat orang tak berani beradu pandang.
Mereka berdua menunduk dan mencurahkan seluruh semangatnya untuk beradu tenaga-dalam.
Suatu pertempuran maut dari sepasang suami isteri yang aneh.
Melihat adegan itu, teganglah hati nenek Bwe. Maju selangkah ia berseru gemetar, “Cukong,
cubo. Toto datang!”
Tetapi baik lelaki tua baju biru maupun wanita berpakaian puteri keraton itu tetap pejamkan
mata tak menghiraukan.
Nenek Bwe bercucuran airmata dan berseru dengan terisak-isak, “Toto…. telah menggigit
hancur mutiara beracun itu!”
Kata-kata yang diucapkan dengan pelahan dan sepatah demi sepatah oleh nenek Bwe itu, bagai
halilintar meledak disiang hari. Lelaki tua dan wanita cantik itu serempak gemetar.
Tangan mereka yang tangan melekat erat itu, serentak tersiak satu dim.
Tiba-tiba tongkat bambu yang digenggam erat dalam jari manis dan jari kelingking: tangan
kanan nenek Bwe, berayun menyusup ke tengah kedua pasang tangan suami isteri itu. Dan
orangnyapun melesat datang.
Tetapi rupanya cara penjagaan diri dari nenek Bwe itu, tiada gunanya. Lelaki tua dan wanita
cantik saat itu sudah menari tangan masing-masing. Wajah mereka tak mengunjuk rasa menderita
luka melainkan mengerut kecemasan.
Dan serempak pula keduanya terus melonjak menyongsong nenek Bwe, “Toto! Toto….
Baik silelaki baju biru maupun wanita cantik keduanya sama-sama menyongsongkan kedua
tangannya kemuka untuk menyambut tubuh si dara baju ungu. Tetapi tanpa sengaja ujung jari
kanan silelaki baju biru telah menyentuh ujung jari kiri siwanita cantik. Kedaanya serentak cepat-
cepat menarik tangannya karena seperti membentur besi.
“Bwe Nio, siang malam engkau menjaga To-ji, mengapa dia sampai menggigit mutiara beracun
itu?” bedak lelaki tua baju biru dengan bengis.
Wanita cantik menyelutuk, “Mengapa To ji sampai dihina orang? Mengapa engkau biarkan
orang menghinanya?”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Walaupun kata-katanya tidak tajam, tetapi nadanya saat bengis sekali.
Bwe Nio menghela napas panjang, “Soal itu panjang ceritanya. Aku juga tak berdaya untuk
mencegahnya….”
Wanita keraton itu mengerut wajah dan menukas, “Tidak berdaya…. hm, mungkin tak mampu
berdaya?”
Nenek Bwe tak berani membantah. ia tundukkan kepala. Lelaki baju biru pelahan lahan ulurkan
tangan. Ternyata wanita keraton itu tak mengulurkan tangan sehingga tubuh si darapun disambut!
oleh leiaki tua itu lalu diletakkan diatas lim-teng.
Lelaki tua itu mulai memeriksa mata, pergelangan tangan si dara lalu menghela napas panjang
tetapi longgar.
“Ah, untung aku berada disini. To ji tentu tak kena apa-apa dan engkaupun jangan
mendamprat Bwe Nio lagi,” katanya kepada wanita kraton itu.
Wanita kraton hanya mendengus. Tanpa memandang lelaki baju biru itu, ia berkata sarat, “Bwe
NiO siapakah yang menghina atau yang menyebabkan To ji marah?”
“Ji….” baru nenek Bwe berkata sepatah hendak menyebut nama ji Han Ping, tiba-tiba ia
teringat bahwa cubo (majikan perempuan) itu beradat keras sekali. Dan ia tahu bahwa cubo-nya
itu keliwat sayang sekali kepada si dara. Apabila ia menyebut nama pemuda itu, tentulah cubo-nya
akan menyelesaikan Han Ping.
Pada hal nenek bwe tahu Han Ping itu pemuda yang dicintai si dara.
“Mengapa engkau tak berani menyebut namanya? Apakah engkau bersekongkel dengan dia?”
bentak wanita keraton.
Tiba-tiba nenek Bwe mendapat pikiran dan cepat berseru, “Ih Thian-heng “
“Ih Thian-heng?” teriak wanita cantik itu, “siapakah Ih Thian-heng itu? Dimanakah dia saat ini?”
“Diluar pintu.” sahut nenek Bwe.
“Suruh dia masuk!” teriak wanita keraton itu dengan bengis.
Nenek Bwe mengiakan. Segera ia berputar tubuh keluar dan berseru memerintahkan
rombongan tokoh-tokoh itu masuk.
Sekalian tokoh-tokoh silat Tiong-goan tergetar hatinya. Lam-hay Ki-siu, tokoh sakti dan aneh
dari dunia persilatan akan berhadapan dengan mereka.
Ih Thian-heng cepat menyelinap kesamping Ting Ko dan menepuk jalandarahnya yang tertutuk
tadi, tertawa, “Kalau saudara Ting hendak minta ganti jiwa puteri saudara, nanti saja setelah kita
keluar dari makam ini.”
Ting Ko tertawa nyaring. Nadanya macam hantu meringkik. Setelah meletakkan tubuh Ting
Ling, ia segera ayunkan tangan lepaskan sebuah pukulan dari jauh kearah ketua Lembah-seribu-
racun yang telah menutuk jalandarahnya tadi.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Serangkum hawa dingin segera melanda kearah katua Lembah-seribu-racun. Karena tak
menduga, Leng Kong-siau ketua Lembah-seribu racun itu tak sempat menghindar. Segera ia
rasakan tubuhnya dilanda hawa dingin.
Ting Ko berseru dingin, “Tadi saudara Leng telah memberi sebuah tutukan kepadaku. Sekarang
akupun menghaturkan sebuah pukulan Han-im-ciang. Jadi kita sudah tak saling berhutang budi,
ha, ha,…. ha, ha….”
Ih Thian-heng mengeluarkan dua butir pil putih, tertawa, “Saudara Leng. silahkaa pilih yang
mana.”
Leng Kong siau menendang keangan Ih Thian-heng. Dilihat tanya kedua butir pil itu sama
besarnya, warnanyapun serupa. Segera ia mengambil sebutir.
Ih Thian-heng segera menelan yang sebutir, katanya, “Pil Kun-goan-sin-tan ini khasiatnya
untuk menolak segela macam racun Im-han yang dingin. Setelah makan pil itu, tentulah saudara
Leng tak usah menderita luka akibat pukulan saudara Ting tadi. Aku menelannya sebutir, agar
saudara Leng jangan ragu-ragu.”
Leng Kong-siaupun segera menelannya dan mengucapkan terima kasih. Ih Thian-neng
tersenyum, ujarnya, “Paling tidak, saat ini kita sama-sama mendayung dalam sebuah perahu
melintasi gelombang besar.
Segala dendam kesumat harap dipertangguhkan dahulu setelah kita nanti keluar dari makam
ini.”
Habis berkata ia lintangkan sebelah tangan kedada dan sebelah tangan siap memukul, lalu
melangkah kearah pintu merah.
Pun Ca Cu-jing dan Nyo Bun-giau menghampiri Leng Kong-siau dan menghiburnya, “Saudara
Leng, harap bersabar dulu.
Kedua orang itupun sagera mengikuti jejak Ih Thian-heng.
Siangkwan Ko menghela napas panjang, bisiknya kepada ketua Lembah-raja-setan Ting Ko:
Kehilangan anak perempuanku, seperti tercabut nyawaku. Aku hanya mempunyai seorang anak
perempuan tetapi anakku ternyata telah dicelakai oleh orang-orang Lam-hay-bun sehingga
kehilangan kesadaran pikirannya….”
Ting Ko menyambut dingin, “Saudara Siangkwan menderita karena kehilangan anak, apakah
aku juga tak menderita perasaan demikian karena anakku meninggal itu? Kalau menghendaki aku
supaya membantu ih Thian-heng, syaratnya hanyalah kalau dia dapat mengembalikan jiwa anakku
itu.”
“Saudara Ting salah faham,” kata Siangkwan Ko. “maksudku bukan menganjurkan supaya
saudara Ting jangan membalas dendam itu. Tetapi saat ini keadaannya lain. Daripada seorang diri,
kurasa lebih baik saudara ting untuk sementara ini mau bekerja sama dengan mereka untuk
menghadapi ancaman Lam-hay Ki-sau. Setelah keluar dari makam ini barulah nanti kita membuat
perhitungan lagi.
Ting Ko merenung sejenak, menghela napas, “Demi memandang muka saudara Siangkwan
biarlah aku mengalah kali ini.”
Siangkwan Ko terus menarik tangan Ting Ko diajak masuk kedalam pintu merah.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Han Ping memberi hormat kepada Ong Kwan-tiong, serunya, “Jenazah nona Ting dan nona
Siangkwan itu, mohon saudara Ong suka mengurusnya.”
Ong Kwan-tiong menyilangkan senjatanya dan balas memberi hormat, “Harap saudara Ji tak
usah kuatir. Kalau engkau masih dapat keluar dari makam ini dengan selamat, kujamin jenazah
nona Ting tentu takkan terganggu dan nona Siangkwan pun pasti tak kurang suatu apa.”
Kembali Han Ping memberi hormat, “Ji Han Ping menghaturkan terima kasih atas kebaikan
saudara.”Habis berkata bersama Pengemis-sakti Cong To dia terus ayunkan langkah.
Nenek Bwe dengan tongkat bambunya mengikuti paling belakang. Benar-benar Tiong suatu
barisan yang keramat dari tokoh Tiong-goan.
Berjalan lebih kurang lima enam tombak. Ih Thian-heng yang berada paling depan, mereka tiba
diujung lorong dan berada dalam sebuah ruang yang terang benderang.
Lelaki tua baju biru yang rambutnya menjulai pada bahu, tampak duduk bersila di sudut ruang.
Dibelakangnya tertelentang tubuh si dara baju ungu. Kedua tangan lelaki tua itu tengah mengurut-
urut tubuh si dara. Rupanya ia tengah mencurahkan perhatian untuk menolong si dara sehingga
seolah-olah tak mengetahui bahwa rombongan tokoh-tokoh Tiong-goan itu sudah masuk kedalam
ruang.
Seorang wanita yang berpakaian seperti puteri keraton tengah tegak berdiri dibelakang dinding.
Wajahnya yang cantik gemilang, menyilaukan pandang mata sekalian orang.
Tetapi wanita itu tampak tenang sekali Ia tak mengacuhkan kedatangan rombongan jago2 silat
itu. Setelah semua rombongan sudah masuk barulah ia membuka mulut dengan nada dingin,
“Yang manakah Ih Thian-heng itu?”
Ih Thian-heng memberi hormat dan menyahut tertawa, “Aku yang rendah inilah Ih Thian-heng.
Adakah hujin (nyonyah) hendak memberi perintah kepadaku?”
Wajah wanita keraton yang segar kemerah-merahan itu segera berkabut dengan hawa
pembunuhan, serunya, “Apakah engkau yang menghina anakku?”
Sambil mengabarkan pandang kearah si dara baju ungu yang masih berbaring di tanah, Ih
thian heng tertawa hambar! “Kalau benar, Lalu bagaimana?”
“Membunuh orang harus mengganti jiwa. Engkau berani menghina puteriku sampai dia mati
penasaran, mengapa engkau masih berani hidup?” teriak wanita berpakaian seperti puteri keraton
itu. Kata-katanya penuh dengan nada keangkuhan.
Tiba-tiba ih Thian-heng tertawa sekeras-kerasnya, “Dalam dunia persilatan Tiong-goan,
siapakah yang tak kenal aku Ih Thian-heng ini seorang yang kejam dan ganas, memandang jiwa
manusia itu hanya seperti jiwa semut saja? Aku sudah terlanjur berlumuran darah hidupku, kalau
tambah satu dua jiwa lagi menjadi korban keganasanku, pun tak apa.”
Wanita keraton itu kerutkan alis dan berseru dingin, “Karena engkau tak mau membunuh diri
menebus dosa, terpaksa aku harus- turun tangan!”
“Dengan segala kerendahan dan kegembiraan hati, aku menunggu pelajaran hujin,” sahut Ih
thian-heng.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Wanita cantik itupun segera mengangkat tangan kanannya. Tetapi biru akan diayunkan tiba-
tiba terdengar seseorang berseru, “Tunggu!”
Ketika wanita cantik itu berpaling, dilihatnya seorang pemuda cakap yang gagah, melengkang
ke hadapannya.
“Siapa engkau?” tegur wanita itu.
Pemuda itu menjurah dengan hormat, “Aku yang rendah ini Ji Han Ping.”
Wanita cantik membentak, “Ji Han Ping, engkau mau apa?”
Jawab Han PinG, “Seorang lelaki tak mau membiarkan orang lain mewakili menerima
kesalahannya. Yang membuat marah sampai puterimu binasa itu adalah aku. Ih Thian-heng tak
ada sangkut pautnya. Kalau engkau meminta ganti jiwa, mintalah kepadaku.”
Wanita rantik itu tertegun Cepat ia memandang kearah BWe NIo, adunya, “Bwe Nio,
bagaimana ini?”
SejenaK merenung, Bwe Niopun menyahut, “Ya Memang mereka berdua yang menjadi
pembunuhnya “
“bagus wanita keraton ItU tertawa, memang kalau sebuah jiwa hanya diganti dengan sebuah
jIWa kupikir tentu masih merugikan putriku.”
Ih Thian-heng berpaling kearah Han Ping, hendak membuka mulut tetapi tak jadi.
Wanita cantik ini berkisar dua langkah kemuka lalu berderu bengis, “Kalian boleh maju berdua”
Han Pingpun tiba-tiba melangkah setindak kemuka, “Kalau lo-ciunpwe hendak menuntut ganti
jiwa puteri- lo cianpwe, memang aku harus menerima.”
Wanita keraton itu berseru tawar “Mati dulu atau mati belakangan, hanya sekejab saja
terpautnya….” ia terus ayunkan tangan menghantam.
Hantamannya itu tak menerbitkan deru angin maupun suara keras. Indah dan lemah gemulai.
Wajah Han Ping tampak mengerut serius, “Locianpwe, maafkan kalau aku bertindak kurang
tata krama”
Diam-diam iapun kerahkan tenaga-dalam kearah tangan dan menangkis pukulan wanita itu.
Tetapi rupanya wanita itu tak mau tangannya berbentur dengan tangan Han Ping. Maka cepat
ia mengendapkan tangannya dan terus menarik pulang.
Han Ping hendak maju mendesak tetapi tiba-tiba ia merasa dilanda oleh segelombang tenaga
gelap. Ia terkejut, pikirannya, “Kepandaian wanita ini, benar-benar tak boleh dipandang rendah.
Dia dapat menyimpan tenaga-dalam yang hebat di telapak tangannya. Begitu tangan ditarik
kembali, tenaga-dalam terus berhamburan memancar.
Hebatnya gelombang tenaga yang melanda tangan Han Ping itu hebat sekali sehingga Han Ping
terpaksa harus mundur selangkah.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Pun wanita, cantik itu tak kurang kejutnya. Ia duga dengan pancaran tenaga-dalam yang
dilakukan secara tiba-tiba itu, Han Ping tentu terluka berat dan binasa.
Paling tidak tentu akan rubuh pingsan. Tetapi ternyata dugaannya itu meleset. Walaupun
anakmuda itu tersurut mundur selangkah tetapi dapat menyambut serangannya.
Kini baik Han Ping maupun wanita cantik itu sama-sama menyadari bahwa lawan tak boleh
dipandang ringan. Setelah sama-sama tertegun sejenak keduanya baru mulai melakukan
serangan.
Han Ping mengeluarkan ilmu istimewa dari perguruan Siau-lim si yalah Cap ji kin-liang jiu atau
duabelas sambaran menangkap naga. Jari jemarinya menjulur surut untuk mencengkeram jalan-
darah tangan siwanita Kin-liong-jiu itu memiliki gerak yang luar biasa dan sukar diduga sama
sekali.
Gerakan tangan wanita itu biasa saja. Cara menangkis dan menyerang, dilakukan dengan gerak
yang sederhana. Tetapi ternyata jurus2 yang sederhana itu, dimainkan dengan tenaga yang
mengejutkan orang. Dalam jurus permainan yang sederhana itu mengandung gerak perobahan
yang aneh dan luar biasa.
Kedua belas jurus ilmu Kim-liongjiu yang dimainkan Han Ping itu boleh mengunjuk kesaktiannya
yang luar biasa. Tetapi kesemuanya itu dapat dilenyapkan dengan jurus2 yang sederhana dari
siwanita cantik.
Dalam beberapa kejab saja, keduanya sudah bertempur lebih dari duapuluh jurus. Namun tetap
belum ada yang kalah atau menang.
Lelaki tua baju biru itu seolah-olah tak mengacuhkan pertempuran itu. Dia menundukkan
kepala dan masih sibuk mengurut si dara.
Sedang Ih Thian-heng memandang tak berkesiap pertempuran antara wanita cantik lawan Han
Ping itu.
Wajah wanita cantik itu mulai mengunjuk kerut keheranan. Namun dia tetap tak mau balas
menyerang. Rupanya dia hendak memancing agar Han Ping mengeluarkan seluruh kebiasaannya.
Sejenak Ih Thian heng memandang kearah lelaki baju biru lalu gunakan ilmu Menyusup suara
berkata, “Hati-hati saudara Ji, wanita itu hendak memikat engkau supaya mengeluarkan selaruh
kepandaianmu….”
Han Ping berobah kerut wajahnya. Tiba-tiba tangannya menyerang lebih dahsyat. Setiap jurus
pukulan dan tamparannya, benar-benar merupakan ilmu silat yang jarang tertampak dalam dunia
persilatan.
Mau tak mau wanita itu harus mengimbangi permainan Han Ping. Diapun mengeluarkan jurus2
yang aneh dan istimewa. Yalah ilmu untuk menutuk jalandarah dan menabas uratnadi.
Jurus yang dimainkan Han Ping telah mencapai tingkat yang sukar d kendalikan lagi. Tetapi
karena ditekan oleh permainan siwanita cantik, Han Ping tak dapat mengembangkan gerakannya.
Sekonyong konyong wanita itu melepaskan dua buah pukulan sehingga gerakan Han Ping
menjadi terlambat. Kemudian ia menarik pukulannya dan mundur seraya berseru, “Berhenti!”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sambil hentikan tangannya, Han Ping bertanya, “Lo cianpwe, hendak memberi perintah apakah
kepadaku?”
Wajah wanita itu bertebar merah. Hendak membuka mulut tetapi tak jadi bicara.
Han Ping tertegun, serunya, “Jika lo cianpwe hendak memberi pesan apa-apa, silahkan
mengatakan.”
Lelaki tua baju biru yang sibuk mengurut tubuh si dara baju ungu tadi, saat itu mengangkat
kepala. Sepasang matanya berkilat-kilat mencurah kepada Han Ping. Ia mendengus dingin lalu
lepaskan pukulan.
“Siapa suruh engkau campur tangan!” tiba-tiba wanita cantik itu membentak marah seraya
gerakkan tangan menangkis pukulan lelaki itu.
Nenek Bwe menghela napas, “Tancu, cubo musuh sudah didepan mata masakan kalian tak
saling memaafkan dan bersatu untuk menghadapi mereka?”
Wanita cantik itu makin marah, serunya “Bagus, Bwe Nio, engkau juga berani mengurus aku”
“Maaf cubo, hamba sekali-kali tak berani,” nenek Bwe tundukkan kepala.
Wajah lelaki baju biru itu berkerenyutan sejenak lalu mengatupkan mata. Jelas hatinya amat
tegang tetapi terpaksa ditindasnya.
Dalam pada memperhatikan suasana disitu Ih Thian-heng cepat mendapat kesan bahwa
diantara lelaki tua baju biru dengan wanita keraton yang cantik itu terdapat suatu dendam
permusuhan. Diam-diam Ih Thian heng girang, Kalau ia dapat menemukan soal2 yang menjadi
sebab perselisihan kedua orang itu tentulah ia dapat memanfaatkannya untuk mengadu domba
agar keduanya saling bertempur lagi.
Dengan pemikiran itu Ih Thian-hengpun segera tertawa nyaring. Karena tertawanya yang
mendadak itu, sekalian tokohpun terkejut.
“Mengapa saudara Ih tertawa?” tegur Ca Cu-jing.
Ih Thian-heng hentikan tertawanya lalu menyahut, “’Tiba-tiba saja aku teringat akan sebuah
cerita. Cerita itu amat lucu sekali sehingga aku tak dapat menahan rasa geliku….”
“Cerita bagaimanakah sehingga begitu lucu itu?” Nyo Bun-giau menyelutuk, “apakah saudara
mau mengatakan agar kami juga dapat mengetahui?”
Nyo Bun-giau ini juga cerdik sekali. Cepat sekali ia menarik kesimpulan bahwa tak mungkin Ih
Thian heng akan tertawa begitu keras apabila tak ada sesuatu.
Sejenak memandang kearah lelaki tua baju biru, Ih Thian-heng berkata, “Berpuluh tahun yang
lalu, hidup dua orang yang menganggap dirinya paling pandai didunia. Keduanya berwatak angkuh
dan keras kepala. Mereka hidup bersama, menjadi pencari kayu….”
Lelaki tua baju biru tiba-tiba mengangkat kepala dan memandang Ih Thian-heng lalu berseru
dingin, “Apakah engkau yang bernama Ih Thian-heng?”
Ih Thian heng tersenyum, “Benar, bagaimana?”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
“Lalu bagaimana?” Ca Cu jing menyelutuk pula.
Ih Thian-heng melanjutkan ceritanya, “Pada hari itu ketika mereka pergi ke hutan, mereka
menemui seekor anak macan. Yang seorang hendak membunuhnya tetapi yang seorang
mencegah dan ingin memelihara anak macan itu. Tak berapa lama anak macan itu pun tumbuh
besar….”
“Macan setelah besar memakan pencari kayu itu. Kebaikan budi hanya menimbulkan bahaya”
tiba-tiba terdengar suara melengking merdu dan serentak dengan itu si dara baju ungupun
menggeliat duduk.
Ih Thian heng tertawa, “Nona menebak jitu. Aku inilah salah seorang dari kedua pencari kayu
itu. Dan masih ada seorang pencari kayu lagi, entah siapa?”
Dara baju ungu membentak, “Ih Thian-heng, sayang usahamu sia2 saja. Aku dapat sembuh
terlalu pagi….”
Tiba-tiba mata si dara baju ungu itu terbentur kearah siwanita keraton. Seketika gemetarlah
tubuh dara itu.
“Yah, apakah itu ibuku?” bisik si dara kepada lelaki tua baju biru.
Lelaki tua baju biru itu mengangguk tanpa berkata apa-apa.
Tiba-tiba Han Ping memberi hormat kepada wanita cantik itu, “Puterimu sudah sembuh,
diantara kita sudah tiada permusuhan lagi….”
Tiba-tiba Han Ping berputar tubuh, mencabut pedang Pemutus-asmara dan memandang Ih
Thian-heng, serunya, “Ih Thian-heng, kita sudah bertemu muka dengan pemilik makam ini. Entah
mati atau hidup, nanti kita tentu segera mengakhiri keadaan di sini. Sekarang jika aku tak lekas
menuntut dendam kepadamu, mungkin nanti tak ada kesempatan lagi.”
Ih Thian hengpun mengeluarkan sepasang gelang emas dari bajunya, sahutnya, “Selama ini
aku tak pernah menggunakan senjata apabila bertempur dengan orang. Tetapi hari ini terpaksa
aku harus menghapus pantangan itu.”
“Terima kasih karena engkau memandang tinggi kepadaku,” kata Han Ping.
Nyo Bun-giau kerutkan alis, serunya, “Kurasa dendam permusuhan kalian ini, nanti saja
diselesaikan setelah keluar dari makam ini.”
Han Ping tertawa, “Cerita Ih Thian-heng tentang pencari kayu yang memelihara anak harimau
tadi, telah memberi peringatan kepadaku.
Apabila lepaskan harimau kembali ke gunung,akan menimbulkan bahaya dikemudian hari.”
Han Ping menutup kata-katanya dengan tusukkan pedang.
ih Thian-hengpun cepat memutar kim-juan atau lingkaran-emas untuk menangkis seraya
berseru, “Gelang emas ini kulengkapi dengan bermacam alat rahasia yang hebat, harap engkau
berhati -hati!”
Han Ping mengulapkan tangan, menarik pulang pedang dan berseru, “Silahkan engkau
menggunakannya. Kalau mati, Ji Han Ping takkan penasaran!”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Segera ia gerakkan pedangnya dengan jurus yang istimewa yalah Ban-lun-hud-Kong atau
Lingkaran sinar-Buddha. Pedang Pemutus-asmara pun segera memancarkan hamburan sinar yang
menyelubungi tubuh Han Ping.
Walaupun hanya sebuah jurus, tetapi Ban-lun-hud kong itu mengandung perobahan yang tak
terduga dan tak terhitung jumlahnya, Sebuah jurus ilmupedang yang benar-benar sakti.
Lingkaran sinar pedang Pemutus-asmara itu tiba-tiba pecah menjadi tiga gunduk sinar, terus
menyerang Ih Thian-heng.
Tring, tring, tring…. terdengar dering melengking memekakkan telinga ketiKa sinar lingkaran
dari sepasang Gelang emas Ih Tian heng berhantam dengan gumpalan sinar pedang Pemutus-
Asmara.
Sinar pedang Pemutus-asmara menggembung panjang, berganti bentuk menjadi semacam
bianglala yang melingkari sinar gelang emas” Sekalian orang yang menyaksikan permainan kedua
orang itu tersengsam kesima.
Semula Nyo Bun-giau dan Ca Cu jing hendak menasehati agar kedua orang itu untuk sementara
mau menghentikan permusuhannya. Tetapi demi melihat sinar gelang dan sinar pedang seolah
membungkus tubuh mereka, tokoh-tokoh itupun bingung untuk melerai mereka.
Sinar pedang Pumutus-asmara memancarkan hawa dingin dan gelang emaspun berkilau-
kemilau sinarnya. Tetapi sedikitpun tidak menghamburkan suara apa-apa.
Sekalian tokoh yang berada di ruang itu, semua tokoh-tokoh silat yang berilmu tinggi. Mereka
segera tahu bahwa kedua orang yang bertempur itu telah mengeluarkan ilmu tenaga dalam yang
tinggi. Ujung pedang dan gelang emas, mengandung tenaga, dalam yang dahsyat sekali. Tidak
terdengarnya suara benturan kedua senjata itu jelas mengunjuk bahwa keduanya telah
menumpahkan seluruh kepandaiannya untuk menggunakan jurus2 simpanannya yang istimewa,
mengalahkan lawan.
Benar-benar sebuah pertempuran yang dahsyat dan sengit sekali. Seluruh mata dan perhatian
sekalian tokoh terpikat pada pertempuran itu.
Tiba-tiba terdengar sebuah dengus tertahan dan sinar pedangpun tiba-tiba menyurut, sinar
gelang emas lenyap. Tubuh Han Ping terhuyung mundur tiga langkah. Wajahnya pucat lesi,
keringat mencurah seperti hujan. Lengan kirinya menjulai lemas. Jelas dia telah menderita luka
parah.
Dilain fihak, tampak Ih Thian-heng kerutkan sepasang alis dan mengatup bibirnya erat2.
Rupanya diapun sedang berusaha untuk menahan kesakitan.
Setelah saling bertukar pandang beberapa saat, tiba-tiba Han Ping berseru, “Ih Thian-heng,
Tiga Pendekar dari Lam gak, mempunyai dendam permusuhan apa dengan engkau? Mengapa
engkau membunuh ayahku dan mengapa pula engkaupun tak mau memberi ampun kepada
suhuku?”
Ih Thian-heng menyahut pelahan, “Sederhana saja, mereka telah menghianati aku.”
Mata Han Ping berkilat kilat memancarkan sinar pembunuhan….Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
JILID 7
Banteng lawan harimau.
“Apakah ibuku juga engkau yang membunuh?” seru Han Ping dengan mata berapi-api.
Ih Thian- heng sejenak memandang kesekeliling ruang lalu menyahut dingin, “Soal itu aku tak
mau memberi jawaban.”
“Pertempuran terakhir yang akan kita langsungkan ini, masih belum dapat dipastikan siapa
yang akan menang, “kata Han Ping pula.
“Ya, memang aku juga mempunyai kesimpulan begitu,” sahut Ih Thian-heng.
“Kalau engkau kubunuh aku tentu masih tak mengetahui mengapa alasanmu membunuh kedua
orangtuaku itu.”
Ih Thian-heng segera menjawab, “Kalau engkau mati di tanganku, tentulah engkau akan dapat
berkumpul dengan kedua orangtuamu di alam baka.”
Han Ping tertawa dingin.
“Arwah ayahku tentu tahu dan tentu akan membantu aku menyelesaikan dendam jiwa ini!”
serunya tegas.
Kemudian ia terus perlahan-lahan mengangkat pedangnya keatas.
Melihat itu Ih Thian-hengpun segera bergerak. Ia pindahkan gelang emas ke tangan kiri lalu
tangan kanannya mengambil sebatang pedang pendak yang panjangnya seperti pedang Pemutus-
asmara. Hanya batang pedang itu dihias dengan tujuh buah bintang.
Sepasang galang-emas yang dicekal ditangan kiri dijulurkan lurus kemuka dan pedang
pendekpun dilintangkan siap menyambut serangan musuh.
Tampak wajah Han Ping yang semula pucat, pelahan lahan berwarna merah pula. Sepasang
matanya memancar sinar tajam kearah lawan. Tangan kiri yang menjulai tadi, pun pelahan-lahan
diangkat keatas untuk mengimbangi permainan pedangnya.
Tiba-tiba mata silelaki tua baju biru atau Lara-hay Ki-siu ketua dan perguruan Lam-hay-bun,
tampak terkesiap. Rupanya dia terkejut melihat cara Han Ping menyiapkan ilmupedang yang akan
dilancarkan itu.
Dalam pada itu wanita cantikpun segera menarik lengan Siau Toto atau si dara baju ungu terus
dipeluknya dengan mesra.
“Nak, jangan takut bisiknya.
“Aku tak takut. Tetapi ah, siapakah yang akan menang dalam pertempuran itu?” tanya si dara.
“Tak peduli siapa yang akan menang toh sama saja,” kata wanita keraton itu, tetapi tiba-tiba ia
terus berganti pembicaraan, “tetapi ilmupedang dari Ji Han Ping itu memang termasuk ilmupedang
tingkat tinggi. Kemungkinan dia menang, memang lebih banyak.”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ketika memandang kemuka tempat Han Ping dan Ih Thian-heng masing-masing sudah sama
menjulurkan pedangnya dan saling beradu pandang. Makin lama keduanya tampak makin tegang
dan setam. Wajah keduanyapun mengembang warna merah, Seolah2 keduanya sedang berusaha
untuk menekan perasaan dadanya yang hendak meledak.
Sekonyong konyong han Ping menggembor keras. Pedang Pemutus-asmara diayunkan dan
seketika memancarlah sinar kebiru-biruan yang menggelembung panjang.
Tetapi pada saat Han Ping menggembor itu, pedang Ih Thian-hengpun tiba-tiba disapukan
membentuk segumpal lingkaran sinar yang melingkari tubuh.
Ca Cu jing menghela napas panjang, “Ah, ilmu Pedang terbang….”
Tring! terdengar dering pelahan dan kedua pedang itupun tercerai lagi. Kedua orang itu tetap
berdiri ditempatnya semula. Mata saling beradu pandang.
Hanya wajah mereka yang berwarna merah tadi, kini lenyap dan berganti kerut kepayahan.
Sinar mata mereka yang berkilat-kilat tajam, pun redup dan pudar.
Pedang Ih Thian-heng ternyata sudah kutung terpapas pedang Pemutus asmara. Sisa
kutungannya yang separoh masih berada ditangannya.
Han Ping merghela napas, serunya, “Ih Thian-heng, cukup asal engkau menjawab sepatah saja.
Ibuku apakah engkau yang membunuhnya?”
Ih Thian-heng tak menjawab. Pelahan-lahan ia membuka genggam tangannya dan jatuhlah sisa
kutungan pedang ditangannya itu ketanah. Rupanya dia kehabisan tenaga sehingga tak kuasa lagi
untuk menguasai pedang dan sisa kutungan pedang itupun jatuh menukik lurus ketanah.
Ih Thian-heng, apakah engkau tak berani mengaku?” bentak Han Ping dengan sengit.
Tubuh Ih Thian-heng gemetar. Tiba-tiba ia menghela napas, “Kalau ya, lalu bagaimana?”
Han Ping tertawa nyaring, “Membunuh orang harus mengganti jiwa!”
Sekali tangan bergerak maka sinar birupun segera menabur kemuka. Setiap kali membicarakan
dendam darah orangtuanya, darahnya tentu mendidih dan tenaganyapun menggelora. Dia tentu
akan turun tangan dengan buas.
Setitikpun Ih Thian-heng tak menyangka bahwa dalam keadaan tenaganya habis ternyata Han
ping masih dapat melancarkan serangan sedemikian hebatnya. Ih Thian-heng terkejut. Dalam
gugup ia cepat lepaskan sepasang gelang emas. Gelang emas itu malayang menyongsong sinar
pedang.
Tring, tring…. terdengar dering pelahan dan sepasang gelang emas itupun terpapas kutung.
Tetapi serentak dengan itu, batang gelang itupun menghamburkan air hitam.
Ternyata senjata Kim-juan atau Gelang emas milik Ih Thian-heng itu diisi dengan air beracun
dan alat rahasia. Apabila alat itu dipijat, air beracunpun tentu meluncur keluar sampai jauh. Tetapi
hamburan air itu halus seperti asap sehingga musuh tentu tak dapat melihatnya. Sekali mengenai
tubuh orang, segera daging orang itu tentu akan membusuk. Racun berwarna hitam itu memang
luar. biasa ganasnya.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Apabila Han Ping tak melancarkan serangan yang begitu tiba-tiba dan tak dapat diduga Ih
Thian-heng, tentulah nanti akhirnya pemuda itu akan tersembur oleh air racun.
Setelah dapat menghancurkan gelang emas Han Pingpun menghentikan serangannya.
Ih Thian-heng terkejut sekali melihat peristiwa yang tak terduga-duga itu. Tetapi pada lain saat
ia tertawa nyaring, serunya, “Ah saudara Ji, rejekimu sungguh besar sekali. Kalau engkau tak
memapas kutung gelang-emas itu,tentulah engkau terluka tersiram air beracun itu.”
Han Ping memandang ke tanah yang ditimpahi air beracun. Ia terkejut, pikirnya, “Hm entah
apa ramuan racun itu sehingga sampai begitu hebat. Tanahpun sampai berlubang-lubang begitu
macam. Kalau sampai mengenai tubuh orang, tentu hancur.”
Hati Ping geleng2 kepala dan menghela napas, “Ih Thian heng sekarang baru kubuktikan
sendiri kalau engkau ini memang manusia berhati serigala.”
Ih Thian-heng malah tertawa keras, “Dalam tempat yang begini berbahaya, kesempatan hidup
amat kecil sekali. Sekalipun engkau memaki aku dengan kata-kata yang lebih kotor lagi, akupun
takkan mempedulikan”
“Siapa bilang tempat ini sebuah tempat maut. Yang benar, hidup dan mati kalian ini tergantung
dari keputusanku,” tiba-tiba lelaki tua baju biru berseru.
Jawab Ih Thian-heng, “Betapapun kesaktianmu, namun rasanya tentu sukar menghadapi
serangan bersama dari tokoh-tokoh Tiong-goan. Menilik engkau saat ini sedang menderita luka
dalam yang parah, engkau tentu kalah dan menggerakkan alat rahasia dalam makam ini agar kita
mati bersama-sama semua.”
Lain-hay Ki-siu tertawa dingin.
“Melihat keadaan disini, rasanya tiada seorangpun yang dapat melawan aku,” serunya dengan
congkak.
“Sombong benar!” seru Ih Thian-heng lalu berpaling memandang Han Ping. Tampak pemuda
itu kerutkan alis dan berkilat-kilat matanya. Wajahnya mengunjuk rasa tak puas terhadap ucapan
ketua Lam-hay-bun tadi.
Melihat suasana itu tergeraklah pikiran Nyo Bun-giau, cepat ia menyelutuk, “Apabila kita semua
tokoh Tiong-goan dapat memikirkan kepentingan bersama, sementara menghapus dulu
kepentingan pribadi, lalu menghadapi engkau. Hm, kemungkinan bukan kami tetapi kalian orang-
orang Lam-hay-bun akan menjadi penghuni makam tua ini.”
Berulang kali wajah Han Ping tampak menggelombang perobahan tetapi sampai lama, dia tetap
belum membuka mulut, Beberapa waktu kemudian baru berkata dengan nada dingin, “’Dendam
kehilangan ayah dan bunda, bagai gunung yang selalu mengganjel mata. Aku takkan hidup tenang
sebelum dapat membasmi musuh itu, menggorek hatinya untuk kusembahyangkan dimuka pusara
ayah-bundaku, Ih Thian-lieng dendam permusuhan kita, tak mungkin diundurkan lagi. Saat ini
kalau bukan engkau, akulah yang akan mati!”
Ih Thian-heng merogoh kedalam bajunya dan mengeluarkan sebatang sabuk kulit, lebarnya
lima dim. Ujung sabuk ditancapi golok liu-yapto (golok setipis daun liu) yang berwarna kebiru-
biruan. Kemudian tangan kiri merogoh kedalam baju lagi dan mengeluarkan sebatang pedang Jit
sing kiam (pedang Tujuh-bintang).Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
“Memang sudah jauh2 hari aku menduga tentang pertempuran terakhir antara kita berdua.
Demi menghadapi pedang pusaka Pemutus asmara yang luar biasa tajamnya itu, aku sengaja
membuat lima batang pedang pendak Tujuh-bintang dan duapuluh hui-to (golok terbang) yang
berlumur racun….” seru Ih Thian-heng.
“Berapa banyak senjata yang engkau bawa, silahkan menggunakan semua,” tukas Han Ping.
Ih Thian heng tertawa, “Duabelas batang hui-to beracun dan lima batang pedang Tujuh
bintang yang terbuat dari baja murni dan sepasang gelang-emas berisi racun sama sekali
berjumlah duapuluh tujuh buah. Sampai saat ini engkau sudah berhasil menhancurkan sebatang
pedang dan sepasang gelang emas….”
Berhenti sejenak ia melanjutkan pula, “Dua puluh batang huuo ini. racunnya luar biasa
ganasnya. Engkau harus hati-hati!”
Memandang kearah golok yang disiapkan Ih Thian-heng itu, diam-diam Han Ping menimang
dalam hati, “Hui-to itu hanya lima dim besarnya. Tentu mengandung suatu alat rahasia lagi. Jika
dia menyerang dengan terpencar, betapapun hebatnya dibawah taburan hui-to beracun, sungguh
tak sesuai.
Setelah merenungkan hal itu, Han Ping lalu kerahkan tenaga-dalam. Tegak dengan siapkan
pedang. Wajahnya mengerat serius, sepasang matanya mencurah kearah ujung pedang. Sikapnya
penuh wibawa.
Sekonyong-konyong ketua Lam-hay-bun menjerit tertahan lalu serentak berdiri dan mundur
kebelakang. Sekalian tokoh cepat memandang kearah ketua La m hay-bun itu lalu ikut menyingkir
mundur kesudut dinding.
Ih Thian-heng kerutkan alis. Dua butir keringat menetes turun. Tenang sekali ia segera
memasang sabuk kulit berujung hui-to itu kepinggangnya Ia menjemput hui~to dengan tangan
kanan. Sedang tangan kiri bersiap dengan pedang Tujuh-bintang.
Suasana dalam tempat itu sunyi senyap. Sekalian tokoh menumpahkan perhatian kepada
pertempuran maut antara harimau lawan naga.
Tampak wajah kedua seteru itu agak berbeda. Seri wajah Han Ping makin lama makin cerah
dan gagah. Sedang Ih Tnian-heng tampak tegang regang. Ubun-ubun kepalanya bercucuran
keringat.
Tiba-tiba si dara baju ungu menghela napas dan berbisik kepada ibunya, “Adakah sikap berdiri
sambil menyandang pedang yang dilakukan pemuda itu, merupakan sikap pembukaan dari suatu
ilmu pedang yang sakti?”
Wanita cantik mengiakan, “Benar . .
Tiba-tiba Ih Thian-heng bersuit panjang. Sekali tangan kanannya bergerak maka tiga batang
hui-topun segera melayang.
Han Ping menghembus napas. Sekali memutar tangan kanan maka pedang pusaka Pemutus
asmara pun segera berhamburan membentuk segumpal sinar pelangi.
Tring, tring. tring…. ketiga hui-to itupun berhamburan jatuh ke tanah menjadi enam potong.
Han Ping tampak tenang dan serius lagi. Ia tegak dengan sikap mempersembahkan pedang.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tiba-tiba Ih Thian-heng tertawa panjang. Nadanya macam naga meringkik. Kumandangnya
tertawa itu memenuhi segenap ruangan.
Nyo Bun-giau berpaling memandang Ca Cu-jing, bisiknya, “Saudara Ca, rupanya Ih Thian-heng
sudah gentar terhadap kesaktian pemuda itu. Dalam suara tertawanya itu, nadanya penuh dengan
kerawanan . .
Berkata Ca Cu jing, “Kalau kita hendak membantunya, saat ini memang saat yang tepat.”
Dengan gunakan ilmu Menyusup suara, Nyo Bun-giau berkata pula, “Tetapi entah apakah ketua
Lembah-seribu racun dan Siangkwan Ko itu menyetujui tindakan kita atau tidak. Dan si Pe-ngemis
sakti itu entah akan menghalangi kita atau tidak. Jika fihak Lam hay-bun akan menggunakan
kesempatan ketika kita saling berhantam sendiri mereka turun tangan. Tentulah mereka akan
mendapat keuntungan macam si penangkap ikan yang memperoleh keuntungan karena kurang
bertanding dengan burung bangau.”
Ca Cu-jing juga gunakan ilmu Menyusup-suara untuk menjawab, “Aku tak menguatirkan si
Pengemis-tua Cong To dan orang Lam hay-bun, Yang penting apakah Leng Kong-siau, Siangkwan
Ko dan Ting Ko mau bersatu dengan kita atau tidak. Asal ketiga orang itu setuju, ditambah dengan
Ih Thian-heng, kita tentu dapat lolos dari tempat ini. Sebenarnya baik Ih Thian-heng maupun Ji
Han Pinng itu, adalah musuh kita bersama. Kalau kedua orang itu saling bertempur sendiri,
memang menguntungkan bagi kita. Tetapi entah bagaimana, aku mempunyai perasaan bahwa
Han Ping itu lebih menakutkan daripada Ih Thian-heng. Menilik jalannya pertempuran, jelas Ih
Thian-heng tentu kalah. Aku sendiri memang tak faham tentang ilmupedang tetapi kudengar
keterangan dari tokoh-tokoh pedang bahwa ilmu Pedang terbang itu merupakan ilmupedang yang
paling tinggi tingkatnya. Sikap tegak sambil mempersembahkan pedang kemuka yang dilakukan
Han Ping itu jelas merupakan sikap pembukaan dari ilmu Pedang terbang. Tampaknya nyali Ih
Thiau-heng yang kenal akan ilmupeang itu, sudah berantakan.”
“Pendapat saudara Ca itu memang sama dengan pendapatku,” kata Nyo Bun-giauw, “akupun
merasa kalau Ji Han Ping itu jauh lebih menakutkan dari Ih Thian-heng. Dia masih muda,
darahnya masih panas dan keras Kepala tak-mau memikirkan kepentingan orang banyak. Mungkin
Ih Thian heng ingin menundukkan Dua Lembah dan Tiga Marga, Tetapi Ji Han Ping mungkin akan
membunuh semua orang kedua lembah dan ketiga marga itu….
Walaupun dengan menggunakan ilmu Menyu-Sup-suara lain orang tak dapat mendengar tetapi
karena melihat bibir kedua orang itu bergerak-gerak, tahulah sekalian orang kalau kedua orang itu
tengah berunding.
Leng Kong-siau ketua Lembah-seribu-racun tak dapat menahan kesabarannya. Ia tertawa
dingin dan berseru, “Mengapa kalian kasak-kusuk sendiri?”
“Sekalipun saudara Leng tak bertanya, akupun tentu juga akan minta petujuk kepadamu,”
sahut Nyo Bun-giau.
Leng Kong-siau tertegun, serunya, “Soal apa?”
“Menurut pendapat saudara Leng, bapakah diantara Ih Thian-heng dan Ji Han Ping yang
mempunyai kemungkinan besar untuk menang?”
Jawab Leng Ko-ig siau, “Sebelumnya nyali Ih Thian-heng sudah runtuh, semangat tempurnya
sudah lenyap. Tanda-tanda akan menderita kekalahan, sudah jelas. Sekalipun kepandaian merekaTiraikasih Website http://kangzusi.com/
berimbang, tetapi Ih Thian-heng sudah kalah moril. Apalagi Ji Han Ping masih mempunyai pedang
pusaka. Menurut pendapatku, sukar bagi Ih Thian-heng untuk mempertahankan diri.”
“Tadi akupun berunding soal itu dengan saudara Ca. Entah bagaimana penilaian saudara Leng
terhadap kedua orang itu,” kata Nyo Bun-giau pula.
Jawab Leng Kong-siau, “Dalam keadaan dan tempat seperti ini, rasanya Ih Thian-heng lebih
berguna kepada kita daripada Ji Han Ping.”
“Ah, pendapat kaum pendekar itu kiranya tentu sama,” kata Nyo Bun-giau,” aku dan saudara
Ca juga berpendapat begitu Tadi aku berunding dengan saudara Ca untuk menggabungkan tenaga
kita, yalah saudara Leng sendiri, saudara Siangkwan dan saudara Ting untuk membantu Ih Thian
heng. Entah bagaimana pendapat saudara Leng?”
Leng Kong-siau tersenyum, “Asal saudara Ting dan saudara Siangkwan setuju, akupun juga
setuju.”
“Baiklah, aku akan merundingkan hal ini kepada kedua saudara itu,” kata Nyo Bun giau lalu
kisarkan tubuh dan berkata, “Saudara Ting dan saudara Siangkwan, aku hendak mohon petunjuk
kepada saudara berdua “
Kedua tokoh itu berpaling dan menghampiri ketempat Nyo Bun giau.
Ting Ko tertawa dingin, “Soal apakah yang saudara Nyo hendak tanyakan?”
“Bagaimana pendapat saudara berdua tentang pertempuran kedua orang itu?” tanya Nyo Bun
giau.
“Paling baik keduanya sama-sama mati.” sahut Ting Ko.
“Tetapi sayang keadaan tak seperti yang saudara harapkan,” kata Nyo Bun-giau, “diantara
kedua orang itu hanya ada seorang yang masih dapat hidup.”
“Sudah jelas kalau Ih Thian-heng tak mempunyai kesempatan untuk menang,” tiba-tiba
Siangkwan Ko menyeletuk.
“Pandangan saudara Siangkwan memang tepat,” kata Nyo Bun-giau, “begitu pula anggapanku,
saudara Ca dan saudara Leng.”
“Lalu bagaimana maksud saudara Nyo, harap mengatakan dengan jelas,” kata Ting Ko.
“Ah, saudara Ting memang tangkas. Baiklah, aku tak mau menggunakan kata-kata yang
berliku-liku lagi. Kami bertiga tadi telah berunding dan merencanakan untuk membantu Ih Thian-
heng. Entah apakah saudara berdua dapat menyetujui dan suka membantu tindakan kita itu?”
“Ini…. ini….”
Belum selesai Siangkwan K o mengucap, Nyo Bun giau cepat menyusuli kata-kata lagi,
“Walaupun Ih Thian-heng itu memusuhi kita, tetapi Ji Han Ping lebih menakutkan lagi. Dia sudah
menukas hubungan kasih dengan si dara baju ungu puteri dari ketua Lam-haybun. Saat ini si dara
sudah sembuh. Apabila Ih Thian-heng mati ditangan Ji Han Ping, keadaan tentu sudah jelas.
Bagaimana akibatnya nanti andaikata Ji Han Ping bersekutu dengan fihak Lam-hay-bun tak perlu
kuterangkan, saudara berdua tentu sudah dapat membayangkan sendiri.”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
“Dalam hal apa ih Thian-heng itu tergolong manusia baik?” seru Ting Ko.
Jawab Nyo Bun-giau, “Walaupun dia bukan orang baik, tetapi sekurang-kurangnya dia tentu
takkan bersekutu dengan fihak Lam hay bun. Kecuali kalau suasana berganti begini: Han Pin.;
menggempur Lam-hay-bun lebih dulu baru kemudian menyelesaikan Ih Thian-heng, kita memang
takkan memikirkan tindakan apa-apa…. “
“Apabila tindakan kita ini malah akan mendesak Han Ping berfihak kepada Lam hay-bun,
bukankah lebih runyam lagi,” kata Ting Ko.
Nyo Bun giau tak pernah membayangkan akan menerima pertanyaan semacam itu dari Ting
Ko. Maka untuk sesaat ia tak dapat menjawab.
Dalam pada ia merenung itu keadaan dalam medan pertenpuranpun sudah berobah. Tampak
Ih Thian heng sedang menaburkan lima batang golok hu yap-to yang berlumur racun Kelima
batang golok tipis itu hebat sekali melayangnya.
Bagai burung walet, kelima batang hui to itu meluncur urut-urutan seperti berbaris.
Dua batang hui-to yang melayang dimuka, ketika hampir tiba-tiba pada Han Ping kira2 kurang
sekilan, tiba-tiba menjungkat keatas. Sedang tiga batang hui-to yang dibelakang, malah tiba lebih
dulu. Jadi yang meluncur dibelakang malah mendahului menyerang Han Ping. Ketiga huito itu
meluncur dengan pesat dan berpencaran. Yang satu menyerang dada, satu mengarah tengorokan
dan satu lagi menyerang perut.
Cepat Han Ping memutar pedang Pemutus-asmara. Tring tring, ketiga hui-to itupun
berhamburan lenyap tersapu pedang.
“Awas, hati-hatilah dengan dua batang hui-to yang dibelakang itu!’ teriak Pengemis-sakti Cong
To.
Baru Ia memberi peringatan, tiba-tiba kedua batang hui to yang melekat satu sama lain tadi,
meluncur kebawah dan mencurah ke dada han Ping. Saat itu Han Ping belum sempat menarik
pulang pedangnya dan kedua batang hui-to itu sudah dekat pada dada.
“Ih….” tiba-tiba si dara baju ungu menjerit dan terus pingsan dalam pelukan ibunya.
Memang dara itu walaupun sudah tertolong tetapi tubuhnya masih lemah. Melihat Han Ping
akan binasa dibawah curahan hui-to beracun, terkejutlah hati dara itu. Seketika darahnya meluap
dan iapun terus pingsan….
Memang Han Ping sendiri juga terkejut. Dalam gugup, han Ping masih sempat mengempiskan
perut dan dengan gerak yang luar biasa cepatnya, ia menyurut mundur dua langkah.
Dua batang huito, meluncur menyerempet pakaian Han Ping dan terus jatuh ketanah.
Tetapi dalam pada ituIh Thian-hengpun cepat menggunakan kesempatan untuk menyerang.
Pedang Tujuh-bintang ditaburkan menjadi tiga gumpal lingkaran sinar, lalu menusuk ke muka.
Dalam pertempuran diantara tokoh sakti seperti yang dilakukan Han Ping dengan Ih Thian-
heng, memang detik-detik yang bagaimana kecilnya pun amat penting dan dapat merobah jalan
pertempuran.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Walaupun Han Ping memegang pedang pusaka Pemutus asmara yang hebat, tapi karena ia
baru saja menghindari hui-to maut dan belum sempat memperbaiki posisinya, maka serangan Ih
Thian-heng yang dahsyat dan cepat itu tak sempat ditangkisnya. Terpaksa anakmuda itu
menghindar ke samping. Tetapi sekalipun begitu Dia harus menderita luka tusukan pedang,
Bahunya sebelah kiri kena tertusuk ujung pedang lawan, darah menyembur keluar membasahi
pakaian, bahkan tembus sampai ke pakaian dalam.
Bahu yang tertusuk itu meninggalkan luka sepanjang tiga dim.
Melihat tusukannya berhasil, Ih Thian-heng, ia terus hendak menyusuli lagi tetapi secepat itu
pula Han Pingpun sudah ayunkan kakinya menendangnya. Terpaksa lh Thian-heng mundur dua
langkah.
Dengan peristiwa itu, keadaan pertempuran berobah delapan puluh derajat. Han Ping yang
sudah menguasai pertandingan, ternyata berbalik menderita luka. Tetapi Ih Thian-hengpun
kehilangan kesempatan bagus untuk menyelesaikan lawan. Terpaksa dia loncat kembali
ketempatnya semula.
Han Pingpun tegak sambil luruskan pedang kemuka dada, siap2 menghadapi serangan lawan.
Tetapi dalam pada itu diam-diam ia menggunakan kesempatan untuk menyalurkan tenaga-dalam
menghentikan pendarahannya.
“Saudara, lekas salurkan tenaga dalammu untuk menutup jalandarah di lenganmu yang terluka
itu. Hati-hati jika pedang ih Thian heng itu beracun,” seru Pengemis-sakti ih Thian-heng.
Han Ping tersenyum, “Terima kasih….”
“Jangan bicara,” cepat-cepat Cong To melarangnya.
Han Ping menurut, Saat itu keduanya saling berhadapan lagi dengan pandang mata saling
memperhatikan gerak gerik lawan.
Rupanya luka pada bahu Han Ping itu cukup berat. Darah sampai membasahi ke lengan
bajunya.
ih thian heng merogoh lagi kedalam bajunya.
ia mengeluarkan enam batang hui-to beracun. Serunya, “Ji Han Ping, apakah lengan kirinya
sudah lumpuh?”
Han Ping mengertek gigi. Ia hendak menjawab tetapi tak jadi.
Ih Thian-heng tertawa hambar, “Sesungguhnya ilmupedang saudara itu hebat sekali, lebih
unggul dari aku. Tetapi sayang pengalaman dalam bertempur, saudara masih belum cukup.”
Han Ping tetap diam.
Ih Thian-heng tertawa pula, “Jika saudara merasa luka saudara itu keliwat berat sehingga sukar
melanjutkan pertempuran, dapatlah pertempuran hari ini kita tunda dulu Tunggu satelah luka
saudara sembuh, baru kitalanjutkan lagi….”
Mendengar itu Han Ping tak dapat menahan hatinya lagi, ia menjawab, “ Tak perlu.”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ih Thian-heng tertawa, “Bahu kiri saudara yang terluka itu kemungkinan sudah menyusup
ketulang. Apabila melanjutkan bertempur, mungkin sukar untuk menutup jalandarah untuk
menghentikan pendarahannya. Dan lagi menilik luka….
“Dendam berdarah dari ayahbunda, telah menghayati darah dagingku bahwa aku takkan hidup
bersama dalam satu kolong langit dengan engkau, Kecuali engkau dapat memapas tubuhku
kutung, pertempuran hari ini harus selesai sampai ada yang menjadi mayat!’ tukas Han Ping.
Tiba-tiba terdengar si dara baju ungu menghela napas panjang dan membuka mata Demi
melihat Han Ping masih berdiri tak kurang suatu apa, legahlah hati dara itu. Ia rebahkan kepala
kedada ibunya dan berkata dengan bisik-bisik, “Mah, selama beberapa tahun ini, dimanakah
engkau? Ai, walaupun tiada seorangpun yang memberitahu kepadaku bahwa mamahku masih
hidup, tetapi hatiku tetap yakin bahwa mamah….
Wanita cantik itu mendengus dingin, “Bagaimana? Mereka mengatakan aku sudah mati?katanya
sambil memindahkan jari untuk mengurut-urut jalandarah puterinya.
Dara baju ungu mengangguk, “Tidak, memang tak ada seorangpun yang mau memberitahukan
tentang keadaanmu sehigga aku merasa seperti seorang anak perempuan yaug terapung-apung
seorang diri di samudra raya.”
Wanita cantik itu menghela napas, “Seharusnya engkau kubawa pergi bersama….” pelahan-
lahan ia hendak menarik ujung selubung sutera yang menutup muka puterinya. Dengan mata
berlinang-linang ia berkata, “Nak, kasihlah mamah melihat wajahmu….”
“Jangan menyentuh aku!” tiba-tiba dara itu melengking kaget.
Wanita cantik tertegun dan lepaskan tangan yang memegang ujung kain selubung, “Nak,
mengapa engkau ini”
Tiba-tiba dara itu lunglai terus jatuhkan diri kedada ibunya dan menangis terisak isak.
Wanita cantik terkejut, tanyanya gopoh, “Nak, engkau kenapa?”
Tetapi dara itu tak menjawab melainkan terus menangis tak henti-hentinya. Suara tangisnya
makin lama makin merawankan dan makin menyayat hati orang. Sekalian tokoh yang sedang
tegang menghadapi pertempuran maut itu, entah bagaimana, tergerak -hatinya dan ikut
berlinang-linang sedih.
Tampak Han Ping dan Ih Thian-hengpun menurunkan pedangnya. Wajah mereka yang penuh
hawa pembunuhan, pun mulai lenyap.
Wajah sekalian orang yang berada dalam ruangan itu diliputi dengan kerut kesedihan. Seolah2
mereka sedang berkabung. Dunia ini dirasakan seperti tertutup kabut kesedihan, kegelapan dan
kehampaan….
Tanpa disadari semangat sekalian tokoh itu telah dicengkam oleh suara tangis si dara Dan
beberapa saat kemudian, entah siapa, tiba-tiba terdengar suara orang menangis keras. Belum
sempat orang memperhatikan siapa yang menangis itu, sudah disusul lagi dengan orang lain yang
menangis keras. Lalu seorang lagi dan seorang lagi sehingga sekalian tokoh itu serempak
menangis semua.
Tring, tring…. pedang Han Ping dan pedang Ih thian-hengpun berhamburan jatuh ketanah.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Didalam ruang itu hanya lelaki tua baju biru yang tak terpengaruh dengan suara tangis si dara.
Dia tetap duduk bersila pejamkan mata. Tetapi wajahnya menebar warna merah. Jelas dia sedang
mengerahkan tenaga-dalam untuk menolak tenaga-dahsyat yang berhamburan memenuhi
ruangan tetapi yang tak tampak.
Dara baju ungu itu mengangkat mukanya, memandang kesekeliling ruangan. Demi melihat
sekalian orangpun sama menangis, ia segera hentikan tangisnya dia pelahan-lanan ayunkan
langkah kemuka.
Karena sedang dicengkam oleh kesedihan, sekalian tokoh-tokoh itu tak tahu kalau siara sudah
maju kemuka.
Ternyata dara itu menghampiri kesamping Han Ping. Ia memungut pedang Pemutus-asmara,.
Kemudian menghampiri ke tempat Ih Thian-heng lalu mengankat pedang itu dan diarahkan
kedada Ih Thian-heng.
Asal dara itu menggunakan sedikit tenaga saja, betapapun kesaktian Ih Thian-heng, namun
tetap tak mungkin dapat menahan pedang pusaka itu. Dia tentu, terluka. Ini sudah pasti.
“To-ji, lekas mundur kembali, apakah engkau tak sayang jiwamu?” tiba-tiba terdengar suara
seruan pelahan.
Suara itu tak asing bagi si dara dan ketika berpaling ia dapatkan yang berseru itu memang
ayahnya, ketua Lam-bay-bun tengah deliki mata dan melambaikan tangan memanggilnya.
Dara baju ungu menghela napas dan pelahan-lahan menghampiri kesamping Han Ping, menarik
tangan kanan pemuda itu dan tiba-tiba mengigitnya keras”
Han Ping merasa sakit dan tiba-tiba ia tersadar. Si darapun lalu menyerahkan pedang pusaka
Pemutus-asmara kepadanya, “Kalau hendak membalas dendam sakithati orangtuamu, segeralah
engkau bunuh dia!”
Dara baju ungu itu menginsyafi bahwa dengan tenaganya yang masih lemah, tentu tak
mungkin dapat menyadarkan Han Ping. Maka ia lalu menggigitnya sehingga pemuda itu dapat
siuman dari kehilangan semangat.
Menyambut! pedang, Han Ping memandang lekat2 ke wajah dara itu seolah- olah hendak
menembus kain selubung yang menutup wajah dara itu.
“orang mengajakmu bicara, mengapa engkau tak mendengar?” lengking si dara.
“Soal apa?” sahut Han Ping gopoh.
“Jika engkau hendak membalas sakithati orangtuamu, lekaslah engkau turun tangan. Saat ini
dia sudah kehabisan tenaga.”
Diluar dugaan Han Ping gelengkan kepala, “Seorang lelaki jantan, mana mau bertindak
terhadap orang yang sedang terluka. Aku hendak menunggu sampat sadar baru akan
menempurnya lagi.”
“Dia telah menggunakan hui-to untuk menyerang engkau secara gelap. Dan dia berhasil
melukai sebelah lenganmu. Kalau saat ini engkau membunuhnya bagaimana orang akan menuduh
engkau bertindak menindas orang yang sedang terluka….”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Berhenti sejenak dara itu melanjutkan kata” katanya pula, “ih Thian-heng seorang durjana
besar. Tetapi dia pura2 bersikap seperti seorang budiman. Semua tokoh yang berada di ruang ini,
telah terpengaruh dengan sikap dan omongan palsu dari Ih Thian-heng. Seluruh kaum persilatan
dunia Tiong goan menganggap engkau lebih berbahaya dari Ih Thian-heng. Mereka takut dan
gentar kepadamu dan ingin melenyapkan engkau. Hm, memang didunia ini terdapat manusia2
yang menganggap dirinya sok pintar seperti mereka itu!”
“Mengapa?” tanya Han Ping masih ragu,” pada hal aku dengan mereka tiada mempunyai
dendam permusuhan apa-apa. Mengapa mereka harus membunuh orang yang tak bermusuhan
dengan mereka?”
Dara baju ungu menghela napas rawan “Setiap pemenang tentu mengundang perasaan iri hati
orang. Yang keras, tentu mudah putus. Apakah engkau tahu ujar2 itu?”
Han Ping terlongong-longong tak dapat bicara.
Tiba-tiba dara ungu itu berkata pula: Tahukah engkau bahwa sudah berulang kali ih Thian-heng
berusaha untuk mencelakai engkau secara diam-diam?
Lekaslah engkau bertindak saat ini juga!”
Han Ping mengangkat pedang Pemutus-asmara lalu bergerak maju.
“Bagus!’ seru si dara baju ungu.
Tetapi baru dua langkah, Han Ping mundur lagi. Tring…. pedang Pemutus-asmarapun jatuh
menukik ke lantai. Ujungnya menancap di lantai sampai satu dim dalamnya.
Dara baju ungu banting2 kaki pelahan, lengkingnya, “Jika memiliki budi welas-asih seperti
wanita, walaupun mempunyai keberanian seperti raja Pah-ong, juga tak terhitung seorang
pahlawan. Karena akhirnya harus menemui kesulitan dikepung dan bunuh diri di tepi bengawan
Oh-kiang. Keadaanmu saat inipun serupa dengan raja Pah ong dahulu kala. Selekas Ih Thian-heng
sudah sadarkan diri, engkau tentu akan terkepung dalam sorak kemenangan mereka. Saat itu,
menyesal pun takkan berguna lagi!”
Han Ping menghela napas panjang, “Raja Co Pah-ong memang seorang pahlawan besar.
Walaupun dia gagal dalam usahanya, tetapi dia telah menderita kekalahan secara gilang gemilang,
kalah dengan kejayaan.”’
Si dara tertegun sejenak, serunya, “Tetapi…. tetapi adakah engkau lupa bahwa ih Thian-heng
itu musuhmu bebuyutan?”
Tubuh Han Ping gemetar. Ia mengambil pedang Pemutus-asmara lagi dan berdiri tegak.
Si dara memandang Han Ping. Dilihatnya wajah pemuda itu bercucuran keringat. Ia tahu bahwa
pemuda itu sedang mengalami pertentangan batin dan tak dapat mengambil keputusan.
Han Ping masih menjulaikan ujung pedang kebawah dan tangannyapun bergemetaran.
Kemudian tubuh juga mulai menggigil.
Memang detik-detik itu amat menegangkan dan penting sekali artinya. Setiap keputusan yang
diambilnya akan menentukan kalah menangnya dan nasib seluruh dunia persilatan.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Melihat pemuda yang dikasihnya itu tegang, si dara baju ungupun ikut tegang, serunya, “Setiap
kesempatan harus cepat disertai keputusan Bila berayal, tentu akan timbul perobahan lagi.
Biasanya engkau tangkas dan cepat menghadapi setiap persoalan, mengapa hari ini….”
“To-ji,” tiba-tiba terdengar suara seruan pelahan, “engkau harus mengetahui bahwa seorang
lelaki yang tegak di dunia dan melakukan suatu tindakan, sang isteri tak boleh turut campur.
Sebaiknya engkau “lekas mundur kemari dan biarkanlah dia sendiri yang mengambil keputusan!”
Suara yang bernada tajam dan keras itu mengandung kasih sayang yang penuh. Ternyata yang
bicara itu adalah ayahnya, Lam hay Ki-siu.
Diam si dara menghela napas. Walaupun hati penasaran tetapi ia tak berani membantah kata
ayahnya.
Tetapi tiba-tiba pula terdengar suara seorang wanita yang merdu disertai dengan tawa dingin,
“Siapa bilang lelaki berbuat apa-apa, isteri tak boleh ikut campur? Aku hendak bertanya, apakah
alasannya?”
Ternyata yang bicara itu adalah ibu si dara baju ungu.
Tiba-tiba Han Ping berseru nyaring, “Aku sudah mengambil keputusan ,….”
Mendengar itu si dara yang sudah berputar tubuh dan ayunkan langkah menyingkir, berhenti
dan cepat berpaling.
Dilihatnya Han Ping melangkah dengan tegap kesamping Ih Tnian-heng.
Serentak si dara girang dan berseru lembut, “Asal engkau mau menabas, bukan saja engkau
dapat membalas sakit hati orangtuamu, pun berarti engkau telah membasmi seorang durjana
besar!”
Tetapi ternyata tindakan Han Ping itu sungguh diluar dugaan si dara. Dia memang mengangkat
tangan tetapi tidak menahasnya melainkan terus dilekatkan ke punggung Ih Thian-heng. Ih Thian-
heng sedikit gemetar tetapi pada lain saat iapun tersadar.
Han Ping terus lanjutkan lagi kepada Ca Cu-jing dan lain2 tokoh sehingga dalam beberapa saat
saja mereka sudah tersadar semua.
Tokoh-tokoh itu terkejut dan memandang kepada Han Ping Mereka menyadari bagaimana
keadaan mereka beberapa saat yang lalu. Apabila Han Ping ayunkan pedang, mereka tentu sudah
jadi mayat semua. Tetapi ternyata anakmuda itu tak mau bertindak curang malah dia menampari
agar mereka tersadar dari cengkaman tenaga sakti yang terpancar dari tangis si dara baju ungu.
Ca Cu jing menghela napas pelahan, bisiknya kepada Nyo Bun-giau, “Saudara Nyo, dia masih
muda tetapi tindakannya amat tegas dan gemilang,’
Nyo Bun giau tak menyahut tetapi dalam hati diam-diam ia mengeluh, “Anak itu memang jujur
sekali. Dengan tindakannya tadi, jelas dia telah merebut hati sekalian orang. Rasanya jerih
payahku untuk mengajak sekalian orang membunuhnya, tentu akan gagal.”
Setelah selesai membuka jalandarah sekalian tokoh, Han Ping terus melankkah ketengah
gelanggang dan berseru kepada Ih Thian-heng, “ih thian-heng, apakah kesadaran pikiranmu
sudah sembuh sama sekali?”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ih Thian-heng, tersenyum, “Ya, sudah. Tindakan saudara ji yang begitu perwira, sungguh
membuat orang kagum dan tunduk hati.”
“Seorang lelaki memang harus bertindak yang perwira,” sahut Han Ping. Tiba-tiba ia tertegun
sejenak lalu berkata pula, “Aku ingin mengadakan perjanjian dengan engkau. Apakah engkau
meluluskan?”’
“Silahkan mengatakan,” sahut Ih Thian-heng.
Dengan nada bersungguh, Han Ping berkata, “Pertempuran hari ini, sudah jelas harus ada
penyelesaiannya. Entah siapa yang akan menang dan kalah, tentu bakal ada salah seorang yang
rubuh bermandi darah. Dengan disaksikan oleh sekian banyak tokoh-tokoh persilatan, matipun
takkan penasaran.”
Jawab Ih Thian-heng: Mendapat seorang lawan yang berimbang kekuatannya, sungguh
menggembirakan sekali. Matipun juga suatu kesudahan yang menyenangkan. Tetapi entah apakah
lenganmu yang kiri yang terluka tadi, apakah masih dapat digerakkan?”
Sambil dua kali menggerakkan lengannya, Han Ping menyahut, “Meskipun lukanya sampai
mengenai tulang, tetapi tak sampai lumpuh,”
“Aku harus mengucap selamat kepada saudara Ji,” seru Ih Thian heng. “ah, dalam pertempuran
memang masing-masing terpaksa harus berlaku kejam. Hal itu menang tak dapat dihindari lagi.”
“Aku hendak mengadakan perjanjian dengan Ih cianpwe. Dalam pertempuran nanti, apabila
aku beruntung memenangkan sejurus, kuminta Ih cianpwe suKa menjawab sebuah
pertanyaanku.”
Ih Thian-heng merenung, sahutnya, “Kalau aku yang beruntung menang?”
“Terserah Ih cianpwe hendak bertindak bagaimana,” jawab Han Ping.
“Menurut penilaianku,” kata Ih Thian heng, “dalam pertempuran nanti, kita masing-masing
mempunyai kesempatan untuk menang. Dengan demikian menang kalah, masih sukar diketahui “
“Kutahu kalau sukar untuk mengalahkan engkau, apalagi lenganku kiri menderita luka parah,
sehingga tenagakupun banyak berkurang….
“Lalu kalau menurut perjanjianmu, sampai berapa lamakah kita harus bertempur? Ketahuilah,
untuk merebut suatu kesempatan, kita masing-masing memang sukar melakukan. Tetapi setelah
memenangkan sebuah jurus, harus berhenti untuk membicarakan suatu peristiwa yang lampau….”
Dia berhenti sejenak tiba-tiba tertawa keras, “Perjanjian yang engkau kehendaki itu, rasanya
apa tidak merugikan engkau. Engkau tentu akan menanyakan tentang sebab2 kematian
orangtuamu ditanganku itu. Tebusan yang engkau lakukan untuk hal itu, sungguh terlalu berat
Bukan aku Ih Thian-heng bermulut besar. Tetapi semua peristiwa dalam dunia Tiong-goan selama
berpuluh2 tahun ini, walaupun aku tak langsung ikut campur, tetapi aku tentu tahu jelas. Apabila
harus menceritakan, belum tentu dalam tiga hari tiga malam akan selesai.”
‘Walaupun aku tak melihat sendiri engkau membunuh suhuku tetapi kutahu bahwa engkaulah
pembunuh dari kedua orangtuaku. oleh karena, belum jelas, maka aku ingin mengetahui apa
sebab engkau membunuh orangtuaku dan dengan cara bagaimana engkau membunuh mereka!”
Ih Thian hener tertawa hambar tak menyahut.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Han Ping menghela napas panjang lalu berkata pula, “Kita bertempur dengan senjata atau
dengan tangan kosong?”
“Terserah kepadamu,” sahut Ih Thian-heng.
Tiba-tiba Han Ping letakkan pedang Pemutus-asmara, serunya, “Pedangku ini memang terlalu
tajam sekali. Kalau terkena tentu mati atau luka parah. Sebelum aku memperoleh apa yang
hendak kuketahui itu, aku tak ingin engkau mati dibawah pedang ini.”
Ih Thian hengpun melepas sabuk bertabur hui-to beracun dan pedang Tujuh-bintang. Kedua
benda itu dilempar ketanah.
Tiba-tiba Pengemis-sakti Cong To tertawa mengejek, “Ih Thian heng, tiga pedang pandek yang
tersimpan dalam badanmu itu mengapa tak engkau keluarkan juga?”
Ih Tbian-heng tertawa, “Jangan kuatir ia terus mengeluarkan tiga batang pedang pandak dan
dilemparkan di tanah. Sejenak bersangsi, kembali ia mengeluarkan sebatang benda hitam
semacam penggaris yang panjangnya sekilan. Lalu berseru kepada sekalian orang, “Adakah
saudara2 pernah mengenal senjata ini?”
Sekalian tokoh mencurahkan pandang. Tetapi tiada seorangpun yang kenal akan senjata itu.
Tiba-tiba Han Ping memberi hormat, serunya, “Ih locianpwe, hati-hatilah aku hendak mulai
menyerang,”
Ia menutup kata-kata dengan melangkah maju dan terus ayunkan tangan.
“Aha, entah bagaimana kesaktian tangan saudara Ji ini.” sambil menangkis, Ih Thiang-heng
tertawa.
Darr…. ketika kedua tangan mereka saling beradu, Han Ping tersurut mundur tiga langkah
tetapi Ih Thian-hengpun terdorong selangkah ke belakang.
Tetapi selekas mundur, Han Ping terus menendang perut Ih Thian-heng.
Sambil menghindar kesamping, Ih Thian-heng berseru, “Tenaga pukulan saudara ternyata
hebat juga. Tadi aku sudah menggunakan delapan bagian tenagaku.”
Dalam berkata-kata itu, sepasang tangannya bergerak dan berturut turut melancarkan tiga
jurus serangan.
Han Ping tak mau meladeni bicara. Ia tun pahkan selurvh perhatiannya uniuk melawan. U ngan
kirinya memang tciluka parah sehingga ta leluasa digerakkan, Maka terpaksa ia gunakan tin]
tendangan untuk menutup kekurangan lengan kil nya itu.
Demikian pertempuran berjalan seru. Pukulan dan tendangan berhamburan dengan cepat dan
dahsyat.
Beberapa saat kemudian, luka pada lengan Han Ping itu merekah pula. Darah merah
bercucuran ke tanah. Tetapi dia memukul dan menendang dengan gagah perkasanya.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dalam beberapa kejab saja, keduanya telah bertempur lebih dari duapuluh jurus. Tiba-tiba Ih
Thian heng miringkan tubuh, menghindari pukulan lalu menyelonong maju dan menebas lengan
kiri Han Ping.
Oleh karena lengan kiri Han Ping itu terluka dan tak dapat bergerak dengan leluasa, maka
tampaklah pemuda itu tentu akan menderita lagi.
Dara baju ungu mendengus dingin dan hendak memaki Ih Thian-heng. Tetapi tiba-tiba tangan
kanan Han Ping berputar seperti hendak menghantam. Belum sampai pada sasaran, sekonyong-
konyong ditarik kembali dan disapukan ke persambungan lengan kanan Ih Thian heng. Lengan
kanan Ih Thian-heng tiba-tiba menjulai turun.
Kemudian Han Ping agak menengadahkan tubuh dan menyurut mundur seraya berseru, “Maaf,
maaf, aku beruntung dapat memenangkan jurus ini.”
Ih Thian-heng tertawa tawar, “Bertanyalah tetapi hanya terbatas tentang seseorang sebuah
peristiwa.”
“Apakah engkau yang membunuh ayah bundaku? tanya Han ping.
“Sudah kukatakan,” kata Ih Thian-heng, “hanya terbatas untuk satu orang dan satu peristiwa.
Ayah dan ibumu, dua orang dan dua buah dua orang dan dua peristiwa, jangan dicampur
adukkan”
“Baik, aku menurut syaratmu. Apakah ayahku engkau yang membunuhnya?”
“Boleh dikata ya, boleh dikata tidak.”
“Apa artinya omonganmu itu?” Han Ping marah, “kita sudah berjanji dan semua orang yang
berada disini menjadi saksi. Apakah engkau masih hendak menyangkal?”
Ih Thian heng tersenyum, “Apa yang kukatakan itu memang sungguh-sungguh. Kematian
ayahmu, meskipun memang aku yang memerintahkan tetapi yang membunuhnya bukan aku.”
“Walaupun bukan engkau yang membunuhnya, tetapi pembunuhan itu adalah atas perintahmu.
Engkau tetap menjadi biangkeladinya,” kata Han Ping.
“Aku tak mengingkari.” kata Ih Thian heng.
“Lalu siapakah yang membunuhnya?”
“Perhitungkan saja hal itu kepadaku, tak perlu mencari orang lain,” kata Ih thianheng.
Tiba-tiba Kim loji berteriak keras, “Pingji, Ping-ji, akulah Ih Thian-heng hendak menangkap
ayahmu dan akan dibunuh dengan ditarik lima ekor kerbau. Aku kuatir ayahmu tak dapat
menahan penderitaan itu maka terus kutabasnya dengan golok!”
Bruk….! selesai memberi keterangan, tiba-tiba Kim loji benturkan kepalanya pada dinding batu.
han Ping tak mengira sama sekali bahwa satu-satunya orang yang dianggap sebagai keluarganya
dan yang paling dihormatinya, ternyata pembunuh dari ayahnya.
Sesaat Han Ping terlongong dicengkam dalam kesedihan dan kedukaan….Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tetapi ketika terdengar bunyi batok kepala pecah karena terbentur dinding karang, seketika
Han Pingpun tersadar.
“Paman, paman….” Ia terus lari menghampiri dan mengangkat tubuh Kim loji. Tetapi karena
separoh dari batok kepalanya sudah pecah Han Ping tak berdaya menolongnya lagi.
Airmatanyapun bercucuran seperti hujan deras….
Kemudian letakkan tubuh Kim loji lalu bersuit panjang, serunya, “Ih Thian-heng, hutang
darahmu tambah satu rekening lagi!”
Han Ping menutup katanya dengan lontarkan sebuah pukulan Sin-lioug-jut-hun atau Nagasakti-
keluar dari awan.
Ih Thian hengpun segera gerakkan tangan kanan untuk menangkis, menyusul tangan kirinya
balas memukul dengan pukulan Angin-puyuh-menampar-pohon.
Demikian keduanya segera bertempur dengan lebih dahsyat dan ganas. Benar-benar
merupakan suatu pertempuran maut. Setiap pukulan dan tendangan, semua merupakan gerak
yang mematikan.
Sekalian orang yang menyaksikan pertempuran itu, terlongong-longong kesima.
“Awas!” tiba-tiba ih Thian heng berseru dingin seraya mecengkeram siku lengan kanan Han
Ping.
“Ah, belum tentu,” kata Han Ping lalu memutar kelima jarinya menggurat lengan kanan Ih
Thian heng.
Seketika Ih Thian-heng rasakan lengannya kesemutan dan gerakannyapun terlambat. Han Ping
menyusuli sebuah tendangan ke perut sehingga ih Thian heng tergopoh-gopoh mundur dua
langkah.
Han Ping menarik tangannya dan tegak berdiri, serunya, “Ih Thian heng, yang ini engkau
anggap atau tidak?”
Sambil mencekal lengan kanannya dengan tangan kiri Ih Thian-heng menjawab, “Sudah tentu
dianggap Silahkan engkau bertanya tentang sebuah peristiwa!”
“Apakah ibuku juga engkau yang membunuh?” segera meluncur pertanyaan dari mulut Han
Ping/
“Bukan,” Ih Thian heng gelengkan kepala.
Sambil berpaling kearah mayat Kim loji, Han Ping bertanya pula, “Apakah juga paman Kim loji
yang membunuhnya? Hm, karena dia sudah mati engkau tentu dapat menimpahkan segala dosa
kepadanya.”
Ih Thian heng tertawa dingin, “Saudara memandang diriku Ih Thian-heng ini sebagai orang
macam apa…. .”
Ia menengadahkan kepala dan bersuit panjang untuk menumpahkan kesesakan dadanya, lalu
melanjutkan berkata pula, “Tentang ibumu …. memang bukan Kim loii yarg membunuhnya.”
“Lalu siapa pembunuhnya?”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
“Dia bunuh diri sendiri dihadapan makam ayahmu!”
Han Ping menghela napas rawan, “Benarkan keteranganmu itu?”
“Soal itu menyangkut kesucian nama ibumu, bagaimana aku berani omong sembarangan”
sahut Ih Thian-heng.
“Dimanakah makam ayahbundaku itu?”
“Digunung Lam gak. Tetapi karena peristiwa itu sudah berselang lebih dari sepuluh lahun yang
lalu, tentang letaknya yang tepat, aku sudah tak ingat jelas lagi.”
“Baik, sekarang silahkan engkau membuka serangan,” kata Han Piiig.
Ih Thian-heng melangkah maju terus menutuk dengan jarinya. Han Ping menghindar lalu
lancarkan tiga buah serangan.
Setelah dua kali mengalami kekalahan, Ih Thian-hengpun tak berani memandang rendah lagi.
Dia tumpahkan seluruh perhatian dan semangat untuk menyerang. Pun Han Ping juga tak berani
lengah. Keduanya bertempur makin seru dan ganas. Jurus2 yang dilancarkan, benar-benar
ilmusilat yang jarang tertampak didunia persilatan.
Sekalian tokoh yang menyaksikan pertempuran itu mendapat kesan bahwa ilmusilat Han Ping
itu seolah olah air sungai yang tak pernah kering.
Setiap kali berhenti, tentu malah tambah semangatnya dan mengeluarkan ilmusilat yang baru
lagi. Tetapi karena lengannya terluka, setelah berhenti untuk menutup pendarahan, apabila
bertempur lagi luka itu tentu akan merekah dan mengucurkan darah. Dan karena darahnya
banyak keluar, tenaga- dalamnyapun terganggu.
Memang setiap kali Ih Thian-heng selalu menderita tekanan dari permainan Han Ping. Tetapi
dia seorang tokoh yang berpengalaman, Dia tak gugup menghadapi ilmu serangan lawan yang
selalu baru dan luar biasa. Dia tetap tenang melayaninya.
Tiba-tiba Han Ping lancarkan sebuah jurus yang disebut Se-lay-coh-im atau Doa-nyanyian-dari-
barat. Yang diarah yalah dada lawan. Serangan itu memang aneh. Gayanya seperti orang hendak
menutuk dengan jari tetapipun seperti orang yang hendak menghantam.
Ih Thian-heng cepat gunakan jurus Pit-jong-tui-gwat atau Menutup jendela-mendorong-bulan,
Kedua tangannya melingkar jadi sebuah bayangan dan menutup tubuhnya.
Tetapi diluar dugaan, tiba-tiba tangan Han Ping berputar dan terus menyusup masuk kedalam
lingkar bayangan tangan lawan, terus mengancam dada ih Thian-heng.
Melihat Han Ping luruskan tangan hendak mengancam dadanya, ih Thian heng tak keburu
untuk menangkis lagi. Segera dia mengambil putusan untuk menggunakan tenaga-dalamnya yang
kokoh, mementalkan balik tangan lawan.
Memang dia seorang tokoh yang tajam pandangannya dan kaya pengalaman. Segera ia
mengetahui bahwa luka lengan Han Ping itu mengeluarkan banyak sekali darah dan diam-diam ia
memperhatikan bahwa tenaga Han Ping mulai berkurang. Sekalipun dadanya tersodok tangan Han
Ping, ia rasa takkan menderita luka parah.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Demikian segera ia kerahkan tenaga-dalam. Satelah itu ia terus songsongkan dadanya kemuka
untuk menyambut tangan Han Ping. Dan tepat sekali dadanya membentur tangan kanan Han Ping
yang menyodok itu.
Sebenarnya Han Ping masih belum mau melukainya karena ia perlu akan bertanya lagi. Maka
ketika tangan hampir menyentuh dada orang, cepat ia lambatkan gerakannya. Tetapi sedikitpun ia
tak menduga bahwa Ih Thian-heng akan gunakan tenaga-dalam membalik. Begitu tangan
menyentuh bahu Ih Thian-heng, Han Ping segera rasakan suatu tenaga-mental yang amat kuat
sekali melandanya. Mau tak mau anakmuda itu menyurut mundur dua langkah.
Menderita kekalahan tetapi merebut kemenangan -secara gelap, maka tertawalah ih Thian-
heng dengan hambar, “Ilmu pukulan saudara Ji hebat sekali. Kali ini aku mengaku kalah lagi.”
Tetapi diam-diam Ih Thian-heng girang dalam hati karena tahu bahwa Han Ping saat itu sudah
seperti pelita yang kehabisan minyak. Ia yakin dalam beberapa waktu lagi tentu dapat mengambil
jiwanya.
Setelah berhenti sejenak untuk memulangkan tenaga, Han Ping berkata pula, “Dalam babak ini,
seharusnya tiada yang menang. Karena tenaga dalammu telah menindas aku….
“Ah, karena saudara Ji bermurah hati maka baru aku dapat selamat,” kata Ih Thian heng.
Diam-diam Han Ping menimang. Kalau menurut peraturan pertandingan, dialah yang
memenangkan bapak pertempuran tadi.
“Kalau begitu, aku masih akan mengajukah sebuah pertanyaan lagi,” katanya.
“Silahkan.” kata Ih Thian-heng.
“Ada seorang paderi yang bernama Hui Gong taysu, apakah engkau mengenalnya?” tanya Han
Ping.
“Sudah lama mendengar namanya tetapi belum pernah melihat orangnya,”
“Apakah engkau tahu akan kisah hidupnya?”
Ih Thian-heng tertawa, “Dalam dunia persilatan dewasa, ini, kecuali aku, mungkin tiada lain
orang lagi yang tahu hal itu….”
Kemudian ia beralih memandang mayat Kim loji, ujarnya, “Kalau dia belum mati, dia tentu tahu
lebih banyak dari aku. Sayang….”
“Hai, pernah apa engkau dengan Hui Gong taysu?” sekonyong-konyong wanita cantik ibu dari si
dara baju ungu melengking.
Han Ping terkesiap dan berpaling. Dilihatnya wanita cantik itu tegang sekali wajahnya bahkan
gemetar dan berlinang-linang airmata. Han Ping heran dan diam-diam membatin, “Aneh, mengapa
dia kenal pada Hui Gong taysu….”
Belum sempat ia memberi jawaban, ih Thian-hengpun sudah menyelutuk, “Hui Gong seorang
pendekar aneh. Baru tiga tahun keluar di dunia persilatan, namanya sudah termasyhur dan
menggetarkan dunia persilatan. Sayang ibarat bunga, selekas mekar selekas itu pula ia
menghilang tanpa bekas. Kabarnya dia telah dihukum oleh suhunya dalam penjara gereja Siau-
lim-si. Dan sejak itu tak ketahuan beritanya lagi….”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sejenak berhenti, ia melanjutkan pula, “Pada masa dia muncul didunia persilatan, tersiarlah
berita tentang sebuah kisah asmara yang menggemparkan. Karena kedua fihak yang
bersangkutan itu, merupakan pendekar2 yang cemerlang dalam angkasa persilatan. Hui Gong
telah menyeleweng keluar dari lingkungan dinding merah gereja dan itulah yang menimbulkan
kegemparan….”
Kedengaran wanita cantik berpakaian puteri keraton itu tertawa dingin, “Ketahuilah, bahwa
dalam ruangan sini masih terdapat dua orang yang tahu akan sepak terjang Hui Gong taysu.
Sepatah saja engkeu salah menceritakan, jangan harap engkau dapat hidup….”
Kedengaran lelaki tua baju biru mendengus dingin lalu pelahan-lahan pejamkan kedua mata.
“Hm, mengapa engkau mendengus? Taciku sudah berpuluh tahun meninggal, masakan engkau
masih merasa minum cuka?” wanita cantik melengking marah.
Tanpa membuka mata lelaki baju biru itu menyahut hambar, “Tetapi engkau dan paderi tua Hui
Gong itu masih belum mati.”
“Mengapa engkau tak membunuhnya? Hm, bukankah karena engkau tahu kepandaianmu tak
dapat menghadapinya?” wanita cantik itu makin marah.
H an Ping menghela napas, serunya melerai, “Sudahlah harap kalian berdua jangan bertengkar
Hui Gong taysu memang sudah menutup mata.”
Rupanya wanita cantik itu masih penasaran. Ia hendak mendamprat lagi tetapi si dara baju
ungupun menghela napas dan berkata, “Mah, dengan memandang mukaku, kuminta engkau
jangan berbicara panjang lagi,’-ia menghampiri lalu jatuhkan diri kedada ibunya.
‘“Harap menceritakan lagi” kata Han Ping kepada Ih Thian-heng.
Ih Thian-heng tersenyum, katanya, “Lebih dulu aku hendak menjelaskan bahwa aku belum
pernah bertemu dengan tim Gong taysu. Apa yang kuketahui tentang dirinya itu, hanyalah dari
kabar2 diluar. Dan aku takan menambah maupun mengurangi sepatahpun juga. Maka yang akan
kuceritakan itu hanya keadaan menurut kabar saja, tentang sepak terjangnya itu benar atau salah,
aku….”
Dengan tegas Han Ping cepat menukas, “hui Gong taysu seorang, paderi yang luhur. Baik ilmu
kepandaian dan wataknya, memang tak sembarang manusia dapat menyamainya. Kalau ada
desas desus, tentulah hanya ditiupkan orang yang hendak merugikan nama baiknya….”
Ih Thian heng tertawa, “Aku hanya akan mengatakan apa yang kudengar, harap saudara suka
mendengarkan saja….”
Ia batuk? sejenak lalu melanjutkan pula, “Sebelum Hui Gong taysu muncul di dunia persilatan,
dunia persilatan tiong-goan telah lebih dulu muncul seorang wanita siluman yang gerak geriknya
sukar diketahui…. “
“Siluman wanita! Bukan, dia seoiang pendekar wanita!” teriak wanita cantik dengan marah.
Ih Thian-heng tertawa tawar, “Baiklah, anggap saja dia seorang pendekar wanita. Pendekar
wanita itu mengenakan kerudung muka hitam, wajahnya buruk bukan main Kabarnya karena dia
menderita patah hati dalam asmara, maka dia mendendam kebencian yang menyala nyala….”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
“Tunggu dulu!” wanita cantik itu melengking pula.
Ih Thian-heng memberi hormat, serunya, “Nyonya hendak memberi pesan apa?’
Wanita cantik itu berkata, “Taciku seorang wanita orang yang luar biasa cantiknya. Hanya saja,
dia tak suka wajahnya dilihat orang. Dengan demikian maka dia sengaja membuat dua buah
kedok muka dari kulit.”
Ih Thian-heng berkata, “Mungkin demikianlah. Kalau dia benar seperti desus orang yang
mengatakan dia berwajah buruk tak mungkin seorang paderi seukuran Hui Gong taysu nekad akan
lolos dari lingkungan dinding gereja.”
Menjawab pula Han Ping dengan penuh keyakinan, “Hui Gong taysu mempunyai peribadi yang
kuat dan tinggi. Dia terlena fitnah sehingga menderita harus ditaruh dalam ruang tahanan gereja.
Dalam kata-katamu nanti, harap jangan dibumbui dengan nada yang menyinggung peribadinya.”
Sejenak memandang kearah orangtua baju biru atau Lam-hay Ki-siu, Ih Thian-heng tertawa
gelak-gelak, katanya lebih lanjut, “Taruh kata saja dia berpambek tinggi dan luhur. Pendekar
wanita berkerudung muka pada saat itu sudah menggetarkan empat penjuru dunia persilatan.
Semua tokoh-tokoh sakti dari dunia persilatan Tionggoan sudah ditundukkannya. Disepanjang
daerah sungai, dari utara sampai selatan, sudah tiada lagi orang yang berani menyambut
tantangannya….
Tiba-tiba terdengar Lam-hay Ki-siu mendengus dingin. Matanya memancarkan sinar yang
berkilat-kilat2 menyeramkan lalu menukas, “Perlu kujelaskan lebih dahulu. Bahwa sebelum
pendekar wanita itu bertempur dengan Hui Gong taysu, ia sudah pernah menderita kekalahan satu
kali.”
Ih Thian-heng tertawa tawar, “Bukankah yang mengalahkan pendekar wanita berkerudung
hitam, saudara sendiri?”
Habis bertanya ia berhenti sejenak lalu tanpa menunggu penyahutan orang, Ih Thian-heng
segera melanjutkan ceritanya, “Tetapi peristiwa kekalahannya itu belum tersiar didunia persilatan.
Baik tokoh-tokoh golongan Hitam maupun Putih dari segenap penjuru dunia persilatan Tionggoan,
semua tahu bahwa pendekar wanita yaug tiada lawannya itu, akhirnya harus menderita kekalahan
di tangan Hui Gong taysu. Soal pendekar wanita itu sebelumnya juga pernah menderita kekalahan
dari lain orang, dunia persilatan Tiong-goan tak pernah mendengarnya.”
“Katak dalam tempurung!” dengus Lam-hay Ki-siu dengan geram.
Tetapi Ih Thian-heng tak menghiraukan. Memandang kearah pedang Pemutus-asmara yang
berada disamping Han Ping, ia melanjutkan pula, “Senjata dari pendekar wanita itu yalah pedang
Pemutus-asmara yang dibawa saudara Ji. Tetapi sesungguhnya pedang itu bukan berasal dari dia,
melainkan jauh sebelum dia muncul di dunia persilatan, sudah pernah dipakai oleh seorang nona.
Entah karena menderita luka hati yang bagaimana, nona itu mengandung dendam kesumat yang
besar. Tak peduli siapa saja, barang siapa pria yang melihatnya dan terus tergerak hati
kepadanya, tentulah akan ditusuk uluhatinya dengan pedang pusaka itu. Dengan berlumuran kisah
berdarah itulah maka pedang tersebut diberi nama pedang Pemutus-asmara….”
Ih Thian-heng berhenti untuk tertawa nyaring, lalu melanjutkan, “Tetapi bagaimanapun maut
menghadang dan merintang, tetap jago silat berbondong bondong menghadap dan menyembah
dibawah kakinya. Mati bukan halangan asal mereka dapat menikmati kebahagiaan bersanding
dengan sijelita. Dalam beberapa tahun saja, lebih dari seratus jago2 silat yang mati dibawah ujungTiraikasih Website http://kangzusi.com/
pedang Pemutus-asmara. Karena tindakannya itu orang persilatanpun segera mempersembahkan
sebuah gelaran kepada si jelita, yakni si Jelita-buta-hati.
Cerita tentang kisah si Jelita-buta-kasih dan pedang Pemutus-asmara menjadi kembang bibir
setiap orang persilatan. Pada suatu saat, tiba-tiba Jelita-buta-kasih itu lenyap Dia datang bagai
angin prahara yang mendampar dan menghancurkan hati orang, lalu tiba-tiba menghilang tanpa
bekas!
Berpuluh tahun kemudian dunia persilatan kembali menerima kemunculan seorang gadis
berkerudung muka yang menggunakan pedang Pemutus-asmara. Sepak terjangnya serupa dengan
si Jelita-buta-kasih, bahkan ada beberapa hal yang lebih ganas. Maka dalam waktu -yang singkat
saja, namanya sudah disebut-sebut oleh setiap orang persilatan. Golongan Hitam maupun Pulih
menggigil apabila mendengar nama gadis berkerudung muka itu.
Pada masa nama gadis berkerudung hitam itu menjulang, Hui Gong taysupun muncul. Dia
mencari jejak gadis berkerudung itu. Akhirnya mereka bertemu dan bertempur diluar kota Kim-
leng. Ternyata kepandaian Hui Gong taysu lebih tinggi setingkat. Setelah bertempur mati-matian
selama setengah malam, akhirnya ia berhasil merebut pedang Pemutus asmara itu dari tangan
gadis lawannya. Dengan hasil pertempuran itu, dalam waktu semalam saja, nama Hui Gong taysu
sudah menjadi pujaan setiap orang persilatan. Dengan sendirinya pamor Siau-lim-sipun ikut
menjulang kelangit…. Tetapi pertempuran itupun berakhir dengan kesudahan yang aneh dan tak
tersangka-sangka. Hui Gong taysu lupa bahwa dirinya adalah murid gereja. Dia menang
bertempur adu kesaktian, te
tapi dia menderita kekalahan yang parah. Hatinya kena terpanah asmara oleh lirikan yang
tajam dari mata si jelita.
Peristiwa asmara itu telah menimbulkan kehebohan besar. Dengan dipimpin sendiri oleh ketua
Siau-lim-si. Maka berangkatlah rombongan paderi Siau lim-si untuk menangkap Hui Gong taysu
dan dibawa pulang ke gereja. Tetapi kabarnya jelita itu amat setya pada Hui Gong. Dia pernah
tiga kali menjenguk ke gereja Siau-lim si ,…. “
Berhenti sejenak. Ih Thian-heng melanjutkan pula, “Begitulah kisah Hui gong taysu yang
kuketahui. Seorang pendekar besar dalam jamannya, seorang ksatrya yang patah hati. Jika fihak
Siau-lim-si tak segera bertindak untuk menangkapnya, mungkin dunia persilatan akan lain
keadaannya.”
Berkata Han Ping, “’Aku menyaksikan sendiri ketika Hui Gong taysu menghembuskan napasnya
yang terakhir. Menurut ucapannya, memang agaknya tak jauh bedanya dengan keteranganmu
itu.”
Ketua ih Thian-heng, “Yang kuketahui hanya begitu saja dan itupun berasal dari berita2 yang
kukumpul dalam perjalanan. Belum tentu sesuai.”
“Benarkah Hui Gong sudah meninggal dunia?” tiba-tiba wanita cantik itu menyeletuk.
“Ya, memang sudah meninggal,” kata Han Ping, “sampai lama aku menangis disamping
jenazahnya, masakan aku salah lihat!”
Wanita cantik itu terlongong sejenak lalu berkata dengan pelahan, “Sudah mati? Kalau sudah
mati biarlah mati. Apa yang kalian tunggu…. lekas…. tempur…. lagi!”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Han Ping dan Ih Ihian-heng tak mengacuhkan wanita cantik itu. Mereka memang menganggap
harus melanjutkan pertempuran lagi.
“Silahkan Ih cianpwe memulai,” seru Han Ping. “Baik,” kata Ih Thian-heng yang sudah
mempunyai rencana bagaimana kali ini ia harus menghadapi pemuda itu. Dua kali menderita
kekalahan cukup suatu tamparan bagi mukanya. Ia harus mengembalikan gengsinya di mata
sekian banyak tokoh. Dan diapun telah mengetahui bahwa kali ini harus gilirannya yang menang-
karena pemuda itu sudah hampir habis tenaganya.
Demikian keduanya segera bertempur lagi dengan seru. Ih Thian-heng menggunakan siasat
untUK bertahan diri dan memperpanjang pertempuran untuk memeras tenaga lawan yang sudah
hampir habis itu. Tenang sekali ia bertempur, Terutama serangannya selalu diarahkan kesamping
kiri lawan karena dilihatnya tangan kiri Han Ping sudah makin kaku.
Han Pingpun tahu akan hal itu. Maka ia segera lancarkan serangan deras agar lawan tak
sempat mengembangkan permainannya.
Ih Thian-heng seorang tokoh tua yang kaya pengalaman, _ berilmu tinggi dan licik.
Han Ping seorang pemuda yang berbakat luar biasa dan mendapat rejeki yaug luar biasa pula.
Tetapi yang dia terluka pada lengan kirinya dan luka itu mengucurkan banyak sekali darah
sehingga mengurangkan tenaganya. Dia memang memiliki beraneka jurus ilmusilat yang luar biasa
tetapi bagi ih Thian-heng si rubah tua yang kaya pengalaman itu, serangan2 anakmuda itu dapat
dihadapinya dengan tenang.
Sekalian tokoh makin tersengsam menyaksikan pertempuran itu. Diam-diam mereka makin
mengagumi akan kelihaiyan Han ping yang walaupun sudah menderita luka berat, namun masih
dapat melancarkan serangan2 maut yang membuat tokoh semacam ih Thian-heng harus berhati-
hati.
Tiba-tiba Ih Thian heng berteriak, “Sekarang giliranmu yang harus kalah!” tangannya
menyelonong kemuka untuk memukul dada Han Ping.
“Jangan terburu-buru dulu,” sahut Han Ping seraya miringkan tubuh dan secepat kilat
selundupkan tinjunya untuk menghantam dada Ih Thian heng yaug tak terlindung.
Tetapi ternyata pukulan Ih Thian-heng hanya sebuah siasat untuk memancing lawan. Begitu
Han Ping majukan tubuh memukul, ih Thian heng segera menyurut mundur seraya mengangkat
kaki kirinya menendang perut Han Ping.
“Ah, kali ini aku benar-benar kalah,” seru Han ping seraya menyurut mundur.
Tetapi tak urung ujung kaki ih Thian-heng sempat mengenai ikat pinggang Han Ping.
tampak pemuda itu berdiri dengan tegak Wajahnya sama sekali tak mengunjuk ketakutan
Bahkan sekalian tokoh yang menyaksikan kesudahan itu diam-diam cemas dan gelisah. Mereka
tahu siapakah Ih Thian-heng itu. Dengan kemenangan itu, Ih Thian-heng pasti akan membuat Han
Ping menderita. Jelas dia tentu tak mau melepaskan kesempatan itu.
Berpuluh puluh pasang mata segera mencura kearah ih thian-heng.
Tampak ih Thian heng tersenyum sinis, serunya, “Tabaslah kedua tanganmu….”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sekalian tokoh terkejut mendengar kata-kata itu. Wajah mereka berobah tegang. Tiba-tiba Ih
Thian heng menyusuli pula kara-katanya itu, “Sebenarnya aku tak suka mengucapkan kata-kata
itu. Aku belum punya muka untuk mengatakan.”
Han Ping menggembor marah: Han Ping mengharapkan belas kasihanmu. Sekalipun engkau
membelah kepalaku, tak nanti aku mengernyit takut!”
Ih Thian-heng tersenyum, “Saudara Ji benar tak mengecewakan sebagai musuhku bebuyutan
Tetapi saat ini cukuplah aku hendak mengajuku sebuah pertanyaan kepadamu.”
“Mau tanya apa?” seru Han Ping.
“Ilmu kepandaianmu hebat dan luar biasa sekali sehingga baru pertama kali ini aku dapat
melihatnya. Apakah ilmu kepandaianmu itu berasal dari Hui Gong taysu?”
Han Ping merenung sejenak, sahutnya, “Benar, walaupun beliau memang menurunkan ilmu
kepandaian itu kepadaku tetapi antara aku dan beliau tak ada ikatan guru dan murid.”
“Kalau tak ada ikatan guru dan murid, bagaimana mungkin dia mau memberi pelajaran
kapadamu .” Ketahuilah, bahwa menerima pelajaran secara diam-diam, adalah pantangan besar
bagi setiap perguruan silat,” kata Ih Thian-heng.
“Dia kalah bertaruh dengan aku.” jawab Han Ping.
“Hm, itu memang suatu cara yang baik. Dengan alasan kalah bertaruh kepandaian lalu
menurunkan pelajaran….” kata lh Thian-heng, “cukuplah. Sekarang silahkan engkau turun tangan.
Tetapi ada sebuah hal yang perlu kuberitahukan. Kalau engkau kalah lagi dalam babak ini,
pertandingan ini tentu sudah tamat!”
“Kalau aku yang menang?” tanya Han Ping.
ih Thian-heng tertawa, “Kalau aku tak salah tafsir, memang dalam hatimu masih banyak sekali
soal2 yang hendak engkau tanyakan…. .”tiba-tiba ia berhenti dan tertawa panjang. Matanya
berkilat-kilat memancar sinar tajam, serunya, “Tadi dalam mengikat janji pertandingan ini, engkau
telah melakukan kesalahan besar yang sangat sangat merugikan dirimu sendiri.”
Han Ping merenungkan ucapan itu dan memang ia mengakui kebenarannya. Satu-satunya cara
untuk menghindari kesulitan yang mungkin akan menimpah dirinya, yalah hanya membunuh Ih
Thian-heng. Karena kalau ia yang kalah, tentulah Ih Thian-heng takkan memberi ampun lagi.
Perlu diketahui bahwa pertempuran antara dua tokoh setingkat kedua orang itu, untuk
memenangkan sejurus saja, bukan main sukarnya. Setiap cewatkan sebuah kesempatan, berarti
harus memeras keringat dan tenaga yang banyak, Apalagi setiap babak selesai lalu berhenti untuk
menanyakan keterangan tentang peristiwa yang lampau, setelah itu baru bertanding lagi seperti
cara yang diambil Han Ping itu, sudah jelas tentu bakal kehilangan kesempatan untuk membunuh
lawan.
Setelah merenung sampai beberapa saat barulah Han Ping mengangkat muka dan berkata,
“Dalam bertempur memang ada bedanya cara untuk menggunakan pukulan yang berat dengan
yang ringan. Kalau rasanya aku masih mempunyai kesempatan untuk mengalahkan engkau,
kemungkinan cara untuk turun tangan juga tentu bertambah keras.”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ih Thian-heng sejenak sapukan pandang mata kesekeliling tokah2 itu. katanya, “Kita yang
bertempur mati-matian, orang lain yang enak2, menyaksikan dan malah dapat tambahkan
mendengarkan rahasia2 dalam dunia persilatan yang selama ini jarang diketahui orang….”
“Peristiwa itu bukan suatu rahasia yang tak boleh didengar orang. Kurasa, aku tak berbuat
sesuatu yang salah,” sahut Han Ping.
Melihat sudah sekian lama bicara sehingga Han Ping mendapat kesempatan untuk menjalankan
peredaran tenaga dalam menutup pendarahan pada bahunya, Ih Thian-heng tiba-tiba berseru
keras, “Saudara Ji, awaslah!”
Wut, ia segera melontarkan sebuah pukulan Menjolok-naga-kuning kearah dada Han Ping.
Han Ping miringkan tubuh menghindar. Dua buah jari tangan kanannya segera menutuk
lambung lawan. Tetapi Ih thian-hengpun tak mau menangkis, melainkan berkisar menghindari.
Pertempuran kali ini dilakukan dengan hati-hati sekali oleh keduanya. Mereka tak mau
menggunakan cara adu kekerasan pukulan lagi ataupun adu tenaga-dalam.
Makin lama pukulan kedua orang itu makin cepat dan makin terbenam dalam permainan yang
mengasyikkan. Cepat lawan cepat, tangkas teradu tangkas. Keduanya sama mengembangkan
perobahan2 jurus yang dapat mendahului menindas gerakan lawan.
Cepat sekali mereka menyerang, pun cepat juga mereka menarik pulang.
Apabila diketahui lawan mengunjuk tanda-tanda gerakan dapat memecahkan serangan, cepat
sekali tentu sudah ditarik pulang dan dirobah jurusrnya.
Demikian dalam beberapa kejab saja, keduanya sudah bertempur sampai lima enampuluh
jurus. Tiba-tiba Han Ping mengebor keras. Dua sosok bayangan segera saling bertumbuk. Gerak
bayangan pukulan dan jari yang memenuhi udara, seketikapun lenyap.
Ternyata keduanya telah mengganti acara pertempurannya. Dari serang menyerang secara
cepat, kini mereka berganti dengan adu tenaga-dalam. Dari gerakan yang tangkas, berobah
menjadi pertempuran yang tenang. Masing-masing menjulurkan sebuah tangan dan saling
melekatkan telapak tangannya.
Tak berapa lama kemudian, tampak wajah kedua orang itu mulai bertebar warna merah dan
pelahan-lahan merekapun mulai mengatupkan mata. Rupanya mereka hendak mengerahkan
seluruh tenaga-dalam kearah tangannya.
Beberapa saat lagi, mereka mulai bercucuran keringat. Wajah mereka yang merah, pun mulai
makin cerah.
Celakanya, luka pada bahu Han Ping itu merekah pula. Darahnya berkes-ketes ke lantai.
Pengemis-sakti Cong To yang menyaksikan ditepi gelanggang, diam-diam menghela napas,
pikirnya, Lukanya berdarah lagi, entah sampai berapa lama ia mampu bertahan? Sekalipun
tenaga-dalamnva lebih kuat dan ih Thian-heng tetapi tak urung tentu akan menderita kekalahan.
Hm, aku harus mencari akal untuk membantunya . . “
Tiba-tiba Ih Thian-heng mendengus pelahan. Tangannya makin menindih kuat-kuat dan
tubuhnya juga maju selangkah lalu menekankan tangannya hendak memaksa tangan lawan
menjulai kebawah.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Han Ping tertawa dingin. Segera ia mengempos semangat dan salurkan tenaga-murni.
Segelobang arus tenaga-panas segera memancar dari perut dan menyalur kearah lengan
kanannya, mengalir ke telapak tangan dan melanda kearah tangan lawan.
Ih Thian-heng yang tengah membanjiri lawan dengan tenaga-dalam yang tak putus-putusnya
itu, tiba-tiba merasa telapak tangannya diterjang gelombang aliran hawa panas yang dahsyat. Ia
terkejut dan menyurut mundur dua langkah.
Han Ping berhasil memberi tekanan pada lawan tetapi pada saat itu ia rasakan matanya
berkunang gelap sehingga hampir saja ia rubuh.
Kesempatan itu digunakan Ih Thian heng untuk menyalurkan napas lalu mengadakan serangan
balasan.
Menyambuti serangan itu, mata Han Ping terasa gelap lagi. Ia menyadari bahwa karena terlalu
banyak mengeluarkan darah, tenaganyapun sudah tak dapat bertahan lama. Apabila bertempur
terus, tentu ia akan kehabisan darah dan tentu lemas.
Han Ping menginsyafi keadaan dirinya yang berbahaya itu. Kecuali dalam dua tigapuluh jurus ia
dapat menghantam rubuh Ih Thian heng, barulah ia dapat lolos dari bencana. Kalau tidak, jelas
dia tentu aKan menderita kekalahan.
Dengan pemikiran itu segera ia mengambil Keputusan. Empat jurus serangan istimewa segera
dilancarkan dengan dahsyat. Serangan itu memaksa Ih Thian-teng sibuk tak keruan.
Sekonyong-konyong terdengar bunyi berderak-derak yang keras sehingga ruangan itu mulai
berputar”.
“Siapa?” tiba-tiba ketua Lam-hay-bun tertawa dingin seraya ulurkan tangan menekan ujung
dinding.
Terdengar bunyi dinding berderak-derak berkisar. Arahnya dibelakang tempat duduk wanita
cantik ibu si dara baju ungu. Dan pada lain saat dindingpun terbuka sebuah pintu.
“umitohud!” terdengar pula suara paderi berseru. Menyusul seorang paderi tua jubah kuning
dengan mencekal sebatang tongkat sian ciang, melangkah masuk.
Kemunculan paderi yang tak terduga-duga itu lelah mengejutkan sekalian orang sehingga Han
Ping dan Ih thian-hengpun hentikan pertempuran.
Ketika berpaling, segera nan Ping memberi hormat, “Semoga lo siansu baik2 saja selama ini,”
Paderi yang datang itu memang Hui In tay-su. kepala ruang Kwat-si-wan dari gereja Siau-lim-si.
Dibelakangnya mengikut serombongan paderi Siau-lim.
Sesaat kemudian masuk pula delapan orang paderi jubah merah yang masing-masing mencekal
tongkat paderi. Mereka melangkah masuk dengan tenang mengawal seorang paderi jubah kuning,
Paderi jubah kuning itu memondong sebatang tongkat Kumala Hijau. Ya, dia memang Goan Thong
taysu, ketua Siau-lim-si yang sekarang. Dibelakang ketua itu ikut Hui Ko taysu yang menyanggul
sebatang garu tembaga. Dan dibelakang Hui Ko taysu. seorang imam jubah biru, memanggul
sebatang pedang di punggung.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tiba-tiba Ih Thian-heng tertawa keras, “Bagus, Siau-lim dan Bu tong, dua orang ketua dari
partai persilatan yang menentukan nasib dunia persilatan Tioag-goan, pun datang.”
Goan Thong taysu tertawa hambar: Omitohud! Para enghiong ternyata sudah datang lebih
dulu.”
Imam jubah biru yang menyanggul pedang di punggung itu ternyata ketua partai Bu-tong-pay
yang bergelar Thian Ci totiang. Ketua Bu tong-pay itu tegak dengan sebelah tangan menjulang
lurus didepan dada, lalu tertawa: Sembilan partai persilatan dalam dunia persilatan, tidak ada yang
tidak memikirkan peristiwa pertempuran dalam makam tua ini. Ketua tiap2 partai persilatan segera
akan datang bersama rombongan masing-masing….”
Tiba-tiba ketua Lam-hay bun tertawa mengejek, “Bagus, benar-benar suatu pawai besar,
mengapa tak mengundang orang untuk menyaksikannya?”
Goan Thong taysu menyambut dingin, “Asal engkau mampu membuat pin ceng dan Thian Ci
toheng mati dalam ruang ini, mengapa engkau kuatir mereka takkan berbondong-bondong masuk
seperti anak-anak menyerbu api?”
“Kalau kalian memang menghendaki mati, apakah susahnya?” sahut ketua Lam-hay-bun.
Tiba-tiba wajah Han Ping berseri cerah, serunya, “Ih Thian heng….”
Ih Thian heng cepat berpaling kearah Han Ping, sahutnya agak heran, “Mengapa?”
Menunjuk pada pedang Pemutus asmara yang berada disisinya, Han Ping berkata, “Perbuatan
jahat apakah yang pernah dilakukan oleh kedua orang-tuaku?”
“Ayahmu?” kata Ih Thian heng, “banyak sekali membunuh orang, tangannya berlumuran darah
manusia, tiga Pendekar dari Lam-gak itu, semua bukan manusia baik!”
“Kuminta engkau bicara yang jujur!” bentak Han Ping marah, “Setiap patah keteranganku ini,
memang suatu kenyataan,” jawab Ih thian heng.
Han Ping menghela napas panjang, “Di dunia ini tiada ayahbunda yang jahat. Sekalipun kedua
orangtuaku bukan orang baik, tetapi dendam darah itu tetap harus kutuntut. Lekas engkau ambil
pedang Pemutus-asmara itu dan bunuh diri saja!”
Kata” Han Ping itu diucapkan dengan wajar dan tenang.
“Mengapa?” tanya Ih Thian-heng.
Kata Han Ping, “Aku teringat akan beberapa jurus permainan ilmu silat. Jelas jurus itu tak
mungkin dapat engkau lawan. Apabila engkau ingin menjaga nama harummu sebagai seorang
kesatrya, lebih baik engkau segera bunuh diri saja.”
Ih Thian-heng tertegun, serunya, “Sekalipun aku percaya apa yang engkau katakan itu, tetapi
aku tetap masih mempunyai keraguan.”
“Baiklah,” seru Han Ping pula, “yang datang di makam ini makin lama makin banyak. Kita harus
lekas menyelesaikan persoalan ini!”
Habis berkata Han Ping terus mengangkat tangan dan menampar.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ih Thian-heng tersenyum, “Bagus, rupanya hari ini takkan berhenti sebelum ada yang
menggeletak jadi mayat!” ia terus menangkis.
Tamparan Han Ping itu tampaknya lemah gemulai seperti tak bertenaga. Tetapi ketika
berbentur dengan tangan Ih thian-heng, Ih Thian-hengpun segera rasakan uluhatinva tergetar.
Tekanan tenaga yang begitu hebat, memaksa Ih Thian-heng harus menyurut mundur selangkah.
Han Ping menarik pulang tangannya lalu menampar pula. Melihat gerakan tangan Han Ping
lemah gemulai seperti tadi. Ih Thian-heng tak berani menyamputi. Ia cepat menghindar ke
samping.
Tetapi tiba-tiba Han Ping berputar tubuh dan tangannya yang bergerak pelahan tadi
sekonyong-konyong merangsang, secepat kilat membayang tubuh Ih Thian-heng.
Setelah menghindar dari tamparan Han Ping tadi. Ih Thian-heng hendak balas menyerang.
Tetapi tak terduga-duga dia sudah dikejar lagi oleh pukulan anakmuda itu. Sedemikian cepat sekali
tangan Han Ping itu menghantam sehingga Ih Thian-heng lak sempat menghindar, Seketika
lengan kirinya kesemutan. Tulang lengannya patah, sakitnya sampai menusuk ke ulu hati.
Tetapi Han Ping tak mau menyusuli pukulan, melainkan loncat mundur dan memungut pedang
Pemutus asmara, serunya, “Lekas cabut senjatamu!
Tampak keringat sebesar kedele bercucuran dari kedua belah pipi Ih Thian-heng. Dia tegak
berdiri diam, seolah-olah tak mendengar seruan Han Ping.
Sambil memutar pedang, Han Ping berseru pula, “Ih Thian-heng, lekas cabut senjata mu….
Ih Thian-heng tiba-tiba tersenyum dan berkata perlahan, “Lengan kiriku patah, dalam waktu
sepeminum teh mungkin belum dapat kugerakkan.”
Han Ping agak terkesiap, serunya, “Baiklah, akan kutunggu sampai sepeminum teh lagi!”
Dalam pada itu Goan Thong taysu berpaling kearah Hui in taysu yang berada disisinya dan
berbisik, “Minta kembali pedang Pemutus-asmara milik gereja kita itu!”
Setelah mengiakan, Hui In taysu segera berseru nyaring, “Ji Han Ping!”
Dalam hati memang Han Ping sudah mempunyai prasangka terhadap Hui K o dan Goan Thong,
Mendengar teriakan itu serentak iapun menjawab dingin, “Ada apa?”
“Kapankah engkau hendak mengembalikan pedang Pemutus asmara dari gereja kami itu?” seru
Hui Ko.
Diam-diam Han Ping menimang. Menilik adanya, jelas paderi Siau-limsi itu memang bertujuan
hendak mengambil kembali pedang Pemutus asmara. Apabila dihadapan sekian banyak tokoh-
tokoh, ia mengakui pedang pusaka itu sebagai milik Siau lim si, tentulah pedang itu harus
dikembalikan.
“Walaupun adu sendiri tak mempunyai keinginan untuk mengangkangi pedang itu, tetapi aku
harus mencari orang yang berbudi luhur memberikan pedang itu. Agar orang itu dapat melakukan
beberapa hal yang berguna terhadap manusia….”
Setelah menetapkan keputusan, maka Han Ping pun berkata tawar, “Maaf, aku tak mengerti
apa maksud ucapan taysu. tetapi apakah hubungannya pedang pusaka ini dengan gereja taysu?”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Wajah Goan Thong berobah, serunya! “Kubawa para ketua sembilan partai persilatan dengan
rombongannya ke makam tua sini, sama sekali tiada dengan maksud hendak mempersulit
sahabat2 persilatan dunia Tiong goan sendiri.”
“Soal itu, aku tak ingin berbanyak tanya,” sahut Han Ping.
Melihat Han Ping tak menaruh perindahan kepadanya. Goan Thog taysu makin marah, serunya
dengan bengis, “Setelah keluar ke dunia persilatan, pin-cengpun sekalian hendak membasmi
beberapa orang jahat!”
Han Ping tertawa lepas, “Pedang pusaka ini? Ya, memang benar kuambil dari gereja taysu….”
“Karena berasal dari gereja kami, maka pedang itu tentulah benda milik Siau-lim-si,” teriak Hui
Ko taysu.
“Tetapi aku tak mencurinya,” bantah Han Ping, “dan bukan pula mengambil. Benda itu adalah
hasil dari menang bertaruh. Kalau taysu hendak meminta kembali pedang ini memang mudah
saja, asal Hui Gong taysu hidup kembali….
“Tutup mulutmu!” bentak Goan Thong dengan bengis.
Han Ping menyahut dingin, “Aku bukan anak murid Siau lim-si harap taysu jangan bicara
kasar!”
Goan Thong taysu melirik pada ThianCi to-tiang, serunya, “Toheng, dia begitu congkak
sehingga aku tak dapat menahan kesabaran lagi.”
“Biarlah kutanya kepadanya.” kata ketua Butong pay ilu lalu menatap kearah Han Ping,
“Siapakah nama sicu?”
“Ji Han Ping.”
“O, kiranya Ji tayhiap Aku Thtin ci.”
“Ah, sudah lama aku mendengar nama totiang yang harum,” kata Han Ping.
Thian Co totiang tertawa, “Ah, harap jangan memuji. Aku menerima undangan dari Goan
Thong taysu, untuk menyelamatkan kelangsungan hidup sahabat dunia persilatan Tiong-goan,
akan berhadapan dengan Lam-hay Ki-siu. Aku tak ingin melibat diantara sesama kaum persilatan
Tiong-goan akan saling bunuh membunuh sendiri. Maka dengan ini ingin kuhaturkan sepatah kata
kepada Ji tayhiap.”
“Han Ping akan mendengarkan dengan hormat,” sahut Han Ping.
“Sudah berpuluh tahun pedang Pemutus-asmara lenyap dari dunia persilatan,” kata Thian Ci
totiang,” sekarang pedang itu muncul lagi didalam makam tua ini. Dan akupun beruntung
menyaksikan pusaka yang termasyhur itu. Hanya saja, aku tak tahu nari manakah asal pedang
itu?”
Han Ping merenung sejenak, menyahut, “Benar pedang itu berasal kari gereja Siau-lim-si, tetapi
sama sekali aku tak mencurinya.”
Thian Ci totiang tertawa, “Apakah hasil dari pertaruhan?”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
“Benar,” Hati Ping mengiakan. “Lalu siapakah yang mencuri pedang itu?” tanya Thian Gi pula.
“Hui Gong taysu.”
“Dimanakah dia sekarang?”
“Meninggal dunia.”
“Hui Gong taysu meninggal dalam ruang pertapaannya. Adakah keterangan Ji tayhiap itu dapat
dipercaya orang?” kata ketua Bu-tong pay pula.
Han Ping tertegun, serunya, “Lalu bagaimana?”
“Aku mempunyai dua cara supaya Ji tayhiap suka memilih,” kata ketua Bu tong pay.
Han Ping terkesiap. Namun ia tak mau kalah perbawa dan serentak menyahut.
”Silahkan totiang mengatakan….”
JILID 8.
Pedang Pemutus Asmara.
Berkata ketua Bu tong pay pula, “Entah bagaimana Ji tayhiap memperoleh pedang itu tetapi
jelas pedang itu berasal dari gereja Siau- lim-si. Agar jangan sampai merusak persahabatan di
antara sesama kaum persilatan Tiong-goan, mohon Ji tayhiap suka memandang muka pinto dan
suka mengembalikan pedang itu kepada Siau-lim.”
“Mohon tanya, apakah cara kedua yang totiang hendak utarakan?” tukas Han Ping.
“Ji tayhiap mengatakan bahwa pedang itu engkau dapatkan karena menang bertaruh adu
kepandaian. Maka pinto hendak mengulangi hal itu, akan bertaruh juga dengan Ji tayhiap.” kata
Thian Ci totiang.
Han Ping terkesiap.
“Apabila Goan Thong Taysu suka memberi keterangan atas sebuah pertanyaanku, tak perlu
bertaruh, aku tentu akan menghaturkan pedang itu kepada Siau-lim-si,” sahut Han Ping.
“Pertanyaan apa?”
“Bahwa totiang berani bertaruh dengan aku demi kepentingan Siau-lim-si, jelas menunjukkan
keluhuran budi totiang. Tetapi dapatkah totiang menjamin kepadaku bahwa Goan Thong taysu
tentu mau menjawab pertanyaanku itu?”
“Soal itu tergantung dari janji Ji-tayhiap untuk mengembalikan pedang itu?”
Tanpa ragu-ragu Han Ping lalu angsurkan pedang Pemutus-asmara, “Silahkan totiang menerima
pedang ini.”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sambil menyambuti pedang, Thian Ci totiang berkata, “Asal pertanyaan itu tak mengandung
hinaan kotor kepada orang, aku tentu bersedia untuk menjadi saksi kedua belah fihak.”
Setelah menyerahkan pedang, mata Han Ping lalu menatap Goan Thong taysu.
“Dalam kalangan agama Hud-kau, orang menuntut adanya hukum Karma. Apabila sepatah saja
engkau bohong, engkau tentu akan dijebluskan ke dalam neraka delapan belas lapis….” kata
pemuda itu.
Tiba-tiba Han Ping bertanya dengan nada serius, “Bagaimanakah kematian ketua Siau-lim-si
dari dua angkatan yang lalu?”
Partanyaan ini sungguh di luar dugaan orang, sehingga sekalian orang tertegun.
Dan tampaknya Goan Thong taysu tergetar nyalinya melihat kegarangan sikap anakmuda itu.
Setelah termangu sejenak, ia menyahut, “Tiada seorang kaum persilatan yang tak tahu bahwa
karena menderita sakit maka beliau meninggal….”
“Apakah omonganmu itu benar-benar keluar dari hati nuranimu yang baik?” tiba-tiba Han Ping
menggembor keras.
Goan Thong terbeliak tak dapat menjawab.
“Apakah bukan engkau yang memperdayakan kekuasaan suhumu untuk membunuhnya?” teriak
Han Ping nyaring.
Rupanya Goan Thongpun sudah mendapat kesadarannya kembali. Ia membentak marah,
“Jangan ngaco belo….”
Han Ping bersuit panjang lalu berseru dengan lantang, “Siang malam kupikirkan peristiwa itu
dan akhirnya aku dapat menemukan jawabannya. Murid pertama dari sucoumu yakni Hui Gong
taysu, seorang tunas yang cemerlang. Walaupun karena terlena oleh rasa dengki telah melakukan
pembunuhan tetapi tak seharusnya dia menerima hukuman seumur hidup semacam itu….”
Goan Thong taysu mendengus, “Harap Hui In susiok turun tangan untuk melenyapkan anak gila
ini agar jangan sampai menodai nama baik Siau-lim-si.”
Hui In taysu, sute dari mendiang Hui Gong taysu, adalah paman guru dari Goan Thong taysu
ketua Siau-lim-si yang sekarang. Paderi tua itu mengerut sedih lalu merangkapkan kedua
tangannya.
“Maksudku, biarlah dia bicara dulu sampai selesai, baru kita nanti menindaknya,” kata paderi
tua itu.
Han Ping tak menghiraukan, ia tetap melanjutkan kata-katanya dengan nyaring, “Sucoumu
menghukum Hui Gong taysu dalam ruang Renungan itu, tujuannya tak lain agar Hui Gong taysu
dapat menggunakan waktu2 yang sunyi dan hening itu, untuk memperdalam pengertiannya
tentang ilmu pusaka Siau-lim. Setelah dapat menembus rahasia2 ilmu pusaka itu, barulah dia nanti
akan diangkat sebagai ketua Siau-lim. Dengan demikian tentulah pamor gereja Siau-lim-si akan
makin rmenjulang luas. Itulah sebabnya mengapa sucoumu hanya memerintahkan Hui Gong taysu
dihukum menghadap tembok selama tiga tahun saja.”
“Lekas bunuh murid liar itu agar nama Siau-lim-si jangan tercemar….” karena tak kuat
menahan kemarahannya, Goan Thong taysu menggembor.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dua orang paderi jubah merah merah tampil ke muka dan menghantam. Tetapi Han Ping cepat
bergerak, ia menghindari pukulan dari sebelah kiri dan menangkis pukulan dari sebelah kanan.
“Taysu sekalian mungkin tak percaya kepadaku,” serunya, “tetapi apabila para paderi tingkat
tinggi mau merenungkan suasana pada saat itu, tentulah akan percaya pada apa yang kukatakan
ini….”
Paderi jubah merah yang menyerang dari sebelah kiri tadi, saat itu sudah akan mandorongkan
kedua tangannya ke arah Han Ping, Tetapi demi mendengar kata-kata Han Ping tiba-tiba ia
menarik pulang tangannya dan mundur ke tempatnya semula.
Melihat itu bukan kepalang merah Goan Thong taysu. Segera ia membentak kepada beberapa
paderi jubah merah, “Mengapa tinggal diam saja. Apakah kalian lupa akan peraturan gereja yang
keras itu?”
Rombongan paderi itu serempak marangkapkan kedua tangan ke dada dan menyerukan
Omitohud lalu tundukkan kepala tak menyahut.
“Harap ciangbun hong-tiang jangan marah,” tiba-tiba Hui In taysu menyeletuk, “atas peringatan
sicu itu, akupun segera teringat akan sebuah hal. Pada saat aku hendak berangkat menjalankan
tugas ke daerah Kwan-ga (luar perbatasan), suhu masih terbaring di tempat tidur karena
menderita sakit dan memesan wanti2 kepadaku, paling lambat tiga tahun lagi harus kembali ke
gereja untuk menghadiri upacara pengangkatan Hui Gong menjadi ketua gereja….”
Merahlah selembar muka Goan Thong, bentaknya, “Tutup mulutmu! Apakah engkau anggap
tongkat Kumala Hijau ini tak boleh membunuh seorang angkatan tua?”
Wajah Hui In pun berobah serius, serunya dengan nada sarat, “Bagaimana aku berani melawan
tongkat pimpinan gereja kita.”
Sambil gentakkan tongkat Kumala Hijau, berserulah Goan Thong taysu, “Kalau tak berani
menentang tongkat Kumala Hijau, harap lekas menerima amanatnya.”
Sambi rangkapkan kedua tangan, Hui In menyambut, “Dengan hormat aku menanti.”
Goan Thong taysu mengacungkan tongkat pimpinan itu ke atas seraya pelahan-lahan maju
menghampiri. Kerut dahinya memancar hawa pembunuhan.
Rombongan paderi itu tampaknya patuh sekali terhadap tongkat Kumala Hijau. Pada saat
tongkat itu dibawa Goan Thong berjalan, mereka tundukkan kepala dengan khidmat sekali.
Tiba-tiba Han Ping berkisar tubuh menghadang jalan Goan Thong. Dua orang paderi jubah
merah segera menghantamnya dari kanan dan kiri.
Walaupun rombongan paderi itu sudab menaruh kecurigaan terhadap Goan Thong tetapi
mereka tetap menghormati kedudukannya sebagai seorang ketua. Maka itulah sebabnya, ketika
Han Ping menghadang, kedua paderi jubah merah itu segera menyerangnya.
Han Ping tak mau bentrok dengan paderi Siau-lim-si. Ia cepat loncat menghindar lalu berpaling
ke arah Thian Ci totiang, serunya, “Totiang adalah seorang imam yang berkedudukan tinggi. Apa
yang totiang ucapkan tentu harus ditepati. Mohon totiang suka memberi peradilan.”
Thian Ci totiang menghela napas sarat, serunya, “Goan Thong toheng.”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tanpa berpaling, ketua Siau-lim-si itu mengiakan. Dengan dikawal oleh rombongan paderi, ia
cepatkan langkah menerjang ke tempat Hui In taysu. Mengangkat tongkat Kumala Hijau terus
dihantamkan.
Melihat tongkat Kumala Hijau hendak mengemplang kepalanya, Hui In tak berani menghindar
dan mengerahkan tenaga dalam untuk menahan. Cepat ia pejamkan mata dan menghela napas,
“Hui Gong suheng, tunggulah aku untuk bersama-sama ke Inderaloka!” terdengar suara gemboran
keras. Segelombang angin pukulan melanda dan menyiak tongkat Kumala Hijau itu.
Goan Thong taysu terkejut dan berpaling. Dilihatnya pengemis tua yang rambutnya kusut masai
dan menggendong sebuah buli2 arak warna merah tengah berjalan menghampiri.
“Siapa engkau?” bentak Goan Thong murka.
Orang itu tertawa dingin. “Huh, masakan aku si pengemis tua engkau tak kenal?”
Goan Thong taysu menunjuk Hui Ko taysu dengan tongkat Kumala Hijau serunya, “mohon Hui
Ko susiok turun tangan membasmi pengemis tua itu.”
Hui Ko taysu loncat ke muka, berseru dingin, “Cong To, kuharap engkau jangan usil.”
Pengemis-sakti Cong To tertawa, “Penyakit yang sudah lama diderita pengemis tua itu, justeru
penyakit usil suka mencampuri urusan orang.”
“Kalau begitu engkau cari mati,” Hui Ko marah dan terus menghantam.
Cong To menangkis dengan tangan kanan. Ketika saling berbentur, pengemis itu tersurut
mundur selangkah.
Hui Ko taysu menghambur serangan dengan kedua tangannya. Makin lama makin gencar dan
hebat. Dia memiliki tenaga-dalam yang tinggi. Setiap pukulannya tentu lebih hebat dari yang
sudah2. Cepat sekali keduanya sudah bertempur empat lima jurus.
Tiba-tiba Goan Thong berseru nyaring, “Murid Siau-lim yang berhianat berani menentang
amanat tongkat Kumala Hijau, harus dihukum mati….”
Rombongan paderi Siau-lim serempak berseru, “Mohon ciangbun-jin suka bermurah hati. Hui In
taysu merupakan salah satu dari dua orang angkatan Hui yang masih hidup. Bagaimana ciangbun-
jin hendak menurunkan perintah menghukumnya mati.”
Tetapi Goan Thong taysu tetap berseru lantang, “Semua tindakan aku yang bertanggung
jawab.”
Habis berkata ia terus ayunkan tongkat Kumala Hijau ke arah kepala Hui In.
Melihat itu Han Ping terkejut. Tetapi tempatnya dengan Hui In masih terpisah dengan sederet
rombongan paderi jubah merah. Sekalipun ia maju menolong tetapi keadaan tak memungkinkan.
Pada saat maut hendak merenggut jiwa seorang paderi sakti dari tiba-tiba Ih Thian-heng yang
sejak tadi pejamkan mata menyalurkan tenaga-dalam membuka mata dan membentah, “Goan
Thong, berhenti!”
Dengan cepat ia gerakkan tutukkan jari-sakti ke arah Goan Thong.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Pertama, ilmu tutukan-jari dari jauh yang dilancarkan Ih Thian-heng itu memang amat cepat
sekali. Dan kedua kalinya, rombongan paderi itu memang tak menghendaki Hui In taysu sampat
binasa di bawah hantaman tongkat Kumala Hijau. Maka Paderi2 itupun sengaja bergerak lamban.
Goan Thong taysu terkejut dan terpaksa menghindar mundur. Ia menyadari bahwa sekalipun ia
dapat menghatam pecah kepala Hui In, tetapi dia sendiripun pasti celaka terkena ilmu tutukan jari
maut dari Ih Thian-heng.
Selekas dapat mencegah Goan Thong taysu, Ih Thian-heng pun segera menderita serangan
dari dua paderi pengawal Goan Thong.
Han Ping berpaling ke arah Thian Ci totiang, “Karena totiang tak dapat menjamin kepentingan
dua fihak, harap mengembalikan pedang itu kepadaku,” katanya dengan nada dingin.
Thian Ci totiang terkesiap dan wajahnyapun berobah. Sambil menyerahkan kembali pedang, ia
berteriak keras, “Goan Thong toheng, harap memandang mukaku dan hentikan tindakan dulu.
Hendak bicara, marilah bicara secara baik2.”
Terdengar Ih Thian-heng tertawa dingin. Ia gerakkan kedua kakinya untuk menendang
sehingga kedua paderi yang menyerangnya itu mundur.
“Dunia mengatakan aku orang she Ih ini manusia berhati kejam dan ganas. Tetapi siapa tahu
partai Siau-lim-si yang membanggakan diri sebagai pemimpin dunia persilatan dan sebuah partai
perguruan yang besar, ternyata juga terdapat permainan yang kotor dan menyedihkan….”
Wajah Goan Thong taysu merah padam, bentaknya, “Ih Thian-heng, jangan ngaco belo….”
Ih Thian-heng tertawa panjang. “Bukankah hatimu takut? Seorang lelaki, berani berbuat berani
bertanggung jawab. Mengapa harus takut?”
Bum, bum…. terdengar pula dua letupan dari Hui Ko dan Pengemis sakti Cong To yang saling
adu pukulan.
Tiba-tiba Hui Ko taysu membentak, “Hai, pengemis, dan mana engkau mencuri ilmu pelajaran
Siau-lim-si?”
Cong To tertawa, “Tat Mo cousu sendirilah yang mengajarkan kepadaku. Suruh aku mewakili
beliau membersihkan perguruan Siau-lim-si, menyikat murid2 murtad.”
Ia menutup kata-katanya dengan melancarkan dua buah pukulan yang kesemuanya adalah
ilmu pusaka perguruan Siau-lim-si.
Tempo Cong To dan Han Ping terperangkap jatuh ke dalam penjara air Hian-bu-kiong,
keduanya melewatkan hari dengan makan belut. Han Ping telah mengatakan banyak sekali ilmu
pelajaran dalam buku Tat-mo-ih kin-keng yang dihafalnya secara lisan. Cong To yang tinggi
kepandaiannya dan merupakan seorang tokoh kelas satu dalam dunia persilatan, mendengarkan
uraian Han Ping itu dengan penuh perhatian. Lalu merenungkan dan meresapinya. Dengan
demikian bukan saja ia memperoleh banyak sekali ilmu2 pusaka perguruan Siau-lim-si, pun ia
telah memperoleh kemajuan besar dalam ilmu tenaga-dalam.
Pada saat itu Goan Thong tetap menggerak-gerakkan tongkat Kumala Hijau untuk memaksa
rombongan paderi menyerang Ih Thian-heng.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Rombongan paderi yang menyertai Goan Thong masuk ke dalam makam tua itu, adalah
paderi2 kelas satu. Sekali mereka maju menyerang, sudah tentu perbawanya dahsyat sekali.
Ih Thian-heng dalam keadaan masih belum terluka pun sukar untuk menghadapi. Apalagi saat
itu sebelah lengannya lumpuh. Untungnya Para paderi itu sudah menaruh kecurigaan kepada Goan
Thong. Mereka memang sengaja tak mau membunuh Ih Thian-heng agar dapat dijadikan saksi
hidup. Waktu bertempur, merekapun sengaja memberi kelonggaran sehingga dengan demikian Ih
Thian-heng tak sampai menderita kekalalaan.
Namun sekalipun mereka memberi kelonggran, setelah bertempur berpuluh jurus, Ih Thian-
heng tetap merasa tak kuat bertahan.
Goan Thong taysu serdiripun tak sahar lagi. Ia segera menyerang dengan tongkat Kumala Hijau
kepada Ih Thian-heng. Tujuh buah serangan dilancarkan sembari membentak kepada para anak
buahnya, “Dalam limapuluh jurus apabila tak mampu mencabut jiwa Ih Thian-heng, kalian harus
lekas siap menerima hukuman perguruan.”
Rupanya rombongan paderi itu sudah mengetahui bahwa ketuanya tahu kalau mereka tak
menyerang sungguh-sungguh. Mendengar bentakan itu, mereka terkejut lalu menyerang gencar.
Tongkat Kumala Hijau memang merupakan lambang kekuasaan tertinggi dari gereja Siau-lim si.
Semua paderi Siau-lim-si dari tingkat bawah sampai tingkat yang paling tinggi, tunduk dan taat
pada amanat tongkat Kumala Hijau.
Ih Thian-heng yang sudah tak kuat, makin payah. Dalam limapuluh jurus, tentu tentu akan mati
di bawah hujan pukulan paderi2 Siau-lim-si.
Nyo Bun-giau, ketua Lembah setan dan lain2 hanya berpeluk tangan mengawasi. Tetapi
walaupun tampaknya tak acuh, dalam hati mereka amat gelisah juga. Mereka tak tahu
bagaimanakah kesudahan peristiwa yang terjadi pada saat itu.
Dalam pada itu fihak Lam-hay-bun malah sudah mengelompok. Tampak bibir ketua Lam-hay-
bun bergerak-gerak. Rupanya dia gunakan ilmu Menyusup-suara untuk memberi perintah kepada
anak buahnya.
Si Bungkuk dan si Kate, Ong Kwan-tiong serta si Baju merah kaki satu, tampak serius
wajahnya. Lalu masing-masing bergerak menduduki tempat-tempat penting di empat penjuru.
Si dara baju ungu rupanya menaruh perhatian pada pertempuran antara Ih Thian-heng dan
rombongan paderi Siau-lim itu.
Pada saat Ih Thian-heng terancam maut. tiba-tiba Han Ping berseru pelahan dan menghantam
balik Goan Thong. Ketua itu mengelak dan hantamkan tongkat Kumala Hijau untuk menutuk
lengan Han Ping.
Han Ping loncat menghindar lalu menghantam keempat orang paderi. dengan ilmu Tujuh-
pukulan dan kehebatan pukulan itu membuat sekalian orang terkejut.
Walaupun ilmu kepandaian paderi2 itu tinggi tetapi karena menderita serangan hebat secara
mendadak, tak urung mereka menjadi kacau.
Ih Thian-heng menghela napas longgar. Semangatnyapun bangkit kembali. Dia segera
keluarkan ilmu pukulan yang hebat untuk menyapu paderi2 itu.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Melihat itu Goan Thong segera berteriak, “Yang mundur akan mati.”
Dengan susah payah para paderi itu dapat mengatasi kekacauan dan mulai lancarkan serangan
lagi kepada Ih Thian-heng dan Han Ping yang terkepung di tengah.
Walaupun keduanya merupakan musuh bebuyutan, tetapi keadaan saat itu memaksa keduanya
bahu membahu menghadapi serangan paderi Siau-lim. Suasana itu telah menjadikan keduanya
entah sebagai musuh entah kawan.
Sementara itu Hui Ko dan Cong Topun sudah bertempur sampai seratus jurus lebih.
Hui Ko taysu mengeluarkan ilmusilat pusaka Siau-lim. Dan tak sengaja serangan itu membuat
Cong To makin menyelami banyak sekali ilmu pelajaran dalam kitab Tat- mo-ih-kin keng yang
belum diketahui artinya.
Rupanya Goan Thong sudah memutuskan untuk membunuh Han Ping dan Ih Thian-heng.
Dengan mengandalkan kekuasaan tongkat Kumala Hijau, ia dapat mendesak para paderi
menyerang dengan seluruh tenaga.
Ke delapan paderi jubah merah, saat itu benar-benar sudah tenggelam dalam pertempuran
seru. Sebelum Goan Thong taysu, kesembilan orang itu melancarkan serangan2 maut kepada Han
Ping dan Ih Thian-heng.
Dalam partai Hui Ko-Cong To. Semula kedudukan yang bagus dari Hui Ko, telah digagalkan oleh
jurus2 permainan yang istimewa dari Cong To. Dengan demikian keduanya tetap berimbang.
Pertempuran itu pasti berjalan lama, mungkin sampai ratusan jurus.
Pada fihak Siau-lim-si hanya Hui In taysu seorang yang belum turun tangan.
Saat itu tampak Ih Thian-heng mulai lelah. Karena lengannya yang sebelah tak dapat bergerak
maka dia hanya bertempur dengan satu tangan. Sudah tentu agak canggung.
Melihat itu terpaksa Han Ping harus mengawasi keadaannya. Berulang kali ia menghantam dan
menendang untuk membebaskan Ih Thian-heng dari serangan maut para paderi.
Seiring pertempuran berjalan seru, tiba-tiba Goan Thong berteriak keras, “Hui In supeh, kalau
engkau tak mau turun gelanggang terpaksa akan kugunakan tongkat Kumala Hijau untuk
memelintahkan engkau menghantam hancur ubun-ubun kepalamu sebagai tebusau dari hukuman
perguruan kepadamu!”
Habis berkata ketua Siau-lim-si itu meloncat mundur seraya mengangkat tongkat pusaka.
Hui Tn taysu memandang tongkat Kumala Hijau, tongkat kekuasaan Siau lim-si yang sudah
turun temurun sampai beberapa angkatan ketua. Tampak paderi tua dari angkatan Hui itu tegang
sekali. Rupanya timbul pertentangan dalam batin paderi tua itu. Melawan atau mentaati amanat
tongkat Kumala Hijau yang dilantangkan oleh ketua Siau lim-si sekarang yakni Goan Thong taysu.
Han Ping tahu bahwa ilmu kepandaian Hui In taysu itu adalah yang paling sakti di antara
rombongan paderi Siau lim-si yang berada di makam situ. Bahkan Goan Thong taysu itupun hanya
murid keponakan dari Hui In taysu. Goan Thong memanggil Hui In dengan sebutan ’susiok’ atau
paman guru.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Han Pingpun menyadari pula bahwa apabila Hui In taysu terpaksa turun tangan karena ditekan
oleh Goan Thong yang menggunakan kekuasaan tongkat Kumala Hijau itu. pastilah suasana dalam
pertempuran itu akan berobah berbahaya.
Berpaling ke arah rombongan tokoh-tokoh, Han Ping mendapat kesan bahwa sekali pun mereka
menaruh perhatian pada jalannya pertempuran itu tetapi mereka tak mangunjuk sikap hendak
membantu. Rupanya mereka takut bentrok dengan fihak Siau-lim-si.
Terdengar Hui In menghela napas, “Ah, apabila ciangbun-jin menyetujui sepulangnya ke gereja
segera membuka rapat besar para tianglo (paderi golongan angkatan tua). aku segera menurut
perintah untuk turun tangan. Tetapi apabila ciangbunjin menolak, lebih baik aku diam saja dan
menanti hukuman dari tongkat Kumala Hijau itu.”
Dengan ucapannya itu jelas kalau Hui In tak menyatakan hendak membunuh diri sendiri
dengan menghantam ubun-ubun kepalanya.
Sejenak merenung. Goan Thong taysu segera berkata, “Baik, aku meluluskan permintaanmu.
Sepulang ke gereja segera akan kuselenggarakan rapat besar Tianglo.”
“Kalau demikian aku akan melaksanakan perintah Kumala Hijau,” kata Hui In.
Sejenak keliarkan pandang ia berseru pelahan suruh paderi2 jubah merah itu menyingkir.
Setelah itu Hui In taysu maju selangkah dan memukul punggung Ih Thian-heng.
Saat itu Ih Thian-heng sedang menghadapi serangan dari dua orang paderi jubah merah dari
sebelah muka. Sudah tentu ia tak berdaya melayani pukulan dari belakang.
Han Ping terkejut. Ia tahu Hui in taysu memiliki tenaga pukulan yang sakti. Apabila punggung
Ih Thian-heng terkena, tentulah akan remuk binasa.
Cepat anakmuda itu bertindak. ia berputar tubuh dan langsung tangan kirinya bergerak untuk
menangkis.
Ketika kedua pukulan saling beradu. Han Ping terpental mundur selangkah. Luka pada
lengannya yang baru saja berhenti mengeluarkan darah merekah kembali dan mengucurkan
darah.
Hui In taysu tertegun. Kesempatan itu digunakan Han Ping untuk mencabut pedang Pemutus-
Asmara.
Sekonyong-konyong Goan Thong menyerbu dan menutuk punggung Han Ping dengan tongkat
Kumala Hijau. Tring, cepat Han Ping menebas tongkat itu dengan pedang.
Dalam pada itu Hui Inpun menutuk dengan jari. Sebuah arus tenaga dahsyat yang
mendesuskan angin tajam segera melanda Han Ping.
Tongkat Kumala Hijau adalah pusaka gereja Siau-lim-si dan pedang Pemutus asmara itu sebuah
pedang pusaka yang ampuh sekali. Apabila tongkat lambang kepemimpinan Sian lim si yang
sangat dipuja oleh para paderi itu sampai terbabat kutung, tentulah akan membangkitkan
kemarahan seluruh paderi. Itulah sebabnya maka Hui In menyerempaki dengan tutukan jari untuk
memaksa Han Ping menyurur mundur. Dan memang, Han Ping yang kenal akan kelihayan tutukan
jari itu segera menghindar ke samping.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Angin tutukan jari Hui Inpun melanda terus ke sisi Han Ping. Tetapi angin tajam itu pun dapat
mencegah majunya rombongan paderi yang hendak menyerbu Han Ping.
Goan Thong taysu berseru gopoh, “Hui In susiok, harap menahan Han Ping, jangan kasih dia
menerobos keluar!”
Habis berkata paderi itu terus menyerang Ih Thian-heng dengan tongkat Kumala Hijau.
Rupanya dia sudah memutuskan membunuh Ih Thian-heng dulu baru nanti membasmi Han Ping.
Hui In taysu mengiakan dan segera menghadang Han Ping.
Sambil luruskan pedang Pemutus-asmara ke muka dada, Han Ping memandang paderi itu
dengan mata berkilat-kilat. “Taysu adalah orang yang paling kuhormati. Aku tak mau bertempur
dengan taysu.”
“Bertempur dengan lawan harus menggunakan ilmu kepandaian untuk mengalahkan. Silahkan
sicu mencurahkan seluruh kepandaian sicu. Sekalipun aku terluka, takkan merasa penasaran.”
Han Ping mengungkat alis dan tertawa nyaring, “Sungguh tak nyana bahwa dua buah partai
persilatan yang begitu termasyur dalam dunia persilatan, ternyata hanya manusia2 yang tak
pegang janji. Kalau mereka yang dipandang sebagai pemuka dunia persilatan begitu nista tingkah
lakunya, tentulah dunia persilatan pada umumnya juga berhati jahat.”
Ucapan yang diucapkan dengan tajam oleh Han Ping, benar-benar bagaikan pisau yang
menusuk uluhati Thian Ci totiang, ketua Bu-tong-pay.
Thian Ci totiang segera mencabut pedang yang tersanggul di belakang punggungnya.
Sejenak dideringkan, ia berseru keras, “Goan Thong toheng, apabila tak mau memberi muka
kepadaku, akupun terpaksa akan turun tangan.”
Goan Thong terkesiap. Cepat ia gunakan ilmu menyusup-suara untuk memberi perintah kepada
anak buahnya agar menumpahkan seluruh kekuatan dan dalam 10 jurus harus dapat merubuhkan
Ih Thian-hene. Setelah itu ia terus menarik pulang tongkat Kumala Hijau dan menyurut mundur,
menghampiri ke tempat Thian Ci totiang.
“Apakah toheng berkata kepadaku?” tanyanya.
“Aku sudah meluluskan kepada Ji Han Ping untuk menjamin kedua belah fihak. Lalu akupun
sudah mewakili toheng untuk meminta kembali pedang Pemutus asmara itu. Rasanya toheng
tentu ingat hal itu,” kata Thian Ci totiang.
“Ya, memang mendengar sedikit,” kata Goan Thong, “tetapi tak begitu jelas. Harap toheng
suka menjalaskan sekali lagi.”
Dengan siasat itu, jelas Goan Thong hendak mengulur waktu agar anak buahnya sudah sempat
membunuh Ih Thian-heng. Apabila hal itu sudah terlaksana. sekalipun Thian Ci totiang hendak
turun tangan, tentu sudah terlambat. Dan setelah tinggal Han Ping seorang, mudahlah untuk
menghadapinya dengan pelahan.
Tiba-tiba Han Ping bersuit panjang. Dengan wajah marah ia berseru kepada Hui In taysu,
“Andaikata taysu tak mau memberi ampun kepadaku, tetapi paling tidak taysu harus mengingat
akan penderitaan seorang suheng yang tanpa salah telah dipenjarakan seumur hidup….”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
“Omitohud,” seru Hui In pelahan,” kekuasaan dari ketua Siaw lim si adalah yang paling tinggi.
Tongkat Kumala Hijau merupakan lambang kekuasaan yang sudah turun temurun sampai sepuluh
angkatan ketua. Bagaimana aku berani membangkang amanatnya?”
Han Ping menghela napas panjang, “Ah, sebuah benda pemberi amanat, ternyata mempunyai
perbawa yang begitu besar. Belum lama keluar ke dunia persilatan aku sudah melihat benda
pusaka itu mengalami dua kali hinaan….”
Tiba-tiba ia berganti nada keras. “Keadaan memaksa aku turun tangan, harap taysu jangan
salahfaham.”
Ia menutup kata katanya dengan mainkan jurus Hun-toan ong-siang-tay atau Ruh mengenang-
kampung halaman. Ujung pedang berkelebatan menaburkan tiga kelopak bunga pedang yang
mengancam Hui In.
Hui In kebutkan lengan lalu diserempaki dengan menampar. Kedua gerakan itu untuk
membendung serangan pedang Han Ping.
“Hmm…. harap taysu sutra berhati-hati.” Han Ping berseru dengan nada sarat. Pedangpun tiba-
tiba berganti dengan jurus Kim-lun-kiu-coan atau Roda emas-sembilan kali berputar.
Serentak empat julusan delapan kiblat penjuru tertutup oleh lingkaran sinar pedang yang
memancarkan hawa dingin, permainan pedang itu adalah pelajaran yang paling terakhir yang
diselami Han Ping. Merupakan salah sebuah dari tiga buah ilmu pedang istimewa dalam kitab Tat-
mo-ih-kin-keng.
Karena melihat Ih Thian-heng sudah kacau permainannya, Han Ping makin gelisah dam dalam
kemarahannya ia keluarkan ilmu pedang pusaka itu.
Sambil kebas-kebaskan lengan jubah, Hui In loncat mundur. Dalam hal ini, untunglah dia tahu
gelagat dan Cepat-cepat menghindar. Tetapi tak urung jubahnya tergurat pecah oleh ujung
pedang.
Satelah dapat mengundurkan Hui IEn, Han Ping teruskan serangannya ke arah kawanan pederi.
Segera terdengar dua buah orang tertahan dari dua erang paderi jubah merah yang menderita
luka. Darah merah membasahi jubah kedua pederi dan berketes ketes membasahi lantai.
Melihat itu serentak bangkitlah semangat Ih Thian-heng. Dengan ilmu tendangan berantai, ia
menendang rubuh seorang paderi.
Han Ping bersuit panjang. Setelah beberapa kali mengganti permainan pedangnya, ia berhasil
mengundurkan kawanan paderi.
“Para, suhu sekalian,” serunya lantang, “aku sebenarnya tak mempunyai dendam permusuhan
suatu apa dengan para taysu. Gereja Siau lim-si telah berabad-abad harum namanya dalam dunia
persilatan. Tetapi seperti pula halnya dengan betapapun baiknya tentu tetap terdapat rumput. Aku
minta agar peristiwa dipenjarakannya Hui Gong taysu, diumumkan. Tentang bagaimana
pertimbangan terhadap murid yang dianggap jahat itu, adalah hak keputusan gereja Siau lim-si
untuk menjatuhkan hukuman. Aku takkan ikut campur.”
Melihat ilmu permainan pedang yang luar biasa anehnya dari anakmuda itu. Pula teringat akan
peristiwa seorang paderi cemerlang dari dua angkatan yang lalu, para paderi itu serempak
hentikan serangannya.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Setelah itu Han Pingpun berpaling ke arah Thian-heng. serunya, “Apakah lo-cianpwe suka
untuk menuturkan tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam gereja Siau-lim-si selama dua
angkatan ini? Dengan demikian dapatlah para suhu disini menghapus tuduhan mereka bahwa kita
ini bermaksud hendak mengadu domba mereka.”
Ih Thian-heng tertawa nyaring. “Kita ini kawan atau lawan, aku sungguh tak jelas.”
Kata Han Ping, “Soal ini dengan urusan kita berdua, memang lain. Dua macam masalah itu tak
boleh dicampur-adukkan. Tetapi seorang lelaki harus dapat membedakan garis permusuhan.
Selama peristiwa dalam Siau-lim-si belum selesai, untuk sementara waktu kita menjadi sahabat.
Setelah peristiwa itu selesai, kita nanti menjadi musuh besar lagi.”
Ih Thian-heng menghela napas panjang serunya, “Suasana saat ini, benar-benar belum pernah
kualami seumur hidup. Siau-lim-si, Lam hay-bun, Dua Lembah dan Tiga Marga, ditambah pula
dengan dendam permusuhan antara saudara Ji dengan aku, benar-benar merupakan suatu
keadaan yang campur aduk tak keruan. Bagaimana kesudahannya nanti tiada seorangpun dapat
menduganya.”
Bum…. terdengar adu pukulan dari Hui Ko taysu dan Pengemis-sakti Cong To. Cong To tersurut
dua langkah ke belakang, Hui Ko taysu pun mundur selangkah.
Melihat itu serentak Han Ping berseru, “Harap lo-cianpnwe berdua berhenti dulu. Setelah jelas
akan duduk perkaranya, siapa yang salah siapa yang benar, baru nanti melanjutkan bertempur
lagi.”
Melihat para paderi itu sudah berhenti, Hui Ko taysu terpaksa mundur ke samping.
Sebenarnya saat itu Hui Ko sudah merasa kewalahan terhadap pengemis tua. ilmu permainan
Cong To makin lama makin aneh. Apabila dilanjutkan, sudah jelas siapa yang akan kalah.
Setelah meliarkan pandang mata ke sekeliling maka Ih Thian-heng pun berkata, “Peristiwa yang
terjadi pada masa dua angkatan terdahulu dari gereja Siau-lim-si walaupun aku tak menyaksikan
tetapi aku berani menjamin bahwa peristiwa itu memang sungguh-sungguh benar….”-ia ulurkan
tangan mencekal mayat Kim loji, serunya pula, “Goan Thong, cobalah engkau lihat dengan
seksama. Apakah engkau kenal orang ini?”
Karena membenturkan kepalanya ke tembok, separoh batok kepala Kim loji hancur.
“Tidak kenal,” Goan Tong gelengkan kepala.
Ih Thian hang tertawa, “Sayang dia buru-buru mati, sehingga tak dapat bicara dengan engkau.
Tetapi meskipun dia sudah mati, aku masih menyimpan seinah benda.”
Ia merogoh ke dalam baju dan mengeluarkan sebuah arca Buddha dari perunggu kuno.
Diacungkan arca itu tinggi2, serunya, “Para suhu sekalian, apakah kalian kenal pada arca kecil
ini?”
Melihat arca berwarna kuning emas itu, seketika berobahlah wajah sekalian paderi. Kemudian
mereka mencurahkan pandang ke arah Goan Thong taysu.
Tetapi ketua Siau-lim-si itu hanya tertawa dingin, serunya, “Arca Budha emas, apanya yang
mengherankan? Apakah yang akan dijadikan bukti dengan benda itu….”- ia menutup kata-katanya
dengan menggerakkan tongkat Kumala Hijau, lalu berseru, “Dengarlah amanat tongkat Kumala
Hijau lagi….”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
“Tutup mulut!” bentak Han Ping marah. “kalau engkau yakin dirimu seorang suci, mengapa tak
mau tunggu sampai Ih Thian-heng selesai bicara!”
Hui In taysu tiba-tiba kerutkan alis. serunya, “Arca emas itu, mirip benar dengan salah sebuah
arca buddha dalam gereja Siau-lim-si.”
“Kalau benar, lalu bagaimana?” teriak Goan Thong yang sudah mulai kalap.
Hui In taysu terkesiap, serunya, “Harap ciangbunjin jangan marah dulu. Sebuah arca Buddha
masakan dapat membuktikan perbuatan salah dari ciangbunjin? Kalau Ih Thian-heng sengaja
melakukan fitnah, jangan harap hari ini dia dapat hidup lagi….”
Ih Thian-heng tertawa gelak-gelak, “Tetapi bagaimana kalau keteranganku ini memang
sungguh-sungguh benar?”
Sejenak berhenti, Ih Thian-heng melanjutkan berkata lagi, “Terhadap peristiwa
dipenjarakannya Hui Gong taysu seumur hidup, mungkin para suhu sekalian menaruh kecurigaan,
bukan? Tetapi kalian tak berani mengutarakan!”
Sekian paderi saling bertukar pandang tetapi tak ada yang berani buka mulut.
Ih Thian-heng mengacungkan arca emas itu, serunya, “Arca Buddha dari emas ini adalah hong-
tiang ciang bunjin Siau lim-si sendiri yang menyerahkan kepada Kim loji. Dan Kim loji pun
menyerahkan kepadaku supaya disimpan….”
Melirik ke arah Goan Thong, tiba-tiba Ih Thian-heng membentak Goan Thong, “omonganku ini
benar atau tidak?”
Seperti melihat bayangan setan, terbeliak mata Goan Thong memandang wajah Ih Thian heng.
Ia terlongong tak dapat bicara sampai beberapa saat.
“Karena engkau tak berani menjawab, berarti secara diam-diam engkau sudah mengakui,” kata
Ih Thian-heng pula,” waktu menyerahkan arca itu kepada Kim loji, engkau mengatakan kepadanya
bahwa dengan mengandalkan arca itu, apabila Kim loji menghadapi urusan, baik besar maupun
kecil, Siau-lim-si tentu akan memberi bantuan.”
Melihat para paderi rupanya sudah terpengaruh dengan kata-kata Ih Thian-heng, marahlah
Goan Thong. Tetapi ia tak mau buru-buru bertindak melainkan merenung. Beberapa saat
kemudian wajahnya pun tampak tenang lagi.
“Orang itu apakah Kim loji itu dan siapakah aku ini?” serunya dingin,” masakan aku mau
memberi janji begitu kepadanya!”
Ih Thian-heng tertawa. “Disitulah letak persoalannya. Ketua Siau-lim-si. seorang tokoh yang
mendapat kehormatan besar dari setiap orang persilatan. Tetapi dia rela menyerahkan arca emas
gereja kepada seorang persilatan yang tak ternama….”
Goan Thong menukas dingin, “Siapakah kaum persilatan yang tak tahu akan tingkah laku Ih
Thian-heng yang jahat dan licik itu? Dia seorang manusia yang licin. Masakan tak mampu
membuat arca tiruan semacam itu?”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Goan Thong menatap Ih Thian-heng lalu melanjutkan, “Mengajukan saksi seorang mati yang
sudah tak dapat bicara lalu merangkai keterangan palsu. Ho, sungguh hebat permainanmu,
sungguh beracun sekali mulutmu!”
Ih Thian-heng kerutkan ails, “Seorang paderi yang berhati begitu licin. O…. itulah sebabnya
maka engkau dapat merebut pimpinan dan mengelabui para angkatan tua.”
Setiap patah kata-kata Ih Thian-heng itu, bagaikan ujung pedang yang menusuk uluhati Goan
Thong taysu. Tetapi ketua Siau-lim-si yang penuh dengan siasat itu tetap bersikap tenang.
“Sebenarnya aku harus lekas memberi amanat tongkat Kumala Hijau agar engkau dihukum
mati. Tetapi karena ketajaman lidahmu agaknya dapat mempengaruhi orang maka akan kuberimu
kesempatan untuk bercerita sampai habis baru nanti akan kulucuti semua kebohonganmu,” Goan
Thong taysu tertawa mengejek.
“Engkau benar-benar seorang yang kuat menguasai perasaan,” kata Ih Thian-heng lalu
mengangkat patung emas, “kunci dari persoalan saat ini, hanya terletak pada arca ini palsu atau
bukan. Jika salah seorang dari gereja dapat memberi kesaksian bahwa arca ini memang milik
gereja Siau-lim, entah engkau akan mengatakan bagaimana?”
“Ketiga arca Buddha berwarna emas itu, saat ini masih tersimpan dalam ruang Perpustakaan
gereja. Dan dalam ruang itupun tersimpan kitab pelajaran ke 72 ilmu silat sakti dari perguruan
Siau-lim, termasuk juga kitab pusaka Tat mo ih kin-keng yang paling diincar oleh setiap orang
persilatan itu. Kalau ada orang yang dapat masuk ke dalam ruang itu, tak mungkin dia hanya akan
mengambil sebuah arca saja!”
“Ah….” Ih Thian-heng mendesah, “caramu untuk mendebat dan menghindari pertanyaan, lihay
sekali. Tetapi keadaan hari ini memang harus diselesaikan. Agar engkau mengakui kesalahan
memang perlu kiia adu lidah habis-habisan….”
Ih Thian-heng berpaling kearah Hui In taysu, serunya pula, “Taysu adalah satu satunya
angkatan Siau-lim-pay yang masih hidup. Tentulah sudah pernah melihat ketiga arca Buddha itu.
Silahkan memeriksa arca ini, apakah benar-benar pusaka milik gereja Siau-lim.”
Habis berkata Ih Thian-heng terus melemparkan arca itu kepada Hui In taysu.
Hui In taysu menyambuti dan memeriksa dengan teliti. Seketika berobahlah wajahnya.
“Adakah supeh dapat melihat ciri kepalsuannya?” tanya Goan Thong taysu.
“Ini, ini…. menurut pemeriksaanku, agaknya seperti bukan palsu.”
“Benarkah begitu? Cobalah berikan kepadaku!” kata Goan Thong. Hui In agak bersangsi tetapi
ia memberikannya juga.
Setelah menyambuti arca dan memeriksa balik, tampak wajah Goan Thong berseri lalu berkata
dengan sarat, “Memang bukan palsu….”
Mendengar pengakuan itu, tercenganglah sekalian paderi Siau-lim. Entah girang entah kejut.
Ih Thian-heng tertawa dingin, “Hm, benar-benar seorang yang licin bagai belut. Sayang hari ini
angkau bertemu dengan Ih Thian-heng . , .”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Wajah Goan Thong berobah bengis dan dengan mata berkilat kilat ia memandang sekalian
paderi, serunya, “Mengapa dalam ruang Perpustakaan terjadi kekacauan, aku tak mendapat
laporan?”
Para paderi itu saling berpandangan tak dapat bicara.
Kemudian berkatalah Goan Thong kepada Ih Thian-heng, “Ih Thian-hang, dihadapan para
ketua partai2 persilatan. ketua Dua Lembah dan Tiga Marga serta tokoh-tokoh yang ternama,
engkau dapat menunjukkan benda pusaka milik Siau-lim-si. Dengan demikian jelas engkaulah
yang mencuri dan tentulah masih banyak benda pusaka yang engkau ambil!”
Dengan kata-kata itu jelas Goan Thong hendak memutar balik suasana. Ih Thian-heng yang
hendak mendakwa, kini akan dijadikan terdakwa.
Han Ping menghela napas panjang, serunya, “Ih lo-cianpwe, entah sampai kapan habisnya
kalau engkau adu lidah dengan dia? Maksudku, silahkan Ih lo cianpwe menuturkan apa yang lo-
ciaupwe ketahui. Tak perduli para paderi itu percaya atau tidak, pokoknya kita sudah
menyelesaikan kewajiban.”
Ih Thian-heng tersenyum, “Itu juga suatu cara….”-berhenti sejenak ia melanjutkan pula, “Para
suhu sekalian tentu tahu bahwa Hui Gong taysu itu seorang tunas luar biasa dalam sejarah Siau-
lim-si beberapa ratusan tahun ini. sebenarnya bakatnya yang cemerlang itu. Bukan melainkan
hanya pada kalangan Siau-lim-si, pun dalam dunia persilatan sejak tiga ratusan tahun ini termasuk
seorang tokoh luar biasa yang berbakat hebat. Tuhan telah memberkahi dia kecerdasan yang luar
biasa tetapi pun seolah-olah menggariskan nasibnya harus di penjara seumur hidupnya sampai
mati dengan penasaran….”
Tiba-tiba terdengar ketua Lam-hay-bun mendengus dingin.
Tetapi wanita cantik berpakaian seperti puteri keraton atau ibu dari si dara baju ungu, cepat
mendahului bicara, “Mengapa engkau mendengus? Apakah engkau merasa lebih hebat dari dia?”
Tampaknya ketua Lam-hay-bun itu tak mau bertengkar mulut dengan isterinya. ia segera diam.
Ih Thian-heng merenung sejenak lalu berkata pula, “Pada suatu malam di pertengahan musim
rontok limapuluh tahun yang lalu, ketua Siau lim yang dijabat oleh seorang paderi dari tingkatan
Hui, menderita sakit dan menutup mata. Peristiwa itu tentulah para suhu sekalian masih ingat.”
“Benar,” sahut Hui In taysu, “meninggalnya Hui Seng sute sampai hari ini memang tepat
duapuluh tahun. Sekembalinya dari mengembara ke daerah Tibet, aku pulang ke gereja tepat
pada bulan delapan tanggal enambelas. Hui Seng sute sudah menutup mata setengah hari
lamanya.”
Ih Thian-heng tertawa hambar, “Tahukah para suhu sekalian apa yang menyebabkan kematian
Hui Seng taysu itu? Beliau telah mati karena minum racun istimewa yang diberikan secara diam-
diam oleh Goan Thong. Tetapi pada detik-detik menghembuskan napasnya yang terakhir, Hui
Seng taysu mengetahui perbuatan jahat itu. Dimakinya Goan Thong habis-habisan. Goan Thong
terkejut. Dia mengira kalau racun yang diberikan itu tak dapat bekerja atau mungkin kurang
banyak. Maka dia tak berani membantah melainkan terus berlutut minta ampun atas kedosaannya.
Dia mengaku bahwa yang menyuruh melakukan peracunan itu adalah susiok nomor tujuh….”
Hui In taysu terbeliak, “Susiok nomor tujuh….” cepat ia alihkan pandang matanya kepada Hui
Ko taysu yang menjadi susiok atau paman guru nomor tujuh dari Goan Thong.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
“Jit sute, apakah hal itu benar?” serunya.
Hui Ko taysu berobah wajahnya. Tiba-tiba ia rangkapkan kedua tangannya ke dada dan berkata
lunglai, “Suheng, ampunilah dosaku….”-ia terus pejamkan mata dan duduk di lantai.
Melihat itu Goan Thong kerutkan dahi dan membentak, “Susiok. jika tidak benar, mengapa tak
mau membantah?”
Diulanginya lagi seruan itu sampai beberapa kali tetapi Hui Ko taysu tetap tak menjawab.
Hui In taysu menghela napas, ujarnya, “Diam-diam dia sudah gunakan tutukan Siau thian -sing
unnuk menghancurkan jantungnya sendiri. Da sudah meninggal….”
Goan Thong tertegun lalu menghampiri ke tempat paman gurunya itu.
Kewibawaan ketua Siau-lim-si yang sudah turun temurun beberapa angkatan selalu menjadi
sumber kekuasaan pimpinan saat itu benar-benar telah mengalami ujian yang paling
menyedihkan. Wajah sekalian paderi yang berada di ruangan itu tampak berduka dan tegang.
Mereka kehilangan faham menghadapi suasana saat itu.
Seluruh mata para paderi tertumpah kepada Goan Thong yang tengah melangkah ke tempat
Hui Ko taysu.
Hui In tiba-tiba menyebut ‘omitohud’ serunya, “Ih Thian-heng memang memfitnah, harap
ciangbun-jin jangan terpengaruh….”
Paderi tingkat tinggi itu tiba-tiba teringat akan nama baik Siau lim-si, Urusan dalam gereja,
bagaimana boleh dikeluarkan di hadapan sekian banyak tokoh-tokoh persilatan!
Goan Thong taysu pelahan-lahan mengangkat tongkat Kumala dan berseru, “Hui In supeh….”
Hui In rangkapkan tangan memberi hormat dan menyahut gopoh. “ciang-bunjin hendak
memberi perintah apa?”
Wajah Goan Thong berobah pucat, katanya dengan serius, “Tongkat Kumala Hijau ini sudah
turun temurun 26 angkatan ketua. Kekuasaannya lebih tinggi dan ketua partai sendiri. Demi
mengagungkan kewibawaannya, maka aku hendak menghaturkan tongkat ini kepada supeh….”
Hui In terkesiap, “Ah, mana aku berani menerimanya?”
Tetapi tiba-tiba Goan Thong sudah menghampiri dan membentak, “Supeh, terimalah!”-tongkat
Kumala Hijau segera dilontarkan.
Tongkat pusaka itu merupakan benda yang paling berpengaruh dalam gereja siau-lim-si.
Melihat perbuatan Goan Thong. sekalian paderi terbeliak kaget.
Hut In terpaksa menyambuti.
Kemudian Goan Thong menghela napas, “Apa yang dikatakan Ih Thian-heng memang benar.
Aku memang telah melakukan dosa besar meracuni guru. Arca emas itu memang aku yang
memberikan kepada Kim loji. Soal itu menyangkut dendam dari dua orang angkatan tua. Peristiwa
itu telah kucatat dengan jelas, kutaruh dalam peti kayu dalam ruang tempat tinggalku. Bila supeh
pulang. silahkan membuka peti itu tentu dapat mengetahui peristiwa itu dengan jelas. AkuTiraikasih Website http://kangzusi.com/
menyadari bahwa kedudukan yang kuperoleh dari hasil pembelian dengan pusaka gereja itu,
benar-benar suatu dosa yang tak berampun dan aku malu untuk hidup dalam dunia….”
Hui In cepat melangkah maju, “Tunggu dulu, ciangbunjin ….”
Goan Thong deliki mata dan membentaknya, “Mundur!”-ia ayunkan tangan mendorong Hui In.
Hui In terpaksa menghindar ke samping. Dan detik itu dipergunakan Goan Thong untuk
gerakkan tangan kanan menekan dadanya sendiri.
sekalian paderi berteriak kaget. Mereka bergerak hendak mencegah.
Goan Thong turunkan tangan kanannya. Terlihat dadanya saat itu sudah berhias dengan
tangkai pedang yang ujungnya membenam ke dalam dadanya.
Para paderi itu tak menyangka kalau Goan Thong menyembunyikan senjata dalam lengan
jubahnya. Mereka tak keburu mencegah lagi dan terpaksa mundur.
Goan Thong melangkah ke dekat dinding ruangan, mengambil arca Buddha dan diletakkan di
mukanya lalu ia berlutut. “Murid telah melanggar dosa besar yang tak berampun. Murid mohon
ampun di hadapan Hud-ya ….” ia mencabut tangkai pedang dari dadanya. Darah merah segera
menyembur keluar.
Seketika rubuhlah Goan Thong, ketua Siau-lim-si yang ternyata telah melakukan kedosaan
besar. Dia menyadari perbuatannya dan menebus kesalahannya dengan bunuh diri.
Hui In tertegun. Kemudian memberi perintah kepada murid2 untuk mengurus kedua jenazah,
Hui Ko taysu dan Goan Tong.
Setelah itu maka Hui In taysu lalu beralih memandang Han Ping. serunya, “Engkau telah
membersihkan suatu peristiwa yang terjadi dalam gereja Siau-lim-si. Engkaupun menunaikan
tugas menyelesaikan dendam dari dua angkatan paderi. Tetapi engkau juga merusak nama baik
gereja Siau-lim-si yang selama beratus tahun. Men…. jadi pusat perindahan orang. Aku kehilangan
faham, harus memperlakukan engkau sebagai lawan atau sebagai kawan?”
Han Ping tertawa hambar “Kawan atau lawan. terserah pada pertimbangan taysu…. ia
menengadahkan kepala dan tertawa nyaring, lalu serunya, “Dua buah cita2, sudah terlaksana
yang satu. Setelah dapat membalaskan sakit hati orang tuaku, matipun aku tak penasaran.”
Saat itu anak buah Lam-hay-bun sudah tersebar di seluruh tempat-tempat yang penting.
Mereka hanya melihati saja gerak gerik tokoh-tokoh persilatan Tiong-goon yang saling gasak
sendiri itu. Rupanya mereka hendak menunggu setelah tokoh-tokoh Tiong-goan itu remuk, baru
akan turun tangan.
Setelah Goan Thong taysu meninggal, Ih Thian-heng pun menyadari kalau keadaan dirinya
sudah makin terpencil. Ketua Kedua Lembah dan Tiga Marga tampaknya sukar untuk diajak
bersekutu lagi. Dan Han Ping tetap hendak menuntut balas kepadanya. Dengan begini, ia harus
berjuang seorang diri. Satu satunya jalan yalah secara tiba-tiba menerobos kduar dari terowongan
yang digunakan masuk oleh rombongan paderi Siau-lim tadi. Tetapi ternyata pintu terowongan itu
sudah dijaga oleh orang Lam-hay-bun yang paling sakti yaitu nenek Bwe Nio.
Sambil memandang ke sekeliling, Ih Thian-heng menimang-nimang dalam hati. Ia menyadari
kalau kesempatan untuk lolos, sudah makin menipis. Diam-diam ia gerakkan tenaga-dalam untuk
memulihkan tenaga, hanya dengan tenaganya sendiri ia dapat mengandalkan.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dan makin pulih tenaga dalamnya pun makin besarlah kemungkinan untuk menyelamatkan diri.
Tiba-tiba Hui in taysu menghela napas panjang lalu memberi hormat kepada ketua Bu tong-
pay. “Thian Ci toheng, musibah yang telah menimpa perguruan Siau-lim-si, toheng sudah
menyaksikan sendiri!….”
Jawab ketua Bu- tong pay, “Aku merasa menyesal sekali karena tak dapat mencegah Goan
Thong toheng…._.”
“Haiku sudah hampa, tak ingin ikut campur tentang pertikaian dunia persilatan lagi. Maka….
aku hendak mohon diri pulang lebih dahulu,” kata Hui In taysu pula.
Ketua Bu-tong-pay merenung beberapa saat, kemudian berkata, “Silahkan, lo siansu.”
Sambil rangkapkan kedua tangan memberi hormat, berkatalah Hui In taysu pula, “Dengan
totiang yang menghadiri tempat ini, semoga segala dendam pertumpahan darah akan berobah
menjadi suasana yang bersahabat.”
“Ah, kemungkinan aku tak mempunyai kemampuan sedemikian besar,” kata ketua Bu-tong-pay.
Tiba-tiba ia gunakan ilmu Menyusup suara kepada Hui In taysu. “Orang-orang Lam hay-bun sudah
menjaga posisi yang penting. Rupanya mereka tetap hendak mengadu kesaktian dengan tokoh-
tokoh Tiong-goan. Apabila lo siansu berkeras hendak menerobos kaluar, kemungkinan tentu akan
bentrok dengan mereka.”
Hui In Taysu memandang keempat penjuru lalu memberi hormat kepada nenek Bwe, “Mohon
sicu suka memberi kebebasan kepada loni dan rombongan keluar dari tempat ini.”
Tetapi nenek Bwe menengadah memandang ke atas, seolah-olah tak mengacuhkannya.
Tiba-tiba si Kaki-buntung baju merah membentak, “Lekas mundur lagi….”
Saat itu Han Ping berpaling dan melihat si dara Sangkwan Wan ceng dengan rambut terurai
sambil memondong Ting Ling tengah berjalan ke arah ruangan situ.
“Ceng ji….!” melihat puterinya. serentak Siangkwan Ko berteriak dan bergegas hendak lari
menyongsong.
“Berhenti!” bentak Kaki buntung seraya ayunkan tongkat besinya menyerang.
Siangkwan Ko menghindar, mencabut pedang di punggungnya lalu balas menusuk dengan
jurus Naga-marah-mengaduk-laut.
Tetapi Kaki-buntung tak mau menghindar. Ia kiblatkan pedangnya untuk menangkis. Pedang
Siangkwan Ko terbuat dari bahan pilihan, beratnya berpuluh-puluh kati. Karena bentuknya
panjang. dapat digunakan juga sebagai tongkat besar. Diapun tak mau mundur. Tring….
Rupanya Siangkwan Wan-ceng terkejut mendengar benturan senjata yang menderingkan bunyi
tajam dan nyaring. Tiba-tiba ia berhenti.
Saat itu Siangkwan Wan ceng sudah tiba di arena adu senjata itu. Asal maju selangkah lagi,
dara itu tentu celaka. Kalau tidak dimakan pedang ayahnya tentu terkena hantaman tongkat besi
Kaki buntung.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
“Hm…. bagus!” bentak Kaki buntung lalu memutar tongkatnya sederas angin puyuh.
Permainannya memang aneh sekali. Setiap pukulan, sukar diduga sehingga membuat jago tua
Siangkwan Ko itu tak berdaya untuk balas menyerang.
Kiblatan tongkat besi beberapa kali melayang di muka Siangkwan Wan ceng. Kalau sampai
mengenai jenazah Ting Ling, tentu jenazah itu akan hancur. Kalau kena Siangkwan Wan-ceng,
dara itupun tentu mati atau terluka berat.
Melihat itu terpaksa Siangkwan Ko menyurut mundur agar tongkat lawan jangan sampai
mengenai puterinya.
Di luar dugaan begitu Siangkwan Ko mundur, si Kaki-buntungpun menarik tongkatnya tak mau
mengejar.
Ternyata anak buah Lam hay bun itu meskipun tampaknya berpencaran tetapi sesungguhnya
mereka telah membentuk diri menjadi suatu barisan. Tiap orang mempunyai batas lingkaran gerak
sendiri. Apabila ada yang kesulitan, boleh saling membantu. Karena Siangkwan Ko sudah keluar
dari batas lingkaran geraknya, Kaki-buntungpun tak mau mendesak lagi.
Han Ping mencurahkan padang kearah Siangkwan Wan-ceng dan Ting Ling. Serentak
melayanglah pikirannya akan kebaikan kedua nona itu kepada dirinya. Makin terkenang. hatinya
makin senda. Sesaat kemudian darahnyapun meluap luap lalu tiba-tiba berteriak, “Ih Thian-
heng….”
Nyaring sekali seruan itu sehingga seluruh ruangan berkumandang keras.
“Mengapa?” Ih Thian-heng terkesiap.
“Aku hendak bertanya sesuatu hal, entah apa apakah engkau suka memberitahu?” tanya Han
Ping.
“Silahkan saudara Ji bertanyalah.”
“Nona Ting terluka ditanganmu, dengan cara bagaimana? Apakah masih dapat ditolong?”
“Dengan tutukan Kek gong-tiam- hiat! Dapat tertolong atau tidak, setelah kuperiksa baru dapat
diketahui,” sahut Ih Thian-heng.
“Asal engkau dapat menolong jiwa seorang lagi. berarti akan mengurangi kedosaanmu,” seru
Han Ping.
Ih Thian-heng tersenyum, serunya, “Walaupun hari ini aku dapat melakukan kebaikan tetapi
hanya terbatas. Sukar untuk menghapus kejahatan yang telah kulakukan di masa lampau.”
“Bila engkau mampu menghidupkan nona Ting, budi dan dendam kita, memang makin ruwet,”
seru Han Ping.
Ih Thian-heng memandang wajah Siangkwan Wan-ceng, katanya pelahan, “Lebih baik suruh
mereka masuk kemari dulu….”
ooo000ooo
Naga lawan harimau.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
“Biarlah kusambut meraka,” kata Han Ping seraya maju menghampiri. Ia memberi hormat
kepada Kaki buntung, “Kedua nona itu. yang satu meninggal dan yang satu terluka. Sudah tak
maungkin melawan lagi. Seorang kesatrya takkan melukai wanita dan orang yang lemah. Sudilah
saudara suka memberi jalan kepada mereka.”
Walaupun si Kaki buntung itu berwatak keras dan bengis tetapi demi mendengar kata-kata Hari
Ping, ia tampak kerutkan kening merenung. Sebenarnya dia memang berwatak ksatrya.
“Baiklah,” sesaat kemudian ia berseru, “membiarkan mereka masuk memang boleh tetapi aku
tak dapat membiarkan mereka keluar lagi.”
“Baiklah,” kata Han Ping, “nanti keluarnya akulah yang akan mengantar mereka.”
Kaki-buntungpun menyisih kesamping dan memberi jalan. Cepat Han Ping maju dua langkah
dan memberi hormat, “Nona Siangkwan.”
Tetapi Siangkwan Wan-ceng hanya tertawa rawan tak menyahut.
Han Ping kerutkan kening, pikirnya, “Agaknya nona ini seperti hilang kesadaran pikirannya.
Sukar untuk bicara dengan dia. Dan dihadapan sekian banyak orang, akupun sungkan untuk
menarik tangannya.”
Selagi Han Ping ragu-ragu, tiba-tiba Siangkwan Ko melangkah maju dan berseru pelahan,
“Ceng ji, Ceng-ji, bagaimana engkau?” Ia terus menarik lengan puterinya melangkah maju.
Ting Kopun bergegas menyongsong jenazah puterinya, Ting Ling.
“Lo cianpwe, harap berikan puterimu kepada Ih Thian-heng. Coba saja dia dapat menolong
atau tidak,” kata Han Ping.
Tanpa menjawab Ting Ko pun menghampiri ke tempat Ih Thian heng. Ih Thian heng
memeriksa wajah nona itu dengan seksama, meraba pernapasannya lalu berkata, “Tak dapat
ditolong lagi….”
“Tetapi.” katanya pula. “kematian nona Ting ini bukan karena tanganku….”
“Dengan mata kepala sendiri aku melihat engkau telah memukul anakku, mengapa engkau
masih berani menyangkal!” teriak Raja Lembah-setan Ting Ko dengan marah.
“Saudara Ting seorang yang ahli dalam ilmu silat. Tentu mengerti bahwa pukulan jarak jauh
Kek-gong-tam- hwat-jiu-hwat itu tak mungkin dapat merenggut jiwa puterimu.”
“Kalau tak dapat ditolong, apa boleh buat….” kata Han Ping.
Tiba-tiba si data baju ungu yang sudah begitu lama tak bersuara. menyeletuk, “Dia makan
racun dan menderita luka berat. Kesempatan hidup, memang amat tipis sekali. pukulan dengan
tenagadalam dari jarak jauh yang dilepas Ih Thian-heng, hanya mempercepat kematiannya saja.
Kalau saat ini tersedia obat yang dapat menghilangkan racub dalam tubuhnya, kemungkinan
masih ada setitik harapan untuk menghidupkannya….”
Sepasang mata Han Ping berkilat-kilat, serunya, “Ih Thian-heng, apakah engkau yang memberi
racun kepada nona Ting?”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
“Ya.” sahut Ih Thian-heng, “tetapi obat penawarnya tidak sukar. Yang sukar yalah setelah
racun ditawarkan, lalu cara penyembuhan selanjutnya….”
“Cobalah engkau halau racun dalam tubuhnya baru nanti cari daya untuk menolongnya,” kata
Han Ping.
Tiba-tiba terdengar Hui In taysu herseru ‘omitohud’ lalu berkata, “Kalau li sicu berkeras tak mau
memberi jalan, akupun terpaksa akan membobol!”
Lalu serentak terdengarlah dering senjata beradu dan pukulan saling berhantam.
Han Ping tetap memikirkan keadaan Ting Ling, tanpa berpaling ia segera berseru keras, “Ih
Thianheng, apakah engkau dengar kata kataku tadi?”
Ih Thian-heng terkesiap, serunya, “Ya, dengan jelas!”
“Racun dalam tubuh nona Ting, engkaulah yang memberi. Dan luka-luarnya engkaulah yang
membuatnya dengan pukulan Kek-gong- tam-hiat-jiu-hwat Kalau engkau tak dapat menolongnya,
siapakah lagi yang mampu menolong?”
“Berusaha, tiada jeleknya. Berhasil atau gagal, tak boleh dipastikan,” sahut Ih Thian-heng.
“Kalau engkau sungguh-sungguh berusaha, aku sudah sangat berterima kasih.” kata Han Ping.
Tiba-tiba berkatalah Ih Thian hang dengan wajah serius, “Aku dengan engkau, seperti air
dengan minyak tak mungkin akur. Kita mungkin hidup bersama. Maka engkau tak layak
menghaturkan terima kasih kepadaku. Terhadap engkau, aku hanya mengandung dendam
penasaran, tiada budi lagi. Hal ini engkau harus ingat benar!”
Han Ping tertegun. Tiba-tiba ia menghela napas dan tak bicara lagi.
Dengan wajah mengerut serius, mulailah Ih Thian-heng memeriksa pergelangan nadi Ting Ling.
Dan Han Pingpun mencurahkan perhatiannya kepada pertolongan Ih Thian heng itu. Seolah olah
tak menghiraukan keadaan di sekelilingnya saat itu.
Tiba-tiba Ih Thian-heng kerutkan alis lalu berbangkit dan berpaling memandang ke arah Nyo-
Bun-giau.
“Mengapa engkau memandang aku?” seru Nyo Bun- giau dengan wajah berobah.
Ih Thian-heng tertawa tawar. “Mengapa aku memandang engkau, masakan saudara Nyo tak
merasa?”
Wajah Nyo Bun-giau berobah-robah. Sebentar merah sebentar pucat. Dan hatinya berguncang
keras.
Han Ping heran, serunya, “Eh, kalian berdua mengapa itu?”
Ih Thian-heng, tersenyum, “Tidak apa-apa. Aku hanya melihati saudara Nyo saja.”
Karena tak kuasa menahan getaran hatinya, tiba-tiba Nyo Bun-giau menggembor keras, “Ih
Thian-heng. aku tak perlu pemberian budimu. Aku tak takut, engkau mengatakan dengan terus
terang!”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ih Thian-heng tertawa. “Kalau saudara Nyo hendak mengatakan sendiri, akupun takkan
merintangi.”
Walaupun saat itu sebelah tangannya sudah remuk dan kesaktiannya berkurang, Namun sikap
dan bicaranya masih berwibawa sebagai seorang datuk durjana kelas wahid!
Nyo Bun-giau terkesiap. Dilihatnya Han Ping, Siangkwan Ko, Ih Thian-heng dan lain2 orang,
tengah memandang kepadanya. “Baiklah, aku akan bicara,” kata Nyo Bungiau karena tak tahan
lagi, “Tentang nona Ting akulah yang melukainya. Sekalipun Nyo Bun-giau tidak turun tangan,
tetapi nona itu memang tak dapat bertahan hidup lebih lama lagi.”
Han Ping kerutkan alis, berseru keras, “0, kiranya engkau….” sekali kaki bergerak, ia terus
menyerang Nyo Bun-giau.
Tetapi Ih Thian-heng cepat menghadangnya, “Sabar dulu saudara Ji, kalau saudara hendak
menolong nona Ting, terpaksa harus minta saudara Nyo yang mengobati.”
Han Ping hentikan langkah, memandang Nyo Bun-giau dengan berapi-api.
“Ih Thian-heng,” kata Nyo Bun-giau, “tak perlu engkau yang mengatakan, akupun memang
akan menolong nona Ting.”-ia terus melangkah ke tempat Ting Ling. Dia memang takut kepada
Han Ping.
“Tunggu dulu!” tiba-tiba si dara baju ungu berseru lagi.
“Kenapa?” tanya Nyo Bun-giau.
Berkata dara baju ungu itu dengan dingin, “Kalian tak ada yang mampu menolongnya….”
Han Ping berobah wajahnya, “Mengapa….?”
“Kukatakan tak dapat menolong, tentu tak dapat menolong,” kata dara baju ungu.
Han Ping marah. “Tetapi justeru aku tetap akan menolongnya….”
“Sekalipun kalian saat ini dapat melenyapkan racun dalam tubuh, takkan tertolong jiwanya,”
kata dara baju ungu.
“Lenyapkan dulu racun baru nanti berusaha menolong jiwanya!” seru Han Ping.
Dara baju ungu tertawa dingin. “Berusaha apa lagi? Kalau engkau tak melenyapkan racun, aku
masih dapat manjaga agar jenazahnYa tetap utuh dan cantik. Tetapi kalau tidak, hm tubuh
secantik itu tentu segera akan menjadi tulang belulang yang busuk.”
Merenung sejenak, Han Ping bertanya, “Apakah benar-benar sudah tak dapat ditolong lagi?”
Kata dara baju ungu itu pelahan-lahan, “Memang masih ada jalan….”
“Jalan bagaimana?”
“Walaupun kukatakan tetapi rasanya engkau tentu tak dapat melakukan cara itu,” kata si dara
baju ungu lalu mengeliarkan pandang matanya ke sekalian orang, “bukan hanya engkau, mereka
pun juga tiada satupun yang mampu.”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
“Lalu nona sendiri?” tanya Ih Thian-heng. Dara itu gelengkan kepala pelahan, “Aku juga tak
dapat.”
Han Ping berseru penasaran, “Kalau siapa saja tak dapat, berarti tak ada cara pengobatannya!”
Dara itu menghela napas pelahan, serunya, “Kecuali ada orang yang dapat menarik ayah. Pasti
ibuku ikut campur. Dengan tenaga dalam kedua orang itu tentu dapat menolong jiwa nona Ting!”
Han Ping memandang ke arah ketua Lam-hay-bun lalu melirik kepada wanita cantik, serunya
menegas, “Sungguhkah hal itu?”
“Kapan aku bohong?” seru dara itu marah.
Tampak sepasang mata ketua Lam-hay-bun berkilat, serunya, “Toto, ayahmu ini bukan seorang
manusia dewa! Bagaimana dapat menghidupkan orang yang sudah mati?”
“Ayah seorang memang tak mampu,” sahut si dara.
Ucapan dara itu rupanya menyentuh hati wanita cantik, serunya cepat. “Nak, ibu belum pernah
belajar ilmu menolong orang yang terkena racun.”
“Kalau hanya ibu seorang, memang takkan dapat,” seru si dara pula.
Wanita cantik itu hendak membuka mulut atau tiba-tiba ia merasa sepasang mata ketua Lam-
hay-bun itu tengah berkilat-kilat memandang kepadanya. Terpaksa ia hanya mendengus dan diam
lagi.
Han Ping melihat wajah Ting Ling yang pucat Iasi. Segera ia teringat akan budi kebaikan nona
itu kepadanya selama ini. Mau tak mau hatinya pun rawan dan diam-diam menimang, “Bila ada
orang atau obat yang mampu menolongnya, apa dan bagaimana berbahayanya, aku tentu akan
berdaya untuk mendapatkannya.”
Dara baju ungu menghela napas panjang. serunya “Ah, tak perduli engkau berbanyak hati lagi.
Kalau ayah dan ibuku tak mau bekerja sama, sekalipun engkau memperoleh daun obat Leng ci
yang berumur seribu tahun, atau ginseng ribuan tahun, pun tetap takkan mampu menolongnya.
Ketahuilah bahwa keadaan tubuh nona Ting saat ini sudah kehilangan pusat sumber penggerak
darah, daging tubuhnya sudah tak dapat bekerja lagi. Kecuali dengan obat sakti, pun harus
disaluri dengan tenaga dalam sakti agar daya kerja urat2 dan jalandarahnya dapat pulih kembali.
Dengan demikian barulah ia mempunyai harapan hidup lagi.”
Kembali Han Ping memandang kearah ketua Lam-hay-bun dan wanita caniik. Ditatapnya kedua
suami isteri yang aneh itu lekat2.
Pikiran dan hati Han Ping penuh dicengkam dengan berbagai perasaan. Antara membalas sakit
hati kematian orangtuanya dan menolong Ting Ling. Kedua hal itu ia harus dapat
menyelesaikannya.
Tiba-tiba terdengar hambusan napas yang sarat dan terengah-engah dari Hui In taysu.
Ternyata paderi Siau-lim-si itu tengah mengadu tenaga-dalam dengan nenek Bwe. Wajah
keduanya tampak tegang, keringat bercucuran seperti hujan mencurah.
Suasana dalam ruang itu sepi sekali.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tiba-tiba Han Ping berbatuk-batuk untuk memecahkan kesunyian lalu berkata pelahan lahan
kepada Ih Thian-heng, “Kaum persilatan mengatakan engkau kejam dan ganas. Kejahatanmu
menumpuk setinggi gunung. Tetapi kusaksikan sendiri engkau telah melakukan beberapa
perbuatan baik. Berani berbuat berani tanggung jawab. Tak ubah seperti laku seorang ksatrya.”
Ih Thian-heng tersenyum, “Ah, jangan kelewat memuji….”
Han Ping mengalihkan pandang matanya kepada ketua Lam-hay-bun, serunya, “Lo cianpwe
dengan jerih payah telah menciptakan makam tua ini dan dengan meminjam kemasyhuran nama
pedang Pemutus Asmara, telah merangkai suatu cerita khayal yang menggemparkan dunia
persilatan Tiong-goan yang saling bunuh membunuh. Apakah sesungguhnya maksud tujuan lo-
cianpwe berbuat begitu?”
Ketua Lam-hay-bun tertawa dingin, “Dengan makam tua ini aku hendak membasmi manusia2
yang mangejar nama dan temaha harta benda….-”
“Engkau mendirikan makam tua yang penuh alat-alat maut. Lalu anakmu mengundang seluruh
jago2 silat dalam dunia agar menyaksikan betapa hebat kelihaian dan kesaktianmu. Apakah itu
bukan tindakan hendak mengejar nama?” seru Han Ping.
“Tiada seorang pun di dalam dunia yang berani bicara sekasar itu kepadaku. Nyalimu sungguh
besar sekali!” teriak ketua Lam-hay-bun marah.
Tetapi Han Ping tak gentar, serunya, “Hanya karena kalah dalam soal Asmara dan Kesaktian
dengan Hui Gang taysu, maka engkau tumpahkan kemarahan kepada seluruh kaum persilatan
Tionggoan! Engkau ciptakan makam tua ini sematamata sebagai alat untuk membasmi seluruh
kaum persilatan Tiong-goan. Dengan begitu engkau hendak mengangkat nama dan membalas
kekalahanmu kepada Hui Gong taysu….”
Seketika berobahlah wajah ketua Lam-hay-bun, bentaknya, “Kalau ya, lalu engkau mau apa?”
“Kalau engkau sudah mengakui begitu, jelas hatimu itu beratus kali lebih ganas dari Ih Thian-
heng!” kata Han Ping dangan nyaring.
Bum…. tiba-tiba terdengar suara benda runtuh. Ternyata Hui In taysu dan nenek Bwe sama-
sama rubuh ke tanah.
Kiranya kedua tokoh itu sama kuatnya. Tenaga-dalam mereka berimbang tetapi karena mereka
sama-sama ngotot. akhirnya keduanya kehabisan tenaga. Mereka menderita luka-dalam dan lantas
rubuh.
Sekonyong-konyong Han Ping menengadahkan muka dan bersuit panjang lalu berseru nyaring,
“Aha, lagi jatuh korban ngeri dari perbuatan manusia yang mengejar nama….”
Terdengar alun gelombang doa nyanyian yang khidmat dan rawan. Rombongan paderi Siau-lim
tengah berlutut mengerumuni tubuh Hui In taysu dan menyanyikan doa keagamaan yang
menyayat hati.
Berkatalah ketua Bu-tong-pay, imam Thian Ci, “Sekalipun tokoh-tokoh dalam ruang ini akan
menderita luka atau binasa tetapi di luar ruangan masih menunggu jago2 dari sembilan partai
persilatan….”
Ketua Bu-tong-pay itu menutup kata-katanya dengan mengayunkan pedang dan menerjang
keluar.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ong Kwan-tiong cepat maju menghadang serunya, “Setiap orang hanya boleh keluar sebagai
mayat, tidak boleh masih bernyawa!”
Ketua Bu-tong pay tertawa dingin. serunya, “Apakah hendak mencoba pedangku ini?”-Sekali
tangan bergerak maka pedangpun segera berobah menjadi lingkaran sinar.
Ong Kwan-tiongpun segera tusukkan senjatanya yang berbentuk seperti garisan panjang.
Thian Ci totiang tertawa dingin. Sekonyongkonyong ia ajukan kaki kiri, menekankan pedangnya
ke bawah dan seketika memancarlah tenagadalam yang menyedot senjata lawan lalu digelincirkan
ke samping.
Ong Kwan-tiongpun licin. Begitu senjatanya disedot ke samping ia terus menyerempaki dengan
menusuk ke lambung lawan.
Serangan Ong Kwan-tiong itu tak terdugaduga oleh ketua Bu tong-pay. Thian Ci totiang
memang tak mengharapkan bahwa cara yang dilakukannya itu dapat melukai lawan. tetapi ia tak
menduga sama sekali bahwa Ong Kwan tiong ternyata begitu licin dan lihay. Karena itu terpaksa
paksa ia menyurut mundur seraya bolang balingkan pedang untuk melindungi diri.
Ong Kwan-tiong tetap tegak berdiri di tempat tak mau mengejar.
Tampak si dara baju ungu lari menghampiri dan berlutut di dekat tubuh nenek Bwe lalu
memeluknya. Diguncang-guncangnya tubuh nenek itu seraya memanggil-manggil namanya.
Ibunya, wanita cantik berpakaian puteri keraton melekatkan pandang matanya kepada si dara.
setiap saat siap akan bergerak apabila ada orang yang berani mengganggu puterinya.
Thian Ci totiang, ketua Bu-tong- pay, tegak berdiri menenangkan pikiran. Diam-diam dia sudah
merenungkan tenaga dalam aneh yang dipancarkan dari senjata Ong Kwan-tiong.
Sesaat kemudian ia segera mainkan pedangnya pula. Kali ini dia sudah mempunyai persiapan.
Tak mau gegabah menyerang, jurus serangannya dilambari dengan tenaga-dalam yang penuh.
Ong Kwan-tiongpun segera menyambut dengan senjatanya berbentuk penggaris pandang yang
disebut Thian-sing ci atau Panggaris-bintang. Kedua tokoh itu pun bertempur seru lagi.
Ilmu pedang partai By-tong-pay, dianggap sebagai ilmu pedang aliran Ceng-cong atau asli.
dimainkan maka berkembanglah sinar pedang ke delapan penjuru. Angin menderu-deru, dahsyat
dan berwibawa sekali.
Tetapi senjata Thian-sin-ci dari Ong Kwan-tiong memancarkan tenaga-dalam penyedot yang
aneh dan hebat. Berulang kali dapat menyedot pedang lawan dibawa menjulang ke atas.
Dua senjata itu laksana dua buah halilintar yang saling menyambar. sedikit saja terbuka
peluang kelemahan, tentu akan terancam.
Rupanya ketua Bu-tong- pay itu mengalami kesulitan menghadapi tenaga dalam penyedot dari
senjata Ong Kwan-tiong.
Dalam pada Itu Han Ping keliarkan pandang matanya ke sekeliling. Diam-diam la menimang,
“Anakmurid Lam-hay-bun. ternyata memiliki ilmu kepandaian yang tinggi semuanya. Jelas ketua
Lam-hay-bun itu tentu hebat sekali kepandaiannya.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
“Menilik kekuatan saat ini,” masih Han Ping menimang dalam hati, “kaum persilatan dunia
Tiong-goan, apabila mau melupakan dendam permusuhan masing-masing untuk bersatu padu
menghadapi mereka. Entah bagaimana kesudahannya, tentulah dapat memaksa orang Lam-hay-
bun untuk melepaskan pertempuran ini! Sayang dendam permusuhan di antara kaum persilatan
Tiong-goan itu sudah sedemikian mendalam dan pelik. Untuk menganjurkan mereka supaya
menghapus dendam dan bersatu, sukar sekali. Pada akhirnya, mereka tentu akan dihancurkan
oleh orang Lam-hay-bun di makam tua ini. Jalan satu-satunya pada saat ini ialah menganjarkan
supaya kawan2 Tiong-goan itu mau membuang dulu dendam permusuhannya dan bersatu.
Dengan damikian mungkin dapat terhindar dari bahaya maut di makam ini.”
Melihat nenek Bwe rubuh di tanah, ketua Lamhay-bun tetap tenang. setitik pun tak mengunjuk
sikap terkejut atau pun reaksi apa-apa. Diam-diam Han Ping merasa ketua Lam hay-bun itu
seorang yang ganas sekali. Lebih ganas dari Ih Thian-heng.
Dilihatnya pengemis sakti Cong To mengambil buli2 arak dari punggung dan meneguknya dua
kali. Setelah itu berseru, “Ji laute, pengemis tua hendak menyampaikan beberapa patah kata.
Entah engkau suka mendengarkan atau tidak?”
“Ah, silahkan saja toako mengatakan,” sahut Han Ping.
Sejenak Pengemis-sakti itu mengeliarkan pandang ke arah rombongan tokoh-tokoh silat Tiong-
goan lalu berkata, “Orang-orang itu sesungguhnya manusia2 yang banyak dosa dan harus mati.
Tetapi keadaan saat ini bukan waktunya untuk menerima hukuman.”
Tiba-tiba terdengar si dara baju ungu berteriak, “Au bungkuk, lekaslah engkau kemari
membantu aku menutuk dua buah jalandarah Bwe Nio ini.”
Tetapi mata si Bungkuk memandang wajah si dara dan wajahnya menampilkan ketakutan lalu
berseru dengan terbata-bata, “Nona, nona…. “
“Jangan takut,” kata si dara, “Asal engkau kemari segala apa aku yang tanggung.”
Si Bungkuk terpaksa menurut. ia maju menghampiri ke tempat si dara. Sambil berjalan ia
memandang ke arah ketua Lam-hay-bun sehingga langkah kakinyapun berat dan pelahan. Jelas
dia gelisah dan ketakutan sekali.
Dua orang paderi berjubah merah tiba-tiba berdiri dan menghadang si Bungkuk.
Rupanya wanita cantik itu tahu bahwa kedua paderi itu hendak bermaksud buruk terhadap
puterinya maka cepat ia membentak dingin:!”Rubuhlah!”
Sekali tangannya mengayun maka kedua paderi itupun segera rubuh.
Sekalian tokoh-tokoh silat terkejut. Diam-diam mereka membatin, “Pada jarak enam tujuh
meter jauhnya wanita itu dapat merubuhkan dua orang paderi Siau-lim. Kepandaiannya, benar-
benar mengejutkan orang.”
Han Ping kerutkan alis, menundukkan kepala berkata kepada Cong To. “Bukankah toako
menghendaki supaya untuk sementara ini aku jangan mengurus soal dendam permusuhan atas
kematian ayah bundaku?”
“Kalau engkau hendak membalas sakithati orangtuamu, jangan harap seumur hidup kita dapat
keluar dari makam ini,” kata Cong To.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Berkata Han Ping dengan nada lapang, “ Menolong orang lebih penting dari membalas sakit
hati, apalagi toako yang memerintahkan.”
Pengemis Sakti Cong To tertawa, “Membalas dendam sakithati orangtua, bukan pengemis tua
ini hendak melarangmu. Tetapi setelah keluar dari makam ini, pengemis tua tentu akau
membantumu untuk melaksanakan pembalasan sakithati itu,”
“Ah, aku tak berani mengharap bantuan toako,” kata Han Ping,” asal pada saat itu toako suka
menghadiri sebagai saksi, aku sudah merasa berterima kasih.”
Ia berputar tubuh lalu melangkah ke tempat Hui In taysu.
Melihat dua orang paderi rubuh, rombongan paderi Siau lim itu sudah tak dapat menahan
kesabarannya lagi. Kesedihan hati mereka berobah menjadi dendam kemarahan yang berkobar-
kobar. Diam-diam mereka berunding untuk mengatur langkah untuk serempak menerjang musuh.
Han Ping dapat mengetahui sikap kemarahan rombongan paderi itu. Ia segera memberi
hormat, serunya, “Para suhu sekalian, harap untuk sementara ini suka bersabar. Ijinkan kulihat
bagaimana luka Hui In taysu.”
Jarak pertempuran adu tenaga-dalam antara Hui In taysu dengan nenek Bwe hanya satu
meter. Pada saat Han Ping menghampiri ke tempat Hui In, ia segera membau bau harum dari
tubuh si dara baju ungu.
Saat itu kedengaran wanita cantik tartawa dingin. serunya, “Barangsiapa yang hendak
mencelakai anakku, berarti hendak cari mati sendiri.”
Tiba-tiba tergeraklah hati Han Ping, pikirnya, “Dengan menjebak kita ke dalam makam tua ini,
jelas ketua Lam hay-bun itu tentu sudah mempunyai persiapan. Tetapi mengapa dia tak segera
melaksanakan rencananya itu tentulah karena hendak menunggu supaya kita saling berhantam
sendiri agar kekuatan kita menjadi habis. Tetapi mereka juga mempunyai kelemahan: Diantara
kedua suami Isteri itu rupanya tidak akur, saling membawa kemauannya sendiri. Kemungkinan hal
itu juga menyebabkan ketua Lam hay bun tak mau lekas-lekas menjalankan rencananya. Kalau
tidak, tentulah dia sudah melaksanakan alat-alat yang telah direncanakan itu untuk
menghancurkan seluruh tokoh Tiong-goan. Dan rupanya dia yakin kalau mampu melakukan
pembasmian itu sehingga tampaknya dia begitu tenang dan tenteram….”
Makin merenung, Han Ping makin besar kecurigaannya. Dikeliarkannya pandang matanya ke
sekeliling ruangan.
Setelah sebelah tangannya lumpuh, Ih Thian-heng menyadari kalau dirinya bakal tak mungkin
dapat terlepas dari pedang Han Ping. Ruangan itu dijaga ketat oleh anak buah Lam-hay-bun yang
berkepandaian sakti. Diam-diam ia sudah merasa putus-asa.
Tetapi di kala mendengar Han Ping menyetujui permintaan Cong To agar jangan mengungkat
permusuhan lagi dan untuk sementara jangan mencari balas atas kematian kedua orangtuanya,
timbullah semangat Ih Thian-heng. Apalagi Han Ping pun menyetujui untuk bekerja sama
menghadapi orang Lam-hay-bun.
Ih Thian-heng memang cerdas. Melihat Han Ping memandang kian kemari. segera ia dapat
menyelami isi hati anakmuda itu.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Di lain fihak ketua Lam-hay bunpun memperhatikan gerak gerik Han Ping. Segera ia tertawa
dingin. “Andaikata dalam ruang ini terdapat barisan gelap, pun tak perlu harus kugerakkan.”
Diam-diam Han Ping membatin, “Hmm…. orang tua itu tak boleh dipercaya. Aku harus tetap
berusaha mencari akal untuk membobolkan makam ini.”
Tiba-tiba mata Han Ping tertumbuk pada si dara baju ungu. Seketika timbullah pemikirannya.
“Dara baju ungu ini rupanya merupakan puteri kesayangan dari kedua suami istri itu. Apabila
dapat menawannya mungkin dapat menekan ketua Lam-hay-bun untuk membiarkan kita keluar.
Asal sudah berada diluar makam ini, kita tak perlu takut kepadanya lagi.”
Dengan pemikiran itu, tiba-tiba ia loncat dan secepat kilat menyambar lengan si dara dan
tangan kirinya segera menghantam.
Dengan gerakan itu jelas membuktikan betapa kemajuan yang diperoleh dari pengalaman
selama ini. Di samping kepandaiannya maju pesat, kecerdasannya menghadapi lawan pun
semakin bertambah banyak.
Seperti yang diduganya, memang pada saat tubuhnya melambung di udara, wanita cantik ibu si
dara baju ungu itu segera gerakkan tangan kanan menghantamnya.
Seutas sinar perak yang halus seperti rambut segera meluncur ke arah Han Ping. Tetapi karena
anakmuda itu sebelumnya sudah membarengi dengan sebuah pukulan, sarangan sinar putih
selembut rambut itupun dapat dihalau.
Tetapi itu masih belum berarti bahwa Han Ping sudah terlepas dari bahaya. Karena setelah
melepaskan senjata gelap, wanita cantik itupun menyerempaki menyerbu.
Gerakannya memang cepat sekali tetapi Han Ping tetap lebih cepat lagi. Dia sudah dapat
mencekal lengan si dara lalu ditariknya ke muka.
Dengan menghadapi perisai itu, terpaksa wanita cantik terkeiut. Cara ia mencondongkan tubuh
ke belakang agar gerakannya terhenti lalu enjot kakinya mengantar sang tubuh kembali ke tempat
semula.
“Hmm, untuk sementara terpaksa aku harus berlaku kurang ajar kepada nona,” bisik Han Ping
kepada si dara jelita.
Dara itu mendengus dingin, “Bagus, bagus sekali ….”
Tampak ketua Lam-hay-bun berkilat-kilat memandang Han Ping lalu berseru dengan nada
sedingin es, “Ji Han Ping. bukankah engkau bermaksud hendak menekan aku dengan jiwa
puteriku itu?”
Jawab Han Ping, “Apabila dengan ilmusilat lo cianpwe hendak membunuh semua tokoh-tokoh
dalam makam ini, dengan segala kerelaan dan kekaguman, aku akan mempersilahkan lo-cianpwe.
Tetapi apabila engkau mempersiapkan segala macam alat rahasia….”
Ketua Lam-hay-bun tertawa gelak-gelak, “Untuk melampiaskan kedukaanku kehilangaan
seorang anak, kalian tentu akan kubasmi habis- habisan!”
Han Ping termangu, serunya, “Apakah engkau benar-benar berhati batu!”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tiba-tiba ia merasakan jari2 halus dari si dara baju ungu itu menggurat pelahan pada siku
tangannya dan kemudian daraa itu melengking merintih lalu jatuhkan kepalanya ke dada Han
Ping.
Kiranya setelah menguasai jalandarah tangan dara itu, tiba-tiba Han Ping menyadari bahwa
perbuatan itu tak kayak dilakukan oleh seorang ksatrya. Segera ia kendorkan cengkeramannya. Di
luar dugaan saat itu si daralah yang memegang erat lengan Han Ping.
“Hm, siapa yang berani melukai puteriku, bukan saja tulang2 mayatnya akan kucincang, pun
seluruh keluarganya akan kubunuh habis-habisan,” seru wanita cantik ibu si dara baju ungu.
Tiba-tiba dara baju ungu itu berseru pelahan, “Aduh. kemanjaan yang membikin aku mati….”
Dia memang suka melakukan suatu gerak yang aneh. Nada suaranya memang merawankan
hati sekali. Ketua Lam-hay-bun memandang ke arah isterinya.
“Kalau tidak saat ini, tunggu kapan lagi kita akan pergi?” tiba-tiba Ih Thian-heng berseru lalu
melangkah ke arah pintu.
Ong Kwan-tiong cepat memutar senjatanya dan berseru, “Berhenti!”
Ih Thian-heng tersenyum, “Kalau kalian orang Lam-hay-bun memang hendak menantang
bertempur, mari kita bertempur di luar makam. Kita cari sebuah tempat yang lapang dan mengadu
ilmu kepandaian sampai ada yang mati. jika kalian orang Lam-hay-bun benar-benar mampu
mengalahkan kaum persilatan Tiong-goan, kalian tentu dapat menguasai dunia persilatan Tiong-
goan. Tetapi pertempuran itu harus mengadu ilmu kepandaian yang sesungguhnya, agar masing-
masing fihak merasa puas!”
Seru Ong Kwan-tiong menyahut, “Kalau ingin keluar dari makam ini, hanya ada dua jalan.
Bertempur dengan kepandaian atau minta kepada suhuku….”
“Aku dan kawan2 akan memilih jalan kesatu,” seru Ih Thian-heng terus gerakkan tangan
menghantam.
Ong Kwan-tiongpun cepat songsongkan senjatanya untuk menusuk lengan Ih Thian-heng.
“Kita sama-sama menerjang!” Melihat itu Nyo Bun-giaupun berseru marah dan terus
menghantam Ong Kwan-tiong dari samping.
Tetapi tiba-tiba ia merasa segelombang tenaga kuat mendamparnya sehingga tenaga pukulan
dari Nyo Bun-giau itu terdorong ke samping.
Nyo Bun-giau berpaling dan melihat yang melepas hantaman itu si Kate.
Melihat itu Ca Cu jingpun berseru keras terus lontarkan sebuah pukulan Peh-poh-sin-kun atau
Pukulan-sakti-seratus-langkah.
Angin menderu-deru menghamburkan desis suara tajam yang menusuk telinga. Memang
pukulan Seratus-langkah itu merupakan pukulan yang diandalkan oleh Ca Cu jing.
Melihat itu si Bungkuk cepat menghantam untuk menangkis pukulan Peh-poh-sin-kun dari Ca
Cu-jing itu.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
JILID 9
Anak buah Lam-hay-bun telah mengambil posisi yang rapi. Betapapun Ih Thian-heng dan tokoh-
tokoh Tiong-goan itu melancarkan serangan yang gencar dan melontarkan pukulan2 yang dahsyat
namun orang-orang Lam-hay-bun itu selalu dapat menghindar ataupun menangkis dan akhirnya
menggagalkan serangan lawan.
Saat itu suasana dalam ruangan berobah kacau dan acak-acakan. Deru angin pukulan dan
lengking teriakan serta bentakan kemarahan dan hawa pembunuhan, telah memenuhi seluruh
ruangan.
Pertempuran telah dimulai.
Tiba-tiba si dara baju ungu yang masih rebah di dada Han Ping berbisik-bisik, “jangan lepaskan
aku. Ayah sudah mempersiapkan rencana pembunuhan besar-besaran dalam ruang itu. Sekalipun
kepandaianmu sakti tetapi tetap engkau tak dapat melawan. Adanya mereka tak mau segera
menjalankan alat pembunuhan itu adalan karena ayah dan Ibu masih saling bertengkar dan juga
masih menguatirkan keselamatan diriku.”
Mendengar itu Han Ping amat bersyukur, sahutnya, “tetapi nona begini….”
“Sudahlah saat ini jangan engkau banyak bicara,” cepat si dara baju ungu menukas. “Kalau
ayahku mengetahui engkau tak dapat melukai aku, celakalah….”
Han Ping menghela napas panjang dan diam.
Tiba-tiba Pengemis sakti Cong To berteriak keras, “Saudara2 sekalian, harap berhenti dulu.
Pengemis tua hendak bicara!”
Sekalian jago2 segera berhenti menyerang, dan menyurut mundur.
Sejenak Cong To keliarkan mata memandang ke segenap ruangan. Dilihatnya lelaki tua baju biru
atau ketua Lam-hay bun masih tetap bersikap dingin terhadap isterinya, wanita cantik berpakaian
puteri keraton. Demikian pula sikap wanita cantik itu terhadap ketua Lam-hay-bun. Tampaknya
kedua suami isteri yang tak akur itu tak mempedulikan suasana pertempuran disitu.
Melihat itu diam-diam pengemis sakti menghela napas, “Hai, kedua suami isteri itu benar-benar
manusia yang berhati dingin…. “
Kemudian Pengemis sakti berseru kepada sekalian tokoh-tokoh Tiong-goan, “Mereka sudah
mengatur kedudukannya dengan rapi, dapat saling memberi bantuan. Apabila fihak kita
menyerang secara acak-acakan, bagaimana mungkin bcrhasil membobolkan barisan mereka?”
Sekalian tokoh itu adalah tokoh-tokoh yang banyak pengalaman dalam dunia persilatan.
Mendengar kata-kata Cong To, segera mereka menyadari kekeliruannya.
Memang anak buah Lam-hay-bun itu mempersiapkan diri dalam tempat-tempat yang tepat.
Walaupun hanya Ong Kwan-tiong bertiga dengan si Bungkuk dan si Kate, tetapi mereka mampu
menghadapi serangan dari tokoh ternama seperti Ih Thian-heng, Ca Cu-jing, Nyo Bun-giau, Ting
Ko ketua Lembah raja-setan.
Kiranya rahasia dari pertahanan ketiga anak-buah Lam-hay-bun itu tak lain ialah gerak perubahan
kedudukan mereka yang begitu lancar dan rapi. Mereka dapat menggunakan siasat ‘meminjam
tenaga lawan untuk memukul kembali’. Dengan demikian pukulan2 dari Ih Thian-heng dan tokoh-Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tokoh lainnya itu, dapat dimanfaatkan dan dikembalikan kepada pengirimnya. Ketiga orang Lam-
hay-bun itu dapat bertahan betapapun lamanya.
Demikianlah dalam waktu singkat, Pengemis sakti Cong To dapat mengetahui rahasia kekuatan
orang Lam-hay-bun, lalu berseru menghentikan sekalian jago2 Tiong-goan.
Tiba-tiba wanita cantik tertawa dingin lalu melangkah ke tempat Bwe Nio. Menepuk beberapa
jalandarah pada tubuhnya lalu mengeluarkan sebutir pil diminumkan ke mulut Bwe Nio.
Sesaat kemudian terdengar nenek Bwe itu mengerang pelahan lalu pelahan-lahan duduk.
“Terima kasih cu-bo,” serunya pelahan kepada wanita cantik itu.
Sahut wanita cantik itu dengan dingin, “Sejak aku meninggalkan pulau Lam-hay Toto, telah
banyak menerima perawatanmu. Pertolonganku anggaplah sebagai pembalasan jasamu melayani
Toto sampai sekian tahun itu.”
“Ah, mana hamba berani menuntut jasa?” kata nenek Bwe, “nona, memiliki kecerdasan luar biasa
dan hamba selama mengikutinya banyak sekali mendapat manfaat….”
“Sudah, jangan banyak omong tak karuan,” tukas si wanita cantik lalu berpaling memandang si
dara baju ungu, “Toto, ibu hendak pergi, apakah engkau hendak ikut aku? Ataukah engkau akan
tinggal disini?”
Tiba-tiba dara baju ungu itu menjerit, “Aduh…. tulang lenganku hampir pecah, sakit sekali!”
Wanita cantik itu kerutkan dahi dan wajahnya pun segera menampilkan hawa pembunuhan.
Dengan tenang ia segera melangkah ke tempat Han Ping, tegurnya dengan nada dingin, “Kalau
engkau berani melukai puteriku, jangan harap engkau mampu hidup. Lekas lepaskan Toto!”
Jawab Han Ping, “Asal engkau memberi perintah supaya orang-orang itu membuka jalan, aku
tentu akan melepaskannya….”
Dan Han Ping lalu menutup kata-katanya dengan melekatkan pedang Penmutus asmara ke leher si
dara jelita, serunya, “Apabila nyonya menggerakkan tangan, puterimu terpaksa tentu menjadi
mayat.”
Mendengar ancaman itu seketika menyurutlah hawa pembunuhan pada wajah si wanita cantik.
Kini wajahnya bertebar keramahan dan matanya pun tampak berlinang-linang. Wajahnya berseri
keibuan yang penuh kasih sayang terhadap puterinya.
Sesaat kemudian ia berpaling dan berseru kapada Ong Kwan-tiong. “Kalian menyingkirlah ke
samping buka pintu dan lepaskan mereka!”
Ong Kwan-tiong terkesiap, serunya tersekat-sekat, “Ini, ini….”
“Kalian mendengar perintahku atau tidak?” seru wanita cantik itu dengan murka.
Ong Kwan-tiong serentak memberi hormat, serunya, “Ya, murid mendengar.”
“Kalau mendengar mengapa masih tak mau menyingkir ke samping,” seru wanita cantik pula.
“Suhu menitahkan murid menjaga tempat sekuat-kuatnya,” jawab Ong Kwan-tiong, “tak boleh
seorangpun melintasinya!”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Wanita cantik itu tertawa dingin, “Baik! Omonganku tadi seperti dianggap angin saja! Hm, dia
hendak mempergunakan makam ini sebagai tempat menyembunyikan alat-alat rahasia dan
benda2 beracun. Dia hendak membasmi seluruh tokoh-tokoh persilatan Tiong-goan. Untuk
melaksanakan citacitanya itu, dia tak mempedulikan lagi jiwa anaknya. Tetapi aku takkan
membiarkan dia bertindak begitu….”
Wanita cantik itu melangkah ke arah Ong Kwan-tiong dan melepaskan sebuah hantaman.
Ong Kwan-tiong tak berani menangkis, juga tak berani menghindar. Dia hanya berdiri menunggu
ajal.
Tiba-tiba ketua Lam-hay-bun lepaskan sebuah pukulan jarak jauh Biat-gong-ciang untuk
menghalau pukulan isterinya.
“Kalian menyingkirlah!” serunya kepada Ong Kwan-tiong.
Ong Kwan-tiong menurut, ia menyurut mundur ke samping. Melihat itu si Bungkuk dan si Kate pun
ikut mundur ke samping dan membuka sebuah jalan.
Wanita cantik tertawa dingin, serunya, “Buka Pintu dan lepaskan mereka keluar!”
Ong Kwan-tiong terkesiap. Tak tahu ia bagaimana harus bertindak.
Tiba-tiba ketua Law-hay-bun maju menghampiri dan berkata, “Betapa susah payah kubangun
makam tua ini. Kalau sekarang hendak engkau kacau, bukankah akan sia2 belaka segala jerih
payahku itu….”
Sahut wanita cantik, “Kalau engkau memang mempunyai kesaktian, mengapa engkau tak
menantang mereka untuk adu kepandaian? Dengan mengandalkan perkakas2 rahasia dalam
makam ini untuk mencelakai orang, bukanlah laku seorang ksatrya!”
“Apa pedulimu!” teriak ketua Lam-hay-bun dengan murka, “siapa suruh Engkau ikut campur?”
Tetapi wanita cantik itu tak gentar, bahkan malah menantang, “Kalau aku senang ikut campur,
engkau mau apa?”
“Yah…. mah….,! Aduh aku sakit sekali ini!” tiba-tiba dara baju ungu berteriak.
Ketua Lam-hay-bun tergetar hatinya. Ia berpaling ke arah puterinya lalu tertawa keras, “Ah….
ternyata Thian tak mengabulkan kehendakku. Hm, apa boleh buat.”
Tiba-tiba ia menampar dinding dengan tangan. Dinding batu yang licin itu seketika merekah
sebuah pintu.
Wanita cantik berpaling dan berkata dingin2 kepada Han Ping, “Pintu sudah terbuka. Seharusnya
engkau lepaskan dia!”
Han Ping keliarkan pandang. Dilihatnya mata sekalian tokoh-tokoh Tiong-goan itu mencurah
kepadanya dengan sikap yang tegang.
Karena melihat Han Ping masih ragu-ragu, ketua Lam-hay- bun marah dan membentaknya. “Nanti
mayatmu tentu akan kucincang sampai hancur lebur agar kebencian hatiku bisa terlampias.”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Rupanya wanita cantik itu memang sengaja hendak cari perkara dengan suaminya. Ia tertawa
mencemooh, “Rupanya dia telah mewarisi kepandaian dari Hui Gong taysu. Mungkin engkau tak
mampu mengalahkannya.”
Seketika berobah pucat pasilah wajah ketua Lam hay bun. Ucapan isterinya benar-benar
menyinggung hatinya.
Han Ping menghela napas panjang, serunya, “Lo-cianpwe berdua, harap suka memberi jalan agar
mereka yang terluka dapat keluar dari sini. Aku tetap akan tinggal disini. Asal sekalian orang yang
menderita luka itu sudah keluar semua, aku pasti akan melepaskan puterimu.”
Ketua Lam-hay-bun saling bertukar pandang dengari isterinya. Kemudian keduanyapun masing-
masing mundur selangkah.
“Silakan para suhu sekalian keluar dahulu,” seru Han Ping kepada golongan paderi Siau-lim-si.
Rombongan paderi Sian-lim-si itu memandang Han Ping lalu memanggul jenazah Goan-thong dan
Hui Ko, kemudian mengangkut Hui In taysu dan keluar dari ruangan itu.
Tiba-tiba terlintas sesuatu dalam benak Han-Ping cepat ia, berseru, “Suhu sekalian, harap berhenti
dahulu.”
Rombongan paderi itu tertegun dan hentikan langkah.
Han Ping segera maju menghampiri. Diam-diam ia kerahkan tenaga-murni dan beberapa kali
menutuk jalandarah di tubuh Hui In taysu. Kemudian mempersilahkan para paderi itu lanjutkan
keluar.
Para paderi menyambut dengan doa, pelahan lalu melangkah keluar.
Sejenak keliarkan pandang, berkata pula Han Ping dengan pelahan, “Siangkwan pohcu, Ting koh-
cu berdua, menderita luka parah. Harap lekas-lekas berobat. Mungkin masih dapat tertolong. Maka
silahkan keluar lebih dahulu.”
Mendengar itu Ting Ko lalu memanggul Ting Ling melangkah keluar. Pun Siangkwan Ko juga
segera memimpin tangan Siangkwan Wan-ceng, mengikuti di belakang Ting Ko.
Sikap dan keberanian Han Ping menghadapi maut bagai suatu hal yang tak mengerikan, benar-
benar telah membuat sekalian tokoh-tokoh Tiong-goan kagum dan secara, tak sadar mereka
menganggap pemuda itu sebagai pemimpin mereka.
Ketua Lam-hay-bun dan wanita cantik ternyata tak berbuat apa-apa. Mereka membiarkan saja
orang-orang itu keluar dari makam.
Tiba-tiba ketua Lembah-seribu-racun pesatkan langkah dan terus menerobos keluar dari pintu
batu itu.
Han Ping kerutkan alis. membentaknya perlahan, “Lo-cianpwe, nanti dulu, giliran yang belakang.”
Saat itu ketua Lembah-seribu-racun sudah hampir dekat pada pintu batu. Ia berhenti mendengar
suara Han Ping lalu balas membentak, “Mengapa?”
Kata Han Ping, “Cara lo-cianpwe bergerak mau menyelamatkan jiwa terlalu terburu-buru ….”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Betapapun halnya tetapi ketua Lembah seribu-racun itu merah juga mukanya mendengar kata-
kata Han Ping. Sahutnya, “Lambat atau cepat toh sama saja!”
Sesungguhnya yang ingin lekas-lekas keluar dari tempat itu bukan melainkan hanya Leng Kong-
siau. ketua Lembah seribu-racun itu seorang. Nyo Ban-giau, Ca Cu-jing dan lain2 juga ingin sekali.
Hanya saja mereka tak mau bergerak seperti ketua Lembah-seribu-racun yang begitu tergopoh-
gopoh itu.
Ternyata selain sayang akan jiwanya, pun orang-orang itu memang mengandung pikiran untuk
keuntungan diri sendiri. Mereka mengharapkan supaya lekas keluar baru ketua Lam-hay-bun itu
gerakkan alat perkakas rahasia agar semua orang yang masih berada dalam makam itu tertimbun
mati semua. Tambah seorang yang mati dalam makam itu, bagi yang masih hidup berarti suatu
keringanan karena berkurang seorang musuh yang kuat.
Ketua Lam hay-bun itu dingin2 saja melihat Han Ping laksana seorang laksamana yang memberi
perintah kepada anak buahnya. Demikian pula dengan wanita cantik, ibu si dara baju ungu.
Rupanya kedua suami isteri itu terpaksa harus mengalah demi memikirkan keselamatan puterinya
yang ditawan Han Ping.
Suasana dalam ruangan sunyi senyap. Tampak Han Ping tengah merenung dan entah apa yang
sedang dipikirkan.
Pengemis-sakti Cong To batuk-batuk pelahan sehingga kesunyian terpecah. Kemudian berkata,
“Saudara, apa yang engkau pikirkan?” tegurnya kepada Han Ping.
“Aku tengah berpikir apakah kita perlu tinggal disini atau tidak, untuk menyelesaikan pertempuran
dengan pihak Lam hay-bun. Memang kemungkinan kita bisa keluar dari tempat ini dengan
selamat, tetapi rasanya persoalan takkan habis sampai disitu saja. Dunia persilatan tentu masih
bergolak-golak dan kacau. Entah kelak akan membawa berapa banyak korban yang tak berdosa
lagi. Daripada hal itu terjadi besok, lebih baik kita selesaikan sekarang saja. Biar mati atau hidup,
tetapi hanya kita beberapa orang ini saja. Tak sampai menyeret lain2 orang yang tak sedikit
jumlahnya!”
Cong To tertawa gelak-gelak, serunya, “Benar, soal itu aku sendiripun sampai tak dapat memikir
jauh.”
Nyo Bun-giau tiba-tiba menyelutuk, “Kalau saudara Ji memang bermaksud begitu, kiranya tak
perlu tadi saudara melepas Siangkwan Ko dan Ting Ko keluar. Bukan saja kekuatan kita akan
berkurang, pun dengan bebasnya kedua orang itu, dunia persilatan tentu tak mungkin akan
aman.”
Jawab Han Ping, “Kedua orang itu sudah tua dan menderita kemalangan nasib karena puterinya
meninggal dan terluka. Kiranya pelajaran itu cukup mahal. Tetapi kalau memang tak sadar dan
tetap berkecimpung dalam kancah dunia persilatan untuk memburu nama mereka pasti akan
menderita kekecewaan ….”
Tiba-tiba Ca Cu-jing menyelutuk, “Kami ayah dan anak, kalau harus mati semua dalam ruang ini,
bukankah terlalu penasaran sekali….” sejenak ia berhenti lalu berkata pula, “Anakku, engkau juga
harus tinggalkan tempat ini.”
Tetapi Ca Giok menolak, “Tidak yah, aku akan menemani ayah disini….”
Ca Cu-jing membentak marah, “Mau tinggal disini agar ayahmu menderita kedukaan? Lekas
pergilah!”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Wut, ia lepaskan sebuah hantaman.
Ca Giok tak berani menangkis. Ia miringkan bahu ke samping untuk menerimanya. Seketika ia
rasakan sebuah arus tenaga dahsyat melanda sehingga tubuhnya terdorong mundur beberapa
langkah dan tepat tiba di samping pintu batu.
Ca Cu jing cepat menyusuli sebuah hantaman lagi kepada sang putera sehingga Ca Giokpun
terdorong keluar dari pintu.
Tiba-tiba Han Ping menengadahkan kepala dan bersuit nyaring. Ia lepaskan diri dari si dara baju
ungu lalu dengan mata berkilat-kilat dan tangan kanan mencekal pedang Pemutus asmara, ia
menjura di hadapan ketua Lam-hay bun.
“Lo-cianpwe. aku….”
Ketua Lam hay-bun mendengus dingin, “Apakah engkau hendak menguji aku dengan pukulan?”
Sahut Han Ping tegas2, “Silahkan lo-cianpwe memberi perintah untuk menutup pintu batu dan
siapkanlah barisan. Akulah yang pertama ingin mencoba kehebatan dari ilmusilat Lam-hay-bun.”
Kiranya pada saat itu benak Han Ping membayangkan ketika Hui Gong taysu tengah menurunkan
pelajaran kepadanya. Walaupun secara resmi dia bukan murid dari Hui Gong taysu, tetapi ia telah
menerima pelajaran dari tokoh Siau-lim itu. Ia harus mencurahkan segenap tenaga untuk menjaga
keharuman nama Hui Gong taysu sebagai bintang cemerlang dalam angkasa persilatan.
Pikiran aneh dalam hati Han Ping itu, tiada seorangpun yang dapat menduga. Bahkan Ih Thian-
heng yang cerdik, juga tak mengerti.
Sesaat Ih Thian-heng hanya tegak termangu-mangu memandang wajah Han Ping. Beberapa jenak
kemudian baru ia berkata pelahan-lahan, “Apakah saudara Ji hendak adu kepandaian di dalam
ruangan ini?”
Han Ping menyahut dengan nada bersungguh-sungguh, “Walaupun dalam ruang ini terdapat
barisan gelap, tetapi kupercaya, Lam-hay Sin-siu lo-cianpwe pasti takkan menggerakkannya.”
Ketua Lam-hay-bun tertegun, serunya, “Apakah di antara kalian ada yang layak menjadi lawanku?”
“Lo-cianpwe hanya karena mendendam kepada Hui Gong taysu maka dengan jerih payah
membangun triaLtien tua ini dan memperlengkapinya dengan segala bermacam alat-alat rahasia
untuk membunuhi kaum persilatan dunia Tiong-goan,” kata Han Ping, “tujuan lo-cianpwe tak lain
yalah karena hendak merebut kembali kehilangan muka dari Hui Gong taysu. Padahal peristiwa lo-
cianpwe dikalahkan Hui Gong taysu, kaum persilatan Tiong-goan hanya sedikit sekali orang yang
tahu. Apalagi kini Hui Gong taysu sudah meninggal dunia.”
Berhenti sejenak, Han Ping melanjutkan pula, “Seorang lelaki, masakan takut menghadapi
kematian? Walaupun tahu bahwa diriku bukan lawan yang layak dari lo-cianpwe. tetapi aku ingin
sekali menyerahkan jiwaku untuk menerima pelajaran ilmu kesaktian dari lo-cianpwe. Kalau aku
sampai terluka di tangan lo-cianpwe, mungkin dendam kemarahan Lo-cianpwe itu tentu akan
mereda. Tetapi kalau aku beruntung dapat mengalahkan lo-cianpwe, kuharap lo-cianpwe benar-
benar rela mengaku kalah kepada Hui Gong taysu.”
Seketika wajah ketua Lam-hay bun berubah gelap. Pelahan-lahan ia maju tiga langkah, serunya:
Hendak kuuji dulu sampai pada tataran manakah Ilmu Pedang terbang yang engkau yakinkan itu?”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Diam-diam Han Ping memang sudah kerahkan tenaga-murni. Pedang Pemutus asmara pelahan-
lahan digerakkan dalam bentuk setengah lingkaran di muka dadanya. Kemudian berkata dengan
serius. “Silahkan lo-cianpwe!”
“Aku akan mengalah sebanyak tiga jurus,” kata ketua Lam-hay-bun.
“Kalau lo-ciaupwe hendak mengalah, kurasa satu jurus saja sudah cukup,” seru Han Ping seraya
ajukan tangan melmutar pedang pusaka menjadi tiga kelompok sinar yang sekaligus menyerang
pada tiga buah jalandarah di tubuh ketua Lam-hay-bun.
Tampak ketua Lam Hay-bun gatarkan bahu kanannya. Tanpa berkisar kaki dan meliukkan lutut ia
menghindari serangan itu.
Han Ping menarik pulang pedang, serunya, “Harap lo-cianpwe suka turun tangan!”-ia terus loncat
maju. Pedang Pemutus-asmara berkiblat-kiblat memancarkan lingkaran Sinar bergulung2 bagai
ombak mendampar.
Ih Thian-heng yang menyaksikan dari samping diam-diam merasa bahwa ilmupedang anakmuda
itu dalam waktu yang singkat telah mencapai kemajuan besar.
Rupanya ketua Lam-hay-bun tetap pegang gengsi. Dia tak mau menggunakan senjata dan
melainkan menggunakan sepasang tangan untuk menghadapi serangan Han Ping. Tetapi gerakan
tangannya memang amat aneh sekali. Benar-benar suatu ilmu silat yang jarang terdapat di dunia
persilatan.
Ujung jarinya selalu mengarah untuk menusuk ke jalandarah lengan Han Ping sehingga anak-
muda itu terpaksa tiap kali harus hentikan serangan pedangnya di tengah jalan.
Sepintas pandang tampak pedang Han Ping itu menyambar bagai bianglala. Dan sambarannya pun
sedahsyat gelombang mendampar. Tetapi sesungguhnya, dia harus bertempur dengan susah
payah sekali. tangan ketua Lam hay- bun itu seperti ular yang selalu membayangi kemana
pemuda itu bergerak.
Pertempuran yang seru dan dahsyat itu membuat sekalian tokoh yang menyaksikan sama
membelalakkan mata lebar-lebar. Mereka seperti kena pesona. Perhatian dan mata tokoh-tokoh itu
mencurah lekas pada gerak gerik kedua orang yang sedang bertempur. Kerut wajah merekapun
berobah-obah tenang tenang menurutkan perobahan2 yang terjadi pada jurus2 pertempuran.
Menyaksikan adegan itu, tiba-tiba darah si dara baju ungu meluap ke atas kepala, Kepalanya
pusing dan rubuhlah ia ke tanah.
Untunglah si wanita cantik tahu dan cepat-cepat menyambar tubuh puterinya itu lalu dipeluk. “To-
ji, to-ji….”
Dalam beberapa waktu yang singkat itu berulang kali si dara baju ungu telah menderita
keguncangan perasaan hatinya. Dia memang seorang dara yang bertubuh lemah sehingga mudah
pingsan.
Melihat Han Ping bertempur sedemikian dahsyatnya dengan ketua Lam hay-bun, dara baju ungu
itu menjadi tenang sekali. Yang satu adalah ayah kandungnya. Dan yang satu adalah pemuda
yang amat dicintainya. Siapa pun diantara kedua orang itu yang akan rubuh, tentu akan membuat
hati si dara menderita sekali.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Melihat ayahnya dan Han Ping bertempur makin lama makin hebat, hati dara baju ungu itupun ikut
meningkat ketegangannya. Darah meluap dan akhirnya rubuhlah ia tak ingat diri….
Mendengar isterinya berseru memanggil puterinya, ketua Lam-hay-bun tanpa sadar memalingkan
muka sehingga perhatiannya lengah. Kesempatan itu telah diisi Han Ping dengan Dua buah
tahasan telah menutup serangan jari ketua Lam- hay bun itu. Dan kemudian Han Ping menyusuli
dengan menamparkan tangan kiri dalam jurus Tengah-malam-memukul-lonceng ke arah bahu
kanan lawan.
Ketua Lam-hay-bun hanya memperhatikan serangan pedang Han Ping. Sama sekati ia tak
menduga akan menerima pukulan dari anakmuda itu. Kalau ia menghindar, tentu harus loncat
mundur. Dan gerakan itu pasti akan dikuasai oleh Han Ping lagi.
Maka ketua Lam hay-bun itu memutuskan. Ia mendengus dingin lalu songsongkan bahunya ke
arah tangan Han Ping.
Dukk…. pukulau Han Ping tepat bersarang pada bahu kanan ketua Lam-hay-bun. Tetapi Han
Pingpun menderita, kerugian. Ternyata dalam mengorbankan bahunya itu, ketua Lam-hay-bunpun
dengan suatu gerakan jari yang luar biasa anehnya telah berhasil menutuk siku lengan Han Ping
sehingga pedang Pemutus-asmara tak kuasa dicekalnya tagi. Tring…. pedang pusaka itu jatuh ke
tanah.
Tetapi Han Ping tak mau menyerah begitu saja. Serentak ia tendangkau kakinya dan tangan
kirinya balas menutuk.
Cara yang dilakukan Han Ping itu adalah cara adu jiwa. Dia sudah tak menghiraukan lagi apakah
pertahanan dirinya terbuka atau tidak. Pokoknya serangan itu harus mengenai lawan.
Sekalian tokoh heran melihatnya. Mereka benar-benar tak menyangka Han Ping berbuat begitu
nekad. Diam-diam mereka menilai, “Hm. ketua Lam hay- bun ini mempunyai kesempatan yang
lebih besar. Asal dia menyerang ke sebelah kanan tentulah dapat melukai Han Ping. Aneh,
mengapa dia malah menyurut mundur dengan mendadak?”
Tiba-tiba terdengar ketua Lam-hay-bun itu mendengus dingin. serunya, “Dahulu aku kalah dengan
Hui Gong taysu karena menghadapi jurus ini. Berpuluh tahun kemudian engkau hendak
mengulang lagi adegan itu, Hm, masakan aku akan dapat terjebak lagi?”
Siku lengannya terkena tutukan, walaupun tak sampai mengenai jalandarahnya tetapi Han Ping
rasakan seluruh lengannya kesemutan dan lunglai. Ternyata ujung Jari ketua Lam hay bun itu
mengandung tenaga yang Luar biasa kuatnya.
Waktu ketua Lam-hay-bun menyurut mundur, diam-diam Han Ping menggunakan kesempatan itu
untuk menyalurkan darahnya. Kemudian bersiap-siap lagi untuk menghadapi lawan. Maka apa
yang dikatakan ketua Lam-hay-bun itu, ia seolah-olah tak mendengarkan.
Ih Thian-heng berpaling ke arah Pengemis sakti Cong To dan berkata, “Saudara Cong, jurus yang
dimainkan saudara Han Ping itu sungguh tak dapat kuketahui keistimewaannya?”
Cong To tertawa, “Apakah engkau hendak minta penjelasan dari pengemis tua ini?”
“Ya, aku ingin sekali mendengar keterangan tentang hal itu.”
Cong To tertawa, “Jurus yang dimainkan dengan tangan dan kaki itu, sebuah ilmu yang
mempunyai nama besar.”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
“Apakah mama jurus itu?” tanya Ih Thianheng.
“Itulah yang disebut jurus Lengan-satu-kaki-pincang-memukul-anjing ….”
“Ah, nama itu kurang sedap didengar,” kata Ih Thian-heng.
Cong To tertawa gelak-gelak, serunya, “Kalau hanya ingin mendengar yang bagus2 saja, jangan
tanya kepada pengemis tua.”
Ih Thian-heng tersenyum, katanya, “Bersuit bangga di tengah hutan, bicara dengan tertawa-tawa
dalam saat diancam kematian. Sikap yang perwira dan saudara Cong itu, sungguh membuat aku
kagum.”
Tampak Han Ping mengulurkan tangan menjemput pedang Pemutus-asmara di tanah. Setelah
dimainkan sejenak lalu diserangkan kepada ketua Lam-hay-bun.
Tampak wajah Pengemis-sakti Cong To tertawa-tawa tetapi sesungguhnya dalam hati pengemis
itu merasa heran juga melihat gerak gerik Han Ping. Diam-diam ia mencurahkan segenap
perhatiannya kepada anakmuda itu. Dilihatnya wajah Han Ping tampak muram, sepasang matanya
pun agak redup tak bersinar dan membelalak lebar-lebar.
“Eh, mengapakah anak itu?” diam-diam Cong To terkejut dalam hati.
Rupanya Ih Thian-hengpun mengetahui juga tentang sikap yang tak wajar dari Han Ping. segera
ia bertanya kepada pengemis sakti, “Saudara Cong, rupanya ada sesuatu yang tak wajar pada diri
saudara Han Ping.”
Cong To batuk-batuk, sahutnya, “Baik, pengemis tua akan menariknya mundur.”
“Engkau seorang tentu bukan tandingannya,” kata Ih Thian-heng, “kalau mau maju baiklah kita
bersama-sama. Walaupun sebelah lenganku sudah lumpuh tetapi saat ini tenagaku sudah pulih
kembali.”
Tampak gerakan kaki Han Ping meluncur deras seperti air mengalir dan sambaran pedangnya pun
sederas sungai bengawan. Gerakannya aneh dan jurus2 permainannya luar biasa, gerak
perobahannya selalu berobah-robah tak pernah berhenti. Memang permainan anakmuda itu cepat
dan tangkas sekali, tetapi gaya serangannya tampak ngawur tiada menentu sasarannya….
Cong To dan Ih Thian-heng diam-diam siapkan diri. Tetapi sampai sekian saat belum juga mereka
melihat kesempatan untuk turun tangan.
Sekalian tokoh-tokoh lain makin menggelora semangatnya. Mereka menyaksikan pertempuran itu
dengan menahan napas.
Tiba-tiba Han Ping lempangkan pedang lurus ke muka. Tangan kiripun melepas hantaman.
Seketika wajah ketua Lam-hay-bun berobah. Ia meliukkan jari dan menjentikkannya. Serentak
mendesislah sedesir suara tajam ke arah jalandarah lengan kiri Han Ping.
Han Pingpun cepat mengendapkan tubuh ke bawah lalu lontarkan pedang Pemutus asmara.
Sepercik sinar biru melayang dan berputar-putar di udara. Sekali Han Ping melingkarkan tangan
kirinya, terus menghantam.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ketua Lam- hay-bun memutar lengannya untuk menymnbut. Tetapi sekonyong-konyong Han Ping
bersuit panjang lalu tangan kanannya serentak menyambar pedang pusaka itu dan diputarnya
kencang2.
Sekalian tokoh-tokoh makin melekat perhatiannya. Dilihatnya setiap kali Han Ping memutar
pedang itu sampai satu lingkaran, sinar biru pedang itu pun makin bertambah panjang. Tokoh-
tokoh itu menyadari apa artinya itu tetapi tak mengerti bagaimana hal itu dapat terjadi.
Sinar biru pedang Pemutus asmara itu, makin lama makin membesar dan dalam waktu beberapa
jenak kemudian hampir mencapai semeter panjangnya. Dan Han Pingpun seolah olah lenyap
ditelan sinar biru itu.
Tiba-tiba si dara baju ungu bertanya dengan bisik-bisik, “Apakah itu yang disebut ilmu pedang
tataran tinggi?”
Belum sempat ibunya atau si wanita cantik berpakaian seperti puteri keraton menjawag, tiba-tiba
sinar pedang berobah memanjang seperti sebuah bianglala yang mencurah ke arah ketua Lam-
hay-bun.
Tetapi rupanya ketua Lam-hay-bun itu sudah bersiap lebih dulu. Kedua tangannya yang menjulur
lurus di muka dadanya, tiba-tiba didorongkan. Sebuah gelombang tenaga-dalam yang dahsyat
segera melanda ke arah sinar pelangi biru itu.
Rupanya pelangi terbang itu seperti tertahan oleh gelombang tenaga dalam dari ketua Lam-hay-
bun. Sinar biru itu segera melingkar-lingkar mengitari tubuh ketua Lam hay bun.
Ketua Lam-hay-bun tak henti-hentinya menghantam dengan tenaga dalam tetapi tetap tak mampu
menghalau sinar pedang yang melingkari dirinya.
Kira2 sepeminum teh lamanya, muka ketua Lam-hay-bun mulat bercucuran keringat. Dan sinar
pedang itu bahkan makin lama makin dekat kepada dirinya. Pada lain saat, tiba-tiba sinar biru itu
menembus, memecah dinding tenaga-dalam dari ketua Lam-hay-bun dan langsung menyusup ke
arah dadanya.
Melihat itu tanpa disadari, menjeritlah si dara baju ungu, “Han Ping. jangan melukai ayahku!”
Serentak sinar pedang pun lenyap dan tampaklah pula tubuh Han Ping. Sebelum orang tahu apa
yang telah terjadi, tiba-tiba terdengar sebuah bentakan keras dan sesosok tubuh terhuyung rubuh.
“Han Ping!” Pengemis-sakti Cong To menjerit keras dan terus menyanggapi tubuh itu.
Saat itu si dara baju ungupun lari melihat apa yang terjadi, ia serentak berhenti dan membentak
dingin, “Yah, engkau melukai dia!”
“Aku tak keburu menarik pulang tanganku,” sahut ketua Lam-hay-bun dengan tegang.
“Kalau aku tak menyerukan supaya dia hentikan serangannya kepadamu?” seru si dara pula.
Seketika pucatlah wajah ketua Lam hay-bun itu, sahutnya, “Ayahmu tentu akan binasa di bawah
pedang Pemutus-asmara yang tiada tandingnya di dalam dunia ini!”
“Ayah!” menjerit si dara baju ungu, “dengan begitu engkau memperoleh kemenangan karena aku
menyuruhnya berhenti tadi?”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ketua Lam hay-bun tak dapat menjawab.
Berkata pula si dara baju ungu dengan tajam, “Mamaku telah membenci engkau seumur hidup
Aku sebagai seorang anak, tentu tak dapat ikut-ikutan membencimu mati-matian. Tetapi aku ingin
agar engkau merasakan betapa kesedihan hati seorang tua yang kehilangan puterinya….”
Habis berkata dara baju ungu itu terus berlari menghampiri ke tempat Han Ping.
Tampak ketua Lam-hay-bun tegang sekali hatinya. Sejenak ia berpaling memandang kearah
wanita cantik atau isterinya.
Wanita cantik berpakaian seperti puteri keraton itu hanya mengunjuk wajah dingin. Jelas ia tak
mau mencegah kehendak puterinya.
Dalam suasana yang berkabut dengan hawa pembunuhan tercampur dengan rasa kasih sayang
antara orangtua dengan anaknya. ditambah pula dengan getar2 asmara murni dari sepasang
muda mudi, Berhamburan mencekam suasana.
Perlahan-lahan terlihat jelas, kabut hawa pembunuhan itu mulai menipis dan lenyap.
Ih Thian-heng menghela napas.
“Saudara Cong,” serunya kepada Pengemis-sakti Cong To,” bagaimana keadaan luka saudara Han
Ping?”
“Jalandarah jantungnya sudah berhenti, pusat sumber jiwanya sudah kosong. Rasanya sukar
ditolong lagi.
Tiba-tiba dara baju ungu menangis keras.
“Bagus, bagus! Engkau mati dengan bagus sekali!” serunya.
Mendengar itu Pengemis-sakti Cong To marah, serunya, “Jika engkau tidak memanggilnya-
tentulah batang kepala ayahmu itu sudah menggelinding di tanah. Dalam detik-detik menghadapi
pertempuran maut, dia tetap mencurahkan kasihnya kepadamu. Tetapi mengapa engkau berbalik
malah gembira sekali melihat kematiannya, Hm, manusia liar yang tak beradab, ternyata memang
tak mempunyai rasa budi kecintaan sama sekali.”
Ih Thian-hengpun marah. la tak tahan lagi melihat peristiwa itu. Sekonyong-konyong ia gerakkan
lengan kanannya dan berseru, “Keadilan hari ini, terpaksa memang harus demikian. Hancurkan
dulu mana yang dapat dihancurkan, setiap kesempatan harus diisi dengan kemenangan!”
Ca Cu jingpun tak mau banyak pikir lagi. ia menjemput jarum Hong-wi-ciam yang beracun, terus
ditaburkan ke arah ketua Lam-hay-bun juga.
Ketua Lam-hay-bun kebutkan lengan bajunya. Serangkum tenaga dahsyat segera menyapu
jarum2 Hong-wi-ciam itu sehingga berjatuhan ke tanah.
Kemudian ketua Lam-hay bun itupun gerakkan tangan kanan untuk menangkis pukulan Ih Thian-
heng.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Seketika Ih Thian-heng segera rasakan segelombang tenaga-dalam mengembalikan tenaga dari
pukulannya. Sedemikian hebat tenaga- membalik itu sehingga Ih Thian-heng rasakan jantungnya
berdebar keras.
Ca Cu-jing masih penasaran. Segera ia lepaskan sebuah pukulan Peh- poh-sin ciang atau Pukulan-
sakti-seratus-langkah ke arah ketua Lam-hay-bun. Tetapi murid pertama dari Lam-hay-bun ialah
Ong Kwan-tiong cepat maju menyongsongnya.
Si Bungkuk, si Kate dan Kaki-buntung baju merahpun segera mainkan senjatanya maju menyerang
dan menyambut serangan orang Tiong-goan.
Seketika pecahlah pertempuran hebat antara orang Lam-hay-bun lawan tokoh-tokoh persilatan
Tiong-goan.
“Berhenti!” tiba-tiba ketua Lam-hay-bun membentak, “aku hendak bicara!”
Kedua belah fihak segera berhenti dan tegak mendengarkan.
Tampak ketua Lam-hay-bun mengusap jenggotnya yang panjang dan berkata, “Kutahu dalam
dunia persilatan ini hanya aku dan Hui Gong taysu yang pantas menjadi lawan. Tetapi dia pun
belum tentu dapat meugalahkan aku. Hanya dia ternyata dapat memenangkan setengah jurus dari
aku. Sejak itu aku selalu mendendam dalam hati, Siang malam aku memikirkan daya dan rencana
bagaimana dapat berjumpa lagi dengan dia dan mengadu kepandaian. Tetapi sayang dia sudah
dipenjarakan oleh ketua Siau-lim-si dan tak dapat keluar ke dunia persilatan lagi.
Dia berhenti sejenak lalu berkata pula, “Beberapa tahun kemudian, aku pernah datang ke gereja
Siau-lim-si untuk mencarinya. Malam hari aku menyelundup masuk ke dalam penjara gereja Siau-
lim dan menantang bertempur lagi dengan taruhan pedang Pemutus-asmara. Siapa yang menang
boleh mengambil pedang….”
Tiba-tiba ketua Lam-hay-bun itu hentikan kata-katanya dan berpaling memandang ke arah wanita
cantik lalu menghela napas.
“Soal urusan peribadi kami, aku tak dapat mengumumkan kepada dunia. Maka baiklah kalian
jangan menanyakan hal itu,” katanya sesaat kemudian.
Tiba-tiba wanita cantik berpakaian seperti puteri keraton itu menghela napas panjang dan
tundukkau kepala berdiam diri.
Saat itu Pengemis saktipun sudah letakkan tubuh Han Ping dan siap2 hendak turun tangan.
Mendengar penuturan itu, ia segera menyelutuk pertanyaan, “Lalu bagaimana kelanjutan peristiwa
itu?”
Kata ketua Lam hay-bun, “Setelah mendengar tantanganku sampai tiga kali barulah Hui Gong
taysu keluar meluluskan. Di dalam ruang tempat dia dipenjarakan itulah Aku dan Hui Gong
melangsungkan pertempuran adu tenaga-sakti…. .”
Tiba-tiba nada suaranya berobah pelahan, katanya, “Setengah malam bertempur mati-matian, aku
tetap kalah dengan dia….”
Suaranya makin lama makin pelahan sehingga tak kedengaran lagi.
Pengemis-sakti Cong To mendengus dingin, “Adakah kali ini hatimu sudah rela menerima
kekalahan tadi?”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tanpa melihat pada si pengemis, ketua Lam-hay-bun itu menghela napas panjang, ujarnya,
“Tempo dulu memang aku masih penasaran karena menderita kekalahan. Maka dari ribuan li
jauhnya kutempuh perjalanan untuk menuju ke gunung Ko-san. Tiba di gereja Siau-lim-si aku pun
harus bersusah payah untuk menghindari barisan tersembunyi dari paderi2 berilmu sakti yang
menjaga gereja itu. Akhirnya setelah melalui jerih payah, barulah aku berhasil menemui dan
menantangnya bertempur. Tetapi dia tetap seenaknya saja duduk dalam ruang tempat penjaranya
tanpa banyak mengeluarkan tenaga. Aku letih dan dia masih tegar, sekalipun akhirnya aku
menderita kekalahan tetapi hatiku masih penasaran!”
Wajah ketua Lam- hay-bunpun berobah tegang dan sarat. Kemudian ia memandang ke arah
tokoh-tokoh Tiong-goan lalu berkata pula, “Hari ini setelah berhadapan dengan Ji Han Ping,
barulah aku menyadari akan kebesaran alam dan kegaiban mahluk di dunia ini, tak dapat diduga
manusia biasa. Makin banyak tokoh-tokoh sakti dalam dunia persilatan, makin tipislah harapanku
untuk merajai dunia persilatan….”
Nadanyapun mengikuti ketegangan wajahnya. Mengalun tinggi kemudian mengendap turun.
Wajahnya makin sarat dan muram kemudian ia menghela napas, “Itulah sebabnya maka aku rela
mengaku kalah….”
Pengemis-sakti Cong To tertawa dingin, serunya, “Ho, ternyata engkau masih memiliki jiwa
ksatrya!”
Tiba-tiba ketua Lam-hay-bun menyilangkan kedua matanya. Berkilat-kilat seperti memancarkan api
lalu berseru bengis, “Tetapi kalian jangan lupa. Di seluruh dunia ini, jago yang dapat mengalahkan
aku, setelah Hui Gong taysu, pun hanya Han Ping seorang saja. Lain orang…. lain orang….”
Perlahan-lahan dia memandang ke bawah dan suaranyapun makin mengendap. Rupanya hatinya
sudah tawar dan dingin dan ia pun sudah tak mempunyai selera untuk bicara lagi.
Tokoh-tokoh Tiong-goan itupun juga mempunyai perasaan gelo dan menyesal sehingga
merekapun tak buka bicara.
Suasana menjadi hening lelap. Bahkan suara napas orangpun mulai kedengaran jelas.
Beberapa saat kemudian barulah ketua Lam- hay- bun itu mulai berkata pula, “Nafsu berkelahi
mencari kemenangan hanya memburu kesenangan hati untuk sesaat tetapi meninggalkan bekas
penyesalan ratusan tahun. Tokoh-tokoh ternama yang silih berganti menjagoi dunia persilatan,
pada akhirnya tak lain tak bukan hanya menjadi segunduk impian saja….”
Ketua Lam hay-bun itu menengadahkan kepala dan bersuit panjang. Suitanuya memantulkan
suara macam Naga meringkik. Dahi sekalian tokoh-tokoh yang berada dalam ruangan itu pucatlah
seketika.
Rupanya ketua Lam-hay-bun ini telah menyalurkan kesesakan dadanya yang telah menghimpit
napasnya.
“Mulai saat dan detik ini,” katanya dengan nada sarat, “aku sudah menemukan kesadaran dan
penerangan. Aku tak mau mengucurkan darah dan bertempur dengan orang lagi….”
Habis berkata ia terus berjalan dengan langkah berat menuju ke luar ruangan. Seiring dengan
langkah kakinya, mulutnyapun berkata dengan pelahan-lahan, “Apabila ada orang yang hendak
mencelakai aku, silahkan turun tangan. Tak nanti aku akan membalasnya!”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sekalian tokoh-tokoh Tiong-goan itu saling berpandangan sendiri. Rupanya perasaan hati
merekapun seperti tenggelam dalam laut kedukaan sehingga tak seorangpun yang memikirkan
hendak turun tangan kepada ketua Lam hay-bun.
Setapak demi setapak terdengar kaki ketua Lam-hay-bun itu melangkah keluar dari ruang batu
dan makin lama pun makin jauh.
Walaupun dalam ruang itu masih terdapat isterinya yang tercinta dam puterinya yang tersayang.
namun sekalipun ketua Lam-hay-bun itu tak mau berpaling kepada mereka. Seolah kepergiannya
kali itu, dia takkan berjumpa dengan manusia di dunia lagi.
Setelah suara langkah kaki itu lenyap, si Kaki buntung baju merah, Ong Kwan-tiong dan anak
buah Lam-hay-bun, tiba-tiba berlutut ke tanah dan menangis. Sedemikian mengharukan tangis
mereka sehingga sekalian tokoh-tokoh Tiong-goan pun ikut rawan.
Wanita cantik berpakaian puteri keraton memandang bayangan suaminya yang lenyap keluar
ruangan lalu berkata dingin, “Sebaiknya memang dia pergi….”
Tetapi kata-kata itu walaupun diucapkan dengan nada dingin tetapi jelas pada sepasang matanya
berlinang-linang airmata.
Ih Thian-heng memandang kepada lengan kirinya yang lumpuh dan berkata, “Ah, memburu nama
itu sungguh menyusahkan orang. Orang gagah tentu pendek umurnya. Saudara Cong, kitapun
juga harus pergi dari sini!”
Wanita cantik berpakaian puteri keraton berputar tubuh, mengusap airmatanya lalu berkata
kepada puterinya, “To ji, ikutlah kepada mamah! Selama belasan tahun ini aku tak merawatmu.
Sejak saat ini aku akan berlaku sayang kepadamu.”
Dara baju ungu gelengkan kepala, “Silahkan mamah pergi sendiri! Aku akan tinggal disini selama-
lamanya….”
“Apa?” wanita cantik itu terkejut bukan kepalang.
Sahut si dara baju ungu dengan tenang dan tegas, “Saat ini aku sudah bukan Siau Toto lagi. Ya,
sejak saat ini, aku sudah menjadi nyonya Ji Han Ping….”
“Toto!” nenek Bwe menjerit, “mengapa engkau berkata begitu? Bukankah Ji siangkong sudah
meninggal?”
Jawab dara itu, “Justeru karena dia sudah meninggal itu. Apabila dia masih hidup….”
“Apakah engkau sudah mengikat janji dengan dia?” ibunya menyelutuk.
Berkata si dara baju ungu, “Sudah lama sekali aku telah menyerahkan hatiku kepadanya. Tusuk
Kundai Kumala menjadi pengikat janji, kuberikan kepadanya dalam makamnya. Tetapi tak kuduga-
duga ternyata dia masih hidup….”
Sejenak dara itu merenungkan kenangan yang lama dimana dengan secara besar-besaran dan
khidmat ia telah melakukan upacara pemakaman dari sesosok jenazah yang dikiranya Han Ping.
tetapi ternyata bukan. Han Ping saat itu masih hidup.
Sesaat kemudian tiba-tiba dara baju ungu itu tertawa keras. serunya “Mah, engkau belum pernah
melihat wajah puterimu ini. Apakah engkau sudah pernah tahu bagaimana wajah puterimu ini?”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Wanita cantik berpakaian puteri keraton terkesiap, serunya, “Dahulu pernah aku secara diam-diam
pulang ke Lam hay. Kala itu kulihat engkau sedang bermain-main di tepi laut. Cuma engkau tak
tahu mamah.”
“Apakah mamah masih ingat akan wajahku?” tanya si dara baju ungu pula.
“Jauh lebih cantik dari mamah,” sahut wanita cantik berpakaian puteri keraton itu.
Siau Toto tertawa nyaring lalu pelahan-lahan ia membuka kain kerudung mukanya.
Wajah cantik dari dara baju ungu itu masih meninggalkan bekas kenangan yang tak pernah
dilupakan oleh sekalian tokoh-tokoh Tiong-goan.
Pada saat Siau Toto membuka kain kerudung mukanya, sekalian orang pun segera mengarahkan
pandang mata ke arahnya.
Tetapi serentak pandang mata berobah membelalak seperti melihat suatu pemandangan yang
mengejutkan.
Ternyata wajah dara baju ungu yang dahulu cantik berseri laksana kuntum bunga yang tengah
mekar di pagi hari, wajah yang membuat para bidadari di kahyangan mengiri karena telah
mendapat saingan. Saat itu, ya saat itu telah berobah…. mengerikan!
Wajahnya yang halus dan secantik bidadari itu telah berhias dergan gurat-gurat merah, silang
menyilang malang melintang.
Melihat itu wanita cantik yang biasanya berhati dingin, saat itu seperti orang yang kehilangan
pikiran. Ia menjerit histeris, “Toto, Toto! siapakah yang telah merusakkan wajahmu?”
Dengan bercucuran airmata, dara itu menjawab “Aku sendiri, mah!”
Wanita cantik gemetar tubuhnya, “Engkau sendiri? Mengapa engkau merusak wajahmu sendiri?”
Dara baju ungu itu sejenak memandang ke arah Han Ping yang menggeletak di tanah, sahutnya,
“Karena dia sudah meninggal ….”
Tiba-tiba dara itu meraih pedang Pemutus- asmara dan didekatkan ke dadanya.
“Apabila mamah benar sayang kepadaku, mamah tentu akan mengijinkan aku tinggal disini!”
serunya.
Wanita cantik berpakaian puteri keraton yang berhati sedingin es itu, saat itu bercucuran
airmatanya.
Beberapa saat kemudian ia mencabut sebatang TUSUK KUNDAI KUMALA dari rambutnya dan
berkata, “To-ji, Tusuk Kundai Kumala itu semula ada sepasang. Ketika kutinggalkan Lam-hay,
kubawanya sebatang. Tusuk kundai ini terbuat dari batu kumala dingin yang berumur ribuan
tahun. Apabila membawanya, dapat membuat wajah tetap tak rusak. Ji siangkong sudah
meninggal dunia. Tenaga pukulan ayahmu dahsyat sekali, kemungkinan siangkong sudah sukar
disembuhkan lagi. Dengan menggunakan tusuk kundai ini, Jenazahnya dapat terpelihara tak
sampai rusak!”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Siau Toto menyambuti. Kemudian sambil membolang-baling pedang Pemutus-asmara, ia berseru,
“Silahkan kalian pergi! Dalam waktu sepeminuman lagi, alat perkakas rahasia segera kugerakkan
agar pintu batu tertutup. Saat itu tentu kalian akan tertutup di sini dan jangan harap kalian
mampu keluar lagi!”
Sekalian tokoh-tokoh Tiong-goan saling bertukar pandang lalu perlahan-lahan mereka
mengayunkan langkah keluar dari ruangan.
Saat itu hati sekalian orang memang diliputi rasa sesal dan tawar. Sikap mereka pun tampak lesu,
tidak seperti ketika mereka masuk dan berhadapan dengan musuh, begitu beringas dan buas
seperti harimau menghadapi musuh.
Pengemis-sakti Cong To setiap melangkah setapak tentu akan berpaling ke arah si dara baju ungu.
Dipandangnya dara itu dan tubuh Han Ping yang terbaring di tanah. Dalam hati pengemis tua itu
timbul rasa haru dan sayang yang tak terhingga besarnya. Diam-diam ia tak henti-hentinya
menghela napas.
Siau Toto, seorang dara jelita yang tiada tara kecantikannya. Boleh diumpamakan sebagai seorang
bidadari yang menjelma di dunia. Thian telah menganugerahkannya wajah yang luar biasa
cantiknya. Betapa menyengsamkan hati apabila dara itu tertawa. Betapa indah apabila dara itu
sedang berkata-kata. Kesemuanya itu menggores kesan yang tak dapat dilupakan seumur hidup
oleh Pengemis- sakti.
Tetapi saat itu, wajah ayu dari si dara telah berobah menyeramkan. Seluruh mukanya penuh
berhias gurat-gurat warna merah. Dari seorang bidadari, dia telah berobah menjadi dara yang
berwajah seram.
Hanya dalam waktu beberapa tahun Han Ping muncul di dunia persilatan, namanya sudah harum
semerbak sebagai seorang jago muda yang gemilang dan Sakti. Tokoh-tokoh dunia persilatan
kelas satu, segan dan gentar terhadap dia. Bagaikan mentari pagi, dia muncul dan memancarkan
sinar yang gilang gemilang. Merupakan utusan muda dari angkatan yang sudah lalu. Berhati keras
tetapi berbudi emas. Secara tak resmi dia sudah diakui sebagai seorang tokoh muda yang
berpengaruh dan besar wibawanya. Tetapi nasib menentukan lain. Pemuda yang berbakat dan
berotak cerdas itu harus kehilangan jiwa di dalam makam tua.
Kematian Han Ping itu adalah karena ia memikirkan kepentingan dara itu. Demi untuk si dara, Han
Ping rela mengorbankan jiwanya.
Si darapun tahu dan membalas pengorbanan itu dengan merusakkan wajahnya yang cantik dan
menunggu dalam makam itu selama-lamanya….
Han Ping mengutamakan kepentingan si dara. Demi mematuhi permintaan si dara, ia rela
mengorbankan jiwanya. Dan untuk itu si dara pun rela membalas dengan pengorbanan besar. Ia
merusak wajahnya yang cantik dan rela menjaga jenazah Han Ping dalam makam itu untuk
selama-lamanya….
Tiba-tiba Ih Thian-heng melangkah balik masuk kembali. Serta merta ia berlutut di hadapan mayat
Han Ping. Dengan melintangkan sebelah tangannya ke dada, ia mulai berdoa, “Dunia menganggap
aku Ih Thian-heng seorang manusia yang berlumuran dosa setinggi gunung. Tetapi mereka tak
tahu bahwa akan siasat buas yang kulakukan itu sesungguhnya pancaran dari hati nuraniku yang
baik. Kebaikan dan kejahatan, sebelum berakhir dengan jelas, memang sukar dibedakan.”
Melihat tingkah laku Ih Thian-heng, sekalian tokohpun hentikan langkah dan mendengarkan kata-
kata Ih Thian-heng dengan penuh perhatian.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kedengaran Ih Thian-heng berkata lebih lanjut, “Aku Ih Thian-heng, dalam sepanjang hidup ini,
selain kepada Cong To aku menaruh hormat, hanya engkau seorang yang paling kukagumi, Ji Han
Ping. Rupanya Thian tak mengijinkan usia panjang kepada ksatrya muda yang luar biasa. Dan kini
engkau telah mendahului kita. Kumohon arwahmu yang ksatrya itu dapat memberi berkah
kepadaku. Ijinkanlah aku, Ih Thian-heng, menyelesaikan tugas2mu yang belum engkau selesaikan
itu. Setelah dunia persilatan tentram dan aman, aku Ih Thian-heng, akan kembali kemari dan
tinggal dalam makam ini untuk melewati sisa hidupku menemani arwahmu….”
Dua butir airmata ksatrya, telah menitik turun dari pelupuk matanya.
Pengemis-sakti Cong To menghela napas panjang, serunya, “Saudara Ih, marilah kita pergi!”
Ih Thian-heng berbangkit, mengusap airmatanya terus ayunkan langkah. Ketika hampir tiba di
pintu batu, tiba-tiba ia berputar tubuh dan berjalan masuk kembali.
“Nona Siau,” katanya kepada si dara.
Siau Toto tertawa hambar, serunya, “Soal apa lagi yang akan engkau katakan?”
“Nona memiliki kecerdasan yang luar biasa,” kata Ih Thian-heng, “bagi nona tiada, soal yang sulit
di dunia ini yang tak dapat nona pecahkan. Entah apakah di dunia terdapat obat yang mampu
menghidupkan saudara Han Ping kembali?”
“Baiklah,” sebut si dara, “tiada halangan kuberitahukan kepadamu. Tetapi aku percaya tentu tak
ada orang yang mampu mencarinya!”
“Harap nona suka mengatakan. Aku bersedia mendengarkan dan akan berusaha untuk
mencarinya,” kata Ih Thian-heng.
Maka berkatalah Siau Toto mengenai ramuan obat yang dibutuhkan itu, “Ban lian Swat-lian-cu,
Cian-lian Tok-coa-tan, Pek-lian Le-hi-hiat. Ho-siu-oh tua. Keempat ramuan itu harus lengkap. Satu
pun tak boleh kurang.”
Ban-lian Swat-lian-cu artinya Biji Teratai yang berumur selaksa tahun, Cian-lian Tok-coa-tan
artinya Empedu ular beracun yang berumur seribu tahun. Pek-lian Le-hi-hiat artinya, darah ikan
lehi yang berumur seratus tahun. Ho-siu-oh semacam bahan tanaman obat yang berkhasiat
seperti jinsom.
Pengemis-sakti Cong To tertegun. serunya, “Bila terdapat obat yang mampu menolong saudara
Han Ping, tentulah begitu juga akan dapat memulihkan wajah nona.”
Siau Toto tertawa, “Sekalipun wajahku dapat pulih kembali tetapi siapakah yang akan
menikmatinya?”
Dara itu berhenti sejenak. “Makam tua ini kusebut MAKAM ASMARA!” serunya.
“Ohh….” terdengar Cong To dan Ih Thian-heng serempak mendesuh.
“Dan pertunjukan dalam Makam Asmara ini sudah selesai. Silahkan saudara2 segera tinggalkan
tempat ini,” seru si dara pula.
Wanita cantik berpakaian puteri keraton kedengaran menghela napas panjang. Nadanya penuh
kerawanan yang beriba-iba.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
“Anakku Toto, seribu satu macam peristiwa dendam kesumat itu, dari dahulu sampai sekarang, tak
lain hanya karena asmara. Baiklah, anakku, mamah hendak pergi….”
“Maaf mah, aku tak dapat mengantar,” seru Toto.
Wanita cantik itu memandang ke arah rombongan anak buah Lam-hay-bun, lalu membentak,
“Mengapa kalian masih berada di sini?”
Anak murid Lam-hay-bun saling bertukar pandang lalu ayunkan langkah mengikuti di belakang
wanita cantik itu atau ibu guru mereka. Kemudian rombongan tokoh-tokoh Tiong-goan pun
berbondong-bondong keluar dari pintu batu.
Belum berapa lama mereka berjalan, tiba-tiba terdengar suara ledakan yang menggetarkan.
Ternyata pintu batu yang amat berat itu tertutup lagi.
Tiba-tiba dari dalam pintu batu itu berkumandang segelombang nyanyian. Nyanyian yang bernada
kedukaan dari rintihan kalbu. Mengalun tinggi, menyayat hati.
Langkah kaki sekalian tokoh itupun terasa makin berat. Hatipun makin tenggelam dalam
kehampaan. Nafsu memburu nama. kegagahan, kesombongan dan keangkaraan, lenyap seketika.
Malampun kelam.
TAMAT
JILID 9
Anak buah Lam-hay-bun telah mengambil posisi yang rapi. Betapapun Ih Thian-heng dan
tokoh-tokoh Tiong-goan itu melancarkan serangan yang gencar dan melontarkan pukulan2 yang
dahsyat namun orang-orang Lam-hay-bun itu selalu dapat menghindar ataupun menangkis dan
akhirnya menggagalkan serangan lawan.
Saat itu suasana dalam ruangan berobah kacau dan acak-acakan. Deru angin pukulan dan
lengking teriakan serta bentakan kemarahan dan hawa pembunuhan, telah memenuhi seluruh
ruangan.
Pertempuran telah dimulai.
Tiba-tiba si dara baju ungu yang masih rebah di dada Han Ping berbisik-bisik, “jangan lepaskan
aku. Ayah sudah mempersiapkan rencana pembunuhan besar-besaran dalam ruang itu. Sekalipun
kepandaianmu sakti tetapi tetap engkau tak dapat melawan. Adanya mereka tak mau segera
menjalankan alat pembunuhan itu adalan karena ayah dan Ibu masih saling bertengkar dan juga
masih menguatirkan keselamatan diriku.”
Mendengar itu Han Ping amat bersyukur, sahutnya, “tetapi nona begini….”
“Sudahlah saat ini jangan engkau banyak bicara,” cepat si dara baju ungu menukas. “Kalau
ayahku mengetahui engkau tak dapat melukai aku, celakalah….”
Han Ping menghela napas panjang dan diam.
Tiba-tiba Pengemis sakti Cong To berteriak keras, “Saudara2 sekalian, harap berhenti dulu.
Pengemis tua hendak bicara!”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sekalian jago2 segera berhenti menyerang, dan menyurut mundur.
Sejenak Cong To keliarkan mata memandang ke segenap ruangan. Dilihatnya lelaki tua baju
biru atau ketua Lam-hay bun masih tetap bersikap dingin terhadap isterinya, wanita cantik
berpakaian puteri keraton. Demikian pula sikap wanita cantik itu terhadap ketua Lam-hay-bun.
Tampaknya kedua suami isteri yang tak akur itu tak mempedulikan suasana pertempuran disitu.
Melihat itu diam-diam pengemis sakti menghela napas, “Hai, kedua suami isteri itu benar-benar
manusia yang berhati dingin…. “
Kemudian Pengemis sakti berseru kepada sekalian tokoh-tokoh Tiong-goan, “Mereka sudah
mengatur kedudukannya dengan rapi, dapat saling memberi bantuan. Apabila fihak kita
menyerang secara acak-acakan, bagaimana mungkin bcrhasil membobolkan barisan mereka?”
Sekalian tokoh itu adalah tokoh-tokoh yang banyak pengalaman dalam dunia persilatan.
Mendengar kata-kata Cong To, segera mereka menyadari kekeliruannya.
Memang anak buah Lam-hay-bun itu mempersiapkan diri dalam tempat-tempat yang tepat.
Walaupun hanya Ong Kwan-tiong bertiga dengan si Bungkuk dan si Kate, tetapi mereka mampu
menghadapi serangan dari tokoh ternama seperti Ih Thian-heng, Ca Cu-jing, Nyo Bun-giau, Ting
Ko ketua Lembah raja-setan.
Kiranya rahasia dari pertahanan ketiga anak-buah Lam-hay-bun itu tak lain ialah gerak
perubahan kedudukan mereka yang begitu lancar dan rapi. Mereka dapat menggunakan siasat
‘meminjam tenaga lawan untuk memukul kembali’. Dengan demikian pukulan2 dari Ih Thian-heng
dan tokoh-tokoh lainnya itu, dapat dimanfaatkan dan dikembalikan kepada pengirimnya. Ketiga
orang Lam-hay-bun itu dapat bertahan betapapun lamanya.
Demikianlah dalam waktu singkat, Pengemis sakti Cong To dapat mengetahui rahasia kekuatan
orang Lam-hay-bun, lalu berseru menghentikan sekalian jago2 Tiong-goan.
Tiba-tiba wanita cantik tertawa dingin lalu melangkah ke tempat Bwe Nio. Menepuk beberapa
jalandarah pada tubuhnya lalu mengeluarkan sebutir pil diminumkan ke mulut Bwe Nio.
Sesaat kemudian terdengar nenek Bwe itu mengerang pelahan lalu pelahan-lahan duduk.
“Terima kasih cu-bo,” serunya pelahan kepada wanita cantik itu.
Sahut wanita cantik itu dengan dingin, “Sejak aku meninggalkan pulau Lam-hay Toto, telah
banyak menerima perawatanmu. Pertolonganku anggaplah sebagai pembalasan jasamu melayani
Toto sampai sekian tahun itu.”
“Ah, mana hamba berani menuntut jasa?” kata nenek Bwe, “nona, memiliki kecerdasan luar
biasa dan hamba selama mengikutinya banyak sekali mendapat manfaat….”
“Sudah, jangan banyak omong tak karuan,” tukas si wanita cantik lalu berpaling memandang si
dara baju ungu, “Toto, ibu hendak pergi, apakah engkau hendak ikut aku? Ataukah engkau akan
tinggal disini?”
Tiba-tiba dara baju ungu itu menjerit, “Aduh…. tulang lenganku hampir pecah, sakit sekali!”
Wanita cantik itu kerutkan dahi dan wajahnya pun segera menampilkan hawa pembunuhan.
Dengan tenang ia segera melangkah ke tempat Han Ping, tegurnya dengan nada dingin, “Kalau
engkau berani melukai puteriku, jangan harap engkau mampu hidup. Lekas lepaskan Toto!”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Jawab Han Ping, “Asal engkau memberi perintah supaya orang-orang itu membuka jalan, aku
tentu akan melepaskannya….”
Dan Han Ping lalu menutup kata-katanya dengan melekatkan pedang Penmutus asmara ke
leher si dara jelita, serunya, “Apabila nyonya menggerakkan tangan, puterimu terpaksa tentu
menjadi mayat.”
Mendengar ancaman itu seketika menyurutlah hawa pembunuhan pada wajah si wanita cantik.
Kini wajahnya bertebar keramahan dan matanya pun tampak berlinang-linang. Wajahnya berseri
keibuan yang penuh kasih sayang terhadap puterinya.
Sesaat kemudian ia berpaling dan berseru kapada Ong Kwan-tiong. “Kalian menyingkirlah ke
samping buka pintu dan lepaskan mereka!”
Ong Kwan-tiong terkesiap, serunya tersekat-sekat, “Ini, ini….”
“Kalian mendengar perintahku atau tidak?” seru wanita cantik itu dengan murka.
Ong Kwan-tiong serentak memberi hormat, serunya, “Ya, murid mendengar.”
“Kalau mendengar mengapa masih tak mau menyingkir ke samping,” seru wanita cantik pula.
“Suhu menitahkan murid menjaga tempat sekuat-kuatnya,” jawab Ong Kwan-tiong, “tak boleh
seorangpun melintasinya!”
Wanita cantik itu tertawa dingin, “Baik! Omonganku tadi seperti dianggap angin saja! Hm, dia
hendak mempergunakan makam ini sebagai tempat menyembunyikan alat-alat rahasia dan
benda2 beracun. Dia hendak membasmi seluruh tokoh-tokoh persilatan Tiong-goan. Untuk
melaksanakan citacitanya itu, dia tak mempedulikan lagi jiwa anaknya. Tetapi aku takkan
membiarkan dia bertindak begitu….”
Wanita cantik itu melangkah ke arah Ong Kwan-tiong dan melepaskan sebuah hantaman.
Ong Kwan-tiong tak berani menangkis, juga tak berani menghindar. Dia hanya berdiri
menunggu ajal.
Tiba-tiba ketua Lam-hay-bun lepaskan sebuah pukulan jarak jauh Biat-gong-ciang untuk
menghalau pukulan isterinya.
“Kalian menyingkirlah!” serunya kepada Ong Kwan-tiong.
Ong Kwan-tiong menurut, ia menyurut mundur ke samping. Melihat itu si Bungkuk dan si Kate
pun ikut mundur ke samping dan membuka sebuah jalan.
Wanita cantik tertawa dingin, serunya, “Buka Pintu dan lepaskan mereka keluar!”
Ong Kwan-tiong terkesiap. Tak tahu ia bagaimana harus bertindak.
Tiba-tiba ketua Law-hay-bun maju menghampiri dan berkata, “Betapa susah payah kubangun
makam tua ini. Kalau sekarang hendak engkau kacau, bukankah akan sia2 belaka segala jerih
payahku itu….”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sahut wanita cantik, “Kalau engkau memang mempunyai kesaktian, mengapa engkau tak
menantang mereka untuk adu kepandaian? Dengan mengandalkan perkakas2 rahasia dalam
makam ini untuk mencelakai orang, bukanlah laku seorang ksatrya!”
“Apa pedulimu!” teriak ketua Lam-hay-bun dengan murka, “siapa suruh Engkau ikut campur?”
Tetapi wanita cantik itu tak gentar, bahkan malah menantang, “Kalau aku senang ikut campur,
engkau mau apa?”
“Yah…. mah….,! Aduh aku sakit sekali ini!” tiba-tiba dara baju ungu berteriak.
Ketua Lam-hay-bun tergetar hatinya. Ia berpaling ke arah puterinya lalu tertawa keras, “Ah….
ternyata Thian tak mengabulkan kehendakku. Hm, apa boleh buat.”
Tiba-tiba ia menampar dinding dengan tangan. Dinding batu yang licin itu seketika merekah
sebuah pintu.
Wanita cantik berpaling dan berkata dingin2 kepada Han Ping, “Pintu sudah terbuka.
Seharusnya engkau lepaskan dia!”
Han Ping keliarkan pandang. Dilihatnya mata sekalian tokoh-tokoh Tiong-goan itu mencurah
kepadanya dengan sikap yang tegang.
Karena melihat Han Ping masih ragu-ragu, ketua Lam-hay- bun marah dan membentaknya.
“Nanti mayatmu tentu akan kucincang sampai hancur lebur agar kebencian hatiku bisa
terlampias.”
Rupanya wanita cantik itu memang sengaja hendak cari perkara dengan suaminya. Ia tertawa
mencemooh, “Rupanya dia telah mewarisi kepandaian dari Hui Gong taysu. Mungkin engkau tak
mampu mengalahkannya.”
Seketika berobah pucat pasilah wajah ketua Lam hay bun. Ucapan isterinya benar-benar
menyinggung hatinya.
Han Ping menghela napas panjang, serunya, “Lo-cianpwe berdua, harap suka memberi jalan
agar mereka yang terluka dapat keluar dari sini. Aku tetap akan tinggal disini. Asal sekalian orang
yang menderita luka itu sudah keluar semua, aku pasti akan melepaskan puterimu.”
Ketua Lam-hay-bun saling bertukar pandang dengari isterinya. Kemudian keduanyapun masing-
masing mundur selangkah.
“Silakan para suhu sekalian keluar dahulu,” seru Han Ping kepada golongan paderi Siau-lim-si.
Rombongan paderi Sian-lim-si itu memandang Han Ping lalu memanggul jenazah Goan-thong
dan Hui Ko, kemudian mengangkut Hui In taysu dan keluar dari ruangan itu.
Tiba-tiba terlintas sesuatu dalam benak Han-Ping cepat ia, berseru, “Suhu sekalian, harap
berhenti dahulu.”
Rombongan paderi itu tertegun dan hentikan langkah.
Han Ping segera maju menghampiri. Diam-diam ia kerahkan tenaga-murni dan beberapa kali
menutuk jalandarah di tubuh Hui In taysu. Kemudian mempersilahkan para paderi itu lanjutkan
keluar.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Para paderi menyambut dengan doa, pelahan lalu melangkah keluar.
Sejenak keliarkan pandang, berkata pula Han Ping dengan pelahan, “Siangkwan pohcu, Ting
koh-cu berdua, menderita luka parah. Harap lekas-lekas berobat. Mungkin masih dapat tertolong.
Maka silahkan keluar lebih dahulu.”
Mendengar itu Ting Ko lalu memanggul Ting Ling melangkah keluar. Pun Siangkwan Ko juga
segera memimpin tangan Siangkwan Wan-ceng, mengikuti di belakang Ting Ko.
Sikap dan keberanian Han Ping menghadapi maut bagai suatu hal yang tak mengerikan, benar-
benar telah membuat sekalian tokoh-tokoh Tiong-goan kagum dan secara, tak sadar mereka
menganggap pemuda itu sebagai pemimpin mereka.
Ketua Lam-hay-bun dan wanita cantik ternyata tak berbuat apa-apa. Mereka membiarkan saja
orang-orang itu keluar dari makam.
Tiba-tiba ketua Lembah-seribu-racun pesatkan langkah dan terus menerobos keluar dari pintu
batu itu.
Han Ping kerutkan alis. membentaknya perlahan, “Lo-cianpwe, nanti dulu, giliran yang
belakang.”
Saat itu ketua Lembah-seribu-racun sudah hampir dekat pada pintu batu. Ia berhenti
mendengar suara Han Ping lalu balas membentak, “Mengapa?”
Kata Han Ping, “Cara lo-cianpwe bergerak mau menyelamatkan jiwa terlalu terburu-buru ….”
Betapapun halnya tetapi ketua Lembah seribu-racun itu merah juga mukanya mendengar kata-
kata Han Ping. Sahutnya, “Lambat atau cepat toh sama saja!”
Sesungguhnya yang ingin lekas-lekas keluar dari tempat itu bukan melainkan hanya Leng Kong-
siau. ketua Lembah seribu-racun itu seorang. Nyo Ban-giau, Ca Cu-jing dan lain2 juga ingin sekali.
Hanya saja mereka tak mau bergerak seperti ketua Lembah-seribu-racun yang begitu tergopoh-
gopoh itu.
Ternyata selain sayang akan jiwanya, pun orang-orang itu memang mengandung pikiran untuk
keuntungan diri sendiri. Mereka mengharapkan supaya lekas keluar baru ketua Lam-hay-bun itu
gerakkan alat perkakas rahasia agar semua orang yang masih berada dalam makam itu tertimbun
mati semua. Tambah seorang yang mati dalam makam itu, bagi yang masih hidup berarti suatu
keringanan karena berkurang seorang musuh yang kuat.
Ketua Lam hay-bun itu dingin2 saja melihat Han Ping laksana seorang laksamana yang
memberi perintah kepada anak buahnya. Demikian pula dengan wanita cantik, ibu si dara baju
ungu. Rupanya kedua suami isteri itu terpaksa harus mengalah demi memikirkan keselamatan
puterinya yang ditawan Han Ping.
Suasana dalam ruangan sunyi senyap. Tampak Han Ping tengah merenung dan entah apa yang
sedang dipikirkan.
Pengemis-sakti Cong To batuk-batuk pelahan sehingga kesunyian terpecah. Kemudian berkata,
“Saudara, apa yang engkau pikirkan?” tegurnya kepada Han Ping.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
“Aku tengah berpikir apakah kita perlu tinggal disini atau tidak, untuk menyelesaikan
pertempuran dengan pihak Lam hay-bun. Memang kemungkinan kita bisa keluar dari tempat ini
dengan selamat, tetapi rasanya persoalan takkan habis sampai disitu saja. Dunia persilatan tentu
masih bergolak-golak dan kacau. Entah kelak akan membawa berapa banyak korban yang tak
berdosa lagi. Daripada hal itu terjadi besok, lebih baik kita selesaikan sekarang saja. Biar mati atau
hidup, tetapi hanya kita beberapa orang ini saja. Tak sampai menyeret lain2 orang yang tak sedikit
jumlahnya!”
Cong To tertawa gelak-gelak, serunya, “Benar, soal itu aku sendiripun sampai tak dapat
memikir jauh.”
Nyo Bun-giau tiba-tiba menyelutuk, “Kalau saudara Ji memang bermaksud begitu, kiranya tak
perlu tadi saudara melepas Siangkwan Ko dan Ting Ko keluar. Bukan saja kekuatan kita akan
berkurang, pun dengan bebasnya kedua orang itu, dunia persilatan tentu tak mungkin akan
aman.”
Jawab Han Ping, “Kedua orang itu sudah tua dan menderita kemalangan nasib karena puterinya
meninggal dan terluka. Kiranya pelajaran itu cukup mahal. Tetapi kalau memang tak sadar dan
tetap berkecimpung dalam kancah dunia persilatan untuk memburu nama mereka pasti akan
menderita kekecewaan ….”
Tiba-tiba Ca Cu-jing menyelutuk, “Kami ayah dan anak, kalau harus mati semua dalam ruang
ini, bukankah terlalu penasaran sekali….” sejenak ia berhenti lalu berkata pula, “Anakku, engkau
juga harus tinggalkan tempat ini.”
Tetapi Ca Giok menolak, “Tidak yah, aku akan menemani ayah disini….”
Ca Cu-jing membentak marah, “Mau tinggal disini agar ayahmu menderita kedukaan? Lekas
pergilah!”
Wut, ia lepaskan sebuah hantaman.
Ca Giok tak berani menangkis. Ia miringkan bahu ke samping untuk menerimanya. Seketika ia
rasakan sebuah arus tenaga dahsyat melanda sehingga tubuhnya terdorong mundur beberapa
langkah dan tepat tiba di samping pintu batu.
Ca Cu jing cepat menyusuli sebuah hantaman lagi kepada sang putera sehingga Ca Giokpun
terdorong keluar dari pintu.
Tiba-tiba Han Ping menengadahkan kepala dan bersuit nyaring. Ia lepaskan diri dari si dara
baju ungu lalu dengan mata berkilat-kilat dan tangan kanan mencekal pedang Pemutus asmara, ia
menjura di hadapan ketua Lam-hay bun.
“Lo-cianpwe. aku….”
Ketua Lam hay-bun mendengus dingin, “Apakah engkau hendak menguji aku dengan pukulan?”
Sahut Han Ping tegas2, “Silahkan lo-cianpwe memberi perintah untuk menutup pintu batu dan
siapkanlah barisan. Akulah yang pertama ingin mencoba kehebatan dari ilmusilat Lam-hay-bun.”
Kiranya pada saat itu benak Han Ping membayangkan ketika Hui Gong taysu tengah
menurunkan pelajaran kepadanya. Walaupun secara resmi dia bukan murid dari Hui Gong taysu,
tetapi ia telah menerima pelajaran dari tokoh Siau-lim itu. Ia harus mencurahkan segenap tenagaTiraikasih Website http://kangzusi.com/
untuk menjaga keharuman nama Hui Gong taysu sebagai bintang cemerlang dalam angkasa
persilatan.
Pikiran aneh dalam hati Han Ping itu, tiada seorangpun yang dapat menduga. Bahkan Ih Thian-
heng yang cerdik, juga tak mengerti.
Sesaat Ih Thian-heng hanya tegak termangu-mangu memandang wajah Han Ping. Beberapa
jenak kemudian baru ia berkata pelahan-lahan, “Apakah saudara Ji hendak adu kepandaian di
dalam ruangan ini?”
Han Ping menyahut dengan nada bersungguh-sungguh, “Walaupun dalam ruang ini terdapat
barisan gelap, tetapi kupercaya, Lam-hay Sin-siu lo-cianpwe pasti takkan menggerakkannya.”
Ketua Lam-hay-bun tertegun, serunya, “Apakah di antara kalian ada yang layak menjadi
lawanku?”
“Lo-cianpwe hanya karena mendendam kepada Hui Gong taysu maka dengan jerih payah
membangun triaLtien tua ini dan memperlengkapinya dengan segala bermacam alat-alat rahasia
untuk membunuhi kaum persilatan dunia Tiong-goan,” kata Han Ping, “tujuan lo-cianpwe tak lain
yalah karena hendak merebut kembali kehilangan muka dari Hui Gong taysu. Padahal peristiwa lo-
cianpwe dikalahkan Hui Gong taysu, kaum persilatan Tiong-goan hanya sedikit sekali orang yang
tahu. Apalagi kini Hui Gong taysu sudah meninggal dunia.”
Berhenti sejenak, Han Ping melanjutkan pula, “Seorang lelaki, masakan takut menghadapi
kematian? Walaupun tahu bahwa diriku bukan lawan yang layak dari lo-cianpwe. tetapi aku ingin
sekali menyerahkan jiwaku untuk menerima pelajaran ilmu kesaktian dari lo-cianpwe. Kalau aku
sampai terluka di tangan lo-cianpwe, mungkin dendam kemarahan Lo-cianpwe itu tentu akan
mereda. Tetapi kalau aku beruntung dapat mengalahkan lo-cianpwe, kuharap lo-cianpwe benar-
benar rela mengaku kalah kepada Hui Gong taysu.”
Seketika wajah ketua Lam-hay bun berubah gelap. Pelahan-lahan ia maju tiga langkah,
serunya: Hendak kuuji dulu sampai pada tataran manakah Ilmu Pedang terbang yang engkau
yakinkan itu?”
Diam-diam Han Ping memang sudah kerahkan tenaga-murni. Pedang Pemutus asmara pelahan-
lahan digerakkan dalam bentuk setengah lingkaran di muka dadanya. Kemudian berkata dengan
serius. “Silahkan lo-cianpwe!”
“Aku akan mengalah sebanyak tiga jurus,” kata ketua Lam-hay-bun.
“Kalau lo-ciaupwe hendak mengalah, kurasa satu jurus saja sudah cukup,” seru Han Ping
seraya ajukan tangan melmutar pedang pusaka menjadi tiga kelompok sinar yang sekaligus
menyerang pada tiga buah jalandarah di tubuh ketua Lam-hay-bun.
Tampak ketua Lam Hay-bun gatarkan bahu kanannya. Tanpa berkisar kaki dan meliukkan lutut
ia menghindari serangan itu.
Han Ping menarik pulang pedang, serunya, “Harap lo-cianpwe suka turun tangan!”-ia terus
loncat maju. Pedang Pemutus-asmara berkiblat-kiblat memancarkan lingkaran Sinar bergulung2
bagai ombak mendampar.
Ih Thian-heng yang menyaksikan dari samping diam-diam merasa bahwa ilmupedang
anakmuda itu dalam waktu yang singkat telah mencapai kemajuan besar.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Rupanya ketua Lam-hay-bun tetap pegang gengsi. Dia tak mau menggunakan senjata dan
melainkan menggunakan sepasang tangan untuk menghadapi serangan Han Ping. Tetapi gerakan
tangannya memang amat aneh sekali. Benar-benar suatu ilmu silat yang jarang terdapat di dunia
persilatan.
Ujung jarinya selalu mengarah untuk menusuk ke jalandarah lengan Han Ping sehingga anak-
muda itu terpaksa tiap kali harus hentikan serangan pedangnya di tengah jalan.
Sepintas pandang tampak pedang Han Ping itu menyambar bagai bianglala. Dan sambarannya
pun sedahsyat gelombang mendampar. Tetapi sesungguhnya, dia harus bertempur dengan susah
payah sekali. tangan ketua Lam hay- bun itu seperti ular yang selalu membayangi kemana
pemuda itu bergerak.
Pertempuran yang seru dan dahsyat itu membuat sekalian tokoh yang menyaksikan sama
membelalakkan mata lebar-lebar. Mereka seperti kena pesona. Perhatian dan mata tokoh-tokoh itu
mencurah lekas pada gerak gerik kedua orang yang sedang bertempur. Kerut wajah merekapun
berobah-obah tenang tenang menurutkan perobahan2 yang terjadi pada jurus2 pertempuran.
Menyaksikan adegan itu, tiba-tiba darah si dara baju ungu meluap ke atas kepala, Kepalanya
pusing dan rubuhlah ia ke tanah.
Untunglah si wanita cantik tahu dan cepat-cepat menyambar tubuh puterinya itu lalu dipeluk.
“To-ji, to-ji….”
Dalam beberapa waktu yang singkat itu berulang kali si dara baju ungu telah menderita
keguncangan perasaan hatinya. Dia memang seorang dara yang bertubuh lemah sehingga mudah
pingsan.
Melihat Han Ping bertempur sedemikian dahsyatnya dengan ketua Lam hay-bun, dara baju
ungu itu menjadi tenang sekali. Yang satu adalah ayah kandungnya. Dan yang satu adalah
pemuda yang amat dicintainya. Siapa pun diantara kedua orang itu yang akan rubuh, tentu akan
membuat hati si dara menderita sekali.
Melihat ayahnya dan Han Ping bertempur makin lama makin hebat, hati dara baju ungu itupun
ikut meningkat ketegangannya. Darah meluap dan akhirnya rubuhlah ia tak ingat diri….
Mendengar isterinya berseru memanggil puterinya, ketua Lam-hay-bun tanpa sadar
memalingkan muka sehingga perhatiannya lengah. Kesempatan itu telah diisi Han Ping dengan
Dua buah tahasan telah menutup serangan jari ketua Lam- hay bun itu. Dan kemudian Han Ping
menyusuli dengan menamparkan tangan kiri dalam jurus Tengah-malam-memukul-lonceng ke
arah bahu kanan lawan.
Ketua Lam-hay-bun hanya memperhatikan serangan pedang Han Ping. Sama sekati ia tak
menduga akan menerima pukulan dari anakmuda itu. Kalau ia menghindar, tentu harus loncat
mundur. Dan gerakan itu pasti akan dikuasai oleh Han Ping lagi.
Maka ketua Lam hay-bun itu memutuskan. Ia mendengus dingin lalu songsongkan bahunya ke
arah tangan Han Ping.
Dukk…. pukulau Han Ping tepat bersarang pada bahu kanan ketua Lam-hay-bun. Tetapi Han
Pingpun menderita, kerugian. Ternyata dalam mengorbankan bahunya itu, ketua Lam-hay-bunpun
dengan suatu gerakan jari yang luar biasa anehnya telah berhasil menutuk siku lengan Han Ping
sehingga pedang Pemutus-asmara tak kuasa dicekalnya tagi. Tring…. pedang pusaka itu jatuh ke
tanah.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tetapi Han Ping tak mau menyerah begitu saja. Serentak ia tendangkau kakinya dan tangan
kirinya balas menutuk.
Cara yang dilakukan Han Ping itu adalah cara adu jiwa. Dia sudah tak menghiraukan lagi
apakah pertahanan dirinya terbuka atau tidak. Pokoknya serangan itu harus mengenai lawan.
Sekalian tokoh heran melihatnya. Mereka benar-benar tak menyangka Han Ping berbuat begitu
nekad. Diam-diam mereka menilai, “Hm. ketua Lam hay- bun ini mempunyai kesempatan yang
lebih besar. Asal dia menyerang ke sebelah kanan tentulah dapat melukai Han Ping. Aneh,
mengapa dia malah menyurut mundur dengan mendadak?”
Tiba-tiba terdengar ketua Lam-hay-bun itu mendengus dingin. serunya, “Dahulu aku kalah
dengan Hui Gong taysu karena menghadapi jurus ini. Berpuluh tahun kemudian engkau hendak
mengulang lagi adegan itu, Hm, masakan aku akan dapat terjebak lagi?”
Siku lengannya terkena tutukan, walaupun tak sampai mengenai jalandarahnya tetapi Han Ping
rasakan seluruh lengannya kesemutan dan lunglai. Ternyata ujung Jari ketua Lam hay bun itu
mengandung tenaga yang Luar biasa kuatnya.
Waktu ketua Lam-hay-bun menyurut mundur, diam-diam Han Ping menggunakan kesempatan
itu untuk menyalurkan darahnya. Kemudian bersiap-siap lagi untuk menghadapi lawan. Maka apa
yang dikatakan ketua Lam-hay-bun itu, ia seolah-olah tak mendengarkan.
Ih Thian-heng berpaling ke arah Pengemis sakti Cong To dan berkata, “Saudara Cong, jurus
yang dimainkan saudara Han Ping itu sungguh tak dapat kuketahui keistimewaannya?”
Cong To tertawa, “Apakah engkau hendak minta penjelasan dari pengemis tua ini?”
“Ya, aku ingin sekali mendengar keterangan tentang hal itu.”
Cong To tertawa, “Jurus yang dimainkan dengan tangan dan kaki itu, sebuah ilmu yang
mempunyai nama besar.”
“Apakah mama jurus itu?” tanya Ih Thianheng.
“Itulah yang disebut jurus Lengan-satu-kaki-pincang-memukul-anjing ….”
“Ah, nama itu kurang sedap didengar,” kata Ih Thian-heng.
Cong To tertawa gelak-gelak, serunya, “Kalau hanya ingin mendengar yang bagus2 saja,
jangan tanya kepada pengemis tua.”
Ih Thian-heng tersenyum, katanya, “Bersuit bangga di tengah hutan, bicara dengan tertawa-
tawa dalam saat diancam kematian. Sikap yang perwira dan saudara Cong itu, sungguh membuat
aku kagum.”
Tampak Han Ping mengulurkan tangan menjemput pedang Pemutus-asmara di tanah. Setelah
dimainkan sejenak lalu diserangkan kepada ketua Lam-hay-bun.
Tampak wajah Pengemis-sakti Cong To tertawa-tawa tetapi sesungguhnya dalam hati pengemis
itu merasa heran juga melihat gerak gerik Han Ping. Diam-diam ia mencurahkan segenap
perhatiannya kepada anakmuda itu. Dilihatnya wajah Han Ping tampak muram, sepasang matanya
pun agak redup tak bersinar dan membelalak lebar-lebar.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
“Eh, mengapakah anak itu?” diam-diam Cong To terkejut dalam hati.
Rupanya Ih Thian-hengpun mengetahui juga tentang sikap yang tak wajar dari Han Ping.
segera ia bertanya kepada pengemis sakti, “Saudara Cong, rupanya ada sesuatu yang tak wajar
pada diri saudara Han Ping.”
Cong To batuk-batuk, sahutnya, “Baik, pengemis tua akan menariknya mundur.”
“Engkau seorang tentu bukan tandingannya,” kata Ih Thian-heng, “kalau mau maju baiklah kita
bersama-sama. Walaupun sebelah lenganku sudah lumpuh tetapi saat ini tenagaku sudah pulih
kembali.”
Tampak gerakan kaki Han Ping meluncur deras seperti air mengalir dan sambaran pedangnya
pun sederas sungai bengawan. Gerakannya aneh dan jurus2 permainannya luar biasa, gerak
perobahannya selalu berobah-robah tak pernah berhenti. Memang permainan anakmuda itu cepat
dan tangkas sekali, tetapi gaya serangannya tampak ngawur tiada menentu sasarannya….
Cong To dan Ih Thian-heng diam-diam siapkan diri. Tetapi sampai sekian saat belum juga
mereka melihat kesempatan untuk turun tangan.
Sekalian tokoh-tokoh lain makin menggelora semangatnya. Mereka menyaksikan pertempuran
itu dengan menahan napas.
Tiba-tiba Han Ping lempangkan pedang lurus ke muka. Tangan kiripun melepas hantaman.
Seketika wajah ketua Lam-hay-bun berobah. Ia meliukkan jari dan menjentikkannya. Serentak
mendesislah sedesir suara tajam ke arah jalandarah lengan kiri Han Ping.
Han Pingpun cepat mengendapkan tubuh ke bawah lalu lontarkan pedang Pemutus asmara.
Sepercik sinar biru melayang dan berputar-putar di udara. Sekali Han Ping melingkarkan tangan
kirinya, terus menghantam.
Ketua Lam- hay-bun memutar lengannya untuk menymnbut. Tetapi sekonyong-konyong Han
Ping bersuit panjang lalu tangan kanannya serentak menyambar pedang pusaka itu dan
diputarnya kencang2.
Sekalian tokoh-tokoh makin melekat perhatiannya. Dilihatnya setiap kali Han Ping memutar
pedang itu sampai satu lingkaran, sinar biru pedang itu pun makin bertambah panjang. Tokoh-
tokoh itu menyadari apa artinya itu tetapi tak mengerti bagaimana hal itu dapat terjadi.
Sinar biru pedang Pemutus asmara itu, makin lama makin membesar dan dalam waktu
beberapa jenak kemudian hampir mencapai semeter panjangnya. Dan Han Pingpun seolah olah
lenyap ditelan sinar biru itu.
Tiba-tiba si dara baju ungu bertanya dengan bisik-bisik, “Apakah itu yang disebut ilmu pedang
tataran tinggi?”
Belum sempat ibunya atau si wanita cantik berpakaian seperti puteri keraton menjawag, tiba-
tiba sinar pedang berobah memanjang seperti sebuah bianglala yang mencurah ke arah ketua
Lam-hay-bun.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tetapi rupanya ketua Lam-hay-bun itu sudah bersiap lebih dulu. Kedua tangannya yang
menjulur lurus di muka dadanya, tiba-tiba didorongkan. Sebuah gelombang tenaga-dalam yang
dahsyat segera melanda ke arah sinar pelangi biru itu.
Rupanya pelangi terbang itu seperti tertahan oleh gelombang tenaga dalam dari ketua Lam-
hay-bun. Sinar biru itu segera melingkar-lingkar mengitari tubuh ketua Lam hay bun.
Ketua Lam-hay-bun tak henti-hentinya menghantam dengan tenaga dalam tetapi tetap tak
mampu menghalau sinar pedang yang melingkari dirinya.
Kira2 sepeminum teh lamanya, muka ketua Lam-hay-bun mulat bercucuran keringat. Dan sinar
pedang itu bahkan makin lama makin dekat kepada dirinya. Pada lain saat, tiba-tiba sinar biru itu
menembus, memecah dinding tenaga-dalam dari ketua Lam-hay-bun dan langsung menyusup ke
arah dadanya.
Melihat itu tanpa disadari, menjeritlah si dara baju ungu, “Han Ping. jangan melukai ayahku!”
Serentak sinar pedang pun lenyap dan tampaklah pula tubuh Han Ping. Sebelum orang tahu
apa yang telah terjadi, tiba-tiba terdengar sebuah bentakan keras dan sesosok tubuh terhuyung
rubuh.
“Han Ping!” Pengemis-sakti Cong To menjerit keras dan terus menyanggapi tubuh itu.
Saat itu si dara baju ungupun lari melihat apa yang terjadi, ia serentak berhenti dan
membentak dingin, “Yah, engkau melukai dia!”
“Aku tak keburu menarik pulang tanganku,” sahut ketua Lam-hay-bun dengan tegang.
“Kalau aku tak menyerukan supaya dia hentikan serangannya kepadamu?” seru si dara pula.
Seketika pucatlah wajah ketua Lam hay-bun itu, sahutnya, “Ayahmu tentu akan binasa di
bawah pedang Pemutus-asmara yang tiada tandingnya di dalam dunia ini!”
“Ayah!” menjerit si dara baju ungu, “dengan begitu engkau memperoleh kemenangan karena
aku menyuruhnya berhenti tadi?”
Ketua Lam hay-bun tak dapat menjawab.
Berkata pula si dara baju ungu dengan tajam, “Mamaku telah membenci engkau seumur hidup
Aku sebagai seorang anak, tentu tak dapat ikut-ikutan membencimu mati-matian. Tetapi aku ingin
agar engkau merasakan betapa kesedihan hati seorang tua yang kehilangan puterinya….”
Habis berkata dara baju ungu itu terus berlari menghampiri ke tempat Han Ping.
Tampak ketua Lam-hay-bun tegang sekali hatinya. Sejenak ia berpaling memandang kearah
wanita cantik atau isterinya.
Wanita cantik berpakaian seperti puteri keraton itu hanya mengunjuk wajah dingin. Jelas ia tak
mau mencegah kehendak puterinya.
Dalam suasana yang berkabut dengan hawa pembunuhan tercampur dengan rasa kasih sayang
antara orangtua dengan anaknya. ditambah pula dengan getar2 asmara murni dari sepasang
muda mudi, Berhamburan mencekam suasana.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Perlahan-lahan terlihat jelas, kabut hawa pembunuhan itu mulai menipis dan lenyap.
Ih Thian-heng menghela napas.
“Saudara Cong,” serunya kepada Pengemis-sakti Cong To,” bagaimana keadaan luka saudara
Han Ping?”
“Jalandarah jantungnya sudah berhenti, pusat sumber jiwanya sudah kosong. Rasanya sukar
ditolong lagi.
Tiba-tiba dara baju ungu menangis keras.
“Bagus, bagus! Engkau mati dengan bagus sekali!” serunya.
Mendengar itu Pengemis-sakti Cong To marah, serunya, “Jika engkau tidak memanggilnya-
tentulah batang kepala ayahmu itu sudah menggelinding di tanah. Dalam detik-detik menghadapi
pertempuran maut, dia tetap mencurahkan kasihnya kepadamu. Tetapi mengapa engkau berbalik
malah gembira sekali melihat kematiannya, Hm, manusia liar yang tak beradab, ternyata memang
tak mempunyai rasa budi kecintaan sama sekali.”
Ih Thian-hengpun marah. la tak tahan lagi melihat peristiwa itu. Sekonyong-konyong ia
gerakkan lengan kanannya dan berseru, “Keadilan hari ini, terpaksa memang harus demikian.
Hancurkan dulu mana yang dapat dihancurkan, setiap kesempatan harus diisi dengan
kemenangan!”
Ca Cu jingpun tak mau banyak pikir lagi. ia menjemput jarum Hong-wi-ciam yang beracun,
terus ditaburkan ke arah ketua Lam-hay-bun juga.
Ketua Lam-hay-bun kebutkan lengan bajunya. Serangkum tenaga dahsyat segera menyapu
jarum2 Hong-wi-ciam itu sehingga berjatuhan ke tanah.
Kemudian ketua Lam-hay bun itupun gerakkan tangan kanan untuk menangkis pukulan Ih
Thian-heng.
Seketika Ih Thian-heng segera rasakan segelombang tenaga-dalam mengembalikan tenaga dari
pukulannya. Sedemikian hebat tenaga- membalik itu sehingga Ih Thian-heng rasakan jantungnya
berdebar keras.
Ca Cu-jing masih penasaran. Segera ia lepaskan sebuah pukulan Peh- poh-sin ciang atau
Pukulan-sakti-seratus-langkah ke arah ketua Lam-hay-bun. Tetapi murid pertama dari Lam-hay-
bun ialah Ong Kwan-tiong cepat maju menyongsongnya.
Si Bungkuk, si Kate dan Kaki-buntung baju merahpun segera mainkan senjatanya maju
menyerang dan menyambut serangan orang Tiong-goan.
Seketika pecahlah pertempuran hebat antara orang Lam-hay-bun lawan tokoh-tokoh persilatan
Tiong-goan.
“Berhenti!” tiba-tiba ketua Lam-hay-bun membentak, “aku hendak bicara!”
Kedua belah fihak segera berhenti dan tegak mendengarkan.
Tampak ketua Lam-hay-bun mengusap jenggotnya yang panjang dan berkata, “Kutahu dalam
dunia persilatan ini hanya aku dan Hui Gong taysu yang pantas menjadi lawan. Tetapi dia punTiraikasih Website http://kangzusi.com/
belum tentu dapat meugalahkan aku. Hanya dia ternyata dapat memenangkan setengah jurus dari
aku. Sejak itu aku selalu mendendam dalam hati, Siang malam aku memikirkan daya dan rencana
bagaimana dapat berjumpa lagi dengan dia dan mengadu kepandaian. Tetapi sayang dia sudah
dipenjarakan oleh ketua Siau-lim-si dan tak dapat keluar ke dunia persilatan lagi.
Dia berhenti sejenak lalu berkata pula, “Beberapa tahun kemudian, aku pernah datang ke
gereja Siau-lim-si untuk mencarinya. Malam hari aku menyelundup masuk ke dalam penjara gereja
Siau-lim dan menantang bertempur lagi dengan taruhan pedang Pemutus-asmara. Siapa yang
menang boleh mengambil pedang….”
Tiba-tiba ketua Lam-hay-bun itu hentikan kata-katanya dan berpaling memandang ke arah
wanita cantik lalu menghela napas.
“Soal urusan peribadi kami, aku tak dapat mengumumkan kepada dunia. Maka baiklah kalian
jangan menanyakan hal itu,” katanya sesaat kemudian.
Tiba-tiba wanita cantik berpakaian seperti puteri keraton itu menghela napas panjang dan
tundukkau kepala berdiam diri.
Saat itu Pengemis saktipun sudah letakkan tubuh Han Ping dan siap2 hendak turun tangan.
Mendengar penuturan itu, ia segera menyelutuk pertanyaan, “Lalu bagaimana kelanjutan peristiwa
itu?”
Kata ketua Lam hay-bun, “Setelah mendengar tantanganku sampai tiga kali barulah Hui Gong
taysu keluar meluluskan. Di dalam ruang tempat dia dipenjarakan itulah Aku dan Hui Gong
melangsungkan pertempuran adu tenaga-sakti…. .”
Tiba-tiba nada suaranya berobah pelahan, katanya, “Setengah malam bertempur mati-matian,
aku tetap kalah dengan dia….”
Suaranya makin lama makin pelahan sehingga tak kedengaran lagi.
Pengemis-sakti Cong To mendengus dingin, “Adakah kali ini hatimu sudah rela menerima
kekalahan tadi?”
Tanpa melihat pada si pengemis, ketua Lam-hay-bun itu menghela napas panjang, ujarnya,
“Tempo dulu memang aku masih penasaran karena menderita kekalahan. Maka dari ribuan li
jauhnya kutempuh perjalanan untuk menuju ke gunung Ko-san. Tiba di gereja Siau-lim-si aku pun
harus bersusah payah untuk menghindari barisan tersembunyi dari paderi2 berilmu sakti yang
menjaga gereja itu. Akhirnya setelah melalui jerih payah, barulah aku berhasil menemui dan
menantangnya bertempur. Tetapi dia tetap seenaknya saja duduk dalam ruang tempat penjaranya
tanpa banyak mengeluarkan tenaga. Aku letih dan dia masih tegar, sekalipun akhirnya aku
menderita kekalahan tetapi hatiku masih penasaran!”
Wajah ketua Lam- hay-bunpun berobah tegang dan sarat. Kemudian ia memandang ke arah
tokoh-tokoh Tiong-goan lalu berkata pula, “Hari ini setelah berhadapan dengan Ji Han Ping,
barulah aku menyadari akan kebesaran alam dan kegaiban mahluk di dunia ini, tak dapat diduga
manusia biasa. Makin banyak tokoh-tokoh sakti dalam dunia persilatan, makin tipislah harapanku
untuk merajai dunia persilatan….”
Nadanyapun mengikuti ketegangan wajahnya. Mengalun tinggi kemudian mengendap turun.
Wajahnya makin sarat dan muram kemudian ia menghela napas, “Itulah sebabnya maka aku
rela mengaku kalah….”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Pengemis-sakti Cong To tertawa dingin, serunya, “Ho, ternyata engkau masih memiliki jiwa
ksatrya!”
Tiba-tiba ketua Lam-hay-bun menyilangkan kedua matanya. Berkilat-kilat seperti memancarkan
api lalu berseru bengis, “Tetapi kalian jangan lupa. Di seluruh dunia ini, jago yang dapat
mengalahkan aku, setelah Hui Gong taysu, pun hanya Han Ping seorang saja. Lain orang…. lain
orang….”
Perlahan-lahan dia memandang ke bawah dan suaranyapun makin mengendap. Rupanya
hatinya sudah tawar dan dingin dan ia pun sudah tak mempunyai selera untuk bicara lagi.
Tokoh-tokoh Tiong-goan itupun juga mempunyai perasaan gelo dan menyesal sehingga
merekapun tak buka bicara.
Suasana menjadi hening lelap. Bahkan suara napas orangpun mulai kedengaran jelas.
Beberapa saat kemudian barulah ketua Lam- hay- bun itu mulai berkata pula, “Nafsu berkelahi
mencari kemenangan hanya memburu kesenangan hati untuk sesaat tetapi meninggalkan bekas
penyesalan ratusan tahun. Tokoh-tokoh ternama yang silih berganti menjagoi dunia persilatan,
pada akhirnya tak lain tak bukan hanya menjadi segunduk impian saja….”
Ketua Lam hay-bun itu menengadahkan kepala dan bersuit panjang. Suitanuya memantulkan
suara macam Naga meringkik. Dahi sekalian tokoh-tokoh yang berada dalam ruangan itu pucatlah
seketika.
Rupanya ketua Lam-hay-bun ini telah menyalurkan kesesakan dadanya yang telah menghimpit
napasnya.
“Mulai saat dan detik ini,” katanya dengan nada sarat, “aku sudah menemukan kesadaran dan
penerangan. Aku tak mau mengucurkan darah dan bertempur dengan orang lagi….”
Habis berkata ia terus berjalan dengan langkah berat menuju ke luar ruangan. Seiring dengan
langkah kakinya, mulutnyapun berkata dengan pelahan-lahan, “Apabila ada orang yang hendak
mencelakai aku, silahkan turun tangan. Tak nanti aku akan membalasnya!”
Sekalian tokoh-tokoh Tiong-goan itu saling berpandangan sendiri. Rupanya perasaan hati
merekapun seperti tenggelam dalam laut kedukaan sehingga tak seorangpun yang memikirkan
hendak turun tangan kepada ketua Lam hay-bun.
Setapak demi setapak terdengar kaki ketua Lam-hay-bun itu melangkah keluar dari ruang batu
dan makin lama pun makin jauh.
Walaupun dalam ruang itu masih terdapat isterinya yang tercinta dam puterinya yang
tersayang. namun sekalipun ketua Lam-hay-bun itu tak mau berpaling kepada mereka. Seolah
kepergiannya kali itu, dia takkan berjumpa dengan manusia di dunia lagi.
Setelah suara langkah kaki itu lenyap, si Kaki buntung baju merah, Ong Kwan-tiong dan anak
buah Lam-hay-bun, tiba-tiba berlutut ke tanah dan menangis. Sedemikian mengharukan tangis
mereka sehingga sekalian tokoh-tokoh Tiong-goan pun ikut rawan.
Wanita cantik berpakaian puteri keraton memandang bayangan suaminya yang lenyap keluar
ruangan lalu berkata dingin, “Sebaiknya memang dia pergi….”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tetapi kata-kata itu walaupun diucapkan dengan nada dingin tetapi jelas pada sepasang
matanya berlinang-linang airmata.
Ih Thian-heng memandang kepada lengan kirinya yang lumpuh dan berkata, “Ah, memburu
nama itu sungguh menyusahkan orang. Orang gagah tentu pendek umurnya. Saudara Cong,
kitapun juga harus pergi dari sini!”
Wanita cantik berpakaian puteri keraton berputar tubuh, mengusap airmatanya lalu berkata
kepada puterinya, “To ji, ikutlah kepada mamah! Selama belasan tahun ini aku tak merawatmu.
Sejak saat ini aku akan berlaku sayang kepadamu.”
Dara baju ungu gelengkan kepala, “Silahkan mamah pergi sendiri! Aku akan tinggal disini
selama-lamanya….”
“Apa?” wanita cantik itu terkejut bukan kepalang.
Sahut si dara baju ungu dengan tenang dan tegas, “Saat ini aku sudah bukan Siau Toto lagi.
Ya, sejak saat ini, aku sudah menjadi nyonya Ji Han Ping….”
“Toto!” nenek Bwe menjerit, “mengapa engkau berkata begitu? Bukankah Ji siangkong sudah
meninggal?”
Jawab dara itu, “Justeru karena dia sudah meninggal itu. Apabila dia masih hidup….”
“Apakah engkau sudah mengikat janji dengan dia?” ibunya menyelutuk.
Berkata si dara baju ungu, “Sudah lama sekali aku telah menyerahkan hatiku kepadanya. Tusuk
Kundai Kumala menjadi pengikat janji, kuberikan kepadanya dalam makamnya. Tetapi tak kuduga-
duga ternyata dia masih hidup….”
Sejenak dara itu merenungkan kenangan yang lama dimana dengan secara besar-besaran dan
khidmat ia telah melakukan upacara pemakaman dari sesosok jenazah yang dikiranya Han Ping.
tetapi ternyata bukan. Han Ping saat itu masih hidup.
Sesaat kemudian tiba-tiba dara baju ungu itu tertawa keras. serunya “Mah, engkau belum
pernah melihat wajah puterimu ini. Apakah engkau sudah pernah tahu bagaimana wajah puterimu
ini?”
Wanita cantik berpakaian puteri keraton terkesiap, serunya, “Dahulu pernah aku secara diam-
diam pulang ke Lam hay. Kala itu kulihat engkau sedang bermain-main di tepi laut. Cuma engkau
tak tahu mamah.”
“Apakah mamah masih ingat akan wajahku?” tanya si dara baju ungu pula.
“Jauh lebih cantik dari mamah,” sahut wanita cantik berpakaian puteri keraton itu.
Siau Toto tertawa nyaring lalu pelahan-lahan ia membuka kain kerudung mukanya.
Wajah cantik dari dara baju ungu itu masih meninggalkan bekas kenangan yang tak pernah
dilupakan oleh sekalian tokoh-tokoh Tiong-goan.
Pada saat Siau Toto membuka kain kerudung mukanya, sekalian orang pun segera
mengarahkan pandang mata ke arahnya.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tetapi serentak pandang mata berobah membelalak seperti melihat suatu pemandangan yang
mengejutkan.
Ternyata wajah dara baju ungu yang dahulu cantik berseri laksana kuntum bunga yang tengah
mekar di pagi hari, wajah yang membuat para bidadari di kahyangan mengiri karena telah
mendapat saingan. Saat itu, ya saat itu telah berobah…. mengerikan!
Wajahnya yang halus dan secantik bidadari itu telah berhias dergan gurat-gurat merah, silang
menyilang malang melintang.
Melihat itu wanita cantik yang biasanya berhati dingin, saat itu seperti orang yang kehilangan
pikiran. Ia menjerit histeris, “Toto, Toto! siapakah yang telah merusakkan wajahmu?”
Dengan bercucuran airmata, dara itu menjawab “Aku sendiri, mah!”
Wanita cantik gemetar tubuhnya, “Engkau sendiri? Mengapa engkau merusak wajahmu
sendiri?”
Dara baju ungu itu sejenak memandang ke arah Han Ping yang menggeletak di tanah,
sahutnya, “Karena dia sudah meninggal ….”
Tiba-tiba dara itu meraih pedang Pemutus- asmara dan didekatkan ke dadanya.
“Apabila mamah benar sayang kepadaku, mamah tentu akan mengijinkan aku tinggal disini!”
serunya.
Wanita cantik berpakaian puteri keraton yang berhati sedingin es itu, saat itu bercucuran
airmatanya.
Beberapa saat kemudian ia mencabut sebatang TUSUK KUNDAI KUMALA dari rambutnya dan
berkata, “To-ji, Tusuk Kundai Kumala itu semula ada sepasang. Ketika kutinggalkan Lam-hay,
kubawanya sebatang. Tusuk kundai ini terbuat dari batu kumala dingin yang berumur ribuan
tahun. Apabila membawanya, dapat membuat wajah tetap tak rusak. Ji siangkong sudah
meninggal dunia. Tenaga pukulan ayahmu dahsyat sekali, kemungkinan siangkong sudah sukar
disembuhkan lagi. Dengan menggunakan tusuk kundai ini, Jenazahnya dapat terpelihara tak
sampai rusak!”
Siau Toto menyambuti. Kemudian sambil membolang-baling pedang Pemutus-asmara, ia
berseru, “Silahkan kalian pergi! Dalam waktu sepeminuman lagi, alat perkakas rahasia segera
kugerakkan agar pintu batu tertutup. Saat itu tentu kalian akan tertutup di sini dan jangan harap
kalian mampu keluar lagi!”
Sekalian tokoh-tokoh Tiong-goan saling bertukar pandang lalu perlahan-lahan mereka
mengayunkan langkah keluar dari ruangan.
Saat itu hati sekalian orang memang diliputi rasa sesal dan tawar. Sikap mereka pun tampak
lesu, tidak seperti ketika mereka masuk dan berhadapan dengan musuh, begitu beringas dan buas
seperti harimau menghadapi musuh.
Pengemis-sakti Cong To setiap melangkah setapak tentu akan berpaling ke arah si dara baju
ungu. Dipandangnya dara itu dan tubuh Han Ping yang terbaring di tanah. Dalam hati pengemis
tua itu timbul rasa haru dan sayang yang tak terhingga besarnya. Diam-diam ia tak henti-hentinya
menghela napas.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Siau Toto, seorang dara jelita yang tiada tara kecantikannya. Boleh diumpamakan sebagai
seorang bidadari yang menjelma di dunia. Thian telah menganugerahkannya wajah yang luar
biasa cantiknya. Betapa menyengsamkan hati apabila dara itu tertawa. Betapa indah apabila dara
itu sedang berkata-kata. Kesemuanya itu menggores kesan yang tak dapat dilupakan seumur
hidup oleh Pengemis- sakti.
Tetapi saat itu, wajah ayu dari si dara telah berobah menyeramkan. Seluruh mukanya penuh
berhias gurat-gurat warna merah. Dari seorang bidadari, dia telah berobah menjadi dara yang
berwajah seram.
Hanya dalam waktu beberapa tahun Han Ping muncul di dunia persilatan, namanya sudah
harum semerbak sebagai seorang jago muda yang gemilang dan Sakti. Tokoh-tokoh dunia
persilatan kelas satu, segan dan gentar terhadap dia. Bagaikan mentari pagi, dia muncul dan
memancarkan sinar yang gilang gemilang. Merupakan utusan muda dari angkatan yang sudah
lalu. Berhati keras tetapi berbudi emas. Secara tak resmi dia sudah diakui sebagai seorang tokoh
muda yang berpengaruh dan besar wibawanya. Tetapi nasib menentukan lain. Pemuda yang
berbakat dan berotak cerdas itu harus kehilangan jiwa di dalam makam tua.
Kematian Han Ping itu adalah karena ia memikirkan kepentingan dara itu. Demi untuk si dara,
Han Ping rela mengorbankan jiwanya.
Si darapun tahu dan membalas pengorbanan itu dengan merusakkan wajahnya yang cantik dan
menunggu dalam makam itu selama-lamanya….
Han Ping mengutamakan kepentingan si dara. Demi mematuhi permintaan si dara, ia rela
mengorbankan jiwanya. Dan untuk itu si dara pun rela membalas dengan pengorbanan besar. Ia
merusak wajahnya yang cantik dan rela menjaga jenazah Han Ping dalam makam itu untuk
selama-lamanya….
Tiba-tiba Ih Thian-heng melangkah balik masuk kembali. Serta merta ia berlutut di hadapan
mayat Han Ping. Dengan melintangkan sebelah tangannya ke dada, ia mulai berdoa, “Dunia
menganggap aku Ih Thian-heng seorang manusia yang berlumuran dosa setinggi gunung. Tetapi
mereka tak tahu bahwa akan siasat buas yang kulakukan itu sesungguhnya pancaran dari hati
nuraniku yang baik. Kebaikan dan kejahatan, sebelum berakhir dengan jelas, memang sukar
dibedakan.”
Melihat tingkah laku Ih Thian-heng, sekalian tokohpun hentikan langkah dan mendengarkan
kata-kata Ih Thian-heng dengan penuh perhatian.
Kedengaran Ih Thian-heng berkata lebih lanjut, “Aku Ih Thian-heng, dalam sepanjang hidup ini,
selain kepada Cong To aku menaruh hormat, hanya engkau seorang yang paling kukagumi, Ji Han
Ping. Rupanya Thian tak mengijinkan usia panjang kepada ksatrya muda yang luar biasa. Dan kini
engkau telah mendahului kita. Kumohon arwahmu yang ksatrya itu dapat memberi berkah
kepadaku. Ijinkanlah aku, Ih Thian-heng, menyelesaikan tugas2mu yang belum engkau selesaikan
itu. Setelah dunia persilatan tentram dan aman, aku Ih Thian-heng, akan kembali kemari dan
tinggal dalam makam ini untuk melewati sisa hidupku menemani arwahmu….”
Dua butir airmata ksatrya, telah menitik turun dari pelupuk matanya.
Pengemis-sakti Cong To menghela napas panjang, serunya, “Saudara Ih, marilah kita pergi!”
Ih Thian-heng berbangkit, mengusap airmatanya terus ayunkan langkah. Ketika hampir tiba di
pintu batu, tiba-tiba ia berputar tubuh dan berjalan masuk kembali.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
“Nona Siau,” katanya kepada si dara.
Siau Toto tertawa hambar, serunya, “Soal apa lagi yang akan engkau katakan?”
“Nona memiliki kecerdasan yang luar biasa,” kata Ih Thian-heng, “bagi nona tiada, soal yang
sulit di dunia ini yang tak dapat nona pecahkan. Entah apakah di dunia terdapat obat yang mampu
menghidupkan saudara Han Ping kembali?”
“Baiklah,” sebut si dara, “tiada halangan kuberitahukan kepadamu. Tetapi aku percaya tentu
tak ada orang yang mampu mencarinya!”
“Harap nona suka mengatakan. Aku bersedia mendengarkan dan akan berusaha untuk
mencarinya,” kata Ih Thian-heng.
Maka berkatalah Siau Toto mengenai ramuan obat yang dibutuhkan itu, “Ban lian Swat-lian-cu,
Cian-lian Tok-coa-tan, Pek-lian Le-hi-hiat. Ho-siu-oh tua. Keempat ramuan itu harus lengkap. Satu
pun tak boleh kurang.”
Ban-lian Swat-lian-cu artinya Biji Teratai yang berumur selaksa tahun, Cian-lian Tok-coa-tan
artinya Empedu ular beracun yang berumur seribu tahun. Pek-lian Le-hi-hiat artinya, darah ikan
lehi yang berumur seratus tahun. Ho-siu-oh semacam bahan tanaman obat yang berkhasiat
seperti jinsom.
Pengemis-sakti Cong To tertegun. serunya, “Bila terdapat obat yang mampu menolong saudara
Han Ping, tentulah begitu juga akan dapat memulihkan wajah nona.”
Siau Toto tertawa, “Sekalipun wajahku dapat pulih kembali tetapi siapakah yang akan
menikmatinya?”
Dara itu berhenti sejenak. “Makam tua ini kusebut MAKAM ASMARA!” serunya.
“Ohh….” terdengar Cong To dan Ih Thian-heng serempak mendesuh.
“Dan pertunjukan dalam Makam Asmara ini sudah selesai. Silahkan saudara2 segera tinggalkan
tempat ini,” seru si dara pula.
Wanita cantik berpakaian puteri keraton kedengaran menghela napas panjang. Nadanya penuh
kerawanan yang beriba-iba.
“Anakku Toto, seribu satu macam peristiwa dendam kesumat itu, dari dahulu sampai sekarang,
tak lain hanya karena asmara. Baiklah, anakku, mamah hendak pergi….”
“Maaf mah, aku tak dapat mengantar,” seru Toto.
Wanita cantik itu memandang ke arah rombongan anak buah Lam-hay-bun, lalu membentak,
“Mengapa kalian masih berada di sini?”
Anak murid Lam-hay-bun saling bertukar pandang lalu ayunkan langkah mengikuti di belakang
wanita cantik itu atau ibu guru mereka. Kemudian rombongan tokoh-tokoh Tiong-goan pun
berbondong-bondong keluar dari pintu batu.
Belum berapa lama mereka berjalan, tiba-tiba terdengar suara ledakan yang menggetarkan.
Ternyata pintu batu yang amat berat itu tertutup lagi.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tiba-tiba dari dalam pintu batu itu berkumandang segelombang nyanyian. Nyanyian yang
bernada kedukaan dari rintihan kalbu. Mengalun tinggi, menyayat hati.
Langkah kaki sekalian tokoh itupun terasa makin berat. Hatipun makin tenggelam dalam
kehampaan. Nafsu memburu nama. kegagahan, kesombongan dan keangkaraan, lenyap seketika.
Malampun kelam.
TAMAT
ALWAYS Link cerita silat : Cerita silat Terbaru , cersil terbaru, Cerita Dewasa, cerita mandarin,Cerita Dewasa terbaru,Cerita Dewasa Terbaru, Cerita Dewasa Pemerkosaan Terbaru
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar