Cerita Silat : Iblis Sungai Telaga 2

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Selasa, 20 September 2011

Mungkin dalam waktu beberapa hari ia akan sembuh kembali.
Ia melihat si anak muda bertindak ke arahnya. Ia terperanjat
cukup heran dan bingung dalam hati. Dilain pihak ia mnyesal
sekali, kitab si anak muda tak dapat dilindungi. Karenanya air
mukanya jadi suaram. Iapun berduka bareng malu sendirinya.
Mulanya It Hiong sangat gusar terhadap nona ini yang
telah mencuri kitab pedangnya itu, kemudian hawa
amarahnya reda sesudah ia membaca suratnya si nona yang
ditinggalkan untuknya. Sebab Tan Hong mencuri kitab pedang
bukan untuk dimiliki, melainkan guna memancing
kedatangannya kepulau Hek Keng To. Ia dapat memaklumi
perasaan hati si nona. Kembali ia menghadapi libatan asmara,
nona itu jadi dapat dimaafkan karena dia mencuri saking
terpaksa.
Tan Hong mengulangi perbuatannya Teng Hiang mencuri
kitab di Pay In Nia. Teng Hiangpun berbuat karena dorongan
asmara. Sedangkan tadi Nona Tan roboh ditangan Hian Ho
sebab dia hendak merintangi kaburnya si imam itu. Setelah
datang dekat pada si nona dan mata mereka saling
mengawasi. Hatinya It Hiong menjadi lebih berubah lagi. Sinar
mata nona itu sangat lunak dan mendatangkan rasa kasihan.


Hingga disaat itu, entah kemana sudah perginya hawa
amarahnya…
“Tan Hong!” tanyanya, “Apakah lukamu parah?”
Nona itu berlega hati mendengar suara orang halus dan
wajahnyapun tenang. Ia lantas mengasih tampang payah,
sambil menghela napas, ia menjawab tak langsung:
“Semuanya salahku, aku bersandiwara tapi kesudahannya
menjadi kenyataan…Aku menyebabkan hilangnya kitab
pedangmu. Buat itu sudah wajar kalau darahku terciprat
disini…”
Kata-kata itu makin melunaki hatinya si anak muda.
“Kau terluka apamu?” tanyanya. “Kau dapat bangun dan
berjalan tidak? Tidak baik kau mendeprok saja ditengah jalan
seperti ini! Kau setujukah kalau aku membawa kau kerumah
penginapan dimana kau dapat merawat dirimu?”
Bukan main girangnya Tan Hong, tapi dia berpura-pura.
“Kau baik sekali,” katanya “Tapi baiknya kau lekas
menyusul si imam itu untuk merampas pulang kitab
pedangmu, supaya hatimu menjadi tentram…”
It Hiong memperlihatkan tampang sungguh-sungguh,
alisnya bergerak bangun.
“Apakah kau sangka Tio It Hiong seorang tak berbudi?”
bilangnya. “Buat kepentinganku kau roboh terluka, mana
dapat aku membiarkan saja dirimu? Buat merampas kitab
pedang itu, tak usah kita terburu-buru, Nah mari kau bangun!”


Si anak muda mengulurkan tangannya yang kanan buat
membantu orang berdiri namun belum apa-apa ia sudah
menarik tangannya dengan cepat…
Melihat begitu, diam-diam Tan Hong girang dalam hati.
“Ikan” itu sudah makan umpan. Ia lantas bersandiwara terus,
kecuali berpura nyeri, iapun membawa lagak sukar bangun
berdiri. Sia-sia saja ia menggerakkan kedua tangannya
membikin kakinya beridri. Ia terhuyung dua tindak dan
mulutnya menjerit “Aduh…!” terus tangannya menyambar si
anak muda guna berpegangan pada bahunya, hingga dilain
saat ia sudah bergelendot pada tubuh pemuda itu!
Mukanya si anak muda jadi merah, dia jengah sekali.
Celakanya buat dia, tidak berani dia menolak tubuh orang
karena dia tak tega, dia malu sendirinya, dia likat. Terpaksa
dia diam saja, pikirannya tak keruan rasa.
Ketika itu angin halus datang berhembus.
“Adik Hiong, kau kenapakah?” tanya Tan Hong hampir
berbisik. “Bukankah tadi kau hendak membawa aku ketempat
penginapan supaya aku bisa merawat diri di sana?”
It Hiong tidak lantas menjawab, ia justru berpikir, “Dia
adalah orang Keng To yang terkenal kejam! Bagaimana aku
dapat bersahabat dengannya? Pula disiang hari bolong seperti
ini, mana dapat aku bersama-sama dengannya? Bagaimana
kata orang jika aku harus memayangnya begitu rupa?
Menyesal tadi aku telah ketelepasan kata, bagaimana
sekarang aku harus menjawabnya? Mana dapat aku menarik
pulang kataku?”
Sesudah berdiam sebentar itu, otak It Hiong tak sepepat
semula. Ia dapat mengambil keputusan tidak menghiraukan


cintanya nona itu. Tinggal janjinya untuk membawanya
ketempat penginapan, bagaimana? Ini sulit, maka akhirnya ia
pikir terpaksa mesti lekas membawa nona itu pergi dari situ.
Disaat ia hendak berangkat, tiba-tiba ia ingat “hosin ouw”,
obat mujarab itu.
“Bukankah lebih baik aku berikan dia obat itu supaya aku
tak usah memayangnya!” pikirnya.
Hanya sejenak pemuda itu berpikir, lantas ia mengambil
keputusannya. Ia lalu melepaskan tangan nona yang
memegangnya. Tan Hong melengak, ia menatap muka si anak
muda. Kemudian ia berkata sambil menangis: “Tan Hong
adalah budak hina dina, tak pantas ia berjalan bersama-sama
seorang pemuda terhormat, karena itu baiklah, aku akan jalan
sendiri perlahan-lahan, tak perduli andiakata aku terjatuh….”
Benar-benar nona ini berjalan, tapi baru dua tindak ia
sudah berpura-pura terhuyung terus ia jatuh mendeprok.
It Hiong terkejut, sambil menjerit tertahan ia menubruk
untuk mengangkatnya bangun.
“Dasar kau….” katanya.
Tan Hong bersandiwara terus, ia tidak menoleh kepada si
anak muda tapi airmatanya meleleh turun dikedua belah
pipinya, ia menangis sesegukan perlahan.
It Hiong bingung, ia dipengaruhi rasa kasihan.
“Kau terluka dalam, perlu kau lekas berobat.” katanya
perlahan, “Jangan kau bersedih, itu akan menambah parah
lukamu.”


Nona itu menangis.
“Tak usah kau pedulikan aku” katanya.
“Kau ambillah jalanmu sendiri.”
It Hiong menyerahkan sapu tangannya.
“Mungkin aku salah,” katanya. “Aku membuat kau berduka,
tapi tidak ada maksudku sengaja. Kau susutlah air matamu,
nanti aku obati kau.”
Bagus sekali Tan Hong bersandiwara. Sebenarnya ia tak
merasa nyeri sedikit juga, ia cuma mempergunakan akal
wanita pada umumnya. Ia melihat bahwa ia telah memperoleh
kemenangan! Didalam hati ia girang bukan main tapi di depan
si anak muda ia tampak berduka dan lesu. Ia berkeputusan
membuat anak muda itu menjadi budaknya…Ia mengawasi
orang tanpa membuka suara, kemudian ia sambuti
saputangan itu.
Empat buah mata saling bertemu. Wajah si nona perlahanlahan
tampak tersenyum hingga ia menjadi manis dan cantik
sekali. It Hiong yang merasa jengah menjadi tak senang hati.
Sedikit juga ia tak menyangka bahwa nona di depannya itu
lagi main sandiwara. Sebaliknya ia mengira nona itu tentunya
ingin ia yang tolong menghapus airmatanya… Tak ingin ia
melakukan itu, tapi ia takut si nona nanti menangis lebih jauh.
Maka terpaksa ia mengambil pulang saputangannya, terus ia
menyusuti airmata orang…
Habis berbuat begitu anak muda ini tertunduk. Ia bagaikan
orang yang merasa bersalah sendirinya. Inilah karena ia masih
muda dan terlalu polos, belum ada pengalamannya sama
sekali. Malah kemudian ia menghela napas sendiri…


Tiba-tiba saja Tan Hong tertawa sendirinya. Hanya sehabis
itu mendadak dia menjerit “Aduh!” terus alisnya dikerutkan,
tingkahnya seperti orang kesakitan.
It Hiong terperanjat, berbareng ia merasa kasihan. Justru
itu ia diingatkan pada obat mujarabnya tadi. Lekas-lekas ia
merogoh sakunya dan menarik keluar kotak kayunya yang
indah buatannya.
“Nona, kau makanlah obat ini dua lembar,” katanya. “Habis
itu perlahan-lahan kau boleh bernapas dan mengerahkan
tenaga buat membantu kekuatan obat tersebut, setelah kau
beristirahat dua tiga jam, nanti kau sembuh seluruhnya…”
“Obat apakah itu?” si Nona Tanya, tampangnya lesu. Ia
seperti lagi menderita.
It Hiong membuka bungkusan kotaknya, ia mengambil dua
lembar obatnya terus ia angsurkan pada si nona.
“Inilah obatnya, lekas kau makan!” ia menganjurkan.
Nona Tan menggelengkan kepala. Dia tertawa perlahan,
matanya sementara itu menatap tajam muka sipemuda.
“Tak tahu aku kau berpikir bagaimana terhadap aku!”
katanya, “mana dapat aku lancang makan obatmu ini?”
Anak muda itu memperlihatkan tampang sungguhsungguh.
“Inilah obat mujarab yang istimewa!”katanya. “Inilah
terutama untuk menyembuhkan luka, tak mudah aku
memberikannya kepada orang lain, hanya…”


“Hanya apa?” tanya si nona tertawa. “Bukankah kau tak
dapat memberitahukan kepadaku nama obat ini? Selagi nama
obat belum aku ketahui, mana dapat aku sembarang
makannya? Tak tenang hatiku.”
“Inilah obat Cian Sian Ho sin ouw!” berkata si anak muda.
“Sekarang kau tentu senang memakannya, bukan?”
Bagaimana besar rejekinya Tan Hong sampai dia dapat
makan obat mujarab ini! berkata si nona, “Teranglah sudah
bagaimana kau berlaku sangat baik kepadaku.”
“Jangan omong saja!” berkata sipemuda tidak sabar,
“Lekas makan obat ini, lantas kau beristirahat sambil
menyalurkan pernapasanmu!”
Masih Tan Hong belum mau memakannya.
“Tahukah kau pantangannya memakan Ho sin ouw?”
tanyanya sambil menatap dan sikapnya sangat bersungguhsungguh.
It Hiong melengak.
“Benarkah ada pantangannya?” tanyanya heran. “Apakah
itu? Pengetahuan dan pengalamanku masih sedikit sekali,
coba kau tolong beritahu aku!”
Tan Hong tertawa perlahan. Tawanya itu sedap sekali.
“Dahulu guruku pernah omong tentang Ho sin ouw,
katanya obat itu tidak boleh terkena hawa tangan wanita atau
khasiatnya bakal lenyap, karena itu tak dapat aku
memegangnya.”


It Hiong terdiam. Lantas ia ingat halnya waktu ia
mengobati ayah angkatnya, ia sendiri yang menyuapi obat
kemulut ayahnya itu, In Gwa sian.
Tapi sekarang? Mereka adalah pria dan wanita.
“Hendak aku tanya kau,” katanya kemudian kepada si
nona, “pernah tidak gurumu memberitahukan bagaimana
caranya memakai obat ini untuk wanita supaya khasiatnya
tidak sampai hilang!”
“Ada!” sahut si nona tersenyum. ” Cukup asal kau yang
memasukkan obat itu kedalam mulutku…” Ia lantas
mengangkat kepalanya untuk didongakkan sedikit, sedangkan
mulutnya segera dibuka bersedia untuk menerima obat untuk
dimakan. Ia memiliki mulut kecil, mulut yang dinamakan mulut
buah engloh.
It Hiong jujur, tak pernah ia menyangka bahwa orang
sedang menggoda atau mempermainkannya. Maka tanpa
mengatakan sesuatu ia mengulur tangannya membawa obat
kemulut orang untuk menyuapinya. Tan Hong menyambuti
obat sedang hatinya lega bukan main, ia terus mengunyah
dan menelannya. Lekas sekali mukanya tak sepucat tadi. Ialah
disamping khasiat obat, hatinyapun sangat bahagia dan girang
tak kepalang, sehingga dia makin tampak cantik dan manis.
It Hiong mengawasi selagi ia menyuapkan obatnya. Ia
melihat nona itu berdiri diam saja dengan mata menatap
dirinya serta kedua pipinya yang tampak merah dadu.
“Kau beristirahatlah!” katanya, “Kau duduklah disisi jalan itu
dan salurkan napasmu, aku percaya sebentar juga
kesehatanmu akan pulih.”


Tan Hong menurut. Ia pergi kepinggir jalan untuk duduk
disitu dan bersemedi. Iapun memejamkan kedua matanya.
Selang setengah jam, ia memperdengarkan suara “Hh!” dan
wajahnya tampak kecewa, sepertinya ia menyesalkan obat itu
belum dapat terasalurkan benar-benar. Lalu terlihat ia
membuka kedua matanya.
“Adik Hiong!” katanya kemudian. “Jalam darah dibahuku ini
masih seperti tertutup, coba kau tolong bukakan. Dapatkah
kau menolongku?”
Si anak muda yang lagi menantikan atau menjaga itu
tercengang.
“Bagaimana?” tanyanya heran. “Apakah obat mujarab itu
masih belum bekerja?”
“Entahlah!” sahut si nona pula. “Napasku tetap belum mau
berjalan lurus dan didalam masih terasa sedikit nyeri, adik
maukah kau membantui aku?”
Dalam dunia persilatan, membantu orang supaya napas
dapat berjalan lurus adalah yang sulit, buat yang ditolong
sangat besar feadahnya sedang yang menolong tenaganya
banyak terbuang dan tubuhnya Bisa menjadi letih karenanya.
Hanya kalau pertolongan diberikan oleh seorang pria terhadap
seorang wanita atau sebaliknya, itu rasanya berabe. Sebabnya
ialah kedua orang yang menolong dan yang ditolong harus
duduk berhadapan dan tubuh mereka, sedikitnya tangan
mereka harus saling bertempelan. Dari segi kesopanan jelas
kurang bagus dipandang, apalagi kalau dilakukan ditengah
jalan dimana sembarang orang dapat berlalu lintas. Inilah
yang menyulitkan It Hiong, apalagi si wanita terkenal sebagai
jago wanita kaum sesat. Apa nanti kata orang banyak?


Ketika itu sudah mendekati magrib, ditengah jalan itu tak
tampak orang berlalu lalang. Walaupun demikian, si anak
muda berdiri menjublak. Ia bimbang walaupun terhadap si
nona tak sedikit juga ia mengandung maksud tak baik. Ia
justru menghendaki habis memberi obat itu untuk segera
berlalu memisahkan diri. Kalau ia memberikan bantuan tenaga
dalamnya, bagaimana andiakata ada orang yang
memergokinya?
Cerita jelek bisa menyebar, apalagi kalau yang melihatnya
adalah pihak yang tak menyukainya. Maka itu, daripada nanti
terbit salah mengerti, ia ingin mencari satu jalan lain yang
sempurna.
Tan Hong memikir sebaliknya. Ho sin ouw telah
membuatnya sembuh, tapi ia masih menghendaki lebih
daripada kesembuhannya. Ingin ia menempel dan
mendapatkan si anak muda yang tampan dan gagah, yang
hatinya mulia itu. Maka inilah kesempatan yang baik untuk
mereka berdua bisa berada berdekatan lama-lama.
Melihat orang berdiam saja, Nona Tan segera mendesak.
“Kenapa kau masih berdiri menjublak saja?” tegurnya
manis. “aku toh cuma minta bantuan sedikit dari tenaga
dalammu, mengapa kau mesti memikirkannya lama-lama?”
“Bukan begitu,” berkata si anak muda ayal-ayalan. “Aku
lagi memikirkan bagaimana kalau orang mmergoki kita berdua
disini? Orang bisa salah mengerti. Bagaimana kalau kau
makan pula Ho sin ouw lagi?”
Didalam hati Tan Hong tertawa geli. Tapi ia tak putus asa.
Hendak ia mencoba lebih jauh.


“Apa gunanya Ho sin ouw?” tanyanya. “Aku telah
memakannya cukup banyak. Kekuatiran kau tidak beralasan.
Lihat, saat magrib akan segera tiba! Lihat, disini tidak ada
orang lain siapa juga! Siapakah nanti yang melihat kita? Lagi
pula, adik, kaulah orang Kang Ouw sejati, buat apa kau
bertingkah seperti wanita?”
It Hiong kena didesak. Pertama karena ia percaya orang
sangat membutuhkan tenaga bantuannya itu. Kedua ia ingin
lekas-lekas meninggalkannya. Lebih baik ia membantu
daripada ia berdiam saja bersama nona itu. Kalau orang
melihat mereka maka akan menimbulkan kecurigaan. Kalau ia
membantu dia dengan segera ia bisa cepat berlalu. Maka
akhirnya ia bertindak menghampiri nona itu, untuk duduk di
belakangnya. Kedua tangannya diletaki dipunggung orang.
Mulanya ia menggertak gigi guna menguatkan hatinya buat
menahan rasa malu atau likatnya. Seterusnya ia mengerahkan
tenaga dalamnya untuk terus disalurkan kedalam tubuh orang.
Tan Hong diam saja, hatinya berbunga-bunga. Akalnya
telah berhasil dengan baik, bukan kepalang puasnya. Ia
menerima saluran tenaga dalam dengan perasaan melayanglayang.
Sang waktu berjalan cepat. Lewat kira-kira satu jam, It
Hiong menarik pulang kedua tangannya, terus ia bangun,
sesudah menghela napas, ia lompat memisahkan diri sejauh
lima kaki lebih. Disitu ia berdiri sambil mengawasi si nona!
“Kau telah sembuh seluruhnya, nona!” katanya, “Nah,
perkenankanlah aku memisahkan diri!”


Tan Hong terkejut, ia mengawasi anak muda itu, perlahanlahan
ia bangkit untuk merapikan pakaiannya, ia tampak lesu
dan heran.
“Bagaimana, eh adik.” tanyanya. “Kenapa kau mau pergi
begini cepat?”
“Telah aku tolong obati kau, nona” kata It Hiong.
“Sekarang kau telah sembuh, karena itu buat apa aku berdiam
lebih lama pula disini! Lagipula..”
Mendadak si anak muda menghentikan kata-katanya.
Tan Hong mendelong mengawasinya.
“Adik” katanya, “Apapun yang kau ucapkan, tak nanti aku
sesalkan kau. Kenapa kau agak bersangsi? Bicaralah, jangan
kuatirkan aku.”
It Hiong ingin lekas pergi, mendengar ucapan si nona, ia
tak dapat beragu-ragu lagi.
“Lagipula kita berbeda, golongan kita berbeda jalan satu
dengan lain.” ia melanjuti, “Aku dari pihak lurus, kau
sebaliknya, hingga ada kemungkinan dalam pertemuan
digunung Tay San nanti apakah kita bakal menjadi kawan atau
lawan satu sama lain masih belum dapat ditentukan dari
sekarang! Biarlah kita bertemu pula kelak!”
Nona itu tampak sangat berduka.
“Sayang aku berasal dari golongan sesat.” katanya berterus
terang. “Memang, mana bisa aku bersahabat dengan murid
terpandai dari Tek Cio Siangjin, ahli pedang terkenal dijaman
kita ini? Hanya pertemuan kita ini membuatku tak dapat


melupakannya, terutama tadi pertolonganmu. Aku hanya itu
seorang wanita, ilmu silatku tidak berarti, akan tetapi
walaupun demikian, kelak dikemudian hari, aku akan
membalas budimu ini. Sekarang kau terimalah dulu ucapan
terima kasihku…”
Dengan air mata berlinang, Tan Hong merangkapkan kedua
tangannya memberi hormat pada si anak muda. Air matanya
itu benar-benar bercucuran.
It Hiong terperanjat dan heran.
“Itulah urusan kecil, nona jangan kau buat pikiran,”
katanya, “Kau anggaplah pertemuan kita ini sebagai
pertemuan secara kebetulan dalam sekilas waktu saja. Hatiku
sedang pepat sekali, ingin aku lekas mendapat pulang kitab
pedangku, maka itu nona harap kau merawat dirimu baikbaik!”
Habis mengucap demikian, It Hiong memutar tubuhnya dan
berlalu dengan tindakan lebar.
Tan Hong membanting kaki.
“Ada yang lebih baik,” serunya, “Aku masih hendak bicara!
Habis aku bicara, barulah kau pergi, dapat bukan?”
Mau tak mau It Hiong menoleh ke belakang dan
menghentikan tindakannya.
“Nona mau bicara apa?” ia menegaskan.
Tan Hong menghampiri beberapa tindak.


“Dalam hal kitab pedang itu, aku yang bersalah,” ia
mengaku perlahan. “Karenanya walaupun kau sudi
memaafkan aku, hatiku terus tak enak dan tak tenang.
Bagamana adik, dapatkah kau mengijinkan aku terus
mendampingimu supaya aku bisa bekerja sekuatku untuk
mendapatkan pulang kitab ilmu pedang itu? Dengan jalan itu
saja barulah aku dapat menebus kesalahanku ini…”
Mendengar suara orang itu, parasnya It Hiong berubah
menjadi gemas dan kasihan bergantian. Mengingat hilangnya
kitab pedang itu ia mendongkol tapi melihat wajah si nona ia
merasa kasihan. Nampak jelas si nona benar-benar menyesal,
bahwa orang asalnya sesat tetapi liangsimnya, hati
sanubarinya masih putih bersih.
“Kau baik sekali nona, terima kasih.” katanya. “Tio It Hiong
bodoh, tapi sejak dia memunculkan diri, dia telah
berketetapan untuk hanya bersama sebatang pedangnya
menyapu semua orang sesat yang merintanginya, tak biasa
dia menerima bantuan orang atau orang-orang yang
berkedudukan sebagai lawan dari pihakku. Jika sampai itu
terjadi, mungkin orang itu tak merasa malu, tapi aku. Aku jadi
memperhina pihakku sendiri!”
Tan Hong tertawa kecil.
“Adik yang baik, maafkan aku bicara sejujurnya!” katanya.
“Ketika kau mengacau , kecuali Kim Hee Kiong dipuncak Ngo
Im Hong, bukankah Tok Niocu Yauw Siauw Hoa ada mengintil
di belakangmu dan dia membantumu? Cumalah, Yauw Siauw
Hoa dari kalangan mana, aku tidak tahu sama sekali!”
Kata-kata itu membungkam It Hiong. Maunya Bicara tapi
gagal. Sedetik itu ia lantas membayangi bagaimana waktu itu
Yauw Siauw Hoa telah bekerja hebat untuknya, hingga


budinya menjadi besar sekali. budi mana tak dapat ia
melupakannya. Siauw hoa telah membantunya secara matimatian.
Sekarangpun, mengingat nona itu, ia merasa terharu
dan bersyukur sekali. Kiranya juga dalam golongan hitam ada
seorang wanita yang demikian tulus dan ikhlas. Dan sekarang
dihadapannya ini, muncul seorang Tan Hong.
Masih lewat beberapa saat, sebelum It Hiong dapat
menenangkan hatinya! Sulit untuknya mengambil keputusan.
“Oh It Hiong!” pikrnya kemudian, “It Hiong kaulah laki-laki
sejati! Dapatkah menerima dirimu dijagai wanita? Bagaimana
pandangan orang mendapatkan kau bersama seorang nona
dari kalangan sesat? Tidakkah mereka akan
mentertawakanmu?”
Karena memikir begini, ia terus menjawab si nona:
“Tentang Yauw Siauw hoa, aku menyesal sekali. Bukankah
pepatah berkata “Peristiwa lama jangan dilupai, tak dapat
dilupai dan peristiwa baru, yang belakangan bakal terjadi
dapat mengambilnya sebagai teladan” Maka itu nona, tak
berani karena urusanku, aku nanti membahayakan dirimu!”
Habis berkata begitu, ia lantas memberi hormat, terus
membuka tindakan lebar dan berjalan pergi.
Tan Hong terkejut saking bingung. Ia lompat menyusul dan
mendahuluinya, terus ia menghadang di depan orang.
“Maafkan kakakmu yang bicara terus terang.” katanya.
Suaranya menandakan dia mendongkol berbareng berdosa
dan menyesal, “Maaf kalau aku membuat kau bergusar. Hanya
mengenai urusan mencari pulang kitab pedang itu, aku masih
hendak menanyakan sesuatu. Tahukah kau Hian Ho si imam
tua kemana perginya dia?”


It Hiong heran hingga ia melengak.
“Imam hidung kerbau itu, bukankah dia telah lari pulang ke
Kam Hee Kiong di Ngo Im Hong?” dia balik bertanya.
Mendengar jawaban itu si nona menghela napas.
“Saudaraku yang baik!” katanya, “Kalau sekarang kau
menyusul dia ke Ngo Im Hong, kau bakal melakukan
perjalanan sia-sia belaka…Sejak kau merusak Kam Hee Kiong,
imam tua itu sudah kabur kegunung Kiu Hiong San, kekuil
Siang Ceng Hiong, dideretan bukit karang Hu Yong Ciang.”
“Oh, begitu!” seru si anak muda, “Habis kenapakah
bukannya dia bersembunyi di Kiu Hiong San untuk menutup
diri dan memikirkan segala perbuatannya yang salah, dia
justru kelayapan ke Pek Sek Touw? Dia mau bikin apakah?”
Tan Hong tertawa geli.
“Perbuatannya orang-orang rimba persilatan mana dapat
ditentukan dari muka?” sahutnya balik bertanya, “Sekarang ini
saat jago dari luar lautan dan dalam negara saling berebutan
kekuasaan! Bukankah saatnya pertemuan persilatan digunung
Tay San sudah tak jauh lagi? Maka itu menurut terkaanku,
pasti imam tua itu tengah mendapat perjalanan mencari
kawan sesamanya dan kebetulan saja ia lewat disini…”
It Hiong berdiam sejenak, baru ia bertanya pula cepat:
“Kenapa imam tua itu mengetahui perihal kitab ilmu pedang
itu terjatuh ketanganmu dan dia datang menghadang
perjalanan untuk merebutnya?”


Tan Hong agak sengit. Katanya,”Apakah kau tak pernah
mendengarnya? Hal itu sudah terjadi karena sepak terjangnya
sibudak setan Teng Hiang muridnya Thian Bin Lojin!”
It Hiong menganggap sudah tak perlu lagi ia berbicara lebih
lama pula.
“Nah, sampai jumpa pula!” katanya seraya terus tubuhnya
melompat ke depan tanpa menoleh lagi.
Tepat tubuhnya bergerak, bergerak pula tubuhnya si nona,
maka dalam sedetik itu lenyaplah dua bayangan orang
didaLam Sang gelap gulita.
Sekarang marilah kita menoleh pula kepada Nona-nona
Kiauw In dan Giok Peng yang berada ditengah jalan ke arah
barat, yang sudah menghajar kabur Cin Tong sibajingan dari
pulau Hek Keng To dan telah melepaskan diri dari Gak Hong
Kun, maksud utama mereka berdua ialah mencari Tio It
Hiong.
Mereka itu mau mengajak sipemuda pergi ke Hek Keng To
guna mencari Tan Hong buat meminta pulang kitab pedang
istimewa. Malam itu mereka di Lai yang dan terus mencari
penginapan. Kapan satu malam telah dilewatkan, pagi-pagi
sekali mereka sudah bangun tidur, berkemas dan berangkat.
Karena mereka hendak mengambil jalan kaki, mereka
menitipkan kuda mereka kepada jongos sambil memesan
untuk merawatnya dengan baik. Dalam waktu singkat, mereka
sudah sampai di Lao sie pang sebuah tempat terpisah
tanjakan.
Adalah diatas tanjakan itu terdapat sebuah pohon kayu
yang besar, yang tumbuhnya entah sudah berapa banyak
tahun. Akar kedua pohon itu melingkar-lingkar menutup


jalanan. Pohonnya tidak terlalu tinggi, besarnya sepelukan
sepuluh orang! Pohon pun subur sekali, banyak cabangnya
dan lebat daunnya hingga dilihat dari jauh pohon bagaikan
payung yang tengah terpentang. Hingga sekitarnya menjadi
teduh. Perkampunganpun berada tak jauh dari pohon besar
itu dan itu merupakan sebuah pasar kecil.
Berdua Kiauw In dan Giok Peng duduk berteduh dibawah
pohon raksasa itu, mata mereka diarahkan kekampung hingga
mereka dapat melihat orang berlalu lalang atau mondar
mandir. Sampai mendadak mereka mendapati satu orang
berlari-lari ke arah tanjakan atau lereng itu dan larinya cepat
hingga lekas sekali dia itu sudah sampai.
Kedua nona itu melihat seorang tosu atau imam yang
sebelah matanya picak yang tubuhnya besar dan kekar.
Bahkan Giok Peng mengawasi dengan penuh perhatian.
“Kakak” katanya pada Kiauw In perlahan dan sambil
menarik tangan orang. “Aku rasanya mengenali dia. Ingatkah
kakak siapa dia?”
“Bukankah dia sipendeta tua dari Kim Hee Kiong di Ngo Im
Hong?” sahut Kiauw In sambil meneliti wajah orang. “Kita
harus waspada!”
Juga si imam agaknya terperanjat ketika melihat kedua
nona itu. Hanya sebentar lantas dia menghunus pedangnya
dan membentak:
“He, bocah perempuan, kau pernah apa dengan Pat Pie Sin
Kit sipengmis tua bangkotan? Cara bagaimana kalian berdiri
disini memenggat jalanku?”


Imam itu ialah Hian Ho Cinjin. Dia kabur sesudah terjadi
perampasan kitab silat. Dia jeri betul terhadap It Hiong dan
selama lari menyingkir itu dia sangat takut ada yang
menghadang dan mengganggunya. Demikianlah waktu ia
melihat kedua nona itu. Kecurigaannya muncul dengan
sendirinya. Sejenak itu dia belum tahu siapa kedua nona itu
tetapi dia merasa seperti mengenalnya. Dia ingat-ingat lupa.
Demikianlah dia menegur, teguran yang seperti juga
membuatnya membuka rahasia sendiri. halnya dia sedang
ketakutan….
Kiauw In sangat cerdas, ia dapat menerka jelek.
“Kau membuat apa ditengah jalan ini?” ia balas
membentak. “Kalau kau tidak memberi keterangan yang jelas,
jangan harap kau dapat lewat disini!”
Hian Ho membalingkan pedangnya. Matanyapun menatap
bengis. Dengan perlahan dia bertindak maju, tampangnya
sangat garang. Nampaknya dia sangat mengancam.
“Bagaimana kepandaian kamu berdua jika dibanding
dengan kepandaiannya Tan Hong dari Hek Keng To?” dia
tanya nyaring. “Cara bagaimana kamu berani merintangi Toya
kamu? rupanya kamu sudah bosan hidup!”
Dengan “To-ya” dia membahasakan dirinya. Artinya ialah
imam yang suci atau kesohor.
Kiauw In tidak mengambil peduli akan lagak orang itu.
“Kau telah merampas kitab ilmu pedang dari tangannya
Tan Hong!” katanya memancing. “Beranikah kau menyangkal
itu! Kau kenalkah aku? Aku Cio Kiauw In, muridnya Tek Cio


Siangjin! Lekas kau serahkan kitab Sam Cay Kiam itu pada
kami!”
Giok Peng lantas menyelak, katanya keren, “Siapa yang tak
ingin orang ketahui perbuatannya, tak ada jalan lain daripada
jangan melakukan perbuatan itu!”
Hian Ho mengira orang tahu jelas perihal perampasan kitab
pedang di Pek Sek Touw, dia tertawa dingin. Dia
membesarkan nyalinya. Kata dia keras dan menantang: “Ya!
Kitab pedang itu ada pada Toya kamu! Aku tidak takut dengan
kawanan budak, kamu mempunyai kepandaian buat
merampasnya atau tidak?”
Kiauw In puas mendengar suara orang itu. Jadi untuknya
tak ada lagi keragu-raguan tentang imam dari Kim Hee Kiong
itu. Maka iapun menghunus pedangnya.
“Jangan kau bergalak-galak!” tegurnya. “Jangan kau
bertingkah! Hendak aku tanya kau, bagaimana kepandaian
ilmu pedangmu apabila dibandingkan dengan kepandaian
ketua kamu?”
Hian Ho habis sabar.
“Sudah!” bentaknya. “Nah, kau sambutlah pedangku ini!”
Dia benar-benar maju menyerang dengan jurus “Angin musim
rontok menyapu daun” pedangnya menabas ke arah pinggang
nona Cio.
Sementara itu Giok Peng yang girang menyaksikan
kecerdasan Kiauw In hingga si imam mudah saja seperti
membuka rahasia mengenai kitab pedang mestika yang
dipersengketakan itu, telah memasang mata tajam. Ia tertawa


dan berkata: “Eh, hidung kerbau! Tanpa dihajar, kau telah
membuka rahasiamu sendiri!”
Hian Ho membungkam, cuma pedangnya yang digeraki,
ketika Kiauw In menyambut, maka keduanya lantas bertarung.
Hebat si imam menyerang, karena dia ingin lekas-lekas
merebut kemenangan, supaya dia tak usah menyia-yiakan
waktu.
Kiauw In tahu imam itu lihai-dialah lawan dari kelas satu,
maka itu ia tidak mau berlaku sembrono. Lebih baik tak ingin
ia keras lawan keras. Karenanya ia segera menggunakan Te In
Ciong, ilmu lompat dan ringan tubuh Tangga Mega. Didesak
lawan secara hebat itu, ia melayani dengan lebih banyak
loncat sana dan loncat sini, kebanyakan ia berkelit saja.
Hian Ho megharap segera memperoleh kemenangan,
kesudahannya hatinya menjadi kurang tentram. Kewalahan
dia melayani kegesitan dan kelincahan si nona. Tak dapat dia
mendesak orang hingga orang suka melayani dia sama
serunya. Tapi dia tidak putus asa. Dia mendesak terus, dia
ingin lekas pulang kekuilnya.
Giok Peng menonton dipinggiran, otaknya bekerja: “Ilmu
pedangnya imam ini tidak dapat dipandang ringan. Kalau dia
dilayani secara begini sampai kapan pertempuran akan
berakhir?” Ia lantas memikir buat turun tangan, tapi ia malu
sendiri. Bagaimana dapat ia main keroyok? Dia akhirnya cuma
menonton terus, tetapi pedangnya ia hunus.
Masih pertempuran berlangsung, kedua pihak sama
unggulnya. Yang satu keras yang lain lunak, tapi silunak tak
sampai terdesak kepojok. Lewat delapanpuluh jurus masih
Hian Ho belum sempat meloloskan dirinya. Hal ini
membuatnya mendongkol berbareng sibuk sendirinya. Hatinya


tak tenang, lantaran ini dia memikir akal. Kebetulan ketika
satu kali si nona balas menikam padanya, dia berkelit dengan
lompat kesamping sebuah pohon besar, untuk terus
berlindung dan menghilang di belakang pohon itu. Akar pohon
banyak dan muncul berlengketan, sedangkan pohonnya juga
ada durinya dan ada pohon rotan yang mengelilitnya. Bagian
atas pohon itu dapat pula menjadi tempat sembunyi yang baik
sekali.
Melihat orang berkelit itu, Kiauw In hendak menyusul,
namun mendadak ia ingat pepatah yang mengatakan
“Penjahat terdesak, jangan dikejar” Sendirinya ia lantas
menunda maksudnya mengejar itu.
Giok Peng dilain pihakpun berseru: “Kakak jangan susul
dia! Awas dia menggunakan tipu daya licik!”
“Ya, dia licik sekali!” sahut Kiauw In penasaran. “Dapatkah
kita tak berbuat sesuatu atas dirinya?”
Giok Peng tertawa. Dia berpengalaman, dia dapat
mengendalikan dirinya.
“Musuh ditempat gelap, kita ditempat terang, itulah
berbahaya buat kita,” katanya sabar, “Karena sudah pasti
kitab ditangannya, kita sabar saja. Mustahil dia dapat
memilikinya buat selama-lamanya? Mustahil pula dia dapat
pergi sembunyi keatas langit?”
Kiauw In mengawasi ke belakang pohon raksasa itu, yang
lebat dengan dahan-dahan dan daunnya, hingga sukar melihat
menembusinya. Kemudian ia berpaling pada kawannya dan
berkata, “Bagaimana kalau kita bakar saja? Dapatkah dia
lolos?”


“Bagus kakak!” Giok Peng berseru. “Kita menggunakan api
membakarnya! Bagus!”
Lantas kedua nona bekerja mengumpulkan daun-daunan
kering terus ditumpuk ditepi pepohonan lebat itu, disisi pohon
kayu besar. Setelah itu mereka menyalakan api. Tidak lama
maka api sudah mulai menyala besar, berkobar dan asapnya
mengepul-ngepul. Bahkan mereka berdua berdiri dikepala
angin untuk berulang-ulang mengebut ke arah api itu untuk
membantunya berkobar!
Sebagai akibatnya dari nyala api itu, burung-burung pada
beterbangan pergi dan tikus serta binatang kecil lainnya lari
serabut. Api makin besar dan panas dan asap makin tebal.
Karena itu kedua nona lompat turun kebawah tanjakan,
menyingkir dari hawa panas dan asap itu. Dari tempat jauh
mereka memasang mata.
Dari jauh api dan asap terlihat tegas, belum lama maka
berdatanganlah orang-orang kampung disekitar situ guna
melihat dan kalau perlu membantu memadamkan api. Suara
jadi riuh dengan bunyi kentongan dan gembreng.
Menyaksikan kesibukan penduduk situ, Kiauw In menyesal
sudah membakar pepohonan itu. Artinya mereka sudah
meyusahkan penduduk setempat. Maka bersama Giok Peng ia
berlari-lari memapaki rombongan orang kampung itu.
Orang yang lari di depan rombongan itu adalah seorang
pria tua dengan rambut ubanan, tangannya mencekal tongkat,
janggutnya bertebaran diantara tiupan angin. Dia sudah tua
tapi dia dapat berlari keras. Tak lama tibalah orang itu beserta
kawan-kawannya.


“Jangan-jangan api itu disebabkan siluman ini…” si orang
tua itu berkata didalam hati, selekasnya dia melihat kedua
nona berlari ke arahnya. Melihat jurusannya ia menerka
darimana nona itu datang, yaitu dari tempat pohon kayu besar
itu!
Setelah datang dekat satu dengan lain, Giok Peng
mendahului menyapa: “Paman bagaimana caranya
memadamkan api itu?” Iapun seperti Kiauw In tetap merasa
tak enak hati.
Orang tua itu mengawasi kedua nona bergantian.
“Apakah nona-nona sedang berlalu lalang disini?” dia balik
bertanya, “Apakah barusan nona dapat melihat seorang imam
lewat sini? Matanya hilang sebelah dan tubuhnya menggembol
pedang?”
Nona Peng melengak. Ia bukan dijawab malah balik
ditanya. Karena ini ia tidak lantas memberikan jawaban. Ia
justru mengawasi.
Orangtua itu menatap.
“Kenapa kau tidak menjawab pertanyaanku?” tanyanya,
tampangnya tak puas.
Kiauw In segera melangkah maju, ia memberi hormat.
“Maaf paman,” katanya mewakili kawannya . “Paman
menanyakan tentang imam bermata satu, apakah paman
maksudkan Hian Ho Cinjin dari Kim Hee Kiong, Ngo Im Hong?”
“Benar!” sahut orang tua itu, “Apakah kalian melihat dia?”


Jilid 14
"Aku melihat dia lari bersembunyi ke belakang pohon kayu
besar itu." Giok Peng memalangi kakaknya menyahuti.
"Karena dia tidak mau keluar, kami membakar pohon itu,
niatnya untuk memaksa dia menyusul dari tempatnya
bersembunyi. Diluar kehendak kami justru menerbitkan
kebakaran ini."
Orang tua itu nampak tidak senang.
"Kalian mempunyai kepandaian apa maka kalian berani
mencampur tangan dalam urusan merampas kitab pedang
Sam Cay Kiam ?" tegur orang tua itu. "Kamu berani membakar
disini ! Tahukah kamu aturan tempat kami ini Lao sie peng ?"
Ditegur secara demikian Nona Pek menjadi tidak senang.
"Lao sie peng toh bukannya istrinya Raja Langit ?" katanya
keras. "Dalam hal itu juga, nona kamu tak memperdulikan apa
jua, juga tidak aturan di Lao sie peng ini !"
Matanya orang tua itu bersinar.
"Siapa main gila di Lao sie peng ini, ia mesti membuntungi
sendiri tangannya !" katanya nyaring. "Siapa sudah
menguntungi tangannya baru dia dapat berlalu dari sini !"
Kiauw In kuatir ketegangan itu memuncak. Itulah artinya
berabe. Maka lantas ia menyela. Sembari memberi hormat ia
kata sabar, "Sabar, paman ! Segala apa dapat kita damaikan.
Inilah adikku, ia kurang pandai bicara. Paman menanyakan
tentang imam picak itu, apakah maksudnya ? Sudikah paman
memberikan keterangan padaku ?"


Mendengar suaranya nona ini amarahnya si orang tua
menjadi lantas berkurang.
"Buat apa si imam tua dicari kalau bukan buat urusan kitab
pedang Sam Cay Kiam itu ?" demikian dia menjawab.
"Imam tua itu justru bersembunyi didalam semak di
belakang pohon kayu besar itu" kata Kiauw In cepat. "Paman
kenal baik tempat ini, bagaimana kalau kami turut bersama
pergi mencarinya ?"
Tiba-tiba orang tua itu tertawa.
"Ah, anak, kau bicara mudah saja !" katanya. "Dia setolol
kau ini !"
Berkata begitu, si orang tua menoleh ke arah api. Di sana
orang kampung tengah memerangi memadamkan si ayam
jago merah.
"Jika kalian hendak mencari dia" kata orang tua itu
kemudian, "kalian harus pergi ke Ho yong ciang di gunung Kui
Kiong San, didalam kuil Siang Ceng Koan ! Hanya, sebelum
kalian pergi kalian harus bereskan dahulu urusan disini ! Kalian
sudah bersalah menerbitkan kobaran itu ! Untuk itu kalian
harus menebus dosa...."
Nona Cio mengendalikan dirinya untuk tidak menunjukkan
kegusarannya.
"Aku mohon supaya kami diberi maaf karena kami
kesalahan berbuat tanpa maksud sengaja" katanya, "jika toh
dianggap ada kerugiannya kami bersedia menggantikannya


secara pantas ! Kita sesama kaun rimba persilatan bukankan
dapat kalau paman memberi muka kepada kami ?"
Tetapi orang tua itu membentak : "Apa yang aku ucapkan
tak dapat itu diubah lagi ! Eh, bocah, kau siapakah ? Tepatkah
orang semacam kau bicara secara lohan ?" Dia
membahasakan dirinya lohan, artinya si orang tua.
Giok Peng habis sabar.
Sreeet ! demikian ia menghunus pedangnya.
"Pedangku ini tidak mengenal segala aturan !" katanya
keras.
Kiauw In bertindak maju, menghalang diantara kawan itu
dan si orang tua. Ia memandang si orang tua dan berkata
sabar : "Kita tidak bermusuh satu sama lain, kita hanya baru
pernah bertemu ditengah jalan ini, oleh karena itu buat apa
kita menanam bibit permusuhan ? Aku minta dengan hormat
agar paman menarik pulang aturan paman itu, supaya apa
sudilah kau berlaku sabar luar biasa..."
"Hai anak-anak, apakah kalian pernah tengah main
sandiwara ?" tanya si orang tua dingin. "Lohan tidak
mempunyai banyak ketika akan melayani kalian ! Jika kalian
kenal gelagat, lekas kalian kuntungi sendiri lengan kalian. Jika
tidak, Hmm !"
Kata-kata itu diakhiri dengan satu gerakan tongkatnya,
hingga terdengar siurannya angin tongkat itu.
Kiauw In berlompat mundur dua tindak.


"Dilihat begini, tidak dapat tidak, kita mesti beradu
tangan..." pikirnya, masygul. Lantas ia berpikir lebih jauh,
matanya sampaikan berputar. Kemudian ia maju pula untuk
berkata : "Baiklah, paman kami bersedia menuruti perintahmu
untuk kami menanyakan she dan nama paman, supaya kami
berdua mengenalnya !"
Orang tua itu menatap Kiauw In, wajahnya dingin sekali.
"Baik !" sahutnya kaku. "Kalian dengar baik-baik dan
berhati-hatilah ! Akulah Siang Kung Bu Eng Thung Cim ! Nah,
tahukah kalian ?"
"Siang Kung" ialah nama tempat atau nama sungai dan "Bu
Eng Thung" adalah gelaran yang berarti "Tongkat Tanpa
Bayang", diambil dari arti, saking hebatnya tongkat itu
digeraki sampai bayangannya pun tidak nampak.
Mendengar nama itu Giok Peng segera ingat kepada nama
dari sahabat ayahnya. Maka segera ia masuki pedangnya
kedalam sarung lantas sambil tertawa ia bertanya : "Bukankah
paman masih ingat kepada Siauw Yan Jie dari Lek Tiok Po ?"
Liong Cim menatap nona itu, otaknya bekerja. Dia
mengawasi dari atas ke bawah dan sebaliknya, agaknya dia
hendak menegas benar-benar.
"Nona, kau pernah apakah dengan saudara Pek Lian Jie
dari Lek Tiok Po ?" akhirnya dia tanya menegaskan.
"Ia adalah ayahku yang rendah" sahut si nona hormat.
Orang tua itu mengetahui anak sahabatnya, lantas dia
tertawa.


"Kami baru berpisah sepuluh tahun, siapa sangka
sahabatku telah mempunyai seorang putri remaja sebesar
kau, anak !" katanya. "Dan kau muncul pula dalam dunia
Sungai Telaga ! Apakah ayahmu baik-baik saja ?"
"Terima kasih, paman !" sahut si nona. "Dengan berkah
paman, ayah tak kurang suatu apa ! Tapi, paman jika tidak
ada titah apa-apa lagi dari paman, perkenankanlah aku
memohon diri !"
Liong Cim terdiam, ia seperti ingat sesuatu apa.
"Ah !" serunya kemudian. "Aku ingat sekarang ! Anak, tak
carai itu terasangkut sekarang kau harus mampir dahulu ke
gubukku. Kebetulan ada orang Lek Tiok Po datang,
perempuan mencari kau..."
Giok Peng terperanjat.
"Apakah mereka masih ada dirumah paman ? " tanyanya.
"Entah mereka sudah berangkat pergi atau belum. Paling
benar ialah kalian turut aku."
Selama itu api telah dapat dikendalikan, tetapi Hian Ho tak
tampak, orangnya tidak, mayatnya tidak juga .
"Pesan mereka itu kalau api sudah padam betul, mereka
boleh pulang" kata Liok Cim pada salah seorang bawahannya
yang disuruh pergi kepada orang-orang yang asyik
memadamkan api, "Aku mau pulang lebih dahulu."
Orang itu menyahuti "ya" dan berlalu.


"Nah, anak, mari kita berangkat !" Orang tua itu mengajak
Giok Peng dan Kiauw In.
Nona Cio sendiri sudah menemui orang tua itu dari baru,
lalu ia memberi hormat, seraya memperkenalkan diri
kemudian dengan ditarik oleh Giok Peng, ia berjalan
berendeng dengan kawannya itu mengintil di belakang si
orang tua.
Lao sie peng adalah sebuah dusun dikaki bukit, rumahnya
ada yang merupakan gua-gua karang, penduduknya seratus
keluarga lebih, warungnya dua atau tiga puluh buah, jalan
besarnya cuma satu terbentang ditengah-tengah. Yang lainnya
jalan kecil.
Setibanya didalam dusun, sembari jalan Liok Cim memberi
keterangan kepada kedua nona tentang dusunnya itu. Tanpa
merasa berjalan dan tiba-tiba dari sebuah rumah makan
muncul seorang muda yang berlari ke arah mereka !
Kiauw In adalah yang dahulu melihat pemuda itu, ia
terperanjat hingga ia mengeluarkan seruan tertahan setelah
mana ia berlompat maju untuk memapaki guna menyamber
tangan orang.
"Adik Hiong !" serunya.
"Ah, kakak !" si anak muda pun berseru. Karena dialah It
Hiong yang ketika itu pikirannya kurang terang. Disatu pihak
ia ingin menyusul Hian Ho Cinjin dilain pihak ia menyingkir dari
Tan Hong. Dia sebenarnya tidak melihat Nona Cio sampai si
nona menghadang dan menyapanya. Sudah tentu dia terkejut
berbareng girang bertemu kakak In nya.


"Kakak kenapa kau disini ?" tanyanya setelah lenyap
herannya.
Giok Peng sementara itu sudah lantas menghampiri.
"Adik Hiong !" tegurnya tanpa memperhatikan wajah orang,
"bagaimana sih pikiranmu ? Kenapa kau berlalu tanpa
mengatakan sesuatu ? Kau membikin kami sangat memikirkan
dan menguatirkanmu, tahu ?"
Justru itu nona ini ingat kepada Liok Cim yang menyusulnya
yang sudah lantas di belakangnya, mukanya menjadi merah
sendirinya. Ia jengah yang ia berlaku demikian akrab dengan
anak muda itu.
It Hiong girang bukan kepalang meliha kedua "kakak" itu,
banyak yang ingin utarakan dan tanyakan, akan tetapi melihat
diantaranya ada seorang tua, ia dapat mengendalikan hatinya.
Giok Peng segera mengajar kenal kedua belah pihak, It
Hiong dengan si orang tua.
"Sungguh kebetulan !" berkata Liok Cim girang sekali.
"Kalian telah bertemu di Lao sie peng ini! Nah, silahkan kalian
turut aku ke gubukku, harap jangan sungkan !"
It Hiong menerima baik undangan itu, ia menghaturkan
terima kasih.
Si orang tua lantas berjalan di muka memimpin mereka itu.
It Hiong memikir untuk menampik undangan itu tetapi
Kiauw In, yang melihat gerak geriknya sudah lantas
kepadanya : "Adik Hiong jangan tergesa-gesa ! Kami sudah
diketahui dimana beradanya kitab ilmu pedang kita ! Paman


ini baik sekali, jangan tolak kebaikannya, mari kita pergi ke
rumahnya dimana kita dapat omong-omong dengan leluasa.
Juga ada orang dari Lek Tiok Po yang mencari adik Peng dan
mereka sekarang berada dirumahnya paman..."
It Hiong heran juga.
"Baiklah ! "sahutnya. Ia mengucap terima kasih kepada
orang tua itu, lantas ia berjalan mengikuti. Ia menerka
mestinya Kiauw In hendak membicarakan sesuatu kepadanya.
Memangnya ia paling menghargai kakak seperguruan ini.
Belum lama, habis menikung disebuah pengkolang, tibalah
mereka di depan sebuah rumah besar yang berPekarangan
banyak pepohonan hingga mirip terkurung rimba. Pekarangan
itu luas.
Ketika itu lewat lohor, burung-burung sudah mulai pulang
ke sarangnya masing-masing dan bunga-bunga mulai mekar,
pemandangan alam menjadi indah. Suasana yang tenang
sekali hingga siapa juga merasa nyaman dan pikirannya
terbuka.
Tuan rumah mengundang ketiga tetamunya memasuki
ruang tamu-tamu dan mempersilahkan duduk bersama,
sedang pegawainya sudah lantas datang menyuguhkan air
teh, hingga mereka lantas dapat membasahkan kerongkongan
mereka.
Habis itu Giok Peng lantas minta tuan rumah memanggil
keluar orang dari Lek Tiok Po buat ia segera menemuinya dan
menanyakan apa maksudnya datang mencarinya.
"Ha, hampir aku lupa !" berkata Liok Cim tertawa. Lantas ia
menoleh kepada kacungnya yang ia suruh lekas memanggil


datang orang dari Lek Tiok Po itu. Sembari tertawa kemudian
ia kata pula : "Keponakanku, tabiatmu sama dengan tabiat
ayahmu ! Maka itu melihat kau, anak, aku bagaikan melihat
sahabatku itu !"
Giok Peng tersenyum.
"Paman bisa saja !" katanya.
Ketika itu muncullah orang dari Lek Tiok Po, dua orang.
Setelah melihat nona, mereka itu lantas memberi hormat
sambil yang seorang berkata : "Nona, kami dititahkan mencari
nona ! Kami telah pergi ke sekitar Sam Siang tak tahunya kita
bisa bertemu disini...."
Mendadak hamba itu berhenti bicara. Ia menoleh kepada It
Hiong, agaknya dia ragu-ragu.
"Lekas bicara !" Giok Peng mendesak. "Sebenarnya ada
urusan apakah ?"
Masih dua orang itu bersangsi, masih mereka suka
mengawasi si anak muda.
It Hiong menerka sesuatu, lantas ia kata hambar :
"Saudara, bicaralah terus terang tak peduli urusan
mengenakan diriku ! Jangan takut, tak akan aku sesalkan kau
!"
Kiauw In berdiam sekian lama, segera ia bisa menerka.
Maka ia tertawa dan turut bicara.
"Bukankah urusanmu itu disebabkan Gak Hong Kun telah
datang mengacau ke Lek Tiok Po ?" demikian tanyanya.


Giok Peng terkejut. Dia lantas membanting kaki.
"Urusan apakah ?" tanyanya keras. "Kenapa kamu beraguragu
? Bicara ! Kamu mau main gila, ya ?"
"Benar, urusan mengenai Gak Hong Kun." sahut orang Lek
Tiok Po itu akhirnya. Nampak ia menyesal. Karena nonanya itu
malah bergusar, mereka lantas tak berayal pula memberi
keterangannya.
Duduk halnya ialah begini. Gak Hong Kun putus asa
sesudah mencuri kitab pedang Sam Cay Kiam mencintainya.
Urusan itu membuatnya bergusar salah bergirang tak bisa.
Pikirannya menjadi kacau hingga dia menjadi mendongkol
tanpa sebab.
Toh tetap dialah seorang yang berotak cerdas. Dia insyaf
kesukaran hatinya itu bisa mencelakai dirinya sendiri. Maka
tak dapat ia membiarkan hatinya dipengaruhi terus menerus.
Lantas dia mengambil satu keputusan. Jalan meninggalkan
gunung Heng San dan memasuki dunia Sungai Telaga.
Perantauan mungkin akan melegakan hatinya.
Diluar keinginannya, di Ouwlam barat dia justru bertemu
dengan Giok Peng yang lagi bertempur dengan Cin Tong dan
rombongannya. Sendirinya dia memberi bantuannya hingga
Cin Tong beramai dapat diusir pergi. Ketika itu ingin dia
membaiki pula nona itu atau usahanya gagal sebab Giok Peng
segera diajak pergi oleh Kiauw In. Mulanya hendak dia
menyusul nona itu atau disaat terakhir dia mengambil
keputusan pergi ke Siang caipo Kangjee untuk mencari Tiat
See Cian Pek Kui Jie ayahnya si nona, untuk berbicara dengan
orang tua itu, guna menutur rahasia hatinya. Tapi dia sedang
mendongkol, hatinya panas pikirannya kacau, ketika dia tiba di
Lek Tiok Po dia justru mengacau... Memang umumnya, siapa


tengah uring-uringan mudah dia bergusar dan melakukan
sesuatu diluar pikiran sehat...
Selekasnya Hong Kun tiba di Siang cui po lantas dia
memperlahan jalannya kudanya. Maka binatang tunggangan
itu jalan bagaikan setindak demi setindak menghampiri Lek
Tiok Po yang mempunyai jalanan batu putih yang rada sempit.
Sebenarnya Hong Kun kembali ke tempat yang lama yang
segalanya berada bagaimana sediakala tetapi dipandangan
matanya, semua itu berubah semuanya mendatangkan
perasaan yang lain daripada biasanya. Keindahan alam tak
dapat mempengaruhi pikirannya yang pepat, kedukaan
membuatnya dia melihat lain macam. Segalanya tampak tawar
dan tak menarik hati, semuanya sunyi. Bahkan tempat dimana
dahulu dia bersama Giok Peng suka berkumpul dan
beromong-omong dengan manis sekarang seperti juga duri
yang menusuk matanya hingga sebab dia melihatnya.
Bercokol diatas punggung kudanya dengan perlahan dia terus
memasuki Lek Tiok Po sampai ke pintu Pekarangan. Disini dia
melupakan aturan Lek Tiok Po yang berbunyi "Di muka pintu
orang harus turun dari kudanya dan berjalan kaki". Dia justru
maju terus, maju untuk memasuki dan melintasi pintu
Pekarangan itu !
Pintu Pekarangan itu ada orang yang menjaganya. Dia itu
dari jauh-jauh sudah melihat ada orang datang bahkan dia
kenali, maka dia berlari-lari menghampiri, terus dia mencekal
las kuda seraya berkata : "Tuan Gak ! Tuan Gak ! Silahkan
turun !"
Hong Kun mengawasi orang itu. Ketika itu tengah seperti
orang lupa ingatan. Tak heran kalau di depan matanya seperti
Giok Peng yang tebayang yang menyambutnya. Diluar
kesadarannya, dia menggelindur : "Oh, adik Peng, kau


menyambut aku..." Baru dia berkata begitu, baru dia insyaf
orang itu hanya pengawal Lek Tiok Po !
Orangnya Pek Kui Jie itu heran.
"Tuan Gak !" kata dia, "aku minta tuan suka turun dari
kudamu ! Harap tuan suka mentaati aturan dari Lek Tiok Po
kami..."
Hong Kun melengak. Mestinya dia menganggap permintaan
itu seperti perintah atau kata-kata orang hanya bentakan.
"Aku tak pedulikan aturan kamu !" dia membentak dan
tangannya terayun membuat cambuknya menyabet si penjaga
pintu !
Penjaga pintu itu terkejut, syukur dia jeli dan cepat, ketika
cambuk itu tiba dia sambar itu dan cekal dengan keras terus
dia tarik. Tiba-tiba saja tubuh Hong Kun kena terbetot, hingga
ia terjatuh dari atas kudanya cuma taklah ia sampai roboh. Ia
dapat menaruh kakinya dengan baik.
Pegawai itu lekas menghampiri untuk membayangnya.
"Maaf tuan Gak" katanya tertawa. "Silahkan masuk !"
Hong Kun tidak menjawab sebaliknya dia mengusir orang
supaya mundur lalu dengan tindakan lebar dia jalan memasuki
Pekarangan itu untuk menghampiri rumah terus ke Toa thia
yaitu ruang depan.
Pegawai itu sendiri yang mengikuti berhenti di ceracapan
dimana dia memperdengarkan suara nyaring memberitahukan
orang di dalam rumah datangnya tamu-tamu. Dia sendiri tidak
berani lancang masuk.


Tatkala itu tuan rumah Pek Kiu Jie lagi main catur dengan
Tong Wie Lam, sahabat karibnya. Selekasnya ia mendengar
laporan, lantas ia berbangkit dan bertindak keluar.
"Oo.. Gak laolan !" ia menyambuti tetamunya. Ia agak
heran. "Sudah lama kita tidak bertemu ! Silahkan duduk ! Mari
kita minum teh !"
Hong Kun memperlihatkan wajah dingin. Dia membalas
hormat tetapi dia berkat. "Apakah Lo poocu banyak baik ? Aku
yang muda hari ini datang kemari buat mencari adik Peng
guna memperoleh keputusan !"
Anak muda itu memanggil lo poocu artinya pemilik atau
tuan rumah yang tua dari dusun keluarga Pek itu. Habis
berkata dia bertindak masuk terus dia duduk. Terhadap Tong
Wie Lam si guru silat dia melirik pun tidak.
Tuan rumah melengak. Tak dapat ia menerka orang mau
apa, atau apa maksudnya...
Maksud baik atau buruk. Maka ia cuma bisa berkata pula,
"Laote tentu banyak caPek habis berjalan jauh ! Silahkan
minum teh dahulu, nanti kita bicara perlahan-lahan."
Memang orangnya tuan rumah sudah lantas menyuguhkan
teh.
Seperti semula, Kiu Jie memanggil laote kepada si anak
muda. Panggilan itu berarti adik yang tua.
Tong Wie Lam tidak puas terhadap sikapnya anak muda
itu. Memang ia telah tidak berkesan baik. Kali ini keadaannya
makin buruk. Dahulu Wie Lan menjadi penghubung antara It


Hiong dan Giok Peng yang jodohnya hendak ia rangkap, tetapi
"ketemubatunya" kegagalan itu membuatnya ia berkata tak
nanti ia sudi datang pula ke Lek Tiok Po, tetapi sekarang toh
datang juga. Inilah disebabkan ia mendengar halnya It Hiong
sudah "menikah" dengan Giok Peng dan telah memperoleh
anak, hingga sirnalah penasarannya, jadi tak sudi datang dia
jadi sering berkunjung dan persahabatannya dengan Pek Kiu
Jie pulih seperti sedia kala, ia telah diundang ketika Giok Peng
pulang bersama anaknya Hauw Yan, supaya guru silat itu
melihat ibu dan anak yang manis itu. Kedua sahabat itu gemar
minum arak bersama dan main catur. Hanya itu hari ini diluar
dugaan. Hong Kun telah datang berkunjung dan orang she
Gak itu telah tidak memperdulikan si guru silat yang ia kenal
baik.
Hanya sebentar sebuah meja perjamuan sudah diatur rapi.
Kiu Jie lantas mengundang tamunya duduk bersantap. Cian
Ling dan Siauw Hoaw kedua tuan rumah yang muda duduk
menemani. Mereka duduk disebelah bawah.
Mulai dengan perjamuan itu Kiu Jie mengangkat cawan
araknya dan berkata : "Sungguh diluar dugaanku yang Gak
Laote telah datang menjenguk aku. Kau baik sekali, aku
berterima kasih ! Nah, mari kita minum dan makan bersama !"
Tuan rumah terus menghirup araknya. Ia berbicara tanpa
menyebut Giok Peng atau It Hiong. Hal itu membuatknya likat
sendirinya.
Hong Kun berbangkit dan menghirup kering cawannya, ia
memandang pada hadirin lainnya terus ia berduduk pula.
Agaknya ia likat. Ketika ia bicara sikapnya sangat merendah.
Seterusnya ia duduk minum seorang diri. Ketika ia sudah
menenggak tiga cawan yang besar, ia menghela nafas dan
kata : "Lopoocu, maafkan aku yang muda. Aku lagi berduka,


kebetulan arak ini dapat mencoba melenyapkan kedukaan itu,
dapat juga menghilangkan penasaranku..."
Tuan rumah tertawa.
"Gak Laote, apakah kesukaranmu itu ?" dia bertanya.
"Nampaknya kau berduka sekali. Dapatkah kau
menerangkannya kepada kami ?"
Hong Kun menyeringai.
"Lopoocu, kau tahu halnya tetapi buat apa kau
menanyakannya ?" dia membaliki. "Sekarang aku yang muda
mohon bertanya bagaimanakah dengan janji lopoocu dahulu
soal dihadapan, masih itu masuk hitungan atau tidak ?"
Kiu Jie segera sadar akan urusan jodohnya Giok Peng. Hal
itu menyulitkannya. Tapi ia memaksakan diri buat tertawa dan
kata : "Itulah urusan pribadi anakku sendiri, aku minta agar
urusan itu tak dibicarakan pula. Laote menjadi pria muda
laksana binatang kielin, kau murid pandai dari Heng San Pay
kau terkenal dalam dunia Sungai Telaga, karena sebagai
seorang laki-laki sejati dimanakah yang kau bakal tak
mempunyai istri yang setimpal ? Dlam hal kita ini adalah
anakku yang tidak berbakti dan tidak punya rejeki besar, dia
telah membuat kekeliruan yang tak dapat diperbaiki lagi !
Dahulu memang aku si orang tua berniat menjodohi kalian
berdua, apa lacur minatku tak dapat tercapai. Oleh karena itu
aku cuma dapat memohon maaf dari kau, laote.."
Malu Kui Jie mengatakan itu tetapi terpaksa ia
mengatakannya juga.
Hong Kun memperlihatkan tampang sangat berduka.
Dengan suara dalam, ia berkata : "Dasar untungku yang tipis,


hingga aku cuma bisa menyesalkan diriku sendiri. Tetapi
sekarang dapat aku memaksa adik Peng itu pula urusan
seumur hidup dari adik Peng ! Cuma aku tidak mengerti
karena aku tahu adik Peng bukannya seorang manusia yang
tak berbudi ! Aku percaya disini tentu ada pengacaunya ! Dia
tidak saja membuatku menyesal seumur hidupku, dia juga
membuat lopoocu menjadi mendapat malu !"
"Itulah terpaksa laote" kata Kiu Jie menyesal. "Aku sudah
berusia lanjut, tak dapat aku memberatinya lagi. Tapi aku
percaya kalau kawan-kawan kaum Kang Ouw mengetahui
hatiku ini, aku percaya mereka dapat maklum dan
memaafkannya. Aku minta laote janganlah kau berduka
karena urusanku ini"
Sementara itu Tong Wie Lam tidak puas akan sikapnya
Hong Kun ini. Si anak muda terlalu mendesak dia sampai
seperti tak tahu malu...
Karena tak tahan sabar, guru silat ini campur bicara.
Katanya : "Keponakan Giok Peng sudah menikah, dia pula
sudah punya anak bahkan dia telah tinggal jauh dari Lek Tiok
Po ini, karena itu lote, apakah faedahnya buat kau
mengumbar ganjalan hatimu disini ?"
Hong Kun mengangkat kepalanya, sepasang alisnya
terbangun.
"Datangku ini kemari adalah untuk mencari adik Peng !"
sahutnya nyaring. "Hendak aku tanya dia depan berdepan, dia
telah memindahkan cintanya itu apakah itu karena
sukarelanya sendiri atau bukan !"
Wie Lam semakin tidak puas, anak muda itu benar kurang
ajar, demikian anggapannya. Maka ia berkata keras : "Kalau


benar karena sukarelanya bagaimana ? Kalau bukannya
bagaimana ?"
Mendadak Hong Kun berjingkrak bangun.
"Tua bangka, apakah katamu ?" tanyanya keras. "Kau galak
tak karuan ya ? Inilah urusanku tak dapat kau
mencampurinya. Biar pun aku mesti menginjak Lek Tiok Po
rata seperti bumi, mesti aku tanyakan sendiri adik Peng, mesti
aku memperoleh jawabannya."
Dalam panasnya hati anak muda ini menggebrak meja
hingga mangkuk dan sumpit mencelat berhamburan dan arak
bermuncratan.
Wie Lam pun gusar, maka dia mencelat bangun.
"Anak bau, bagaimana kau berani berlaku kurang ajar di
depanku si orang tua ? tegurnya.
Hong Kun tidak takut, bahkan dia jadi semakin gusar.
"Marilah kau coba sambut tanganku" katanya tertawa
dingin.
Kiu Jie bingung, dia masgul sekali. Bersama kedua
anaknya, dia langsung maju sama.
Thian Liong dan saudaranya tidak campur bicara, walaupun
sebenarnya mereka pun tidak puas. Habis menyapih itu,
mereka mengajak Wie lam pulang ke kamarnya sembari jago
tua itu dibujuki.
Hong Kun berduka, hatinya panas, tetap ia tak dapat
makan dan minum, hanya arak ia tengak terlebih banyak,


hingga otaknya makin kacau. Cepat sekali ia terjatuh dibawah
pengaruh tak kesadaran. Suka ia tertawa, suka ia menangis
sendirinya ! Tingkahnya mirip seorang otak miring.
"Kau sudah pusing laote" berkata Kiu Jie yang sendirinya
masgul sebab ia menyesal atas kejadian ini. "Baiklah kau pergi
ke kamar tetamu untuk beristirahat, besok kita bicara pula."
Lantas tuan rumah ini menyuruh seorang kacungnya
memimpin tamunya ini pergi ke kamar tetamu.
Tiba-tiba Hong Kun menggaplok kacung yang
mendekatinya.
"Bukannya kau meminta nonamu datang menyambut aku,
kau justru mau mengajak aku pergi!" demikian tegurnya
bengis. Memangnya air kata-kata pun sudah
mempengaruhinya. "Kemana kau hendak membawaku ?"
Kacung itu kaget dan kesakitan. Nyeri gaplokan itu.
"Apakah nonamu itu menyembunyikan diri ?" kata pula
Hong Kun sama kerasanya. "Apakah dia mengira aku tidak
berani pergi loteng mencarinya ?"
Kiu Jie masgul dan bingung. Orang seperti sudah lupa
ingatan.
"Duduk laote" ia membujuk. "Anakku si Peng tidak ada di
rumah, dia pergi merantau. Dia bukannya bersembunyi sebab
tidak mau menerimamu... Pergi kau beristirahat, sebentar kita
nanti bicara pula...."


Kemudian tuan rumah ini menyuruh kacungnya lekas
menyediakan sari buah dingin buat dikasihh tetamunya minum
agar tetamunya sintingnya berkurang.
Mau Hong Kun minum sari buah itu, habis itu dia nampak
lebih tenang. Dia duduk diam menarik nafas panjang dan
pendek. Bahkan lewat sesaat lagi dia tidur pulas dan
menggeros. Karena itu satu malam itu Kiu Jiterpaksa
menemani dia beristirahat di dalam ruang besar itu.
Besok paginya Kiu Jie mendusin dengan terkejut. Ia
dibanguni kacungnya yang tergopoh-gopoh mengabarkan
halnya Gak Hong Kun yang sudah "menyerbu" ke loteng Ciat
Yan Lauw tempatnya Giok Peng, bahwa di sana si anak muda
telah merusak pintu, jendela, kursi, meja dan buku serta alat
tulis lainnya. Bahkan Nyonya Kiu Jie tak dapat mencegah anak
muda itu, dari itu tuan tua ini diminta datang untuk mengurus
atau mengekangnya.
"Ah.." seru jago tua itu, kaget dan heran. Seketika itu juga
ia lari ke dalam terus ke loteng putrinya. Baru tiba di ruang
dalam, telinganya sudah mendengar suara berisik yang
disebabkan dihajarnya barang-barang perabotan rumah
tangga serta teriakan-teriakan atas bentakan-bentakan dari si
anak muda yang menjadi tamunya itu. Dan kapan dia ada
diatas loteng, lantai sudah penuh barang rongsokan sebab
pecahnya cangkir dan lain-lain dan kursi meja pada bertumpuk
berjumpalitan. Disisi kamar tampak Ban Kim Hong, si nyonya
rumah yang tua, berdiri bengong dengan wajahnya merah
padam sebab dia gusar tanpa dapat berbuat apa-apa.
Bukan main mendongkolnya Kiu Jie, maka dia mengajukan
diri sambil membentak. Hampir dia menyerang kalau tidak
kedua anaknya malang dihadapannya, mencegahnya
menggunakan kekerasan.


"Gak Laote, kenapa kau berlaku begini tidak tahu aturan ?"
tegurnya. "Berhenti !"
Belum berhenti suaranya jago tua ini atau mendadak Siauw
Houw memperdengarkan suara tertahan diteruskan dengan
robohnya tubuhnya ! Mulanya dia terhuyung beebrapa tindak,
setelah tak dapat mempertahankan diri, dia roboh dengan
muntah darah !
Thian Liong melompat maju, guna membantu saudara itu.
"Adik, apakah lukamu parah ?" tanya kakak ini.
"Aku terhajar pada bahu kiriku" sahut sang adik, napasnya
memburu. "Aku telah menghadang di depannya paman Tong
buat melindunginya dari serangan Hong Kun.."
Ban Kim Hong, si nyonya rumah, gusar menyaksikan
putranya terluka. Berbareng, ia pun berkuatir dan bersedih
hingga air matanya meleleh keluar tanpa ia merasa. Ia
menggertak gigi dan berkata sengit : "Gak Hong Kun,
nyonyamu hendak mengadu jiwa denganmu !" Dan lantas ia
merogoh sakunya mengeluarkan kim ciam, senjata rahasianya
yang berupa jarum emas untuk menghajar pemuda itu !
"Jangan ibu !" mendadak Thian Liong mencegah sambil ia
menarik tangan ibunya itu. "Tak usah ibu campur, biar ayah
yang mengurusnya sendiri."
Tong Wie Lam si guru silat sekali hingga kumis janggutnya
bagaikan pada bangun berdiri, sambil membentak, dia
menyerang dengan kedua belah tangannya hingga ketika
Hong Kun menyambutnya melayani padanya, berdua mereka
jadi bertarung seru dalam seketika. Hanya, walaupun ia


kesohor ia bukanlah lawan dari si anak muda muridnya It Yap
Tojin yang lihai, baru dua puluh jurus, permainan silatnya
sudah kalah sendirinya. Sia-sia belaka ia menggunakan
pelbagai macam tipu. Ia yang terpaksa mundur setindak demi
setindak, hingga keadaannya menjadi berbahaya....
Pek Kui Jie jujur, dialah seorang yang terhormat, mengenai
jodoh puterinya dengan Kong Kun itu, ia jengah sendirinya,
tetapi sekarang, menyaksikan si anak muda demikian kurang
ajar dan ganas, ia menjadi tidak puas. Tapi ia tetap adalah
seorang jago tua, bagaimanapun ia bergusar masih dapat ia
menguasai dirinya sendiri.
"Hong Kun !" ia berseru, "kau telah turun tangan, kau juga
sudah melukai orang, apakah itu berarti kau menghendaki aku
mengadu jiwa denganmu ?"
"Saudara Pek !" Wie Lam menyela, "jangan sungkan
terhadap binatang ini !"
Tapi, belum suaranya berhenti, mendadak jago ini roboh
dikarenakan satu tinju dari si anak muda yang mendesak
membuatnya repot sampai tak sanggup menangkis....
Kini dia terkejut sambil menitahkan orang-orangnya
membantu sahabatnya itu, ia maju menghadang si anak muda
sambil ia membentak : "Gak Hong Kun ! Sebenarnya kau mau
apakah ? Kau bilanglah terus terang. Apakah kau sangka aku
orang tua takut padamu ?"
Agaknya otak Hong Kun rada sadar, suaranya tuan rumah
membuatnya dapat berpikir. Lekas-lekas dia memberi hormat.
"Tidak, aku tidak berani" katanya. "Aku yang muda datang
ke loteng untuk mencari adik Peng, guna menanya dia satu


hal. Diluar keinginanku, aku telah bertempur melawan orang
hingga aku sudah melakukan suatu perbuatan yang kurang
hormat. Buat kesalahanku itu, aku minta lopoocu memaafkan
aku !"
Kui Jie menunjuk ke lantai dimana berantakan segala
macam perabotan yang rusak disebabkan sepak terjangnya
pemuda itu, ia berkata : "Kau lihat ! Macam apakah itu ?
Apakah artinya ini ? Anak Peng sudah tidak tinggal di loteng
ini, buat apa kau cari dia ? Lek Tiok Po tidak dapat
ketempatan orang tidak tahu aturan semacam kau ini, maka
itu, silahkan kau lakukan perjalananmu !"
Itulah pengusiran !
Hong Kun mengawasi kerusakan dan kekalutan lotengitu,
dia mengoceh seorang diri : "Ah, aku bersalah terhadap adik
Peng... Kenapa aku merusak kamarnya ini."
Lantas dia menjatuhkan diri, duduk numprah, menangis
sambil menutupi mukanya.
Menyaksikan lagak orang itu, Kiu Jie mendongkol
berbareng geli di hati. Ia pun merasa berkasihan.
"Telah aku bilang !" katanya suaranya dalam, "bahwa anak
Peng tidak ada disini. Dia pula sudah punya anak ! Mana
dapat urusanmu diperbaiki pula ? Maka kau padamkanlah
hatimu !"
Hong Kun menangis terus dia sesegukan. "Aku tahu"
sahutnya. "Di jaman ini tak lagi ada harapan buatku hidup
bersama-sama adik Peng tapi ingin bertemu muka dengannya
sendiri untuk aku menanyakan sesuatu. Setelah itu, meski
tubuh ragaku hancur menjadi abu, akan aku rela dan puas !"


Ban Kim Hong melirik anak muda, ia menghela napas.
"Benarkah didalam dunia ada bocah setolol ini ?" tanyanya.
Lalu bersama Thian Liong ia memperpanjang Siauw Hoaw
buat diajak berlalu dari atas Loteng.
Kiu Jie kewalahan.
""Gak Laote" katanya kemudian, sabar. "Jika memang
mesti kau ingin bertemu dengan anak Peng, nah kau
berdiamlah disini, asal kau terus bersikap tenang, nanti aku
mengirim orang mencari anakku itu supaya dia pulang dan
menemanimu. Kau tunggu saja dengan sabar."
Mendadak Hong Kun berlompat bangun, terus ia menjura
kepada jago tua itu.
"Akan aku yang muda mendengar katamu cianpwe"
katanya sabar. "Biar aku berdiam di loteng ini menantikan
kembalinya adik Peng ! Dapat aku mananti sampai sepuluh
tahun sekalipun ! Asal aku bisa bicara dengannya satu kali
saja, segera aku akan berpamitan dan pergi dari sini !"
Demikian si anak muda berdiam di Lek Tiok Po dan Kiu
Jitelah mengirim dua orangnya mencari Giok Peng sampai
kedua pesuruh itu tiba ditempatnya Liok Cim dimana dengan
kebetulan mereka bertemu dengan kedua nona itu begitu
dengan It Hiong. Demikian pula mereka memberikan
penuturannya yang jelas itu. Dia akhirnya pegawai yang
memberi penuturan itu katanya : "Tuan dan Nyonya memesan
agar nona cepat-cepat pulang supaya urusannya si anak muda
gila itu dapat segera dibereskan supaya dia bisa lekas disuruh
pergi !"
Habis berkata dua orang itu berdiri hormat disini.


Biar bagaimana Giok Peng merasa terharu mendengar
Hong Kun demikian tergila-gila terhadapnya tetapi perbuatan
orang merusak lotengnya membuat hatinya panas sehingga ia
membungkam sebab tak tahu ia mesti tertawa atau berduka.
Dengan mulut bungkam itu ia mengawasi It Hiong dan Kiauw
In.
Tiba-tiba kesunyian dipecahkan oleh suara keras dan
berpengaruh dari tuan rumah.
"Hm !" demikian suaranya Liok Cim yang terang merasa tak
puas atau mendongkol : "Tak kusangka yang Hong San Kiam
kek yang demikian tersohor sudah mengajari seorang muda
yang begitu tak tahu malu !"
"Ketika aku bertemu dia di Lek Tiok Po, aku mendapatkan
dia sebagai yang polos dan gagah" berkata It Hiong,
"karenanya kau menghargai dan menghormatinya. Mengenai
urusan jodoh kita, kita sebenarnya merasa malu hati,
terhadapnya aku simpati, aku merasa berkasihan kepada
nasibnya, aku maka didalam segala hal menghadapi dia aku
senantiasa mengalah, aku berlaku murah hati. Sama sekali tak
tega aku melukai dia, jangan kata membunuhnya. Tapi dia
berbuat hal yang menyebabkan. Di kota raja dia telah
membantu pembesar negeri, dia telah membunuh Ciat-kang
Siang Kitab, itu berarti hutang jiwa. Aku melepaskan dia sebab
aku masih ingat dialah sahabatnya kakak Peng, siapa tahu
sekarang dia menjadi begini kurang ajar, bukannya dia
menyesal dan merubah tingkah lakunya, dia justru mengacau
dan merusak di Ciat yan Lauw ! Kakak Peng, mari aku temani
kau pulang, akan kau bikin darahnya muncrat meluluhan !"
Berkata begitu, wajah anak muda ini merah padam, tanda
dari kegusarannya.


Giok Peng bersusah hati mendengar kata-kata orang itu,
airmatanya berlinang-linang.
"Kenapa kau begini bergusar buat urusan sekecil itu, adik
Hiong ?" tanyanya perlahan. "Dalam hal ini, akulah yang harus
disesalkan."
Belum habis si nona berbicara, atau ia sudah menangis
sesegukan, kepalanya terus ditunduki.
Kiauw In menghampiri. Ia meraba bahu orang, sedang
tangannya yang lainnya dipakai mengeluarkan sapu
tangannya guna menghapus airmata kawan itu.
"Kau kenapakah, adik Peng ?" katanya halus. "Kau
bersabarlah menghadapi urusan ini, buat apa menuruti hati
dan menjadi begini berduka ?"
It Hiong mencoba mengendalikan kemurkaannya kapan ia
melihat Nona Pek demikian bersedih. Ia terus berkata sambil
tertawa : "Aku sangat bergusar hingga aku terlepasan bicara,
hingga kau bersusah hati, kakak harap kau maafkan aku."
Habis berkata anak muda itu lantas menjura terhadap si nona.
Kiauw In tertawa melihat lagak orang.
"Kau terlalu" katanya. "Ya, kau jadi makin nakal dan tebal
kulit mukamu ! Darimana kau dapat pelajari tingkah polahmu
ini ?"
Lekas sekali, hilang sudah kedukaannya Giok Peng
menyaksikan tingkahnya It Hiong itu, maka juga meski
airmatanya belum hilang, ia dapat tersenyum terus tertawa.
Karena jengah, ia membuang muka.


Liok Cim heran menyaksikan gerak gerik muda mudi itu.
Inilah disebabkan ia belum tahu hubungan apa ada diantara
mereka itu, terus ia berdehem.
"Tentang peristiwa di Lek Tiok Po itu" katanya kemudian,
'"aku si tua tak tahu suatu apa, karena itu, harap dimaklumi,
tak dapat aku mencampur bicara, baik kalian mendamaikan
sendiri saja. Perkenankanlah aku mengundurkan diri dahulu..."
Walaupun demikian, tuan rumah tidak lantas bertindak
pergi. Masih ia menambahkan : "Jangan sungkan, anak-anak
dan harap maklum yang perjalanan kami tidak sempurna !
Malam ini baiklah kalian berdiam disini, sebentar sore akan
aku menyambut kalian didalam suatu perjamuan yang
sederhana..."
Kali ini dia terus bertindak pergi.
Giok Peng lantas menyuruh kedua orangnya mengundurkan
diri, buat mereka itu beristirahat. Sebenarnya ia hendak
menjawab atau mengatakan sesuatu atas kata-katanya tuan
rumah itu, sayang Liok Cim sudah pergi jauh. Ia mengawasi
punggung orang sampai ia tidak melihatnya lagi. Habis itu ia
berpaling pada It Hiong, matanya dideliki.
"Apakah kau tak malu ?" katanya manja. "Awas kalau lain
kali kau berlaku tebal muka seperti sekarang ini, akan aku beri
ajaran padamu ! Tak nanti kau dapat ampunan !"
Kemudian nona ini berpaling pada Kiauw In.
"Kakak !" katanya "guru kita telah memberikan kau
pertanda yang menugaskan kau dapat mewakilkannya
menjatuhkan dan menjalankan hukuman, sekaranglah tiba


saatnya buat kau keluarkan itu buat kau mengajar adat pada
murid ini !" Dan ia menunjuk It Hiong tetapi dengan wajah
tersungging senyuman.
Mendengar hal pertanda itu kim pay It Hiong terkejut. Ia
ingat halnya gurunya selain memberi kimpay kepada Kiauw In
juga ia dibekali dengan diserahkannya sejilid kitab ilmu
pedang beserta tiga buah kim long yaitu surat yang tertutup
hingga itu merupakan surat wasiat. Sekarang kitab ilmu
pedang itu sudah lenyap telah berada ditangannya si imam
tua Hian Ho. Sedangkan kim long yang pertama harus
dibukanya nanti disaat "sepasang rembulan saling
memancarkan diri".
Apakah artinya sepasang rembulan saling memancarkan
diri itu ? Kata-kata asli itu ialah Siang Goat Kauw Hoi.
Maka ia menjadi berdiri menjublak, otaknya bekerja,
mulutnya berkelemak kelemik, hampir tak terdengar suaranya
yang sangat perlahan.
Kiauw In kenal baik adik Hiong itu yang sangat
menghormati gurunya, maka itu si anak muda dapat keliru
mengartikan kata-katanya Giok Peng barusan. Dia mungkin
menerka ia bakal menggunakan kimpay guru mereka itu sebab
kata-katanya si Nona Pek. Maka ia mau melegakan hati orang.
Lebih dahulu ia tertawa baru ia berkata : "Eh, adik Hiong kau
kenapakah ? Kau tahu adik Peng bicara main-main saja !
Kenapakah kau menganggap itu sungguh-sungguh ?"
It Hiong melengak lalu ia mengangkat kepalanya.
"Kakak" katanya. "Tahukah kalian apa artinya sepasang
rembulan saling memancarkan diri itu?"


"Eh... kau ini orang aneh" Giok Peng menegur. "Kenapa
disitu saat kulit mukamu tebal atau dilain saat kau menjublak
tidak karuan ?"
Kiauw In dengan tampang sungguh-sungguh pun berkata :
"Adik Hiong, kau sebenarnya memikir apa ? Cobalah kau
jelaskan !"
It Hiong mengawasi kedua nona bergantian, otaknya
bekerja.
"Selamanya aku telah memikir mengajak kakak berdua
pulang ke Lek Tiok Po" kata ia, "di sana kita tegur Gak Hong
Kun, kita usir dia pergi, andiakata dia menolak terpaksa kita
harus membikin darahnya muncrat di ujung pedang kita.
Sekarang aku memikir dua hal penting yang aku mesti segera
kerjakan karenanya aku batal turut mengikut pulang ke Lek
Tiok Po. Aku minta kakak Peng maafkan aku..."
"Hal apakah yang kau ingat, adik ?" Kiauw In tanya.
"Tadi kakak Peng menyebut kimpay dari guru kita" sahut si
anak muda, "lantas aku kepada kitab silat yang hilang itu. Aku
menganggap kitab itu perlu lekas dicari dan didapatkan
pulang. Yang lainnya ialah kim long, surat wasiat dari guru
kita itu, terutama yang pertama yang berkatai harus dibuka
disaat sepasang rembulan saling memancarkan diri. Perlu kita
mengerti maksudnya kata-kata yang tersembunyi itu. Itulah
sebab kenapa aku menanyakan kalian, kakak."
"Oh, ya !" Giok Peng seperti orang yang baru ingat. "Guru
kita luar biasa, pesannya pesan tersembunyi, maka tidak
dapat dengan mudah saja kita menerka artinya....?"


"Memang guru kita lihai sekali, tak mudah mengerti
pesannya itu" Kiauw In turut bicara. "Jika kita terka saja,
mungkin kita tidak akan memperolah hasil tentang kimlong
itu,baik kita bicarakan belakangan. Yang penting sekarang
ialah urusan kembali ke Lek Tiok Po serta soal mencari kitab
ilmu pedang kita ! Nah, bagaimana kita harus bekerjanya ?"
“Kakak berdua berpendapat bagaimana ?" It Hiong tanya.
"Aku bersedia mencuci telinga mendengarnya."
Giok Peng tertawa.
"Ada-ada saja kau !" katanya manis. "Sampai-sampai mesti
mencuci telinga mendengar ! Bagaimana kau dapat memikir
mengeluarkan kata-kata merdu itu ?"
Kiauw In tersenyum.
"Sudah, adik Peng, jangan kau bergurau." kata dia. "Mari
kita berpikir dan bermufakatan ! Bukankah itu jauh terlebih
baik ?"
Nona Peng melengak.
"Begitu pun baik" sahutnya. "Diantara dua urutan kita, aku
anggap mencari kitab ilmu pedang adalah yang lebih perlu !
Bukankah Hian Ho kabur pulang ke Siang Ceng Koan di Hu
yong ciang, Kiu Kiong San ? Entah ada siapa lagi orang jahat
yang bersembunyi di sana. Maka itu kakak, aku pikir, baik
kakak turut adik Hiong pergi menyusul kesana. Tentang Gak
Hong Kun, biar aku yang urus sendiri, aku percaya tidak bakal
terjadi sesuatu yang berupa keonaran."
It Hiong tidak setuju dengan pendapatnya Giok Peng itu. Ia
berkuatir. Ia tahu Hong Kun pandai berakal dan Giok Peng


lemah hatinya, jadi ada kemungkinan kakak ini nanti dilagui
pemuda itu. Itulah berbahaya. Onar bisa terjadi karenanya.
"Aku kurang akur, kakak" bilangnya. "Begini saja, kita pergi
bertiga ke Lek Tiok Po"
Kiauw In cerdas sekali. Ia dapat membaca hatinya. It Hiong
sebenarnya kuatir nanti terbit kelakon baru. Apa kata
seandianya Giok Peng terlibat pula dalam soal asmara lama.
"Baiklah, adik !" ia berkata, "aku setuju dengan
perkataanmu ! Dengan begini kau jadi tak usah kuatir, supaya
hatimu tetap tenang saja...."
Giok Peng melengak. Ia menatap nona Cio.
"Apa katamu kak ?" tegurnya. Ia menyangka ia lagi digodia.
"Apakah kakak berkongsi dengan si dungu ini ?" Dan dengan
sebuah jari tangannya, ia menunjuk It Hiong yang ia terus
tegur, "bagaimana, eh, dengan kau ? Kapannya kau belajar
menjadi begini berhati-hati ? Bukannya kau urusi perkara
penting, kau justru..."
Hampir si nona menyahut "urusan perempuan".
"Bukan... bukan begitu kakak !" kata It Hiong lekas. "Aku
hanya menguatirkan nanti kena orang lagui...."
"Sudah, sudah !" Kiauw In datang sama tengah. "Sudah
kita jangan perpanjang pembicaraan kita ini ! Kita turut
pikirannya adik Peng ! Adik Peng sendiri akan pulang ke Lek
Tiok Po dan kita berdua ke Kui Kiong San ! Kalau adik Peng
selesai terlebih dahulu, dia lantas menyusul kita ! Dengan
mengandal kepada kim pay, aku mengambil keputusan ini !"


Menutup kata-katanya itu yang terang dan tegas, Nona Cio
lantas menatap It Hiong. Ia memancarkan sinar matanya yang
jeli.
Mendengar demikian, It Hiong tunduk. Ia bungkam.
Giok Peng berkuatir orang berduka. Ia menghampiri
separuh menghibur. Ia berkata, "Kakakmu ini dahulu benar
ada punya urusan dengan Gak Hong Kun tetapi urusan itu
sudah lama habis bagaikan alir mengalir ke timur karenanya
janganlah kau buat kuatir. Aku pun telah menjadi ibu orang,
ibu yang masih harus merawati anaknya ! Mungkinkah aku
masih jadi seperti si pemuda yang gemar berkecimpung dalam
urusan asmara dan hatiku mudah berubah ? Nah, kau
tetapkan hatimu !" Ia hening sejenak, untuk segera
menambahkan. "Kakakmu ini hidup dia menjadi hambanya
keluarga Tio, mati dia menjadi setannya keluarga Tio juga ! Di
dalam keadaan bagaimana pun leher kakakmu ini dapat
dipenggal tetapi hatinya tak akan tertunduki. Akan aku
lindungi tubuhku yang putih bersih supaya nanti aku
kembalikan kepada kau adik. Masihkah kau memikir yang
tidak-tidak ? Nah, berlakulah tabah !"
It Hiong mengangkat mukanya, sepasang alisnya bangkit
bangun.
"Aku tak memikir yang tidak-tidak kakak" katanya. "Tidak
nanti aku membuatmu malu. Cuma, bicara terus terang, orang
she Gak itu sangat licik, dia banyak akalnya, maka dengan kau
pulang seorang diri, kakak aku minta sukalah kau berlaku
dengan sangat berhati-hati !"
Berkata begitu pemuda ini lantas menoleh kepada Kiauw
In.


"Baiklah kakak, aku turut pikiranmu !" katanya. "Nah, mari
kita berdua pergi ke Kiu Kiong San !"
Tepat menyusuli kata terakhir dari It Hiong itu, dari luar
ruang besar terdengar suara nyaring, "Pernah aku pergi ke Hu
yong ciang di gunung Kiu Kiong San itu, karenanya dapat atau
tidak jika adikmu yang kecil ini menjadi pengantar untuk
membuka jalan ?"
Berbareng dengan terhentinya suara itu, suatu bayangan
orang nampak berkelebat, lantas mereka disitu tambah
dengan seorang Nona Tanpa suara apa-apa lagi !
Dan kapan It Hiong bertiga, yang sedikit terperanjat,
berpaling, maka mereka sama-sama melihat Tan Hong, si
nona manis yang kosen, yang dandanannya singsat-ringkas,
dipunggungnya tertancapkan ruyungnya, ruyung sanho pang
yang istimewa itu !
Giok Peng segera berlompat mundur, tangannya terus
menghunus pedangnya ! It Hiong rada bingung, dia melirik
kakak Peng-nya itu.
Adalah Kiauw In, yang dapat berlaku tenang, bahkan ia
pula yang mendahului membuka suara.
"Selama di gunung Siauw Sit San" katanya tawar, "nonamu
sudah berlaku baik sekali terhadapmu, sekarang kau menyusul
kemari, apakah maksudmu ?"
Tan Hong memperlihatkan tampang manis yang
tersunggingkan senyuman ramah tamah.
"Harap Nona Cio tidak keliru mengerti" katanya sabar dan
merdu setelah mana ia bertindak perlahan menghampiri It


Hiong, kembali sembari tersenyum dan melirik ia menyapa :
"Eh, adik Hiong, mengapa terhadap kakakmu ini kau begini
acuh tak acuh ?"
It Hiong bingung sekali. Sebelum sempat ia menjawab Giok
Peng sudah berlompat maju dan "Sreett !" pedangnya telah
ditebaskan ke arah nona she Tan itu sembari menyerang itu
iapun membentak : "Kau memanggil adik Hiong tepatkah itu,
budak hina dina ? Kau malu atau tidak ?"
Mudah saja Tan Hong berkelit dari tebasan pedang yang
mengancam batang leher yang putih halus. Ia tidak
menghunus pedang atau membalas menyerang. Lagi-lagi ia
tertawa dengan manisnya.
"Bukankah kau telah mengalah membiarkan Kakak Kiauw
In biasanya menyebutnya adik Hiong?" kata ia. Kembali dia
tertawa. "Karena itu tidak dapatkah kalau kau pun
membiarkan aku turut memanggilnya adik Hiong juga ?"
Tanpa menanti habisnya kata-kata orang itu, Giok Peng
sudah menikam dengan pedangnya. Ia mendongkol dan panas
hati. Bahkan kali ini ia mengulangi menikam dan menebas
hingga tiga kali ketika serangannya yang kedua ini pun gaya
seperti semula. Karena ia menyerang berulang-ulang sinar
pedangnya sampai berkeributan diantara api lilin diruang
besar itu.
Masih selalu Tan Hong mengelak diri, tak ia menangkis
atau hanya menghunus pedangnya. Sebaliknya, ia tetap
tertawa manis, sikapnya sangat ramah tamah.
"Ah, kakak Peng !" katanya agak heran. "Kenapa cuma
sebab aku memanggil adik Hiong kau menjadi begini bergusar
? Tak dapatkah kau bersabar dan menanti sampai aku telah


selesai bicara? Sampai itu waktu akan aku biarkan kau
menebas dan menikam aku sepuasmu !"
Kiauw In segera merasakan sesuatu yang tak biasanya.
Maka ia lantas menyela sama tengah. Kata ia pada nona she
Tan itu : "Diantara kami dan kau keadaan ada seumpama api
dan air sebab jalan kita ialah lurus dan jalan sesat !
Sebenarnya dari pihakmu ada kata-kata apakah yang
maksudnya baik ?"
"Kakak Kiauw jangan dengarkan ocehannya !" Giok Peng
kata keras. "Dimana ada orang Hek Keng To yang hatinya baik
?"
Walaupun dia berkata demikian, nona Pek sudah
mengembalikan pedangnya kedalam sarungnya. Ia tak lagi
menuruti suara hatinya seperti semula.
Tan Hong berdiri diam. Tiba-tiba ia menangis sebelum
suaranya terdengar, air matanya mendahului meleleh keluar
membasahkan kedua belah pipinya yang putih halus.
"Siapa berasal dari pihak sesat, itu artinya penyesalan
seumur hidupnya" kata ia sesegukan. "Karena itu aku telah
mengambil keputusan buat menukar cara hidupku dahulu hari
itu supaya aku dapat mulai hidup baru tetapi jalan buat
bersahabat dengan kalian itu rupanya sangat sulit lebih sukar
daripada mendaki langit...."
Kiauw In melengak. Lantas ia menunjuki tampang
sungguh-sungguh.


Jilid 15
"Nona" katanya, "jika benar kau telah insyaf dan hendak
merubah cara hidupmu untuk membersihkan dan menyayangi
diri sendiri sungguh itu suatu hal yang menggirangkan yang
harus diberi selamat ! Sampai itu waktu siapakah diantara
sahabat-sahabat kaum Kang Ouw yang tak akan
memandangmu dengan pandangan mata yang lain dari pada
umumnya ? Cumalah hendak aku memberikan penegasan
kepadamu, apabila kau hanya menggunakan akal muslihat
untuk menipu adik Hiong, itulah harapan yang akan sia-sia
belaka !"
Tan Hong masih mengeluarkan air mata dan sesegukan.
"Memang aku ini asal kalangan rendah dan sesat" kata ia
mengakui keadaan dirinya. "Itulah sebabnya, walaupun aku
menaruh hormat dan cinta terhadap Tuan Tio, aku masih
merasa bahwa aku tidak mempunyai rejekinya. Buatku
sekarang ialah tinggal harapan asalkan kalian suka
mengijinkan aku memanggil kakak kepada kalian dan
menyebut adik kepada adik Hiong ! Sebegitu saja, lain tidak !"
Berkata begitu terlihat tegas Tan Hong sangat berduka dan
tak berdaya.
"Dimulut kuda tumbuh gigi gajah, itulah yang sukar terlihat
dan terdengar !" ejek Giok Peng keras dan tajam. "Menyesal
dan merubah kelakuan buat menjadi orang baru ! Itulah
bukan kata-kata yang dapat diucapkan belaka ! Nona Tan, jika
kau hendak bersahabat dan bergaul dengan kami, maka itu
akan harus dibuktikan dahulu. Sekarang dan di belakang hari
!"


Tan Hong mengeluarkan sapu tangannya akan menepis air
matanya.
"Kakak berdua, akan aku perhatikan benar nasihat kalian"
katanya perlahan. "Tetapi datangku malam ini terutama
berhubung dengan kitab ilmu pedang yang hilang dari adik
Hiong. Aku menyesal sekali sebab kitab itu hilang mulanya
disebabkan aku, karenanya aku memikir buat memberikan
tenaganya guna mendapatkan pulang kembali ! Tenagaku
mirip tenaga kapas tetapi hendak aku mencoba menebus
kesalahanku. Aku mau menjadi penunjuk jalan dari perjalanan
kalian ke Huyong ciang, Kiu Kiong San ! Dapatkah ?"
It Hiong yang berdiam sekian lama baru sekarang
membuka mulutnya buat turut bicara.
"Nona Tan, aku bersyukur atas kebaikanmu ini !" demikian
katanya. "Ditangannya Tio It Hiong ada pedang Kang Hong
Kiam panjang maka itu tak aku takuti sekalipun kandang naga
dan gua harimau ! Bagaimanakah bedanya kalau kuil Siang
Ceng Koan dari Hu yong ciang dibandingkan dengan vihara
Kim Hse King dari Ngo Im Hong ? Buat kau nona, lebih baik
nona pulang ke Hek Keng To dimana kau dapat mengunci
pintu guna merenungkan segala perbuatanmu yang sudahsudah
!"
Tan Hong tertawa sedih.
"Baik, adik Hiong !" sahutnya. "Tak perduli kau perlakukan
aku bagaimana juga tetapi hati kakakmu ini telah kuserahkan
kepada kau ! Akan aku dengar kata-katamu ! Jika kau tidak
menghendaki aku pergi ke Kiu Kiong San, baik, akan aku tidak
pergi !"


Berkata begitu airmatanya jago betina dari Hek Keng To itu
berjatuhan deras sekali.
Giok Peng mengawasi tajam, tak ada sedikitpun jua rasa
terharunya. Bahkan ia masih bersikap keras. Dengan gusarnya
dia membentak : "Tan Hong, kenapa kau tidak mau bicara
dengan kakak In dan aku ? Kenapa kau hanya perlihatkan
lagakmu ini pada adik Hiong ? Kau cuma membuat supaya
dirimu terlihat disayang orang ! Apakah kau tak kuatir orang
nanti mengejekmu ?"
It Hiong berdiam mendengar kata-katanya Giok Peng itu.
Baik terhadap nona ini terutama terhadap Kiauw In tidak mau
ia sembarang bicara. Kedua nona itu berarti banyak baginya.
Tak mau ia menyebabkan mereka salah mengerti. Maka ia
melihat dan mengawasi saja ke atas rumah. Ia bagaikan tak
melihat dan mendengar ketiga nona itu.
Diam-diam Kiauw In berkesan baik terhadap Tan Hong, ia
memang berhati halus dan pandangannya juga jauh hingga
melihat dan mendengar dan mengimbanginya. Ia terharu
kalau ia mencapai orang yang putus asa. Demikian maka ia
bisa menempati diri disisinya Giok Peng yang bertabiat keras
itu, yang sangat membenci perilaku yang dianggapnya sesat
dan buruk itu. Cuma disebabkan ia masih memandang Giok
Peng, terhadap Tan Hong tak mau ia sembarang bertindak
mengiringi suara hatinya. Nona Peng terang terpengaruh
kejelusannya, dia pasti berketetapan : "Disisi pembaringannya,
tak dapat dia mengijinkan lain orang turut pulas menggeros
bersama !"
Maka disitu, diantara empat orang itu, ada pikirannya
masing-masing sendiri. Maka, setelah yang satu berdiam,
yang lain membungkam juga. Maka juga, untuk sejenak itu
sunyi senyaplah ruang dimana mereka berada hingga dari


kejauhan terdengar alunan kentongan tanda waktu dari sang
malam...
Lewat lagi sekian lama, Kiauw In yang memecah kesunyian.
"Nona Tan, sudah larut malam" katanya perlahan, "silahkan
kau pulang untuk beristirahat. Jika kau dapat
memperbataskan dirimu dan menyayanginya, baiklah, mari
kita menjadi sahabat-sahabat satu dengan lain ! Nah, sampai
bertemu pula !"
Tan Hong agak terkejut. Ia sampai memperdengarkan
suara "Oh !" Lantas ia mengawasi tajam Kiauw In, It Hiong
dan Giok Peng, terutama terhadap si pemuda.
"Sampai jumpa pula" katanya selang sesaat, lantas
tubuhnya mencelat keluar ruang dimana dia lenyap didalam
kegelapan dari sang malam !
Giok Peng menghela napas lega seperginya jago betina dari
Hek Keng To itu kemudian dengan perlahan ia menepuk
bahunya It Hiong selagi si anak muda diam menjublak.
"Dia telah pergi !" katanya tertawa. "Buat apa kau masih
berdiam saja, adik Hiong ?"
It Hiong terperanjat karena tepukan ke pundaknya itu. Ia
justru tengah kesengsem memikirkan Tan Hong. Apa dan
anggapan orang lain, ia melihat Tan Hong bersungguhsungguh
terhadapnya. Kecuali berasal dari Hek Keng To, pulau
ikan lodan, nona itu tak ada kecelaannya : muda, cantik dan
manis !"
"Apakah kakak ?" tanyanya dalam kagetnya itu.


Giok Peng berdiam. Tapi Kiauw In menghela napas dan
berkata : "Beginilah hidup manusia didalam dunia... Tak dapat
kita memisahkan diri dari kedukaan dan kegirangan, keduanya
mesti berkumpul bersatu padu dan mencar bercerai berai !
Tan Hong harus dikasihhani... Dia bertemu dengan adik Hiong,
lantas ia terjebak dalam lautan asmara, tergugat dalam
gelombang pusar cinta. Guru kita telah berkatai bahwa adik
Hiong sangat terikat kutukan pembunuhan dan asmara.
Memang guru kita itu sangat pandai dan jauh pandangannya,
guru kita mengetahui segala apa jauh di muka...."
"Aa... kakak apakah kata-katamu itu ?" tanya Giok Peng
tertawa. "Apakah bencana asmara adik Hiong itu dapat
diserahkan kepada sang takdir atau nasib ? Tidak ! Kita
manusia yang harus membuat dan menetapinya, kita harus
mempunyai kekuatan untuk mengaturnya ! Kalau kakak
menggunakan kimpay untuk mengekangnya, apakah yang
dapat ia perbuat ? Dapatkah dia dibiarkan sekehendak hatinya
?..."
Hatinya It Hiong bergetar mendengar suaranya Giok Peng
itu. Ia baru saja ingat halnya selama ia merawat diri di Pek
Sek Touw bersama Tan Hong. Untuk membikin tenang hatinya
si nona terutama Kiauw In, ia lantas berkata, "Kakak untuk
selanjutnya didalam segala hal, akan aku mendengar katakata
kalian berdua. Aku harap aku tidak sampai melakukan
sesuatu yang melawani garis."
Giok Peng mengawasi si adik terus ia menoleh kepada
Kiauw In tangannya dia tarik sembari tertawa dia kata : "Lihat
kakak ! Lihat makin lama dia makin bermuka tebal ! Hanya
kata-katanya makin lama makin sedap didengarnya."
Kiauw In tidak menjawab, ia melainkan tersenyum.
Demikian halus budi Pekertinya.


Kalau toh kemudian ia membuka mulutnya, inilah katakatanya.
"Sekarang sudah bukan siang lagi, mari kita beristirahat...."
Dan ia menarik Nona Pek buat diajak memisahkan diri dari It
Hiong.
Malam itu orang menumpang di rumahnya Liok Cim.
Esok paginya baru ayam berkokok, ketiga tamu-tamu ini
sudah bangun dari tidurnya untuk mencuci muka, bersisir dan
berkemas-kemas akan akhirnya berpamitan dari Ba Eng Cung
Liok Cim dan mengajak dua orang Lek Tiok Po berangkat
menuju Kiu Kiong San, gunung mana berada diperbatasan
kedua propinsi Ouwpak dan Kungsy.
Sedangkan Lek Tiok Po pernahnya dialiran bawah sungai
Tiang Kang, di Siang Cui Pa di belakang bukit Siauw Kok San.
Maka juga mereka berlima dapat berjalan bersama-sama
dari Lao sie pang diluar kota kecamatan Lui yang Oawlam,
Giok Peng hendak pulang ke Lek Tiok Po, It Hiong mau pergi
ke Kiu Kiong San dari itu sesampainya di Hongyang Ouwpak,
habis melewati kota itu, mereka berpisah.
Sekarang marilah kita ikuti dahulu Tio It Hiong bersama
nona Cio Kiauw In. Pada suatu hari, tiba mereka sudah di
jalan besar yang terpisahnya dari Kiu Kiong San tinggal kira
lima lie. Disini buat sedetik mereka merunduk ditepi jalan.
Itulah disebabkan mendadak saja mereka melihat seorang
penunggang kuda yang kabur mendatangi, terus melewatinya
sambil dia itu mengawasi si pemuda. Dia bertubuh besar dan
pakaiannya ringkas.


It Hiong merasa mengenali orang itu cuma ia tidak lantas
mengingat-ingat. Justru itu penunggang kuda itu telah
kembali dan tiba di depannya, dia menghentikan kudanya
terus dia lompat turun untuk memberi hormat sambil
menyapa, "Tio Sute ! Sejak kita berpisah apakah kau baik-baik
saja ? Kau membuat kakakmu bersengsara mencarimu !"
Sute.. itu ialah panggilan buat adik seperguruan.
Mendengar suara orang itu, It Hiong berdiri berendeng
bersama Kiauw In untuk mengawasi orang itu, selekasnya ia
telah melihat tegas, ia nampak tercengang saking girang.
"Whie Suheng !" serunya. "Bagaimana ! Bagaimana kita
dapat bertemu disini ? Apakah paman Beng baik-baik saja ?"
Orang itu ialah Whie Hoay Giok. Dia tidak segera menjawab
hanya dia mengeluarkan sapu tangan akan menghapus peluh
serta debu di mukanya. Setelah itu dia nampak lelah sekali,
karena berduka. Dia menghela napas.
"Suhu ?" katanya balik bertanya. "Jiwa suhu sekarang
sedang terancam, bahkan dia mungkin merembet-rembet kau,
sute.. panjang untuk menuturkannya..."
"Suhu" ialah bapak guru.
Hoay Giok berhenti bicara untuk menatap muka orang.
Agaknya sulit dibuatnya berbicara terus. Tentu sekali itu
membingungkan It Hiong.
Kiauw In banyak pengalamannya, ia dapat menerka hati
orang.


"Adik" kata ia kepada It Hiong, "mari kita pergi ke dusun
itu, ke sebuah warung. Supaya di sana leluasa kau bicara
dengan kakak seperguruanmu ini."
"Bagus ! Bagus !" berseru Hoay Giok sebelum suara si nona
berhenti. "Mari"
It Hiong mengangguk. Maka bertiga mereka berjalan
bersama, Hoay Giok menuntun kudanya.
Hanya sebentar, tiba sudah mereka didusun di depan itu.
Langsung mereka memasuki sebuah rumah makan lantas
mereka memesan barang santapan serta sepoci arak. Syukur
tamu-tamu lainnya hanya dua tiga orang saja.
Habis menenggak secawan anggur, It Hiong mulai bicara.
"Suheng, kenapa kau tiba disini ?" demikian tanyanya. "Ada
tejadi apakah atas diri Paman Beng? Apakah ia kembali
diganggu kawanan kuku garuda itu ?"
Yang dipanggil Paman Beng itu ialah Beng Kauw alias Koa
Eng.
"Bukan..." sahut Hoay Giok yang pun habis mengeringkan
cawannnya, "suhu bukan diganggu kawanan garuda hanya ia
terjatuh dibawah pengaruhnya bajingan Jalan Hitam yang
memaksanya untuk berdaya mencari sute yang mereka itu
tantang berkelahi..."
It Hiong terkejut berbareng bersusah hati sampai
meneteskan air matanya. Kata ia seorang diri perlahan :
"Paman Beng adalah tuan penolongku satu-satunya, jika atas
dirinya terjadi sesuatu meski aku pertaruhkan jiwaku mesti
aku menolongnya...." Maka terus ia bertanya, "Suheng, lekas


kau bicara ! Siapakah kawanan bajingan itu ? Apakah
sebabnya maka Paman Beng terjatuh dibawah pengaruhnya ?
Dan kenapakah aku turut terbawa-bawa ?"
Kembali Hoay Giok menghela nafas.
"Nanti aku tuturkan dari mulanya, adik" sahutnya. "Ketika
itu hari, suhu berpisah dari kau di lembah Pek Hai Kok lantas
suhu tinggal berobat dirumahnya tetua Yan San it Tiauw Ngo
Pak San. Suhu sembuh selewatnya dua bulan. Lantas suhu
mengatakan mau pergi ke Kwan hwa buat suatu urusan guna
memenuhi janji dan aku diperintahkan merantau buat mencari
pengalaman. Berselang setengah tahun, pada suatu hari aku
tiba dikaki gunung Ciong Lam San, dimana secara kebetulan
aku bertemu dengan Ga Tauw Kong murid bukan imam dari
Pauw Pok Toa tiang dari Ceng Shia Pay. Ia tengah mengejar
seorang laki-laki yang cara berdandannya aneh, beda daripada
kita. Dia mempunyai kepala dan mata yang kecil. Aku pegat
dia dan merobohkannya dengan satu totokan jalan darah.
Atas pertanyaan dia mengaku bahwa dialah orang cebol dari
jalan hitam dan habis melakukan pembunuhan dan dia
kepergok Ga Tauw Kong maka dikejar itu. Dia mengaku
sebagai muridnya partai Lo Sat Bun di Ay Luo San. Dialah
yang memberitahukan bahwa guru kita telah terkurung
didalam goanya partai itu."
It Hiong terkejut berbareng heran.
"Kalau suhu pergi ke Kwa gwa kenapa sebaliknya ia
tertawan di Ay Luo San ?" tanyanya.
"Itulah anehnya !" sahut Hoay Giok. "Aku menyangsikan
keterangannya penjahat itu. Kemudian aku pergi mencari
keterangan tetapi aku tidak memperoleh kepastian..."


Hoay Giok menenggak pula araknya guna mencoba
melenyapkan pepat hatinya.
Kiauw In menunda sumpitnya.
"Kenapa saudara Whie tidak pergi langsung ke Ay Lao San
?" tanyanya. "Bukankah itu lebih mudah untuk memperoleh
kepastiannya ?"
Hoay Giok menatap si nona.
It Hiong segera berbangkit dan kata, "Maaf suheng, karena
pikiranku kacau, belum sempat aku mengajar kenal kepada
kalian. Inilah kakak Kiauw In, kakak seperguruanku."
Menyebut "kakak seperguruan" itu, It Hiong rada likat,
mukanyapun bersemu merah. Ia merasa tak enak hati sebab
ia tidak bicara terus menjelaskan bahwa si nona adalah
tunangannya. Ia likat.
Kiauw In pun tunduk, mukanya pun bersemu merah.
Hoay Giok cerdas, ia dapat menerka tetapi ia tidak
mengatakan apa-apa.
"Sebenarnya aku memikir seperti katamu Nona Cio" ia
melanjuti keterangannya. "Telah aku pergi ke Ay Lao San.
Malu buat memberitahukan kalian, aku tidak punya guna, di
sana didalam satu pertempuran aku kena dikalahkan..."
It Hiong melihat muka orang merah jengah.
"Jangan menyesal, kakak" katanya menghibur. "Memang
kepandaian seseorang tidak ada batasnya, seperti gunung
yang satu lebih tinggi dari pada gunung yang lain. Kekalahan


bukan hal yang memalukan. Kakak, siapakah itu yang kakak
tempur dan dia dari partai mana ?"
Lagi-lagi Hoay Giok menarik napas panjang.
"Dialah tongcu, ketua nomor empat dari Lo Sat Bun" ia
mengasi keterangan. "Dia Lou Hong Hai gelar Lap Ciu Koan
Im atau Koan Im galak. Dia lihai sekali. Telah aku melayani
dengan menggunakan seratus dua puluh jurus Lohan Ciang
dan ilmu golok Lohan Kun hoat, selewatnya kira dua jam,
akhir aku kena dirobohkan. Dia telah menggunakan dua rupa
ilmunya yaitu tangan Im Yang Ciang dan Lo Sat Khiekang...."
Lo Sat Bun ialah partai Rakas atau raksasa.
"Toh kakak dapat lolos dan kabur dari gunung itu ?" tanya
It Hiong heran.
Hoay Giok minum pula araknya. Ia menepuk meja ketika ia
menjawab adik seperguruannya itu.
"Whie Hoay Giok kalah tetapi dia bukannya si manusia yang
takut mati, yang cuma mau hidup saja !" katanya keras. "Juga
nasib guru kita masih belum diketahui, mana dapat aku
berhenti berdaya dan meninggalkannya pergi ? Bahkan aku
memikir buat mengadu jiwa asal suhu dapat ditolongi !"
"Kalau begitu" kata It Hiong, "Karena kau tidak sanggup
melawan wanita kosen itu bukankah kau telah menggunakan
akal ? Nah, akal apakah itu ?"
"Kau cerdas adik, kau dapat menerka walaupun belum
seluruhnya !" Hoay Giok memuji. "Bahkan dari mulutnya Lap
Chiu Koan Im aku mendengar halnya Kiu Cie Hai Hoan Keng
Su sudah masuk kedalam partai itu..."


"Keng Su itu sangat jahat" berkata It Hiong. "Semasa
digedung hamba di Hap hui telah aku tebas kutung masingmasih
sebelah lengan dan kakinya maka itu seorang cacat
sebagai dia, masihkah dia dapat melakukan kejahatan ?"
"Sabar adik" berkata Hoay Giok. "Nanti aku memberikan
penjelasanku, setelah itu kita akan pikir bagaimana baiknya
membantu suhu..."
It Hiong bersedia mendengari keterangan kakak
seperguruannya itu, maka bersama-sama Kiauw In, ia
memasang telinga.
Menurut Hoay Giok, ketika ia sampai digunung Ay Lauw
San, selagi ia mau menyerbu masuk kedalam gua, ia bertemu
dengan Lap Chiu Koan Im Lon Hong Hai, ketua nomor empat
dari Lo Sat Bun, kaum "raksha" itu, maka berduel mereka
lantas bertarung selama hampir dua jam. Ia baru kena
dikalahkan sesudah Lou Hong Hai menggunakan tipu-jurus
silatnya Im Yang Ciang dan Lo Sat Khie Kang. Saking berduka,
ketika itu ia menggigil seluruh tubuhnya. Hampir ia nekad
membuang diri ke jurang. Di saat genting itu, ia ingat
gurunya, maka batal ia berlaku nekad. Hendak ia mencari tahu
dahulu tentang gurunya itu. Karena itu ia tidak menggunakan
kekerasan, ia memikir menggunakan cara halus. Demikian
sesudah melarikan diri, ia kembali ke mulut gua. Di sini ia
berteriak berulang-ulang : "Kiu Cie Hai Hoan Keng Su mari
keluar ! Mari kau menepati janji!"
Lou Hong Hai yang muncul pula. Datang-datang dia
membentak : "Eh, bocah ! Bukannya kau pergi kabur, kau
berkaok-kaok disini ! Apa maumu ?"


"Aku ingin bertemu dengan Keng Su." Hoay Giok bertahan.
Ia tidak perduli yang ia bentak bekas lawannya itu. "Kami
berdua telah berjanji menjelaskan urusan kami. Tolong Lou
Tongcu menyampaikan kabar kepada Ken Su supaya dia
keluar menemui aku. Sukakah tongcu menolong?"
Lou Hong Hai membenci orang berlaku kasar maka itu
mendengar suara halus bekas pecundangnya, suka dia
melayani bicara.
Begitulah dia bertanya, "Sebenarnya, siapakah kau ? Kau
mempunyai sangkutan apa dengan Kiu Cie Hai Hoan Keng Su
?"
Hoay Giok suka berlaku terus terang. Ia menyebut
namanya sendiri serta nama gurunya.
"Ha ha ha !" tertawa tongcu nomor empat itu. "Beng Koa
Eng ? Dia sudah kena diperdayakan Keng Su ! Dia telah
dikurung disini !"
Panas hatinya Hoay Giok, dia mengertak gigi sebisa-bisa
menahan sabar. Dia tahu, percuma dia berkeras. Sudah
terang dia kalah dari orang she Lou itu.
"Tidak, aku tidak percaya !" kata dia, menggunakan akal.
"Dengan sepasang Thin pit senjatanya yang berupa alat tulis
itu, guruku telah menjagoi di dalam dunia Sungai Telaga,
mustahil dia roboh ditangannya Keng Su ? Aku harap Lou
Tongcu tidak bicara secara sembarangan saja !"
Kembali Hong Hai tertawa. Dengan jumawa ia kata, "Tak
usah Keng Su menggerakkan tangannya sendiri buat dia
sudah cukup asal dia mengatur tipu dayanya yang istimewa !"


"Memang gurumu seorang Kang Ouw kawakan dan
tersohor tetapi dia toh roboh mirip seorang bocah hingga dia
terkurung disini. Coba pikir bukankah itu lucu ? Ha ha ha ha."
"Lou Tongcu" kata Hoay Giok, "benarkah kata-katamu ini ?
Kalau benar dapatkah kau memberi buktinya ?"
"Bocah, kau cerdik !" kata Hong Hai tertawa.
"Baiklah, akan aku mengasi lihat padamu !"
Tongcu nomor empat ini lantas berpaling kepada budaknya
buat mengatakan sesuatu dengan sangat perlahan, atas mana
budak itu segera mengundurkan diri.
Tidak lama maka terdengarlah suara besi beradu dengan
lantai, menyusul itu tampak tibanya seorang yang tubuhnya
besar dan jangkung yang mukanya bengis dan licik.
Dia mengenakan lengan kanan dan kaki kirinya dengan besi
pancangan hingga dia sukar berjalan dengan tindakan kaki
seperti biasa, dia mesti lompat berjingkrakan sekali dengan
sekali atau acul-aculan !
Hoay Giok belum pernah melihat Keng Su, ia mengawasi
dengan bengong kepada orang yang baru muncul itu yang
tampangnya aneh.
"Heng Tongcu telah datang !" terdengar suara Lou Hong
Hui. "Nah, bocah ingin aku ketahui kau mempunyai urusan
apa dengannya yang hendak kau bereskan ?"
Keng Su sementara itu membawa sikapnya acuh tak acuh.
Dengan suara tawar, ia menyapa Hoay Giok.


"Eh, bocah, apakah kau muridnya Beng Koa Eng ?"
demikian tanyanya. "Apakah orang semacam kau tepat untuk
berurusan dengan musuhnya si orang tua ialah Tio It Hiong si
bangsat kecil muridnya Tio Cio si imam tua bangka ?"
"Oh, bangsat tua she Keng !" membentak Hoay Giok gusar.
"Kau telah memperdaya guruku, kau telah memancingnya
hingga guruku datang kemari masih kau bilang kita berdua
tidak mempunyai urusan ?"
Habis berkata anak muda ini menghunus goloknya seraya
melompat maju.
Kiu Cie Hui Hoan tertawa dingin dan menyeramkan.
"Coba tanya pada dirimu sendiri berapa tinggi sudah
kepandaianmu hingga kau sanggup berkelit dari gelang
terbangku ?" kata dia mengejek. "Baiklah jika kau memikir
buat mampus ! Akan aku pakai senjata guru pit besi Tin pai
hong untuk melayani kau beberapa jurus saja !"
Berkata begitu Keng Su menggerakkan tangannya berbalik
maka dilain saat tangannya itu telah tergenggam sepasang
alat tulis dari besi yang dinamakan Bung Ciang pit !
Melihat senjata itu, Hoay Giok ingat kepada senjata
gurunya, yang buat beberapa puluh tahun senantiasa menjadi
genggaman gurunya. Ia menjadi gusar sekali. Ia lantas
menerka mungkin benar gurunya telah orang celakai. Saking
bersedih dan berkuatir, tanpa merasa ia mengeluarkan
airmata. Disitu ia berdiri menjublak.
Kiu Ciu Hui Hoan mengawasi, ia tertawa dingin.


"Eh, bocah buat apa kau menangis ?" ejeknya. "Gurumu
masih belum kehilangan jiwanya." Tak sanggup Hoay Giok
mengendalikan diri lagi. Ia berlompat maju untuk mulai
dengan penyerangannya. Dengan goloknya sebatang ia
menggunakan tipu bacokan, "Sang Badai Menyampok Hujan
Menyamping" membacok pundak orang berwajah bengis itu.
Keng Su melihat golok menyambar ia menanti sampai
senjata itu hampir mengenai sasarannya, ia berlompat berkelit
berbareng dengan mana sebelah pitnya - yang kiri - dipakai
menangkis keatas niatnya untuk membuat senjata lawan itu
terbang pergi.
Kedua senjata beradu dengan keras sampi meletiklah
percikan apinya.
Hoay GIok mundur tiga tindak, tangan kanannya
bergemetaran sesemutan.
Keng Su pun berlompat mundur dengan kaki besinya itu. Ia
merasakan tenaga si "bocah" bukan sembarang tenaga.
Habis itu Hoay Giok maju pula menyerang dengan sebuah
tipu dari golok Lohan To hoat atau lima golok arhat, namanya
Batu Bandel Mengangguk.
Keng Su tahu orang bertenaga besar tak sudi ia mengadu
tenaga pula. Ia berkelit kesisi darimana segera ia
memperdengarkan suaranya nyaring : "Aku si orang tua tak
sempat melayani kau main-main, tetapi jika kau ingin
menyelamatkan jiwanya si orang she Beng, kau mesti dengar
kata-kataku !"
Mendengar demikian si anak muda tak mendesak lagi.


"Siluman tua she Keng kau hendak bicara apa ?" tegurnya.
"Kau bicaralah !"
Keng Su tertawa seram.
"Baik kau ketahui bocah !" katanya. "Aku si orang tua
dengan si bangsat kecil Tio It Hiong itu aku mempunyai
permusuhan hutang darah dan itu harus diberus, diselesaikan,
cuma sekarang ini aku tidak mempunyai waktu luang buat
mencari dia guna membereskannya, karenanya terpaksa aku
menggunakan akal membekuknya. Aku membuatnya menjadi
manusia tanggungan ! Asal si bangsat kecil Tio It Hiong
datang kemari, akan aku segera bebaskan dia !"
Selekasnya Keng Su berhenti bicara terdengar pula suara
besi beradu dengan lantai seperti suara datangnya dia tadi
lantas dilain saat dia sudah tak tampak lagi. Habis bicara itu
dia kembali masuk ke dalam gua, ke dalam sarangnya !
Menutur sampai disitu Hoay Giok mendongkol bukan
kepalang, mukanya menjadi merah padam, ototnya sampaisampai
pada menonjol keluar, mandadak dia menepuk meja
membuat cawan menari berjingkrakan, araknya tumpah,
cawannya hancur di lantai !
Sepasang alis It Hiong juga bangun berdiri, tetapi ia tak
berdiri diam saja. Hanya sesaat kemudian tampak airmatanya
berjatuhan. Inilah karena ia membayangkan bagaimana
penderitaannya Beng Koa Eng di dalam Lo Sat Tong. Gua
Raksa dari Keng su di Ay Lao San, sedangkan ia menyayangi
orang she Beng itu bagaikan ayahnya sendiri. Ia menjadi
bingung, sudah mesti mencari kitab pedang gurunya,
sekarang muncul perkara orang kosen kepada siapa ia
berhutang budi besar. Kalau ia ayal-ayalan mungkin Hian Ho
sempat berlari jauh dan menyembunyikan diri hingga sukar


dicari atau Kao Eng akan terbinasa ditangan musuh. Atau lagi
kalau Hian Ho mendapat cukup waktu ada kemungkinan dia
sempat mempelajari ilmu pedang Sam Cay Kiam itu. Hian Ho
bukan seorang bodoh bahkan pintar dan cerdik ! Dan kalau
dia pandai Sam Cay Kiam itu membahayakan pertemuan di
Tay San pada tanggal lima belas bulan kedelapan nanti !
Dalam bingungnya It Hiong terus menatap Hoay Giok.
Kiauw In mengawasi adik Hiongnya itu. Ia dapat menerka
kesangsian si adik. Mengurus pamannya dahulu atau mencari
kitab ilmu pedang ? Ia cerdas lantas saja ia mendapat pikiran.
Maka ia tertawa dan kata, "Adik Hiong, di dalam keadaan
seperti orang harus berlaku tabah ! Bukankah kau kenal
pepatah yang berkata, Tiba berlaksa kesulitan, orang harus
membesarkan nyalinya ? Kenapa sekarang kau bersangsi saja
?"
Hatinya It Hiong memukul mendengar kata-katanya kakak
In nya. Ia lantas berpaling kepada si kakak dan menghela
nafas.
"Aku seorang yang kasar dan kurang pengalaman." kata ia
mengakui. "Kesukaran paman Beng membuatku putus asa. Di
lain pihak aku dibingungkan urusan kitab ilmu pedang kita.
Kitab itu tak kurang pentingnya. Bagaimana aku harus
bertindak ? Kakak In tolong kau memberikan petunjuk
padaku...."
Ketika itu, Hoay Giok berkata pula. Dia sangat
menguatirkan keselamatannya Kao Eng. Dilain pihak dia belum
tahu artinya Sam Cay Kiam bagi It Hiong bertiga.
"Adik, apakah yang kau sangsikan pula ?" demikian katanya
suaranya nyaring. "Suhu tengah terkurung, dia berada


ditangannya orang-orang jahat dan kejam ! Kawanan bajingan
itu tak mengenal kasihan ! Kita tak akan dapat hidup lebih
lama pula andiakata terjadi sesuatu yang tak dikehendaki atas
diri suhu ! Adik, mari kita pergi dahulu ke Ay Lao San ! Habis
itu baru kita urus yang lainnya !"
It Hiong mengagumi kakak seperguruannya itu, yang
semangatnya tebal. Sendirinya semangatnya terbangun juga.
Maka ia dapat lantas mengambil keputusan.
"Kakak, mari kita pergi ke Ay Lao San !" katanya.
Kiauw In tersenyum melihat sikap orang itu serta
keputusannya sesudah sekian lama si anak muda terbenam
dalam kesangsian.
"Kakak Whie dan adik Hiong" demikian katanya sabar, "aku
minta janganlah kalian begini bernapsu. Berlakulah tenang
dan membuatlah kepala kalian dingin. Tak dapatlah kalau kita
memikirkan pula dengan seksama ?"
Darahnya It Hiong dan Hoay Giok bagaikan tenaga
bergejolak, keduanya menoleh mengawasi nona Cio.
Kiauw In tertawa, sikapnya tenang dan wajar.
"Kakak Whie dan adik Hiong, tenanglah" demikian katanya
sabar sekali. "Dalam hal ini kita harus berlaku sabar dan teliti,
harus kita memecahkan persoalan dengan cermat. Tidak ada
faedahnya kita bekerja dengan ragu-ragu..."
Hoay Giok tidak puas.
"Nona mempunyai daya apakah ?" tanyanya. "Aku minta
sukalah nona menjelaskannya !"


Kiauw In mengawasi pemuda itu.
"Saudara berdua mau pergi ke Ay Lao San buat membantu
paman Beng. Itulah tugas suci kalian" katanya sabar,
"walaupun demikian, tak usah saudara-saudara tergesa-gesa
sekali. Menurut pandanganku, jiwanya paman Beng tidak
terancam langsung, tidak dalam waktu yang pendek ini.
Bukankah ia tidak bermusuhan besar dengan Keng Su ? Kalau
umpamanya Keng Su hendak merampas jiwanya, tak nanti dia
menanti sampai sekarang ini ! Buat apakah dia berlarut-larut ?
Musuh Keng Su ialah adik Hiong ! Dia telah kehilangan sebelah
lengan dan kakinya, pasti dia tak lagi dapat bergerak dengan
bebas ! Dengan kelemahannya itu mana dapat dia merantau
mencari adik Hiong ? Disebelah itu, masih ada soal ilmu
silatnya. Taruh kata dia telah melatih diri dengan hebat, dia
tetap kurang kepercayaan atas dirinya bahwa ia akan sanggup
mengalahkan adik Hiong. Maka itu, guna menuntut balas, dia
mengharapi bantuannya kaum Lo Sat Bun, terutama hendak
mengandalkan pelbagai alat rahasia partai raksasa itu ! Dia
harus membuat orang bercelaka kalau dia mau berhasil
membuat pembalasan ! Begitulah dia menggunakan akalnya
ini, menawan dan menahan paman Beng kalian itu, membuat
pamanmu itu sebagai manusia tanggungan ! Adik Hiong mau
diumpamakan ikan yang nanti menyebar pancing dan
menelannya. Kalau ikan belum makan pancing, mana mungkin
umpannya dibinasakan terlebih dahulu ? Nah, kalian pikirilah,
benar atau tidak pikiran ini..."
Hoay Giok dapat berpikir. Ia melihat alasan si nona tepat.
"Jadi, nona" kata ia sabar, "menurut nona kita pergi dahulu
ke Kui Kiong San ?"
Kiauw In mengangguk.


"Ya, kita bekerja dengan mengimbangi keadaan" sahutnya.
"Buat bekerja, kita harus pilih mana yang lebih penting dan
mana yang harus didahulukan ! Umpamanya kitab pedang
Sam Cay Kiam. Ilmu pedang itu bisa melukai orang banyak
kalau sampai dapat dipahamkan orang jahat. Bicara tentang
orang banyak, itulah tak ada batas jumlahnya. Waktunya pula
mendesak ! Makin lama kitab berada ditangan orang, makin
banyak kesempatan buat dia mempelajarinya dan makin
banyak kesempatan buat mempelajarinya hingga sempurna !
Bagaimana dia dapat dikekang kalau dia telah menjadi lihai
sekali ? Celakalah dunia persilatan yang lurus. Maka itu, perlu
kita pergi dahulu ke Kui Kiong San. Buat pergi ke gunung itu
kita membutuhkan waktu tidak sampai dua hari maka kita
akan tiba di sana dalam waktu yang sesingkat. Sesampai di
vihara Siang Ceng Koan di Hoyong ciang itu kita akan bekerja
secara seksama. Aku harap dengan waktu hanya lima atau
tujuh hari, akan sudah selesai usaha kita ini. Bagaimana
andiakata kita pergi dahulu ke Ay Lao San yang jauhnya enam
atau tujuh ratus lie yang dibutuhkan waktu sepuluh sampai
setengah bulan ? Tungkul kita pergi ke Ay Lao San maka ada
kemungkinan Hian Ho telah kabur dan bersembunyi entah
kemana.... Habis kemanakah kita harus mencarinya ?"
It Hiong kagum sekali. Sungguh beralasan kata-katanya
kakak In itu.
"Kakak, kita berdua benar-benar bangsa kasar" katanya
pada Hoay Giok. "Mana kita sanggup memikir teliti seperti
kakak In ini ? Maka itu sekarang, bagaimana pikiran kakak ?
Setujukah kita pergi dahulu ke Kiu Kiong San ?"
Hoay Giok telah mulai tenang diri, maka itu dapat ia lantas
menjawab : "Baik" sahutnya. "Baik kita turut pikirannya kakak
In !"


Nona Cio tertawa.
"Masih ada satu pikiranku" katanya. "Entah bagaimana
kakak Whie.."
"Aku dan saudara Tio ada seumpama saudara kandung"
kata Hoay Giok sungguh-sungguh, "kalau ada sesuatu yang
aku harus kerjakan kalian bilanglah, tidak ada halangannya
buatku !"
"Kakak Whie, kenalkah kakak dengan adik Pek Giok Peng ?"
Kiauw In tanya.
"Apakah dia Nona Pek Giok Peng yang dikenal sebagai
Siauw Yan Jie si walet mungil dari Lek Tiok Po ?" Hoay Giok
balik bertanya.
"Tidak salah !"
"Tentang nona itu aku cuma baru dengar namanya. Belum
ada kesempatanku bertemu dengannya..."
"Eh, kakak In, apakah maksudmu ?" sela It Hiong heran.
"Tidak apa-apa !" sahut si nona tertawa. "Aku cuma
memikir meminta kakak Whie pergi ke Kiu Kiong San guna
mencari tempat penginapan, buat dia menanti tibanya adik
Peng itu. Setelah bertemu, berdua meraka lantas berangkat
menyusul kita, buat mereka memberikan bantuannya. Kita
harus jaga supaya kita tak putus hubungan satu dengan lain !"
It Hiong setuju. Lantas dia memberitahukan Hoay Giok
tentang kakak Peng nya itu yang pulang ke Liok Tiok Po dalam


beberapa hari ini pasti sudah kakak itu akan pergi Kiu Kiong
San, karenanya haruslah mereka ada bersama.
Hoay Giok mengerti akan tugasnya itu, dia menganggukangguk,
bahkan segera saja mengambil selamat berpisah buat
berangkat terlebih dahulu.
Gunung Kiu Kiong San terletak melintang diantara kedua
propinsi Hangsay dan Ouwoak, panjangnya beberapa ratus lie
puncaknya tinggi, ada curamnya, ada lembah-lembahnya yang
sunyi ada pula hutan serta jalan kecilnya yang berliku-liku.
Disitu ada bagian-bagiannya yang tak pernah orang datangi.
Pula kabut biasa bagaikan menutup jalan sebab orang sukar
melihat apa-apa, hingga selekasnya berada di gunung itu
sukar mengenali arah....
It Hiong dan Kiauw In tiba di kaki gunung besoknya tengah
hari. Itulah kaki gunung bagian selatan. Mereka tidak kenal
puncak Hu yong ciang, karenanya mereka mesti tanya pada
pencari kayu. Tapi beberapa orang yang ditanyakan semua
menggeleng kepala. Hal itu menyulitkan mereka. Maka Nona
Cio mesti menggunakan otaknya berpikir : "Kawanan tukang
kayu tak dapat mendaki gunung lebih daripada setengahnya,
tidak heran jika mereka tak kenal Huyong ciang" katanya.
"Aku menerka pada bagian tertinggi atau teratas dari puncak
utama. Maka itu adik, mari kita mendaki terus !"
Berkata begitu tanpa menanti lagi jawaban "Ya", Kiauw In
lantas menarik tangan orang buat diajak berlari-lari naik.
It Hiong turut berlari.
Bagi mereka itu berdua jalanan sulit tidak menjadi soal.
Dua-dua mereka sudah mahir sekali pelajaran mereka ilmu
ringan tubuh Tangga Mega. Dan mereka berlari terus selama


dua jam diwaktu mana barulah mereka tiba di pinggang
gunung. Di sini mereka lantas melihat kelilingan. Mega dan
kabut membuat mereka tak dapat melihat dengan tegas
bahkan jalanan yang tadi mereka ambil pun seperti
menyelinap hilang.
Untuk beristirahat mereka duduk diatas sebuah batu besar,
merekapun sekalian mengisi perut mereka dengan rangsum
kering yang dibekalnya. Sembari makan itu sering mereka
memandang kesekitarnya. Terutama untuk melihat cahaya
matahari yang telah mulai doyong ke barat tanda dari sang
lohor.
"Mari, kita maju lagi !" kata si nona kemudian pada
kawannya sembari ia tertawa menandakan kegembiraannya.
"Mari kita lihat ada atau tidak vihara diatas gunung ini. Kalau
tidak kita mencari gua untuk berlindung melewati sang
malam..."
It Hiong berdiam nampak dia berpikir.
"Aku berpikir buat kita meneruskan perjalanan di waktu
malam" katanya kemudian.
"Perjalanan malam boleh tetapi ingat inilah hutan dan disini
pasti banyak binatang hanya terutama bangsa ular." berkata si
nona. "Itulah bukannya perjalanan yang tiada bahayanya.
Laginya kita masih belum tahu dimana letaknya Huyong ciang.
Apakah itu bukannya berarti perjalanan sia-sia belaka ?"
Berkata begitu, nona Cio bangkit berdiri, ia melihat pula
kelilingan. Ketika itu angin gunung lagi bertiup-tiup kepada
pepohonan hingga terdengar suaranya sayup-sayup. Kecuali
suara sang angin diantara pepohonan itu seluruh gunung


sunyi sekali. Justru didalam keadaan sunyi senyap itu tiba-tiba
mereka berdua mendengar suara genta samar-samar..."
"Ah !" seru si nona gembira sekali. "Suara itu datang dari
barat daya. Tentu di sana ada vihara atau rumah berhala !"
It Hiong memasang telinga. Masih sempat ia mendengar
alunan genta itu, ketika ia berpaling kepada Kiauw In, ia
melihat wajah kakak itu sangat gembira hingga kecantikannya
mentereng sekali, kulit mukanya merah dadu, ayu dan agung.
Itulah wajah yang mendatangkan kekaguman dan cinta kasih.
Tanpa merasa si anak muda melihat dan melihat lagi tak
hentinya.
Kiauw In melihat orang menatapnya demikian rupa tanpa
merasa hatinya berdenyut bukan main ia merasa bunga
hingga mukanya menjadi seperti bertambah dadu.
"Eh, oh, kau kenapa ?" tegurnya. "Memangnya kau belum
pernah melihat mukaku ini ?"
It Hiong bagaikan terasadar dari tidurnya. Ia jengah.
"Tidak" sahutnya likat. Ia kuatir kakak itu gusar. "Hanya
aku lihat kakak pada pipimu yang kiri ada sujannya."
Nona itu bersenyum terus ia tunduk. Ia likat sendirinya !
"Mari !" kata si nona kemudian sesudah ia menarik pemuda
yang tampan itu. "Kau lihat sang maghrib akan segera tiba !"
Dan ia bertindak lebih dahulu.


It Hiong mengebuti bajunya lantas mengikuti. Ia berjalan di
belakang si nona hingga ia melihat satu petakan tubuh yang
ramping sekali.
Berdua muda mudi itu berlari-lari ke arah dari mana suara
genta terdengar tadi. Tidak ada yang bicara tetapi mereka
manis sekali. Tanpa banyak lagak tetapi cinta mereka cinta
murni...
Mereka berjalan terus sampai tanpa merasa si puteri malam
mulai muncul. Entah berapa puncak dan rimba yang telah
mereka lewati. Tiba-tiba mereka mendengar pula suara genta
seperti tadi. Hal itu sangat menggairahkan hati mereka itu.
Teranglah akhirnya mereka tiba di tempat tujuan. Tiba-tiba
saja semangat mereka mendapat kejutan luar biasa, bukan
main gembiranya mereka.
Di depan mereka ada segundukan pepohonan lebat, suara
genta datang dari dalam situ. Kesana mereka maju.
"Dua kali genta berbunyi" kata It Hiong perlahan. "Kakak,
adakah itu pancingan untuk kita atau hanya kebetulan saja ?"
Kiauw In tersenyum.
"Mungkin itulah tanda waktu dari penghuni-penghuni
rumah suci itu" sahutnya. "mungkin itu tanda mulai atau
habisnya upacara sembahyang. Bagi kita itulah sangat
kebetulan kita menjadi memperoleh arah kemana kita harus
menuju."
Selagi bicara mereka sudah mulai memasuki tempat
pepohonan itu, hutan pohon rimba yang bayangannya
memain diantara cahaya rembulan yang bergeraknya lunak
itu.


Tak jauh dari kumpulan pepohonan itu lantas tampak
sebuah jalanan yang terbuat dari batu kolar yang teratur rapi,
yang menanjak naik dan berliku-liku. Di kiri dan kanan masih
merupakan hutan bambu. Habis hutan itu adalah sebidang
tanah terbuka yang bundar lebar yang terkurung dengan
gunung. Ditengah-tengah itu terdapat bangunannya, ialah
sebuah vihara yang tidak terlalu besar yang formasinya
mengandal pada gunung.
Dari jauh tampak bangunan merupaka tiga gundukan,
tengah dan kiri dan kanan. Yang kiri dan kanan itu tentulah
tempat kediaman orang para beribadat dari vihara itu.
Dengan berani sepasang muda mudi ini berjalan terus
menginjakkan kaki diantara Pekarangan rumput di depan
vihara. Tembok Pekarangan ini kebetulan pintu kiri terbuat
dari batu hijau. Di atas daun pintu sekali, pada tembokan batu
hijau juga, terlukiskan dengan huruf-huruf besar air emas
namanya vihara itu ialah vihara Kie Lek Hud. Di kiri dan kanan
pintu pada batu hijau juga atau granit, terukirkan gambar dari
pelbagai macam seperti rumput dan bunga, kutu dan ikan.
Daun pintu bercat hitam seluruhnya dan waktu itu sedang
terkunci rapat. Berdiri di hadapan pintu, bayangan muda mudi
itu terpetakan oleh sinarnya si putri malam. Buat sesaat,
mereka berdua berdiri sambil berpikir : mengetuk atau jangan,
untuk menumpang bermalam. Tentu sekali, sambil
menumpang itu, mereka mau mencari tahu jalan untuk pergi
ke Huyong ciang. mereka bersangsi sebab mereka pun mau
mau menerka jangan-jangan vihara ini menjadi vihara
terdepan, atau mata-mata dari kuil Siang Ceng Koan yang
mereka hendak datangi. Kalau terkena hal itu berarti mereka
memasuki gua harimau dan mudahlah mereka nanti dibikin
celaka dalam gelap.


It Hiong yang habis sabar.
"Kakak, buat apa kita berdiri menjublak disini ?" katanya
kepada Kiauw In. "Baiklah kita ketuk pintu dan menjelaskan
maksud kita ingin menumpang bermalam. Asal terus kita
berwaspada !"
"Aku juga tidak dapat memikir lainnya jalan," sahut si nona.
"Hanya ada satu soal, andia kata vihara ini bukan sarang
penjahat dapatkah mereka mengijinkan orang perempuan
bermalam disini?"
"Orang beribadat berhati murah mustahil ada semacam
larangan !" kata It Hiong keras-keras.
Kiauw In tertawa.
"Kau lupa adik ! Bagaimana waktu kita bermula kali tiba di
Siauw Lim Sie ?" katanya. "Bukankah waktu itu adik Peng dan
aku dilarang menumpang bahkan dilarang memasuki pendopo
lebarnya ?"
It Hiong ingat soal itu, ia jadi berpikir.
"Jika benar ada larangan semacam itu" katanya kemudian,
"baik kita tanya saja jalanan ke Huyong ciang. Memangnya
kita tidak memikir buat menumpang bermalam disini."
Begitu berkata tanpa menanti jawaban si nona, It Hiong
melompat ke depan pintu sekali untuk ia meluncurkan
tangannya kepada gelang pintu yang bermuka binatang, maka
dilain saat berisik sudah suaranya gelang beradu pada daun
pintu berulang-ulang. Setelah itu ia berdiri diam menantikan.


Lewat sekian lama tidak ada orang yang muncul untuk
menegur atau membukakan pintu. Habis suara berisik itu
vihara sunyi seperti semula.
It Hiong jadi tidak puas maka ia membunyikan gelang pintu
itu dengan terlebih keras hingga suara berisik itu mengalun
jauh ke sekitar gunung, memecahkan kesunyian malam itu.
Lewat lagi sekian lama masih kesunyianlah menyambut
ketokan pintu It Hiong itu. Tentu sekali hal ini membuatnya
penasaran hingga hendak ia mengetuk pula sekeras-kerasnya.
Tepat itu waktu, Kiauw In lompat pada si anak muda untuk
mencegahnya.
"Kenapa sih tak sabaran begini macam ?" katanya.
"Sudahlah !"
Baru berhenti suaranya Kiauw In atau ia dan kawannya
dikejutkan suara tiba-tiba yang terdengar dari arah belakang
mereka.
"Para tan wat, selamat pagi !" demikian satu suara sapaan.
"Tan wat" ialah penderma atau pengamal dan oleh para
pendeta bisa digunakan sebagai panggilan umum kepada
orang yang ditemuinya.
Muda mudi itu memutar tubuh dengan kaget, tetapi mereka
dapat menenangkan hati. Mereka lantas melihat orang yang
menegurnya, yang mulanya mirip satu bayangan anak kecil.
Ternyata dialah seorang kacung pendeta. Dia menghadapi
muda mudi itu sembari memberi hormat dengan merangkap
kedua tangannya.
Berdua mereka lantas memberi hormat.


"Tak usah banyak hormat bapak guru kecil !" berkata si
nona yang terus menyambar lengannya It Hiong buat diajak
turun beberapa undakan tangga.
It Hiong tidak puas maka juga ia kata didalam hatinya,
"Kau pendeta cuma suaramu saja sedap didengar ! Kenapa
kau tidak membuka pintu mengundang kami masuk hanya kau
muncul secara tiba-tiba dengan diam-diam ? Lihatlah
bagaimana caranya kau mengundang kami masuk ke dalam.
Ia tidak menjawab undangan itu.
Kacung pendeta itu lantas berkata pula, "Para tanwat,
ketua kami mengundang tanwat masuk kedalam untuk minum
teh !"
Kiauw In sebaliknya. Nona cantik yang luwes itu berkata :
"Kami justru lagi minta menumpang barang satu malam !
Tolong bapak guru kecil memimpin kami..."
"Silahkan !" berkata pula kacung pendeta itu seorang
suebie yang terus saja berlompat menaiki tangga hingga ia
berada di muka pintu sekali diwaktu mana dengan satu
gerakan tangannya, ia membuat daun pintu gerbang itu
terbuka terpentang. Ia berdiri disisi pintu sambil
mempersilahkan pula kedua tamunya, "Silahkan masuk !"
It Hiong lantas bertindak masuk diikuti Kiauw In.
Semasuknya dari pintu gerbang itu pendopo pertama yang
It Hiong berdua memasuki adalah Wio To Tian, pendopo Veda
yang gelap dan sunyi.
Setelah mereka masuk kedalam, pintu gerbang tertutup
sendirinya.


Ketika itu cuma dari belakang pendopo itu tampak sedikit
sinar terang. Maka It Hiong lantas mengeluarkan sumbunya
buat menyalakannya, untuk dengan itu mereka bisa melihat
jalanan. Si kacung pendeta sebaliknya lantas mengeluarkan
sesuatu dari sakunya setelah ia kibaskan itu ditangannya
tampak sebuah lentera mungil. Yang heran walau lentera itu -
tongloleng- dapat menyala sendiri dan lilinnya dapat memberi
penerangan sejauh dua tombak.
Dengan membawa lenteranya itu si kacung berjalan di
muka. Kata ia sembari berjalan, "Para tanwat datang malammalam
kemari mungkin ada urusan penting yang hendak
dibicarakan dengan ketua kami, bukankah ?"
"Tidak ! tidak ada urusan penting." sahut It Hiong. "Kami
cuma ingin mohon bermalam disini !"
Heran pendeta cilik itu. Dia tertawa.
"Oo, seorang laki-laki sejati, kenapakah bicaranya raguragu
?" Demikian katanya.
Mendengar demikian It Hiong segera berpikir : "Kacung ini
masih sangat muda tetapi dia sudah cerdik sekali !"
Sedangkan terhadap si kacung ia berkata : "Aku berbicara
sejujurnya, tidak aku mendusta, harap bapak guru kecil dapat
maklumkan kami !"
Kacung itu tidak bicara pula, dia hanya berjalan cepat
menuju kedalam, ketika toh terdengar suaranya ia berkatakata
seorang diri dengan suaranya yang kurang lancar dan
tegas : "Ilmu sakti Bii Cong dari suhu malam ini mungkin
keliru."


Kiauw In melengak mendengar kata-kata orang yang ia
dapat tangkap dengan tegas.
"Bapak guru kecil," tanyanya, "apakah gelaran dari bapak
guru kau itu ? Dapatkah kau memberitahu kepada kami ?"
"Mohon tanwat memaafkan aku, tak dapat aku
memberitahukannya" sahut kacung pendeta itu. "Biasanya
orang menyebut saja Lo hwesio, bapak pendeta yang tua,
maka itu silakan tanwat berdua menyebutnya begitu saja."
Ketika itu mereka sudah tiba dihalaman dalam, yang
berupa latar kosong, terus berjalan sampai di muka pintu
tunsit, kamar peranti membuat obat. Di muka pintu sekali si
kacung pendeta berdiri seraya mengangkat tinggi lenteranya,
terus ia berkata dengan nyaring : "Suhu, kedua tamu yang
terhormat sudah sampai !"
Dia memanggil "suhu" bapak guru pada gurunya itu.
"Silahkan undang masuk !" terdengar suara dari dalam,
jawaban yang berupa perintah.
kacung itu menolak daun pintu untuk bertindak masuk. Ia
mempersilahkan kedua tetamunya.
It Hiong dan Kiauw In bertindak masuk ke dalam kamar itu.
Di situ diatas pembaringan tanpa kelambu, mereka lantas
mendapat lihat seorang pendeta tua sedang duduk bersila,
pendeta mana mempunya wajah yang mengasi kesan sangat
baik, yang janggutnya putih panjang sampai di dadanya. Dia
pula nampak agung hingga siapa saja yang melihatnya pasti
muncul rasa hormatnya.


Sepasang muda mudi itu bertindak maju untuk memberi
hormat. It Hiong yang berkata : "Aku yang muda Tio It Hiong
dan Cio Kiauw In mengharap kebahagiaan bapak guru !"
Pendeta tua itu tertawa manis.
"Jangan pakai banyak aturan, tanwat berdua !" katanya
halus. "Silahkan duduk !" Ia pula mengundang minum teh
yang terus disuguhkan muridnya.
Dengan mengucap terimakasih, It Hiong berdua duduk
disisi si pendeta. Mereka minum teh.
Ketika si anak muda hendak memberitahukan maksud
kedatangannya, pendeta itu mendahului ia dengan berkata :
"Tak usah tanwat menjelaskannya, aku si pendeta tua sudah
ketahui ! Silahkan duduk, nanti aku pikirkan dahulu..."
It Hiong dan Kiauw In saling melirik. Mereka membungkam.
Pendeta tua itu duduk bersila, ia berdiam bagaikan tengah
bersamadhi. Kira sehirupan baru terdengar tawanya, tak
nyaring tetapi sedap didengar telinga. Setelah itu ia membuka
mulutnya.
"Tan wat berdua mau pergi ke Hayong ciang, apakah
tanwat sudah ketahui perihal kuil Sang Ceng Koan itu ?"
demikian tanyanya.
It Hiong menggeleng kepala.
"Pengalamanku masih sangat sedikit, tentang itu belum
dapat aku memikirkannya." sahutnya terus terang.


"Siapa tahu lawan, dia tahu dirinya sendiri, itulah
menyebabkan orang seratus kali berperang seratus kali
menang !" berkata si pendeta tua. "Tentang pepatah itu
baiklah tanwat perhatikannya dengan seksama. Maafkan jika
aku si pendeta tua banyak mulut. Itulah pelajaran utama bagi
siapa yang hendak memasuki dunia Sungai Telaga. Di dalam
dunia Sungai Telaga terdapat banyak sekali kesesatan dan
kesulitan..."
It Hiong berbangkit menjura.
"Aku yang rendah bodoh sekali" katanya hormat,
"pendengaran dan penglihatanku sangat sedikit, maka itu aku
mengharap bapak guru tidak berkeberatan akan memberi
pengajaran atau petunjuk padaku.."
"Aku yang tua sudah mensucikan diri, maka juga telah lima
puluh tahun lebih aku tidak campur lagi urusan dunia
persilatan seumumnya." kata pendeta itu sabar. "Pula kamar
obatku ini juga biasanya tidak menerima kunjungan tamutamu
bukan orang beribadat. Barusan kebetulan aku tengah
melatih ilmu Bii Cong maka tahulah aku tentang tibanya dua
orang murid pandai dari Tek Cio To tiang. Ini berarti bahwa
kalian telah memenuhi panggilan karma atau tanda dari
permulaan dari kutukan pembunuhan kaum persilatan.
Jilid 16
"Semoga kita menerima berkahnya Sang Buddha, supaya
siang-siang kawanan setan nanti menerima bagiannya supaya
dunia rimba persilatan lekas aman sentosa ! Baru saja aku si
pendeta tua selesai membaca doa maka juga aku dapat
menyuruh muridku mengundang tanwat berdua datang kemari
untuk kita beromong-omong."


"Kami datang kemari kami mau mencari dan mendapati
pulang kitab ilmu pedang Sam Cay Kiam dari guru kami."
Kiauw In turut berkata. "Kami mau pergi ke Huyong ciang
tanpa kami menghiraukan ancaman malapetaka. Entah di kuil
Siang Cung Koan itu ada perangkap apa serta orang lihai
bagaimana...."
Pendeta itu tertawa.
"Semua itu tak dapat lantas dijelaskan satu demi satu !"
sahutnya. "Hanya dapat aku terangkan, ketika barusan aku
meramalkan ternyata tanwat berdua bakal mengalami
kekagetan tetapi tidak merebutnya...."
Biasanya orang berlaku manis budi. It Hiong tapinya kurang
puas. Ia menghargai penjelasan bukannya kata-kata yang
artinya tersembuyi. Maka dengan tampang sungguh ia
berkata, "Aku yang tendah tak memikirkan soal mati dan
hidup dan datang kami kesini selain ingin menumpang
melewatkan sang malam juga sekalian untuk mohon diberi
petunjuk jalanan guna pergi ke Huyong ciang. Petunjuk itu
saja sudah cukup bagi kami, itu akan sangat memuaskan !"
Pendeta tua itu memperdengarkan puji Sang Buddha.
"Tio tanwat sungguh jujur, harap maafkan aku si pendeta
tua yang tak lekas mengetahuinya." katanya. "Baiklah, besok
akan aku titahkan muridku mengantarkan kalian pergi ke
Huyong ciang ! Sekarang silahkan tanwat berdua pergi
beristirahat."
Begitu berkata pendeta itu memejamkan matanya.


It Hiong tahu bahwa pembicaraaan sudah selesai. Berdua
Kiauw In, ia memberi hormat. Lantas mereka mengikuti si
kacung pendeta yang memimpinnya ke kamar dimana mereka
dapat beristirahat. Atau mendadak terdengar suaranya si
pendeta tua itu : "Tanwat, tunggu sebentar ! Mari hendak aku
si pendeta tua menghadiahkan sesuatu yang tak berharga..."
It Hiong berdua kembali, mereka menghampiri pendeta itu.
Sang pendeta memegang sebuah peles kecil, ia angsurkan
pada tamu-tamunya yang muda itu sembari ia berkata : "Ilmu
silatnya si tua tidak berarti, tak dapat aku memberikan
sesuatu, karena itu sudi apakah kiranya tanwat menerima ini
barang mainan yang tak berharga. Khasiatnya obat ini ialah
untuk melawan segala macam racun. Sebelumnya memasuki
Huyong ciang, baik tanwat telan dahulu tiga butir, obat ini
pasti ada faedahnya...."
It Hiong menyambuti sambil menghaturkan terima kasih.
Kembali ia memberi hormat. Lalu terus ia turut si kacung
pendeta pergi ke kamar peristirahatan.
Besok paginya si kacung pendeta menyuguhkan barang
makanan sangat sederhana. Mereka mengisi perut, habis itu
berdandan. Mereka mau pergi ke kamar obat, untuk
berpamitan dari si pendeta tua, atau si kacung yang telah
muncul pula kata pada mereka, "Tak usah tanwat menemui
guruku lagi, sekarang juga kita berangkat !"
Itu artinya si pendeta telah memesan buat orang segera
berangkat.
Muda mudi itu tidak memaksa malah mereka lantas
mengikuti kacung itu yang memimpin keluar kuil. Ketika itu


matahari baru saja muncul, sinarnya terang tetapi masih
lunak. Angin pagi sejuk sekali.
Kacung pendeta itu membuka jalan terus saja, dia berjalan
dengan cepat. Dia pendia ilmu lari ringan tubuh. Maka It
Hiong berdua mengikuti dengan berlari-lari juga. Saking
kerasnya lari mereka tak sempat mereka memperhatikan
pemandangan di kiri dan kanan sepanjang jalan yang dilalui
itu. Setelah kira delapan puluh lie barulah mereka beristirahat.
Tak lama, mereka sudah berjalan pula. Kira satu jam, tibalah
mereka di Huyong Ciang, di kaki bukit.
"Tio tanwat, kita sudah sampai," kata si seebie sambil dia
menunjuk dengan tangannya. "Silakan kalian maju terus di
jalan depan itu kira-kira sepuluh lie, nanti tampak sebuah selat
sempit di pinggang bukit. Itulah Huyong ciang. Kalau tanwat
jalan lagi kira tiga lie, akan tanwat tiba di Siang Ceng Koan.
Sekarang ini menurut pesan guruku, hendak aku
menyampaikan beberapa patah kata-kata kepada tanwat
berdua."
Kacung itu berhenti bicara untuk menatap muda mudi itu.
It Hiong tertawa dan kata : "Ada apa dengan gurumu itu,
bapak guru kecil ?" katanya manis. "Pengajaran apa itu dari
gurumu yang harus disampaikan kepada kami ? Silahkan
disebut !"
Masih si kacung menatap orang, tampangnya sungguhsungguh.
"Selat sempit di pinggang gunung itu ialah Huyong ciang"
ia memberitahukan. "Lembah itu, kecuali jam cu sie dan ngo
sie, akan mengeluarkan uap yang beracun yang warnanya
merah dadu, tampak mirip halimun suaram, hingga seluruh


lembah kena tertutup. Manusia ataupun binatang, asal kena
menyedot uap itu, akan keracunan dan di dalam waktu satu
jam, akan terbinasa tanpa tertolong lagi."
"Oh, uap itu demikian jahat ?" kata Kiauw In. "Habis mana
dapat kami melaluinya ? Tidak dapatkah kami jalan mutar
untuk sampai di kuil Siang Keng Koan itu ?"
Seebie itu tertawa.
"Nona memikir secara wajar sekali !" kata dia. "Kalau ada
jalan lainnya, tidak nanti aku mengajaknya kemari. Kawanan
imam jahat dari Siang Ceng Koan itu justru menggunakan uap
itu sebagai pelindung dirinya. Kuil mereka juga berdiri di
tempat yang tidak ada jalannya, jangan kata manusia, bangau
tak dapat mendakinya !"
"Kalau begitu, buat pergi ke Siang Ceng Koan, kita mesti
ambil jalan dilembah itu." kata It Hiong. "Habis bagaimana
caranya untuk meluputkan diri dari serangan uap beracun itu ?
Tolong bapak guru kecil berkatainya."
"Jangan sungkan, tanwat" berkata si kacung pendeta.
"Tetapi ini pun cuma pesan guruku tadi, pesan yang harus
disampaikan kepada tanwat berdua." Ia berhenti sedikit, terus
ia melanjuti. "Seluruh lembah Huyong ciang itu ditumbuhi
pohon bunga "Huyong", maka itu didapatkannya namanya itu.
Tadinya lembah itu penuh dengan hawa beracun, kemudian
hawa beracun itu kena disedot bunga huyong yang baunya
harum dan punahlah racun itu hingga siapa lewat disitu dia
tak akan menghadapi ancaman malapetaka. akan tetapi sejak
sepuluh tahun yang lalu, dengan datangnya kawanan imam
busuk itu yang membangun kuilnya, setelah mereka tahu
khasiatnya bunga huyong itu, bunga itu lantas dipetik habis
hingga karenanya timbul pula uap beracun itu. Hingga


sendirinya huyong ciang menjadi sangat berbahaya ! Selama
tahun-tahun yang belakangan ini entah sudah roboh berapa
banyak korban yang tidak tahu ancaman racun yang hebat
itu..."
Sebagai penutup keterangannya si seebie menyebut nama
Sang Buddha.
It Hiong berdua berdiam. Diam-diam mereka memikirkan
uap jahat itu.
"Obat yang guruku kasihkan pada tanwat itu" lewat sesaat
si kacung pendeta berkata pula, "khasiatnya selain dapat
mencegah atau menghapus racun yang beruap itu juga untuk
menyembuhkan penyakit atau luka di dalam. Guruku
memesan wanti-wanti akan aku menyaksikan tanwat berdua
memakan obatnya tiga butir setelah mana barulah tanwat
dapat memasuki lembah. Hanya ingat sesudah matahari turun,
jangan sekali-kali memasuki lembah, itulah berbahaya !
Sekarang maafkan aku banyak rewel. Hendak aku
menyaksikan tanwat berdua menelan obat guruku itu supaya
aku dapat segera berangkat pulang guna menyampaikan
laporan."
It Hiong menarik keluar peles kecil warna hijau dari dalam
sakunya, ia membuka tutupnya. Lantas ia dapat mencium bau
obat yang harum, yang mendesak hidung setelah mana ia
merasa lega dan nyaman sekali. Bersama-sama Kiauw In ia
makan obat itu.
"Bapak guru kecil, ada pesan apakah lagi buat kami ?"
kemudian It Hiong tanya si kacung pendeta. "Silahkan
sebutkan !"


Seebie itu menurunkan kantong yang digendolnya
dipunggungnya sembari menyerahkan itu kepada si anak
muda, ia menjawab : "Inilah rangsum kering dan air minum
buat tanwat berdua. Inilah tanda hormat dari aku sendiri dan
aku memujikan supaya tanwat itu ! Sekarang ijinkanlah aku
berangkat pulang !"
Berkata begitu, kacung pendeta itu memberi hormat terus
ia memutar tubuh dan berjalan pergi. It Hiong sangat
bersyukur, ia mengawasi orang berlalu tanpa ia sempat
mengucapkan sesuatu.
Kedua pendeta itu, guru dan muridnya sangat baik hati.
"Bapak guru kecil, tunggu dahulu !" tiba-tiba Kiauw In
memanggil. Sebegitu jauh nona ini membungkam saja.
Seebie itu menghentikan langkahnya dan berpaling.
"Ada perintah apakah tanwat ?" tanyanya.
Nona Cio menarik tangannya It Hiong buat diajak
menghampiri pendeta cilik itu, sembari memberi hormat
sambil menjura ia berkata kepada si pendeta, "Lebih dahulu
kami menghaturkan terimakasih kami kepada bapak guru kecil
serta gurumu yang mulia itu yang telah memberikan obat
kepada kami serta pelbagai petunjuk yang berharga ! Kami
berjanji, sepulangnya kami akan mampir dulu dikuil kalian
buat menyatakan syukur kami !"
"Ah, tanwat cuma memuji saja kepada kami !" kata si
seebie tertawa. "Kami orang-orang yang lagi mensucikan diri,
kami tak biasa dengan segala aturan umum...!"


Berkata begitu, ia memutar tubuhnya, berniat segera
berlalu. Atau mendadak dia berbalik pula untuk terus berkata :
"Hampir aku lupa ! Di atas bukit dekat huyong ciang ini benar
tidak terdapat hewan dan burung tetapi ada terdapat
semacam ular yang beracun yang gemar memagut manusia
atau yang lainnya benda. Tegasnya dia pasti menyerang
setiap sesuatu yang dapat bergerak ! Karenanya, selagi
memasuki lembah, baiklah sicu berlaku waspada, berlaku hatihati
sekali !"
It Hiong merangkap kedua tangannya.
"Terima kasih, bapak guru kecil !" ucapnya. "Kami akan
berhati-hati, harap bapak guru kecil jangan kuatir."
Dengan satu kali mengucap "Sampai jumpa pula !" maka
ngeloyorlah kacung pendeta itu hingga lekas juga dia lenyap
diantara bayangan pepohonan.
It Hiong mengawasi sampai orang itu lenyap, terus ia
dongak matahari. Ia menerka pada jam sio sie, antara jam 9
sampai jam 11. Maka ia lantas kata pada kawannya, "Kakak,
mari kita lekas berangkat ! Justru tengah hari, kita harus
dapat melintasi Huyong ciang !" Segera sambil memegang
gagang Kong Hong Kiam, pedangnya yang tajam, ia menarik
tangan si nona buat diajak bertindak pergi.
Tadi si kacung pendeta memberitahukan jam yang
berbahaya ialah kedua jam cu sie dan ngo sie. Cu sie ialah jam
11 dan 12 malam dan ngo sie ialah jam 11 dan 12 tengah
hari.
Kiauw In mengikuti tanpa bicara.


Perjalanan kira sepuluh lie telah dilalui tanpa banyak sukar
oleh dua orang kakak beradik seperguruan itu, tak peduli
tempat-tempat yang dilalui sangat sukar. Itulah tanah
pegunungan tanpa jalanan umumnya. Mereka mesti
menggunakan ilmu ringan tubuh Tangga Mega, dengan apa
mereka dapat berlari keras dan berlompat pesat. Dalam waktu
yang pendek, tiba sudah mereka dimulut lembah yang
berbahaya itu karena uap racunnya.
Kiauw In menghentikan tindakannya untuk memandang
tajam ke depan, ke kiri dan kanan. Ketika itu tepat tengah
hari. Tak ada uap, cuma dibalik cahaya matahari tengah hari
itu terlihat asap merah dadu yang bergerak-gerak perlahan
mengikuti siuran angin. Gunung mempunyai dua buah puncak
yang tajam lancip memasuki mega. Dipuncak itu tak terdapat
pohon kayu atau rumput. Hawa sumPek terbawa angin
menyampoki muka, hawa itu tak berbau busuk, tapi rasanya
tak menyenangi.
"Sampai saat ini, hawa beracun itu belum juga lenyap."
kata Kiauw In, "maka itu baik kita makan dulu, baru kita
memasuki lembah. Kita pun harus makan pula obat."
It Hiong akur.
"Baik, kakak" sahutnya.
Lantas mereka duduk berhadapan, akan membuka
bungkusan rangsum kering, untuk bersantap sekalian makan
obat. Masih mereka duduk berdiam sekian lama, baru inilah
mereka bertindak ke arah lembah dan memasukinya. Jalanan
rada mulai banyak batu koralnya. Guna melompat asap jahat,
mereka berlari-lari keras. Mereka pula tidak berani bicara,
supaya mereka tak usah menyedot hawa beracun itu.


Syukurlah mereka tidak menemui binatang jahat, umpama
kata ular. Hanya hawa tanah yaitu hawa gunung, dari bawah
dari kaki menghembus-hembus ke atas, terasanya meresap
tajam. Mereka juga tidak memperdulikan segala apa dikiri dan
kanan, mereka lari terus maka akhirnya berhasilah mereka
melalui lembah yang berbahaya itu hingga dilain saat mereka
telah tiba dipinggang gunung di karang muncul.
Di sini angin bertiup bagaikan mendatangkan hawa baru
yang nyaman dan menyegarkan. Disini pula mereka dapat
bernapas lega setelah sekian lama mereka menahan napas
guna mencegah serangannya hawa beracun. Walaupun telah
makan obat, mereka tetap berhati-hati.
Habis duduk beristirahat, perlahan-lahan mereka berbangkit
berdiri.
Ketika itu matahari mulai doyong ke barat. Mereka melihat
rimbah cemara dan lainnya pohon yang hidup di tanah
berkarang itu. Daun yang hijau membuat orang bagaikan
merasa berada di dunia yang lain...
Kiauw In melirik It Hiong.
"Adik, sudah letihkah kau ? Aku kira sudah tak jauh lagi
untuk tiba di kuil Siang Ceng Koan."
Si anak muda menggeleng kepala.
"Tidak" sahutnya. "Kita harus bersyukur kepada pendeta
tua dari vihara Bie Lek Sin itu yang telah memberikan kita
obat dan pelbagai keterangan mengenai keadaan disini, juga
perihal imam-imam dari Siang Ceng Koan. Kalau mau kakak
dapat duduk beristirahat lebih lama pula."


Kiauw In menarik keluar saputangannya akan menyeka
mukanya. Ia pun duduk diatas rumput.
"Dasar tenaga dalamku yang kurang sempurna" kata ia
tertawa. "Aku telah mengeluarkan sedikit peluh..." Ia pun
merapihkan rambutnya yang tertiup kusut oleh sang angin.
Hatinya It Hiong sangat tergiur melihat si nona tertawa. Ia
menyaksikan sepasang sujen yang manis menarik hati. Ia
merasa kasihan berbareng sangat tertarik.
"Lenyapnya kitab pedang guru kita adalah karena
kesalahanku," kata ia. "Aku menyesal karena hal itu, aku
membuat kakak turut menderita capek hati dan membuang
tenaga bahkan disini kita lagi menghadapi malapetaka. Kakak
tak tenang hati adikmu ini, aku mohon maaf, harap kakak sudi
memakluminya."
Tidak cukup dengan memohon maaf saja, si anak muda
pun menjura dalam.
Nona Cio tertawa geli.
"Ada saja kau adik !" katanya. "Aku toh telah menyerahkan
segala apa kepadamu !"
"Demi kau, apakah aku mesti jerikan segala capek lelah ?
Tidak ! Bahkan sekarang kita harus lekas pergi ke Siang Ceng
Koan guna menyelesaikan tugas kita !"
It Hiong bersyukur.
"Setelah kakak beristirahat cukup, kita akan lantas pergi
kesana." katanya sungguh-sungguh. Kiauw In menatap adik
seperguruannya itu.


"Coba bilang adik,"tanyanya, "kau memikir buat membuat
kunjungan terus terang guna meminta pulang kitab silat kita
itu atau kita masuk menyelundup diluar tahu mereka secara
mendadak ?"
"Buatku, aku tidak perduli itu jalan berterang atau
menggelap !" sahut It Hiong sungguh-sungguh hingga dia
nampak sangat bersemangat. "Jika Hian Ho tidak sudi
mengembalikan kitab pedang kita itu dengan mengandal pada
Keng Hong Kiam akan aku membuat darahnya muncrat
berhamburan !"
Berkata begitu tanpa merasa anak muda ini bersiul nyaring
hingga terdengar kumandangnya di seluruh lembah. Justru
suara itu baru berhenti atau suara lain yang lekas
menyusulnya.
Dari arah kiri dimana terdapat sebuah jalanan terdengar
bentakan nyaring dan bengis.
"Siapakah yang sudah berani datang kemari dengan banyak
lagak ?"
Teguran itu disusul dengan datangnya dua orang tosu atau
imam penganut agama Tao yang warna putih rembulan dan
pedangnya tergendol di masing-masing punggungnya.
Usia mereka masing-masing tiga puluh lebih. yang hebat
ialah tampang mereka yang bengis-bengis serupa dengan
sikapnya yang galak itu.
Setelah datang dekat, kedua imam itu mengawasi tajam
sepasang muda mudi tampan dan cantik serta dandanannya


berwajah gagah hingga lekas sekali mereka merubah sikap
mereka sendiri.
Tanpa kehendaknya, satu diantaranya bertanya, "Sicu
berdua dari kalangan mana ? Tolonglah beritahukan kami
supaya kami lekas menyediakan obat pemunah racun serta
mengabarkan kepada koancu kami."
Koan cu ialah ketua kuil. Imam itu mengatakan akan
menyediakan obat pemusnah racun sebab menurut anggapan
umum dari mereka, siapa memasuki Huyong ciang dia pasti
terserang uap beracun dan kalau dia dari satu golongan, dia
mau segera ditolongi setelah mana dia harus beristirahat
sedangkan pihak kaoncu mesti lantas menerima laporan.
It Hiong lantas memberi hormat.
"Totiang berdua, terimalah hormat kami !" katanya. "Aku
yang muda ialah Tio It Hiong dan kunjungan kami kemari
adalah buat mencari Hian Ho Cingjin. Tolong totiang memberi
keterangan kepada kami dan sudi apalah mengajak kami
menemuinya !"
Imam itu tidak membalas hormat. Kecuali dia menunjuki
sikap jumawa. Dia hanya menanya, "Tio sicu sudi apakah kau
memberitahukan kami tentang golongan atau perguruanmu."
It Hiong tidak berkeberatan memperkenalkan diri. Jawabanya,
"Kami berdua murid-muridnya Tek Cio Siangjin dari Pay In Nia
Kio Hoa San. Inilah kakak seperguruanku Cio Kiauw In. Jelas
sudah bukan?"
Mendadak saja kedua imam itu tertawa bergelak.
"Sungguh murid-murid pandai dari jago suatu jaman !" kata
yang satu. "Ah, janganlah kau pakai nama termashur guru


kalian untuk menakut-nakuti orang ! Dengan kami tidak
memberikan kalian obat pemunah jangan harap kalian akan
dapat turun gunung dengan masih hidup ! Nah, silakan kalian
menggali liang kubur kalian sendiri disini. Ha ha ha ha !"
It Hiong menjadi gusar. "Orang takabur dan jahat. Jika
kalian tidak sudi menolong mewartakan kedalam jangan
sesalkan kami kalau kami menyerbu !" ia mengancam. Ia pun
menyambar tangannya Kiauw In untuk ditarik buat diajak
menyerbu !
Kedua imam itu tertawa terbahak-bahak mereka segera
menghunus pedang mereka.
"Pedang Toya kalian ini tidak mengenal orang !" kata yang
satu tetap jumawa. "Jika kalian berani menerobos masuk,
jangan sesalkan kami apabila kami tak menaruh belas kasihan
lagi !"
It Hiong pun tertawa. Dari mereka dapat ia menyabarkan
diri.
"Dengan tangan kosongku, bersedia aku belajar kenal
dengan ilmu pedang kalian !" katanya sengaja bersikap
jumawa.
Kedua imam itu saling melirik, setelah itu yang disebelah
kiri berkata, "Kak, coba kau minggir satu tindak ! Kau biarkan
adikmu yang membekuk." Menyusul katanya itu, imam itu
sudah lantas menikam It Hiong, gerakannya sangat gesit dan
arahnya ialah ulu hati.
Si anak muda tidak berkelit, tidak ke kiri atau ke kanan
atau ke belakang. Ia tetap berdiri tegak. Ketika ujung pedang
lawan tiba, ia sambut itu dengan japitan dua jeriji telunjuk dan


tengahnya, sedangkan dengan luncuran tangan kirinya
dengan satu gerakan dari jurus silat Hang Ling Hok Wouw
Ciang, Menaklukan Naga Menundukan Harimau, ia
menyampok telinga orang hingga si imam terpelinting
beberapa tindak ! Bahkan terus dia memuntahkan darah hidup
!
Imam yang satunya yang sedari tadi berdiri saja, lantas
berlompat maju, akan menyambar kawannya, sang sute adik
seperguruan untuk dipegangi, guna mencegah dia itu roboh.
Sementara itu wajahnya sendiri menunjuki dia gusar
berbareng jeri. Wajahnya itu merah padam dan matanya
celingukan seperti mata tikus. Toh ia menghadapi It Hiong dan
kata : "Kau sudah melanggar aturan kami, kau juga telah
menyerang orang ! Hm, kau nanti lihat !" Habis itu, segera ia
berlalu dengan mengajak sutenya itu !
It Hiong gusar, hendak ia mengejar untuk menghajarnya.
Atau:
"Adik Hiong, jangan !" demikian terdengar suaranya Kiauw
In, siapa sudah lantas menyusul hingga dia berdiri di sisinya,
untuk menyambungi dengan perlahan : " Mereka kabur, inilah
kebetulan ! Kita jadi dapat susul mereka, yang seperti menjadi
penunjuk jalan sukarela membawa kita ke Siang Ceng Kuan !
Buat apa kita melayani mereka ?"
It Hiong dapat dikasih mengerti. Ia malah mengangguk dan
tertawa perlahan. Diam-diam ia memuji kakak In itu yang
pandai menggunakan otak.
Kedua imam itu mempunyai ilmu ringan tubuh yang baik.
Yang satu sudah terluka tetapi dia dapat lari keras seperti
kakaknya. Sebentar saja mereka sudah melalui empat puluh
tembok, terus mereka menikung disebuah pengkolan.


Dua dua It Hiong dan Kiauw In menggunakan
kepandaiannya Lompatan Tangga Mega, mudah saja mereka
berdua menyusul dan mengguntingnya terpisah sejarak enam
atau tujuh tombak, mereka mengintil terus.
Ketika menikung kedua imam itu berpaling ke belakang,
menimpukkan tiga batang panah tangan, habis mana mereka
menghilang tanpa memperdulikan serangannya yang berhasil
atau tidak. Disitu terdapat batu-batu karang yang besar dan
banyak renggangannya.
Dua dua It Hiong dan Kiauw In berlompat minggir,
menjauhkan diri dari anak panah, menyusul mana mereka
berlompat menyusul. Tapi mereka sampai ditikungan, disitu
dihadapan batu karang yang besar, sudah menantikan empat
orang imam lainnya, jubah mereka seragam, senjata mereka
serupa yaitu pedang yang digendol di punggung mereka.
Mereka berdiri dengan tenang. Selekasnya mereka dihampiri
muda mudi itu, imam yang menjadi pemimpin menyapa
dengan tawar : "Kamu berdua tidak tahu yang diri kamu
tinggal ditunggu waktu saja, kenapa kamu masih galak begini
rupa ? Hm ! Tahukah kau bahwa Kiu Kiong San tak dapat
membiarkan orang lancang mendatangi dan main gila disini ?"
Kiauw In menarik tangan It Hiong mundur dua tindak.
"Kami datang ke Seng Ceng Koan ini untuk mencari Hian
Ho Cinjin." berkata si nona sabar. "Kami hendak meminta
pulang kitab pedang kami. Tentang maksud kedatangan kami
ini telah kami jelaskan kepada imam tadi, siapa tahu mereka
tidak mau memakai aturan, mereka berlaku keras dan kasar
terhadap kami bukan saja mereka tak sudi menolong memberi
laporan, mereka justru mendahului menyerang kami hingga
terpaksa kami bertindak membela diri. Demikianlah telah


terjadi, mereka sudah mencari celakanya sendiri. Sekarang
kami ingin memasuki Siang Ceng Koan, kami mau bertemu
dengan Hian Ho Cinjin, kalau disini ada aturannya tolonglah
bilangi kami."
Imam itu tetap tidak senang.
"Eh, anak perempuan." tegurnya. "Kau telah melukai orang
kami yang telah melakukan tugas meronda menurut aturan
kami, buat pelanggaran itu kalian harus dibekuk untuk nanti
menantikan pemeriksaan dan hukuman !"
Baru imam itu menutup mulutnya atau tiga orang
kawannya sudah mencelat ketiga arah buat mengambil sikap
mengurung muda mudi itu, gerakan mereka sangat cepat.
It Hiong mengawasi ke empat imam itu, ia mendapat
perasaan bahwa satu pertempuran tak dapat dihindarkan pula,
karena itu ia menjadi sangat tidak senang dengan sepasang
alisnya bangkit berdiri, ia kata bengis : "Tak perduli kamu
mengatur Barisan rahasia apa, tak nanti kamu dapat bertahan
melawan kami sebanyak tiga puluh jurus, maka itu baiklah aku
sendiri saja dengan sebatang pedangku ini yang akan
mencoba menemani kamu main-main ! Bukankah Barisanmu
ini yang dipanggil Su Cio Kiam Tio ?"
Barisan rahasia itu Su Cio Kiam Tio adalah Barisan pedang
Empat Ekor Gajah. Dengan latihan yang baik dan bersatu
padu, empat orang yang bersenjatakan pedang bisa
mengurung dan mengepung seorang lawan baikpun lawan
yang tangguh.
"Jangan mengoceh saja bocah !" membentak imam yang
menjadi pemimpin itu. "Dan bocah wanita itu, biarnya dia


berada diluar kurungan, jangan harap dia bakal dapat lolos
turun gunung !"
Kiauw In tidak membalas apa-apa, ia hanya mengawasi It
Hiong, saat anak muda itu memberi isyarat dengan lirikan
matanya atas mana ia lantas berdiri diam untuk menanti
sambil menonton. Ia hanya memasang mata secara diamdiam.
Ia bertenang hati karena melihat pemudanya tenangtenang
saja.
Ke empat imam habis sabar, begitu mereka bergerak
berbareng begitu mereka maju merangsek, sinar pedang
mereka bergerak-gerak bagaikan kilat menyambar-nyambar.
Begitu ia diserang, begitu It Hiong mendak begitu ia putar
pedangnya membabat ke segala arah, dengan begitu ia paksa
musuh-musuhnya berlompat mundur dengan kaget. Pedang
mereka itu hendak dipapas kuntung dalam satu gebrakan.
Tapi imam-imam itu lihai, dapat mereka menyelamatkan
pedangnya masing-masing. Dengan begitu terbukti halnya
mereka sudah berlatih baik.
Pertempuran berlangsung terus, ke empat imam tidak
berdiam tetap disatu arah. Mereka berputaran atau bergantian
mengambil kedudukan, semua gerakan mereka teratur rapi,
begitu pun maju dan mundurnya yang penting hebat ialah
kegesitan mereka, tubuh mereka hampir tak tampak tegas...
Mulanya repot It Hiong melayani pengepungan itu. Mulamula
matanya bagaikan kabur hingga disekitarnya ia melihat
lawan melulu. Empat senjata bergerak bagaikan delapan
buah. Semua pedang lawan itu juga sukar untuk disentuh buat
ditebas kutung. Maka untuk membela diri, ia segera
menggunakan Khie bun Pat Kwa Kiam. Ia melawan sambil
menutup diri, maka itu hebatlah pertempuran mereka berlima


enak ditontonnya, tetapi berdebaran hatinya siapa yang
melihatnya.
Lama pertempuran berlangsung, ke empat imam tetap
melakukan pengurungan. Nyata mereka sanggup melayani
Khie bun Pat Kwa Kiam, bahkan It Hiong kena dibikin repot
hingga anak muda ini mesti menggunakan kelincahannya buat
menyingkirkan diri dari setiap tikaman atau tebasan pedangpedang
tak hentinya.
Demikianlah sudah terjadi, si anak muda tak dapat
mengalahkan musuh, malah keluar dari kurungan pun sulit,
sebaliknya ke empat imam itu tidak dapat merobohkan
seorang lawannya walaupun keinginan mereka adalah lekas
merobohkan atau membekuknya....
Kiawu In menonton. Ia merasa tertarik, tetapi ia pun tak
sabaran bahkan sibuk. Ia merasa tak ada gunanya It Hiong
bertempur bertele-tele seperti itu. Maka diakhirnya terpaksa ia
campur mulut. Ia teriaki pemudanya : "Adik Hiong !
Bertindaklah dengan tindakan To cay Cit Chea Pou dan
gerakilah pedangmu dengan jurus kesembilan dan kedua belas
dari Khie bun Pat Kwa Kiam !"
Sebagai penonton, matanya si nona terlebih awas dan
otaknya lebih mudah berpikir.
Mengenai "tio" atau Barisan rahasia, Kiauw In ada
mempunyai pengertian yang mendalam dan itu dibantu
dengan kecerdasannya, maka itu, sesudah menonton sekian
lama, bisa ia menangkap arti Barisan "Su Chio Kiam Tio" dari
kawanan imam itu. It Hiong lihai tetapi ia masih membutuhkan
pengalaman, sedang keistimewaannya ialah ilmu Hian Bau
Sian Thian Khie kang. Si nona berkat kecerdasannya, dapat


menggunakan otak atau kecerdikannya. Demikian ia sadarkan
adik seperguruannya itu.
It Hiong mendusin, selekasnya ia mendengar suara kakak
seperguruan. Dengan lantas ia mengumpul semangatnya,
memusatkan perhatiannya, setelah mana ia bergerak dengan
jurus pedang "Anak Panah Menikam Saluran Merah" dan
Bianglala menutupi Langit" yang mana disusul dengan suara
nyaring, "Traaang ! dua kali terus pedangnya kedua imam
terbabas kutung dan kutungannya runtuh ke tanah, hingga
mereka yang kaget sekali pada berlompat mundur lima
tombak, sedangkan dua yang lain terus berlompat ke pinggir
sebab mereka itu kaget menyaksikan pedang kawankawannya
kena dipapas buntung !
Habis itu, It Hiong tidak bersilat terus. Ia berdiri diam
ditengah kalangan, pedangnya dirapatkan pada tubuhnya. Ia
mengawasi tajam kepada empat imam itu sambil berkata :
"Apakah lagi kepandaian kalian ? Silahkan keluarkan
semuanya ! Aku bersiap sedia melayani pula pada kalian !"
Imam yang menjadi pemimpin itu melemparkan pedang
buntungnya, kata ia : "Ilmu pedang Pay In Nia benar-benar
lihai, sekarang kami telah belajar kenal dengannya ! Hanya
sayang walaupun kalian begini gagah, itulah tidak ada
faedahnya ! Tanpa lewat lagi satu jam, racun jahat bakal
bekerja maka di gunung Kiu Kong San inilah tubuh dan tulang
belulang kalian bakal terkubur!"
Habis berkata begitu, si imam tertawa terbahak-bahak. Dia
kalah tetapi dia merasa puas. Kawan-kawannya berdiam
sambil bersenyum. Setelah itu, serentak mereka bergerak
untuk menyingkirkan diri.


"Berhenti !" mendadak It Hiong membentak dengan sikap
bengis.
"Ada apakah ?" si imam berpaling seraya terus bertanya.
"Jika kalian memikir untuk meminta obat pemunah racun, jika
kalian mempunyai nyali, nah, kalian naik dan pergilah ke Siang
Ceng Koan !"
Belum lagi It Hiong berkata pula, Kiauw In sembari tertawa
manis sudah mencelat maju hingga ia berdiri berendeng
dengan pemudanya itu terus ia memperdengarkan
bentakannya. "Siapakah yang kesudian obatmu itu ? Kalian
sudah kalah maka kalian harus memimpin kami pergi ke Siang
Ceng Koan ! Jika tidak, kalian harus tahu sendiri !"
Imam itu gusar.
"Kalian jangan keterlaluan !" katanya nyaring. "Kami
mengingat diantara kita tidak ada permusuhan, kami juga
menyayangi ilmu kepandaian kalian, apapula kalian masih
begini muda, kalian orang-orang yang penuh pengharapan,
maka kami merasa berkasihan terhadap kalian, kami suka
memberi petunjuk hidup ! Dengan memakan obat pemunah
racun, kalian tak akan mati ! Apakah kalian menyangka kami
takut kepada kalian ? Hmm." Dan dia berlompat maju, sebelah
tangannya diluncurkan.
It Hiong berlompat maju juga, sebelah tangannya diangkat
untuk menyambuti serangan itu. Sengaja dia tidak
menggunakan pedangnya, tetapi itulah salah satu pukulan
hang Liong Hok Hoaw Biong !
Kontan si imam menjerit, kontan dia roboh terjengkang,
darah muncrat dari mulutnya, sebab anggauta dalam
tubuhnya tergetar hingga darahnya menyembur keluar !


Melihat demikian, imam yang tiga lagi lantas memutar
tubuh dan kabur diantara sela-sela karang yang merupakan
jalanan untuk mendaki gunung. It Hiong mendongkol, ia
berlompat mengejar atau :
"Tahan" demikian terdengar cegahannya Kiauw In.
Adik seperguruan itu mendengar kata, ia kembali dengan
segera.
"Ada apa, kakak ?" tanyanya.
"Kita harus waspada, adik" berkata si nona. "Bukankah
musuh berada ditempat tersembunyi dan kita di tempat
terbuka ? Itulah berbahaya untuk kita. Siapa tahu kalau
musuh menyembunyikan apa-apa diantara karang yang besarbesar
itu ? Apakah adikku sudah lupa pantangan memasuki
rimba dalam-dalam ?"
It Hiong mengangguk, ia berdiam. Kakak itu benar.
Ketika itu sang magrib hampir tiba. Selagi yang gunung
tinggi menjulang kelangit, sang matahari sudah berada jauh
rendah di bawah. Cuacapun remang-remang, walaupun
mereka berdua berada ditengah pegunungan terbuka. Tapi
kakak beradik itu lagi berdiam sambil mata mereka mengawasi
keatas gunung, tiba-tiba mereka melihat melesat naiknya
sejumlah anak panah berapi, yang sesampainya ditengah
udara dapat pecah berbunyi sendirinya, suaranya nyaring.
Itulah panah yang diberikuti dengan petasan dor dor yang
apinya bercahaya Biru mengkilat.
Satu kali It Hiong menoleh ke belakang, maka di sana tak
lagi ia melihat si imam yang tadi telah dilukainya. Imam itu


rupanya sudah ditolongi secara diam-diam tanpa ketahuan
pihak lawan.
Lantas si anak muda memikirkan panah api barusan. Ia
menerka-nerka.
"Kalau kita maju di jalan seperti ini," katanya kemudian,
"kita selalu berada ditempat terbuka hingga mudah apabila
kita diserang secara menggelap. Disepanjang jalan naik pasti
ada musuh-musuh yang bersembunyi. Kalau kita saban-saban
dirintangi, bukankah itu akan memperlambat waktu kita dan
kita jadi senantiasa terancam bahaya. Sampai kapankah kita
akan tiba dikuil ?"
Kiauw In tertawa.
"Jalan diantara karang-karang ini mungkin adalah jalan
yang terpendek" katanya. "Tidak apa jika kita ambil jalan yang
penuh bahaya asal kita lekas sampai..."
It Hiong berpikir, matanya berkeliaran melihat kesekitarnya
dan keatas juga.
Tiba-tiba melesat pula panah api ke tengah udara, sampai
disuatu tempat disambut oleh beberapa lainnya. Sinar biru itu
terus pula dan lenyap.
Selagi si anak muda berpikir, memikirkan artinya tanda
panah api itu, Kiauw In yang cerdas berkata : "Adik Hiong,
lihat itu tempat dimana panah api muncul ! Menurut aku itu
justru pusatnya penghuni gunung ini atau di sana ada tempat
penjaganya. Aku pikir asal kita dapat menyingkir dari tempattempat
itu, kita pun jadi tak usah menemui bahaya."


It Hiong mengawasi ke tempat dimana tadi panah api
bermunculan.
"Kau benar, kakak !" katanya kemudian, gembira. "Baiklah,
mari kita lekas pergi !'
Lantas keduanya berangkat. Mereka tidak mengambil jalan
umum hanya menyamping. Dapat mereka berlompatan atau
berlari keras. Disini tidak ada jalanan, ada juga pepohonan
atau tanah kosong yang penuh bebatuan. Di dalam waktu tiga
jam mereka sudah melalui kira dua puluh lie. Benarlah, tak
pernah mereka menemui rintangan. Ketika itu si putri malam
sudah berada ditengah-tengah langit. Apa yang terdengar
ialah suaranya burung malam atau daun-daun cemara yang
termainkan sang angin. Sudah suasana sunyi, seram pula
rasanya, siapa yang nyalinya kecil, pasti sudah bangun bulu
tampangya...
It Hiong dan Kiauw In bergerak-gerak bagaikan layangan.
Sekarang mereka berada diatas sebuah tanah berkarang yang
luas dimana tak ada pepohonan hanya rumput melulu atau
lumut yang licin yang terasa demam. Di depan itu tempat
buntu sudah.
Sambil berdiri berendeng, muda mudi itu mengawasi ke
depan. Mereka mau mencari jalanan maju. Diantara cahaya
rembulan mereka melihat sinar berkilauan disebelah kiri
mereka. Kiranya itulah sebuah telaga atau pengempang.
Dengan menarik baju si nona dan si pemuda lari ke tempat air
berkumpul itu. Bagian itu adalah belakang gunung dan dinding
gunung tampak banyak lubang atau gua, hingga mirip lubang
sarang tawon besar dan kecil tak rata.
Keduanya berhenti di tepi telaga sekali hingga mereka
merasai ademnya hawa air.


Mulai berada ditengah langit, si putri malam perlahan-lahan
doyong ke barat. Air telaga sangat bening hingga mirip kaca
hingga bayangan muda mudi itu tampak tegas sekali. Sang
rembulan berkaca di muka air, nampaknya sangat indah
hingga sangat menggiurkan untuk dipandang.
Memandangi keindahan sang alam itu mendadak It Hiong
ingat sesuatu.
"Kakak !" segera ia tanya Kiauw In, "Kakak diantara tiga
surat wasiat guru kita bukankah ada satu yang berbunyi
"Siang Goat Hui" dan itu dipesannya untuk dibuka disaat Siang
Goat Kauw Hui seperti ini ?"
"Siang Goat Kauw Hui" berarti "Sepasang rembulan saling
memancarkan keindahan cahayanya" dan dengan disaat itu si
putri malam bagaikan berkaca di muka telaga tepatlah
bunyinya pesan itu. Rembulan dilangit dan bayangannya
dipermukaan air berarti satu pasang...
Kiauw In melirik si anak muda.
"Baiklah aku beritahukan kau adik" sahutnya perlahan.
"Sebenarnya guru kita meninggalkan empat tabung surat
wasiat kepada kakakmu dan yang ada tanggal bulannya telah
aku baca bagian depannya. Disitu kecuali pesan menjalankan
perintah sebagai wakil guru, yang berupa kim pay juga ada
sehelai surat yang dilampirkannya..."
Berkata begitu si nona tertawa dan tunduk.
It Hiong nampak sangat tak sabaran.


"Kakak" katanya, "apakah pesan bapak guru kita itu ?
Kenapa kakak sudah melihatnya sekian lama tetapi kakak
masih belum memberitahukan aku ?"
Si nona tertawa pula.
"Guru kita menulis tentang pentingnya kim pay itu."
sahutnya. "Tidak ada soal lainnya. Aku menganggap kapan
saja aku beritahukan hal itu kepada kau adik. Itulah sama !"
"Bukannya begitu kakak" kata si pemuda sungguhsungguh.
"Kalau kakak memberitahukan aku siang-siang,
bukankah itu terlebih baik ?"
"Guru kita menyebut tentang kau, adik" kata kakak itu
terpaksa. "Bapak guru berkatai halnya kau menghadapi
beratnya bencana asmara dan pembunuhan dan aku dipesan
untuk menjagai kau sedapat-dapatnya. Aku tidak mau
memberitahukan hal itu kepadamu karena kuatir kau nanti
berduka supaya semangatmu tidak jadi terganggu karenanya.
Demikian sekian lama ini aku hanya mengawasi kau secara
diam-diam saja. Itulah sebabnya kenapa aku berayal
membicarakannya denganmu. Kalau ada lain urusan yang
penting, tak nanti aku berani menyembunyikannya
terhadapmu."
It Hiong mengerti orang menyukainya karenanya ia
menjadi lebih menghormati kakak itu yang baik hatinya yang
lemah lembut gerak geriknya.
"Kakak" katanya, "selanjutnya terhadap kata-kata kakak
akan aku mendengarnya sebagai kata-kata guru kita, akan
aku turutkan supaya kutukanku itu bisa berkurang."
Kiauw In tersenyum.


"Kau bicara berlebihan adik !" katanya. "Cukup asal kau
mengerti dan dapat membatasi diri."
It Hiong lantas tandas akan melihat ke permukaan air.
"Kakak" katanya, "melihat rembulan yang dua itu aku jadi
ingat pesan guru kita tentang Siang Goat Kauw Hui itu. Kakak
bagaimana pendapatmu, bukankah kata-kata itu cocok dan
tepat sekali?"
Kiauw In mengawasi bayangan rembulan itu, ia bagaikan
menjublak kemudian ia merogoh sakunya akan menarik keluar
surat wasiat gurunya, ia membolak balik surat, ia sangsi akan
membukanya.
It Hiong bertindak mendekati kakak itu. Ia sudah mengulur
tangannya akan mengambil surat itu atau mendadak ia
menarik pulang tangannya. Ia ingat tak dapat ia membuka itu,
itulah tugasnya sang kakak.
Kiauw In mengira sang adik seperguruan hendak membuka
surat wasiat itu, siapa tahu It Hiong mendadak membatalkan
siasatnya, ketika si pemuda mengulur tangannya ia sudah
menyodorkannya selekasnya surat dipegang It Hiong ia
melepaskannya, maka waktu anak muda itupun melepaskan
pegangannya surat lantas terlepas dan jatuh bahkan melayang
terbawa angin jatuh ke telaga !
Dua duanya muda mudi itu terperanjat, waktu kertas
melayang keduanya lompat menyambar tetapi gagal. It Hiong
tidak mau menyerah, ia berlompat terus dengan
menggunakan ilmu ringan tubuh Lompatan Tangga Mega.
Tatkala itu kertas sudah sampai di air, maka ia pun jatuh ke
telaga, ketika ia berhasil memegang kertas, pakaiannya basah,


maka dengan pakaian kuyup ia lompat naik ke darat. Pula,
dengan sendirinya sampul surat telah terbuka.
"Kakak" kata adik seperguruan ini yang menghampiri
kakaknya sembari mengangsur surat itu, "Kakak, bagaimana
kalau kakak buka dan baca pesan guru kita ini ?"
Kiauw In menyambuti sebelum ia membuka surat itu, ia
memandang dulu si anak muda.
"Pakaianmu basah seluruhnya, adik" kata ia sambil
mengawasi. "Di sini angin besar dan hawa angin. Itulah
kurang baik bagi kesehatanmu. Bagaimana kalau kita cari
dahulu sebuah gua untuk kau mengeringkan pakaianmu itu ?"
Berkata begitu si nona mengawasi ke dinding gunung buat
mencari gua dimana It Hiong dapat membuka pakaiannya
untuk diperas dan dikeringi dengan diangin-anginkan. It Hiong
setuju dan ia turut melihat kedinding gunung itu.
"Mari !" kata si kakak seperguruan kemudian. Ia menarik
tangan orang, untuk dibawa ke sebuah gua disamping telaga.
Dimulut sebuah gua, yang mulutnya lebar, ia menolak tubuh si
anak muda seraya menyuruh masuk, ia sendiri berdiri
menantikan di luar itu, bahkan segera ia membeber surat
wasiat gurunya, buat membacanya diterangnya si putri
malam.
Tek Cio Siangjin, sang guru menulis empat buah huruf yang
bunyinya syair bukanya syair, sedangkan dipaling bawah ada
catatannya sebaris huruf-huruf, bunyinya :
"Untuk Anak In dan Anak Hiong"
Bunyinya pesan itu begini :


"Pada malam sepasang rembulan saling memancarkan
sinarnya.
Itulah waktunya jodoh ditetapkan ditelaga mirip
nampan kumala.
Malam ini menjadilah malam dari lilin berbunga.
Kesampaianlah maksud hati dibukit Kiu Kiong San.
Jangan menentang pesan ini !
Jangan lewatkan saat indah !"
Membaca itu mengertilah Kiauw In akan maksud gurunya.
Surat wasiat itu menunjukkan dan mengharuskan ia menikah
dengan Tio It Hiong disitu malam juga, dibukit Kiu Kiong San
itu, ditepinya telaga atau muara Giok Poan Tha--demikian
telaga itu yang namanya berarti Nampan Kumala. Sendirinya
ia girang berbareng jengah hingga jantungnya memukul
dadanya berombak. Ia girang sebab tercapailah cita-citanya
berpasangan dengan Tio It Hiong. Ia lantas ingat bagaimana
dahulu hari sewaktu perpisahan dari It Hiong yang turun
gunung buat mencari musuhnya guna menuntut balas di kaki
Pay In Nia, mereka berdua mengikat janji bagaimana berat
rasanya perpisahan itu, hingga semenjak itu tak pernah ia
melupakan si anak muda. Ia pula bertambah girang waktu
dahulu ia memperoleh jaminan dari paman In nya yang
menguatkan perjodohannya itu.
Semenjak itu, ia dan It Hiong adalah calon suami istri.
Hanya itu saat pernikahannya yang masih belum ditetapkan.
Pertama-tama It Hiong tengah merantau, kedua guru mereka
sedang berpesiar dan ketiga si Paman In Gwa Sian repot
dengan pengembaraannya. Dan ia sendiri, ia pun turut
menjelajah dunia Kang Ouw sungai telaga buat mencari
pengalaman. Tapi malam ini adalah malam yang tepat yang
dipilih dan ditetapkan guru mereka. Inilah malam diluar
dugaan mereka, sebab surat wasiat justru dibuka digunung


yang menjadi wilayah musuh. Hanya dasar wanita, ia gagah
dan polos atau tidak ia toh merasa malu sendirinya. Begitulah
sendirinya, tanpa ia merasa mukanya menjadi bersemu merah
dadu, demikian juga kedua telinganya....
Sambil memegangi surat wasiat itu, Nona Cio berdiri
menjublak. Ia seperti membiarkan angin gunung yang halus
meniup-niup membuat main anak rambutnya sedangkan si
putri malam membuatnya seperti berkaca di permukaan air
telaga. Bayangannya di muka air membuatnya seperti Goat
Kiong Siansu si putri rembulan...
Masih lama Kiauw In berdiri diam saja itu sampai kemudian
ia mendengar suara sabar dari It Hiong yang keluar dari dalam
gua. "Eh, kakak In, kakak telah memikirkan apakah ? Kenapa
kakak berdiri menjublak saja...?"
Nona Cio terperanjat, ia lantas menoleh.
It Hiong bertindak mendatangi, selagi datang semakin
dekat, dia berkata pula : "Kakak, apakah yang guru kita tulis ?
Petunjuk apakah diberikan kepada kita ? Bolehkah aku
membaca pesan itu ?"
Segera si pemuda datang dekat dan tangannya terus diulur
guna menyambuti surat.
Kiauw In melengak. Ia jengah dan bingung hingga tak tahu
apa ia harus bilang. Maka ia cuma mengangsurkan surat
wasiat guru mereka itu, setelah mana ia memutar kepalanya,
melihat ke arah lain. Ia lihat sekali sebabnya jantungnya
memukul...


It Hiong sudah lantas membaca surat gurunya itu. Ia girang
bukan main bagaikan anak kecil, ia lompat berjingkrakan. Ia
lantas berpaling pada kakak seperguruannya.
"Kakak ! Kakak !" serunya. "Kakak, kau.." Mendadak ia
terdiam. Ia mendapati kakak itu tunduk dan likat, mulutnya
bungkam, kedua tangannya yang halus membuat main ujung
bajunya.
"Eh, kakak kau kemanakah ?" tanya si pemuda heran. Ia
mendekati sampai dekat sekali.
Sang kakak terus berdiam, kepalanya tetap tunduk,
mulutnya tetap bungkam...
It Hiong dapat menerka sebab dari sikap kakak
seperguruan itu, ia lantas memegang dan menggenggam
tangan halus si nona, ia tertawa ketika ia berkata : "Urusan
pernikahan adalah urusan sangat penting bagi kita kakak.
Buat apakah kau malu-malu ? Bukankah itu merupakan citacita
kita yang telah terwujud ? Kakak adalah orang rimba
persilatan, tak layaknya kakak bersikap seperti nona-nona
yang kebanyakan !"
Kata-kata itu benar dan membangunkan semangat. Kiauw
In segera mengangkat kepalanya mengawasi si anak muda
wajah siapa terang bercahaya sebab kegembiraannya. Ia
sendiri air matanya masih berlinang tetapi ialah air yang jernih
sekali. Keduanya saling menatap. Akhirnya mereka bersenyum
dan tertawa !
It Hiong tetap sangat bergembira.
"Sungguh lihai guru kita !" kata ia dengan pujiannya. "Guru
kita pandai silat berbareng juga mengerti ilmu siam in dapat


menghitung -hitung sang waktu dengan tepat sekali !
Bukankah aneh guru dapat menunjuki pertemuan kita ditelaga
ini guna mecekoki jodoh kita ? Dan justru di malam mana
terang bulan seperti ini, tanpa menghiraukan disinilah tempat
musuh ! Malam ini gua kita jadikan kamar pengantin kita,
bagaikan sepasang walet yang terbang pulang ke sarangnya !
Entah bagaimana beruntung adikmu ini kakak..."
Sang malam berlalu terus. Segera juga tiba jam empat.
Diwaktu begitu si putri malam menggunclang makin terang
indah lemah lembut tampaknya, cahayanya membuat
sepasang muda mudi itu bagaikan bayangan. Sambil
berpegangan tangan dengan perlahan mereka bertindak
memasuki gua dimana hawa hangat. Maka disitulah sepasang
muda mudi yang saling mencinta telah menyempurnakan
angan-angan hidupnya.
Di dalam gua di gunung seperti Kiu Kiong San itu, tidak
terdapat ayam atau lebih benar si ayam jago tukang
menceritakan tibanya sang fajar, walaupun demikian, cuaca
pagi tampak tegas, sedangkan sebagai gantinya sang ayam,
burung bercowetan, bernyanyi menuruti caranya sendiri. Dan
di pagi hari itu maka dari dalam gua muncullah sepasang
mempelai, berjalan bergandengan tangan menghampiri tepian
telaga Giok Poan Tha, untuk mereka mencuci muka dan mulut
buat membersihkan tubuh mereka untuk kemudian beruda
mereka duduk berendeng diatas sepotong batu ditepi telaga
itu yagn menjadi saksi dari terikatnya jodoh mereka.
Mereka masih mempunyai bekalan rangsum kering,
bersama-sama mereka mengisi perut mereka, sembari
bersantap mereka berbicara bersenyum dan tertawa. Mereka
saling mengawasi dengan sinar mata mereka memain, wajah
mereka terang dan ramai alis mereka bergerak gerak...


Adalah hal yang menyenangkan mereka berdua sejak
kemarin maghrib sampai malam tadi terus sampai fajar itu,
mereka tidak mendapat rintangan dari imam atau imam-imam
dari Siang Ceng Koan. Rupanya imam-imam itu tidak
menyangka yang muda mudi itu bermalam digunungnya.
"Sekarang sudah tidak pagi lagi" lewat sesaat It Hiong
berkata. Mereka sudah makan dan beristirahat cukup. "Marilah
kita pergi ke Siang Ceng Koan ! Tapi kakak kau letih atau tidak
?"
Kiauw In tersenyum. Biar bagaimana ia nampak masih
sedikit jengah. Ia tunduk ketika ia menjawab. "Kakakmu tidak
letih, mari kita berangkat !" Dan terus ia bangkit berdiri.
Dengan tangan pada gagangnya pedang Keng Hong Kiam,
It Hiong jalan mengitari sebuah telaga yang berukuran lebar
kemudian ia bertindak jalan dari mana kemaren magrib
mereka datang.
Kiauw In bertindak merendengi suaminya itu. Pernikahan
mereka tidak wajar tetapi sah sebab pernikahan itu telah
memperoleh pengakuan dari pihak-pihak yang menguasai diri
mereka. Tek Cio Siangjin dan In Gwa Sian sang guru dan ayah
angkat. Selagi meninggalkan telaga, mereka masih menoleh
sekali lagi sebagai pertanda mengambil selamat berpisah.
Hanya sejenak wajah mereka itu guram.
"Inilah telaga yang seumur kita tak dapat kita lupakan !"
kata It Hiong. "Bukankah benar begitu kakak ?"
Masih anak muda ini memanggil kakak kepada istrinya itu
sebagai mana juga istri itu tetap memanggil adik kepada
suaminya. Mereka pun tetap su cie dan sute, kakak dan adik
seperguruan.


Kiauw In tertawa manja.
"Asal saja kau ingat, adik !" katanya.
Sampai itu waktu, mereka sudah turun dari halaman batu
karang yang tinggi dan luas itu. Matahari pagi cerah sekali,
langit bersih bagaikan habis dicuci. Diatas gunung tak ada
mega sedikit juga. Karena ini tidak heran kalau dari jauh-jauh
dua-dua Kiauw In dan It Hiong dapat melihat samar-samar
bangunan kuil jauh disebelah kanan depan mereka. Kuil itu
berada disebelah kanan, diantara pepohonan dan
wuwungannya bersusun-susun.
Jilid 17
"Lihat itu !" kata Kiauw In kepada suaminya sambil
tangannya menunjuk. "Ini dia yang pepatah berkatai, kalau
kita mencari sesuatu, sampai sepatu besi kita rusak, masih
kita tidak dapat mencarinya, tetapi sebaliknya, kalau mau
bertemu, dapat diketemukannya dengan mudah saja ! Aku
percaya, itulah Siang Ceng Koan !"
"Aku pun percaya kita tidak menerka keliru." berkata It
Hiong girang. "Kemaren kita tiba sesudah magrib, terus
sampai sore dan malam kita sukar melihat apa-apa, sekarang
langit begini cerah, segala sesuatu tampak terang dan jelas.
Aku percaya bahwa kita diberkahi Thian Yang Maha Kuasa !
Mari, kakak, mari kita percepat perjalanan kita... !"
Kiauw In mengangguk.


"Tidak disangka Siang Ceng Koan berada di kaki puncak."
kata ia. "Jadi dari sini jaraknya sangat dekat. Adik, segera kita
bakal sampai di sana. Harap kau berhati-hati !"
"Aku tahu kakak" sahut anak muda yang berterima kasih
kepada istrinya itu. Sebagai kakak seperguruan si nona turut
menyayangi adik seperguruannya itu. Sedangkan merekalah
suami istri, bahkan pengantin baru.
Berdua muda mudi ini melakukan perjalanan yang tak
mudah. Sebab inilah bukan jalanan hanya tanah pegunungan,
banyak batu berselangkatan, banyak pohon tumbuh
serabutan. Dilihat dari telaga nampaknya SInag Ceng Koan
dekat, tetapi setelah dihampiri letaknya cukup jauh. Itulah
sebab jalanan turun naik dan berliku-liku, tak dapat orang
berlari langsung. Mereka juga mesti menghadapi dirintangan
lembah.
Syukur ilmu ringan tubuh mereka sudah sempurna dan
latihannya membuat mereka seperti tak kenal lelah. Selang
dua jam tibalah sudah mereka diluar rimba, didalam mana
Siang Ceng Koang berdiri tegak sebagai bangunan yang besar
dan megah.
Hutan itu umumnya terdiri pohon-pohon cemara dan jie,
entah kapan tumbuhnya sebab rata-rata sudah besar, tinggi
dan tua, dahan-dahannya banyak dan daunnya lebar hingga
suasana disitu menjadi tenang sekali.
Selekasnya memasuki rimba dan keluar dilain bagian. It
Hiong dan Kiauw In melihat sebuah halaman yang lebar, yang
penuh dengan rumput, hingga sekarang tampak tegas kuil-kuil
agama kho yang besar, kekar dan angker kelihatannya.


Tiga huruf "Siang Ceng Koan" yang besar tampak tegas
sekali di muka pimtu gerbang, saking besarnya, itu terlihat
dari jauh-jauh.
Suami istri itu berjalan dihalaman rumput itu, akan
menghampiri pintu gerbang. Di muka tangga mereka berhenti
sejenak, untuk melihat keliling, guna mencari kalau-kalau ada
orangnya kuil itu yang kebetulan berada diluar.
Tidak terlihat siapapun juga, kecuali pintu yang besar dan
lebar dan bercat hitam. Yang luar biasa adalah pintu
terbentang lebar, hingga orang bisa melihat ke arah
kedalaman, kepada pendopo pertama yang disebut Wie To
Tian, yaitu pendopo Veda.
"Heran." pikir Kiauw In. "Kuil Siang Ceng Koan di Huyong
ini tersohor busuk didalam dunia Sungai Telaga, ini jadinya
bukan tempat orang-orang baik-baik, sedangkan tadi malam
ada isyarat panah api, kenapa sekarang pintuk gerbang
dipentang lebar-lebar ? Kenapa juga tiada seorang jua yang
menjaga di muka pintu ? Apakah maksud para pendeta disini
?"
It Hiong mengawasi istrinya yang berdiam berpikir itu
kemudian ia bertanya : "Kakak, bagaimana kakak pikir kuil ini
bagaikan kuil kosong melongon ! Apakah baik kita langsung
masuk kedalamnya tanpa menghiraukan mereka memasang
jebakan atau tidak dan tanpa memperdulikan mereka
mengatur tipu daya tersembunyi ? Apakah tak baik kita maju
dengan melihat selatan saja?"
"Semua orang Siang Ceng Koan terhitung orang-orang
sesat" sahut sang istri. "Mereka terkenal telangas dan kejam,
tetapi sekarang mereka bersikap begini rapi, terang sudah
mereka mempunyai rencana yang tersembunyi ! Entah apa


dayanya itu, lubang jebakan atau penjagaan gelap ? Aku
percaya sengaja mereka mengatur begini bukan memancing
kita lancang masuk kedalam perangkapnya ! Maka itu, kalau
kita berlaku sombong, mudah kita dijebak mereka ! AKu pikir,
baik kita juga menggunakan akal tua-tua dan lumrah sekali !
Kita menggunakan batu menimpuk kedalam kuil ! Kau akur
bukan ?"
It Hiong mengangguk. Bahkan segera ia bekerja. Dengan
mengerahkan tenaga dalam Sian Thian Hian Buk Khie kang,
dengan jari-jari tangannya ia menutuk kepada dinding
gunung, demikian ia dapat mencongkel beberapa potong batu
karang sebesar kepalan, terus batu ditimpukkan ke arah
patung Veda di pendopo itu.
Satu suara nyaring yang keras adalah akibat timpukan itu,
terus patung itu bergerak sendirinya, segera dari dalam tubuh
patung itu melesat berhamburan anak-anak panah dan golokgolok
pendek. Jadi disitulah adanya senjata rahasia yang
tersembunyi, celakalah siapa lalai dan berani menyentuh
patung itu dengan tenaganya !
Kiauw In cerdik dan cepat, selekasnya ia melihat patung
bergerak, ia menarik ujung bajunya It Hiong buat diajak
berkelit bersama hingga semua senjata rahasia itu tidak
mengenai sasarannya.
Selekasnya semua golok dan panah rahasia itu habis,
meluncur dari sebelah dalam ruang segera muncul empat
orang tosu atau imam yang rata-rata berusia kira empat puluh
tahun, tubuhnya tertutup jubah suci, tangannya masingmasing
menyekal pedang panjang, matanya terpentang lebar
dan bersorot bengis.


"Hai, bocah cilik !" salah seorang imam membentak,
"kemarin mudah kau melukakan murid kami yang lagi
melakukan Pekerjaan meronda sekarang kamu datang dengan
mengacau ke kuil kami !"
It Hiong berlaku sabar. Dengan merangkapkan kedua
tangannya ia memberi hormat
"Totiang, harap totiang sudi dengar perkataanku" katanya
tenang.
"Hm !" si imam menanggapi, jumawa.
"Totiang," kata pula si anak muda. Totiang ialah panggilan
terhormat untuk seorang imam, tosu atau Tojin. "Totiang,
kedatangan kami ke kuil totiang ini sebenarnya guna mencari
Hian Ho Cinjin dari Kim Hee Kiong guna kami minta pulang
kitab ilmu pedang guru kami. Oleh karena itu, kami memohon
sudi apakah totiang memberitahukan kami, Hian Ho ada
didalam kuil totiang atu tidak dan kalau ada tolonglah
beritahukan dia agar dia mengembalikan kitab pedang kami
itu."
"Aku tak perduli kamu mengoceh apa juga !" membentak
imam itu kasar. "Kamu sudah melukakan orang kami, maka itu
kami mau membuat pembalasan dan kami mau minta itu dari
kamu !"
Masih It Hiong dapat mengendalikan dirinya !
"Totiang, tolong totiang mengabarkan ketua totiang
tentang tibanya kami !" ia memohon pula. "Kepada ketua
totiang itu kami akan menghaturkan maaf kami."
Imam itu melengak buat kesabaran orang. Dia menatap.


"Bocah, coba bilangi nama perguruan atau partaimu !" kata
dia akhirnya. "Nanti Toya kamu pikir-pikir bagaimana kami
harus bertindak !"
It Hiong segera memperkenalkan dirinya. Dengan suara
terang dan jelas ia menjawab : "Aku yang rendah bernama Tio
It Hiong dan inilah kakak seperguruanku Cio Kiauw In. Kami
adalah murid-murid dari Tek Cio Siangjin dari Pay In Nia Kui
Hoa San."
"Hm !" lagi-lagi si imam memperdengarkan suara dingin
yang bernada mengejek. "Pantaslah kamu berani datang ke
Huyong ciang ini dan lancang melukakan orang !" Ia
mengimplang bergantian pada si muda mudi baru dia
melanjuti : "Sekarang Toya kamu hendak menguji pihak Pay
In Nia mempunyai kepandaian apa yang luar biasa ! Jika kamu
dapat melewati pedang Toya kamu, baru nanti aku mengasi
laporan kedalam ! Bagaimana ?"
Sampai disitu Kiauw In menyela.
"Aku pikir totiang," katanya sabar, "baiklah tak usah kita
sampai mengadu kepandaian. Kami cuma memohon kebaikan
kalian buat melaporkan kepada ketua totiang tentang
kedatangan kami ini guna mencari Hian Ho Cinjin dari Kim Hee
Kiong guna kami meminta pulang kitab ilmu pedang kami
habis itu segera kami akan turun gunung buat terus pulang.
Diantara kita toh tidak ada dendam atau permusuhan, buat
apa kita sampai mengadu tenaga ?"
"Anak perempuan, banyak bacot ya ?" bentak imam itu.
"Apakah itu ada karena ajarannya si imam tua Tek Cio ?"


Sampai disitu meluap sudah hawa amarahnya It Hiong.
Gurunya telah diperhina.
"Eh, imam, berapa tinggi kepandaianmu maka kau berani
menghina guru kami ?" tegurnya. Dan lantas ia menghunus
pedang Keng Hong Kiam dan tanpa mengatakan apa-apa lagi,
segera ia menikam !
Imam itu bukan sembarangan imam, matanya juga sangat
awas. Dengan melihat cahaya berkelebatnya pedang, tahulah
ia yang pedang si anak muda pedang mustika. Maka itu tak
sudi ia mengadu senjata. Begitu ditikam, begitu ia lompat
mundur, begitu juga ia menghunus pedangnya, buat
meneruskan membalas menebas pinggangnya si anak muda.
Hebat imam itu, habis menebas dan gagal karena It Hiong
berkelit, ia melanjuti menebas dan menikam pula, bergantian
dengan berulang-ulang. Sama sekali ia tak sudi mengasi ketika
pada si anak muda. It Hiong dapat membalas tetapi lawan
terus berkeliat. Dalam hal itu, imam itu lincah dan awas sekali
matanya.
Maka, seperti tanpa merasa mereka lekas juga telah
bertempur sampai tiga puluh jurus ! Setelah itu barulah si
imam seperti kehilangan kesempatan yang baik,
menggerakkan pedangnya, terpaksa dia malah mundur. Maka
dengan demikian juga, dia mulai terancam bahaya.
Lagi satu jurus, mendadak It Hiong berseru, pedang
menyambar membarengi seruannya itu. Serangan itu
dilakukan dengan si penyerang berlompat maju, sinar
pedangnya berkilauan. Yang menjadi sasarannya ialah
kepalanya si imam sebab tipu pedang yang digunakan yaitu
"Burung Air Mematuk Ikan."


Bukan main kagetnya si imam, tak sempat dia berkelit,
terpaksa dia menangkis. Kesudahannya dia menjadi kaget
pula. Pedangnya kena dibuat buntung ! Maka syukurlah buat
dianya selagi terancam maut itu, ketiga orang kawannya
meluruk bersama, menyerang si anak muda guna membantu
padanya agar dia tak terdesak lebih jauh. Gerakannya ketiga
imam itu ialah yang dinamakan "Mengurung Negara Wee
Untuk Menolong Negara Tio."
It Hiong memutar pedangnya untuk sekaligus menyampok
ketiga pedang lawan !
"Apakah janji kamu janji belaka ?" ia menegur. "Kamu
sudah kalah, apakah kamu belum mau melaporkan kepada
koancu kamu ?"
"Koan Cu" ialah ketua kuil atau imam kepala.
"Apakah kau tidak dapat melihat ?" seorang imam balik
menegur. "Di sana kakak seperguruanku telah pergi untuk
memberi laporan !" Tapi dia penasaran, sembari berkata itu,
dia maju dengan serangannya ! Dia menebas dengan hebat !
It Hiong tidak menangkis, ia hanya lompat berkelit.
"Masihkah kamu tidak mau berhenti menyerang ?"
tegurnya. "Apakah kamu menghendaki supaya darah kamu
muncrat berhamburan ?"
Imam itu penasaran, dia berkepala besar.
"Jika kau benar laki-laki, mari kau tempur pula Toya kamu
bertiga !" demikian tantangannya, suaranya dingin. "Kau nanti
lihat siapa yang nanti roboh numprah dengan darahnya
muncrat berhamburan !"


Lalu tanpa menanti jawaban lagi, imam itu maju
menyerang pula dibarengi kedua kawannya, hingga bertiga
mereka meluruk pula dari tiga arah dengan cara teratur dan
pedang-pedang mereka meluncur berbareng. Dengan
demikian It Hiong terus kena dikurung. Bahkan habis tikaman
yang pertama itu menyusul yang lainnya tikaman dan tebasan
atau bacokan !
Tidak ada si anak muda akan melayani ketiga imam itu
tetapi sekarang terpaksa ia melayani juga karena orang
memaksanya dan hatinya menjadi panas dibuatnya. Bagus
untuk ketiga imam itu lawannya tidak memikir menanam
permusuhan jadi tidak dilawan secara telengas.
Oleh karena ketiga imam menyerang hebat sekali
kesudahannya mereka sendiri yang menjadi lelah terlebih
dahulu, napas mereka lantas memburu keras, peluh mereka
mulai mengucur. Dengan begitu juga gerak gerik mereka
menjadi kendor sendirinya. Sebaliknya adalah lawan mereka
yang berkelahi keras tetapi tetap tenang.
Akhirnya It Hiong kata mengancam : "Jika kamu masih
tetap tak mau berhenti menyerang aku, awas, jangan kamu
nanti mengatakan aku tidak mengenal kasihan !" Lalu ia putar
pedangnya buat mengurung diri. Itulah tipu pedang "Badai
Menyapu Salju" hingga sinar pedang merupakan mirip
kurungan berkeredepan.
Barulah sekarang ketiga imam itu kaget sekali, tanpa
berkata apa-apa mereka berlalu dengan berbareng, mereka
melompat mundur untuk lari kabur kedalam kuil mereka !
It Hiong berhasil bersilat, pedangnya dimasuki kedalam
sarungnya. Ia mengawasi dengan sabar kaburnya ketiga


lawan itu, sesudah lenyap dibalik pintu atau tembok
Pekarangan baru ia bertindak perlahan menghampiri Kiauw In
yang semenjak tadi berdiam saja menonton pertempuran itu.
"Kakak" tanyanya, "apakah baik kita susul mereka itu atau
bagaimana ?"
"Baiklah kau beristirahat dahulu, adikku" menjawab si nona
sabar dan prihatin, "Kita lihat dulu ada apa lagi gerak gerik
sesudah itu..."
It Hiong suka mendengar pikirannya sang kakak, ia
mengangguk.
Tak usah lama muda mudi ini menantikan, dari arah
sebelah dalam pintu gerbang kuil sudah terdengar tawa yang
nyaring beberapa kali, tatkala daun pintu terpentang dengan
menerbitkan suara keras, maka diambang pintu gerbang itu
tampaklah munculnya enam orang Tosu atau imam yang
jalannya saling susul diantara siapa ada seorang To-kouw
ialah imam wanita, sedangkan yang jalan paling depan adalah
Tiang Heng Hojin, imam tua usia lebih kurang enam puluh
tahun. Dia bertubuh kasar dan kekar, lebar mukanya, putih
kumisnya, janggutnya jarang. Yang hebat adalah sepasang
matanya--mata kecil seperti mata tikus tetapi tajam dan
cahayanya mengundang kekejaman. Dia pula mengenakan
jubah merah api dan bahannya dari bahan yang mahal serta
sulamannya ialah lambang Patkwa yang terbuat dari sutra
emas. Ditangannya dia mencekal sebatang Giok jit ie,
semacam tongkat lambang kesucian yang terbuat dari batu
kemala, warnanya kehijau-hijauan mengkilat. Dan suara tawa
tadi adalah suara tawanya yang disalurkan dengan bantuan
tenaga dalamnya.


Imam yang kedua berusia kira lima puluh tahun, jubah
kuning, punggungnya menggendol pedang panjang. Dia
berwajah halus berbayang otot-ototnya yang merah, sedang
sepasang matanya tajam galak, membuat siapa yang
melihatnya menjadi jeri. Dialah Kim Leng Tojin.
Di belakang Kim Leng ini ialah si To-kouw, yang usianya
baru empat puluh lebih. Nama suci dia ialah Gouw Ceng yang
berarti "Imam putih bersih". Tubuh dia ramping dan mukanya
bundar dan elok mirip bulan purnama, hanya pipinya montok,
pupurnya tebal serta sepasang alisnya bersikap tegas. Kalau
imam yang pertama bermata bengis, maka mata dia ini
bersinar tajam galak karena kegenitan seperti juga seluruh
tampang wajahnya. Senjatanya ialah sebatang kebutan.
Tiga orang imam lainnya ialah ketiga koancu dari Kim Hee
Kiong yaitu Hian Siu, Hian Ho dan Hian Ciu. Mereka mengintil
di belakangnya ketiga imam tuan rumah itu. Mereka berdiam
di Siang Ceng Koan semenjak Kim Hee Kiong, kuil yang
menjadi sarangnya, diobrak abrik It Hiong.
Tiang Heng Tojin bertindak dengan perlahan, setiap
tindakannya berat. Ia turun diundakan tangga, sampai
diundakan yang terakhir, berdiri di tanah yang berumput.
Dengan lantas ia mengawasi tajam It Hiong dan Kiauw In.
Terang wajahnya menunjuki ia merasa heran.
"Eh, kedua bocah, apakah kau datang ke gunung ini
dengan mendaki dan melintasi lembah Huyong ciang yang
sempit ?" demikian tanyanya. Ia heran sebab sesudah orang
berada disitu satu jam atau lebih, kedua-duanya masih sehat
tak kurang suatu apa, tak ada tanda-tandanya terkena hawa
gunung yang beracun.


It Hiong sementara itu diam-diam memasang mata
terhadap Hian ho Cinjin si imam yang hilang mata kirinya, ia
mencoba menyabarkan diri sebab hatinya merasa panas. Ia
ingin lantas mendapat pulang kitab ilmu pedangnya tetapi
iapun menerka Hian Ho akan tak secara mudah sudi
menyerahkannya karena itu kata-katanya Tiang Heng itu tak
ada dalam perhatiannya. Ia mendengar tetapi bagaikan tidak.
Tiang Heng menjadi tidak puas. Inilah kentara pada
perubahan parasnya.
"Hei, bocah cilik !" dia membentak. "To ya kamu
menanyakan kau, kau dengar atau tidak ? Kenapa kau tidak
terpaksa berani menjawab pertanyaanku ?"
Kali ini suara itu keras dan tajam, keras mirip guntur.
It Hiong terperanjat, ia bagaikan orang terasadar, maka ia
berpaling kepada imam itu. Hendak ia memberikan
jawabannya atau Kiauw In sudah mendahuluinya.
Nona Cio maju satu tindak.
"Kami mendaki Huyong ciang sejak kemarin." sahutnya
sabar. "Maksud kami adalah membuat kunjungan, akan
tetapi..."
"Tutup mulutmu !" Gouw Ceng Tokouw menyela, hingga
kata-kata orang menjadi terputus. "Bukankah kamu sudah
memperdayai murid kami yang merondia gunung, yang kamu
telah bujuk menyerahkan obat pemunah racun, setelah mana
kamu menggunakan tangan jahat melukai para murid kami itu
?"
Kiauw In tidak gusar. Sebaliknya ia tertawa manis.


"Akulah Cio Kiauw In !" sahutnya sabar. "Tidak nanti aku
melakukan perbuatan yang tidak pantas itu yang dapat
memalukan perguruan kami !"
"Oh !" si imam wanita mengasi suara dengar suara tertahan
perlahan. Ia seperti ingat sesuatu.
"Eh, bocah !" kemudian ia tanya. "Kau she Cio, apakah kau
ada hubungannya dengan Cio Hay Auw ?"
Kiauw In heran ditanya begitu. Sebagai seorang jujur yang
pertama ia ingat ialah mungkin imam ini kenalan atau sahabat
ayahnya. Maka ia lantas merubah sikapnya.
"Cio Hay Auw itu adalah nama ayahku almarhum."
sahutnya hormat. "Mohon tanya cianpwe, apakah nama atau
gelaran cianpwe ?"
"Cianpwe" ialah orang atau panggilan buat orang dari
angkatan lebih tua.
Selagi nona Cio berlaku hormat itu mendadak si imam
wanita memperlihatkan wajah suaram atau muram
mendongkol karena penasaran, ketika ia membuka mulut pula
ia membentak dengan bengis sekali.
"Hai budak bau !" demikian suaranya yang kasar. "Kiranya
kaulah anak perempuan dari si orang she Cio, manusia yang
tak berbudi itu ! Baiklah, nanti nyonyamu memberi pelajaran
kepadamu, supaya sekalian aku dapat melampiaskan
penasaranku selama belasan tahun !"


Kata-kata itu ditutup dengan orangnya berlompatan maju
kepada nona kita, jangankan dia lantas hajar dengan satu
cambukan kebutannya !
Kiauw In waspada dan bermata jeli. Selekasnya mendengar
suara orang yang kasar itu sudah bercuriga, apa pula ia
melihat si imam menjejak tanah untuk berlompat kepadanya.
Belum lagi ujung kebutan mengenakan padanya, ia sudah
mencelat mundur satu tindak. Walaupun ia diperlakukan kasar
itu ia tidak lantas menjadi gusar. Tetapi ia berlaku sabar dan
tak mau ia membalas menyerang.
"Cianpwe" katanya, "kalau dahulu hari ayahku almarhum
ada melakukan sesuatu yang tidak selayaknya terhadap
cianpwe, aku mohon sudilah cianpwe menjelaskan padaku
apabila ternyata benar ayahku itu keliru, dengan segala
senang hati suka aku menghaturkan maaf untuknya..."
Mendengar suara orang itu, maka Gouw Ceng menjadi
merah dan pucat bergantian. Agaknya dia jengah berbareng
mendongkol atau bergusar. Tak sudi dia memberikan
keterangan, karena dia merasa malu akhirnya. "Hei, budak
bau !" dia membentak pula.
"Pergilah kau pulang dan tanyakan sendiri pada orang she
Cio yang harus dibacok beribu kali itu. Kau tanya dia apa yang
dia lakukan pada delapan belas tahun yang lampau di kota
Kayhong ! Jika kau tanyakan nanti ketahui jelas perbuatan tak
berbudi apa yang dia telah perbuat."
Kembali si imam wanita menunjukan tampang gusar,
kembali dia maju sambil dia menyabet pula dengan
kebutannya itu yang merupakan genggamannya.


Buat kedua kalinya Kiauw In melompat mundur, hanya kali
ini, hatinya menjadi panas juga. Orang terlalu menghina
padanya sedangkan ia telah berlaku sabar dan mengalah.
"Ayahku almarhum adalah seorang lelaki Kang Ouw sejati !"
demikian ia kata, suaranya tegas. "Manakah ayahku mau
memandang mata kepada seorang wanita semacam kau ?
Jangan kau lancang menyebut orang darah ! Jangan kau
mengoceh tidak karuan !"
"Kang Ouw" ialah Sungai Telaga sebagaimana "Lok Lim"
Rimba Hijau dan "Bu Lim" Rimba Persahabatan.
Sepasang alis si Tokouw bangkit bangun, matanya bersinar
sangat tajam dan galak, itulah tanda bahwa dia sangat
penasaran dan gusar. Lantas terdengar tawa dinginnya
berulang kali.
"Budak kurang ajar !" bentaknya pula.
Dan dia maju pula dengan serangan kebutannya tu, yang
lemas-lemas kaku, bahkan kali ini dia turut menyerang sampai
dua belas kali, sebab setiap kali si nona menyingkirkan diri !
Sekarang tibalah serangan terakhir dari Gouw Ceng yang
mengumbar nafsu amarahnya, sekarang tidak lagi Kiauw In
sudi mengalah terus, terpaksa ia menangkis dan membalas
menyerang. Dengan segera ia menggunakan tiga puluh enam
jurus Khie bun Pat Kwa Kiam, jurus-jurus pilihan untuk
mengimbangi serangan kebutan.
Saking sengitnya pertempuran, kedua wanita itu seperti
nampak hanya bayangannya saja, mereka membuat mata
orang bagaikan kabur.


It Hiong menonton sekian lama. Tahulah ia sebabnya
pertempuran itu. Itulah pasti soal lama, yang hanya diketahui
Gouw Ceng sendiri, sebab segalanya gelap bagi Kiauw In. Si
nona bertempur saking terpaksa, sebab ia harus bela diri.
Tentu sekali, It Hiong tidak dapat berdiam saja. Mereka
berdua datang guna meminta pulang kitab ilmu pedang dan
sekarang Hian Ho berada dihadapannya. Karena ia melihat
bahwa ia tak usah berkuatir bagi Nona Cio, ia lantas maju ke
hadapannya Hian Ho, tangannya diulur dengan satu gerakan
"Chong Hay Na Liong" atau "Didalam Laut Menangkap Naga"
suatu jurus dari "Hang Liong Hok Houw". Ia menyambar
bahunya si imam untuk menjambret jalan darah hang hu !
Hian Ho terkejut, dia terdesak sekali. Tidak sempat dia
menangkis, maka terpaksa dia berkelit sambil mendak,
mengasi lewat tangan penyerangnya.
Sementara itu Tiang Heng Tojin tidak dapat berdiam saja.
Rupanya keadaan membuatnya bertangan gatal. Bukannya dia
berbicara dahulu, dia justru berlompat maju dengan
senjatanya yang istimewa itu, ia sampok tangannya It Hiong !
"Bocah, tanganmu telengas !" dia membentak. "Tidak
kusangka, seorang guru yang tersohor dapat mewariskan
seorang murid rendah begini."
It Hiong mengelit tangannya sambil tubuhnya berkisar. Ia
tidak melayani si imam tua itu, ia juga tidak terus menyerang
kepada Hian Ho. Memang barusan ia sudah menyerang
separuh membokong, atas itu ia merasa jengah sendirinya. Di
lain pihak, kata-katanya si imam menyakiti telinganya. Ia
percaya pasti si imam tak tahu sebabnya ia bersikap keras
demikian sebab keinginannya yang keras agar lekas mendapat
pulang kitab ilmu pedang gurunya.


"Totiang, terima kasih" kata ia kepada si imam. Ia berlaku
sabar dan memberi hormat pula.
"Tapi ada sebabnya kenapa barusan aku mengambil
sikapku itu. Totiang ketahui, Hian Ho sudah mencuri kitab ilmu
pedang guru kami dan sekarang kami datang untuk
memintanya pula. Sekarang aku minta totiang tolong
memberikan pertimbangan mereka kami bisa memiliki pula
kitab ilmu pedang kami itu !"
Sementara itu kitab pedang itu sudah berada ditangannya
si imam dari Siang Ceng Koan itu maka juga mendengar
pemintaannya si anak muda Tiang Heng menjadi berdiam. Ia
malah merasa likat. Sejenak itu, tak dapat dia membuka
mulutnya.
Sebenarnya ketiga koancu dari Siang Ceng Koan itu ialah
Tiang Heng, Kim Leng dan Gouw Ceng bukannya saudara
seperguruan satu dengan lain, mereka berkenalan dan
bersahabat disebabkan dengan asmara dan satu tujuan.
Tiang Heng Tojin bertubuh tinggi dan besar dan kekar
tetapi dia ada kekurangan dalam hidupnya ialah ia telah
kehilangan tenaga kelaminnya. Maka sia-sia saja dia menjadi
seorang laki-laki. Itu pula yang menyebabkan dia memilih
nama suCinya itu. Tiang Heng berarti penyesalan atau
penasaran seumur hidup. Sedang begitu nafsu birahinya
berkobar-kobar. Maka itu kebetulan sekali ia berkenalan
dengan Gouw Ceng si wanita nakal maka juga berdua mereka
nama dan tampangya suci, hatinya lain.
Gouw Ceng itu pada delapan belas tahun yang lampau
menjadi seorang nona usia dua puluh lima atau dua puluh
enam tahun, dia cantik dan ilmu silatnya baik demi


kesenangan dirinya itu waktu dia repot mencari seorang pria
yang sudi menjadi kekasihnya, ia ingin seseorang yang gagah
perkasa.
Terjadilah suatu hari selagi berada di dalam kota Kayhong,
Gouw Ceng bertemu dengan Cio Hay Auw ayah almarhum dari
nona Cio. Cio Hay Auw tidak tahu siapa Gouw Ceng. Berdua
mereka bermain api asmara. Baru belakangan ia ketahui
sifatnya wanita itu yang hatinya mudah berubah yang cintanya
tidak untuk satu. Lantas ia memisahkan diri. Gouw Ceng
penasaran, dia pergi mencari. Dia berhasil menemukannya.
Lantas dia menggerembengi Hay Auw hingga Hay Auw
menjadi kewalahan dan habis sabar lantas dia diserang
sehingga luka tangannya. Hal itu membuat dia sakit hati, dia
gilai Hay Auw tetapi bukan sesuci suci hatinya, melulu untuk
memuaskan nafsu birahinya saja. Berpisah dari Hay Auw
selama belasan tahun dia terus hidup berfoya-foya dengan
siapa saja yang ia sukai atau siapa saja yang menyukainya.
Sekarang didalam usia empat puluh tahun lebih kurang dia
justru bersahabat dengan Tiang Heng Tojin dan Kim Leng
Tojin. Inilah kebetulan sebab mereka sama-sama orang yang
beragama walaupun cuma namanya saja. Disamping kedua
imam itu ia juga main gila dengan Hian Ho Cinjin. Inilah
perhubungan mereka berdua yang membikin Hian Ho dapat
berdiam di Siang ceng Koan.
Habis memperoleh kitab pedang Sam Cay Kiam, Hian Ho
lantas kembali ke Siang Ceng Koan. Ia berlaku cerdik sekali.
Kitab itu ia persembahkan kepada Tiang Heng Tojin. Katanya
buat menghunjuk penghargaan serta membalas budi.
Bukankah ia telah diberi menumpang tinggal di dalam kuil
orang ? Sebenarnya dengan begitu hendak ia melindungi diri
dengan mengajukan Tiang Heng andia kata Tio It Hiong
datang mencarinya. Kalau It Hiong dan Tiang Heng bertempur


dan It Hiong kalah dan terbinasa ia selamat dan tetap
tenanglah kedudukannya.
Tiang Heng Tojin senang menerima kitab ilmu pedang Sam
Cay Kiam itu. Dia memang gemar mengumpulkan barangbarang
berharga umpama batu permata. Hanya ada satu hal
yang memberatkan padanya, ia menganggap diri sebagai
seorang koancu maka ia harus menghargai diri. Sekarang
sekali ini It Hiong datang meminta pulang kitab Sam Cay
Kiam, ia jadi merasa sulit. Tak dapat ia menyangkal tapi juga
tak sudi mengembalikan kita itu ! Habis, bagaimanakah ? Lalu
ia batuk-batuk, terus ia menyerukan Gouw Ceng untuk
menghentikan pertempuran.
Gouw Ceng mendengar kata, selekasnya dia mendengar
suaranya ketua itu, dia menangkis satu serangan, terus
lompat keluar dari kalangan pertempuran. Kiauw In pun
berhenti menyerang, bahkan ia terus bertindak ke sisinya It
Hiong. Dari sini, bersama-sama adik seperguruannya itu, ia
mengawasi para lawan, guna mendengari apa katanya mereka
itu.
Sekian lama sudah lewat. Tiang Heng masih berdiam saja.
It Hiong menjadi tidak sabaran, maka ia kata kepada imam itu
: "Totiang, jika totiang tidak dapat berlaku adil dalam urusan
kitab pedang kami itu, harap totiang jangan persalahkan aku
apabila aku terpaksa mesti menggunakan kekerasan guna
turun tangan sendiri !"
Dan benar-benar anak muda ini maju satu tindak ke arah
Hian Ho sedangkan pedangnya sudah lantas dihunus.
Ketiga imam dari Kim Hee Kiong pernah dikalahkan pemuda
itu, mereka sudah jeri sendirinya. Hanya kali ini mereka


berada ditempat terbuka, disarang kawannya sendiri,
terutama di muka umum, mereka bersitegang.
Hian Siu melihat kakaknya berayal-ayalan ia tidak puas ia
pun menjadi gusar sekali.
"Eh, bocah, jangan jumawa !" bentaknya. "Sakit hati dari
tangan buntung justru harus diminta pertanggung jawabnya
dari kau ! Itulah hutang darah yang harus ditagih dan dibayar
!"
Imam ini berlompat maju selekasnya dia habis berkata,
tangan kanannya menghunus pedang.
"Hm !" It Hiong memperdengarkan suara menghinanya. Ia
sebal menyaksikan lagak orang. "Bagaimana kalau kau kalah
pula ? Kau hendak mengembalikan kita pedang atau tidak ?
Kau ajukanlah caramu !"
Gusar tinggal gusar. Hian Siu tahu dia bukanlah lawan dari
si anak muda. Tapi dia menebalkan muka. Dia sudah
mencabut pedangnya tetapi tak mau dia lantas maju
menyerang. Dia kata : "Kitab ilmu pedangmu yang tak berarti
itu berada ditangan Tiang Heng Toheng ! Jika kau mempunyai
kepandaian bocah, kau mintalah sendiri !"
Kata-kata kawan itu membuat mukanya Tiang Heng merah.
Itulah justru hal yang dia tak sukai. Tapi dia mesti membuka
suaranya. Maka dengan dingin dia berkata : "Tentang kitab
pedang itu harus dicari tahu terlebih dahulu siapa benar siapa
salah. Tentang itu Toya kamu tidak mau mengambil peduli !
Baik kalian memutuskannya dengan tenaga kalian sendiri !"
Imam ini tidak mau merendahkan diri maka ia
membahasakan dirinya "Toya kamu".


"Sudah jangan bicara saja dari hal tidak karuan !" bentak It
Hiong yang habis sabarnya, maka ia menjadi menuruti hawa
amarahnya dan telah bicara besar. Ia menambahkan : "Kalian
dari Kim Hee Kiong, kalian adalah arwah-arwah
bergelandangan yang baru lolos dari ujung pedang, maka itu,
baik kalian semua majulah dengan berbareng !"
Hian Siu, Hian Ho dan Hian Ciu bertiga menjadi sangat
terdesak. Mereka lantas saling melirik. Di dalam keadaan
seperti itu mereka jadi buntu jalan, mereka menjadi nekad.
Terpaksa mereka memikir akan kalah atau berbicara bersama
musuh....
Dengan satu siulan berbareng, ketiga imam dari Kim Hee
Kiong berlompat maju dengan berbareng juga serentak
mereka menyerang si anak muda, maka juga sinar pedang
mereka seperti menjadi satu berkelebat ke arah si anak muda,
semua mencari sasarannya masing-masing.
It Hiong dengan bersiap sedia atas tibanya serangan itu, ia
menggerakkan pedangnya untuk menghalau ancaman
bencana. Pedangnya pun berkelebat berkilauan. Karena
sangat mendongkol, ia ingin menjauhi pertempuran secepat
mungkin. Maka juga, habis diserang itu ia segera membuat
pembalasan. Dengan satu emposan semangat maka
tenaganya telah dikerahkan pada kedua belah tangannya
terutama tangan kanan dan tubuhnya bergerak dengan lincah.
Ketiga koancu termasuk orang-orang kelas satu tetapi hati
mereka telah diciutkan pedang Keng Hong Kiam dari
lawannya. Biar bagaimana mereka merasa jeri juga. Saking
terpaksa sekarang mereka melawan dengan mati-matian,
dengan begitu merekapun menjadi tangguh.


Hian Siu kehilangan tangan kirinya, dengan hanya
menggunakan tangan kanan, tak mereka ia menggunakan
ilmu silat pedang simpanannya, Im sat-ciang. Hian Ho lenyap
sebelah matanya, dalam hal penglihatan, dia pula kurang
leluasa. Hian Ciu sebaliknya, ilmu silatnya masih kalau jauh
dari kedua kakak seperguruannya itu, ia juga turut bergerak
tetapi sangat terbatas. Adalah kenekatan mereka bertiga yang
menyebabkan mereka dapat bertahan.
Oleh karena kedua belah pihak berkelahi dengan keras,
jurus-jurus juga dilewatkan sama cepatnya. Hanya sebentar,
dua puluh jurus telah berlalu. Habis itu, It Hiong lantas dapat
memperhatikan setiap lawannya, satu demi satu, kemudian ia
terutama perhatikan Hian Siu, si mulut kasar itu.
Dalam murka, Hian Ciu melihat lowongan pada tubuh
lawan. Tak ayal lagi, ia maju menikam, ia memang tidak mau
memberi ketika kepada musuh yang ia benci itu.
It Hiong lihat bahaya mengancamnya, dengan cepat ia
mengegos ke sisi, selekasnya ujung pedang lawan ia
meluncurkan tangan kirinya dengan apa ia menangkap lengan
lawan. Itulah jurus silat "Tangan Menawan Naga". Tepat ia
berhasil dengan sambaran atas cekalannya itu !
Bukan kepalang kagetnya Hian Siu. Itulah berbahaya untuk
saudaranya. Ia berlaku cepat, tangannya ditarik terus
pedangnya diayun guna menikam iga kiri lawan.
It Hiong tidak menjadi bingung, ia bahkan berlaku sangat
cepat. Guna menghindarkan diri dari ujung pedang, ia
menggeser tubuh sambil menyempar tubuhnya Hian Ciu
menyusul mana kaki kanannya dikasih melayang naik !
Sedangkan pedangnya, berbareng digerakkan !


Benar-benar darah sudah lantas berhamburan, muncrat
dari tubuh yang terluka sebab pedang It Hiong tidak kepalang
tanggung menyambar yang satu diteruskan kepada yang lain.
Hian Siu dan Hian Ciu roboh tak berdaya lagi, selagi kena
terhajar berteriakpun mereka hampir tak sempat ! Kedua
imam itu mau saling tolong tetapi mereka justru menjadi
korbannya si anak muda yang menjadi lawannya itu.
Hian Ho adalah korban yang paling hebat, dia merangsak
maju justru keduanya sudah roboh terkulai, justru dia datang
dekat, dia disambut It Hiong dengan satu bacokan hebat,
maka juga pecahlah kepalanya, tubuhnya rebah disisi Hian
Siu.
Hian Ciu tapinya beruntung. Dia cuma kena tertendang
hingga muntah darah, selekasnya dia roboh dan berlompat
bangun untuk lari pergi, ketika It Hiong membebat padanya ia
menangkis maka dengan beradunya kedua pedang, Keng
Hong Kiam membabat kutung pedang lawan. Dalam kaget dan
takutnya, Hian Ciu terus kabur, menghilang di belakang kuil
Siang Ceng Koan. Ia sipat kuping tanpa berani menoleh pula,
tanpa menghiraukan pula dua saudaranya !
Tiang Heng Tojin bertiga Kim Leng dan Gouw Ceng
berubah pucat parasnya, mereka berdiri melengak
menyaksikan It Hiong dalam satu rintasan itu telah
merobohkan ketiga lawannya. Itulah hebat sekali.
It Hiong tidak mengejar Hian Ciu, hanya ia bertindak ke
depannya Tiang Heng Tojin, koancu utama dari Siang Ceng
Koan.
"Totiang, aku minta suka apalah totiang memegang janji !"
demikian katanya, halus tetapi berwibawa. "Sekarang aku


yang rendah minta supaya kitab ilmu pedang kami dibayar
pulang, seterimanya itu kami berdua segera akan turun
gunung dan berlalu dari sini !"
Ketika itu Kim Leng Tojin yang sadar paling dahulu, dia
memandang si anak muda dan juga Kiauw In, terus dia
tertawa dengan menunjuki wajahnya yang licik. Kata dia :
"Untuk mengembalikan kitab ilmu pedang mesti ada syaratnya
!"
"Apakah janji kalian tak masuk hitungan ?" It Hiong
menanya menegaskan. "Masih ada syarat apakah lagi ?"
Kembali Kim Leng memperdengarkan tawanya yang tak
sedap terus dia menunjuk Nona Cio.
"Syarat itu mudah sekali !" jawabnya. "Ialah ini nona harus
ditinggalkan disini ! Kitab ilmu pedang harus ditukar dengan
dia !"
Sepasang alisnya It Hiong berdiri, ia gusar bukan main.
"Kau gila !" bentaknya. "Lekas serahkan kitab kami itu !"
Menutup kata-katanya, anak muda ini berlompat maju ke
depan orang, pedangnya ditebaskan !
Kim Leng Tojin terkejut, tetapi dia tak menjadi gugup.
Karena dia tak sempat menghunus pedangnya buat
menangkis terpaksa dia lompat mundur. Dia cuma lompat
sambil mengibaskan tangan kirinya. Tapi disisi dia, Tiang Heng
Tojin membantu saudaranya itu dengan ia melakukan satu
serangan tangan kosong yang hebat ke arah tubuh si anak
muda, sedangkan Gouw Ceng juga tak berdiam saja. Dia ini
turut menyerang dengan kebutannya, menghadang di


depannya Kim Leng Tojin hingga imam pria itu terhindar dari
ancaman maut !
It Hiong merasai terjangan angin yang dahsyat, cepat
sekali ia berlompat mundur. Tiba-tiba saja insaf bahwa tak ada
gunanya untuk melayani imam itu secara mati-matian.
Kim Leng Tojing tidak kabur terus, setelah lolos dari
bahaya, ia kembali, ia hanya sekarang tangannya sudah lantas
menggenggam dua buah senjata rahasianya ia ia beri nama
"jie ie" menuruti kehendak hati" senjata mana biasa ia simpan
didalam sakunya. Inilah semacam peluru yang dapat
menyiarkan hawa beracun yang bisa membuat orang tak
sadarkan diri maka lengkapnya ialah hia hun hio atau peluru
asap yang mempingsankan. Segera ia menimpuk ke arah
Kiauw In. Dalam hal menimpuk itu, ia sudah melatih diri
dengan sempurna. Kedua peluru dibikin bentrok satu dengan
lain terus meledak dengan berbunyi cukup nyaring.
Jie ie tan meledak tepat diatas kepala Nona Cio, lantas
menghembuskan asapnya warna ungu, buyar ke pelbagai arah
mengikuti tiupannya angin, baunya harum sangat menusuk
hidung dan memusingkan kepala.
Kiauw In kena mencium bau asap itu, kontan dia limbung
dua tindak terus roboh tak sadarkan diri.
Gouw Ceng tahu maksudnya Kim Leng merobohkan si
nona, ia tidak sudi mengalah, maka juga tanpa menghiraukan
halnya mereka lagi menghadapi lawan tangguh ia justru
menegur kaka seperguruannya yang nomor dua itu Jie
suheng.
"Eh, kakak bagaimana eh ?" demikian tanyanya. "Kau.."


Kim Leng tidak menghiraukan pertanyaan itu menyusuli
robohnya Kiauw In, ia lompat melesat kepada nona itu, kedua
tangannya diulur maksudnya guna menjambret tubuh si nona
guna digampit buat dibawa lari.
Berbareng dengan gerakan gesit imam itu, dia juga telah
memperdengarkan jeritan dari kesakitan yang menyayatkan
hati, tubuhnya telah terpental dan roboh terkulai dengan
mandi darah, darahnya berhamburan disekitarnya. Sebab
justru dia lompat kepada Kiauw In justru orang menyambut
kepadanya, tubuhnya dipapaki dihajar dengan tinju tangan
berbareng tubuhnya itu tertolak mundur. Tapi yang paling
celaka ialah waktu ada sesosok tubuh lain yang mencelat ke
arahnya sambil memperlihatkan sinar pedang berkelebatan
dan sinar pedang itulah yang merampas rohnya dan
membuatnya mandi darah.
Apakah yang sebenarnya terjadi ?
Kiauw In terkena asap beracun, kepalanya pusing dan
tubuhnya limbung terus dia roboh tetapi itu bukannya berarti
ia pingsan. Obat pemunah racun kuat melindungi
kesadarannya bahkan setelah merasai kepalanya pusing, insaf
ia akan jahatnya asap ungu itu maka dengan kecerdikannya
terus ia menggunakan akal berpura roboh lalu diwaktu rebah
diam-diam ia memasang mata, selekasnya Kim Leng tiba ia
menghajar dengan satu tinju dari lima "Heng Liong Hok Mo
Ciang" membuat si imam terhajar hebat hingga muntah darah
dan tubuhnya terpental balik, justru itu tiba juga tubuhnya It
Hiong !
Si anak muda melihat segala apa ia terkejut, ia menyangka
kakak seperguruannya roboh di tangan musuh, maka itu, agar
dapat membantu ia lompat menghampiri Kim Leng Tojin,
tanpa banyak pikir lagi ia sambut imam itu dengan pedangnya


yang tajam. Kemudian maka sampailah Kim Leng Tojin yang
ceriwis dan cabel itu pada ajalnya hingga tamat sudah lakon
hidupnya yang mesum !
Dua-dua Tiang Heng Tojing dan Gouw Ceng Tokouw
menjadi kaget sekali. Sudah menyaksikan kebinasaannya Hian
Siu dan Hian Ho sekarang mereka mesti melihat tanpa
berdaya kematian saudara seperguruannya itu sedangkan
tadinya hati mereka sudah girang sebab nona lawannya itu
kena dibikin roboh. Bedanya cuma mereka kalau Tiang Heng
girang sesungguhnya, Gouw Ceng hanya sesaat dan segera
timbul jelus dan cemburunya terhadap sang Jie suheng. Tapi
setelah jie suheng itu terbinasa, kembali dia kaget dan hatinya
mencelos. Habis kaget, dua-duanya menjadi gusar, maka itu
dengan muka merah dan mata mendelik mereka maju
menyerang It Hiong.
"Bocah, serahkan jiwamu !" bentak Gouw Ceng yang
menyerang dengan kebutannya.
Sementara itu It Hiong sudah lompat kepada Kiauw In
dengan berniat mengasi bangun kakak seperguruan itu. Ia
girang akan mendapat kenyataan si kakak tak kurang suatu
apa. Karena mau menolong Nona Ciu, ia tidak menyangka
jelek kepada Tiang Heng dan Gouw Ceng hingga tahu-tahu si
imam wanita sudah menerjang ke arahnya.
"Kakak.." ia memanggil Kiauw In atau segera ia merasai
serbuan anginnya serangan gelap. Ia mengerti bahwa itulah
ancaman bahaya, tanpa ragu pula ia menjatuhkan diri dengan
jurus silat "Harimau lapar Menerkam Kambing" menyusul
mana kakinya menyapu dengan jurus silat "Kaki Ekor
Harimau" hingga dengan demikian selamatlah ia dari
kebutannya si imam wanita.


Di pihak lain, Gouw Ceng juga menjerit kaget. Inilah sebab
geraka kaki dari jurus silat "Kaki Ekor Harimau" dari si anak
muda yang hampir mengenai perutnya. Syukur ia gesit sekali
dan dapat mengegos diri.
It Hiong berlompat bangun, ia menuding si imam wanita
sambil berkata keras : "Jika kau benar mempunyai
kepandaian, kau bertempurlah secara terang-terangan ! Kau
main menyerang secara menggelap, tidakkah itu membuat
orang memandang hina kepadamu ?"
Gouw Ceng berdiri diam, ia melengak sejak ia bebas dari
ancama petaka. Tegurannya si anak muda juga membuatnya
bungkam, sebab tidak ada alasan untuk menyangkal atau
membantah. Disamping itu ia jeri terhadap pedang mustika si
anak muda serta kegagahannya yang ia telah saksikan sendiri.
Ketika itu Teng Hiang Tojin telah lantas menunjuki
kecerdikannya. Ia memangnya beraninya cuma terhadap yang
lemah dan takut kepada yang kuat, ia pula merasa lega sebab
Gouw Ceng tidak kurang suatu apa. Sebenarnya ia mempunyai
latihan dari beberapa puluh tahun serta juga mengerti ilmu
silat sesat yang disebut "Pan Bun To To", tetapi terhadap It
Hiong ia ragu-ragu atau kurang gunakan. Maka itu sampai itu
waktu segera ia merogoh sakunya mengeluarkan kitab Sam
Cay Kiam, yang mana terus ia angsurkan kepada si anak
muda. Tetapi supaya ia tidak kalah gertak, ia tertawa dingin
dan kata : "Ini kitabmu, ambillah ! Toya kamu tak
membutuhkan kitab semacam ini !"
It Hiong menyambut, tangannya sampai bergemetar saking
girangnya. Karena orang menyerahkan kitab itu, ingin ia
mengucapkan kata-kata sungkan, baru ia mau mengajak
Kiauw In turun gunung. Atau si imam telah mendahuluinya.


"Di dalam peristiwa hari ini, itulah bukan karena Toya kamu
jeri terhadap kamu !" kata koancu dari Siang Ceng Koan
jumawa. "Yang benar ialah aku tidak mau turun tangan
terhadap kamu, kawanan anak kecil ! Taruhlah aku menang,
kemenangan bukanlah kemenangan kegagahan ! Mampusnya
mereka itu juga menyenangkan hatiku, sebab dengan
demikian maka adik seperguruanku bakal dengan setulusnya
hati mencintai aku ! Kau telah ketahui, cukup sudah !"
Dengan adik seperguruan itu Tiang Heng maksudnya su
moay, adik seperguruan yang wanita ialah Gouw Ceng
Tokauw si imam wanita yang berbareng menjadi kekasih atau
gula-gulanya.
It Hiong dan Kiauw In melengak mendengar perkataannya
imam tua itu. Itulah kata-kata atau sikap yang mereka tak
sangka sama sekali hingga mereka dibuat heran karenanya.
Sesadarnya mereka, tanpa mengatakan sesuatu lagi, berdua
mereka mengangkat kaki meninggalkan Kiu Kiong San.
Waktu sudah tengah hari selagi mereka berlari-lari. Seluruh
gunung sunyi kecuali oleh deru angin diantara pepohonan.
Mereka terus berlari keras sampai mereka tiba di jalan yang
memasuki lembah Huyong ciang yang sempit itu. "Kakak"
berkata si anak muda yang menghentikan larinya, "kakak,
mari kita beristirahat disini sambil mengisi perut...'
"Aku kuatir kakak sudah letih."
Memang anak muda ini menyayangi kakak itu, rasa
bersatunya telah menjadi sangat erat. Sekarang mereka bukan
kakak beradik lagi, bukan su cie dan sute, hanya tunangan
satu dengan lain.


Kiauw In sudah lantas turut menghentikan larinya, ia
berbalik melirik adik seperguruan itu, senyumannya berpeta,
lalu sambil mengangguk, ia pergi ke sebuah batu untuk
berduduk disitu.
It Hiong menghampiri, keduanya terus duduk berendeng.
Si nona mengeluarkan bekalan rangsum keringnya, ia
membagi kepada si anak muda, maka dengan begitu berdua
mereka mulailah bersantap.
Beberapa kali Kiauw In menyingkap rambutnya yang dibuat
main sang angin.
"Adik, apakah kau telah simpan baik-baik kitab pedang itu
?" kemudian si Nona Tanya sembari ia tertawa.
It Hiong meraba ke dadanya.
"Jangan kuatir, kakak" sahutnya. "Akan aku jaga baik-baik
kitab ini, yang akan aku hargai melebihi jiwaku !"
"Sebenarnya" kata pula si nona, "dengan berhasilnya
perjalanan kita ke Huyong cian ini harus kita berterima kasih
kepada bapak pendeta dari vihara Bie Lek Sin. Bapak pendeta
itu telah memberikan kita obat pemunah racun hingga kita
bebas dari gangguan racun itu."
"Dan juga..." berkata ItHiong yang tiba-tiba terhenti katakatanya.
Si nona heran, dia menatap muka orang.


Kiauw In cantik manis, halus kulit mukanya, dia luwes
sekali. Ketika itu, disaat hatinya terbuka, dia pula tampak
ramah sekali.
"Dan.." katanya bersenyum, "kita harus bersyukur juga
pada malam dari muara Giok Poan Tha itu disaat Siang Goat
Kouw Hui, Sepasang si putri malam saling memancarkan
cahayanya yang indah permai. Itulah saat yang
menyempurnakan cita-cita kita, kakak. Benar bukan kakak ?"
Kiauw In melirik.
"Cis !" ia kasih dengar suaranya. "Adik, kapannya kau
belajar jail begitu rupa ? Kau mulai nakal ya ? Ah, kau begini
gembira, apakah kau telah melupai Paman Beng mu serta adik
Peng atau kakak Peng mu itu ?"
Ditanya begitu It Hiong berdiam, wajahnya tak lagi
tersungging senyuman seperti barusan. Ya, ia lantas ingat
Paman Beng nya, orang yang telah melepas sangat banyak
budi terhadapnya, juga kakak Giok Peng nya itu terutama si
Paman Beng yang lagi terkurung di Ay Lao San, yang perlu
segera ditolongi. Di lain pihak, ia juga ingat keruwetan
diantara si kakak Giok Peng dengan Gan Hong Kun, hingga
didalam sekejap ia dapat membayangi pula semua peristiwa di
Lek Tiok Po dahulu hari. Bagaimanakah semua itu harus
dipecahkan ?
Selagi It Hiong memikirkan kakak Giok Peng itu sebab ia
diingatkan oleh si kakak Kiauw In, maka Giok Peng sendiri
sementara itu bersama dua orangnya telah kembali ke Lek
Tiok Po, ke rumahnya. Di ruang besar, ia menemui ayahnya
serta dua orang kakaknya, begitupun sang paman emPek,
yaitu paman tua Tong Wie Lam. Paling dahulu ia memberi
hormat dan menanyakan kesehatan ayah serta sekaliannya


itu, baru pembicaraan beralih ke lain-lain urusan sampai
akhirnya tiba kepada halnya Gak Hong Kun.
"Bocah she Gak itu nampak seperti orang gila hingga dia
sangat memuakkan." berkata Pek Kiu Jie, sang ayah. "Bahwa
dia telah pergi kabur siang-siang itu adalah hal yang baik
sekali. Anak Peng kalau nanti kau bertemu pula dengannya,
jangan kau memandang-mandang lagi, jangan kasih hati,
supaya tak usahlah dia nanti mengerocoki pula kita disini !"
"Hm !" Tong Wie Lam memperdengarkan suara dihidung.
"Seumurku aku menjelajah dunia Kang Ouw, belum pernah
aku bertemu dengan bocah bermuka tebal tak kenal malu
seperti dianya ! Keponakan Peng, jika nanti kau bertemu
dengannya, kau berhati-hatilah terhadap akal muslihatnya
yang licik, supaya kau tak usah sampai kena terjebak !"
"Ayah, paman, terima kasih buat nasihat ini." berkata sang
anak atau keponakan, "aku dapat membawa diriku baik-baik.
Andia kata dia berani main gila terhadapku, tak nanti aku beri
hati padanya, aku akan menghajarnya !"
Kemudian nona menghampiri Pek Siauw Hoaw, kakaknya
yang nomor dua.
"Kakak" tanyanya, "apakah kesehatan kakak sudah pulih
kembali ?"
"Sudah, adik" sahut kakak itu, "tak usah kau
mengkhawatirkan aku."
"Kakakmu malu pada dirinya sendiri" Thian Liong, si kakak
tertua berkata. "Karena ilmu silatku tidak berarti maka telah
terjadi peristiwa mengecewakan ini, hingga nama baiknya Lek


Tiok Po turut tercemarkan oleh anak edan she Gak itu ! Eh,
adik. mengapakah kau tidak pulang bersama-sama adik Tio ?"
Dengan "adik Tio" itu, Thiang Liong menyebutnya "moay
hu" yaitu "suami dari si adik", suaminya Giok Peng. Ia
memanggil demikian karena menuruti aturan kekeluargaan
walaupun pernikahan Giok Peng dan It Hiong itu secara luar
biasa sekali.
Giok Peng tidak menjawab kakaknya yang tua itu,
sebaliknya tanpa merasa ia mengucurkan airmata, ia berduka
kalau ia ingat terlukanya kakaknya nomor dua itu serta
"suasana" di ruang itu tatkala Hong Kun mengacau, ia seperti
dapat membayanginya.
Jilid 18
“Semua ini salahku” katanya menyesal dan masgul sekali. “
Tak selayaknya aku bersahabat dengan bocah edan she Gak
itu! Kau kakak, kau sampai terluka, sedang ayah ibu dan
paman Tong menjadi pusing karenanya.”
Kakak yang dimaksud si nona adalah kakaknya yang kedua,
Siauw Houw, sedang mengenai Tong Wie Lam, ia
menyebutnya paman yang telah dirobohkan oleh Hong Kun.
Selagi menyebut itu, saking gusarnya, tubuhnya sampai
gemetar sendirinya, sebab ia mesti menguasai hawa
marahnya.
Thian Long bangkit da mengusap-ngusap rambut adiknya
itu.


“Sudah adikku.” Dia menghibur. “Sudah jangan kita
pikirkan pula bocah edan itu! Cuma kalau adik Tio pulang
bersama, pastilah bocah edan itu jeri terhadapnya….”
Giok Peng mengeluarkan sapu tangannya guna menghapus
airmatanya.
“Tatkala kami mendengarkan peristiwa ini, ketika itu kami
lagi berada dirumah paman Liok Cim,” kata Giok Peng. “Ketika
itu adik Hiong gusar tak terkirakan segera dia mengajakku
pulang supaya orang edan she Gak itu dapat dihajar! Aku
kuatir urusan menjadi besar dan dapat mengguncangkan
dunia Kang Ouw. Bukankah karena itu bisa bentrok dengan
pihaknya dia itu? Bukankah sekarang justru sedang banyak
urusan? Ketika itupun kitab ilmu pedang Sam Cay Kiam dari
gurunya adik Hiong telah dicuri Hong Kun yang membuatnya
jatuh kedalam tangannya Hian Ho si imam siluman dari Kim
Hee Kiong. Hebat akibatnya andiakata imam itu dapat
kesempatan mempelajari ilmu pedang itu, maka itu perlu adik
Hiong lekas mencari dan merampasnya kembali. Kitab itu
seterusnya jatuh ketangan imam-imam dari Kiauw Kiong San,
supaya kitab itu dapat dirampas pulang, adik Hiong telah pergi
bersama kakak Kiauw In. Kitab itu sangat penting, karena itu
aku tak berani mengganggu waktu yang sangat berharga buat
adik Hiong, maka juga sekarang aku pulang seorang diri.
Kalau urusan disini sudah beres, aku memikir untuk pergi
menyusul adik Hiong dan kakak In itu.”
“Oh, begitu?” kata Thian Liong yang melengak sebentar,
terus dia tertawa. “Maaf aku keliru menyesali adik Hiong!”
Wie Lam gusar mendengar halnya Hong Kun mencuri kitab
ilmu pedangnya Tek Cio Siangjin, sampai ia menggebrak meja.


“Bangsat cilik itu benar-benar manusia yang berwajah
binatang!” katanya sengit. “Tidaklah keterlaluan kalau kalian
bikin dia mampus!”
“Anak Peng” berkata Kiu Jie sabar, “Kau habis melakukan
perjalanan jauh, pergilah kau beristirahat. Pergi kau menemui
ibumu dahulu! Jangan kau pergi ke Ciat Yan Siaw, sigila itu!”
Giok Peng menurut, ia memohon perkenan terus ia
mengundurkan diri. Ketika ia bertindak kedalam, hatinya
berat, pikirannya kacau. Ia berjalan dengan perlahan dengan
demikian ia bisa melihat segala sesuatu didalam rumahnya itu,
yang mengingatkan segala apa, dari segala perabotan sampai
pohon-pohon kembang. Hanya saat itu ia tak sempat
memperhatikannya, ia menuju kedalam dimana ia menemui
ibunya, Ban Kim Hong.
“Mama!” ia berseru memanggilnya seraya terus menubruk
merangkul ibunya itu, selekasnya ia mengngkat kedua belah
tangannya memberi hormat, kemudian ia lantas menangis
tersedu-sedu.
“Ah,anak...” berkata sang ibu yang terus mengelus elus
rambut putrinya itu. “Kau baru pulang anak? Kenapa kau
berduka begini rupa? Apakah kau merasai sesuatu
penasaran…?”
Dengan air mata berlinangkat mukanya, mengawasi ibunya.
“Aku menyesal buat urusan Gak Hong Kun, ibu” sahutnya
berduka. “Dialah si iblis pengganggu jiwa ragaku! Kenapa dia
selalu menyusahkanku, membuatku taka man?”
Diapun sekalian menuturkan halnya pemuda she Gak itu
sudah mencuri kitab ilmu pedang.


“Sudahlah anak, sudah” ibu yang baik hati itu menghibur.
“Kau jangan pikirkan pula orang edan itu. Yang paling perlu
adalah memperhatikan suami dan anakmu. Anakmu baik-baik
saja. Kau justru harus melewatkan hari-harimu yang
menggembirakan! Jangan pedulikan soal kecil, hanya
utamakan saja kesehatamu. Mengenai Gak Hong Kun, setelah
kau pulang ini, ibu da ayahmu tahu bagaimana harus
mengambil tindakan….”
Justru waktu itu seorang budak perempuan mendatangi
bersama Hauw Yan. Si anak yang baru saja disebut dan baru
mulai belajar, bahkan dengan caranya yang lucu anak itu
berkata pada neneknya: “Nenek – nenek, kakak ini tak mau
mengajak aku main-main…dia…dia…dia mengajak pulang.”
Sang nenek tertawa.
“Dia tak mau bermain dengan mu tidak mengapa”,
katanya. “Kau boleh bermain-main dengan nenek! Nah, kau
lihat ini! Siapakah ini?”
Nyonya tua itu menunjuk puterinya.
Hauw Yan mengawasi ibunya, matanya dibuka lebar-lebar.
“Ma…mama…!” segera ia memanggil.
Bukan main girangnya Giok Peng, ia lompat pada anaknya
itu untuk lantas menyambarnya buat diangkat dan dipeluk.
“Anak manis!” serunya sambil terus menghujani ciuman,
“Anakku!”
Maka sekejap itu buyarlah kesusahan hati ibu ini.


Ban Kim Hong sementara itu memerintahkan budaknya
yang barusan memomomg Hauw Yan: “Kau beritahukan
semua budak lainnya tentang pulangnya nonamu ini, jangan
sampai beritahukan pada orang she Gak itu! Mengertikah
kau?”
“Mengerti, nyonya!” sahutnya sang budak, yang terus
memberi hormat dan mengundurkan diri.
Giok Peng terus melayani anaknya yang manis itu.
Besok siangnya, nona Peng memberitahukan ayah ibunya
bahwa ia hendakmenemui Gak Hong Kun. Orangtuanya
setuju, namun harus ditemani ibunya serta kakak tertuanya,
Thian Long.
Tiba di muka loteng Ciat Yan Lauw, Giok Peng berkata pada
ibu dan kakaknya: “Ibu dan kakak jangan turut masuk dahulu,
tunggu saja disini dahulu, biar aku yang menemuinya, hendak
aku lihat tingkahnya. Kalau sampai terjadi pertempuran
barulah ibu dan kakak masuk membantu.”
Ibu dan kakak itu mengangguk, maka menantila mereka
diluar.
“Asal kau berhati-hati, anak!” pesan ibunya.
Giok Peng lantas bertindak memasuki ruang depan. Ia
melihat sebuah ruang yang kosong. Tak ada kursi, meja dan
perabot lainnya. Ditembok juga tak tergantung barang apapun
juga. Hal ini membuat ia jadi mendongkol. Ruang itupun
sangat sunyi, Hong Kun tak tampak sekalipun bayangannya.
“Gak Hong Kun!” ia lantas memanggil, “Gak Hong Kun!”


Dari dalam kamar-kamar tidur terdengar suara bagaikan
orang terasadar, terus itu disusul suara cacian “Ah, budak
mana yang begini kurangajar, berani memanggil-manggil aku
dengan namaku saja. Dia harus dihajar…!”
“Manusia bermuka tebal, kau keluarlah!” Giok Peng
membentak gusar, “Mari keluar, beranikah kau menemui aku
Pek Giok Peng!”
Hong Kun memperdengarkan suara kaget dan heran, lantas
orangnya melompat keluar.
“Oh adik Peng, adik Peng, kau pulang?” serunya, “Maafkan
buat kata-kataku barusan…”
Ia berlari menghampiri si nona yang ia sambar kedua
tangannya untuk ditatap mukanya!
Giok Peng menepis tangan orang hingga anak muda itu
terpelanting.
“Kau pakailah aturan!” bentaknya. “Mari kita bicara, buat
apa kau minta maaf, kalau kau berlaku sangat kejam
terhadapku?”
Nona itu melangkah kekursi dipojok di sana ia terus
menjatuhkan diri untuk duduk. Ia masih dapat menguasai
dirinya. Dari situ ia mengawasi si anak muda. Pakaian Hong
Kun tidak rapi, rambutnya juga kusut kecuali ia tampak
bengong saja, kesehatannya tidak terganggu. Dia berdiri diam
dengan mata mengawasi si nona, nyata dia tak wajar lagi. Dia
menjadi tenang setelah Kiu Jie menjanjikan akan mengirim
orang pergi menyusul dan mengajak Giok Peng pulang.


Agaknya dia memperoleh harapan. Cuma selain pendiam ia
juga tidak menghiraukan pula perawatan dirinya.
Habis menatap si nona, Hong Kun pergi duduk, kedua
tangannya dipakai membuat main rambutnya. Beberapa kali ia
tunduk, lalu kembali mengawasi nona di depannya itu. Sekian
lama itu ia tetap membungkam. Giok Peng pun mengawasi
tanpa mengucap sepatah kata, menyaksikan kondisi
sipemuda, timbullah rasa kasihannya.
Sebab anak muda itu menjadi kacau pikirannya disebabkan
gagal dalam soal asmara dengannya. Tapi kapan ia ingat
orang telah berlaku kurang ajar dan mengacau, timbul pula
hawa marahnya. Bukankah ayah bundanya telah diperhina
dan kakaknya dilukai pemuda edan itu?
Cinta itu pikirnya kemudian, cinta ialah taman firdaus muda
mudi, tetapi itupun tempat makamnya si anak-anak
muda.Memikir demikian nona ini menghela napas panjang.
Demikian muda mudi ini sampai sekian lama saling berdiam
saja, Cuma kadang-kadang terdengar helaan napas mereka.
Akhirnya Giok Peng disadarkan oleh batuk-batuk ibunya
diluar jendela.
“Gak Hong Kun!” demikian sapanya. “Gak Hong Kun kau
telah datang kemari katanya mencari aku, lagakmu seperti
orang gila, mau apakah kau? Sekarang aku berada disini dan
kita sudah bertemu muka, kenapa kau berdiam saja?
Bicaralah!”
Suara nona itu keras dan tandas.
Hong Kun tetap membungkam, kedua tangannya
memegangi kepalanya, wajahnya diam tak berubah.


“Apakah yang kau pikir tentang perbuatanmu disini?” Giok
Peng berkata pula. “Mengertikah kau bahwa itulah perbuatan
buruk sekali? Jika kau insyaf dan tidak dapat mengatakan
sesuatu, terserah kepada kau, aku tidak mau bila ada apa-apa
lagi! Supaya aku tak usah bertemu pula denganmu!”
Tiba-tiba saja Hong Kun mengangkat kepalanya, dengan
kedua mata dipentang lebar ia mengawasi tajam kepada nona
di depannya itu.
“Jadi kau begini tega hati terhadap aku?” demikia
tanyanya. “Kau tahu sendiri aku Gak Hong Kun, apa yang aku
lakukan seua buat kebaikanm! Kau lihat sekarang, orang
sampai menganggap aku seorang gila! Aku dianggap tak tahu
malu! Sekarang kau datang, kau juga tak mau mengingat
persahabatan kita dahulu, kau mengusirku! Kenapa kau tidak
mau menghiburku? Kalau demikian baiklah kau bunuh saja
aku, supaya tak usah setiap pagi dan sore aku memikirkan
dirimu! Kau tahu hatiku terasa ditusuk-tusuk saja!”
Nona Pek menghela napas.
“Gak Hong Kun,” katanya. “Kau bukan lagi seorang anak
kecil, kau pintar dan cerdas, kenapa sekarang pikiranmu gelap
begini rupa? Kau toh tahu cinta tidak dapat dipaksakan?”
Pemuda itu mengangguk.
“Adik Peng” katanya sabar. “Walaupun Gak Hong Kun
bodoh, diapun tahu cinta tak dapat dipaksakan, akan tetapi
harus ingat saat sebelum kau bertemu dengan saudara Tio itu!
Bukankah kita sering berpesiar bersama, mendayung perahu
dan menunggang kuda dan berbincang dibawah sinar puteri
malam? Atau kita berkumpul diantara terangnya sinar api?


Ketika itu , kau memanggilku kakak dan aku memanggil kau
adik, hati kita bagaikan bersatu. Apakah ketika itu Gak Hong
Kun telah berbuat salah? Adik dengar! Hari ini tak peduli
bagaimana sikapmu terhadapku, aku tetap mencintai kau!
Justru demimu aku telah datang kemari! Kau bialng tentang
hubunganmu dengan adik Tio? Itu adakah karena anjuran
orang atau karena kerelaanmu? Jawablah!”
Dan dia menatap tajam dan bengis, matanya tak pernah
berkedip!
Giok Peng diam berpikir. Pertanyaannya pemuda itu tepat
sekali, maka ia jadi membayangkan hubungan mereka dahulu.
Gak Hong Kun menantikan, lalu dia tertawa dingin :
“Aku tahu bahwa rejekiku tipis sekali,” katanya pula.
“Dimasa ini selama hidup kita tak ada harapanku lagi untuk
hidup bersama denganmu adik Peng. Inilah yang dibilang air
mengalir ketimur tanpa kembali.”
“Apalagi yang dapat kubilang? Aku Cuma merasa menyesal
telah terlalu percaya bahwa cinta itu putih bersih bahwa Cinta
tak dapat diminta dengan paksa! Inilah yang membuatku
menyesal dan penasaran seumur hidupku! Coba dahulu hari
aku mencontoh perbuatan saudara Tio di loteng Ciat Yan
Lauw ini, tak nanti terjadi urusan kita sekarang ini.”
Pikiran Giok Peng kacau, kata-kata Hong Kun membuat
otaknya bekerja keras, tapi mendengar kata-katanya itu
hatinya menjadi panas. Orang telah mencela It Hiong! Iapun
turut terembet!
“Tutup mulutmu!” mendadak ia membentak.


“Adik Tio adalah seorang laki-laki sejati, dia tak berhati
kotor sepertimu! Aku justru telah melihat kelicikanmu, maka
aku menjauhkan diri darimu! Tentang hubunganku dengan
adik Hiong, kau tanyakan Teng Hiang, kau nanti tahu dengan
jelas sekali! Kenapa kau menuduh yang tidak-tidak? Kenapa
kau memfitnah adik Hiong?”
Hong Kun menghela napas panjang.
“Semua hal sudah lewat, tak mau aku menimbulkannya
pula,” katanya perlahan. “Cuma hendak aku bertanya, adik
Peng bagaimanakah perasaanmu pada saat pertama kita
bertemu? Kenapa kau menjauhkan diri? Apakah aku pernah
melakukan kesalahan terhadapmu? Hari ini adik, aku bilang
terus terang tak peduli apa sikapmu terhadapku aku tetap
mencintaimu dan untuk kebaikan kita, maka aku telah datang
kemari, bukan anjuran dan tipu muslihat orang? Apakah sebab
memang kau rela?”
Kembali si anak mda menatap tajam. Ia bilang urusan
dapat dilewati namun dia masih menegasi!
Giok Peng tertawa tawar.
“Aku terima kebaikan hatimu!” katanya sama tawarnya.
“Urusanku dengan adik Hiong tidak ada sangkut pautnya
dengan kau!”
Mata Hong Kun terbuka lebar.
“Kau tidak bicara menurut suara hatimu!” bentaknya,
“Selama aku masih hidup, kau nanti lihat!”
Giok Peng mencelat bangun.


“Kau berani berbuat kurang ajar!” bentaknya.
Hong Kun tunduk, dia terdiam. Rupanya dia tengah
berpikir, karena kemudian sambil mengangkat kepalanya dia
bertanya : “Saat ayahmu membuat persiapan tentang
persiapan pernikahan kita, kenapa kau tidak menentangnya?
Kenapa setelah tiba hari pernikahan kau berpura sakit dan
menunda harinya? Kenapa keu menyuruh Teng Hiang
menemui aku untuk kita membuat pertemuan diluar desa?
Dengan begitu, bukankah kau mempermainkan cintaku, kau
menjual aku Gak Hong Kun? Kalau tidak, kau pastilah sudah
kena didesak Tong Wie Lam si tua bangka….!”
Mau tak mau Giok Peng tertawa.
“Gak Hong Kun, kau berpikir berlebihan!” tegurnya, “Mana
dapat kau main menerka-nerka dan menuduh saja? Baiklah
aku teus terang, Jodohku dan adik Hiong sudah terangkap
selama berada dikota Hap Hui, disebabkan satu tusukan
pedang! Pada bahuku masih ada tandanya! Apakah kau
hendak melihatnya, baru hatimu puas?”
Tubuh Hong Kun menggigil mendengar keterangan Giok
Peng itu, mukanyapun pucat. Ia berdiri diam bagaikan boneka
kayu.
Pada saat itu, dari luar ruangan terdengar tindakan kaki
perlahan dibarengi tawanya seorang anak kecil, lalu meyusul
masuk seorang budak perempuan yang masih kecil dengan
Hauw Yan dalam rangkulannya.
“Nona!” memanggil sibudak yang bernama Kui Hoa, “Tuan
kecil ini ribut mencari nona!”


Hauw Yan sibocahpun sudah lantas memanggil: “Mama!
Mama!” dan lantas dia mengulurkan kedua belah tangannya
untuk minta dirangkul ibunya itu, kemudian didalam rangkulan
sang ibu dia masih mengoceh saja….
Sambil memeluk anaknya itu, Giok Peng melirik Hong Kun.
“Hong Kun!” tanyanya, “Kau hendak bicara apalagi? Aku
akan pergi!”
Orang yang ditanya itu berdiam, Cuma kepalanya
digelengkan. Dia tampak sangat putus asa.
Giok Peng membawa anaknya bertindak ketangga loteng,
tiba di muka tangga ia memutar tubuh, lalu berkata pada si
anak muda :”Peristiwa kita yang lampau sekarang sudah elas
dapat dimengerti! Kaulah seorang cerdas, pasti kau dapat
mengenali salah paham diantara kita itu! Karena itu janganlah
karena kecewa dan bersusah hati kau terjerumus kedalam laut
penasaran yang luas. Dengan wajah dan ilmu silat yang kau
miliki, tak usah kau kuatir dalam dunia ini tidak ada seorang
nona yang akan mencocoki hatimu! Aku bilang terus terang
padamu, Giok Peng tidak ada kelebihannya, bahkan sekarang
dia adalah seorang ibu yang telah mempunyai anak, karena itu
tidak ada harganya lagi untuk kau menggilainya….”
Tiba-tiba Hong Kun mengangkat mukanya menatap si nona
atau lebih tepat nyonya! Dia menatap sebentar saja, lantas dia
merangkapkan kedua tangannya untuk memberi hormat dan
berkata: “Adik Peng, kata-katamu ini mengenai hatiku yang
cupat dan pepat, jangan kau sangka Gak Hong Kun adalah
seorang yang hina dina, yang Cuma menggemari muka yang
berpupur! Sebenarnya wajahmu adik, sudah tertera didalam
hatiku dan tak mudah dihapus! Bicara tentang kecantikan, kau
kalah setingkat dari Pek Lah Hoa, sedang dalam kecerdikan


dan pandai melayani kau kalah dua kali lipat dari Teng Hiang
sibudak, tetapi…. Ah, sudahlah aku Gak Hong Kun, aku telah
kehilangan landasan asmaraku, maka tidak ada jalan lain lagi
daripada pergi menjadi pendeta….”
Giok Peng terharu mendengar kata-kata itu. Hatinya
guncang, tanpa terasa air matanyapun mengembang, maka ia
lantas berkata perlahan: “Beginilah hidup manusia….kita
menjadi permainan cinta….. Baiknya kau jangan menyulitkan
dirimu sendiri, jangan menjadi tawar hati, jangan karena aku
seorang wanita biasa, kau merusak hari depanmu yang penuh
pengharapan!....”
Hong Kun gelak tertawa.
“Ya, kita hidup sebagai permainan cinta!” serunya, lalu ia
menghela napas dan menambahkan: “Bagaimana adik Peng?
Dapatkah kau menemani aku minum arak barang satu cawan
saja buat melewati detik malam ini, sebagai kata selamat
jalan? Dapatkah?”
Giok Peng berpikir keras, ia mengangguk.
“Baik, akan aku temani kau minum satu cawan arak,”
sahutnya. “Aku harap dengan secawan arak itu nanti kau cuci
bersih semua lakon yang telah lau, supaya selanjutnya kita
menjadi sahabat-sahabat orang Kang Ouw yang baru!”
Terus si nona berpaling kepada budaknya buat menyuruh
dia lekas membawakan arak berikut barang hidangannya.
Tatkala itu sudah mendekati magrib. Diatas meja loteng itu
sudah tersedia perjamuan lengkap.


Hauw Yan mengiler melihat barang hidangan yang masih
mengepul itu.
Giok Peng menjepit sepotong daging ayam terus disuapi
kemulut anaknya, kemudian sambil menyerahkan si anak
kepada Kui Hoa, ia berkata: “Anak yang baik, pergi kau ikut
Kui Hoa untuk menemui nenekmu, sebentar mama akan
menemani kau bersantap!” sedangkan kepada sibudak ia
menambahkan: “Bawalah tuan kecilmu ini turun…”
Kiu Hoa menurut, ia lantas berlalu bersama Hauw Yan.
Dilain saat kedua muda mudi itu duduk berhadapan
menghadapi barang hidangan.
Hong Kun mengisikan cangkir si nona dan cangkirnya
sendiri, lalu ia mengangkat cangkirnya itu sambil berkata : “
Adik Peng, aku bersyukur karena kau begini baik hati
terhadapku, maka dengan jalan ini juga aku mohon pamitan
dari kau! Mari minum!”
Giok Peng mengangkat cawannya, dia tertawa da berkata:
“Akupun mau memberi selamat jalan padamu! Kakak Hong
Kun semoga kau berhasil dan bahagia!”
Bukan main senangnya Hong Kun mendengar ucapan
“Kakak Hong Kun” hatinya nyeri sekali. Segera ia mengangkat
kepala dan cawannya untuk menegak dan mengeringkan
isinya, sesudah mana ia cepat mengisikannya pula.
Giok Peng mengawasi pemuda itu, ia melihat wajah orang
bercahaya lalu suaram pula. Lantas ia sadar akan
kekeliruannya sudah memanggil “Kakak Hong Kun” itu. Karena
itu ia lekas-lekas berkata nyaring: “Seorang laki-laki dia harus
memandang jauh ke depan, jika Cuma berkecimpung didalam


asmara dia akan kehilangan sifat jantannya! Itulah yang
dibilang pinter keblinger! Benar , bukan?”
Hong Kun mmenyeringai sedih.
“Adik Peng kau membawa tingkahnya siguru sekolah yang
lagi memberikan kuliahnya….” Katanya lesu. “Tak berani Hong
Kun menerima itu, usaha itu kosong melompong! Harta
bagaikan mega yang melayang-layang! Mana dapat
dibandingkan dengan seseorang yang rindu akan cinta dan
selalu didampingi kekasihnya? Siapa menyayangi cinta kasihku
itu, barulah namanya bahagia!”
“Telah aku bilang!” kata Giok Peng. “Aku hanya itu seorang
ibu yang telah mempunyai anakku, Hauw Yan! Bagiku soal
asmara ialah masa lalu, maka itu baiknya jangan kita
bicarakan lagi. Itu Cuma menambah keruwetan pikiran saja!”
Hong Kun menghela napas.
“Tak apa untuk tidak membicarakannya,” katanya berduka.
“Hanya itu…..” sang gunting tak sanggup mengguntingnya
putus….Gak Hong Kun harus merasa malu karena dia tak
mempunyai kemampuan untuk mengatasinya….. Ia lantas
mengangkat cawannya untuk terus berkata: “Malam ini mari
kita minum sampai habis kegembiraan kita! Bukankah
menghadapi arak orang harus mabuk? Peduli apa kita akan
soal esok hari!”
Anak muda ini menghirup pula cawanya itu, diisi lagi dan
dihirup lagi beruntun sampai lima cawan!
Giok Peng melihat poci arak sudah kosong, tapi ia berpikir
untuk meloloh orang dan membuatnya rebah tak berdaya,
maka ia tertawa, “Ya, kalau kau begini gembira baiklah akan


aku panasi arak Pek Lo Cun untukmu, sekalian buat mengucap
selamat jalan padamu!”
Segera si nona memanggil seorang kacung yang menanti
dibawah loteng buat menyuruhnya lekas memanaskan arak
yang ia sebutkan itu dan dibawa kepada mereka.
Ketika itu lilin telah dinyalakan hingga ruang mungil dari
loteng dimana mereka duduk berhadapan tampak terang
sekali. Hatinya Giok Peng tidak tenang, tetapi pada wajahnya
ia menunjukkan tampang sabar sekali. Sebisa-bisa ia berlaku
tentram.
Hong Kun sebaliknya, dia tampak bergembira.
Giok Peng mengangkat poci arak untuk mengisi cawannya
pemuda itu.
“Kau cobailah arak Pek Lo Cun ini,” katanya tertawa.
“Bagaimana tentang harum dan lezatnya?....”
Hong Kun menghirup arak itu, tiba-tiba dia tertawa
bergelak da matanya bersinar tajam galak, terus dia menatap
si nona di depannya. Matanya itu bersinar dingin
menakutkan…
“Kau kenapa ah?” tanyanya. “Apakah arak itu kurang
keras?”
Hong Kun menyeringai.
“Araknya baik sekali” sahutnya, “Itu hanya membangkitkan
aku….”
Nona Pek mengawasi.


“Apakah itu?” tanyanya, “Dapatkah kau menuturkannya?
Barangkali dapat aku membantu kau untuk
memecahkannya…”
Hong Kun mengawasi nyalanya licin.
“Itulah aneh!” katanya menjawab si nona. “Kita bersamasama
berada diatas loteng Ciat Yan Lauw ini, kau menemani
aku bersantap dan minum arak, adik tetapi dengan kau
terpisah bagaikan langit dan bumi!” demikian katanya.
Giok Peng mendelong.
“Ah!.....apa katamu?” tanyanya.
Hong Kun tertawa pula, tertawa sedih.
“Buat apa mengatakannya?” katanya. “Beberapa tahun lalu,
saudara Tio bersama adik Peng makan dan minum arak
bersama disini, dan dia telah berhasil seperti seorang calon
yang telah lulus memenangkan ujian tertinggi! Tapi sekarang
kau dan aku bersama minum disini, tapi arak sekarang
berlainan dengan arak yang dulu itu! Kalau dulu orang
berbahagia, kita sekarang justru bersusah hati soalnya kita
bakal segera berpisah! Oh, sungguh kejam Tuhan mengatur
jalan hidup Gak Hong Kun!”
Walaupun mengatakan hal demikian, si anak muda tetap
tertawa bergelak, hanya berbareng dengan itu air matanya
keluar dua tetes dari matanya….
Giok Peng mengawasinya dan tertawa.
“Kau sudah mabuk!” katanya nyaring, “Sudah jangan
minum lebih banyak lagi! Pergilah masuk kedalam kamar!”


Biar bagaimana tak tega hatinya menyaksikan penderitaan
sipemuda.
Tubuh Giok Kum menggigil.
“Semoga aku mabuk tak sadarkan diri!” katanya. Dan
kembali ia minum araknya, hanya kali ini lantas kepalanya
mendekam diatas meja hingga sumpit dan cawannya
berserakan jatuh kelantai.
Giok Peng lantas berbangkit hendak menghampiri si anak
muda buat mengangkat tubuhnya, buat dibantui pindah
kekamarnya, mendadak Thian Liong muncul diambang pintu.
“Adik kau pulanglah!” demikian kakak itu berkata, “Nanti
aku yang membantunya naik keatas pembaringannya!”
Si adik melengak tapi dia menurut tanpa berkata suatu apa.
Ia keluar dari ruang itu dan turun dari tangga yang disambut
oleh ibunya yang mengajaknya pulang kerumah besar.
Thian Liong dengan dibantu seorang kacung memondong
tubuhnya Hong Kun kedalam kamar dimana dia direbahin
setelah mana dia ditinggalin seorang diri.
Paginya Hong Kun tampak duduk simpruh diatas
pembaringan memikirkan apa yang terjadi tadi malam. Arak
membuatnya tidur lupa daratan tapi setelah sadar, dapat ia
mengingat-ingatnya. Ia merasa pikirannya makin kacau.
“Apakah setelah sadar begini aku lantas pergi angkat kaki?”
kemudian dia Tanya pada dirinya sediri. Lantas dia berpikir
keras.


Angin pagi berhembus kedalam kamar, meniup dan
mengerak-gerakkan gambar lukisan yang tergantung didinding
kamar. Mendengar suara bergerak-gerak si anak muda
terkejut, segera ia menoleh maka ia melihat perihalnya
gambar lukisan itu, “Co Beng Tek Melintangkan Tombak” yang
diikuti syairnya, lukisan itu bagaikan hidup dan tulisan
hurufnya bagus sekali, entah siapa pelukisnya.
Hong Kun terpelajar, tahulah ia siapa Co Beng Tek itu, yaitu
Co Coh si perdana menteri dorna jaman kerajaan Han, bahkan
ia ingat juga kata-katanya dorna itu: “Biarlah aku
mengecewakan orang dikolong langit, jangan orang dikolong
langit yang mengecewakan aku.” Mengingat itu tiba-tiba
tergeraklah hatinya, maka katanya seorang diri: “Apakah aku
Gak Hong Kun dapat bersabar menerima perbuatan orang
yang mengecewakanku? Dapatkah aku menerima hinaan dari
Tio It Hiong yang telah merampas kekasihku? Dapatkah aku
menerimanya semua itu dengan tunduk kepala saja! Tak
peduli apa juga aku mesti membikin adik Peng berada kembali
dalam rangkulanku! Biarlah aku turut kata-katanya Co Coh,
biarlah aku mengecewakan orang dikolong langit! Aku harus
lakukan itu sekehendak hatiku! Sepuasku!.
Adalah biasa bahwa seseorang suka berbuat keliru, karena
kekeliruannya disatu saat hingga tertutuplah kesadaran hati
sanubarinya yang putih bersih hingga akhirnya celakalah
tubuh raganya, hingga berakhir dengan kesudahan yang
menyedihkan. Demikian dengan Gak Hong Kun ini.
Dia telah terjerat dengan kata-katanya Co Coh itu karena
kalah bersaing asmara, dia hendak melakukan pembalasan
dan tak memikirkan akibatnya nanti.
Segera setelah mengambil keputusan, maka Hong Kun
lantas memikirkan cara atau jalannya pembalasan yang


hendak diperbuatnya itu. Ia memikirkan diri Giok Peng sampai
ia ingat kepada Hauw Yan, anaknya yang masih kecil itu.
Pikirnya, “Lenyapnya Sam Kiam tidak membuatmu sibuk,
hanya si orang she Tio yang repot mencarinya kembali, tapi
Hauw Yan adalah buah hatinya, kalau dia terjatuh kedalam
tanganku mustahil kau tak bakal tunduk dan menurut saja
segala kehendakku?”
Memikir demikian, maka bersemangatlah anak muda itu,
mendadak ia lompat turun dari pembaringannya, dengan
cepat merapikan pakaiannya dan mengambil pedangnya. Dan
bergerak turun dari loteng Ciat Yan Lauw.
Sudah banyak hari Hong Kun tinggal di Lek Tiok Po, maka
ia kenal baik rumah itu dan sekitarnya. Maka itu seturunnya
dari loteng, ia berjalan diantara pohon-pohon bunga dengan
hati-hati.
Ia menyingkir dari pandangan siapapun penghuni
rumahnya Giok Peng dengan begitu dia berhasil lompat naik
ketembok halaman dalam dimana dia lantas mendekam untuk
menyembunyikan diri.
Diwaktu demikian semua pegawai pria dan wanita tengah
berdiam didalam rumah. Itulah sebabnya kenapa Hong Kun
tak terpergoki. Dengan sendirinya diapun jadi bebas bergerak.
Sambil mendekam anak muda ini melihat kesekitarnya.
Tatkala itu seluruh Lek Tiok Po sunyi sekali, maka juga
orang lantas dapat mendengar nyata ketika tiba-tiba ada
suara anak kecil bernyanyi-nyanyi: “Matahari muncul ditimur,
bunga harum, kupu-kupu repot beterbangan….” Nyanyian itu
kadang-kadang terhenti sebentar.


Hong Kun lantas melompat kesebuah pohon da
bersembunyi diantara dahan-dahan dan daun. Dia melihat
kebawah, ke arah darimana suara nyanyian itu datang.
Segera tampak Hauw Yan lari mendatangi dengan tindakan
perlahan, tangannya dituntun seorang budak perempuan kecil.
Sibudak yang bernyanyi mengajari sibocah cilik itu….
Bukan main girangnya Hong Kun ketika ia melihat Hauw
Yan dan budaknya itu, Kui Hoa. Disaat mereka itu menikung
disebuah jalan kecil, ia berlompat turun diatas sebuah pohon.
Tubuhnya yang ringan dan lincah membuatnya menginjak
tanah tanpa bersuara. Lalu ia menguntit dengan hati-hati.
Belum jauh, maka Hong Kun memungut sebuah batu kecil,
terus ia timpukkan ke depan Hauw Yan bedua sejarak tiga
kaki di muka mereka itu. Karena caranya ia menimpuk, ia
membuat batu berkisar seperti berputar.
“Bagus sekali!” Hauw Yan berseru sambil bertepuk tangan.
“Kakak Kui Hoa, lihat, katak hijau itu bagus sekali…!”
Dia mengatakan katak, sebab ia tak dapat segera
mengenalinya.
Kui Hoa hendak menjawab anak asuhannya itu namun
mendadak mulutnya dibekap dari belakang, hingga ia tak
dapat membuka mulutnya. Sedangkan satu totokan pada jalan
darah hek tiam di belakang kepalanya membuat ia tak
sadarkan diri.
Itulah Hong Kun yang telah menurunkan tangannya yang
lihai sebelum sibudak memergokinya. Sesudah itu ia lompat
kepada Hauw Yan untuk merangkulnya sambil menutup mulut


si anak. Segera anak itu dibawa lari ketembok Pekarangan dan
berkat larinya yang gesit dan pesat ia sudah berada diluar
wilayah Lek Tiok Po.
Giok Peng dan ibunya yang duduk bersantap, waktu itu
mereka mendengar laporan dari kacungnya yang membawa
makanan buat Hong Kun bahwa loteng itu sudah kosong.
Giok Peng mengangguk dan tertawa.
“Kau boleh mengundurkan diri!” katanya pada sikacung,
setelah mana ia meneruskan pada ibunya: “Mama, selanjutnya
kita tak usah pusing-pusing lagi! Rupanya Gak Hong Kun tidak
mempunyai muka untuk bertemu dengan kita, maka dia pergi
tanpa pamitan lagi, benarkah itu?”
“Selama beberapa hari kita telah diganggnya hingga kita
menjadi merasa tidak aman,” berkata sang ibu, “Maka itu lebih
cepat dia berlalu lebih baik pula!”
Sang putri tersenyum.
Habis bersantap, Giok Peng ingat anaknya. Biasanya
setelah bangun pagi, Hauw Yan diajak Kui Hoa kedalam taman
untuk bermain atau jalan-jalan sebentar. Setelah itu barulah
anak itu sarapan. Tapi sampai sekarang, lebih siang dari
biasanya, si anak dan sibudak belum juga muncul, sang ibu
berpikir: “Mungkin mereka terlalu gembira bermain-main maka
mereka terlambat pulang…” Tapi ia teap berkata pada ibunya:
“Ah, si Kui Hoa dia main entah apa! Sampai begini hari belum
juga mengajak Hauw Yan pulang untuk bersantap…”
Berkata begitu, ibu ini lantas bertindak keluar. Ia tak mau
menyuruh orang mencarinya, ia mau pergi melihat sendiri. Ia
berjalan perlahan-lahan. Lantas ia menjadi heran karena tidak


melihat siapa-siapa dan juga tak terdengar suaranya Hauw
Yan atau Kui Hoa.
“Ah, kemanakah mereka?” pikirnya, setelah mana ia
berteriak nyaring memanggil: “Hauw Yan, Hauw Ya anak
manis, mari pulang, anak kau belum bersantap! Kau bermain
dimana?”
Pertanyaan atau panggilan itu juga tiada jawabannya.
“Aduh!” pikir ibu itu yang lantas tercekat hatinya, karena ia
mulai berkuatir sebab ia lantas menduga jelek. Dengan
sendirinya ia lantas bertindak cepat memasuki taman bunga.
Taman sunyi disitu, tak nampak siapapun juga.
“Ku Hoa! Kui Hoa!” Giok Peng memanggil-manggil.
Kembali tiada jawaban, taman tetap sunyi senyap.
“Mungkinkah Kui Hoa membawa Hauw Yan keruang besar
untuk bermain dengan kakeknya?” pikirnya pula. “Hanya
biasanya diwaktu pagi begini, mereka tak suka pergi ke
depan…..”
Maka ibu ini berjalan terus dengan langkah dipercepat.
Baru setelah menikung dipengkolan ia melihat punggungnya
Kui Hoa yang lagi berdiri diam saja.”
“Kui Hoa! Kui Hoa!” ia memanggil manggil pula sambil
berlari menghampiri. Kekuatirannya timbul sebab Hauw Yan
tak nampak dan cara berdirinya sibudak tampak aneh.
Segera setelah datang dekat, Giok Peng menjadi kaget
sekali, sebab Kui Hoa itu berdiri bagaikan patung sebab


terkena totokan. Maka kekuatirannyapun mencapai
puncaknya, sebab ia mengkuatirkan keselamatan Hauw Yan.
Tanpa ayal lagi ia membuka totokan Kui Hoa.
Hanya sedetik, Kui Hoa terasadar, bingung mirip orang
yang mendusin dari mimpinya. Dan selekasnya ketika tidak
melihat Hauw Yan, ia lantas menjerit menangis!
“Kui Hoa, jangan menangis!” Giok Peng lantas menghibur,
“Mana Hauw Yan?”
Kui Hoa takut bukan main, dia menangis terus, ditanya
begitu dia hanya menggelengkan kepalanya.
Giok Peng dapat menenangkan diri, ia mengusap rambut
bocah itu dan berkata: “Kui Hoa jangan takut,” katanya
perlahan. “Tak nanti aku persalahkan kau, kau bilanglah apa
yang terjadi?”
Lama-lama bisa juga budak itu menenangkan diri, ia
menepis air matanya. Rupanya sikap manis dari majikannya
itu membuat hatinya tentram.
“Barusan aku mengajak tuan kecil Hauw Yan bermain-main
disini,” sahutnya perlahan. “Tiba-tiba aku melihat…..”
“Kau lihat apa Kui Hoa?” Tanya Giok Peng tetap sabar.
“Apakah kau melihat orang? Dia laki-laki atau wanita? Lekas
bilang!”
Kata-kata yang terakhir itu ditanyakannya dengan cepat.
Kui Hoa menangis pula.


“Aku melihat katak hijau….” Katanya sukar. “Katak itu
bergerak-gerak…..kiranya hanya baru kecil….”
Dan ia menunjuk batu yang dilihatnya seperti katak hijau
itu.
Giok Peng bertindak ke arah batu kecil itu dan
memeriksanya.
“Apa katamu barusan?” ia menegaskan. “Kenapakah batu
ini?”
“Batu itu bergerak berlompatan seperti katak hijau…” sahut
sang budak, “Aku dan tuan kecil mengawasinya, bahkan tuan
kecil bertepuk tangan saking girangnya. Tapi belum lama,
tiba-tiba aku tidak melihat lagi tuan kecil dan batu itu….”
Giok Peng mengasah otaknya dan menerka-nerka.
“Kui Hoa coba bilang,” katanya kemudian. “Cobalah kau
pikir benar-benar. Apakah kau melihat atau mendengar ada
suara orang atau tindak kakinya di belakangmu?”
Kui Hoa menggeleng kepala.
“Tidak!....” sahutnya.
Giok Peng menatap budaknya itu, budak masih kecil yang
tak ia sangsikan kejujurannya. Melihat sibudak ditotok orang
dia sudah menduga, bahkan ia segera ingat Hong Kun.
Bukankah pemuda itu lenyap tak keruan pula. Dalam
bingungnya ia lantas lari pulang dan mencari ibunya untuk
menuturkan lenyapnya Hauw Yan.


Kali ini nona ini tak dapat menahan perasaannya. Ia lantas
menangis dan air matanya meleleh keluar dengan deras….
Nyonya Pek tua pun kaget.
“Kui Hoa yang mengajak Hauw Yan, kau lekas tanyakan
dia!” katanya.
“Dia tak dapat menerankan apa juga.” Kata Giok Peng, “Dia
kutemukan dalam keadaan menjublak seperti patung
disebabkan totokan hingga tak dapat ia bergerak, berbicara
atau melihat …..dia tak tahu apa-apa!”
Kembali nyonya tua itu kaget sekali, hanya kali ini
berbareng dia gusar. Segera dia memerintah mengumpulkan
semua bujang laki-laki dan perempuan, guna didengar
keterangannya.
Maka dilain saat berkumpullah semua hamba dari Lek Tiok
Po.
Giok Peng menangis tapi tidak lama. Sebagai orang Kang
Ouw dia cepat menguasai dirinya. Dia menghapus air
matanya, sekarang dia justru bergusar.
“Menurut dugaan anakmu, ini tentu perbuatan Gak Hong
Kun!” katanya mengutarakn terkaannya.
“Benarkah binatang itu berani berbuat gila semacam ini
terhadap Lek Tiok Po?” Tanya sinyonya tua heran.
Ketika itu semua sudah berkumpul dan atas pertanyaan
Nyonya Pek itu mereka menerangkan tidak melihat siapa juga,
tak ada orang asing yang datang atau melintas. Di Toa-thia


ruang besar, diapit kedua putranya Thian Liong dan Siauw
Houw. Giok Peng duduk disisi ibunya.
Pada saat itu datang laporan dari pegawainya yang
bertugas menjaga pintu gerbang. “Tadi aku melihat tuan Gak
Hong Kun bersama tuan kecil Hauw Yan keluar dari Lek Tiok
Po. Atas pertanyaanku Tuan Gak kata dia mau pesiar bersama
tuan kecil. Aku memberitahukan bahwa menurut aturan kita
disini, siapa mau keluar dari wilayah rumah kita, dia
membutuhkan perkenan, tapi disaat aku bicara itu tuan Gak
lantas omong besar dan menyerang kami hingga kena
dirobohkan. Lantas dengan membawa tuan kecil dia segera
pergi dan aku segera datang kesini untuk memberi laporan
ini….”
Kiu Jie gusar sekali, hingga tubuhnya menggigil dan giginya
berkerutukan, tanpa disengaja dia menggebrak meja hingga
pingiran meja itu pecah rusak, sebab dia pandai Tiat See
Ciang, ilmu kekuatan tangan pasir besi. Dia terlebih gusar
daripada saat diganggu kelima “bajingan” untuk
mengacaukannya.
Giok Peng bergusar berbareng bersusah hati. Inilah sebab
ia menyaksikan kegusaran luar biasa dari ayahnya itu. Tanpa
merasa ia melinangkan air mata.
“Sudah, ayah jangan gusar.” Ia mencoba menghibur.
“Sekarang hendak aku menyusul dia, tak perduli sampai
diujung langit akan aku binasakan manusia tak
berprikemanusiaan itu!”
“Akupun mau sekarang juga pergi ke Heng San!” berkata
Kiu Jie dalam sengitnya. “Hendak aku menemui It Yap Tojin
guna minta keadilan, kalau perlu akan aku korbankan jiwa
tuaku ini, supaya aku bisa mendapatkan pulang cucuku!”


“Sabar, saudara Pek….” Berkata Wie Lam menghela napas.
“Urusan ini masih harus dipikirkan dahulu dengan tenang,
jangan kita menuruti saja bujukan hawa amarah…”
“Tong Loyacu,” Nyonya Pek turut bicara, “Cobalah tolong
pikirkan data apakah yang rasanya paling baik?”
Nyonya Pek Kiu Jie tidak memanggil paman kepada sahabat
suaminya itu, hanya “loyacu”, suatu ucapan yang penuh
kehormatan. Paman hanya ucapan biasa saja. Wie Lam pun
berusia terlebih tua daripada Kiu Jie.
Wie Lam menatap semua hadirin.
“Menurut pendapatku sekarang ini,” berkata ia kemudian.
“Sekarang juga baiklah kedua keponakan thian Liong dan
Siauw Houw segera pergi menyusul secara berpisahan kepada
orang she Gak itu! Demikian juga kau keponakanku.
Disamping itu kita juga segera mengirim kepelbagai sahabat
rimba persilatan guna memberitahukan peristiwa ini seraya
memohon bantuan mereka mencari tahu kemana perginya
anak celaka she Gak itu!”
Giok Peng mengangguk.
“Paman benar,” katanya. “Baik, mari kita lekas berangkat!”
Belum sampai nona ini berbangkit namun ia berseru
tertahan: “Oh! Aku lupa! Akupun mesti mengrim orang ke Kiu
Kiong San guna menyampaikan kabar ini kepada adik Hiong
dan kakak In, supaya mereka itu turut membantu mencari
Hauw Yan!”


Berkata begitu, nona ini lantas menyuruh kacungnya segera
menyiapkan pedang dan buntalannya yang berisikan uang dan
pakaian seperlunya.
Sementara itu Nyonya Pek melarang suaminya pergi ke
Heng San, buat mencari It Yap Tojin, katanya suaminya perlu
berdiam didalam rumah untuk mengurus sesuatu. Bukankah
anak mereka telah pergi semua dan rumah menadi kosong.
Kiu Jie dapat dikasih mengerti, ia suka membatalkan
kepergiannya ke Heng San.
Ketika itu Thian Liong yang telah berpikir turut bicara, kata
dia: “Menurut terkaanku, Gak Hong Kun berbuat begini untuk
memancing adik Peng pergi menyusulnya seorang diri. Kalau
adik Peng menyusul dia, ia pasti bakal kena terpancing dan
terjebak. Karena itu aku pikir baik aku pergi berdua adik Peng,
sedangkan adik Houw pergi bersama beberapa orang kita.
Asal Hong Kun ketahuan jejaknya, salah seorang mesti lekas
pulang memberi kabar”
Kiu Jie mengangguk.
“Begitupun baik” bilangnya. “Cuma kalian semua harus
berhati-hati!”
Lantas ayah ini mengatur orangnya :”Empat pegawai
ditegaskan turut bersama Giok Peng dan Thian Long dan
delapan orang ikut Siauw Houw, segera mereka dititahkan
berangkat”
Wie Lam dan nyonya Pek menyetujui cara bekerja seperti
itu.


Sementara itu Gak Hong Kun yang menculik Hauw Yan
sekeluarnya dari wilayah Lek Tiok Po dia lalu tiba dipelabuhan
sungai Tiang Kang dan lantas membeli seekor kuda untuk
melanjutkan perjalanannya. Dia tak mau menyingkir secara
cepat-cepat, tapi dengan menunggang kuda dia merasa lebih
leluasa. Ini disebabkan dia mesti mengasuh Hauw Yan,
sedangkan dia adala seorang laki-laki, dia nanti kuatir orang
mencurigainya. Dengan bercokol diatas kuda sehingga seolaholah
mereka tengah berpesiar…
Disepanjang jalan Hauw Yan dibujuki, diajak bicara sambil
tertawa-tawa, hingga anak itu tidak ingat apa-apa. Dilain
pihak diam-diam dia memasang mata, kuatir Giok Peng atau
lainnya menyusul….
Biar bagaimanapun hati pemuda ini tidak tenang. Kalau dia
sedang sadar, dia malu sendiri, sebab dia sebagai seorang
laki-laki sejati telah melakukan perbuatan hina dina itu.
Diapun kuatir Giok Peng menyusulnya. Dilain pihak lagi dia
sangat ingin bertemu nona itu…
“Dengan Hauw Yan ditanganku, mesti dia akan turuti
segala kehendakku….” Demikian dia melamun.
Selang dua hari Hong Kun sudah sampai dikecamaTan
Hong Bwe, dia singgah semalam. Tidak juga dia melihat Giok
Peng yang dia harapkan datang menyusul. Karena dia sengaja
mengambil jalan memutar guna memperlambat perjalanannya
untuk menantikan nona Pek…..
Hari itu diwaktu lohor, Hong Kun tiba di Thian Kee Tiu.
Itulah sebuah kota perdagangan yang tak besar tapipun tak
kecil. Perumahannya Cuma enam tujuh puluh pintu. Tapi
sebagai kota perdagangan lalu lintasnya ramai sekali. Diluar
itu adalah segundukan rimba pohon yangliu dan bunga toh


hoa yang indah pemandangannya. Didalam rimba itu diantara
sinar sang surya, Hong Kun menjalankan kudanya perlahan.
Keindahan sang alam hendak dinikmati supaya hatinya tenang
dan lega.
Tiba-tiba saja kesunyian sang rimba diganggu oleh
bentakan berulang ulang serta bentrokan nyaring diantara
senjata tajam yang datangnya dari sebelah dalam rimba itu.
Hong Kun terkejut, apalagi ketika dia lantas mendengar suara
seorang wanita yang mirip dengan suaranya Giok Peng. Dia
lantas memasang telinganya, tapi tak dapat dia mendengar
lagi suara wanita itu. Lalu dengan ragu-ragu dia melarikan
kudanya kedalam rimba, ke arah dimana suara pertempuran
terdengar.
Setelah memasuki rimba sejauh sepuluh tombak lebih,
kembali Hong Kun mendengar beradunya senjata, hanya kali
ini dia lantas mendengar juga suara orang bertanya: “Nona,
apakah nona datang dari Lek Tiok Po!”
Sejenak itu bergetarlah hatinya si orang she Gak.
“Dia pasti Giok Peng!” pikirnya. Dia ragu-ragu, toh dia
mencambuk kudanya untuk disuruh lari.
Meskipun kuda dilarikan keras, Hauw Yan dalam usia lima
tahun tidak takut sama sekali, sebaliknya dia tertawa. Dia
menjadi sangat girang. Ini disebabkan dia bertubuh kekar dan
bernyali besar dan selama di Pay In Nia dia sering mengikuti
Giok Noaw berlari-lari ditanah pegunungan.
Setelah menikung beberapa kali, Hong Kun tiba disebuah
tempat terbuka kecil yang tanahnya penuh berumput, di sana
dia melihat dua orang lagi bertarung, yang satu pria dan satu
wanita. Yang pria berumur lima puluh tahun lebih, bajunya


panjang senjatanya tongkat bambu, sepatunya sepatu ringan.
Dia adalah Ngay Eng Eng dari lembah Kian kok Wan di
Lokyang. Sementara yang wanita dandanannya ringkas dan
rambutnya berponi, senjatanya sepasang ruyung Sae ho pang,
dialah Tan Hong dari Hek Keng To, pulau ikan lodan. Hanya
terhadap nona itu, Hong Kun tidak kenal. Dia cuma heran
suara orang sama dengan suaranya Giok Peng.
Selagi si orang she Gak menjublak menyaksikan
pertempuran itu, Hauw Yan justru bersorak-sorak tangannya
ditepuk-tepuk dengan sangat kegirangan.
Tatkala itu Ngay Eng Eng sebenarnya sedang repot. Setelah
membantu pihak Siauw Lim Pay mengusir kawanan bajingan
yang menyerbu kesana lalu disebabkan ada janji pertempuran
digunung Tay san, dia repot mondar mandir mengundang
sahabat-sahabat guna membantu pihak Siauw Lim Pay.
Kebetulan saja lohor itu selagi ia lewat dirimba itu, dia
bertemu dengan Tan Hong, segera dia menghadang nona itu.
Sebabnya ialah dia telah mendengar berita halnya Tan Hong
sudah mencuri kitab ilmu pedangnya It Hiong. Jadi dia mau
merampas pulang kitab itu untuk dikembalkan kepada si anak
muda. Tan Hong sebaliknya panas hati, sebab meski ia sudah
memberi keterangan berulang-ulang, si jago tua ngotot tak
mau mengerti. Maka habislah sabarnya dan bertempurlah
mereka berdua.
Selagi bertempur itu masih dapat Nona Tan menguasai
dirinya, maka sambil melayani berkelahi dalam hal mana ia
lebih banyak bertahan sambil menjelaskan perihalnya ia kenal
Giok Peng dan lainnya dan baru belum lama ini ia berpisah
dari nona Pek itu. Karena ia menyebut kenal Giok Peng, Eng
Eng menyangka ia datang dari Lek Tiong Po.


Jilid 19
Tan Hong mempunyai telinga yang Peka dan mata yang
awas, sedangnya bertempur itu telinganya lantas mendengar
suara kuda berlari-lari disusul dengan tawa riang dari anak
kecil. Segera ia menangkis satu serangan dari Eng Eng, lantas
ia lompat mundur beberapa tindak, untuk menoleh ke arah
darimana datangnya suara kuda dan tawa, hingga ia lantas
mendapat lihat Hong Kun diatas kudanya lagi memeluki si
bocah riang gembira itu. Ia heran hingga ia terus mengawasi
saja.
Selama It Hiong dan Hong Kun mengadu kepandaian di kuil
Go In Ih di Heng San, Nona Tan Hong telah mencintainya
maka itu ia tahu dan mengenali Gok Hong Kun, sekarang ia
melihat pemuda itu bersama seorang bocah, mengawasi siapa
ia merasa bahwa ia rada-rada mengenalnya.
"Ah, siapakah bocah itu ?" pikirnya.
Karena orang berlompat mundur, karena datangnya si anak
muda dan si bocah, Ngay Eng Eng juga menunda
penyerangannya. Bahkan ia lantas menghadapi Gak Hong Kun
untuk bertanya : "Saudara, apakah kaulah murid pandai dari It
Yap Totiang dari Heng San ?"
Hong Kun merangkapkan kedua belah tangannya.
"Tenaga ingatan dari Ngay Locianpwe kuat sekali."
sahutnya sambil memberi hormat itu. "Kita sudah berpisah
beberapa tahun tetapi locianpwe tetap masih ingat kepadaku,
Gak Hong Kun, murid dari Heng San Pay."
Jago tua itu tertawa.


"Bagaimana dengan gurumu, saudara, adakah ia baik-baik
saja ?" tanyanya. "Sudah beberapa tahun aku tidak bertemu
dengannya."
"Terima kasih, locianpwe, guruku sehat-sehat saja." sahut
si pemuda.
Eng Eng menunjuk Hauw Yan.
"Saudara Gak, adakah anak itu puteramu ?" ia tanya pula.
"Sungguh seorang anak yang tampan sekali !"
Ditanya begitu, Hong Kun tergugu. Tak dapat ia menjawab
"ya" tapi juga tak boleh ia menyebut anaknya Giok Peng atau
It Hiong. Terpaksa, ia berpura-pura batuk.
Eng Eng menghela nafas. Kata ia perlahan.
"Ketika beberapa tahun yang lampau itu, aku si orang tua
berkunjung ke Go In Ih, saudara Gak, kau masih seperti
seorang bocah, maka tidaklah disangka sang waktu mengalir
lewat cepat sekali. Sebentar saja beberapa tahun sudah
berlalu, atau sekarang saudara adalah ayah dari seorang anak
! Haa !"
Tak ada maksudnya Eng Eng akan menggodia orang atau
mengejek, tetapi kata-kata dan tawanya itu membuat merah
muka dan telinga Hong Kun. Dia ini malu sendirinya hingga dia
mencari alasan untuk menoleh ke lain arah.
Ketika Hauw Yan telah melihat Tan Hong, tiba-tiba dia
memanggil : "Mama ! Mama !"
Eng Eng mendengar suara bocah itu, ia heran. Ia ingat
sikapnya Hong Kun barusan yang agak jengah. Maka mau ia


menerka yang wanita itu adalah istrinya si anak muda. Hal ini
membuatnya likat sendirinya. Sebab sebagai seorang dari
angkatan tua, ia sudah menghadang istrinya seorang dari
angkatan muda.
"Oh, saudara Gak, harap sudi apalah kau memaafkan aku"
katanya kemudian. "Aku hendak membantu mencari kitab ilmu
pedangnya Tio It Hiong, maka barusan aku telah berlaku
keliru, sudah bertempur dengan Nyonya Gak.."
Tan Hong pun melengak karena bocah itu memanggil
mama kepadanya. Ia mengingat-ingat kapannya dan dimana
pernah ia melihat si bocah. Sekarang ia mendengar suaranya
si jago tua, ia menjadi tidak senang. Ia bukan istrinya Hong
Kun ! Maka berbangkitlah sepasang alisnya melentik!
"Orang she Ngay, jangan kau mengaco tidak karuan !"
bentaknya. "Jangan kau beragak dengan ketuabangkaanmu !
Siapa bilang aku istrinya dia ? Kau tahu, dia justru lagi
kebingungan sebab dia gagal dalam urusan asmaranya
dengan Pek Giok Peng !"
Mendengar suaranya si nona, Hong Kun segera memutar
kudanya untuk terus dikasih lari kembali ke arah dari mana dia
datang tadi, dia merasakan suasana tidak baik bagi dirinya.
Dalam bingungnya dia berlalu tanpa menyapa lagi Ngay Eng
Eng !
Sementara itu Tan Hong selekasnya ia menyebut namanya
Giok Peng, sekonyong-konyong ia ingat tampangnya bocah
tadi, bocah mana pernah ia lihat di gunung Siauw Sit San
ketika di sana ia bertemu dengan Giok Peng.
Selagi ia menempur Nona Pek, nona itu telah mengempo
seorang anak kecil dan anak itu mirip dengan anak ini.


Mengingat ini lantas ia ingat juga bahwa anaknya Pek Giok
Peng adalah anaknya Tio It Hiong !
"Oh !" Kenapa anaknya It Hiong berada di tangannya Gak
Hong Kun ?" demikian pikirnya atau kecurigaan berkelebat di
benak otaknya nona ini.
Inilah heran ! Inilah aneh !
Maka berpikirlah ia dengan keras.
"Gak Hong Kun aneh ! Mungkinkah dia tengah main gila ?"
demikian Tan Hong pikir pula.
"Hatiku telah aku serahkan pada adik Hiong. maka itu perlu
aku ketahui urusan ini !"
"Aku mesti susul Hong Kun guna memperoleh kepastian
tentang anak itu !"
Maka itu segera setelah mengambil keputusan ia memberi
hormat pada Ngay Eng Eng seraya berkata : "Locianpwe"
katanya. "Locianpwe hendak membantu Tio It Hiong mencari
kitab ilmu pedangnya yang hilang, karena itu hendak aku
menanya, tahukah locianpwe anaknya It Hiong itu siapa
namanya ?"
Itulah pertanyaan diluar sangkaan, Eng Eng heran hingga
ia menunduki kepalanya untuk berpikir.
"Kalau tidak keliru, anak itu bernama Hauw Yan" sahutnya
kemudian. "Mau apakah kau menanyakan tentang anaknya It
Hiong itu ?"


Setelah memperoleh keterangan itu, Tan Hong berkata
diluar jawaban yang ia harus berikan kepada si jago tua.
Katanya singkat. "Demi urusannya adik Hiong mesti aku ludas
menyusul Gak Hong Kun ! Maka itu maafkan aku tak dapat
menemani locianpwe lebih lama pula !"
Dan berhenti kata-kata itu, si nona sudah berlompat lari
hingga dilain detik ia sudah lenyap ditelan sang rimba.
Lagi-lagi Eng Eng melengak. Dialah seorang jago tua tetapi
dia kena dibikin bingung tindak tanduknya Tan Hong dan
Hong Kun itu. Karena dia tidak dapat menyusul pemuda dan
pemudi itu, terpaksa dengan lega dia pun pergi melanjuti
perjalanannya.
Tan Hong kabur ke Thian-keetin, ia sampai di pasar
sesudah cuaca gelap. Di sana sini, rumah-rumah sudah
menyalakan api terutama rumah-rumah makan. Sekalipun
malam, keadaan ramai sekali. Ada banyak orang masih
mondar mandir. Ia melalui beberapa jalan besar tidak juga ia
menemukan Hong Kun.
"Mungkinkah dia melewati tempat ini ?" pikirnya kecewa
berbareng penasaran. Di depan situ justru seorang jongos lagi
memelihara seekor kuda. Ia masih mengenali itulah kudanya
Hong Kun tadi.
Sekarang si nona mendapat kenyataan itulah penginapan
merangkap rumah makan. Dengan tindakan perlahan, ia
memasuki ruang restoran. Matanya diam-diam dialihkan ke
seluruh penjuru. Maka legalah hatinya waktu di satu pojok
terlihat Hong Kun ada bersama Hauw Yan tengah menghadapi
barang santapan. Meja itu berada di dekat jendela.


Untuk memperoleh kepastian anak itu Hauw Yan atau
bukan kalau benar Hauw Yan dialah putranya It Hiong atau
Giok Peng lantas ia bertindak menghampiri terus secara tibatiba
ia memanggil : "Hauw Yan ! Hauw Yan ! Mama datang !"
Anak itu tengah dibujuki Hong Kun untuk menmakan
nasinya, ia mendapat dengar panggilan itu secara mendadak
ia mengangkat kepalanya dan menoleh.
"Mama !" ia lantas memanggil. "Mama !" dan lantas tanpa
menghiraukan nasinya, hendak ia berlompat turun dari
kursinya !
Hong Kun terkejut, dia heran. Dia menahan bocah itu dan
membujukinya. Ketika dia menoleh, dia mengenali nona yang
tadi bertarung dengan Ngay Eng Eng di dalam hutan. Dia tidak
kenal nona itu, dia makin heran. Kenapa nona itu memanggil
Hauw Yan ? Tadi didalam rimba juga heran yang Hauw Yan
memanggil mama kepada wanita itu.
"Itulah bukan mamamu" kata ia kepada si anak. "Dialah
seorang moler ! Hauw Yan anak manis, makanlah. Mari !
Lekas makan !"
Kata-kata Hong Kun tidak keras, tetapi karena jarak antara
ia dan Tan Hong dekat, si nona mendapat dengar dengan
nyata. Seketika juga merahlah mukanya. Ia dikatakan "moler".
Bukan main gusarnya ia. Di pihak lain, sekarang ia
memperoleh kepastian anak itu ialah anaknya It Hiong dan
Giok Peng, maka hendak ia merampas si anak dari tangannya
pemuda itu. Tapi ia adalah seorang nona Kang Ouw yang
berpengalaman, tak peduli usianya masih muda. Ia tidak mau
segera menunjuki kemurkaannya. Maka ia menghampiri meja
yang dekat dengan mejanya Hong Kun.


Ia kata pada jongos yang menghampirinya. Ia menyebut
beberapa rupa sayuran.
Hong Kun terus membujuki Hauw Yan yang ia layani
dengan telaten. Ia mengeluarkan sapu tangan guna menyusuti
mulut si anak dan menyeka kedua tangannya. Sembari
berbuat begitu, ia pun menggunakan ketika untuk makan dan
minum.
Sembari menantikan barang hidangan, Tan Hong
mengasah otaknya. Mulanya dia berniat berlompat kepada
Hauw Yan untuk memeluknya dan terus melompat pergi guna
mengangkat kaki. Hanya sesaat ia merobah pikirannya itu. Ia
kuatir percobaan itu gagal. Ia percaya Hong Kun bukan
sembarangan orang. Pasti tak mudah baginya bertempur
sambil mendukung Hauw Yan. Ia tentu tidak dapat lari pesat
dan bakal tersusul kalau Hong Kun mengejarnya. Pula masih
ada satu soal lain : Bagaimana kalau Hauw Yan kaget dan
menangis ?
Maka ia menyabarkan diri seraya terus memutar otaknya,
mencari pikiran dan kesempatan yang baik.
Hong Kun sendiri, berat dia merasai pikirannya. Karena si
nona tidak bertindak terlebih jauh dan Hauw Yan pun diam
saja, tak dapat dia berbuat apa-apa terhadap nona yang tidak
dikenal itu. Dia berdiam tetapi otaknya bekerja terus. Biar
bagaimana, dia mencurigai nona itu.
Hauw Yan sendiri tak dapat duduk berdiam saja. Entah apa
yang dipikirkannya. Dia mengawasi Hong Kun, yang matanya
mendelong ke satu arah, kedua tangannya ada pada pipi dan
telinganya yang dia garuk-garuk tanpa dia merasa gatal.
Tan Hong terus memasang mata secara diam-diam.


Tak lama datanglah jongos dengan barang hidangan yang
dipesannya. Justru itu si nona mendapat satu pikiran. Tidak
ayal pula, ia mencoba mewujudkan itu. Secara diam-diam ia
mengisyaratkan jongos itu membawa semangkok daging ayam
ke mejanya Hong Kun, ia sendiri secara diam-diam berbangkit
bangun, bertindak mengintil di belakang jongos itu yang
kebetulan bertubuh besar dan gemuk. Selekasnya ia sudah
datang dekat Hauw Yan, dengan kecepatannya yang luar
biasa, ia mengulur tangannya dan menyambar bocah itu, terus
ia berlompat lari keluar !
Hauw Yan menyangka orang bermain-main dengannya, ia
bukan takut atau kaget, ia justru tertawa, maka Tan Hong
lekas-lekas membekap mulutnya. Setibanya di luar, nona itu
berlompat naik ke atas genteng.
"Tuan, mari cobai daging masakan kami ini !" berkata si
jongos kepada Hong Kun sambil ia meletakkan mangkuk ayam
di depannya pemuda itu. Dia bicara sambil bersenyum.
Dia menuruti kehendaknya si nona sebab menuruti
kebiasaannya menyangka tentulah muda mudi itu mau main
pacar-pacaran hingga ia bakal mendapat hadiah berarti. "mari
cobai, tuan, itulah si nona di sana yang memesannya untuk
tuan..."
Hong Kun tengah berpikir hingga pikirannya itu terintang,
ia mengawasi jongos itu yang kembali berkata padanya :
"Lekas cobai, tuan ! Jangan tuan sia-siakan kebaikan nona
itu..."
Kali ini si jongos menoleh, akan menunjuk kepada Tan
Hong, atau dia lantas berdiri menjublak sebab si nona tak
nampak sekali pun bayangannya !


Hong Kun juga terperanjat. Ia tidak melihat nona yang
ditunjuk itu. Yang hebat ialah ketika ia menoleh ke kirinya
Hauw Yan, bocah itu tidak ada di tempatnya !
"Celaka !" serunya. Lantas ia menolak tubuh si jongos buat
terus berlompat keluar. Dia tahu yang dia telah kena orang
akali. Dia menyesal sekali yang dia seperti buta mata dan
pikiran sebab dia terlalu keras mengasah otaknya hingga dia
tidak melihat Hauw Yan telah orang sambar !
Tepat diambang pintu, Hong Kun berhadapan dengan
seorang tua.
"Eh, eh, saudara Gak, kau tergesa-gesa kenapakah ?" tanya
si orang tua ialah Ngay Eng Eng yang baru saja tiba.
Mulanya Hong Kun melengak atau segera dia menanya :
"Locianpwe, apakah barusan locianpwe mendapat lihat nona
yang kita ada urusan di dalam rimba tadi ?"
Eng Eng menggeleng kepala.
"Tidak" sahutnya.
Tanpa mengatakan apa-apa lagi, Hong Kun lompat ke
samping orang tua itu, buat terus lari keluar guna menyusul
Tang Hong. Maka dilain saat, lenyap sudah ia di jalan besar
yang gelap, yang tak disampaikan cahaya api.
Tan Hong berlaku cerdik sekali. Sengaja ia lompat naik ke
atas genteng. Ia percaya Hong Kun pasti menerkanya sudah
kabur terus. Ia pula tidak lari terus, hanya sambil mendekam
diatas wuwungan, ia mengintai ke arah pintu penginapan


hingga ia melihat si anak muda lari keluar itu, mungkin untuk
terus meninggalkan Thian-keetin !
Sampai sekian lama, jago wanita dari Hek Keng To itu
masih mendekam saja dan Hauw Yan ia peluki terus. Setelah
mendapatkan Hong Kun belum juga kembali, legalah hatinya.
Tapi yang paling membuatnya lega ialah waktu ia mendapat
kenyataan bocah di dalam pelukan atau empoannya itu sudah
tidur pulas !
Rupanya bocah itu senang sekali dipeluki seorang wanita
yang membuatnya merasa hangat, apa pula itulah wanita
yang dia panggil mama !
Dengan berhati-hati Tan Hong berjalan di atas wuwungan
menuju ke ujung genteng dimana terdapat sebuah gang yang
gelap. Di situ dia berlompat turun. Ia tidak terpergoki siapa
juga. Di dalam gang itu ia berjalan cepat melalui tiga tikungan
baru ia muncul di jalan besar.
Selama si nona berdiam di atas genteng sang waktu berlalu
dengan cepat. Maka itu waktu mungkin sudah jam dua. Di
jalanan umum itu sangat sedikit orang yang masih berlalu
lalang. Dengan cepat ia kembali ke rumah makan tadi, kali ini
untuk meminta kamar, maka selanjutnya ia tidur pulas
bersama-sama puteranya It Hiong itu.
Selama itu Nona Tan ini sudah memikirkan tentang Hong
Kun. Ia berpengalaman dan teliti. Ia dapat menerka apa yang
Hong Kun bakal lakukan sesudah anak muda itu gagal
menyusulnya. Ia menerka mesti Hong Kun menyusul keluar
kota. Maka itu dengan berani ia ke hotel bahkan untuk tidur
nyenyak. Itulah yang dinamakan tipunya "Kakak tua pulang ke
sarangnya". Dan dengan demikian Hong Kun kena
diperdayakan !


Besok paginya Tan Hong mendusin dari tidurnya, buat
seterusnya membawa sikap tenang-tenang saja. Dapat ia
membuat Hauw Yan tidak banyak rewel, sebab anak itu
memangnya anak baik. Paling dahulu ia ajak si bocah
bersantap lantas ia membayar uang penginapan dan santapan
baru ia bawa Hauw Yan meninggalkan rumah penginapan itu.
Sekarang ini Tan Hong sudah memikirkan masak-masak.
Hendak ia menyerahkan Hauw Yan kepada It Hiong sendiri
supaya senang dan puaslah hatinya pemuda yang ia gilai itu.
Ia percaya kapan Giok Peng ketahui ialah yang membantu
anak mereka, nona itu tentulah berkesan baik terhadap
dirinya. Ia tidak jelas bersedia ia bersuamikan It Hiong tak
perduli pemuda itu telah mempunyai istri. Asal It Hiong
menerimanya puas sudah hatinya.
Dengan membawa Hauw Yan, nona cantik dari pulau Ikan
Lodan Hitam itu menuju Kiu Kiong San.
Selagi Nona Tan melakukan perjalana itu, baiklah kita
menoleh dahulu kepada Gak Hong Kun.
Benar seperti terkaan Tan Hong, dia lari terus keluar kota.
Inilah sebab didalam kota sendiri semua jalan besar dan gang
sudah ia jelajahi dan nona itu bersama Hauw Yan sudah tak
tampak. Dia masgul dan mendongkol sekali. Di luar kota, dia
menghampiri rimba yang gelap. Disini siuran angin malam
membuatnya bagaikan terasadar. Dia menggigil lantas sirna
pengaruh alkohol yang membutakan pikirannya. Lantas dia
berdiri diam dan berpikir. Ia memperhatikan keadaan di
sekitarnya. Ia melihat jalanan. Ia juga menduga-duga kemana
si nona telah mengambil jalan.


Di luar kota itu sama ada sebuah jalan besar yang
jalanannya berliku-liku sampai ke rimba itu. Tak ada jalan
lainnya. Di waktu malam seperti itu rimba gelap. Itulah
saatnya untuk orang bersembunyi dengan aman.
Lantas Hong Kun menggunakan akal liciknya. Berkatalah ia
seorang diri dengan perlahan. "Eh, budak bau berapa
tinggikah kepandaianmu ? Mana dapat kau lolos dari mata dan
telingaku ? Lihat, akan aku bekuk kau."
Habis berkata, ia berdiam sebentar.
Itulah tipu menakut-nakuti orang yang bersembunyi
andiakata dia benar mengumpatkan diri disitu. Lewat sesaat
karena tidak ada hasil dari gerakannya itu, ia lari memasuki
rimba buat mulai menggeledah rimba itu !
Sampai kepalanya bermandikan keringat tak juga Hong Kun
berhasil dengan usahanya itu. Ia mendongkol berbareng
bingung. Mendesak Giok Peng ia tidak berhasil, mencuri kitab
Sam Cay Kiam gagal dan kali ini menculik Hauw Yan bocah itu
kena orang bawa kabur di depan matanya, sia-sialah segala
dayanya maka sekarang ia menjadi uring-uringan sendiri
sampai tubuhnya bergemetaran...
Masih anak muda ini berjalan mundar mandir, masih dia
mencoba mencari Tan Hong. Ia mirip orang yang otaknya
terganggu. Satu kali dia bersiul nyaring sekali hingga burungburung
kaget dan terbang.
Tidak lama rasanya terdengar sudah suara turun burung
kucica bernyanyi dan itulah tanda dari tibanya sang fajar.
Anak muda ini kantuk, letih dan pening kepalanya, pikirannya
kacau, napasnya memburu. Ia menembusi hutan menuju ke
jalan umum, jalan tanpa tujuan. Tengah hari itu, ia tiba


kembali di kecamaTan Hong bwe. Dengan surat cekat,
terdengar dari mulutnya : "Anak Hauw Yan ! Adik Peng !" Ia
berjalan dengan kepala tunduk. Maka itu, diwaktu ia
membelok disebuah pengkolan, hampir ia bertabrakan dengan
seorang wanita, sampai telinganya mendengar cicitan : "Orang
buta ! Kau main gila, ya ?" Dan tangannya wanita itu
melayang !
Hong Kun terperanjat, ia mengangkat kepalanya, melihat
datang serangan, ia berkelit. Lantas ia berdiri mengawasi.
Maka ia melihat seorang nona dengan baju merah serta
pedang di punggung, rambutnya yang panjang tergerai di
punggungnya dan matanya mendelik terhadapnya !
Di dalam keadaan seperti itu, matanya Hong Kun bagaikan
kabur, maka juga ia melihat si nona seperti Tan Hong. Ia
menjadi gusar.
"Budak bau !" bentaknya. "Apakah kau sangka kau dapat
lolos dari tangannya Tuan Gak mu ini? Ha !" Dia lantas maju
satu tindak, kedua tangan berbareng diluncurkan.
Nona itu bukannya Tan Hong, ialah Cit Mo Siauw Wan
Goat, bajingan wanita nomor tujuh dari pulau To Liong To. Dia
sebenarnya tengah dalam perjalanan bersama kedua orang
kakaknya yaitu Lie Mo Lam Hong Hoan, bajingan nomor lima.
Mereka bertiga mau pergi ke Heng San buat mengundang It
Yap Tojin guna sudi membantui mereka. Di tengah jalan
pengunungan Heng San, Wau Goat kebetulan bertemu dengan
Tio It Hiong kontan di jatuh cinta terhadap pemuda tampan
dan gagah itu. It Hiong mirip pulau suci di tengah lautan,
mudah dipandangi sukar dijamah, hingga ia menjadi bersusah
hati dan kesusahan hatinya itu cuma dapat disimpan di dalam
dada. Dengan hati tidak karuan rasa dia mengajak kakak
seperguruannya berpesiar kemana dia suka. Dia berniat


melegakan hati, siapa tahu justru dia berpapasan dengan
Hong Kun, Dia tidak kenal si anak muda yang justru adalah
muridnya It Yap Tojin karena ia menyangka pemuda itu
ceriwis, dia lantas mendamprat dan menyerang !
Lantas Nona Siauw menjadi marah sekali. Orang bukan
minta maaf tapi justru menyerangnya. Dengan gerakan jurus
silat "Bajingan berkelebat", ia berkelit terus ke belakang orang
guna dari situ balik menghajar.
Hong Kun bukan sembarang orang, tak kena ia diserang
secara begitu. Cepat luar biasa ia membalik tubuh guna
menghajar balik pada nona itu. Maka beradulah tangan
mereka berdua hingga keduanya sama tertolak mundur
separoh terpelanting.
Justru itu tibalah Lam Hong Hoan dan Bok Cee Lauw yang
berjalan belakangan. Mereka itu terkejut sebab mereka
mengerti muridnya It Yap Tojin, sedangkan imam itu adalah
orang yang bantuannya mereka harapkan. Sambil lari
menghampiri mereka berseru : "Su-moay tahan !"
Su-moay ialah panggilan yang berarti adik seperguruan
wanita.
Siauw Wan Goat mengangkat mukanya mengawasi anak
muda itu atau si anak muda mendahului berlompat pula,
menyerang lagi padanya. Itu pula serangan dahsyat sekali . Ia
berniat berkelit atau rambut kepalanya kena terasampok
hingga jepitan rambutnya yang berkepala burung pong kena
terasampok jatuh. Ia menjadi sangat gusar, ia lantas
menghunus pedangnya. Justru itu waktu ia mendengar
cegahan kedua saudara seperguruannya itu, terpaksa ia
menyimpan pedangnya dan mundur setindak akan menoleh


kepada kedua saudara itu.
Hong Hoan dan Cee Lauw sudah lantas tiba. Mereka itu
menggoyang -goyangi tangannya.
"Jangan bertempur !" mereka kata. "Kita ada orang sendiri
!"
Hong Kun mendelong mengawasi dua orang yang baru tiba
itu mulutnya bungkam.
Hong Hoan mengawasi anak muda itu dan memandang
adiknya, ia menyangka diantara dua orang itu ada suatu
perselisihan untuk dapat mendamaikan ia terus bersenyum
kepada mereka kemudian sembari tertawa ia kata kepada si
anak muda, "Gak Laote dengan memandang muka tipis dari
aku yang mengenal gurumu yang terhormat dan kau sendiri,
aku minta sukalah kau memaafkan adikku ini andiakata dia
telah melakukan sesuatu yang tak menyenangimu..."
Kemudian kepada Wan Goat ia lantas menerangkan. "Su
moay, inilah saudara Gak murid pandai dari It Yap Totiang !
Hahahaha ! Kalau tidak bertempur kalian tentulah tak kenal
satu dengan yang lain."
Suara tawa orang membuat Hong Kun dapat berpikir
hingga ia tak lagi seperti orang lupa ingatan. Ia lantas
mengawasi Hong Hoan bertiga terutama Hong Hoan, terus ia
berkata : "Oh, kakak Lam sudah lama kita tak berjumpa !"
Meski ia mengucap demikian pemuda ini belum sadar
seluruhnya. Maka itu ia lantas nampak keheran-heranan.
Bok Cee Lauw melihat gerak gerik orang ia menarik ujung
bajunya Wan Goat dan bertanya perlahan, "Sumoay, kenapa
kau bentrok dengannya ?"


Ditanya kakaknya merah mukanya si nona. "Cis !" katanya
sengit. "Dia nampak sopan tetapi dia ceriwis sekali !"
Cee Lauw bersenyum, ia menggodia adik seperguruannya
itu. "Kau cantik bagaikan bunga, jangan heran kalau kupukupu
beterbangan mengitari ataupun menowelmu.
Hahahaha."
Nona itu merasa likat, dia menoleh kelain arah. Dengan
begitu dia tidak mengambil kata-kata kakaknya yang nomor
dua.
Lam Hong Hoan melihat suasana masih keruh itu, lantas ia
memberi hormat pada Hong Kun untuk berkata pula. "Gak
Laote, sampai jumpa pula !"
Lantas ia menoleh kepada dua kawannya untuk mengedipi
mata setelah mana ia bertindak mengajak dua saudara itu
melanjuti perjalanan mereka.
Siauw Wan Goat berlalu dengan ogah-ogahan bahkan ia
menjebih terhadap si anak muda yang dianggapnya ceriwis
itu.
Gak Hong Kun melengak sebentar lalu mendadak ia
berseru. "Saudara Lam tunggu dulu !"
Hong Hoan membalik tubuh. Ia berdiri menanti. "Ada
apakah Gak Laote ?" tanyanya.
Hong Kun masih berpikir sejenak sebelumnya ia tanya,
"Saudara Lam, apakah tadi ditengah jalan kau bertemu
dengan seorang nona dengan baju hitam ?"


Pertanyaan itu membikin Hong Hoan lantas menerka bahwa
si nona berpakaian hitam itu adalah pacarnya anak muda ini
yang nampak lagi bingung sekali, bahwa mungkin mereka itu
berdua tengah bertengkar maka ia tertawa dan menjawab,
"Tidak, saudara, aku tidak menemui nona seperti yang kau
tanyakan itu. Baiklah saudara jangan bingung. Kau harus
ketahui sifatnya wanita ! Mungkin dia sedang bergurau
dengan saudara ! Baiklah saudara lekas susul, barangkali kau
akan lekas dapat menyandaknya."
Habis berkata Hong Hoan membalik pula tubuhnya buat
melanjuti perjalanannya, dengan cepat menyusul kedua
saudaranya.
Hong Kun sebaliknya menganggap kata-kata orang benar
adanya tanpa berpikir lagi ia pun melanjuti perjalanannya
sekarang dengan cepat.
Segala sesuatu bisa terjadi, demikian dengan Hong Kun ini,
disaat ia mendekat Hong bwe koan ditangah jalan besar ia
justru berpapasan dengan rombongannya Pek Giok Peng dan
Pek Thian Liong, dan selekasnya Nona Pek melihat si anak
muda, naiklah darahnya. Dengan mata merah dibuka lebar ia
menghunus pedangnya.
"Mana Hauw Yan ?" ia menegur dengan tebasan
pedangnya itu.
Hong Kun terkejut, dia tak sempat berlompat mundur maka
dia melengak dengan jurus silat Thia Poan Kio, Jembatan Besi.
Masih dia terlambat sedikit, baju didadanya kena terpapas
hingga ke kulitnya hingga kulitnya itu terluka dan
mengeluarkan darah. Mulanya dia terkejut akhirnya dia
tertawa. Sekarang dikenali nona di depannya justrulah si adik
Giok Peng, yang ia buat pikiran siang dan malam ! Lupa dia


pada bajunya yang robek dan kulitnya yang terluka itu, dia
kata sambil tertawa.
"Oo, adikku ! Kenapa baru saja bertemu denganku kau
menyerang secara begini telengas."
Habis menyerang itu, Giok Peng menatap. Ia tidak lihat
Hauw Yan ditangannya pria itu. Ia melihat ke kiri dan kanan,
tak juga ada puteranya itu. tiba-tiba ia menjadi sangat
berkuatir, hingga ia lantas menangis !
"Mana Hauw Yan ?" teriaknya. "Lekas kembalikan anakku !"
Mendengar disebutnya nama anak itu, Hong Kun bingung
bukan main, dia kaget dan malu tanpa merasa tubuhnya
menggigil, peluhnya membasahi tubuhnya, dia berdiri diam
saja, matanya mendelong terhadap si nona. Memang selagi
pikirannya kacau itu, tak dapat berbicara.
Pek Thian Liong tidak turut berbicara tetapi ia sudah lantas
memencar semua pengikutnya akan mencari Hauw Yan
disekitar tempat itu. Ia menyangka Hong Kun
menyembunyikan keponakannya itu.
Giok Peng berhenti menangis. Ia insyaf bahwa itulah bukan
waktunya. Ia menghadapi pula si anak muda.
"Hong Kun !" bentaknya. "Kalau kau tidak kembalikan
Hauw Yan kepadaku, akan aku adu jiwaku denganmu !"
Meski begitu ia maju lebih jauh untuk menikam. Kali ini
dengan jurus pedang "Anak panah menyerang sasarannya."
Hong Kun berkelit pula. Tak berani ia menangkis atau balas
menyerang.


"Aku tengah mencari Hauw Yan !" sahutnya kemudian.
"Sudah satu malam dan setengah harian aku mencarinya !"
oooOooo
Giok Peng mengawasi. Ia mendapat kenyataan anak muda
itu mirip orang linglung hingga timbul kekuatirannya, janganjangan
ditengah jalan pemuda telah membinasakan
puteranya. Ia bingung dan berkuatir sekali.
"Kakak" kata ia kepada Thian Liong. "Jangan-jangan Hauw
Yan sudah mendapat kecelakaannya di tangan manusia busuk
ini ! Mari kita bereskan dia !"
Kembali si nona menyerang, dalam kuatir dan bingung,
tangannya bergemetar.
Hong Kun berkelit lagi. Kali ini ikat kepalanya kena ditebas
ujung pedang, hingga rambutnya terlepas dan awut-awutan.
Masih ia tidak berani melakukan perlawanan. Dia merangkap
kedua tangannya memberi hormat seraya berkata : "Adik
Peng, jangan berduka ! Hauw Yan tidak kurang suatu apa, dia
cuma... dia cuma..."
Ketika itu semua pengikut sudah kembali, laporannya ialah
kosong.
Thian Liong bingung juga dari bingung ia menjadi gusar.
Maka ia menghunus pedangnya menuding anak muda itu.
"Hong Kun, dimanakah kau sembunyikan Hauw Yan ?"
tanyanya bengis. "Jangan kau tidak memberikan
keteranganmu, jangan harap kau bisa berlalu dari sini dengan
masih hidup."


Kata-kata itu diikuti dengan satu loncatan untuk datang
dekat pada si anak muda, untuk mengancam hendak
menyerang.
Empat orang pengikut turut bergerak juga, mereka maju
mengurung.
"Cuma... cuma apa ?" tanya Giok Peng. "Kau mau katakan
atau tidak ?"
Muka Hong Kun pucat, lalu menjadi merah. Ia berkuatir
dan menyesal, dia mulai mendongkol. Dia merasa orang
memaksanya, hal itu membuatnya tidak puas.
"Menyesal adik, aku lalai." katanya kemudian. "Lantas lalai,
selagi berada diatas loteng rumah makan di Thian kee tin, aku
telah membuat Hauw Yan lenyap.."
Berkata begitu, si anak muda lantas menangis mengerunggerung
dan memukul juga dadanya.
"Aku menyesal, adik " katanya pelan. "Aku telah membikin
anakmu itu hilang ! Memang Gak Hong Kun harus mati ! Nah,
kau bunuh !"
Pek Thian Liong heran.
"Benarkah katamu ini ?" tanyanya. Ia mau cari
keponakannya bukan buat membunuh orang.
"Kakak, jangan percaya dia !" teriak Giok Peng. "Jangan
kita percaya ocehannya !"
Lagi-lagi si nona menyerang !


Hong Kun tidak berkelit atau menangkis, dia berdiri tegak.
Dia cuma mengawasi si nona dan selanjutnya berkata : "Aku
puas mati ditangannya orang yang aku cintai.."
Thian Liong menangkis pedang adiknya.
"Tenang, adik !" ia kata. "Kalau dia dibunuh mati, mana
mungkin kita mencari Hauw Yan ?" terus ia menoleh kepada
Hong Kun untuk menanya, "kalau kau benar mencintai adikku,
lekas bilang Hauw Yan terjatuh ke dalam tangan siapa ? Lekas
!"
Hong Kun mengangkat kepalanya, dia berpikir keras.
Sekian lama dia membungkam, kemudian baru dia berkata :
"Ke dalam tangannya si nona berbaju hitam..."
"Apakah kau bilang ?" Giok Peng tegaskan.
"Seorang wanita muda berpakaian baju hitam." sahut Hong
Kun pelan.
"Siapa wanita itu ?" Thian Liong tanya menegaskan.
"Apakah kau kenal dia ? Habis merampas Yan, dia lari kemana
?"
Selagi kakaknya menanya itu, Giok Peng menatap si anak
muda. Ia mendapat kenyataan orang seperti sadar dan tidak.
"Ambil air !" Ia memerintahkan orang, maka dilain saat ia
telah membanjur pemuda yang bicaranya selalu tak tegas dan
sikapnya seperti orang linglung.
Basahlah pakaiannya Hong Kun karena banjuran dia, tetapi
justru karena disiram itu dia sadar seketika. Dia terus menatap


si nona, habis menarik napas panjang diapun lantas berkata :
"Adik, lantaran aku terlalu mencintaimu hingga aku putus asa
dan menderita karenanya, dua kali sudah aku melakukan
perbuatan-perbuatannya yang memalukan itu, hingga aku
membikin kau turut bercapek lelah dan bersusah hati
karenanya..."
"Kalau sampai terjadi sesuatu atas diri Hauw Yan, kau
harus mengganti jiwa !"
"Hong Kun !" Thian Liong turut bicara, "lekas kau jelaskan
bagaimana caranya kau membuat Hauw Yan hilang !"
Hong Kun mengusap mukanya yang masih basah.
"Aku membuat Hauw Yan hilang di dalam rumah makan di
Thian kee tin." sahutnya. "Aku membujuki Hauw Yan makan,
aku sendiri minum arak buat melegakan hati yang pepat dan
kacau...." Ia berhenti akan mengawasi si nona baru ia
melanjuti : "Tengah aku minum itu jongos datang
membawakan makanan katanya itulah makanan yang disuruh
si nona baju hitam untukku. Bertepatan dengan itu, Hauw Yan
hilang, waktu aku menoleh nona itu juga sudah tidak ada. Aku
lantas pergi keluar akan mencari dan satu malam suntuk aku
mencarinya secara sia-sia. Demikian aku mencari terus sampai
sekarang aku berada disini, tengah mencari terlebih jauh.
Tidak kusangka disini aku bertemu dengan kalian..."
"Nona berbaju hitam itu berusia berapa kira-kira dan dia
membekal senjata apa ?" Giok Peng tanya.
Hong Kun berpikir sebelumnya dia menjawab.


"Kira-kira dua puluh empat atau dua puluh lima tahun"
sahutnya sejenak kemudian. "Dia membawa senjata atau tidak
itulah aku tidak perhatikan.."
Giok Peng dan Thian Liong saling mengawasi. Mereka pun
tunduk untuk berpikir guna menduga-duga. Siapakah nona
berbaju hitam itu ? Dia golongan mana ? Kenapa dia
merampas Hauw Yan ?
Mendadak Giok Peng bagaikan terasadar. Ia mengangkat
kepalanya dengan cepat dan mengawasi si anak muda dengan
tajam.
"Hong Kun !" katanya keras. "Kau mengarang cerita !
Apakah kau sangka dengan demikian dapat kau mengelabui
aku ? Sebenarnya kau perbuat apakah atas diri Hauw Yan.
Bilang secara terus terang ! Ingat, akan aku bikin darahmu
muncrat !"
Masih si nona mengawasi dengan tajam, matanya
berkilauan karena air matanya mulai mengembang pula. Ia
pun mengancam dengan pedangnya.
Hong Kun menarik nafas panjang, ia tunduk.
"Karena asmara Hong Kun sudah roboh" sahutnya
perlahan. "Karena itu dimata kau adik, dia menjadi seorang
yang tak tahu malu ! Apa yang aku bisa bilang lagi ? Tapi buat
melakukan pemeriksaan bagaimana kalau kita pergi bersama
ke Thian kee-tin ?"
"Gak Hong Kun !" menegur Thian Liong. "Kau bisa
mengungguli diri cerdas kenapa sekarang karena seorang
wanita kau menjadi begini roboh tak berdaya ? Ya, kanapakah
?"


Hong Kun berdiam, terus ia tunduk, mukanya merah.
"Adik, " tanya Thian Liong pada saudaranya. "Kau banyak
mengembara, ingatkah kau di dalam dunia Kang Ouw, wanita
siapakah yang gemar mengenakan pakaian hitam ?"
"Mereka yang gemar pakaian hitam banyak jumlahnya."
sahut si adik, "jadi untuk mengenalinya lebih penting
andiakata kita tahu senjata yang dipakainya..."
Thian Liong berpikir.
"Apakah dia bukannya Teng Hiang ?" tanyanya. "Cuma
Teng Hiang yang kenal Hauw Yan..."
"Tak mungkin !" berkata Giok Peng. "Mustahil Hong Kun tak
kenal dia."
Karena terkaan buntu, rombongan ini jadi saling berdiam di
tengah jalan itu. Tak dapat mereka menerka siapa perampas
atau penculiknya Hauw Yan itu.
Ketika itu sudah mendekati magrib, burung-burung mulai
pulang kesarangnya, beberapa orang Thian Liong menjadi
tidak sabaran maka yang satu kata pada majikan mudanya itu
: "Tuan muda, kita berdiri diam saja disini buat apakah ? Buat
apa kita membiarkan saja orang she Gak yang setengah gila
itu ? Lebih baik kita bereskan dahulu dia kemudian baru kita
pergi mencari tuan kecil Hauw Yan ! Sekarang ini langit sudah
mulai gelap...."
Thian Liong mengawasi orang itu, ia melihat langit.


"Adik" katanya kemudian pada saudaranya, "baik kita
kembali dahulu ke Hong bwe atau terus ke Thian kee tin ?"
Giok Peng berpaling, ia berpikir. Kemudian dia menuding
dengan pedangnya kepada Hong Kun seraya berkata bengis :
"Sebelum Hauw Yan dapat kutemukan, jangan kau lari dari
kami walaupun sejauh setengah tindak !" Kemudian ia
berpaling kepada kakaknya untuk meneruskan : "Kakak, aku
pikir kita pergi dahulu ke Tian kee tin, akan minta
keterangannya jongos rumah makan di sana."
Mendengar itu, Hong Kun turut bicara.
"Pikiranku sudah kacau sekali, " berkata ia, "tetapi buat
pergi ke Tiankee tin, itulah paling baik ! Di sana adik bersama
kakakmu, kau minta keterangannya jongos hotel, mungkin dia
dapat memberi keterangan penting. Di sanapun kau akan
dapat bukti bahwa aku tidak bicara dusta ! Nah, marilah !"
Lantas pemuda ini mendahului bertindak pergi, dia terus
lari.
Giok Peng terkejut. Ia mengira orang mau kabur, lantas ia
berlompat mengejar sampai ia menggunakan lari ringan tubuh
Tangga Mega. Selekasnya ia menyandak, ia samber leher baju
anak muda sambil berkata keras :" Kau hendak menggunakan
akal bulus ya ? Apakah dengan begini kau dapat lolos dari aku
?"
Thian Liong sekalianpun dapat menyusul, lantas dua orang
ditugaskan mengiringi pemuda yang nampaknya sudah habis
daya itu. Mereka berjalan terus. Pada jam dua lewat, mereka
sudah duduk bersantap di rumah makan yang ditunjuki Hong
Kun, dimana Hong Kun kehilangan Hauw Yan.


Menurut keterangan si jongos itu, senjatanya si nona yang
dia layani berupa semacam ruyung mengkilat seperti berbahan
beling. Pakaian dan potongannya nona itu, cocok dengan
lukisannya Hong Kun.
Giok Peng berpikir keras akan ketahui senjata itu senjata
apa. Ia menerka pada sanho pang. Masih lama ia mengasah
otaknya, lantas ia menduga pada Tan Hong dari Hek Keng To,
pulau Ikan Lodan Hitam.
"Kalau benar dia, Hauw Yan tidak dalam bahaya jiwa." pikir
ibu yang muda itu, "Hanya aneh, apa perlunya Tan Hong
merampas anakku itu dari tangannya Hong Kun ? Oh,
bukankah inipun soal asmara ? Kalau benar, di jurusan itu,
penghidupanku masih ada kesulitannya..."
Nona ini tidak mau memberitahukan Hong Kun tentang
nona yang ia terka itu. Ia kuatir si anak muda juga
terasangkut soal asmara. Buat ia ialah, selama ia belum
menemukan Hauw Yan, Hong Kun ini tak akan dibiarkan
bebas...
Malam itu Giok Peng semua bermalam di rumah makan
merangkap hotel itu. Besoknya pagi habis bersantap mereka
berangkat. Hong Kun dipaksa turut bersama. Maka bersamasama
juga mereka pergi mencari Hauw Yan ke segala tempat
atau arah.
Sementera itu Tan Hong seperti yang telah dipikirnya sudah
membawa Hauw Yan langsung ke Kiu Kiong San. Karena ada
bersama bocah, ia tidak dapat berjalan cepat, bahkan
terpaksa diperlahankan. Begitulah di Kay Pay, mereka dapat
dilihat rombongannya Siauw Houw. Paman itu sudah lantas
mengenali keponakannya. Tapi Tan Hong lihai, dia melihat
gerak gerik orang, sebelum sempat Siauw Houw menegurnya


atau menegur Hauw Yan, ia mendahului kabur. Siauw Houw
penasaran, dia menyusul. Selang dua puluh lie, ia telah
bermandikan peluh dan nafasnya tersengal-sengal, sedangkan
delapan pengikutnya ketinggalan jauh di belakang.
"Hebat ilmu ringan tubuh wanita ini" pikir pemuda she Pek
ini yang memaksakan diri mengejar terus.
Dari Kay pay, Siauw Houw menyusul terus sampai di Sintan
Po. Di sini Tan Hong memasuki sebuah rumah makan. Siauw
Houw menyusul ke rumah makan itu, sesudah ditengah jalan
ia meninggalkan tanda untuk orang-orangnya.
Rumah makan itu tidak besar, tetamunya cuma beberapa
orang. Hauw Yan lagi dibujuki Tan Hong untuk bersantap.
Dengan lantas bocah itu melihat pamannya, lantas juga ia
memanggil "Paman ! Paman !"
"Hauw Yan !" menyambut sang paman yang terus
menghampiri bahkan dia mengulur tangannya guna
memegang keponakan itu.
Tan Hong menghadang. Ia menolak orang hingga
terpelanting.
"Siapakah kau ?" tegurnya. "Kenapa kau hendak merampas
anak orang ?"
Alis Siauw Hoaw terbangun.
"Bagus benar ya !" ia balik menegur. "Bagaimana dan
berani mengakui anak orang sebagai anakmu ? Apakah kau
seorang nona tak tahu malu ?"


Muka Tan Hong menjadi merah. Dia memang keliru omong,
Tapi dia pun tidak senang.
"Kau jangan usil !" bentaknya.
"Hm !" Siauw Houw mengasi suara dinginnya. Suaranya
pun keras. "Aku tak dapat usil ? Kau tahu siapakah aku ?
Akulah Pek Siauw Houw, pamannya anak ini ! Dialah Hauw
Yan keponakanku yang lagi cari. Aku justru mau membekuk
penculiknya !"
Tan Hong tidak mau mengalah. Diapun tertawa dingin.
"Penculik itu adalah kau bukannya aku" teriaknya. "Kau
memalsukan diri sebagai paman. Dapatkah kau mengelabui
nonamu ?"
Tepat itu waktu kedelapan orangnya Houw tiba, mereka
lantas mengurung.
Siauw Houw mengambil keputusan. Dia maju dekat.
"Budak, tak sudi tuanmu mengadu lidah denganmu !" katanya
keras.
Terus dia bertindak. Dengan tangan kanan, dia menyampok
muka si nona, dengan tangan kiri dia menyambar
keponakannya.
Tapi dia tidak berhasil. Di dalam sekejap dia kehilangan si
nona dan si anak.
Luar biasa cepat Tan Hong berkelit, sambil menyambar
Hauw Yan. Dia pindah ke meja yang lain. Tak sudi dia
berkelahi. Dia tahu sekarang Pek Siauw Houw ialah
saudaranya Pek Giok Peng.


Hanya dia tak ingin menyerahkan keponakan itu kepada
lain orang kecuali kepada Tio It Hiong. Maka ia memutar otak
memikirkan jalan untuk dapat menyingkirkan diri.
"Eh, orang tak tahu malu !" kata dia pula. "Dengan
mengandalkan jumlah yang banyak kau hendak memperhina
seorang perempuan ! Tak takutkah orang nanti tertawakanmu
?" Berkata begitu dia maju menerobos. Tapi dua orang Lek
Tiok Po menghadang. Dia batal.
"Hai, budak bau !" seru Siauw Houw, "jika kau tidak
serahkan Hauw Yan keponakanku itu, jangan harap kau bisa
meninggalkan tempat ini !"
Parasnya Tan Hong merah, dia gusar sekali.
"Hm !" ia kasih dengar suara dingin. "Karena aku
memandang adikmu, Nona Pek Giok Peng, suka aku
mengalah. Tapi kau mendesak aku ! Apakah kepandaianmu
hingga kau berani menghadang nonamu ini ?"
"Kau coba saja Tiat See Ciang dari Lek Tiok Po !" kata
Siauw Houw singkat. "Tiat See Ciang" yaitu pukulan tangan
pasir besi. Habis berkata dia maju pula niat menyerang.
Justru itu dari pojok kamar terdengar satu suara nyaring.
"Kalian dari Lek Tiok Po, kalian pernah apakah dengan Nona
Pek Giok Peng ?" Menyusul itu orangnya berlompat maju
menghalang diantara si anak muda dan si pemudi. Dia
bertubuh besar, alisnya tebal, matanya gace. Dipunggunggnya
dia menggendol sebatang golok. Menghadapi muda mudi itu
dia memberi hormat.


Tan Hong mengawasi orang itu, ia berkemak kemik tetapi
tidak mengatakan sesuatu.
Tidaklah demikian dengan Siauw Houw. "Aku yang rendah
adalah Pek Siauw Houw dari Lek Tiok Po." dia berkenalan.
"Mohon tanya tuan adakah kau sahabat kaum Kang Ouw dari
adikku Giok Peng itu ?"
Orang bertubuh besar itu nampak terkejut.
"Aku yang rendah ialah Whie Hoay Giok" dia
memperkenalkan diri. "Aku sekarang singgah disini sebab aku
ini mewakilkan adik seperguruanku Tio It Hiong menantikan
tibanya Nona Pek Giok Peng, supaya kita berangkat bersamasama
ke Kiu Kiong San. Tuan apakah adikmu itu turut tiba
disini ?"
Siauw Houw tidak lantas menjawab pertanyaan orang itu,
ia hanya menunjuk Hauw Yan ditangannya Tan Hong sambil
berkata : "Anak ini adalah anaknya adik seperguruanmu itu,
dia dibawa lari oleh budak ini ! Kakak Whie, maukah kau
bekerja sama denganku merampas pulang anak ini ?"
Hoay Giok memperlihatkan tampang heran. Ia mengawasi
Tan Hong dan Hauw Yan dan Siauw Houw juga otaknya
bekerja : "Apa yang aku lihat tunangannya Tio sute ialah nona
Cio dan mereka belum lagi menikah ! Kenapa anak ini
bolehnya anak sute ? Dan kenapa anak ini didapatnya dari
Nona Pek Giok Peng ? Kalau tidak demikian kenapa Pek Siauw
Houw mengaku dirinya sebagai paman dari anak itu ?"
Lagi-lagi ia mengawasi ketiga orang itu bergantian.
Tan Hong tertawa dingin. Kata dia berani : "Di dalam dunia
Kang Ouw kalau ada manusia-manusia yang tak menghendaki


lagi mukanya itulah kalian berdua ! Yang satu mengaku diri
sebagai kakak seperguruannya Tio It Hiong dan yang lain
sebagai pamannya Hauw Yan ! Tak lain tak bukan kalian cuma
memikir menculik anak ini ! Kepandaian semacam ini mana
dapat dipakai menipu nonamu ini ?"
Hoay Giok jujur dan keras hati, tak dapat dia perhina
secara demikian. Lantas saja ia menunjuki kegusarannya.
"Budak hina, jangan sembarangan ngoceh !" bentaknya.
Tan Hong tertawa dingin.
"Apa yang nonamu bilang ada buktinya !" katanya berani.
"Kau tidak dapat menipuku lantas kau buka suara keras-keras
! Apakah dengan begitu kau hendak membikin kaget dan takut
nonamu ini !"
Hoay Giok makin gusar.
"Budak berlidah tajam !" teriaknya. "Apakah kau hendak
mencari usahamu sendiri ?"
Menuruti hawa amarahnya Hoay Giok berlompat maju
sambil melancarkan sebelah tangannya yang terbuka
menyampok tangannya si nona !
Tan Hong mundur setengah tindak dengan begitu amanlah
pipinya. Ia tidak gusar hanya tertawa dan kata : "Lihat, lihat !
Sang rase telah memperlihatkan ekornya !"
Hoay Giok menahan tubuhnya sebab ia melihat orang
berkelit itu, ia heran.


Tan Hong melirik, dia tertawa dan kata : "Barusan kau
menyerang aku dengan satu jurus dari Lohan Ciang hoat dari
Siauw Lim Pay ! Kau pula menggendol golok pada
punggungmu ! Toh kau menyebut dirimu sebagai kakak
seperguruan dari Tio It Hiong ! Tek Cio Totiang dari Pay In Nia
mana dapat mengajari murid dengan ilmu silat semacam yang
dimilikimu ini ? Maka juga aku kata ekormu tampak ! Benar
atau tidak ?"
Hoay Giok melengak, memang ilmu silatnya ilmu silat Siauw
Lim Pay. Gurunya ialah Tiat Pit Tin Pat Hong Beng Kauw dan
kakek gurunya adalah Siauw In, adik seperguruan dari Siauw
Lim Pay itu. Memang ilmu silatnya beda daripada ilmu silatnya
Tek Cio Siangjin. Kalau ia dan It Hiong menjadi saudara
seperguruan satu dengan lain, itu ada sebab lainnya. Tentu
saja hubungan itu tak dapat dan tak perlu ia beritahukan Tan
Hong. Karenanya ia cuma bisa mendongkol sekali.
Siauw Houw mengawasi orang she Whie itu. Dia pun heran
mengetahui orang adalah kakak seperguruannya It Hiong.
Tapi dia mempunyai urusannya sendiri, tak dapat dia usil
urusan lain orang. Maka selagi Hoay Giok berdiam saja, dia
menuding Tan Hong sambil kata bengis : "Budak bau, lidahmu
tajam ! Tapi aku tak perduli itu ! Lekas kau serahkan Hauw
Yan padaku ! Kalau tidak..."
Tan Hong tertawa geli.
"Kau juga orang Kang Ouw," katanya, "sekarang aku minta
kau tenangkan dirimu. Kau tahu, bukankah banyak orang
berbahaya dalam dunia Kang Ouw ? Kau menyebut diri
sebagai pamannya Hauw Yan, lantas aku dengan mudah saja
harus menyerahkan darah dagingnya Tio It Hiong kepadamu ?
Nonamu tak setolol kau, mengerti ?"


Siauw Houw bungkam, hingga dia berdiam bersama Hoay
Giok. Karena mereka berdiam itu, yang lain-lain berdiam juga.
Dengan demikian sejenak itu sunyilah ruang rumah makan itu
yang barusan ramai berisik. Walaupun demikian, Nona Tan
telah terkurung.
Sampai sebegitu jauh, Hauw Yan tidak berdiam saja
sebagaimana biasanya. Dia mencoba meronta dari pelukannya
Tan Hong.
"Mama ! Mama !" katanya berulang-ulang.
"Hauw Yan anak baik !" berkata Tan Hong membujuki,
"anak baik dengar aku ! Mari kita pergi bersama kepada ibumu
! Kau mau bukan ?"
Berkata begitu si nona memikir buat berlompat melawan
para pengurung, tetapi baru ia bergerak, kedelapan orang Lek
Tiok Po lantas maju merangsak. Kembali ia membatalkan
niatnya. Bukannya ia takut, ia hanya kuatir Hauw Yan nanti
terluka atau lolos...
Dengan hati panas, Tan Hong mengawasi sekalian
penghadang itu. Ia memegang Hauw Yan ditangan kiri dan
menyediakan sanho pang di tangan kanan. Lantas ia
mengancam. "Diantara kalian semua, siapa berani merintangi
nonamu, jangan menyesal ! Asal kamu bergerak pula, jangan
salahkan nonamu tak mengenal kasihan ! Awas dapatkah
kamu bertanggung jawab kalau Hauw Yan sampai terluka ?"
Setelah berdiam sekian lama itu, Hoay Giok dapat
menenangi diri. Ia memang telah banyak pengalamannya
walaupun ia masih muda. Ia insaf sungguh berbahaya kalau
kedua pihak berlaku keras sama keras. Lantas ia maju satu


tindak akan memberi hormat kepada Tan Hong sambil berkata
: "Nona sabar, kita dapat bicara dengan baik-baik !"
Tan Hong mengawasi anak muda itu. Ia tak membiarkan
orang bicara. Kata ia : "Kamulah yang tidak pakai aturan !
Kenapa kamu hendak merampas anak orang ?'
"Nona" berkata pula Hoay Giok, "kalau benar kau
mempunyai hubungan persahabatan dengan Tio sute, adik
seperguruanku itu, maka ingin aku minta kau dengan
memandang dia untuk berbicara dengan jelas tentang
duduknya urusan ini. Maukah kau ? Andiakata nona berselisih
dengan adik seperguruanku itu, baiklah urusan diselesaikan
dengan dia sendiri, janganlah nona hubungan itu dengan
anaknya ini ! Bukankah anak ini masih belum tahu apa-apa ?"
Anak muda itu bicara beralasan, tidak ada jalan buat Tan
Hong bersikap keras lebih jauh tetapi mana dapat ia membuka
rahasia hatinya kepada lain orang ? Mana ada muka buat ia
berkatai bahwa ia mencintai It Hiong ? Maka terpaksa, ia
mesti terus bersikap keras. Maka berkatalah ia : "Inilah
mestikaku ! Dapatkah kalian merawat mestikaku ini ?"
Jilid 20
Siauw Houw menganggap lucu bahwa orang ngotot
mengakui Hauw Yan sebagai anaknya. Dari mendongkol dia
menjadi tertawa lebar. Maka dia Tanya: “Baik! Kau mengakui
anak ini sebagai anakmu! Nah bilanglah, siapakah namanya
ayah dari anak ini? Siapakah dia?”
Parasnya si nona menjadi merah, ia telah salah bicara
hingga orang menanya dia sedemikian rupa.


Justru itu Hoay Giok turut bicara pula.
“Saudara Pek, buat apa melayani dia bicara?” katanya.
“Kaum laki-laki bukankah dapat mempunyai satu atau dua
istri? Ini toh tidak aneh! Lagipula adik seperguruanku itu
gagah da tampan!”
Berkata begitu dia tertawa.
Tan Hong melirik anak muda itu..
“Cis!” ia perdengarkan suara perlahan sedangkan didalam
hati ia merasa manis. Kata-kata Hoay Giok cocok dengan rasa
hatinya….
“Mama!Mama!” kembali Hauw Yan memanggil.
Siauw Houw terkejut mendengar suara keponakannya itu,
mendadak dia melompat maju, goloknya diputar.
Hoay Giok turut maju, tapi dia menghadang di depan anak
muda itu.
“Urusan si anak baiknya diserahkan padaku?” katanya.
“Kau setuju bukan? Urusan ini tak dapat dipecahkan dengan
kekerasan!”
Siauw Houw heran, dia mengawasi orang she Wie itu.
“Apakah artinya kata-katamu ini, saudara Wie?” tanyanya.
Hoay Giok tertawa.
“Menurut penglihatanku, kalian berdua bukanlah orang
asing satu dengan lain” katanya. “Bahkan sebaliknya kalian


mirip orang dalam, karena itu baiklah kita bicara dengan hati
yang tenang. Dengan ketenangan tidak ada soal yang tidak
dapat dibereskan. Sekarang begini saudara Pek. Silahkan kau
lekas pulang ke Pek Tiok Po. Kau beritahukan hal ini kepada
adikmu itu, lantas kau minta dia segera datang kemari
menyusul kami! Aku sendiri akan temani Nona ini pergi ke Kui
Kiong San buat mencari adik seperguruanku itu. Andiakata
anak ini hilang, aku yang akan bertanggung jawab! Nah,
bagaimana pikiran saudara? Akur tidak?”
Pek Siauw Houw berdiam untuk berpikir.
Sebaliknya Tan Hong, dia lantas berkata pada Hoay Giok,
“Kau baik sekali saudara Wie, dengan begini kau dapat
memecahkan urursan ini, terlebih dahulu terimalah ucapan
terima kasihku!” Dia lantas memberi hormat, terus
menambahkan: “Cuma ada satu hal yang memberatkan aku.
Aku adalah seorang perempuan, tak leluasa buatku berjalan
bersama-sama kau. Maka itu mengenai Hauw Yan, baiknya
kau percayakan dia padaku. Pasti aku akan antarkan dan
menyerahkannya pada adik It Hiong! Kitalah orang-orang
Kang Ouw, apa yang kita satu dibilang satu tidak dua! Kalian
percayakan padaku?”
“Baiklah!” menjawab Hoay Giok. Dia jujur, dia mudah
menaruh kepercayaan.
Tan Hong menggunakan kesempatan itu untuk bertindak
keluar dengan cepat. Beberapa orang Lek Tiok Po mau
mencegahnya, tapi Siauw Houw melarang mereka. Dengan
demikian dapatlah dia berlalu tanpa rintangan.
“Sampai berjumpa pula!” kemudian Siauw Houw berkatakata
pada Hoay Giok, kepada siapa ia memberi hormat terus


dia mengajak delapan orang pengikutnya meninggalkan
rumah makan itu..
Hoay Giok membalas hormat. Ia mengawasi orang pergi. Ia
bernapas lega. Habis itu ia membayar uang makan, terus ia
juga berlalu menuju kegunung Kiu Kiong San…
Tio It Hiong bersama Cio Kiauw In sementara itu sudah
turun dari gunung Kiu Kiong San bagian selatan, mengambil
jalan besar dimana dahulu ia bertemu dengan Wie Hoay Giok,
maksudnya ialah setelah bertemu dengan kakak seperguruan
itu, hendak mereka bersama-sama pergi ke Ay Kao San guna
menolong Beng Kee Eng sang paman. Setelah mendapatkan
kembali kitab Sam Cay Kiam, hatinya It Hiong lega sebagian
besar. Ia berkata pada Kiauw In, “Kakak, aku kuatir terhadap
paman Beng, maka itu mari kita lekas menemukan kakak Wie
serta kakak Peng, setelah itu baru kita singgah untuk
bersantap. Setujukah kakak?”
Kiauw In tertawa, ia mengangguk. Ia sangat sabar, ia
taidak banyak pikir, mudah saja ia menyatakan
persetujuannya.
Ketika itu jalanan sepi, lantas mereka lari dengan
menggunakan Te In Ciong, ilmu lari ringan tubuh Tangga
Mega. Belum lama mereka berlari, mereka lantas melihat
disebelah depan mereka ada dua orang penunggang kuda lagi
mendatangi dengan cepat. Hingga tidak heran apabila lekas
sekali kedua pihak sudah tiba satu pada yang lain.
Dengan matanya yang tajam, It Hiong melihat kedua
penunggang itu berseragam hitam ringkas, dipunggung
mereka tergantung golok tunggal.


Mereka itu selalu mengawasi ke kiri dan ke kanan,
beberapa kali mereka terlihat berhenti untuk bertanya kepada
orang di pinggir jalan.
“Kakak aku rasanya mengenali seragam mereka,” kata It
Hiong selagi orang masih mendatangi. “Dapatkah kakak
menerka siapa mereka itu?”
Belum si nona menjawab, kedua penunggang kuda itu
sudah tiba, bahkan keduanya lantas lompat turun dari
kudanya masing-masing untuk memapaki muda mudi itu.
Sambil memberi hormat, yang satu segera bertanya: “Mohon
bertanya saudara, apakah saudara ini Tio It Hiong?”
It Hiong menarik bajunya Kiauw In, ia lekas-lekas
membalas hormat.
“Aku yang rendah benar Tio It Hiong,” sahutnya terus
terang. "Dapatkah aku ketahui saudara berdua dari pihak
mana dan ada petunjuk apa dari saudara untukku?”
“Kami yang rendah lagi melakukan perintahnya Pek Pocu
dari Lek Tiok Po, sahut seorang diantaranya, “Kami mau pergi
ke Kiu Kiong San buat mencari tuan Tio untuk menyampaikan
suatu berita penting tidak disangka kita dapat bertemu disini.”
Orang agaknya mau bicara lebih jauh, tetapi dia melirik ke
arah Kiauw In.
Beberapa kali dia melirik si nona.
Bercekat hatinya It Hiong, ia mau menerka tentu ada
terjadi sesuatu atas dirinya Giok Peng, maka lekas-lekas ia
berkata: “Nona ini… nona ini ialah nona Cio Kiauw In, ia kakak
seperguruanku. Kakakku ini pernah bersama kakak Peng


datang ke Lek Tiok Po. Apakah saudara-saudara ini telah
melupakan nona ini? Nah, kalau ada urusan silahkan bicara
terus terang!”
Kedua orang itu memberi hormat kepada Kiauw In.
“Maaf nona, buat mata kami yang kurang awas!” kata
mereka dengan hormat.
Kiauw In tersenyum, ia memandang mereka itu.
“Apakah berita dari Pek Pocu itu?” tanyanya. “Silahkan
tuan-tuan menyebutkannya, tak usah kalian mengunakan adat
peradatan.”
Orang Lek Tiok Po itu lantas bicara, mulanya ia menutur
tentang pulangnya Giok Peng yang lantas menemui Hong Kun.
Bahwa pertemuan keduanya berjalan baik dan Hong Kun
mengutarakan niatnya untuk meninggalkan Pek Tiok Po.
Namun ternyata pemuda she Gak itu berhati tidak baik, besok
paginya dia menghilang dengan membawa lari tuan kecil
Hauw Yan. Sehingga Giok Peng bersama Thian Liong dan
Siauw Houw serta orang-orangnya telah pergi menyusul dan
mencari dengan berpencaran, sedangkan mereka berdua
ditugaskan untuk menyusul ke Kiu Kiong San sekaligus turut
menyelidiki perihal anak yang hilang itu.”
Mendengar keterangan itu, It Hiong kaget sekali. Anaknya
diculik orang! Tentu saja ia menjadi kuatir dan bingung serta
gusar. Sejenak itu ia berdiri menjublak saja.
Kiauw In juga terperanjat dan gusar, sepasang alisnya yang
lentik sampai bangun berdiri, tapi ia sabar dan cerdas. Cepat
ia mendapatkan ketenangannya dan lantas berpikir.


“Sekarang ini dimanakah adanya adik Peng?” tanyanya,
“Tahukah kalian?”
“Segera setelah ketahuan lenyapnya tuan kecil, tindakan
sudah lantas diambil. Nona Peng berangkat bersama tuan
muda Thian Liong menyusul ke Hong Bwe koan sedang tuan
muda Siauw Houw kelain arah, karena itu sekarang kami tidak
tahu dimana mereka itu…..”
It Hiong menganggap sudah tidak perlu bicara lagi, maka ia
menghadapi kedua orang itu dan memberi hormat sambil
berkata: “Terima kasih telah merepotkan kalian! Tolong
sampaikan kepada Pocu tua, bahwa Tio It Hiong telah
mengetahui urusan cucunya terculik itu. Bahwa sekalipun Gak
Hong Kun jahat, dia tidak akan dapat berbuat terhadap
anakku, dari itu tolong minta supaya pocu tua jangan kuatir!
Nah silahkan kalian pulang!”
Dua orang itu memberi hormat.
“Baiklah!” katanya. “Cuma, tuan Tio, Nona Peng ada
memesan dalam hal ini urusan apa juga lainnya diminta tuan
menundanya, supaya urusan tuan kecil Hauw Yan
didahulukan!”
“Aku tahu!” jawab si anak muda.
Seberlalunya dua orang itu, Kiauw In menoleh kepada It
Hiong, ia mendapati anak muda itu berdiam saja, matanya
memandang langit. Ia segera menarik ujung baju orang.
“Adik Hiong, mari!” ajaknya.
Tanpa mengucap sepatah kata, It Hiong turuti kakak itu,
hingga mereka dapat lari berbareng. Selang kira-kira dua jam,


sampai sudah mereka disebuah desa, terpisah dari Kiu Kiong
San kira-kira lima puluh lie. Mereka lantas mendatangi rumah
makan dimana It Hiong dan Wie Hoay Giok membuat janji. Si
anak muda memikir akan mendengar kata-kata dari saudara
seperguruannya itu.
Sebenarnya It Hiong sudah lapar, akan tetapiriknya, dia
menunda sumpitnya dan sambil tertawa ia berkata: “Adik,
lupakah kau akan peribahasa ‘bahwa urusan yang harus
dibereskan tapi tak dibereskan, itu berarti perbuatan orang
bodoh!’ , maka itu apalagi yang kau pikirkan? Mari makan!”
It Hiong menoleh, mengawasi istrinya itu, lalu ia menghela
napas.
“Rupanya adikmu ini ditakdirkan menjadi barang mainan
segala bajingan!” katanya masgul. “Lihat, segala peristiwa tak
disangka-sangka datang susul menyusul! Ombak yang satu
belum reda, sudah tiba gelombang lainnya, membuat aku
repot sekali!”
Kiauw In memandang tajam pemuda itu. Lalu ia berkata
dengan sungguh-sungguh. “Kalau kita menghadapi berlaksa
urusan, kita menyambutnya pula dengan berlaksa perubahan
dan itulah perbuatan seorang laki-laki sejati! Baru dua urusan
seperti ini, mengapa kau biarkan dirimu dipengaruhi begini
rupa?”
Mendengar ucapan si nona, tubuh It Hiong menggigil,
mendadak saja ia sadar.
“Kau benar, kakak!” katanya lantas. “Kata-kata kakak mirip
lonceng diwaktu fajar! Aku tolol, urusan ini membuatku
bagaikan kehilangan ingatan!”


Lantas pemuda ini makan dengan cepat.
Kiauw In senang, ia tertawa.
“Nah adikku,” katanya habis bersantap. “Bagaimana
sekarang hendak kau bertindak?”
It Hiong minum tehnya.
“Justru aku hendak menanyakan pikiran kakak,” sahutnya.
“Baik adik dulu mengutarakan pikiranmu untuk kita
rundingkan,” katanya kemudian.
It Hiong dapat berpikir cepat.
“Menurut pikiranku, urusan, urusan Hauw Yan dapat
ditunda,” jawabnya. “Paling dulu kita pergi ke Ay Lao San
untuk menolong paman Beng!”
Nona Cio heran, ia melengak.
“Bagaimana kau berpikir demikian, adik?” tanyanya, “Kau
jelaskan!”
It Hiong mengawasi nona cantik di depannya itu.
“Didalam segala hal kita harus mengambil keputusan cepat.
Kitapun harus dapat membedakan kalau urusan bukan Cuma
satu, terutama kita harus mengambil keputusan sendiri! Dalam
hal ini, tak usah aku menjelaskan sebab sebabnya
keputusanku ini!”
Mendengar demikian Kiauw In tertawa.


“Kalau begitu, adik bertindak sesukamu saja, kau tak
memikir banyak lagi! Itulah tindakan yang tidak tepat. Didalam
urusan yang penting pada saat kita menyesal sudah kasip. Aku
meminta penjelasanmu justru karena aku ingin melihat jalan
pikiranmu.”
“Memang aku tidak memikir panjang, kakak,” sahut si anak
muda. “Aku Cuma pikir ada budi mesti dibalas, dan budinya
paman Beng besar sekali, maka itu aku ingin pergi membantu
dia terlebih dahulu baru kita urus urusa anak kita. Paling
utama aku tidak mau mendapat sebutan ‘Melupakan budi,
menyia-nyiakan kebijaksanaan’!”
Kiauw In menatap tajam suaminya itu. Ia melihat
bagaimana orang sangat bersemangat! Diam-diam dia sangat
girang, tapi ia ingin mencoba hati orang.
“Bagaimana kau dapat membiarkan urusan puteramu itu?”
demikian tanyanya. “Bagaimana kalau anakmu itu menghadapi
ancaman bahaya jiwa? Sekarang kau hendak pergi dulu ke Ay
Lao San! Bagaimana nanti kau bicara terhadap adik Peng?”
Kembali It Hiong menatap si nona, lalu ia tertawa.
“Anak Hauw Yan tidak terancam bahaya jiwa.” Katanya.
Kiauw In tersenyum, ia menyingkap rambutnya.
“Keputusanmu ini terlalu cepat, adik. Kau tahu kejamnya
Hong Kun. Bukankah ia gagal dalam urusan cinta? Bagaimana
dia dapat membiarkan pikirkan dulu dalam-dalam.”
It Hiong tetap bersemangat.


“Prak!” ia menepuk meja.
“Tio It Hiong bukannya seorang hina dina!” katanya keras.
“Aku bukannya orang yang mengutamakan urusan pribadi!
Aku tak sudi menjadi manusia tak berbudi. Biarpun Hauw Yan
bakal hilang jiwanya, aku tetap hendak menolong dahulu
paman Beng! Lagipula aku masih muda, ada kemungkinan lagi
beberapa tahun aku akan dapat anak pula! Kakak, kenapa
kakak demikian sibuk memikirkan Hauw Yan?”
Diam-diam hati nona Cio girang luar biasa, itulah yang ingin
ia dengar dari suaminya yang tampan dan gagah itu. Ia puas,
maka ia tertawa dan berkata: “Ah adik, bagaimanakah kau
ini? Kakakmu Cuma ingin mengetahui kecerdasanmu.”
It Hiong pun dapat lekas menenangkan diri, ia turut
tersenyum.
“Dalam kecerdasan, aku tak dapat menyusuli kakak!”
katanya.
Kiauw In tersenyum pula.
“Nah, mari kita berangkat!” ia mengajak.
It Hiong berbangkit, ia membayar uang lalu ia turut kakak
itu keluar dari rumah makan untuk melanjutkan perjalanan
mereka. Tepat mereka tiba diuung jalan besar, mata jeli dari
Kiauw In melihat Tan Hong lagi berdiri sedang dalam
gendongannya terdapat Hauw Yan. Ia segera menarik ujung
bajunya It Hiong yang lalu bersama-sama mereka berlompat
lari. Hingga dilain detik mereka sudah berada di depan nona
dari Hek Keng To itu!


“Nona Tan hendak pergi kemanakah kau?” Kiauw In
menanya.
“Oh, kau?” seru Tan Hong terperanjat, “Kau, kakak Cio,
mana adik….”
Kata-kata itu tak diteruskan, dia mau menanyakan “adik
Hiong” tapi si adik justru berdiri di belakangnya Kiauw In.
Bukan main girangnya ia melihat pemuda yang ia buat pikiran
siang dan malam itu. Tanpa terasa merahlah mukanya, karena
itu kata-katanya pun turut tertahan.
Hauw Yan melihat Kiauw In, ia segera memanggil : “Mama!
Mama!” Diapun tertawa.
Nona Cio tidak menjawab Tan Hong, hanya ia lantas
menghampirinya, untuk merangkul bocah manis itu, yang
terus ia hujani dengan ciuman. Setelah mana ia menoleh
kepada It Hiong dan berkata sambil tersenyum.
“Adik Hiong, kau harus mengucapkan terima kasih kepada
Nona Tan ini , yang telah melepas budi membantu anakmu!”
“Ah, kakak malu-malu saja!” berkata Tan Hong cepat tetapi
rada likat. “Ini tidak berarti apa-apa!” Walaupun demikian, ia
melirik si anak muda.
It Hiong menghampiri nona dari Hek Keng To itu, dengan
sungguh-sungguh ia menjura memberi hormat seraya berkata:
“Nona Tan, terlebih dahulu aku menghaturkan banyak-banyak
terima kasih padamu yang telah menolong Hauw Yan.
Tentang budimu ini, It Hiong akan ingat didalam hatinya, nanti
kelak di belakang hari anak ini berdaya membalasnya!”


Wajah berseri-seri dari Tan Hong lenyap, matanya
sebaliknya tergenang air, ia mengangkat kepalanya guna
mencegah mengalirnya airmata itu. Toh ia tak dapat menahan
hatinya.
“Adik Hiong, begini asingkah kau terhadapku?” katanya,
“Ah…..”
Tak dapat ia mencegah lagi air matanya yang terus
bercucuran mengalir dikedua belah pipinya yang putih halus.
Hingga ia mirip dengan bunga per yang ada air hujannya.
Tampangnya sangat mendatangkan rasa kasihan orang.
Lekas-lekas ia menoleh kesamping sambil berkata: “Tan Hong
adalah seorang budak keluaran kaum sesat, walaupun ia
mencoba dengan sesungguh hatinya bersahabat dengan
murid yang pandai dari Pay In Nia, pada akhirnya dia Cuma
mendapat malu saja….”
Kiauw In yang menggendong Hauw Yan dengan tangan
kiri, menggunakan tangan kanannya mengeluarkan
saputangan lalu menghapusi air matanya nona dari pulau ikan
lodan hitam itu. Sambil berbuat begitu, ia berkata sambil
tertawa: “Eh, Nona Tan kau kenapakah? Kita adalah orangorang
wanita Kang Ouw, kalau ada hal-hal keliru yang kami
lakukan, tolong jelaskan secara terus terang. Kenapakah kau
agaknya begini berduka?”
Tan Hong terus tunduk, ia menangis sesegukan.
Kiauw In menoleh kepada It Hiong yang ia kedipi mata,
maksudnya menganjurkan si anak muda. Sedang anak muda
“berkepala batu” itu tak biasa ia mengalah. Dilain pihak berat
ia menolak kehendak Kiauw In, kakak seperguruannya yang
baik hati. Dalam keadaan sulit itu, ia berdiri diam sambil
tunduk saja…


Maka sejenak itu bertiga mereka berdiri melintang ditengah
jalan itu. Syukurlah Kiauw In lekas dapat memecahkan
kesunyian itu.
“Anak, kau ciumlah bibimu,” katanya pada Hauw Yan.
“Lekas kau menghaturkan terima kasih dan minta supaya
Bibimu jangan bersusah hati…” Iapun mengembalikan sibocah
kedalam rangkulan Tan Hong.
Hauw Yan menurut, dengan kedua tangannya yang halus,
dia memegangi pipinya Tan Hong dan menciumnya, lalu
dengan kata-kata terputus, ia berkata: “Mama…jangan
bersusah hati….” Dan jenakanya, kata-kata “bibi” ia tukar
dengan “mama", seperti biasanya ia memanggil…
Mau tidak mau Tan Hong jadi tertawa.
“Ah, Hauw Yan anak yang baik…” katanya girang. Meski
begitu ia rada jengah, mukanya menjadi merah. Cuma
didalam hati ia merasa sangat bahagia….
Kembali Kiauw In mengawasi It Hiong, mulutnya dibuat
main untuk menganjurkan pula, kali ini sambil ia terus
berkata: “Hauw Yan, anak yag baik. Bibi Tan ini adalah
penolong jiwamu, tak apa kau memanggilnya mama, Cuma
ingat jangan kau memanggil mama kepada setiap orang!
Tahukah kau?”
Ada artinya kenapa nona Cio mengucap demikian. Dialah
seorang yang polos dan ada minatnya menyempurnakan
keinginannya Tan Hong itu, terutama untuk membuat hati
orang terbuka….


It Hiong terdesak oleh kakak seperguruannya itu, yang
hatinya demikian suci murni, tanpa terasa ia mendekati Tan
Hong dua tindak untuk berkata perlahan: “Nona Tan, kalau
adikmu ini ada mengatakan sesuatu yang keliru, aku mohon
supaya kau memaafkannya…..”
Tan Hong mengawasi anak muda itu.
Kembali wajahnya menjadi ramai dengan senyuman. Ia
tertawa dan berkata: “Adik Hiong, tak usah kau pakai banyak
peraturan, sudah cukup asal kau ingat kepada kakakmu ini!”
Kali ini si nona lantas mengangsurkan Hauw Yan kepada
pemuda itu, hingga ia berada dekat sekali dengannya, lalu
berkata: “Adik, ini aku kembalikan anakmu. Semoga tidaklah
sia-sia belaka apa yang telah aku lakukan ini…”
Belum sempat It Hiong berkata apa-apa, ia sudah
dikejutkan dengan suara tindakan kaki yang cepat yang
mendatangi, ketika ia menoleh, ia terkejut saking herannya.
“Wie suheng!” serunya.
Belum berhenti suara itu, Wie Hoay Giok sudah berdiri di
depannya ketiga muda-mudi itu. Dengan kegirangan luar biasa
ia berkata nyaring: “Tidak kusangka disini aku dapat
menemukan kalian!” Ia melihat It Hiong lagi menggendong
Hauw Yan, sedangkan Kiauw In dan Tan Hong berdiri
berendeng mengawasi dirinya. Sebagai orang jujur ia lantas
menghadapi Nona Tan untuk memberi hormat sambil berkata
gembira: “Nona, sungguhlah kau seorang yang dapat
dipercaya! Sekarang sudah terbukti kau sampai dengan
mendahului aku, kau sudah lantas menyerahkan anak ini
kepada ayahnya! Nona, aku sangat berterimakasih dan sangat
mengagumimu!”


Heran It Hiong mendengar kata-kata kakak
seperguruannya itu.
“Suheng,” katanya, “Apakah terlebih dahulu daripada ini,
kau sudah bertemu Nona Tan ditengah jalan?”
Hoay Giok tertawa bergelak.
“Kita kaum Kang Ouw, dimana saja kita dapat bertemu!”
sahutnya. “Kalau mau dibicarakan ceritanya panjang! Aku
sudah berlari-lari hingga perutku kosong sekali, maka itu mari
kita cari rumah makan dahulu, habis bersantap baru kita
bicara pula!”
Dan tanpa menanti jawaban orang, ia menarik tangannya It
Hiong buat diajak pergi kesebuah rumah makan!
Dengan terpaksa tapipun dengan gembira, It Hiong
menerima baik ajakan kakak seperguruannya itu. Maka itu
Kiauw In dan Tan Hong lantas mengikuti mereka sampai
mereka duduk bersama menghadapi sebuah meja makanan.
“Nona mari minum!” Hoay Giok mengajak Tan Hong. Dia
sangat menghargai nona itu yang dapat memegang janji.
Sebagai seorang jujur, ia girang sekali berhadapan dengan
seorang yang dapat dipercaya. Ia berkesan sangat baik,
hingga ia tidak merasa likat. Ia tidak tahu bahwa Tan Hong
berlaku demikian sebab si nona ada maksudnya…
Habis menegak beberapa cawan arak, barulah Hoay Giok
dapat bicara dengan gembira, maka menuturlah ia tentang
pertemuannya dengan Tan Hong dan Siauw Houw, ia
menceritakan segalanya dengan jelas.


It Hiong menghela napas lega.
“Jika bukannya aku disibukkan urusan kitab pedang guruku
dan lekas-lekas pergi ke Kiu Kiong San,” berkata dia, “Pasti
waktu itu aku menemani kakak Peng pulang ke Lek Tiok Po
dan pastilah Hong Kun tak dapat melakukan segala
perbuatannya! Kasihan kakak Peng, dia menjadi mendapat
banyak pusing dan bercapek lelah…”
“Tidak Cuma menyusahkan adik Peng tapi juga nona
Hong…” Kiauw In menambahkan.
Tan Hong tertawa, senang ia mendengar kata-katanya
nona Cio itu.
“Jika kau tidak mengasihani aku, kakak panggillah aku
adik,” pintanya pada Kiauw In, “ Dan aku minta supaya aku
tak usah diangkat-angkat saja….”
Berkata begitu dia melirik kepada It Hiong.
Justru itu si anak muda lagi mengawasi nona itu, maka
bentroklah sinar mata mereka hingga hatinya jadi tergetar, ia
masgul sekali mendapat kenyataan Nona Tan demikian tergilagila
terhadap dirinya. Kali ini nona itu telah melepas budi
demikian besar terhadapnya. Ingin ia berbicara tapi ia malu
hati. Disitu ada Hoay Giok si suheng yang berhati terbuka dan
Kiauw In yang berhati emas. Maka ia menyimpang soal.
“Suheng,” katanya, “Kejadian atas dirinya Paman Beng
membuatku tak enak makan dan tidur, maka itu ingin aku
Tanya kau kapan kita pergi ke Ay Lao San dan bagaimana
cara kita menolongnya? Coba suheng memberikan aku
petunjuk!”


Mendengar disebut tentang gurunya, Hoay Giok menunda
cawan araknya, tangannya gemetar, segera cawan itu diletaki
diatas meja. Wajah gembiranya pun berubah menjadi lesu.
“Celaka kakakmu ini!” katanya menyesalkan diri. “Kenapa
disini aku gila arak sedangkan guru kita didalam bahaya? Kau
benar adikku, mari kita berangkat!” dan ia berjingkrak bangun.
Tan Hong tidak tahu duduknya hal ini, ia heran Hoay Giok
bersikap begini aneh, begitu bergirang dan lekas menjadi
berduka! Sampai-sampai ia tertawa.
“Saudara wie, kau kenapa?” tanyanya.
“Kenapa kata-kata adik Hiong membuat kau melupakan
perut laparmu dalam sejenak?”
It Hiong pun memegang tangan orang untuk ditarik.
“Duduk dulu saudara,” katanya, “Kita tidak boleh tergesagesa,
sebaliknya kita harus memikir dan bicara dahulu!
Dengan tergesa-gesa tidak keruan mana kita akan
memperoleh hasil? Kau makan dulu baru kita berunding!”
Hoay Giok dapat dikasihh mengerti, maka ia duduk lagi
untuk terus makan hingga ia merasa cukup, hanya tak lagi ia
minum puas-puasan.
Baru setelah itu, It Hiong bicara, “Tentang berbahayanya
gunung Ay Lao San, pernah suheng memberitahukan aku.
Sekarang aku ingin bertanya, kecuali Cie Ciu Koan Im Lee
Hong Hui dan Kiu Cie Hoan Keng Su, ada siapakah lagi jagoan
lihai di sana? Apakah suheng dapat menjelaskan perihal alatalat
rahasianya?”


Ditanya begitu Hoay Giok memperdengarkan suara “Oh…”.
Agaknya ia merasa kecewa, lalu ia menambahkan: “Ketika aku
pergi kepintu goa Lo Sat Tong dari pihak Lo Sat Bun, aku
cuma menuruti hawa amarahku saja, sama sekali aku tidak
memikir buat melakukan penyelidikan. Aku pikir asal Kiu Cie
Hoan Keng Su dapat dibekuk, guru kita bakal segera dapat
ditolong….”
Saat itu Hauw Yan tidur pulas dalam rangkulan Kiauw In, si
nona mendengar suaranya orang she Wie itu, lantas turut
bicara: “Suheng pikiranmu itu terlalu sederhana, rombongan
Lo Sat Bun menjagoi di Ay Lao San sudah belasan tahun. Jika
mereka tidak memiliki kepandaian tinggi, mana dapat mereka
bertahan begitu lama? Bukankah mereka sangat terkenal
sebagai jago-jago yang jahat? Mereka jadi sangat berani
sebab kedudukan tempat mereka yang bagus serta jumlah
pengikutnya yang banyak! Kita sebaliknya, jumlah kita kecil
sekali. Maka itu kita harus dapat menggunakan akal.”
Baru sekarang Tan Hong mengerti duduk persoalannya.
Pamam It Hiong atau gurunya Wie Hoay Giok terkurung dalam
gunung Ay Lao San dan mereka ini mau membantu, maka
tertawalah dia.
“Jika kalian hendak menggunakan akal, aku bersedia
membantu sebisaku!” katannya. “Kebetulan aku kenal dengan
rombongan Lo Sat Bun itu….”
Hoay Giok memberi hormat pada nona itu.
“Jika Nona Tan sudi membantu kami, aku sangat
bersyukur!” katanya yang terus menghaturkan terima kasih.
Tan Hong sebenarnya hendak merapatkan diri pada It
Hiong, maka ia bersedia memberikan tenaganya. Dari itu ia


girang sekali Hoay Giok segera menerima bantuan tenaganya
itu. Diam-diam ia melirik kepada si anak muda dan juga
kepada Kiauw In.
It Hiong masih mengukuhi nama perguruannya yang putih
bersih, tak ingin ia bersama dengan Tan Hong, tapi Hoay Giok
sudah mendahului menerima baik tawaran si nona. Ia tidak
bisa berbuat lain daripada turut menerimanya. Karenanya
hatinya menjadi tidak tenteram. Dengan tampang likat ia
mengawasi Kiauw In, ia ingin mendengar pandangan kakak
seperguruannya itu.
Nona Cio sangat cerdas, ia mengerti maksudnya It Hiong.
Ia pun dapat menerka hatinya Tan Hong. Ia bersimpati pada
Nona Tan, tak perduli nona itu dari rombongan Hek Keng To.
Bahkan ia ingin si nona mencapai angan-angannya. Maka ia
lantas berkata dengan sungguh-sungguh. “Didalam suatu
usaha besar kita jangan menggubris segala urusan kecil, jadi
walaupun adik Tan Hong asal dari Hek Keng To, ia tetaplah
sahabat-sahabat kita. Karena ia suka membantu kita, itulah
hal yang kita mintapun sebenarnya sukar terjadi. Adik Hiong,
janganlah kau menyia-nyiakan kebaikan hatinya adik Tan
Hong!”
Bukan main girangnya Tan Hong mendengar perkataan
Kiauw In, namun ia menyembunyikan kegirangannya itu,
lekas-lekas ia mengangkat tangannya berpura menyingkap
rambutnya, hingga mukanya teraling tangannya itu.
Hatinya It Hiong pun berubah setelah ia mendengar suara
Kiauw In itu. Maka berkatalah ia: “Kakak benar! Baiklah mari
kita mengharapkan tenaga bantuannya Nona Tan! Sekarang
bagaimana dengan Hauw Yan? Dapatkah ia dibawa bersama


ketempat yang berbahaya itu?”
Kiauw In tertawa.
“Mengenai Hauw Yan telah aku pikirkan, kalian bertiga
berangkat lebih dulu, aku sendiri akan pergi ke Lek Tiok Po
dengan membawa anak ini untuk menemui adik Peng sekalian
memulangkan Hauw Yan, kemudian bersama adik Peng itu,
aku akan menyusul kalian, bukankah itu baik?”
“Kau benar sekali nona Cio!” Hoay Giok memuji girang.
“Tidak ada jalan yang lebih baik daripada itu! Aku sangat
memuji pada nona! Nah adik Tio, sebelum malam tiba, mari
kita berangkat!”
Begitulah keputusan mereka, maka lantas mereka
berangkat pergi. Cuma nona Cio sendiri yang mengambil lain
arah karena ia mengajak Hauw Yan bersamanya.
It Hiong bersama Hoay Giok dan Tan Hong mengambil
jalan dipropnsi Secuan untuk memasuki propinsi inlam.
Mereka melakukan perjalanan cepat, sehingga dalam sembilan
hari mereka sudah tiba dikaki gunung Ay Lao San.
Selama didalam perjalanan itu, hatinya Tan Hong terbuka
bukan main. Ia gembira sekali karena dapat berdekatan
dengan pemuda yang diidam-idamkannya. Tiada waktu yang
tidak ia bersuka ria, tersenyum atau tertawa. Kegembiraannya
itu diam-diam seperti membantu membangun semangatnya
kedua anak muda.
Tiba dikaki gunung, hatinya It Hiong terutama Hoay Giok
menjadi tegang sekali. Buat Hoay Giok ini berarti ia telah
kembali ketempat yang ia kenal baik, tetapi yang sangat
berbahaya dan mengancamnya. Toh ia maju terus tanpa


rintangan, berkat tempat yang pernah ia kenal itu. Tidak ada
tempat perangkap maupun cegatan lawan.
Sesudah mengikuti jalanan yang berliku-liku, tibalah
mereka di depan Lo Sat Tong atau pintu gua raksasa. Disitu
Hoay Giok memberi tanda kepada kedua kawannya untuk
duduk istirahat disebuah batu karang.
“Lembah di depan itu, yang tak jauh dari sini, itulah Lo Sat
Tong,” ia memberi keterangan.
It Hiong mengangkat kepalanya menatap ke depan,
ketempat yang ditunjuk kakak seperguruannya itu. Ia melihat
mulut lembah dikaki puncak, kecuali batu-batu aneh, disitupun
ada tedapat rumput yang hijau. Hanya sepi saja, tak tampak
seorang juga.
“Kenapa di muka gua tidak ada orang yang menjaga?”
Tanya It Hiong.
Tan Hong juga heran.
“Kakak Wie, apakah kau tidak keliru?” Tanya dia.
“Tidak, aku tidak akan salah mata!” jawab Hoay Giok
dengan segala kepastian.
“Sebentar, kalau kita maju lebih jauh, pasti akan muncul
orang yang bakal menghadang kita!”
“Jika begitu, biarlah aku yang maju dahulu seorang diri,”
Tan Hong berkata, “Aku akan berpura-pura membuat
kunjungan kepada ketua dari Lo Sat Bun! Kalian setuju
bukan?”


It Hiong memikir lain, dengan sungguh-sungguh ia berkata:
“Baiklah kita berkunjung secara terus terang menuruti aturan
kaum Kang Ouw dan berterus terang juga kita
memberitahukan bahwa kita datang memenuhi janji untuk
membereskan urusan kita. Buat apa kita takuti, sekalipun Lo
Sat Tong merupakan sarang naga atau harimau!”
Lalu tanpa menanti persetujuan kedua kawannya, anak
muda ini lantas bertindak maju, guna berjalan di muka. Maka
terpaksa Hoay Giok dan Tan Hong menyusul, mengikutinya.
Benar seperti dugaan Hoay Giok tadi, mendekati pintu
belum ada belasan tindak, mereka sudah dirintangi oleh dua
orang yang muncul secara tiba-tiba.
“Tahan!” mereka itu berseru.
It Hiong mengawasi tajam, ia melihat dua orang berdiri
berendeng, baju mereka itu seragam berkembanng, juga
kopiahnya sedang punggungnya menggembol golok.
“Kamilah Wie Hoay Giok bersama sute Tio It Hiong!” si
orang she Wie segera memperkenalkan diri. Suaranya nyaring,
sikapnya gagah. “Kami datang kemari memenuhi
undangannya Keng Su buat membereskan perhitungan kita,
maka itu tolong tuan-tuan berdua mengabarkan perihal
datangnya kami ini!”
Kedua orang itu mengawasi ketiga tamunya itu, lantas
mereka merogoh saku mereka dan mengeluarkan semacam
pluit, lalu mereka meniupnya maka segera terdengar suaranya
yang nyaring. Hingga dilain saat dari dalam lembah muncul
juga serombongan orang bertubuh besar yang seragamnya
serupa dan dipaling belakang tampak seorang wanita yang
dandanannya sangat perlente dan tampangnya sangat centil.


Hoay Giok segera mengenali wanita itu ialah Cia Ciu Koan
Im atau Dewi Koan Im yang telengas dan namanya Lou Hong
Hui.
Dengan sikap dingin Lou Hong Hui mengawasi ketiga
tetamunya itu, lantas dia menegur takabur: “Apakah kamu
bertiga murid-muridnya Beng Kee Eng? Kamu mempunyai
nyali datang kemari membuat perhitungan, kamu sungguh
berani! Tapi kepandaian kalian, bagaimanakah itu? Dapatkah
kalian melintasi lembah kami yang dinamakan Lok Hun Kok,
Lembah Roh Berjatuhan? Kalian harus berpikir masak-masak!
Siapa memasuki lembah kami biasanya belum pernah ada
yang bisa keluar pula dengan masih bernyawa!”
Sudah suaranya jumawa, skapnyapun sangat temberang.
Sungguh tak sedap untuk mengawasi tingkah pola semacam
itu.
Tan Hong berlompat maju ke depan, lantas ia meluncurkan
sebelah tangannya. Segera ia menggunakan ilmu lunak Mo
Teng Ka dari Hek Keng To. Sambil menyerang ia membentak:
“Bagaimanapun lihainya Lok Han Kok, nonamu hendak
mencobanya!”
Lou Hong Hui memandang ringan terhadap serangan itu, ia
tidak merasakan hembusan angin yang keras seperti biasanya
suatu serangan yang hebat. Ia menyambut secara
sembarangan saja. Kedua tanganpun beradu tanpa terdengar
suara nyaring, hanya setelah kedua tangan menyampok satu
dengan lain, barulah Hong Hui menjadi kaget sekali.. Dia
tertolak keras hingga dia mundur enam tujuh tindak, namun
dia dapat mempertahankan diri tak sampai roboh terguling.
Baru sekarang dia kaget berbareng gusar, maka matanya


mengawasi dengan sorot bengis. Sambil mengawasi dengan
jengekan “Hm!” mendadak dia mau menyerang Nona Tan!
Jago wanita dari Hek Keng To itu mendapat angin, justru ia
mau maju terus, begitu diserang ia lantas menyambut, malah
ia menggunakan kedua belah tangannya dengan jurus silat
“Siang Hee Kauw Tay” atau atas dan bawah saling
menyambut. Tangan yang satu mencari jalan darah hoakay
didada, sedang yang lain meluncur kejalan darah tantian
diperut lawannya itu. Ia berpendirian untuk mempercepat
pertempuran, semua itu cuma buat “adik Hiong”.
Hong Hui menjadi salah satu tongcu dari Losat Bun, dia
bukan sembarang orang. Begitu bentrokan pertama itu lantas
dia insyaf bahwa lawannya bukan sembarang lawan. Segera
dia berlaku waspada. Dia melihat si nona mengeluarkan dua
buah tangannya dia dapat menerka maksudnya itu. Maka dia
menyambut dengan kedua tangannya juga dengan ilmu Im
Yang Ciang, tangan Im Yang. Itulah semacam khiekang, ilmu
tenaga dalam dari Losat Bun.
Tan Hong bisa melihat gelagat, matanya jeli, tangannya
lincah. Ia tidak menyingkir dari sambutan yang sekalian
merupakan serangan balasan dari lawan itu, ia justru
menyambutnya hingga mereka menjadi mengadu kekuatan
tenaga dalam mereka. Lou Hong Hui cerdik. Tak sudi dia
mengadu tenaga, cepat luar biasa ia merubah gerakan
tangannya dan memotong tangan lawannya itu! Tan Hong pun
bermata jeli dan gesit, ia membarengi menyerang pula
menolak dengan tenaga dalam Mo Teng Ka. Tenaga dalam itu
lunak dan ringan nampaknya, anginnyapun bersiur halus, tapi
sekali menemui perlawanan lantas jadi keras luar biasa.
Hong Hui kenal baik tenaga dalam itu, ia tak sudi
melayaninya. Ia lompat satu tombak, sesudah tenaga itu


hilang ia menyerang kebawah, kembali ia menggunakan
tangan Im Yang Ciang. Tan Hong melihat tubuh lawan turun
kepala dibawah dan kaki diatas, ia ingin mencoba pula tenaga
dalam lawan itu. Maka ia menyambut dengan jurus silat
“Dengan Tangan Mengelilingi Langit”
Kembali bentroklah kedua tangan hingga terdengar suara
nyaring. Kali ini Hong Hui tak sempat menyingkir lagi, bahkan
telapak tangannya bagai tersedot hawa lawan. Untuk
membebaskan diri ia menyerang dengan tangan kanannya.
Kedua wanita itu belum kenal satu dengan lain, mereka juga
tidak bermusuhan. Kalau mereka bentrok, yang satu mau
membela kaumnya sedang yang lain bekerja untuk pemuda
yang dicintainya….
Tan Hong nampaknya terdesak, tapi sebenarnya dialah yan
menolak lawan membikin tenaga lawan berkurang, asal lawan
kalah tenaga maka lawan bakal celaka. Ternyata mereka
seimbang, maka itu kelihatannya mereka seperti tengah
melakukan pertunjukkan, hingga menarik hati untuk ditonton.
Tan Hong berjalan berputar, mukanya diangkat, nampak ia
bersungguh-sungguh.
Mulanya Hong Hui bersikap biasa saja, mungkin ia
memandang ringan kepada lawannya itu, namun sekarang
mukanya menjadi merah dan dahinya dibasahi peluh. It Hiong
bersama Hoay Giok dan orang-orang Losat Bun tercengang
menyaksikan pertempuran tersebut. Syukur Hoay Giok sadar
terlebih dahulu.
“Sute mari kita maju!” ia mengajak It Hiong, suara mana
mengejutkan Tan Hong. Hingga si nonapun menyadari dirinya,
demikian juga dengan Hong Hui, serentak mereka sama-sama
mundur lima tindak.


It Hiong sudah melompat maju ketika melihat Tan Hong
mundur dengan tubuh limbung ia lantas menahan tubuh nona
itu.
“Kau terluka kakak?” tanyanya.
“Tidak,” sahut si nona, ia memang tidak terluka, ia menjadi
limbung sebab undurnya secara mendadak. Ia merasa sangat
bahagia mendengar si adik Hiong memanggilnya kakak. Justru
saat dia disangga itu sengaja ia menyenderi tubuhnya
dilengan yang kuat si anak muda. Iapun memejamkan mata.
Habis menjawab baru ia buka matanya untuk menambahkan
kata-kata : “Adik, aku sebenarnya membela mengadu jiwa ini
untukmu….” Dan ia menatap si anak muda, parasnya
menunjukkan bagaimana ia sangat memperhatikan anak muda
itu.
Hatinya It Hiong memukul.
“Kau duduklah kakak,” katanya cepat, “kau istirahatlah.”
Ia masih memegangi, membantui orang duduk, kemudian
ia mengeluarkan saputangan untuk menyusuti peluh didahi si
nona.
Dipihak sana, Lou Hong Hui pun mundur dengan limbung,
bahkan ia segera jatuh terduduk karena tidak sanggup
mempertahankan diri, lekas-lekas ia menyalurkan
pernapasannya. Hoay Giok menyaksikan keadaan nona Lou
itu, ia berseru sambil melompat maju kepada nona, hingga ia
membuat kaget pada orang-orang Losat Bun. Serentak
mereka itu melompat maju untuk menghadang. Melihat itu, ia
lantas mundur pula, ia telah berhasil memisahkan dua jago
wanita itu. Ia kembali kepada kawannya seraya terus
menanya It Hiong apa Tan Hong terluka parah. Ia prihatin
terhadap nona itu dan mengawasi mukanya yang elok.


It Hiong menggeleng kepala.
“Ia tidak terluka, ia cuma terlalu banyak mengeluarkan
tenaga,” sahutnya yang terus memandang Tan Hong untuk
melanjuti :”Kakak baik sekali, entah bagaimana aku
membalasnya nanti……” kata-kata itu ditujukan seperti
terhadap si nona dan juga terhadap Hoay Giok.
Hoay Giok diam melengak, tak mengerti ia akan arti katakatanya
anak muda itu. Ia Cuma pikir: “Sungguh beruntung
adik Hiong, orang sudah mempunyai dua enso(ipar) dan
sekarang akan tambah dengan satu Tan Hong ini. Ia Tanya
dirinya: “Bagaimana meeka diaturnya nanti?”
Tak lama maka Hong Hui bangkit berdiri. Dengan cepat
tenaganya telah pulih kembali. Terus ia melihat cuaca dan
mengawasi rombongannya It Hiong dan berkata jumawa: “Lo
Han Kok bukannya tempat yang dapat kalian masuki
sembarangan! Masihkah kalian tak mau lekas pergi dari sini?”
Mendengar itu, alisnya It Hiong terbangun, Dia justru
melompat maju.
“Lou Tongcu!” katanya nyaring, “Jika benar kau
menghendaki kami pergi, silahkan kau bebaskan dahulu Beng
Bee Kee pamanku itu!”
Nona itu memperlihatkan tampang menghina.
“Bocah kau tidak menerima kebaikan hati orang!”
bilangnya, “Orang she Beng itu berada didalam penjara Losat
Bun yang berada disebelah kanan pendopo pusat kami, jika
kalian berani kalian majulah kependopo kami itu.”


It Hiong mendongkol.
“Kau tidak tahu diri!” bentaknya. Barusan selagi kau
beristirahat, kami tidak menyerbumu! Kami tahu aturan Kang
Ouw dan mematuhinya! Kenapa sekarang sikapmu begini, jika
kau tak sudi membiarkan kami masuk, baiklah mari coba
rasakan pedangku!”
Lantas si anak muda menghunus Keng Hong Kiam, hingga
terdengar suaranya yang berisik disertai sinar berkilauan.
Hong Hui terkejut oleh suara dan sinar itu.
“Pasti bocah ini bukan sembarang orang,” pikirnya. “Aku
baru saja beristirahat, mana tepat aku melayani tenaga
baru?...” Maka berputarlah matanya dan bekerja pula otaknya.
Terus dia mengejek, “Apakah kau hendak menempur aku
bergantian? Apakah itu cara orang Kang Ouw sejati?”
It Hiong tahu orang licik dan sengaja mengatakan
demikian, hendak ia menjawabnya namun Tan Hong sudah
mendahuluinya. Nona Tan melompat maju ke depan si anak
muda sambil terus berkata pada lawan. “Kalau Lou Tongcu
takut nanti dilawan dengan bergilir, baiklah nonamu yang
melayani pula padamu!” lantas ia maju lebih jauh sambil
mengangkat sanhopang senjatanya itu.
Hong Hui segera meloloskan senjatanya, yaitu sabuk sulam
emas yang melibat pinggangnya. Selekasnya ia kibaskan itu
sabuk menjadi panjang satu tombak lebih, kaku mirip
sebatang tombak. Sebab ujungnya mempunyai ujung tombak
yang tajam. Diapun terus berkata menantang. “Budak bau!
Kalau kau mempunyai kepandaian buat melayani aku sepuluh
jurus, aku akan ijinkan kau memasuki lembah kami ini.”


Tan Hong berpengalaman, tahu ia bagaimana harus
melayani senjata lawan itu. Ia menyambut tantangan sambil
terus melompat maju dengan loncatan Walet Menyambar Air,
sedang setibanya di depan lawan, ia segera menyerang
dengan jurus silat Guntur dan Kilat saing berbunyi, senjatanya
ruyung Sanho pang segera menyerang ditiga arah, atas,
tengah dan bawah.
Hong Hui terkejut buat serangan mendadak itu, hingga ia
mundur dengan mencelat, menyusul mana sebelah tangannya
menyambar ujung sabuknya yang terlepas, hingga tangannya
mencekal kedua ujung sabuknya, niatnya guna dipakai
mengekang ruyung lawan.
Tan Hong mendak, selekasnya ruyung menyambar kekaki
lawan…
Itulah serangan hebat, merupakan Loh bwe atau kuda
runtuh, “Tipu daya seperti menjatuhkan diri”
Hong Hui terkejut ia lompat mundur. Segera ia insyaf
lihainya sang lawan. Maka lekas-lekas ia memutar tangannya
mencoba melibat tubuh lawan. Ia bisa bergerak dengan
bebas. Lantas juga Tan Hong yang terancam bahaya, sabuk
lawan membuatnya repot. Asal ruyungnya terlibat, ia bisa
mendapat susah.
Maka kembali ia menggunakan tipu, ia menjatuhkan diri
dalam jurus silat, CaCing Menggulung Pasir, dengan tubuh
bergulingan ia menghampiri lawannya kemudian mendadak ia
berjingkrak bangun sambil membarengi menyerang iga lawan,
itulah jurus silat “Guntur Berbunyi ditanah datar”
Buat membantu si adik Hiong, Tan Hong dengan lantas
mengeluarkan kepandaiannya, cara berkelahinya itu


mengagumkan siapa yang manyaksikannya. Dilain pihak Hong
Hui bukan sembarang nona, ia insyaf akan lihainya lawan itu
yang malah ia katakan telengas. Ia tidak melompat mundur,
sebaliknya ia terus memasang kuda-kuda rendah dengan kaki
kiri bertahan dan kaki kanan mendahului menyambar, itulah
tendangan Kaki Menyapu Awan.
Tan Hong menyelamatkan diri dengan lompat jumpalitan
sebanyak tujuh atau delapan kali. Itulah Lompatan Bayangan
Burung Yang Menyerbu Langit. Setelah berjumpalitan itu,
tubuhnya turun ketanah. Namun sabuk lawan memapaki
tubuhnya itu. Ujung tombak bagaikan kepala ular menyambar
bau orang, mirip gerakan ular menyemburkan racun….
Tan Hong terperanjat. Nyata lawan lihai dan telengas juga.
Disaat sangat mengancam tadi, ia sampai membela diri
dengan jalan mengelit bahaya itu. Ia mengira sudah lolos dan
lawannya tidak akan sempat berdaya lebih jauh, siapa tahu
tobak diujung sabuk lawan terus mencari sasarannya, kali ini
punggung orang!
Tan Hong dapat berjumpalitan dengan waktu lebih lama
dari biasanya, itulah disebabkan mahirnya ia dengan ilmu
tenaga dalam dari Hek Keng To. Sesudah lewat ancaman
bahaya itu, ia meneruskan turun dengan cepat tangan kirinya
menyerang, sedang tangan kanannya melindungi diri.
Lou Hong Hui sudah berkecimpung dalam dunia Kang Ouw
selama sepuluh tahun lebih, sampai ia memperoleh julukan
“Cia Ciu Koan Im” belum pernah ia menemukan lawan seperti
nona ini. Ia tidak menyangka bahwa serangannya barusan
bisa gagal, hingga sekarang ialah yang berbalik terancam. Ia
menjadi repot. Dalam tergesa-gesa, ia menolak dengan
tangan kiri, ia berhasil. Tapi setelah itu datang pula tangan
kanan lawannya mengancam dada! Kembali ia menjadi repot,


secara tergesa-gesa ia menangkis dengan sabuknya,
menyusul mana kakinya menendang.
Kedua pihak sama-sama terancam bahaya bergantian.
Disaat itulah Tan Hong yang terancam bahaya, kaki kirinya
baru saja menginjak tanah ketika serangan lawan datang. Ia
berkelit miring, berbareng dengan itu lagi-lagi iapun
menendang dengan kaki kanannya.
Sebagai orang Kang Ouw ulung, masih bisa Hong Hui
menyelamatkan diri. Ia mundur sejauh lima kaki. Hanya dala
tergesa-gesanya itu, ia membuat senjatanya terlepas dari
tangannya.
Tan Hong tidak menyerang terus, ia hanya mengawasi. Ia
melihat sabuk lawan menggeletak ditanah, ia lantas tertawa
dan berkata: “Terima kasih Lou Tongcu, karena kau sudi
mengalah! Sepuluh jurus sudah lewat….”
“Budak jangan menghina orang!” Hong hui membentak.
“Kapan kau menang?”
Tan Hong tertawa pula.
Dia menunjuk kepada sabuk ditanah itu.
“Bukankah sabukmu itu senjatamu?” Tanyanya. “Kau lihat!
Apakah itu bukan berarti bahwa kau sudah kalah?”
Merah mukanya Hong Hui, ia malu sekali.
“Baik!” serunya mendongkol. “Kau sungguh beruntung!
Sekarang aku ijinkan kamu bertiga melintasi lembah Lok Han
Kok, Ular Melingkar, kita nanti bertempur pula!”


Habis berkata, nona Lou memberi isyarat dengan
tangannya, terus ia mengundurkan diri diikuti orang-orangnya.
It Hiong bertiga mengawasi lawan itu masuk kedalam lembah
dan lenyap didalam waktu singkat.
Tatkala itu sudah jam satu kira-kira dan rembulan sedang
bersinar terang, sunyi sekitar mereka.
“Kakak, kau capek,” kata It Hiong menghampiri si nona.
Senang Tan Hong mendengar si anak muda memanggilnya
kakak, tidak nona lagi.
Itulah hasil usahanya menempur Lou Hong Hui tadi. Ia
tertawa dan berkata: “Ah tidak! Demi kau adik Hiong, tak apa
aku mesti mengeluarkan sedikit tenagaku atau mengucurkan
beberapa tetes peluh.”
Jilid 21
Kami sangat berterima kasih kepadamu, Nona Tan" Hoay
Giok terus bicara. "Sungguh besar bantuanmu ini ! Nanti
setelah guru kami dapat dibebaskan dari tangan kaum Losat
Bun, akan aku menghaturkan pula terima kasihku...."
"Kakak Wie, aku minta janganlah kau memandang aku
sebagai orang luar !" berkata si nona. "Bahkan menjadi satu
kehormatan yang Tan Hong dapat membantu dalam usaha
menolong Beng Locianpwe !"
It Hiong melihat langit.
"Selekasnya kakak sudah beristirahat, kita akan segera
memasuki Poan Coa Kok" katanya. "Setujukah kakak ?"


Tan Hong melirik pemuda itu.
"Kakakmu tidak terlalu letih." katanya tertawa. "Tak ada
halangannya buatku ! Aku selalu mengiringi kau, adik !"
Tetapi It Hiong lantas duduk diatas rumput.
"Kita beristirahat sebentar" bilangnya.
Malah mereka lantas mengisi perut mereka dengan
rangsum kering yang dibekalnya.
Kira jam dua, rembulan nampak makin terang. It Hiong
berlompat bangun, tangannya pada gagang pedangnya.
"Malam ini juga kita mesti sampai di pendopo pusat Losat
Bun !" kata ia. "Mari !"
Tan Hong tapinya tunduk. Dia berpikir.
"Kakak Whie", tanya ia pada Hoay Giok, "sebelumnya ini
pernahkah kau masuk kemari ? Pernahkah kau tiba di Poan
Coa Kok ?"
Orang yang ditanya menggeleng kepala.
"Malu untuk mengakuinya," sahutnya. "Bahkan sebelum
melintasi Lok Hun Kok telah aku dirobohkan jurus silat Imyang
ciang dari Cie Cia Koan Im..."
"Peduli apa mereka mempunyai banyak lembah atau
perangkap !" berkata It Hiong. "Peduli apa disarang gua
harimau atau sarang naga ! Mari kita maju guna membantu


paman Beng ! Sebelum maksudku berhasil, aku sumpah tak
akan keluar dengan masih hidup dari gunung Ay Lao San !"
Gagah bicaranya anak muda ini yang demi pamannya
menjadi tidak kenal takut.
Tan Hong tertawa. Ia menepuk bahu orang.
"Sungguh kau gagah, adik !" pujinya. "Nah, mari kita maju
! Asal kita berhati-hati buat segala tipu daya musuh... !"
Hoay Giok pun tertawa.
"Kamu begini gagah, kamu membuat malu !" katanya yang
terus berlompat maju, untuk mendahului berjalan di muka.
Dengan beriringan, ketiga muda mudi ini berjalan
memasuki lembah. Cahaya rembulan membuat mereka
melihat banyaknya batu disepanjang tempat yang dilalui
mereka. Di kiri dan kanan sebaliknya tampak dinding tembok
gunung yang tinggi. Jalanan menuju mendaki.
Satu jam sudah mereka bertiga berjalan cepat, telah
melalui kira sepuluh lie. Kiranya lembah itu panjang. Sunyi
disekitar mereka. Yang berisik melainkan suara angin gunung.
Tanpa merasa mereka telah tiba di pinggang gunung !
Disitu mereka menikung disebuah pengkolan. Lantas mereka
menyaksikan sebuah jurang, kedua tepinya dihubungi satu
dengan yang lain dengan sebuah batu besar dan panjang
yang melintang mirip penglari. Di bawah itu tak tampak batu
atau lain macam barang. Seluruhnya gelap. Dinding juga tak
berpohon apa jua.


It Hiong menghampiri tepi jurang. Ia melihat jembatan
mirip penglari itu. Tak bersangsi pula, ia lompat ke batu itu
untuk jalan diatasnya. Ia mendahului kedua kawannya.
Tan Hong dan Hoay Giok mengikuti.
Di lain tepi, pada dinding gunung terdapat banyak lubang
gua kecil dan besar hingga mirip sarang tawon. Dari gua yang
besar terlihat molosnya sinar api mirip dengan cahanya
kunang-kunang.
"Mari kita memasuki gua dan melihatnya." It Hiong
mengajak. Ia berani sekali. Ia pula kembali jalan disebelah
depan.
Gua yang dimasuki itu, ditempat dalam belum sepuluh
tombak sudah terhadang sebuat batu besar sekira seperdirian
orang. Pada dinding sisinya dengan huruf-huruf yang bersinar
mirip terangnya kunang-kunang terlihat ukiran dari tiga huruf
besar "Poan Coa Kok" artinya Lembah Ular Melingkar.
Melihat pertanda itu Tan Hong berlari ke depan,
menghampiri It Hiong, ujung baju siapa ia lantas tarik terus
dengan perlahan ia kata : "Lekas menempel di dinding !
Kitapun harus sering mendekam ! Kita mesti bersiaga dari
serangan senjata gelap dari musuh !"
It Hiong bersyukur, ia bagaikan disadarkan si nona. Lantas
ia mepet pada dinding berjalan dengan merapatkan diri terus
menerus. Demikian pun dengan kedua kawannya itu.
Tepat mereka datang dekat pada batu besar dan tinggi
penghadang, mereka lantas mendengar suara melesatnya
panah api tiga kali, panah itu bukan melesat ke depan hanya


ke belakang mereka sejauh satu tombah dan nancap di
dinding, hingga ketiganya mirip obor !
Menyusul itu maka dari balik sebelah batu besar terdengar
suara dingin bagaikan es ini : "Bocah yang baik ! Masihkah
kau hendak menyembunyikan dirimu ? Kalau kau benar pandai
mari sambut golokku ini !"
Dengan golok, orang itu maksudkan "Liu kio-to" yaitu golok
tipis dan ringan. Nama itu berarti "golok daun Yang-liu".
Dan menyusul itu sembilan buah golok tersebut
menyambar kepada It Hiong bertiga, seorang menjadi
sasarannya tiga batang golok yang suara menyambarnya
terdengar nyata dan goloknya sendiri berujung berkilauan
Diantara ketiga orang itu yang kepandaiannya paling lemah
ialah Whie Hoay Giok tetapi dia menang pengalaman, dengan
mudah saja dia dapat menyelamatkan dirinya yaitu dengan
maju ke depan sambil mendekam, hingga ketiga golok lewat
di belakang penggungnya dan nancap pada dinding.
It Hiong lain lagi. Dia mengandal kepada tenaga "Hang
Liong Hok Houw Ciang" dengan satu tolakan jurus silat itu ia
membuat ketiga golok runtuh berjatuhan ke tanah.
Tan Hong sebaliknya keras lawan keras. Dengan sanho
pang ia menangkis meruntuhkan ketiga golok yang
mengancamnya itu, hingga tiga kali terdengar suara
bentrokan nyaring.
It Hiong berlaku cepat. Ia bermata sangat celi. Ia
berlompat ke arah belakang batu sambil membarengi
menyerang dengan pukulan "Now Sie Toat Hian" yang roboh
dengan muntah darah.


Tan Hong lompat menyusul, ia terus mendengar satu suara
menjerit sesudah waktu ia tiba dibalik batu. Ia melihat It
Hiong sedang memegangi tangan seorang berseragam lain,
yang mukanya meringis kesakitan. Orang itu berlutut,
tubuhnya bergemetar, peluhnya membasahi dahinya.
"Ampun" masih terdengar ratapannya.
"Bilang, kau jadi apa di Poan Coa Kok ini ?" Tan Hong
tanyanya.
Tak dapat orang itu menjawab. Maka It Hiong
menamparnya jatuh sambil terus berkata bengis : "Lekas kau
bicara kalau kau masih menyayangi jiwamu !"
Masih orang itu tidak dapat membuka mulutnya. Dia rebah
telentang mata mengawasi si anak muda dan mudi.
"Mana lagi anggota kalian yang lain ?" It Hiong tanya.
"Siapakah yang menjadi tongcu kamu ?"
"Aku cuma dapat menjawab satu kali !" cibirnya, orang itu
membuka juga suaranya dingin. "Tong cu dari Pan Coa Kok
bernama Sioaw Kit gelar Cian Ciu Longkun, si Tangan Seribu
Yang, lainnya sebab aturan kami sangat keras, tak dapat aku
bocorkan !"
"Beranikah kau tidak bicara ?" bentak Tan Hong. "Kau tahu
ruyung nonamu in biasa tak mengasihani orang yang bacotnya
keras !"
Orang itu tertawa sedih.


"Nyawaku sudah hilang!" sahutnya. "Kalau aku membuka
rahasia disini, maka tubuh tak dapat bertahan dari siksaan
besi panas. Kalau aku tidak bicara, aku tak akan lolos dari
tangan kalian ! Maka itu lebih baik aku menutup mulut dan
terima binasa ditanganmu !"
It Hiong kagum buat sikapnya orang itu.
"Nah, kau pergilah !" kata dia akhirnya. "Aku beri ampun
padamu !"
"Segala manusia jahat buat apa dikasihh tinggal hidup ?"
berkata Tan Hong.
"Kita bukannya penggemar melakukan pembunuhan
terhadap sesamanya !" kata It Hiong tertawa. "Membunuh
lebih satu jiwa bagi kita tidak ada faedahnya. Dimana bisa
harus kita mengampuni orang...Kakak, mari !"
Berkata begitu si anak muda lantas mengikuti orang
tawanannya yang telah dibebaskan itu yang terus berlari
pergi.
Hoay Giok menyusul, begitu pun Tan Hong.
Mereka keluar dari dalam gua itu dan tiba disebuah lembah
sempit dengan dinding batu gunung dikiri dan kanam, luasnya
cuma satu tombak. Menengadah ke langit, orang melihat si
putri malam. Karena suasananya sangat sunyi mereka
mendapat dengar tindakan dari kaki tawanan yang dibebaskan
itu.
Sempit dan berliku-liku, nama lembah itu mirip sekali, Pan
Coa Kek atau lembah ular melingkar. Tikungannya ada yang
besar dan kecil. Sampai kira tiga jam, tetap mereka masih


berada di lembah itu. Disini lembah gelap sebab cahaya
rembulan tak tembus.
It Hiong sementara itu heran. Bukankah mereka berjalan
cepat ? Kenapa lembah seperti tak ada akhirnya ? Pula kenapa
sampai sebegitu jauh mereka tak menemukan lain rintangan
pula ? Kenapakah ?
Sebenarnya mereka telah kehilangan tawanan mereka pun
berlari-lariputar balik disitu-situ juga.
"Tahan !" berseru Tan Hong yang heran seperti si anak
muda, hingga dia lantas menggunakan otaknya.
It Hiong berhenti berlari dan menoleh.
"Kau melihat musuh kakak ?" tanyanya.
"Mari adik !" kata si nona. "Mari kita bicara !"
It Hiong segera menghampiri nona itu.
"Ada apakah ?" tanyanya.
Tan Hong menyalakan api sumbunya untuk menyuluhi batu
yang ia injak, sembari menunjuk batu itu, ia menjawab : "Lagi
berlari-lari beberapa kali aku telah kena injak ini batu koral
sebesar telor gangga. Batu ini besar dan licin, setiap kena
menginjaknya hampir aku terpeleset jatuh. Karena aku
menginjaknya beberapa kali, apakah itu bukan berarti kita
berlari-lari sia-sia saja ?"
It Hiong berdiam, otaknya bekerja. Ia ingat bahwa iapun
tadi pernah menginjak batu itu. Pula aneh batu serupa berada
hanya disitu. Akhirnya ia bagaikan terasadar.


"Kau benar kakak !" kata ia. "Mestinya lembah ini
mempunyai jalan keluar lainnya. Bukankah orang tadi telah
hilang dan tak terdengar juga suara larinya ?"
Ketika itu Hoay Giok pun datang menghampiri. Dia bernafas
memburu.
"Ada apakah ?" tanya dia yang terus menyampok
memadamkan api ditangannya si nona.
Nona Tan memberi keterangan perihal kecurigaan itu.
"Lembah begini gelap, inilah sulit !" kata Hoay Giok
kemudian. "Kalau kita terus menyalakan api itulah berbahaya.
Adalah satu pantangan kalau musuh gelap dan kita terang."
It Hiong mengangkat kepalanya. Tinggi dinding mungkin
seratus tombak. Dari sinar rembulan, dapat diduga mungkin
itu waktu sudah jam empat kira-kira.
"Baik kita duduk beristirahat disini" katanya kemudian. "Kita
menanti sampai terang tanah baru kita lihat bagaimana
baiknya."
Tan Hong tertawa.
"Bukannya tak dapat kita melewati waktu sambil
beristirahat disini !" kata ia. "Cuma apakah orang tak akan
menertawakan kita kalau murid utama dari Tek Cio Siangjin
dari Pay In Nia menunjuki kelemahannya terhadap kaum Losat
Bun ?"
Kata-kata itu membangunkan semangatnya si anak muda
she Tio, sampai ia lupa kepada pantangan "Pria dan wanita


tak dapat berpegangan tangan". Ia telah memegang erat-erat
tangannya si nona seraya berkata : "Kakak benar ! Terima
kasih untuk kebaikan kau ini !"
Tan Hong bersenyum. Ia merasakan telapak tangan si anak
muda berhawa panas hingga bagaikan terkena tenaga listrik,
tubuhnya menggigil sendirinya. Tidak tahu ia, ia kaget atau
girang. Ia mendekati telinganya si anak muda dan berkata
perlahan : "Asal saja kau tidak menyia-nyiakan kakakmu ini,
adik...."
It Hiong terkejut. Ia insyaf bahwa ia telah berbuat
berlebihan terlalu terpengaruhkan rasa hatinya yang polos.
Sebenarnya ia justru hendak menyingkir dari urusan asmara.
"Kakak Whie" ia lekas menyimpangi pembicaraan, "apakah
pendapat kakak ?"
Berkata begitu, ia lekas-lekas menarik pulang tangannya.
"Mari kita pikir bersama !" sahut Hoay giok yang tengah
menyusuti peluhnya. Memangnya ia belum memikir sesuatu.
Tan Hong tertawa. kata ia, "Orang tawanan kita barusan
bisa menghilang. Itulah pertanda bahwa disini mesti ada satu
jalan keluar, sebuah jalan rahasia. Bagaimana kalau kita
mencari berbareng kita maju sambil kita terus berpegangan
tangan ? Mungkin pada dinding ada jalan rahasia itu ! Dan ini
batu koral kita jadikan tanda, apabila kita menemuinya pula,
itu bukti bahwa kita sudah jalan satu putaran. Bukankah baik
kalau kita jalan dahulu disebelah kanan ?"
"Nona benar. "Hoay Giok menyatakan setuju. "Cuma,
apakah tak baik kita jalan berbareng tetapi misah dikiri dan
kanan ? Bukankah itu berarti menghemat waktu ?"


"Aku hanya menguatirkan apabila kita menemuinya jalan
keluar terjaga musuh atau ada pesawat perangkapnya" kata
Nona Tan. "Aku kuatir kalau kita berpisahan selagi ada
ancaman bahaya kita sukar saling tolong. Baik kita jalan
disebelah kanan saja. Aku percaya jalan keluar itu berada
dikanan kita !"
Nona ini melihat tak mungkin jalan rahasia berada di
sebelah kiri.
Diam-diam mengagumi nona itu yang gagah dan cerdas. Ia
tidak berkata apa-apa lagi hanya harus ia membungkuk akan
mengumpuli batu koral agar menjadi tanda yang mudah
dikenali.
"Nah, mari kita mulai" ia mengajak. "Kita ambil jalan
kanan."
Lantas bertiga mereka mulai bekerja, masih sambil merabaraba,
maju dengan perlahan. Sampai sebegitu jauh apa yang
tangan mereka sentuh adalah batu atau batu karang yang
keras-keras. Belum ada sesuatu yang membuat mereka
curiga. Maka mereka maju terus dengan sabar.
Mungkin sudah melampaui selama satu jam atau mendadak
It Hiong berseru : "Ah ! Aku telah menemukannya !"
Tan Hong sudah lantas menyalakan sumbunya dan Hoay
Giok dengan tangan bajunya mengalinginya ! Sama-sama
mereka memasang mata ke arah tangannya si anak muda
yang bersuara itu.
Pada dinding itu terdapat beberapa buah batu besar, yang
diatur mirip gigi anjing yang merupakan sebuah lubang yang


besarnya cukup buat tubuh seorang. Terang itulah batu
buatan manusia.
It Hiong menyambuti api dari tangannya Tan Hong.
"Nanti aku yang merayap masuk !" katanya. "Kalian
menantikan pertanda dari aku, baru kalian menyusul !"
Tan Hong dan Hoay Giok bersiap menantikan.
Dilain saat, begitu mereka sudah melintasi jalan rahasia itu
hingga mereka menghadapi pula sebuah lembah lainnya.
Mulai lembah-lembah belasan tombak dan penuh dengan
rumput tinggi-tinggi. Teranglah itu sebuah lembah yang sudah
bertahun-tahun jarang di sana manusia.
It Hiong menyingkap rumput tebal itu, sampai ia
menemukan sebuah jalan yang tak berumput dimana terdapat
banyak tapak kaki orang. Sembari tertawa dan menunjuk
jalanan itu, ia kata kepada kedua kawannya "Lihat !
Bagaimana cerdiknya kawanan Losat Bun ! Bukankah kita tak
usah takut ? Mari kita ikuti jalan ini !"
Pemuda ini maju dengan diikuti kedua kawannya. Lewat
sejauh empat puluh tombak, tiba-tiba mereka mendengar
bentakan : "Anak-anak bernyali besar yang sembrono ! Kalian
pendamlah tulang-tulang kalian di lembah Holouw Kok ini ! Ha
ha ha !"
Nyata itulah Lembah Buli-buli atau Holouw Kok, seperti
bentakan itu.
Menyusul itu sebatang panah api menyambar ke dasar
lembah mengenai rumput terus menyala dan apinya lantas


merembet perlahan, mendekati ke belakang It Hiong bertiga.
Api itu pun menutup mulut lemah.
Dengan menyalanya api, lembah bisa tertampak jelas mirip
siang hari. Dasar lembah itu makin lama makin lebar dan
dalam seratus tombak lebih, macamnya mirip dengan buli-buli
(ho louw), penuh rumput, tiada pohonnya. Disekitarnya tidak
ada jalanan, jadi itulah lembah mati....
Makin lama api merembet makin mendekati. Banyak tikus
dan ular lari serabutan sebab panasnya hawa api.
Tan Hong berpengalaman, tetapi toh ia jeri, sendirinya ia
menyender pada It Hiong.
"Bagaimana sekarang, adik ?" tanyanya.
"Celaka !" berseru Hoay Giok sebelum It Hiong menjawab si
nna. "Hai begini mengancam, jalan tidak ada---Bukankah ini
berarti kita terancam kematian ?"
It Hiong mengangkat kepalanya, dia bersiul nyaring, hingga
dia mirip harimau menderung. Kumandangnya itu bagaikan
menggetarkan seluruh lembah, mengalunnya lama.
"Seorang laki-laki sejati, mati atau hidup itulah takdir !"
berkata dia, gagah dan sungguh-sungguh. "Dihadapan lawan,
tak dapat kita menunjuk kelemahan ! Biarnya api hebat, belum
tentu dia mengancam jiwa kita. Selama kita masih bernapas,
kita mempunyai harapan ! Mari tenangkan diri, untuk kita
dapat berpikir !"
Habis berkata, pemuda ini menjatuhkan diri, untuk duduk
numprah, matanya mengawai api.


Ia seperti tak menghadapi bencana apa jua, saking
tenangnya.
Tan Hong dan Hoay Giok mendapat emposan semangat,
lantas mereka turut duduk berdiam seperti kawannya yang
gagah berani itu, terus mereka mengasah otak mereka.
Selama itu, mereka tidak mendengar suara bentakan orang
tadi. Cuma suara api yang membakar rumput, terdengarnya
meretak dan terus mendatangi makim lama makin dekat
sampai lagi hampir lima tombak jauhnya hingga bisa
dimengerti apabila hawa panasnya mulai terasa ketiga muda
mudi itu.
Tan Hong dapat berduduk dengan tenang. Dia tak takut
mati bahkan dia senang berada bersama It Hiong kepada
siapa didalam hatinya dia telah menyerahkan seluruh tubuh
nyawanya. Dia memejamkan mata. Dia percaya habis pada si
anak muda. Disamping berdiam diapun berpikir keras mencari
daya.
Hoay Giok terganggu hawa api, hatinya menjadi tidak
tenteram. Ia membuka matanya melirik It Hiong dan Tan
Hong. Ia mendapati orang berduduk tak bergeming maka
iapun mencoba menentramkan hatinya itu.
Api merembet terus, sekarang tinggal lagi kira tiga tombak
dan hawanya sudah terasa panas bukan main. Tepat itu waktu
It Hiong berjingkrak bangun.
"Kalian turut aku !" serunya. Dan terus ia membuka
langkahnya.
Tan Hong berlompat bangun, juga Hoay Giok. Tanpa
menanya mereka lantas mengikut berjalan pergi.


It Hiong berlari-lari ke tempat kemana api jauh belum
sampai sejauh sepuluh tombak. Disitulah dia berhenti.
"Disini kita melepas api !" berkata dia.
"Inilah buat mempercepat habisnya rumput ini !" Dan terus
ia bekerja. Rumput di dekatnya dibakar setelah itu dia
membuat beberapa gulungan rumput buat menyulut itu buat
dipakai membakar dilain-lain bagian. Habis itu ia menyingkir
ke tempat dimana tidak ada api.
Tan Hong menurut buat ia bekerja seperti si anak muda
walaupun ia belum mengerti jelas akan maksud orang.
Tinggallah Hoay Giok yang berdiri menjublak saking heran....
Ia melihat It Hiong dan Tan Hong melakukan pentebaran
melintangi lembah itu membuat api menuju ke arah dasar
atau tengah-tengahnya lembah.
Segera juga ketiga orang itu berdiri diam ditempat yang
bagian depan dan belakangnya penuh dengan api berkobarkobar,
jauhnya api sekira sepuluh tombak.
Hoay Giok jeri menyaksikan api mengancam akan
menembus mereka. "Sute", akhirnya dia tanya adik
seperguruannya itu, " kita melepas api ini buat menolong atau
membunuh diri ? Kakakmu ini masih belum mengerti
maksudmu."
It Hiong tertawa lebar. "Jangan kuatir suheng !" sahutnya
sambil bersenyum. Inilah daya untuk menyelamatkan diri
sendiri ! Jika kita bertiga tidak dapat memikir jalan keluar dari
lembah ini, maka kita bertiga bakal mati tertambun disini !"


Justru pemuda ini menjawab kakak seperguruannya, justru
pikirannya Tan Hong terbuka, hingga ia dapat menangkap
mukanya It Hiong. Dengan lantas ia pun tertawa. Bahkan ia
segera berkata : "Oh, adik Hiong yang baik ! Sungguh kau
cerdas ! Di saat menghadapi bahaya kematian seperti ini kau
dapat menggunakan otakmu begini sempurna !"
Hoay Giok mendelong. Dia tetap bingung. "Bukankah kita
lagi menghadapi lantas apa ?" katanya. "Bukankah masih ada
soal kita akan dapat lolos atau tidak ? Kenapa kau berkata
begini, nona ? Aku minta sukalah kau memberikan penjelasan
!"
Tan Hong bersenyum mengawasi It Hiong. "Adik Hiong,
tolong kau jelaskan kepada kakak Whie tentang ilmu
hitunganmu itu !" kata dia.
It Hiong mengangguk. "Inilah soal mudah suheng, "kata dia
pada Hoay Giok. "Cuma baru-baru saja ancaman api membuat
kita bingung hingga pikiran kita menjadi tertutup rapat. Kita
terancam api, habis dimana kita harus menaruh kaki kita di
tempat yang aman ? Tak ada jalan lain daripada kitapun
membakar rumput ini, guna mempercepat musnahnya rumput
disekitar kita. Dimana tidak ada rumput disitu tidak ada api
atau api akan padam sendirinya. Lihat di sana itu, tempat
mulainya api ! Bukankah setibanya ditempat tidak ada rumput,
api lantas berhenti dan mati sebab dia tak dapat merambar
lebih jauh ? Kesana kita pergi ! Mari !"
Dan si anak muda bertindak jalan sambil tertawa.
Hoay Giok mendelong setibanya ia ditempat tidak ada api
sebab rumputnya sudah padam dan hawa panas api pun
lenyap. Baru sekarang ia mengerti. Sebaliknya, api yang
dilepas si anak muda masih merambat terus ke tengah atau


dasarnya lembah itu, menghabiskan tempat yang
dilandanya....
Sementara itu dengan selewatnya sang waktu, fajar mulai
tiba. Perlahan-lahan tampak udara terang. Kalau tadi It Hiong
bertiga mengandalkan sinar api untuk melihat tegas ke
sekitarnya, sekarang mereka ditolong matahari. Lantas
mereka bertindak ke mulut lembah. Di sana dinding tinggi
seratus tombak ! Mana mereka dapat memanjatnya ? Maka
mereka jalan kembali.
Sekarang ini mereka pikirkan soal jalan keluar. Mereka baru
berhenti bertindak selekasnya It Hiong melihat tumpukan batu
yang tadi malam ia buat ! Tanpa merasa ia tertawa sendirinya.
Tan Hong sebaliknya melihat ke sekitarnya, ia memasang
mata tajam. Jauh lima tombak dari tumpukan batu itu tampak
sebuah batu besar mirip daun pintu nempel pada dinding.
Pintu itu tak terlihat tadi malam selagi mereka terbenam
dalam kegelapan. dengan berlompatan, ia menghampiri batu
mirip pintu itu, bahkan dengan kedua tangannya, ia lantas
menolak dengan keras.
"Plak !"
Demikian terdengar suara pada pintu itu hingga percikan
batu dan hancurannya berterbangan, tetapi pintunya sendiri
tidak bergeming.
Hoay Giok nampak heran. "Mungkin inilah jalan keluar !"
berkata dia. "Sute, apakah yang kau lihat ?"
It Hiong mengawasi tajam. Tidak ada sesuatu yang
mendatangkan rasa curiganya. Maka ia mengawasi terus. Dari
pintu dan semua pinggirannya ia memasang mata terus ke


sekitarnya. Dua kaki dari pintu itu ada sebuah batu yang mirip
tanduk kambing tergantung pada tembok dinding itu tingginya
kira sebatas pundak. Ia lantas menghampiri batu itu, terus ia
memegangnya dan memutarnya menarik ke kiri dan kanan.
Mendadak saja terdengar suara nyaring, tahu-tahu daun
pintu batu itu telah terbuka sendirinya hingga diambang pintu
itu nampak sebuah jalan.
Hoay Giok bersorak tertawa sambil bertepuk tangan.
"Dasar orang baik dilindungi Thian !" serunya. "Siapa
sangka mudah saja kita menemui jalan keluar."
Tan Hong pun bergirang, ia bersenyum melirik si anak
muda.
It Hiong lantas bertindak ke pintu buat memasukinya.
Hoay Giok dan Tan Hong mengikuti.
Pintu rahasia itu memimpin mereka ke sebuah tempat
terbuka yang berupa seperti punggung gunung. Dari situ
mereka dapat memandang ke sekitarnya, semua puncak atau
rentetan pegunungan yang penuh dengan pepohonan. Di
waktu pagi, sang angin mendatangkan rasa nyaman. Di kaki
puncak yang tertinggi di tempat yang rata terlihat segunduk
bangunan yang gentingnya memberi cahaya kilau keemasan.
"Mungkin itu sarangnya Losat Bun !" berkata Tan Hong
sambil menunjuk. "Baik kita beristirahat dahulu disini, baru
kita hampiri mereka. Setujukah kau ?"
Dua-dua It Hiong dan hoay Giok setuju. Memang setelah si
nona bicara, mereka seperti mendadak saja merasa letih.


Mereka tidak tidur semalam suntuk, mereka habis berjalan
jauh dan berpikir keras. Jalan jauh sebab mereka berputaran
disitu-situ juga !
Lantas ketiganya duduk untuk mengisi perut dengan
rangsum kering, habis mana mereka berdiam bersemedhi.
Di dalam waktu satu jam It Hiong telah mengembalikan
seluruh tenaganya luar dan dalam hingga ia menjadi segar
sekali, sehat lahir dan bathin. Ketika ia berbangkit bangun,
Tan Hong dan Hoay Giok masih terus duduk mematung. Ia
tidak mau menganggu mereka itu, ia hanya berdiri sambil
mengawasi ke sekitarnya. Secara demikian, ia pun secara
diam-diam tengah melindungi kedua kawan itu.
Mereka berada di tempat terbuka, tidaklah heran kalau
lewat lagi sekian lama mereka kena dipergoki orang Losat Bun
yang lagi tugas meronda, maka atas seruan dia lantas muncul
serombongan kawannya yang berseragam diantara siapa
orang yang menjadi pemimpin adalah orang usia setengah
tua, jubahnya panjang, pinggangnya dilibat sabuk. Dia
bermuka putih dan bersih hingga dia tampak seperti seorang
pelajar. Cuma sepasang matanya tajam dan bersinar mirip
mata tikus serta kopiahnya yang membuatnya mirip seperti
sastrawan. Kopiahnya kopiah kembang juga kopiah seragam.
Dialah Cian Pek Longkun Sutouw Kit si Sastrawan Seribu
Lengan. Di belakang dia terlihat Cia Cu Koan Im Lou Hong Hui
karena merekalah sepasang suami istri yang menjadi anggotaanggotanya
dari Losat Bun Hong Hui adalah yang
menganjurkan suaminya menempur ketiga musuh itu yang dia
benci sebab dia dikalahkan mereka itu.
Beda daripada istrinya itu Sutouw Kit bertabiat tinggi, suka
mengungguli diri. Dia pula sangat cerdik dan licik. Kalau dia


mencelakai orang, dia ingin berbareng memperoleh sama
karenanya.
Demikianlah sebabnya kecuali melepas api di Poan Coa
Kok, dia seperti membiarkan orang dari malam sampai pagi itu
sampai orang terpergok perondanya. Dia tidak menyangka
orang tak mati terbakar sedangkan tadinya dia sudah
kegirangan siang siang dan percaya orang akan mati semua
hangus menjadi abu.
Sutouw Kit mengawasi ketiga orang itu. Nampak tegas dia
heran.
"Hai, manusia bau !" dia membentak selekasnya dia datang
dekat, "kamu sudah tidak mampus terbakar, bukannya kamu
kabur untuk menolong jiwa kamu, kenapa kamu masih
berdiam disini ? Mau apakah kamu, mempunyai berapa
banyak batok kepala ?"
It Hiong tidak menjadi gusar walaupun orang bersikap
galak itu. Ia malah memberi hormat seraya berkata sabar,
"Tuan, partaimu dan aku yang rendah tidak bermusuh, kenapa
sekalipun sekarang kita baru bertemu, tuan telah menjadi
begini bergusar ? Aku harap tuan dapat ketahui bahwa kami
datang kemari adalah karena mentaati janjinya Kui Cie Hoan
Keng Su, guna kami ialah dia dan aku membereskan urusan
kami. Aku percaya tuan adalah yang menjadi cianpwe kaum
Kang Ouw,maka itu kenapa dengan tiba-tiba saja tuan
mencampuri urusanku dengan Keng Su ?"
Hoay Giok dan Tan Hong terasadarkan karena suara keras
dari Sutouw Kit, mereka membuka mata dan melihat tibanya
musuh, dengan lantas mereka menghampiri It Hiong bersiap
sedia untuk turun tangan.


Wajahnya Sutouw Kit berubah selekasnya dia mendengar
suara halus dari si anak muda. Ia pun telah diangkat menjadi
cianpwe, orang dari angkatan tua. Itulah suatu kehormatan
untuknya.
"Kau bicara manis, anak" katanya tertawa. "Ya, katakatamu
beralasan juga. Cuma tahukah kau aturan kami disini
? Siapa lancang masuk ke tempat kami hukumannya ialah
hukuman tanpa ampun lagi ! Kamu sudah memasuki Lok Han
Kok dan sekarang Poan Bon Kok, dua lembah, jika aku Sutouw
Kit tidak menjalankan aturan kami itu, mana dapat aku
memberikan pertanggungan jawabku ?"
Diam-diam It Hiong bergirang. Telah ia dengan akalnya
mengangkat orang memakai topi tinggi-tinggi. Maka lagi ia
memberi hormat dan berkata hormat seperti tadi : "Kita kaum
rimba persilaran, yang kita utamakan ialah kepercayaan dan
hormat menghormati, dapat kita membedakan budi dari
perasaan, terutama harus kita bedakan permusuhan lama dan
permusuhan baru, supaya dua-duanya itu dapat diputuskan
pada waktu gilirannya. Karena itu aku yang rendah, aku minta
supaya aku dapat membereskan dahulu perhitunganku
dengan Keng Su, supaya aku dapat menolong Paman Beng
kami. Habis itu, cianpwe, apa juga yang kau kehendaki,
bersedia kau mengiringinya !"
Lou Hong Hui panas hati. Dia menyela, "Sakit hati di Lok
Hun Kok kemarin tak dapat aku lepaskan ! Maka itu, budak,
apakah katamu ?" Dia lantas menuding Tan Hong, matanya
mendelik bengis.
Tan Hong berpengalaman. Ia dapat menerka kenapa It
Hiong bersikap demikian merendah. Karena itu, tak suka ia
menyambut kegalakan Hong Hui dengan kekerasan.
Sebaliknya, ia lantas tertawa.


"Harap kau tidak keliru mengerti, Lou Tongcu" ia berkata
hormat. "Apa yang terjadi di Lok Hun Kok itu adalah tongcu
yang memberi pengajaran padaku, bukannya tongcu keliru
menangkis, tetapi kalau tongcu masih merasa kurang puas,
baiklah, aku bersedia menghaturkan maafku ! Nah, kakak,
terimalah hormatnya adikmu !"
Tepat seperti gerak geriknya It Hiong, Tan Hong memberi
hormat kepada wanita jago Losat Bun itu.
Hung Hui berdiam. Dia memang suka diangkat
sebagaimana suaminya.
It Hiong puas melihat suasana itu. Ia maju satu tindak
terus ia memberi hormat pula pada suami istri itu seraya ia
berkata : "Sekarang ini aku yang rendah mohon diberi ketika,
akan menghadap kepada ketua kalian untuk memohon
petunjuknya, dengan cara bagaimana urusan dengan Keng Su
dapat diputuskan. Bagaimana kalau aku minta perantara
kedua tongcu ? Adat itu terlebih dahulu aku mengucap banyak
banyak terima kasih !"
Di mulut It Hiong berkata hormat tetapi dalam perbuatan
dia bertindak menurut rencananya sendiri ialah tanpa menanti
jawaban kedua tongcu itu, terus ia bertindak maju, perbuatan
mana diturut oleh Tan Hong dan Hoay Giok.
Tanpa merasa Sutouw Kit tertawa, terus ia memberi isyarat
kepada rombongannya itu membuka jalan bagi ketiga tetamu
yang tak diundang itu. Hingga It Hiong bertiga bisa maju
tanpa rintangan bahkan mereka lantas mempercepat jalan
mereka.


Habis melewati sekelompok rimba, It Hiong tiba di depan
pintu gerbang dari sebuah bangunan yang tinggi dan besar
yang tadi mereka lihat dari jauh. Di muka tangga tampak
penjagaan delapan anggota berseragam dari Losat Bun,
pemimpin siapa tadi It Hiong menyebutnya "ketua".
Sebenarnya ketua Losat Bun itu adalah kauwcu semacam raja
agama. Para penjaga itu mengenakan kopiah dan pakaian
seragam dan pinggangnya masing-masing tergantungkan
sebuah golok partainya yang seragam juga.
Di atas pintu gerbang tedapat tiga huruf besar : "Lo Sat
Bun". Tembok berwarna merah, jubahnya putih. Halaman luar
itu luas. Di kiri dan kanannya terpancang bendera partai yang
berkibaran diantara setinggi empat tombak.
Dilihat sekilar, tempat itu mirip markasnya seorang jendral !
It Hiong bertiga lantas bertindak ditangga batu itu. Dia
lantas disusul Sutouw Kit yang terus menitahkan ketiga
tetamunya berhenti untuk menanti disitu, katanya dia hendak
melaporkan dahulu dan harus menanti kesudahannya laporan
itu. Habis berkata dia segera bertindak masuk dengan cepat.
Hoay Giok heran terhadap apa yang dia lihat itu, kata dia :
"Pernah aku menyaksikan ini dalam kaum Kang Ouw tapi juga
cara Ay Lao San ini adalah suatu yang baru untukku !"
"Partai sesat dan orang-orangnya semuanya memang beda
daripada partai dan orang yang kebanyakan" berkata Tan
Hong. "Mereka semua bersikap aneh, karena itu perlu guna
mengelabui mata orang banyak ! Karena itu kakak Whie,
janganlah kau heran. Yang terang ialah kita harus waspada
sebab aku percaya sebentar kita akan mengalami suatu
pertumpahan darah !"


"Tetapi kita harus sabar !" It Hiong turut bicara. "Kita
datang kemari buat membantu paman Beng, jadi tak usah kita
bertempur selekasnya kita melihat orang. Jangan kita
menanam bibit permusuhan dengan kaum sesat !"
Tan Hong dan Hoay Giok mengangguk.
Ketika itu muncullah seorang kacung yang berseragam
juga. Dia menggapai pada It Hiong dan kata : "Tetamu she
Tio, silahkan masuk !"
Itu pun cara mempersilahkan tamu-tamu yang beda sekali
dengan caranya kaum Kang Ouw di Tionggoan. It Hiong tidak
mengatakan apa-apa dengan tangan kanan dipegangnya Keng
Hong Kiam, dia bertindak maju dengan sikapnya yang gagah.
Tan Hong dan Hoay Giok mengintil di belakang kawan itu.
Selewatnya pintu gerbang tiba sudah mereka disebuah
halaman berlantai bata, di kiri dan kanannya adalah beranda
didalam mana terdapat ukiran dari dewa-dewa atau malaikatmalaikat
yang aneh macamnya. Ada wanita, ada pria, ada
juga pelbagai macam binatang. Bahkan ada ukiran orang
tanpa pakaian !
Di muka Toa tian yaitu pendopo besar terdapat patung
kayu yang tinggi dan besar, tubuhnya tubuh manusia,
kepalanya binatang, rambutnya merah dan riap-riapan
mukanya biru, matanya tajam seperti mata singa, sedangkan
mulutnya merah seperti darah. Di kedua gigi mulutnya tumbuh
gigi yang merupakan caling yang tajam. Sebagai penutup
tubuh adalah jubah suci kaum agama Tao dan kakinya
telanjang. Pada tangan dan kaki terdapat gelang emas.
Mengawasi patung aneh itu, orang heran dan siapa yang
nyalinya kecil hatinya bisa menjadi ciut.


Di bawah patung aneh itu terdapat dua buah meja terbuat
dari kayu semacam pohon aren. Di atas meja tidak ada tempat
abu atau cipok, cuma ada sebuah para dari kayu yang panah
tertancap lengkie yaitu bendera-bendera kecil pertanda
pelbagai perintah. Disamping para-para bendera itu terdapat
sebuah tempat air dingin dimana tampak sebilah pisau belati
yang tajam mengkilat.
Ditengah-tengah pendopo ada sebuah kursi emas, diatas
kursi itu duduk bercokol seorang wanita tua yang rambutnya
sudah putih, semua mukanya keriputan, tangannya
memegang sebuah seruling hitam mengkilat. Di belakang kursi
kebesaran itu berdiri enam orang nona, pakaiannya
berkembang seragam, kepalanya ditutup kain penutup
berkembang juga hingga ke dahinya. Rambut mereka juga
riap-riapan. Selagi senjata dipinggang mereka terdapat
goloknya masing-masing.
Di kiri dan kanan terdapat lima buah kursi, dua di kanan,
tiga di kiri. Dua kursi di kanan yang serupa perlengkapannya,
kosong, tidak ada yang duduk. Adalah yang dikiri diduduki
oleh Sutouw Kit, Lou Hong Hui dan Keng Su.
Kacung tadi memimpin ketiga tetamunya sampai dipendopo
besar itu, sembari membungkuk. Ia kata pada si nyonya tua :
"Melaporkan kepada Kauwcu, para tetamu sudah tiba !" Habis
itu dia mundur dengan hormat.
It Hiong baru saja hendak memberi hormat atau dia
didahului wanita tua dan keriputan itu yang berkata keras :
"Bocah she Tio tak usah kau bawa lagak hormatmu ! Tentang
maksud kedatanganmu, aku si wanita tua sudah mendapat
tahu dari muridku, jadi tak usah kau bicara banyak lagi !
Hanya sekarang kau harus turut agama kami, kau harus


menusuk diri mengeluarkan darahmu buat menghormati
Couwsu kami, setelah itu baru kita bertindak buat
membereskan perhitungan !"
It Hiong tidak menjawab atau mengutarakan sesuatu. Ia
hanya berkata dengan sungguh-sungguh. "Sekarang ini
dimana adanya Tin Pet Hong Kee Eng yang menjadi pamanku
? Aku minta diberitahukan."
"Tutup mulut !" bentak si nenek gusar.
Tan Hong segera maju dan tindak untuk menghadang di
depannya It Hiong. Ia tidak menanti anak muda ini sempat
bertindak.
"Kwie Tiok Giam Po Ciok Kauwcu !"kata ia. "Kenalkah kau
akan Tan Hong dari Hek Keng To ?"
Nona itu tahu aturan Losat Bun yang aneh-aneh, maka
juga langsung ia memanggil orang dengan sebutan "kauwcu".
Matanya Kwik Tiok Giam Po lantas mengawasi si nona.
Mata itu bersinar sangat dingin. Ia tidak lantas menjawab
hanya balik bertanya : "Terhadap Beng Leng Cinjin,
bagaimanakah kau membahasanya ?"
"Dialah Toasuheng ku !" sahut Tan Hong singkat. Toa
suheng ialah kakak seperguruan kesatu.
"Kau telah datang ke tempat kami ini dengan siapakah kau
bersangkut paut ?" tanya pula si nenek.
"Yang utama ialah akan menanyakan kesehatan dari Ciok
Kauwcu !"


Nenek itu membuka matanya, kembali mata bersinar tajam.
"Hai budak setan !" mendadak dia membentak. "Bagaimana
kau berani mendusta terhadap aku si orang tua ? Jika aku
tidak memandang muka kakak seperguruanmu itu, pasti
sudah akan mengalir lidahmu yang tajam. Lekas bicara terus
terang !"
Maka si nenek yang julukannya itu Kwie Tiok Giam Po
berarti si Nyonya Giam Bang si Bajingan nampak menjadi
sangat bengis seperti suaranya pun keren sekali. Tetapi Tan
Hong tidak jeri. Mulanya si nona terperanjat parasnya sampai
berubah, hanya sedetik dia mendapat pulang ketenangannya.
Bahkan dia tertawa.
"Jangan salah paham, Ciok Kauwcu !" katanya seenaknya
saja. "Dengan sebenarnya selainnya menunjukkan kesehatan
kauwcu, masih ada dua buah soalku, dua rupa permintaan !"
Matanya Kwie Tiok Giam Po dikasihh turun. Ia tidak
sebengis semula.
"Apa yang kau pikir hendak minta itu ?" tanyanya.
Tan Hong memberikan jawaban cepat dan langsung.
"Permintaan kesatu" demikian sahutnya. "Inilah supaya
Beng Kee Eng dibebaskan !" Ia hening sejenak akan melihat
sikap orang. Lantas ia meneruskan, "yang kedua ialah soal
upacara memuja Couwsu kalian yang diharuskan kepada adik
Hiong ku ini, dalam hal mana adik Hiong mengeluarkan
darahnya ! Aku minta supaya dia dibebaskan !"
Mendengar itu si nenek tertawa. Itulah tawanya yang
sangat jarang orang dengar.


"Hai budak setan, kau sangat cerdik !" katanya. "Kau
membuat aku si orang tua sangat menyukaimu ! Sekarang
soal kedua permintaanmu itu ! Dan soal itu bergantung
kepada kepandaian kalian !"
It Hiong tak sudi mendengari lebih lama pula
pembicaraannya dua orang itu. Dengan suara nyaring ia kata :
"Aku memohon keadilan Kauwcu ! Inilah dalam perkaranya
pamanku Beng Kee Eng yang telah ditawan dan dikurung di
Kiu ci Hui Hoan Keng Sa !"
Nenek itu tidak menjawab hanya ia mengibasi tangannya
ke belakang atas mana salah seorang pengiringnya si nona
berseragam baju berkembang maju kemeja suci untuk
menjemput sebatang lengkie yang terus ia bawa ke depan
kursinya. Mulanya ia menjura dalam setelah berdiri pula
dengan tegak, ia memutar tubuhnya seraya terus berkata
nyaring : "To cu Keng Su, terimalah lengkie ini ! Lantas kau
boleh membereskan perselisihanmu dengan tamu she Tio ini
!"
Keng Su sudah lantas berbangkit untuk berkata terang dan
tegas : "Hambamu ini bukanlah lawannya bocah ini, karena itu
hambamu ini mohon belas kasihan Kauwcu atas cacatnya
tubuhku supaya tugas itu diserahkan kepada lain orang saja !"
"Keng Su !" berkata si raja agama heran. "Musuhmu ini
kaulah yang mengundang dan menjanjikan maka sudah
selayaknya kalulah yang menyambut dia buat membereskan
perhitungan kalian. Couwsu sudah mengeluarkan perintahnya,
apakah kau benar demikian berayal buat berani menolaknya ?
Jika kau tidak dapat merobohkan lawanmu, aku si wanita tua
dapat membalaskan sakit hatimu ! Nah, pergilah kau mati
dengan hatimu tenang !"


Mendengar penolakan ketuanya itu muka Keng Su menjadi
pucat, sembari tunduk, ia menyambuti lengkie dari tangannya
hamba wanita itu, kemudian dengan mengangkat kaki
palsunya dengan memperdengarkan suara nyaring, dia maju
melompat berjingkrakan ke halaman di muka tangga.
It Hiong melihat gerak geriknya Keng Su, lantas ia nyaring
berkata kepada ketua dari Losat Bun, "Dalam hal urusanku ini
aku yang rendah telah membuat rencanaku ! Jika aku Tio It
Hiong kalah akan kupatahkan pedangku ! Jika apa untung aku
yang menang, aku minta supaya Paman Beng segera
dibebaskan. Bagaimana kauwcu ? Aku minta kau memberikan
persetujuanmu!"
Kwie Tiok Giam Po menjawab dengan cepat : "Baik, aku
terima kehendakmu ini ! Sudah jangan banyak bicara lagi !"
Mendengar suara itu It Hiong segera memutar tubuhnya,
hendak ia pergi menghadapi Keng Su atau ia melihat satu
bayangan berkelebat disusul dengan suara beradunya senjata
tajam yang nyaring sekali !
Apakah yang telah terjadi ?
Itulah karena Whie Hoay Giok telah mendahului turun
tangan.
Ketika Keng Su pergi ke halaman muka itu, dia sudah
lantas mengeluarkan senjatanya. Itulah Tiat pit atau pit besi
dan Hoay Giok segera mengenali senjata istimewa dari
gurunya, hingga habislah sabarnya sedetik itu, terus saja dia
melompat maju dan menyerang kepalanya Kiu Cio Hot Hoan !


Lengan kanan dan kaki kiri dari Keng Su telah ditebas
kutung oleh It Hiong ketika terjadi pertempuran di kaslor
sewaktu di Haphui, dia telah mengganti itu dengan besi
hingga dia mempunyai lengan dan kaki besi. Dengan
pergantian itu maka kelincahannya berkurang, tetapi ilmu
silatnya tetap lihai. Bahkan dibanding dengan Hoay Giok, dia
terlebih lihai satu tingkat, tetapi dalam gusarnya si anak muda
lupa segala apa.
Girangnya Keng Su melihat orang berlompat kepadanya.
Dia memang benci anak muda itu, hingga dia berkeinginan
membinasakannya buat melampiaskan penasarannya.
Demikian ketika dia diserang dengan golok dia mengangkat
tiat pit kanan dengan apa dia menangkis dengan keras,
berbareng dengan itu, tiat pit kirinya dibarengi diluncurkan ke
dada orang ! Kalau dengan tangan kanan dia menggunakan
jurus silat "Membakar langit Memberaikan mata" dengan
tangan kirinya dia memakai jurus "Langsung Menyerbu Istana
Naga Kuning". Dia bersikap telengas, ini karena dia percaya
sangat akan ketangguhannya.
Hoay Giok sedang sangat bergusar ketika ia menyerang
secara mendadak itu, toh ia terkejut waktu ia mendapatkan
sambutan demikian keras hingga tangannya menggetar dan
terasakan nyeri. Tapi yang membuatnya lebih kaget ialah
waktu ia merasai sambaran angin dan melihat senjata lawan
yang kiri mengarah dadanya, dengan gugup ia terpaksa
menggunakan goloknya melakukan penangkisan. Hingga
dengan susah payah bisa juga ia menyelamatkan dirinya. Ia
lantas mundur lima tindak !
Keng Su tidak mau mengerti, sudah penasaran ia pun
diserang terlebih dahulu. Maka ia lantas berlompat maju
membalas menyerang !


Hoay Giok juga penasaran, ia menyambut serangan itu,
dengan demikian, keduanya jadi bertarung seru. Ia tahu ia
kalah lihai tetapi ia nekad. Ia keluarkan dua-dua
kepandaiannya, ilmu golok Lohan To dibantu dengan ilmu
tangan kosong Lohan Ciang. Maka itu dapat ia bertahan.
Karena pertempuran terjadi secara demikian mendadak,
ketua dari Losat Bun sampai diam saja, begitu juga It Hiong
dan Tan Hong. Kedua pihak bahkan jadi menonton.
Lewat sekian lama kedua pihak masih terus saling
menyerang dengan hebat sekali. Keng Su kecele, sedang
menurut pikirannya dia akan berhasil merobohkan lawan
dalam waktu tiga sampai lima jurus. Karena kecele hatinya
menjadi bertambah panas. Maka tibalah saatnya yang dia
mengeluarkan seluruh tenaganya. Golok disampok tiat pit !
Hoay Giok terkejut. Ia kalah gesit, goloknya kena terhajar.
Hebatnya golok itu terlepas dari cekalan dan terpental !
Keng Su melihat ketika baiknya dia meneruskan menyerang
pula ke arah pampilingan lawan atau dia segera menjadi
kaget. Serangannya itu disambut dengan satu sinar putih
berkelebat, lalu tahu-tahu senjatanya sudah kena
terkutungkan dan di depannya berdiri seorang muda yang
tampan dan gagah.
Itulah It Hiong yang membantu kakak seperguruannya. Ia
datang pada saatnya yang tepat.
Keng Su melengak. Lebih dulu dari pada itu tangkisan si
anak muda membuatnya terkejut dan mundur dua tindak.
Hanya habis melengak ia lantas menunjuki kemarahannya.
Matanya pun sampai bersinar berapi.


"Kau berani melanggar pantangan kaum Kang Ouw
menyelak diantara orang yang lagi berkelahi satu sama satu ?"
tegurnya dingin. Dia pula lantas mengasi keluar joan pian
yaitu ruyung lunaknya.
It Hiong bersenyum.
"Kau menjanjikan tuan kecilmu datang kemari buat
membereskan hutang lama kita !" sahutnya lantang.
"Sekarang aku telah tiba disini, inilah urusan kita ! Sekarang
aku beri ketika kepadamu untuk kau yang mulai menyerang
supaya kalau sebentar kau roboh, kau roboh dengan puas,
kau menerima nasibmu !"
Keng Su sudah siap sedia, joan pian ditangan kiri, hui hoan
gelang terbangnya ditangan kanan. Ia telah membuang tiat pit
rampasan dari Beng Kee Eng. Sebab senjatanya itu tak dapat
dipakai melayani lawannya yang muda ini. Ia pun tidak sudi
banyak omong lagi. Maka ia geraki joan pian dari atas ke
bawah, menyerang kerongkongan si anak muda. Jurus
silatnya ialah yang dinamakan "Ikan terbang melintasi
gelombang."
"Bagus !" berseru It Hiong yang berkelit ke samping, untuk
meneruskan membalas membacok pedangnya naik ke atas
terus turun ke bawah mengarah batok kepala lawan itu ! Ia
cuma berkelit setengah tindak membebaskan diri dari senjata
lawan itu.
Keng Su melihat ancaman bahaya, ia mundur dua tindak.
It Hiong tak sudi memberi ketika lagi pada lawannya begitu
orang mudur, begitu ia merangsak. Ia lantas menggunakan
ilmu silat pedang Khie bun Pat Kwa Kiam.


Keng Su mempunyai pengalaman dari tiga puluh tahun,
sekarang dia keluarkan semua itu. Dia insyaf salah sedikit
saja, jiwanya bisa melayang. Dia bergerak gesit bagaikan naga
sebab dia telah melihat sinar pedang lawan sudah seperti
mengurungnya.
Semua orang Losat Bun menonton dengan prihatin. Ratarata
mereka ngeri menyaksikan bergeraknya pedang lawan
itu.
Keng Su berkelahi sambil berpikir keras. Ia tahu yang pasti
ia menang waktu. Di samping mendesak ia selalu mencari
kesempatan yang baik. Ketika itu tiba lewat beberapa jurus
pula. Disaat datang satu bacokan yang sangat hebat, ia lantas
berkelit habis itu, ia lantas membalas dengan ruyung
lunaknya. Tapi ia tidak cuma membalas, ia membarengi
menyerang. Hanya ia memakai tangannya yang lain dan
dengan menerbangkan gelang mautnya ! Sekali menimpuk, ia
melepaskan tiga buah gelang yang menyambarnya berupa
benda hitam ! Sasarannya ialah dada, perut dan kaki !
Jilid 22
It Hiong berkelahi dengan keras, tetapi berhati-hati sempat
ia melihat lawan menggerakkan tangan kirinya. Ia dapat
menerka maksud lawan. Tak mau ia berlaku sembarangan.
Lantas ia menjejak tanah dan lompat tinggi dengan ilmu
ringan tubuh Tangga Mega. Satu kali tubuhnya melesat naik,
bebaslah dia dari ancaman gelang maut itu yang semuanya
menyerang kesasaran kosong.
Melihat lawan menggunakan senjata rahasia, hatinya It
Hiong menjadi panas. Kalau ia kurang awas dan terlambat


sedikit saja ia bisa roboh konyol. Maka ia memandang musuh
itu dengan sinar mata menyala, terus dari atas ia melesat
turun dengan gerakan capung menyambar, sedangkan dengan
pedangnya ia menikam kedada lawan dengan tikaman
“Burung Air Mematuk Ikan.”
Semua gerakan itu dilakukan dengan sangat cepat. It Hiong
tahu tak dapat lawan diberi kesempatan menyingkir. Keng Su
sebaliknya melongo ketika mendapatkan hajarannya gagal
semua. Ia mendapatkan tubuh musuh bagaikan lenyap dari
depan matanya. Justru ditengah keheranan itu, serangan
balasan dari si anak muda telah tiba.
Ia kaget sekali, dengan gugup ia menangkis dengan
joanpian!
“Tass!” terdengar satu suara dan putuslah senjata lunak itu
yang tak dapat merintangi pedang, sehingga ujung pedang itu
meluncur terus kedada lawan yang jadi sasaran! Keng Su
mengeluar-kan jerit tertahan, tubuhnya lantas roboh terkulai.
Ia kehilangan jiwa tanpa berdaya lagi.
It Hiong mengawasi tubuh musuh-musuh, terus ia
memasuki pedangnya kedalam sarung. Adalah disaat itu ia
mendengar suara menyambar dari belakangnya. Ia menerka
kepada serangan gelap. Ia berlompat maju satu tindak sambil
terus memutar tubuhnya berbalik ke belakang sambil ia
menolak dengan tangannya. Satu suara nyaring terdengar.
Itulah akibat serangan yang kena terbendung.
Karena hebatnya bentrokan kedua pihak sama-sama
mundur dua tindak!


“Curang!” demikian teriakan nyaring tetapi halus. Itulah
suara Tan Hong yang melompat maju menyerang kepada
pembokongnya si anak muda.
It Hiong segera mengenali penyerangnya itu, ialah Cian Pek
Long kun Sutouw Kit salah seorang tongcu, ketua seksi dari
Losat Bun. Ia menjadi heran, pikirnya: “Kenapa dia main
bokong? Bukankah dia telah berlaku sebagai cianpwe hingga
aku menghargainya?”
Kiranya Sutouw Kit berbuat demikian saking tak tahannya
menyaksikan kebinasaan Keng Su, sesama tongcu. Ia
menganggap kematian itu memalukan Losat Bun, maka
hendak ia mencoba memperbaiki citra partainya.
Iapun merasa jeri menyaksikan ilmu pedang si anak muda
demikian mahir hingga lantas ia memikir untuk membokong
adalah cara yang baik. Tapi Tan Hong melihat orang berbuat
curang, tak dapat si nona mengendalikan diri lagi. Iapun maju
menyerang hingga mereka berdua jadi bergebrak. Dalam
waktu yang pendek, mereka sudah lantas bertarung secara
seru sekali.
“Tahan!” terdengar suaranya Kwie Tiok Giam Po. Seruan itu
tajam bagi siapa yang mendengarnya.
Menyusul itu, tubuhnya Sutow Kit mencelat meninggalkan
kalangan pertempuran untuk kembali kedalam ruangan.
Tan Hong tidak mengejar, dia hanya tertawa dan berkata
kepada It Hiong: “Musuh telah terbinasa, Beng Locianpwe
dapat ditolongi!”
Tapi It Hiong berkata perlahan: “Aku masih menyangsikan
kejujuran pihak Losat Bun ini, aku kuatir mereka


menggunakan akal licik. Karenanya jangan kita dibutakan oleh
kemenangan kita ini. Berhati-hatilah!”
Berkata begitu si anak muda menarik ujung bajunya si
nona untuk kembali kedalam pendopo. Hoay Giok sudah
lantas mengikuti, selekasnya dia memungut goloknya yang
tadi terlepas jatuh.
“Perhitunganku dengan Keng Su sudah dapat diselesaikan,”
berkata si anak muda kepada ketua Losat Bun, “Oleh karena
itu aku minta sudi apalah Kauwcu memenuhi janji dengan
membebaskan Paman Beng! Dapatkah?”
“Kata-katanya Losat Bun tegak bagaikan kiu-teng!”
menjawab sinenek dengan keras dan dingin nadanya. “Mana
dapat aku menghilangi kepercayaanku terhadap kau, bocah
jika kau mempunyai kepandaian, pergilah kau kegua batu di
belakang puncak sana, sambutlah sendiri pamanmu itu!”
It Hiong tidak mau membuang waktu, ia bahkan tanpa
berkata apa-apa lagi, setelah emberi isyarat tangan kepada
Tan Hong dan Hoay Giok, ia mengundurkan diri dari pendopo
besar itu, terus diikuti kedua kawannya. Tapi begitu ia
menindak dianak tangga, tiba-tiba dari belakang ia mendengar
suara nyaring: “Anak she Tio, kau kembalilah!”
Itulah suaranya sinenek. Kontan It Hiong dan dua
kawannya menduga-duga. Entah apa maunya raja agama
Losat Bun tu? Si anak muda menghentikan langkahnya dan
memutar tubuh untuk menghadapi sinenek itu.
“Ada pengajaran apakah dari Kauwcu?”
“Mari, kemari!” berkata sinenek bengis.


“Aku hendak memberitahukan kau satu hal yang ada
kebaikannya untukmu!”
It Hiong bertindak maju, ia mengawasi tajam semua orang
Losat Bun.
“Ada bicara apa, Kauwcu? Silahkan!” katanya singkat.
“Oh, bocah bau!” Lou Hong Hui menyela.
“Kau baru menang sedikit, lantas kau bersikap begini
sombong terhadap ketua kami! Kau kurang ajar!”
Sepasang alisnya sipemuda bangun berdiri, tapi dia
menahan sabar. Ia Cuma mengawasi bengis pada wanita itu
da berkata :
“Kau boleh mengatakan apa yang kau suka, tak sempat aku
melayanimu!”
“Eh, anak she Tio, jangan tergesa-gesa!” sinenek berkata :
“Aku si tua belum habis bicara!” Dia berhenti sebentar
sesudah mana baru dia meneruskan : “Sudah sepatutnya aku
memenuhi janjiku kepadamu! Urusannya Keng Su sudah
beres, tinggal urusanmu sendiri! Kau telah lancang memasuki
tampat kami ini! Kau telah melanggar aturan kami! Tahukah
kau apakah hukumannya buat pelanggaran itu?”
It Hiong gusar, orang hendak mempermainkannya.
“Kauwcu hendak menghukum bagaimana kepadaku?”
tanyanya, “Coba jelaskan!”
Sinenek menatap tajam.


“Siapa lancang memasuki tempat ini, hukumannya ialah
hukuman mati!” Katanya seram. Lagi ia berhenti sejenak.
“Tapi ditanganku si orang tua, suka memberi satu kesempatan
kepadamu supaya kau dapat jalani hidupmu!”
It Hiong terus mengawasi. Tak mau ia segera menjawab.
“Jalan hidup itu,” kata sinenek melanjuti : “Kau harus
meyambut sepuluh jurus dari masing-masing tongcu kami.
Habis itu kau mesti mendengar sebuah lagu dari tanganku
yang kuberi nama BIE CIN TOAN HUN MENYESATKAN YANG
BENAR DAN MEMUTUSKAN ROH. Sekarang ini tongcu kami
yang nomor satu dan dua kebetulan tidak hadir, sebab mereka
lagi menghadiri rapat pertandingan ilmu pedang digunung Tay
San, hingga sekarang tinggallah tongcu nomor tiga dan nomor
empat, yaitu Satouw tongcu dan Lou tongcu. Hal ini
memudahkan kau, sebab kau hanya harus melayani dua puluh
jurus….”
It Hiong tidak takut, ia suka menerima syarat itu. Maka ia
berkata : “Tio It Hiong mempunyai nyali mendatangi gunung
ini, pasti dia bernyali juga untuk menyambuti jurus-jurus
kamu! Nah, tongcu yang mana yang hendak paling dahulu
menjalankan peraturan kamu, silahkan maju! Jangan kalian
banyak rewel lagi!”
Sutouw Kit gusar sekali.
“Bocah jangan takabur!” bentaknya.
“Tunggu dahulu!” berkata Kwie Tiak Giam Po dingin. “Partai
kami harus mentaati peraturannya, maka itu kamu pergi
dahulu menolong si orang tua she Beng, habis itu barulah
kamu datang kemari untuk menjalankan hukuman! Asal kamu
masih mempunyai jiwa kamu1”


Hoay Giok pun sengit.
“Sute,” katanya pada It Hiong. “Jangan layani mereka
mengoceh! Mari kita lekas-lekas pergi menolong suhu!”
Hoay Giok senantiasa ingat gurunya.
It Hiong merapatkan kedua tangannya.
“Jika kauwcu tidak mempunyai ajaran lainnya, dengan ini
aku yang rendah mohon diri!”
Walaupun dia berkata demikian, It Hiong memutar
tubuhnya dan berlalu tanpa menanti jawaban lagi.
Tan Hong mendelik terhadap Sutouw Kit dan Lou Hong Hui,
setelah itu sambil mengasi suara menghina “Hm!” ia menyusul
si anak muda, maka iapun disusul Hoay Giok.
Sekeluarnya dari pintu gerbang. It Hiong beramai
memperhatikan letak bangunan yang menjadi sarang Losat
Bun itu. Dengan begitu mereka bisa menyaksikan gunung di
belakang gedung itu, yang puncaknya berentet-rentet
terutama puncak utamanya yang tinggi sekali. Dari jauh itu,
mereka cuma melihat sebuah jalan naik. Dari situ, tak
kelihatan gua dimana guru atau paman mereka dikurung.
Sudah sinenek tidak memberi keterangan, merekapun tidak
menanyakan.
Tan Hong mengawasi si adik Hiong itu, “Sudah adik,”
katanya perlahan. “Buat apa kita memutar otak memikirkan
letaknya gua itu? Lihat di muka pintu gerbang itu, bukankah
disitu ada orang? Bukankah mereka adalah petunjuk jalan kita
yang telah tersedia?”


Nona itu memonyongkan mulutnya ke arah beberapa orang
berseragam itu, yang bertugas di muka pintu gerbang.
It Hiong menggeleng kepala.
“Tak dapat.” Katanya keras kepala, tak menyukai
menggunakan kekerasan yang merendahkan martabatnya.
“Itu namanya main paksa-paksa!”
“Kenapa tidak adik” Tanya si nona heran. “Lebih dahulu
dengan hormat kita minta keterangan mereka itu, lalu kalau
mereka menyangkal kita bekuk satu diantaranya1 Musahil
mereka tak takut mati?”
It Hiong memperlihatkan tampang sungguh-sungguh.
“Kakak maafkan, kali ini aku tak dapat menerima baik
saranmu ini!” kata dia. “Dua jalan itu tak akan ada faedahnya,
kalau kita bicara hormat mereka tak akan mempedulikan dan
kalau kita memaksa kita bakal dicela orang! Mustahil kita
bertiga tak mampu mencari gua itu? Mari!”
Pemuda ini terus emutar tubuh, bertindak ke arah belakang
gedung besar itu.
Tan Hong dan Hoay Giok terpaksa mengikuti. Selagi
memutar tubuhnya, si anak muda berkata pada si nona:
“Memang pendapatnya Tio sute mengatasi kita satu tingkat!
Aku sangat mengaguminya! Bagaimana dengan kau, Nona
Tan?”
Selalu pemuda ini memanggil nona kepada pemudi itu.
Tan Hong tesenyum, ia cuma mengangguk tidak
menjawab. It Hiong berjalan terus, ia tidak menghiraukan dua


orang kawannya itu. Sebentar saja ia sudah melalui belasan
tombak. Maka mau tidak mau Tan Hong dan Hoay Giok lari
menyusul!
Selanjutnya mereka berlari-lari. Dalam keuletan, It Hiong
unggul banyak. Itulah karena kasiatnya darah belut. Iapun
menang latihan ilmu ringan tubuh Tangga Mega. Makin lama
ia lari main pesat. Itulah sebab semangatnya, didorong
keinginannya lekas-lekas menyelamatkan pamannya!
Tan Hong menjadi jago dari Hek Keng To, diapun dapat lari
keras, dia mencoba menyusul pemuda yang dicintainya itu.
Tidak demikian halnya dengan Wie Hoay Giok. Dia ini
ketinggalan, meskipun dia sudah termasuk hitungan kelas
satu. Dia mencoba menyusul hingga lekas juga pakaiannya
basah dengan peluhnya. Dimata dia Tan Hong terutama It
Hiong mirip bayangan saja….
Tiga puluh lie sudah dilalui, jalanan makin sukar. Ada
gangguan pohon lebat, pohon berduri dan juga otot-otot
rotan. Jalannya pun berliku.
“Ah…” It Hiong memperdengarkan suaranya. Terus
berhenti bertindak, matanya diarahkan kesekitar.
Tak ada gua yang nampak, yang ada hanya itu batu-batu
karang, rumput dan pohon rotan. Disamping itu gunung sunyi
sekali.
“Apakah aku salah mengambil jalan?” pikir anak muda ini,
“Apakah kaum Losat bun sengaja menipu kita?”
Berpikir begini, anak muda ini menyesal juga telah menolak
sarannya Tan Hong untuk minta keterangan orang-orang


Losat Bun sebagai petunjuk jalan. Sekarang ia jadi
memperlambat pertolongannya.
Selagi pemuda ini berpikir terus, tiba-tiba ia mendengar
suaranya Tan Hong : “Adik Hiong….adik Hiong….adik Hiong!”
suara itu terbawa angin… hingga kadang-kadang terputus.
Hanya melengak sebentar, ia lantas lari balik hingga ia melihat
si nona sedang berdiri diatas sebuah batu besar dan
tangannya menggapai ke arahnya, Diantara tiupan angina
yang santer, tampak rambut hitam nona itu bagaikan
gelombang sutera, sungguh indah dipandang.
Lekas sekali It Hiong telah tiba pada si nona.
“Kakak,” tanyanya segera, “Apakah kakak mendapati
guanya?”
Tan Hong menunjuk ke arah kiri, pada dinding gunung
yang ditutup akar-akar rotan.
“Barusan saja aku melihat satu bayangan manusia
berkelebat di sana.” Sahutnya memberi keterangan. “Ketika
aku menyusul sampai disini, bayangan itu sudah lenyap, Kau
lihat pohon rotan demikian lebat, mungkin mulut gua ketutup
pohon itu…”
It Hiong mengawasi tempat yang ditunjuk itu. Ia juga
menoleh ke belakang kesarangnya sinenek tua. Untuk pergi
ketempat itu ia terpaksa jalan balik….
“Mari!” katanya, lalu dengan terpaksa ia jalan kembali.
Tepat disebuah tikungan, mereka berpapasan dengan Hoay
Giok yang ketinggalan jauh. Kasihan pemuda itu, ia bermandi


peluh dan napasnya memburu keras. Melihat simuda-mudi dia
menjadi heran. Dia lantas melihat dirinya.
“Eh, eh kenapa kalian kembali?” tanyanya Bicara susah.
Tanpa menantikan jawaban dia menjatuhkan diri untuk duduk
menghilangkan lelah.
Tan Hong mengawasi It Hiong.
“Kita membuang-buang waktu…” katanya.
It Hiong sebaliknya mengawasi sang suheng.
“Suheng, apakah kau kurang sehat?” tanyanya. “Dahulu
dilembah Pek Keng Kok kau kuat lari puluhan lie dan bahkan
masih dapat berkelahi dengan musuh tangguh! Kenapa
sekarang kau tampak payah?”
Tan Hong melirik sipemuda, terus dia berkata : “Kau
menggunakan Te In Ciong hingga kau lari bagaikan terbang,
masih kau mengatakan orang lain tak punya guna? Mana
dapat!”
It Hiong mengerti, maka lantas ia tampak jengah.
“Maaf suheng,” katanya sabil memberi hormat kepada Hoay
Giok. “Aku sangat memikirkan Paman Beng sampai aku lari
tanpa kira-kira, hingga aku membuat suHeng Sangat capek…”
Hoay Giok tidak gusar, bahkan ia melompat bangun sambil
tertawa.
Habis istirahat sebentar, ia menjadi segar pula.


“Yang salah ialah aku yang tidak punya guna.” Katanya
kemudian, “Tidak dapat aku menyesalkan kau, bahkan dengan
begini aku jadi dapat menghemat lariku…”
Mau tidak mau It Hiong tersenyum, juga Tan Hong.
“Tapi inilah pengalaman!” berkata si nona. “Sekarang kita
boleh berlari sedikit perlahan. Kita ambil jalan disisi dinding itu
untuk pergi kedinding karang di sana yang mungkin ada
lobang guanya…”
Hoay Giok heran.
“Kalian belum mendapatkan gua itu?”
“Belum,” sahut It Hiong, sedangkan Tan Hong menuturkan
perihal bayangan yang dilihatnya
“Kalau begitu, pastilah itu sebuah gua yang dirahasiakan…”
kata Hoay Giok.
Bertiga mereka berjalan bersama. Mereka mesti jalan
perlahan. Sesudah melalui kira-kira lima puluh tombak sampai
juga mereka dikaki dinding itu, yang dibawahnya terdapat
sumber air.
“Tadi aku melihat bayangan orang di sana.” Tan Hong
memberitahukan sambil menunuk tempat orang melenyapkan
diri. “Karena jaraknya masih sangat jauh, sukar aku melihat
dia tegas-tegas.”
It Hiong memperhatikan tempat yang ditunjuk itu juga
keatasnya. Dinding tinggi cuma ada akar rotan dan pohonpohon
kecil. Sumber air muncrat dari dinding, airnya
berhamburan. Dibawah sekali barulah ada sumber air itu. Ada


sebuah kolam kecil tempat air itu berkumpul. Kolam itu
terpisah jauh dari sumber air mungkin seratus tombak.
Dengan melihat gerak-gerik bayangan orang yang dilihat
Tan Hong itu, It Hiong menerka mesti ada lobang atau gua
rahasia didekat situ. Ia kasih tau apa yang ia duga itu, maka
bersama-sama mereka memasang mata mencari lubang gua
itu.
Sebegitu jauh Cuma tampak akar rotan dan daun-daun,
tiada sesuatu yang mencurigakan, Hoay Giok menjadi
penasaran.
“Mungkin nona keliru melihat bayangan” katanya. “Disini
dimana ada tempat untuk orang bersembunyi? Buat apa kita
berdiam lebih lama disini?”
“Kenapa kau menjadi tak sabaran, kakak Wie?” Tanya Tan
Hong tertawa. “Memang sulit mencari lubang gua itu, tetapi
aku merasa pasti, disini kita bakal menemui orang Losat
Bun…”
It Hiong memandang nona itu dan juga Hoay Giok.
“Kau pasti merasa letih suheng, baiknya kau duduk menanti
disini.” Katanya kemudian pada kakak seperguruannya itu.
“Nanti aku mencoba mendaki dinding gunung itu, untuk
memeriksa akar rotan yang menutupinya.”
Kata-kata itu ditujukan juga pada Tan Hong. Habis berkata
si anak muda lantas melompat tinggi dengan lompatan Te In
Ciong, sebab ilmu ringan tubuh itu tidak melulu buat lari jauh
dan cepat tapi juga untuk melompat tinggi. Maka dalam
sekejap tubuhnya mencelat lincah dan pesat seumpama
burung terbang.


Tengah It Hiong mendaki itu, mendadak dari dinding
ditempat dimana dia tiba, ada kepala orang yang nongol,
orang itu terlepas rambutnya, mukanya hitam begitupun sinar
matanya tajam sekali. Selekasnya dia melihat orang, dia
menyambar tangannya yang sebelah, buka untuk menangkap
hanya buat melepaskan senjata rahasia, senjata itupun hitam
warnanya.
Hampir berbareng dengan It Hiong, juga Tan Hong dan
Hoay Giok yang lagi menanti sambil menyaksikan temannya
melompat naik, telah mendapat serangan serupa. Hanya
serangan ini datangnya dari tempat tidak seberapa jauh dari
tempat pertama. Penyerangnyapun hitam muka dan sinar
matanya sangat tajam.
It Hiong kaget karena serangan mendadak itu, tapi dia
tidak bingung. Dengan cepat dia berhasil menyampoknya. Ia
hanya terkejut pula setelah mendapatkan kenyataan senjata
rahasia itu berupa seekor ular beracun! Tan Hong pun bebas
dari serangan gelap itu. Dia melihat serangan datang sambil
berkelit. Dia menghajar dengan sanhu pang. Maka senjata
rahasia itu juga roboh mati dengan mengeluarkan darah
sebab badannya remuk.
Tidak demikian dengan Hoay Giok, pemuda ini sedang
duduk diam sambil matanya dipejamkan, ia mendusin dengan
terkejut ketika merasakan angina menyambar ke arahnya.
Lantas ia berkelit, tapi terlambat sedikit, tahu-tahu bahu
kirinya telah kena terpagut senjata rahasia yang istimewa itu.
“Aduh!” ia menjerit perlahan, tanan kanannya terus dipakai
menyampok, tapi tangan itu juga disambut dengan pagutan
bahkan kali ini nyerinya luar biasa sampai keulu hati.


Ular licik itu habis menggigit dia menjatuhkan diri dan
menghilang diantara rumput tebal!
Hebat Hoay Giok. Dia roboh seketika, mukanya menjadi
pucat, mulutnya mengeluarkan rintihan, bakan tangan dan
kakinya terus menggigil.
Tan Hong menyaksikan kawannya itu, dia menjadi kaget
sekali.
“Kakak Wie, kau kenapa?” tanyanya, terus ia cepat
menghampiri untuk memeriksa lukanya yang berada didua
tempat, bahu kiri dan tangan kanan. Disaat ia hendak
membangunkan tubuh kawannya itu, mendadak dua
bayangan orang melompat kepadanya, masing-masing
menyerang dengan golok dan cambuk.
Walaupun ia kaget, ia lompat berkelit membebaskan diri
dari bacokan dan cambukan. Setelah itu ia membalas dengan
senjatanya. Lebih dahulu ia lompat kepada lawan yang
bersenjata cambuk, untuk mendesaknya mundur sebelum
orang sempat menggunakan lagi senjatanya. Habis itu ia
melompat ke arah Hoay Giok, yang sedang dihampiri musuh
yang bersenjata golok, yang mau membacoknya. Satu
sampokan ruyung membuat golok musuh terpental dan
tubuhnya tertolak mundur dua tindak!
Setelah mengawasi kedua penyerangnya, Tan Hong heran,
kiranya mereka orang-orang suku Biatuw yang mukanya
hitam-hitam, juga matanya, rambut riap-riapan. Kakinya tanpa
sepatu, tubuh bagian atas telanjang dan bagian bawahnya
tertutup semacam kain. Usia mereka rata-rata tiga puluhan.


Karena terpukul mundur, kedua orang Biauw itu melengak,
tapi hanya sebentar lantas keduanya maju pula. Sambil
berseru-seru mereka mengurung si nona.
Tan Hong menjadi sangat mendongkol, mukanya menjadi
merah berapi. Sudah dikerubuti tadipun dibokong. Tak ayal
lagi ia mengeluarkan ilmu silat pulau Hek Keng To dan balas
menyerang. Ia bergerak lincah berputaran sebab ia selalu
mesti menjauhkan diri dari cambuk. Setelah jauh lalu
mendesak. Kalau ia terus merenggangkan diri, ia menjadi
repot. Itulah maunya cambuk hingga ia bisa dicambuki tanpa
henti. Dilain pihak dengan ruyung tak dapat ia membuat
kutung cambuk itu.
Ternyata dua orang Biauw itu bukan sembarang orang,
mereka dapat bersilat dengan baik dengan masing-masing
senjatanya itu. Mereka pun sangat bersemangat dan cerdik,
sebab mereka tak membiarkan senjata mereka terhajar
ruyung si nona! Mereka dapat maju dan mundur dengan
cepat.
It Hiong sementara itu habis menyampok ular terus
menyambar akar rotan, hingga dia dapat mempertahankan
dirinya tak jatuh. Tepat waktu itu, telinganya mendengar
suara mendatangi. Datang dari bawahnya! Maka segera ia
melihat Tan Hong tengah dikepung dua orang musuh dan
Hoay Giok rebah tak berkutik ditanah.
Ia terkejut dan segera ia melepaskan tangannya untuk
lompat turun bahkan tanpa mengatakan sesuatu, dengan
pedangnya ia terus menyerang orang Biauw yang bersenjata
cambuk itu. Hanya dengan satu gebrakan, orang Biauw itu
sudah kaget sekali. Cambuknya kutung, saking jerinya dia
memutar tubuh dan menjauhkan diri.


It Hiong tidak mengejar hanya terus ia menghadapi orang
itu dan bertanya : “Siapakah kau?”
Anak muda ini tidak ketahui bahwa orang Biauw itu
bernama Michi dan kawannya yang bersenjata golok Shali.
Mereka adalah murid-muridnya Kiu Lam It Tok Sia Hong, Si
Tunggal Beracun dari Kwiecu Selatan.
Sia Hong menjadi ahli racun ular. Semua senjatanya
empunyai racun, maka orang berikan dia gelar tersebut, jago
ahli racun satu-satunya. Dia tinggal menyepi di Kwiecu
Selatan, hidup diantara ular-ular jahat.
Karena ia sering memasuki wilayah suku Biauw, ia jadi
kenal bangsa itu dan mengetahui adapat kebiasaannya hingga
akhirnya ia menerima dua orang muridnya itu, yang ia ajari
ilmu silat dan cara menggunakan racun. Sebenarnya Sia Hong
hidup diantara dua golongan sesat dan lurus. Diapun
bersahabat dengan Kwie Lok Giam Po. Pertemuannya dengan
ketua Losat Bun terjadi waktu dia mengejar seekor ular
beracun sampai di Ay Lao san, dimana dia tinggal beberapa
bulan lamanya dan telah bertemu dengan orang Losat Bun
yang mengajaknya kenal dengan sinenek, hingga mereka itu
menjadi sahabat erat.
Bersama dua muridnya itu, Sia Hong tingal didalam gua,
guna memperdalam kepandaiannya menggunakan racun ular.
Guanya itu ia beri nama “Sarang Ular” tempat melatih racun.
ketika Beng Kee Eng kena dipancing Keng Su mendatangi Ay
Lao San, ia kena racunnya Sia Hong hingga ia menjadi
kehilangan tenaganya hingga tertawan dan dikurung didalam
gua batu.
“Aku Mikhi!” sahut orang Biauw itu yang bersenjata
cambuk. Dia bicara keras dan bersikap bengis. “Kalau kau


berani mendekati aku satu langkah lagi. Awas, akan aku
berikan kau racun jahat dari guruku Kin Lam It Tok!”
Mendengar disebutnya gelar Kin Lam It Tok itu, alisnya It
Hiong berbangkit, terus ia berpikir. Pernah ia dengar nama itu
entah dari siapa, ia lupa. Maka ia lantas mengingat-ingatnya.
Dua kali ia mnyebut gelaran itu serta menerka-nerka dia orang
macam apa…
Tengah si anak muda berpikir, ia mendengar jeritan
“Aduh!” dan melihat orang Biauw bersenjata golok itu roboh
dengan mulutnya mengeluarkan darah sebab dia terhajar Tan
Hong hingga terluka dalam.
Menyusul itu Tan Hong berkata keras : “Adik Hiong, lekas
tolongi kakak Wie! Kenapa kau masih bicara saja dengan
orang Biauw itu?”
It Hiong terkejut. Ia lantas lompat mendekati Hoay Giok
serta memegangi tubuhnya buat dibangunkan. Ia melihat
muka orang merah dan panas, matanya dipejamkan, mulut
mengeluarkan busa, sedangkan napasnya tersengal-sengal.
Tampak kedua lengannya bengkak dan melar dua kali lipat.
“Kakak! Kakak!” Ia memanggil-manggil, “Kakak! Kau
kenapakah?”
Hoay Giok tidak menjawab, dia diam saja, tubuhnya sangat
lemas san tak kuat ia berdiri.
Tan Hong menghampiri.
“Dia pasti terkena racun ular!” kata si nona.


“Tadi aku lihat dia roboh setelah terpanggut ular yang
dilempar ke arahnya, Adik Hiong dapatkah obat Hosin Ouw
menolong dia?”
Ketika itu It Hiong bingung bukan main, sampai ia
mengeluarkan air mata. Masih ia memanggil-manggil sang
kakak, sampai suara Tan Hong menyadarkannya. Karena itu ,
ia lantas ingat obat untuk melawan racun hadiah dari pendeta
tua dari Bie Lek Sie digunung Kiu Kiong San.
“Tertolong!Tertolong!” serunya berulang-ulang kegirangan.
Tan Hong menggantikan memegang Hoay Giok.
“Lekas! Lekas keluarkan obat itu!” dia menganjurkan It
Hiong, diapun sangat kuatir melihat kondisi kawannya itu.
It Hiong merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuah botol
kecil dari kaca hijau, ia lantas membuka tutupnya dan
mengeluarkan enam butir obat pulung yang langsung diremas
dalam kepalannya, setelah itu ia menotok jintiong, hisungnya
Hoay Giok, terus memaksa membuka mulutnya
untukmemasukkan obat tersebut. Tapi saat itu Hoay Giok tak
dapat mengunyah sehingga obat tetap terkumur saja!
Tan Hong merebahkan tubuh Hoay Giok ditanah.
“Adik Hiong, coba paksa memasukkan obat itu dengan
tenaga dalammu!” katanya.
Dia bingung, tapi dia cerdas dan bisa berpikir cepat. Diapun
lantas membantu dengan menekan tangan kanannya pada
jalan darah teng-bun dari pemuda yang keracunan tersebut.


It Hiong menurut, ia lantas bekerja. Ia membungkuk
membawa mulutnya ke depan mulut Hoay Giok sesudah mana
ia segera mengemposkan tenaga dalamnya.
Ternyata usaha itu memberi hasil. Obat dapat terdorong
masuk kedalam tenggorokannya. Lalu tak berselang satu jam,
perutnya anak muda itu berbunyi keruyukan nyaring. Itulah
tanda obat sudah bekerja dengan baik.
Menyusul itu lekas sekali tampak Hoay Giok membuka
kedua matanya dan kaki tangannyapun bergerak-gerak.
Karena itu It Hiong lantas menghentikan bantuannya.
“Kakak! Kakak Wie!” ia memanggil-manggil.
Tan Hong menarik pulang tangannya dan membantu orang
buat diangkat bangun guna duduk menyandar pada sebuah
batu besar.
Lewat sekian lama baru Hoay Giok dapat membuka
mulutnya.
“Sute aku mual sekali…” katanya sukar. Dan belum
suaranya habis lantas dia muntah mengeluarkan cairan hitam
yang bau.nyaksikan itu, It Hiong dan Tan Hong lega, itu
artinya semua racun sudah dapat dikeluarkan hingga tidak lagi
mengancam jiwa Hoay Giok.
“Kakak wie, bagaimana kau rasa sekarang?” Tanya Tan
Hong.
“Sekarang aku tidak merasakan apa-apa kecuali letih.”
“Kalau begitu kakak istirahatlah!” kata It Hiong, “Lebih baik
lagi kalau kau meluruskan pernapasanmu.”


Hoay Giok menurut, ia mencoba duduk dengan tegak.
Baru sekarang It Hiong ingat musuh. Ia mendapati
lawannya Tan Hong lagi duduk meluruskan dirinya, sedangkan
lawannya, yaitu Mikhi telah pergi entah kemana, rupanya dia
sudah kabur dari tadi.
Tan Hong menunjuk orang Biauw itu, katanya pada It
Hiong : “Dialah yang membantu kita mencari mulut gua itu!”
Si anak muda mengangguk. Ketika itu sudah mendekati
magrib, setelah melirik Hoay Giok, iapun duduk dibatu dan
nampaknya lesu.
Tan Hong menghampiri seraya membawa kue kering.
“Mari makan!” kata nona itu tertawa.
“Kakak Wie mengalami bencana, kelihatannya Kin Lam It
Tok benar-benar lihai. Entah dia memiliki racun apa lagi yang
lebih dahsyat.”
It Hiong makan kue itu, tak dapat ia menjawab, lalu ia
minum dari kantungnya.
“Tak usah kita takut padanya!” katanya kemudian. “Dunia
Kang Ouw boleh memuji dia tapi kita membekal obat mujarab
dari pendeta tua Bie Lek Sie.”
Tan Hong mengangguk.
“Kau benar adik, cumalah tak ada salahnya kita waspada…”
katanya.


It Hiong mengawasi nona it, ia terharu untuk kebaikan
hatinya.
“Kau baik sekali kakak,” katanya sungguh-sungguh. “Kau
telah membantu kami tanpa menghirauka ancaman bencana,
tak tahu aku bagaimana membalas budimu ini?”
Tan Hong tersenyum, ia merasaka hatinya sangat bahagia.
Ia memandang pemuda itu lalu tertunduk.
“Dengan kata-katamu ini adik, kau seperti memandang aku
sebagai orang luar…” katanya perlahan. Dari duduk ia berdiri
lalu membalikkan tubuhnya. Lantas juga terdengar bisiknya
perlahan.
It Hiong melengak, ia lantas berdiri dan menghampiri nona
itu dan memegang bahunya.
“Oh kakak,” katanya, “Aku meyesal karena kata-kataku tadi
kau berduka, apa salahku? Harap kau sudi memaafkan aku…”
Dia a maju ke depan nona itu buat menjura.
Tan Hong berbalik, air matanya berlinang. Ia menatap si
anak muda hingga sinar mata mereka bentrok, keduanya
berdiam saja.
Hati mereka yang bekerja masing-masing.
Tiba-tiba Tan Hong tertawa, dengan saputangannya lekaslekas
ia menghapus air matanya dan melirik si anak muda.
“Bukankah telah aku katakan, adik?” katanya kemudian,
suaranya rada menggetar. “Buatku sudah cukup asal kau tidak
menyia-nyiakan hatiku…”


It Hiong terdiam. Ia bukannya tak mengerti maksud orang.
Hanya keadaan menyulitkannya. Diam-diam ia menggigil
sendirinya, kenapa selalu asmara mengganggunya? Kenapa
setiap wanita yang ditemuinya menyukainya? Kenapa orang
ska membantu dia dengan mempertaruhkan jiwanya? Maka
itu, tegakah ia menampik budi kebaikan itu? Pasti ia akan jadi
manusia tak berbudi, tak mempunyai perasaan kemanusiaan…
Dalam masgul, anak muda ini Cuma bisa menghela napas…
“Kau kenapa, adik?” Tanya Tan Hong yang mengawasi
orang. “Aku rasa aku dapat menebak hatimu itu. Aku ingat
pepatah kuno : Dapat satu, mengetahui diri sendiri matipun
tak meyesal. Kakakmu ini justru mau bekerja untukmu,
biarpun darahku harus muncrat digunung sunyi ini aku akan
tersenyum diaLam Sana! Sebaliknya aku tak suka mendengar
kau mengucapkan terima kasih atau bersyukur terhadapku,
itulah artinya kau mengaanggap aku orang asing! Sudah,
jangan memikir terlalu banyak, kau membikin ruwet dirimu
sendiri!”
It Hiong menarik napas dalam dalam, ia tidak mengatakan
sesuatu.
Sang angin bersiur perlahan, membuat ujung lengan baju
mereka bergerak-gerak. Anginpun membawakan harum tubuh
si nona memasuki hidung It Hiong, hingga sipemuda tak
keruan rasa. Ia mengendalikan diri, ia mengangkat kepala
memandang langit, mengawasi malam.
Tanpa merasa sang malam telah tiba. Malam sunyi seperti
diwaktu siang, hanya kali ini mendadak ada satu suara yang
menggangunya. Sebuah siulan lama dan nyaring membuat
gunung bagaikan bergetar dan berkumandang ke empat
penjuru lembah. Menyusul itu dua bayangan orang tampak


berlari mendatangi. Orang yang pertama sampai itu lantas
menghampiri si orang Biauw yang masih duduk diam. Terus
tubuhnya diangkat dan dibawa pergi.
It Hiong melompat maju, ia menyerang punggung orang
dengan satu serangan tangan kosong.
Orang itu berkelit, terus membalas menyerang dengan
senjata rahasia, terus lari lebih jauh. Tapi It Hiong sudah
melompat lagi menghadang di depannya.
“Jika kau benar gagah, mari sambut pukulan Hang Liong
Hok Houw ku!” tantangnya, dan terus ia menyerang pula.
Orang itu terdesak, kalau ia terhajar pasti akan mendapat
luka dalam.
Dasar ia lihai berkelit, dengan lompat kesisi jauh satu
tombak lebih. Sekarang dia tak lari lebih jauh, hanya dia
berdiri diam sambil tertawa berulang kali, suaranya tak sedap
didengar. Habis itu dia berkata tawar : “Hm! Hm! Bocah! Kau
pernah apakah dengan Pat Pie Sin Kit? Kenapa kau berani
banyak tingkah dengan Hiang Liong Hok Houw Ciang di depan
aku si orang tua?”
It Hiong heran hingga ia melengak. Segera ia mengawasi
orang itu hingga sekarang ia dapat melihatnya dengan jelas.
Dia ternyata seorang tua dengan tubuh sedang, tampangnya
bersih , tatapan matanya tajam, sinarnya berkilau. Dia
memelihara kumis dan janggut “kambing gunung”, bajunya
baju kasar, sepatunya ringan. Pada pinggangnya, kiri dan
kanan, ia gantungkan beberapa karung, entah apa isinya
semua itu. Dan dipunggungnya ada semacam benda,
dikatakan seruling bukan seruling, warnanya hitam mirip pipa


panjangnya tiga kaki lebih. Ia bersikap jumawa, wajah dan
tampangnya mendatangkan perasaan tegang.
Selekasnya dia sadar, It Hiong merasa kurang puas, maka
ia juga menjawab nyaring :”Akulah Tio It Hiong dan Put Pie
Sin Kit In Gwa Sian adalah ayah angkatku! Kau sudah berusia
lanjut tapi lagakmu tak menghormati diri sendiri! Kenapa kau
mudah saja bicara keras?”
Mendengar itu, sepasang alis si orang tua bangun. Segera
ia berkata dengan dingin : “Bocah, kau dengar! Kamu sudah
melukai muridku, tapi sekarang kau masih berani putar lidah
dihadapanku! Nampaknya kaulah si orang mampus! Nah, coba
kau rasai tangannya Kin Lam It Tok!”
It Hiong terperanjat mendengar orang memperkenalkan
diri. Kiranya inilah si racun tunggal dari Inlam selatan, jago
atau ahli racun ular. Ia segera ingat pamannya, maka
bukannya menyambut tantangan malah ia bertanya : “Apakah
paman Beng ku dikurung olehmu didalam guamu?”
Kin Lam It Tok tidak menjawab, ia hanya tertawa dingin,
keras dan nyaring. “Eh, bocah! Kalau kau berpikir untuk
membebaskan si orang she Beng dari guaku sarang ular, sama
saja kau menyia-nyiakan jiwamu! Aku si orang tua
menyayangkan usiamu yang masih muda, dan kaupun
nampaknya bukan sembarang orang Kang Ouw karena
nyalimu besar! Nah, bocah, meskipun kau sudah melukai
muridku, suka aku memberi ampun padamu! Jika kau tahu diri
pergilah kau turun gunung!”
It Hiong tak puas dengan tingkahnya orang tua itu.
“Kebaikan hatimu ini orang tua, aku terima dengan baik!”
Katanya. “Akan tetapi aku mempunyai pendirian lain. Seorang


laki-laki dia harus tahu budi dan wajib tahu membalasnya!
Apakah kau sangka It Hiong adalah seorang yang takut dan
cuma memahami hidup? Tidak! Aku bukan manusia rendah
semacam itu! Jika aku tak mempunyai kepandaian untuk
menolong pamanku, tidak nanti aku datang kegunung Ay Lao
San ini. Aku sudah berkeputusan tidak akan meninggalkan
tempat ini selama aku masih bernyawa! Ada berapa banyak
racun dalam sarang ularmu yang dapat menghadang aku
memasukinya!”
Kin Lam It Tok menjawab dengan jumawa :”Tidak banyak!
Tidak banyak! Julukanku It Tok, si tunggal racun, tapi
walaupun tunggal kau bakal merasakan cukup banyak!” Ia
berhenti sedetik lantas menambahkan : “Guaku itu berada
diatas dinding itu, jika kau benar mempunyai nyali besar,
naiklah kesana kau boleh coba-coba racunku!”
Habis berkata itu , dia menjemput pula muridnya dan terus
mengangkat kaki. Perlahan-lahan jalannya.
It Hiong kuatir orang nanti meracuni pamannya, hendak ia
mencegahnya, maka lantas ia berkata pula : “Orang tua,
namamu menggetarkan dunia Kang Ouw, tapi kenapa kau
berbuat begini macam terhadap aku. Bukankah kita tidak
saling kenal dan tidak bermusuhan? Sungguh sayang, kau
termasyur tapi kau kesudian menjadi andalannya pihak Losat
Bun! Kenapa kau mengurung Paman Beng yang telah melepas
budi besar padaku? Aku datang kemari buat menolong orang
guna membalas budinya itu, karena itu terpaksa aku telah
mendatangi wilayahmu ini! Orang tua karena kaulah seorang
tersohor, bersediakah kau menjanjikan sesuatu? Supaya
hatiku Tio It Hiong menjadi puas dan takluk!”
Kin Lam It Tok menunda langkahnya dan berkata dingin :
“Bocah kembali kau hendak main-main! Apakah kau sangka


kau sederajat denganku hingga kau menantang janji
menghendaki aku menawarkan syarat kepadamu?”
“Itu bukan maksudku orang tua!” It Hiong berkata. “Yang
kukehendaki adalah satu cara lain! Hendak aku mengutarakan
itu, kau suka menerima baik atau tidak, terserah padamu!”
Si Tunggal Racun heran hingga dia mendelong.
“Eh, bocah kau sebutkanlah!”
It Hiong menunjuk tampang sungguh-sungguh dan berkata
: “Kami tidak hendak merintangi kau menolong muridmu!
Bahkan sebaliknya mungkin aku dapat mengobati lukanya
itu…..!”
Kin Lam It Tok memotong kata-katanya dengan tertawa.
Dengan lagak san suara memandang remeh dia berkata :
“Syaratnya itu ialah aku membebaskan si orang she Beng?
Benarkah?”
It Hiong tidak menjawab langsung, katanya sabar : “Kita
tidak bermusuhan satu sama lain, atas nama dunia Kang Ouw,
dapatkah kau lakukan itu, orang tua! Walaupun demikian
itulah syarat yang tak aku kehendaki!”
Orang tua itu agak habis sabar.
“Eh bocah!” bentaknya, “Kenapa kau bicara setengahsetengah?”
Alisnya It Hiong bangkit berdiri lantas ia berkata dengan
gagah : “Kau harus berjanji akan tidak mencelakai pamanku
itu, setuju!”


It Tok tertawa dingin.
“Oh, kiranya begitu?” katanya. “Jika aku tidak suka berjanji,
habis kau mau apa? Apa kau sangka kau dapat mencegah aku
si orang tua?”
Tepat waktu itu, diantara sinar rembulan terlihat satu
bayangan orang berkelebat, terus terdengar suara nyaring tapi
merdu , “It Tok! Kalau kau benar jago, beranikah kau
merampas muridmu dari tanganku?”
Berbareng dengan suaranya, orangnya sudah berada di
depannya jago tua dari Kwiecu Selatan itu. Dialah si Nona Tan
Hong, yang dengan kecerdikannya sudah merampas Michi
yang ia pegang nadinya atau urat kematiannya. Dengan tak
dapat berkutik, orang Biauw itu mandah dituntun.
Kit Lam It Tok berdiam, dia melihat suasana tidak baik, lalu
ia batuk-batuk.
“Bagaimana dengan syaratmu kalau itu ditukar dengan
muridku ini?” tanyanya kemudian.
It Hiong menjawab dengan cepat dan secara polos. “Kalau
itu yang kau kehendaki orang tua, terserah!”
Tan Hong tertawa terkekeh-kekeh, katanya : “Dengan
syarat ini orang tua, kau telah menang diatas angin! Masihkah
kau tak mau menerima dengan baik?”
It Tok menjawab dengan cepat : “Baik, beginilah janji kita!
Aku tak akan mencelakai pamanmu itu!”


“Tapi kami tidak menerima dengan baik!” mendadak
datang satu suara keras dan galak, menyusul mana muncullah
orangnya berlompat datang.
Merekalah Tok Pie Longkun Sutouw Kit dan Cie Ciu Koan
Im Lou Hong Hui. Mereka lantas berdiri di depan It Tok dan
rombongan It Hiong.
Lantas Sutouw Kit mengawasi It Tok untuk berkata : “Kami
dari Losat Bun, kami orang-orang yang tak suka melakukan
sesuatu yang gelap! Kami datang kemari untuk mengambil
jiwanya si orang she Beng! Inilah saatnya buat membalas
darah yang dimuncratkan. Locianpwe, buat apa kau melayani
mereka ini?”
Mendadak parasnya It Tok berubah menjadi seram, dengan
dingin ia berkata : “Aku si orang tua, aku bisa mengatakan
satu tapi tak pernah menjadi dua. Dengan bocah ini aku telah
berunding dan berjanji! Perkataanku telah keluar, aku harus
membuktikan itu! Dalam urusanku ini, apakah kalian sangka
ada orang diluar yang dapat campur tangan? Tidak! Nah
kedua tongcu, kalian ada bebas, kalian dapat melakukan apa
yang kalian suka asal itu urusan masing-masing! Nah, maaf
aku si orang tua tak dapat melayani kalian lebih lama!”
Menutup katanya itu, jago tua ini menyambuti Mikhi dari
tangan Tan Hong untuk dipondong dan dibawa pergi! Kali ini
dia berlalu sambil berlari-lari hingga dilain saat lenyap sudah
bayangannya!
It Hiong pandai melihat suasana. Ia lantas mendapat
kekuatiran Sutouw Kit dan Lou Hong Hui nanti pergi
kesarangnya It Tok untuk mencelakai pamannya, lekas-lekas
ia berkata pada Tan Hong! “Kakak, sebenarnya buat apa kita
datang kegunung Ay Lao San ini?”


Tan Hong heran mendengar pertanyaan itu, tapi ia dapat
berpikir cepat, dan dapat menangkap maksud It Hiong. Maka
dengan cepat juga ia memberikan jawaban : “Kita datang
kemari guna menolong Beng Locianpwe bebas dari dalam
kurungan !”
“Sekarang ada orang hendak mencelakai Beng Locianpwe
itu.” Kata pula It Hiong, “Maka itu apa yang harus kita
lakukan?”
Tan Hong menjawab nyaring : “Orang yang ingin
mencelakai Beng Locianpwe itu ialah musuh besar kita, maka
kita basmi saja tanpa ampun!”
Suara nyaring si nona sampai menyadarkan Wie Hoay Giok
yang sekian lama itu terus bersemadi memulihkan
kesehatannya. Dia melompat bangun dan lari menghampiri.
Selekasnya dia melihat Sutouw Kit berdua, dia mengawasi
mereka itu dengan bengis.
Lou Hong Hui gusar, dia membentak : “ Kamu dua mahluk
celaka, jangan kamu banyak bicara yang tidak-tidak! Kamu
tahu gunung Ay Lao San ini adalah tempat kuburanmu
semua!”
Kata-kata nyonya ini ditutup dengan satu serangan
joanpian kepada It Hiong.
Si anak muda tidak menangkis atau mundur. Ia justru
melompat maju dua tindak terus ia balas menyerang dengan
dua tangan berbareng. Ia menggunakan dua jurus dari ilmu
silat Hiong Liong Hok Ciang, Tangan Menaklu Naga
Menundukkan Harimau. Tangan kanan dengan jurus “Didalam
Awan Mengambil Bulan, sasarannya ialah jalan darah siuteng


sedang tangan kiri dengan jurus “Dengan Sebelah Tangan
Menawan Naga” yang bergerak untuk menangkap tangan
lawan yang memegang joanpian itu.
Hong Hui terperanjat. Ia menyerang siapa tahu ia justru
yang didahului. Ia menjadi repot sebab sulit buat ia
menggunakan terus senjatanya itu. Ia justru harus
menyelamatkan diri untuk mundur atau berkelit juga sukar.
Maka terpaksa ia lantas menggunakan jurus “Tian Poan Kio”
Jembatan Papan Besi. Ia bebas dari sambaran tangan kanan
lawan tapi anginnya itu membuat mukanya terasa panas.
Dilain pihak ia menurunkan tangan kanannya dengan kaget
sambil menggerakkan senjatanya untuk melindungi diri.
Barulah setelah itu ia dapat melompat mundur dua tindak.
It Hiong tidak mau memberi hati. Orang mau
membinasakan pamannya, ia menjadi gusar. Setelah musuh
itu mundur, ia maju menyusul kembali menyerang, kedua
tangannya bergerak tak hentinya.
Karena dia telah terdesak, Hong Hui menjadi sangat repot.
Tak berdaya dia dengan senjatanya itu. Diapun merasa tangan
lawannya bergerak secara luar biasa. Tapi diapun tersohor
sebagai siganas, dia tidak takut lantas menggertak gigi.
Segera ia menggunakan ilmu silat Im Yang Ciang, ilmu tenaga
dalam Losat Bun. Dengan begini diapun menggunakan kedua
tangannya. Tangan kirinya lantas berubah menjadi bayanganbayangan
dari seratus lebih tangan yang semua eluncur
kepada si anak muda, kemuka, dada dan perut.
Demikianlah, maka bertempurlah kedua macam ilmu silat
dari kedua partai lurus dan sesat.
Tenaga dalam Hian Bun Sian Thian Khie kang melawan
Losat Bun dan Hong Hok Louw Ciang melawan Im Yang Ciang.


Bahkan sebenarnya It Hiong sendiri mewakili dua partai, yaitu
Pay In Nia dan Pat Pie Sin Kit.
Jilid 23
Bertarung belum lama Hong Hui terperanjat sendirinya. Ia
mendapat kenyataan lama-lama gerak gerik tangan kirinya tak
cocok dengan gerakan tangan kanannya yang mencekal
joanpian. Ia cerdik, hendak ia menggunakan akal. Hendak ia
melayani tetap pada It Hiong dengan dilain pihak berniat
melepaskan joanpian hanya bukan diledaki dengan begitu saja
tetapi sambil dipakai menyerang secara menggelap kepada
pihak musuh! Pada musush yang lagi menonton dipinggiran
yang tak bersiap sedia!
Akan tetapi Tan Hong yang dijadikan sasaran adalah
seorang yang berpengalaman ia jeli telinganya awas matanya
ia lantas melihat ada bayangan melesat ke arahnya dengan
cepat ia berkelit sambil membungkuk dalam sedangkan
dengan tau ho pang ia menangkis katas. Maka itu joanpian
lawan terhajar menggeletak ditanah!
Hong Hui menyesal akan kegagalannya itu, tetapi dia tak
dapat berpikir lagi, dia mesti mengutamakan perlawanannya
terhadap It Hiong. Dia melayani selama lima puluh jurus
masih dia tak berdaya merobohkan lawan. Maka dia menjadi
nekad. Diam diam dia mengerahkan tenaganya pada lengan
kirinya setelah itu dia menyerang sehebat habatnya sambil
menyerukan lawan : "Eh bocah kalau kau berani sambtlah
tanganku ini !" Hanya lebih dahulu dia menyerang dengan
tangan kanannya.
"Mari coba" menjawab It Hiong berani.


Hong Hui girang. menyusuli tangan kanannya itu
menyeranglah ia dengan tangan kirinya dengan dahsyatnya
sebab ia telah menguras semua tenaganya.
Tak ampun lagi beradulah kedua belah tangan dengan
benturan yang keras. Akibatnya itu yaitu Hong Hi terpental
mundur sejauh tujuh tindak tubuhnya limbung turus roboh
terkulai karena tubuhnya bagian dalam telah bergetar hebat.
It Hiong pun terpental tiga tindak tetapi dia segera berdiri
tegak sambil meluruskan jalan darahnya menyalurkan
pernapasannya.
Tan Hong terkejut dia segera lompat ke sisi si anak muda.
"Adik, apakah kau mendapat luka didalam?" tanyanya
prihatin.
It Hiong membuka matanya yang tadi ia pejamkan Habis
menyalurkan diri itu ia merasa kesehatannya tidak terganggu.
Maka ia lantas tertawa.
"Tidak!" sahutnya perlahan.
Tepat itu waktu It Hiong melihat dan mendengan sesuatu
dengan berbareng ia melihat bayangan orang berkelebat
bersama berkelebatnya cahaya berkilau terus terdengar suara
barang terasampok disusul jatuhnya golok ketanah. Lalu
akhirnya tubuhnya Hoay Giok berlompat ke arahnya. Hoay
Giok yang nafasnya tersengal-sengal.
Apakah yang telah terjadi?
Hoay Giok menonton pertempuran dengan asyik.
selekasnya ia melihat Hong Hui roboh ia lompat kepada wanita


itu goloknya diayun Ia hendak membunuh orang saking
panasnya hatinya karena ia berniat hebat membalas dendam
gurunya. Berbareng dengan dia berlompat juga Cian pwee
Longkun SuToaw Kit Dia ini melihat istrinya roboh hendak ia
menyelamatkan. Tapi dia berbareng melihat orang hendak
membinasakan istrinya itu cepat luar biasa dia menangkis
Hoay giok membuat golok terlepas jatuh dan orangnnya
termasgul ke arah It Hiong.
Pemuda she Tio itu lantas melihat bagaimana SuToaw Kit
tengah mencoba menolong Hong Hui dan Hoay Giok berdiri
bernapas membara disisinya. Ia dapat mengerti duduknya
kejadian.
"Kau kena terhajar musuh kakak?" Ia tanya.
"Tidak ada artinya!" sahut Hoay Giok sangat mendongkol.
"Masih bagus nasibnya wanita siluman itu, sayang
kepandaianku masih rendah hingga golokku kena dibikin
orang terpental...."
"Malam ini mereka itu berdua harus dibereskan" berkata
Tan Hong perlahan, habis dia melirik SuToaw Kit dan Lan
Hong Hui " Demi keselamatannya paman Beng, tak dapat
tidak kita harus berlaku keras, bukankah benar demikian adik
Hong?
It Hiong berpikiran lain menjawab. "Asal mereka tahu diri
dan rela mengundurkan dirinya tak usah kita ambil jiwanya."
"Tetapi adik!" kata Hoay Giok matanya mendelik "toh ada
pepatah yang mengatakan bahwa siapa tidak berkeras hati
dialah bukan laki laki sejati! Bermurah hati terhadap lawan
berarti berlaku kejam terhadap diri sendiri Kau toh ketahui itu
bukan?"


Selagi It Hiong belum menjawab Tan Hong sudah pergi
memungut goloknya Hoay Giok untuk diserahkan pada
pemiliknya. Ia melihat dua orang itu lagi berdiri diam saling
mengawasi. Lantas ia kata: "Kenapa kalian berdiam saja?
Bukankah kita sedang menghadapi musuh musuh yang
kejam?"
It Hiong mengangkat kepalanya memandang nona itu
"Aku tengah memikirkan kata katanya kakak Hoay Giok
bagaikan emas hendak aku ukir itu di dalam hatiku supaya tak
sampai dapat dilupakan!" Terus dia menjura pada si kakak dan
kata: "Kakak Giok kata katamu menyadarkan aku membuatku
dapat menghilangkan sifat lemah hati wanita dari dalam
kalbuku! Kakak aku sangat kagum terhadapmu."
"Jangan berkata begini adik" kata Hoay Giok cepat. "kita
bagaikan saudara kandung satu dengan yang lain jangan
berlaku sungkan."
Tan Hong mengawasi orang yang ditanyai itu ia tertawa
geli. Ia menganggap lagak orang jenaka.
It Hiong menoleh mengawasi si nona bersungguh sungguh.
"Jangan tertawakan aku kakak!" katanya " Selanjutnya aku
akan bersikap menuruti kata kata emas dari kakak Hoay Giok
akan aku buang sifatku yang lemah itu"
Memang kekurangannya seseorang muda ialah terlalu keras
otak terlalu lemah hingga ia tak dapat berlaku sama tengah
mana itu jalan yang mudah dan sukar. Dikira mudah Tapi itu
pula jalan yang sulit.


Co Kiauw In yang luwes menghendaki si adik Hiong berlaku
murah hati supaya dia bebas dari "kutukan" dimana yang bisa
agar It Hiong dapat mengampuni orang. Karenanya si anak
muda menjadi gagah tetapi lemah hati mudah merasa kasihan
Sekarang ia justru mendengar kata kata gagah dari Whi Hoay
Giok Kakak ini muda tetapi pengalamannya tidak banyak dia
tahu segala apa.
Maka itu terbangunlah semangatnya. Ia memang
membenci kejahatan maka sekarang ia menganggap si sesat
tetap sesat dia berdoa atau tidak.
Sementara itu Lou Hong Hui telah sadarkan diri berkat
bantuan suaminya. ia membuka matanya, ia mengeluarkan
napas lega terus ia bangun berdiri.
Tatkala itu si petani malam sudah menunjuki saat kira jam
tiga, langit bersih sekali hingga puncak dan rimba tampak
jelas dan di depan mata sejauh tiga tombak atau lebih, orang
bisa melihat segala apa dengan nyata. Demikian Hong Hui
bisa melihat It Hiong bertiga sedang berkumpul bersama.
Mendadak munculk kegusarannya sambil berseru ia bergerak
menghampiri si anak muda, musuhnya itu. Ia mau mencari
balas Sutouw Kit menghadang istri itu.
"Lukamu masih belum sembuh" kata sang suami. "jangan
kau turuti hawa amarahmu! Mana dapat kau berkelahi pula ?
Itulah larangan kaum rimba persilatan! Sekarang kau
duduklah beristirahat nanti aku sendiri yang membereskan
mereka itu.
Berkata begitu suami ini merogoh sakunya mengeluarkan
sebutir pil yang ia terus masuki kedalam mulut istrinya
kemudian ia berkata di telinga istrinya itu: " Dari mereka
bertiga rupanya si anak muda yang paling lihai. Bocah yang


bersenjata golok itu biasa saja kepandaiannya akan tetapi
mereka berdua nampaknya sangat erat hubungannya. Maka
itu kalau kita bisa bekuk bocah itu kawan kawannya tentu
akan tunduk dan menyerah atas kehendak kita!.”
Sebagai seorang Kang Ouw yang berpengalaman Sutaw Kit
pandai melihat dan berikir maka juga ia dapat menerka tepat
dan terus mendapat ide itu untuk membekuk dan menguasai
Hoay Giok.
Hong Hui mengangguk membenarkan pendapat suaminya
itu, Ia bernapas lega.
Segera Sutauw Kit berteriak ke arah It Hiong bertiga.
Kembali dia membawa tingkahnya seorang Cianpwe orang
yang usianya lebih tua serta tingkatannya llebih tinggi. Dia
berhenti sejenak satu tombak dari mereka itu terus ia
mengelurkan suara lantang :"Eh bocah bau yang tahu langit
tinggi dan bumi tebal! Losu! Bun sudah berlaku murah
terhadap kamu kenapa kamu berani banyak tingkah di sini?
kamu berani melukai Lou tongcu! Kamu bosan hidup disini ya?
Sepasang alisnya It Hiong bangkit matanya menyala.
"Manusia yang tidak menepati janji!" bentaknya
"bagaimana berani kamu datang kemari untuk mencelakai
pamanku? mari jika hendak belajar kenal dengan dengan
seribu tanganmu! Mari kita lihat siapa sebenarnya yang sudah
bosan hidup!"
"Anak muda ini menyebut "seribu tangan" sebab itulah
artinya gelaran dari Sutauw Kit "Cian Pie Longkun" orang
dengan seribu bahu" (cian pie)


"Tutup bacotmu!" Sutauw Kit membentak Dia tampak tetap
bengis. Lantas dia maju menyerang. Benar hebat tangannya
itu, sebab tangan dua tetapi bergerak dalam banyak bayangan
saking cepatnya.
It Hiong heran melihat gerakan tangan lawan itu, ia tidak
takut sebaliknya ia menjadi mendongkol dan penasaran. Ia
lantas menyambut selekasnya ia mengerahkan tenaga
dalamnya, siap sedia untuk mengadu tangan itu dengan lain.
Tangan kiri dipakai menjaga diri tangan kana dipakai
menyerang dan pukulan pukulan tangan. Menaklukkan Naga
menundukkan Harimau. dengan jurus "menyingkap Mega
Mengambil Rembulan" Itulah siasat "Penyerang dia balas
dengan menyerang".
Sutaw Kit heran hingga ia lantas lompat mundur. Belum
pernah ia menemui lawan berani seperti pemuda ini. Kalau dia
menyerang terus mungkin ia berhasil, tetapi pun sudah pasti
ia sendiri bakal bahaya. Ia menganggap mundur dahulu paling
selamat. Demikian dia mengalah.
It Hiong jemu dengan lagak orang. begitu berhasil
merangsak ia meneruskan mendesak tiga kali ia menyerang
terus menerus.
Sutauw Kit benar-benar lihai. Dapat dia mengelak. Segera
dia membalas. Kali ini dengan "Poa Lui Ciang Hoat" pukulanpukulan
tangan kosong "guntur" Ia menyerang berulang ulang
hingga tujuh puluh dua kali.
It Hiong terus menangkis atau berkelit dari semua hajaran
itu Ia ditolong oleh Tou In Ciong, lompatan "Tangga Mega"
ilmu ringan tubuh yang lihai sekali itu.


Maka itu pertarungan jadi berjalan cepat dan seru sampai
puluhan jurus mereka masih sama unggulnya. Sutauw Kit
menjaga diri baik baik supaya tak kena terhajar Ia melihat
bukti pada istrinya yang terluka demikian parah. Sebaliknya
ingin sekalian berhasil menyerang mengenai sasarannya, guna
membalas sakit hati istrinya itu. Dia mengharap harap supaya
lawannya kehabisan tenaga.
Pengharapannya jago Losat Bun itu pengharapan yang
beralasan. Lawan toh masih muda lawan selayaknya kalah ulet
daripadanya. Dia sendiri termasuk jago tua dan tahu baik akan
kekuatan dirinya. Tapi It Hiong dapat bertahan. Terpaksa ia
mesti bertahan juga.
Semua penonton kagum, mereka tak dapat membedakan
mana kawan dan mana lawan saking cepatnya dan orang itu
berlompatan menyerang dan mengulat.
Selagi mendekati jurus yang keseratus Sutauw Kit merasa
hatinya tak tenang. Inilah sebab ia mendapat kenyataan lawan
muda itu tetap gesit dan tangguh. Ia sendiri sebaliknya
merasa tenaganya mulai berkurang dan inilah berbahaya
untuknya.
"Aku mesti mendahului dia!" demikian pikirnya. Lantas ia
mengambil keputusan dan bertindak luar biasa bengisnya ia
mendesak lawannya terpaksa It Hiong mesti mundur sampai
dua tindak. Justru lawan ..... menyerangnya dengan ..... jurus
dari poa jui Ciang yaitu "Sinar Kilat Api bara" hanya itu
selekasnya dirubah menjadi cengkraman kepada bahu.
Hoay Giok kaget sekali ketika ia tengah kesengsem
menyaksikan perlawanannya It Hiong yang sangat
mengagumkan padanya ,.... (tidak terbaca)..


SuToaw Kit tercekat dengan tangannya itu gagal dengan
serangannya yang pertama ia menyusuli dengan yang lain tapi
kali ini pasti gagal pula. Kali ini Tan Hong yang
menggagalkannya. Nona itu menghajar tangannya dengan
ruyung ...... Ia menjadi terkejut berbareng penasaran. Lantas
ia menyambar yang sisinya buat.............seru keras supaya
pemilik ruyung ........
Tan Hong berlaku waspada dan Cepat Ia menarik pula
ruyungnya buat terus dipakai menyerang pula kepem...........
lawan. Tapi ia disambut lawan. Kali ini SuToaw Kit juga
menyambut dengan dua dua tangannya inilah yang ia
kehendaki ia memang mau mengguna tipu Bahkan sengaja ia
melancarkan ruyung sedikit jauh supaya dapat tersentuh
lawan itu. Dengan begitu Hoay Giok jadi mendapat ketika
menjaga dirinya.
Hampir Cian Pie Longkun dapat mencekal ujung ruyung
atau mendadak lawan mnyerangnya dengan keras sekali maka
itu kedua tangannya tersentuh ujung ruyung itu Tapi yang
mengagetkan ia adalah .... tangannya terasa kaku.
Akibat sentuhan itu Untuk menyelamatkan diri lantas ia
menendang si nona.
Tan Hong justru mengeluarkan tenaga dalam Mo Teng Ka
ketika tendangan mengancamnya terpaksa ia berkelit dengan
lompat mundur sendiri dengan kaget menarik pulang
ruyungnya menarik pulang sambil disontakkan ke arah lawan.
Seketika itu juga terjadilah dua hal hampir berbareng
Sutaw Kit berdiri limbung hingga ia mundur dua tindak terus
dia memuntahkan darah disebelah dia Hoay Giok pun
mendadak roboh dengan sendirinya terus dia bergulingan
ditambah dengan tangannya yang satu memegangi bahu


tangannya yang lain hingga menyaksikan itu Tan Hong kaget
sekali.
Itulah kejadian diluar dugaannya si nona Kiranya Loa Hong
yang berduduk diam menyalurkan pernapasannya telah
melihat jalannya pertempuran itu mengetahui suaminya
berada dibawah angin Ketika itu pula Hoay Giok maju untuk
membacok suaminya.
Untuk menolong suaminya itu tidak ada jalan lain lantas ia
menjemput batu hancur dan memakai itu sebagai gantinya
senjata rahasia menyerang si anak muda.
Dia berhasil sebab Hoay Giok terhajar lengan kanannya
lengan itu patah dan goloknya jatuh ketanah terjatuh
robohnya tubuhnya hingga ia bergulingan saking ngerinya.
It Hiong telah menyaksikan semua
Tak keburu ia menolong kakak seperguruanya itu ia pun
menjadi sangat gusar Matanya hendak ia memburu si kakak
untuk membantu atau mendadak ia memikir lain.
Ia sudah berlompatan ia merubah arahnya terus ia lompat
kepada SuToaw Kit dan menghajarnya dengan satu hajaran
yang keras dan mengenai punggung jago Losat Bun itu tanpa
si jago sampai berdaya
Tan Hong melengak menyaksikan semua kejadian. Semua
terjadi dengan sangat cepat.
Hong Hui lompat kepada suaminya untuk memayangnya
buat mencoba membantu.
Suaminya itu terus muntah muntah darah.


It Hiong sebaliknya lompat kepada Hoay Giok untuk
mengasi dia bangun serta paling dahulu memberikan dia obat
pemunah racun.
Jago wanita dari pulau ikan Lodan Hitam tidak melengak
lama. Segera dia lompat kepada Loa Hong Hui dan
menghajarnya dengan ruyungnya.
SuToaw Kit mendapat lihat datangnya serangan kepada
istrinya. Dia sudah terluka parah akibat serangan satu jurus.
Dari Hang Liong Hok Kouw Ciang. Dia masih memuntahkan
darah tetapi melihat istrinya itu terancam bahaya hendak dia
menolongnya dengan sisa tenaganya Maka dia meronta lantas
dia maju dengan dua duanya guna menangkis serangan dia
pun sambil berseru "istriku lekas menyingkir! jangan kau
hiraukan aku lagi...!"
Cuma begitu jago Lohat Bun ini mengeluarkan kata katanya
segera dia roboh terkulai tanpa berkutik lagi karena tak dapat
dia bertahan dari pukulan kematian dari Nona Tan. Dia lain
pihak Hong Hui sudah lantas kabur menuruti anjuran
suaminya Hanya sebentar saja ia telah menjauhkan diri empat
tombak seraya terus menuju ke bawah gunung.
Tan Hong hendak mengejar musuh itu atau hendak ia
membatalkan pikirannya itu, Ia sangat It Hiong lagi membantu
Hoay Giok hingga kedua anak muda itu tak dapat di tinggal
pergi dikuatirkan waktu muncul musuh atau musuh musuh
yang mestinya berada disekitar tempat itu. Begitulah habis
mengawasi tubuhnya Sutow Kit ia menghampiri It Hiong dan
Hoay Giok.


Selekasnya dia menelan obatnya si pendeta tua dari Bie Lek
Sie. Hoay Giok merasa nyerinya berkurang. Obat itu dapat
mengoobati luka luka dan racun. Ia tak lagi merintih dan
mukanya pun berubah menjadi merah pula tak sepucat
semula.
Lega hatinya It Hiong menyaksikan kemustajaban obat itu.
Ia sekarang memikirkan lengan yang patah dari kakak
seperguruannya itu. Obat apakah harus dipakai tak usah lama
ia berpikir lantas ia mendapat akal. Ia mengeluarkan pil yang
lain ia mengunyah itu terus ia borehkan ditempat yang luka
pada lengannya sang suheng. kemudian luka itu dibabat
dengan robekan ujung sang baju. habis membalut luka ia
meneruskan dengan mengempos tenaga dalamnya ketubuh
Hoay Giok guna menyalurkan darahnya dengan baik supaya
daging dan tulang berambung pula dengan tepat seperti sedia
kala.
Ketika Tan Hong datang menghampiri kedua anak muda itu
lagi sama sama berdiam Hioay Giok tengah bersemadhi
meneriam bantuan ternaga dalam It Hiong lagi
mengemposkan tenaga dalamnya itu. Ia berdiam saja disisi
mereka itu mengawasi sambil berjaga jaga kuatir musuh
datang membokong.
Sang waktu terus berjalan tak hentinya. Fajar tiba sudah
Cahaya terang mulai tampak diufuk timur terus keseluruh
jagad Di atas pohon burung burung mulai bercowetan.
Hoay Giok menghela napas terus membuka matanya terus
ia berbangkit bangun berdiri. Dengan perlahan sekali ia
mencoba menggerakan tangan kanannya yang terluka.
Ia tidak merasa nyeri. Ia mencoba menggerakkan lebih
jauh dengan pelbagai gerakan ke kiri dan kanan, ke atas dan


bawah. Untuk girangnya ia merasai tangannya itu bergerak
bebas seperti biasa. Maka bukan main girangnya.
"Sute !" katanya. "Darimana kau mendapatkan obat yang
mujarab sekali ini ? Sute, lukaku telah sembuh !"
It Hiong tidak lantas menjawab kakak seperguruan itu. Ia
justru berdiam sebagai orang lagi bersemadhi. Inilah karena ia
perlu beristirahat habis ia mengemboskan terlalu banyak
tenaga dalamnya yang membuatnya letih.
Adalah Tan Hong yang tertawa dan berkata : "Syukur kau
telah sembuh kakak Whie. Kau bukan ditolong oleh obat
melulu tetapi juga karena bantuan tenaga dalam adik Hiong !
Kalau tidak, kesembuhanmu tak secepat ini !"
Hoay Giok mengawasi It Hiong yang duduk bersila sambil
memejamkan mata dan tubuhnya tak berkutik. Ia menghela
napas dan berkata : "Sungguh baik hatinya Tio sute. Aku
bersyukur bukan main !"
Tan Hong bersenyum.
Selagi sang waktu terus berjalan merayap, kesunyian terus
menguasai tanah pegunungan itu. Tan Hong bertiga merasa
aman. Tak pernah datang pula musuh. Mungkin Kiam Lam It
Tok repot membantu kedua muridnya dan Losat Bun tengah
menantikan si jago muda yang diharuskan datang pula guna
menjalankan syarat atau aturan partainya itu.........
Selekasnya It Hiong pulih seperti biasa, tanpa banyak
omong lagi ia mengajak kedua kawannya mencari lobang gua.
Mereka hendak lekas menolong Beng Kee Eng. Sekarang tak
ada lagi rintangan. Mereka mengingat-ingat dari mana


datangnya bokongan tadi. Mereka pun melihat dari mana Kim
Lam It Tok muncul dan kemana ia pergi.
Tidak terlalu lama mereka menggunakan waktunya. Sarang
Ular itu lantas dapat ditemukan. Letaknya tak seberapa jauh
dari mulut sumber air. Mulut gua itu teraling rapat oleh akar
rotan, pantas sukar dicarinya.
It Hiong menghunus Keng Hong Kiam. Dengan itu
membabati sekalian akar yang merintanginya. Setelah itu
dengan berani ia memasuki lobang itu. Tan Hong dan Hoay
Giok ia ajak bersama. Lobang itu berupa seperti terowongan.
Di langitnya terdapat stalaktit. Dari situ menetes terus air
seperti butiran-butiran air es. Karenanya, tanahnya lembab.
Sejauh lima tombak di sebelah depan tampak sinar terang dari
sebuah lentera yang digantung di dinding. Cahaya itu hanya
cukup buat orang mengenali jalanan.
Ketiganya maju dengan perlahan, senjatanya masingmasing
siap sedia. Selewatnya belasan tombak, mereka
melihat makhluk bergerak-gerak di tanah.
"Ular !" seru It Hiong yang berjalan di muka. Tangannya
dipakai mencegah kedua kawannya maju lebih jauh.
Tan Hong dan Hoay Giok berhenti. Mata mereka
mengawasi kepada makhluk itu.
Di sana ada sekumpulan ular besar dan kecil, ada yang
kuning, hijau dan merah dan belang juga. Selainnya yang
bergerak-gerak, ada yang mengangkat kepalanya dan
mengulur memain lidahnya, sedangkan semua matanya
bercahaya bengis. Risau rasanya mengawasi sekalian binatang
dengan sikapnya yang mengancam itu........


"Sekarang bagaimana, adik Hiong ?" tanya Tan Hong. Ia
gagah tetapi ia jeri terhadap binatang merayap itu. Dia tak
bebas seluruhnya dari tabiat wanita, takut akan ular. "Hebat
sarangnya Kiu Lam It Tok ! Ular melulu !"
Tanpa malu-malu si nona merapatka tubuhnya pada It
Hiong dan menyendernya.
It Hiong bersikap tenang. Setelah mengawasi sekian lama,
tangannya merogoh sakunya mengeluarkan peles obatnya. Ia
mengulapkan itu di muka si nona.
"Buat apa takut, kakak ?" katanya. "Kita toh mempunyai
obat dari pendeta tua dari Bie Lek Sie itu. Mana dapat ular
beracun ini mencelakai kita ? Sia-sia saja segala akalnya Kiu
Lam It Tok terhadap kita !"
Lantas si anak muda membuka tutup peles dan mengambil
isinya. Ia memberikan tiga butir masing-masing pada si nona
dan Hoay Giok. Ia sendiri mengambil tiga butir pula untuk
bersama-sama memakannya.
Hoay Giok pernah merasai pagutan ular beracun. Walaupun
ia telah menelan obat, hatinya masih cemas. Ia berjalan
dengan berhati-hati sekali. Matanya dipasang tajam-tajam.
"Ular memenuhi jalanan, mana dapat sekali gua semuanya
dibinasakan......" kata ia bersangsi. "Biar bagaimana kita sukar
luput dari pagutan satu diantaranya........ Biarnya kita sudah
makan obat, kita toh harus waspada......... Sute, aku pikir
harus kita mencari jalan paling mudah untuk
melewatinya.........."


Perlahan-lahan Tan Hong mendapat pulang ketabahan
hatinya. Ia berpikir selekasnya ia mendengar kata-katanya
Hoay Giok.
"Kakak Whie, kenapakah kita tidak mau menggunakan api
?" katanya kemudian. "Bukankah ular dan binatang buas
lainnya takut api ?"
"Benar, benar !" menjawab Hoay Giok girang hingga ia
menepuk-nepuk tangan. "Sungguh kau cerdik Nona Tan !"
It Hiong berdiam, ia menggeleng kepala, alisnya
dikerutkan.
"Kau takuti apa, sute ?" tanya Hoay Giok heran.
"Api dan asap dapat mengusir ular." sahut si anak muda.
"Tetapi asap pun dapat membuat Paman Beng sukar bernafas
hingga ia terancam bahaya lain........"
"Tapi kita harus dapat mengira-ngira menggunakannya."
kata Tan Hong bersenyum. "Bagaimana kalau kita membuat
sejumlah obor dari kayu atau cabang-cabang kering. Kita sulut
dan ombang-ambingkan itu sembari kita berjalan maju ? Aku
bukan maksudkan kita membakar habis semua ular ini......"
Selagi bicara itu, Nona Tan tampak gembira sekali.
It Hiong memandang nona itu, lalu ia tunduk dan berkata
dengan perlahan : "Kembali seorang Kakak Cio Kiauw In......."
Manis Tan Hong merasa mendengar pujian itu. Ia
disamakan dengan Kiauw In, si cantik, sabar dan cerdas.


"Ah, adik. Kau lagi mempermainkan aku !" katanya
bersenyum. "Mana dapat aku dipadu dengan Kakak Kiauw In
mu itu ?"
It Hiong berdiam. Kata-katanya nona itu bercabang dua.
"Mari kita bekerja seperti katanya Nona Tan !" Hoay Giok
menyela.
Dan dia lantas memutar tubuh, buat lari balik untuk keluar
dari mulut gua.
Tan Hong menyusul, disusul juga oleh It Hiong.
Di lain detik, ketiga orang itu sudah kembali ke dalam
terowongan. Masing-masing mencekal beberapa ikat bahan
api. Mereka menyalakan api dan menyulut obor istimewa itu
hingga terowongan terang dengan cahaya apinya. It Hiong
dan Tan Hong berjalan maju berendeng, obor di tangannya
senantiasa di goyang-goyang ke kiri dan ke kanan.
Hoay Giok berjalan di belakang, membawa cekalan obor
lainnya untuk menggantikan setiap obor yang sudah padam.
Cara itu memberi hasil. Melihat api dan mencium bau asap,
semua ular lantas bergerak. Semua berebut lari ke sebelah
dalam terowongan. Mereka itu ketakutan dan berlomba
keluar. Dengan ular itu berebutan lari, It Hiong dapat maju
dengan terlebih cepat.
Terowongan mungkin panjang tiga puluh tombak. Habis itu
terlihat gua merupakan ruang, ada pembaringan, kursi dan
mejanya. Semua terbuat dari adukan batu hancur. Hanya
ruang ini kosong, tidak ada penghuninya. Sampai disitu, entah
semua ular menghilang kemana.......


"Suhu ! Suhu !" Hoay Giok memanggil-manggil.
Tidak ada jawaban, cuma terdengar kumandang yang
keras. It Hiong dan Tan Hong mencoba turut memanggilmanggil
tetapi cuma kumandang menjadi jawabannya. Setelah
itu mereka berdiam, mata mereka dipasang ke seluruh ruang.
Mereka mengharapi melihat sesuatu.....
Tiba-tiba dari satu pojok, dimana tampak rebung batu
terdengar suatu suara perlahan.
"Ah !" seru Tan Hong tertahan, lalu terus ia menarik ujung
bajunya It Hiong. Anak muda itu memasang mata.
Tan Hong bukan cuma menarik. Ia juga bertindak. Maka
bersama-sama berdua mereka pergi ke pojok itu. Kiranya di
belakang rebung batu itu terdapat sebuah ruang kecil yang
penuh terhamparkan rumput kering. Di situ terdapat sesosok
tubuh orang yang rebah tak berdaya. Melihat orang itu, It
Hiong berlompat maju lantas ia mengangkat dan
memondongnya, dibawa ke dalam ruang buat diletaki dengan
hati-hati diatas pembaringan batu.
Orang itu ialah Beng Kee Eng, paman atau guru mereka.
Dia membuka matanya yang lemah, mukanya pucat pasi
dengan mata yang guram itu dia mengawasi tiga orang yang
berdiri terpaku di hadapannya. Inilah sebab tegangnya hati
mereka itu.
Akhirnya It Hiong mencekal lengan sang paman, air
matanya turun meleleh.
"Paman !" panggilnya. "Paman !"


Bee Kee Eng berdiam saja. Ia mendengar seperti tak
mendengar, melihat seperti tak melihat. Ia tetap hanya
mendelong ! Hoay Giok berlutut di depan gurunya itu. Air
matanya bercucuran.
"Suhu !" panggilnya. "Suhu, kau kenapa ? Kenapa suhu
berdiam saja ? Apakah suhu tidak mengenali kami ?"
Murid itu lantas menangis dan It Hiong turut terus
mengucurkan air matanya. Di dalam keadaan seperti itu,
mereka bingung hingga seperti tak dapat berpikir dengan
tenang. Keadaan Beng Kee Eng sungguh mengharukan,
pantas membuat orang tak berdaya. Tan Hong tidak kenal
Beng Kee Eng, ia tak bersitegang hati seperti kedua anak
muda itu. Mau juga pikirannya tetap tenang. Ia cuma terharu
dan merasa berkasihan. Ia tidak bingung. Ia dapat berpikir.
Melihat keadaannya pemuda yang seperti lumpuh itu, Tan
Hong berlaku mantap dan cepat. Paling dahulu ia menotok
kedua pemuda itu pada masing-masing jalan darah hek tiam.
Inilah guna menenangkan mereka itu supaya kesadaran
mereka mudah pulih. Hendak ia mengambil hatinya It Hiong
dengan melakukan sesuatu. Setelah menotok kedua anak
muda itu, lantas Tan Hong mengawasi Beng Kee Eng.
Bagaikan mayat, Beng Kee Eng rebah tak bergeming. Dia
tak dapat bicara. Melihat keadaannya mungkin itulah akibat
totokan lawan pada jalan darahnya. Karena itu Nona Tan
lantas memperhatikan seluaruh tubuh orang guna mencari
kebenaran dari dugaannya itu.
Tak sulit akan mendapat kenyataan kecuali telah ditotok
kedua jalan darah hun hiat dan ahiat yang menyebabkan
orang tak sadar dan gagu, Beng Kee Eng pun ditotok jalan
darah sinToan di punggung, jalan darah hoktouw di belakang


pinggang juga jalan darah siang kiok di perut. Di semua
tempat tertotok itu terdapat tetesan darah.
Menyaksikan itu, Tan Hong sebal benar terhadap Kiu Lam It
Tok. Ia menganggap jago racun itu kejam sekali. Tapi ia harus
bekerja. Maka ia mengumpul tenaga dalamnya pada
tangannya, terus ia menepuk hun hiat dan hiat. Untuk tiga
jalan darah lainnya yang mengeluarkan darah ia menunda
sebab ia tidak mengerti dan kuatir nanti mencelakai jago itu.
Lewat sesaat, sadar sudah Beng Kee Eng. Hanya belum
dapat dia menggerakkan tubuhnya. Maka itu ia cuma bisa
mendelong mengawasi si nona yang dia tak kenal itu. Ia
merasa aneh.
"Locianpwe." Tan Hong lantas menyapa. "Kenalkah
locianpwe akan dua orang itu ?" Ia terus menunjuk kepada It
Hiong dan Hoay Giok yang lagi rebah di pembaringan batu itu.
Beng Kee Eng menoleh. Maka ia melihat keponakan dan
muridnya yang terasayang lagi tidur nyenyak. Ia
memperlihatkan rupa tak mengerti atau kaget, terus saja dia
menghela napas dan mengeluh. "Habislah........." Tapi sedetik
kemudian, mendadak tampangnya menjadi bengis.
"Siapakah kau ?" ia tegur Tan Hong, gusar.
Tan Hong girang mendapat jago itu sudah sadar benar.
Maka tanpa mau melayani teguran orang, justru pergi
menepuk-nepuk dahulu jalan darah It Hiong dan Hoay Giok
membuat kedua anak muda itu lantas mendusin setelah mana
ia menyesalkan si pemuda she Tio dengan mengatakan : "Adik
Hiong, mengapa nyalimu lemah tidak karuan ? Paling penting
ialah menolong dahulu Paman Beng !"


It Hiong dapat dikasihh mengerti. Segera ia menahan sedih
hatinya. Ia berlompat bangun sambil memanggil keras :
"Paman !" Terus ia lari kepada paman itu memelukinya.
Beng Kee Eng heran dan girang sampai ia mengeluarkan air
mata.
"Aku tidak sangka bahwa aku masih dapat menemui kalian,
anak-anak....." katanya terisak-isak.
"Adik Hiong, jangan bicara saja !" Tan Hong menyela.
"Telah aku periksa tiga buah jalan darah penting dari Paman
Beng telah kena terpagut ular beracun. Maka itu paling perlu
ialah kau mengobatinya dulu."
Beng Kee Eng mendengar itu, dia menarik napas dalamdalam.
Lantas dia kata lemah : "Ketiga luka jalan darah itu
bukan karena totokan atau pagutan ular, hanya disebabkan
tusukan jarum emas yang ada racunnya. Sudah lama aku
ditusuknya dan racun sudah bekerja lama menyelusup ke nadi
maka juga walaupun ada obat mujarab mungkin waktunya
sudah terlambat......."
"Jangan kuatir suhu." berkata Hoay Giok. Ia pun
menghampiri gurunya itu. "Orang baik diberkahi Tuhan Yang
Maha Kuasa. Adik Hiong mempunyai obat pemunah racun
yang sangat mujarab. Walaupun racun ular jahat sekali, obat
masih dapat memunahkannya."
Bagaikan baru terasadar It Hiong segera merogoh ke dalam
saku bajunya. Ia mengeluarkan peles obatnya dan mengambil
enam butir diantara obat itu dan dengan lantas ia memasuki
obat ke dalam mulut pamannya untuk dikunyah dan ditelan
sedangkan tiga butir lainnya dihancurkan dengan air untuk


dipakai memborehkan luka pada tiga jalan darah yang
membahayakan itu.
"Sabar Paman. Segera paman akan sembuh." ia menghibur
pamannya itu yang ia minta berdiam jangan bergerak guna
mengasi ketika obat berjalan dan bergerak.
Kee Eng menurut. Ia rebah dengan berdiam saja. Selang
satu jam ia bergerak karena mual. Ia muntah-muntah
mengeluarkan bau yang amis sekali. Bukan cuma itu saja,
juga ditempat yang luka lantas muncul kepalanya tiga batang
jarum ! It Hiong bertiga kaget berbareng girang. Hebat
obatnya si pendeta tua.
Tanpa ayal lagi pemuda she Tio itu menggunakan dua jari
tangannya akan menjepit dan mencabut ketiga jarum itu satu
demi satu, setelah mana lubang-lubang luka mengeluarkan
darah hitam. Jarum-jarum itu sendiri yang panjang tiga dim
bersinar kuning emas kebiru-biruan.
Kee Eng menarik napas dalam-dalam. Masih ia nampak
lesu. Masih dia berduka. Kata dia perlahan : "Semua jarum
telah keluar dan rasa nyerinya telah lenyap tetapi aku masih
sangat lemah, tenagaku tidak pulih. Tak dapat aku
menggunakannya. Nampaknya usaha kalian sia-sia
belaka........."
"Janganlah berkecil hati, locianpwe." Tan Hong menghibur.
"Jika benar-benar kami tidak berhasil menolong locianpwe,
akan kita bawa locianpwe turun dari gunung Ay Lao San ini
guna mencari tabib yang pandai guna menolong terlebih jauh
! Sekarang locianpwe sabar saja dan beristirahatlah dengan
tenang !"


Beng Kee Eng dapat dibujuki. It Hiong dan Hoay GIok pun
membantunya.
Malam itu dilewatkan mereka berempat di dalam sarang
ular itu. Selama menantikan sang waktu, Kee Eng dibantu
dengan pengurutan seluruh tubuhnya. Hanya kali ini obat
belum juga bekerja. Sampai pagi, jago tua ini belum dapat
pulang tenaganya, tak dapat ia bangun sendiri.........
It Hiong semua bingung. Mereka berpikir keras sampai
mereka ingat kepada Kiu Lam It Tok. Bahwa mereka harus
mencoba mencari jago Kwieciu Selatan itu buat mendapatkan
pertolongan-nya walaupun secara paksa. Ada pepatah yang
berkata : "Buat membebaskan orang dari ikatan mesti dipakai
tenaganya orang yang mengikatnya”
"Beng Locianpwe." Tan Hong lantas tanya Kee Eng.
"Tahukah locianpwe dimana Sia Hong menyembunyikan
dirinya ?"
"Malam itu sepulangnya Sia Hong, dia repot mengobati
kedua muridnya." Kee Eng memberikan keterangan. "Habis itu
dia menotok dan menjarumi aku hingga aku tidak tahu apaapa
lagi.........."
Benar-benar sulit.
It Hiong bertiga menggeledah seluruh ruang itu untuk
mencari obat selama satu jam sia-sia saja. Mereka tidak
mendapatkan sesuatu tetapi pemuda she Tio itu penasaran,
dia mencari terus. Ia mengikuti setiap dinding. Akhirnya dia
menemukan sebuah lubang yang tertutup tapi didalam situ
tersembunyi sebuah kotak kecil terbuat dari kayu yang
atasnya berukiran tiga buah huruf, bunyinya "Kay Tok Tan"
artinya pil pemunah racun.


"Aku berhasil !" ia berseru dalam girangnya. Lantas ia
membuka tutup kotak atau segera ia berdiri menjublak saja !
Kotak itu kosong melompong ! Ada juga segumpal kertas
kecil yang bertuliskan : "Racun ular pada tubuhnya si orang
she Beng dapat menyambung jiwanya sampai tiga bulan.
Sampai di Rapat di gunung Tay San. Jika kalian benar
mempunyai kepandaian, obat pemunahnya akan didapatkan.
Sia Hong."
Hoay Giok menggertak gigi saking mendongkol. Lantas ia
mencaci maki Kiu Lam It Tok yang dikatakan kejam dan licik.
Tak ada perasaannya sebagai orang Kang Ouw sejati !
"Si bajingan tukang main racun sudah kabur, percuma kita
mencaCinya." berkata Tan Hong. "Sekarang ini paling perlu
kita melindungi Beng Locianpwe berlalu dari gunung ini."
Itulah benar. It Hiong dan Hoay Giok pun dapat menyabari
diri.
"Kakak benar." kata It Hiong. "Kita terusl menuruti saja
suara hati kita hingga kita melupakan tugas kita."
"Si bajingan berkata kita masih mempunyai waktu tiga
bulan. Mungkin dia dapat dipercaya." kata Tan Hong pula.
"Syukur, waktu itu cukup lama. Maka yang penting sekarang
ialah kita harus menghadapi pihak Losat Bun. Setelah berhasil
meninggalkan gunung ini, selanjutnya pasti locianpwe akan
dapat ditolongi ! Nah, mari kita bekerja !"
Hoay Giok dan It Hiong setuju. Hoay Giok segera
menghampiri gurunya. Ia membuka ikat pinggangnya guna


memakai itu melibat tubuh sang guru yang ia angkat dan
gendong. Ia minta sang guru suka bersabar dan bertahan.
"Mari !" kata anak muda ini selesai berdandan. Goloknya ia
cekal di tangan kanan.
Tan Hong dan It Hiong mengikuti, tetapi It Hiong sambil
berkata : "Kakak Whie, kau jalan di muka. Aku telah berunding
dengan kakak Tan, ia akan ikut kau buat melindungi kalian.
Aku sendiri akan jalan di belakang buat menjaga kalau-kalau
musuh datang mengejar. Apa juga terjadi atas diriku, kau
jangan pedulikan. Kalian lari terus asal paman selamat !"
Itulah kata-kata mirip pesan terakhir.
Hoay Giok mengerti.
"Dimana nanti kita bertemu ?" tanyanya.
"Aku pikir tempat itu ialah Siauw Lim Sie di Siong San."
sahut It Hiong. "Di manapun ada ayah angkatku, itulah tempat
yang aman ! Nah, sampai kita berjumpa pula di gunung itu !"
"Tetapi aku....." tiba-tiba Tan Hong berkata, suaranya
tertunda.
"Memang kakak tidak dapat pergi ke Siauw Lim Sie."
berkata It Hiong. "Baik kakak mengantar paman sampai di
tempat yang aman. Selanjutnya terserah kepada kakak sendiri
! Kakak telah banyak melepas budi padaku. Aku, Tio It Hiong
akan aku ingat itu untuk membalasnya !"
Bukan main berdukanya Tan Hong. Ia mesti berpisah dari
adik itu sedang sampai sebegitu jauh mereka bertiga telah
seperti sehidup semati. Tapi ia tahu suasana. Itulah


perpisahan yang sukar dihindari. Dengan lesu, bahkan sedih ia
berkata : "Adik, kau memandang aku sebagai orang luar.
Dengan perpisahan ini, sampai kapan kita akan jumpa pula.
Entah aku masih mempunyai untung baik menemukan kau
pula atau tidak."
It Hiong melengak. Ia terharu. Hanya sekejap, terbangun
pula semangatnya. Lantas ia berkata sungguh-sungguh.
"Kakak, kau telah pertaruhkan jiwa ragamu membantu kami
mencari dan membantu Paman Beng, budimu yang sangat
besar itu tak nanti aku lupakan. Hanya sekarang, suasana
memaksa kita berpisah ! Kakak, biar kita berpisah buat
sementara waktu saja ! Jangan kakak bersusah hati !
Bukankah bakal lekas tiba saatnya Rapat Besar di gunung Tay
San ? Nah, waktu rapat itu ialah waktu pertemuan kita pula.
Bukankah itu bagus ?"
Tan Hong diingatkan akan rapat besar itu Tay San Tay
Hwe. Ia nampak girang.
"Bukankah rapat itu bakal diadakan nanti bulan delapan
tanggal lima belas ?" kata ia bertanya.
"Benar, kakak !" sahut It Hiong. "Sekarang sudah bulan
enam tanggal pertengahan, maka ini waktu perpisahannya
tidak lama lagi !"
Hoay Giok mendengari pembicaraan itu.
"Mari !" ia mengajak, sebab pembicaraan pun telah selesai.
Maka berlalulah mereka dengan cepat, meninggalkan
sarangnya Sia Hong itu.


"Hoay Giok," kata Kee Eng selagi mereka menuju ke mulut
gua. "Di dasar terowongan ini ada jalan rahasia, jadi tak usah
kalian ambil jalan mulut gua yang sukar itu. Mari aku tunjuki
jalannya."
Itulah bagus. Maka orang menuruti kata-kata orang tua itu.
Lantas mereka mengubah tujuan ke dasar gua. Jalanan gelap
dan berliku-liku, sempit dan sulit sekali.
Tan Hong cerdik. Untuk mengatasi jalan yang gelap, ia
mengambil sebuah lentera dari dalam raung hingga
selanjutnya mereka memakai penerangan yang membuat
mereka dapat berjalan jauh terlebih cepat.
Lewat satu jam mereka lantas melihat cahaya matahari.
Bukan main leganya hati mereka. Telah mereka keluar dari
sarang ular. Matahari sudah berpindah ke barat. Ketika itu
kira-kira jam tiga atau empat lohor.
It Hiong memandang ke sekitarnya akan melihat arah buat
mencari jalan meninggalkan gunung itu. Ia lantas menuju ke
arah kiri, Hoay Giok dan Tan Hong mengikutinya. Terpaksa ia
yang mesti membuka jalan. Waktu mereka sampai di tempat
tadi malam mereka menempur Cian Piu Longkau Sutouw Kit,
mayatnya tongcu dari Losan Bun itu sudah tidak ada, tinggal
darahnya saja di atas rumput.
"Ah..." ia menghela napas. Terus ia bersiul buat melegakan
hatinya.
Baru berhenti siulannya anak muda ini atau dari suatu
pojok gunung, mereka melihat munculnya serombongan
orang, ialah serombongan orang berseragam topi dan
pakaiannya berkembang yang semuanya membekal golok.
Cepat sekali mereka itu sudah memegat jalan.


"Kakak Hoay Giok !" berkata It Hiong. "Kakak Hong ! Kalian
teruslah tetapi kalian harus berhati-hati !"
Lantas anak muda ini dengan pedang terhunus berlompat
maju ke depan guna menghampiri orang Losat Bun itu, mau
membuka jalan supaya kedua kawannya dapat menerobos
rombongan penghadang itu guna pergi meloloskan diri. Ia
pula tahu karena lawan berjumlah besar, ia memerlukan
pertempuran dengan waktu singkat dan demi itu, mesti
bersikap telengas.
Kawanan Losat Bun itu berjumlah kira-kira tiga puluh
orang, mereka berbekal golok dan juga pedang. Yang menjadi
kepala tiga orang, berada paling muka. Yang satu ialah Lou
Hong Hui. Dari dua yang lain, merekalah seorang touwlo atau
rahib dan seorang tua. Si rahib yang kepala dan rambutnya
dilibat gelang emas bermata gede dan beralis gemplok, daging
di mukanya pada menonjol dan senjatanya ialah sebatang
tongkat kuningan. Dan si orang tua yang berkulit mukanya
gelap memiliki mata tikus yang bersinar tajam dan di
punggungnya tergemblok senjatanya, golok sepasang. Kiranya
mereka itulah murid-murid murtad dari Siauw Lim Sie : Tiat Lo
han Loe Liong dan Co siang Hui Kan Tie Uh.
Sebenarnya mereka itu berdua lagi melakukan perjalanan
mencari kawan guna menghadiri Tay Sam Tay Hwea. Mereka
main hasut sana dan hasut sini. Kebetulan mereka tiba di Ay
Lao San. Mereka menemui anaknya Sutauw Kit terbinasakan.
Lantas mereka menyatakan suka memberi bantuan buat
membalaskan kepada musuh terus mereka menemani Lou
Hong Hui.


Lebih dahulu daripada itu, mata-mata Losat Bun telah
mencari tahu tentang rombongannya It Hiong itu. Maka
mudah saja mereka ini dipegat.
Karena kedua belah pihak sudah menjadi musuh yang
saling mengenal dengan yang lain, pertempuran segera
dimulai. Dimulai oleh Hong Hui yang memberi isyarat lirikan
mata kepada kedua kawannya hingga kedua kawan itu maju
dengan segera, menyerang kepada It Hiong.
It Hiong membentak : "Bagus kamu bertiga maju
berbareng !" Terus ia menggerakkan pedangnya dan
menyambut serangan. Lantas ia menggunakan Khie bun
Patkwa Kiam. Hanya kali ini ia bergerak ketiga arah sebab
musuhnya tiga orang !
Kee Liong sangat mengandalkan tenaga dalamnya yang
istimewa dan juga senjatanya yang berat. Dengan berani dia
menyambut It Hiong. Niatnya buat menyampok terpental
pedangnya pemuda itu.
Selekasnya kedua senjata beradu, percikan apinya
bermuncratan. Suaranya terdengar nyaring, lantas si rahib
menjadi sangat kaget. Gagal senjatanya yang dia buat
andalan itu bahkan tangannya yang kanan bergemetaran
hingga hilang tenaganya. Terpaksa dia mundur satu tindak.
Justru itu Kan Tie Uh berlaku licik. Dia justru menyerukan
mereka itu : "Saudara-saudara ! Kalian lihat bocah itu ! Aku si
tua hendak membereskan kawan-kawannya !" Terus dia
berlompat untuk Hoay Giok yang menggendong gurunya,
bahkan dia segera menyerang dengan bacokan yang hebat.
Sama-sama dari pihak Siauw Lim Sie, Hoay Giok kenal ilmu
silatnya rahib itu. Yang sulit untuknya ialah ia lagi


menggendong gurunya hingga ia tak bebas menggunakan
goloknya. Tapi ia tidak putus asa. Ia tahu bagaimana harus
mengendalikan diri. Maka dia menjauhkan dirinya secara
lincah.
Kan Tie Uh penasaran. Dia mendesak terus. Sebentar saja
dia sudah membacok lima kali saling susul. Sampai di situ dia
barulah dihadang Tan Hong. Nona ini menghadang sambil
terus menusuk matanya dengan sanhopang. Dia terkejut. Dia
berkelit. Karenanya bebaslah Hoay GIok.
Kan Tie Uh berkelit dengan jurus silat "Jembatan Papan
Besi", hampir pipinya tersentuh ruyung. Tetapi toh ia merasai
giris. Ia menjadi kaget berbareng gusar. Karena ia kenal si
nona, ia lantas saja mendamprat : "Hai budak bau dari Hek
Keng To ! Kau hendak mencari laki ?
Muka Tan Hong menjadi merah. Ia dikatakan mencari laki !
Maka terbangunlah sepasang alisnya terus dia membentak :
"Siapakah yang menentang partai ? Kau toh tahu sendiri
bukan ? Bagus kau mempunyai muka akan menegur lain
orang ! Kau lihat senjataku !"
Nona ini tidak takut. Ia maju sambil menikam.
Kan Tie Uh memuat perlawanan. Dia menggunakan jurus
silat Lohan To, Golok Arhat yang dia robah menjadi ilmu golok
kaun Bwe Hoa Hun. Dia pula berlaku bengis. Dia sangat
membenci si nona dan berniat merampas jiwanya. Sesudah si
nona binasa, pikirannya mudah saja dia nanti merobohkan
Hoay Giok dan membekuk Beng Kee Eng.
Walaupun ia berani, Tan Hong tidak mau melawan keras
dengan keras. Ia insyaf bahwa ia kalah tenaga. Maka
sebaliknya ia melawan keras dengan kelunakan. Lekas-lekas ia


mengerahkan tenaga lunak dari Mo Teng Ka, ilmunya dari
pihak Hek Keng To, pulau ikan Lodan Hitam. Dengan
kelincahannya, ia seperti bersilat berputaran di sekitar lawan
ganas itu.
Tengah mereka berdua bertempur itu, mendadak mereka
dikejutkan satu jeritan yang menyayatkan hati. Tanpa merasa
keduanya berhenti berkelahi hampir berbareng. Mereka
berpaling ke arah dari mana jeritan itu datang.
Di sana tampak Kee Liong rebah mandi darah. Darah masih
menyembur keluar dari dadanya yang terkena padang Keng
Hong Kiam dari It Hiong. Sebab si anak muda tidak suka
memberi hati padanya dan merobohkannya dengan cepat.
Bahkan It Hiong berhasil juga membekuk Lou Hong Hui,
tangan siapa dicekal erat-erat hingga nyonya itu berdiam
sambil mukanya meringis menahan nyeri cekalan itu ! Dia pun
bermandikan peluh pada mukanya.
It Hiong menjadi sengit. Biar bagaimana ia mesti menolong
menyelamatkan pamannya. Maka itu ia tahu yang ia mesti
berkelahi cepat. Itu artinya ia mesti bersikap keras. Karena ini
dengan lantas ia menggunakan ilmu ringan tubuh Tangga
Mega yang sangat diandali itu. Dengan begitu, ia bisa
bergerak dengan sangat gesit. Dengan begitu juga berhasil
mendesak lawan-lawannya. Dia selalu menggunakan tangan
kirinya akan menyerang dengan jurus-jurus Hong Liong Hok
Houw Ciang dari ayah angkatnya.
Kee Liong lihai, selain bekas orang partai Siauw Lim Pay, ia
pula ketua Tay Sora Ban dan latihannya latihan dari beberapa
puluh tahun. Dia termasuk orang kelas satu. Di lain pihak, dia
dibantu Lou Hong Hui, wanita kaum Kang Ouw ilmu silat
tangan kosong Im Yang Ciang, dia jadi berbesar hati. Hanya
sayang dia justru menghadapi muridnya Tek Cio Siangjin atau


anak pungutnya In Gwa Sian. Dia seperti bertemu binatang
pawangnya. Di lain pihak lagi It Hiong pula tak sudi
membuang-buang waktu yang berharga.
Begitulah kapan telah tiba saatnya senjata mereka beradu
setelah mereka bertempur lima puluh jurus lebih, It Hiong
menggunakan siasat membalas penyerangan dengan
penyerangan. Dengan keras ia menyampok tongkat lawan
hingga tongkat terpental, lantas ia meneruskan menikam ke
arah dada Kee Liong. Kee Liong mati daya, dadanya terkena
pedang yang tajam itu. Maka menjeritlah dia dan tubuhnya
roboh dengan bermandikan darah itu !
Hong Hui kaget menyaksikan kawannya roboh binasa,
tetapi ia tidak menjadi takut dan lari. Justru It Hiong belum
bersedia, dia membarengi menyerang dengan pukulan Im Yan
Ciang. Tak terkecewa dia digelarkan si kejam.
It Hiong menyambar pedangnya dari tubuhnya Kee Liong
ketika serangannya si nyonya itu tiba. Tidak dapat serang itu
ditangkis dengan senjata. Terpaksa ia berkelit terus tangan
kirinya dipakai membalas menyerang. Hanya mendadak ia
merubah serangannya menjadi tangkapan, ialah ia
menyambuti menangkap tangan si nona dengan jurus "Di
tengah Laut Menawan Naga". Ia berhasil dengan
tangkapannya itu. Ia berubah pikiran karena ia ingat belum
tentu Hoay Giok dapat lolos. Andiakan pemuda itu dan
gurunya kena ditawan Losat Bun, Hong Hui bisa dipakai
sebagai orang tukaran. Jika tidak, mudah saja ia merampas
nyawanya si nyonya nanti !
"He, murid murtad dari Siauw Lim Pay. Masihkah kau tidak
mau mengangkat kaki ?" bentak It Hiong melihat Kan Tie Uh
masih membandel. Ia menarik tangannya Hong Hui buat
diajak berjalan.


Kan Tie Uh takut sekali. Dua kawannya telah mati atau
tertawan. Tidak ayal sedetik juga, ia memutar tubuh dan lari
menghilang di dalam sebuah tikungan.
Jilid 24
Beberapa puluh orang berseragam itu kaget dan jeri hati,
lantas mereka berseru-seru saling mengisyaratkan. Mereka
juga lantas memutar tubuh dan lari menyelamatkan diri.
Sebaliknya It Hiong bertiga lantas berkumpul. Hoay Giok tidak
berlari terus karena musuh telah tumpas dan kabur.
Ketika itu sang magrib pun mulai tiba.
It Hiong menyuruh Hong Hui duduk ditanah. Ia
menotoknya membuat orang tak dapat bergerak, kemudian
baru ia masuki pedangnya ke dalam sarungnya. Baru sekarang
ia menghela nafas lega.
"Kakak Whie, bagaimana dengan Paman ?" tanyanya. Ia
lantas duduk untuk beristirahat.
Sunyi di sekitar mereka, cuma ocehan sang burung yang
terdengar.
"Guruku tak kurang suatu apa," Hoay Giok menjawab.
"Takut Nona Tan datang disaat yang tepat hingga aku bebas
dari ancaman si bajingan yang telengas sekali. Dia mendesak
hebat kepadaku !"
It Hiong berpaling kepada Tan Hong, wajahnya menunjuki
dia sangat bersyukur, hendak ia mengucapkan sesuatu tetapi


dia batal. Inilah sebab dia bersangsi, tak berani dia sembarang
bicara. Dia takut dengan menghaturkan terima kasih, si nona
nanti tersinggung dan ia bakal bersusah hati. Hal itu pernah
terjadi beberapa kali. Maka itu, cuma sinar matanya yang
menunjukkan terang bahwa dia bersyukur sekali.
Selagi si pemuda mengawasinya, Tan Hong juga lagi
memandangi si anak muda itu. Dengan begitu sinar mata
mereka seperti bentrok satu dengan lain. Maka juga kontaklah
hati mereka. Keduanya sama-sama berdiam. Tan Hong
merasa hatinya sedap sekali, terpaksa, ia bersenyum.
Sungguh ia cantik manis.
Sementara itu Kee Eng telah menyaksikan apa yang terjadi.
Saking tidak berdaya, ia berdiam saja. Tenaganya telah hilang
dan belum mau pulih kembali. Melihat It Hiong menjadi
demikian gagah, ia kagum sekali, hatinya lega. Benar hebat
keponakan itu.
"Inilah yang dibilang gelombang sungai Tiang kang yang di
belakang mendorong ombak yang di depan." kata ia menghela
nafas saking kagumnya itu. "Kau telah memiliki ilmu silatmu
ini, anak Hiong. Di belakang hari apa yang diimpi-impikan
kelak kau pastilah akan memegang pimpinan rimba persilatan.
Dengan begitu maka saudaraku Siu Pek akan memperoleh
turunannya yang sejati !"
Saking lega hatinya jago tua itu meneteskan air mata
kegirangan. Di dalam hati It Hiong puas karena paman itu
memujinya, tetapi yang menggerakkan hatinya ialah disebut
nama "saudaraku Siu Pek" itu. Selama beberapa tahun belum
pernah ia mendengar lain orang menyebut nama ayahnya,
hanya kali ini oleh Kee Eng saking kagumnya. Justru ia
mendengar nama ayahnya itu, terbangunlah semangatnya. Ia
menjadi ingat punahnya keluarganya, peristiwa yang sangat


menyedihkan dan menyakitkan itu. Ia telah berhasil menuntut
balas tetapi ia toh ingat halnya ia telah berpisah dari ayah
bundanya itu. Ia sadar tetapi ia lantas seperti membayangi
peristiwa terjadi. Ia menjadi bersedih, air matanya meleleh
tanpa merasa...
Berempat mereka berduduk di rumput, semuanya berdiam
saja. Mereka berpikir masing-masing. Selama berdiam, mereka
mengingat sesuatu. Angin magrib pun bershilir halus meniup
pergi hawa panas sang siang mendatangkan hawa nyaman.
Tan Hong melihat tibanya sang sore lantas ia mengeluarkan
rangsumnya dan membagi-bagikannya.
"Malam ini kita harus dapat turun dari Ay Lao San ini" kata
ia sembari tertawa. "Mungkin akan terjadi pula pertempuran
dahsyat. Maka itu perlu kita makan dengan cukup !"
Mendengar suaranya si nona, parasnya It Hiong berubah.
Selagi beristirahat buat sedetik ia seperti melupakan diri masih
berada di tempat berbahaya itu. Maka ia lantas berkata
memesannya: "Aku percaya Kwie Tiok Giam Po lihai sekali,
seandianya aku mesti bertempur dengannya asal kita
bergebrak, aku minta kakak bersama suheng lantas
melindungi paman menyingkir dari sini supaya lekas-lekas
kalian dapat turun gunung. Tentang bagaimana akan aku
meloloskan diri, jangan kalian pikirkan !"
"Aku mengerti adik," sahut Tan Hong mengangguk,
suaranya perlahan dan air matanya tergenang.
It Hiong makan dengan cepat, lantas ia bangun berdiri.


"Sudah tiba saatnya !" berkata dia. "Mari kita turun gunung
!" Dia terus menotok Hong Hui buat membikin orang supaya
dapat bergerak, terus dia menuntunnya pergi berjalan.
Hoay Giok merapikan gendongan dan turut berangkat
diiringi oleh Tan Hong. Lari belum lama sampai sudah mereka
di depan sarangnya Losat Bun. Di sana tampak bayangan dari
banyak orang bergerak-gerak dan terlihat juga kilauannya
pelbagai macam senjata.
It Hiong membawa sikapnya seorang laki-laki sejati. Dia
tidak lantas maju untuk menyerang hanya dia berdiri di muka
pintu gerbang, untuk memperdengarkan suaranya yang
nyaring, "Kauwcu dari Losat Bun, mari kita membuat
pertemanan ! Sukalah kau memperlihatkan diri !"
"Tunggu !" berseru seorang Losat Bun yang menjaga pintu.
"Kenapa kita tidak mau menyerbu dan pergi selagi si nenek
tua belum muncul ?" tanya Tan Hong berbisik pada si anak
muda.
"Kau lihat itu di kiri dan kanan, kakak," berkata It Hiong
sambil tangannya menunjuk. "Aku percaya di sana telah
tersembunyikan banyak orang untuk memegat dan merintangi
kita. Lihat saja, mereka begini tenang. Mestinya mereka sudah
mengatur perangkap.
Tak nanti Kwie Tiok Giam Po demikian baik budi
membiarkan kita meninggalkan gunung dengan dia tak
mengambil suatu tindakan. Maka itu baik kita menemukan
dulu baru kita bertindak."
Selagi mereka bicara, diambang pintu gerbang sudah
bermunculan orang-orang Losat Bun, pria dan wanita semua


berseragam, senjatanya golok dan pedang dan sebelah
tangannya pada memegang obor terang-terang. Jumlah
mereka itu lima atau enam puluh orang. Langsung mereka
memasuki lapangan dimana mereka terus memecah diri di dua
Barisan kiri dan kanan. Obornya diangkat tinggi hingga seluruh
lapangan menjadi terang sekali.
Menyusul pasukan pertama itu muncul lagi seBarisan kecil
dari dua belas orang nona-nona, rambutnya yang terbuka
memakai ikat rambut berkembang. Semua mereka
mengenakan jubah panjang dengan kaki telanjang juga.
Sebagai senjata pedang panjang ditancap di punggung
mereka. Empat orang yang paling belakang membawa lentera
yang biasa dipakai di dalam istana raja-raja.
Merekalah yang mengiringi seorang wanita tua. Itulah si
nenek Kwie Tiok Giam Po, ketua dari Losat Bun.
"Cis" Tan Hong meludah. "Segala Losat Bun saja memakai
aturan bau semacam ini !"
Nona Tan sebal dan jumawa sekali.
Si nenek tua berjalan terus tanpa menghiraukan
rombongan It Hiong, setibanya ditengah lapangan, lantas ia
menjatuhkan diri untuk berduduk di atas kursi, yang terus ada
yang menyediakannya. Lantas empat pengiringnya
mendampingi di kiri dan kanan. Dan dua belas nona-nona
lainnya itu berkumpul ditengah lapangan itu, tapi hanya
sekejap, lantas mereka memecah ke empat penjuru, mengatur
diri tanpa bersuara.
Selesai itu dengan satu bentakan muncullah seorang
anggota Losat Bun pria. Dia bertindak maju untuk memberi
hormat kepada ketua atau raja agamanya. Habis itu dia


kembali, untuk menghampiri It Hiong. Sambil menuding dia
kata bengis pada si anak muda : "Kauwcu mengundang
engkau !"
It Hiong melirik Tan Hong dan Hoay Giok, lantas ia
serahkan Hong Hui pada Nona Tan. Ia sendiri bertindak maju,
mengikuti orang Losat Bun itu.
Diterangnya obor tampak wajahnya Kwie Tiok Giam Po
tidak memberi kesan lain kecuali dingin. Lantas dengan dingin
juga dia berkata keren : "Eh ! Bocah cilik. Inilah kau sendiri
yang lancang memasuki Ay Lao San, maka inilah saatnya kau
menerima hukuman mati ! Nah, ada apakah pesanmu yang
terakhir ?"
It Hiong tidak jeri sama sekali. Ia dapat mengerti sikap atau
adat luar biasa dari raja agama Losat Bun ini. Di dalam hati ia
merasa lucu dan tertawa karenanya. Dengan suara nyaring ia
menjawan : "Aku yang muda, aku biasa melakukan sesuatu
dengan tidak merembet-rembet lain orang, demikian juga kali
ini, akulah yang bertanggung jawab sendiri ! Katanya kau
lihai, kauwcu, aku bersedia akan belajar kenal dengan
kepandaianmu itu tetapi lebih dahulu hendak aku menanya
tegas-tegas kepadamu, bagaimana dengan sahabatku ini ?"
"Apakah mereka itu memikir akan turun dari gunung ini
dengan masih hidup ?" balik tanya si nenek.
Tapi It Hiong membentak : "Kauwcu ! Kaulah seorang tua
dan bekenamaan, kenapa sekarang sepak terjangmu ini tak
membedakan hitam dari putih dan putih dari hitam ? Apakah
kau tidak takut dunia rimba persilatan nanti mentertawakanmu
? Ingat kauwcu, jiwanya Lou Tongcu masih berada di
tanganku !"


Kauwcu itu berdiam. Dia berpikir keras. Lantas parasnya
nampak berubah. Ia tak sebengis semula.
"Kau mau berbuat apakah atas dirinya ?" tanyanya. "Kau
menghendaki apakah ?"
It Hiong menjawab cepat dan tegas, "Kau membiarkan
kawan-kawanku turun gunung dengan selamat, lantas aku
juga membebaskan tongcumu ini !"
Kwie Tiok Giam Po, si nenek tertawa.
"Jika aku menolak ?' tanyanya.
It Hiong menjawab nyaring : "Segera akan aku bunuh Lou
Hong Hui !"
Nenek itu menatap tajam si anak muda. Lantas ia menjadi
sabar.
"Bocah, kau bersemangat laki-laki !" katanya perlahan.
"Baiklah, aku terima baik keinginanmu itu !" Lalu terus ia
menggapaikan tangannya memanggil salah seorang
anggotnya kepada siapa ia bicara bisik-bisik atas mana
anggota itu segera berlalu pergi dengan berlari-lari !
Menyusul itu orang-orang Losat Bun lantas memisahkan diri
ke pinggiran, buat membuka jalan.
It Hiong segera berseru : "Kakak Whie ! Kakak Tan Hong !
Lekas kalian turun gunung, jagalah baik-baik Paman Beng !"
"Ya !" sahut Nona Tan yang lantas saja membuka
langkahnya turun dari gunung mendampingi Hoay Giok yang
menggendong gurunya. Sebagai seorang yang


berpengalaman, tak mau ia melepaskan Hong Hui, tangan
siapa ia terus cekal erat-erat hingga mereka bisa berjalan
bersama-sama. Ia pula tidak mau berlari-lari, sebaliknya ia
berjalan dengan perlahan-lahan.
Setiba ditangan lapangan, Tan Hong berpaling kepada It
Hiong untuk berkata dengan suara sedih : "Adik Hiong, kau
berhati-hatilah. Kami berangkat lebih dahulu !"
It Hiong menghampiri akan menggantikan mencekal
tangannya Hong Hui....
"Paman Beng, pergilah turun gunung !" kata ia pada
pamannya. "Jangan takut apa-apa, tak usah menguatirkan
anak Hiong !"
Beng Kee Eng seorang laki-laki sejati, ia insyaf akan
gawatnya keadaan itu maka itu disaat seperti itu, tak sudi ia
menggempur semangatnya keponakan itu, maka ia jawab
dengan gagah : "Ya !" Kepada Hoay Giok ia kata : "Lekas
berangkat !"
Baru saja jauh setombak lebih Tan Hong sudah berpaling
pula. "Adik Hiong !" katanya. "Sampai kapan saja akan aku
menantikanmu !"
"Aku tahu kakak !" sahut si anak muda singkat. "Kakak
pergilah !"
Berkata begitu anak muda ini diam-diam mengawasi
kepergiannya tiga orang itu sampai mereka turun gunung dan
lenyap diantara gelapnya sang malam. Ia tahu bahwa katakatanya
Tan Hong itu mengandung makna terlebih dalam,
hingga tanpa terasa ia berpikir keras. Ia sadar ketika ia
merasa Hong Hui lepas dari cekalannya dan waktu ia melihat


kesekitarnya ia mendapati ia sudah dikurung di empat penjuru
oleh orang-orang yang berseragam rambut panjang riapriapan
ke punggung dan bahunya serta dahinya dilibat dengan
semacam sabuk. Itulah serombongan dari dua belas orang
nona-nona, yang semua tangannya memegang pedang.
Cara berdirinya mereka itu menandakan bahwa mereka
telah mengatur diri dalam tiu, Barisan rahasia, Su Ciang Tiu
rangkap Pat Kwa Tiu. Ia insyaf akan ancaman itu maka ia
mengumpulkan semangatnya supaya pikirannya menjadi tetap
dan mantap.
Sekian lama anak muda itu berdiri tegak tetapi tenang, ia
melihat lawan belum bergerak sama sekali. Ia heran hingga ia
menerka-nerka.
"Entah mereka hendak menunggu apa ?" pikirnya. "Lebih
baik aku mendahului mereka. Aku harus mendahului keluar
dari kurungan tiu ini !"
Begitu ia berpikir begitu It Hiong menghunus Keng Hong
Kiam, hingga terdengar suara menyeresetnya yang nyaring
serta tampak sinarnya berkeredepan, begitu juga ia lantas
menyerang seorang nona yang berada di depannya sekali !
Hebat nona itu, luar biasa cepatnya dia berkelit. Dia
berlompat ke samping, pedangnya diputar melengkung.
Selekasnya It Hiong menarik pulang pedangnya, tempat
kosong nona itu sudah diisi seorang kawannya, sedangkan dia
sendiri menggeser mengganti tempat kawan itu Dan masih
mereka berdiam terus. Hingga tiu pun tetap diam tak
bergerak....


Menyaksikan sikap orang itu, It Hiong tak mau banyak pikir
lagi. Sudah pasti keputusannya ! Keluar dahulu dari dalam
kurungan tiu itu !
Kali ini si anak muda tidak menyerang seperti tadi. Ia
menjejak tanah sambil berseru terus tubuhnya loncat
mencelat. Inilah sebab ia menggunakan ilmu ringan tubuh
Tangga Mega. Ia berlompat tinggi dua tombak, pedangnya di
depan dadanya. Ia berlompat ke arah Pat Kwa Tiu... Barisan
segi delapan. Setelah tubuhnya turun, baru ia menikam nona
di depannya. Asal si nona berkelit pikirnya mau ia menerobos
keluar !
Aneh si nona. Dia tidak mengikuti kawannya tadi. Dia
bukannya lompat ke samping hanya mundur empat tindak,
menyusul mana kawannya lantas menggantikan lowongannya
itu untuk dia sebaliknya terus mengisi lowangan si kawan.
Habis itu lagi-lagi mereka berdiam !
It Hiong mendongkol. Jadinya ia cuma hendak di kurung
bukan buat diserang dan dirobohkan atau ditawan. Hampir ia
menuruti hawa amarahnya dan menerjang pula, baiknya ia
ingat pantangan tak boleh keras hati dan sembrono atau ia
bakal kena dikalahkan lawan. Maka itu ia menenangkan diri
berdiri diam sambil tangannya memegangi gagang pedang
mustikanya, matanya melihat dan melirik ke segala arah.
Menyusul itu maka dari luar tiu terdengar suara bangsi
nadanya, mendesak keras, seumpama teriakan seekor kuda
tengah kabur berlari-lari, suaranya tajam membuat telinga
orang ketulian seperti berbunyi mengacau.
Mendengar it tahulah It Hiong bahwa itu ada suara bangsi
lagi "Cie Ciu Toan Hua" Menyesatkan Yang Asli, Memutuskan
Nyawa.


Pasti itulah lagunya Kwie Tiok Giam Po yang hendak
mengasih pertunjukan apa. Ia lantas merasakan hatinya
goncang dan darahnya bergolak. Lekas-lekas ia menenangkan
diri dengan Hian Bun Sian Thian Khie kang, mulutnya
berkelemik mengucapkan sesuatu hingga lekas juga ia
memperoleh ketenangannya kembali.
Suara bangsi sementara itu telah menyebabkan tiu
bergerak-gerak. Empat nona-nona dari Siu Cian Tiu lantas
berjalan pesat mengitari si anak muda, rambut mereka teriapriap.
Sang angin dan pedang mereka berkeredepan,
menyilaukan mata. Segera mereka itu ditelan oleh delapan
nona-nona dari Pat Kwa Tiu, yang merupakan kurungan luar,
hanya itu mereka itu berjalan berputaran dengan perlahanlahan
dan mutarnyapun dari arah yang berlawanan. Maka itu,
itulah gabungan tiu yang aneh.
Selagi It Hiong tetap berdiam, hatinya tenang dan terbuka
dan matanya berwaspada. Nona-nona dari Su Ciang Tiu
berputaran makin cepat makin cepar sampai tubuh mereka
tampak mirip bayangan saja, membuat mata kabur
melihatnya. Adalah di saat itu sekonyong-konyong ke empat
nona berseru dengan berbareng dan berbareng juga pedang
mereka berkelebat menyerang orang
yang dikurungnya !
It Hiong sudah siap sedia, ia tidak menjadi bingung,
dengan tak kurang cepatnya ia memutar pedangnya sambil
tubuhnya ikut berputar juga, membela diri dari pelbagai
tikaman itu. Oleh karena ke empat nona berputaran terus,
tikamannya juga datang bertubi-tubi tak hentinya. Hebatnya
ialah pedang mereka itu sukar dapat diatas pedang mustika
kalau tidak pastilah semua sudah kena dikutungkan.


Pertempuran berlangsung terus. Tetap si anak muda
dikurung, saban-saban ia ditikam, selalu ia menangkis
menghindar diri dari bahaya. Belum berapa kali ia mencoba
membalas menyerang, senantiasa ia gagal. Nona-nona itu
sangat lincah.
Maka berlarut-larut pertempuran itu, tampak saja orang
berputaran dan sinar-sinar pedang berkelebatan. Rupanya si
anak muda mau dibikin letih. Tapi percobaan lawan gagal. Si
anak muda, berkat darah belut emas menjadi luar biasa.
Lewat sekian lama maka terlihatlah suatu perubahan. Gerak
geriknya nona-nona itu mulai menjadi kendor. Teranglah
bahwa mereka kalah kekuatan. Hal ini dapat dihati si anak
muda. Ia lantas menggunakan kesempatan. Maka lewat pula
beberapa waktu, keadaan lantas menjadi berbalik. Dari pihak
penyerang nona-nona itu menjadi pihak yang diserang.
Hingga mereka harus membela diri saja.
Selain kalah giat, nona itu juga kalah lihai dalam ilmu
pedang. Kalau tadi mereka menang diatas angin, itulah sebab
mereka mengandalkan kedudukan tiu serta tenaga kurungan,
mereka dapat bekerja sama dengan sempuna.
"Aduh !" mendadak ke empat nona-nona itu menjerit
dengan berbareng. Itulah sebab It Hiong menyerang dengan
tiba-tiba, membabat kutung ujung pedang mereka itu disaat
mereka repot mengurung diri. Dengan terpaksa mereka
melompat mundur empat tindak, kalaupun tidak, mereka bisa
menjadi korban ujunnya Keng Hong Kiam.
Selekasnya ke empat nona itu mundur maka delapan nona
dianara Pat Kwa Tiu lantas menggantikan tempatnya, terus
saja mereka itu maju mengurung sambil menyerang.


Penyerangan teratur sama-sama seperti Su Ciang Tiu tadi.
Bahkan mereka berdelapan orang !
Menyusul pengepungan Pat Kwa Tiu itu suara bangsi
terdengar pula. Kembali Kwie Tiok Giam Po memperdengarkan
lagunya yang menggoncangkan hari itu, bahkan kali ini
nadanya berlainan dari tinggi dan keras menjadi halus dan
sedih, bagaikan kera-kera sesamputan di dalam lembah.
It Hiong telah mengerahkan tenaga dalamnya ia dapat
berlatih Hian Bun Sian Thian Khie kang dengan sempurna. Ia
tidak menghiraukan lagu yang hebat itu, ia hanya melayani
dengan seksama kedelapan lawannya.
Mereka itu tenaga-tenaga baru, mereka terlebih hebat dari
Su Ciang Tiu tadi.Kembali tak ada pedang yang bentrok satu
sama lain saking pandainya si nona menggunakan masingmasing
genggamannya.
Kembali yang tampak hanya bayang-bayangan yang
berkelebatan dan sinar-sinar pedang yang berkeredepan. It
Hiong dapat bertahan walaupun ia dikepung hebat.
Pedangnya lihai dan tenaganya cukup. Ia melayani dengan tak
kalah gesitnya.
Disamping itu suara bangsi masih tetap mengalun.
Rupanya Kwie Tiok Giam Po penasaran, dan mencoba terus
lagunya itu guna meruntuhkan semangat orang.
Belum terlalu lama atau seruan nyaring, merdu terdengar
riuh, lantas ke empat nona dari Su Ciang Tiu yang tadi
beristirahat maju pula guna membantui kawan-kawannya dari
Pat Kwa Tiu. Dengan demikian It Hiong menjadi dikepung
selusin nona-nona itu.


Pertempuran dahsyat itu membikin heran dan kagum
orang-orang Losat Bun yang berkumpul diluar tiu. Bahkan
Kwie Tiok Giam Po sendiri tidak menjadi kecuali hingga wajah
berkeriputannya menjadi semakin menjadi-jadi. Disatu pihak
dia ingin menjatuhkan si anak muda, di lain pihak dia
menyayangi kepandaian orang yang luar biasa itu tetapi
disebelah itu, dia pula sangat penasaran, sebab dia tidak
dapat segera merobohkan lawan itu. Dan sang penasaran
membuat hatinya panas. Hingga dia memikir buat
menggunakan lain macam ilmu kepandaiannya yaitu "Siu lo It
Khie kang" atau "Kekuatan Bajingan Asmara" Itulah suatu lagu
lain daripada "Bie Ciu Toan Hua" yang lihai tadi.
Ketika itu sang putri malam sudah bergeser ke tengahtengah
langit, cahaya putih peraknya memenuhi jagad hingga
segala apa di medan pertempuran dan sekitarnya itu tampak
terang sekali. Sudah begitu dari segala penjuru ada sinarnya
banyak obor.
Lagi-lagi It Hiong menghadapi kesukaran yang
membuatnya pening dan penasaran. Buat melindungi
keselamatan dirinya ia telah keluarkan kepandaian ajaran
gurunya dan juga yang dari kitab pusaka. Buat sementara ia
tidak bisa berbuat apa-apa kecuali membela diri dengan
waspada.
Si nyonya tua agak bingung ketika dia memperoleh
kenyataan pengepungan kali ini jika tidak lantas memberikan
hasil bahkan ia kuatir kedua belas muridnya itu nanti keburu
kehabisan tenaga seperti empat muridnya yang pertama.
Kalau mereka itu gagal, itu semuanya sia-sia, berarti kedua
tiunya itu tak dapat ditambal lagi, bahkan akan musnah
karenanya hingga namanya bakal turut runtuh....


Dengan tiba-tiba saja suara bangsi dihentikan, diakhirkan
dengan dua tekukan suara seperti suaranya burung bajingan.
Menyusul itu kedua belas nona-nona juga sudah lantas
berhenti bersilat secara berbareng, semua lantas berdiri diam
dalam kedudukannya masing-masing, tak bergerak, tak
bersuara.
It Hiong heran hingga ia pun berdiri diam bahkan
tercengang. Tak tahu ia lawan mau menggunakan cara apa
lagi. Sebenarnya ada niatnya akan menerobos tetapi ia raguragu
karena kuatir musuh nanti mempunyai perangkap
lainnya. Ia pula ingat walaupun ia tangguh, ia merasa letih
juga. Ia sudah berkelahi terlalu lama dan telah menggunakan
banyak sekali tenaga. Ia pula segera ingat pepatah yang
berupa pantangan kaum rimba persilatan : "Musuh tidak
bergerak, kita tidak bergerak. Kalau musuh mau bergerak, kita
harus mendahului". Maka tidak ayal lagi ia menjatuhkan diri
untuk duduk bersila guna meluruskan jalan nafasnya buat
beristirahat sambil mengumpulkan tenaganya, ia berwaspada
supaya ia tidak sampai dibokong lawan.
Begitulah, karena kedua belah pihak berdiam, sunyilah
medan pertempuran itu, kecuali siurannya sang angin malam.
Sinar rembulan membuat semua pedang kadang-kadang
berkilauan.
Lewat waktu sesantapan lamanya, tiba-tiba suara bangsi
terdengar pula. Kali ini suara itu tinggi dan tajam, tajam
seumpama kata dapat "Menjeblos mega dan memecah batu",
suara itu bagaikan mengalun naik ke langit. Siapa mendengar
lagu itu, telinganya terasa nyeri.
Sebagai susulan dari suara bangsi, pihak Losat Bun tidak
menggerakkan tiu-nya seperti semula tadi. Orang-orang Losat
Bun itu benar pada bergerak hanya bukan buat maju


menyerang tetapi justru buat berbaris kembali ke sarang
mereka, bahkan Cie Ciu Koan In
Lau Hong Hui turut mundur bersama. Hingga di dalam
waktu yang pendek semua mereka tak nampak lagi
bayangannya. Kecuali kedua belas nona-nona dari Su Ciang
Tiu dan pat Kwa Tiu serta pemimpinnya si nenek keriputan
yang lihai itu. Tapi kedua belas nona itu pun tidak berdiri
seperti patung hanya mereka telah melepaskan ikat rambut di
dahi mereka akan memakai pengikat itu buat membungkus
kepala mereka berikut telinganya masing-masing rupanya
guna mencegah gangguan lagu aneh itu. Sebab mereka
menutup juga muka mereka, sekarang mereka nampak mirip
bangsa iblis.
Selagi kawanan Losat Bun membuat gerak gerik yang aneh
itu, It Hiong juga sudah selesai beristirahat, hingga pulihlah
kesegarannya. Ia mendapat lihat gerak gerik orang, ia heran.
Ia menerka mungkin bakal terjadi lagi sesuatu. Maka ia
bersiap sedia.
Hanya ia tidak bangun berdiri. Ia tetap duduk bersila.
Diam-diam saja ia memasang mata dan telinganya.
Lagu Siulo I Khie kang dari Kwie Tiok Giam Po jahat sekali.
Itu bukan lagu belaka, hanya racunnya dia telah sebar dengan
jalan lagunya itu. Siapa mendengar lagu itu, sendirinya ia
telah kemasukan racun tanpa ia merasa, riangnya orang bisa
menjadi kalap, hebatnya mati dalam waktu beberapa jam
kemudian, tanpa ada obatnya...
Mulanya lagu itu tak keras tak lemah, lembut bagaikan
nyanyian burung, mirip seumpama air mengalir atau mega
melayan-layang. lagu itu beda pula disambutnya oleh kedua
belas nona-nona tadi. Tiba-tiba mereka bergerak-gerak


menurut lagu, mirip orang lagi menari sambil berlompatan,
untuk saling menukar kedudukan, seperti lawan kupu-kupu
terbang berpindahan, hanya setelah itu barulah mereka
berputaran memutari si anak muda. Pedang mereka
berkilauan tetapi mereka tidak menyerang si anak muda itu.
It Hiong menggunakan tenaga dari Hian Bun SIna Thina
Khie kang guna menentang lagunya si nenek keriput. Ia
berhasil menyelamatkan diri dari lagu beracun itu. Hanya ia
tidak tahu tentang bahanya itu sebab ia tak kenal akan ilmu
jahat si nenek bajingan. Terus ia berdiam, terus memasang
mata. Si nenek sebaliknya penasaran. Tiba-tiba dia telah
merubah nada lagunya itu menjadi keras sekali bagaikan
badai, bagaikan gelombang dahsyat seperti bergeraknya
tentara dari berlaksa jiwa.
Kali ini It Hiong terkejut. Hien Bun Sian Thian Khie kang
tangguh tetapi dalam halnya latihan, ia kalah lama daripada si
nenek. Lama-lama ada juga racun yang menyerang masuk ke
antara tiga puluh enam jalan darahnya. Tiba-tiba saja ia
merasakan kesehatannya terganggu dan jalan darahnya tak
lurus lagi, lalu sebelum ia tahu apa-apa, tubuhnya roboh tak
sadarkan diri !
Kwie Tiok Giam Po melihat lawan roboh, ia bersenyum iblis.
Sementara itu tapi juga kedua belas nona-nona muridnya
pada roboh sendirinya, semua pingsan seperti si anak muda.
Kapan dia melihat murid-muridnya itu, dia terperanjat.
"Ah !" sesalnya. "Karena aku hendak menempur bocah ini,
aku sampai melupakan semua muridku. Mana mereka dapat
bertahan dari laguku yang istimewa ?"
Lalu ia meninggalkan It Hiong, ia bertindak kepada sekalian
muridnya, ingin ia membantu mereka. Dengan menghampiri


murid itu si nenek mesti datang dekat kepada It Hiong yang
seperti terkurung para muridnya itu.
Perlahan-lahan majunya Kwie Tiok Giam Po justru ia baru
sampai pada murid-muridnya mendadak It Hiong berlompat
bangun, mukanya merah, matanya menyala, bersiul nyaring,
dia lompat menyerang musuh itu !
Si nenek terkejut, ia tidak tahu bahwa si anak muda sudah
terpengaruhkan lagunya. Berkat ketangguhannya Hian Bun
Sian Thian Khie kang serta khasiatnya darah belut emas, It
Hiong tidak lantas roboh terbinasa. Toh, dia itu semuanya
berada dalam keadaan separuh sadar separuh kalap. Justru ia
sedang sadar itu, ia menyerang musuhnya.
Kwie Tiok Giam Po terkejut tetapi ia masih mempunyai
kesehatan untuk berkelit, ia menggunakan tipu "Bayangan
setan", tubuhnya melejit babas dari ujung pedang mustika. Ia
berkelit sambil lekas-lekas menoleh akan melihat lawan itu
atau mendadak ia menjadi heran sekali.
Habis menyerang itu It Hiong bukan mengulangi
serangannya yang gagal, ia justru berlompat lari ke arah
dinding gunung !
"Kurang ajar" teriak si nenek saking gusar. Maka lupalah ia
pada murid-muridnya itu, terus ia lompat untuk lari menyusul
anak muda.
It Hiong kabur dengan merasakan tubuhnya panas seperti
bara, tetapi jantung dan nadinya belum kemasukan racun, ia
tetap sebentar sadar, sebentar kalap. Adalah diwaktu sadar ia
mengerti akan keadaan dirinya itu, maka ingat yang utama
ialah selekasnya bisa lari turun dari Ay Lao San, sebaliknya
disaat kalap dia lari terus ke dinding gunung diluar tahunya.


Demikian tanpa merasa ia sampai ditepinya jurang, didalam
mana terdengar suara air mengerocok keras. Lantas ia ingat
untuk mandi guna menghilangi rasa panas hebat itu. Tanpa
berpikir lagi ia loncat ke dalam jurang itu sebab ia percaya
itulah tentu sebuah kali !
Kwie Tiok Giam Po dapat lari keras tetapi dia tidak sanggup
menyusul si anak muda, segera setelah satu tikungan ia
kehilangan si anak muda itu. terpaksa ia tidak bisa lari dan
mesti berjalan dengan perlahan-lahan guna mencari
musuhnya. Ia mengikuti tepian puncak, memasuki rimba dan
setiap gua besar atau kecil. Sia-sia saja ia mencari sampai
fajar tiba, hingga dengan mudah ia bisa melihat segala apa
dengan nyata disekitarnya itu.
"Hei, bocah !" katanya sengit. "Kau dapat lolos dari
tanganku tetapi tidak nanti dari racunku ! Apakah kau
menyangka kau masih dapat berlalu dengan masih hidup dari
gunungku ini ? Hm !"
Lalu dia tertawa berkakakan. Setelah itu dia ngeloyor pergi
untuk pulang ke sarangnya, markas Losat Bun.
Sekarang kita kembali dahulu pada Pek Giok Peng, habis ia
"membujuki" Gak Hong Kun agar pemuda she Gak itu mau
mencari Hauw Yan, anaknya yang diculiknya itu. Hong Kun
agak tenang, tetapi dia selalu mencari ketika akan terus
mendekati bekas kekasihnya itu. Sebaliknya ia mencoba selalu
menghindar diri dari Pek Thian Liong dan orangnya.
Pada suatu hari, waktu tiba disebuah tempat yang dipanggil
Liong poat diperbatasan kedua propinsi Ouwlam dan Ouwpak.
Mereka bertemu seorang setengah tua yang punggungnya
menggendol sepasang pukang, orang mana bukan lain
daripada Teng It Beng, saudara angkatnya Hong Kun. Dia


baru kembali dari daerah perbatasan dan tengah mencari
saudara angkatnya ini.
Dari jauh-jauh, It Beng sudah dapat melihat rombongannya
Hong Kun itu. Hong Kun berdampingan dengan Giok Peng, di
belakang mereka turut pula seorang muda serta beberapa
pengiringnya yang berseragam hitam serta membekal golok.
Mereka ini ialah Thian Liong dan orang-orangnya itu.
"Adik Hong Kun ! Adik Hong Kun !" It Beng lantas
memanggil-manggi sambil dia berdiri ditepi jalan.
Hong Kun segera mengangkat kepalanya.
"Oo... Kakak It Beng !" serunya keras. "Kakak, kapan kau
kembali ?"
It Beng menjawab : "Sepulang dari daerah perbatasan aku
menuju langsung ke Heng San. Di sana aku menemukan
tempat kosong, adikku. Gurumu, It Yap Totiang telah turun
gunung. Tak kusangka disini aku bertemu denganmu "
Kemudian dia mengawasi Giok Peng, nampaknya dia heran,
terus dia tanya : "Adik, kau berdua bersama Nona Pek
sekalian, kemanakah kalian hendak pergi ?"
Hong Kun menghela nafas.
"Peruntunganku buruk." katanya masgul. "Aku gagal dalam
urusan asmara."
It Beng tertawa.
"Bukankah sekarang kau ada bersama Nona Pek ?"
tanyanya heran. Ada apakah diantara kalian berdua ?" terus ia
menatap si nona.


Alisnya Giok Peng terbangun. Tak puas ia dengan katakatanya
pemuda she Gak itu. Ia pula tak senang terhadap
gerak geriknya It Beng. Maka ia kata gusar : "Orang she Tang,
kalau kau bicara hargailah derajatmu. Kenapa kau bicara
sembarangan begini ? Apa kau tak takut nanti turun
derajatmu sebagai pahlawan istana ?"
It Beng heran, ia menerka kepada sesuatu yagn tak beres.
Maka lenyaplah tawa atau senyumnya itu. Ia pun segera kata
pada adik angkatnya itu : "Adik, mari turut aku mencari satu
tempat dimana kita bisa memasang omong semalam suntuk !"
Terus saja dia menarik tangan orang buat diajak pergi.
Giok Peng berlompat maju guna menghadang.
"Tahan !" bentaknya. Ia pun menghunus pedangnya.
It Beng menghentikan langkahnya dan menoleh ke
belakang.
"Apa ?" dia tanya.
"Tak dapat aku membiarkan Hong Kun pergi !" berkata si
nona keras. "Dia telah menculik anakku ! Tak boleh dia kabur
!"
Thian Liong dan orang-orangnya sudah lantas
menghampiri. It Beng heran hingga ia melengak. Lantas dia
mengawasi Hong Kun. Adik angkat itu tunduk dan bungkam,
tampangnya likat. Dia lantas menerka pada sesuatu. Maka dia
memberi hormat pada Giok Peng seraya berkata : "Nona, aku
minta sukalah kau memberi muka padaku ! Bagaimana kalau
urusan anakmu itu kau serahkan tanggung jawab padaku ?"


"Nonamu tidak berurusan dengan siapa juga" sahut Giok
Peng kaku. "Selama dia belum mengembalikan anakku, Hong
Kun tidak dapat meninggalkan aku !"
Panas hatinya It Beng hingga ia menghunus pedangnya.
"Pek Giok Peng !" katanya sengit, "kau tanyaitu dirimu,
sanggupkah kau menentang pedangku yang panjang ini ?"
Giok Peng gusar hingga ia lantas menikam bekas pengawal
kaisar itu.
It Beng menangkis dengan keras, niatnya buat membikin
pedang si nona terpental guna memperlihatkan ilmu
pedangnya yang lihai.
"Trang !" demikian suara pedang beradu keras. Lantas It
Beng terperanjat. Ia melihat si nona mundur satu tindak tetapi
ia sendiri mundur satu tindak juga. Itulah bukti berimbangnya
tenaga mereka berdua. Sudah begitu, si nona sudah lantas
menikam pula !
"Tahan adik Peng !" Hong Kun berseru mencegah. "Baik
kau bunuh Hong Kun saja. Buat apa kau menjadi gusar begini
?" Dan ia lompat maju untuk menghadang pedang !
Tidak ada niatnya Giok Peng membinasakan pemuda itu. Ia
cuma ingin anaknya didapat pulang. Melihat orang
mengajukan tubuhnya, ia menarik pulang pedangnya.
"Tak kusangka kau begini hina dina !" bentaknya. "Kau
berani melindungi orang dengan jiwamu ! Hm !"
Tanpa merasa si nona meneteskan airmatanya saking
jengkelnya.


Teng It Beng berdiri menjublak, ia heran sekali
menyaksikan pemandangan di depan matanya itu.
Pek Thian Liong dan rombongannya pun terdiam. Tak ada
perlunya buat mereka campur bicara. Justru itu dari kejauhan
dari arah belakang mereka terlihat datangnya serombongan
penunggang kuda yang mendatangi secara cepat sekali.
Ketika Pek Thiang Liong mengawasi, ia mengenali adiknya
Siauw Houw datang bersama delapan orangnya yang semua
membekal golok. Segera ia lari menyambut.
"Ada kabar tentang Hauw Yan ?" kakak ini mendahului
menegur.
Siauw Houw mengawasi kepada Hong Kun, ia lantas
menarik tangan kakaknya itu, untuk dibisiki atas mana si
kakak memperlihatkan tampang senang.
"Adik !" ia lantas berkata pada Giok Peng. "Karena saudara
Teng ini suka bertanggung jawab terhadap anak Hauw Yan,
kau terimalah tawarannya ! Buat orang Kang Ouw sejati,
sepatah katanya berarti seribu kati emas ! Biarkan saudara
Gak turut padanya. Tak usah kita berbuat kerukunan kita
terganggu karenanya......" Kemudian mengawasi It Beng, ia
meneruskan :
"Saudara Teng, kaulah seoarang yang dapat dipercaya, aku
percaya kau tak bakal membuat adikku kecewa dan menyesal
! Nah, saudara Teng silakan !"
It Beng tidak dapat menerka kabarnya Siuaw Houw kabar
apa itu, tetapi ia lantas menjawab : "Akan aku membuat
penyelidikan, nanti pastilah aku akan datang memberi kabar.


Nah, maaf tak dapat aku menemani kalian terlebih lama pula
!"
Berkata begitu It Beng menarik tangannya Hong Kun buat
diajak berjalan dengan cepat.
Pemuda she Gak itu berpaling kepada Giok Peng, mau ia
bicara tetapi batal. Cuma wajahnya menunjukkan dia likat,
jengah sendirinya.
Giok Peng mengawasi orang berlalu. Ia membiarkan orang
pergi karena ia percaya Siauw Houw si kakak nomor dua
membawa berita baik. Bukankah Thian Liong nampak girang ?
Selekasnya It Beng dan Hong Kun sudah pergi jauh, Siauw
Houw mengajak kakaknya menghampiri Giok Peng si adik buat
menyampaikan beritanya. Itulah halnya ia yang mencari Houw
Yan si keponakan cilik setibanya di Siulam telah bertemu
dengan
Tan Hong si nona yang bersenjatakan sanho pang serta di
rumah makan dan penginapan bertemu dengan Whie Hoay
Giok, kakak seperguruannya It Hiong. Dia akhirnya ia kasih
tahu juga halnya Tan Hong mau menyerahkan Hauw Yan pada
It Hiong sendiri.
"Maka itu adik, perlu kau lekas menyusul mereka itu !" kata
Siauw Houw.
Sementara itu Giok Peng telah menerka bahwa orang yang
telah menculik Hauw Yan dari tangannya Hong Kun di rumah
makan adalah Tan Hong cuma ia belum mendapat kepastian.
Sekarang ia mendengar keterangannya Siauw Houw, ia
menjadi girang berbareng terkejut. Terkejut karena
kekuatiran...... Girang sebab berada ditangannya Tan Hong,


Houw Yan pasti tak kurang suatu apa. Yang ia kuatirkan ialah
Tan Hong nanti "merampas" It Hiong, sebab nona she Tan itu
pastilah demikian baik hati melulu guna mengambil hatinya si
pemuda. Maka itu, dengan rupa perasaan itu bercampur
menjadi satu, ia sampai tak dapat berkatai apa-apa atas
wartanya Siauw Houw itu....
"Adik" kata Thian Liong kemudian. "Nona Tan Hong itu
orang kaum sesat, dia baik dengan kau dan saudara It Hiong,
dapatkah kau menerka kalau-kalau tindakannya itu disebabkan
sesuatu maksud ?"
Ditanya kakaknya itu, Giok Peng bagaikan terasadar.
"Kakak, Hauw Yan tak akan kurang suatu apa" kata ia yang
tak mau menjawab pertanyaan orang, "meski demikian
hendak aku menemukan adik Hiong supaya hatiku menjadi
tenang. Baiklah kakak berdua pulang saja."
"Aku ingin menemani kau, adik" berkata Siauw Houw,
"supaya dimana yang perlu dapat aku membantumu. Aku pula
telah berjanji dengan saudara Whie Hoay Giok untuk bertemu
dikaki gunung Kiu Kiong San. Lebih daripada itu, hatiku baru
lega benar-benar, sesudahnya Hauw Yan kembali dalam
pelukanmu !"
Giok Peng tidak dapat menolak kakaknya itu, maka lantas
Thian Liong memberikan dua orang pengiring buat kedua adik
itu, ia sendiri terus pulang, bersama sekalian pengiringnya
adik.
Di hari besoknya Giok Peng dan rombongannya sudah
dalam perjalanannya ke Kiu Kiong San. Untuk girangnya ibu ini
telah bertemu dengan putranya yang ada bersama Kiauw In.
Cuma walaupun girang hatinya toh belum lega seluruhnya.


Sebab ia masih pikirkan urusannya Tan Hong. Karena bujukan
hatinya sangat keras dengan mesti ia tanyakan Kiauw In
tentang Nona Tan dari golongan sesat itu....
Kiauw In tertawa.
"Adik Peng" katanya manis. "Kita kaum wanita, mata kita
harus dibuka sedikit lebih lebar, dengan cara demikian barulah
kita akan mendapati atau menikmati kebahagiaan yang sejati.
Kau sekarang berpikir begini rupa bukankah itu berarti kau
mencari keruwetan pikiranmu sendiri ? Kau kenal baik adik
Hiong, dia bukan pria yang kemaruk dengan bunga-bunga.
Kenapakah kau berpikir tidak karuan ?"
Giok Peng jujur, ia memiliki sifat laki-laki, mendengar
suaranya Nona Cio yang begitu sabar dan halus, ia jengah
sendirinya. Ia merasa bahwa ia sangat cupet kalau dipadu
dengan nona itu. Kiauw In polos dan hatinya lapang, ia
sebaliknya, ia suka merasa jelus hingga ia sudah
bercemburu....
"Kakak benar !' katanya kemudian tertawa sambil
mengawasi nona yang cantik luwes itu. "Kakak, kata-katamu
adalah kata-kata emas. Sungguh kaulah guruku yang pandai
!"
Kiauw In bersenyum.
"Adik, apakah kau ada menerima petunjuk dari Paman In ?"
tanyanya.
"Tidak" sahut Giok Peng cepat. "Apa kabar dari Paman In
?"


"Di tengah jalan, aku bertemu dengan pendeta murid
Siauw Lim Pay" kata Kiauw In. "Dia menyampaikan pesan lisan
dari Paman In, katanya karena saat pertemuan besar di Tay
San sudah mendatangi semakin dekat, maka kita bertiga
dianjurkan untuk lekas kembali ke Siauw Sit san. Tinggal
halnya adik Hiong. Ia pergi ke Ay Lao San, guna membantu
pamannya, entah bagaimana hasilnya, tak tahu ia bakal lekas
kembali atau tidak...."
Giok Peng berdiam, untuk berpikir, kemudian ia berkata :
"Kalau begitu, sekarang terserah kepada kau, kakak. Kita
berdua pulang dahulu ke Liok Tiok Po atau kita berangkat
langsung ke Siauw Sit San, atau kita menyusul ke Ay Lao San !
Bagaimana pendapat kakak ?"
Kiauw In berpikir keras.
"Sudah lama adik Hiong pergi ke Ay Lao San, kalau kita
menyusul ke sana, mungkin kita menyia-nyiakan waktu saja"
sahutnya kemudian. "Bagaimana kalau kita pergi dahulu ke
Siauw Sit San, untuk di sana kita mendengar apa katanya
Paman In ? Kitapun jadi tak usah membuat paman
mengharap-harap kita...."
"Mama !" Hauw Yan menyela, selagi ia dipeluk ibunya.
"Mama, mana nenek ? Aku pun ingin main-main bersama
kakak Kuil..."
Mendengar suaranya sang keponakan, Siauw Houw
mendapat pikiran.
"Adik" berkata dia, "saat ini saat banyaknya urusan kaum
Kang Ouw, dengan kau membawa-bawa Hauw Yan, mana
dapat kau menghadiri pertemuan di gunung Tay San itu ? Aku


pikir baiklah aku yang ajak Hauw Yan pulang, supaya ibu yang
merawatinya. Bukankah itu lebih sempurna ?"
"Begitu pun baik." sahut Giok Peng. Memang berasa akan
ia membawa-bawa anaknya itu, yang belum tahu apa-apa
tetapi waktu
ia menyerahkan anaknya itu, ia merasa berat. Kata ia pada
anaknya : "Hauw Yan, anak baik, pergilah kau pulang bersama
pamanmu ini, untuk menemui nenekmu dan kakak Kuil..."
Hauw Yan membuka matanya lebar-lebar. Ia mengasi
ibunya dan juga Kiauw In.
"Mama !" panggilnya. "Mama !"
Siauw Houw lantas menyambuti keponakannya itu, ia
mengucapkan selamat berpisah dari adiknya itu dan Nona Cio,
terus bersama dua orang pengiringnya, ia berangkat pulang.
Syukur keponakan itu mendengar kata dan tak ribut
memanggil ibunya.
Giok Peng berdua Kiauw In mengawasi sampai orang sudah
pergi jauh, baru mereka pun melanjuti perjalanan mereka
dengan tujuan Siauw Sit San.
Sementara itu Hong Kun, yang diajak It Beng, hari itu
setelah melakukan perjalanan belasan lie, baru mereka
mampir disebuah dusun, untuk mencari penginapan, buat
mandi, bersantap didalam kamar mereka, sembari mengisi
perut, mereka bicara banyak tentang masing-masing selama
perpisahan mereka berdua.
"Kita berpisah baru beberapa bulan, adik" berkata It Beng,
"sekarang aku melihat kesehatanmu seperti sangat terganggu.


Kau tak segagah dahulu ! Adik, itulah hebat asmara. Karena
itu, baiklah kau singkirkan itu dari hatimu ! Kau tahu sendiri,
sangat banyak nona-nona yang cantik !"
Hong Kun meletakkan cawan araknya. Dia menghela nafas.
"Aku bukannya setan paras elok, kakak !" katanya. "Cuma
cinta itu ada yang tunggal ! Sulit buat aku membebaskan diri
dari itu ! Aku pula tidak puas Tio It Hiong telah merampas
pacarku ! Inilah sebab yang membuat kesehatanku, lahir dan
batin menjadi begini rupa...."
"Tio It Hiong dan Pek Giok Peng telah menjadi suami isteri,
umum mengetahuinya" kata It Beng pelan. "Taruh kata
karena Giok Peng mengingatmu dan dia meninggalkan It
Hiong, masih tidak dapat kau menikah dengannya ! Itulah tak
dapat terjadi, saudaraku, Kalaupun berbuat demikian, nama
baikmu bakal menjadi runtuh ! Kenapa mesti menyiksa diri
sendiri ?"
Hong Kun berdiam. Dia mengangkat kepalanya, dia
meneguk araknya. Nampak dia jengah, malu sendirinya.
"Habis, kakak, kau ingin aku berbuat apakah ?" tanya dia.
Ditanya begitu It Beng melengak.
"Sekarang ini, adikku, kau lupakan dahulu soal asmaramu
ini." katanya kemudian. "Mari kita lakukan sesuatu, supaya tak
kecewa kepandaian kita ini !"
"Kau benar, kakak, ingin aku menuruti nasehatmu. Cuma
aku, Gak Hong Kun, aku dapat membedakan budi dan
penasaran ! Biar bagaimana, tak dapat aku lupakan halnya
pacarku telah dirampas orang !"


"Mari minum, adik !" kata It Beng yang mengangkat
cawannya. "Adik, asal kau dapat melupakan Pek Giok Peng,
aku mempunyai jalan buat kau melampiaskan penasaranmu
ini !"
Hong Kun agak tertarik hatinya.
"Benarkah itu, kakak ?" tanyanya.
It Beng tertawa.
Hong Kun melengak sejenak, lekas-lekas ia mengiringi
cawannya. Ia merasa sudah ketelepasan bicara. It Beng lakilaki
sejati, tidak nanti dia mendusta, apapula terhadap ia
sendiri.
It Beng mengawasi orang dengan tampang sungguhsungguh.
"Kita bagaikan saudara kandung satu dengan lain, tak nanti
bergurau denganmu, adik !" katanya kemudian. "Kau tahu,
dalam perjalananku kali ini aku berhasil mendapatkan serupa
ilmu untuk merubah wajah orang. Aku anggap ilmuku ini ada
faedahnya untukmu adik !"
Hong Kun nampak girang.
"Coba kau jelaskan, kakak" pintanya. "Apakah faedahnya
itu ?"
"Kau tahu saudaraku, kepandaianku ini jika kau gunakan,
faedahnya itu merupakan sebuah batu mendapatkan dua ekor
burung !" kata sang kakak angkat menjelaskan. "Percaya aku,
faedahnya akan bukan main besarnya !"


Lantas kakak angkat ini berbisik ditelinga adiknya itu.
Hong Kun bertepuk-tepuk tangan.
"Bagus ! Bagus sekali !" dia berseru kegirangan. "Sungguh
bagus akalmu ini, kakak. Hahaha !"
"Hanya adikku" berkata pula It Beng. "Jika kau hendak
melakukan itu, kau harus dengan tekad bulat, dengan rada
kejam ! Di sini bakal diadakannya pertemuan besar di gunung
Tay San itu, kau membuat kacau dunia rimba persilatan, kaum
sadar dan lurus setelah itu maka lantaslah Tio It Hiong,
lawanmu dalam laut asmara itu, bakal menjadi manusia yang
paling dibenci dan dikutuk laksaan orang selama ribuan tahun,
dia bakal menjadi orang berdosa besar kaum rimba persilatan
! Inilah pasti akan lebih memuaskan daripada turun tangan
sendiri menyingkirkan jiwanya...."
"Kakak" tanya Hong Kun setelah mengangguk-angguk.
"Berapa lamakah waktu yang dibutuhkan olehmu guna kau
membuat obatmu itu hingga dapat aku gunakan ?"
It Beng tertawa.
"Jangan tak sabaran, adikku !" katanya. "Kedua rupa bahan
obatnya telah aku sedia dan membuatnya pun mudah sekali."
Hong Kun girang tetapi toh ia mengerenyitkan sepasang
alisnya.
"Wajahku dapat aku rubah, tetapi bagaimana dengan
pedangku ?" tanya perlahan. "Pedangku tak dapat disamakan
pedang Keng Hong Kiam...."


It Beng menghirup araknya, alisnya terbangun.
"Itupun mudah, saudaraku" katanya tertawa. "Dari daerah
perbatasan, aku telah memperoleh pedang Kia Koat, dapat
aku pinjamkan. Itu pedangmu. Pedang itu pedang tua dan
tajamnya luar biasa, pasti dapat dibandingkan dengan Keng
Hong Kiam. Melihat sinarnya saja orang sudah terkejut hingga
aku percaya tak mudah orang mengenalinya."
It Beng mengeluarkan pedangnya itu dan menghunusnya.
Benar-benar cahaya berkilau menyilaukan mata. Setelah
memasuki pedang kembali ke dalam sarungnya, ia serahkan
itu pada kawannya sambil bertanya, "Nah, saudara, apa lagi
yang kau kuatirkan ?"
Hong Kun menyambuti pedang, girangnya bukan buatan
hingga ia menjura dalam pada kakak angkat itu sambil berkata
: "Kalau nanti aku berhasil melampiaskan penasaranku, itulah
pemberian kau, kakak ! Aku tidak dapat mengucap terima
kasih padamu, maka kau terima saja hormatku itu !"
It Beng tertawa, kedua tangannya dipakai mengasi tangan
adik angkat itu.
"Kau sungkan, adik ! Sudah lama kita berpisah, mari kita
minum dahulu hingga puas !"
Hong Kun menerima baik undangan itu, maka mereka
mulai duduk pula, akan bersantap sambil minum sepuasnya.
Dalam girangnya, pemuda she Gak itu sampai bicara
seenaknya saja, hingga ia lupa bahwa mereka berada di
tempat minum. Mereka tidak ingat bahwa tembok pun ada
telinganya.


Tiba-tiba sesosok tubuh langsing dan lincah berkelebat
mengintai diluar jendela, dengan begitu dia dapat mendengar
semua pembicaraan diantara kedua saudara angkat itu.
Setelah merasa sudah mendengar cukup, orang itu lantas
mengangkat kaki !
Siapakah orang itu ? Baiklah kita meninggalkannya lebih
dahulu, buat mendahului menengok kepada Whie Hoay Giok
yang membawa pergi gurunya yang menjadi korban racun itu.
Bersama atau dibawah perlindungannya Tan Hong berhasil,
berhasil ia turun dari Ay Lao San. Rencana mereka adalah dari
propinsi Ouwlam baru ke Holam, akan pergi ke kuil Siauw Lim
Sie di gunung
Siong San, guna mencari Liauw In, kakak gurunya buat
minta tolong agar gurunya diobati. Justru baru mereka tiba
didekat perbatasan propinsi soecoan, mereka mendengar
berita yang mengherankan dan mengejutkan mereka. Itulah
kabar hebat sekali !
Bunyinya berita itulah begini :
Tio It Hiong, muridnya Tek Cio Siangjin sudah menyatroni
gunung Bu Tong San. Di sana Tio It Hiong sudah menyerang
dan membinasakan belasan murid Bu Tong pay serta
membakar vihara Sam Goan Kiong, sedangkan di Ouwpak
selatan, Tio It Hiong sudah membinasakan secara kejam
empat orang Siauw Lim Pay !
Jilid 25
Hebat pula peristiwa terhadap keluarga Liok diwilayah
sungai Siang Kang. Dan Beng Theng Liok Cim, orang Kang
Ouw kenamaan, yang sudah lama mengasingkan diri didalam


satu malam habis seluruh keluarganya yang terdiri dari
beberapa puluh jiwa! Penyerangnya menggunakan pedang
mestika dan piauw beracun. Cuma Liok Cim sendiri yang
selamat jiwanya tetapi sebelah lengannya terluka.
Berita itu sudah menggoncangkan dunia Kang Ouw. Ketua
Bu Tong Pay, Gouw Hian Tojin sudah lantas pulang dari kuil
Siauw Lim Sie di Siong San, guna mengurus pembunuhan para
murid-muridnya itu. Sedangkan ketua Siauw Lim Sie sendiri,
Pek Cut Taysu telah mengutus Ang Sian Taysu, adik
seperguruannya yang berkedudukan sebagai Ciang Ih, untuk
pergi merantau mencari Tio It Hiong untuk menyampaikan
surat yang ditulis oleh Pat Pie Sin Kit, In Gwa Sian.
Hubungan diantara Hoay Giok dan It Hiong luar biasa
kekalnya, maka juga ia mendengar berita tersebut. Anak
muda ini bingung bukan main. Itulah sangat aneh dan sukar
dipercaya! Toh berita ini agaknya sangat pasti. Tan Hong juga
goncang hatinya. Ia sangat menghargai dan mencintai It
Hiong. Dan ia kenal baik kegagahannya anak muda itu.
Sekarang tersiar berita hebat itu! Benarkah itu?
Karena ini, keduanya sambil melakukan perjalanannya itu
lantas mencoba melakukan penyelidikan. Mereka
menghendaki bukti yang nyata. Pada suatu hari Hoay Giok
tiba didusun Keng Liong tin ditepian propinsi Sucoan. Tiba-tiba
ia dan Tan Hong mendengar suara sangat berisik, terus
mereka menyaksikan orang lari serabutan, berebut saling
mendahului. Agaknya seperti ada bencana besar mengancam
mereka itu.
Tan Hong heran dia mencegat beberapa orang untuk
diminta keterangan. Ia mendapat jawaban berupa semua
orang yang ditanya bungkam, mereka cuma mengeluarkan
lidah dan menggeleng-gelengkan kepala!


“Gila!” teriak Tan Hong penasaran. “Kakak Whie tunggu
sebentar, aku akan pergi sebentar buat melihat apa yang
sebenarnya terjadi!”.
Hoay Giok memikir lain.
“Baik kita pergi kepasar untuk terus mencari tempat
istirahat,” katanya, Buat apa kita usil dengan orang lain?”
Belum lagi Tan Hong memberi jawaban, tampak seorang
pemuda yang punggungnya terikat pedang tampak lari cepat
sekali, bahkan dia lari disisinya si nona, sehingga nona itu
harus menyampingkan tubuhnya supaya tidak terlanggar dan
ketika ia melihat muka orang tersebut, iapun berpaling da
memanggil : “Adik Hiong! Adik Hiong!”
Anak muda itu terus lari bagaikan terbang, lekas sekali dia
menghilang disebuah gang. Tan Hong melengak hingga tak
ingat ia untuk menyusul, baru kemudian ia berkata : “Orang
itu mempunyai wajah sangat sama dengan adik Hiong! Hanya,
kalau dia benar adik Hiong, kenapa dia melihat kita bertiga
tapi dia kabur terus? Aneh!”
Hoay Giok tengah berjalan terus, ia tak sempat melihat
wajah orang, ia cuma melihat sesudah orang lari lewat. Maka
ia menjawab si nona, “Didalam dunia memang ada orang yang
segalanya mirip satu dengan lain Nona Tan, kau melihat hanya
sekelebatan, mana dapat kau mengenalinya dengan baik?”
Beng Kee Eng dipunggungnya Hoay Giok mendengar
pembicaraan muda-mudi itu.


“Kau benar anak Giok, tapi Nona Tan benar juga,” katanya.
“Mari lekas kita cari tempat beristirahat, di sana baru kita
mencari keterangan….”
Tan Hong terdiam, ia hanya mempercepat langkah kakinya.
Setibanya dipasar maka di depan sebuah restoran ia melihat
seorang pria setengah tua sedang duduk ditanah sambil
memejamkan mata. Dia tengah mengatur pernapasannya,
baju didekat dadanya tampak berlumuran darah, tanda dari
sebuah luka. Di belakang dia terpisah kira-kira setombak lebih,
tiga orang roboh sebagai mayat….
Ketika Whie Hoay Giok sudah dapat menyusul Tan Hong,
hingga mereka datang dekat pada sekalian mayat itu, si anak
muda mengenali orang yang terluka itu ialah Go Tauw Kong,
murid ahli warisnya Pauw Pok Tojin dari partai Ceng Shia Pay.
Ia terkejut.
“Eh, cianpwe Go Tauw Kong!” sapanya, “Kau kenapakah?”
Pertanyaan itu tidak mendapat jawaban, maka ia
mengulanginya namun orang masih berdiam saja, hingga
saking herannya, ia bertanya dan bertanya lagi.
Akhirnya orang itu membuka matanya, setelah melihat
Hoay Giok dia lantas berkata kasar dan sengit : “Tidak
kusangka, muridnya sebuah partai persilatan yang sangat
kenamaan tapi berprilaku kejam bukan main! Sudah dia
mencuri pedang pusaka Ceng Shia Pay, diapun membunuh
tiga orang adik seperguruan kami! Kau adalah manusia
sebangsa ular dan tikus, bagaimana kau masih dapat berpurapura
merasa kasihan dan menanyakan aku begini macam?
Hm!”


Whie Hoay Giok melengak, terang itulah cacian atau
teguran untuk partainya, ia jadi berpikir, “ Benarkah semua
perbuatan busuk dan kejam itu perbuatannya adik Hiong,
ditengah jalan baru aku mendengar berita saja, tapi sekarang
aku mendapat buktinya. Mustahil Go Tauw Kong memfitnah?
Tak mungkin! Ah!.....” ia menghela napas.
Tapi iapun penasaran, ia berkata pula pada orang she Go
itu, “Cianpwe aku harap cianpwe jangan salah paham! Aku
mohon sukalah cianpwe membuat penyelidikan
dahulu…..menurut aku tak mungkin perbuatan ini
perbuatannya Tio It Hiong, adik perguruanku itu….”
Matanya Go Tauw Kong mendelik.
“Tutup bacotmu!” bentaknya gusar bukan kepalang. “Tak
dapat kau berpura-pura untuk mengibul orang! Apakah katakatamu
ini hanya untuk menutupi kejahatannya Tio It Hiong?
Apa yang telah dia lakukan atas kami ini telah didahului
dengan segala perbuatan keji dia yang lainnya! Dia sudah
membakar kuil Sam Goan Kiong! Dia telah membunuh murid
Siauw Lim Pay! Diapun telah membunuh keluarga Liok!
Sekarang mencuri pusaka kami, membunuh saudarasaudaraku
ini, juga melukai bahuku! Tak sempat aku bicara
denganmu, maka pergilah kau!”
Habis berkata begitu, dengan menahan nyerinya. Tauw
Kiong berjingkrak bangun terus dengan tubuh masih limbung
ia berjalan pergi dari situ!
Kembali Hoay Giok melongo, tak sempat ia bicara pula.
Lagipula apa yang dapat ia ucapkan? Ia Cuma bisa merasa
heran dan bingung. Ia hanya berjalan menggendong gurunya
menghampiri rumah penginapan.


Di sana ia mendapati Tan Hong sedang menangis dengan
sangat sedih, mukanya penuh air mata….
Kee Eng dipunggung muridnya batuk-batuk perlahan.
“Kalian anak-anak muda, kalian tak dapat menguasai hati
kalian.” Katanya perlahan. “Hati kalian mudah sekali
tergoncang! Dengan kurangnya ketenangan, mana dapat
kalian hidup dalam dunia Kang Ouw? Untuk menghadapi
mereka yang licik dan jahat, orang membutuhkan
kesabaran….”
Kata-kata jago tua ini menyadarkan Hoay Giok dan Tan
Hong, bahkan si nona sudah lantas berhenti menangis.
Wajahnya Hoay Giok pun tak seseram semula.
“Locianpwe,” si nona lantas bertanya : “Bagaimanakah
pendapat locianpwe tentang peristiwa ini?”
“Jangan bingung nona,” berkata Kee Eng, “Kita bicara
sebentar didalam kamar.”
Tan Hong suka menyabarkan diri, aka Hoay Giok segera
memesan kamar. Mereka pun membersihkan tubuh, habis itu
duduk bersantap. Dengan cepat sang waktu lewat, meeka
baru dapat kesempatan bicara setelah tengah malam.
Tan Hong hampir hilang sabarnya. Ia sangat
mengkuatirkan keselamatan It Hiong. Kalau benar pacarnya
itu tersesat, sungguh hebat akibatnya nanti….
“Anak-anak mari kita bicara tenang,” kata Kee Eng sabar.
“Bukankah kita berpisah baru sepuluh hari lebih, bahkan
sekarang mungkin dia sedang melayani pihak Losat Bun
dengan Barisannya yang hebat! Dapatkah dia turun dari


gunung musuh itu? Kalau toh dia berhasil apa mungkin dalam
waktu sependek itu dia dapat melakukan semua perbuatannya
itu seperti berita yang tersiar diluaran. Menyerbu, merampas
dan membunuh orang? Lagi pula aku tahu baik sekali sifatnya
anak Hiong. Dia tulus dan jujur, dia sangat menghormati
gurunya, jadi aku tidak percaya dia dapat melakukan semua
perbuatan yang merusak namanya sendiri serta
perguruannya! Bukankah semua pihak yang bersangkutan itu :
Siauw lim Pay, Bu tong Pay, keluarga Liok dan lainnya semua
adalah kawan dan sahabat gurunya? Barusan kita melihat dia,
katanya dia merampas barang pusakanya Ceng Shia Pay serta
membunuh murid-muridnya. Walaupun demikian aku tetap
bersangsi! Kalau toh kita harus kuatir, kita justru
mengkuatirkan keselamatannya di Ay Lao san! Bagaimana
dengan pertempuran itu? Dia selama bertempur berhari-hari
menang atau kalah? Kalau dia menang dimana adanya dia
sekarang? Kalau dia kalah bagaimana dengan nasibnya? Maka
itu, kita baik kesampingkan soal lainnya….”
Hoay Giok membenarkan pandangan itu.
“Hanya suhu,” tanyanya, “Habis siapakah orang yang mirip
adik Hiong itu? Kenapa dua orang demikian mirip segalanya?”
“Jangan-jangan dialah musuhnya adik Hiong” berkata Tan
Hong. “ Kalau orang tadi benar adik Hiong, kenapa bertemu
dengan kita dia kabur terus? Ah, kalau saja aku sempat
bertemu pula dengan orang itu, pasti menanya tegas-tegas
kepadanya!”
Beng Kee Eng menarik napas dalam-dalam.
“Kau baik sekali teradap anak Hiong, Nona Tan,” katanya. “
Disamping itu aku minta sukalah kau bersabar dan berhati-hati
menghadapi manusia licik kita harus waspada. Menurut


perkiraanku, orang tadi bukan sembarang orang, dia pasti lihai
sekali. Sayang aku lagi keracunan hingga aku menjadi tak
punya guna apa-apa, jika tidak demikian akan kucari sampai
keujung langit guna menyingkirkannya!”
Tan Hong berdiam, begitupun Hoay Giok.
Ketika itu mungkin sudah jam tiga. Dari luar jendela,
sinarnya sang puteri malam tampak indah sekali, seluruh
penginapan sangat tenang.
Kee Eng menguap.
“Sudah jauh malam nona, silahkan kau kembali kekamarmu
dan beristirahat,” katanya.
Tan Hong berpaling ke arah jendela, ia melihat cahaya
rembulan. Justru itu, ia melihat bayangan orang berkelebat
hitam.
“Siapa?” tegurnya segera, sedangkan sebelah tangannya
dikebutkan pada lilin untuk memadamkannya. Dilain pihak ia
segera menyiapkan senjatanya dan tubuhnya bergerak gesit
untuk munduk dibawah jendela.
Hoay Giok dapat menerka apa artinya itu, dengan golok
ditangan ia menempatkan diri di depan pembaringan guna
melindungi gurunya.
Tiba-tiba berkilauan satu sinar pedang yang melesat
kedalam kamar dengan melintasi mulut jendela. Itulah sinar
pedang yang bergerak kedalam mendahului tubuh pemiliknya,
siapa telah berlompatan langsung ke arah Beng Kee Eng.


Hoay Giok telah memasang mata, ia sudah siap sedia,
selekasnya ujung pedang meluncur ia menangkis dengan
goloknya. Tapi pedang itu mendadak ditarik pulang guna
menangkis ke belakang untuk menyelamatkan dirinya. Sebab
sama cepatnya seperti dia sendiri, Tan Hong berdiri dan
menyerang padanya!
Kedua senjata beradu keras tapi Sanho pang tak tertabas
kutung. Senjata itu licin dan pedangpun meleset karenanya.
Tapi sipemilik pedang menjadi sangat gusar. Dia merasa
bahwa dirinya dibokong, tanpa menyadari dialah yang lancang
masuk kedalam kamar orang serta terus menyerang ke arah
Kee Eng! Dia lantas menyerang kepada si nona.
Sudah tentu Tan Hong bersiap melayani karena ia hendak
melindungi Kee Eng. Disamping itu iapun merasa gusar karena
orang menyerang secara tiba-tiba dengan cara licik.
Penyerang itu tampaknya gusar sekali. Dia menyerang dengan
hebat, rupanya dia penasaran sebab maksudnya terhalang.
Sementara Hoay Giok masih tetap berjaga, dia tidak berani
menjauhkan diri dari pembaringan.
Didalam kamar demikian sempit, ada kursi dan meja
sehingga sipenyerang merasa tidak leluasa bergerak. Lagipula
lawannya pun dua orang. Setelah ia gagal menusuk
senjatanya ke arah Tan Hong, ia terus meloncat kejendela
untuk melarikan diri. Selama itu ia tak pernah membuka
mulutnya, sedang kamar gelap gulita karena lilin sudah
dipadamkan hingga mukanya tidak kelihatan. Apa yang bisa
diduga hanya itu potongan tubuhnya sama seperti potongan
tubuh It Hiong!
Tan Hong melompat keluar kamar untuk mengejar orang
itu. Ia penasaran sekali siapa penyerang gelap itu? Kalau


benar itu It Hiong, iapun ingin mengetahui apa sebabnya dia
menjadi berubah seperti itu.
Kedua orang berlari-lari dengan pesat, ilmu ringan tubuh
mereka tampaknya seimbang. Sesudah lari tujuh delapan lie,
mereka tiba disebuah bukit kecil. Disitu penyerang gelap itu
memperlambat larinya, dia lari keatas bukit itu.
Tan Hong mempunyai nyali yang besar, ia terus mengejar.
Ia pun mendaki bukit itu. Rembulan masih bersinar sehingga
ia bisa melihat orang itu berhenti berlari dan duduk dibawah
sebatang pohon cemara yang akarnya menonjol keluar. Dia
duduk dengan sebelah tangan dilututnya dan sebelah yang
lain pada dagunya, dilihat dari samping dia mirip It Hiong.
Selagi lari menghampiri, hatinya Tan Hong goncang, ia
menerka-nerka apa benar orang itu si adik It Hiong. Selagi
mendekati, ia berjalan perlahan matanya terus mengawasi
dengan tajam.
Siapakah orang itu kalau bukannya Tio It Hiong, pacar
idamannya yang tampan dan gagah? Iapun percaya akan
kilauan pedangnya si pemuda yang merupakan pedang
mestika. Ia maju sampai tinggal lima kaki dari orang tersebut,
dia masih duduk diam seperti tengah berpikir keras.
“Siapakah kau?” Tanya Tan Hong kemudian, “Kenapa kau
berdiam saja?”
Baru setelah ditegur orang itu mengangkat kepalanya
untuk memandang si nona, ia lantas menghela napas.
“Habis aku harus bilang apa?” sahutnya balik bertanya.
Tan Hong maju lagi dua tindak, ia menatap.


“Ah……” serunya tertahan, orang itu It Hiong adanya.
Maka ia lantas bertanya pula : “Eh, kau kenapakah? Kau
memikirkan apa? Coba kau ceritakan itu padaku, maukah
kau?”
Mendengar suara lebih jauh dari si nona, orang itu berkata
: “Kakak, apakah kakak belum tahu bahwa aku telah
melakukan sesuatu yang merusak nama, yang aku lakukan
selama hatiku kacau?”
Tan Hong melengak, ia tampak sangat berduka.
“Kenapa kau lakukan perbuatan itu?” tanyanya pula.
“Apakah itu disebabkan kesadaranmu telah dikacaukan oleh
Kwie Tiok Giam Po?”
Tan Hong bertanya demikian karena goncangan hatinya itu,
tapi ia justru terperangkap. Sebab pemuda dihadapannya itu
bukannya It Hiong melainkan Hong Kun yang menyamar
dengan sempurna sekali. Pantas It Beng memuji tinggi
kepandaiannya menyamar itu, sampai Tan Hong sendiri kena
disesatkan.
Hong Kun tidak kenal nona ini, maka juga dia tak mau
sembarangan bicara karena si nona membahasakan diri kakak,
dia dapat menerka sedikit hubungan diantara It Hiong dan
nona ini, maka ia juga lantas mengikuti arah angina. “ Aku Tio
It Hiong, sejak aku memasuki dunia Kang Ouw belum pernah
aku melakukan sesuatu yang buruk, tapi setelah aku terkena
racunnya Kwie Tiok Giam Po, pikiranku menjadi kacau,
diwaktu begitu asal aku melihat orang, hendak aku menyerang
dan membunuhnya dan hatiku baru puas sesudah aku melihat
darah orang. Kakak kau tolonglah aku…..”


Tan Hong mengawasi, ia heran.
“Adik Hiong,” tanyanya, “Bukankah kau membawa obat
hosing ouw serta pil mujarab dari pendeta tua dari Bie Lek
Sie? Kenapa kau tidak mau makan obat itu guna
menghilangkan pengaruh racun tersebut?”
Ditanya begitu Hong Kun melengak, tapi hanya sebentar,
dia lantas menjawab : “Selama aku tak sadar disebabkan
terkena racun, semua barangku telah dirampas, waktu sadar
hendak aku bunuh diri tapi aku batal Karena aku ingat kau
kakak. Sebenarnya aku mau denganmu menjadi sepasang
burung yang dapat terbang bersama untuk hidup didunia yang
bebas dan damai…
Hebat niatnya Hong Kun, ia tertarik dengan nona ini dan
ingin merampas milik orang yang paling berharga karena
dengan begitu iapun dapat membalas dendam terhadap It
Hiong. Sebenarnya ia juga membenci nona ini yang telah
mengerjainya itu. Kalau sudah kehormatan si nona diambil, ia
juga hendak merampas jiwanya.
Bagaikan orang buta Tan Hong percaya benar pemuda di
depannya adalah It Hiong yang asli. Hingga tak ada
kecurigaannya kepada si anak muda. Ia seperti lupa segala,
sambil tertawa ia bertanya : “Dapatkah kau melupai kedua
kakakmu Kiauw In dan Giok Peng?”
Orang yang ditanya tidak menjawab, hanya dia bangkit
mendatangi, kedua tangannya lantas meraba ketubuh orang.
“Kakak!” katanya manis.
Tan Hong terkejut, biar bagaimana ia adalah seorang nona,
ia mencintai It Hiong bukan Cuma disebabkan It Hiong


tampan dan gagah, terutama gerak geriknya yang sopan
santun. Selama ia berkenalan dengan It Hiong, belum pernah
It Hiong berlaku kurang ajar atau ceriwis, tapi sekarang ini.
Mendadak Tan Hong ingat pesannya Beng Kee Eng utnuk
waspada. Mendadak saja ia sadar, maka segera ia
mengeluarkan senjatanya.
“Kau siapa?” tanyanya membentak. “Kenapa kau berlaku
begini kurang ajar?”
Sanho pang segera dilayangan ketubuh orang!
Hong Kun lihai, mudah saja ia berkelit, ia tidak marah
malah sebaliknya ia tertawa ceriwis.
“Eh kakak, apakah kau sudah menjadi gila?” tanyanya.
“Kau begini manis, kenapa kau tidak mengerti tentang
kelembutan dan kenikmatannya? Ah, jangan nanti kau
menyesal….”
Tan Hong mengawasi tajam. Sekarang ia percaya benar
bahwa orang ini It Hiong palsu. Pasti dialah yang merusak
namanya It Hiong, sang adik yang dicintai. Ia menjadi sengit,
ia hampir diperdayakan. Hampir ia mengulangi serangannya,
namun tiba-tiba ia ingat untuk membuka kedok orang dahulu.
Hong Kun mengawasi nona itu, menerka-nerka apa yang
lagi dipikirkannya. Hampir ia berkata pula namun ia pun ingat
nona di depannya ini adalah si nona yang dirumah makan di
Tiancu tiu yang sudah merampas Hauw Yan dari tangannya.
Ia tidak kenal Tan Hong namun pernah mendengar tentang
Nona Tan Hong dari Hek Keng To, bagaimana cantiknya dan
apa senjatanya. Maka itu mendadak timbullah rasa bencinya
serta keinginannya membalas sakit hati nya dahulu itu!


Buat sesaat mata tajam Hong Kun meyala mengawasi nona
di depannya itu, tapi dasar cerdik dan licik masih dapat ia
menguasai dirinya. Begitulah dengan suara sabar ia berkata :
“Kakak, adikmu sungguh sangat bersyukur kepadamu sebab
dengan susah payah kau telah berhasil menolong Hauw Yan
dari tangan orang jahat. Kakak, dengan begitu kau membuat
aku bertambah cinta kepadamu. Itulah sebabnya kenapa
barusan aku berlaku sembrono, kakak kau maafkanlah
aku…..”
Didalam sekejap Hong Kun nampak lesu dan menyesal.
“Aneh!” pikir Tan Hong. “Dia benar-benar adik It Hiong
atau bukan? Kalau bukan, kenapa dia dapat bicara tentang
Hauw Yan?”
“Itulah tidak berarti….” Katanya, namun mendadak ia ingat
satu orang :”Ah! Apa bukannya Gak Hong Kun?” maka ia
segera membentak : “Gak Hong Kun! Jangan kau main gila!
Apa kau kira dapat mengelabuiku!” dan ia menatap tajam
sekali.
Hong Kun terperanjat, parasnya berubah dengan tiba-tiba.
Akan tetapi dia tabah dan cerdik, lantas dia mendapat akal.
Maka dia mengangkat kepalanya, menatap puteri rembulan,
habis itu ia berkata perlahan : “Gak Hong Kun adalah
musuhku dalam urusan asmara…..aku justru mau cari dia
guna membuat perhitungan, maka menyebut nama dia,
apakah dia muncul disini?”
Tan Hong tetap mengawasi, ia menjadi waswas : Hong Kun
atau It Hiong?
Gak Hong Kun juga mengawasi tajam, dia mengerti bahwa
orang telah mencurigainya, maka ia hendak mendahului turun


tangan, ia merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuah botol
kecil, terus dibuka dan dikibaskannya, membuat isinya
tersebar sambil ia berkata nyaring : “Kakak, kau lihat harum
bau apa! Dapatkah kau menciumnya?”
Tan Hong terperanjat karena orang memanggilnya itu ,
ketika ia terperanjat justru hidungnya telah mencium bau
bubuk harum itu, terus ia berseru tertahan dan tubuhnya
roboh tidak sadar lagi!
“Hm!” Hong Kun tertawa iblis. “Sekarang baru kau tahu
rasa budak bau! Berapa kali sudah kau menjual jiwamu untuk
It Hiong, selalu menggagalkan usahaku maka sekarang
hendak aku memuaskan hatiku atas dirimu! “
Tanpa ayal pula si anak muda berjongkok
untukmengangkat tubuh orang, buat dipondong dan dibawa
lari ke arah bukit yang penuh dengan pepohonan dan
terdapat sebuah kali kecil. Dahan-dahan dan daun pohon
membuat tempat itu tak tembus oleh sinar rembulan.
Untuk girangnya si anak muda, dia justru melihat beberapa
buah gubuk ditepi kali itu. Tidak ada cahaya api didalam
gubuk tentu penghuninya sedang tidur pikirnya. Itulah yang ia
kehendaki, dia pikir, asal tuan rumah dapat dikekang dia pasti
bebas melakukan apa yang dia sukai.
Melihat cahaya rembulan, Hong Kun menerka waktu sudah
mendekati jam empat, ia menghampiri sebuah gubuk terus
menolak daun pntunya. Ia mendapat kenyataan pintu itu tak
terkunci. Tanpa pikir panjang lagi ia masuk kedalam rumah.
Lebih dahulu ia menyalakan api, hingga ia melihat sebuah
ruangan dengan segala perabotannya, kursi, meja dan lainnya
yang terbuat dari kayu dan bamboo dan semuanyapun bersih.
Terus ia menyulut lilin yang berada diatas meja, setelah itu ia


letaki tubuh si nona diatas kursi bambu, ia sendiri duduk
dikursi satunya untuk beristirahat.
Sambil beristirahat itu, Hong Kun memandang kedinding,
maka ia melihat sebuah holouw atau buli-buli tergantung
didinding di depannya. Ia bangkit untuk menurunkan buli-buli
itu, waktu ia membukanya ia membaui arak yang harum.
“Sungguh menarik hati!” katanya dalam hati. “Sudah ada
wanita cantik, ada juga arak harum! Tak disangka Gak Hong
Kun , didalam rumah gubuk ini , kau bakal mendapat sesuatu
yang sangat nikmat!”
Mulut holouw lantas dibawa kemulutnya untuk ditegak
isinya dalam beberapa teguk. Terus Hong Kun duduk lagi,
tangan kirinya tetap memegang tempat arak, matanya
mengawasi si nona manis diatas kursi. Tanpa terasa pengaruh
arak membuat napsu birahinya tambah menyala….
“Inilah saatku…..” pikirnya. Maka ia bangun untuk
memondong nona guna dibaa masuk kedalam kamar di
depannya tanpa ia mau memeriksa terlebih dahulu kamar itu!
Saat si anak muda melewati ambang pintu, tiba-tiba
kepalanya terasa pusing, terus tubuhnya terhuyung-huyung
kemudian dia roboh bersama-sama nona yang dipondongnya1
Dia roboh tanpa ingat apa juga….
Berbareng dengan itu dari kamar terdengar suara tawa
nyaring yang sangat gembira, terus terlihat munculnya
seorang dengan sabuk hijau dan baju panjang hijau juga. Dia
beralis gomblok dan bermata bundar dan mukanya brewokan
tebal. Melihat tampangnya dia tentu berusia kira-kira lima
puluh tahun.


“Hai tikus!” katanya sambil menunding tubuh Hong Kun.
“Dasar tikus rakus, tidak kuat minum, kau mencuri arak
orang!”
Lalu orang itu mengambil lilin dari atas meja buat dipakai
menerangi dua tubuh yang tak bergerak itu, hingga ia melihat
tegas sepasang muda-mudi tapi yang membuatnya terkejut
sampai ia berseru tertahan, ialah waktu ia mengenali si anak
muda Tio It Hiong adanya, ia melongo mengawasinya.
Ketika itu dari sebuah kamar lain, lari keluar seorang
perempuan muda dengan pakaian merah tua yang singsat,
rambutnya panjang turun kebahu dan punggungnya, rambut
dikepalanya dijepit dengan jepitan emas dengan gambar
burung hong terbang. Dia seorang nona yang manis. Dia
menghampiri si orang tua untuk terus mengawasi muda mudi
itu, ketika ia menatap si anak muda ia tampak girang, ia
menggertak gigi perlahan, setelah itu sambil menepuk bahu si
orang tua dia bertanya : “Jie Suheng, kau kenalkah pemuda
ini?”
Orang tua itu terkejut mendengar suara orang yang
dibarengi dengan tepukan tangan kepada bahunya itu. Ia
justru lagi meneliti sepasang muda mudi yang seperti lagi tidur
nyenyak itu. Si nona datang dengan cepat tapi hati-hati
hingga tak tahu orang sudah ada disisinya. Dan si nona yang
menjadi adik seperguruannya ini memang jail sekali.
“Ah, budak setan!” tegurnya sambil menoleh.
Kiranya orang tua itu adalah Jie Koay atau Jie Mo Lam
Hong Hoan si siluman atau bajingan nomor dua diantara Cit
Me tujuh bajingan dari To Liong To, pulau naga melengkung.
Sedangkan si nona adalah Cit Mo Siauw Wan Goat, bajingan
nomor tujuh atau sibungsu dari tujuh bajingan itu.


Bersama kedua saudara seperguruan itu masih ada Ngo Mo
Bok Cou Lauw, bajingan nomor lima, sebab mereka bertiga
sedang menerima tugas dari pimpinannya, kakak
seperguruannya yang tertua, guna pergi keberbagai tempat
dan mengundang orang-orang kosen kaum sesat, agar
mereka itu nanti sama-sama menghadiri pertemuan besar
dunia persilatan digunung Tay san untuk membantu pihaknya.
Kebetulan saja mereka lewat ditempat itu. Siauw Wan Goat
tertarik dengan ketenangan tempat itu, dia mengajak kedua
saudaranya singgah disitu dengan menempati rumah gubuk
tersebut. Tidak tahunya yang punya rumah gubuk itu justru
Beng Leng Cinjin, ketua dari Hek Keng To. Karena mereka
sama-sama kaum sesat, Beng Leng Cinjin suka menerima
ketiga tamunya itu.
Sebenarnya ketika itu, Beng Leng Cinjin sudah berpikir
untuk mengundurkan diri dari dunia Kang Ouw akibat
serbuannya ke Siauw Lim Sie dimana diruang Lohan Tiong dia
kena dirobohkan Pek Cut Taysu yang mengalahkannya dengan
ilmu Tay Poan jiak atau Prajana Luhur yang membuatnya
sadar, begitulah akhirnya dia pilih tempat terpencil itu, sunyi
damai hingga dia menerima Lam Hong Hoan bertiga. Dia
mengalah dan pindah kegubuk paling belakang, disitu tetap
dia hidup menyendiri tak bergaul dengan bajingan-bajingan
dari To Liong To itu.
“Kakak,” kata Wan Goat sambil melirik It Hiong palsu.
“Pemuda ini apa bukannya Tio It Hiong murid dari Pay In Nia
yang kita temukan dibawah puncak Heng San?” dimulut si
nona bertanya, dihati ia girang bukan main. Ia menganggap
barang makanan mengantarkan diri….


“Bocah ini malang!” kata Lam Hong Hoan tertawa. “Dia
roboh oleh arak buatanku ini dengan begitu dengan sendirinya
berkurang musuh kita di Tay San nanti….”
Wan Goat tertawa dan berkata : “Sebenarnya aku matangi
arakmu ini buat membikin kau sinting lupa daratan, siapa tahu
bocah itu datang menggantikanmu. Dasar untungmu bagus,
sekarang kakak, apakah kau ingin menyingkirkan jiwanya ini?”
“Tentu saja!” sahut sikakak. “Cuma wanita ini kalau
melihat dari senjatanya, mestinya dia dari Hek Keng To,
mengenai dia kita harus teliti dahulu….”
Timbul segera rasa cemburu si nona.
“Seorang nona malam-malam berada bersama seorang
pria, apakah dia masih mempunyai muka?” tanyanya.
“Perempuan busuk ini buat apa kita pedulikan siapa adanya
dia? Baik sekalian saja kita bereskan!”
Berkata begitu nona siauw mengayun tangannya kekepala
Tan Hong. Lam Hong Hoan terkejut, dia menyampok
tangannya si nona, dengan begitu serangan itu menukar arah
mengenai pinggiran kursi hingga Cuma rambutnya Tan Hong
yang terkena anginnya.
Ketika Tan Hong terkena racun, ia hanya membaui sedikit.
Disamping itu dengan ilmu Mo Tang ka telah sempurna sekali
maka selang sekian lama tenaga dalamnya sendiri berhasil
mengusir racunnya Hong Kun. Selagi kesadarannya mau pulih
itu, ia justru tersampok angin pukulan Wan Goat hingga
kesadarannya dipercepat. Sekejap saja ia sudah melompat
bangun, matanya terus mengawasi Kam Hong Hoan dan Wan
Goat untuk sejenak rupanya ia merasa heran.


Hong Hoan membawa lilin mendekati Nona Tan untuk
menatapnya.
“Nona?” tanyanya kemudian, “Bukankah kau Nona Tan
Hong dari Hek Keng To?”
Tan Hong mengawasi tajam, ia segera mengenali Hong
Hoan.
“Oh, Lam Cianpwe, sudah lama kita tak bertemu!”
sahutnya, “Memang aku yang muda Tan Hong adanya.”
Hong hoan trus menatap, tampak dia merasa heran sekali.
“Nona,” tanyanya pula sambil menunjuk Hong Kun.
“Kenapa nona ada bersama bocah ini?”
Tan Hong memandang ke arah yan ditunjuk itu. Ia melihat
pemuda yang lagi rebah itu mirip It Hiong. Ia bersangsi hingga
ia berdiri menjublak saja. Ia terus menggunakan pikirannya
untukmengingat-ingat.
“Dasar Jie Suheng tolol!” berkata Wan Goat menyelak.
“Orang toh berpasangan tengah malam buta, mereka lancang
memasuki tempat kita, apalagi maksudnya? Buat apa banyak
bicara? Mari aku mewakili kau menajwab : Pasti untuk
berpelesiran semalam suntuk1”
Tak cukup dengan ejekan itu, nona Siauw pun
memperdengarkan suara tawa dinginnya.
Tan Hong membuka lebar matanya, hatinya panas.
“Siauw Wan Goat mulutmu tidak bersih!” tegurnya. “Jangan
menghina orang lain jika kau tidak ingin dirimu dihina!


Bukankah kau juga seorang gadis remaja. Apa kau benar tak
tahu malu?”
Hong Hoan tertawa dan menyela : “Harap jangan gusar
nona! Sudah biasanya adikku ini suka berjumawa dan
bergurau menjaili orang! Eh nona, apakah kau datang kemari
buat mencari kakak seperguruanmu Beng Leng Cinjin?”
Sebagai orang cerdik bahkan licin, Hong Hoan tahu
bagaimana harus mengalihkan pembicaraan supaya kedua
nona itu tidak bentrok.
Benar, akhirnya Tan Hong menjadi sabar.
“Apakah kakak seperguruanku yang tertua berada disini?”
tanyanya.
“Beberapa buah gubuk ini semua milik kakak
seperguruanmu itu nona,” sahut Hong Hoan, “Inilah tempat
dimana dia tengah mengasingkan diri. Ketika kami kemarin
lewat disini, kami bertemu dengannya, maka kami lalu singgah
disini beberapa hari.
Tan Hong heran berbareng girang.
“Aku memang ingin menemui kakak seperguruanku itu,”
katanya. “Dimanakah adanya ia sekarang?”
“Kakak nona itu berada digubuk belakang.” Sahut Hong
Hoan,” Mari nona, mari aku yang tua memimpinmu kepada
kakakmu itu.”
Berkata begitu, orang she Lam itu melirik Hong Kun, terus
ia memesan Wan Goat setelah itu ia bertindak pergi mengajak
Nona Tan Hong. Ia membawa terus lilinnya.


Wam Goat menanti orang sudah berlalu, lantas ia
mengambil air dengan apa ia menyembur mukanya Hong Kun
hingga ia membuat It Hiong palsu lantas mendusin dari
pingsannya akibat keracunan arak istimewa itu. Ia mengawasi
heran kepada nona di depannya itu, sebab orang bukannya
Tan Hong, tapi ia cerdik sekali, tahu ia bagaimana
menghadapi seorang wanita.
“Kakak!” lantas ia memanggil dengan suara perlahan.
Luar biasa dua orang ini, Wan Goat mengenali It Hiong ,
maka ia menyangka pemuda di depannya ini It Hiong tulen
adanya. Hong Kun sebaliknya mengenali nona itu, Siauw Wan
Goat dari To liong To. Sewaktu berada ditengah jalan
dikecamaTan Hongbwe mereka pernah bertemu dan dia dicaci
maki nona itu. Dan itulah peristiwa yang masih diingatnya
dengan baik.
Wan Goat merasa manis dipanggil kakak, mukanya menjadi
merah.
“Kakak It Hiong1” berkata dia. “Apakah kau masih belum
mau berangkat pergi dari sini? Kalau sebentar kakakku yang
nomor dua keburu datang, pasti akan berabelah kau.”
Hong Kun bangkit untuk bangun.
“Tak dapat aku meninggalkan kau kakak,” katanya
perlahan. Mendadak ia menyambar tangan si nona.
Hatinya Wan Goat memukul, parasnya merah. Biarpun ia
centil,ia toh likat, ia melirik terus tunduk.


“Kakak Hiong,” tanyanya perlahan, “Kau berniat berbuat
apa?”
Hong Kun mengawasi muka orang. Nona itu sedang
mengangkat mukanya, ia memberi isyarat supaya nona itu
mengikutinya. Nona itu kalah cerdik, iapun telah diganggu
ditarik, iapun turut berjalan keluar…..
Dibawah sinar rembulana mudi itu berjalan bagaikan
bayangan dibawah pepohonan. Mereka melangkah
disepanjang tepian kali, sampai mendekati sebuah desa.
Mereka mendengar ayam-ayam mulai berkokok
membangunkan orang tidur. Hanya Wan Goat yang belum
sadar dari mabuk asmaranya…..
Hong Kun mengajak orang berlari, ia tahu selekasnya
terang tanah, tak dapat ia mempuasi hatinya terhadap nona
siauw ini. Ia harus merebut waktu. Tegasnya ia mesti
memisahkan diri biar jauh dari gubuk si nona. Tak berani ia
kembali ke Liong peng, takut Tan Hong nanti menjadi
rintangan baginya.
Di depan mereka ada jalan pegunungan yang berliku-liku,
tanpa pikir panjang Hong Kun mengajakl Wan Goat lari
kesana.
Wan Goat berlari-lari disamping si anak muda, hatinya tidak
berpikir lainlagi kecuali tentang anak muda itu. Beberapa kali
ia meliriknya. Ia Cuma ingat Tio It Hiong.
Segera juga sang surya muncul dengan sinar paginya yang
indah. Masih Wan Goat mendampingi pemuda yang
diidamkannya itu. Ia tidak tahu bahkan tidak memikirkan
kemana ia sudah dibawa pergi.


Kali ini karena sudah terpisah cukup jauh, Hong Kun tidak
berlari lagi, ia hanya mengajak nona disisinya berjalan
berputaran ditanah pegunungan itu, bagaikan orang tengah
berpesiar. Ia pandai membawakan dirinya membuat si nona
senantiasa merasa tenang dan tak curiga apa-apa. Baru
setelah magrib mulai tiba, ia mengajak nona itu turun dari
gunung yang tidak dikenal itu.
Hong Kun membawa orang kekecamatan Na Kue, ia
memasuki kota dan lantas mencari rumah penginapan. Ia
memesan barang hidangan dan arak untuk bersama Wan Goat
bersantap didalam kamar yang disewa itu.
Bukan main puasnya Hong Kun, kalau ia berhasil
mengganggu Wan Goat itu, berarti ia telah melampiaskan
kebenciannya terhadap kaum wanita. Wan Goat tidak
mencurigainya dan tidak menyangka apa-apa, bahkan ia
senang sekali berjamu bersama “kekasihnya” itu….
Sang waktu lewat dengan cepat tanpa terasa.
Ketika kentongan terdengar tiga kali, mukanya Wan Goat
sudah merah pengaruh air kata-kata. Ia justru semakin cantik
dan menggiurkan, saban-saban ia melirik “To It Hiong” dan
tersenyum manis.
“Kakak Hiong” katanya perlahan, “Sudah jauh malam, pergi
kau kekamarmu untuk beristirahat, aku sudah minum banyak,
kepalaku terasa pusing, akupun mau tidur…”
Berkata begitu lantas si nona bangun untuk pergi
kepembaringan dimana ia duduk disisinya, terus kepalanya
diletaki diatas bantal.


Hong Kun tahu itulah kesempatan baik, ia lantas berpura
mulai mabuk dengan berjalan tak tetap ia menghampiri
pembaringan terus memegangi paha si nona.
“Adik Wan Goat, apakah kau sudah mabuk?” tanyanya
sengaja.
“Ah!” berkata si nona yang menolak tangan orang. “Kakak
Hiong jangan nakal!...”
Hong Kun menatap.
“Aku mau…..aku mau menungui kau, adik….” Katanya,
“Sesudah kau pulas barulah hatiku lega….”
Wan Goat tertawa, hatinya berdenyut kencang, ketika sinar
matanya beradu dengan si anak muda, ia lantas menoleh
kelain arah. Justru itu tiba-tiba ia ingat sesuatu.
“Apakah artinya ini?” demikian katanya dalam hati. Ia
melihat api lilin yang menyala. “Apakah artinya perbuatanku
ini? Bukankah adik Hiong bakal menganggap aku serupa
dengan bunga ditengah jalan? Oh, tidak, tidak!”
Tiba-tiba si nona turun dari pembaringannya, ia berbalik
memegang lengannya It Hiong tiruan.
“Kakak Hiong, kau juga sudah mabuk!” katanya, “Lekas
pergi kekamarmu! Kalau mau bicara, besok dapat kita
lanjutkan lagi.” Terus ia menarik orang kepintu dan menolak
tubuhnya hingga dilain saat ia sudah menutup pintu dan
memalangnya.
It Hiong palsu berdiri menjublak dibalik pintu, ia tersenyum
iblis.


“Hm!” terdengar suaranya yang tawar dan perlahan, “Ah
budak bau, apa kau kira dapat mempermainkan tuan
besarmu? Tidak! Kau lihat saja nanti!” Maka ia lantas berkata
agak keras “Adik, kau tidurlah! Aku kekamarku!” lalu ia
sengaja memperdengarkan suara langkah yang berat.
Wan Goat menyahuti, terus ia padamkan api, habis
membuka bajunya ia naik pula keatas pembaringannya.
Sebenarnya ia sangat mencintai It Hiong. Rasa cinta itu
muncul semenjak pertemuan mereka berdua dikaki gunung
Heng San. Hanya sejak itu tak ada kesempatan buat ia
menemui pemuda yang cakap ganteng itu. Tapi sekarang
mereka dapat berkumpul bersama….
“Ah, mengapa aku menyuruhnya keluar?” pikir Wan Goat
sebelum ia pulas. “Ini adalah saat yang paling baik, kenapa
aku menyia-nyiakannya? Bagaimana kalau dia keliru
menyangka aku tidak mencintainya?...”
Letih si nona berpikir panjang, arak pun membuatnya
pusing. Diakhirnya tanpa terasa ia toh tidur pulas juga. Ia
tidur nyenyak sekali. Tak tahu ia telah tidur berapa lama.
Bahkan samara-samar ia bermimpi suatu kejadian yang belum
pernah ia mimpikan. Ia merasa sangat bahagia. Hanya itu
ketika kemudian ia mendusin dari tidurnya, ia telah berubah
menjadi bukan gadis lagi. Dari seorang nona ia menjadi
nyonya. Segera ia merasakan sesuatu yang tak biasanya.
Ketika ia melihat sinar matahari di jendela, ia bangkit untuk
bangun, namun ia heran karena tangannya merasa
memegang sesuatu. Ia membuka matanya, dari kedap kedip
menjadi lebar, lantas iapun terperanjat. Disisinya, diatas
pembaringannya, ia melihat sesosok tubuh pria tengah rebah
dan tidur menggeros. Ia pun kaget ketika mengenali orang itu
ialah si “Kakak Hiong”. Maka sadarlah bahwa ia bukannya


bermimpi, namun itulah kenyataan! Ia kaget berbareng
girang.
“Bangun!” katanya sambil meraba tubuh orang untuk
digoyang-goyang, ia terus menatap muka orang itu,
airmatanya sendiri berlinang karena bahagianya, “Telah aku
serahkan tubuhku yang putih bersih terhadapmu, maka
sekarang selanjutnya bagaimana kau hendak perlakukan
diriku?”
It Hiong palsu mengawasi nona itu. Si nona lembut dan
agak mendatangkan rasa kasihan. Tapi ia berpikir lain.
“Hm!” ia mengeluarkan suara dinginnya. “Hm, apa yang
ditangisi? Apakah kau tidak bunyi pepatah yang
mengharuskan wanita itu menurut dan bijaksana?”
Wan Goat heran.
“Kakak Hiong apa katamu?” ia bertanya.
Hong Kun menjawab dengan keras : “Sejak saat ini kau
harus mendengar dan menurut kata-katakku! Jika kau
membandel dan menantangnya, jangan heran kalau aku tidak
mengenal kasihan lagi padamu!”
Berkata begitu, pemuda itu turun dari pembaringan,
membetulkan pakaiannya dan memasang pedang Kie Koat
pada punggungnya.
Wan Goat terkejut, hatinya terasa nyeri. Hebat kata-kata
yang berupa seperti tikaman itu. Hampir ia pingsan
karenanya, ia pun turun dari pembaringan untuk merapikan
pakaiannya juga. Sambil berpakaian itu ia mengawasi tajam
muka orang, masih air matanya berlinang dikedua belah


matanya. Ia mendapat perasaan “Kakak Hiong” dari hari
kemarin beda dengan sekarang ini. Tapi ia berkata : “Tak
peduli keujung langit dan pojok laut, aku akan ikut kau!”
“Hahaha!” Hong Kun tertawa nyaring, “He, budak bau!
Siapakah yang menghendaki kau tergila-gila begini rupa? Tak
tahu malukah kau?”
Wan Goat melengak, ia heran sekali lalu hatinya menjadi
panas.
“Aku toh istrimu!” katanya keras, “Kenapa kau berubah
begini rupa?”
“Jangan rewel!” bentak Hong Kun, matanya melotot. “Inilah
kutukan atas dirimu sendiri! Inilah penyakit yang kau cari!
Siapa suruh kau mencintai aku hingga kau membuatku
berbahagia satu malam? Siapa yang harus dipersalahkan?”
Wan Goat gusar hingga tak tahu harus berbuat apa, ia
menubruk untuk memegang baju orang sambil ia menangis
terisak-isak.
Naik darahnya Hong Kun, sebelah tangannya melayang
menggaplok telinga orang hingga orang roboh, sambil
menunding ia berkata sengit : “Telah cukup aku dipermainkan
wanita! Hari ini ialah pembalasanku yang pertama! Maka kau,
hitung-hitung saja nasibmu yang lagi apes! Maka kau harus
menerima nasibmu!”
Habis berkata begitu, Hong Kun melompat keluar jendela,
buat kabur, tak mau ia berdiam lama-lama sebab itulah rumah
penginapan.


Pikirannya Wan Goat kacau, ia pun melompat menyusul.
Celaka untuknya, begitu ia tiba, ia dipapaki satu hajaran
hingga ia menjerit, “Aduh!” tertahan. Terus ia roboh pula
pingsan. Sedangkan Hong Kun sudah lantas melenyapkan diri.
Sampai besok paginya barulah Wan Goat terasadar dari
pingsannya, ia rebah diatas pembaringan dan ada orang yang
tengah mengurusnya. Ketika ia mengawasi, ia kenali orang itu
adalah Tan Hong, si nona yang malam itu datang bersamasama
“It Hiong”. Lantas ia berpikir:”Nona ini datang bersama
“It Hiong”, dia mesti mempunyai hubungan erat luar biasa
dengan pemuda itu. Apakah itu seperti hubungan eratnya tadi
malam? Maka tiba-tiba timbullah cemburunya, sehingga
bukannya berterima kasih, ia justru menjadi gusar. Ia menolak
dengan kasar tangan Tan Hong, terus ia bangun untuk duduk
dan berkata dingin : “Kakak Hiong sudah pergi! Kau berbuat
begini baik hati, kepada siapa kau hendak pertontonkan itu?”
Tan Hong melengak, itulah teguran yang tak ia mengerti.
“Nona Siauw, apa kau kenal aku?” tanyanya, “Kenapa kau
terluka begitu parah?”
Suara nona itu perlahan dan prihatin, hatinya Wan Goat
menjadi tergerak. Ia lantas menangis, tapi ia memaksakan diri
untuk tertawa, hingga ia jadi tertawa sedih. Masih hatinya
panas, katanya dingin : “Kalau kau hendak susul dia, kau
susullah lekas! Tak usah kau berdiam lama disini berpura
bermurah hati!”
Bingung Tan Hong mendapat perlakuan itu. Biar
bagaimana, ia merasa kurang puas, akan tetapi masih ia dapat
menahan diri, ia melirik dan tertawa dengan paksa.
“Kau rupanya tidak mengerti maksud baikku,” katanya, “
aku melihat persahabatan antara partai kita, aku juga


mengutamakan keharusan diantara sesame Kang Ouw untuk
saling tolong. Demikianlah ketika aku melihat kau rebah
pingsan sendirian saja, sedang kaupun terluka, mana dapat
aku berdiam saja tidak menolongmu? Begitulah aku lantas
tolong dirimu!”
Berkata begitu Tan Hong hening sejenak dan menatap
muka orang.
“Nona Siauw,” katanya kemudian. “Rupanya kau telah kena
tipu orang dan diperhina hingga kau menjadi penasaran sekali.
Namun kita adalah wanita Kang Ouw, buat apa kita membawa
diri seperti wanita kebanyakan? Itu artinya menyiksa diri
sendiri!”
Wan Goat menangis sedih, airmatanya bercucuran deras.
Sekian lama ia berdiam menenangkan diri, kemudian ia
menghapus air matanya. Msih ia sesegukan, ketika ia berkata
: “Kakak, kau toh tidak menggusari aku bukan?”
Tan Hong tidak menjawab, ia hanya merogoh obat pulung
dari dalam sakunya untuk dimasukkan kedalam mulut orang.
“Adik jangan kau menganggap aku sebagai orang asing.”
Katanya sabar. “Aku lihat kau tentu mempunyai suatu sebab,
maka kau menjadi berduka begini, tidak adik! Aku tak
menggusari kau.”
Perlahan-lahan Wan Goat dapat menguasai diri.
“Malam itu, kakak,” katanya bertanya, “Ketika kakak
bersama It Hong datang kegubuk kami, kalian datang dari
manakah?”


Tan Hong dapat menerka orang mencintai It Hiong, bahwa
nona ini pasti telah kena tipu, maka ia lantas mengasi
keterangan halnya ia mengejar orang mulai dari rumah
penginapan di Liong peng sampai ia kena dibikin tak sadarkan
diri, hingga ia tak tahu apapun yang telah terjadi, sampai ia
tahu-tahu disadarkan oleh Lam Hong Hoan.
“Kalau aku melihat orang itu, perbuatan dia beda seperti
langit dan bumi dengan sifatnya Tio It Hiong,” ia
menambahkan kemudian, “Hanya sampai sekarang masih aku
belum memperoleh kepastian. Mungkin dialah Tio It Hiong
palsu, tapi kenyataannya?”
Mendengar keterangan itu, Wan Goat merasai tubuhnya
bagaikan tergetar dan menggigil keras, telinganya seperti
ditulikan guntur.
“Kakak,” tanyanya heran. “Apa kakak tidak mendustai aku?
Darimana kakak mendapat alasan dan menerka dialah Tio It
Hiong palsu.”
Tan Hong menatap nona ini.
“Ketika aku pertama kali bertemu dengannya, akupun
menerka dialah Tio It Hiong.” Ia menjawab kemudian, “Aku
baru menaruh curiga setelah aku mendengar penjelasan
Locianpwe Beng Kee Eng. Ketika kami meninggalkan gunung
Ay Lao San, adik Hiong masih berada diatas gunung tengah
melayani Kwie Tiok Giam Po. Karena itu, mana dapat ia telah
melakukan segala perbuatan busuknya itu dalam waktu yang
demikian pendek!”
“Tetapi, kakak,” kata Wan Goat, “Biarlah segala soalnya
kakak Hiong itu. Yang aku ingin tahu sekarang ialah apa yang


membedakan yang tulen dengan yang palsu? Dapatkah kakak
menjelaskannya?”
Tan Hong mengawasi nona itu, ia tertawa.
“Bukankah diantara To Liong To dan Pay In Nia terdapat
permusuhan, kenapa adik nampaknya sangat bingung dan
begini mendesak ingin mengetahui bedanya It Hiong palsu
dan tulen?”
Wan Goat melengak, mukanya merah, tatap ia bersedih.
“Aku sama dengan kau, kakak.” Sahutnya, “Seperti kau,
aku juga ingin ketahui dia itu Kakak It Hiong atau bukan!....”
Kali ini Wan Goat menerka bahwa Tan Hong juga sudah
jadi korbannya si “Kakak Hiong” seperti dia sendiri.
Jilid 26
Tan Hong berpikir sebelumnya ia menjawab. Ia malu akan
menutur terus terang hal ikhwalnya dengan It Hiong palsu itu,
sebab ia hampir menjadi korban. Ia menghela nafas.
"Dalam hal memperhatikan adik Hiong, kita berdua sama
saja." sahutnya kemudian. "Cuma halnya dalam
keberuntungan aku kalah dari kau, adik. Kau berbahagia
sekali."
"Kakak" Wan Goat menyela, suaranya tajam. "Kakak, aku
minta sukalah kau bicara dengan sebenar-benarnya."
Tan Hong bersikap sungguh-sungguh.


"Adik" sahutnya. "Kita ada sesama wanita, buat apa kau
sampai menegas begini ? Mana dapat aku mendustakan kau."
Wan Goat menjerit perlahan, dia menangis pula, air
matanya mengucur deras. Ia mendekam.
"Oh, aku mau mati !" katanya. "Mana ada muka aku hidup
didalam dunia ?"
Tan Hong menepuk-nepuk bahu orang.
"Anak tolol !" katanya. "Manakah semangatmu sebagai
wanita Kang Ouw ? Bukankah belum ada kepastiannya orang
ada It Hiong yang palsu atau yang tulen ? Apakah soalmu
dapat dibereskan dengan hanya menangis saja ?"
Bagaikan tersentak Wan Goat bergerak bangun untuk
berduduk.
"Kakak, kau ajarilah aku !" katanya, matanya masih penuh
air. "Hatiku sudah hancur. Bagaimana sekarang ?"
Tan Hong mengenggam tangan orang.
"Jika orang itu benar Tio It Hiong." kata ia sungguhsungguh,
"bukankah percuma kau mengucurkan air matamu
ini ? Kalau sebaliknya, dialah si manusia palsu, maka adalah
tugasmu untuk menuntut balas ! Maka itu sekarang mari kita
membuat perjalanan guna mencari dia buat menyelidiki hal
yang sebenarnya ! Buat apa berlaku tolol, bicara tentang mati.
Itu cuma bakal mendatangkan tertawaan orang !"
Nona Siauw melengak, lantas ia menghapus airmatanya.


"Kakak benar !" katanya kemudian. "Ah, kenapa aku jadi
tolol begini ?" Ia menggerakkan tubuhnya akan turun dari
pembaringan. Selagi bergerak itu ia merasakan lengannya
masih sakit dan dadanya pun nyeri. Ia lantas menggosokgosok
dadanya. Ia merasa nyeri berbareng di hatinya dan
karena lukanya itu
"Siauw Wan Goat bersumpah tak akan menjadi manusia
kalau dia tak dapat membalas sakit hati ini !" demikian
katanya keras.
Tepat itu waktu, dari luar terdengar suara ketukan dengan
pintu disusul dengan datang masuknya dua orang, ialah Lam
Hong Hoan dan Bok Cee Lauw.
Malam itu Hong Hoan kaget, selekasnya dia melihat adik
seperguruannya lenyap, lantas dia menerka adik itu telah
diculik oleh si pemuda, sebab pemuda itu hilang juga. Maka
lantas ia ajak Cee Lauw pergi mencari hingga mereka mesti
berputaran, hingga baru sekarang mereka menemui adik itu.
Adanya Tan Hong bersama si adik membuatnya heran.
Melihat kedua saudara seperguruan itu, Wan Goat
menangis sebagai anak kecil. Ia menubruk dan merangkul
Hong Hoan, ia menangis bukan main sedihnya.
Tan Hong merasa bahwa tak dapat ia berdiam lebih lama
disitu, maka ia menghadapi Lam Hong Hoan dan berkata :
"Lam Cianpwe, sukalah kau menghiburi adikmu ini, haraplah
kau melindungi nama besar dari To Liong To ! Kebetulan
sekali cianpwe tiba disini ! Nah, ijinkanlah aku mengundurkan
diri !"
Tanpa menanti jawaban lagi, wanita jago dari Hek Keng To
itu lantas bertindak pergi.


Lam Hong Hoan menerka kata-katanya Nona Tan itu mesti
ada artinya sebab adik seperguruannya itu menangis saja. Ia
rada gugup maka juga ia mendelong mengawasi orang pergi.
Bok Cee Lauw juga heran, hingga ia menggeleng-geleng
kepala.
"Cit-sumoay" tanyanya kemudian kepada adik
seperguruannya yang ketujuh itu yang bungsu, "apakah budak
Tan Hong berani main gila terhadapmu ?"
Wan Goat lagi menangis, tak dapat ia menjawab kakak
seperguruan itu.
"Adikku, kau bicaralah !" Cee Lauw mendesak.
Masih Wan Goat sesegukan saja.
"Hm !" Cee Lauw bersuara sengit. "Apakah bocah Tio It
Hiong itu kau jadi...."
Dia sebenarnya mau mengatakan "kau jadi bentrok dengan
Tan Hong" atau ia kena dicela si nona yang sudah lantas
mengangkat mukanya menoleh kepadanya.
"Cis" demikian nona itu. "Aku tak mempunyai kegembiraan
seperti kau yang gemar menggodia orang..."
Berkata begitu Wan Goat menekan dadanya. Ia merasa
nyeri.
Hong Hoan menerka adik itu terluka di dalam.


"Hayo, kita pulang dulu !" ia mengajak. "Kita perlu lekas
mengobati adik kita ini !"
Habis berkata begitu, kakak seperguruan itu lantas
menggendong adiknya itu. Ia terus lari keluar. Maka Bok Cee
Lauw pun lari menyusulnya.
Sementara itu Gak Hong Kun si Tio It Hiong palsu sudah
menyingkarkan jauh-jauh dari tempat dimana ia hajar pingsan
Siauw Wan Goat. Ia puas sekali atas perbuatannya itu. Ia
mendapat dua rupa kepuasan, puas karena bisa
melampiaskan kebenciannya kepada wanita, puas karena
sudah mencicipi kenikmatan hidupnya dengan seorang nona
cantik. Kenyataan ini membuatnya ketagihan. Ia memikir buat
melanjutkannya perbuatannya serupa itu. Lalu ia memikirkan
siapa harus dijadikan korban nomor dua, wajar saja ia segera
ingat Pek Giok Peng pacarnya itu yang katanya sudah
dirampas Tio It Hiong. Ingat namanya Pek Giok Peng, Hong
Kun tertawa bergelak sendirinya.
"Sekarang aku mau melihat bukti penyamaranku ini !"
katanya hatinya puas. "Setelah melihat aku, ingin aku lihat dia
bakal terjatuh dalam rangkulanku atau tidak ! Pasti dia akan
menyerahkan dirinya dengan suka rela.....
Lantas ia pikirkan dimana adanya Giok Peng sekarang. Di
vihara Siauw Lim Sie atau di Lek Tiok Po ? Segera ia
mengambil keputusan. Ia terus menyewa perahu akan
berangkat ke timur dengan mengikuti sungai Tiang Kang, ia
melintasi Siangyang untuk tiba di Kayhong.
Di itu hari yang pemuda ini tiba di kota kayhong dimana ia
terus mengambil hotel, ia lantas mendengar halnya pelbagai
partai tengah membuat perjalanan atau penyelidikan guna
mencari Tio It Hiong. Ia mendengar berita itu dengan hati


puas. Hasil perbuatannya itu sudah menerbitkan kegemparan
dan Tio It Hiong telah menjadi hinaan orang banyak. Cuma
ada satu hal yang membuatnya sulit, ia masih menyamar
sebagai Tio It Hiong, karena Tio It Hiong lagi dicari, ia mudah
terlihat orang yang mengenalnya. Karena ini, diwaktu siang
tak mau ia keluar dari kamarnya, bahkan diwaktu malam ia
lebih sering berdiam didalam gelap. Ia mau menjaga jangan
sampai ada orang melihat dia.
Kekuatirannya Gak Hong Kun bukan tidak beralasan. Selagi
ia lewat di Siangyang, ia telah dapat dilihat oleh muridnya
seorang Bu Lim yang ternama. Jago Bu Lim itu ialah Koay To
Ciok Peng, si golok kilat yang pada tiga puluh tahun dulu
namanya menggemparkan kalangan rimba persilatan yang
disebelah selatan dan sebelah utara.
Bahkan dialah sahabat karib dari Bu Eng Thung Liok Cim.
Maka juga habis lolos dari bahaya maut, Liok Cim telah pergi
ke rumah sahabatnya itu, buat menumpang disitu hingga
kepada sang sahabat ia telah menuturkan malang yang
menimpa diri dan keluarganya itu.
Ciok Peng bersedia membantu sahabat itu serta
membalaskan sakit hatinya si saudara angkat. Maka dia telah
menanyakan terang-terang wajah dan potongan tubuhnya It
Hiong serta cara berpakaiannya, sesudah mana dia
menitahkan beberapa orang muridnya pergi membuat
penyelidikan.
Demikian itu hari, selekasnya ia menerima laporan salah
seorang muridnya, Ciok Peng lantas mengajak See Sie, murid
kesayangannya berangkat dari Siangyang, menyusul terus ke
Kayhong, lantas ia membuat penyelidikan yang tepat, sesudah
itu baru ia mengambil keputusan akan bertindak di waktu
malam.


Malam itu Hong Kun merebahkan diri sambil berjaga-jaga,
ia sudah pulas namun ia terasadarkan dengan kaget oleh satu
suara berkeresek pada daun jendela yang terus terpentang
terbuka. Justru ia kaget, justru ia mendengar bentakan
nyaring dari luar jendela, "Jahanam Tio It Hiong, kau keluarlah
untuk terima binasa !"
Tak mau Hong Kun memperdengarkan pula suaranya.
Diam-diam ia merosot turun dari pembaringannya, matanya
dipasang untuk melihat siapa orang diluar kamar itu.
Karena ia berdiam itu, ia mendengar pula suara diluar. "Tio
It Hiong, akulah Koay To Pang ! Aku tidak mau main
sembunyi-sembunyi maka juga aku memanggil kau keluar !
Mari kau harus membuat perhitungan buat Bu Eng Thung Liok
dan keluarganya ! Bangsat kau berdiam saja,
menyembunyikan diri apakah artinya itu ?"
Mulanya terkejut lantas hatinya Hong Kun menjadi panas.
"Tua bangka itu mencari mampusnya." pikirnya sengit. Ia
tidak takut. Dengan mencekal erat-erat pedangnya, ia
berlompat melewati jendela sebelum ia meletakkan kakinya
ditanah, pedangnya sudah diputar di depannya. Terus saja ia
berkata nyaring, "Hendak aku mencoba golok kilatmu dapat
bergerak bagaimana cepatnya !"
Ciok Peng dapat melihat sinar pedang orang. Ia tahu itulah
sebuah pedang mustika maka tak mau ia berlaku sembrono.
Bahkan ia lompat mundur dulu. Untuk berlaku lalai, ia kata,
"Koay Toa Ciok Peng tidak biasanya membinasakan setan
tanpa nama karena itu jahanam kau sebutkan dulu namamu !"
It Hiong palsu tertawa terkekeh.


"Tua bangka !" sahutnya. "Kau sendiri bilang kau belum
kenal aku, cara bagaimana kau dapat berkata bahwa kau
datang guna membuat perhitungan, buat membalaskan sakit
hati orang ? Tidakkah kau bakal ditertawakan kaum Kang Ouw
andiakata perbuatanmu sekarang ini sampai tersiar diluaran ?"
Ciok Peng merasai mukanya panas. Ia menyesal sudah
bicara seenaknya saja. Tapi ia tetap gusar, maka juga ia
berdiri sambil mengawasi tajam.
Tiba-tiba terdengar suara golok dihunus dan terlihat
sinarnya berkelebat, disusul dengan suara ini : "Suhu, jangan
layani dia ! Ijinkan muridmu yang mencoba jahanam itu !"
Kiranya itulah gerak-geriknya See Sie, sang murid, yang
panas hatinya sebab lawan sangat temberang. Dia maju terus
untuk menyerang It Hiong palsu.
Hong Kun tidak lantas menangkis, ia hanya berkelit. Masih
ia berkelit terus waktu serangan diulangi dan diulangi lagi.
Untuk sementara ia cuma melindungi saja tubuhnya. Sebegitu
jauh, pedangnya pun belum berhasil bentrok dengan goloknya
si penyerang.
"Aku mesti bertindak !" pikirnya selewat lagi beberapa
jurus. Ia tahu ia bisa terancam kalau Ciok Peng sendiri turun
tangan. Sambil menutup diri itu, diam-diam ia mengeluarkan
racun Hun Tok Han, racunnya yang dapat membuat orang
pingsan seketika, lantas sehabisnya itu, ia menanti
kesempatan. Begitu dia dapat angin, dia menyebar bubuknya
yang beracun !


Ciok Peng dapat melihat gerakan tangan kiri musuh itu,
lekas-lekas ia menyerukan muridnya : "See Sie, lekas putar
golokmu ! Tutup napasmu dan mundur !"
See Sie mendengar dan lantas ia mundur dengan pesat
sekali, hingga ia berhasil membebaskan diri dari bubuk jahat
itu.
Tapi It Hiong palsu sangat cerdik dan licik, justru orang
lompat mundur, justru ia mencelat ke belakang, untuk lantas
lompat naik ke atas genting dimana ia menghilang dalam
gelap gulita. Maka wajar saja, selagi berlompat, ia tertawa
nyaring buat mengejek lawannya !
Lega hatinya Ciok Peng terhadap akan muridnya tidak
kurang suatu apa, karenanya terus ia lompat pula ke atas
genting guna mengejar pemuda itu. Atau ia segera
mendengar suara keras disebelah depannya : "Tio It Hiong !
Kau mau lari ? Lihat tanganku !"
Ia percepat larinya hingga ia melihat Tio It Hiong dihadang
seorang imam tua dengan janggut panjang dan punggung
tergemblokkan pedang. Beruntun tiga kali imam itu sudah
menyerang dan orang yang diserangnya senantiasa berkelit
walaupun dia memegang pedang, tak berani atau tak mau dia
menggunakan pedangnya itu.
Setelah datang dekat, Ciok Peng mengenali It Yap Tojin
dari Heng San.
Imam tinggal imam tetapi pikirannya It Yap Tojin pendek
dalam urusan muridnya dengan It Hiong yang dikalahkan It
Hiong itu dia tak puas bahkan dia membenci si anak muda she
Tio hingga timbul niatnya mengajar adat. Hanya mengingat
dia adalah pihak lebih tua dan dari tingkat lebih tinggi tak


berani dia sembarang turun tangan. Kebenciannya kepada It
Hiong bertambah setelah dia mendapat keterangan halnya It
Hiong sudah merampas Giok Peng pacarnya muridnya. Maka
baginya datanglah ketika yang baik, selekasnya dia
mendengar berita ramai tentang Tio It Hiong sudah berbuat
kejam dan busuk, hingga kemurkaan kaum Bu Lim telah
dibangkitkan karenanya. Maka bulatlah tekadnya akan
binasakan It Hiong buat membalaskan sakit hati muridnya itu.
Sungguh kebetulan bagi It Yap Tojin, malam itu ia berada
di tempat dan dapat melihat Ciok Peng lagi mengintil It Hiong
palsu. Terang ia tidak mengenali muridnya yang telah
merubah wajahnya itu justru orang kabur dan menghina Ciok
Peng, ia keluar dari tempatnya sembunyi dan lantas
menyerang hingga tiga kali serangan.
Hong Kun bingung mengenali penghadangnya itu adalah
gurunya sendiri. ia memberitahukan guru itu bahwa dia adalah
sang murid atau ia mesti membatalkan itu sebab Ciok Peng
keburu tiba. Ia repot sekali. It Yap sedang gusar dan semua
serangannya berbahaya.
Untungnya buat Hong Kun, ia sudah mewariskan
kepandaian gurunya itu hingga biar bagaimana sulit juga,
masih dapat ia menyelamatkan dirinya.
Ciok Peng terus berdiri menonton. Tak berani ia turun
tangan. Ia kuatir perbuatannya itu nanti menyebabkan
kemarahannya It Yap Tojin. Ia tahu jago dari Heng San ini
separuh sesat, separuh lurus. Ketika See Sie menyusul ia juga
melarang muridnya maju menyerang Hong Kun.
Beberapa kali Hong Kun mau membuka rahasia, sabansaban
ia membatalkannya. sebabnya itu ialah hadirnya Ciok
Peng serta murid disitu. Kalau ia membuka rahasia, habis


sudah nasibnya ! Gurunya mungkin mengerubutinya. Ia sudah
lantas bermandikan peluh. Tapi ia harus membela dirinya.
Diakhirnya ia mendapat satu akal. Demikian selagi menghindar
diri dari satu serangan, ia menghunus pedangnya, terus ia
menggerakkan tiga rupa gerakan ilmu pedang Heng San Pay
sembari berbuat berita, ia menatap gurunya. Sebenarnya
itulah satu isyarat kaum Heng San Pay dan artinya : "Aku
adalah Gak Hong Kun, murid Heng San Pay !"
Sementara itu It Yap Tojin telah menjadi sangat penasaran.
Ia telah menduga dengan tiga jurus saja ia bakal dapat
merobohkan pemuda itu, ia tidak menyangka bahwa orang
yang demikian lincah dan gesit dan bisa bertahan dari
pelbagai serangannya itu. Ketika ia melihat orang menghunus
pedang, tanpa merasa ia tertawa dingin dan kata di dalam
hatinya : "Kau mau mampus terlebih cepat, ya ?" Habis itu
lantas ia menjadi heran. Ia melihat orang memberi isyarat
cara Heng San Pay itu. Ia pula merasa aneh akan sinar
matanya orang itu. Tanpa merasa ia berlambat bergerak,
pedangnya juga bakal ia hunus.
It Hiong palsu sangat cerdik, ia tidak mau menyia-nyiakan
kesempatan yang paling baik itu. Justru sang guru berlambat,
justru ia lompat jauh dan terus kabur, untuk melenyapkan diri
dalam gelapnya sang malam.
"Ah !" berseru Ciok Peng, menyesal. Lantas ia lompat untuk
mengejar. Atau :
"Saudara Ciok, tahan !" demikian seru guru dari Heng San.
"Aku bercuriga terhadap bocah itu !"
Ciok Peng membatalkan niatnya untuk mengejar.


"Apakah totiang mencurigakan bahwa bocah jahanam itu
bukannya Tio It Hiong dari Pay In Nia?" ia tanya.
It Yap Tojin tidak menjawab. TIba-tiba saja ia merasa
bahwa ia sudah keliru bicara. Lekas-lekas ia berpura batukbatuk.
"Aku si tua heran kenapa bocah itu tidak mau melawan
dengan menangkis pelbagai seranganku.." sahutnya
kemudian.
Ciok Peng tidak berkata apa-apa, tetapi ia heran yang lagak
si imam tak wajar dan kata-katanya itu sendiri bertentangan
dengan gerak geriknya semula.
"Sampai jumpa pula" kata ia yang terus memberi hormat
dan mengajak muridnya berlalu pergi. Ia pikir tidak ada
gunanya buat meminta keterangan imam itu.
It Yap Tojin membiarkan Koay Tong berlalu kemudian ia
pun berlalu meninggalkan tempat itu, ia hanya berlalu dengan
pikiran bekerja keras. Ia sudah mulai mendapat meraba-raba.
Biar bagaimana ia menyayangi muridnya dan sebaliknya
sangat membenci Tio It Hiong....
Hong Kun sementara itu sudah pergi dengan hatinya lega.
Ia lolos dari ancaman maut, tak lagi ia merasa takut. Ia pula
tidak menyesali semua perbuatannya itu. Sebaliknya, ia
memuji kecerdikannya sendiri, dapat mengelabui gurunya.
Sekeluarnya dari wilayah kayhong, ia menuju langsung ke
Siong San, guna mencari Giok Peng, sasarannya yang nomer
dua, supaya hancur lebur ikatan cinta kasih It Hiong dan
isterinya itu !


Ketika itu gunung Siong San atau lebih tepat Siauw Lim Sie,
telah menjadi repot sekali. Telah datang tak sedikit orangorang
partai Rimba Persilatan yang menerima undangan,
sedang para murid yang bertugas merondia gunung bekerja
siang dan malam, sebab disamping penjagaan, mereka selalu
dapat menyambut tamu-tamu disembarang saat. Di pihak
dalam, semua murid Siauw Lim Pay dimasihkan berlatih
dengan keras terutama untuk melatih Lohan Tiu, Barisan
istimewanya. Pek Cut Taysu sendiri yang memimpin latihan
pasukan isitimewa itu.
Di lain pihak, Pek Cut sendiri selalu mengharap-harap lekas
tibanya pemuda Tio It Hiong, guna anak muda itu membantu
ia membebaskan Siauw Lim Sie atau Siauw Pay, dari ancaman
malapetaka. Sementara itu, satu hal pun membuatnya
Bingung dan juga kuatir. Itulah berita halnya Tio It Hiong
sudah melakukan pelbagai pembunuhan dan perampasan.
Mungkinkah itu ? Pula, beberapa orang muridnya yang diutus
ke pelbagai arah guna menyelidiki pemuda she Tio itu, belum
ada yang pulang dengan laporannya. Baru sesudahnya Cio
Kiauw In dan Pek Giok Peng tiba, ia mendengar halnya Tio It
Hiong masih berada di Ay Lao San, tengah menghadapi Kwie
Tiok Giam Po, si nenek lihai dengan bangsinya yang luar biasa
itu. Ia merasa aneh dan bercuriga, walaupun ia adalah
seorang pendeta tua dan beribadat, toh hatinya
terguncangkan juga.....
Kiauw In dan Giok Peng telah mengambil tempat di gubuk,
di gunung belakang. Mereka sangat mengharap-harap
kembalinya It Hiong. Buat menyambut pertemuan besar kaum
persilatan itu, mereka perlu lekas-lekas melatih ilmu silat
pedang Sam Cay Kiam. Ilmu mana tak dapat dipelajari tanpa
It Hiong. Sam Cay dari Sam Cay Kiam berarti langit, bumi dan
manusia, dan itu berarti pula tiga orang. Kiam ialah pedang.


Pada suatu malam nan terang bulan, Giok Peng muncul di
muka jendela akan memandangi si putri malam yang tetap
permai, yang cahayanya terang bersih dan sinarnya lembut.
Seluruh daerah pegunungan tampak terang dan tegas,
suasana sunyi sekali. Justru itu, mendadak ia menarik napas
dalam-dalam dan terus meneteskan air matanya. Tak ada lagi
napsunya menikmati malam yang indah itu. Maka hendak ia
memutar tubuhnya buat meninggalkan jendela itu atau
mendadak ada orang yang menepuk bahunya.
"O, adik Peng...." demikian tiba-tiba suaranya Nona Kiauw
In. "Adik, kau kenapakah ? Apakah kau kuatir Tan Hong nanti
merampas adik Hiongmu ? Aku lihat kau selalu berduka...."
Giok Peng menepis air matanya.
"Oh, kakak tegakah dengan kata-katamu ini ?" ia balik
bertanya, "bukankah keselamatannya adik Hiong berarti
keselamatanmu juga ?"
Kiauw In sangat mencintai It Hiong dan senantiasa
memikirkannya tetapi ia sabar dan hatinya sangat tenang dan
mantap, tidak sebagai Giok Peng yang hatinya mudah
goncang itu. Mendengar pertanyaan itu, ia menghela nafas.
"Semoga adik Hiong dilindungi Tuhan supaya ia lekas
kembali !" katanya sungguh-sungguh. "Dengan kembalinya
adik Hiong maka akan terang jelaslah itu semua berita buruk
dan bebas !"
Giok Peng terdiam. Ia ada sangat berduka. Maka keduanya
jadi berdiam terus.
Lewat sekian lama, Kiauw In menarik tangan orang.


"Malam begini indah" katanya, "mari kita melatih Sam Cay
Kiam..." Dan tanpa menanti jawaban, ia sudah lantas
mengambil pedang meraka yang digantung ditembok untuk
dibawa keluar dari kamar, buat pergi ke Pekarangan yang luas
yang dikitari pagar pepohonan.
Giok Peng mengiringi kehendak kakaknya yang luwes itu,
maka dilain saat berdua mereka sudah mulai melatih ilmu
pedangnya itu menuruti ajarannya Tek Cio Siangjin selama
Kiauw In masih berada di gunungnya. Sayangnya kedudukan
huruf "Thian" Langit kosong, sebab tidak adanya It Hiong
hingga tinggal dua kedudukan "Tan" Bumi dan "Jia" Manusia.
Biarnya mereka dapat berlatih dengan baik, kekosongan itu
terasa sekali.
Tengah mereka berlatih itu mendadak terlihat satu
bayangan berlompat masuk dengan melewati pagar
pepohonan, lantas orang itu berdiri tegak di dalam
Pekarangan. Telihat sebatang pedang menggemblok pada
punggungnya.
Kiauw In dan Giok Peng berhenti berlatih dengan segera.
Tentu sekali berbareng mereka pun teruslah untuk mengawasi
dengan tajam.
"Siapa ?" tegur Nona Cio.
Mendadak saja Giok Peng menjadi sangat girang.
"Adik Hiong ! Kau pulang !" serunya seraya lantas ia
berlompat lari kepada suaminya itu !
"Adik Peng" balas memanggil orang itu, "kau.." Mendadak
dia berhenti berbicara terus, sebab tiba-tiba dia insyaf bahwa
dia telah salah menggunakan panggilan. Dia pun tidak berani


memanggil Kiauw In. Tapi dia masih ingat akan berpura
batuk-batuk sambil dia tunduk....
Giok Peng sudah lantas memegang lengan orang untuk
digoyang-goyang.
"Adik, kau kenapakah ?" tanyanya, agaknya sangat
menyayangi. "Ada apakah ? Mari kau turut pada kakakmu..."
Kiauw In sementara itu melengak. It Hiong memanggil adik
pada Giok Peng ! Ia tahu, panggilan itu biasanya ialah kakak.
Ia pula heran, kenapa It Hiong tidak menyapanya, ia selain
sangat mencintai, It Hiong pun sangat menghormatinya.
Kenapa sekarang adik atau adik tidak seperguruannya itu diam
saja ? Karenanya ia terus berdiri diam, matanya mengawasi
tajam, pada si anak muda. Terangnya sang rembulan
membuatnya dapat melihat orang dengan tegas.
Ketika itu It Hiong palsu telah berkata perlahan : "Selagi di
Ay Lao San, adikmu telah terkena racunnya Kwie Tiok Giam
Po. Syukur aku masih dapat melarikan diri. Sampai sekarang,
setiap dua hari sisanya racun masih tetap menganggu
kesehatanku dan setiap kali aku terganggu, kesadaranku
hilang, lantas aku menjadi kasar dan kalap kehendakku selalu
ingin menyerang dan membunuh orang-orang, habis itu baru
hatiku tenang pula. Aku sudah melakukan perbuatan keliru
dengan membinasakan beberapa orang...... ah !...."
Giok Peng terkejut, tetapi ia lantas ingat hosin ouw, obat
mujarab itu.
"Kau mempunyai hosin ouw, kau telah makan itu atau tidak
?" tanyanya. Ia meraba muka orang dengan perlahan sekali.
"Oh, kau menjadi terlebih kurus....". Berkata begitu mendadak
si nona ingat sesuatu, segera sambil mengawasi ia kata :


"Adik, kenapa kau tidak gunakan ilmu tenaga dalam Hian Bun
Sian Thian Khie kang guna mengusir racun di dalam tubuhmu
itu ?"
Prihatin suaranya si nona dan air matanya sudah lantas
menggenang.
It Hiong menengadah langit, ia berdiam saja. Itulah
caranya guna mengelakkan pertanyaannya Giok Peng, yang ia
tidak dapat jawab. Kalau ia menjawab sembarangan saja ia
kuatir nanti rahasianya terbuka. Ia tahu penyamarannya
sempurna tetapi ia berwaspada.
Selama itu, Kiauw In masih terus memasang mata. Ia
melihat It Hiong sebagai It Hiong yang tulen, cuma gerak
gerik orang yang berbeda. Ia menerka-nerka. Apakah itu
disebabkan racunnya Kwie Tiok Giam Po ?
It Hiong palsu menengadah langit tetapi diam-diam ia
melirik pada Nona Ciu. Ia merasa hatinya tidak tenang sebab
nona itu terus mengawasi padanya. Ia kuatir nona itu yang
sabar luar biasa, nanti mencurigainya. Ia pun lantas berpikir
apa yang ia harus lakukan supaya ia tak terus berada dalam
kekuatiran. Dengan lantas ia mendapat akal. Terus ia berpura
menggigil dan berkata dengan suara tak tegas, "Ah, ah, racun
dalam tubuhku mulai bekerja pula ! Kakak, tolong aku !"
Giok Peng kaget.
"Apa aku mesti perbuat, adik ?"tanyanya Bingung. "Aku
nanti lakukan segala apa katamu ! Bilanglah !"
Hong Kun memandang ke depan, kepada Kiauw In.


"Ia ada di sana, aku tidak berani menyebutkannya..."
katanya perlahan sekali.
Benar-benar Giok Peng sangat bingung. Dia
terpengaruhkan sangat oleh ketakutan bahwa It Hiong nanti
bercelaka karena keracunannya itu. Dia sampai melupakan
segala apa, sampai lupa Kiauw In siapa. Dia juga menyangka
karena It Hiong mau bicara sendiri padanya, itu tentu
disebabkan si anak muda sangat mencintainya. Maka ia lantas
kata pada Kiauw In, "Kakak, racun dalam tubuh adik Hiong
bekerja pula, tolong kau pergi mengambil air dingin ! Maukah
kau ?"
"Apakah air dingin dapat melenyapkan racun ?" tanya
Kiauw In, lalu dengan perlahan-lahan juga ia bertindak
menghampiri.
Hong Kun bingung. Dia kuatir tipu dayannya itu gagal. Dia
mencoba menenangkan diri. Makin keraslah niatnya untuk
menyingkirkan nona Cio. Terpaksa ia berlaku sabar dan kata
perlahan : "Kakak, kenapa kakak tidak memperhatikan aku ?
Jiwaku bakal tak dapat bertahan lebih lama pula....Tegakah
kau kakak ?"
Kiauw In mengawasi tajam.
"Apakah kau sesalkan kakakmu ini tega, adik ?" tanyanya.
"Kaulah justru yang tega terhadap adik Peng !" Berkata begitu
ia maju pula dan tindak sinar matanya menatap muka orang.
Selagi berjalan tangannya si nona merogoh ke dalam sakunya
mengeluarkan sebutir obat pula, kemudian sembari
mengangsurkan itu, ia kata : "Apakah kau melupakan obat
pemunah racun yang mujarab dari Bie Lek Sie ? Nah, lekas
kau makan ini !"


Hong Kun tidak tahu tentang obat itu, tak berani ia banyak
bicara, tak berani ia menanya apa-apa. Ia menyambuti obat
itu dan memakannya.
Melihat orang makan obat itu, kecurigaannya Kiauw In
menjadi bertambah kuat. Obat Kay Tok Tan dari pendeta dari
Bie Lek Sie cuma ada pada It Hiong dan disimpannya di dalam
peles batu hijau, ia sendiri tidak memilikinya. Obatnya barusan
adalah obat biasa saja.
"Adik" ia berkata pula, "kau telah makan obat itu, lekas kau
duduk beristirahat untuk mengatur pernafasanmu. Kau
gunakan tenaga Hian Bun Sian Thian Khie kang guna
membikin obat bekerja ke seluruh anggota tubuhmu, supaya
racun dapat diusir keluar."
"Racun sudah menyerang ke tan-tian, tak dapat aku
meluruskan lagi pernafasanku..." sahut si licik.
Kiauw In berpikir keras.
"Adik" katanya pula, "kalau begitu cobalah kau berlatih diri
dengan ilmu silat Hang Liong Hok Houw Ciang hoat dari
Paman In. Ilmu itu dapat membikin darah mengalir dengan
baik..."
Hong Kun kaget bagai disambar guntur. It Hiong pandai
ilmu silat itu, tetapi ia sejuruspun ia tidak mengerti, mana
dapat ia menjalaninya ? Maka ia berpura terus, ia
mengernyitkan alis dan mengerutkan muka, nafasnya dibikin
memburu. Ia kata : "Sekarang..... ini..... tenagaku......
habis...... Apakah Pa..........man..... In.......... ada di dalam
.....?"


Ada maksudnya Hong Kun maka ia bertanya begitu. Ia
kuatir In Gwa Sian berada didalam gubuk itu. Itulah
berbahaya. Tapi justru karena ia menanya itu, ia telah
membuka rahasia. Orang menyebut Paman In, ia menyebut
paman pula ! In Gwa Sian adalah ayah angkatnya It Hiong
bukannya paman.
Mendengar itu bukan main panas hatinya Kiauw In. Ia telah
mendapat bukti bahwa It Hiong ini It Hiong palsu. Tapi ia
masih dapat mengendalikan hatinya. Maka ia dapat
memperlihatkan tampang muka yang sangat berduka dan
prihatin terhadap pemuda di depannya itu.
"Kau tidak dapat meluruskan nafasmu, adik. Kau juga tidak
bisa berlatih" katanya perlahan dan menyesal, sikapnya
menyayangi. "Kalau begitu marilah masuk ke dalam untuk
merebahkan diri buat beristirahat. Paman In tidak ada disini,
ia telah pergi ke Siauw Lim Sie untuk mendamaikan sesuatu,
mungkin ia tak sempat pulang. Adik Peng, kau payanglah dia
kedalam...."
Diam-diam Hong Kun bergirang mendengar kata-kata si
nona. Itulah yang ia kehendaki. Tidak adanya In Gwa Sian di
gubuk itu berarti ia dapat bergerak dengan bebas. Bukan saja
Giok Peng, mungkin Kiauw In juga bakal terjatuh ke dalam
pelukannya. Ia ada demikian girang hingga ia dapat jalan
setindak demi setindak sampai ia lupa bahwa ia baru berpura
sakit sekali.
Giok Peng memperpanjang orang sampai didalam kamar, ia
menggantung pedangnya si anak muda di dinding, ia
membantui juga membukai baju luarnya orang muda itu. Yang
ia rebahkan dengan berhati-hati diatas pembaringan.
"Adik Hiong, bagaimana kau rasai tubuhmu ?" tanyanya.


Hong Kun menggeleng kepala, mukanya meringis, ia malah
lantas merintih.
"Adik" berkata Kiauw In, "kalau racun bekerja hingga
kalapmu bakal kumat, hingga kau mau membunuh orang, kau
harus beritahukan itu kepada kami supaya kami bisa bersiap
sedia menyingkirkan diri."
"Jangan kau berkuatir kakak" sahut It Hiong palsu. "Habis
makan obatmu barusan aku merasa jalan darahku rada
longgar, aku merasa jauh lebih ringan."
Ia mengucap begini karena ia kuatir nona-nona itu nanti
meninggalkannya.
Giok Peng lantas menanyakan tentang pertempuran di Ay
Lao San, atas itu Hong Kun menjawab dengan isapan
jempolnya.
Selama itu Kiauw In duduk disisi, diam mendengari maka ia
dapatkan banyak keterangan yang mencurigakannya. Ketika si
anak muda berdiam sekian lama tiba-tiba ia campur bicara
dengan menanya, "Adik, setelah kau terkena racun, kau dapat
lari turun gunung, habis bagaimana dengan Paman Beng ?
Apakah pamanmu itu masih tetap terkurung di Ay Lao San ?"
Hong Kun telah melihat Kee Eng di Liong peng, ia
menjawab tanpa ragu : "Tidak ! Paman Beng sudah lolos dari
Ay Lao San !"
Kiauw In menanya pula : "Adik, kau tidak dapat melawan
racunnya Kwie Tiok Giam Po, habis bagaimana caranya kau
membantu Paman Beng ?"


Hong Kun berpura mau muntah. Tak dapat ia menjawab
pertanyaan itu. Ia bergerak berbalik kedalam. Terus ia tidak
menyahuti.
Ketika itu Giok Peng melihat malam sudah lewat jauh.
"Sudah jam tiga kakak" kata ia pada Kiauw In. "Baik kakak
kembali ke kamarmu. Sesudah makan obat, aku rasa adik
Hiong sudah bebas dari ancaman racunnya. Aku kuatir kakak
nanti terlalu letih dan kantuk..."
Kiauw In menyahuti dengan perlahan, seperti perlahan juga
langkahnya. Katanya di dalam hati: "Adik Peng, kau terlalu
polos. Manusia palsu kau percaya sebagai suamimu, apakah
kau tak takut nanti kena terpedaya ? Baiklah hendak aku
saksikan kepandaiannya jahanam ini !"
Memasuki kamarnya yang berada disebelah kamarnya Giok
Peng, sengaja Nona Ciu memperdengarkan suara tertutupnya
pintu, terus dengan diam-diam ia kembali ke kamarnya sang
adik. Ia dapat menggunakan ilmu ringan tubuh Tangga Mega
hingga ia tidak memperdengarkan suara apa. Ia mendekam di
bawah jendela sambil mengintai ke dalam.
Sekian lama kamarnya Nona Pek tetap sunyi saja.
Ketika itu Hong Kun sudah menggerakkan tubuhnya buat
duduk, ia membawa jeriji tangannya ke bibirnya buat memberi
isyarat supaya Giok Peng jangan bersuara. Habis itu ia
menggapaikan.
Giok Peng duduk dikursi, ia berbangkit dan menghampiri
untuk duduk ditepi pembaringan.


"Bagaimana, adik ?" tanyanya perlahan. "Kau tak
merasakan apa-apa lagi ? Apakah kau ingin makan sesuatu ?"
Hong Kun tertawa, sebelah tangannya diletaki dibahu si
nona. Giok Peng melirik, ia tunduk.
Dengan telunjuknya, It Hiong palsu menolak dagu orang.
Dia tertawa.
"Kau menjadi terlebih kurus, adik Peng." katanya. "Ini tentu
disebabkan kau terlalu memikirkan aku...."
Giok Peng menolak tangan orang, ia melirik : "Adik,
tidurlah." katanya. "Besok akan aku mohon Paman In minta
obat dari Locianpwe Ngay Eng Eng. Jago tua itu kabarnya ahli
pemunah racun !"
Hong Kun tidak berkata apa-apa, hanya tangannya
merapah repeh. Ia bersenyum berseri-seri, kali ini disebabkan
kegirangannya yang sangat. Segera juga tiba saatnya ia akan
merasakan kenikmatan seperti disaat ia mempermainkan
Siauw Wan Goat...
Giok Peng merasa heran. Tak biasanya It Hiong berbuat
demikian. Mendadak ia berbangkit bangun, lalu memutar
tubuh dan menatap si anak muda.
"Adik" tanyanya, "dari mana kau pelajari cara ceriwismu ini
? Apakah kau tidak menyayangi dirimu ? Bukankah kau tengah
keracunan parah ?"
Habis berkata begitu, nona ini mau kembali ke kursi di
jendela.
Hong Kun kembali menarik tangan orang.


"Kau gusar, adik Peng ?" tanyanya.
Giok Peng terperanjat. Orang memanggil dirinya "Adik Peng
!" Tadi pun ia mendengarnya tetapi ia tidak perhatikan. Kali ini
suara itu terdengarnya lain. Tapi tetap ia belum bercuriga.
"Adik" katanya, "apakah pikiranmu masih kacau ?
Bagaimana kau rasai tubuhmu ? Apa racun jahat itu bekerja
pula ?"
Hong Kun menarik kedua tangan orang, memaksa si nona
duduk pula. Ia bersenyum. Lantas ia kata : "Perpisahan tak
lama memang jauh daripada saat pengantin baru ! Adikku,
apakah kau berpura-pura saja ? Apakah kau tengah
mempermainkan aku ?"
Giok Peng tunduk, ia tidak mengatakan apa-apa hanya
tertawa perlahan. Ia seperti sudah mulai limbung dalam laut
asmara.....
Kiauw In diluar jendela telah melihat semua itu, ia merasa
saat sangat gawat sudah tiba, perlu ia bertindak. Dengan
lantas ia kembali ke kamarnya. Ia mengambil jinsom untuk
memeras itu lalu mengaduknya dengan air dingin di dalam
mangkuk, setelah mana ia lekas kembali ke kamarnya Nona
Pek. Ia telah mengetuk pintu sambil memanggil dengan
perlahan.
Giok Peng membukai pintu. Di dalam hati ia kurang puas.
Nona itu seperti menganggunya. Tapi ia lekas-lekas menanya :
"Ah, kakak ! Sudah jauh malam kenapa kakak masih belum
tidur ?"


"Aku tak dapat tidur" sahut Kiauw In mendusta. "Aku selalu
memikirkan sakitnya adik Hiong, aku kuatir racunnya nanti
kumat. Diwaktu malam seperti ini dimana kita bisa dapatkan
obat pemunah racun ? Maka itu aku lantas membuatkan air
jinsom ini. Baik adik Hiong meminumnya buat menguatkan
tubuhnya..... "
Kiauw In tidak menyerahkan mangkuk obat kepada Giok
Peng, hanya ia menyerahkannya kepada Hong Kun, sembari ia
berkata : "Adik, habis minum ini kau singkirkan segala
pikiranmu yang tidak-tidak, kau beristirahatlah ! Kau tahu
sendiri kalau kau berfikir yang bukan-bukan, kesesatan bakal
membahayakan jiwamu !"
Kata-kata itu dapat diartikan dua maksudnya itu bisa
berupa juga nasihat berikut ancaman. Mendengar itu gentar
hatinya Hong Kun. Tidak demikian dengan Giok Peng. Nona
Pek menganggap Kiauw In berbuat baik demikian mungkin
disebabkan nona itu mengiri terhadapnya....
Hong Kun kuatirkan jinsom itu adalah racun atau obat
pingsan untuknya. Di dalam hati ia mengutuk Kiauw In :
"Budak bau, kau mau main gila ya ! Kau masih terlalu hijau
bagiku ! Kau kira dapat kau perdayakan aku."
Pemuda ini menyambuti mangkok, ia menggerakkan tubuh
buat duduk, sambil berbuat begitu ia membikin mangkok
terbalik maka tumpahlah air obat ke lantai, ia berpura-pura
kaget, lalu dengan tampang likat ia mengawasi Kiauw In dan
kata : "Maaf kakak, aku menyia-nyiakan capek lelahmu ini.
Dasar aku tidak punya rejeki...."
Tak puas Giok Peng, sengaja dia menyindir : "Kakak
bermaksud baik terhadapmu ! Aku tidak sanggup berbuat
seperti kakak ini."


Kiauw In tidak memperdulikan suara kawan yang mudah
tersinggung itu, yang keras jelusnya. Ia justru berkata kepada
Hong Kun, "Adik, dimanakah kau taruh kitab Sam Cay Kiam
hadiah dari guru kita ? Mari kau keluarkan kasih pada aku,
dapatkah ?"
Hong Kun kaget, lekas-lekas dia tunduk dengan perlahan,
dia kata : "Menyesal kakak, kitab itu hilang di Ay Lao San
selagi aku melarikan diri...."
Giok Peng menyela : "Urusan kitab itu baik besok saja kita
bicarakan ! Kakak, jangan kau ruwetkan pikirannya adik Hiong
!"
Nona ini bertindak menghampiri pembaringan akan duduk
dipinggirannya.
Di waktu itu Hong Kun berpikir keras. Ia menerka Kiauw In
telah mencurigainya. Inilah berbahaya. Makin lama makin
mudah rahasianya terbuka. Celaka kalau kedoknya lucut. Maka
ia lantas bertindak. Dengan berpura-pura hendak pergi ke
kakus, ia turun dari pembaringannya, ia mengenakan baju
luarnya, setelah itu dengan tiba-tiba ia lompat ke dinding,
akan menyambar pedangnya kemudian dengan sama
cepatnya ia lompat balik kepada Giok Peng untuk menotok
jalan darah thay yang nona itu, buat membuatnya pingsan ! Ia
berniat memondong nona itu buat dibawa kabur seperti
dahulu hari dia melarikan Wan Goat.
Kiauw In tapinya sudah siap sedia.
Dengan tangan kirinya ia menolak Giok Peng sampai si
nona mundur dua tindak, dengan tangan kanannya dia
menyambuti tangan kanan pemuda itu yang dipakai


menyerang Nona Pek. Ia menghajar dengan satu pukulan
sebuah jurus Hang Liong Giok Houw Ciang.
"Bangsat ! Kalau kau laki-laki, beritahukanlah namamu !"
bentaknya.
Pek Giok Peng kaget sekali, berbareng menjadi sangat
gusar. Ia lantas mengerti maksudnya Kiauw In dan tahu It
Hiong itu It Hiong palsu. Mukanya lantas jadi merah
sendirinya. Ia jengah kalau ia ingat bagaimana barusan ia
dipermainkan pemuda tak dikenal itu. Dengan alis berdiri dan
mata mendelik, ia menyambar sebuah kursi dan dipakai untuk
menghajar si orang busuk !
Tak sempat Hong Kun menghunus pedangnya, ia
menangkis dengan pedangnya yang masih bersarung itu,
hingga kursi pecah rusak. lalu kesempatan itu dipakai olehnya
buat berlompat keluar jendela. Setibanya diluar dengan berani
dia menantang : "Kalau kamu bernyali besar, mari keluar. Kita
bertempur buat beberapa jurus !"
Giok Peng gusar bukan main, ia lompat ke tembok akan
mengambil pedangnya, disaat ia mau lompat keluar jendela,
Kiauw In menarik ujung bajunya.
"Jangan menempur dia seorang diri !" kata kakak ini. "Dia
bukan sembarang orang. Mari kita melayaninya berdua buat
melihat asal usul ilmu silatnya !"
oooooOooooo
Giok Peng menurut. Ketika kemudian ia berdua Kiauw In
lompat keluar, si manusia jahat sudah hilang tak karuan pula.
Ia mendongkol sekali, mau ia pergi mencari.


"Sudah adik !" berkata Kiauw In. Ia mencegah. "Kita cuma
berdua kalau kita mengejar, bagaimana andiakata dia
menggunakan tipu daya, memperangkap kita ? Bukankah itu
berbahaya? Buat membuat perhitungan, kita jangan tergesagesa......"
Dan kakak ini menarik adik itu masuk ke dalam gubuk
mereka.
Saking mendongkol, Giok Peng menangis, ia menjatuhkan
diri dalam rangkulannya Kiauw In. Ia menyesali dirinya.
"Dasar aku yang tolol !" katanya. "Kenapa aku tidak
mengenali orang ? Bagaimana nanti aku harus menemui adik
Hiong ?"
"Jangan berduka, adik" Kiauw In menghiburi. "Kau belum
menjadi korbannya jahanam itu ! Kau tahu setiap saat aku
berjaga-jaga terhadapnya. Tadi pun aku mengintai dari luar
jendela hingga aku melihat tegas sepak terjangnya. Tentang
kesucian dirimu adik, aku yang bertanggung jawab!"
Giok Peng menyusuti air matanya. Ia menarik napas
panjang.
"Aku yang harus mati !" katanya.
"Syukur ada kau, kakak, yang melindungi aku, kalau tidak
mana ada muka melihat orang-orang."
Kiauw In mengusap-usap rambut indah nona itu.
"Sabari hatimu adik, kau berlaku tenang." ia menghiburi
pula. "Bukankah kita sudah seperti saudara kandung ? Mana
ada perbedaan diantara kita ? Sebenarnya telah sekian lama


aku mencurigai orang itu tetapi karena aku ingin bukti, aku
bersabar terus, aku seperti membiarkan kau dijadikan korban.
Bukankah kau sudi memaafkan aku ?"
Giok Peng berbangkit akan merapihkan rambutnya.
"Mana berani aku menyesalkan atau menggusari kau, kakak
?" katanya.
"Aku justeru berterima kasih kepadamu ! Kakak, aku sangat
mengagumi kecerdikanmu !"
Lewat lagi sekian lama, barulah Giok Peng dapat
menenangi diri.
Sekarang ia dapat berpikir.
"Kakak" katanya, "bagaimana sebabnya maka kau
ketahuilah dialah adik Hiong palsu ?"
Kiauw In bersenyum.
"Siapa yang hatinya sedang sangat terpengaruhkan sesuatu
mungkin saja dia lupa segala apa." sahutnya. "Ketika itu orang
pintar bisa menjadi bodoh. Kau sangat memikirkan adik Hiong,
adik. Lantas mendadak kau melihat dia, maka itu juga
mendadak juga terbangunlah semangatmu. Kau menjadi
sangat girang secara mendadak sekali hingga kau tak sempat
berpikir lainnya. Di dalam keadaan seperti itu, mana dapat kau
berpikir jernih ?"
"Tetapi, kakak." kata pula nona Pek, "bukankah kau juga
memikirkan keras adik Hiong sebagaimana yang aku pikirkan ?
Inilah yang aku tidak mengerti !"


"Adik, aku harap kau tidak menerka keliru" berkata Nona
Cio sabar. "Siapakah orang yagn tidak mencintai suaminya ?
Bukankah setiap orang mencintainya ? Kita tapinya beda
daripada orang kebanyakan. Kitalah wanita Kang Ouw. Maka
kalau kita menghadapi sesuatu, harus kita bersikap lebih
tenang. Aku sudah merasa heran, selekasnya dia memanggil
kau 'adik Peng', maka diam-diam aku lantas perhatikan
padanya. Makin lama kecurigaanku makin bertambah. Dia
gagal memperlihatkan Hian Bun Sian Thian Khie kang dan
Hang Liong Hok Houw Ciang hoat. Itu masih tidak apa sebab
dia baru terkena racun, mungkin dia lemah tak berdaya.
Lantas hal obatnya pendeta dari Bie Lek Sie ! Bukankah obat
itu ada pada adik Hiong ? Obat yang aku berikan adalah obat
biasa saja, toh dia percaya ! Dengan begitu, dia seperti
membuka rahasianya sendiri......"
"Tetapi kakak," kata Giok Peng "toh benar kalau orang
terkena racun dia jadi lupa segala apa ? Ada kemungkinannya
bukan ?"
"Tetapi biasanya," Kiauw In menjelaskan lebih jauh, "siapa
terkena racun yang jahat, dia benar-benar melupakan segala
apa, matanya seperti buram, gerak geriknya tidak biasa pula.
Didalam keadaan begitu, mana orang dapat ingat akan
kesenangan hidup suami istri ?"
Mukanya Giok Peng merah.
"Tadi," Kiauw In tanya, "selama berduaan saja, apakah kau
tidak melihat sesuatu yang mencurigai ?"
"Ya, ada..." sahut Giok Peng, kembali mukanya merah.
Kiauw In tersenyum.


"Itulah lucu adik ! Kenapa orang tak tahu kebiasaan
suaminya."
Giok Peng menubruk kakak itu, untuk mendekam
dibahunya.
"Ah, kakak, kau menggodia aku !" katanya. Ia malu tapi toh
ia tertawa.
Selagi kakak beradik itu bergurau, tiba-tiba ada asap
bertiup masuk dari luar jendela, hanya lantas asap itu buyar
kembali menyusul mana dari luar terdengar bentakan keras
suara yang nona-nona itu mengenali seperti suaranya In Gwa
Sian.
Kiauw In dan Giok Peng dapat mencium sedikit asap itu,
yang baunya harum tetapi lekas-lekas mereka menahan
napas, maka itu cuma pusing sedikit, mereka lantas pulih pula.
Lantas mereka saling memandang terus mereka berlompat
keluar jendela.
Tepat di dalam Pekarangan pagar, di sana tampak Pek Cut
Tasyu ketua Siauw Lim Pay tengah berdiri tegak.
Kedua nona datang menghampiri, buat mengunjuk hormat.
"Apakah loSiansu dapat melihat orang jelas ?" tanya
mereka.
Belum lagi pendeta itu menjawab atau Pat Pie Sie Kie
sudah tiba. Dia lantas tertawa nyaring dan kata : "Bangsat itu
memiliki dua buah kaki yang tak dapat dicela, dia berhasil
meloloskan diri dari tanganku !" Kemudian dia menoleh
kepada kedua nona dan kata sambil tertawa pula : "Kalian
berdua sangat temaha akan tidur nyenyak ! Kalau aku si tua


bangka datang terlambat satu tindak saja, apakah itu bukan
artinya celaka ?"
"Ah, paman bisa saja !" berkata Giok Peng. Dia jengah
berbareng penasaran.
"Paman tahu, jahanam itu sudah datang sekian lama dan
datangnya dengan menyamar sebagai adik Hiong. Sesudah
sekian lama, baru kami ketahui dialah manusia palsu maka
kami mengusirnya ! Siapa sangka, dia bernyali sangat besar,
dia berani datang pula ! Bahkan dia menggunakan obat pulas
!"
Pek Cut memperdengarkan pujinya.
"Apakah tan wat berdua telah melihat tegas ?" tanyanya.
Kiauw In menjura dan menjawab, "Tampang dan pakaian
dia semuanya mirip dengan adik Hiong. Kami mengetahui
kepalsuannya setelah kami berbicara dengannya dan menguji
ilmu silatnya !"
"Habis kalian kena terpedayakan atau tidak ?" tanya In
Gwa Sian yang tiba-tiba, wajahnya jadi sungguh-sungguh.
"Tidak !" menjawab kedua nona, cepat dan bebareng.
Mendapat jawaban itu, mendadak wajahnya si pengemis
menjadi terang pula.
"Kalau begitu muridnya si hidung kerbau tak dapat dicela !"
katanya.


"Paman In" kemudian Kiauw In tanya, "ada urusan apa
malam-malam paman datang kemari ? Adakah ada didapat
sesuatu isyarat ?"
In Gwa Sian meloloskan buli-bulinya untuk menenggak
araknya. Ia mengusap-usap mulutnya.
"Adalah si pendeta yang menarik, membetot aku."
sahutnya kemudian, perlahan. "Nah, kau tanya saja padanya
!"
Pek Cut taysu bersenyum tanpa menanti sampai ditanya si
nona ia sudah lantas diberikan keterangan.
Sebenarnya beruntun-runtun ketua Siauw Lim Sie itu telah
menerima laporan Tio It Hiong sudah kembali ke Siauw Sit
San. It Hiong pernah menolong Siauw Lim Sie dari bencana
besar, setiap anggotanya kenal atau mengenalinya. Karena It
Hiong datang dengan jalan bertarung dalam hal ini ialah Hong
Kun yang menyamar It Hiong palsu, ia tidak ada yang hadang.
DI beberapa tempat penjagaan, dia dapat lewat dengan
bebas.
Pek Cut Taysu menerima semua laporan itu dengan girang.
Ia ingin segera menemui pemuda yang dianggapnya sebagai
penolong itu. Maka ia cari In Gwa Sian yang sudah datang
terlebih dahulu dan mengajaknya ke belakang gunung, ke
tempatnya Kiauw In dan Giok Peng. Tepat mereka datang
mendekati rumah gubuk, mereka dapat melihat satu bayangan
orang bergerak. Pendeta dan pengemis itu memang bermata
sangat celi, lebih-lebih Pat Pie Sin Kit si orang Kang Ouw
kawakan. Bahkan ia lantas dapat menerka maksud orang.
Tidak ayal lagi dia berlompat maju, menghampiri bayangan itu
dan menghajarnya.


Itulah saatnya Hong Kun menceploskan bubuk beracunnya
yang berupa seperti asap itu. Hebat muridnya It Yap Tojin ini.
Dia mendapat tahu ada serangan gelap. Dia menarik pulang
tangannya sambil berkelit, hingga dia lolos dari kejaran itu,
selekasnya dia mengenali si pengemis, dia kabur tanpa ragu
lagi. Demikian dia lolos dihutan lebat, dipuncak kemana dia
lari. Tak dapat In Gwa Sian menyusulnya. Itulah sebabnya,
waktu kedua nona lari menyusul, pertama mereka cuma
menemui ketua Siauw Lim Sie dan belakangan barulah si
Paman In muncul.
"Sesudah mendekati usia seratus tahun, baru inilah yang
pertama kali lociap menemui orang jahat yang melakukan
penyamaran dan melakukan kejahatan istimewa ini." Pek Cut
menambah-kan keterangannya. Kemudian ia berpaling kepada
In Gwa Sian, untuk berkata : "Kalau begini, In Sicu, terang
sudah bahwa Tio Tanwat telah orang fitnah dan si manusia
jahat adalah pemuda barusan !"
Matanya In Gwa Sian bersinar, kulit mukanya bergerakgerak,
terus ia mengangguk-angguk. Tapi ia tidak mengatakan
sesuatu.
Sampai disitu, Giok Peng memberi hormat kepada si
pendeta.
"Silahkan loSiansu dan Paman In mampir dahulu untuk
minum teh !" ia mengundang.
Pek Cut Taysu membalas hormatnya dengan sebelah
tangannya.


Jilid 27
"Terima kasih !" bilangnya. "Lolap hendak lekas kembali ke
kuil akan membunyikan genta, isyarat serta menitahkan
murid-muridku segera mencari atau memegat orang jahat itu."
In Gwa Sian menengadah langit. Ia melihat fajar telah tiba.
"Pendeta tua, tak usah kau berbuat demikian lagi."
cegahnya. "Itulah percuma saja. Orang itu sangat sempurna
ilmu ringan tubuhnya, dia tentu sudah lama turun gunung.
Manusia jahat bakal menerima nasibnya sendiri, demikian
dengan penjahat tadi, tak nanti dia lolos dari hukumannya !"
Pek Cut mengangguk. Ia menggerakkan tangannya.
"Kedua tanwat, silahkan kembali untuk beristirahat" ia
mempersilahkan. "Lolap meminta diri !"
In Gwa Sian tampak berpikir, lalu dia kata kepada kedua
nona : "Nanti kalau sudah ada kesempatannya, aku si tua
akan menjenguk kalian berdua untuk membicarakan soal anak
Hiong. Sekarang kalian jangan banyak pikir, cuma akan
memusingkan kepala saja ! Paling benar biar rajinlah kalian
berlatih, bersiap sedia menyambut hari pertemuan besar nanti
!"
Habis berkata, ia lantas bertindak mengikuti ketua Siauw
Lim Sie itu.
Semenjak itu maka Pek Cut Taysu telah mengasi titah baru,
siapa pun datang ke Siauw Lim Sie, dia harus dilaporkan
dahulu dan tidak dapat dia dibiarkan masuk dengan bebas
seperti Tio It Hiong palsu itu. Penjagaan pun dipesan untuk
diperketat. Hong Kun sementara itu dapat keluar dengan


bebas dari pelbagai pos penjagaan Siauw Lim Sie, sebab ia
tetap masih menyamar sebagai Tio It Hiong dan diluar
pengejarannya In Gwa Sian, dia bersikap tenang-tenang saja.
Sampai jauh dari kaki gunung SiongSan, baru dia duduk diatas
sebuah batu untuk beristirahat, untuk sekalian menyesali
usahanya yang gagal itu. Ia menjadi mendongkol dan
penasaran sekali, hingga timbul niatnya untuk melakukan lain
pembunuhan guna melampiaskan kebusukan hati itu. Sekali
ia benar-benar menjadi seorang manusia sesat.
Selagi It Hiong palsu ini beristirahat itu, beberapa orang
rahib tampak tengah mendatangi. Waktu itu sudah fajar.
Mereka itu pada menggendol pedang dan mendatanginya
dengan berlari-lari. Merekalah rombongan Pauw Pok Tojin dari
Ciang Shia Pay bersama beberapa orang muridnya, yang
datang memenuhi undangan untuk pertemuan besar di
gunung Tay San nanti. Diantara murid-muridnya itu terdapat
Gu Tauw Kong yang baru sembuh dari lukanya. Dia ini melihat
Hong Kun, dia lantas mengenalinya, maka lantas saja ia
lompat maju, dia menghunus pedang sambil
memperdengarkan suara dingin tanpa mengucap sepatah kata
terus dia menyerang anak muda yang menjadi musuhnya itu.
Hong Kun lihai, dengan mudah dia lompat berkelit. Dia
menghunus pedangnya. Dia pula segera mengenali
penyerangnya itu ialah imam dari Ceng Shia Pay yang dia
telah lukakan di Liong peng.
"Hai, roh gelandangan diujung pedang !" dia membentak,
"masih berani kau datang menerima kebinasaanmu !" Lantas
dia maju untuk membalas menyerang. Bahkan dia mendesak,
menyerang terus hingga tiga kali !
"Tahan !" berseru Pauw Pok Tojin. "Tauw Kong, siapakah
orang ini ?"


Tauw Kong berlompat mundur.
"Suhu, dia inilah yang melukakan murid serta
membinasakan bebeapa orang adik seperguruanku !"
sahutnya. "Dialah Tio It Hiong yang menyerbu gunung dan
mencuri pusaka kita !"
Pauw Pok segera berpaling kepada si anak muda. Ia ada
cukup besar, hendak dia menanyakan sesuatu, atau
mendadak serangannya si anak muda itu telah tiba. Terpaksa
ia menyampok dengan kebutannya sambil membentak :
"Manusia ganas ! Kau mengandalkan pedang mustikamu
dengan apa kau tak memandang orang ya ?"
Bersama Pauw Pok berada juga Pauw Goan Tojin, adik
seperguruannya. Dia ini gusar, maka dia maju ke depan kakak
seperguruannya, untuk segera menuding Hong Kun sambil
tertawa : "Bocak busuk, jika berani, nyalimu besar,
sebutkanlah nama gurumu ! Pinto akan tak pedulikan siapa
tua siapa muda, bersedia pinto melayanimu bertempur !"
Tak berani Hong Kun menyebut nama perguruannya dan
biarpun dia bernyali besar, dia juga takut memakai namanya
Tek Cio Siangjin, maka itu dengan kelicikannya dia menjawab
saja : "Jangan kau bertingkah dengan ketua-bangkaanmu !
Jika kau mempunyai kepandaian, kau keluarkanlah itu untuk
ku merampas pulang pusaka parta Ceng Shia Pay kamu !"
Mendengar disebutnya pusaka mereka, semua murid Ceng
Shia Pay menjadi gusar sekali, maka semua maju serentak
sambil mereka menghunus senjatanya masing-masing. Empat
diantara mereka itu sudah lantas mengambil kedudukan
mengurung di empat penjuru. Gu Tauw Kong adalah yang
memegang pimpinan sebab itulah semacam tiu, Barisan


istimewa dari Ceng Shia Pay, namanya Keng Hoan Thian Pauw
Kiam Tiu. Cocok dengan namanya Barisan itu, "Barisan
pedang" kiam tiu.
Segera juga It Hiong palsu sudah mulai diserang dari
empat penjuru. Itulah serangan yang teratur sempurna. Ke
empat batang pedang maju bergantian atau berbareng,
menikam atau menebas atau membacok. Dia tak takut tetapi
dia toh repot. Tak mudah akan meloloskan diri, jangankan
buat melakukan penyerangan membalas.
Seru sekali pertempuran itu. Kelima buah pedang
berkilauan, anginnya menghembus kemana-mana, suara
bentroknya nyaring. Sampai sekian lama itu, kedua pihak terus
berkutat saja. Gu Tauw Kong berempat tak berhasil
merobohkan musuh yang lihai itu dan Hong Kun tak sanggup
meloloskan diri dari pengurungan, ia cuma berhasil membela
diri saja.Pauw Pok Tojing menonton terus. Ia melihat
hebatnya pertempuran. Terpaksa, ia menguatirkan
keselamatan murid-muridnya. Ia mendapat kenyataan pemuda
itu lihai sekali. Ia menjadi menyayangi kepandaian orang itu.
Maka juga akhirnya ia berkata nyaring :
"Hei bocah, jika kau mengembalikan pusaka gunung kami,
suka pinto membuka jalan lolos bagimu !"
Hong Kun sudah lantas menunjuki kecerdikannya. Dia
mengerti kalau dia bertempur terus ada kemungkinan dia
nanti kalah ulet. Sudah sekian lama pertempuran berlangsung
dan dia belum berdaya sama sekali. Maka pikirnya. "Baiklah
aku bersabar ! Laginya buat apa segala benda pusaka orang."
Tetapi dia menghendaki kepastian.
"Totiang" demikian serunya. "Apakah totiang bersungguhsungguh
?"


Sambil berkata begitu, pemuda ini merogoh ke sakunya
dan terus mengulapkan tangannya itu, akan memperlihatkan
benda pusaka orang yang dia rampas. Itulah yang dipanggil
Pek Giok Siam uh, atau "Kodok Gemula" yang berkhasiat
menyembuhkan luka. Habis mengasi lihat itu, ia kembalikan
benda itu ke dalam sakunya.
Pauw Goan Tojin mendongkol sekali. Terang orang itu
menunjuki kelicikannya.
"Lekas menggunakan It Kie Thian lo !" Ia menyerukan ke
empat muridnya. "Perketat kepungan ! Binasakan dia !"
Perintah itu dituruti, ke empat murid Ceng Shia Pay
menyerang pula, "It Kie Thian lo" berarti "Jaring Langit
senyawa". Pula penyerangan dilakukan dengan keras luar
biasa. Maka itu selagi pedang-pedang lawan berkilauan dan
anginnya menderu, It Hiong palsu menjadi repot sekali
mencoba menyelamatkan dirinya.
Tetapi muridnya It Yap Tojin tidak takut. Dia berani dan
cerdik. Lantas tangan kirinya merogoh pula sakunya, kali ini
buat mengeluarkan Pek Giok Siam uh bersama bubuk
pulasnya yang beracun, Bie Hun Tok Han, sembari
melemparkan itu ke arah Gu Tauw Kong, ia berseru :
"Terimalah pusakamu ini !" Menyusul seruan itu maka terbang
berhamburanlah bubuknya yang lihai itu !
Dilain pihak, Pauw Pok Tojin yang jujur melihat orang mau
melemparkan pusakanya, sudah lantas menyerukan orangorangnya
"Lepaskan pengurungan ! Berikan dia jalan hidup !"


Ke empat murid itu sudah lantas berhenti mengurung
sedangkan Gu Tauw Kong terus menyodorkan tangannya
guna menyambuti pusakanya atau segera ia kena mencium
bubuk racun itu, seketika juga tubuhnya limbung terus roboh
pingsan, sementara kedua kawannya yang dapat mencium
sedikit, terhuyung mundur dengan kepala sedikit pusing,
lekas-lekas mereka menyampok ke depan, akan membuyarkan
bubuk, setelah mana ketiganya menjatuhkan diri untuk duduk
bersila, buat mengatur pernafasannya.
Di lain pihak lagi, Gak Hong Kun yang cerdik telah
menggunakan kesempatan buat angkat kaki, tetapi dasar dia
licik dan juga ganas, dia berlompat kepada Gu Tauw
Anda sedang membaca artikel tentang Cerita Silat : Iblis Sungai Telaga 2 dan anda bisa menemukan artikel Cerita Silat : Iblis Sungai Telaga 2 ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/09/cerita-silat-iblis-sungai-telaga-2.html,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Cerita Silat : Iblis Sungai Telaga 2 ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Cerita Silat : Iblis Sungai Telaga 2 sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Cerita Silat : Iblis Sungai Telaga 2 with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/09/cerita-silat-iblis-sungai-telaga-2.html. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar