Cersil : Pendekar negeri Tayli 2

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Jumat, 23 September 2011

Setelah kedua orang sama-sama ambil tempat duduk,
nyonya Ciong tidak membuka suara lagi, tapi terus
mengamat-amati Toan Ki dari kanan ke kiri dan dari kiri
ke kanan. Keruan Toan Ki menjadi kikuk, akhirnya ia
bicara lebih dulu, “Putri nyonya sedang terancam
bahaya, Wansing sengaja datang memberi kabar.”

“Ah! Kenapa dengan putriku?” seru Ciong-hujin
tersadar dari lamunannya.

Segera Toan Ki melepaskan Jing-leng-cu dari
pinggangnya dan diserahkan pada nyonya rumah,
katanya, “Harap Pekbo periksa, ini adalah benda
pengenal putrimu yang dibawakan pada Wansing.”

Melihat ular hijau itu, Ciong-hujin berkerut kening dan
mengunjuk rasa jemu, ia sedikit menghindar ke belakang
sambil berkata, “Kiranya Kongcu juga tidak takut pada
binatang berbisa ini. Harap letakkan di pojok rumah sana
saja.”

Diam-diam Toan Ki heran melihat nyonya rumah itu
jeri pada ular. Ia taruh Jing-leng-cu di sudut ruangan
yang ditunjuk itu. Lalu menceritakan pertemuannya
dengan Ciong Ling di Kiam-oh-kiong di atas Bu-liang-san
dan cara bagaimana dirinya menerbitkan gara-gara
hingga bikin marah kawanan Sin-long-pang, di mana

124




terpaksa Ciong Ling melepaskan Kim-leng-cu, tapi

akhirnya gadis itu tertawan serta dirinya dipaksa datang
kemari minta pertolongan. Semuanya Toan Ki ceritakan,
hanya pengalamannya melihat patung kemala di dasar
danau itu tak disebut-sebut.

Sambil mendengarkan, Ciong-hujin diam saja, air
mukanya makin lama makin menampilkan rasa sedih.
Setelah Toan Ki menutur, dengan menghela napas
barulah ia berkata, “Anak perempuan ini memang terlalu
nakal, begitu keluar rumah lantas bikin onar.”

“Peristiwa ini adalah gara-gara perbuatanku, tak boleh
menyalahkan nona Ciong,” ujar Toan Ki.

Dengan termangu-mangu Ciong-hujin memandangi
anak muda itu, sahutnya dengan lirih, “Ya, memang tak
dapat menyalahkan dia. Dahulu aku pun demikian ....”

“Apa itu?” Toan Ki menegas.

Ciong-hujin terkesiap hingga wajah bersemu merah,
meski usianya sudah setengah umur, tapi sikap malumalu
kucingnya itu ternyata tiada ubahnya seperti gadis
remaja. Dengan likat ia menjawab, “O, aku ... aku hanya
teringat pada sesuatu kejadian.”

Dan karena berkata “sesuatu kejadian” itu, wajahnya
tampak semakin merah jengah, cepat ia membelokkan
pokok pembicaraan, “Kukira urusan ... urusan ini agak
sulit diselesaikan.”

125




Melihat sikap nyonya rumah yang kemalu-maluan itu,
diam-diam Toan Ki pikir sang ibu ternyata lebih pemalu
daripada putrinya yang lincah dan binal itu.

Pada saat itulah, tiba-tiba terdengar suara seorang
berkata di luar sana dengan nada dingin, “Hm, apakah
tidak pernah kau dengar peraturan di Ban-jiat-kok kami
ini?”

Cong-hujin terkejut mendengar suara itu, dengan
perlahan katanya pada Toan Ki, “Suamiku datang, dia ...
dia suka mencurigai orang, sementara harap Toankongcu
bersembunyi dahulu.”

“Tapi akhirnya Wansing toh harus menjumpai Ciongcianpwe,
lebih baik ....” belum selesai ucapan Toan Ki,
cepat tangan Ciong-hujin sudah mendekap mulutnya,
lalu menyeretnya ke suatu kamar di sebelah timur sana.

“Sembunyi saja di sini, sekali-kali jangan bersuara,”
pesan nyonya rumah. “Watak suamiku sangat keras dan
pemarah, bila ketahuan jiwamu akan terancam dan aku
pun tak bisa menolongmu.”

Jangan sangka nyonya rumah itu tampaknya lemah
lembut, ilmu silatnya ternyata sangat lihai, sedikit pun
Toan Ki tak bisa berkutik kena dipegang dan diseret tadi,
terpaksa ia menurut saja. Hanya dalam hati pemuda itu
rada mendongkol, “Jauh-jauh kudatang memberi kabar,
jelek-jelek aku adalah tamu, kenapa mesti disuruh main
sembunyi seperti pencuri saja?”

Dalam pada itu terdengar pula suara seorang wanita
di balik dinding papan sana sedang berkata, “Suciku ini

126




dipagut ular berbisa, jiwanya terancam bahaya, maka
mohon Locianpwe suka memberi pertolongan ....”

Sembari berkata, terdengar suara tindakan tiga orang
memasuki ruangan sebelah.

Waktu Toan Ki mengintip melalui celah-celah dinding,
ia lihat seorang wanita berbaju hijau, menggembol
pedang di punggung, tangan memondong seorang
wanita lain dan tiada hentinya minta ditolong.

Di samping sana ada seorang laki-laki berbaju hitam
bertubuh tinggi kurus, muka menghadap ke luar, maka
wajahnya tidak kelihatan, cuma dari kedua tangannya
yang lebar terjulur ke bawah itu, jelas bentuknya sangat
aneh luar biasa.

Kemudian terdengar suara Ciong-hujin lagi tanya,
“Siapakah kedua tamu ini? Ada keperluan apakah datang
ke lembah sini?”

Wanita baju hijau tadi menaruh kawan yang
dipondongnya itu ke lantai, lalu bertanya, “Nyonya
tentulah Ciong-hujin?”

Ciong-hujin mengangguk.

“Siaulicu (aku perempuan yang muda) bernama Hoan
He, anak murid Hoa-san-pay dari Siamsay, terimalah
hormatku ini,” kata wanita baju hijau sambil memberi
hormat.

“Ah, nona Hoan tak perlu banyak adat,” cepat Cionghujin
membalas hormat sembari membangunkan orang.

127




Toan Ki melihat Hoan He itu kira-kira berusia 27-28
tahun, beralis tebal dan bermata besar, gagah mirip
kaum pria.

Terdengar ia berkata lagi, “Siaulicu bersama Suci, Si
Hun, oleh karena ada keperluan berkunjung ke daerah
Hunlam sini, ketika lewat Bu-liang-san, Suci yang kurang
hati-hati mendadak dipagut oleh seekor ular emas kecil
....”

Mendengar kata-kata “ular emas kecil”, hati Toan Ki
tergerak, pikirnya, “Jangan-jangan yang dimaksudkan itu
adalah Kim-leng-cu piaraan nona Ciong?”

“Sebab apakah sampai dipagut oleh ular emas itu?”
tanya nyonya Ciong.

“Waktu itu kami merasa lelah dan duduk mengaso di
tepi jalan,” demikian tutur Hoan He. “Tiba-tiba tertampak
seekor ular emas kecil merayap keluar dari semaksemak
rumput, karena tertarik oleh warna emas
gemerlap ular itu. Suci telah mencukitnya dengan
pedang. Tak tersangka ular kecil itu terus melejit ke atas
dan menggigit sekali pada pergelangan tangan Suci.
Seketika itu juga Suci jatuh pingsan ....”

Tiba-tiba laki-laki berbaju hitam tadi menyela, “Asal
kau bunuh ular emas itu dan telan empedunya, jiwa
lantas dapat tertolong.”

Jawab Hoan He, “Pergi-datang ular emas itu teramat
cepat, sekali melejit lagi lantas menghilang di tengahtengah
semak-semak rumput, pula Siaulicu sibuk

128




menolong Suci, tidak terpikir bahwa ular itu harus
dibunuh.”

“Bagus bila kau tahu bahwa pergi-datang Kim-leng-cu
itu secepat kilat,” kata laki-laki baju hitam itu dengan
terbahak-bahak. “Orang yang berilmu silat sepuluh kali
lebih tinggi daripadamu juga takkan mampu mengatasi
binatang itu. Dasar cari penyakit, tanpa sebab kenapa
mesti mengutik-utik ular itu dengan pedang? Ha,
mampus juga pantas.”

“Sudahlah, orang sudah terluka dan jauh-jauh datang
ke sini minta tolong padamu, buat apa menyakiti
perasaan orang malah?” ujar sang istri.

Mendengar nada ucapan Ciong-hujin itu, barulah
Toan Ki tahu bahwa laki-laki berbaju hitam itu tak-lain
tak-bukan adalah ayah Ciong Ling, pemilik Ban-jiat-kok
ini.

Dalam pada itu lelaki baju hitam itu sedang terbahakbahak
pula sambil berpaling. Melihat mukanya, Toan Ki
menjadi kaget. Ternyata muka orang ini berbentuk
lonjong mirip muka kuda, kedua mata tumbuh terlalu
tinggi, hidungnya yang besar sebaliknya hampir
berdesakan dengan mulutnya yang lebar, hingga di
tengah muka terluang suatu bagian yang kosong.

Wajah Ciong Ling cantik molek, sungguh tak nyana
bahwa ayah kandungnya bisa begini jelek mukanya.

Tadinya wajah Ciong-kokcu itu penuh senyum ejekan,
tapi demi berpaling ke arah sang istri, wajahnya yang
jelek itu tampak berubah lemah lembut, katanya dengan

129




tertawa, “Baiklah, apa yang Niocu (istriku) katakan, aku
hanya menurut saja.”

Diam-diam Toan Ki heran pula, pikirnya, “Aneh! Tadi
ketika mendengar sang suami datang, Ciong-hujin
tampak sangat takut, tapi kalau melihat sikap Ciongkokcu
sekarang, ia justru sangat cinta dan menghormat
kepada sang istri.”

Rupanya Hoan He juga sudah dapat melihat gelagat
itu, segera ia berlutut dan berkata pula, “Mohon Ciongkokcu
dan Ciong-hujin sudi menolong jiwa Suciku, bukan
saja kami berdua akan sangat berterima kasih, pun
guruku akan merasa utang budi.”

“Gurumu tentunya si bopeng Pho Pek-ki, bukan?”
tanya Ciong-kokcu. “Hm, dia adalah angkatan muda,
perlu apa kuharapkan dia utang budi padaku. Dahulu
ketika aku meninggal, kenapa dia tidak datang melawat?
Apa dia kira aku tidak tahu? Aku justru tahu jelas biarpun
berada di dalam peti mati ini.”

Ucapannya itu tidak hanya membikin Toan Ki
tercengang, sekalipun Hoan He juga dibuatnya bingung.
Pikirnya, “Engkau masih hidup segar bugar seperti ini,
kenapa bilang sudah meninggal dan bicara tentang
melawat serta peti mati segala?”

Tiba-tiba Ciong-kokcu tanya lagi dengan suara keras,
“Sudah sekian tahun aku meninggal dunia, orang luar
tiada yang tahu bahwa aku masih hidup. Lalu siapakah
yang memberi petunjuk padamu untuk mencariku ke sini
dan dari mana kau kenal jalan masuk Ban-jiat-kok?”

130




Pertanyaan ini dilakukan dengan nada bengis, alisnya
menekuk ke bawah dan mulut merot, sikapnya sangat
menakutkan.

Maka jawablah Hoan He, “Waktu Siaulicu merasa
bingung ingin menolong jiwa Suci dan lekas-lekas berlari
ke kota untuk mencari tabib, tiba-tiba kulihat di tepi jalan
ada seorang nona berbaju hitam sedang mengulur
tangan hendak menangkap seekor ular kecil. Ular itu
berwarna emas mengilat, terang itu ular berbisa yang
baru saja memagut Suci. Maka cepat Siaulicu berseru
memperingatkan nona baju hitam itu agar jangan main-
main dengan ular berbisa jahat itu. Tak tersangka nona
itu sama sekali tidak gubris pada peringatanku, ia malah
menangkap ular emas itu terus dimasukkan ke dalam
bajunya. Melihat itu, Siaulicu menjadi girang, sebab
kupikir orang yang dapat mengatasi ular itu tentu dapat
pula mengobati pagutan sang ular. Segera Siaulicu
memohon dengan sangat, namun nona itu menjawab tak
bisa mengobati bisa ular itu, ia bilang di seluruh jagat
hanya ada seorang yang mampu menyembuhkan
pagutan ular emas itu, maka aku diberi petunjuk untuk
datang kemari mohon pertolongan Ciong-kokcu. Ketika
Siaulicu minta tanya nama nona baju hitam itu, namun
dia tak mau memberi tahu.”

Mendengar uraian itu, Ciong-kokcu dan sang istri
saling pandang sekejap, lalu berkata dengan menjengek,
“Huh, kiranya dia. Orang ini tidak bermaksud baik, selalu
ingin memaksa aku keluar dari lembah ini. Ya, semuanya
gara-gara Ling-ji, dia sembarangan membawa Kim-lengcu
keluar lembah hingga menimbulkan onar saja.”

131




Lalu ia berpaling dan tanya Hoan He, “Lalu, apa yang
dikatakan lagi oleh perempuan itu?”

“Tidak ada lagi,” sahut Hoan He.

“Betul tidak ada lagi?” Ciong-kokcu menegas dengan
dingin.

Hoan He menyahut dengan gelagapan, “Nona ... nona
itu seperti berkata bahwa ‘Jalan hidup melulu satu ini,
cuma, sekali sudah masuk ke sana, belum tentu dapat
keluar lagi dengan selamat. Maka kau pikir masak-masak
sebelumnya.”

“Benar!” ujar Ciong-kokcu. “Dan kau sudah pikirkan
tidak?”

Cepat Hoan He berlutut menjura pula sambil
memohon, “Mohon belas kasihan Ciong-kokcu dan
Hujin.”

“Bangunlah,” sahut Ciong-kokcu. “Aku mempunyai
dua jalan bagimu dan boleh kau pilih mana suka.
Pertama, kau dan Sucimu selama hidup tinggal di
lembah ini melayani istriku. Jalan kedua, tangan kalian
berdua harus dipotong, lidah diiris, agar sesudah keluar
dari sini tidak membocorkan rahasiaku.”

“Tapi ... tapi Siaulicu ditugaskan Suhu untuk
menyelesaikan suatu urusan penting di Hunlam sini,”
sahut Hoan He setengah meratap, “sebelum tugas itu
terlaksana, bukankah berarti melanggar perintah guru
bila harus tinggal di sini ....”

132




“Jadi kau pilih jalan kedua saja?” kata Ciong-kokcu.

Tiba-tiba Hoan He merangkak maju dan merangkul
kedua kaki Ciong-hujin sambil meratap, “Mohon belas
kasihan Hujin, Siaulicu berjanji sesudah keluar lembah ini
pasti akan tutup mulut serapatnya, kalau berani bicara
satu patah kata saja, biarlah aku mati tercencang tak
terkubur.”

“Hm, aku Ciong Ban-siu bila bukan lantaran terlalu
percaya pada sumpah orang, rasanya hari ini takkan
mengumpet di lembah maut ini sebagai orang mati,
mengkeret serupa kura-kura,” tiba-tiba Ciong-kokcu
tertawa menjengek, dan tangan kiri terulur, tahu-tahu
leher baju Hoan He kena dicengkeramnya terus diangkat
ke atas.

Perawakan tubuh Hoan He di kalangan wanita sudah
tergolong tinggi, tapi kena diangkat oleh Ciong Ban-siu,
kakinya lantas kontal-kantil setinggi hampir satu meter.
Saking kaget dan takutnya Hoan He menjerit, berbareng
kaki kanan terus menendang ke dada Ciong Ban-siu.

Namun sama sekali Ciong Ban-siu tak menghindar, ia
membiarkan dada ditendang orang. Maka terdengarlah
suara “krek” sekali, tahu-tahu tulang kaki Hoan He sendiri
yang patah malah.

Menyusul tangan kanan Ciong Ban-siu bergerak,
sinar tajam berkelebat, agaknya tangannya itu telah
menyiapkan semacam senjata pendek sebangsa belati,
maka terdengarlah suara “crat-cret” dua kali, kedua
tangan Hoan He terkutung sebatas pergelangan.

133




Ciong-hujin hanya mendengus saja menyaksikan itu.

Segera Ciong Ban-siu memasukkan jarinya pula ke
mulut Hoan He, terdengar nona itu berseru tertahan
sekali, darah lantas mengucur dari mulutnya, lidah telah
diiris putus juga.

Berdebar hati Toan Ki menyaksikan adegan
mengerikan itu, ia dekap mulut sendiri, sedikit pun tak
berani bersuara, pikirnya, “Meski kau kutungi kedua
tangan dan iris lidahnya, dia kan masih punya kaki yang
dapat dipakai menggores tulisan di atas tanah, akhirnya
dia bisa juga membocorkan rahasia Ban-jiat-kok ini.”

Ia lihat Ciong Ban-siu melemparkan tubuh Hoan He
yang sudah pingsan saking kesakitan itu, lalu Si Hun
yang menggeletak di tanah tak sadarkan diri itu
diseretnya dan diperlakukan seperti Hoan He, kedua
tangannya dikutungi dan lidahnya dipotong.

Melihat kekejaman orang, Toan Ki naik darah, tak
terpikir lagi olehnya akibat apa yang bakal menimpa
dirinya, mendadak ia membentak, “Pengecut yang
rendah tak kenal malu, kau benar-benar terlalu keji!”

Bentakan Toan Ki membuat Ciong Ban-siu kaget,
lebih-lebih Ciong-hujin, ia ketakutan hingga pucat bagai
kertas.

Dengan langkah lebar terus saja Toan Ki keluar dari
balik dinding papan itu, ia tuding Ciong Ban-siu dan
mendamprat, “Ciong siansing, nyalimu terlalu kecil,
caramu ini bukanlah perbuatan seorang laki-laki sejati!”

134




Melihat wajah Toan Ki, air muka Ciong Ban-siu
berubah hebat dan terkesiap, katanya, “Apakah kau ...
kau ... ah, tak mungkin ....”

“Cayhe bernama Toan Ki,” segera pemuda itu
perkenalkan diri, “sedikit pun aku tidak paham ilmu silat,
maka hendak kau korek atau kau bunuh, boleh kau
lakukan sesukamu. Tapi kalau kau lepaskan aku dari sini,
perbuatanmu yang kejam tak berperikemanusiaan ini
pasti akan kusiarkan di dunia Kangouw, biar setiap orang
kenal manusia macam apakah Ciong Ban-siu itu?”

“Hahaha!” tidak gusar Ciong Ban-siu, malah tertawa.
“Manusia macam apa Ciong Ban-siu, masakah orang
Kangouw tidak tahu? Kau bocah ini apa tidak kenal
julukanku dahulu di dunia Kangouw?”

“Tidak tahu,” sahut Toan Ki.

“Aku Ciong Ban-siu, berjuluk ‘Kian-jin-ciu-sat’ (melihat
orang lantas membunuh)!” kata Ciong Ban-siu dengan
sikap sangat bangga.

Toan Ki tercengang oleh julukan itu, tapi dalam
dadanya segera bergolak pula oleh semangat banteng,
dengan lantang katanya, “Jadi membunuh secara kejam
orang tak berdosa memang dasar watakmu. Cuma
umumnya kalau orang suka membunuh, biasanya pasti
tidak takut pada langit dan gentar pada bumi, masakan
bisa pengecut seperti kau, takut kepala sembunyi buntut,
jeri di muka khawatir di belakang.”

Rupanya ucapan Toan Ki itu tepat menusuk perasaan
Ciong Ban-siu hingga seketika ia malah tidak gusar.

135




Toan Ki memang tidak pikirkan mati hidupnya sendiri
lagi, segera ia berkata pula, “Kulihat ilmu silatmu sangat
tinggi, kusangka engkau tentu seorang laki-laki berjiwa
baja, bila tak bisa mengalahkan orang, seharusnya kau
labrak dia mati-matian, sekalipun akhirnya harus gugur
bersama. Tapi engkau justru main sembunyi, khawatir
orang membocorkan tempat mengumpetmu, lantas kau
siksa dan menganiaya seorang wanita yang tak mampu
melawan kau, apakah ... apakah perbuatanmu ini adalah
kelakuan seorang jantan tulen?”

Wajah Ciong Ban-siu tampak sebentar pucat sebentar
merah padam, seakan-akan apa yang dikatakan Toan Ki
itu setiap kalimatnya kena benar menusuk lubuk hatinya,
tiba-tiba sinar matanya yang bengis mencorong tajam,
tampaknya segera akan membunuh orang.

Tapi setelah tertegun sejenak, mendadak ia
menggebrak meja, “blang”, meja di sebelahnya sempal
separuh, menyusul sebelah kakinya melayang, dinding
papan jebol berlubang, sambil tutup mukanya dengan
kedua tangan sendiri segera berseru, “Ya, aku pengecut,
aku pengecut!”

Mendadak ia lari keluar.

Dalam keadaan demikian, saking ketakutan Cionghujin
sampai gemetar dan bersandar di dinding, sama
sekali tak tersangka olehnya sekali ini sang suami tidak
membunuh Toan Ki.

Ia menoleh dan tanya, “Toan-kongcu, apa be ... benar
kau tak bisa ilmu silat?”

136




Sembari berkata, dengan perlahan tangan menabok
punggung pemuda itu.

Tempat yang ditabok itu adalah tempat mematikan di
tubuh manusia, asal sedikit ia gunakan Lwekang, tidak
mati pun Toan Ki akan terluka parah. Namun pemuda itu
memang benar-benar tak bisa ilmu silat, maka sedikit
pun ia tak kenal bahaya, dengan jujur ia menjawab,
“Wansing memang tak pernah belajar silat, kepandaian
yang melulu dipakai mencelakai orang ini tiada harganya
untuk kupelajari.”

“Be ... besar amat nyalimu, ternyata se ... serupa
benar dengan dia,” kata Ciong-hujin.

“Serupa dengan siapa?” Toan Ki menegas.

Kembali wajah Ciong-hujin bersemu merah, ia tidak
menjawab pertanyaan orang, sebaliknya ia tepuk tangan
dua kali, maka keluarlah pelayan tadi.

“Bubuhi obat luka pada kedua nona itu untuk
mencegah darah mengucur terlampau banyak,” pesan
nyonya rumah itu.

Pelayan itu mengiakan dan memondong Si Hun dan
Hoan He ke dalam kamar, dari sikapnya yang sedikit pun
tidak heran atau kaget, agaknya soal sang suami
membunuh dan menganiaya orang sudah biasa
dilihatnya.

137




Sambil bertopang dagu Ciong-hujin terombangambing
dalam lamunannya, seperti ada sesuatu kesulitan
mahabesar yang sukar diputuskan.

Tadi Toan Ki hanya terdorong oleh darah panas yang
timbul seketika, maka berani mendamprat Ciong Ban-siu,
tatkala itu ia sudah nekat. Tapi kini demi melihat darah
berlumuran di lantai, hatinya menjadi takut lagi. Pikirnya,
“Aku harus lekas-lekas berusaha melarikan diri, kalau
tidak, bukan saja jiwa akan melayang, bahkan akan mati
dengan mengenaskan.”

Segera ia menghampiri ambang pintu sambil memberi
hormat pada nyonya rumah dan berkata, “Wansing
sudah menunaikan tugas menyampaikan berita, kini
mohon Hujin lekas berdaya untuk menolong putrimu.”

“Nanti dulu, Kongcu,” sahut Ciong-hujin.

Karena itu Toan Ki tidak jadi tinggal pergi.

“Mungkin Kongcu tidak tahu bahwa suamiku pernah
bersumpah selama hidup takkan keluar dari lembah ini,”
kata nyonya rumah itu kemudian. “Sebab itulah, meski
putriku itu tertawan musuh, rasanya suamiku takkan
pergi menolongnya .... Ah, urusan sudah telanjur begini,
terpaksa aku saja yang ikut pergi bersama Kongcu.”

Kejut dan girang Toan Ki, sahutnya, “Bila Ciong-hujin
sudi pergi bersamaku, itulah paling baik.”

Tiba-tiba ia teringat pada apa yang dikatakan Ciong
Ling bahwa satu-satunya orang yang sanggup
menyembuhkan racun Kim-leng-cu hanya ayahnya saja,

138




maka cepat ia tanya pula nyonya rumah apakah juga
bisa mengobati racun Kim-leng-cu?

Ciong-hujin geleng-geleng kepala, sahutnya, “Aku tak
bisa mengobati.”

“Jika ... jika begitu ....” namun belum selesai Toan Ki
berkata, nyonya rumah itu sudah tinggal masuk ke
kamarnya.

Setelah tinggalkan secarik surat singkat dan berbenah
seperlunya, segera Ciong-hujin keluar lagi dan berkata,
“Marilah kita berangkat!”

Segera ia mendahului jalan di depan.

Tersipu-sipu Toan Ki mengikut di belakang nyonya
rumah itu, namun dia masih sempat menjemput pula
Jing-leng-cu dan diubet di pinggang.

Jangan sangka Ciong-hujin tampaknya lemah
gemulai, jalannya ternyata jauh lebih cepat daripada
Toan Ki.

Karena tahu nyonya rumah itu tak bisa mengobati
racun Kim-leng-cu, betapa pun Toan Ki masih merasa
khawatir. Maka ia coba tanya lagi, “Jika Hujin tak bisa
menyembuhkan racun ular, mungkin Sin-long-pang tak
mau membebaskan putrimu itu.”

“Siapa yang ingin minta mereka bebaskan Ling-ji?”
sahut Ciong-hujin tak acuh. “Kalau Sin-long-pang berani
menahan putriku untuk memeras aku, itu berarti mereka

139




sudah bosan hidup. Kalau tak bisa menolong orang,
masakan membunuh tak mampu?”

Toan Ki bergidik, ia merasa kata-kata Ciong-hujin
yang sederhana itu, maksudnya membunuh orang yang
terkandung di dalamnya tidak di bawah perbuatan Ciong
Ban-siu yang bengis dan kejam itu. Namun lahirnya
Ciong-hujin lemah lembut, kalau dibandingkan, rasanya
lebih menakutkan orang.

Sambil bicara, kedua orang sudah berlari beberapa li
jauhnya. Tiba-tiba terdengar suara teriakan orang di
belakang, “Hujin, engkau ... engkau hendak ke mana?”

Waktu Toan Ki menoleh, siapa lagi dia kalau bukan
Ciong Ban-siu yang sedang mengejar datang secepat
terbang.

Sekonyong-konyong Ciong-hujin ulur tangan ke ketiak
Toan Ki sambil membentak, “Lekas!”

Segera ia angkat tubuh pemuda itu dan dibawa
melesat ke depan.

Seketika Toan Ki merasa kedua kaki terapung di atas
tanah, ia dikempit oleh Ciong-hujin dan tak bisa berkutik.
Maka kejar-mengejar itu segera berlangsung dengan
cepat, dalam sekejap saja mereka sudah berlari sepuluh
tombak jauhnya.

Ginkang atau ilmu mengentengkan tubuh Ciong-hujin
ternyata lebih tinggi setingkat daripada sang suami, cuma
betapa pun ia membawa beban seorang, yaitu Toan Ki,
maka lambat laun dapatlah disusul oleh Ciong Ban-siu.

140




Diam-diam Toan Ki ikut khawatir, ia tahu asal bisa
keluar mulut lembah, Ciong Ban-siu sudah bersumpah itu
tentu takkan mengudak lebih jauh.

Dalam saat demikian, terkilas suatu pikiran dalam
benaknya, “Meski ilmu silat adalah kepandaian yang
suka bikin celaka orang, tapi kalau aku mahir Ginkang,
rasanya ada faedahnya juga.”

Nyata, dalam keadaan kepepet begini, ia jadi ingin
bisa berlari lebih cepat.

Sementara itu tinggal belasan tombak lagi sudah bisa
keluar dari lembah itu. Toan Ki merasa suara napas
Ciong Ban-siu sudah terdengar di belakangnya.
Mendadak, “bret”, Toan Ki merasa punggungnya silir
dingin, bajunya kena dijambret sobek sebagian oleh
Ciong Ban-siu.

Tiba-tiba Ciong-hujin angkat tubuh Toan Ki dan
dilemparkan sekuatnya ke depan sambil membentak,
“Lekas lari!”

Menyusul tangan yang lain sudah lantas lolos pedang
terus menusuk ke belakang dengan maksud merintangi
kejaran sang suami.

Hakikatnya Ciong-hujin tiada maksud mencelakai
suami sendiri. Tak terduga tusukannya itu benar-benar
mengenai dada sang suami. Ternyata sama sekali Ciong
Ban-siu tidak menghindar atau berkelit, tapi rela ditusuk
oleh sang istri.

141




Keruan Ciong-hujin terkejut, cepat ia menoleh,
seketika ia tidak berani tarik pedangnya, ia lihat wajah
sang suami penuh rasa sesal dan cemas, kelopak
matanya mengembeng air, dadanya berlumuran darah,
katanya, “Wan-jing, jadi akhir ... akhirnya akan kau
tinggalkan daku?”

Melihat tusukannya itu tepat mengenai dada sang
suami, meski tidak mengenai ulu hati, tapi ujung pedang
juga ambles beberapa senti ke dalam, karena khawatir
akan jiwa sang suami, cepat Ciong-hujin mencabut
pedang terus menubruk maju untuk menutupi luka
tusukan itu, ia lihat darah menyembur keluar melalui
celah-celah jarinya.

“Kenapa engkau tidak menghindar?” tegur Ciong-hujin
dengan gusar.

“Jika engkau toh akan tinggalkan diriku, lebih baik aku
mati saja,” sahut Ciong Ban-siu tersenyum getir.

“Siapa bilang aku hendak meninggalkan kau?” kata
Ciong-hujin. “Aku hanya pergi buat beberapa hari saja
dan segera kembali. Kepergianku adalah untuk
menolong putri kita.”

Segera ia ceritakan secara singkat tentang
tertawannya Ciong Ling oleh orang-orang Sin-long-pang.

Menyaksikan itu, Toan Ki terkesima, ia tidak jadi
melarikan diri, tapi setelah menenangkan diri, cepat ia
sobek lengan baju sendiri dan hendak membalut luka
Ciong Ban-siu.

142




Tak terduga mendadak sebelah kaki Ciong Ban-siu
terangkat hingga Toan Ki kena ditendang terjungkal,
bentaknya, “Anak haram, aku tidak sudi melihat
cecongormu!”

Lalu ia berpaling kepada sang istri dan berkata, “Aku
... aku tidak percaya, tentu kau berdusta, sudah terang
dia ... dia datang ke sini mengundangmu. Anak jadah ini
sekalipun menjadi abu juga aku mengenalnya, malah dia
... dia tadi telah menghinaku.”

Habis berkata, ia terbatuk-batuk dengan hebat.

Dan karena batuk, darah yang mengucur dari lukanya
itu bertambah hebat. Mendadak ia teringat sesuatu,
katanya kepada Toan Ki, “Ayolah maju, kenapa tidak
maju? Meskipun aku terluka parah, belum tentu kujeri
pada kau punya It-yang-ci! Ayolah maju!”

Karena tendangan tadi, jidat Toan Ki membentur
sepotong batu kecil yang tajam hingga terluka, cepat ia
merangkak bangun sambil memegangi jidatnya yang
benjut itu, lalu menjawab, “Cayhe Toan Ki dari daerah
Kanglam, sesungguhnya tidak paham tentang It-yang-ci
segala!”

Kembali Ciong Ban-siu terbatuk-batuk, bentaknya
dengan gusar, “Anak jadah, apa kau berlagak dungu?
Pergilah me ... memanggil bapakmu kemari!”

Karena gusarnya itu, batuknya makin menjadi-jadi.

“Dalam keadaan demikian, penyakitmu suka curiga
tetap tidak berubah,” kata Ciong-hujin. “Kalau engkau

143




tidak percaya padaku, lebih baik aku mati di hadapanmu
saja.”

Terus saja ia jemput pedangnya dan hendak
menggorok leher sendiri.

Cepat Ciong Ban-siu rebut pedang itu, air mukanya
berubah girang, katanya, “Niocu, jadi sungguh engkau
bukan hendak ikut minggat dengan anak jadah ini?”

“Orang adalah Toan-kongcu yang terhormat, kenapa
kau maki dia anak jadah segala?” omel Ciong-hujin.
“Kepergianku ikut Toan-kongcu adalah hendak
membunuh habis Sin-long-pang untuk menolong putri
mestika kita.”

Walaupun terluka parah, namun demi tampak sikap
sang istri yang mengomel dan marah kecil, rasa cinta
kasih Ciong Ban-siu semakin berkobar, dengan
tersenyum ia menyahut, “Jika demikian halnya, ya,
akulah yang salah.”

Ketika Ciong-hujin periksa luka sang suami, ia lihat
darah masih merembes keluar dengan deras. “Ba ...
bagaimana baiknya, ini?” ratapnya khawatir.

Girang Ciong Ban-siu tidak kepalang, ia rangkul
pinggang sang istri dan berkata, “Wan-jing, engkau
begini memerhatikan diriku, biarpun aku mati seketika
juga rela.”

Muka Ciong-hujin menjadi merah, perlahan ia buang
tangan sang suami dan menyahut, “Toan-kongcu berada
di sini, kenapa main pegang-pegang begini?”

144




Dan karena melihat keadaan sang suami tampak
bertambah payah dan wajah pucat, ia menjadi khawatir,
katanya pula, “Sudahlah aku tak pergi menolong Ling-ji,
dia berbuat onar sendiri, biar dia terima nasib saja.”

Lalu ia bangunkan sang suami dan berkata kepada
Toan Ki, “Toan-kongcu, harap kau sampaikan pada
Sikong Hian bahwa suamiku sudah ... sudah mati. Jika
dia berani mengganggu seujung rambut putriku itu, suruh
jangan lupa pada keganasan ‘Hiang-yok-jeh Bok Wanjing’!”


Melihat keadaan demikian, Toan Ki pikir Ciong Bansiu
jelas takkan ikut pergi, Ciong-hujin juga tidak tega
meninggalkan sang suami untuk menolong putrinya,
hanya mengandalkan kata-kata “Hiang-yok-jeh (si
kuntilanak) Bok Wan-jing” apakah dapat menggertak
Sikong Hian, sungguh masih disangsikan. Tampaknya
racun “Toan-jiong-san” yang masih mengeram di dalam
perutku sendiri ini pasti tak dapat diobati lagi.

Untuk sejenak ia tertegun, ia pikir urusan sudah
demikian, banyak omong juga percuma, maka sahutnya
kemudian, “Jika begitu, baiklah Wansing segera
berangkat menyampaikan pesan Hujin itu.”

Melihat ketegasan anak muda itu, sekali bilang
berangkat lantas berangkat, sedikit pun tidak ragu-ragu,
hal ini membuat Ciong-hujin teringat pada seseorang.
Segera serunya, “Nanti dulu, Toan-kongcu, masih ada
yang hendak kukatakan!”

145




Perlahan ia taruh sang suami ke tanah, lalu memburu
ke dekat Toan Ki, ia mengeluarkan sepotong barang dan
diserahkan pada pemuda itu, bisiknya, “Bawalah benda
ini kepada Toan Cing-bing, lekas ....”

Mendengar nama “Toan Cing-bing”, air muka Toan Ki
berubah.

Dasar nyonya Ciong atau Bok Wan-jing memang
cermat, ketika mengucapkan “Toan Cing-bing” tadi, dia
memang ingin tahu perubahan wajah Toan Ki. Karena
itulah perlahan ia menghela napas, katanya pula,
“Apakah sekarang engkau hendak membohongi aku?
Lekaslah kau pergi dan semoga bisa tiba di sana tepat
pada waktunya, agar jiwa Ling-ji dan kau sendiri
tertolong.”

Tanpa menunggu jawaban Toan Ki, segera ia putar
balik ke samping sang suami dan membawanya pergi.

Waktu Toan Ki periksa barang yang diterimanya dari
Ciong-hujin, ia lihat benda itu adalah sebuah kotak kecil
bersepuh emas yang sangat indah.

Ketika tutup kotak ia buka, tertampak isinya hanya
secarik kertas melulu yang warnanya sudah menguning,
terang karena disimpan terlalu lama, malahan di atas
kertas lamat-lamat masih kelihatan ada bekas tetesan
darah.

Di atas kertas tertulis, “Tahun Kui-hay, bulan dua,
tanggal lima, waktu Niu.”

146




Gaya tulisannya bagus dan halus, seperti ditulis oleh
kaum wanita. Lebih dari itu tiada barang lain lagi.

Diam-diam Toan Ki membatin, “Ini adalah surat lahir
(Pek-ji) seseorang, Ciong-hujin menyuruhku
menyerahkannya pada ayah, entah apakah maksud
tujuannya. Masakah secarik surat lahir begini bisa
menolong jiwa nona Ciong dan nyawaku? Tampaknya
Ciong-hujin sudah dapat menerka bahwa aku adalah
putranya ayah, sebaliknya Ciong Ban-siu berulang-ulang
memaki aku, agaknya ia pun kenal wajahku mirip ayah.
Apakah barangkali dia ada permusuhan dengan ayah?”

Sedang Toan Ki melamun sambil berjalan, tiba-tiba
dari belakang terdengar suara seruan seorang tua,
“Tunggu dulu Toan-kongcu!”

Waktu Toan Ki menoleh, ia lihat seorang tua berbaju
pendek kasar lagi menyusulnya dengan cepat. Sesudah
dekat, orang tua itu memberi hormat dan berkata,
“Hamba bersama Ciong Hok. Atas perintah Hujin agar
membawa Kongcu keluar lembah ini.”

“Baik,” sahut Toan Ki mengangguk.

Segera Ciong Hok berjalan di depan, akhirnya mereka
tiba di mulut lembah, yaitu melalui peti mati dan kuburan
yang pernah dimasuki Toan Ki itu. Lalu Ciong Hok
membawa Toan Ki melalui suatu jalan kecil lain hingga 67
li pula jauhnya, akhirnya sampailah di depan sebuah
gedung besar.

“Harap Kongcu tunggu sebentar,” kata Ciong Hok.
Tanpa mengetuk pintu lagi, terus saja hamba itu

147




melompat ke dalam gedung dengan melintasi pagar
tembok.

Sementara itu hari sudah gelap, memandangi sinar
bintang yang berkelip-kelip di tengah cakrawala, tiba-tiba
Toan Ki terkenang pada patung dewi cantik yang
dijumpainya di dasar danau itu.

Tengah pikiran Toan Ki melayang-layang jauh, tibatiba
terdengar suara ringkik kuda di halaman gedung,
mendengar suara binatang yang nyaring panjang itu, tak
tertahan Toan Ki berseru memuji, “Kuda bagus!”

Kemudian tampak pintu gedung terbuka dan
menongol sebuah kepala kuda, di tengah malam gelap,
kedua mata binatang itu tampak bersinar, hanya sekali
pandang saja sudah kelihatan kuda itu memang lain dari
yang lain.

“Prak-prak” dua kali, seekor kuda hitam mulus tampak
melangkah keluar. Perlahan sekali suara yang
dijangkitkan derap kaki binatang itu, agaknya seekor
kuda kecil. Tapi bila melihat perawakan kuda itu, ternyata
keempat kakinya panjang, tangkas gagah. Yang
menuntun kuda adalah seorang pelayan kecil, dalam
kegelapan tidak jelas mukanya, usianya kira-kira belasan
tahun dan tentunya wajahnya juga tidak jelek.

Ciong Hok ikut keluar di belakang kuda itu, katanya,
“Toan-kongcu, Hujin khawatir engkau tak bisa tepat
waktunya tiba di Tayli, maka sengaja pinjam kuda bagus
ini pada tuan rumah di sini untuk tunggangan Kongcu.”

148




Sudah banyak juga kuda bagus yang pernah dilihat
Toan Ki, dari suara ringkikan kuda ini tadi, ia tahu pasti
seekor kuda bagus pilihan yang jarang terdapat.

Maka sahutnya, “Terima kasih!”

Segera ia hendak menarik tali kendali.

Perlahan kacung tadi mengelus leher kuda itu,
katanya dengan suara halus, “Oh-bi-kui, Oh-bi-kui! Siocia
meminjamkanmu kepada Kongcuya ini, kau harus
menurut perintahnya. Lekas pergi dan cepat kembali!”

Kuda hitam yang diberi nama Oh-bi-kui atau mawar
hitam itu berpaling dan menggosok-gosokkan lehernya
ke lengan si pelayan, sikapnya sangat manja. Lalu
pelayan itu menyerahkan tali kendali kepada Toan Ki dan
berpesan, “Kuda ini jangan dipecut, semakin baik kau
perlakukan dia, semakin cepat larinya.”

“Baiklah,” sahut Toan Ki. “Nah, Siocia mawar hitam,
terimalah hormatku ini!”

Sembari berkata, ia benar-benar membungkukkan
tubuh kepada binatang itu.

Pelayan kecil itu mengikik geli, katanya, “Lucu juga
engkau ini. Eh, hati-hati, ya! Jangan terperosot jatuh!”

Namun soal menunggang kuda tidaklah asing bagi
Toan Ki, sejak kecil ia sudah biasa. Maka dengan enteng
saja ia mencemplak ke atas kuda hitam itu dan berkata
pada si pelayan, “Sampaikan terima kasihku kepada
Siociamu!”

149




“Dan tidak terima kasih padaku?” ujar si pelayan
tertawa.

Toan Ki memberi hormat, katanya, “Terima kasih
pada Cici, Nanti kalau datang lagi akan kubawakan
banyak permen untukmu.”

“Sudahlah, jiwamu sendiri perlu dijaga baik-baik, bisa
datang lagi atau tidak masih disangsikan, siapa ingin
pada permen segala?” sahut si pelayan tertawa manis.

Ciong Hok ikut berkata juga, “Harap Kongcu menjaga
diri baik-baik, dari sini lurus ke utara akan sampai di jalan
raya yang menuju ke Tayli, maafkan hamba tidak
mengantar lebih jauh.”

Toan Ki melambaikan tangan sebagai tanda berpisah,
lalu melarikan kudanya ke depan.

Oh-bi-kui alias mawar hitam itu ternyata tidak perlu
diperintah, di tengah malam buta larinya secepat terbang.
Toan Ki hanya merasa tumbuh-tumbuhan di sekitarnya
tiada hentinya melesat lewat di sampingnya.

Yang paling hebat adalah anteng sekali menunggang
di atas kuda itu, sangat sedikit terasa guncanganguncangan,
pikir Toan Ki, “Demikian cepat lari kuda ini,
rasanya lewat tengah hari besok sudah bisa sampai di
Tayli. Tapi ayah belum tentu sudi ikut campur urusan
tetek bengek di dunia Kangouw ini, apakah aku terpaksa
harus memohon Toapek (paman tertua)? Ai, urusan
sudah telanjur begini, terpaksa harus kuserahkan pada
Toapek dan ayah.”

150




Tiada sejam lamanya, sudah puluhan li jauhnya,
dalam malam gelap terasa angin silir sejuk, hawa malam
sangat nyaman. Selagi Toan Ki merasa senang,
sekonyong-konyong ada seorang membentak di depan,
“Perempuan keparat, lekas berhenti!”

Menyusul sinar tajam berkelebat, sebatang golok
lantas membacok.

Namun kuda hitam itu benar-benar teramat cepat,
baru golok itu diayunkan, binatang itu sudah melompat
lewat sejauh setombak lebih. Waktu Toan Ki menoleh, ia
lihat dua laki-laki bersenjata golok dan tombak lagi
mengejar dari belakang dengan cepat sambil memaki
kalang kabut, “Perempuan keparat! Pakai menyamar
segala, apa dikira Locu (bapak) dapat kau kelabui
demikian saja?”

Tapi hanya sekejap saja si mawar hitam sudah jauh
meninggalkan kedua pengejar itu. Namun kedua laki-laki
itu masih belum kapok, mereka masih memburu terus
hingga tidak selang lama suara teriakan dan makian
mereka pun tidak terdengar lagi.

Diam-diam Toan Ki membatin, “Kedua orang memaki
aku sebagai ‘perempuan keparat’ segala dan menuduh
aku menyamar sebagai lelaki. Ya, tentu mereka hendak
cari setori pada majikan si mawar hitam ini. Kenal kuda
tapi tak kenal orangnya, sungguh tolol benar!”

Setelah lebih satu li lagi, tiba-tiba Toan Ki teringat,
“Wah, celaka! Berkat kecepatan kuda ini aku bisa lolos
dari sergapan kedua orang tadi. Tampaknya ilmu silat

151




kedua orang itu pun tidak lemah, jikalau Siocia yang
memberi pinjam kuda ini tidak tahu kejadianku ini dan
jalan-jalan keluar, mungkin dia akan disergap musuh.
Rasanya aku harus kembali ke sana dulu untuk memberi
tahu padanya.”

Segera ia berhentikan kuda, katanya pada binatang
itu, “Oh-bi-kui, ada orang hendak membunuh Siociamu,
kita harus lekas kembali dan memberi tahu padanya agar
dia berjaga-jaga dan jangan keluar rumah.”

Segera ia putar kuda dan lari kembali ke arah tadi.
Ketika dekat tempat sergapan kedua laki-laki itu, ia desak
si mawar hitam, “Lekas, lekas lari!”

Binatang itu ternyata mengerti maksud orang, di
bawah desakan “lekas lari” itu, ia benar-benar
mencongklang terlebih pesat.

Namun kedua laki-laki itu ternyata sudah tidak di situ
lagi, karena itu Toan Ki menjadi lebih khawatir malah,
pikirnya, “Jika mereka berdua sudah menyerbu masuk ke
rumah Siocia itu, hal ini pasti lebih celaka lagi!”

Segera ia membentak si mawar hitam agar lari lebih
cepat.

Seketika lari si mawar hitam seolah terapung di atas
tanah, secepat terbang ia lari pulang.

Ketika hampir sampai di depan gedung besar itu,
mendadak dari samping dua batang pentung menyerang
kaki kuda. Namun tidak perlu Toan Ki memberi perintah,
kontan si mawar hitam melompat menghindarkan diri,

152




menyusul kaki belakang terus mendepak, “bluk”, salah
seorang penyerang gelap itu kena didepak mencelat.

Dan sekali melompat lagi, si mawar hitam sudah
sampai di depan pintu gedung itu. Dalam kegelapan
mendadak tampak 4-5 orang muncul dan serentak
hendak menarik tali kendali Oh-bi-kui menyusul Toan Ki
merasa lengan sendiri kena dicengkeram orang terus
diseret ke tanah. Segera seorang di antaranya
membentak, “Siaucu (anak muda), untuk apa kau datang
ke sini?”

Diam-diam Toan Ki mengeluh, “Celaka, rumah ini
ternyata sudah dikepung musuh, entah tuan rumahnya
sudah mengalami nasib malang atau belum?”

Ia merasa lengan kanan yang dicengkeram orang itu
seakan-akan terjepit tanggam, separuh tubuhnya merasa
kaku, maka cepat katanya, “Ada urusan hendak kucari
tuan rumah di sini, kenapa kau begini kasar?”

Lalu terdengar suara seorang tua lain berkata,
“Siaucu ini menunggang kuda hitam milik perempuan
hina itu, boleh jadi adalah kawan karibnya, biar kita
lepaskan dia ke dalam, babat rumput harus sampai ke
akar-akarnya, nanti kita bereskan sekalian.”

Hati Toan Ki berdebar tak keruan, pikirnya, “Aku ini
benar-benar ular mencari gebuk, seperti ikan masuk jala
sendiri. Sudah enak-enak pergi, sekarang datang
kembali cari penyakit. Urusan sudah kadung begini,
hendak lari juga tidak mungkin lagi, terpaksa masuk ke
sana dan melihat gelagat menurut keadaan nanti.”

153




Ia merasa cengkeram orang telah dikendurkan,
segera ia betulkan bajunya, lalu melangkah masuk ke
dalam rumah dengan membusung dada.

Di pekarangan ada suatu jalan batu, kedua samping
penuh tanaman bunga mawar yang menyiarkan bau
harum.

Jalan batu itu berliku-liku, setelah menembus sebuah
pintu bundar, jalanan itu lurus ke depan.

Toan Ki melihat di sekitarnya di sana-sini banyak
berdiri orang. Ketika mendengar ada suara dehem di
tempat ketinggian, ia mendongak dan melihat di atas
pagar tembok sana juga berdiri 7-8 orang dengan senjata
terhunus. Di tengah malam gelap, sinar senjata yang
gemilapan itu cukup membuat jeri siapa saja yang
melihatnya.

Diam-diam Toan Ki membatin, “Gedung ini meski
sekian besarnya, tapi belum tentu dapat dihuni orang
sekian banyaknya. Tentu mereka ini adalah musuh tuan
rumah, apa benar-benar mereka akan membunuh seisi
rumah ini habis-habisan?”

Dalam kegelapan remang-remang Toan Ki melihat
orang-orang itu sama melotot padanya dan pegangpegang
senjata utj menakuti. Tapi Toan Ki bisa
tenangkan diri, akhirnya ia sampai di suatu ruangan
besar yang berjendela panjang, di dalam ruangan
tampak sinar lampu terang benderang.

154




Toan Ki mendekati deretan jendela panjang itu, lalu
berseru lantang, “Cayhe Toan Ki, ada urusan mohon
bertemu dengan tuan rumah!”

“Siapa? Gusur masuk!” suara seorang tua serak
membentaknya.

Toan Ki mendongkol, ia dorong daun jendela panjang
itu dan melangkah masuk. Tapi ia menjadi kaget melihat
di dalam ruangan penuh dengan orang pula, ada yang
berdiri, ada yang duduk, sedikitnya 17-18 orang.

Di tengah seorang wanita baju hitam duduk mungkur,
muka menghadap ke dalam, maka wajahnya tidak
kelihatan. Tapi dari perawakannya yang tampak langsing,
rambutnya hitam gilap dan berkundai ciodah, dari
dandanannya jelas seorang gadis remaja.

Kecuali itu, di sana-sini ada lagi belasan orang lelaki
dan perempuan, ada pula dua Hwesio dan tiga Tosu.

Di antara orang-orang itu kecuali seorang kakek yang
duduk di kursi malas di sudut timur sana dan seorang
nenek serta kedua Hwesio, yang bertangan kosong,
selebihnya sama bersenjata.

Di depan nenek itu menggeletak seorang, lehernya
luka terbacok, agaknya sudah mati.

Segera Toan Ki dapat mengenalinya sebagai Ciong
Hok, itu hamba tua yang membawanya ke sini untuk
pinjam kuda itu.

155




Meski Toan Ki baru kenal orang tua itu, tapi ia merasa
orang sangat sopan dan menghormat padanya. Ia
menjadi sedih dan gusar melihat nasib hamba tua yang
malang itu, terutama bila teringat dirinya yang
menyebabkan kematiannya itu.

“Untuk apa kau datang ke sini?” dengan suara serak
si kakek membentak pula. Meski antero rambut kakek ini
sudah beruban, tapi janggutnya ternyata halus kelimis.

Sejak melangkah masuk tadi, Toan Ki sudah ambil
keputusan, “Sekali sudah masuk sarang harimau, kalau
bisa meloloskan diri, itulah baik. Kalau tidak bisa, tiada
gunanya juga banyak bicara dengan manusia yang
tampak bengis dan jahat ini.”

Tapi sesudah melihat mayat Ciong Hok menggeletak
di situ, seketika malah menimbulkan jiwa kesatrianya
yang bersemangat banteng, dengan garang ia
menjawab, “Aku bernama Toan Ki. Rasanya Lotiang
(bapak tua) adalah seorang terhormat, engkau hanya
lebih lama hidup beberapa tahun, kenapa kau panggil
orang Siaucu segala secara tak sopan?”

Bab 4

Kedua alis kakek itu menegak, sinar matanya
menyorot tajam, sikapnya keren, tapi tak menjawab.
Sebaliknya seorang laki-laki yang berdiri di sebelahnya
lantas membentak, "Bangsat kecil, apa kau sudah bosan
hidup, berani sembarang mengoceh! Loyacu ini sudi
bicara dengan kau, hal ini sudah untung bagimu, apa kau
kenal siapa Loyacu ini? Hm, matamu benar-benar buta!"

Melihat lagak kakek itu benar-benar lain dari yang
lain, betapa pun timbul juga sedikit rasa hormat Toan Ki,

156




maka sahutnya, "Aku pun tahu Lotiang ini pasti bukan
orang sembarangan. Bolehkah mohon tanya siapakah
nama Lotiang yang terhormat?"

Belum lagi si kakek menjawab, lelaki tadi sudah
berkata pula, "Baiklah, supaya kau bisa mati dengan
merem, dengarlah yang jelas. Loyacu ini adalah Nokang-
ong, Sam-ciang-coat-beng Cin-loyacu!"

"Sam-ciang-coat-beng?" Toan Ki menegas, "Seorang
tua baik-baik, kenapa pakai gelaran yang tak enak
didengar itu? Dan kenapa di sebut No-kang-ong pula,
Cin-loyacu."

Kiranya No-kang-ong, si raja sungai mengamuk, Samciang-
coat-beng atau tiga kali pukulan melenyapkan
nyawa, nama lengkapnya adalah Cin Goan-cun. Tidak
saja namanya mengguncangkan daerah selatan,
terhitung tokoh terkemuka dalam dunia persilatan di
wilayah Hunlam, bahkan di sekitar lembah Hongho dan
kedua tepi sungai Yangcu, setiap jago silat juga segan
pada namanya.

Tak terduga, sesudah mendengar nama dan gelar itu,
Toan Ki anggap sepele saja, sedikit pun tidak heran.

Tentu saja No-kang-ong, Sam-ciang-coat-beng Cin
Goan-cun sangat gusar. Sejak namanya terkenal, jarang
ia mendapat tandingan, sekalipun lawan yang berilmu
silat lebih tinggi kalau mendengar namanya juga akan
tergetar, sedikit pun tidak berani memandang enteng.

Sudah tentu ia tidak tahu bahwa hakikatnya Toan Ki
tidak pernah merantau Kangouw, mengenai seluk-beluk

157




kejadian dunia persilatan, sedikit pun tak diketahuinya,
Jangankan nama Sam-ciang-coat-beng Cin Goan-cun,
sekalipun gelar "Sam-sian-su-ok", yaitu tokoh-tokoh "tiga
orang bajik dan empat manusia jahat" yang diagungkan
dunia persilatan, juga takkan membuatnya jeri.

Umumnya jago silat mana pun juga, dalam hal "nama"
dipandangnya sangat penting. Maka Cin Goan-cun
menyangka perbuatan Toan Ki ini sengaja hendak
menghina dirinya, meski dalam hati sangat gusar, namun
melihat sikap Toan Ki yang acuh tak acuh, kalau bukan
memiliki ilmu silat yang diandalkan, rasanya pasti tidak
berani begitu kurang ajar.

Karena menyangka Toan Ki pasti seorang jago
sangat lihai, maka Cin Goan-cun cepat mencegah dua
orangnya yang hendak maju melabrak pemuda itu, lalu
tanyanya, "Saudara dari golongan dan aliran mana?
Siapa gurumu?"

"Untuk belajar, kenapa rewel tentang golongan
segala?" sahut Toan Ki. "Cayhe tidak masuk golongan
dan aliran mana-mana, guruku khusus meyakinkan
'Kong-yang-ci-hak', namanya kalau kukatakan juga kau
tidak kenal."

Meski ilmu silat Cin Goan-cun sangat tinggi, tapi
dalam hal ilmu sastra tentang "Kong-yang-ci-hak" segala,
selama hidupnya tak pernah mendengar, maka ia
menyangka apa yang dikatakan Toan Ki itu tentunya
semacam ilmu sakti yang belum pernah dilihatnya. Diamdiam
ia merasa syukur dirinya tidak gegabah bertindak,
maka ia bertambah hati-hati lagi menghadapi pemuda itu,

158




tanyanya pula, "Lalu kedatangan saudara ini ada urusan
apa?"

Melihat Cin Goan-cun makin sungkan pada Toan Ki,
semua orang yang hadir di situ menyangka juga pemuda
itu pasti seorang tokoh silat pendaman.

Maka terdengar Toan Ki menjawab, "Kedatangan
Cayhe ke sini adalah ingin menyampaikan sesuatu kabar
pada tuan rumah."

"Kabar apa?" tanya Cin Goan-cun.

Toan Ki menghela napas dulu, lalu sahutnya,
"Kedatanganku sudah terlambat, kukatakan atau tidak
kabar itu, sama saja."

"Menyampaikan kabar apa? Lekas katakan!" desak
Cin Goan-cun lagi. Nadanya makin bengis.

"Kalau sudah berhadapan dengan tuan rumah,
dengan sendirinya akan kukatakan, apa gunanya bicara
padamu?" sahut Toan Ki.

Cin Goan-cun tertawa dingin, selang sejenak, ia
berkata pula, "Kau ingin bicara berhadapan dengan tuan
rumah? Kukira tak perlu kau katakan, biar sebentar lagi
kalian boleh bertemu saja di akhirat."

"Yang manakah tuan rumah?" tanya Toan Ki. "Ingin
kusampaikan terima kasih telah diberi pinjam kuda."

159




Karena ucapan ini, sorot mata semua orang sama
beralih kepada si nona berbaju hitam yang duduk
mungkur tadi.

Toan Ki terkesiap, pikirnya, "Apakah nona ini pemilik
rumah? Seorang gadis lemah seperti dia telah dikepung
musuh sebanyak ini, tampaknya jiwanya sukar
diselamatkan."

Dalam pada itu terdengarlah wanita baju hitam
sedang berkata, "Kuberi pinjam kuda adalah karena
permintaan orang lain, perlu apa terima kasih segala?
Tidak lekas kau pergi menolong orang, buat apa kembali
lagi ke sini?"

Sembari bicara mukanya tetap menghadap ke dalam
tanpa menoleh.

Maka Toan Ki menjawab, "Cayhe menunggang si
mawar hitam, sampai di tengah jalan telah disergap
musuh yang salah sangka Cayhe sebagai nona serta
dicaci maki. Cayhe rasa kurang enak, maka sengaja balik
ke sini untuk memberi kabar pada nona."

"Kabar apa?" tanya perempuan itu, nadanya nyaring
merdu, tapi sedikit pun tidak membawa rasa simpatik,
hingga bagi yang mendengarkan rasanya tidak enak,
seakan-akan wanita ini sudah terasing dari dunia ramai
dan sama sekali tidak peduli terhadap segala apa di
dunia ini, seperti setiap orang adalah musuh besarnya,
kalau bisa setiap orang akan dibunuhnya.

Tentu saja Toan Ki rada mendongkol oleh jawaban
orang. Tapi lantas teringat olehnya bahwa nona itu sudah

160




jatuh di tangan kepungan musuh, keadaannya sangat
berbahaya, kalau sikapnya menjadi kasar juga tak boleh
salahkan dia. Karena itu, timbul juga rasa solider Toan
Ki.

Maka dengan ramah ia menjawab, "Cayhe pikir kedua
orang jahat itu akan bikin susah nona, hal itu tentu belum
diketahui nona, maka sengaja kukembali ke sini untuk
memberi kabar agar sebelumnya nona menyingkir. Tak
terduga tetap terlambat juga, musuh sudah tiba lebih
dulu, sungguh aku menyesal."

"Begini baik sengaja kau bela aku, sebenarnya apa
maksud tujuanmu?" tanya wanita itu dingin.

Toan Ki menjadi gemas, sahutnya keras, "Selamanya
tidak kukenal nona, cuma kutahu ada orang hendak bikin
susah padamu, masa aku boleh berpeluk tangan dan
diam saja?"

"Apakah kau tahu siapa aku?" tanya wanita itu.

"Tidak" sahut Toan Ki.

"Kudengar cerita Ciong Hok, katanya sama sekali
engkau tidak mahir ilmu silat, tapi berani kau damprat
terang-terangan di hadapan Ciong-kokcu. nyalimu
sungguh tidak kecil, tapi kau sudah terlibat dalam
kejadian ini, apa kehendakmu sekarang?"

"Sebenarnya sehabis menyampaikan berita ini,
segera akan pulang ke rumah secepatnya," sahut Toan
Ki. Ia menghela napas, lalu menyambung, "Tapi
tampaknya nona bakal celaka dan aku pun tak terhindar

161




dari malapetaka. Cuma entah cara bagaimana nona
bermusuhan dengan orang-orang ini?"

"Berdasarkan apa kau berani tanya padaku?" nona itu
menjengek.

Kembali Toan Ki tercengang, tapi segera katanya,
"Urusan pribadi orang memang aku tidak pantas tanya.
Baiklah, aku sudah menyampaikan kabar padamu,
selesailah kewajibanku."

"Tentunya kau tidak menduga jiwamu bakal melayang
di sini, bukan? Apa engkau menyesal?" tanya si wanita.

Mendengar kata orang bernada menyindir, kontan
Toan Ki menjawab, "Perbuatan seorang Taytianghu (lakilaki
sejati), asal demi kebaikan sesamanya, kenapa mesti
menyesal?"

"Hm, hanya macam kau juga berani mengaku sebagai
laki-laki sejati?" jengek wanita baju hitam itu.

"Kesatria atau bukan, masakah ditentukan dalam hal
tinggi rendahnya ilmu silat?" sahut Toan Ki dongkol.
"Sekalipun ilmu silatnya tiada tandingan di kolong langit,
kalau kelakuannya rendah memalukan juga tak bisa
disebut sebagai 'Taytianghu'!"

"Cin-losiangsing," tiba-tiba wanita baju hitam itu
berpaling pada Cin Goan-cun, "kau dengar tidak ucapan
Toan-ya ini? Kelakuan kalian ini rasanya tak dapat
dikatakan terang-terangan, bukan?"

162




"Perempuan hina," mendadak nenek yang duduk di
samping Cin Goan-cun itu memaki, "apa kau sengaja
mengulur waktu? Bangkitlah untuk bertempur ...."

"Usiamu sudah lanjut begini, ingin mampus juga tidak
perlu terburu-buru," sahut si baju hitam dengan tajam.
"Jing-siong Tojin, kau pun datang mencari perkara
padaku, apa orang Ban-jiat-kok mengetahuinya?"

Air muka Tosu berjenggot itu rada berubah, sahutnya,
"Tujuanku adalah membalas dendam murid, apa sangkut
pautnya dengan Ban-jiat-kok?"

"Ingin kutanya, sebelumnya kau minta bantuan Hiangyok-
jeh atau tidak?" tanya si wanita.

Tosu itu menjadi gusar, sahutnya, "Sekian banyak
tokoh terkemuka berkumpul di sini, masakah masih tidak
bisa memberesi dirimu?"

"Jawabanmu tidak jelas, tentu pernah kau minta
bantuan Hiang-yok-jeh," kata wanita baju hitam. "Dan
kau ternyata bisa keluar lagi dari Ban-jiat-kok dengan
selamat, boleh dikata rezekimu tidak kecil."

"Aku tidak masuk ke Ban-jiat-kok, siapa bilang aku
pergi ke sana?" sahut Jing-siong Tojin.

"Ehm, jika begitu, tentunya telah kau kirim seorang
lain ke sana sebagai pengantar jiwa," kata wanita itu
mengangguk-angguk.

163




Sekilas wajah Jing-siong Tojin merasa malu, segera
ia berteriak, "Marilah kita putuskan dengan senjata,
kenapa banyak mulut?"

Menyaksikan percakapan wanita baju hitam dengan
orang-orang itu, Toan Ki dapat melihat rombongan Cin
Goan-cun itu masih belum pasti di atas angin, kalah atau
menang baru bisa diketahui sesudah bertanding. Tapi
dari nada Jing-siong Tojin tadi, terang Tosu itu sangat jeri
pada si wanita baju hitam. Diam-diam Toan Ki sangat
heran, orang-orang itu berulang kali menantang, tapi
tetap tiada seorang pun yang berani mulai bergebrak.

Tiba-tiba terdengar si wanita baju hitam berkata
kepada Toan Ki, "Hai orang she Toan, sekian banyak
orang-orang ini hendak mengeroyok diriku, menurut kau,
bagaimana baiknya."

"Si mawar hitam berada di luar," ujar Toan Ki. "Kalau
engkau bisa terjang keluar dari kepungan, lekas
menunggangnya melarikan diri. Teramat cepat lari
binatang itu, pasti mereka tak mampu menyusulmu."

"Lalu bagaimana dengan kau sendiri?" tanya nona itu.

"Selamanya aku tidak kenal mereka, tiada dendam
tak ada sakit hati, boleh jadi mereka takkan bikin susah
padaku" ujar Toan Ki.

Wanita baju hitam itu tertawa dingin, katanya, "Hm,
jika mereka mau pakai aturan, tentunya aku takkan
dikeroyok orang sebanyak ini. Jiwamu sudah pasti akan
melayang. Bila aku bisa lolos, adakah sesuatu pesan
tinggalanmu?"

164




Toan Ki menjadi sedih, sahutnya, "Ada seorang nona
Ciong telah ditawan oleh Sin-long-pang di Bu-liang-san,
ibunya memberikan kotak emas ini kepadaku dan minta
disampaikan kepada ayahku agar berusaha menolong
nona Ciong itu, Ji ... jika nona dapat lolos, harapanku
adalah sudi melaksanakan tugasku ini, untuk mana aku
merasa sangat terima kasih."

Sembari berkata, ia melangkah maju dan
mengangsurkan kotak emas itu.

Kini jaraknya di belakang wanita baju hitam itu hanya
setengah meter saja, tiba-tiba hidungnya mengendus
semacam bau wangi yang mirip bunga anggrek, tapi
bukan anggrek, seperti mawar, tapi bukan mawar. Meski
bau harum itu tidak keras, namun membuat orang
merasa pusing, tubuh Toan Ki menjadi sempoyongan
sedikit.

Wanita itu ternyata tidak menerima kotak itu, tapi
bertanya, "Kabarnya nona Ciong itu sangat cantik,
apakah ia kekasihmu?"

"Bukan, bukan!" sahut Toan Ki cepat. "Nona Ciong
masih terlalu muda, lincah dan kekanak-kanakan, mana
... mana bisa timbul maksudku yang tidak senonoh itu?"

Baru sekarang wanita itu ulurkan tangan ke belakang
untuk mengambil kotak emas yang diangsurkan Toan Ki.
Pemuda itu melihat tangan orang memakai sarung
tangan sutera hitam hingga sama sekali tidak kelihatan
kulit badannya.

165




Perlahan wanita itu masukkan kotak emas itu ke
dalam bajunya, lalu berkata, "Nah, Jing-siong Tojin, lekas
enyah dari sini!"

"Apa ... apa katamu?" Tosu itu menegas dengan
tergegap.

"Enyah keluar, hari ini aku tidak ingin membunuhmu,"
kata si wanita.

Mendadak Jing-siong Tojin angkat pedangnya dan
membentak, "Kau mengoceh apa segala?"

Tapi suaranya gemetar, entah saking gusar atau
karena ketakutan?

"Kau tahu tidak bahwa mengingat Sumoaymu, maka
aku mengampuni jiwamu," kata si wanita baju hitam lagi.
"Nah, lekas enyah!"

Wajah Jing-siong Tojin sepucat mayat, perlahan
pedangnya menurun ke bawah.

Melihat wanita baju hitam itu berlaku kasar dan
membentak Jing-siong Tojin enyah dari situ, Toan Ki
menyangka Tosu itu pasti akan murka, siapa tahu wajah
Tosu itu tampak ragu sebentar, lalu tampak jeri pula,
sekonyong-konyong pedang jatuh ke lantai, ia tutup
mukanya dengan kedua tangan terus lari keluar.

Tapi sial baginya, baru tangan hendak mendorong
pintu, si nenek yang duduk di samping Cin Goan-cun
telah ayun tangannya, sebilah Hui-to atau pisau terbang
melayang cepat dan tepat mengenai punggung Jing-

166




siong Tojin. Tanpa ampun lagi Tosu itu terjungkal,
setelah merangkak beberapa kali, akhirnya terkapar
binasa.

Toan Ki menjadi gusar, teriaknya, "Hai, Lothaythay
(nenek tua), Tosu itu kan kawanmu, kenapa kau serang
dia sekeji itu?"

Dengan gaya loyo nenek itu berbangkit, dengan
penuh perhatian ia pandang si wanita baju hitam, ucapan
Toan Ki itu seperti tak didengarnya.

Serentak kawan-kawannya juga siap siaga untuk
mengerubut, asal sekali diberi komando, kontan wanita
baju hitam pasti akan dicacah mereka.

Melihat keadaan demikian, sungguh Toan Ki merasa
penasaran, "Hai, kalian semua laki-laki hendak
mengerubut seorang perempuan lemah, di manakah
letaknya keadilan ini?"

Segera ia pun melangkah maju hingga wanita baju
hitam teraling di belakangnya, lalu bentuknya pula, "Ayo,
kalian masih berani turun tangan?"

Meski sama sekali Toan Ki tidak bisa silat, tapi
sikapnya gagah perkasa dengan semangat banteng yang
tak gentar pada siapa pun.

"Jadi saudara sudah pasti ingin ikut campur urusan
ini?" dengan kalem Cin Goan-cun menegur.

"Ya," teriak Toan Ki. "Aku melarang kalian main
keroyok, menganiaya seorang wanita lemah."

167




"Hubungan famili apa antara saudara dengan
perempuan hina ini, atas suruhan siapa hingga kau
berani ikut campur urusan ini?" tanya Cin Goan-cun lagi.

"Aku dan nona ini bukan sanak bukan kadang, cuma
segala apa di dunia ini tidak terlepas dari 'keadilan', maka
kunasihati kalian supaya sudahi urusan ini, mengeroyok
seorang gadis lemah, terhitung orang gagah macam
apa?" sahut Toan Ki tegas. Lalu ia berbisik pada si
wanita baju hitam, "Lekas nona lari, biar kurintangi
mereka."

Wanita itu pun menjawab dengan suara lirih, "Jiwamu
akan melayang demi membela diriku, apa takkan
menyesal?"

"Biar mati tidak menyesal," sahut Toan Ki.

"Kau benar-benar tidak takut mati? Tetapi ...."
mendadak suara wanita itu diperkeras, "sedikit pun kau
tak bertenaga, masih kau berani berlagak kesatria?"

Sekonyong-konyong ia ayun tangannya, dua tali
berwarna tahu-tahu melayang hingga kedua tangan dan
kedua kaki Toan Ki terikat dengan erat.

Berbareng pada saat itu juga, sebelah tangan lain si
wanita pun mengayun bergerak, Toan Ki hanya
mendengar suara gemerencing dan gedubrakan
beberapa kali, di sana-sini beberapa orang lantas jatuh
terjungkal, menyusul sinar senjata gemerlapan
menyilaukan mata, pandangan menjadi gelap, segenap
lilin di dalam ruangan telah dipadamkan semua oleh

168




orang. Segera Toan Ki merasa tubuhnya terapung
seakan-akan terbang dibawa seseorang.

Semua kejadian itu datangnya terlalu cepat sehingga
dalam sekejap itu Toan Ki tidak tahu dirinya sudah
berada di mana. Hanya terdengar sekeliling ruangan
ramai suara bentakan orang, "Jangan sampai lolos
perempuan hina itu!"

"Jangan takut pada panah beracunnya!"

"Sambitkan Hui-to, sambitkan Hui-to!"

Menyusul terdengar pula suara gemerencing yang
ramai, banyak senjata rahasia terbentur jatuh.

Ketika Toan Ki merasakan badannya berguncang lagi,
menyusul terdengar suara derap kuda berlari, nyata
dirinya sudah berada di atas kuda, kaki tangan terikat,
sedikit pun tak bisa berkutik. Ia merasa tengkuknya
bersandar di badan seseorang, hidung mengendus bau
wangi, itulah bau harum dari badan si wanita baju hitam.

Suara derapan kuda berdetak-detak, enteng dan
anteng, suara bentak dan kejar musuh makin lama makin
ketinggalan jauh di belakang.

Oh-bi-kui berbulu hitam, antero tubuh wanita itu pun
hitam, ditambah malam pekat dengan bau harum
semerbak, suasana menjadi agak seram.

Sekaligus Oh-bi-kui alias si mawar hitam berlari
sampai beberapa li jauhnya.

169




Akhirnya Toan Ki berseru, "Nona, tidak sangka
kepandaianmu begini hebat, harap lepaskan aku."

Wanita itu mendengus sekali tanpa menjawab.

Karena kaki tangan terikat, setiap kali kuda itu
mencongklang, tali pengikat bertambah kencang, makin
lama Toan Ki makin kesakitan, ditambah lagi kepalanya
terjuntai ke bawah hingga mirip orang tergantung, Toan
Ki menjadi pening tak tertahan. Maka serunya lagi,
"Nona, lekas lepaskan aku!"

"Plak," mendadak ia dipersen sekali tempelengan,
dengan dingin nona itu berkata, "Jangan cerewet, tahu?
Nona tidak tanya, dilarang bicara!"

"Sebab apa?" teriak Toan Ki penasaran.

"Plak, plak," kembali ia digampar dua kali terlebih
keras daripada tadi.

Keruan Toan Ki merah bengap mukanya, telinga pun
mendenging hampir-hampir pekak.

Dasar watak Toan Ki memang bandel, segera ia
berteriak pula, "Kenapa sedikit-sedikit kau pukul orang?
Lekas lepaskan aku, aku tidak sudi bersama kau."

Mendadak Toan Ki merasa tubuhnya terapung, tahutahu
sudah terbanting di tanah, tapi anggota badannya
masih terikat, bahkan ujung lain dari tali pengikat itu
masih dipegang orang hingga badan Toan Ki terseret di
tanah oleh Oh-bi-kui.

170




Wanita itu membentak tertahan menyuruh Oh-bi-kui
berjalan perlahan, lalu tanyanya pada Toan Ki, "Kau
menyerah tidak sekarang? Mau dengar perintahku
tidak?"

"Tidak, tidak!" gembor Toan Ki. "Tadi meski terancam
mati saja aku tidak gentar, apalagi sekarang hanya
disiksa begini? Aku ...."

Sebenarnya ia ingin bilang, "Aku tidak takut," tapi
kebetulan waktu itu badannya yang terseret di tanah itu
membentur jalan yang tidak rata sehingga kata-katanya
itu terputus.

"Kau takut, bukan?" kata si nona baju hitam dengan
dingin. Segera ia sendal talinya, Toan Ki terangkat ke
atas kuda lagi.

"Aku takut apa?" sahut Toan Ki. "Lekas lepaskan
aku!"

"Hm, di hadapanku, tiada seorang pun berhak bicara,"
kata wanita itu. "Aku justru hendak menyiksa kau, biar
mati tidak, hidup pun tidak, apa kau kira hanya sedikit
siksaan begini saja?"

Habis berkata, kembali ia lemparkan Toan Ki ke tanah
dan diseret pula.

Gusar Toan Ki tidak kepalang, pikirnya, "Semua orang
tadi memaki dia sebagai perempuan hina, nyatanya ada
benarnya juga"

171




Segera ia berseru pula, "Lepaskan aku! Kalau tidak,
awas, aku akan memaki, lho."

"Kalau berani, boleh coba memaki," sahut nona itu.
"Selama hidupku ini memang sudah kenyang dicaci maki
orang."

Mendengar kata-kata orang yang terakhir itu
diucapkan dengan nada penuh rasa sesal dan derita,
caci maki Toan Ki yang sudah hampir dilontarkan itu
menjadi urung dikeluarkan, hatinya menjadi lunak.

Menunggu sekian saat tidak terdengar makian Toan
Ki, wanita itu berkata pula, "Hm, masakah kau berani
memaki!"

"Mengapa tidak berani?" seru Toan Ki mendongkol.
"Soalnya aku menjadi kasihan padamu, maka tidak tega
memaki. Memangnya kau kira aku takut padamu?"

Wanita itu tidak menggubrisnya lagi, mendadak ia
bersuit mempercepat kudanya, segera Oh-bi-kui
mencongklang pesat ke depan. Keruan yang payah
adalah Toan Ki, badannya tergesek oleh batu pasir yang
tajam hingga babak belur dan darah mengucur.

"Kau mau menyerah atau tidak?" seru si wanita.

Dengan suara keras Toan Ki memaki malah, "Kau
perempuan galak yang tak kenal aturan!"

"Aku memang perempuan galak, tak perlu kau
katakan pun kutahu sendiri." sahut wanita itu. "Dan di
mana aku tidak kenal aturan segala?"

172




"Aku ... aku bermaksud baik padamu ...." mendadak
kepala Toan Ki membentur sepotong batu di tepi jalan,
hingga seketika ia tak sadarkan diri.

Entah sudah selang berapa lama lagi, ketika
mendadak Toan Ki merasa kepalanya dingin segar, ia
siuman, menyusul terasa air merembes masuk ke dalam
mulut, cepat ia tahan napasnya, namun tak keburu lagi,
ia terbatuk-batuk sesak. Dan karena batuknya itu, air
masuk lebih banyak lagi ke dalam mulut dan hidung.

Kiranya ia diseret oleh wanita baju hitam di tanah,
ketika mengetahui Toan Ki jatuh pingsan, nona itu
sengaja menyeberangi sebuah sungai kecil, karena
terendam air, Toan Ki lantas sadar. Untung sungai itu
kecil dan dangkal, sekali lompat si mawar hitam sudah
menyeberanginya.

Dengan baju basah kuyup, perut kembung tercekok
air sungai, ditambah badan memang babak belur, keruan
antero badan Toan Ki terasa sakit.

"Sekarang menyerah tidak?" kembali wanita baju
hitam itu tanya.

"Sungguh sukar dipahami bahwa di dunia ini ada
perempuan sewenang-wenang seperti ini," demikian pikir
Toan Ki. "Aku sudah tercengkeram di tangannya, banyak
bicara juga tiada gunanya."

Karena itu, ketika beberapa kali si wanita baju hitam
tanya lagi, "Kau mau menyerah tidak? Sudah cukup tahu
rasa belum?"

173




Toan Ki tetap tidak menggubrisnya dan anggap tidak
mendengar saja.

Nona itu menjadi gusar, dampratnya, "Apa kau tuli?
Kenapa tidak menjawab pertanyaanku?"

Tetap Toan Ki tak gubris padanya.

Mendadak nona itu tahan kudanya, ingin tahu apakah
Toan Ki sebenarnya sudah sadar atau belum.

Tatkala itu sang surya sudah menongol di ufuk timur
dengan cahayanya yang remang-remang, maka nona itu
dapat melihat jelas kedua mata Toan Ki lagi mendelik
padanya dengan gusar.

Nona itu menjadi murka, dampratnya pula, "Bagus,
jadi kau tidak pingsan, tapi sengaja main gila padaku.
Baiklah, mari coba-coba kita adu bandel, apa kau lebih
tahan atau aku lebih kejam?"

Ia terus melompat turun dari kudanya, dengan enteng
ia melompat ke atas mendapatkan sepotong ranting
pohon, "plak," segera ia sabet sekali di muka Toan Ki.

Baru untuk pertama kali ini Toan Ki berhadapan muka
dengan wanita itu, ia lihat muka orang berkerudung
selapis kain hitam tebal, hanya dua lubang matanya
tertampak sepasang biji matanya yang hitam bersinar
tajam.

174




Toan Ki tersenyum, katanya di dalam hati, "Kau ingin
kujawab pertanyaanmu, hm, mungkin lebih sulit daripada
naik ke langit."

"Dalam keadaan begini kau masih bisa tersenyum?
Apa yang kau gelikan?" omel nona itu.

Tapi Toan Ki sengaja mengiming-iming dengan muka
kocak, lalu tertawa lagi.

"Plak-plok, plak-plok," kembali nona itu menghujani
sabetan beberapa kali. Namun Toan Ki sudah tidak
pikirkan jiwanya lagi, ia tetap diam.

Cara menghajar wanita itu sangat keji, setiap kali
sabetannya pasti mengenai tempat Toan Ki yang paling
sakit. Saking tak tahan, beberapa kali Toan Ki hampirhampir
menjerit, tapi syukur ia masih bisa mengekang
diri.

Melihat pemuda itu sedemikian bandel, setelah
berpikir sejenak, segera wanita itu berkata, "Baik, kau
pura-pura tuli, biar kubikin benar-benar menjadi tuli!"

Terus saja ia keluarkan sebilah belati, dengan sinar
gemerlap perlahan ia mendekati Toan Ki. Ia angkat
belatinya dan ancam telinga kiri pemuda itu sambil
membentak, "Kau dengar kata-kataku tidak? Apa kau
tidak ingin daun kupingmu ini?"

Masih tetap Toan Ki tak menggubris, sinar mata nona
itu menyorot beringas, selagi belati diangkat hendak
menyayat kuping Toan Ki, tiba-tiba di tempat sejauh

175




belasan tombak sana ada orang membentak,
"Perempuan hina, kau akan mengganas lagi, ya?"

Suaranya lantang berwibawa.

Cepat wanita itu angkat tali pengikatnya hingga tubuh
Toan Ki tergantung di atas dahan pohon. Waktu
menoleh, Toan Ki melihat orang yang bersuara itu adalah
seorang laki-laki tinggi besar bertangan kosong, pada
pinggangnya terselip sebuah golok. Laki-laki itu tidak
berlari, tapi tahu-tahu sudah sampai di depan mereka,
cepatnya bukan main.

Toan Ki melihat muka orang itu kuning langsat,
berbaju pendek warna kuning, bermuka lebar, kedua kaki
dan tangan jauh lebih panjang daripada orang biasa,
usianya sekitar 30-an tahun, kedua matanya bersinar
tajam.

"Tentunya kau inilah Kim Tay-peng?" tegur nona tadi.
"Orang bilang Ginkangmu sangat hebat, tapi, hm, kalau
sepanjang jalan aku tidak menanyai bocah ini hingga
jalanku terlambat, rasanya kau pun tak mampu
menyusulku."

"Dan kalau bukan ada urusan lain hingga jalanku
terlambat, rasanya kau pun takkan bisa lolos," sahut lakilaki
itu ketus.

"Dan sekarang sudah dapat kau susul aku," kata si
nona. "Nah, Kim Tay-peng, kau mau apa sekarang?"

"Si tukang obat, Ong-lohan, di kota Sengtoh itu,
dibunuh olehmu bukan?" tanya laki-laki itu.

176




"Kalau benar, mau apa?" sahut si nona.

"Ong-lohan adalah sahabatku, dia suka menolong
kaum miskin, selama hidupnya tidak pernah berbuat
jahat, sebab apa kau bunuh dia?"

"Sebabnya?" sahut nona itu. "Hm, sebab ada orang
terkena panahku yang berbisa, Ong-lohan sengaja tampil
untuk mengobatinya, hal ini kau tahu tidak?"

"Menjual obat bertujuan menyembuhkan orang, itu
memang kewajiban Ong-lohan" kata orang itu alias Kim
Tay-peng.

Sekonyong-konyong terdengar suara mendesir
perlahan, menyusul suara "cring" sekali pula, sebatang
panah kecil menancap di samping kaki Kim Tay-peng.

Panjang panah itu hanya belasan senti, hampir
seluruhnya ambles ke dalam tanah.

Dalam pada itu tampak Kim Tay-peng pun
memasukkan goloknya ke dalam sarung yang tergantung
di pinggangnya.

Kiranya dalam sekejap itu saja si nona sudah
menyerang Kim Tay-peng dengan panah, tapi Kim Taypeng
sempat cabut golok untuk menangkis. Nyata, diamdiam
kedua orang sudah saling gebrak sejurus.

"Cepat juga gerakanmu, ya?" kata si nona.

177




"Kau pun tidak lamban," sahut Kim Tay-peng. "Nyata,
nama Hiang-yok-jeh Bok Wan-jing memang bukan
omong kosong."

Toan Ki terperanjat mendengar nama itu, cepat ia
berteriak, "He, engkau salah, Kim-heng, dia bukan
Hiang-yok-jeh Bok Wan-jing!"

"Dari mana kau tahu?" tanya Kim Tay-peng.

"Kukenal Bok Wan-jing dengan baik, Bok Wan-jing
adalah Ciong-hujin, tapi perempuan jahat ini adalah
seorang nona lain," kata Toan Ki.

Sekilas wajah Kim Tay-peng mengunjuk heran,
katanya, "Jadi Hiang-yok-jeh sudah kawin? Entah orang
she Ciong mana yang sial itu."

Tiba-tiba terdengar suara mendesir dua kali, dua
batang senjata rahasia jatuh di samping Toan Ki, yang
satu adalah panah kecil berwarna hitam, yang lain
adalah sebuah mata uang. Di tengah mata uang itu
berlubang dan tepat panah itu menancap di tengah
lubang itu.

Kiranya wanita itu telah menyambit ke belakang
hendak memanah Toan Ki, tapi Kim Tay-peng sempat
menimpukkan mata uang itu hingga jiwa Toan Ki
tertolong.

Melihat itu, barulah Toan Ki sadar barusan jiwanya
telah berpiknik ke pintu gerbang akhirat, untung bisa balik
lagi. Ia dengar wanita itu bertanya dengan gusar, "Siapa
bilang aku Bok Wan-jing sudah kawin? Laki-laki di jagat

178




ini tiada seorang pun yang baik, siapa yang setimpal
menjadi suamiku?"

"Ya, agaknya saudara ini salam paham," ujar Kim
Tay-peng.

Mendadak wanita baju hitam itu mengaku sebagai
"Hiang-yok-jeh Bok Wan-jing" atau si kuntilanak berbau
harum, Toan Ki pikir di balik ini tentu ada sesuatu yang
tak beres, sekalipun nona ini ganas dan jahat, rasanya
tidak nanti sudi mengaku sebagai istri orang. Maka
katanya, "Betul juga ucapan Kim-heng, yang kutahu ialah
istrinya Kian-jin-ciu-sat Ciong Ban-siu yang bernama Bok
Wan-jing."

"Cis, jadi perempuan keparat itu telah memalsukan
namaku sebagai Hiang-yok-jeh Bok Wan-jing?" teriak
wanita baju hitam dengan gusar.

"Kim-heng," kata Toan Ki, "Ciong Ban-siu itu suka
membunuh orang tak berdosa, dengan nona baju hitam
ini sungguh suatu pasangan yang setimpal."

Baru selesai ucapannya itu tiba-tiba sinar hijau
berkelebat di depan mata, sesuatu senjata telah
membacok ke arahnya.

Dalam keadaan terikat dan terjungkir, dengan
sendirinya Toan Ki tak dapat menghindar, namun biar dia
bisa bergerak dan bersenjata sekalipun tentu juga sukar
menghindari serangan kilat itu. Maka dengan pejamkan
mata ia sudah pasrah nasib.

179




Mendadak terdengar suara gemerantang beberapa
kali, senjata nona baju hitam itu ternyata tidak sampai di
tubuhnya. Ketika membuka mata, ia lihat di depan sana
sesosok bayangan hitam dan segulung kabut kuning lagi
melayang kian kemari dengan cepat luar biasa, di tengah
bayangan hitam dan kabut kuning itu terlihat
berkelebatnya sinar putih pula, menyusul riuh ramai
dengan suara saling beradunya senjata.

"Tuhan Maha Pengasih, semoga Kim-heng ini diberi
kemenangan," diam-diam Toan Ki berdoa.

Tiba-tiba terdengar si nona baju hitam alias Bok Wanjing
membentak nyaring, kedua orang sama-sama
melompat mundur, tampak golok Kim Tay-peng sudah
dimasukkan ke sarungnya, dengan tenang berdiri di
tempatnya.

Sebaliknya dengan pedang terhunus, Bok Wan-jing
lagi memandang lawan dengan penuh perhatian.

"Kalah menang belum terjadi, kenapa nona Bok tidak
terus bertempur?" kata Kim Tay-peng.

"Hm, 'It-hui-ciong-thian Kim Tay-peng', suatu tokoh
gemilang di dunia Kangouw paling akhir ini, huh!" sahut
Bok Wan-jing.

"Ada apa maksudmu?" tanya Tay-peng.

"Dalam 500 jurus belum tentu dapat kau menangkan
nonamu!" sahut Wan-jing.

"Benar!" kata Tay-peng, "Jika lebih dari 500 jurus?"

180




"Marilah boleh kita coba-coba," ujar Bok Wan-jing.
Berbareng ujung pedangnya terus mengarah
tenggorokan Kim Tay-peng.

"Trang," Kim Tay-peng melolos golok buat menangkis
dan kembalikan golok ke sarungnya pula, lalu
membentak, "Kim Tay-peng adalah seorang laki-laki
sejati, mana bisa bertempur sampai lebih 500 jurus
dengan perempuan siluman kecil macammu? Utang
darah penjual jamu Ong-lohan sementara ini biar kutunda
dulu. Cuma kau harus berjanji takkan mencelakai jiwa
saudara ini."

"Lalu utang piutang kita sendiri kapan akan
diselesaikan?" tanya Bok Wan-jing.

"Nanti kalau dalam 500 jurus aku sudah dapat
membereskanmu, dengan sendirinya akan kubikin
perhitungan padamu," sahut Kim Tay-peng. "Jelas belum
pesanku tadi?"

"Hm, bilakah pernah kau dengar Hiang-yok-jeh
menerima pesan seseorang?" sahut Bok Wan-jing
dengan angkuh.

"Baiklah, kuhormati kepandaianmu yang hebat,
anggaplah aku yang memohonkan keselamatan saudara
ini," kata Tay-peng.

"Jadi kau sendiri yang memohon padaku?" Bok Wanjing
menegas.

181




"Ya, kumohon padamu," sahut Tay-peng dengan
suara berat.

Maka terbahaklah senang sekali Bok Wan-jing,
selama bertemu dengan dia, untuk pertama kali inilah
Toan Ki mendengar suara tertawa nona itu yang penuh
gembira ria, tidak saja senang luar biasa, bahkan
membawa sifat kekanak-kanakan.

Terdengar ia berseru pula, "Haha, It-hui-ciong-thian
Kim Tay-peng ternyata memohon sesuatu pada aku Bok
Wan-jing, maksud baik permohonan ini rasanya tidak
pantas kalau kutolak. Cuma aku hanya berjanji tidak
membunuh orang ini, menghajarnya atau mengutungi
kaki tangannya tidak termasuk dalam jaminanku ini."

Habis berkata, tanpa menunggu jawaban Kim Taypeng
lagi, ia bersuit, dengan cepat si mawar hitam
mendekatinya, sekali cemplak Bok Wan-jing sudah
berada di atas kuda, berbareng ia sambitkan pedangnya
hingga tali gantungan pada dahan pohon itu terpapas
putus. Toan Ki bersama pedang itu jatuh ke bawah, dan
pada saat itulah dengan tepat Oh-bi-kui atau si mawar
hitam berlari sampai di bawah pohon, tangan kanan Bok
Wan-jing menyambar kembali pedangnya, tangan kiri
mencengkeram kuduk Toan Ki dan ditaruh di atas pelana
kuda. Sekali congklang, secepat terbang Oh-bi-kui sudah
berlari jauh.

Melihat pertunjukan Bok Wan-jing ketika hendak pergi
itu, mau tak mau Kim Tay-peng memuji, "Sungguh lihai
perempuan siluman ini."

182




Setelah Bok Wan-jing simpan pedangnya, ia berkata
di atas kuda, "It-hui-ciong-thian yang namanya terkenal di
seluruh jagat ini hari ini juga tak bisa mengapa-apakan
diriku. Hm, biarpun dia memperdalam pula ilmu silatnya,
memangnya setiap hari aku hanya tidur saja dan ilmu
kepandaianku takkan bertambah? Wahai, bocah she
Toan, sekarang kau menyerah tidak padaku?"

Toan Ki hanya diam saja tak menggubrisnya, tetap
berlagak bisu dan tuli.

Agaknya hati Bok Wan-jing sangat riang, kembali ia
berkata, "Orang Kangouw sama bilang It-hui-ciong-thian
Kim Tay-peng adalah jago muda yang jarang ada
bandingannya, kecuali tokoh-tokoh angkatan tua seperti
'Sam-sian-su-ok', dia terhitung jago paling lihai. Tapi hari
ini dia toh sudi memohon padaku."

Toan Ki menjadi dongkol, katanya di dalam hati, "Dia
hanya merasa seorang laki-laki tidak pantas melabrak
seorang perempuan, makanya mengampunimu, masa
engkau sembarangan membual segala?"

Tapi ia sendiri pun menyaksikan sikap Kim Tay-peng,
ia tahu meski nama 'It-hui-ciong-thian' (sekali terbang
menjulang ke langit) terkenal di seluruh jagat, jelas juga
tidak berani memandang enteng Bok Wan-jing. Ia pikir
perempuan siluman ini meski keji dan ganas, tapi ilmu
silatnya memang benar-benar sangat lihai.

Selagi Toan Ki termenung, mendadak pundaknya
ditarik Bok Wan-jing hingga mukanya berpaling ke
arahnya, demi tampak wajah pemuda itu belum lenyap
dari rasa kagum, Bok Wan-jing terbahak-bahak, katanya,

183




"Bocah bandel, di mulut kau tidak bicara, tapi di dalam
hati kau menyerah padaku, bukan?"

Dan karena hatinya lagi senang, sepanjang jalan ia
tidak siksa Toan Ki lagi.

Tidak lama, si mawar hitam telah membawa mereka
ke suatu pekuburan. Segera Toan Ki dapat mengenali
tempat itu adalah jalan masuk ke Ban-jiat-kok.

Ia lihat Bok Wan-jing melompat turun dari kudanya
terus menarik batu nisan kuburan itu, cara menarik batu
nisan itu persis seperti apa yang Ciong Ling ajarkan pada
Toan Ki.

Begitu pintu kuburan terpentang, terus saja Bok Wanjing
jinjing Toan Ki melangkah ke dalam.

Perawakan Toan Ki sedikitnya belasan senti lebih
tinggi daripada nona itu, bicara tentang bobot badan,
sedikitnya juga lebih berat 30-40 kati. Tapi terjinjing
olehnya, ternyata enteng saja bagai membawa sebuah
keranjang.

Setelah masuk pula ke dalam peti mati,
penyambutnya tetap si pelayan kecil yang menerima
Toan Ki itu.

Sampai di tempat yang terang, pelayan itu kaget dan
bertanya, "Hei, Bok-kohnio, ken ... kenapa kau bawa
Toan-kongcu ke sini? Di ... di manakah Siocia kami?"

"Panggil keluar nyonyamu!" bentak Bok Wan-jing
sambil banting Toan Ki ke lantai.

184




"Loya terluka parah, Hujin tak dapat meninggalkan
beliau, silakan nona masuk ke dalam saja," kata si
pelayan.

"Peduli apa dengan Loyamu yang terluka segala,
suruh nyonyamu keluar!" bentak Bok Wan-jing bengis.
"Sekalipun Loyamu saat ini akan mampus juga harus
suruh nyonyamu lekas keluar!"

Pelayan itu tak berani bicara lagi, ia mengiakan
dengan ketakutan, lalu cepat masuk ke dalam.

Tidak lama, Ciong-hujin tampak keluar dengan
tergesa-gesa, katanya, "Nona Bok, kenapa tidak duduk
dan bicara di dalam saja?"

Bok Wan-jing tidak menyahut, ia menengadah ke atas
dan tidak menggubris.

Ciong-hujin seperti sangat jeri kepada nona baju
hitam itu, dengan sabar ia berkata pula, "Bok-kohnio,
apakah aku berbuat sesuatu kesalahan padamu?"

"Kau panggil siapa sebagai 'Bok-kohnio'?" tanya Bok
Wan-jing tiba-tiba.

"Sudah tentu memanggil engkau," sahut nyonya
Ciong.

"Hm, kusangka kau berkata pada dirimu sendiri,"
jengek Bok Wan-jing. "Kabarnya kau sekarang sudah
ganti nama dan tukar she, kau pun bernama 'Bok Wanjing'.
Sungguh tidak nyana bahwa nama 'Bok Wan-jing'

185




bisa mendapat perhatian orang, tapi julukan 'Hiang-yokjeh'
toh bukan nama yang enak di dengar, kalau benarbenar
mau, biar kuberikan padamu dengan tangan
terbuka."

Wajah Ciong-hujin sebentar merah sebentar pucat,
katanya kemudian dengan suara halus, "Nona Bok, aku
memalsukan namamu, hal ini memang tidak pantas.
Soalnya karena aku terlalu mengkhawatirkan putriku,
dengan harapan menggunakan namamu yang besar
dapatlah menakutkan kawanan Sin-long-pang agar Lingji
bisa dilepaskan mereka."

Mendengar itu, Bok Wan-jing berkata pula dengan
nada agak halus, "Apa benar namaku mempunyai
pengaruh begitu besar?"

Ciong-hujin kenal watak si nona yang suka dipuji dan
diumpak, maka cepat sahutnya, "Sudah tentu! Nama
besar nona di kalangan Kangouw, siapa saja yang tidak
takut? Maka kuyakin bila mendengar nama nona, biarpun
nyali orang Sin-long-pang sebesar langit juga tak berani
mengganggu seujung rambut Ling-ji."

"Baiklah, tentang memalsukan namaku, tak perlu
kuusut lebih jauh," kata Bok Wan-jing. "Tapi awas, bila
lain kali sembarangan kau pakai namaku lagi, tentu
urusan takkan berakhir begini saja. Kau adalah istri
Ciong Ban-siu, apakah ... apakah ... huk!" mendadak ia
mengentak kaki ke lantai dengan keras.

Lekas-lekas Ciong-hujin menanggapinya dengan
tertawa, "Ya, ya, memang akulah yang salah! Karena

186




bingung memikirkan Ling-ji, aku menjadi lupa pada nama
baik nona yang masih suci bersih."

Bok Wan-jing mendengus sekali, lalu tanya pula,
"Jing-siong Tojin datang mencari perkara padaku, hal ini
sebelumnya sudah kau ketahui, bukan?"

Air muka Ciong-hujin berubah seketika, sahutnya
terputus-putus, "Ya, dia ... dia pernah datang minta
bantuan kami berdua untuk mengeroyok nona. Tapi ...
coba pikir, mana bisa kami berbuat demikian?"

"Ilmu silat suamimu sangat tinggi, kalau dia ikut
mengeroyok, mungkin jiwaku akan melayang," kata Bok
Wan-jing.

"Hubungan kami dengan nona sangat baik sejak dulu,
mana bisa kami berbuat begitu?" sahut Ciong-hujin. Dan
demi melihat sorot mata Bok Wan-jing di balik topeng
hitamnya itu berkilat-kilat menyeramkan, cepat ia berkata
pula, "Untuk bicara terus terang, sebenarnya kami
pernah berunding tentang urusan itu. Tapi suamiku
menduga biarpun No-kang-ong Cin Goan-cun, ditambah
It-hui-ciong-thian Kim Tay-peng, Hui-sian Taysu dari
Siau-lim-si dan lain-lain ikut mengerubut belum tentu
mereka mampu menangkap nona, sebab itulah, meski
Jing-siong Tojin memohon dengan sangat, tetap suamiku
tak mau."

"Ucapanmu ini adalah karanganmu belaka atau
benar-benar keluar dari mulut suamimu?" tanya Wanjing.


187




"Kata-kata ini diucapkan suamiku sendiri kepada Jingsiong
Tojin," sahut Ciong-hujin. "Bila nona tidak percaya,
boleh cari Jing-siong Tojin untuk ditanyai."

Bok Wan-jing mengangguk-angguk, katanya
kemudian, "Jika demikian, jadi Ciong-siansing sendiri
merasa bukan tandinganku?"

"Kata suamiku, ilmu silat nona sukar dijajaki, apalagi
cerdik tiada bandingan, kami berdua hidup aman
tenteram mengasingkan diri, buat apa mesti mencari
permusuhan lagi."

"Hah, Ciong-siansing jelas jeri padaku, tapi masih
pakai kata-kata begitu untuk menutupi rasa malunya,"
jengek Wan-jing.

Wajah Ciong-hujin tampak merasa malu, sahutnya,
"Usia suamiku sudah lanjut, kalau lebih muda 20 tahun,
boleh jadi masih sanggup melayani nona seratus-dua
ratus jurus."

Kembali Bok Wan-jing tertawa dingin, nyata hatinya
sangat senang.

Toan Ki yang terbanting di lantai itu dapat mengikuti
percakapan mereka dengan jelas, pikirnya, "Ciong-hujin
terus-menerus mengumpak nona ini, sedikit pun tidak
kentara, terang ia pun seorang yang sangat lihai. Dasar
nona galak suka diumpak orang, tapi aku justru ingin
mengolok-oloknya."

Maka mendadak ia berseru, "Waduh, lagaknya!
Melawan Kim Tay-peng seorang saja Bok-kohnio tak bisa

188




menang, sekarang malah omong besar segala? Tadi
mereka berdua saling gebrak, jelas Kim Tay-peng lebih
unggul, nona Bok dihajar hingga berlutut minta ampun,
dan setelah ia dipaksa memanggil sepuluh kali 'Kim-yaya'
(kakek Kim) baru jiwanya diampuninya ...."

Selagi Toan Ki hendak mencerocos lagi, tiba-tiba Bok
Wan-jing melompat datang dan mendepak dua kali
pinggangnya sambil membentak, "Siapa bilang aku
kalah? Siapa yang menyembah minta ampun padanya?"

"Ciong-hujin, aku bicara padamu," kata Toan Ki,
"Nona Bok beruntun-runtun melepaskan 18 batang
panah kecil, tapi semuanya dijatuhkan Kim Tay-peng
dengan 18 buah mata uang. Ia dihajar Kim Tay-peng
hingga minta ampun dan berjanji takkan membunuh
diriku ...."

Keruan Bok Wan-jing sangat murka, sekali tangan
kanan terangkat, segera anak muda itu hendak
dibunuhnya dengan panah berbisa.

Syukur Ciong-hujin sempat berseru sambil melompat
mengadang di depan Toan Ki, "Jangan, nona Bok! Asal
usul Toan kongcu ini tidak sembarangan, jangan kau
bunuh dia."

"Huh, hanya seorang pelajar lemah yang tak bisa ilmu
silat, asal usulnya bisa hebat apa? Paling-paling calon
menantu 'Kian-jin-ciu-sat' Ciong Ban-siu saja!" jengek
Bok Wan-jing.

189




Ciong-hujin menjadi jengah, sahutnya, "Kami adalah
keluarga Kangouw yang kasar, mana berani
mengharapkan menantu seperti Toan-kongcu."

"Untung dia bukan orang Kangouw, jika dia bisa
sedikit ilmu silat saja, tentu sekali tebas sudah kucabut
nyawanya." kata Bok Wan-jing. Segera ia teringat pada
janji sendiri pada Kim Tay-peng untuk tidak membunuh
Toan Ki, maka katanya pula, "Mending juga bocah ini
ada sedikit baiknya, ketika tahu ada orang hendak bikin
susah padaku, dengan cepat ia putar kuda kembali
memberi kabar. Waktu Cin Goan-cun dan begundalnya
mengerubuti diriku, ia pun berusaha melindungi aku.
Hehe, cuma sayang, semangat besar, tenaga kurang,
jiwa kesatrianya sih boleh dipuji, tapi tiada punya
kepandaian sebagai seorang gagah."

Bicara sampai di sini, nada suaranya menjadi ramah,
ia sambung pula, "Ciong-hujin, hati bocah ini jauh lebih
baik daripadamu. Kau tahu Jing-siong Tojin dan lain-lain
hendak mengeroyok aku, tapi sengaja suruh Ciong Hok
minta pinjam kudaku si mawar hitam sehingga aku tidak
punya tunggangan dan sukar meloloskan diri. Sungguh
hebat akalmu ini, sungguh keji muslihatmu ini!"

"Saking bingung memikirkan keselamatan putriku,
sungguh aku tiada maksud membikin susah nona," sahut
Ciong-hujin. "Kami suami istri juga sudah tahu bahwa Cin
Goan-cun dan kawan-kawannya tak nanti mampu
mengutik seujung rambut nona, pernah juga kami
nasihatkan Jing-siong Tojin jangan cari mati sendiri, dan
sekarang mungkin jiwanya sudah melayang di bawah
pedang nona."

190




Padahal kematian Jing-siong Tojin itu hanya
dugaannya saja, ia lihat Bok Wan-jing tak kurang suatu
apa pun, sedangkan ilmu silat Jing-siong Tojin jauh di
bawah Cin Goan-cun dan lain-lain, tentu Tosu itu yang
paling dulu menjadi korban.

Maka sahut Bok Wan-jing, "Hm, pandanganmu cukup
jitu juga!"

Habis berkata, sekali melesat, tahu-tahu ia sudah
sampai di samping Toan Ki, sekali angkat, kembali
pemuda itu dijinjingnya terus bertindak pergi.

"Nona Bok, tunggu dulu, aku ingin mohon sesuatu,"
seru Ciong-hujin.

"Berdasarkan apa kau hendak memohon padaku?"
sahut Bok Wan-jing dengan dingin sambil menoleh. "Apa
yang akan kau mohon rasanya aku pun takkan
menyanggupi, maka lebih baik jangan kau katakan saja."

Selagi Ciong-hujin tertegun oleh jawaban itu,
sementara itu Bok Wan-jing sudah tinggal pergi sambil
menjinjing Toan Ki.

Setelah keluar dari liang kubur dan mengembalikan
batu nisan ke tempatnya, Bok Wan-jing bersuit
memanggil Oh-bi-kui, ia taruh Toan Ki di atas pelana, lalu
ia sendiri mencemplak ke atas.

Sepanjang jalan beberapa kali Bok Wan-jing ajak
bicara Toan Ki, tapi pemuda itu tetap bungkam tak
menggubris padanya. Namun bila membayangkan
betapa keji dirinya disiksa nona itu semalam, diam-diam

191




Toan Ki kebat-kebit juga dan tidak berani membikin
marah si nona lagi.

Setengah harian kuda itu dilarikan, kedua orang itu
boleh dikatakan sementara itu dapat hidup damai
berdampingan.

Sampai tengah hari, wah, celaka, mendadak perut
Toan Ki terasa mulas. Pikirnya ingin minta Bok Wan-jing
melepaskan dia agar bisa buang hajat, tapi kedua
tangannya terikat, tak bisa memberi tanda, andaikan
bisa, cara memberi tanda pun rada-rada runyam.

Terpaksa ia buka mulut, "Aku ingin buang air, harap
nona lepaskan aku!"

"Bagus, sekarang kau tidak bisu lagi, ya? Kenapa ajak
bicara padaku?" olok-olok si nona.

"Ya, terpaksa," sahut Toan Ki. "Aku tak berani bikin
kotor nona. Nona adalah 'Hiang-yok-jeh' (kuntilanak
berbau wangi), kalau aku berubah menjadi 'Jau-siau-cu'
(bocah berbau busuk) kan runyam?"

Mau tak mau Bok Wan-jing mengikik geli juga, ia pikir
terpaksa harus melepaskan anak muda itu, maka ia
potong tali pengikat Toan Ki dengan pedangnya, lalu
menyingkir pergi.

Karena sudah sekian lamanya diringkus, tangan dan
kaki Toan Ki menjadi kaku dan tak dapat bergerak, ia
mengesot sampai sekian lamanya di tanah baru
kemudian dapat berdiri.

192




Selesai buang hajat alias kuras perut, Toan Ki melihat
si mawar hitam lagi makan rumput di dekatnya dengan
jinak, pikirnya, "Inilah kesempatan bagus untuk melarikan
diri!"

Perlahan ia mencemplak ke atas kuda dan si mawar
hitam ternyata menurut saja.

Sekali tarik tali kendali, terus saja Toan Ki melarikan
Oh-bi-kui ke utara dengan cepat.

Ketika mendengar suara derap kaki kuda, segera Bok
Wan-jing mengejar, namun lari si mawar hitam teramat
cepat, betapa pun tinggi Ginkang Bok Wan-jing juga tidak
mampu menyusulnya.

"Sampai ketemu lagi, Bok-kohnio," kata Toan Ki
sambil memberi salam, sementara itu sudah berpuluh
tombak jauhnya si mawar hitam mencongklang. Waktu
Toan Ki menoleh pula, ia lihat bayangan Bok Wan-jing
sudah teraling-aling pohon tak kelihatan lagi.

Bisa lolos dari cengkeraman hantu perempuan itu,
Toan Ki merasa senang sekali, berulang kali ia berseru
agar si mawar hitam lari terlebih cepat. Ia pikir saat itu
sekalipun Bok Wan-jing menyerangnya dengan Am-gi
atau senjata rahasia juga takkan mencapainya lagi.

Setelah berlari satu li jauhnya, selagi Toan Ki
termenung ragu entah masih keburu menolong Ciong
Ling atau tidak, apakah menuju langsung ke Bu-liang-san
atau pulang ke Tayli dulu, sekonyong-konyong dari
belakang berkumandang suara suitan yang panjang
nyaring.

193




Mendengar suara itu, seketika si mawar hitam putar
haluan dan berlari kembali ke arah tadi.

Toan Ki sangat terkejut, cepat ia berteriak-teriak,
"Kuda yang baik, jangan kembali ke sana, jangan
kembali ke sana kudaku sayang!"

Sekuatnya ia menarik tali kendali agar si mawar ganti
arah lagi.

Namun meski tali kendali sedemikian kencangnya
ditarik Toan Ki hingga kepala si mawar ikut miring,
namun binatang itu masih lari lurus ke depan, sedikit pun
tidak mau lagi menurut perintah Toan Ki.

Hanya sekejap saja, Oh-bi-kui sudah berlari sampai di
samping Bok Wan-jing, lalu tak bergerak. Keruan Toan Ki
serbarunyam, malu tercampur dongkol.

"Aku pernah berjanji pada Kim Tay-peng dan takkan
bunuh kau." kata Bok Wan-jing." Tapi sekarang kau
bermaksud melarikan diri, bahkan hendak menggondol
lari kudaku si mawar. Maka apa yang kujanjikan pada
Kim Tay-peng itu selanjutnya kubatalkan!"

Toan Ki melompat turun dari kuda, dengan gagah
berani ia menjawab, "Oh-bi-kui sejak mula kau sendiri
yang meminjamkan padaku dan sampai kini belum
kukembalikan padamu, mana boleh bilang aku mencuri
kudamu? Mau bunuh, lekas bunuhlah diriku, seorang
laki-laki sejati, tak perlu kuterima budi dari siapa pun."

194




"Sret", Bok Wan-jing lolos pedangnya, katanya
dengan dingin, "Hm, nyalimu benar-benar tidak kecil, apa
kau sangka aku tidak berani membunuhmu? Kau
andalkan pengaruh siapa hingga berulang kali berani
padaku?"

"Asal setiap perbuatanku dapat
kupertanggungjawabkan, buat apa aku mesti
mengandalkan pengaruh orang lain?" sahut Toan Ki.

Sorot mata Bok Wan-jing setajam kilat memandang
Toan Ki, tapi anak muda itu pun balas melotot. Setelah
saling melotot sekian saat, mendadak Bok Wan-jing
masukkan kembali pedangnya dan membentak,
"Sudahlah, lekas enyah! Buah kepalamu biar kutitipkan di
atas lehermu, kapan-kapan bila nona merasa perlu,
setiap saat juga bisa kutagih kepalamu."

Sebenarnya Toan Ki sudah nekat, sungguh tak
tersangka olehnya bahwa si nona akan
membebaskannya begitu saja. Untuk sejenak ia
tercengang, tapi segera ia pun tinggal pergi.

Sambil memandangi bayangan pemuda itu, diamdiam
Bok Wan-jing berkata di dalam hati, "Lelaki bandel
seperti ini sungguh jarang ada di dunia ini. Padahal jago
silat umumnya kalau melihat aku tentu ketakutan
setengah mati, tapi bocah ini sedikit pun ternyata tidak
gentar."

Setelah belasan tombak jauhnya, Toan Ki tidak
mendengar suara kuda, waktu menoleh, ia lihat Bok
Wan-jing masih berdiri di tempatnya dengan termangumangu,
pikirnya, "Hm, tentu dia lagi pikirkan sesuatu akal

195




keji, serupa kucing mempermainkan tikus, aku hendak
digodanya habis-habisan, kemudian baru aku
dibunuhnya. Baiklah, toh aku tidak bisa lari, segala apa
terserah dia."

Tapi makin jauh ia berjalan, tetap tak mendengar
suara Bok Wan-jing mengejarnya, setelah melintasi
beberapa simpang jalan, barulah ia merasa lega dan
percaya nona galak itu takkan mengejarnya.

Dan karena hatinya sedikit lega, ia merasa tubuhnya
yang babak belur itu sakit perih, seorang diri ia
bergumam, "Ai, perangai nona ini demikian aneh, boleh
jadi karena kedua orang tuanya sudah meninggal,
selama hidupnya banyak mengalami macam-macam
kemalangan. Mungkin juga wajahnya teramat jelek maka
tidak sudi memperlihatkan muka aslinya pada orang. Ai,
dia boleh dikatakan seorang yang perlu dikasihani juga."

Kemudian ia pikir pula, "Kalau aku berjalan seperti ini,
mungkin sebelum sampai di Tayli aku sudah mati
keracunan Toan-jiong-san. Padahal nona Ciong lagi
mengharapkan pertolonganku dengan tak sabar, bila aku
tidak tampak kembali ke sana dan ayahnya juga tak pergi
menolongnya, tentu ia menyangka aku tidak memenuhi
kewajiban mengirim berita pada ayahnya. Biarlah,
bagaimanapun jadinya, aku harus memburu ke Bu-liangsan
sana untuk bersama dengan dia, agar dia tahu aku
tidak mengkhianati harapannya."

Setelah ambil keputusan begitu, segera ia ambil arah
yang tepat dan menuju ke Bu-liang-san.

196




Lembah sungai Lanjong itu sunyi senyap, berpuluh li
jauhnya tidak tampak seorang penduduk pun. Hari itu
terpaksa ia mencari buah-buahan sekadar tangsel perut,
malam harinya tidur meringkuk seadanya di lereng bukit.

Besoknya lewat tengah hari, kembali ia menyeberangi
sungai Lanjong. Dekat magrib, sampailah ia di suatu kota
kecil.

Uang sangu yang dibawanya sudah terhanyut di
danau tempo hari, ia tahu pakaian sendiri sudah
compang-camping, ditambah perut sangat lapar, teringat
olehnya ada sebentuk hiasan batu giok di kopiahnya
yang nilainya tak terkira.

Segera ia tanggalkan batu permata itu dan
membawanya ke suatu warung kelontong satu-satunya di
kota itu untuk di jual.

Karena tidak kenal benda mestika, pemilik warung itu
hanya berani membeli dengan harga tiga tahil perak, apa
boleh buat, dengan uang itu Toan Ki masuk ke suatu
warung nasi untuk makan.

Pikirnya hendak membeli pakaian pula, tapi di kota
sekecil itu tak ada toko kelontong yang menjual pakaian.
Selagi sulit, tiba-tiba dilihatnya di samping warung nasi
itu, di suatu lapangan ada orang menjemur dua potong
kain hitam.

Seketika pikirannya tergerak, teringat olehnya Cionghujin
sengaja memalsukan nama "Hiang-yok-jeh Bok
Wan-jing" untuk menolong putrinya, pikir Toan Ki,
"Kenapa aku tidak menyamar sebagai perempuan galak

197




itu untuk menggertak Sikong Hian? Paling-paling gagal
dan mati, tapi kalau berhasil menggertak Sikong Hian,
kan hebat!"

Dasar watak orang muda, apa yang dia pikir segera
dikerjakan, segera ia membeli sepotong kain hitam, ia
pinjam gunting dan jarum serta benang, lalu berlagak
sebagai penjahit ulung untuk membuat pakaian di
belakang warung nasi itu.

Selama hidup Toan Ki hanya kenal buku, membaca
dan menulis, kini memegang jarum, walaupun benda
sekecil itu, namun rasanya seberat palu. Untung bukan
menjahit pakaian bagus, hanya diperlukan membalut
antero tubuh saja asal tidak kelihatan, maka di mana ada
bagian renggang, di situ lantas dijahit, kalau ada lubang
lantas ditambal.

Begitulah ia sibuk sendiri hingga mandi keringat,
pegawai warung nasi menyangka Toan Ki agak kurang
waras otaknya, maka tidak urus perbuatannya itu.
Sampai malam, orang sudah pergi tidur, Toan Ki masih
sibuk menjahit di warung itu.

Hampir tengah malam, baru selesai Toan Ki
menunaikan tugas. Ia coba pakai baju baru itu, mending
juga badannya bisa tertutup rapat. Sepasang sarung
tangannya juga kasar, tapi kesepuluh jarinya dapat
masuk dan bergerak dengan bebas.

Senang sekali Toan Ki, sambil mengenakan pakaian
serbahitam itu, ia coba ingat-ingat suara Bok Wan-jing
yang tajam melengking itu, lalu tekuk suara menirukan
beberapa kali.

198




Ia tidak yakin suaranya mirip orang, tapi bila
mengingat Sikong Hian juga belum tentu pernah melihat
dan mendengar suara Bok Wan-jing, betapa pun
memang sengaja untung-untungan, biarpun rahasianya
terbongkar nanti, apa mau dikatakan lagi?

Setelah menyamar, ia coba-coba merancang
bagaimana nanti kalau berhadapan dengan Sikong Hian,
kemudian meninggalkan warung nasi itu dan menuju Buliang-
san.

Kota kecil itu letaknya sudah di kaki gunung Bu-liangsan.
Di bawah sinar bulan, Toan Ki dapat menempuh
arah yang tepat. Setelah dua jam lamanya, dari jauh
tertampak di lereng gunung sana sinar api berkelip-kelip,
ia tahu di sanalah tempat tinggal Sin-long-pang, segera
ia menuju ke tempat sinar api itu.

Kira-kira belasan tombak sebelum sampai di tempat
sinar api itu, sekonyong-konyong dari tempat gelap
melompat keluar seorang sambil membentak, "Siapa
yang datang ini? Ada keperluan apa?"

Toan Ki tertawa dingin sekali, ia tekuk suaranya dan
menyahut dengan garang, "Hm, macammu juga ingin
tanya siapa diriku? Di mana Sikong Hian? Suruh dia
menemui aku!"

Melihat antero tubuh Toan Ki tertutup kain hitam, di
bawah sinar bulan hanya tertampak kedua biji matanya,
orang itu terkesiap, teringat olehnya dandanan seorang
iblis wanita yang mengguncangkan dunia Kangouw,

199




maka tanyanya dengan suara gemetar, "Apakah engkau
... engkau Hiang ... yok ...."

"Namaku boleh sembarangan kau sebut?" bentak
Toan Ki dengan gusar.

Karena terpengaruh oleh nama besar "Hiang-yok-jeh
Bok Wan-jing", nyali orang itu pecah, dengan gugup ia
menjawab, "Sikong-pangcu terluka parah, tak bisa ... tak
bisa berjalan, harap nona sudi ... sudilah ke sana!"

Sial pikir Toan Ki, masakan seorang jejaka 'ting-ting'
disangka nona segala. Diam-diam ia pun bersyukur
orang tak dapat mengenalnya, maka sengaja ia
mendengus menirukan lagak angkuh Bok Wan-jing,
katanya, "Lekas tunjukkan jalannya!"

Perlahan Toan Ki ikut orang itu ke depan. Ia tahu,
semakin lambat jalannya, semakin sulit terbongkar
rahasianya.

Sampai di tempat api unggun, ia lihat di sana-sini
menggeletak beberapa orang yang terpagut oleh Kimleng-
cu itu. Ciong Ling diringkus kedua tangannya, begitu
melihat Toan Ki, ia menjadi girang, terus saja ia berseru,
"Bok-cici, engkau telah datang menolong aku!"

Selama tersiksa beberapa hari, keadaan Sikong Hian
memang sudah payah, ketika melihat bentuk Toan Ki, ia
sudah menduga pasti "Hiang-yok-jeh" yang namanya
mengguncangkan Kangouw itu.

Maka ia berusaha bangun, kedua tangannya
menahan di pundak kedua anak buahnya, lalu berkata,

200




"Cayhe terkena racun ular, tidak bisa menjalankan
peradatan, harap ... harap nona suka memaafkan."

"Nona Ciong adalah sobatku, kau tahu tidak?" tegur
Toan Ki dengan suara melengking.

"Sesungguhnya Cayhe tidak tahu, harap maaf," sahut
Sikong Hian.

"Lekas lepaskan dia," kata Toan Ki lagi.

Walaupun Sikong Hian gentar pada nama Hiang-yokjeh
yang besar itu, ia tahu sekalipun dirinya tidak terluka,
untuk bertanding juga bukan lawan orang, bila Ciong
Ling dibebaskan, kalau tiada obat penawar racun Kimleng-
cu, tidak lama lagi dirinya bersama anak buahnya
tentu mati, dalam keadaan demikian, betapa pun hebat
risikonya tak terpikir pula, segera jawabnya, "Apakah
nona membawa obat penawar racun ular ini?"

Toan Ki mengeluarkan sebuah kotak emas dari
bajunya, itulah barang yang diterimanya dari Ciong-hujin,
cuma ketika di warung nasi ia sudah keluarkan surat di
dalamnya dan menggantinya dengan adukan nasi dan
tanah hingga penuh sekotak. Lalu katanya, "Ini adalah
obat khas milik 'Kian-jin-ciu-sat' Ciong Ban-siu, dia sudi
memberikan padamu, boleh dikatakan nasibmu lagi
mujur."

Sembari berkata, ia lemparkan kotak itu ke tanah.

Memangnya Sikong Hian sudah dapat menerka ayah
Ciong Ling adalah "Kian-jin-ciu-sat" Ciong Ban-siu, kini
diperkuat oleh keterangan Toan Ki itu, ia tambah percaya

201




lagi. Maka cepat jawabnya, "Banyak terima kasih nona,
banyak terima kasih juga kepada Ciong-tayhiap."

Segera ada bawahannya menjemput kotak itu untuk
diserahkan pada Sikong Hian. Ia buka kotak itu dan
mengendus isinya, ia mencium isi kotak itu berbau
amisnya ikan, rada-rada berbau tanah juga.

Setiap anggota Sin-long-pang adalah ahli obatobatan,
lebih-lebih Sikong Hian, segala macam obat,
sekali diciumnya tentu diketahuinya betapa kadar obat
yang terkandung di dalamnya. Apalagi sekarang obat itu
merupakan penyelamat jiwanya, tentu saja ia periksa
lebih cermat.

Ketika diendus lagi dan merasa sedikit pun tiada bau
obat, seketika timbul rasa curiganya. Segera ia tanya,
"Tolong tanya nona, obat ini bagaimana memakainya?"

"Setiap orang minum setitik saja, lewat 12 jam, racun
Kim-leng-cu akan lenyap," sahut Toan Ki. "Nah, lekas
kau bebaskan nona Ciong!"

"Ya," sahut Sikong Hian sambil berjongkok
mengambil sebatang kayu yang terbakar untuk
menerangi tubuh Toan Ki.

Kalau di tempat gelap masih mendingan, kini sekali
disinari, seketika terbongkarlah borok Toan Ki.
Tertampaklah pakaiannya yang hitam mulus itu di sanasini
tidak keruan jahitannya, hakikatnya tidak serupa
pakaian.

202




Keruan Sikong Hian bertambah curiga. Ia melangkah
maju lebih dekat dan mencium sekuatnya beberapa kali,
tapi sedikit pun tidak mengendus bau harum apa-apa.
Pikirnya, "Menurut cerita orang Kangouw, tubuh Hiangyok-
jeh mengeluarkan semacam bau harum yang khas,
dari jauh orang sudah menciumnya, sebab itulah
diperoleh julukan 'Hiang-yok-jeh'. Tapi orang ini sama
sekali tiada bau wangi apa pun, sebaliknya malah radarada
bau apak. Apa mungkin orang ini hanya samaran
saja?"

Melihat sikap orang, Toan Ki tahu dirinya sudah mulai
dicurigai. Keruan hatinya kebat-kebit, tapi ia masih coba
membentak, "Kusuruh kau lepaskan nona Ciong, kau
dengar tidak?"

Walaupun sudah curiga, namun Sikong Hian masih
tidak berani main kasar, dengan merendah ia menjawab,
"Harap nona maklum, sekian banyak orang kami telah
dipagut ular, jiwa masing-masing tinggal sehari-dua-hari,
jika obat pemberian Ciong-tayhiap ini tidak manjur, kan
jiwa kami akan melayang semua? Bukanlah Cayhe
berani membangkang perintah Bok-kohnio, kami hanya
minta nona Ciong bersabar beberapa hari lagi dan
tinggal bersama kami, bila racun ular kami sudah
disembuhkan, pasti kami akan mengantar nona Ciong ke
rumah, sekalian mengaturkan terima kasih juga kepada
Bok-kohnio."

"Kenapa kau berani mengoceh lagi, kukatakan
lepaskan dia dan harus kau lakukan!" kata Toan Ki
dengan gusar. Segera ia berpaling kepada seorang tua
yang berdiri di samping Ciong Ling dan membentaknya,
"Lekas buka tali ringkusannya!"

203




Dan karena gugupnya, suara Toan Ki lupa ditekuk
hingga kentara sekali bersuara pria.

Kakek yang dibentak itu cukup cerdik, di bawah sinar
api ia lihat pula isyarat sang Pangcu, maka pikirnya,
"Orang ini entah tulen atau palsu, kalau Pangcu sendiri
segan padanya, aku hanya bawahan, kasar sedikit tentu
tidak apalah. Bila dia benar-benar Hiang-yok-jeh, tentu
Pangcu akan mintakan maaf bagiku."

Karena pikiran itu, segera ia menjawab dengan suara
keras, "Bok-kohnio, tidaklah sulit untuk melepaskan nona
Ciong. Tapi wajah asli nona harus diperlihatkan kepada
kami barang sekejap saja."

"Kau berani minta lihat wajahku, apa barangkali kau
sudah bosan hidup?" damprat Toan Ki.

Diam-diam kakek itu berpikir, "Betapa lihai ilmu
silatnya, wanita ini hanya seorang diri. Dengan jumlah
kami sebanyak ini masakah tak bisa melawan seorang
wanita?"

Namun demikian pikirnya, nama "Hiang-yok-jeh"
sesungguhnya teramat besar, banyak cerita orang Bu-lim
yang memujanya setinggi langit, kalau pakai kekerasan,
bisa jadi dirinya akan celaka lebih dulu.

Maka dengan tertawa katanya pula dengan merendah
diri, "Sekalipun Siauloji (aku orang tua yang rendah)
punya sepuluh nyawa serep juga tidak berani pada nona.
Cuma sudah lama kami dengar nama nona yang
mahabesar, hati kami kagum tak terhingga, maka sangat

204




berharap dapat menambah pengalaman bila nona sudi
memberi petunjuk barang sejurus-dua jurus ilmu sakti."

Diam-diam Toan Ki mengeluh, cepat sahutnya,
"Kemahiran nona adalah kepandaian membunuh orang
melulu, tapi di sini agaknya tiada orang yang mau
dibunuh."

Seorang tokoh Sin-long-pang di daerah Kuiciu
menjadi tidak sabar, dengan suara keras ia menyela,
"Kau minta kami bebaskan orang, paling sedikit harus
kau unjuk sejurus-dua dulu."

Sembari berkata, ia lantas tampil ke muka.

Dalam pada itu rasa curiga Sikong Hian sudah tak
tertahankan, segera ia pun berkata, "Baiklah, Ui-hiati,
boleh coba-coba kau minta petunjuk nona Bok."

Tokoh she Ui itu menjadi tabah mendapat dorongan
sang Pangcu, segera ia lolos Kim-pwe-to atau golok
berpunggung tebal, sekali bergerak, lima gelang baja
yang terpasang di atas golok itu berbunyi gemerantang,
dengan gagah ia berdiri di depan Toan Ki.

Diam-diam Toan Ki mengeluh, "Celaka, tidak jadi soal
kalau rahasiaku terbongkar, tapi nona Ciong bakal
menjadi korban juga."

Dan demi tampak kegarangan lawan, tanpa terasa ia
menyurut mundur dua tindak.

Melihat langkah Toan Ki enteng tanpa kuda-kuda,
hakikatnya seorang tak bisa ilmu silat, orang she Ui itu

205




menjadi makin berani. Ia mendesak maju lagi dua tindak,
goloknya pura-pura membacok ke depan hingga gelang
baja menerbitkan suara gemerencing.

Saking ketakutan berulang Toan Ki mundur beberapa
tindak, sampai akhirnya punggung sudah menyandar di
suatu pohon beringin.

Saat itu, beratus pasang mata orang Sin-long-pang
sama tertuju atas diri Toan Ki, dan karena mundur
beberapa tindak, walaupun belum kentara samarannya,
namun sudah jelas kelihatan kalau dia tak bisa ilmu silat.
Banyak di antara orang Sin-long-pang saling berbisik
membicarakan hal itu dengan heran.

"Bok-kohnio," kata Sikong Hian kemudian. "Silakan
kau beri ajaran sedikit pada Ui-hiati itu. Cuma sukalah
nona berlaku murah hati, asal menyentuh badan, lantas
sudahi."

"Aku tak bisa menyentuh badan saja, sekali turun
tangan, pasti bereskan nyawanya," kata Toan Ki.
"Makanya, hai, orang she Ui, lebih baik kau undurkan diri
saja."

Walaupun bicaranya masih angkuh sekali, namun
suaranya sudah gemetar hingga kentara perasaannya
yang ketakutan.

"Silakan, memang jiwa orang she Ui hidup di ujung
senjata," bentak jago she Ui itu mendadak sambil angkat
goloknya.

206




"Jangan bergerak," seru Toan Ki berlagak garang.
"Sekali aku turun tangan, seketika jiwamu bakal
melayang. Maka kunasihatkanmu undurkan diri saja lebih
selamat."

"Silakan nona memberi ajaran," sahut jago she Ui itu.

Dan demi tampak kedua kaki Toan Ki rada gemetar,
tanpa bicara lagi goloknya yang tebal besar itu terus
membacok ke dada Toan Ki.

Cuma nama "Hiang-yok-jeh" sesungguhnya teramat
disegani, maka serangannya ini masih tetap pura-pura
saja, ketika golok itu hampir mengenai dada Toan Ki,
mendadak ia belokkan arahnya ke samping, "sret", baju
hitam di bahu kiri Toan Ki yang terpapas sebagian.

Keruan Toan Ki terkejut, sementara itu punggungnya
sudah kepepet di batang pohon, untuk mundur lagi
terang sudah buntu, diam-diam ia mengeluh, cepat ia
berteriak, "Nona Ciong, lekas ... lekas melarikan diri!"

Sudah lama Ciong Ling kenal dengan Bok Wan-jing,
maka begitu lihat perawakan Toan Ki, tingkah laku dan
lagak lagunya yang sangat berbeda daripada Bok Wanjing,
sejak tadi gadis itu sudah tahu Hiang-yok-jeh palsu,
cuma tak diketahuinya siapa gerangan pemalsu itu. Kini
demi mendengar suara teriakan Toan Ki, seketika ia
kenal anak muda itu dan berseru, "Hah, engkau Toan ...."

Belum lanjut ucapannya, mendadak golok jago she Ui
tadi sudah menyambar lagi hingga lengan baju kanan
Toan Ki terpapas pula sebagian.

207




"Haha!" orang she Ui itu terbahak-bahak. "Hiang-yokjeh,
hari ini aku justru ingin melihat wajahmu yang
sebenarnya, apakah secantik bidadari, atau jelek seperti
Yok-jeh (genderuwo)?"

Dengan tertawa segera seorang kawannya
menanggapi dari samping, "Dia bernama Yok-jeh, tentu
seorang genderuwo tua bangka, kalau tidak, untuk apa
selalu mengerudungi muka sendiri."

Melihat dua kali bacokan kawannya berhasil tanpa
mendapat perlawanan, bahkan Toan Ki tampak
kelabakan ketakutan, mereka menjadi berani, banyak
sindiran dan olok-olok kasar tercetus dari mulut mereka.

Di tengah sindir ejek orang-orang itu, mendadak golok
orang she Ui itu menyambar pula ke muka Toan Ki
dengan gerak tipu "Giok-liong-sia-hui" atau naga putih
terbang miring, cepat Toan Ki mendoyong ke belakang,
karena itu, kedua tangannya seakan-akan terangkat ke
atas.

Pada saat itulah, tiba-tiba terdengar suara "bluk,"
tahu-tahu tubuh jago she Ui yang besar itu jatuh
terjengkang, menyusul "trang" sekali, goloknya terpental
juga hingga gelang baja di atasnya menerbitkan suara
nyaring.

Ketika memandang orang she Ui itu, tertampak dia
sudah roboh telentang, batok kepalanya tertancap
sebatang panah kecil warna hitam dan tak berkutik lagi.

Dalam kejutnya, cepat dua orang Sin-long-pang
sudah memburu maju dan memeriksa sang kawan, demi

208




mengetahui orang she Ui itu sudah putus nyawanya,
kedua orang itu menjadi murka, dengan senjata terhunus
mereka menubruk pula ke arah Toan Ki.

Tapi baru saja tubuh mereka bergerak, tiba-tiba
terdengar suara mendesir dua kali, tahu-tahu kedua
orang itu terbanting hingga meringkuk bagai cacing,
setelah kelejetan beberapa kali lalu tak bergerak lagi.

Seketika kawanan Sin-long-pang menjadi panik,
segera ada yang menganjurkan mengerubut maju
semua. Benar juga, lebih 20 orang sekaligus lantas
menerjang ke arah Toan Ki dari berbagai jurusan.

Melihat sekelilingnya penuh musuh bersenjata dan
bermuka beringas, saking ketakutan Toan Ki sampai
terkesima.

Bab 5

Tak terduga belum lagi setombak mendekati Toan Ki,
tahu-tahu lebih 20 orang itu sudah dipapak pula oleh
sambaran senjata rahasia, seketika ramai dengan suara
mendesir, hujan panah terjadi, sekejap saja orang-orang
itu sama menggeletak terbinasa.

Orang-orang itu adalah sisa kawanan Sin-long-pang
yang masih kuat, tapi dalam sekejap saja sudah mati
semua, keruan Sikong Hian sangat terkejut. Apalagi
sebelumnya sudah berpuluh anak buahnya terpagut Kimleng-
cu, sisa anak buahnya sekarang hanya tinggal kelas
rendahan saja.

209




"Hiang ... Hiang-yok-jeh, sungguh tak bernama
kosong, keji amat cara turun tanganmu!" dengan dendam
Sikong Hian berkata.

Mimpi pun Toan Ki tidak menyangka bahwa dalam
sekejap saja penyerang sebanyak itu bisa roboh dan mati
semua, terang diam-diam ada orang kosen telah
menolongnya, tapi sekitarnya sunyi senyap, di mana ada
orang kosen?

Ketika melihat kematian orang-orang itu cukup
mengenaskan, ia merasa tidak tega, maka katanya,
"Sikong-pangcu, engkaulah yang memaksa aku,
sungguh aku merasa men ... menyesal."

Sikong Hian menjadi gusar, katanya, "Jiwaku hanya
satu ini, hendak kau bunuh atau disembelih boleh
silakan. Sin-long-pang hancur di tangan Sikong Hian,
memangnya aku pun tidak ingin hidup lagi."

"Aku tiada bermaksud mencelakaimu," sahut Toan Ki
menyesal. "Le ... lekas kau bebaskan nona Ciong saja."

Dalam keadaan terharu, nada suara Toan Ki menjadi
berbeda sekali daripada suara Bok Wan-jing yang dingin.

Tapi Sikong Hian sudah kalap menyaksikan anak
buahnya habis terbunuh, tak diperhatikan lagi apakah
suara Toan Ki itu suara orang laki-laki atau perempuan,
tulen atau palsu, segera ia membentak, "Akhirnya juga
mati, Thio-hiati, kau bunuh dulu anak perempuan she
Ciong itu!"

210




Anak buahnya yang she Thio itu mengiakan terus
mendekati Ciong Ling, golok terangkat terus membacok
kepala Cong Ling. Tapi belum lagi senjata itu diayunkan,
sekonyong-konyong suara mendesir berjangkit lagi
sekali, di mana panah kecil itu sampai, kontan orang she
Thio itu roboh terjengkang, golok membacok di muka
sendiri hingga berlumuran darah.

Sebenarnya orang she Thio itu sudah menduga
bahwa "Hiang-yok-jeh" pasti akan menimpukkan
panahnya untuk merintangi bacokannya itu, maka waktu
membacok, ia sudah mencurahkan segenap perhatian ke
arah Toan Ki, asal tangan "Hiang-yok-jeh" itu sedikit
bergerak, segera ia bermaksud berjongkok untuk
menghindar. Siapa duga datangnya panah itu sedikit pun
tiada tanda apa pun.

Tadi waktu berpuluh orang mengepung Toan Ki,
dalam keadaan hiruk-pikuk hujan anak panah, semua
orang juga tidak jelas dari mana datangnya panah
berbisa itu. Kini secepat kilat orang she Thio itu jatuh
binasa pula, dari mana menyambarnya panah terlebih
tiada seorang pun yang tahu. Keruan sisa anak buah
Sin-long-pang menjadi ketakutan, beberapa di antaranya
yang bernyali kecil menjadi lemas kakinya hingga dan
terkulai tak sanggup berdiri.

"Kau lepaskan nona Ciong," Toan Ki tunjuk seorang
laki-laki setengah umur.

Orang itu tahu bila tidak menurut perintah, sekejap
saja jiwanya pun akan melayang seperti kawan-kawan
lain. Sekalipun disiplin Sin-long-pang cukup keras, tapi
demi keselamatan jiwa sendiri, terpaksalah ia mendekati

211




Ciong Ling dengan takut-takut, ia lolos sebilah pisau dan
memotong tali pengikat gadis itu.

Setelah bebas, Ciong Ling mendekati Sikong Hian,
katanya, "Keluarkan obat di dalam kotak emas itu dan
kembalikan kotaknya padaku."

Meski Sikong Hian sangsikan khasiat obat di dalam
kotak itu, tapi toh dikoreknya juga semua isi kotak di
telapak tangannya, lalu menyerahkan kotak kosong itu
kepada Ciong Ling. Diam-diam ia cari akal cara
bagaimana melawan panah berbisa Hiang-yok-jeh.

Setelah terima kotak emas itu, kembali Ciong Ling
ulurkan tangan dan berkata, "Serahkan sini!"

"Apa lagi?" tanya Sikong Hian mendongkol.

"Obat pemunah racun Toan-jiong-san," sahut Ciong
Ling. "Toan-kongcu telah mencarikan obat bagimu, harus
kau berikan obat penawarnya pula."

Tergerak pikiran Sikong Hian, ia mendapat akal,
serunya lantas, "Ambilkan obatnya!"

Lalu ia sebut beberapa nama ramuan obat.

Cepat dua anak buahnya mengeluarkan ramuan obat
yang dimintanya itu dari peti obat. Setelah dicampur dan
dibungkus. Sikong Hian berkata pula, "Serahkan pada
nona Ciong."

212




Setelah terima obat itu, Ciong Ling berkata, "Kalau
obat ini tidak manjur, akan kubunuh habis Sin-long-pang
kalian!"

"Sudah tentu obat ini tidak bisa menyembuhkan racun
Toan-jiong-san," sahut Sikong Hian dingin.

"Apa katamu?" tanya Ciong Ling dengan kaget.

"Obat ini hanya menunda bekerjanya racun Toanjiong-
san selama tujuh hari, habis itu kalau aku tidak
mati, bolehlah kau minta obat penawarnya padaku,"
sahut Sikong Hian.

Sungguh gusar Ciong Ling tidak kepalang, ia
berpaling pada Toan Ki dan berkata, "Bok-cici, tua
bangka ini tidak bisa dipercaya, boleh kau panah
mampus dia."

"Ingar, di dunia ini hanya aku seorang yang sanggup
meracik obat penawar Toan-jiong-san," kata Sikong
Hian.

Toan Ki menjadi khawatir, pikirnya, "Obat yang
kuberikan padanya memangnya palsu, hanya adukan
dari sisa nasi dan tanah, dengan sendirinya tidak manjur,
nanti kalau racun Kim-leng-cu dalam tubuhnya bekerja,
seketika dia akan mati, lalu bagaimana baiknya?"

Ciong Ling memandang Toan Ki tanpa berdaya,
dalam gugupnya tiba-tiba timbul sifat keremajaannya,
tangan Sikong Hian terus ditariknya sambil berkata,

213




"Sikong-pangcu, marilah ikut padaku untuk menjenguk
Toan-kongcu."

"Hei, macam apa pakai tarik-tarik begini?" seru
Sikong Hian gusar.

"Saat ini Toan-kongcu tentu berada di rumahku,
marilah kita pergi melihatnya," sahut Ciong Ling. "Bila
racun Kim-leng-cu bekerja dalam tubuhmu, ayah bisa
juga mengobatimu."

Toan Ki pikir akal si gadis itu bagus sekali, maka ia
pun berkata dengan dingin, "Marilah kita berangkat
bersama, kau takkan mati!"

Sikong Hian memandangnya sekejap, ia pikir kalau
membangkang hingga membikin marah "Hiang-yok-jeh,"
bukan mustahil jiwanya akan melayang di bawah panah
beracun orang. Tapi dirinya adalah seorang Pangcu,
anak buahnya sudah banyak yang jadi korban, kini
dirinya kena dibekuk orang pula, apa jadinya kalau kelak
jiwanya selamat?

Karena itu ia menjadi serbasalah.

"Sikong-pangcu," Ciong Ling tak sabar, ia terus
menyeretnya, "marilah berangkat lekas! Kau sendiri
boleh minum obat penawar itu dulu, sisanya berikan
kepada anak buahmu."

Walaupun ragu, namun Sikong Hian minum juga
sebagian "obat penawar" tadi, ia khawatir khasiat obat
kurang manjur, maka sebagian besar ia minum sendiri,

214




sisanya tinggal sedikit baru diberikannya kepada anak
buahnya.

Tanpa bicara lagi Ciong Ling menyeret pergi Pangcu
Sin-long-pang yang sial itu.

Walaupun terluka parah, tapi kalau Sikong Hian mau
mengipatkan tangan Ciong Ling, dengan mudah ia dapat
bebaskan diri. Cuma, pertama ia jeri pada "Hiang-yokjeh"
yang ganas itu, kedua, khawatir obat penawar yang
diminum tadi tidak manjur, biarpun bisa meloloskan diri,
akhirnya juga mati, maka lebih baik ikut pergi saja
dengan mereka.

"Memangnya aku ingin bertemu dengan ayahmu,
ingin kuminta keadilan padanya," dengan mengucapkan
kata-kata yang bersifat menutupi malunya, segera ia
melangkah lebih dulu.

Cepat Ciong Ling memegang lengan ketua Sin-longpang.
Ketika lewat di samping Toan Ki, sekalian ia
gandeng tangan pemuda itu pula.

Melihat sang Pangcu diseret pergi orang, sisa anak
buah Sin-long-pang menjadi ribut dan berisik
membicarakannya. Keruan Sikong Hian merasa malu
dan menundukkan kepala.

Dengan bungkam Ciong Ling menggandeng tangan
kedua orang dan berjalan terus, diam-diam ia pikir,
"Kalau kubongkar rahasia Toan-kongcu, tentu si tua
Sikong Hian ini akan berontak dan kami berdua jelas
bukan tandingannya. Namun Bok-cici terang
bersembunyi di sekitar sini, tadi anak buah Sin-long-pang

215




banyak yang terbunuh, dengan sendirinya akibat
perbuatannya."

Berpikir begitu, segera ia berseru dengan suara yang
sengaja diperkeras, "Banyak terima kasih atas
pertolongan Bok-cici tadi."

Toan Ki terperanjat ketika mendadak mendengar
seruan si nona, sejenak kemudian dengan suara yang
dibuat-buat baru ia menjawab, "Ah, orang sendiri, tak
perlu sungkan."

"Huh, masih berani bersandiwara," pikir Ciong Ling
geli.

Tiba-tiba ia puntir tangannya hingga Toan Ki
kesakitan, hampir saja ia menjerit. Ketika melirik si gadis,
tampak Ciong Ling lagi tersenyum-senyum geli.
Berbareng itu, diam-diam gadis itu jejalkan kotak emas
dan bungkusan obat penawar yang diterimanya dari
Sikong Hian tadi ke tangan Toan Ki.

Toan Ki tahu gadis itu sudah mengetahui rahasianya,
maka ia mengangguk tanda terima kasih.

Pada saat itulah, tiba-tiba di jurusan barat sana ada
suara suitan orang, menyusul dari sebelah selatan ada
suara orang bertepuk tangan pula. Habis itu, sesosok
bayangan secepat terbang tampak memapak dari depan.

Kira-kira beberapa meter di depan Toan Ki bertiga,
mendadak orang itu berhenti dan membentak dengan
suara yang serak, "Hiang-yok-jeh, memangnya kau bisa
melarikan diri?"

216




Dari suaranya, Toan Ki dapat mengenali adalah Samciang-
coat-beng Cin Goan-cun, si raja pengaduk sungai.

Pada saat lain, terdengar pula suara seorang tertawa
dingin di belakang, waktu Toan Ki menoleh, di bawah
sinar bulan yang remang-remang tertampaklah seorang
nenek dengan golok terhunus dan tangan lain
memegang sebatang gurdi baja bersinar kemilau.

"Celaka!" diam-diam Toan Ki mengeluh. "Semoga
nona Bok lekas datang menolong!"

Ia menjadi bingung, apakah harus tetap memalsukan
nama Hiang-yok-jeh atau membuka baju hitam menunjuk
muka aslinya sendiri?

Sedang ragu-ragu, sementara itu dari kanan-kiri
sudah bertambah lagi masing-masing seorang.

Yang sebelah kiri adalah seorang Hwesio tua
berjubah kuning, membawa senjata Hong-pian-jan atau
sekop serbaguna, suatu alat yang lazim dibawa kaum
padri. Dan orang yang di sebelah kanan kurang jelas
wajahnya, agaknya seorang laki-laki berusia belum
lanjut, punggung menyandang pedang.

Ternyata dalam sekejap saja Toan Ki alias Hiang-yokjeh
palsu sudah terkepung dari empat jurusan. Ia kenal
Cin Goan-cun, si nenek dan si Hwesio itu adalah
kawanan pengeroyok di rumah Bok Wan-jing, kini
mereka mengejar pula sampai di sini, dengan sendirinya
laki-laki satunya tentu adalah komplotan mereka juga.

217




"Kalian hendak cari Bok-cici, bukan?" tanya Ciong
Ling tiba-tiba.

"Benar," sahut si Hwesio. "Siapakah nona ini dan
Cianpwe itu? Silakan menyingkir ke samping saja."

Belum lagi Ciong Ling menjawab, cepat Sikong Hian
menimbrung, "Taysu tentu adalah Hui-sian Taysu dari
Siau-lim-si, bukan? Dan yang ini tentunya No-kang-ong
Cin-loyacu, dan yang itu adalah Sin-sipopo. Cayhe
Sikong Hian dari Sin-long-pang. Maafkan kedangkalan
pengalamanku, numpang tanya siapa pula nama yang
mulia saudara yang ini?"

Laki-laki tak dikenal itu melangkah maju dua tindak
hingga wajahnya kini jelas kelihatan, lalu sahutnya,
"Cayhe she Su ...."

"Ah, kiranya adalah Oh-pek-kiam Su An, Su-tayhiap!"
belum orang selesai memperkenalkan diri, cepat Sikong
Hian sudah memotong. "Selamat bertemu, selamat
bertemu!"

Su An itu balas hormat orang, sahutnya, "Sudah lama
kudengar nama besar Sikong-pangcu dari Sin-long-pang,
betapa bahagia hari ini bisa berjumpa di sini."

Toan Ki kini dapat melihat usia Su An itu kira-kira baru
30-an tahun, perawakannya sedang tapi gagah perkasa,
jiwa kesatrianya tampak nyata pada sikapnya yang
kereng, berbeda sekali dengan sifat Cin Goan-cun dan
Sin-sipopo yang sombong tak mau kalah itu. Diam-diam
timbul rasa suka Toan Ki kepada pendekar muda itu.

218


Kang Zusi Website Kang Zusi Website

Sebagai seorang tokoh Bu-lim yang sudah lama
menetap di daerah Hunlam, banyak juga jago silat
terkemuka yang dikenal Sikong Hian, cuma sedikit yang
tak dikenalnya. Di antara empat tokoh itu hanya Cin
Goan-cun yang sudah pernah bertemu, ketiga orang
yang lain hanya dikenalnya dari senjata serta diterka dari
umur mereka, tapi nyatanya tepat juga dugaannya.

Ia tahu betapa lihai ilmu pukulan Cin Goan-cun,
sedang Hui-sian Taysu itu adalah satu di antara delapan
Hou-hoat atau pembela agama dari Siau-lim-si, ilmu
permainan Hong-pian-jan terhitung nomor satu di
kalangan murid Buddha.

Adapun Sin-sipopo mempunyai kepandaian khas
tunggal juga dengan golok dan gurdi bajanya yang dapat
dimainkan sekaligus dengan ganas dan keji.

Su An terkenal dengan julukan Oh-pek-kiam atau
pedang hitam putih, paling akhir ini namanya sangat
cemerlang di daerah Kanglam. Walaupun ilmu silatnya
yang sejati belum diketahui sampai di mana
tingkatannya, namun dapat diduga juga pasti bukan jago
keroco.

Yang paling kebetulan adalah keempat tokoh ini
sekaligus datang mencari Hiang-yok-jeh, tentu saja
Sikong Hian tidak sia-siakan kesempatan bagus ini untuk
meminjam tangan keempat tokoh itu melenyapkan suatu
penyakit bagi dunia persilatan.

Dengan keputusan itulah segera ia pura-pura angkat
tangan memberi hormat sambil berkata, "Dan entah ada

219


Kang Zusi Website Kang Zusi Website

keperluan apakah kedatangan kalian berempat ke Buliang-
san sini?"

Berbareng itu, tanpa menunggu jawaban Cin Goancun
berempat mendadak ia kipatkan tangannya hingga
Ciong Ling dan Toan Ki tersentak mundur, bahkan Toan
Ki yang tak bisa ilmu silat terus terjungkal roboh.

Sementara itu Sikong Hian sudah lantas melompat ke
samping. Tapi karena racun Kim-leng-cu teramat berat
mengeram dalam tubuhnya, kakinya masih terasa lemas,
ia sempoyongan dan hampir jatuh.

Semula Hui-sian berempat mengira Sikong Hian
adalah begundalnya Bok Wan-jing, walaupun tahu ilmu
silatnya belum termasuk kelas wahid, tapi Sin-long-pang
adalah suatu klik paling berkuasa di daerah Hunlam,
orangnya banyak, pengaruhnya besar, suka main obat
racun dan asap berbisa, untuk itu agak susah juga untuk
dilawan. Kini demi tampak Sikong Hian melompat
menyingkir dengan sempoyongan, mereka baru tahu
Pangcu Sin-long-pang itu dalam keadaan terluka parah.

Sekali Sikong Hian putar tubuh, sambil bersandar di
samping Hui-sian ia berkata dengan pedih, "Teramat keji
cara turun tangan Hiang-yok-jeh, sekaligus berpuluh
anak buah Sin-long-pang sudah menjadi korban
keganasannya, sakit hatiku ini pasti kubalas."

"Nona cilik," segera Hui-sian berkata. "Lekas
menyingkir ke samping."

"Kalian takkan mampu melawan Bok-cici, lebih baik
lekas pergi saja," sahut Ciong Ling.

220




"Dia adalah putrinya 'Kian-jin-ciu-sat' Ciong Ban-siu,"
Sikong Hian coba mengisiki Hui-sian. "Kabarnya ayahnya
masih hidup, paling baik kalau tawan dia saja."

Nyata ia berharap Hui-sian dapat menawan Ciong
Ling sebagai jaminan agar kelak Ciong Ban-siu terpaksa
mengobati racun Kim-leng-cu di dalam tubuhnya itu.

Mendengar "Kian-jin-ciu-sat" Ciong Ban-siu masih
hidup, Hui-sian rada tercengang. Ia tahu iblis besar itu
sangat sukar dilawan, sekali terlibat bermusuhan dengan
dia, selanjutnya Siau-lim-pay pasti takkan pernah aman,
maka sesungguhnya ia tidak ingin mengikat musuh yang
lihai itu.

Mendadak "ser" sekali, Hong-pian-jan atau sekop
serbaguna, menyambar ke atas kepala Ciong Ling.

Cepat gadis itu mengegos, tak terduga sekop itu terus
ditarik kembali hingga punggung sekop menggantol
kuduk si gadis.

Jurus serangan ini disebut "Sui-ong-sit-hoan" atau
seperti maju ke depan, tapi sebenarnya putar kembali.
Yaitu suatu tipu serangan paling lihai di antara 36 jurus
"Hok-mo-jan-hoat" atau permainan sekop penakluk iblis.
Gerak tipunya di luar dugaan orang, cepatnya luar biasa
pula, maka musuh sukar menghindarkan diri.

Baru saja Ciong Ling menjerit kaget, tahu-tahu
punggung sekop sudah menempel tengkuknya.
Sekonyong-konyong sinar putih berkelebat, "cring", Su

221




An telah lolos pedang menyampuk jatuh sebuah panah
kecil.

Sementara itu Hui-sian sudah tarik sekopnya hingga
Ciong Ling ikut terseret ke sampingnya, sekali pegang,
tangan kiri Hui-sian telah pencet pergelangan tangan si
nona hingga tak bisa berkutik, lalu katanya, "Terima
kasih atas pertolongan Su-tayhiap."

Bila membayangkan kejadian barusan, tanpa tertahan
padri itu berkeringat dingin. Coba kalau Su An tidak awas
dan cekatan hingga panah gelap itu tersampuk jatuh,
mungkin jiwanya sekarang sudah melayang.

Tampak Su An berpaling ke arah datangnya panah
gelap itu sambil membentak, "Silakan keluar saja, Bokkohnio!"


Diam-diam Cin Goan-cun dan lain-lain sama malu diri,
"Kiranya orang berbaju hitam ini bukan Hiang-yok-jeh,
untung Su An cukup cerdik dan cekatan."

Ketika mereka memandang ke sana, namun di situ
keadaan sunyi senyap, gelap gulita tiada bayangan
seorang pun.

Mendadak, di sebelah kiri terdengar suara "tek"
sekali, sepotong batu kelihatan jatuh di tanah, cepat
semua orang berpaling, tapi pada saat yang sama,
kembali terdengar suara mendesirnya panah
menyambar, "cring", lagi-lagi Su An menyampuk dengan
pedang hingga sebatang panah kecil yang mengincar
belakang kepala Sin-sipopo dapat dipukul jatuh.

222




Ternyata sehabis menyerang Hui-sian, dengan cepat
penyerang tadi sudah mengisar ke kanan, ia pancing
orang memandang ke kiri dengan sepotong batu,
berbareng ia membokong Sin-sipopo pula.

Keruan nenek itu terkejut dan gusar, ia putar goloknya
dengan kencang hingga tubuhnya seakan-akan
terbungkus segulung sinar putih, terus menerjang ke
semak-semak rumput di sebelah kanan sana. Rumput
alang-alang di situ menjadi bertebaran kena dipapas
goloknya, tapi tiada bayangan seorang pun kelihatan.

Tiba-tiba terdengar Su An bersuit nyaring, segera ia
melayang ke atas sebatang pohon besar di arah barat
sana, menyusul terdengarlah suara "crang-creng"
beberapa kali, sekaligus pedang Su An sudah
menyerang empat kali.

Selagi Hui-sian pentang mata dan pasang kuping
mengikuti pertarungan kawan di atas pohon itu,
mendadak dari udara menubruk turun sesosok bayangan
hitam ke atas kepalanya. Cepat juga reaksi Hui-sian,
sekali tangan kanan terangkat, Hong-pian-jan lantas
menyabet ke arah bayangan itu.

Namun bayangan itu sempat mengentak kakinya ke
batang sekop, dengan tenaga pantulan itu, tahu-tahu
pedangnya menusuk si nenek alias Sin Si-nio.

Sekuat tenaga Sin Si-nio ayun goloknya menangkis,
"cret", tahu-tahu ujung golok putus tertebas pedang
musuh, menyusul sinar pedang musuh menyambar
mukanya.

223




Karena tak keburu menolong, cepat Cin Goan-cun
menghantam punggung musuh.

Agaknya orang itu pun tahu betapa lihai ilmu pukulan
Cin Goan-cun, maka tidak berani menangkis dari depan,
cepat pedangnya menepuk pundak Sin Si-nio, sekali
tahan, sekali loncat, dengan enteng orangnya sudah
melayang pergi.

Kalau orang itu tidak terpaksa karena digencet oleh
pukulan Cin Goan-cun dari belakang, tentu pedangnya
itu tidak menepuk melainkan menebas, jika begitu tentu
tubuh Sin Sin-nio sudah terbelah menjadi dua.

Namun walaupun sudah dua kali jiwanya hampir
melayang, Sin Si-nio masih belum kapok, ia menubruk
maju pula dengan kalap. Berbareng itu Cin Goan-cun
dan Hui-sian pun menyerang dari kanan-kiri.

Tapi biarpun dikeroyok tiga, orang itu masih bisa
menyusup kian kemari di antara lawan-lawan itu dengan
lincah dan luwes, nyata itulah dia Hiang-yok-jeh tulen
alias Bok Wan-jing.

Sementara itu Su An sudah melompat turun dari atas
pohon, tapi ia tidak ikut mengeroyok sebaliknya
masukkan pedangnya ke sarung, lalu berdiri di samping
untuk menonton.

"Su-heng," kata Toan Ki tiba-tiba mendekati Su An,
"harap kau suruh mereka jangan berkelahi."

224




Sungguh di luar dugaan Su An ucapan Toan Ki itu. Ia
coba melirik "Hiang-yok-jeh" palsu itu lalu bertanya,
"Siapakah saudara sebenarnya?"

"Cayhe bernama Toan Ki. Sungguh aku tidak paham
percekcokan di antara Bok-kohnio dengan kalian ini,"
demikian sahut Toan Ki. "Cuma cara bertempur matimatian
begini rasanya bukanlah jalan yang baik. Salah
atau benar, seharusnya bisa diselesaikan secara
berunding saja."

Su An memandang sekejap pada pemuda itu,
pikirnya, "Benar juga ucapannya ini. Tapi percekcokan di
antara orang Kangouw selamanya diselesaikan dalam
ilmu silat, bila pakai berunding segala, buat apa lagi
orang belajar silat. Namanya Toan Ki? Siapakah dia ini,
belum pernah kudengar nama seorang tokoh demikian."

Selagi ia hendak tanya Toan Ki pula, tiba-tiba
terdengar Ciong Ling sedang memanggil pemuda itu di
sebelah sana.

Segera Toan Ki mendekati nona itu dan tanya, "Ada
apa?"

"Marilah lekas kita lari, kalau ayal mungkin tak keburu
lagi," ajak si gadis.

"Tapi Bok-cici lagi dikeroyok orang, mana boleh kita
tinggal lari?" sahut Toan Ki.

"Kepandaian Bok-cici teramat lihai, dia pasti ada jalan
buat meloloskan diri," ujar Ciong Ling.

225




Namun Toan Ki masih geleng-geleng kepala, katanya,
"Tidak, dia datang kemari untuk menolong jiwa kita, kalau
kita tinggal pergi begini saja, hatiku merasa tidak enak."

"Tolol," omel si gadis mendongkol. "Kau tinggal di sini,
apakah bisa kau bantu Bok-cici?"

Dalam pada itu Cin Goan-cun, Sin Si-nio dan Hui-sian
bertiga masih sengit menempur Bok Wan-jing. Kedua
telapak tangan Cin Goan-cun sedemikian gencar
mengerahkan tenaga pukulannya. Sekop serbaguna Huisian
menyambar kian kemari dengan hebat, golok Sin Sinio
pun tidak ketinggalan membacok dan membabat di
mana ada lubang. Namun Bok Wan-jing tampak sedikit
pun tidak kewalahan, bahkan percakapan Toan Ki, Su An
dan Ciong Ling barusan dapat diikutinya.

Ia dengar Toan Ki sedang berkata pula, "Ciongkohnio,
bolehlah kau lari dulu. Bukanlah semestinya aku
mengingkari kebaikan Bok-cici dengan meninggalkannya
di bawah keroyokan orang, Biarlah kutinggal di sini, bila
akhirnya ternyata Bok-cici tak bisa melawan mereka, aku
akan menasihati mereka dengan baik-baik, boleh jadi
keadaan masih bisa dikendalikan."

"Masih kau berlagak? Paling-paling jiwamu akan ikut
melayang nanti!" seru Ciong Ling gusar.

"Memangnya jiwaku ini sejak tadi sudah melayang
kalau bukan ditolong oleh Bok-cici, aku orang she Toan
kalau lupa pada kebaikan orang, ayah dan pamanku
sendiri juga takkan mengampuni aku," sahut Toan Ki
tegas.

226




"Tolol benar-benar! Percuma banyak bicara
denganmu!" kata si gadis. Terus saja ia tarik tangan anak
muda itu dan diseret lari.

"Tidak, tidak! Aku tak mau pergi!" teriak Toan Ki.

Tapi tenaga Ciong Ling lebih kuat daripadanya, ia
menjadi sempoyongan kena diseret oleh gadis itu.

Melihat itu, diam-diam Su An terheran-heran, pikirnya,
"Orang ini terang sedikit pun tak bisa ilmu silat, tapi jiwa
setia kawannya sungguh harus dipuji. Lama kudengar
bahwa 'Hiang-yok-jeh' ganas dan keji, tiada punya
seorang teman pun, entah mengapa orang she Toan ini
sedemikian berani hendak bicara tentang kebaikan dan
setia kawan dengan momok perempuan itu?"

Pada saat itulah tiba-tiba terdengar Bok Wan-jing
berseru, "Ciong Ling, kau sendiri lekas enyah, dilarang
menyeret dia!"

Ciong Ling semakin ketakutan, ia seret Toan Ki
terlebih cepat.

Mendadak terdengar suara mendesing sekali, tahutahu
di atas kundai Ciong Ling menancap sebatang
panah kecil. Berbareng terdengar Bok Wan-jing
membentak, "Kalau tidak lepaskan dia, awas, akan
kupanah biji matamu!"

Ciong Ling kenal watak Bok Wan-jing, sekali berkata
tentu bisa dilakukannya juga, tidak pernah omong main-
main. Jika dirinya tetap bandel, bukan mustahil biji

227




matanya akan dipanah sungguh-sungguh. Karena itu,
terpaksa Ciong Ling lepaskan tangan Toan Ki.

"Lekas kau enyah dan pulang, lekas!" bentak Bok
Wan-jing pula.

Ciong Ling tak berani membantah, katanya kepada
Toan Ki, "Toan-heng, harap engkau jangan berbuat
kejahatan, jagalah dirimu baik-baik."

Habis bicara, dengan rasa berat ia berlari pergi dan
sekejap saja sudah menghilang di tempat gelap.

"Tunggu dulu, Ciong-kohnio!" teriak Sikong Hian.
"Obat penawar dari ayahmu tadi manjur atau tidak?"

Mana Ciong Ling mau peduli. Segera Sikong Hian
bermaksud mengejar, tapi baru melangkah dua tindak,
kaki sendiri terasa lemas dan jatuh tersungkur.

Sambil membentak pergi Ciong Ling, Bok Wan-jing
tetap bergerak kian kemari di antara ketiga
pengeroyoknya dengan cepat, ia tetap di atas angin.

Menyaksikan itu diam-diam Su An menimbang,
"Kegesitan perempuan ini ternyata masih jauh di atas
kepandaianku. Hanya dalam hal ilmu pedang belum
tentu dia mampu melawan aku."

Dan karena jaga martabat sendiri, ia tidak sudi ikut
mengeroyok seorang perempuan, ia tunggu bila nanti
ketiga orang itu dikalahkan baru ia sendiri akan maju.

228




Tak lama kemudian, mendadak permainan pedang
Bok Wan-jing berubah, sinar pedang menyambar ke
sana-sini bagai hujan mencurah dari langit dan sukar
ditentukan arah serangannya.

Su An terkejut, serunya, "Kiam-hoat bagus!"

Di tengah sorak pujiannya itu, tiba-tiba terdengar Huisian
menjerit sekali, iganya kena tusukan pedang.
Menyusul pedang Bok Wan-jing menyambar pula ke
depan beruntun tiga kali hingga Cin Goan-cun terpaksa
melompat keluar kalangan untuk menghindar. Ketika
arah pedang Bok Wan-jing berganti pula, tanpa ampun
lagi Sin Si-nio sudah terkurung di tengah sinar
pedangnya.

Tampaknya sekejap pula jiwa Sin Si-nio pasti akan
menghadap raja akhirat, Su An tidak bisa tinggal diam
lagi, cepat pedangnya bergerak, bagai kilat menyambar,
ia menyela di antara lingkaran sinar pedang Bok Wanjing,
terdengarlah suara gemerencing beberapa kali,
kedua pedang saling beradu beberapa kali dengan
kecepatan luar biasa.

Meski Su An turun tangan tepat pada waktunya,
namun tidak urung tubuh Sin Si-nio terluka tiga tempat.
Sedikit pun nenek itu tidak menghiraukan lukanya,
dengan kalap ia menubruk pula ke arah Bok Wan-jing.

Dalam pada itu pedang Bok Wan-jing sedang
bertempelan dengan pedang Su An. Sejak gebrakan di
atas pohon tadi ia sudah tahu ilmu pedang orang tidak
boleh dibuat mainan, maka begitu Su An terjun ke
kalangan pertempuran, antero perhatiannya lantas

229




dicurahkan pada lawan tangguh ini, sedikit pun tidak
berani ayal.

Siapa duga cara bertempur Sin Si-nio itu ternyata
sedemikian nekatnya, begitu menubruk maju, ia jatuhkan
diri terus menggelinding ke samping Bok Wan-jing, gurdi
baja di tangan kanan terus menikam betis lawan itu.

Syukur Bok Wan-jing sempat ayun kakinya dan
berbalik Sin Si-nio terdepak pergi.

Dan karena sedikit ayal itu, tusukan pedang Su An
sudah sampai di depan mukanya. Dalam detik bahaya
itu, pedang Bok Wan-jing secepat kilat menangkis ke
atas, ia sadar menyusul mana serangan musuh pasti
akan lebih gencar, maka ia tidak mau didahului,
berbareng 3-4 jurus mematikan sekaligus dilontarkan ke
arah Su An.

Cara serangan Bok Wan-jing itu adalah karena dalam
keadaan kepepet, musuh dipaksa harus menyelamatkan
diri lebih dulu. Maka terpaksa Su An berkelit sambil
menarik kembali pedangnya untuk menjaga diri.

Melihat gerakan musuh itu. Bok Wan-jing menarik
napas lega. Selagi hendak ganti serangan pula,
mendadak "nyes," pundak kiri terasa kesakitan, ternyata
kesempatan tadi telah digunakan Sin Si-nio untuk
menikam dengan gurdi bajanya. Tapi Bok Wan-jing pun
tidak tinggal diam, kontan tangannya menggaplok ke
belakang hingga muka Sin Si-nio seketika hancur luluh
dan terbinasa.

230




Sementara itu Cin Goan-cun dan Hui-sian lantas
mengerubut maju lagi hingga keadaan kembali menjadi
tiga lawan satu.

"Hai, hai! Tiga laki-laki mengeroyok seorang
perempuan, apa kalian tidak merasa malu?" segera Toan
Ki bergembar-gembor.

Su An memang ada maksud menarik diri dari
pertempuran keroyokan itu, demi mendengar teriakan
Toan Ki, seketika ia melompat mundur setombak jauhnya
sambil berseru, "Bok Wan-jing, lekas buang pedangmu
dan menyerah saja!"

Tapi semakin gencar permainan pedang Bok Wanjing,
ia tidak sempat mencabut gurdi baja yang
menancap di pundaknya itu, dengan menahan sakit
secepat kilat ia serang Cin Goan-cun dua kali dan
menusuk Hui-sian sekali. Betapa lihai ketiga jurus
serangan itu, tanpa ampun lagi pipi kanan Cin Goan-cun
kontan tersayat suatu garis luka, begitu pula leher Huisian
lecet keserempet pedang.

Walaupun luka kedua orang hanya ringan saja, tapi
tempat yang terluka itu adalah tempat mematikan, sedikit
ayal saja jiwa mereka tentu sudah melayang. Saking
kagetnya kedua orang, berbareng mereka melompat
pergi dengan napas terengah.

"Sayang, sayang!" diam-diam Bok Wan-jing gegetun
tak berhasil mampuskan kedua lawan itu.

Tiba-tiba ia bersuit nyaring, segera terdengar suara
derap kaki kuda, tahu-tahu Oh-bi-kui muncul dari balik

231




bukit sana. Sekali cemplak, Bok Wan-jing melompat ke
atas kuda itu. Ketika lewat di samping Toan Ki, sekali ulur
tangan, Bok Wan-jing cengkeram kuduk Toan Ki dan
diangkat ke atas kuda pula. Dua orang satu tunggangan
terus berlari ke barat dengan cepat.

Tidak jauh, sekonyong-konyong dari dalam hutan di
tepi jalan terdengar hiruk-pikuk bentakan, berpuluh orang
mendadak melompat keluar mengadang di tengah jalan.
Seorang kakek tinggi besar yang berdiri di tengah lantas
membentak, "Hiang-yok-jeh! Sudah lama kutunggu di
sini!"

Berbareng tali kendali si mawar hitam terus hendak
ditariknya.

Namun sedikit Bok Wan-jing kesampingkan kudanya,
berbareng tangan lain terayun, tiga panah kecil terus
disambitkan. Kontan di antara gerombolan pengadang itu
terjungkal tiga orang.

Tengah kakek tadi terkesiap oleh serangan mendadak
itu, Bok Wan-jing sudah sendal tali kendalinya hingga
Oh-bi-kui sekonyong-konyong melompat ke depan
melalui atas kepala gerombolan orang itu. Dan sekali si
mawar hitam mencongklang, mana bisa lagi kawanan
pengadang itu mengejarnya?

Sebenarnya tidak kurang jago pilihan di antara para
pengadang itu, tapi semuanya jeri pada panah berbisa
Bok Wan-jing yang lihai, walaupun masih coba
mengudak juga, namun sebentar saja mereka sudah
ketinggalan jauh.

232




Toan Ki mendengar gerombolan orang itu mencaci
maki kalang kabut di belakang, "Perempuan bangsat,
para kesatria Hok-gu-ceh tidak ingin hidup bersamamu!"

"Biarpun kau lari sampai ujung langit juga akan kami
bekuk kau!"

"Marilah kejar, kawan-kawan! Bekuk perempuan
bangsat itu dan cencang dia untuk membalas sakit hati
Co-toako!"

Suara caci maki itu lambat laun menjauh dan tidak
terdengar lagi. Tapi rasa dendam kesumat yang
terkandung dalam caci maki mereka itu masih terus
mengiang di telinga Toan Ki.

Selama beberapa hari ini ia sudah banyak mengalami
bahaya, tapi caci maki dengan rasa dendam yang tak
terimpas baru sekali ini paling hebat. Karena itu, diamdiam
ia mengirik.

Bok Wan-jing membiarkan Oh-bi-kui berlari
sesukanya di lereng yang gelap itu. Sampai di suatu
bukit, ia lihat di depan sana ada jurang, terpaksa ia turun
dari kuda untuk mencari jalan lain.

Jalan pegunungan di Bu-liang-san itu ternyata berlikuliku,
mendadak di depan sana ada suara seruan orang
pula, "Itu dia, kudanya sudah kelihatan!"

"Awas, cegat sebelah sana!"

"Ya, jangan sampai perempuan hina itu lolos lagi!"

233




Dalam keadaan terluka, Bok Wan-jing tidak ingin
bertempur lagi, cepat ia belokkan kuda ke arah lain.
Walaupun bukan lagi jalan pegunungan, syukur si mawar
hitam cukup tangkas, di lereng bukit yang penuh batu
padas itu ia masih terus berlari secepat terbang.

Setelah berlari tak lama lagi, mendadak kaki depan si
mawar tersandung sepotong batu, seketika larinya
menjadi lambat, dengan kaki pincang binatang itu mulai
tampak payah.

Toan Ki menjadi khawatir, katanya, "Bok-kohnio,
harap turunkan aku saja, biar kau sendiri mudah
melarikan diri. Aku tiada permusuhan apa-apa dengan
mereka, andaikan aku tertangkap juga tidak menjadi
soal."

"Hm, kau tahu apa?" jengek Bok Wan-jing. "Jika kau
tertangkap orang Hok-gu-ceh, biarpun sepuluh nyawamu
juga akan melayang."

"Tapi mereka teramat dendam pada nona, ada lebih
baik nona menyelamatkan diri lebih dulu," ujar Toan Ki.

Memangnya pundak Bok Wan-jing lagi kesakitan,
Toan Ki masih terus mencerocos saja, keruan nona itu
menjadi gusar, "Hendaklah kau tutup mulut, jangan
banyak bicara."

Toan Ki tertawa, sahutnya, "Tempo hari aku tidak
suka bicara dan justru kau paksa aku buka mulut. Kini
aku ajak bicara padamu, sebaliknya malah kau larang
aku bicara. Ai, sungguh nona yang susah diladeni."

234




Saking kesakitan, Bok Wan-jing menjadi gemas,
sekali cengkeram, pundak Toan Ki diremas hingga
berkeriutan, jika keras lagi sedikit, boleh jadi tulang
pundak Toan Ki akan remuk.

"Ya, sudahlah, aku takkan buka mulut lagi!" cepat
Toan Ki berteriak sambil meringis.

Tiba-tiba si mawar hitam mendaki jalan pegunungan,
karena jalanan cukup rata, langkah binatang itu menjadi
cepat.

Sementara itu sudah menjelang fajar, cuaca sudah
remang-remang, Toan Ki dapat mengenali jalanan itu,
katanya, "He, jalan ini menuju ke Kiam-oh-kiong, apakah
nona ada permusuhan dengan orang Bu-liang-kiam?"

Ia merasa dengan segala orang Bok Wan-jing suka
bermusuhan, andaikan tiada permusuhan dengan Buliang-
kiam, rasanya nona itu pun takkan bersahabat
dengan mereka.

Maka Bok Wan-jing menjawab, "Hm, untuk
bermusuhan bukanlah sangat mudah, bunuh saja
beberapa orang mereka, bukankah lantas jadi?"

Tengah bicara, Kiam-oh-kiong yang megah sudah
tampak dari jauh.

Sudah beberapa hari ini Bu-liang-kiam siap siaga
menantikan datangnya serangan Sin-long-pang, tapi
sampai kini masih tiada terjadi apa-apa. Maka jago-jago
yang diundang itu seperti Be Ngo-tek dan lain-lain sudah

235




sama mohon diri karena tidak ingin terlibat dalam
persengketaan itu.

Tapi Bu-liang-kiam sekte barat betapa pun adalah
orang sendiri, walaupun di antara mereka sendiri ada
perselisihan, namun melihat sesama golongannya
terancam bahaya, tak bisa tidak mereka harus tinggal di
situ untuk membantu.

Maka waktu itu di sekeliling Kiam-oh-kiong secara
bergiliran dijaga oleh anak murid Bu-liang-kiam dari
Tang-cong dan Se-cong.

Di depan istana yang megah itu tampak dijaga oleh
empat murid Bu-liang-kiam. Menjelang fajar, mereka
sama kantuk dan letih, ketika tiba-tiba terdengar suara
derap kaki kuda mendatangi dengan cepat, seketika
semangat keempat orang itu terbangkit, cepat mereka
menghunus pedang dan mengadang ke depan.

Pemimpin keempat orang itu bernama Tong Jin-hong,
segera ia membentak, "Siapa itu yang datang? Kawan
atau lawan? Lekas beri tahu namamu!"

Melihat demikian garang sambutan orang Bu-liangkiam
itu, Bok Wan-jing jadi mendongkol, kalau turuti
wataknya, tentu segera diterjangnya dahulu dan urusan
belakang.

Tapi kini ia terluka parah, pundaknya masih
menancap sebuah gurdi yang belum berani dicabutnya,
sebab khawatir akan keluar darah terlalu banyak.

236




Ia pun kenal ketua Bu-liang-kiam, Co Cu-bok terkenal
lihai dengan ilmu pedangnya, tergolong tokoh terkemuka
di daerah Hunlam. Maka dengan sabar ia tahan kudanya
dan menjawab, "Ada orang mengejar kami, terpaksa
harus menghindari sebentar ke Kiam-oh-kiong, lekas
kalian menyingkir!"

Sungguh gusar sekali Tong Jin-hong, pikirnya,
"Kurang ajar benar orang ini! Kau diuber musuh,
seharusnya kau mohon perlindungan pada kami dengan
baik-baik, kenapa bicara sedemikian kasar?"

Maka sekali pedangnya melintang ke depan, segera
ia berkata, "Siapa kau ini? Ada hubungan apa dengan
golongan kami?"

Pada saat itulah dari jauh sana terdengar suara
teriakan orang, nyata Cin Goan-cun dan kawankawannya
serta orang Hok-gu-ceh sudah menguber
datang.

Tanpa bicara lagi, sekali tarik tali kendali kuda, Bok
Wan-jing membentak nyaring, sekonyong-konyong si
mawar hitam mencongklang ke depan terus melompat
lewat di atas kepala Tong Jin-hong berempat dan
menerjang ke arah Kiam-oh-kiong.

Walaupun kaki Oh-bi-kui terluka, tapi di bawah
keprakan sang majikan, dengan gagah kuat ia masih bisa
lari dengan pesat. Keruan Tong Jin-hong berempat
terkejut, sambil membentak-bentak mereka terus
mengudak.

237




Tapi Bok Wan-jing tidak ambil pusing lagi, ia bedal si
mawar hitam dan menerjang masuk pintu gerbang Kiamoh-
kiong, menerobos ke ruangan tengah dan menembus
ke serambi belakang. Seketika Kiam-oh-kiong menjadi
panik, ada 7-8 anak murid Bu-liang-kiam hendak maju
merintangi, tapi mereka pun kacau-balau, kalau tidak
didepak oleh si mawar, tentu kena ditusuk pedang Bok
Wan-jing.

Tatkala itu Co Cu-bok baru bangun tidur. Selama
beberapa hari ini ia memang tidak pernah hidup
tenteram, kini mendengar di dalam istana terjadi ramairamai,
segera ia memburu keluar dengan pedang
terhunus.

Tiba-tiba ia dipapak oleh seekor kuda hitam, ia
menyangka Sin-long-pang telah mulai menyerbu, sama
sekali tak terduga di tengah istana itu ada kuda
berkeliaran, tanpa bicara ia ulur tangan hendak menarik
tali kendali kuda.

Tapi mendadak angin tajam menyambar mukanya,
ujung pedang musuh sudah berada di depan batok
kepalanya. Betapa cepat serangan musuh itu sungguh
tak pernah dialaminya selama hidup.

Untung Co Cu-bok adalah jago kawakan, cepat ia
menunduk dengan gaya "Hong-tiam-thau" atau burung
Hong angguk kepala. Menyusul pedangnya menangkis
ke atas, "trang", kedua pedang saling beradu.

Memang benar dugaannya, serangan lawan
datangnya secara beruntun-runtun. Mendadak Co Cubok
jatuhkan diri ke tanah sambil menangkis lagi sekali,

238




tapi mendadak pergelangan tangan kiri terasa sakit
sekali, kiranya kena didepak oleh si mawar.

Sekuatnya Co Cu-bok lompat ke samping, sekilas
dapat dikenalnya Toan Ki berada di atas kuda itu.

"He, kiranya kau!" tanpa merasa ia berseru. Tapi
segera dilihatnya pula di belakang pemuda itu berduduk
lagi seorang yang seantero tubuhnya terbungkus baju
hitam mulus, tiba-tiba ia ingat seseorang, tak tertahan ia
merinding

"Hiang ... Hiang-yok ...." demikian Co Cu-bok
berteriak dengan gemetar, dalam pada itu Bok Wan-jing
sudah keprak si mawar menuju ke taman bunga di
belakang.

Sebenarnya Co Cu-bok masih mempunyai sejurus
serangan dengan menimpuk pedang, kalau pedangnya
ditimpukkan, tentu dapat menancap di pantat si mawar.
Tapi pada saat pedang hampir terlepas dari tangan, ia
lihat dandanan Bok Wan-jing maka pedang ditarik
kembali mentah-mentah. Dan sedikit ayal itulah Bok
Wan-jing sudah keprak kudanya menuju ke belakang.

Di taman belakang itu dijaga delapan anak murid Buliang-
kiam, Kam Jin-kiat termasuk di antaranya. Ketika
mendadak tampak seekor kuda hitam berlari datang dari
ruangan depan, mereka menjadi terheran-heran.

Dalam pada itu Bok Wan-jing sudah bedal kudanya
sampai di pintu taman, sekali tebas, gembok pintu
dikutunginya.

239




"Hei, hei! Bukit di belakang adalah daerah terlarang,
tidak boleh sembarangan terobosan ke sana!" cepat Kam
Jin-kiat berseru.

Namun Oh-bi-kui sudah mencongklang keluar dengan
dua penunggangnya.

Walaupun Co Cu-bok sangat jeri pada Bok Wan-jing,
tapi orang telah menerjang sesukanya di dalam Kiam-ohkiong,
kini berlari ke bagian terlarang pula di gunung
belakang, betapa pun ia tak bisa tinggal diam lagi.

Segera ia memberi perintah, kawan-kawan dari Secong
diminta menjaga Kiam-oh-kiong kalau-kalau diserbu
oleh Sin-long-pang, ia sendiri lantas memimpin berpuluh
anak muridnya mengudak ke belakang gunung.

Melihat arah yang dituju Oh-bi-kui itu adalah jalan
yang pernah didatanginya, segera Toan Ki berkata, "Bokkohnio,
di depan sana ada rintangan jurang, kita harus
mengitar ke arah lain."

"Dari mana kau tahu?" tanya si nona dengan
tercengang.

"Jalanan itu pernah kulalui," sahut Toan Ki.

Bok Wan-jing dapat memercayainya, ia tahan
kudanya dan ragu-ragu sejenak, lalu belokkan Oh-bi-kui
ke jalan kecil di sebelah kiri.

Tak terduga jalan itu terus menuju ke suatu lereng
bukit yang panjang, makin jauh makin tinggi dan berliku-

240




liku, dengan susah payah, akhirnya mereka dapat
mencapai suatu tebing di atas bukit.

Waktu Bok Wan-jing menoleh, ia lihat para
pengejarnya terbagi dalam tiga kelompok sedang
mengurungnya dari kanan kiri dan belakang. Yang
sebelah kiri membawa pedang semua, itulah Co Cu-bok
dari Bu-liang-kiam dan anak muridnya, Sebelah kanan
hanya tiga orang, yaitu Su An, Cin Goan-cun dan Huisian.
Sedang pengejar di belakang adalah orang-orang
Hok-gu-ceh.

Su An tampak gesit sekali, secepat terbang ia
melompat dari batu padas yang satu ke batu padas yang
lain. Melihat itu, diam-diam Bok Wan-jing terperanjat,
tanpa banyak pikir terus ia keprak kudanya ke depan.

Tidak jauh, mendadak di depan terbentang sebuah
jurang yang lebarnya belasan meter, dalamnya sukar
dijajaki. Oh-bi-kui meringkik kaget dan cepat berhenti
serta menyurut mundur beberapa langkah.

Menghadapi jalan buntu, sedang dari belakang
pengejar makin dekat, cepat Bok Wan-jing ambil
keputusan, segera ia tanya Toan Ki, "Aku akan bedal
kuda melompat ke seberang jurang sana. Kau akan ikut
aku menghadapi bahaya atau turun di sini saja?"

Toan Ki pikir kalau beban kuda itu berkurang,
melompatnya tentu akan lebih mudah, maka sahutnya,
"Biarlah nona menyeberang dahulu, nanti menarik aku
lagi dengan tali."

241




Tapi waktu Bok Wan-jing menoleh, ia lihat Su An
sudah menguber datang, jaraknya cuma beberapa puluh
meter saja. Maka katanya cepat, "Sudah tidak sempat
lagi!"

Ia tarik si mawar mundur beberapa meter jauhnya,
perlahan ia tepuk perut kuda itu sambil berseru,
"Melompatlah ke sana, kudaku sayang!"

Sekonyong-konyong si mawar membedal secepatnya
ke depan, sampai di tepi jurang, binatang itu melompat
sekuatnya. Seketika Toan Ki merasa seakan-akan
terbang di udara, jantungnya seolah-olah ikut melompat
keluar dari rongga dadanya.

Di bawah desakan sang majikan, Oh-bi-kui yang
sudah terluka dan terlalu capek itu melompat sepenuh
tenaga, tapi hanya kedua kaki depan dapat mencapai
tepi jurang sana, kaki belakang tak sanggup lagi
menginjak tanah, tubuhnya terjerumus ke bawah.

Syukur Bok Wan-jing dapat bertindak cepat, pada
saat berbahaya itu ia melayang sekuatnya ke depan
sambil jambret Toan Ki sekenanya. Lebih dulu Toan Ki
jatuh di tanah, menyusul Bok Wan-jing ikut terbanting ke
dalam pangkuannya. Khawatir gadis itu terluka, cepat
Toan Ki merangkulnya erat-erat.

Dalam pada itu terdengar suara ringkik si mawar yang
panjang mengerikan, binatang itu sudah tergelincir ke
dalam jurang yang tak terkira dalamnya.

Bok Wan-jing sangat berduka, ia meronta lepas dari
pelukan Toan Ki dan berlari ke tepi jurang. Namun

242




permukaan jurang itu penuh tertutup kabut tebal, si
mawar hitam sudah tak kelihatan lagi.

Saat itu kebetulan Su An juga baru mencapai tepi
jurang dan menyaksikan adegan ngeri itu, ia ikut
ternganga kesima.

Melihat pengejarnya tidak mampu menyeberangi
jurang, hati Bok Wan-jing rada lega. Tapi sekonyongkonyong
kepala terasa pening, langit dan bumi seakanakan
berputar, kakinya menjadi lemas pula, seketika
robohlah dia tak sadarkan diri.

Keruan Toan Ki kaget, cepat ia memburu maju untuk
menyeretnya mundur agar gadis itu tidak tergelincir ke
dalam jurang. Ia lihat kedua mata si nona terpejam rapat
dan sudah pingsan.

Selagi bingung entah apa yang harus dilakukannya,
tiba-tiba di seberang jurang sana ada orang berteriak,
"Lepaskan panah, mampuskan kedua keparat itu!"

Waktu Toan Ki memandang, ia lihat di seberang sana
sudah berdiri 7-8 orang, kalau benar-benar mereka
melepaskan panah, bisa celakalah dirinya.

Segera ia pondong Bok Wan-jing, dengan susah
payah ia membawanya lari mundur. Syukur badan si
nona tiada 100 kati beratnya, maka Toan Ki masih
sanggup memondongnya lari.

"Serr", mendadak sebatang panah menyambar lewat
di samping telinganya.

243




Dengan gugup Toan Ki berlari ke depan sambil sedikit
berjongkok, "serr", kembali sebatang panah menyambar
lewat di atas kepalanya. Ia lihat di samping kiri sana ada
sepotong batu besar, segera ia lari maju untuk sembunyi
di belakang batu.

Dalam sekejap itu, anak panah sudah berseliweran
dan bermacam-macam Am-gi membentur batu padas
dan sama terpental jatuh.

Sedikit pun Toan Ki tidak berani bergerak. "Bluk",
sekonyong-konyong sepotong batu sebesar mangga
jatuh di sampingnya. Nyata, penimpuk batu itu sangat
besar tenaganya, cuma jaraknya agak jauh, maka
incarannya kurang tepat.

Toan Ki pikir kalau sembunyi di situ, akhirnya kepala
pasti akan tertimpa batu sambitan itu, segera ia pondong
si nona lagi dan berlari ke depan hingga belasan meter
jauhnya, ia menduga senjata rahasia musuh takkan
mencapainya lagi, lalu berhenti.

Setelah bernapas lega, Toan Ki taruh si gadis di
belakang batu karang, ia coba mengintai ke seberang
jurang sana. Ternyata jumlah orang sudah bertambah
banyak dan kedengaran berisik sekali lagi mencaci maki
kalang kabut, tampaknya seketika para pengejar itu tidak
mampu menyeberang kemari.

Toan Ki pikir, "Jika mereka mengitar jalan dan
mendaki dari sebelah sana, rasanya nasib kami berdua
susah juga lolos dengan selamat."

244




Ia coba menuju ke tepi jurang sebelah lain, tapi sekali
melongok, seketika kakinya ikut lemas saking kejutnya.

Ternyata di bawah jurang itu ombak mendebur
dengan hebatnya, suatu sungai dengan airnya yang
bergelombang besar tepat berada di bawah jurang itu.

Ternyata di situ termasuk lembah sungai Lanjong.
Melihat arus air yang begitu hebat, untuk mendaki dari
situ terang tidak mungkin, tapi kalau musuh lebih dulu
turun ke jurang, lalu memanjat ke atas, dirinya tak
mengerti silat pasti sukar mencegahnya.

Ia menghela napas, ia pikir biarlah untuk sementara
terhindar dari bahaya, bagaimana jadinya nanti akan
melihat gelagat saja.

Ia kembali ke samping Bok Wan-jing, ia lihat gadis itu
masih belum sadar. Selagi Toan Ki hendak berdaya
menolongnya, tiba-tiba terlihat pundak si nona masih
tertancap sebuah gurdi baja, bajunya basah kuyup oleh
darah.

Keruan Toan Ki terkejut, dalam keadaan terburu-buru
menyelamatkan diri tadi, ia tidak mengetahui gadis itu
terluka, kini melihat darah mengucur cukup banyak,
pikiran pertama-tama timbul adalah, "Jangan-jangan dia
telah meninggal?"

Maka dengan agak takut-takut ia coba membuka
sedikit kerudung muka Bok Wan-jing untuk memeriksa
napas di hidungnya, syukur gadis itu masih bernapas
perlahan.

245




Pikir Toan Ki, "Aku harus mencabut gurdi itu untuk
mencegah darah mengucur lebih banyak."

Tapi ia lihat gurdi itu menancap sangat dalam, kalau
dicabut hingga dan membikin jiwanya melayang, kan
celaka? Namun dalam keadaan begitu, jalan lain tiada
lagi, diam-diam ia hanya berdoa, "Bok-kohnio, tujuanku
hanya menolongmu, bila karena itu malah mencelakai
jiwamu, ya, apa mau dikatakan lagi, toh seumpama aku
tidak menolongmu, kau pun akan binasa juga."

Segera Toan Ki pegang batang gurdi, dengan
mengertak gigi segera hendak dicabutnya. Tapi karena
tidak biasa, saking kedernya hingga badan sendiri
gemetar. Sementara itu di seberang jurang sana
terdengar ramai dengan suara caci maki musuh, tanpa
pikir lagi Toan Ki terus mencabut sekuatnya, darah yang
merembes keluar membikin muka dan kepala Toan Ki
penuh darah.

Saking kesakitan, Bok Wan-jing menjerit sekali dan
siuman kembali, tapi menyusul lantas pingsan lagi.

Dengan mati-matian Toan Ki berusaha menutupi luka
si nona agar darah tidak mengucur, namun darah yang
merembes keluar bagai mata air dan sukar dicegah.
Toan Ki menjadi kelabakan, ia coba cabut beberapa
tumbuhan rumput di sekitarnya dan dikunyah, kemudian
dibubuhkan pada luka Bok Wan-jing. Tapi sekali kena
diterjang darah, luluhan rumput itu lantas buyar.

Tiba-tiba Toan Ki ingat gadis ini jago silat, boleh jadi
ia sendiri membawa obat luka. Ia coba merogoh saku si
gadis. Sekonyong-konyong tangannya menyentuh

246




sesuatu yang lunak licin, dalam kagetnya cepat ia tarik
tangannya. Kiranya adalah Kim-leng-cu.

"Hei, Kim-leng-cu, jangan kau gigit aku!" seru Toan Ki
khawatir.

Menurut juga ular itu. Padahal Kim-leng-cu tidak
paham perkataannya. Soalnya pada badan Toan Ki
terdapat kotak kemala pemberian Ciong Ling yang berisi
barang antiular berbisa. Setiap ular atau serangga
beracun, asal mencium bau benda itu, pasti akan tunduk
dan ketakutan.

Maka cepat Toan Ki masukkan tangannya ke saku
Bok Wan-jing lagi. Kali ini tidak menyentuh benda hidup
pula, satu per satu ia keluarkan isi baju si nona. Mulamula
dikeluarkannya sebuah sisir emas, lalu sebuah
cermin tembaga kecil dan dua potong saputangan warna
jambon, kecuali itu ada pula tiga buah kotak atau dus
kecil.

Melihat barang-barang yang biasanya dipakai anak
gadis itu, Toan Ki tertegun sejenak, baru teringat olehnya
kelakuannya yang tidak sopan. Orang masih perawan
suci, masakah tangan sendiri bergerayangan dalam saku
orang.

Ia coba membuka kotak-kotak kecil itu. Kotak pertama
ternyata Yanci (pemerah bibir) yang berbau harum, Kotak
kedua berisi bubuk putih dan kotak ketiga bubuk warna
kuning. Ia coba mengendusnya, bubuk putih itu tiada bau
apa-apa, tapi bubuk kuning itu berbau pedas keras
hingga ia bersin. Pikirnya, "Entah bubuk ini obat luka

247




atau bukan, kalau racun hingga salah pakai, kan bisa
celaka malah?"

Segera ia pijat-pijat tengkuk si nona, tidak lama,
perlahan nona itu membuka matanya. Toan Ki sangat
girang, cepatnya tanyanya, "Bok-kohnio, obat dalam
kotak mana yang boleh dibubuhkan pada lukamu?"

"Yang merah," sahut Bok Wan-jing singkat, lalu
pejamkan matanya lagi. Ketika Toan Ki tanya pula, ia
tidak mau menjawab.

Toan Ki menjadi heran, sudah terang bubuk merah itu
adalah Yanci, mana bisa dipakai mengobati luka? Tapi
orang mengatakan demikian, biarlah dicoba dulu
daripada menggunakannya secara ngawur.

Segera ia sobek sedikit baju di tempat luka si nona, ia
bubuhi sedikit bubukan Yanci itu. Ketika jari Toan Ki
menyentuh luka Bok Wan-jing, meski dalam keadaan tak
sadar toh nona itu mengejang kesakitan.

"Jangan khawatir, darahmu takkan keluar lebih
banyak," Toan Ki menghiburnya.

Aneh juga, Yanci itu ternyata obat mujarab benar,
cespleng, seketika darah berhenti mengucur keluar.
Selang sebentar, dari luka itu merembes keluar air
kuning.

Melihat keanehan itu Toan Ki menggerundel sendiri,
"Obat luka juga dibikin seperti Yanci, sungguh pikiran
anak gadis sukar diraba."

248




Setelah capek setengah hari, baru sekarang perasaan
Toan Ki tenang kembali. Ia dengar suara berisik di
seberang jurang sana tadi sudah berhenti. Pikirnya,
"Jangan-jangan mereka benar-benar memanjat kemari
melalui bawah jurang?"

Cepat ia merayap ke tepi jurang sana dan melongok
ke bawah. Astaga celaka 13, dugaannya ternyata benar,
belasan orang di seberang jurang itu sedang
memberosot ke bawah dengan perlahan. Betapa dalam
jurang itu tentu juga ada dasarnya, asal orang-orang itu
sudah mencapai dasar jurang, tidak berapa lama pasti
akan memanjat ke sebelah sini.

Toan Ki menjadi bingung, pikirnya, "Kalau musuh naik
kemari, aku dan Bok-kohnio terpaksa terima ajal saja,
lantas bagaimana baiknya sekarang?"

Walaupun tak bisa silat, menghadapi pilihan antara
hidup dan mati, terpaksa ia berdaya sebisanya.

Ia coba periksa sekitarnya, lebih dulu ia memondong
Bok Wan-jing ke balik sebuah batu padas yang menonjol,
lalu sibuk mengumpulkan batu di tepi jurang sana.
Memangnya di situ banyak terdapat batu, maka tiada
lama, sudah beratus potong batu disiapkan.

Setelah selesai tugasnya, ia duduk di samping Bok
Wan-jing untuk memulihkan semangat. Sepanjang
malam ia tidak tidur, sesungguhnya ia sangat lelah,
sedikit pejamkan mata, rasanya sudah akan pulas. Tapi
menyadari kalau musuh tidak lama bakal datang, mana
berani ia tidur?

249




Sayup-sayup ia mencium bau wangi yang teruar dari
badan Bok Wan-jing, pikirnya, "Nona Bok ini berjuluk
'Hiang-yok-jeh', sungguh janggal juga bau harum
demikian dihubung-hubungkan dengan poyokannya
sebagai kuntilanak."

Tadi waktu mencoba pernapasan hidung Bok Wanjing,
ia telah sedikit menyingkap kain kedok mukanya di
bawah hidung, tatkala itu ia tidak perhatikan bagaimana
bentuk mulut hidungnya, entah pesek, entah mancung.
Tapi kini ia tidak berani sembarangan membuka lagi
kedok si gadis untuk melihatnya lebih jelas.

Bila diingat-ingat kembali, rasanya kulit muka nona itu
sangat putih, ya, paling tidak, pasti tidak menakutkan.

Dalam keadaan tak sadarkan diri, kalau Toan Ki mau
membuka kedok Bok Wan-jing pasti takkan diketahui
olehnya. Tapi Toan Ki merasa ragu, ingin melihat
mukanya, rasanya takut pula, pikirnya, "Tanpa sebab
apa-apa aku ikut menempuh bahaya dengan dia,
tampaknya 9/10 bagian pasti akan gugur bersama. Bila
sampai saat binasa aku masih belum melihat mukanya
yang sebenarnya, bukankah penasaran sekali?"

Namun dalam hati kecilnya ia berkhawatir pula kalaukalau
muka si gadis benar-benar sejelek setan, sebab
kalau tidak jelek, kenapa sepanjang masa selalu
berkedok?

Apalagi orang berjuluk "Hiang-yok-jeh", si kuntilanak
harum, harumnya memang tulen, bermuka sejelek setan
mungkin juga tidak palsu. Kalau melihat tindak tanduknya
yang ganas keji, rasanya gadis itu pun tidak berjodoh

250




dengan wajah "cantik molek". Karena itulah ia ambil
keputusan takkan melihatnya.

Dalam keadaan ragu-ragu itu, akhirnya Toan Ki
terpulas saking letihnya.

Entah sudah berapa lamanya, mendadak ia terjaga
bangun dan berlari ke tepi jurang. Ia lihat ada 5-6 laki-laki
diam-diam sedang memanjat ke atas jurang. Dinding
jurang itu teramat curam, tidak mudah untuk mendaki ke
atas, orang-orang itu hanya merayap dengan susah
payah dengan berpegangan akar tumbuh-tumbuhan di
tepi jurang itu.

Diam-diam Toan Ki bersyukur musuh belum sampai
naik ke atas, segera ia ambil sepotong batu dan
disambitkan ke bawah sambil berteriak, "Jangan naik,
kalau tidak, jangan menyesal bila aku main kasar!"

Jarak orang-orang itu masih berpuluh meter dari Toan
Ki, untuk menyerang dengan senjata rahasia terang tak
sampai, maka demi mendengar ancaman Toan Ki itu,
mereka berhenti sambil mendongak, setelah ragu-ragu
sejenak, kembali mereka merayap naik lagi di bawah
lindungan batu karang yang menonjol di sana-sini.

Menimpuk batu dari atas ke bawah tidaklah susah,
maka beruntun Toan Ki melemparkan beberapa potong
batu. Segera terdengar suara jeritan ngeri dua kali, dua
orang di antaranya kena tertimpuk batu dan jatuh
tergelincir ke bawah jurang, terang mereka pasti akan
jatuh hancur lebur.

251




Sejak kecil Toan Ki rajin menjalankan ibadah agama,
ilmu silat saja tidak sudi dilatihnya. Kini untuk pertama
kalinya membunuh orang, ia menjadi ketakutan sendiri
hingga pucat lesi.

Semula ia hanya bermaksud menggertak saja agar
orang-orang itu mau pergi, tak terduga dua orang telah
terbinasa oleh batunya itu. Ia merasa tidak tenteram,
walaupun tahu juga bila orang berhasil memanjat ke
atas, maka dirinya dan Bok Wan-jing yang akan terbunuh
oleh mereka.

Dalam pada itu, khawatir kalau diserang lagi dari atas,
sebagian orang itu terus merayap balik ke bawah. Ada
satu di antaranya agak gugup hingga terpeleset dan
jatuh ke jurang lagi.

Toan Ki terkesima sejenak, kemudian ia kembali ke
samping Bok Wan-jing, ia lihat gadis itu sudah duduk
sambil bersandar di batu. Kejut dan girang sekali Toan
Ki, tanyanya, "Kau ... kau sudah baik, nona Bok?"

Bok Wan-jing tak menjawabnya, dengan termangumangu
ia pandang pemuda itu, sinar matanya yang
memancar dari balik kedok itu tampak bengis tak kenal
ampun.

"Rebahlah, mengaso saja, akan kucarikan air minum
untukmu," demikian Toan Ki menghiburnya.

"Ada orang hendak memanjat kemari, bukan?" tanya
sinona.

252




Tak tertahan lagi air mata Toan Ki berlinang-linang,
katanya dengan terguguk-guguk, "Ya, aku ... aku telah
mem ... membunuh dua orang tanpa sengaja ... dan ...
dan seorang pula jatuh binasa ketakutan."

Bok Wan-jing menjadi heran melihat pemuda itu
menangis, tanyanya, "Lalu, kenapa?

"O, Tuhan Maha Pengasih, tan ... tanpa sebab aku
telah membunuh orang, ti ... tidak kecil dosaku ini!"
demikian Toan Ki meratap. Ia merandek sejenak, lalu
menyambung lagi, "Kalau ketiga orang itu punya anak
istri dan orang tua, bila mendengar berita kematian
mereka, tentu akan ... akan sangat sedih, O, sung ...
sungguh aku berdosa ... aku berdosa!"

Baru sekarang Bok Wan-jing paham sebab apa
pemuda itu menangis, katanya dengan tertawa dingin,
"Huh, kau sendiri kan juga punya anak istri dan orang
tua?"

"Orang tua sih punya, istri belum," sahut Toan Ki.

Sekilas Bok Wan-jing memancarkan sinar mata yang
aneh, tapi sorot mata aneh itu hanya sekejap lantas
lenyap, segera kembali pada sinar matanya yang tajam
dan dingin itu, katanya, "Dan kalau mereka berhasil
memanjat ke sini, mereka akan membunuhmu dan
membunuhku atau tidak?"

"Ya, mungkin sekali mereka akan membunuh kita,"
sahut Toan Ki.

253




"Hm, jadi kau lebih suka dibunuh daripada
membunuh?" begitu tanya Wan-jing.

Toan Ki berpikir sejenak, kemudian menjawab, "Jika
... jika melulu diriku, aku pasti takkan membunuh orang.
Tapi ... tapi aku tak dapat membiarkan engkau dibunuh
mereka."

"Sebab apa?" bentak Bok Wan-jing dengan bengis.

"Engkau pernah menolongku, dengan sendirinya aku
pun ingin menolongmu," sahut Toan Ki.

"Ingin kutanya padamu, jika kau berdusta, segera
panah dalam bajuku ini akan mencabut nyawamu," kata
si nona pula sambil sedikit angkat tangannya mengincar
tenggorokan Toan Ki.

"Eh, sekian banyak orang yang kau bunuh, kiranya
panahmu dibidikkan dari dalam lengan baju," ujar Toan
Ki.

"Tolol, kau takut tidak padaku?" tanya si nona

"Engkau toh takkan membunuh aku, kenapa aku
takut?"

"Jika kau bikin marah padaku, bukan mustahil kau
akan kubunuh," kata Wan-jing "Sekarang jawablah
pertanyaanku, diam-diam kau melihat wajahku atau
tidak?"

"Tidak," sahut Toan Ki menggeleng kepala.

254




"Benar-benar tidak?" si nona menegas. Suaranya
makin lama makin rendah, kedok di jidatnya itu tampak
basah sebagian, agaknya terlalu keras memakai tenaga,
maka keringat merembes keluar, namun suaranya masih
tetap bengis.

"Ya, buat apa aku dusta," demikian sahut Toan Ki
pula.

"Pada waktu aku pingsan, kenapa tidak kau buka
kedokku?"

"Yang kupikir hanya mengobati luka pada bahumu itu,
tidak kupikirkan hal itu," ujar Toan Ki.

Mendadak Bok Wan-jing ingat sesuatu, ia menjadi
gusar dan gugup, dengan napas tersengal-sengal ia
berkata, "Jadi ... jadi kau telah melihat ... melihat kulit
badanku bagian bahu? Kau membubuhkan obat pada
lukaku?"

"Ya," sahut Toan Ki dengan tertawa. "Sungguh tidak
nyana bahwa Yancimu itu ternyata begitu manjur."

"Coba kau kemari, payang aku sebentar," pinta si
nona.

"Baiklah," sahut Toan Ki. "Memangnya engkau tak
perlu banyak bicara, lebih baik mengaso dulu, nanti
mencari jalan buat menyelamatkan diri."

Sembari berkata, terus saja Toan Ki mendekati si
nona. Tak tersangka, belum lagi tangannya memegang

255




tangan si nona, "plok", tahu-tahu pipi kena dipersen
sekali gamparan.

Begitu keras tempelengan itu hingga kepala Toan Ki
pusing tujuh keliling, tubuh sampai ikut berputar.

"Ken ... kenapa kau pukul aku?" tanya Toan Ki sambil
memegang pipinya.

"Bangsat kurang ajar, kau berani menyentuh badanku
dan ... dan melihat bahuku ...." saking gusarnya saja Bok
Wan-jing jatuh pingsan lagi.

Dalam kejutnya Toan Ki menjadi lupa orang baru saja
menggampar pipinya, cepat ia memburu maju untuk
membangunkan si gadis. Ia lihat lukanya mengeluarkan
darah lagi, rupanya waktu menampar Toan Ki tadi, nona
itu banyak mengeluarkan tenaga, maka lukanya yang
mulai rapat itu menjadi pecah pula.

Toan Ki menjadi ragu, si nona telah marah-marah
karena kulit badannya dilihat orang, tapi kalau tak
ditolong, mungkin jiwanya akan melayang karena terlalu
banyak mengeluarkan darah. Urusan sudah kadung
begini, terpaksa berbuat sebisanya, paling-paling
dipersen lagi dua kali tamparan. Demikian pikir Toan Ki.

Segera ia robek kain baju sendiri untuk
membersihkan darah di sekitar luka si nona. Ia lihat kulit
badan nona itu putih bersih laksana salju. Ia tidak berani
lama-lama memandangnya, buru-buru ia poles sedikit
Yanci tadi pada lukanya.

256




Sekali ini Bok Wan-jing cepat siuman, dengan sorot
mata yang bengis ia pelototi Toan Ki. Takut digampar
lagi, Toan Ki tidak berani dekat-dekat dengan gadis itu.

"Kembali kau ... kau ...." karena merasa bahunya silirsilir
dingin, Bok Wan-jing tahu pemuda itu telah
membubuhi obat di atas lukanya lagi.

"Ya, terpaksa, aku ... aku tak dapat tinggal diam,"
sahut Toan Ki sambil angkat bahu.

Saking gugupnya hingga napas Bok Wan-jing
tersengal-sengal, dalam keadaan lemas, ia menjadi
susah berbicara.

Toan Ki mendengar di sisi kiri sana ada suara
gemerciknya air, segera ia berlari ke sana dan
mendapatkan sebuah selokan dengan air pegunungan
yang jernih.

Ia cuci bersih kedua tangan sendiri, lalu meraup air
gunung itu untuk diminum beberapa ceguk. Kemudian ia
meraup air jernih itu kembali ke samping Bok Wan-jing,
katanya, "Bukalah mulutmu, minum air ini!"

Setelah banyak mengeluarkan darah, mulut Bok Wanjing
memang terasa kering, segera ia singkap sebagian
kain kedoknya sehingga tertampak mulutnya.

Tatkala itu sudah tengah hari, di atas pegunungan itu
terang benderang. Toan Ki melihat dagu si gadis agak
lonjong, nyata mukanya potongan daun sirih, kulit
mukanya putih halus seperti bahunya, mulutnya yang
kecil mungil dengan bibir tipis, kedua larik giginya seputih

257




mutiara dan rajin. Hati Toan Ki terguncang, "Dia ...
sesungguhnya seorang gadis cantik!"

Sementara itu air merembes jatuh dari sela-sela jari
tangan Toan Ki, muka Bok Wan-jing terciprat butir-butir
air hingga mirip rintik embun di atas bunga teratai pada
pagi hari.

Toan Ki terkesima sejenak, ia tidak berani lama-lama
memandangnya, cepat ia berpaling ke arah lain.

"Lagi, ambilkan lagi!" pinta si nona sehabis minum air
dari tangan Toan Ki itu.

Berturut-turut tiga kali Toan Ki meraupkan air gunung
itu baru lenyap rasa dahaga Bok Wan-jing.

Kemudian Toan Ki mengintai pula ke tepi jurang, ia
lihat di seberang sana masih tinggal beberapa orang
dengan busur dan panah lagi mengawasi seberang sini.

Ketika melongok pula ke bawah jurang, ia tidak
melihat ada orang memanjat ke atas. Tapi dapat diduga
musuh pasti tak mau berhenti begitu saja, tentu sedang
berusaha mencari jalan untuk mengejar kemari.

Tiba-tiba Toan Ki ingat racun Toan-jiong-san yang
diminumnya dari Sikong Hian itu dalam beberapa hari ini
pasti akan mulai bekerja, andaikan musuh tidak mengejar
kemari dan mereka berdua tidak mati oleh luka dan racun
masing-masing, akhirnya tentu juga akan mati kelaparan
di atas bukit yang tandus ini.

258




Karena itu, dengan lesu Toan Ki kembali ke samping
Bok Wan-jing lagi, katanya, "Sayang di atas gunung tiada
tetumbuhan apa pun, kalau ada akan kupetik beberapa
biji untuk melenyapkan kelaparanmu."

"Sudahlah, apa gunanya banyak bicara yang tidaktidak?"
sahut Bok Wan-jing. "Coba ceritakan, bagaimana
kau kenal anak dara keluarga Ciong itu? Kenapa kau
berani sembarangan memalsukan aku untuk
menolongnya?"

Toan Ki menjadi malu oleh pertanyaan itu, sahutnya,
"Aku memang tidak pantas menyamar dirimu untuk
menolongnya. Soalnya karena terpaksa, maka kuharap
engkau jangan marah."

Bok Wan-jing hanya mendengus saja sekali, tidak
menyatakan marah, juga tidak bilang tidak marah.

Maka berceritalah Toan Ki cara bagaimana ia kenal
Ciong Ling di Kiam-oh-kiong tempo hari ketika dirinya
dianiaya orang dan gadis itu telah menolongnya.

"Hm, kalau tidak paham ilmu silat, kenapa ikut campur
urusan Kangouw? Apa barangkali kau sudah bosan
hidup?" jengek Bok Wan-jing seusai mendengarkan
cerita Toan Ki.

"Urusan sudah telanjur begini, menyesal juga tak
berguna," ujar Toan Ki gegetun. "Cuma membikin nona
ikut susah, aku merasa tidak enak sekali".

"Kau bikin susah aku apa?" kata si nona.
"Permusuhanku dengan orang-orang itu adalah karena

259




perbuatanku sendiri. Sekalipun di dunia ini tiada seorang
kau, mereka juga tetap akan mengeroyok aku. Tapi, bila
tiada dirimu, tentu aku tidak perlu khawatir dan bisa ...
bisa membunuh sepuas-puasku daripada mati konyol di
atas karang tandus ini."

Ketika mengucapkan kata-kata "tidak perlu khawatir",
ia merandek sejenak, ia merasa ucapan terus terang
menyatakan khawatir atas diri pemuda itu rada kurang
patut, ia merasa jengah. Untung ia berkedok hingga
mimik wajahnya tidak kelihatan.

Toan Ki tidak memerhatikan nada ucapan orang yang
agak aneh itu, sebaliknya menyangka nona itu bicara
dalam keadaan sedih, maka ia malah menghiburnya,
"Sudahlah, asal nona mengaso beberapa hari lagi hingga
luka bahumu sembuh, lalu kita terjang keluar, belum
tentu musuh mampu menahan nona."

"Hm, enak saja kau bicara," kata Bok Wan-jing
dengan menjengek, "melulu itu Oh-pek-kiam Su An saja
aku hanya sanggup bertempur sama kuat dengan dia,
apalagi aku menderita luka ...."

Belum habis ucapannya, sekonyong-konyong dari
seberang karang sana berkumandang suara suitan tajam
mengerikan hingga udara seluruh lembah gunung ikut
mendenging-denging.

Mendengar suara suitan aneh itu, tak tertahan lagi
hati Bok Wan-jing tergetar, katanya dengan suara
gemetar, "Dia ... dia datang!"

Segera tangan Toan Ki dipegangnya erat-erat.

260




Suara suitan itu masih terus mendengung hingga
lama di angkasa pegunungan dan sahut-menyahut,
suara kumandangnya juga semakin keras hingga telinga
Toan Ki seakan-akan pekak. Ia merasa tangan Bok Wanjing
gemetar tiada hentinya, jelas gadis itu sangat
ketakutan.

Sejak Toan Ki kenal dia, biarpun di tengah kerubutan
musuh, gadis itu tetap berlaku tenang, musuh dianggap
barang sepele saja. Tapi kini, begitu suara suitan itu
berbunyi, seketika Hiang-yok-jeh yang biasanya ditakuti
orang itu berbalik ketakutan sendiri, maka dapatlah
dibayangkan betapa lihai orang yang datang itu.

Sampai lama sekali, perlahan suara suitan tadi
barulah berhenti.

"Siapa orang itu?" tanya Toan Ki perlahan.

"Sekali orang ini datang, jiwaku pasti tak bisa selamat
lagi," ujar si nona. "Maka lebih baik kau cari jalan buat lari
saja, jangan ... jangan urus diriku lagi."

Bab 6

"Nona Bok, rupanya engkau terlalu menilai rendah
orang she Toan ini," sahut Toan Ki tertawa, "Masa orang
she Toan adalah manusia berkualitas demikian?"

Dengan matanya yang jeli si nona memandang
termangu-mangu sejenak kepada pemuda itu dengan
penuh haru dan pilu, katanya kemudian dengan suara
mesra, "Guna apakah kau ikut mati bersama aku? Kau ...
kau tidak tahu betapa ganasnya orang itu."

261




Sejak kenal belum pernah Toan Ki mendengar gadis
itu bicara dengan suara sedemikian halus, ia merasa
datangnya suara suitan tadi benar-benar telah mengubah
Hiang-yok-jeh menjadi seorang manusia lain.

Toan Ki menjadi girang malah, sahutnya dengan
tersenyum, "Nona Bok, aku senang sekali mendengar
suara ucapanmu ini, dengan demikian, engkau barulah
benar-benar seorang nona yang cantik molek."

"Hm," mendadak Bok Wan-jing menjengek dan tanya
dengan suara bengis, "dari mana kau tahu aku cantik?
Jadi benar telah kau lihat wajahku, ya?"

Habis berkata, genggaman tangannya terus
diperkeras sehingga tangan Toan Ki seperti terjepit
tanggam, saling kesakitan hampir-hampir pemuda itu
menjerit.

"Aku tidak melihat wajahmu," sahut Toan Ki kemudian
dengan menghela napas, "tapi ketika memberi air minum
padamu, aku memang melihat sebagian mukamu,
walaupun hanya sebagian saja, namun sudah jelas
engkau pasti cantik molek tiada taranya."

Betapa pun ganasnya Bok Wan-jing, sekali wanita
tetap wanita. Dan wanita mana di dunia ini yang tidak
suka akan pujian? Apalagi dipuji berwajah cantik?

Maka sekali hati merasa senang, genggamannya
lantas dikendurkan, katanya, "Baiklah, lekas kau cari
suatu tempat untuk bersembunyi, tak peduli apa pun

262




yang terjadi, jangan sekali-kali keluar. Sebentar lagi
orang itu akan naik ke sini."

Toan Ki terperanjat, serunya, "Wah, jangan sampai
dia naik ke sini!"

Segera ia berlari ke tepi gunung, tapi pandangannya
menjadi silau oleh berkelebatnya bayangan seorang
berbaju kuning yang lagi melompat-lompat ke atas tebing
dengan kecepatan dan kegesitan luar biasa.

Tebing jurang itu sangat curam dan licin, tapi orang itu
dapat mendaki bagai di tanah datar saja, jauh lebih gesit
daripada bangsa kera.

Diam-diam Toan Ki berkhawatir, segera ia
menggembor, "Hai, orang itu! Jangan kau naik lagi! Jika
tak menurut, awas akan kutimpuk dengan batu!"

Orang itu menyambutnya dengan terbahak-bahak,
lompatannya ke atas menjadi terlebih cepat malah.

Melihat sedemikian lihainya orang itu dan Bok Wanjing
sedemikian takut padanya, Toan Ki pikir betapa pun
orang ini harus dirintangi ke atas, tapi ia tidak ingin
membunuh orang lagi, segera ia ambil sepotong batu
dan ditimpukkan ke samping orang itu.

Walaupun batu itu tidak terlalu besar, tapi ditimpukkan
dari atas, suaranya cukup keras menakutkan.

Toan Ki berseru pula, "Hai, kau lihat tidak? Kalau
kutimpuk kepalamu, pasti jiwamu akan melayang! Maka
lekas kau turun ke bawah saja!"

263




"Kau bocah ini rupanya sudah bosan hidup, berani
kurang ajar padaku!" tiba-tiba orang itu tertawa dingin.
Suaranya tidak keras, tapi seucap dan sekata dapat
didengar Toan Ki dengan jelas.

Melihat orang sudah melompat naik lebih dekat lagi,
keadaan sudah gawat, Toan Ki segera angkat dua
potong batu terus ditimpukkan ke atas kepala orang itu
sambil pejam mata, ia tidak berani menyaksikan adegan
ngeri atas nasib orang yang bakal tergelincir ke bawah
jurang.

Ia dengar suara gedebukan batu-batu yang
menggelinding ke bawah, menyusul terdengar suara
menderu dua kali dibarengi suara tertawa panjang orang
itu.

Keruan Toan Ki heran, cepat ia buka mata, ia lihat
kedua potong batu tadi lagi melayang ke tengah jurang,
sebaliknya orang itu baik-baik saja tak kurang suatu apa
pun.

Sekali ini Toan Ki benar-benar khawatir, lekas ia
memberondongi orang itu dengan timpukan batu lagi.
Tapi setiap batu yang melayang sampai di atas
kepalanya, sekali lengan baju orang itu mengebut, batu
itu lantas mencelat ke samping dan jatuh ke jurang,
terkadang orang itu malah melompat ke atas lagi
sehingga timpukan batu itu luput.

Dalam gugupnya, sekaligus Toan Ki telah berondongi
orang itu dengan puluhan potong batu. Namun orang itu

264




sedikit pun tidak cedera, bahkan sejengkal pun tak dapat
merintangi majunya orang itu ke atas.

Melihat gelagat bakal celaka, lekas Toan Ki berlari
kembali ke samping Bok Wan-jing dan berkata dengan
suara terputus-putus, "No ... nona Bok, orang itu sang ...
sangat lihai, ma ... marilah kita lekas lari!"

"Sudah terlambat!" sahut Bok Wan-jing dengan
dingin.

Dan selagi Toan Ki hendak bicara pula, sekonyongkonyong
tubuhnya terasa didorong oleh suatu tenaga
mahadahsyat hingga mencelat ke depan bagai terbang,
"bluk", akhirnya ia terbanting di dalam semak-semak
pohon hingga kepala pusing tujuh keliling dan hampirhampir
jatuh kelengar.

Untung tanah di situ banyak tumbuh pepohonan
pendek, hanya mukanya saja lecet sedikit, tapi tidak
sampai terluka berat.

Buru-buru ia merangkak bangun, sementara itu
tertampak orang berbaju kuning tadi sudah berdiri di
depan Bok Wan-jing.

Khawatir orang itu mencelakai Bok Wan-jing, cepat
Toan Ki lari maju dan mengadang di tengah-tengah
mereka sambil menegur, "Siapakah engkau? Kenapa
menganiaya orang dengan cara semena-mena?"

"Le ... lekas kau lari, jangan tinggal di sini!" seru Bok
Wan-jing khawatir.

265




Hati Toan Ki berdebar-debar juga, namun ia
tenangkan diri sebisanya sambil memerhatikan
pendatang itu.

Ternyata buah kepala orang itu besarnya luar biasa,
sebaliknya kedua matanya bundar kecil hingga mirip dua
biji kacang menyelempit di atas semangka. Namun sinar
matanya menyorot tajam ketika menatap Toan Ki, tanpa
merasa pemuda itu bergidik.

Perawakan orang itu pun sedang saja, berewoknya
pendek kaku seperti sikat kawat, tapi usianya sukar
diduga. Kedua tangannya panjang melampaui lutut,
sedang jarinya panjang lancip serupa cakar.

Waktu mula-mula Toan Ki melihat orang itu, ia
merasa wajah orang sangat jelek. Tapi kini timbul
perasaan lain, makin dipandang, semakin terasa
perawakan orang itu dan anggota badannya, bahkan
dandanannya sangat cocok dengan orangnya.

"Kemarilah sini berdiri di sampingku!" demikian kata
Bok Wan-jing pula.

"Tapi dia ... dia akan mencelakaimu?" ujar Toan Ki
khawatir.

"Hm, melihat lagakmu ini, apakah kau tahan sekali
hantam dari 'Lam-hay-gok-sin'?" jengek Bok Wan-jing.
Tapi mau tak mau ia terharu juga melihat pemuda itu
ingin melindunginya tanpa pikirkan keselamatan sendiri.

Toan Ki pikir memang benar kalau orang aneh ini
hendak mengenyahkan dirinya, memang tidak perlu

266




susah payah, lebih baik jangan membikin marah
padanya.

Segera ia berdiri di samping Bok Wan-jing dan
berkata pula, "Apakah Anda yang berjuluk 'Lam-hay-goksin'?
Dalam beberapa hari ini sudah banyak aku bertemu
dengan berbagai Enghiong-hohan (pahlawan dan
kesatria), tapi ilmu silat Anda tampaknya adalah yang
paling lihai. Telah kutimpuk engkau dengan berpuluh
potong batu, tapi tiada sepotong pun yang mengenaimu."

Dasar watak manusia, siapa yang tidak suka dipuji
dan diumpak? Begitu pula dengan Lam-hay-gok-sin atau
si malaikat buaya dari laut selatan ini. Sifat Lam-hay-goksin
ini biasanya kejam tak kenal ampun, tapi demi
mendengar Toan Ki memuji ilmu silatnya sangat lihai, ia
menjadi senang juga.

Ia terkekek tawa dua kali, lalu berkata,
"Kepandaianmu tidak berarti, tapi pandanganmu masih
boleh juga. Baiklah, kau enyah saja, kuampuni jiwamu!"

Girang Toan Ki tidak kepalang, sahutnya cepat, "Jika
demikian, engkau juga mengampuni Bok-kohnio
sekalian!"

Lam-hay-gok-sin itu tidak menjawab, hanya kedua
matanya yang bulat kecil itu mendelik, mendadak ia
melangkah maju, sekali kebut, lengan bajunya membuat
Toan Ki terhuyung-huyung mundur beberapa tindak, lalu
katanya dengan suara bengis, "Sekali lagi berani kau
melangkah maju, tentu takkan kuampuni jiwamu lagi!"

267




Toan Ki percaya orang berani berkata tentu berani
berbuat, ia pikir lebih selamat biarlah kulihat gelagat dulu.
Maka ia tidak berani sembarang bertindak pula.

Dalam pada itu terdengar Lam-hay-gok-sin lagi
berkata kepada Bok Wan-jing, "Kau inikah yang bernama
Hiang-yok-jeh Bok Wan-jing?"

"Benar," sahut si nona. "Sudah lama kudengar nama
besar Lam-hay-gok-sin Gak-loyacu, ternyata memang
tidak bernama kosong. Siaulicu (aku perempuan kecil)
terluka parah, maaf tak dapat memberi hormat kepada
engkau orang tua!"

Mendengar itu, diam-diam Toan Ki mendengus di
dalam hari, "Hm, terhadap diriku kau garang melebihi
setan, tak tahunya kau juga seorang yang cuma berani
kepada kaum lemah tapi jeri pada yang jahat. Melihat
orang lebih galak daripadamu, lantas kau panggil Loyacu
(kakek) segala!"

Sementara itu terdengar Lam-hay-gok-sin lagi
menjengek, "Hah, kabarnya kau mempunyai beberapa
jurus juga, kenapa bisa terluka parah?"

"Aku dikeroyok Su An, Cin Goan-cun, Sin Si-nio dan
Hui-sian berempat, kedua kepalanku tak dapat melawan
delapan tangan mereka, maka aku kena dilukai oleh
gurdi baja Sin Si-nio," tutur Bok Wan-jing.

"Berengsek, tak kenal malu, orang begitu banyak
mengerubut seorang nona!" kata Lam-hay-gok-sin
dengan gusar.

268




"Benar itu, engkau orang tua ternyata lebih
bijaksana!" segera Toan Ki menanggapi. "Jangankan
main keroyok, setiap lelaki memangnya juga tidak pantas
berkelahi dengan wanita. Tapi mereka justru mengerubuti
seorang nona lemah, terhitung orang gagah macam
apakah itu? Kalau cerita ini tersiar di kalangan Kangouw,
bukankah akan dibuat buah tertawaan orang?"

Lam-hay-gok-sin tidak menjawab, hanya mengangguk
sambil mendelik.

Diam-diam Toan Ki bergirang, "Telah kukunci dia
dengan kata-kata tadi, lalu mengumpaknya lagi setinggi
langit, yang penting semoga dapat terhindar dari
kesulitan di depan mata ini."

Tapi ia dengar Lam-hay-gok-sin sedang tanya pula,
"Sun He-khek dibunuh olehmu atau bukan?"

"Benar!" sahut Bok Wan-jing.

"Dia adalah murid kesayanganku, kau tahu tidak?"
tanya Lam-hay-gok-sin alias si malaikat buaya dari laut
selatan.

Mendengar itu, diam-diam Toan Ki mengeluh, "Wah,
celaka! Kiranya Bok-kohnio telah membunuh murid
kesayangannya, urusan ini menjadi susah diselesaikan."

Ia dengar Bok Wan-jing lagi menjawab, "Waktu
kubunuh dia tidak tahu, beberapa hari kemudian baru
tahu."

"Kau takut padaku tidak?" tanya Lam-hay-gok-sin.

269




"Tidak!" sahut si nona tegas.

Lam-hay-gok-sin menjadi murka, ia meraung sekali
hingga lembah gunung itu seakan-akan terguncang. "Kau
berani tidak takut padaku, besar amat nyalimu, ya?
Siapakah yang kau andalkan, hah?"

"Engkaulah yang kuandalkan!" sahut Bok Wan-jing
dengan dingin.

Lam-hay-gok-sin melengak oleh jawaban itu, segera
ia membentak, "Ngaco belo! Kenapa aku yang kau
andalkan?"

"Engkau orang tua diagungkan di dunia persilatan,
kepandaianmu tiada bandingannya, mana mungkin
engkau bergebrak dengan seorang perempuan yang
terluka parah!" sahut Wan-jing.

Ucapan ini setengahnya mengandung umpakan, tapi
memaksa Lam-hay-gok-sin tidak bisa berbuat apa-apa.

Benar juga, setelah tertegun sejenak, malaikat buaya
lautan selatan itu lantas terbahak-bahak, serunya, "Benar
juga ucapanmu."

Habis ini, mendadak ia tarik muka lagi dan berkata,
"Hari ini biarlah aku tidak membunuh kau. Ingin kutanya
padamu, kabarnya kau senantiasa memakai kedok, siapa
pun dilarang melihat wajahmu. Kalau ada orang yang
melihatnya, jika tidak kau bunuh dia, maka kau akan
kawin padanya. Apakah betul kabar ini?"

270




Toan Ki terperanjat oleh pertanyaan itu, ia lihat Bok
Wan-jing mengangguk sebagai jawaban, keruan ia
tambah sangsi.

"Sebab apa kau pakai peraturan aneh itu?" tanya
Lam-hay-gok-sin.

"Itu adalah sumpah yang kuucapkan di hadapan
Suhuku." sahut si nona. "Jika tidak demikian, Suhu
takkan mengajarkan ilmu silat padaku."

"Siapakah gurumu itu?" tanya Gok-sin. "Mengapa
begitu aneh dan tidak kenal peradaban orang hidup."

Sahut Wan-jing dengan angkuh, "Aku
menghormatimu sebagai kaum Cianpwe, tapi kau
gunakan kata-kata tidak pantas untuk menghina guruku,
itulah tidak patut."

"Praak!" mendadak Lam-hay-gok-sin menghantam
sepotong batu padas di sampingnya, seketika batu kerikil
berhamburan, muka Toan Ki kesakitan juga terciprat oleh
batu kerikil itu.

Diam-diam ia terkesiap, "Sedemikian lihai ilmu silat
orang ini, sekali hantam membikin batu hancur lebur,
kalau badan manusia yang digenjot, apakah masih bisa
hidup?"

Namun ketika dia memandang ke arah Bok Wan-jing,
ia lihat gadis itu bersikap dingin-dingin saja, sedikit pun
tidak gentar oleh ilmu silat Lam-hay-gok-sin yang tiada
taranya itu.

271




Sementara itu, sesudah memelototi Bok Wan-jing
sekejap, lalu Lam-hay-gok-sin berkata lagi, "Baik, anggap
ucapanmu tadi memang benar. Sekarang aku ingin
tanya, siapakah gelaran gurumu yang terhormat itu?"

"Guruku bernama "Bu-beng-khek" (orang tak
bernama)", sahut Wan-jing.

"Bu-beng-khek?" demikian Lam-hay-gok-sin
mengulangi nama itu sambil mengingat-ingat kembali.
"Tidak pernah kudengar nama itu!"

"Sudah tentu, rasanya kau pun takkan pernah
mengenalnya," jengek Bok Wan-jing.

Sekonyong-konyong Lam-hay-gok-sin perkeras
suaranya dan membentak, "Kematian muridku Sun Hekhek
itu apakah disebabkan dia ingin melihat wajahmu?"

"Yang paling kenal sang murid tiada lebih daripada
sang guru," sahut Bok Wan-jing dengan dingin. "Baik
sekali bila engkau sudah kenal tabiat muridmu itu."

Memangnya Lam-hay-gok-sin cukup kenal muridnya
itu berwatak bajul buntung, kalau mati akibat
perbuatannya itu juga tidak perlu heran. Cuma, menurut
peraturan "Lam-hay-pay" mereka, selamanya satu guru
satu murid. Dengan tewasnya Sun He-khek, itu berarti
jerih payahnya mendidik murid selama berpuluh tahun itu
ikut hanyut ke laut.

Maka semakin dipikir semakin gusar, sekonyongkonyong
ia berteriak, "Baik, aku akan menuntut balas
bagi muridku itu!"

272




Melihat wajah orang mendadak berubah beringas
menakutkan, begitu murka hingga air mukanya ikut
berubah merah padam, Bok Wan-jing dan Toan Ki
menjadi jeri. Sungguh tak tersangka oleh mereka bahwa
air muka seorang bisa berubah begitu hebat.

Cepat Toan Ki melangkah maju, tapi segera teringat
akan ancaman orang tadi, kembali ia melangkah mundur,
lalu berkata, "Gak-locianpwe, bukankah engkau tadi
sudah menyatakan takkan membunuh dia?"

Tapi Lam-hay-gok-sin tak menggubrisnya, ia tanya
Bok Wan-jing lagi, "Dan muridku itu berhasil melihat
wajahmu tidak?"

"Tidak!" sahut si nona.

"Bagus!" seru Lam-hay-gok-sin. "He-khek mati pun
tentu tidak rela, biarlah aku mewakili dia melihat
wajahmu. Ingin kulihat apakah mukamu seburuk setan
atau secantik bidadari!"

Kejut Bok Wan-jing sungguh bukan buatan. Sesuai
sumpahnya di hadapan sang guru, kalau sekarang Lam-
hay-gok-sin memaksa melihat wajahnya, sedang dirinya
tak mampu membunuhnya, lalu apakah harus kawin
dengan dia?

Dalam gugupnya, cepat ia berkata, "Engkau adalah
tokoh terkemuka kalangan Bu-lim, mana boleh berbuat
serendah dan sekotor ini?"

273




"Hm, di antara 'Sam-sian-su-ok' (tiga tokoh bajik dan
empat orang jahat), akulah satu di antara 'Su-ok' itu,
kejahatanku memang sudah terkenal di mana-mana,
takut apa lagi?" sahut Lam-hay-gok-sin dengan tertawa
dingin. "Selama hidupku hanya kenal suatu aturan, yaitu
tidak membunuh orang yang tidak mampu melawan.
Kecuali itu, tiada sesuatu kejahatan lain yang tak
kulakukan. Maka lebih baik kau menurut dan tanggalkan
kedokmu sendiri, agar aku tidak perlu turun tangan lagi."

"Apakah engkau harus ... harus melihat?" sahut Bok
Wan-jing dengan suara gemetar.

"Jangan kau banyak cincong lagi, jika rewel lagi,
sebentar tidak hanya kedokmu yang kubuka, bahkan
antero pakaianmu bisa kulucuti bulat-bulat," ancam Lam-
hay-gok-sin dengan bengis. "Apakah kau tidak
mendengar bahwa tahun yang lalu di kota Kayhong,
dalam semalam saja aku telah memerkosa dan
membunuh sembilan putri keluarga pembesar dan
bangsawan?"

Bok Wan-jing sadar urusan hari ini pasti tak dapat
dihindarkan lagi, ia coba mengedipi Toan Ki dengan
maksud mendesak pemuda itu lekas melarikan diri. Tapi
Toan Ki hanya menggeleng kepala saja.

Lam-hay-gok-sin sudah tidak sabar lagi, berewoknya
yang mirip sikat kawat itu menjengkit. "Huk!" sekali
bersuara, terus saja kelima jarinya yang mirip cakar itu
terus mencengkeram kedok Bok Wan-jing.

Tanpa pikir Wan-jing tekan pesawat rahasianya, tiga
batang panah kecil sekaligus menyambar ke depan

274




secepat kilat dan semuanya tepat mengenai perut Lam-
hay-gok-sin.

Tak terduga hanya terdengar "cret-cret-cret" tiga kali,
ketiga panah itu jatuh semua ke tanah. Sedikit Bok Wanjing
bergerak, kembali tiga panah berbisa terbang ke
depan, yang dua batang mengarah dada Lam-hay-goksin,
yang satu mengincar mukanya.

Tapi-kedua batang panah yang mengenai dada Lam-
hay-gok-sin tetap seperti membentur papan baja saja,
semuanya jatuh ke tanah. Bedanya cuma tidak
menerbitkan suara "crang-creng" yang nyaring, tapi
hanya bersuara "blak-blek" yang aneh.

Sedang panah ketiga ketika hampir mencapai
sasarannya, tiba-tiba Lam-hay-gok-sin ulur dua jarinya
dan menyelentik perlahan batang panah kecil itu, kontan
panah itu mencelat entah ke mana!

Hendaklah diketahui bahwa panah berbisa yang
dibidikkan Bok Wan-jing secepat kilat, banyak jago kelas
wahid telah tewas di bawah panahnya itu sebelum
melihat bayangan panah, Sekalipun tangkas dan gesit,
paling-paling juga cuma melompat berkelit saja.

Tapi kini Lam-hay-gok-sin bukan saja tidak mempan
dipanah, bahkan sempat angkat jarinya menyelentik,
sungguh selama hidup Bok Wan-jing belum pernah
menghadapi tokoh selihai ini, saking jerinya hampirhampir
nyalinya pecah, cepat ia berseru, "Nanti dulu,
jangan main kasar!"

275




Lam-hay-gok-sin tertawa dingin, sahutnya, "Menurut
aturanku, aku hanya tidak membunuh orang yang tidak
mampu membalas seranganku, tapi kau telah menyerang
aku. Maka aku akan melihat macam apa wajahmu,
kemudian mencabut nyawamu. Ini adalah salahmu
sendiri yang menyerang lebih dulu, jangan kau salahkan
aku melanggar aturan."

"Salah, salah!" tiba-tiba Toan Ki berteriak.

"Ada apa?" tanya Lam-hay-gok-sin sambil menoleh.

"Menurut aturan Locianpwe, engkau 'tidak membunuh
orang yang tidak mampu membalas seranganmu'
bukan?" Toan Ki menegas.

"Benar!" sahut Lam-hay-gok-sin dengan mata
mendelik.

"Ketetapan itu bisa diubah atau tidak?" tanya Toan Ki.

Lam-hay-gok-sin menjadi gusar, sahutnya, "Sekali
aturan sudah kutetapkan tidak bisa ditawar-tawar lagi!"

"Tapi kalau ada yang mengubahnya, orang macam
apakah dia itu?" desak Toan Ki.

"Orang itu adalah anak kura-kura (anak germo) dan
keturunan haram!" sahut si malaikat buaya dari laut
selatan.

"Bagus, bagus!" seru Toan Ki. "Tadi sebelum kau
serang Bok-kohnio, dia yang memanahmu dulu, itu
bukan 'balas menyerang', tapi harus disebut 'menyerang

276




lebih dulu'. Jika kau serang dia, dalam keadaan terluka
parah, pasti dia tidak mampu membalas sedikit pun.
Sebab itulah harus dikatakan dia mampu menyerang,
tapi tidak mampu balas menyerang. Bila kau bunuh dia,
itu berarti engkau telah mengubah peraturanmu sendiri,
dan kalau engkau mengubah aturanmu sendiri, itu berarti
engkau anak kura-kura dan keturunan haram!"

Ternyata dalam keadaan kepepet, Toan Ki terus main
pokrol bambu. Ia sengaja pancing omongan Lam-haygok-
sin untuk menjebaknya, lalu berdebat dengan dia
secara pokrol-pokrolan.

Keruan Lam-hay-gok-sin meraung murka bagai guntur
kerasnya, sekali melompat, segera kedua tangan Toan Ki
dipegangnya sambil membentak, "Kurang ajar! Kau
berani memaki aku sebagai anak kura-kura dan
keturunan haram!"

Berbareng tangan lain diangkat terus hendak
menghantam kepala pemuda itu.

Tapi dengan tenang Toan Ki masih menjawab, "Jika
kau ganti peraturanmu, tentu engkau harus mengaku
sebagai anak kura-kura, kalau tidak, ya bukan. Dan suka
atau tidak engkau menjadi anak kura-kura, tergantung
padamu akan mengubah peraturanmu atau tidak."

Melihat anak muda itu sedemikian teguh
pendiriannya, biarpun jiwa terancam, tapi sama sekali
tidak gentar, bahkan berani memaki orang sebagai "anak
kura-kura" terus-menerus, Bok Wan-jing menjadi
khawatir Lam-hay-gok-sin akan murka hingga sekali
hantam kepala Toan Ki bisa remuk.

277




Saking takutnya, air matanya bercucuran, ia berpaling
ke arah lain dan tidak tega menyaksikannya.

Tak terduga Lam-hay-gok-sin menjadi terkesima oleh
karena debat kusir Toan Ki tadi, ia pikir, kalau sekali
hantam kubinasakan dia berarti membunuh seorang
yang tak mampu membalas seranganku, dan bukankah
benar-benar aku akan menjadi anak kura-kura dan
keturunan haram?

Karena itulah tangannya yang terangkat tadi perlahan
diturunkan kembali, sebaliknya tangan lain yang
memegang kedua tangan Toan Ki diperkeras dengan
mata mendelik.

Begitu kuat remasannya itu hingga Toan Ki meringis
kesakitan tidak kepalang, tulang tangannya sampai
berkerutukan seakan-akan patah, hampir ia jatuh
pingsan.

Tapi dasar wataknya memang sangat bandel,
walaupun meringis, segera ia berseru, "Aku tidak mampu
membalas seranganmu, lekas kau bunuh aku saja!"

"Huh, aku justru tidak mau masuk perangkapmu! Kau
ingin aku menjadi anak kura-kura dan keturunan haram,
ya?" sahut Lam-hay-gok-sin.

Habis berkata, tiba-tiba ia angkat tubuh pemuda itu
dan dibanting ke tanah. Keruan mata Toan Ki berkunangkunang,
isi perutnya serasa jungkir balik dan hancur
luluh.

278




"Aku tidak mau terperangkap! Aku takkan membunuh
kalian dua setan cilik ini!" demikian Lam-hay-gok-sin
berkomat-kamit sendiri.

Mendadak ia membentak kepada Bok Wan-jing,
"Buka kain kedokmu!"

Wan-jing merasa air mata sendiri meleleh di kedua
pipi, tiba-tiba hatinya tergugah, "Dahulu pernah
kunyatakan bahwa selama hidupku ini takkan menikah,
kecuali bila aku menangis bagi laki-laki itu!"

Karena urusan sudah mendesak, tanpa pikir lagi
segera ia memanggil Toan Ki, "Kemarilah kau!"

Dengan masih meringis kesakitan Toan Ki mendekati
si nona dan tanya, "Ada apa?"

"Engkau adalah laki-laki pertama di dunia ini yang
melihat wajahku!" demikian Bok Wan-jing berbisik sambil
berpaling ke hadapan pemuda itu dan menyingkap kain
kedoknya.

Seketika hati Toan Ki terguncang seakan-akan kena
aliran listrik.

Ternyata apa yang dilihatnya itu adalah sebuah wajah
cantik ayu bagai bidadari, cuma agak putih pucat,
tentunya disebabkan selama ini gadis itu menutupi
mukanya dengan kedok, jarang terkena cahaya matahari.
Kedua bibirnya yang tipis mungil itu pun kepucatpucatan.
Namun bagi Toan Ki, rasanya gadis ini menjadi
lebih harus dikasihani, lemah lembut, sama sekali tiada

279




mirip sebagai Hiang-yok-jeh yang membunuh orang
tanpa berkedip.

Kemudian Bok Wan-jing menutup kedoknya lagi dan
berkata kepada Lam-hay-gok-sin, "Nah, sekarang jika
kau ingin melihat mukaku, harus kau minta izin dulu
kepada suamiku."

"Hah, kau sudah bersuami?" Gok-sin menegas
dengan heran. "Siapakah suamimu itu?"

"Aku pernah bersumpah bahwa laki-laki mana saja
yang pertama kali melihat wajahku, kalau aku tidak
membunuh dia, maka aku harus menikah padanya,"
sahut Wan-jing sambil menunjuk Toan Ki, "Kini orang ini
telah melihat wajahku, aku tidak ingin membunuh dia,
terpaksa aku menjadi istrinya."

Lam-hay-gok-sin tercengang, ia berpaling dan
mengamat-amati Toan Ki

Toan Ki merasa kedua mata orang yang kecil mirip
kacang kedelai itu sedang memandang dirinya, dimulai
dari ujung rambut sampai ke kaki, dan dari jari kaki
kembali ke ubun-ubun, keruan Toan Ki menjadi risi dan
merinding pula, khawatir kalau orang menjadi kalap dan
sekali hantam membinasakan dirinya.

Siapa tahu mendadak mulut Lam-hay-gok-sin tiada
hentinya berkecek-kecek memuji, katanya, "Ck-ck-ck-ck,
bagus sekali, bagus sekali! Coba kau menghadap ke
sini!"

280




Toan Ki tidak berani membangkang, ia menurut dan
berputar ke hadapan orang.

"Ehm, benar-benar hebat, benar-benar cakap! Sangat
mirip aku, sangat mirip aku!" demikian kembali Lam-haygok-
sin memuji.

Mendengar ucapan yang tak jelas ujung pangkalnya
itu, Bok Wan-jing dan Toan Ki sama heran, pikir mereka,
"Ilmu silatmu memang benar tiada bandingannya, tapi
rupamu jelek, bagian manakah yang mirip dengan Toan
Ki yang tampan?"

Tiba-tiba Lam-hay-gok-sin melompat ke samping
Toan Ki, ia raba-raba tulang kepala belakang pemuda itu,
lalu pijat-pijat tangan dan kakinya, kemudian meremasremas
pula pinggangnya.

Keruan Toan Ki merasa geli seakan-akan dikilik-kilik,
hampir saja ia berteriak tertawa. Tapi ia dengar Lam-haygok-
sin sedang terbahak-bahak dan berkata, "Kau
sangat mirip aku, ya, sangat mirip aku!"

Berbareng itu tangan Toan Ki digandengnya sambil
berkata pula, "Marilah ikut padaku!"

"Locianpwe suruh aku ke mana?" tanya Toan Ki
dengan bingung.

"Ke istana Gok-sin-kiong di pulau Gok-to, di lautan
selatan," sahut Gok-sin. "Aku telah menerima dirimu
sebagai murid, lekas kau menjura padaku!"

281




Hal ini sungguh di luar dugaan Toan Ki, keruan ia
kelabakan, "Ini ... ini ...."

Akan tetapi Lam-hay-gok-sin tidak mau tahu ini itu,
saking senangnya ia berjingkrak-jingkrak seakan-akan
orang putus lotre hadiah pertama, katanya, "Tangan dan
kakimu panjang, tulang kepalamu bagian belakang
menonjol keluar, tulang pinggangmu lemas, kau pintar
dan cerdik, aku yakin bakatmu sangat baik, umurmu
belum banyak lagi, benar-benar suatu bakat pilihan untuk
belajar silat. Lihatlah ini, bukankah tulang kepalaku ini
sama seperti kau?"

Sembari berkata, ia terus membalik tubuhnya.

Benar juga, Toan Ki melihat tulang kepala belakang
orang memang sangat mirip dengan dirinya.

Buset! Jadi apa yang dimaksudkan "sangat mirip aku"
tadi tidak lebih disebabkan persamaan sekerat tulang
kepala belakang belaka!

Dalam pada itu Lam-hay-gok-sin telah putar tubuh
lagi, katanya dengan berseri-seri, "Lam-hay-pay kita
selamanya ada suatu peraturan, yaitu setiap turunan
hanya satu guru satu murid. Muridku yang sudah mati itu,
Sun He-khek, tulang kepalanya tidak sebagus kau
punya, kepandaiannya juga tiada dua bagian yang
diterimanya dari ajaranku, kini dia sudah mati, biarlah,
daripada sekarang aku repot membunuhnya, mendingan
aku menerima kau sebagai murid saja."

Toan Ki bergidik oleh ucapan itu. Pikirnya, sifat orang
ini sedemikian biadabnya, bila ada orang yang dipenujui

282




olehnya, murid lantas akan dibunuhnya juga. Jangankan
dirinya memang tidak sudi belajar silat, sekalipun mau
juga tidak nanti mengangkat orang demikian sebagai
guru.

Tapi Toan Ki juga tahu bila secara tegas menolaknya
sekarang, seketika malapetaka pasti akan menimpa
dirinya.

Tengah ia bingung tak berdaya, sekonyong-konyong
terdengar Lam-hay-gok-sin membentak, "Kalian lagi
berbuat apa main sembunyi-sembunyi di situ? Ayo,
semuanya menggelinding kemari!"

Maka tertampaklah dari semak-semak pohon sana
muncul tujuh orang.

Su An, Hui-sian, Cin Goan-cun termasuk di
antaranya. Menyusul dari sebelah kiri sana juga
menongol dua orang, mereka adalah Co Cu-bok dan
Siang-jing dari "Bu-liang-kiam."

Kiranya sesudah Lam-hay-gok-sin naik ke atas tebing
itu, Toan Ki tidak bisa menimpuk batu dan merintangi
mereka lagi, maka kesempatan itu telah digunakan
orang-orang itu untuk memanjat ke atas. Empat orang
lagi di antara rombongan Su An itu adalah para Cecu
(gembong-gembong) dari Hok-gu-ceh, semuanya jago
terkenal dari kalangan Hek-to (hitam) yang kerjanya
merampok dan membegal.

Meski orang-orang itu bersembunyi di tengah semaksemak
dengan menahan napas, namun mana bisa
mengelabui telinga Lam-hay-gok-sin yang tajam?

283




Tapi dasar orang aneh ini lagi senang karena
memperoleh seorang murid berbakat bagus seperti Toan
Ki, seketika ia tidak menjadi marah, dengan masih
berseri-seri ia memelototi Co Cu-bok dan lain-lain, lalu
membentak, "Ada apa kalian naik ke sini? Apakah
hendak mengaturkan selamat padaku karena baru
menerima seorang murid bagus?"

Dengan tabahkan diri, Jicecu (gembong kedua) dari
Hok-gu-ceh yang bernama Coh Thian-koat menjawab,
"Kami ingin menangkap perempuan hina si Hiang-yok-jeh
ini untuk membalas sakit hati saudara kami."

"Tidak, tidak boleh!" seru Gok-sin sambil goyang
kepala. "Hiang-yok-jeh adalah istrinya muridku, lekas
kalian enyah semua!"

Keruan semua orang sama melongo heran sambil
saling pandang.

"Tidak, aku tak mau mengangkatmu sebagai guru,
sudah lama aku mempunyai guru," seru Toan Ki tiba-tiba.

Lam-hay-gok-sin menjadi gusar, bentaknya,
"Siapakah gurumu? Apakah kepandaiannya bisa lebih
tinggi daripadaku?"

"Kepandaian guruku itu kuyakin sedikit pun tak dapat
kau bandingi," sahut Toan Ki. "Coba, apakah kau paham
intisari 'Kong-yang-thoan'? Apa pernah kau belajar ilmu
'Ciong-ting-kah-kut' segala?"

284




Lam-hay-gok-sin garuk-garuk kepala, sebab dia
memang tidak kenal apa itu, "Kong-yang-thoan" segala,
bahkan dengar pun belum pernah.

Melihat wajah orang mengunjuk rasa bingung, diamdiam
Toan Ki merasa geli, ia pikir ilmu silat orang ini
sangat tinggi, tapi otaknya ternyata bebal, segera
katanya lagi, "Makanya, kebaikan Locianpwe biarlah
kuterima di dalam hati saja, kelak aku akan mengundang
guruku untuk coba-coba bertanding dengan Locianpwe,
bila Locianpwe dapat mengalahkannya, barulah aku mau
mengangkat engkau sebagai Suhu."

"Siapa Suhumu? Masakan aku jeri padanya? Ayo,
tetapkan kapan harus bertanding?" teriak Gok-sin
dengan gusar.

Padahal apa yang diucapkan Toan Ki itu hanya
sekadar untuk mengulur waktu saja, siapa duga orang
benar-benar minta diadakan janji bertanding.

Keruan ia tak bisa menjawab.

Tengah bingung tak berdaya, tiba-tiba dari jauh sana
terdengar kumandang suara suitan orang yang panjang
bagai auman naga, suara itu bergelombang tak terputusputus
melintasi lereng gunung.

Kalau tadi Toan Ki merasa ngeri dan seram oleh
suara suitan Lam-hay-gok-sin yang melengking tajam itu,
adalah suara suitan sekarang ini kedengarannya keras
tenang dan kuat mengguncangkan lembah gunung,
sedikit pun tidak kalah hebatnya daripada suara Lam-
hay-gok-sin tadi.

285




Mendengar suara ini tiba-tiba Gok-sin keplak batok
kepala sendiri sambil berseru, "Haya, orang ini sudah
tiba, aku tidak sempat banyak bicara lagi denganmu.
Nah, kapan gurumu akan Pi-bu (bertanding silat)
denganku dan di mana tempatnya? Ayo, lekas katakan,
lekas!"

"Wah, aku ... aku tidak enak me ... mewakili guruku
mengadakan perjanjian dengan engkau," sahut Toan Ki
tergegap-gegap. "Apalagi sekali engkau sudah pergi,
orang-orang ini tentu akan membunuh kami berdua, lalu
cara bagaimana aku akan memberitahukan hal ini pada
guruku?"

Sembari berkata, ia tuding-tuding Hui-sian dan lain-
lain.

Mendengar itu, tanpa menoleh Lam-hay-gok-sin
membaliki tangan kiri meraup ke belakang, seketika
tangan Coh Thian-koat, Jicecu dari Hok-gu-ceh itu kena
dipegangnya, menyusul tangan kanan Gok-sin menjojoh
pula ke belakang, "cret", kelima jarinya menancap masuk
dada Coh Thian-koat, kontan terdengar jeritan ngeri
gembong Hok-gu-ceh itu.

Waktu tangan kanan Lam-hay-gok-sin ditarik kembali,
di tengah tangannya yang berlumuran darah itu sudah
memegang sepotong hati manusia.

Kedua kali gerakan Lam-hay-gok-sin itu cepat bukan
main, percuma saja Coh Thian-koat memiliki kepandaian
tinggi, sedikit pun ternyata tak mampu dikeluarkan.

286




Keruan semua orang yang menyaksikan itu sama
melenggong kesima.

Buah hati manusia tadi oleh Lam-hay-gok-sin terus
dimasukkan ke mulutnya, "kruk", ia gigit sekali dan
dikunyah dengan lezatnya bagai makan mentimun saja.

Sungguh pedih dan gusar tidak kepalang ketiga Cecu
yang lain dari Hok-gu-ceh. Berbareng mereka meraung
murka terus menubruk maju. Akan tetapi sama sekali
Lam-hay-gok-sin tidak berpaling, bahkan mulutnya masih
terus makan dengan lezatnya, sedang kaki kanan lantas
mendepak tiga kali sekaligus ke belakang.

Kontan tertampak tubuh ketiga Cecu dari Hok-gu-ceh
itu mencelat ke udara dan jatuh ke dalam jurang semua.
Suara jeritan ngeri yang berkumandang di angkasa
lembah pegunungan itu dan membuat Toan Ki merinding.

Menampak betapa ganas dan buasnya Lam-hay-goksin,
ilmu silatnya sedemikian lihai pula, Hui-sian, Co Cubok
dan lain-lain menjadi jeri dan menyurut mundur
ketakutan.

Sambil mulutnya masih mengunyah sisa hati manusia
tadi, samar-samar Lam-hay-gok-sin berseru pula, "Locu
tidak cukup hanya makan sebuah hati, aku masih ...
masih inginkan yang kedua, siapa yang larinya paling
lambat, dia itulah akan menjadi mangsaku."

Mendengar itu, takut Co Cu-bok, Siang-jing, Cin
Goan-cun dan lain-lain bukan buatan, sukma mereka
hampir terbang ke awang-awang, cepat saja mereka

287




berebut melarikan diri, begitu sampai di tepi jurang, tanpa
pikir lagi mereka memberosot ke bawah begitu saja.

Hanya Oh-pek-kiam Su An saja yang masih tinggal di
situ dengan mata mendelik sambil menghunus pedang,
katanya dengan gagah berani, "Di dunia ini ternyata ada
manusia sekejam dan seganas ini, sungguh melebihi
binatang. Bila aku Su An juga takut mati dan melarikan
diri, ke manakah mukaku harus ditaruh kalau berkelana
di Kangouw lagi?"

Habis berkata, ia sentil batang pedangnya hingga
berbunyi mendengung, bukannya mundur, sebaliknya
melangkah maju dan membentak, "Awas pedang!"

Tanpa bicara lagi ia menusuk dada Lam-hay-gok-sin.

Di bawah cahaya matahari yang terang benderang itu,
sinar pedang gemerlapan menyilaukan mata, tapi Lam-
hay-gok-sin anggap seperti tidak melihatnya saja, ia
asyik menikmati penganannya sendiri yang istimewa itu.

Ujung pedang Su An tampaknya sudah akan
menembus dadanya, segera Su An kerahkan tenaga
lebih kuat. "Kret", ternyata bukan dada Lam-hay-gok-sin
yang tertembus, melainkan pedang Su An yang patah
menjadi dua.

Sungguh luar biasa, tubuh Lam-hay-gok-sin itu
ternyata kebal, tidak mempan senjata. Meski pedang Su
An itu bukan Po-kiam atau pedang pusaka, tapi juga
tergolong senjata pilihan yang sangat tajam. Keruan ia
kaget, cepat ia melompat mundur sambil melolos pedang
yang lain.

288




"Apakah kau ini Oh-pek-kiam Su An?" tanya Lam-haygok-
sin.

"Benar," sahut Su An. "Kalau orang she Su hari ini
tewas di tangan manusia buas seperti kau, kelak pasti
ada yang menuntut balaskan."

Ia tahu ilmu sendiri terpaut sangat jauh dengan lawan
dan pasti bukan tandingannya. Namun sedikit pun ia
tidak gentar, ia sudah ambil keputusan, bila akhirnya
tetap kalah, segera ia akan bunuh diri dan terjun ke
bawah jurang daripada jatuh di tangan musuh dan
dimakan hatinya.

Saat itu Lam-hay-gok-sin baru menjejalkan sisa hati
manusia tadi ke dalam mulutnya, lalu berkata, "Oh-pekkiam
Su An, ehm, sudah lama kudengar namamu. Lam-
hay-gok-sin justru paling suka makan buah hati
Enghiong-hohan (orang gagah dan kaum kesatria),
sebab lebih lezat daripada hati manusia pengecut yang
tak berguna. Hahaha, tentu boleh juga hati manusia Su
An ini!"

Habis berkata, sekonyong-konyong tubuhnya melejit
ke depan secepat panah. Segera Su An memapak
dengan tusukan pedang ke tenggorokan lawan.

Tapi sedikit Lam-hay-gok-sin egos kepala, tahu-tahu
bahu Su An kena dicengkeramnya.

Seketika Su An merasa separuh tubuhnya kaku
pegal, sepenuh sisa tenaga ia ketok-ketok batok kepala
orang dengan gagang pedangnya, "tak", bukannya

289




kepala lawan yang pecah, tapi pedangnya yang hitam
mulus itu terpental dan tangannya terluka oleh getaran
itu.

Dalam kejutnya Su An meronta sebisanya terus
hendak terjun ke bawah jurang, namun sekali lengan
sudah terpegang oleh Lam-hay-gok-sin, mana bisa
terlepas begitu saja.

Dalam keadaan bahaya, tiba-tiba di angkasa raya
berkumandang lagi suara suitan macam naga berbunyi,
menyusul suara seorang berkata, "Hiong-sin-ok-sat Gaklosam,
apa kau takut, maka tidak berani kemari?"

Suara itu berkumandang dari jauh, tapi
kedengarannya orangnya seperti berada di dekat situ.

"Huh, selama hidup Gak-losam pernah gentar kepada
siapa? Segera kudatang ke situ!" sahut Lam-hay-gok-sin
dengan keras. Sembari berkata, tangannya terangkat
terus hendak mencakar dada Su An.

Dalam keadaan begitu, Su An hanya pejamkan mata
menunggu ajal saja.

Untunglah mendadak Toan Ki berseru, "Locianpwe,
hati orang ini berbisa, jangan kau makan!"

Lam-hay-gok-sin tertegun, tanyanya, "Dari mana kau
tahu?"

"Kemarin dulu orang ini berani main gila pada Sin-
long-pang, maka Sikong-pangcu telah cekoki dia dengan
Toan-jiong-san dan Hui-sim-tan (pil pembusuk hati),"

290




demikian Toan Ki sengaja mengibul. "Dan kemarin dia
bermusuhan lagi dengan Bok-kohnio hingga kena
dipanah sekali oleh nona Bok dengan panahnya yang
beracun, mungkin saat ini racun sudah mulai merasuk ke
dalam hatinya. Apalagi pagi tadi dia kena digigit pula
sekali oleh seekor ular emas kecil ...."

"Apakah Kim-leng-cu?" sela Lam-hay-gok-sin.

"Benar, Kim-leng-cu!" sahut Toan Ki sembari
melepaskan Jin-leng-cu dari pinggangnya, lalu
menyambung, "Lihat ini, Kim-leng-cu dan Jing-leng-cu
selalu berada bersama. Bisa binatang kecil ini teramat
lihainya, sekalipun Lwekang Locianpwe sangat tinggi dan
tidak takut terkena racun, tapi hati orang ini tentu sejak
tadi sudah membusuk dan tak enak dimakan, janganjangan
malah akan bikin sakit perut Locianpwe nanti!"

Ada benarnya juga pikir Lam-hay-gok-sin. Segera ia
lemparkan Su An ke samping, lalu katanya kepada Toan
Ki, "Kau bocah ini meski belum resmi mengangkat guru
padaku, tapi kau ternyata sudah baik hati terhadap
gurumu."

Sekonyong-konyong suara raungan aneh tadi
berjangkit lagi dengan keras dan sahut-menyahut bagai
paduan suara raungan binatang buas dan gesekan
logam yang mengilukan perasaan dan memekak telinga.

Cepat Lam-hay-gok-sin mengeluarkan suaranya yang
mirip hantu merintih, sekali lompat, tahu-tahu ia terjun ke
bawah jurang.

291




Kejut dan girang Toan Ki, pikirnya, "Mampus kau
sekarang melompat ke dalam jurang!"

Cepat ia berlari-lari melongok ke tepi jurang, ia lihat si
malaikat buaya dari laut selatan itu lagi berlompatan ke
bawah, sekali lompat belasan tombak jauhnya,
tangannya digunakan menahan dinding jurang, habis itu
tubuhnya menurun pula ke bawah dan begitu seterusnya
hingga akhirnya bayangannya lenyap di balik awan yang
menutupi jurang itu.

Toan Ki melelet lidah oleh kepandaian Lam-hay-goksin
yang sukar dibayangkan itu. Ketika berpaling kembali,
ia lihat Su An sedang jemput kembali pedang hitamnya
dan dimasukkan sarungnya, lalu katanya sambil hormat
dengan muka jengah, "Hari ini berkat pertolongan Toanheng,
sungguh aku Su An takkan melupakan budi
kebaikan ini."

"Cayhe telah mengoceh sekenanya, untuk itu masih
mengharapkan Su-heng jangan marah," sahut Toan Ki
sambil membalas hormat.

"Lam-hay-gok-sin Gak Jong-liong ini tinggal di Bangok-
to (pulau berlaksa buaya) di laut selatan, kali ini tibatiba
datang ke Tionggoan, tentu tidak datang sendirian,
mungkin masih banyak begundal yang dibawanya," kata
Su An. "Konon orang ini sekali omong pasti
dilaksanakan, maka sekali kalau dia penujui Toan-heng,
tentu takkan berhenti begini saja. Kedatanganku
merecoki istrimu sebenarnya adalah atas permintaan
kawan saja, maka selanjutnya akan kuanggap selesai.
Sekarang juga biar kuantar kalian suami istri turun

292




gunung untuk menghindari gangguan begundal Lam-haygok-
sin."

Toan Ki menjadi merah jengah mendengar orang
berulang kali menyebut "suami istri" antara dia dan Bok
Wan-jing, cepat ia goyang tangan dan berkata dengan
tak lancar, "Ti ... tidak ... bu ... bukan ...."

Namun Bok Wan-jing lantas bersuara dengan dingin,
"Su An, silakan kau pergi saja. Keselamatanmu sendiri
saja menjadi persoalan, masih berlagak gagah perwira
segala?"

Merah padam Su An oleh olok-olok itu, tanpa bicara ia
putar tubuh dan tinggal pergi.

"Nanti dulu, Su-heng!" cepat Toan Ki berseru.

Namun Su An sudah ngambek, ia berlari ke tepi
jurang dan memberosot turun.

Sekilas Toan Ki melihat di lereng gunung depan sana
ada setitik benda kuning lagi bergerak dengan sangat
cepat. Waktu ditegaskan, kiranya adalah Lam-hay-goksin,
hanya dalam sekejap saja si malaikat buaya dari laut
selatan itu sudah merayap sampai di sana.

Toan Ki kembali ke samping Bok Wan-jing dan
berkata, "Apa yang dikatakan orang she Su itu bukan
tiada beralasan, kenapa kau bikin menyesal dia?"

Bok Wan-jing menjadi gusar, sahutnya, "Baru menjadi
suamiku, lantas hendak kau perintah aku, ya? Kalau

293




kubunuhmu, paling-paling aku pun bunuh diri
mengiringimu, apanya yang perlu dibuat ribut-ribut?"

Toan Ki tertegun, katanya pula, "Hal ini hanya untuk
menipu Lam-hay-gok-sin karena keadaan mendesak tadi,
kenapa kau anggap sungguhan? Mana dapat aku
menjadi suami nona?"

"Apa katamu?" seru Bok Wan-jing sambil berbangkit
dengan terhuyung-huyung memegangi dinding batu.
"Jadi kau tidak sudi padaku? Kau cela diriku, bukan?"

Melihat nona itu sedemikian gusarnya, cepat Toan Ki
berkata lagi, "Harap nona pikirkan kesehatanmu dulu,
soal ucapan main-main tadi buat apa kau pikirkan dalam
hati?"

"Plok", mendadak Bok Wan-jing melangkah maju dan
persen Toan Ki dengan sekali tempelengan. Tapi
badannya terlalu lemah, sekali sempoyongan, ia jatuh ke
pangkuan anak muda itu. Cepat Toan Ki memeluknya
agar tidak roboh.

Karena berada dalam pelukan pemuda itu, teringat
pula dirinya sudah diakui sebagai istri, Bok Wan-jing
merasa badan menjadi hangat, rasa gusarnya ikut
berkurang pula beberapa bagian, katanya kemudian,
"Lekas lepaskan aku!"

Toan Ki dukung nona itu duduk bersandar dinding
batu, pikirnya, "Perangainya memang sangat aneh,
setelah terluka parah mungkin akan menjadi lebih ganjil
lagi wataknya. Kini terpaksa kuturuti dia, apa pun dia
bilang akan kuturuti saja, toh aku ...."

294




Ia coba menghitung-hitung dengan jari, jarak waktu
bekerjanya racun Toan-jiong-san sudah dekat, ia pikir
walaupun racun itu tidak jadi kumat, dirinya juga takkan
mampu turun dari gunung yang dikelilingi jurang-jurang
curam itu dengan hidup.

Maka dengan suara halus kemudian ia menghibur
Bok Wan-jing, "Sudahlah, jangan kau marah. Yang
benar, marilah kita mencari apa-apa yang dapat kita
makan."

"Di atas bukit tandus begini, apa yang dapat kita
makan?" sahut Bok Wan-jing. "Biarlah aku mengaso
sebentar, kalau sudah cukup kuat, akan kugendong turun
ke bawah gunung saja."

"Wah, mana ... mana boleh," seru Toan Ki sambil
goyang-goyang tangan. "Untuk jalan sendiri saja engkau
belum kuat, mana dapat menggendongku pula?"

"Kau lebih suka korbankan jiwa sendiri ketimbang
mengingkari aku," kata Wan-jing. "Karena itu, demi
Longkun (suamiku), meskipun aku Bok Wan-jing
biasanya membunuh orang tanpa berkedip juga rela
berkorban untuk sang suami."

Kata-kata itu diucapkan dengan tegas, cuma ia tidak
biasa mengutarakan perasaan yang haru dan mesra itu,
dengan sendirinya nadanya menjadi rada kaku, tidak
sesuai dengan rasa hatinya yang penuh cinta kasih itu.

"Banyak terima kasih, biarlah engkau mengaso dulu,
nanti kita bicarakan lagi." Sampai di sini sekonyong-

295




konyong perutnya terasa sakit, tak tertahan lagi ia
menjerit, "Aduh!"

Begitu sakit perutnya itu hingga mirip disayat-sayat
pisau, usus seakan-akan dipotong-potong. Dengan
meringis Toan Ki menahan sakit perutnya, keringat
berbutir-butir merembes keluar di jidatnya.

"He, ken ... kenapa kau?" tanya Bok Wan-jing
khawatir.

"Sikong ... Sikong Hian dari Sin-long-pang men ...
mencekoki aku dengan Toan-jiong-san ...." demikian
Toan Ki bertutur dengan terputus-putus.

Keruan kejut Bok Wan-jing tak terkatakan, pikirnya,
"Kabarnya Sin-long-pang paling ahli menggunakan obat,
jika Pangcu mereka sendiri yang memberi racun,
mungkin sukar ditolong lagi."

Ia lihat Toan Ki kesakitan hingga megap-megap,
hatinya tidak tega, ia tarik pemuda itu duduk di
sampingnya dan menghiburnya, "Kuatkanlah
perasaanmu! Sekarang sudah baikan bukan?"

Tapi saking kesakitan sampai mata Toan Ki seakanakan
berkunang-kunang, maka dengan merintih ia
berkata, "Aduh, sakitnya! Ma ... makin lama main sakit!"

Si gadis mengusap keringat Toan Ki dengan lengan
bajunya, ketika melihat wajah pemuda itu pucat pasi,
hatinya menjadi sedih dan air mata pun berlinang-linang,
katanya dengan terguguk, "Jang ... jangan kau mati
begini saja!"

296




Sembari berkata ia terus tarik kedoknya itu dan
menempelkan pipi kanan sendiri ke pipi kiri Toan Ki, "O,
Longkun, engkau ... engkau jangan mati!"

Selama hidup Toan Ki belum pernah berdekatan
dengan gadis jelita, apalagi kini setengah dirangkul Bok
Wan-jing, pipi menempel pipi, terdengar pula rayuan
"Longkun" yang meresap, keruan sukma Toan Ki
seakan-akan terbang ke awang-awang.

Kebetulan juga saat itu sakit perutnya agak reda.
Sudah tentu Toan Ki merasa berat untuk berpisah dari
rangkulan si gadis, maka katanya, "Selanjutnya jangan
lagi kau pakai topeng, ya?"

"Jika kau minta begitu, pasti akan kuturut," sahut Bok
Wan-jing. "Dan sekarang perutmu sudah baikan belum?"

"Sudah agak baik," sahut Toan Ki. "Tapi ...."

"Tapi apa?" tanya Wan-jing.

"Ta ... tapi kalau kau lepaskan aku, tentu akan
kesakitan lagi."

"Cis, jadi kau hanya pura-pura saja," omel si nona
dengan muka merah sambil mendorong Toan Ki.

Sebenarnya Toan Ki adalah seorang pemuda lugu
dan polos, keruan ia menjadi malu juga. Ia tidak tahu
cara bekerja racun Toan-jiong-san itu mula-mula agak
lama baru berjangkit sekali, kemudian berjangkit makin

297




kerap hingga akhirnya akan kesakitan tiada hentihentinya
dan orangnya akan mati.

Tadi ia salah sangka atas rayuan Bok Wan-jing yang
penuh kasih manisnya madu, perasaannya terguncang
hingga lupa sakit.

Sebaliknya Bok Wan-jing rada kenal sifat bekerjanya
racun itu, kalau pemuda itu kesakitan terus-menerus
malah masih bisa ditolong, tapi hanya kesakitan sebentar
lantas berhenti, umumnya tentu terkena racun jahat yang
susah disembuhkan, si penderita pasti akan tersiksa mati
tidak hidup pun tidak, jauh lebih mengenaskan daripada
mati.

Dan ketika melihat pemuda itu mengunjuk rasa malu,
ia menjadi pedih, ia pegang tangan Toan Ki dan berkata
pula, "Bila kau mati, Longkun, aku pun tidak ingin hidup
sendirian, biarlah kita berdua menjadi suami istri di alam
baka nanti."

Tapi Toan Ki tidak ingin gadis itu mati setia baginya,
katanya, "Tidak, tidak! Engkau harus membalaskan sakit
hatiku dulu, kemudian setiap tahun sekali engkau
berziarah ke kuburanku. Kuminta engkau
bersembahyang di kuburanku selama berpuluh tahun,
dengan demikian barulah aku dapat tenteram di alam
baka."

"Aneh juga engkau ini," ujar Wan-jing. "Sesudah mati,
apa yang bisa dirasakan lagi? Aku datang berziarah atau
tidak ke kuburanmu, apa gunanya bagimu?"

298




"Jika begitu, bila kau mati bersamaku lebih-lebih tiada
berguna," sahut Toan Ki. "O, betapa cantiknya engkau,
bila setiap tahun engkau sudi berziarah sekali ke
kuburanku, kalau aku mengetahui di alam baka tentu
akan senang juga hatiku melihatmu. Tapi bila engkau ikut
mati bersamaku, kita sama-sama akan menjadi tulang
belulang belaka, ini kan tidak bagus lagi untuk dilihat."

Mendengar dirinya dipuji cantik, senang hati Bok
Wan-jing. Tapi segera terpikir pula olehnya baru hari ini
mendapatkan seorang suami yang diidam-idamkan,
sekejap lagi orangnya sudah akan mati, tak tertahan air
matanya segera bercucuran.

Toan Ki rangkul pinggang si nona yang ramping itu,
hatinya terguncang ketika tangan menyentuh badan yang
halus kenyal itu, tak tertahan lagi ia menunduk dan
mengecup sekali bibir si gadis.

Mendadak ia mengendus bau harum semerbak. Ia
tidak berani lama-lama mencium, cepat ia mengangkat
kepalanya dan berkata, "Orang menyebutmu 'Hiang-yokjeh',
wanginya memang nyata benar, kalau di alam halus
benar-benar ada setan wangi sedemikian cantiknya,
mungkin setiap laki-laki di jagat ini akan membunuh diri
dan menjadi setan untuk mencari setan wangi
secantikmu."

Setelah dicium tadi, hati Bok Wan-jing masih dak-dikduk
berdebar-debar, pipi bersemu merah, muka yang
tadinya kepucat-pucatan itu menjadi lebih cantik molek.
Katanya kemudian, "Engkau adalah laki-laki satu-satunya
di dunia ini yang pernah melihat wajahku, setelah kau

299




mati, segera kurusak mukaku agar tak dilihat lagi oleh
laki-laki kedua."

Sebenarnya Toan Ki hendak mencegah maksud
orang, tapi aneh juga, timbul semacam rasa cemburu di
dalam hatinya, betapa pun ia juga tidak ingin ada laki-laki
lain yang melihat lagi wajah cantik si gadis, maka katakata
yang hampir diucapkan itu urung dikeluarkan,
sebaliknya lantas tanya, "Sebab apa dahulu engkau
bersumpah sekeji ini."

"Engkau sudah menjadi suamiku, tiada alangan
kuceritakan padamu," sahut Wan-jing. "Aku yatim piatu,
begitu lahir lantas dibuang orang di tepi jalan, beruntung
guruku telah menolong diriku, dengan susah payah aku
dibesarkan serta diberi pelajaran ilmu silat setinggi
sekarang ini. Kata guruku, setiap laki-laki di dunia ini
memang berhati palsu, kalau melihat wajahku, pasti aku
akan digoda dan dipikat hingga terjerumus. Sebab itulah
sejak kecil aku diberi kedok penutup muka. Sampai
berumur 16 tahun, kecuali guruku, aku tidak pernah
melihat orang lain. Dua tahun yang lalu, Suhu
perintahkan aku turun gunung untuk menyelesaikan
suatu urusan ...."

"Jadi tahun ini engkau berusia 18 tahun?" sela Toan
Ki. "Aku lebih tua dua tahun."

Wan-jing menganggut-anggut, katanya pula, "Waktu
turun gunung, Suhu suruh aku bersumpah, bila ada
orang melihat wajahku, kalau aku tidak membunuh dia
harus kukawin padanya. Dan bila orang itu tidak mau
memperistrikan diriku atau sesudah menikah
meninggalkanku, maka aku diharuskan membunuh

300




manusia berhati palsu itu. Kalau aku tidak turut perintah
Suhu ini, sekali diketahui Suhu, beliau akan membunuh
diri di hadapanku."

Toan Ki merinding mendengar sumpah aneh itu,
pikirnya, "Umumnya orang bersumpah tentu akan
menyatakan bersedia dibunuh atau ditimpa malapetaka.
Tapi gurunya sebaliknya mengancam hendak membunuh
diri. Sumpah demikian sekali-kali tak boleh terjadi."

"Betapa besar budi kebaikan Suhu padaku, mana
boleh kubangkang perintahnya itu?" demikian Wan-jing
melanjutkan. "Apalagi pesannya itu adalah demi
kebaikanku sendiri. Maka tanpa pikir tatkala itu aku
menurut dan bersumpah. Selama dua tahun ini, tugas
yang diberikan Suhu padaku masih belum terlaksana,
sebaliknya aku telah banyak mengikat permusuhan.
Padahal orang-orang yang tewas di bawah pedang dan
panahku itu adalah salah mereka sendiri, mereka yang
lebih dulu merecoki aku karena hendak menyingkap
kedok mukaku."

Toan Ki menghela napas, baru sekarang ia mengerti
duduknya perkara, mengapa seorang gadis jelita begitu
bisa mempunyai musuh sedemikian banyak.

"Kenapa kau menghela napas?" tanya Bok Wan-jing.

"Agaknya mereka melihatmu selalu berada sendirian,
perawakan ramping menggiurkan, tapi sepanjang tahun
memakai kedok muka, saking ingin tahu mereka ingin
melihat mukamu sebenarnya cantik atau jelek, padahal
belum pasti mereka mempunyai maksud jahat. Siapa

301




tahu, karena sedikit kesalahan itu, jiwa mereka sama
melayang."

"Bagiku, sudah pasti kubunuh mereka," ujar Wan-jing.
"Kalau tidak, bukankah aku harus menjadi istri manusiamanusia
yang menjemukan itu? Cuma aku pun tidak pikir
bahwa orang-orang itu masih banyak mempunyai sanak
kadang. Satu kubunuh, lantas berekor dengan beberapa
orang sobat andainya datang mencari perkara padaku.
Sampai akhirnya, bahkan Hwesio dan Tosu juga ikutikutan
menjadi musuhku. Pernah kutinggal beberapa
bulan di Ban-jiat-kok, suami istri she Ciong itu cukup
menghormati aku, tak terduga Ciong-hujin bisa
memalsukan namaku, coba, kan tidak pantas
perbuatannya itu?"

Rupanya ia menjadi letih karena banyak bicara, ia
pejamkan mata mengumpulkan semangat, sebentar
kemudian berkata pula, "Semula aku mengira kau pun
serupa laki-laki lainnya, hanya manusia yang tidak kenal
budi kebaikan. Siapa duga setelah engkau berangkat
meminjam Oh-bi-kui, engkau lari kembali lagi untuk
memberi kabar padaku. Hal ini sungguh tidak mudah
dilakukan setiap orang. Belakangan ketika Lam-hay-goksin
mendesak terus, terpaksa kubiarkan engkau melihat
wajahku."

Berkata sampai di sini, ia memandang Toan Ki
dengan sorot mata yang penuh kasih mesra.

Keruan Toan Ki berdebar-debar, pikirnya, "Apa benar
dia menjadi cinta padaku?"

302




Segera ia pun berkata, "Sudahlah, keadaan tadi
hanya terpaksa, soal sumpahmu itu boleh juga tak perlu
ditaati."

Bok Wan-jing menjadi gusar.

"Sumpah yang pernah kuucapkan mana boleh
berubah." katanya dengan bengis. "Kalau engkau tidak
sudi memperistrikan aku, lekas kau katakan terus terang,
biar sekali panah kubinasakanmu, agar aku tidak
melanggar sumpahku."

Selagi Toan Ki hendak memberi penjelasan lagi,
sekonyong-konyong perutnya kesakitan pula, dengan
kedua tangan menahan perut, ia merintih-rintih.

"Lekas katakan, kau mau memperistrikan diriku
tidak?" tanya Bok Wan-jing lagi.

"Per ... perutku sakit .... Aduh! Sakit sekali!" keluh
Toan Ki.

"Sebenarnya kau mau menjadi suamiku tidak?" Wanjing
mendesak pula.

Toan Ki pikir perutnya sedemikian sakit, hidupnya
tentu tidak lama lagi, buat apa sebelum mati mesti
melukai hati seorang nona. Maka ia pun mengangguk
dan berkata, "Aku ... aku mau memperistrikanmu!"

Sebenarnya Bok Wan-jing sudah siapkan panah
beracun di tangan, demi mendengar jawaban Toan Ki itu,
seketika girangnya tak terkatakan, dengan senyum

303




gembira ia rangkul pemuda itu dan berkata, "O, suamiku
yang baik, biarlah kupijat perutmu."

"Tidak, tidak!" jawab Toan Ki cepat. "Kita masih belum
menikah, laki-laki dan perempuan ada batasnya, ini ... ini
tidak boleh."

Tergerak pikiran Bok Wan-jing tiba-tiba, katanya, "Eh,
tentu kau sudah kelaparan, maka sakitnya menjadi
tambah hebat. Biarlah kupotong sedikit daging keparat
itu untuk kau makan."

Habis berkata, ia berbangkit dan merayap mendekati
mayat Coh Thian-koat untuk memotong dagingnya.

Keruan kejut Toan Ki tidak kepalang, seketika
terlupakan sakit perutnya, cepat ia menggembor,
"Jangan, jangan! Daging manusia mana boleh dimakan,
biarpun mati juga aku tidak mau makan!"

"Aneh, sebab apa tak boleh dimakan?" tanya Wanjing
heran. "Bukankah Lam-hay-gok-sin tadi sudah
makan buah hatinya?"

"Lam-hay-gok-sin itu teramat kejam dan buas
melebihi binatang, kita mana ... mana boleh kita tiru dia?"

"Ketika tinggal bersama dengan Suhu di gunung,
sering kami makan daging harimau, daging menjangan.
Kalau menurut pendirianmu, tentunya tak boleh dimakan
juga?" kata si nona.

304




"Daging binatang itu dengan sendirinya boleh
dimakan, tapi daging manusia tak boleh dimakan!" sahut
Toan Ki.

"Apa daging manusia beracun?"

"Bukan beracun," sahut Toan Ki. "Tapi kita kan samasama
manusia. Engkau manusia, aku pun manusia, Coh
Thian-koat juga manusia. Manusia tak boleh makan
manusia."

"Sebab apa?" tanya si gadis. "Kulihat waktu kawanan
serigala kelaparan, mereka lantas makan serigala yang
lain."

"Makanya," sahut Toan Ki gegetun. "Bila manusia pun
makan manusia, bukankah tiada ubahnya seperti
serigala?"

Sejak kecil Bok Wan-jing selalu berdampingan
dengan sang guru, selamanya tidak pernah bergaul
dengan orang ketiga, watak gurunya sangat aneh pula,
biasanya tidak pernah bicara tentang urusan
keduniawian dengan dia. Sebab itulah, tentang sopan
santun dan peradaban manusia sedikit pun ia tidak
paham.

Kini mendengar Toan Ki bilang "manusia tidak boleh
makan manusia", ia menjadi heran dan ragu.

"Engkau sembarangan membunuh orang, itu pun
tidak boleh," kata Toan Ki lagi. "Sebaliknya, bila orang
lain ada kesukaran, harus kau bantu dia. Dengan
demikian barulah sesuai dengan tujuan orang hidup."

305




"Jika begitu, kalau aku ada kesukaran, orang lain
apakah juga akan membantuku?" tanya si gadis. "Tapi
kenapa orang yang kujumpai, kecuali guruku, setiap
orang selalu ingin membunuh, mencelakai dan menghina
aku, selamanya tiada yang baik padaku? Kalau harimau
hendak menerkam dan makan aku, aku lantas
membunuhnya. Begitu pula orang-orang itu, bila mereka
hendak membunuh aku, dengan sendirinya kubunuh
mereka, apa bedanya?"

Pertanyaan ini benar-benar membikin Toan Ki
bungkam dan tak bisa menjawab, terpaksa ia berkata,
"Kiranya urusan peradaban sedikit pun engkau tidak
paham, kenapa gurumu membiarkan engkau turun
gunung begini saja?"

"Suhu bilang kedua urusannya itu betapa pun harus
diselesaikan dan tidak dapat menunggu lagi," kata Wanjing.


"Dua urusan apakah itu, dapatkah kau ceritakan?"

"Engkau adalah suamiku, dengan sendirinya boleh
kuceritakan, kalau orang lain tentu tidak," sahut Wan-jing.
"Suhu suruh aku turun gunung untuk membunuh dua
orang."

"Ai, sudahlah!" cepat Toan Ki menyela sambil dekap
telinganya. "Bicara ke sana kemari sejak tadi, kalau
bukan hal makan manusia, tentu soal membunuh orang,
auuuuh ... aduh ...."

306




Kiranya perutnya mendadak terasa kesakitan lagi
hingga ia menjerit.

Si gadis coba mengurut perut Toan Ki dari luar baju.
Sekonyong-konyong tangannya menyentuh sesuatu
yang hangat-hangat, seperti ada sesuatu barang yang
bergerak-gerak.

"Apakah ini?" tanyanya terus merogoh keluar benda
itu dari baju Toan Ki.

Kiranya itu adalah sebuah kotak kemala kecil. Waktu
diperhatikan, di dalam kotak terdengar ada suara "krakkrok."


Segera Wan-jing bermaksud membuka tutup kotak
itu, tapi Toan Ki cepat mencegahnya, "Jangan, nona
Ciong bilang tidak boleh membuka kotak ini, Jing-leng-cu
sangat takut pada benda ini, begitu dibuka, segera dia
akan lari."

"Ciong Ling bilang jangan dibuka, aku justru ingin
membukanya," ujar Bok Wan-jing.

Segera ia buka tutup kotak perlahan hingga tertampak
celah-celah kecil, waktu diintip di bawah sinar matahari,
terlihatlah di dalam kotak itu berisi sepasang katak kecil
yang antero badannya berwarna merah darah.

Begitu katak merah itu melihat cahaya, mendadak
terus bersuara "koak-koak-koak" beberapa kali, suaranya
keras bagai menguaknya kerbau hingga telinga orang
seakan-akan pekak.

307




Keruan Toan Ki dan Bok Wan-jing terkejut, dan
karena itu, hampir saja kotak yang dipegang Bok Wanjing
itu terjatuh.

Sungguh tak tersangka olehnya bahwa kedua katak
sekecil itu bisa bersuara begitu keras, cepat saja ia tutup
kembali kotak itu. Dan karena kotak ditutup, suara katak
itu lantas berhenti.

"Ah, tahulah aku!" tiba-tiba Bok Wan-jing berseru.
"Pernah kudengar cerita guruku, katanya binatang ini
bernama ... bernama ...." ia mengingat-ingat sejenak, lalu
menyambung, "bernama Cu-hap! Ya, benar, inilah 'Bongkoh-
cu-hap' (katak kerbau merah), adalah binatang
antisegala macam ular. Ya, memang benar inilah dia,
entah mengapa bisa berada pada Ciong Ling ...."

"He, lihatlah!" tiba-tiba Toan Ki berseru.

Ternyata Jing-leng-cu yang melilit di pinggangnya itu
tahu-tahu jatuh ke tanah terus meringkuk dengan lemas,
sedikit pun tidak berani bergerak. Kim-leng-cu yang tadi
sudah menyusup ke semak-semak rumput itu, kini pun
merayap keluar bersama beberapa ekor ular kecil,
semuanya meringkuk di situ tanpa bergerak sedikit pun
seakan-akan lagi memberi sembah kepada kotak
kemala.

Bok Wan-jing menjadi girang, katanya, "Hah,
sepasang katak kecil ini ternyata bisa memanggil ular,
sungguh menarik sekali, marilah kita coba-coba lagi!"

"Jangan!" cepat Toan Ki mencegah, "demikian banyak
ularnya, apakah tidak menjemukan?"

308




"Kita memegang kedua ekor katak ini, betapa banyak
ular berbisa juga kita tidak takut," ujar Wan-jing. Habis
itu, kembali ia buka sedikit kotak kemala dan segera
sepasang "Bong-koh-cu-hap" itu menguak lagi dengan
ramainya.

"Bagus juga nama binatang ini, suaranya memang
mirip banteng menguak," kata Toan Ki dengan tertawa
geli.

"Kau bilang apa?" tanya Bok Wan-jing.

Kiranya suara Toan Ki itu kalah kerasnya daripada
suara menguaknya katak-katak itu, biarpun si gadis
berada di depannya juga tidak jelas ucapan anak muda
itu.

Toan Ki hanya goyang-goyang tangan sambil
mendengarkan suara menguak katak-katak itu yang
semakin keras, ketika diperhatikan, di antara suara
ngorek katak-katak itu terseling pula suara mendesisdesis.


Tiba-tiba Wan-jing menarik baju Toan Ki dan
menunjuk ke kiri. Pandangan Toan Ki menjadi silau
seketika, belasan ular yang beraneka warnanya
gemilapan terkena sinar matahari sedang merayap
datang dengan cepat sekali.

Bahwasanya katak-katak merah itu bisa memanggil
ular memang sudah diduga oleh Toan Ki, tapi hanya
dalam sekejap itu bisa datang ular sebanyak itu, betapa
pun ia terkejut.

309




Cepat ia jemput dua potong batu untuk persiapan bila
perlu.

Tidak lama, dari sebelah kanan datang pula
segerombol ular dengan macam-macam warnanya,
merah, kuning, hitam, putih, loreng dan sebagainya, yang
besar sampai 2-3 meter, yang kecil hanya belasan senti
saja.

Sudah banyak Toan Ki melihat ular, tapi kalau
digabungkan seluruhnya, rasanya tiada satu bagian
daripada jumlah yang dilihatnya sekarang.

Beribu ekor ular itu merayap sampai di depan kedua
muda-mudi itu, lalu mendekam di tanah tanpa bergerak,
kepala menjulai ke bawah dengan jinak, sedikit pun tidak
berani menegak sebagaimana biasanya kalau hendak
memagut orang.

Menghadapi ular sebanyak itu dengan bau amis yang
memuakkan, tanpa terasa Bok Wan-jing menjadi jeri
juga, pikirnya, "Katak ini menguak terus, mungkin ularular
yang lain akan membanjir lagi. Untuk memanggil ular
adalah gampang, hendak mengusirnya nanti mungkin
susah."

Maka cepat ia tutup kembali kotak kemala itu.

Walaupun suara menguak katak-katak merah itu
sudah berhenti, tapi kawanan ular itu tetap tidak
bergerak.

310




Aneh juga, biarpun sebanyak itu ularnya, namun tiada
seekor pun yang berani mendekati Toan Ki berdua dalam
jarak lingkaran kira-kira tiga meter.

"Mari kita coba keluar sana!" ajak Wan-jing sambil
memayang Toan Ki.

Dan baru mereka melangkah satu tindak ke depan,
beratus ekor ular di depan mereka lantas menyingkir ke
pinggir, biarpun ular yang paling besar dan menakutkan
juga menggeser mundur dengan jeri.

Waktu mereka melangkah maju beberapa tindak lagi,
kembali kawanan ular itu menyingkir dan memberi jalan.

Bok Wan-jing menjadi girang, katanya, "Menurut
Suhuku, katanya Bong-koh-cu-hap ini adalah makhluk
ajaib dari alam semesta ini, beliau juga cuma kenal
namanya, tapi belum pernah melihat wujudnya."

Habis berkata, tiba-tiba ia ingat sesuatu, ia tanya
pada Toan Ki, "Benda mestika sedemikian pentingnya,
mengapa si anak dara Ciong Ling itu rela
memberikannya padamu?"

Melihat sinar mata si gadis menyorot aneh, cepat
Toan Ki menjawab, "Ia ... ia hanya meminjamkannya
padaku. Ia bilang dengan membawa kotak ini, Jing-lengcu
akan turut pada perintahku."

Baru selesai ia berkata, sekonyong-konyong perutnya
kesakitan lagi, begitu melilit sampai batu yang
dipegangnya terjatuh di tanah, badan gemetar dan
sempoyongan.

311




Lekas Bok Wan-jing memayangnya duduk di samping
batu tadi. Saking kesakitan, bibir Toan Ki sampai pecah
digigit sendiri, lengan Wan-jing yang dipegangnya
matang biru karena diremas dengan kuat.

Sungguh kasih sayang Bok Wan-jing sukar dilukiskan,
tiba-tiba ia ingat sesuatu, katanya, "Longkun, perutmu
makin lama makin sakit, melihat gelagatnya lebih banyak
celaka daripada selamatnya."

"Ya, aku ... aku tidak ... tidak tahan lagi," demikian
Toan Ki merintih-rintih. "Lekas ... lekas kau bunuh aku
saja."

"Pernah kudengar dari Suhu, katanya ada racun
sangat lihai yang tak dapat ditolong," kata Wan-jing pula.
"Tapi kalau pakai racun lain untuk menggempur racun
itu, hasilnya akan sangat mujarab. Sekarang apakah kau
berani menelan beberapa buah kepala ular berbisa?"

Saat itu yang diharapkan Toan Ki secepatnya mati
saja, maka tanpa pikir lagi ia menjawab, "Segala apa pun
boleh, lekas beri makan padaku!"

Segera Bok Wan-jing mengeluarkan sebilah pisau
dan memotong leher seekor ular berbisa di depannya.

Walaupun disembelih terang-terangan, namun ular itu
sedikit pun tidak berani melawan. Maka dengan mudah
saja berturut-turut Bok Wan-jing memotong tiga buah
kepala ular berbisa yang berbentuk segitiga, ia siapkan di
bibir Toan Ki dan berkata, "Nih, telan lekas!"

312




Dengan mata terpejam, Toan Ki telan mentah-mentah
ketiga kepala ular itu.

Ketiga ular yang dipilih Bok Wan-jing itu semuanya
adalah ular loreng yang paling berbisa. Maka dalam
sekejap saja Toan Ki merasa perutnya bertambah melilit
bagai dipuntir-puntir, ia tidak tahan lagi, ia bergulingguling
di tanah, akhirnya hanya berkelojotan saja dengan
napas tersengal-sengal.

Keruan Bok Wan-jing sangat terkejut, cepat ia periksa
nadi pemuda itu, ia merasa denyutnya semakin lemah, ia
tahu cara pengobatannya itu bukan menolong,
sebaliknya mempercepat matinya sang suami. Saking
pedihnya, air matanya bercucuran, ia rangkul leher Toan
Ki dan meratap, "O, Longkun, pasti akan kuiringi
kepergianmu!"

Toan Ki hanya goyang kepala saja tak sanggup
bersuara lagi.

Tiba-tiba pisau Bok Wan-jing bekerja lagi, tiga buah
kepala ular berbisa dipotongnya pula untuk ditelan
sendiri. Tapi mulutnya terlalu sempit untuk dimasuki
kepala ular, pikirnya, "Racun ular berada pada air liurnya,
biarlah kuisap saja."

Segera ia kecup kepala ular itu dan mengisap liurnya
yang berbisa. Tapi baru sebuah kepala ular itu diisapnya
sudah terasa mata berkunang-kunang dan kepala
pusing, akhirnya jatuh pingsan.

Melihat si nona rela berkorban baginya, seketika tak
keruan rasa hati Toan Ki, sungguh tak tersangka olehnya

313




bahwa seorang "iblis wanita" yang biasanya membunuh
orang tanpa berkedip itu bisa jatuh cinta sedalam ini
kepadanya.

Segera ia meronta sekuatnya untuk merangkul Bok
Wan-jing, ia merasa perut kesakitan pula, akhirnya ia tak
sadarkan diri lagi.

Bab 7

Entah lewat berapa lama, perlahan Toan Ki siuman,
waktu membuka mata, ia menjadi silau oleh cahaya
matahari, kembali ia pejamkan mata lagi. Tapi segera
terasa dirinya dirangkul sesosok tubuh yang lunak
hangat. Ia membuka mata lagi untuk melihat, ternyata
muka Bok Wan-jing yang putih pucat itu masih bersandar
di dadanya.

Ia membatin, "Setelah kami menuju akhirat, ternyata
masih berada bersama, suatu tanda bahwa cerita
tentang alam halus segala bukanlah dongeng belaka."

Tiba-tiba ia dengar di tempat agak jauh sana ada
suara orang lagi berkata, "Jika binatang melata ini
merintangi jalan kita, marilah kita menggunakan Am-gi!"

Tapi seorang telah membentaknya, "Jangan! Sin-kun
suruh kita menawannya hidup-hidup, kalau mencelakai
dia, apakah tidak takut dimarahi Sin-kun?"

Waktu Toan Ki memandang ke arah datangnya suara
itu, ia lihat ada empat laki-laki berbaju kuning lagi berdiri
di tepi jurang situ, tangan mereka membawa tangkai
kayu sedang menuding dirinya. Tampaknya sangat jeri

314




pada ular yang merayap di situ, maka tidak berani
mendekat.

Ketika Toan Ki memandang lagi sekelilingnya, ia lihat
dirinya dilingkari kawanan ular yang lagi merayap-rayap,
cahaya sang surya terang benderang, suasana demikian
tiada ubahnya seperti waktu dirinya "mati" tadi, seketika
pikirannya tergerak, "He, jangan-jangan aku tidak jadi
mati?"

Segera ia merasa badan Bok Wan-jing yang berada di
pangkuannya itu masih lunak-lunak hangat, napasnya
mengeluarkan bau harum yang semerbak, nyata, gadis
itu pun selamat tak kurang suatu apa pun.

Saking girangnya, terus saja Toan Ki berteriak-teriak,
"Hura, aku belum mati, aku tidak mati!"

Keempat laki-laki berbaju kuning itu memang sudah
lama menunggu di situ, soalnya karena dirintangi
kawanan ular, maka tidak berani mendekat. Ketika
mendadak mendengar teriakan Toan Ki, mereka menjadi
kaget juga.

Dalam pada itu, dengan bersuara perlahan Bok Wanjing
juga sudah siuman, begitu membuka mata, segera ia
tanya perlahan, "Longkun, apa kita sudah sampai di
akhirat!"

"Tidak, tidak, engkau belum mati, aku pun tidak mati!
Sungguh ajaib sekali bukan?" seru Toan Ki.

315




"Sekarang belum mati, kalau ingin mati sebentar lagi
masih belum telat!" bentak seorang laki-laki berbaju
kuning tadi. "Ayo lekas kemari, Sin-kun panggil kau!"

Sudah sekarat, kini dapat hidup kembali, tentu saja
girang Toan Ki tidak kepalang. Mana ia mau gubris
gemboran orang itu? Segera ia berkata pula kepada Bok
Wan-jing, "Sungguh aneh bin ajaib, kita ternyata tidak
jadi mati, bahkan sakit perutku juga sudah sembuh.
Caramu menyerang racun dengan racun itu ternyata
sangat manjur. Eh, lukamu sendiri sudah baik belum?"

Ketika Wan-jing geraki badannya, ia merasa luka di
punggungnya kesakitan lagi. Tapi hal mana tidak
mengurangi rasa girangnya yang luar biasa, sahutnya
dengan tertawa, "Lukaku bukan keracunan, maka racun
ular ini tidak bisa menyembuhkan luka luar ini. Ternyata
kita berdua tidak mati oleh racun ular, tampaknya kita
berdua jauh lebih lihai daripada ular berbisa!"

Nyata Toan Ki dan Bok Wan-jing yang tidak luas
pengetahuannya itu tidak tahu bahwa racun ular itu baru
bisa mencelakai orang bila masuk ke dalam darah
melalui suatu luka. Tapi kalau dimakan ke dalam perut,
asal di antara mulut, lidah, tenggorokan dan usus tiada
sesuatu luka, racun ular itu tiada berbahaya sama sekali.
Sebab itulah, makanya bila orang dipagut ular berbisa,
orang berani mengisap racun dari luka pagutan itu tanpa
ikut keracunan.

Kini secara ngawur kedua muda-mudi itu
sembarangan menelan kepala ular dan mengisap racun
ular, sebaliknya malah membawa hasil yang di luar
dugaan mereka.

316




Toan-jiong-san yang lihai itu benar-benar lenyap
digempur oleh racun tiga buah kepala ular yang dimakan
Toan Ki itu. Cuma mereka sudah tak sadarkan diri
selama semalam suntuk, kini sudah menginjak esok pagi
hari kedua.

Sementara itu seorang laki-laki baju kuning di
antaranya yang berperawakan paling tinggi di sana
sedang membentak lagi, "Hai, kedua bocah itu, lekas
kalian ke sini!"

Perlahan Bok Wan-jing berbangkit dari pelukan Toan
Ki, dengan wajah yang masih tersenyum simpul,
mendadak ia sambar seekor ular di tanah terus
dilemparkan ke arah laki-laki itu.

Keruan laki-laki itu kaget, cepat ia berkelit. Di luar
dugaan, Bok Wan-jing menyambar dan menimpuk lagi
berulang-ulang dengan ular berbisa di sekitarnya itu.
Tentu saja keempat laki-laki itu kelabakan dihujani ular
sebanyak itu, sambil berteriak kaget diseling caci maki,
mereka menghindar kian kemari sembari putar tangkai
kayu untuk menyampuk.

Begitu terlepas dari pengaruh "Bong-koh-cu-hap",
ular-ular berbisa itu seketika bergerak dengan gesit
sekali, dua ekor di antaranya yang berbuntut panjang
terus membelit di atas batang kayu yang disabetkan itu,
menyusul terus melejit maju untuk memagut. Seketika
seorang baju kuning kena gigit mukanya dan tak terlepas
lagi.

317




Sementara itu Bok Wan-jing masih terus
melemparkan ular, keruan laki-laki berbaju kuning itu
semakin kelabakan, sekonyong-konyong terdengar
jeritan ngeri, laki-laki yang bertubuh paling tinggi tadi
saking gugupnya telah tergelincir ke dalam jurang.

Seorang lagi menjadi kaget hingga lehernya kena
digigit ular berbisa yang lain. Rupanya racun ular ini
teramat jahatnya, yang digigit adalah pembuluh darah
besar di leher, kontan saja orang itu menggeletak binasa.

Sisa seorang lagi bertubuh pendek kecil, tapi gerakgeriknya
sangat lincah dan gesit. Belasan ular yang
ditimpukkan Bok Wan-jing dapat dihindarkan. Tapi begitu
ular itu jatuh ke tanah, segera merayap dan menggigit
pula bagian kakinya.

Laki-laki itu benar-benar hebat juga, ia bisa
menghindar kian kemari dengan cekatan sekali, namun
keadaannya makin lama juga makin berbahaya.

"Lekas turun ke bawah, jiwamu akan diampuni!" seru
Toan Ki.

"Sekali sudah turun tangan, tidak kenal ampun lagi!"
ujar Bok Wan-jing. Berbareng empat ular dilemparkan
sekaligus.

Saat itu orang berbaju kuning lagi sibuk menghindari
pagutan ular di tanah, ia sudah mundur sampai di tepi
jurang, maka timpukan keempat ular itu terang tak dapat
dihindarkannya.

318




Mendadak serangkum angin keras menyampuk dari
belakang, seketika belasan ular di sekitar laki-laki itu
tersapu jauh ke depan, menyusul sesosok bayangan
kuning melayang ke atas karang, sekali dorong, laki-laki
baju kuning tadi kena disodok ke tempat luang yang
ditinggalkan kawanan ular itu.

Orang yang baru melompat ke atas itu mengekek
tawa tiga kali dan berdiri di tempatnya dengan mata
jelalatan, siapa lagi dia kalau bukan Lam-hay-gok-sin.

Ketika laki-laki baju kuning itu dapat berdiri tegak dan
melihat yang datang itu adalah malaikat buaya laut
selatan, ia ketakutan setengah mati, ia hanya sanggup
menyebut, "Sin-kun!"

Pikirnya hendak berlutut, tapi saking ketakutan,
badannya gemetar sedemikian rupa hingga serasa
lumpuh, hendak berlutut pun tak bisa lagi.

Melihat Lam-hay-gok-sin datang kembali, seketika
wajah Toan Ki dan Wan-jing sama berubah.

"Kusuruh kau tangkap bocah she Toan ini, kenapa
sampai sekian lamanya masih belum terlaksana?" kata
Lam-hay-gok-sin pada laki-laki baju kuning tadi. "Apa
barangkali kau hendak melarikan diri, ya?"

Saking ketakutan, gigi orang itu sampai gemertukan,
sahutnya dengan tak lancar, "Hamb ... hamba ti ... tidak
...." sampai di sini, ia tidak sanggup lagi meneruskan
saking gemetarnya.

319




Tiba-tiba Lam-hay-gok-sin sedikit bergerak, tidak jelas
cara bagaimana dia melangkah maju, tahu-tahu dada
laki-laki itu sudah dijambretnya terus diangkat, ia
terkekeh-kekeh beberapa kali, mendadak tangan yang
lain menjambak rambut laki-laki itu, sekali puntir, "kriut",
buah kepala orang itu dipuntir patah mentah-mentah.

Kontan saja darah segar muncrat dengan derasnya
hingga membasahi antero tubuh Lam-hay-gok-sin, tapi
sedikit pun iblis aneh itu tidak ambil pusing, bahkan
tampak sangat senang.

"Kepala anjing!" dampratnya kepada kepala yang
patah itu, dan sekali lempar, kedua potong mayat itu
dilemparkan ke jurang.

Mendadak ia hantam ke depan lagi, di mana angin
pukulannya menyambar, kawanan ular itu terpaksa
menyingkir jauh ke pinggir, dengan langkah lebar ia
melangkah maju.

Cepat Bok Wan-jing menarik Toan Ki hendak
menyingkir, tapi sudah terlambat. Tiba-tiba Lam-hay-goksin
ulur tangan kiri ke depan, seketika lengannya seakanakan
mulur sekali lipat panjangnya hingga kuduk baju
Bok Wan-jing kena dijambretnya terus diangkat ke atas.

Toan Ki menyangka orang juga hendak melemparkan
si gadis ke jurang, dengan khawatir ia berteriak, "Jangan,
jangan! Boleh kau bunuh diriku saja!"

Terhadap kawanan ular yang masih merayap di
sekitar situ, Lam-hay-gok-sin agak jeri juga. Ketika

320




tangannya menghantam pula, di bawah hamburan batu
pasir, kembali belasan ular kena dibinasakan olehnya.

Tiba-tiba ia melompat mundur ke tepi jurang sambil
mengangkat Bok Wan-jing, kaki kirinya terangkat tinggitinggi
ke atas, hanya kaki kanan saja yang berdiri di tepi
jurang dengan gaya "Kim-khe-tok-lip" atau ayam emas
berdiri dengan kaki tunggal, tubuhnya setengah tergontai
seakan-akan setiap detik bisa terjerumus ke jurang
bersama si gadis.

Toan Ki tidak tahu kalau orang aneh itu lagi pamer
kepandaiannya, ia khawatirkan jiwa Bok Wan-jing, cepat
ia berteriak-teriak, "Awas, hati-hati, jangan sampai
terpeleset!"

Sedikit pun Bok Wan-jing tak bisa berkutik karena
dicengkeram oleh Lam-hay-gok-sin. Ia lihat Toan Ki
berada di tengah kepungan ular, kawanan ular itu
tampak merayap-rayap maju, cepat ia lemparkan kotak
kemala kepada pemuda itu sambil berseru, "Awas,
terimalah ini!"

Dengan gugup Toan Ki menangkap kotak itu dan
syukurlah dapat diterimanya dengan baik walaupun rada
kerepotan. Dan begitu, "Bong-koh-cu-hap" itu berada di
tangannya, serentak kawanan ular itu mendekam di
tanah dan tak berani bergerak lagi.

"Locianpwe, su ... sudilah kau lepaskan dia," demikian
Toan Ki memohon.

"Siaucu, kau sangat mirip aku, mau tidak mau harus
kuterima kau sebagai murid," sahut Gok-sin. "Cuma

321




menurut peraturan Lam-hay-pay kita, selamanya hanya
murid yang memohon diterima sang guru, tidak pernah
sang guru yang memohon pada si murid. Makanya aku
akan menunggumu di puncak bukit sana ...." sembari
berkata, ia tunjuk ke arah puncak paling tinggi yang
penuh tertimbun salju di kejauhan sana, lalu
menyambung pula, "bila kau datang memohon aku
menerimamu sebagai murid, aku lantas mengampuni
nyawa binimu ini. Kalau tidak, ha, ha, kreeekk ...." ia
sengaja memberi contoh cara bagaimana akan memuntir
patah kepala Bok Wan-jing.

Habis itu, mendadak ia berputar terus melompat ke
bawah, tangan kiri menahan dinding jurang terus
memberosot turun sambil menggondol Bok Wan-jing
dengan cepat luar biasa.

Tiap-tiap kali kalau meluncur ke bawah, bila terlalu
cepat, mendadak terasa tubuh kedua orang bisa
mengerem sedetik untuk kemudian baru menurun lagi.
Agaknya tangan Lam-hay-gok-sin yang menahan di
dinding jurang itu yang mengeremnya.

Dalam keadaan begitu, jangankan Bok Wan-jing
sama sekali tak bisa berkutik, sekalipun bisa juga tidak
berani sembarangan meronta selagi tubuh kedua orang
terapung di udara. Sampai akhirnya, gadis itu pejamkan
mata dan membiarkan dirinya dibawa turun.

Selang sebentar, terasa tubuhnya mental sekali,
nyata mereka sudah sampai di dasar jurang. Begitu
menginjak tanah, Lam-hay-gok-sin tidak lantas berhenti,
tapi terus berlari lagi sambil menjinjing Bok Wan-jing.

322




Perawakan Lam-hay-gok-sin hanya sedang saja,
sebaliknya perawakan Bok Wan-jing di kalangan wanita
boleh dikatakan terhitung jangkung, kalau keduanya
berdiri sejajar hampir sama tingginya. Tapi Lam-hay-goksin
dapat mencengkeram leher baju gadis itu bagai
menjinjing anak kecil, sedikit pun tidak membuang
tenaga.

Dengan gerakan yang gesit tangkas itu, sebentar saja
Lam-hay-gok-sin sudah keluar dari dasar lembah yang
penuh batu dan kabut itu. Segera ia mendaki pula ke
bukit di depannya, karena lereng bukit itu lebih landai,
maka mendakinya lebih mudah.

Berada di bawah jinjingan Lam-hay-gok-sin, diamdiam
Bok Wan-jing berpikir, "Aku masih mempunyai sisa
lima batang panah berbisa, kalau saat ini aku
menyerangnya mungkin bisa gugur bersama. Tapi
kemarin aku sudah memanah dia dan tidak mempan
semuanya, Entah badannya memang kebal atau karena
dia memakai baju lapis baja yang tak tembus senjata?"

Berpikir begitu, ia coba menyentuh perlahan
punggung orang, terasa lunak-lunak saja tiada lapisan
baja segala, hanya saja kulit dagingnya jauh lebih keras
daripada orang biasa, diam-diam Wan-jing membatin
pula, "Tampaknya pembawaan orang ini memang luar
biasa, ilmu silatnya aneh pula. Kalau aku sembarangan
turun tangan, bila sampai dia murka, apa akibatnya
susah dibayangkan."

Tiba-tiba terdengar Lam-hay-gok-sin mengekek tawa
dan berkata, "Hehe, apa kau hendak menusuk atau
memanah aku? Hm, jangan harap, aku takkan mati

323




dibunuh dan takkan luka diserang. Kau adalah bininya
muridku, sementara ini aku takkan bikin susah padamu.
Tapi kalau dia tidak datang mengangkat guru padaku,
hehe, tatkala mana ia bukan lagi muridku dan kau pun
bukan bini muridku lagi. Setiap kali Lam-hay-gok-sin
melihat nona cantik, selalu perkosa dulu bunuh belakang,
sekali-kali tidak main sungkan lagi."

Bok Wan-jing mengirik oleh ucapan itu, sahutnya,
"Suamiku sedikit pun tak bisa ilmu silat, di atas jurang
securam itu, cara bagaimana ia bisa turun? Tapi saking
khawatir akan diriku, tentu dia akan mati-matian
berusaha datang kemari mengangkat guru padamu,
kalau terpeleset, ia akan jatuh hancur lebur ke dalam
jurang. Bila begitu, engkau akan kehilangan seorang
murid lagi. Bahan bagus, mutu tinggi, ke mana akan kau
cari murid pula?"

Seketika Lam-hay-gok-sin berhenti, katanya, "Benar
juga katamu. Aku tidak ingat bahwa Siaucu itu tak bisa
turun ke bawah gunung."

Sekonyong-konyong ia bersuit nyaring, segera di atas
bukit sebelah timur sana ada orang menyahut, lalu Lam-
hay-gok-sin berteriak, "Pergi ke atas karang tandus itu,
gendonglah bocah itu ke sini, jangan mencelakai
jiwanya!"

Kembali orang di sebelah sana bersuara mengiakan.

Diam-diam Bok Wan-jing tercengang, "Lam-hay-goksin
ini hanya bicara biasa saja, dan suaranya lantas
tersiar ke lereng yang jauh itu, kepandaian setinggi ini
biarpun guruku juga tak mampu menandinginya.

324




Sebaliknya begundalnya yang di atas bukit sana harus
menggembor baru bisa terdengar dari sini."

Selesai memberi perintah, Lam-hay-gok-sin
menjinjing Bok Wan-jing dan melanjutkan perjalanan lagi.
Diam-diam Wan-jing rada lega, ia tahu sebelum Toan Ki
datang, dirinya takkan berbahaya. Cuma watak sang
"suami" itu sangat kukuh, bila dia dipaksa angkat Lam-
hay-gok-sin yang buas dan kejam itu sebagai guru,
mungkin biarpun mati juga tidak sudi.

Pikirnya pula, "Terhadapku, rupanya ia cuma ingin
membela keadilan saja dan bukan karena cinta kasih
suami istri, mungkin dia takkan sudi berkorban bagiku
dengan mengangkat guru orang jahat ini. Ai, baik atau
jelek aku harus melihatnya sekali lagi, asal dia selamat
tak kurang apa pun dan tidak terjatuh ke jurang, barulah
aku merasa lega."

Berpikir sampai di sini, diam-diam ia heran sendiri,
"He, kenapa aku sedemikian memerhatikan dia dan
mencintainya sedalam ini? Wahai, Bok Wan-jing, tidak
pernah begini selama hidupmu!"

Tengah Bok Wan-jing terombang-ambing oleh
pikirannya sendiri, sementara itu Lam-hay-gok-sin sudah
membawanya ke atas puncak sana. Tenaga Gok-sin ini
benar-benar luar biasa, tanpa berhenti sedikit pun ia
terus melintasi empat bukit lagi, akhirnya baru mencapai
puncak tertinggi yang dikelilingi lereng bukit itu.

Begitu Lam-hay-gok-sin lepaskan Bok Wan-jing, terus
saja ia buka celana dan kencing di situ.

325




Sungguh gusar Bok Wan-jing tidak kepalang. Ia pikir
manusia ini sungguh kasar, rendah dan jahat tiada
ubahnya seperti binatang. Cepat ia menyingkir agak jauh
serta memakai kedoknya lagi. Ia pikir wajah sendiri yang
cantik manis ini bila lebih banyak dipandang olehnya,
bukan mustahil setiap waktu sifat kebinatangannya akan
kambuh, tatkala mana soal bini murid segala tentu tak
dipedulikan lagi.

Selesai Lam-hay-gok-sin buang air, segera ia berkata,
"Ehm, bagus juga kau pakai kedok lagi. Sebentar ada
beberapa orang jahat akan datang, semuanya adalah
manusia yang tidak kenal aturan, bila wajahmu yang
cantik itu dilihat mereka, mungkin bisa runyam."

"Aku adalah istri murid kesayanganmu, masakah
orang lain berani kurang ajar padaku?" ujar Wan-jing.

"Tapi beberapa keparat anjing ini terlalu jahat, terlalu
buas!" sahut Gok-sin sambil geleng kepala dan berkerut
kening.

"Aku tidak percaya, masakah di jagat ini masih ada
orang yang lebih galak dan jahat daripadamu?" ujar
Wan-jing dengan tertawa.

Mendadak Lam-hay-gok-sin menabok paha sendiri,
lalu berseru dengan marah-marah, "Ya, memang tidak
adil! Di antara Su-ok di jagat ini, urutan Locu adalah
nomor tiga. Sungguh tidak adil, aku harus berusaha
mencapai nomor satu!"

326




Diam-diam Bok Wan-jing berpikir, "Nama 'Sam-siansu-
ok' pernah kudengar dari Suhu. Ketika aku akan
membunuh Sun He-khek, pernah kutanya jelas wajah
dan kelakuan gurunya, maka kutahu begitu suara
suitannya terdengar, segera Lam-hay-gok-sin akan
muncul. Tapi aku tidak tahu kalau menurut urutan Su-ok
dia terhitung nomor tiga. Ternyata di dunia ini masih ada
yang jauh lebih jahat dari dia, sungguh susah untuk
dimengerti."

Segera Bok Wan-jing tanya, "Lalu, siapakah yang
nomor satu dan nomor dua?"

"Buat apa kau tanya?" bentak Gok-sin dengan mata
mendelik sebesar kedelai itu. "Apa kau bermaksud
mengejek aku? Jika kau anggap Locu kurang jahat,
segera kusembelih kau dulu, bisa jadi karena itu akan
terus naik tingkat menjadi nomor dua!"

Habis berkata, "brak", mendadak ia menghantam
sebatang pohon di sampingnya. Seketika pohon itu patah
bagian tengah dan tumbang dengan gemuruh.

Meski pohon itu tidak terlalu besar, paling sedikit juga
ada sebulatan mangkuk besarnya, tapi sekali hantam
sudah dipatahkan olehnya, diam-diam Bok Wan-jing
melelet lidah, Pikirnya, "Apa gunanya umpama dapat
rebut sebutan juara orang jahat di seluruh jagat ini? Tapi
oleh orang ini dianggapnya sebagai noda yang
memalukan bila tidak bisa menduduki juara, maka
sebaiknya aku jangan mengorek-ngorek boroknya itu,
supaya aku tidak telan pil pahit."

327




Segera ia tidak buka suara lagi, tapi pejamkan mata
sambil bersandar di batu padas untuk memulihkan
semangat.

"Kenapa bungkam? Dalam hati kau pandang hina
padaku bukan?" tiba-tiba Lam-hay-gok-sin berkata pula.

"Tidak," sahut Wan-jing, "Aku justru lagi berpikir
kenapa sebutan orang jahat nomor satu di seluruh jagat
ini bukan dimiliki olehmu, padahal soal kejahatan dan
kebuasan, sekalipun orang lain mungkin melebihimu,
namun ilmu silatnya apa bisa lebih unggul daripadamu?"

Mendadak Lam-hay-gok-sin meludah dengan marahmarah,
katanya, "Makanya kami harus mengulangi
bertanding lagi untuk mengoreksi urutan masingmasing."


Melihat gelagatnya, Bok Wan-jing dapat menduga
keempat orang mahajahat itu pasti sudah pernah
bertanding. Agar tidak membikin marah orang, ia pikir
jangan menyinggungnya lagi, maka katanya, "Gaklocianpwe,
sebenarnya siapakah nama engkau orang
tua? Dapatkah kau beri tahu agar kelak mudah
memanggilmu bila suamiku sudah menjadi muridmu?"

"Aku bernama Gak ... Gak ... ah, keparat!" mendadak
Lam-hay-gok-sin memaki sebelum menyebut namanya
sendiri. "Namaku adalah pemberian ayahku, tapi namaku
ini terlalu jelek, ayahku selamanya tidak berbuat sesuatu
yang baik, sungguh anjing keparat!"

Hampir saja Bok Wan-jing tertawa geli, pikirnya,
"Orang ini benar-benar lebih durhaka daripada binatang,

328




masakah ayah sendiri juga dicaci maki. Dan kalau
ayahmu anjing keparat, lalu engkau sendiri apa?"

Ia lihat Lam-hay-gok-sin lagi mondar-mandir kian
kemari, tampaknya merasa gopoh sekali. Tiba-tiba Wanjing
teringat kepada Toan Ki, pikirnya, "Entah sekarang
dia sudah turun gunung dengan selamat tidak? Jika
dirintangi kawanan ular, apakah orang suruhan Lam-haygok-
sin itu bisa melintasi kepungan ular itu?"

Pada saat itulah, tiba-tiba di udara tersiar suara
tangisan yang perlahan, suaranya sangat memilukan,
sayup-sayup seperti seorang wanita lagi meratap, "O,
anakku! O, sayangku!"

Hanya dua kalimat itu saja suara tangisan itu sudah
membikin perasaan Bok Wan-jing terguncang hebat
seakan-akan sukma akan meninggalkan raganya.

"Fui", mendadak Gok-sin meludah lagi dan berkata,
"Hm, si penangis kematian itu sudah datang!" lalu ia
menggembor, "Kau menangisi apa? Locu sudah lama
menanti di sini!"

Namun suara itu sayup-sayup masih terus menangis
dengan pilunya, "O, anakku, betapa ibu mengenangkan
engkau!"

Perasaan Bok Wan-jing menjadi kacau oleh pengaruh
suara itu, tanyanya, "Apakah ini si jahat nomor empat?"

"Perempuan ini adalah 'Bu-ok-put-cok' Yap Ji-nio,
gelar 'Ok' itu berurut pada tempat kedua, tapi pada suatu

329




ketika aku 'Hiong-sin-ok-sat' pasti akan bertukar gelar
dengan dia," demikian sahut Lam-hay-gok-sin.

Baru sekarang Bok Wan-jing mengerti seluk-beluknya
urutan "Su-ok" itu. Kiranya yang menjadi ancar-ancar
urutan mereka itu adalah pada huruf "Ok" itu.

Yap Ji-nio bergelar "Bu-ok-put-cok" atau tiada
kejahatan yang tak dilakukannya, karena huruf "Ok" itu
jatuh pada huruf kedua, maka ia adalah orang jahat
nomor dua di dunia ini.

Sedang Lam-hay-gok-sin itu berjuluk "Hiong-sin-oksat"
atau malaikat buas setan jahat, huruf "Ok" adalah
huruf ketiga, maka menurut urutan ia menduduki tempat
ketiga.

Segera Wan-jing tanya lagi, "Lalu, siapakah julukan
orang jahat nomor satu di jagat ini? Dan siapa pula yang
nomor empat itu?"

"Buat apa kau tanya? Aku tidak tahu!" seru Lam-haygok-
sin marah-marah.

Tapi mendadak suara seorang wanita yang halus
menyambungnya, "Lotoa kami berjuluk 'Ok-koan-boaneng'
dan Losi kami bergelar 'Kiong-hiong-kek-ok'."

Sungguh heran sekali Bok Wan-jing oleh nama-nama
yang aneh itu. Nyata, sesuai dengan urut-urutan huruf
"Ok" itu, Lotoa atau yang tertua, berjuluk Ok-koan-boaneng
atau kejahatan melebihi takaran. Dan Losi, si nomor
empat, bergelar Kiong-hiong-kek-ok atau buas dan kejam
luar biasa. Ia terkejut pula oleh betapa cepat datangnya

330




Yap Ji-nio itu, kedengarannya tadi masih jauh, tahu-tahu
sekarang sudah muncul di situ.

Dalam kejutnya itu ia coba perhatikan wanita itu. Ia
lihat orang mengenakan baju panjang warna hijau muda,
rambutnya panjang terurai, usianya kurang lebih 40
tahun, air mukanya cukup cantik, cuma kedua pipinya
masing-masing terdapat tiga jalur merah darah seperti
bekas cakaran. Pada tangannya membopong seorang
anak laki-laki berumur kira-kira dua tahun, mungil dan
menyenangkan.

Semula Wan-jing sangka "Bu-ok-put-cok" Yap Ji-nio
yang menurut urut-urutan masih di atas Lam-hay-gok-sin,
tentu orangnya jauh lebih bengis, menakutkan, siapa
tahu orangnya ternyata rada cantik juga. Karena itu,
tanpa terasa ia pandang orang beberapa kejap.

Tiba-tiba Yap Ji-nio tersenyum padanya, seketika Bok
Wan-jing mengirik, ia merasa di antara senyum wanita itu
lamat-lamat mengandung rasa sedih dan duka luar biasa
hingga bagi siapa yang memandangnya rasanya menjadi
terharu seakan-akan ikut menangis. Maka lekas-lekas ia
berpaling ke arah lain, ia tidak berani memandangnya
lagi.

"Sammoay, kenapa Toako dan Site masih belum
datang?" tanya Lam-hay-gok-sin.

Dengan perlahan Yap Ji-nio menjawab, "Sudah
terang gamblang kau adalah Losam, tapi kau mati-matian
ingin melampaui aku, ya? Coba kau panggil lagi sekali
Sammoay, hm, tentu Encimu ini tidak sungkan-sungkan
lagi padamu!"

331




Lam-hay-gok-sin menjadi gusar, teriaknya, "Tidak
sungkan-sungkan lagi, lalu mau apa? Apa mau mengajak
berkelahi?"

"Untuk berkelahi tentu tidak kekurangan waktu,
memangnya aku jeri padamu?" sahut Yap Ji-nio. "Benar
tidak, Bok Wan-jing?"

Mendengar nama sendiri disebut, seketika Bok Wanjing
tergetar, sukma seakan-akan melayang-layang
terlepas dari raganya. Dalam kejutnya segera ia menjadi
sadar juga.

Kiranya Yap Ji-nio itu lagi menggunakan ilmu "Liaphun-
tay-hoat", yaitu semacam hipnotisme pada zaman
kuno yang lihai, bila sinar mata kedua orang kebentrok,
seketika orang akan jatuh di bawah pengaruhnya serta
menurut segala perintahnya.

Hal ini pernah Bok Wan-jing dengar dari gurunya.
Maka ia tidak berani sembrono lagi, lekas ia pusatkan
semangat dan kerahkan Lwekang sambil menarik kain
kedoknya untuk menutupi mukanya, bahkan kedua mata
juga ditutupnya sekalian.

"Bok Wan-jing," terdengar Yap Ji-nio berkata lagi
dengan tertawa, "paling akhir ini nama jahatmu sangat
tersohor, kalau kau angkat saudara dengan kami serta
menjadi Gomoay (adik kelima) kami, rasanya boleh juga.
Betul tidak, Samte?"

"Tidak!" sahut Lam-hay-gok-sin ketus.

332




"Kenapa tidak?" tanya Yap Ji-nio dengan ramah.

"Dia adalah bininya muridku, mana boleh menjadi
Gomoayku? Toh sudah cukup mempunyai seorang
Sammoay seperti kau!" demikian sahut Gok-sin.
Mendadak ia membentak ke arah lain, "Gelinding kemari!
Di mana bocah she Toan itu? Kenapa tidak dibawa
kemari?"

Kiranya orang yang tadi disuruhnya mencari Toan Ki
itu telah datang. Maka tertampaklah orang itu menjawab
dari tempat sejauh belasan tombak dengan gelagapan,
"Ham ... hamba sampai di atas karang tadi, tapi ... tapi
orangnya sudah menghilang. Hamba telah mencarinya
ke mana-mana, tapi tidak ... tidak ketemu!"

Keruan Bok Wan-jing terkejut, ia menjadi khawatir
jangan-jangan Toan Ki mati terjatuh ke dalam jurang.

Segera ia dengar Lam-hay-gok-sin lagi membentak,
"Apakah disebabkan kau terlambat datang ke sana,
maka bocah itu mati jatuh ke jurang?"

Orang itu tidak berani mendekat, jawabnya bertambah
gelagapan, "Tapi hamba ... hamba sudah mencari ke
seluruh lembah dan tidak menemukan mayatnya, juga
tidak melihat sesuatu tanda bekas darah."

"Mustahil! Apa mungkin dia mampu terbang ke langit?
Kau berani dusta padaku, ya?" bentak Gok-sin dengan
murka.

333




Saking ketakutan, orang itu menyembah minta ampun
sambil membentur-benturkan kepalanya ke atas batu di
depannya.

Mendadak terdengar suara menyambarnya angin,
sesuatu benda melayang ke sana, "plok", seketika orang
itu tidak bersuara lagi. Tapi dari suara angin itu, Bok
Wan-jing menduga pasti Lam-hay-gok-sin telah
menimpukkan sepotong batu hingga membinasakan
orang itu.

Sebenarnya Bok Wan-jing sendiri adalah seorang iblis
pembunuh orang tanpa berkedip, orang itu tidak mampu
menemukan Toan Ki, ia pun gemas tidak kepalang,
andaikan Lam-hay-gok-sin tidak membinasakan orang
itu, ia sendiri pun tidak mau mengampuninya.

Sesaat itu pikirannya jadi bergolak, "Dia sudah
menghilang dari sana, tapi mayatnya tidak kelihatan di
dasar jurang, lalu ke mana dia pergi? Apa mungkin
ditelan ular besar? Ah, tidak mungkin, dia membawa
'Bong-koh-cu-hap', segala jenis ular tidak berani
mengganggunya. Ya, tentu dia terjatuh di tempat yang
terpencil sehingga orang itu tak bisa menemukannya,
atau mungkin mayatnya telah diketemukan orang itu, tapi
tidak berani bicara terus terang."

Semakin dipikir, ia merasa kemungkinan besar Toan
Ki sudah meninggal. Waktu berpisah dari pemuda itu, ia
sudah ambil keputusan bila Toan Ki mati, pasti dia juga
akan menyusulnya. Apalagi sekarang dirinya berada di
bawah cengkeraman Lam-hay-gok-sin, kalau tidak mati,
entah siksaan keji apa yang akan dirasakannya.

334




Tapi sebelum melihat mayat Toan Ki, betapa pun toh
masih ada harapan bahwa pemuda itu masih hidup?
Karena itulah, ia pun tidak rela mati begitu saja.

Sedang pikiran Bok Wan-jing kacau, tiba-tiba
terdengar anak kecil yang dipondong Yap Ji-nio itu
berteriak-teriak menangis, "Ibu, ibu, mana ibuku?"

"Anak baik, aku inilah ibumu!" demikian Yap Ji-nio
membujuknya.

Tapi tangis bocah itu semakin keras malah, "Tidak,
engkau bukan ibuku! Aku minta ibu, mana ibuku?"

Perlahan Yap Ji-nio tepuk-tepuk badan anak itu
sambil meninabobokannya dengan nyanyi kecil. Namun
bukannya diam, sebaliknya tangis anak itu semakin
keras. Tapi Yap Ji-nio tetap meninabobokannya dengan
sabar sambil melagukan, "O, tidurlah anakku ...."

Lam-hay-gok-sin menjadi geregetan oleh suara orang
yang membisingkan itu, dasar wataknya memang kasar,
ditambah kehilangan calon murid kesayangannya, ia
menjadi lebih gopoh lagi, tiba-tiba ia membentak, "Kau
bujuk kentut! Kalau mau isap darahnya, lekas lakukan!"

Namun Yap Ji-nio tidak gubris padanya, ia masih
terus meninabobokan bayi itu.

Sampai mengirik Bok Wan-jing mendengarnya, makin
dipikir makin takut dia. Semula ketika melihat Yap Ji-nio
yang bergelar orang jahat nomor dua di dunia ini ternyata
membawa seorang bayi yang mungil, memangnya ia
sudah heran. Kini mendengar ucapan Lam-hay-gok-sin

335




itu, jadi Yap Ji-nio bakal mengisap darah anak itu, mau
tak mau timbul rasa gusarnya dan takut pula.

Pikirnya, "Cara bagaimanakah supaya aku bisa
menyelamatkan anak kecil ini?"

Tapi bila ingat mati hidup Toan Ki masih belum
diketahui, terpaksa ia tidak berani pikirkan urusan orang
lain. Namun suara timangan Yap Ji-nio yang penuh rasa
kasih sayang itu, makin lama makin memuakkan
perasaannya.

Dalam pada itu Lam-hay-gok-sin menjadi gusar,
dampratnya, "Setiap hari kau pasti minta korban seorang
bayi, tapi kau sengaja berlagak welas asih, sungguh
memuakkan dan tidak tahu malu!"

"Janganlah gembar-gembor hingga bikin kaget
anakku!" sahut Yap Ji-nio dengan suara halus.

Gok-sin menjadi murka, mendadak anak di
pondongan Yap Ji-nio itu hendak dijambretnya untuk
dibanting. Tapi betapa pun cepatnya ternyata masih
kalah cepat daripada Yap Ji-nio. Hanya sedikit berputar,
cengkeraman Gok-sin itu sudah luput.

"Haya, Samte, tanpa sebab apa, kenapa kau ganggu
anakku ini?" demikian dengan nada yang penuh rasa
kasih sayang seorang ibu, Yap Ji-nio mengomel.

Walaupun kedua mata Bok Wan-jing ditutup sendiri
dengan kain kedoknya, namun ia dapat mengikuti
kejadian tadi dengan telinganya. Ia pikir, "Urutan Yap Jinio
ini memang pantas berada di atas Lam-hay-gok-sin.

336




Malaikat buaya ini selama hidup jangan harap akan
melampaui wanita itu."

Benar juga, sekali jambret tidak kena, rupanya Lam-
hay-gok-sin tahu juga kalau bergebrak tentu akan sia-sia
belaka. Hanya mulutnya yang masih memaki, "Kurang
ajar, Lotoa dan Losi kedua anak kura-kura ini kenapa
sampai saat kini belum lagi datang, aku tidak sabar
menunggunya lagi."

"Kau tahu tidak bahwa kemarin Losi telah kepergok
musuh di tengah jalan dan menelan pil pahit?" tiba-tiba
Yap Ji-nio tanya.

"He, Losi kepergok musuh? Siapa dia?" tanya Gok-sin
heran.

Tiba-tiba Yap Ji-nio menuding Bok Wan-jing dan
berkata, "Budak ini tampaknya tidak beres, kau sembelih
dia dahulu baru kemudian kuceritakan."

Lam-hay-gok-sin menjadi ragu, sahutnya, "Dia adalah
bini muridku, kalau kusembelih dia, muridku tentu akan
ngambek tak mau mengangkat guru padaku."

"Jika begitu, biarlah aku yang kerjakan," ujar Yap Jinio
dengan tertawa. "Kalau muridmu ngambek, suruh dia
mencari balas padaku. Habis, kedua matanya itulah
terlalu menggiurkan bagi siapa pun yang melihatnya, aku
menjadi iri tak memiliki mata sejeli dia. Biarlah kucolok
dulu kedua biji matanya!"

Sungguh kaget Bok Wan-jing tidak kepalang hingga
keringat dingin seketika membasahi tubuhnya. Syukurlah

337




ia dengar Lam-hay-gok-sin mencegah pula, "Jangan!
Biar kututuk saja Hiat-to pingsannya, biar dia tidur
selama sehari dua malam!"

Tanpa menunggu jawaban Yap Ji-nio lagi,
sekonyong-konyong ia melompat ke samping Bok Wanjing
dan menutuk dua kali. Seketika Bok Wan-jing
merasa kepala pening, lalu tak sadarkan diri lagi ....

Entah sudah berapa lama, ketika perlahan Bok Wanjing
siuman kembali, ia merasa badannya sangat dingin,
segera terdengar pula serentetan suara tertawa
mengikik. Meski dikatakan tertawa, hakikatnya tiada rasa
tawa sedikit pun, tapi lebih mirip dikatakan suara
mengilukan dan beradunya benda logam misalnya
sebilah golok yang digosok-gosokkan di atas papan baja.

Bok Wan-jing sangat cerdik, ia tahu sekali dirinya
bergerak, seketika pasti akan diketahui pihak lawan,
boleh jadi akan mengakibatkan dirinya disiksa. Maka
meski badan merasa kaku pegal sekali, ia tidak berani
sembarangan bergerak.

Dalam pada itu terdengar Lam-hay-gok-sin lagi
berkata, "Losi, tidak perlu omong gede! Sammoay telah
memberi tahu padaku bahwa kau telan pil pahit dari
orang, buat apa masih menyangkal? Sebenarnya kau
dikeroyok berapa orang musuh?"

Suara orang yang mirip logam digosok itu segera
menjawab, "Huh, apa yang diketahui Jici? Aku dikerubut
tujuh orang musuh, semuanya tergolong jago kelas satu,
sudah tentu, betapa tinggi kepandaianku juga tak bisa
sekaligus membunuh musuh sebanyak itu."

338




"Eh, kiranya Losi yang berjuluk 'Kiong-hiong-kek-ok'
itu juga sudah datang," demikian pikir Bok Wan-jing.
Sebenarnya ia sangat ingin tahu macam apakah Kionghiong-
kek-ok itu, namun betapa pun ia tidak berani
sembarangan menarik kain kedoknya.

Terdengar Yap Ji-nio ikut berkata, "Ah, Losi memang
suka omong besar. Sudah terang pihak lawan cuma dua
orang, dari mana bisa muncul lima orang lagi? Masakah
di dunia ini terdapat jago pilihan sebanyak itu?"

"Hm, dari mana pula kau mengetahuinya? Apa kau
menyaksikan dengan mata hidungmu sendiri?" sahut
Losi dengan gusar.

"Kalau aku tidak menyaksikan sendiri, dengan
sendirinya aku takkan tahu," kata Yap Ji-nio dengan
tersenyum. "Bukankah kedua orang itu masing-masing
menggunakan senjata sebatang pancing ikan dan yang
lain memakai kapak? Hihihi, kelima orang lain yang kau
karang sendiri itu lalu memakai senjata apa, coba
katakan?"

Sekonyong-konyong Losi berbangkit, dengan suara
keras ia berkata, "Keparat! Jadi waktu itu kau berada di
sana, kenapa kau tidak membantuku? Kau ingin aku mati
di tangan orang, dan kau senang, ya?"

Tapi Yap Ji-nio tetap menjawabnya dengan senyum
tak acuh, "Ah, kenapa kau merendahkan nama 'Kionghiong-
kek-ok' In Tiong-ho? Siapa yang tidak kenal
Ginkangmu tiada bandingan di jagat ini? Kalau kau
kalah, masa kau tak bisa lari?"

339




Kiranya si mahajahat keempat ini bernama In Tiongho
atau bangau terbang di angkasa, suatu tanda
Ginkang atau ilmu entengi tubuhnya pasti sangat lihai.

Ia semakin gusar demi mendengar ucapan Yap Ji-nio
tadi, teriaknya lebih keras, "Kalau Losi terjungkal di
tangan orang, apakah kau ikut bahagia? Hm, apa
maksud tujuan kita Su-ok berkumpul di sini? Bukankah
hendak berunding cara bagaimana cari perkara ke istana
raja di negeri Tayli? Peristiwa ini bukankah berarti
beralamat jelek?"

"Site," demikian Yap Ji-nio berkata pula dengan
senyumnya yang tidak berubah, "selamanya aku tidak
pernah melihat Ginkang sehebatmu, bangau terbang di
angkasa, sungguh tidak bernama kosong. Wah, bagai
asap terapung, seperti burung melayang, mana bisa
kedua manusia itu menyusulmu?"

"Losi," tiba-tiba Lam-hay-gok-sin menyela,
"sebenarnya siapakah yang mengerubuti dirimu itu?
Apakah kaki tangan dari istana Tayli?"

"Ya, pasti dari sana," sahut In Tiong-ho dengan gusar.
"Aku tidak percaya di daerah Tayli ada orang kosen lain
lagi kecuali orang mereka."

"Makanya jangan kalian suka anggap enteng mereka,
sekarang kalian percaya tidak pada omonganku?" ujar Jinio.


"Jici," kata In Tiong-ho tiba-tiba, "sampai saat ini
Lotoa masih belum tampak batang hidungnya, padahal

340




sudah lewat tiga hari daripada waktu yang kita tetapkan,
selamanya ia tidak pernah langgar janji, jangan-jangan
...."

"Jangan-jangan terjadi apa-apa, maksudmu?" potong
Yap Ji-nio.

"Fui! Mana bisa jadi," seru Lam-hay-gok-sin dengan
gusar. "Macam apakah Lotoa kita itu, memangnya dia
seperti kalian, kalau kalah lantas mengacir?"

"Kalau kalah lantas mengacir, itu namanya bisa lihat
gelagat!" sahut Yap Ji-nio. "Aku justru khawatir dia benarbenar
dikeroyok musuh, tapi kepala batu tidak mau
menyerah kalah, akhirnya tamatlah riwayatnya sesuai
dengan julukannya 'Ok-koan-boan-eng' (kejahatan sudah
melebihi takaran)!"

"Fui! Omong kosong!" semprot Lam-hay-gok-sin.
"Selama hidup Lotoa malang melintang, pernah dia jeri
pada siapa? Sudah belasan tahun ia menjagoi
Tionggoan, masa di negeri Tayli sekecil ini malah dia
terjungkal? Wah, kurang ajar, perut lapar lagi!"

Segera ia sambar sepotong daging paha lembu terus
dipanggang di atas api unggun di sampingnya.

Tidak lama, bau sedap teruar perlahan.

Pikir Bok Wan-jing, "Dari percakapan mereka tadi,
tampaknya aku sudah tak sadarkan diri selama tiga hari
di sini. Entah Toan-long sudah ada kabar beritanya
tidak?"

341




Dan karena sudah empat hari tidak makan apa-apa,
perutnya terasa amat lapar, ketika dia mengendus bau
daging panggang, tak tertahan perutnya berkeruyukan.

"Siaumoaymoay, perutmu lapar bukan?" tiba-tiba Yap
Ji-nio berkata dengan tertawa. "Sejak tadi kau sudah
sadar, kenapa pura-pura diam saja? Apa kau tidak ingin
lihat bagaimana macamnya 'Kiong-hiong-kek-ok' In-losi
kami?"

Lam-hay-gok-sin kenal watak In Tiong-ho paling
gemar paras cantik, bila tahu Bok Wan-jing luar biasa
ayunya, biarpun mati juga dia ingin mendapatkannya,
berbeda seperti dirinya, kalau perlu barulah memerkosa
dan membunuh.

Maka cepat ia sobek sepotong daging panggang dan
dilemparkannya kepada Bok Wan-jing sambil
membentak, "Nih, makanlah ke sana, jauh sedikit, jangan
mencuri dengar pembicaraan kami!"

Bok Wan-jing sengaja bikin kasar suara sendiri hingga
kedengarannya lucu, tanyanya, "Suamiku sudah datang
belum?"

Lam-hay-gok-sin menjadi gusar, sahutnya, "Keparat,
aku sendiri sudah mencari ke sekitar jurang sana, tapi
sedikit pun tidak menemukan jejak bocah itu. Dapat
dipastikan bocah itu belum mampus, entah telah digondol
siapa, aku sudah menunggu di sini tiga hari, biar
kutunggu lagi empat hari, dalam tujuh hari kalau bocah
itu tidak datang, hm, nanti kupanggang dirimu untuk
dimakan!"

342




Hati Wan-jing sangat terhibur oleh keterangan orang,
kalau dia sendiri sudah mencari ke sana dan yakin Toanlong
belum mati, rasanya tentu betul. Ai, cuma entah dia
masih ingat padaku atau tidak dan apakah akan datang
kemari untuk menolong diriku?

Segera ia jemput daging panggang yang dilemparkan
padanya tadi, perlahan ia berjalan ke balik karang sana
untuk memakannya. Dalam keadaan lapar, ia merasa
sangat letih dan lemas karena habis kelaparan empat
hari, tapi karena itu, luka di punggungnya malah sudah
sembuh.

Ia dengar Yap Ji-nio lagi tanya, "Sebenarnya di mana
letak kebagusan bocah itu hingga membikin kau
sedemikian suka padanya?"

Lam-hay-gok-sin terbahak-bahak bangga, sahutnya.
"Justru karena bocah itu sangat mirip aku, bila belajar
silat Lam-hay-pay kami, pasti dia akan berhasil dan
melebihi sang guru. Hehe, di antara Su-ok kita, aku Gaklo
... Gak-loji (ia sengaja naikkan diri menjadi "Ji" atau
nomor dua dan bukan "Sam" atau nomor tiga) meski tak
bisa mencapai nomor satu, tapi bicara tentang murid,
rasanya tiada seorang murid orang lain yang mampu
menandingi muridku."

Sementara itu Bok Wan-jing sudah makin jauh
menyingkir dari ketiga manusia mahajahat itu, demi
mendengar Lam-hay-gok-sin memuji kebagusan bakat
Toan Ki jarang ada bandingannya, diam-diam ia merasa
senang dan sedih pula, tapi rada geli juga, "Toan-long
hanya seorang sekolahan yang ketolol-tololan, ilmu silat
apa yang dia miliki? Kecuali nyalinya yang besar, segala

343




apa tidak bisa. Kalau Lam-hay-pay menerima murid
mestika semacam itu, rasanya Lam-hay-pay sendiri yang
bakal sial!"

Ia cari suatu tempat terpencil dan duduk di atas batu
padas, lalu menikmati daging panggang tadi. Meski
sangat lapar, namun daging panggang itu masih terlalu
banyak baginya, hanya separuh saja dapat
dihabiskannya dan perutnya sudah kenyang.

Diam-diam ia membatin pula, "Sampai hari ketujuh
nanti kalau Toan-long lupa dan mengingkari aku serta
tidak datang kemari, aku lantas cari jalan untuk melarikan
diri."

Berpikir sampai di sini, ia menjadi pedih, "Andaikan
aku bisa melarikan diri, lalu akan menjadi manusia apa
lagi?"

Begitulah, dengan rasa tidak tenteram, kembali lewat
pula dua hari. Namun bagi Bok Wan-jing, dua hari itu
rasanya lebih lama daripada dua tahun. Siang malam
yang dia harapkan senantiasa adalah semoga terdengar
sesuatu suara dari bawah gunung, sekalipun bukan
suaranya Toan Ki, paling tidak juga dapat menghibur
hatinya yang lara merana.

Lebih-lebih bilamana sang malam tiba, rasa deritanya
semakin bertambah, perasaannya bergolak mengombak,
selalu terpikir olehnya, "Bila dia benar-benar niat mencari
aku, hari pertama atau kedua tentu dia sudah datang
kemari. Dan kalau sampai hari ini masih belum datang,
rasanya tidak mungkin dia kemari lagi. Meski dia tak
mahir silat, tapi mempunyai jiwa kesatria, betapa pun dia

344




pasti tidak sudi mengangkat guru pada Lam-hay-gok-sin
ini. Namun terhadap diriku, apa benar dia tak mempunyai
rasa kasih sedikit pun?"

Begitulah jalan pikiran Bok Wan-jing, kalau hari-hari
pertama dan kedua ia masih menaruh harapan dan
menunggu dengan sabar, tapi makin lama makin
merana, pesan gurunya bahwa "laki-laki di dunia ini
adalah manusia palsu semua" selalu mendengingdenging
terus di telinganya. Walaupun perasaannya
sendiri selalu menyangkal Toan-long pasti bukan
manusia demikian, namun sesungguhnya ia pun tidak
berani yakin apakah sangkalan itu bukan menipu pada
diri sendiri?

Syukur juga selama beberapa hari ini Lam-hay-goksin,
Yap Ji-nio dan In Tiong-ho tidak urus dirinya. Ketiga
manusia durjana itu hanya tekun menanti datangnya "Okkoan-
boan-eng", yaitu si juara orang jahat di seluruh
jagat ini, meski mereka tidak segopoh Wan-jing, tapi
mirip juga semut di tengah kuali panas, mereka
kelabakan dan kesal luar biasa. Meski jarak Bok Wanjing
dengan mereka agak jauh, namun suara ribut dan
cekcok mulut mereka sayup-sayup dapat terdengar
dengan jelas.

Sampai malam hari keenam, pikir Bok Wan-jing,
"Besok adalah hari terakhir, rasanya laki-laki palsu itu
takkan datang. Biarlah malam nanti aku berusaha
melarikan diri, kalau tidak, sampai esok pagi, untuk lari
pasti sukar. Jangankan In Tiong-ho yang tersohor
Ginkangnya tiada tandingan di seluruh jagat, cukup Lam-
hay-gok-sin saja, asal dia sengaja mengejar, pasti aku
pun tak bisa lolos."

345


Kang Zusi Website Kang Zusi Website

Ia coba berdiri untuk melemaskan otot-ototnya, ia
merasa semangatnya meski masih lesu, namun tenaga
sudah pulih 7-8 bagian. Ia membatin, "Sebaiknya bila
ketiga orang itu ribut terus dan diam-diam aku dapat
melarikan diri beberapa ratus tombak jauhnya, lalu aku
akan mencari suatu tempat sembunyi seperti gua dan
sebagainya, dengan demikian mereka tentu menyangka
aku sudah kabur jauh dan tidak mengejar lagi, kemudian
dengan bebas dapatlah aku keluar lagi dan melarikan
diri."

Di luar dugaan, meski rencananya sudah mulukmuluk,
beberapa kali ia bermaksud angkat kaki, tapi
hatinya selalu terkenang pada Toan Ki, ia menjadi ragu
kalau-kalau pemuda itu akhirnya benar-benar datang
mencarinya, lalu bagaimana? Jika besok tidak berjumpa
dengan pemuda itu, mungkin untuk seterusnya tak bisa
saling bertemu lagi. Padahal dia sengaja datang untuk
sehidup semati dengan aku, tapi aku malah kabur pergi.
Jelas dia tidak sudi mengangkat guru hingga mungkin
dibunuh oleh Lam-hay-gok-sin, bila terjadi demikian,
bukankah aku yang berdosa padanya?"

Begitulah bolak-balik ia berpikir, sampai akhirnya fajar
pun menyingsing, tetap dia belum dapat ambil
keputusan.

Tapi dengan datangnya fajar, maksud larinya menjadi
batal juga. Jika sudah terang tak dapat melarikan diri,
biarlah aku tetap menunggu, apakah dia datang atau
tidak, aku tetap menunggu di sini sampai mati.

346




Selagi hatinya hampa sedih itulah, sekonyongkonyong
terdengar suara gedebukan jatuhnya sesuatu
benda ke tengah semak-semak rumput, segera ia
merayap ke sana untuk memeriksanya.

Ketika sudah dekat, lebih dulu hidungnya mencium
bau darah. Waktu rumput lebat di situ ia singkap ke
samping dan melongok, seketika bulu romanya berdiri
semua.

Ternyata di tengah semak rumput tergeletak enam
sosok mayat bayi dengan tergelimpang tak teratur. Di
antaranya terdapat pula bayi yang tempo hari
dininabobokan oleh Yap Ji-nio itu.

Seketika Bok Wan-jing terkesima. Bila kemudian ia
periksa mayat bayi itu, ia lihat di samping lehernya
terdapat dua baris bekas gigitan hingga berwujud suatu
lubang kecil dan tepat di atas urat darah leher.

Ia menjadi teringat pada apa yang dikatakan Lam-
hay-gok-sin, maka tahulah dia akan duduknya perkara.

Kiranya "Bu-ok-put-cok" Yap Ji-nio itu memang benar
setiap hari harus mengisap darah seorang bayi. Sudah
enam hari dia berada di atas puncak gunung itu, maka
sudah ada enam bayi menjadi korbannya. Kalau melihat
baju yang dipakai bayi-bayi itu terdiri dari kain kasar saja,
dapat diduga Yap Ji-nio telah menculik dari keluarga
pegunungan di sekitar Bu-liang-san.

Satu di antara enam mayat bayi itu terasa masih
hangat, tapi kulitnya kisut, darahnya sudah kering terisap.
Tentu itulah mayat yang dilemparkan Yap Ji-nio barusan.

347




Sungguhpun Bok Wan-jing juga banyak membunuh
orang, tapi orang Kangouw yang dibunuhnya itu adalah
akibat perbuatan sendiri karena ingin melihat mukanya.
Sebaliknya perbuatan kejam membunuh anak bayi
demikian, betapa pun juga membuatnya gusar dan kejut
hingga badan ikut gemetar.

Sekonyong-konyong sesosok bayangan hijau
berkelebat, seorang bagai burung cepatnya telah
melayang turun ke bawah gunung. Begitu cepat
bayangan itu hingga mirip setan hantu. Itulah "Bu-ok-putcok"
Yap Ji-nio.

Melihat betapa cepat Ginkang wanita iblis itu,
sekalipun gurunya juga selisih jauh dengan kepandaian
orang, seketika Bok Wan-jing lemas rasanya, ia duduk
terkulai terduduk dengan macam-macam perasaan
bercampur aduk.

Setelah termangu-mangu sejenak, Bok Wan-jing
kumpulkan keenam mayat bayi itu menjadi satu, lalu
menguruknya dengan batu pasir seadanya di situ.

Tengah sibuk bekerja, tiba-tiba Wan-jing merasa
tengkuk rada silir dingin. Ia dapat bergerak dengan cepat
sekali, begitu kaki kanan bergerak, segera tubuhnya
melesat ke depan.

Maka terdengarlah suara tertawa seorang yang mirip
logam digosok dan berkata, "Nona cilik, suamimu telah
meninggalkanmu, ia tidak sudi padamu lagi, marilah ikut
aku saja!"

348




Siapa lagi dia kalau bukan "Kiong-hiong-kek-ok" In
Tiong-ho, ia memang mahajahat dan buas luar biasa.
Begitu bicara, terus saja tangan meraih hendak
memegang Bok Wan-jing.

"Plak" mendadak dari samping menyela sebuah
tangan hingga cengkeraman In Tiong-ho tertangkis.

Kiranya penangkis itu adalah Lam-hay-gok-sin,
dengan marah-marah ia membentak, "Losi, orang Lam-
hay-pay kami dilarang kau ganggu!"

Dalam pada itu In Tiong-ho sudah melompat mundur,
sahutnya dengan tertawa, "Muridmu tak jadi kau terima,
dengan sendirinya ia bukan orang Lam-hay-pay lagi."

Baru sekarang Bok Wan-jing dapat melihat jelas
perawakan In Tiong-ho itu ternyata sangat tinggi, tapi
sangat kurus pula hingga mirip galah bambu, raut
mukanya sangat menakutkan juga, bila tertawa, lidahnya
seakan-akan bisa mulur mengkeret mirip lidah ular.

"Dari mana kau tahu aku akan gagal menerima
murid?" demikian Lam-hay-gok-sin membentak lagi.
"Apakah karena bocah itu telah dibunuh olehmu? Ya,
tentu demikian halnya! Atau mungkin kau pun menaksir
pada calon muridku yang bertulang bagus itu, lalu kau
sembunyikan dia hendak mengangkanginya sebagai
muridmu. Jadi kau yang mengacaukan rencanaku,
biarlah aku cekik mampus kau dahulu dan urusan
belakang!"

Si malaikat buaya laut selatan ini benar-benar kasar
dan tidak kenal aturan segala, tanpa tanya-tanya lagi

349




apakah benar In Tiong-ho yang menghilangkan calon
muridnya atau bukan, terus saja ia menubruk maju dan
menyerang bertubi-tubi.

Namun In Tiong-ho dapat berkelit dengan gesit dan
cepat sekali sambil menjawab, "He, he! Muridmu itu
bundar atau gepeng, lonjong atau cekak, selamanya aku
belum kenal, dari mana bisa kau bilang aku yang
mengumpetkan dia?"

"Kentut!" damprat Lam-hay-gok-sin. "Siapa yang mau
percaya padamu! Pasti lantaran kau habis dihajar orang,
lalu rasa dongkolmu kau lampiaskan atas diri muridku itu,
begitu bukan?"

"Muridmu itu laki-laki atau perempuan atau banci?"
tanya Tiong-ho.

"Sudah tentu laki-laki, guna apa aku menerima murid
perempuan?" sahut Gok-sin.

"Nah, itu dia!" seru Tiong-ho. "Bukankah kau tahu, In
Tiong-ho selamanya hanya suka pada orang perempuan
dan tidak lelaki?'

Saat itu Lam-hay-gok-sin lagi menubruk maju,
mendengar ucapan itu, ia pikir masuk di akal juga. Maka
mendadak ia mengerem tubuhnya yang lagi terapung itu
dan anjlok ke bawah hingga berdiri di atas sebuah batu
padas, lalu membentak lagi, "Lantas ke mana perginya
muridku itu? Kenapa sampai sekarang belum datang
mengangkat guru?"

350




"Hehe, urusan Lam-hay-pay kalian peduli apa
denganku?" kata In Tiong-ho dengan mengekek.

Dasar watak Lam-hay-gok-sin memang kasar,
ditambah lagi sudah menunggu selama tujuh hari tanpa
hasil, ia menjadi gelisah tak keruan, rasa dongkolnya lagi
meluap, maka kembali ia membentak, "Setan alas, kau
berani mengejek aku?"

Melihat kedua orang mahajahat itu saling ngotot, Bok
Wan-jing tidak mau sia-siakan kesempatan baik itu,
segera ia membakar Lam-hay-gok-sin katanya, "Ya, ya,
Toan-long pasti dicelakai In Tiong-ho ini, kalau tidak, di
atas karang securam itu, mana dapat ia turun? Ginkang
In Tiong-ho ini sangat hebat, pasti dia yang memanjat ke
atas karang itu untuk menggondolnya pergi dan dibunuh
di lain tempat agar Lam-hay-pay tidak mempunyai bibit
tokoh yang lihai."

Mendadak Lam-hay-gok-sin keplak batok kepala
sendiri sambil menggembor, "Nah, kau dengar tidak!
Bininya muridku juga bilang begitu, masa kau difitnah?"

Segera Bok Wan-jing pura-pura menangis dan
berseru, "Suhu, kata suamiku, kalau dia mendapatkan
seorang guru seperti engkau, sungguh suatu rezeki
besar baginya, dia berjanji pasti akan belajar sepenuh
tenaga demi kejayaan Lam-hay-pay, agar nama Lam-
hay-gok-sin lebih mengguncangkan dunia, supaya itu
'Ok-koan-boan-eng' dan 'Bu-ok-put-cok' mengiri setengah
mati pada engkau orang tua. Siapa duga In Tiong-ho ini
juga cemburu padamu dan sengaja membunuh calon
murid kesayanganmu itu, selanjutnya engkau orang tua
sukar mendapatkan murid sebagus itu lagi."

351




Begitulah, setiap kalimat Bok Wan-jing diucapkan,
setiap kali Lam-hay-gok-sin mengeplak batok kepala dan
mengepal tangan dengan geregetan.

Maka Bok Wan-jing menyambung pula, "Tulang
kepala suamiku terlalu mirip denganmu, kecerdasannya
juga serupa. Coba, seorang ahli waris sebagus dan
sepintar itu, ke mana akan dicari lagi. Tapi In Tiong-ho ini
sengaja memusuhi engkau, mengapa engkau orang tua
tidak lekas balaskan sakit hati muridmu?"

Mendengar sampai di sini, sinar mata Gok-sin
berubah beringas. Kembali ia menubruk ke arah In
Tiong-ho.

In Tiong-ho tahu ilmu silat sendiri setingkat lebih
rendah daripada orang, tapi tidak setolol Gok-sin yang
mudah diakali. Sudah terang Bok Wan-jing sengaja
mengadu domba, tapi untuk menjelaskan padanya
tidaklah gampang, ia pun tidak sudi bergebrak dengan
dia, maka begitu ditubruk Gok-sin, segera ia angkat kaki
melarikan diri.

Sudah tentu Gok-sin tidak tinggal diam, terus saja ia
mengudak.

"Nah, dia lari, itu tandanya takut!" demikian Wan-jing
menambahi minyak pula. "Dan orang takut, itu tandanya
salah!"

Keruan Lam-hay-gok-sin tambah panas hatinya, ia
menggerung murka, "Bayar kembali jiwa muridku!"

352




Dan kejar-mengejar pun terjadi dan dalam sekejap
saja sudah menghilang di balik gunung sana.

Diam-diam Bok Wan-jing bergirang. Sekejap
kemudian, terdengar suara raungan Lam-hay-gok-sin
makin mendekat lagi, kedua orang itu putar kembali
dengan saling uber. Ginkang In Tiong-ho ternyata jauh
lebih tinggi daripada Lam-hay-gok-sin, badannya yang
jangkung bagai galah bambu seakan-seakan bergontai
ke kanan dan ke kiri, tapi larinya cepat tidak kepalang,
Lam-hay-gok-sin selalu ketinggalan dalam suatu jarak
tertentu.

Ketika sampai di depan Bok Wan-jing, sekonyongkonyong
In Tiong-ho melesat ke arah gadis itu, terus
mencengkeram pundaknya.

Keruan Wan-jing terkejut, sekali bergerak, kontan ia
sambut orang dengan sebatang panah berbisa.

Tapi Ginkang In Tiong-ho memang benar tiada
taranya, entah cara bagaimana dia bergerak, tahu-tahu
tubuh bisa menggeser sedikit hingga panah itu luput
mengenainya, sebaliknya tangannya masih terus terjulur
ke muka si gadis.

Dengan gugup lekas Bok Wan-jing berkelit, namun
toh terlambat sedikit, mukanya terasa segar seketika,
kain kedoknya telah disambar oleh In Tiong-ho.

Melihat wajah Wan-jing yang cantik molek itu,
seketika In Tiong-ho terkesima. Kemudian dengan
menyengir ia berkata, "Hebat, sungguh hebat! Cantik

353




sekali anak dara ini. Cuma kurang genit, belum
sempurna ...."

Tengah berkata, kembali Lam-hay-gok-sin memburu
tiba terus menghantam punggungnya.

Sekuatnya In Tiong-ho tancap kakinya di tanah, ia
kerahkan tenaga dalam dan menangkis ke belakang,
"plak", dua telapak tangan saling bentur dengan keras,
Bok Wan-jing merasa dada menjadi sesak, hampir tak
bisa bernapas oleh gencetan dua tenaga pukulan yang
hebat itu, batu pasir pun bertebaran di seputar situ. Dan
dengan meminjam tenaga benturan itu, In Tiong-ho
mencelat pergi dua tombak jauhnya.

"Nih, rasakan lagi tiga kali pukulanku!" teriak Gok-sin
sengit.

Namun In Tiong-ho menjawabnya dengan tertawa,
"Kau tak mampu mengejarku, sebaliknya aku tak
berdaya berkelahi dengan kau. Biarpun kita bertempur
tiga-hari tiga-malam lagi juga tetap begini saja!"

Begitulah kembali kedua orang itu uber-menguber
dengan sengitnya.

Diam-diam Bok Wan-jing pikir harus berusaha untuk
merintangi In Tiong-ho agar kedua orang jahat itu saling
genjot berhadapan. Maka ia tunggu waktu In Tiong-ho
berputar kembali lagi, mendadak ia memapak maju
sambil geraki tangannya, kontan 6-7 panah berbisa
sekaligus dibidikkan sambil berseru, "Bayar kembali jiwa
suamiku!"

354




In Tiong-ho kenal kelihaian panah yang mendenging
datang itu, tapi semuanya dapat dihindarinya dengan
mengegos atau mendekam ke bawah.

Tiba-tiba Bok Wan-jing melolos pedang, beruntun ia
menusuk dua kali. Namun In Tiong-ho tahu maksud
gadis itu, ia tidak mau menangkis dan hanya berkelit ke
samping.

Dan karena sedikit rintangan itu, dari belakang Lam-
hay-gok-sin sudah menyusul tiba terus menghantam
dengan kedua tangannya.

"Losam", seru In Tiong-ho akhirnya dengan gemas,
"berulang kali aku mengalah padamu, memangnya kau
sangka aku takut?"

Sekali tangannya meraba pinggang, tahu-tahu
sepasang cakar baja telah dikeluarkan.

Cakar baja itu panjangnya masing-masing cuma
setengah meteran, ujung cakar berbentuk tangan
manusia dengan lima jari terpentang seakan-akan
hendak mencengkeram. Ia mainkan senjatanya itu
dengan rapat, tapi tetap menjaga diri saja tanpa balas
menyerang.

Melihat itu, Lam-hay-gok-sin menjadi senang,
serunya, "Wah, bagus! Sepuluh tahun tidak berjumpa,
kiranya kau berhasil melatih semacam senjata aneh. Nih,
lihat juga aku punya!"

Sembari bicara, ia terus buka ransel di punggungnya
dan mengeluarkan semacam senjata yang lebih aneh.

355




Melihat kedua orang jahat itu akan main senjata, Bok
Wan-jing pikir akan percuma saja bila dirinya ikut-ikutan
bertempur. Segera ia undurkan diri ke pinggir.

Ia lihat senjata yang dikeluarkan Lam-hay-gok-sin itu
adalah sebuah gunting aneh yang pakai gagang panjang,
bagian mata gunting berbentuk gigi-gigi yang tajam
hingga mirip moncong buaya. Sedang tangan lain
memegang sebuah pecut yang bergigi juga serupa ekor
buaya.

Bila orang kena digigit sekali oleh mulut gunting atau
kena disabat sekali oleh pecut ekor buaya itu, kalau tidak
mampus tentu juga akan sekarat.

In Tiong-ho melirik heran juga kepada kedua macam
senjata aneh itu, tapi mendadak ia geraki cakar baja
sebelah kanan terus mencakar ke muka Lam-hay-goksin.


"Tring", kontan Gok-sin angkat gunting buayanya
menangkis hingga cakar baja lawan terpental ke
samping. Namun In Tiong-ho cepat luar biasa, belum
cakar kanan itu ditarik kembali, lagi-lagi cakar sebelah kiri
menyambar ke depan pula.

"Krak", sekonyong-konyong gunting congor buaya
Lam-hay-gok-sin memutar dan menggunting jari cakar
baja itu, sungguh luar biasa tajamnya gunting yang entah
terbuat dari bahan apa, tahu-tahu dua jari dari cakar In
Tiong-ho tergunting putus, padahal cakar itu sendiri
terbuat dari baja murni yang sangat kuat.

356




Masih untung bagi In Tiong-ho, ia sempat menarik
secepatnya hingga cuma dua jari cakarnya yang
terkutung. Namun begitu, berarti juga mengurangi daya
gunanya dari kesepuluh jari senjatanya yang hebat itu.

Lam-hay-gok-sin terbahak-bahak, mendadak pecut
ekor buaya menyabat pula selagi In Tiong-ho tertegun
tadi. Namun tiba-tiba sesosok bayangan hijau
menyelinap tiba, itulah dia Yap Ji-nio adanya. Dengan
gesit ia menyela ke tengah, sekali tangannya meraih,
ujung pecut Gok-sin kena disambarnya terus ditarik ke
samping, kesempatan mana telah digunakan In Tiong-ho
untuk melompat ke pinggir.

"Losam, Losi, urusan apa hingga kalian saling gebrak
dengan senjata?" demikian tanya Yap Ji-nio kemudian.

Ketika sekilas dilihatnya wajah Bok Wan-jing yang
cantik itu, seketika air mukanya berubah hebat. Biasanya
yang paling dibenci olehnya ialah wanita yang berparas
lebih cantik daripada dirinya. Kini melihat kecantikan Bok
Wan-jing yang susah dilukiskan itu, seketika ia terkesiap.

Dalam pada itu Wan-jing juga melihat wanita jahat
nomor dua di dunia ini sudah menggondol kembali
seorang anak kecil kira-kira berumur 3-4 tahun. Tahulah
dia sekarang, kiranya wanita jahat itu turun gunung tadi
hanya untuk mencari korban bayi lain yang akan diisap
darahnya.

Dengan datangnya Yap Ji-nio, terang pertarungan
Lam-hay-gok-sin dan In Tiong-ho takkan berlangsung
terus. Ketika melihat sorot mata wanita jahat itu bersinar

357




aneh, Bok Wan-jing jadi mengirik sendiri dan lekas
berpaling, tidak berani memandangnya lagi.

Dalam pada itu terdengar anak yang dipondong Yap
Ji-nio itu sedang berteriak-teriak dan menangis, "Ayah! Di
mana ayah?"

"Diamlah, San-san sayangku! Ayah sebentar lagi
akan datang, diamlah, jangan menangis, manisku!"
demikian Yap Ji-nio menimang dengan kasih sayang
seperti seorang ibu.

Bila teringat pada mayat bayi yang dilihatnya di
tengah semak-semak itu, lalu dibandingkan dengan
suara lembut yang penuh rasa kasih sayang Yap Ji-nio
ini, bulu roma Bok Wan-jing seketika menegak semua.

Kemudian terdengar In Tiong-ho berkata dengan
tertawa, "Jici, Losam telah berhasil meyakinkan ilmu
gunting congor buaya dan pecut buntut buaya yang lihai,
baru saja aku telah bergebrak beberapa jurus dengan dia
dan aku merasa sulit melawannya. Selama sepuluh
tahun ini, Jici sendiri berhasil meyakinkan ilmu apa?
Dapatlah menandingi kedua macam senjata Losam yang
aneh ini?"

Sama sekali ia tidak menyinggung tentang Lam-haygok-
sin menuduhnya mencelakai calon muridnya,
sebaliknya ia sengaja mengucapkan pancingan halus itu
untuk mengadu domba Yap Ji-nio bergebrak dengan
Lam-hay-gok-sin.

Yap Ji-nio sendiri ketika naik ke atas puncak tadi, dari
jauh sudah melihat cara bagaimana kedua kawannya lagi

358




saling hantam, maka dengan tertawa tawar saja ia
menjawab, "Ah, selama sepuluh tahun ini aku hanya
mengutamakan berlatih Lwekang, soal ilmu pukulan dan
main senjata menjadi asing bagiku, tentu aku bukan
tandingan Losam dan kau lagi."

Jawaban sederhana ini membikin Lam-hay-gok-sin
dan In Tiong-ho terkesiap juga, pikir mereka, "Selamanya
dia unggul dalam hal kegesitan dan kelemasan, soal
Lwekang hanya biasa saja. Tapi selama 10 tahun ini dia
justru giat berlatih Lwekang, apa barangkali dia ketemu
guru kosen atau beruntung menemukan sesuatu kitab
pusaka ilmu Lwekang dan sebagainya?"

Selagi Lam-hay-gok-sin hendak tanya, tiba-tiba di
pinggang gunung sana ada suara bentakan orang,
"Perempuan bangsat, untuk apa kau menculik anakku?
Lekas kembalikan!"

Baru lenyap suaranya, tahu-tahu orangnya juga
sudah melayang naik ke atas puncak dengan cekatan
sekali.

Waktu Bok Wan-jing mengawasi, ternyata orang ini
tak-lain tak-bukan adalah Co Cu-bok, itu ketua Bu-liangkiam.
Ia terkejut, tapi segera mengerti pula duduknya
perkara, "Ya, tentu Yap Ji-nio tidak mendapatkan anak
kecil di sekitar Bu-liang-san ini, akhirnya anak ketua Buliang-
kiam yang ditemukan olehnya terus digondol lari!"

Maka terdengar Yap Ji-nio sedang menjawab, "Cosiansing,
putramu ini sungguh lincah dan
menyenangkan, aku membawanya ke sini untuk bermain,

359




besok tentu akan kupulangkan padamu, jangan kau
khawatir!"

Sembari berkata, ia mencium sekali di pipi San-san
yang kecil itu, lalu mengusap-usap kepala anak itu
dengan sayangnya.

Co San-san, anak yang bernasib malang itu, segera
berteriak-teriak demi tampak datangnya sang ayah dan
minta digendong.

Co Cu-bok terharu, ia ulur tangan dan melangkah
maju sambil berkata, "Anak kecil yang nakal, tiada apaapanya
yang menarik, silakan engkau kembalikan
padaku saja!"

"Haha!" tiba-tiba Lam-hay-gok-sin tertawa. "Sekali
anak kecil sudah jatuh di tangan 'Bu-ok-put-cok' Yap
Sam-nio, biarpun anak raja juga tidak mungkin
dikembalikan olehnya."

Co Cu-bok tergetar mendengar ucapan itu, dengan
suara gemetar ia tanya, "Kau ... kau bernama Yap Samnio?
Pernah ... pernah hubungan apakah dengan Yap Jinio?"


Rupanya sudah lama ia dengar nama jahat Yap Ji-nio
yang setiap hari mesti mengisap darah segar seorang
bayi, maka ia menjadi khawatir jangan-jangan "Yap Samnio"
ini adalah saudara Yap Ji-nio dan mempunyai hobi
yang sama, kan anaknya itu bisa celaka?

Ia tidak tahu bahwa Lam-hay-gok-sin yang sengaja
menurunkan urutan wanita jahat itu dari "Ji" atau kedua

360




menjadi "Sam" atau ketiga, supaya bertukar urutan
dengan dia dalam kedudukan "Su-ok" itu.

Namun Yap Ji-nio tidak gusar, sebaliknya ia mengikik
tawa, lalu menyahut, "Ah, jangan kau percaya pada
ocehannya. Aku sendirilah Yap Ji-nio! Di dunia ini mana
ada lagi Yap Ji-nio yang lain atau Yap Sam-nio segala?"

Sekejap itu air muka Co Cu-bok menjadi pucat bagai
mayat.

Semula waktu ia tahu anaknya diculik orang, sepenuh
tenaga ia terus mengejar, meski di tengah jalan ia sudah
merasakan ilmu silat penculik itu masih jauh di atas
dirinya, namun ia masih menaruh harapan semoga
wanita penculik yang tak dikenal dan tiada punya
permusuhan apa-apa dengan dirinya ini mungkin takkan
bikin susah putranya.

Siapa duga wanita itu justru adalah "Bu-ok-put-cok"
Yap Ji-nio, si wanita mahajahat nomor dua dari dunia ini.
Keruan seketika mulut Co Cu-bok ternganga seakanakan
tersumbat.

"Lihatlah betapa mungilnya anakmu ini, kulitnya halus,
dagingnya gemuk, warnanya kemerah-merahan,
sungguh pintar sekali piaraanmu, tentu banyak kau beri
makan jamu kuat padanya. Ya, betapa pun memang lain
anak orang terkemuka daripada anak orang desa yang
kurus kurang makan!" demikian Yap Ji-nio berkata
sembari memegang-megang dan mengangkat tangan si
bocah ke arah sinar matahari, mulutnya tiada hentihentinya
berkecek-kecek memuji, seolah-olah seorang
Anda sedang membaca artikel tentang Cersil : Pendekar negeri Tayli 2 dan anda bisa menemukan artikel Cersil : Pendekar negeri Tayli 2 ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/09/cersil-pendekar-negeri-tayli-2.html,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Cersil : Pendekar negeri Tayli 2 ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Cersil : Pendekar negeri Tayli 2 sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Cersil : Pendekar negeri Tayli 2 with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/09/cersil-pendekar-negeri-tayli-2.html. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar