Pisau Terbang Li {pendekar Budiman] 1 [Lanjutan Pendekar Baja] Seri Kedua Pisau Terbang

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Selasa, 13 September 2011

Pisau Terbang Li
Judul Asli: Du Cing Jian Ke Wu Cing Jian atau Xiao Li Fei Dao
(Sentimental Swordsman, Ruthless Sword atau Dagger Lee)
Karya: Gu Liong
Dahulu judulnya PENDEKAR BUDIMAN
saduran Gan KL


Bab 1. Pisau Terbang Lawan Pedang Kilat
Angin dingin laksana
pisau, menggunakan bumi
sebagai alasnya, dan
mengiris manusia seperti
daging ikan.
Badai salju memanjang
beribu-ribu mil, membuat
segala sesuatu seakanakan
berkilauan bagai
perak.
Dalam badai musim dingin ini, sebuah kereta datang dari
arah utara. Roda-rodanya memecahkan es di tanah, tapi
tidak sanggup memecahkan kesepian di muka bumi ini.
Li Sun-Hoan menguap, memanjangkan kakinya. Di dalam
kereta cukuplah nyaman, tapi perjalanan ini sungguh
terlalu panjang, dan terlalu sepi. Ia tidak hanya merasa

2
sangat lelah, tapi juga kesal. Ia merasa kesepian adalah
hal yang paling menyebalkan dalam hidupnya, namun
sayangnya kesepianlah yang begitu sering menemaninya.
Hidup seseorang memang penuh kontradiksi. Dan tidak
seorang pun bisa berbuat apa-apa.
Li Sun-Hoan menghela nafas dan mengambil botol
araknya. Sambil minum arak, ia mulai batuk-batuk. Ia
terus terbatuk-batuk sampai wajahnya memucat, seolaholah
api neraka sedang membakar tubuh dan jiwanya.
Kini botol araknya sudah kosong. Ia meraih pisau
kecilnya dan mulai mengukir sebentuk manusia pada
sepotong kayu. Pisaunya tipis dan tajam, jari-jarinya
panjang dan kuat.
Figur yang diukirnya adalah seorang wanita. Wanita yang
sangat cantik dan hangat. Dengan kepiawaiannya
mengukir, figur wanita itu tampak sungguh-sungguh
hidup.
Ia tidak hanya memberi wajah yang memikat, ia juga
memberi figur wanita itu hidup dan jiwa, karena hidup
dan jiwanya sendiri telah tertuang seutuhnya di ujung
pisau kecil itu.
Usianya tidak lagi muda.
Kerut-kerut kecil tampak di sekitar matanya. Tiap kerutan
menyimpan semua kegembiraan dan kesedihan dalam
hidupnya. Matanya sajalah yang tetap muda belia.

3
Ia memiliki sepasang mata yang menarik, bersemu hijau,
seperti angin musim semi bertiup menggoyangkan daun
pinus, hangat dan lentur. Seperti air laut yang
bermandikan sinar mentari, penuh vitalitas.
Mungkin karena sepasang matanya inilah, ia bisa hidup
hingga hari ini.
Akhirnya, ukirannya pun selesai. Ia menatap figur itu
sambil termenung. Entah berapa lama. Lalu tiba-tiba
didorongnya pintu kereta dan meloncat keluar.
Sang kusir langsung menarik tali kekang kuda.
Kusir ini memiliki sepasang mata yang tajam bagai elang,
namun sewaktu menatap pada Li Sun-Hoan, tatapannya
berubah hangat, penuh simpati dan kesetiaan. Seperti
seekor anjing menatap tuannya.
Li Sun-Hoan menggali lubang di tanah untuk mengubur
hasil ukirannya. Lalu ia termenung sambil menatap
gundukan salju, tempat ia menguburkan figur wanita itu.
Jari-jarinya dingin membeku, wajahnya merah karena
dingin yang menusuk, dan butiran-butiran salju menutupi
sekujur tubuhnya. Tapi ia tidak merasa dingin. Benda
yang ia kuburkan seakan-akan adalah orang yang
terpenting dalam hidupnya. Bersamaan dengan
dikuburnya “wanita” itu, hidupnya pun menjadi penuh
dengan kehampaan.
Orang lain akan merasa janggal melihat ini, namun sang
kusir telah terbiasa. Ia hanya berkata, „Sudah hampir

4
gelap dan perjalanan masih jauh. Mari naik ke atas
kereta, Siauya.“
Li Sun-Hoan menoleh, dan melihat di atas salju di
sebelah keretanya tampak sepasang jejak kaki. Sendirian
berjalan, datang dari arah utara.
Jejak kaki itu cukup dalam, menandakan bahwa orang itu
telah berjalan jauh, sangat lelah, namun menolak untuk
beristirahat.
Li Sun-Hoan menarik nafas panjang dan berkata, „Sulit
dipercaya, seseorang mau bepergian dalam cuaca
semacam ini. Kurasa ia pasti seseorang yang sangat
kesepian, yang sangat menderita.“
Sang kusir tidak menjawabnya, hanya mengeluh dalam
hati, „Bukankah kau juga sangat kesepian dan
menderita? Mengapa kau hanya bisa bersimpati akan
keadaan orang lain, tapi melupakan dirimu sendiri?“
Ada banyak batang pohon pinus di bawah kursi
keretanya, dan Li Sun-Hoan pun mulai mengukir lagi.
Tekniknya telah sempurna dengan begitu banyak latihan,
karena yang pernah dan yang akan pernah diukirnya
hanyalah wanita itu.
Wanita ini tidak hanya mengisi relung-relung hatinya,
tapi juga seluruh tubuhnya.
Badai salju akhirnya berhenti, tapi rasa dingin makin
menusuk dan rasa sepi makin tebal. Suara angin yang
menderu membawa juga suara langkah-langkah kaki.

5
Walaupun suara ini lebih halus daripada derap langkah
kuda, suara inilah yang dinanti-nantikan Li Sun-Hoan.
Jadi walaupun sangat halus, suara ini tak akan luput dari
pendengarannya.
Disingkapnya tirai kereta, dan terlihatlah bayangan
seseorang berjalan di depan.
Orang ini berjalan perlahan-lahan, tapi tidak pernah
berhenti. Walaupun ia mendengar derap langkah kuda, ia
tidak menoleh sama sekali. Ia tidak memakai topi
ataupun payung. Salju yang mencair turun dari wajah ke
lehernya. Pakaiannya pun hanya selembar baju yang
tipis.
Namun kepalanya tegak, seakan-akan ia terbuat dari
baja. Salju, hawa dingin, rasa lelah, lapar, tidak dapat
menaklukkannya.
Tidak ada satu hal pun yang dapat menaklukkannya.
Sewaktu kereta melewatinya, barulah Li Sun-Hoan
melihat wajahnya.
Alisnya tebal, matanya besar, bibirnya yang tipis terkatup
rapat membentuk garis, hidungnya lurus, membuat
wajahnya tampak lebih kurus.
Wajah ini mengingatkan orang pada batu dalam pot
bunga. Kuat, kokoh, dingin, seakan-akan tidak ada hal
yang cukup berarti baginya, bahkan dirinya sendiri.

6
Namun bagi Li Sun-Hoan, wajah ini adalah wajah yang
paling gagah yang pernah dilihatnya seumur hidup.
Walaupun agak sedikit muda, sedikit kurang dewasa,
wajah ini memiliki kepribadian yang magnetis.
Dalam mata Li Sun-Hoan terbayang sebentuk senyum. Ia
membuka pintu keretanya dan berkata, “Mari masuk. Aku
bisa memberimu tumpangan.”
Kata-katanya pendek dan singkat, penuh tenaga. Dalam
hamparan salju tidak berujung ini, tak seorang pun akan
menolak ajakannya.
Siapa sangka anak muda ini bahkan tak mau menoleh
padanya! Ia bahkan tidak memperlambat langkahnya,
seakan-akan tidak mendengar orang berbicara padanya.
Tanya Li Sun-Hoan, “Apakah kau tuli?”
Tangan anak muda itu tiba-tiba menyentuh pedang di
pingganggnya. Walaupun jari-jarinya telah membeku,
gerakannya tetap cepat dan tangkas.
Li Sun-Hoan tertawa, katanya, “Kurasa kau tidak tuli.
Masuklah, dan mari minum. Seteguk arak tak akan
menyakiti siapa pun.”
Anak muda itu menjawab cepat, “Aku tidak sanggup
beli.”
Bisa-bisanya anak muda ini bicara demikian! Bahkan
kerut-kerut di sudut mata Li Sun-Hoan pun ingin
tersenyum, tapi ia sendiri malah tidak tersenyum.

7
Sebaliknya ia berkata, “Aku mengundangmu minum
bersamaku, bukan menjual arak padamu.”
Anak muda itu menjawab, “Aku tidak akan mengambil
barang yang tidak kubeli dengan uangku sendiri. Jika
arak itu tidak kubeli dengan uangku, aku tak akan
meminumnya. Apakah penjelasanku cukup jelas?”
Kata Li Sun-Hoan, “Cukup jelas.”
Dan anak muda itu berkata, “Bagus. Kau bisa pergi
sekarang.”
Li Sun-Hoan berpikir sejenak, tiba-tiba ia berkata sambil
tersenyum, “Baiklah. Aku pergi sekarang, tapi waktu kau
sudah punya uang untuk membeli arak, maukah kau
mengundangku minum?”
Anak muda itu menatapnya, lalu berkata, “Baik, aku akan
mengundangmu.”
Li Sun-Hoan tertawa dan keretanya mulai melaju, sampai
ia tidak dapat lagi melihat anak muda itu. Li Sun-Hoan
bertanya dengan geli, “Pernahkah kau bertemu anak
seaneh itu? Aku pikir ia adalah seorang yang bijaksana,
nyatanya kata-katanya sangat lugu, sangat jujur.”
Jawab sang kusir, “Ia adalah anak yang berkemauan
kuat, itu saja.”
Li Sun-Hoan bertanya lagi, “Kau lihatkah pedang di
pinggangnya?”

8
Senyum simpul terbayang di bibir sang kusir. “Dapatkah
itu dikatakan sebagai pedang?”
Dalam definisi baku, tentulah benda itu tidak dapat
dianggap pedang, cuma sebilah logam yang panjangnya
satu meter. Tidak ada ujung yang lancip, tidak ada
sarung, hanya ada dua potong kayu yang dipakukan
pada pangkal bilah logam itu, yang mungkin bisa
dianggap sebagai pegangannya.
Sang kusir melanjutkan, “Menurut aku, itu hanya mainan
anak-anak belaka.”
Kali ini Li Sun-Hoan tidak tersenyum, ia bahkan
menghela nafas dan berkata, “Menurut aku, mainan itu
sangatlah berbahaya. Lebih baik tidak dimainkan.”
Penginapan di kota kecil ini tidak besar, namun penuh
sesak dengan orang-orang yang terperangkap badai
salju.
Di halaman ada banyak kereta kosong milik jasa
ekspedisi. Di sebelah timur tampak umbul-umbul milik
jasa ekspedisi tersebut, yang berkibar keras sejalan
dengan deru angin. Tak bisa dibedakan lagi apakah
gambar yang tertera pada umbul-umbul itu harimau
ataukah singa.
Di rumah makan penginapan itu, seorang bertubuh besar
dengan mantel bulu domba berjalan keluar masuk.
Setelah minum beberapa kali, ia buka mantelnya,
menunjukkan pada orang-orang bahwa ia tahan hawa
dingin.

9
Waktu Li Sun-Hoan tiba, tidak ada lagi meja kosong. Tapi
ia tidak kuatir sama sekali, karena ia tahu bahwa tidak
banyak barang di dunia ini yang tidak dapat dibeli
dengan uang. Oleh sebab itu, sebentar saja ia sudah
mendapatkan meja di sudut rumah makan. Ia segera
memesan arak dan mulai minum perlahan-lahan.
Ia tidak pernah minum dengan cepat, tapi ia sanggup
minum terus-menerus untuk beberapa hari tanpa
berhenti. Ia terus minum, terus terbatuk-batuk, dan hari
pun mulai senja.
Sang kusir masuk, berdiri di belakangnya dan berkata,
“Kamar di sebelah selatan sudah kosong, dan mereka
telah membersihkannya. Tuan dapat beristirahat kapan
saja.”
Li Sun-Hoan hanya mengangguk. Setelah beberapa saat,
sang kusir menambahkan, “Ada beberapa orang dari
Kim-say-piaukiok (jasa ekspedisi Singa Emas).
Tampaknya mereka sedang mengirim barang dari
perbatasan.”
Tanya Li Sun-Hoan, “O ya? Siapakah kepala
rombongannya?”
Jawab sang kusir, “Cukat Liu, si Pedang Angin Kejut.”
Li Sun-Hoan menaikkan alisnya, dan berkata dengan
tertawa, „Orang ini bisa hidup sampai sekarang? Hebat
betul.“

10
Walaupun ia sedang berbicara tentang orang di
belakangnya, matanya terus menatap ke depan, seakanakan
sedang menantikan seseorang.
Sang kusir berkata, „Anak itu tidak berjalan cepat.
Mungkin Anda harus menunggu kedatangannya sampai
tengah malam.“
Li Sun-Hoan tertawa, katanya, “Aku rasa ia tidak berjalan
lambat, tapi ia ingin menghemat tenaganya. Pernahkah
kau melihat seekor serigala berjalan dalam padang salju?
Jikalau tidak ada mangsa di depan dan musuh di
belakang, pastilah ia tidak akan berjalan cepat. Karena
menghabiskan tenaga dalam perjalanan adalah suatu
pemborosan.”
Sang kusir tertawa juga, dan berkata, “Tapi anak itu kan
bukan serigala.”
Li Sun-Hoan tidak menjawab, karena saat ini ia mulai
batuk-batuk lagi.
Kemudian dilihatnya tiga orang masuk dari pintu
belakang, sambil berbicara keras-keras mengenai kisahkisah
dalam dunia persilatan. Seakan-akan mereka takut
orang-orang tidak tahu bahwa mereka adalah orangorang
penting dalam Kim-say-piaukiok (jasa ekspedisi
Singa Emas).
Li Sun-Hoan mengenali orang gendut berwajah merah itu
adalah Si Pedang Angin Kejut, tapi ia tidak ingin orang itu
mengenalinya, sehingga ditundukkannya kepalanya
untuk mengukir figur kayu lagi.

11
Untunglah Cukat Liu tidak pernah menanggap penting
orang-orang di kota kecil. Mereka segera memesan
makanan dan arak, dan langsung mulai makan.
Sialnya, makanan dan minuman tidak menutup mulut
mereka. Setelah minum beberapa kali, Cukat Liu menjadi
makin sombong dan tertawa keras-keras. „Loji
(Jisuheng), ingatkah kau saat di kaki gunung Thay-hengsan
waktu kita bertemu ‚Empat Harimau Thay-hengsan’?“
Orang yang ditanya itu tersenyum. „Bagaimana aku bisa
lupa? Waktu itu ‚Empat Harimau Thay-heng-san’ beraniberaninya
mengambil barang kiriman, bahkan berkata
‚Cukat Liu, kalau kau merangkak, kami bebaskan kau.
Kalau tidak, kami akan ambil bukan saja barang-barang
kiriman, tapi kepalamu juga sekalian.“
Orang yang ketiga pun tertawa keras-keras. „Siapa
sangka belum habis mereka mengayunkan golok, Toako
(kakak tertua) telah habis memenggal kepala mereka.“
Orang yang kedua berkata, „Bukannya mau sombong.
Kalau soal kekuatan telapak tangan, yang paling hebat
adalah ketua jasa ekspedisi kami, ‚Si Telapak Singa
Emas’. Tapi kalau soal keahlian pedang, tak ada yang
mengalahkan Toako (kakak tertua) kami ini.“
Cukat Liu terbahak-bahak sambil mengangkat cawannya,
namun tiba-tiba terdiam, sewaktu penutup barang di
sampingnya tiba-tiba tertiup angin.
Dua bayangan manusia muncul.

12
Kedua orang ini mengenakan jubah merah darah dan
topeng aneh yang biasa dipakai orang-orang di luar
perbatasan. Kedua orang ini tampaknya memiliki bentuk
tubuh yang sama, dan tinggi badan yang sama pula.
Orang awam mungkin tidak melihat muka mereka, tapi
dari kelihaian kung fu dan pakaian mereka, secara tidak
sadar pandangan mereka terarah pada kedua orang ini.
Hanya mata Li Sun-Hoan yang tetap menatap pintu,
karena sewaktu angin mulai menghempas pintu itu lagi,
ia melihat anak muda itu.
Anak muda itu berdiri tegak di luar pintu, dan sepertinya
ia sudah ada di sana sejak lama. Seperti seekor binatang
buas. Walaupun ia ingin sekali merasakan kehangatan
dalam penginapan dan tidak ingin pergi, ia takut untuk
masuk ke dalam dunia manusia.
Li Sun-Hoan kembali menghela nafas, dan barulah
sekarang ia mengalihkan perhatiannya pada kedua orang
itu. Mereka telah menanggalkan topeng, memperlihatkan
wajah mereka yang buruk.
Telinga mereka kecil, hidung mereka besar, mungkin
menutupi sepertiga wajah, membuat mata dan telinga
mereka seolah-olah terpisah sangat jauh.
Namun mata mereka menunjukkan kejahatan, seperti
mata ular.
Lalu mereka pun menanggalkan jubah mereka, dan
terlihatlah baju mereka yang hitam. Tubuh mereka pun

13
mirip ular, kurus panjang, dan dapat menyerang kapan
saja. Membuat orang-orang merasa takut, dan juga jijik
melihat mereka.
Kedua orang ini sangat mirip, hanya saja yang satu
wajahnya putih, dan yang lain wajahnya hitam. Gerakan
mereka sangat lambat, membuka jubah, melipatnya, dan
berjalan perlahan ke arah meja. Kemudian mereka
berjalan lewat depan Cukat Liu.
Suasana di rumah makan sangat hening, sampai-sampai
suara Li Sun-Hoan mengukir pun dapat terdengar.
Cukat Liu, berpura-pura tidak melihat kedua orang ini,
namun gagal.
Kedua orang ini pun menatapnya. Mata mereka bagaikan
kuas, yang menyapu Cukat Liu dari atas sampai ke
bawah.
Cukat Liu hanya dapat berdiri dan bertanya, “Bolehkah
saya bertanya nama dari Tuan-Tuan yang terhormat?
Maafkan kalau saya tidak mengenali.”
Orang berwajah putih itu tiba-tiba berkata, “Jadi kaulah
Si Pedang Angin Kejut Cukat Liu?”
Suaranya tajam dan berdesis, seperti suara ular. Nyawa
Cukat Liu seakan terbang mendengar suara ini. “Y...ya.”
Orang berwajah hitam pun tertawa dingin. “Pantaskah
kau disebut Si Pedang Angin Kejut?”

14
Tangannya bergetar. Sebilah pedang tipis panjang tibatiba
muncul di tangannya.
Pedangnya diarahkan pada Cukat Liu, dan katanya,
“Tinggalkan apa yang kau bawa, dan aku akan
mengampuni nyawamu.”
Orang kedua yang duduk di situ berdiri tiba-tiba. Dengan
tersenyum ia berkata, “Tuan-tuan pasti salah sangka.
Dalam ekspedisi ini, barang-barang kami antar ke
perbatasan, bukan sebaliknya. Kereta-kereta kami sudah
kosong.”
Sebelum ia dapat menyelesaikan kalimatnya, pedang
orang berwajah hitam itu sudah melubangi batang
lehernya. Dengan sentakan ringan, kepalanya copot dan
berguling jatuh.
Semua orang terbelalak. Kaki mereka menggigil di bawah
meja.
Cukat Liu bisa hidup sampai hari itu, pastilah karena ia
memiliki keahlian. Ia mengambil barang dari kepitan
tangannya, dan diletakkannya di atas meja. “Informasi
kalian betul sekali. Kami memang membawa sesuatu dari
perbatasan. Tapi sayangnya, kalian berdua tidak punya
cukup keahlian untuk mengambilnya.”
Orang berwajah hitam itu tergelak. “Apa yang akan kau
lakukan?”
Jawab Cukat Liu, „Tuan-tuan sepantasnya meninggalkan
jejak keahlian silat Anda di sini, supaya waktu saya

15
pulang, saya dapat memberikan alasan.“ Sambil
berbicara, ia mundur tujuh langkah. Pedang telah
terhunus. Semua orang tahu ia akan bertarung sampai
mati.
Tak disangka-sangka ia malah menjungkirbalikkan meja
di sampingnya. Mangkok di meja itu penuh dengan bakso
udang yang langsung melayang ke udara.
Terdengar bunyi ‚si si’ dari pedangnya, dan terlihat
cahaya terang pedang itu berkelebat. Lebih dari sepuluh
bakso udang telah terbelah menjadi dua.
Kata Cukat Liu, „Kalau Anda bisa membuat hal yang
sama, saya akan segera memberikan barang ini pada
Anda. Jika tidak, silakan berlalu.“
Ilmu pedangnya cukup tinggi, dan kata-katanya pun
cukup indah, tapi Li Sun-Hoan tertawa diam-diam.
Dengan cara ini, musuh-musuhnya hanya akan menebas
bakso udang, bukan kepalanya. Menang atau kalah, ia
akan tetap hidup.
Orang berwajah hitam itu tertawa. „Ini adalah keahlian
juru masak. Kau pikir ini adalah ilmu silat?“
Sambil berbicara, ia menarik nafas panjang dan
membuat potongan bakso udang di lantai mendal
kembali ke udara. Lalu, hanya dengan selarik sinar hitam,
seluruh potongan bakso udang itu tiba-tiba lenyap.
Ternyata, semuanya tertusuk oleh pedangnya. Bahkan
orang yang tidak tahu silat pun tahu bahwa mengiris
bakso udang di udara sangatlah sulit, namun lebih sulit

16
lagi untuk mengumpulkannya dengan satu tusukan
pedang.
Wajah Cukat Liu pucat pasi melihat ilmu pedang orang
itu, dan undur lagi beberapa langkah. Katanya, „Saya
rasa Tuan-Tuan adalah ‚Pek-hiat-siang-coa (dua ular
berdarah hijau)’?“
Waktu mendengar ini, orang ketiga yang masih duduk di
meja gemetar ketakutan dan berusaha merangkak pergi
diam-diam.
Bahkan sang kusir di samping Li Sun-Hoan pun
mengangkat alisnya, karena ia tahu bahwa beberapa
tahun belakangan ini, sedikit sekali perampok di daerah
Huang-ho (sungai kuning) yang dapat menandingi kedua
orang ini. Baik dari segi keahlian, maupun kekejian.
Kabarnya, jubah merah mereka adalah noda darah
korban-korban mereka.
Namun sebenarnya ia pun tidak tahu banyak. Karena
orang-orang yang mengetahui apa yang sebenarnya
telah dilakukan oleh ‚Pek-hiat-siang-coa (dua ular
berdarah hijau)’, 9 dari 10 telah kehilangan kepalanya.
Si Ular Hitam tertawa dan berkata, „Ternyata bisa juga
kau mengenali kami. Setidaknya matamu tidak buta.“
Cukat Liu menggeretakkan giginya dan berkata, „Karena
Anda berdua menginginkan barang ini, saya rasa saya
tidak bisa berbuat apa-apa. Ambil saja dan pergilah.“

17
Si Ular Putih lalu berkata, „Kalau kau mau merangkak di
lantai, akan kubiarkan kau hidup. Kalau tidak, kau bukan
hanya harus meninggalkan barangmu, tapi juga
kepalamu.“
Ini tidak lain adalah kata-kata Cukat Liu sendiri sewaktu
ia sedang menyombongkan diri. Kali ini, kata-kata itu
diucapkan Si Ular Putih, dan tiap kata terasa mengiris
kulitnya seperti pisau.
Wajah Cukat Liu berubah hijau, lalu menjadi pucat. Tibatiba
tubuhnya jatuh ke tanah, dan merangkak
mengelilingi meja sekali.
Di saat inilah Li Sun-Hoan menghela nafas dalam-dalam,
berkata pada dirinya sendiri, „Aku melihat kepribadian
orang ini telah berubah. Tidak heran ia bisa hidup begini
lama.“
Walaupun ia berbicara dengan lirih, kedua Ular Kembar
dapat mendengarnya dan berpaling. Tetapi Li Sun-Hoan
seakan-akan tidak menyadarinya, dan terus
berkonsentrasi pada ukirannya.
Si Ular Putih tertawa, „Sepertinya di sini ada jago kungfu
kelas satu. Sayang aku dan Toako tidak melihatnya.“ Si
Ular Hitam berkata, „Barang ini diberikan kepada kami
dengan sukarela. Kalau ada orang yang pedangnya lebih
cepat daripada kita, kita pun akan secara sukarela
memberikan barang ini kepadanya.“
Tangan Si Ular Putih bergetar dan sebuah pedang lain
muncul. Kali ini warnanya putih. Katanya, „Jika ada orang

18
yang pedangnya lebih cepat daripada kami, kami akan
menyerahkan barang ini dan juga kepala kami
kepadanya.“
Mata mereka mengarah pada Li Sun-Hoan saat berbicara.
Namun Li Sun-Hoan tetap berkonsentrasi pada
ukirannya. Seakan-akan tidak mendengar apa-apa.
Seseorang di luar tiba-tiba berteriak, “Berapa harga
kepalamu?”
Waktu mendengar ini, Li Sun-Hoan terkejut, tapi juga
gembira. Diangkatnya kepalanya, dan akhirnya terlihat
olehnya anak muda itu masuk.
Bajunya belum kering betul. Di beberapa tempat bahkan
tampak membeku. Namun ia berdiri tegak sepert
tombak.
Matanya juga masih terlihat kesepian, terlihat keras.
Matanya mengandung suatu kebuasan yang tidak dapat
dijinakkan. Dapat bertempur kapan saja. Membuat sulit
bagi orang untuk dekat padanya.
Perhatian semua orang terarah pada pedang di
pinggangnya. Waktu melihat pedang ini, Si Ular Putih
tertawa geli, “Apakah kau yang bertanya?”
Anak muda itu menjawab, “Ya.”
Si Ular Putih bertanya, “Kau hendak membeli kepalaku?”

19
Jawab si anak muda, “Aku hanya ingin tahu harganya,
karena aku ingin menjualnya kepadamu.”
Si Ular Putih berusaha tenang dan bertanya lagi,
“Menjual kepalaku kepadaku?”
Anak muda itu berkata, “Betul sekali. Karena aku tidak
berminat akan barang itu dan juga akan kepalamu.”
Si Ular Putih pun berkata, „Sepertinya kau hanya ingin
menantangku.“
„Ya.“
Si Ular Putih menatap anak muda itu lekat-lekat, lalu
memandang ke arah pedangnya, dan tiba-tiba tertawa
terbahak-bahak. Baru kali ini ia melihat hal selucu ini
dalam hidupnya.
Anak muda itu hanya berdiri diam-diam, ia tidak
mengerti apa yang sedang ditertawakan orang. Rasanya
tidak ada satupun yang lucu yang ia katakan.
Sang kusir juga menghela nafas. Anak ini sudah gila,
pikirnya. Cukat Liu pun berpikir anak muda ini sudah
hilang akal.
Tiba-tiba terdengar Si Ular Putih berkata, “1000 tail emas
pun belum dapat membeli kepalaku.”
Jawab si anak muda, “1000 tail emas terlalu banyak. Aku
hanya perlu 50 tail.”

20
Si Ular Putih berhenti tertawa, karena ia sadar anak
muda ini tidak gila, dan tidak juga bercanda. Tapi
kemudian ia melihat pedang itu lagi, dan kembali
tergelak-gelak. “Baiklah, jika kau mau mengikuti
perintahku, kuberi kau 50 tail.”
Sambil terus tertawa, ia tiba-tiba mengebaskan
pedangnya ke arah lilin di atas meja. Tak ada sesuatu
pun yang terjadi. Semua orang tercekat, tidak mengerti
apa yang sedang terjadi. Si Ular Putih pun meniup lilin itu
perlahan, dan pecahlah lilin itu menjadi tujuh bagian.
Pedangnya dikebaskan lagi dan lagi dan lagi. Ketujuh
bagian itu terkumpul di pedangnya. Ajaibnya, api di
bagian yang teratas masih terus menyala!
Si Ular Putih berkata dengan sombongnya, “Pedangku
cepat tidak?”
Wajah anak muda itu tidak bergeming, jawabnya,
“Sangat cepat.”
Si Ular Putih tertawa, “Bagaimana dengan kau?”
Jawab si anak muda, “Pedangku bukan untuk memotong
lilin.”
“Lalu untuk apakah besi tua itu?”
Tangan anak muda itu memegang pedangnya, dan
berkata sekata demi sekata, “Pedangku- Adalah-Untuk-
Membunuh-Orang.”

21
Si Ular Putih tersenyum. “Membunuh orang? Siapakah
yang bisa kau bunuh?”
Kata anak muda itu, “KAU!”
Bersamaan dengan kata ‘kau’ diucapkannya, ditusukkan
pula pedangnya!
Pedang itu berasal dari pinggangnya. Semua orang juga
melihatnya.
Namun hanya dalam sekejap, pedang itu telah menusuk
leher Si Ular Putih. Semua orang juga melihat bahwa
pedang satu meter ini telah menembus tenggorokan Si
Ular Putih!
Tidak ada darah, sebab darah belum sempat keluar.
Anak muda itu menatap Si Ular Putih dan berkata, „Jadi
pedangmu, atau pedangkukah yang lebih cepat?“
Si Ular Putih hanya bersuara ‚ge ge’. Otot-otot wajahnya
gemetar. Tiba-tiba mulutnya terbuka dan lidahnya
terjulur ke luar.
Darah keluar dari mulutnya.
Si Ular Hitam mengangkat pedangnya, tapi tidak berani
bertindak. Butir-butir keringat bergulir dari dahinya.
Tangannya gemetar.

22
Anak muda itu lalu menarik pedangnya dan darah pun
mengalir dari tenggorokan Si Ular Putih. Ia berteriak
keras, “Kau...”
Lalu ia jatuh ke lantai.
Anak muda itu menoleh ke arah Si Ular Hitam, “Ia sudah
kalah. Mana 50 tailku?”
Mukanya sangat serius. Serius seperti seorang anak yang
lugu.
Namun kali ini tidak ada seorang pun yang berani
menertawakannya.
Dengan gemetaran, Si Ular Hitam bertanya, „Jadi kau
benar-benar membunuhnya untuk 50 tail perak?“
„Betul sekali.“
Si Ular Hitam tidak tahu apakah ia seharusnya tertawa
atau menangis. Tiba-tiba direnggutnya rambutnya dan
disobek-sobeknya bajunya, sehingga uang perak
berhamburan. Dilemparkannya seluruh uang perak itu ke
arah anak muda itu. “Ini, ambillah. Ambil semuanya!”
Lalu ia berlari keluar seperti orang kesurupan.
Anak muda itu tidak mengejarnya. Ia bahkan tidak
marah. Sebaliknya, ia berjongkok memunguti uang
perak. Dibawanya uang perak itu kepada pemilik
penginapan, dan bertanya, “Kau pikir ini ada 50 tail?”

23
Pemilik penginapan sudah merangkak ke bawah meja.
Tak sanggup berkata-kata. Hanya menganggukanggukkan
kepalanya.
Li Sun-Hoan menoleh pada sang kusir, dan tertawa, “Aku
benar, kan?”
Sang kusir menghela nafas. „Kau sangat tepat. Mainan
itu sangat berbahaya.“
Ia melihat anak muda itu berjalan ke arah mereka,
namun ia tidak bisa melihat Cukat Liu. Cukat Liu masih
ada di koLiong meja.
Baru saat inilah ia berani muncul, dan ia membokong
anak muda itu!
Pedangnya tidak lambat. Anak muda itu pun tidak
menyangka Cukat Liu akan membunuhnya. Ia sudah
membunuh Si Ular Putih. Seharusnya Cukat Liu berterima
kasih kepadanya. Mengapa mau membunuhnya?
Ketika semua orang berpikir pedangnya akan menembus
jantung si anak muda, Cukat Liu tiba-tiba berteriak keras.
Pedangnya mencelat dan tertancap di langit-langit.
Pedangnya masih berayun-ayun di langit-langit,
sementara tangan Cukat Liu kini memegang
tenggorokannya. Matanya terarah pada Li Sun-Hoan, dan
bola matanya hampir melompat keluar.

24
Li Sun-Hoan tidak lagi mengukir, sebab pisau yang
digunakannya untuk mengukir tidak ada lagi di
tangannya.
Darah mengalir ke punggung Cukat Liu.
Ia menatap Li Sun-Hoan, dan dari tenggorokannya keluar
suara ‚ge ge’. Saat itulah orang-orang sadar bahwa pisau
ukir Li Sun-Hoan telah berada di tenggorokan Cukat Liu.
Hanya saja, tidak seorang pun melihat bagaimana pisau
ini berpindah.
Keringat membasahi wajah Cukat Liu yang kesakitan.
Tiba-tiba dikatupkannya mulutnya dan dicabutnya pisau
itu dari lehernya. Ia memandang Li Sun-Hoan sambil
berteriak, „Seharusnya sudah kukenali engkau!“
Li Sun-Hoan mengeluh. „Sayangnya, baru sekarang kau
menyadarinya. Kalau kau tahu, kau tidak akan mencoba
melakukan hal yang memalukan itu.“
Cukat Liu tidak mendengar kata-kata ini. Ia tidak akan
pernah mendengar apa-apa lagi.
Anak muda itu pun menoleh, wajahnya terkejut. Ia tidak
mengerti mengapa orang ini ingin membunuhnya.
Tapi hanya sebentar ia memandang, lalu berjalan
kembali ke arah Li Sun-Hoan. Di balik penampilannya
yang liar dan tidak beraturan, tersembunyi secercah
kehangatan dan senyuman.

25
Ia berkata singkat, “Aku ingin mengundangmu minum.”
Bab 2. Teman Akrab Tersimpan dalam Lautan
Kereta kuda kini penuh dengan botol-botol arak. Arak ini
dibeli oleh si anak muda, jadi ia minum sebotol demi
sebotol, menikmati kelezatannya.
Li Sun-Hoan memandangnya dengan gembira. Jarang
sekali ia bertemu seseorang yang menarik perhatiannya,
tapi anak muda ini sungguh-sungguh menarik.
Tiba-tiba si anak muda meletakkan botol araknya dan
menatap Li Sun-Hoan. „Mengapa kau mengundangku ke
dalam keretamu untuk minum?“
Li Sun-Hoan tertawa. „Karena penginapan itu bukan
tempat yang baik untuk kita duduk lama-lama.“
“Kenapa?”
Jawab Li Sun-Hoan, “Siapa pun juga yang membunuh
orang, ia akan terlibat dalam persoalan. Aku tidak takut
membunuh, tapi aku benci persoalan.”
Anak muda ini berpikir sejenak, lalu mulai minum lagi. Li
Sun-Hoan tersenyum sambil memadang si anak muda,
mengagumi wajahnya saat ia minum.
Tak selang berapa lama, anak muda ini pun mengeluh.
“Membunuh memang bukan pekerjaan yang

26
menyenangkan. Tapi ada beberapa orang di dunia ini
yang harus dibunug. Jadi aku harus membunuh mereka!”
Li Sun-Hoan tertawa. “Benarkah kau membunuhnya
untuk 50 tail perak?”
Anak muda itu menjawab, “Walaupun tanpa uang, aku
pasti membunuhnya. Tapi mendapatkan 50 tail kan lebih
baik lagi.”
Li Sun-Hoan bertanya, “Mengapa 50 tail?”
Jawabnya, “Karena harganya memang sebegitu.”
Li Sun-Hoan tersenyum. ”Banyak orang di kalangan
persilatan yang sepantasnya mati. Dan beberapa
berharga lebih dari 50 tail perak. Kau mungkin bisa jadi
kaya raya nantinya.”
Kata anak muda itu, ”Sayangnya aku sangat miskin.
Kalau tidak, seharusnya kuberikan kepadamu 50 tail itu.”
”Kenapa?”
”Karena kau bantu aku membunuh orang itu.”
Li Sun-Hoan tertawa senang ”Kau salah. Orang itu tidak
berharga 50 tail. Sebenarnya ia tidak berharga
sepeserpun.”
Tiba-tiba ia bertanya, ”Taukah kau mengapa ia ingin
membunuhmu?”

27
”Tidak.”
”Karena walaupun Si Ular Putih tidak membunuhnya, ia
telah membuat Cukat Liu kehilangan muka di dunia
persilatan. Kau membunuh Si Ular Putih. Hanya dengan
membunuhmu, ia bisa mendapatkan kembali
kehormatannya. Itulah mengapa ia harus membunuhmu.
Orang-orang kalangan persilatan sangat licik, jauh di luar
bayanganmu.”
Anak muda itu tenggelam dalam pikirannya. Lalu
berkata, ”Kadang-kadang hati manusia lebih kejam
daripada hati harimau. Setidaknya, jika harimau itu ingin
memakanmu, ia akan memberitahukan kepadamu lebih
dulu.”
Ia meneguk araknya, lalu melanjutkan. ”Tapi yang
kudengar hanyalah manusia mengatakan harimau itu
kejam. Tidak pernah harimau berkata bahwa manusia
kejam. Kenyataannya, harimau membunuh untuk
bertahan hidup. Tapi manusia membunuh untuk alasanalasan
lain. Dan sejauh pengetahuanku, jauh lebih sering
manusia mati dibunuh sesamanya, daripada dibunuh
harimau.”
Li Sun-Hoan menatapnya. ”Itukah sebabnya kau lebih
suka bergaul dengan harimau?”
Anak muda itu berpikir lagi, dan tiba-tiba tertawa.
”Masalahnya cuma satu, mereka tidak minum arak.”

28
Inilah kali pertama Li Sun-Hoan melihat senyumannya.
Sebelumnya ia tidak sadar bahwa senyum dapat
mengubah seseorang begitu rupa.
Wajah anak muda itu selalu kesepian, selalu keras,
membuat Li Sun-Hoan berpikir ia seperti serigala di
tengah salju.
Namun waktu ia tersenyum, kepribadiannya berubah
total. Ia menjadi sangat hangat, sangat akrab, sangat
manis.
Li Sun-Hoan belum pernah melihat seorang pun yang
dapat tersenyum begitu memikat.
Tiba-tiba anak muda ini bertanya, ”Apakah kau sungguhsungguh
orang terkenal?”
Li Sun-Hoan tersenyum. ”Kadang-kadang jadi orang
terkenal tidak menguntungkan.”
”Tapi aku ingin sekali jadi orang terkenal. Aku ingin jadi
orang yang paling terkenal di seluruh dunia.”
Dia mengucapkannya dengan sangat lugu.
Li Sun-Hoan tertawa lagi. ”Setiap orang ingin terkenal.
Hanya saja kau lebih jujur dari kebanyakan orang.”
Kata anak muda itu, ”Aku berbeda dari kebanyakan
orang. Aku HARUS terkenal. Jika aku tidak terkenal, aku
harus mati.”

29
Li Sun-Hoan terbelalak mendengar kata-katanya.
”Mengapa?”
Anak muda itu diam saja. Tapi dapat terlihat kepedihan
yang dalam di matanya.
Li Sun-Hoan baru menyadari bocah lugu ini ternyata
menyimpan banyak rahasia. Masa kecilnya pastilah
penuh dengan kesedihan dan kesengsaraan.
Maka Li Sun-Hoan berkata dengan hangat, ”Jika kau
ingin terkenal, paling tidak beri tahu aku namamu.”
Anak muda itu terdiam cukup lama, lalu menjawab,
”Orang-orang biasa memanggilku A Fei.”
”A Fei?”
Li Sun-Hoan tertawa. ”Jadi shemu adalah ‘Ah’? Tidak ada
orang di dunia ini yang bershe itu.”
Anak muda itu menjawab keras, ”Aku TIDAK punya she!”
Kobaran api muncul di matanya. Li Sun-Hoan menyadari
bahwa air mata pun takkan sanggup memadamkan api
ini. Tapi ia tidak sanggup untuk bertanya lagi. Tidak
disangkanya bahwa anak muda itulah yang melanjutkan,
”Waktu aku benar-benar terkenal, mungkin akan
kuberitahukan sheku. Tapi sekarang...”
Li Sun-Hoan berkata dengan suara lembut. ”Sekarang
aku panggil kau A Fei.” Anak muda itu girang, ”Baiklah,
sekarang kau panggil aku A Fei. Sejujurnya, kau boleh
memanggilku apa saja.”

30
Kata Li Sun-Hoan, ”A Fei, mari bersulang.”
Baru habis setengah cawan, Li Sun-Hoan mulai batukbatuk
lagi. Wajahnya yang pucat menandakan ia punya
penyakit berat. Namun tetap dihabiskannya cawan itu.
Ah Fe menatapnya bingung, bagaimana orang seterkenal
itu sangat buruk kesehatannya. Tapi ia tidak berkata
sepatah kata pun. Dihabiskannya cawannya sendiri.
Li Sun-Hoan tersenyum. ”Tahukah kau mengapa aku
suka kau menjadi sahabatku.”
A Fei diam saja, maka Li Sun-Hoan melanjutkan. ”Karena
dari semua teman-temanku, hanya engkaulah yang
melihatku terbatuk-batuk tapi tidak menyuruhku berhenti
minum.”
Kata A Fei, ”Apakah tidak boleh minum kalau sedang
batuk?”
”Sebenarnya menyentuh alkohol pun tak boleh.”
Maka tanya A Fei, ”Lalu mengapa kau minum terus?
Apakah kau punya masa lalu yang menyedihkan?”
Mata Li Sun-Hoan langsung meredup, dan memandang A
Fei. ”Apakah aku bertanya sesuatu yang tidak ingin kau
jawab? Apakah aku bertanya di mana orang tuamu?
Siapa gurumu? Dari mana asalmu? Hendak pergi ke
mana?”
”Tidak.”

31
”Lalu mengapa kau tanyakan itu padaku?”
A Fei duduk terdiam. Lalu tersenyum. ”Takkan
kutanyakan lagi.”
Li Sun-Hoan juga tersenyum. Tampaknya ia ingin
bersulang lagi, namun waktu diangkatnya cawannya, ia
mulai batuk-batuk lagi.
A Fei membuka jendela kereta, tapi tiba-tiba kereta
berhenti.
”Apa yang terjadi?” tanya Li Sun-Hoan.
Sang kusir menjawab, ”Seseorang menghalangi jalan.”
”Siapa?”
”Orang-orangan salju.”
Mereka turun dari kereta. Li Sun-Hoan bernafas pelan,
tapi A Fei menatap orang-orangan salju seperti baru
pertama kali melihat dalam hidupnya.
Li Sun-Hoan berpaling padanya dan bertanya, ”Kau
belum pernah melihat orang-orangan salju?”
Jawab A Fei, ”Aku hanya tahu bahwa salju sangat
menjengkelkan.Ia tidak hanya membawa hawa dingin,
tapi juga membuat tanaman mati, binatang bersembunyi,
orang-orang kesepian dan kelaparan.”

32
Ia membuat bola salju dan melemparkannya. Bola salju
itu jatuh di tempat yang cukup jauh, pecah, dan
kemudian hancur. Matanya pun menerawang jauh. ”Bagi
mereka yang cuku makan dan cukup pakaian, mungkin
salju adalah hal yang indah. Bukan hanya mereka dapat
membuat orang-orangan salju, mereka pun dapat
menikmati pemandangan indah padang salju seperti ini.
Tapi bagi orang seperti aku.....”
Tiba-tiba ditatapnya Li Sun-Hoan. ”Apakah kau tahu
bahwa bagi seseorang yang tumbuh di alam bebas
seperti aku, angin, salju, es, dan hujan adalah musuh
terbesar?”
Li Sun-Hoan juga membuat sebuah bola salju dan
berkata, ”Aku tidak benci salju, tapi aku benci orang
yang menghalangi jalanku.”
Dilemparnya bola salju itu ke arah orang-orangan salju.
Anehnya, orang-orangan itu tidak jatuh. Hanya saljunya
menjadi retak, sehingga terlihat sesuatu di dalamnya.
Ada manusia asli dalam salju!
Tapi sudah mati.
Wajah orang mati tidak pernah rupawan, tapi wajah ini
sungguh mengerikan.
”Si Ular Hitam!” jerit A Fei.
Mengapa Si Ular Hitam mati di sini?

33
Mengapa pembunuhnya membuatnya sebagai orangorangan
salju?
Sang kusir menarik mayat itu dari salju dan
memeriksanya dengan teliti. Mencoba menemukan
penyebab kematiannya.
Li Sun-Hoan bertanya, ”Kau tahu siapa pembunuhnya?”
Jawab A Fei, ”Aku tidak tahu.”
Kata Li Sun-Hoan, ”Barang itu.”
”Barang apa?”
Li Sun-Hoan melanjutkan, ”Barang itu berada di atas
meja, sehingga aku tidak memperhatikannya. Tapi
sewaktu Si Ular Hitam pergi, barang itupun lenyap. Oleh
sebab itu kupikir ia berlagak gila untuk mengalihkan
perhatian orang banyak, dan kabur dengan barang itu.”
”Oh, begitu.” sahut A Fei.
”Namun takkan pernah disangkanya bahwa barang itu
akan mengakibatkan kematiannya. Pembunuhnya juga
menginginkan barang itu.”
Tidak ada seorang pun yang tahu kapan pisau itu
kembali ada di tangannya. ”Benda apakah itu? Mengapa
begitu banyak orang menginginkannya? Mungkin
seharusnya aku mencuri lihat.”

34
A Fei mendengarkan dengan seksama, tapi tiba-tiba ia
memotong, ”Jikalau pembunuh itu menginginkan barang
itu, mengapa harus membuat dia sebagai orang-orangan
salju dan menghalangi jalan kita?” Li Sun-Hoan terkejut.
Walaupun anak muda ini tidak berpengalaman dalam
hidup, sangat lugu, namun pikirannya sangat pandai. Tak
bisa dibandingkan bahkan dengan orang-ornag
berpengalaman di dunia persilatan.
A Fei melanjutkan, ”Orang itu pasti telah
memperhitungkan bahwa tidak ada orang lain yang
melewati jalan ini. Hanya engkau. Maka orang-orangan
salju itu ditaruhnya untuk menghalangi jalanmu.”
Li Sun-Hoan tidak menjawab, hanya bertanya, ”Apakah
kau temukan lukanya yang mematikan?”
Namun sebelum sang kusir sempat menjawab, Li Sun-
Hoan menyambung, ”Tak usahlah.”
A Fei menambahkan, ”Betul sekali. Orang-orang itu
sudah ada di sini, kenapa harus dicari lagi.”
Ketajaman pendengaran dan penglihatan Li Sun-Hoan
dianggap paling hebat di dunia. Dia tidak percaya, anak
muda pendengaran anak muda ini pun sama baiknya.
Anak muda ini memiliki kemampuan alami binatang buas,
dapat menangkap hal-hal yang tidak bisa ditangkap
orang biasa. Li Sun-Hoan memberinya tawa puas,
”Karena kalian semua sudah tiba, mengapa tidak keluar
dan minum bersama?”

35
Salju di atas pohon di tepi jalan tiba-tiba luruh.
Seseorang tertawa senang, ”Sudah sepuluh tahun tidak
berjumpa. Tak disangka Li-tamhoa masih tetap muda.
Harus diberi selamat.”
Saat itu seseorang berlengan satu dengan pandangan
bagai elang muncul dari dalam hutan.
Seseorang yang lain muncul juga dari sisi lain jalan.
Orang ini kurus kecil. Tubuhnya seperti tulang belulang
dengan sedikit gumpalah daging di sana-sini. Mungkin
angin sepoi-sepoi pun dapat meniupnya pergi.
A Fei langsung menyadari bahwa orang ini tidak
meninggalkan jejak secuil pun di atas salju.
Untuk seseorang dapat tidak meninggalkan jejak,
walaupun ia beruntung memiliki badan yang ringan, ia
tetap harus memiliki tenaga dalam yang hebat.
Li Sun-Hoan tersenyum. ”Aku baru saja kembali dari
perbatasan setengah bulan. Namun Cah-congpiauthau
(ketua) Kim-say-piaukiok (jasa ekspedisi Singa Emas)
dan Sin-heng-bu-eng (Si Pengelana Tanpa Bayangan) Kijisiansing,
berdua datang menemui aku. Reputasiku pasti
cukup baik.”
Orang tua yang kecil itu tersenyum licik. ”Tampaknya
ketenaran Li-tamhoa bukan bualan saja. Ingatanmu baik
sekali. Kita bertemu hanya satu kali tiga belas tahun
yang lalu, namun kau masih ingat aku, orang tua yang
tidak berguna ini.”

36
['Tamhoa' adalah gelar dalam kerajaan Cina kuno, yang
diberikan kepada orang yang menempati urutan ke-3
dalam ujian kerajaan. Ujian ini adalah untuk menyaring
pejabat negara.]
Baru sekarang A Fei menyadari bahwa kaki orang tua itu
pincang. Ia tidak dapat membayangkan bagaimana
seorang pincang dapat menjadi ahli kungfu meringankan
tubuh.
Ia tidak tahu bahwa karena cacad sejak lahir, ia melatih
kungfunya lebih giat untuk menutupi kekurangannya.
A Fei tidak bisa tidak menghormati orang ini.
Li Sun-Hoan terkekeh. ”Kau sudah susah-payah
mengundang teman-teman lain. Apakah tidak akan kau
perkenalkan mereka pada kami?”
Ki-jisiansing menjawab dingin. ”Benar. Mereka juga
mendengar ketenaranmu dan ingin bertemu.”
Saat ia berbicara, muncullah empat orang dari dalam
hutan. Walaupun hari masih siang, Li Sun-Hoan bergidik
melihat keempat orang ini.
Empat orang ini tampak dewasa, tapi berpakaian seperti
anak-anak. Mengenakan pakaian warna cerah dengan
motif bunga-bunga. Sepatu mereka pun sepatu anakanak
dengan gambar harimau di depan. Tatakan liur pun
terikat di pinggang. Sorot mata mereka menggambarkan
kedewasaan, namun tingkah laku mereka seperti bocah.
Orang yang melihat pasti merasa muak, ingin muntah.

37
Yang paling menarik adalah gelang yang mereka
kenakan di tangan dan kaki ada kerincingannya,
sehingga ribut sekali waktu mereka berjalan.
Waktu sang kusir melihat empat orang ini, ia langsung
berkata, ”Si Ular Hitam tidak dibunuh oleh seseorang.”
Li Sun-Hoan mendengus, ”Heh?”
Kata sang kusir, ”Ia terbunuh oleh racun kalajengking.”
Roman wajah Li Sun-Hoan berubah. ”Kalau begitu,
empat orang ini pastilah murid Ngo-tok-tongcu (Si Anak
5 Racun).”
‘Anak’ berbaju kuning tertawa. ”Kau menghancurkan
orang-orangan salju yang kami buat susah-payah. Kau
harus membayarnya.” Sambil mengatakan
‘membayarnya’, ia meloncat ke arah Li Sun-Hoan, namun
kerincingannya tidak berbunyi.
Li Sun-Hoan hanya tersenyum padanya, tidak bergerak
sama sekali.
Tapi Ki-jisiansing juga meloncat, menghalangi ‘anak’
berpakaian kuning itu. Menariknya ke samping.
’Singa Emas’ berdiri tiba-tiba dan tertawa keras. ”Li-
Tamhoa ini kaya raya. Jangankan orang-orangan salju,
orang-orangan emas pun sanggup dibayarnya. Kalian
berempat jangan gegabah. Aku akan
memperkenalkannya pada kalian.”

38
‘Anak’ berpakaian merah menambahkan. ”Aku tahu ia
juga ahli makan, minum, wanita, dan judi. Maka aku
selalu berharap ia dapat membantu kami mencari
kesenangan.”
‘Anak’ berpakaian hijau berkata, ”Aku juga tahu dia
cukup berpendidikan, bahkan mendapat gelar Tamhoa
dalam ujian kerajaan. Kudengar ayahnya dan kakeknya
pun semua bergelar Tamhoa.”
‘Anak’ berpakaian merah itu terkikik, ”Sayangnya Li kecil
yang satu ini tidak ingin jadi pejabat pemerintah, malah
lebih senang jadi maLing.”
Walaupun yang lain tampak tidak peduli akan apa yang
sedang dibicarakan, A Fei melongo mendengar informasi
ini. Tidak disangkanya bahwa sahabat barunya memiliki
hidup yang sangat menakjubkan.
Ia tidak tahu bahwa orang-orang ini hanya memilih cerita
yang spektakuler dari kehidupan Li Sun-Hoan. Kisah
hidup Li Sun-Hoan yang lengkap, tak akan selesai dalam
waktu tiga hari tiga malam.
A Fei juga tidak melihat bahwa walaupun tersenyum,
mata Li Sun-Hoan menggambarkan kepedihan yang
mendalam. Seakan-akan hatinya akan terkoyak
mendengar orang membicarakan masa lalunya.
Tiba-tiba Ki-jisiansing berkata dengan wajah serius,
”Kalian memang tahu banyak tentang Li Tamhoa. Tapi
pernahkah kalian dengar Siau Li Sin To (Pisau Kilat si Li

39
Ajaib), Tak ada bandingannya di koLiong langit, sekali
lempar, TIDAK PERNAH luput!”
‘Anak’ berpakaian kuning pun tertawa. ”Sekali pisau itu
dilempar, tidak pernah luput. Pantas saja kau takut aku
mati oleh pisaunya, dan kau tak bisa menjelaskannya
pada Tuanku. Itu sebabnya kau menghalangiku.”
Li Sun-Hoan berkata sambil tersenyum, ”Tapi semua
orang boleh tenang. Pisauku yang kedua tidak sehebat
itu. Dan pisauku yang pertama tak akan mampu
membunuh enam orang sekaligus.”
”Jika semua mau menuntut balas untuk Cukat Liu,
silakan maju.”
‘Singa Emas’ tertawa dua kali. ”Cukat Liu tidak pantas
hidup. Mengapa harus merepotkan Li-heng ?”
Jawab Li Sun-Hoan, ”Jika tidak ada yang mau menuntut
balas, apakah kalian memang datang untuk menemaniku
minum?”
Ki-jisiansing menjawab dingin, ”Kami hanya ingin barang
itu.”
Li Sun-Hoan mengernyitkan keningnya. ”Barang?”
”Ya, barang itu harus dikirim oleh jasa ekspedisi. Kalau
tidak, reputasi Kim-say-piaukiok (jasa ekspedisi Singa
Emas) akan hancur.”

40
Li Sun-Hoan menoleh pada mayat Si Ular Hitam.
”Maksudmu barang itu tidak ada padanya?”
Jawab ‘Singa Emas’, ”Li-heng memang pandai
berkelakar. Dengan adanya Li-heng di tempat itu,
bagaiman Si Ular Hitam dapat mengambil barang itu?”
Li Sun-Hoan menghela nafas. ”Aku paling benci
persoalan dalam hidup. Mengapa persoalan selalu
berhasil menemukanku?”
‘Singa Emas’ seolah-olah tidak mendengarnya. Ia terus
bicara, ”Li-heng hanya perlu menyerahkan barang itu
dan aku akan segera pergi dan akan kuberikan arak juga
pada Li-heng .”
Li Sun-Hoan memainkan pisau di tangannya. Tiba-tiba ia
tersenyum. ”Kau benar. Barang itu ada padaku. Tapi aku
tidak tahu apakah aku harus menyerahkannya padamu
atau tidak. Beri aku waktu untuk berpikir.”
Ki-jisiansing bertanya, ”Berapa lama?”
Sahut Li Sun-Hoan, ”Dua jam saja. Setelah dua jam, kita
bertemu lagi di sini.”
Ki-jisiansing tidak ragu-ragu menjawab, ”Jadi!”
Ia tidak berkata apa-apa lagi sebelum pergi.
‘Anak’ berbaju kuning itu terkikik. ”Dalam waktu satu jam
saja kau sudah bisa menghilang. Mengapa perlu dua
jam?”

41
Kata Ki-jisiansing, ”Sejak Li Tamhoa masuk dunia
persilatan dan sebelum ia mundur, ia telah bertanding
lebih dari 300 kali. Tidak pernah sekali pun ia
menghindar.”
Mereka datang dengan cepat dan pergi dengan lebih
cepat. Sekejap saja, mereka telah menghilang ke dalam
hutan.
A Fei memecahkan keheningan, ”Kau tidak mempunyai
barang itu.”
”Betul.”
”Lalu mengapa kau berbohong?”
Li Sun-Hoan tersenyum. ”Walaupun aku tidak
mengambilnya, mereka tidak akan percaya. Pertarungan
tak bisa dielakkan lagi. Lebih baik mengaku saja,
daripada berdebat panjang.”
”Jika pertarungan pasti terjadi, mengapa harus
menunda?”
Jawab Li Sun-Hoan, ”Kita harus menemukan seseorang
dalam dua jam ini.”
”Siapa?”
”Orang yang mencuri barang itu.”
Lalu sambung Li Sun-Hoan, ”Malam itu, ada tiga orang di
meja itu. Dua sudah mati. Kita harus menemukan orang
yang ketiga.”

42
A Fei berpikir dalam-dalam. ”Kau maksud orang yang
mengenakan mantel warna ungu, dengan cambuk di
pinggangnya, dan bulu di telinganya?”
Li Sun-Hoan tersenyum. ”Kau hanya melihatnya sekejap
saja, tapi kau bisa mengingat begitu detil!”
”Aku memang melihatnya untuk sekejap. Sekejap saja
sudah cukup.”
”Kau benar. Dialah orangnya. Dari semua orang di rumah
makan malam itu, hanya dia seorang yang tahu betapa
berharganya barang itu. Ia berdiri di samping agar tidak
ada orang yang memperhatikan. Maka ia punya
kesempatan untuk membawanya pergi. Dan karena
barang itu sangat berharga, ia ingin memilikinya. Tapi ia
takut ketahuan, maka dilaporkannya bahwa akulah
pencurinya.”
Sambil tersenyum simpul ia lanjutkan. ”Untung bukan
baru kali ini aku difitnah.”
Kata A Fei, ”Itulah sebabnya mereka bisa tahu di mana
engkau berada.”
”Betul sekali.”
”Tapi supaya ‘Singa Emas’ tidak mencurigainya, ia pasti
masih ada di sekitar sini.”
”Betul lagi.”

43
”Oleh sebab itu, pastilah ia bersama-sama dengan orangorang
‘Singa Emas’. Jadi kita hanya perlu menemukan
mereka, untuk menemukan pencuri itu!”
Li Sun-Hoan menepuk bahunya. ”Kau hanya perlu
berkelana di dunia persilatan 3-5 tahun, dan semua
orang jahat pasti akan sulit hidup. Kuharap waktu kita
bertemu lagi, kita masih bersahabat.”
Ia tertawa keras sambil melanjutkan, ”Karena aku
sungguh tidak ingin menjadi musuhmu.”
A Fei terdiam memandangnya. Lalu katanya, ”Kau ingin
aku pergi sekarang?”
Kata Li Sun-Hoan, ”Ini urusanku sendiri. Tak ada
sangkut-pautnya dengan kau. Mereka tidak mencari
engkau? Jadi buat apa kau terus di sini?”
A Fei bertanya lagi, ”Kau tidak ingin aku terlibat
persoalan yang ruwet ini? Atau kau hanya tidak ingin
bepergian denganku?”
Li Sun-Hoan memandangnya sedih, walaupun senyum
tetap tersungging di bibirnya. ”Di dunia ini, tidak ada
pesta yang tidak selesai. Akhirnya kita tetap harus
berpisah. Mengapa harus kita permasalahkan sekarang
atau nanti.”
Wajah A Fei menjadi suram. Lalu diambilnya dua cawan
arak dari dalam kereta. ”Mari kita bersulang sekali lagi.”

44
Li Sun-Hoan minum cawan itu sekali teguk. Ia ingin
tersenyum, tapi malah jadi terbatuk-batuk.
A Fei memandangnya tanpa berkata-kata, lalu dengan
cepat berbalik dan pergi.
Saat itulah, mulai lagi turun salju. Suasana begitu sunyi,
sampai terdengar bunyi butiran salju menyentuh tanah.
Li Sun-Hoan menatap punggung A Fei yang menghilang
di antara salju dan angin. Pandangannya beralih ke tanah
yang mulai tertutup salju, pada sepasang jejak yang
kesepian.
Segera dituangnya lagi secawan arak. Katanya, ”Anak
muda. Aku bersulang untukmu sekali lagi.”
”Aku yakin kau tahu, sebenarnya aku tak ingin kau pergi.
Hanya saja masa depanmu sangat cerah. Bersamaku,
hanya kesulitan yang akan kau dapatkan. Aku adalah
seseorang yang sudah berkawan erat dengan persoalan,
kesialan, mara bahaya, dan kesedihan. Aku tak
mampu.... punya kawan lagi.”
Namun A Fei tidak dapat mendengar perkataan ini.
Sang kusir masih berdiri mematung di situ. Ia tidak
berkata-kata, dan walaupun tubuhnya penuh salju, ia
tidak bergerak.
Li Sun-Hoan minum lagi. Lalu berpaling padanya.
”Tunggu aku di sini. Lebih baik kau kuburkan tubuh Si
Ular. Aku akan kembali dua jam lagi.”

45
Sang kusir menundukkan kepalanya. ”Aku tahu telapak
Singa Emas sangat terkenal, tapi itu dilebih-lebihkan
saja. Kau hanya perlu 40 jurus untuk mengalahkannya.”
Sahut Li Sun-Hoan, ”Mungkin tak lebih dari 10 langkah.”
”Bagaimana dengan Ki-jisiansing?”
”Ilmu meringankan tubuhnya cukup baik, dan ia pun ahli
senjata rahasia. Tapi aku rasa, tak akan ada kesulitan
menghadapinya.”
Kata sang kusir, ”Kudengar murid-murid Ngo-tok-tongcu
(Si Anak 5 Racun) memiliki kungfu yang sangat aneh.
Dari yang aku lihat, kungfu mereka memang berbeda
dari kebanyakan orang.”
Li Sun-Hoan memotong ucapannya dengan tawa.
”Jangan kuatir. Aku tidak takut pada orang-orang ini.
Mereka sama sekali bukan masalah.”
Sang kusir masih tegang. ”Kau tak perlu berbohong. Aku
tahu perjalanan kita kali ini sangat berbahaya. Siauya,
tak seharusnya engkau membiarkan Fei-siauya (tuan Fei)
pergi.”
Li Sun-Hoan menjadi sedikit berang. ”Sejak kapan kau
mulai omong kosong?” semburnya.
Mulut sang kusir langsung terkatup, dan menunduk
semakin dalam. Selang beberapa saat, diangkatnya
wajahnya. Li Sun-Hoan telah pergi, suara batuknya
sayup-sayup terdengar.

46
Siapa pun yang mendengar suara batuk yang terusmenerus
di tengah padang salju, tak bisa tidak merasa
iba. Sampai akhirnya, deru angin menutupi suara batuk
itu.
Setetes air mata jatuh di pipi sang kusir. Ia berkata pada
dirinya sendiri, ”Siauya, kita hidup dengan tentram di
perbatasan. Mengapa kau ingin pulang ke tempat yang
penuh kesedihan dan duka ini? Tak dapatkah kau
melupakannya setelah 10 tahun? Masihkah kau ingin
berjumpa dengannya? Namun setelah kau berjumpa
dengannya pun, kau tak ingin berbicara padanya.
Mengapa kau timpakan penderitaan ini pada dirimu
sendiri?”
Ketika masuk ke dalam hutan, wajah Li Sun-Hoan yang
riang dan cakap tiba-tiba berubah, berubah menjadi
seorang pemangsa. Telinganya, hidungnya, tiap lajur
otot dalam tubuhnya menyisir setiap inci hutan, tak
meluputkan apa pun juga. Selama 20 tahun ini, belum
pernah ada seorang pun yang lolos dari kejarannya.
Walaupun gerakannya gesit seperti seekor kelinci, ia
tidak terburu-buru. Seperti penari yang hebat, dalam
situasi apa pun ia tetap dapat mempertahankan
keanggunan dan kemantapannya.
Sepuluh tahun yang lalu, waktu ia menyerahkan segala
miliknya dan pergi ke perbatasan, ia pun lewat jalan ini.
Waktu itu, bunga musim semi mulai bermekaran.
Ia ingat, ada warung arak kecil di sekitar sini. Ia selalu
mampir ke situ untuk minum. Walaupun araknya

47
mungkin bukan yang terbaik, pemandangannya tak
disangkal lagi. Gunung di sebelah sananya, dan air
terjun. Waktu itu banyak pelancong. Ia mengawasi
pasangan-pasangan pelancong itu sambil minum araknya
yang terasa pahit, secawan demi secawan. Berpikir ia
akan pergi untuk selamanya. Kenangan ini tak akan
pernah dilupakannya.
Tapi kini, tak disangkanya ia datang kembali. Sepuluh
tahun. Pastilah semuanya orang-orang baru. Pelayan
kecil itu telah menikah. Pasangan yang saling mencintai
itu telah tiada. Bahkan pohon persik itu, kini terbenam
dalam salju.
Oh, betapa dirindukannya, bahwa warung kecil itu masih
ada.
Ia berpikir demikian bukan karena kenangan lama, tapi
karena ia rasa orang yang dicarinya ada di sana.
Walaupun dunia dalam salju sungguh berbeda dengan
dunia angin musim semi, pemandangan itu masih
menusuk hatinya.
Uang, kekuasaan, ketenaran, status sosial, itu semua
mudah dilepaskan. Namun kenangan indah, kenangan
yang manis itu. Bagai jerat yang membelenggunya,
sehingga ia tidak bisa lepas. Tak pernah merasa bebas.
Li Sun-Hoan mengambil sebotol arak dan minum
seluruhnya. Ia baru mulai berjalan lagi setelah selesai
batuk-batuk yang panjang.

48
Ia benar-benar menemukan warung kecil itu.
Ia teringat, di musim semi bunga-bunga liar tak bernama
mekar di mana-mana. Ia biasa minum arak di situ sambil
menikmati indahnya bunga-bunga liar.
Kini semua telah berubah.
Ia melihat sebuah kereta kuda, dan mendengar suara
kuda di belakang.
Li Sun-Hoan tahu tebakannya benar. Mereka memang
ada di sini! Karena dalam cuaca seperti ini, di daerah
seperti ini, tak mungkin ada tamu lain.
Ia mempercepat langkahnya, menjadi lebih waspada,
dan memicingkan telinga sejenak. Tak ada suara apa pun
dari dalam warung. Segera ia melesat ke arah warung
itu.
Waktu ia sudah sangat dekat, ia tak dapat percaya.
Selain suara kuda dari belakang, tak ada suara lain.
Li Sun-Hoan menuju ke arah pintu dan lantai kayu
menderik. Ia terkejut dan mundur selangkah.
Tetap sunyi senyap.
Li Sun-Hoan mengindap-indap ke belakang, berpikir,
”Mungkin mereka tidak di sini.”

49
Namun kemudian terlihat olehnya ‘Singa Emas’, yang
sedang menatapnya lekat-lekat. Tidak bergerak, seperti
patung.
Li Sun-Hoan menghela nafas. ”Sungguh tak kusangka.”
Hanya tiga kata itu yang terucap.
Karena kemudian ia menyadari bahwa ‘Singa Emas’ tak
akan pernah lagi mendengar suara apa pun.
Bab 3. Mustika yang Menggoyahkan Hati Manusia
Li Sun-Hoan memandang sekali lagi. Leher ‘Singa Emas’
telah ditusuk!
Namun badannya masih berdiri tegak! Artinya, siapa pun
pembunuhnya, ia memiliki keahlian pedang yang tinggi.
Ketepatannya! Kecepatannya!
Setelah pedang si pembunuh menembus leher ‘Singa
Emas’, ia segera menariknya kembali, tanpa sedikit pun
tenaga tambahan.
‘Singa Emas’ terlihat sedang siaga, bahkan sampai
setelah pedang itu menembus lehernya, ia tidak bergerak
sama sekali. Tubuhnya terkesan santai.
Bukan main cepatnya pedang itu!

50
Li Sun-Hoan sungguh terkejut. Ia tahu, ‘Singa Emas’
sudah terkenal lebih dari 20 tahun, dan tidak pernah
terlibat persoalan besar. Jasa ekspedisinya pun sangat
terkenal. Ini menandakan bahwa ia patut dikagumi. Akan
tetapi, tanpa bisa memberi perlawanan, seseorang
berhasil menusukkan pedang ke lehernya.
Menusukkan pedang pada boneka kayu, menariknya
kembali, dan menjaga boneka kayu itu tetap berdiri saja
adalah sangat sulit.
Li Sun-Hoan berputar dan masuk ke dalam warung.
Hanya ada satu meja yang berisi mangkuk-mangkuk
makanan. Tapi makanan itu belum disentuh sama sekali.
Demikian juga araknya.
Keempat murid Ngo-tok-tongcu (Si Anak 5 Racun) juga
telah menjadi mayat!
Kepala mereka mengarah ke luar, dan kaki ke arah
dalam. Wajah mereka penuh keceriaan. Mereka pun mati
dengan tusukan sebilah pedang di tenggorokan!
Lalu dilihatnya Ki-jisiansing di sudut ruangan. Tangannya
memegang erat sebuah senjata rahasia.
Namun sebelum ia sempat menyambitkannya, ia pun
mati dengan tusukan pedang di lehernya.
Li Sun-Hoan tidak tahu apakah ia harus merasa kaget
atau senang. Ia hanya bisa menggumam, “Pedang yang
sangat, sangat cepat.”

51
Jika ini terjadi dua hari yang lalu, ia tidak akan tahu
siapakah orang yang memilki keahlian pedang semacam
ini. Dulu memang ada ahli pedang dengan julukan Soateng-
cu (Si Elang Salju). Ia dianggap nomor satu di dunia
persilatan. Memang ia memliki ketepatan dan kecepatan,
tapi yang jelas ia tidak telengas seperti ini. Di samping
itu, ia sudah lama mengundurkan diri dan tidak mungkin
datang ke tempat ini hari ini.
Jago-jago silat masa lalu, seperti Sim Long, Him Mau-ji,
Ong Lian-hoa, mereka semua dikabarkan sudah mati
atau telah mengundurkan diri. Dan lagi, tak ada di antara
mereka yang jago pedang!
Selain orang-orang ini, Li Sun-Hoan tidak tahu siapa lagi
yang memiliki keahlian semacam ini, sampai hari ini. Hari
ini ia tahu.
Orang itu tak lain adalah anak muda yang misterius dan
penyendiri, A Fei!
Li Sun-Hoan memejamkan matanya, membayangkan
bagaimana A Fei masuk ke ruangan ini. Keempat ‘anak’
itu pasti mengerubunginya. Namun sebelum mereka bisa
bergerak, pedang A Fei – cepat bagai kilat dan
mematikan bagai ular – telah menembus leher mereka.
Ki-jisiansing masih berdiri di samping, menunggu saat
yang tepat untuk menyambitkan senjata rahasianya. Ia
memang terkenal ahli meringankan tubuh dan senjata
rahasia.

52
Li Sun-Hoan menghela nafas. “Mainan. Seseorang
berkata pedangnya adalah mainan.”
Tiba-tiba matanya tertuju ke dinding. Ia melihat ada
huruf-huruf terukir di sana.
“Kau membunuh Cukat Liu untukku. Aku membunuh
mereka untukmu. Aku tidak lagi berhutang padamu. Aku
tahu tidak baik untuk berhutang!”
“Aku hanya membunuh satu orang untukmu. Namun kau
bunuh enam untukku. Kau tahu seseorang tak boleh
berhutang. Lalu mengapa kau buat aku berhutang
padamu?” gumam Li Sun-Hoan. Lalu ia terus membaca.
“Walaupun kubunuh lebih banyak orang untukmu,
situasinya berbeda. Satu orang yang kau bunuh, sama
dengan enam yang kubunuh. Jadi kau tidak berhutang
padaku.”
Mau tidak mau, Li Sun-Hoan tergelak. “Caramu
menghitung memang tidak pandai. Jangan sampai kau
punya usaha dagang di kemudian hari.”
Di dinding juga ada tanda panah menunjuk ke ruang
dalam. Li Sun-Hoan bergerak ke arah anak panah itu.
Waktu ia masuk ke dalam ruangan itu, tiba-tiba sebilah
pedang menyambutnya! Sebilah pedang yang mengkilat,
dengan ujung pedang mengarah ke dadanya!
Orang yang memegang pedang adalah seorang tua.
Jenggotnya tidak panjang, namun kerut-merut terlukis di
seluruh wajahnya.

53
Ia menudingkan pedangnya dan berseru, “Siapa kau?”
Ia ingin membentak lebih keras, namun tidak bisa karena
ia gemetaran.
Li Sun-Hoan segera mengenalinya. Ia tersenyum. “Tak
ingatkah kau padaku?”
Orang tua itu menggelengkan kepalanya.
Kata Li Sun-Hoan, “Tapi aku ingat engkau. Kau pemilik
warung ini kan? Sepuluh tahun yang lalu aku datang
beberapa kali untuk minum arak.”
Mata orang tua itu tidak lagi menyelidik, tapi pedangnya
masih menuding ke dada Li Sun-Hoan. “Siapa namamu?”
“Sheku Li.”
Orang tua itu lalu menghembuskan nafas lega.
Pedangnya jatuh berdentang ke lantai. “Jadi kau adalah
Li… Li Tamhoa. Aku sedang menunggumu.”
“Menungguku?”
Sahut orang tua itu, “Seorang anak muda yang gagah
datang ke sini dan membunuhi orang-orang jahat. Ia
membiarkan aku hidup. Ia mengatakan kau akan
berkunjung. Ia ingin aku menyerahkan seseorang
kepadamu. Kalau tidak, ia akan membunuhku.”
“Di mana orang itu?”

54
“Di dapur.”
Dapur itu cukup luas. Dan sangat bersih. Ada seseorang
di sana, terikat pada sebuah kursi. Orang itu kecil kurus,
dan tampak bulu-bulu keluar dari telinganya.”
Li Sun-Hoan sudah tahu bahwa A Fei pasti membiarkan
orang itu hidup untuk diinterogasi. Namun orang ini
sungguh terkejut melihat Li Sun-Hoan. Mukanya
langsung memucat, tapi tak bisa bicara. Memang A Fei
telah mengikatnya kuat-kuat dan menyumpal mulutnya
dengan kain.
Ia takut orang ini berusaha menakut-nakuti atau
berusaha menyuap si orang tua. Saat itu Li Sun-Hoan
baru menyadari bahwa A Fei sangat teliti.
Namun mengapa tak ditotoknya saja orang itu?
Pisau Li Sun-Hoan berkilat, dan sekejap saja kain yang
menyumpal mulut orang itu telah lepas. Orang itu hampir
pingsan.
Ia ingin memohon belas kasihan, namun mulutnya
sangat kering, ia tidak bisa bicara.
Li Sun-Hoan pun tidak memaksanya. Ia duduk, dan
meminta orang tua itu membawakan araknya yang
terbaik.
“Namamu?”

55
Wajah orang itu kini tampak kuning. Ia berusaha
membasahi bibirnya dengan lidahnya, dan menjawab
dengan tergagap, “Cayhe Ang Han-bin.”
Kata Li Sun-Hoan, “Aku tahu kau bisa minum. Ini
minumlah secawan.”
Ia memutuskan tali belenggu orang itu, dan
menyorongkan cawan arak padanya. Orang itu sungguh
tercengang. Ia takut untuk menerimanya, tapi takut juga
untuk menolaknya.
Li Sun-Hoan tertawa. “Jika ada orang menawariku arak,
takkan pernah kutolak.”
Ang Han-bin menerima cawan itu. Tangannya masih
gemetaran. Akhirnya diminumnya cawan itu.
Setengahnya tumpah membasahi bajunya.
Li Sun-Hoan mengeluh. “Sayang sekali. Jikalau kau
meniru aku, berlatih mengukir dengan pisau, tanganmu
tak akan gemetar. Mengukir kayu membuat seseorang
menjadi tenang dan stabil. Ini rahasia kecilku.”
Lalu dituangnya lagi arak ke dua cawan, dan sambil
tertawa berkata, “Ingatlah, jangan menyia-nyiakan arak
yang lezat.”
Kali ini Ang Han-bin menyambut cawan itu dengan kedua
tangannya. Takut menumpahkannya lagi, ia minum
seluruhnya sekali teguk.”

56
Kata Li Sun-Hoan, “Bagus sekali. Aku tidak tahu banyak
hal dalam hidup ini, tapi aku telah memberitahukan
kepadamu dua pelajaran yang berharga. Bagaimana kau
akan berterima kasih padaku?”
Jawab Ang Han-bin, “A..aku…”
Lalu kata Li Sun-Hoan, “Kau tak perlu berbuat apa-apa.
Berikan saja barang itu padaku dan aku akan merasa
puas.”
Ang Han-bin menarik nafas, “Barang apa?”
Sahut Li Sun-Hoan, “Kau tidak tahu?”
Ang Han-bin memaksakan untuk tersenyum, “Aku
sungguh-sungguh tidak tahu.”
Li Sun-Hoan menggeleng-gelengkan kepalanya. “Kupikir
orang menjadi lebih jujur setelah mereka minum. Kau
sungguh-sungguh mengecewakanku.”
Ang Han-bin hanya bisa tersenyum kecut, “Tuan L…Li,
pastilah ada kesalahpahaman. Saya benar-benar tidak
tahu.”
Wajah Li Sun-Hoan menegang. “Kau minum arakku, lalu
kau tipu aku? Kembalikan arakku sekarang juga.”
Jawab Ang Han-bin, “Baiklah. Aku akan pergi membeli
arak.”

57
Li Sun-Hoan berkata, “Aku ingin dua cawan yang sudah
kau minum, bukan arak yang kau beli.”
Ang Han-bin berusaha tenang, ia menyeka keringat
dengan lengan bajunya, lalu berkata terputus-putus,
“Ta..tapi, arak itu sudah ada dalam perutku. Bagaimana
aku mengembalikannya?”
Jawab Li Sun-Hoan, “Gampang saja.”
Pisau itu berkilat lagi, dan tiba-tiba ujungnya telah
sampai di depan perut Ang Han-bin.
Tambahnya dengan dingin, “Karena arak itu sudah ada
dalam perutmu, tinggal kubuka saja untuk mengambilnya
kembali.”
Wajah Ang Han-bin menjadi putih seperti kertas, tapi ia
masih memaksakan diri untuk tersenyum. “Li-tayhiap,
mengapa kau berkelakar?”
Li Sun-Hoan menjawab tajam, “Apakah aku kelihatan
sedang bercanda?”
Ditekannya pisau itu sedikit ke perut Ang Han-bin, dan
darah keluar sedikit.
Karena hanya pengecut yang biasa berbohong, dan
waktu pengecut melihat darahnya sendiri ia akan
berkata-kata dengan jujur. Wajah Ang Han-bin masih
tersenyum, seakan-akan ia tidak merasa sakit sedikitpun.

58
Mata Li Sun-Hoan berkedip, dan tangannya berhenti
menekan. Pengecut ini ternyata tidak bisa diancam
dengan pisau, namun Li Sun-Hoan tidak memperlihatkan
kekagetannya.
Sebaliknya ia tersenyum dan berkata, “Kau telah masuk
dalam dunia persilatan cukup lama, bukan?”
Ang Han-bin tidak menyangka akan pertanyaan itu. Ia
meneguhkan hatinya dan menjawab dengan senyum, “20
tahun sudah.”
Lalu kata Li Sun-Hoan, “Jadi kau pasti tahu ada beberapa
mustika di dunia ini yang diketahui banyak orang, tapi
hanya sedikit yang pernah melihatnya. Salah satunya….”
Ditatapnya Ang Han-bin lekat-lekat, dan dilanjutkan
kalimatnya perlahan-lahan, “ialah Kim-si-kah . Katanya
baju ini tidak tembus senjata, dan tak dapat terbakar.
Karena kau sudah berkecimpung selama 20 tahun,
pastilah kau pernah mendengarnya.”
Wajah Ang Han-bin kini tampak seperti kain pel. Ia
segera melompat, hendak melarikan diri.
Gerakannya sangat gesit, dalam sekejap saja ia telah
sampai di pintu. Hanya saja, waktu ia hendak keluar, Li
Sun-Hoan menghadangnya.
Ang Han-bin mengertakkan giginya, berbalik dan
menghunus tombak rantai peraknya. Bagai ular, tombak
itu menyerang ke arah Li Sun-Hoan.

59
Mungkin sudah 20-30 tahun ia melatih ilmu tombak ini.
Waktu ia memainkan jurus ini, rantai peraknya menjadi
lurus, menggulung angin dan menyambar ke arah
tenggorokan Li Sun-Hoan.
Terdengar bunyi ‘Tang’. Li Sun-Hoan hanya mengangkat
tangannya yang masih memegang cawan arak, dan
menggunakan cawan itu untuk menangkis ujung tombak.
Tombak itu tidak memecahkan cawan.
Li Sun-Hoan tersenyum dan berkata, “Jika ada seseorang
yang berusaha membujukku untuk berhenti minum, akan
kutunjukkan padanya keuntungan minum arak. Dan
bahwa cawan arak pernah menyelamatkan jiwaku.”
Ang Han-bin berdiri mematung. Keringat bertetesan di
wajahnya bagai air hujan.
Kata Li Sun-Hoan, “Jika kau tidak ingin bertempur lagi,
tanggalkan Kim-si-kah itu. Anggaplah itu pembayaran
atas dua cawan arak.”
Ang Han-bin bertanya, “Kau sungguh-sungguh
menginginkannya?”
Sahut Li Sun-Hoan, “Aku bukannya menginginkan barang
itu. Kau telah mencurinya di depan hidungku. Ini berarti
kau memang punya keahlian. Tapi tak seharusnya kau
membual dan mengatakan pada orang lain bahwa akulah
pencurinya. Aku tidak suka difitnah.”

60
“Kau benar. Aku memang mengambil barang itu. Dan
barang itu memang Kim-si-kah . Tapi, tapi…”
Ia sangat gelisah, sampai-sampai air matanya pun
mengalir.
Li Sun-Hoan berkata, “Kim-si-kah adalah mustika yang
memberi perLindungan. Apa kegunaannya bagimu? Aku
dapat membunuhmu dengan satu sambitan. Mengapa
kau menghabiskan tenagamu untuk
mempertahankannya?”
Lanjutnya lagi, “Ini bukanlah barang yang seharusnya
kau miliki. Jikalau kau berikan barang ini padaku,
mungkin kau dapat hidup beberapa tahun lagi.”
Jawab Ang Han-bin, “Aku pun tahu aku tidak cukup
berharga untuk mustika itu. Namun aku tidak
mengambilnya untuk diriku sendiri.”
Li Sun-Hoan terkejut, “Jadi kau mencurinya untuk orang
lain? Siapakah dia?”
Ang Han-bin menggigit bibirnya. Saking kerasnya, sampai
darah keluar.
Li Sun-Hoan berkata dengan tenang, “Aku punya macammacam
cara untuk memaksa orang berbicara, namun aku
tak suka cara-cara itu. Jadi aku sungguh berharap kau
tidak memaksaku untuk menggunakannya.”
Akhirnya Ang Han-bin menghembuskan nafas. “Baik. Aku
akan bicara.”

61
Kata Li Sun-Hoan, “Lebih baik kau mulai dari awal.”
Ang Han-bin mulai bicara. “Pernahkah kau dengar Sinthau
(MaLing Sakti) Te Ngo? Ia bukan siapa-siapa, jadi
mungkin Li-tayhiap tidak tahu.”
Li Sun-Hoan tertawa. “Aku tahu dia, bahkan
mengenalnya cukup akrab. Ilmu meringankan tubuh dan
jurus-jurus kungfunya cukup hebat. Lagian dia juga suka
minum.”
Lanjut Ang Han-bin, “Kim-si-kah (Rompi Benang Emas)
ini dicurinya dari suatu tempat.”
“O ya? Lalu bagaimana bisa sampai padamu?”
Jawab Ang Han-bin, “Ia dan Cukat Liu adalah sahabat
karib. Kami berjumpa dengan dia beberapa waktu lalu
dan minum bersama. Waktu dia mabuk berat, ia
keluarkan rompi itu untuk pamer. Cukat Liu sungguh iri
hati, dan….”
Wajah Li Sun-Hoan mengeras. “Kalian bisa melakukan
hal serendah itu, tapi mengapa tak berani
mengakuinya?”
Ang Han-bin menundukkan kepala. “Te Ngo tahu bahwa
semua orang di dunia persilatan menginginkan Kim-sikah
ini. Seharusnya ia tidak mabuk.”
Li Sun-Hoan menyahut dingin, “Bukannya dia tidak
seharusnya mabuk. Seharusnya dia tidak berkawan
dengan orang yang salah.”

62
Wajah Ang Han-bin yang pucat bersemu merah.
Kata Li Sun-Hoan, “Kim-si-kah ini dikabarkan sebagai
satu dari ‘Tiga Mustika Dunia Persilatan’. Tapi sebenarnya
fungsinya tidak banyak. Mungkin hanya berguna sewaktu
dua jago silat bertempur. Orang biasa yang memilikinya,
lebih mungkin mati karena barang ini. Jadi, aku tak bisa
mengerti mengapa orang sangat menginginkannya. Pasti
ada alasan lain, bukan?”
Jawab Ang Han-bin. “Ya, ada satu rahasia. Namun
rahasia ini bukan rahasia lagi, karena….”
Sampai di situ, pemilik warung membawa masuk dua
botol arak. Katanya sambil tersenyum, “Ini adalah arak
yang istimewa. Pembesar Tamhoa sebaiknya minum
secawan sebelum melanjutkan.”
Li Sun-Hoan tersenyum pahit. “Jika kau ingin aku sering
datang ke sini, jangan kau panggil aku seperti itu. Tiap
kali aku mendengarnya, aku kehilangan selera minum.”
Cawan arak masih ada di tangannya. Ia tuang arak itu
secawan penuh. Tercium bau harum arak, dan suasana
hatinya pun membaik. Pujinya, “Sungguh arak istimewa.”
Ia minum arak, dan mulai batuk-batuk.
Orang tua itu menarik kursi untuk Li Sun-Hoan duduk.
Katanya, “Batuk itu buruk untuk kesehatan. Hati-hatilah.”
Orang tua itu tersenyum dan melanjutkan bicaranya,
“Akan tetapi, arak ini cocok sekali untuk menyembuhkan

63
batuk. Jika kau meminumnya, kujamin kau tak akan
batuk lagi.”
Li Sun-Hoan tertawa, “Jika arak dapat menyembuhkan
batuk, itu baik sekali. Mengapa kau tak minum secawan
juga?”
Kata orang tua itu, “Aku tidak minum arak.”
Li Sun-Hoan bertanya, “Kenapa? Penjual pangsit lebih
suka makan bakpao. Jadi penjual arak lebih suka minum
air putih?”
Jawab orang tua itu, “Biasanya aku minum satu dua
cawan. Tapi aku tidak bisa minum arak ini.”
Tiba-tiba matanya bersinar licik.
Li Sun-Hoan pura-pura tidak melihat. Ia terus tersenyum
dan bertanya, “Mengapa?”
Mata orang tua itu terpaku pada pisau di tangannya, dan
berkata, “Karena jika aku minum arak itu dan
menggunakan sedikit tenaga, aku akan mati keracunan.”
Lidah Li Sun-Hoan kelu.
Namun Ang Han-bin menjadi gembira, “Tak kusangka
kau mau menolongku. Akan kuberi kau hadiah yang
besar nanti.”
Orang tua itu menjawabnya dingin, “Tak usah kau
berterima kasih padaku.”

64
Perangai Ang Han-bin berubah, walaupun senyumannya
tidak hilang. “Cianpwe, kau sungguh pandai
menyembunyikan jati dirimu. Kurasa kau juga
menginginkan….”
Saat berbicara, dihunusnya tombak rantai peraknya.
Tubuh kecil orang tua itu tiba-tiba bertambah tinggi satu
kaki. Diputarnya tangan kirinya dan ditangkapnya ujung
tombak itu. Bentaknya, “Kau pikir kau cukup hebat untuk
bertarung denganku?”
Orang tua penakut ini dalam sekedipan mata telah
berubah menjadi orang lain. Wajahnya pun menjadi
bercahaya.
Ang Han-bin melihat wajahnya yang aneh, dan teringat
pada seseorang. Ia langsung mulai memelas. “Cianpwe,
jangan ambil nyawaku. Aku tidak mengenali Cianpwe
sebagai…”
Tapi ia terlambat. Kepalan kanan si orang tua telah
tertuju padanya. Setelah terdengar suara ‘Bang’, tubuh
Ang Han-bin mencelat ke atas, dan rantai di tangannya
putus menjadi dua. Darah langsung mengalir waktu
tubuhnya menghantam tembok.
Kekuatan pukulan ini sungguh luar biasa.
Li Sun-Hoan menghela nafas dan menggelengkan
kepalanya. “Sudah kukatakan. Dengan memilki Kim-sikah
ini, kau akan mati lebih cepat.”

65
Orang tua itu melempar tombak yang tinggal separuh itu
ke lantai, lalu memandangi tubuh Ang Han-bing. Kerutmerutnya
muncul lagi.
Kata Li Sun-Hoan, “Kau sudah tidak membunuh selama
20 tahun, bukan?”
Orang itu memandangnya dan berkata, “Tapi aku belum
lupa caranya.”
Li Sun-Hoan bertanya, “Apakah harus membunuh untuk
hal semacam ini?”
Jawab orang tua itu, “Dua puluh tahun yang lalu, aku
tidak butuh alasan untuk membunuh.”
Sahut Li Sun-Hoan, “Namun dua puluh tahun telah lewat.
Bersembunyi selama dua puluh tahun tidaklah mudah.
Mengumbar identitasmu hanya untuk ini, sungguh
disayangkan.”
Orang tua itu bertanya, “Jadi kau tahu siapa aku?”
Li Sun-Hoan tertawa. “Kau seharusnya tidak lupa. Dua
puluh tahun yang lalu Ci-bin-ji-Liong Sun Gwe sangatlah
terkenal. Namun ia berani membawa lari istri kepala
Perserikatan 72 Pelabuhan Daerah Selatan (Kanglam).
Keberanian semacam ini patut dikagumi.”
Kata orang tua itu, “Bahkan dalam keadaanmu seperti
ini, kau masih sanggup bicara semacam itu.”

66
Sahut Li Sun-Hoan lagi, “Jangan berpikir aku sok pintar.
Seorang laki-laki yang berani mempertaruhkan nyawa
demi wanita yang dicintainya patut dianggap laki-laki
sejati. Selama ini aku sangat menghormati engkau. Tapi
sekarang….”
Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. “sekarang aku
sangat kecewa, karena kupikir kau bukanlah orang yang
licik. Kau hanya berani meracuniku. Tak berani
menantangku bertarung.”
Ci-bin-ji-Liong Sun Gwe memandang padanya sesaat.
Sebelum ia berbicara, terdengar tawa seorang yang lain,
katanya, “Kau tak boleh menyalahkan dia. Mengenai ilmu
racun, ia tidak tahu apa-apa.”
Suara ini milik seorang wanita. Merdu sekali.
Li Sun-Hoan tertawa. “Kau benar. Aku harusnya sudah
tahu bahwa ini adalah buah karya Jiang-wi Hujin. Li Sun-
Hoan sungguh merasa puas dapat mati di tangan
seorang ratu kecantikan dari dua puluh tahun silam.”
Suara itu terkikik saat berkata, “Dasar perayu. Jika aku
bertemu engkau dua puluh tahun yang lalu, mungkin aku
takkan melarikan diri dengan dia.”
Sambil tertawa ia keluar.
Setelah dua puluh tahun, ia tidak tampak terlalu tua.
Matanya masih tetap memikat, giginya putih bersih,
namun pinggangnya….

67
Sebenarnya, tak bisa dikatakan bahwa ia punya
pinggang. Bentuk tubuhnya seperti gentong.
Reaksi Li Sun-Hoan seperti baru saja menelan sebutir
telur bulat-bulat.
Jadi inikah Jiang-wi Hujin? Ia tak bisa mempercayai
penglihatannya.
Jiang-wi Hujin mengenakan mantel warna merah.
Parfumnya dapat tercium dari jarak satu kilometer.
Ia memandang Li Sun-Hoan sambil tertawa manis dan
berkata, “Betapa gagahnya Li-Tamhoa. Tak heran kau
begitu terkenal. Aku belum pernah bertemu dengan
orang segagah engkau dalam dua puluh tahun
belakangan. Namun dua puluh tahun yang lalu…”
Ia menghela nafas sebelum melanjutkan, “dua puluh
tahun yang lalu aku hidup bergelimang harta. Orangorang
muda yang gagah memohon-mohon untuk
berkencan denganku. Jika mereka dapat memandangku
dan bercakap-cakap semenit saja, mereka merasa
bagaikan di awang-awang. Kalau kau tidak percaya,
tanya saja dia.”
Wajah Ci-bin-ji-Liong Sun Gwe terlihat muram, ia tidak
ingin bicara.
Li Sun-Hoan memandang leher Jiang-wi Hujin dan lemak
yang menggelambir, lalu menoleh pada Ci-bin-ji-Liong
Sun Gwe dan merasa sedikit kasihan.

68
Ia baru tahu bahwa hidup laki-laki ini dalam dua puluh
tahun terakhir tidaklah bahagia.
Jiang-wi Hujin mengeluh lagi. “Namun dua puluh tahun
ini sangat berat bagiku. Aku harus terus bersembunyi
dalam kamar yang sumpek, karena takut keluar. Aku
sangat menyesal lari dengan si tolol ini.”
Ci-bin-ji-Liong Sun Gwe juga mengeluh. “Siapa di sini
yang tidak menyesal?”
Jiang-wi Hujin membanting kakinya dan berteriak, “Apa
katamu? Ulangi lagi kalau berani! Wanita terhormat
seperti aku merelakan kedudukannya yang nyaman
untuk tinggal di gubug reyot denganmu. Seorang ratu
kecantikan, telah kau rusak sampai seperti ini. Dan kau
masih berani bilang kau menyesal?”
Hidung Ci-bin-ji-Liong Sun Gwe seakan-akan keluar asap,
namun ia diam saja.
Jiang-wi Hujin kemudian berkata lagi, “Li-Tamhoa,
katakan padaku apakah laki-laki ini punya hati? Kalau aku
tahu akan jadi begini, aku lebih baik sudah bunuh diri.”
Ia mengejap-ngejapkan matanya, tapi sayang air mata
tak bisa keluar.
Li Sun-Hoan tersenyum, “Tapi untungnya nyonya tidak
mati. Kalau tidak, aku pasti menyesal telah hidup.”
Jiang-wi Hujin tersenyum bangga, “Kau begitu ingin
bertemu denganku?”

69
Sahut Li Sun-Hoan, “Tentu saja. Di mana dapat
kutemukan kecantikan yang begini gemuk?”
Wajah Jiang-wi Hujin memucat, namun Ci-bin-ji-Liong
Sun Gwe tak bisa menahan gelak tawanya.
Kata Li Sun-Hoan lagi, “Sesungguhnya nyonya pun tak
memerlukan Kim-si-kah . Karena sekali pun kau dipotong
menjadi dua, rompi itu tak akan muat.”
Jiang-wi Hujin menggertakkan giginya dan berkata, “Aku
sebaiknya tidak membuatmu mati perlahan-lahan.”
Ia mencabut sebatang jarum yang amat tipis dari selasela
rambutnya dan berjalan ke arah Li Sun-Hoan. Li
Sun-Hoan tetap duduk, tidak bergerak.
Ci-bin-ji-Liong Sun Gwe lalu berkata, “Kita kan sudah
mendapatkan rompi itu, mari kita pergi saja. Kenapa kita
harus mengurusi dia?”
Jiang-wi Hujin membentak, “Kau tidak usah mencampuri
urusanku!”
Li Sun-Hoan benar-benar tak sanggup bergerak, ia hanya
bisa menatap si nyonya.
Siapa sangka, pada saat jarum itu hendak menembus
mata Li Sun-Hoan, tiba-tiba Ci-bin-ji-Liong Sun Gwe
menendang dari belakang. Begitu keras, sampai si
nyonya terpental ke langit-langit.
Waktu ia jatuh lagi ke tanah, ia sudah hampir mati.

70
Li Sun-Hoan sungguh terperanjat. Ia tak bisa tidak
bertanya, “Kau membunuhnya demi aku?”
Dengan marah Ci-bin-ji-Liong Sun Gwe menjawab, “Dua
puluh tahun sudah aku harus menahan diri mendengar
ocehannya. Aku hampir gila. Kalau aku tidak
membunuhnya sekarang, mungkin setengah tahun lagi,
akulah yang akan mati.”
Kata Li Sun-Hoan, “Bukankah ini yang kau inginkan? Tak
ingatkah kau dua puluh tahun silam….”
Ci-bin-ji-Liong Sun Gwe memotongnya, “Kau kira akulah
yang merayunya?”
“Jadi bukan kau?”
“Waktu aku bertemu dengannya, aku sungguh tidak tahu
bahwa ia adalah istri Nyo si jenggot. Makanya aku
mau….”
Dua kali ia menghela nafas panjang, lalu melanjutkan,
“Siapa yang menyangka bahwa sebetulnya dialah yang
memaksa aku membawanya pergi. Saat itu, Nyo si
jenggot telah mengutus 20 jago-jago silat ke tempatku.
Aku harus pergi.”
Sahut Li Sun-Hoan, “Setidaknya ia mencintaimu. Kalau
tidak mengapa ia melakukannya?”
“Cinta padaku? Hei, hei.”

71
Dikertakkan giginya sambil tertawa sumbang. “Sesudah
itu, baru aku tahu bahwa ia memanfaatkan aku.
Ternyata, waktu suaminya pergi untuk urusan bisnis, ia
mempunyai kekasih gelap, dan melahirkan anaknya. Ia
tidak tahu bagaimana harus mengaku pada suaminya,
jadi ia mengambil uang dan melarikan diri dengan
kekasihnya.”
Li Sun-Hoan terkejut, “Masa iya? Sepertinya masih ada
lagi lanjutannya.”
Sambung Ci-bin-ji-Liong Sun Gwe, “Lalu siapa sangka
kekasihnya itu mencuri perhiasan yang dibawa si nyonya,
lalu kabur begitu saja? Ia tidak mendapatkan lelaki itu,
tidak juga mendapatkan uangnya. Tapi untunglah ia
bertemu denganku.”
“Jika kau sudah tahu, mengapa kau tidak
membeberkannya?”
Ci-bin-ji-Liong Sun Gwe tertawa getir, “Waktu aku tahu,
semua sudah terlambat. Diucapkannya waktu ia mabuk
berat. Aku tak bisa lagi mengatakan apa-apa, sekalipun
aku mau.”
“Bagaimana dengan anak itu?”
Ci-bin-ji-Liong Sun Gwe terdiam.
Li Sun-Hoan bertanya lagi, “Setelah kau tahu, kau
seharusnya langsung membunuhnya. Apa yang kau
tunggu?”

72
Ci-bin-ji-Liong Sun Gwe tetap diam.
Kata Li Sun-Hoan, “Aku kan hampir mati. Mengapa tak
kau beritahu padaku?”
Ci-bin-ji-Liong Sun Gwe berpikir agak lama, lalu
menjawab, “Ada untungnya membuka warung arak. Aku
bisa mendengar macam-macam berita. Tahukah kau apa
berita yang sedang hangat saat ini?”
Sahut Li Sun-Hoan, “Aku tidak punya warung.”
Ci-bin-ji-Liong Sun Gwe menengok ke kiri kanan, seakanakan
takut ada orang yang ikut mendengarkan. Lalu ia
berbicara dengan suara kecil, “Tidakkah kau dengar? Dari
tiga puluh tahun yang lalu, yang tiada tandingannya
Bwe-hoa-cat beraksi kembali!”
Rasa tertarik Li Sun-Hoan langsung muncul ketika nama
Bwe-hoa-cat diucapkan.
Kata Ci-bin-ji-Liong Sun Gwe lagi, “Waktu Bwe-hoa-cat
merajai dunia persilatan dulu, kau masih sangat kecil.
Mungkin kau tidak tahu kehebatannya. Tapi kuberitahu
kau sekarang, tidak seorang pun tahu siapa sebenarnya
orang ini. Bahkan Pangcu Tiam-jong-pay, si jago pedang
nomor wahid saat itu, Go Bun-thian, mati di tangannya.
Orang ini berpindah sangat cepat secara misterius. Go
Bun-thian baru saja menurunkan titah untuk
membunuhnya, keesokan harinya Go Bun-thian sudah
mati. Hanya saja….”

73
Kembali ia menengok kanan kiri. Seakan takut jika Bwehoa-
cat muncul dari balik punggungnya.
Tapi tak ada seorang pun yang muncul. Bahkan suara
salju yang turun ke atas atap dapat terdengar. Barulah
Ci-bin-ji-Liong Sun Gwe lega dan melanjutkan lagi, “di
dadanya ada 50 lubang dengan bentuk bunga Bwe. Tiap
lubang sangat kecil, seperti lubang jarum. Semua orang
tahu ini adalah lambang Bwe-hoa-cat . Tapi tak seorang
pun tahu senjata rahasia macam apakah ini, karena tidak
seorang pun yang bertempur dengannya masih hidup.
Satu hal yang pasti, ia adalah seorang laki-laki.”
“O ya?”
Jawab Ci-bin-ji-Liong Sun Gwe, “Karena selain menyukai
harta benda, ia juga suka memperkosa gadis-gadis.
Semua orang dalam dunia persilatan, golongan putih dan
hitam, semua benci padanya, tapi tidak ada seorang pun
sanggup mengalahkannya. Setiap kali seseorang berkata
ia akan turun tangan, orang itu pasti mati dalam tiga
hari. Semuanya dengan tanda itu di dadanya.”
Li Sun-Hoan menegaskan, “Jadi semua orang yang mati
di tangannya mendapat tanda itu di dadanya?”
“Ya. Dada adalah perLindungan utama tubuh manusia,
namun Bwe-hoa-cat selalu menyerang ke sana, tanpa
kecuali. Seolah-olah jika tidak dilakukannya, orang
takkan tahu betapa hebatnya dia.”
Maka tertawalah Li Sun-Hoan. “Itulah sebabnya kau pikir
dengan memakai rompi itu kau dapat menghadapi BweKANG
ZUSI at http://cerita-silat.co.cc/
74
hoa-cat . Dan dengan menangkapnya, kau bisa kembali
terkenal. Semua orang akan berterima kasih padamu.
Dan tidak ada seorang pun yang akan mengungkit masa
lalumu.”
Mata Ci-bin-ji-Liong Sun Gwe bercahaya dan ia berkata,
“Katanya, kalau kau dapat menghindar dari serangan
pertamanya, kau akan menang.”
Wajahnya penuh kegembiraan dan ia pun melanjutkan,
“Karena serangan pertamanya TIDAK PERNAH gagal, ia
tidak pernah memikirkan serangan berikutnya. Ia
menjadi terbuka untuk diserang balik.”
Sahut Li Sun-Hoan, “Sangat masuk akal.”
Ci-bin-ji-Liong Sun Gwe tertawa senang, “Kalau tidak
masuk akal, buat apa orang berlomba-lomba
mendapatkan rompi ini.”
Kata Li Sun-Hoan lagi, “Tapi kau sudah menjalani
kehidupan yang tenang dua puluh tahun ini. Buat apa
terjun lagi ke dunia persilatan?”
Bab 4. Kecantikan yang Menyentuh Sanubari
Ci-bin-ji-Liong Sun Gwe menjawab, “Kau tahu apa? Jika
aku berhasil membunuh Bwe-hoa-cat , tidak saja akan
kudapatkan ketenaran, tapi juga banyak keuntungan
yang lain.”

75
“Apa?”
Jawab Ci-bin-ji-Liong Sun Gwe, “Setelah Bwe-hoa-cat
menghilang tiga puluh tahun yang lalu, orang
menyangka dia pergi untuk selama-lamanya. Siapa
sangka ia akan kembali lagi? Dalam waktu 8 bulan, ia
telah membuat lebih dari 80 kasus, bahkan memperkosa
anak perempuan Pangcu Hua San.”
Li Sun-Hoan berkata, “Orang ini kan sudah berumur 70
tahunan sekarang. Mana mungkin ia masih tertarik pada
gadis-gadis?”
Ci-bin-ji-Liong Sun Gwe hanya melanjutkan, “Setelah ia
muncul kembali, setiap orang yang mempunyai benda
berharga, atau anak gadis yang cantik, menjadi gelisah.
Maka lebih dari 90 keluarga telah mengumumkan bahwa
siapa yang dapat membunuh Bwe-hoa-cat akan
mendapatkan sebagian kekayaan mereka. Bisa kau
bayangkan betapa banyak uang yang terlibat di sini.”
Tanya Li Sun-Hoan lagi, “Jadi ini bukan rahasia lagi.”
Ci-bin-ji-Liong Sun Gwe mengangguk. “Dan satu lagi.
Wanita tercantik di dunia persilatan sudah berjanji akan
menikahi siapa pun yang dapat membunuh Bwe-hoa-cat
.”
Li Sun-Hoan mengeluh. “Uang dan wanita memang bisa
menggerakkan hati manusia. Tak heran kau rela
mengorbankan nyawamu demi urusan macam ini.
Bahkan membunuh istrimu sendiri. Sepertinya, sudah
giliranku untuk mati sekarang.”

76
Kata Ci-bin-ji-Liong Sun Gwe, “Sebenarnya di hati
kecilku, aku tidak ingin kau mati. Tapi aku harus
membunuhmu.”
Tiba-tiba Li Sun-Hoan tertawa keras, “Sebenarnya di hati
kecilmu, benarkah kau yakin kau sanggup
membunuhku?”
Ci-bin-ji-Liong Sun Gwe sudah mulai bergerak, namun
segera berhenti waktu mendengar ucapan ini. Ditatapnya
Li Sun-Hoan, lalu bibirnya mengembangkan senyum,
katanya, “Orang seperti engkau bisa hidup sampai hari
ini. Sepertinya kau adalah orang yang sukar mati. Namun
sekarang….”
Tiba-tiba terdengar suara dari luar.
Seseorang tertawa nyaring. “Sebenarnya di hati kecilmu,
apakah betul ia tampak keracunan?”
Ci-bin-ji-Liong Sun Gwe terperanjat. Ia tidak tahu kapan
orang berpakaian hijau ini muncul di pintu depan.
Wajahnya tampak pucat dan kaku. Mungkin ia memakai
topeng, mungkin juga tidak.
Ia menyembunyikan tangannya di balik punggung, dan
berjalan masuk sambil berkata, “Jika seseorang menaruh
racun dalam arak seorang peminum, bukankah orang itu
sangat tolol? Betul tidak?”
Kalimat terakhir ditujukannya pada Li Sun-Hoan. Li Sun-
Hoan melihat mata orang ini sangat memikat, jauh
berbeda dari wajahnya.

77
Bagaikan sepasang mutiara di muka seekor babi mati.
Li Sun-Hoan menatap sepasang mata itu, lalu tersenyum.
“Menipu saat berjudi dengan penjudi. Meracuni arak
seorang peminum. Memuji kecantikan wanita lain di
depan istrimu. Siapa pun yang melakukan ini akan hidup
dengan penyesalan.”
Laki-laki berpakaian hijau ini pun berkata dingin, “Waktu
orang-orang ini menyesali keputusan mereka, itu sudah
terlambat.”
Ci-bin-ji-Liong Sun Gwe memandang mereka berdua, lalu
segera memeriksa botol arak tadi.
Li Sun-Hoan tersenyum, “Jangan kuatir. Racunnya ada di
situ.”
“Jadi kau…..”
Kata Li Sun-Hoan, “Mungkin orang lain tak akan tahu
bahwa di dalam arak itu ada racunnya. Tapi seorang
peminum macam aku, dapat mencium perbedaan
aromanya.”
“Tapi aku lihat kau meminumnya!”
Jawab Li Sun-Hoan, “Aku memang meminumnya. Tapi
kumuntahkan lagi saat aku batuk-batuk.”
Tubuh Ci-bin-ji-Liong Sun Gwe menggigil, botol arak di
tangannya jatuh ke lantai.

78
Laki-laki berbaju hijau pun berkata, “Sepertinya ia sudah
menyesali perbuatannya, tapi sayang sudah terlambat.”
Ci-bin-ji-Liong Sun Gwe meraung dan segera menyerang
laki-laki itu. Tiga kali dengan kepalannya yang kuat.
Dalam waktu dua puluh tahun, ilmu silatnya tidak
menurun, bahkan bertambah baik. Kepalannya sungguh
bertenaga dan sangat cepat.
Bisa dibayangkan, pukulan ini dapat meremukkan kepala
orang.
Kelihatannya laki-laki berbaju hijau ini tak punya waktu
untuk mempertahankan diri, bahkan untuk menghindari
pukulan itu.
Siapa sangka, ia tidak menangkis dan tidak menghindar.
Ia hanya mengibaskan tangannya.
Ia memang bergerak sesudah Ci-bin-ji-Liong Sun Gwe,
tapi kepalan Ci-bin-ji-Liong Sun Gwe tidak berhasil
menyentuh bajunya, malah telapak tangannyalah yang
menghantam wajah Ci-bin-ji-Liong Sun Gwe.
Tampaknya tangan itu digerakkan dengan ringan, namun
Ci-bin-ji-Liong Sun Gwe langsung menjerit-jerit kesakitan,
sambil berguling-guling di lantai.
Waktu ia bangkit berdiri, wajahnya sudah tidak keruan.
Sebagian ungu bercampur merah, sebagian ungu
setengah transparan. Satu mata telah tersodok ke
samping.

79
Laki-laki itu berkata lagi, “Sebenarnya di hati kecilku, aku
tidak ingin kau mati. Aku tidak bermaksud
membunuhmu, tapi tanganku….”
Separuh wajah Ci-bin-ji-Liong Sun Gwe yang tidak
terkena pukulan terlihat sangat biasa. Namun setengah
lagi kelihatan seperti daging busuk. Sangat menjijikkan.
Mata yang masih dapat melihat penuh rasa kaget melihat
tangan orang yang hijau. “Tanganmu… tanganmu…”
Tangan laki-laki berbaju hijau itu terbungkus sepasang
sarung tangan besi berwarna hijau. Sangat jelek
kelihatannya.
Wajah Ci-bin-ji-Liong Sun Gwe menggambarkan putus
sudah harapannya. Dengan suaranya lirih ia berkata,
“Mengapa ini terjadi padaku? Mengapa aku harus
bertemu Jing-mo-jiu (Tangan Setan Hijau). Li… Li
Tamhoa. Kau adalah orang baik. Kumohon kau bunuh
aku sekarang.”
Li Sun-Hoan tetap duduk tak bergeming, memandangi
laki-laki itu dan tangan hijaunya. Lalu ditendangnya
tombak patah yang tergeletak di lantai ke arah Ci-bin-ji-
Liong Sun Gwe.
Ci-bin-ji-Liong Sun Gwe memungut tombak itu, katanya,
“Terima kasih. Terima kasih. Aku takkan melupakan belas
kasihanmu, bahkan dalam kematian.”

80
Lalu digunakannya sisa kekuatannya yang terakhir untuk
menusukkan tombak itu ke lehernya. Darah hitam
mengalir ke luar seiring dengan kematiannya.
Li Sun-Hoan menengadah ke atas. “Ada Jit-tok (7 racun)
utama dalam dunia persilatan. Yang paling mematikan
adalah Jing-mo-jiu (Tangan Setan Hijau). Sepertinya itu
bukan bualan.”
Laki-laki berbaju hijau ini pun memandangi tangannya
sambil berkata, “Semua orang juga bilang bahwa siapa
pun yang kena pukulan tangan ini lebih memilih mati
daripada merasakan sakitnya. Sepertinya mereka tidak
melebih-lebihkan.”
Mata Li Sun-Hoan bergerak memandang ke wajahnya.
“Namun kau bukan Si Setan Hijau, In Gok.”
Laki-laki itu menjawab, “Bagaimana kau tahu? Kenalkah
kau padanya?”
“Ya.”
Laki-laki ini hampir tertawa. “Aku tidak bermaksud
berpura-pura jadi dia. Aku hanyalah….”
Potong Li Sun-Hoan, “In Gok tidak punya murid.”
Laki-laki berbaju hijau pun menjawab, “Siapa bilang aku
muridnya? Ia bahkan tidak cukup berharga menjadi
muridKU.”
“O ya?”

81
“Kau pikir aku bercanda?”
Sahut Li Sun-Hoan, “Aku tidak tertarik pada asalusulmu.”
Mata laki-lakinya tiba-tiba membara, menatap Li Sun-
Hoan. “Lalu apa yang ingin kau ketahui? Kim-si-kah ?”
Li Sun-Hoan diam saja. Ia hanya memutar-mutar pisau
kecil di tangannya.
Pandangan laki-laki berbaju hijau itu juga terarah pada
pisau. Katanya, “Orang bilang sekali sambit pisaumu tak
pernah luput. Apakah mereka mengada-ada?”
Jawab Li Sun-Hoan, “Dulu banyak orang yang tidak
percaya.”
“Sekarang?”
Di wajah Li Sun-Hoan tersirat secercah kebanggaan, dan
katanya, “Sekarang mereka sudah mati.”
Laki-laki berbaju hijau itu berpikir sejenak lalu tertawa
terbahak-bahak.
Tawanya sangat aneh, seperti dipaksakan. Walaupun ia
tertawa keras, ekspresi wajahnya tidak berubah.
“Sesungguhnya, aku ingin sekali mecobanya.”
Kata Li Sun-Hoan, “Lebih baik jangan.”

82
Laki-laki itu berhenti tertawa. Katanya, “Rompi itu dipakai
orang mati ini kan?”
“Ya.”
Laki-laki itu bertanya lagi, “Kalau aku memindahkan
orang mati ini, maka….”
Li Sun-Hoan memotong cepat. “Maka kau pun akan jadi
orang mati!”
Laki-laki itu tertawa lagi. “Aku tidak takut padamu. Tapi
aku tidak terbiasa berjudi. Aku pun tidak suka
menyerempet bahaya.”
Jawab Li Sun-Hoan, “Kebiasaan yang sangat baik.”
Laki-laki itu pun berkata lagi, “Tapi aku punya cara untuk
membuatmu menyerahkan rompi itu padaku.”
“Oh?”
Kata laki-laki itu lagi, “Kau seharusnya tahu bahwa Jingmo-
jiu (Tangan Setan Hijau) ini dibuat dari logam langka,
dicampur dengan ratusan jenis racun. Diperlukan 7 tahun
untuk membuatnya. Bisa dikatakan ini adalah senjata
terampuh dalam dunia persilatan.”
Sahut Li Sun-Hoan, “Dalam daftar senjata Pek-hiau-sing,
Jing-mo-jiu (Tangan Setan Hijau) ada di urutan ke-9. Aku
yakin itu barang yang sangat berharga.”

83
Kata laki-laki berpakaian hijau itu lagi, “Jadi jika
kuserahkan sarung tangan ini padamu, kau berikan rompi
itu padaku?”
Li Sun-Hoan berpikir sedetik. Lalu jawabnya, “Pisauku
dibuat oleh pandai besi biasa dalam waktu 6 jam. Namun
menurut daftar senjata Pek-hiau-sing, pisauku
menempati urutan ke-3!”
Laki-laki itu mengeluh. “Maksudmu senjata tidaklah
penting. Yang penting adalah manusia pemegang
senjata. Begitu kan?”
Sahut Li Sun-Hoan, “Kau sangat tanggap.”
Kata laki-laki itu lagi, “Jadi kau tidak mau barter?”
Jawab Li Sun-Hoan, “Kalau aku mau, barang itu sudah
ada di tanganmu sekarang.”
Laki-laki berbaju hijau itu berpikir lagi, lalu mengeluarkan
sebuah kotak. Dibukanya kotak itu, dan dikeluarkannya
sebilah pedang pendek yang berkilauan.
Lalu ia berkata, “Pedang mustika pantas untuk pahlawan.
‘Hi-jong-kiam (Pedang Usus Ikan)’ ini tak ada
tandingannya di dunia. Ini cukup berharga untukmu,
bukan?”
Li Sun-Hoan mengernyitkan kening dan bertanya,
“Apakah kau ini murid Cianpwe Cong-liong (Naga
Rahasia) dari Cong-kiam-san-ceng (Istana Pedang
Rahasia)?

84
“Bukan.”
“Lalu dari mana pedang ini kau dapatkan?”
Laki-laki itu menjawab, “Tua bangka itu sudah mati.
Anaknya, Yu Liong-sing menghadiahkan pedang ini
padaku.”
Kata Li Sun-Hoan, “Pedang ini sungguh berharga. Congkiam-
san-ceng (Istana Pedang Rahasia) jadi terkenal
karena pedang ini. Waktu pedang ini dicuri beberapa
tahun silam, mereka mengerahkan segala daya upaya
untuk mendapatkannya kembali. Mana mungkin Yu
Liong-sing memberikan pedang ini dengan cuma-cuma?”
Kata laki-laki itu, “Bukan saja pedang itu. Kalau kuminta
kepalanya pun, dia akan mempersembahkannya padaku
di atas nampan perak. Kau tidak percaya?”
Li Sun-Hoan berpikir sejenak, lalu menjawab, “Nilai
pedang ini jauh di atas rompi itu. Kenapa kau ingin
barter?”
Jawab laki-laki itu, “Aku punya tabiat yang aneh.
Semakin sulit kudapatkan, semakin ingin aku
mendapatkannya.”
Balas Li Sun-Hoan, “Aku pun punya tabiat yang sama.”
Laki-laki itu bertanya penuh harap, “Jadi kau mau
barter?”
“Tidak.”

85
Laki-laki itu bertanya, “Mengapa kau begitu
menginginkan rompi itu?”
Jawab Li Sun-Hoan, “Bukan urusanmu.”
Lalu laki-laki berbaju hijau itu terkekeh, “Yang kudengar,
Li Tamhoa tidak peduli akan ketenaran dan harta benda.
Sepuluh tahun yang lalu dilepaskannya ketenarannya,
harta bendanya, dan mengasingkan diri. Aku tidak
menyangka orang semacam ini tertarik pada sepotong
rompi.”
Jawab Li Sun-Hoan, “Alasanku mungkin sama dengan
alasanmu.”
Laki-laki itu menatapnya, “Maksudmu kau menginginkan
wanita tercantik di dunia itu?”
Li Sun-Hoan tersenyum, “Mungkin.”
Laki-laki itu pun tersenyum, “Sudah lama kudengar, kau
tak bisa melewatkan wanita cantik dan arak lezat.”
Sahut Li Sun-Hoan, “Sayangnya kau bukan wanita
cantik.”
Laki-laki berbaju hijau itu tertawa. “Bagaimana kau
tahu?”
Tawanya tiba-tiba berubah. Berubah menjadi tawa yang
mengundang.

86
Selagi tertawa, dilepasnya sarung tangannya,
memperlihatkan tangannya.
Li Sun-Hoan belum pernah melihat tangan yang secantik
itu.
Ia telah mengenal banyak wanita cantik dalam hidupnya.
Bahkan sebelum memegang pisau dan cawan arak, telah
dipegangnya begitu banyak tangan wanita cantik.
Akan tetapi, setiap tangan memiliki kekurangannya
masing-masing. Bahkan wanita yang diimpikannya,
wanita yang lekat di hatinya, punya kekurangan pada
tangannya.
Namun tangan yang dipertunjukkan di hadapannya ini
sungguh sempurna.
Orang itu bertanya, “Menurutmu apakah tanganku lebih
indah daripada Jing-mo-jiu (Tangan Setan Hijau)?”
Suaranya menjadi sungguh memikat.
Li Sun-Hoan mengeluh, katanya, “Jika kau menggunakan
tangan ini untuk membunuh orang, mereka akan merasa
bahagia mati di tanganmu. Mengapa harus kau gunakan
Jing-mo-jiu (Tangan Setan Hijau)?”
Orang itu tersenyum lembut, “Apakah tawaranku jadi
lebih menarik sekarang?”
Jawab Li Sun-Hoan, “Masih belum cukup.”

87
Orang ini terkikik, katanya, “Laki-laki selalu saja rakus,
terutama mereka yang gagah. Semakin gagah, semakin
rakus jadinya.”
Tubuhnya meliuk sedikit dan tanggallah baju luarnya.
Li Sun-Hoan menuangkan arak yang tidak beracun, lalu
berkata, “Perlu arak untuk menemani pertunjukan yang
menarik.”
Orang ini bertanya lagi, “Belum cukupkah?”
Jawab Li Sun-Hoan, “Laki-laki memang rakus.”
Tubuhnya memang sangat menggiurkan, bahkan dapat
membuat laki-laki merasa tak pantas mendapatkannya.
Ia tersenyum manis dan membuka sepatunya.
Kakinya pun luar biasa indah, membuat jantung
berdebar-debar. Kalau dikatakan banyak laki-laki rela
mati diinjak kaki ini, rasanya tidak berlebihan.
Lalu ditunjukkannya kakinya yang panjang.
Li Sun-Hoan hampir berhenti bernafas.
Tanyanya lagi, “Sudah cukupkah?”
Sambil meneguk araknya ia menjawab, “Kalau aku bilang
cukup, aku adalah orang paling tolol.”
Lalu ditanggalkan seluruh pakaiannya.

88
Tak terkatakan kemolekan tubuhnya. Dan ia bersedia
memperlihatkan segalanya untuk Li Sun-Hoan.
Yang tertinggal hanya topengnya.
Ditatapnya Li Sun-Hoan sambil berkata, “Nah, sekarang
sudah cukup, bukan?”
Jawab Li Sun-Hoan lagi, “Belum. Sedikit lagi.”
Katanya, “Kau harus tahu waktunya merasa puas.”
Sahut Li Sun-Hoan, “Mereka yang cepat puas, biasanya
kehilangan banyak kesempatan.”
Ia bertanya, “Mengapa harus kau lihat wajahku?
Mengapa tak kau biarkan imajinasimu bekerja sedikit?
Mungkin itu akan membuat jadi lebih menarik.”
Li Sun-Hoan menjawab, “Karena aku tahu banyak wanita
yang bertubuh indah, berwajah buruk.”
“Kau pikir wajahku buruk?”
“Mungkin.”
Wanita itu menghela nafas, “Tampaknya kau memang
tak mau kalah. Tapi aku tetap berpendapat sebaiknya
kau tidak melihat wajahku.”
“Mengapa?”

89
Sahutnya, “Setelah kudapatkan Kim-si-kah itu, aku akan
segera pergi. Kita tidak akan pernah bertemu lagi. Telah
kuberikan padamu kepuasan yang terbesar dalam
hidupmu, jadi barter kita adil. Lebih baik kita tidak usah
bertemu lagi.”
“Sangat logis kedengarannya.”
“Namun jika kau melihat wajahku, kau takkan mungkin
melupakan aku. Dan mungkin aku tidak bisa bersikap
manis lagi padamu. Lalu kau hanya bisa memimpikan
aku. Hanya membuatmu putus asa.”
Li Sun-Hoan tersenyum, “Kau sangat percaya diri.”
Sahutnya, “Mengapa tidak?”
Jawab Li Sun-Hoan, “Mungkin aku tidak ingin barter.”
“Apa?”
Akhirnya wanita itu melepaskan topengnya.
Wajahnya sempurna. Ditambah dengan kemolekan
tubuhnya, siapakah laki-laki di dunia yang dapat
menampiknya.
Li Sun-Hoan menghela nafas, “Tak heran In Gok
memberikan Jing-mo-jiu (Tangan Setan Hijau)nya, dan
You Liong Shen menghadiahkan mustika keluarganya
padamu. Sekarang aku percaya.”
Dewi cantik ini hanya tersenyum.

90
Ia tidak perlu berkata-kata.
Karena matanya bisa bicara, senyumnya bisa bicara,
tangannya, dadanya, kakinya, semua bisa bicara.
Ia tahu ini sudah cukup. Kalau seorang laki-laki tidak
mengerti perasaannya, ia seorang yang luar biasa bodoh.
Sang dewi hanya menunggu.
Namun Li Sun-Hoan tetap duduk. Ia malah menuang
secawan lagi arak, dan berkata, “Terima kasih. Mataku
sudah begitu lama tidak dipuaskan begitu rupa.”
Ia menggigit bibirnya. “Tak kusangka laki-laki seperti
engkau masih perlu arak untuk menambah keberanian.”
Sahut Li Sun-Hoan, “Karena wanita cantik sulit merasa
puas.”
Lalu wanita itu tiba-tiba menghambur ke dalam dekapan
Li Sun-Hoan.
Cawan arak pecah pun berkeping-keping.
Satu tangannya mulai membelai punggung wanita itu.
Tangan yang satu masih memegang pisau, pisau yang
kecil dan tajam.
Kata wanita itu dengan lembut, “Ketika seorang laki-laki
ada dalam situasi seperti ini, tak sepantasnya ia
memegang pisau.”

91
Li Sun-Hoan pun berbisik dengan lembut, “Ketika
seorang laki-laki memegang pisau, tak seharusnya kau
berada dalam pelukannya.”
Wanita muda itu tertawa, “Maksudmu, kau tega
membunuhku?”
Li Sun-Hoan juga tertawa, “Seorang wanita muda tidak
seharusnya sombong, dan tidak seharusnya
menanggalkan pakaiannya untuk merayu laki-laki. Ia
seharusnya mengenakan pakaiannya baik-baik dan
menunggu laki-laki itu merayunya. Kalau tidak,
bagaimana laki-laki itu bisa merasa puas?”
Sekarang tangannya mengangkat pisau itu. Ujungnya
menyentuh leher wanita itu. Setetes darah keluar,
mengalir ke dadanya yang putih bersih, bagai bunga Bwe
di tengah padang salju.
Kini wanita itu sangat terkejut. Tubuhnya pun
mengejang.
Li Sun-Hoan tertawa, “Apakah kau masih percaya diri
sekarang? Masihkah kau sangka aku tak tega
membunuhmu?”
Ujung pisau itu masih menyentuh kulit lehernya.
Bibirnya gemetar, tak sanggup bicara.
Li Sun-Hoan menghela nafas lagi, dan berkata, “Kuharap
kini kau menyadari dua hal. Satu, laki-laki tidak suka jadi
pihak yang pasif. Dua, kau tidak secantik yang kau kira.”

92
Wanita muda itu menggigit bibirnya erat-erat. Katanya,
“Aku mengaku kalah. Kumohon simpanlah pisaumu
sekarang.”
Li Sun-Hoan berkata lagi, “Aku ada satu pertanyaan lagi.”
“Katakanlah.”
Kata Li Sun-Hoan, “Banyak laki-laki akan memberikan
apa pun yang kau minta. Oleh sebab itu kau pasti tidak
tertarik akan harta benda. Mengapa kau begitu
menginginkan rompi itu?”
Sahutnya, “Sudah kukatakan tadi. Semakin sulit didapat,
semakin aku menginginkannya.”
Li Sun-Hoan berpikir sejenak, lalu berkata lagi, “Jika aku
tidak mengangkat pisau ini dari lehermu, kau pikir kau
akan dapat menyingkir dari pisauku?”
Wanita muda itu segera pergi dari pelukannya, seperti
seekor kucing yang terluka.
Setelah beberapa saat, ia tersenyum lagi, “Sudah
kukatakan, kau tak akan tega membunuhku.”
“Benarkah? Kenapa?”
Pisau itu masih ada di tangannya, dan katanya lagi, “Jika
kau masih ada di sini waktu kalimat ini selesai, akan
kubunuh kau, sehingga kau percaya.”
Wanita itu seketika berhenti bicara.

93
Dikumpulkannya pakaiannya dan melesat keluar.
Ia menjerit keras-keras dengan rasa benci yang
mendalam, “Li Sun-Hoan, kau bukan laki-laki. Kau
bahkan bukan manusia! Kau sungguh tak berguna. Tak
heran tunanganmu direbut oleh sobat karibmu. Kini aku
tahu apa sebabnya!”
Salju menutupi seluruh permukaan tanah. Di bawah
cahaya bulan bersalju, pemandangan di luar sangat
indah. Namun dapur ini terasa bagaikan kuburan,
membuat orang segera ingin pergi.
Tapi Li Sun-Hoan duduk di sana termenung sendirian.
Matanya penuh kesesakan dan kesedihan. Kata-kata
wanita itu, bagaikan jarum yang menusuk relung hatinya
yang terdalam.
Tunanganku….. Sahabatku……
Bab 5. Pengejaran di Malam Bersalju
Li Sun-Hoan mengambil botol arak dan menghabiskan
seluruh arak di dalamnya. Lalu ia terbatuk-batuk dan
terus terbatuk-batuk, sampai wajahnya yang pucat
menjadi merah darah. Tangannya memegang dadanya
dan berkata pada dirinya sendiri, “Siau-hun, Si-im. Aku
tak pernah menyalahkan kalian berdua. Apa pun yang
dikatakan orang, aku tak akan menyalahkan kalian,

94
sebab kalian memang tidak berbuat salah. Semua
kesalahan, akulah yang melakukannya.”
Tiba-tiba pintu kayu itu terpentang lebar.
Seseorang merangkak masuk. Ia terlihat seperti bakso
raksasa, penuh lemak di sekujur tubuhnya. Rambut dan
kumisnya acak-acakan, seperti tidak pernah mandi
bertahun-tahun. Bau busuknya dapat tercium dari lebih
dari satu kilometer.
Ia merangkak, karena kedua belah kakinya buntung.
Li Sun-Hoan mengangkat alisnya dan berkata, “Jika kau
ingin mengemis makanan, kau datang pada saat yang
salah.”
Orang ini tidak menghiraukannya. Ia memang cacad, tapi
gerakannya sangat gesit. Dengan satu gulingan, ia telah
tiba di depan perapian.
Tanya Li Sun-Hoan, “Apakah kau juga datang untuk Kimsi-
kah ?”
Tangan orang ini mendorong badannya ke depan dan
sampailah dia pada mayat di dekatnya. Tentu saja rompi
itu ada pada mayat itu.
Kata Li Sun-Hoan dingin, “Pisau di tanganku ini sanggup
membunuh orang. Jika kau tidak berhenti, aku kuatir
jumlah mayat di ruangan ini akan bertambah satu.”

95
Orang itu tetap tidak menghiraukan, dan terus melucuti
Kim-si-kah dari mayat itu. Rompi itu hanya serupa rompi
biasa yang berwarna keemasan, tanpa aura misterius
sama sekali.
Orang itu memegang rompi itu erat-erat, dan tertawa
keras-keras, “Waktu kepiting dan kerang bertempur,
nelayanlah yang menikmati hasilnya. Aku masih tak
dapat percaya, mustika ini akhirnya ada dalam
genggamanku.”
Sahut Li Sun-Hoan dingin, “Pisauku masih di sini. Kurasa
kata-katamu keluar terlalu dini.”
Orang ini membal dengan tangannya, seperti katak, ke
arah Li Sun-Hoan, dan tersenyum sambil
memandangnya. Gigi-giginya kuning semua.
Ia terkekeh sambil berkata, “Kalau kau punya pisau,
mengapa kau tak membunuhku? Li si pisau terbang tak
pernah luput. Kau hanya perlu menggunakan pisaumu,
dan tidak mungkin aku, seorang cacad, dapat
menghindarinya.”
Li Sun-Hoan jadi tersenyum, katanya, “Kau adalah
seorang yang menarik, aku jadi tak tega membunuhmu.”
Orang aneh ini tertawa beberapa saat, dan berkata, “Jika
kau tidak mau mengakuinya, biarlah aku yang
mengatakannya.”
Lanjutnya sambil terus tertawa, “Semua orang mungkin
mengira kau tidak keracunan, tapi aku tahu bahwa kau

96
memang keracunan. Namun kau memang sangat tenang,
jadi kau bisa mengelabui orang-orang itu.”
Ekspresi Li Sun-Hoan tidak berubah. “Begitukah
sangkamu?”
Orang aneh ini berkata, “Kau takkan mungkin bisa
mengelabui aku, karena aku tahu pasti, racun dalam arak
itu tidak berasa dan tidak berwarna. Bahkan jika
hidungmu bisa mencium lebih baik daripada anjing, kau
tidak akan mungkin bisa menciumnya.”
Li Sun-Hoan menatap orang ini lekat-lekat, lalu
tersenyum kecil, “Benar-benar yakinkah kau akan hal
ini?”
Orang aneh ini terkekeh lagi. “Yakin sekali, karena akulah
yang meracuni arak itu. Aku tahu pasti apakah kau
keracunan atau tidak. Kau bisa mengelabui semua orang,
kecuali aku.”
Ekspresi Li Sun-Hoan tetap tidak berubah, namun otototot
di sekitar matanya mulai bergerak-gerak. Setelah
diam beberapa saat, ia menghela nafas dan berkata,
“Belum lagi habis satu hari, namun enam, tujuh peristiwa
besar telah terjadi. Kurasa peruntunganku cukup baik.”
Kata orang aneh ini, “Kau tidak ingin tahu, tangan
siapakah yang membunuhmu?”
Sahut Li Sun-Hoan, “Aku baru saja hendak bertanya.”

97
Orang aneh ini menjawab, “Kau berpengetahuan luas,
jadi kau pasti tahu bahwa ada 7 orang licik dalam dunia
persilatan.”
Dengan terkejut Li Sun-Hoan menjawab, “Jit-biau-jin
(tujuh manusia ajaib).”
Orang aneh ini berkata lagi, “Tepat. Ketujuh orang ini
sangatlah licik tak terbayangkan. Ilmu silat mereka
memang tidak hebat, tapi kalau soal racun, mencuri,
menipu, dan bedusta, kelihaian mereka tak ada
bandingannya.”
Mata Li Sun-Hoan bersinar, “Apakah kau salah satu dari
Jit-biau-jin (tujuh manusia ajaib)?”
Orang aneh ini menjawab, “Yang paling licik dari Jit-biaujin
(tujuh manusia ajaib) adalah….”
Jawab Li Sun-Hoan, “Biau-Liong-kun Hoa Hong (Tuan
Saktu Lebah madu).”
Kata orang aneh ini, “Hampir betul. Nama lengkapnya
adalah ‘Hek-sim-biau-Liong-kun (si perjaka ajaib berhati
hitam)’. Kemampuan orang ini sangat terbatas. Ia sangat
pengecut, bahkan takut untuk mencuri dan merayu
wanita. Namun dalam hal racun, Ngo-tok-tongcu (Si
Anak 5 Racun) yang terkenal itupun kadang-kadang
harus memanggilnya Kakek.”
Kata Li Sun-Hoan, “Kelihatannya kau tahu banyak
tentang orang ini.”

98
Jawab orang aneh itu, “Tentu saja. Karena akulah dia,
dan dialah aku.”
Li Sun-Hoan menghela nafas dan terdiam.
Hoa Hong tertawa, “Apakah kau terkejut bahwa Biau-
Liong-kun (si perjaka ajaib) telah berubah menjadi
segumpal bakso?”
Sahut Li Sun-Hoan, “Jika kau dapat merayu wanita,
wanita itu pastilah buta.”
Hoa Hong menjawab, “Lagi-lagi salah. Mata mereka
tidaklah buta, bahkan sangat cantik. Namun jika
seseorang telah disekap, dipatahkan kakinya dan
dicekoki makanan berlemak setiap hari selama bertahuntahun,
ia akan berubah menjadi bakso.”
Kata Li Sun-Hoan, “Kutebak ini adalah perbuatan
pasangan Ci-bin-ji-Liong Sun Gwe.”
Hoa Hong berpikir sejenak, lalu tersenyum. “Ci-bin-ji-
Liong Sun Gwe telah bercerita padamu sebelumnya. Aku
akan menceritakan padamu kisah yang lain. Kisahku jauh
lebih menarik.”
“O ya?”
Hoa Hong melanjutkan, “Tahun itu peruntunganku
kurang baik. Pada saat itu, aku tergila-gila wanita dan
kurayu istri si Jenggot Besar, Jiang-wi Hujin. Kami
bahkan sampai punya anak. Jadi ia harus lari
bersamaku.”

99
Li Sun-Hoan terperangah. “Jadi orang yang
diceritakannya itu adalah kau? Ialah yang harus
membayar akibat kesalahanmu?”
Kata Hoa Hong, “Ia bohong sedikit. Aku tidak mencuri
harta bendanya. Walaupun aku mau, aku tidak mungkin
bisa. Ia jauh lebih licik daripada aku. Akan tetapi,
memang benar, kami dikejar oleh orang-orang suruhan
Si Jenggot Besar. Aku memang seorang pengecut, jadi
kubujuk dia untuk menemukan seseorang sebagai
penggantiku untuk sementara waktu. Mulanya ia raguragu,
katanya wajah Ci-bin-ji-Liong Sun Gwe kurang
gagah. Namun akhirnya ia setuju.”
Kata Li Sun-Hoan, “Jadi kalian berdualah yang
merencanakan semua ini.”
Lanjut Hoa Hong, “Jika saat itu aku benar-benar
meninggalkannya, semua akan jadi baik-baik saja.
Namun aku ingin juga harta bendanya, jadi kukatakan
setelah semuanya kembali tenang, kami akan
membunuhnya dan kembali bersama. Siapa sangka, ia
jatuh cinta pada Ci-bin-ji-Liong Sun Gwe. Mereka bahkan
mematahkan kakiku dan memenjarakan aku seperti ini
selama hampir dua puluh tahun.”
Li Sun-Hoan bertanya, “Mengapa ia tidak
membunuhmu?”
Sahut Hoa Hong, “Jika aku mengerti jalan pikiran wanita,
aku takkan mungkin jadi seperti ini. Aku pikir aku tahu
hati wanita. Itulah sebabnya aku jadi seperti ini. Jikalau

100
seorang laki-laki berpikir ia mengerti tentang wanita,
maka ia harus menerima konsekuensinya.”
Kata Li Sun-Hoan, “Benar-benar suatu kisah yang luar
biasa.”
“Namun kau belum mendengar bagian yang paling
menarik.”
“Apa?”
Kata Hoa Hong, “Setelah kau kena racun, kau takkan
bisa menggunakan pisaumu, dan kau pun tak akan bisa
hidup lebih dari 6 jam. Maka dari itu, aku takkan
membunuhmu sekarang, karena aku ingin kau
mengetahui rasanya menunggu datangnya kematianmu.”
Li Sun-Hoan menyahut tenang, “Sebetulnya tidak perlu
juga. Sudah beberapa kali aku menunggu datangnya
kematianku.”
Hoa Hong tertawa, “Aku berjanji, inilah yang terakhir
kali.”
Li Sun-Hoan pun tertawa kecil. “Jika demikian, tak ada
lagi yang perlu diperbincangkan. Hanya saja, di luar
sedang turun salju, dan angin pun kencang, bagaimana
kau akan pergi?”
Sahut Hoa Hong, “Jangan kuatir. Kakiku memang
buntung, tapi aku masih bisa naik kuda.”

101
“Kalau begitu, hati-hatilah di jalan. Maaf, aku tidak bisa
mengantar.”
Suara derap langkah kuda pun segera lenyap ditelan
hujan salju.
Li Sun-Hoan duduk diam dan mencium arak itu.
“Sungguh-sungguh tak berbau dan tak berasa. Ilmu
racun yang hebat sekali.”
Diminumnya secawan lagi, lalu dipejamkan matanya.
“Namun arak ini sungguh lezat. Aku mati karena minum
secawan. Aku pun akan mati kalau minum sebotol
penuh. Mengapa tidak kuhabiskan saja?”
Diminumnya arak beracun itu sampai habis.
Lalu ia mulai berbicara pada dirinya sendiri, “Oh, Li Sun-
Hoan. Kau seharusnya sudah mati bertahun-tahun yang
lalu. Apa salahnya mati? Tapi kau tak seharusnya mati di
dapur bersama dengan mayat-mayat ini.”
Maka ia bangkit, dan terhuyung-huyung menuju ke pintu.
Tampak jejak-jejak kaki di salju, menuju ke arah
tenggara.
Li Sun-Hoan mencari tempat yang agak bersih dan duduk
di situ. Dikeluarkan dari sakunya, ukirannya yang belum
selesai.
Figur kayu ukiran itu menatap Li Sun-Hoan.

102
Tiba-tiba Li Sun-Hoan tertawa keras, katanya, “Mengapa
kau masih menatapku? Aku hanya seorang pemalas dan
pemabuk. Kau mengambil keputusan yang tepat menikah
dengan Siau-hun. Akulah yang salah.”
Dicobanya menyelesaikan ukirannya dengan pisau.
Namun ia telah kehabisan tenaga.
Li Sun-Hoan mulai terbatuk-batuk lagi. Tiap kali batuk
seakan-akan ia sedang berteriak, “Si-im, Si-im.”
Dapatkah Si-im mendengarnya?
Tak mungkin Si-im dapat mendengarnya. Namun, ada
yang mendengar.
Sang kusir segera membopong Li Sun-Hoan, dan berlari
kalap melalui hutan.
“Jika kita dapat menemukan orang buntung kaki yang
kelihatan seperti bakso dalam waktu dua jam, mungkin
aku bisa selamat. Orang yang menaruh racun, pasti
punya penawarnya.”
Inilah kalimat terakhir yang sanggup diucapkan Li Sun-
Hoan.
Sang kusir mengerahkan seluruh kekuatannya, air
matanya membeku, menyambut angin dingin yang
menyayat kulit.
Tiba-tiba terdengar suara dari jauh.

103
Sang kusir ragu-ragu sebentar, lalu berlari ke arah suara
itu. Mula-mula ditemukannya kuda di tengah jalan. Ia
tidak bertemu dengan Hoa Hong. Ia hanya menemukan
mayatnya.
Tampak ratusan senjata rahasia tertancap di sekujur
tubuhnya. Sang kusir tidak bisa tidak merasa iba. Namun
ia teringat masalah yang lebih penting.
Tanyanya cepat, “Inikah orangnya?” Ia sungguh
berharap mayat ini bukanlah orang yang mereka cari.
Jawab Li Sun-Hoan, “Betul.”
Sang Kusir menggigit bibirnya. Ia menanggalkannya
mantelnya, menghamparkannya di sebatang pohon dan
menurunkan Li Sun-Hoan dari punggungnya. “Mungkin
obat penawarnya masih ada. Akan kucari.”
Kata Li Sun-Hoan, “Hati-hati. Jangan sampai tergores
senjata rahasia.”
Bahkan saat hidupnya sendiri ada di ujung tanduk, ia
tetap memikirkan keselamatan orang lain.
Sang Kusir merasa hawa panas naik dari perutnya.
Sekuat tenaga, ditahannya air matanya, sambil mencari
obat penawar pada mayat itu.
Setelah sekian lama, ia berdiri.
Kata Li Sun-Hoan, “Obat penawarnya tidak ada.”

104
Sang Kusir tak mampu berkata-kata, lidahnya kelu.
Li Sun-Hoan tersenyum, katanya, “Aku seharusnya sudah
tahu. Setelah dipenjara bertahun-tahun, tak mungkin ia
punya obat penawarnya.”
Sang Kusir mengepalkan tangannya kuat-kuat.
Dipukulnya kepalanya sendiri dan berkata, “Kalau saja
aku bisa tahu siapa yang membunuhnya…. Mungkin
orang itu mengambil obat penawarnya.”
Li Sun-Hoan memejamkan matanya, wajahnya sungguh
kelam. “Mungkin…. Mungkin juga tidak.”
Kata Sang Kusir, “Sayangnya senjata rahasia jenis ini
sangat umum. Banyak orang menggunakannya.”
“Ya.”
Lanjut Sang Kusir lagi, “Tapi ada begitu banyak senjata
rahasia yang tertancap di badannya. Kemungkinan
pembunuhnya lebih dari satu orang.”
“Ya.”
Nafasnya jadi lambat, seperti akan terlelap. Ia begitu
kuatir akan keselamatan orang lain, namun tidak
dipedulikannya hidupnya sendiri.
Sang Kusir meninju-ninju tangannya sendiri, dan tiba-tiba
melompat girang, “Aku tahu! Aku tahu siapa
pembunuhnya!”

105
“Ha?”
Sang Kusir segera berlari ke samping Li Sun-Hoan.
“Pembunuhnya hanya satu orang. Tapi orang itu
sanggup menyambitkan 13 senjata rahasia secara
bersamaan.”
“Ha?”
Lanjut Sang Kusir, “Ada 13 macam senjata rahasia yang
menancap di tubuhnya. Sebenarnya satu saja pun telah
sanggup membunuhnya. Hanya ada satu orang di dunia
sang sekejam dan segila ini.”
Li Sun-Hoan mengeluh. “Kau memang benar. Hanya ada
satu. Jian-jiu-lo-sat (si hantu perempuan bertangan
seribu). Akhirnya Hoa Hong mati di tangan seorang
wanita.”
Lanjut Sang Kusir, “Selain dia, tidak ada orang lain yang
dapat menyambitkan 13 macam senjata rahasia secara
bersamaan.”
Tiba-tiba ia berhenti, dan berkata. “Seharusnya kau
sudah bisa menebaknya.”
Bibir Li Sun-Hoan menyunggingkan senyum getir,
katanya, “Apa bedanya aku tahu atau tidak? Jian-jiu-losat
(si hantu perempuan bertangan seribu) datang dan
pergi secara misterius. Ia pasti sudah pergi jauh. Tak ada
gunanya mengejar.”
Kata Sang Kusir, “Kita harus dapat menemukan dia.”

106
Li Sun-Hoan menggelengkan kepala, katanya, “Tak
usahlah. Kalau kau bisa memberiku arak, aku bisa mati
dalam keadaan mabuk, aku akan berterima kasih
padamu untuk selama-lamanya. Aku sangat, sangat
lelah. Aku hanya ingin beristirahat dengan tenang.”
Sang Kusir berlutut, dan tak bisa lagi membendung air
matanya. “Siauya, aku tahu betapa lelahnya engkau.
Dalam beberapa tahun terakhir ini, kau tidak merasa
bahagia. Kesedihan dan penderitaan, sungguh membuat
seseorang merasa letih.”
Tiba-tiba dirangkumnya wajah Li Sun-Hoan, dan katanya
keras-keras, “Namun Siauya, kau tidak boleh mati. Kau
harus mengumpulkan tenagamu. Jika kau mati sekarang,
semua orang akan berpikir bahwa kau hanyalah seorang
pemalas dan pemabuk. Loya (tuan besar) tidak akan
dapat beristirahat dengan tenang di alam baka.”
Li Sun-Hoan memejamkan matanya rapat-rapat, air
matanya membeku.
Namun ia tetap tersenyum, sahutnya, “Pemalas,
pemabuk, tidak jelek juga kan. Paling tidak lebih baik
daripada tuan-tuan palsu itu.”
Wajah Sang Kusir masih bersimbah air mata, katanya,
“Tapi… tapi, Siauya, kau sepantasnya mendapatkan
reputasi tertinggi di dumia. Kebaikan hatimu tak terkira.
Mengapa kau siksa dirimu sendiri? Apakah wanita itu,
Lim Si-im, sebegitu berharga?”

107
Seketika, kilat menyambar dari mata Li Sun-Hoan,
dengan berang ia menyembur, “Diam. Berani-beraninya
kau sebut namanya!”
Sang Kusir menundukkan kepalanya, katanya, “Maaf,
Tuan.”
Li Sun-Hoan menatapnya beberapa saat, lalu kembali
memejamkan matanya. “Baiklah. Kalau kau ingin pergi
mencarinya, mari kita pergi. Dunia ini sungguh luas dan
waktu kita terbatas. Ke mana kita pergi?”
Sang kusir segera bangkit. “Langit akan membantu
mereka yang pedih hatinya. Kita pasti akan
menemukannya.”
Baru saja ia akan membopong Li Sun-Hoan di
punggungnya, setetes salju jatuh dari atas pohon ke
dahinya. Waktu ia menyekanya, tangannya bernoda
darah.
Ada seseorang di atas pohon. Seseorang yang sudah
mati. Seorang wanita yang sudah mati.
Ia tergantung di batang pohon itu, tubuhnya telah
membeku. Pedang pendek menembus dadanya,
memakukan tubuhnya pada batang pohon.
Kedua orang ini sibuk dengan mayat yang tergeletak di
tanah, mereka tidak melihat mayat di atas pohon. Sang
Kusir, bagaikan seekor elang, melompat membawa turun
mayat wanita itu.

108
Wajahnya tertutup es, sehingga sulit ditebak usianya.
Namun bisa dipastikan, ia adalah seorang wanita yang
cantik sebelum kematiannya.
Tiba-tiba Li Sun-Hoan tertawa. “Kurasa memang Langit
yang membantu kita menemukannya.”
Sang Kusir kembali mengepalkan tangannya, sergahnya,
“Kudengar Jian-jiu-lo-sat (si hantu perempuan bertangan
seribu) memang sangat kejam. Tapi mengapa setelah
dibunuh, pakaiannya pun dilucuti?”
Jawab Li Sun-Hoan, “Mungkin pakaiannya indah sekali.”
Mata Sang Kusir berbinar. “Kau benar sekali. Kabarnya,
ia memang seorang pesolek. Pakaiannya terbuat dari
emas, dan penuh taburan batu permata.”
Li Sun-Hoan tertawa getir. “Jikalau tanduk rusa tidak
mahal harganya, dan jika rusa tidak bertanduk, mereka
tidak akan dibunuh oleh pemburu.”
“Si pembunuh datang untuk mengambil Kim-si-kah , tapi
ia tetap tidak bisa melewatkan pakaian yang nilainya
tidak seberapa dibandingkan dengan rompi itu. Cuma
ada satu orang yang rakus seperti ini.”
Kata Li Sun-Hoan, “Kau benar. Aku pikir juga cuma ada
satu orang.”
Sahut Sang Kusir cepat, “Ia yang mencuri bahkan dari
peti mati, ‘Si Yau-sian (Matipun Minta Duit)’.”

109
Li Sun-Hoan berkata, “Coba cabut pedang itu.”
Pedang itu halus buatannya, bahkan dihiasi batu
kumala.”
Li Sun-Hoan menambahkan, “Si Yau-sian (Matipun Minta
Duit) menghargai uang bagaikan nyawa. Mana mungkin
ia meninggalkan senjata macam ini?”
Sang Kusir berpikir sejenak, lalu berkata, “Tidak banyak
senjata yang berharga seperti ini di dunia. Mungkinkan
ini perbuatan Pao Siau-an?”
Jawab Li Sun-Hoan, “Ya. Kurasa mereka bekerja sama.”
Kata Sang Kusir, “Yang satu menghargai uang bagai
nyawa, yang satu lagi menganggap uang tak ada artinya.
Dua orang ini memiliki pandangan yang sangat
bertentangan. Bagaimana mereka bisa bekerja sama?”
Li Sun-Hoan tertawa. “Tuan Pao terkenal royal akan
segala sesuatu, pakaian, makanan, dalam
kehidupan,dalam bepergian. Bagi Si Yau-sian (Matipun
Minta Duit), mengikutinya berarti mendapatkan fasilitas
yang tak terbatas. Mengapa tidak?”
Wajah Sang Kusir menjadi cerah, dengan bangga ia
berkata, “Ini sangat baik. Dalam cuaca buruk seperti ini,
Pao Siau-an tidak dapat naik kuda, dan tidak mungkin ia
mau berjalan kaki. Ia pasti naik kereta. Kalau ia naik
kereta, kita pasti dapat mengejarnya.”

110
Memang benar, terlihat jejak roda kereta di atas salju di
jalan. Mereka pasti naik kereta.
Kereta macam ini sangat nyaman, tapi tak bisa lari
kencang.
Sang Kusir lari dengan segenap kekuatannya. Bahkan
dengan seseorang di punggungnya, ia dapat bergerak
dengan cepat dan gesit. Tak bisa dipercaya, seseorang
dengan ilmu meringankan tubuh sebaik itu, hanya
menjadi seorang kusir. Dan lagi, orang dengan ilmu
meringankan tubuh setaraf ini seharusnya cukup terkenal
dalam dunia persilatan.
Setelah beberapa saat, jejak roda kereta tidak tampak
lagi. Tak adanya jejak di salju menandakan bahwa tidak
ada yang lewat di sini paling tidak empat sampai enam
jam terakhir.
Lalu dilihatnya ada jalan kecil di samping. Ia tidak terlalu
memperhatikan jalan kecil ini sebelumnya. Jalan ini
menuju ke kuburan seseorang yang kaya raya.
Ditelusurinya jalan kecil itu. Betul saja, jalan itu buntu.
Tapi tampak ada kereta kuda di depan kuburan. Kudanya
tidak ada lagi. Tiga orang, dengan mantel bulu domba
tergeletak di tanah. Di dalam kereta tampak seseorang
dengan pakaian rapi dan wajah yang gagah. Usianya 40-
an, cambangnya tercukur rapi.
Di jarinya terlihat cincin yang luar biasa indah. Pastilah ini
Pao Siau-an.

111
Ada dua wanita di samping kanan kirinya. Keduanya mati
dengan cara yang sama. Hiat-to (jalan darah) mereka
yang utama tertotok seluruhnya.
Perbuatan siapakah ini?
Sang Kusir bertanya, “Mungkinkah ini perbuatan Si Yausian
(Matipun Minta Duit)?”
Sebelum kalimatnya selesai, satu lagi mayat terlihat.
Kepalanya botak, wajahnya menelungkup ke tanah.
Hanya kedua tangannya memegang…. sepertinya ia
berusaha mempertahankan sesuatu sebelum
kematiannya, namun tidak berhasil.”
Ini adalah Si Yau-sian (Matipun Minta Duit). Ia tidak akan
bisa lagi mencuri dari peti mati.
Kata Li Sun-Hoan, “Tidak jadi soal jika seseorang suka
berjudi atau pergi ke rumah bordil. Tapi jangan sampai
seseorang berkawan dengan orang yang salah. Mereka
akan berakhir seperti Pao Siau-an, bahkan tidak tahu
siapa pembunuhnya.”
“Tapi…”
Lanjut Li Sun-Hoan, “Selain Pao Siau-an, semua orang
terkesima. Mereka tak bisa percaya Si Yau-sian (Matipun
Minta Duit) tega berbuat demikian. Terutama kedua
wanita itu, yang bahkan mungkin telah menjaLim
hubungan dengan Si Yau-sian (Matipun Minta Duit)
sebelum mereka mati. Jadi mereka sungguh-sungguh
tidak percaya.”

112
Sang Kusir tiba-tiba berkata, “Kudengar ilmu totok Si
Yau-sian (Matipun Minta Duit) adalah yang terhebat di
Provinsi Soasay (Shan Xi). Ia terkenal dengan julukan ‘Si
Jari Satu Pengejar Nyawa’. Kelihatannya ini adalah hasil
kerjanya, namun….”
Sambung Li Sun-Hoan, “Kemungkinan besar Si Yau-sian
(Matipun Minta Duit) telah bersama-sama dengan Pao
Siau-an untuk sekian lama. Kali ini Pao Siau-an
menginginkan Kim-si-kah , dan Si Yau-sian (Matipun
Minta Duit) ingin terus menjadi benalu Pao Siau-an,
sehingga ia pun ikut serta. Siapa sangka, rompi itu begitu
menawan. Si Yau-sian (Matipun Minta Duit) tidak lagi
mempedulikan persahabatan dan membunuh mereka
semua.”
“Tapi jangan lupa, dia juga mati.”
Li Sun-Hoan tertawa. “Mungkin waktu dia beraksi,
seorang iseng mengintip di sekitar kuburan. Si Yau-sian
(Matipun Minta Duit) memergokinya dan berusaha
membunuhnya juga untuk membungkamnya. Tapi
sebaliknya, ia tidak dapat membungkan mulut orang itu,
malah dia yang terbunuh.”
“Tapi ilmu silat Si Yau-sian (Matipun Minta Duit) tidak
rendah. Siapa yang sanggup membunuhnya.”
Ia mendekat ke arah kuburan. Terlihatlah bahwa tidak
ada sedikitpun luka di tubuhnya. Hanya ada satu lubang
tambahan di tenggorokannya.”

113
Li Sun-Hoan masih ada dalam gendongan Sang Kusir.
Kedua orang ini menatap sejenak, dan keduanya
menghela nafas. Namun di sudut bibir keduanya,
terbayang sebentuk senyuman. Hampir bersamaan
mereka berkata, “Ternyata dia.”
Sang Kusir tertawa, “Pedang Fei-siauya (tuan Fei) lebih
cepat dari kilat. Tak heran Si Yau-sian (Matipun Minta
Duit) tak sempat melawan.”
Li Sun-Hoan menutup matanya sambil tersenyum.
“Bagus. Bagus sekali. Rompi itu telah menemukan
pemilik yang pantas. Kini Bwe-hoa-cat pasti akan
tertangkap.”
Sang Kusir kemudian berkata, “Mari kita cari Fei-siauya
(tuan Fei). Ia pasti belum pergi lama.”
Li Sun-Hoan bertanya, “Buat apa?”
“Untuk mendapatkan obat penawarnya.”
Sahut Li Sun-Hoan, “Jika Hoa Hong punya obat
penawarnya, dan obat itu telah diambil, maka obat itu
pasti ada pada Si Yau-sian (Matipun Minta Duit). A Fei
tidak akan pernah mengambil barang orang lain. Ia
mengambil Kim-si-kah itu hanya karena menurut
pendapatnya, rompi itu adalah milikku.”
Sang Kusir memandangi perhiasan pada tubuh Pao Siauan
dan kedua wanita itu, lalu mengeluh. “Kau benar.
Bahkan jika emas tersebar di seluruh permukaan tanah,
Fei-siauya (tuan Fei) tidak akan mengambil satu pun.”

114
“Jadi jika obat penawar itu tidak ada pada Si Yau-sian
(Matipun Minta Duit), percuma juga mencari A Fei.”
Sang Kusir mengangkat mayat itu. Ini adalah
kesempatan yang terakhir.
Lalu dilihatnya tulisan di dinding kuburan.
“Aku telah membalaskan dendammu, aku mengambil
kudamu.”
Li Sun-Hoan terbahak-bahak. “Tadinya aku hanya
menebak, sekarang aku yakin ini benar-benar
perbuatannya. Hanya A Fei yang tidak membiarkan
orang, sekalipun sudah mati, berhutang padanya.”
Dilanjutkannya dengan senyum lebar, “Anak ini sungguh
baik. Sayangnya aku….”
Ia tidak menyelesaikan kalimatnya, namun Sang Kusir
tahu apa yang hendak dikatakannya. Obat penawar itu
memang tidak ada.
Sungguh sayang, ia tidak bisa lagi bertemu dengan anak
yang baik ini.
Sang Kusir pun kehabisan tenaga. Ia hampir pingsan.
Namun Li Sun-Hoan tetap tersenyum. “Jangan kuatir
akan diriku. Kematian tidaklah seburuk yang kau
bayangkan. Sekarang aku sangat lemah, tapi aku jadi
merasa tenang. Aku hanya ingin minum arak.”

115
Bab 6. Penyelamat di Kampung Halaman Si
Pemabuk
Sang Kusir tiba-tiba melompat, menanggalkan
kemejanya, dan menyambut salju dan angin dingin
dengan dada telanjang.
Bagai seekor kuda, ditariknya kereta itu.
Li Sun-Hoan tidak mencegahnya, karena ia tahu bahwa
Sang Kusir memerlukan tempat untuk melampiaskan
keputusasaannya. Namun sewaktu pintu kereta tertutup,
Li Sun-Hoan tidak dapat menahan setetes air matanya
jatuh ke pipinya.
Setelah berjalan satu jam, sampailah mereka ke Gu-kehceng.
Kampung ini adalah desa yang sangat kecil. Hari belum
lagi gelap, dan hujan salju telah reda. Orang-orang
sedang membersihkan salju dari halaman rumah mereka.
Waktu mereka melihat sang kusir menarik kereta masuk
ke dalam kampung, mereka sangat terkejut. Beberapa
orang sangat ketakutan dan berlari masuk ke dalam
rumah.
Sudah pasti, ada warung arak di kampung itu.
Orang-orang kampung ini belum pernah melihat orang
sekuat ini. Jadi ketika Sang Kusir berjalan ke arah

116
warung arak, sebagian besar pengunjungnya menjadi
ketakutan dan segera berlalu.
Sang kusir menjejerkan tiga buah kursi, lalu
mengalasinya dengan serbet yang bersih. Didukungnya Li
Sun-Hoan masuk ke dalam warung, sehingga ia bisa
duduk dengan nyaman.
Li Sun-Hoan tampak pucat lesi. Seakan-akan tidak ada
darah yang mengalir ke wajahnya. Semua orang tahu, ia
sakit parah. Warung ini sudah buka selama dua puluh
tahun, dan belum pernah kedatangan orang hampir mati
yang masih ingin minum. Semua orang di situ
memandanginya.
Sang Kusir menggebrak meja, dan berteriak, “Ambilkan
arak. Yang terbaik! Jika kau encerkan sedikit saja,
kupenggal kepalamu.”
Li Sun-Hoan memandangnya dan tersenyum. “Kau tahu,
selama dua puluh tahun terakhir, baru hari ini kau
tunjukkan karakter sesungguhnya dari ‘Thi-kah-kim-kiong
(si Dada Besi Baja Emas)’.”
Tubuh Sang Kusir bergidik. Ia terkejut mendengar
julukannya disebut. Namun ia masih bisa tertawa keras.
“Aku tak menyangka Siauya masih ingat nama itu. Aku
malah sudah lupa.”
Kata Li Sun-Hoan, “Kau…. Kau harus melanggar
sumpahmu hari ini dan minum bersamaku.”

117
Sahut Sang Kusir, “Baik! Hari ini, berapa banyak Siauya
minum, aku akan mengikutimu.”
Li Sun-Hoan pun ikut tertawa keras. “Kalau aku bisa
membuatmu minum arak lagi, hidupku tidak sia-sia.”
Yang lain, melihat mereka tertawa bahagia, jadi
tercenung. Tak seorang pun bisa mengerti bagaimana
seseorang yang hampir mati bisa begini bahagia.
Araknya memang bukan yang terlezat, tapi paling tidak
arak itu murni.
Kata Sang Kusir, “Siauya, maafkan kelancanganku. Aku
ingin bersulang untukmu.”
Li Sun-Hoan ingin menyambutnya, namun ia tak kuasa
memegangi cawannya, dan arak pun berceceran. Ia
batuk-batuk sambil berusaha menyeka bajunya yang
basah kena arak, dan sambil tertawa berkata, “Aku tak
pernah menyia-nyiakan arak sebelumnya, tapi hari ini….”
Ia tertawa lagi. “Baju ini telah kumiliki bertahun-tahun,
memang pantas aku menghadiahinya secawan arak.
Mari, Saudara Baju, aku berterima kasih padamu engkau
telah menghangatkan aku bertahun-tahun ini. Aku
bersulang untukmu.”
Lalu dituangnya sisa arak dalam cawan ke bajunya.
Pemilik warung dan para pegawainya memandang dia,
dan berbisik-bisik di antara mereka, “Orang ini bukan
hanya sakit, dia sudah gila.”

118
Kedua orang itu minum dan terus minum. Li Sun-Hoan
harus menggunakan kedua belah tangannya untuk
memegang cawan araknya.
Sang Kusir menggebrak meja lagi. “Hidup ini tidak adil.
Kalau saja aku bisa tidak bangun lagi dari kemabukan ini.
Sayang, sayang sekali….”
Kata Li Sun-Hoan, “Kau harusnya berbahagia hari ini. Apa
maksudmu tentang ‘tidak adil’, ‘tidak bangun lagi’?
Seseorang harus menikmati hari-hari kehidupannya.”
Sang Kusir tertawa lagi. “Kau betul. Betul!” Lalu
wajahnya jatuh menghantam meja.
Wajah Li Sun-Hoan penuh rasa terima kasih. Katanya
pada dirinya sendiri, “Dua puluh tahun ini, jika bukan
karena kau, aku…. aku mungkin sudah lama mati.
Walaupun aku tahu alasanmu, perbuatanmu ini sungguh
terlalu merendahkan dirimu. Kuharap suatu hari nanti,
kau rebut kembali status dan kejayaanmu di masa lalu.
Dengan begitu, walaupun aku telah….”
Sang Kusir tiba-tiba bangun lagi dan memotong cepat,
“Siauya, jangan katakan hal-hal yang tidak
menyenangkan. Merusak suasana.”
Mereka tiba-tiba tertawa terbahak-bahak, tiba-tiba
menangis, menangis sambil tertawa.
Pemilik warung dan para pegawainya kembali saling
pandang. “Sepertinya, dua-duanya gila.”

119
Saat itulah mereka dikagetkan oleh seseorang yang
menyuruk masuk, “Arak. Arak. Bawakan arak sekarang
juga.”
Dari wajahnya, kelihatannya ia akan mati jika ia tidak
minum arak secepatnya.
Pemilik warung bergumam, “Satu lagi orang gila.”
Orang ini mengenakan baju biru yang sudah terlalu
sering dicuci sampai warnanya sudah mendekati putih.
Kukunya hitam-hitam. Walaupun mengenakan topi
pelajar, rambutnya sungguh acak-acakan. Wajahnya
kuning dan tirus. Seperti seorang Siucai rudin (Pelajar
Miskin).
Pelayan membawakan sebotol arak untuknya.
Siapa sangka, pelajar ini bahkan tidak menggunakan
cawan. Ditenggaknya arak itu langsung dari botolnya.
Sekali minum, setengah lebih sudah habis, tapi segera
disemburkannya ke luar sambil berteriak, “Kau sebut ini
arak? Ini adalah cuka, cuka yang diencerkan lagi…”
Pelayan itu tergagap, “Bukannya kami tidak punya arak
yang baik, tapi…..”
Siucai rudin (Pelajar Miskin) itu berkata, “Kau pikir aku
tidak punya uang. Nih, ambil semua.”
Dilambaikannya 50 tail perak.

120
Semua orang dan para pelayan terperangah. Kali ini
mereka menyuguhkan arak yang terbaik.
Sekali ini pun, si Siucai rudin (Pelajar Miskin) tak peduli
dengan cawan dan menenggak sebotol penuh sekaligus.
Lalu duduk diam tak bergerak. Semua orang menyangka
ia minum terlalu cepat dan sesuatu telah terjadi. Namun
Li Sun-Hoan tahu, ia sedang menikmati kelezatannya.
Setelah beberapa saat, dihembuskan nafasnya. Mata dan
wajahnya berbinar-binar. “Walaupun araknya tidak enak,
di tempat seperti ini kurasa inilah yang terbaik.”
Pemilik warung ikut tertawa. Katanya, “Sudah kusimpan
botol itu selama sepuluh tahun.”
Siucai itu tiba-tiba menggebrak meja, katanya, “Pantas
saja rasanya tidak kental. Beri aku arak yang lebih baru,
yang difermentasi tiga tahap saja. Lalu bawakan
makanan juga.”
“Masakan apa yang kau inginkan.”
“Aku tahu di tempat kumuh seperti ini kau pasti tak
punya makanan enak. Bawakan saja Ayam Angin dan
Usus Gagak Goreng Pedas. Pastikan ususnya pedas sekali
dan ayamnya tidak berbulu sama sekali.”
Orang ini kelihatan miskin, namun ia benar-benar tahu
tentang makanan dan arak. Li Sun-Hoan sangat tertarik.
Dalam keadaan biasa, ia pasti telah mengundang orang
itu paling tidak untuk minum bersamanya. Namun saat

121
itu, ia bisa rebah kapan saja. Ia tidak ingin berkenalan
dengan siapa pun lagi.
Orang itu terus minum sendirian. Ia minum sangat cepat.
Sepertinya, selain arak, tak ada hal yang cukup berarti
baginya.
Saat itu, terdengar derap langkah kuda mendekat, dan
berhenti di depan warung. Wajah orang ini berubah
sedikit.
Ia bangkit, hendak pergi. Tapi matanya kembali
memandang arak di atas meja dan ia pun duduk kembali.
Diminumnya tiga cawan lagi, sambil dinikmatinya usus
goreng itu.
Dan terdengarlah suara yang menggelegar, “Dasar
pemabuk. Kau hendak lari ke mana?”
Seorang yang lain pun berkata, “Sudah kubilang, kita
pasti dapat menemukan orang ini di warung arak.”
Kemudian lima enam orang pun masuk, mengelilingi si
Siucai rudin (Pelajar Miskin). Kelihatannya ilmu silat
mereka cukup tinggi.
Seorang yang tinggi kurus mengacungkan cambuk kuda
ke depan hidung si Siucai rudin (Pelajar Miskin) dan
berkata, “Kau ambil uang kami, tapi kau menolak
memeriksa pasien, malah kabur ke sini untuk minum.
Apa yang terjadi?”

122
Si Siucai rudin (Pelajar Miskin) tersenyum, “Kau tak
mengerti apa yang terjadi? Aku perlu minum arak. Itu
saja. Kau seharusnya tahu, jika Bwe-jisiansing perlu
minum arak, dia tidak peduli langit runtuh, apalagi hanya
seorang pasien.”
Seorang yang bopengan berkata berang, “Tio-lotoa, kau
dengarkah itu? Kita sudah tahu pemabuk ini adalah
seorang yang sangat jahat. Waktu ia sudah mendapatkan
uangnya, ia tidak peduli lagi akan orang lain.”
Orang yang pertama menyahut, “Siapa yang tidak tahu
kepribadian pemabuk ini? Namun dia harus
menyembuhkan penyakit Losi (saudara ke 4). Kita perlu
tabib, apa yang dapat kita perbuat?”
Awalnya Li Sun-Hoan menyangka orang-orang ini datang
untuk balas dendam. Setelah mendengar percakapan
mereka, tahulah dia bahwa Bwe-jisiansing adalah
seorang tabib yang hanya mau uang, tapi tak mau
mengobati pasien.
Waktu orang-orang ini berteriak-teriak, ia tetap duduk
diam. Sambil terus minum.
Tio-lotoa akhirnya melempar cambuknya, menghantam
botol arak dan cawan, sambil berteriak, “Berhenti
menunda-nunda. Karena kami telah menemukanmu, kau
harus ikut kami pulang dan mengobati pasien. Jika Losi
(saudara ke 4) kami sembuh, aku jamin kau akan bisa
minum berbotol-botol arak.”

123
Bwe-jisiansing itu hanya menatap cawan arak yang
sudah pecah, menarik nafas panjang, lalu berkata, “Kau
sudah tahu perangaiku. Kau pun pasti tahu, aku takkan
pernah menyembuhkan tiga macam orang.”
“Tiga macam orang seperti apa?”
“Yang pertama, aku tidak akan menyembuhkan orang
yang tidak bayar di muka. Jika kurang sepeser saja, tak
akan kusembuhkan dia.”
Salah seorang dari mereka menjawab, “Kami telah
memberimu banyak uang!”
Bwe-jisiansing meneruskan, “Yang kedua, aku takkan
merawat orang yang bersikap kasar padaku. Yang ketiga,
aku tak akan pernah merawat penjahat, pencuri, dan
pembunuh.”
Ia menghela nafas, lalu menggelengkan kepalanya, “Kau
telah melanggar dua aturan terakhir. Kalian masih
berharap aku mau menyembuhkannya? Silakan mimpi
saja.”
Orang-orang itu menyahut, “Jika kau tidak
menyembuhkannya, kami akan membunuhmu.”
“Sekalipun kalian membunuhku, aku tak akan
menyembuhkannya!”
Orang yang bopengan itu maju dan menamparnya,
sehingga tubuh si tabib terpelanting. Darah keluar dari
mulutnya.

124
Tadinya Li Sun-Hoan berpikir, tabib ini pura-pura saja tak
tahu ilmu silat. Sekarang ia baru sadar, bahwa tabib ini
hanya mulutnya keras, tapi tubuhnya tidak.
Tio-lotoa menghunus pisaunya, dan berkata, “Kalau kau
berkata ‘tidak’ setengah kali saja, akan kupotong sebelah
tanganmu sebelum kau sempat menyelesaikan
perkataanmu.”
Bwe-jisiansing menyahut, “Kalau aku bilang tidak ya
tidak. Kenapa aku harus takut dengan penjahat kelas teri
macam kalian?”
Tio-lotoa sudah akan maju, tapi Sang Kusir tiba-tiba
menggebrak meja, dan berkata lantang, “Ini adalah
tempat minum arak. Jika kalian tidak mau minum, cepat
menyingkir!”
Suaranya seperti geledek, Tio-lotoa pun merasa jeri.
“Siapa kau? Berani-beraninya ikut campur?”
Li Sun-Hoan tersenyum, katanya, “Hanya menyuruh
mereka pergi, kurang menarik. Suruhlah mereka
merangkak ke luar.”
“Siauya menyuruh kalian merangkak ke luar. Dengar
tidak?”
Tio-lotoa melihat orang ini sakit dan sangat lemah, juga
sangat mabuk. Ia jadi tidak takut lagi, katanya, “Karena
kalian berdua sangat berani, mari kurobek perutmu.”
Goloknya berkilauan, menyabet ke arah Li Sun-Hoan.

125
Sang Kusir menyorongkan tangannya ke depan,
berusaha menghalangi sabetan golok. Namun karena ia
sangat mabuk, kelihatannya ia malah berusaha
menangkap golok itu dengan tangannya.
Si pemilik warung sungguh kuatir karena pastilah lengan
orang itu akan putus kena golok. Siapa sangka, lengan
itu masih tetap utuh, malahan golok itulah yang mencelat
ke atas. Tio-lotoa terkejut luar biasa, pikirnya, “Ilmu silat
orang itu membuatnya kebal senjata. Apakah dia ini
hantu?”
Orang bopengan itu juga menjadi takut sekali, tapi
dipaksakannya untuk tertawa sambil berkata, “Bolehkah
kutahu namamu, sobat? Kalau tidak bertempur, mana
bisa jadi kawan. Marilah kita berkawan saja.”
Sang Kusir menjawab dingin, “Kau tak pantas jadi
temanku. Sana keluar!”
Tio-lotoa melompat ke depan, sambil berkata, “Kau tak
perlu bersikap kasar. Tidak baik bermusuhan dengan
kami, kalau….”
Sebelum ia menyelesaikan kalimatnya, si bopengan
membisikkan sesuatu kepadanya. Matanya melirik ke
arah pisau di tangan Li Sun-Hoan.
Wajah Tio-lotoa memucat seperti kertas, katanya pelan,
“Tidak, tidak mungkin dia.”
“Siapa lagi? Aku dengar setengah bulan yang lalu dari Si
Kura-kura Tua bahwa ia telah kembali dari perbatasan. Si

126
Kura-kura Tua mengenalnya sejak dulu. Tidak mungkin ia
salah.”
Kata Tio-lotoa, “Tapi, pemabuk ini….”
“Orang ini sangat menyukai makanan, arak, wanita, juga
judi. Kesehatannya juga tidak pernah baik. Namun
pisaunya….”
Waktu berbicara tentang pisau, suaranya bergetar.
“Tidak usahlah kita bermusuhan dengan orang macam
dia.”
Tio-lotoa tertawa, “Jika aku tahu dia ada di sini,
walaupun orang mengancamku dengan pisau, aku takkan
mau datang ke sini.”
Ia terbatuk dua kali dan membungkukkan tubuhnya
sambil tertawa. “Aku yang kecil ini punya mata, tapi tidak
bisa melihat, sehingga tidak mengenali engkau, Tuan.
Bahkan aku sudah mengganggu ketenanganmu minum
arak. Aku yang kecil ini pantas mati. Kini aku hendak
pamit saja.”
Tidak jelas apakah Li Sun-Hoan mendengar kata-kata ini
atau tidak. Ia terus minum dan terus terbatuk-batuk,
seperti tidak ada sesuatu pun yang terjadi.
Orang-orang ini datang bagai harimau, kini mereka pergi
bagai anjing. Baru sekarang Bwe-jisiansing bangkit,
namun ia tidak berusaha berterima kasih pada Li Sun-
Hoan. Ia malah berdiri di atas kursinya sambil berteriakteriak,
“Arak! Beri aku arak!”

127
Para pelayan jadi bingung. Tak bisa dipercaya orang ini
baru saja dipukuli.
Pelanggan yang lain sudah pergi semuanya. Yang tinggal
hanya ketiga orang ini. Ketiganya terus minum, tak
berbicara sepatah katapun.
Li Sun-Hoan melongok ke luar jendela, dan tiba-tiba
tersenyum. “Arak memang sangat aneh. Kalau kau ingin
terus sadar, kau akan mabuk lebih cepat. Kalau kau ingin
cepat mabuk, kau malah tidak mabuk-mabuk.”
Bwe-jisiansing juga terkekeh, “Mabuk dapat
menyelesaikan banyak persoalan. Yang paling baik
adalah mabuk sampai mati. Tapi sayangnya, Langit tak
akan membiarkan seseorang mati semudah itu.”
Alis Sang Kusir terangkat, melihat Bwe-jisiansing berjalan
terhuyung-huyung ke arah mereka. Ia menatap Li Sun-
Hoan dan bertanya, “Tahukah kau berapa lama lagi kau
akan hidup?”
“Tidak lama.”
“Jika kau tahu hidupmu tidak lama lagi, mengapa tak kau
bereskan urusanmu sebelum mati, malahan datang ke
sini untuk minum?”
Sahut Li Sun-Hoan, “Mengapa urusan-urusan sepele,
macam hidup dan mati, harus mengganggu acara
minumku?”

128
Bwe-jisiansing bertepuk tangan, tertawa. “Betul. Betul.
Hidup dan mati adalah urusan sepele. Sebaliknya, minum
arak adalah peristiwa penting. Kata-katamu sungguh
sesuai dengan seleraku.”
Tiba-tiba matanya terbuka lebar, katanya, “Kurasa
sekarang kau tahu siapa aku, bukan?”
Jawab Li Sun-Hoan, “Belum.”
“Kau sungguh tidak tahu siapa aku?”
Sang Kusir memotong kasar. “Kalau dia bilang tidak tahu,
ya tidak tahu. Kenapa harus diulang-ulang?”
Bwe-jisiansing menatap Li Sun-Hoan, lalu berkata,
“Ternyata kau tidak menyelamatkanku untuk
menyembuhkanmu.”
Li Sun-Hoan tertawa. “Jika kau ingin minum arak, kita
bisa minum bersama. Jika kau datang untuk
menyembuhkanku, kusarankan kau pergi saja. Jangan
membuang-buang waktu minumku.”
Bwe-jisiansing terus memandang Li Sun-Hoan sampai
cukup lama. Katanya kemudian, “Beruntung sekali.
Sangat beruntung. Kau tahu, kau sangat beruntung
bertemu dengan aku.”
Kata Li Sun-Hoan, “Aku tidak punya uang. Aku juga tidak
jauh berbeda dari perampok dan pencuri. Kau boleh
pergi.”

129
Siapa sangka, Bwe-jisiansing malah menggelengkan
kepalanya berkali-kali. “Tidak tidak tidak. Tidak
meyembuhkan orang lain, tidak jadi soal. Tapi jikalau kau
menolak aku menyembuhkanmu, kau harus
membunuhku.”
Mata Sang Kusir berbinar-binar. “Kau sungguh dapat
menyembuhkannya?”
Jawab Bwe-jisiansing, “Selain Bwe-jisiansing, tidak ada
seorang pun di dunia yang dapat menyembuhkannya.”
Sang Kusir berdiri, dirapikannya kemejanya, sambil
bertanya, “Tahukah kau apa penyakitnya?”
Sahut Bwe-jisiansing, “Kalau aku tidak tahu, siapa yang
bisa tahu? Kau pikir Saudara Keenamku, Hoa Hong,
sanggup meramu ‘Han-keh-san (Bubuk Ayam Dingin)’?”
“Han-keh-san (Bubuk Ayam Dingin)? Racun itu Han-kehsan
(Bubuk Ayam Dingin)?”
Bwe-jisiansing terkekeh. “Selain Han-keh-san (Bubuk
Ayam Dingin) milik keluarga Bwe, racun apa yang dapat
membunuh Li Sun-Hoan?”
Sang Kusir terkejut sekaligus gembira, “Jadi maksudmu
kaulah yang meramu racun Hoa Hong?”
Bwe-jisiansing tertawa terbahak-bahak. “Selain ‘Biau-
Liong-tiong (Tabib Sakti)’ Bwe-jisiansing, siapa yang
dapat meracik racun sehebat ini? Sepertinya kau bukan
orang berpengetahuan. Hal seperti ini saja tidak tahu.”

130
Kini Sang Kusir girang bukan kepalang. “Jadi dialah yang
meramu racun itu. Siauya, kau pasti akan selamat.”
Li Sun-Hoan tertawa pahit. “Aku tahu hidup itu sulit, tapi
aku baru tahu untuk mati dengan tenang pun sangat
sulit.”
Kini mereka sudah ada dalam kereta. Sang Kusir
merawat Li Sun-Hoan, tapi ia juga mengawasi Bwejisiansing.
Ia masih belum puas. Tanyanya, “Jika kau bisa
menyembuhkan keracunannya, mengapa kita harus pergi
menemui orang lain?”
Sahut Bwe-jisiansing, “Aku tidak mencari orang ‘lain’.
Bwe-toasiansing. Ia kakakku. Rumahnya dekat.”
“Jangan kuatir. Jika aku sudah berkata aku akan
menyembuhkan dia, ia tidak akan mati.”
“Mengapa kau perlu bertemu dengan kakakmu?”
“Karena dia punya obat penawarnya. Sudah puas?”
Kini ia benar-benar diam.
Sebaliknya Bwe-jisiansing lantas bertanya padanya,
“Yang kau latih Kim-cong-toh atau Thi-poh-san?”
“Thi-poh-san,” jawab si berewok dengan mendelik.

131
Bwe-jisiansing menggelengkan kepalanya sambil tertawa.
“Aku sungguh tak mengira ada orang yang melatih ilmu
silat sebodoh ini. Hanya berguna untuk melawan preman
jalanan.”
Sang Kusir menjawab dingin, “Ilmu silat yang bodoh
lebih baik dari pada tidak tahu silat.”
Bwe-jisiansing sama sekali tidak marah. Ia terus
tersenyum. “Yang kudengar, untuk melatih ilmu silat
macam ini, kau harus tetap perjaka. Tidakkah
pengorbanan semacam itu sedikit terlalu besar?”
“Hmmh.”
Lanjut Bwe-jisiansing lagi, “Yang kudengar, dalam lima
puluh tahun terakhir, hanya ada satu orang yang
sungguh bodoh yang mau memperlajari ilmu silat ini.
Namanya ‘Thi-kah-kim-kiong (si Dada Besi Baja Emas)’,
Thi Toan-kah. Namun dua puluh tahun lalu, terjadi
sesuatu padanya. Kini tidak ada yang tahu apakah dia
sudah mati, atau masih hidup. Mungkin dia belum mati.
Mungkin dia masih bisa minum arak.”
Mulut Sang Kusir tertutup rapat. Apa pun yang dikatakan
Bwe-jisiansing, ia diam saja.
Bwe-jisiansing memejamkan mata, berusaha memulihkan
tenaganya.
Setelah beberapa saat, Sang Kusir balas berkata, “Yang
kudengar, ‘Jit-biau-jin (tujuh manusia ajaib)’ tidak peduli
akan reputasi mereka. Sepertinya kau tidak demikian.”

132
Jawan Bwe-jisiansing, “Aku mengambil uang orang, lalu
menolak untuk menyembuhkannya. Kau pikir itu kurang
bejad?”
“Jika kau akhirnya setuju untuk merawat dia, maka
kaulah yang akan kehilangan muka. Mengambil uang dan
menyembuhkan orang adalah dua hal yang berbeda. Tak
ada alasan untuk tidak mengambil uang dari orang-orang
macam mereka.”
Bwe-jisiansing menyahut, “Tampaknya kau tak sebodoh
yang kukira.”
Sang Kusir berkata lagi, “Orang yang dianggap licik oleh
banyak orang, mungkin sebenarnya tidak terlalu licik.
Akan tetapi dari sekian banyak orang yang disangka
gagah, berapa banyakkah yang benar-benar gagah?”
Li Sun-Hoan duduk diam sambil tersenyum. Sepertinya ia
mengikuti pembicaraan, tapi sepertinya juga pikirannya
ada di tempat lain.
Di luar, salju telah memberi warna putih pada segala
sesuatu.
Jika seseorang masih dapat bertahan hidup, bukankah itu
suatu hal yang baik?
Bayangan seseorang tergambar dalam benak Li Sun-
Hoan.
Wanita itu mengenakan pakaian ungu, dan mantel
berwarna ungu muda tersampir pada pundaknya. Ia

133
berdiri dengan latar belakang salju putih, dan tampak
sangat cantik.
Ia ingat Si Dia sangat menyukai salju. Setiap kali turun
salju Si Dia akan menarik tangannya ke luar ke halaman,
melemparinya dengan bola salju dan menantangnya
untuk mengejar Dia.
Ia ingat, hari dia membawa Liong Siau-hun pulang, juga
turun salju. Si Dia sedang duduk di paviliun dalam taman
Bwe. Sedang menikmati indahnya salju dan pohon Bwe.
Ia ingat bahwa tiang-tiang paviliun itu merah cerah. Tapi
sewaktu Si Dia duduk di antara tiang-tiang itu, warna
kedua tiang dan warna seluruh pohon Bwe menjadi
pudar.
Ia tidak memperhatikan reaksi Liong Siau-hun saat itu.
Namun di kemudian hari, ia bisa membayangkannya.
Saat itu, hati Liong Siau-hun pasti sudah hancur
berantakan.
Kini, apakah paviliun itu masih sama? Masih seringkah Si
Dia duduk di sana, menghitung bunga-bunga Bwe?
Li Sun-Hoan berusaha bangun dan tersenyum pada Bwejisiansing.
“Ada arak dalam kereta. Mari kita minum.”
Salju, kadang lebat kadang berhenti.
Dengan petunjuk Bwe-jisiansing, kereta berbelok ke jalan
kecil, dan sampai pada sebuah jembatan kecil. Kereta itu
tak dapat menyeberang.

134
Sang Kusir mendukung Li Sun-Hoan menyeberangi
jembatan. Terlihat sebuah gubug kecil di antara pohonpohon
Bwe. Sewaktu mereka mendekat, terdengar suara
dari dalam hutan. Seorang laki-laki berpakaian rapi
menyuruh dua orang pembantunya menyiramkan air
pada pohon yang tertutup salju.
Sang Kusir berbisik, “Inikah Bwe-toasiansing?”
Jawab Bwe-jisiansing, “Selain orang tolol ini, siapakah
yang menyiramkan air untuk membersihkan es dan salju
dari batang pohon?”
Sang Kusir tak dapat menahan tawa. “Maksudmu dia
tidak tahu bahwa dengan menyiramkan air, salju akan
tetap menempel dan airnya malah akan jadi es?”
Bwe-jisiansing tertawa getir, dan mengeluh, “Ia bisa tahu
keaslian suatu benda seni sekali tengok. Ia juga bisa
meramu dalam sekejap racun yang paling mematikan
dan penawar yang paling hebat. Namun ia tidak dapat
mengerti hal-hal yang sederhana.”
Selagi mereka bercakap-cakap, Bwe-toasiansing
memaLingkan wajahnya dan melihat kedatangan
mereka. Wajahnya terkesiap seperti sedang memandang
anak-anak nakal. Katanya, “Cepat! Cepat sembunyikan
seluruh lukisanku yang berharga. Kalau sampai
dilihatnya, akan digadaikannya untuk membeli sebotol
arak.”

135
Bwe-jisiansing tersenyum. “Lotoa. Jangan kuatir. Aku
sudah minum arak hari ini. Aku datang dengan dua
teman….”
Sebelum kalimatnya selesai, Bwe-toasiansing menutup
mata dengan kedua tangannya, katanya, “Aku tak ingin
melihat teman-temanmu. Semua temanmu adalah orang
jahat. Kalau aku melihat seorang saja, aku akan sial tiga
tahun.”
Bwe-jisiansing jadi kesal, maka katanya, “Baik. Kau
menghina aku. Kau pikir aku tak mungkin punya teman
yang baik. Mari Li Tamhoa, kita pergi saja.”
Sang Kusir menjadi gusar, “Mana obat penawarnya? Kita
tidak bisa pergi begitu saja!”
Tak disangka, ekspresi wajah Bwe-toasiansing berubah
cepat. “Maksudmu dia dari keluarga yang turun-temurun
lulus ujian kenegaraan, ayah dan kedua anaknya
mendapat gelar Tamhoa, Li Tamhoa yang ITU?’
Bwe-jisiansing menjawab dingin, “Kau tahu Li Tamhoa
yang lain?”
Kata Li Sun-Hoan, “Ya. Itulah aku.”
Pandangan Bwe-toasiansing menyelidik dari kepala
sampai ke kakinya. Tiba-tiba ia menjabat tangan Li Sun-
Hoan dan tertawa senang, “Terkenal selama dua puluh
tahun, tak kusangka akhirnya aku dapat bertemu
denganmu. Li-heng .”

136
Ia menjadi sangat ramah setelah tahu siapa tamunya.
Kemudian kata Bwe-toasiansing, “Li-tayhiap, maafkanlah
kekasaranku tadi. Teman-teman adikku selalu saja
menyebalkan. Dua tahun yang lalu ia mengajak dua
temannya berkunjung, katanya mereka ini penggemar
benda seni. Tapi siapa sangka, setelah kutunjukkan pada
mereka dua lukisan yang sangat berharga, mereka
menukarnya dengan kertas kosong! Aku sangat marah,
sampai-sampai tiga bulan aku tak bisa tidur.”
Li Sun-Hoan pun tertawa. “Bwe-toasiansing, jangan
terlalu menyalahkan adikmu. Ketika seorang pemabuk
ingin minum arak tapi tidak punya uang, perasaannya
pun sangat kacau.”
Bwe-toasiansing tersenyum sambil berkata, “Sepertinya
Li-heng juga mempunyai kebiasaan yang sama.”
Li Sun-Hoan ikut tersenyum. “Minum arak dapat
membuat seseorang terbang ke awan.”
Kata Bwe-toasiansing, “Bagus. Ki-ho, sudah cukup kau
bersihkan pohon itu. Pergi dan ambilkan arak Tiok-yapjing
berusia 20 tahun itu. Aku ingin Li-heng
mencicipinya. Aku telah menyimpan arak ini bertahuntahun
untuk disuguhkan pada tamu yang hebat, seperti
Li-heng ini.”
Kata Bwe-jisiansing, “Memang betul. Kalau tamu biasa
yang datang, cuka saja tidak disuguhkannya. Akan
tetapi, Li-heng datang bukan untuk minum arak.”

137
Bwe-toasiansing memandang sekilas pada Li Sun-Hoan,
katanya, “Racun itu masalah kecil. Li-heng jangan kuatir,
dan mari minum. Aku tahu bagaimana caranya mengurus
hal-hal kecil itu.”
Setelah minum tiga cawan, Bwe-toasiansing tiba-tiba
bertanya, “Katanya, lukisan yang sangat langka
Pemandangan Waktu Berziarah (Cing Ming Da He Tu)
ada dalam kediamanmu. Apakah itu benar?”
Kini Li Sun-Hoan tahu mengapa ia sangat ramah
menyambut mereka. “Betul.”
Bwe-toasiansing girang luar biasa. “Dapatkah kau bawa
ke sini kapan-kapan supaya aku dapat melihatnya?”
Jawab Li Sun-Hoan, “Jika Bwe-toasiansing sungguhsungguh
ingin melihatnya, aku tak dapat menolak. Tapi
sungguh sayang, aku telah memberikan lukisan itu, dan
seluruh milikku, pada orang lain.”
Bwe-toasiansing melongo memandangnya, seperti
kepalanya dipentung orang. Ia terus bergumam,
“Sayang… sungguh sayang….”
Lalu katanya, “Ki-ho, bereskan arak ini. Li Tamhoa sudah
selesai minum.”
Kata Bwe-jisiansing, “Jadi tanpa Pemandangan Waktu
Berziarah (Cing Ming Da He Tu), tidak ada arak?”
Jawab Bwe-toasiansing dingin, “Arakku bukan untuk
diminum sembarang orang.”

138
Li Sun-Hoan tidak merasa marah, bahkan ia tersenyum.
Ia merasa orang ini labil, sangat lugu, tapi paling tidak ia
lebih baik daripada para orang gagah yang palsu.
Namun Sang Kusir tak bisa menahan kekuatirannya, dan
ia berkata keras, “Tanpa Pemandangan Waktu Berziarah
(Cing Ming Da He Tu), tidak ada obat penawar juga?”
Sahut Bwe-toasiansing, “Jika tidak ada arak, dari mana
datangnya obat penawar?”
Sang kusir menjadi berang dan siap menyerang.
Namun Li Sun-Hoan menahannya, katanya, “Bwetoasiansing
tidak mengenal kita. Ia tidak berkewajiban
memberikan obat penawar itu. Kita telah berhutang
padanya beberapa cawan arak yang lezat. Mengapa kau
ingin bertindak kasar?”
“Tapi Siauya, kau… kau…”
Li Sun-Hoan mengibaskan tangannya dan tersenyum.
“Kurasa kita harus pamit.”
Tiba-tiba Bwe-toasiansing bertanya, “Kau sungguh tidak
mau obat penawarnya?”
Jawab Li Sun-Hoan, “Kita mempunyai kepentingan
masing-masing. Aku tidak suka memaksa orang.”
Kata Bwe-toasiansing, “Tahukah kau, bahwa tanpa obat
penawar itu kau akan segera mati?”

139
“Hidup dan mati ditentukan oleh Langit. Aku sendiri tidak
peduli.”
Bwe-toasiansing menatapnya lekat-lekat, katanya
perlahan, “Betul. Betul. Jika seseorang bisa
menghadiahkan Pemandangan Waktu Berziarah (Cing
Ming Da He Tu) pada orang lain, mengapa dia harus
mempedulikan nyawanya? Orang seperti ini sangat
langka, sangat sangat langka….”
Lalu ia berteriak, “Ki-ho, keluarkan lagi araknya.”
Sang Kusir seketika timbul harapannya. “Bagaimana
dengan obat penawarnya?”
Bwe-toasiansing memandangnya sekejap, lalu katanya
dingin, “Sekarang sudah ada arak, kau kuatir tidak ada
obat penawar?”
Bab 7. Tidak Sengaja Melukai Anak Sahabat
Setelah Li Sun-Hoan minum arak, obat penawarnya
bekerja lebih cepat. Setelah dua belas jam, tenaganya
berangsur-angsur pulih.
Hari sudah mulai fajar. Sang Kusir sama sekali tidak
terlelap, namun ia tetap bersemangat. Hanya saja karena
minum terlalu banyak, kepalanya terasa berdenyutdenyut.

140
Bwe-jisiansing memukul-mukul kepalanya, “Sialan.
Sialan. Sudah pagi lagi.”
“Kenapa kalau sudah pagi?”
Kata Bwe-jisiansing, “Kalau sedang minum, hal yang
paling kubenci adalah fajar. Selama di luar masih gelap,
aku bisa minum selama-lamanya. Tapi kalau sudah
tampak cahaya matahari, aku tidak bernafsu lagi untuk
minum.”
Li Sun-Hoan masih berbaring. Di bibirnya terbayang
seulas senyum. “Bukan hanya kau. Itu problem semua
pemabuk.”
Sahut Bwe-jisiansing, “Kalau begitu, sebelum betul-betul
terang, mari cepat-cepat kita minum arak ini.”
Li Sun-Hoan tertawa. “Kurasa kakakmu akan kesal
melihat bagaimana kita minum.”
Sahut Bwe-jisiansing, “Makanya dia sudah tidur dari tadi.
Kalau dia tidak melihat kejadiannya, ia takkan merasa
gelisah.”
Li Sun-Hoan hendak minum lagi, namun ia mulai batukbatuk.
Bwe-jisiansing memandangnya dan tiba-tiba bertanya,
“Berapa lama suda kau batuk seperti ini?”
“Mungkin sepuluh tahun.”

141
Bwe-jisiansing berpikir sebentar, lalu berkata, “Kalau
begitu, seharusnya kau tidak minum lagi. Batuk terlalu
banyak tidak baik untuk hatimu. Kalau kau terus
minum….”
Li Sun-Hoan memotong sambil tertawa, “Tidak baik
untuk hatiku? Hatiku sudah rusak total.”
Tiba-tiba ia berhenti bicara. Matanya menyelidik. Ia
berkata perlahan, “Ada yang datang.”
Kata Bwe-jisiansing, “Orang yang datang pagi-pagi buta
seperti ini pasti bukan tamu kakakku. Kurasa mereka
datang mencari aku.”
Ia mendengar suara itu dengan jelas sekarang. Ada
beberapa orang yang datang. Langkah mereka semua
sangat ringan.
Dan seseorang berbicara lantang, “Apakah di sini betul
Bwe-hoa-cau-tong (Klinik Keluarga Bwe)?”
Sesaat kemudian terdengarlah suara Bwe-toasiansing.
“Datang pagi-pagi buta macam ini, kalian perampok atau
pencuri?”
Orang itu menjawab, “Kami datang berkunjung, bukan
untuk merampok atau mencuri. Kami membawa hadiah.”
Bwe-toasiansing tertawa dingin. “Datang membawa
hadiah di pagi buta? Maksud kalian pasti tidak baik.
Silakan pergi.”

142
Kata orang itu sambil tertawa, “Jikalau demikian, aku
harus membawa pulang lukisan Ong Mo-kiat ini.”
Sebelum kalimatnya selesai, pintu sudah terbuka lebar.
Bwe-jisiansing mengangkat alisnya, katanya, “Orangorang
ini menyelidiki kesukaan kakakku sebelum datang.
Mereka pasti menginginkan sesuatu. Mari kita dengarkan
apa permintaan mereka.”
Ia tidak keluar dari ruangan. Dibukanya pintu sedikit saja
untuk melihat siapa yang datang.
Ada tiga orang. Yang pertama berusia tiga puluhan.
Tubuhnya pendek, wajahnya seram. Matanya berkilatkilat.
Tangannya memegang sebuah kotak panjang.
Orang yang kedua wajahnya seperti buah prun.
Jenggotnya panjang sampai ke pinggang. Ia
mengenakan jubah ungu. Wajahnya gagah. Tampak
seperti seorang pemimpin.
Yang ketiga adalah seorang anak berusia sepuluh
tahunan. Mukanya bundar, matanya bundar. Ia
mengenakan baju warna merah dengan leher bulu
kelinci. Seperti Anak Merah kecil yang didandani.
Selain anak ini, kedua orang yang lain tampak kuatir dan
tidak sabar.
Orang berwajah seram itu memegang kotak dan
membungkuk ke arah Bwe-toasiansing. Katanya,

143
“Lukisan ini dibeli oleh majikanku seharga 1000 tail
emas. Telah diselidiki keasliannya. Bukalah.”
Mata Bwe-toasiansing memang tidak pernah lepas dari
kotak itu. Namun sahutnya, “Tidak mungkin kau
menghadiahkannya kepadaku dengan cuma-cuma. Apa
yang kau inginkan?”
Orang itu tersenyum. “Kami hanya ingin tahu di mana
Bwe-jisiansing berada.”
Bwe-toasiansing langsung bernafas lega, katanya,
“Mudah saja.”
Segera disambarnya kotak itu dari tangan orang itu.
Teriaknya, “Loji, keluarlah. Ada yang ingin bertemu.”
Bwe-jisiansing menghela nafas, menggelengkan kepala
kesal. “Kurang ajar. Setelah kau dapatkan lukisan, kau
tak peduli pada adikmu sendiri.”
Orang tua berjubah ungu dan orang berwajah seram itu
langsung melihat Bwe-jisiansing. Wajah keduanya
tampak gembira. Hanya anak kecil itu yang menggelenggelengkan
kepalanya, lalu bertanya, “Lihatlah orang ini.
Apakah dia kelihatan seperti orang yang bisa
menyembuhkan?”
Sahut Bwe-jisiansing, “Aku tak bisa menyembuhkan
orang yang sakit parah, tapi aku takkan membunuh
orang yang sakit ringan. Aku ada di tengah-tengah.”

144
Orang tua berjubah ungu itu kuatir anak itu akan salah
bicara lagi, sehingga cepat-cepat dikatakannya, “Telah
lama kudengar bahwa kau memiliki ‘tangan yang bisa
menghadirkan musim semi’. Jadi aku datang, berharap
bisa membawamu pergi sebentar. Berapa banyak uang
yang kau minta, aku dapat membayarnya di muka.”
Bwe-jisiansing tertawa. “Sepertinya kau sudah paham
dengan kebiasaanku. Tidakkah kau takut aku akan
melarikan diri?”
Orang tua berjubah ungu terdiam, seakan-akan hendak
berkata bahwa Bwe-jisiansing tidak mungkin dapat
melarikan diri.
Orang yang pendek itu pun kemudian memaksakan diri
tertawa, dan berkata, “Jika Bwe-jisiansing bersedia pergi,
kami akan memberikan lebih daripada sekedar emas dan
perak.”
Bwe-jisiansing melanjutkan lagi, “Selain pembayaran,
tahukah kau bahwa aku punya kebiasaan lain? Perampok
tak akan kurawat. Pencuri tak akan kesembuhkan.”
Orang pendek itu tersenyum sambil berkata, “Cayhe
adalah Pah Eng. Walaupun aku bukan siapa-siapa, orang
ini, Cin Hau-gi, Cin-loyacu cukup terkenal dalam dunia
persilatan. Pasti Bwe-jisiansing pernah mendengar
tentang dia.”
Sahut Bwe-jisiansing sambil memandang orang berjubah
ungu itu, “Cin Hau-gi? Engkau adalah ‘Si Semangat Baja
Terbentang ke Delapan Arah’ Cin Hau-gi?”

145
Sahut Pah Eng, “Benar. Ia adalah majikanku.”
Bwe-jisiansing menganggukkan kepalanya, katanya,
“Kelihatannya kau cukup bonafid. Baiklah. Datang
beberapa hari lagi, dan mungkin aku akan pergi
denganmu.
Sebelum ia selesai bicara, Anak Merah itu telah
melompat, dan berteriak, “Orang ini sombong betul. Hei,
kenapa kita harus membuang-buang waktu berbicara
dengan dia? Kita tangkap saja, masalah selesai.”
Pah Eng menarik baju anak ini, dan memaksakan untuk
tersenyum. “Jika penyakitnya tidak kritis, tidak apalah
menunggu beberapa hari. Tapi kita tidak dapat
menunggu bahkan beberapa jam saja.”
Sahut Bwe-jisiansing, “Jadi pasienmu penting, dan
pasienku tidak penting?”
Kata Pah Eng, “Maksud Bwe-jisiansing, kau punya pasien
di sini?”
“Betul sekali. Sebelum aku memulihkannya aku tak bisa
pergi.”
Pah Eng berkata terbata-bata, “Ta..tapi pasienku adalah
putra tertua Cin Hau-gi. Ia adalah murid terbaik Siau-limsi.”
Sergah Bwe-jisiansing tak senang, “Lalu kenapa kalau dia
adalah putra Cin Hau-gi. Atau murid Siau-lim-si. Apakah
menurutmu dia lebih berharga daripada pasienku?”

146
Saat ini amarah Cin Hau-gi sudah meluap, tapi ia tidak
bisa berkata apa-apa.
Mata Anak Merah itu berputar, lalu berkata tiba-tiba,
“Bagaimana jika pasienmu mati?”
Bwe-jisiansing tertawa dingin, “Jika dia mati, tentu saja
aku tak perlu lagi merawat dia. Sayangnya, dia tidak
mungkin mati.”
Ang-hai-ji (Si Anak Merah) tertawa cekikikan, katanya,
“Jangan terlalu yakin.”
Secepat kilat ia lari masuk ke ruang dalam. Bahkan Sang
Kusir pun terpana. Pah Eng dan Cin Hau-gi hanya saling
pandang, namun tidak mencegah anak itu.
Setelah ada di dalam ruangan, Anak Merah itu langsung
melihat pada Li Sun-Hoan, katanya sombong, “Jadi
kaulah pasien itu.”
Li Sun-Hoan tersenyum. “Adik kecil, benarkah kau ingin
aku mati sekarang juga?”
Ang-hai-ji menjawab, “Betul. Jika kau mati, maka si tua
bangka itu bisa pergi merawat Cin-toako.”
Selagi ia masih berbicara, tiga anak panah kecil telah
melesat dari lengan bajunya, terarah pada dahi dan
tenggorokan Li Sun-Hoan. Kecepatan dan tenaganya
kuat sekali.

147
Tak ada yang mengira bahwa anak sepuluh tahun ini
sungguh berbisa. Jika orang itu bukan Li Sun-Hoan, pasti
ia sudah tergeletak mati.
Namun Li Sun-Hoan dengan tenang melambaikan
tangannya dan menangkap ketiga panah itu. Katanya
kemudian, “Kau masih sangat muda, tapi sudah begitu
kejam. Aku tak bisa membayangkan seperti apa engkau
setelah dewasa.”
Ang-hai-ji tertawa dingin. “Kau pikir hanya dengan
mempertontonkan kepintaranmu menangkap panah, lalu
kau bisa mengguruiku?”
Tiba-tiba, sambil membalikkan badan, dihunusnya
sebilah pedang pendek. Dan sebelum berakhir
kalimatnya, tujuh sabetan telah menyerang Li Sun-Hoan.
Anak ini bukan hanya cepat dan gesit, ia juga sangat
berbahaya. Banyak pendekar yang lebih berpengalaman
pun tak bisa menandinginya. Ia bertempur, seolah-olah
lawannya adalah musuh bebuyutannya, dan satu-satunya
keinginannya adalah melubangi tubuh Li Sun-Hoan
dengan pedangnya.”
Kata Li Sun-Hoan, “Sungguh, anak ini akan tumbuh
menjadi Im Bu-tek (Tokoh Yang Maha Kejam
berikutnya.”
Kata Sang Kusir, “Walaupun julukan Im Bu-tek adalah Si
Pedang Darah, ia tidak pernah membunuh orang yang
tidak berdosa. Tapi anak ini….”

148
Ang-hai-ji tersenyum seperti setan kecil. “Bagaimana
dengan Im Bu-tek . Aku sudah membunuh orang sejak
umur tujuh tahun. Bagaimana dengan dia?”
Ia melihat Li Sun-Hoan masih tetap duduk di tempat
yang sama, maka diubahlah jurus-jurusnya. Semakin
dahsyat dan mematikan.
Li Sun-Hoan tersenyum getir. “Betul sekali. Bahkan Im
Bu-tek pun mungkin tidak sekejam ini dalam usia
semuda engkau.”
Wajah Sang Kusir menjadi kelam. “Jika ia tumbuh
dewasa, ia pasti berbahaya untuk masyarakat.
Mungkin….”
Ang-hai-ji telah mengeluarkan seratus jurus, namun
belum juga bisa menang. Akhirnya ia menyadari bahwa
dia telah bertemu lawan yang sangat tangguh. Ia merasa
sangat marah, sampai matanya pun menjadi merah.
Dikertakkan giginya dan katanya, “Tahukah kau siapa
orang tuaku? Jika kau lukai aku, mereka akan
mencincangmu hidup-hidup.”
Li Sun-Hoan menjadi berang, katanya, “Jadi hanya kau
saja yang boleh membunuh orang, tapi mereka tidak
boleh melukaimu?”
Sahut Ang-hai-ji , “Jika kau memang punya nyali, silakan
saja bunuh aku.”
Li Sun-Hoan merasa ragu-ragu untuk sesaat. Lalu
katanya, “Aku masih tidak ingin membunuhmu, sebab

149
engkau masih sangat muda. Dengan didikan yang baik,
engkau masih ada kesempatan menjadi orang yang baik.
Pergilah sekarang, sebelum aku berubah pikiran.”
Anak Merah inipun tahu bahwa kali ini dia tidak punya
kesempatan untuk menang. Ditariknya pedangnya, lalu
bertanya, “Ilmu silatmu sungguh hebat. Siapakah
engkau? Mengapa aku belum pernah bertemu
denganmu?”
Sahut Li Sun-Hoan, “Kau tanyakan Cayhe, supaya bisa
membalas dendam?”
Tiba-tiba di wajah Ang-hai-ji terbayang senyum yang
sangat lugu, katanya, “Kau tidak membunuhku, mengapa
aku harus membalas dendam? Aku sungguh
menghormati engkau. Aku telah mengeluarkan seratus
tujuh jurusku, namun engkau tidak bergerak
sejengkalpun.”
Mata Li Sun-Hoan bercahaya, “Kau ingin belajar dariku?”
Ang-hai-ji menjadi sangat girang, tanyanya, “Benarkah
kau mau menerima aku sebagai muridmu?”
Li Sun-Hoan tersenyum. “Jika aku dapat membantu
orang tuamu untuk menjagamu, mungkin kau masih
punya kesempatan di kemudian hari.”
Sebelum ia selesai bicara, Anak Merah ini telah berlutut
di hadapannya, katanya, “Didiklah aku, dan terimalah
sembah sujud murid.”

150
Waktu kata ‘murid’ diucapkannya, tiga kilat sinar melesat
dari belakang bajunya.
Tubuh anak ini penuh senjata rahasia.
Li Sun-Hoan terkejut setengah mati. Jika ia belum
berpengalaman, dan jika gerak refleksnya tidak secepat
kilat, ia pasti sudah mati di tangan anak ini.
Ang-hai-ji , waktu melihat Li Sun-Hoan belum mati juga,
segera bangkit, dan berteriak, “Kau pikir kau ini siapa?
Berani-beraninya kau hendak mendidikku menggantikan
orang tuaku. Kau pikir kau pantas jadi guruku?”
Wajah Sang Kusir menjadi sedingin es dan berkata,
“Seseorang yang punya hati berbisa seperti ini, tidak
pantas hidup.”
Li Sun-Hoan menghela nafas. Diputarnya telapak
tangannya dan dihempaskannya ke depan.
Cin Hau-gi dan Pah Eng tahu bahwa Ang-hai-ji masuk ke
dalam untuk membunuh orang. Namun seincipun mereka
tidak bergerak.
Bwe-toasiansing melamun memandangi lukisan barunya.
Tak peduli apapun yang sedang terjadi di dunia.
Sebaliknya Bwe-jisiansing bertanya, “Anak yang kalian
bawa, saat ini sedang berusaha membunuh orang. Dan
kalian diam saja?”

151
Pah Eng mengangkat tangannya dan tersenyum. “Jujur
saja, walaupun kami mau, kami tak dapat
mencegahnya.”
Bwe-jisiansing tersenyum dingin, “Namun kalau dialah
terbunuh hari ini, pedulikah engkau?”
Pah Eng tidak menjawab, namun tetap tersenyum.
Kata Bwe-jisiansing, “Melihat ekspresimu, aku tahu
bahwa dalam pandanganmu ilmu silatnya cukup tinggi.
Jadi hanya dialah yang dapat membunuh orang. Orang
lain takkan sanggup membunuhnya, bukan?”
Pah Eng hanya dapat menahan tawanya. “Jujur saja,
ilmu silatnya memang hebat. Banyak pesilat tangguh
telah mati di tangannya. Dan lagi, ia punya ayah dan ibu
yang hebat. Walaupun banyak orang telah dirugikan,
mereka tak dapat berbuat apa-apa.”
“Jadi orang tuanya tidak mau mengaturnya?”
‘Untuk anak sepandai ini, orang tua sebaiknya tidak
mengekang terlalu keras.”
Sahut Bwe-jisiansing, “Kau benar. Waktu orang tuanya
melihat dia membunuh orang, mereka mungkin
menegurnya di depan orang-orang. Namun dalam lubuk
hati mereka, mereka lebih bahagia dari siapapun juga.
Sayangnya, hari ini ia bertemu dengan pasienku. Hari ini
hari sialnya.”

152
Lanjut Bwe-jisiansing, “Pasienku hanya perlu
mengibaskan tangannya, dan nyawa anak itupun akan
melayang.”
Pah Eng tertawa. “Hanya mengibaskan tangannya untuk
membunuh dia? Aku rasa tidak mungkin. Maksudmu,
pasien itu adalah Li Tamhoa, Si Pisau Terbang pencabut
nyawa, yang tak pernah luput?”
Bwe-jisiansing mendesah. “Jujur saja, pasienku ini
memang Li Sun-Hoan.”
Waktu didengarnya kalimat ini, wajah Pah Eng langsung
pucat pasi. Dia tertawa kering. “Mengapa kau….
bercanda seperti ini?”
Sahut Bwe-jisiansing, “Jika kau tidak percaya, lihat saja
sendiri.”
Pah Eng segera merangsak ke dalam sambil berteriak,
“Li-tayhiap, Li Tamhoa, sayangkanlah nyawanya!”
Bwe-jisiansing mengeluh. “Orang-orang yang mengaku
gagah ternyata kosong melompong. Hanya hidup anakanaknya
sendiri yang dianggap berharga. Hidup orang
lain tak ada artinya. Hanya mereka yang boleh
membunuh. Orang lain tak boleh menyentuh mereka.”
Di wajah Cin Hau-gi yang tegang tiba-tiba terbentuk
seulas senyuman.

153
Ia berusaha keras untuk menahan senyumnya. Malahan
berkata, “Jika Li Sun-Hoan berani membunuh anak itu, ia
akan menyesal seumur hidup.”
Waktu telapak tangan Li Sun-Hoan maju, tidak tampak
adanya gerakan yang aneh.
Walaupun Ang-hai-ji masih kecil, ia sudah
berpengalaman. Ia melihat telapak tangan itu, namun
tidak menghindar atau menangkis. Ia pikir, lawan hanya
berusaha mengalihkan perhatiannya, dan jurus yang
mematikan akan datang sesudahnya. Ia hanya terus
menyabetkan pedangnya.
Telapak tangan itu tidak mengandung jurus, namun
pedang dapat berubah arah sewaktu-waktu. Walaupun
telapak tangan Li Sun-Hoan dapat memukul anak itu,
pedang anak itu pun dapat melukai Li Sun-Hoan.
Jurus-jurus pedangnya sungguh hebat. Hanya sedikit
pesilat saja yang mampu menandingi kecepatannya,
tenaganya, ketepatannya, dan perhitungannya. Bukan
gurunya yang hebat. Anak ini memang mempunyai bakat
alami.
Tapi sayang, kali ini ia berhadapan dengan Li Sun-Hoan.
Walaupun telapak tangannya tidak mengandung jurus,
gerakan sangat sangat cepat. Kecepatannya tak
terbayangkan.
Jadi berapa banyak gerak tipu yang dikuasai Ang-hai-ji ,
ia takkan sempat menggunakannya. Sebelum pedangnya

154
mengenai Li Sun-Hoan, telapak tangannya telah
memukul dada anak itu.
Namun Ang-hai-ji tidak merasa sakit. Ia hanya merasa
suatu sensasi yang aneh menjalar ke sekujur tubuhnya.
Rasanya seperti sehabis minum arak hangat.
Pada saat yang sama, seseorang menubruk masuk
sambil berteriak, “Li-tayhiap. Sayangkanlah nyawanya!”
Namun Ang-hai-ji telah telentang di tanah. Seakan-akan
baru bangun dari tidur. Badannya terasa lemah sekali,
dan ia tidak bisa bergerak.
Tanya Pah Eng kuatir, “Siauya Hun, engkau baik-baik
saja?”
Ang-hai-ji menyadari ada sesuatu yang salah. Matanya
merah. “Sep… sepertinya aku telah dilukai dengan dalam
oleh orang ini. Cepat. Beritahu ayahku untuk datang
membalas dendam.”
Lalu ia pun menangis meraung-raung.
Pah Eng tak tahu apa yang harus dilakukannya. Keringat
bercucuran dari dahinya.
Sang Kusir berkata dingin. “Kungfu anak ini telah
dimusnahkan, namun setidaknya ia tetap hidup. Itu
hanya karena Siauyaku sungguh welas asih. Jika itu
aku…..”
Pah Eng pura-pura tidak mendengar.

155
“Jika kau ingin membalas dendam, silakan saja.”
Pah Eng diam saja. Lalu ia berlutut di depan Li Sun-
Hoan.
Li Sun-Hoan terperangah, tanyanya, “Apa hubunganmu
dengan anak ini?”
Sahut Pah Eng, “Cayhe Pah Eng. Li Tamhoa pasti tidak
mengenal aku. Namun aku mengenal Li Tamhoa.”
Kata Li Sun-Hoan, “Bagus. Jika orang tua anak ini ingin
membalas dendam, beri tahu mereka untuk mencariku.”
Ang-hai-ji terus menangis meraung-raung, dan
berteriak-teriak, “Kau jahat sekali! Berani-beraninya kau
musnahkan kungfuku. Aku tidak mau hidup lagi… tidak
mau hidup lagi.”
Sang Kusir membentaknya, “Ini pengajaran bagimu
untuk tidak menyakiti orang lain. Jika kau mengerti, kau
mungkin dapat hidup lebih lama. Kalau tidak, kau akan
segera mati.”
Lalu terdengar seseorang berkata, “Kalau begitu,
mengapa Li Tamhoa yang berdarah dingin belum mati
juga?”
“Siapa itu?”
Seorang tua berjubah ungu masuk. “Sudah sepuluh
tahun. Li Tamhoa tidak mengenaliku lagi?”

156
Li Sun-Hoan tersenyum, sahutnya, “Oh, Si Semangat
Baja Terbentang ke Delapan Arah, Cin-loyacu. Tak heran
anak ini dapat membunuh tanpa ragu-ragu. Bersama
denganmu, siapa yang tak dapat dibunuhnya?”
Cin Hau-gi menjawab dingin, “Kurasa orang yang
kubunuh tak sampai setengah dari yang Li-heng (saudara
Li) bunuh.”
Kata Li Sun-Hoan, “Cin-loyacu tak perlu merendah.
Hanya saja, jika aku membunuh, itu karena aku adalah
pembunuh berdarah dingin. Jika kau membunuh, itu
demi keadilan dunia!”
Ia menjengek dan lanjutnya, “Jika anak ini berhasil
membunuhku, kabar yang tersiar pasti adalah bahwa dia
membunuh bukan karena berebut tabib, tapi karena dia
dan Cin-tayhiap bahu-membahu memberantas kejahatan.
Begitu kan?”
Walaupun Cin Hau-gi telah berpengalaman dan tahu
bagaimana menjaga raut wajahnya tetap tenang, tak
urung warna merah merayapi selebar wajahnya.
Ang-hai-ji yang tadinya mendengarkan dengan seksama,
kini mulai meraung-raung lagi, “Paman Cin. Mengapa tak
kau bunuh dia untuk membalaskan dendamku?”
Cin Hau-gi tersenyum dingin. “Jika orang lainlah yang
melukaimu, pasti dendammu akan dibalaskan. Tapi
karena orang inilah yang melukaimu, kau takkan bisa
berbuat apa-apa.”

157
Kata Ang-hai-ji , “Ke…kenapa?”
Cin Hau-gi memandang Li Sun-Hoan, lalu bertanya pada
anak itu, “Tahukah kau siapa dia?”
Ang-hai-ji menggelengkan kepalanya dan berkata keras,
“Aku hanya tahu dia adalah seorang penjahat kejam!”
Seulas senyum keji terbayang di wajah Cin Hau-gi. “Dia
adalah ‘Si Pisau Kilat’ yang terkenal di seluruh dunia, Li
Sun-Hoan. Dia dan ayahmu adalah saudara angkat
sehidup semati!”
Waktu mendengar kata-kata ini Ang-hai-ji sangat
terkejut, namun Li Sun-Hoan merasa hampir pingsan.
“Siapa ayahnya?”
Pah Eng mendesah, katanya, “Ia adalah Liong Siau-in,
anak tertua Liong-siya, Liong Siau-hun!”
[Penulisan nama ayah dan anak dalam huruf romawi
sama persis. Untuk selanjutnya, untuk ayahnya akan
ditulis sebagai Liong Siau-hun, dan untuk anaknya Liong
Siau-in]
Saat itu, nyawa Li Sun-Hoan seperti terbang
meninggalkan raganya. Matanya berkejap-kejap, dan air
mata pun mengalir.
Ekspresi Sang Kusir pun berubah. Keringat mulai
membasahi dahinya.

158
Ia tahu benar tentang hubungan Li Sun-Hoan dengan
pasangan Liong Siau-hun dan Lim Si-im. Sekaranga ia
melukai putra mereka. Dapat dibayangkannya betapa
hancur hati Li Sun-Hoan.
Kata Pah Eng, “Aku tak menyangka akan jadi seperti ini.
Semuanya berawal ketika putra Cin-loyacu hendak
menangkap Bwe-hoa-cat (Bandit Bunga Sakura).
Sayangnya ia terluka dalam pertempuran itu. Dengan
obat-obatan kami yang terbaik, kami berhasil
menyelamatkan nyawanya. Namun ia perlu pertolongan
lebih lanjut untuk terus hidup. Kami tahu bahwa Si Tabib
Sakti Bwe-jisiansing adalah ahli menyembuhkan luka
nomor satu di dunia, terlebih khusus luka akibat senjata
rahasia. Oleh sebab itulah kami datang. Siapa sangka
malah jadi begini.”
Ia bicara pada dirinya sendiri, tak ada yang
mendengarkan.
Bwe-jisiansing juga dapat merasakan kepdihan pada
wajah Li Sun-Hoan. Ia memeriksa luka Ang-hai-ji , lalu
bangkit berdiri. “Anak ini tak kurang suatu apapun. Ia
dapat melakukan apa saja, sama seperti orang lain.”
“Bagaimana dengan ilmu silatnya?”
Sahut Bwe-jisiansing dingin, “Mengapa dia perlu ilmu
silat? Masih ingin membunuh lagi?”
Kata Pah Eng, “Bwe-jisiansing, kau tidak paham. Liongsiya
hanya punya satu putra, dan ia sangat berbakat
dalam ilmu silat. Pasangan itu menaruh harapan yang

159
begitu besar padanya. Berharap ia akan dapat membawa
kehormatan bagi keluarganya. Jika mereka tahu, ia tidak
bisa lagi belajar ilmu silat, betapa sedihnya hati mereka.”
Bwe-jisiansing tertawa dingin, “Kau hanya bisa
menyalahkan pendidikannya yang sangat jelek.
Membiarkan putra mereka menjadi begini kejam. Itu
bukan salah orang lain!”
Li Sun-Hoan tidak menangkap satu pun kata percakapan
ini.
Entah mengapa, ia tiba-tiba tenggelam ke masa lalu.
Begitu banyak kenangan lama, yang tidak seharusnya
dibangunkan, bermunculan satu per satu.
Ia ingat hari itu adalah hari ketujuh di tahun yang baru.
Ia mempunyai sedikit urusan penting, sehingga ia harus
pergi dari rumah sebelum perayaan tahun baru selesai.
Hari itu, juga turun salju. Lim Si-im memasak masakan
yang khusus. Ia pun duduk menemani Li Sun-Hoan
minum arak dan menikmati salju yang turun.
Lim Si-im tumbuh dewasa di rumahnya. Ayahnya adalah
saudara laki-laki istri muda ayah Li Sun-Hoan. Sebelum
mereka meninggal, mereka telah membicarakan tentang
pernikahan anak-anak mereka.
Akan tetapi Li Sun-Hoan dan Lim Si-im tidaklah seperti
anak-anak orang kaya pada umumnya, yang suka
menjaga jarak. Mereka bukan hanya sepasang kekasih,
mereka adalah sahabat karib.

160
Walaupun sepuluh tahun telah berlalu, Li Sun-Hoan
mengingat hari itu bagai hari kemarin saja.
Hari itu bunga Bwe mekar sangat indah. Namun senyum
Lim Si-im yang sudah setengah mabuk jauh lebih indah
daripada bunga Bwe. Hatinya yang lugu dipenuhi dengan
sukacita dan kebahagiaan.
Namun…. tragedi menunggu di depan pintu.
Dalam perjalanan, musuh-musuhnya berkomplot dengan
preman-preman lokal untuk membunuh dia. Walaupun
sembilan belas orang dapat dibunuhnya, ia pun terluka.
Mereka menangkapnya dan memasukkannya ke dalam
kurungan.
Saat itulah Liong Siau-hun tiba.
Dengan tombak perak dirusaknya kurungan itu, sehingga
nyawa Li Sun-Hoan selamat. Lalu dirawatnya luka-luka Li
Sun-Hoan dengan sabar, sampai sembuh betul. Lalu
diantarnya Li Sun-Hoan pulang.
Sejak saat itulah mereka menjadi sahabat karib.
Namun tidak berapa lama kemudian, Liong Siau-hun
jatuh sakit. Orang yang kuat seperti dia, sakit parah
dalam setengah bulan saja, tubuhnya menjadi sangat
kurus.
Setelah ia bertanya berkali-kali, baru Li Sun-Hoan tahu
bahwa penyakit Liong Xiau Yun disebabkan oleh Lim Siim.
Ia telah jatuh cinta, sampai hampir jadi gila.

161
Ia tidak tahu bahwa Lim Si-im adalah tunangan Li Sun-
Hoan. Oleh sebab itu, ia minta izin pada Li Sun-Hoan
untuk boleh menikah dengan ‘sepupunya’. Ia berjanji, ia
akan menjaganya sepenuh hati.
Bagaimana Li Sun-Hoan harus menjawabnya?
Namun bagaimana mungkin ia hanya berpangku tangan
melihat penoLiongnya, sahabat karibnya, mati perlahanlahan?
Di lain pihak, tidak mungkin ia bisa membujuk Lim Si-im
untuk menikah dengan orang lain. Ia tidak mungkin mau.
Hatinya menjadi penuh duka cita, penuh kontradiksi. Ia
hanya dapat menemukan sedikit ketenangan dalam arak.
Setelah lima hari lima malam minum, akhirnya ia
mengambil keputusan bulat. Keputusan yang paling pahit
seumur hidupnya.
Ia memutuskan untuk membiarkan Lim Si-im
meninggalkannya.
Ia harus memberikan jalan bagi Lim Si-im dan Liong
Siau-hun untuk bertemu.
Ia mulai hidup tidak karuan. Walaupun Lim Si-im
membujuknya untuk berubah, ia hanya tertawa saja.
Bahkan membawa dua pelacur terkenal pulang ke
rumah.
Setelah dua tahun, hati Lim Si-im akhirnya hancur luluh.
Seluruh impiannya hancur berantakan.

162
Rencana Li Sun-Hoan telah berhasil. Namun
kemenangannya dipenuhi dengan kesedihan, dan rasa
sakit bukan kepalang. Bagaimana mungkin dia dapat
terus berada di sana dan terus melihat bunga Bwe itu?
Maka diberikannya seluruh rumah dan isinya sebagai
hadiah pernikahan mereka. Lalu ia pergi sendirian. Telah
diputuskannya, tak akan pernah ditemuinya Lim Si-im
lagi.
Namun sekarang, ia telah melukai anak tunggal mereka.
Li Sun-Hoan menelan kenangan pahit ini, dan menelan
air matanya. Ia bangkit berdiri dan berkata, “Di mana
Liong-siya? Aku ikut engkau untuk menemuinya.”
Plakat bertuliskan ‘Li-wan (Taman Li)’ kini berganti
menjadi ‘Hin-hun-ceng (perkampungan Hun berjaya)’.
Namun tulisan di sebelah kiri kanannya masih
terpampang.
‘Satu keluarga, tujuh kelulusan ujian (Cinsu)’
‘Ayah anak, ketiganya menjadi Tamhoa’
Li Sun-Hoan memandangi tulisan ini, seakan-akan
seseorang menendang perutnya.
Pah Eng telah menggendong Ang-hai-ji masuk. Cin Haugi
pun menarik Bwe-jisiansing bersamanya. Namun
orang-orang di sana menatap Li Sun-Hoan.

163
Mereka semua heran mengapa orang asing ini
memandangi tempat ini begitu rupa?
Bab 8. Masa Lalu Tak Mungkin Diubah
Dulu taman ini adalah milik Li Sun-Hoan. Ia tumbuh di
sini. Masa kecilnya menyenangkan dan penuh kenangan
indah. Namun demikian, di tempat ini pulalah ia
mengantarkan kedua orang tuanya dan kakaknya ke
tempat peristirahatan mereka yang terakhir.
Siapa sangka, ia menjadi orang asing di tempat ini.
Li Sun-Hoan tersenyum. Sebuah lagu teringat olehnya,
“Lihat dia sedang membangun rumah. Lihat dia sedang
menjamu tamu. Lihat rumahnya hancur berantakan.”
Ia sungguh memahami lagu ini sekarang. Memahami
pertemuan dan perpisahan dalam hidup, lagu sendu
kehidupan.
Sang Kusir berkata pelan, “Siauya, mari kita masuk.”
Li Sun-Hoan menarik nafas panjang, tertawa getir, dan
berkata, “Karena kita sudah ada di sini, cepat atau
lambat kita harus masuk, bukan?”
Baru saja kakinya melangkah masuk ke pintu depan,
seorang laki-laki tiba-tiba berteriak kasar, “Siapa kau?
Berani-beraninya kau masuk ke rumah Liong-siya!”

164
Seseorang dengan wajah burik, mengenakan mantel bulu
domba, dan tangannya memegang sangkar burung,
datang dan menghalangi langkah Li Sun-Hoan.
Kata Li Sun-Hoan, “Kau adalah….”
Si wajah burik berkacak pinggang dan menjawab galak,
“Aku adalah Koankeh pengurus rumah tangga di sini.
Anak gadisku adalah adik angkat Nyonya Liong. Apa
maumu?”
Sahut Li Sun-Hoan, “Mmmm…. kalau begitu, aku
menunggu di sini saja.”
Si wajah burik tertawa dingin dan berkata, “Kau tak
boleh menunggu di sini. Kau pikir pintu depan rumah
Tuan Liong ini tempat nongkrong?”
Sang Kusir sangat geram, namun ia berusaha keras
menahan diri.
Lalu si wajah burik berteriak lagi, “Aku suruh kalian
pergi! Apakah kalian berlagak tuli?”
Li Sun-Hoan masih dapat menahan geramnya, namun
Sang Kusir tak tahan lagi.
Baru saja hendak dihajarnya orang burik itu, terdengar
suara tergesa-gesa dari dalam, “Sun-huan, Sun-huan,
benarkah kau yang datang?”
Seorang laki-laki setengah umur yang gagah dan
berpakaian indah keluar, wajahnya penuh dengan

165
kegembiraan dan harapan. Segera setelah dilihatnya Li
Sun-Hoan, ia memeluk Li Sun-Hoan erat-erat, katanya,
“Aku benar. Betul-betul kau….betul-betul kau….”
Bahkan sebelum selesai berbicara, air matanya telah
berLimang-Limang.
Bagaimana mungkin Li Sun-Hoan tidak mempunyai
perasaan yang serupa, katanya, “Toako…”
Si wajah burik hanya bisa melongo dan berdiri di situ
seperti orang tolol.
Liong Siau-hun terus-menerus berkata, “Toako, aku
selalu ingat padamu selama bertahun-tahun ini… ingat
padamu….”
Diucapkannya kalimat ini berulang-ulang, dan akhirnya ia
tertawa dan berkata, “Kita saudara angkat bertemu
kembali adalah peristiwa yang bahagia. Mengapa kita
malah menangis seperti nenek-nenek…”
Ia terus tertawa-tawa dan mengajak Li Sun-Hoan masuk.
Lalu ia berseru, “Panggilkan Nyonya. Semua orang
kemari. Mari kuperkenalkan dengan saudara angkatku.
Kau tahu siapa dia? Hehehe… aku jamin kalian pasti
kaget.”
Sang Kusir memandang mereka, di matanya air mata
sudah mengambang. Hatinya terasa masam, tak tahu
apakah ini kebahagiaan, atau kesedihan.
Baru sekarang si wajah burik bernafas lagi. Sambil
dipukul-pukulnya kepalanya ia berkata, “Mati aku, ia

166
adalah Li…. Li Tamhoa. Katanya rumah ini adalah
hadiahnya kepada Tuan dan Nyonya. Tapi aku malah
menghalangi dia masuk. A…aku pantas mati.”
Ang-hai-ji , Liong Siau-in, duduk di sofa besar di ruang
keluarga, dikelilingi beberapa orang. Ia tahu sekarang
bagaimana hubungan Li Sun-Hoan dengan ayahnya,
sehingga ia jadi merasa sangat takut. Bahkan untuk
menangis pun tidak berani.
Namun pada saat Liong Siau-hun membawa masuk Li
Sun-Hoan, dua orang yang berdiri dekat Liong Siau-in
segera maju. Sambil menuding Li Sun-Hoan, seorang
berkata, “Apakah kau yang melukai In-siauya?”
Sahut Li Sun-Hoan, “Benar.”
Orang itu berkata lagi, “Bagus. Kau memang punya
nyali.”
Dua orang, satu dari kiri dan satu dari kanan menyerang
Li Sun-Hoan bersamaan.
Li Sun-Hoan tidak bergerak sama sekali, namun Liong
Siau-hun menyorongkan telapak tangannya dan
menendang sambil melompat, menyelesaikan kedua
penyerang itu. Dengan marah ia berteriak, “Beraniberaninya
kau menyerang dia! Kalian berdua memang
punya nyali. Tahukah kalian siapa dia?”
Kedua penjilat ini tak menyangka bahwa perbuatan
mereka menjadi senjata makan tuan.

167
Salah seorang berkata tergagap, “Ka..kami hanya
berusaha membantu Siauya…”
Liong Siau-hun berkata dengan penuh wibawa, “Apa
maksud kalian? Putra Liong Siau-hun adalah putra Li
Sun-Hoan. Ia berhak mendidik anak itu. Jika ia
mengambil nyawa setan kecil itu pun, bukan masalah
bagiku.”
Tambahnya lagi, “Mulai saat ini, masalh ini tak perlu
diungkit-ungkit lagi. Siapa yang berani mengungkitnya,
berarti dengan sengaja mencari permusuhan dengan
aku!”
Li Sun-Hoan berdiri mematung, tak tahu harus merasa
apa.
Jika Liong Siau-hun memaki-maki dia, atau memutuskan
persaudaraan mereka, mungkin ia malah merasa lebih
lega. Namun sebaliknya, Liong Siau-hun menilai
hubungan mereka sangat berharga, membuat Li Sun-
Hoan semakin merasa bersalah dan tertekan. “Toako,
aku tak menyangka….”
Liong Siau-hun menepuk pundaknya, dan berkata sambil
tersenyum, “Toako, sejak kapan kau jadi pemalu? Anak
berandalan ini terlalu dimanja oleh ibunya. Tidak
seharusnya aku mengajari dia kungfu.”
Lanjutnya, “Ayo, ayo. Ambilkan arak kemari. Siapa yang
dapat membuat kami bersaudara mabuk akan kuberi 500
tail perak.”

168
Ketika ia bicara tentang uang itu, siapakah dalam
ruangan itu yang tidak menjadi rakus? Semua orang
segera berlomba-lomba menyulangi mereka.
Terdengar suara berkata, “Nyonya telah tiba.”
Akhirnya Li Sun-Hoan berjumpa lagi dengan Lim Si-im.
Walaupun Lim Si-im bukan wanita sempurna,
kecantikannya pun tak dapat disangkal. Wajahnya pucat,
tubuhnya kurus, dan matanya, walaupun sangat cerah,
tapi pandangannya dingin. Namun perilakunya,
keanggunannya, tak ada bandingannya.
Apapun yang terjadi, ia dapat membuat kehadirannya
dirasakan orang. Siapapun yang berjumpa dengannya,
takkan dapat melupakannya.
Wajah ini telah hadir dalam benak Li Sun-Hoan ribuan
kali. Namun setiap kali selalu tampak sangat, sangat
jauh.
Setiap kali Li Sun-Hoan akan memeluknya, ia selalu
bangun dari mimpinya, dengan sekujur tubuh berkeringat
dingin. Memandangi malam yang kelam dan dingin,
menunggu datangnya fajar dengan hati perih. Namun
setelah pagi tiba pun, ia tetap merasa hancur, tetap
kesepian.
Kini wanita dalam mimpinya berada di depan matanya.
Namun kenyataan kadang-kadang lebih kejam daripada
angan-angan. Dalam kenyataan, ia tidak punya pilihan
untuk melarikan diri. Ia hanya bisa menggunakan

169
senyum untuk menyembunyikan perasaan yang
sesungguhnya. Ia memaksakan diri untuk tersenyum,
sapanya, “Toaso (Kakak ipar), apa kabar?”
‘Toaso’.
Wanita impiannya kini telah menjadi Toasonya. Sang
Kusir memaLingkan wajahnya, tak kuasa melihat lebih
jauh. Karena hanya dia seoranglah yang tahu bagaimana
menyakitkannya bagi Li Sun-Hoan untuk memanggilnya
‘Toaso’.
Jika ia ada di tempat Li Sun-Hoan, ia tidak yakin ia
mampu mengucapkannya. Ia tidak tahu, sanggupkah ia
menerima kenyataan sepahit itu.
Jika ia tidak memaLingkan wajahnya, air matanya pasti
sudah berLimang-Limang.
Namun, Lim Si-im sepertinya tidak mendengar
sapaannya.
Kesedihannya tertumpah seluruhnya pada putranya.
Waktu anak ini melihat ibunya, segera ia berlari ke
pelukannya, lalu kembali menangis meraung-raung, “Aku
tidak bisa lagi belajar kungfu, aku sudah cacad. A…Aku
tak mau hidup lagi!”
Lim Si-im memeluknya erat-erat, tanyanya, “Siapa yang
melukaimu?”
Ang-hai-ji menjawab cepat, “DIA!”

170
Kepala Lim Si-im berputar ke arah yang ditunjuk oleh
putranya, dan matanya bertemu dengan wajah Li Sun-
Hoan.
Ia menatap Li Sun-Hoan, seakan-akan menatap seorang
asing. Sedikit demi sedikit kebencian merebak di
matanya. Ia berkata sekata demi sekata, “Kau….
Benarkah kau yang melukainya?”
Li Sun-Hoan hanya dapat mengangguk cepat.
Tidak tahu tenaga dari mana yang menahan dia tetap
berdiri. Lututnya terasa sangat lemas.
Lim Si-im terus menatapnya tanpa berkedip, lalu katanya
sambil menggigit bibirnya, “Bagus. Bagus sekali. Aku
sudah tahu sejak lama bahwa kau takkan membiarkan
aku hidup dengan tenang. Kau bahkan mengambil
secercah kebahagiaanku yang terakhir. Kau….”
Liong Siau-hun memotong kata-katanya, “Kau tak boleh
berbicara seperti itu padanya. Ini bukan kesalahannya.
Semuanya karena Anak In suka mencari masalah.
Sekarang ia bisa berhenti berbuat onar. Dan lagi, pada
saat itu ia tidak tahu bahwa anak itu adalah putra kita.”
Ang-hai-ji berteriak, “Dia tahu! Dia sudah tahu. Pada
awalnya dia tak sanggup melukai aku. Tapi waktu aku
dengar bahwa dia adalah sahabat ayah, aku berhenti.
Tapi dia malah mengambil kesempatan dan melukai
aku.”

171
Tubuh Sang Kusir hampir meledak mendengar ucapan
anak ini, namun Li Sun-Hoan hanya berdiri terdiam,
bahkan tidak berusaha membela diri.
Ia telah melewati lembah tergelap dalam hidupnya. Buat
apa berdebat dengan anak kecil?
Namun Liong Siau-hun membentak, “Anak kurang ajar,
masih berani kau berbohong!”
Ang-hai-ji hanya menangis terus sambil berkata, “Aku
tidak bohong, Bu. Sungguh aku tidak bohong!”
Liong Siau-hun dengan marah hendak menarik anak itu,
tapi Lim Si-im menghalanginya, dan bertanya keras, “Kau
mau apa?”
Liong Siau-hun menghentakkan kakinya, sahutnya, “Anak
setan ini sungguh terlalu liar. Aku akan membuatnya
cacad sekarang, supaya ia tidak lagi membuat
keributan!”
Wajah Lim Si-im yang pucat jadi bersemu merah, dan
berkata, “Kalau begitu silakan bunuh aku juga!”
Pandangannya tiba-tiba beralih pada Li Sun-Hoan, dan
berkata dengan seringai dingin, “Kalian adalah laki-laki
yang gagah perkasa. Pasti mudah bagi kalian berdua
untuk membunuh seorang anak kecil. Tambah satu
wanita lemah, tak akan jadi soal, bukan?”
Liong Siau-hun mengeluh panjang, katanya, “Si-im, sejak
kapan kau jadi ngaco begini?”

172
Lim Si-im tidak menggubrisnya dan segera menggendong
anaknya pergi ke kamarnya. Langkahnya ringan, namun
sudah cukup untuk meluluhlantakkan hati Li Sun-Hoan.
Liong Siau-hun menghela nafas, katanya, “Maafkanlah
dia, Sun-huan. Ia biasanya cukup mau mengerti. Namun
waktu seorang wanita menjadi seorang ibu, kadangkadang
ia jadi tidak masuk akal.”
Sahut Li Sun-Hoan, “Aku tahu. Demi anak, semua yang
dilakukan ibu adalah benar.”
Dipaksakannya tersenyum, dan dilanjutkannya,
“Walaupun aku belum pernah jadi ibu, aku pernah jadi
anak seorang ibu.”
Pameo ‘Jika kau minum untuk mengurangi kesedihanmu,
kau malah akan merasa tambah sedih’, tidaklah terlalu
tepat. Sedikit arak memang akan membuat seseorang
semakin teringat akan masa lalu, masa lalu yang pahit.
Namun jika seseorang mabuk berat, maka ia akan lupa
segalanya.
Kelihatannya Li Sun-Hoan paham akan hal ini, oleh sebab
itu ia minum sedemikian rupa, seolah-olah hidupnya
bergantung pada botol arak itu.
Tidak sulit untuk menjadi mabuk. Namun seseorang yang
memiliki begitu banyak persoalan akan minum lebih
sering dan lebih banyak. Jadi waktu tiba saatnya ia ingin
mabuk, ia tidak bisa mabuk lagi.
Kini hari telah gelap.

173
Begitu banyak arak telah diminumnya, namun Li Sun-
Hoan tidak menunjukkan sedikit pun tanda-tanda akan
mabuk.
Tapi tiba-tiba ia menyadari, tidak ada seorang pun yang
mabuk. Hampir 20 orang ada di situ dan mereka telah
minum begitu lama. Namun tidak seorang pun mabuk.
Sungguh aneh.
Malam telah semakin larut. Wajah setiap orang sungguh
kelam. Sepertinya mereka sedang menantikan
kedatangan seseorang.
Tiba-tiba terdengar bunyi lonceng. Hari sudah tengah
malam.
Wajah semua orang langsung berubah. Salah satunya
berkata, “Sudah tengah malam. Mengapa Tio-toaya
belum datang juga?”
Li Sun-Hoan mengangkat alisnya dan bertanya,
“Siapakah Tio-lotoa ini? Mengapa tidak ada yang minum
arak sebelum dia datang?”
Seorang dari mereka tersenyum dan berkata, “Aku tak
ingin menyembunyikan ini dari Li Tamhoa, namun
sebelum Tio-toaya tiba, kami semua tidak berani
minum.”
Seorang yang lain berkata, “Tio-toaya berjulukan Thi-binbu-
su (Si Wajah Besi Maha Adil), Tio Cing-ngo. Ia pun
kakak angkat Liong-siya. Apakah kau tidak tahu?”

174
Li Sun-Hoan tersenyum lebar, katanya, “Dalam sepuluh
tahun terakhir ini, kelihatannya kakak angkatku telah
menjaLim persahabatan dengan begitu banyak orang
hebat. Aku bersulang untukmu.”
Wajah Liong Siau-hun menjadi merah, ia tersenyum
terpaksa dan berkata, “Toako adalah saudaramu juga.
Mari, aku pun ingin bersulang untukmu.”
Kata Li Sun-Hoan, “Tidak jelek juga. Tak kusangka aku
tiba-tiba mempunyai beberapa orang kakak. Namun aku
tidak tahu apakah pahlawan-pahlawan besar ini mau
menganggap aku sebagai adik.”
Liong Siau-hun terbahak-terbahak, sahutnya, “Mereka
akan gembira luar biasa. Mengapa mereka tidak
senang?”
“Tapi….”
Tidak jelas apa yang hendak dikatakannya, tapi tiba-tiba
ia mengganti pembicaraannya. “Tio-toaya telah lama
berjulukan Thi-bin-bu-su. Katanya ia tidak pernah
tersenyum. Jika aku bertemu dengannya, mungkin aku
takkan berselera lagi untuk minum. Tak kusangka semua
orang di sini menunggunya datang sebelum mulai
minum.”
Liong Siau-hun berpikir sejenak, lalu ia tersenyum,
katanya, “Bwe-hoa-cat telah muncul lagi….”
Li Sun-Hoan memotongnya dengan cepat, “Aku sudah
dengar.”

175
Kata Liong Siau-hun, “Tapi tahukah kau di mana dia
berada?”
Jawab Li Sun-Hoan, “Kudengar orang ini tak pernah
menetap.”
Liong Siau-hun menyahut cepat, “Benar. Ia bisa berada
di manapun juga. Tapi aku berani jamin, saat ini ia
sedang berada di kota ini. Malah mungkin ada dekat
rumahku.”
Waktu ia mengatakan hal ini, leher semua orang
langsung menciut. Api besar di tengah ruangan seakanakan
tak mampu menghalangi angin dingin dari luar.
Li Sun-Hoan bertanya, “Maksudmu ia telah muncul?”
Liong Siau-hun menjawab perlahan. “Betul. Putra tertua
Cin-samko hampir mati di tangannya dua hari yang lalu.”
Li Sun-Hoan bertanya, “Siapa lagi yang dilukainya?”
Jawab Liong Siau-hun, “Aku tak tahu jawabannya.
Biasanya orang ini hanya melukai satu orang sekali
bertempur. Dan lagi, ia hanya muncul setelah tengah
malam!” Lalu lanjutnya sambil terkekeh, “Caranya
membunuh sama seperti cara seseorang minum arak. Ia
menetapkan waktunya, dan juga dosisnya.”
Li Sun-Hoan ikut terkekeh, namun ia tidak tampak
tenang lagi. Tanyanya, “Bagaimana dengan semalam?”

176
Sahut Liong Siau-hun, “Semalam tak ada kejadian
apapun.”
Kata Li Sun-Hoan, “Kalau begitu, mungkin tujuannya
memang Cin-toasiauya. Ia tak akan muncul lagi.”
Namun jawab Liong Siau-hun, “Ia akan muncul cepat
atau lambat.”
“Kenapa? Apakah ia punya masalah denganmu, Toako?”
Liong Siau-hun menggelengkan kepalanya, katanya,
“Tujuannya bukan Cin Tiong ataupun diriku.”
“Lalu siapa?”
Liong Siau-hun belum sempat menyelesaikan
jawabannya, “Tujuannya adalah Lim….”
Waktu Li Sun-Hoan mendengar kata ‘Lim’, jawahnya
langsung berubah. Namun ternyata ia tidak menyebut
‘Lim Si-im’, namun ‘Lim Sian-ji’.
Li Sun-Hoan menghela nafas lega dalam hati, ia
bertanya, “Lim Sian-ji? Siapa dia?”
Liong Siau-hun tertawa terbahak-bahak, katanya,
“Toako, jika kau tak tahu siapa Lim Sian-ji, maka engkau
sudah terlalu tua. Jika ini terjadi sepuluh atau lima belas
tahun yang lalu, mungkin kau akan lebih mengenal nama
ini dibandingkan dengan orang lain.”
Li Sun-Hoan juga tertawa. “Ia pasti sangat cantik.”

177
Kata Liong Siau-hun, “Ia tidak hanya cantik, ia disebut
sebagai wanita tercantik seluruh jagad persilatan. Jumlah
pahlawan muda yang jatuh cinta padanya tidak
terhitung.”
Kemudian ia melihat pada orang-orang yang ada di sana,
dan dengan geli berkata, “Kau pikir mereka semua ini
datang untuk aku? Jika Lim Sian-ji tidak ada di sini,
walaupun kusuguhkan makanan dan arak yang terbaik,
mungkin tak ada seorangpun yang sudi datang.”
Wajah semua orang di situ bersemu merah. Namun
wajah dua orang pemuda menjadi merah padam. Liong
Siau-hun menatap mereka berdua dan katanya, “Kalian
berdua cukup beruntung. Setidaknya sekarang kalian
punya kesempatan. Jika Toako ini masih muda, kalian tak
mungkin punya secuilpun harapan.”
Li Sun-Hoan pun tertawa, katanya, “Jadi kakakku
menganggap aku benar-benar tua? Tubuhku mungkin
tua, namun hatiku tetap muda.”
Mata Liong Siau-hun berbinar-binar, lalu tertawa lagi.
“Benar, kau memang benar. Walaupun ia punya begitu
banyak pengagum, namun kurasa ia akan tertarik
padamu.”
Sahut Li Sun-Hoan, “Sayangnya aku telah tenggelam
dalam arak sepuluh tahun ini. Teknikku sudah
ketinggalan jaman.”
Liong Siau-hun memegang tangannya erat-erat, katanya,
“Tapi ada suatu hal yang tidak kau sadari. Nona Lim

178
tidak hanya cantik, ia juga sangat berambisi. Ia tidak
ingin menikah dengan siapapun. Namun ia telah
mengumumkan bahwa siapa pun yang berhasil
membunuh Bwe-hoa-cat , sekalipun dia sudah tua atau
burikan, ia bersedia menjadi istrinya.”
Sahut Li Sun-Hoan, “Jadi mungkin karena inilah Bwehoa-
cat bermaksud membunuh dia.”
Liong Siau-hun menjawab, “Benar.Bwe-hoa-cat pergi ke
Leng-hiang-siau-tiok dua hari yang lalu untuk mencari
dia. Dia tidak menyangka bahwa Cin Tionglah yang ada
di sana, sehingga ia melukai Cin Tiong.
Mata Li Sun-Hoan bercahaya, “Jadi Cin-toasiauya juga
adalah salah satu pengagumnya?”
Liong Siau-hun terkekeh, lalu berkata, “Tadinya ia punya
kesempatan besar, namun sekarang…”
Li Sun-Hoan tersenyum. “Leng-hiang-siau-tiok telah
kosong sejak lama. Kini, karena wanita itu tinggal di
sana, suasananya pasti lebih hangat. Bahkan pemudapemuda
yang sedang dimabuk cinta pun datang ke
sana.”
Wajah Liong Siau-hun menjadi merah, katanya, “Lenghiang-
siau-tiok adalah tempat kau tinggal dulu.
Seharusnya tak kubiarkan orang lain mendiaminya.
Tapi… tapi….”
Li Sun-Hoan memotongnya cepat, “Kalau tempat itu
dapat merasakan kehadiran seorang yang cantik, itu

179
keuntungan baginya. Jika sang hutan menyadari siapa
yang ada di sana, mereka pasti akan bersuka cita.
Mereka takkan membiarkan aku meludah sembarangan
lagi di sana.”
“Namun apakah hubungan wanita ini denganmu, Toako?”
Liong Siau-hun terbatuk dua kali, katanya, “Ia bertemu
dengan Si-im waktu ia pergi berdoa ke kuil. Mereka
langsung cocok dan menjadi saudari angkat. Sama
seperti kau dan aku.”
Kata Li Sun-Hoan, “Jadi ayahnya adalah pengurus rumah
tangga yang bertemu denganku di pintu depan?”
Liong Siau-hun tertawa, sahutnya, “Tak bisa dipercaya
bukan? Sebenarnya tak ada yang percaya orang burik itu
memiliki anak seperti dia. Ini yang namanya ‘Dalam
sarang gagak lahir burung api (burung phoenix)’.
Lalu kata Li Sun-Hoan, “Tio-toaya sedang mengumpulkan
orang untuk melindunginya? Apakah Tio-toaya kini telah
menjadi seorang romantis?”
Liong Siau-hun seperti tidak menangkap maksud Li Sun-
Hoan, dan ia terus berkata, “Di samping hendak
melindunginya, ia juga ingin menangkap Bwe-hoa-cat .
Dan lagi, begitu banyak orang telah bersusah-payah
mengumpulkan uang untuk hadiah yang dijanjikan.
Seluruh uang itu ada di rumahku sekarang. Jika sesuatu
terjadi pada uang itu….”

180
Waktu Li Sun-Hoan mendengar, ia langsung bertanya,
“Mengapa Toako bersedia memikul beban yang begitu
berat?”
Jawab Liong Siau-hun, “Seseorang harus memikulnya.”
Li Sun-Hoan berpikir sejenak, lalu katanya, “Sudah lewat
tengah malam. Mungkinkah si bandit tidak akan datang
malam ini?”
Ia tiba-tiba bangkit, dan katanya lagi, “Karena Tio-toaya
belum juga datang, dan tidak ada yang mau minum, aku
pikir aku akan berjalan-jalan. Mungkin aku akan
mengunjungi teman-teman lamaku, pohon-pohon Bwe.”
Kata Liong Siau-hun, “Mungkin kau tak hanya akan
bertemu dengan pohon Bwe, tapi juga dengan Bwe-hoacat
.”
Li Sun-Hoan hanya tersenyum.
Liong Siau-hun bertanya, “Mengapa kau pergi
menghadapi bahaya sendirian?”
Li Sun-Hoan hanya terus tersenyum.
Liong Siau-hun masih memandangnya, lalu berkata
sambil tersenyum, “Baik, baiklah. Aku tahu, kalau kau
sudah ingin, tak ada orang yang dapat menahanmu. Lagi
pula, jika Bwe-hoa-cat tahu bahwa kau ada di sini, ia
pasti tidak akan berani muncul.”

181
Pohon-pohon Bwe di taman masih ada. Tapi apakah yang
telah terjadi pada orang dalam taman itu?
Li Sun-Hoan duduk di sana sendirian. Dipandangnya
secercah cahaya lilin di kejauhan. Sepuluh tahun yang
lalu, rumah itu adalah miliknya. Orang-orang dalam
rumah ini adalah pelayannya.
Kini, semuanya telah berlalu. Tak dapat kembali lagi.
Hanya mimpi, dan kesendirian yang tinggal tetap.
Mimpi memang menyakitkan. Namun tanpa mimpi itu,
bagaimana bisa ia bertahan hidup?
Setelah menyeberangi jembatan di hutan pohon Bwe,
ada sebuah bilik kecil di antara pepohonan. Ini adalah
tempat Li Sun-Hoan dulu berlatih silat dan membaca
buku. Jika ia membuka jendela bilik itu, ia dapat melihat
rumah itu, dan melihat orang itu tersenyum manis
padanya.
Namun kini……
Waktu cinta makin mendalam, ia menjadi dangkal. Li
Sun-Hoan menghela nafas. Dibersihkannya salju di
bahunya, dan ia mulai menyeberangi jembatan ini. Tak
ada seorang pun di sini. Ia pun tidak mendengar apaapa.
Waktu Bwe-hoa-cat beraksi adalah lewat tengah
malam. Tidak ada seorang pun yang berani datang ke
sini pada saat itu.

182
Ia tidak berniat menemui Lim Sian-ji. Ia tahu, Lim Sian-ji
pun tak akan tinggal di situ lama. Ia hanya ingin melihat
bekas biliknya.
Saat itulah terdengar suara tawa halus.
Seluruh tubuh Li Sun-Hoan menegang. Tubuhnya yang
biasanya malas-malasan kini penuh dengan tenaga, dan
ia segera melesat ke arah suara itu.
Suara tawa itu kedengaran seperti tawa seorang wanita.
Dan tawa yang sangat halus.
Lalu dilihatnya sekelebat bayangan putih melarikan lari di
belakangnya. Lalu sekelebat bayangan hitam datang
menyerangnya.
Tubuh orang ini cukup besar, dan gerakannya cepat.
Walaupun jaraknya masih sekitar tiga meteran, Li Sun-
Hoan sudah dapat merasakan angin yang kuat dan dingin
datang menyambutnya.
Li Sun-Hoan menyadari, ilmu silat orang ini aneh, tapi
sangat hebat.
Bwe-hoa-cat !
Mungkinkah memang dia?
Li Sun-Hoan tidak menangkis. Jika tidak benar-benar
perlu, ia tidak pernah akan bertempur mati-matian
dengan siapapun. Ia merasa, tenaganya jauh lebih
penting dari pada tenaga orang lain.

183
Suatu ketika, seorang temannya mendesak dia untuk
bertanding tenaga dalam, namun Li Sun-Hoan terus
menolak. temannya ingin tahu alasannya.
Li Sun-Hoan hanya menjawab, “Aku kan bukan kerbau.
Kenapa aku harus bertarung seperti seekor kerbau?”
Ia menganggap ilmu silat juga adalah ilmu seni.
Gerakannya harus luwes. Jika seseorang memaksa
berduel dengan orang lain, kedua orang itu pastilah
bodoh seperti kerbau.
Karena Deng Lie adalah sahabatnya, ia bisa menolak
ajakannya. Namun orang ini menginginkan kematiannya,
maka mula-mula ia harus menutup seluruh jalan Li Sun-
Hoan untuk melarikan diri.
Selain itu, kedua orang ini sedang berlari saling
mendekati. Jika Li Sun-Hoan mengelak, berarti ia sudah
kalah selangkah. Ketika musuh menyerang lagi, Li Sun-
Hoan akan benar-benar tidak bisa berkutik.
Oleh sebab itu, tiba-tiba Li Sun-Hoan mundur.
Kecepatannya berubah arah, sungguh mengagumkan.
Bahkan lebih cepat daripada ikan di air.
Namun orang berbaju hitam itu pun terus merangsak
dengan telapak tangan teracung ke arahnya.
Setelah mundur dengan kecepatan bagai kilat, tiba-tiba
tubuh Li Sun-Hoan menjadi santai. Tangannya seolahKANG
ZUSI at http://cerita-silat.co.cc/
184
olah tidak bergerak, namun pisau terbangnya telah
melesat!
Orang berbaju hitam itu menjerit kesakitan. Ia
melompat, berbalik arah, dan kemudian lari masuk
kembali ke dalam hutan.
Li Sun-Hoan tetap berdiri, seolah-olah merasa bosan. Ia
tidak mengejar.
Sebelum berhasil keluar dari hutan, orang berbaju hitam
itu telah terjerembab.
Li Sun-Hoan menggelengkan kepalanya dan menghela
nafas. Diikutinya tetesan darah itu, dan ditemukannya
tubuh orang itu.
Tangannya sedang memegangi lehernya, darah masih
terus membanjir keluar. Pisau kecil yang berkilat itu telah
dicabut, tergeletak di samping tubuhnya.
Li Sun-Hoan memungut pisaunya, dan memperhatikan
wajah orang itu yang menggambarkan rasa sakit luar
biasa. Tanyanya, “Jikalau kau bukan Bwe-hoa-cat ,
mengapa kau menyerang aku?”
Orang ini hanya bisa mengertakkan gigi.
Li Sun-Hoan berkata, “Walaupun kau tidak mengenal
aku, aku ingat siapa engkau. Kau adalah murid tertua In
Gok. Aku bertemu denganmu sepuluh tahun yang lalu.
Aku tak pernah lupa pada orang yang pernah kutemui.”

185
Orang itu berusaha sungguh-sungguh untuk berbicara.
“Ak….Aku jug…a meng…enalimu.”
“Jika kau mengenaliku, mengapa kau ingin
membunuhku? Kau ingin aku tutup mulut? Bahkan jika
engkau punya janji kencan dengan seseorang di tempat
ini. Itu pun bukan rahasia yang terlalu besar, bukan?”
Orang ini ingin menjawab, tapi tidak bisa.
Li Sun-Hoan hanya bisa menggelengkan kepalanya,
katanya, “Aku tahu, kau pasti sedang berbuat sesuatu
yang kau tidak ingin orang lain tahu. Maka kau ingin
membunuhku. Mungkin pada saat itu kau tidak tahu
bahwa orang itu adalah aku.”
Ia mendesah lagi sebelum melanjutkan. “Karena kau
ingin membunuhku, maka aku harus membunuhmu. Kau
memilih orang yang salah. Demikian pula aku….”
Tiba-tiba orang itu menjerit keras dan menubruk ke arah
Li Sun-Hoan.
Li Sun-Hoan berdiri mematung. Sesaat sebelum telapak
tangannya menyentuh dada Li Sun-Hoan, ia terkulai,
selamanya takkan bangun lagi.
Li Sun-Hoan memandangnya cukup lama. Lalu ia
menengadah dan berkata, “Dua malam yang lalu, putra
Cin Hau-gi. Malam ini giliran murid In Gok. Sepertinya
Lim Sian-ji punya banyak waktu senggang dan punya
selera yang cukup baik pula. Kenalannya adalah anakanak
muda kenamaan. Namun adakah anak gadis yang

186
tidak bermimpi bertemu pangerannya? Apa yang dipikir
oleh pemuda-pemuda yang dimabuk cinta ini? Ini kan
bukan kejahatan. Mengapa mereka
menyembunyikannya? Apakah ada rahasia lain di balik
semua ini?”
Lilin di Leng-hiang-siau-tiok masih menyala. Ada
bayangan seseorang di sana. Tampaknya seperti orang
yang pergi melarikan diri tadi. Tubuh itu sangat ramping.
Mungkinkah itu Lim Sian-ji?
Sambil berpikir, Li Sun-Hoan berjalan ke sana.
Matanya tiba-tiba berbinar, seperti sedang memikirkan
sesuatu yang sangat menarik.
Angin dingin berhembus melewati hutan itu dan salju
pun berjatuhan ke tanah.
Tiba-tiba salju itu terhambur, seakan-akan digerakkan
oleh kekuatan gaib. Seseorang sedang menyerang dari
belakang.
Li Sun-Hoan menegakkan tubuhnya, menyadari
sepenuhnya akan adanya tenaga pedang yang sedang
terarah padanya.
Pedang itu telah menyayat sebagian jubahnya.
Di malam yang dingin ini, dalam hutan Bwe yang sepi,
ada berapa orangkah yang menginginkan nyawanya? Ia
telah berkelana selama sepuluh tahun, dan baru hari ini
pulang!

187
Mungkinkah ini penyambutan yang telah dipersiapkan
untuknya?
Jika Li Sun-Hoan mengelak ke kiri, tangan kanannya pasti
buntung. Jika ia mengelak ke kanan, tangan kirinyalah
yang akan buntung. Jika ia maju, punggungnya akan
ditembus pedang. Ke manapun dia pergi, tak mungkin ia
menghindari pedang ini!
Ujung pedang itu telah menembus jubahnya.
Di saat yang tepat, tubuh Li Sun-Hoan berpindah. Dapat
dirasakannya dinginnya ujung pedang itu lewat sangat
dekat dengan tubuhnya.
Dalam semua pertempurannya, belum pernah ia sedekat
ini dengan kematian.
Namun musuhnya lebih terkejut lagi karena serangannya
gagal. Tiba-tiba ujung pedang itu berganti arah, menukik
ke bawah ke arah Li Sun-Hoan. Tapi pada saat itu pisau
Li Sun-Hoan telah menyayat pergelangan tangannya.
Pisau ini sangat sangat cepat, tak ada yang dapat
membayangkan kecepatannya.
Orang itu terkejut luar biasa. Ia menjerit keras.
Dilepaskannya pedangnya selagi bergerak mundur.
Adakah ilmu silat yang lebih cepat daripada Pisau
Terbang Si Li Kecil?
Tiba-tiba seseorang beseru, “Toako, berhenti!”

188
Suara ini milik Liong Siau-hun.
Li Sun-Hoan berusaha menenangkan diri. Liong Siau-hun
telah masuk ke dalam hutan. Penyerang Li Sun-Hoan pun
unjuk diri. Ia adalah seorang pemuda berwajah gagah
dan berpakaian serba putih.
Liong Siau-hun segera berdiri di antara mereka berdua.
Ia bertanya, “Bagaimana kalian berdua bisa jadi
bertempur?”
Mata anak muda itu bercahaya di tengah malam, seperti
mata burung hantu. Ia menatap Li Sun-Hoan dan
menyahut dingin, “Aku menemukan orang mati di dekat
hutan. Maka aku yakin bahwa orang di dalam hutan
pastilah Bwe-hoa-cat .”
Li Sun-Hoan tersenyum, “Mengapa tidak terpikir olehmu
bahwa orang mati itu adalah si bandit?”
Anak muda itu tertawa dingin, katanya, “Bagaimana
mungkin Bwe-hoa-cat mati dengan sangat mudah?”
Sahut Li Sun-Hoan, “Maksudmu, Bwe-hoa-cat hanya
mungkin terbunuh oleh dirimu? Sayang sekali….”
Liong Siau-hun segera memotong sambil tertawa, “Kalian
berdua, tenanglah dulu. Ini hanya suatu
kesalahpahaman. Untung saja kami datang cepat. Kalau
tidak, mungkin akan ada yang terluka.”

189
Li Sun-Hoan tersenyum sedikit, lalu diambilnya pedang
yang masih tersangkut di jubahnya. Ia memandangi
pedang itu, lalu pujinya, “Pedang yang sangat bagus!”
Ia mengembalikan pedang itu pada si anak muda, dan
berkata, “Pedangnya sangat terkenal. Pemiliknya pun
pasti terkenal. Hari ini terjadi salah paham, namun aku
gembira bisa bertemu denganmu. Tidak setiap hari
seseorang bisa bertemu dengan pedang setenar itu.”
Muka anak muda itu menjadi merah padam. Setelah
diterimanya kembali, dijentiknya pedang itu dan patahlah
pedang itu menjadi dua.
Li Sun-Hoan mengeluh, katanya, “Pedang yang luar
biasa. Sungguh sayang.”
Anak muda itu menatap Li Sun-Hoan sambil berkata,
“Tanpa pedang itu pun aku masih bisa membunuh. Kau
tidak perlu menguatirkan aku.”
Li Sun-Hoan tertawa. “Kalau saja aku tahu, lebih baik
baik kuminta pedang itu untuk ditukarkan dengan jubah
yang baru.”
Anak muda itu tertawa mengejek, sahutnya, “Kau tak
perlu kuatir akan hal itu juga. Jangankan satu, sepuluh
jubah pun akan kuganti.”
Kata Li Sun-Hoan, “Tapi tak ada satu jubah pun seperti
milikku.”
“Apa sih istimewanya? Apakah warnanya khusus?”

190
Li Sun-Hoan berkata dengan wajah serius, “Bukan
warnanya. Hanya saja, jubahku ini punya mata.”
Bab 9. Pertemuan Kembali
Waktu anak muda itu mendengar perkataan Li Sun-Hoan,
ia berusaha tenang. Lalu ia menyeringai dan berkata,
“Sangat menarik. Perkataanmu sangat menarik.
Bagaimana sehelai jubah bisa punya mata?”
Li Sun-Hoan tersenyum dan menjawab, “Kalau jubahku
tidak punya mata, bagaimana ia dapat melihat
kedatangan pedangmu? Lalu bagaimana aku dapat
mengelak dari bokonganmu?”
Wajah anak muda itu langsung kecut, tangannya
bergetar.
Liong Siau-hun terbatuk dua kali, lalu tertawa. “Kalian
berdua sungguh pandai berkelakar. Siauya dari Congkiam-
san-ceng (Istana Pedang Rahasia) tentu tidak perlu
pusing urusan pedang. Mengapa kau mempermasalahkan
tentang jubahmu?”
Kata Li Sun-Hoan, “Jadi ini adalah Yu-siaucengsu.”
Liong Siau-hun menjawab sambil tersenyum, “Betul. Ia
adalah putra dari putra tertua Cianpwe Cong-liong (Naga
Rahasia). Ia juga adalah murid tunggal Si Nomor Satu
Pedang Elang Salju. Kalian pasti akan sering berjumpa di
kemudian hari.”

191
Mata Yu Liong-sing masih menatap Li Sun-Hoan dan
berkata dingin, “Aku tak tahu apakah itu mungkin.
Namun temanmu ini, namanya adalah…”
Sahut Liong Siau-hun, “Oh, jadi Yu-heng belum
mengenal adikku. Shenya adalah Li, namanya Li Sun-
Hoan. Di dunia ini, mungkin hanya adikku inilah yang
pantas menjadi sahabatmu.”
Waktu mendengar nama itu, wajah Yu Liong-sing
berubah lagi. Dipandangnya pisau Li Sun-Hoan.
Namun Li Sun-Hoan seakan-akan mendengar
pembicaraan mereka. Benaknya sibuk berpikir, “Satu lagi
pemuda yang terkenal….” Tiba-tiba seseorang datang
dan bertanya lantang, “Siapa yang membunuh orang di
luar sana?”
Orang ini cukup kekar. Suaranya menggelegar.
Ekspresinya garang. Orang ini adalah Tuan yang
Terhormat, Tio Cing-ngo.
Li Sun-Hoan tersenyum, lalu katanya, “Selain aku, siapa
lagi yang dapat melakukannya?”
Mata Tio Cing-ngo menatap Li Sun-Hoan tajam, bagai
sebilah pisau. Teriaknya, “Kau? Seharusnya sudah dapat
kuduga. Ke manapun engkau pergi, bau kematian selalu
mengikutimu.”
Li Sun-Hoan berkata, “Jadi orang itu tidak pantas mati?”
Tio Cing-ngo bertanya, “Tahukah kau siapa dia?”

192
Sahut Li Sun-Hoan, “Sayangnya bukan Bwe-hoa-cat .”
Kata Tio Cing-ngo kemudian, “Jika kau tahu dia bukan
Bwe-hoa-cat , mengapa masih juga kau bunuh dia?”
Li Sun-Hoan menjawab dengan tenang, “Walaupun aku
tidak ingin membunuh dia, aku pun tak ingin dia
membunuhku. Apapun yang terjadi, lebih enak
membunuh daripada terbunuh.”
Tio Cing-ngo bertanya lagi, “Jadi dialah yang ingin
membunuhmu lebih dulu?”
“Ya.”
“Kenapa?”
Sahut Li Sun-Hoan, “Aku juga ingin tahu. Tapi waktu
kutanya, dia tidak menjawab.”
Tio Cing-ngo terus mengejar, “Mengapa tak kau biarkan
dia hidup?”
Kata Li Sun-Hoan, “Aku pun ingin dia tetap hidup. Tapi
apa daya, sekali pisau itu lepas dari tanganku, aku tak
bisa menjamin hidup mati musuhku.”
Tio Cing-ngo menghentakkan kakinya dan berkata
dengan kesal, “Kau sudah pergi, mengapa engkau
kembali lagi?”
Li Sun-Hoan tersenyum, jawabnya, “Karena aku begitu
merindukanmu, Tio-toaya.”

193
Tio Cing-ngo sangat marah, sampai mukanya menjadi
kuning. Ia mengacungkan telunjuknya pada Liong Siauhun
dan berteriak, “Bagus sekali. Masalah ini disebabkan
oleh adikmu yang pandai itu. Tidak ada orang lain yang
bertanggung jawab.”
Liong Siau-hun hanya bisa tersenyum, katanya, “Sabar
dulu, Toako. Mari kita bicarakan baik-baik.”
Sahut Tio Cing-ngo kasar, “Apa lagi yang mau
dibicarakan? Sudah cukup sulit kita harus berhadapan
dengan Bwe-hoa-cat . Sekarang kita pun harus
berhadapan dengan Si Setan Hijau, In Gok, pula.”
Li Sun-Hoan tertawa dingin, katanya, “Betul. Aku telah
membunuh murid In Gok, Ku Tok. Segera setelah dia
tahu, dia pasti akan datang untuk membalas dendam.
Tapi dia hanya akan mencari aku. Mengapa Tio-toaya
jadi kuatir?”
Tiba-tiba Liong Siau-hun menyela, “Ku Tok datang
setelah lewat tengah malam. Ia pasti punya maksud
yang kurang baik. Toako, kau tidak salah telah
membunuhnya. Jika itu terjadi padaku, mungkin aku juga
akan berbuat demikian.”
Sebelum ia menyelesaikan kalimatnya, Tio Cing-ngo telah
berbalik dan pergi.
Yu Liong-sing pun tiba-tiba tersenyum, katanya, “Tiotoaya
tampaknya memang sudah tua. Emosimu jadi
semakin besar, tapi nyalimu jadi semakin kecil. Apa

194
salahnya In Gok datang? Paling tidak kita bisa
menyaksikan aksi pisau terbang yang terkenal itu.”
Kata Li Sun-Hoan, “Jika kau ingin melihat pisauku, kau
tidak perlu menunggu sampai In Gok datang.”
Muka Yu Liong-sing pun berubah lagi. Ia ingin
mengatakan sesuatu, tapi waktu ia melihat pisau Li Sun-
Hoan, diurungkannya niatnya. Kemudian ia juga berbalik
dan pergi.
Liong Siau-hun bermaksud untuk mengejar mereka, tapi
kemudian ia berhenti. Ia menggeleng-gelengkan
kepalanya. “Walaupun kau tidak menyukai mereka dan
tidak memandang mereka sebelah mata, tidak
seharusnya kau membuat mereka marah.”
Sahut Li Sun-Hoan, “Siapa yang peduli? Mereka semua
berpikir aku sangat bejad. Tak jadi soal apakah aku
menjengkelkan mereka atau tidak. Sebenarnya, bagus
juga membuat mereka sangat marah dan pergi dari sini.
Aku jadi bisa merasa tenang.”
Kata Liong Siau-hun, “Lebih baik punya teman banyak
daripada sedikit.”
Tapi Li Sun-Hoan menjawab, “Berapa banyak orang yang
dapat disebut ‘teman’? Punya teman yang seperti
saudara kandung, satu saja sudah cukup.”
Liong Siau-hun tertawa gembira. Dirangkulnya pundak Li
Sun-Hoan dan berkata, “Toako, aku sungguh bahagia

195
mendengar kau berbicara demikian. Walaupun kubuat
semua sahabatku marah, itu pun tidak apa-apa.”
Li Sun-Hoan tiba-tiba merasakan suatu kehangatan
dalam tubuhnya, namun ia mulai terbatuk-batuk lagi.
Kata Liong Siau-hun, “Batukmu….”
Li Sun-Hoan tidak ingin membicarakan hal ini, jadi
dipotongnya dengan dan berkata, “Toako, aku ingin
bertemu dengan seseorang.”
“Siapa?”
Alisnya terangkat dan sebelum Li Sun-Hoan menjawab, ia
menambahkan, “Apakah dengan Lim Sian-ji?”
Li Sun-Hoan tersenyum, katanya, “Toako memang
sungguh memahami aku.”
Liong Siau-hun tertawa keras. “Aku tahu kau pasti
penasaran. Jika Li Sun-Hoan tidak ingin bertemu dengan
wanita tercantik di dunia, maka Li Sun-Hoan bukan lagi Li
Sun-Hoan.”
Li Sun-Hoan hanya tetap tersenyum, seakan-akan
mengiakan.
Namun apa sebenarnya yang ia pikirkan? Hanya dia
seorang saja yang tahu.
Liong Siau-hun segera menggamit lengannya, dan
berkata sambil tersenyum, “Jika kau pergi ke sana untuk

196
menemuinya, kau pergi ke tempat yang salah. Setelah
kejadian dua malam yang lalu, ia telah pindah dari bilik
itu.”
“O ya?”
Kata Liong Siau-hun lagi, “Dua malam ini ia tinggal
bersama Si-im. Kau bisa sekaligus bertemu mereka
berdua. Bagaimana pun juga, Si-im adalah seorang
wanita. Kau harus berusaha menenangkannya sedikit.”
Sepertinya ia tidak memperhatikan kepedihan yang
terlukis di wajah Li Sun-Hoan. Ia terus saja berbicara,
“Sebenarnya, ia bukannya tidak tahu perbuatan buruk
Anak In di luaran. Ia tidak betul-betul menyalahkanmu.”
Li Sun-Hoan memaksakan seulas senyum, katanya, “Tapi
kita kan sudah sampai di sini. Mari kita mampir sebentar
ke Leng-hiang-siau-tiok. Mungkin Nona Lim sudah
kembali.”
Jawab Liong Siau-hun sambil tersenyum, “Boleh juga.
Nampaknya kalau kau tak berjumpa dengannya malam
ini, kau tak akan bisa tidur.”
Li Sun-Hoan tersenyum saja, tidak berkata apa-apa.
Namun ada sesuatu yang terbayang di matanya. Sesuatu
yang menyiratkan bahwa ia menyimpan suatu rahasia.
Tidak ada siapa-siapa dalam bilik itu.

197
Ketika Li Sun-Hoan masuk, seakan-akan ia masuk ke
alam sepuluh tahun yang lalu.
Tidak ada yang berubah sedikit pun. Meja dan kursi,
bahkan kertas-kertas, kuas, tinta, semua ada pada
tempat asalnya.
Jika ini terjadi sepuluh tahun yang lalu, kemungkinan ia
baru saja menemani Si-im menghitung bunga-bunga
Bwe, mungkin ia kembali untuk mengambilkan mantel
bulu untuk Si-im, atau mungkin ia kembali untuk
menuliskan percakapan mereka supaya ia tidak akan
pernah lupa.
Tetapi sekarang, waktu diingatnya kembali semua itu,
tidak ada satu pun kenangan yang terlupakan. Jika ia
tahu, takkan dihabiskannya waktu untuk menuliskannya.
Salju telah turun lagi.
Bunga-bunga salju jatuh perlahan ke atas atap, lembut
bagai ucapan sang kekasih.
Li Sun-Hoan menarik nafas dalam, lalu katanya, “Sepuluh
tahun…. Mungkin bahkan lebih. Kadang-kadang kau
merasa waktu berjalan lambat sekali. Namun sekali
mereka berlalu, kau baru sadar betapa cepatnya mereka
berlalu.”
Liong Siau-hun tertawa dan berkata, “Ingatkah kau
pertama kali kita tiba? Seingatku hari itupun salju turun.”
Sahut Li Sun-Hoan, “Ba… bagaimana mungkin aku lupa.”

198
Liong Siau-hun tertawa. “Aku ingat hari itu kita mungkin
minum seluruh arak yang ada di rumahmu saat itu.
Itulah sekali-kalinya aku melihat engkau mabuk, tapi kau
tak mau mengakuinya. Kau malah bertaruh denganku
bahwa kau pasti dapat menulis ‘Delapan Qiu Xing’
[kemungkinan kumpulan puisi] tanpa salah.”
Tiba-tiba diraihnya sebatang kuas dari atas meja,
sambungnya, “Aku ingat, inilah kuas yang kau pakai.”
Senyum Li Sun-Hoan terasa palsu, namun ia terus
tersenyum. “Aku juga ingat, kau tak mau bertaruh.”
Sahut Liong Siau-hun, “Tapi kau tidak menyangka bukan,
bahwa sepuluh tahun kemudian kuas ini masih ada di
sini?”
Li Sun-Hoan tersenyum saja, tidak menjawab. Namun
sebuah pikiran terLimtas di benaknya, “Kuas itu masih di
sini, tapi bukankah seseorang tinggal di sini sekarang?”
Kata Liong Siau-hun, “Memang agak aneh. Lim Sian-ji
seperti punya firasat bahwa kau akan pulang. Walaupun
ia telah tinggal di sini beberapa tahun, ia tidak pernah
memindahkan barang-barang ini.”
Kata Li Sun-Hoan, “Seharusnya tidak perlu begitu.”
Liong Siau-hun tersenyum dan berkata, “Kami pun tidak
memaksanya untuk berbuat begitu, tapi….”
Tiba-tiba seseorang di luar berseru, “Siya (Tuan
Keempat). Liong-siya!”

199
Liong Siau-hun membuka jendela dan menjawab dengan
jengkel, “Aku di sini. Ada apa?”
Ekspresinya tiba-tiba berubah, dan ia menoleh ke
belakang, katanya, “Toako, kau….”
Kata Li Sun-Hoan, “A….aku masih ingin di sini sebentar
lagi. Tidak apa-apa, kan?”
Liong Siau-hun menjawab sambil tersenyum, “Tentu
saja. Semua ini adalah milikmu. Bahkan jika Lim Sian-ji
kembali, ia akan menyambutmu dengan gembira.”
Lalu ia pergi tergesa-gesa. Saat dia melewati pintu,
senyuman telah hilang dari wajahnya.
Li Sun-Hoan duduk di kursi lebar yang ditutupi dengan
kulit harimau. Kursi ini lebih besar daripada ingatannya.
Ia ingat, waktu dia masih kecil, ia suka sekali memanjat
ke atas kursi ini dan mengencerkan tinta untuk ayahnya.
Ia ingin segera cepat tinggi, supaya bisa duduk di atas
kursi ini. Saat itu ia mempunyai pikiran yang aneh. Ia
takut bahwa kursi ini juga seperti manusia, menjadi
makin besar dengan berlalunya waktu.
Akhirnya tiba saatnya ia bisa duduk di kursi itu. Ia
menyadari bahwa kursi tidak bisa tumbuh. Maka dalam
hatinya, ia merasa kasihan pada kursi itu.
Namun sekarang, ia berharap bisa seperti kursi itu, tidak
pernah bertambah tua, tidak pernah merasa sakit. Kursi
itu tetap sama, tapi ia telah menjadi seorang tua.

200
Tua…. sudah tua….
Tiba-tiba didengarnya tawa halus dan seseorang berkata,
“Siapa yang bilang kau sudah tua?”
Orang ini masih di luar, namun suara tawanya telah
menghangatkan seluruh ruangan. Walaupun tubuhnya
belum lagi masuk, suaranya telah membawa musim semi
ke dalam ruangan. Jika suara tawanya begitu merdu,
orang dapat membayangkan bagaimana rupa orang ini.
Mata Li Sun-Hoan tiba-tiba bercahaya, namun ia hanya
menatap ke arah pintu. Ia tidak bangkit berdiri, tidak
juga mengatakan apa-apa.
Lim Sian-ji akhirnya masuk.
Semua orang ternyata tidak membual. Ia sangat cantik
bagai seorang dewi. Jika seseorang berusaha melukiskan
kecantikannya, orang itu sedang berbuat ketidakadilan
padanya.
Tidak ada bagian dari tubuhnya yang tidak
menggairahkan. Bagian yang paling menawan dari
seluruh tubuhnya adalah matanya. Tidak ada seorang
laki-lakipun di dunia yang sanggup menolak tatapan
matanya.
Memandang matanya membuat orang merasa sedang
melakukan kejahatan.
Tapi apapun juga yang dilakukannya, ia tak dapat
menghapus bayangan Li Sun-Hoan yang pertama.

201
Karena ini bukanlah kali pertama Li Sun-Hoan berjumpa
dengannya.
Di dapur warung arak itu Li Sun-Hoan telah merasakan
kelembutannya, kehangatannya. Namun Li Sun-Hoan
masih tidak bisa percaya bahwa wanita yang sedang
berdiri di depannya adalah sama dengan si cantik yang
misterius yang ingin bertukar Kim-si-kah dengannya.
Penampilannya hari ini sungguh berbeda dengan hari itu.
Jika Li Sun-Hoan meragukan matanya, maka ia tidak
mungkin percaya bahwa wanita yang berbisa itu sama
dengan wanita yang sedang tersenyum manis dan lugu
di hadapannya.
Li Sun-Hoan menghela nafas dan memejamkan matanya.
Air mata mulai meleleh di pipi Lim Sian-ji. Ia berkata
lembut. “Mengapa kau pejamkan matamu? Kau tak ingin
memandangku?”
Li Sun-Hoan terkekeh, jawabnya, “Aku hanya sedang
mengingat-ingat bagaimana rupamu hari itu tanpa
selembar benangpun.”
Wajah Lim Sian-ji menjadi merah, katanya, “Awalnya aku
tak ingin kau mengenali aku, namun aku juga tahu itu
tak mungkin terjadi.”
Kata Li Sun-Hoan, “Kalau aku telah melupakanmu,
tidakkah kau akan merasa kecewa?”

202
Lim Sian-ji tetap tersenyum. “Tapi waktu kau melihat
aku, kau tidak tampak terkejut. Apakah engkau telah
menebak siapa aku?”
Sahut Li Sun-Hoan, “Mungkin karenan tidak banyak
wanita yang tergolong cantik di dunia ini.”
Lim Sian-ji tersenyum lagi, katanya, “Tapi mungkin juga
karena kau melihat murid In Gok, dan kau teringat akan
Jing-mo-jiu (Tangan Setan Hijau)ku. Lalu kau melihat Yu
Liong-sing, dan kau pun teringat pada Hi-jong-kiam
(Pedang Usus Ikan)ku, bukan?”
Li Sun-Hoan juga tersenyum, jawabnya, “Aku hanya ingin
tahu, walaupun kau tahu aku ada di sini, mengapa kau
berani datang menemuiku?”
Lim Sian-ji mendesah, jawabnya, “Seorang menantu
berwajah buruk harus menemui ibu mertuanya cepat
atau lambat. Itu tak terelakkan. Jadi waktu Kakak Liong
menyuruh aku datang, aku segera datang.”
“Benarkah? Ia menyuruhmu datang kemari?”
Lim Sian-ji tertawa, katanya, “Kau tidak paham
alasannya? Sudah sejak beberapa waktu yang lalu ia
telah berusaha agar kita bertemu. Mungkin karena ia
merasa berhutang padamu. Ia telah merebut….”
Waktu ia mengatakan ini, ia melihat wajah Li Sun-Hoan
langsung menjadi keruh, karena Li Sun-Hoan tahu apa
yang hendak dikatakannya. Waktu dilihatnya demikian, ia
langsung terdiam.

203
Ia tidak pernah mengatakan hal-hal yang tidak ingin
didengar oleh lawan bicaranya.
Namun Li Sun-Hoan seakan-akan menunggu ia
menyelesaikan kalimatnya. Setelah hening beberapa
saat, barulah ia berkata, “Ia tidak berhutang apa-apa
padaku. Akulah yang berhutang kepada banyak orang.”
Lim Sian-ji menatapnya dan bertanya, “Kau berhutang
apa?”
Li Sun-Hoan menjawab dingin, “Aku berhutang pada
begitu banyak orang. Tidak terhitung jumlahnya.”
Lim Sian-ji berkata dengan lembut, “Apapun yang kau
katakan, aku tahu kau bukan orang seperti itu.”
“Kau tahu aku ini orang macam apa?”
“Tentu saja. Aku telah mendengar tentang engkau dari
aku masih kecil. Jadi waktu aku tahu bahwa di sinilah
dulu kau pernah tinggal, aku sangat berbahagia, sampaisampai
aku tidak bisa tidur.”
Ia melihat ke sekeliling ruangan, katanya, “Lihatlah.
Semuanya di sini. Tidakkah ini persis sama dengan
sepuluh tahun yang lalu waktu kau tinggalkan? Bahkan
botol arak yang kau sembunyikan di rak buku aku tak
pindahkan. Kau tahu kenapa?”
Li Sun-Hoan hanya memandangnya dingin.

204
Lim Sian-ji mengikik. “Pasti kau tidak tahu. Tapi kuberi
tahu engkau sekarang. Dengan cara ini, aku dapat
merasakan kehadiranmu di sini. Kadang-kadang aku
membayangkan kau ada di sini, duduk di kursi ini dan
berbincang-bincang denganku.”
Lalu ia melanjutkan dengan suara yang lebih halus,
“Kadang-kadang aku bangun di tengah malam,
membayangkan aku ada di sampingku. Di tempat tidur
itu, di atas bantal itu.”
Li Sun-Hoan tersenyum dan berkata, “Selain aku, ada
juga orang lain di situ, bukan?”
Lim Sian-ji menggigit bibirnya dan bertanya, “Kau
sungguh berpikir aku mengizinkan orang lain masuk ke
sini?”
Sahut Li Sun-Hoan, “Ini adalah kamarmu. Kau boleh
membiarkan siapa saja masuk.”
Kata Lim Sian-ji lagi, “Kau pikir orang-orang seperti Yu
Liong-sing dan Ku Tok pernah ada di sini, bukan?”
Matanya telah menjadi merah, dan ia melanjutkan, “Asal
kau tahu, mereka tidak pernah menginjakkan kaki dalam
ruangan ini. Maka dari itu, mereka menunggu di hutan.
Jika aku mengizinkan mereka masuk, mungkin Ku Tok
dan Yu Liong-sing masih hidup sekarang.”
“Kalau begitu, mengapa tak kau izinkan mereka masuk?”

205
Lim Sian-ji menggigit bibirnya lagi, jawabnya, “Karena ini
adalah kamarmu. Aku harus…. membantumu
menjaga….”
Ia seakan-akan tidak tahu bagaimana melanjutkannya.
Li Sun-Hoan tersenyum, menyelesaikan kalimat itu
untuknya, “aroma tubuhku?”
Lim Sian-ji menundukkan kepalanya dan berkata, “Aku
tidak mengatakannya supaya kau dapat mengolok-olok
aku.”
“Lalu untuk apa?”
“Kau masih belum paham?”
Li Sun-Hoan tertawa, katanya, “Kalau begitu, tanpa
bantuan orang lain pun aku telah mempunyai
kesempatan yang baik denganmu.”
Kata Lim Sian-ji, “Jika aku tidak… punya perasaan apaapa…
lalu bagaimana mungkin hari itu aku….”
Ia hanya mengatakan kalimat-kalimat itu setengahsetengah.
Namun kadang-kadang setengah kalimat lebih
efektif daripada seluruh kalimat. Lagi pula, itu lebih
menarik.
Kata Li Sun-Hoan, “Jadi kau berbuat begitu karena kau
suka padaku? Dan aku berpikir bahwa kau melakukannya
demi rompi itu.”

206
Lim Sian-ji menjawab, “Tentu saja aku juga
menginginkan rompi itu. Namun jika orang itu bukan
engkau, apakah aku…. apakah aku akan…”
Li Sun-Hoan tertawa. “Jadi kau ingin dua-duanya?”
Kata Lim Sian-ji, “Kau pasti bertanya-tanya mengapa aku
menginginkan Kim-si-kah itu, bukan?”
Jawab Li Sun-Hoan, “Sejujurnya, aku memang ingin
tahu."
Lim Sian-ji menjelaskan, “Karena aku ingin membunuh
Bwe-hoa-cat dengan tanganku sendiri!”
“Ha?”
“Kau pasti sudah dengar bahwa aku telah mengatakan
aku akan menikah dengan siapapun yang dapat
membunuh Bwe-hoa-cat . Walaupun aku
mengatakannya, aku tidak menyukai ide itu.”
Li Sun-Hoan berkata, “Kau ingin membunuh Bwe-hoa-cat
supaya kau dapat menikah dengan dirimu sendiri?”
Jawab Lim Sian-ji, “Aku melakukan hal ini hanya karena
aku tidak ingin menikah. Jika si bandit dapat kubunuh
dengan tanganku, maka aku tidak perlu lagi menikah.”
Tiba-tiba ditatapnya Li Sun-Hoan dan sambungnya,
“Karena tidak ada pria di muka bumi yang pantas
menikahi aku.”

207
Mata Li Sun-Hoan pun menatapnya dan ia bertanya,
“Bagaimana dengan aku?”
Wajah Lim Sian-ji langsung merah padam, jawabnya,
“Tentu saja kau berbeda.”
“Mengapa?”
Lim Sian-ji menjawab perlahan, “Karena kau berbeda dari
laki-laki lain. Mereka semua hanya seperti anjing.
Bagaimanapun kuperlakukan mereka, mereka tetap
mengikutiku. Hanya engkau….”
Li Sun-Hoan tersenyum sedikit, katanya, “Lalu mengapa
engkau tidak membiarkan Kim-si-kah jatuh ke tanganku?
Jika aku membunuh Bwe-hoa-cat , kau akan bisa
menikah denganku. Bukankah itu keinginanmu?”
Lim Sian-ji ragu-ragy sejenak, lalu katanya, “Ini adalah
ide yang bagus. Mengapa tak terpikir olehku
sebelumnya.”
Mata Li Sun-Hoan berbinar, ia tersenyum lebar sambil
berkata, “Siapa selain aku yang dapat mempunyai ide
secemerlang itu.”
Lim Sian-ji seperti tidak mengerti maksud perkataan Li
Sun-Hoan. Ia malah meraih tangan Li Sun-Hoan dan
berkata, “Aku taCui-coa Oh Bi-hoa-cat akan muncul
besok atau lusa malam. Besok akan kutunggu dia di sini.”
Kata Li Sun-Hoan, “Kau ingin aku datang juga, bukan?”

208
Sahut Lim Sian-ji, “Kau dapat memakai aku sebagai
umpan, supaya ia muncul. Kau punya rompi itu, jadi
kalaupun kau tak berhasil membunuhnya, kaupun tidak
akan terluka. Jika kau berhasil menangkapnya….”
Ditundukkannya kepalanya lagi, matanya memandang Li
Sun-Hoan diam-diam. Ia tidak mengatakan apa-apa,
namun matanya menggambarkan perasaannya dengan
sempurna.
Mata Li Sun-Hoan pun bercahaya, lalu dengan seulas
senyum ia berkata, “Baik. Aku pasti datang besok malam.
Jika aku tidak datang, maka…”
Lim Sian-ji menarik tangannya menjauhi Li Sun-Hoan,
namun di punggung tangan Li Sun-Hoan, digambarnya
sebuah Lingkaran dengan jarinya. Seakan-akan ingin
melingkari hati Li Sun-Hoan.
Li Sun-Hoan tiba-tiba tertawa, katanya, “Sepertinya kau
sudah belajar jadi sopan sekarang.”
Sahut Lim Sian-ji dengan wajah merah, “Aku selalu
bersikap sopan.”
Kata Li Sun-Hoan, “Akhirnya kau belajar memberi
kesempatan bagi laki-laki untuk melakukan langkah
pertama.”
Namun Lim Sian-ji menjadi gelisah, dan berkata, “Tapi
kau… kau tak akan… sekarang, bukan?”

209
Li Sun-Hoan memandangnya. Matanya memandang
dengan dingin, namun senyumnya mulai sedikit mencair,
katanya, “Bagaimana kau tahu kalau aku tidak akan?”
Lim Sian-ji mengikik, katanya, “Karena engkau adalah
pria sejati, bukan?”
Kata Li Sun-Hoan, “Aku hanya pernah menjadi pria sejati
sekali seumur hidup. Lalu aku menyesali keputusanku
tiga hari tiga malam.”
Lim Sian-ji tertawa, tapi terasa bahwa ia berusaha
menghindar.
Li Sun-Hoan merenggut tangannya tiba-tiba, lalu berkata
sambil tersenyum, “Jadi kau tidak hanya belajar
membiarkan laki-laki melakukan langkah pertama, kau
juga belajar untuk menghindar.”
Lim Sian-ji menjawab, “Tapi inilah yang kau ajarkan.
Inilah cara yang kauajarkan padaku untuk merayumu,
bukan?”
Bab 10. Persoalan 18 Tahun yang Lalu
Li Sun-Hoan menarik nafas panjang, lalu berkata, “Aku
mengajarimu terlalu banyak. Dan kau pun belajar terlalu
cepat.”
Ia tiba-tiba melepaskan tangannya, bangkit dan
merapikan pakaiannya. Ia melihat keluar jendela dan
berkata, “Pertunjukan hari ini telah selesai. Jika kau
belum puas, silakan datang lagi besok pagi.”

210
Suara tawa terdengar dari luar jendela. Katanya,
“Teknikmu sungguh luar biasa. Kuharap pisaumu pun
sama bagusnya.”
Setelah kalimat terakhirnya diucapkan, ia pun telah
menghilang.
Wajah Lim Sian-ji berubah, “Itu adalah Yu Liong-sing.”
Li Sun-Hoan bertanya, “Kau kuatir dia cemburu?”
Mata Lim Sian-ji berkilat jahat, ia tertawa dingin. “Apa
haknya untuk cemburu? Aku tak menyangka orang yang
dalam dunia persilatan disebut berkarakter mulia dapat
berbuat seperti ini. Jangan kira aku sudi berbicara
dengan dia lagi.”
Kata Li Sun-Hoan sambil tersenyum, “Kau tidak takut ia
akan meminta Hi-jong-kiam (Pedang Usus Ikan)nya
kembali?”
Sahut Lim Sian-ji, “Kalaupun aku melemparkan pedang
itu ke depan hidungnya, ia tidak akan berani
menyentuhnya.”
“O ya?”
Lim Sian-ji tersenyum licik, “Sudah kubilang. Orangorang
ini seperti anjing. Semakin sering kau memaki dan
menendang mereka, semakin dekat mereka mengikutimu
sambil mengibas-ngibaskan ekornya.”

211
Li Sun-Hoan menjawab, “Tidak jelek juga mempunyai
anjing yang mengibaskan ekornya di hadapanmu.”
Lim Sian-ji meraih tangannya, dan berkata, “Kau
sungguh akan pergi? Tak maukah kau duduklah di sini
sebentar lagi?”
Sahut Li Sun-Hoan sambil tersenyum, “Jika aku duduk di
sini, menunggu anjing menggigitku, itu tidak menarik
lagi.”
Lim Sian-ji mendengus, “Hmmmh. Ia tidak mungkin
berani….”
Sebelum perkataannya selesai, terdengar suara Yu Liongsing
dari jauh, “Pertunjukan itu sudah selesai, tapi
pertunjukan yang lain baru saja dimulai. Tidakkah kalian
ingin menonton?”
Kata Li Sun-Hoan, “Betul, kan? Ia tak mau membiarkan
aku duduk lebih lama di sini.”
Sahut Lim Sian-ji geram, “Dasar setan menyebalkan.”
Tapi tiba-tiba ia tersenyum, digenggamnya tangan Li
Sun-Hoan dan berkata, “Tapi masih ada hari esok….
Datanglah lebih awal besok.”
Baru saja Li Sun-Hoan keluar dari hutan, terdengarlah
suara dua orang yang sedang bertengkar.
Ia mengenali suara yang seorang adalah suara Sang
Kusir. Ia segera menggunakan jurus ‘Burung Pipit

212
Menutul Air Tiga Kali”, memantul ke tanah tiga kali
sebelum sampai di tujuan.
Saat itu, kedua orang itu telah bertempur. Dengan
kekuatan dahsyat telapak tangan dan kepalan mereka,
salju berhamburan mengelilingi mereka.
Terdengar Sang Kusir berkata, “Cin, kau membuat dirimu
tampak berbudi, namun kenyataannya kosong
melompong. Lalu kenapa kalau anakmu tidak tertolong
lagi? Bukan salah siapa-siapa. Mengapa kau malah ingin
membunuhnya?”
Orang yang bertempur dengannya adalah Cin Hau-gi. Ia
hanya menjengek, “Kau pikir kau ini siapa? Mengacalah
dan tahulah kedudukanmu. Berani-beraninya kau ikut
campur urusanku. Baik, akan kubuat cacad juga engkau.”
Liong Siau-hun berusaha melerai, namun Yu Liong-sing
hanya berdiri menonton.
Saat Li Sun-Hoan tiba, Liong Siau-hun langsung
menemuinya dan berkata, “Toako, tolong coba
tenangkan mereka. Bwe-hoa-cat belum lagi datang, kita
sudah bertengkar sendiri. Ini… ini sungguh-sungguh…”
Yu Liong-sing tertawa dingin dan berkata, “Ini yang
disebut ‘Tidak ada tentara yang lemah di bawah Jenderal
yang kuat’. Aku tidak menyangka pelayan Li Sun-Hoan
sekuat ini. Sungguh-sungguh berbahaya, berbahaya…”
Sahut Li Sun-Hoan, “Benar sekali. Ia cukup berbahaya.
Tapi hanya jika seseorang membuatnya marah.”

213
Ia tidak memberikan kesempatan pada Yu Liong-sing
untuk menjawab. Ia menoleh pada Liong Siau-hun dan
bertanya, “Apa yang terjadi?”
Sahut Liong Siau-hun, “Luka-luka Cin Tiong sangat parah
dan ia tidak tertolong lagi. Saudara Cin….”
Potong Li Sun-Hoan cepat, “Ia menyalahkan Bwejisiansing,
bukan?”
Liong Siau-hun tertawa pahit, “Hubungan ayah dan anak
sangatlah erat. Sudah dapat diduga Saudara Cin menjadi
sangat marah. Ia tidak sengaja melukai Bwe-jisiansing.
Lukanya pun tidak serius.”
Li Sun-Hoan hanya terkekeh, tidak merasa perlu untuk
menambahkan apa-apa.
Kata Liong Siau-hun, “Tolong hentikan dia. Aku tahu, ia
hanya mau mendengarkan engkau.”
Li Sun-Hoan menjawab dingin, “Mengapa aku harus
menghentikan dia? Jika ia tidak melakukannya, akulah
yang akan melakukannya.”
Liong Siau-hun terdiam sesaat, tak tahu harus bilang
apa.
Kepalan Sang Kusir bertenaga hebat. Tiap-tiap tinjunya
adalah serangan yang mematikan. Walaupun gerakannya
tidak rumit, tenaga membunuh yang melandasi
pukulannya sangat mengagetkan.

214
Cin Hau-gi terlihat sulit bahkan untuk bernafas.
Yu Liong-sing tertawa dingin. “Seorang pelayan dengan
ilmu silat seperti ini, sungguh amat langka.”
Li Sun-Hoan bertanya, “O ya?”
Kata Yu Liong-sing lagi, “Setiap kali ia bergerak, seakanakan
ia pun telah siap juga kena pukul. Gaya kepalannya
sungguh sulit dimengerti.”
Sahut Li Sun-Hoan, “Itu karena ia dapat menahan
serangan lawannya. Namun jika kepalannya mengenai
lawan, orang itu akan mendapat kesulitan yang serius.”
Sebelum Yu Liong-sing menjawab, seseorang telah
datang sambil berseru, “Sungguh anjing pelayan yang
tak tahu diri. Berani menyerang orang yang setingkat di
atasmu. Lihat bagaimana aku menyelesaikanmu.”
Dengan kata-kata ini Tio Cing-ngo pun tiba.
Baru saja ia akan ikut membantu, didengarnya Li Sun-
Hoan berkata dingin, “Jika seseorang ingin bertarung dua
lawan satu dan menang karena jumlah, aku rasa aku
harus melepaskan pisauku!”
Tio Cing-ngo langsung berhenti, takut maju selangkah
saja. Tapi dengan marah ia berteriak, “Kau bawa
pembantu yang berani menyerang seseorang yang
setingkat di atasnya. Kau tidak saja tidak mendisiplinkan
dia, bahkan kau membantunya juga? Kau pikir tak ada
keadilan di dunia persilatan?”

215
Li Sun-Hoan menjawab dengan tenang, “Keadilan apa?
Apakah bertarung dua lawan satu itu keadilan?”
Tio Cing-ngo menjawab keras, “Kau seharusnya tahu
bahwa ini bukan pertempuran. Ini adalah mendisiplinkan
bawahan!”
Kata Li Sun-Hoan, “Ia tidak perlu didisiplinkan. Tapi jika
Tio-toaya ingin bertempur dengan dia, silakan. Tapi bawa
Cin Hau-gi keluar medan laga, dan bertempurlah sendiri.”
Kata Tio Cing-ngo, “Ia pikir dia itu apa? Ia tidak pantas
bertempur denganku.”
Li Sun-Hoan menjawab lagi, “Betul. Dia memang bukan
‘apa-apa’. Ia seorang manusia.”
Ia lalu memandang Tio Cing-ngo dan bertanya, “Jadi Tiotoaya,
apakah engkau ‘apa-apa’?”
Amarah Tio Cing-ngo meluap, sehingga mukanya
menjadi sangat kuning.
Dalam situasi seperti ini, bahkan Liong Siau-hun pun tak
tahu harus berkata apa. Tiba-tiba dengan suara keras,
dua kepalan beradu. Tapi ke mana perginya Cin Hau-gi?
Sepertinya ia terpelanting setelah kena pukulan, dan
jatuh berdebam ke tanah.
Lagi-lagi Yu Liong-sing tertawa dingin. “Sepertinya
majikan bukan hanya tak mampu mendisiplinkan
pelayannya, malah sebaliknya yang terjadi.”

216
Lalu Cin Hau-gi berbisik ke telinga Tio Cing-ngo. Tio
Cing-ngo bangkit dan menatap Sang Kusir, katanya, “Aku
tak menyayangkan kau punya ilmu silat yang hebat.
Bahkan aku pun tak menyadarinya. Tak heran waktu
Samko kurang siaga, kau menggunakan cara-cara licik
untuk mengalahkannya.”
Sang Kusir tertawa dingin. “Kalau kalian kalah, maka
pastilah pihak lain berbuat curang. Kalau aku yang kalah,
kepandaiankulah yang lebih rendah. Aku cukup faham
dengan ide ini. Kau tak perlu mengulang-ngulang.”
Tio Cing-ngo membentak dengan marah, “Awalnya
kupikir kau adalah seorang pemberani, maka aku ingin
melindungimu. Jangan buat aku marah.”
Jawab Sang Kusir, “Aku telah hidup sekian lama tanpa
perlindunganmu. Kupikir, aku mulai bosan dengan
hidupku, jadi kalau ada sesuatu di balik lengan bajumu,
silakan gunakan dan maju saja.”
Tio Cing-ngo menatapnya dengan mata berapi-api, lalu
menyeringai kejam, “Bagus sekali…”
Ia berkata “Bagus sekali” sekitar lima atau enam kali.
Lalu didukungnya Cin Hau-gi dan pergi.
Liong Siau-hun mengejarnya dan berkata, “Jika ada
kesalahpahaman, bisa kita bicarakan. Mengapa….”
Cin Hau-gi terkekeh, “Setelah apa yang terjadi pada aku
dan putraku, kau pikir masih ada waktu untuk
berbicara?”

217
Liong Siau-hun mundur selangkah, dan menatap Cin
Hau-gi dan Tio Cing-ngo yang terus pergi.
Li Sun-Hoan menarik nafas dalam-dalam, lalu berkata,
“Toako, aku baru saja kembali dan sudah mengakibatkan
begitu banyak permasalahan bagimu. Kalau…aku
tahu….”
Liong Siau-hun tiba-tiba tertawa keras, “Toako. Jangan
pernah kau katakan itu. Sejak kapan kita kuatir akan
masalah ini itu?”
Li Sun-Hoan memaksakan diri tersenyum. “Toako, aku
tahu…aku telah membuat lebih sulit bagimu…”
Kata Liong Siau-hun, “Toako, jangan menguatirkan aku.
Apapun yang kau perbuat, aku selalu ada di
sampingmu.”
Li Sun-Hoan hampir tak dapat menahan air mata bahagia
mengalir keluar.
Liong Siau-hun memandang Sang Kusir, seakan-akan ia
ingin berkata sesuatu, namun dibatalkannya. Kemudian
dia berkata kepada Li Sun-Hoan, “Sudah hampir fajar.
Sepertinya Bwe-hoa-cat tak akan muncul hari ini. Kau
habis menempuh perjalanan jauh, istirahatlah sebentar di
sini.”
“Baiklah.”
Kata Liong Siau-hun, “Aku telah menyiapkan sebuah
ruangan bagimu. Namun jika engkau ingin tinggal di

218
bilikmu yang lama, aku akan menyuruh Lim Sian-ji
pindah.”
Jawab Li Sun-Hoan, “Tidak perlu.”
Sang Kusir duduk di sana, tenggelam dalam pikirannya.
Setelah cukup lama, dikatupkannya giginya rapat-rapat,
seolah-olah akan mengambil suatu keputusan yang sulit.
Lalu katanya, “Siauya, sepertinya aku harus pergi
sekarang.”
“Kau mau pergi? Kau juga mau pergi?”
Kata Sang Kusir, “Kau adalah penyelamatku. Sebetulnya
aku ingin melayani engkau seumur hidupku, tapi kini….”
Terdengar suara derap langkah kuda di tengah malam
buta.
Lanjutnya, “Tio Cing-ngo telah mengetahui identitasku.
Kemungkinan besar saat ini ia tengah berusaha
menghubungi musuh-musuhku. Sebenarnya aku tak
peduli dengan hidupku, jadi aku pun tak peduli dengan
mereka. Tapi….”
“Tapi kau tidak ingin melibatkan aku?”
Kata Sang Kusir, “Siauya, aku tahu kau tidak takut pada
persoalan. Namun si tertuduh pada kasus 18 tahun yang
lalu adalah aku. Aku tak ingin Siauya kena dibentakbentak
orang bersama dengan aku.”

219
Li Sun-Hoan berpikir beberapa saat, lalu berkata, “Itu
kan kecelakaan. Dalam 18 tahun terakhir ini, sudah
cukup kau membayar kesalahanmu.”
Sahut Sang Kusir, “Namun mereka tidak akan peduli.
Dalam dunia persilatan, hutang darah hanya dapat
dibayar dengan darah!”
Ia tidak menunggu jawaban Li Sun-Hoan dan
melanjutkannya, “Lagi pula, aku ingin mencari Bwejisiansing.
Setelah terluka, aku tak tahu berapa jauh ia
dapat berjalan. Apa pun yang terjadi, ia datang hanya
karena kita.”
Li Sun-Hoan tetap duduk di situ. Setelah cukup lama, ia
bertanya, “Jadi ke manakah kau akan pergi?”
Sang Kusir menghela nafas, jawabnya, “Sekarang, aku
belum tahu. Tapi….”
Ia tiba-tiba tersenyum dan melanjutkan, “aku tak akan
pergi jauh-jauh. Waktu ada malam yang tenang,
diterangi cahaya bulan, aku akan kembali untuk minum
bersama Siauya.”
Li Sun-Hoan bangkit dan berkata, “Benarkah?”
“Pasti!”
Ketika mata mereka bertemu, air mata mereka meleleh.
Mereka terpaksa memandang ke arah lain. Ketika orangorang
gagah berpisah, kadang-kadang mereka cengeng
daripada gadis-gadis kecil. Ini karena mereka sungguh

220
memperhatikan satu dengan yang lain, namun mereka
tak pernah mengungkapkannya.
Li Sun-Hoan hanya berkata, “Kalau kau memang
berkeras untuk pergi, paling tidak mari kuantarkan kau
sampai di luar.”
Jalanan di luar sangat sepi. Bahkan suara batuk Li Sun-
Hoan tidak mampu memecahkan keheningan malam.
Sang Kusir tiba-tiba berhenti. “Kita harus berpisah
sekarang atau nanti. Siauya…. Kembalilah pulang.”
Li Sun-Hoan masih berjalan beberapa langkah, namun
akhirnya dia berhenti juga. Ia menatap kosong pada
sebatang pohon di ujung jalan, lalu ia menoleh. “Baiklah,
sampai di sini saja. Jagalah dirimu baik-baik.”
Sang Kusir mengangguk. Katanya, “Siauya, jagalah
dirimu baik-baik juga.”
Ia tidak memandang Li Sun-Hoan lagi saat berjalan
melewatinya. Setelah berjalan beberapa meter, ia
berkata, “Jika Siauya tidak punya hal penting yang harus
dikerjakan, tinggallah di tempat ini. Apapun yang terjadi,
Tuan Liong adalah sahabat yang baik.”
Dan ditambahkannya lagi, “Jika demikian, mungkin aku
akan kembali ke sini mencari Siauya.”
Sahut Li Sun-Hoan, “Mungkin aku akan tinggal di sini. Ke
mana lagi aku bisa pergi?”

221
Ia tersenyum, tapi mengapakah ia tersenyum?
Sang Kusir mengatupkan giginya kuat-kuat dan berjalan
terus.
Kini ia harus melanjutkan hidup persembunyiannya. Ia
telah bersembunyi dengan Li Sun-Hoan selama sepuluh
tahun. Tak ada yang tahu apa yang akan terjadi dalam
hidup ini. Seperti mimpi yang tak pernah berakhir.
Namun selama sepuluh tahun terakhir, paling tidak ia
punya Li Sun-Hoan yang menemaninya.
Sekarang ia sebatang kara.
Jika ia adalah seorang pengecut, mungkin ia tidak akan
melarikan diri. Karena ia tahu, sebenarnya bersembunyi
adalah lebih menderita daripada mati.
Namun ia harus melarikan diri. Ia melihat bahwa ada
kesempatan bagi Li Sun-Hoan untuk menjalani kehidupan
yang mapan. Maka ia harus pergi. Kalau ia pergi, Li Sun-
Hoan dapat menjalani kehidupan yang damai.
Seharusnya ia merencanakan segala sesuatu sebelum
pergi. Namun saat itu, ia tidak dapat menenangkan diri
untuk berpikir jernih. Ia hanya ingin pergi ke tempat
yang sangat ramai dengan orang. Setelah berjalan sekian
lama, sampailah dia di sebuah pasar sayuran. Dalam
hati, ia merasa geli.
Dalam hidup ini, ia telah mengunjungi begitu banyak
tempat. Ia pernah berada dalam puri yang indah,

222
ataupun gubug yang reyot. Ia pernah bertemu dengan
putri-putri aristokrat, namun pernah juga singgah di
tempat-tempat pelacuran kelas bawah. Ia pernah pergi
ke tempat yang sangat dingin sampai hidungnya
membeku di Hek-liong-kang [sebuah sungai di bagian
paling utara Cina]. Ia juga pernah ada di tempat yang
sangat panas, sampai telur pun bisa digoreng di atas
tanah yaitu daerah Turfan yang terletak di wilayah
Sinkiang.
Ia pernah melihat matahari terbit dari puncak gunung
yang tinggi. Ia pernah menikmati matahari terbenam dari
tepi pantai. Ia pun pernah menyantap daging mentah
bersama-sama suku-suku barbar di tempat yang sangat
terpencil.
Namun inilah pertama kalinya ia ada di pasar sayuran.
Di pagi musim dingin, hanya pasar sayuranlah yang
dipenuhi dengan begitu banyak orang. Siapapun yang
datang ke sini, tak mungkin merasa kesepian.
Ada ibu yang sedang menggendong bayinya. Ada orang
tua yang berjalan dengan tongkatnya. Ada tukang masak
yang tubuhnya penuh minyak.
Segala macam orang membawa keranjang, membeli
sayur-mayur, tawar-menawar dengan para pedagang
demi sepeser uang.
Tercium pula bau amis ikan, bau minyak dari macammacam
gorengan, juga bau ayam dan bebek.

223
Tiba-tiba didengarnya seseorang berteriak dari arah
depan, “Daging…. Kami menjual daging segar….”
Tiba-tiba suara itu berhenti.
Orang-orang di depan pun tiba-tiba mundur. Wajah
mereka sangat pucat.
Seseorang dari belakang bertanya, “Apa yang terjadi?”
Seseorang di depan menjawab, “Ada yang berjualan
daging.”
“Ada lusinan orang di sini berjualan daging. Apa
anehnya?”
“Orang ini menjual daging jenis lain. Ia menjual daging
manusia.”
Sang Kusir mengangkat alisnya, dan menyeruak ke
depan untuk melihat.
Waktu ia melihat, ia menjadi lebih terkejut daripada
orang lain.
Penjual daging itu memasang papan tanda yang
bunyinya, ‘Sapi Kuning, Domba Putih. Bunuh sekarang,
jual segera’.
Di belakang meja dagangan terlihat seorang wanita
bertubuh tinggi kekar, bermata satu. Di tangannya
terlihat sebilah pisau daging yang besar.

224
Namun yang ada di atas meja adalah manusia hidup!
Pakaian orang ini telah terkoyak-koyak, dan terlihat
tubuhnya yang kurus kering dan pucat. Seluruh tubuhnya
menggigil.
Si wanita mata satu ini memegang leher orang itu
dengan tangan kirinya, dan tangan kanannya memegang
pisau daging. Matanya penuh dengan hasrat membunuh.
Si wanita mata satu memandang sekilas pada Sang Kusir,
lalu tersenyum dan berkata, “Apakah kau datang untuk
membeli daging?”
Sang Kusir melongo, dan sepertinya tidak mendengar
apa-apa.
Si wanita mata satu terkekeh. “Aku sudah tahu bahwa
kau hanya mau membeli daging semacam ini. Aku telah
menunggumu.”
Sang Kusir hanya dapat menghela nafas. Lalu ia
tersenyum pahit. “Sudah bertahun-tahun. Toaso, kau….”
Si wanita mata satu meludah ke wajah Sang Kusir, dan
berkata dengan berang, “Toaso? Siapa sudi jadi
Toasomu? Kalau kau panggil aku seperti itu lagi, akan
kupotong lidahmu!”
Sang Kusir diam saja.

225
Si wanita mata satu melanjutkan, “Kau khianati Ang
Thian-kiat. Kau pasti sudah kaya raya sekarang, bukan?
Lalu mengapa untuk beli daging saja ragu-ragu?”
Ia merenggut rambut orang itu dan bertanya keras, “Mau
beli atau tidak? Kalau tidak, akan kubunuh saja dia dan
kujadikan makanan anjing.”
Sang Kusir memandang orang itu dan terperangah,
“Bwe-jisiansing!”
Orang di atas meja itu memandang dengan tatapan
kosong. Air liurnya terus keluar dan ia tidak bisa bicara.
Kata Sang Kusir kemudian, “Baik. Kubeli dia.”
Sahut wanita itu, “Jika kau membelinya, kau harus ikut
aku.”
Sang Kusir mengertakkan giginya, lalu berkata, “Baik,
aku akan ikut denganmu.”
Wanita itu memandang dia lagi dan berkata, “Kau pintar
juga. Aku telah mencari engkau selama 17 tahun. Kau
pikir aku akan membiarkanmu lolos?”
Sang Kusir menghela nafas, “Karena kau telah
menemukan aku, aku tidak berniat untuk melarikan diri.”
Di kaki bukit itu, ada sebuah rumah kecil bersebelahan
dengan tanah kuburan.

226
Di dalamnya, ada seorang yang sudah tinggal di situ
bertahun-tahun lamanya. Ia hanya duduk sambil
mengamati sebuah mangkuk dengan tatapan aneh.
Di matanya tergambar kesedihan dan kemarahan, namun
tidak jelas apa yang dipikirkannya. Tanah telah
membeku, tapi seakan-akan ia tidak tahu. Setelah
beberapa saat, terdengar suara dari luar.
Disambarnya kapaknya, lalu bertanya, “Siapa?”
Dari luar, si wanita mata satu menjawab, “Ini aku.”
Orang ini menjadi gelisah dan bertanya, “Apa betul ia
ada di kota?”
Sahut si wanita mata satu, “Informasi Si Kura-kura Tua
memang tepat. Aku telah membawa dia ke sini!”
Tiba-tiba ia membalikkan badan dan berlutut. Matanya
penuh dengan air mata. Ia tidak bangkit sampai cukup
lama.
Tiba-tiba terdengar langkah-langkah lain.
Si wanita mata satu bertanya, “Siapa?”
Seseorang dari luar menjawab, “Aku dan Lojit (Saudara
Ketujuh).”
Yang satu berwajah burik dan bertubuh kekar. Ia
mengangkut sekeranjang kubis di bahunya. Yang satu
lagi kecil kurus. Ia menjual tahu.

227
Mereka berdua memandang Sang Kusir dengan penuh
kebencian. Si penjual kubis menyambarnya dan berseru,
“Thi keparat, apa yang hendak kau katakan sekarang?”
Si wanita mata satu berkata, “Lepaskan dia. Jika kau
ingin bertanya, tunggu sampai semuanya hadir.”
Si wajah burik mengertakkan giginya, namun akhirnya
dilepaskannya juga. Ia membungkuk tiga kali ke arah
mangkuk di atas meja. Matanya pun penuh dengan air
mata.
Dalam waktu satu jam berikutnya, datang tiga orang lagi.
Yang satu menenteng kotak obat-obatan, seorang tabib.
Yang satu membawa arak, ayam, dan beberapa cawan.
Yang satu lagi adalah seorang peramal buta.
Ketika ketiga orang ini melihat Sang Kusir, mata mereka
pun penuh dengan kebencian. Tujuh orang duduk
mengelilingi Sang Kusir. Wajah mereka semua tegang.
Mereka kelihatan seperti tujuh hantu yang keluar dari
neraka untuk membalas dendam.
Sementara itu, wajah Sang Kusir tampak biasa. Ia juga
diam saja.
Tiba-tiba si wanita mata satu bertanya, “Gosuheng,
tahukah kau bila Losam akan datang?”
Si penjual arak yang gemuk itu menjawab, “Ia pasti
datang. Aku telah menerima suratnya.”

228
Tanya si wanita lagi, “Kalau begitu, mengapa ia belum
juga kelihatan?”
Si peramal buta menghela nafas, lalu berkata, “Kita telah
menungggu selama 17 tahun. Apa artinya menunggu
satu dua jam lagi?”
Si wanita mata satu menggumam, “Tujuh belas tahun,
tujuh belas tahun…”
Mungkin tujuh delapan kali ia menggumam. Setiap kali
terdengar lebih pahit.
Tujuh belas tahun ini pastilah sangat berat bagi mereka.
Kepahitan yang tidak terkira memenuhi hidup mereka.
Begitu banyak darah dan air mata!
Si peramal buta itu pun berkata, “Tujuh belas tahun
terakhir ini, setiap saat aku ingin melihat dengan She Thi.
Sayangnya kini….”
Lalu ia bertanya, “Seperti apa rupanya sekarang? Losi,
beri tahukan padaku.”
Si tabib menjawab, “Ia tampak sama seperti tujuh belas
tahun yang lalu. Hanya saja jenggotnya makin panjang
dan tubuhnya sedikit lebih gemuk.”
Kata si buta, “Bagus. Bagus. Thi keparat, tahukah kau
bahwa selama tujuh belas tahun ini aku berdoa supaya
engkau selalu sehat? Sepertinya Langit telah menjawab
doaku.”

229
Si wanita mata satu mengertakkan giginya dan berkata,
“Ia telah mengkhianati Ang Thian-kiat, jadi ia pasti sudah
jadi kaya raya sekarang. Bagaimana ia bisa mengerti
hidup kita yang sengsara?”
Ia menunjuk pada si penjual arak, “An-lok kongcu Thio-
Gosuheng sekarang menjual arak. Ih-jiko sekarang
matanya buta. Kau tidak tahu, bukan?”
Sang Kusir diam saja. Ia kuatir jika kata-kata keluar dari
mulutnya, air mata pun akan menetes dari matanya.
Namun siapa yang dapat mengerti penderitaan yang
telah dia lalui?
Tiba-tiba terdengar seruan dari luar, “Toaso, aku punya
kabar baik….”
Bab 11. Penyelamat dari Langit
Ketika si wanita mata satu mendengar seseorang
berteriak dari luar, ia segera keluar dan bertanya, “Apa
yang begitu penting sampai kau berteriak-teriak seperti
oang kesurupan?”
Kata orang itu, “Aku baru saja bertemu dengan Tio Cingngo.
Katanya orang she Thi itu ada….”
Sambil berbicara, dibukanya pintu dan masuk ke dalam.
Begitu sampai di dalam ia tercekat dan mematung.
Orang yang hendak diceritakannya telah berada di situ.

230
Si wanita mata satu terkekeh, “Kau tak menyangka,
bukan?”
Orang itu menghembuskan nafas panjang dan berkata,
“Kata Tio Cing-ngo, ia berada di rumah Liong Siau-hun.
Tak kusangka….”
Dicekalnya tangan wanita itu, tanyanya, “Bagaimana kau
bisa menemukan dia?”
Sahutnya, “Aku mendengar dari Si Kura-kura Tua dari
Liong-sin-bio bahwa ia dan Li Sun-Hoan akan datang.
Jadi kami membuntuti mereka. Awalnya aku takut pada
Li Sun-Hoan, jadi aku tidak melakukan apa-apa. Siapa
sangka, ia pergi meninggalkan Li Sun-Hoan?”
Orang yang terakhir datang ini mengenakan baju yang
sobek-sobek. Dari kedelapan orang di rumah itu, hanya
dia yang berpakaian seperti orang dunia persilatan.
Sebatang tombak menyembul di punggungnya.
Kemudian ia pun menatap Sang Kusir dan berseru, “Thi
Toan-kah, masih ingatkah kau padaku?”
Thi Toan-kah mengangguk. “Apa kabar…”
Orang itu memotong cepat, “Aku baik-baik saja. Karena
aku tak pernah berbuat bejad, aku tak pernah harus
bersembunyi. Jadi kehidupanku lebih baik daripada
kehidupanmu, bukan?”

231
Si wajah burik berkata, “Samko, mengapa kau masih
berbicara dengan dia? Bunuh saja dia sekarang. Bunuh
dia sebagai persembahan bagi Lotoa.”
Pian Go menjawab, “Lojit, perkataanmu itu salah.
Memang betul kita ada di sini untuk membunuh
seseorang. Namun kita harus melakukannya dengan tata
cara yang benar, sehingga tak ada seorang pun yang
dapat menggugat kita.”
Si buta menambahkan, “Kita sudah menunggu selama
tujuh belas tahun, menunggu sebentar saja tak akan
membunuh kita.”
Setelah ia mengucapkan kalimat ini dua kali, tidak ada
yang membantah lagi.
Si wanita mata satu bertanya, “Lalu bagaimana kita
melakukannya?”
Jawab Pian Go, “Kita harus mengetahui keseluruhan
kisahnya, dan kita pun harus mencari seorang hakim.
Jika semua orang berpendapat bahwa orang she Thi ini
pantas mati, maka kita akan membunuhnya.”
Si wajah burik melompat, katanya, “Kenapa banyak
cingcong? Tak mungkin ada orang yang berpendapat
bahwa ia tidak pantas mati.”
Sahut si buta dengan dingin, “Kalau begitu, apa salahnya
kita bertanya?”

232
Si wajah burik mengertakkan giginya, lalu berkata, “Siapa
yang akan kau tanyai?”
Sahut Pian Go, “Orang yang kuundang terkenal akan
keadilannya. Ia juga tak ada sangkut pautnya dengan
kita ‘Tionggoan-pat-gi’ (Delapan Orang Benar dari
Tionggoan) ataupun dengan Thi Toan-kah.”
“Katakan, siapa orang itu.”
Pian Go menjawab, “Orang yang pertama adalah Thi-binbu-
su, Tio Cing-ngo. Orang ini adalah….”
Thi Toan-kah mendadak tertawa. “Kalian tidak perlu
bersusah-payah. Bunuh saja aku dan selesai sudah
urusannya. Aku mengakui aku telah mengkhianati Ang
Thian-kiat. Aku tidak menyesal mati hari ini.”
Si wanita mata satu berkata, “Sepertinya dia tidak suka
pada Tio Cing-ngo ini.”
Kata si buta, “Tio Cing-ngo memberitahukan keberadaan
orang ini pada samko. Mungkin ada persoalan di antara
mereka. Bagaimana dia bisa menilai permasalahan kita
dengan adil?”
Sahut Pian Go, “Tidak apa-apa, karena aku membawa
dua orang lagi selain dia. Yang satu adalah Cianpwe
(tetua) Pena Cepat. Ia dianggap penulis terbaik saat ini.
Dan lagi dia tidak punya hubungan apa-apa dengan
dunia persilatan. Yang terakhir adalah seorang anak
muda…”

233
Si wanita mata satu bertanya sangsi, “Mungkinkah
seorang anak muda bisa mengerti?”
Pian Go menyahut, “Walaupun pemuda ini baru dalam
dunia persilatan, kepribadiannya sangat kuat dan
tergolong pria sejati. Walaupun aku baru mengenalnya
dua hari, aku yakin bahwa ia benar-benar bisa
dipercaya.”
Si wanita mata satu itu tertawa dingin, dan berkata, “Kau
bisa tahu orang macam apa dia dalam waktu dua hari?
Sepertinya kebiasaanmu dalam berteman belum berubah
juga.”
Lalu tambahnya, “Kaulah juga yang dulu membawa
orang she Thi ini ke sini. Katamu dia orang baik-baik.
Jika dulu kita tidak menjadi sahabatnya, bagaimana
mungkin Ang Thian-kiat bisa mati begitu muda?”
Pian Go menundukkan kepala dan terdiam.
Namun si buta berkata, “Apapun yang terjadi, lebih baik
kalau ada beberapa saksi. Kita tidak boleh membunuh
tanpa alasan.”
Ia tertawa dan melanjutkan, “Karena Samko telah
membawa mereka datang, biarkanlah mereka masuk ke
dalam.”
Thi Toan-kah bersumpah takkan membuka matanya lagi.
Ia sungguh tidak ingin melihat tampang Tio Cing-ngo
lagi.

234
Ia juga bersumpah tak akan mengatakan satu perkataan
pun.
Lalu didengarnya langkah kaki. Dua orang masuk ke
dalam rumah itu.
Langkah orang yang pertama terdengar berat,
menunjukkan tenaga dalamnya yang tinggi. ‘Lan-kunpak-
tui (Kepalan Selatan Kaki Utara)’. Tio Cing-ngo
berasal dari utara, maka sebagian besar ilmu silatnya
berada pada kakinya. Orang yang kedua bernafas
dengan berat, menunjukkan bahwa jika ia tahu ilmu silat
pun, ilmunya tidak tinggi. Ia tidak mendengar adanya
langkah orang yang ketiga.
Mungkinkah langkah orang yang ketiga tidak terdengar
sama sekali?
Si buta bangkit dan berkata, “Akibat kemalangan yang
menimpa beberapa saudara kami di masa lalu, hari ini
kami harus mengundang kalian bertiga datang ke sini,
dan menunggu lewatnya badai salju. Aku sungguh minta
maaf.”
Suaranya datar. Perkataannya tidak cepat, tidak pula
lambat. Tidak ada seorang pun yang tahu apakah ia
sedang bersungguh-sungguh atau berpura-pura.
Terdengar Tio Cing-ngo berkata dengan suaranya yang
menggelegar, “Untuk membawa keadilan dalam dunia
persilatan, mati sekalipun aku rela. Ih-jisiansing tak perlu
sungkan.”

235
Pembicaraan orang ini seharusnya terdengar berbobot
dan tulus. Namun Thi Toan-kah malah ingin muntah
setelah mendengarnya.
Terdengar suara lain berbicara dengan tenang dan
tajam. “Aku hanya seorang penulis. Tapi aku sering
mendengar kisah-kisah kepahlawanan dalam dunia
persilatan. Aku bangga kalian di sini menganggap aku
cukup berharga untuk menjadi seorang hakim.”
Kata si buta, “Aku berharap kau dapat menuliskan cerita
ini selengkapnya, supaya jika di kemudian hari ada orang
yang mengungkitnya, mereka akan tahu bahwa
keputusan kita hari ini adalah benar.”
Penulis tua itu berkata, “Pasti. Setelah aku kembali, akan
kutuliskan seluruh kebenarannya. Waktu Tuan Pian
mengajak aku datang, itupun sudah terpikir olehku.”
Thi Toan-kah akhirnya mengerti mengapa Pian Go
mengajak orang ini datang. Timbul rasa hormatnya
karena ketelitian Pian Go yang begitu rupa.
Si wanita mata satu berkata, “Tapi siapakah Tuan ini?
Sudikah engkau memperkenalkan namamu pada kami?”
Pertanyaan ini tertuju pada orang yang ketiga.
Orang ini tidak menjawab. Pian Go menjawab, “Temanku
ini tidak suka diketahui namanya.”
Si buta berkata dingin, “Namanya tidak ada sangkutpautnya
dengan masalah ini. Kalau dia tidak mau

236
mengatakan, kita pun tak perlu bertanya. Namun dia
harus tahu nama kita.”
Pian Go segera berkata, “Kami adalah delapan
bersaudara yang dijuluki ‘Tionggoan-pat-gi’ oleh orangorang
kalangan persilatan. Namun mereka terlalu
berlebihan.”
Si buta memotong cepat. “Mereka tidak berlebihan.
Walaupun ilmu silat dan wajah kami tidak menonjol, kami
melakukan segala sesuatu dengan mengutamakan
kebenaran.”
Kata Tio Cing-ngo, “Siapa yang tidak kenal ‘Tionggoanpat-
gi’?”
Si buta tidak menggubris, lanjutnya, “Aku adalah Ih
Beng-oh. Dulu aku dijuluki ‘Sin-bok-ji-tian (Si Mata Cepat
Halilintar)’. Sekarang….” Disambungnya sambil
tersenyum, “julukanku adalah ‘Yu-gan-bu-cu (bermata
tapi tak bisa melihat)’.”
Lalu si tabib berkata, “Kurasa kalian sudah mengenal
Samte ‘Po-ma-sin-jian (Si Kuda Cepat Tombak Hebat’)’
Pian Go. Dan aku adalah Losi. Cayhe Kim Hong-pek.”
Si penulis berkata, “Dari logatmu, sepertinya kau dari
Lam-yang-hu (Nan Yang).”
“Benar.”

237
Si penulis berkata lagi, “Ada sebuah toko obat yang
terkenal milik keluarga Kim di Lam-yang-hu. Aku pun
pernah membeli obat dari sana satu kali. Apakah kau….”
Kim Hong-pek tertawa dan menyahut, “Apa istimewanya?
Bahkan Juragan muda Ban-seng-wan pun sekarang
berjualan ceker ayam.”
Penulis tua itu bertanya, “Yang manakah dia?”
Penjual arak itu menjawab, “Sudah jelas aku.”
[Ceker ayam adalah masakan yang biasanya disantap
sambil minum arak, sehingga beberapa penjual arak pun
menjual ceker ayam]
"Cayhe Thio Seng-hun," kata si penjual arak pula, "si
tukang kayu adalah Lakte (adik Keenam) kami, meski
kapaknya sekarang cuma digunakan untuk memotong
kayu, tapi dahulu terkenal sebagai Lip-pi-hoa-san (sekali
tabas membelah gunung Hoa) ...."
"Dan aku Lojit (ketujuh), Cayhe Kongsun Uh, aku
bernama Uh (hujan), sebab lubang burik pada mukaku
mirip tetesan hujan," demikian si bopeng juga berucap.
Si penjual sayur kemudian berkata, “Dan aku Lopat
(kedelapan), Cayhe Sebun Liat.”
Penulis itu bertanya, “Di manakah Lotoa kalian?”
Jawab Kongsun Uh, “Lotoa kami, Ang Thian-kiat, telah
terbunuh. Ini adalah jandanya….”

238
"Cayhe tidak sedap didengar, Li-tu-hou (si wanita jagal)
Ang-toanio," tukas si perempuan bermata satu, "kuharap
kau ingat baik-baik Cayhe."
Penulis itu tersenyum. “Walaupun aku sudah tua,
ingatanku masih cukup baik.”
Ang-toanio berkata, “Kami ingin kau mengingat nama
kami bukan supaya kami terkenal, namun agar kisah
sedih kami didengar oleh banyak orang. Dengan cara ini,
orang-orang dunia persilatan akan tahu kebenarannya.”
Kongsun Uh menambahkan, “Orang ini bernama Thi
Toan-kah. Ia adalah pembunuh Lotoa kami!”
Kim Hong-pek berkata, “Kami saudara berdelapan,
sangat dekat hubungannya. Walaupun kami punya
pekerjaan masing-masing, kami berdelapan selalu
berkumpul untuk merayakan tahun baru di rumah
Lotoa.”
Thio Seng-hun menambahkan, “Kami berdelapan sangat
berbahagia, sehingga kami tidak pernah berusaha
mencari teman yang lain. Namun pada tahun itu, Samko
datang membawa seseorang ke pertemuan tahunan
kami. Katanya, orang itu adalah sahabatnya.”
Kongsun Uh memotong dengan nada getir, “Orang itu
adalah keparat yang tak tahu terima kasih, yang menjual
sahabatnya demi uang, Thi Toan-kah.”
Kim Hong-pek lalu berkata, “Lotoa adalah seseorang
yang tidak takut mati. Waktu ia melihat bahwa Thi ToanKANG
ZUSI at http://cerita-silat.co.cc/
239
kah bersikap seperti seorang pria sejati, ia dengan tidak
ragu-ragu memperlakukan Thi Toan-kah sebagai sahabat
juga. Siapa sangka, ia bukan manusia, tapi seekor
anjing!”
Thio Seng-hun menyambung ceritanya, “Setelah
perayaan tahun baru, kami pun pergi, namun Lotoa
menahannya untuk tinggal satu dua bulan lagi. Saat
itulah ia diam-diam menghubungi musuh-musuh Lotoa.
Mereka menyerang di malam hari dan membunuh Lotoa.
Walaupun istrinya tidak mati, ia terkena luka yang
serius.”
Ang-toanio berteriak, “Lihat bekas luka di wajahku ini!
Luka ini hampir saja membelah wajahku menjadi dua.
Jika mereka tahu aku belum mati, aku tak akan bisa
lolos.”
Kongsun Uh berkata, “Hari itu, semua orang di rumah itu
mati, sehingga tidak seorang pun tahu siapa pelakunya.”
Kim Hong-pek berkata, “Waktu kami tahu, kami
meninggalkan segala sesuatu dan bersumpah untuk
membalas dendam. Untunglah, Langit masih punya
mata….”
Ang-toanio mengakhiri, “Kami sudah menceritakan kisah
kami. Katakanlah sekarang, apakah orang ini pantas mati
atau tidak.”
Tio Cing-ngo langsung menjawab, “Jika ceritamu benar,
maka disayat menjadi seribu bagian pun belum cukup
untuk membayar kesalahannya.”

240
Kongsun Uh melompat bangkit dan berkata dengan
marah, “Tiap kata adalah kebenaran. Jika kalian tidak
percaya pada kami, tanyakanlah sendiri padanya!”
Thi Toan-kah berkata sambil mengatupkan giginya, “Aku
sudah bilang dari dulu. Aku malu akan perbuatanku. Aku
bersedia mati.”
Kongsun Uh berseru, “Dengar! Dia sendiri mengakuinya!”
Penulis itu berkata, “Ia sangat licik dan kejam.”
Ang-toanio berkata, “Kalau begitu, kalian bertiga yakin
bahwa dia pantas mati, bukan?”
Penulis itu menjawab dengan yakin, “Ya!”
Tio Cing-ngo berkata, “Jangan hanya bunuh dia, potongpotong
dia jadi seribu bagian, supaya keadilan dalam
dunia persilatan sungguh-sungguh ditegakkan.”
Lalu terdengar suara lain, “Kau terus-menerus
mengatakan ‘dunia persilatan’. Apakah kau mewakili
dunia persilatan?”
Suara itu tajam dan menusuk. Seperti pedang, dingin
dan cepat.
Ini pertama kalinya ia berbicara dalam ruangan itu. Ini
pasti si orang ketiga dapat berjalan tanpa suara itu.
Hati Thi Toan-kah berdegup kencang. Ia merasa kenal
dengan suara ini.

241
Ia terpaksa membuka matanya, dan terlihat olehnya
bahwa orang yang duduk di sebelah Tio Cing-ngo adalah
si anak muda kesepian, A Fei!
Fei-siauya (tuan Fei)? Mengapa kau ada di sini?
Pertanyaan itu hampir saja terucap dari bibir Thi Toankah,
namun diurungkannya.
Perangai Tio Cing-ngo langsung berubah. “Maksudmu,
dia tidak pantas mati?”
A Fei menjawab dingin, “Kalau aku merasa dia tidak
pantas mati, apakah akan kaubunuh aku juga?”
Kata Ih Beng-oh, “Kami membawa kalian ke sini untuk
keadilan. Jika kau mempunyai alasan yang kuat untuk
melepaskannya, akan kami lakukan dengan segera.”
Tio Cing-ngo berkata, “Kurasa ia hanya mau membuat
masalah. Mengapa harus berdebat dengan dia?”
A Fei memandangnya. Lalu ia berkata dengan tenang,
“Kau bilang ia mengkhianati sahabatnya demi harta, tapi
bukankah kau juga sama saja? Hari itu di rumah Tuan
Ang, bukankah kau pun salah satu yang menyerang dia?
Hanya saja Ang-toanio tidak melihatmu!”
Delapan bersaudara itu nampak sangat terkejut, tanya
mereka, “Apakah benar begitu?”
Kata A Fei, “Ia ingin membunuh orang itu untuk
membungkam mulutnya.”

242
Tio Cing-ngo awalnya tetap tenang, namun kini ia mulai
gemetar.
“Kau….”
Dengan sangat marah ia mulai menyerukan segala
macam sumpah serapah. Baru belakangan dia menyadari
kata-kata kotor itu tidak bermanfaat sama sekali.
Lalu ia tersenyum dingin dan berkata, “Tak disangka
anak muda macam kau bisa berbohong tanpa berkedip.
Tapi itu kan hanya perkataanmu saja. Tidak ada yang
mau percaya!”
Kata A Fei, “O ya? Lalu mengapa kita percaya kata-kata
mereka?”
Tio Cing-ngo berkata, “She Thi sudah mengakui
perbuatannya. Tidakkah kau dengar?”
Sahut A Fei, “Aku dengar.”
Sebelum perkataannya, ujung pedangnya telah berada di
depan leher Tio Cing-ngo.
Tio Cing-ngo telah bertempur ratusan kali. Tidak mudah
untuk menyerangnya tanpa ketahuan. Namun entah
bagaimana, ia bahkan tidak melihat kapan anak muda itu
menarik keluar pedangnya!
Ia hanya melihat suatu bayangan samar, dan detik
selanjutnya, pedang itu telah mengancam lehernya. Ia
langsung mematung, lalu katanya, “A…Apa maumu?”

243
Sahut A Fei, “Aku hanya ingin tanya. Hari itu di rumah
Tuan Ang, apakah kau ada di sana?”
Tio Cing-ngo berteriak marah, “Apakah kau sudah gila?”
A Fei menyahut dengan tenang, “Jika kau tak mengaku,
aku harus membunuhmu.”
Ia mengatakan kalimat itu dengan nada datar, seolaholah
sedang bercanda.
Keringat mulai membasahi muka Tio Cing-ngo.
“A…Aku….”
Kata A Fei, “Lebih baik kau menjawab dengan benar.
Berdoalah agar jawabanmu tidak salah.”
Semua orang di situ telah melihat pedang A Fei yang
terselip di pinggang. Mereka semua berpikir pedang itu
lucu sekali. Namun sekarang, tidak seorang pun berpikir
demikian.
A Fei terus berbicara, “Ini adalah terakhir kalinya aku
akan bertanya. Aku tak akan mengulangi lagi. Apakah
kau membunuh Ang Thian-kiat?”
Tio Cing-ngo tak tahu harus menjawab apa dan akhirnya
berkata, “Ya….”
Waktu ia menjawab demikian, kedelapan bersaudara itu
terperangah, tak percaya pendengaran mereka.

244
A Fei lalu tersenyum dan berkata, “Jangan kuatir. Dia tak
ada sangkut-pautnya dengan kematian Ang Thian-kiat.”
Kini delapan bersaudara itu bengong memandang A Fei.
A Fei melanjutkan, “Aku hanya ingin menyampaikan satu
hal. Jika seseorang mengakui kesalahannya dibawah
tekanan, itu tidak dapat dijadikan bukti!”
Namun delapan bersaudara itu bertanya, “Kapan kami
menekan dia?”
“Kau pikir kami memukulinya sampai dia mengaku?”
“Jikalau demikian, mengapa ia tidak berkata apa-apa?”
Tiba-tiba Ih Beng-oh berkata, “Thi Toan-kah, jika kau
merasa diperlakukan tidak baik, katakanlah sekarang.”
Thi Toan-kah hanya mengatupkan mulutnya rapat-rapat.
Wajahnya penuh dengan kepedihan.
Kata Ang-toanio, “Karena kau tak bilang apa-apa, berarti
kau telah mengakuinya. Kami tidak pernah
mengancammu dengan pedang di lehermu.”
Thi Toan-kah berkata, “Fei-siauya (tuan Fei), aku tidak
bisa bilang apa-apa. Maafkan aku. Kebaikan hatimu
tersia-sia begitu saja.”
Sahut A Fei,”Apapun yang dia katakan, aku tidak percaya
kalau dia orang semacam itu.”

245
Kata Kongsun Uh, “Lihatlah fakta-faktanya. Kau tidak
bisa mendebatnya.”
Ang-toanio tertawa dingin, “Siapa yang peduli apakah dia
percaya atau tidak. Mengapa kita harus mempedulikan
dia?”
Kim Hong-pek pun angkat suara, “Betul. Masalah ini tak
ada sangkut-pautnya dengan dia.”
Ang-toanio berseru dengan kasar, “Kau pikir kau ini
siapa? Mencampuri urusan kami.”
Si tabib juga berkata, “Bagaimana kalau kulukai dia? Apa
yang akan kau perbuat?”
Si tabib paling jarang berbicara. Namun paling cepat
bergerak. Sebelum selesai bertanya, kapaknya telah
memotong dengan gerakannya yang paling terkenal, ‘Lippi-
hoa-san (Membelah Gunung Huo’. Thi Toan-kah duduk
diam, menunggu kapak itu membelahnya menjadi dua.
Penulis itu tercekat, disangkanya darah akan muncrat
keluar.
Tak disangka, pada saat yang tepat, sebilah pedang
berkilat dan memotong kapak itu menjadi dua! Sepotong
jatuh di depan Thi Toan-kah. Delapan bersaudara itu
menyaksikan rentetan kejadian itu dan tak seorang pun
mempercayai penglihatan mereka. Sebelum ada yang
sempat bicara, pedang A Fei telah sampai ke depan leher
si tabib.

246
Waktu A Fei menyerang Tio Cing-ngo, mereka tidak
menganggapnya sungguh-sungguh. Namun saat ini,
semuanya terlihat sangat terkejut dan ketakutan.
Mereka tidak bisa percaya ada pedang dengan kecepatan
seperti itu!
Namun A Fei sendiri bersikap biasa saja. Dibantunya Thi
Toan-kah bangkit, lalu katanya, “Mari kita minum arak.”
Kongsun Uh, Kim Hong-pek dan Pian Go segera
menghalangi jalan mereka.
Kata Kim Hong-pek, “Kau hendak pergi sekarang? Tidak
semudah itu.”
A Fei menyahut dengan tenang, “Apa yang kau ingin aku
lakukan? Membunuhmu?”
Tiba-tiba Ih Beng-oh mendesah, “Biarkanlah mereka
pergi.”
Kata Ang-toanio berang, “Bagaimana kita membiarkan
dia pergi? Semua usaha kita sia-sia…”
Ih Beng-oh melanjutkan, “Kau boleh pergi. Ini adalah
cara dunia persilatan. Siapa yang memiliki pedang
tercepat, dialah yang benar.”
Sahut A Fei, “Terima kasih untuk pengarahanmu. Aku tak
akan pernah lupa.”

247
Ang-toanio kini tersedu-sedu, “Bagaimana bisa kau
lepaskan dia… Bagaimana bisa kau lepaskan dia!”
Wajah Ih Beng-oh membatu. “Apa yang kau inginkan?
Kau ingin dia membunuh kita semua?”
Kata Pian Go, “Jisuheng memang benar. Selama kita
masih hidup, kita dapat membalas dendam di kemudian
hari.”
Tiba-tiba Ang-toanio melompat dan merenggut bajunya.
“Kau masih punya nyali untuk berbicara? Ini satu lagi
‘kawanmu’. Ini sudah kali kedua….”
Kata Pian Go, “Kau benar. Akulah yang membawanya.
Aku akan bertanggung jawab.” Sambil mengatakan ini, ia
keluar dari ruangan.
Nyonya tercekat, lalu berteriak, “Samko, kembalilah!”
Segera ia mengejar keluar, namun Pian Go sudah tidak
terlihat lagi.
Ih Beng-oh mendesah dan berkata, “Biarkanlah dia pergi.
Kuharap ia dapat bertemu dengan temannya.”
Mata Kim Hong-pek berbinar, “Maksudmu…”
Sahut Ih Beng-oh, “Jika kau sudah tahu siapa yang
kumaksud, mengapa bertanya lagi?”

248
Kata Kim Hong-pek, “Jika Samko benar-benar dapat
menemukan dia, bagaimana pun cepatnya pedang anak
muda ini, ia tidak akan mungkin lolos.”
Tio Cing-ngo tiba-tiba tertawa. “Sebenarnya Tuan Pian
tidak perlu mencari orang itu.”
“O ya?”
Sahut Tio Cing-ngo, “Dalam dua hari ini, tiga orang akan
datang ke sini. Walaupun anak muda itu punya tiga
kepala Tan Oknam tangan, aku jamin ketiga kepalanya
akan copot seketika!”
Tanya Kim Hong-pek, “Siapa ketiga orang itu?”
Kata Tio Cing-ngo, “Jika kusebutkan nama mereka,
mungkin kau pun akan mati berdiri.”
Bab 12. Keduanya adalah Orang-orang yang Patah
Hati
Walaupun hari masih siang, langit mendung bagaikan
magrib.
A Fei berjalan tenang, sama seperti waktu pertama kali
Thi Toan-kah melihat dia berjalan. Masih begitu
kesepian, begitu lelah.
Namun sekarang Thi Toan-kah tahu. Begitu ada bahaya,
anak muda ini akan langsung waspada. Berjalan
berdampingan dengannya, sebenarnya Thi Toan-kah
ingin membicarakan begitu banyak hal, namun ia tidak

249
tahu harus mulai dari mana. Li Sun-Hoan tidak pernah
bicara banyak. Dan setelah bersama-sama dengan Li
Sun-Hoan selama bertahun-tahun, ia tahu bagaimana
menggunakan keheningan untuk menggantikan katakata.
Hanya dua kata yang diucapkannya, “Terima
kasih.”
Namun segera disadarinya bahwa dua kata ini pun tidak
perlu diucapkan. Karena A Fei sama dengan Li Sun-Hoan.
Seseorang tidak perlu mengatakan ‘terima kasih’ di
hadapan mereka.
Ada sebuah paviliun di sana. A Fei berjalan menuju ke
sana, dan tiba-tiba ia bertanya, “Mengapa kau tak
mengatakan yang sesungguhnya pada mereka?”
Thi Toan-kah berpikir cukup lama, lalu mendesah. “Ada
beberapa hal yang tidak ingin kuucapkan. Lebih baik mati
daripada mengucapkannya.”
Kata A Fei, “Kau memang sahabat yang baik, namun kau
salah akan satu hal.”
“Apa itu?”
Sahut A Fei, “Kau pikir karena nyawamu adalah milikmu,
kau berhak untuk mati.”
“Salahkah itu?”
Jawab A Fei, “Salah sekali.”

250
Tiba-tiba ia menoleh dan menatap Thi Toan-kah. Lalu
katanya, “Seseorang dilahirkan, bukan untuk mati.”
Kata Thi Toan-kah, “Kau benar. Tapi kalau bukan karena
situasi yang tak ada jalan keluarnya….”
A Fei berkata lagi, “Sekalipun kau harus mati, kau tetap
harus mengerahkan segala daya upaya untuk tetap
hidup.”
Ia terus menatap Thi Toan-kah. Katanya dengan tajam,
“Tuhan telah memberi engkau begitu banyak. Apa yang
telah kau perbuat bagiNya?”
“Tidak ada.”
“Untuk membesarkanmu, ayah dan ibumu telah
berkorban begitu banyak. Apa yang telah kau perbuat
bagi mereka?”
Thi Toan-kah hanya dapt menundukkan kepalanya.
Kata A Fei, “Kau tahu bahwa ada hal-hal yang tidak
dapat dibicarakan. Jika kau mengatakannya, berarti kau
mengkhianati sahabatmu. Namun jika kau mati begitu
saja, apakah kau tidak mengkhianati ayah ibumu,
mengkhianati Tuhan?”
Thi Toan-kah menengadah ke langit, lalu berkata, “Aku
salah…. Aku salah….”
Sepertinya ia telah mengambil suatu keputusan besar.
“Aku tak mau mengatakannya karena….”

251
A Fei memotong cepat, “Aku percaya padamu. Kau tak
perlu memberi penjelasan.”
Thi Toan-kah tidak tahan untuk tidak bertanya,
“Bagaimana kau bisa yakin bahwa aku tidak melakukan
apa yang mereka tuduhkan?”
Jawab A Fei, “Aku hanya mengetahuinya.”
Matanya sungguh terang, penuh dengan rasa percaya
diri. Lalu ia melanjutkan, “Mungkin karena aku tumbuh di
alam bebas. Seperti binatang buas, aku punya naluri
membedakan yang baik dan yang jahat.”
***
Dalam benak Li Sun-Hoan, ada yang lebih menyebalkan
daripada tidak bisa minum arak, yaitu minum arak
dengan orang-orang yang menyebalkan.
Ia merasa bahwa semua orang yang ada di situ sangat
menyebalkan. Bayangkan, Yu Liong-sing adalah yang
terbaik dari sekumpulan orang itu. Setidaknya ia tidak
bukan penjilat.
Maka dia pura-pura sakit.
Liong Siau-hun tahu sifat Li Sun-Hoan, sehingga ia diam
saja. Oleh sebab itu, Li Sun-Hoan berbaring saja dalam
kamarnya menunggu datangnya malam.
Ia tahu, malam ini akan terjadi sesuatu yang menarik.

252
Waktu ia terpikir akan kencannya dengan Lim Sian-ji
nanti malam, matanya bercahaya. Namun waktu ia
terpikir akan Thi Toan-kah, wajahnya kembali murung.
Akhirnya, hari mulai gelap.
Li Sun-Hoan bangkit. Namun ia mendengar langkah
ringan di atas salju di luar, jadi ia kembali berbaring.
Langkah itu berhenti di depan jendela.
Li Sun-Hoan hanya menunggu dengan diam. Ia tidak
bertanya siapa yang datang. Orang itu tampaknya raguragu
untuk masuk, jadi tidak mungkin Liong Siau-hun.
Liong Siau-hun tak mungkin menunggu di depan pintu.
Jadi siapakah orang ini?
Si-im?
Seluruh darah dalam tubuhnya bergejolak. Tubuhnya
sampai menggigil. Kemudian orang di luar terbatuk kecil.
“Apakah Li-heng sedang tidur?”
Ini adalah suara Yu Liong-sing. Li Sun-Hoan menghela
nafas lega. Ia tidak tahu apakah ia harus sedih atau
gembira.
Yu Liong-sing masuk dan duduk. Matanya tidak pernah
memandang ke arah Li Sun-Hoan. Li Sun-Hoan
menyalakan lilin, dan baru ia sadari bahwa wajah
pemuda ini sangat pucat.

253
Li Sun-Hoan bertanya sambil tersenyum, “Kau ingin
minum teh, atau arak?”
Yu Liong-sing menjawab pendek, “Arak.”
Li Sun-Hoan masih tersenyum. “Bagus. Aku memang
tidak punya teh.”
Yu Liong-sing minum tiga cawan dalam sekejap. Lalu ia
bertanya, “Tahukah kau mengapa aku minum arak?”
Jawab Li Sun-Hoan, “Sepertinya kau tidak sedang
bersedih. Jadi mungkin untuk menambah semangat?”
Yu Liong-sing kini menatap Li Sun-Hoan. Tiba-tiba
tawanya meledak.
Saat itulah, dihunusnya pedang dari pinggangnya.
Tiba-tiba pula tawanya berhenti. Lalu ia bertanya,
“Kenalkah kau dengan pedang ini?”
Li Sun-Hoan menyentuh sedikit sisi pedang itu, katanya,
“Pedang yang luar bisasa.”
Mata Yu Liong-sing berbinar. “Li-heng adalah ahli
tentang pedang. Aku yakin kau pasti tahu bahwa pedang
ini adalah salah satu pedang paling terkemuka di dunia.”
Ia melihat pada pedang itu dan menyambung, “Ini
adalah ‘Toat-ceng-kiam (Pedang Perenggut Cinta’)’ yang
dipakai oleh Tik Bu-cu 300 tahun yang lalu. Aku yakin Liheng
tahu latar belakang kisahnya, bukan?”

254
“Ceritakan saja.”
“Tik Bu-cu cinta setengah mati pada pedangnya,
sehingga ia tidak pernah jatuh cinta pada seorang wanita
sampai ia setengah umur. Mereka lalu berencana untuk
menikah. Namun beberapa hari sebelum pernikahan, ia
baru tahu bahwa tunangannya dan sahabat karibnya Si
Dewa Golok, Pang Ging, diam-diam berkencan. Dalam
kemarahannya, ia membunuh Pang Ging dengan pedang
ini. Dan pedang ini pun menjadi teman hidupnya dan dia
tidak pernah lagi berpikir untuk menikah.”
Ia memandang Li Sun-Hoan. “Kau mungkin berpikir
bahwa cerita ini sederhana dan membosankan. Namun
ini adalah kisah nyata.”
Li Sun-Hoan tersenyum dan berkata, “Aku hanya berpikir
bahwa Tik Bu-cu, walaupun dia adalah jago pedang yang
hebat, pikirannya agak sempit. Mengapa seorang pria
sejati mengorbankan persahabatan demi seorang
wanita?”
Yu Liong-sing pun tersenyum, katanya, “Tetapi
menurutku, ia adalah pria sejati. Hanya pria sejati yang
dapat mencintai begitu dalam.”
Li Sun-Hoan terkekeh, “Jadi kau ingin mengikuti jejak Tik
Bu-cu 300 tahun yang lalu. Betul kan?”
Yu Liong-sing menatap Li Sun-Hoan dengan pandangan
sedingin es, dan berkata dingin, “Itu tergantung apakah
Li-heng akan mengikuti jejak Si Dewa Golok Pang Ging
300 tahun yang lalu atau tidak!”

255
Li Sun-Hoan mengeluh. “Kau tahu, malam ini bulan
sangat indah. Mengapa kau merusak suasana yang
begitu damai dengan kata-kata seperti itu?”
Kata Yu Liong-sing, “Jadi kau masih akan pergi ke sana
malam ini?”
Sahut Li Sun-Hoan, “Jika aku membiarkan seorang gadis
seperti Nona Lim menikmati keindahan bulan sendirian,
aku merasa seperti seorang penjahat.”
Wajah Yu Liong-sing yang pucat menjadi merah padam.
Kemarahannya tergambar dengan jelas. Pedang itu
berbalik, terarah pada samping leher Li Sun-Hoan.
Namun Li Sun-Hoan masih tersenyum. “Dengan ilmu
pedangmu, kau masih belum bisa menandingi Tik Bu-cu.”
Yu Liong-sing berseru dengan marah, “Aku tidak perlu
mengerahkan seluruh kemampuanku untuk
membunuhmu!”
Saat mengucapkan kalimat itu, Yu Liong-sing telah
menyerang sepuluh langkah.
Terdengar suara pedang membelah angin, cepat dan
keras. Cawan arak di meja hancur berantakan oleh angin
pedang itu. Arak tumpah membasahi lantai. Walaupun
gerakan pedangnya makin lama makin cepat, Li Sun-
Hoan tidak tampak bergerak. Seolah-olah tak ada yang
terjadi. Semua serangannya mengenai tempat kosong.

256
Yu Liong-sing mengertakkan giginya. Serangannya
menjadi semakin tajam.
Ia melihat tangan Li Sun-Hoan masih kosong. Setiap
serangan pedangnya dibuat untuk menghalangi Li Sun-
Hoan menggunakan pisaunya.
Namun Li Sun-Hoan memang tidak bermaksud
menggunakan pisaunya. Ia hanya menantikan
berakhirnya serangan ini. Tiba-tiba ia tersenyum,
katanya, “Untuk seorang pemuda seusiamu, ilmu
pedangmu sungguh hebat. Namun untuk seorang
pemuda yang memiliki seorang ayah seperti ayahmu dan
guru seperti gurumu, jika engkau berkelana, habislah
sudah reputasi mereka.”
Sungguh luar biasa, ia masih dapat berbicara dengan
santai dibawah serangan setajam itu. Yu Liong-sing
menjadi semakin marah dan tidak sabar. Namun entah
bagaimana, serangannya selalu luput, tidak
mengoyakkan sedikit pun baju Li Sun-Hoan.
Ketika ia menyerang leher Li Sun-Hoan, Li Sun-Hoan
berkelit ke kiri. Ketika dipindahkan serangannya ke kiri,
seakan-akan Li Sun-Hoan tidak jadi berkelit. Jadi
walaupun serangannya sangatlah mematikan, Li Sun-
Hoan sama sekali tidak terpengaruh.
Yu Liong-sing kembali mengertakkan giginya. Serangan
berikutnya terarah ke dada Li Sun-Hoan. Pikirnya,
“Sekarang, apapun yang terjadi, aku takkan tertipu lagi.”

257
Setelah tertipu beberapa kali, kali ini ia bertekad tidak
akan mengubah arah serangannya.
Dilihatnya bahu kiri Li Sun-Hoan bergerak sedikit,
tubuhnya meliuk ke kanan. Kali ini, ia benar-benar
bergerak! Pedang Yu Liong-sing luput lagi.
Kemudian Li Sun-Hoan menjentikkan jarinya di pinggir
pedang itu.
Yu Liong-sing merasakan getaran yang sangat kuat.
Tubuhnya tiba-tiba seolah-olah lumpuh, pedangnya tak
terkendali dan terlempar ke luar jendela menuju ke arah
hutan.
Li Sun-Hoan tetap berdiri di situ. Bahkan kakinya tak
bergeser sejengkalpun.
Yu Liong-sing merasa seluruh darahnya naik ke kepala,
lalu serentak turun ke kakinya. Tubuhnya terasa dingin.
Li Sun-Hoan menepuk pundaknya, dengan tersenyum ia
berkata, “Pedangmu sangat berharga. Pergi dan
ambillah.”
Yu Liong-sing menghentakkan kakinya, lalu berbalik dan
segera pergi. Namun tiba-tiba saja ia berhenti. Katanya,
“Kalau…. Kalau kau punya nyali, tunggulah satu tahun
lagi. Tahun depan aku akan mencarimu untuk membalas
dendam.”
Sahut Li Sun-Hoan, “Satu tahun? Kelihatannya satu tahun
masih kurang.”

258
Lalu ia menambahkan, “Kau punya potensi yang baik.
Ilmu pedangmu pun cukup baik. Permasalahannya
adalah emosimu. Kau tidak sabar dan sombong. Jadi,
ketika kau bertemu dengan lawan yang lebih kuat, kau
langsung hancur. Sebenarnya, jika hari ini kau lebih
sabar sedikit, kau bisa melukai aku. “
Mata Yu Liong-sing langsung bersinar, namun Li Sun-
Hoan meneruskan, “ Tapi kesabaran itu lebih mudah
diucapkan daripada dijalankan. Jadi, kalau kau ingin
mengalahkan aku, kau perlu setidaknya tujuh tahun!”
Li Sun-Hoan tersenyum dan berkata lagi, “Pergilah. Dan
berlatihlah baik-baik tujuh tahun, baru kembali untuk
membalas dendam. Tujuh tahun bukanlah waktu yang
lama.”
Malam kembali tenang.
Li Sun-Hoan memandang langit malam melalui jendela
kamarnya. Ia berdiri di sana cukup lama. Lalu ia
menggumam sambil memandang ke malam kelam, “Anak
muda, janganlah kau membenci aku. Sebetulnya, aku
ingin menyelamatkanmu. Jika kau terus bersama dengan
Lim Sian-ji, ia akan menghancurkan hidupmu.”
Li Sun-Hoan tahu Lim Sian-ji sedang menantikan dia dan
telah mempersiapkan tipu daya yang lain. Ia penasaran
akan apa yang sedang direncanakan oleh wanita itu.
Waktu Yu Liong-sing pergi, ia bukan lagi anak muda yang
sombong, yang angkuh. Ia berkata pada Li Sun-Hoan,
“Jika kau betul-betul menyukai Lim Sian-ji, kau akan

259
menyesal. Ia adalah milikku. Kami telah…. telah….
Mengapa kau mau memakai sepatu bekasku?”
Namun saat itu Li Sun-Hoan hanya tersenyum dan
menjawab, “Sepatu bekas selalu lebih nyaman daripada
sepatu baru.”
Ketika ia membayangkan wajah Yu Liong-sing saat
meninggalkannya, ia merasa kasihan, namun ia juga
merasa geli. Apakah Lim Sian-ji betul-betul wanita
semacam itu?
Ia melangkah keluar pintu, dan dilihatnya sekelebat
cahaya dari dalam hutan.
Dua pelayan datang mendekat. Mereka membawa
sepasang lentera dan berbisik-bisik satu dengan yang
lain, lalu tertawa tertahan. Ketika mereka melihat Li Sun-
Hoan, mereka langsung terdiam.
Kini Li Sun-Hoanlah yang terkekeh, katanya, “Apakah
Nona Lim menyuruh kalian untuk memanggilku?”
Pelayan yang di sebelah kiri, yang tampak lebih tua dan
lebih jangkung menjawab, “Sebetulnya, Nyonya kamilah
yang ingin bertemu dengan Li-tayhiap.”
Li Sun-Hoan terperangah, “Nyonya?”
Ia bertanya dengan gelisah, “Nyonya yang mana?”
Pelayan yang lebih muda mengikik. “Hanya ada satu
Nyonya dalam rumah ini.”

260
Tubuh Li Sun-Hoan masih di sana, namun pikirannya
telah melayang ke luar hutan pohon Bwe itu. Ke pondok
kecil itu….
Sepuluh tahun yang lalu, ia selalu berkunjung ke sana. Ia
ingat, yang ada di meja selalu hanya makanan-makanan
kesukaannya.
Li Sun-Hoan berjalan tergesa-gesa. Kini ia berada di
pondok kecil itu lagi.
Cahaya di atas terlihat temaram. Sama seperti sepuluh
tahun yang lalu. Bahkan salju di atas atap pun masih
sama indahnya dengan sepuluh tahun yang lalu.
Namun, sepuluh tahun telah berlalu….
Sepuluh tahun yang takkan mungkin terulang lagi.
Li Sun-Hoan tidak punya cukup keberanian untuk naik ke
atas.
Namun ia harus ke sana.
Apapun alasannya dia meminta Li Sun-Hoan datang, ia
tidak mungkin menolaknya.
Sesampainya di puncak tangga, badannya serasa
membeku.
Sepuluh tahun, seperti terhapus begitu saja. Rasanya ia
telah kembali ke sepuluh tahun yang lalu. Hatinya
berdegup kencang, seperti anak muda yang jatuh cinta

261
pertama kali. Kehangatan sepuluh tahun yang lalu…..
Mimpi-mimpi sepuluh tahun yang lalu.
Li Sun-Hoan tidak berani melanjutkan pikirannya. Itu
artinya mengkhianati Liong Siau-hun, dan juga dirinya
sendiri. Ia ingin sekali lari dari situ.
Namun didengarnya suara dari balik tirai, “Silakan
duduk.”
Suara itu masih semerdu sepuluh tahun yang lalu. Hanya
kini, suara itu terasa jauh, dan dingin. Kalau tidak
melihat makanan yang sama pula terhidang di atas meja,
mungkin tak bisa dipercaya bahwa ia sedang menjumpai
kenalan lama.
Ia hanya bisa duduk dan berkata, “Terima kasih.”
Lalu seseorang keluar dari balik tirai itu.
Nafas Li Sun-Hoan hampir berhenti. Namun yang keluar
hanyalah seorang anak kecil. Ia masih mengenakan
bajunya yang merah, tapi wajahnya tampak seputih
kertas.
Terdengar lagi suara dari balik tirai, “Jangan lupa apa
yang Ibu baru saja katakan. Tuangkanlah secangkir arak
untuk Paman Li.”
Ang-hai-ji menyahut patuh, “Ya.”
Li Sun-Hoan tidak tahu harus berpikir atau berkata apa.
Walaupun ia tidak melakukan apa pun yang salah, ia

262
tetap merasa seperti seorang penjahat di hadapan anak
ini.
Si-im, Si-im. Apakah maksudmu mengundangku adalah
untuk menyiksaku?
Bagaimana ia dapat minum arak ini? Namun, bagaimana
pula kalau tak diminumnya arak ini?
Ang-hai-ji berkata, “Walaupun keponakan tak bisa lagi
berlatih ilmu silat, seorang laki-laki tak bisa hidup
dibawah naungan orang tuanya seumur hidupnya. Aku
harap Paman Li bersedia mengajarkan beberapa jurus
perLindungan diri, supaya keponakan tidak dipermainkan
orang di kemudian hari.”
Li Sun-Hoan mengeluh dalam hati, lalu diulurkannya
tangannya. Di tangan itu terdapat sebilah pisau.
Lim Si-im berkata dari balik tirai, “Pamanmu tak pernah
mengajarkan ilmu pisau itu kepada siapapun. Jika kau
mempelajarinya, kau tak perlu takut orang akan
mempermainkan engkau. Cepat berterima kasih pada
Paman Li.”
Ang-hai-ji lalu berlutut dan berkata, “Terima kasih,
Paman Li.”
Li Sun-Hoan tersenyum. Pikirnya, “Tak ada yang dapat
mengalahkan kasih ibu terhadap anaknya. Namun
pertanyaannya sekarang, bagaimanakah seorang anak
memperlakukan ibunya?”

263
Seorang pelayan lalu membawa anak itu pergi, namun
Lim Si-im masih berada di balik tirai. Tapi ia juga tidak
membiarkan Li Sun-Hoan pergi.
Li Sun-Hoan biasanya adalah seseorang yang percaya
diri. Namun saat itu, entah mengapa, ia hanya bisa
duduk diam di situ seperti orang tolol.
Malam telah bertambah larut.
Apakah Lim Sian-ji masih menunggunya?
Tiba-tiba Lim Si-im bertanya, “Apakah kau ada urusan
lain?”
Jawab Li Sun-Hoan, “Ti….Tidak.”
Lim Si-im terdiam sejenak, lalu berkata, “Kau pasti sudah
bertemu dengan Lim Sian-ji.”
Kata Li Sun-Hoan, “Satu atau dua kali.”
Kata Lim Si-im lagi, “Ia sungguh malang. Ia tumbuh
dalam Lingkungan yang buruk. Jika kau telah berjumpa
dengan ayahnya, kau pasti mengerti.”
“Aku mengerti.”
Lim Si-im melanjutkan, “Suatu hari, aku pergi ke ‘Tebing
Pengorbanan’ untuk berdoa. Aku melihat dia akan terjun
dari atas tebing itu. Jadi kuselamatkan dia…. Kau tahu
mengapa ia ingin terjun dari atas tebing itu?”

264
Jawab Li Sun-Hoan, “Tidak.”
Sahut Lim Si-im, “Karena penyakit ayahnya.”
Li Sun-Hoan hanya tergugu di kursinya.
Lim Si-im melanjutkan lagi, “Ia tidak hanya pandai dan
sangat cantik, ia juga amat tegar. Ia tahu, ia berasal dari
keluarga miskin, sehingga ia harus bergantung dari
banyak orang. Ia kuatir orang-orang akan menghina dia.”
Kata Li Sun-Hoan, “Kurasa kini tak akan ada yang
menghina dia, bukan?”
Sahut Lim Si-im, “Itu akibat dari ketegarannya bertahuntahun
ini. Sayangnya, ia masih amat muda, sehingga
hatinya pun sangat lembut. Aku kuatir ia akan terjerat
tipu daya orang lain.”
Li Sun-Hoan tertawa getir. “Jika orang lain tidak
terperdaya olehnya, aku sungguh bergembira.”
Kata Lim Si-im, “Aku hanya berharap ia mendapatkan
suami yang baik, tidak terkecoh begitu saja dan
menderita seumur hidupnya.
Li Sun-Hoan berpikir sejenak, lalu bertanya, “Mengapa
kau katakan ini padaku?”
Lim Si-im pun berpikir sejenak, lalu menjawab, “Kau
tidak tahu mengapa aku katakan ini padamu?”
Sebenarnya Li Sun-Hoan memang tahu.

265
Maksud Lim Si-im menahan dia di situ adalah untuk
mencegah pertemuannya dengan Lim Sian-ji. Yu Liongsing
pasti telah memberitahukan padanya.
Lim Si-im berkata, “Apapun yang terjadi, kita adalah
teman lama. Aku ingin memohon bantuanmu.”
Hati Li Sun-Hoan membeku, namun ia tetap tersenyum.
“Kau tidak ingin aku menemui Lim Sian-ji?”
“Betul.”
Li Sun-Hoan menarik nafas panjang, lalu berkata,
“Kau…Kau pikir aku menyukai dia?”
Sahut Lim Si-im, “Aku tak peduli apa perasaanmu
terhadap dia. Aku hanya mohon kau tidak menemuinya.”
Li Sun-Hoan menghabiskan arak dalam cawan itu dengan
sekali teguk. Lalu ia berkata, “Kau benar. Aku adalah
petualang yang tidak berguna. Jika aku pergi
menjumpainya, aku hanya akan menyakitinya….”
Bab 13. Bencana yang Aneh
Tanya Lim Si-im, “Jadi kau setuju?”
Li Sun-Hoan mengatupkan giginya. “Tak tahukah kau
bahwa aku suka sekali menyakiti orang?”
Ia bangkit dan berkata, “Selamat malam.”

266
Suara Lim Si-im bergetar. “Kau telah pergi, mengapa kau
kembali lagi? Kami telah hidup dengan damai.
Mengapa….Mengapa kau harus kembali dan membuat
kesulitan bagi kami?”
Li Sun-Hoan mengerahkan seluruh tenaganya untuk
mengatupkan mulutnya. Namun bibirnya masih bergetar.
Suara Lim Si-im menjadi pedas. “Tak cukupkah engkau
menghancurkan putraku? Kau harus menghancurkan adik
angkatku juga?”
Wajahnya masih putih, masih cantik. Namun matanya
penuh dengan luka, dengan kesakitan. Ia tidak pernah
lepas kendali di depan orang lain sebelumnya.
Mungkinkah ini hanya demi Lim Sian-ji?
Li Sun-Hoan tidak menoleh.
Ia tidak punya keberanian untuk menoleh, untuk
memandang Lim Si-im.
Ia menuruni tangga dengan cepat, sambil berkata
dengan tenang, “Sebenarnya kau tak perlu memohon.
Aku tidak menyukai dia sama sekali!”
Lim Si-im mengawasi kepergiannya. Tubuhnya langsung
lemas terkulai ke lantai.
***

267
Kolam itu telah menjadi es. Ada jembatan di atas kolam
itu.
Li Sun-Hoan duduk di atas jembatan itu dan menatap
kosong ke arah kolam.
Hatinya sama seperti kolam itu.
Ia dapat melihat secercah cahaya dari bilik Lim Sian-ji di
kejauhan. Apakah Lim Sian-ji masih menantikan
kedatangannya?
Ia tahu ada alasan mengapa Lim Sian-ji minta dia datang
malam itu. Ia juga tahu bahwa kalau di datang, banyak
hal menarik yang akan terjadi. Namun ia masih saja
duduk di situ, hanya memandangi cahaya lilin itu dari
kejauhan.
Ia mulai terbatuk-batuk lagi.
Tiba-tiba, terlihatlah sesosok bayangan dalam bilik itu. Li
Sun-Hoan seketika mempersiapkan diri dan melesat ke
sana.
Langkahnya begitu cepat tak terlukiskan. Namun waktu
ia tiba di sana, bayangan itu telah menghilang.
Li Sun-Hoan berpikir-pikri, “Apakah aku salah lihat?”
Ia membuka daun jendela dan berbisik, “Nona Lim.”
Tidak ada jawaban.

268
Li Sun-Hoan melihat ke dalam bilik. Terlihat ada arak
tumpah di lantai. Dan di atas meja, terlihatlah setangkai
bunga Bwe!
Bwe-hoa-cat !
Mungkinkah Lim Sian-ji telah tertawan oleh Bwe-hoa-cat
?
Li Sun-Hoan memungut cawan arak itu. Keringat mulai
membasahi telapak tangannya.
Saat itulah terdengar suara yang lemah dan tiba-tiba lilin
pun padam. Lalu datanglah ratusan senjata rahasia dari
segala arah.
Namun dari seluruh senjata rahasia di dunia ini, apakah
yang dapat menandingi Li si pisau terbang?
Li Sun-Hoan meliukkan tubuhnya, dan tangannya
menangkap 18 macam senjata. Yang lain terpental oleh
kakinya.
Lalu terdengar seruan keras dari luar.
“Bandit Bunga Bwe. Kau tak akan lolos hari ini. Keluar
dan matilah kau!”
“Sehebatnya apapun engkau, kami masih dapat
membuat engkau mati menderita!”

269
“Aku tidak berbohong. Dian-jitya dari Lokyang Yang ada
di sini. Demikian pula Mo-in-jiu Kongsun-tayhiap, Tiotoaya,
dan Liong-siya.”
Li Sun-Hoan menggelengkan kepalanya tidak percaya.
Lalu ia menggumam, “Dian-jitya benar-benar datang.”
Lalu terdengar seseorang berkata, “Kau sudah ada di
sini, mengapa tidak keluar?”
Li Sun-Hoan berdehem, lalu berkata dengan suara berat,
“Kalian sudah ada di sini, mengapa tidak masuk?”
Orang-orang di luar mulai berkasak-kusuk di antara
mereka, “Sepertinya orang ini ingin memancing kita
masuk ke dalam.”
Lalu sebuah suara menggelegar mengatasi hingar-bingar
itu. “Bwe-hoa-cat hanya bisa mengendap-endap dalam
kegelapan. Mana mungkin dia punya nyali untuk bertemu
dengan kita semua.” Semua orang segera mengiakan
ucapan ini dan mendesak orang yang di dalam untuk
keluar.
Lalu mereka mendengar jawaban, “Memang benar, Bwehoa-
cat suka mengendap-endap dalam kegelapan. Tapi
apa hubungannya dengan aku?”
Suara yang menggelegar itu berkata, “Jika kau bukan
Bwe-hoa-cat , siapakah engkau?”

270
Suara yang lain berkata, “Mo-in-jiu Kongsun-tayhiap,
buat apa kita berdebat dengan dia? Tio-toaya tidak
mungkin salah. Orang ini pastilah Bwe-hoa-cat .”
Tawa Li Sun-Hoan langsung meledak. “Tio Cing-ngo, aku
tahu ini pasti perbuatanmu.” Di tengah tertawanya, ia
melesat ke luar melalui jendela, ke tengah kerumunan
itu. Semua orang mundur selangkah.
Lalu Liong Siau-hun berseru, “Semua berhenti. Ini adalah
Toako, Li Sun-Hoan.”
Li Sun-Hoan langsung menatap Tio Cing-ngo. Ia
tersenyum dan berkata, “Penglihatan Tio-lotoa memang
sungguh tajam. Jika tangan dan kakiku kurang Lincah
sedikit saja, aku pasti sudah menjadi mayat pengganti
Bwe-hoa-cat .”
Wajah Tio Cing-ngo menjadi hijau. Ia menyahut dingin,
“Seseorang bersembunyi di sini di tengah malam. Jika dia
bukan Bwe-hoa-cat , siapa lagi? Bagaimana aku bisa tahu
bahwa kau tiba-tiba sembuh dan diam-diam datang ke
sini?”
Li Sun-Hoan menjawab dengan tenang, “Aku tidak perlu
datang dengan diam-diam. Aku bisa pergi ke manapun
aku mau. Lagi pula, bagaimana Tio-toaya bisa yakin
bahwa aku tidak diundang oleh Si Nona?”
Tio Cing-ngo tertawa. “Aku tidak tahu apa hubunganmu
dengan Nona Lim. Tapi semua orang tahu, Nona Lim
tidak mungkin ada di sini malam ini.”

271
“O ya?”
Kata Tio Cing-ngo, “Untuk menghindari Bwe-hoa-cat , ia
telah pindah tadi pagi.”
Kata Li Sun-Hoan lagi, “Jika demikian, paling tidak
seharusnya kau memastikan dulu siapa orangnya,
sebelum mulai menyerang.”
Sahut Tio Cing-ngo, “Dalam menghadapi penjahat seperti
Bwe-hoa-cat , kita harus berinisiatif. Kalau tidak, ia pasti
akan lolos.”
Semua kata-katanya terdengar logis dan benar. Tidak
dapat dibantah.
Li Sun-Hoan tertawa keras. “Bagus sekali ‘berinisiatif’.
Kalau saja aku mati hari ini di tanganmu, aku hanya
dapat menyalahkan kesialanku, tak bisa menyalahkan
engkau.”
Liong Siau-hun terbatuk dua kali, lalu memaksakan
sebuah senyuman. “Mudah sekali melakukan kesalahan
di malam gelap gulita. Lagi pula….”
Tio Cing-ngo memotong dengan dingin, “Lagi pula
mungkin aku tidak melakukan kesalahan.”
Kata Li Sun-Hoan, “Oh? Maksudmu, akulah Bwe-hoa-cat
?”
Tio Cing-ngo tertawa sinis. “Mungkin, mungkin juga
tidak. Semua orang hanya tahu ilmu meringankan tubuh

272
Bwe-hoa-cat sangat hebat. Kecepatannya juga luar
biasa. Namun apakah namanya Zhang, atau Li, tidak ada
yang tahu.”
Kata Li Sun-Hoan, “Kau benar. Ilmu meringankan
tubuhku memang cukup baik. Kecepatanku pun tidak
jelek. Saat Bwe-hoa-cat muncul kembali pun bertepatan
dengan kepulanganku. Kalau aku bukan Bwe-hoa-cat ,
pasti ada yang salah.”
Ia terkekeh. Lalu mentap Tio Cing-ngo. “Jika kau begitu
yakin bahwa akulah Bwe-hoa-cat , mengapa tak kau
tangkap aku sekarang?”
Tio Cing-ngo menjawab, “Tidak jadi soal kapan aku
menangkapmu. Lagi pula, ada Dian-jitya dan Muo Yun di
sini. Kau pikir kau bisa lolos?”
Wajah Liong Siau-hun langsung memucat. Katanya,
“Ayolah. Ini hanya bercanda, bukan? Jangan keterlaluan.
Aku berani jamin bahwa ia bukanlah Bwe-hoa-cat .”
Kata Tio Cing-ngo, “Tidak ada yang bercanda mengenai
hal sepenting ini. Sudah sangat lama kalian berdua sudah
tidak berjumpa. Bagaimana kau bisa yakin?”
Sahut Liong Siau-hun, “Tapi…tapi aku tahu persis orang
macam apa dia.”
Seseorang tiba-tiba tertawa, “Kau mungkin kenal dengan
seseorang, tapi kau takkan tahu isi hatinya. Liong-siya
pasti pernah mendengar ucapan ini.”

273
Orang ini kurus kering seperti batang bambu. Mukanya
berkerut-kerut, seperti orang tua yang sakit. Namun
suaranya sangat jernih. Ini adalah Kongsun Mo-in.
Seorang yang lain muncul dari belakangnya. Orang ini
terlihat seperti Siauya yang kaya. Ia terkekeh dan
berkata, “Betul sekali. Aku, Dian-jitya, adalah teman lama
Li Sun-Hoan. Namun jika hal seperti ini terjadi, aku harus
mengesampingkan persahabatan.”
Kata Li Sun-Hoan, “Walaupun aku punya banyak teman,
aku rasa aku belum pernah berteman dengan orang yang
berkedudukan sebegitu tinggi, seperti Dian-jitya.”
Wajah Dian-jitya berubah. Matanya memancarkan
cahaya membunuh.
Semua orang dalam dunia persilatan sudah tahu bahwa
kalau ia ingin membunuh, ia akan segera menyerang.
Akan tetapi, kali ini ia hanya berdiri di sana.
Kongsun Mo-in, Tio Cing-ngo dan Dian-jitya mengelilingi
Li Sun-Hoan. Wajah ketiganya tampak tegang.
Namun mereka hanya dapat berdiri di sana, memandangi
pisau di tangan Li Sun-Hoan.
Li Sun-Hoan tidak memandang mereka sekilas pun. Ia
hanya berkata, “Aku tahu, kalian bertiga sudah tidak
sabar untuk membunuhku. Dengan membunuhku, kalian
bukan hanya akan menjadi kaya raya dan mendapatkan
wanita yang cantik, tapi nama kalian pun akan harum di
kemudian hari.”

274
Sahut Tio Cing-ngo, “Uang dan wanita tidaklah penting.
Kami hanya ingin membunuhmu demi keadilan dalam
dunia persilatan.”
Li Sun-Hoan tertawa terbahak-bahak. “Betapa sucinya!
Betapa agungnya! Kau sungguh-sungguh hidup
berpadanan dengan julukanmu, Tuan yang Terhormat.”
Ia menyentuh ujung pisaunya, lalu berkata lagi, “Lalu
mengapa tak kau tangkap aku?”
Pandangan Tio Cing-ngo tak pernah lepas dari pisau itu.
Ia tidak menjawab.
Li Sun-Hoan berkata lagi, “Oh, aku tahu. Tongkat Dianjitya
tidak ada tandingannya di dunia. Tio-lotoa pasti
sedang menunggu Dian-jitya untuk memulai. Jadi,
mengapa Tuan Dian-jitya hanya berdiri di sana saja?”
Kedua tangan Dian-jitya tetap berada di balik
punggungnya. Seakan-akan ia tidak mendengar apa-apa.
Li Sun-Hoan bertanya lagi, “Apakah Tuan Dian-jitya
sedang menunggu Mo-in-jiu Kongsun-tayhiap untuk
memulai? Ide yang cukup baik. Kepalan 14 Awan milik
Mo-in-jiu Kongsun-tayhiap punya ribuan variasi. Tentulah
ia yang harus mulai.”
Kongsun Mo-in pun seakan-akan mendadak tuli. Ia tidak
bergerak sedikitpun.

275
Li Sun-Hoan tertawa lagi dan berkata, “Sungguh aneh.
Ketiganya ingin membunuhku. Namun tidak seorang pun
bergerak. Kenapa ya?”
Ketiga orang ini sungguh-sungguh sabar. Bagaimana pun
Li Sun-Hoan mengolok-olok mereka, mereka tetap berdiri
di sana tidak bergerak.
Memang ketiganya sungguh ingin membunuh Li Sun-
Hoan secepatnya. Namun Pisau Kilat si Li tak pernah
luput. Selama pisau itu ada di tangannya, siapakah yang
berani bergerak?
Liong Siau-hun tiba-tiba tersenyum. “Toako, mereka ini
cuma bercanda. Mari kita pergi minum arak saja.”
Ia berjalan menuju Li Sun-Hoan dengan senyum lebar.
Ditariknya tangan Li Sun-Hoan.
Li Sun-Hoan terkejut luar biasa, dengan suara bergetar ia
berkata, “Toako, kau….”
Ia ingin menghindar dari tarikan tangan Liong Siau-hun,
namun terlambat.
Saat itu, hampir dengan tanpa suara tangan Dian-jitya
muncul dari balik punggungnya. Sebatang tongkat
pendek keemasan tergenggam di tangannya, dan
memukul Li Sun-Hoan tepat di kakinya.
Tangan Li Sun-Hoan, walaupun tanpa pisau, masih
tergolong salah satu yang terbaik di dunia. Namun

276
karena tangannya ditarik oleh Liong Siau-hun, ia tidak
berbuat apa-apa.
Setelah ia jatuh berlutut, Kongsun Mo-in segera menutup
ketujuh Hiat-to (jalan darah) di punggungnya. Tio Cingngo
lalu menendang dia dan Li Sun-Hoan pun
terjengkang ke belakang.
Liong Siau-hun terlompat kaget dan berseru, “Mengapa
kalian memperlakukan dia seperti ini? Cepat bebaskan
dia.”
Tio Cing-ngo menjawab dingin, “Kami tak bisa
mengambil resiko seperti itu.”
Kata Dian-jitya, “Maafkan kami, Tuan Liong.”
Kongsun Mo-in telah menghadang langkah Liong Siauhun.
Liong Siau-hun berusaha menyerang, namun
tongkat Dian-jitya segera melumpuhkan kakinya.
Sebelum ia bisa berbuat apa-apa, Tio Cing-ngo segera
menutup Hiat-to (jalan darah)nya.
Ketika Liong Siau-hun jatuh ke tanah, ia berkata,
“Saudara Tio-lotoa, teganya kau….”
Kata Tio Cing-ngo, “Walaupun kita bersaudara, keadilan
dalam dunia persilatan harus didahulukan. Kuharap kau
bisa mengerti, supaya kau tidak terjerumus oleh orangorang
busuk macam dia.”

277
Sahut Liong Siau-hun, “Namun dia tidak mungkin Bwehoa-
cat .”
Kongsun Mo-in lalu berkata, “Liong-siya, kau memiliki
rumah yang indah dan reputasi yang baik. Tidak perlu
kau bersimpati terhadap orang semacam dia.”
Liong Siau-hun berkata, “Jika kau membebaskan dia, aku
akan bertanggung jawab.”
Sahut Tio Cing-ngo, “Bagaimana dengan istrimu?
Anakmu? Kau ingin melihat mereka terseret bersama
dengan engkau?”
Tubuh Liong Siau-hun menggigil hebat.
Pisau Li Sun-Hoan masih ada di tangannya, namun ia
tidak berkesempatan menggunakannya!
Akankah orang benar ini, pahlawan sejati ini, akan
berakhir secara tragis seperti ini?
Liong Siau-hun menitikkan air mata. Katanya, “Toako, ini
semua karena kesalahanku. Aku telah mencelakaimu.
Kakakmu telah mengecewakan engkau.”
Sesaat sebelum datangnya fajar adalah saat yang
tergelap. Semua cahaya di bangsal pun tak dapat
menerangi kegelapan yang pekat itu.
Sekelompok orang berkumpul di luar bangsal, bercakapcakap
di antara mereka.

278
“Dian-jitya sungguh hebat. Kau lihat betapa cepat
tongkatnya? Walaupun Liong-siya tidak ada, aku yakin Li
Sun-Hoan tak akan mampu menangkisnya.”
“Lagi pula ada Tio-lotoa dan Mo-in-jiu Kongsun-tayhiap
bersamanya.”
“Ya, benar. Tak heran, kata orang kaki Tio-toaya
berharga 20 ribu tail emas. Tendangannya sungguh
mengagumkan.”
“Bagaimana dengan pukulan Mo-in-jiu Kongsun-tayhiap?
Jika ia tidak menyerang begitu sigap, kurasa Li Sun-Hoan
tidak akan jatuh secepat itu.”
“Dian-jitya, Tio-lotoa, Mo-in-jiu Kongsun-tayhiap.
Hmmmh, Li Sun-Hoan sungguh sial bertemu mereka
bertiga.”
“Walaupun demikian, jika bukan karena Liong-siya…..”
“Ada apa dengan Liong-siya? Apakah ia lebih dari
sekedar sahabat bagi Li Sun-Hoan?”
“Liong-siya sungguh seorang sahabat sejati. Li Sun-Hoan
amat beruntung memiliki saudara seperti dia!”
Liong Siau-hun duduk di atas sebuah kursi kayu merah
dalam bangsal. Kata-kata terakhir itu seakan-akan
menancap di hatinya seperti sebatang jarum. Wajahnya
penuh dengan keringat.

279
Dilihatnya Li Sun-Hoan terbaring di lantai, terus terbatukbatuk.
Liong Siau-hun kembali menitikkan air mata. “Toako,
semua ini salahku. Betapa sialnya engkau mempunyai
sahabat seperti aku. A…Aku telah menghancurkan
hidupmu.”
Li Sun-Hoan berusaha keras untuk berhenti batuk. Ia
memaksakan diri tersenyum, dan berkata, “Toako, aku
hanya ingin engkau tahu satu hal. Jikalau aku dapat
mengulang kembali hidupku, aku tetap ingin menjadi
sahabat karibmu.”
Liong Siau-hun kini tersedu-sedu. “Tapi…. jika tidak
kutarik tanganmu, engkau tak mungkin….”
Li Sun-Hoan berkata dengan tulus, “Aku tahu, apapun
yang kau perbuat adalah untuk kebaikanku. Aku hanya
bisa berterima kasih.”
Kata Liong Siau-hun, “Mengapa kau tak menegaskan
pada mereka bahwa kau bukanlah Bwe-hoa-cat ?
Mengapa kau….”
Li Sun-Hoan tersenyum. “Hidup dan mati adalah soal
kecil. Aku telah merasa puas hidup. Mengapa aku harus
kuatir akan kematian? Mengapa aku harus menyembahnyembah
orang-orang kotor yang menyebalkan itu?”
Dian-jitya mendengarkan pembicaraan itu dengan
seksama. Ia memandang mereka dan bertepuk tangan.
“Bagus sekali. Hebat.”

280
Kongsun Mo-in pun tertawa dingin. “Ia tahu kita tak akan
melepaskan dia, apa pun yang terjadi. Jadi biarlah dia
mengolok-olok kita, menghibur dirinya sedikit sebelum
mati.”
Li Sun-Hoan menyahut dengan tenang, “Kau memang
benar. Saat ini, aku hanya bisa memohon kematian.
Namun sekarang, tak ada lagi pisau di tanganku.
Mengapa belum juga kalian bunuh aku?”
Wajah Kongsun Mo-in yang berkerut-kerut menjadi
merah padam.
Tio Cing-ngo menyergah dengan tidak sabar, “Jika kami
membunuh kau sekarang, kabar yang akan tersiar dalam
dunia persilatan adalah bahwa kami hanya
membunuhmu demi kepentingan pribadi kami. Kami akan
mengadilimu dengan adil.”
Li Sun-Hoan menghela nafas. “Tio Cing-ngo, aku
sungguh mengagumimu. Walaupun hatimu busuk, katakatamu
sangat baik dan bijak. Dan kau pun
mengatakannya dengan wajah yang jujur.”
Dian-jitya tertawa dan berkata, “Li-tayhiap, kau memang
punya nyali. Jika kau memang ingin cepat mati, aku
punya rencana.”
Kata Li Sun-Hoan, “Awalnya aku pun ingin berbicara
denganmu, namun aku tak ingin mengotori mulutku.”
Dian-jitya tidak menggubris. “Jika kau ingin mati sedikit
lebih cepat, tulislah surat pengakuan bahwa kau

281
bersalah. Kami pun akan membuat kematianmu lebih
mudah.”
Li Sun-Hoan segera menjawab tanpa pikir panjang. “Baik.
Aku ucapkan. Kau tuliskan.”
Liong Siau-hun segera menyela, “Toako, jangan lakukan
itu.”
Li Sun-Hoan terus saja berkata, “Kejahatanku terlalu
banyak untuk dituliskan. Aku berpura-pura suci,
walaupun hatiku sangat kotor. Aku berkomplot demi
kekuasaan, merusak persahabatan, membokong orang
lain, menggunakan cara-cara licik dalam bertempur, aku
tidak punya integritas dan telah melakukan berjuta-juta
perbuatan keji. Namun aku masih merasa bahwa aku
adalah seorang pria sejati!”
Terdengar suara keras. Tio Cing-ngo menampar muka Li
Sun-Hoan!
Li Sun-Hoan tersenyum. “Tidak apa-apa. Rasanya seperti
digigit anjing gila saja.”
Tio Cing-ngo berseru dengan marah, “Keparat kau.
Dengar baik-baik. Walaupun aku belum bisa
membunuhmu sekarang, aku bisa membuatmu merasa
lebih baik mati!”
Li Sun-Hoan hanya tertawa. “Kalau aku takut padamu,
Tuan yang Palsu, aku bukanlah seorang pria sejati.
Gunakan saja cara penyiksaan yang engkau inginkan.”

282
Sahut Tio Cing-ngo, “Bagus!”
Liong Siau-hun hanya dapat menggigil di kursinya.
Katanya, “Toako, maafkan aku. Kau adalah seorang
pahlawan, namun aku seorang pengecut. Aku…”
Kata Li Sun-Hoan, “Ini bukan kesalahanmu, Toako. Jika
aku mempunyai anak dan istri, aku pun akan berbuat
seperti engkau.”
Saat ini Tio Cing-ngo telah mencengkeram dia dan
menarik otot-ototnya kuat-kuat. Rasa sakitnya sungguh
tak terkatakan, namun Li Sun-Hoan tetap tersenyum.
Lalu terdengarlah seseorang berkata di luar, “Nona Lim,
dari manakah engkau? Dan siapakah temanmu ini?”
Semua orang memandang ke arah Lim Sian-ji. Bajunya
kusut, sebagian terkoyak. Ia berjalan masuk ke dalam
bangsal itu.
Di sebelahnya tampak seorang pemuda. Di malam yang
begitu dingin ia hanya mengenakan selembar baju tipis.
Namun bahunya tetap tegak. Seolah-olah, tak ada
sesuatu pun di dunia ini yang dapat
membengkokkannya!
Ia masuk memanggul seorang mayat.
A Fei!
Mengapa A Fei ada di sini?

283
Hati Li Sun-Hoan berdegup kencang, tak tahu harus
merasa gembira atau terkejut. Namun dipalingkannya
wajahnya. Ia tidak ingin A Fei melihatnya dalam keadaan
seperti itu.
Ia tidak ingin A Fei bertindak bodoh demi dirinya.
Namun A Fei telah melihatnya.
Wajahnya yang dingin menjadi bercahaya. Ia berjalan ke
arah Li Sun-Hoan. Tio Cing-ngo tidak menghalanginya. Ia
tahu tingginya ilmu silat A Fei.
Namun Kongsun Mo-in tidak tahu. Segera ia halangi
langkah A Fei dan membentaknya, “Kau kira kau ini
siapa? Apa maumu?”
Sahut A Fei, “Memberimu pelajaran!”
Mendengar ini, Kongsun Mo-in segera menyerang.
Lim Sian-ji terkesima menatap Li Sun-Hoan, tak peduli
pada yang lain. Sedangkan Liong Siau-hun tak ingin
melakukan apa-apa lagi.
Anehnya, A Fei tidak berusaha mengelak.
Terdengar suara keras saat kepalan Kongsun Mo-in
mendarat di dada A Fei. A Fei tidak bergerak seincipun,
namun Kongsun Mo-in sungguh kesakitan, sampaisampai
ia jatuh berlutut.

284
A Fei tidak menghiraukan dia. Ia berjalan lagi ke arah Li
Sun-Hoan dan bertanya, “Apakah dia temanmu?”
Li Sun-Hoan tersenyum. “Kau pikir aku punya teman
seperti itu?”
Saat itu, Kongsun Mo-in kembali menyerang. Tiba-tiba A
Fei memutar tubuhnya, dan terdengar bunyi berdebum.
Kongsun Mo-in telah terjengkang ke belakang beberapa
meter.
Orang-orang tak dapat mempercayai penglihatan
mereka. Siapa yang dapat percaya bahwa Si Kepalan
Awan yang terkenal itu menjadi pecundang di hadapan
anak muda ini.
Hanya Dian-jitya yang tertawa terbahak-bahak.
“Sahabat, kau cukup sigap. Anak-anak muda benar-benar
telah menyusul kita yang tua.”
Ia membungkuk dan berkata, “Cayhe Dian-jitya.
Siapakah namamu? Mungkin kita dapat bersahabat.”
A Fei menjawab, “Aku tak punya nama. Juga tak ingin
bersahabat denganmu.”
Wajah semua orang di situ langsung berubah, namun
Dian-jitya tersenyum saja. “Sayangnya, kau tidak pandai
berteman.”
Kata A Fei, “O ya?”

285
Dian-jitya menunjuk ke arah Li Sun-Hoan, “Apakah dia
temanmu?”
“Ya.”
Dian-jitya bertanya, “Tahukah kau siapa dia?”
“Tahu.”
Dian-jitya terkekeh. “Tahukah kau bahwa ia adalah Bwehoa-
cat ?”
A Fei mengangkat alisnya, “Bwe-hoa-cat ?”
Kata Dian-jitya, “Memang sulit dipercaya. Namun kita
harus mempercayai fakta.”
A Fei menatapnya. Tatapannya menembus ke dalam
hatinya.
Lalu A Fei berkata dengan dingin, “Dia pasti bukan Bwehoa-
cat .”
“Kenapa?”
Tiba-tiba dilepaskannya mayat yang sedari tadi
dipanggulnya. Katanya, “Sebab inilah Bwe-hoa-cat yang
sesungguhnya!”
Orang-orang langsung mengerumuni mayat itu.
Mayat itu kurus kering. Luka pisau di wajahnya membuat
ia sulit dikenali.

286
Dian-jitya tertawa lagi. “Katamu, inilah Bwe-hoa-cat
yang sesungguhnya?”
Sahut A Fei, “Ya.”
Dian-jitya berkata, “Kau benar-benar masih hijau. Kau
pikir semua orang akan percaya begitu saja? Kau pikir
kami akan percaya karena kau datang membawa mayat
dan berkata bahwa ialah Bwe-hoa-cat ?”
Sahut A Fei lagi, “Aku tidak pernah bohong. Dan aku
tidak pernah dibohongi.”
Dian-jitya bertanya, “Kalau begitu, bagaimana kau bisa
membuktikannya?”
Sahut A Fei, “Lihat saja mulutnya!”
Dian-jitya tertawa lagi. “Mengapa harus kulihat
mulutnya? Apakah dia bisa bicara?”
Semua orang ikut tertawa. Walaupun mereka tidak
merasa lucu, mereka tertawa juga karena Dian-jitya
tertawa.
Tiba-tiba Lim Sian-ji maju dan berkata, “Aku tahu ia tidak
bohong. Orang itu memang Bwe-hoa-cat .”
Dian-jitya bertanya, “O ya? Apakah mayat itu
memberitahukan padamu?”
Lim Sian-ji menjawab, “Betul. Dia sendiri yang
mengatakannya.”

287
Ia segera melanjutkan sebelum ada yang menyela.
“Sewaktu Cin Tiong mati, aku bisa melihat bahwa ia mati
karena serangan senjata rahasia yang hebat. Tidaklah
aneh jika dia tak dapat menghindarinya. Namun aku
merasa aneh kalau seorang ahli kawakan seperti Go Bunthian
pun tidak dapat menghindarinya. Kini aku tahu
mengapa.”
Mata Dian-jitya berkedip-kedip. “Oh? Jadi mengapa?”
Jawab Lim Sian-ji, “Rahasianya ada pada mulutnya.”
Tiba-tiba diambilnya sebilah pisau untuk membuka mulut
mayat itu. Ada sepucuk senjata di situ.
Kata Lim Sian-ji, “Senjata itu dilepaskannya pada saat ia
berbicara. Tidak ada seorang pun yang siap menghadapi
serangan semacam itu!”
Kata Dian-jitya, “Jika senjata itu ada dalam mulutnya,
bagaiman ia bisa berbicara?”
Sahut Lim Sian-ji, “Ini adalah rahasia di dalam rahasia. Ia
tidak memerlukan mulutnya untuk berbicara. Ia bisa
berbicara dengan perutnya. Mulutnya hanya untuk
membunuh orang!”
Apa yang dikatakannya memang kedengaran seperti
bualan, namun orang terpelajar seperti Dian-jitya tahu
bahwa keahlian semacam itu memang ada. Kabarnya,
ilmu itu berasal dari Persia dan biasanya dipergunakan
dalam pertujukan sirkus. Biasanya suara itu memang

288
kedengaran aneh, tapi jika dilakukan dengan ilmu silat
yang tinggi, suara itu akan terdengar lebih realistis.
Lim Sian-ji bertanya, “Sebelum Dian-jitya dan yang lain
bertempur, ke mana arah pandangan kalian?”
Jawab Dian-jitya, “Sudah tentu ke arah tubuh lawan.”
Lim Sian-ji bertanya lagi, “Bagian mana dari tubuhnya?”
Jawab Dian-jitya, “Pundak dan tangannya.”
Lim Sian-ji tersenyum. “Betul. Itulah yang kumaksud.
Waktu akan bertempur, ahli-ahli silat tak akan
memperhatikan mulut lawan. Hanya jika anjing yang
bertempur, mereka akan memperhatikan mulut
lawannya. Tapi manusia kan bukan anjing. Mereka tidak
menggigit.”
Semua orang terkekeh. Jika seorang yang sangat cantik
seperti Lim Sian-ji mengatakan hal seperti ini, bagaimana
mungkin seseorang tidak ikut terkekeh-kekeh?
Dian-jitya pun bertanya, “Bagaimana kau mengetahui
rahasianya?”
Jawab Lim Sian-ji, “Aku baru tahu setelah ia
menggunakan senjata rahasianya.”
Kini Dian-jitya yang terkekeh. “Jadi teman kita di sini
adalah seekor anjing? Ia suka memperhatikan mulut
lawannya?”

289
Bab 14. Beberapa Hal Tak Bisa Dijelaskan
Sahut Lim Sian-ji, “Jadi Dian-jitya belum bisa melihat
bahwa ia mengenakan Kim-si-kah ?”
Mata Dian-jitya melebar. “Jadi itulah sebabnya saat
Saudara Muo Yun memukulnya, malah tangannya sendiri
yang terluka.”
Kata Lim Sian-ji, “Aku tidak berniat kembali ke bilikku
malam ini. Namun kemudian aku teringat ada sesuatu
yang penting tertinggal di sana. Pada saat aku akan
kembali, Bwe-hoa-cat muncul.”
Di wajahnya yang ayu terbayang ketakutan yang sangat
dan ia melanjutkan, “Saat itu aku belum melihatnya. Aku
hanya merasa ada seseorang di belakangku. Waktu aku
menoleh, ia telah menutup Hiat-to (jalan darah)ku.”
Kata Dian-jitya, “Jika demikian, ilmu meringankan tubuh
orang ini pasti cukup tinggi.”
Lim Sian-ji mendesah. “Gerakannya seperti hantu saja.
Aku bahkan tidak menyadari apa yang sedang terjadi
saat ia menarik tubuhku. Lalu aku menyadari, ini pastilah
Bwe-hoa-cat . Maka aku pun bertanya padanya, ‘Apa
maumu? Mengapa tak kau bunuh saja aku?’”
“Apa jawabnya?”
Lim Sian-ji mengatupkan giginya kesal, lalu katanya, “Ia
tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya tertawa sinis.”

290
Mata Dian-jitya langsung bersinar. “Jadi ia tidak bilang
bahwa dialah Bwe-hoa-cat ?”
Sahut Lim Sian-ji, “Dia tidak perlu mengatakannya. Saat
itu, aku berharap segera mati, namun sayangnya aku tak
bertenaga lagi. Kemudian tiba-tiba, sesosok bayangan
muncul di hadapan kami.”
Kata Dian-jitya, “Pasti orang itu adalah teman kecil kita di
sini.”
Sahut Lim Sian-ji, “Betul, memang dia.”
Ia memandang A Fei dengan pandangan yang sangat
berterima kasih. “Ia datang begitu tiba-tiba, sampai Bwehoa-
cat pun terkejut. Segera dilepaskannya tubuhku
jatuh ke tanah. Lalu aku mendengar dia bertanya,
‘Apakah engkau Bwe-hoa-cat ?’. Bwe-hoa-cat segera
menjawab, ‘Kalau ya, kenapa? Kalau tidak, kenapa?
Siapa pun aku, kau akan mati sekarang juga.”
Sebelum ia selesai bicara, senjatanya sudah melesat dari
mulutnya. Aku terkejut dan sangat ketakutan. Waktu aku
melihat senjata itu terarah pada dada lelaki ini, aku yakin
dia pasti akan mati. Namun anehnya, ia terluka pun
tidak.”
“Setelah itu, aku hanya melihat kilatan pedang, dan Bwehoa-
cat rebah ke tanah. Kecepatannya begitu rupa, tak
terbayangkan.”

291
Saat itu, semua mata tertuju ke arah pedang di pinggang
A Fei. Tidak ada yang menyangka pedang itu dapat
membunuh orang, apalagi membunuh Bwe-hoa-cat !
Dian-jitya pun menatap pedang itu lekat-lekat.
Lalu ia tersenyum. “Sepertinya kau memang sudah
menunggu di sana.”
Sahut A Fei, “Benar.”
Kata Dian-jitya, “Maka waktu kau melihat mereka, kau
segera mendekat dan bertanya apakah dia itu Bwe-hoacat
?”
“Benar.”
Dian-jitya tersenyum lagi. “Jadi kau suka ya bersembunyi
dalam gelap, dan bertanya pada orang yang lewat
apakah dia itu Bwe-hoa-cat ?”
A Fei menjawab, “Aku tidak punya waktu senggang
begitu banyak.”
Dian-jitya bertanya lagi, “Tapi kalau kau sedang punya
waktu senggang, apa yang kau tanya pada orang-orang
yang lewat di jalan?”
Kata A Fei, “Mengapa aku harus menanyai mereka? Apa
hubungannya mereka dengan aku?”
Dian-jitya tersenyum lagi sambil berkata, “Maka dari itu.
Kalau kau ingin tahu siapa orang itu, kau akan bertanya,

292
‘Siapakah engkau?’. Seperti tadi kau bertanya pada Moin-
jiu Kongsun-tayhiap. Kau tidak bertanya apakah dia itu
Bwe-hoa-cat .”
Sahut A Fei, “Aku tahu dia bukan Bwe-hoa-cat . Mengapa
aku harus bertanya lagi?”
Wajah Dian-jitya menjadi serius. Ia menunjuk pada
mayat itu dan berkata, “Kalau begitu, mengapa kau
bertanya pada orang itu? Mungkinkah kau sudah tahu
bahwa ia adalah Bwe-hoa-cat ? Kalau kau sudah tahu,
mengapa harus bertanya lagi?”
“Karena seseorang memberi tahu aku bahwa Bwe-hoacat
akan muncul dalam hari-hari ini.”
Dian-jitya kini menatap Li Sun-Hoan lekat-lekat. “Siapa
yang memberi tahu engkau? Apakah Bwe-hoa-cat
sendiri? Atau sahabatnya?”
Dia tahu A Fei tak akan menjawab pertanyaan ini.
Namun, hanya dengan bertanya, tujuannya sudah
tercapai. Ia memang tidak memerlukan jawaban.
Ketika semua orang mendengar itu, mata mereka pun
langsung terarah ke Li Sun-Hoan. Kini mereka menyadari
bahwa semua ini adalah permaiLam-yang-hu telah
direncanakan oleh Li Sun-Hoan dan A Fei.
Dian-jitya segera maju ke hadapan seorang pemuda dan
bertanya keras, “Apakah kau adalah Bwe-hoa-cat ?”

293
Pemuda itu menjadi sangat ketakutan dan gelagapan.
“A…Aku…”
Sebelum perkataannya selesai, Dian-jitya menutup Hiatto
(jalan darah)nya. Ia memutar badannya dan berseru
dengan sinis, “Hei, lihat! Aku telah menangkap seorang
lagi bandit bunga Bwe.”
Ia melanjutkan dengan serius, “Semua orang di sini
setuju bahwa tidaklah mudah menangkap Bwe-hoa-cat ,
bukan?”
Meledaklah tawa kerumunan orang itu. Mereka mulai
bertanya-tanya di antara mereka sambil bercanda,
“Apakah kau Bwe-hoa-cat ?”
“Sebenarnya, kau lebih mirip untuk jadi Bwe-hoa-cat .”
“Mengapa kini jadi ada makin banyak bandit bunga
Bwe?”
Li Sun-Hoan mengeluh. Katanya pelan, “Toako, pergi
sajalah.”
A Fei kelihatan sangat gusar, “Pergi?”
Li Sun-Hoan tersenyum. “Dengan adanya Tio-toaya dan
Dian-jitya yang terkenal seantero dunia, mana mungkin
seorang pemuda yang tidak dikenal bisa membunuh
Bwe-hoa-cat ? Apapun yang kau katakan akan sia-sia
belaka.”

294
A Fei menggenggam pedangnya kuat-kuat. Katanya
dingin, “Aku pun tak ingin bicara dengan orang-orang ini.
Tapi pedangku….”
Kata Li Sun-Hoan, “Walaupun kau bunuh mereka semua,
tetap tidak ada yang akan percaya bahwa kau telah
membunuh Bwe-hoa-cat . Tidakkah kau mengerti?”
Mata A Fei menjadi suram, “Kau benar. Kini aku
mengerti. Aku mengerti….”
Li Sun-Hoan terkekeh. “Jika kau ingin jadi terkenal, kau
harus ingat hal ini. Kalau tidak, cepat atau lambat kau
akan berakhir seperti aku, menjadi seorang bandit bunga
Bwe.”
Kata A Fei, “Jadi maksudmu, jika aku ingin jadi terkenal,
aku harus mengikuti kehendak orang lain, bukan?”
Sahut Li Sun-Hoan, “Tebakanmu sangat tepat. Jika kau
biarkan para ‘pahlawan’ inilah yang mendapatkan semua
pujian, mereka akan mengangkat engkau sebagai
pemuda bermasa depan cerah. Lalu setelah 10 atau 20
tahun, setelah mereka semua mati, kau akan jadi
terkenal.”
A Fei berdiri mematung untuk sekian lama, lalu ia
tersenyum.
Katanya, “Sepertinya aku tak akan mungkin jadi
terkenal.”
Sahut Li Sun-Hoan, “Mungkin itu lebih baik.”

295
Ketika ia melihat senyuman A Fei, senyum Li Sun-Hoan
pun terasa lebih alami. Senyuman mereka seolah-olah
sedang membicarakan masalah yang paling menarik di
seluruh dunia.
Semua orang memandang kedua orang ini, tak
menyadari apa permasalahan pada diri mereka. Tiba-tiba
A Fei melayang ke samping Li Sun-Hoan. Ditariknya
lengan Li Sun-Hoan dan berkata, “Ketenaran adalah
masalah kecil. Namun hari ini kita bisa bertemu, itu harus
dirayakan dengan arak.”
Sahut Li Sun-Hoan, “Biasanya aku tak mungkin menolak
minum arak. Tapi hari ini….”
Dian-jitya menyambungnya, “Sayangnya hari ini dia tidak
bisa.”
A Fei berkata dengan dingin, “Kata siapa?”
Dian-jitya melambaikan tangannya. Dua orang bertubuh
kekar maju. Salah seorang berkata, “Dian-jitya yang
mengatakannya. Semua orang tunduk pada katakatanya.”
Yang seorang lagi menyambung, “Yang membangkang,
harus mati!”
Walaupun mereka kelihatannya seperti pelayan,
kecepatan mereka maju ke muka menandakan bahwa
ilmu silat mereka cukup tinggi.

296
Selagi mereka masih berbicara, dua batang golok baja
berputar sangat cepat, menjadi seperti dua pelangi
terbang. Menggulung angin yang dahsyat, kedua golok
ini menyambar ke arah A Fei. Satu dari kiri, satu dari
kanan. Satu ke atas, satu ke bawah. Menebas secepat
kilat ke pundak A Fei.
A Fei hanya menghadapi serangan mereka dengan
tatapan dingin. Ia tidak bergerak sama sekali. Tiba-tiba
terlihat sekilat cahaya. Dan sekilat lagi. Lalu terdengar
dua jerit kesakitan. Dua golok terlontar ke udara. Kedua
lengan kiri kedua orang itu memegangi lengan kanan
mereka. Wajah mereka sungguh kesakitan. Darah
mengalir deras dari antara jari-jari mereka.
Namun pedang A Fei masih terselip di pinggangnya.
Tidak ada yang melihat dia menghunus pedangnya.
Namun kini dari ujung pedangnya menetes darah segar.
Pedang yang luar biasa cepat!
Senyum Dian-jitya pun lenyap.
A Fei berkata dengan tenang. “Kata-kata Tuan Ketujuh
adalah perintah. Sayangnya, pedangku tidak patuh pada
perintah. Dia hanya tahu membunuh orang.”
Wajah kedua orang itu sungguh terpana. Mereka mundur
beberapa langkah sebelum lari keluar keluar. Pedang
memang tak bisa memberi perintah, namun kadangkadang
mereka lebih efektif daripada perintah siapapun
juga.

297
A Fei menarik lengan Li Sun-Hoan. “Mari kita pergi
minum arak. Aku tak percaya masih ada orang yang
berani menghalangi kita.”
Sebelum Li Sun-Hoan menjawab, Liong Siau-hun
bertanya, “Jika kau ingin dia pergi, mengapa tak kau
buka saja Hiat-to (jalan darah)nya?”
Mulut A Fei terkunci. Hati Li Sun-Hoan tercekat. Ia
teringat kejadian hari itu….
Hari itu A Fei menangkap Ang Han-bin dan meninggalkan
dia untuk Li Sun-Hoan.
Hari itu Li Sun-Hoan pun merasa heran. Mengapa A Fei
tidak menutup saja Hiat-to (jalan darah)nya? Kini ia
mengerti sebabnya!
Pedang pemuda ini mungkin tiada tandingannya, tapi ia
tidak tahu apa-apa tentang ilmu totok!
Hati Li Sun-Hoan langsung merosot, namun wajahnya
tetap tenang. Katanya sambil tersenyum, “Hari ini aku
tak punya uang untuk mentraktirmu.”
A Fei berpikir sejenak, lalu berkata, “Hari ini aku yang
traktir.”
Sahut Li Sun-Hoan, “Aku tidak akan pernah minum arak
yang tidak kubeli dengan uangku sendiri.”
A Fei menatapnya. Di wajahnya yang kaku tersirat
kesedihan.

298
Ia mengerti, Li Sun-Hoan tidak ingin membahayakan
dirinya.
Jika ia tidak dapat membuka Hiat-to (jalan darah) Li Sun-
Hoan, ia harus menggendong Li Sun-Hoan keluar. Jika ia
menggendong Li Sun-Hoan, maka kemungkinan mereka
berdua tak akan bisa keluar lagi selamanya.
Mata Dian-jitya berbinar lagi. Ia memandang wajah
mereka satu per satu, lalu tersenyum dan berkata, “Li
Sun-Hoan memang adalah pria sejati. Ia tidak mau
menyeret orang lain jatuh bersamanya. Sobat muda,
sudah saatnya kau pergi.”
Li Sun-Hoan tahu bahwa rase tua ini melihat di mana
kelemahan A Fei. Oleh sebab itu ia berkata cepat, “Kau
tak perlu memancing dia. Ia tak akan terpengaruh. Lagi
pula, walaupun sambil menggendong aku, belum tentu
kalian semua dapat mengalahkan dia.”
Ia melanjutkan lagi. “Kau pun tahu aku tak akan pergi
dengannya. Jika aku pergi dengan dia sekarang, aku tak
akan punya kesempatan untuk membersihkan Cayhe.”
Kata-kata ini ditujukan pada A Fei.
A Fei berdiri menatapnya, lalu berkata, “Kalau mereka
berkata bahwa engkau adalah Bwe-hoa-cat , maka
engkau pasti adalah Bwe-hoa-cat , bukan?”
Li Sun-Hoan tertawa. “Kata-kata sebagian orang memang
tidak bisa dibedakan dari kentut yang besar.”

299
A Fei bertanya, “Lalu mengapa kau harus peduli jika
mereka hanya kentut?”
Tiba-tiba diputarnya tubuhnya dan diangkatnya Li Sun-
Hoan, digendong di punggungnya. Saat itulah Dian-jitya
bergerak. Bayangan tongkatnya terlihat menusuk ke
sebelas titik Hiat-to (jalan darah) yang terpenting di dada
A Fei. Jika ujung tongkatnya menyentuh tubuh A Fei
sedikit saja, maka A Fei tidak akan mungkin bergerak
lagi.
A Fei tidak berusaha menghunus pedangnya!
Ia memang seperti Li Sun-Hoan. Jika pedangnya
terhunus, dia pasti meminta darah.
Namun saat ini, ia tidak tahu bagaimana caranya
mengalahkan Dian-jitya.
Semua orang memandang bayangan tongkat Dian-jitya
dengan tegang. Ilmu totok Dian-jitya adalah salah satu
yang terbaik dalam dunia persilatan, namun sepertinya ia
sulit sekali menundukkan anak muda ini.
Tio Cing-ngo berkata, “Membunuh Bwe-hoa-cat adalah
penghargaan yang tertinggi. Mengapa ada orang yang
menyia-nyiakan kesempatan baik ini?”
Sebelum kalimatnya selesai, tujuh orang telah
menghunus senjata mereka. Semuanya tertuju pada Li
Sun-Hoan. Lim Sian-ji segera menghampiri Liong Siauhun
dan berkata, “Losi, mengapa kau tak menghentikan
mereka?”

300
Liong Siau-hun menyahut, “Kau tidak bisa lihat bahwa
Hiat-to (jalan darah)ku telah ditutup?”
Saat itu terdengarlah bunyi yang keras. Tiga orang telah
jatuh ke tanah.
Akhirnya A Fei menghunus pedangnya!
Ia mungkin tak bisa melukai Dian-jitya, namun jika ada
yang mencari kematian, pedangnya hanya dapat
memberikan bantuan. Darah terlihat di sela-sela kilatan
pedang. Jubah Li Sun-Hoan pun telah bersimbah darah.
Kini semua senjata telah disimpan kembali. Semua
senjata, kecuali tongkat pendek Dian-jitya, yang serupa
ular meliuk-liuk menyerang titik-titik Hiat-to (jalan darah)
A Fei.
Lim Sian-ji mendesah dan berkata, “Tio-toaya adalah pria
sejati. Tidak mungkin ia akan main keroyok.”
Mata Tio Cing-ngo langsung berbinar, katanya, “Tapi
menghadapi orang macam Bwe-hoa-cat tak perlulah kita
memperhatikan aturan dunia persilatan!”
Diraihnya tombak panjang yang berada di sampingnya.
Langsung diserangnya punggung Li Sun-Hoan.
Ternyata reputasinya memang hanya kosong
melompong. Gerakan Tio Cing-ngo cukup mengagumkan.
Tongkat dan tombak itu lebih panjang daripada pedang
pendek A Fei, sehingga posisinya kurang

301
menguntungkan. Dan lagi, ada seseorang di atas
punggungnya.
Pada awalnya, Dian-jitya ingin mengambil keuntungan
dari senjatanya yang lebih panjang untuk mengalahkan A
Fei. Namun ia selalu luput pada saat yang terakhir, entah
bagaimana.
Setelah begitu banyak jurus, ia baru menyadari bahwa
anak muda ini tidak pernah menyerang sekali pun.
Namun gerakan A Fei sungguh luar biasa. Pada saat ia
akan menutup Hiat-to (jalan darah) A Fei, anak muda ini
bisa berkelit dengan misterius.
Dian-jitya cukup berpengetahuan dalam ilmu silat,
namun ia tidak bisa menduga ilmu aliran mana yang
digunakan anak muda ini.
Tiba-tiba terpikir olehnya suatu ide. Ia tersenyum. “Sobat
muda, mengapa tak kau turunkan saja dia. Kalau tidak,
sebelum dia menyeretmu jatuh bersamanya, kaulah yang
akan menyeret dia jatuh bersamamu.”
A Fei mengertakkan giginya. “Jika kau ingin aku
menurunkannya, mengapa kau terus menyerang aku?”
Dian-jitya segera menarik tongkatnya dan mundur
beberapa langkah. Tombak Tio Cing-ngo pun terhenti di
tengah jalan dan ditarik kembali.
A Fei tidak memandang mereka sama sekali.
Didudukkannya Li Sun-Hoan pada sebuah kursi. Wajah Li
Sun-Hoan merah padam. Namun dia berusaha keras

302
menahan diri untuk tidak terbatuk. Ia kuatir kalau
batuknya akan mengganggu konsentrasi A Fei.
A Fei memandang Li Sun-Hoan, lalu memutar badannya
memandang Tio Cing-ngo dan berkata, “Aku menyesal
akan satu hal. Waktu itu, mengapa tak kubunuh kau?”
Selagi berbicara, pedangnya pun terhunus.
Kecepatan pedang ini memang tak terkatakan.
Bagaimana mungkin Tio Cing-ngo dapat menghindarinya.
Tepat saat darah akan tertumpah, terdengar suara dari
luar, “Omitohud.” Selagi berbicara, sesosok bayangan
dari luar masuk ke dalam. Waktu suku kata kedua
terdengar, bayangan itu telah berada di belakang A Fei.
Awalnya A Fei akan menyerang Tio Cing-ngo, namun
tiba-tiba dibaliknya pedangnya ke arah sebaliknya,
menyerang bayangan itu.
Setelah itu terdengar suara keras, pedangnya
menghantam bayangan itu, yang ternyata adalah tasbih
pendeta.
Pedangnya masih bergetar, namun A Fei tetap berdiri
tidak bergeming.
Kini fajar telah tiba.
Berbarengan dengan sinar matahari pagi, enam pendeta
berpakaian kelabu masuk ke dalam bangsal. Yang paling
depan beralis putih, namun wajahnya masih terang dan
pandangan matanya berbinar-binar.

303
Dibukanya telapak tangannya. Tasbih itu pun kembali ke
tangannya.
Setelah pulih dari rasa terkejutnya, Tio Cing-ngo
menenangkan dirinya. Ia membungkuk di depan pendeta
beralis putih itu. “Aku tidak tahu bahwa pendeta akan
datang. Maaf aku tidak menyambutmu di luar.”
Pendeta beralis putih itu hanya tersenyum. Matanya
terarah pada A Fei. Lalu katanya, “Pedangmu cepat
sekali.”
Kata A Fei, “Jika pedangku tidak cepat, aku rasa kau
datang tepat waktu untuk menunjukkan kepadaku arah
ke neraka.”
Pendeta beralis putih itu berkata, “Aku hanya tak ingin
melihat kematian lagi. Oleh sebab itu aku bergerak.
Walaupun pedangmu cepat, namun tidak akan lebih
cepat daripada mata Sang Buddha.”
Sahut A Fei, “Apakah tasbihmu lebih cepat daripada mata
Sang Buddha? Jika aku mati oleh tasbihmu, bukankah itu
berarti kematian juga?”
Tio Cing-ngo memotong cepat, “Berani-beraninya kau
bicara seperti itu pada seorang Hou-hoat-taysu (padri
agung pembela agama)!”
Pendeta beralis putih itu hanya tersenyum. “Tidak apaapa.
Mulut anak muda ini setajam pedang juga.”

304
Tiba-tiba Lim Sian-ji tersenyum dan berkata, “Sim-bi
Taysu telah melepaskanmu. Cepatlah pergi sekarang.”
Tio Cing-ngo berkata dingin, “Kurasa dia tidak bisa lagi
pergi sekarang!”
Sahut A Fei, “O ya? Kau kira kau bisa menghalangi aku
sekarang?”
Sambil berbicara, ia telah melangkah ke luar.
Wajah Tio Cing-ngo berubah. Katanya, “Pendeta….”
Dian-jitya cepat-cepat menyela, “Sim-bi taysu sungguh
pemaaf. Ia hanya seorang pemuda. Biarkanlah ia pergi.”
Sim-bi berbicara dengan serius, “Aku datang setelah
menerima surat dari Ciangbun-suheng Siau-lim-si, bahwa
seorang murid Siau-lim-si, Cin Tiong, telah terluka parah.
Maka aku segera datang.”
Tio Cing-ngo mendesah. Lalu melirik pada Li Sun-Hoan.
“Sayang pendeta datang terlambat.”
Kini di luar sudah terang. Orang-orang mulai berlalulalang
di jalan. A Fei berjalan di atas salju. Walaupun
langkahnya ringan, hatinya sangat berat.
Lalu didengarnya suara orang berseru, “Tunggu!
Tunggu!”
Suara itu jernih dan merdu. A Fei tidak perlu menoleh
untuk tahu siapa yang mengerjar di belakang.

305
Ini karena semua orang di jalan kini berhenti bicara dan
berhenti berjalan. Mereka semua bengong seperti orang
tolol memandang orang di belakang A Fei.
A Fei tidak menoleh. Ia terus berjalan.
Lalu tercium bau harum di belakangnya. Keharumannya
sungguh memabukkan. Mau tidak mau, dipalingkannya
wajahnya.
Lim Sian-ji masih tetap cantik dan menggairahkan.
Mata A Fei masih sedingin salju.
Lim Sian-ji menundukkan kepalanya. Mukanya bersemu
merah. “Aku ingin minta maaf. Aku….”
Kata A Fei, “Kau tak perlu minta maaf.”
Lim Sian-ji menggigit bibirnya. “Tapi orang-orang itu
sungguh salah. Dan begitu kasar.”
Sahut A Fei, “Itu tidak ada hubungannya dengan
engkau.”
Kata Lim Sian-ji, “Tapi kau telah menyelamatkan aku.
Bagaimana aku….”
Sahut A Fei, “Aku menyelamatkanmu. Aku tidak
menyelamatkan mereka. Aku tidak menyelamatkanmu
untuk memohon maaf atas kesalahan mereka.”
Lalu ia bertanya lagi, “Ada lagi yang ingin kau katakan?”

306
Lim Sian-ji terdiam. Ia tidak pernah bertemu dengan
orang seperti ini. Ia selalu yakin bahwa gunung es
sedingin apapun akan mencair di hadapannya.
Lalu A Fei berkata, “Selamat tinggal.”
Ia membalikkan badan dan berjalan lagi. Baru beberapa
langkah, Lim Sian-ji berseru lagi, “Tunggu sebentar. Ada
lagi yang hendak kusampaikan.”
Sahut A Fei, “Tidak perlu.”
Namun kata Lim Sian-ji, “Tapi…. jika sesuatu terjadi pada
Li Sun-Hoan, siapakah yang harus kuberi tahu?”
A Fei menoleh cepat dan berkata, “Kau tahu kuil Sim di
sebelah barat?”
Sahut Lim Sian-ji, “Jangan lupa, aku sudah tinggal di sini
enam tahun.”
“Aku akan berada di situ. Sebelum gelap aku tak akan
pergi.”
Lalu Lim Sian-ji bertanya, “Dan setelah malam?”
A Fei menengadah memandang langit. Katanya, “Jangan
lupa, Li Sun-Hoan adalah sahabatku. Aku tidak punya
banyak teman. Dan sahabat seperti Li Sun-Hoan, tidak
mungkin dicari gantinya. Jadi kalau dia mati, dunia ini
akan menjadi sangat membosankan.”

307
Lim Sian-ji mengeluh. “Aku tahu kau pasti masih
berencana untuk menyelamatkannya. Tapi tahukah
engkau, sahabat sebaik apa pun tidak berharga sebesar
nyawamu.”
A Fei memandang Lim Sian-ji dalam-dalam, langsung ke
bola matanya. Katanya perlahan tapi tegas, “Aku
sungguh-sungguh berharap kau tidak akan pernah
mengatakannya lagi. Kali ini, aku akan berpura-pura
tidak mendengar.”
Bab 15. Cinta Sejati
Setelah hujan salju terus menerus untuk beberapa hari,
matahari muncul kembali hari ini.
Namun cahayanya tidak sampai ke ruangan yang satu
ini. Sungguh pun demikian, Li Sun-Hoan tidak putus asa.
Ia tahu beberapa tempat di dunia ini tidak pernah
merasakan cahaya matahari.
Lagi pula, ia kenal baik dengan keputusasaan.
Ia tidak tahu pasti apa yang akan dilakukan oleh Tian,
Tio-lotoa dan yang lain terhadapnya. Ia malas
memikirkan hal-hal seperti itu. Saat itu, Dian-jitya sedang
mengantarkan para pendeta Siau-lim-si menemui Cin
Hau-gi dan putranya. Mereka melemparkan Li Sun-Hoan
ke sebuah gudang kosong. Akan tetapi, Liong Siau-hun
diam saja.
Li Sun-Hoan tidak menyalahkan Liong Siau-hun.

308
Liong Siau-hun punya alasannya sendiri. Lagi pula, ia pun
tidak bisa berbuat apa-apa.
Li Sun-Hoan hanya berharap A Fei tidak kembali untuk
menyelamatkannya. Ia tahu bahwa walaupun pedang A
Fei sangat cepat, ilmu silatnya mempunyai banyak
lubang kelemahan. Jika ia bertemu dengan orang seperti
Dian-jitya atau Sim-bi Taysu, dan pedangnya tidak
melihat darah pada gebrakan pertama, mungkin pedang
itu takkan dapat melihat darah untuk selama-lamanya.
Hanya dalam waktu tiga tahun, A Fei akan dapat
memperbaiki kekurangannya. Pada saat itulah ia tidak
akan terkalahkan.
Jadi paling tidak dia harus hidup tiga tahun lagi.
Lantai di situ amat basah. Li Sun-Hoan terbatuk-batuk
lagi. Ia berharap bisa minum arak.
Namun sekarang, harapan sesederhana itu pun tak bisa
terwujud. Jika orang lain ada dalam posisinya, mungkin
orang itu sudah menangis meraung-raung.
Namun Li Sun-Hoan malah tertawa. Ia berpikir bahwa
beberapa hal di dunia ini sungguh menggelikan.
Rumah ini dulu adalah miliknya. Semua yang berada di
sini adalah kepunyaannya. Tapi kini semua orang
menganggap dia adalah seorang pencuri, bahkan
mengurungnya di kamar sempit seperti ini seperti seekor
anjing. Siapa yang menyangka?

309
Tiba-tiba pintu terkuak.
Mungkin Tio Cing-ngo sudah tidak sabar lagi menunggu
dan ingin membunuhnya sekarang juga?
Namun ternyata bukan Tio Cing-ngo yang datang. Ia
mencium wangi arak. Dan dilihatnya tangan yang
memegang botol arak.
Tangan itu kecil dan pergelangan tangannya tertutup
oleh baju berwarna merah.
Tanya Li Sun-Hoan, “Siau-in, kaukah itu?”
Ang-hai-ji masuk sambil cekikikan. Ia memegang botol
arak itu dengan kedua tangannya dan mencium wangi
arak itu. Katanya sambil tersenyum lebar, “Aku tahu, kau
pasti ingin minum arak, bukan?”
Li Sun-Hoan tersenyum. “Karena kau tahu aku ingin
minum arak, kau membawakannya untukku, bukan?”
Ang-hai-ji mengangguk. Dituangnya arak itu ke dalam
cawan, dan disodorkannya ke hadapan Li Sun-Hoan.
Baru Li Sun-Hoan membuka mulutnya, Ang-hai-ji
menarik kembali tangannya. Lalu sambil tersenyum
berkata, “Sebelum minum, kau harus menebak arak
apakah ini.”
Li Sun-Hoan memejamkan matanya. Ditariknya nafas
dalam-dalam, lalu berkata, “Ini adalah arak tua Tik-yapjing.
Arak kesukaanku. Jika aku tak mengenali arak ini,
aku memang pantas mati.”

310
Ang-hai-ji tersenyum. “Tak heran semua orang bilang
bahwa Li-tamhoa adalah ahli dalam hal wanita dan arak.
Jika kau ingin minum arak ini, maka jawablah
pertanyaanku.”
“Apa pertanyaanmu?”
Senyumnya yang lebar kini lenyap.
Ia menatap wajah Li Sun-Hoan dan bertanya, “Apa
hubunganmu dengan ibuku? Apakah ia sangat
menyukaimu?”
Wajah Li Sun-Hoan langsung berubah. Katanya, “Apakah
kau sungguh-sungguh ingin tahu?”
Jawab Ang-hai-ji , “Mengapa seorang anak tidak boleh
bertanya tentang ibunya?”
Li Sun-Hoan berkata dengan marah. “Tidakkah kau
menyadari betapa ibumu mengasihi ayahmu dengan
segenap hatinya? Mengapa kau malah berpikir
sebaliknya?”
Ang-hai-ji tertawa dingin. “Kau pikir kau bisa
menyembunyikan ini dari diriku? Jangan mimpi.”
Dikertakkan giginya. “Waktu ibu mendengar apa yang
terjadi padamu, ia menutup pintu kamarnya dan
menangis tersedu-sedu. Waktu aku hampir mati pun, ia
tidak menangis seperti itu. Maka aku bertanya sekarang.
Kenapa?”

311
Hati Li Sun-Hoan merosot jatuh. Ia merasa seperti
segumpal lumpur, diinjak-injak oleh orang yang lewat.
Setelah sekian lama, diteguhkannya hatinya. “Akan
kuberitahukan padamu sekarang. Kau boleh meragukan
siapapun juga. Tapi jangan ragukan ibumu. Karena tidak
ada sesuatupun yang disembunyikannya. Sekarang,
ambil arak itu dan pergi.”
Ang-hai-ji menatapnya. “Arak ini untukmu. Mana
mungkin kubawa kembali?”
Ditumpahkannya secawan arak itu ke muka Li Sun-Hoan.
Li Sun-Hoan tidak bergerak. Ia tidak memandang wajah
Ang-hai-ji sama sekali. Ia hanya berkata, “Kau masih
kecil. Aku tidak menyalahkanmu.”
Ang-hai-ji tertawa dingin. “Kalaupun aku bukan anak
kecil, apa yang dapat kau perbuat?”
Tiba-tiba dikeluarkannya sebilah pisau, dilambailambaikannya
di depan wajah Li Sun-Hoan. “Lihat pisau
ini baik-baik. Ini kan pisaumu. Ibu bilang bahwa jika aku
mempunyai pisau ini, maka kau akan melindungi aku.
Tapi bisakah kau melindungi aku sekarang? Kau bahkan
tidak bisa melindungi dirimu sendiri!”
Li Sun-Hoan mengeluh. “Kau benar. Lagi pula, pisau itu
untuk membunuh, bukan untuk perLindungan.”
Wajah Ang-hai-ji memucat. Dengan berdesis ia berkata,
“Kau telah membuatku cacad. Kini akan kubuat kau
merasakan kesakitan yang sama. Kau….”

312
Tiba-tiba terdengar suara dari luar. “Siau-in? Apakah kau
ada di dalam?”
Suara ini hangat dan tenang. Namun ketika Li Sun-Hoan
dan Ang-hai-ji mendengarnya, wajah mereka langsung
berubah. Ang-hai-ji segera menyimpan pisaunya dan
segera seulas senyum lugu menghiasi wajahnya. “Ibu,
aku di sini. Aku membawa arak untuk Paman Li. Tapi
waktu ibu memanggil, aku terkejut, Aku jadi tidak
sengaja menumpahkan arak itu ke wajah Paman Li.”
Lim Si-im muncul di pintu. Matanya yang cantik tampak
sembap, penuh kesedihan.
Namun waktu ia melihat Ang-hai-ji , wajahnya menjadi
hangat. “Paman Li tidak mau minum arak sekarang. Dan
kau pun harus tidur sekarang. Ayo.”
Ang-hai-ji berkata, “Paman Li tidak bersalah, bukan?
Mengapa kita tidak menolongnya?”
Lim Si-im menjawab dengan lembut, “Anak kecil jangan
berbicara seperti itu. Sana pergi tidur.”
Ang-hai-ji menoleh dan menatap Li Sun-Hoan, “Paman
Li, aku harus pergi sekarang. Besok aku bawakan arak
lagi untukmu.”
Li Sun-Hoan memandang senyum lugu anak itu dan
keringat dingin pun membasahi sekujur tubuhnya.
Didengarnya Lim Si-im mendesah. “Awalnya aku kuatir ia
akan mencoba melukaimu. Tapi sekarang….sekarang aku

313
tidak kuatir lagi. Walaupun dia telah melakukan banyak
kesalahan, ia adalah anak yang baik.”
Li Sun-Hoan hanya dapat tersenyum.
Lim Si-im tidak memandangnya. Setelah beberapa saat,
ia berkata, “Dulu kau selalu menepati janjimu. Mengapa
kau berubah?”
Li Sun-Hoan merasa tenggorokannya tersumbat, ia tidak
bisa bicara.
“Kau berjanji tidak akan menemui Lim Sian-ji. Tapi
mereka malah menemukanmu di bilik Lim Sian-ji.”
Li Sun-Hoan tertawa. Ia sendiri tidak tahu kenapa ia
tertawa. Sambil memandangi kakinya ia berkata, “Aku
ingat gudang ini dibangun baru lima belasan tahun yang
lalu.”
“Ya.”
“Akan tetapi kini tempat ini terasa sangat tua. Jendelanya
sudah pecah. Atapnya berlubang. Ini artinya bahwa
sepuluh tahun memang waktu yang lama. Jika suatu
bangunan bisa berubah, mengapa manusia tidak?”
Lim Si-im meremas-remas tangannya sendiri, lalu
bertanya, “Sejak….Sejak kapan kau jadi seorang
penipu?”
Sahut Li Sun-Hoan, “Aku selamanya adalah seorang
penipu. Hanya saja sekarang aku lebih berpengalaman.”

314
Li Sun-Hoan tetap tersenyum. Tujuannya telah tercapai.
Ia ingin menyakiti wanita ini. Menyakitinya supaya ia
pergi. Ia tidak akan menyeret siapapun jatuh bersama
dengan dia. Jadi dia pasti tak berperasaan, menyakiti
orang-orang yang dicintainya.
Karena inilah orang-orang yang disayanginya.
Menyakiti mereka sama dengan menyakiti diri sendiri.
Walaupun senyum masih menghiasi bibirnya, hatinya
telah hancur berantakan.
Ia memejamkan matanya rapat-rapat supaya air mata
tidak keluar. Waktu ia membuka matanya, Lim Si-im
masih ada di situ, sedang menatap langsung ke matanya.
“Me…Mengapa kau masih ada di sini?”
Sahut Lim Si-im, “Aku hanya ingin memastikan. Apakah
kau……...apakah kau memang Bwe-hoa-cat ?”
Tawa Li Sun-Hoan langsung meledak. “Apakah aku Bwehoa-
cat ? Kau bertanya apakah aku Bwe-hoa-cat ….”
Kata Lim Si-im, “Walaupun aku tidak percaya, aku ingin
mendengarnya dari mulutmu sendiri.”
Li Sun-Hoan masih tertawa. “Jika kau tidak percaya,
mengapa masih bertanya? Jika kau tahu aku adalah
penipu, mengapa bertanya juga? Jika aku berbohong
satu kali, aku bisa berbohong seratus kali! Bahkan seribu
kali!”

315
Wajah Lim Si-im makin pucat. Seluruh tubuhnya
gemetar.
Setelah sekian lama ia berkata, “Aku akan membebaskan
engkau. Aku tidak peduli apakah kau itu Bwe-hoa-cat
atau bukan. Aku tetap akan membebaskan engkau. Aku
hanya berharap kali ini kau tak akan kembali lagi!”
Li Sun-Hoan berseru, “Berhenti! Kau pikir aku akan pergi
melarikan diri seperti seekor anjing? Kau pikir orang
macam apakah aku?”
Lim Si-im tidak menghiraukan dia. Ia mendekat untuk
membuka Hiat-to (jalan darah) Li Sun-Hoan.
Saat itu terdengar suara berkata, “Si-im. Apa yang
sedang kau lakukan?”
Itu suara Liong Siau-hun.
Lim Si-im menoleh dan menatap Liong Siau-hun. Ia
berbicara sekata demi sekata, “Kau tidak tahu apa yang
sedang kulakukan?”
Wajah Liong Siau-hun memucat, “Tapi….”
Kata Lim Si-im, “Tapi apa? Kaulah yang seharusnya
melakukan ini! Sudah lupakah kau akan segala budi
baiknya pada kita? Sudah lupakah kau akan masa lalu?
Apakah kau akan berpangku tangan melihat dia mati
seperti ini?”

316
Liong Siau-hun meremas-remas tangannya. Lalu ia
memukul-mukul dadanya. “Aku memang tidak punya
nyali. Aku penakut. Aku pengecut. Tapi pikirlah sebentar
saja. Bagaimana kita dapat melakukan ini? Jika kita
melepaskan dia, apakah mereka akan melepaskan kita?”
Lim Si-im memandang suaminya seakan-akan
memandang seorang yang tidak dikenalnya. Ia mundur
beberapa langkah. “Kau telah berubah. Kau juga telah
berubah… Dulu kau tidak seperti ini!”
Liong Siau-hun mendesah. “Kau memang benar. Aku
telah berubah. Karena kini aku telah mempunyai anak
dan istri. Apapun yang kuperbuat, merekalah
prioritasku.”
Sebelum ia selesai bicara, istrinya sudah menangis. Di
dunia ini tidak ada yang dapat menggerakkan hati
seorang ibu lebih kuat daripada anaknya sendiri.
Liong Siau-hun berlutut di hadapan Li Sun-Hoan,
wajahnya penuh dengan air mata. “Toako, aku telah
mengecewakan engkau. Aku hanya dapat memohon
pengampunanmu.”
Sahut Li Sun-Hoan, “Mengampunimu? Aku tak mengerti
apa maskudmu. Aku telah mengatakannya padamu. Ini
bukanlah kesalahanmu. Jika aku ingin pergi, aku sudah
pergi. Aku tidak memerlukan engkau untuk
menyelamatkanku.”

317
Ia masih memandangi kakinya, karena ia tidak tahan
memandang wajah mereka berdua. Ia kuatir ia tak akan
dapat membendung air matanya.
Liong Siau-hun berkata, “Toako, aku tahu
penderitaanmu, namun aku jamin, mereka tidak akan
membunuhmu. Kau hanya perlu bertemu dengan Sim-oh
Taysu Tan Okngkau akan baik-baik saja.”
Li Sun-Hoan mengernyitkan keningnya. “Sim-oh Taysu?
Apakah mereka berencana membawaku ke Siau-lim-si?”
Sahut Liong Siau-hun, “Benar. Cin Tiong adalah murid
kesayangan Sim-oh Taysu. Tapi Sim-oh Taysu tak akan
menuduh orang sembarangan. Lagi pula Cianpwe Pekhiau-
sing pun sedang berada di Siau-lim-si. Ia pun akan
membantumu mendapatkan keadilan.”
Li Sun-Hoan diam saja. Ia melihat Dian-jitya datang.
Dian-jitya memandangnya dengan senyum mengejek.
Pada saat Dian-jitya datang, sekejap Lim Si-im telah
menenangkan dirinya, mengangguk sedikit lalu berjalan
keluar.
Angin malam terasa menusuk tulang. Ia melangkah dua
tindak, lalu berseru, “Anak In, keluarlah engkau.”
Ang-hai-ji muncul malu-malu dari balik gudang itu dan
tersenyum takut-takut, “Bu, aku tidak bisa tidur,
jadi….aku….”

318
Potong Lim Si-im gemas, “Jadi kau antarkan mereka ke
sini. Betul kan?”
Ang-hai-ji tertawa dan menubruk ke pelukan ibunya.
Tapi segera terlihat wajah ibunya yang murung, sehingga
diurungkan niatnya. Ia berhenti dan menundukkan
kepalanya.
Lim Si-im hanya memandangnya dengan terdiam. Ini
adalah anak kesayangannya, darah dagingnya. Setetes
air mata jatuh ke pipinya.
Setelah sekian lama, ia menghela nafas panjang.
Ditengadahkannya wajahnya memandang ke langit dan
berkata, “Mengapa kebencian jauh lebih sulit dilupakan
daripada budi baik….”
***
Thi Toan-kah mengepalkan tangannya dan berjalan
mondar-mandir di halaman sebuah kuil. Setelah sekian
lama, api telah padam namun tidak seorang pun berniat
menyalakannya lagi.
A Fei duduk di situ diam saja, tidak bergerak.
Thi Toan-kah berkata dengan gusat, “Aku sudah
mengira, walaupun kau telah membunuh Bwe-hoa-cat ,
para ‘pahlawan besar’ itu takkan mau mengakuinya. Jika
sekawanan serigala melihat sebongkah daging,
bagaimana mungkin mereka mau melepaskannya?”
Kata A Fei, “Kau sudah memperingatkanku, namun aku
tetap pergi. Aku harus pergi!”

319
Thi Toan-kah mengeluh. “Untungnya kau pergi. Kalau
tidak kau tidak akan tahu bagaimana muka para
‘pahlawan besar’ itu yang sebenarnya.”
Ia menoleh dan menatap A Fei lekat-lekat. “Kau benarbenar
tidak melihat Tuanku?”
Sahut A Fei, “Tidak.”
Thi Toan-kah memandang onggokan kayu yang sudah
tidak berapi itu dan mulai mondar-mandir lagi, sambil
menggumam sendiri, “Aku ingin tahu apa yang sedang
dilakukannya….”
Kata A Fei, “Dia tidak pernah mau orang menguatirkan
dirinya.”
Thi Toan-kah tertawa lepas. “Benar sekali. Walaupun
para ‘pahlawan’ itu menganggap dia seperti duri dalam
daging, seperti paku yang mencucuk mata, tapi tidak
seorang pun dari mereka berani menyentuhnya.”
A Fei hanya menggumam tidak jelas.
Thi Toan-kah melihat ke luar pagar. “Langit sudah cerah,
aku harus pergi.”
Sahut A Fei, “Baiklah.”
Thi Toan-kah berkata, “Jika kau kebetulan bertemu
dengan Tuanku, tolong sampaikan ‘Setelah Thi Toan-kah
berhasil mengatasi permasalahannya, pasti ia akan
kembali mencari Tuannya’.”

320
Sahut A Fei, “Baiklah.”
Thi Toan-kah menatap wajahnya yang tirus,
menggenggam tangannya, dan berkata, “Selamat tiggal.”
Walaupun di matanya terbayang kekuatiran, ia memutar
badannya dan berjalan pergi tanpa menoleh lagi.
A Fei masih berdiri mematung di sini, namun di matanya
yang bersinar tajam, kelihatan ada setitik kecil air
mengambang.
A Fei segera memejamkan matanya, namun setetes air
mata lolos dari sudut matanya, seperti tetesan embun
dingin di padang rumput.
Ia tidak menceritakan pertemuannya dengan Li Sun-
Hoan kepada Thi Toan-kah, karena ia tidak ingin Thi
Toan-kah menggadaikan nyawanya untuk Li Sun-Hoan.
Dialah yang akan pergi menggadaikan nyawanya untuk
menyelamatkan Li Sun-Hoan!
Apakah harga sepotong nyawa dalam persahabatan?
Setelah sekian lama, cahaya matahari membentuk
bayangan seseorang di halaman kuil itu. Bayangan yang
hitam panjang itu datang menghampiri A Fei.
A Fei tidak membuka matanya, ia hanya bertanya,
“Apakah engkau yang datang? Ada kabar apa?”

321
Naluri A Fei memang bagaikan binatang buas. Yang
datang memang adalah Lim Sian-ji. Sahutnya, “Kabar
baik.”
Kabar baik?
A Fei hampir tidak bisa mempercayai bahwa masih ada
kabar baik di dunia ini.
Sambung Lim Sian-ji, “Walaupun ia belum dibebaskan,
setidaknya ia tidak ada dalam bahaya.”
“Oh?”
Lim Sian-ji menerangkan, “Dian-jitya dan yang lainnya
hanya dapat menuruti usul Sim-bi Taysu untuk
membawa dia ke Siau-lim-si. Ciangbun-jin Siau-lim-si,
Sim-oh Taysu, selalu bersikap adil. Dan kudengar Pekhiau-
sing sedang berada di sana pula. Jika kedua orang
ini tidak bisa membersihkan namanya, tak ada seorang
pun di dunia yang bisa.”
Tanya A Fei, “Siapakah Pek-hiau-sing?”
Lim Sian-ji mengikik geli, “Orang ini adalah orang yang
paling terpelajar di seluruh dunia. Tidak ada sesuatu pun
yang dia tidak tahu. Katanya dia bisa tahu apakah Bwehoa-
cat itu asli atau palsu.”
A Fei terdiam beberapa saat. Tiba-tiba dibukanya
matanya dan ditatapnya Lim Sian-ji lekat-lekat. “Tahukah
kau orang yang paling menjijikkan di dunia itu orang
macam apa?”

322
Lim Sian-ji tersenyum. “Jangan-jangan yang kau maksud
adalah lelaki munafik semacam Tio Cing-ngo itu?”
Sahut A Fei, “Pahlawan yang palsu memang pantas
dibenci, namun yang paling menjijikkan adalah orang
yang sok pintar.”
Tanya Lim Sian-ji, “Sok pintar? Apakah maksudmu
seperti Pek-hiau-sing?”
Sahut A Fei, “Betul. Orang semacam ini selalu
menganggap dirinya lebih daripada orang lain. Ia
menganggap dirinya sangat pandai, tidak ada sesuatu
pun yang ia tidak tahu. Hanya dengan kata-katanya ia
bisa menentukan nasib orang lain. Namun sebenarnya
seberapa banyak yang dia tahu?”
Lim Sian-ji berkata, “Tapi kata orang….”
A Fei tertawa dingin. “Hanya karena semua orang
berkata bahwa tidak ada sesuatu pun yang dia tidak
tahu, akhirnya ia menipu dirinya sendiri. Dia jadi benarbenar
percaya bahwa tidak ada sesuatu pun yang dia
tidak tahu.”
Lanjut A Fei lagi, “Aku malah lebih mempercayai orang
yang merasa tidak tahu apa-apa.”
Jika seseorang ingin memberikan kesan yang baik
tentang dirinya, cara yang terbaik adalah membiarkan
orang lain tahu bahwa ia menyukai dirinya sendiri. Lim
Sian-ji telah menggunakan cara ini berulang kali.

323
Namun kali ini ia tidak berhasil. A Fei memandang salju
yang telah turun lagi. Lalu ia bertanya, “Kapan mereka
akan membawanya pergi?”
Jawab Lim Sian-ji, “Besok pagi.”
Tanya A Fei, “Mengapa mereka menunggu sampai besok
pagi?”
Sahut Lim Sian-ji, “Malam ini mereka mengadakan
jamuan makan malam untuk Sim-bi Taysu.”
A Fei menoleh cepat dan menatap Lim Sian-ji dengan
tajam, “Tidak ada alasan lain?”
Tanya Lim Sian-ji, “Mengapa harus ada alasan lain?”
Sahut A Fei, “Sim-bi Taysu tidak mungkin mau menyianyiakan
satu hari hanya untuk makan malam.”
Lim Sian-ji memutar matanya. “Ia tidak ingin tinggal
hanya karena makan malam. Ia harus menunggu karena
malam ini akan datang tamu penting yang lain.”
“Siapa?”
Sahut Lim Sian-ji, “Thi-tiok siansing, (Pendekar Suling
Besi).”
A Fei bertanya, “Thi-tiok siansing? Siapakah dia?”
Mata Lim Sian-ji melebar, ia sangat terkejut. “Kau tidak
tahu siapa Thi-tiok siansing?”

324
Kata A Fei, “Mengapa aku harus tahu siapa dia?”
Lim Sian-ji mengeluh. “Karena walaupun Thi-tiok siansing
bukanlah yang Terhebat di dunia persilatan saat ini, ia
tidak jauh dari posisi itu.”
“Oh.”
Lanjut Lim Sian-ji, “Katanya ilmu silat orang ini sungguh
tinggi, bahkan tidak lebih rendah dari ketua Tujuh partai
besar dunia persilatan.”
Pada saat berbicara, ia memperhatikan reaksi A Fei.
Sekali lagi, A Fei mengecewakan dia.
Di wajahnya tidak terbayang rasa takut sedikit pun.
Bahkan kini dia tertawa. “Jadi mereka membawa Thi-tiok
siansing untuk mengatasi aku.”
Lim Sian-ji memandang ke bawah. “Sim-bi Taysu selalu
merencanakan segala sesuatu dengan teliti. Ia kuatir….”
A Fei memotong ucapannya, “Ia kuatir aku akan pergi
menyelamatkan Li Sun-Hoan, jadi dipanggilnya Thi-tiok
siansing untuk menjadi pengawal.”
Kata Lim Sian-ji, “Walaupun mereka tidak memanggilnya,
Thi-tiok siansing tetap akan datang.”
“Kenapa?”

325
Jawab Lim Sian-ji, “Karena selir yang dikasihinya juga
mati di tangan Bwe-hoa-cat .”
Lalu kata A Fei, “Jadi mereka akan makan malam
sebelum pergi.”
Lim Sian-ji berpikir sejenak. “Atau mungkin…”
A Fei menyelesaikan kalimatnya, “Atau mungkin mereka
takkan pernah pergi.”
Tanya Lim Sian-ji, “Mengapa?”
Sahut A Fei, “Jika istriku mati di tangan seseorang, aku
tak akan membiarkannya hidup dan pergi ke Siau-lim-si.”
Wajah Lim Sian-ji berubah. “Kau kuatir bahwa begitu Thitiok
siansing tiba ia akan segera turun tangan terhadap Li
Sun-Hoan?”
“Mmmmm.”
Lim Sian-ji terdiam. Lalu ia mendesah, katanya, “Benar
juga. Ada kemungkinan begitu. Thi-tiok siansing bukan
orang yang bisa dibujuk. Jika ia sudah berniat turun
tangan, bahkan Sim-bi Taysu tak akan dapat
mencegahnya.”
Lalu A Fei berkata, “Kau sudah cukup berbicara.
Sekarang kau boleh pergi.”

326
Lim Sian-ji masih terus bertanya, “Apakah kau berencana
menyelamatkan Li Sun-Hoan sebelum Thi-tiok siansing
tiba?”
Sahut A Fei, “Apa pun yang kurencanakan, tidak ada
sangkut-pautnya denganmu. Selamat tinggal.”
Lim Sian-ji terus mendesak, “Tapi kalau hanya dengan
kekuatanmu seorang, tak mungkin kau dapat
menyelamatkan dia!”
Dilanjutkannya lagi, “Aku tahu ilmu silatmu cukup tinggi,
namun Dian-jitya dan Tio Cing-ngo pun bukan orang
lemah. Dan lagi, masih ada Sim-bi Taysu yang
merupakan orang Loji (Jisuheng) di Siau-lim-si. Tenaga
dalamnya sangat murni….”
A Fei hanya memandangnya dingin, tanpa mengucapkan
sepatah katapun.
Lim Sian-ji terus bicara, “Hin-hun-ceng saat ini bisa
dikatakan penuh dengan ahli-ahli silat. Jika kau ingin
melakukan penyelamatan, itu… itu…”
A Fei melanjutkannya, “Itu tindakan gila, bukan?”
Lim Sian-ji menundukkan kepalanya, tidak berani
menatap matanya.
A Fei tertawa keras-keras. “Setiap orang ada saatnya
melakukan tindakan yang sedikit gila. Sekali-sekali saja,
itu bukanlah hal yang buruk.”

327
Lim Sian-ji menunduk lagi. “Aku tahu maksudmu.”
“Oh.”
Kata Lim Sian-ji, “Tidak ada seorang pun yang
menyangka kau akan berani bertindak di siang hari
bolong. Pengawasan mereka pasti tidak terlalu ketat.
Dan lagi, semalam mereka sangat sibuk. Mungkin
mereka akan tertidur sampai siang….”
Kata A Fei, “Kau sudah bicara terlalu banyak….”
Sahut Lim Sian-ji, “Baik, aku akan pergi sekarang. Tapi
kau…. kau harus berhati-hati. Jika terjadi sesuatu, jangan
lupa ada seseorang di Hin-hun-ceng yang berhutang
nyawa padamu.”
***
A Fei menunggu satu jam di luar Hin-hun-ceng.
Ia merunduk di sana, seperti menunggu di luar sarang
tikus. Ujung rambut sampai kakinya tidak bergerak sama
sekali. Yang bergerak hanya sepasang bola matanya
yang setajam burung elang.
Angin dingin menyayat kulitnya, seperti pisau.
Namun ia tidak peduli sedikit pun. Waktu dia berumur
sepuluh tahun, untuk menangkap seekor rubah ia
menunggu di atas salju tanpa bergerak selama dua jam
penuh.

328
Saat itu dia bisa bertahan karena ia lapar. Jika ia tidak
mendapatkan rubah itu, ia akan mati kelaparan. Untuk
bertahan hidup, tidaklah sulit bagi manusia untuk
menanggung penderitaan.
Namun menanggung penderitaan demi orang lain,
supaya mereka bisa tetap hidup, tidaklah semudah itu.
Hanya sedikit sekali orang yang dapat melakukannya.
Saat itu terlihat seseorang terhuyung-huyung keluar dari
Hin-hun-ceng. Walaupun jaraknya cukup jauh, A Fei bisa
melihat bahwa wajah orang ini burikan.
Ia tidak tahu bahwa orang burikan ini adalah ayah Lim
Sian-ji, namun dia tahu bahwa orang ini adalah pelayan
yang berkedudukan tinggi di Hin-hun-ceng.
Seorang pelayan biasa tak mungkin bersikap angkuh
seperti itu. Dan jika ia bukan seorang pelayan, sikapnya
pun tak mungkin angkuh seperti itu.
Perut orang ini sepertinya penuh dengan arak.
Kini ia sedang berjalan sempoyongan ke arah warung teh
untuk membual besar-besaran. Tidak disangkanya, saat
ia tiba di ujung gang, sebilah pedang telah terarah ke
tenggorokannya.
A Fei sebenarnya tidak suka menggunakan pedangnya
terhadap orang semacam ini. Tapi menggunakan pedang
untuk berbicara kadang-kadang lebih efektif daripada
menggunakan lidah. Ia berkata dingin, “Aku tanya satu
kali, kau jawab satu kali. Jika kau tidak menjawab, akan

329
kubunuh kau. Jika jawabanmu salah, akan kubunuh kau.
Mengerti?”
Si burik ingin mengangguk, tetapi ia takut pedang itu
malah akan menusuknya. Ia ingin berbicara, namun
suaranya tidak keluar. Arak dalam perutnya telah
berubah menjadi keringat dingin.
Tanya A Fei, “Aku bertanya, apakah Li Sun-Hoan masih
berada di dalam Puri?”
Sahut si burik, “Ya….”
Bibirnya bergetar beberapa kali sebelum kata itu bisa
terucapkan.
Tanya A Fei, “Di mana?”
Jawab si burik, “Di gudang kayu bakar.”
Kata A Fei, “Antarkan aku ke sana!”
Si burik menjadi sangat ketakutan, “Bagaimana aku bisa
mengantarkan kau ke sana…. Aku…Aku tidak tahu
bagaimana….”
Kata A Fei, “Kau bisa memikirkan caranya.”
Tiba-tiba digerakkannya pedangnya. Terdengar bunyi
‘chi’, dan pedang itu menancap ke dinding.
Tatapan A Fei menembus mata si burik dan ia berkata
dingin, “Kau bisa memikirkan suatu cara, bukan?”

330
Gigi si burik gemeletuk. “Y…ya…”
Kata A Fei, “Bagus. Berbaliklah dan berjalanlah ke dalam.
Jangan lupa, aku ada di belakangmu.”
Ini bukan kali pertama si burik mengajak temannya
datang berkunjung. Jadi waktu A Fei mengikutinya dari
belakang, si penjaga pintu tidak begitu memperhatikan.
Gudang kayu bakar itu tidak jauh dari dapur, namun
dapur terletak jauh dari ruang utama. Karena tempat
seorang pria bukanlah di dapur dan pemilik Hin-hun-ceng
yang terdahulu adalah seorang pria sejati.
Si burik mengambil jalan pintas ke arah gudang kayu
bakar. Mereka tidak bertemu dengan siapapun.
Walaupun ada yang memergoki, mereka akan berpikir
kedua orang ini pasti sedang menuju ke dapur untuk
mengambil makanan dan arak.
Dalam halaman yang sepi itu, tampak sebuah bangunan
menyendiri. Di luar sebuah pintu yang sudah bobrok
terlihat sebuah gembok yang besar.
Si burik berkata terbata-bata, “Tuan…Li-tayhiap terkunci
di dalam sana. Tuan, Anda…”
A Fei menatapnya lekat-lekat, “Kurasa kau tak akan
berani membohongi aku.”
Si burik tertawa gelisah, “Mana mungkin seorang pelayan
berani berbohong. Aku tak berani menggadaikan
kepalaku untuk berkelakar seperti itu.”

331
Sahut A Fei, “Bagus.”
Setelah mengucapkan kata ini, ia mengulurkan tangan
dan memukul jatuh si burik sampai pingsan. Ia berlari
dan menendang pintu bobrok itu hingga terbuka.
Bab 16. Kebaikan Hati yang Palsu
Tidak ada orang yang menjaga di depan pintu. Mungkin
tidak ada yang menyangka A Fei akan datang di siang
hari bolong. Atau mungkin mereka ingin tidur siang hari
itu.
Di gudang itu ada satu jendela kecil. Di dalam sangat
gelap, seperti sebuah penjara. Di dekat gundukan kayu
bakar seseorang tergolek.
Sewaktu A Fei melihat mantel bulu itu, darah di dadanya
langsung bergolak. Ia sendiri pun tidak tahu mengapa ia
merasakan persahabatan yang begitu dalam dengan
orang ini.
Ia melangkah mendekat dan berkata, “Kau…”
Pada saat itulah, sebilah pedang berkilat dari bawah
jubah itu!
Sambaran pedang yang secepat kilat ini sungguh
mengagetkan A Fei.
Sangat tidak terduga. Dan sangat sangat cepat.

332
Untungnya pedang A Fei masih tergenggam di
tangannya. Pedangnya lebih cepat lagi, kecepatannya tak
terbayangkan. Walaupun orang itu menyerang lebih dulu,
A Fei masih lebih cepat.
Pedang A Fei mengenai pegangan pedang orang itu.
Pergelangan tangan orang itu langsung kesemutan dan
pedangnya terlepas dari tangannya.
Orang ini pun ahli pedang tingkat tinggi. Dalam keadaan
seperti inipun ia tidak lengah. Ia berguling dan menjauh
beberapa meter. Saat itulah A Fei melihat wajahnya. Ia
adalah Yu Liong-sing.
Namun A Fei tidak tahu siapa dia, sehingga
konsentrasinya tidak terganggu. Ia menyerang lagi
sambil keluar dari tempat itu. Walaupun gerakannya
sangat cepat, tapi sudah terlambat.
Sebuah golok emas dan tongkat telah menghadang
langkahnya. Juga beberapa orang muncul dari balik
gundukan kayu bakar itu. Tiap-tiap orang dengan busur
dan anak panah yang terbidik padanya. Pada jarak
sedekat ini, anak panah sangatlah mematikan.
Betapa pun kuat dan hebatnya seseorang, jika ia
berharap bisa keluar hidup-hidup dari tempat itu, ia
sedang bermimpi.
Dian-jitya tertawa, “Adakah yang ingin kau sampaikan,
Sobat?”

333
A Fei mendesah. “Silakan saja.”
Dian-jitya berkata, “Kau tidak mau membuang-buang
waktu. Baik, akan kukabulkan keinginanmu.”
Ia melambaikan tangannya dan anak-anak panah itu
datang menghujaninya.
Saat itulah A Fei berguling di tanah. Tangannya meraih
pedang yang jatuh dari tangan Yu Liong-sing. Dalam
tangannya, pedang itu seakan-akan menari-nari
menahan anak-anak panah yang berhamburan datang.
Sekejap saja, ia telah sampai di pintu.
Tio Cing-ngo mengaum keras dan golok emasnya
menusuk ke arah A Fei.
Sebelum jurusnya selesai, ia melihat kilatan cahaya di
depannya.
Jurus pedangnya bukan main cepatnya.
Waktu Tio Cing-ngo berusaha mengelak, sudah terlambat
baginya. Pedang A Fei telah menembus tenggorokannya.
Darah pun muncrat keluar.
Dian-jitya tercekat.
Namun A Fei sudah meninggalkan tempat itu.
Tian Ki-hondak mengejar A Fei, namun diurungkannya.
Tio Cing-ngo masih memegangi lehernya. Sungguh ajaib,
dia masih belum mati.

334
A Fei melayang meninggalkan taman itu. Sebelum pergi,
dilemparkannya pedang Yu Liong-sing ke arah Dian-jitya.
Dian-jitya ingin mengejar, namun tidak jadi.
Yu Liong-sing mengeluh panjang. “Anak muda itu
sungguh luar biasa cepat!”
Dian-jitya pun terkekeh, “Peruntungannya pun tidak
jelek.”
Yu Liong-sing bertanya, “Peruntungan?”
Kata Dian-jitya, “Tak kau lihatkah dua anak panah yang
menembus tubuhnya?”
Sahut Yu Liong-sing, “Kau benar. Jurus pedangnya belum
sempurna benar, sehingga ia masih belum dapat
menahan seluruh anak panah itu. Namun ia bisa
melindungi dirinya begitu rupa sampai tidak terluka.”
Kata Dian-jitya, “Itu karena ia mengenakan Kim-si-kah .
Aku memperhitungkan segala sesuatu, namun aku lupa
akan hal ini. Kalau tidak, tidak mungkin ia bisa keluar
dari tempat ini hidup-hidup.”
Yu Liong-sing memandang pedang itu dan mengeluh
lagi. “Tidak seharusnya ia datang kembali hari ini.”
Dian-jitya tertawa. “Jangan terlalu memikirkan
kekalahanmu. Lagi pula, walaupun ia berhasil lolos dari
perangkap kita, belum tentu ia bisa meninggalkan Puri
ini.”

335
Saat A Fei keluar dari pintu, ia mendengar lantunan lagu
Buddha. Lagu itu terdengar sangat keras dan sepertinya
bersumber dari segala arah.
Lalu lima orang pendeta mengelilinginya.
Yang pertama adalah Sim-bi Taysu.
A Fei segera melihat ke sekelilingnya dan berusaha tetap
tenang. Ia hanya berkata, “Jadi sekarang pendeta pun
menjebak orang.”
Sim-bi Taysu menjawab dengan tenang. “Aku tidak
bermaksud melukai siapapun. Kata-katamu sangat tajam.
Namun kata-kata tidak dapat melukai siapapun juga,
kecuali dirimu sendiri.”
Ia berbicara dengan nada datar. Namun ketika kata-kata
ini sampai ke telinga A Fei, suara itu bergetar dengan
kuat.
Kata A Fei, “Kelihatannya ada juga yang dapat
menggunakan kata-kata sebaik aku.”
Ia tahu, jika ia ingin melarikan diri ke atas, tasbih
pendeta itu akan dapat melukai kakinya. Jadi
kesempatannya hanyalah dengan meloloskan diri dari
antara dua pendeta.
Namun ketika ia bergerak sedikit, pendeta-pendeta itu
telah berputar mengelilingi dia. Kelimanya bergerak
sangat cepat, A Fei tak mungkin meloloskan diri.

336
Begitu A Fei berhenti, pendeta-pendeta itu pun berhenti.
Sim-bi Taysu berkata, “Sebagai pendeta, kami tidak ingin
membunuh. Kau mempunyai pedang di tanganmu dan
sepatu di kakimu. Jika kau dapat memecahkan formasi
Lo-han-tin kami, kau boleh pergi.”
A Fei mulai bernafas dalam-dalam. Tubuhnya diam tidak
bergerak.
Ia bisa melihat bahwa ilmu silat pendeta-pendeta ini
sangat tinggi, dan kerja sama mereka sangat baik.
Formasi mereka tidak punya kelemahan sama sekali.
Ketika A Fei berusia sembilan tahun, ia melihat seekor
burung bangau dikelilingi oleh seekor ular besar.
Walaupun burung bangau itu berparuh tajam, ia diam
saja tidak bergerak.
Awalnya ia tidak mengerti apa sebabnya. Belakangan ia
tahu bahwa ternyata si bangau mengerti perangai si ular.
Setelah mengelilingi si bangau, si ular dapat menyerang
dengan kepala atau dengan ekornya. Jika si bangau
menyerang kepalanya, ekor si ular akan menjerat. Jika si
bangau menyerang ekornya, kepala si ular akan
memagut.
Oleh sebab itu, si bangau hanya berdiri di situ. Si ular
menjadi tidak sabar, dan menyerang lebih dulu. Hanya
dengan cara itulah si bangau dapat menghadapi
serangan dengan sigap dan mengalahkan ular itu.
Mengalahkan kecepatan dengan ketenangan.

337
Oleh sebab itu, selama para pendeta itu tidak bergerak,
ia pun tetap diam.
Setelah beberapa saat, tampak para pendeta itu menjadi
tidak sabar. “Apakah engkau sudah menyerah.”
“Belum.”
Sim-bi Taysu bertanya, “Lalu mengapa engkau tidak
berusaha pergi?”
Sahut A Fei, “Kalian tidak ingin membunuh aku dan aku
tidak bisa membunuh kalian. Jadi aku tidak bisa pergi.”
Sim-bi terkekeh. “Jika kau bisa membunuhku, aku tidak
akan menyesal.”
Sahut A Fei, “Bagus.”
Dengan kilatan pedang yang sangat tiba-tiba, A Fei
menyerang Sim-bi.
Pendeta Siau-lim-si ini segera menyerang balik.
Namun tiba-tiba A Fei mengubah gerakannya. Tidak
seorang pun tahu bagaimana ia melakukannya. Mereka
hanya tahu, tiba-tiba ia berbalik ke arah lain.
Awalnya jurus itu diarahkan ke Sim-bi, namun kini
terarah pada tangan salah seorang pendeta yang lain.
Kata Sim-bi, “Bagus sekali.”

338
Sambil berbicara, ia menggulung lengan bajunya. Lengan
baju pendeta Siau-lim-si sangat tajam, setajam pisau. Ia
bersiap-siap menyerang A Fei.
Walaupun keempat pendeta yang lain sedang diserang,
ia tidak perlu membantu mereka mempertahankan diri.
Inilah kelebihan formasi Lo-han-tin.
Tidak ada yang menyangka bahwa saat itu A Fei kembali
mengubah gerakannya lagi.
Ketika ahli pedang yang lain berganti jurus, mereka
hanya mengubah asal arah serangan atau tujuan arah
serangan. Namun A Fei dapat mengubah arah seluruh
tubuhnya.
Jurus yang tadinya mengarah ke timur, bisa berubah
tiba-tiba ke barat.
Tidak ada yang berubah, hanya gerakan kakinya saja
yang secepat kilat.
Di detik berikutnya, pedangnya telah merobek lengan
baju Sim-bi. Pedang dan tubuh telah menyatu. Jika
pedang lolos, tubuh pun lolos.
Sim-bi lalu berkata, “Hati-hati di jalan. Kuantarkan kau
keluar.”
A Fei lalu merasa serangkum tenaga di belakangnya,
seolah olah batang besi yang besar memukul
punggungnya. Walaupun ia memakai Kim-si-kah , ia
masih merasa sangat kesakitan.

339
Salah seorang pendeta itu berseru, “Kejar dia!”
Namun Sim-bi berkata, “Tidak perlu.”
Kata pendeta itu, “Ia tak mungkin pergi terlalu jauh.
Mengapa membiarkan dia lolos?”
“Jika ia tidak mungkin pergi jauh, buat apa susah-susah
mengejarnya?”
Pendeta itu berpikir sejenak, lalu berkata, “Susiok
memang benar.”
Sim-bi memandang ke arah A Fei pergi, lalu berkata,
“Seorang pendeta tidak boleh melukai orang, sebisa
mungkin.”
Dian-jitya pun mengawasi kejadian itu dari kejauhan. Ia
terkekeh. “Pendeta-pendeta ini memang pandai. Jika
orang lainlah yang membunuh orang itu untuk mereka,
mereka tidak akan peduli.”
Tenaga yang disalurkan melalui tapak tangan pendeta
Siau-lim-si itu memang benar-benar kuat. A Fei perlu
cukup lama untuk mengembalikan keseimbangannya.
Ia tahu ia telah terluka dalam cukup parah. Namun
paling tidak ia bisa sembuh dari luka seperti ini.
Setelah bertahun-tahun menjalani latihan dan
penderitaan, ia menjadi sangat tahan bantingan.
Tubuhnya seperti terbuat dari baja.

340
Jika A Fei bisa lolos, ia memang sungguh seorang yang
beruntung. Sangat sedikit orang yang dapat lolos dari
serangan bersama lima pesilat tangguh Siau-lim-si.
Hanya saja, A Fei tidak ingin lolos.
Di manakah mereka menyembunyikan Li Sun-Hoan?
Bagaikan elang, mata A Fei memantau sekelilingnya. Ia
segera berlari menuju ke halaman belakang. Di sana
lebih bayak tempat untuk bersembunyi.
Tiba-tiba terdengar suara tawa.
Di depan sana terlihat sebuah paviliun. Orang yang
tertawa itu sedang duduk di sana, membaca buku.
Sepertinya ia sangat asyik dengan bacaannya.
Ia mengenakan baju yang biasa, bahkan agak lusuh.
Wajahnya kurus, berwarna kuning, dengan jenggot
panjang. Ia tampak seperti seorang pelajar tua yang
tidak bisa mengurus dirinya sendiri.
Namun hanya pesilat tangguhlah yang dapat membuat
suara tertawanya terdengar begitu jelas dari jarak yang
begitu jauh.
A Fei berhenti. Dipandangnya orang itu menyelidik.
Orang tua itu seperti tidak melihat A Fei. Ia membalik
halaman bukunya terus membaca dengan serius.

341
A Fei melangkah mundur. Setelah sepuluh langkah, ia
memutar badan dan melayang pergi. Dalam dua langkah
ia sudah ada dalam hutan Bwe.
A Fei menarik nafas panjang, menelan darah di
kerongkongannya.
Lukanya ternyata lebih parah daripada sangkaannya. Ia
tidak dapat bertempur lagi dengan keadaannya sekarang.
Pada saat itulah terdengar suara seruling.
Suara seruling itu sangat jernih dan keras. Kelopakkelopak
bunga Bwe berjatuhan di sekeliling A Fei.
Lalu dilihatnya seseorang sedang meniup seruling di
bawah pohon Bwe di belakangnya. Orang itu adalah
Siucai itu tua yang dilihatnya semenit yang lalu.
Kali ini, A Fei tidak menghindar. Sambil memandang
orang tua itu dan menyapa, “Thi-tiok Siansing?”
Suara seruling itu perlahan-lahan lenyap.
Ia memandang A Fei cukup lama, lalu tiba-tiba bertanya,
“Kau terluka?”
A Fei sangat terkejut. Penglihatan orang ini sangat tajam.
Thi-tiok Siansing bertanya lagi, “Terluka di
punggungmu?”
Sahut A Fei, “Kalau sudah tahu, mengapa bertanya lagi?”

342
“Sim-bi melukaimu?”
A Fei hanya menggeram, “Hmmmmh.”
Thi-tiok Siansing menggelengkan kepalanya. “Sepertinya
pendeta Siau-lim-si itu tidak sungguh-sungguh hebat.”
A Fei bertanya, “Mengapa?”
Thi-tiok Siansing menerangkan. “Untuk orang setingkat
dia, tidak seharusnya dia menyerangmu dari belakang.
Dan jika dia melakukannya, seharusnya dia tidak
membiarkanmu hidup cukup lama dan bertemu dengan
aku.”
Ia tiba-tiba tersenyum. “Mungkinkah pendeta tua itu
ingin menggunakan tangan orang lain untuk
membunuhmu?”
Kata A Fei, “Aku akan memberi tahu engkau tiga hal.
Pertama, jika ia tidak menyerangku dari belakang, ia
tidak mungkin bisa melukaiku. Kedua, walaupun dia
memukulku, dia tetap tidak bisa membunuhku. Ketiga,
kau pun tak mungkin dapat membunuhku!”
Thi-tiok Siansing tertawa terbahak-bahak. “Kau sombong
sekali, anak muda.”
Tiba-tiba ia berhenti tertawa. “Karena kau terluka, aku
tidak seharusnya menantangmu. Namun karena engkau
begitu sombong, aku harus memberimu pelajaran.”

343
A Fei merasa ia sudah terlalu banyak bicara. Ia tidak
mengatakan apa-apa lagi.
Thi-tiok Siansing berkata lagi, “Karena kau sudah terluka,
kau boleh mulai tiga jurus lebih dulu.”
A Fei memandangnya, lalu terkekeh.
Sambil terkekeh ia menyelipkan pedangnya kembali ke
pinggangnya. Ia berbalik dan berjalan pergi.
Thi-tiok Siansing berkata, “Kau sudah bertemu
denganku. Kau pikir kau bisa pergi hidup-hidup?”
A Fei tidak menoleh. Ia menyahut dingin, “Jika aku tidak
pergi, maka kau pasti mati.”
Thi-tiok Siansing tak bisa menahan tawanya. “Siapa yang
mati? Kau atau aku?”
Kata A Fei, “Tidak ada seorangpun yang bisa
memberikan aku keuntungan tiga jurus awal.”
“Jadi kalau aku memberi, aku akan mati?”
“Ya.”
Kata Thi-tiok Siansing, “Mengapa tidak kita coba saja?”
A Fei diam saja. Dibalikkannya tubuhnya dan ditatapnya
orang itu dalam-dalam.
Thi-tiok Siansing belum pernah melihat mata seperti itu.

344
Sepasang mata ini tidak berperasaan. Seperti terbuat dari
batu. Jika mata itu menatapmu, mata itu seperti seorang
dewa yang menatap mahluk ciptaanya.
Tanpa disadarinya, Thi-tiok Siansing mundur beberapa
tindak.
Saat itulah A Fei memulai serangannya.
Sekali pedangnya menyerang, tidak akan luput.
Ini adalah filosofi A Fei. Jika ia tidak yakin akan menang,
ia tidak akan menghunus pedangnya!
Butiran salju dan bunga-bunga Bwe beterbangan di
udara, sungguh pemandangan yang sangat cantik.
Tubuh Thi-tiok Siansing pun melayang-layang menari di
tengah-tengahnya.
A Fei tidak melihat ke atas. Ia hanya menarik kembali
pedangnya.
Thi-tiok Siansing melayang turun. Mengapung perlahanlahan
seperti kertas yang tertiup angin. Terlihat
genangan darah di atas salju.
A Fei memandangi darah di tanah, katanya, “Tidak ada
seorangpun yang dapat memberikan aku keuntungan
tiga jurus awal. Satu jurus pun tidak!”
Thi-tiok Siansing bersandar pada sebatang pohon.
Wajahnya sangat pucat. Dadanya penuh dengan noda
darah.

345
Ia tidak sempat menggunakan suling besinya yang
terkenal sedunia itu!
A Fei berkata lagi, “Namun kau tidak mati, karena kau
memegang kata-katamu.”
Ia terkekeh. “Paling tidak kau lebih baik dari Sim-bi.”
Sim-bi berkata bahwa ia tidak akan melukai A Fei. Jikalau
A Fei bisa lolos dari formasi mereka, ia boleh pergi.
Namun ia malah membokong A Fei. Ini adalah pelajaran
yang sangat berharga, yang tak akan pernah dilupakan A
Fei.
Thi-tiok Siansing kemudian berkata, “Kau masih punya
dua jurus lagi.”
“Dua lagi?”
A Fei memandangnya sesaat, lalu menjawab, “Baik.”
Ia menyerang perlahan dan ringan. Dua tinju yang
hampir tidak menyentuh tubuh Thi-tiok Siansing. “Nah,
aku sudah memberimu tiga….”
Saat itulah terdengar suara mendesing pelan, Sepuluh
‘Jarum Bintang Beku Badai Hujan’ melesat keluar dari
suling besi!
Wajah Thi-tiok Siansing yang mucat, kini berbinar-binar.
Katanya, “Hari ini aku mendapat sebuah pelajaran
berharga. Jangan pernah memberi keuntungan tiga jurus
awal pada siapapun. Kau pun harus belajar satu hal. Jika

346
kau sudah menyerang, lebih baik kau bunuh musuhmu.
Kalau tidak, lebih baik tidak menyerang sama sekali!”
A Fei mengertakkan giginya sambil memandang jarumjarum
di kakinya. Ia menjawab sekata-demi sekata, “Aku
tak akan pernah melupakannya!”
Thi-tiok Siansing berkata, “Bagus. Sekarang, pergilah.”
Sebelum A Fei sempat menjawab, terdengar seruan dari
jauh.
“Cianpwe…. Cianpwe Suling Besi…. Apakah kau telah
menangkapnya?”
Thi-tiok Siansing segera mendesak A Fei, “Cepatlah. Aku
tak dapat membunuhmu, tapi aku pun tak ingin kau mati
di tangan orang lain!”
A Fei segera berguling pergi.
Kakinya tak dapat bergerak, namun tangannya masih
Lincah.
Ia merasa darah naik ke kerongkongannya. Walaupun
dia mati-matian menahannya, ia tidak berhasil.
Walaupun tidak ada yang mengejar, dia tidak yakin bisa
hidup lebih lama. Ia hanya ingin bertemu dengan Li Sun-
Hoan, dan mengatakan padanya bahwa ia telah berusaha
sekuat tenaga.

347
Sebelum ia jatuh pingsan, ia melihat sesosok bayangan
menghampirinya.
***
Hanya ada satu lilin dalam ruangan.
Liong Siau-hun sedang memandangi Li Sun-Hoan.
Dibiarkannya Li Sun-Hoan selesai batuk-batuk, lalu
diberinya minum secawan arak.
Setelah ia menghabiskan cawan itu, Li Sun-Hoan
tersenyum. “Toako, lihatkah engkau bahwa tak ada
setetes pun yang tumpah.? Walaupun aku digantung
terbalik seperti ini, aku masih bisa minum arak dengan
baik.”
Liong Siau-hun pun ingin tersenyum, namun tidak bisa.
“Mengapa tak kau biarkan aku membuka Hiat-to (jalan
darah)mu?”
Sahut Li Sun-Hoan, “Aku tak bisa menahan godaan. Jika
kau membuka Hiat-to (jalan darah)ku, aku pasti akan
kabur.”
Liong Siau-hun berkata, “Nam….namun sekarang tidak
ada siapa-siapa. Tidakkah kau mengerti apa yang sedang
kulakukan?”
Li Sun-Hoan menjawab cepat, “Toako, tidakkah kau
mengerti apa yang sedang kulakukan?”
Sahut Liong Siau-hun, “Aku tahu, tapi…..”

348
Li Sun-Hoan tersenyum. “Aku tahu apa yang hendak kau
katakan. Tapi kau tidak berbuat kesalahan apapun. Dan
hanya untuk secawan arak itu, aku tak akan pernah
menyesali persahabatan kita.”
Bab 17. Sifat Aslinya Ketahuan
Sewaktu Liong Siau-hun mendengarnya, ia menundukkan
kepalanya cukup lama.
“Besok…besok kau akan pergi. Aku….”
Kata Li Sun-Hoan, “Tak perlu repot-repot mengantar. Aku
tidak suka mengantar kepergian orang dan akupun tidak
suka orang berbuat begitu padaku. Waktu aku melihat air
wajah orang saat mengantar, aku malah jadi ingin
muntah.”
Ia terkekeh lalu melanjutkan, “Lagi pula, aku kan tidak
pergi jauh. Mungkin dalam beberapa hari aku akan
kembali.”
Liong Siau-hun pun kelihatan bersemangat lagi. “Kau
benar. Waktu kau datang nanti, aku pasti akan
menyambutmu. Lalu kita bisa mabuk bersama.”
Tiba-tiba terdengar suara seseorang berkata, “Kau tahu
pasti dia tidak akan kembali. Mengapa kau masih
membohongi dirimu sendiri?”

349
Lim Si-im masuk. Wajahnya yang cantik kelihatan sangat
rapuh.
Hati Li Sun-Hoan serasa ditusuk sembilu. Namun ia masih
tersenyum. “Mengapa aku tidak akan kembali? Ini adalah
tempat tinggal sahabat-sahabat karibku. Aku….”
Lim Si-im segera memotong dengan dingin, “Siapa
sahabatmu? Kau sama sekali tidak punya teman di sini.”
Ia menuding ke arah Liong Siau-hun. “Kau pikir dia ini
sahabatmu? Jika dia memang sahabatmu, seharusnya dia
membebaskanmu sekarang juga.”
Liong Siau-hun berusaha membela diri, “Tapi dia….”
Lim Si-im memotong lagi, “Dia tidak mau pergi karena
dia tidak mau kau mendapat kesulitan. Namun mengapa
kau tidak melepaskan dia? Dia bisa memutuskan apakah
dia mau lari atau tidak. Namun, kaulah yang harus
memutuskan apakah kau akan melepaskan dia atau
tidak.”
Ia tidak menunggu Liong Siau-hun untuk menjawab. Ia
memutar badannya dan berlalu dari situ.
Liong Siau-hun berdiri dan berkata, “Apapun yang akan
kau lakukan, aku harus melepaskan engkau.”
Li Sun-Hoan tertawa keras-keras.
Liong Siau-hun kelihatan bingung. “Meng…mengapa kau
tertawa?”

350
Sahut Li Sun-Hoan, “Sejak kapan kau mau diperintah
oleh seorang wanita? Liong Siau-hun yang kuingat
adalah seorang pria tulen. Bukan seorang pria lemah
yang takut pada istrinya.”
Liong Siau-hun mengepalkan tangannya kuat-kuat.
Bahkan air mata mulai tampak di sudut matanya. “Toako,
kau… kau sangat baik padaku. Bukannya aku tidak tahu
apa maksudmu. Hanya…hanya saja, bagaimana harus
kubalas budimu?”
Kata Li Sun-Hoan, “Kebetulan aku perlu bantuanmu.”
“Apa yang kau perlukan? Katakan saja, aku lakukan
apapun keinginanmu.”
Kata Li Sun-Hoan, “Ingatkah kau pada pemuda A Fei
yang datang semalam?”
“Tentu saja.”
Li Sun-Hoan berkata, “Jika ia terlibat kesulitan, tolong
bantu dia.”
Liong Xiau Yun mendesah. “Bahkan dalam situasi seperti
ini, kau masih begitu memperhatikan orang lain. Apakah
kau pernah memperhatikan dirimu sendiri?”
Kata Li Sun-Hoan kering, “Katakan padaku, apakah kau
akan melakukannya atau tidak.”
“Tentu saja akan kupenuhi permintaanmu. Tapi mungkin
aku takkan pernah berjumpa dengan dia.”

351
Li Sun-Hoan sangat terkejut. “Kenapa? Mungkinkah
dia….”
Liong Siau-hun berusaha keras untuk tersenyum. “Kau
melihat dai pergi kemarin. Apakah mungkin dia kembali
lagi?”
Li Sun-Hoan mengeluh. “Aku sangat berharap ia tidak
kembali lagi. Namun aku tahu ia pasti datang.”
Liong Siau-hun bertanya, “Jika ia datang untuk
menyelamatkanmu, mengapa dia belum tiba?”
Ia menarik nafas panjang dan melanjutkan. “Toako, aku
tahu kau memperhatikan sahabatmu lebih dari apapun
juga di dunia ini. Namun tidak semua orang seperti
engkau.”
Li Sun-Hoan berusaha tersenyum. “Apa yang akan
dilakukannya adalah keputusannya sendiri. Aku hanya
berharap engkau mengingat bahwa ia adalah sahabatku,
sewaktu engkau berjumpa dengan dia.”
Sahut Liong Siau-hun, “Sahabatmu adalah sahabatku
juga.”
Tiba-tiba seseorang berteriak dari luar, “Liong-siya….
Liong-siya.”
Liong Siau-hun segera bangkit, namun segera duduk
kembali. “Toako, kau….”

352
Li Sun-Hoan tersenyum lalu berkata, “Aku tidak ingin
minum lagi. Kau pergilah. Dan jangan lupa, besok kau
tidak perlu mengantar.”
Liong Siau-hun berjalan keluar dan dilihatnya Dian-jitya
berdiri di bawah pohon. Ia segera berjalan ke sana dan
bertanya dengan berbisik, “Apakah kau berhasil
menangkapnya?”
Sahut Dian-jitya, “Tidak.”
“Apa? Begitu banyak orang yang telah kau kerahkan,
ditambah dengan Sim-bi Taysu Thi-tiok Siansing…. tidak
dapat menyelesaikan satu anak muda saja?”
Kata Dian-jitya, “Tapi anak muda ini sangat luar biasa.
Bahkan sedikit menakutkan. Ia tidak hanya telah melukai
Kakak Tio-lotoa, kini ia pun melukai Thi-tiok Siansing!”
Liong Siau-hun menghentakkan kakinya. “Aku tahu anak
muda ini tidak mudah ditundukkan. Tapi katamu Thi-tiok
Siansing pasti dapat mengatasinya.”
Kata Dian-jitya, “Walaupun ia berhasil lolos, ia kena
dilukai oleh telapak tangan Sim-bi.”
Sahut Liong Siau-hun, “Kalau begitu, ia tidak mungkin
lari terlalu jauh. Mengapa tidak kau kejar dia?”
Dian-jitya berkata, “Pendeta-pendeta Siau-lim-si itu
sedang mengejarnya. Begitu ada kabar baik, aku akan
segera mengabarimu.”

353
Kata Liong Siau-hun, “Aku akan pergi menyelidiki. Kau
tempatkan seseorang untuk berjaga di sini.”
Di belakang pohon Bwe itu ada gunung-gunungan.
Setelah kedua orang itu pergi, seseorang muncul dari
balik gunung-gunungan itu. Matanya yang cantik penuh
dengan keheranan dan tidak percaya. Juga sakit hati dan
kebencian.
Seluruh badannya menggigil, dan air mata membasahi
wajahnya.
Hati Lim Si-im hancur berkeping-keping. Lalu dengan
langkah mantap ia berjalan ke arah kamar Li Sun-Hoan.
Namun segera didengarnya ada langkah-langkah orang,
sehingga Lim Si-im kembali bersembunyi di balik gununggunungan
itu.
Dian-jitya membawa delapan orang ke situ dan berkata,
“Jaga dia. Jangan biarkan seorang pun masuk ke sini.
Siapapun yang masuk, bunuh.”
Ia sedang tergesa-gesa hendak menangkap A Fei,
sehingga belum habis kalimatnya, dia sudah berlari pergi.
Lim Si-im menggigit bibirnya. Begitu kerasnya sampai
darah keluar.
Ia menyesali dirinya sendiri, mengapa malas berlatih ilmu
silat.

354
Kini ia baru menyadari bahwa ada hal-hal yang hanya
dapat diselesaikan dengan bertempur.
Ia tidak punya ide bagaimana ia bisa masuk ke kamar
itu.
Tapi tiba-tiba ia mendengar sesuatu. Langkah-langkah
orang. Langkah itu tidak terlalu berirama, namun sangat
cepat.
Lim Si-im menyadari, ini adalah Thi-tiok Siansing.
Ia mendengar Thi-tiok Siansing berseru nyaring, “Apakah
orang she Li itu ada di kamar ini?”
Seorang penjaga menjawab, “Kami tidak tahu pasti.”
Thi-tiok Siansing berkata, “Kalau begitu, biarkan aku
masuk dan memeriksa.”
Penjaga itu menjawab, “Dian-jitya berpesan bahwa tidak
seorang pun boleh masuk.”
Kata Thi-tiok Siansing, “Dian-jitya? Siapa yang peduli?
Tidakkah kalian tahu siapa aku?”
Penjaga itu memandang dengan curiga ke arah pakaian
Thi-tiok Siansing yang belepotan darah. “Siapapun tidak
boleh masuk.”
Thi-tiok Siansing menjawab, “Baiklah.”

355
Ia mengangkat tangannya sedikit. Segenggam jarum pun
segera melesat.
Mata Li Sun-Hoan terpejam, seakan-akan tertidur.
Tiba-tiba didengarnya jeritan orang kesakitan. Suara itu
tidak terlalu keras, dan pendek saja.
Ia mengangkat alisnya. “Apakah ada yang sedang
berusaha menolongku?”
Lalu ia melihat seseorang yang membawa seruling besi
masuk ke kamarnya. Wajahnya penuh dengan hawa
membunuh.
Pandangan Li Sun-Hoan berhenti pada seruling besi itu.
“Thi-tiok Siansing.”
Thi-tiok Siansing memandangi wajahnya. “Hiat-to (jalan
darah)mu tertutup?”
Li Sun-Hoan tersenyum. “Kau tahu, jika ada arak di
hadapanku dan aku tidak minum, pasti artinya aku tidak
bisa bergerak.”
Kata Thi-tiok Siansing, “Kalau kau tidak bisa bergerak,
seharusnya aku tidak membunuhmu. Tapi aku harus
membunuhmu.”
“Hah?”
Thi-tiok Siansing menatapnya lekat-lekat, “Engkau tidak
ingin tahu sebabnya?”

356
Li Sun-Hoan terkekeh. “Jika aku bertanya, pasti engkau
akan menerangkan dan menjadi marah. Jika kemudian
aku berusaha membela diri, kau pasti tidak akan percaya,
dan masih tetap akan membunuhku. Jadi buat apa
susah-susah bicara?”
Wajah Thi-tiok Siansing tiba-tiba menjadi sangat sedih.
“Ju-ih, kau sungguh mati mengenaskan. Tapi paling tidak
sekarang aku akan membalaskan dendammu.”
Ia mengangkat seruling besinya.
Li Sun-Hoan menghela nafas. “Ju-ih, waktu kau melihat
aku, pasti kau akan sangat terkejut. Karena walaupun
kau tidak mengenal aku, aku mengenalmu….”
Tiba-tiba Lim Si-im masuk ke dalam kamar itu. “Tunggu
sebentar. Ada yang ingin kukatakan.”
Thi-tiok Siansing menoleh terkejut. “Nyonya? Aku
sarankan agar kau tidak terlibat urusan ini. Tidak ada
seorang pun yang boleh ikut campur.”
Wajah Lim Si-im menjadi hijau. “Aku tidak bermaksud
mencegahmu melakukan apa yang kau inginkan. Tapi ini
adalah rumahku. Jika seseorang harus dibunuh, biarkan
aku yang melakukannya.”
”Tapi mengapa kau ingin membunuhnya?”
Sahut Lim Si-im, “Aku punya lebih banyak alasan untuk
membunuhnya daripada engkau. Kau ingin
membunuhnya untuk membalaskan dendam istrimu.

357
Namun aku ingin melakukannya demi anakku. Aku hanya
punya satu orang anak.”
Maksudnya sudah jelas. Thi-tiok Siansing punya lebih dari
satu istri.
Thi-tiok Siansing berpikir cukup lama, lalu berkata,
“Baiklah, kau boleh maju lebih dulu.”
Ia sangat percaya diri bahwa jarum suling besinya sangat
cepat bagai kilat. Jadi walaupun Lim Si-im maju lebih
dulu, ia masih dapat mendahuluinya membunuh Li Sun-
Hoan. Namun ketika Lim Si-im berjalan melewatinya, ia
tiba-tiba berputar dan menyerangnya.
Walaupun ilmu silat Lim Si-im cetek, ia pun bukan wanita
yang lemah. Ia menggunakan seluruh kekuatannya
mendorong dengan telapak tangannya. Lagi pula, Tuan
Suling sama sekali tidak menyangka, jadi serangannya
cukup ampuh.
Dan karena luka sebelumnya terbuka lagi, tubuh Thi-tiok
Siansing gemetar hebat, darah mulai mengucur keluar
dan akhirnya dia pingsan.
Lim Si-im sendiri sangat terkejut melihatnya, dan hampir
ikut pingsan.
Li Sun-Hoan tahu bahwa dia tidak pernah menginjak
seekor semut sekalipun! Kini, melihat Lim Si-im melukai
seseorang, ia tidak tahu apakah ia harus merasa sedih
atau gembira. Tapi ia menekan seluruh emosinya dan
hanya berkata, “Mengapa kau datang lagi?”

358
Lim Si-im mengambil nafas panjang beberapa kali untuk
menenangkan diri. “Aku datang kembali untuk
membebaskanmu.”
Li Sun-Hoan mengeluh. “Apakah kau belum jelas juga?
Aku tidak akan pergi.”
Kata Lim Si-im, “Aku tahu, kau tidak ingin pergi karena
Liong Siau-hun. Tapi kau tidak tahu bahwa dia….dia….”
Tubuhnya mulai menggigil lagi, bahkan lebih dari
sebelumnya. Ia mengepalkan tangannya kuat-kuat,
sampai kuku-kukunya melukai kulitnya. Dengan segenap
tenaganya ia berkata, “Ia telah mengkhianatimu. Ia
bersekongkol dengan mereka semua.”
Setelah ia mengatakan itu, tenaganya habis terkuras.
Jikalau tidak ada kursi di dekatnya, mungkin ia sudah
jatuh rebah di tanah. Ia pikir Li Sun-Hoan pun pasti
sangat terkejut.
Namun ternyata wajah Li Sun-Hoan tidak berubah
sedikitpun. Malahan ia terkekeh. “Pasti ada
kesalahpahaman. Bagaimana mungkin ia mengkhianati
aku?”
Lim Si-im kembali mengumpulkan tenaganya dan
berpegangan pada meja. Seluruh meja itu pun ikut
bergetar.
Katanya, “Aku melihatnya dengan mataku sendiri, dan
mendengarnya dengan telingaku sendiri.”

359
Sahut Li Sun-Hoan, “Mata dan telingamu pasti salah.”
Kata Lim Si-im gusar, “Kau tidak mempercayaiku?”
Li Sun-Hoan berkata dengan lembut, “Kau terlalu lelah
dua hari belakangan ini. Jadi tidak heran kalau pikiranmu
kacau. Pergilah beristirahat. Besok pasti kau akan
kembali menyadari bahwa suamimu adalah laki-laki yang
baik.”
Lim Si-im memandang dia. Pikirannya sungguh galau.
Setelah sekian lama, akhirnya ia menelungkup di atas
meja dan mulai menangis.
Li Sun-Hoan memejamkan matanya. Ia tidak mampu
memandangnya. Suaranya bergetar, katanya, “Mengapa
kau….”
Sebelum ia selesai bicara, ia mulai batuk-batuk. Kali ini
darah ikut tersembur.
Akhirnya Lim Si-im tidak dapat lagi mengendalikan
dirinya. Sepuluh tahun perasaan yang tertahan, meledak
keluar saat itu.
Ia segera menubruk ke arah Li Sun-Hoan. “Jika kau tidak
pergi, aku akan mati di hadapanmu.”
Li Sun-Hoan mengatupkan giginya. Ia berkata perlahanlahan,
“Apa hubungannya kematianmu dengan diriku?”
Lim Si-im menengadah memandangnya. Suaranya sangat
lemah. “Kau….kau….kau….”

360
Setiap kali dia bicara satu kata, ia mundur selangkah.
Tiba-tiba ia menabrak seseorang di belakangnya.
Wajah Liong Siau-hun terlihat kaku seperti baja.
Ia melingkarkan tangannya kuat-kuat di pinggang
istrinya. Seakan-akan kuatir jika ia melepaskannya,
istrinya akan pergi dan tak kembali lagi.
Lim Si-im memandang tangan suaminya. Setelah kembali
tenang, ia berkata dengan dingin, “Lepaskan tanganmu.
Dan ingatlah, jangan sekali-kali menyentuhku lagi.”
Akhirnya dilepaskannya pelukannya dan memandang
istrinya, “Kau sudah tahu semuanya?”
Lim Si-im menjawab dingin, “Tidak ada rahasia yang
abadi di dunia ini.”
“Kau…kau telah memberitahukan padanya?”
Li Sun-Hoan tersenyum. “Sebenarnya dia tidak perlu
memberitahukan padaku. Aku sudah tahu dari semula.”
Awalnya Liong Siau-hun tidak punya muka
memandangnya. Baru sekarang ia mengangkat
kepalanya. “Kau sudah tahu?”
“Ya.”
“Sejak kapan?”

361
Li Sun-Hoan menghela nafas. “Waktu kau menarik
tanganku dan membiarkan Dian-jitya menutup Hiat-to
(jalan darah)ku. Tapi…. walaupun aku tahu kau terlibat,
aku tidak menyalahkanmu.”
Kata Liong Siau-hun, “Jika kau sudah tahu, mengapa kau
tak mengatakan apa-apa?”
“Buat apa?”
Lim Si-im memandang Li Sun-Hoan. “Kau tidak
mengatakannya karena aku, bukan?”
Li Sun-Hoan mengangkat alisnya. “Karena kau?”
Kata Lim Si-im lagi, “Kau tidak ingin menyakiti diriku,
atau merusak keluarga kami. Karena keluarga ini
adalah….”
Ia tidak dapat menyelesaikan kalimatnya. Air mata
kembali membasahi wajahnya.
Tawa Li Sun-Hoan meledak tiba-tiba. “Mengapa wanita
selalu berpikir bahwa segala sesuatu berputar
mengelilingi mereka? Aku tidak mengatakannya karena
aku tahu itu tidak ada manfaatnya. Aku juga tidak pergi
karena aku tahu mereka tidak akan membiarkan aku
pergi.”
Kata Lim Si-im, “Tidak peduli apa yang kau katakan
sekarang. Karena aku sudah tahu….”

362
Potong Li Sun-Hoan, “Apa yang kau tahu? Tahukah kau
mengapa ia melakukannya? Ia kuatir kalau aku akan
merusak keluarga kalian. Itu sebabnya ia melakukan
semua ini! Karena dalam pandangannya, keluarga lebih
penting dari apa pun juga di dunia ini. Ia merasa bahwa
engkaulah orang yang paling berharga dalam hidupnya.”
Lim Si-im menatap dia lekat-lekat, lalu tiba-tiba juga
tertawa terbahak-bahak. “Ia telah menghancurkanmu,
tapi kau masih juga membelanya? Bagus. Kau memang
sahabat sejati. Tapi, sadarkah engkau bahwa aku juga
manusia? Tega-teganya kau berbuat seperti ini padaku!”
Li Sun-Hoan mulai terbatuk-batuk lagi. Darah mengotori
sekelilingnya.
Kini Liong Siau-hun pun kehilangan kendali dan mulai
berteriak. “Tadinya aku adalah kepala keluarga di sini.
Tapi begitu kau muncul, aku merasa seperti seorang
tamu. Aku mempunyai anak yang hebat. Tapi begitu kau
datang, ia menjadi anak yang cacad.”
Li Sun-Hoan mendesah. “Kau benar. Seharusnya aku
tidak datang kembali.”
Lim Si-im memejamkan matanya. Air mata terus mengalir
membasahi seluruh wajahnya. “Jika kau pernah
memikirkan aku sekejap saja, seharusnya kau tidak
berbuat seperti ini.”
Sahut Liong Siau-hun, “Aku tahu. Tapi aku terlalu kuatir.”
Lim Si-im bertanya, “Kuatir apa?”

363
Jawab Liong Siau-hun, “Kuatir kau akan meninggalkan
diriku. Walaupun kau tidak mengatakannya, aku tahu
bahwa kau…. kau tidak bisa melupakan dia. Aku kuatir
kau akan kembali ke dalam pelukannya.”
Lim Si-im melompat dari kursinya dan berteriak dengan
marah, “Singkirkan tanganmu! Kau bukan hanya seorang
yang licik, tapi kau pikir aku ini orang macam apa? Kau
pikir dia itu orang macam apa?”
Lim Si-im bersimpuh di lantai dan menangis meraungraung
tidak terkendali. “Apakah kau sudah lupa bahwa
aku… aku adalah istrimu?”
Liong Siau-hun berdiri mematung di tempatnya. Hanya
air matanya yang bergulir di pipinya.
Li Sun-Hoan memandang mereka berdua dan berpikir
dalam hatinya, “Salah siapakah ini semua? Siapa yang
salah….”
***
Di tempat lain, A Fei merasa seperti berbaring di dalam
gumpalan awan, tubuh terasa lemas dan melayanglayang
di tengah semacam bau harum yang sedap.
Ia sudah mendusin, tapi rasanya seperti dalam mimpi.
Dalam mimpinya juga selalu ditemui salju, ladang
belukar, binatang buas dan serentetan bencana dan
penderitaan yang tak habis-habis....

364
Dan terdengar seseorang berkata, “Apakah kau sudah
bangun?”
Suara ini sungguh merdu, sungguh lembut.
Waktu A Fei membuka matanya, ia melihat wajah
seorang dewi. Wajah ini memiliki senyum yang termanis,
yang terlembut di seluruh dunia. Matanya penuh dengan
cinta kasih yang murni.
Wajah ini hampir mirip dengan ibunya.
Ia teringat waktu ia masih kecil dan jatuh sakit, ibunya
selalu duduk di sampingnya seperti ini, dan mengawasi
dia dengan sabar.
Namun itu sudah lama sekali. Sangat lama, sampai ia
hampir melupakannya….
A Fei berusaha bangkit dari tempat tidur itu. “Di
manakah aku?”
Waktu ia berusaha duduk, ia terjatuh rebah kembali.
Lim Sian-ji membantu ia duduk dengan telaten dan
berkata dengan lembut, “Jangan kuatir di mana engkau
berada. Anggap saja ini rumahmu.”
“Rumahku?”
Ia tidak pernah punya rumah.

365
Kata Lim Sian-ji, “Aku rasa rumahmu pasti sangat
hangat, karena kau memiliki ibu yang sangat baik. Ia
pasti sangat lembut, sangat cantik dan kau sangat
mencintainya.”
A Fei hanya duduk terdiam. Setelah beberapa saat ia
berkata, “Aku tidak punya rumah, juga tidak punya ibu.”
Lim Sian-ji kelihatan bingun. “Tapi…tapi waktu engkau
pingsan, kau terus-menerus memanggil ibumu.”
A Fei diam saja, tidak bergerak dan wajahnya pun tidak
berubah. “Beliau sudah meninggal waktu aku berusia
tujuh tahun.”
Walaupun wajahnya menatap kosong, matanya mulai
basah.
Lim Sian-ji menunduk. “Maafkan aku. Aku…seharusnya
aku tidak mengungkit kenangan sedih itu.”
Kemudian A Fei bertanya, “Apakah engkau yang
menolongku?”
Sahut Lim Sian-ji, “Waktu aku tiba, kau sudah pingsan.
Lalu aku membawamu ke sini. Selama kau berada di sini,
aku berjanji tidak ada orang lain yang akan masuk.”
Kata A Fei, “Sebelum ibuku meninggal, beliau berpesan
supaya aku tidak menerima kebaikan orang lain. Aku
tidak pernah melupakannya. Namun sekarang….”

366
Wajahnya yang kaku kini menjadi hidup dan ia berteriak,
“Kini aku berhutang nyawa padamu!”
Lim Sian-ji menjawab dengan lembut, “Kau tidak
berhutang apa-apa. Jangan lupa, kau pun pernah
menyelamatkan nyawaku.”
A Fei terus mengeluh. “Mengapa kau tolong aku?
Mengapa kau tolong aku?”
Lim Sian-ji memandangnya dengan sabar. Ia meletakkan
tangannya di wajah A Fei. “Jangan pikir apa-apa
sekarang. Nanti… nanti kau akan tahu mengapa aku….
aku menolongmu. Mengapa aku berbuat ini padamu.”
Tangannya benar-benar cantik.
A Fei memejamkan matanya.
Ia tidak tahu bahwa ia dapat mempunyai perasaan
seperti ini.
Ia bertanya, “Jam berapa sekarang?”
“Belum tengah malam.”
A Fei berusaha bangkit lagi.
Lim Sian-ji bertanya, “Ke mana kau mau pergi?”
A Fei mengertakkan giginya. “Aku tak bisa membiarkan
mereka membawa Li Sun-Hoan.”

367
Kata Lim Sian-ji, “Tapi mereka sudah pergi.”
A Fei jatuh terduduk ke atas tempat tidur. Wajahnya
berkeringat. “Tapi katamu ini belum tengah malam?”
Sahut Lim Sian-ji, “Memang betul. Tapi Li Sun-Hoan
sudah dibawa pergi kemarin pagi.”
A Fei terpana. “Aku tidur begitu lama?”
Kata Lim Sian-ji, “Luka-lukamu sangat berat. Jika orang
itu bukan engkau, aku rasa orang itu tidak akan dapat
bertahan hidup. Jadi sekarang engkau harus patuh
padaku dan menunggu sampai kesehatanmu pulih.”
“Tapi Li….”
Potong Lim Sian-ji cepat, “Jangan bicara tentang dia lagi.
Keadaannya saat ini tidak segawat keadaanmu. Jika kau
ingin pergi menolongnya, tunggu sampai luka-lukamu
sembuh.”
Ia menggeser tubuh A Fei, sehingga kepala A Fei ada di
atas bantal. “Jangan kuatir. Sim-bi Taysu sendiri yang
membawa dia. Dia tidak akan menemui kesulitan di
jalan.”
***
Li Sun-Hoan duduk di atas kereta, memandang Dian-jitya
dan Sim-bi. Ia berpikir ini sungguh menarik, sehingga ia
tidak dapat menahan senyumnya.
Dian-jitya menatapnya dan bertanya, “Apa yang lucu?”

368
Sahut Li Sun-Hoan, “Aku hanya berpikir bahwa ini sangat
menarik.”
“Apa yang menarik?”
Li Sun-Hoan menguap, memejamkan matanya, seolaholah
akan tidur.
Dian-jitya mengguncang-guncangkan tubuhnya. “Apa
yang menarik pada diriku?”
Sahut Li Sun-Hoan, “Maaf, aku bukan berbicara tentang
engkau. Ada banyak orang yang menarik di dunia ini,
tapi kau tidak termasuk. Kau sangat membosankan.”
Dian-jitya sungguh geram, tapi akhirnya dilepaskannya
cekalannya.
Sim-bi tidak tahan untuk tidak bertanya, “Apakah
menurutmu aku menarik?”
Ia tidak pernah bertemu dengan orang yang menanggap
dia menarik.
Li Sun-Hoan menguap lagi. Katanya sambil tersenyum,
“Aku berpikir kau cukup menarik karena sebelum ini aku
belum pernah berada di kereta kuda bersama dengan
seorang pendeta. Aku selalu berpikir bahwa pendeta
tidak pernah naik kuda atau kereta kuda.”
Sim-bi juga tersenyum. “Pendeta kan juga manusia. Kami
tidak hanya naik kereta kuda, kami juga perlu makan.”

369
Kata Li Sun-Hoan, “Tapi jika mau duduk di atas kereta,
mengapa tidak duduk dengan nyaman? Caramu duduk
membuat orang berpikir bahwa kau mempunyai
semacam penyakit kulit.”
Wajah Sim-bi langsung berubah. “Kau ingin aku menutup
mulutmu?”
Sim-bi memandang Dian-jitya. Tangan Dian-jitya telah
bergerak ke arah salah satu Hiat-to (jalan darah) Li Sun-
Hoan. Ia tersenyum. “Jika aku menekan di sini, kau tahu
apa yang akan terjadi, bukan?”
Li Sun-Hoan terkekeh. “Jika kau menekan di situ, maka
kau tidak akan mendengar banyak kisah yang menarik.”
Kata Dian-jitya, “Kalau begitu, aku rasa aku akan….”
Di tengah-tengah perkataannya itu, tiba-tiba kuda-kuda
meringkik keras, dan berhenti.
Dian-jitya berteriak pada orang-orang yang di luar, “Apa
yang terjadi? Apa…..”
Waktu ia menyingkapkan tirai dan melihat ke luar,
wajahnya seketika pucat pasi.
Seseorang berdiri di atas salju. Tangan kanannya
memegangi kereta kuda, sehingga kuda-kuda itu tidak
dapat maju. Ia hanya berdiri di situ, tidak bergerak
sedikitpun.
Bab 18. Satu Hari Banyak Kejutan

370
Orang itu mengenakan baju hijau. Baju itu terlalu
panjang untuk ukuran orang biasa, namun untuk orang
ini baju itu malah tampak terlalu pendek.
Ia dapat membuat orang merasa takut karena tubuhnya
yang sangat tinggi. Ia juga mengenakan topi panjang
yang tampak aneh. Dari jauh ia kelihatan seperti
sebatang pohon.
Kemampuannya untuk menghentikan kuda yang sedang
berlari, sangat mengerikan. Namun matanya lebih
mengerikan lagi. Mata itu seperti bukan mata manusia.
Matanya hijau, dan berkilauan.
Waktu Dian-jitya melihat ke luar, ia segera masuk
kembali. Ia kelihatan seperti orang sakit.
Sim-bi bertanya, “Ada seseorang di luar?”
Kata Dian-jitya lemah, “In Gok.”
Li Sun-Hoan tersenyum. “Sayangnya ia sama seperti
teman-temanku yang lain. Ia hanya menginginkan
kepalaku.”
Wajah Sim-bi terlihat muram. Ia membuka pintu kereta
dan menyapa, “Ih-jisiansing.”
Si Setan Hijau memandangnya, lalu berkata dingin,
“Apakah engkau Sim-oh Taysu? Atau Sim-bi?”

371
Sim-bi Taysu menjawab, “Pendeta tidak boleh berdusta.
Di sini ada juga Tuan Dian-jitya dan Li-tayhiap.”
Kata In Gok, “Bagus. Serahkan saja Li Sun-Hoan dan
kalian boleh pergi.”
Sahut Sim-bi, “Bagaimana jika aku tidak setuju?”
Kata In Gok lagi, “Maka aku harus membunuhmu dulu,
baru membunuh Li Sun-Hoan!”
Tiba-tiba ia menyorongkan tangannya. Terlihat kilatan
warna hijau, dan Jing-mo-jiu (Tangan Setan Hijau) telah
maju terarah pada Sim-bi.
Sim-bi membaca mantra Tan Okmpat pendeta muda
berjubah abu-abu segera datang. Setelah Sim-bi
mengelak dari serangan pertama ini, pendeta-pendeta
muda itu mengelilingi In Gok.
Lalu In Gok tertawa.
Selagi tertawa, disambitkannya sebatang panah yang
mengeluarkan asap hijau. Sim-bi langsung berteriak,
“Tahan nafas!”
Ia memperingatkan murid-muridnya, namun ia sendiri
lupa. Ketika diucapkannya kata ‘tahan’, bau yang aneh
masuk ke dalam mulutnya.
Ketika para pendeta yang lain melihat perubahan
wajahnya, mereka langsung panik.

372
Sim-bi segera melayang beberapa meter ke belakang,
duduk bersila dan mulai bermeditasi. Ia mengerahkan
tenaga dalamnya untuk mendorong racun itu keluar.
Para pendeta Siau-lim-si itu langsung membentuk barisan
seperti tembok di depannya. Mereka hanya menguatirkan
keselamatan Sim-bi. Mereka lupa pada Li Sun-Hoan.
Namun In Gok tidak mempedulikan mereka. Ia berjalan
menuju ke kereta.
Li Sun-Hoan masih di sana, namun Dian-jitya sudah
pergi.
In Gok menatap Li Sun-Hoan dan bertanya, “Apakah
engkau membunuh Ku Tok?”
“Ya.”
Kata In Gok, “Bagus. Menukar nyawamu dengan nyawa
Ku Tok bukanlah satu kerugian bagimu.”
Ia mengangkat Jing-mo-jiu (Tangan Setan Hijau)nya….
***
A Fei menatap langit-langit. Ia tidak berbicara sudah
sangat lama.
Kata Lim Sian-ji, “Apa yang kau pikirkan?”
Jawab A Fei, “Apakah kau pikir ia akan menemui bahaya
di tengah jalan?”

373
Lim Sian-ji tersenyum. “Tentu saja tidak. Ada Sim-bi
Taysun, Dian-jitya yang mengawalnya. Siapa yang berani
menyerangnya?”
Ia membelai rambut A Fei. “Jika kau memperhatikan aku,
beristirahatlah. Aku akan tetap di sini. Aku berjanji tidak
akan pergi.”
A Fei menatapnya. Matanya sungguh penuh kehangatan.
Akhirnya A Fei pergi tidur.
***
In Gok menatap Li Sun-Hoan. “Ada lagi yang ingin kau
katakan?”
Li Sun-Hoan memandang Jing-mo-jiu (Tangan Setan
Hijau)nya. “Satu kalimat saja.”
“Apa?”
Li Sun-Hoan mendesah. “Mengapa datang jauh-jauh
hanya untuk mati?”
Tiba-tiba ia memutar tangannya.
Pisau berkilat dan In Gok terjengkang ke belakang.
Begitu banyak darah menggenang di atas salju.
Kini In Gok sudah pergi jauh. Ia berteriak, “Li Sun-Hoan,
jangan lupa. Aku….”

374
Sampai di situ, ia berhenti.
Angin musim dingin mengiris kulit bagai pisau. Padang
salju tiba-tiba hening mencekam.
Tiba-tiba terdengar seseorang bertepuk tangan. Dianjitya
keluar dari balik kereta, tersenyum dan bertepuk
tangan. “Bagus. Bagus. Bagus. Pisau Kilat si Li memang
tidak pernah luput. Sehebat yang dikatakan orangorang.”
Li Sun-Hoan terdiam sejenak lalu berkata, “Jika kau
bebaskan seluruh Hiat-to (jalan darah)ku, ia tidak akan
bisa lolos.”
Dian-jitya tertawa. “Jika kubebaskan semua Hiat-to (jalan
darah)mu, maka engkaulah yang lolos. Hanya dengan
satu tangan yang bisa bergerak dan satu pisau saja, kau
telah berhasil melukai In Gok cukup berat. Aku harus
ekstra hati-hati menghadapi orang seperti engkau.”
Saat itu para pendeta itu telah menggotong Sim-bi
kembali. Setelah duduk dalam kereta, Sim-bi langsung
berkata, “Ayo pergi.”
Setelah beberapa saat ia berkata lagi, “Jing-mo-jiu
(Tangan Setan Hijau) sangat berbahaya.”
Dian-jitya tersenyum. “Tapi tidak lebih berbahaya
daripada Pisau Kilat si Li.”
Sim-bi memandang Li Sun-Hoan, “Aku tidak menyangka
kau akan menyelamatkan kami.”

375
Li Sun-Hoan terkekeh. “Aku hanya menyelamatkan diriku
sendiri. Jangan pikirkan itu. Jangan repot-repot berterima
kasih.”
Kata Dian-jitya, “Aku hanya bertanya apakah dia mau
pergi dengan kita ke Siau-lim-si atau tinggal dengan In
Gok. Lalu kubuka Hiat-to (jalan darah) tangan kanannya
dan kuberinya sebilah pisau.”
Lalu ia menyeringai, “Itu saja sudah cukup.”
Kata Sim-bi, “Pisau Kilat si Li yang legendaris…..sangat
sangat cepat!”
Walaupun gerak refleksnya kurang baik, namun ia
memiliki tenaga dalam yang sangat hebat. Menjelang
malam Sim-bi telah berhasil mendorong keluar semua
racun dari dalam tubuhnya. Keesokan paginya, ia hampir
pulih sepenuhnya.”
Lalu mereka melihat ada sebuah kedai di tepi jalan.
Makanan tanpa arak, sama seperti masakan tanpa
garam. Kering dan hambar.
Kata Dian-jitya, “Sudah bagus ada makanan. Jangan
berharap terlalu muluk.”
Peraturan Siau-lim-si sangat ketat. Para pendeta ini tidak
mengeluarkan suara sedikit pun selagi makan. Walaupun
hanya sayuran rebus, mereka sudah terbiasa. Lagi pula,
setelah perjalaLam-yang-hu cukup jauh, mereka sangat
lapar. Jadi mereka pun makan cukup lahap.

376
Hanya Sim-bi, yang baru pulih dari racun itu, tidak
makan apa-apa.
Li Sun-Hoan akhirnya menyumpit sepotong tahu. Baru
akan dimakannya, diletakkannya kembali. Wajahnya
berubah. “Kita tidak bisa makan ini.”
Kata Dian-jitya, “Jika Li-Tamhoa tidak mau makan
makanan biasa seperti ini, silakan saja pergi dengan
perut kosong.”
Li Sun-Hoan hanya menyahut datar, “Makanan ini
beracun.”
Dian-jitya tertawa. “Hanya karena kami tidak
mengijinkanmu minum arak, bukan berarti…”
Tiba-tiba ia berhenti tertawa. Seakan-akan
tenggorokannya tersumbat.
Ini karena ia melihat wajah keempat pendeta Siau-lim-si
itu menjadi abu-abu. Mereka sendiri tidak menyadarinya
dan terus saja makan.
Sim-bi segera berkata, “Semua berhenti makan! Segera
bermeditasi dan Lindungi organ-organ penting.”
Para pendeta itu tidak menyadari apa yang sedang
terjadi. Mereka hanya tersenyum. “Apakah Susiok
menyuruh kami?”
Sim-bi berkata cepat, “Tentu saja. Tak tahukah kalian
bahwa kalian sudah keracunan?”

377
“Siapa yang keracunan?”
Lalu keempat orang ini saling pandang. Semua bersamasama
berkata, “Wajahmu….”
Sebelum kalimat mereka selesai, keempatnya jatuh
tergeletak. Dalam sekejap saja tubuh mereka sudah
mulai membusuk.
Racun itu bukan hanya tidak berasa dan tidak berbau,
juga bisa membuat orang yang keracunan tidak merasa
apa-apa. Waktu mereka sadar mereka telah keracunan,
mereka sudah tidak tertolong lagi.
Dian-jitya bergidik, “Racun apakah ini? Bagaimana racun
ini bisa begitu hebat? Siapakah pelakunya?”
Li Sun-Hoan memandang pada kalajengking di dinding.
“Aku tahu ia akan datang, cepat atau lambat.”
Dian-jitya bertanya dengan tak sabar, “Siapa? Kau tahu
siapa dia?”
Kata Li Sun-Hoan, “Ada dua jenis racun di dunia ini. Yang
satu berasal dari rumput dan tanaman. Yang satu lagi
dari ular dan serangga. Banyak orang yang bisa
membuat racun dari tanaman, tapi sangat sedikit yang
bisa membuat racun dari ular dan serangga. Dan hanya
satu orang yang dapat membuat racun yang bisa
membunuh orang tanpa disadari korbannya.”
Dian-jitya terbelalak, “Maksudmu Ngo ... Ngo-tok-tongcu
dari Kek-lok-tong di daerah Miau (Ngo-tok-tongcu)?”

378
Kata Li Sun-Hoan, “Aku berharap bukan dia.”
“Mengapa ia datang ke sini? Untuk apa ia datang ke
sini?”
Sahut Li Sun-Hoan, “Ia datang mencari aku.”
Ia tahu Li Sun-Hoan pasti tidak mempunyai teman
seperti ini. Ia hendak mengatakan sesuatu, namun
diurungkannya. “Tampaknya kau tidak punya banyak
teman, tapi punya segudang musuh.”
Kata Li Sun-Hoan, “Aku tidak keberatan punya banyak
musuh. Namun seseorang hanya perlu sedikit saja
sahabat, karena kadang-kadang sahabat itu lebih
mengerikan daripada musuh.”
Sim-bi tiba-tiba memotong dan bertanya, “Bagaimana
kau tahu ada racun dalam makanan itu?”
Kata Li Sun-Hoan, “Sama seperti waktu berjudi. Aku
hanya bergantung pada perasaanku. Jika seseorang
menanyakan sebabnya, aku tidak bisa menjawabnya.”
Sim-bi memandang dia penuh curiga, lalu katanya, “Mulai
sekarang, kita hanya makan apa yang dia makan.”
Mereka meninggalkan keempat jenazah pendeta itu di
biara setempat dan melanjutkan perjalanan.
Walaupun mereka bisa terus berjalan tanpa makan, kusir
kereta tidak mau ikut lapar bersama dengan mereka. Jadi
waktu mereka lewat sebuah kedai, ia berhenti dan

379
makan di situ. Ia membeli beberapa buah roti dan makan
dalam perjalanan.
Dian-jitya terus memandangnya. Setelah beberapa saat
ia bertanya, “Berapa harga roti ini?”
Kusir kereta itu tersenyum. “Murah sekali, dan cukup
lezat. Cobalah sedikit.”
Dian-jitya tersenyum. “Roti ini tidak mungkin beracun.
Mengapa tak kau coba sedikit, Pendeta?”
Sim-bi berkata, “Makanlah sedikit, Li-tayhiap.”
Li Sun-Hoan terkekeh. “Tak kusangka kalian berdua
sungguh penuh kesopanan.”
Ia mengambil satu dengan tangan kirinya, karena hanya
tangan kirinya yang bisa bergerak. Lalu dia berkata, “Kita
tidak bisa makan ini.”
Kata Dian-jitya, “Namun kusir kereta itu makan, dan
tidak terjadi apa-apa.”
Sahut Li Sun-Hoan, “Dia bisa makan, namun kita tidak.”
“Mengapa?”
“Karena ia bukanlah orang yang hendak dibunuh oleh
Ngo-tok-tongcu!”
Dian-jitya tertawa dingin, “Apakah kau ingin menipu kami
dan membuat kami mati kelaparan?”

380
Sahut Li Sun-Hoan, “Jika kau tidak percaya, makan saja.”
Dian-jitya menatapnya, lalu menyuruh kusir kereta untuk
berhenti. Ia belah roti itu menjadi dua, dan memberikan
setengah bagian pada kusir kereta itu. Kusir itu makan
dan tidak menunjukkan tanda-tanda keracunan sama
sekali. Dian-jitya berkata dingin, “Kau masih berpikir
bahwa kita tidak bisa makan roti itu?”
Sahut Li Sun-Hoan, “Tidak.”
Ia menguap. Lalu seolah-oleh tertidur.
Dian-jitya sungguh kesal, lalu katanya, “Aku akan makan
untuk membuktikan bahwa kau salah.”
Walaupun ia berkata begitu, ia tidak makan roti itu. Lalu
dilihatnya seekor anjing liar lewat dekat kereta mereka.
Kelihatannya anjing itu pun sedang kelaparan.
Dian-jitya memberikan setengah bagian roti yang sisa
pada anjing itu. Anjing itu mengendus-endus, makan
sedikit lalu pergi. Sepertinya ia tidak suka roti itu.
Namun setelah beberapa langkah, tiba-tiba anjing itu
meloLiong nyaring, melompat dan terkapar mati.
Dian-jitya dan Sim-bi sungguh terkejut.
Li Sun-Hoan menghela nafas. “Sudah kubilang. Masih
untung, hanya seekor anjing yang mati, bukan kalian.”

381
Sebelumnya, Dian-jitya kelihatan begitu percaya diri.
Namun kini wajahnya berubah total. Ia memandang pada
kusir itu dan bertanya menyelidik, “Ada apa ini?”
Kusir itu sangat ketakutan. “Aku sungguh tidak tahu. Aku
membeli roti itu dari warung tadi.”
Dian-jitya mengguncang-guncangkan tubuh kusir itu.
“Lalu mengapa anjing itu mati dan kau masih hidup?
Siapa yang menaruh racun pada roti itu kalau bukan
engkau?”
Kusir itu hanya gemetar, tak tahu harus menjawab apa.
Kata Li Sun-Hoan, “Tidak ada gunanya mengancam dia.
Dia sendiri pun tidak tahu apa yang terjadi.”
“Jika dia tidak tahu, siapa yang tahu?”
“Aku tahu.”
Dian-jitya berusaha menenangkan dirinya. “Kau tahu?
Cepat jelaskan!”
Sahut Li Sun-Hoan, “Roti itu beracun, namun sup yang
dimakannya di warung itu mengandung obat
penawarnya.”
Dian-jitya berkata dingin, “Kita kan mungkin saja turun
juga untuk makan sup itu.”
Kata Li Sun-Hoan, “Jika kita makan sup itu, racunnya
tidak akan dimasukkan ke dalam roti.

382
Tipuan Ngo-tok-tongcu memang tidak dapat ditebak.
Dalam menghadapi orang seperti itu, kau hanya bisa
menutup mulutmu rapat-rapat.”
Sim-bi berkata, “Ya sudah, kalau begitu kita tidak usah
makan saja untuk beberapa hari ini. Ayo lekas jalan lagi.”
Dian-jitya berkata, “Walaupun kita tidak makan, aku
kuatir bahaya itu akan tetap ada.”
“Mengapa?”
“Karena kemungkinan ia akan menunggu sampai kita
sangat lemah, baru menyerang.”
Sim-bi tidak tahu harus menjawab apa.
Lalu mata Dian-jitya berbinar. “Aku ada ide.”
“Apa?”
Dian-jitya berbisik, “Tujuannya kan bukan kita. Maka
kalau kita….”
Ia melirik pada Li Sun-Hoan dan berhenti bicara.
Wajah Sim-bi menjadi murung. Aku sudah berjanji akan
membawanya ke Siau-lim-si. Aku tidak dapat
membiarkannya mati di tengah jalan.”
Dian-jitya tidak berkata apa-apa lagi. Namun setiap kali
ia memandang Li Sun-Hoan, matanya menyiratkan niat
membunuh.

383
Pendeta bukan hanya harus makan dan tidur, mereka
pun harus buang hajat.
Sim-bi menyadari juga akan hal ini. Namun apapun yang
sedang dilakukannya, dia tidak mau Li Sun-Hoan berada
di luar pengamatannya.
Dian-jitya menjadi sungguh kesal dan tidak sabar, namun
ia tidak bisa berbuat apa-apa.
Keesokan harinya, mereka melihat sebuah warung
menjual roti. Warung itu cukup ramai. Orang mengantri
untuk membeli. Waktu mereka mendapatkan roti itu,
mereka segera memakannya. Tak seorang pun mati
keracunan.
Dian-jitya tidak bisa menahan diri lagi. “Bisakah kita
makan ini?”
Kata Li Sun-Hoan, “Mereka boleh memakannya. Namun
kita tidak bisa. Walaupun sepuluh ribu orang
memakannya dan tidak terjadi apa-apa, jika kita makan,
kita pasti keracunan sampai mati!”
Jika Li Sun-Hoan mengatakan ini dua hari yang lalu,
Dian-jitya tidak mungkin percaya. Namun sekarang,
Dian-jitya harus mempercayainya.
Lalu terdengar seorang anak berteriak, “Ibu! Ibu! Aku
mau makan roti.”
Mereka melihat dua orang anak berusia sekitar tujuh
tahun sedang berada dekat warung itu. Mereka

384
berteriak-teriak dan melompat-lompat. Seorang wanita
keluar dari warung itu dan menampar mereka.
Anak itu menangis. “Kalau aku sudah jadi orang kaya
nanti, aku tidak mau lagi makan roti. Aku hanya mau
makan mi telur saja.”
Li Sun-Hoan mengeluh. Begitu besar jurang antara yang
kaya dengan yang miskin. Dalam bayangan anak-anak
ini, bahkan mi telur pun adalah suatu kemewahan.
Jalan itu sempit dan begitu banyak orang di sana. Cukup
lama kereta mereka tidak bisa lewat.
Kini terlihat kedua anak itu masing-masing membawa
semangkuk bubur. Mata mereka tetap tertuju pada
orang-orang yang sedang makan roti.
Tiba-tiba, Dian-jitya turun dari kereta. Ia menaruh
beberapa keping uang di meja si penjual roti, dan
mengambil beberapa buah roti. Lalu ia menghampiri
kedua anak ini dan berkata, “Aku beri kalian roti ini.
Kalian beri padaku bubur itu. Bagaimana?”
Mata kedua anak itu langsung bersinar-sinar. Mereka
belum pernah bertemu dengan orang sebaik ini.
“Aku beri kalian uang untuk membeli permen juga.
Bagaimana?”
Melihat ini, Sim-bi terkekeh. Akhirnya Dian-jitya
membawa dua mangkuk bubur itu ke dalam kereta. Simbi
tersenyum. “Kau cerdik juga rupanya.”

385
Dian-jitya tertawa. “Yah, kita kan perlu tenaga untuk bisa
meneruskan perjalanan.”
Ia memberikan semangkuk kepada Sim-bi.
Walaupun bubur ini terasa hambar, mereka memakannya
seperti makaLam-yang-hu sedap luar biasa, karena
mereka yakin bubur itu tidak beracun.
Dian-jitya memandang Li Sun-Hoan dan terkekeh.
“Apakah kau pikir ini bisa dimakan?”
Sebelum menjawab, Li Sun-Hoan mulai terbatuk-batuk.
Dian-jitya tersenyum sambil berkata, “Jika Ngo-toktongcu
sudah tahu sebelumnya bahwa anak-anak itu
ingin makan roti, dan sudah tahu bahwa kita akan
menggunakan roti itu untuk barter dengan bubur ini,
sehingga ia telah menaruh racun dalam bubur ini, maka
aku rela mati.”
Setelah mengatakannya, dihabiskannya semangkuk
bubur itu dengan sekali telan.
Sim-bi pun merasa bahwa bubur itu tidak mungkin
beracun. Karena betapa pun hebatnya dia, Ngo-toktongcu
tidak mungkin dapat menebak apa yang akan
terjadi!

386
Bab 19. Aneh tapi Nyata
Sim-bi yakin bubur itu tidak beracun, namun bagaimana
pun juga, ia adalah seorang pendeta. Jadi sewaktu Dianjitya
sudah menghabiskan mangkuknya, ia masih pada
suapan kedua.
Dian-jitya tersenyum. “Dengan kecepatan seperti ini, kita
akan tiba di Siong-san besok pagi.”
Sim-bi juga terlihat lega. Katanya, “Akan ada muridmurid
yang menyambut kita satu dua hari ini. Selama….”
Tiba-tiba ia berhenti bicara. Tubuhnya gemetar hebat,
dan mangkuknya terjatuh dari tangannya. Buburnya
tumpah membasahi bajunya.
Wajah Dian-jitya memucat. “Pendeta…. Kau…”
“Ada racun dalam bubur ini?”
Sim-bi menghela nafas. Tidak sanggup bicara.
Dian-jitya mencekal baju Li Sun-Hoan. “Lihat wajahku.
Apakah wajahku….”
Lalu ia terdiam, karena ia tahu tidak ada gunanya
bertanya.

387
Li Sun-Hoan mendesah. “Walaupun aku selalu
menganggapmu memuakkan, aku tetap tidak ingin
melihatmu mati.”
Wajah Dian-jitya putih seperti kertas. Tubuhnya gemetar,
dan ia menatap Li Sun-Hoan. Lalu ia tertawa terbahakbahak,
“Walaupun kau tidak ingin melihatku mati, aku
ingin melihatmu mati! Seharusnya aku sudah
membunuhmu sejak lama!”
Kata Li Sun-Hoan, “Kau pikir sekarang sudah terlambat
untuk membunuhku?”
Dian-jitya mengertakkan giginya. “Benar. Terlambat
untuk membunuhmu sekarang. Untungnya, belum terlalu
terlambat.”
Tiba-tiba tangannya mencengkeram leher Li Sun-Hoan.
***
A Fei bangkit berdiri.
Wajahnya masih pucat, namun tubuhnya berdiri tegap.
A Fei berjalan mengelilingi kamar itu dua kali, lalu
bertanya, “Apakah kau pikir ia akan sampai di Siau-lim-si
dengan selamat?”
Kata Lim Sian-ji, “Kau tidak bisa bercakap-cakap lebih
dari tiga kalimat tanpa menyinggung tentang Li Sun-
Hoan, ya? Dapatkah kita tidak membicarakan dia?

388
Mengapa kau tidak berbicara tentang aku? Atau tentang
dirimu?”
A Fei memandangnya dengan tenang dan bertanya,
“Apakah dia bisa sampai dengan selamat di Siau-lim-si?”
Apapun yang dikatakan Lim Sian-ji, ia hanya punya satu
pertanyaan ini.
Lim Sian-ji tertawa. “Ah, kau. Aku benar-benar tidak bisa
mengubahmu.” Ia menarik tangan A Fei untuk duduk di
sampingnya, lalu katanya dengan manis, “Jangan kuatir.
Mungkin saat ini ia sedang minum teh dengan Pendeta
Sim-oh Taysu. Kau tahu, teh dari Siau-lim-si sangatlah
terkenal.”
Akhirnya A Fei merasa tenang, bahkan tersenyum santai.
“Dari yang aku tahu, walaupun ia sudah ditawan, ia tidak
akan pernah minum teh.”
***
Li Sun-Hoan tidak dapat bernafas.
Wajah Dian-jitya juga tampak semakin aneh. Ia pun kini
sulit bernafas. Namun sepertinya ia tidak bisa
melepaskan cengkeramannya, sekalipun dalam kematian.
Li Sun-Hoan hanya merasa bahwa sekelilingnya menjadi
gelap. Wajah Dian-jitya terlihat makin samar. Ia tahu,
sebentar lagi ia akan mati.

389
Dalam keadaan ini, ia pikir ia akan teringat akan banyak
hal dalam hidupnya. Seseorang pernah memberitahu hal
ini padanya.
Namun kenyataannya, saat ini ia tidak teringat apapun
juga. Tidak ada kenangan pahit. Hanya ada sesuatu yang
lucu. Ia jadi ingin tertawa.
Ia tidak pernah menyangka ia akan mati bersama-sama
dengan Dian-jitya. Sepertinya Dian-jityalah yang akan
menemaninya berjalan ke alam baka.
Tiba-tiba ia mendengar suara Dian-jitya. “Li Sun-Hoan,
nafasmu panjang sekali. Mengapa kau tidak mati-mati?”
Sebenarnya Li Sun-Hoan ingin menjawab, “Aku
menunggumu mati lebih dulu.”
Tapi ia tidak bisa mengatakannya. Bernafas pun ia tidak
bisa.
Lalu terdengar suara keras. Sepertinya dari jauh, namun
sepertinya juga berasal dari Dian-jitya.
Kini sekelilingnya menjadi terang kembali.
Ia melihat Dian-jitya.
Dian-jitya telah tergeletak jatuh dari kursi kereta.
Matanya yang mati masih menatap Li Sun-Hoan.
Terlihat Sim-bi bernafas tidak teratur, sepertinya ia baru
saja menggunakan tenaga yang cukup besar.

390
Li Sun-Hoan memandangnya beberapa saat, lalu
bertanya, “Mengapa kau menyelamatkan aku?”
Sim-bi tidak menjawab. Ia malah terus membuka Hiat-to
(jalan darah) Li Sun-Hoan. “Sebelum Ngo-tok-tongcu
datang, kau pergilah cepat.”
Li Sun-Hoan tidak bergerak sama sekali. “Mengapa kau
menyelamatkan aku? Apakah sekarang kau sudah yakin
bahwa aku bukan Bwe-hoa-cat ?”
Sahut Sim-bi, “Pendeta selalu tidak ingin tangannya
berlumuran darah sebelum mati. Siapapun engkau,
cepatlah pergi.”
Li Sun-Hoan memandangi wajah Sim-bi yang menghitam,
lalu mendesah. “Terima kasih. Sayangnya, walaupun aku
bisa melakukan begitu banyak hal, melarikan diri
bukanlah salah satunya.”
Sim-bi berkata tergesa-gesa. “Ini bukan waktunya
menjadi pahlawan. Tenaga dalammu belum pulih. Kau
tidak akan dapat mengalahkan dia.”
Tiba-tiba kuda-kuda itu meringkik keras. Kusir kereta
menjerit dan kereta mereka menabrak sebatang pohon.
Sim-bi tergeletak di samping kereta dan bertanya,
“Mengapa kau belum pergi juga? Apakah kau ingin
menyelamatkanku?”

391
Li Sun-Hoan berkata dengan tenang, “Jika kau bisa
meyelamatkan aku, mengapa aku tidak bisa
menyelamatkan engkau?”
Kata Sim-bi, “Namun kematianku tidak jauh lagi.
Mengapa harus dipermasalahkan kapan aku mati?”
Kata Li Sun-Hoan, “Tapi kau belum mati, bukan?”
Ia berhenti bicara dan mengeluarkan sebilah pisau.
Sebilah pisau yang kecil, tipis.
Pisau Kilat si Li!
Senyum terbayang di bibir Li Sun-Hoan.
Kereta itu sudah terguling ke samping. Rodanya masih
berputar, berderak-derak nyaring. Di tempat yang sunyi
seperti itu, suara itu sungguh menyakitkan telinga.
Kata Li Sun-Hoan, “Roda ini perlu diminyaki.”
Dalam keadaan seperti ini ia masih berpikir bahwa roda
itu perlu diminyaki! Sim-bi merasa orang ini sungguh
aneh luar biasa.
Ia sudah hidup selama 60 tahun, tapi baru kali ini
bertemu dengan orang seperti ini.
Li Sun-Hoan mendukung dia keluar dari kereta. Angin
dingin menerpa muka mereka.

392
Kata Sim-bi, “Kau tak perlu melakukan ini. Sudah…pergi
saja.”
Malam ini tidak ada bulan. Sim-bi berusaha keras, namun
tetap tidak bisa melihat apa-apa.
Terdengar Li Sun-Hoan berseru, “Apakah engkau Ngotok-
tongcu?”
Tidak ada jawaban.
Kata Li Sun-Hoan, “Jika kau tidak ada di sini, maka kami
akan pergi.”
Sim-bi bertanya, “Ke mana kita akan pergi?”
“Kuil Siau-lim-si, tentunya.”
Sim-bi sungguh terkejut, “Siau-lim-si?”
Kata Li Sun-Hoan, “Kita sudah begitu bersusah-payah
untuk pergi ke Siau-lim-si, bukan?”
Kata Sim-bi, “Ta…tapi sekarang kau tak perlu lagi pergi
ke sana.”
Sahut Li Sun-Hoan, “Sebenarnya, aku harus pergi ke
sana.”
“Mengapa?”
“Karena di Siau-lim-si ada obat penawar untuk racun ini.”

393
Sim-bi sungguh tidak habis pikir. “Kenapa kau
menyelamatkan aku? Aku ini musuhmu.”
Kata Li Sun-Hoan, “Aku menyelamatkanmu karena
engkau adalah seorang manusia.”
Sim-bi mengeluh. “Jika kita benar-benar bisa sampai di
Siau-lim-si, akan kuberitahukan pada semua orang
bahwa kau sungguh tidak bersalah. Aku yakin sekarang,
kau tidak mungkin adalah Bwe-hoa-cat .”
Li Sun-Hoan hanya tersenyum. Ia tidak mengatakan apaapa.
Kata Sim-bi, “Sayangnya, jika kau terus menggendongku,
kau tidak akan pernah sampai di Siau-lim-si. Walaupun
Ngo-tok-tongcu tidak mau memperlihatkan dirinya, ia
tidak akan membiarkan engkau lolos.”
Li Sun-Hoan terbatuk sedikit.
Kata Sim-bi lagi, “Dengan ilmu meringankan tubuhmu,
kau mungkin bisa lolos. Mengapa kau harus membawa
aku? Aku sudah sangat berterima kasih karena engkau
berpikir untuk menyelamatkanku.”
Tiba-tiba terdengar suara tawa. “Wah. Seorang pendeta
Siau-lim-si berteman akrab dengan Tamhoa, pemabuk
yang gemar wanita. Siapa yang bisa percaya?”
Suara tawa kadang terdengar dekat, kadang terdengar
sangat jauh. Tidak dapat di duga dari mana datangnya.

394
Sim-bi bertanya, “Ngo-tok-tongcu?”
Suara itu menjawab, “Bagaimana rasanya bubur itu?
Sedap, bukan?”
Kata Li Sun-Hoan, “Jika kau ingin membunuhku,
mengapa tidak keluar saja dan melakukannya?”
Ngo-tok-tongcu menjawab, “Aku tidak perlu keluar untuk
membunuhmu.”
“O ya?”
“Sampai hari ini, aku sudah membunuh 392 orang. Tidak
seorangpun dari mereka yang pernah melihat aku.
Bahkan bayanganku pun tidak mereka lihat.”
Li Sun-Hoan tersenyum. “Kata orang kau adalah seorang
cebol dan rupamu sangat buruk. Oleh sebab itu kau tidak
ingin dilihat orang. Kelihatannya memang betul.”
Setelah hening beberapa saat, Ngo-tok-tongcu
menjawab, “Aku akan membiarkanmu hidup sampai
besok pagi.”
Li Sun-Hoan tertawa. “Tentu saja aku akan hidup sampai
besok pagi. Tapi aku kuatir, tidak demikian dengan
engkau.”
Sebelum ia selesai tertawa, terdengar bunyi seruling.

395
Tiba-tiba tampak bayangan benda-benda besar dan kecil
di atas salju. Ia tidak tahu benda apakah itu. Apapun
benda itu, ia harus menahan nafasnya.
Kata Sim-bi, “Ketika Ngo-tok-tongcu muncul, tubuh
orang-orang mulai membusuk. Jika kau tidak pergi
sekarang, kapan lagi?”
Li Sun-Hoan seolah-olah tidak mendengarnya. Lalu
katanya, “Katanya dia punya ribuan hewan beracun.
Mengapa aku hanya lihat beberapa saja? Apa yang
lainnya sudah mati?”
Suara seruling terdengar makin cepat. Beberapa hewan
melata itu sudah merayapi kaki mereka. Sim-bi sudah
hampir muntah.
Ngo-tok-tongcu lalu tertawa. “Ini adalah hewan-hewan
kesayanganku, mereka mengandung tujuh macam racun.
Mereka tidak hanya makan daging, tapi sesudah itu
mereka akan menghabiskan tulang-tulangmu juga.”
Sebelum ia selesai bicara, sebilah pisau telah melesat!
Sim-bi hampir terpekik.
Ia tahu, pisau Li Sun-Hoan adalah satu-satunya harapan
mereka. Tapi Li Sun-Hoan tidak dapat melihat apa-apa.
Jika pisaunya meleset, matilah mereka berdua.
Ia sedang bertaruh dengan nyawanya.

396
Dan kesempatan mereka tipis sekali.
Sim-bi tidak menyangka Li Sun-Hoan akan mengambil
resiko sebesar itu.
Saat itu kilau pisau telah tertelan kegelapan. Namun tibatiba
kegelapan itu mengeluarkan jeritan yang
melengking!
Seseorang keluar dari kegelapan itu.
Orang itu kelihatan seperti seorang anak kecil. Ia
mengenakan baju pendek. Kakinya yang kecil bisa
terlihat. Dalam malam musim dingin ini, ia tidak tampak
kedinginan.
Kepalanya kecil, namun matanya bersinar tajam.
Matanya penuh dengan kemarahan dan
ketidakpercayaan. Mata itu menatap Li Sun-Hoan lekatlekat.
Ia ingin bicara, namun kata-kata tak dapat keluar.
Sim-bi lalu melihat pisau kecil Li Sun-Hoan telah
tertancap di lehernya. Ia tidak tahan untuk mencabut
pisau itu. Waktu ia mencabutnya, darah menyembur ke
luar.
Ngo-tok-tongcu akhirnya berkata, “Pisau yang sangat
berbahaya.”
Saat itu, hewan-hewan itu telah merayapi tubuh Li Sun-
Hoan dan Sim-bi. Namun kini mereka tidak bergerak lagi.

397
Li si pisau terbang memang tidak ada duanya, namun
mereka berdua tetap saja bisa dimakan hidup-hidup oleh
hewan-hewan beracun itu.
Siapa sangka, ketika darah Ngo-tok-tongcu menyembur,
hewan-hewan itu langsung melompat ke arah
tenggorokannya.
Dalam waktu singkat, seluruh tubuhnya habis. Namun
setelah hewan-hewan itu memakannya habis, mereka
pun berhenti bergerak.
Sangat ironis bahwa Ngo-tok-tongcu mati oleh racunnya
sendiri.
Sim-bi akhirnya menghela nafas lega. “Bukan saja
pisaumu yang tidak ada duanya di dunia ini, namun
ketenanganmu juga.”
Li Sun-Hoan tersenyum. “Bukan masalah besar. Aku
hanya berpikir bahwa hewan-hewan itu pasti akan
tertarik pada darah. Sebenarnya, aku pun takut juga.”
“Kau pun merasa takut?”
Li Sun-Hoan tersenyum lagi. “Selain orang mati, adakah
orang yang tidak pernah merasa takut?”
Sim-bi mendesah. “Kau memang sungguh luar biasa.”
Suaranya lemah, dan akhirnya tubuhnya pun rebah.
Hari sudah pagi.

398
Li Sun-Hoan duduk di samping Sim-bi, ia tertidur.
Ketika ia terbangun, ia menemukan sebuah kereta kuda
yang bisa membawa mereka sampai ke kaki Siong-san
(Gunung Siong). Lalu Li Sun-Hoan menggendong Sim-bi
ke atas.
Dalam perjalanan ke atas, ia bertemu dengan
sekelompok pendeta yang sedang mengumpulkan kayu
bakar. Ketika mereka melihat seseorang naik ke atas
gunung dengan ilmu meringankan tubuh, mereka
langsung bersiaga.
Salah seorang bertanya, “Dari manakah engkau? Apakah
engkau….”
Salah seorang yang lain melihat bahwa ia sedang
menggendong seorang pendeta. Ia bertanya, “Apakah
yang di punggungmu itu murid Siau-lim-si?”
Sebelumnya Li Sun-Hoan hanya berjalan biasa, namun
ketika ia melihat pendeta-pendeta ini, ia melompat tinggi
melampaui kepala mereka, dan terus berjalan ke atas.
Ketika kedua pendeta itu berusaha mengejar, Li Sun-
Hoan telah menghilang.
Butuh kurang lebih dua jam untuk tiba di Siau-lim-si.
Terlihat banyak pagoda, besar dan kecil. Ia tahu ini
adalah hutan pagoda yang suci. Di sinilah semua ketua
Siau-lim-si yang terdahulu dikuburkan.
Ini bukanlah tempat yang cocok untuk orang seperti dia.

399
Tiba-tiba ia mulai terbatuk-batuk.
Lalu terdengar suara yang berkata, “Siapa yang berani
memasuki wilayah suci Siau-lim-si? Kau benar-benar
sombong.”
Kata Li Sun-Hoan, “Sim-bi Taysu terluka berat. Aku
membawanya ke sini, supaya ia bisa diobati. Bawalah
aku pada pendeta ketua.”
Tiba-tiba muncul begitu banyak pendeta. Salah seorang
bertanya, “Bolehkah kutahu namamu?”
Li Sun-Hoan mendesah. “Cayhe (aku adalah) Li Sun-
Hoan.”
Dalam hutan bambu, dua orang sedang bermain Go
[semacam permainan catur].
Di sebelah kanan adalah seorang pendeta yang wajahnya
agak aneh.
Di sebelah kiri adalah seorang tua yang kurus dan
pendek. Matanya sangat terang dan tajam, membuat
orang tidak memperhatikan lagi tubuhnya yang pendek.
Ia sangat berwibawa.
Siapakah selain Pek-hiau-sing yang layak bermain Go
dengan Sim-oh Taysu?
Ketika dua orang ini sedang bermain Go, tidak ada
seorang pun yang dapat mengganggu. Namun ketika
mereka mendengar kata ‘Li Sun-Hoan’, mereka berhenti.

400
Sim-oh Taysu bertanya, “Di manakah dia?”
Pendeta yang membawa pesan itu menjawab bahwa ia
berada di luar kamar Jisusiok.
Tanya Sim-oh Taysu, “Apa yang terjadi dengan Jisusiok?”
Pendeta itu menjawab, “Lukanya tidak terlalu berat. Saat
ini, Gosusiok dan Keenam sedang merawatnya.”
Li Sun-Hoan berdiri di aula, ia melihat-lihat sekitarnya.
Ia merasa bahwa ada seseorang yang datang medekat,
namun ia tidak berusaha menoleh.
Ketika mereka berada kurang lebih sepuluh langkah dari
Li Sun-Hoan, Sim-oh Taysu dan Pek-hiau-sing berhenti.
Walaupun Sim-oh Taysu telah mendengar tentang Li
Sun-Hoan, inilah untuk yang pertama kalinya mereka
berjumpa.
Ia tidak bisa percaya bahwa orang di depannya ini adalah
pahlawan pengelana yang terkenal itu.
Ia mengamati Li Sun-Hoan dari kepala sampai ujung
kaki. Tidak ada yang terlewatkan. Khususnya tangannya
yang kurus panjang.
Apa istimewanya tangan itu?
Bagaimana sebilah pisau biasa dapat berubah menjadi
pisau yang legendaris jika dipegang oleh tangan itu?

401
Pek-hiau-sing pernah berjumpa dengannya sepuluh
tahun yang lalu. Ia merasa Li Sun-Hoan tidak berubah
sama sekali dalam sepuluh tahun ini, tapi ia merasa
dirinya sudah berubah begitu banyak.
Pek-hiau-sing akhirnya tertawa, “Apa kabarmu, Li-
Tamhoa?”
Li Sun-Hoan pun tertawa. “Tak kusangka, kau masih
mengingatku.”
Sim-oh Taysu berkata, “Aku tidak tahu apakah engkau
mengenalku.”
Kata Li Sun-Hoan, “Siapakah yang tidak tahu nama besar
pendeta? Ketenaranmu telah tersiar ke seluruh dunia.
Aku merasa terhormat bisa bertemu denganmu hari ini.”
Kata Sim-oh Taysu, “Tidak usah merendah. Terima kasih
kau telah membawa saudara seperguruanku kembali.”
Sahut Li Sun-Hoan, “Itu bukan apa-apa.”
Kata Sim-oh Taysu lagi, “Sekarang aku adakan
memeriksa keadaan Toako. Setelah itu kita bisa
melanjutkan pembicaraan kita.”
Setelah ia pergi, Pek-hiau-sing tersenyum. “Para pendeta
ini sungguh bisa mengendalikan perasaan mereka. Aku
tidak mungkin bisa berbuat seperti itu.”
“Apa maksudmu?”

402
“Jika seseorang telah melukai muridmu dan juga saudara
seperguruanmu, bisakah engkau tetap bersikap sopan
kepadanya?”
Kata Li Sun-Hoan, “Apakah maksudmu akulah yang
melukai Sim-bi Taysu?”
Pek-hiau-sing meletakkan tangannya di belakang
punggungnya. “Selain Li Tamhoa, siapakah yang dapat
melukainya?”
Kata Li Sun-Hoan, “Jika aku melukainya, mengapa aku
membawanya ke sini?”
Sahut Pek-hiau-sing, “Itulah. Kau memang sangat
pandai.”
“O ya?”
“Siapapun juga yang melukai pendeta Siau-lim-si, akan
dihantui persoalan seumur hidupnya. Ribuan murid Siaulim-
si akan mencarinya untuk membalas dendam.”
Li Sun-Hoan tersenyum. “Pek-hiau-sing memang tahu
segala sesuatu. Tidak heran, semua orang dalam dunia
persilatan ingin bersahabat denganmu. Memang sangat
menguntungkan untuk menjadi sahabatmu.”
Wajah Pek-hiau-sing tidak berubah. “Aku hanya
menyatakan fakta.”

403
Kata Li Sun-Hoan, “Namun kau lupa satu hal. Sim-bi
masih hidup. Ia tahu siapa yang melukainya. Pada saat
itu, kurasa kau harus menelan kembali kata-katamu.”
Pek-hiau-sing mendesah. “Jika perhitunganku benar,
Sim-bi tidak akan punya kesempatan untuk bicara
sepatah kata pun.”
Tiba-tiba terdengar suara bertanya, “Jika bukan kau yang
melukai Sim-bi, siapa yang melukainya?”
Tidak jelas kapan ia kembali, namun wajahnya terlihat
sangat dingin.
Kata Li Sun-Hoan, “Kau tidak tahu bahwa ia keracunan?”
Sim-oh Taysu tidak menjawab. Ia menoleh dan berkata,
“Jitsute?”
Jitsute atau adik perguruan ketujuh yang dimaksudkan
ialah Sim-kam Taysu.
Seorang pendeta berwajah kuning dan tampak seperti
orang sakit menjawab, “Ia keracunan ‘Air Lima Racun’
dari Ngo-tok-tongcu. Racun ini tidak berbau dan tidak
berasa. Tidak berwarna, seperti air. Jika tidak segera
diberi penawar, ia akan segera membusuk.”
Li Sun-Hoan tertawa, “Kau sungguh hebat.”
Sin-kam Taysu berkata dengan dingin, “Aku hanya tahu
ia keracunan Air Lima Racun. Aku tidak tahu siapa yang
meracuninya.”

404
Kata Pek-hiau-sing, “Benar sekali. Walaupun orang yang
keracunan sudah mati, pelakunya masih hidup.”
Kata Sin-kam Taysu, “Ngo-tok-tongcu tidak punya
dendam dengan Siau-lim-si, mengapa ia meracuni
Jisuheng?”
Li Sun-Hoan mengeluh. “Karena sebenarnya ia ingin
meracuni aku.”
Kata Pek-hiau-sing, “Aneh sekali. Jika ia bermaksud
meracunimu, mengapa engkau masih di sini? Mengapa
yang mati adalah Jisuheng?”
Ia menatap Li Sun-Hoan. “Jika kau dapat
menjelaskannya, aku akan menyembah engkau.”
Li Sun-Hoan berpikir lama, kemudian ia tersenyum. “Aku
tidak dapat. Karena apapun yang kukatakan, kau tidak
akan percaya.”
Kata Pek-hiau-sing, “Kau sendirilah yang membuat kami
susah untuk percaya.”
Sahut Li Sun-Hoan, “Aku tidak bisa. Namun ada yang
bisa.”
Sim-oh Taysu segera bertanya, “Siapa?”
Kata Li Sun-Hoan, “Sim-bi Taysu. Mengapa tidak kau
tanyakan padanya setelah ia bangun.”

405
Sin-kam Taysu berkata dengan dingin, “Jisuheng tidak
akan pernah bangun lagi!”
Bab 20. Hati Manusia Tidak Terselami
Genta di kuil itu terus berkumandang. Tanda bahwa
seorang pendeta telah wafat.
Dalam angin musim dingin yang menusuk, Li Sun-Hoan
terus terbatuk-batuk. Ia tidak tahu apakah ia harus
merasa marah, menyesal, atau sedih.
Ketika ia berhenti batuk, dilihatnya para pendeta itu
memasuki halaman kecil dekat situ. Wajah mereka
sedingin es.
Mereka menatapnya dengan mulut terkunci. Suara genta
pun telah lenyap. Suasana sungguh hening, kecuali suara
langkah kaki di atas salju.
Ketika suara langkah itu akhirnya berhenti, Li Sun-Hoan
merasa tubuhnya diselimuti oleh lapisan es yang tebal.
Kata Sim-oh Taysu, “Adakah yang ingin kau sampaikan?”
Li Sun-Hoan berpikir lama. “Tidak.”
Kata Pek-hiau-sing, “Seharusnya kau tidak datang ke
sini.”
Li Sun-Hoan berpikir lagi, lalu tiba-tiba tertawa. “Mungkin
memang seharusnya aku tidak datang. Namun jika aku
dapat mengulangnya, aku akan tetap datang.”

406
Ia melanjutkan dengan tenang. “Walaupun aku telah
membunuh banyak orang dalam hidupku, aku tidak
pernah hanya berpangku tangan melihat orang yang
akan mati.”
Sim-oh Taysu berteriak dengan marah, “Jadi kau masih
tidak mengaku?”
Kata Li Sun-Hoan, “Pendeta seharusnya dapat
mengendalikan perasaannya. Mengapa kau begitu cepat
marah?”
Lanjutnya, “Kalau begitu, silakan terus berteriak. Hanya
saja, jangan sampai sakit tenggorokan.”
Sim-oh Taysu membentak, “Bahkan sekarang, kau tidak
menunjukkan rasa penyesalan sedikit pun. Sepertinya
aku harus melanggar aturan untuk tidak membunuh hari
ini.”
Sahut Li Sun-Hoan, “Silakan saja. Engkau bukan satusatunya
pendeta yang pernah membunuh.”
Kata Sin-kam Taysu, “Kami tidak membunuhmu untuk
membalas dendam, tapi kami membunuh seorang setan
yang keji.”
Lalu terlihat kilatan sebilah pisau. Ia tidak tahu
bagaimana pisau itu berada di tangan Li Sun-Hoan. Pisau
Kilat si Li!

407
Li Sun-Hoan lalu berkata, “Kusarankan agar kalian tidak
membunuh setan keji itu, karena kalian tidak akan bisa
mengalahkan dia!”
Kata Sim-oh Taysu, “Maksudmu, sekarang ini pun kau
tetap akan melawan mati-matian?”
Li Sun-Hoan mengeluh. “Walaupun hidupku tidak mudah,
namun aku belum mau mati sekarang.”
Kata Pek-hiau-sing, “Walaupun pisaumu tak pernah
luput, berapa banyak pisau yang kaumiliki? Berapa
banyak orang yang bisa kau bunuh?”
Li Sun-Hoan tersenyum, ia tidak menjawab.
Sim-oh Taysu menatap tangan Li Sun-Hoan, lalu tiba-tiba
berkata, “Baiklah. Hari ini akan kucoba pisaumu yang
legendaris itu!”
Segera ia bersiap.
Namun Pek-hiau-sing menghalanginya. “Pendeta,
jangan!”
“Mengapa?”
Pek-hiau-sing mendesah. “Karena tidak seorang pun di
dunia ini yang dapat luput dari pisaunya!”
“Tidak seorangpun bisa luput?”
Kata Pek-hiau-sing tegas, “Tidak seorang pun!”

408
Sim-oh Taysu menghirup nafas panjang. “Jika aku tidak
pergi ke alam baka, siapakah yang akan pergi?”
Sin-kam Taysu pun maju mendekatinya. “Suheng, kau
harus memikirkan kuil kita. Kau tidak boleh
menempatkan dirimu sendiri dalam bahaya.”
Kata Li Sun-Hoan, “Betul sekali. Kalian tidak perlu
mengambil resiko ini. Kalian memiliki begitu banyak
murid. Satu kata saja, dan mereka pun akan rela mati
bagi kalian.”
Wajah Sim-oh Taysu berubah, lalu berteriak lantang,
“Tanpa perintahku, tidak ada yang bergerak. Yang
melanggar akan dihukum. Kalian mengerti?”
Semua pendeta di situ menundukkan kepala mereka.
Li Sun-Hoan tersenyum. “Siau-lim-si memang berbeda
dari perguruan lain yang memandang rendah akan hidup
manusia. Kalau tidak, bagaimana mungkin tipu muslihat
kecilku ini dapat berhasil?”
Pek-hiau-sing berkata dengan dingin, “Pendeta Siau-limsi
mungkin tidak ingin menukar nyawa murid-muridnya
dengan nyawamu. Tapi apa kau pikir kau bisa lolos dari
sini?”
Kata Li Sun-Hoan, “Siapa bilang aku hendak pergi?”
Pek-hiau-sing tergagap, “Kau….kau mau tinggal?”

409
Sahut Li Sun-Hoan, “Kebenaran belum terungkap.
Bagaimana mungkin aku pergi?”
Kata Pek-hiau-sing, “Apa kau bermaksud mengundang
Ngo-tok-tongcu datang ke Siau-lim-si dan mengakui
perbuatannya?”
Jawab Li Sun-Hoan, “Tidak, karena dia sudah mati.”
Tanya Pek-hiau-sing, “Kau yang membunuhnya?”
Li Sun-Hoan menjawab kalem, “Dia kan juga manusia.
Oleh karena itu, ia pun tak bisa luput dari pisauku!”
Sim-oh Taysu menyela, “Jika kau bisa menunjukkan
mayatnya pada kami, paling tidak kami tahu kau tidak
berbohong.”
Sahut Li Sun-Hoan, “Sayangnya, walaupun kita bisa
menemukan mayatnya, tidak ada seorangpun yang akan
dapat mengenalinya.”
Pek-hiau-sing pun tertawa dingin. “Jadi kau tidak dapat
mengajukan siapapun yang dapat membuktikan bahwa
kau tidak bersalah?”
Jawab Li Sun-Hoan, “Sekarang? Tidak bisa.”
“Lalu apa yang hendak kau lakukan?”
Jawab Li Sun-Hoan, “Saat ini aku ingin minum arak.”
***

410
A Fei terlihat tidak nyaman duduk di atas kursi. Ia tidak
pernah dapat duduk dengan santai seperti Li Sun-Hoan
dia atas kursi. Sepertinya ia belum pernah duduk di atas
kursi seumur hidupnya.
Lim Sian-ji tidur di sebelah perapian untuk
menghangatkan badannya.
Beberapa hari ini, ia tidak dapat beristirahat dengan
tenang. Hanya setelah ia pasti bahwa A Fei telah sembuh
betul, barulah ia dapat tidur nyenyak.
A Fei memandangnya tanpa suara. Menatapnya seperti
seorang tolol.
Hanya terdengar suara nafasnya yang halus di kamar itu.
Salju di luar telah mencair. Langit dan bumi penuh damai
sejahtera.
Tiba-tiba di mata A Fei terbayang kepedihan.
Ia bangkit berdiri dan mulai mengenakan sepatunya.
Ia menarik nafas panjang dan mengambil pedangnya.
Diselipkannya pedangnya di pinggang.
Tiba-tiba Lim Sian-ji berbalik dan berkata, “Apa yang
kau….kau perbuat?”
A Fei tidak berani menoleh untuk memandangnya. Ia
mengatupkan giginya lalu berkata, “Aku hendak pergi.”

411
Lim Sian-ji terperangah, “Pergi?”
Ia segera bangun berdiri. “Kau bahkan tidak mau
berpamitan? Kau hendak pergi diam-diam?”
Kata A Fei, “Karena aku tidak akan kembali, buat apa
berpamitan.”
Tubuh Lim Sian-ji serasa meleleh dan ia pun jatuh
terduduk ke atas kursi. Air matanya bercucuran.
Hati A Fei terasa pedih. Ia tidak pernah mempunyai
perasaan seperti ini sebelumnya. Ini tidak menyerupai
apapun yang pernah dihadapinya dalam hidupnya.
Apakah ini cinta?
Kata A Fei, “Kau telah menolongku. Aku akan membalas
budimu, cepat atau lambat.”
Lim Sian-ji tiba-tiba tersenyum getir. “Baiklah. Balas
budiku sekarang juga. Aku hanya menolongmu supaya
kau dapat membalas budiku.”
Ia tertawa, namun air matanya keluar lebih banyak lagi.
Kata A Fei, “Aku tahu apa yang kau pikirkan. Namun aku
harus menemukan Li Sun-Hoan.”
Sahut Lim Sian-ji, “Mengapa kau pikir aku tidak mau
mencarinya juga? Mengapa kau tidak mengajak aku pergi
bersama?”

412
Jawab A Fei, “Aku tidak ingin menyeretmu ke dalam
persoalan ini.”
Sambil menangis Lim Sian-ji berkata, “Tapi apakah kau
pikir aku akan berbahagia jika engkau pergi?”
A Fei ingin mengatakan sesuatu, namun hanya bibirnya
yang bergerak-gerak.
Lim Sian-ji memeluk pinggangnya erat-erat, seperti
berpegangan pada hidupnya. Ia berteriak keras,
“Bawalah aku. Bawalah aku bersamamu. Jika kau tidak
membawa aku, aku akan mati di hadapanmu.”
Malam sunyi senyap.
A Fei berjalan keluar pintu. Selama ini ia tinggal di bilik
Lim Sian-ji. Sungguh lucu. Mereka mencari A Fei ke
segala penjuru beberapa hari terakhir ini. Tapi tidak
seorangpun berpikir untuk mencarinya di bilik Lim Sian-ji.
Mengapa mereka begitu percaya pada Lim Sian-ji?
Lim Sian-ji menggenggam tangan A Fei. “Aku harus
memberi tahu kakakku bahwa aku akan pergi.”
Sahut A Fei, “Baiklah.”
Lim Sian-ji tersenyum. “Namun aku tidak ingin
meninggalkan engkau sendirian di sini. Mari kita pergi
bersama.”
Kata A Fei, “Tapi kakakmu….”

413
Kata Lim Sian-ji, “Jangan kuatir. Kakakku adalah sahabat
Li Sun-Hoan.”
Di rumah itu hanya ada satu lilin yang menyala di kamar
atas.
Lim Si-im duduk termenung, menatap kosong ke
kejauhan.
Lim Sian-ji menarik tangan A Fei, menaiki tangga tanpa
suara. Lalu ia berbisik, “Kakak, apakah engkau masih
terjaga?”
Lim Si-im tetap duduk diam, menolehpun tidak.
Kata Lim Sian-ji lagi, “Kakak, aku datang untuk
berpamitan. Aku tidak akan melupakan kebaikanmu
padaku. Aku pasti akan datang mengunjungimu lagi
nanti.”
Lim Si-im seakan-akan tidak mendengar apa-apa. Setelah
cukup lama, ia perlahan-lahan mengangguk. “Pergilah.
Memang lebih baik kau pergi. Tidak ada apa-apa lagi
bagimu di sini.”
Lim Sian-ji bertanya, “Di mana Toaso?”
Sahut Lim Si-im, “Toaso? Toaso siapa?”
Kata Lim Sian-ji, “Tentunya Toasoku.”
Kata Lim Si-im, “Aku tidak tahu apa-apa lagi tentang
Toasomu. Aku tidak tahu….tidak tahu.”

414
Lim Sian-ji tidak tahu harus bicara apa. Setelah pulih dari
rasa terkejutnya, ia berkata, “Kami akan pergi melalui
jalan pintas ke kuil Siau-lim-si.”
Lim Si-im melompat dari kursinya dan berseru, “Pergi
sekarang juga. Cepatlah….jangan katakan apa-apa lagi.
Pergi!”
Ia mendorong Lim Sian-ji dan A Fei ke arah tangga. Lalu
berjalan lunglai kembali ke cahaya lilin itu. Air mata
membasahi pipinya.
Dari dalam muncul seseorang. Liong Siau-hun.
Ia menatap Lim Si-im. Seulas senyum jahat terbentuk di
bibirnya. Katanya dingin, “Percuma saja mereka pergi ke
Siau-lim-si. Tidak ada seorang pun di dunia yang dapat
menyelamatkan Li Sun-Hoan.”
***
Walaupun A Fei makan banyak, ia tidak makan cepatcepat.
Ia juga tidak makan seperti Li Sun-Hoan, yang suka
menikmati kelezatan makanannya. A Fei hanya peduli
terhadap gizi dan jumlah makanannya.
Setiap kali selesai makan, ia tidak tahu kapan ia bisa
makan lagi. Jadi ia tidak pernah menyia-nyiakan
makanan sedikitpun.
Lim Sian-ji menatapnya penuh perhatian.

415
Ia tidak pernah bertemu dengan orang yang begitu
menghargai makanannya. Hanya orang yang pernah
merasa kelaparan yang tahu betapa berharganya
makanan.
Lim Sian-ji tersenyum, “Sudah kenyang?”
Kata A Fei, “Kenyang sekali.”
Lim Sian-ji tertawa lalu berkata, “Sangat menarik melihat
engkau makan. Sekali kau makan, lebih banyak daripada
seluruh makananku dalam tiga hari.”
A Fei tertawa. “Tapi aku juga bisa hidup tiga hari tanpa
makan. Kau bisa?”
Lim Sian-ji hanya memandang senyumannya, tak tahu
harus menjawab apa.
Setelah beberapa saat, ia tiba-tiba berkata, “Kau lupa
sesuatu.”
“Apa?”
“Kim-si-kah mu ada padaku.”
Ia membuka tasnya dan mengeluarkan rompi itu.
Kata Lim Sian-ji, “Untuk merawat luka-lukamu, aku harus
mencopotnya. Aku lupa terus mengembalikannya
padamu.”

416
A Fei tidak melirik sedikitpun pada rompi itu. “Simpan
saja.”
Wajah Lim Sian-ji tampak sangat senang, tapi kemudian
digelengkannya kepalanya. “Ini adalah milikmu. Kapankapan
kau akan memerlukannya. Mengapa semudah itu
kau berikan pada orang lain?”
A Fei memandangnya. Suaranya berubah hangat. “Tapi
aku tidak memberikannya pada orang lain. Aku takkan
pernah memberikannya kepada orang lain. Aku
memberikannya kepadamu.”
Lim Sian-ji menatapnya bengong. Matanya penuh rasa
terima kasih dan suka cita. Lalu ia menjatuhkan diri
dalam pelukan A Fei.
Hati A Fei berdegup kencang tak terkendali.
Ia tidak pernah merasa seperti ini sebelumnya.
Lim Sian-ji diam-diam tersenyum.
Karena ia tahu, sekarang ia telah memiliki hati pemuda
yang kuat dan gagah ini, yang akan selamanya mengikuti
semua keinginannya.
A Fei mengangkat tubuhnya dan menggendongnya ke
arah tempat tidur. Lalu dengan lembut dibentangkannya
selimut tipis menutupi tubuhnya. Dalam hati A Fei,
wanita ini adalah wanita yang sempurna.

417
Lim Sian-ji berbaring tenang di atas tempat tidur, masih
tersenyum diam-diam.
Tiba-tiba jendela terbuka dan angin dingin pun masuk ke
dalam. Lim Sian-ji terkesiap, “Siapa?”
Ketika ia bertanya, ia melihat wajah orang itu. Wajah itu
hijau berkilauan, tampak seperti hantu dalam kegelapan.
Lim Sian-ji segera berbaring lagi. Ia tidak terkejut atau
pingsan, hanya memandangnya tanpa suara, juga tanpa
rasa takut.
Orang ini pun menatapnya. Matanya berkobar-kobar.
Lim Sian-ji tertawa. “Kalau sudah datang, mengapa tidak
masuk saja?”
Tubuh orang ini sangat jangkung. Muka dan lehernya
juga panjang. Namun sekeliling lehernya diperban,
membuat dia terlihat kaku.
Kata Lim Sian-ji, “Apakah kau dilukai Li Sun-Hoan?”
Wajah orang ini berubah, “Bagaimana kau bisa tahu?”
Lim Sian-ji mengeluh. “Tadinya kupikir kau akan dapat
membunuh dia. Siapa sangka malah dia yang berhasil
melukaimu.”
Wajah orang itu bertambah hijau. “Bagaimana kau bisa
tahu aku berusaha membunuhnya?”

418
Sahut Lim Sian-ji, “Karena ia telah membunuh Ku Tok.
Dan Ku Tok adalah anak harammu.”
In Gok menatapnya dalam-dalam. “Aku juga
mengenalimu.”
Lim Sian-ji menjawab dengan tenang, “O ya? Aku
sungguh merasa bangga.”
Kata In Gok, “Waktu Ku Tok mati, Jing-mo-jiu (Tangan
Setan Hijau)nya pun menghilang.”
Sahut Lim Sian-ji, “Betul, memang hilang.”
Tanya In Gok, “Ia memberikannya padamu?”
Sahut Lim Sian-ji, “Kelihatannya begitu.”
In Gok sungguh amat marah. “Jika ia tidak memberikan
Jing-mo-jiu (Tangan Setan Hijau)nya padamu, ia tidak
mungkin mati di tangan Li Sun-Hoan!”
Kata Lim Sian-ji, “Kau tidak memberikan Jing-mo-jiu
(Tangan Setan Hijau)mu padaku, namun tetap saja Li
Sun-Hoan dapat melukaimu.”
In Gok mengertakkan giginya, dan tiba-tiba menjambak
rambutnya kasar.
Lim Sian-ji sama sekali tidak merasa takut. Ia bahkan
tersenyum lebih menawan. Ia berkata setengah berbisik,
“Ia bangga bisa mati untukku. Ia pikir itu sangat layak.”

419
Cahaya lilin menyapu wajahnya yang putih mulus. In Gok
tersenyum kaku. “Aku ingin tahu apakah kau memang
layak.”
Tiba-tiba direnggutnya selimut yang menutupi tubuhnya.
Lim Sian-ji terus tersenyum. “Mengapa tidak kau
buktikan sendiri apakah aku layak atau tidak?”
Biji leher In Gok tampak naik turun, kerongkongannya
serasa kering.
"Bagaimana, berharga tidak?" tanya Sian-ji dengan
tertawa genit.
In Gok memuntir rambutnya terlebih kencang, seakanakan
hendak mencabut seluruh rambut dari kulit
kepalanya.
Karena kesakitan, Sian-ji mencucurkan air mata, tapi di
antara air mata yang berlinang itu juga menampilkan
semacam rasa kehausan yang merangsang, ia pandang
In Gok dengan mata terpicing, keluhnya dengan napas
terengah, "Mengapa engkau cuma berani menjambak
rambutku? Memangnya tubuhku berduri?"
Lelaki mana yang tahan oleh kerlingan mata sayu dan
ucapan begitu?
Mendadak tangan In Gok membalik dan tepat menampar
muka Sian-ji, habis itu lantas mencengkeram erat-erat
bahunya serta setengah diangkat.

420
Tubuh Sian-ji lantas gemetar mendadak, entah gemetar
tersiksa atau gemetar karena bergairah, mukanya
berubah merah lagi.
Lalu In Gok meninju perutnya dan berseru, “Jadi kau
suka dipukuli!”
Kembali tubuh Sian-ji melingkar karena pukulan In Gok,
keluhnya, "Oo, pukul, pukul lagi, pukul mati saja diriku
...."
Suaranya ternyata tidak menderita sedikit pun, bahkan
penuh rasa harap.
Lim Sian-ji tidak menampakkan sedikitpun rupa
kesakitan.
Tanya In Gok, “Kau tidak takut padaku?”
Sahut Lim Sian-ji, “Mengapa aku harus takut padamu?
Walaupun wajahmu jelek luar biasa, kau tetap seorang
laki-laki.”
Bab 21. Sahabat yang Dapat Dibanggakan
Serentak In Gok mengangkat tubuh Sian-ji dan dibanting
ke lantai, lalu menjambak lagi rambutnya. Namun Sian-ji
berbalik merangkulnya erat-erat, ucapnya dengan napas
memburu, "Aku tidak takut padamu, aku justru suka
padamu, aku justru suka padamu! Sudah terlalu banyak
lelaki cakap yang kulihat, sekarang aku justru suka
kepada lelaki bermuka buruk. Ap ... apa lagi yang kau
tunggu sekarang?"

421
In Gok tidak menunggu lagi.
Dalam keadaan demikian, lelaki mana pun tidak mau
menunggu lagi ....
Di dalam kamar hanya tersisa suara napas yang
tersengal.
********
In Gok berdiri di samping tempat tidur, mengenakan
kembali pakaiannya.
Setelah beberapa saat, Lim Sian-ji tersenyum padanya.
“Kini kau tahu bahwa aku memang layak, bukan?”
Kata In Gok, “Seharusnya aku membunuhmu. Kalau
tidak, aku tidak tahu berapa banyak orang yang akan
mati di tanganmu.”
Kata Lim Sian-ji, “Pada awalnya kau memang berniat
membunuhku, bukan?”
“Hmmmh.”
Ia masih tersenyum manis. “Namun kini kau tidak tega
membunuhku, bukan?”
In Gok hanya memandangnya, lalu bertanya, “Siapa anak
yang datang bersamamu itu?”
Lim Sian-ji tertawa. “Kenapa? Kau cemburu? Atau takut?”

422
Matanya berputar. Lanjutnya, “Ia adalah anak yang baik,
tidak nakal seperti engkau. Ia sudah tidur di kamarnya
sendiri. Jika ia mendengar suara dari kamar ini, kau tidak
mungkin punya kesempatan untuk menggangguku.”
In Gok tertawa dingin. “Ia beruntung tidak mendengar
apa-apa.”
Kata Lim Sian-ji, “Benarkah? Benarkah kau akan
membunuhnya?”
“Ya.”
Lim Sian-ji tersenyum. “Tapi kau takkan bisa
membunuhnya. Ilmu silatnya amat hebat, dan dia adalah
sahabat Li Sun-Hoan. Aku pun sangat suka padanya.”
Wajah In Gok langsung berubah.
Kata Lim Sian-ji lagi, “Kamarnya ada di ujung lorong ini.
Apakah kau punya nyali untuk menemuinya?”
Sebelum kalimatnya selesai, In Gok telah pergi.
Ia tertawa senang, lalu ditariknya kembali selimutnya
menutupi tubuhnya. Ia merasa seperti seorang gadis
kecil yang makan permen diam-diam, dan tidak ketahuan
oleh ayah ibunya.
Ketika ia membayangkan Jing-mo-jiu (Tangan Setan
Hijau) In Gok mengoyakkan kepala A Fei dari badannya,
matanya berbinar-binar. Lalu ia membayangkan pedang

423
A Fei menembus tenggorokan In Gok, dan ia pun jadi
bersemangat.
Sambil memikirkan hal itu, ia pun jatuh tertidur. Dalam
tidur pun ia tersenyum, karena siapapun yang mati, ia
tetap bergembira.
Ia sangat puas atas apa terjadi malam ini.
Tempat tidurnya sangat empuk. Seprainya pun bersih.
Namun A Fei tidak bisa tidur. Sebelumnya ia tidak pernah
kesulitan tidur.
Baru saja diselipkannya pedang di pinggangnya, daun
jendela terbuka.
Ia melihat sepasang mata yang lebih menyeramkan
daripada hantu.
Kata In Gok, “Apakah kau datang bersama Lim Sian-ji?”
Sahut A Fei, “Ya.”
“Bagus. Keluarlah.”
A Fei tidak menjawab. Ia tidak suka berbicara, tidak suka
memulai suatu percakapan.
Kata In Gok, “Aku akan membunuhmu.”
Tapi A Fei malah menjawab, “Aku tidak ingin membunuh
siapapun hari ini. Pergilah.”

424
Kata In Gok lagi, “Aku juga tidak ingin membunuh
siapapun hari ini. Cuma kau saja.”
“O ya?”
“Seharusnya kau tidak datang bersama dengan Lim Sianji
hari ini.”
Mata A Fei berkilat tajam seperti pisau. “Jika kau
menyebut namanya lagi, aku akan membunuhmu.”
In Gok terkekeh. “Kenapa?”
“Karena kau tidak pantas.”
In Gok tidak bisa menahan tawanya. “Bukan saja aku
akan menyebut namanya, aku akan tidur dengan dia.
Apa yang akan kau perbuat?”
Wajah A Fei terasa seperti terbakar.
Ia biasanya adalah seorang yang sabar dan tidak mudah
terpancing. Ia belum pernah merasa marah seperti saat
ini.
Tangannya sampai bergetar.
Dalam kemarahannya, pedangnya terhunus.
Namun Jing-mo-jiu (Tangan Setan Hijau) pun berkelebat!
Terdengar bunyi nyaring. Pedang itu patah.

425
In Gok tertawa. “Kau berani menghadapiku dengan
kungfu kacangan seperti ini? Kata Lim Sian-ji ilmu silatmu
cukup tinggi.”
Sambil mengatakannya, In Gok telah maju sepuluh jurus.
A Fei hampir tak dapat menahan serangannya. Ia hanya
punya sebilah pedang patah, dan harus bergantung
penuh pada kecepatannya menghindari serangan In Gok.
Tawa In Gok makin keras. “Jika kau bisa menjawab dua
pertanyaan dengan jujur, akan kuampuni nyawamu.”
A Fei mengertakkan giginya. Keringatnya mengucur
deras.
Tanya In Gok, “Apakah Lim Sian-ji sering tidur dengan
laki-laki? Apakah kau pernah tidur dengannya?”
A Fei hanya dapat berguling di tanah untuk menghindari
serangan In Gok. Ia merasa sangat lelah.
In Gok mendesak, “Ayolah. Beri tahu aku dan aku akan
mengampunimu.”
Sahut A Fei, “Aku…aku akan jawab.”
Lalu In Gok tertawa lagi dan serangannya mengendur.
Tiba-tiba pedang berkelebat.
In Gok tidak pernah melihat pedang yang bergerak
secepat itu. Waktu ia menyadarinya, pedang itu sudah

426
tertancap di tenggorokannya. Wajahnya penuh dengan
rasa tidak percaya.
Sampai mati pun ia tidak tahu dari mana datangnya
pedang itu.
Dalam mati pun ia tidak dapat mempercayai pemuda itu
memiliki pedang yang luar biasa cepatnya.
Wajah A Fei sedingin es. Ia berkata, sekata demi sekata,
“Siapa yang menghina dia, akan mati.”
Tenggorokan In Gok masih mengeluarkan suara-suara
aneh. Ia mengangkat alisnya, karena ia ingin tertawa. Ia
ingin memberi tahu A Fei, “Cepat atau lambat, kau pun
akan mati di tangannya.”
Sayangnya, tak sepatah kata pun bisa keluar.
Waktu Lim Sian-ji terjaga, ia melihat sesosok bayangan
di luar jendela. Bayangan itu mondar-mandir saja di luar.
Ia tahu orang itu pasti A Fei. Ia pasti ingin masuk,
namun tidak ingin membangunkannya.
Jika itu adalah In Gok, ia tidak mungkin masih ada di
luar.
Ia terus berbaring dengan santai di atas tempat tidurnya
sampai agak lama. Lalu ia berkata, “Apakah engkau yang
di luar, Fei Kecil?”
Bayangan A Fei berhenti. “Ya, ini aku.”

427
Kata Lim Sian-ji, “Mengapa kau tidak masuk?”
A Fei mendorong pintu itu perlahan, dan pintu segera
terbuka. Ia bertanya, “Kau tidak mengunci pintu?”
A Fei tergesa-gesa menghampirinya, dan menatap
wajahnya lama. Wajahnya terlihat sedikit pucat, bersemu
hijau. Wajah A Fei berubah. “Ada….Ada sesuatu yang
terjadi padamu?”
Sahut Lim Sian-ji, “Wajahku pasti terlihat pucat, karena
semalam aku tidak bisa tidur. Aku berbalik ke sana dan
ke sini saja, tidak bisa tidur.”
Hati A Fei mencair.
Lim Sian-ji bertanya, “Bagaimana dengan engkau?
Tidurmu nyenyak?”
Jawab A Fei, “Tidak. Ada anjing gila yang semalaman
menggonggong di luar.”
Lim Sian-ji mengerjapkan matanya, “Anjing gila?”
Sahut A Fei, “Ya. Tapi aku sudah membunuhnya, dan
kulemparkan dia ke danau.”
Tiba-tiba terdengar suara tambur di luar. A Fei membuka
jendela dan terlihat seorang pegawai penginapan sedang
memukul tambur. “Para tamu yang terhormat, apakah
Anda ingin mendengar berita yang paling hangat saat
ini? Berita yang menggegerkan dunia persilatan? Aku
Anda sedang membaca artikel tentang Pisau Terbang Li {pendekar Budiman] 1 [Lanjutan Pendekar Baja] Seri Kedua Pisau Terbang dan anda bisa menemukan artikel Pisau Terbang Li {pendekar Budiman] 1 [Lanjutan Pendekar Baja] Seri Kedua Pisau Terbang ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/09/pisau-terbang-li-pendekar-budiman-1.html,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Pisau Terbang Li {pendekar Budiman] 1 [Lanjutan Pendekar Baja] Seri Kedua Pisau Terbang ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Pisau Terbang Li {pendekar Budiman] 1 [Lanjutan Pendekar Baja] Seri Kedua Pisau Terbang sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Pisau Terbang Li {pendekar Budiman] 1 [Lanjutan Pendekar Baja] Seri Kedua Pisau Terbang with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/09/pisau-terbang-li-pendekar-budiman-1.html. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar