Cerita Silat / Cersil : Medali Wasiat 1

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Jumat, 23 September 2011

MEDALI WASIAT
(Ode to Gallantry)
Cerita Asli: Xia Ke Xing / Hiap Khek Heng
oleh: Yin Yong ~ Diceritakan oleh: Gan K.L.

Bab 1. Si Jembel Yatim Piatu
Kira-kira duabelas li ditimur kota Khay-hong, ibukota propinsi
Ho-lam terdapat sebuah kota kecil bernama Hau-kam-cip,
suatu kota kecil yang ramai dan makmur dalam lalu-lintas
perdagangan.
Tatkala itu sudah menjelang maghrib, para pedagang dan
bakul-bakul, tukang sayur, tukang daging dan lain-lain sedang
sibuk bebenah pikulan dan keranjang mereka untuk pulang.
Pada saat itulah sekonyong-konyong dari arah tenggara sayupsayup
terdengar suara derapan kaki kuda yang ramai.
Hau-kam-cip memang suatu kota yang menempati jalan raya
yang penting, kaum pedagang yang berlalu-lalang setiap hari
sangat banyak, maka siapapun tiada yang ambil pusing jika
ada orang berlalu dengan menunggang kuda.
Tapi dari arah suara derap kaki kuda yang makin mendekat itu
dapat terdengar bahwa jumlah penunggang kuda itu ternyata
adalah suatu rombongan besar, sedikitnya ada ratusan.
Baru sekarang penduduk Hau-kam-cip mulai terkejut dan
heran. Dari suara derap kuda yang gemuruh itu nyata sekali
penunggang-penunggangnya sedang membalapkan binatang
tunggangan mereka dengan cepat.
“Besar kemungkinan adalah pasukan tentara pemerintah!”
demikian orang ramai mempercakapkan.
“Ya, lekas kita menyingkir,” ada yang menanggapi.
“Mendingan kalau cuma barang dagangan kita yang keterjang
dan rusak, lebih celaka kalau kita yang terinjak-injak kuda, kan
bisa runyam!”

Mendadak diantara suara gemuruh derap kuda itu terseling
pula suara-suara suitan, bahkan suara-suara suitan itu sahutmenyahut
dari berbagai jurusan. Ternyata segenap penjuru
Hau-kam-cip itu sudah terkepung dengan rapat.
Kembali semua orang terperanjat. Bagi orang-orang yang
berpengalaman lebih luas lantas timbul kesangsian: “Wah,
jangan-jangan adalah kaum bandit?”
Seorang pegawai toko kelontong bermerek “Ho An” ditepi jalan
itu telah berkata: “Wah, celaka! Mungkin saudara-saudara tua
kita itu yang datang!”
Ong-ciangkui, si juragan toko memangnya sedang gemetar
ketakutan, sekarang mendengar pegawainya bermulut cerewet,
kontak ia mengangkat sebelah tangannya dengan gaya hendak
menabok, sambil membentak: “Kurang ajar! Bicara saja tidak
tahu aturan. Kalau benar tuan-tuan besar dari golongan itu
yang datang, hm, tentu… tentu kau bisa mampus. Padahal
jarang terdengar ada orang melakukan pekerjaan begitu
disiang hari bolong? Wah, ini… ini memang agak aneh….”
Belum selesai ucapannya ia menjadi melongo dan tidak
sanggup meneruskan lagi, sebab saat itu dari jurusan timur
ada empat-lima penunggang kuda sedang menerjang tiba.
Penunggang-penunggang kuda itu seluruhnya berbaju hitam
mulus, kepala memakai caping dan semuanya bersenjata golok
mengkilap.
“Wahai, dengarkan segenap penduduk! Hendaklah setiap
orang tetap tinggal ditempatnya masing-masing, kalau berani
sembarangan bergerak, jangan menyesalkan senjata kami
yang tak bermata ini!” demikian penunggang-penunggang kuda
itu berteriak-teriak. Sambil mem-bentak2 terus melarikan kuda
mereka kejurusan barat.
Tapal kuda mereka yang beradu dengan jalan yang
berlapiskan balok-balok batu menimbulkan suara “ketuprakketuprak”
telah menggetarkan perasaan setiap orang.

Belum lenyap suara derap kuda-kuda itu, kembali dari jurusan
barat menerjang datang tujuh-delapan penunggang kuda yang
lain, semuanya juga berbaju hitam dan memakai caping yang
setengah menutupi muka mereka sehingga tidak jelas terlihat.
Orang-orang inipun mem-bentak2 agar setiap orang tetap
tinggal ditempatnya masing-masing kalau tidak ingin
berkenalan dengan senjata mereka yang tajam.
Dasar cerewet dan usilan, kembali sipegawai toko kelontong
tadi mengoceh, “Ha, entah bagaimana rasanya golok mereka,
kan lebih enak makan….”
Belum habis ucapannya, sekonyong-konyong salah seorang
penunggang kuda itu mengayun cambuknya, “tarrr”, ujung
cambuk menyambar masuk kedalam toko dan dengan cepat
melilit dileher sipegawai, ketika orang itu menarik cambuknya
yang panjang itu, “bluk”, kontan sipegawai toko kelontong
yang sialan itu terbanting ke-tengah2 jalan raya.
Waktu penunggang kuda itu mencongklangkan kudanya,
seketika sipegawai ikut terseret kedepan. Lebih celaka lagi dari
belakang telah menyusul tiba penunggang-penunggang kuda
yang lain. Maka terdengarlah suara jerit ngeri sipegawai toko
tadi, seketika melayanglah jiwanya terinjak-injak oleh kaki
kuda.
Melihat betapa jahat dan kejamnya kawanan berandal itu,
tentu saja penduduk-penduduk yang lain tidak berani berkutik.
Yang tadinya bermaksud cepat-cepat menutup pintu juga
urung dan serasa terpaku ditempatnya masing-masing dengan
badan gemetar.
Terpisah kira-kira belasan rumah dari toko kelontong
bermerek “Ho An” itu adalah sebuah kedai penjual penganan
sebangsa Yuciakue, untir2, siopia-siopia dan lain-lain. Sebuah
wajan besar dengan minyak yang mendidih mengeluarkan
suara gemercik. Diatas saringan minyak dari ayaman kawat
diatas wajan itu terdapat beberapa lonjor Yuciakue yang masih
panas.

Penjual penganan itu adalah seorang kakek yang bungkuk.
Kalau orang lain merasa berdebar-debar dan ketakutan oleh
apa yang terjadi saat itu, adalah sikakek ternyata tidak ambil
pusing, dianggapnya seperti tidak melihat saja.
Sikakek sedang sibuk mengolah barang dagangannya, sedang
membuat siopia-siopia. Mula2 ia menaruh sedikit rajangan
berambang diatas adonan tepungnya, lalu adonan itu
dikepalnya dan dipencet dengan kedua telapak tangan
sehingga berbentuk bundar gepeng, kemudian ia mencomot
sedikit wijen dari sebuah mangkuk yang terletak diujung papan
adonam tepung dan ditaburkan diatas kepingan siopia-siopia
yang belum masak itu. Akhirnya ditaruh diatas alat panggang
terus dimasukkan kedalam anglo garangan.
Saat itu suara-suara suitan tadi sudah mereda, suara derap
kuda juga tak terdengar lagi. Suasana kota Hau-kam-cip yang
berpenduduk hampir ribuan jiwa itu berubah menjadi sunyi
senyap laksana kuburan. Ditengah suasana prihatin itu yang
masih terdengar hanya suara “prak-prak-prak”, suara derap
sepatu kulit yang memukul lantai sedang mendekat dari
jurusan barat menyusul sepanjang jalan raya.
Dari suara tindakan itu, agaknya orang itu berjalan dengan
sangat perlahan, suara derap sepatu kulitnya yang berat itu
dirasakan seakan-akan menggetarkan perasaan setiap
penduduk kota.
Suara langkan orang itu makin lama makin mendekat. Tatkala
itu sang surya baru saja akan terbenam diufuk barat, suatu
bayangan orang yang jangkung tampak tersorot ditengah jalan
besar dan makin mendekat mengikuti suara tindakan kaki.
Setiap orang dijalanan Hau-kam-cip itu seolah-olah sudah
terkesima ketakutan. Hanya sikakek penjual penganan tadi
masih tetap sibuk membuat siopia-siopia.
Anehnya, suara derap sepatu kulit setiba didepan tempat
penjual siopia-siopia itu mendadak lantas berhenti. Orang itu

mengamat-amati sikakek penjual siopia-siopia dari atas
kebawah dan dari ujung kaki sampai keujung rambut. Habis itu
sekonyong-konyong ia tertawa dingin terkekeh-kekeh.
Perlahan-lahan si kakek penjual siopia-siopia mengangkat
kepalanya, dilihatnya orang itu berbadan sangat tinggi, usianya
antara 45-46 tahun, mukanya buruk, kulit mukanya seperti
kulit jeruk yang kasar dan penuh kukul, kedua matanya kecil,
tapi bersinar.
“Apa mau beli siopia-siopia, tuan? Satu picis satu biji,” kata si
kakek. Lalu ia menggunakan capit besi dan mengeluarkan
sebuah siopia-siopia dari dalam anglo yang masih panas dan
ditaruh diatas meja.
Kembali sijangkung bermuka jelek itu tertawa dingin, tiba-tiba
ia menjulurkan tangannya dan berseru: “Mana? Berikan!”
Sikakek mengiakan, lalu siopia-siopia yang masih panas itu
diambilnya dna ditaruh kedalam tangan sijangkung.
“Kurang ajar! Sampai saat ini kau masih coba
mempermainkan tuan-besarmu!” bentak sijangkung dengan
alis menegak gusar dan mendadak siopia-siopia itu terus
disambitkan kemuka sikakek.
Dari sambaran angin yang terbawa oleh siopia-siopia itu jelas
sekali tenaga sambitan sijangkung ternyata sangat kuat, kalau
muka sampai terkena sambaran itu pasti akan terluka parah.
Tapi sikakek dengan sedikit miringkan kepalanya, dengan
tepat siopia-siopia itu telah menyambar lewat disisi mukanya.
Plok, siopia-siopia itu jatuh ditepi selokan dipinggir jalan.
Dalam pada itu setelah menyambitkan siopia-siopia, menyusul
sijangkung lantas melolos keluar sepasang senjata Siang-kau
(gaetan), ujung senjata yang melengkung tajam itu
mengeluarkan sinar gemerlapan.
“Dalam keadaan demikian masih tidak kau serahkan,

memangnya apa kau kira jiwamu dapat diselamatkan? Orang
she Go, sebenarnya kau bisa melihat gelagat atau tidak?”
demikian bentak sijangkung pula.
Tapi dengan setengan memicingkan matanya, sikakek penjual
siopia-siopia menjawab: “Sudah lama kudengar An-cecu dari
Kim-to-ce suka merampas yang kaya untuk menolong yang
miskin, setiap orang Kangouw yang menyebut nama An-cecu
tentu akan mengacungkan jempol mereka dan berkata: “Ya,
seorang begal budiman!” – Tapi entah mengapa hari ini
Siauliaulo (anak buah kaum begal, keroco) yang dia kirim ke
Hau-kam-cip ini telah sudi mengincar kepada seorang kakek
miskin penjual siopia-siopia?” – Cara bicaranya seperti
perlahan dan lemah, tapi apa yang dikatakannya itu terdengan
cukup jelas.
Sebaliknya sijangkung tambah gusar ketika mendengar dirinya
dianggap sebagai “kaum keroco” saja. Segera ia membentak
pula: “Go To-it, kau tidak perlu berlagak-pilon. Katakanlah
terus terang saja, apa kau benar-benar tidak mau
menyerahkan?”
Sikakek terkesiap juga, karena orang dapat mengatakan
dengan jitu nama aselinya. Diam-diam ia harus mengakui
tajamnya telinga Kim-to-ce. Namun dia masih tetap berlagak
seperti tiada terjadi apa-apa, dengan sikap ke-malas2an ia
menjawab: “Saudara membawa Siang-kau, tentu adalah Tiatkau-
cu Thio… Thio Tay-goan dari Kim-to-ce!”
Padahal sijangkung bernama Li Tay-goan, orang memberi
julukan “Sin-kau” (Si Kait Sakti) padanya. Tapi sekarang Go
To-it, yaitu sikakek penjual siopia-siopia, sengaja mengganti
dia punya she, bahkan Si Kait Sakti sengaja disebut sebagai
Tiat-kau-cu atau Si Kait Besi yang penuh mengandung maksud
ejekan. Keruan ia tidak tahan lagi. Mendadak kaitan kiri
bergerak, terus saja menggancu kepundak Go To-it.
Cepat Go To-it mengegos kekanan sehingga kaitan Li Taygoan
mengenai tempat kosong. Namun serangan Li Tay-goan
itu ternyata masih membawa serangan susulan yang sangat

lihay. Ketika kaitan diseret kesamping terus ditarik, kembali
punggung Go To-it hendak digait.
Sekonyong-konyong Go To-it mendakkan tubuh sehingga
kaitan itu menyambar lewat diatas kepalanya, menyusul
kakinya lantas menendang, tapi bukan Li Tay-goan yang
diarah, sebaliknya menendang anglo sehingga bara arang yang
masih menyala itu berhamburan ketubuh Li Tay-goan,
berbareng sewajan penuh minyak mendidih yang sedang
dibuat menggoreng yuciakue tadi juga menyiram keatas
kepalanya.
Keruan Li Tay-goan terkejut, buru-buru ia melompat mundur
hingga taburan bara arang dapat terhindar, tapi susah
menghindarkan muncratnya minyak mendidih. Ia mengaduh
kesakitan karena kedua kakinya telah tersiram minyak
mendidih itu.
Kesempatan itu telah digunakan oleh Go To-it untuk meloncat
keatas, sebagai burung ia mengapung keatas wuwungan rumah
didepan sana dengan tangan tetap memegang jepit besi alat
panggang siopia-siopia tadi.
Dan baru saja Go To-it sempat berdiri diatas wuwungan,
mendadak sinar tajam berkilau, kepalanya sudah terancam
oleh bacokan golok. Cepat Go To-it menangkis dengan japit
besi. “Trang!” lelatu api meletik. Ternyata jepit besi yang
hangus tak menarik itu sebenarnya buatan dari baja murni
sehingga golok musuh tertangkis kembali.
Pada saat yang hampir sama dari sebelah kiri sebatang
tombak pendek dan dari sisi kanan sepasang golok berbareng
juga menyerang tiba.
“Hm, tidak tahu malu, main kerubut!” jengek Go To-it. Waktu
tubuhnya sudah menegak, tahu-tahu kedua tangannya masingmasing
sudah memegang sebelah tangkai japit besi, yang kiri
dibuat menangkis tombak dan yang kanan dipakai menahan
sepasang golok musuh. Nyata dia telah pisahkan japit besi itu
sehingga sekarang berbentuk sepasang Boan-koan-pit.

Ketiga orang pengerubut itupun berpakaian hitam mulus,
mereka menjadi kaget ketika mendadak melihat tubuh Go To-it
menegak, seorang kakek yang bungkuk tahu-tahu sekarang
telah berubah menjadi seorang yang berperawakan tegap kuat.
Dengan memutar sepasang Boan-koan-pit itu selalu Go To-it
mengincar Hiat-to lawannya, walaupun satu dikeroyok tiga,
tapi ia masih tetap diatas angin.
“Kena!” mendadak Go To-it menggertak. Menyusul terdengar
lawannya yang memakai tombak telah menjerit, kaki kiri
terkena tusukan Boan-koan-pit dan segera terperosot kebawah
rumah.
Dalam pada itu diatas wuwungan rumah sebelah sana tampak
berdiri seorang tua kurus kecil, dengan kedua tangan bertolak
pinggang, orang tua itu sedang mengawasi pertarungan ketiga
orang.
Ditengah berkelebatnya sinar berkilau, “trang!”, senjata
sipemakai golok telah tersampuk jatuh oleh Boan-koan-pit
yang dihantamkan Go To-it, menyusul dada orang itupun
terdepak sehingga terjungkal kebawah rumah.
Sekarang lawan Go To-it tertinggal sipemakai sepasang golok
saja yang menjadi jeri karena kedua kawannya berturut-turut
telah dirobohkan Go To-it. Tapi ia masih tidak mau mengaku
kalah dan mengundurkan diri, ia putar kedua batang goloknya
sebagai kitiran cepatnya, ia melindungi tempat-tempat
berbahaya diseluruh badannya, ia hanya menjaga diri dan tidak
menyerang.
Maka sikakek kurus kecil yang sejak tadi hanya menonton saja
sekarang lantas mendekati mereka, makin lama makin
mendekat. Saat itu senjata Go To-it dan lawannya sedang
diputar sekencang-kencangnya, asal salah seorang tersambar
senjata itu tentu akan binasa atau sedikitnya terluka parah.
Tapi sikakek kurus kecil itu justeru anggap sepi saja akan hal
itu, ia masih terus melangkah kedepan dan makin mendekati

kedua orang yang sedang mengadu jiwa itu.
“Awas, Susiok!” teriak si pemakai sepasang golok. Saat itu dia
sedang membabat dengan senjatanya dan karena tidak sempat
ditahan lagi, maka goloknya telah menabas kepundak sikakek.
Namun sikakek kurus kecil sama sekali tidak berkelit, tangan
kanannya mendadak terangkat, dengan kedua jari tangan ia
tahan keatas batang golok. Begitu kuat daya tekanan itu
sehingga orang itu tidak sanggup memegang senjatanya lagi,
tahu-tahu goloknya terlepas dan terbang ketengah jalan raya
dibawah sana.
Tentu saja orang itu menjadi gugup karena sebelah goloknya
terlepas. Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Go To-it,
sebelah Boan-koan-pitnya kontan menjuju kedepan untuk
menutuk perut lawannya.
Tak disangka sikakek kurus kecil mendadak menjulurkan
sebelah tangannya lagi keatas pundak sipemakai golok, sekali
tarik secepat kilat orang itu telah ditarik mundur
kebelakangnya. Berbareng jari kanannya lantas mencolek mata
kiri Go To-it.
Serangan balasan ini cepatnya tak terkatakan. Padahal Go Toit
jelas melihat perut sipemakai golok tadi pasti akan tertutuk
oleh Boan-koan-pitnya. Siapa duga mendadak lawan telah
membarengi dengan serangan yang keji itu, untuk
menyelamatkan biji matanya sendiri terpaksa ia menarik
kembali senjatanya untuk memukul tangan sikakek.
Tapi hanya sedikit serongkan jarinya sikakek sudah
mengelakkan hantaman senjata lawan, malahan jarinya lantas
berganti sasaran dan mengarah tenggorokan Go To-it.
Cepat To-it melompat mundur. Tak terduga sikakek juga
lantas mendesak maju dan kembali jarinya menutuk kembali
keperutnya.
Sebagai pemain Boan-koan-pit, dengan sendirinya Go To-it

adalah ahli Tiam-hiat, ahli menutuk jalan darah. Ia lihat cara
menutuk lawan itu tidak diarahkan kepada bagian Hiat-to
tertentu, tapi asal kena saja. Walaupun demikian Go To-it juga
tidak berani membiarkan tubuhnya tertutuk. Mendadak Boankoan-
pit sebelah kanan memutar balik terus mengepruk keatas
kepala sikakek.
Tak terduga sikakek malah menerjang maju sehingga hampirhampir
menubruk kedalam pelukan Go To-it. Dan karena
terjangan itu dengan sendirinya serangan Go To-it itu sudah
terhindar, bahkan kedua tangannya menjulur sekaligus untuk
mencakar dada Go To-it.
Perawakan Go To-it tinggi besar, sebaliknya tinggi sikakek
hanya sebatas lehernya. Namun ilmu silat sikakek ternyata
sangat ganas, biarpun dengan bertangan kosong ia terus
menubruk dan mendesak maju. Ketika mendadak Go To-it
merasa musuh sudah berada didepan dadanya, dalam
kagetnya cepat ia melompat mundur, namun tidak urung
bajunya sudah tercakar, “bret!”, bajunya robek sepotong.
Seketika Go To-it merasa perutnya silir-silir dingin, dalam
seribu gugupnya ia tidak sempat memeriksa apakah tubuhnya
sudah terluka atau tidak, tapi segera ia putar balik sepasang
Boan-koan-pit terus mengetok ke “Thay-yang-hiat”, yaitu
kedua pelipis si kakek.
Sungguh aneh, kembali sikakek tidak berkelit, juga tidak
menangkis, tapi lagi-lagi orangnya menerjang kedepan dan
dengan telak kedua tangannya menghantam didada Go To-it.
Maka terdengarlah suara “krakkk!”, entah berapa lajur tulang
iga telah dipatahkan, kontak Go To-it terguling kebawah
rumah.
Dibawah sana masih menggeletak Li Tay-goan yang kedua
kakinya melepuh tersiram minyak mendidih tadi, memangnya
dia sudah murka, soalnya kedua kakinya terluka parah dan
tidak leluasa untuk melompat keatas wuwungan rumah buat
melabrak musuh. Pula ia kenal watak Ciu Bok, yaitu nama
sikakek kurus kecil, yang tinggi hati dan angkuh, sekali dia

sudah turun tangan, maka dia tidak suka kalau orang lain ikut
membantunya. Sebab itulah Li Tay-goan hanya mendongak
keatas untuk mengikuti pertarungan kedua orang.
Waktu Go To-it terjungkal kebawah, tanpa ayal lagi Li Taygoan
lantas melompat maju, dengan kalap kedua senjata
kaitnya lantas menikam ke perut Go To-it. Saking senangnya
karena rasa dongkolnya terlampias, kembali ia mendongak dan
tertawa panjang.
“Jangan dibunuh!” demikian mestinya Ciu Bok telah
mencegahnya, tapi toh agak terlambat, kedua kaitan besi Li
Tay-goan sudah bersarang didalam perut Go To-it dan sudah
tentu jiwanya melayang.
Tapi sekonyong-konyong bayangan orang berkelebat,
menyusul terdengar Li Tay-goan menjerit ngeri, ia terhuyunghuyung
mundur beberapa tindak, tahu-tahu bagian kedua tetek
didadanya sudah tertancap sepasang Boan-koan-pit yang
menembus sampai punggungnya, darah mengucur keluar
sebagai mata air dari lubang keempat luka itu. Dan sesudah
sempoyongan beberapa kali, akhirnya Li Tay-goan roboh
terkulai.
Kiranya Go To-it tidak rela mati konyol begitu saja, tapi
sebelum ajalnya ia masih balas menyerang sekuatnya. Dan
karena tidak terduga-duga, tanpa ampun lagi dada Li Tay-goan
telah tertusuk tembus oleh sepasang Boan-koan-pit.
Ciu Bok, sikakek kurus kecil itu, sama sekali tak ambil pusing
akan mati-hidupnya Li Tay-goan. Sebaliknya dengan air muka
menghina ia mendekati Go To-it, ia jambret tubuh orang she
Go itu, tapi diketahuinya napasnya juga sudah berhenti.
Dengan mengerut kening Ciu Bok membanting tubuh Go To-it
ketanah sambil membentak: “Copot pakaiannya dan geledah!”
Beberapa anak buahnya mengiakan dan segera mulai
melepaskan baju Go To-it. Maka tertampaklah dibagian
punggung yang tertutup baju itu terdapat sebuah bantalan.

Kiranya bungkuk Go To-it itu adalah buatan belaka yang
diganjal dengan bantalan itu.
Segera dua lelaki berbaju hitam dengan cepat membongkar
bantalan itu. Ternyata didalam bantalan terdapat bungkusan
pula dan tiap-tiap lapis dibungkus dengan kain minyak. Setiap
kali bungkusan itu dilepaskan, setiap kali pula air muka Ciu Bok
bertambah girang, diam-diam ia bersorak didalam hati: “Ini
dia! Disini! Ini dia!”
Sesudah belasan lapisan kain minyak itu dibuka, bungkusan
itu makin lama makin kecil dan akhirnya hanya tinggal satu
potong yang cuma belasan senti persegi.
Ciu Bok lantas sambar bungkusan kecil itu dari tangan anak
buahnya sambil berkata: “Sudahlah, hanya tipu belaka, tidak
perlu dibuka lagi! Lekas geledah saja kedalam rumah,
periksalah yang teliti!”
Serentak belasan laki-laki berbaju hitam mengiakan dan
beramai-ramai masuk kedalam rumah.
Kedai siopia-siopia itu tidak lebih hanya terdiri dari dua kamar
saja. Sekaligus dimasuki belasan orang, keadaan menjadi
penuh sesak. Maka terdengarlah suara gemerencang dan
gemertak yang ramai, suara terlempar dan diobrak-abriknya
mangkok, piring, meja, kursi, dan alat-alat perabot lainnya.
Sedang Ciu Bok masih terus berseru: “Periksalah yang teliti,
setiap tempat harus digeledah, jangan sampai terlalui!”
Begitulah sampai lama sekali belasan lelaki itu menggeledah,
akhirnya haripun sudah gelap, segera mereka menyalakan obor
dan masih terus menggeledah, sampai-sampai dinding kedai
siopia-siopia itu, bahkan dapurnya juga dibongkar. “Brang!”,
mendadak sebuah gentong terlempar ketengah jalan raya dan
pecah berantakan, isinya adalah tepung terigu yang bertebaran
memenuhi jalan….
Ditengah cuaca senja yang remang-remang itulah tiba-tiba

dari pojik jalan sana menjulur sebuah tangan kecil dan secara
hati-hati siopia-siopia yang jatuh ditepi selokan tadi
diambilnya, lalu tangan itu perlahan-lahan ditarik kembali.
Itulah tangan seorang pengemis kecil berusia antara 12-13
tahun. Sudah seharian dia kelaparan dan tidak memperoleh
sedekah apa-apa, dengan badan lemas sejak tadi dia duduk
mendoprok dipojok rumah sana.
Tadi waktu Li Tay-goan menimpukkan siopia-siopia yang
diterimanya dari Go To-it sehingga siopia-siopia itu jatuh ditepi
selokan, sejak itulah pandangan mata sipengemis kecil itu tidak
pernah meninggalkan sepotong penganan itu. Sudah sedari
tadi dia sangat ingin mengambil siopia-siopia itu untuk
dimakan, tapi dia tidak berani berkutik karena takut kepada
kawanan laki-laki berbaju hitam yang tampaknya galak dan
jahat-jahat itu. Malahan jenazah sipegawai toko kelontong Ho
An yang ceriwis itu menggeletak dekat dengan siopia-siopia
yang diincarnya itu. Bahkan kemudian mayat-mayat Go To-it
dan Li Tay-goan juga terkulai tidak jauh dari tempat siopiasiopia
itu berada.
Baru kemudian sesudah cuaca menjadi gelap dan cahaya obor
tidak mencapai tepi selokan itu, akhirnya sipengemis kecil
berani mengulur tangannya untuk menggerayangi siopia-siopia
itu.
Saking laparnya, sipengemis kecil tidak ambil peduli apakah
siopia-siopia itu kotor atau tidak, dengan segera ia menggigiti
perlahan segigitan dan dikulum didalam mulut, ternyata dia
tidak berani mengunyah, kuatir kalau mulutnya mengunyah,
tentu akan mengeluarkan suara perlahan, hal ini mungkin akan
didengar oleh laki-laki berbaju hitam yang galak dan bersenjata
itu dan bukan mustahil akan mendatangkan malapetaka
baginya.
Dari sebab itu siopia-siopia yang telah digigitnya itu tetap
dikulum didalam mulut saja, walaupun tidak sampai ditelan
kedalam perut, tapi rasa laparnya seolah-olah sudah agak
berkurang.

Dalam pada itu kawanan laki-laki berbaju hitam itu sudah
sekian lamanya mengobrak-abrik segenap isi kedai siopiasiopia
tadi, sampai-sampai ubin kedai itupun tidak ketinggalan
dicungkil dan diperiksa, tapi hasilnya tetap nihil.
Melihat tiada sesuatu yang dapat diketemukan lagi, akhirnya
sikakek kurus kecil : telah berseru: “Sudahlah, berhenti saja,
tarik pulang semua!”
Maka terdengar pula suara suitan sahut-menyahut disana-sini
disusul dengan derap lari kuda yang riuh ramai, kawanan
perusuhitu sudah meninggalkan Hau-kam-cip. Akhirnya
beberapa laki-laki yang mengerubut Go To-it tadi menaikkan
jenazah Li Tay-goan an ditaruh melintang diatas kuda, lalu
merekapun menghilang dalam waktu singkat.
Sampai suara derap lari kuda akhirnya sudah tak terdengar
lagi, kemudian penduduk Hau-kam-cip baru berani keluar dari
tempat sembunyi masing-masing, tapi kuatir kalau-kalau
kawanan bandit itu akan datang kembali, maka cara bicara
merekapun tidak berani keras-keras. Cepat-cepat tauke toko
kelontong dan seorang pegawai yang lain menyeret jenazah
kawan mereka kedalam rumah, lalu menutup papan pintu toko
untuk selanjutnya tidak berani keluar lagi.
Maka terdengarlah suara gedebrakan disana-sini, suara pintu
ditutup cepat-cepat. Hanya sebentar saja suasana kembali
sunyi pula, dijalan kota itu tidak nampak bayangan
seorangpun.
Hanya tertinggal sipengemis kecil tadi masih meringkuk
dipojok rumah sana. Ketika dilihatnya mayat Go To-it masih
menggeletak disitu dan tiada seorang pun yang mengurusnya,
hati sijembel cilik itu menjadi takut. Perlahan-lahan ia
mengunyah beberapa kali siopia-siopia yang masih terkulum
didalam mulut itu dan cepat ditelannya. Dan baru saja dia
hendak menggigit sisa siopia-siopia yang masih dipegangnya
itu, tiba-tiba dilihatnya mayat Go To-it bergerak perlahan.

Keruan kaget sipengemis cilik itu bukan buatan. Ia coba
kucek-kucek matanya sendiri, ketika ia memandang lagi,
ternyata mayat itu sudah terduduk.
Sipengemis kecil menjadi terkesima saking takutnya. Dia
pernah mendengar cerita tentang mayat hidup, maka hatinya
menjadi berguncang hebat. Tiba-tiba dilihatnya mayat Go To-it
itu mulai berbangkit dan akhirnya berdiri tegak. Saking tegang
dan takutnya gigi sijembel cilik sampai mengeluarkan suara
berkeretukan.
Rupanya suara kertukan itu dapat didengar mayat hidup itu,
maka mayat itu telah berpaling. Untung sijembel cilik
meringkuk dibalik pojok rumah sehingga tak terlihat oleh
mayat hidup.
Saat itu rembulan muda mulai memancarkan sinarnya yang
remang-remang sehingga sipengemis kecil dapat melihat
dengan jelas muka mayat hidup itu, dari ujung mulutnya
tampak mengucurkan darah, dua batang kaitan masih
menancap didalam perutnya. Dengan sekuat-kuatnya
sipengemis menggigit kuat-kuat giginya supaya tidak
mengeluarkan suara berkertukan.
Dilihatnya mayat hidup itu tiba-tiba berjongkok, tangannya
meraba-raba diatas tanah, ketika sebuah siopia-siopia
terpegang, ia penyet-penyet siopia-siopia itu dan dipecah, tapi
lantas dibuangnya, lalu tangannya mencari-cari pula, ketika
sebuah siopia-siopia ditemukan lagi, namun setelah dirobek
segera dibuangnya juga.
Sungguh takut sipengemis cilik tidak kepalang, hatinya
berdebar keras seakan-akan meloncat keluar dari rongga
dadanya. Dilihatnya mayat hidup itu masih terus meraba-raba
diatas tanah, barang-barang lain yang terpegang olehnya tidak
diperhatikan, hanya kalau siopia-siopia segera dipecah menjadi
dua, lalu dibuang. Sambil meraba-raba, lambat-laun mayat
hidup itu telah mendekati tepi selokan.
Sudah tentu sijembel cilik tambah takut. Ada maksudnya

hendak melarikan diri, tapi sekujur badan serasa lemas semua,
sepasang kakinya seperti terpaku diatas tanah, sedikitpun tidak
sanggup bergerak.
Gerak-gerik mayat hidup itu sangat lamban, maka telah
makan waktu sekian lamanya setelah belasan buah siopiasiopia
dirusak olehnya. Dan karena tiada menemukan siopiasiopia
lain pula diatas tanah, perlahan-lahan mayat hidup itu
menoleh seperti hendak mencari siopia-siopia lagi.
Sekonyong-konyong sipengemis kecil menjadi kaget ketika
melihat bayangannya sendiri tersorot oleh sinar bulan dan
terletak disamping kaki mayat hidup itu. Waktu dilihatnya kaki
mayat hidup kembali bergerak kedepan, entah darimana
datangnya tenaga, mendadak ia berteriak keras sekali, lalu
melarikan diri.
Mungkin mayat hidup itu juga kaget oleh jerita sipengemis
cilik, ia tertegun sejenak, tapi segera iapun berseru: “Siopiasiopia!
Siopia-siopia!” – lalu ia menguber kearah sijembel cilik.
Saking gugupnya sipengemis keserimpet larinya sehingga
jatuh tersungkur. Kesempatan itu segera digunakan mayat
hidup untuk menangkapnya. Tapi secepat kilat sipengemis
menggelinding kesamping sehingga mayat hidup menubruk
tempat kosong. Lalu sijembel berlari lagi lebih cepat.
Karena gerak-geriknya agak lamban, maka sesudah sekian
lamanya barulah mayat hidup itu dapat berdiri tegak lagi.
Namun dia berkaki panjang dan berlangkah lebar, biarpun
dengan agak sempoyongan, hanya belasan tindak saja kembali
ia sudah menyusul sampai dibelakang sijembel cilik.
Waktu itu ditepi jalan terdapat sebatang pohon besar. Tibatiba
sijembel cilik teringat kepada cerita orang, katanya mayat
hidup tidak dapat membelok, asal orang yang dikejar mayat
hidup berputar disekitar pohon, maka susahlah mayat hidup
hendak menangkapnya.
Karena pikiran itu segera sijembel cilik hendak membelok

kebelakang pohon, namun sudah terlambat sedikit tahu-tahu
tengkuknya teras dicengkeram orang, lalu tubuhnya terangkat
keatas.
“Kau……… kau telah mencuri aku punya siopia-siopia?” tanya
mayat hidup itu.
Dalam keadaan demikian sudah tentu sijembel cilik tak berani
menyangkal, terpaksa ia mengangguk.
“Dan sio…….. siopia-siopia itu sudah ………. Sudah kau makan?”
mayat hidup itu bertanya pula dengan suara lemah.
Kembali sijembel cilik mengangguk.
“Bret!” mendadak mayat hidup itu menarik baju sijembel
sehingga robek dan kelihatan perutnya.
Jelek-jelek baju kapas yang rombeng itu merupakan milik
satu-satunya sijembel dan telah dipakai seluruhnya, sekarang
ternyata dirobek begitu saja, keruan ia merasa sangat sayang
dan hampir-hampir saja ia menangis kalau tidak dalam
keadaan ketakutan.
“Akan kubelah perutmu dan mengoreknya keluar!” demikian
terdengar mayat hidup itu berkata.
Hampir-hampir saja sukma sijembel cilik meninggalkan
raganya saking takutnya. Dengan suara gemetar ia berkata:
“Aku………. Aku hanya menggigitnya sedikit.”
Tapi saking takutnya, suaranya hampir-hampir tak terdengar.
Dalam keadaan ketakutan benaknya juga tidak pernah terkilas
pikiran mengapa mayat hidup dapat bicara?
Sudah tentu tak diketahuinya bahwa sesudah dada Go To-it
kena hantaman sikakek kurus kecil sehingga tulang iga patah
beberapa buah ditambah lagi perutnya tertusuk oleh sepasang
kaitan Li Tay-goan, seketika napasnya berhenti dan roboh tak
sadarkan diri. Tapi lambat-laun ia telah siuman kembali.

Walaupun perut merupakan tempat yang mematikan, tapi luka
parah itu seketika tidak membuat Go To-it lantas binasa.
Bahkan dalam benak Go To-it selalu teringat kepada sesuatu
benda, maka begitu dia siuman dan mengetahui orang-orang
Kim-to-ce sudah pergi semua, dengan mengesampingkan luka
didada dan diperutnya yang parah, lebih dulu ia lantas
berusaha mencari benda yang telah disembunyikannya didalam
siopia-siopia itu.
Kiranya ia menyamar sebagai penjual siopia-siopia dan
menetap di Hau-kam-cip, maksud tujuannya ialah ingin
menyelamatkan benda itu dari pencarian musuh dan selama
tiga tahun dia telah hidup aman tenteram ditempatnya ini.
Tiada seorangpun dari penduduk Hau-kam-cip menaruh
perhatian kepada seorang kakek bungkuk penjual siopia-siopia,
maka tiada yang tahu bahwa sebenarnya dia tidak bungkuk
juga belum tua, bahkan bukan seorang penjual siopia-siopia.
Ketika terdengar suara suitan yang ramai dan ratusan
penunggang kuda telah mengepung rapat Hau-kam-cip, maka
tahulah Go To-it bahwa jejaknya akhirnya telah ketahuan.
Dalam keadan terburu-buru ia tidak sempat mencari tempat
lain yang baik dan terpaksa menyembunyikan benda mestika
itu didalam siopia-siopia. Waktu Li Tay-goan menyodorkan
tangannya ingin minta benda itu padanya, terpaksa Go To-it
bersepekulasi dan menaruh siopia-siopia itu ditangan Li Taygoan,
dan benar juga seperti apa yang diduganya, dalam
gusarnya Li Tay-goan lantas melemparkan siopia-siopia itu.
Sesudah siuman dari lukanya yang parah Go To-it tidak dapat
membedakan lagi siopia-siopia mana yang terdapat benda
mestika itu. Terpaksa ia mencarinya satu-persatu dan
memecahkan siopia-siopia itu untuk mencarinya. Akhirnya
dilihatnya pula sipengemis itu. Tiba-tiba terpikir olehnya bukan
mustahil siopia-siopia bersama benda mestika itu telah ditelan
semua kedalam perut sijembel cilik yang kelaparan itu, maka
cepat ia menangkapnya dan hendak membelih perutnya untuk
mencari benda mestikanya.

Namun tiada senjata tajam yang dapat dipakai membelah
perut, tiba-tiba ia menggertak gigi terus mencabut sebuah
kaitan besi yang menancap diperutnya sendiri itu, dengan
kaitan yang tajam itu segera hendak dipakainya untuk
menyembelih sipengemis cilik. Tapi begitu kaitan besi itu
tercabut keluar, seketika perutnya terasa kesakitan dan darah
menyembur keluar dari lukanya, belum lagi kaitan itu sempat
ditusukkan atau tangannya sudah terasa lemas dan pengemis
cilik itu terlepas dari cekalannya. Sedetik kemudian Go To-it
merasa badannya menjadi lemas, ia jatuh terkapar dan
sesudah berkelojotan beberapa kali, akhirnya mati sungguhsungguh.
Sipengemis cilik sesudah terlepas dari cengkeraman Go To-it,
sekuatnya ia merangkak bangun dan segera berlari seperti
kesetanan. Akan tetapi ia benar-benar terlalu takut, maka
cuma beberapa langkah saja dia tidak sanggup berlari lagi,
kakinya terasa lemas dan akhirnya jatuh terguling dan tak
ingat diri pula. Namun tangannya masih tetap menggenggam
siopia-siopia yang tadi baru digigitnya satu kali itu.
Sinar rembulan yang remang-remang itu menerangi jenazah
Go To-it dan lambat laun menggeser sampai diatas badan
sipengemis cilik. Dalam pada itu dari arah tenggara sana
sayup-sayup terdengar suara derapan kuda pula.
Datangnya suara derap kuda itu sekali ini sangatlah cepat,
baru saja terdengar dan tahu-tahu sudah mendekat.
Memangnya penduduk Hau-kam-cip sudah ketakutan maka
suara derap kuda ini pun membikin gemetar mereka. Hanya
saja yang datang sekali ini tidak lebih dari dua penunggang
kuda pula tiada mengeluarkan suara suitan segala.
Bentuk kedua ekor kuda itupun sangat aneh. Yang seekor
berwarna hitam mulus, hanya keempat telapak kakinya berbulu
putih. Sebaliknya yang seekor berwarna putih mulus dan
keempat telapak kakinya berbulu hitam.
Penunggang kuda putih itu adalah seorang wanita berbaju

putih pula, kalau ikat pinggangnya tidak berwarna merah tentu
orang akan menyangka wanita itu sedang berkabung. Pada ikat
pinggangnya yang berwarna merah itu tergantung sebatang
pedang.
Sedangkan penunggang kuda hitam adalah seorang laki-laki
setengah umur berbaju hitam, pinggangnya juga terikat
sebatang pedang. Kedua penunggang kuda itu secepat terbang
datangnya. Ketika tiba-tiba melihat tiga sosok mayat yang
menggeletak ditengah jalan dan barang-barang dan alat-alat
perabot berserakan, tanpa merasa kedua orang itu bersuara
heran.
Mendadak silelaki baju hitam mengayun cambuknya sehingga
membelit leher mayat Go To-it dan terus ditariknya keatas,
dibawah cahaya rembulan dapatlah muka Go To-it terlihat
jelas.
“Dia Go To-it, tampaknya Kim-to-ce sudah berhasil,” kata
siwanita baju putih.
Ketika silelaki baju hitam ayun cambuknya pula, ia lemparkan
mayat Go To-it ketepi selokan. Lalu sahutnya: “Belum lama
matinya Go To-it, darah yang mengucur keluar dari lukanya
belum lagi kering, kita masih dapat menyusul mereka!”
Siwanita mengangguk setuju. Segera mereka melarikan kuda
hitam-putih itu kearah barat dengan cepat. Sungguh aneh
juga, suara derapan kedua ekor kuda itu begitu rajin dan tetap
sehingga suaranya mirip derap kaki seekor kuda saja, terang
sekali kedua ekor kuda itu sudah terlatih dengan baik.
Makin lari makin cepat, kedua ekor kuda itu. Sesudah
mengitar lewat kota Khoy-hong, jalanan mulai sempit dan tidak
cukup untuk kedua ekor kuda berlari sejajar. Siwanita lantas
menahan kudanya sedikit dan membiarkan silelaki jalan lebih
dahulu. Silelaki tampak tersenyum dan mencongklangkan
kudanya kedepan dengan disusul siwanita dari belakang.

Bab 2. Golok Emas Lawan Pedang Hitam
Menurut taksiran kedua penunggang kuda itu, dilihat dari saat
kematian Go To-it mereka menduga akan dapat menyusul
orang-orang Kim-to-ce dalam waktu singkat. Akan tetapi sudah
sekian lamanya kawanan berandal itu tetap tidak kelihatan.
Nyatalah perhitungan mereka memang meleset, sebab matinya
Go To-it walaupun benar belum lama berselang, tapi sebelum
Go To-it mati benar-benar berandal Kim-to-ce itu sudah
berangkat cukup jauh.
Begitulah dua jam lamanya kedua penunggang kuda itu telah
melarikan kuda mereka dengan cepat, akhirnya mereka
mengaso sekadarnya agar binatang tunggangan mereka tidak
lelah, lalu mereka melanjutkan perjalanan lagi.
Menjelang fajar tertampaklah jauh didataran didepan sana ada
cahaya api unggun. Kedua orang saling pandang dengan
tersenyum dan bersama langas melompat turun dari kuda
mereka. Sesudah menambat kuda-kuda mereka dibatang
pohon ditepi jalan, mereka lantas berlari ketempat api unggun
itu dengan Ginkang yang tinggi.
Api unggun itu tampaknya tidak jauh, tapi sebenarnya ada
belasan li jauhnya. Namun dengan Ginkang mereka yang hebat
itu, bagaikan terbang saja mereka dapat mencapai tempat api
unggun itu dalam waktu singkat.
Sesudah dekat, tertampaklah segerombolan orang terbagi
dalam beberapa kelompok dan mengelilingi belasan gunduk api
unggun.
Terdengar pula suara “serupat-seruput” disana-sini, orangorang
itu masing-masing tampak memegang sebuah mangkuk,
rupanya mereka sedang makan mi yang masih panas dan
seperti biasanya orang makan mi, merekapun main sedot saja
mi yang panjang-panjang dan panas itu.
Mestinya kedua orang itu ingin mengintai lebih dulu, tapi
didataran yang luas itu tiada tempat sembunyi yang baik,

terpaksa mereka lantas mendekati rombongan orang-orang itu.
Maka terdengarlah suara bentakan diantara rombongan orangorang
itu: “Siapa itu? Mau apa?”
Sesudah melangkah maju lagi, lalu silelaki memberi salam,
katanya dengan tertawa: “Apakah An-cecu tidak berada disini?
Siapakah kawan yang berada disini ini?”
Sementara itu sikakek kurus kecil yaitu Ciu Bok, sudah selesai
makan mi dan baru saja hendak memberi komando agar
rombongan melanjutkan perjalanan, tiba-tiba ia mendengar
suara tindakan orang yang mendekat, menyusul dari
rombongan kawan sendiri ada yang berseru menegur, waktu ia
memperhatikan di bawah cahaya obor, kelihatan pendatang itu
adalah seorang lelaki dan seorang wanita berbaju hitam-putih
dan sudah berdiri sejajar didepan situ. Usia kedua orang
setengah umur semua, yang lelaki tampan dan gagah, yang
wanita cantik dan lemah lembut, pinggang mereka masingmasing
tergantung sebatang pedang.
Ciu Bok terkesiap, segera teringat dua orang olehnya. Cepat ia
berbangkit dan balas memberi salam, lalu jawabnya: “Wahai,
kiranya Ciok-cengcu suami-isteri dari Hian-soh-ceng di
Kanglam telah berkunjung kemari!” – Lalu ia lantas berteriak:
“Hayo, saudara-saudara, lekas bangun dan memberi hormat,
inilah Ciok-cengcu suami-isteri yang namanya
mengguncangkan lembah utara dan selatan sungai (Yangce).”
Serentak anak buah Kim-to-ce lantas berdiri dan sedikit
membungkukkan tubuh sebagai tanda hormat.
Diam-diam Ciu Bok membatin: “Ciok Jing dan Bin Ju suamiisteri
selamanya tiada percekcokan apa-apa dengan Kim-to-ce
kami, tapi sekarang mendadak mereka datang kesini, entah
apa maksud tujuannya, jangan-jangan merekapun ingin
mendapatkan benda mestika itu?”
Ia coba memandang sekeliling dataran itu dan tiada terlihat
orang lain pula. Pikirnya lagi: “Walaupun kabarnya ilmu pedang

suami-isteri ini sangat lihay, tapi mereka hanya berdua,
masakah kami sebanyak ini mesti jeri pada mereka?”
Dalam pada itu nyonya Ciok yang bernama Bin Ju itu telah
berkata dengan suara yang lemah-lembut: “Koanjin (suamiku),
tampaknya tuan ini adalah Ciu Bok Ciu-loyacu dari Eng-jiaubun.”
Meski ucapan Bin Ju sangat perlahan, tapi terdengar juga oleh
Ciu Bok, mau-tak-mau iapun merasa senang: “Kiranya Pengswat-
sin-kiam (Sipedang Salju Sakti, julukan siwanita) juga
kenal akan namaku.” – Maka cepat ia menanggapi: “Ya, harap
Ciok-cengcu dan Ciok-hujin terimalah hormatnya Ciu Bok.”
Sebaliknya kawanan berandal Kim-to-ce yang lain tidak tahu
tokoh-tokoh dari “Hian-soh-teng” itu orang macam apa, tapi
mereka melihat pemimpin keempat mereka yaitu Ciu Bok,
sedemikian hormat kepada suami-isteri she Ciok itu, maka
mereka menduga tentu kedua orang itu bukanlah sembarangan
tokoh.
Sementara itu Ciok Jing telah berkata pula dengan
tersenyum,”Rupanya para kawan sedang sarapan pagi dan
terganggu oleh kedatangan kami. Boleh silakan duduk saja dan
selesaikan sarapan kalian.” – Lalu ia berpaling kepada Ciu Bok
dan melanjutkan: “Kawan Ciu, kami suami-isteri juga pernah
bertemu beberapa kali dengan Ceng Cin-cong, Ceng-heng
(saudara Ceng), kalau dibicarakan sesungguhnya kita adalah
kenalan lama.”
“O, beliau adalah paman-guruku,” sahut Ciu Bok. Tapi diamdiam
ia merasa terhina, katanya dalam hati: “Usiamu jauh
lebih muda daripada diriku, tapi kau sebut paman-guruku
sebagai saudara, bukankah kau sengaja menganggap dirimu
sebagai angkatan lebih tua?”
Hendaklah maklum bahwa soal tingkatan atau angkatan
didalam dunia persilatan dipandang sangat penting. Angkatan
muda harus menghormat angkatan tua, setiap pesan angkatan
tua tidak boleh sembarangan dibantah oleh kaum muda.

Ciok Jing juga lantas tahu pikiran Ciu Bok demi melihat
perubahan air mukanya, maka katanya dengan tertawa: “Maaf!
Dalam pertemuan di Hoa-san dahulu Ceng-heng pernah bicara
tentang ilmu silat kalian, sungguh kami suami-isteri merasa
sangat kagum. Mengingat hubungan baik kita, sekarang Cayhe
ingin bicara sesuatu yang kurang pantas kepada Ciu-siheng,
untuk mana kami minta maaf lebih dulu.”
“Jika urusan pribadi, asal tenagaku dapat mencapainya, pesan
apapun tentu akan kulaksanakan dengan baik,” sahut Ciu Bok.
“Akan tetapi bila urusannya menyangkut Kim-to-ce kami, oleh
karena kedudukanku terlalu rendah dan mungkin akan susah
memenuhi keinginan kalian!”
Diam-diam Ciok Jing mengakui akan kelicikan orang, belumbelum
sudah berusaha mengelakkan tanggung-jawab. Segera
katanya: “Soalnya tiada sangkut-paut apa-apa dengan Kim-toce
kalian. Cayhe hanya ingin mencari tahu sesuatu kepada Ciuheng.
Soalnya begini: Kami suami-isteri telah mencari dan
menguber seorang sejak dari Kwitang sehingga kota Khayhong
sini. Orang itu she Go bernama To-it dan biasanya
memakai senjata Boan-koan-pit, perawakannya sangat tinggi,
usianya antara 38-39 tahun, kabarnya paling akhir ini
menyamar sebagai seorang bungkuk dan hidup mengasingkan
diri disekitar sini. Entah Ciu-siheng pernah mendengar berita
tentang orang she Go itu atau tidak?”
Orang-orang Kim-to-ce menjadi gempar mendengar nama Go
To-it disebut. Piker Ciu Bok: “Kau datang dari arah timur, tentu
mayat Go To-it sudah kau ketemukan, jika kami tidak bicara
terang-terangan malah akan disangka pengecut.” – Karena itu
ia lantas tertawa dan berkata: “Ciok-cengcu dan Ciok-hujin,
urusan ini sangat kebetulan juga. Meski kepandaianku rendah
dan tiada artinya, tapi kebetulan telah berjasa bagi Ciokcengcu.
Go To-it itu rupanya telah berdosa pada kalian, maka
orang-orang Kim-to-ce kami telah membereskan dia.”
Sambil bicara matanya terus menatap air muka Ciok Jing
untuk melihat bagaimana reaksinya, apa girang atau marah.

Sebaliknya Ciok Jing semakin merasa Ciu Bok itu benar-benar
seorang yang licik dan licin oleh kerna jawabannya itu, maka ia
hanya tersenyum dan berkata: “Go To-it itu sebenarnya tidak
saling kenal dengan kami, maka tidak dapat dikatakan telah
berdosa apa-apa kepada kami. Adapun maksud kami mencari
dia, kalau kami katakana terus terang hendaklah Ciu-siheng
jangan mentertawakan kami, soalnya adalah karena kami ingin
mencari sesuatu benda yang berada pada orang she Go itu.”
Air muka Ciu Bok agak berubah, tapi cepat tenang kembali,
sahutnya dengan tertawa: “Berita Ciok-cengcu ternyata tajam
juga, kabar tentang hal itu memang juga kami dengar. Untuk
bicara terus terang kepada Ciok-cengcu sebabnya Cayhe
memimpin para saudara-saudara kami keluar ini sesungguhnya
juga lantaran benda yang dimaksudkan itu. Tapi, ai, entah
setan alas atau anak jadah siapa yang telah sengaja
menyebarkan desas-desus demikian, jiwa Go To-it telah
melayang, perjalanan kami inipun sia-sia, bahkan bukan
mustahil kami akan diomeli An-cecu karena usaha kami yang
nihil ini. Apalagi kalau kabar bohong ini sampai tersiar sehingga
kawan-kawan kalangan Kangouw sama menyangka benda itu
telah didapatkan orang-orang Kim-to-ce dan semuanya lantas
memusatkan incaran mereka kepada Kim-to-ce, wah,
bukankah urusan ini bisa runyam? Thio-hiantit, coba untuk
jelasnya boleh kau ceritakan kepada Ciok-cengcu dan Ciokhujin
tentang cara bagaimana Go To-it terbinasa dan apa yang
terdapat di kedai siopia-siopia itu.”
Segera seorang lelaki pendek kecil tapi gesit tangkas lantas
tampil kemuka dan menutur: “Orang she Go itu telah dihantam
terjungkal dari atas rumah oleh pukulan Ciu-thauleng kami,
seketika itu juga tulang iga orang she Go itu patah dan isi
perutnya hancur…………..” – begitulah dengan mulutnya yang
tajam itu dia telah membumbu-bumbui, menambah kecap dan
menuangi minyak sehingga ceritanya tambah menarik, ia
ceritakan semua kejadian sampai matinya Go To-it, hanya
bagian yang menyangkut buntalan dipunggung Go To-it yang
telah diambil Ciu Bok itulah yang tidak diuraikannya.

Selesai mendengarkan cerita itu, Ciok Jing tampak manggutmanggut.
Tapi pikirnya didalam hati: “Ketika melihat
kedatangan kami tadi, Ciu Bok ini lantas selalu siap siaga dan
kelihatan tidak tenteram. Padahal Hian-soh-ceng dan Kim-to-ce
tiada punya permusuhan apa-apa, kalau bukan karena dia
sudah mengantongi benda mestika itu buat apa dia mesti waswas
kepada kami suami-isteri?” – Ia pun menduga bila benda
mestika itu benar-benar telah diketemukan orang-orang Kimto-
ce, maka pasti benda itu dipegang sendiri oleh Ciu Bok.
Sekilas pandang ia melihat dua ratusan orang-orang Kim-to-ce
itu semuanya gagah dan tangkas, meski tiada terdapat jagojago
kelas satu, tapi jumlahnya cukup banyak dan susah
dilawan.
Watak Ciok Jing ini adalah halus diluar tapi keras didalam. Tadi
dia sudah merasa tersinggung oleh ucapan Ciu Bok, namun
lahirnya dia masih tersenyum-senyum saja. Ia menuding
kearah hutan yang jauh disebelah kiri sana dan berkata: “Aku
ingin bicara sesuatu secara empat mata dengan Ciu-siheng,
silahkan engkau ikut kehutan sana.”
“Ah, kawan-kawan kami ini semuanya dapat dipercaya, kalau
ada sesuatu boleh bicara secara………….” Baru Ciu Bok berkata
sampai disini, mendadak ia merasa pergelangan tangan kirinya
sudah tergenggam oleh tangan Ciok Jing, menyusul separo
tubuhnya terasa linu pegal sehingga tangan kanan juga tak
bisa berkutik.
Sungguh terkejut dan gusar Ciu Bok tidak kepalang. Sejak
munculnya Ciok Jing dan Bin Ju suami-isteri, dia sudah lantas
menghadapinya dengan penuh perhatian, sedikitpun tidak
berani lengah, eh, toh masih kecundang juga, tahu-tahu Ciok
Jing sudah turun tangan dan entah dengan gerakan apa
secepat kilat tangannya sudah terpegang olehnya.
Padahal Kim-na-jiu-hoat atau ilmu menangkap dan
mencengkeram seperti itu adalah kepandaian Eng-jiauw-bun
sendiri yang sangat diandalkan, tak terduga, belum lagi
bergebrak Ciu Bok sudah kena ditangkap lawan.

Dalam pada itu Ciok Jing telah berkata pula dengan suara
keras: “Jika Ciu-siheng sudah mau bicara kesana, memang
inilah yang kuharapkan.” – Lalu ia menoleh kepada sang isteri
dan berkata: “Aku akan bicara sebentar dengan Ciu-siheng,
harap kau tunggu saja disini.”
Bin Ju mengangguk ramah. Lalu Ciok Jing menggandeng Ciu
Bok dan berjalan perlahan kedepan.
Orang-orang Kim-to-ce menyaksikan Ciok Jing berjalan pergi
bersama Ciu Bok dengan tertawa-tawa dan seperti tiada
maksud jahat, pula isterinya ditinggalkan di situ, maka tiada
seorangpun yang menduga bahwa dengan ilmu silat Ciu Bok
yang tinggi itu, tahu-tahu sudah berada dibawah ancaman
lawan dan terpaksa mengikuti segala keinginan orang.
Sambil memegang tangan Ciu Bok, makin lama makin cepat
jalannya Ciok Jing, asal langkah Ciu Bok sedikit lambat saja,
bukan mustahil akan lantas terseret jatuh, maka terpaksa dia
bukan mustahil akan lantas terseret jatuh, maka terpaksa ia
ikut berlari sekuat tenaga. Jarak dengan hutan itu mestinya
ada dua-tiga li jauhnya, tapi hanya sekejab saja kedua orang
sudah sampai ditengah hutan.
Disitulah Ciok Jing melepaskan tangan Ciu Bok dan berkata
dengan tertawa: “Ciu-siheng………………..”
“Apa maksudmu ini?” bentak Ciu Bok dengan gusar dan
kontak tangan kanan terus mencakar kedada Ciok Jing dalam
gerak tipu “Beng-bok-say-jiu” atau cakar singa menerkam
kalap.
Namun secepat kilat tangan kiri Ciok Jing telah menyambar
dari kiri kekanan, tangan Ciu Bok itu kena dicengkeramnya,
berbareng terus ditelikung kebelakang bahkan tangan Ciu Bok
yang lain kena dipegang pula sehingga kedua tangannya
tertelikung semua.
Dalam kaget dan kuatirnya, tanpa piker lagi Ciu Bok angkat
sebelah kakinya dan mendepak kebelakang, yang diarah adalah

selangkangan Ciok Jing.
“Ai, mengapa mesti marah?” ujar Ciok Jing dengan tertawa.
Berbareng Ciu Bok merasa Hiat-to dibagian kakinya menjadi
kesemutan sehingga kaki yang sedang mendepak kebelakang
itu tahu-tahu terasa lemas dan menjulai kembali kebawah.
Dengan demikian terpaksa Ciu Bok tak berani berkutik lagi.
Dengan muka merah padam ia membentak: “Kau…. Kau mau
apa?”
“Benda itu sudah kau ambil dari Go To-it, maka aku ingin
pinjam lihat barang itu, silahkan mengeluarkannya,” kata Ciok
Jing.
“Barang itu sih memang ada, tapi tiada berada padaku,” sahut
Ciu Bok. “Jika kau ingin lihat, boleh kembali ketempat kawankawanku
itu.”
Tujuan Ciu Bok ialah memancing Ciok Jing kembali ketempat
api unggun, disana dia mempunyai ratusan kawannya, sekali
dia memberi perintah, segera mereka dapat mengerubutnya,
jika demikian, betapapun tinggi kepandaian Ciok Jing suami
isteri, tentu juga susah melawan orang banyak.
Namun Ciok Jing tak mudah ditipu, sahutnya dengan tertawa:
“Maaf, aku tak dapat mempercayai kau, terpaksa mesti
menggeledah dulu badanmu!”
“Kau berani menggeledah aku? Kau anggap aku ini orang
macam apa?” teriak Ciu Bok dengan gusar.
Ciok Jing tidak peduli dan tidak menjawab. Sekali tarik segera
ia tanggalkan sepatu kulit Ciu Bok.
Ciu Bok tersentak kaget. Namun Ciok Jing sudah lantas
mengeluarkan sebuah bungkus kecil dari kepitan sepatunya.
Terang itulah bungkusan berasal dari pengganjal punggung Go
To-it.

Diam-diam Ciu Bok sangat heran, ia tidak habis tahu mengapa
Ciok Jing dapat mengetahui tempat dimana ia menyimpan
bungkusan kecil itu. Ia tidak tahu bahwa Ciok Jing itu sangat
cerdik. Ketika Ciu Bok ditanya tentang benda mestika itu,
tanpa merasa sorot matanya telah melirik kebagian sepatunya,
hal inilah yang menimbulkan dugaan keras pada Ciok Jing
bahwa benda itu pasti disembunyikan didalam sepatu kulitnya.
Sebab itulah maka sekali geledah lantas ketemu.
Keruan Ciu Bok menjadi gugup, segera ia bermaksud
menggembor untuk minta tolong kepada begundalnya. Namun
Ciok Jing telah berkata pula dengan menjengek: “Hm, kau
telah berdusta dan mengkhianati An-cecu kalian, apakah kau
lebih suka membongkar sendiri rahasiamu ini dan nanti akan
menerima hukuman potong sepuluh jarimu?”
Keruan Ciu Bok terkejut, tanpa merasa ia bertanya: “Da……….
darimana kau mengetahui?”
“Sudah tentu aku mengetahui,” sahud Ciok Jing. “Padahal Ancecu
adalah orang cerdik, sedangkan aku saja tak dapat kau
kelabui, apalagi An-cecu kalian?”
Rupanya tadi ketika orang she Thio dari Kim-to-ce
menguraikan kejadian mengobrak-abrik kedai siopia-siopia dan
tidak menemukan sesuatu yang dicari, dari nadanya Ciok Jing
merasa apa yang diceritakan itu memang bukan omong-kosong
atau bualan belaka, tapi sekarang benda mestika yang dicari
itu justeru diketemukan ditubuh Ciu Bok, maka teranglah Ciu
Bok mempunyai maksud untuk mencaplok sendiri benda
mestika itu.
Dan pada saat itulah, tiba-tiba terdengar suara tindakan orang
yang perlahan, ternyata diluar hutan sudah kedatangan
beberapa orang. Lalu terdengarlah suara orang tertawa dan
berkata: “Banyak terima kasih atas pujian Ciok-cengcu kepada
orang she An ini, terimalah hormatku ini.”
Dan baru selesai ucapannya tertampaklah tiga orang telah

menyelusup kedalam hutan.
Melihat para pendatang itu, air muka Ciu Bok seketika pucat
pasi. Kiranya ketiga orang yang datang ini adalah gembonggembong
Kim-to-the, yaitu Toa-cecu (pemimpin berandal yang
pertama) An Hong-jit, Ji-cecu (pemimpin kedua) Pang Cin-bu
dan Sam-cecu Pun-khong Tojin. Yang terakhir ini adalah
seorang imam agama To.
Waktu An Hong-jit menugaskan Ciu Bok kekota Khay-hong
untuk mengusut urusannya Go To-it, dia tidak mengatakan
akan memapak ditengah jalan, tapi entah mengapa sekarang
pemimpin utama itu telah datang sendiri malah. Jadi, pastilah
rahasianya ingin mengangkangi benda itu sudah gagal, bahkan
jiwanya boleh jadi akan melayang.
Dalam gugupnya, cepat Ciu Bok berseru: “An-toako, ben…..
benda itu telah direbut dia!” – Sambil berkata iapun menuding
kearah Ciok Jing.
Lebih dulu An Hong-jit memberi hormat kepada Ciok Jing, lalu
berkata: “Nama Ciok-cengcu tersohor diseluruh penjuru,
sungguh orang she An merasa sangat kagum dan sayang
selama ini tidak pernah bertemu. Ce (markas berandal) kami
terletak tidak jauh dari sini, jika sudi silakan Ciok-cengcu dan
nyonya suka mampir dan tinggal beberapa hari ditempat kami
itu agar kami dapat meminta petunjuk-petunjuk yang
berharga.”
Ciok Jing coba memperhatikan potongan para gembong Kimto-
ce itu. An Hong-jit berewok pendek kaku, tubuhnya juga
pendek tapi kekar dan agak kasar tampaknya, namun
bicaranya ternyata sangat sopan dan pakai aturan, sama sekali
ia tidak menyinggung tentang benda mestika yang telah
direbutnya itu, sebaliknya malah mengundangnya ke Kim-toce,
maka Ciok Jing lantas membalas hormat dan hendak
memasukkan bungkusan kecil yang direbutnya dari Ciu Bok
tadi kedalam saku sambil berkata dengan tertawa: “Ah, terima
kasih atas maksud baik An-cecu………..”

Baru sekian ucapannya, sekonyong-konyong matanya merasa
silau, sinar senjata telah berkelebat, tahu-tahu Pun-khong Tojin
sudah mencabut pedangnya dan ujung senjata itu telah
mengancam kepergelangan tangan Ciok Jing sambil
membentak: “Lepaskan dulu benda itu!”
Namun betapa cepatnya Pun-khong Tojin toh masih kalah
cepat daripada Ciok Jing. Hanya sedikit miring kesamping,
sekalian Ciok Jing lantas angsurkan bungkusan kecil itu
ketangan kiri Pun-khong Tojin dan berkata: “Nah, terimalah….”
Pun-khong menjadi girang, tanpa pikir ia terus pegang
bungkusan kecil itu. Tak terduga pergelangan tangan kanan
yang memegang pedang mendadak terasa linu, senjatanya
tahu-tahu sudah kena direbut lawan. Bahkan Ciok Jing terus
memutar balik pedang rampasan itu dan balas memotong
pergelangan kiri Pun-khong sambil membentak: “Lepaskan
dulu benda itu!”
Keruan Pun-khong terperanjat, sinar pedang sudah
menyambar dekat tangannya, sedetik lagi senjata itu pasti
akan makan tuannya, untuk menarik tangannya juga sudah
terlambat, terpaksa Pun-khong lemparkan bungkusan kecil itu.
Cepat pedang Ciok Jing lantas mencukit kebawah.
“Kepandaian hebat!” seru Pang Cin-bu yang tidak mau tinggal
diam. Sebelum Ciok Jing sempat menangkap kembali
bungkusan kecil itu, terus saja ia putar goloknya dan
menjatuhkan tubuhnya ketanah, sambil menggelinding kearah
Ciok Jing, segera ia menabas kaki lawan itu.
Tapi gerakan Ciok Jing benar-benar teramat sebat, “Sret!”,
mendadak pedangnya mendahului menusuk kepala Pang Cinbu.
Sebelum serangan Cin-bu itu mengenai sasarannya tentu
kepalanyaa akan terpantek diatas tanah oleh pedang Ciok Jing.
Melihat keadaan membahayakan jiwa kawannya itu, cepat An
Hong-jit berteriak: “Tahan dulu!”
Namun tusukan Ciok Jing itu masih menuju kebawah. Pang

Cin-bu sudah pejamkan mata dan menerima ajalnya.
Mendadak pipi kiri terasa “nyes” dingin, tusukan Ciok Jing itu
tidak diteruskan lagi. Rupanya ia benar-benar menahan
serangannya itu, maka ujung pedang hanya menempel dipipi
Pang Cin-bu saja.
Betapa tepat sasarannya dan betapa cepat daya tahannya
serta tenaga yang dipakai ternyata tidak selisih sedikit pun
sehingga kepala Pang Cin-bu tidak jadi terpantek diatas tanah.
Habis itu barulah terdengar suara “bluk!” yang perlahan,
bungkusan kecil yang dicukit kembali itu telah tertangkap pula
oleh Ciok Jing. Beberapa gerakan itu ternyata sudah
berlangsung dengan secepat kilat.
Dan sesudah menangkap kembali bungkusan kecil itu, barulah
Ciok Jing menarik pulang pedangnya dan berkata: “Maaf!” –
Lalu ia melangkah mundur dua-tiga tindak.
Ketika Pang Cin-bu berdiri kembali, mukanya menjadi merah
jengah dan serba salah, tinggal pergi merasa malu, tetap disitu
juga merasa susah.
Dalam pada itu An Hong-jit sudah melangkah maju, ia
membuka bajunya sendiri sehingga kelihatan simbar-dadanya
yang berbulu lebat. Dari punggung ia lantas mencabut keluar
sebatang golok.
Tatkala itu sang surya sudah mulai menyingsing, cahaya
matahari menembus masuk melalui celah-celah daun pohon
yang rindang itu, sinar golok warna emas itu gemerlap
menyilaukan, mata golok itu tebal bagian punggung dan tipis
serta tajam bagian depan, sungguh sebuah senjata yang
bagus.
An Hong-jit mengacungkan golok-emasnya itu dan berkata:
“Ciok-cengcu mempunyai kepandaian yang hebat, sungguh aku
sangat kagum. Sekarang biarlah aku mohon petunjuk beberapa
jurus padamu!”
“Hari ini bertemu dengan tokoh ternama, sungguh aku merasa

sangat beruntung!” sahut Ciok Jing dengan tertawa. Dan sekali
tangannya bergerak, mendadak bungkusan kecil yang
dipegangnya itu tertimpuk kedepan.
An Hong-ji dan kawan-kawannya menjadi heran, masakah
benda mestika yang dibuat rebutan itu sekarang malahan
dibuang begitu saja oleh Ciok Jing?
Tapi menyusul lantas terdengar suara angin menderu, pedang
rampasan yang dipegang Ciok Jing itupun disambitkan dan
baru saja bungkusan kecil itu menumbuk batang pohon
didepan sana, tahu-tahu dari belakang pedang panjang itu
sudah menyusul tiba, “cret”, dengan tepat bungkusan kecil itu
terpaku dibatang pohon. Ujung pedang itu hanya menembus
satu bagian kecil bungkusan itu sehingga tidak mengenai
benda yang terbungkus didalamnya.
Betapa jitu dan bagus caranya Ciok Jing mempertunjukkan
kepandaiannya itu, mau-tak-mau Pun-khong Tojin dan Pang
Cin-bu harus mengakui keunggulan lawan.
Ketika pandangan An Hong-jit, Pun-khong Tojin dan lain-lain
berpindah kembali kearah Ciok Jing, tahu-tahu tertampak
tangan orang she Ciok itu sudah bertambah pula dengan
sebatang pedang lain yang berwarna hitam mulus. Terdengar
Ciok Jing telah berkata: “Bak-kiam (pedang hitam) ketemu
Kim-to (golok emas), sungguh sangat beruntung. Marilah kita
coba-coba, asal salah sepihak tertutuk, biarpun cuma menang
satu jurus atau setengah gerakan saja, dia yang akan
mendapatkan benda yang terpaku dipohon itu. Setuju?”
Padahal Ciok Jing sudah berhasil merebut benda itu, tapi
sekarang sengaja dipantek diatas pohon dan akan diperebutkan
dengan bertanding ilmu silat, sungguh An Hong-jit merasa
sangat kagum akan kejujuran orang. Segera ia menjawab:
“Marilah mulai, Ciok-cengcu!”
Sudah lama An Hong-jit mendengar ilmu pedang suami-isteri
Ciok Jing dan Bin Ju adalah sangat lihay, tadi iapun sudah
menyaksikan caranya Ciok Jing menundukkan Pun-khong Tojin

dan Pang Cin-bu, dan memang benar-benar bukan omongkosong
kepandaiannya, maka sekarang Hong-jit tidak berani
gegabah, “srat-sret-sret”, sekaligus ia lantas mulai
melancarkan tiga kali serangan pancingan.
Namun Ciok Jing tenang-tenang saja, ujung pedangnya
menuding kebawah, badannya sama sekali tidak bergerak,
katanya: “Silahkan menyerang saja!”
Karena itu barulah golok An Hong-jit menabas miring
kebawah, tapi sebelum mengenai sasarannya mendadak ia
putar balik keatas. Nyata, sekali mulai menyerang segera ia
mengeluarkan 72 jurus “Bik-kwa-to”, ilmu golok andalannya
yang beraneka ragam perubahannya didalam tiap-tiap
jurusnya.
Ciok Jing juga lantas putar pedangnya yang berwarna hitam
mulus itu, semula dia masih bertahan, tiap-tiap serangan An
Hong-jit selalu ditangkisnya. Tapi sesudah lewat 30 jurus,
mendadak ia bersuit nyaring, ia mulai melancarkan serangan
balasan, serangan-serangan semakin gencar dan semakin
cepat.
Sesudah bertahan sampai lebih 30 jurus, An Hong-jit sekarang
berbalik tidak dapat membedakan arah datangnya serangan
lawan lagi. Diam-diam ia menjadi gugup, terpaksa ia putar
goloknya sekencang-kencangnya untuk menjaga diri.
Walaupun sudah bergebrak sampai 70 jurus, tapi senjata
kedua orang tetap belum pernah saling bentur. Sampai
akhirnya mendadak terdengar suara “cring” yang perlahan
sekali, mata pedang warna hitam itu telah menumpang diatas
punggung golok terus menggesek kebawah.
Gerak tipu ini disebut “Sun-liu-gi-he” atau menurun mengikuti
arus, terhitung suatu jurus ilmu pedang yang lazim untuk
mengalahkan ilmu golok. Bila kepandaian penyerang itu lebih
rendah, maka cukuplah kalau An Hong-jit sampukkan goloknya
kesamping dan segera pedang lawan akan terpental.

Namun Ciok Jing bukanlah jago silat pasaran, baru saja An
Hong-jit hendak menyampukkan goloknya, tahu-tahu mata
pedang sudah menyentuh jarinya. Keruan terkejut An Hong-jin
tidak kepalang, diam-diam ia mengeluh jarinya pasti akan
terpapas, sekalipun dia hendak melepaskan golok dan menarik
tangan juga sudah terlambat.
Baru saja terkilas pikiran demikian dibenak An Hong-jit, tahutahu
pedang Ciok Jing telah tertahan mentah-mentah ditengah
jalan, tidak memotong terus, sebaliknya tertarik kembali
beberapa senti jauhnya.
An Hong-jit insaf lawannya sengaja bermurah hati padanya,
kalau kesempatan itu tidak digunakan untuk melepaskan golok
mungkin akan membawa akibat lebih jelek lagi, maka terpaksa
ia menjatuhkan senjatanya.
Tak terduga, mendadak pedang hitam lawan lantas memutar
kebawah golok sehingga golok emas itu tersanggah dan tidak
sampai jatuh ketanah. Bahkan terdengar Ciok Jing sedang
berkata: “Kekuatan kita adalah setanding dan susah
menentukan menang atau kalah.” – Ketika pedang sedikit
mencukit, segera golok emas itu mencelat keatas.
Sungguh terima kasih An Hong-jit tak terkatakan, cepat ia
pegang kembali goloknya itu. Ia tahu lawan yang berbudi itu
sengaja menyelamatkan mukanya, maka cepat ia menegakkan
golok dan memberi hormat, itulah jurus terakhir dari Bik-kwato
yang bernama “Lam-hay-pay-hud” atau menyembah Budha
dilautan kidul.
Sampai disini An Hong-jit lebih terkejut sehingga air mukanya
berubah. Kiranya sampai saat terakhir ini justeru dia telah
selesai memainkan “Bik-kwa-to” yang meliputi 72 jurus itu.
Jika demikian, terang Ciok Jing sangat paham ilmu golok
andalannya ini dan dirinya baru dikalahkannya pada jurus yang
ke-71 tadi, yaitu jurus terakhir, ditambah dengan jurus
penutup “Lam-hay-pay-hud”. Coba kalau Ciok Jing mau
menjatuhkan dia dengan lebih cepat, rasanya bukan soal sulit
baginya.

Dan baru saja An Hong-jit hendak mengucapkan beberapa
patah rasa terima kasihnya, disebelah sana Ciok Jing sudah
memasukkan kembali pedangnya dan berkata sambil
merangkap kedua kepalan tangan: “Orang she Ciok merasa
beruntung mengikat persahabatan dengan An-cecu, maka
pertandingan kita ini tidak perlu diteruskan lagi. Kapan-kapan
kalau An-cecu lalu ditempat kami, diharap sudilah mampir buat
tinggal beberapa hari disana.”
“Terima kasih atas undangan Ciok-cengcu,” sahut Hong-jit
dengan wajah kikuk. Mendadak ia melompat keatas, ia cabut
pedang Pun-khong Tojin yang ditimpukkan oleh Ciok Jing tadi
dan mengambil bungkusan kecil yang terpaku dibatang pohon
itu. Kemudian dengan penuh hormat, ia persembahkan
bungkusan itu kehadapan Ciok Jing dan berkata: “Silakan Ciokcengcu
ambil saja!”
Rupanya dia merasa pamornya telah diselamatkan oleh Ciok
Jing, pula jari tangannya tidak sampai terkutung, maka ia
merasa sangat berterima kasih dan rela menyerahkan benda
itu.
Tak terduga Ciok Jing itu tidak mau menerimanya, ia memberi
hormat dan berkata: “Sampai bertemu pula!” – Lalu putar
tubuh dan tinggal pergi.
“Tunggu dulu, Ciok-cengcu,” seru An Hong-jit. ‘Cengcu telah
menjaga nama baik orang she An ini, masakah aku sendiri
tidak tahu? Sudah terang diriku telah kalah habis-habisan dan
benda ini sudah seharusnya menjadi bagian Ciok-cengcu, kalau
tidak bukankah diriku akan dikatakan sebagai manusia rendah
yang tidak kenal budi kebaikan?”
“An-cecu,” sahut Ciok Jing dengan tersenyum, “Pertandingan
tadi belum lagi terang siapa yang menang atau kalah,
kepandaian An-cecu yang lain seperti Ceng-liong-to dan Toanbun-
to yang hebat itu belum lagi dikeluarkan, mana boleh
engkau dianggap sudah kalah? Pula, isi bungkusan itu toh tidak
terdapat benda yang dicari itu, mungkin Ciu-siheng telah ditipu

orang!”
An Hong-jit tercengang oleh jawaban itu. “Isi bungkusan ini
tiada terdapat benda itu!” ia menegas. Cepat ia membuka
bungkusan itu selapis demi selapis. Sesudah lima lapis,
akhirnya barulah kelihatan isinya, yaitu terdiri dari tiga titik
hitam belaka. Waktu diperiksa, kiranya adalah tiga biji kutu
busuk yang sudah mati.
Melihat isi bungkusan yang sangat mengecewakan itu,
sungguh kejut dan gusar An Hong-jit tak terkirakan. Tapi ia
masih dapat menahan perasaannya, ia berpaling dan tanya
kepada Ciu Bok: “Ciu-hengte, se…… sebenarnya apa-apaan
ini?”
“Aku……… aku sendiripun tidak tahu,” sahut Ciu Bok dengan
gelagapan. “Dari tubuh Go To-it hanya dapat diketemukan
bungkusan kecil ini, lain tidak.”
Segera An Hong-jit tahu bahwa benda mestika itu tentu telah
disembunyikan oleh Go To-it atau sudah diberikan kepada
orang lain. Jadi usahanya ini bukan saja sia-sia belaka, bahkan
telah menjatuhkan nama baik Kim-to-ce.
Ia membuang bungkusan kosong itu, lalu katanya kepada Ciok
Jing: “Sungguh membikin malu saja pekerjaan kawan-kawan
kami ini. Tapi entah darimana Ciok-cengcu mengetahui tentang
isi bungkusan ini?”
“Ah, Cayhe juga cuma sembarangan menerka saja,” sahut
Ciok Jing dengan tersenyum. “Nyata kita sama-sama telah
dikelabui orang, diharap An-cengcu saling memaklumi.”
Habis berkata, kembali ia memberi salam kepada Pang Cin-bu,
Pun-khong Tojin dan Ciu Bok, lalu melangkah pergi dengan
cepat. Setiba ditempat api unggun, ia berkata kepada Bin Ju:
“Niocu (istriku), marilah berangkat!” – Kedua orang lantas
mencemplak keatas kuda masing-masing dan menuju kearah
darimana mereka datang tadi.

Melihat air muka sang suami, tak ditanya juga Bin Ju
mengetahui usaha mereka ini telah sia-sia. Entah mengapa
hatinya menjadi pilu dan air matanya berlinang-linang.
“Engkau tidak perlu kesal, isteriku,” kata Ciok Jing. “Kim-to-ce
sendiri juga tertipu. Biarlah kita menggeledah pula jenazah Go
To-it itu, boleh jadi orang-orang Kim-to-ce itu yang telah salah
mata dan benda mestika itu masih tertinggal disana.”
Walaupun tahu usaha mereka tentu akan sia-sia pula, tapi Bin
Ju tidak ingin membantah maksud sang suami itu, dengan
suara terguguk, ia menyatakan baik. Segera kuda-kuda hitamputih
itu berlari pula kearah Hau-kam-cip. Sungguh cepat
sekali kekuatan lari kuda-kuda itu, kira-kira lohor mereka
kembali sudah berada dikota kecil itu.
Dalam pada itu, rasa panik penduduk kota itu belum lagi
lenyap, maka tiada suatu tokopun yang membuka pintu.
Laporan tentang datangnya kawanan bandit yang telah
membunuh orang dan merampok harta benda kemarin itu oleh
petugas setempat sudah disampaikan kepada pembesar kota
Khay-hong. Tapi pemeriksaan belum dilakukan, mungkin para
pembesar dikota itupun takut kepada kawanan bandit, kalau
lebih lama tentu akan lebih selamat, demikian perhitungan
mereka.
Ketika Ciok Jing berdua sampai pula didekat jenazah Go To-it
tertampak dipojok dinding sana berduduk seorang pengemis
kecil berusia antara 12-13 tahun, selain itu tiada orang lain
lagi.
Segera Ciok Jing memeriksa dan menggeledah dengan teliti
sekujur badan Go To-it, sampai-sampai gelung rambutnya juga
dilepas, sepatu dan kaos kaki juga dicopot untuk diperiksa.
Sedangkan Bin Ju mencari kedalam kedai siopia-siopia.
Tapi akhirnya suami-isteri itu hanya menghela napas belaka.
Kata Bin Ju: “Siangkong (suamiku), tampaknya sakit hati kita
ini ditakdirkan takkan terbalas. Selama beberapa hari ini sudah
terlalu membikin capek engkau, marilah kita pesiar saja kekota

Khay-hong, disana kita dapat melihat sandiwara dan menonton
wayang.”
Ciok Jing cukup kenal baik watak sang isteri yang suka kepada
ketenangan dan tidak suka menonton sandiwara apa segala.
Bahwasannya sekarang isterinya mengajak pesiar kekota Khayhong
adalah ingin membikin senang padanya, maka iapun
menjawab: “Baiklah, kita sudah datang ke Holam sini, sudah
selayaknya kita pesiar ke Khay-hong. Konon pandai emas
dikota itu sangat terkenal, marilah kita mencari beberapa
bentuk perhiasan yang indah.”
Didunia persilatan Bin Ju terkenal akan kecantikannya.
Memangnya dia suka bersolek, apalagi wanita yang sudah
menanjak setengah umur, tentu akan lebih memperhatikan
soal dandan. Sekarang usaha suami-isteri itu tiada membawa
hasil apa-apa, dalam keadaan kesal, terpaksa mereka mencari
kesenangan lain sekadar pelipur hati.
Begitulah maka Bin Ju telah menjawab sang suami dengan
tersenyum pedih: “Sejak anak Kian meninggal, selama 13
tahun ini perhiasan yang kau belikan untukku rasanya sudah
cukup untuk membuka sebuah toko perhiasan.”
Berkata tentang “meninggalnya anak Kian”, kembali air mata
Bin Ju bercucuran. Sekilas terlihat olehnya sipengemis kecil
yang duduk sembunyi-sembunyi dipojok dinding sana dengan
rasa takut-takut dan keadaan kotor tak terurus, tiba-tiba
timbul rasa kasihannya, segera ia bertanya: “Dimanakah
ibumu? Mengapa menjadi pengemis?”
“Ib…….. ibuku tidak tahu kemana,” sahut pengemis cilik itu.
Bin Ju menghela napas dan mengeluarkan serenceng uang
perak dan dilemparkan kepada pengemis kecil itu, katanya:
“Ini buat beli siopia-siopia!” – Lalu ia menarik les kuda dan
melarikannya sambil menoleh dan bertanya pula: “Nak, kau
she apa dan siapa namamu?”
“Aku…………….. aku bernama Kau-cap-ceng (anak anjing),”

sahut sipengemis cilik.
Ciok Jing menggeleng-gelengkan kepala mendengar jawaban
itu. “Rupanya seorang anak gendeng!” ujarnya.
“Ya, sungguh kasihan,” kata Bin Ju.
Sambil bicara kedua orang lantas melarikan kuda mereka
kejurusan kota Khay-hong. Tertinggal sijembel cilik yang masih
meringkuk sendirian berkawankan jenazah Go To-it.
Bab 3. Hian-Tiat-Leng (Medali Wasiat)
Seperti diketahui pengemis cilik itu telah pingsan saking
ketakutan karena diuber oleh “mayat hidup” Go To-it dan
sampai hari sudah terang baru dia siuman. Tapi rasa takutnya
itu rupanya terlalu hebat, begitu membuka mata dan melihat
jenazah Go To-it yang berlumuran darah itu menggeletak
disampingnya, maka kembali ia jatuh kelenger lagi. Agak lama
kemudian barulah dia sadar pula.
Waktu Ciok Jing berdua datang, saat itu sijembel cilik itu baru
sadar dan mestinya ingin melarikan diri. Tapi dilihatnya Ciok
Jing telah mengangkat dan membalik jenazah yang mengerikan
itu, dalam ketakutan dia menjadi tak berani bergerak. Tak
terduga akhirnya dia mendapat persen serenceng uang perak
dari wanita cantik itu yang menyuruhnya membeli siopiasiopia.
“Beli siopia-siopia? Bukankah aku sudah punya?” demikian
pikirnya. Segera ia angkat tangan kanan, benar juga siopiasiopia
yang baru digigitnya sekali itu masih tergenggam
didalam tangan. Karena rasa takutnya mulai hilang, seketika ia
merasakan perutnya kelaparan. Segera ia menggigit siopiasiopia
itu dengan lahapnya.
Tapi baru sekali menggigit, “krek” giginya terasa kesakitan

karena menggigit benda sekeras besi. Waktu dia menarik
siopia-siopia itu, terasa mulutnya sudah tertambah sepotong
benda keras, cepat ia menumpahkan benda itu ditangan kiri,
kiranya adalah sepotong besi kecil yang gepeng tipis dan
berwarna hitam.
Ia pandang besi kecil itu dengan heran, ia tidak mengarti
mengapa didalam siopia-siopia bisa tercampur benda demikian.
Tapi benda besi itu tidak dibuang olehnya, sesudah memeriksa
siopia-siopia itu tiada terdapat benda lain lagi, segera ia makan
kembali siopia-siopia itu.
Hanya dalam sekejap itu siopia-siopia itu sudah dilalap habis.
Pandangannya segera beralih kepada belasan buah siopiasiopia
yang telah pecah dan terserak disekitar mayat Go To-it,
pikirnya: “Siopia-siopia yang telah dirusak setan entah boleh
dimakan atau tidak?”
Sedang ragu-ragu, tiba-tiba terdengar diatas kepalanya ada
suara orang berkata: “Kepung sekeliling sini!”
Keruan dia terkejut: “Mengapa diatas kepalaku ada suara
orang?” – Waktu dia mendongak, tertampaklah diatas
wuwungan rumah telah berdiri tiga orang laki-laki berjubah
putih. Menyusul dari belakang terdengar pula suara mendesir,
ada orang telah melompat tiba.
Waktu pengemis cilik itu berpaling, terlihat empat orang
berjubah putih dengan pedang terhunus tahu-tahu sudah
mengepung dari kanan-kirinya. Melihat sinar pedang yang
gemilapan itu, si pengemis cilik menjadi menggigil ketakutan.
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar pula suara derapan kuda,
seorang penunggang kuda sedang mendatangi secepat terbang
dan terdengar seruannya: “Apakah kawan-kawan Swat-sanpay
disitu? Maafkan orang she An tidak memberi sambutan
atas kunjungan kalian ke Holam sini.”
Hanya sekejap saja seekor kuda berbulu kuning sudah
menerjang tiba, penunggangnya seorang laki-laki pendek

gemuk berewok. Sesudah dekat, sama sekali dia tidak
menahan kudanya tapi terus melompat turun begitu saja.
Sedangkan kuda kuning itu masih terus berlari kedepan dan
berputar satu kali, lalu berhenti dikejauhan sana. Nyata seekor
kuda yang sudah terlatih dengan baik.
Berbareng tiga orang berjubah putih yang berada diatas
rumah tadi melayang turun, semuanya siap-siaga memegang
gagang pedang mereka. Seorang diantaranya yang kekar dan
berusia 40-an tahun segera berkata: “Kiranya An-cecu dari
Kim-to-ce. Selamat bertemu!” – Sambil berkata sembari
mengedipi kawan-kawannya yang berdiri dibelakang An Hongjit.
Pendatang baru ini memang betul adalah An Hong-jit. Dia
telah dikalahkan oleh Ciok Jing, sudah tentu dia patah
semangat. Tapi dia adalah seorang yang berjiwa besar, kalah
atau menang baginya adalah soal lumrah. Tapi lantas terpikir
pula olehnya: “Untuk apalagi Ciok-cengcu suami-isteri pergi
pula ke Hau-kam-cip? Ah, tentu disebabkan tertipunya Ciu-site,
maka mereka suami-isteri hendak kembali kesana untuk
mencari benda itu. Aku adalah jago yang sudah keok
ditangannya, kalau benda itu dapat diketemukan mereka itu,
terpaksa aku membiarkannya. Tetapi kalau mereka tidak dapat
mencarinya, kenapa aku tidak mencarinya pula untuk cobacoba
peruntungan? Benda itu tentu disembunyikan disuatu
tempat yang dirahasiakan oleh Go To-it, kalau dicari dan
digeledah sepuluh kali tidak ketemu, kenapa aku tidak boleh
mencarinya untuk kesebelas kalinya?”
Begitulah, sesudah ambil keputusan itu, segera ia mencemplak
kuda dan menyusul ke Hau-kam-cip. Karena kudanya kalah
cepat daripada kuda-kudanya Ciok Jing berdua, pula tidak
berani mengintil terlalu dekat, maka sesudah cukup lama Ciok
Jing memeriksa dan menggeledah jenazah Go To-it serta
kedainya, lalu tinggal pergi, kemudian barulah An Hong-jit
sampai di kota itu.
Dengan matanya yang tajam dari jauh An Hong-jit lantas
melihat bayangan orang yang muncul di atas rumah. Dari

dandanan dan senjata yang mereka bawa, Hong-jit menduga
pasti anak murid dari Swat-san-pay yang terletak diperbatasan
Sucwan dan Secong (Tibet).
Sesudah dekat, tertampak pula beberapa orang berjubah putih
itu sedang mencurahkan perhatiannya seperti sedang
menghadapi musuh tangguh. Semula Hong-jit mengira orangorang
itu hendak mengadakan sergapan terhadap Ciok Jing
suami-isteri, karena mengingat kebaikan Ciok Jing, maka
Hong-jit lantas berseru dari jauh dengan maksud
menggagalkan sergapan orang-orang Swat-san-pay. Tak
terduga sampai ditempatnya, bayangan Ciok Jing berdua tidak
kelihatan, sebaliknya yang dikepung oleh tujuh orang Swatsan-
pay itu adalah seorang pengemis kecil.
Sudah tentu An Hong-jit sangat heran, ia coba memperhatikan
keadaan pengemis kecil yang kotor dan kurus itu, tampaknya
toh bukan seorang yang mahir ilmu silat. Tapi sekilas terlihat
olehnya seorang Swat-san-pay itu sedang mengedipi
kawannya, hal ini lantas menimbulkan curiga An Hong-jit. Maka
kembali ia mengamat-amati keadaan sijembel cilik itu.
Sekali pandang seketika hatinya tergetar hebat. Ternyata
tangan kiri sipengemis kecil tertampak memegang sepotong
benda kecil warna hitam, bentuknya mirip benar dengan ‘Hiantiat-
leng’ (medali besi) yang selalu menjadi bahan bicara
didunia persilatan itu.
Waktu dilihatnya senjata keempat lelaki jubah putih
dibelakangnya bergerak gemerlapan seperti akan mengerubut
maju untuk merebut, tanpa pikir lagi An Hong-jit lantas
mengeluarkan goloknya dan tubuhnya bergerak cepat
mengitari sipengemis kecil satu keliling, goloknya membacok
kekanan dan kekiri, kedepan dan kebelakang, hanya dalam
sekejap saja ia sudah menyerang kedelapan penjuru dan setiap
jurusan tiga kali bacokan, jadi seluruhnya 24 kali bacokan,
sinar golok itu hanya belasan senti saja diluar tempat duduk
sipengemis kecil sehingga jembel cilik itu seolah-olah
terbungkus rapat didalam sinar golok yang berwarna emas itu.

Karena merasa silau dan tersambar oleh angin tajamnya
golok, sipengemis kecil menjadi ketakutan dan mendadak
menangis.
Hampir pada saat sipengemis kecil itu mulai menangis,
serentak ketujuh orang berjubah putih itupun memainkan
pedang mereka sehingga berwujut sebuah jejaring sinar putih
yang mengitari An Hong-jit dan sijembel cilik. Namun demikian
mereka tidak lantas menyerang.
Pada saat lain tiba-tiba terdengar suara derapan kuda pula,
seekor kuda putih dan seekor kuda hitam tampak mendatangi
dengan cepat. Kiranya adalah Ciok Jing dan Bin Ju yang telah
kembali lagi.
Kiranya tidak jauh sesudah Ciok Jing berdua berangkat,
mereka lantas melihat gerak-gerik anak murid Swat-san-pay
yang mencurigakan. Tiba-tiba timbul pikiran lain pada benak
mereka maka cepat mereka memutar balik. Dari jauh Ciok Jing
lantas berseru: “Kawan-kawan Swat-san-pay dan An-cecu, kita
semuanya sahabat, kalau ada urusan apa-apa boleh bicara
secara baik-baik saja supaya tidak selisih paham.”
Seorang lelaki tinggi besar di pihak Swat-san-pay adalah
pemimpinnya, sekali pedangnya menegak, serentak kawankawannya
berhenti memainkan senjata mereka. Tapi mereka
masih berdiri disekeliling An Hong-jit.
Mendadak Ciok Jing dan Bin Ju bersuara heran bersama ketika
melihat tangan kiri sipengemis cilik memegang sepotong pelat
besi kecil, cuma mereka tidak tahu apakah benda ini adalah
benda mestika yang sedang dicari itu.
Segera Ciok Jing tanya sijembel cilik. “Adik kecil, benda
apakah yang kau pegang itu, maukah perlihatkan padaku?”
Diam-diam iapun sudah ambil keputusan bahwa An Hong-jit
tentu takkan merintangi dia, maka begitu sijembel cilik
menyodorkan tangannya, seketika ia akan menerobos
ketengah kepungan orang-orang Swat-san-pay untuk merebut

benda itu, ia menaksir anak murid Swat-san-pay itu tidak
mampu merintangi dirinya.
Tapi silelaki tegap berjubah putih tadi sudah membuka suara:
“Ciok-cengcu, kami inilah yang melihatnya lebih dahulu.”
“Kheng-suheng,” Bin Ju ikut bicara, “boleh juga kau tanya adik
cilik itu, serenceng uang perak disampingnya itu apakah bukan
pemberianku?”
Maksud ucapan ini sangat jelas yaitu ingin menunjukkan
bahwa sedari tadi dia sudah memberi uang, dengan sendirinya
sudah lebih dulu ia melihat pengemis itu.
Lelaki tegap berjubah putih itu she Keng bernama Ban-ciong,
terhitung tokoh utama dari murid angkatan kedua Swat-sanpay.
Maka dia telah menjawab: “Ciok-hujin, boleh jadi suamiistri
kalian telah melihat adik cilik ini lebih dulu namun ‘Hiantiat-
leng’ ini adalah kami yang melihatnya lebih dulu.”
Begitu nama “Hian-tiat-leng” disebut, seketika hati Ciok Jing,
Bin Ju dan Ang Hong-jit terkesiap dan sama memikir: “Kiranya
benar Hian-tiat-leng adanya!” – Begitu pula keenam orang
Swat-san-pay yang lain juga mengunjuk rasa agak heran.
Padahal mereka bertujuh tiada pernah memperhatikan benda
besi yang dipegang sipengemis kecil itu, hanya karena melihat
Ciok Jing suami isteri dan An Hong-jit sedemikian sungguhsungguh
membela sijembel cilik itu, maka mereka yakin besi
kecil itu pasti medali wasiat yang sedang dicari itu.
Sebaliknya Ciok Jing bertiga juga mempunyai pikiran serupa:
“Kheng Ban-ciong dari Swat-san-pay ini sangat luas
pengetahuannya dan cerdik pula, kalau dia sampai mengincar
kepada besi kecil itu, tentu tidak salah lagi benda itu pasti
medali wasiat.”
Karena pikiran yang sama itu, tanpa merasa kesepuluh orang
itu serentak menjulurkan tangan kearah sipengemis kecil dan
berkata: “Adik cilik, berikan padaku saja benda itu!”

Tapi tiada seorangpun diantara kesepuluh orang itu berani
main merebut, sebab mereka tahu sekali mendahului main
serobot, tentu yang lain-lain akan serentak menyerangnya.
Dari itu mereka hanya berharap sipengemis kecil mau
menyerahkan kepada mereka dengan sukarela.
Sudah tentu sijembel cilik tidak tahu bahwa yang diminta oleh
kesepuluh orang itu adalah besi kecil yang hampir-hampir
membikin rompang giginya tadi. Sebaliknya ia menjadi bingung
dan takut serta menangis pula.
“Lebih baik berikan padaku saja!” tiba-tiba terdengar suara
parau seseorang, berbareng sesosok bayangan telah menyusup
ketengah kalangan, sekali sambar seketika besi kecil yang
dipegang sipengemis kecil itu sudah direbut olehnya.
Serentak terdengar pula suara bentakan orang banyak: “Hai,
mau apa? – Lepaskan! – Bangsat kurang ajar! – Persetan!” dan
sebatang golok emas berbareng lantas menyambar kearah
bayangan orang itu.
An Hong-jit berada paling dekat dengan sijembel cilik tadi,
maka sekali goloknya bergerak, dengan jurus “Pek-hong-koanjit”
(pelangi putih menembus cahaya matahari), kontan ia
membacok kepala penyerobot itu.
Sedangkan anak murid Swat-san-pay yang sudah terlatih baik
itu, sekaligus tujuh pedang mereka lantas menusuk tempattempat
yang berbahaya dan berlainan ditubuh lawan sehingga
lawan susah untuk mengelakkan diri.
Sebaliknya Ciok Jing dan Bin Ju sekilas itu belum jelas
siapakah penyerobot yang sebat itu, maka mereka tidak mau
menggunakan tipu serangan keji, sinar pedang mereka hanya
berputar dan mengurung lawan dibawah ancaman sepasang
pedang hitam-putih mereka.
Akan tetapi mendadak terdengar suara “trang-tring” yang
berulang-ulang, kedua tangan penyerobot itu bergerak naikKang
Zusi http://cerita-silat.co.cc/
turun dengan cepat, entah dengan cara apa, hanya dalam
sekejap saja tahu-tahu golok emas An Hong-jit dan tujuh
pedang anak murid Swat-san-pay itu sudah terampas semua
olehnya.
Ciok Jing dan Bin Ju juga lantas merasa lengan mereka linu
pegal dan pedang mereka hampir-hampir terlepas dari cekalan,
untung mereka sempat melompat mundur dengan cepat. Air
muka Ciok Jing menjadi pucat, sebaliknya muka Bin Ju merah
jengah.
Padahal gabungan pedang hitam-putih Ciok-cengcu suamiisteri
dari Hian-so-ceng boleh dikata hampir tiada tandingannya
didunia ini, tapi tadi pedang mereka hanya kena selentikan jari
orang itu dan hampir-hampir terlepas dari cekalan, hal ini
benar-benar belum pernah terjadi sejak mereka menjagoi
dunia persilatan selama hidup ini. Keruan Ciok Jing dan Bin Ju
sangat terkejut.
Waktu mereka memperhatikan penyerobot itu, tertampaklah
golok emas dan tujuh batang pedang rampasan itu telah
menancap diatas tanah disekeliling orang itu. Orang itu
berjubah hijau dan berjenggot pendek, usianya kira-kira
setengah abad, air mukanya bersemu kehijau-hijauan dan
memperlihatkan perasaan yang tak terkatakan girangnya.
Tiba-tiba Ciok Jing teringat kepada seorang, tanpa merasa ia
bertanya: “Apakah tuan ini adalah pemilik daripada Hian-tiatleng
ini?”
“Hehehe!” orang itu tertawa. “Pedang hitam-putih Hian-soceng
sangat tersohor didunia Kang-ouw dan nyatanya memang
bukan omong-kosong. Lohu (aku yang tua) tadi telah
menggunakan satu bagian tenagaku untuk melayani kedelapan
sobat ini dan memakai sembilan bagian tenaga untuk
menghadapi suami-isteri kalian, tapi toh masih tidak dapat
merampas pedang kalian. Ai, kepandaianku ‘Tan-ci-sin-thong’
(ilmu sakti menyelentik dengan jari) ini tampaknya perlu dilatih
sepuluh tahun lagi.”

Mendengar itu Ciok Jing menjadi lebih yakin lagi dengan siapa
dia sedang bicara. Segera ia memberi hormat dan berkata
pula: “Kami suami isteri kebetulan lewat disini dan sebenarnya
ingin naik ke Mo-thian-kay (tebing pencakar langit) untuk
menyampaikan salam kepada tuan, syukurlah disini sudah
dapat bertemu, maka tidaklah sia-sia perjalanan kami ini.
Tentang kepandaian kami yang kasar ini sudah tentu tiada
harganya dalam pandangan tuan, harap tidak menjadi buah
tertawaanmu. Adapun hari ini tuan sendiri sudah menarik
kembali medali wasiat itu dari peredaran, sungguh harus dibuat
girang dan diberi selamat.”
Karena ucapan Ciok Jing itu, diam-diam ketujuh orang Swatsan-
pay membatin: “Apakah mungkin orang berjubah hijau ini
benar-benar adalah pemilik medali wasiat yang bernama Cia
Yan-khek itu? Kalau melihat rupanya toh tiada sesuatu yang
luar biasa dan susah untuk dipercaya bahwa dia adalah tokoh
yang namanya membikin rontok nyali setiap orang Bu-lim itu.
Tapi bila melihat caranya sekali gebrak saja sudah mampu
merampas pedang-pedang kami, mau-tak-mau orang harus
mengakui betapa lihaynya dan selain Cia Yan-khek rasanya
tiada tokoh lain lagi.”
Orang itu memang benar adalah Cia Yan-khek yang
bersemayam diatas Mo-thian-kay. Kembali ia bergelak tertawa,
katanya kemudian: “Tadi Cayhe telah berlaku kasar, diharap
Cia-cianpwee suka memaafkan dan terimalah salamku ini.”
Berkata sampai disini, medali wasiat yang berada ditangan
kirinya itu dilemparkannya ditelapak tangannya sendiri, lalu
dengan tersenyum ia berkata pula: “Cuma saja hari ini hatiku
kebetulan sedang senang, maka bacokan ini boleh kutitip
dahulu. Dan kau juga telah menusuk dadaku, kau menusuk
pahaku, kau menusuk pinggangku, kau menabas
betisku..........” Sembari bicara, ia sambil menuding-nuding
ketujuh orang Swat-san-pay itu.
Keruan ketujuh orang Swat-san-pay itu tambah kaget demi
mendengar orang dapat menguraikan dengan jitu tipu
serangan dan tempat yang diarah yang dilakukan serentak

dalam sekejap tadi, bahkan siapa menyerang dan tempat yang
diarah, semuanya dapat dikatakan dengan jelas, melulu
ketajaman mata dan daya ingatan ini saja orang lain pasti tidak
dapat memadai.
Dalam pada itu terdengar Cia Yan-khek sedang melanjutkan:
“Semua utang kalian ini biarlah sementara ini kucatat saja
didalam buku, kapan-kapan kalau aku merasa sebal barulah
aku akan mendatangi kalian untuk menagih utang.”
Salah seorang Swat-san-pay yang agak pendek rupanya
merasa penasaran, tiba-tiba ia berteriak: “Kepandaian kami
memang lebih rendah, kalau sudah kalah biarlah kalah, kenapa
kau mesti mengucapkan kata-kata yang menghina? Kau bilang
mencatat utang apa? Kalau mau boleh lantas balas menusuk
aku saja, siapa yang sudi main utang-utangan dengan kau?”
Orang ini bernama Ong Ban-jim, wataknya berangasan dan
enggan mengalah, biarpun tahu musuh terlalu lihay juga tidak
sudi nama baik Swat-san-pay mereka dihina.
Tak terduga Cia Yan-khek lantas mengangguk dan berkata:
“Baik!” – Mendadak ia cabut pedang rampasan dari Ong Banjim
tadi terus menusuk kedepan.
Cepat Ong Ban-jim melompat mundur kebelakang untuk
menghindarkan tusukan itu. Tak tersangka serangan Cia Yankhek
itu terlalu cepat datangnya, baru tubuh Ong Ban-jim
terapung, tahu-tahu ujung pedang sudah menyentuh dadanya.
Sekali tangan Cia Yan-khek menyendal, segera ia tarik kembali
pedangnya.
Waktu Ong Ban-jim berdiri kembali diatas tanah, mendadak ia
merasa dadanya silir-silir dingin. Waktu ia menunduk, tanpa
merasa ia berseru kaget. Ternyata baju dadanya telah
berlubang sebuah lingkaran bundar sebesar cangkir sehingga
kelihatan kulit dagingnya.
Rupanya, tahu-tahu Cia Yan-khek sudah mengorek sebuah
lingkaran kecil sehingga tiga lapis bajunya seperti digunting

sebuah lubang bundar. Coba kalau tusukan itu diteruskan
kedepan, tentu ulu hatinya sudah dikorek keluar oleh pedang
Cia Yan-khek tadi. Keruan Ong Ban-jim ternganga dengan
muka pucat.
Sebaliknya tidak kepalang kagumnya An Hong-jit, tanpa
merasa ia bersorak: “Ilmu pedang bagus!”
Bicara tentang jurus ilmu pedang yang dimainkan Cia Yankhek
barusan sebenarnya Ciok Jing suami-isteri juga sanggup
melakukannya, cuma dalam hal kecepatan, bahkan lawan
sudah mengetahui tempat yang akan diserang, namun
demikian toh tetap takdapat mengelakkan diri, untuk inilah Cok
Jing dan Bin Ju tahu diri mereka tidak mampu menandinginya.
Begitulah maka suami-isteri itu telah saling pandang sekejap
dengan rasa cemas dan sayang, pikir mereka: “Betapa aneh
ilmu silat tokoh ini ternyata memang susah diukur. Dasar nasib
kami yang jelek, coba kalau Hian-tiat-leng itu dapat direbut
oleh kami, tentu sakit hati kami akan terbalas dengan mudah!”
Dalam pada itu Cia Yan-khek hanya mendengus saja atas
sorakan An Hong-jit tadi, lalu ia hendak melangkah pergi.
“Nanti dulu, Cia-siansing!” tiba-tiba seorang wanita muda
diantara anak murid Swat-san-pay telah berseru.
“Ada apa?” tanya Cia Yan-khek sambil menoleh.
Wanita muda itu bernama Hoa Ban-ci. Setiap anak murid
Swat-san-pay memakai huruf “Ban” dalam nama mereka. Dia
lantas berkata: “Barusan Cia-siansing telah bermurah hati dan
tidak melukai Suko kami, sungguh kami merasa berterima
kasih. Akan tetapi aku ingin tanya dulu, potongan besi yang
kau ambil itu sebenarnya adalah Hian-tiat-leng atau bukan?”
“Kalau betul mau apa, kalau bukan lantas bagaimana?” sahut
Yan-khek dengan sikap angkuh.
“Kalau bukan medali besi wasiat, maka kami beramai-ramai

akan mencarinya lagi,” kata Hoa Ban-ci. “Dan kalau benda itu
adalah medali wasiat, maka engkaulah yang telah berbuat
salah.”
“Jangan banyak bicara, Hoa-sumoay!” bentak Kheng Banciong.
Dilain pihak air muka Cia Yan-khek sekilas telah bersemu
hijau, lalu tenang kembali.
Semua orang mengetahui bahwa sifat Cia Yan-khek itu sangat
kejam dan suka membunuh, kelakuannya aneh, setempo baik,
tapi lain saat sudah jahat pula. Tindak-tanduknya hanya
tergantung kepada kesukaannya pada seketika itu saja, selama
ini entah sudah berapa banyak orang-orang Kang-ouw yang
telah menjadi korban keganasannya, entah dia dari golongan
Hek-to (kalangan penjahat) atau dari golongan Pek-to (kaum
kesatria).
Tapi lantaran ilmu silatnya memang benar-benar sangat lihay,
jejaknya juga tak menentu, meski tidak sedikit musuhnya telah
mencari dia dan ingin menuntut balas, namun selalu mereka
diketemukan sudah mati ditengah jalan secara aneh. Selama
tahun2 terakhir ini, musuh2nya boleh dikata sudah hampir
terbunuh olehnya, sisanya merasa tidak sanggup melawannya
dan terpaksa membatalkan maksud mereka untuk menuntut
balas.
Hari ini dia telah dikerubut sepuluh orang dan seorangpun
ternyata tak diganggu olehnya, hal itu boleh dikata sesuatu
yang tak pernah terjadi sebelumnya. Tak terduga Hoa Ban-ci
dari Swat-san-pay itu masih usilan dan berani mengajukan
pertanyaan segala, hal ini bukan saja membuat kawankawannya
merasa kuatir, bahkan Ciok Jing dan lain-lain juga
ikut cemas.
Tapi Cia Yan-khek lantas angkat medali besi itu keatas sambil
membaca dengan suara lantang: “Hian-tiat-ci-leng, yu-kin-piteng
(dengan pembuktian medali ini, setiap permintaan tentu
terpenuhi)!” – Lalu ia membalik medali itu dan membaca pula

huruf disebelahnya: “Tertanda Cia Yan-khek di Mo-thian-kay.”
Dan sesudah berhenti sejenak, kemudian katanya pula:
“Medali ini adalah buatan dari besi murni yang jarang terdapat
didunia ini dan tidak mempan segala macam senjata tajam.” –
Segera ia mencabut sebatang pedang yang menancap di atas
tanah terus membacok medali besi yang dipegangnya itu.
“Cring”, mendadak pedang patah menjadi dua, sebaliknya
medali itu tidak rusak barang sedikitpun.
Mendadak Cia Yan-khek menarik muka dan bertanya dengan
suara bengis: “Nah, mengapa kau bilang aku berbuat salah?”
Dengan tenang Hoa Ban-ci menjawab: “Menurut cerita kawan
kalangan Kang-ouw, katanya Cia-siansing mempunyai tiga
bentuk medali wasiat serupa itu dan masing-masing telah
dihadiahkan kepada tiga orang sahabat yang pernah menolong
Cia-siansing, dengan pesan asal membawa medali itu dan
diperlihatkan kepada Cia-siansing, maka pembawa medali itu
boleh meminta kau melakukan suatu urusan, biarpun urusan
yang betapa sulitnya pasti juga akan dilakukan oleh Ciansiansing.
Tentang ini tentunya tidak salah, bukan?”
“Ya, betul,” sahut Cia Yan-khek. “Hal ini diketahui oleh setiap
orang Bu-lim.” – Dari sikapnya terlihat rasa bangganya yang
tak terhingga.
Maka Hoa Ban-ci berkata pula: “Konon dua diantara ketiga
medali itu sudah diterima kembali oleh Cia-siansing, dan oleh
karena itu didunia persilatan pernah juga terjadi peristiwa yang
mengguncangkan. Dan medali sekarang ini apakah benar
adalah medali yang terakhir itu, bukan?”
Air muka Cia Yan-khek tampak tenang kembali demi
mendengar kata-kata tentang “dua peristiwa yang pernah
mengguncangkan dunia persilatan” itu, sahutnya: “Ya,
memang betul. Adapun kawanku yang memegang medali
ketiga ini sudah lama wafat. Dia sendiri memiliki ilmu silat
mahatinggi dan tiada sesuatu urusan yang susah dilakukan
olehnya, maka medali ini sesungguhnya tiada gunanya buat

dia. Karena dia tidak mempunyai anak, sesudah wafat medali
ini lantas jatuh ditangan orang lain. Selama beberapa tahun ini
semua orang secara mati-matian telah berusaha mendapatkan
medali ini dengan harapan akan dapat memerintahkan aku
melakukan sesuatu urusan sulit baginya. Tapi, hehehe, tidak
nyana hari ini medali ini telah kuterima kembali dengan mudah.
Boleh juga kukatakan padamu bahwa diterimanya kembali
medali ini olehku, mungkin juga hal ini akan mengecewakan
sobat-obat kalangan Kang-ouw, tetapi boleh jadi hal ini malah
akan banyak mengurangi malapetaka bagi kalian sendiri.”
Berkata sampai disini, tiba-tiba ia depak mayat Go To-it
sehingga terpental beberapa meter jauhnya, lalu menyambung
pula: “Seperti setan ini, biarpun dia sudah memegang medaliku
ini, tapi tidaklah gampang untuk menemui aku. Sebelum dia
perlihatkan medali ini kepadaku, ternyata dia sendiri sudah
menjadi sasaran orang banyak sehingga binasa lebih dulu.
Memangnya orang Bu-lim mana yang tidak ingin
membunuhnya untuk merebut medali ini? Coba, sampaisampai
Ciok-cengcu suami-isteri yang tersohor juga tidak
terhindar dari keinginan demikian, apalagi orang lain? Haha,
hehe, hehehe!”
Ucapan terakhir yang bernada menyindir itu telah membuat
Ciok Jing merah jengah. Dikalangan Bu-lim biasanya dia sangat
disegani, walaupun lahirnya dia ramah-tamah, tapi
sesungguhnya apa yang dia ucapkan tiada pernah dibantah
oleh siapapun. Tak terduga sekarang ia harus menerima olokolok
Cia Yan-khek didepan orang banyak. Sebagai seorang
tokoh yang tinggi hati sudah tentu ia merasa malu atas
perlakuan demikian. Lebih-lebih Bin Ju, isterinya itu menjadi
pucat pasi saking gusarnya, berulang-ulang ia telah melirik
sang suami, asal suaminya memberi tanda, serentak mereka
akan mengadu jiwa dengan Cia Yan-khek, walaupun insaf
bukan tandingan lawan, tapi mereka tidak sudi menelan
mentah-mentah hinaan itu.
Namun lantas terdengar Cia Yan-khek telah berkata lagi:
“Ciok-cengcu suami-isteri adalah pahlawan dan kesatria sejati,
bila medaliku ini didapatkan kalian, paling2 kalian hanya suruh

Lohu melakukan sesuatu pekerjaan sulit dan habis perkara.
Tetapi bila medali ini diperoleh kaum keroco yang tak bermoral
dan Lohu diperintahkan membikin cacat badannya sendiri
sehingga mati tidak dan hidup juga kepalang, wah, bukankah
bisa berabe? Bahkan akan lebih celaka lagi kalau aku
diperintahkan membunuh diri, kalau aku belum bosan hidup
dan membangkang perintah, bukankah itu berarti aku telah
mengingkari sumpah setia ‘permintaan tentu terpenuhi’ yang
tertera diatas medali ini? Haha, rupanya peruntunganku masih
lumayan juga, sehingga dengan mudah medali ini dapat
kuterima kembali. Haha, hahaha!”
Suara tertawanya keras menggetar sukma. Ada beberapa
penduduk Hau-kam-cip yang sedang mengintip sampai
mengkeret ketakutan demi mendengar suara tertawa yang
menyeramkan itu.
Usia Hoa Ban-ci meski masih muda, tapi agak pemberani,
dengan suara lantang ia masih berkata pula: “Cia-siansing
jangan buru-buru senang dahulu. Pernah kudengar cerita
bahwa Cia-siansing sendiri pernah bersumpah barang siapa
yang menyerahkan medali itu padamu, maka engkau akan
memenuhi sesuatu permintaannya, biarpun orang itu adalah
musuh bebuyutanmu juga kau akan menurut dan takkan
mencelakai dia....................”
Berkata sampai disini, sementara itu orang-orang yang
menonton disekelilingnya telah bertambah pula, mereka adalah
Pang Cin-bu, Pun-khong Tojin, Ciu Bok dan orang-orang Kimto-
ce.
Dalam pada itu Hoa Ban-cie telah melanjutkan: “Sekarang
medali kau terima kembali dari adik cilik itu, untuk mana kau
toh belum tahu persoalan sulit apa yang akan dia minta agar
dikerjakan olehmu.”
“Cis!” semprot Cia Yan-khek. “Pengemis cilik itu barang apa,
masakah aku harus menurut perintahnya? Haha, hahaha!
Benar-benar menggelikan!”

“Nah, dengarlah kawan-kawan yang hadir disini, kiranya Ciasiansing
menganggap pengemis kecil itu bukan manusia, maka
sumpahnya dahulu takdapat dianggap!” seru Hoa Ban-ci.
Kembali air muka Cia Yan-khek sekilas bersemu hijau pula,
pikirnya: “Kurang ajar! Perempuan ini sengaja membikin aku
menjadi serba salah sehingga ada kemungkinan orang Kangouw
akan mengatakan sumpahku sebagai kentut saja.” – Tapi
mendadak tergetar pula batinnya: “Wah, celaka! Janganjangan
pengemis cilik adalah sekomplotan dengan mereka
yang sengaja dipasang untuk menjiret diriku, tadi sekaligus
aku telah merebut kembali medali wasiat, sekarang tidak dapat
dikembalikan lagi padanya.”
Ia lihat, pandangan semua orang terarahkan padanya, segera
ia mendengus dan berkata dengan angkuh: “Hm, apakah
didunia ini ada sesuatu urusan sulit yang takdapat dikerjakan
oleh orang she Cia dari Mo-thian-kay? Pengemis cilik, hayolah
kau ikut padaku, ada urusan apa yang kau akan minta
kukerjakan juga tiada sangkut-pautnya dengan orang luar.” –
lalu ia gandeng tangan sijembel cilik dan hendak diajak pergi.
Hendaklah maklum bahwa watak Cia Yan-khek itu sangat
cerdik dan dapat berpikir jauh. Meski dia tidak pandang sebelah
mata kepada jago-jago silat yang mengelilinginya itu, tapi ia
kuatir dibelakang pengemis kecil itu ada orang pandai dan
sengaja mengemukakan sesuatu persoalan sulit didepan orang
banyak dan minta dia lakukan, umpama benar-benar minta dia
membikin cacat anggota badan sendiri dan sebagainya, hal ini
tentu akan membuatnya serba susah, sebab itulah cepat-cepat
ia hendak membawa pergi sijembel untuk ditanyai lebih jauh
ditempat lain yang sepi.
Hoa Ban-ci lantas mendekati sipengemis kecil, katanya dengan
suara halus: “Adik cilik, sungguh kau ini anak yang baik,
Lopepek (paman tua) ini paling suka membunuh orang, maka
lekas kau memohon dia selanjutnya jangan membu............” –
Baru berkata sampai disini, sekonyong-konyong serangkum
angin kuat menyampuk kemukanya sehingga kata-katanya
terputus ditengah jalan.

Kiranya Hoa Ban-ci sangat cerdik, ia tahu apa yang telah
dikatakan Cia Yan-khek tentu akan dilaksanakannya. Tadi
dirinya telah menusuk muka orang she Cia itu dan dia
menyatakan utang itu akan ditangguhkan dahulu dan akan
ditagih setiap waktu dikemudian hari. Ini berarti pada setiap
saat mukanya akan ditusuk pedang oleh Cia Yan-khek, apalagi
diantara para Suhengnya itu, kecuali Ong Ban-jim yang
utangnya telah dibayar kontan tadi, selebihnya masih belum
membayar semua, maka utang-utang itu kelak pasti akan
mengakibatkan pertumpahan darah bila Cia Yan-khek datang
menagih. Sebab itulah sekarang ia sengaja menyerempet
bahaya tanpa menghiraukan akan menimbulkan kemurkaan Cia
Yan-khek, ia suruh sipengemis kecil itu lekas memohon Cia
Yan-khek agar untuk selanjutnya jangan membunuh orang lagi.
Asal permintaan demikian itu diajukan sipengemis kecil, maka
terpaksa Yan-khek harus menurut dan itu berarti jiwanya
sendiri dan keselamatan para Suhengnya akan terjamin.
Tak terduga Cia Yan-khek sudah mengetahui maksudnya itu
dan lantas mengebutkan lengah jubahnya, angin kebutan yang
keras itu memaksa Hoa Ban-ci tidak sanggup menghabiskan
ucapannya tadi.
Bahkan terdengar Cia Yan-khek membentak pula: “Perlu apa
kau banyak cerewet?” – Dan kembali serangkum angin kuat
menyambar tiba. Hoa Ban-ci tidak sanggup berdiri tegak lagi,
kontan ia roboh terjengkang.
Keruan anak murid Swat-san-pay yang lain menjerit kaget dan
beramai-ramai menubruk maju untuk menolong. Ketika mereka
sudah membangunkan Hoa Ban-ci, sementara itu Cia Yan-khek
sudah pergi jauh dengan membawa sipengemis kecil.
Melihat gembong yang menakutkan itu sudah pergi, untuk
mengejar terang tidak berani. Maka An Hong-jit lantas
mencabut kembali goloknya sendiri yang tertancap diatas
tanah itu, katanya kepada Ciok Jing suami-isteri dan ketujuh
orang Swat-san-pay: “Maafkan akan keberangkatanku lebih
dulu, kalau ada tempo senggang silakan kalian suka mampir

ketempat kami. Sampai bertemu pula!” – Lalu iapun tinggal
pergi dengan anak buahnya.
Sekarang hanya tinggal Ciok Jing suami-isteri dan ketujuh
orang Swat-san-pay saja yang berada disitu. Tiba-tiba Ong
Ban-jim berseru: “Ciok-cengcu, kami justeru ingin
membicarakan sesuatu dengan Ciok-cengcu.”
“Baiklah, ada urusan apakah? Silakan bicara,” sahut Ciok Jing
dengan ramah.
Kheng Ban-ciong berusia lebih tua, maka setiap tindaktanduknya
selalu lebih hati-hati. Ia berkata: “Tempat ini tidak
pantas didiami lebih lama, marilah kita mencari suatu tempat
lain yang lebih tenang untuk bicara.”
Ciok Jing mengangguk setuju. Segera mereka beramai-ramai
menuju kearah barat. Kira-kira beberapa li jauhnya, tertampak
ditepi jalan tumbuh tiga batang pohon yang rindang.
“Ciok-cengcu, apakah baik kalau kita berbicara dibawah pohon
sana?” tanya Kheng Ban-ciong.
“Baik sekali,” sahut Ciok Jing.
Segera kesembilan orang menuju kebawah pohon itu dan
mengambil tempat duduk sendiri-sendiri. Sementara itu Kheng
Ban-ciong sudah memperkenalkan para sutenya dan saling
mengucapkan kata-kata pujian dengan Ciok Jing suami-isteri.
Diam-diam Ciok Jing sangat gopoh karena tidak tahu apa yang
hendak dibicarakan oleh orang-orang Swat-san-pay itu. Tapi ia
tidak enak untuk mendesak.
Sejenak kemudian, barulah Khong Bin-ciong membuka suara:
“Ciok-cengcu, kita adalah sahabat lama, kalau ada sesuatu
ucapanku nanti agak tidak enak didengar, haraplah engkau
suka memaafkan. Menurut pendapatku, ada lebih baik kalau
Ciok-cengcu menyerahkan puteramu kepada kami saja. Cayhe
tentu akan berusaha sedapat mungkin untuk memintakan

ampun kepada Suhu dan Subo (ibu guru) serta Pek-suheng
suami-isteri, dengan demikian jiwa puteramu mungkin akan
dapat diselamatkan. Andaikan kepandaiannya juga dipunahkan
juga lebih baik daripada kedua fihak menjadi bermusuhan dan
menumpahkan darah.”
Ciok Jing menjadi heran, sahutnya: “Sejak Siau-ji (puteraku)
berada ditempat kalian, selama tiga tahun belum pernah aku
melihatnya. Maka kalau ada terjadi sesuatu apa, sesungguhnya
kami suami-isteri tidak mengetahui. Dari itu diharap Khengheng
suka memberitahukan secara terus terang saja!”
“Apa Ciok-cengcu betul-betul tidak tahu?” Ban-ciong menegas.
“Ya, tidak tahu!” sahut Ciok Jing.
Ban-ciong cukup kenal wataknya Ciok Jing. Dengan nama
kebesaran Hian-so-ceng yang diagungkan didunia Kang-ouw
tidaklah mungkin Ciok Jing sulit berbohong. Kalau dia sudah
menyatakan tidak tahu, maka pastilah tidak tahu. Maka Banciong
lantas berkata pula: “Oh, karena Ciok-cengcu sama sekali
tidak mengetahui....................”
“Jadi Giok-ji (anak Giok) sekarang tidak berada di Leng-siausia?”
sela Bin Ju yang sangat memperhatikan keselamatan
puteranya itu.
Ban-ciong mengangguk, Sedangkan Ban-jim lantas berkata:
“Kalau bocah itu saat ini berada di Leng-siau-sia, biarpun dia
punya seratus lembar jiwa juga sudah amblas semua!”
Diam-diam Ciok Jing mendongkol. Pikirknya: “Sebabnya aku
mengirim anak Giok belajar silat keperguruan kalian adalah
lantaran aku menghargai ilmu silat Swat-san-pay kalian.
Seumpama karena usianya masih muda dan sifatnya nakal
sehingga telah melanggar sesuatu larangan perguruan, untuk
mana paling tidak kalian juga mengingat kehormatan suamiisteri
kami dan tidak boleh sembarangan membunuhnya.”
Walaupun demikian pikirnya, tapi lahirnya dia tetap tenangKang
Zusi http://cerita-silat.co.cc/
tenang saja. Sahutnya dengan tawar: “Peraturan-peraturan
perguruan kalian yang keras itu memang cukup kuketahui.
Justru kamipun ingin Giok-ji dapat belajar sedikit peraturanperaturan
yang baik itu, makanya kami kirim anak itu ke Lengsiau-
sia kalian.”
Mendadak wajah Khong Ban-ciong agak masam dan berkata:
“Ucapan Ciok-cengcu ini terlalu memuji. Akan tetapi akhlak si
Ciok Tiong-giok yang bejat dan perbuatannya yang durhaka
dan jahat itu sekali-kali bukanlah ajaran Swat-san-pay!”
Bab 4. Ciok Tiong-Giok, Anak Bejat & Durhaka
“Akhlak bejat dan perbuatan durhaka? Darimanakah dapat
dikatakan demikian?” tanya Ciok Jing dengan kurang senang.
“Hoa-sumoay,” tiba-tiba Ban-ciong berkata kepada Ban-ci,
“harap kau periksa kesana, coba awasi kalau-kalau ada orang
datang.”
Hoa Ban-ci mengiakan dan segera menyingkir dengan
menjinjing pedang.
Ciok Jing saling pandang sekejap dengan isterinya. Mereka
tahu sebabnya Kheng Ban-ciong menyuruh Hoa Ban-ci
menyingkir adalah karena ada ucapan-ucapan yang tidak
pantas didengar oleh kaum wanita muda.
Dan sesudah menghela napas, lalu Kheng Ban-ciong bicara
pula.
“Ciong-cengcu, bahwasannya Pek-suheng kami tiada
mempunyai putera, melainkan cuma mempunyai seorang
puteri, hal ini tentu kaupun tahu. Sutitli (murid keponakan
perempuan) kami itu usianya baru 12 tahun, pintar dan cerdik,
lincah menyenangkan, selain Pek-suheng suami-isteri, bahkan
Suhu dan Subo kami juga menganggapnya sebagai mutiara

jantung hati mereka. Sebab itulah Sutitli kami itu menjadi mirip
Tuan Puteri dari Leng-sian-sia di Tay-swat-san, dengan
sendirinya seluruh saudara perguruan kami juga
menyanjungnya sebagai dewi.”
Ciok Jing mengangguk, katanya: “Oh, apa barangkali puteraku
yang kurang ajar itu telah berbuat salah kepada puteri cilik
itu?”
“Berbuat salah, kata-kata ini terlalu ringan baginya,” ujar Banciong.
“Dia....... dia.......... justru sembrono dan telah
meringkus Sutitli kami itu, kaki-tangannya diikat kencang,
pakaiannya dibelejeti hingga telanjang bulat, lalu bermaksud
memperkosanya!”
“Haaaaaaa!” Ciok Jing dan Bin Ju sampai berseru kaget terus
berbangkit. Air muka Bin-ju sampai pucat pasi.
“Ma........... mana boleh jadi?” kata Ciok Jing. “Usia Tiong-giok
baru 15 tahun, kukira didalam hal ini tentu ada kesalahpahaman.”
“Memangnya semula kamipun mengira kejadian itu terlalu
janggal,” sahut Ban-ciong. “Tapi hal ini memang benar-benar
terjadi. Dua pelayan pribadi Sutitli kami itu ketika mendengar
suara percekcokan yang ribut, mereka lantas memburu
kedalam kamar dan segera mereka berteriak-teriak minta
tolong demi nampak adegan didalam kamar itu. Akibatnya
seorang pelayan itu lengannya terkutung sebelah dan seorang
lagi sebelah kakinya juga buntung, semuanya jatuh pingsan.
Untuk juga karena datangnya pelayan-pelayan itu telah
membikin anak durhaka itu menjadi takut dan lantas melarikan
diri dan tidak berani melanjutkan perbuatannya yang terkutuk
itu.”
Perlu diketahui bahwa didunia persilatan selamanya
memandang soal pelanggaran kehormatan wanita sebagai
suatu larangan paling keras. Kaum bandit dan sebagainya dari
kalangan Hek-to boleh merampok, membegal, membunuh
orang dan membakar rumah, semuanya itu boleh dikata jamak

bagi mereka, tetapi bila sampai melanggar larangan
“perjinahan”, betapapun hal ini tak dapat diampuni oleh
sesama kaum mereka.
Karena itulah Bin Ju menjati kuatir dan bingung, sambil
menarik-narik lengan baju Ciok Jing ia bertanya “Siangkong,
lan........... lantas bagaimana baiknya?”
Ciok Jing sendiripun bingung demi mendengar berita yang luar
biasa itu. Dia paling mengutamakan keluhuran budi sesama
orang Kang-ouw, kalau dia mendengar puteranya cuma
membunuh orang atau berbuat sesuatu kesalahan lain,
betapapun besar malapetaka itu tentu juga akan diambil oper
olehnya. Tapi sekarang persoalannya sungguh luar biasa dan
entah cara bagaimana harus diselesaikan. Andaikan sekarang
puteranya berada disisinya juga bukan mustahil akan
dibunuhnya sendiri.
Sesudah tenangkan diri sejenak, Ciok Jing bertanya: “Jika
demikian, berkat Tuhan yang maha pengasih, jadi nona Pek
masih suci bersih dan tidak sampai dinodai oleh puteraku yang
celaka itu, bukan?”
“Ya, tidak,” sahut Ban-ciong. “Walaupun demikian toh juga
tidak banyak bedanya. Kau sendiri cukup kenal tabiat Suhu
kami. Beliau seketika memerintahkan orang mencari Cionggiok
dengan pesan siapa saja yang melihat anak itu boleh
seketika dibunuh saja dan tidak perlu diberi ampun.”
“Suhu mengatakan bahwa beliau mempunyai hubungan baik
dengan kau, bila Tiong-giok ditangkap kembali, mengingat
dirimu tentu beliau tidak enak mencabut nyawanya, maka lebih
baik dibunuhnya saja diluar supaya lekas beres,” demikian
Ban-jim menyambung.
Ban-ciong melotot sekali kepada sang Sute, agaknya kurang
senang karena Ban-jim ikut menimbrung.
Tapi Ban-jim lantas menambahkan: “Memang demikian pesan
Suhu, masakan aku salah omong?”

Ban-ciong tidak gubris lagi padanya dan menyambung:
“Sebenarnya kalau cuma dua pelayan saja yang dilukai adalah
bukan sesuatu yang hebat. Namun Sutitli kami itu biarpun
usianya masih kecil, tapi tabiatnya ternyata sangat keras. Dia
merasa dirinya telah mengalami hinaan dan tercemar, ia
merasa malu dan tidak mau menemui siapapun, sesudah
menderita dua hari, pada malam hari ketiga mendadak ia
melompat keluar melalui jendela terus menerjang kedalam
jurang yang tak terkirakan dalamnya untuk membunuh diri!”
Kembali Ciok Jing dan Bin Ju berteriak kaget. “Dan
apakah........... apakah dapat diselamatkan?” tanya Ciok Jing.
“Jurang di Leng-siau-sia kami itu tentu diketahui juga oleh
Ciok-cengcu, jangankan manusia, sekalipun sepotong batu juga
akan hancur bila dijatuhkan kedalam jurang itu,” sahut Banciong.
“Apalagi seorang nona cilik yang lembut, sekali terjun
kebawah jurang mustahil tidak lantas hancur lebur?”
“Yang paling penasaran boleh dikata adalah Toasuko kami,”
demikian seorang murid Swat-san-pay berusia antara 27-28
tahun dan bernama Kwa Ban-kin, telah menyeletuk. “Tanpa
sebab apa-apa sebelah lengannya telah ditabas kutung oleh
Suhu kami.”
“Ha? Hong-hwe-sin-liong?” seru Ciok Jing kaget.
“Ya, siapa lagi?” sahut Kwa Ban-kin. “Saking sayangnya
kepada cucu perempuannya, sedangkan puteramu belum juga
tertangkap. Suhu menjadi marah-marah dan menialahkan
Hong-suheng tidak benar mendidik muridnya, dalam gusarnya
beliau lantas melolos pedang yang dibawa Hong-suheng dan
menabas sebelah lengannya. Sungguh kasihan, Hong-suheng
yang berkepandaian sedemikian tingginya sejak itu lantas
menjadi cacat untuk selamanya. Berhubung dengan itu Subo
lantas menegur Suhu mengapa sembarangan menghukum
muridnya yang tak berdosa. Tapi Suhu tambah marah sehingga
suami-isteri bercekcok sendiri didepan para muridnya, makin
cekcok makin tegang dan entah kejadian lama apa yang telah

disinggung-singgung Subo, akhirnya Suhu telah menampar
muka Subo. Dalam gusarnya Subo terus angkat kaki dan
minggat serta menyatakan takkan menginjak kembali ke Lengsiau-
sia!”
Sungguh malu Ciok Jing tak terhingga atas peristiwa itu.
Karena dirinya sangat kagum atas ilmu silat Hong-hwe-sinliong
Hong Ban-li, sinaga sakti api dan angin, itu murid tertua
kaum Swat-san-pay, makanya dirinya telah mengirimkan
puteranya, yaitu Tiong-giok, untuk belajar padanya. Siapa
duga gara-gara perbuatan sang putera yang durhaka itu
sehingga mengakibatkan Hong Ban-li ikut-ikut menjadi cacat
seumur hidup. Padahal Hong Ban-li terkenal karena ilmu
pedangnya yang cepat dan keras sebagai angin dan api
sehingga memperoleh julukan sebagai Hong-hwe-sin-liong.
Sekarang tiba-tiba telah terkutung sebelah lengannya,
sedangkan musuhnya sangat banyak, maka untuk selanjutnya
mungkin dia tidak berani berkelana lagi didunia Kang-ouw. Ai,
sungguh tidak enak sekali terhadap sahabat yang baik itu.
Demikian pikir Ciok Jing.
Dalam pada itu terdengar Ong Ban-jim telah berkata: “Kwasute,
kau bilang Toasuheng kita sangat penasaran,
memangnya Pek-suheng lantas tidak penasaran? Puterinya
sudah mati, isterinya menjadi gila lagi.”
“Ha? Meng....... mengapa Pek-hujin menjadi gila pula?” tanya
Ciok Jing dan Bin Ju berbareng. Sungguh malu mereka tak
terhingga, mereka menjadi lebih kuatir entah apalagi yang
terjadi di Leng-siau-sia karena gara-gara perbuatan putera
mereka yang tak genah itu.
“Apalagi kalau bukan lantaran perbuatan putera kalian yang
baik itu?” jengek Ong Ban-jim. “Karena kematian keponakan
puteri kami itu, Pek-suko lantas mengomeli Pek-suso, katanya
dia kurang baik menjaga puteri mereka itu sehingga dapat lari
keluar rumah dan membunuh diri. Memangnya Pek-suso tidak
kepalang sedihnya atas meninggalnya sang puteri, sekarang
diomeli pula oleh sang suami, dia menjadi tambah berduka dan
berteriak-teriak memanggil nama puterinya, seketika itu juga

pikirannya menjadi kurang waras dan terpaksa dijaga keras
oleh dua orang Suci kami, agar tidak sampai terjadi apa-apa
lagi atas diri Pek-suso. Coba katakanlah Ciok-cengcu, jika Peksuso
kami lantas mendatangi tempat kalian dan membakar
Hian-so-ceng, kau bilang pantas atau tidak?”
“Ya, pantas, harus dibakar!” sahut Ciok Jing. “Sungguh kami
suami-isteri merasa sangat malu, biarpun menjelajahi setiap
pelosok jagat raya inipun anak durhaka itu harus kami tangkap
kembali dan akan kami bawa ke Leng-siau-sia untuk dihukum
mati didepan perabuan nona Pek.................”
Mendengar sampai disini, mendadak Bin Ju menjerit sekali dan
lantas jatuh pingsan didalam pelukan sang suami. Cepat Ciok
Jing memijat-mijat Jin-tong-hiat dibagian bibir atas sang isteri
dan lambat laun barulah Bin Ju siuman kembali.
“Ciok-cengcu,” kata Ban-jim pula. “Bahkan ada dua jiwa Swatsan-
pay kami mungkin harus pula diperhitungkan atas utang
Hian-so-ceng kalian.”
“Mengapa masih ada dua jiwa lain lagi?” tanya Ciok Jing kaget.
Selama hidup Ciok Jing sebenarnya sudah kenyang dengan
pukulan-pukulan yang bagaimanapun hebatnya, tapi tiada yang
lebih menyedihkan seperti apa yang dialaminya sekarang ini.
Dahulu waktu puteranya yang kedua bernama Ciok Tiong-kian
dibunuh oleh musuhnya, walaupun dia juga berduka dan murka
sekali, tapi tidaklah seperti sekarang, sudah malu merasa
kuatir pula, dan lantaran itu suaranya menjadi agak parau.
Dalam pada itu Ong Ban-jim telah berkata pula: “Karena
peristiwa yang hebat ini, maka Suhu telah mengirim 18 orang
muridnya turun gunung dengan dipimpin oleh Pek-suheng
dengan tujuan untuk membakar Hian-so-ceng kalian. Bahkan
beliau mengatakan.......... mengatakan............” – Sampai
disini ia menjadi tergagap-gagap dan ragu-ragu untuk
menerangkan. Tertampak juga Kheng Ban-ciong berulangulang
mengedipi sang Sute itu.

Maka tahulah Ciok Jing kata-kata apa yang tidak diterangkan
oleh Ong Ban-jim itu. Segera ia menyambungnya: “Tentunya
beliau mengatakan kami suami-isteri akan ditawan ke Tayswat-
san untuk menggantikan jiwanya nona Pek?”
“Ah, Ciok-cengcu janganlah berkata demikian,” cepat Banciong
menyela. “Jangankan kami tidak berani, sekalipun berani,
apakah dengan sedikit kepandaian kami yang kasar ini, mampu
mengundang Ciok-cengcu? Suhu hanya mengatakan bahwa
putera kalian itu betapapun harus diketemukan. Cuma saja
usianya meski masih muda, tapi orangnya sangatlah cerdik,
kalau tidak demikian masakah dia mampu lolos tanpa bekas
dari pengawasan orang-orang Leng-siau-sia yang berjumlah
sebanyak ini?”
“Giok-ji tentu sudah mati, tentu juga terjerumus kedalam
jurang,” ujar Bin Ju dengan mencucurkan air mata.
“Tidak,” ujar Ban-ciong sambil menggoyang kepala. “Tapak
kakinya jelas kelihatan ditanah salju yang menandakan dia lari
terus kebawah gunung. Sungguh memalukan untuk
dibicarakan, kami orang dewasa sebanyak ini ternyata tidak
mampu menangkap seorang anak muda yang baru berumur 15
tahun. Sesungguhnya Suhu kami hanya ingin mengundang
Ciok-cengcu berdua ke Leng-siau-sia untuk berunding
seperlunya atas kejadian ini.”
“Bicara kesana-kesini akhirnya ternyata juga inginkan
pertanggung-jawabanku atas kematian nona Pek,” kata Ciok
Jing. “Dan Ong-suheng tadi bilang ada dua jiwa lagi,
sebenarnya bagaimana jadinya?”
“Tadi aku mengatakan kami ber-18 orang diperintahkan turun
gunung oleh Suhu,” jawab Ban-jim. “Ditengah jalan kami
membagi diri pula menjadi dua rombongan. Rombongan
pertama dipimpin Pek-suheng menuju ke Kanglam, sedangkan
rombongan lain dipimpin Kheng-suheng dan menuju ke
Tionggoan sini untuk mencari jejaknya puteramu. Tapi sungguh
sial.........”

“Sudahlah, Ong-sute, tak perlu diteruskan lagi, kejadian itu
toh tidak ada sangkut-pautnya dengan Ciok-cengcu,” sela Banciong.
“Mengapa tiada sangkut-pautnya?” bantah Ban-jim. “Coba
kalau bukan gara-gara anak durhaka itu, tentu jiwa Sun-suko
dan Cu-sute tidak sampai melayang secara aneh. Pula,
sebenarnya siapa pembunuh mereka juga tak diketahui, kalau
kelak kita ditanyai Suhu, lantas cara bagaimana kita harus
menjawab? Dan kalau Suhu sampai murka lagi, mungkin
lenganmu juga akan ditabas olehnya. Sekarang kita isengiseng
mencari keterangan kepada Ciok-cengcu suami-isteri
yang luas pengalamannya toh tiada jeleknya?”
Kheng Ban-ciong menjadi ngeri juga bila membayangkan
betapa celakanya kalau sebelah lengannya juga ditabas seperti
Hong-suhengnya. Memang tiada jeleknya untuk mencari
keterangan pada Ciok Jing berdua daripada menghadapi jalan
buntu dan susah memberi pertanggungan-jawab kepada sang
guru. Terpaksa ia berkata: “Ya, terserahlah, jika kau suka
boleh kau ceritakan.”
Maka Ban Jim lantas melanjutkan: “Ciok-cengcu, tiga hari
yang lalu kami telah mendapat berita katanya ada seorang she
Go telah memperoleh Hian-tiat-leng dan sekarang sembunyi
disuatu kota kecil dengan menyamar sebagai penjual siopiasiopia.
Diam-diam kami lantas berunding. Kami merasa dalam
usaha mencari Tiong-giok kami hanya bisa secara untunguntungan
saja, habis dunia seluas ini kemana kami harus pergi
mencari dia? Kalau sepuluh tahun tidak ketemu, itu berarti
selama sepuluh tahun kami tidak dapat pulang ke Leng-siausia.
Tetapi kalau kami dapat merebut Hian-tiat-leng itu,
andaikan tetap tidak dapat menemukan puteramu, paling tidak
kami akan dapat memberi pertanggungan-jawab kepada Suhu
dengan medali wasiat itu. Ditengan perundingan itu, mau tak
mau ada juga diantara kami lantas mencaci-maki puteramu itu,
dimakinya puteramu yang masih kecil itu sudah berani mati
melakukan perbuatan yang durhaka dan merusak, sungguh
harus dihukum mati. Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara
tertawa seorang tua sambil berkata: “Hahaha! Bagus, bagus

sekali! Pemuda seperti itu benar-benar jarang terdapat didunia
ini! Benar-benar berbakat bagus dan berkwalitet tinggi dan
susah dicari bandingannya!”
Ciok Jing lantas pandang sekejap dengan sang isteri. Mereka
tidak merasa senang atas pujian-pujian setinggi itu terhadap
putera mereka, sebaliknya mereka merasa tertusuk.
Dalam pada itu Ban-jim telah melanjutkan: “Pembicaraan kami
waktu itu dilakukan dikamar hotel yang dikelilingi dinding
tembok yang rapat, akan tetapi suara orang itu dapat
menembus tembok dan terdengar dengan jelas seperti orang
bicara berhadapan saja. Sebaliknya suara pembicaraan kami
dilakukan dengan sangat perlahan dan entah cara bagaimana
dapat didengar olehnya.”
Hati Ciok Jing dan Bin Ju tergetar. Pikir mereka: “Dapat
mendengar suara pembicaraan orang dari balik dinding, boleh
jadi karena dinding itu ada sesuatu lubang atau celah-celah,
atau mungkin orang itu mencuri dengar diluar jendela kamar.
Tapi mungkin juga pembicaraan orang-orang ini dilakukan
dengan suara keras, sebaliknya mereka sendiri mengira
berbicara dengan pelan. Hal-hal ini pun tidak terlalu
mengherankan. Tapi dia bicara dibalik tembok sana dan dapat
didengar dengan jelas oleh orang lain, hal inilah yang sulit dan
harus memiliki lweekang yang sempurna. Maka jelas orangorang
Swat-san-pay ini telah bertemu dengan orang kosen
ditengah jalan. Ya, mereka benar-benar sial, suatu perkara
belum selesai sudah timbul pula perkara yang lain.”
“Kami menjadi kaget demi mendengar suara orang itu,”
demikian Kwa Ban-kin menggantikan cerita sang Suheng.
“Segera Ong-suko membentak: ‘Siapa itu? Apa sudah bosan
hidup, maka berani mendengarkan pembicaraan kami?’ –
Karena bentakan Ong-suko tadi, suara disebelah lantas diam.
Akan tetapi sejenak kemudian kembali terdengar bangsat tua
itu berkata lagi: ‘A Tong, mereka itu adalah orang-orang Swatsan-
pay. Guru mereka itu biasanya paling dibenci kakek.
Seorang anak muda ternyata dapat mengkocar-kacirkan
keluarga setan tua dari Swat-san-pay itu, hal ini sungguh

sangat menarik. Hehe, sungguh menarik!’ – Mendengar itu,
seketika kami menjadi murka dan hendak bertindak, tapi
Kheng-suko telah memberi tanda agar kami jangan bersuara
lagi.
“Benar juga, segera terdengar suara tertawa seorang anak
perempuan sambil berkata: ‘Ya, sungguh menarik’. – Lalu
terdengar bangsat tua semula batuk-batuk beberapa kali dan
menjawab, ‘Kalau setan tua itu mati konyol karena gusarnya
juga tidak terlalu menarik. Kapan-kapan kalau kakek ada
tempo senggang, biarlah nanti kakek membawa kau ke Tayswat-
san untuk membikin setan tua itu marah-marah dan mati
konyol, dengan demikian barulah menarik.”
“Sungguh kurang ajar orang itu,” ujar Ciok Jing. “Apa yang dia
andalkan sehingga dia berani kurang hormat kepada Peksupek?
Sekali-kali kita tak boleh tinggal diam atas ucapanucapannya
itu!”
“Memang,” sahut Ban-jim. “Sedemikian takaburnya bangsat
tua itu, biarpun mengadu jiwa juga kami akan melabrak dia.
Tapi pada waktu kami merasa murka itulah, tiba-tiba kami
mendengar suara berkeriutnya pintu dibuka, dari sebuah
kamar tamu telah keluar dua orang dan menuju kepelataran.
Serentak kami melolos senjata dan hendak menerjang keluar
untuk melabraknya. Tapi Kheng-suko telah mencegah pula dan
suruh kami bersabar. Dalam pada itu terdengar bangsat tua itu
sedang berkata kepada anak perempuan tadi: ‘A Tong, hari ini
kita telah membunuh berapa orang?’ – ‘Baru satu orang,
kakek,’ demikian sahut setan cilik itu. Lalu sibangsat tua
menyatakan: ‘Jika begitu kita boleh membunuh lagi dua
orang!’”
“Haa! Satu hari tidak lebih tiga!” seru Ciok Jing mendadak
dengan nada yang mengandung rasa takut.
Sejak tadi Kheng Ban-ciong hanya diam saja, sekarang
mendadak ia bertanya: “Ciok-cengcu, apakah kau kenal
bangsat tua itu?”

Ciok Jing menggoyang kepala. “Aku tidak kenal dia,” sahutnya.
“Cuma aku pernah mendengar cerita mendiang ayahku,
katanya didunia persilatan ada seorang tokoh yang berjuluk
‘Ce-jit-put-ko-sam’ (satu hari tidak lebih dari tiga), yaitu bahwa
dalam satu hari paling banyak dia membunuh tiga orang saja.
Sesudah membunuh tiga orang perasaannya menjadi lemas
dan tidak tega membunuh orang keempat lagi.”
“Maknya disontek! Satu hari membunuh tiga orang masakah
kurang?” demikian Ban-jim memaki. “Manusia jahat dan kejam
sebagai itu ternyata diberi hidup sampai sekarang ini.”
Ciok Jing diam saja dan tidak menanggapi. Tapi dalam hatinya
memikir: “Konon Locianpwe itu she Ting, tindak-tanduknya
susah diraba, baik tidak dan jahatpun tidak. Walaupun
wataknya kejam dan suka membunuh, tapi orang yang
terbunuh olehnya selalu adalah manusia berdosa yang setimpal
menerima ganjarannya dan jarang terdengar Locianpwe itu
membunuh orang yang baik.” – Walaupun demikian pikirnya,
tapi ia tidak enak menerangkan karena kuatir menyinggung
perasaan orang-orang Swat-san-pay itu.
Sebaliknya Kheng Ban-ciong lantas bertanya: “Entah bangsat
tua itu bernama siapa dan berasal dari golongan atau aliran
mana?”
“Kabarnya dia she Ting, nama aslinya entah siapa, hanya
terkenal dengan julukannya “Ce-jit-put-ko-sam’, maka orangorang
dari angkatan tua sama memanggil dia dengan nama
Ting Put-sam (Ting tidak lebih dari tiga),” tutur Ciok Jing.
“Ya, kelakuan bangsat tua itu memang tidak tiga dan tidak
empat,” ujar Kwa Ban-kin dengan marah-marah.
“Sebenarnya nama orang ini juga cukup terkenal didalam Bulim,
mungkin Pek-supek ada sedikit permusuhan dengan dia
dan tidak mau menyebut namanya, makanya saudara-saudara
tidak diberitahu,” ujar Ciok Jing. “Kemudian lantas
bagaimana?”

“Kemudian bangsat tua itu lantas berseru: ‘Diantara kalian ada
seorang yang bernama Sun Ban-lian dan seorang bernama Cu
Ban-jun atau tidak? Nah, kedua orang itu lekas maju kesini.
Yang lain-lain karena tiada banyak berbuat jahat, biarpun ingin
mampus juga kakek tak sudi membunuhnya!’ – Sudah tentu
kami tidak dapat tahan lagi dan beramai-ramai kami
bersembilan lantas menerjang keluar. Akan tetapi, aneh juga,
ditengah pelataran tiada tertampak seorangpun. Segera kami
mencari disekitar situ, aku malah melompat keatas rumah dan
juga tidak terdapat orang. Kwa-sute lantas menerobos kedalam
kamar tamu yang daun pintunya setengah tertutup
itu...............
“Ternyata didalam kamar itu hanya tersulut sebatang lilin dan
juga tiada nampak bayangan seorang pun. Selagi kami merasa
heran, tiba-tiba didalam kamar kami sendiri ada suara orang
berseru, itulah suara sibangsat tua, katanya: ‘Sun Ban-lian,
kau telah berbuat apa dikota Lanciu, dan kau Cu Ban-jun, apa
yang telah kau lakukan di Kengciu? Tuduhan2 ini tentunya
bukan fitnah toh? Nah, lekas kalian masuk kesini!’ – Sun-suko
dan Cu-sute menjadi murka, dengan senjata terhunus
keduanya lantas menerjang kedalam kamar. Cepat Khengsuheng
memperingatkan mereka agar ber-hati-hati dan kami
lantas menyusul dibelakang mereka, tapi mendadak pelita
didalam kamar sudah padam dan keadaan menjadi sunyi.
“Aku berteriak-teriak memanggil Sun-suko dan Cu-sute, tapi
tiada jawaban mereka, bahkan didalam kamar juga tidak
terdengar suara beradunya senjata. Seketika kami merinding,
cepat kami menyalakan api, tiba-tiba tertampak kedua kawan
kami itu berlutut kaku disitu, pedang mereka tertaruh
disamping. Waktu kami hendak menarik bangun mereka, tapi
mereka lantas roboh, ternyata keduanya sudah tak bernyawa
lagi. Badan mereka terasa masih hangat dan tiada terdapat
suatu tanda luka, entah dengan cara apa sibangsat tua itu
telah membunuh mereka. Sungguh memalukan kalau
diceritakan, sejak mula sampai akhir tiada seorangpun diantara
kami yang melihat bayangan bangsat tua dan setan perempuan
cilik itu.”

Selesai Ban-jim menutur, semua orang menjadi terdiam
sampai sekian lamanya.
Akhirnya Ciok Jing membuka suara: “Kheng-suheng, bilakah
anakku yang durhaka itu melakukan perbuatan2nya yang tidak
senonoh itu?”
“Pada tanggal 9 bulan 12 tahun yang lalu,” sahut Ban-ciong.
“Oh, dan hari ini tanggal 12 bulan tiga, jadi Pek-suheng dan
kalian sudah tiga bulan berangkat dari Leng-siau-sia, jika
demikian saat ini Hian-so-ceng tentu sudah dibakar olehnya,”
ujar Ciok Jing. “Begini, Kheng-suheng, pertama kami suamiisteri
toh harus mencari jejak anak durhaka itu, kalau dapat
menangkapnya kembali tentu akan kami bawa ke Leng-siau-sia
untuk minta ampun pada Pek-supek dan Hong-suheng. Kedua,
sekalian kami dapat mencari kabar tentang diri Ting Put-sam
yang berjuluk sehari tidak lebih dari tiga itu, walaupun kami
suami-isteri tidak berani meng-apa-apakan dia, paling tidak
kami juga dapat memberi berita kepada Pek-supek supaya
beliau membereskan sendiri peristiwa kalian itu. Nah, sampai
berjumpa pula!” – Habis berkata ia lantas memberi salam
hormat.
“Apa hanya bicara sekian saja lantas kalian hendak.......
hendak tinggal pergi?” tiba-tiba Kwa Ban-kin menyeletuk.
“Habis bagaimana menurut pendapat Kwa-suheng?” tanya
Ciok Jing.
“Kami tidak dapat menemukan puteramu, terpaksa minta
kalian suami-isteri ikut kami ke Leng-siau-sia untuk menemui
Suhu kami,” sahut Kwa Ban-kin.
“Sudah tentu kami akan pergi ke Leng-siau-sia, cuma harus
tunggu dulu sampai segala urusan menjadi lebih terang,” kata
Ciok Jing.
Ban-kin memandang kearah Kheng Ban-ciong dan
memandang pula kepada Ong Ban-jim, lalu katanya dengan

kurang senang: “Bila Suhu mengetahui kami sudah bertemu
dengan Ciok-cengcu suami-isteri dan tidak dapat mengundang
kalian kesana, bukankah..... bukankah.......”
Sedari tadi Ciok Jing sudah tahu maksudnya hendak main
keroyok untuk memaksa suami-isteri mereka pergi ke Tayswat-
san. Tegasnya kalau puteranya tak dapat ditangkap,
maka sang ayah-ibu yang akan dimintai pertanggungan-jawab.
Terpaksa Ciok Jing berkata: “Pek-supek adalah seorang yang
berbudi luhur dan berwibawa agung diwilayah barat, selamanya
Cayhe sangat menghormati beliau sebagai gurunya sendiri.
Apabila Pek-suko berada disini dan atas perintah Pek-supek
mengharuskan Cayhe ikut ke Leng-siau-sia, terpaksa Cayhe
menurut saja. Tapi sekarang, ehm, lebih baik begini saja!” – Ia
lantas menanggalkan pedangnya sendiri bersama sarungnya
yang tergantung diikat pinggang itu, lalu katanya kepada Bin
Ju: “Niocu, silakan kaupun melepaskan pedangmu.”
Bin Ju menurut dan melepaskan pedangnya.
Dengan memondong kedua batang pedang yang melintang
diatas kedua tangan itu lalu Ciok Jing menyodorkan kehadapan
Kheng Ban-ciong dan berkata: “Nah, Kheng-suheng, silakan
kau tahan saja senjata kami suami-isteri ini.”
Kheng Ban-ciong cukup kenal sepasang pedang hitam-putih ini
adalah senjata mestika yang jarang terdapat didunia persilatan
dan sangat disayangi Ciok Jing suami-isteri, tapi sekarang
mereka telah menanggalkan pedang dan menyerahkan sebagai
sandera, hal ini boleh dikata telah memberi muka besar kepada
Swat-san-pay dan demi sepasang pedang ini kelak suami-isteri
itu terpaksa harus datang ke Leng-siau-sia.
Tapi baru saja Ban-ciong hendak mengucapkan kata-kata
ramah-tamah dan menerima pedang-pedang itu, mendadak
Kwa Ban-kin sudah mendahului berseru: “Jiwa murid
keponakan kami dan sebelah lengan Hong-suheng, bahkan
Pek-suso telah menjadi gila dan Subo meninggalkan Suhu,
ditambah lagi kematian Sun-suko dan Cu-suko yang tidak jelas

perkaranyaa, semua ini apakah cukup diganti oleh sepasang
pedang kalian ini? Kheng-suko mempunyai hubungan baik
dengan kau, tapi aku si orang she Kwa tidak pernah kenal kau!
Nah, orang she Ciok, pendek kata hari ini betapa pun kau harus
pergi ke Leng-siau-sia!”
Ciok Jing tetap tenang-tenang saja, sahutnya dengan
tersenyum: “Dosa puteraku sudah terlalu besar kepada
golongan kalian, selain merasa menyesal dan minta maaf apa
yang dapat kukatakan lagi. Kwa-suheng adalah jago muda dari
Swat-san-pay dan berkepandaian tinggi, meski Cayhe belum
pernah kenal, tapi juga sudah lama kagum akan namamu.” –
Sambil berkata kedua tangannya tetap memondong sepasang
pedangnya dan menunggu diterima oleh Kheng Ban-ciong.
Diam-diam Kwa Ban-kin menaksir kalau menggunakan
kekerasan untuk memaksa Ciok Jing berdua ikut ke Tay-swatsan,
tentu suatu pertarungan sengit susah dihindarkan.
Sekarang mereka menyerahkan senjata secara sukarela, apa
jeleknya kalau diterima saja dan urusan diselesaikan
belakangan.
Karena itu ia menjadi kuatir kalau-kalau mendadak Ciok Jing
membalik pikiran dan menarik kembali pedangnya, segera ia
melangkah maju, kedua tangannya bekerja sekaligus, dengan
Kim-na-jiu-hoat yang lihay segera ia pegang kuat-kuat kedua
barang pedang itu sambil berkata: “Baiklah, untuk sementara
senjata kalian dilucuti dahulu.”
Segera ia mengulur tangan hendak mengambil pedang-pedang
itu. Tapi mendadak terasa telapak tangan Ciok Jing seperti
mengeluarkan tenaga lengketan yang kuat sehingga kedua
batang pedang itu susah diangkat. Kwa Ban-kin terkejut, ia
kerahkan segenap tenaga kelengannya dan segera membetot
sekuatnya sambil membentak: “Lepas!”
Tak terduga tenaga lengketan ditangan Ciok Jing mendadak
lenyap sehingga kekuatan membetot Ban-kin yang keras itu
tidak ketemu lawannya, sebaliknya menjadi beban kedua
pergelangan tangan sendiri, maka terdengarlah suara “krak”

sekali, kedua pergelangan tangan keseleo semua, ia menjerit
dan terpaksa membuka tangan sehingga kedua pedang itu
jatuh kembali kedalam tangan Ciok Jing.
Orang lain cukup jelas melihat Ciok Jing sama sekali tidak
menggerakkan jari tangannya, jadi Kwa Ban-kin sendiri yang
terlalu bernapsu membetot sehingga pergelangan tangan
sendiri terkilir. Sakit gusar dan karenakesakitan pula, tanpa
pikir lagi Ban-kin terus ayun sebelah kakinya hendak
menendang keperut Ciok Jing.
“Jangan kurang sopan!” seru Ban-ciong cepat dan menarik
Ban-kin kebelakang sehingga tendangannya mengenai tempat
kosong.
Ban-ciong tahu tenaga dalam Ciok Jing sangat lihay, kalau
tendangan Ban-kin itu mengenai sasarannya tentu kakinya
akan patah pula.
Sebagai Suheng, kepandaian dan pengetahuan Ban-ciong
dengan sendirinya lebih tinggi daripada Ban-kin. Ia menarik
napas panjang-panjang dan mengerahkan tenaga dalamnya
kesepuluh jarinya, lalu perlahan-lahan digunakan untuk
mengambil kedua batang pedang.
Tapi baru saja ujung jarinya menyentuh pedang, seluruh
badannya lantas tergetar seperti kena aliran listrik. Nyata
tenaga dalam Ciok Jing telah disalurkan melalui batang pedang
untuk menyerangnya.
Diam-diam Ban Ciong mengeluh, ia menyangka Ciok Jing
sengaja memasang perangkap untuk mengadu tenaga dalam
dengan dia. Biasanya kalau jago silat sudah mulai tenaga
dalam, maka susahlah untuk mengelakkan diri dan mungkin
baru akan berakhir, bila salah satu pihak sudah tak bisa
berkutik.
Karena itu, begitu terasa tenaga dalam lawan menerjang tiba,
cepat Ban-ciong melawan sekuat tenaga. Tak terduga baru saja
tenaga dalam kedua pihak kebentur, seketika tenaga Ban-ciong

terpental balik. Tiba-tiba Ciok Jing menaruh perlahan kedua
batang pedang itu ketangan Ban-ciong, katanya dengan
tertawa: “Kita adalah sahabat baik, mana boleh terjadi selisih
paham?”
Sekilas itu Ban-ciong sudah mandi keringat dingin. Ia insaf
tenaga dalam sendiri terlalu jauh dibandingkan tenaga dalam
Ciok Jing. Tadi begitu tenaga dalam kedua pihak kebentur dan
tenaga sendiri kontan terbentur balik, hal ini jelas menandakan
dirinya sekali-kali bukan tandingannya. Untuk sejenak Banciong
tertegun ditempatnya sambil memondong kedua batang
pedang, air mukanya merah jengan dan entah apa yang harus
dikatakan.
“Niocu, marilah kita berangkat ke Khayhong saja,” segera Ciok
Jing berpaling kepada sang isteri.
Bin Ju tampak masih muram, katanya: “Siangkong, anak
itu............”
“Sudahlah, lebih baik dia dibunuh orang seperti anak Kian dan
habis perkara,” ujar Ciok Jing.
Air mata Bin Ju lantas berlinang-linang, katanya dengan
senggugukan: “Siangkong, kau..................”
Tapi Ciok Jing lantas menggandeng tangannya dan
membantunya naik keatas kuda.
Melihat wanita yang lemah hati itu, anak-anak murid Swatsan-
pay itu merasa heran dan susah untuk mempercayai
bahwa dia inilah “Pek-siang-sin-kiam” yang mengguncangkan
Kang-ouw.
Melihat Hian-so-siang-kiam (sepasang pedang dari Hian-soceng)
sudah pergi dengan menunggang kuda, segera Hoa Banci
berlari kembali. Dilihatnya Ong Ban-jim sudah membetulkan
tangan Ban-kin yang keseleo itu, sebaliknya Ban-kin masih
mencaci-maki.

Sesudah menanyakan apa yang sudah terjadi, Ban-ci
tertampak mengerut kening, katanya: “Kheng-suko, urusan ini
agaknya tidak menguntungkan.”
“Mengapa?” tanya Ban-ciong. “Ilmu silat mereka terlalu kuat,
biarpun kita bertujuh mengerubutnya juga belum tentu dapat
menang. Sekarang kita menahan senjata mereka, paling tidak
akan dapat dibuat bukti bila kita ditanyai Suhu.” – Sambil
berkata ia coba melolos pedang-pedang itu, tertampaklah
pedang putih berkilau sebagai es dan pedang hitam mengkilap
tajam, nyata dua pedang mestika yang jarang ada
bandingannya. Maka ia lantas menambahkan: “Pedang-pedang
ini bukanlah palsu.”
“Sudah tentu pedang-pedang itu tulen,” ujar Hoa Ban-ci.
“Soalnya kita tidak mampu menahan orangnya, sekarang
apakah kita mampu menjaga kedua pedang pusaka ini dengan
baik?”
Hati Ban-ciong terkesiap. “Apa barangkali Hoa-sumoay telah
melihat sesuatu yang meragukan?” tanyanya.
“Aku menjadi teringat pada tahun yang lalu,” demikian tutur
Ban-ci, “pada suatu hari aku telah omong iseng bersama Peksuso
dan membicarakan tentang golok mestika dan pedang
pusaka didunia ini. Tiba-tiba bangsat cilik Ciong Tiong-giok itu
menimbrung, katanya pedang hitam-putih milik ayah-ibunya
adalah senjata maha tajam didunia ini, katanya ayah-ibunya
tega mengirim dia ke Tay-swat-san dan tidak bertemu
bertahun-tahun, tapi tidak tega meninggalkan senjata mereka
itu biarpun satu hari saja. Sekarang Ciok-cengcu sengaja
menyerahkan senjata mereka kepada kita, jangan-jangan
beberapa hari lagi kalau ia menggunakan sedikit akal licik dan
mencuri kembali pedang mereka, kemudian mereka datang lagi
ke Leng-siau-sia untuk meminta kembali senjatanya, cara
demikian tentu akan membikin susah kita sendiri.”
“Masakah kita bertujuh menyaksikan pedang mereka ini
diambil kembali begitu saja atau senjata mereka ini dapat
terbang sendiri?” ujar Ban-kin.

“Tapi apa yang dikatakan Hoa-sumoay juga bukannya tidak
beralasan,” kata Ban-ciong sesudah memikir sejenak.”Ciok Jing
memang bukan tokoh sembarangan, kita harus ber-jaga2 lebih
rapat dan jangan sampai terjungkal lagi ditangannya.”
“Ya, apa salahnya kalau kita berlaku lebih hati-hati,” sambung
Ban-jim. “Mulai hari ini juga kita enam orang lelaki setiap
malam harus bergilir menjaga sepasang pedang ini. Khengsuheng,
saat ini suami-isteri she Ciok itu sedang berada dikota
Khay-hong, kita akan menuju kesana atau tidak?”
Ban-ciong menjadi ragu-ragu. Khay-hong adalah kota
tersohor, sudah datang di Tionggoan masakah tidak
mengunjungi kota yang terkenal itu, bukankah hal ini terlalu
kentara akan takut kepada musuh. Sebaliknya kalau pergi ke
kota itu dan terang-terangan diketahui Ciok Jing suami-isteri
ada disana, bukankah ini berarti menyerempet bahaya?
Tengah ragu-ragu dan susah mengambil putusa, tiba-tiba
terdengar suara bentakan orang yang keras. Dari depan sana
telah datang serombongan alat-alat negara. Empat tukang
panggul tampak menggotong sebuah joli besar berwarna hijau.
Kiranya pembesar negeri yang telah datang.
Karena disamping mereka menggeletak serangka mayat,
daripada ikut-ikut terseret dalam perkara pembunuhan, lebih
baik tinggal pergi saja. Maka Ban-ciong lantas memberi tanda
kepada kawan-kawannya untuk berangkat.
Tapi baru saja mereka hendak melangkah pergi dengan cepat,
sekonyong-konyong salah seorang petugas negeri didalam
rombongan pendatang itu lantas berteriak-teriak: “Itu dia
kawanan bandit yang telah membunuh orang, jangan dibiarkan
mereka kabur!”
Namun Ban-ciong tidak menggubrisnya dan mendesak kawankawannya
lekas angkat kaki saja.
Tiba-tiba terdengar petugas itu berteriak pula: “Itu dia,

pembunuhnya bernama Pek Cu-cay, adalah situa bangka yang
belum mampus yang mengetuai Swat-san-pay. Wahai, Pek Cucay
yang tidak berwibawa dan tak berbudi, kau telah
membunuh dan merampok harta orang, kau kenal malu tidak?”
Mendengar itu, sungguh kaget dan gusar murid-murid Swatsan-
pay itu tidak kepalang.
Hendaklah maklum bahwa Pek Cu-cay itu adalah nama guru
mereka, yaitu Ciangbunjin atau ketua Swat-san-pay yang
sekarang. Dikalangan Kang-ouw orang tua itu terkenal dengan
julukan “Wi-tek Siansing” atau tuan yang berwibawa dan
berbudi. Tapi sekarang petugas negeri itu berani meng-olokolok
bahkan mencaci-maki namanya guru mereka, sudah tentu
mereka menjadi murka.
Siapakah biang keladi yang memperalat petugas-petugas
negeri itu untuk meng-olok-olok orang-orang Swat-san-pay?
Dapatkah jago-jago Swat-san-pay itu mempertahankan
sepasang pedang mestika?
Kemana perginya sijembel cilik berikut Cia Yan-khek?
Bab 5. Pengemis Yang Tidak Pernah Mengemis
“Sret”, seketika Ban-jim melolos pedang dan
balas membentak: “Pembesar anjing yang kurang ajar, biar
kupotong dulu lidahmu dan urusan belakang!”
“Nanti dulu, Ong-sute,” buru-buru Ban-ciong mencegahnya.
“Masakah kaum pembesar negeri disini mengenal nama dan
julukan Suhu kita? Kukira dibelakangnya tentu ada biang
keladinya.”
Habis berkata, segera ia memapak maju, ia memberi salam
hormat dan menegur: “Paduka Tuan siapakah yang tiba ini?”

Tapi sebagai jawaban, sekonyong-konyong dari dalam joli
telah menyambar keluar sebutir Am-gi atau senjata gelap, dan
tepat mengenai “Hok-tho-hiat” dipahanya. Am-gi itu sangat
kecil, tapi daya sambarnya sangat kuat. Kontan kaki Ban-ciong
terasa lemas dan terjungkal. Namun demikian ia adalah murid
terkemuka Swat-san-pay, betapapun tidak boleh terjadi hanya
dalam sejurus saja sudah dirobohkan lawan tanpa balas
menyerang. Karena itu pedang yang dia pegang itu terus
ditimpukkan kearah joli.
Walaupun orangnya terjungkal, tapi timpukan pedang dalam
jurus “Ho-hui-kiu-thian” atau burung bangau terbang kelangit
itupun cukup jitu dan lihay, pedang itu dengan tepat telah
menembus kedalam joli dan tampaknya dengan telak
mengenai orang yang menyambitkan Am-gi tadi.
Sudah tentu Ban-ciong sangat girang. Tapi dilihatnya keempat
tukang panggul masuk terus melarikan joli itu kedepan,
sesudah dekat, sekonyong-konyong seutas cambuk panjang
menjulur keluar dari dalam joli dan melilit kekaki Ong Ban-jim
yang saat itu memegang bak-kiam atau pedang hitam milik
Ciok Jing itu, ketika cambuk itu ditarik dan diayunkan, kontak
tubuh Ban-jim terlempar pergi, tahu-tahu pedang hitam yang
dipegangnya itu sudah terampas oleh cambuk panjang.
“Apakah disitu Ciok-cengcu?” teriak Hoa Ban-ci terkejut,
berbareng pedang putih yang dibawanya segera dilolos terus
menabas kecambuk panjang itu.
Tapi mendadak terdengar “cret” sekali, kembali dari dalam joli
menyambar keluar pula sebutir Am-gi dan tepat menyambit
dipergelangan tangan Ban-ci sehingga pedang putih itu
terlepas dari cekalannya.
Cepat salah seorang Suhengnya melompat maju terus
menginjak pedang putih itu dengan sebelah kakinya agar
senjata itu tidak dirampas oleh cambuk. Diluar dugaan tiba-tiba
dari dalam joli lantas menyambar keluar pula sesuatu benda
dan tepat menutup diatas kepalanya. Keruan murid Swat-sanpay
itu kaget setengah mati karena pandangannya menjadi

gelap gulita, cepat ia melompat mundur, lalu membuang
sekuatnya benda yang mengerudungi kepalanya itu. Waktu
dilihat, kiranya adalah sebuah kopiah pembesar yang besar.
Dalam pada itu tertampak cambuk panjang tadi sudah berhasil
melilit pedang putih yang jatuh ketanah itu dan sedang ditarik
kedalam joli.
Sudah tentu orang-orang Swat-san-pay tidak rela pedangpedang
itu direbut, beramai-ramai mereka lantas memburu
maju sambil membentak. Tapi dari dalam joli lantas
menghambur keluar macam-macam senjata gelap, ada yang
terkena mukanya, ada yang tersambit pinggangnya, tiada
seorang pun murid Swat-san-pay itu terluput dari serangan itu.
Cuma tempat yang diarah Am-gi itu bukan tempat yang
berbahaya hanya sakitnya tidak kepalang. Waktu orang-orang
Swat-san-pay memeriksa Am-gi yang mengenai itu, seketika
mereka tercengang, kiranya Am-gi itu hanya sebutir kancing
tembaga saja yang baru ditanggalkan dari baju. Maka insaflah
murid-murid Swat-san-pay itu bahwa kepandaian orang
didalam joli itu selisih terlalu jauh dengan mereka, kalau
mereka mengejar lagi dan sampai bergebrak, tentu mereka
sendiri yang akan celaka.
“Orang she Ciok itu tiada seorang pun yang baik, yang muda
durhaka dan bejat moralnya, yang tua juga tak bisa dipercaya,
sudah bilang senjatanya ditinggalkan kepada kita, sekarang
direbutnya kembali lagi!” demikian Kwa Ban-kin berteriakteriak.
Begitu pula Ong Ban-jim juga marah-marah dan mencaci-maki
habis-habisan.
Tapi Ban-ciong lantas berkata: “Bila kejadian ini sampai tersiar
tentu tidak menguntungkan nama baik golongan kita.
Sebaiknya kita tutup mulut saja dan pulang untuk melaporkan
kepada Suhu.”
Dalam pada itu joli besar tadi bersama rombonganna sudah
pergi jauh. Sesudah beberapa li lagi rombongan itu lantas

membelok kesuatu jalanan kecil. Ketika tukang gotong joli itu
sedikit lambat larinya, kontan cambuk panjang melayang
keluar dari dalam joli, dan menyabat beberapa kali dipunggung
tukang panggul bagian depan itu sehingga babak belur.
Terpaksa tukang-tukang panggul itu berlari lebih cepat dan
terpaksa pula tukang panggul bagian belakang juga ikut berlari
lagi walaupun napas mereka sudah ngos-ngosan senin-kemis.
Sesudah beberapa li pula, akhirnya terdengar suara orang
didalam joli berkata: “Baiklah, sekarang boleh berhenti!”
Sungguh keempat tukang panggul itu seperti pesakitan
yang diberi pengampunan, cepat mereka berhenti dan
meletakkan joli besar itu diatas tanah, napas mereka tampak
megap-megap.
Waktu tirai joli tersingkap, keluarlah seorang tua dengan
tangan kiri menarik seorang pengemis kecil. Kiranya orang tua
ini adalah Cia Yan-khek, pemilik medali wasiat. Dia lantas
membentak kepada beberapa petugas tadi: “Nah, kalian boleh
enyah sekarang! Pulanglah dan laporkan kepada pembesar
anjing kalian, katakan bahwa apa yang terjadi tidak boleh
sekali-kali disiarkan. Asal aku mendengar sedikit kabar yang
kurang menyenangkan, seketika juga buah kepala kalian akan
kupotol semua, begitu tidak terkecuali pembesar anjing kalian
itu!”
“Ya, ya, sekali-kali kami tak berani usil mulut. Selamat jalan
tuanbesar! Selamat jalan tuan muda!” demikian beberapa
petugas itu menjawab dengan memberi hormat.
“Dan apa yang kusuruh kalian katakan kepada pembesar
anjing itu, kalian ingat tidak?” tiba-tiba Cia Yan-khek berseru
pula selagi para petugas itu hendak melangkah pergi.
“Oh, ya, hamba ingat dengan baik,” sahut seorang petugas.
“Hamba akan berkata telah menyaksikan sendiri bahwa si
bungkuk penjual siopia-siopia di Hau-kam-cip itu telah dibunuh
oleh seorang tua bangka yang bernama Pek Cu-cay. Senjata
yang digunakan adalah sebatang golok yang berlumuran darah.

Bukti dan saksi sudah nyata dan lengkap, betapapun tua
bangka pembunuh itu tidak dapat menyangkal.”
Tentang bukti dan saksi itu sengaja ditambahkan oleh petugas
itu untuk membikin senang Cia Yan-khek, sebab tadi dia telah
kenyang dihajar, ia menjadi ketakutan.
Tapi Cia Yan-khek lantas berkata: “Tua bangka she Pek itu
tidak biasa menggunakan golok, tapi pedang.”
“Oh, ya, hamba keliru, dia menggunakan pedang dan sekali
tusuk sibungkuk telah dibunuh olehnya, setiap penduduk Haukam-
cip juga ikut menyaksikan kejadian itu,” demikian petugas
itu menambahkan.
Diam-diam Yan-khek merasa geli sendiri. Padahal untuk
membunuh Go To-it adalah terlalu mudah bagi Wi-tek Siansing
Pek Cu-cay dan tidak perlu pakai senjata apa segala. Tapi
iapun tidak perduli lagi kepada kawanan petugas itu, segera ia
gandeng tangan sijembel cilik dan tangan lain membawa
pedang hitam-putih milik Ciok Jing, segera ia tinggal pergi
dengan hati senang.
Maklum, sebelumnya dia masih menyangsikan Ciok Jing
suami-isteri sengaja berkomplot dengan orang-orang Swatsan-
pay untuk menjebaknya dengan menggunakan sipengemis
cilik itu sebagai umpan. Sebab itulah sesudah beberapa li dia
membawa pergi sijembel itu, lalu ia tusuk bocah itu dan
dilemparkan kedalam semak-semak, kemudian ia merunduk
kembali ke Hau-kam-cip untuk menyelidiki apa yang sudah
terjadi. Karena kepandaiannya memang jauh lebih tinggi
daripada Ciok Jing dan lain-lain, maka kedatangannya kembali
itu sama sekali tak konangan oleh siapapun.
Ketika dilihatnya Ciok Jing menyerahkan senjata-senjatanya
kepada Kheng Ban-ciong, segera timbul maksud Cia Yan-khek
untuk merebutnya. Kebetulan ditengah jalan ia bertemu
dengan bupati yang hendak memeriksa perkara di Hau-kam-cip
itu, segera ia menyergap pembesar itu dan dilempar keluar joli,
lalu menggertak dan memaksa para petugas negara itu agar

menggotong dia bersama sipengemis kecil itu dan memapak
kearah orang-orang Swat-san-pay untuk merebut kedua
pedang pusaka. Karena Kheng Ban-ciong tidak melihat muka
sipelaku didalam joli itu, dengan sendirinya mereka menyangka
keras adalah perbuatan Ciok Jing suami-isteri.
Begitulah, Cia Yan-khek meneruskan perjalanannya dengan
membawa sijembel cilik itu, yang dituju selalu adalah tempat
yang sepi. Setiba ditepi sebuah sungai kecil, tampaknya
disekitar situ tiada orang lain lagi, lalu ia melepaskan tangan
bocah itu, ia lolos pedang putih milik Bin Ju serta
mengacungkan mata pedang ketengkuk sijembel itu sambil
membentak dengan suara bengis: “Sebenarnya kau disuruh
oleh siapa? Hayo, lekas mengaku, kalau berani berdusta segera
kupenggal kepalamu!”
Habis menggertak, “sret”, pedangnya menyabat kesamping
sehingga sebatang pohon kecil tertabas kutung, batang pohon
yang kutung itu jatuh kedalam sungai dan hanyut terbawa oleh
arus air.
Keruan pengemis cilik itu ketakutan, dia menjawab dengan
gelagapan: “Aku........... aku......... tidak.......... tidak
suruh................”
Cia Yan-khek memperlihatkan medali wasiatnya dan
membentak pula: “Siapa yang memberikan benda ini padamu?”
“Aku............ aku makan sio........... siopia-siopia dan............
dan terdapat barang itu,” sahut sipengemis kecil dengan
gemetar.
Cia Yan-khek menjadi gusar karena jawaban yang tidak jelas
itu. Telapak tangannya terus menggampar kepipi bocah itu.
Tapi sebelum kena sasarannya, mendadak teringat oleh
sumpahnya sendiri dahulu bahwa sekali-kali dia takkan
mengganggu orang yang menyerahkan medali wasiat itu
kepadanya. Karena itu tamparannya dihentikan mentahmentah
sambil membentak lagi: “Ngaco-belo, peduli siopiasiopia
apa segala? Aku hanya tanya siapakah yang memberikan

barang ini kepadamu?”
“Aku.......... aku menemukan sepotong siopia-siopia, lalu aku
memakannya. Dan......... dan waktu aku menggigit,
ham.......... hampir saja gigiku rompang.......”
Dasar pikiran Yan-khek memang sangat tajam, walaupun
penuturan pengemis kecil itu terputus-putus dan tak jelas, tapi
segera terpikir olehnya: “Jangan-jangan Go To-it itu telah
menyembunyikan medali ini didalam siopia-siopia?”
Tapi segera ia menyangsikan hal itu. Siapa saja yang
mendapatkan medali ini tentu akan menjaganya melebihi
jiwanya sendiri, maka mungkin benda sepenting ini ditaruh
begitu saja didalam siopia-siopia?
Nyata ia tidak dapat membayangkan betapa kepepetnya
suasana waktu itu. Karena datangnya berandal Kim-to-ce itu
terlalu mendadak dan sekaligus sudah mengepung Hau-kamcip
dengan rapat sehingga sedikitpun Go To-it tidak sempat
mencari suatu tempat penyimpanan yang baik untuk
menyembunyikan medali wasiat itu selain dipencet kedalam
siopia-siopia yang akan dipanggangnya dan akhirnya terbuang
ditepi selokan, hal ini sebenarnya jauh lebih selamat daripada
disimpannya dimanapun juga. Sebab itu meski kawanan
berandal Kim-to-ce sudah mengobrak-abrik seluruh kedai
siopia-siopia itu, dengan sendirinya tidak terpikir oleh mereka
untuk memeriksa isi siopia-siopia yang berserakan diatas tanah
itu.
Begitulah dengan sorot mata berkilat, Cia Yan-khek
memandang sipengemis kecil, lalu bertanya pula: “Siapa
namamu?”
“Aku........... aku bernama Kau-cap-ceng,” sahut jembel cilik
itu.
“Apa? Kau bernama Kau-cap-ceng? Hahahaha! Masakah
didunia ini ada orang memakai nama demikian?” demikian Cia
Yan-khek menegas dan terbahak-bahak, ia geli setengah mati,

masakah ada orang bernama Kau-cap-ceng atau anak anjing.
Tapi sipengemis kecil lantas menjawab: “Ya, betul, ibu
memanggil aku Kau-cap-ceng.”
Watak Cia Yan-khek adalah pendiam, tapi keji dan culas.
Tertawa baginya boleh dikata adalah sesuatu yang mahal,
berapa kali dia tertawa dalam setahun dapatlah dihitung
dengan jari. Tapi sekarang dia benar-benar geli oleh karena
keterangan sipengemis cilik itu, ia tertawa terpingkal-pingkal.
Pikirnya: “Dikampung memang banyak orang memberi nama
kecil yang aneh-aneh kepada anak-anak mereka dengan
maksud agar sianak lekas besar dan selamat, misalnya nama
sianjing, sibabi, sikucing, dan lain sebagainya, tapi tiada orang
yang sengaja memanggil anaknya sendiri sebagai ‘anak anjing’,
memangnya apa ibunya kawin dengan anjing? Hahahaha!”
Begitulah dia terbahak-bahak geli. Dan karena melihat dia
tertawa, sipengemis kecil menjadi ikut-ikut tertawa.
“Dan siapa nama ayahmu?” tanya Yan-khek pula dengan
menahan tertawanya.
“Ayah? Aku........ aku tidak punya,” sahut sijembel sambil
menggeleng.
“Habis dirumahmu ada siapa lagi?”
“Aku, ibuku, dan.... dan masih ada si Kuning.”
“Siapa si Kuning itu?”
“Si kuning adalah anjing, seekor anjing,” sijembel
menerangkan, “Karena ibuku hilang, aku lantas mencarinya, si
Kuning selalu mengintil dibelakangku, tapi kemudian dia telah
pergi mencari makan, lalu menghilang juga. Aku telah
mencarinya kesana kemari dan tidak ketemu.”
“Kiranya bocah ini seorang tolol, tampaknya diketemukannya
medali ini hanya secara kebetulan saja. Biarlah kusuruh dia

memohon sesuatu padaku untuk memenuhi sumpahku dahulu
dan habis perkara,” demikian pikir Yan-khek.
Maka ia lantas bertanya: “Coba, apa yang ingin kau
mohon.........” baru sekian ucapannya, mendadak ia tahan
kata-kata yang belum tercetus dari mulutnya itu. Pikirnya:
“Kalau anak tolol ini mohon padaku untuk mencarikan ibunya,
bahkan minta aku mencarikan anjingnya si Kuning itu, lantas
kemana aku harus mencarikan? Ibunya tentu sudah minggat
bersama lelaki lain dan si Kuning itu besar kemungkinan sudah
disembelih orang, kalau soal-soal sulit ini dikemukakannya
kepadaku kan bisa berabe? Jika aku diminta membunuh
sepuluh atau dua puluh jago silat tentu akan jauh lebih mudah
daripada disuruh mencari dia punya anjing si Kuning itu.”
Begitulah, sesudah merenung sejenak, akhirnya ia sudah
mendapat akal, segera katanya pula: “Nah, begini, coba
dengarkan. Tak peduli siapa yang menyuruh kau
membicarakan sesuatu padaku, maka sekali-kali jangan kau
katakan, kalau kau tidak berani berkata, seketika juga
kupenggal kepalamu! Nah, tahu tidak?”
Hendaklah maklum bahwa tentang kejadian Cia Yan-khek
mengambil kembali medali wasiat dari tangan sipengemis cilik
itu, tentu dalam waktu singkat berita itu akan tersiar juga
didunia persilatan. Sebab itulah Cia Yan-khek kuatir kalau
sijembel cilik diakali orang serta menyuruhnya mengajukan
sesuatu permohonan pada dirinya, dan karena terikat oleh
sumpahnya dahulu terpaksa ia tidak dapat menolak.
Tapi Yan-khek masi belum lega, ia menegas lagi: “Apa kau
sudah ingat betul-betul pesanku tadi? Apa, coba katakan!”
“Kau bilang, tak peduli siapapun yang suruh aku mengatakan
apa-apa padamu, maka sekali-kali aku tak boleh bicara, bila
aku mengatakan, segera kau akan memenggal kepalaku,”
ulang sijembel.
“Ya, betul,” ujar Yan-khek. “Anak tolol ternyata tidak terlalu
tolol. Nah, sekarang ikutlah padaku.”

Dari tempat yang sepi itu mereka kembali kejalan raya. Tidak
lama kemudian sampailah mereka disebuah kedai penganan
ditepi jalan.
Cia Yan-khek membeli dua buah bakpau dan segera
dimakannya sendiri. Ia coba melirik sijembel cilik itu dengan
harapan bocah itu akan bersuara memohon makan padanya.
Untuk mengiming-iming, Yan-khek sengaja makan bakpau itu
dengan lahap, lidahnya berkecak2 keras dan sambil tiada
hentinya memuji akan kelezatan bakpau itu. Sedang bakpau
satunya yang masih dipegang disebelah tangan lain sengaja
diiming-iming pula didepan hidung sijembel. Pikirnya:
“Pengemis cilik ini sudah bisa mengemis makan pada orang,
mustahil sekarang dia tidak mengiler kepada bakpau yang
kumakan ini? Asal dia membuka mulut mengemis padaku dan
aku memberikan bakpau ini padanya, maka ini berarti
sumpahku atas medali wasiat itu sudah terpenuhi, dan untuk
selanjutnya aku akan dapat hidup senang dan bebas tanpa
ikatan sesuatu apapun.”
Memangnya perut sipengemis cilik juga sudah lapar, sekarng
diiming-iming sepotong bakpau yang enak itu, tentu saja dia
mengiler dan ingin memakannya. Cuma, aneh juga, biarpun
hatinya kepingin setengah mati, biji lehernya sampai naikturun
dan menelah ludah berulang-ulang, namun sebegitu jauh
ia tetap tidak membuka mulut untuk mengemis.
Sampai akhirnya Cia Yan-khek sendiri merasa tidak sabar
menunggu, sedangkan bakpau yang dimakannya sudah habis,
segera bakpau kedua itu dijejalkan lagi kedalam mulut dan
tangannya lantas mengambil lagi bakpau yang masih hangathangat
dinampan sipenjualnya.
“Akupun ingin dua potong bakpau,” tiba-tiba sipengemis cilik,
berkata kepada penjual bakpau dan tanpa menunggu jawabah
tangannya lantas mencomot bakpau yang sangat diinginkan
itu.

Pemilik kedai itu memandang kepada Cia Yan-khek,
maksudnya ingin tahu apakah Cia Yan-khek mau mengakui
bakpau yang dimakan jembel cilik itu atau tidak. Yan-khek
lantas mengangguk. Diam-diam ia bergirang: “Bagus, sebentar
bila penjualnya minta pembayaran padamu, ingin kulihat kau
terpaksa akan minta bantuanku atau tidak?”
Tertampak sijembel telah makan bakpau satu demi satu
dengan lahapnya, seluruhnya telah dimakannya empat biji.
Akhirnya dia berkata: “Kenyang sudah, tidak makan lagi!”
Cia Yan-khek sendiri hanya makan dua biji bakpau dan tidak
makan lagi. Katanya kepada sipenjual: “Berapa duitnya?”
“Dua picis satu biji, enam biji bakpau seluruhnya 12 picis,”
sahut sipenjual.
“Tidak, masing-masing membayar sendiri-sendiri. aku makan
dua biji, aku hanya bayar empat picis saja,” kata Yan-khek
sembari memasukkan tangan kedalam saku untuk mengambil
uang.
Tapi sekali merogoh saku dia lantas melongo. Rupanya dia
sendiri “tong-pes” alias kantong kempes karena siangnya dia
habis makan-minum dikota Khay-hong dan sangunya sudah
terpakai habis. Keruan ia meringis dan serba susah.
Tengah ia merasa bingung, tiba-tiba sijembel cilik
mengeluarkan serenceng uang perak dan diserahkan kepada
penjual bakpau, katanya: “Seluruhnya 12 picis, aku yang
membayar semua.”
Cia Yan-khek menjadi tercengang. “Apa? Kau mentraktir aku?”
tanyanya.
“Ya, kau tidak punya uang dan aku banyak uang, apa
halangannya mentraktir kau beberapa biji bakpau saja?” sahut
sijembel sambil tertawa.
Sipenjual bakpau juga terheran-heran, cepat ia memberikan

beberapa potong uang receh tembaga sebagai kembalinya.
Segera sijembel cilik memasukkan uang receh itu kedalam
saku. Ia pandang Cia Yan-khek dan menantikan perintahnya.
Mau tak mau, Cia Yan-khek menyengir. Pikirnya: “Watakku
biasanya sangat kukuh, biarpun cuma makan minum juga tidak
sudi menerima pemberian orang lain. Siapa duga hari ini malah
ditraktir makan bakpau oleh jembel cilik ini.”
Segera ia mengajaknya berangkat. Sambil berjalan iapun
bertanya: “Darimana kau tahu aku tidak punya uang?”
Sipengemis cilik menjawab dengan tertawa: “Dirumah-rumah
makan aku sering melihat orang merogoh saku hendak
mengambil uang, tapi tangan yang sudah masuk didalam
kantong itu sampai lama sekali tidak keluar-keluar lagi,
sebaliknya air mukanya berubah sangat aneh, seperti
menyengir dan seperti meringis. Jika demikian wajahnya, maka
dapat dipastikan orang itu tentu tidak punya uang. Setiap
tukang gegares percuma dirumah makan selalu demikian
keadaannya.”
Kembali Cia Yan-khek menyengir ewa. Pikirnya: “Kurang ajar,
jadi kaupun anggap aku sebagai tukang gegares yang tidak
mau bayar?” – Segera ia bertanya lagi: “Dan darimana kau
mencuri uang sebanyak itu?”
“Kenapa mesti mencuri?” sahut sijembel cilik. “Ini adalah
pemberian sinyonya baik hati yang berbaju putih tadi.”
“Sinyonya baik hati berbaju putih?” Yan-khek menegas. Tapi ia
lantas paham, tentu Bin Ju yang dimaksudkan.
Tidak terlalu jauh mereka berjalan, tiba-tiba Yan-khek
mengangkat pedang putih milik Bin Ju itu dan berkata:
“Pedang ini sangat tajam, tadi hanya sekali tabas saja
sebatang pohon telah kutumbangkan. Kau menyukai pedang ini
tidak? Kalau kau minta, tentu akan kuberikan padamu.”
Sesungguhnya dia merasa sebal berkumpul terlalu lama

dengan pengemis kecil yang kotor dan bodoh itu, maka
diharapnya bocah itu mau mengajukan sesuatu permohonan
padanya dan terpenuhilah sumpahnya dahulu.
Tak terduga sijembel cilik itu telah menggeleng kepada dan
menjawab: “Tidak, aku tidak mau. Pedang ini adalah milik
nyonya berbaju putih yang baik hati itu. Dia adalah orang baik,
aku tidak mau mengambil barangnya.”
Yan-khek lantas perlihatkan pedang hitam, ia ayun kesamping
sekenanya dan kontan sebatang pohon ditepi jalan lantas
tertabas kutung. Lalu katanya: “Apa kau minta pedang hitam
ini saja?”
“Tidak, pedang hitam ini adalah milik tuan berbaju hitam tadi,”
kembali sijembel cilik menggeleng kepala. “Tuan dan nyonya
itu adalah serombongan, aku tak boleh mengambil barang
mereka.”
“Eh, Kau-cap-ceng, kau suka bicara tentang setia kawan juga,”
jengek Cia Yan-khek.
“Apa artinya setia kawan?” tanya sijembel dengan bingung.
Yan-khek hanya mendengus sekali saja dan tak gubris lagi
padanya. Pikirnya: “Jika kau tak paham, tiada gunanya
kuterangkan padamu.”
“Oh, barangkali kau tidak suka orang yang setia kawan,
ja........... jadi engkau tidak setia kawan.”
Yan-khek menjadi murka, seketika kepala sipengemis cilik itu
hendak ditaboknya. Tapi demi melihat sikap bocah yang masih
ke-kanak-anakan dan polos itu, tangannya yang sudah
terangkat itu lantas ditarik kembali. Pikirnya: “Jika dia memang
tidak paham apa artinya setia kawan, maka diapun tidak
sengaja hendak mengejek padaku.” – Lalu iapun menjawab:
“Masakan aku tidak setia kawan? Tentu saja aku suka setia
kawan.”

“Setia kawan itu baik atau tidak?” tanya sipengemis cilik/
“Baik, sudah tentu baik,” sahut Yan-khek.
“Ah, tahulah aku sekarang. Yang berbuat baik adalah orang
baik, yang berbuat jahat adalah orang jahat. Engkau berbuat
baik maka engkau adalah seorang yang sangat baik.”
Kalau kata-kata ini diucapkan oleh seorang lain, Cia Yan-khek
akan menganggapnya sebagai suatu sindiran dan tanpa pikir
tentu orang itu dibinasakannya. Hendaklah maklum selama
hidupnya ini tak pernah seorangpun yang mengatakan dia
adalah “orang baik”. Walaupun terkadang iapun berbuat satudua
kebaikan, tapi itu hanya karena hatinya sedang senang
dan melakukannya menurut seleranya pada saat itu, kalau
dibandingkan kejahatannya yang diperbuatnya selama hidup
boleh dikata tiada artinya.
Tapi sekarang didengarnya ucapan sipengemis cilik itu sangat
tulus dan sungguh-sungguh, mau tak mau ia meringis dan
serba runyam. Pikirnya: “Kata-kata bocah ini setengah sinting,
sebentar bilang aku tidak setia kawan, sekarang aku dianggap
orang baik. Kalau kata-kata demikian didengar oleh musuhku
bukankah akan menjadi buah tertawaan orang-orang Bu-lim?
Rasanya aku harus lekas menyelesaikan urusan ini dan tidak
perlu omong-kosong lagi dengan dia.”
Karena bocah itu tidak mau pedang-pedang hitam-putih itu,
Yan-khek lantas mengeluarkan sepotong kain hijau dan
membungkusnya, lalu digendongnya dipunggung. Diam-diam ia
memikir: “Cara bagaimana aku harus memancing dia supaya
memohon sesuatu padaku?”
Tengah memikir, tiba-tiba dilihatnya ditepi jalan ada tiga
batang pohon kurma dengan buahnya yang merah segar dan
besar-besar. segera ia menunjuk buah kurma itu dan berkata:
“Sungguh enak sekali buah kurma itu.”
Menurut rekaannya, karena pohon kurma itu tinggi-tinggi
semua, asal sijembel cilik itu memohon dia memetikkan buah

kurma, maka itu sudah terhitung sumpahnya terpenuhi, yaitu
melaksanakan sesuatu permintaan orang yang menyerahkan
kembali medali wasiat padanya itu.
Tak terduga sijembel cilik malah bertanya padanya: “Eh, orang
sangat baik, apakah kau kepingin makan kurma?”
“Orang sangat baik apa?” tanya Yan-khek.
“Karena engkau ada orang baik sekali, maka aku memanggil
engkau orang sangat baik.”
“Siapa yang mengatakan aku orang baik?” mendadak Yankhek
menarik muka masam.
“Kalau bukan orang baik tentu adalah orang jahat, jika begitu
biarlah kupanggil engkau orang jahat saja.”
“Akupun bukan orang jahat.”
“Kan aneh? Bukan orang baik, bukan orang jahat pula, lalu
orang apa.......? Ah, tahulah aku, kiranya engkau bukan
orang!”
“Apa katamu?” bentak Yan-khek dengan gusar.
Sijembel cilik menjulur lidah sekali dan mendadak terus berlari
kebawah pohon kurma, tiba-tiba ia peluk batang pohon itu dan
kakinya lantas memancal, segera ia panjat keatas pohon.
Nyata, meski bocah itu tidak bisa ilmu silat, tapi caranya
memanjat pohon benar-benar sangat cepat dan segesit kera.
Hanya dalam sekejap saja jembel cilik itu sudah memetik
kurma merah itu sekantong penuh sehingga bajunya yang
rombeng itu hampir-hampir jebol dibebani kurma sebanyak itu.
Lalu ia memberosot turun, dengan kedua tangan ia mencakup
kurma merah yang dipetiknya itu dan diberikan kepada Cia
Yan-khek. Katanya: “Silakan makan kurma! Engkau bukan
orang, juga bukan setan, apa barangkali malaikat dewata? Tapi
kulihat juga bukan!”

Yan-khek tak menggubrisnya. Ia coba makan beberapa biji
kurma itu, rasanya manis dan segar, ternyata kurma itu
berkwalitas tinggi. Pikirnya: “Buset, bukannya dia minta apaapa
padaku, jadinya aku yang minta padanya malah.”
Sejenak kemudian, ia coba memancing lagi, katanya: “Apakah
kau tidak ingin mengetahui aku ini siapa? Asal kau bertanya:
‘Harap engkau suka menerangkan siapakah kau sebenarnya?’
Apakah engkau ini malaikat dewata? – maka aku akan lantas
menerangkan padamu.”
“Tidak, aku tidak mau memohon apa-apa kepada orang lain,”
sahut sijembel cilik sambil menggeleng.
Yan-khek terkesiap. “Mengapa tidak mau?” tanyanya cepat.
“Ibuku sering berkata kepadaku: ‘Wahai, Kau-cap-ceng,
selama hidupmu ini janganlah kau meminta apa-apa kepada
orang lain. Kalau orang mau memberikan padamu, tanpa
diminta juga orang akan memberi. Sebaliknya kalau orang
tidak mau memberi, biarpun kau meminta dan memohon
dengan sangat juga percuma, bahkan akan membikin jemu
orang.’ – Sebab itulah, maka selamanya akupun tidak pernah
minta apa-apa kepada ibu. Terkadang ibu makan barangbarang
yang harum dan enak, beliau sengaja mengiming-iming
padaku, apabila aku membuka mulut dan minta padanya,
bukan aku diberi, sebaliknya aku lantas dihajarnya hingga
babak-belur. Lantaran itulah sekali-kali aku tidak mau meminta
apa-apa kepada orang lain.”
Sungguh heran Yan-khek tidak terkatakan, iapun merasa
kecewa pula. Pikirnya: “Jika bocah ini benar-benar tidak mau
meminta apa-apa padaku, lantas cara bagaimana aku bisa
membayar kaul yang tersirat didalam sumpahku itu? Ibunya
mungkin adalah seorang gila, masakah anaknya minta makan
padanya malah dipukuli.”
Kemudian ia tanya pula: “Habis, kau adalah seorang pengemis
kecil, apakah kau tidak meminta uang dan mengemis makan

kepada orang lain?”
“Tidak, selamanya aku tidak pernah mengemis,” sahut
sijembel cilik sambil menggeleng. “Kalau orang memberi, tapi
kalau dia lengah, segera aku mengambilnya terus mengeluyur
pergi.”
Yan-khek tertawa. Katanya: “Jika begini kau bukan pengemis
kecil, tapi adalah maling kecil.”
“Apa artinya maling kecil?”
“Kau benar-benar tidak tahu atau cuma berlagak bodoh?”
“Sudah tentu karena aku memang tidak tahu, makanya tanya
padamu. Dan apakah artinya berlagak bodoh itu?”
Yan-khek coba mengamat-amati bocah itu, tertampak
mukanya kotor, tapi sepasang matanya hitam bening dan
bersinar, sedikit pun tidak ada tanda-tanda goblok. Maka
katanya pula: “Kau toh bukan anak umur tiga, usiamu sudah
belasan tahun, mengapa segala apa tidak paham?”
“Ya, karena ibuku tidak suka bicara dengan aku, beliau
menyatakan asal melihat aku lantas jemu, seringkali sepuluh
hari atau dua puluh hari aku tidak pernah digubrisnya.
Terpaksa aku hanya bicara dengan si Kuning saja. Tapi si
Kuning hanya bisa mendengarkan dan tak dapat bicara dengan
aku tentang maling kecil dan berlagak bodoh apa segala.”
Melihat sorot mata bocah itu sama sekali tidak
memperlihatkan sikap nakal dan licin, diam-diam Yan-khek
membatin: “Agaknya bocah ini memang tidak pandai purapura”
– Maka ia lantas tanya: “Mengapa kau tidak bicara saja
dengan tetanggamu?”
“Apakah artinya tetangga?”
“Yang tinggal disekitar rumahmu, itulah tetangga namanya,”
sahut Yan-khek dengan aseran. Lama-lama ia menjadi jemu

juga.
“Oh, yang tinggal disekitarku? Ya, banyak juga, dibelakang
rumahku ada belasan pohon besar, diatas pohon banyak
terdapat bajing, ditengah semak-semak banyak pula ayam
alas, kelinci liar. Apakah mereka itu yang dinamakan tetangga?
Tapi mereka hanya bisa berbunyi dan tak bisa bicara.”
“Apa sampai sekian besarnya kau tidak pernah bicara dengan
orang lain kecuali ibumu?” tanya Yan-khek dengan
mendongkol.
“Selamanya aku tinggal diatas gunung dan tidak pernah turun.
Maka selain Ibu, tak pernah ada orang bicara dengan aku.
Beberapa hari yang lalu ibu telah hilang, waktu aku
mencarinya, aku tergelincir jatuh kebawah gunung. Kemudian
si Kuning juga menghilang. Waktu kutanya orang lain
kemanakah perginya ibu dan si Kuning, tapi orang bilang tidak
tahu. Apakah itu terhitung berbicara?”
Diam-diam Yan-khek gegetun. Kiranya bocah ini selamanya
tinggal diatas gunung dan ibunya juga tidak suka
menggubrisnya, makanya ini tidak paham dan itupun tidak
tahu. Maka ia lantas menjawab: “Ya, itupun dapat dianggap
berbicara. Dan darimana kau tahu bahwa uang dapat dibelikan
bakpau?”
“Kemarin aku melihat orang membeli secara demikian,” sahut
sijembel. “Kau tidak punya uang dan aku masih punya, kau
ingin uang ini, bukan? Biarlah kuberikan padamu.” – Lalu ia
mengeluarkan uang receh kembalian sipenjual bakpau tadi dan
disodorkan kepada Cia Yan-khek. Diam-diam iapun membatin:
“Biar bocah ini kelihatan ketolol-tololan, tapi ternyata bukan
anak yang pelit.”
Begitulah perasaan Cia Yan-khek menjadi semakin lega,
sekarang ia percaya penuh sijembel cilik itu bukanlah
perangkap yang sengaja dipasang oleh orang lain untuk
menjebaknya.

Yan-khek tersenyum, sahutnya: “Jika kau minta makan, minta
uang kepada orang dan orang mau memberikan padamu
secara sukarela, maka kau disebut sebagai pengemis kecil.
Tetapi kalau kau minta-minta dan orang lain tidak mau
memberi, diam-diam kau lantas menyambarnya dan membawa
lari, itu namanya maling kecil.”
Sijembel tampak merenung sejenak, lalu berkata pula:
“Selamanya aku tidak pernah minta-minta kepada orang, tak
peduli orang suka memberi atau tidak, aku lantas
mengambilnya untuk dimakan. Jika begitu aku adalah maling
kecil.................. Eh, dan kau adalah maling tua.”
Keruan Yan-khek terperanjat. “Apa? Kau menganggap aku ini
apa?”
“Bukankah kau memang maling tua?” sahut sijembel cilik.
“Sudah terang pemilik kedua batang pedang itu tidak
memberikannya padamu, tapi kau sengaja merebutnya, kau
bukan anak kecil, dengan sendirinya adalah maling tua.”
Bab 6. Kalah Kuat Pakailah Akal
“Ngaco-belo!” omel Yan-Khek, “Kau tidak boleh memanggil aku
sebagi maling tua.” “ Baik, dan kaupun dilarang memanggil aku
maling kecil.” Tidak gusar, sebaliknya Yan-khek tertawa malah.
Katanya: Maling kecil adalah sebutan untuk memaki orang,
maling tua yuga kata-kata makian, maka kau tidak boleh
memaki aku.” “Jika begitu, mengapa kau memaki aku?” bantah
si jembel. “Baiklah, akupun takkan memaki kau”, sahut Yankhek
dengan tertawa. “Kau sekarang bukan maling kecil pula.
Aku akan panggil kau sebagai anak kecil dan kau boleh panggil
aku sebagai paman tua”.
“Tidak, namaku bukan anak kecil, tapi aku bernama Kau-capceng,”
kata si jembel sambil menggeleng. “Nama Kau-cap-ceng
itu tidak baik, ibumu boleh panggil kau dimikian, tapi orang lain

tidak boleh. Ibumu juga aneh, mengapa memanggil anaknya
sendiri sebagai Kau-cap-ceng?”
“Kau-cap-ceng apakah jelek? Bukankah si Kuning kawanku
itupun seekor anjing. Kalau dia mengawani aku, aku lantas
senang. Sama seperti kau mengawani aku sekarang. Cuma si
Kuning tidak bisa bicara, dia hanya pandai menggonggong,
sebaliknya kau pandai bicara”. – Sambil berkata sembari
tangannya mengelus-elus punggung Cia Yan-khek dengan
penuh kasih sayang seperti halnya kalau dia mengelus-elus
anjing piaraannya.
Keruan Cia Yan-khek sangat mendongkol, masakah dia
disamakan dengan si Kuning. Segera ia mengerahkan tenaga
dalamnya kebagian punggung sehingga tangan si jembel cilik
tergetar, seakan-akan tangannya memegang arang yang
membara, cepat ia menarik kembali tangannya dengan kaget.
“Huh, biar kau tahu rasa sekarang”, demikian pikir Cia Yankhek
sambil memandangi bocah itu dengan tersenyumsenyum.
Di luar dugaan si jembel cilik malah berkata: “Wah, paman tua,
agaknya kau sakit panas, lekas mengaso dulu dibawah pohon
sana, biar aku mencari sedikit air untuk kau minum, badanmu
tentu sangat payah, panasnya bukan main, mungkin sakitmu
ini tidaklah ringan”. – Dari nadanya itu tampak sekali rasa
perhatiannya yang penuh, segera ia pegang lengan Cia Yankhek
dan hendak mengajaknya mengaso kebawah pohon.
Sampai disini, biar betapapun aneh sifatnya Cia Yan-khek juga
tidak enak menyakiti pula bocah itu dengan tenaga dalamnya.
Maka katanya: “Aku sehat walafiat, kau bilang aku sakit apa?
Coba lihat, bukankah panasnya sudah lenyap?” ~ Sambil
berkata ia terus pegang tangan si jembel dan dirabakan ke
dahinya sendiri. Ketika merasa dahi Yan-khek itu dingin-dingin

segar saja, mendadak jembel cilik itu berseru kuatir: “Wah,
celaka! Paman tua, kau sudah hampir mati!”
“Ngaco belo, mengapa aku hampir mati?” bentak Yan-khek
dengan gusar. “Ibuku pernah jatuh sakit, seperti kau barusan,
sebentar panas dan sebentar dingin, berulang-ulang ibu
berteriak: Matilah aku, matilah aku! Orang yang tak punya
liangsim (hati baik), lebih baik aku mati saja!” ~ Kemudian ibu
benar-benar hampir mati, sesudah tiduran lebih dua bulan
barulah sembuh.”
“Tapi aku takkan mati,” ujar Yan-khek dengan tersenyum. Si
jembel cilik menggeleng perlahan seperti kurang percaya.
Mereka melanjutkan perjalanan, tidak seberapa jauh, ketika
melihat sinar matahari yang amat terik, tiba-tiba si jembel cilik
itu menjemput beberapa helai daun yang jatuh ditepi jalan.
Semula Yan-khek menyangka sifat si jembel cilik itu masih kekanak-
anakan dan suka mainan, maka tak digubrisnya. Siapa
duga bocah itu telah memilin daun-daun itu menjadi sebuah
topi, lalu diberikan kepada Cia Yan-khek, katanya: “Matahari
panas terik, engkau sedang sakit pula, harap pakailah topi ini.”
Yan-khek benar-benar serba runyam menghadapi tingkah laku
si jembel itu. Tapi ia tidak ingin mengecewakan maksud
baiknya maka topi itu diterimanya juga dan dipakainya diatas
kepala. Karena sinar matahari memang amat terik, dengan
memakai topi itu rasanya menjadi lebih segar. Tidak lama
kemudian sampailah mereka di suatu kota kecil. Tiba-tiba si
jembel berkata: “Engkau tidak punya uang, boleh jadi sakitmu
itu adalah lantaran kelaparan. Marilah sekarang kita pergi
kerumah makan untuk makan sekenyang-kenyangnya.” ~
Segera ia tarik tangan Cia Yan-khek dan masuk ke sebuah
rumah makan.
Selama hidup pengemis kecil itu tidak pernah masuk restoran.

Karena itulah iapun tidak tahu cara bagaimana harus pesan
makanan. Begitu masuk rumah makan itu segera ia keluarkan
semua uang yang dimilikinya dan ditaruh diatas meja, lalu
katanya kepada pelayan: “Aku dan paman tua ini ingin makan
nasi makan ikan dan daging, sediakanlah selengkapnya dan
ambil semua uangku ini.” Sisa uangnya itu sedikitnya ada tiga
tahil perak dan lebih dari cukup untuk membayar makanan
semeja penuh. Keruan si pelayan sangat girang, cepat ia
memesan koki agar menyediakan daharan yang enak-enak,
ada ayam panggang, ada Ko-lo-bak, ada bebek tim dan ada
Ang-sio-hi, pendek kata serba komplit. Bahkan disertai dua kati
arak.
Sesudah daharan itu siap diatas meja. Segera Yan-khek
menuangkan arak. Tapi baru saja si jembel cilik minum
seteguk, kontan ia semburkan kembali, serunya: “Hah, pedas,
tidak enak.” ~ Maka yang digasak hanya makanan-makanan
yang enak saja. Diam-diam Yan-khek berpikir: “Meski bocah ini
tidak paham apa-apa, tapi pembawaannya ternyata sangat
juyur, tampaknya juga tidak boleh, kalau dididik dengan baikbaik
tentu akan menjadi jago pilihan di dunia persilatan.”
Tapi lantas terpikir pula olehnya: “Ah, di dunia ini banyak sekali
manusia yang durhaka dan tak berbudi, masakah aku belum
cukup dibikin susah oleh muridku yang celaka itu? Kenapa
sekarang timbul pula pikiranku untuk mengambil murid baru?”
Demi teringat kepada muridnya yang durhaka itu, seketika ia
naik darah. Cepat ia habiskan dua kati arak itu, lalu berkata :
“Hayolah, berangkat!”
“Apakah kau sudah baik, paman tua?” tanya si jembel.
“Sudah!” sahut Yan-khek sambil berpikir: “Sekarang uangmu
sudah habis, nanti kalau masuk restoran lagi kau tentu akan
terpaksa minta tolong padaku.”

Segera mereka meninggalkan kota itu dan melanjutkan
perjalanan ke timur.
“Anak kecil, siapakah she ibumu, dia pernah katakan padamu
tidak?” tanya Yan-khek.
“Ibu ya ibu, apakah ibu juga ada she segala?” sahut si jembel
cilik.
“Sudah tentu, setiap orang tentu mempunyai she,” kata Yankhek.
“Justeru aku tidak tahu, makanya aku tanya she ibumu. Nama
Kau-cap-ceng itu terlalu jelek, apa kau ingin minta aku
mencarikan suatu nama yang baik bagimu?” demikian tanya
Cia Yan-khek. Ia pikir kalau si jembel mengajukan permintaan
itu, maka terpenuhilah sumpahnya atas medali wasiat dan ia
dapat sembarangan memberi suatu nama padanya.
Tak terduga si jembel lantas menjawab: “Jika kau suka
memberikan nama padaku, kukira boleh juga. Cuma kuatirnya
ibu tidak tahu. Padahal beliau sudah biasa memanggil aku Kaucap-
ceng, sekarang aku ganti nama baru, mungkin beliau akan
marah. Mengapa kau anggap nama Kau-cap-ceng kurang baik
?”
Yan-khek mengerut kening. “Kau-cap-ceng” artinya anak
turunan anjing, ia menjadi bingung cara bagaimana harus
menerangkan nama yang kotor dan tak baik itu.
Pada saat itulah tiba-tiba ditengah hutan disebelah kiri depan
sana terdengar ada suara nyaring beradunya senjata. Sebagai
seorang tokoh besar dunia persilatan, sekali dengar saja hati
Yan-khek lantas terkesiap. Terang disana ada orang sedang

bertempur dan dari suara beradunya senjata mereka yang
sangat cepat itu pastilah ilmu silat mereka bukan jago silat
rendahan.
Segera ia membisiki si jembel cilik : “Coba kita melihatnya ke
sana, kau jangan sekali-kali bersuara.” ~ Sebelah tangannya
lantas menolak dipunggung bocah itu, ia keluarkan Ginkang
(ilmu entengkan tubuh atau kepandaian lari) yang tinggi dan
berlari kearah suara pertempuran itu. Hanya beberapa kali
lompatan saja sampailah dia dibelakang sebatang pohon besar.
Karena dibawa lari secepat terbang dan seperti terapung
diudara, si jembel cilik menjadi senang dan merasa geli,
hampir ia tertawa. Tapi lantas teringat oleh pesan Cia Yan-khek
agar dia jangan bersuara, maka cepat ia mmualap mulut
sendiri.
Waktu mereka mengintip dari balik pohon, tertampaklah di
tengah hutan itu ada empat orang sedang melompat dan
menubruk kian kemari, pertarungan sedang berlangsung
dengan sengitnya. Kiranya ada tiga orang sedang mengeroyok
satu orang. Yang dikeroyok adalah seorang tua bermuka
merah, rambutnya panjang memutih perak, tangannya sudah
tidak bersenjata lagi.
Sedangkan ketiga orang pengeroyok itu, yang satu bertubuh
tinggi kurus, seorang lagi adalah Tojin bermuka kuning dan
yang ketiga mukanya sangat aneh, mukanya disilang oleh dua
jalur bekas luka yang panjang. Sikurus memakai senjata
pedang, sedangkan Tojin itu menggunakan gandin berantai dan
simuka jelek bersenjata Kui-thau-to, golok berpunggung tebal
yang melukiskan kepala setan.
Yan-khek melihat orang tua yang dikeroyok itu sudah terluka
tapi kedua telapak tangannya masih terus naik turun dan balas

menyerang dengan sangat tangkas. Ia menghindarkan
serangan-serangan lawan dengan mengitari sebatang pohon
dan kadang-kadang diselingi dengan pukulan atau tutukan
yang lihay, nyata sekali ilmu silatnya sangat hebat.
Hanya mengikuti beberapa jurus saja Cia Yan-khek lantas
mengenali orang tua itu. Tiba-tiba timbullah rasa syukurnya :
“Bagus, kukira siapa, tak tahunya adalah Tay-pi Lojin dari Pekkeng-
to. Hari ini kau mirip harimau yang kesasar dan dikerubut
kawanan anjing, tampaknya sekali ini kau pasti akan celaka.”
Tapi ketiga pengeroyok itu tak dikenal Cia Yan-khek.
Tampaknya ilmu silat ketiga orang itupun tidak rendah, lebihlebih
si tinggi kurus, ilmu pedangnya boleh dikata sudah
mencapai kelas tertinggi.
Sedang permainan gandin berantai si Tojin yuga sangat aneh,
terkadang gandinnya dapat mengitari pohon untuk
menghantam bagian samping Tay-pi Lojin. Adapun silelaki
bermuka jelek itu memiliki tenaga yang sangat kuat, goloknya
yang tebal itu diputar sedemikian kencangnya sehingga
menerbitkan suara menderu2 yang memekakkan telinga.
Diam-diam Yan-khek terkejut. Pikirnya: “Sudah lama aku tidak
menjelajahi Kangouw, ternyata didunia persilatan sudah timbul
tokoh-tokoh silat sehebat ini. Mengapa satupun aku tidak kenal
gaya permainan silat ketiga orang ini? Coba kalau lawannya
bukan tiga jago pilihan selihay ini tentu Tay-pi Lojin takkan
terdesak seperti ini. Kalau ketiga orang ini mengeroyok diriku,
rasanya aku sendiripun susah untuk mengalahkan mereka.”
Dalam pada itu terdengar Tojin atau imam itu telah berseru
dengan suaranya yang serak: “Pek-keng Tocu (penguasa pulau
paus putih), selamanya Tiang-lok-pang kami tiada permusuhan
apa-apa dengan kau. Jika sekarang kau mau mengaku kalah
dan bersedia mengadakan perserikatan dengan Pang kami,

maka segera kita akan menjadi sahabat baik dan tidak perlu
bertarung mati-matian seperti ini yang mungkin akan
melayangkan jiwa percuma.”
Tapi Tay-pi Lojin menjawab dengan gusar: “Seorang laki-laki
sejati masakah sudi menjadi begundal manusia-sia tidak punya
malu seperti kalian? Tidak, tidak bisa.” ~ Habis berkata tangan
kirinya mendadak mencakar kepundak lelaki bermuka jelek
itu.”
“Liong-jiau-jiu (cengkeraman cakar naga) yang hebat!” diamdiam
Yan-khek memuji serangan Tay-pi Lojin.
Serangan itu tampak lambat, tapi sebenarya sangat cepat.
Meski si lelaki muka jelek sudah mendakkan tubuh untuk
menghindar, tapi toh agak terlambat juga. Pundaknya sudah
dicengkeram oleh jari Tay-pi Lojin.
Keruan sitinggi kurus terkejut, cepat pedangya menusuk muka
Tay-pi Lojin. Dengan serangan selihay ini Tay-pi Lojin hendak
dipaksa menarik kembali cengkeramannya kepada sang kawan.
Maka terdengarlah suara “bret” sekali, baju bagian pundak
silelaki jelek telah tersobek sepotong, bahkan pundaknya
lantas berlumuran darah, nyata telah dilukai oleh cakaran Taypi
Lojin.
Ketiga orang itu menjadi gusar, mereka mengerubut dengan
lebih gencar lagi.
Diam-diam Yan-khek menjadi heran: “Macam perkumpulan
apakah Tiang-lok-pang itu? Kalau didalam Pang mereka
terdapat tokoh selihay ini, mengapa selama ini aku tidak
pernah dengar nama mereka?”

Tertampak pertarungan keempat orang itu makin lama makin
sengit. Mendadak silelaki jelek menggereng keras sekali dan
goloknya terus membabat. Tapi Tay-pi Lojin sempat mengegos
berbareng ia balas menjotos kearah si Tojin. “Crat”, golok
silelaki muka jelek telah menabas dibatang pohon, saking
kuatnya tabasan itu sehingga seketika golok susah dicabut
kembali. Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Tay-pi Lojin,
cepat sikutnya menyodok kepinggang lelaki muka jelek.
Rupanya Tay-pi Lojin telah bertahan sekuatnya dari
pengeroyokan ketiga jago lihay itu, ia insaf susah
menyelamatkan diri. Apalagi dalam pertarungan sengit itu,
pancainderanya yang tajam lapat-lapat telah melihat dibalik
pohon tersembunyi dua orang lagi, ia menduga pasti musuh.
Padahal untuk melawan tiga orang saja kewalahan, apalagi
musuh mendapat bala bantuan pula?
Karena itulah terpaksa ia mesti mengambil langkah berbahaya.
Ia lihat simuka jelek itu adalah paling lemah diantara ketiga
pengeroyok, maka pada kesempatan yang ada itu segera ia
menyikutnya. Maka terdengarlah “bluk” sekali, dengan tepat
pinggang simuka jelek tersikut.
Tay-pi Lojin bergirang karena serangannya tepat kena
sasarannya, segera ia memutar pula kebalik pohon. Pada saat
itu juga gandin berantai si Tojin telah menyambar datang dari
balik pohon. Tanpa pikir telapak tangan kiri Tay-pi Lojin
memotong keatas rantai gandin musuh. Tapi mendadak sinar
pedang berkelebat, cepat Tay-pi menggeser dan berkelit
kekanan.
Tak terduga, karena usianya sudah lanjut, setelah bertempur
sengit sekian lamanya, tenaganya sudah tidak sekuat seperti
waktu mudanya, mestinya geserannya itu dapat mencapai
sejauh dua meter, tapi sekarang hanya sejauh satu meter

lebih, maka terdengarlah “cret” yang perlahan, pedang sikurus
telah menembus bahu kirinya, tanpa ampun lagi ia terpaku
kencang dibatang pohon.
Karena perubahan yang luar biasa itu, sijembel cilik sampai
menjerit kaget. Tadi waktu menyaksikan seorang tua dikeroyok
tiga orang, memangnya dia sudah merasa tidak adil. Sekarang
dilihatnya pula siorang tua sudah dikalahkan, tentu saja ia
lebih-lebih kuatir dan tambah penasaran.
Sementara itu terdengar sikurus sedang berkata dengan
dingin: “Pek-keng Tocu, dasar kau, diminta dengan baik-baik
tidak mau dan maunya dipaksa. Sekarang kau mau menyerah
kepada Tiang-lok-pang kami atau tidak?”
“Hm, jika kau kenal aku sebagai Tocu dari Pek-keng-to, apakan
diantara penghuni Pek-keng-to kami ada pengecut yang pernah
tekuk lutut kepada orang lain?” bentak Tay-pi Lojin dengan
mata melotot. Mendadak ia meronta sekuatnya, nyata ia lebih
suka mengorbankan sebelah bahunya untuk melepaskan diri.
Namun gandin berantai si Tojin sudah bekerja juga, rantai
senjata itu telah melibat beberapa kali sehingga badan Tay-pi
Lojin terikat dibatang pohon, akhirnya terdengar suara “bluk”
sekali, ujung gandin telah menghantam didada Tay-pi Lojin.
Tanpa ampun lagi darah segar lantas menyembur keluar dari
mulut orang tua itu.
Sipengemis cilik tidak tahan lagi, mendadak ia berlari maju dan
berteriak-teriak : “Hai, kalian tiga orang yang jahat
mengeroyok seorang baik, ini tidak boleh jadi!”
Diam-diam Cia Yan-khek mengerut kening. Pikirnya :”Bocah ini
ternyata suka cari penyakit. Tapi biarkan saja, ada baiknya
juga membiarkan ketiga orang itu membunuhnya. Andaikan

bocah itu nanti minta tolong padaku, diantara ketiga lawan
sudah ada satu yang terluka, sisa dua orang itu tentu mudah
dilayani.”
Dalam pada itu tertampak sijembel cilik itu telah berlari sampai
dibawah pohon sana dan mengadang didepan Tay-pi Lojin
sambil berseru: “Kalian tidak boleh membikin susah lagi
kepada paman tua ini.”
Sebenarnya sitinggi kurus juga sudah mengetahui bahwa di
balik pohon itu tersembunyi orang. Tapi dilihatnya pemuda ini
toh tidak mahir ilmu silat, mengapa sedemikian berani
merintangi mereka, tentu dibelakangnya ada yang menjagoi.
Maka diam-diam ia merancang: “Biar aku menakut-nakuti
setan cilik ini, tentu orang yang menjagoi itu akan terpaksa
muncul sendiri.”
Segera ia cabut Kui-thau-to, golok berukiran kepala setan,
yaitu milik kawannya yang menancap dibatang pohon tadi, lalu
ia menggertak: “Setan alas, siapakah yang suruh kau
mengacaukan urusan Locu (bapakmu, kata olok-olok) ini? Hayo
lekas enyah, biar kumampuskan tua bangka itu!”
Habis berkata, ia sengaja mengangkat goloknya dengan lagak
hendak membacok, nyata seakan-akan pengemis kecil yang
mengadang didepannya itu juga akan dibacoknya sekalian
bersama Tay-pi Lojin.
“Tidak, tidak nanti aku mau pergi,” demikian jawab sijembel
malah tanpa gentar. “Paman tua ini adalah orang baik dan
kalian adalah orang jahat. Aku harus membantu orang baik dan
tak mau enyah.”
Kiranya dalam hidupnya sehari-hari, bila perasaan ibunya
kebetulan lagi senang, maka pengemis kecil itu terkadang juga

didongengi tentang orang jahat dan orang baik segala. Maka
dalam hati kecil bocah itu telah timbul kesan bahwa adalah
seharusnya dan maha adil bila membantu orang baik untuk
melawan orang jahat.
Maka terdengar sikurus telah membentak dengan gusar:
“Apakah kau kenal dia? Darimana kau tahu dia adalah orang
baik?”
“Paman tua ini tadi mengatakan Pang apa kalian itu adalah
perkumpulan orang jahat dan tidak sudi bergabung dengan
kalian, maka sudahlah terang kalian adalah orang jahat,”
demikian jawab sijembel cilik. Segera ia membalik tubuh dan
hendak melepaskan rantai gandin si Tojin.
Tapi si Tojin sudah lantas memberi persen sekali tamparan
sehingga mata sijembel cilik berkunang-kunang dan pusing
tujuh keliling, pipi kirinya seketika merah bengkak.
Dasar pengemis cilik itu memang tidak kenal tingginya langit
dan tebalnya bumi. Kemarin dia telah menyaksikan Go To-it
dikerubut oleh orang-orang Kim-to-the, soalnya dia tidak tahu
Go To-it itu orang baik atau jahat, pula mereka bertempur
diatas rumah dan akhirnya Go To-it terjungkal kebawah dan
segera perutnya ditikam oleh kedua kaitan Li Tay-goan, kalau
tidak, tentu saat itu juga dia akan tampil kemuka untuk
membelanya tanpa memikirkan mati-hidupnya sendiri.
Begitulah demi melihat sikap sijembel cilik yang tak gentar,
diam-diam sikurus menjadi sangsi malah, pikirnya: “Macam
apakah tokoh yang menjagoi kau itu sehingga kau berani main
gila dengan para Hiangcu (pemimpin bagian, hulubalang) dari
Tiang-liok-pang?”
Ia coba melirik kebalik pohon sana, sekilas tertampak olehnya

muka Cia Yan-khek yang aneh itu, seketika ia ingat kepada
seorang: “Muka orang ini mirip dengan pemilik medali wasiat
Mo-thian-kisu Cia Yan-khek, jangan-jangan memang dia
inilah?”
Segera ia coba menggertak lagi dengan mengacungkan
goloknya sambil membentak: “Aku tidak kenal asal-usulmu dan
siapa perguruanmu, pendek kata kau berani mengacau, segera
kubacok mampus pengemis kecil macam kau ini ?” ~ Dan
menyusul goloknya terus menyambar keleher sijembel cilik.
Tak terduga jembel cilik itu ternyata sangat bandel, sama
sekali ia tidak gentar dan tidak bergerak sedikitpun. Ketika
golok sikurus sudah hampir mengenai leher bocah itu barulah
mendadak sikurus tahan senjatanya, pujinya: “Anak setan,
besar juga nyalimu, ya?”
Sebaliknya watak si Tojin sangat berangasan, ia menjadi
aseran melihat kebandelan sijembel cilik, “plak”, kembali ia
menampar lagi dengan lebih keras.
Betapapun usia pengemis cilik itu masih sangat muda, karena
berulang-ulang digampar, maka menangislah dia.
“Jika kau tidak ingin dihajar lagi, lebih baik kau menyingkir
saja!” ujar sikurus.
“Asal kalian pergi dulu dan takkan membikin susah paman tua
ini, maka tanpa disuruh juga aku akan segera pergi”, sahut
sijembel cilik sambil bersengut.
Sikurus menjadi tertawa malah. Sebaliknya si Tojin tambah
murka, kontan kakinya mendepak sehingga sijembel cilik jatuh
terguling. Tapi biarpun babak-belur dan didepak terguling,
tetap sijembel pantang mundur, begitu merangkak bangun,

kembali dia mengadang didepan Tay-pi Lojin pula.
Sifat Tay-pi Lojin itu sebenarnya sangat aneh dan menyendiri,
selama hidupnya jarang berkawan. Sekarang dilihatnya anak
muda yang selamanya tidak pernah dikenalnya itu telah
membela dengan mati-matian, mau-tak-mau timbul juga rasa
terima kasihnya. Maka katanya: “Adik cilik, percumalah kau
bertengkar dengan mereka, bukan mustahil jiwamu akan
melayang percuma pula. Dihari tua orang she Thia ternyata
dapat mengikat seorang sahabat kecil sebagai kau, sungguh
hidupku ini boleh dikata tidak sia-sia. Sekarang lekaslah kau
pergi saja.”
Apa yang dikatakan “dihari tua” dan “hidup tidak sia-sia” segala
dengan sendirinya sijembel cilik tidak paham sama sekali, ia
hanya tahu orang tua itu telah menyuruhnya lekas pergi saja.
Maka ia lantas menjawab: “Tidak, engkau adalah orang baik,
betapapun kau tidak boleh dicelakai oleh mereka.”
Sikurus adalah seorang cerdik dan bisa berpikir panjang. Diamdiam
ia memikir: “Datangnya bocah ini sangat mendadak dan
aneh, orang yang sembunyi dibalik pohon itu entah betul Cia
Yan-khek atau bukan, rasanya kita tidak perlu banyak
mengikat permusuhan. Namun melulu beberapa patah-kata
sibocah ini dan kami lantas pergi, hal ini bukankah
menunjukkan Tiang-lok-pay taku kepada orang lain.”
Tiba-tiba ia mendapat akal, ia angkat golok Kui-thau-to dan
berkata: “Baiklah, anak kecil, aku ingin menjajal kau sekali
lagi. Berturut-turut aku akan membacok dan menabas 36 kali
padamu, jika kau sama sekali tidak bergerak, maka aku akan
menyerah padamu. Nah, kau takut tidak ?”
“Berulang-ulang dibacok 36 kali, sudah tentu aku takut,” sahut
sijembel.

“Jika takut, nah, lebih baik kau menyingkir pergi saja,” ujar
sikurus.
“Tidak, hanya didalam hati aku takut, tapi aku justeru tidak
mau pergi,” sahut sijembel cilik.
Sikurus mengacungkan jempolnya dan memuji: “Bagus! Anak
yang gagah. Nah, awas serangan!” ~ “Sret”, segera goloknya
menabas lewat diatas kepala jembel cilik itu.
Dari balik pohon Cia Yan-khek dapat melihat dengan jelas
bahwa tabasan sikurus itu sangat cepat dan gesit, tenaga yang
digunakan adalah tenaga pergelangan tangan, walaupun tak
diketahui apa namanya jurus itu, tapi golok yang antap itu
ternyata dapat dimainkan dengan enteng dan cepat sekali.
Tabasan itu menyerempet lewat diatas ubun-ubun kepala
sijembel sehingga secomot rambutnya terkupas.
Namun demikian, benar juga sijembel cilik tetap sangat tabah,
ia tetap berdiri tegak dan tidak bergerak sedikitpun.
Menyusul sinar golok tampak berkelebat dan menyambar kian
kemari diatas kepala sijembel, rambut bertebaran pula. Setelah
32 kali menabas, mendadak sikurus membentak sekali, golok
membacok dari atas kebawah, “bret”, lengan baju kanan
sijembel telah terkupas sepotong, menyusul lengan baju kiri
dikupas pula dengan cara yang sama, bahkan celananya juga
terpotong sebagian dikanan-kirinya. Dengan demikian menjadi
genaplah 36 kali bacokan dan tabasan. Diwaktu menarik
kembali goloknya, tahu-tahu sikurus menggunakan gagang
goloknya untuk menyodok di “Tan-tiong-hiat” didada Tay-pi
Lojin, lalu ia tertawa terbahak-bahak dan berkata: “Anak cilik,
sungguh hebat kau, ketabahanmu memang luar biasa!”

Cia Yan-khek telah mengikuti dengan baik apa yang dilakukan
sikurus itu. Ia lihat sikurus telah memainkan goloknya dengan
36 jurus serangan yang susul-menyusul dan ternyata
sedikitpun tiada lubang kelemahan, maka diam-diam Yan-khek
memuji akan kepandaian orang. Waktu dilihatnya pula sikurus
menutuk Hiat-to mematikan didada Tay-pi Lojin pada saat dia
menarik kembali goloknya, diam-diam iapun menganggap
tindakan sikurus itu terlalu keji.
Dalam pada itu rambut sijembel cilik yang tadinya gombyok
kusut itu, setelah kena 32 kali tabasan kini telah berubah
menjadi seroang Hwesio kecil.
Tadi ia ditabas 32 kali dan setiap kali tabasan itu selalu
menyerempet diatas kepalanya, hal ini sebagian adalah karena
ketekadannya ingin membela Tay-pi Lojin, tapi sebagian juga
lantaran kesimanya sehingga tidak dapat bergerak. Sesudah
sikurus habis menabas, ia coba meraba kepalanya sendiri dan
terasa masih baik-baik tanpa kurang apa-apa, maka barulah
dia menghela napas lega.
Sebaliknya si Tojin dan simuka jelek lantas bersorak memuji:
“Bi-hiangcu, ilmu pedang yang hebat !”
“Ha, permainan kasaran saja!” sahut sikurus dengan
tersenyum.
“Mengingat ketabahan sobat kecil ini, biarlah hari ini kita
mengalah sedikit padanya. Sekarang marilah kita pergi saja
saudara-saudara.”
Melihat Tay-pi Lojin sudah tinggal napas yang terakhir saja
karena sodokan gagang golok sikurus tadi, maka si Tojin dan
simuka jelek juga tidak rewel-rewel lagi, mereka jemput
senjata masing-masing lalu melangkah pergi.

Sikurus mendadak menabok sekali diatas batang pohon, tahutahu
pedangnya yang menancap dibatang pohon dengan
memantek tubuh Tay-pi Lojin itu lantas mencelat keluar
dengan membawa darah segar orang tua itu. Segera sikurus
sambar sambar pedangnya dan bertindak pergi dengan
tertawa, sama sekali ia tidak berpaling lagi ketempat
sembunyinya Cia Yan-khek.
Diam-diam Yan-khek membatin: “Kiranya sikurus itu she Bi
dan adalah Hiangcu dari tiang-lok-pang. Dia sengaja
memperlihatkan dua jurus kepandaiannya padaku, terutama
tabokan yang menggetarkan batang pohon untuk
mengeluarkan pedang itu betul-betul sangat lihay.”
Dalam pada itu sipengemis cilik sedang berkata kepada Tay-pi
Lojin: “Paman tua, biar kubalut lukamu itu.” ~ Lalu ia ambil
sobekan kain bajunya sendiri yang ditabas sikurus tadi dan
hendak membalut luka dibahunya Tay-pi Lojin.
Namun orang tua itu lantas berkata: “Ti…………tidak perlu lagi!
Di………….didalam kantongku ada………..ada beberapa boneka
kecil……….ku………..kuberikan semua itu
pa………………….padamu………………” ~ belum selesai ucapannya,
matanya terpejam dan kepalanya miring kesamping, tubuhnya
yang besar itu perlahan-lahan merosot kebawah pangkal
pohon.
“Paman tua! Paman tua!” seru sijembel cilik dan bermaksud
memayang orang tua itu. Tapi dilihatnya Tay-pi Lojin sudah
meringkuk ditanah dan tak bisa berkutik lagi.
Segera Cia Yan-khek mendekatinya dan bertanya: “Apa yang
dia katakan sebelum mati?”

“Dia bilang……….dia bilang didalam kantongnya ada beberapa
boneka kecil dan diberikan padaku semua”, sahut sijembel cilik.
Cia Yan-khek kenal Tay-pi Lojin adalah seorang tokoh besar
didunia persilatan, dalam hal ilmu silat sekali-kali tidak dibawah
dirinya, maka bukan mustahil pada tubuh orang tua itu tentu
dapat diketemukan benda-benda yang penting. Namun sebagai
seorang tokoh pula Cia Yan-khek juga bertinggi hati dan sekalikali
tidak sudi mencuri apa-apa milik orang mati. Andaikan
tahu betul Tay-pi Lojin membawa benda-benda mestika juga
dia tidak mau mengambilnya. Karena itulah ia lantas berkata :
“Jika dia telah memberikannya padamu, maka bolehlah kau
ambil saja.”
“Dia sendiri yang memberi, kalau aku mengambilnya terhitung
maling kecil atau bukan ?” tanya sijembel cilik.
“Bukan”, sahut Yan-khek dengan tertawa.
Segera sijembel menggagapi saku bajunya Tay-pi Lojin dan
mengeluarkan isinya, diantaranya terdapat sebuah kotak kayu
kecil, beberapa uang perak dan beberapa buah senjata rahasia
berduri. Selain itu pula beberapa pucuk surat dan seperti ada
pula sehelai peta.
Sebenarnya didalam hati Cia Yan-khek sangat ingin tahu apa
yang tertulis didalam surat-surat itu dan apa yang terlukis
didalam peta. Tapi ia merasa, asal tangannya menyentuh
barang-barang itu, maka nama baiknya sebagai seorang tokoh
pujaan dunia persilatan tentu akan tercemar.
Dalam pada itu tertampak sijembel cilik sudah membuka kotak
kecil itu, didalam diganjel dengan kapas dan terdapat tiga baris
boneka buatan tanah liat. Setiap barisnya ada enam boneka
sehingga seluruhnya ada 18 buah. Buatan boneka-boneka itu

sangat indah, semuanya berbentuk laki-laki dan telanjang,
ditubuh boneka yang berwarna putih itu penuh terlukis garisgaris
merah.
Sekali pandang saja Cia Yan-khek lantas tahu bahwa garisgaris
merah yang terlukis diatas tubuh boneka-boneka itu
adalah model-model untuk melatih sejenis Lweekang yang
tinggi, besar kemungkinan adalah rahasia inti dari ilmu
Lweekang golongan Pek-keng-to. Rupanya Tay-pi Lojin merasa
berterima kasih kepada jiwa kesatria sijembel cilik yang telah
membelanya mati-matian, maka telah menghadiahkan bendabenda
mestika itu. Tapi lantas terpikir oleh Cia Yan-khek:
“Percuma juga maksud Tay-pi Lojin itu, andaikan tidak
diberikan, toh kalau bocah ini menemukan boneka-boneka itu
didalam kantongmu juga tentu akan diambilnya untuk barang
mainan.”
Padahal dugaan Cia Yan-khek ini pasti meleset. Pengemis kecil
itu sekarang sudah paham bahwa mengambil barang orang lain
secara diam-diam adalah maling kecil serta orang jahat, maka
tidaklah mungkin dia berani menggerayangi milik Tay-pi Lojin
jika orang tua itu tidak memberitahukan tentang barang apa
yang berada disakunya itu.
Selamanya jembel cilik itu hidup diatas gunung yang terpencil,
untuk pertama kalinya sekarang dia melihat boneka-boneka
sebanyak itu, keruan ia sangat senang dan berulang-ulang
menyatakan : “Sungguh menarik sekali. Tapi mengapa tidak
pakai baju? Apa tidak dingin.”
Diam-diam Cia Yan-khek membatin: “Meski Tay-pi biasanya
tidak cocok dengan aku, tapi dia terhitung juga seorang tokoh
terkemuka, betapapun jenazahnya tidak boleh ditelatarkan
begini saja.”

Segera ia berkata kepada sijembel cilik yang lagi asyik dan
senang memandangi boneka-boneka kecil itu: “Kawanmu itu
sudah mati, apa kau tidak menanamkan mayatnya ?”
“Ya, tapi cara bagaimana menanamnya ?” sahut sijembel.
“Kalau kau kuat, boleh kau menggali sebuah liang, kalau tidak
kuat, boleh menguruki dia dengan tanah, batu dan daun-daun
kering.
“Disini juga tiada cangkul dan susah untuk menggali liang”,
ujar sijembel. Maka ia lantas mengusung batu dan tanah, dan
uruk pula dengan daun-daun kering sehingga jenazah Tay-pi
Lojin tertutup rapat.
Karena usianya masih terlalu muda, setelah selesai menguruk
jenazah Tay-pi itu ia sendiri sudah mandi keringat dan sangat
lelah.
Cia Yan-khek tetap berdiri menonton saja disamping dan tidak
membantunya. Ia tunggu sijembel cilik selesai bekerja bakti,
lalu ia mengajaknya berangkat.
“Kemana lagi? Aku sudah terlalu lelah dan takkan ikut
padamu!” sahut sijembel.
“Kenapa? Kau tidak ikut pergi padaku?” tanya Yan-khek.
“Tidak, aku akan mencari ibu dan si Kuning,” kata sijembel
cilik.
Diam-diam Yan-khek menjadi kuatir: “Bocah ini belum lagi
meminta sesuatu padaku, jika dia tidak mau ikut pergi padaku,
hal ini menjadi sulit bagiku. Sedangkan akupun takdapat
mengajak dia secara paksa. Ah, sumpahku dahulu itu hanya

mengatakan tidak boleh main paksa kepada orang yang
mengembalikan medali wasiat padaku dan tidak menyatakan
tak boleh mendustai dia. Maka sekarang terpaksa aku harus
mendustai dia saja.”
Maka ia lantas berkata: “Kau boleh ikut padaku saja, nanti aku
bantu mencarikan ibumu dan si Kuning.”
“Baik sekali. Kepandaianmu sangat tinggi, tentu kau akan
dapat menemukan ibuku dan si Kuning,” sahut sijembel dengan
girang.
Yan-khek pikir tiada gunanya banyak bicara dengan bocah itu,
untung bocah itu tidak pernah memohon secara resmi
padanya, kalau tidak tentu akan sulit untuk mencarikan ibunya
dan anjing piaraannya itu. Segera ia pegang tangan kanan
sijembel dan berkata: “Marilah kita berjalan cepatan sedikit !”
Dan baru saja sijembel cilik mengiakan, tahu-tahu ia merasa
tubuhnya terseret dan seakan-akan terapung dan berlari
secepat terbang. Bukannya takut, sebaliknya ia menjadi
senang, serunya: “Ha, enak sekali, enak sekali!”
Kiranya Cia Yan-khek telah menggunakan Ginkang yang tinggi
dan mengerahkan sedikit tenaga dalam untuk membawanya
berlari. Keruan sijembel cilik merasa seperti dibawa terbang
dan tertawa-tawa senang sambil memuji kepandaian Cia Yankhek.
Sampai hari sudah gelap, entah sudah berapa jauhnya mereka
berlari, akhirnya mereka sampai ditengah-tengah gunung yang
sepi. Disitulah Yan-khek berhenti dan melepaskan tangan
sijembel cilik.
Sesudah berhenti barulah sijembel cilik itu merasakan kakinya

lemas dan tidak kuat berdiri lagi, seketika ia jatuh terduduk.
Hanya sebentar saja ia berduduk, segera ia merasa kedua
telapak kakinya kesakitan, ternyata sudah merah dan bengkak.
Ia berteriak kaget: “Ha, paman tua, kakiku bengkak!”
“Jika kau minta aku mengobati kau, tentu segera kakimu
takkan bengkak dan sakit”, sahut Cia Yan-khek.
“Kalau kau mau menyembuhkan aku, dengan sendirinya aku
akan berterima kasih padamu”, sahut sijembel cilik.
Mau-tak-mau Cia Yan-khek mengerut kening, katanya pula:
“Apa benar-benar selamanya kau tidak pernah memohon apaapa
kepada orang lain?”
“Jika engkau suka menyembuhkan aku, tentunya tidak perlu
aku memohon, sebaliknya kalau engkau memang tidak mau,
biarpun aku memohon juga percuma”, ujar sijembel.
“Kenapa percuma ?” Yan-khek menegas.
“Habis, kalau engkau tidak mau menyembuhkan aku, tentunya
aku akan sedih, boleh jadi akan menangis. Sebaliknya kalau
tidak dapat mengobati aku, tentunya engkau yang akan
merasa susah.”
“Hm, hatiku selamanya tidak pernah susah. Nah, kita tidur saja
disini!” jengek Yan-khek.
Agar sesuai dengan kenyataannya karena anak muda itu tidak
sudi memohon sesuatu apapun kepada orang lain, dengan
sendirinya istilah “sijembel cilik” atau “sipengemis cilik” adalah
tidak tepat baginya, maka untuk selanjutnya kita akan
menyebutnya sebagai anak muda saja.

Begitulah anak muda itu telah bersandar pada sebatang pohon,
meski kedua kakinya melepuh sakit, tapi saking lelahnya,
hanya sebentar saja ia sudah terpulas, sampai perutnya yang
sudah lapar juga terlupakan.
Cia Yan-khek sendiri lantas melompat keatas pohon dan tidur
disitu. Ia berharap tengah malam nanti akan datang seekor
binatang buas dan anak muda itu akan digigit mati dan
dimakan sehingga akan mengakhiri kesulitan atas diri anak
muda itu.
Tak terduga, sepanjang malam itu seekor kelincipun tidak lalu
disitu jangankan lagi seekor binatang buas. Diam-diam Yankhek
membatin : “Terpaksa aku mesti membawa pulang dia ke
Mo-thian-kay. Kalau nanti dia membuka mulut memohon
sesuatu yang mudah dikerjakan olehku, maka hal itu terhitung
dia yang mujur, kalau tidak, betapapun aku harus berdaya
upaya untuk membinasakan dia. Sungguh celaka, kalau
terhadap seorang bocah cilik saja takbisa membereskannya,
lalu macam apakah manusia Mo-thian-kisu yang tersohor ini?”
Esok paginya Cia Yan-khek menggandeng tangan anak muda
itu dan diajaknya berangkat pula. Tapi baru melangkah
beberapa tindak, anak muda itu lantas menjerit kesakitan
karena telapak kakinya serasa ditusuk oleh beratus-ratus
jarum.
“Kenapa?” tanya Yan-khek. Ia menyangka anak muda itu tentu
akan mengajukan permintaan berhenti dahulu atau permintaan
lain sebagainya.
Tak terduga anak muda itu hanya menjawab: “Tidak apa-apa,
kakiku sedikit sakit. Marilah kita jalan terus.”
Karen takbisa meng-apa-apakan anak muda itu, lama-lama Cia

Yan-khek menjadi naik darah, segera ia seret anak muda itu
dan berlari lebih kencang lagi.
Mereka berlari terus tanpa berhenti. Bila lalu dikota, seadanya
Cia Yan-khek membeli sedikit penganan, lalau berangkat lagi,
sambil lari sambil makan. Kalau dia membagi makanan itu
kepada sianak muda barulah anak muda itu memakannya,
kalau tak membaginya, anak muda itu juga tidak minta.
Dengan demikian beberapa hari telah lalu dengan cepat.
Sampai hari keenam, tempat mereka berlari-lari itu adalah
ditengah lereng gunung yang terjal. Sungguh aneh juga, meski
anak muda itu tidak paham ilmu silat, tapi dengan digandeng
oleh Cia Yan-khek, semakin lama berlari, semakin bersemangat
malah. Sampai akhirnya bahkan kedua kakinya tidak terasa
sakit lagi.
Bab 7. Ada Ubi Ada Talas, Utang Budi Harus Membalas
Sesudah berlari satu hari pula, jalanan pegunungan itu makin
lama tambah berbahaya. Akhirnya anak muda itu tidak
sanggup mendaki lagi, terpaksa Cia Yan-khek
menggendongnya dan berlompatan dari suatu tebing ketebing
yang lain dan dari suatu lereng ke lereng yang lain.
Anak muda itu sampai kebat-kebit melihat lereng-lereng
gunung yang curam disekitarnya itu. Terkadang kalau ketmu
tempat-tempat yang curam dan mengerikan, terpaka ia
pejamkan mata dan tidak berani melihat.
Pada waktu lohor, sampailah Cia Yan-khek dibawah sebuah
tebing yang menegak curam, tinggi mencakar langit. Dengan
bantuan seutas rantai besi yang menjulur dari atas tebing itu
Yan-khek lantas mendaki tebing itu.

Tebing itu sesungguhnya halus licin dan tegak, jangankan
manusia, sekalipun kera juga susah mendaki keatas. Coba
kalau tiada rantai besi yang panjang itu, biarpun kepandaian
Cia Yan-khek setinggi langit juga belum tentu mampu
memanjat keatas.
Sampai dipuncak tebing itu, Cia Yan-khek menurunkan anak
muda itu, lalu katanya: “Tempat ini namanya Mo-thian-kay
(tebing pencakar langit), karena itulah aku mendapat julukan
sebagai Mo-thian-kisu (pertapa dari tebing pencakar langit).
Maka itu bolehlah tinggal saja disini.”
Anak muda itu coba memandang sekitarnya, ia lihat puncak
tebing itu cukup luas jua, tapi dikelilingi oleh kabut dan awan
sehingga dirinya seakan-akan berada ditengah langit. Tanpa
merasa ia menjadi cemas dan gelisah. Segera ia tanya:
“Katanya kau akan mencarikan ibuku dan si Kuning ?”
Tapi Cia Yan-khek telah menjawabnya dengan dingin : “Dunia
seluas ini, kemana aku harus mencari ibumu? Biarlah kita
menunggunya disini saja, boleh jadi pada suatu hari ibumu
akan datang kesini untuk menjenguk kau, siapa tahu ?”
Biarpun anak muda itu masih ke-kanak-anakan dan hijau
dalam segala hal, tapi tahu juga bahwa dia telah diapusi oleh
Cia Yan-khek. Ditempat demikian cara bagaimana ibunya dapat
menemukan dia? Karena itu, seketika ia menjadi terkesima.
“Kapan-kapan bila kau ingin pergi dari sini juga boleh,” kata
Yan-khek pula. Diam-diam ia percaya kalau anak muda itu tak
diberi makan, untuk turun kebawah tebing juga tidak berani,
akhirnya anak muda itu tentu akan membuka mulut untuk
memohon sesuatu padanya.
Biasanya biarpun ibu anak muda itu bersikap sangat dingin,

tetapi selamanya tidak pernah mengapusi padanya. Sekarang,
untuk pertama kali selama hidupnya dia telah diapusi orang,
entah bagaimana perasaannya, air matanya lantas berlinanglinang
dikelopak matanya, tapi sedapat mungkin ia
menahannya agar air matanya tidak sampai menetes.
Ia lihat Cia Yan-khek telah memasuki sebuah gua, selang tak
lama dari dalam gua tampak mengepul keluar asap, yaitu asap
orang sedang memasak. Selang sejenak pula lantas terendus
bau sedap dari dalam gua itu.
Memangnya perut anak muda itu sudah lapar, maka ia lantas
masuk kedalam gua. Ia lihat gua itu sangat luas dan cukup
untuk bersembunyi beberapa ratus orang.
Rupanya Cia Yan-khek sengaja menanak nasi dan memasak
daging dimulut gua dengan tujuan memancing selera makan
anak muda itu agar meminta makan padanya. Tak terduga,
anak muda itu sejak kecil hanya hidup berdampingan dengan
ibunya saja, pada hakikatnya dia tidak tahu tentang milikmu
ataupun milikku, asal melihat makanan lantas diambilnya dan
dimakan, kenapa mesti pakai minta segala. Karena itulah, demi
dilihatnya diatas meja batu didalam gua itu tertaruh sepiring
daging rebus dan sebakul nasi, maka tanpa permisi lagi ia
lantas mengambil mangkuk dan sumpit sendiri, lalu mengisi
nasi dan mengambil dan terus dimakan.
Cia Yan-khek menjadi tercengang sendiri. Pikirnya: “Ia pernah
mentraktir aku makan bakpau, bahakan juga makan di
restoran, kalau sekarang aku melarang dia makan masakanku
tentu hal ini akan memperlihatkan kerendahan budiku sendiri.”
Karena itulah iapun tidak ambil pusing, segera ia juga makan
sendiri.

Rupanya penghidupan “berdikari” bagi anak muda itu sudah
menjadi biasa, maka sehabis makan ia lantas mencuci
mangkok, piring dan sumpit, lalu membersihkan bakul nasi dan
selesai itu ia lantas pergi mencari kayu semuanya itu
dikerjakannya seperti biasanya kalau dia hidup bersama
dengan ibunya.
Sesudah mendapatkan kayu satu pikul, baru saja dia
memikulnya pulang kegua, tiba-tiba dari semak-semak ditepi
jalan melompat keluar seekor rusa. Dengan sebat sekali anak
muda itu mengangkat kapaknya dan rusa itu kena dihantam
mati. Segera ia menyembelih rusa itu dan dicuci bersih dengan
air selokan yang jernih, lalu dibawanya pulang kegua. Ia
gantung sebelah badan rusa itu ditempat terbuka agar kena
angin dan supaya tidak rusak, daging rusa yang lain ia potongpotong,
lalu direbus didalam kuali.
Ketika mengendus bau sedapnya daging rusa rebus, Cia Yankhek
tidak tahan lagi, ia coba menceduk satu sendok kuahnya
dan mencicipinya. Tiba-tiba ia menjadi girang dan masgul pula.
Ternyata rasa kuah itu enaknya tak terkira, cara masaknya
ternyata berpuluh kali lebih pandai daripada dia sendiri.
Sungguh tak tersangka olehnya bahwa anak muda itu ternyata
masih mempunyai kepandaian simpanan, kalau hidup bersama,
tentu selanjutnya dia akan dapat banyak menikmati makanan
enak. Tapi lantas teringat pula olehnya, jika anak muda itu
dapat berburu dan memasak, tentunya juga takkan meminta
supaya diantar kebawah gunung, maka harapannya agar anak
muda itu akan mengemukakan permintaannya itu menjadi
kandas lagi.
Kiranya ibu anak muda itu pintar sekali memasak, tapi
tabiatnya aseran dan malas pula, lebih sering dia suruh anak
muda itu memasak daripada dia turun tangan sendiri. Bila

masakan anak muda itu kurang enak, dikala senang iapun suka
memberi petunjuk-petunjuk cara masak dan resep-resepnya,
tapi diwaktu kurang senang, sedikit-sedikit ia lantas
mendamperat dan memukul anak muda itu.
Begitulah dengan cepat beberapa hari telah lalu, selama itu
anak muda itu tetap melakukan pekerjaannya dengan baik, ia
memasang perangkap untuk menangkap binatang, membikin
jepretan untuk membidik burung, ternyata macam-macam dan
ada-ada saja kepandaiannya sehingga setiap hari dia membikin
masakan yang serba baru untuk disajikan kepada Cia Yankhek.
Kalau tidak habis termakan, maka sisa daging lantas
dikeringkan menjadi dendeng.
Karena kepandaian sianak muda yang serba pintar dan baru
itu, Cia Yan-khek menjadi terheran-heran. Waktu dia
menanyakan dari mana asal-usulnya kepandaian masak itu,
sianak muda menjawab bahwa semuanya itu adalah ibunya
yang mengajarkannya.
Diam-diam Cia Yan-khek tambah heran. Ia pikir kalau ibu dan
anak itu sedemikian pandai memasak, maka seharusnya
mereka adalah orang-orang pintar, ia menduga mungkin
ibunya adalah wanita kampung yang telah ditinggalkan sang
suami sehingga timbul tabiatnya yang aneh dan menjendiri,
atau boleh jadi karena tabiat pembawaannya yang aneh itu
maka telah ditinggalkan suaminya.
Dan karena anak muda itu jarang sekali mengajak bicara
padanya, diam-diam Cia Yan-khek sendiri menjadi sedih malah.
Pikirnya: “Kalau urusan ini tidak lekas-lekas dibereskan,
betapapun akan selalu merupakan ancaman bagiku. Bila pada
suatu ketika anak muda itu mendapat bujukan musuhku dan
mendadak dia memohon aku memunahkan ilmu silatku sendiri
atau membikin cacat anggota badanku sendiri, wah, kan bisa

celaka ? Atau mungkin sekali dia minta aku jangan turun dari
Mo-thian-kay ini untuk selamanya, bukankah itu berarti aku
akan mati konyol diatas puncak yang terpencil ini?”
Dalam keadaan demikian, biarpun Cia Yan-khek adalah seorang
yang cerdik, seketika iapun tidak mendapatkan akal yang baik.
Pada suatu hari, lewat lohor, Cia Yan-khek sedang berjalanjalan
iseng dihutan dekat guanya, sekilas dilihatnya anak muda
itu sedang tengkurap diatas batu cadas dengan tertawa-tawa
senang menghadapi serentetan benda-benda.
Waktu Yan-khek memperhatikan, kiranya benda-benda itu
adalah ke-18 buah boneka tanah pemberian Tay-pi Lojin tempo
hari. Anak muda itu telah menaruh boneka-boneka itu secara
terpisah disana-sini, sebentar dia membariskan boneka-boneka
itu, lain saat boneka itu disuruh perang-perangan. Sungguh
asyik dan senang sekali anak muda itu dengan barang
permainannya itu.
Ketika melihat diatas badan boneka-boneka itu penuh terdapat
garis merah dan titik-titik hitam, segara Yan-khek
mendekatinya, benar juga seperti apa yang telah diduganya,
memang titik-titik hitam itu menunjukkan berbagai Hiat-to
diatas tubuh manusia dan garis merah itu adalah jalannya uraturat
nadi.
Yan-khek menjadi teringat kepada kejadian dahulu ketika ia
bertanding dengan Tay-pi Lojin diatas gunung Pak-bong-san,
kepandaian Tay-pi Lojin tatkala itu hanya keras pukulannya
dan ilmu Kim-na-jiu-hoat yang banyak perubahannya dan
cepat. Sesudah bertanding lebih satu jam, akhirnya Yan-khek
telah menang setengah jurus sehingga Tay-pi Lojin lantas
mundur teratur. Ilmu silat Tay-pi Lojin memang sangat tinggi,
tapi mengutamakan kepandaian luar dan bukan kepandaian

dalam tau Lweekang, akan tentang tanda-tanda latihan
Lweekang yang terlukis dibadan boneka-boneka itu mungkin
sangat cetek dan mentertawakan.
Segera Yan-khek mengambil salah sebuah boneka itu, ia lihat
tanda-tanda Hiat-to dan garis-garis urat nadi yang terlukis itu
memang benar adalah pengantar latihan Lweekang yang tepat,
pada umumnya cara-cara permulaan melatih Lweekang dari
berbagai golongan dan aliran tiada banyak bedanya seperti apa
yang terlukis diatas boneka-boneka ini dan tiada sesuatupun
yang perlu dirahasiakan. Apa barangkali Tay-pi Lojin kemudian
sadar bahwa kepandaiannya yang takdapat melebihi tokoh lain
adalah disebabkan kekurangannya dalam ilmu Lweekang, maka
entah darimana dia telah memperoleh 18 buah boneka itu
dengan maksud hendak meyakinkan Lweekang untuk
mengimbangi kepandaiannya yang sudah ada. Tapi untuk
meyakinkan Lweekang dengan baik toh tidak dapat
disempurnakan dalam waktu singkat saja, padahal usia Tay-pi
Lojin sampai ajalnya sudah lebih 80 tahun, maka Lweekang
yang dikehendakinya itu terpaksa dilatihnya diakhirat saja.
Hahaha, sungguh lucu! ~ Demikian pikir Yan-khek dan tanpa
terasa akhirnya ia bergelak tertawa.
Anak muda itu ikut tertawa, katanya: “Paman tua, tentunya
kau geli melihat boneka-boneka ini berjenggot dan bukan
anak-anak, tapi semuanya telanjang bulat, makanya kau
tertawa geli.”
“Ya, memang menggelikan”, ujar Yan-khek sambil tertawa.
Lalu ia memeriksa boneka-boneka lain lagi, ia lihat Hiat-to dan
urat-urat nadi yang terlukis diatas boneka-boneka itu satu
sama lain berbeda-beda. Yang 12 buah melukiskan Cing-kengcap-
ji-meh, yaitu 12 urat nadi tetap diatas tubuh manusia.
Sedangkan 6 buah lainnya melukiskan enam urat nadi aneh

diatas tubuh manusia, padahal urat nadi aneh itu mestinya
berjumlah delapan, yaitu apa yang disebut “Ki-keng-pat-meh”.
Tapi sekarang dua urat nadi, yaitu Ciong-meh dan Tay-meh
yang paling ruwet dan paling susah dipahami itu ternyata tidak
ada, jadi boneka-boneka itu kurang lengkap.
Diam-diam Cia Yan-khek membatin: “Boneka-boneka yang
dianggap benda mestika dan selalu dibawa oleh Tay-pi Lojin ini
ternyata tidak lengkap. Padahal Lweekang yang dia ingin
belajar ini adalah ilmu kasaran saja, asal dia mengundang
seorang murid salah satu perguruan ilmu silat yang melatih
Lweekang untuk memberi petunjuk, maka dengan mudah akan
dapat dipahaminya. Tapi, ya, maklumlah, dia adalah tokoh
angkatan tua yang kenamaan, masakah dia mau merendahkan
diri untuk minta petunjuk kepada orang lain?”
Ia lantas terbayang lagi pada pertandingannya melawan Tay-pi
Lojin dahulu, meski akhirnya dia menang setengah jurus, tapi
kemenangannya itu diperoleh secara kebetulan saja, selama
satu jam bertarung dengan mati-matian itu beberapa kali ia
sendiripun menghadapi bahaya maut, kalau dipikir sekarang,
sungguh untung sekali baginya, coba kalau waktu itu Taypi
Lojin sudah mempunyai dasar Lweekang yang kuat, tentu tidak
sampai setengah jam dirinya sudah dihantam terjungkal
kedalam jurang oleh Tay-pi Lojin.
Dan baru saja ia hendak tinggal pergi, mendadak terpikir lagi
olehnya: “Jika bocah ini sedemikian senangnya memain
boneka-boneka ini, kenapa aku tidak mengajarkan Lweekang
yang terlukis diatas boneka-boneka itu padanya supaya dia
nanti “Cau-hwe-jip-mo” (tenaga dalam jalan tersesat sehingga
mengakibatkan kematian atau kelumpuhan) dan mungkin juga
akan binasa ? Dahulu aku cuma bersumpah takkan
menggunakan kekerasan kepada orang yang mengembalikan
medali wasiat padaku, kalau sekarang dia mampus sendiri

karena salah melatih Lweekang, hal ini dengan sendirinya
bukan salahku dan bukan aku yang membunuhnya sehingga
aku tidak melanggar sumpah. Ya, kukira jalan inilah yang
paling baik”.
Demikianlah tindak-tanduk Cia Yan-khek memangnya
tergantung kepada pikirannya seketika itu saja. Walaupun dia
suka pegang teguh tentang kepercayaan, terutama apa yang
pernah dia janjikan sendiri, tapi dalam hal tingkah laku dan
cara berpikir baginya adalah bukan apa-apa dan tidak berharga
sepeserpun.
Karena itulah segera ia pegang pula sebuah boneka itu dan
berkata: “He, anak kecil, apakah kau tahu apa artinya titik-titik
hitam dan garis-garis merah diatas boneka ini?”
Anak muda itu berpikir sejenak, kemudian menjawab:
“Boneka-boneka ini sedang sakit.”
“Mengapa sakit?” tanya Yan-khek dengan heran.
“Tahun yang lalu akupun pernah sakit dan sekujur badanku
timbul tutul-tutul merah seperti ini”, ujar sianak muda.
Yan khek menjadi tertawa geli. Katanya: “Itu adalah sakit
gabak. Tapi apa yang terlukis dibadan boneka ini bukan
penyakit gabak melainkan rahasia cara belajar ilmu silat. Kau
telah menyaksikan aku menggendong kau sambil berlari
secepat terbang, kepandaianku itu bagus atau tidak?”
Sampai disini, agar dapat memperteguh keinginan anak muda
itu akan belajar ilmu silat, maka ia lantas meloncat kepucuk
sebatang pohon, dengan kaki kiri ia menahan diatas dahan,
sekali menyendal, kembali ia meloncat keatas lagi, lalu
menurun dengan perlahan kedahan pohon, kemudian meloncat

pula keatas dan begitu seterusnya sampai beberapa kali. Pada
saat itulah tiba-tiba diudara terbang lalu dua ekor burung
gereja. Karena Cia Yan-khek sengaja hendak memperlihatkan
kepandaiannya yang tinggi, segera kedua tangannya menjulur
keatas, sekali raup, tahu-tahu kedua ekor burung itu sudah
tertangkap olehnya. Kemudian ia melompat turun kebawah
dengan enteng sekali.
“Bagus! Bagus! Kepandaian hebat!” demikian puji sianak muda
sambil menepuk tangan dan tertawa.
Waktu Yan-khek membuka telapak tangannya, segera kedua
ekor burung gereja itu pentang sayap hendak terbang pergi,
tapi baru saja sayap burung itu menggelepak sekali, tiba-tiba
dari telapak tangan Cia Yan-khek timbul serangkum tenaga
dalam sehingga kekuatan terbang burung-burung itu
dipunahkan.
Anak muda itu tambah senang demi melihat telapak tangan Cia
Yan-khek terbuka, tapi dua ekor burung itu hanya
mengelepakkan sayap saja dan tetap tidak sanggup
meninggalkan tangannya, segera ia berteriak-teriak: “Ha,
bagus, bagus! Sungguh menarik, sungguh permainan
menarik!”
“Sekarang kau boleh coba!” kata Yan-khek dengan tertawa.
Lalu ia menyerahkan kedua ekor burung itu kepada sianak
muda.
Segera anak muda itu memegang burung-burung itu dengan
kencang dan tak berani membuka tangannya, kuatir terlepas.
“Nah, ketahuilah bahwa apa yang terlukis dibadan bonekaboneka
itu adalah cara melatih ilmu yang hebat”, demikian
Yan-khek menerangkan dengan tertawa. “Rupanya kau telah

membela tua bangka itu dengan mati-matian, makanya dia
berterima kasih dan menghadiahkan boneka-boneka itu
padamu. Ini bukan barang mainan biasa, tapi adalah benda
mestika yang susah dinilai. Asal kau berhasil melatih ilmu yang
terlukis diatas boneka-boneka itu, tentu kau pun dapat
membuka tanganmu dan burung-burung itu takkan mampu
terbang pergi.”
“Wah, menarik juga jika demikian, aku akan coba-coba
melatihnya?” kata anak muda itu sambil membuka kedua
tangannya.
Karena tangannya tidak dapat mengeluarkan tenaga dalam,
dengan sendirinya kedua burung gereja itu lantas pentang
sayap dan terbang keatas.
Yan-khek tertawa terbahak-bahak. Tapi dilihatnya kedua ekor
burung gereja yang sudah terbang meninggalkan tangan anak
muda itu setinggi satu-dua meter, mendadak burung-burung
itu terjungkal lurus kebawah dan kembali jatuh kedalam tangan
sianak muda, burung-burung itu ternyata sudah kaku, rupanya
sudah mati.
Keruan kejut Yan-khek tak terkatakan sehingga suara
tertawanya berhenti seketika. Secepat kilat ia pegang urat nadi
tangan sianak muda, tangan yang lain menuding hidung anak
muda itu sambil membentak: “Kau………….kau adalah murid
sibangsat tua Ting Put-si, bukan? Le……….lekas mengaku!”
Biarpun Cia Yan-khek adalah seorang gembong persilatan yang
telah banyak berpengalaman, tapi bicara tentang “sibangsat
tua Ting Put-si” suaranya menjadi agak gemetar juga.
Kiranya dia menjadi kaget demi melihat cara anak muda itu
membunuh kedua ekor burung gereja, terang itulah ilmu

berbisa “Han-ih-bian-ciang” (pukulan lunak berbisa dingin)
yang menjadi kemahiran Ting Put-si. Ilmu yang maha lihay dan
jahat itu sampai-sampai saudara sekandung Ting Put-si sendiri,
yaitu Ting Put-sam juga tidak bisa. Tapi sekarang anak muda
ini ternyata sedemikian mahir menggunakan ilmu itu,
tampaknya paling sedikit sudah terlatih sepuluh tahun
lamanya, maka pasti anak muda itu adalah ahli waris Ting Putsi.
Cia Yan-khek cukup kenal Ting Put-si, ilmu silat tokoh itu
sangat tinggi, tindak-tanduknya aneh dan susah diduga pula,
bahkan sangat keji dan licin, nama julukannya ialah “Ce-jitput-
ko-si”, artinya satu hari tidak lebih dari empat, yaitu orang
yang akan dibunuhnya setiap hari hanya empat saja, jadi lebih
banyak satu orang menurut ketentuan saudara sekandungnya,
yaitu Ting Put-sam.
Demi terpikir bahwa anak muda ini telah memperoleh ajaran ini
“Han-ih-bian-ciang” yang menjadi andalan Ting Put-si,
andaikan bocah ini bukan keturunannya tentu adalah
muridnya. Padahal medali wasiatnya sendiri itu diterima
kembali dari anak muda ini, rupanya segala sesuatu ini
memang sengaja telah diatur oleh Ting Put-si, sebab itulah
maka betapapun didesak anak muda ini tetap tidak mau
memohon sesuatu apa padanya, rupanya akan tunggu sampai
saat terakhir yang menentukan barulah akan dikemukakan.
Besar kemungkinan saat ini Ting Put-si sendiri sudah berada
diatas Mo-thian-kay.
Berpikir demikian, seketika Cia Yan-khek menjadi tegang, ia
coba memandang sekelilingnya, meski tiada nampak sesuatu
yang mencurigakan, tapi sekilas itu didalam benaknya sudah
timbul macam-macam pikiran: “Selama beberapa hari ini aku
telah banyak memakan daharan yang dimasak oleh anak muda
ini, entah didalam makanan itu dia taburi racun atau tidak? Jika

Ting Put-si bermaksud membikin celaka padaku, entah rencana
apa yang telah diaturnya? Dan anak muda ini adalah alat Ting
Put-si, entah apa yang akan dia minta agar aku
mengerjakannya ?”
Dalam pada itu karena pergelangan tangannya dipegang
dengan kencang sehingga seperti ditanggam, sianak muda
menjadi meringis kesakitan dan segera berseru:
“Ting……………Ting Put-si apa?...........Aku…………aku tidak tahu!”
Karena gugupnya tadi, maka sekuatnya Cia Yan-khek telah
cengkeram pergelangan sianak muda, sekarang demi ingat ada
kemungkinan Ting Put-si sudah berada disekitar situ dan
menyaksikan dia menganiaya seorang anak kecil, hal ini tentu
akan menurunkan derajatnya sebagai seorang tokoh
terkemuka, maka ia lantas lepas tangan dan berseru: “Mothian-
kay ini jarang didatangi oleh orang kosen, jikalau Tinglosi
sudah berada disini, mengapa tidak perlihatkan dirimu
saja?”
Berulang-ulang ia berseru sehingga suaranya berkumandang
jauh menggema lembah pegunungan itu, namun sampai lama
sekali hanya terdengar suara angin menderu-deru saja tanpa
sesuatu jawaban orang.
Yan-khek coba mencemput burung gereja yang sudah mati itu,
ia merasa bangkai burung itu kaku dingin, ia coba meremasnya
sedikit, bangkai burung itu berbunyi kresek-kresek, nyata isi
perut burung itu telah membeku menjadi es batu. Dari ini
dapat diketahui bahwa dasar kepandaian “Han-ih-bian-ciang”
yang dilatih anak muda itu sudah mencapai tiga atau empat
bagian. Jika Ting Put-si yang menggunakan ilmu berbisa itu
tentu bangkai burung itu sudah membeku menjadi es
seluruhnya sampai-sampai bulunya sekalipun.

Diam Yan-khek terkesiap. Ia berpaling dan berkata dengan
suara ramah: “Adik cilik, tingkah lakumu sekarang sudah
ketahuan, buat apalagi kau masih berlagak pilon? Lebih baik
kau mengaku saja Ting-losi itu pernah apamu?”
“Ting-losi? Aku…………aku tidak kenal, siapa dia ?” demikian
jawab sianak muda.
“Baik, jika kau tidak mau mengaku, maka cobalah kau memaki
si maling tua Ting-losi itu”, kata Yan-khek.
“Kau pernah mengatakan bahwa kata-kata maling tua adalah
makian pada orang lain, dia toh tidak berbuat kesalahan
apapun padaku, kenapa aku mesti memaki dia ?” sahut anak
muda itu.
Lama-lama Yan-khek jadi gemas, sungguh dia ingin sekali
hantam lantas membinasakan anak muda itu. Tapi lantas
terpikir pula: “Rupanya Ting Put-si percaya akau takkan
mengingkar kepada sumpahku sendiri dan takkan mengganggu
orang yang mengembalikan medali wasiat padaku, makanya ia
menyuruh anak muda ini ikut aku ketas tebing ini tanpa
kuatir.”
Sebenarnya Cia Yan-khek hanya saling mengenal nama saja
dengan Ting Put-si dan tidak pernah bertemu muka, maka
diantara mereka juga tiada selisih paham atau permusuhan
apa-apa. Tapi demi teringat dirinya mungkin sudah terjeblos
didalam perangkap Ting Put-si yang terkenal keji itu, mau-takmau
Yan-khek lantas merinding.
Kemudian ia tanya pula kepada sianak muda: “Adik cilik, kau
punya ‘Han-ih-bian-ciang’ ini sungguh sangat lihay, sudah
berapa tahun kau melatihnya?”

“Apa itu ‘Han-ih-bian-ciang’? Entahlah, aku tidak tahu”, sahut
sianak muda.
Muka Cia Yan-khek berubah masam, katanya dengan aseran:
“Kalau ditanya, semuanya kau jawab tidak tahu. Memangnya
kau anggap aku orang she Cia ini manusia goblok ?”
“Ada apakah engkau marah-marah padaku?
Sung………….sungguh aku tidak tahu. Ah, barangkali karena aku
membikin mati kedua ekor burung yang kau tangkap itu. Tapi
kepandaian paman tua sangat hebat, maukah engkau terbang
keudara untuk menangkap dua ekor lagi. Bukankah engkau
menyatakan hendak mengajarkan caranya menangkap burung
sehingga burung-burung itu tidak dapat terbang dari telapak
tanganku.”
“Bagus, biarlah aku lantas mengajarkan kepandaian ini
padamu”, kata Yan-khek. Lalu ia ambil sebuah boneka yang
terlukis Hiat-to dan urat-urat nadi itu, katanya pula: “Ilmu ini
tidak susah untuk dilatih, jauh lebih gampang daripada kau
melatih ‘Han-ih-bian-ciang’. Ini, sekarang aku mengajarkan
apalannya padamu, asal kau ingat dengan baik, lalu melatihnya
menurut titik hitam dan garis-garis merah yang terlukis
dibadan boneka ini, tentu dalam waktu singkat kau akan dapat
menguasainya.”
Segera ia mengajarkan satu kalimat demi satu kalimat apalan
sejurus ilmu “Yam-yam-kang” padanya.
Tak terduga sianak muda itu tampaknya cukup cerdas, pula
sudah memiliki beberapa bagian dasar ‘Han-ih-bian-ciang’.
Namun entah pura-pura bodoh atau memang sungguhsungguh
ternyata dalam hal Hiat-to, urat nadi, cara bernapas
dan mengerahkan tenaga, sama sekali ia tidak becus.

Sebabnya Cia Yan-khek hendak mengajarkan “Yam-yam-kang”
padanya, yaitu semacam ilmu yang bertenaga dalam maha
panas, tujuannya ialah ingin memunahkan tenaga dingin yang
ditimbulkan Han-ih-bian-ciang yang telah dimiliki anak muda
itu, lalu akan dibikinnya pula agar tenaga dalam yang maha
panas itu sesat keurat nadi yang salah sehingga antara panas
dan dingin saling bertentangan, akibatnya anak muda itu tentu
akan binasa.
Sudah tentu “Yam-yam-kang” itu tak dapat dilatih dengan baik
dalam waktu singkat, untuk bisa mengimbangi “Han-ih-bianciang”
yang dimilikinya sekarang sedikitnya harus berlatih
selama beberapa tahun, kalau tidak tentu tidak cukup untuk
membinasakan anak muda itu. Tapi sekarang anak muda itu
mengaku sama sekali tidak paham apa-apa tentang Hiat-to dan
sebagainya, diam-diam Cia Yan-khek mendongkol. Sekarang
kau berlagak bodoh, kelak kalau kau sudah tahu rasa barulah
kenal kelihayanku. Demikian pikirnya.
Karena itu iapun berlaku sabar sedapat mungkin dan
menjelaskan tempat-tempat letak Hiat-to yang bersangkutan
menurut apa yang terlukis dibadan boneka itu.
Dalam keadaan demikian anak muda itu ternyata tidak bodoh
lagi, tapi dapat memahami dengan cepat, ingatannya juga
cukup kuat. Lalu Yan-khek mengajarkan pula caranya
mengatur pernapasan dan suruh anak muda itu berlatih
sendiri.
Untuk selanjutnya, tiap-tiap hari selain melatih ilmu-ilmu itu
seperti biasa iapun pergi berburu, lalu memasak, sedikitpun
tidak menyurigakan ilmu yang diajarkan oleh Cia Yan-khek
padanya itu.
Semula Cia Yan-khek merasa kuatir kalau Ting Put-si datang ke

Mo-thian-kay untuk menyerangnya, untuk menjaga
kemungkinan itu maka ia telah mengerek rantai besi yang
panjang itu keatas.
Sang waktu berlalu dengan cepat, hari berganti bulan dan
bulan berganti musim, dalam sekejap saja setahun sudah lalu,
selama itu tiada seorangpun yang berusaha naik keatas tebing
yang curam itu, bahkan diatas Mo-thian-kay seluas belasan li
itupun tiada terdapat orang asing.
Karena persediaan beras dan garam sudah hampir habis, Cia
Yan-khek terpaksa harus membelinya kebawah gunung. Tapi ia
tidak tega membiarkan anak muda itu tinggal sendiri diatas
gunung, kuatir kalau ada orang datang kesitu dan menculiknya,
jika terjadi demikian, hal ini berarti dia menyerahkan matihidupnya
sendiri kepada orang lain. Sebab itulah ia lantas
mengajak anak muda itu kemanapun dia pergi. Ia membeli
bahan makanan seperlunya ditambah minyak dan garam, baju,
sepatu, dan kaos kaki. Selam turun gunung Cia Yan-khek selalu
berlaku waspada, namun mereka dapat pulang keatas gunung
tanpa mengalami halangan apa-apa.
Keadaan begitu telah mereka lewatkan lagi selama beberapa
tahun. Dalam setahun mereka suka turun gunung satu-dua
kali, habis belanja apa yang perlu mereka lantas cepat-cepat
pulang keatas gunung lagi.
Sementara itu usia anak muda itu sudah menjadi 18-19 tahun,
perawakannya sekarang tinggi besar, kekar dan kuat, bahkan
lebih tinggi daripada Cia Yan-khek.
Selama itu Cia Yan-khek tetap berlaku hati-hati sekali, diwaktu
malam dia tidak tidur bersama didalam satu gua. Diwaktu
makan juga mesti membiarkan anak muda itu mencobanya
dahulu untuk membuktikan didalam makanan itu tiada diberi

racun. Sehabis itu baru dia berani makan daharan yang
disajikan itu.
Sehari-hari selain mengajarkan lweekang kepada anak muda
itu, untuk omong iseng saja ia merasa enggan.
Untungnya anak muda itu sejak kecil juga telah diperlakukan
secara dingin oleh ibunya seperti sikap Cia Yan-khek sekarang.
Maka ia tidak merasakan kejanggalan atas perlakuan Cia Yankhek
itu. Malahan ibunya sering mendamperat dan memukul
dia, sebaliknya Cia Yan-khek tidak banyak bicara, tidak tertawa
dan tidak marah padanya.
Karena tiada pekerjaan lain, maka selain berburu dan
memasak, kerja anak muda itu hanya berlatih Lweekang untuk
melewatkan tempo yang senggang. Sesudah beberapa tahun,
lambat laun “Yam-yam-kang” yang dilatihnya itupun hampir
mendekati selesainya.
Cia Yan-khek sendiri sejak dulu mengalami sesuatu urusan
yang mengecewakan pada waktu dia berusia 30 tahun, lalu dia
tirakat diatas Mo-thian-kay dan jarang lagi berkelana didunia
Kangouw. Tapi selama beberapa tahun terakhir ini, setiap kali
terpikir ada kemungkinan dia sedang diincar oleh seorang
tokoh aneh seperti Ting Put-si, maka siang dan malam dia
selalu kebat kebit dan hidup tidak tenteram, terpaksa setiap
saat iapun selalu waspada. Maka selain dia giat berlatih ilmu
silat perguruannya sendiri, ia meyakinkan pula tiga macam
Ciang hoat (ilmu pukulan dengan tangan terbuka) dan Kun
hoat (ilmu pukulan dengan kepalan) yang khusus digunakan
menghadapi Lweekang lawan yang berbisa dingin.
Dalam waktu beberapa tahun bukan saja Yam-yam-kang yang
dilatih sianak muda sudah hampir selesai, bahkan kekuatan Cia
Yan-khek sendiri juga maju pesat, jauh berbeda kalau

dibandingkan pada waktu ia bertemu dengan sianak muda
dahulu.
Pagi hari itu Yan-khek melihat sianak muda sedang berduduk
diatas batu cadas disebelah timur sana dan asyik melatih. Dari
ubun-ubun anak muda itu tampak mengepulkan uap tipis.
Itulah tanda tenaga dalam yang diyakinkan itu sudah mencapai
tarap yang masak. Diam-diam Yan-khek membatin: “Anak
setan, sekarang sebelah kakimu sudah berada diambang pintu
akhirat.”
Ia tahu latihan anak muda itu baru akan selesai menjelang
lohor nanti, maka ia lantas tinggal pergi. Ia gunakan Ginkang
yang tinggi dan berlari sampai ditengah hutan cemara yang
berada dibelakang puncak gunung.
Tatkala itu embun belum lagi kering seluruhnya, hawa masih
sejuk segar. Yan-khek menghirup napas dalam-dalam, lalu
dihembusnya kembali dengan perlahan. Habis itu mendadak
sebelah tangannya menyodok kedepan, menyusul tangan yang
lain juga memukul dengan cepat, badannya lantas menggeser
pula mengikuti pukulan-pukulannya itu dan menyusur kian
kemari ditengah pohon-pohon cemara itu. Makin lama makin
cepat larinya dan kedua tangannya juga naik-turun bekerja
dengan teratur, terdengar suara “crat-cret” yang perlahan,
pukulan-pukulannya tiada hentinya diarahkan kebatang pohon.
Larinya bertambah cepat, sebaliknya makin lama pukulannya
makin lambat. Jadi kakinya bekerjanya tambah cepat,
sebaliknya tangannya makin perlahan bergeraknya. Tapi
cepatnya tidak terburu-buru, sedangkan perlahan tidak
mengurangi keganasannya. Nyata ilmu silatnya sekarang sudah
mencapai puncaknya kesempurnaan.
Saking semangatnya mendadak Cia Yan-khek bersuit nyaring,
“plak-plak”, dua kali pukulannya tepat mengenai batang pohon

cemara, seketika terdengar suara gemersik, lidi cemara telah
rontok sebagai hujan. Tapi Yan-khek lantas keluarkan ilmu
pukulannya, beribu-ribu lidi cemara itu telah dipukul mumbul
kembali keudara.
Dari atas pohon lidi cemara itu masih terus bertebaran jatuh,
tapi tetap takbisa jatuh ketanah karena terguncang kembali
keatas oleh angin pukulan Cia Yan-khek.
Hendaklah maklum bahwa lidi cemara itu mempunyai bobot
dan kecil, tidak seperti daun pohon biasa yang enteng dan
mudah kabur terbawa angin. Tapi sekarang angin pukulan Cia
Yan-khek itu mampu membikin lidi cemara sebanyak itu kabur
keatas, nyata sekali tenaga dalamnya sudah dapat dikeluarkan
dengan menurut sesuka hatinya.
Begitu banyak lidi cemara yang berterbaran itu sehingga
berubah menjadi suatu gulungan bayangan yang membungkus
rapat disekeliling tubuh Cia Yan-khek. Agaknya dia sengaja
hendak menguji sampai betapa hebatnya Lweekang yang telah
diyakinkannya selama ini, maka ia masih terus mengerahkan
tenaga dalam, lidi cemara itu diperlebar dan didorong lebih
kedepan.
Dengan meluasnya lingkaran bayangan lidi cemara, dengan
sendirinya tenaga dalamnya menjadi susah dikuasai secara
merata, maka lidi cemara yang berada paling luar itu lantas
bertebaran jatuh kebawah. Tapi mendadak Yan-khek menarik
napas dalam-dalam dan tenaganya tiba-tiba terpencar cepat
keluar sehingga lidi cemara yang jatuh itu dapat dicegah.
Sungguh girang sekali Cia Yan-khek, ia terus mengerahkan
tenaga dalamnya, ia merasa setiap gerak-gerik kaki dan
tanganya dapat dilakukan dengan lancar, jiwa raganya seakanakan
sudah bersatu padu tak terpisahkan lagi.

Sampai agak lama juga, ketika dia mulai menahan tenaganya,
mulailah lidi cemara itu bertebaran jatuh ketanah sehingga
berwuyud sebuah lingkaran hijau disekelilingnya.
Selagi Yan-khek berseri-seri puas atas Lweekangnya sendiri itu,
sekonyong-konyong air mukanya berubah hebat. Ternyata
entah sejak kapan, tahu-tahu disekelilingnya sudah berdiri
sembilan orang. Kesembilan orang ini semuanya bersenjata
dan sedang memandang kearahnya tanpa berkata.
Dengan kepandaian Cia Yan-khek yang sudah sedemikian
tingginya, jangankan orang hendak mendekati dia, andaikan
masih sejauh satu-dua li tentu juga akan diketahui olehnya.
Soalnya tadi ia sedang asyik mengerahkan tenaga dalamnya
untuk melatih sejurus “Pek-ciam-jing-ciang” (ilmu pukulan
jarum hijau), perhatiannya terpusat kepada ilmunya itu
sehingga kedatangan orang-orang yang sama sekali tak
disangkanya itu tak diketahuinya.
Padahal Mo-thian-kay itu selamanya tak pernah dikunjungi
orang luar. Sekarang mendadak kedatangan tamu tak
diundang sebanyak itu, maka Yan-khek insaf para pendatang
itu tentu tidak bermaksud baik. Tapi ia menjadi besar hati pula
ketika diketahui para pendatang itu berjumlah sembilan orang.
Maklum, selama beberapa tahun ini yang dia kuatirkan hanya
Ting Put-si yang berjuluk “Ce-jit-put-ko-si” itu. Ia tahu betul,
baik Ting Put-si maupun Ting Put-sam selamanya suka jalan
sendirian dan tidak pernah bergerombol dengan orang banyak.
Kedua saudara sekandung itupun tidak akur satu sama lain dan
jarang berada bersama. Sekarang para pendatang itu
berjumlah sembilan orang, terang diantara mereka tiada
terdapat Ting Put-si, karena itulah iapun tidak perlu jeri lagi.
Waktu dia perhatikan lebih jauh, tiba-tiba ia mengenali tiga

orang diantaranya, yaitu seorang tinggi kurus, seorang Tojin
dan seorang bermuka jelek. Itulah tiga orang yang telah
mengeroyok dan membinasakan Tay-pi Lojin dahulu. Yan-khek
ingat betul menurut pengakuan mereka kepada Tay-pi Lojin
bahwa mereka adalah orang-orang Tiang-lok-pang.
Sesaat itu timbul macam-macam pikiran dalam benak Cia Yankhek.
Tak peduli siapapun juga, kalau datangnya keatas Mothian-
kay itu dilakukan secara diam-diam, terang ini terlalu
memandang rendah kepadanya dan tidak gentar untuk
memusuhinya. Padahal selamanya dia tiada permusuhan apaapa
dengan pihak Tiang-lok-pang. Lalu apa maksud tujuan
kedatangan mereka ini? Jangan-jangan seperti halnya Tay-pi
Lojin, merekapun akan memaksanya masuk menyadi anggota
Tiang-lok-pang mereka?
Ia menaksir kekuatannya cukup untuk menghadapi ketiga
orang yang sudah dikenalnya itu. Tapi bagaimana harus
melayani pula keenam orang yang lain?
Dilihatnya usia keenam orang yang lain itu semuanya sudah
lebih 40 tahun, dua diantaranya terang memiliki Lweekang
yang tinggi.
Kemudian ia lantas menyapa dengan tersenyum: “Apakah
saudara-saudara ini adalah sobat dari Tiang-lok-pang? Maafkan
aku tidak menyambut kedatangan kalian secara mendadak ini.
Entah ada kepentingan apa, mohon penjelasan.”
Kesembilan orang itu serentak membalas hormat. Tadi mereka
telah menyaksikan tenaga dalam Cia Yan-khek ketika
memainkan “Pek-ciam-jing-ciang” tadi. Mereka tidak
menyangka kalau Cia Yan-khek sedang memusatkan perhatian
dalam latihannya itu sehingga tidak tahu akan kedatangan
mereka, sebaliknya mereka mengira Cia Yan-khek sengaja

tidak gubris dan anggap enteng datangnya mereka itu. Segera
seorang tua diantaranya yang berbaju kuning menjawab:
“Kedatangan kami ini terlalu kurang sopan, diharap Ciasiansing
suka memaafkan.”
Melihat dandanan orang tua itu, mukanya pucat, bicaranya
lemah seperti orang yang berpenyakitan, tiba-tiba Yan-khek
ingat seseorang, segera ia bertanya: “Apakah tuan ini adalah
“Tiok-jiu-seng-jun” Pwee-tayhu?”
Orang tua itu memang betul “Tiok-jiu-seng-jun” (sekali pegang
lantas sembuh) Pwe-tayhu, sitabib sakti she Pwe. Nama
lengkapnya adalah Pwe Hay-ciok.
Ia merasa bangga juga demi mengetahui Cia Yan-khek
mengenal namanya. Ia batuk-batuk dua kali, lalu menjawab:
“Ah, Cia-siansing terlalu memuji saja. Julukan “Tiok-jiu-sengjun”
itu sungguh malu aku menerimanya.”
“Pwe-tayhu terkenal suka bertindak sendiri kemanapun pergi
untuk menolong derita sesamanya, entah sejak kapan juga
telah masuk kedalam Tiang-lok-pang?” tanya Yan-khek.
“Kekuatan seorang adalah terbatas, tapi kalau kekuatan orang
banyak bergabung untuk kesejahteraan sesama manusia,
maka kekuatan ini tentu akan besar,” sahut Pwe Hay-ciok.
“Cia-siansing, kedatangan kami ini memang terlalu sembrono,
diharap engkau jangan marah. Sudah tentu kedatangan kami
ini ada urusan penting yang harus disampaikan kepada Pangcu
kami, maka sudilah Cia-siansing menghadapkan kami kepada
beliau.”
“Siapakah gerangan Pangcu kalian ?” Yan-khek menegas
dengan heran. “Mungkin Cayhe sudah terlalu jarang
berkecimpung dikangouw, maka pengetahuanku menjadi cetek

sehingga nama Pangcu kalian juga tidak tahu. Tapi mengapa
kalian mencarinya kesini ?”
Kesembilan orang itu tampak kurang senang atas jawaban
Yan-khek itu. Pwe Hay-ciok meraba-raba jenggotnya yang
pendek itu sambil batuk-batuk beberapa kali, lalu katanya
pula: “Cia-siansing, Ciok-pangcu kami adalah kawan karibmu
dan selalu berada bersama, dengan sendirinya segenap
anggota Tiang-lok-pang kami juga sangat menghormati Ciasiansing
dan tak berani kurang sopan sedikitpun. Tentang
gerak-gerik Ciok-pangcu kami, sebagai kaum bawahan
selamanya kami tidak berani ikut campur. Soalnya adalah
karena Pangcu sudah terlalu lama meninggalkan markas dan
banyak urusan yang menantikan penyelesaiannya, ditambah
lagi pada saat ini ada dua urusan maha penting yang
mendesak, maka……..makanya begitu mendapat kabar bahwa
Ciok-pangcu berada diatas Mo-thian-kay sini, segera juga kami
menyusul kesini dengan cepat.”
Bab 8. Anak Anjing Berubah Menjadi Tiang-Lok-Pangcu
Melihat cara bicara Pwe Hay-ciok itu sangat tulus, melihat sikap
kesembilan orang itupun tiada bermaksud jahat meski
semuanya bersenjata, diam-diam Cia Yan-khek mengetahui
telah terjadi salah paham, maka jawabnya dengan tersenyum:
“Diatas Mo-thian-kay ini tiada meja kursi, sehingga telah
mentelantarkan tamu-tamu terhormat, silakan kalian duduk
saja diatas batu. Sebenarnya darimanakah Pwe-tayhu
mendengar berita bahwa Ciok-pangcu kalian selalu berada
bersama dengan aku? Padahal tidak sedikit kesatria-kesatria
yang terhimpun didalam Pang kalian, dengan sendirinya Ciokpangcu
kalian adalah seorang tokoh terkemuka, sebaliknya aku
hanya seorang gunung miskin yang tiada suka bergaul, mana
bisa berkumpul dengan kesatria ternama sebagai Ciok-pangcu
kalian. Hehe, lucu, sungguh lucu.”

Pwe Hay-ciok menjadi ragu-ragu. Ia menduga sebabnya Cia
Yan-khek tidak mau mengakui kenal Ciok-pangcu mereka,
tentu didalam hal ini ada apa-apa yang tak dapat diterangkan.
Maka ia lantas memberi tanda kepada kawan-kawannya dan
berkata: “Saudara-saudara sekalian, silakan duduk untuk
bicara.”
Nyata sekali Pwe Hay-ciok adalah pemimpin dari kesembilan
oran ini. Maka kawan-kawannya itu lantas mengambil tempat
duduk sendiri-sendiri. Ada yang duduk diatas batu cadas, ada
yang duduk didahan pohon yang rendah, Pwe Hay-ciok duduk
diatas gundukan tanah.
Kesembilan orang itu telah memasukkan kembali senjatasenjata
mereka dan berduduk semua, tapi posisi kepungan
mereka terhadap Cia Yan-khek masih tidak berubah. Keruan
diam-diam Yan-khek menjadi gusar, pikirnya: “Sikap kalian ini
benar-benar terlalu kasar padaku. Jangankan aku memang
tidak tahu Ciok-pangcu kalian, andaikan tahu juga masakah
aku dapat dipaksa untuk mengatakan ?”
Segera ia hanya tersenyum-senyum dingin saja sambil
menengadah, terhadap orang-orang disekitarnya ia anggap
sepi saja dan tak menggubris.
Padahal “Tiok-jiu-seng-jun” Pwe Hay-ciok itu sekalipun tidak
lebih tinggi kedudukannya didunia persilatan dibandingkan Cia
Yan-khek, paling tidak juga setingkat. Sekarang Cia Yan-khek
sengaja bersikap sedemikian angkuhnya, hal ini juga
keterlaluan.
Namun Pwe Hay-ciok masih mengingat kehormatan Pangcu
mereka dan tetap bicara dengan ramah: “Cia-siansing,
sesungguhnya ini adalah urusan rumah tangga Pang kami, jika

engkau sampai terlibat, sungguh kami merasa tidak enak.
Maka kami hanya minta Cia-siansing suka menghadapkan kami
kepada Pangcu dan dengan sendirinya kami akan berterima
kasih dan nanti akan minta maaf pula padamu.”
Kalau mengingat nama besar dan watak “Tiok-jiu-seng-jun”
Pwe Hay-ciok yang terkenal disegani dan angkuh itu, sekarang
dia bicara sedemikian ramahnya, hal ini boleh dikata jarang
terjadi.
Tapi Yan-khek tetap menjawab dengan dingin: “Pwe-tayhu,
engkau adalah kesatria ternama di Kangouw, setiap ucapan
seorang laki-laki sejati harus dapat dipercaya, bukan ?”
Mendengar pertanyaan Cia Yan-khek yang bernada gusar itu,
diam-diam Pwe Hay-ciok menjadi was-was, sahutnya: “Ah, Ciasiansing
terlalu sungguh-sungguh.”
“Dan kalau ucapan Pwe-tayhu adalah kata-kata tulen, apakah
ucapanku ini adalah kentut ?” kata Yan-khek pula. “Sejak tadi
aku sudah menyatakan tidak pernah melihat Ciok-pangcu
kalian, tapi kalian tetap tidak percaya. Jika demikian, apakah
kalian adalah laki-laki sejati dan orang she Cia ini adalah kaum
pembohong ?”
“Ah, ucapan Cia-siansing terlalu sungguh-sungguh, orangorang
Tiang-lok-pang kami selamanya juga sangat menjunjung
tinggi kepada Cia-siansing,” sahut Pwe Hay-ciok sambil terbatuk-
batuk. “Jika Cia-siansing tidak suka menghadapkan kami
kepada Pangcu kami, tiada jalan lain terpaksa kami mesti
mencarinya sendiri.”
Air muka Cia Yan-khek merah padam menahan rasa gusar,
katanya: “Jadi bukan saja Pwe-tayhu tidak percaya kepada
ucapanku, bahkan hendak bertindak secara sewenang-wenang

ditempat tinggalku ini?”
“Ah, tidak, mana kami berani ?” sahut Pwe Hay-ciok. “Sungguh
memalukan kalau dibicarakan. Tiang-liok-pang telah kehilangan
Pangcu dan mesti minta orang menemukan Pangcu mereka,
kalau cerita ini tersiar tentu akan dibuat bahan tertawaan
orang Kangouw. Maka kami terpaksa hanya akan mencari
sekadarnya saja, harap Cia-siansing jangan salah paham.”
Sungguh dongkol Yan-khek tak terkatakan. Pikirnya: “Diatas
Mo-thian-kay ini darimana ada mereka punya Pangcu kentut
apa segala? Dasar mereka ini adalah kawanan perusuh,
tentang mencari Pangcu apa jelas hanya sebagai alasan saja.
Kalau sekarang mereka telah mengincar diriku, biarpun
darahku mesti membasahi puncak gunung ini juga aku tidak
gentar.”
Iapun insaf keadannya sekarang sangat berbahaya. Melulu
menghadapi Pwe Hay-ciok seorang saja paling banter dirinya
cuma mampu melawannya dengan sama kuat, inipun sudah
berkat kemajuan pesat kekuatan yang dilatihnya selama
beberapa tahun paling akhir. Sekarang pihak lawan ditambah
lagi delapan jago pilihan, maka sangat sulitlah baginya untuk
menyelamatkan diri.
Tiba-tiba ia mendapat akal. Mendadak pandangannya beralih
kesebelah kanan, air mukanya mengunjuk rasa terkejut sambil
mengeluarkan suara heran perlahan.
Karena itu sinar mata kesembilan orang itu lantas memandang
kearah yang dituju Cia Yan-khek itu. Pada saat itulah
mendadak Yan-khek bergerak, secepat kilat ia memutar
kesamping sitinggi kurus, yaitu Bi-hiangcu yang sudah
dikenalnya itu, segera ia hendak mencabut pedang yang
tergantung dipinggang kawan itu.

Ketika tidak melihat apa-apa diarah yang dipandang itu dan
segera merasa berkesiurnya angin dan tahu-tahu musuh sudah
berada disampingnya, secepat kilat Bi-hiangcu juga lantas
bertindak, tangannya bekerja lebih cepat daripada tangan Cia
Yan-khek dan mendahului memegang pedang sendiri dan “sret”
senjata itu segera dilolosnya.
Tapi baru saja sinar pedangnya berkelebat, sekonyongkonyong
bagian iga dan punggungnya terasa kesakitan, Hiat-to
bagian iga sudah tertutuk dan punggungnya sudah
dicengkeram oleh Cia Yan-khek.
Kiranya Cia Yan-khek insaf bukan tandingan kesembilan orang
itu, dia pura-pura terkejut sambil memandang kesebelah kanan
hanya sebagai pancingan saja, gerakannya hendak merebut
pedang itupun pancingan belaka. Sebab Bi-hiangcu yang tidak
mau kehilangan senjatanya tentu akan mempertahankannya
dengan mati-matian, sebaliknya bagian iga dan punggung
dengan sendirinya terbuka sehingga kena ditawan Cia Yankhek.
Kalau tidak, biarpun kepandaiannya lebih rendah juga
tidak mungkin ditundukkan hanya dalam satu-dua gebrakan
saja.
Yan-khek sendiri dahulu sudah pernah menyaksikan caranya
Bi-hiangcu menempur Tay-pi Lojin dan caranya menggunakan
Kui-thau-to memapas rambut sianak muda, maka ia cukup
paham jalannya ilmu pedang Bi-hiangcu, dan untung juga
sekali coba lantas berhasil.
Maka dengan tersenyum Yan-khek lantas berkata: “Maaf, Bihiangcu.”
Sebaliknya Pwe Hay-ciok lantas tanya dengan bingung, “Ciasiansing,
apa maksudmu ini? Apakah engkau benar-benar

melarang kami untuk mencari Pangcu kami?”
“Kalau kalian hendak membunuh orang she Cia tentunya tidak
sukar, hanya saja mesti diiringi dengan beberapa lembar jiwa
pula,” sahut Yan-khek.
“Selamanya kita tiada permusuhan apa-apa, masakah kami
bermaksud jahat kepada Cia-siansing?” sahut Pwe Hay-ciok
dengan tersenyum getir. “Apalagi dengan ilmu silat Ciasiansing
yang aneh dan banyak perubahannya secara
mendadak, biarpun kami ada maksud jahat juga tak mampu
meng-apa-apakan Cia-siansing. Kita adalah sahabat baik,
silakan melepaskan Bi-hiangcu saja.”
Diam-diam iapun kagum melihat Cia Yan-khek dalam satu
gebrakan saja sudah dapat menawan Bi-hiangcu. Tapi sebagai
ahli silat, sebenarnya betapa kemampuan pihak lawan sekali
lihat saja sudah dapat diukurnya. Ia tahu sebabnya Cia Yankhek
berhasil menawan Bi-hiangcu adalah karena kelicikannya
dengan serangannya secara mendadak, jadi bukan dengan
kepandaian yang sejati. Sebab itulah dalam ucapannya tadi dia
menyatakan ilmu silat Cia Yan-khek itu aneh dan banyak
perubahannya secara mendadak.
Saat itu Cia Yan-khek mencengkeram “Tay-cui-hiat”
dipunggung Bi-hiangcu, asal dia kerahkan tenaga dalamnya,
seketika urat nadi jantung Bi-hiangcu itu akan putus dan
binasa. Maka ia telah menjawab: “Asal kalian segera pergi dari
Mo-thian-kay ini, sudah tentu aku akan segera melepaskan Bihiangcu.”
“Apa susahnya untuk pergi?” kata Pwe Hay-ciok. “Sekarang
pergi, sebentar dapat datang lagi.”
“Pwe-tayhu,” kata Yan-khek dengan menarik muka. “Secara

ngotot kau merecoki diriku, sebenarnya apa maksud
tujuanmu?”
“Maksud tujuan apa? O, ya, saudara-saudaraku, apa maksud
tujuan kita ?” demikian Pwe Hay-ciok sengaja mengulangi
pertanyaan Cia Yan-khek itu.
Sejak tadi ketujuh orang kawannya hanya tinggal diam saja,
sekarang mereka menjawab serentak: “Kita ingin bertemu
dengan Pangcu dan menyambut Pangcu pulang Congtho
(markas besar).”
“Bicara kesana kesini ternyata kalian tetap menuduh aku telah
menyembunyikan Pangcu kalian ?” Yan-khek menegas dengan
gusar.
“Cia-siansing, sesungguhnya didalam urusan ini ada sesuat
yang tak dapat kami terangkan dan terpaksa kami harus
bertemu dulu dengan Pangcu kami,” sahut Pwe Hay-ciok. Lalu
ia berpaling kepada seorang kawannya yang bertubuh tinggi
besar, katanya: “In-hiangcu, silakan kau bersama para saudara
coba melongok kesekitar sini, bila melihat Pangcu hendaklah
segera beritahukan padaku.”
In-hiangcu yang disebut itu bersenjatakan sepasang tombak
pendek, ia memanggut dan mengiakan. Lalu serunya: “Marilah
kawan-kawan, Pwe-siansing ada perintah agar kita coba
mencari Pangcu dulu.”
Keenam orang lain serentak mengiakan. Ketujuh orang lantas
mundur beberapa langkah, mendadak mereka membalik tubuh
terus berlari keluar hutan.
Walaupun Cia Yan-khek sudah menawan seorang lawan, tapi
orang-orang Tiang-lok-pang ternyata tidak kena digertak dan

sama sekali tidak memikirkan mati-hidupnya Bi-hiangcu yang
tertawan, mereka tetap menjalankan tugasnya masing-masing,
hanya tertinggal Pwe Hay-ciok sendiri masih tetap berada
disitu, nyata sekali untuk mengawasi dia dan bukan untuk
berusaha menolong Bi-hiangcu. Diam-diam Yan-khek
membatin: “Jika kalian tidak menemukan Pangcu kalian yang
memang tiada disini itu, sekembalinya nanti tentu kalian akan
merecoki aku lagi. Sianak muda pernah mengembalikan medali
wasiat padaku, hal ini telah menggemparkan dunia Kangouw,
maka sebentar lagi pemuda itu tentu akan ditawan oleh
mereka dan ini berarti Tiang-lok-pang memiliki suatu senjata
lagi untuk membikin aku tak berdaya. Rasanya sekarang tak
berpaedah untuk bercekcok dengan mereka, paling perlu aku
harus berusaha meloloskan diri dahulu.”
Ia lihat ketujuh orang Ciang-lok-pang sudah menghilang diluar
hutan. Mendadak telapak tangan kiri menolak kepunggung Bihiangcu
terus didorong sekuatnya. Jurus ini disebut “Bun-caybu-
wi” (satu halus dan satu kasar), yaiut dengan kiri
menggunakan tenaga Im dan tangan kanan memakai tenaga
Yang. Tubuh Bi-hiangcu itu diperalat olehnya sebagai senjata
yang ampuh terus ditolak kearah Pwe Hay-ciok.
Terpaksa Cia Yan-khek harus melakukan serangan kilat, sebab
ia cukup tahu Lwekang Pwe Hay-ciok sangat lihay, hanya saja
diwaktu mudanya Pwe Hay-ciok pernah terluka dalam dan
penyakit itu takbisa disembuhkan seluruhnya, sebab itulah ilmu
silatnya telah banyak terpengaruh. Dan karena Pwe Hay-ciok
sendiri menderita sakit dalam sehingga lama-lama dia menjadi
pandai ilmu pertabiban, dari situlah dia memperoleh julukan
sebagai Pwe-tayhu, padahal dia bukan seorang tabib sungguhsungguh.
Walaupun demikian ilmu silatnya tetap luar biasa
lihaynya, hal ini terbukti pada sembilan tahun yang lalu, dalam
semalam saja dia telah membunuh “Ek-tiong-sam-sat” (Tiga
malaikat maut Opak) yang masing-masing tinggal di tempatKang
Zusi http://cerita-silat.co.cc/
tempat yang tidak sama dalam jarak 200 li jauhnya. Peristiwa
itu telah menggemparkan dunia persilatan pada waktu itu.
Sebab itulah meski Cia Yan-khek melihat Pwe Hay-ciok
berulang-ulang terbatuk-batuk seperti orang sakit tebese, tapi
iapun tidak berani ayal sedikitpun, maka sekali serang lantas
menggunakan kekuatan sepenuhnya.
Pwe Hay-ciok lantas batuk-batuk lagi ketika mendadak
diserang, katanya: “Ai, Cia-siansing……….huk-huk……..mengapa
mesti menggunakan kekerasan ?” ~ Terpaksa iapun memapak
dengan kedua telapak tangan untuk menahan dada Bi-hiangcu
yang ditolak kearahnya itu, berbareng itu mendadak dengkul
kaki kiri terus mendengkul keatas sehingga tepat mengenai
perut Bi-hiangcu, kontan tubuh Bi-hiangcu tertolak keatas dan
mencelat kebelakangnya. Dengan demikian kedua telapak
tangannya menjadi seakan-akan menolak kedada Cia Yan-khek
sekarang.
Perubahan jurus ini sungguh terlalu cepat dan sangat aneh,
biarpun Cia Yan-khek sangat luas pengalamannya jua merasa
kaget atas kejadian itu. Tiada jalan lain kecuali kedua
tangannya digunakan untuk menyambut tolakan Pwe Hay-ciok
itu.
Tapi begitu keempat tangan beradu, Yan-khek merasa ujung
jari-jari seperti ditusuk oleh beribu-ribu jarum. Cepat Yan-khek
mengerahkan tenaga dalam tapi sekonyong-konyong terasa
“blong”, pusat tenaganya terasa kosong dan susah dikerahkan.
Sekilas itu tahulah dia bahwa karena latihannya tadi dia sudah
menghabiskan tenaga dalam sendiri sehingga sekarang tidak
mungkin mengadu tenaga dalam pula dengan lawan.
Cepat ia tekan kedua tangan kebawah untuk menghantam
perut lawan. Tapi Pwe Hay-ciok juga lantas tarik tangan

kebawah untuk menahan serangannya.
Sekonyong-konyong kedua lengan baju Cia Yan-khek
mengebas dengan kuat untuk menyabet muka Pwe Hay-ciok.
Serangan ini sangat lihay tampaknya. Tapi Pwe Hay-ciok sudah
dapat melihat kelemahan musuh, namun demikian dia hanya
mengegos untuk menghindar dan tidak balas menyerang.
Kesempatan itu lantas digunakan Cia Yan-khek untuk menarik
kembali lengan bajunya, berbareng tubuhnya terus melayang
kebelakang dengan kekuatan angin serangan yang ditarik
kembali itu. Ia memberi salam dan berseru: “Maafkan, mohon
pamit dulu, sampai berjumpa pula”. ~ Sambil bicara iapun
terus mundur dengan cepat, sikapnya tetap keras dan
gerakannya sebat, sedikitpun tidak kentara kalau dia
sebenarnya hendak melarikan diri.
Berturut-turut ia telah menyerang tiga kali dan tahu keadaan
tidak menguntungkan, maka cepat ia lantas mengundurkan
diri, jadi tidak dapat dianggap kalah. Walaupun dia dipaksa
kabur dari Mo-thian-kay, tapi dia dikepung sembilan orang
lawan, malahan dia dapat menjatuhkan Bi-hiangcu dari pihak
musuh, hal ini sebaliknya cukup mematahkan semangat jagojago
Tiang-lok-pang tadi. Maka ketika dia melompat turun dari
tebing Mo-thian-kay yang tinggi dan curam itu, rasa lega dan
senangnya ada lebih besar daripada rasa penasaran dan
dongkolnya. Tapi baru beberapa li ia berlari, tiba-tiba ia merasa
jari-jari tangan agak kesakitan.
Ia coba memeriksa jari-jari itu, ternyata ujung tiap-tiap jari itu
semuanya merah dan agak bengkak. Diam-diam ia terkejut
akan lihaynya tenaga dalam Pwe Hay-ciok. Maka ia tidak berani
berlari cepat lagi, tapi berjalan dengan perlahan dan mencari
suatu tempat yang sepi untuk mengatur Lwekang dan
menjalankan darahnya……….

Dilain pihak, demi nampak Cia Yan-khek kabur meninggalkan
Mo-thian-kay, Pwe Hay-ciok menjadi terheran-heran: “Dia
adalah sahabat karib Ciok-pangcu, mengapa dia menggunakan
serangan seganas ini terhadap Bi-hiangcu? Sungguh tingkahlakunya
benar-benar susah untuk dipahami.”
Segera ia membangunkan Bi-hiangcu dan menempelkan kedua
telapak tangannya dipunggung sang kawan dan menyalurkan
tenaga dalam. Selang sejenak, perlahan-lahan Bi-hiangcu
dapat membuka matanya dan berkata dengan lemah: “Banyak
terima kasih atas pertolongan Pwe-tayhu.”
“Bi-hiante hendaklah rebah dan mengaso saja, sekali-kali
engaku jangan menggunakan tenaga,” ujar Pwe Hay-ciok.
Kiranya jurus “Bun-cay-hu-wi” yang dikeluarkan Cia Yan-khek
tadi, tujuannya bukan saja untuk membinasakan Bi-hiangcu,
bahkan merupakan serangan maut terhadap Pwe Hay-ciok.
Kalau Pwe Hay-ciok menahan tubuh Bi-hiangcu dengan tenaga
dalam, maka digencet dari muka dan belakang, tentu seketika
Bi-hiangcu akan mati. Sebab itulah Pwe Hay-ciok hanya
menahan sedikit dadanya Bi-hiangcu, berbareng dengkul kaki
menyontak tubuh Bi-hiangcu hingga mencelat kebelakang,
dengan demikian barulah jiwa Bi-hiangcu dapat diselamatkan.
Walaupun demikian, toh lukanya juga tidak ringan, andaikan
dapat disembuhkan juga susah pulih kembali seperti semula
dalam waktu beberapa tahun.
Perlahan-lahan Pwe Hay-ciok menaruh tubuh Bi-hiangcu diatas
tanah, lalu menggunakan tenaga dalam untuk mengurut dada
dan perutnya.
Pada saat itulah mendadak terdengar suara orang: “Pangcu

berada disini, Pangcu berada disini!”
Girang Pwe Hay-ciok tak terhingga, katanya kepada Bihiangcu:
“Bi-hiante, keadaanmu sudah tidak berbahaya lagi,
engkau mengaso dulu disini, aku hendak pergi menemui
Pangcu dahulu.” ~ Lalu ia berlari kearah datangnya seruan
tadi. Diam-diam ia merasa bersyukur sang Pangcu telah
diketemukan, kalau tidak, bukan mustahil Tiang-lok-pang
mereka akan pecah berantakan tak keruan.
Setelah berlari-lari, akhirnya ia melihat diatas sepotong batu
cadas berduduk seorang. Dipandang dari samping memang
betul adalah sang Pangcu. Pula In-hiangcu dan keenam kawan
yang lain tampak berdiri didepan batu dengan sikap sangat
menghormat.
Cepat Pwe Hay-ciok mendekati mereka. Tatkala itu sang surya
sedang memancarkan sinarnya yang terang sehingga wajah
orang itu dapatlah terlihat dengan jelas, tertampak alisnya
yang tebal dan mata besar, raut mukanya lonjong, siapa lagi
kalau bukan Ciok-pangcu yang sedang dicarinya?
“Pangcu, baik-baikkah engkau ?” seru Pwe Hay-ciok dengan
girang.
Tapi tiba-tiba dilihatnya air muka sang Pangcu mengunjuk rasa
derita sakit yang aneh, muka sebelah kiri tampak bersemu
kehijau-hijauan, sebaliknya muka sebelah kanan kemerahmerahan
seperti orang mabuk arak.
Sebagai seorang tokoh persilatan, pula mahir ilmu pertabiban,
segera Pwe Hay-ciok melihat keadaan sang Pangcu yang luar
biasa itu, ia terkejut: “He, rupanya Pangcu sedang melatih
semacam Lwekang yang sangat hebat. Wah, celaka, boleh jadi
lantaran kedatangan kami yang sembrono ini, maka telah

mengganggu ketenangan latihannya.”
Sesaat itu ia merasa macam-macam tanda tanya yang
tersekam di dalam benaknya selama ini menjadi terjawab
:”Kiranya Pangcu telah memperoleh ‘Bu-kang-pit-kip’ (kitab
rahasia ilmu silat) apa-apa, makanya dia menghilang sampai
setengah tahun lamanya dan susah diketemukan. Tentu Ciasiansing
itu mengetahui latihan Pangcu sedang mencapai detik
yang paling gawat dan tidak boleh diganggu oleh siapapun
juga, makanya betapapun dia tidak mau menghadapkan kami
kepada Pangcu. Ai, maksud baiknya itu telah disalah terima
oleh kami sehingga membikin susah padanya, sungguh tidak
pantas. Melihat keadaan Pangcu ini, agaknya hawa panas dan
dingin tubuhnya sedang bergolak dan susah dihimpun menjadi
satu, jika terjadi sesuatu kesalahan, tentu beliau akan celaka,
sungguh berbahaya sekali.”
Maka cepat ia memberi tanda agar kawan-kawannya itu
mundur semua sehingga belasan meter jauhnya dari tempat
sang Pangcu. Lalu dengan suara perlahan ia menjelaskan
keadaan itu.
Semua orang lantas paham duduknya perkara dan bergirang
tercampur kuatir. Ada yang bertanya apakah sang Pangcu
berbahaya? Ada pula yang menyesal tindakan mereka yang
semberono sehingga telah mengganggu latihan sang Pangcu.
Pwe Hay-ciok lantas berkata: “Bi-hiangcu telah dilukai oleh Ciasiansing
itu. Sekarang salah seorang saudara hendaklah pergi
menjaganya. Aku sendiri akan menjaga disini dan mungkin
akan dapat membantu Pangcu bilaman keadaan perlu. Kawankawan
yang lain silakan mengawasi sekitar tempat ini dan
jangan sekali-kali bersuara keras. Kalau ada musuh datang
boleh dibereskan secara diam-diam dan jangan sekali-kali
membikin kaget Pangcu.”

Jago-jago Tiang-lok-pang itu mengiakan perintah Pwe Hay-ciok
dan menjaga disekitar puncak Mo-thian-kay itu. Pwe Hay-ciok
sendiri lantas mendekati Ciok-pangcu, ia lihat muka sang
Pangcu berkerut-kerut, sekujur badannya berkejang, mulutnya
tampak terpentang ingin berteriak, tapi takdapat mengeluarkan
suara sedikitpun. Terang itulah tanda tenaga dalamnya tersesat
dan jiwanya terancam bahaya dalam waktu singkat.
Keruan Pwe Hay-ciok terkejut. Ia ingin memberi pertolongan,
tapi ia tidak tahu Lwekang apa yang sedang dilatih sang
Pangcu. Kalau secara ngawur ia memberi pertolongan, bukan
mustahil akan mempercepat kematian orang yang ditolong itu
malah.
Ia lihat pakaian sang Pangcu yang memangnya compangcamping
itu menjadi koyak-koyak dan hancur karena dicakar
dan dirobek kedua tangan sendiri, bahkan badannya
berlumuran darah. Sebaliknya ubun-ubun kepalanya tampak
menguap. Pikirnya: “Ilmu silat Ciok-pangcu memang sangat
aneh dan lihay serangannya, tapi tenaga dalamnya masih
cetek. Namun melihat uap yang mengepul diatas kepalanya
sekarang, terang Lwekangnya ini sudah terlatih sampai
puncaknya. Sungguh aneh, mengapa hanya didalam waktu
setengah tahun saja dia memperoleh kemajuan sedemikian
pesatnya ? Hal ini membuktikan bahwa ilmu yang dilatihnya ini
benar-benar luar biasa.”
Selagi merasa ragu-ragu dan tak berdaya, sekonyong-konyong
Pwe Hay-ciok mengendus bau sangit, dilihatnya baju bagian
pundak kanan sang Pangcu mengepulkan asap tipis. Itulah
benar-benar tanda terbakar karena salah melatih dan dalam
sekejap saja penderita itu dapat binasa seketika.
Karena terkejut, segera Pwe Hay-ciok mengulur tangan untuk

menahan “Jing-leng-hiat” dilengan kanan sang Pangcu,
maksudnya hendak membikin tenang pikiran sipenderita untuk
sementara waktu. Tak terduga baru saja jarinya menempel
lengannya, ia merasa seluruh badannya menggigil kedinginan,
ia tidak berani mengerahkan tenaga untuk melawan, terpaksa
menarik kembali tangannya. Pikirnya dengan heran: “Lwekang
aneh apakah ini? Mengapa setengah badannya mengepul
panas, sebaliknya separuh badan yang lain sedingin ini?”
Selagi Pwe Hay-ciok ragu-ragu cara bagaimana harus berbuat,
tiba-tiba tertampak tubuh sang Pangcu berkerut-kerut dan
akhirnya meringkuk dengan tangan memegang kepala sendiri
terus terguling jatuh kebawah. Sesudah kejang beberapa kali,
lalu tidak bergerak lagi.
“Pangcu! Pangcu!” seru Hay-ciok. Ia coba periksa hidungnya,
syukurlah masih dapat bernapas. Hanya sangat lemah, seakanakan
setiap saat bisa berhenti bernapas.
Pwe Hay-ciok mengerut kening kuatir. Cepat ia bersuit
memanggil kawan-kawannya, lalu ia membangunkan sang
Pangcu dan disandarkan pada batu cadas besar itu.
Tidak lama kemudian berturut-turut kawannya sudah
berkumpul. Ketika melihat muka sang Pangcu sebentar merah
membara dan sebentar lagi pucat seakan-akan kedinginan,
badannya yuga bergemetar, keruan mereka ikut kaget. Dengan
sorot mata penuh tanda tanya mereka pandang Pwe Hay-ciok.
“Terang Pangcu sedang melatih semacam Lwekang yang maha
hebat, apakah dia telah salat latih, seketika akupun belum tahu
dengan pasti,” demikian kata Pwe Hay-ciok. “Urusan ini
memang serba sulit dan menyangkut Pang kita, maka diharap
saudara-saudara ikut memberi saran yang baik.”

Namun tiada seorangpun yang bersuara. Semuanya saling
pandang dengan bingung. Kalau Pwe-tayhu saja tak berdaya
apalagi kita orang? Demikian pikir mereka.
Dalam pada itu Bi-hiangcu yang telah dipayang kawankawannya
dan ikut berkumpul disitu lantas berkata dengan
suara lemah: “Pwe-tayhu, apa yang kau anggap paling baik,
maka bolehlah dijalankan, betapapun pikiranmu jauh lebih
sempurna daripada kami.”
Pwe Hay-ciok memandang sekejap kearah Ciok-pangcu, lalu
berkata: “Keempat golongan paling berpengaruh dari Kwantang
telah berjanji akan berkunjung kemarkas besar kita pada
Tiong-yang-ce (hari raya tanggal 9 bulan 9) nanti, temponya
sekarang sudah sangat mendesak dan tinggal sebulan lagi.
Urusan ini menyangkut mati atau hidupnya Pang kita, tentu
saudara-saudara sendiri sudah tahu bahwa keempat golongan
besar dari Kwantang itu hanya tampil kemuka sebagai pelopor
saja, tapi sebenarnya masih banyak pihak-pihak lain yang
diam-diam ingin…….huk, huk, ingin menjungkalkan Tiang-liokpang
kita. Dan bila Pang kita sampai dirobohkan oleh
Kwantang-si-pay (keempat golongan dari Kwantang) sehingga
pecah berantakan, maka jangankan kita hendak berkecimpung
pula didunia Kangouw, sekalipun mencari suatu tempat untuk
menyelamatkan diri rasanya juga………juga susah.”
“Ucapan Pwe-tayhu memang benar,” ujar In-hiangcu.
“Bagaimana Tiang-liok-pang kita dalam pandangan orangorang
Kangouw kita cukup mengetahui. Segala sesuatu kita
biasanya suka bertindak dan berbuat secara tegas dan blakblakan,
kita tidak suka meniru cara-cara kaum pengecut,
dengan sendirinya kita telah banyak membikin sirik orangorang
lain. Dalam urusan-urusan sekarang ini kalau tiada
Pangcu sendiri yang tampil kemuka,
mungkin……………….mungkin……..ai………..”

“Ya, sebab itulah kita harus cepat mengambil keputusan,”
sahut Pwe Hay-ciok. “Menurut pendapatku, kita harus cepat
menyambut Pangcu pulang kemarkas besar. Tapi penyakit
yang diderita Pangcu sekarang ini tampaknya tidak ringan,
berkat rejeki beliau kalau dalam waktu sepuluh hari atau
setengah bulan beliau dapat sembuh kembali, maka inilah yang
sangat kita harapkan. Kalau tidak, asalkan Pangcu sendiri
sudah berada dimarkas, sekalipun kesehatannya belum pulih,
namun beliau sudah cukup untuk memberi dorongan semangat
kepada kita untuk menghalau musuh bersama. Betul tidak
saudara?”
“Ya, ucapan Pwe-tayhu memang betul,” sahut semua orang.
“Jika demikian, marilah kita lekas membuat dua usungan untuk
membawa pulang Pangcu dan Bi-hiangcu” kata Pwe Hay-ciok
pula.
Beramai-ramai mereka lantas terpencar untuk melakukan
tugas, ada yang menebang dahan pohon, kulit pohon dipuntir
menjadi tambang yang kuat, maka dalam waktu singkat dua
buah usungan sudah selesai disiapkan. Mereka mengikat kuatkuat
sang Pangcu dan Bi-hiangcu diatas usungan itu agar tidak
terjatuh diwaktu mereka menuruni tebing curam itu. Kedelapan
orang menggotong usung-usungan itu secara bergiliran dan
meninggalkan Mo-thian-kay.
Siapakah Ciok-pangcu yang dibawa pulang orang-orang Tianglok-
pang itu. Ia tak lain tak bukan adalah sianak muda penemu
medali wasiat itu.
Pada hari itu ia sedang melatih Lwekang menurut cara-cara
yang diajarkan Cia Yan-khek padanya. Sampai lohor, tiba-tiba
ia merasa hawa panas merangsang naik melalui urat nadi,

bagian kaki dan tangan sebelah kanan terasa panas sebagai
dibakar. Berbareng itu urat nadi kaki dan tangan sebelah kiri
terasa kedinginan seperti direndam es. Jadi yang panas keliwat
panas dan yang dingin terlalu dingin, keduanya takdapat
dibaurkan menjadi satu.
Kiranya sesudah berlatih dengan giat selama beberapa tahun,
maka tenaga dalam anak muda itu sudah tambah hebat dan
maju dengan pesat, sampai lohor hari itu “Yam-yam-kang”
yang dilatihnya itu sudah jadi.
Menurut perhitungan Cia Yan-khek, bilamana Yam-yam-kang
yang dilatih itu sudah jadi, seketika tenaga Yam-yam-kang
yang maha panas itu akan saling terjang dan saling gontok
dengan Lwekang “Han-ih-bian-ciang” yang maha dingin,
akibatnya jiwa anak muda itu tentu akan melayang.
Sekarang anak muda itu ternyata tidak tahan sampai setengah
jam dan orangnya lantas tak sadarkan diri, sampai sekian
lamanya ia tetap tak sadar, sebentar ia merasa seluruh
badannya panas seperti dipanggang, keringat bercucuran dan
mulut terasa kering, lain saat ia merasa kedinginan seperti
tertutup didalam gudang es, sampai darahpun seakan-akan
membeku.
Begitulah ia terus tersiksa oleh rasa panas dan dingin secara
bergilir, lapat-lapat iapun tahu ada orang berada disekitarnya,
ada lelaki, ada wanita dan sedang bicara, tapi sedikitpun ia
tidak tahu apa yang sedang dipercakapkan mereka. Ia sendiri
ingin berteriak tapi susah membuka mulut. Ia merasa
pandangannya terkadang terang dan terkadang gelap, ia
merasa sering kali diberi makan dan minum oleh orang lain,
apa yang diminum itu terkadang rasanya sangat pahit, ada
kalanya juga sangat manis, tapi entah apa yang diminum dan
dimakannya itu.

Keadaan yang gelap dan membingungkan itu entah sudah
berapa lamanya berlangsung, ketika pada suatu hari mendadak
ia merasa dahinya menjadi segar, hidungnya lantas mengendus
bau harum. Perlahan-lahan ia coba membuka matanya, yang
pertama-tama terlihat ada sebatang lilin dengan apinya yang
ter-guncang2 perlahan. Menyusul lantas terdengar suara orang
yang sangat halus dan merdu berkata: “Ah, akhirnya kau sadar
juga!”
Anak muda itu berpaling kearah suara itu, ia melihat pembicara
itu adalah seorang anak dar berumur 17-18 tahun, berbaju
hijau pupus, raut mukanya potongan daun sirih, cantiknya
susah dilukiskan. Biji mata anak dara itu mengerling bening,
dengan suara perlahan telah berkata pula: “Bagian manakah
yang terang tidak enak?”
Namun anak muda itu masih merasa bingung. Ia ingat ketika
itu dirinya sedang berlatih diatas Mo-thian-kay, mendadak
sebelah badannya terasa panas dan sebelah badan yang lain
terasa dingin, dalam kaget dan bingungnya itu ia lantas jatuh
pingsan. Dan mengapa didepannya sekarang muncul seorang
anak dara jelita?
Ia hendak menjawab, tapi lantas merasa dirinya merebah
disebuah ranjang yang empuk, bahkan badannya berselimut,
segera ia hendak bangun, tapi baru sedikit bergerak, seketika
anggota badannya serasa dicocok beribu-ribu jarum, sakitnya
tidak kepalang, tanpa terasa ia menjerit.
“Kau baru saja mendusin, janganlah bergerak,” demikian anak
dara tadi berkata. “Terima kasihlah kepada Thian yang maha
murah, akhirnya jiwamu ini dapat diselamatkan.”
Habis bicara, mendadak mukanya yang cantik itu bersemu

merah, dengan kemalu-maluan ia lantas berpaling kearah lain.
Jantung sianak muda memukul keras. Ia merasa si nona ini
cantik tak terkirakan dan sangat menggiurkan. Akhirnya ia
coba berkata: “Ber…………….berada dimanakah diriku ini?”
“Ssssst!” mendadak anak dara itu mengacungkan jarinya
kedepan mulut sebagai tanda jangan bersuara. Lalu ia berbisikbisik:
“Ada orang datang, aku harus pergi dahulu.” ~ Dan
sekali melesat, cepat sekali ia sudah melompat keluar melalui
jendela.
Ketika anak muda itu berkedip, tahu-tahu sinona sudah
menghilang. Hanya terdengar diatas wuwungan rumah ada
suara orang berjalan dengan perlahan, tapi cepat sekali lantas
menjauh. “Siapakah dia? Apakah dia akan datang menjenguk
diriku pula?” demikian sianak muda berpikir dengan bingung.
Selang sejenak, tiba-tiba diluar pintu ada suara tindakan orang,
lalu ada orang berbatuk-batuk beberapa kali, menyusul pintu
berkeriut dan didorong terbuka, maka masuklah dua orang.
Sianak muda melihat yang datang itu diantaranya ada seorang
tua, tampaknya berpenyakitan. Seorang lagi tinggi kurus dan
seperti sudah dikenalnya.
Ketika melihat sianak muda itu sudah sadar, siorang tua
menjadi girang, ia lantas mendekati dan berkata: “Pangcu,
bagaimana rasanya penyakitmu? Air mukamu hari ini tampak
jauh lebih segar.”
“Kau………..kau panggil apa padaku? Ak…………aku berada
dimanakah ini?” sahut sianak muda.
Sekilas siorang tua tampa merasa sedih, tapi segera mukanya
berseri-seri, jawabnya dengan tertawa: “Pangcu telah jatuh

sakit beberapa hari lamanya, sekarang pikiranmu sudah jernih
kembali, sungguh harus diberi selamat dan bersyukur.
Sekarang silakan Pangcu mengaso dan tidur saja, besok hamba
akan datang menjenguk Pangcu lagi.”
Lalu ia memegang sebentar nadi tangan sianak muda, katanya
kemudian sambil mengangguk: “Denyut nadi Pangcu sudah
teratur dan kuat, sedikitpun tiada berbahaya lagi. Pangcu
sungguh-sungguh seorang berejeki besar, segenap anggota
Pang kitapun ikut bahagia.”
“Aku…………..aku bernama ‘Kau-cap-ceng’ dan bu…………bukan
‘Pangcu’, kata sianak muda itu dengan heran dan bingung.
Siorang tua dan sikurus tampak melengak demi mendengar
jawaban itu. Mereka saling pandang sekejap, lalu
berkatadengan suara perlahan: “Harap Pangcu mengaso saja.”
~ Mereka mundur beberapa langkah, lalu memutar tubuh dan
keluar dari kamar itu.
Orang tua itu bukan lain daripada “Ciok-jiu-seng-jun” Pwe Hayciok
adanya. Dan sikurus adalah Bi-hiangcu, nama lengkapnya
ialah Bi Heng-ya.
Sementara itu luka Bi Heng-ya sudah mulai sembuh berkat
pertolongan Pwe Hay-ciok. Hanya saja ia merasa menyesal
karena nama baiknya telah tersapu bersih lantaran dijatuhkan
Cia Yan-khek hanya dalam satu jurus saja.
Tapi Pwe Hay-ciok telah menghiburnya: “Bi-hiante, kalau
dibicarakan, bahkan aku berharap waktu itu kita bersembilan
lebih baik dijatuhkan semua oleh Cia-siansing, dengan
demikian kita tentu tidak sampai membikin kaget Pangcu dan
beliau takkan Cau-hwe-jip-mo dan menderita seperti sekarang.
Kalau melihat keadaan Pangcu sekarang, sungguh susah

diramalkan apakah beliau akan dapat sembuh atau tidak.
Andaikan sembuh, maka Lwekang aneh yang bertenaga panas
dingin itu pasti susah diyakinkan pula. Sebaliknya, yika terjadi
apa-apa atas diri Pangcu, ai, Bi-hiante, malahan diantara
kesembilan orang adalah engkau sendiri yang paling ringan
dosanya, sebab meski kau ikut naik ke Mo-thian-kay, tapi
ketika menemukan Pangcu engkau sendiri sudah dalam
keadaan payah.”
“Apa bedanya keadaan diriku pada waktu itu?” sahut Bi Hengya.
“Ya, pendek kata bila terjadi apa-apa atas diri Pangcu,
rasanya kita bersembilan susah menebus dosa sebesar itu
selain membunuh diri semua.”
Tak tersangka, pada malam hari kedelapan, ketika Pwe Hayciok
dan Bi Heng-ya menyambangi sang Pangcu, mereka
melihat sang Pangcu sudah sadar kembali dan dapat bicara.
Sudah tentu kedua orang itu sangat lega dan girang. Hanya
saja mereka anggap Ciok-pangcu baru saja mengalami derita
Cau-hwe-jip-mo, pikiran dan jiwanya tentu mengalami
guncangan hebat, sebab itulah bicaranya menjadi me-lantur2
tak keruan serta tidak kenal pada mereka lagi.
Waktu Pwe Hay-ciok memeriksa nadi sang Pangcu, ia merasa
jalannya nadi sangat kuat dan baik, baru saja ia merasa
senang, tiba-tiba sang Pangcu telah mengucapkan kata-kata
yang membuatnya bingung, katanya dia bukan “Pangcu”, tapi
bernama “Kau-cap-ceng” apa segala. Keruan mereka menjadi
kaget dan tidak berani banyak bicara lagi, cepat-cepat mereka
lantas mengundurkan diri.
Sampai diluar, dengan suara perlahan Bi Heng-ya tanya Pwetayhu:
“Bagaimana, mengapa bisa demikian?”
Pwe Hay-ciok berpikir sejenak, sahutnya kemudian: “Saat ini

pikiran Pangcu masih kacau, tapi ada lebih baik daripada tak
sadarkan diri sama sekali. Ya, tentu aku akan berusaha
sepenuh tenaga dan semoga dalam waktu singkat kesehatan
Pangcu sudah dapat dipulihkan kembali.” ~ Sampai disini ia
merandek sedetik, lalu menyambung pula: “Cuma urusan
organisasi kita sudah makin mendesak waktunya, entah kapan
kesehatan Pangcu dapat disembuhkan seluruhnya ?”
Bab 9. Tiang-Lok-Pangcu Palsu Atau Tulen
Dalam pada itu, sesudah kedua orang itu pergi barulah sianak
muda mengamat-amati keadaan didalam kamar, ia melihat
dirinya tertidur diatas sebuah ranjang berukuran sangat besar
dengan kelambu dan selimut yang indah, didepan tempat tidur
itu terdapat sebuah meja tulis bercat merah, disamping meja
itu ada dua buah kursi dengan kasur bersulam. Selain itu
banyak pula pajangan-jangan lain yang serba mewah dengan
bau asap yang harum semerbak sehingga membikin orang
merasa seperi berada didalam gua dewa.
Sudah tentu sianak muda tidak pernah kenal tempat tidur
sebesar dan sebagus itu, apalagi benda-benda lain yang
menyilaukan mata didalam kamar itu. Pikirnya: “Besar
kemungkinan aku berada dalam impian.”
Tapi bila teringat kepada sinona baju hijau yang cantik
menggiurkan itu, sampai alisnya yang lentik dan bibirnya yang
merah tipis sebagai delima merekah, semuanya itu juga masih
teringat dengan jelas, pula daun jendela yang dibukanya tadi
untuk melompat keluar itu sampai sekarang juga masih
setengah terpentang, semuanya ini toh tidak seperti dalam
mimpi?
Ia coba angkat tangan kanan hendak meraba kepalanya
sendiri. Tak tersangka hanya sedikit bergerak saja, seluruh

badannya lantas kesakitan pula sehingga ia menjerit.
Karena suaranya itu, tiba-tiba terdengar suara orang menguap
kantuk dipojok kamar sana dan berkata: “Siauya” (tuan muda),
engkau sudah mendusin……..” itulah suara seorang wanita,
agaknya baru saja terjaga bangun dari tidurnya. Tiba-tiba ia
berseru kaget pula: “Ha, eng………..engkau sudah sadar
kembali?”
Sianak muda merasa pandangannya menjadi silau ketika tibatiba
seorang anak dara berbaju kuning tahu-tahu sudah berdiri
didepan tempat tidurnya. Semua ia bergirang, disangkanya
sinona baju hijau tadi yang telah datang lagi, tapi sesudah
diperhatikan ternyata nona dihadapannya sekarang ini berbaju
ringkas warna kuning telur, bergelung ciodah dibagi dua. Bukan
saja dandanannya lain, bahkan mukanya juga beda. Muka
sinona didepannya sekarang ini agak bundar, matanya besar,
dibalik kecantikannya tampak sangat pintar dan lincah pula.
“Siauya, engkau sudah sadar kembali?” demikian terdengar
sinona bertanya pula dengan rasa girang dan kuatir.
“Ya, aku…….aku sudah sadar. Apakah………..apakah aku bukan
didalam mimpi?” sahut sianak muda.
Sinona mengikik tawa. “Ya, mungkin engkau masih didalam
mimpi, boleh jadi,” katanya. Habis itu lalu ia bersikap sungguhsungguh
dan bertanya pula: “Siauya, apakah engkau ada
perintah sesuatu?”
“Kau panggil aku apa? Siau………….Siauya apakah?” tanya
sianak muda dengan heran.
Air muka sinona tampak mengunjuk rasa marah, sahutnya:
“Sudah lama kukatakan padamu bahwa kami ini adalah orangKang
Zusi http://cerita-silat.co.cc/
orang rendah, kaum hamba belaka, kalau tidak panggil Siauya
padamu, habis panggil apa?”
“Aneh,” ujar sianak muda dengan menggumam sendiri. “Yang
seorang memanggil aku Pang……Pangcu, sekarang yang satu
lagi memanggil aku Siauya. Sebenarnya siapakah aku ini? Dan
mengapa bisa berada di sini?”
Sinona tampak bersabar kembali, katanya: “Siauya,
kesehatanmu belum lagi pulih, hendaklah kau mengaso saja.
Apakah suka makan sedikit sarang burung?”
“Sarang burung ?” sianak muda menegas. Ia tidak tahu barang
apakah “sarang burung” itu. Tapi perutnya memang terasa
sangat lapar, tiada jeleknya untuk makan apapun juga. Maka ia
lantas manggut.
Dan sesudah membetulkan bajunya yang agak kusut, lalu anak
dari itu menuju kekamar sebelah. Tidak lama kemudian ia
datang lagi dengan membawa sebuah nampan dimana tertaruh
sebuah mangkuk berwarna indah, dari dalam mangkuk itu
terkepul uap yang berbau sedap wangi. Ditengah malam itu
entah cara bagaimana nona itu dapat menyediakan daharan
panas dalam waktu sesingkat itu.
Memangnya perut sianak muda sudah lapar, demi mengendus
bau harum sedap itu, seketika ia mengiler, perutnya semakin
berkeruyukan.
Rupanya suara keruyukan perut sianak muda dapat didengar
anak dara itu, dengan tersenyum anak dara itu berkata:
“Sudah tujuh delapan hari engkau hanya minum kuah kolesom
melulu untuk menguatkan badanmu, tentu saja kau sangat
kelaparan.” ~ berbareng ia lantas menghaturkan nampan yang
dibawanya itu.

Sianak muda dapat melihat bahwa isi mangkuk itu adalah
sejenis makanan seperti bubur tapi bukan bubur, diatasnya
ditaburi sedikit kelopak bunga mawar yang sudah kering
sehingga menyiarkan bau harum. Segera ia tanya: “Makanan
baik ini apakah untukku?”
“Sudah tentu, masakah pakai sungkan-sungkan segala?” ujar
sianak dara dengan tersenyum.
Tapi sianak muda itu menjadi ragu-ragu, ia pikir makanan
sebaik ini entah berapa harganya, padahal uangnya sudah
habis, entah boleh utang atau tidak? Lebih baik bicara secara
terang-terangan sebelumnya. Maka ia lantas berkata:
“Ta………tapi aku tiada punya uang, apa…………apakah boleh
utang ?”
Anak dara itu tampak tercengang sejenak, tapi lantas berkata
dengan tertawa: “Dasar jahil, sesudah sakit sepayah ini
watakmu masih juga belum berubah. Baru saja kau dapat
bicara sudah mulai mengoceh yang tidak-tidak lagi. Sudahlah,
kalau lapar lekas makan saja.” ~ Sambil bicara ia menyodorkan
nampannya lebih dekat pula.
Sianak muda menjadi girang. “Habis makan aku tidak perlu
bayar?” ia menegas.
Rupanya anak dari itu menjadi jemu, tiba-tiba ia menarik muka
dan menyahut: “Ya, tidak perlu bayar, kau mau makan atau
tidak ?”
“Makan, tentu saja makan!” seru sianak muda cepat.
Segera ia hendak memegang sendok yang berada diatas
nampan. Tapi baru saja tangannya bergerak, seketika

tubuhnya kesakitan lagi seperti ditusuk jarum, ia merintih
tertahan dan sambil meringis ia mengangkat tangannya
dengan perlahan, namun toh tetap bergemetar.
“Siauya, kau ini sakit sungguh-sungguh atau pura-pura
kesakitan?” tanya sianak dara dengan muka masam.
“Sudah tentu sakit sungguh-sungguh, mengapa mesti purapura?”
sahut sianak muda dengan heran.
“Baik, mengingat deritamu diwaktu sakit keras ini, biarlah
untuk sekali lagi aku menyuapi kau,” kata sianak dara. “Tapi
awas, Siauya, jika kau main pegang-pegang dan comat-comot
lagi, tentu aku tidak mau gubris lagi padamu.”
Sianak muda semakin heran. “Apa itu main pegang-pegang
dan main comat-comot?” tanyanya.
Air muka sianak dara menjadi merah jengah. Ia pelototi anak
muda itu sekejap sambil mendengus, lalu ia pegang sendok
dan menyendok bubur sarang burung untuk menyuapinya.
Seketika sianak muda melenggong, sama sekali tak terpikir
olehnya bahwa didunia ini ternyata ada orang sebaik ini. Tanpa
pikir ia lantas membuka mulut dan makan bubur sarang burung
yang dilolohkan kepadanya itu. Sungguh rasanya sangat manis
dan harum, enaknya tak terkatakan.
Anak dara itu hanya diam-diam saja dan terus menyuapi
sampai beberapa kali, ia berdiri agak jauh dari tempat tidur
sianak muda, hanya tangannya yang dijulurkan untuk
menyuap, tampaknya seperti takut-takut kalau-kalau
mendadak “diterkam” oleh sianak muda.
Namun sianak muda sendiri sedang menikmati bubur sarang

burung itu dengan menjilat-jilat bibirnya sambil memuji: “Ehm,
sungguh enak sekali. Aku harus berterima kasih padamu.”
“Hm, hendaklah kau jangan pakai akal licik untuk menipu aku,”
dengus sianak dara. “Sarang burung seperti ini entah berapa
ribu mangkuk telah kau makan, bilakah kau pernah memuji
akan keenakannya?”
Sianak muda menjadi bingung sebab ia merasa selama
hidupnya belum pernah makan sarang burung yang enak itu. Ia
coba bertanya pula: “Apakah ini yang di……………dinamakan
sarang burung ?”
“Huh, kau benar-benar pandai berlagak bodoh, Siauya,” jengek
sianak dara, berbareng ia melangkah mundur satu tindak seakan
kuatir diperlakukan secara tidak senonoh oleh sianak
muda.
Anak muda itu coba mengamat-amati sianak dara, terlihat
pakaiannya yang berwarna kuning telur, rambutnya yang agak
kusut bergelung ciodah bagi dua, matanya tampak masih
keriyap-keriyep sepat karena baru mendusin, kakinya telanjang
dan tidak memakai kaos sehingga kelihatan putih bersih
bersandal sulam kembang cantiknya susah dilukiskan. Tanpa
terasa ia lantas memuji: “Kau……….kau sungguh sangat cantik!”
Muka sianak dara menjadi merah dan mengunjuk rasa marah,
mendadak ia taruh mangkuk diatas meja, lalu menuju kepojok
kamar dan menggulung sebuah tikar dan sehelai selimut,
tangan yang lain membawa sebuah bantal, terus berjalan
kepintu kamar.
Dengan gugup sianak muda berseru: “He, hen…..dak kemana
kau ? Kau tak gubris lagi padaku ?”

“Kau baru saja sembuh, sekarang mulutmu sudah mulai
mengoceh tak keruan lagi,” sahut sianak dara. “Kemana aku
dapat pergi? Engkau adalah majikan dan kami adalah kaum
hamba yang rendah, masakan dapat dikatakan gubris dan tidak
?” ~ Sambil berkata ia terus melangkah pergi.
Sianak muda menjadi bingung, ia tidak tahu sebab apakah
anak dara itu marah-marah. Pikirnya: “Seorang nona telah
pergi dengan melompat jendela, nona ini pergi pula melalui
pintu, apa yang mereka katakan sama sekali aku tak paham.
Ai, aku benar-benar seorang tolol, segala apa tidak paham.”
Tengah termenung-menung sendiri, tiba-tiba terdengar suara
tindakan orang yang halus, ternyata anak dara tadi telah
masuk kamar lagi, air mukanya tampak masih bersengut,
tangannya membawa sebuah baskom.
Sianak muda menjadi girang. Dilihatnya anak dara itu
meletakkan baskom itu diatas meja, lalu dari dalam baskom
diangkatnya sepotong handuk yang mengepul panas, sesudah
diperas, handuk itu lantas disodorkan kepada sianak muda,
katanya dengan nada dingin: “Ini, cuci muka!”
“Ya, ya,” sahut sianak muda cepat dan segera hendak
mengambil handuk hangat itu. Tapi baru bergerak sedikit saja
sekujur badannya lantas kesakitan seperti ditusuk-tusuk jarum.
Ia meringis tertahan sambil menerima handuk itu. Ketika
hendak dipakai mengusap mukanya, kedua tangan gemetar
dengan hebat, betapapun handuk itu susah dilekatkan kepada
mukanya.
Anak dara itu tampak ragu-ragu dan curiga, katanya dengan
menyindir: “Huh, pintar sekali caramu berlagak”. ~ Segera ia
ambil kembali handuk itu dan berkata pula: “Ingin aku
mengusapkan mukamu juga tidak sukar. Cuma saja engkau

tidak boleh main gila dengan tanganmu, asal kau menyentuh
seujung rambutku, untuk selanjutnya aku pasti tidak mau
masuk ke kamar ini lagi.”
“Ah, nona jangan mengusapkan mukaku, mana aku berani
dilayani olehmu,” ujar sianak muda. “Kain ini sedemikian putih
bersih, sedangkan mukaku sangat kotor, tentu kain bersih ini
nanti akan ikut menjadi kotor.”
Mendengar nada anak muda itu agak lebih rendah daripada
dahulu, caranya bicara dan lafalnya juga rada berbeda daripada
masa dulu, lebih-lebih mengenai apa yang dikatakan selalu halhal
yang tak genah, mau tak mau sianak dara semakin curiga:
“Jangan-jangan karena sakitnya yang keras ini, maka otaknya
telah terganggu. Menurut pembicaraan Pwe-siansing dan lainlain,
katanya dia melatih sesuatu ilmu dan telah membakar
dirinya sendiri sehingga menderita luka dalam yang berat.
Kalau tidak mengapa bicaranya selalu tak keruan dan tak
teratur ?”
Kemudian ia coba bertanya: “Siauya, apakah kau masih ingat
namaku?”
“Selamanya kau tidak pernah katakan padaku, dari mana aku
kenal namamu?” sahut sianak muda. Ia tersenyum, lalu
menyambung pula : “Aku sendiri bukan bernama Siauya, tapi
namaku adalah Kau-cap-ceng, ini adalah nama panggilan
ibuku. Paman tua itu mengatakan nama ini tidak baik. Dan
siapakah namamu ?”
Kening sianak dara semakin mengerut mengikuti ucapan sianak
muda itu, pikirnya: “Melihat cara bicaranya ini toh tiada tandatanda
sengaja bergurau atau pura-pura, apakah dia benarbenar
sudah tidak waras lagi ?” ~ Berpikir demikian ia sendiri
menjadi sedih, katanya: “Siauya, apakah engaku benar-benar

tidak kenal diriku lagi? Kau sudah lupa kepada Si Kiam ?”
“Oh, apa kau bernama Si Kiam? Baiklah, selanjutnya aku akan
panggil kau Si Kiam……..tidak, tapi akan kupanggil enci Si
Kiam. Kata ibuku, terhadap wanita yang jauh lebih tua harus
memanggilnya bibi, jika usianya sebaya bolehlah
memanggilnya enci.”
Tiba-tiba air mata Si Kiam berlinang-linang, katanya dengan
suara senggugukan: “Siauya, apa engkau benar-benar sudah
lupa padaku dan bukan cuma pura-pura saja ?”
Sianak muda menggeleng kepala, sahutnya: “Apa yang kau
katakan semuanya aku tidak paham, enci Si Kiam, sebab
apakah kau menangis, mengapa kau tidak senang ? Apakah
aku berbuat salah padamu ? Dikala ibuku merasa tidak senang
sering beliau memaki dan memukul aku, sekarang kaupun
boleh memaki dan memukul padaku saja.”
Perasaan Si Kiam semakin pilu, perlahan-lahan ia
menggunakan handuk tadi untuk mengusap muka sianak
muda, katanya dengan perlahan: “Aku adalah pelayanmu,
mana boleh memaki dan memukul kau? Siauya, semoga Thian
memberkahi dirimu supaya penyakitmu lekas sembuh. O,
Tuhan, jika ingatanmu benar-benar terganggu, lantas
bagaimana baiknya ?”
Sejenak kemudian Si Kiam bertanya pula: “Siauya, kau telah
melupakan namaku, apakah urusan-urusan lain juga sudah kau
lupakan? Misalnya tentang kau adalah Pangcu dari Pang apa?”
Sianak muda menggeleng, sahutnya: “Tidak, aku bukan Pangcu
apa-apa, paman tua telah mengajarkan aku melatih ilmu,
sekonyong-konyong sebelah badanku sangat panas seperti
dipanggang dan sebelah badan yang lain dingin luar biasa.

Aku………….aku tidak tahan dan akhirnya tidak ingat diri lagi.
Enci Si Kiam, mengapa aku bisa berada disini? Apakah kau
yang membawa aku kesini ?”
Kembali hati Si Kiam merasa pilu, pikirnya: “Jika demikian,
agaknya dia benar-benar tidak ingat apa-apa lagi.”
Dalam pada itu sianak muda telah berkata pula: “Dimanakah
paman tua itu? Dia mengajarkan aku melatih ilmu menurut
garis-garis merah yang terlukis diatas boneka-boneka itu,
mengapa badanku bisa menjadi panas dan dingin, aku ingin
minta keterangan padanya.”
Mendengar kata-kata “boneka”, Si Kiam menjadi teringat
beberapa hari yang lalu ketika menggantikan pakaian sianak
muda, dari kantong bajunya telah jatuh keluar sebuah kota
kecil yang berisi 18 buah boneka kecil berbentuk lelaki
telanjang. Waktu itu muka Si Kiam menjadi merah, ia cukup
kenal sifat tuan mudanya yang bangor dan suka main gila,
boneka-boneka telanjang itu tentu bukanlah barang mainan
yang genah. Maka lantas menutup baik-baik kotak boneka itu
dan disimpan didalam laci.
Ia pikir kalau boneka-boneka itu diperlihatkan kepada sianak
muda, boleh jadi akan membantu mengingatkan daya
pikirannya pada kejadian yang lalu. Maka ia lantas membuka
laci dan mengeluarkan kotak kecil itu, katanya: “Apakah
boneka-boneka yang didalam kotak ini?”
“Ya, benar, boneka-boneka ini berada disini, tapi dimanakah
paman tua? Kemanakah dia?”
“Paman tua siapa?” tanya Si Kiam.
“Paman tua ya paman tua. Katanya……………………..katanya dia

bernama Mo-thian kisu.”
Si Kiam sendiri sangat cetek pengetahuannya dalam dunia
persilatan, maka ia tidak tahu bahwa Mo-thian-kisu Cia Yankhek
adalah seorang tokoh terkemuka. Katanya kemudian:
“Siauya, betapapun engkau sudah sadar kembali, jika kejadiankejadian
dahulu sudah kau lupakan, biarkan saja, perlahanlahan
tentu engkau akan ingat kembali. Sekarang subuh belum
tiba, engkau boleh tidur lagi. Ai, sebenarnya………..sebenarnya
akan lebih baik juga jikalau engkau sudah melupakan kejadiankejadian
dimasa lampau.”
Sambil berkata ia terus menyelimuti sianak muda, lalu
membawa nampan dan segera hendak tinggal pergi.
Mendadak sianak muda bertanya: “Enci Si Kiam, mengapa kau
anggap ada lebih baik jika aku tidak ingat lagi kepada kejadiankejadian
dimasa yang lalu?”
“Sebab…….sebab perbuatanmu dimasa yang lampau…………….”
baru sekian ucapan Si Kiam, mendadak ia berhenti, lalu
menunduk dan bertindak pergi dengan cepat.
Sianak muda menjadi bingung. Ia merasa segala apa yang
dialaminya sekarang ini sungguh susah untuk dipahami. Ia
dengar diluar ada suara kentongan tiga kali, ia tidak tahu
bahwa itu adalah tanda waktu yang ditabuh peronda,
sebaliknya ia heran mengapa ditengah malam buta masih ada
orang memain tetabuhan segala.
Pada saat itulah, sekonyong-konyong ia merasa “Siang-yanghiat”
di bagian jari telunjuk kanan menjadi panas, suatu arus
hawa panas mendadak mengalir melalui lengan terus kebahu.
Diam-diam sianak muda mengeluh: “Celaka!” ~ Dan pada saat
yang sama, “Yong-coan-hiat” ditelapak kaki kiri juga lantas

terasa dingin tak terkatakan.
Siksaan panas-dingin demikian itu sudah dirasakannya
beberapa kali, ia tahu setiap kali kumat berarti penderitaan
hebat baginya. Jika sudah tak tertahankan lagi, akhirnya ia
menjadi pingsan. Biasanya kalau penyakitnya kumat selalu dia
dalam keadaan tak sadar, tapi sekali ini penyakit itu kumat
dikala pikirannya sedang terang, tentu saja lebih dirasakan dan
lebih menguatirkan.
Dalam pada itu hawa panas dan dingin itu perlahan-lahan mulai
menyerang dari kanan kiri dan lambat laun sudah memusat ke
bagian jantungnya. “Sekali ini pasti tamatlah riwayatku!”
demikian pikir sianak muda.
Berjangkitnya penyakit panas-dingin itu biasanya berpindahpindah,
kalau tidak berpusat kebagian perut, sering bertemu
dibagian paha atau bahu, tapi sekali ini hawa panas-dingin itu
merangsang kebagian jantung yang merupakan tempat
berbahaya, keruan deritanya lebih-lebih hebat.
Ia tahu gelagat jelek, segara ia meronta bangun sekuatnya
untuk duduk, pikirnya ingin duduk bersila, tapi kedua kakinya
betapapun susah ditekuk. Dalam keadaan amat tersiksa itu,
tiba-tiba timbul pikirannya: “Apakah dahulu diwaktu sipaman
tua sendiri melatih ilmu ini beliau juga menderita seperti
diriku? Sebenarnya permainan menangkap burung dan
membuat burung takbisa terbang dari telapak tangan juga
bukan sesuatu permainan yang terlalu menarik, tahu begini
akibatnya tentu aku tidak mau melatihnya.”
Pada saat itulah, tiba-tiba terdengar suara seorang lelaki
sedang bertanya dengan suara tertahan diluar jendela:
”Apakah Pangcu belum tidur? Hamba Pah-ciat-tong Tian Hui
ingin melaporkan sesuatu urusan rahasia yang maha penting.”

Dalam keadaan diserang hawa panas dingin didalam badan,
sianak muda sedikitpun tidak sanggup bersuara lagi.
Selang sejenak, perlahan-lahan daun jendela terbuka, ketika
bayangan orang berkelebat, tahu-tahu seorang laki-laki
berbaju loreng sudah melompat masuk kamar.
Ketika mendekati tempat tidur dan mendadak melihat sianak
muda duduk diatas ranjang, orang itu terperanjat. Agaknya hal
demikian sama sekali diluar dugaannya, maka cepat ia
menyurut mundur setindak.
Dalam pada itu hawa panas-dingin dibadan sianak muda
sedang berkecamuk dengan hebatnya, jantungnya bekerja
dengan sangat lemah seakan-akan setiap saat bisa berhenti
dan mati orangnya. Namun demikian pikirannya tetap sangat
jernih walaupun sedang menderita siksaan hawa panas-dingin
itu. Ia melihat laki-laki berbaju loreng itu melompat masuk dan
mendengar dia mengaku bernama “Pah-ciat-tong” Tian Hui,
karena tidak tahu apa maksud kedatangan orang, maka anak
muda itu hanya memandangnya dengan mata terbelalak lebar.
Sesudah mundur setindak dan melihat anak muda itu tiada
bergerak sama sekali, lalu Tian Hui berkata pula dengan suara
perlahan: “Pangcu, kabarnya engaku sedang sakit keras,
apakah sekarang sudah menjadi baik?”
Badan sianak muda tampak berkejang beberapa kali dan
takdapat bersuara.
Tiang Hui menjadi girang, katanya pula: “Pangcu, jadi
kesehatanmu belum pulih, sekarang engkau masih belum
dapat bergerak?”

Walaupun suara Tian Hui itu sangat perlahan, tapi toh sudah
didengar juga oleh Si Kiam yang berada dikamar sebelah,
segera anak dara itu mendatangi dan ketika melihat Tian Hui
bersikap beringas dan buas, ia terkejut dan berseru: “He,
untuk apa kau datang kekamar Pangcu ini? Tanpa dipanggil
kau berani masuk sendiri, apakah kau tidak takut dihukum
mampus?”
Tapi mendadak Tian Hui melompat maju kesisi Si Kiam, kontan
sikutnya menyodok kepinggang anak dara itu, berbareng
pundaknya ditutuk pula sekali. Walaupun Si Kiam juga paham
sedikit ilmu silat, tapi terlalu jauh kalau dibandingkan Tian Hui
yang gesit dan tangkas itu. Seketika Si Kiam tertutuk roboh
dan didudukkan diatas kursi. Lalu Tian Hui menyumbat pula
mulut anak dara itu dengan sehelai handuk kecil. Sudah tentu
Si Kiam kelabakan dan tahu Tian Hui bermaksud jahat kepada
sang Pangcu, tapi apa daya, dia sendiri tak bisa berkutik.
Meski Si Kiam sudah dibekuk, tapi Tian Hui tetap sangat jeri
terhadap sang Pangcu, ia pura-pura angkat tangannya dengan
gaya hendak menghantam sambil berkata: “Dengan pukulan
Tiat-sah-ciang (pukulan tangan besi) ini rasanya tidak susah
untuk membinasakan kau sibudak cilik ini!”
Tak terduga meski tangannya sudah hampir mengenai kepala
sasarannya, dilihatnya sang Pangcu masih tetap tidak
bergerak. Tian Hui menjadi girang dan cepat tahan pukulannya
itu. Lalu ia berpaling kepada sianak muda, katanya dengan
menyeringai: “Maling cabul kecil, selama hidupmu sudah
berlumuran dosa, kejahatanmu sudah kelewat takaran, hari ini
kau toh mampus juga ditangaku.” ~ Ia melangkah lebih dekat,
lalu sambungnya pula dengan suara perlahan: “Saat ini kau
sama sekali takdapat melawan, jika aku membunuh kau,
perbuatan demikian bukan tindakan seorang kesatria sejati.
Akan tetapi dendamku kepadamu lebih daripada lautan dan

tidak perlu bicara tentang peraturan Kangouw segala, jikalau
engkau kenal kesopanan orang Kangouw tentu kau takkan
menggoda isteriku!”
Walaupun sianak muda dan Si Kiam tidak dapat bergerak, tapi
apa yang dikatakan Tian Hui itu dapat didengar mereka dengan
jelas. Pikir sianak muda: “Mengapa dia dendam padaku? Apa
maksudnya dia mengatakan aku menggoda isterinya?”
Sebaliknya Si Kiam membatin didalam hati: “Selama ini entah
sudah betapa banyak Siauya berutang dalam perkara asusila,
hari ini akhirnya dia mendapatkan ganjarannya. Ai, tampaknya
orang ini benar-benar hendak membunuh Siauya.”
Karena kuatirnya,sekuat mungkin Si Kiam meronta, namun
anggota badan terasa lemas linu, sedikit condong badannya,
“bruk”, ia jatuh kelantai.
Dalam pada itu terdengar Tian Hui sedang memaki pula: “Hm,
kau telah mencemarkan kehormatan isteriku, kau anggap aku
tutup mata dan tidak tahu. Andaikan tahu juga tidak dapat
berbuat apa-apa terhadap kau dan terpaksa menahan perasaan
seperti sibisu makan empedu, merasa pahit tapi takbisa bicara.
Siapa nyana tiba saatnya juga kau tergenggam didalam
tanganku, rupanya kejahatanmu sudah kelewat takaran dan
sudah tiba ajalmu.”
Sambil berkata ia terus pasang kuda-kuda, sekali tenaga
dikerahkan, ruas tulang lengan kanannya sampai
mengeluarkan suara berkertakan. Segera telapak tangannya
menghantam kedepan, ulu hati sianak muda tepat kena
digenjot olehnya.
Tian Hui ini adalah Hiangcu dari Pah-ciat-tong, yaitu satu
diantara lima hulubalang bagian luar dari Tiang-lok-pang. Ilmu

silat andalannya ialah Tiat-sah-ciang, ilmu pukulan pasir besi
yang maha dahsyat.
Pukulan ini telah digunakan sepenuh tenaganya dan tepat
mengenai “Tan-tiong-hiat” di ulu hati sianak muda. Maka
terdengarlah suara “krak”, suara patahnya tulang.
Tapi bukan tulang dada sianak muda yang patah, sebaliknya
tulang lengan Tian Hui sendiri yang telah patah, bahkan
tubuhnya terus terpental keluar jendela dan terbanting diluar
kamar, kontan orangnya tak sadarkan diri lagi.
Diluar kamar itu adalah sebuah taman bunga dan selalu ada
orang ronda disitu. Malam ini adalah orang-orang Pah-ciat-tong
yang berdinas meronda, sebab itulah Tian Hui dapat masuk
kekamar tidur sang Pangcu dengan leluasa.
Rupanya suara gedebukan terbantingnya Tian Hui dan suara
patahnya dahan-dahan tanaman yang tertindih oleh tubuhnya
itu telah mengagetkan para peronda itu, maka ada dua orang
diantaranya lantas mendekatinya. Waktu melihat Tian Hui
menggeletak tak berkutik disitu, mereka sangka telah
kedatangan musuh tangguh dan sedang menyatroni kamar
sang Pangcu, dalam kaget mereka segera mereka
membunyikan peluit sebagai tanda ada bahaya, berbareng
mereka melolos senjata dan melongok kedalam kamar sang
Pangcu melalui jendela yang sudah terpentang itu. Namun
didalam kamar gelap gulita, bahkan tiada sesuatu suara
apapun. Cepat mereka menerangi dengan obor sambil
memutar senjata untuk menjaga diri.
Dari cahaya obor yang remang-remang dapatlah terlihat sang
Pangcu sedang duduk bersila diatas ranjang, didepan tempat
tidur itu menggeletak seorang wanita seperti pelayan sang
Pangcu, selain itu tiada orang ketiga lagi.

Pada saat itulah beramai-ramai orang-orang Tiang-lok-pang
yang mendengar suara alarm tadi juga sudah memburu tiba.
Dengan memegang senjata gada besi, Khu San-hong, itu
Hiangcu dari Hou-beng-tong, lantas berseru: “Pangcu, engkau
baik-baik saja bukan?” ~ Berbareng itu ia lantas masuk
kedalam kamar sang Pangcu.
Mendadak dilihatnya badan sang Pangcu tiada hentinya
bergemetar, sekonyong-konyong mulutnya terpentang dan
memuntahkan darah hitam sampai beberapa mangkuk
banyaknya.
Cepat Khu San-hong menyingkir kepinggir sehingga tidak
sampai tersembur oleh darah hitam yang berbau amis busuk
itu. Tengah terkejut dan ragu-ragu, tiba-tiba terlihat sang
Pangcu sudah melangkah turun dari tempat tidurnya dan
pertama-tama pelayan yang menggeletak dilantai itu lantas
dibangunkan, katanya: “Enci Si Kiam, apakah dia telah melukai
engkau?” ~ Berbareng ia lantas mengeluarkan handuk yang
menyumbat mulut anak dara itu.
Si Kiam menghirup napas segar dalam-dalam, lalu menjawab:
“Siauya, apakah engkau terluka kena hantamannya tadi?”
“Tidak, malahan pukulannya itu membuat aku merasa sangat
segar sekali,” sahut sianak muda.
Dalam pada itu diluar kamar terdengar ramai orang-orang
berdatangan, dengan langkah cepat Pwe Hay-ciok dan Bi Hengya
tampak masuk kedalam kamar, yang berkedudukan rendah
hanya menunggu diluar saja.
Segera Pwe Hay-ciok mendekati sianak muda dan bertanya:

“Pangcu, apakah pembunuh gelap itu telah membikin kaget
padamu ?”
“Pembunuh gelap apa? Tidak ada pembunuh,” sahut sianak
muda.
Sementara itu Tian Hui sudah diberi pertolongan oleh jago
Tiang-lok-pang dan telah sadar kembali serta dibawa masuk
kedalam kamar.
Tian Hui cukup paham tata tertib dalam Pang mereka,
terutama hukuman kepada penghianat adalah paling keras,
biasanya penghianat itu ditelanjangi pakaiannya, lalu diikat
diatas batu “Heng-tay-ciok” (batu panggung hukuman) diatas
gunung dibelakang markas dan dibiarkan digigit semut dan
serangga-serangga lain, diserang oleh elang-elang lapar dan
binatang buas, sesudah disiksa beberapa hari lamanya,
akhirnya akan binasa juga. Sekarang dia sendiri telah berbuat
sesuatu yang khianat, pukulannya yang dahsyat tadi tidak
berhasil membinasakan sang Pangcu, sebaliknya ia sendiri
malah terpental oleh tenaga dalam sang Pangcu yang maha
kuat, lengah kanan patah dan terluka dalam parah pula,
memangnya dia berharap lekas mati saja, tapi sekarang dia
dibawa masuk pula kedalam kamar, diam-diam ia sudah
mengumpulkan kekuatan, asal sang Pangcu memerintahkan
hukuman memancangkan dia diatas “Heng-tay-ciok” dan
segera dia akan menumbukkan kepalanya kedinding untuk
membunuh diri.
“Apakah ada pembunuh gelapmasuk melalui jendela?” tanya
Pwe Hay-ciok pula.
“Aku sendiri tertidur, rasanya toh tiada orang masuk kesini”,
sahut sianak muda.

Tian Hui terheran-heran mendengar keterangan itu: “Apakah
tadi dia benar-benar dalam keadaan tak sadar dan tidak
mengetahui aku yang telah memukul dia? Tapi budak cilik ini
mengetahui aku yang telah melakukan hal itu, tentu dia akan
memberi keterangan sebenarnya apa yang terjadi tadi.”
Benar juga, segera Pwe Hay-ciok memijat dan menutuk
pinggang dan pundak Si Kiam untuk membuka Hiat-to yang
tertutuk, lalu bertanya kepada anak dara itu: “Siapakah yang
menutuk kau punya Hiat-to?”
“Dia !” sahut Si Kiam sambil menuding Tian Hui.
Pwe Hay-ciok memandang kearah Tian Hui dengan penuh rasa
curiga.
Sebaliknya Tian Hui hanya mendengus saja. Segera ia
bermaksud mencaci maki biarpun nanti harus dihukum mati,
tapi lantas terdengar sang Pangcu sedang berkata:
“Aku…….akulah yang suruh dia berbuat demikian.”
Keruan Si Kiam dan Tian Hui melengak semua, hampir-hampir
mereka tidak percaya kepada telinganya sendiri. Dengan
tercengang mereka memandangi sianak muda, mereka tidak
paham apa maksud tujuannya dengan keterangannya itu.
Walaupun anak muda itu sama sekali hijau dalam segala hal,
tapi lapat-lapat ia dapat merasakan keadaan yang genting. Ia
lihat semua orang sangat menghormat padanya, jika diketahui
Tian Hui yang telah menotok Hiat-to sipelayan serta memukul
pula pada dirinya, jika hal ini diketahui oeh orang-orang itu,
tentu Tian Hui bisa celaka. Karena itulah ia sengaja berdusta
untuk mengeloni Tian Hui. Adapun apa sebabnya dia membela
Tian Hui, untuk ini ia sendiripun tidak paham sama sekali. Ia
hanya merasa sebabnya Tian Hui memukul dirinya adalah

lantaran didorong oleh sesuatu rasa dendam yang luar biasa
yang mau tak mau harus dilakukan olehnya. Apalagi waktu
Tian Hui memukulnya tadi, ia sendiri sedang dirangsang oleh
hawa panas-dingin yang sangat menyiksa, pukulan Tian Hui itu
tepat mengenai “Tan-tiong-hiat” dibagian ulu hatinya. Tantiong-
hiat itu merupakan pusat penyaluran tenaga, karena
pukulan Tian Hui itu, maka secara kebetulan telah
membaurkan bergeraknya hawa dingin dan panas dari “Han-ihbian-
ciang” serta “Yam-yam-kang”, hal mana membuat tenaga
dalam sianak muda seketika menjadi bertambah hebat dan
lantaran itulah Tian Hui sampai terpental keluar jendela.
Sesudah menerima pukulan Tian Hui itu, sama sekali sianak
muda tidak merasa tersiksa lagi oleh membakarnya hawa
panas dan membekunya hawa dingin, sebaliknya ia lantas
merasa segar dan nikmat sekali, tanpa merasa ia ingin
berteriak-teriak untuk melampiaskan rasa mual yang
ditahannya sejak tadi. Ketika Hiangcu dari Hou-beng-tong yaitu
Khu San-hong, masuk tadi, tiba-tiba ia memuntahkan darah
mati yang tersekam didalam tubuhnya, habis itu semangatnya
lantas segar, bukan saja tenaga dalamnya bertambah luar
biasa, bahkan otaknya juga tambah tajam.
Melihat keadaan didalam kamar sang Pangcu itu, Pwe Hay-ciok
mempunyai pendapatnya sendiri. Ia lihat pakaian Si Kiam agak
kusut, rambutnya tak teratur, sikapnya takut dan gugup. Maka
pahamlah dia akan duduknya perkara. Ia cukup kenal watak
sang Pangcu yang bangor, suka main perempuan. Maka
tentulah Si Kiam hendak diperlakukan secara tidak senonoh
walaupun penyakitnya baru saja sembuh. Tapi perbuatan sang
Pangcu itu rupanya telah dipergoki Tian Hui yang sedang
meronda disekitar situ, maka Pangcu lantas panggil sekalian
hulubalang itu dan suruh dia menutuk Hiat to sipelayan cantik
itu, cuma entah sebab apakah Tian Hui telah membikin marah

pula kepada sang Pangcu sehingga dia dihantam terpental
keluar kamar.
Bab 10. Disangka Buntung Malah Mendapat Untung
Setiap anggota Tiang-lok-pang cukup kenal sifat sang Pangcu
yang aneh dan pemarah, siapa saja, sekalipun orang
kepercayaannya yang mempunyai kedudukan tinggi, asal dia
sedang marah juga sering didamperat, bahkan dipukul olehnya
tanpa pandang bulu. Sekarang mereka melihat luka Tian Hui
cukup parah, muka dan tangannya juga babak belur terluka
oleh duri bunga mawar diluar kamar, tentu saja mereka ikut
prihatin, namun merekapun tidak berani menghibur Tian Hui
dihadapan sang Pangcu.
Dan karena pikiran demikian itulah, maka tokoh-tokoh Tianglok-
pang itu tiada yang berani menyinggung tentang pembunuh
gelap lagi. Hiangcu dari Hou-beng-tong, Khu San-hong, masih
merasa kuatir karena dirinya telah mengganggu
kesenangannya sang Pangcu, bukan mustahil sang Pangcu
akan marah dan memukulnya. Ia pikir paling selamat lekaslekas
tinggal pergi saja. Maka ia lantas berkata dengan hormat:
“Silakan Pangcu mengaso saja, hamba mohon diri dulu.”
Segera orang-orang lain juga ikut-ikut memohon diri. Hanya
Pwe Hay-ciok yang memperhatikan kesehatan sang Pangcu, ia
lihat air muka Pangcu agak aneh, segera ia pegang tangan
sang Pangcu dan berkata: “Biar kuperiksa pula nadi Pangcu.”
Sianak muda juga tidak menolak, ia mengangsurkan tangannya
untuk diperiksa. Ketika ketiga jari Pwe-tayhu baru saja
menyentuh urat nadi anak muda itu, sekonyong-konyong
tangannya tergetar dan setengah badannya kaku kesemutan.
Keryan Pwe Hay-ciok terkejut. Tapi segera ia menjadi girang.

Katanya: “Hah, selamat, Pangcu! Selamat, Pangcu! Akhirnya
ilmu sakti yang maha hebat itu telah berhasil diyakinkan juga
olehmu!”
Sebaliknya sianak muda menjadi bingung, sahutnya:
“Ilmu…….ilmu sakti apa?”
Pwe Hay-ciok menyangka sang Pangcu tidak ingin orang lain
ikut mengetahui ilmu sakti yang dilatihnya itu, maka ia tidak
berani menegas lagi, cepat berkata: “Ya, ya, hamba
sembarangan mengoceh, harap Pangcu jangan marah.” ~ Ia
memberi hormat, lalu mengundurkan diri.
Dalam waktu singkat saja semua orang sudah pergi, hanya
tinggal Tian Hui dan Si Kiam saja. Tian Hui terluka dalam, tapi
kawan-kawan-nya tidak tahu cara bagaimana sang Pangcu
akan memutuskan perkaranya, maka mereka tidak berani
bertanya dan terpaksa membiarkan dia tetap tinggal didalam
kamar dan tidak seorangpun yang berani membawanya pergi
untuk diberi obat.
Karena tulang lengan patah, saking kesakitan dahi Tian Hui
sampai penuh keringat. Ia lihat kawan-kawannya sudah pergi
semua, segera ia berkata dengan penuh dendam: “Kau ingin
menyiksa diriku, boleh lekas kau lakukan, kalau orang she Tian
minta ampun padamu bukanlah seorang laki-laki sejati.”
“Buat apa aku menyiksa kau?” sahut sianak muda. “Wah,
tulang lenganmu patah, harus lekas disambung dengan baik.
Dahulu si Kuning piaraanku telah tergelincir kebawah gunung
dan patah tulang kakinya, akhirnya akulah yang telah
menyambung tulangnya dan telah sembuh.”
Kiranya pembawaan anak muda itu sebenarnya sangat pintar.
Dia hidup terpencil diatas gunung yang sepi bersama

ibundanya, segala pekerjaan harus dilakukannya sendiri.
Karena itu, meski usianya masih muda, namun segala
pekerjaan dapat dilakukannya dengan baik seperti menanam
sayur, menanak nasi, membuat tali, mencari kayu dan lainlain.
Ketika anjing piaraanya, yaitu si Kuning, patah tulang
kakinya, dia telah menggapit kaki binatang itu dengan
sepotong kayu, lalu diikat kencang, belasan hari kemudian
ternyata lantas sembuh. Maka sekarang iapun hendak
menyambungkan tulang lengan Tian Hui yang patah itu, sambil
bicara ia lantas mencari-cari sepotong kayu yang diperlukan.
“Apa yang kau cari, Siauya?” tanya Si Kiam ketika melihat anak
muda itu memandang kian kemari mencari sesuatu.
“Aku ingin mencari sepotong kayu,” sahut sianak muda.
Mendadak Si Kiam terus berlutut didepan sianak muda dan
berkata: “Siauya, kumohon sudilah engkau mengampuni dia
ini. Engkau telah……….telah mencemarkan isterinya, maka
tidaklah heran kalau dia menjadi dendam padamu, tapi dia toh
tidak sampai melukai engkau. Siauya, jika engkau betul-betul
hendak membunuh dia, maka boleh juga dibunuh saja
sekaligus, tapi janganlah menyiksa dia.”
“Mencemarkan isterinya apa? Mengapa aku membunuh dia?
Kau bilang aku hendak membunuh dia? Apakah manusia boleh
dibunuh?” sahut sianak muda dengan tidak mengarti.
Ketika dilihatnya tiada sesuatu yang dapat ditemukan, akhirnya
anak muda itu mengangkat sebuah kursi, segera ia menyempal
sebuah kaki kursi itu. Sekarang tenaga dalamnya sudah
terbaur merata, ilmu saktinya baru saja jadi, sudah tentu
kekuatannya luar biasa hebatnya, maka “krak” sekali, dengan
mudah kaki kursi itu sudah disempal olehnya.

Tapi anak muda itu masih tidak tahu tenaganya sendiri yang
maha hebat itu, dia menggerundel sendiri: “Kursi ini kenapa
begini lapuk, kalau diduduki kan orang bisa jatuh terjungkal?
Eh, enci Si Kiam, kenapa kau berlutut disitu? Lekas bangun!”
Lalu ia mendekati Tian Hui dan berkata padanya: “Kau jangan
bergerak!”
Tian Hui sendiri meski keras dimulut, tapi didalam hati
sebenarnya juga takut. Ia tidak tahu cara bagaimana sang
Pangcu akan menyiksa padanya, maka dengan gemetar ia
memandangi kaki kursi yang dipegang sianak muda. Pikirnya:
“Kaki kursi ini tentu tidak akan digunakan untuk memukul
diriku, wah, celaka, jangan-jangan kaki kursi ini akan
dimasukkan kedalam mulutku sehingga menembus
ketenggorokan agar aku mati tidak dan hidup pun tidak.”
Kiranya cara memberi hukuman dan siksaan didalam Tiang-lokpang
sangat banyak macamnya. Diantaranya ada satu macam
hukuman, yaitu dengan memasukkan mulut pesakitan dengan
sepotong kayu sehingga menembus sampai tenggorokan terus
ke kantong nasi, pesakitan itu takkan mati karena siksaan
demikian, tapi sudah tentu sangat menderita.
Teringat akan jenis hukuman yang kejam itu, keruan Tian Hui
menjadi ketakutan. Ketika melihat sang Pangcu sudah berada
didepannya, segera ia angkat tangan kiri dan menghantam.
Sebaliknya, sianak muda tidak tahu kalau Tian Hui hendak
menyerangnya, ia berkata: “Eh, jangan bergerak, jangan
bergerak!” ~ Berbareng ia terus pegang tangan Tian Hui itu.
Seketika Tian Hui merasa badannya lemas linu dan takbisa
berkutik lagi.

Sianak muda lantas melekatkan potongan kaki kursi tadi
disamping lengan Tian Hui yang patah itu, katanya kepada Si
Kiam: “Enci Si Kiam, adakah tali atau kain, coba balutlah dia
ini.”
Si Kiam terheran-heran, “Kau benar-benar hendak
menyambungkan tulangnya?” tanyanya.
“Sudah tentu, masakah sambung tulang pakai pura-pura segala
?” sahut sianak muda dengan tertawa. “Coba lihat, sedemikian
dia kesakitan, masakah aku bergurau padanya ?”
Dengan tetap kurang percaya Si Kiam mencarikan juga
sepotong kain pembalut, dengan sorot mata yang masih raguragu
Si Kiam membalutkan lengan Tian Hui yang patah tulang
itu.
“Bagus, bagus, rapi sekali caramu membalut, jauh lebih baik
daripada waktu aku membalut kaki si Kuning dahulu,” ujar
sianak muda dengan tersenyum.
Dikala Si Kiam membalut lengannya, diam-diam Tian Hui
berkebat kebit, ia tidak tahu Pangcu yang jahat dan cabul itu
entah akan menggunakan cara apa untuk menyiksanya lebih
lanjut. Ketika mendengar sang Pangcu berulang kali menyebut
si Kuning, segera ia menanyakan: “Siapakah si Kuning itu ?”
“Si Kuning adalah anjing piaraanku,” sahut sianak muda.
“Cuma sayang sekarang telah menghilang.”
Tian Hui menjadi gusar, teriaknya dengan murka: “Seorang
lelaki sejati boleh dibunuh daripada dihina, jika kau hendak
membunuh boleh lekas lakukan, tapi janganlah orang she Tian
ini dipersamakan dengan khewan ?”

“O, tidak, tidak !” sahut sianak muda cepat. “Aku hanya
menyebutnya dengan tidak sengaja, hendaklah Toako jangan
marah, maafkan ucapanku yang salah itu.” ~ Sambil berkata
sambil memberi kiongciu (hormat dengan merangkap kepalan
didepan dada).
Tian Hui tahu Lwekang sang Pangcu teramat lihay, disangkanya
dia pura-pura minta maaf, tapi sebenarnya hendak
menyerangnya pula dengan tenaga dalam yang kuat. Sebab
sang Pangcu biasanya terkenal sangat angkuh dan sombong,
mana dia mau minta maaf kepada seorang bawahannya? Maka
dengan sendirinya ia mengegos kesamping untuk menghindari
hormat sang Pangcu sambil melototkan matanya.
“Toako………o, ya, Toako khan she Tian? Tian toako, silakan
kembali ketempatmu sendiri saja,” demikian kata sianak muda
pula. “Aku Kau-cap-ceng memang tidak pandai bicara sehingga
telah membikan marah Tian toako, harap suka maafkan.”
Keruan Tian Hui terkejut, ia tidak habis mengarti. “Apa-apaan
ini? Mengapa dia menyebut dirinya sebagai ‘Kau cap ceng’
segala ? Apakah ini adalah istilah baru yang dia gunakan untuk
memaki padaku ?”
Disebelah sana Si Kiam juga sedang merenung: “Pikiran Siauya
hanya jernih kembali sebentar saja dan sekarang dia mulai
mengoceh tak keruan lagi.” ~ Ia lihat sianak muda sedang
tertegun dan mengerut dahi, entah apa yang sedang
dipikirkan, maka ia lantas mengedipi Tian Hui agar lekas
tinggal pergi saja.
Tapi Tian Hui lantas berteriak malah: “Bocah she Ciok, kau
tidak perlu jual lagak padaku. Pendek kata, jika kau hendak
membunuh diriku, memangnya aku sudah pasrah nasib. Nah,
mengapa kau tidak lekas turun tangan saja ?”

“Kau ini sungguh aneh,” ujar sianak muda dengan heran. “Buat
apa aku membunuh kau? Sungguh menggelikan. Diwaktu
mendongeng ibuku selalu berkata: hanya orang jahat saja
yang suka membunuh orang, kalau orang baik tentu tidak suka
membunuh. Sudah tentu aku tidak ingin menjadi orang jahat.”
Melihat keadaan yang bertele-tele itu, Si Kiam lantas
menimbrung: “Tian-hiangcu, Pangcu sudah mengampuni kau,
kenapa kau tidak lekas pergi saja?”
Tian Hui garuk-garuk kepala sendiri yang tidak gatal itu,
pikirnya: “Apakah barangkali bangsat cilik ini sudah pikun, atau
aku sendiri yang sedang mimpi ?”
“Lekas pergi, lekas pergi !” demikian Si Kiam mendesak pula,
berbareng ia terus mendorong Tian Hui keluar kamar.
“Hahahaha! Orang ini sungguh lucu,” kata sianak muda dengan
tertawa. “Berulang-ulang dia mengatakan aku hendak
membunuhnya, seakan-akan aku ini adalah seorang jahat dan
paling suka membunuh orang.”
Selama Si Kiam melayani sang Pangcu baru pertama kali ini
melihatnya bermurah hati dan mengampuni seorang bawahan
yang bersikap kasar padanya. Diam-diam ia merasa bersyukur
akan perubahan sifat sang Pangcu itu. Dengan tersenyum ia
berkata: “Ya, sudah tentu engkau adalah seorang baik, seorang
yang maha baik. Orang baik, makanya merebut isteri orang
dan merusak rumah tangga orang.”
“Apa ? Kau bilang aku me……….merebut isteri orang ?” sianak
muda menegas dengan heran. “Cara bagaimana merebut isteri
orang? Dan untuk apa sesudah merebutnya ?”

Muka Si Kiam menjadi merah, omelnya: “Orang baik masakah
juga bicara serendah ini? Hanya sebentar saja pura-pura baik,
dalam sekejap sudah berubah lagi.”
“Kau………..kau omong apa?” tiba-tiba mulut sianak muda
ternganga. Saat itu dirasakan sekujur badannya penuh terisi
tenaga dan seakan-akan susah tersalurkan, sorot matanya
menjadi berkilat-kilat pula.
Diam-diam Si Kiam menjadi takut, ia berlari keambang pintu
untuk siap-siap melarikan diri kalau-kalau sang Pangcu
mendadak menjadi buas dan hendak menerkamnya. Maklum,
sudah beberapa kali ia lolos dari napsu binatang sang Pangcu,
semuanya itu berkat kecerdikannya serta ketekadannya yang
tidak mau menyerah, makanya kesucian badannya dapat
dipertahankan sampai sekarang.
“Siauya, kesehatanmu belum pulih dengan baik, hendaklah
mengaso saja,” kata Si Kiam sejenak kemudian.
Tapi sianak muda telah geleng-geleng kepala dan berkata:
“Sesudah turun dari gunung aku lantas mengalami macammacam
urusan yang sedikitpun aku tidak paham. Ai, aku
benar-benar tidak paham.”
Dalam keadaan linglung kedua tangannya telah memegang
sandaran kursi, sedikit menggunakan tenaga, mendadak kursi
yang terbuat dari kayu cendana itu lantas sempal dua potong.
Ketika ia meremas, tahu-tahu sempalan kayu itu lantas hancur
menjadi bubuk.
Sianak muda sendiri sampai kaget: “Ken……..kenapa kursi ini
sedemikian lapuknya, hanya dipegang saja sudah hancur, kalau
diduduki orang kan bisa celaka.”

Si Kiam sampai terkesima menyaksikan ilmu sakti yang telah
dimiliki sang Pangcu itu. Ia terkejut dan bergirang pula. Tapi
demi teringat tingkah laku sang Pangcu, dengan ilmu silatnya
yang sedemikian tingginya, kalau melakukan kejahatankejahatan
menurutkan napsu angkara murkanya, maka
celakalah orang-orang yang berada disekitarnya, bahkan bukan
mustahil akan merupakan malapetaka pula bagi dunia
Kangouw.
Kiranya diwaktu kecilnya anak muda itu, secara kebetulan ia
telah mendapat ajaran semacam Tok-ciang (ilmu pukulan
berbisa) yang sangat lihay. Mestinya kalau dia melatihnya
sampai usianya mencapai 20-an, apabila tiada diberi obat-obat
mujarab sebangsa Jinsom (kolesom) atau Ho-siu-oh yang
berumur ribuan tahun untuk memunahkan racun dingin dari
ilmu pukulan yang dilatihnya, maka dia pasti akan binasa
keracunan sendiri. Dahulu orang yang mengajarkan juga tiada
punya maksud baik, sama sekali tak terduga bahwa secara
kebetulan Mo-thian-kisu Cia Yan-khek juga telah mengajarkan
semacam “Yam-yam-kang” padanya.
Menurut perhitungan Mo-thian-kisu Cia Yan-khek, jikalau anak
muda itu adalah murid orang pandai, tentu gurunya juga telah
mengajarkan cara-cara menghapuskan hawa dingin berbisa
yang dilatihnya itu. Sama sekali tak terduga bahwa orang yang
mengajarkan ilmu pukulan berbisa dingin itupun berpendirian
serupa dengan Cia Yan-khek, yaitu menghendaki anak muda
itu mati konyol sendiri akibat ilmu yang dilatihnya.
Soalnya ilmu pukulan berbisa yang secara tidak sadar telah
diyakinkan anak muda pada sebelum bertemu dengan Cia Yankhek
itu memang sangat mirip dengan ilmu pukulan “Han-ihbian-
ciang” yang menjadi kebanggan Ting Put-si, padahal sama
sekali bukanlah “Han-ih-bian-ciang”, hanya keduanya samasama
ilmu pukulan berbisa dingin yang sejenis.

Kemudian sesudah anak muda itu melatih Yam-yam-kang pula,
pada hari itu betul juga dia telah dirangsang oleh hawa panas
dan dingin yang hebat, dan sungguh sangat kebetulan pula
Pwe Hay-ciok sedang berada disitu yang segera membantunya
dengan menyalurkan Lweekang murni untuk menguatkan daya
tahannya sehingga anak muda itu tidak sampai mati seketika.
Dan sampai malam ini secara kebetulan Tian Hui telah
menghantam pula dia punya “Tan-tiong-hiat” sehingga darah
mati yang tersekam didalam badannya didesak keluar, lalu
tercampur baurlah antara hawa panas dan dingin, antara Im
dan Yang (negatip dan positip), dengan demikian badannya
tidak terganggu apa-apa, sebaliknya malah membikin
sempurna semacam tenaga dalam aneh yang dilatihnya itu.
Sudah tentu hal-hal demikian itu sama sekali tidak disadari
oleh sianak muda. Memangnya dia tidak paham apa-apa,
sekarang ia lebih bingung dan menyangka dirinya sedang
bermimpi.
Begitulah, maka Si Kiam telah berkata pula padanya dengan
suara perlahan: “Jika kau sudah mengampuni jiwanya, kau
telah menyambung pula tulang lenggannya, tapi mengapa kau
memakinya pula sebagai binatang? Dengan demikian
dendamnya padamu menjadi tambah mendalam lagi”. ~ Dan
ketika melihat sorot mata sang Pangcu yang aneh kembali
timbul lagi, tanpa menunggu jawaban, lekas-lekas ia
mengundurkan diri.
Sianak muda hanya menggeleng kepala saja sambil berkata
sendiri: “Aneh, sungguh aneh!” ~ Ia lihat boneka-boneka
didalam kotak itu masih tertaruh diatas meja dengan baik,
maka ia menggumam pula: “Boneka itu masih berada disini,
jika demikian aku toh bukan didalam mimpi?”

Segera ia membuka kotak kayu dan mengeluarkan bonekaboneka
kecil itu. Sementara itu ilmu saktinya baru selesai
diyakinkannya, ia tidak tahu tenaga sendiri sekarang sangat
besar, dengan sendirinya iapun tidak tahu cara bagaimana
harus menggunakan tenaga itu dengan tepat. Tapi seperti
biasanya ia terus pegang begitu saja sebuah boneka itu,
mendadak lapisan luar yang membentuk boneka tanah itu
mengelotok dan jatuh semua.
Sianak muda berseru kaget, ia merasa sayang sekali atas
rusaknya boneka itu. Tapi ia menjadi melotot heran ketika
dilihatnya boneka yang sudah rontok bagian lapisan luar itu
ternyata dibagian dalam ada selapis kayu bercat pula. Segera
sianak muda membersihkan sekalian tanah lapisan luar itu,
maka tertampaklah samar-samar bentuk boneka yang
menyerupai manusia. Sesudah dikeletek lebih bersih lagi,
akhirnya menjadi lebih jelas lagi bentuk boneka itu, yaitu
berwujud badan manusia yang telanjang. Diatas boneka kayu
yang diberi bercat minyak ini juga penuh terlukis garis-garis
hitam, tapi tiada titik-titik tanda tempat Hiat-to. Bentuk dan
wajah boneka kayu inipun berbeda daripada boneka tanah liat
semula.
Boneka kayu ini dibuat secara rajin dan indah sekali, mimik
mukanya sangat hidup dalam keadaan sedang tertawa
terbahak-bahak, kedua tangannya memegang perut
menyerupai orang sewaktu tertawa terpingkal-pingkal,
sikapnya sangat jenaka.
Meski sianak muda sudah berusia 20 tahun, tapi sifat
kebocahannya belum lagi lenyap. Ia menjadi senang melihat
boneka yang lucu itu. Apalagi tanda-tanda urat nadi dan Hiat to
dibadan boneka-boneka tanah itu sekarang sudah teringat
dengan baik diluar kepala, maka ia lantas mebelejeti sekalian
boneka-boneka tanah yang lain. Benar juga didalam setiap

boneka tanah itu terbungkus pula sebuah boneka kayu. Sikap
dan mimik muka daripada setiap boneka kayu itu berbedabeda,
ada yang sedang kegirangan, ada yang sedih, ada yang
sedang menangis dan ada pula yang sedang gusar dan macammacam
sikap yang lain. Garis-garis urat nadi yang terlukis
diatas badan boneka-boneka kayu ini hampir seluruhnya sama
dengan boneka tanah sebelumnya, hanya garis yang
menunjukkan jalan caranya mengerahkan tenaga adalah sama
sekali berbeda.
Pikir sianak muda: “Boneka-boneka kayu ini sangat menarik,
biarlah aku coba melatihnya menurut sikap boneka-boneka ini.
Muka boneka yang sedang menangis ini takkan kutiru? Yang
sedang tertawa seperti orang sinting juga tidak sedap
dipandang dan takkan kulatih. Yang akan kutirukan hanya
sikap dan mimik wajah boneka-boneka yang sedang berseriseri
dan tampak ramah saja.”
Segera ia duduk bersila, ia taruh boneka yang bermuka
senyum simpul didepannya, lalu mengerahkan tenaga dengan
perlahan dari pusatnya, maka terasalah suatu arus hawa
hangat perlahan-lahan naik keatas. Ia jalankan tenaga dalam
itu menurutkan garis-garis yang terlukis dibadan boneka itu ke
tempat-tempat Hiat-to diseluruh badan.
Kiranya apa yang terlukis diatas badan boneka-boneka kayu itu
adalah semacam ilmu sakti ciptaan seorang paderi saleh
angkatan tua dari Siau-lim-pay, ilmu sakti itu bernama “Lohan-
hok-mo-sin-kang” (ilmu sakti Budha menaklukkan iblis).
Ilmu sakti ini mencakup Lweekang dan Gwakang (kekuatan
dalam dan luar atau rohani dan jasmani) yang pernah dihimpun
oleh kaum Budha. Setiap boneka kayu itu adalah sebuah
patung Budha.
Untuk bisa melatih ilmu sakti itu dengan baik, orang itu harus

mempunyai kecerdasan yang luar biasa, tapi harus berjiwa
bersih dan berpikiran polos. Sudah tentu orang demikian
sangat sulit diketemukan didunia ini. Jarang sekali terjadi
bahwa seorang yang pintar bisa membatasi pikirannya pada
soal-soal yang sederhana, sebaliknya tentu akan banyak
memeras pikiran untuk macam-macam urusan.
Namun pembawaan anak muda itu justeru sangat pintar dan
cerdas, kebetulan sejak kecil dia hidup dipegunungan yang
sunyi dan terasing dari dunia luar sehingga hijau dalam segala
urusan insaniah, hal ini kebetulan cocok sebagai dasar dari
permulaan meyakinkan ilmu sakti Lo-han-hok-mo-sin-kang itu.
Rupanya paderi sakti Siau-lim-pay yang menciptakan ilmu ini
menyadari sukarnya mencari manusia yang cocok untuk
meyakinkan ilmu ciptaannya itu, maka dia telah sengaja
melapisi boneka-boneka kayu itu dengan tanah liat dan diberi
bercat minyak serta dilukis pula ajaran pengantar Lwekang
Siau-lim-pay yang asli, maksudnya supaya orang yang
menemukan boneka-boneka itu tidak tertarik untuk melatih Lohan-
hok-mo-sin-kang yang sukar itu dan bukan mustahil
akibatnya akan membikin jiwa orang yang melatihnya itu
melayang.
Tay-pi Lojin, penguasa Pek-keng-to (pulau paus putih), yang
menemukan boneka-boneka itu hanya mengetahui bahwa
benda-benda itu adalah benda mestika dunia persilatan, tapi
dimanakah letak rahasia daripada benda mestika yang
berharga itu ia sendiripun tidak tahu meski dia sudah
menyelidikinya selama bertahun-tahun. Maklum, karena
boneka-boneka tanah itu dipandang sebagai benda mestika,
dengan sendirinya benda-benda itu dijaganya dengan baik,
sedikitpun tidak boleh rusak, padahal selama boneka tanah itu
tidak rusak, selama itu pula boneka kayu didalamnya takkan
diketahui. Makanya sampai ajalnya Tay-pi Lojin tetap tidak

tahu dimana letak rahasia gaib daripada boneka-boneka itu.
Sebenarnya juga tidak melulu Tay-pi Lojin saja yang kecele,
sejak rangkaian boneka-boneka tanah itu terlepas dari tangan
paderi sakti Siau-lim-pay, selama itu sudah berganti tangan 12
orang dan semuanya masuk liang kubur bersama dengan
rahasia yang tidak pernah diketahui mereka.
Demikianlah, karena tenaga dalam sianak muda sekarang
sudah sangat hebat, ketika dia mengerahkan tenaga dalam
menurutkan garis-garis petunjuk diatas badan boneka-boneka
kayu itu, maka setiap rintangan diurat nadinya menjadi
tertembus sekaligus. Sesudah diulanginya sampai tiga kali,
akhirnya ia merasa badannya sangat segar dan sehat. Maka ia
lantas ganti sebuah boneka kayu yang lain dan melatihnya lagi.
Karena dia baru mulai melatih Lwekang demikian sehingga
seluruh perhatian dan pikirannya dicurahkan kesitu, habis
sebuah boneka berganti pula sebuah lagi dan begitu
seterusnya. Tanpa merasa ia telah melatih diri dari subuh
sampai lohor terus sampai malam dan kembali keesok paginya.
Dengan penuh rasa kuatir Si Kiam terus menjaga didepan
pembaringan sang Pangcu. Pwe Hay-ciok juga menjenguk
beberapa kali keadaan anak muda itu. Ketika dilihatnya ubunubun
kepala sang Pangcu mengepulkan uap tipis, ia tahu
Lwekang yang dilatihnya itu sedang mencapai detik-detik yang
penting. Segera ia memberi perintah bawahannya untuk
memperkuat penjagaan diluar kamar sang Pangcu, siapapun
dilarang mengganggunya.
Waktu sianak muda selesai melatih Hok-mo-sin-kang
menurutkan apa yang terlukis diatas ke 18 boneka kayu,
sementara itu sudah tiba subuh hari ketiga. Anak muda itu
menarik napas dalam-dalam, lalu ia simpan kembali ke-18
boneka buah boneka itu kedalam kotak. Ia merasa

semangatnya segar dan kuat, tenaga dalamnya berjalan
menurut sesuka hatinya. Sekilas tertampak Si Kiam tertidur
dengan nyenyaknya ditepi ranjang.
Anak muda itu lantas turun dari tempat tidurnya. Tatkala mana
sudah lewat hari Tiongkhiu, hawa pada akhir bulan delapan itu
belum terlalu dingin, tapi lebih nyaman rasanya. Ia lihat baju Si
Kiam sangat tipis, segera ia ambil sehelai selimut tipis dan
perlahan-lahan ia mengemuli pelayan itu. Mungkin saking
lelahnya karena dua malam tidak tidur, maka Si Kiam benarbenar
sudah terpulas dan lupa daratan.
Lalu ia mendekati jendela untuk menghirup hawa segar dan
berbau harum bunga yang mekar ditaman itu. Tiba-tiba
terdengar Si Kiam sedang berkata: “Siau…….Siauya,
jangan…………janganlah membunuhnya!”
Cepat sianak muda menoleh dan menjawab: “Kenapa kau
selalu memanggil aku Siauya dan mengatakan aku suka
membunuh orang?” ~ Tapi lantas tertampak olehnya pelayan
itu masih tertidur, rupanya dia telah mengigau.
Namun demikian, ketika mendengar suara sianak muda,
seketika juga Si Kiam terjaga bangun, ia tepuk-tepuk dada
sendiri sambil berkata: “Wah, sangat menakutkan!” ~ Tapi
ketika melihat diatas tempat tidur tiada orang lagi, cepat ia
menoleh, maka tertampaklah sianak muda berdiri didekat
jendela, ia terkejut dan bergirang, katanya dengan tertawa:
“O, Siauya, kau sudah dapat bangun! Coba lihat, aku sampai
tertidur dan tidak mengetahui.”
Waktu ia berdiri, segera selimut yang menutup pundaknya itu
lantas jatuh kelantai. Ia terperanjat, ia menyangka diwaktu
terpulas dirinya telah diperlakukan secara tidak senonoh oleh
tuan mudanya yang terkenal bangor itu. Tapi ketika melihat

bajunya sendiri masih terpakai dengan rajin dan baik, seketika
ia menjadi ragu-ragu dan bersyukur pula, katanya dengan
suara terputus-putus: “Kau………..kau
tidak…………aku………ku………..”
“Tadi kau telah mengigau dan minta aku jangan membunuh
orang, apakah didalam mimpi kau melihat aku hendak
membunuh orang?” kata sianak muda dengan tertawa.
Mendengar ucapan sianak muda tiada bersifat kotor, pula
keadaan dirinya juga tiada sesuatu yang mencurigakan, maka
hati Si Kiam menjadi lega. Segera ia menjawab: “Ya, dalam
mimpi aku melihat engkau membawa sepasang golok, dimanamana
mayat bergelimpangan, semuanya………semuanya………”.
~ Sampai disini mukanya menjadi merah dan tidak
melanjutkan lagi.
Rupanya siang harinya dia banyak melihat boneka-boneka
telanjang yang dimiliki sianak muda, maka didialam mimpi
yang dilihatnya juga mayat-mayat kaum lelaki yang telanjang.
Dengan sendirinya ia merasa malu untuk mengatakan terus
terang.
Sudah tentu sianak muda tidak tahu duduknya perkara, ia
menegas: “Semuanya kenapa?”
Muka Si Kiam kembali bersemu merah, sahutnya:
“Semuanya…………..semuanya bukan orang jatah.”
“Enci Si Kiam,” demikian sianak muda bertanya: ”Banyak sekali
kejadian-kejadian yang aku tidak paham, apakah kau suka
menjelaskan kepadaku ?”
“Ai, mengapa sesudah sakit, sekarang watakmu sudah berubah
sejauh ini,” sahut Si Kiam dengan tertawa. “Bicara dengan

kaum hamba sebagai kami ini masakah pakai memanggil enci
apa segala ?”
“Justeru itulah yang membingungkan aku,” ujar sianak muda.
“Mengapa kau memanggil Siauya padaku dan mengapa pula
kau mengaku sebagai hambaku. Para paman itupun menyebut
aku sebagai Pangcu. Dan Tian-toako itu mengatakan aku telah
merebut isterinya. Sebenarnya bagaimanakah duduknya
perkara?”
Si Kiam memandang termangu-mangu sejenak, melihat anak
muda itu ber-sungguh-sungguh, lalu katanya: “Sudah dua hari
dua malam engkau tiada makan apa-apa, diluar sana ada
bubur tim, biarlah kuambilkan untukmu.”
Mendengar tentang makanan, seketika sianak muda merasa
perutnya sangat lapar, serunya: “Biarlah aku ambil sendiri
saja, dimanakah bubur tim itu?” ~ Lalu ia menggunakan
hidungnya untuk mengendus dan berkata pula dengan tertawa:
“Ya, tahulah aku.”
Segera ia menuju keluar. Diluar kamar tidurnya itu ternyata
adalah sebuah kamar besar pula. Dipojok kiri kamar sana ada
sebuah anglo kecil dengan sebuah panci diatasnya, terdengar
suara krupukan masaknya bubur itu.
Sianak muda berpaling sekejap kepada Si Kiam. Seketika muka
pelayan itu menjadi merah, ia tahu apa yang terjadi. Segera ia
berseru: “Ai, bubur tim telah kedaluan sehingga hancur
menjadi bubur sumsum.”
“Bubur sumsum juga enak,” kata sianak muda dengan tertawa.
Waktu dia membuka tutup panci, seketika terendus bau sangit,
bubur itu memang benar sudah hancur menjadi bubur
sumsum, bahkan sebagian besar sudah hangus.

“Siauya, harap kau tunggu sebentar, biar kumasak lagi.
Sungguh gebleg hamba ini, ketelanjur tidur sampai lupa
daratan”, kata Si Kiam.
Anak muda itu sudah lama tinggal di pegunungan, soal nasi
atau bubur hangus sudah seringkali dimakannya, maka bubur
sumsum yang sudah hangus itupun tidak mengherankan dia, ia
ambil sendok dan menyendok bubur itu terus dimakan.
Bubur tim itu mestinya bercampur Jinsom yang rasanya
memang agak pahit, sekarang hangus dan tiada diberi gula,
sudah tentu lebih-lebih pahit. Namun anak muda itu hanya
sedikit mengerut dahi dan bubur itu terus ditelannya, ia melelet
lidah dan berkata: “Wah, pahit!”.
Tapi segera ia menyendok lagi dan dimakan, lalu berkata pula:
“Wah, pahit!”
Cepat Si Kiam hendak merebut sendoknya sambil berkata:
“Barang sudah hangus jangan dimakan lagi.”
Ketika tangannya menyentuh tangan sianak muda, karena
anak muda itu tidak mau melepaskan sendoknya, dengan
sendirinya lantas menimbulkan tenaga tolakan sehingga tangan
Si Kiam tergetar, pelayan itu terkejut dan cepat menarik
kembali tangannya.
Apa yang terjadi itu sama sekali tak dirasakan oleh sianak
muda, dia masih terus makan bubur sumsum yang hangus itu.
Melihat anak muda itu makan dengan lahap sekali tanpa peduli
barang hangus dan pahit, Si Kiam menjadi geli, katanya
kemudian: “Ya, maklum juga, memangnya engkau sudah
terlalu lapar.”

Hanya sebentar saja setengah panci bubur itu sudah dimakan
habis bersih. Walaupun bubur itu sudah hangus, tapi bubur itu
dicampur dengan Jinsom yang berkwalitas tinggi dan
merupakan obat kuat, maka sehabis makan, tidak lama
kemudian semangat sianak muda menjadi lebih tangkas.
Melihat air muka anak muda itu merah bercahaya, dengan
tertawa Si Kiam bertanya: “Siauya, yang kau latih sebenarnya
ilmu apa? Tanganku sampai tergetar ketika tersentuh
tanganmu. Cahaya mukamu juga sedemikian segarnya.”
“Akupun tidak tahu ilmu apa yang kulatih ini, aku hanya
melatihnya menurut contoh diatas badan boneka-boneka kayu
itu,” sahut sianak muda. “Eh, enci Si Kiam, se……….sebenarnya
siapakah aku ini?”
Kembali Si Kiam tertawa, sahutnya: “Engkau benar-benar tidak
ingat lagi atau cuma bergurau saja?”
Sianak muda meng-garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal,
mendadak ia bertanya: “Kau melihat ibuku atau tidak ?”
“Tidak,” sahut Si Kiam dengan heran. “Siauya, selamanya aku
tak pernah mendengar bahwa engkau masih mempunyai
ibunda. Ah, tahulah aku, tentu engkau sangat penurut kepada
apa yang dikatakan Lothaythay (nyonya besar), makanya
watakmu juga sudah berubah.”
“Apa yang dikatakan ibu sudah tentu harus diturut,” kata
sianak muda. Ia menghela napas perlahan, lalu berkata pula:
“Cuma sayang entah ibu telah pergi kemana?”
“O, syukurlah bahwa didunia ini masih ada seorang yang dapat
menundukkan kau,” kata Si Kiam.

Pada saat itu tiba-tiba diluar kamar ada orang berseru:
“Apakah Pangcu sudah bangun? Hamba ingin memberi lapor
sesuatu.”
Sianak muda diam saja dengan bingung. Tanyanya kepada Si
Kiam dengan suara bisik2: “Apakah dia sedang bicara padaku?”
“Ya, dia bilang hendak memberi laporan kepadamu,” sahut Si
Kiam.
“Wah, bagaimana aku harus bicara dengan dia,” kata sianak
muda dengan bingung. “Enci Si Kiam, suruhlah dia tunggu
sebentar, engkau harus mengajarkan dulu padaku cara
bagaimana aku harus bicara.”
Bab 11. Tiang-Lok-Pangcu Namanya = Ciok Boh Thian
Si Kiam memandang sekejap kepada anak muda itu, lalu
serunya: “Siapakah yang berada diluar itu?”
“Hamba Tan Tiong-ci dari Say-wi-tong,” sahut orang itu.
“Atas perintah Pangcu hendaklah Tan-hiangcu tunggu
sebentar,” seru Si Kiam pula.
“Baik,” sahut Tan Tiong-ci diluar kamar.
Segera sianak muda mengajak Si Kiam kekamar dalam, lalu
tanyanya dengan suara tertahan: “Sebenarnya aku ini siapa?”
Si Kiam mengerut kening, hatinya menjadi sedih karena
menyangka anak muda itu benar-benar tidak ingat apa-apa lagi
atas dirinya sendiri. Jawabnya kemudian: “Engkau adalah
Pangcu dari Tiang-lok-pang, she Ciok bernama Boh-thian.

“She Ciok bernama Boh-thian? Ciok Boh-thian, kiranya aku ini
bernama Ciok Boh-thian, jadi namaku bukan Kau-cap-ceng
lagi?” demikian sianak muda menggumam sendiri.
Melihat air muka anak muda merasa bingung dan gelisah,
segera Si Kiam menghiburnya: “Siauya, kau tidak perlu risau,
perlahan-lahan tentu kau dapat ingat kembali.”
“Tiang-lok-pang itu barang apa? Apa yang dilakukan
Pangcunya?” tanya pula si anak muda alias Ciok Boh-thian.
Si Kiam menyadi serba sukar untuk menerangkan, sesudah
memikir sejenak, akhirnya ia menjawab: “Tiang-lok-pang
mempunyai anggota-anggota sangat banyak, seperti Pwesiansing,
Bi-hiangcu dan Tan-hiangcu yang menunggu diluar
itu. Engkau adalah Pangcu, maka mereka harus tunduk kepada
perintahmu.”
“Lantas apa yang harus kubicarakan dengan mereka?” tanya
Ciok Boh-thian.
“Aku sendiripun tidak tahu apa-apa,” sahut Si Kiam. “Siauya,
jika engkau merasa susah mengambil keputusan, maka segala
sesuatu boleh kau tanya kepada Pwe-siansing. Dia adalah
Kunsu (penasehat) daripada Pang kita, dia sangat pintar.”
“Tapi sekarang Pwe-siansing tiada disini, apakah kau tahu Tanhiangcu
itu hendak melaporkan apa kepadaku? Jika dia tanya
apa-apa kepadaku, tentu aku tidak mampu menjawabnya. Ada
lebih baik kau suruh dia pergi saja.”
“Suruh dia pergi mungkin bukan cara yang baik,” ujar Si Kiam.
“Kau boleh mendengarkan saja apa yang dia katakan, apa yang
dia laporkan, cukup kau mengangguk saja.”

“Baiklah, hanya mengangguk saja tidak sukar,” kata Ciok Bohthian
dengan girang.
Segera Si Kiam mengantar Ciok Boh-thian menuju kesebuah
ruangan tamu dibagian luar. Maka tertampaklah seorang lakilaki
tinggi besar lantas berbangkit dari tempat duduknya dan
memberi hormat sambil menyapa: “Pangcu baik, terimalah
salam hormat hamba Tan Tiong-ci.”
Ciok Boh-thian membalas hormat dan berkata: “Tan…….Tanhiangcu
juga baik, akupun memberi salam hormat padamu.”
Air muka Tan Tiong-ci berubah pucat dan cepat melangkah
mundur dua tindak.
Maklum, biasanya Tan Tiong-ci mengetahui sang Pangcu adalah
seorang kasar, seorang sombong, kejam dan suka main
perempuan pula. Sebagai seorang bawahan ia memberi salam
hormat padanya, siapa duga sang Pangcu juga balas memberi
salam hormat, hal ini menandakan pikiran jahatnya telah
timbul dan segera akan membunuhnya. Walaupun takut, tapi
dia adalah seorang kesatria yang berkepandaian tinggi, sudah
tentu ia tidak mandah dibinasakan tanpa melawan, maka diamdiam
iapun sudah bersiap siaga, katanya dengan suara berat:
“Entah hamba telah melanggar peraturan Pang kita pasal
berapa? Jika Pangcu hendak menjatuhkan hukuman juga mesti
mengadakan sidang terbuka dan menjatuhkan keputusan
didepan orang banyak.”
Dengan sendirinya Ciok Boh-thian tidak paham apa yang
dimaksudkan, katanya dengan heran: “Menjatuhkan hukuman?
Menghukum siapa?”
Tan Tiong-ci tambah penasaran, katanya dengan mendongkol:

“Selamanya Tan Tiong-ci jujur dan setia kepada Tiang-lok-pang
dibawah pimpinan Pangcu, selama inipun tiada merasa berbuat
salah, mengapa Pangcu berulang-ulang menyindir?”
Ciok Boh-thian menjadi bingung. Tiba-tiba teringat pesan Si
Kiam tadi yang menyuruhnya mengangguk saja bila ada
sesuatu yang tidak paham dan soalnya nanti boleh ditanyakan
kepada Pwe Hay-ciok. Maka ia lantas mengangguk sambil
berkata: “Ya, ya, silakan Tan-hiangcu duduk dan jangan
sungkan-sungkan.”
“Dihadapan Pangcu masakah ada tempat duduk bagi hamba,”
sahut Tan Tiong-ci.
“Ya, ya!” kata Ciok Boh-thian dengan bingung.
Jadi kedua orang hanya berdiri saja dengan saling pandang,
keduanya sama-sama tidak membuka suara lagi. Kalau wajah
Tan Tiong-ci agak cemas-cemas kuatir dan penuh
kewaspadaan, sebaliknya air muka Ciok Boh-thian mengunjuk
rasa bingung, tapi bersenyum simpul ramah.
Menurut peraturan Tiang-lok-pang, dikala bawahan memberi
laporan rahasia kepada sang Pangcu, maka orang lain harus
menyingkir. Sebab itulah maka sejak tadi Si Kiam sudah tingal
keluar dari ruangan tamu itu. Kalau tidak tentu dia akan dapat
memberi sekadar penjelasan kepada Tan Tiong-ci tentang
belum pulihnya kesehatan sang Pangcu dan minta Tan-hiangcu
jangan kuatir.
Begitulah sesudah kedua orang itu tertegun sejenak, tiba-tiba
Ciok Boh-thian melihat diatas meja ada dua mangkuk teh
wangi, segera ia mengambil semangkuk, semangkuk lagi ia
sodorkan kepasa Tan Tiong-ci: “Mari minum!”

Karena kuatir didalam teh itu ditaruh racun, pula kuatir
mendadak diserang Ciok Boh-thian, maka Tan Tiong-ci tidak
berani menerima mangkuk teh itu, sebaliknya malah mundur
selangkah. Maka terdengarlah suara “prang” yang nyaring
mangkuk itu jatuh kelantai dan pecah berantakan.
“Ai, maaf, maaf!” seru Ciok Boh-thian, segera ia menyodorkan
mangkuk yang satu lagi dan berkata: “Silakan minum yang ini
saja.”
Alis mata Tan Tiong-ci menjengkit, ia pikir toh tidak dapat lolos
dari maksud jahat sang Pangcu, seorang laki-laki biarpun mati
juga tidak perlu takut. Maka tanpa pikir lagi ia lantas terima
mangkuk itu dan sekali tenggak isi mangkuk itu lantas diminum
habis. Ia gabrukan mangkuk teh itu diatas meja, lalu berkata
dengan rasa cemas: “Sedemikianlah cara Pangcu
memperlakukan bawahanmu yang setia, semoga Tiang-lokpang
bahagia selamanya dan semoga Ciok-pangcu panjang
umur.”
Sedikit banyak Ciok Boh-thian dapat menangkap maksud katakata
“semoga Ciok-pangcu berpanjang umur”, cuma ia tidak
tahu maksud ucapan Tan Tiong-ci itu adalah kebalikannya,
maka ia lantas menjawab: “Ya, semoga Tan-hiangcu juga
panjang umur.”
Sudah tentu jawaban ini bagi pendengaran Tan Tiong-ci
merupakan sindiran pula, ia tertawa dingin berkata didalam
hati: “Jiwaku hanya tinggal sekejap saja, tapi kau masih
mendoakan aku berpanjang umur, sungguh keji amat kau.”
Namun demikian ia masih penasaran, serunya pula: “Entah
dimana letak kesalahanku, makanya aku harus terima
ganjaranku seperti sekarang, untuk ini Siok-he (bawahan)
tidak ingin banyak omong lagi. Hanya saja mengenai maksud

kedatangan Siokhe ini ialah ingin memberi lapor kepada
Pangcu, bahwa semalam ada dua wanita telah menyusup
kemarkas Say-wi-tong, yang seorang adalah wanita setengah
umur, yang satu lagi baru berusia 27-28 tahun. Kedua wanita
itu semuanya menggunakan pedang, ilmu silat mereka seperti
dari golongan Swat-san-pay. Siokhe bersama para kerabat
berusaha menangkap mereka, tapi ilmu pedang kedua wanita
itu terlalu lihay, tiga anak murid Siokhe telah menjadi korban
keganasan mereka, tapi wanita yang lebih muda itupun terluka
kakinya dan akhirnya tertawan. Untuk mana Siokhe sengaja
datang kemari untuk minta keputusan Pangcu.”
“O, jadi yang satu tertangkap dan yang lain lolos,” kata Ciok
Boh-thian. “Entah kedua wanita itu mau apa datang kesini?
Apakah hendak mencuri ?”
“Dimarkas Say-wi-tong tiada kehilangan apa-apa,” sahut Tan
Tiong-ci.
“Kedua wanita itu mengapa begitu kejam, masakah sekaligus
membunuh tiga orang,” kata Ciok Boh-thian sambil mengerut
kening. Tiba-tiba timbul rasa ingin tahunya, segera ia
bertanya: “Eh, Tan-hiangcu, cobalah kau membawa aku pergi
melihat wanita itu.”
“Baik,” sahut Tan Tiong-ci dengan hormat.
Sesudah mereka keluar dari ruangan tamu, tiba-tiba timbul
suatu pikiran dalam benak Tan Tiong-ci: “Wanita yang kutawan
itu bermuka cantik, boleh jadi Pangcu akan suka padanya dan
dalam girangnya mungkin dia akan memberikan obat penawar
padaku.” ~ Tapi lantas terpikir pula: “Tan Tiong-ci, wahai Tan
Tiong-ci, Ciok-pangcu adalah seorang yang kasar, girang dan
marah tiada tertentu, rasanya Tiang-lok-pang ini bukanlah
tempat bernaung yang baik bagimu. Kalau hari ini jiwamu

beruntung dapat selamat, selanjutnya lebih baik kabur saja
sejauh mungkin dan mengasingkan diri serta jangan
berkecimpung pula didunia Kangouw.”
Begitulah Ciok Boh-thian ikut Tan Tiong-ci menyusuri beberapa
ruangan dan melalui dua buah taman, akhirnya sampailah
didepan sebuah pintu batu yang besar. Tertampak empat
penjaga bersenjata berdiri disitu. Melihat datangnya Ciok Bohthian
dan Tan Tiong-ci, dengan gugup penjaga2 itu memberi
hormat. Ketika Tan Tiong-ci memberi tanda, segera dua
penjaga diantaranya mendorong daun pintu batu itu. Dibalik
pintu batu itu kiranya masih ada sebuah pintu berterali besi
yang dikunci dengan gembok besar. Segera Tiong-ci
mengeluarkan kunci dan dibukanya sendiri.
Sesudah masuk, ternyata disitu adalah sebuah lorong yang
panjang, didalamnya ada api lilin besar. Pada ujung lorong ada
empat penjaga pula dan kembali menghadapi sebuah pintu
berterali besi. Sesudah pintu terali dibuka, didalamnya ada
sebuah pintu besi yang tebal. Setelah Tan Tiong-ci membuka
gembok dan membuka pintu tebal itu, maka tertampaklah
sebuah kamar batu kira-kira tiga meter persegi. Seorang
wanita berbaju putih tampak duduk mungkur. Waktu
mendengar suara pintu terbuka, wanita itu lantas menoleh.
Segera Tan Tiong-ci menaruh Cektay (tatakan lilin) diatas meja
disamping pintu, cahaya lilin dapat menerangi muka siwanita
dengan jelas. Mendadak Ciok Boh-thian berseru kaget: “Ha,
bukankah engkau adalah nona Hoa, Hoa Ban-ci dari Swat-sanpay?”
Kiranya apa yang terjadi di Hau-kam-cip dulu masih teringat
dengan baik olehnya. Walaupun sudah berselang beberapa
tahun, namun wajah Hoa Ban-ci itu tiada banyak berubah,
maka begitu lihat Ciok Boh-thian lantas mengenalnya.

Sebaliknya dulu Ciok Boh-thian adalah seorang pengemis kecil
yang dekil, hari ini pakaian sudah mewah dan berubah dewasa
menjadi seorang pemuda yang gagah dan tampan, dengan
sendirinya Hoa Ban-ci tidak mengenalnya lagi.
Maka dengan marah-marah Hoa Ban-ci berkata: “Mengapa kau
mengenal diriku?”
Diam-diam Tan Tiong-ci juga kagum terhadap kecerdasan sang
Pangcu, hanya sekali lihat saja lantas dapat mengatakan siapa
dan dari mana asal-usul tawanannya itu. Segera ia
membentak: “Ini adalah Pangcu kami, cara bicaramu harus
tahu aturan sedikit!”
Hoa Ban-ci terkejut. Sama sekali tak tersangka olehnya akan
bertemu dengan Tiang-lok-pangcu Ciok Boh-thian yang
terkenal busuk itu. Kabarnya pangcu ini suka merusak kaum
wanita, hari ini dirinya berada didalam cengkeramannya, tentu
lebih banyak celaka dari selamatnya. Karena itulah ia menjadi
kuatir dan cepat berpaling kearah dinding agar wajahnya yang
cantik itu tidak terlihat. Berbareng terdengar suara
gemerincingnya benda logam, kiranya kaki dan tangannya
telah diborgol.
Diwaktu mendengarkan ibunya mendongeng, Ciok Boh-thian
pernah diberitahu tengan borgol dan lain-lain dan baru hari ini
ia melihat dengan mata sendiri bentuk borgol itu. Segera ia
tanya Tan Tiong-ci: “Tan-Hiangcu, apa sih dosa nona Hoa ini
sehingga kaki dan tangannya perlu diborgol.”
Sebabnya dia tanya adalah karena dia memang tidak paham.
Tapi bagi pendengaran Tan Tiong-ci, disangkanya pertanyaan
sang Pangcu itu bermaksud kebalikannya. Pikirnya: “Wah,
celaka, mungkin Pangcu menganggap aku memperlakukan
nona Hoa dengan tidak pantas, maka dia telah meracuni diriku.

Sedapat mungkin aku harus berusaha memperbaiki
kesalahanku ini.” ~ Maka cepat ia menjawab: “Ya, ya, hamba
memang salah.” ~ Segera ia mengeluarkan kunci dan cepat
membuka borgol yang membelenggu kaki dan tangan Hoa Banci
itu.
Walaupun Hoa Ban-ci sekarang sudah merdeka, tapi ia menjadi
lebih-lebih kuatir sehingga gemetar.
Dalam hal kecerdasan dan kepandaian silat Hoa Ban-ci yang
berjuluk Bwe-hoa-lihiap (pendekar bunga Bwe) itu tidaklah
kalah daripada kesatria kaum lelaki. Kalau Ciok Boh-thian
mengancam akan membunuhnya, betapapun tidak nanti dia
menyerah. Tapi sekarang ia mendengar Ciok Boh-thian malah
menyalahkan Tan-hiangcu yang menawannya, terang dibalik
ucapannya itu mengandung maksud tertentu atas dirinya,
jelasnya dia telah dipenujui oleh Ciok Boh-thian. Padahal
selama hidup ini dia selalu menjaga diri dengan baik dan
sampai saat ini masih suci bersih, kalau sampai dinodai oleh
Ciok Boh-thian yang terkenal busuk itu, wah, benar-benar bisa
celaka.
Dalam pada itu Tan Tiong-ci juga sengaja hendak membikin
senang hati sang Pangcu, maka ia telah berkata: “Pangcu,
mengapa nona Hoa tidak diajak bicara kekamar Pangcu saja?
Disini terlalu gelap dan kotor, bukan suatu tempat yang pantas
untuk tetamu.”
“Ya, bagus,” sahut Ciok Boh-thian dengan girang. “Marilah
nona Hoa, disana tersedia sarang burung yang sangat enak,
nanti kau boleh coba mencicipi satu mangkuk.”
“Tidak, tidak mau,” seru Hoa Ban-ci dengan suara gemetar.
“Enak, sungguh sangat enak, boleh kau coba dulu nanti”, kata

Ciok Boh-thian pula.
Hoa Ban-ci menjadi gusar, sahutnya: “Kalau mau bunuh, lekas
bunuh, nona adalah murid terhormat dari Swat-san-pay, tidak
nanti sudi minta ampun padamu. Kau bangsat ini kalau
menaruh maksud jahat padaku, aku lebih suka membunuh diri
daripada…………datang kekamarmu.”
“Ai, mengapa kau bilang demikian, seakan-akan aku ini paling
suka orang saja, sungguh aneh, buat apa aku membunuh kau?
Jika kau tidak doyan sarang burung ya sudah, ya, mungkin kau
lebih suka makan ayam panggang dan bebek tim. Eh, Tanhiangcu,
apakah makanan-makanan demikian kita ada sedia?”
“Ada, ada, ada!” cepat Tan Tiong-ci menjawab. “Apa yang
disukai nona Hoa, asal terdapat didunia ini tentu didapur kita
juga sedia.”
“Fui, biarpun mati juga nona tidak sudi makan barang suguhan
kalian yang hanya membikin kotor mulutku saja,” sahut Ban-ci
dengan marah.
“O, apa barangkali nona Hoa lebih suka belanja sendiri kepasar
untuk dibawa pulang dan dimasak sendiri? Apakah kau
mempunyai uang? Jika tidak punya, tentunya Tan-hiangcu
punya, bukan? Harap kau berikan sedikit padanya,” demikian
kata Ciok Boh-thian.
“Ada, ada, segera kusuruh mengambilkan pada kasir!” ~
“Tidak, tidak, biar mati juga aku tidak sudi!” demikian Tan
Tiong-ci dan Hoa Ban-ci bersuara berbareng.
“Ah, mungkin kau sendiri sudah punya uang, Tan-hiangcu
bilang kakimu terluka, kami akan minta Pwe-siansing
mengobati lukamu, tapi tampaknya kau tidak suka kepada

Tiang-lok-pang, maka bolehlah kau pergi mencari tabib sendiri,
kalau lukamu terlalu banyak mengeluarkan darah tentu akan
kurang baik.”
Sudah tentu Hoa Ban-ci tidak percaya Ciok Boh-thian mau
membebaskan dia, ia menduga dirinya akan dipermainkan
seperti kucing menggoda tikus, maka dengan marah-marah ia
menjawab: “Pendek kata aku takkan masuk perangkapmu
biarpun kau pakai tipu muslihat apapun juga.”
Ciok Boh-thian menjadi lebih heran, katanya: “Kamar batu ini
mirip dengan penjara, buat apa tinggal disini? Nona Hoa, lebih
baik lekas kau keluar dari sini saja.”
Karena mendengar ucapan itu agak sungguh-sungguh, Hoa
Ban-ci mendengus dan berkata: “Hm, dimanakah pedangku,
mau mengembalikan atau tidak?” ~ Ia pikir kalau sudah
pegang senjata, bila Ciok Boh-thian akan berbuat tidak
senonoh padanya tentu akan dapat membunuh diri biarpun
tidak mampu melawannya.
“O, ya, nona Hoa suka pakai senjata pedang. Tan-hiangcu,
sukalah kau mengembalikan pedangnya ?” kata Ciok Boh-thian.
“Ya, ya, pedangnya tersimpan diluar sana, silakan nona keluar
dan segera akan kami kembalikan”, sahut Tan Tiong-ci.
Karena sudah bertekad akan membunuh diri maka Hoa Ban-ci
tidak gentar terhadap tipu muslihat pula. Mendadak ia
berbangkit terus melangkah keluar. Segera Ciok Boh-thian dan
Tan Tiong-ci mengikutinya dari belakang.
Sesudah tiba ditaman diluar penjara itu, maka Hoa Ban-ci
menjadi silau oleh cahaya sang surya. Walaupun demikian
semangatnya lantas terbangkit.

Rupanya Tan Tiong-ci ingin mengambil hati sang Pangcu,
sebelum disuruh ia sudah mengambilkan pedangnya Hoa Banci
dan diserahkan kepada Ciok Boh-thian. Lalu Ciok Boh-thian
mengembalikan pedan itu kepada Hoa Ban-ci.
Kuatir kalau mendadak dirinya diserang, maka diwaktu
menerima kembali pedangnya, cepat sekali ia menyambar
gagang pedang dan siap-siap untuk melolosnya dari sarung
pedang.
Tan Tiong-ci tahu ilmu pedang murid Swat-san-pay itu sangat
hebat, maka berbareng iapun menyambar sebatang golok dari
tangan seorang penjaga dan siap untuk menghadapi Hoa Banci.
Namun Ciok Boh-thian telah berkata: “Nona Hoa, apakah
lukamu tidak menjadi halangan? Jika tulang kakimu patah,
boleh juga aku menyambungkan untukmu seperti aku
menyambung tulang kaki si Kuning dahulu.”
Yang bicara tidaklah sengaja, tapi yang mendengarkan merasa
terhina. Apalagi Hoa Ban-ci masih seorang perawan suci, ketika
melihat sorot mata Ciok Boh-thian memandang kearah
kakinya, seketika mukanya menjadi merah, damperatnya:
“Dasar bajingan, cara bicaramu juga kotor dan rendah.”
“He, apakah salah perkataanku?” seru Ciok Boh-thian dengan
heran. “Apakah boleh kuperiksa lukamu itu?”
Apa yang dikatakannya adalah timbul dari jiwanya yang masih
ke-kanak-anakan dan tiada punya maksud lain, Hoa Ban-ci
menganggap Ciok Boh-thian hendak menggodanya. “Sret,
pedang segera dilolosnya sambil membentak: “Manusia she
Ciok, jika kau berani maju setindak lagi segera nona mengadu

jiwa dengan kau.”
“Nona Hoa, Pangcu kami sangat gagah dan tampan, jika beliau
sudah penujui kau, ini adalah rejekimu, biarpun kau membawa
pedang juga tiada bedanya bagi pandangan Pangcu kami.
Padahal entah betapa banyak nona cantik didunia ini yang ingin
memikat Pangcu kami dan tak terkabul harapan mereka,”
demikian kata Tan Tiong-ci.
Dengan muka pucat menahan gusar, tanpa pikir lagi pedang
Hoa Ban-ci lantas menusuk kedada Ciok Boh-thian dalam tipu
“Tay-boh-hui-sah” (pasir terbang digurun luas).
Meski Lwekang Ciok Boh-thian sekarang sudah maha kuat, tapi
dalam hal ilmu silat untuk menghadapi musuh selamanya dia
belum pernah belajar. Sekarang dilihatnya pedang Hoa Ban-ci
menyambar kepadanya, dalam gugupnya ia menjadi
kelabakan, tapi ia masih sempat membalik tubuh terus
melarikan diri.
Untung Lwekangnya sekarang sudah sangat sempurna,
walaupun cara larinya agak ketolol-tololan dan menggelikan,
tapi cepatnya benar-benar luar biasa, hanya beberapa langkah
saja dia sudah berlari sejauh beberapa meter.
Sama sekali Hoa Ban-ci tidak menyangka Ciok Boh-thian akan
melarikan diri, bahkan sedemikian cepat larinya, betapa aneh
dan hebat Ginkangnya itu sungguh belum pernah dilihatnya,
seketika Hoa Ban-ci sampai terkesima sendiri dan tak dapat
bersuara.
“Wah, nona Hoa, kau jangan main-main dengan senjatamu,”
demikian Ciok Boh-thian berseru sambil goyang-goyang kedua
tangannya. “Berulang-ulang kau menuduh aku suka
membunuh orang, padahal kau sendirilah yang suka

membunuh. Sudahlah, jika kau mau pergi boleh pergi saja dan
kalau ingin tinggal disini juga boleh, aku tidak mau bicara lagi
dengan kau.”
Rupanya ia menduga Hoa Ban-ci tentu mempunyai alasannya,
maka dirinya hendak dibunuh olehnya. Untuk ini ada lebih baik
meminta keterangan kepada Si Kiam saja. Maka sehabis bicara
ia lantas tinggal pergi.
Hoa Ban-ci menjadi lebih heran, serunya: “Ciok-pangcu,
apakah kau benar-benar telah membebaskan diriku? Janganjangan
kau menyuruh orang untuk merintangi aku diluar sana.”
“Untuk apa aku merintangi kau? Jangan-jangan pedangmu
akan menusuk aku lagi, wah, kan bisa runyam!” sahut Ciok
Boh-thian.
Betapapun Hoa Ban-ci masih ragu-ragu. Tapi ia pikir daripada
tetap tinggal disarang maut itu ada lebih baik tinggal pergi
saja. Maka tanpa bicara lagi ia lantas putar tubuh dan
melangkah pergi.
“Nona Hoa,” tiba-tiba Tan Tiong-ci berseru dengan tertawa.
“Jelek-jelek Tiang-lok-pang kami juga tidak kekurangan
penjaga, masakah nona Hoa sedemikian mudahnya pergidatang
sesukanya, memangnya kau anggap orang-orang
Tiang-lok-pang kami ini adalah sebangsa tukang gegares yang
tak berguna?”
“Habis apa yang kau inginkan?” sahut Hoa Ban-ci dengan alis
menjengkit.
“Kukira, haha, adalah lebih baik aku yang mengantar nona Hoa
keluar,” ujar Tan Tiong-ci dengan tertawa.

Diam-diam Hoa Ban-ci berpikir: “Sekarang aku masih berada
disarang mereka, terpaksa aku tunduk kepada keinginannya,
kalau aku membangkang tentu akan sukar untuk keluar dari
sini. Sekarang biarlah aku telan semua hinaan, kelak aku akan
mengajak para saudara seperguruan untuk mengobrak-abrik
tempat ini dan membalas dendam.”
“Jika demikian, silakan antarkan,” katanya kemudian.
“Pangcu, Siokhe hendak mengantar nona Hoa keluar dari sini,”
kaa Tiong-ci kepada Ciok Boh-thian.
“Bagus, bagus!” sahut Boh-thian. Melihat sinar pedang Hoa
Ban-ci yang gemilapan itu, dia menjadi jeri, kalau Tan Tiong-ci
bersedia mengantarnya keluar adalah kebetulan baginya. Maka
ia lantas kembali ke kamarnya sendiri melalui jalan tadi. Setiap
orang yang dijumpainya ditengah jalan selalu menyingkir dan
memberi hormat padanya.
Setiba kembali dikamarnya, diatas meja ternyata sudah
tersedia macam-macam daharan yang serba enak, segera Si
Kiam melayaninya makan. Dengan lahap Ciok Boh-thian
melahap semua masakan-masakan jang disediakan itu dan
berulang-ulang memuji kelezatannya, sekaligus ia
menghabiskan lima mangkuk nasi barulah merasa kenyang.
Selesai makan, baru saja dia hendak tanya Si Kiam mengenai
ditawannya Hoa Ban-ci oleh Tan-hiangcu dan mengapa nona itu
hendak membunuhnya, tiba-tiba penjaga diluar pintuk
memberi lapor bahwa Pwe Hay-ciok datang.
Boh-thian sangat girang, cepat ia memapak keluar ruangan
tamu. Segera ia berkata kepada Pwe Hay-ciok: “Pwe-siansing,
tadi telah terjadi sesuatu yang aneh,” ~ Lalu ia menceritakan
tentang Hoa Ban-ci tadi.

“Pangcu,” kata Pwe Hay-ciok kemudian dengan sikap prihatin.
“Siokhe ingin mohon sesuatu padamu. Yaitu tentang Tan
hiangcu dari Say-wi-tong yang selamanya sangat setia dan
berjasa kepada Pang kita, haraplah Pangcu suka mengampuni
jiwanya.”
“Mengampuni jiwanya?” Ciok Boh-thian menegas dengan
heran. “Ya, mengapa tidak? Bukankah dia seorang baik.
Apakah dia sakit? Jika demikian hendaklah Pwe-siansing suka
menolongnya saja.”
Pwe Hay-ciok sangat girang, ia memberi hormat dan
menghaturkan terima kasih. Biasanya sang Pangcu itu sangat
tak berbudi, orang yang dianggapnya bersalah jarang
diampuni, tapi hari ini kebiasaan itu telah dilanggar, hal ini
menandakan penghargaannya terhadap permohonan dirinya
itu. Maka cepat Pwe Hay-ciok lantas mengundurkan diri.
Kiranya sesudah Tan Tiong-ci berpisah dengan Hoa Ban-ci,
kemudian buru-buru ia menemui Pwe Hay-ciok dan minta
bantuannya untuk memohon ampun kepada sang Pangcu dan
memberi obat penawar racun (padahal sama sekali ia tidak
keracunan). Obat penawar racun milik Pwe Hay-ciok yang
bernama “Ban-leng-kay-tok-tan” sangat mujarab bagi segala
macam racun, asal sang Pangcu mengijinkan, dengan mudah
sekali ia dapat menyelamatkan jiwa Tan Tiong-ci. Dan ternyata
dengan cepat sang Pangcu lantas meluluskan permintaannya,
sudah tentu girang Pwe Hay-ciok tak terkatakan, terutama
mengingat kekuatan Tiang-lok-pang tidak jadi retak dengan
urung perginya Tan Tiong-ci.
Begitulah, sesudah Pwe Hay-ciok pergi, lalu Ciok Boh-thian
tanya berbagai urusan kepada Si Kiam, maka baru diketahui
bahwa tempat markas besar Tiang-lok-pang berada itu adalah

kota Yangciu. Dia adalah Pangcu dari Tiang-lok-pang yang
susunan organisasinya terbagi menjadi Lwe-sam-tong (tiga
seksi dalam) dan Gwa-ngo-tong (lima seksi luar) dengan
anggota yang tersebar luas dimana-mana.
Jago-jago pilihan didalam Tiang-lok-pang teramat banyak,
beberapa tahun terakhir ini perkembangan organisasi mereka
maju dengan pesat, tokoh-tokoh seperti Pwe Hay-ciok saja
juga mau masuk menjadi anggota, maka dapat dibayangkan
betapa hebat pengaruh dan kekuatan Tiang-lok-pang. Adapun
bagaimana azas perjuangan Tiang-lok-pang, siapa kawan dan
siapa lawannya, hal-hal ini Si Kiam tak dapat menceritakan,
maklum ia hanya seorang pelayan yang masih hijau.
Dengan sendirinya Ciok Boh-thian tidak mendapatkan
gambaran yang jelas tentang Tiang-lok-pang, apalagi dia
sendiri tiada punya pengalaman apa-apa.
Sesudah merenung sejenak, kemudian ia berkata: “Enci Si
Kiam, tentu kalian telah salah mengenali orang. Jikalau aku
tidak berada dalam mimpi, maka teranglah Pangcu kalian
adalah seorang lain lagi. Aku adalah pemuda gunung, masakah
dianggap Pangcu apa segala.”
“Sekalipun banyak manusia yang mirip didunia ini juga tiada
mungkin semirip ini,” kata Si Kiam dengan tertawa. “Siauya
rupanya engkau sedang melatih semacam ilmu dan mungkin
telah mengguncangkan otakmu sehingga kau melupakan
kejadian yang lalu. Hendaklah kau mengaso saja, perlahanlahan
tentu dapat ingat kembali.”
“Tidak, tidak, masih banyak yang aku merasa tidak mengarti
dan ingin tanya padamu,” kata Boh-thian. “Enci Si Kiam, sebab
apa kau suka menjadi pelayan?”

“Masakah ada orang sukarela menjadi pelayan?” sahut Si Kiam
dengan hati pedih. “Sejak kecil aku sudah yatim piatu, aku
telah dijual orang kedalam Tiang-lok-pang sini dan Tocongkoan
(kepala rumah tangga, she To) menugaskan aku
melayani kau, terpaksa aku harus melayani kau.”
“Jika demikian, jadi kau tidak suka, kalau begitu bolehlah kau
pergi saja, aku tidak perlu dilayani orang, segala apa aku dapat
mengerjakannya sendiri,” kata Boh-thian.
“Aku hanya sebatangkara, kau suruh aku pergi kemana? Jika
To-congkoan mengetahui kau takmau dilayani diriku, tentu aku
yang disalahkan dan mungkin akan dihajarnya hingga mati.”
“Aku akan minta dia jangan menghajar kau,” kata Boh-thian.
Namun Si Kiam tetap menggeleng, katanya: “Kesehatanmu
belum pulih, akupun tidak boleh pergi dengan begini saja. Pula
asal kau tidak nakal padaku, sesungguhnya aku suka melayani
kau, Siauya.”
“Bilakah aku nakal padamu? Selamanya aku tidak pernah nakal
pada orang lain.”
Si Kiam mendongkol dan geli pula, katanya: “Jika demikian,
orang tentu akan mengatakan Ciok-pangcu kita benar-benar
telah berubah sekarang menjadi alim.”
Boh-thian tidak berkata lagi, tapi pikirnya: “Ciok-pangcu yang
sebenarnya itu tentulah seorang manusia jahat, nakal dan suka
membunuh orang pula, maka setiap orang takut padanya.
Wah, bagaimana baiknya ini? Biarlah besok dibicarakan
sejelasnya dengan Pwe-siansing saja, terang mereka telah
salah mengenali diriku.”

Begitulah pikirannya timbul-tenggelam tak tertentu,
sebenarnya ia merasa senang menjadi Pangcu yang dihormati
orang sebanyak itu, tapi lain saat ia merasa tidaklah pantas
memalsukan orang lain, kelak kalau Pangcu tulen itu pulang
tentu akan marah, boleh jadi dirinya akan dibunuh dan inilah
suatu risiko baginya.
Petangnya sesudah makan malam, kembali ia mengobrol lagi
dengan Si Kiam, ia tanya ini dan itu, ia merasa serba menarik
dari keterangan-keterangan yang diberikan Si Kiam itu. Sampai
jauh malam, Si Kiam kuatir penyakit nakal sang Siauya akan
kumat lagi, maka cepat-cepat ia mengundurkan diri dan
sekalian menutupkan pintu kamar.
Tinggal Ciok Boh-thian sendirian didalam kamar, dalam
isengnya ia lantas duduk bersila diatas ranjang dan berlatih
menurut petunjuk-petunjuk dibadan boneka-boneka kayu itu.
Dimalam yang sunyi senyap itulah tiba-tiba terdengar suara
“tik-tik-tik” tiga kali, suara daun jendela diselentik. Waktu Ciok
Boh-thian membuka mata, tertampaklah daun jendela
perlahan-lahan terpentang, sebuah tangan yang halus tampak
sedang menggapai-gapai padanya, samar-samar kelihatan pula
lengan bajunya yang berwarna hijau pupus.
Hati Ciok Boh-thian tergerak, teringat olehnya wajah sianak
dara berbaju hijau muda. Segera ia melompat turun dan
memburu kedepan jendela, serunya: “Cici!”
“Cis, mengapa memanggil Cici sekarang? Lekas keluar sini!”
demikian terdengar suara seorang anak dara menyahut dengan
suara yang nyaring merdu.
Segera Boh-thian melangkah keluar melalui jendela. Tapi tiada
seorangpun tertampak olehnya. Tengah heran, mendadak

pandangannya menjadi gelap, sepasang tangan yang halus
lemas telah mendekap kedua matanya, berbareng terdengar
suara mengikik-tawa dibelakangnya, menyusul lantas terandus
bau bunga anggrek yang harum.
Terkejut dan senang pula hati Ciok Boh-thian. Ia tahu si-anak
dara sedang bergurau dengan dia. Padahal sejak kecil ia hidup
ditengah gunung yang sepi, kawan satu-satunya adalah si
Kuning, anjing piaraannya. Sekarang mendadak ada seorang
muda yang sebaya dan suka bergurau dengan dia, sudah tentu
dia sangat senang.
“Nah, aku akan tangkap kau!” serunya sambil kedua tangannya
merangkul kebelakang.
Tapi betapa cepatnya dia bergerak, tahu-tahu dia hanya
memegang tempat kosong, dengan cepat sekali sianak dara
sudah melompat pergi. Ketika ia menoleh, sekilas tertampak
baju hijau berkelebat di-semak-semak pohon bunga sana,
cepat ia memburu maju dansegera menangkapnya, tapi yang
terpegang adalah duri-duri mawar sehingga dia menjerit
kesakitan.
Sianak dara tampak mengongol dari balik semak-semak sana
dan berkata perlahan dengan tertawa: “Tolol, jangan bersuara,
lekas ikut padaku!”
Ketika melihat anak dara itu berjalan pergi, segera Boh-thian
mengikutinya. Waktu berlari sampai ditepi pagar tembok, baru
saja anak dari itu hendak melompat keatas, mendadak dari
tempat gelap telah mengadang keluar dua orang bersenjata
sambil membentak: “Jangan bergerak! Siapa kau?”
Pada saat itu pula juga dengan tertawa-tawa Ciok Boh-thian
juga sudah ikut tiba.

Rupanya kedua orang itu adalah anggota Tiang-lok-pang yang
sedang meronda. Mereka menjadi mengkeret demi nampak
sang Pangcu bersama anak dara itu dalam keadaan tertawa
senang, cepat mereka melangkah mundurdan memberi
hormat, kata mereka: “Hamba tidak tahu nona ini adalah
teman Pangcu, harap memaafkan.” ~ Menyusul merekapun
memberi hormat pada sianak dara sebagai tanda permintaan
maaf.
Anak dara itu meleletkan lidah kepada mereka dengan muka
jenaka, lalu ia menggape pula kepada Ciok Boh-thian terus
melompat keatas pagar tembok.
Melihat pagar tembok itu cukup tinggi, Boh-thian merasa tidak
sanggup melompat keatas sebagaimana cara sianak dara itu.
Tapi dilihatnya anak dara itu sedang menggape lagi padanya,
bahkan kedua peronda tadi juga sedang memandang padanya,
ia pikir tidaklah mungkin menyuruh mereka membawakan
tangga baginya, terpaksa ia harus melakukannya sebisa
mungkin, segera ia tekuk lutut sedikit terus meloncat keatas.
Eh, aneh juga, entah darimana timbulnya semacam tenaga
pada kakinya, sekonyong-konyong tubuhnya terus membal
keatas, bahkan tanpa hinggap diatas pagar tembok dan
sekaligus melintas keluar sana.
Kedua peronda tadi sampai melonjak kaget, mereka lantas
berseru memuji: “Gin-kang yang hebat !”
Namun lantas terdengar suara gedebukan diluar pagar tembok
sana, suara jatuhnya benda berat. Kiranya Ciok Boh-thian tidak
tahu cara bagaimana harus tancapkan kakinya ketanah maka
ia telah jatuh terbanting. Kedua peronda hanya saling pandang
dengan bingung, sudah tentu mereka tidak tahu apa yang
sudah terjadi. Sungguh tak tersangka oleh mereka bahwa

Ginkang sang Pangcu sebagus itu akhirnya dapat jatuh
terbanting dalam keadaan yang lucu.
Sebaliknya sianak dara yang berdiri diatas pagar tembok dapat
melihat dengan jelas, ia terkejut dan cepat melompat turun
kesana. Ia lihat Ciok Boh-thian sampai sejenak belum lagi
bangun, segera ia memayangnya dan bertanya: “Engkoh Thian,
bagaimana? Agaknya kesehatanmu belum pulih betul-betul,
janganlah terlalu menggunakan tenaga.
Pantat Ciok Boh-thian terasa kesakitan karena jatuh terbanting
dengan keras, atas bantuan sianak dara akhirnya dia dapat
berdiri kembali.
“Maukah kita pergi ketempat biasanya sana,” ajak sianak dara.
“Apakah kau masih sakit, dapat berjalan tidak?”
Dasar Ciok Boh-thian sangatlah bandel, biarpun sakit juga
takkan mengaku sakit, apalagi Lwekangnya sekarang sudah
sangat tinggi, rasa sakit terbanting itu hanya sebentar saja
sudah lenyap, segera ia menjawab: “Aku tidak merasa sakit
lagi, marilah kita segera berangkat.”
“Sudah sekian lamanya kita tidak bertemu, kau kangen padaku
atau tidak?” tanya sianak dara dengan mendongak, menatap
muka Ciok Boh-thian dan sambil menarik tangan kanannya.
Maka tertampaklah didepan Ciok Boh-thian sebuah wajah yang
cantik molek, dibawah pantulan cahaya rembulan, kedua biji
mata anak dara itu seakan-akan dua titik bintang yang
cemerlang. Dari badan anak dara itupun terendus bau yang
harum, mau-tak-mau hati pemuda itu terguncang. Walaupun
dia sama sekali tidak paham soal hubungan antara kaum pria
dan wanita, tapi seorang pemuda berusia 20 tahun berada
dalam keadaan dan adegan demikian, biarpun lebih tolol lagi

juga akan timbul rasa cintanya kepada anak dara yang cantik
itu.
Sesudah tertegun sejenak, lalu ia menjawab: “Malam itu kau
telah datang menjenguk diriku dan segera kau pergi lagi.
Sungguh aku sangat merindukan dikau.”
Sianak dara tertawa genit, katanya pula: ”Kau telah
menghilang sekian lamanya, lalu tak sadarkan diri sekian
lamanya pula, sungguh aku menjadi kuatir sekali. Selama
beberapa hari ini setiap malam aku pasti datang menjenguk
kau, apakah kau tahu? Kulihat kau sedang asyik berlatih,
karena kuatir mengganggu, maka aku tidak memanggil kau.”
“Apa betul? Sungguh aku sama sekali tidak tahu. O, enci yang
baik, mengapa kau se………..sedemikian baiknya padaku?” kata
Boh-thian dengan girang.
Mendadak air muka sianak dara berubah, ia kipatkan tangan
sianak muda dan omelnya: “Kau panggil aku apa? Ya, memang
aku sudah………..sudah menduga sebabnya kau menghilang
sekian lamanya, tentu……… tentu kau mempunyai teman wanita
lagi dilain tempat. Hm, rupanya kau sudah terlalu biasa
memanggil ‘enci yang baik’ kepada orang lain, maka sekarang
juga kau panggil aku demikian.”
Baru saja anak dara itu masih tertawa riang dan menggiurkan,
sekarang mendadak lantas berubah marah, keruan Ciok Bohthian
tidak paham dan bingung, katanya dengan tergagapgagap:
“Aku………..aku………….”
Sianak dara bertambah marah, tiba-tiba ia jewer telinga kanan
Ciok Boh-thian, katanya dengan gusar: “Selama ini sebenarnya
kau telah berkumpul dengan wanita siapa? Bukankah kau
memanggilnya sebagai ‘enci yang baik’? Hayo, lekas mengaku,

lekas!” ~ Sambil bicara jewerannya tambah keras dan makin
keras.
Keruan Ciok Boh-thian menjerit kesakitan, serunya: “He, he!
Kenapa kau segalak ini? Aku takmau bermain lagi dengan kau!”
Kembali sianak dara menjewer lebih keras, katanya: ”Jadi kau
hendak meninggalkan aku dan takkan menggubris lagi padaku?
Hm, tidak boleh semudah ini. Siapa wanita yang berada
bersama kau itu? Hayo, lekas mengaku!”
“Ya, aku memang berada bersama seorang wanita,” akhirnya
Boh-thian mengaku dengan meringis kesakitan. “Dia……….dia
tidur sekamar dengan aku………….”
“Nah, apa kataku?” sela sianak dara dengan gusar. Kontan ia
menjewer terlebih keras sehingga kuping Ciok Boh-thian
sampai berdarah. Lalu teriaknya dengan suara melengking:
“Biar sekarang juga akan kubunuh dia!”
“Eh, eh, jangan! Dia adalah enci Si Kiam, dia telah
membuatkan sarang burung dan memasakkan bubur untukku,
walaupun bubur itu kedaluan dan hangus, tapi dia sangat baik.
Kau………kau tidak boleh membunuhnya.”
Mestinya anak dara itu sudah mencucurkan air mata,
mendadak ia tertawa kembali. “Fui!” semprotnya sambil
menjewer lagi dengan keras. “Kukira enci yang baik siapa,
kiranya adalah budak busuk itu. Ah, kau berdusta, aku tidak
percaya. Selama beberapa malam ini aku selalu mengawasi
kau dari luar jendela, tampaknya kau dan budak busuk itu
cukup prihatin juga, ya, anggaplah kau masih tahu batas.” ~
Habis berkata kembali ia hendak menjewer lagi.
Boh-thian terkejut dan cepat hendak berusaha menghindar,

tapi sekali ini anak dara itu ternyata tidak menjewer lagi,
sebaliknya ia mengelus-elus telinga pemuda itu, tanyanya
dengan tertawa: “Apakah sakit?”
“Sudah tentu sakit,” sahut Boh-thian.
“Biar kau tahu rasa, habis siapa suruh kau berdusta, secara
aneh kau memanggil aku ‘enci yang baik’ apa segala!”
“Menurut ibuku, katanya panggilan ‘Cici’ adalah tanda hormat
pada orang lain, apa aku salah panggil?”
Sianak dara mempelototinya sekali. “Sejak kapan kau
menghormat padaku? Sudahlah, jika kau merasa penasaran,
bolehlah kau balas menjewer telingaku. Ini!” ~ Berbareng ia
terus miringkan muka dan sodorkan telinganya kedepan.
Seketika Boh-thian mengendus bau harum yang teruar dari
muka anak dara itu. Tanpa merasa hidungnya meng-endus2
beberapa kali seperti si Kuning piaraannya. Ia pegang-pegang
kuping anak dara itu, lalu katanya: “Tidak, aku takmau
menjewer kau………….O, ya, cara bagaimana aku mesti
memanggil kau?”
“Cara bagaimana kau panggil aku dahulu? Masakah sampai
namaku juga sudah kau lupakan?” omel sianak dara.
Boh-thian terdiam sejenak, lalu katanya dengan sungguhsungguh:
“Nona, biarlah kukatakan terus terang padamu.
Sesungguhnya kau telah salah mengenali aku. Aku bukanlah
kau punya ‘engkoh Thian’ apa segala. Aku bukan Ciok Bohthian,
tapi aku adalah Kau-cap-ceng.”

Bab 12. Ting Tong! Si Nona Berbaju Hijau
Anak dara itu melengak, ia pegang pundak pemuda itu dan
diputarnya ke kanan dan ke kiri, ia mengamat-amati pemuda
itu sejenak di bawah cahaya rembulan. Tiba-tiba ia tertawa
terkekeh-kekeh, katanya, “Engkoh Thian, sungguh kau pintar
berkelakar. Ucapanmu barusan sungguh membuat kaget
padamu, kusangka benar-benar telah salah mengenali kau.
Hayolah, mari kita berangkat.”
Segera ia tarik tangan Ciok Boh-thian dan mendahului
bertindak ke depan.
“Ti ... tidak, aku tidak berkelakar,” seru Ciok Boh-thian dengan
gugup. “Kau benar-benar telah salah mengenali diriku. Coba
pikir, sedangkan namamu saja aku tidak tahu.”
Mendadak si anak dara menghentikan langkahnya, katanya
dengan tertawa genit, “Ya, sudahlah, dasar kepala batu, tidak
mau mengalah, biarlah aku tunduk padamu. Nah, dengarkan
aku she Ting bersama Tong, biasanya kau suka panggil aku
ting-tong, ting-tong, terkadang kau pun panggil aku ting-tingtong-
tong Sekarang sudah jelas, bukan?”
Habis berkata segera ia putar tubuh dan berlari ke depan
secepat terbang.
Karena diseret si anak dara, tanpa kuasa Ciok Boh-thian ikut
berlari juga, semula ia hampir keserimpet, untung tidak sampai
jatuh. Akhirnya ia dapat membuang langkah dan mengikuti lari
si anak dara dengan sama cepatnya. Bermula napasnya
menjadi tersengal-sengal tapi lama-kelamaan tenaga dalamnya
mulai merata, kakinya makin lama makin enteng, sedikit pun
tidak terasa payah lagi.
Entah sudah berlari berapa jauhnya, tiba-tiba tertampak

pantulan cahaya air mengambang di depan, nyata mereka
telah sampai di tepi sebuah sungai. Segera Ting Tong menarik
tangan Ciok Boh-thian dan melompat perlahan ke depan,
menghinggap di haluan sebuah perahu kecil yang tertambat di
tepi sungai.
Karena Ciok Boh-thian belum dapat menggunakan tenaga
dalamnya untuk dikerahkan sebagai Ginkang, maka
lompatannya ke atas perahu itu seperti orang biasa saja,
dengan antap menancapkan kaki di haluan perahu sehingga
perahu tertekan dan air muncrat.
“Ai, apakah kau ingin menenggelamkan perahu ini?” jerit Ting
Tong dengan tertawa.
Segera ia melepaskan tambatan perahu, ia angkat dengan
galah bambu, sekali dorong dengan galahnya, dengan cepat
perahu itu lantas meluncur ke tengah sungai.
Boh-thian melihat kedua tepi sungai itu banyak tumbuh pohon
Yangliu, dari jauh tertampak beberapa buah rumah penduduk,
malam sunyi, bulan terang, sayup-sayup hidungnya
mendengus bau harum yang memabukkan, entah bau harum
bunga yang tumbuh di tepi sungai atau bau wangi yang timbul
dari badan Ting Tong?
Perahu itu meluncur dengan pesat di tengah sungai, sesudah
membelok beberapa kali, setiba di bawah sebuah jembatan
batu, Ting Tong lantas menambat perahunya di batang pohon
Yangliu. Pohon-pohon Yangliu di sekitar jembatan itu tumbuh
sangat rindang sehingga jembatan batu yang kecil itu hampir
tertutup rapat. Sinar bulan menembus remang-remang melalui
celah-celah daun pohon, perahu yang berlabuh itu menjadi
mirip bermukim di dalam sebuah rumah alam yang kecil.

“Sungguh baik sekali tempat ini, andai kata siang hari juga
orang mungkin tidak menyangka bahwa di sini berlabuh sebuah
perahu kecil,” puji Boh-thian.
“Mengapa baru sekarang kau memuji tempat ini?” sahut Ting
Tong dengan tertawa.
Segera anak dara itu membuka peti perahu, ia mengeluarkan
sehelai tikar dan dibentang di haluan perahu, dikeluarkannya
dua pasang sumpit dan mangkuk serta satu poci arak, katanya
dengan tertawa, “Silakan duduk dan minum arak.”
Kemudian ia mengeluarkan lagi beberapa macam makanan
pengiring arak seperti kacang goreng, dendeng dan lain-lain.
Ketika anak dara itu baru menuangkan arak, Ciok Boh-thian
lantas membau harum arak yang menusuk hidung. Sudah
pernah dia mendengar cerita ibunya tentang minum arak, tapi
macam apakah “arak” itu selamanya belum pernah dilihat dan
dicobanya. Cia Yan-khek juga tidak suka minum arak, sebab
itulah ketika tinggal di Mo-thian-kay juga tidak pernah kenal
arak.
Sekarang ia melihat secawan arak yang disodorkan Ting Tong
itu berwarna merah kekuning-kekuningan, tanpa pikir ia terus
menenggaknya hingga habis. Ia merasakan hawa hangat
menerjang ke dalam perut, dalam mulut terasa sedikit pedas
dan sedikit pahit. Seketika ia mengerut dahi.
Ting Tong tertawa, katanya, “Ini adalah arak ‘Lu-ji-hong’ dari
Siauhin simpanan dua puluh tahun, apakah enak rasanya?”
Tapi belum lagi Boh-thian menjawab, tiba-tiba dari atas
terdengar suara seorang tua berkata, “Hm, Lu-ji-hong
simpanan 20 tahun masakah tidak enak rasanya?”

Tanpa terasa cawan arak yang dipegang Ting Tong jatuh ke
papan perahu dan akhirnya menggelinding masuk ke dalam
sungai, arak menciprat membasahi pakaiannya. Muka anak
dara itu pucat seketika dengan badan gemetar, ia pegang
tangan Ciok Boh-thian dan berbisik, “Celaka, itulah suara
kakek!”
“Ya, betul memang inilah kakekmu,” kata suara orang tua di
atas itu. “Budak setan, kau berkencan dengan kekasih tidaklah
menjadi soal, tapi mengapa arak yang kudapatkan dengan
susah payah itu juga kau curi untuk disuguhkan kepada
kekasihmu?”
“Dia ... dia bukan kekasih, hanya ... hanya kawan biasa saja,”
sahut Ting Tong.
“Huh, kawan biasa masakah perlu kau melayaninya sedemikian
baik?” semprot si kakek. “Ya, sampai arak kesayangan kakek
juga kau berani mencuri? Hayo, maling cilik, lekas-lekas keluar
sini, ingin kulihat bagaimana macammu sehingga hati cucu
perempuanku sampai tercuri olehmu?”
Waktu Ciok Boh-thian mendongak ke arah datangnya suara,
terlihat sepasang kaki menjulai dan bergerak-gerak di atas
kepalanya, terang orang tua itu duduk di atas jembatan sambil
menjulurkan kedua kakinya ke bawah, kalau kakinya mengulur
belasan senti lagi ke bawah tentu akan dapat menginjak di atas
kepala Ciok Boh-thian.
Kedua kaki itu memakai kaus kaki katun warna putih, sepatu
kain tebal bersulam indah. Baik kaus kaki dan sepatunya
tampak sangat rajin dan resik.
Dalam pada itu Ting Tong telah menjawil-jawil Ciok Boh-thian

sambil memberi macam-macam tanda, maksudnya agar
pemuda itu jangan mengaku siapa sebenarnya dia, lalu nona
itu berseru, “Yaya (kakek), kawanku ini bermuka jelek lagi
tolol, kalau melihatnya pasti kakek takkan suka padanya.
Arakmu yang kucuri ini hanya akan kuminum sendiri, orang
macam dia masakah ada harganya untuk disuguhi arak seenak
ini? Soalnya cucu merasa kesepian dan sembarangan mencari
seorang teman mengobrol seperti dia ini.”
Sudah tentu Ciok Boh-thian sangat mendongkol, masakah
dirinya dikatakan jelek dan dianggap tolol serta dikatakan tiada
harganya disuguhi arak itu, segera ia mengipratkan tangan
Ting Tong sehingga terlepas.
Tapi cepat Ting Tong memegang pula tangan pemuda itu dan
menggoyang-goyang tangan serta menjawil-jawil, seperti
tanda mesra dan seperti memberi pesan dengan sangat pula
agar pemuda itu menurut.
Dengan sendirinya Ciok Boh-thian merasa bingung.
Sementara itu si orang tua yang duduk di atas itu telah berkata
pula, “Hayo, kedua setan cilik lekas keluar semua. A Tong, hari
ini kakek sudah membunuh beberapa orang?”
“Seperti ... seperti baru membunuh satu orang,” sahut Ting
Tong dengan suara terputus-putus.
Diam-diam Ciok Boh-thian merasa heran mengapa ke sana
kemari selalu ditemukan orang-orang yang suka membunuh,
yang dibicarakan juga selalu soal membunuh.
Dalam pada itu si kakek di atas jembatan itu telah berkata,
“Bagus, jadi hari ini aku baru membunuh satu orang, jika
demikian masih boleh membunuh dua orang lagi. Membunuh

dua orang lagi sebagai pengiring minum arak juga boleh.”
“Membunuh orang sebagai pengirim minum arak, di dunia ini
mengapa ada kejadian demikian?” demikian pikir Ciok Bohthian.
Pada saat lain mendadak terasa tangan yang dipegang Ting
Tong tadi telah dilepaskan, berbareng suatu bayangan
berkelebat, tahu-tahu di atas perahu mereka sudah bertambah
satu orang dan tepat duduk di tengah-tengah antara Ting Tong
dan Boh-thian.
Dalam kejutnya cepat Boh-thian menyurut mundur sedikit,
waktu ia pandang orang itu, ternyata jenggot dan kumis orang
itu sudah memutih perak, wajahnya berseri-seri, itulah seorang
kakek yang tampaknya sangat welas asih. Tapi begitu tertatap
sinar matanya, tanpa kuasa Ciok Boh-thian bergidik. Kiranya
dari sorot mata orang tua itu terpantul sesuatu sifat jahat yang
susah dilukiskan sehingga bagi yang melihatnya seketika akan
merasa merinding ketakutan.
Kakek itu tampak tertawa dan mengangkat tangannya
menepuk satu kali di atas pundak Ciok Boh-thian, katanya,
“Anak bagus, mulutmu sungguh sangat beruntung dapat
minum arak Lu-ji-hong simpanan 20 tahun milik kakek.”
Meski dia hanya menepuk perlahan saja, tapi tulang pundak
Ciok Boh-thian seketika berkeriukan seakan-akan pecah dan
rontok semua.
Ting Tong terperanjat dan cepat memegang tangan sang kakek
sambil memohon, “Yaya, ja ... janganlah kau melukai dia.”
Tepukan yang perlahan tadi sebenarnya mengandung tenaga
dalam yang mahadahsyat, maksud orang tua itu adalah untuk

membikin remuk tulang pundak Ciok Boh-thian. Tak terduga
ketika telapak tangannya menyentuh bahu pemuda itu,
seketika dari bahunya timbul semacam tenaga tolakan yang
mahakuat, tenaga dalam yang hebat itu bukan saja telah
melindungi tubuh pemuda itu, bahkan tangan si kakek sendiri
sampai tergetar membal ke atas.
Syukur kakek itu cepat mengerahkan tenaganya lagi sehingga
tangannya tidak sampai terpental ke atas.
Keruan kejut si kakek melebihi Ting Tong, tapi ia lantas tertawa
dan berkata pula, “Bagus, bagus! Anak bagus, kau memenuhi
syarat untuk minum arakku. Hayo, A Tong, tuangkan lagi
beberapa cawan arak, sekarang Yaya yang menjamu dia
minum arak dan takkan menyalahkan kau yang mencuri arak
ini.”
Ting Tong menjadi girang. Ia kenal watak sang kakek yang
angkuh. Jarang ada tokoh-tokoh persilatan yang terpandang
olehnya. Sekarang baru bertemu dengan Ciok Boh-thian sudah
lantas menjamunya minum arak, sudah tentu anak dara itu
merasa girang dan lega. Ia mengira sang kakek juga suka
kepada kekasihnya yang gagah dan tampan ini. Sama sekali
tak terduga olehnya bahwa Ciok Boh-thian tadi sebenarnya
sudah terancam elmaut.
Sebabnya sang kakek berubah sikap adalah karena terkejut
atas Lwekang Ciok Boh-thian yang luar biasa itu dan sekali-kali
bukan karena pemuda itu “gagah dan tampan”, padahal muka
Ciok Boh-thian meski tidak jelek, namun untuk dibilang tampan
juga belum sesuai.
Begitulah dengan senang Ting Tong lantas mengeluarkan dua
cawan arak lagi dan menuangkan secawan untuk sang kakek,
secawan untuk Ciok Boh-thian, ia sendiri pun menuang

secawan.
“Bagus, bagus! Jikalau A Tong sudah penujui kau, tentu kau
mempunyai asal usul yang tidak sembarangan. Nah, coba
katakan, siapa namamu?” demikian si kakek bertanya.
“Aku ... aku bernama ....” sahut Ciok Boh-thian dengan
tergagap. Sekarang dia sudah tahu bahwa “Kau-cap-ceng”
adalah kata-kata makian yang kotor, sudah tentu tidak boleh
diucapkan di depan seorang tua. Tapi selain itu sesungguhnya
dia tiada punya nama lain, maka sesudah mengucapkan,
“Bernama ... bernama ....” ia tidak sanggup menyambung pula.
Si kakek tampak kurang senang, tegurnya, “Apakah kau tidak
berani berkata terus terang kepada kakek?”
“Mengapa tidak berani?” tiba-tiba Boh-thian menjawab dengan
tegas. “Hanya saja namaku agak kurang enak didengar. Aku ...
bernama Kau-cap-ceng!”
Untuk sejenak si kakek tampak melengak. Tapi mendadak ia
bergelak tertawa terpingkal-pingkal, suara tertawanya
berkumandangan jauh, jenggotnya yang sudah putih semua itu
sampai terguncang-guncang.
“Hah, bagus, bagus, namamu sungguh sangat baik,” kata si
kakek sesudah berhenti tertawa. “Kau-cap-ceng!”
“Ya, kakek!” sahut Ciok Boh-thian.
Seketika Ting Tong tersenyum girang. Ia pandang sang kakek
dan pandang pula Ciok Boh-thian. Sebabnya dia merasa
senang adalah karena Ciok Boh-thian secara spontan
memanggil kakek kepada kakeknya, malah waktu dipanggil
dengan nama Kau-cap-ceng pemuda itu pun menurut saja.

Nyata ia tidak tahu bahwa sebenarnya Ciok Boh-thian itu
memang bersama Kau-cap-ceng, pula pemuda itu tidak tahu
tata krama, bagaimana orang memanggil ia pun menirukan
saja, si Ting Tong memanggil kakek, maka ia pun menirukan
memanggil kakek. Jadi rasa puas Ting Tong dan kakek yaitu
sebenarnya “salah wesel” belaka.
“A Tong,” si kakek berkata pula, “apakah nama kakek sudah
kau katakan kepada kekasihmu?”
Ting Tong menggeleng dengan sikap malu-malu, jawabnya,
“Tidak, belum kukatakan padanya.”
Mendadak si kakek menarik muka, katanya, “Sebenarnya kau
suka atau tidak padanya. Jika suka, mengapa asal usul sendiri
belum lagi diberitahukan padanya? Jikalau tidak suka mengapa
kau berani mencuri arak simpanan kakek untuk disuguhkan
kepadanya, bahkan selama beberapa malam berturut-turut kau
mencuri arak Hian-peng-pek-hwe-ciu yang merupakan jimat
simpanan kakek itu dan dicekokkan kepada bocah ini?” Makin
lama makin keras suaranya, sampai akhirnya suaranya
berubah menjadi bengis, ketika menyebut nama Hian-pengpek-
hwe-ciu (arak api hijau inti es) bahkan sorot matanya
menjadi beringas. Ciok Boh-thian ikut-ikut kebat-kebit hatinya
menyaksikan demikian itu.
Namun Ting Tong lantas menjatuhkan dirinya ke pangkuan si
kakek sambil memohon, “O, Yaya, ternyata engkau sudah
mengetahui semuanya. Harap ampunilah A Tong.”
“Mengampuni A Tong? Hm, enak saja bicara,” jengek si kakek.
“Apakah kau tahu bahwa betapa mujarabnya Hian-peng-pekhwe-
ciu itu, sekarang telah kau habiskan, untuk
memperolehnya apakah sedemikian mudahnya?”

“Ampun kakek,” pinta Ting Tong. “Soalnya karena A Tong tidak
tega menyaksikan dia tersiksa oleh penyakit panas-dingin.
Tiba-tiba A tong teringat kepada arak mustajab simpanan
kakek itu, maka secara sembrono telah mencurinya untuk
diminumkan padanya. Ternyata ada hasilnya sedikit, lalu
berturut-turut kuminumkan dia lagi sehingga tanpa terasa
habis terminum. Baiklah kakek memberitahukan resep
membuat arak itu padaku, betapa pun A Tong pasti akan
mengembalikan sebotol kepada kakek.”
Sesudah mendengarkan percakapan kakek dan cucu
perempuan itu barulah Ciok Boh-thian paham duduknya
perkara.
Kiranya sewaktu dirinya dalam keadaan tak sadar ketika
diserang penyakit panas-dingin tempo hari, secara diam-diam
Ting Tong telah mencuri dan mencekoki arak “Hian-peng-pekhwe-
ciu yang merupakan milik kesayangan kakeknya. Rupanya
kesembuhannya ini sebagian adalah jasa si anak dara itu yang
telah menolong jiwanya, sekarang terdengar si kakek sedang
marah-marah kepada anak dara itu maka ia lantas menyela,
“Kakek, jikalau arak itu telah diminumkan padaku, maka
tanggung jawab mengembalikan arak itu harus kupikul. Biarlah
aku akan berdaya untuk mengembalikannya padamu. Jika tidak
dapat, terpaksa terserah kepada cara bagaimana kau akan
ambil tindakan padaku.”
“Bagus, bagus!” seru si kakek dengan tertawa. “Jika demikian,
soalnya menjadi agak lain. Eh, A Tong, mengapa kau tidak
memberi tahu padanya tentang asal usul dirimu sendiri?”
Ting Tong tampak serbasalah, jawabnya, “Dia ... dia tidak
pernah tanya padaku, maka aku pun tidak pernah katakan
padanya. Hendaklah kakek jangan sangsi, sama sekali tiada

maksud tertentu di dalam hal ini.”
“Tiada maksud tertentu?” si kakek menegas. “Kukira toh tidak
demikian halnya. Apa isi hatimu masakah kakek tidak tahu?
Tentunya kau sudah benar-benar menyukai dia dengan
harapan bocah ini akan mengambil kau sebagai istri, tapi kalau
kau katakan nama dan asal usulmu, hm, tentunya bocah ini
akan kaget setengah mati. Sebab itulah kau berusaha
mengelabui dia sedapat mungkin. Hm, betul tidak dugaanku?”
Uraian si kakek benar-benar tepat mengenai isi Ting Tong. Tapi
kalau dia mengaku terus terang tentu sang kakek akan gusar.
Sebab ia tahu sang kakek adalah tokoh yang disegani, ditakuti,
dihormati, tapi juga dijauhi oleh setiap orang Bu-lim lantaran
kejahatannya yang merontokkan nyali siapa saja yang
mendengarnya.
Tapi orang tua itu ingin bersikap ramah dan suka padanya, asal
orang memperlihatkan tanda takut atau muak padanya, orang
itu tentu akan segera dibunuh olehnya.
Begitulah Ting Tong menjadi serbasusah. Kalau berdusta tentu
akan makin membikin gusar sang kakek dan membikin urusan
menjadi runyam. Tapi kalau mengatakan terus terang nama
dan asal usul sang kakek sehingga benar-benar menakutkan
kekasihnya, lalu melarikan diri dan tak mau berkumpul lagi
dengan dirinya, lantas bagaimana. Ia khawatir dalam gusarnya
sang kakek akan membinasakan sang kekasih, tapi ia pun
khawatir sang kekasih akan meninggalkannya, jika demikian
tentu ia pun tak bisa hidup sendirian lagi.
Akhirnya dengan suara terputus-putus ia berkata, “Kakek aku
... aku ....”
“Hahaha! Kau khawatir kita dipandang rendah oleh orang lain

bukan?” demikian si kakek memotong. “Haha, Ting-lothau
sudah berumur selanjut ini, ternyata cucu perempuanku sendiri
sampai tidak berani menyebut nama kakeknya sendiri, bukan
saja tidak merasa bangga atas diri kakeknya, sebaliknya malah
merasa malu bagi sang kakek. Haha, sungguh lucu,
hahahahaha!”
Ting Tong insaf bahaya sedang mengancam. Ia tahu sang
kakek sangat mementingkan arak “Hian-peng-pek-hwe-ciu,”
agaknya arak mestika itu menyangkut sesuatu urusan yang
menentukan mati atau hidupnya di kemudian hari. Sekarang
dirinya telah mencuri arak itu untuk menolong jiwa sang
kekasih, tapi selama ini tidak berani menyebut nama kakeknya.
Sekarang orang tua itu bergelak tertawa sedemikian rupa,
terang rasa murkanya sudah mencapai puncaknya. Mau tak
mau Ting Tong harus menempuh segala risiko, dengan
menggigit bibir akhirnya ia berkata, “Engkoh Thian, kakekku
she Ting.”
“Ya, sudah tentu! Kau she Ting, dengan sendirinya kakekmu
juga she Ting,” sela Boh-thian.
“Nama beliau bagian depan Put dan bagian belakang Sam,
nama julukannya ialah ... ialah ... Ce-jit-put-ko-sam!” Ting
Tong menyambung pula dengan tak lancar. Ia menyangka
dengan tersebutnya nama julukan sang kakek itu tentu Ciok
Boh-thian akan terperanjat. Sebab itulah dengan hati kebatkebit
ia telah pandang pemuda itu dengan mata tak berkedip.
Tak terduga air muka Ciok Boh-thian tenang-tenang saja,
bahkan dengan tersenyum ia menjawab, “O, nama julukan
Yaya ternyata sangat enak didengar!”
Hati Ting Tong tergetar keras, sekali ia bergirang. Tapi ia masih
khawatir, segera ia menegas lagi, “Mengapa kau bilang sangat

enak didengar?”
“Aku pun tidak tahu sebabnya. Aku hanya merasa nama itu
enak didengar,” sahut Ciok Boh-thian.
Waktu Ting Tong melirik ke arah sang kakek dilihatnya orang
tua itu sedang mengelus jenggot dan tampak sangat senang.
Mendadak ia menepuk pula pundak Ciok Boh-thian, tapi sekali
ini adalah tepukan biasa tanpa tenaga dalam. Terdengar dia
berkata dengan manggut-manggut, “Orang hidup bisa
mendapatkan seorang teman sepaham, maka hidup ini tidaklah
tersia-sia lagi. Orang lain kalau mendengar nama julukanku,
kalau orang itu berjiwa rendah tentu akan segera memuji dan
menjilat padaku, bila orang itu bernyali kecil tentu akan
ketakutan setengah mati, ada juga beberapa orang gila yang
berani mencaci maki padaku. Hanya kau bocah ini sama sekali
tidak terpengaruh oleh nama julukanku, bahkan memuji
namaku enak didengar. Ehm, bagus, bagus! Untuk sikapmu ini
kakek ingin memberi sesuatu hadiah. Hadiah apa ya ... biarlah
kupikir sebentar dulu.” Lalu ia duduk berpeluk dengkul, sambil
termenung-menung memandangi sang dewi malam yang
menghias di tengah cakrawala.
Supaya diketahui bahwa “Ce-jit-put-ko-sam Ting Put-sam
adalah seorang gembong, suatu iblis yang memiliki ilmu silat
mahatinggi di dunia persilatan, sifatnya aneh dan kejam
sedikit-sedikit suka membunuh orang. Kendati peraturan yang
dia tetapkan sendiri menyatakan setiap orang yang dibunuhnya
takkan melampaui tiga orang, tapi cobalah hitung, kalau satu
hari tiga orang, sepuluh hari 30 orang dan 100 hari berarti 300
orang, maka selama berpuluh tahun ini entah sudah berapa
ribu orang yang telah menjadi korbannya, celakanya orangorang
yang telah dibunuhnya itu sering kali tidak sempat
melihat mukanya dan tahu-tahu sudah dibinasakan olehnya.

Misalnya kedua murid Swat-san-pay, yaitu Sun Ban-lian dan Cu
Ban-jing yang diceritakan di depan itu, mereka juga mati
konyol tanpa mengetahui siapa pembunuhnya.
Beberapa tahun yang lalu dia masih merahasiakan jejaknya,
sehabis membunuh orang juga tidak pernah meninggalkan
nama sehingga Bu-lim jarang yang kenal namanya. Tapi paling
akhirnya ini mendadak ia sengaja menyiarkan namanya secara
luas, cuma saja orang yang pernah melihat mukanya dan dapat
tetap hidup jumlahnya adalah sangat sedikit.
Bagi Ciok Boh-thian yang sama sekali tidak tahu seluk-beluk
urusan Kangouw, biarpun nama Ting Put-sam itu lebih tersohor
lagi juga tiada arti baginya. Tapi dalam pandangan Ting Putsam
sekarang, pemuda yang tidak jeri dan menjilat padanya ini
adalah luar biasa, terutama dengan perasaan yang tulus dan
jujur pemuda itu telah menyatakan rasa mesranya ketika
mendengar nama julukan orang tua itu.
Sebagai seorang tua yang berusia lebih dari 60 tahun, sudah
tentu Ting Put-sam sangat kenal watak manusia, setiap sikap
manusia yang rendah dan palsu tentu susah mengelabui
matanya. Di dunia ini selain cucu perempuan kesayangannya
itu boleh dikata tiada orang kedua yang benar suka dan
mencintainya, sekarang pemuda itu ternyata juga sedemikian
baik padanya sudah tentu hal ini sangat menyenangkan
hatinya.
Begitulah, sesudah termenung-menung memandangi rembulan,
akhirnya orang tua itu berkata, “Kakek mempunyai tiga macam
pusaka. Yang pertama adalah ‘Hiang-peng-pek-hwe-ciu’ yang
telah kau minum itu, tapi arak ini hanya sebagai pinjaman saja,
kelak kau bayar kembali, maka tak bisa dianggap sebagai
pemberian. Pusaka kedua adalah ilmu silat yang dimiliki kakek,
kalau kau dapat mempelajarinya tentu akan sangat besar

manfaatnya. Tentang pusaka ketiga bukan lain adalah cucu
perempuanku si A Tong ini. Di antara dua pusaka ini hanya
dapat kuberikan satu saja. Nah Kau-cap-ceng, kau ingin belajar
ilmu silat atau ingin mengambil si A Tong saja?”
Seketika Ting Tong dan Ciok Boh-thian melengak oleh karena
pertanyaan itu.
Hati Ting Tong berdebar-debar dengan hebatnya. Pikirnya,
“Ilmu silat kakek boleh dikata tiada bandingannya di dunia ini,
walaupun kepandaian Engkoh Thian juga tidak lemah, tapi
kalau dibandingkan kakek sudah tentu bedanya terlalu jauh.
Kalau dia dapat mempelajari ilmu silat andalan kakek,
selanjutnya namanya tentu akan lebih disegani dan dapat
malang melintang di dunia Kangouw. Dia adalah Pangcu dari
Tiang-lok-pang, kabarnya Pang mereka sedang menghadapi
kesulitan yang sukar diselesaikan, jika bisa mendapatkan ilmu
silat kakek tentu akan besar bantuannya bagi kesulitannya itu.
Sebagai seorang lelaki, seorang kesatria, tentu lebih
mengutamakan ilmu silat daripada soal asmara.”
Ia coba melirik Ciok Boh-thian, dilihatnya pemuda itu merasa
bingung, terang sedang serbasulit mengambil keputusan.
Diam-diam hati Ting Tong mencelus.
Ia tahu tabiat sang kekasih yang romantis, selama hidup entah
sudah berapa banyak wanita yang telah disukainya. Selama
setengah tahun terakhir ini walaupun memperlihatkan tanda
cinta padanya, tapi dalam hati pemuda itu seorang Ting Tong
mungkin hanya seperti awan saja yang sebentar sudah akan
buyar tertiup angin. Apalagi kakek mempunyai nama buruk di
dunia persilatan, meski nama Ciok Boh-thian dan Tiang-lokpang
mereka juga tidak begitu harum tapi toh tidak sejahat
kakek yang telah membunuh orang tak terhitung jumlahnya.
Dan kalau dia sudah tahu asal usulku masakah dia sudi

mengambil aku sebagai istrinya? Demikianlah pikiran Ting Tong
bergolak, air mata pun berlinang-linang.
Dalam pada itu Ting Put-sam sudah lantas mendesak, “Hayo,
lekas katakan, lekas! Pendeknya kau jangan coba main gila
bahwa sekarang kau ingin belajar ilmu silat lebih dulu
kemudian akan dapat memperistrikan A Tong pula, atau
sekarang minta A Tong, lalu secara diam-diam ingin belajar
ilmu silatku. Biarlah kukatakan padamu, di dunia ini tiada
seorang pun yang bisa main gila pada Ting Put-sam. Kau hanya
boleh pilih satu di antara dua, kalau tidak jiwamu tentu akan
melayang. Nah, lekas katakan, lekas!”
“Yaya, engkau dan Ting-ting Tong-tong telah salah mengenali
orang, aku ... aku bukan ....”
“Aku tidak peduli kau ini siapa, apakah kau anak anjing, anak
setan atau anak kura-kura, semua aku tak peduli,” demikian
Ting Put-sam memotong sebelum Ciok Boh-thian menerangkan
lebih lanjut. “Aku pun tidak peduli apakah A Tong suka padamu
atau tidak. Yang terang adalah karena Ting Put-sam telah
penujui kau, dan sekali Ting Put-sam sudah penujui kau maka
kau harus memilih satu di antara dua pusaka yang kusebut
tadi.”
Ciok Boh-thian menjadi serbasalah, ia pandang si kakek dan
pandang pula si anak dara. Pikirnya, “Ting-ting Tong-tong ini
telah salah menganggap diriku sebagai dia punya Engkoh
Thian, sedangkan itu Engkoh Thian yang tulen tidak lama lagi
tentu akan kembali, bukanlah dalam hal ini aku telah menipu si
Ting Tong dan memalsukan Engkoh Thian itu pula? Sebaliknya
kalau aku menyatakan tidak mau si Ting Tong dan pilih belajar
ilmu silat saja, hal ini tentu akan melukai hati si Ting Tong. Ah,
lebih baik tidak mau dua-duanya saja.”

Maka ia lantas menggeleng kepala dan berkata, “Yaya, aku
telah minum kau punya Hian-peng-pek-hwe-ciu dan seketika
tak dapat kubayar kembali padamu, maka bolehlah dianggap
sebagai salah satu pusaka pemberianmu saja.”
“Tidak, tidak boleh jadi,” sahut Ting Put-sam dengan muka
masam. “Sudah kukatakan tadi Hian-peng-pek-hwe-ciu itu
hanya dipinjamkan saja dan kelak harus kau bayar kembali.
Biar kau hendak mengangkangi juga tak bisa. Nah, kau sudah
pilih dengan baik belum? Ingin ambil A Tong atau pilih ilmu
silat?”
Ciok Boh-thian memandang sekejap ke arah Ting Tong,
kebetulan anak dara itu pun sedang melirik padanya. Sinar
mata kedua orang terbentur, cepat keduanya melengos lagi.
Wajah Ting Tong tampak pucat, air matanya berlinang-linang,
kalau menuruti adatnya, kalau dia tidak lantas menjewer
telinga Ciok Boh-thian, tentu akan ditinggal pergi dengan
marah-marah. Tapi di hadapan sang kakek sekarang sedikit
pun ia tidak berani main garang, sudah tentu perasaannya
sangat tertekan.
Sekilas melihat air mata Ting Tong yang berlinang-linang itu,
hati Ciok Boh-thian menjadi tidak tega. Segera ia berkata
dengan suara halus, “Ting Ting Tong Tong, dengarkanlah
keteranganku ini, kau sesungguhnya telah salah mengenal
diriku. Jika aku benar-benar adalah kau punya Engkoh Thian
masakah aku masih ragu-ragu untuk memilihnya? Sudah tentu
aku akan memilih dirimu dan tidak sudi pilih ilmu silat segala.”
Air mata Ting Tong masih bercucuran, namun mulutnya sudah
mengulum senyum, katanya, “Kau bukan Engkoh Thian? Habis
di dunia ini apakah masih ada Engkoh Thian yang kedua?”

“Ya, boleh jadi mukaku agak mirip dengan Engkoh Thian-mu
itu,” ujar Boh-thian.
“Kau masih tidak mengaku?” Ting Tong menegas dengan
tertawa. “Baiklah, ingin kutanya padamu sekarang. Pada
permulaan tahun ini, waktu kita baru mulai kenal, secara kasar
kau telah pegang tanganku, maka kontan aku lantas pukul kau,
betul tidak?”
Boh-thian tidak menjawab, tapi dengan ketolol-tololan ia
pandang si anak dara dengan melenggong.
Wajah Ting Tong tampak mengunjuk rasa kurang senang lagi,
katanya pula, “Apakah kau benar-benar sudah melupakan
segala kejadian dahulu setelah menderita sakit payah atau
cuma pura-pura saja dan berlagak bodoh?”
Boh-thian garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal, sahutnya,
“Sudah terang kau telah salah mengenali diriku. Dari mana aku
tahu apa yang terjadi antara kau dengan Ciok-pangcu itu?”
“Hm, apakah kau kira dapat menyangkal lagi,” kata Ting Tong
pula, “Waktu itu kau telah pegang kedua tanganku, aku
menjadi kelabakan, lebih-lebih ketika dengan cengar-cengir
kau hendak ... hendak mencium aku. Cepat aku melengos dan
menggigit sekali di atas pundakmu sehingga darah bercucuran,
karena kesakitan barulah kau melepaskan aku. Sekarang boleh
coba bu ... buka bajumu, bukankah di atas pundak kirimu
masih ada bekas luka gigitan itu? Andaikan aku memang salah
mengenali orang, betapa pun bekas luka itu tak dapat kau
hapus.”
“Ya, kau tidak pernah menggigit aku, dengan sendirinya di atas
pundak tak ada bekas luka itu,” sambil berkata Boh-thian
lantas menyingkap bajunya sehingga kelihatan pundaknya, tapi

mendadak ia menjerit kaget, “He, sungguh aneh, mana bisa
jadi?”
Ternyata dengan terang dan gamblang ketiga orang dapat
melihat dengan jelas bahwa di atas pundak pemuda itu benarbenar
terdapat bekas luka gigitan. Bekas luka itu sudah
menjadi belang yang menonjol dan terang adalah gigitan mulut
orang.
“Nah, apa katamu sekarang? Apa kau berani menyangkal lagi?”
jengek Ting Put-sam.
“Biarlah kukatakan padamu, orang yang sering naik gunung
pada akhirnya tentu ketemu harimau. Kau suka main gila
akhirnya tentu kecantol salah satu wanita dan susah
melepaskan diri. Dalam hal demikian kakek juga pernah ditipu
orang di waktu masih muda. Sudahlah, jadi jelasnya yang kau
pilih adalah A Tong, bukan?”
Namun Ciok Boh-thian sedang terheran-heran, ia tidak ingat
bilakah pundaknya pernah digigit orang? Kalau melihat bekas
luka itu, terang gigitan itu sangat parah, luka sedemikian itu
masakah dapat dilupakan? Selama beberapa hari ini dia telah
banyak mengalami kejadian-kejadian aneh, untuk semua ini ia
dapat memecahkan persoalannya dengan alasan “salah
mengenali orang” dan hanya bekas luka gigitan inilah yang
benar-benar susah dimengerti.
Melihat pemuda itu termangu-mangu dan tidak menjawab
pertanyaannya, air mukanya tampak aneh sekali, diam-diam
Ting Put-sam mengira pemuda itu merasa malu dan tidak
berani mengaku terus terang isi hatinya. Maka ia lantas
berkata dengan tertawa, “Baiklah, A Tong, hayo, dayung
perahu dan pulang!”

Ting Tong terkejut dan bergirang pula, serunya, “Yaya, apa
engkau maksudkan membawa dia pulang ke rumah kita?”
“Dia adalah cucu menantuku, mengapa tidak membawanya
pulang?” sahut Ting Put-sam. “Jangan-jangan sedikit lena nanti
dia terus kabur, kan urusan bisa runyam dan ke mana muka
Ting Put-sam harus ditaruh?”
Dengan muka berseri-seri Ting Tong pelototi sekali pada Ciok
Boh-thian, mendadak mukanya menjadi merah, cepat dia
angkat galah dan menolak perahunya ke depan Sesudah
menyusuri kolong jembatan, perahu itu lantas meluncur
dengan lajunya.
“Ke rumahmu?” demikian mestinya Ciok Boh-thian ingin
bertanya. Tapi di dalam benaknya sesungguhnya terlalu
banyak tanda tanya, maka ucapan yang hampir dicetuskan itu
telah ditelannya kembali.
Di tengah malam yang sunyi perahu itu menyusur sungai di
bawah dahan-dahan pohon Yangliu yang lemas gemulai
menjulur ke tengah sungai sehingga terkadang mengeluarkan
suara gemeresik karena sentuhan badan perahu dengan
dahan-dahan itu. Sayup-sayup hidung Boh-thian mengendus
bau harum bunga, hampir ia tidak sadar lagi di mana ia berada.
Beberapa kali perahu itu menerobos kolong jembatan, jalanan
air itu pun berliku-liku. Agak lama juga akhirnya sampailah
mereka di tepi pekarangan rumah yang berundakan batu
bertingkat-tingkat dan menurun ke tepi sungai.
Ting Tong menambat perahunya di sebuah cagak kayu, ia
tersenyum kepada Ciok Boh-thian dan mendahului melompat
ke undak-undakan batu.

“Hari ini kau adalah tamu sanjungan kami, mari, mari!” kata
Ting Put-sam dengan tertawa.
Boh-thian tidak tahu cara bagaimana harus menjawab. Dengan
linglung ia ikut belakang Ting Tong menyusur sebuah jalan
batu yang rata, sesudah menembus sebuah pintu bundar lalu
melintasi sebuah taman bunga, kemudian mereka sampai di
sebuah gardu pemandangan.
“Silakan duduk, tamu sanjungan!” kata Ting Put-sam dengan
tertawa sesudah masuk ke dalam gardu itu.
Boh-thian tidak paham apa maksudnya “tamu sanjungan”,
karena disilakan duduk, maka ia pun berduduk. Ting Put-sam
sendiri lantas membawa cucu perempuannya meninggalkan
taman bunga dan masuk ke rumah di sebelah sana.
Saat itu sang dewi malam sudah mendoyong ke sebelah barat,
suasana sunyi senyap, angin meniup silir-silir. Sambil meraba
bekas luka di atas pundaknya Ciok Boh-thian merasa
serbabingung.
Agak lama kemudian terdengarlah suara orang mendatangi,
dua wanita setengah umur muncul di depan gardu itu, mereka
memberi hormat dan berkata dengan tersenyum, “Silakan Sinkoa-
lang (pengantin baru) berganti pakaian ke ruangan
dalam.”
Sudah tentu Ciok Boh-thian tidak paham apa maksud mereka,
ia menduga dirinya diundang ke ruangan dalam sana, maka ia
lantas ikut kedua wanita itu. Sesudah lewat di sebuah kolam
bunga teratai, menyusur pula sebuah serambi panjang,
akhirnya ia sampai di sebuah kamar samping. Di dalam kamar
sudah tersedia sebuah baskom besar dengan air hangat, di
samping tertaruh dua helai handuk.

“Silakan Sin-koa-lang mencuci badan,” demikian kata salah
seorang wanita tadi. “Kata Loyacu (tuan besar) waktunya
sudah sangat mendesak sehingga tidak sempat menyediakan
pakaian baru, terpaksa Sin-koa-lang diminta tetap
menggunakan pakaian sendiri yang terpakai sekarang ini.”
Lalu dengan mengikik tawa kedua wanita itu mengundurkan
diri sambil menutupkan pintu kamar.
Boh-thian bertambah bingung, pikirnya, “Sudah terang aku
bernama Kau-cap-ceng, mengapa sebentar aku dianggap
sebagai Ciok-pangcu, sebentar lagi berubah menjadi Engkoh
Thian, dan sekarang aku dipanggil sebagai ‘Sin-koa-lang’ apa
segala?”
Ia pikir toh sudah datang, tampaknya Ting Put-sam dan Ting
Tong juga tiada bermaksud jahat padanya, maka tanpa pikir
lagi segera ia mencuci badan dengan air hangat berbau harum
yang tersedia itu. Habis mandi, ia merasa semangatnya
menjadi segar.
Baru saja ia selesai berpakaian kembali, tiba-tiba terdengar
suara seorang lelaki berseru di luar pintu, “Silakan Sin-koalang
ke ruangan tengah untuk sembahyang Thian!”
Boh-thian terkejut. Ia paham tentang “sembahyang Thian”
berikutnya ia menjadi teringat juga tentang sebutan “Sin-koalang”
itu. Sewaktu kecil pernah ia mendengar cerita ibunya
tentang pengantin lelaki dan pengantin wanita bersembahyang
kepada Thian. Maka sesaat itu ia menjadi melengong saja.
Dalam pada itu lelaki di luar tadi sedang bertanya pula,
“Apakah Sin-koa-lang sudah selesai berpakaian?”

Terpaksa Boh-thian mengiakan. Lalu masuklah orang itu,
tampak bicara lagi lelaki itu lantas menyampirkan sehelai kain
merah di atas leher Ciok Boh-thian, sebuah bunga kain sutra
merah disematkan pula di dadanya. Lalu katanya, “Kionghi!
Kionghi!”
Segera ia gandeng tangan Boh-thian dan diajak keluar.
Dengan rasa bingung Boh-thian tahunya cuma ikut saja.
Setibanya di ruangan besar, tertampaklah delapan lilin besar
telah dinyalakan terletak di atas sebuah meja besar dengan
Toh-wi (tirai meja) merah bersulam indah yang terdapat di
tengah-tengah ruangan.
Kelihatan Ting Put-sam berdiri di sisi meja besar itu dengan
senyum berseri-seri. Dan begitu Ciok Boh-thian melangkah
masuk, serentak tiga orang lelaki di samping ruangan sana
lantas membunyikan seruling.
Lelaki yang menggandeng Boh-thian tadi lantas berseru,
“Silakan pengantin perempuan keluar!”
Maka terdengarlah suara kerincing-kerincing dan keriangkeriut,
dari belakang keluarlah kedua orang wanita pertama
tadi dengan memapah seorang gadis berbaju ungu mudah
berkerudung kain sutra merah. Dilihat bangun tubuhnya terang
itulah si Ting Tong.
Ketiga wanita itu lantas berdiri di sisi kiri Ciok Boh-thian.
Sayup-sayup pemuda itu mendengus bau harum yang
meresap. Hatinya menjadi bimbang, takut tapi juga girang.
“Menyembah kepada Thian (langit)!” seru pula lelaki tadi
selaku protokol.

Segera Boh-thian melihat Ting Tong berlutut ke arah meja dan
perlahan-lahan mulai menyembah.
Sudah tentu ia tidak tahu apa yang harus diperbuatnya.
Untunglah si lelaki tadi telah membisikinya, “Lekas berlutut dan
menyembah!”
Karena punggungnya didorong perlahan pula dari belakang,
terpaksa Boh-thian berlutut dan menyembah beberapa kali
secara ngawur. Melihat kelakuannya yang lucu itu, salah
seorang wanita pengiring pengantin perempuan itu sampai
tertawa geli.
“Menyembah kepada bumi!” si protokol berseru lagi.
Segera Boh-thian dan Ting Tong membalik tubuh dan
menyembah ke arah ruangan dalam.
“Menyembah kakek!” seru pula protokol.
Ting Put-sam lantas siap di tengah, lebih dulu Ting Tong
menyembah, dengan agak ragu-ragu Boh-thian juga
menyembah.
“Suami istri saling menyembah!” teriak si protokol.
Melihat si Ting Tong telah miringkan tubuh dan berlutut ke
arahnya, seketika otak Boh-thian berubah terang. Mendadak ia
berseru, “He, Ting-ting Tong-tong! He Yaya! Aku sungguhsungguh
bukan Ciok-Pangcu dan bukan kau punya Engkoh
Thian apa segala. Kalian telah salah mengenali diriku, kelak ...
kelak kalian jangan menyalahkan aku, lho!”
Ting Put-sam terbahak-bahak, katanya, “Anak dungu, dalam
keadaan begini masih bicara hal demikian? Tidak, tidak akan

menyalahkan kau!”
“He, Ting-ting Tong-tong! Kita harus bicara di muka, lho! Kita
sembahyang Thian ini hanya main-main saja atau sungguhan?”
seru Ciok Boh-thian pula.
Dari balik kerudung muka Ting Tong menjawab dengan
tertawa, “Sudah tentu sungguhan, urusan demikian masakah
... masakah boleh main-main?”
“Tapi ... tapi kau yang salah mengenali orang, aku ... aku tak
mau tanggung, lho! Jangan-jangan kelak kau menjadi
menyesal dan ... dan akan menjewer kupingku dan menggigit
pundakku lagi, ini ... ini tidak boleh, ya?”
Seketika para hadirin tercengang. Ting Tong juga mengikik
geli. Sahutnya dengan suara rendah, “Tidak, aku takkan
menyesal, asal kau selalu baik padaku, tentu aku takkan ...
takkan menjewer kau lagi.”
Sebaliknya Ting Put-sam lantas berseru, “Dijewer bini adalah
sesuatu yang lumrah, kenapa mesti digegerkan? Nah, Kau-capceng,
sudah sekian lamanya A Tong berlutut padamu mengapa
kau tidak lekas membalas hormat?”
“Ya, ya,” cepat Boh-thian menjawab. Dan segera ia pun
berlutut dan saling menyembah dengan Ting Tong.
Protokol lantas berteriak lagi, “Upacara selesai, silakan
sepasang pengantin baru masuk kamar. Semoga hidup
bahagia, panjang umur, keturunan subur!”
Seketika suara seruling berbunyi pula. Lalu sepasang pengantin
diiringkan ke dalam kamar baru. Kamar ini jauh lebih kecil
daripada kamar Ciok Boh-thian di markas Tiang-lok-pang itu,

perabotnya juga sederhana, hanya penerangan lilin lebih
semarak, di dalam kamar penuh pajangan-pajangan kain
merah dan benda-benda lain yang menambah suasana
bahagia.
Sesudah menundukkan Ting Tong dan Ciok Boh-thian di pinggir
ranjang, beberapa pengiring pengantin itu menuangkan dua
cawan arak dan ditaruh di atas meja, kata mereka bersama,
“Kionghi dan selamatlah sepasang pengantin baru, silakan
saling tukar minum secawan arak ini!”
Lalu dengan tertawa terkekeh-kekeh mereka mengundurkan
diri sambil merapatkan pintu kamar.
Hati Ciok Boh-thian menjadi berdebar-debar. Meskipun ia
masih hijau dan sama sekali tidak paham kehidupan manusia
umumnya, tapi ia pun insaf bahwa dengan upacara tadi, maka
dirinya dan si Ting Tong telah menjadi suami istri. Ia lihat Ting
Tong berduduk dengan diam saja di sebelahnya, kepalanya
masih berkerudung kain sutra merah.
Bab 13. Pek Ban-kiam Jago Swat-san-pay
Karena sampai sekian lamanya anak dara itu masih tidak
bergerak akhirnya Boh-thian bicara mengada-ada, “Eh, Tingting
Tong-tong, kau memakai kerudung itu, apakah tidak
merasa gerah?”
“Sudah tentu gerah sekali, hendaklah kau menyingkapnya
saja,” sahut Ting Tong dengan tertawa.
Maka dengan jari Ciok Boh-thian lantas memegang ujung kain
kerudung dan perlahan-lahan menyingkapnya.
Di bawah cahaya lilin tertampaklah wajah si Ting Tong yang

cantik molek. Girang dan berdebar-debar hati Ciok Boh-thian,
dengan mata tak berkedip ia memandangi nona itu, katanya,
“Kau ... kau sungguh cantik.”
Ting Tong tersenyum manis, pipi kirinya kelihatan sebuah dekik
kecil, perlahan-lahan ia menunduk dengan malu-malu.
Pada saat itulah mendadak terdengar suara Ting Put-sam di
luar kamar, kedengaran sedang berkata di tempat yang agak
tinggi, “Malam ini adalah malam pengantin cucu perempuanku
entah kawan dari manakah itu yang datang silakan turun
kemari sekadar minum secawan.”
Lalu di tempat yang tinggi sebelah sana ada orang menjawab,
“Pwe Hay-ciok, pengabdi Tiang-lok-pang, dengan jalan
menyampaikan salam hormat kepada Ting-samya, harap maaf
atas kelancangan kami membikin ribut ke sini malam-malam
begini.”
“O, kiranya Pwe-siansing yang telah datang,” bisik Ciok Bohthian
di dalam kamar.
Alis Ting Tong tampak terkerut, ia mendesis agar pemuda itu
jangan bicara.
Maka terdengarlah Ting Put-sam sedang bergelak tertawa,
katanya, “Eh, kukira kawan tukang gerayang dari mana, tak
tahunya adalah orang dari Tiang-lok-pang. Kalian ingin minum
arak pengantin atau tidak? Janganlah bergembar-gembor
sehingga mengganggu cucu perempuanku dan menantu cucuku
itu.”
Pwe Hay-ciok ternyata sangat sabar menghadapi ucapan yang
kasar itu, ia terbatuk beberapa kali, lalu berkata, “Kiranya hari
ini adalah hari nikah cucu perempuan Ting-samya, maafkan

kedatangan kami yang sembrono ini sehingga tiada membawa
kado apa-apa, lain hari tentu kami akan datang pula memberi
selamat dan minta minum arak pengantin. Sekarang Pang kami
sedang menghadapi sesuatu urusan genting dan harus bertemu
sendiri dengan Ciok-pangcu kami, maka mohon Ting-samya
sudi pertemukan kami kepada beliau, untuk mana sebelumnya
kami mengucapkan terima kasih. Sesungguhnya kalau tiada
urusan penting, biarpun nyali kami sebesar langit juga kami
tidak berani sembarangan menerobos ke tempat kediaman
Ting-samya ini.”
“Pwe-tayhu, kau juga seorang tokoh di dunia Kangouw dan
tidak perlu main sungkan-sungkan kepadaku,” sahut Ting Putsam.
“Apa yang kau sebut sebagai Ciok-pangcu adalah cucu
menantuku Kau-cap-ceng ini bukan? Tapi dia bilang kalian
telah salah mengenali dia, maka tidak ingin bertemu dengan
kalian.”
Orang-orang yang datang bersama Pwe Hay-ciok itu
seluruhnya adalah delapan jago utama Tiang-lok-pang. Demi
mendengar Ting Put-sam memaki Pangcu mereka sebagai
“Kau-cap-ceng” atau anak anjing, seketika beberapa orang di
antaranya mengeluarkan suara geraman, kalau bisa mereka
ingin melabrak orang she Ting itu.
Tapi Pwe Hay-ciok sendiri pernah mendengar Ciok Boh-thian
mengaku bernama Kau-cap-ceng, maka ia anggap apa yang
diucapkan Ting Put-sam itu tiada bermaksud menghina sang
Pangcu. Ia pun kenal tabiat sang pangcu yang bangor, boleh
dikata seorang bajul buntung, ke mana pun pergi suka main
perempuan, bermalam di tempat “Ca-bo-keng” (rumah
perempuan) adalah soal biasa baginya. Tapi sekarang
mendengar bahwa sang Pangcu telah diambil sebagai cucu
menantu oleh iblis tua Ting Put-sam, mau tak mau hati Pwe
Hay-ciok menjadi ragu-ragu dan khawatir. Ia pikir kejadian ini

tentu akan membawa akibat buruk di kemudian hari, lebih
celaka lagi kalau sampai bermusuhan dengan tokoh-tokoh
sebagai Ting Put-sam dan Ting Put-si bersaudara ini.
Maka ia lantas berkata, “Ting-samya, urusan Pang kami ini
sesungguhnya sangat genting dan harus segera dimintakan
petunjuk Pangcu. Dalam hal Pangcu kami suka bicara mainmain
atau berkelakar adalah lazim saja.”
Mendengar ucapan Pwe Hay-ciok itu, agaknya sangat khawatir
dan gelisah, Ciok Boh-thian menjadi teringat kepada
pertolongan dan perhatian tabib itu ketika dirinya dirangsang
oleh derita penyakit panas dingin tempo hari, maka ia menjadi
tidak tega membiarkan dia gelisah sedemikian rupa, segera ia
membuka jendela dan berseru, “Pwe-siansing, aku berada di
sini! Apa kalian mencari aku?”
Pwe Hay-ciok sangat girang, cepat jawabnya, “Ya, betul!
Siokhe ada urusan penting yang harus segera dilaporkan
kepada Pangcu.”
“Aku adalah Kau-cap-ceng dan bukan Pangcu kalian apa
segala,” ujar Boh-thian. “Jika kau ingin mencari diriku sih
memang sudah ketemu, tapi bila ingin mencari Pangcu, terang
kau telah keliru alamat.”
Pwe Hay-ciok menjadi serbasusah, tapi lantas dijawabnya, “Ah,
Pangcu suka bergurau lagi. Silakan Pangcu suka keluar
sebentar agar kita bisa bicara lebih jelas.”
“Kau minta aku keluar?” Boh-thian menegas.
“Ya, Pangcu,” sahut Pwe Hay-ciok.
Tiba-tiba Ting Tong telah tarik-tarik lengan baju Ciok Boh-thian

dan membisikinya, “Engkoh Thian, janganlah keluar!”
“Biar aku bicara sebentar saja dengan dia, segera aku akan
kembali,” sahut si pemuda. Lalu ia melompat keluar melalui
jendela.
Maka tertampaklah di atas pagar tembok pekarangan sebelah
barat berdiri Pwe Hay-ciok, di atas wuwungan di belakangnya
terdapat pula beberapa orang lagi. Sebaliknya di atas dahan
pohon besar yang berada di sebelah timur pekarangan itu
berduduk satu orang, ialah Ting Put-sam.
“Pwe-tayhu, kau ingin bicara dengan cucu menantuku, aku ikut
mendengarkan, boleh tidak?” tiba-tiba Ting Put-sam bertanya.
Tentu saja Pwe Hay-ciok susah menjawab. Padahal Ting Putsam
sendiri sebagai seorang angkatan tua harus tahu
peraturan Kangouw, urusan penting dan rahasia golongan lain
adalah tidak pantas orang lain ikut-ikut mendengarkan, nyata
tingkah laku iblis ini memang aneh sebagaimana disohorkan
oleh orang Kangouw, demikian pikir Pwe Hay-ciok. Kemudian ia
menjawab, “Urusan ini Cayhe tidak berani menjawab, Pangcu
sendiri berada di sini, segala apa sudah seharusnya diputuskan
oleh beliau.”
“Bagus, bagus! Segala urusan telah kau timpakan kepada cucu
menantuku,” kata Ting Put-sam. “Hai, Kau-cap-ceng, Pwetayhu
ingin bicara dengan kau aku pun ingin ikut
mendengarkan.”
“Apa halangannya jika Yaya ingin ikut mendengarkan,” sahut
Ciok Boh-thian.
“Hahaha! Bagus, bagus! Anak baik, cucu berbakti!” seru Ting
Put-sam dengan tertawa. “Nah Pwe-tayhu, kalau ingin bicara

lekaslah mulai. Maklum, waktu sangat berharga, apalagi, di
malam pengantin cucu perempuanku ini kau sengaja datang
membikin kacau, benar-benar runyam.”
Sama sekali Pwe Hay-ciok tidak menduga Ciok Boh-thian akan
mengizinkan permintaan Ting Put-sam tadi, tapi apa daya
hanya dalam hati saja ia merasa kurang senang. Lalu ia mulai
berkata, “Pangcu, di markas telah mendapat kunjungan tamu
dari Swat-san-pay.”
“Swat-san-pay?” Boh-thian manggut-manggut. “Apa barangkali
nona Hoa Ban-ci dan kawan-kawannya?”
Banyak sekali golongan dan aliran di dunia persilatan, tapi yang
dikenal Ciok Boh-thian hanya Swat-san-pay saja dan di antara
orang-orang Swat-san-pay itu hanya dikenalnya Hoa Ban-ci
seorang, sebab itulah ia lantas menyebut namanya.
“Nona Hoa juga terdapat di antara tamu-tamu itu,” sahut Pwe
Hay-ciok. “Selain itu masih ada pula beberapa orang di bawah
pimpinan ‘Gi-han-se-pak’ Pek ....” sampai di sini ia lantas
berhenti dan dengan penuh perhatian ia memandang air muka
sang Pangcu.
Di bawah cahaya bulan dapat dilihat jelas ketika mendengar
sebutan “Gi-han-se-pak”, sama sekali air muka Ciok Boh-thian
tiada reaksi apa-apa. Maka lega dan tenteramlah hati Hay-ciok.
Dari sikap sang Pangcu yang tenang-tenang itu, ia yakin sang
Pangcu tentu sudah mempunyai kepandaian yang lebih unggul
untuk menghadapi orang-orang Swat-san-pay, dan apa yang
dituduhkan pihak lawan itu hanya omong kosong belaka.
Maka ia lantas menyambung pula, “Tampaknya orang-orang
Swat-san-pay yang datang itu adalah jago-jago pilihan semua.”

“Sekalipun si tua bangka Pek Cu-cay yang datang sendiri juga
bisa apa?” tiba-tiba Ting Put-sam menyela. “Pwe-tayhu,
kabarnya kau punya ‘Ngo-heng-liok-hap-ciang’ sangat lihai,
mengapa kedatangan seorang bocah seperti Pek Ban-kiam saja
kau sudah gugup?”
Mendengar orang memuji pukulannya, mau tak mau Pwe Hayciok
menjadi senang. Dengan tersenyum ia menjawab, “Sedikit
kepandaianku ini masakah ada harganya untuk disebut-sebut.
Tiang-lok-pang kami meski suatu organisasi kecil juga tidak
pernah takut kepada golongan dan aliran mana pun juga di
dunia persilatan ini. Soalnya selama ini kami toh tiada
percekcokan apa-apa dengan Swat-san-pay, tapi kedatangan
Gi-han-se-pak ini tampaknya sangat garang dan ingin segera
bertemu dengan Pangcu, kami minta dia suka menunggu
sampai besok juga telah ditolak, maka teranglah dalam urusan
ini ada sesuatu hal yang agak luar biasa, dan kami perlu minta
petunjuk kepada Pangcu.”
“Kemarin nona Hoa itu telah ditawan oleh Tan-hiangcu dan pagi
tadi dia telah kita lepaskan,” demikian kata Boh-thian. “Apa
barangkali orang-orang Swat-san-pay itu marah-marah karena
kejadian ini?”
“Mungkin ada sedikit hubungan dengan kejadian itu,” sahut
Pwe Hay-ciok. “Tapi Siokhe sudah minta keterangan kepada
Tan-hiangcu, katanya Pangcu bersikap sangat ramah kepada
nona Hoa, bahkan seujung rambutnya juga tak disentuh,
kesalahannya berani kasak-kusuk ke dalam markas kita juga
tak diusut, hal ini boleh dikata telah memberi muka kepada
orang-orang Swat-san-pay. Kalau melihat sikap Gi-han-se-pak
yang garang itu, agaknya kedatangan mereka adalah untuk
urusan lain.”

“Habis apa yang kau kehendaki dariku?” tanya Boh-thian.
“Itulah terserah kepada perintah Pangcu,” sahut Pwe Hay-ciok.
“Jika Pangcu ingin cara halus, maka kami akan segera kembali
dan memberi sedikit petuah kepada mereka. Sebaliknya kalau
Pangcu bilang pakai kekerasan, maka kita lantas hajar mereka
hingga kocar-kacir agar mereka kapok dan tidak berani
sembarangan main gila dengan Tiang-lok-pang. Atau boleh
juga Pangcu sendiri coba melihat-lihat ke sana dan bertindak
menurut gelagat, jalan ini pun baik juga.”
Berada sendirian di dalam kamar bersama Ting Tong tadi
memangnya Ciok Boh-thian lagi merasa bingung, ia tidak tahu
apa yang harus diperbuatnya sesudah masuk di dalam kamar
pengantin itu. Ia merasa dirinya bukanlah Ciok-pangcu tulen,
tentang pengantinan itu akibatnya kelak tentu akan membikin
susah, untung Pwe Hay-ciok sekarang datang, kesempatan ini
dapat dibuat alasan untuk meloloskan diri. Maka ia lantas
berkata, “Jika demikian, baiklah aku akan pulang untuk
melihatnya, mungkin ada salah paham di pihak mereka dan
aku akan bicara secara terus terang kepada mereka,” lalu ia
berpaling dan berkata pula, “Yaya, Ting-ting Tong-tong! Aku
akan pergi dulu, ya!”
Ting Put-sam garuk-garuk kepala, katanya, “Wah, cara,
demikian kurang baik. Kalau bocah-bocah kaum Swat-san-pay
itu yang datang mengacau, biarlah aku saja yang pergi
membereskan mereka. Toh aku memang sudah pernah
membunuh dua orang murid mereka dan memang sudah
mengikat permusuhan dengan si tua bangka she Pek,
bagaimana kalau sekarang harus aku membunuh lagi beberapa
orang mereka, maka utang piutang ini akan sama saja cara
memperhitungkannya kelak.”
Tentang terbunuhnya Sun Ban-lian dan Cu Ban-jing oleh Ting

Put-sam, karena hal ini menyangkut kehormatan Swat-sanpay,
maka telah dirahasiakan, kecuali Ciok Jing suami istri
yang telah diberi tahu.
Pwe Hay-ciok sendiri merasa tidak enak kalau Ting Put-sam
ikut campur dalam urusan ini sehingga akan makin
mempertajam pertentangan dengan Swat-san-pay yang luas
pengaruhnya di dunia persilatan itu. Maka ia lantas berkata,
“Jika Pangcu sendiri ingin pulang untuk menemui orang Swatsan-
pay, sudah tentu jalan ini adalah paling baik. Dari itu
urusan kecil Pang kami ini tidak perlu sampai membikin urusan
ini tentu akan berkunjung lagi kemari.”
Sama sekali Pwe Hay-ciok tidak menyinggung tentang arak
pengantin segala, sebab ia berharap sesudah pulang di markas
Tiang-lok-pang nanti akan dapat membujuk sang Pangcu agar
membatalkan maksudnya berbesanan dengan keluarga Ting
itu.
Tak terduga Ting Put sam lantas berkata, “Ngaco-belo, kalau
aku sudah mengatakan akan pergi, maka sudah pasti aku akan
pergi. Pendek kata urusan Tiang-lok-pang ini, aku Ting-losam
sudah pasti akan ikut campur.”
Setelah mengikuti percakapan di luar itu, Ting Tong menduga
sebabnya orang-orang Swat-san-pay mendatangi markas
Tiang-lok-pang tentu adalah gara-gara perbuatan kekasihnya
yang bersifat bajul buntung ini, mungkin karena Hoa Ban-ci
dari Swat-san-pay itu bermuka cantik, maka telah diganggunya
dan bukan mustahil sudah dipaksa secara kasar. Padahal saat
ini adalah malam pengantin baru mereka, tapi Ciok Boh-thian
ternyata hendak pulang untuk menemui Hoa Ban-ci tanpa
memedulikan dirinya, keruan Ting Tong sangat mendongkol.
Maka tanpa pikir lagi segera ia melompat ke luar dan berseru,
“Yaya, jikalau Engkoh Thian ada urusan penting dan harus

pulang segera, walaupun berat juga terpaksa kita tak dapat
merintanginya. Biar begini saja, kita kakek dan cucu berdua
juga ikut Engkoh Thian ke sana untuk melihat tokoh-tokoh
macam apakah dari Swat-san-pay yang datang itu.”
Meski Ciok Boh-thian ingin menghindari kesukaran di dalam
kamar pengantin, tapi sesungguhnya ia pun merasa berat
untuk berpisah dengan Ting Tong, kini mendengar nona itu
mau ikut pulang padanya, ia menjadi girang dan segera
menanggapi, “Bagus, bagus! Ting-ting Tong-tong, marilah kita
berangkat. Yaya, marilah engkau pun ikut.”
Sekali sang Pangcu sudah berkata demikian, terpaksa Pwe
Hay-ciok tak dapat bicara lain lagi. Beramai-ramai mereka
lantas menuju ke tepi sungai dan naik ke atas perahu besar
milik orang-orang Tiang-lok-pang dan segera mereka berlayar
pulang ke markas.
Diam-diam Pwe Hay-ciok mengisiki Ciok Boh-thian, “Pangcu,
hendaklah kau minta kepada Ting-samya agar jangan ikut
turun tangan dan membunuh orang Swat-san-pay, tiada
gunanya banyak mengikat permusuhan, sedapat mungkin kita
harus menyelesaikan setiap persoalan secara damai.”
“Benar, tanpa sebab mana boleh sembarang membunuh orang,
kan orang jahat namanya jika suka membunuh orang?” sahut
Boh-thian.
Pwe Hay-ciok sampai melongo sendiri mendengar jawaban Ciok
Boh-thian itu. Katanya di dalam hati, “Kau sendiri mengapa
mendadak bicara seperti seorang mahaalim? Sungguh aneh!”
Setiba di markas Tiang-lok-pang, segera Ting Tong berkata,
“Engkoh Thian, biar aku mengganti pakaian kaum lelaki ke
kamarmu, lalu ikut bersama kau untuk menemui nona Hoa

yang cantik molek itu.”
Sebagai pemuda yang masih hijau, Ciok Boh-thian merasa
tertarik akan permainan si Ting Tong itu, jawabnya dengan
tertawa, “Untuk apa kau menggunakan pakaian lelaki?”
“Aku tidak ingin diketahui sebagai istrimu agar nanti dapat
lebih bebas bicara,” kata Ting Tong tertawa.
“Baiklah, mari kuantar kau ke kamarku,” sahut Boh-thian.
Mendadak Ting Put-sam juga berkata, “Biar aku pun ikut
menyamar saja. Pwe-tayhu, apakah boleh aku menyaru
sebagai anak buahmu?”
Memangnya Pwe Hay-ciok tidak ingin diketahui oleh orang
Swat-san-pay tentang beradanya Ting Put-sam di dalam Tianglok-
pang, maka kesediaan Ting Put-sam untuk menyamar itu
menjadi kebetulan baginya. Segera ia menjawab dengan
senang, “Apa yang Ting-samya kehendaki, boleh silakan saja.”
Begitulah Ciok Boh-thian lantas membawa Ting Put-sam dan
Ting Tong ke kamarnya. Waktu itu Si Kiam masih mendengkur
dengan nyenyaknya. Ketika mendengar suara pintu terbuka, ia
lantas terjaga bangun. Ia menjadi terheran-heran ketika
melihat Ting Tong dan kakeknya.
Boh-thian merasa susah untuk menjelaskan apa yang sudah
terjadi, hanya dikatakannya, “Enci Si Kiam, mereka ini hendak
menyamar, boleh ... boleh kau membantu mereka seperlunya.”
Dan karena khawatir ditanya oleh Si Kiam, maka cepat ia
keluar lagi dari kamar dan menunggu di ruangan luar.
Tidak terlalu lama, datanglah Tan Tiong-ci dan memberi lapor,

“Pangcu, para saudara sudah siap menantikan kedatangan
Pangcu ke ruangan Hou-beng-tong.”
Pada saat itulah tampak Ting Tong juga telah muncul sambil
berseru, “Baiklah, kita boleh segera pergi bersama.”
Mendadak Boh-thian melihat di depannya telah bertambah
seorang pemuda dengan dandanan yang serbaindah. Ternyata
Ting Tong telah memakai baju panjang warna hijau, pakai ikat
kepala kaum pelajar, tangannya membawa kipas lempit.
Sebaliknya Ting Put-sam telah mengganti pakaian yang kasar
berlengan pendek, mukanya sengaja dipoles hitam, memakai
sepatu butut, pundak miring sebelah, jalannya dibikin pincang,
kelakuannya sangat lucu.
Hampir-hampir Ciok Boh-thian tidak kenal lagi pada orang tua
itu, selang sejenak barulah ia berseru dengan terbahak-bahak,
“Yaya, kau sama sekali telah berubah rupa.”
Kemudian Tan Tiong-ci bertanya kepada Boh-thian, “Pangcu,
apakah kita perlu membawa senjata?”
“Membawa senjata?” sahut Boh-thian dengan mata terbelalak
lebar. “Untuk apa membawa senjata?”
Tiong-ci menyangka arti jawaban Boh-thian itu adalah
kebalikannya, maka ia hanya mengiakan saja dan segera
mendahului berjalan di depan dan membawa mereka ke ruang
Hou-beng-tong (ruang harimau buas).
Di ruangan itu sudah menunggu beberapa puluh orang, ketika
melihat kedatangan Ciok Boh-thian, serentak mereka berdiri
dan memberi hormat.

Sama sekali Boh-thian tidak menyangka ruangan itu
sedemikian besarnya serta sedemikian banyak orang yang
berada di situ. Ia terkejut, lebih-lebih ketika orang-orang itu
serentak memberi hormat, keruan ia menjadi bingung dan
entah cara bagaimana harus bicara. Untuk sekian lamanya ia
tertegun di ambang pintu.
Ia lihat meja-meja yang terletak di sekeliling ruangan itu
semuanya terdapat lilin besar yang memancarkan cahaya yang
terang, beberapa puluh orang lelaki berbaris di kanan-kiri, di
tengah-tengah ruangan tersedia sebuah kursi besar berlapis
kulit harimau yang loreng. Keangkeran ruangan besar itu
seketika membikin pemuda gunung yang masih hijau itu
tercengang bingung. Terpaksa ia memandang ke arah Pwe
Hay-ciok yang juga terdapat di antara orang-orang yang
menantikan kedatangannya itu, ia sangat mengharapkan
nasihat Pwe Hay-ciok akan bagaimana harus diperbuatnya.
Syukurlah Pwe Hay-ciok lantas menyambut ke hadapannya dan
berbisik padanya, “Pangcu, marilah kita ambil tempat duduk
dulu, habis itu barulah sahabat dari Swat-san-pay itu diundang
masuk kemari.”
Dalam keadaan demikian sudah tentu Ciok Boh-thian
menurutkan saja segala petunjuk Pwe Hay-ciok. Di bawah
iringan Pwe-tayhu, segera Boh-thian mendekati kursi besar
berlapis kulit harimau itu dengan sangsi.
“Silakan Pangcu duduk saja,” Pwe Hay-ciok membisikinya.
“Aku ... aku duduk di sini?” Boh-thian menegas dengan
bingung, sungguh ia merasa takut, tanpa merasa sorot
matanya tertuju ke arah Ting Tong, ia berharap paling baik
kalau nona itu lantas menyeretnya melarikan diri keluar dari
ruangan itu dan kabur sejauh mungkin ke tempat yang sunyi.

Tapi Ting Tong hanya membalas dengan tersenyum saja
dengan maksud memberi dorongan padanya.
Melihat sinar mata si nona yang mesra itu Boh-thian merasa
nona itu seperti sedang menganjurkannya agar jangan takut
dan siap membantunya jika ada kesukaran apa-apa. Sekarang
semangat Boh-thian terbangkit, hatinya menjadi tabah, ia
merasa terima kasih dan lega. Maka tanpa ragu-ragu lagi ia
lantas duduk di atas kursi berkulit harimau itu.
Sesudah Boh-thian berduduk, lalu Ting Put-sam dan Ting Tong
berdiri di belakang kursi besar itu. Segera para hadirin juga
lantas mengambil tempat duduknya sendiri-sendiri menurut
urutan dan kedudukan masing-masing.
Kemudian Pwe Hay-ciok mulai membuka suara, “Saudarasaudara
yang terhormat. Selama ini Pangcu telah jatuh sakit
parah sekali, untunglah kini kesehatan beliau telah sembuh
kembali walaupun semangatnya belum lagi pulih seluruhnya.
Seharusnya Pangcu masih perlu istirahat untuk beberapa hari
lamanya barulah dapat bekerja seperti biasa. Tak terduga-duga
sobat-sobat dari Swat-san-pay bersitegang harus bertemu
dengan Pangcu, seakan-akan kalau Pangcu tidak menemui
mereka, maka menandakan sakitnya Pangcu sudah tak bisa
disembuhkan lagi. Hehe, masakah dengan Lwekang mahatinggi
yang dimiliki Pangcu bisa terganggu oleh penyakit yang tiada
artinya? Pangcu, apakah sekarang juga kita undang saja sobatsobat
dari Swat-san-pay itu masuk ke sini?”
Boh-thian mendengus sekali, ia tidak tahu apa mesti
menyatakan baik atau tidak baik.
Tapi Pwe Hay-ciok lantas memerintahkan orang-orang Tianglok-
pang mengatur tempat duduk mereka semua berduduk di

sebelah timur, sembilan buah kursi di sebelah barat
dikosongkan untuk para tamu.
Lalu Pwe Hay-ciok berseru, “Bi-hiangcu, boleh silakan para
tamu masuk untuk bertemu dengan Pangcu.”
Bi Heng-ya mengiakan dan segera melangkah keluar. Tidak
lama kemudian terdengarlah suara tindakan orang di luar.
Pintu ruangan terbuka Bi Heng-ya muncul dan berdiri di sisi
pintu dan berseru, “Lapor Pangcu, para sobat dari Swat-sanpay
telah tiba!”
“Marilah kita keluar menyambutnya,” Pwe Hay-ciok mengisiki
Ciok Boh-thian dan perlahan-lahan menarik lengan bajunya.
“Menyambut?” Boh-thian menegas dengan ragu-ragu,
perlahan-lahan ia berbangkit dan ikut Pwe Hay-ciok menuju
keluar ruangan.
Tepat pada saat itu juga kesembilan jago Swat-san-pay telah
melangkah masuk, mereka semuanya memakai baju panjang
warna putih, orang yang berjalan paling depan bertubuh sangat
tinggi, berumur antara 42-43 tahun, mukanya kereng, ketika
dua-tiga meter berhadapan dengan Ciok Boh-thian mendadak
ia berdiri tegak, sorot matanya menatap tajam kepada Bohthian.
Tapi Boh-thian membalasnya dengan tersenyum ketolol-tololan
sebagai tanda sambutan.
Lalu Pwe Hay-ciok berkata, “Pangcu, saudara ini adalah ‘Gihan-
se-pak’ (perbawa menggigilkan seluruh barat laut) Pek
Ban-kiam, Pek-toako yang namanya disegani dan ilmu
pedangnya tiada bandingannya di Bu-lim.”

Boh-thian hanya manggut-manggut saja dan kembali
tersenyum ketolol-tololan. Karena dia hanya kenal Hoa Ban-ci
seorang saja yang ikut di belakang Pek Ban-kiam itu, maka ia
lantas berkata dengan tertawa, “Nona Hoa, kau telah datang
lagi,”
Air muka kesembilan jago Swat-san-pay berubah seketika demi
mendengar teguran itu.
Pek Ban-kiam adalah putra sulung Wi-tek Sian-sing Pek Cucay,
itu Ciangbunjin atau ketua Swat-san-pay. Nama seluruh
saudara perguruan mereka memakai huruf “Ban” (laksa)
semua, dia bernama “Ban-kiam” (selaksa pedang), maka dapat
dibayangkan ilmu pedangnya tentu lain daripada yang lain.
Dalam Swat-san-pay nama Pek Ban-kiam sejajar dengan Honghwe-
sin-liong Hong Ban-li, orang Kangouw menjuluki mereka
sebagai “Swat-san-siang-kiat” (dua jago dari Swat-san). Coba
kalau bukan Pek Ban-kiam sendiri yang datang, tentu Pwe Hayciok
tidak perlu malam-malam datang ke rumah Ting Put-sam
untuk mencari Ciok Boh-thian. Dan kalau tokoh terkemuka
sebagai Pwe Hay-ciok juga sedemikian hormat dan segan
padanya, sebaliknya seorang Pangcu yang masih muda belia
ternyata acuh tak acuh kepadanya, sudah tentu Pek Ban-kiam
sangat mendongkol, apalagi dia sudah menunggu sekian
lamanya di ruangan tamu sekarang ternyata disambut secara
dingin saja, bahkan datang-datang yang disapa adalah
Sumoaynya yang cantik itu, keruan dada Pek Ban-kiam
hampir-hampir meledak saking menahan perasaannya.
Syukurlah dia adalah seorang kesatria yang bisa membawa diri
dan tidak mau perhatikan perasaannya secara terbuka. Hanya
dengan sikap dingin ia melirik Ciok Boh-thian, meski tidak
bicara, namun air mukanya sudah kentara sangat menghinakan
kelakuan Ciok Boh-thian tadi.

Hoa Ban-ci juga serbasalah atas teguran Boh-thian itu, ia pun
tidak menjawab dan hanya mendengus sekali saja.
Sebaliknya Ciok Boh-thian masih terlalu polos dan kekanakkanakan,
ia tidak tahu bahwa orang-orang Swat-san-pay itu
sudah marah padanya, ia masih bertanya pula, “Eh, nona Hoa,
apa luka di kakimu itu sudah sembuh? Masih sakit atau tidak?”
Pertanyaan ini membuat muka Hoa Ban-ci merah jengah,
seketika orang-orang Swat-san-pay yang lain juga lantas
memegang gagang pedang dan siap dilolos.
Melihat ketegangan suasana itu, cepat-cepat Pwe Hay-ciok
membuka suara, “Silakan duduk, saudara-saudara, silakan!
Sebenarnya kesehatan Pangcu kami belum mengizinkan untuk
menemui tamu, tapi karena kedatangan saudara-saudara dari
tempat jauh, terpaksa beliau menemui kalian. Tadi saudarasaudara
telah lama menunggu, haraplah suka dimaafkan.”
Pek Ban-kiam hanya mendengus saja dan segera mengambil
tempat duduk pertama di sebelah barat tadi. Kheng Ban-ciong
duduk di sisinya, lalu Kwa Ban-king, Ong Ban-jim dan
seterusnya, Hoa Ban-ci duduk di tempat yang terakhir.
Diam-diam beberapa orang Tiang-lok-pang merasa senang
mendengar ucapan sang Pangcu mengenai luka di kaki Hoa
Ban-ci dan membikin orang-orang Swat-san-pay itu gemas
setengah mati, tapi toh tidak dapat berbuat apa-apa.
Dalam pada itu Pwe Hay-ciok juga telah mengiringkan Ciok
Boh-thian kembali ke tempat duduknya. Para pelayan lantas
mengaturkan minuman.
Kemudian Hay-ciok membuka suara lagi, “Tiang-lok-pang kami
sudah lama kagum kepada Wi-tek Siansing, Swat-san-siangKang
Zusi http://cerita-silat.co.cc/
kiat dan para jago muda dari Swat-san-pay, cuma sayang
tempat kami ini terpencil di daerah Kanglam sehingga susah
mengadakan hubungan. Hari ini berkat kunjungan Pek-siheng
dan saudara-saudara sekalian, sungguh kami merasa bahagia
sekali.”
Pek Ban-kiam membalas hormat sambil berkata, “Pwe-tayhu
Tiok-jin-seng-jun, Ngo-heng-liok-hap-ciang juga tiada
bandingannya di dunia ini, meski selama ini kita tidak kenal,
tapi Cayhe sudah lama mendengar nama kebesaranmu.”
Dia hanya memuji Pwe Hay-ciok saja, tapi tidak sebut-sebut
Ciok Boh-thian.
Namun Pwe Hay-ciok pura-pura tidak tahu, sahutnya dengan
merendah diri, “Ah, Pek-siheng terlalu memuji. Entah saudarasaudara
sudah berapa hari tiba di Yangciu ini? Biarlah lain hari
Pangcu akan bertindak selaku tuan rumah dan mengundang
saudara-saudara sekalian mengadakan sekadar perjamuan.”
Pek Ban-kiam mulai tidak sabar karena maksud kedatangan
mereka tidak ditanyakan, segera ia berseru lantang, “Di
kalangan Kangouw orang menyohorkan ilmu silat Ciok-pangcu
kalian sangat hebat, cuma tidak diketahui kepandaian Ciokpangcu
itu entah berasal dari golongan atau aliran mana?”
Pertanyaan ini membuat orang-orang Tiang-lok-pang mengerut
kening semua. Memang kepandaian Ciok-pangcu mereka
terkenal sangat hebat dan aneh, tapi tiada seorang pun yang
tahu dari golongan atau aliran mana ilmu silat sang Pangcu itu.
Kalau ditanya juga cuma dijawab dengan tersenyum saja. Jadi
orang-orang Tiang-lok-pang sendiri sebenarnya juga ingin
tahu, maka serentak pandangan semua orang beralih kepada
Ciok Boh-thian.

Keruan Boh-thian gelagapan, sahutnya, “Ini ... itu ... kau tanya
tentang ilmu silatku? Tapi aku se ... sedikit pun tidak bisa ilmu
silat apa-apa.”
Memangnya Pek Ban-kiam sudah sangsi melihat sikap Ciok
Boh-thian yang serbasalah itu dan mengatakan tidak bisa ilmu
silat, keruan ia tambah curiga. Dengan tertawa menyindir ia
berkata pula, “Tiada sedikit tokoh-tokoh dan jago-jago
terkemuka di dalam Tiang-lok-pang kalian, kalau Ciok-pangcu
tidak bisa ilmu silat, apakah engkau dapat mengepalai para
jago-jago sebanyak itu? Hm, ucapanmu itu hanya dapat dipakai
menipu anak kecil saja.”
“Kau bilang aku menipu anak kecil?” Boh-tian menegas dengan
bingung. “Siapa anak kecil itu? O, apa barangkali kau
maksudkan Ting-ting Tong-tong? Tapi dia ... dia bukan anak
kecil lagi, aku pun tidak menipu dia, sebelumnya aku pun
sudah katakan padanya bahwa aku bukan dia punya Engkoh
Thian.”
Rupanya meski dia sedang tanya jawab dengan Pek Ben-kiam,
tapi sayup-sayup hidungnya mengendus bau harum yang
timbul dari badan si Ting Tong yang berdiri di belakangnya itu
sehingga semangatnya sudah melayang kepada diri anak dara
itu.
Dengan sendirinya Pek Ban-kiam tidak paham apa yang
dikatakan tentang Ting-ting Tong-tong apa segala, disangkanya
Ciok Boh-thian sudah merasa bersalah, maka sengaja bicara ke
timur dan ke barat untuk mengaburkan pokok pembicaraan
mereka. Seketika air muka Ban-kiam berubah masam, dengan
suara geram ia berkata pula, “Ciok-pangcu, biarlah kita bicara
secara terus terang dan blakblakan saja. Cobalah jawab, ilmu
silat yang kau pelajari di Leng-siau-sia itu mungkin belum
terlupa seluruhnya, bukan?”

Ucapan Pek Ban-kiam ini benar-benar telah menggemparkan
orang Tiang-lok-pang termasuk Pwe Hay-ciok. Mereka tahu
Leng-siau-sia (kota langit) adalah tempat kediaman kaum
Swat-san-pay yang terletak di pegunungan Swat-san di wilayah
barat sana. Jika menurut ucapan Pek Ban-kiam ini, apakah
benar sang Pangcu dahulu pernah belajar silat kepada kaum
Swat-san-pay? Jadi kedatangan orang-orang ini barangkali ada
hubungannya dengan urusan perguruan mereka sendiri?
Namun terdengar Ciok Boh-thian telah menjawab dengan
bingung, “Leng-siau-sia? Tempat apakah itu? Selamanya aku
tidak pernah belajar ilmu silat apa-apa. Jika pernah belajar
tentu takkan melupakannya sama sekali.”
Jawaban ini bukan saja menusuk perasaan orang-orang Swatsan-
pay, bahkan Pwe Hay-ciok juga merasa keterlaluan.
Masakah nama “Leng-siau-sia” yang tersohor dikenal setiap
orang Bu-lim dianggap oleh sang Pangcu sebagai tempat yang
tak pernah dikenal, bahkan menyatakan tidak pernah belajar
ilmu silat, omong kosong yang tak masuk di akal, betapa pun
juga hanya akan menurunkan derajat sang Pangcu sendiri.
Sebaliknya bagi pendengaran orang-orang Swat-san-pay,
terutama Pek Ban-kiam, sudah tentu jawaban Ciok Boh-thian
tadi merupakan suatu hinaan besar.
Yang pertama-tama tidak tahan ialah Ong Ban-jim, segera ia
berteriak, “Ucapan Ciok-pangcu barusan ini benar-benar
keterlaluan. Apa barangkali semua orang Swat-san-pay satu
peser pun tiada harganya dalam pandangan Ciok-pangcu?”
Melihat orang-orang Swat-san-pay itu marah-marah, Boh-thian
menyangka ucapannya tadi tentu salah, maka cepat
menjawab, “O, tidak, tidak! Masakah aku berani mengatakan

orang-orang Swat-san-pay tidak laku sepeser pun. Seperti ...
seperti ....”
Tiba-tiba teringat olehnya dahulu waktu dia ikut Cia Yan-khek
berbelanja ke kota, ia tahu barang yang baik berharga lebih
mahal, maka ia bermaksud mengucapkan kata-kata yang bisa
membikin senang Pek Ban-kiam dan kawan-kawannya, tapi
berulang-ulang ia berkata, “seperti ... seperti ....” namun tak
bisa memberi contoh yang tepat. Dan karena di antara orang
Swat-san pay yang dikenalnya itu hanya Hoa Ban-ci saja
seorang, maka dalam keadaan serbasusah ia lantas berkata,
“Seperti ... seperti nona Hoa Ban-ci tentulah berharga, ya,
tentu sangat berharga ....”
“Sret”, serentak orang-orang Swat-san-pay berbangkit dari
tempat duduk mereka dan senjata terlolos dari sarungnya,
selain Pek Ban-kiam, delapan orang lainnya semua sudah
menghunus pedang dan berdiri mengepung di depan Ciok Bohthian.
Bahkan Ong Ban-jim terus menuding dan mendamprat,
“Orang she Ciok, kau sembarangan mengoceh dengan katakata
rendah, sungguh kau terlalu menghina kami. Walaupun
kami sudah berada di sarangmu juga tidak manda diperlakukan
secara semena-mena.”
Bab 14. Ciok Boh-thian Ditawan oleh Pek Ban-kiam
Boh-thian tambah bingung melihat kemarahan orang-orang
Swat-san-pay itu, pikirnya, “Apa yang kukatakan adalah
bermaksud baik, mengapa kalian marah padaku malah?”
Dalam bingungnya ia lantas berpaling kepada Ting Tong dan
bertanya, “He, Ting-ting Ting-tong, apakah barusan aku telah
salah omong?”
Ting Tong tertawa, sahutnya “Entahlah, aku pun tidak tahu.

Barangkali nona Hoa tidak laku dengan harga baik seperti
katamu.”
Boh-thian manggut-manggut, katanya, “Ya, andaikan nona Hoa
tidak begitu berharga dan harus dijual murah, toh hal demikian
tidak perlu di buat marah?”
Seketika orang-orang Tiang-lok-pang tertawa gempar
mendengar ucapan itu, mereka menduga sang Pangcu pasti
sudah ambil keputusan akan melabrak pihak Swat-san-pay,
maka sengaja menggunakan kata-kata demikian untuk
mengolok-oloknya. Segera ada seorang menanggapi, “Ya, jika
terlalu mahal tentu kita tidak mampu membelinya. Bila agak
murah sedikit, hehe, tentu kita dapat ....”
“Cring”, mendadak terdengar suara nyaring disertai
berkelebatnya sinar pedang. Kiranya Ong Ban-jim sudah tak
dapat menahan rasa murkanya, pedangnya lantas menusuk ke
dada Ciok Boh-thian. Untung Pek Ban-kiam keburu melolos
pedang juga dan mengetok ke batang pedang sang Sute
sehingga senjata Ong Ban-jim itu hampir-hampir terlepas dari
cekalan, tangannya sampai pegal tergetar. Dan dengan
sendirinya tusukan itu hanya mencapai setengah jalan saja dan
tak dapat diteruskan.
Berbareng Pek Ban-kiam juga lantas membentak, “Sakit hati
kita kepada orang ini sedalam lautan, mana boleh dibereskan
dengan sekali tusuk saja?”
“Sret”, ia masukkan kembali pedangnya, lalu berkata kepada
Boh-thian dengan suara geram, “Nah, Ciok-pangcu,
sesungguhnya kau kenal padaku atau tidak?”
Boh-thian manggut-manggut, sahutnya, “Ya, aku kenal kau.
Bukankah kau adalah Gi-han-se-pak Pek Ban-kiam dari SwatKang
Zusi http://cerita-silat.co.cc/
san-pay?”
“Bagus jika kau masih kenal padaku,” ujar Ban-kiam. “Nah apa
yang pernah kau lakukan tentunya akan kau akui, bukan?”
“Apa yang pernah kulakukan sudah tentu aku mengakui,” sahut
Boh-thian.
“Baik, dan sekarang aku ingin tanya padamu. Ketika berada di
Leng-siau-sia dahulu siapa namamu?”
“Ketika di Leng-siau-sia?” Boh-thian menegas sambil garukgaruk
kepalanya yang tidak gatal. “Kapan sih aku pernah ke
sana? O, ya, tempo dulu waktu aku turun gunung untuk
mencari ibu dan si kuning, aku pernah menjelajahi beberapa
buah kota, aku pun tidak tahu apa nama kota-kota itu, besar
kemungkinan di antaranya ada sebuah kota yang bernama
Leng-siau-sia.”
“Kau tidak perlu melantur-lantur dan berlagak pilon,” semprot
Pek Ban-kiam. “Hendaklah bicara terus terang saja, namun
aslimu toh bukan Ciok Boh-thian.”
“Benar, benar! Memangnya aku bukan Ciok Boh-thian,” seru
Boh-thian dengan tersenyum. “Tapi merekalah yang telah salah
mengenali diriku. Ya, betapa pun memang Pek-suhu lebih
pintar, sekali tebak lantas tahu bahwa aku bukan Ciok Bohthian.”
“Bagus! Dan siapakah namamu yang asli, cobalah katakan biar
didengar oleh semua yang hadir di sini ini,” ujar Ban-kiam.
“Dia bernama apa? Hm, dia bernama Kau-cap-ceng!” sela Ong
Ban-jim dengan makiannya.

Sekali ini bergilir orang-orang Tiang-lok-pang yang serentak
berbangkit dengan marah dan sama melolos senjata. Namun
Ong Ban-jim tidak menjadi gentar, ia sudah bertekad biarpun
dicincang oleh orang-orang Tiang-lok-pang juga tiada takkan
peduli asalkan dapat mencaci maki lebih dulu si Kau-cap-ceng
(anak anjing) ini.
Tak terduga bahwa makiannya itu tidak membikin murka Ciok
Boh-thian, sebaliknya pemuda itu malah bertepuk tangan dan
bergelak tertawa, serunya, “Ya, benar, benar, sedikit pun tidak
salah, memangnya aku ini bernama Kau-cap-ceng, entah dari
mana kau mendapat tahu?”
Sudah tentu jawaban Ciok Boh-thian ini membikin semua orang
terlongong-longong bingung kecuali beberapa orang seperti
Pwe Hay-ciok, Ting Put-sam dan lain-lain yang pernah
mendengar pemuda itu mengaku bernama “Kau-cap-ceng”.
Diam-diam Pek Ban-kiam membatin, “Bocah ini benar-benar
licin dan licik, benar-benar lain daripada yang lain, sampai caci
maki Ong-sute barusan juga diterimanya bulat-bulat. Terhadap
manusia licik demikian harus hati-hati, sedikit pun tidak boleh
lengah.”
Sedangkan Ong Ban-jim lantas terbahak-bahak geli, serunya,
“Hahahaha! Jadi kau memang benar adalah Kau-cap-ceng?
Hahaha, sungguh lucu, sungguh menggelikan!”
“Namaku memang Kau-cap-ceng, kenapa mesti dibuat geli?”
sahut Boh-thian. “Dahulu kalau ibumu juga memanggil kau
sebagai Kau-cap-ceng, maka sekarang kau tentu juga sudah
menjadi Kau-cap-ceng.”
“Ngaco-belo!” bentak Ban-jim dengan murka. Berbareng
pedangnya lantas bergerak dalam jurus “Hui-sah-cau-ciok”

(pasir terbang batu bertebaran), sinar pedang gemerdep,
kontan ia menusuk ke dada Ciok Boh-thian.
Pek Ban-kiam sengaja hendak melihat selama beberapa tahun
ini ilmu silat aneh apa yang telah dipelajari Ciok Boh-thian
sehingga dalam usianya yang masih muda belia itu sudah
menjadi Pangcu suatu organisasi besar serta disegani tokohtokoh
sebangsa Pwe Hay-ciok dan lain-lain. Maka tindakan Ong
Ban-jim itu tidak dicegahnya, walaupun mulutnya pura-pura
menegur, tapi sengaja membiarkan Ong Ban-jim menerjang ke
depan.
Meski Boh-thian pernah belajar beberapa tahun ilmu Lwekang,
tapi dalam hal bertempur sama sekali tiada pengalaman dan
tak pernah belajar cara-cara berkelahi. Keruan ia menjadi
kelabakan ketika melihat ujung pedang Ong Ban-jim
menyambar ke arahnya, ia tak tahu cara bagaimana harus
menangkis atau menghindar, dalam gugupnya secara otomatis
kedua tangannya lantas menolak ke depan, karena dia
memakai baju panjang yang berlengan panjang dan gondrong,
maka lengan baju itu menjadi seakan-akan dikebutnya ke
depan. Terdengarlah suara “krak” sekali menyusul tubuh Ong
Ban-jim terus mencelat ke belakang dan “blung”, badannya
tertumbuk di pintu ruangan besar itu.
Tadi ketika orang-orang Swat-san-pay sudah masuk ke dalam
Hou-beng-tong, segera orang-orang Tiang-lok-pang menutup
pintu, mereka menaksir bila terjadi pertengkaran, maka orangorang
Swat-san-pay akan dapat dibekuk dan tak bisa
meloloskan diri.
Daun pintu ruangan itu terbuat dari kayu pilihan yang sangat
kuat, dilapis pelat besi diberi berpaku tembaga. Begitu
punggung Ong Ban-jim tertumbuk di atas pintu, menyusul
lantas terdengar suara “crat-cret” dua kali, dua potong pedang

patah berbalik menancap di atas badannya sendiri. Dengan
lemas ia terbanting jatuh di atas lantai, darah segar merembes
ke luar dan dalam sekejap saja sudah membasahi bajunya
yang putih itu.
Cepat Kwa Ban-kin dan Hoa Ban-ci memburu maju, yang
seorang memeriksa napasnya dan yang lain memeriksa
nadinya.
Untung meski tenaga dalam Ciok Boh-thian sangat kuat, tapi
dia tak tahu cara bagaimana menggunakannya, maka Ong
Ban-jim selain menderita luka luar itu, jiwanya boleh dikata
selamat.
Hanya satu jurus yang diperlihatkan Ciok Boh-thian ini bukan
saja membikin panik orang-orang Swat-san-pay, bahkan di
pihak orang Tiang-lok-pang juga gempar, mereka bergirang
dan terheran-heran pula, sebab ilmu silat sang Pangcu itu
hanya diketahui sangat aneh dan susah dijajaki, tapi belum
pernah diketahui bahwa Lwekangnya ternyata sedemikian
dahsyatnya.
Diam-diam Pwe Hay-ciok mengangguk dan membatin, “Pangcu
hanya menghilang setengah tahun saja dan ternyata beliau
memang sedang meyakinkan semacam Lwekang yang lihai,
dengan hasilnya ini sungguh Tiang-lok-pang harus merasa
bahagia sekali.”
Sebaliknya Pek Ban-kiam lantas menjengek, “Ciok-pangcu,
sebagai orang Bu-lim kita harus mengutamakan tentang
perbedaan kedudukan dan antara tua dan muda. Setiap orang
yang berani melawan orang tua adalah khianat dan durhaka.
Guru dipandang melebihi ayah sendiri. Engkau pernah belajar
silat di perguruan Swan-san-pay kami maka jelek-jelek Ongsute
ini juga terhitung kau punya Susiok, tapi sekali gebrak kau

sudah turun tangan keji, sebenarnya apa alasanmu? Segala
persoalan di dunia ini tak bisa mengesampingkan tentang
‘kebenaran’, biarpun ilmu silatmu mahatinggi juga takkan
terhindar dari keadilan.”
“Apa yang kau maksudkan, sedikit pun aku tidak paham,”
demikian sahut Boh-thian dengan bingung. “Kapan aku pernah
belajar ilmu silat di tempat Swat-san-pay kalian?”
“Sampai saat ini kau masih tidak mau mengaku?” Ban-kiam
menegas dengan aseran. “Kau mengaku sebagai Kau-cap-ceng,
hehe, kau rela merendahkan dirinya sendiri adalah urusanmu
sendiri. Tapi ayah-ibumu adalah kesatria-kesatria terutama di
dunia Kangouw. Kalau kau tidak mau mengaku perguruanmu,
apa terhadap ayah-bundamu juga kau tidak mau mengaku?”
Boh-thian menjadi girang, cepat ia menjawab, “He, kau kenal
ayah-ibuku? Wah, baik sekali kalau begitu. Pek-suhu, harap
engkau suka memberitahukan padaku, di manakah ibuku?
Siapakah ayahku?”
Sambil bicara lantas ia berdiri dan memberi hormat dengan
sikap yang sungguh-sungguh dan tulus.
Pek Ban-kiam menjadi bingung malah, ia tidak paham apa
maksud tujuan sikap pura-pura pemuda itu.
Tapi lantas terpikir pula olehnya, “Orang ini mahajahat dan
mahalicin, sekali-kali tidak boleh diukur menurut orang biasa.
Demi untuk menutupi asal usulnya sendiri sampai-sampai
ayah-ibunya sendiri juga tak diakuinya. Kalau dia sudah mau
mengaku dirinya sendiri sebagai Kau-cap-ceng, dengan
sendirinya tentang perguruan dan orang tua tak terpikir lagi
olehnya.”

Begitulah, seketika hati Pek Ban-kiam menjadi bimbang, ia
menghela napas panjang dan berkata, “Bakat sebagus ini
justru tidak mau belajar yang baik, sungguh sayang.”
“Pek-suhu, kau bilang sayang, ada apakah dengan ayahibuku?”
tanya Boh-thian agak bingung.
“Jika kau masih mempunyai rasa khawatir atas diri ayahibumu,
hal ini menandakan kau masih belum durhaka sama
sekali,” ujar Ban-kiam. “Ilmu pedang ayah-ibumu sangat sakti,
suami-istri berkelana di Kangouw bersama, sudah tentu
mereka takkan menghadapi sesuatu bahaya apa-apa.”
Dalam pada itu dengan dipapah oleh Kwa Ban-kin dan Hoa
Ban-ci, perlahan-lahan Ong Ban-jim telah sadar kembali dan
terdengar suara rintihannya.
Hati Ciok Boh-thian memangnya sangat welas asih, segera ia
bertanya, “Toako ini tadi mengapa mendadak terbang ke
belakang dan seperti tertumbuk jatuh di sana? Pwe-siansing,
apakah dia terluka parah?”
Pertanyaan Boh-thian ini sebenarnya timbul dari hati nuraninya
yang baik, tapi bagi pendengaran orang lain semuanya
menganggap dia sengaja menyindir. Seketika sebagian besar
orang-orang Tiang-lok-pang bergelak tertawa, ada yang
memuji kelihaian sang Pangcu ada pula yang mengolok-olok
pihak Swat-san-pay. “Hm, hanya dengan sedikit kepandaian
begitu saja juga berani main gila ke sini, sekarang sesudah
kalian diberi tahu rasa oleh Pangcu baru nyaho!” demikian
cemooh mereka.
Namun Pek Ban-kiam anggap tidak mendengar semua olokolok
itu, segera ia berseru pula dengan suara lantang, “Ciokpangcu,
kunjungan kami ke sini ini adalah untuk urusan pribadi

Ciok-pangcu sendiri saja dan tiada sangkut pautnya dengan
sahabat-sahabat yang lain, maka pihak Swat-san-pay kami
tidak ingin bertengkar mulut seperti di tengah pasar. Nah, Ciok
Tiong-giok, aku hanya ingin bertanya padamu, kau sebenarnya
mau mengaku atau tidak?”
“Ciok Tiong-giok? Siapa itu Ciok Tiong-giok?” Kau ingin aku
mengaku tentang apa?” Boh-thian menegas dengan melongo
heran.
“Kau tidak perlu berlagak pilon,” ujar Ban-kiam. “Gurumu
Hong-hwe-sin-liong telah berkorban sebelah lengan lantaran
perbuatanmu yang rendah dan kotor itu. Padahal budi Hongsuko
terhadapmu adalah lebih besar daripada gunung, apakah
sedikit pun dalam hatimu tidak merasa menyesal dan merasa
malu?”
Karena apa yang dikatakan Ban-kiam itu memang tidak bisa di
pahami oleh Ciok Boh-thian, maka ia lantas bertanya lagi,
“Hong-hwe-sin-liong? Hong-suko? Siapakah dia? Mengapa dia
mengorbankan sebelah lengannya lantaran perbuatan yang
rendah dan kotor? Apa sih per ... perbuatanku yang rendah dan
kotor itu?”
Sungguh tidak kepalang rasa murka Pek Ban-kiam, sudah tetap
tidak mau mengaku, bahkan akhirnya pemuda yang dianggap
durhaka itu sengaja mendesaknya agar menguraikan apa yang
terjadi di Leng-siau-sia seperti putrinya hendak diperkosa,
akhirnya membunuh diri dengan terjun ke dalam jurang,
kejadian-kejadian yang memalukan dan mengenaskan itu
masakah pantas untuk diceritakan di hadapan orang luar?
Saking murkanya “sret” pedangnya terlolos, tangannya
bergerak, sinar pedang gemerlap, “tok” pedang sudah masuk
kembali ke dalam sarungnya lagi.

Habis itu ia berkata pula sambil menunjuk bekas-bekas pedang
di atas pilar di sebelahnya dan berseru, “Saudara-saudara
sekalian, ilmu pedang Swat-san-pay kami adalah terlalu rendah
dan menertawakan bagi kaum ahli. Tapi sejak cikal bakal kami
mendirikan golongan kami sampai sekarang, turun-temurun
kami ada suatu kebiasaan, yaitu, bila pedang kami beruntung
dapat melukai pihak lawan, maka di tempat luka itu tentu akan
kelihatan bentuk Swat-hoa (bunga salju) bersayap enam.”
Segera semua orang memandang ke arah pilar, maka
tertampaklah di atas pilar yang bercat merah itu ada enam titik
bekas tusukan pedang, setiap titik itu berbentuk bunga salju
yang bersayap enam. Keenam titik bekas pedang itu berbaris
dengan sangat rajin dalam bentuk segi enam. Padahal pedang
Pek Ban-kiam tadi kelihatannya cuma berkelebat sekali saja,
lalu dimasukkan kembali ke dalam sarungnya, hanya dalam
sekejap saja, dengan getaran pedangnya sudah terbentuk
bunga salju sebanyak itu, betapa cepat dan jitunya ilmu
pedang Pek Ban-kiam itu sungguh susah dibayangkan.
Kalau tadi banyak di antara orang-orang Tiang-lok-pang
memandang hina kepada pihak Swat-san-pay karena sekali
gebrak saja Ong Ban-jim sudah dibikin mencelat oleh Ciok Bohthian,
tapi sekarang sesudah menyaksikan kepandaian Pek
Ban-kiam yang lihai ini, mau tak mau mereka merasa kagum
dan bahkan ada yang bersorak memuji.
“Sedikit kepandaian orang she Pek ini sesungguhnya tiada
artinya, aku percaya tentu tidak sedikit di antara para hadirin
yang jauh lebih pandai daripada diriku,” demikian kata Bankiam
dengan rendah hati. “Jadi sesungguhnya dengan
kepandaianku yang rendah ini sekali-kali aku tidak berani main
gila ke tempat kalian ini. Hanya saja ada satu urusan yang
kami inginkan kesaksian para sahabat. Dahulu tujuh tahun

yang lalu, dalam Swat-san-pay kami terdapat seorang murid
celaka yang bernama Ciok Tiong-giok, secara sembrono dan
kurang ajar dia telah berani coba-coba bertanding dengan Liaususiok
kami. Untuk memberi hajar adat padanya, maka Liaususiok
sengaja melukai paha anak durhaka itu dan
meninggalkan bekas luka dalam bentuk bunga salju seperti di
atas pilar ini.
“Meski ilmu pedang golongan kami hanya biasa saja dan tidak
mengherankan, tapi di dunia ini tiada ilmu pedang lain yang
dapat meninggalkan bekas bunga salju demikian. Nah, Ciok
Tiong-giok, kau telah mendustai semua orang dan tidak berani
memperlihatkan asal usulmu yang sebenarnya. Coba sekarang
kau menyingsing lengan celanamu, biar dilihat oleh para
hadirin apakah di pahamu ada bekas luka itu atau tidak?”
“Kau suruh aku menyingsing lengan celanaku?” Boh-thian
menegas dengan heran.
“Benar, sahut Ban-kiam. “Jika di pahamu tiada terdapat bekas
luka itu maka aku inilah yang buta dan dengan sendirinya akan
minta maaf atas kelancangan kami ini. Sebaliknya kalau
pahamu terdapat bekas luka itu lantas ... lantas bagaimana?”
“Jika di atas pahaku terdapat bekas luka demikian, itu benarbenar
sangat aneh, sebab aku sendiri sama sekali tidak tahu,”
ujar Boh-thian dengan tertawa.
Diam-diam Pek Ban-kiam menjadi ragu-ragu sendiri melihat
sikap Ciok Boh-thian yang tenang itu. Tapi ia yakin pemuda ini
pasti Ciok Tiong-giok yang dicarinya itu. Walaupun sudah
selang beberapa tahun, tindak tanduknya tampak agak
berbeda daripada dulu, tapi mukanya sedikit pun tidak salah.
Apalagi sesudah Hoa-sumoay bebas dari tawanan orang TiangKang
Zusi http://cerita-silat.co.cc/
lok-pang, dengan pasti dia yakin Ciok Boh-thian inilah sama
orangnya dengan Ciok Tiong-giok, masakah beberapa pasang
mata bisa salah lihat semua?
Selagi Ban-kiam termenung, dengan tertawa Tan Tiong-ci
lantas berkata, “Haha, kau ingin melihat bekas luka Pangcu,
sebaliknya Pangcu ingin melihat bekas luka di kaki nona Hoa.
Di sini terlalu banyak orang, ada lebih baik silakan Pangcu dan
nona Hoa saling lihat ke dalam kamar saja.”
Ban-kiam menjadi murka, mendadak ia maju ke depan dan
membentak, “Ciok Tiong-giok, dasar orang berdosa, kau tidak
mau memperlihatkan bekas luka di kakimu, maka boleh ikut
aku pulang ke Leng-siau-sia saja!”
“Sret”, berbareng pedang sudah terhunus di tangannya.
“Eh-eh, Pek-suhu mengapa menjadi marah?” ujar Boh-thian.
“Di atas kakiku selamanya tiada bekas luka apa-apa, jika tidak
percaya bolehlah kuperlihatkan.”
Sambil berkata ia terus menyingsing lengan celananya
sehingga kelihatan pahanya. Seketika suasana di ruang besar
itu menjadi sunyi senyap, perhatian semua orang terpusat
kepada paha Ciok Boh-thian.
Mendadak terdengar jeritan terkejut orang banyak.
Ternyata di sisi luar paha kiri Ciok Boh-thian memang benar
ada enam titik bekas luka. Keruan di antara orang-orang itu
yang paling terkejut adalah Boh-thian tersebut sendiri. Ia coba
gosok-gosok bekas luka itu, tetapi bekas luka itu memang
nyata dan berada di atas pahanya. Ia kucek-kucek matanya
dan kembali mengamat-amati paha sendiri pula, namun bekas
luka itu memang sama benar dengan bekas pedang di atas

pilar tadi.
Sembilan pasang mata orang-orang Swat-san-pay sekarang
menatap tajam kepada Ciok Boh-thian, mereka tidak bicara
lagi, tapi menantikan pengakuan dosa Ciok Boh-thian sendiri.
Dahi Ciok Boh-thian sampai berkeringat. Ia meraba bekas luka
di paha itu, lalu meraba-raba pula bekas luka di atas pundak
sambil menggumam, “Aneh, di kaki ada bekas luka, di atas
pundak juga ada luka, mengapa orang lain mengetahui,
sebaliknya aku ... aku malah tidak tahu. Jangan-jangan aku
benar-benar sudah melupakan segala kejadian di masa
dahulu?”
Ia coba memandang Pwe Hay-ciok, dilihatnya penasihat itu
menggeleng kepala perlahan. Ia menoleh ke arah Ting Tong,
anak dara itu tampak mengerut hidung dan mencibir padanya.
Ia coba memandang juga kepada Ting Put-sam, orang tua itu
angkat lengan baju kanan untuk menutupi gerakan tangan kiri
yang memberi tanda agar segera labrak pihak lawan saja.
Pada saat itulah Tan Tiong-ci telah mendekati sang Pangcu dan
mengaturkan sebatang pedang sambil membisiki, “Pangcu,
tidak perlu banyak bicara dengan mereka. Segala urusan
biarlah diputuskan dengan kepandaian saja. Yang menang
adalah yang benar dan yang kalah adalah yang salah.”
Rupanya Tan Tiong-ci yakin dengan kepandaian sang Pangcu
yang aneh serta Lwekangnya yang hebat itu tentu dapat
mengalahkan Pek Ban-kiam. Kalah berdebat terpaksa pakai
kekerasan. Paling-paling main kerubut, dengan jumlah orang
Tiang-lok-pang yang jauh lebih banyak pasti akan dapat
membekuk orang-orang Swat-san-pay itu, demikian pikirnya.
Secara tak sadar Boh-thian telah terima pedang yang

disodorkan padanya itu.
Di lain pihak Pek Ban-kiam lantas berseru dengan suara
kereng, “Dengarkanlah Ciok Tiong-giok, hari ini Pek Ban-kiam
mendapat titah Wi-tek Siansing selaku Ciangbunjin kita, agar
melakukan pembersihan rumah tangga sendiri. Maka urusan ini
adalah urusan dalam Swat-san-pay dan tiada sangkut pautnya
dengan orang luar. Jikalau di dalam markas Tiang-lok-pang ini
tidak pantas digunakan gelanggang pertarungan, bagaimana
kalau kita keluar saja untuk menentukan mati dan hidup?”
“Buat ... buat apa mesti menentukan mati dan hidup?” sahut
Ciok Boh-thian dengan bingung.
Tiba-tiba Ting Tong mendorong perlahan di punggungnya dan
membisikinya, “Engkoh Thian, hayo majulah! Labrak saja dia!
Kepandaianmu jauh lebih tinggi daripada dia, sekali tusuk
bunuh saja dia!”
“Ti ... tidak, buat apa membunuh dia? Dia toh bukan orang
jahat?” sahut Boh-thian dan tanpa merasa melangkah maju
beberapa tindak.
Melihat tindakan pemuda itu sangat kukuh dan kuat, terang
Lwekangnya sangat hebat. Tadi Pek Ban-kiam juga sudah
menyaksikan Ong Ban-jim terpental hanya kena kebasan
lengan bajunya saja, sekarang dengan sendirinya ia tidak
berani ayal sedikit pun. Segera pedangnya menyendal sekali,
dengan jurus “Bwe-swat-ceng-jun” (bunga Bwe dan bunga
salju bertebaran), sinar pedangnya berkilau, ujung pedang dan
mata pedang digunakan berbareng terus menyerang ke arah
Ciok Boh-thian.
Seketika Boh-thian merasa pandangannya menjadi silau dan
tak dapat membedakan yang mana ujung pedang dan yang

mana mata pedang.
Dengan gugup kembali Ciok Boh-thian mengebutkan kedua
lengan bajunya secara serabutan. Percuma saja dia memiliki
Lwekang yang tinggi tapi sama sekali tak dapat menggunakan.
Tadi Ong Ban-jim kena disengkelit dan terpental adalah karena
kebetulan saja, sekarang dia mengebas lengan baju pula,
karena tenaga dalamnya tak terpakai, pula kepandaian Pek-
Ban-kiam juga tidak dapat disamakan dengan Ong Ban-jim,
maka terdengarlah suara “brat-bret” beberapa kali, kedua
lengan baju Ciok Boh-thian telah terkupas robek oleh pedang
Pek Ban-kiam menyusul tenggorokan Boh-thian terasa “nyes”
dingin, tahu-tahu ujung pedang lawan sudah mengancam di
lehernya.
Rupanya Pek Ban-kiam insaf jago-jago di pihak lawan teramat
banyak, terutama tokoh-tokoh Pwe Hay-ciok dan si kakek
berbaju kasar yang berdiri di belakang Ciok Boh-thian itu tentu
ilmu silatnya susah diukur. Berada di tempat berbahaya, sekali
mendapat kesempatan, mana boleh pihak lawan kelonggaran?
Maka segera ia mendesak maju, secepat kilat Ciok Boh-thian
lantas dikempitnya dengan kencang berbareng lengannya
menjepit sekuat-kuatnya di tempat Hiat-to bagian pinggang
Ciok Boh-thian sehingga pemuda itu tak bisa berkutik
berbareng ia terus membentak, “Para sobat, hari ini terpaksa
kami harus lancang tangan, biarlah lain hari kami akan datang
lagi untuk minta maaf.”
Melihat sang Suheng telah berhasil menawan musuh, tanpa
diperintah serentak Kwa Ban-kin menggendong Ong Ban-jim
yang terluka terus mendahului menerjang ke arah pintu.
Namun Tan Tiong-ci dan Bi Heng-ya telah melompat maju
bersama sambil membentak, “Tinggalkan Pangcu!”

Berbareng golok mereka terus menyerang, yang satu
membacok pundak dan yang lain menebas kedua kaki Pek Bankiam.
Tapi pedang Pek Ban-kiam hanya sedikit bergerak saja dan
“cring-cring” dua kali berturut-turut, tapi selisih kedua
tangkisan itu sebenarnya cuma sekejap mata saja cepatnya.
Ketiga orang sama-sama terkejut dan sama-sama tergetar
mundur satu tindak oleh tenaga dalam masing-masing.
Sekilas timbul pikirannya Pek Ban-kiam bahwa hanya ilmu silat
kedua lawan ini saja sudah sedemikian lihainya apalagi kalau
mereka mengerubut maju bersama maka pihak sendiri yang
cuma berjumlah sembilan orang saja pasti akan gugur semua
di situ. Secepat kilat ia lantas melompat ke samping dan berdiri
membelakangi dinding, lalu bentaknya, “Ciok Tiong-giok sudah
kutawan, kalau kalian main kerubut, terpaksa aku
membinasakan dia dahulu untuk kemudian melayani kalian.”
Para jago Tiang-lok-pang itu tiada seorang pun yang menduga
bahwa Pangcu mereka yang berkepandaian sedemikian
tingginya hanya dalam satu gebrakan saja sudah kena ditawan
musuh, keruan mereka menjadi panik dan bingung. Bahkan
kejadian yang luar biasa ini pun di luar dugaan Ting Put-sam
yang berpengalaman luas itu.
Ting Put-sam saling pandang sekejap dengan Ting-Tong. Air
muka Ting Tong tampak sangat khawatir, berulang-ulang ia
memberi tanda agar sang kakek turun tangan. Tapi Ting Putsam
hanya tersenyum-senyum saja tanpa memberi reaksi apaapa.
Ia anggap ilmu silat Ciok Boh-thian sangat tinggi, hal ini
pernah dicobanya dengan tenaga dalam yang kuat, pemuda itu
telah memunahkan tepukannya di atas perahu tempo hari itu,
maka tidaklah mungkin dengan sedemikian gampangnya dia

kena ditawan musuh, tentu di balik kejadian ini ada tujuan
tertentu, kalau dirinya ikut campur tentu akan membikin
runyam rencananya malah. Maka ia sengaja tinggal diam saja
untuk menantikan perkembangan selanjutnya.
Melihat sikap sang kakek yang acuh tak acuh dan tenangtenang
itu, Ting Tong menjadi lega. Namun begitu ia tetap
khawatir juga karena sang suami berada dalam tawanan
musuh.
Dalam pada itu, dengan kedua tangannya menolak daun pintu,
Kwa Ban-kin sedang mengerahkan tenaga dalamnya untuk
mendorong pintu itu, tapi pintu itu hanya mengeluarkan suara
berkeriutan saja dan tidak mau terbuka. Rupanya di luar pintu
sana telah ditahan dengan balok-balok kayu yang kuat.
Melihat daun pintu yang didorong sekuatnya itu lambat laun
mulai terpentang, cepat Pwe Hay-ciok melompat maju dan
berseru, “Sobat Kwa jangan terburu-buru pergi dulu, biarlah
kami suruh orang membuka pintu dan mengantar
keberangkatan kalian,”
“Mundur!” bentak Hoa Ban-ci sebelum Pwe Hay-ciok mendekat,
dengan pedang terhunus ia menjaga di belakang Kwa Ban-kin.
Namun Pwe-Hay-ciok tidak gentar, mendadak jarinya yang
kuat sebagai kait itu terus mencengkeram ke atas pedang
lawan.
Ban-ci terkejut, ia heran apakah tangan orang she Pwe itu
kebal senjata tajam? Dan karena sedikit ayal itulah tahu-tahu
jari Pwe Hay-ciok sudah mendekati, sekonyong-konyong
cengkeramannya berubah menjadi menyelentik, “creng”,
tangan Hoa Ban-ci sampai kesaktian, pedang terlepas dari
cekalan dan jatuh ke lantai. Berbareng tangan kanan Pwe HayKang
Zusi http://cerita-silat.co.cc/
ciok lantas merangsang maju pula dan tepat pundak Banci
kena ditepuk sekali.
Serangan Pwe Hay-ciok ini dilakukan dengan gesit dan cepat
sekali, sungguh tidak kalah indahnya kalau dibandingkan
betapa hebat caranya Pek Ban-kiam membuat enam titik bunga
pedang di atas pilar tadi.
Diam-diam Ting Put-sam memberi pujian juga, sebabnya Pwe
Hay-ciok terkenal di Bu-lim, nyata dia punya ilmu pukulan Ngoheng-
liok-hap-ciang memang mempunyai keunggulannya
sendiri.
Pwe Hay-ciok masih menyusur kian kemari dengan cepat
sekali, ia menyelentik di sini dan memukul di sana. Para murid
Swat-san-pay itu kecuali Ong Ban-jim yang sudah terluka,
sisanya beruntun-runtun telah dirobohkan semua.
Setiap orang paling-paling hanya mampu bergebrak tiga-empat
jurus saja dengan Pwe Hay-ciok dan musuh dirobohkan.
“Kepandaian bagus, Ngo-heng-liok-hap-ciang yang hebat,
orang she Pek kelak pasti akan belajar kenal padamu!” seru
Pek Ban-kiam. Mendadak ia meloncat ke atas, “brak” atap
rumah telah disundul olehnya sehingga berlubang, dengan
mengempit Ciok Boh-thian ia lantas menerobos keluar.
“Kenapa tidak belajar kenal sekarang saja?” seru Pwe Hay-ciok,
menyusul ia pun meloncat ke atas dan hendak menguber lawan
melalui lubang atap yang bobol itu.
Tapi mendadak matanya menjadi silau, bintik sinar pedang
sebagai hujan mencurah telah mengancam kepalanya.
Dalam keadaan terapung di udara, pula tidak bersenjata, sudah

tentu Pwe Hay-ciok tidak dapat menangkis serangan itu,
seketika ia membikin antap badannya dan anjlok kembali
mentah-mentah ke bawah.
Gerakan itu tampaknya sepele saja, tapi dalam sekejap dapat
mengubah daya loncat ke atas itu menjadi anjlok ke bawah,
asal telat sekejap saja tentu sudah terluka oleh pedang lawan,
ketangkasan Pwe Hay-ciok ini membikin para jago yang berada
di ruangan situ sama memuji di dalam hati.
Namun berkat serangannya itu Pek Ban-kiam telah sempat
membawa lari Ciok Boh-thian.
Sedangkan Pwe Hay-ciok begitu kakinya menyentuh lantai
kembali ia meloncat ke atas untuk mengejar.
Ting Tong ikut sibuk, cepat ia pun bermaksud meloncat keluar
melalui lubang atap yang bobol itu. Namun Ting Put-sam
keburu menarik tangan anak dara itu dan membisikinya, “Tidak
perlu buru-buru!”
Di tengah berhamburnya batu pasir rontokan genting atap itu
sekonyong-konyong di antara murid-murid Swat-san-pay yang
menggeletak di lantai itu, seorang yang bertubuh kurus kecil
mendadak meloncat ke atas segesit kucing dan secepat kera
menerobos keluar melalui lubang atap itu.
Tan Tiong-ci sempat menebas dengan goloknya, terdengar
“sret” sekali, selapis tumit sepatu orang itu kena tertebas,
hanya selisih beberapa senti saja kaki orang kurus kecil itu
tentu terkutung.
Orang-orang Tiang-lok-pang sama melengak, tak terduga oleh
mereka bahwa di antara jago-jago Swat-san-pay itu selain Pek
Ban-kiam ternyata masih ada seorang jago selihai itu, sudah

terang tadi orang itu sudah ditutuk roboh oleh Pwe Hay-ciok
tapi mampu mengerahkan tenaga dalam dan membuka Hiat-to
sendiri yang tertutuk itu lalu meloloskan diri di depan orang
banyak.
Khawatir kalau ketujuh orang tawanan yang lain akan kabur
lagi, segera Bi Heng-ya menambahi beberapa kali tutukan pada
setiap orang itu.
Dalam pada itu sudah ada belasan jago Tiang-lok-pang dengan
bersenjata telah ikut mengejar keluar melalui lubang atap yang
bobol itu. Orang-orang Tiang-lok-pang itu berpendapat, orang
lain telah berani main gila ke sarang mereka dan bahkan
menawan Pangcu mereka, kalau sang Pangcu tidak direbut
kembali, maka untuk selanjutnya nama Tiang-lok-pang mereka
pasti akan runtuh. Walaupun pihak musuh juga tertawan tujuh
orang, tapi biarpun bagaimana juga tak dapat mengimbangi
tertawannya sang Pangcu. Mereka yakin asal orang she Pek itu
dapat dicegat, lalu dikerubut, akhirnya sang Pangcu tentu
dapat diselamatkan dan hal ini akan merupakan pahala besar
bagi mereka yang berjasa itu. Karena itulah dengan penuh
semangat mereka lantas menguber musuh secara terpencar.
Sementara itu fajar sudah menyingsing, orang-orang Tianglok-
pang yang dikerahkan untuk mencari musuh semakin
banyak. Tapi meski sudah diuber dan dicari kian kemari dalam
jarak seluas belasan li, ternyata jejak musuh itu sama sekali
tak tertampak.
Kiranya Pek Ban-kiam sendiri pun terheran-heran bahwa dalam
satu jurus saja Ciok Boh-thian sudah kena ditawannya. Ia tahu
kejadian itu tentu hanya secara kebetulan saja, walaupun
berhasil menawan orang yang dicarinya itu tapi orang-orang
Tiang-lok-pang telah dikerahkan semua untuk mengejarnya,
untuk melarikan diri tentu juga sukar.

Ia coba memandang sekelilingnya, tertampak di hulu sungai
sebelah barat sana ada sebuah jembatan batu. Tanpa pikir lagi
ia terus berlari ke sana dan menyusup ke bawah jembatan. Ia
mengepit Ciok Boh-thian dengan tangan kiri, pedang di tangan
kanan lantas ditusukkan ke dalam celah-celah batu jembatan
sehingga terjepit dengan kencang. Lalu dengan sebelah tangan
itu menggandul dan pepetkan tubuhnya di bawah jembatan itu.
Tidak lama kemudian lantas terdengar suara suitan orangorang
Tiang-lok-pang bahkan ada yang melintasi jembatan itu,
getaran orang-orang itu waktu menginjak jembatan itu hampirhampir
membikin pedang Pek Ban-kiam terlepas dari celahcelah
batu.
Diam-diam Pek Ban-kiam sudah ambil keputusan kalau
jejaknya diketahui musuh, maka besar kemungkinan terpaksa
harus membunuh dulu pemuda tawanannya itu.
Terdengar ada suatu rombongan orang-orang Tiang-lok-pang
sedang mencarinya dengan menyusur tepi sungai. Ketika
hampir mendekati jembatan itu, mendadak di semak alangalang
sana ada suara keresek, ada seorang secepat terbang
telah berlari ke arah yang berlawanan sana. Dari suara
tindakan dan gerakan orang itu Ban-kiam tahu adalah seorang
Sutenya yang bernama Ang Ban-ek.
Ia bergirang dan merasa lega. Ang Ban-ek itu tergolong nomor
satu dalam hal Ginkang di antara sesama jago-jago Swat-sanpay,
larinya secepat terbang, tiada seorang pun yang mampu
menyusulnya. Nyata sekali perbuatannya barusan ialah untuk
membelokkan perhatian musuh dan memancing pihak musuh
mengejarnya ke jurusan lain, dengan demikian dapat memberi
kesempatan kepada Pek Ban-kiam untuk meloloskan diri dari
tempat bahaya itu. Dan ternyata benar juga, orang-orang

Tiang-lok-pang beramai-ramai lantas mengejar ke jurusan
sana.
Tapi Pek Ban-kiam masih ragu-ragu orang-orang. Tiang-lokpang
terlalu banyak jumlahnya, asal dia memperlihatkan diri,
tentu akan kepergok.
Tengah bersangsi, tiba-tiba terdengar suara mendeburnya air,
suara dayung perahu mengayuh, tertampak dari arah timur
sana sedang mendatangi tiga buah perahu beratap, kedua
buah perahu di antaranya penuh memuat sayur-mayur, sebuah
lagi penuh memuat rumput jerami. Rupanya orang kampung
pagi-pagi hendak pergi ke pasar kota Yangcu untuk menjual
hasil tanamannya. Ketiga perahu itu bereret-eretan menerobos
di bawah jembatan batu.
Pek Ban-kiam sangat girang, ia tunggu waktu perahu ketiga
lewat di bawah jembatan itu, segera ia tarik pedangnya,
bersama Ciok Boh-thian mereka menjatuhkan diri ke atas
tumpukan jerami di atas perahu itu. Karena tumpukan jerami
itu sangat tinggi dan lunak, maka apa yang terjadi itu sama
sekali tidak diketahui si tukang perahu.
Dengan membawa Ciok Boh-thian segera Ban-kiam menyusup
ke dalam onggok jerami itu sehingga tidak kelihatan dari luar.
Sesudah tiba di pasar kayu bakar, sambil menantikan
tengkulak yang biasa menerima barang dagangannya, si
tukang perahu telah meninggalkan perahunya untuk pergi
makan-minum.
Kesempatan baik itu tidak disia-siakan Pek Ban-kiam. Lebih
dulu ia melongok ke tepi, ia lihat di dekat situ tiada orang lain.
Segera ia membawa Ciok Boh-thian melompat ke daratan.

Dilihatnya di ujung kade sebelah barat sana berlabuh juga
sebuah perahu beratap, segera ia mendatangi perahu itu,
begitu melompat ke atas perahu segera ia sodorkan sepenceng
uang perak seberat empat-lima tahil dan berkata, “Juragan
perahu, kawanku ini sakit keras dan perlu segera ditolong,
harap kau lekas mengantar kami ke Tingkang.”
Melihat biaya yang diberikan itu jauh melebihi biasanya,
juragan perahu menjadi girang, tanpa banyak cincong lagi ia
lantas angkat sauh dan meluncurkan perahunya ke depan.
Sambil sembunyi di dalam perahu beratap itu, diam-diam Pek
Ban-kiam merancang apa yang harus diperbuatnya nanti. Ia
tahu di sekitar daerah Yangciu itu Tiang-lok-pang mempunyai
pengaruh kekuasaan sangat besar, asal jejaknya diketahui,
dalam waktu singkat orang-orang Tiang-lok-pang tentu akan
dapat menyusulnya.
Ia bergirang dan sedih pula, girangnya karena Ciok Tiong-giok
yang telah dicarinya sekian lamanya itu sekarang telah dapat
ditangkapnya secara mudah sekali. Sedangkan sedihnya adalah
lantaran para Sute dan Sumoaynya juga ditawan pihak Tianglok-
pang, entah cara bagaimana harus menolong mereka?
Khawatir kalau-kalau Ciok Boh-thian pura-pura saja, maka
tidak sampai satu jam segera ia menutuk lagi beberapa tempat
Hiat-to di tubuh pemuda itu. Ketika perahu itu sampai di muara
sungai Kwaciu dan masuk di perairan Tiangkang, sementara itu
Ciok Boh-thian sudah berulang-ulang ditutuk sehingga
beberapa puluh kali banyaknya.
Sesudah perahu itu masuk perairan Tiangkang, segera Bankiam
berkata, “Juragan perahu, perahumu boleh kau luncurkan
saja ke hilir ini, kutambah lagi lima tahil perak untukmu.”

Juragan perahu itu girang setengah mati, berulang-ulang ia
mengucapkan terima kasih, katanya, “Hadiah tuan penumpang
ini sungguh teramat besar, cuma perahuku ini terlalu kecil dan
tidak kuat menahan gelombang ombak Tiangkang ini, untuk
bisa berlayar terus hanya bisa dilakukan dengan menyusur tepi
sungai saja.”
“Terserah, asal menyusur tepi utara saja,” kata Ban-kiam.
Setelah perahu itu berlayar lebih 20 li jauhnya, tertampak di
tepi sungai sana ada sebuah kelenteng kecil berdinding kuning.
Segera Ban-kiam berdiri ke haluan perahu dan bersuit sekeraskerasnya.
Maka terdengarlah suara suitan pula dari dalam
kelenteng itu.
“Menepi di sini, juragan perahu!” seru Ban-kiam.
Tanpa bicara juragan perahu lantas merapatkan perahunya ke
tepi sungai. Ia menancapkan galahnya dan menambat
perahunya, baru saja dia hendak pasang papan loncatan, tahutahu
Pek Ban-kiam sudah melompat ke daratan dengan
mengempit Ciok Boh-thian.
Juragan perahu itu sampai kaget dan kesima melihat cara
penumpangnya melompat seperti terbang itu.
Dan baru saja Ban-kiam mendarat, seketika ia disambut
dengan sorak gembira oleh belasan orang yang keluar dari
kelenteng tadi. Kiranya mereka adalah rombongan kedua dari
murid Swat-san-pay. Ketika melihat Ban-kiam mengepit
seorang pemuda, serentak mereka bertanya, “Pek-suko,
apakah dia?”
Bab 15. Munculnya Ciok Jing dan Istri

Ban-kiam membanting Boh-thian ke tanah, katanya dengan
gusar, “Para Sute, beruntung sekali akhirnya anak durhaka ini
dapat kita tangkap. Masakah kalian sudah pangling padanya?”
Waktu semua orang mengamat-amati Ciok Boh-thian, lapatlapat
mereka masih mengenali dia adalah Ciok Tiong-giok, itu
anak yang lincah dan nakal di Leng-siau-sia dahulu. Saking
gemasnya segera ada yang mendepak, ada pula yang meludahi
Boh-thian.
“Harap saudara-saudara jangan melukai dia,” ujar seorang
murid yang berusia agak lanjut. “Hasil Pek-suko yang gilanggemilang
ini sungguh harus dibuat bersyukur dan diberi
selamat.”
Namun Ban-kiam menggeleng kepala sahutnya, “Meski bocah
ini dapat kita tangkap kembali, tapi tujuh orang Sute dan
Sumoay kita telah jatuh di tangan musuh, sesungguhnya kita
lebih banyak rugi daripada untungnya.”
Sambil bicara mereka lantas berjalan ke dalam kelenteng kecil
itu.
Kelenteng kecil yang sudah bobrok itu adalah kelenteng Thote-
bio (kelenteng Toapekong) yang tiada penghuninya, sebab
itulah murid-murid Swat-san-pay telah menggunakannya
sebagai pos penghubung.
Begitulah, orang-orang Swat-san-pay itu lantas mengeluarkan
daharan yang tersedia untuk Pek Ban-kiam. Habis itu mereka
lantas berunding apa tindakan selanjutnya.
Kata Ban-kiam, “Kita sudah dapat menangkap anak durhaka
ini, maka kita harus mengirimnya pulang ke Leng-siau-sia
untuk diserahkan kepada Ciangbunjin. Walaupun tujuh orang

Sute dan Sumoay kita tertawan musuh, kukira jiwa mereka
tidak perlu dikhawatirkan, rasanya orang Tiang-lok-pang
takkan berani mengganggu mereka. Sekarang aku akan
membagi tugas kepada kalian. Thio-sute, Ong-sute dan Tiosute,
kalian adalah orang selatan, maka boleh tinggal di kota
Yangciu dengan menyamar untuk memata-matai pihak musuh
dan memerhatikan keadaan ketujuh Sute dan Sumoay kita
yang tertawan itu, tapi jangan sekali-kali bertindak sendirisendiri.”
Segera Thio, Ong dan Tio bertiga mengiakan.
Lalu Pek Ban-kiam menyambung, “Ang Ban-ek, Ang-sute,
orangnya sangat cerdik, ilmu silatnya juga tinggi, sesudah
kalian mengadakan kontak dengan dia, maka kalian harus
menurut kepada pesannya. Janganlah kalian mentang-mentang
sebagai Suheng, lalu berlagak sehingga membikin urusan
menjadi runyam.”
Ketiga orang itu sangat hormat dan segan kepada Pek-suheng
ini, maka berulang-ulang mereka mengiakan lagi.
“Sekarang kita harus lekas menyeberang ke selatan, lebih dulu
kita mengitar ke sana baru kemudian pulang ke Leng-siau-sia,”
kata Ban-kiam pula. “Walaupun perjalanan menjadi lebih jauh,
tapi orang-orang Tiang-lok-pang pasti tidak menduga jurusan
kita tempuh ini.” Dan ucapan ini nyata sekali tanpa tedeng
aling-aling ia telah menunjukkan rasa jerinya kepada pihak
Tiang-lok-pang.
Dalam pada itu hari sudah mulai gelap. Ban-kiam menghela
napas dan berkata pula, “Perjalanan kita ini walaupun telah
berhasil membakar Hian-soh-ceng serta dapat menangkap
murid Ciok Tiong-giok ini, tapi kita telah kehilangan dua orang
Sute yang terbunuh secara penasaran Kheng-sute dan lain

ditawan musuh pula, semua ini benar-benar sangat memalukan
golongan kita, Kalau diusut pokok pangkalnya segalanya
adalah lantaran pimpinanku yang tidak becus ini.”
“Pek-suko tidak perlu mencela dirinya sendiri,” ujar Houyan
Ban-sian, seorang Sutenya yang berumur paling tua. “Padahal
sebab musababnya yang sesungguhnya adalah karena kita
semua ini kurang tekun belajar, kita sudah mendapat didikan
Suhu, tapi dalam perguruan kita selain Hong-suheng dan Peksuheng
berdua yang lain-lain hanya berhasil mendapatkan
sedikit bulu dan kulit ajaran Suhu saja dan tidak dapat
mempelajari intisarinya.”
“Ya, dasar kita ini memang seperti katak di dalam tempurung,”
kata seorang Sutenya yang berbadan gemuk dan bernama Bun
Ban-hu. “Di waktu kita saling bertanding di antara kita sendiri
di Leng-siau-sia, kita semua sama menganggap dirinya sendiri
sudah jagoan, sudah kampiun. Tak terduga setelah berada di
dunia luar barulah kita sadar kita ini terlalu pecak. Pek-suko
baru akan berangkat kalau hari sudah gelap, mumpung masih
ada waktu dan kita juga lagi iseng, maka diharap Pek-suko
suka menggunakan kesempatan ini untuk memberi petunjuk
sejurus-dua kepada kami sekalian.”
Para Suheng dan Sutenya serentak bersorak menyatakan
setuju.
Maka berkatalah Ban-kiam, “Sebenarnya ilmu silat yang
diajarkan Tiatia (ayah) kepada para saudara sedikit pun tiada
bedanya seperti apa yang diajarkannya kepadaku, sama sekali
beliau tiada pernah pilih kasih. Seperti Hong-suheng, dia lebih
giat dan lebih tekun belajar daripadaku, maka kepandaiannya
juga lebih tinggi daripadaku.”
“Ya, bahwasanya Suhu tidak pernah pilih kasih, hal ini kita

mengetahui semua,” kata Bun Ban-hu, “Soalnya kita sendirilah
yang terlalu bodoh dan tak dapat memahami intisari ajaran
beliau.”
“Baiklah, kepulangan kita ke Leng-siau-sia ini besar
kemungkinan masih akan banyak mengalami rintanganrintangan,
kalau kita bisa tambah sedikit kepandaian akan
berarti kekuatan kita bertambah pula,” kata Ban-kiam, “Nah,
Houya-sute dan Bun-sute, kalian boleh coba-coba mulai
bergebrak, Tio-sute dan Ong-sute silakan pasang mata di luar,
kalau ada sesuatu yang mencurigakan hendaklah segera
memberi tahu.”
Sebenarnya Tio dan Ong berdua sangat ingin menyaksikan
latihan para Suheng dan Sute dengan petunjuk-petunjuk dari
Pek-suheng, kesempatan ini biasanya jarang terjadi, tapi
mereka justru disuruh meronda di luar, tentu saja dalam hati
mereka merasa enggan, tapi mereka juga tidak berani menolak
perintah sang Suheng itu, terpaksa mereka keluar dengan rasa
kurang senang.
Segera Houyan Ban-sin dan Bun Ban-hu menghunus pedang
masing-masing dan pasang kuda-kuda. Bun Ban-hu adalah
Sute, ia berseru, “Silakan mulai, Houyan-suko!”
Dengan memegang pedangnya terbalik, lebih dulu Houyan
Ban-sian memberi hormat kepada Ban-kim dan berkata, “Harap
Pek-suko memberi petunjuk-petunjuk seperlunya!”
Dan sesudah Pek Ban-kiam mengangguk, segera Ban-sian
memutar pedangnya ke atas terus membuka serangannya, ia
menusuk ke bahu kiri Bun Ban-hu. Itulah jurus “Lau-ki-hengsia”
(ranting pohon bertumbuh miring) dari Swat-san-kiamhoat.

Kiranya di dalam kota Leng-siau-sia banyak tumbuh Bwe-hoa.
Cikal bakal mereka yang menciptakan ilmu pedang itu pun
sangat suka kepada bunga Bwe, sebab itulah di dalam gerak
ilmu pedangnya itu banyak diseling dengan gaya bunga Bwe,
tangkai Bwe, dahan Bwe dan sebagainya. Bunga Bwe yang
bagus biasanya tumbuh dalam keadaan gundul, dahannya
jarang-jarang dan tak berdaun, sebaliknya kuntum bunganya
lebat dan menggerombol.
Sebab itulah ilmu pedang yang dimainkan Houyan Ban-sian
dan Bun Ban-hu terkadang sangat lambat dan tenang,
terkadang cepat dan kerap pula dengan sinar pedang
kemilauan sebagai bunga salju yang bertebaran tertiup angin.
Dalam pada itu Ciok-Boh-thian yang tertutuk dan dilemparkan
begitu saja di samping ruangan sana itu tiada seorang pun
yang menggubrisnya.
Sebenarnya perutnya sudah sangat lapar, dalam keadaan iseng
coba-coba ikut menonton latihan ilmu pedang yang dimainkan
Houyan Ban-sian dan Bun Ban-hu itu.
Lwekang Boh-thian sekarang sudah sangat sempurna, hanya
saja mengenai ilmu pukulan atau ilmu pedang dan sebagainya
sama sekali ia tidak becus, namun ilmu silat umumnya harus
menggunakan Lwekang sebagai dasar, ilmu pukulan dan lainlain
hanya gerakan yang dikerahkan oleh tenaga dalam itu.
Karena di waktu kecilnya Boh-thian sering berburu binatang
dan menangkap burung, maka pada dasarnya gerak-geriknya
sudah gesit dan cekatan. Sejak dia berhasil pula melatih Lohan-
hok-mo-kang yang berasal dari boneka-boneka itu, maka
tokoh-tokoh kelas satu seperti Pwe Hay-ciok atau Cia Yan-khek
sekalipun juga bukan tandingannya lagi.
Setelah mengikuti sejenak pertandingan dan serangKang
Zusi http://cerita-silat.co.cc/
menyerang antara Houyan Ban-sian dan Bun Ban-hu itu, ia
menjadi ketarik dan merasa dirinya juga bisa. Ia merasa
serang-menyerang kedua orang itu seperti permainan anak
kecil saja, sudah terang satu tusukan asal disorong maju
sedikit lagi tentu akan mengenai sasarannya, tapi justru tenaga
penyerangnya sudah habis dikerahkan dan terpaksa hanya
mencapai jarak tertentu saja dan gagal mengenai lawannya.
Boh-thian pikir mungkin karena mereka adalah sesama saudara
seperguruan dan hanya latihan saja, maka dengan sendirinya
tidak saling menyerang dengan sungguh-sungguh.
Tiba-tiba terdengar Pek Ban-kiam membentak “Berhenti dulu!”
Lalu ia maju ke tengah, ia ambil pedangnya Houyan Ban-sian
dan memberi contoh, katanya, “Tusukanmu barusan ini kalau
disorong maju dua senti lagi tentu sudah memperoleh
kemenangan.”
Boh-thian menjadi senang karena apa yang dikatakan Pek Bankiam
itu cocok benar dengan pikirannya tadi, Tapi mengapa
penyerangnya itu sengaja tidak mau menusuk dengan lebih
maju sedikit?
Sementara itu kelihatan Houyan Ban-sian telah mengangguk
dan menjawab, “Petunjuk Pek-suko memang tepat. Cuma
serangan Siaute barusan ini telah dilakukan dengan sekuatnya
dan sampai di sini tahu-tahu tenaga dalam sudah habis
dikerahkan sehingga susah disorong maju lebih jauh lagi.”
Ban-kiam tersenyum, katanya, “Untuk mencapai tenaga dalam
yang kuat memang bukan latihan dalam satu-dua hari saja.
Lwekang yang kupelajari pada hakikatnya juga tiada bedanya
dengan Lwekang yang dipelajari para Sute. Namun demikian,
kekurangan tenaga dalam masih dapat dibantu dengan

menggunakan perubahan-perubahan ilmu pedang.
Sesungguhnya Lwekang golongan kita juga tiada sesuatu yang
luar biasa, dibandingkan Lwekang golongan lain seperti Siaulim-
pay Go-bi-pay, Bu-tong-pay, Kun-lun-pay, meski masingmasing
golongan mempunyai keunggulannya sendiri-sendiri
tapi sejarah golongan kita masih terlalu muda sehingga tak
dapat membandingi golongan-golongan yang bersejarah
ratusan tahun itu. Namun begitu ilmu pedang golongan kita
sesungguhnya dapat dikatakan tiada bandingannya di dunia ini.
Maka dari itu di kala berhadapan dengan musuh hendaklah
para Sute menggunakan keunggulan pihak sendiri untuk
menyerang kelemahan musuh, janganlah mengadu tenaga
dalam dengan orang, tapi gunakanlah perubahan-perubahan
ilmu pedang kita yang hebat ini untuk merebut kemenangan.”
Para Sutenya sama mengangguk dan membenarkan analisis
sang Suheng yang ternyata tepat sekali itu.
Kiranya ketua Swat-san-pay yang sekarang, Wi-tek Siansing
Pek Cu-cay, yaitu ayahnya Pek Ban-kiam, pada waktu kecilnya
secara kebetulan telah minum obat mukjizat sehingga tenaga
dalamnya mendadak maju sangat pesat dan dapat menandingi
latihan orang selama 40-50 tahun.
Sebenarnya Lwekang Swat-san-pay itu tidak dapat menandingi
golongan lain, tapi Pek Cu-cay telah mengambil jalan lain yang
lebih cepat sehingga tenaga dalamnya menjadi lebih tinggi
malah dibandingkan tokoh-tokoh Siau-lim-pay, Bu-tong-pay
dan lain-lain.
Sudah tentu obat mukjizat begitu hanya bisa diketemukan
secara kebetulan dan tak dapat dicari. Walaupun tenaga dalam
Pek Cu-cay sendiri sangat kuat tapi anak muridnya yang
berjumlah tidak sedikit itu justru lemah dalam hal Lwekang.
Dasar watak Wi-tek Siansing itu memang suka unggul, maka

selamanya ia tidak menjelaskan titik kelemahan golongannya
sendiri kepada para muridnya.
Anak muridnya yang hidup terpencil di pegunungan bersalju itu
karena kurang penerangan lantas menganggap ilmu pedang
dan Lwekang golongannya tersendiri terhitung nomor wahid di
kolong langit ini. Baru sesudah mereka berulang-ulang
terjungkal di daerah Tionggoan, sekarang Pek Ban-kiam secara
terus terang telah menguraikan titik kelemahan golongannya
sendiri dan barulah mereka sadar semuanya.
Begitulah Pek Ban-kiam lantas memberi petunjuk-petunjuk
tentang di mana letak kehebatan perubahan ilmu pedang Swatsan-
pay itu sejurus demi sejurus. Sesudah Houyan Ban-sian
dan Ban Ban-hu, lalu berganti pula dua orang Sutenya yang
lain. Kemudian Houyan Ban-sian dan Bun Ban-hu disuruh
menggantikan Tio dan Ong yang pasang mata di luar itu.
Ilmu pedang yang dimainkan orang-orang Swat-san-pay itu
sebenarnya tidak banyak bedanya satu sama lain.
Dasar Ciok Boh-thian memang pintar, pondamen tenaga
dalamnya sudah sangat kuat pula, ditambah lagi Pek Ban-kiam
telah memberi petunjuk-petunjuk dengan sungguh-sungguh
yang diikuti Ciok Boh-thian dengan saksama.
Maka sampai dengan pasangan ketujuh dari pertandingan anak
murid Swat-san-pay itu, dari 72 jurus Swat-san-pay itu telah
dipahami seluruhnya oleh Ciok Boh-thian, walaupun namanama
dari jurus-jurus ilmu pedang itu tak teringat dengan
lengkap, intisari dari perubahan-perubahan ilmu pedang itu
pun susah dipahami seketika, tapi bilamana diserang lawan,
maka cara menangkis dan cara balas menyerang sudah
tercakup di dalam rekaannya, bahkan ilmu pedang yang dia
reka itu jauh lebih bagus dan jitu daripada murid-murid SwatKang
Zusi http://cerita-silat.co.cc/
san-pay itu, sebaliknya cocok sekali dengan petunjuk-petunjuk
yang diberikan oleh Pek Ban-kiam kepada Sute-sutenya.
Terkadang apa yang direka oleh Ciok Boh-thian itu juga agak
bodoh, ilmu pedang yang digunakan murid Swat-san-pay itu
ada lebih bagus daripada rekaannya, dan petunjuk yang
diberikan Pek Ban-kiam juga lebih bagus setingkat lagi.
Jika demikian, maka ini berarti Ciok Boh-thian sudah lebih
mendalami satu jurus ilmu pedang itu.
Begitulah dengan asyik sekali semua orang mencurahkan
perhatian dalam mempelajari ilmu pedang, yang belajar lupa
lelah, yang menonton lupa lapar, sehingga semua murid Swatsan-
pay itu selesai latihan, Swat-san-kiam-hoat itu telah
dimainkan beberapa kali secara berulang-ulang oleh anak
murid Swat-san-pay, maka Ciok Boh-thian juga telah paham
hampir seluruhnya dari ilmu pedang itu.
Diam-diam Boh-thian juga heran, “Sudah begitu lama orangorang
ini melatih ilmu pedang, mengapa permainan mereka
sedemikian jeleknya, sudah terang jurus-jurus ilmu pedang ini
sangat gampang, tapi mereka justru tidak dapat melakukannya
dengan jitu.”
Ia tidak tahu bahwa Lo-han-hok-mo-kang yang telah
dipelajarinya dari boneka-boneka itu adalah semacam Lwekang
mahatinggi dari Siau-lim-pay yang merupakan ikhtisar atau
saripati dari ilmu silat Siau-lim-pay yang paling dalam.
Dengan memiliki pengetahuan Lwekang yang tinggi itu,
terhadap setiap ilmu silat umumnya adalah laksana orang
memandang bumi dari puncak gunung, segala apa dapat
dilihatnya dengan jelas dan boleh dikata tiada artinya lagi
baginya.

Selagi Boh-thian termenung-menung sendiri, tiba-tiba
terdengar Pek Ban-kiam menghela napas panjang sambil
melemparkan pedangnya.
Keruan para Sutenya saling pandang dengan heran, mereka
tidak paham apa maksud sang Suheng dengan menghela napas
panjang dan membuang pedangnya itu.
Tertampak sorot mata Pek Ban-kiam kemudian beralih kepada
Ciok Boh-thian yang mendoprok bersandar di pilar sana,
dengan muka muram dan suara serak ia berkata, “Sejak bocah
ini masuk perguruan kita, hanya dalam waktu dua-tiga tahun
saja dia sudah dapat memahami intisari ilmu silat golongan
kita, walaupun kekuatannya masih kalah daripada para paman
gurunya yang sudah belajar belasan tahun, tapi dalam hal
kecerdasan dan perubahan-perubahan gerak menurut keadaan
dia ada lebih pintar, hal ini cocok benar dengan ilmu pedang
kita yang memang mengutamakan kegesitan dan perubahanperubahan
cepat. Sebab itulah Hong-suko menaruh harapan
sangat besar kepadanya, bahkan Ciangbunjin sendiri juga
menunjukkan perhatian dan berharap dia yang akan
mengembangkan kejayaan golongan kita. Tapi, siapa duga ...
ai, at ... ai ....” berulang-ulang ia menghela napas panjang
sampai tiga kali, betapa rasa sayang dan menyesalnya kentara
sekali pada wajahnya itu.
Hendaklah maklum bahwa “Gi-han-se-pak” Pek Ban-kiam
bukan cuma ilmu silatnya saja yang tinggi, bahkan pengalaman
dan pengetahuannya juga sangat luas.
Sesudah menyaksikan latihan-latihan Sutenya itu, ia merasa
semua Sute itu terbatas oleh bakat pembawaan masingmasing,
biar betapa pun giatnya mereka berlatih juga susah
mendapat tingkatan tertinggi. Ia menjadi teringat kepada nasib

golongannya sendiri yang tiada mempunyai ahli waris yang
baik maka ia sangat menyesal. Mestinya Ciok Boh-thian
seorang pemuda pilihan yang jarang terdapat, tapi anak muda
itu justru tidak baik kelakuannya, sebab itulah ia menghela
napas dan bersedih mengingat nasib golongan Swat-san-pay
kelak.
Ciok Boh-thian menjadi terharu juga ketika melihat sorot mata
Pek Ban-kiam yang memandang ke arahnya itu penuh kasih
sayang padanya, walaupun tidak paham kandungan hati tokoh
Swat-san-pay itu tapi diam-diam timbul juga rasa terima
kasihnya.
Begitulah suasana dalam kelenteng sunyi itu untuk sekian
lamanya menjadi sunyi senyap.
Selang sebentar, mendadak Pek Ban-kiam menggunakan ujung
kaki kanan untuk menutuk gagang pedang yang dilemparkan
ke lantai tadi, kontan pedang itu lantas mencelat ke atas dan
kena dipegangnya. Dengan perlahan-lahan ia menuju ke
pelataran. Tiba-tiba ia berseru, “Sobat dari manakah itu,
silakan turun saja untuk bicara?”
Para murid Swat-san-pay menjadi terperanjat. Serempak
mereka menduga tentu orang-orang Tiang-lok-pang yang telah
datang? Anehnya mengapa Houyan Ban-sian dan Bun Ban-hu
yang menjaga di luar itu sama sekali tidak memberi tanda
bahaya apa-apa? Datangnya musuh juga sama sekali tak
bersuara, mengapa Pek-suko dapat mengetahui?
Selagi semua orang berkebat-kebit, terdengarlah suara
jatuhnya benda yang perlahan, tahu-tahu di tengah pelataran
sana sudah bertambah dua orang.
Yang satu berbaju hitam mulus, yang lain adalah wanita yang

berpakaian putih mulus.
Kedua orang itu sama-sama membawa pedang yang terselip di
punggung mereka, di waktu melompat turun mereka hanya
mengeluarkan suara yang perlahan, hal ini sudah menang
angin lebih dulu, ditambah lagi kedua orang sama-sama gagah
dan cantik sehingga membuat kesengsem setiap orang yang
melihatnya.
Segera Pek Ban-kiam memberi hormat dan berseru pula,
“Kiranya adalah Ciok-cengcu dan nyonya dari Hian-soh-ceng
yang telah datang!”
Suami-istri yang datang ini memang benar adalah Ciok Jing
dan Bin Ju. Wajah Ciok Jing tampak bersenyum simpul, ia
membalas hormat dan berkata, “Pek-suheng telah berkunjung
ke tempat kami, kebetulan kami suami-istri tiada di rumah dan
tidak memberi penyambutan yang layak, untuk ini hendaklah
suka memberi maaf.”
Anak murid Swat-san-pay yang pernah bertemu dengan Ciok
Jing di Hau-kam-cip tempo hari semuanya telah tertawan di
markas Tiang-lok-pang, sedangkan rombongan ini tiada yang
kenal suami-istri itu, maka mereka menjadi tergetar ketika
mendengar yang datang ini adalah Ciok Jing bersama istrinya.
Pikir mereka, “Kami sudah membakar perkampungannya,
entah mereka sudah tahu atau belum?”
Tak terduga Pek Ban-kiam lantas bicara secara terus terang
saja, katanya, “Kunjungan kami ke Tionggoan ini adalah untuk
mencari putramu, karena putramu tidak diketemukan, dalam
gusarnya aku telah membakar kampung kediamanmu.”
Wajah Ciok Jing yang tersenyum itu sama sekali tidak berubah
demi mendengar keterangan itu. Sahutnya, “Perkampungan

kami itu memangnya tidak bagus bangunannya, kalau Peksuheng
merasa tidak suka dan telah mewakilkan Siaute
membakarnya, hal ini menjadi kebetulan malah. Untuk mana
aku mengucapkan banyak terima kasih atas kemurahan hati
Pek-suheng yang telah sudi menyingkirkan dulu semua
penghuni rumah sehingga tiada satu ekor ayam atau itik yang
terbakar mati, ini menandakan hati Pek-suheng yang welas
asih patut dipuji.”
“Pelayan dan penjaga kediaman Ciok-cengcu itu toh tiada
berdosa, kami mana boleh sembarangan membikin susah
orang lain? Buat apa Ciok-cengcu mesti berterima kasih
segala?” sahut Ban-kiam.
“Para kesatria Swat-san-pay sesungguhnya sangat sayang
kepada putraku itu, cuma sayang anak itulah yang tidak genah
sehingga sangat mengecewakan harapan Pek-locianpwe, Hongsuheng
dan Pek-suheng, sungguh kami merasa terima kasih
dan malu pula,” demikian kata Ciok Jing. “Apakah Peklocianpwe
baik saja? Begitu pula tentunya Pek-lohujin (nyonya
besar Pek, ibu Pek Ban-kiam)?”
Habis berkata bersama sang istri mereka sama membungkuk
tubuh sebagai tanda menghormat kepada ayah dan ibunya Pek
Ban-kiam.
Ban-kiam membalas hormat itu, sahutnya, “Atas doa Ciokcengcu
berdua, ayah sendiri dalam keadaan baik saja,
sedangkan ibu berhubung dengan perkara putramu itu,
sekarang beliau tidak berada di Leng-siau-sia lagi.”
Sampai di sini, tertampaklah air mukanya yang menyesal dan
sedih.
“Pek-lohujin berkepandaian tinggi dan berbudi luhur, selama

hidup beliau banyak melakukan kebajikan, siapa orangnya di
dunia Kangouw yang tidak kagum padanya,” kata Ciok Jing.
“Sekali ini beliau hanya keluar sekadar berlibur, tentulah
keadaan beliau akan baik-baik dan sehat walafiat.”
“Banyak terima kasih atas pujian Ciok-cengcu, semoga dengan
demikianlah adanya,” sahut Ban-kiam. “Cuma saja usia ibu
sudah lanjut, sekarang berkelana pula di Kangouw, sebagai
anak mau tak mau ikut berkhawatir juga.”
“Ini menandakan kebaktian Pek-suheng yang terpuji,” ujar Ciok
Jing. “Sebagai anak orang harus berbakti kepada orang tua,
sebagai orang tua wajib mendidik putra-putrinya, semua ini
adalah sifat manusia yang umum. Sekalipun kelakuan putraputrinya
tidak pantas, di samping menyesal, sebagai orang tua
terpaksa hanya dapat memberi ajaran lebih keras saja kepada
anak-anaknya.”
“Ciok-cengcu adalah tokoh yang dihormati dan disegani orangorang
Bu-lim, kalau tidak salah di pendopo Hian-soh-ceng
kalian tergantung sebuah pigura besar yang bertuliskan “Ohpek-
hun-beng (hitam atau putih harus dibeda-bedakan secara
tegas). Entah betul tidak adanya pigura itu?”
“Betul,” sahut Ciok Jing. “Tapi entah pigura bertuliskan empat
huruf itu sekarang berada di mana?”
“Sudah kubakar,” sahut Ban-kiam.
“Bagus!” kata Ciok Jing. “Putraku adalah murid Swat-san-pay
kalian, jika melanggar peraturan perguruan adalah seharusnya
mendapat hukuman setimpal dari pimpinan dan gurunya,
apakah akan dihajar atau dibunuh, sebagai orang tua kami tak
dapat ikut campur, ini adalah peraturan Bu-lim yang tak bisa di
ganggu gugat. Untuk ini waktu di Hau-kam-cip tempo hari kami

pernah menyerahkan pedang hitam putih kepada kawankawanmu
dengan pernyataan kami akan menggiring anak
durhaka itu ke Leng-siau-sia untuk menukar sepasang pedang
kami itu, bukankah kejadian ini juga telah diketahui oleh Peksuheng?”
Tentang sepasang pedang hitam-putih itu Pek Ban-kiam
memang sudah mendapat tahu dari Kheng Ban-ciong, Kwa
Ban-kin dan lain-lain, diketahui pula bahwa sepasang pedang
itu telah dirampas orang di tengah jalan, perampas pedang itu
kemungkinan adalah tokoh-tokoh yang disegani orang-orang
Bu-lim, yaitu Thian-kisu Cia Yan-khek. Sekarang didengarnya
Ciok Jing menyinggung tentang sepasang pedangnya, tanpa
terasa mukanya menjadi merah. Sahutnya kemudian, “Ya,
betul. Cuma pedang kalian itu tiada kami bawa, kelak pasti
akan kami aturkan kembali dengan baik.”
“Hahaha! Ucapan Pek-suheng ini sungguh terlalu memandang
enteng kepadaku ini,” seru Ciok Jing dengan tertawa. “Kalian
sekarang telah meringkus anakku, di samping itu senjata kami
itu ditahan pula dan tak dikembalikan, apakah ada peraturan
demikian di dalam dunia persilatan?”
“Habis bagaimana kalau menurut pendapat Ciok-cengcu?”
tanya Ban-kiam.
“Ucapan seorang laki-laki sejati, biar bagaimanapun takkan
ditarik kembali,” kata Ciok Jing. “Maka dari itu hanya ada satu
di antara dua, inginkan anak harus kembalikan pedang, bila
menahan pedang harus melepaskan anakku.”
Sebenarnya Pek Ban-kiam adalah seorang tokoh terkemuka,
bahwasanya sepasang pedang hitam putih telah direbut orang,
memangnya dia merasa malu terhadap Ciok Jing, maka
pantasnya dia tidak boleh putar lidah dan main menang sendiri.

Tapi dia juga pernah bertukar pikiran dengan Kheng Ban-ciong
dan Sute-sute yang lain, menurut perkiraan mereka bukan
mustahil secara diam-diam Ciok Jing telah bersekongkol
dengan Cia Yan-khek, lebih dulu Ciok Jing pura-pura
menyerahkan pedang-pedang pusaka mereka sebagai jaminan,
lalu minta Cia Yan-khek mencegat di tengah jalan dan
merebutnya kembali. Apalagi Ciok Tiong-giok telah
menyebabkan kematian putri tunggal kesayangannya itu,
sekarang anak muda yang merupakan biang keladi dari segala
peristiwa menyedihkan ini sudah tertangkap, sudah tentu Bankiam
tidak rela melepaskannya begitu saja hanya karena
ucapan Ciok Jing tadi.
Begitulah, sesudah berpikir sejenak lalu ia berkata,
“Permintaan Ciok-cengcu itu Cayhe tidak berani
memutuskannya sendiri, harap Ciok-cengcu suka memaafkan.
Tentang sepasang pedang kalian itu pendek kata adalah
tanggung jawabku Pek Ban-kiam ini. Bila orang she Pek
ternyata tidak mampu mengembalikan sepasang pedang
hitam-putih itu, biarlah aku akan datang ke kediaman Ciokcengcu
dan menggorok leherku di depan kalian untuk menebus
dosa.”
Pernyataan Pek Ban-kiam ini cukup tegas dan tanpa tawarmenawar
lagi. Ciok Jing cukup kenal siapa Pek Ban-kiam, yaitu
seorang kesatria yang selalu pegang janji, kata-kata sesuai
dengan perbuatan. Sekarang dengan tegas Ban-kiam telah
menanggung sepasang pedangnya dengan jiwa sendiri, maka
mau tak mau dia harus memercayainya. Namun demikian
dengan jelas dilihatnya putra kesayangan mereka meringkuk di
lantai yang kotor itu, betapa pun ia tidak tega membiarkannya
dibawa pulang orang-orang Swan-san-pay.
Lebih-lebih Bin Ju, sejak berada di dalam kelenteng itu
pandangannya tidak pernah meninggalkan lagi tubuh si BohKang
Zusi http://cerita-silat.co.cc/
thian. Dia sudah berpisah sekian lamanya dengan putra
kesayangannya, sekarang dapat bertemu di tempat yang jauh
ini, sungguh ia sangat ingin menubruk maju untuk
memeluknya. Sedari tadi air matanya sudah berlinang-linang
dan hampir-hampir menetes, apa yang dikatakan Pek Ban-kiam
sama sekali tak digubris olehnya. Cuma saja ia selalu tunduk
kepada segala keputusan sang suami, maka dia tidak ikut
bicara melainkan tetap berdiri di samping Ciok Jing.
Maka Ciok Jing telah menjawab, “Ah, ucapan Pek-suheng
terlalu sungguh-sungguh, hanya sepasang senjata kami itu
terhitung apa? Mana boleh dipersamakan dengan badan Peksuheng
yang berharga? Hanya saja sebagai orang Kangouw
segala apa kita mengutamakan keadilan. Sekalipun ilmu
pedang Swat-san-pay sangat hebat dan orangnya berjumlah
banyak, tapi juga tidak boleh berbuat sesukanya, sudah mau
pedangnya, ingin orangnya pula. Nah, Pek-suheng, sekarang
juga bocah ini akan kami bawa pulang saja.”
Bicara sampai di sini, tiba-tiba pundak kirinya sedikit bergerak,
ini adalah isyarat kepada istrinya agar lolos pedang dan
menyerang bersama.
Benar juga, segera pandangan semua orang menjadi silau oleh
gemerdepnya sinar pedang, tahu-tahu ujung pedang Ciok Jing
dan Bin Ju sudah menusuk ke arah Pek Ban-kiam. Kira-kira
belasan senti di depan dada sasarannya, mendadak kedua
pedang itu berhenti serentak.
“Silakan, Pek-suheng!” seru Ciok Jing. Nyata, sebagai tokoh
terkemuka mereka suami-istri tidak ingin menyerang secara
mendadak di kala pihak lawan belum siap siaga. Kalau Pek
Ban-kiam tidak meloloskan pedang untuk menangkis, maka
tusukan mereka itu pun tidak diteruskan ke depan.

Dengan sorot matanya yang tajam Pek Ban-kiam menatap
ujung pedang lawannya, mendadak ia melangkah maju
setengah tindak. Segera Ciok Jing dan Bin Ju menarik mundur
pedang mereka, jarak ujung pedang dengan dada sasarannya
tetap belasan senti jauhnya.
Tapi mendadak Ban-kiam meluncur satu tindak ke belakang,
ketika kedua pedang Ciok Jing dan Bin Ju ikut menjuju maju,
maka terdengarlah suara “tring-tring” dua kali, Pek Ban-kiam
sudah melolos pedangnya dan telah balas menyerang malah.
Tiga batang pedang seketika menjangkitkan suatu lingkaran
sinar yang kemilauan.
Pedang yang digunakan Ciok Jing mestinya berwarna hitam
mulus, tapi karena pedang itu sudah diserahkan kepada orang
Swat-san-pay sebagai jaminan bersama pedang istrinya, maka
sekarang yang dia pakai adalah sebatang pedang biasa.
Biasanya orang-orang Swat-san-pay sangat mengagumi ilmu
pedang Pek-suko mereka yang hebat, sekarang mereka
berpendapat biarpun dikerubut orang dua juga sang Suheng
akan lebih unggul. Maka mereka hanya menonton di samping
saja dengan pedang terhunus.
Semula tertampak serangan-serangan Ciok Jing dan Bin Ju
yang dapat bekerja sama dengan sangat baik itu dilakukan
dengan lambat, tapi makin lama makin cepat sehingga sesudah
50 jurus lebih jurus-jurus serangan suami-istri itu susah
dibedakan lagi.
Sebaliknya yang dimainkan Pek Ban-kiam adalah Swat-sankiam-
hoat yang meliputi 72 jurus itu. Ilmu pedang yang pasti
dipelajari setiap murid Swat-san-pay ini tampaknya tiada
sesuatu yang luar biasa, tapi di bawah permainan Pek Bankiam
ternyata tidak kalah lihainya daripada ilmu pedang Ciok

Jing berdua, baik bertahan maupun balas menyerang dapat
dilakukan dengan tepat dan menimbulkan daya tekanan yang
hebat kepada lawan.
Di dalam kelenteng kecil itu hanya tersulut sebatang lilin saja,
sinarnya agak guram sehingga menambah seramnya suasana
pertempuran itu.
Tadi waktu Ciok Jing dan istrinya tiba, segera Ciok Boh-thian
dapat mengenali Bin Ju adalah si wanita cantik berhati luhur
yang pernah memberi uang kepadanya di Hau-kam-cip tempo
dulu. Begitu datang suami-istri itu lantas tiada hentinya bicara
dengan Pek Ban-kiam, menyusul ketiga orang lantas lolos
pedang dan bertempur sehingga tiada memberi kesempatan
kepada Ciok Boh-thian untuk menyapa dan bicara.
Sedangkan apa yang dipercakapkan Ciok Jing dan Pek Bankiam
tadi juga tak dipahami Ciok Boh-thian, hanya lapat-lapat
diketahuinya Ciok Jing telah minta kembali sepasang pedang
kepada Pek Ban-kiam, selain itu mengenai diri seorang anak
apa, cuma sama sekali tak terduga olehnya bahwa yang
dimaksudkan itu justru adalah Ciok Boh-thian sendiri.
Tadi juga telah disaksikan latihan ilmu pedang dari muridmurid
Swat-san-pay, sekarang dilihatnya pula Ciok Jing bertiga
melolos pedang dan bertanding pula, ketiga orang tidak saling
membentak atau memaki, sikap mereka pun ramah tamah
saja, maka disangkanya mereka juga sedang latihan saja
seperti tadi.
Sejenak kemudian ia lantas memerhatikan pula ilmu pedang
yang dimainkan Ciok-Jing dan istrinya. Segera dapat
diketahuinya bahwa ilmu pedang ketiga orang itu ternyata
sangat berbeda.

Gerakan Ciok Jing sangat kuat dan tangkas, sebaliknya Bin Ju
lemah gemulai. Jurus ilmu pedang yang dimainkan suami istri
itu adalah sama, tapi yang satu keras dan yang lain lunak,
yang satu Yang (positif) dan yang lain Im (negatif), yang satu
cepat dan yang lain lambat, tenaga dalam yang digunakan
berlawanan satu sama lain, tapi bila ketemu dengan pedang
Pek Ban-kiam, segera jurus pedang suami-istri itu tampaknya
dapat bekerja sama dengan sangat rapat dan dua menjadi
satu.
Maklum bahwa suami-istri Ciok Jing dan Bin Ju yang telah
menikah selama dua puluh tahun itu tidak pernah berpisah
barang satu hari pun, juga tiada pernah absen satu hari tidak
berlatih pedang, maka ilmu pedang mereka sudah boleh
dikatakan mencapai dua raga satu pikiran. Dalam hal
permainan berganda pedang, di dunia persilatan sudah tiada
bandingannya lagi.
Tentang teori ilmu pedang yang mendalam itu sudah tentu Ciok
Boh-thian tidak paham, tapi Lwekang yang telah dimilikinya
sekarang adalah sangat aneh, lebih dulu ia melatih Lwekang
mahadingin dari sesuatu orang, kemudian mendapat ajaran
Lwekang mahapanas dari Cia Yan-khek, akhirnya melalui “Lohan-
hok-mo-kang” yang merupakan Lwekang yang paling
sempurna itu sehingga kedua macam Lwekang dingin dan
panas semula dapat dilebur menjadi satu.
Ilmu pedang Ciok Jin dan Bin Ju, sebenarnya dimainkan
dengan Lwekang Im dan Yang yang tidak sama. Maka Ciok
Boh-thian hanya menonton sebentar saja lantas seperti
menyadari sesuatu, pikirannya, “Aneh, ilmu pedang mereka ini
aku dapat memainkannya semua, tapi entah sejak kapan aku
telah mempelajarinya?”
Karena merasa ilmu pedang yang dimainkan ketiga orang itu ia

sendiri pun bisa, maka Ciok Boh-thian menjadi girang tak
terkatakan.
Tidak lama kemudian ia lantas tahu juga bahwa dengan satulawan-
dua keadaan Pek Ban-kiam lebih lemah dan mulai
terdesak.
Kiranya ilmu pedang dan tenaga dalam Ciok Jing suami-istri
masing-masing sebenarnya sama kuatnya, tapi sekarang
mereka berdua mengerubut Pek Ban-kiam seorang, dengan
sendirinya Ban-kiam kewalahan, cuma dalam ilmu pedang Bankiam
itu ada suatu arus tenaga yang ganas dan lihai, dasar Bin
Ju memang lemah lembut, di waktu menyerang selalu memberi
kelonggaran, sebab itulah mereka bertiga dapat bertarung
sampai sekian lamanya. Padahal walaupun Bin Ju kelihatan
lemah gemulai, tapi dalam hal ilmu pedang sebenarnya sedikit
pun tidak di bawah suaminya.
Begitulah, maka sesudah beberapa puluh jurus, beruntunruntun
Pek Ban-kiam dua kali hampir dimakan ujung pedang
Bin Ju. Diam-diam Ban-kiam mengeluh. Namun dasar
wataknya memang keras, sekalipun dia mesti binasa di bawah
pedang Ciok Jing suami-istri juga dia pantang menyerah, maka
dengan mati-matian ia masih terus bertahan.
Selang sejenak pula, sekarang beberapa orang Swat-san-pay
sudah mulai mengetahui keadaan sang Suheng yang payah itu.
Segera seorang di antaranya berteriak, “He, dua orang
mengerubut satu orang, huh, tidak tahu malu! Ciok-cengcu,
jika kau berani silakan bertempur satu-lawan satu dengan Peksuko
saja, kalau ingin main keroyokan terpaksa kami juga akan
menerjang maju semua!”
Namun Ciok Jing hanya tersenyum saja, sahutnya sambil
kerjakan pedangnya, “Apakah Hong-hwe-sin-liong Hong Ban-li

Hong-suheng berada di sini? Kalau Hong-suheng berada di sini
dia boleh main berganda bersama Pek-suheng dan kita
berempat boleh coba-coba mengukur ilmu pedang masingmasing.”
Terang sekali maksudnya hendak mengatakan bahwa di antara
anak murid Swan-san-pay sebanyak itu, selain Hong-hwe-sinliong
Hong Ban-li, maka yang lain-lain pasti tidak mampu main
ganda bersama Pek Ban-kiam untuk melawan mereka suami
istri.
Padahal Ciok Jing juga tahu bahwa dengan suami-istri mereka
mengerubut Pek Ban-kiam seorang terang mereka lebih kuat
dan sebenarnya juga tidak pantas menurut peraturan
Kangouw.
Tapi sekarang urusan menyangkut mati-hidup putra
kesayangannya, kalau anak muda itu sampai dibawa pulang ke
Leng-siau-sia, maka terang pasti akan dihukum mati.
Demi untuk menyelamatkan putranya itu, saat inilah suatu
kesempatan yang paling baik, walaupun kelak akan dicerca
sesama orang Bu-lim tentang mereka main kerubut dua lawan
satu dan bukan perbuatan kesatria sejati, terpaksa mereka tak
peduli lagi. Apalagi di dalam kelenteng ini di pihak Swat-sanpay
masih ada belasan orang lagi, keadaan demikian pun boleh
dikatakan mereka suami-istri melawan belasan orang musuh.
Adapun soal kepandaian orang-orang Swat-san-pay yang lain
itu terlalu rendah untuk dapat melawan mereka, adalah salah
pihak Swat-san-pay sendiri, siapa sih yang suruh Swat-san-pay
mendidik murid-murid segoblok itu?”
Di lain pihak Pek Ban-kiam menjadi gusar ketika mendengar
Ciok Jing menyebut nama Hong-hwe-san-liong Hong Ban-li.
Pikirnya, “Justru Hong-suko telah kehilangan sebelah

lengannya gara-gara perbuatan putramu yang durhaka itu,
sekarang kau masih coba-coba menyebut namanya dan ingin
bertanding dengan dia?”
Pertandingan di antara jago-jago kelas tinggi sebenarnya tidak
boleh lena sedikit pun, apalagi memencarkan pikirannya.
Memangnya Pek Ban-kiam sudah terdesak, dalam gusarnya itu
gerak pedangnya menjadi lambat, saat itu ia sedang
menyerang, tapi Ciok Jing sempat menangkisnya dan segera
dapat dilihatnya pula lubang kelemahan Ban-kiam itu, ia
kerahkan tenaga dalam ke batang pedang dan sekuatnya
menekan pedang lawan. Insaf keadaan yang berbahaya itu
cepat Ban-kiam hendak menggeser ke samping, namun lubang
kelemahan yang hanya terlintas dalam sekejap saja itu sudah
digunakan oleh Bin Ju dengan baik, tahu-tahu ujung
pedangnya sudah menyambar tiba dan tepat menjurus ke dada
Pek Ban-kiam.
Ban-kiam tahu serangan ini tak bisa dielakkan lagi dan pasti
akan menembus dadanya, maka ia pejamkan mata dan terima
nasib.
Tak terduga ujung pedang Bin Ju hanya ditujukan kira-kira
belasan senti berada di depan dadanya, lalu ditariknya kembali
segera. Berbareng mereka suami-istri lantas melompat
mundur, mereka menyimpan kembali pedang masing-masing
dan berdiri tegak tanpa bicara.
Bab 16. Antara Anak Berbakti dan Murid Durhaka
Dengan muka merah padam Ban-kiam membuka matanya
pula. Ia pikir pihak lawan sudah mengampuni jiwaku, maksud
tujuannya adalah jelas sekali, yaitu mereka hendak membawa
pergi putra mereka. Sekarang dirinya sudah keok, mana boleh
bertempur lagi dan merintangi kehendak mereka? Andaikan

bertempur lagi juga tak dapat melawan mereka suami-istri.
Demi teringat nasib putri kesayangannya yang telah binasa
gara-gara kelakuan murid murtad perguruannya sendiri,
sekarang dirinya memimpin para Sute datang ke Tionggoan, di
antara para Sute itu ada tujuh orang telah ditawan pula oleh
pihak Tiang-lok-pang, Ciok Tiong-giok yang dapat
ditangkapnya ini sekarang mesti dirampas orang lagi,
sedangkan Swat-san-kiam-hoat yang paling diandalkan juga
tak dapat melawan Hian-soh-siang-kiam (sepasang pedang
Hian-soh-ceng), nama baiknya selama ini telah runtuh habishabisan,
teringat semuanya ini seketika Ban-kiam menjadi
putus asa, ia berdiri dengan termenung-menung tanpa
bersuara.
Dalam pada itu suara pertempuran di dalam kelenteng itu juga
telah didengar Houyan Ban-sian dan Bun Ban-hu yang menjaga
di luar kelenteng, mereka pun sudah masuk kembali dan
menyaksikan kekalahan sang Suheng, segera mereka berseru,
“Mereka dapat main kerubut, masakah kita tidak boleh main
keroyok!”
Dan sekali memberi tanda serentak 12 orang murid Swat-sanpay
lantas menerjang maju mengelilingi Ciok Jing dan Bin Ju.
Ban-kiam tahu ke-12 orang Sutenya itu sekali-kali bukan
tandingan Ciok Jing suami-istri, sekalipun dirinya ikut pula di
dalam pertempuran juga sukar memperoleh kemenangan.
Karena itulah ia menjadi ragu-ragu apa yang harus
diperbuatnya.
Tiba-tiba terdengar Ciok Jing berkata, “Pek-suheng, kami
suami-istri bergabung melawan Pek-suheng memang telah di
atas angin sedikit, tapi tak dapat dikatakan telah mendapat
kemenangan. Maka dari itu marilah kita mulai lagi. Awas

serangan!”
Habis berkata segera pedangnya menusuk lebih dahulu.
Terhadap ke-72 jurus ilmu pedang Swat-san-pay memangnya
sudah dapat dipahaminya dengan baik, sekarang dilihatnya
pula permainan Pek Ban-kiam yang lihai itu, ia merasa setiap
jurus yang dimainkan itu cocok benar dengan seleranya.
Dengan kedudukan Pek Ban-kiam sebagai seorang tokoh
terkemuka, kalau tadi pihak lawan sudah mengampuni jiwanya,
maka seharusnya ia tidak boleh menantang lagi. Tapi sekarang
Ciok Jing sendiri yang melancarkan serangan lebih dulu, untuk
ini ia boleh menangkisnya. Diam-diam ia membatin, “Baik, biar
aku coba mengukur kekuatanmu lagi dengan satu lawan satu.”
Segera ia menangkis sambil menggeser ke samping, lalu balas
menyerang.
Keadaan menjadi berbeda dengan pertarungan Pek Ban-kiam
melawan Ciok Jing ini. Tadi dia satu melawan dua, dengan
sendirinya lebih banyak diserang daripada menyerang,
walaupun dia dapat berjaga dengan sangat rapat, tapi di waktu
balas menyerang mau tak mau mesti berpikir kepada lawan
yang lain, kalau menyerang Ciok Jing harus menjaga pula
serangan dari Bin Ju, sebaliknya kalau menusuk Bin Ju harus
pula cepat menangkis serangan balasan dari Ciok Jing yang
selalu kerja sama dengan sangat baik bersama istrinya.
Sekarang satu lawan satu, pula merasa malu atas kekalahan
tadi, seketika Pek Ban-kiam memainkan 72 jurus Swat-sankiam-
hoat dengan sehebat-hebatnya dan tanpa kenal ampun
lagi.
Di dalam kelenteng yang kecil itu seketika penuh bertaburan

sinar pedang yang menyilaukan.
Diam-diam Ciok Jing harus mengakui ilmu pedang Pek Bankiam
memang benar-benar lihai dan tergolong ahli pedang
kelas satu.
Segera dengan penuh semangat ia melayani seranganserangan
lawan dengan segenap kepandaiannya.
Pikirnya, “Biarkan tahu bahwa ilmu pedang dari Hian-soh-ceng
kami sebenarnya tidak di bawah ilmu pedang Swat-san-pay
kalian. Sebabnya aku suruh putraku belajar di tempat kalian
adalah karena aku mempunyai maksud tujuan tertentu, maka
janganlah kau tinggi hati dan mengira aku Ciok Jing tak dapat
menandingi seorang Pek Ban-kiam.”
Dengan pertarungan ulangan Ciok Jing melawan Pek Ban-kiam
sangat cepat dan tangkas, sebaliknya Ciok Jing bertahan
dengan rapat dan tenang.
Berulang-ulang Ban-kiam mengganti serangan belasan kali dan
sedikit pun tidak memperoleh keuntungan apa-apa, maka
diam-diam ia pun terkejut dan heran, “Kehebatan ilmu pedang
orang ini ternyata lebih tinggi daripada kesohoran yang
diperolehnya dari orang Kangouw. Jika demikian hebat ilmu
pedangnya sendiri buat apa dia menyuruh putranya belajar
kepada golongan Swat-san-pay kami?”
Lalu terpikir pula olehnya, “Tadi aku telah dikalahkan, hal ini
boleh dikatakan lantaran aku dikeroyok dua. Tapi sekarang
hanya satu lawan satu, kalau aku kalah sejurus saja akan
berarti runtuhlah nama baik Swat-san-pay selama ini. Maka
aku harus mengalahkan dia dan mengancam sesuatu tempat
yang berbahaya di badannya, lalu mengampuni jiwanya. Kalau
tidak, susah aku membalas hinaan kekalahanku tadi.”

Dan karena nafsunya ingin menang, mau tak mau seranganserangannya
menjadi agak terburu-buru dan sering dilakukan
secara ceroboh.
Diam-diam Ciok Jing bergirang, “Semakin kau terburu nafsu,
semakin cepat kau akan kalah lagi di bawah pedangku.”
Sesudah belasan jurus, benar juga Pek Ban-kiam sendiri
berulang-ulang terancam bahaya malah. Ia terkesiap dan cepat
memusatkan perhatiannya dengan tenang, ia tidak berani
sembrono lagi.
Sampai di sini barulah kedua jago benar-benar bertempur
dengan sama kuat dan sama tangkasnya sehingga susah
menentukan kalah atau menang.
Dari pertarungan sengit kedua tokoh ini, Ciok Boh-thian telah
tambah berpengalaman lagi macam-macam teori ilmu pedang
itu, sebenarnya teori ilmu pedang yang itu susah dipahami oleh
seorang pemuda yang baru berusia 20-an tahun, tapi pertama
karena ciok Boh-thian sudah memiliki Lwekang yang sangat
tinggi, pula cara pertarungan kedua jago pedang yang sama
kuatnya dan dilakukan dengan sangat dahsyat itu
sesungguhnya jarang dijumpai di dalam dunia persilatan,
untunglah Ciok Boh-thian dapat menyaksikan dengan secara
teratur sehingga tanpa merasa teori ilmu pedang yang paling
mendalam telah dapat dipecahkan dan dipahaminya.
Saking asyiknya Ciok Boh-thian menonton pertarungan Ciok
Jing dan Pek Ban-kiam juga seru sekali sehingga melupakan
segala apa yang berada di sekeliling mereka. Sesudah 200
jurus lebih, semangat Pek Ban-kiam tambah menyala, ia
merasa pertarungan hari ini benar-benar suatu hal yang
menyenangkan selama hidup ini sehingga rasa terhina atas

kekalahannya tadi sudah tak berpikir lagi olehnya.
Begitu pula Ciok Jing merasa girang karena telah ditemukan
tandingan yang sama tangguhnya.
Maka dengan sendirinya kedua orang sama-sama timbul rasa
sayangnya kepada pihak kawan, rasa permusuhan mereka pun
mulai berkurang, sebaliknya timbul keinginan untuk menguji
dan tukar kepandaian masing-masing, maka kedua orang
sama-sama mengeluarkan segenap kemahiran sendiri-sendiri
untuk memancing cara bagaimana pihak lawan akan
menangkis serangannya.
Di waktu mulai bertempur tadi, di dalam kelenteng itu ramai
dengan suara “trang-tring” beradunya pedang, tapi sekarang
yang terdengar hanya suara “cring-cring” yang perlahan dari
gesekan dua batang pedang saja.
Sampai suatu saat menentukan, tiba-tiba Pek Ban-kiam
menusuk dari samping dalam jurus “Am-hun-so-eng” (sebagai
awan laksana bayangan), pedangnya menyambar tiba dengan
cepat sehingga tampaknya ada tapi seperti tiada pula.
“Kiam-hoat yang bagus!” Ciok Jing memuji perlahan. Cepat ia
pun menegakkan pedangnya untuk menangkis sehingga kedua
batang saling bentur.
Sekali ini diam-diam kedua orang telah mengerahkan segenap
Lwekang masing-masing, maka terdengarlah suara “pletak”,
tahu-tahu pedang yang dipegang Ciok Jing telah patah menjadi
dua.
Namun, begitu pedangnya patah saat itu juga dari samping kiri
sebatang pedang telah disodorkan. Dan begitu taman kiri
menerima pedang itu, menyusul Ciok Jing lantas menggunakan

jurus “Co-yu-hong-goan” (ketemu sasaran di kanan di kiri),
pedangnya terus berputar satu kali di depan badannya untuk
merintangi serangan susulan pihak lawan.
Di luar dugaan, Pek Ban-kiam lantas mundur setindak malah,
katanya, “Rupanya pedang Ciok-cengcu itulah yang jelek dan
mudah patah, sekali-kali bukan kekalahan dalam ilmu pedang.
Jikalau Ciok-cengcu memegang pedang hitam sendiri, pedang
mestika itu masakah dapat patah?”
Tapi baru selesai berkata, mendadak air mukanya berubah
hebat. Kiranya baru diketahuinya bahwa orang yang berdiri di
samping kiri dan telah menyodorkan pedang kepada Ciok Jing
itu bukan lain adalah Bin Ju, istri Ciok Jing sendiri.
Sebaliknya ke-12 orang Sutenya sudah menggeletak malang
melintang memenuhi lantai.
Kiranya di waktu Pek Ban-kiam mencurahkan seluruh
perhatiannya untuk menempur Ciok Jing, saat itu juga Bin Ju
seorang diri sudah merobohkan ke-12 orang murid Swat-sanpay
yang mengerubutnya itu. Luka yang diderita setiap murid
Swat-san-pay itu sangat ringan, tapi Bin Ju telah menusuk
dengan menyalurkan Lwekangnya melalui batang pedang dan
mengenai Hiat-to sasarannya sehingga murid-murid Swat-sanpay
yang tertusuk ringan itu lantas menggeletak dan tak
berkutik lagi.
Ini adalah suatu kepandaian khas Bin Ju, perangainya memang
welas asih dan tidak suka membikin celaka orang lain, sebab
itulah ia telah menggunakan ilmu Tiam-hiat di dalam ilmu
pedangnya, kelihatannya lawan tertusuk pedang dan roboh,
tapi sebenarnya terkena tutukan tenaga dalamnya. Hanya saja
Lwekang Bin Ju belum mencapai tingkatan sempurna, kalau
tidak, asal ujung pedangnya mengenai Hiat-to sasarannya

sudah cukup merobohkan lawan tanpa melukainya sedikit pun.
Begitulah, sesudah Bin Ju menyodorkan pedangnya kepada
sang suami, segera ujung kakinya menyungkit, sebatang
pedang milik seorang Swat-san-pay yang terlempar di lantai itu
lantas mencelat ke atas dan segera dipegang olehnya serta
siap untuk membantu sang suami pada setiap saat.
Melihat itu, Pek Ban-kiam seketika cemas. Pikirnya, “Betapa
pun aku dan Ciok Jing hanya dapat bertempur dengan sama
kuatnya, kalau nyonya Ciok ikut pula di dalam pertempuran
dan kejadian tadi terulang lagi, lalu apa yang dapat
kuharapkan pula?”
Terpaksa ia berkata, “Ya, sayang Hong-suko tiada berada di
sini, kalau ada, dengan kami berdua tentu akan dapat
mengukur tenaga lebih jauh dengan kalian suami-istri.
Sekarang kalah dan menang sudah jelas, apa mau dikatakan
lagi?”
“Ya, betul, kelak kalau ketemu dengan Hong hwe-sin-liong ....”
belum selesai ucapannya tiba-tiba teringat olehnya bahwa
Hong Ban-li telah terkutung sebelah lengannya disebabkan
perbuatan putranya yang bernama Ciok Tiong-giok itu,
sekalipun kelak dapat berjumpa juga, tokoh Swat-san-pay itu
tidak dapat bertanding pedang lagi, karena itu ucapannya
lantas terhenti setengah jalan dan tidak diteruskan.
Melihat wajah Pek Ban-kiam yang merah padam dan
perasaannya yang cemas itu, sedangkan Ciok Jing dan Bin Ju
juga kelihatan menaruh simpatik kepada lawannya, diam-diam
Ciok Boh-thian membatin, “Ke-12 murid Swat-san-pay itu
benar-benar sangat goblok, masakah tiada seorang pun yang
mampu membantu Suhengnya dalam permainan ganda
melawan Ciok-cengcu suami-istri sehingga pertandingan yang

mengasyikkan ini terhenti setengah jalan.”
Teringat olehnya rasa sayang Pek Ban-kiam ketika menatap
padanya tadi, ia pikir, “Orang she Pek ini sangat baik padaku,
tapi nyonya Ciok itu pun pernah memberi uang padaku.
Sekarang mereka ingin bertanding kurang seorang lawan,
rupanya ada seorang bernama Hong-suheng apa, tapi
orangnya tidak berada di sini sehingga mereka merasa kecewa.
Walaupun aku tidak tahu ilmu pedang segala, tapi tadi aku
sudah menyaksikan permainan mereka dan sudah hafal,
biarlah aku ikut main-main dengan mereka.”
Karena pikiran demikian, segera ia berbangkit, ia menirukan
caranya Pek Ban-kiam tadi, dengan ujung kaki ia menutuk
gagang sebatang pedang yang terlempar di lantai itu, di mana
tenaga dalamnya sampai, kontan pedang itu lantas mencelat
ke atas dan segera dipegang olehnya. Lalu katanya dengan
tertawa, “Kalian kurang satu orang dan tidak jadi bertanding,
biarlah aku main berganda bersama Pek-suhu!”
Baik Pek Ban-kiam maupun Ciok Jing suami-istri sama-sama
terperanjat ketika melihat mendadak Ciok Boh-thian dapat
berdiri. Ban-kiam heran sebab pemuda itu sudah terang
ditutuknya beberapa puluh kali pada Hiat-to yang penting,
mengapa sekarang bisa bergerak? Jangan-jangan sesudah
merobohkan ke-12 Sutenya tadi Bin Ju telah membuka Hiat-to
pemuda itu?
Sebaliknya Ciok Jin dan Bin Ju yakin sesudah pemuda itu
ditawan Pek Ban-kiam tentu sudah tertutuk Hiat-to yang paling
penting agar tidak dapat lolos, tapi mengapa seenaknya saja
sekarang pemuda itu dapat berbangkit?
“Anak Giok ....” baru Bin Ju hendak menyapa, mendadak ia
hentikan panggilannya dan berpaling kepada sang suami

dengan perasaan cemas.
Sebab apakah mendadak Ciok Boh-thian dapat bergerak
sendiri? Padahal dia sudah tertutuk oleh Pek Ban-kiam. Tadi dia
sudah menggeletak lebih dua jam di situ, selama itu Pek Bankiam
sibuk memberi petunjuk kepada para Sutenya, kemudian
bertanding melawan Ciok Jing suami istri sehingga tidak pernah
menambahi tutukannya kepada Hiat-to di tubuh Ciok Bohthian.
Tutukan Pek Ban-kiam itu sebenarnya berkekuatan 12 jam
baru dapat punah sendirinya. Tak terduga Ciok Boh-thian telah
memiliki Lwekang yang mahatinggi, walaupun tidak paham
cara membuka Hiat-to sendiri yang tertutuk itu, tapi tidak
sampai satu jam, tempat-tempat yang tertutuk itu tanpa
merasa telah punah sendiri oleh karena tenaga dalamnya yang
berjalan sendiri secara kuat itu. Sudah tentu Ciok Boh-thian
tidak tahu bahayanya Hiat-to yang tertutuk itu, juga tidak
merasa bingung mengapa Hiat-to tertutuk dapat punah sendiri.
Begitulah mendadak pikiran Pek Ban-kiam tergerak, serunya,
“Mengapa kau ingin main ganda bersama aku? Apakah karena
kau hendak mencoba ilmu pedang yang telah kau pelajari
selama menjadi murid Swat-san-pay?”
“Tapi aku tidak tahu apakah benar tidak kepandaianku ini,”
sahut Boh-thian dengan manggut-manggut secara ketololtololan,
“dari itu diharap Pek-suhu dan Ciok-cengcu berdua
suka memberi petunjuk.”
Habis berkata pedangnya lantas terangkat melintang di depan
dada sambil berdiri ke sisi Pek Ban-kiam, gerakan yang
digunakan memang benar adalah jurus “Siang-tho-say-lay”
(dua unta datang dari barat) dari Swat-san-kiam-hoat.

Untuk sejenak Ciok Jing dan Bin Ju termangu-mangu
memandangi Ciok Boh-thian, rasa suka duka dan gemas-malu
meliputi perasaan mereka berhadapan dengan putra yang telah
sekian tahun tidak pernah bertemu ini. Perawakan sang putra
sekarang sudah tumbuh sekian tingginya dan kekar, walaupun
mukanya tampak agak kurus dan letih, tapi tidak memengaruhi
sikapnya yang gagah itu. Lebih-lebih sepasang matanya yang
bersinar terang seperti di dalam tubuhnya tersembunyi
kekuatan Lwekang yang sangat tinggi.
Sebagai seorang ayah, sebenarnya Ciok Jing merasa malu
karena perbuatan putranya yang mencemarkan nama baik
Hian-soh-ceng, terutama bila mengingat peraturan-peraturan
Bu-lim, maka selama beberapa tahun ini mereka tidak berani
muncul di depan umum, sebaliknya cuma menyelidiki jejak
sang putra secara diam-diam. Sekarang sesudah bertemu
dengan ayah-bunda, anak durhaka ini sudah tidak memberi
sembah hormat, bahkan hendak bertanding ilmu pedang
dengan kedua orang tua, melulu hal ini saja sudah meyakinkan
bahwa berita-berita yang tersiar di Kangouw tentang kelakuan
putranya yang tidak senonoh itu pastilah bukan kabar bohong
belaka. Karena itulah diam-diam Ciok Jing merasa gemas,
cuma dia wataknya memang sabar, pula di depan Ban-kiam,
maka sedapat mungkin ia menahan perasaannya itu.
Berlainan dengan kasih sayang seorang ibu, dalam pertemuan
ini rasa girang karena Bin Ju melebihi rasa gemasnya kepada
sang putra.
Mestinya dia mempunyai dua orang putra, yang satu telah
dibunuh musuh secara keji, karena itulah kasih sayangnya
lantas terpusatkan kepada putra satu-satunya yang masih ada
ini. Tentang perbuatan Ciok Tiong-giok yang tidak senonoh di
Leng-siau-sia itu ia telah coba membela diri putranya, ia yakin
putranya yang masih muda tidaklah mungkin melakukan halKang
Zusi http://cerita-silat.co.cc/
hal yang durhaka itu, minggatnya Tiong-giok dari Leng-siau-sia
boleh jadi karena anaknya merasa dihina atau dianiaya
sehingga tidak kerasan tinggal di sana. Demikian ia berdebat
kepada sang suami.
Dalam usaha mencari putranya selama beberapa tahun ini, ia
sering mengucurkan air mata, ia khawatir jangan-jangan sudah
terkubur di tanah salju di pegunungan Tay-swat-san atau
sudah menjadi mangsa binatang buas.
Sekarang putra kesayangan yang sangat dirindukan itu berada
di depannya, biarpun dosa anak itu setinggi langit juga sudah
diampuni di dalam kasih seorang ibu.
Ia pun tahu putranya itu sejak kecil sudah sangat cerdik dan
licin, kalau sekarang anak muda itu menyatakan hendak main
berganda bersama Pek Ban-kiam, tentu ada maksud tujuannya
yang tertentu. Ia menjadi khawatir sang suami akan marah
dan mendamprat putranya sehingga membikin urusan menjadi
runyam, pula ia pun ingin lihat bagaimana ilmu silat yang
dipelajari anak muda itu selama sekian tahun, lantas
mendahului berkata, “Baiklah, kita berempat boleh dua-lawandua
dan coba-coba kepandaian masing-masing, toh hanya
coba-coba saja dan tidak menjadi soal.”
Ciok Jing melirik sekejap kepada sang istri sambil manggutmanggut.
Ia menduga maksud yang istri ialah ingin tahu
bagaimana ilmu silat putranya itu, pula agar Pek Ban-kiam
dapat dikalahkan dengan sukarela setelah main berganda,
betapa pun pintarnya Ciok Tiong-giok, dalam usianya yang
masih begitu muda juga takkan lebih lihai daripada para paman
gurunya yang telah dirobohkan Bin Ju tadi, apalagi anak muda
itu pun tidak mungkin membantu Pek Ban-kiam untuk
bertempur dengan ayah-ibunya sendiri dengan sungguhsungguh.

Sebaliknya Pek Ban-kiam mempunyai rekaan sendiri, “Dengan
Swat-san-kiam-hoat kau hendak main berganda dengan aku,
ini berarti sudah mengaku sendiri sebagai murid Swat-san-pay,
maka tak peduli bagaimana dengan hasil pertandingan ini, asal
aku tidak terbinasa, bila aku mengeluarkan tanda kebesaran
ketua Swat-san-pay, mau tak mau anak muda ini harus ikut
aku pulang ke Leng-siau-sia. Kalau Ciok-Jing berdua
merintangi, ini berarti mereka telah melanggar peraturan Bulim.”
Dengan tekad bulat ia lantas menjawab, “Apakah ingin dua
lawan dua atau tiga lawan satu, memangnya aku adalah jago
yang sudah keok, biar bagaimana tentu aku akan ikuti
kehendakmu.”
Diam-diam ia pun telah ambil keputusan jika dirinya terdesak,
sebelum terbinasa sedikitnya ia harus membunuh dulu Ciok
Boh-thian.
Melihat ujung pedang yang dipegang Pek Ban-kiam agak
tergetar dan mengarah miring ke depan, tapi tidak segera
menyerang, maka Boh-thian lantas berkata, “Jika demikian
akulah yang dahulu!”
Dengan ujung pedang yang agak tergetar segera ia membuka
serangan, ia menusuk ke bahu kanan Ciok Jing.
Begitu tusukannya dilontarkan, seketika hawa pedang
memuncak, tusukan pedang ini tidak terlalu cepat, tapi di mana
tenaga dalamnya sampai seketika menjangkitkan suara
mendesusnya angin. Jurus pedangnya adalah Swat-san-kiamhoat,
tapi betapa hebat tenaga dalamnya bahkan Pek Ban-kiam
bukan tandingannya.

Seketika Ban-kiam, Ciok Jing dan Bin Ju bersuara heran
berbareng begitu menyaksikan serangan pembukaan Ciok Bohthian
itu. Semula Ban-kiam memandang hina ketika pemuda
itu menjujukan pedangnya ke depan, ia lihat siku pemuda itu
terangkat terlalu tinggi, cara memegang pedang juga tidak
kuat, kuda-kudanya juga salah dan macam-macam kelemahan
lain. Tapi begitu serangan itu sudah mencapai titik sasarannya,
seketika pandangannya yang memandang rendah itu berubah.
Ternyata tenaga dalam yang mengiringi tusukan pedang itu
benar-benar tiada taranya, tenaga dalam sekuat ini hanya
pernah dilihatnya di kala ayahnya, yaitu Pek Cu-cay alias Witek
Siansing bermain pedang. Namun untuk mengeluarkan
tenaga selihai itu juga tidak dapat dilakukan secara sekaligus
sebagaimana Ciok Boh-thian sekarang, baru serangan pertama
sudah membawa kekuatan yang tak terkira hebatnya.
Tapi segera ia menyaksikan bahwa dugaannya ternyata tidak
betul. Saat itu Ciok Jing telah menangkis serangan Boh-thian,
mendadak “krek” sekali, pedang yang dipegang Ciok Jing telah
patah menjadi dua bagian, yang patah itu sampai mencelat dan
menancap di dinding. Ciok Jing sendiri merasa genggaman
panas pedas, lengan pegal, hampir-hampir gagang pedang
yang masih terpegang itu pun terlepas dari cekalannya.
Walaupun gemas kepada putra durhaka itu, tapi seorang jago
silat bila ketemukan jago yang pandai tanpa merasa lantas
timbul perasaan kagumnya, maka secara otomatis tercetus
juga pujiannya, “Bagus!”
Sebaliknya Boh-thian lantas berseru kaget melihat pedang Ciok
Jing patah, segera ia tarik kembali pedangnya dengan wajah
yang menunjukkan rasa menyesal dan sayang pula.
Di bawah sinar lilin yang remang-remang air muka Boh-thian
itu dapat juga oleh Ciok Jing dan Bin Ju, diam-diam terkilas

rasa hangat dalam hati mereka, “Nyata, betapa pun anak Giok
masih tetap seorang anak yang berbakti.”
Ciok Jing lantas membuang pedang yang patah dan kembali
menggunakan ujung kaki untuk mencukit sebatang pedang
yang lain. Lalu katanya, “Jangan khawatir terimalah serangan
ini!” Dan “sret”, segera ia balas menusuk ke paha kiri Ciok
Boh-thian.
Bagaimanapun Boh-thian tidak pernah belajar ilmu pedang
secara resmi mesti tenaga dalamnya sangat kuat dan dapat
digunakan di waktu menyerang, tapi bila diserang oleh seorang
jago sebagai Ciok Jing, tentu saja ia kelabakan dan bingung
untuk menangkisnya, syukur ia dapat berpikir cepat, dengan
kaku ia melintangkan pedangnya untuk menangkis dalam jurus
“Jong-siong kheng-khek” (pohon siong menyambut tamu).
Namun sedikit miringkan pedangnya tahu-tahu ujung pedang
Ciok Jing sudah menyambar lewat dan mencapai pahanya.
Coba kalau lawannya ini bukan putra kesayangannya tentu
paha anak muda itu sudah ditebasnya terkutung menjadi dua.
Sebab itulah pada titik terakhir mendadak ia tahan pedangnya.
Walau demikian Bin Ju juga sudah terkejut dan telah berseru
khawatir, “Jangan, Engkoh Jing!”
Waktu Boh-thian memandang paha kanan sendiri, ternyata
lengan celananya sudah terobek satu jalur, untung tidak
terluka. Dengan agak malu-malu ia berkata dengan tertawa,
“Banyak terima kasih atas kemurahan hatimu. Ilmu pedangmu
ternyata jauh lebih pandai daripadaku!”
Apa yang diucapkan Ciok Boh-thian ini adalah timbul dari
hatinya yang tulus, tapi bagi pendengaran Pek Ban-kiam katakata
itu menjadi sangat menusuk perasaannya. Pikirnya, “Kau

menyatakan ilmu pedang ayahmu jauh lebih tinggi daripada
ilmu pedangmu, bukankah hal itu berarti kau telah sengaja
menilai rendah Swat-san-kiam-hoat sendiri? Dasar kau bocah
ini memang licin dan licik dan sengaja membikin ayahmu
mendapat nama harum. Pendek kata hari ini kalau aku Pek
Ban-kiam masih dapat bernapas, tentu aku tidak rela dihina
oleh kalian sekeluarga ini.”
Di sebelah sana Ciok Jing juga mengerut kening dan berpikir,
“Adik Ju selalu menyangsikan anak Giok pasti dicemooh dan
dihina dalam perguruannya, tapi aku selalu anggap Pek Cu-cay,
Pek-locianpwe adalah seorang tokoh yang jujur, Hong Ban-li
juga seorang pendekar budiman, kalau dia sudah menerima
anakku sebagai murid, tentu dia akan memberi pelajaran
sebagaimana mestinya dan tidak nanti menghinanya malah,
Tapi kalau melihat dua jurus yang dimainkannya barusan,
walaupun caranya betul, tapi banyak lubang kelemahannya,
mana boleh dipakai dalam gelanggang pertempuran?
Tampaknya dia memang tiada mendapat kepandaian apa-apa
di Leng-siau-sia. Kalau melihat tenaga dalamnya yang sangat
kuat tadi agaknya toh tiada sangkut pautnya dengan
kepandaian pihak Swat-san-pay, bahkan Wi-tek Siansing
sendiri belum tentu memiliki Lwekang sehebat ini. Ya, tentu
anak Giok mempunyai pengalaman aneh tertentu, untuk ini
aku harus menyelidikinya sampai terang agar kelak dapat
dipakai sebagai bahan pembelaan bagi kesalahan anak Giok.”
Setelah ambil ketetapan itu, lalu ia berkata, “Mari, mari, kita
tidak perlu main sungkan-sungkan, bertandinglah sebagaimana
mestinya saja!”
Segera pedangnya bergerak, ia mendahului menusuk ke arah
Pek Ban-kiam.
Cepat Ban-kiam menangkis dan kontan balas menyerang satu

kali. Maka serangan Bin Ju lantas beralih juga kepada Ciok
Boh-thian, dengan perlahan-lahan ia menusuk ke dada anak
muda itu. Ia sengaja menyerang dengan perlahan, maksudnya
supaya anak muda itu tidak kelabakan dan susah
menangkisnya.
Melihat serangan itu, Boh-thian menjadi teringat kepada
kebaikan Bin Ju waktu memberi persen padanya di Hau-kamcip
tempo dulu, tanpa merasa ia tertawa mengangguk kepada
Bin Ju sebagai tanda hormat dan terima kasih, habis itu
barulah ia angkat pedangnya untuk menangkis.
Karena kelakuan Boh-thian itu, Bin Ju menyangka anak muda
itu sedang memberi salam hormat kepada sang ibu, ia menjadi
lebih girang, segera ia tarik kembali pedangnya, lalu menebas
ke pinggang Boh-thian.
Untuk beberapa detik Boh-thian berpikir dengan jurus apa dia
harus menangkisnya, akhirnya ia lantas mengeluarkan sejurus
Swat-san-kiam-hoat untuk menahan serangan Bin Ju itu.
Melihat kepandaian sang putra sangat dangkal, gerakannya
juga lamban, diam-diam Bin Ju menyesalkan jago-jago Swatsan-
pay yang mengaku ilmu pedangnya tiada bandingannya itu
ternyata cara demikian mendidik muridnya sebagai putraku ini.
Segera ia ganti serangan lagi, ia menusuk bahu kiri Boh-thian,
ia tunggu sesudah anak muda itu ingat cara bagaimana
menangkis barulah dia menusuk sungguh-sungguh, kalau
seketika Boh-thian belum mampu menangkis, maka ia lantas
menunggu pula.
Sudah tentu cara demikian bukan lagi bertanding, bahkan lebih
sabar dan lebih sayang daripada seorang guru yang sedang
mengajar muridnya.

Belasan jurus kemudian, lambat laun Boh-thian mulai percaya
kepada dirinya sendiri, permainan pedangnya telah bertambah
cepat. Diam-diam Bin Ju bergirang, setiap kali kalau jurus yang
digunakan Boh-thian cukup bagus, ia lantas mengangguk
sebagai tanda memuji.
Di sebelah lain untuk ketiga kalinya Ciok Jing bertempur
melawan Pek Ban-kiam lagi. Terhadap keunggulan dan
kelemahan masing-masing kedua orang sudah sama-sama
tahu, maka sekarang mereka menjadi lebih hati-hati dan tidak
berani lena sedikit pun, mereka mencurahkan segenap
perhatian dalam pertandingan ulangan ini sehingga tidak ambil
pusing kepada apa yang terjadi di sekitar mereka, Sebab itulah
tentang cara bagaimana Bin Ju bertempur melawan Ciok Bohthian,
apakah mereka bertempur sungguh-sungguh atau purapura,
siapa yang menang dan siapa yang kalah, sama sekali
tak dihiraukan lagi oleh Ban-kiam dan Ciok Jing, sebab siapa
saja sedikit ayal tentu akan membawa akibat bagi dirinya
sendiri, kalau tidak mati tentu juga terluka parah.
Sebaliknya di waktu Bin Ju seakan-akan sedang mengajar ilmu
pedang kepada Ciok Boh-thian itu, dia mempunyai banyak
kesempatan untuk melihat pertarungan sengit sang suami
melawan Pek Ban-kiam. Didengarnya suara napas sang suami
sangat panjang, terang tenaga dalamnya masih sangat kuat,
andaikan tidak menang juga tak akan kalah. Biasanya sang
suami jarang ketemukan seorang lawan yang tangguh,
sekarang telah bertemu dengan lawan yang sama kuatnya,
kesempatan ini biarlah digunakan oleh sang suami untuk
bertempur dengan sepuasnya.
Dalam pada itu sejurus demi sejurus Boh-thian sudah selesai
memainkan ke-72 jurus Swat-san-kiam-hoat. Maka Bin Ju
lantas menurutkan jalan tadi untuk memancing Boh-thian

mengulangi sekali lagi ilmu pedang Swat-san-pay itu.
Dasar pembawaan Boh-thian memangnya sangat pintar,
tenaga dalamnya sangat kuat pula, maka percobaan ulangan
ini sudah jauh berbeda daripada pertama tadi, sekarang dalam
bertahan ia dapat menyerang juga, gerak-geriknya juga jauh
lebih cepat.
Ketika ulangan ke-72 jurus Swat-san-kiam-hoat ini sudah
hampir habis, Bin Ju melihat pertarungan sang suami melawan
Pek Ban-kiam itu masih tetap sama kuatnya, diam-diam ia
merancang, “Selesai gebrakan ini aku harus membantunya dan
tidak perlu berayal-ayalan lagi dengan orang she Pek itu, yang
penting bawa pergi saja anak Giok.”
Maka waktu Ciok Boh-thian menusuknya lagi segera ia
menangkis terus balas menyerang, ia menduga cara menangkis
serangannya ini sudah dipahami Boh-thian, tentu dengan
mudah akan dapat dilakukan anak muda itu. Tak tersangka
pada saat itu juga mendadak keadaan menjadi gelap gulita,
kiranya lilin yang tersulut di dalam kelenteng itu sudah habis
dan mendadak padam.
Dalam pada itu tusukan Bin Ju itu sudah di lontarkan, begitu
api lilin padam segera ia pun menarik kembali serangannya.
Tak terduga Ciok-Boh-thian sama sekali tiada punya
pengalaman bertempur, ketika keadaan mendadak gelap
gulita, bukannya mundur, sebaliknya ia malah melangkah maju
ke depan dengan maksud hendak mendekati Bin Ju untuk
mengajak bicara dan akan mengaturkan terima kasihnya atas
kebaikan nyonya cantik itu. Dan karena mendekatnya itu
kebetulan tubuhnya seakan-akan disodorkan ke ujung pedang
Bin Ju, segera Bi Ju merasa senjatanya kena menusuk sesuatu,
dalam kagetnya cepat ia tarik pedangnya dan lempar ke
belakang, lalu ia pegang pundak Ciok Boh-thian dalam

kegelapan itu sambil bertanya dengan khawatir, “Ai, apakah
kau terluka Di manakah lukanya? Parah atau tidak?”
“Aku ... aku ....” berulang-ulang Boh-thian terbatuk-batuk dan
sukar berbicara lagi.
Cepat Bin Ju menyalakan geretan api, maka tertampaklah dada
Ciok Boh-thian penuh berlumuran darah. Mestinya Bin Ju
adalah orang yang tenang, tapi sekarang ia menjadi tertegun
bingung, ia menoleh dan tanya kepada sang suami, “Engkoh
Jing, ba ... bagaimana ini?”
Dalam kegelapan Ciok Jing dan Pek Ban-kiam masih terus
bertempur berdasarkan suara sambaran senjata lawan. Ketika
Bin Ju menyalakan api dan berseru khawatir, Ciok Jing telah
melirik sekejap dan melihat Ciok Boh-thian roboh terluka, sang
istri tampak sangat khawatir dan cemas, betapa pun adalah
hubungan ayah dan anak, mau tak mau Ciok Jing merasa
gelisah juga.
Dan karena sedikit ayal itulah Ban-kiam telah menggunakan
kesempatan itu dengan baik, pedangnya secepat kilat sudah
menusuk ke ulu hati Ciok Jing, serangan kilat yang mengancam
tempat mematikan ini ketika disadari Ciok Jing namun sudah
terlambat, untuk menangkis sudah tidak keburu lagi.
Tapi Ban-kiam tidak meneruskan tusukannya, ketika ujung
pedang tinggal dua tiga senti di depan dada sasarannya segera
ia tahan senjatanya itu.
Sebagai seorang ahli Ciok Jing tahu apa maksud Pek Ban-kiam
itu. Tadi Bin Ju juga telah mengancam jiwanya, tapi tidak jadi
diteruskan dan jiwanya diampuni maka sekarang Ban-kiam
juga ingin membayar kembali mengampuni jiwanya, sehingga
kedua belah pihak tidak mempunyai utang piutang apa-apa

lagi.
Karena khawatirkan luka putranya, Ciok Jing tidak sempat
memikirkan soal kalah-menang atau terhina tidak, segera ia
mendekati Boh-thian dan memeriksa lukanya. Dilihatnya darah
terus mengucur dari dada anak muda dengan perlahan, nyata
lukanya tidak terlalu parah. Baru saja Ciok Jing dan Bin Ju
merasa lega karena luka yang tidak berbahaya itu, sekonyongkonyong
sebatang pedang telah mengancam di tenggorokan
Ciok Boh-thian. Waktu mereka berpaling, kiranya yang
memegang pedang itu adalah Pek Ban-kiam.
“Putramu telah menghina dan menyebabkan kematian putriku,
sakit hati ini tidak boleh tidak dibalas,” demikian kata Ban-kiam
dengan nada dingin. “Jika kalian membiarkan dia kubawa
pulang Leng-siau-sia, paling sedikit dia masih bisa hidup buat
dua bulan lamanya, tapi kalau kalian tetap berkeras hendak
merampasnya, maka sekali tusuk segera kucabut nyawanya.”
Ciok Jing saling pandang dengan Bin Ju. Ngeri juga Bin Ju
membayangkan kematian putra kesayangannya, ia kenal Bankiam
sebagai seorang tokoh persilatan yang berani berkata
berani berbuat, kalau sampai putranya betul-betul ditusuk mati
maka tiada gunanya lagi andaikan nanti mereka suami-istri
dapat juga membunuh Pek Ban-kiam.
Rupanya Ciok Jing juga mempunyai pikiran yang sama dengan
sang istri, ia memberi isyarat kepada Bin Ju sambil memegang
tangannya lalu bersama-sama melompat ke pekarangan
kelenteng. Bin Ju menoleh dan memandang sekejap lagi
kepada Ciok Boh-thian yang menggeletak di atas lantai itu
dengan sorot mata penuh kasih sayang seorang ibu. Dan hanya
sekejap itu saja geretan api yang dia nyalakan itu pun sudah
padam, keadaan di dalam kelenteng kembali gelap gulita pula.

Dari suara tindakan Ciok Jing suami-istri Ban-kiam mengetahui
mereka sudah pergi jauh, ia yakin kedua orang itu pasti tidak
rela putranya dibawa pergi begitu saja, dalam perjalanan
pulang ke Leng-siau-sia ini tentu akan banyak rintanganrintangan
bukan saja dari pihak Tiang-liok-pang bahkan juga
dari Ciok Jing berdua.
Bila membayangkan pertarungan tadi sungguh Ban-kiam
merasa untung sekali, coba kalau api lilin itu tidak kebetulan
habis dan padam, tentu bocah she Ciok ini sudah direbut oleh
ayah ibunya, bahkan dirinya terhina habis-habisan boleh jadi
jiwa bisa melayang pula.
Sesudah tenangkan diri, kemudian Ban-kiam coba mencari
batu ketikan api pada tubuh salah seorang Sutenya,
perbekalannya sendiri telah dia titipkan kepada Houyan Bansian
ketika dia hendak menuju ke sarang Tiang-lok-pang.
Waktu api sudah diketik menyala, baru saja dia hendak
mencari sebatang lilin, mendadak ia melongo kaget, ternyata
Ciok Boh-thian yang menggeletak di sebelahnya tadi sekarang
sudah lenyap.
Di samping kaget Pek Ban-kiam menjadi merinding pula, yang
terpikir olehnya ialah ada setan. Sebab kalau bukan setan atau
badan halus tentu tidak mungkin Ciok-Boh-thian lenyap dalam
sekejap saja.
Tanpa pikir ia membuang kertas api yang sudah menyala itu,
dengan pedang terhunus ia lantas berlari keluar kelenteng. Di
luar keadaan sunyi senyap, di sekitar situ tiada suatu bayangan
seorang pun, yang terdengar hanya suara jangkrik dan
serangga-serangga malam belaka.
Semula Ban-kiam berpikir ada setan, tapi segera disadarinya,

bahwa di sekitar situ tentu ada tokoh kosen yang sedang
mengintip, dia sedang mencari batu api. Kesempatan itu
digunakan oleh orang kosen untuk menolong Ciok Boh-thian.
Segera ia melompat ke atas rumah dan memandang
sekelilingnya, hanya di jurusan tenggara sana ada
segerombolan semak-semak pohon yang dapat dibuat
sembunyi, segera ia melompat turun dan memburu ke tepi
hutan itu, bentaknya, “Kenapa mesti main sembunyi-sembunyi,
kalau laki-laki sejati, hayolah keluar bertempur sampai titik
terakhir.”
Tapi sudah ditunggu sekian lamanya keadaan di dalam hutan
tetap tiada sesuatu jawaban apa-apa, dasar kepandaiannya
tinggi dan nyalinya besar, tanpa pikir lagi Ban-kiam lantas
menerjang ke dalam hutan. Tapi di dalam hutan keadaan juga
sepi dan kosong, hanya angin meniup silir-silir dan suara
keresek jatuhnya daun-daun kering.
Seketika rasa takabur Pek Ban-kiam lantas lenyap.
Pertempuran tadi sudah membuatnya tidak berani lagi
memandang enteng kepada kesatria-kesatria di jagat ini,
sekarang ia lebih-lebih merasa di luar langit ini masih ada
langit, di atas orang pandai masih ada yang lebih pandai.
Lapat-lapat timbul juga perasaan cemasnya, teringat kematian
putrinya yang mengenaskan, tanpa terasa ia menjadi berduka.
Ia menghela napas panjang dan putar kembali ke dalam
kelenteng Toapekong tadi. Ia menyalakan api lagi dan
menyulut sebatang lilin, lalu menolong para Sutenya yang
ditutuk oleh Bin Ju tadi. Tapi ia menjadi kaget pula.
Bab 17. Tidak Ajar-Jangan Lari-Tidak Ampun
Tiba-tiba Ban-kiam tercengang kaget lagi. Ternyata di pipi kiri
Houyan Ban-sian, Bun Ban-hu dan lain-lain masing-masing

terdapat bekas tamparan yang jelas, kelihatan bekas lima jari
tangan. Bekas tamparan itu hitam gosong dan melekuk
beberapa mili dalamnya.
“Sia siapa ... siapa? Siapakah yang memukul kalian ini? Ka ...
kapan terjadinya?” demikian Ban-kiam bertanya dengan suara
terputus-putus.
Dilihat dari bekas tamparan yang kecil itu, agaknya adalah
tangan kaum wanita. Biasanya Pek Ban-kiam jarang
menjelajahi Tionggoan, tapi sering ia mendengar cerita dari
ayahnya tentang kejadian-kejadian yang menarik di dunia
persilatan, walau pengalamannya sedikit, tapi pengetahuannya
cukup luas.
Ia lihat bekas tamparan yang berwarna hitam gosong itu bukan
bekas pukulan Hek-sah-ciang atau Thiat-sah-ciang (pukulan
pasir hitam dan pasir besi), sebab kalau kedua macam pukulan
itu tentu yang terkena sudah binasa sejak tadi, tapi sekarang
para Sutenya itu hanya ringan saja lukanya, bahkan terdengar
Houyan Ban-sian dapat berteriak-teriak, “Setan alas, aku sama
sekali tidak tahu siapakah yang menggampar diriku!”
“Keparat, merunduk orang secara diam-diam, babi ....”
demikian Bun Ban-hu juga mencaci maki.
Ternyata tiada seorang pun yang tahu siapa yang telah
menyerang mereka secara menggelap itu. Yang jelas ketika
Ban-kiam berlari ke luar kelenteng dengan pedang terhunus
tadi, mendadak pipi seorang lantas kena ditampar orang,
menyusul seorang lagi juga kena digampar, yang dipukul
belakangan tidak mendengar suara tamparan yang dipukul
lebih dulu, sebaliknya yang terpukul dahulu karena sedang
meringis kesakitan sehingga tidak mendengar kawan di
sebelahnya juga kena pukulan, kemudian Ban-kiam masuk

kembali dan menyalakan lilin barulah mereka mengetahui
semua kawannya rata-rata telah diserang orang. Tadinya
mereka menyangka dirinya sendiri saja yang mengalami nasib
sial.
Ban-kiam termenung-menung tanpa memberi komentar apaapa,
ia menduga orang yang menolong Ciok Boh-thian dan
yang menyerang para Sutenya itu tentu terdiri dari satu orang
yang sama. Terang sesudah menolong Ciok Boh-thian orang itu
masih bersembunyi di dalam kelenteng, ketika dirinya
mengejar keluar, lalu, dengan sebebasnya ia menggampar para
Sutenya setiap orang satu kali, habis itu barulah Ciok Boh-thian
dibawa pergi. Orang itu dapat memukul tanpa mengeluarkan
suara, yang digunakan adalah tenaga dalam yang lunak,
kepandaiannya dan kecerdikannya terang bukan orang
sembarangan, Ban-kiam menjadi ngeri membayangkannya.
Kiranya lukanya tidaklah parah karena dia sendiri yang
menumbuk ujung pedangnya Bin Ju, rasanya juga tidak terlalu
sakit. Ketika Ciok Jing dan Bin Ju dipaksa pergi, keadaan di
dalam kelenteng lantas gelap gulita, tiba-tiba ia merasa
mulutnya didekap sebuah tangan, lalu badannya diseret orang
dengan perlahan-lahan dan akhirnya sampai di kolong meja
sembahyang.
Tidak lama kemudian terasa pula orang itu mengempitnya
terus membawanya lari keluar kelenteng, tidak terlalu lama lalu
melompat ke atas sebuah perahu, menyusul ada orang
menyalakan pelita.
Waktu Boh-thian membuka mata, tertampak orang berada di
sampingnya dengan memegang pelita itu tak-lain-tak-bukan
adalah si Ting Tong.
“Hai, Ting-ting Tong-tong, kiranya kau yang telah membawa

aku ke sini?” seru Boh-thian dengan girang.
Tapi mulut Ting Tong tampak mencibir, omelnya malah, “Babi
mampus kau, masakah siapa yang membawa kau ke sini juga
tidak tahu. Yaya yang telah menyelamatkan kau, tahu?”
Boh-thian menoleh, dilihatnya Ting Put-sam berada di haluan
perahu dengan duduk berpangku dengkul sedang memandang
ke udara, sedikit pun tidak menggubris padanya. Maka ia
lantas menyapa, “Yaya untuk ... untuk apakah membawa aku
ke sini?”
“A Tong,” tiba-tiba Ting Put-sam mendengus tanpa menggubris
Boh-thian, “orang ini adalah orang sinting, buat apa kau
menjadi istrinya? Toh kau belum tidur bersama dia, sebelum
telanjur lebih baik kau bunuh dia saja.”
“Tidak, tidak!” sahut Ting Tong dengan gugup. “Engkoh Thian
telah menderita sakit keras sehingga banyak kejadian-kejadian
di masa lampau terlupa olehnya. Lambat laun dia tentu akan
sehat kembali. Engkoh Thian, coba kuperiksa lukamu.”
Dengan hati-hati Ting Tong lantas membuka baju Ciok Bohthian,
dengan saputangan ia mengusap darah di sekitar luka
itu, lalu membubuhkan obat luka, akhirnya ia menyobek ujung
baju sendiri untuk membalut luka di dada anak muda itu.
“Terima kasih, Ting-ting Tong-tong!” kata Boh-thian. “Eh,
apakah tadi kau dan Yaya sembunyi di kolong meja sana?
Haha, sungguh sangat menarik main sembunyi-sembunyian
begitu!”
“Jiwamu sendiri hampir amblas masih bilang sangat menarik
segala?” semprot Ting-Tong. “Pertarungan sengit antara ayahibumu
melawan orang she Pek itu sungguh membikin hatiku

ikut berdebar-debar.”
“Ayah-ibuku?” Boh-thian menegas dengan heran. “Kau bilang
tuan yang berbaju hitam mulus itu adalah ayahku? Tapi wanita
cantik itu bukanlah ibuku ... ibuku tidak demikian mukanya,
tidak secantik nyonya tadi.”
Ting Tong menghela napas, katanya kemudian, “Engkoh Thian,
sakitmu itu benar-benar telah membikin susah padamu,
sampai-sampai ayah ibunya sendiri pun sudah terlupa. Kulihat
caramu memainkan ke-72 jurus Swat-san-kiam-hoat itu pun
sangat kaku dan belum hafal betul, jangan-jangan sampai ilmu
silatnya sendiri juga kau lupakan sama sekali? Ai, mana boleh
jadi begini.”
Kiranya sudah Ciok Boh-thian ditawan dan dilarikan oleh Pek
Ban-kiam, segera Ting Put-sam dan Ting Tong mengejarnya
sepanjang jalan. Kejadian-kejadian Pek Ban-kiam memberi
petunjuk ilmu pedang kepada para Sutenya dan kedatangan
Ciok Jing suami-istri ke dalam kelenteng lalu bertempur, semua
itu dapat disaksikan oleh Ting Put-sam dan si Ting Tong.
Waktu Ting Put-sam berhasil menolong Ciok Boh-thian, Ting
Tong juga tidak mau tinggal diam, ia mengeluarkan ilmu
pukulan keluarga Ting yang ternama dan memberi persen satu
kali tamparan pada tiap-tiap murid Swat-san-pay. Terhadap
Pek Ban-kiam rupanya si Ting Tong benar-benar jeri, maka
sebelum tokoh Swat-san-pay itu masuk kembali ke dalam
kelenteng ia sudah lantas kabur lebih dulu menyusul kakeknya.
Begitulah maka Boh-thian telah menjawab dengan heran, “Kau
bilang ilmu silat? Ilmu silat apa? Sama sekali aku tidak bisa
ilmu silat. Apa yang kalian bicarakan aku pun tidak paham.”
Mendadak Ting Put-sam berdiri, katanya dengan suara bengis,

“A Tong, apa barangkali pikiranmu sudah butek atau bebal,
makanya menyukai seorang bocah tolol dan sinting seperti dia
ini? Biarlah sekali hantam kumampuskan dia saja. Pendek kata
kau tidak perlu khawatir, kakek tanggung jawab untuk
mencarikan seseorang kesatria muda yang gagah, tampan dan
serbapandai untuk menjadi suamimu.”
“Aku .... aku tak mau, aku tidak inginkan kesatria muda lain
yang tampan dan pintar apa segala,” jawab Ting Tong dengan
terguguk-guguk dan air mata berlinang-linang. “Dia ... dia toh
bukan orang sinting, hanya saja karena ... karena dia habis
sakit keras, mungkin pikirannya belum jernih kembali.”
“Belum jernih apa?” bentak Ting Put-sam dengan gusar. “Siapa
saja yang menyaksikan kelakuannya yang memuakkan di
dalam kelenteng itu pasti meledak dadanya saking gusarnya
dan gemasnya. Coba bayangkan, caranya bergerak yang
ngular-kambang seperti anak kecil yang baru belajar, setiap
jurus selalu salah dan kaku, banyak lubang kelemahannya,
hehe, sudah terang orang telah menarik kembali pedangnya,
tapi anak gebleg ini justru menumbukkan badannya sendiri dan
baru puas kalau sudah terluka. Hm, manusia goblok seperti
begini ada lebih baik kumampuskan saja daripada kelak
dibunuh orang lain. Jangan-jangan akan tersiar di kalangan
Kangouw bahwa cucu menantu Ting Put-sam telah dibunuh
orang, kan aku yang malu. Maka, ada lebih baik dimampuskan
sekarang saja, harus dibunuh.”
Ting Tong hanya menggigit bibir dan terdiam. Ia kenal watak
sang kakek, kalau beliau sudah berkata demikian, maka pasti
akan dilakukannya demikian pula, percuma saja untuk
berdebat atau membantah pendiriannya itu. Sejenak kemudian
barulah ia berkata, “Yaya, habis cara bagaimanakah supaya
engkau tak jadi membunuhnya?”

“Ha, mengapa aku tidak jadi membunuhnya! Aku harus, ya,
harus membunuhnya supaya tidak membikin malu,” kata Ting
Put-sam dengan marah-marah. “Bila orang mendengar Ting
Put-sam telah membunuh cucu menantunya sendiri, hal ini
tidaklah mengherankan, tapi kalau terdengar kabar tentang
cucu menantunya Ting Put-sam dibunuh orang, lantas apa
tindakanku?
“Apa tindakanmu? Tentunya membalaskan sakit hatinya!” kata
Ting Tong.
“Hahahaha! Kau bilang aku akan membalaskan sakit hati
seorang goblok sebagai dia? Haha, kau anggap kakekmu ini
orang macam apa?
“Habis bagaimana, kan salahnya kakek sendiri?” sahut Ting
Tong sambil menangis. “Engkau yang suruh aku menikah
dengan dia, secara resmi dia adalah suamiku, kalau engkau
membunuhnya, bukankah aku akan menjadi janda?”
Ting Put-sam menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal,
katanya kemudian, “Tatkala itu aku telah menjajal dia dan
merasa Lwekangnya sangat tinggi dan memenuhi syarat untuk
menjadi cucu menantuku, siapa tahu dia ternyata seorang
sinting. Jika kau berkeras tidak memperbolehkan aku
membunuhnya, hal ini boleh juga asal kau memenuhi sesuatu
syaratku.”
Ting Tong menjadi girang karena ada harapan menyelamatkan
sang suami, segera ia bertanya, “Syarat apa? Lekas katakan,
lekas!”
“Sudah kukatakan dia adalah seorang sinting dan harus
dibunuh, tapi kau bilang dia tidak sinting dan jangan dibunuh.
Untuk ini, baiklah, aku memberi batas waktu 10 hari agar dia

pergi mencari dan bertanding dengan Pek Ban-kiam itu, dia
harus membunuh atau mengalahkan orang she Pek yang
bergelar ‘Gi-han-se-pak’ itu barulah aku dapat mengampuni
jiwanya dan mengizinkan dia menjadi suamimu yang sungguhsungguh.”
Ting Tong menarik napas panjang mendengar syarat sang
kakek itu. Ia pikir ilmu pedang orang she Pek itu sedemikian
lihainya, hal ini telah disaksikan sendiri oleh mereka kakek dan
cucu berdua. Boh-thian sendiri baru saja sembuh dari sakit
keras, sekarang terluka pula, di dalam sepuluh hari ini cara
bagaimana dia dapat berlatih dan mengalahkan seorang ahli
pedang sebagai Pek Ban-kiam?
Dengan cemas kemudian Ting Tong berkata, “Yaya, syaratmu
ini sudah terang sukar dilaksanakan.”
“Apakah sukar dilaksanakan atau mudah dilakukan, pendek
kata bila dia tidak mampu mengalahkan Pek Ban-kiam, segera
sekali hantam kumampuskan dia,” sahut Ting Put-sam dengan
tegas.
Ting Tong menjadi sedih, ia coba berpaling kepada Boh-thian,
tertampak anak muda itu acuh-tak-acuh saja, seperti apa yang
dipercakapkan antara Ting Tong dan kakeknya itu sama sekali
tiada sangkut paut dengan kepentingannya.
Dengan gemas Ting Tong coba mengisiki Boh-thian, “Engkoh
Thian, Yaya memberi tempo dalam waktu sepuluh hari supaya
kau mengalahkan Pek Ban-kiam itu, bagaimana, apakah kau
sanggup?”
“Mengalahkan Pek Ban-kiam? Haya, mana bisa, ilmu
pedangnya teramat lihai, siapa pun bukan tandingannya,
apalagi diriku?” sahut Boh-thian dengan melenggong.

“Ya, tapi kakek bilang bila kau tidak mampu mengalahkan dia,
maka kau yang akan dibunuh oleh kakek,” kata Ting Tong.
“He, he, orang tidak apa-apa mengapa hendak dibunuh?” sahut
Boh-thian dengan tertawa. “Ah, kakek hanya berkelakar saja
dengan kau, masakah kau anggap sungguh-sungguh? Kakek
adalah orang baik dan bukan orang jahat, masakah dia akan ...
akan membunuh aku?”
Ting Tong menghela napas panjang, pikirnya, “Engkoh Thian
benar-benar agak sinting tampaknya, segala apa selalu anginanginan.
Jalan paling baik sekarang ialah menyanggupi dulu
syarat kakek tadi, di dalam sepuluh hari semoga dapat
diperoleh sesuatu akal dan kesempatan agar Engkoh Thian bisa
melarikan diri dengan selamat.”
Karena itu ia lantas berkata pada Ting Put-sam, “Baiklah,
kakek, aku terima syaratmu, di dalam sepuluh hari akan
kuminta dia pergi mencari dan mengalahkan Pek Ban-kiam.”
“Ya, sekarang kakek sudah merasa lapar, lekas pergi menanak
nasi,” sahut Ting Put-sam dengan tertawa dingin. “Biarlah
kukatakan padamu, pertama tidak ajar, kedua jangan lari,
ketiga tidak ampun. Tidak ajar ialah kakek sekali-kali takkan
mengajarkan ilmu silat kepada seorang sinting. Jangan lari
ialah supaya kau jangan sekali-kali bermaksud melepaskan dia
untuk melarikan diri, asal kakek mengetahui dia bermaksud
lari, di dalam waktu singkat tentu aku dapat menemukan dia
dan membinasakan dia lebih cepat daripada waktu sepuluh
hari. Tentang tidak ampun, sudah cukup jelas, tidak perlu
kukatakan lagi.”
“Jika engkau mengatakan dia seorang sinting, maka biarpun
engkau mengajarkan ilmu silat padanya juga dia takkan bisa,

buat apa mesti menyatakan tidak akan mengajar ilmu silat
padanya?” ujar Ting Tong.
“Kau tidak perlu memancing aku,” sahut Ting Put-sam dengan
tersenyum. “Padahal, andaikan kakek mau mengajarkan dia, di
dalam waktu sepuluh hari juga tidak mungkin dia mampu
mengalahkan Pek Ban-kiam? Huh, biarpun 10 tahun mendidik
dia juga percuma saja.”
Mendadak pikiran Ting Tong tergerak, katanya, “Baik, kakek
tidak mau mengajar dia, biar aku saja yang mengajarnya
mengalahkan Pek Ban-kiam? Huh, biarpun sepuluh tahun
mendidik dia juga percuma saja.”
Tatkala itu perahu mereka itu sudah di pasang layarnya dan
mendapat angin buritan sedang berlayar ke hulu sungai
melawan arus. Cuaca sudah mulai terang, fajar telah
menyingsing, tapi di permukaan sungai penuh kabut melulu.
“A Tong kau tidak mau masak, apakah kau sengaja membikin
kakek mati kelaparan?” kata Ting Put-sam dengan gusar.
“Engkau hendak membunuh suamiku, lebih baik aku membikin
kau mati kelaparan dulu,” sahut Ting Tong.
“Budak setan yang kurang ajar! Hayo, lekas menanak nasi,”
semprot Ting Put-sam pula. Tapi Ting Tong tidak menggubris
sang kakek lagi, ia berkata kepada Ciok Boh-thian, “Engkoh
Thian, biarlah aku mengajarkan semacam kepandaian padamu,
tanggung di dalam 10 hari saja pasti dapat mengalahkan Pek
Ban-kiam itu.”
“Huh ngaco-belo! Sedangkan aku saja tidak mampu
mengajarkan dia secepat itu, masakah kau si budak cilik ini
mampu?” omel Ting Put-sam. Begitulah kakek dan cucu itu

terus bertengkar mulut, padahal di dalam hati si Ting Tong
sangat gelisah dan sedih, ia tidak tahu cara bagaimana supaya
bisa membujuk sang kakek agar tidak jadi membunuh Ciok
Boh-thian. Ia kenal watak kakeknya yang aneh, biar memohon
dengan sangat juga tiada gunanya, jalan satu-satunya harus
mencari suatu akal yang licin sehingga orang tua itu mau
menarik kembali keputusan secara sukarela. Pikir Ting Tong,
“Kalau aku tidak memasak baginya, bila sudah lapar terpaksa
dia akan menyuruh perahu ini berlabuh dan mendarat untuk
membeli makanan, kesempatan itu akan dapat digunakan oleh
Engkoh Thian untuk melarikan diri.”
Tak tersangka ketika melihat Ting Put-sam bermuka masam
dan menyatakan kelaparan, Ciok Boh-thian yang merasa
dirinya juga sudah lapar dengan tiba-tiba ia terus berbangkit
dan berkata, “Biarlah aku menanakkan nasi bagimu?”
Dasar anak muda ini memang seorang berhati polos, ternyata
sama sekali ia tidak paham maksud tujuannya Ting Tong.
Keruan anak dara itu menjadi gusar, serunya, “Kau baru saja
terluka, kalau bekerja sehingga membikin lukamu tambah
parah, lantas bagaimana?”
“Obat luka keluarga Ting kita adalah obat mujarab, sekali
dibubuhkan lantas sembuh, pula lukanya tidak berat, kenapa
mesti khawatir?” demikian kata Ting Put-sam. “Ya, anak baik,
lekas pergi menanak nasi untuk kakek.”
“Dia menanak nasi untukmu, lalu kau masih akan
membunuhnya atau tidak?” tanya Ting Tong.
“Menanak nasi adalah menanak nasi, membunuh orang tetap
membunuh orang, kedua hal yang berlainan mana boleh
dicampuradukkan?” sahut Ting Put-sam. Nyata ia tetap

bertekad harus membunuh Ciok Boh-thian menurut batas
waktu yang telah ditetapkan.
Waktu Boh-thian meraba dadanya sendiri, ternyata tidak terlalu
sakit lagi. Segera ia menuju ke buritan perahu untuk mencuci
beras dan menanak nasi. Ia melihat seorang tukang perahu tua
sedang memegang kemudi dan duduk di buritan, terhadap
pembicaraan mereka bertiga tadi seperti tidak ambil pusing
sama sekali.
Dalam hal menanak nasi dan memasak daharan enak adalah
kepandaian khas Boh-thian, maka dalam waktu yang tidak
terlalu lama ia sudah selesai menanak sebakul nasi yang
hangat-hangat, dan sekejap juga sudah selesai menggoreng
dua ekor ikan yang berbau sedap.
Sambil makan Ting Put-sam sambil memuji, katanya, “Jika
kepandaian ilmu silatmu ada setengahnya kepandaian
memasak seperti ini tentulah kakek tidak akan membunuh kau.
Tapi sayang, sungguh sayang. Coba kalau tempo hari kau tidak
menikah dengan A Tong, tapi hanya menjadi kokiku saja,
jangankan membunuh kau, andaikan orang lain yang akan
membunuh kau juga kakek akan membela kau malah.”
Dalam pada itu si Ting Tong telah mengisi semangkuk nasi dan
mengambil setengah ekor ikan goreng dan dibawa ke buritan
untuk si tukang perahu.
Selesai makan, Boh-thian dan Ting Tong bersama-sama
mencuci mangkuk dan piring di buritan perahu. Melihat sang
kakek duduk di haluan perahu, dengan suara berbisik Ting
Tong lantas berkata, “Sebentar aku akan mengajarkan sejurus
Kim-na-jiu-hoat (ilmu menangkap dan memegang) padamu,
hendaklah kau mempelajarinya dengan baik-baik.”

“Sesudah mempelajarinya apakah akan digunakan untuk
bertanding dengan Pek-suhu itu?” tanya Boh-thian.
“Ai, apakah engkau benar-benar-orang sinting? O, Engkoh
Thian, dahulu ... dahulu engkau toh tidak seperti ini,” kata Ting
Tong.
“Dahulu bagaimana keadaanku?” tanya Boh-thian. Muka Ting
Tong menjadi bersemu merah, sahutnya kemudian, “Dahulu
bila kau bertemu dengan aku, mulutmu sungguh lebih manis
daripada madu, kau banyak bergurau sehingga membikin
hatiku alangkah senangnya. Apa yang kau katakan selalu di
luar dugaan dan sangat mencocoki seleraku. Tapi sekarang ...
sekarang engkau telah berubah.”
“Ya, memangnya aku bukan kau punya Engkoh Thian itu,”
sahut Boh-thian dengan menghela napas. “Dia pandai
membikin senang hatimu, tapi aku tidak dapat. Maka ada lebih
baik kau mencari dia saja.”
“O, Engkoh Thian, apakah kau marah padaku?” tanya si anak
dara dengan suara setengah meratap.
“Aku mana bisa marah, aku hanya bicara dengan
sesungguhnya padamu, tapi kau selalu tidak mau percaya,”
ujar Boh-thian sambil menggeleng.
Sambil memandang air sungai yang membanjir lewat di sisi
perahu, Ting Tong menggumam sendiri, “Ai, entah kapan
barulah dia akan pulih kembali seperti dahulu kala.”
Ia termenung-menung sejenak sehingga tanpa terasa sebuah
mangkuk yang dipegangnya itu kecemplung ke dalam sungai
dan hanyut ke dalam arus.

“Ting-ting Tong-tong betapa pun aku tak dapat berubah
menjadi kau punya Engkoh Thian itu, apabila aku selamanya
sin ... sinting seperti ini, maka selamanya pula kau takkan suka
padaku bukan?”
“Aku tidak tahu! Aku tidak tahu!” jerit Ting Tong dengan suara
tertahan, pedih hatinya seperti disayat-sayat. Saking kesalnya
tiba-tiba ia pegang sebuah mangkuk dan dilemparkan pula ke
dalam sungai, dan begitu pula berturut-turut diulangi sampai
dua-tiga kali.
“Apabila mulutku pandai bicara dan dapat mencerocos terus
untuk menyenangkan dirimu, maka aku pun suka untuk
berbuat demikian bagimu,” kata Boh-thian. “Namun aku be ...
benar-benar bukanlah kau punya Engkoh Thian itu, biar
bagaimanapun juga aku tidak dapat menirukan dia.”
A Tong coba mengamat-amati pemuda itu, tatkala mana sang
surya baru saja muncul di ufuk timur sehingga muka Ciok Bohthian
kelihatan terang kemerah-merahan, kedua matanya
bersinar tajam, air mukanya tampak bersikap sangat tulus dan
jujur.
Kembali Ting Tong menghela napas, lalu katanya, “Jikalau
engkau bukanlah aku punya Engkoh Thian, mengapa di
pundakmu terdapat bekas luka gigitanku? Mengapa engkau
juga mempunyai sifat bangor yang sama, suka menggoda
wanita dan mempermainkan nona Hoa dari Swat-san-pay itu?
Bila engkau adalah aku punya Engkoh Thian, mengapa
mendadak kau berubah menjadi angin-anginan seperti orang
hilang ingatan, sama sekali kau tidak menarik dan romantis
lagi seperti dahulu?”
“Aku adalah suamimu, bukankah ada lebih baik aku berlaku
jujur dan setia padamu?” ujar Boh-thian dengan tertawa.

“Tidak, aku lebih suka engkau selincah dan senakal dahulu,
apakah kau akan menggoda anak perawan orang lain atau
akan mencolong istri orang, pendek kata aku tidak suka kau
berlaku sekaku demikian,” kata Ting Tong.
“Mencolong istri orang? Ha, mana boleh jadi? Kalau aku
mencuri istri orang lain, kan orang akan kehilangan istri?” ujar
Boh-thian.
Ting Tong menjadi kurang senang, ia pikir makin diajak bicara
makin ruwet, dasar goblok. Saking gemasnya mendadak ia
menjewer kuping Ciok Boh-thian terus dipelintir sekuatnya,
sampai-sampai pangkal telinga itu berdarah.
Keruan Boh-thian meringis kesakitan dan tanpa pikir
menyampuk dengan tangannya.
Seketika Ting Tong merasa lengannya diketuk oleh suatu
tenaga yang mahakuat, tanpa kuasa tangannya lantas terlepas,
bahkan tubuhnya sampai tersentak ke belakang dan hampirhampir
mematahkan tiang layar yang ditumbuknya. Ia menjerit
kaget dan memaki, “Setan, apa kau hendak mengajar istrimu?
Kenapa pakai tenaga begitu besar?”
“Ai, maaf, maaf, aku ... aku tidak sengaja,” sahut Boh-thian
cepat.
Waktu Ting Tong periksa lengan sendiri, ternyata sudah
matang biru di tempat yang tersampuk itu. Tiba-tiba wajahnya
yang uring-uringan tadi berubah menjadi girang, ia memegang
kedua tangan Ciok Boh-thian dan digoyang-goyangkan,
katanya, “Engkoh Thian, kiranya kau memang sengaja purapura
saja untuk menipu aku.”

“Pura-pura apa?” sahut Boh-thian dengan bingung.
“Ilmu silatmu kan sama sekali tidak berkurang?” Ting Tong
menegas.
“Aku ... aku tidak paham ilmu silat apa segala,” sahut Bohthian.
Ting Tong menjadi marah lagi, omelnya, “Kau sengaja ngacobelo
lagi, lihatlah kalau aku mau gubris padamu.”
Habis berkata, segera ia hendak menampar pipi kiri Boh-thian.
Cepat Boh-thian mengegos dan hendak menangkis. Tapi ilmu
pukulan si Ting Tong adalah sedemikian cepatnya, dengan
sendirinya tangkisan Boh-thian itu mengenai tempat kosong,
tahu-tahu pipinya terasa kesakitan, secara tidak bersuara
sudah kena dipukul oleh Ting Tong.
Kembali Ting Tong menjerit kaget, bahkan mengandung rasa
khawatir yang melebihi tadi. Kiranya ia menyangka ilmu silat
Ciok Boh-thian belum punah dan dengan sendirinya akan dapat
menghindarkan tamparannya itu dengan gampang, sebab
itulah pukulannya itu telah menggunakan tenaga lunak yang
berbisa dingin. Maklum, setiap pukulan kalau tidak membawa
tenaga dalam tentu akan kurang cepat dan gesit. Siapa duga
cara menangkis Ciok Boh-thian ternyata sedemikian lamban
dan bodoh, seakan-akan seorang yang sama sekali tidak
paham ilmu silat, keruan tamparannya dengan tepat lantas
mengenai pipinya.
Sambil memegangi tangan sendiri yang digunakan menampar
itu, Ting Tong melihat di pipi kiri Boh-thian sudah terdapat cap
tangan berwarna hitam dan gosong melekuk. Ia menjadi
menyesal dan malu pula, ia merangkul pinggang Boh-thian dan

menempelkan pipi sendiri ke pipi anak muda itu, katanya
sambil menangis, “O, Engkoh Thian, sungguh aku tidak tahu
bahwa sebenarnya keadaanmu belum pulih kembali
seluruhnya.”
Ada wanita cantik di dalam pelukan, Ciok Boh-thian menjadi
lupa kepada pipinya yang sakit, katanya dengan menghela
napas, “Ting-ting Tong-tong, sebenarnya apa sebabnya kau
sebentar senang dan sebentar marah? Sungguh aku tidak
paham.”
“O, bagai ... bagaimana baiknya? Bagaimana baiknya?” kata
Ting Tong.
Segera ia melepaskan diri dari pelukan Boh-thian, ia
mengeluarkan sebuah botol porselen kecil dan menuang sebutir
obat pil serta suruh Boh-thian meminumnya, katanya, “Semoga
takkan meninggalkan bekas di atas pipimu itu.”
Begitulah kedua muda-mudi itu duduk saling bersandar di
buritan perahu, untuk sesaat keduanya sama-sama diam saja.
Selang agak lama, tiba-tiba Ting Tong membisiki Boh-thian,
“Engkoh Thian, sesudah kau menderita sakit keras, rupanya
ilmu silatmu telah kau lupakan semua, tapi tenaga dalamnya
tidaklah terlupa. Biarlah aku mengajarkan ilmu Kim-na-jiu-hoat
itu padamu.”
“Jika kau mau mengajar padaku, tentu aku akan
mempelajarinya,” sahut Boh-thian.
Dengan jarinya yang halus lentik perlahan-lahan Ting Tong
meraba lekuk cap tangan bekas tamparannya tadi di pipi anak
muda itu, sungguh rasa menyesalnya tak terhingga. Mendadak
ia mencium sekali pipi Boh-thian di tempat cap tangan itu.

Seketika kedua muda-mudi sama-sama merah jengah. Untuk
menutupi perasaan malunya, cepat Ting Tong berdiri, ia
membetulkan rambutnya, lalu memainkan ke-18 jurus Kim-najiu-
hoat dan diikuti oleh Boh-thian dengan cermat. Selesai ia
memain, lalu Boh-thian disuruhnya bergebrak dengan dia.
Dasar bakat Boh-thian memang amat tinggi, otaknya juga
cerdas, hanya satu kali diberi contoh saja ia sudah ingat
dengan baik.
Dengan cepat tiga hari telah lalu, sementara itu ke-18 jurus
Kim-na-jiu-hoat itu sudah terlatih sangat hafal oleh Ciok Bohthian.
Meski Kim-na-jiu-hoat itu hanya meliputi 18 jurus saja,
tapi tiap-tiap jurus di antaranya membawa perubahan yang tak
terbatas, ada yang belasan macam, ada yang membawa
berpuluh macam perubahan ikutan, semuanya sangat ruwet
dan bagus.
Di dalam tiga hari sementara luka di dada Boh-thian sudah
hampir sembuh seluruhnya, maka sepanjang hari dia hanya
mencurahkan perhatiannya untuk mempelajari ilmu Kim-na-jiuhoat
menurut ajaran si Ting Tong.
Ting Put-sam hanya menyaksikan kelakuan kedua muda-mudi
itu dengan acuh tak acuh, terkadang ia pun suka mengejek dan
menyindir.
Perahu mereka yang berlayar ke hulu itu perlahan-lahan telah
sampai di tempat yang sunyi dan jauh dari rumah penduduk.
Melihat kemajuan Ciok Boh-thian yang sangat pesat itu, diamdiam
si Ting Tong sangat senang. Suatu kali waktu mendengar
kakeknya mengejek Boh-thian sebagai orang sinting lagi,
kontan ia lantas berkata, “Yaya, ke-18 jurus Kim-na-jiu-hoat
keluarga Ting kita ini kalau disuruh belajar seorang sinting

harus makan waktu berapa lamanya untuk bisa dipahami
benar-benar?”
Ting Put-sam menjadi bungkam dan tak bisa menjawab. Ia
menyaksikan sendiri Ciok Boh-thian telah dapat mempelajari
Kim-na-jiu-hoat itu dengan baik, jika demikian sesungguhnya
anak muda ini bukan seorang tolol, apalagi sinting. Tapi
mengapa kelakuannya dan kata-katanya seperti orang miring?
Apakah dia pura-pura saja, memang benar telah melupakan
segala kejadian di masa lampau lantaran sakit keras yang
pernah dideritanya?
Dasar watak Ting Put-sam memang kukuh dan tidak mau
kalah, terhadap cucu perempuannya itu ia pun tidak mau kalah
berdebat, segera ia menjawab secara pokrol bambu, “Ada juga
orang sinting yang pintar, ada pula orang sinting yang goblok,
orang sinting yang pintar sudah tentu akan cepat dan hanya
setengah hari saja sudah paham diberi ajaran sesuatu, kalau
orang sinting yang tolol adalah seperti suamimu itu, harus tiga
hari baru bisa.”
“Yaya, dahulu waktu engkau mempelajari Kim-na-jiu-hoat
keluarga kita ini memerlukan waktu beberapa hari?” tanya Ting
Tong sambil tertawa.
“Masakah aku perlu belajar sampai beberapa hari? Dahulu
moyangmu hanya mengajarkan satu kali saja padaku, tidak
sampai setengah hari juga Yaya lantas paham seluruhnya,”
sahut Ting Put-sam.
“Haha, jika demikian, kiranya Yaya adalah seorang sinting yang
pintar,” kata Ting Tong dengan tertawa.
Karena terpegang kelemahan ucapannya tadi, dari malu Ting
Put-sam menjadi gusar, dengan mendelik ia membentak, “Hus,

budak setan, omong tak keruan!”
Pada saat itulah tiba-tiba ada sebuah perahu sedang mengejar
tiba dari sungai sana. Perahu itu memasang layar, dikayuh
empat orang pula, badan perahu kecil, meluncurnya menjadi
enteng dan cepat, maka makin lama makin mendekati perahu
yang ditumpangi Ting Put-sam ini.
Di hulu perahu itu tampak berdiri dua orang lelaki, seorang di
antaranya sedang berteriak, “Hai, bocah she Ciok itu apakah
berada di dalam perahu di depan itu? Lekas berhenti! Lekas
berhenti!”
Ting Tong hanya mendengus sekali saja, katanya, “Yaya,
rupanya orang Swat-san-pay sedang mencari Engkoh Thian
pula.”
“Itulah paling baik,” sahut Ting Put-sam dengan senang.
“Biarkan si sinting ini ditangkap mereka untuk dicincang,
dengan demikian barulah terkabul cita-cita kakek.”
“Yang akan ditangkap si sinting yang pintar atau si sinting yang
tolol?” tanya Ting Tong.
“Sudah tentu si sinting yang tolol yang akan ditangkap, siapa
sih yang berani menangkap si sinting yang pintar,” sahut Ting
Put-sam.
“Ya, memang ilmu silat si sinting yang pintar ini sedemikian
lihainya, siapa yang berani mengganggu seujung rambutnya?”
ujar Ting Tong dengan tersenyum.
Ting Put-sam tertegun, segera ia sadar ucapannya yang kasar
tadi, bentaknya dengan gusar, “Budak alas, kau berani putar
kayun dan memaki kakekmu?”

Tengah bicara, sementara itu perahu kecil tadi sudah makin
mendekat. Ting Put-sam dan Ting Tong duduk di dalam
hanggar perahu, dengan tenang mereka mengikuti apa yang
akan terjadi.
Maka terdengarlah kedua lelaki yang berdiri di haluan perahu
sana sedang membentak dengan marah-marah, “Hai, orang
itu, tampaknya kau adalah bocah dari she Ciok dari Tiang-lokpang
itu, mengapa kau tidak lekas menghentikan perahumu?”
Boh-thian menjadi gugup, serunya kepada si Ting Tong, “He,
Ting-ting Tong-tong, ada orang mengejar tiba, kau bilang apa
yang harus kulakukan?”
“Dari mana aku tahu apa yang harus kau lakukan? Kau seorang
laki-laki dewasa, masakah sedikit pun tidak dapat mengambil
sesuatu keputusan?” sahut Ting Tong.
Pada saat itulah perahu kecil tadi sudah berada kira-kira dua
meter jauhnya, sambil menggertak kedua lelaki itu lantas
melompat ke buritan perahu yang ditumpangi Ciok Boh-thian,
kedua orang sama-sama menghunus pedang.
Boh-thian mengenali kedua orang itu adalah murid-murid
Swat-san-pay yang pernah dilihatnya di dalam kelenteng
tempo hari itu. Pikirnya, “Entah apa kesalahanku, mengapa
orang-orang Swat-san-pay ini selalu mengincar diriku saja, ke
mana aku pergi selalu diuber-uber?”
Bab 18. Pertama Kali Melukai Orang, Menyesalnya Tak
Terhingga
Dalam pada itu, “sret” pedang salah seorang lelaki Swat-sanpay
menusuk ke bahunya.

Dalam beberapa hari ini Boh-thian terus-menerus berlatih
dengan si Ting Tong, kadang-kadang kalau dia bergerak sedikit
lambat tentu kena ditempeleng atau disikut oleh anak dara itu,
sudah banyak pahit getir yang telah dirasakan maka gerakgeriknya
sekarang sudah jauh lebih cepat dan gesit daripada
waktu bertanding melawan Ciok Jing suami-istri di dalam
kelenteng tempo hari. Ketika melihat serangan musuh tiba,
tanpa pikir lagi ia lantas menggunakan jurus kedelapan dari
Kim-na-jiu-hoat yang disebut “Hong-bwe-jiu” (tangkapan ekor
angin), tangan kanan memutar ke atas, orangnya mendesak
maju, kontan pergelangan tangan lawan dipegang terus
dipuntir.
Waktu orang itu menjerit kesakitan dan melepaskan
senjatanya, berbareng Ciok Boh-thian lantas mengangkat
sikutnya, “plok”, tepat janggut orang itu kena disikut, tanpa
ampun lagi janggut orang itu pecah, darah bercucuran dan gigi
rontok belasan biji, semuanya termuntah di geladak perahu.
Sama sekali Boh-thian tidak menduga bahwa jurus “Hong-bwejiu”
itu akan membawa hasil yang sedemikian lihainya, ia
menjadi terlongong-longong sendiri dengan hati berdebardebar.
Orang Swat-san-pay yang kedua mestinya hendak maju
membantu sang kawan untuk mengeroyok Ciok Boh-thian, tapi
hanya dalam sekejap saja dilihatnya sang Suheng yang
menyerang lebih dulu itu sudah terluka parah, padahal ilmu
silat Suhengnya jauh lebih tinggi daripadanya, andaikan ia ikut
maju juga pasti akan mengalami nasib yang sama, terpaksa ia
tidak berani main garang lagi, paling penting menolong sang
Suheng lebih dulu, segera ia melompat maju dan memondong
sang Suheng.

Saat itu kebetulan perahunya yang kecil itu sedang meluncur
sejajar dengan perahu besar yang ditumpangi Ciok Boh-thian,
sambil membawa Suhengnya yang terluka segera ia melompat
kembali ke perahunya sendiri dan memerintahkan tukang
perahu menurunkan layar dan membelokkan haluan, maka
dalam sekejap saja kedua kendaraan air itu sudah berpisah
jauh, perahu kecil itu telah meluncur kembali ke hilir.
Ciok Boh-thian masih terkesiap dan merasa menyesal sambil
memandangi belasan biji gigi dan darah yang berceceran di
geladak kapalnya.
Dalam pada itu Ting Tong telah keluar dari hanggar perahu dan
mendekati anak muda itu, katanya dengan tersenyum, “Engkoh
Thian, jurus ‘Hong-bwe-jiu’ yang kau mainkan barusan
sungguh sangat bagus dan tepat.”
“Ai, mengapa sebelumnya kau tidak menerangkan padaku
bahwa jurus ini sedemikian hebatnya bila mengenai lawan,
tahu begini tentu aku tidak mau mempelajarinya,” sahut Bohthian
sambil menggeleng-geleng.
Perasaan Ting Tong menjadi sedih pula, ia pikir penyakit si
sinting ini kembali kumat lagi, bicaranya telah melantur tak
keruan. Katanya kemudian, “Jika sudah belajar ilmu silat,
sudah tentu lebih lihai akan lebih baik. Coba kalau tadi jurus
Hong-bwe-jiu yang aku mainkan itu tidak bagus dan tepat,
tentu bahumu sendiri sekarang sudah tertembus oleh
pedangnya. Pendek kata dalam hal ilmu silat hanya ada dua
pilihan, melukai orang atau dilukai orang. Nah, coba kau ingin
pilih yang mana? Padahal hanya membikin rontok belasan biji
gigi juga cuma luka yang ringan saja, pertarungan di dunia
persilatan setiap saat ada kemungkinan jiwa akan terancam.
Kau memang berhati nurani baik, sebaliknya pihak lawan
berhati jahat, jika kau tadi sudah terbunuh, biarpun hatimu

lebih baik seratus kali juga tidak guna.”
Boh-thian termangu-mangu tak bicara, akhirnya ia
menggumam, “Paling baik kalau kau mengajarkan semacam
kepandaian padaku, kepandaian yang tidak dapat melukai atau
membunuh orang, sebaliknya juga tidak mungkin dapat dilukai
atau dibunuh orang. Dengan demikian kepada siapa pun kita
akan berkawan saja dan takkan bermusuhan.”
“Omong kosong, ngaco-belo belaka,” sahut Ting Tong dengan
tersenyum getir. “Setiap orang yang belajar silat, sekali sudah
bergebrak tentu berarti mengadu jiwa. Memangnya kau sangka
cuma permainan anak kecil saja?”
“Aku lebih suka permainan anak kecil daripada berkelahi dan
mengadu jiwa,” ujar Boh-thian.
“Dasar orang linglung, sialan bagi mereka yang bicara dengan
kau,” omel Ting Tong dengan mendongkol. Saking jengkelnya
ia tidak gubris lagi pada anak muda itu, ia masuk ke dalam
hanggar perahu dan merebahkan diri.
“Nah, apa kataku? Betul tidak buktinya? Sekali sinting tetap
sinting. Ilmu silatnya tinggi tetap seorang sinting, ilmu silatnya
jelek juga tetap sinting. Bukankah lebih baik dibunuh saja
daripada membikin mangkel belaka,” demikian Ting Put-sam
membubui.
Diam-diam Ting Tong bergerak juga perasaannya, ia merasa
bila Engkoh Thian itu selalu linglung begini, cara bagaimana
dirinya dapat hidup didampingnya selama hidup ini? Daripada
tersiksa lahir batin, memang ada lebih baik dibunuh saja
seperti anjuran kakek dan segala urusan menjadi beres.
Tapi segera terpikir pula olehnya pada masa sebelum Engkoh

Thian jatuh sakit, tatkala mana entah betapa banyak katanya
yang menarik dan manis sebagai madu, biarpun tak berkata
apa-apa, asal dia memandang sekejap saja pada dirinya, maka
rasanya pandangan itu pun penuh mengandung kata-kata yang
merayu kalbu dan memabukkan.
Siapa duga sesudah berpisah, kekasih yang dirindukan itu
lantas jatuh sakit, kekasih yang pintar dan ganteng itu lantas
berubah menjadi seorang linglung dan ketololan sebagai
tonggak kayu. Makin dipikir makin kesal sehingga air matanya
bercucuran, akhirnya ia membenamkan kepalanya ke dalam
selimut dan menangis sesenggukan.
“Apa gunanya menangis? Dengan menangis toh takkan dapat
mengubah seorang tolol menjadi pintar,” jengek Ting Put-sam.
“Kalau aku mengubah seorang sinting yang tolol menjadi
seorang sinting yang pintar, boleh tidak?” sahut Ting Tong
dengan sengit.
“Ngaco-belo lagi!” semprot Ting Put-sam.
Ting Tong masih terus menangis, pikirnya, “Kalau melihat sikap
dan tutur kata nona Hoa dari Swat-san-pay itu, tampaknya dia
toh belum diganggu oleh Engkoh Thian, jika demikian, sifat
kebangoran Engkoh Thian terhadap kaum wanita sekarang
sudah berubah, terang dia tidak mirip seorang laki-laki sejati
pula. Bila aku menikah dengan seorang suami yang kaku dan
tolol sedemikian, lalu apakah aku bisa hidup bahagia?”
Begitulah ia terus menangis sampai setengah harian, terpikir
olehnya dirinya secara resmi sudah menjadi istri orang, selama
beberapa hari ini mereka selalu bergaul dengan rapat, di waktu
tidur mereka pun selalu berdampingan, tapi jangankan hidup
layak sebagai suami-istri, sedangkan mencium saja, bahkan

memegang tangan atau kakinya saja tidak pernah dilakukan
pemuda itu. Hidup sedemikian masakah mirip suami-istri yang
baru saja kawin?
Dalam pada itu terdengar suara mendengkur Ciok Boh-thian
yang lelap di buritan perahu, pemuda itu sedang bermimpi di
alamnya sendiri, seketika Ting Tong menjadi naik darah, diamdiam
ia mengeluarkan goloknya, pikirnya dengan mengertak
gigi, “Suami yang tolol sebagai tonggak kayu demikian apa
gunanya dibiarkan hidup di dunia ini?”
Segera ia bangun dan menuju ke buritan perahu, terdengar
suara mendengkur si tukang perahu yang keras, Ciok Bohthian
yang tidur tidak di sebelah tukang perahu itu ternyata
tidak berasa sama sekali, diam-diam Ting Tong mendongkol,
katanya di dalam hati, “Engkoh Thian, kau sendirilah yang
telah berubah dan jangan salahkan aku berlaku kejam.”
Ia angkat goloknya dan hendak membacok ke leher pemuda
itu. Tapi mendadak hatinya menjadi lemas, ia tertegun
sejenak, kemudian ia berjongkok dan perlahan-lahan menarik
pundak Ciok Boh-thian dengan maksud memandangnya untuk
penghabisan kalinya sebelum ajal pemuda itu.
Ketika Boh-thian membalik tubuh, di bawah sinar bulan yang
remang-remang tertampak mukanya bersenyum simpul, entah
impian manis apa yang sedang dialaminya. Kata Ting Tong di
dalam hati, “Sebentar lagi kau akan mati, biarkan kau
menyelesaikan impianmu dahulu barulah akan kubunuh kau,
toh hanya dalam waktu tidak lama lagi kita akan berpisah
untuk selamanya.”
Maka Ting Tong lantas duduk menunggu di samping Ciok Bohthian,
ia pandang muka pemuda itu, asal senyuman yang
tersimpul di muka pemuda itu sudah lenyap, segera goloknya

akan membacok.
Selang sejenak, tiba-tiba terdengar Ciok Boh-thian berkata
dalam keadaan tak sadar, “He, Ting-ting Ting-tong, sebab ...
sebab apakah kau marah? Tapi ... tapi di waktu marah kau
menjadi ... menjadi lebih-lebih cantik, ya, lebih cantik, biarkan
aku memandang kau selama seratus hari seratus malam juga
tidak cukup rasanya, bahkan seribu hari, selaksa hari, sejuta
juga ... juga tidak cukup ....”
Dengan tenang Ting Tong mendengarkan igauan Ciok Bohthian,
pikirannya menjadi terombang-ambing, katanya di dalam
hati, “O, Engkoh Thian, kiranya di dalam mimpi kau selalu
terkenang padaku. Ucapanmu yang enak didengar ini jika kau
katakan padaku di waktu siang bukankah sangat baik? Ai,
semoga penyakitmu yang linglung ini pada suatu hari akan
lenyap, pikiran sehatmu akan pulih kembali dan dapat
mengucapkan kata-kata manis seperti ini kepadaku.”
Tertampak olehnya papan perahu di sebelahnya agak basah
terkena air embun, baju yang dipakai Ciok Boh-thian agak tipis,
seketika timbul rasa kasih sayang si Ting Tong, segera ia ambil
sehelai selimut dan perlahan-perlahan diselimutkan ke atas
badan pemuda itu. Untuk sekian lamanya ia termangu-mangu
pula memandangi muka sang suami, habis itu barulah dia
masuk kembali ke dalam kamar perahu.
Tiba-tiba terdengar Ting Put-sam mengomel, “Tengah malam
buta di dalam perahu ini ada seekor tikus kecil yang
gentayangan kian kemari, sudah kecil nyalinya, mau turun
tangan tidak berani lagi, huh, tiada berguna!”
Ting Tong tahu kelakuannya tadi telah diketahui semua oleh
sang kakek, tapi karena dia sedang senang hatinya, maka
sindiran orang tua itu sama sekali tak diambil pusing olehnya.

Di dalam hatinya hanya teringat ucapan Ciok Boh-thian tadi
yang menyatakan, “Di waktu marah kau menjadi lebih-lebih
cantik, biarpun kupandang selama sejuta hari juga tidak
cukup.”
Mendadak Ting Tong tertawa sendiri, katanya dalam hati,
“Engkoh Thian ini memang linglung, sampai di waktu mimpi
juga tidak keruan ucapannya. Andaikan manusia dapat hidup
seratus tahun juga cuma ada 36 laksa hari, dari mana bisa
mencapai sejuta hari lamanya?”
Begitulah si Ting Tong telah sibuk semalam suntuk dengan
sebentar senang dan sebentar sedih, sampai menjelang pagi
barulah dia dapat terpulas.
Tapi tidak lama ia sudah terjaga bangun lagi oleh suara ribut
Ciok Boh-thian, terdengar pemuda itu sedang berteriak-teriak
di belakang, “He, sungguh aneh ini! Oi, Ting-ting Tong-tong,
mengapa tadi malam selimutmu bisa lari sendiri ke atas
badanku? Apa barangkali selimutmu punya kaki?”
Ting Tong menjadi malu, cepat ia melompat bangun dan
memburu ke buritan perahu, terdengar Ciok Boh-thian sedang
berkata pula sambil memegangi selimutnya, “Ting-ting Tongtong,
coba lihat, aneh atau tidak? Selimut ini ....”
Sebelum pemuda itu selesai berkata si Ting Tong sudah lantas
merebut kembali selimut itu sambil membentak dengan suara
tertahan, “Hus, omong yang bukan-bukan, selimut berkaki
kenapa mesti diherankan dan digegerkan?”
“Ada selimut berkaki kau bilang tidak mengherankan? Di
manakah letak kakinya selimut?” Boh-thian menegas.
Sekilas Ting Tong melihat si tukang perahu yang sudah tua itu

dengan tersenyum-tak-senyum sedang melirik kepada dirinya
sambil mendayung, Ting Tong menjadi merah jengah mukanya,
omelnya kepada Ciok Boh-thian, “Mengoceh tak keruan!”
Berbareng ia terus hendak menjewer kuping pemuda itu.
Tapi tangan kanan Boh-thian lantas menangkis, secara
otomatis ia mengeluarkan sejurus Kim-na-jiu-hoat untuk
membela.
Waktu Ting Tong menggunakan tangan lain hendak
mencengkeram iga Boh-thian, segera Boh-thian menggunakan
siku kiri untuk menahan serangan, berbareng tangan lain
digunakan untuk balas mencengkeram pundak si nona.
Begitulah dalam sekejap saja kedua muda-mudi itu telah
bergebrak sampai belasan jurus. Makin lama makin cepat
serangan si Ting Tong, tapi Ciok Boh-thian juga melayani
dengan penuh perhatian, sedikit pun tidak ayal.
Sampai jurus ke-45, Ting Tong telah menggunakan gerakan
“Liong-hing-jiau” (cakar naga melayang) untuk mencengkeram
kepala Ciok Boh-thian, tapi pemuda itu sempat menangkis
dengan cepat luar biasa, rupanya Ting Tong tidak keburu
menarik kembali tangannya sehingga Hiat-to bagian
pergelangan tangan kena tersabet oleh jari Boh-thian, seketika
lengannya terasa kaku pegal, suatu arus tenaga hangat terasa
menyalur dari lengannya terus ke pinggang, lalu dari pinggang
mengalir ke kaki. Karena tak bisa berdiri tegak lagi, Ting Tong
jatuh terkulai dan kebetulan jatuh di atas selimutnya.
Tiba-tiba timbul kejahilan Boh-thian yang bersifat kekanakkanakan,
segera ia membungkus si Ting Tong dengan selimut
itu, lalu diangkatnya, katanya dengan tertawa, “Hayo, kenapa
kau menjewer kupingku? Biar kulemparkan kau ke dalam
sungai untuk umpan ikan.”

Walaupun berpisah oleh sehelai selimut, tapi seluruh badan si
Ting Tong menjadi lemas lunglai di dalam pondongan si anak
muda, dengan malu dan girang ia menjawab, “Kau berani?”
“Mengapa tidak berani?” kata Boh-thian dengan tertawa. Lalu
ia bergerak pura-pura hendak melemparkan si Ting Tong ke
sungai. Tapi segera ia melemparkan tubuh si nona yang
terbungkus selimut itu dengan perlahan ke dalam hanggar
perahu.
Dengan cepat Ting Tong menerobos keluar dari bungkusan
selimut, lalu berlari ke buritan perahu lagi. Khawatir kalau
diserang pula, cepat Boh-thian mundur selangkah sambil
pasang kuda-kuda dan siap bertempur.
“Sudahlah, tak mau main lagi,” kata Ting Tong dengan tertawa.
“Melihat lagakmu ini lebih mirip seorang dusun, sedikit pun
tidak memperlihatkan gaya sebagai seorang jago di dalam
dunia persilatan.”
“Memangnya aku bukan jagoan dalam dunia persilatan,” sahut
Boh-thian dengan tertawa.
“Kionghi, Kionghi, Kim-na-jiu-hoat yang kau pelajari ini
sekarang sudah terlatih dengan sangat bagus, bahkan lebih
lihai daripadaku, si murid telah melebihi sang guru,” kata Ting
Tong.
Tiba-tiba terdengar Ting Put-sam berkata dengan nada
mengejek di dalam hanggar perahu, “Tapi untuk bertanding
dengan jago Swat-san-pay yang bernama Pek Ban-kiam itu,
hah, selisihnya paling sedikit masih tiga pal jauhnya.”
“Yaya,” kata Ting Tong, “sedemikian cepat majunya cara dia

belajar, asal Yaya mau mengajar setahun atau setengah tahun
padanya, biarpun nanti bukan jago yang tiada tandingannya di
jagat ini, tapi paling sedikit juga dia takkan membikin malu
sebagai cucu menantumu.”
“Tidak, apa yang telah diucapkan Ting Put-sam apakah pernah
ditarik kembali atau diubah?” sahut sang kakek. “Pertama aku
sudah menyatakan, bila dia ingin ambil kau sebagai istri, maka
selamanya jangan mengharap belajar ilmu silatku. Kedua, aku
memberi waktu sepuluh hari padanya untuk mengalahkan Pek
Ban-kiam, aku toh tidak mengatakan setahun atau setengah
tahun. Padahal lewat lima hari lagi jiwanya juga bakal
melayang, tiada gunanya bicara melantur-lantur lagi.”
Ting Tong merasa ngeri membayangkan apa yang dikatakan
sang kakek itu selamanya pasti dilakukan. Kalau kemarin ia
bermaksud membunuh Ciok Boh-thian dengan tangan sendiri,
tapi sekarang ia benar-benar keberatan kalau Engkoh Thian
yang dikasihi itu terbinasa di tangan sang kakek. Ia menjadi
bingung.
Setelah dipikir bolak-balik, akhirnya Ting Tong mengambil
keputusan harus mencari jalan keluar melalui ke-13 jurus Kimna-
jiu-hoat yang telah dipahami Ciok Boh-thian. Maka dalam
beberapa hari ini, selain makan dan tidur, Ting Tong selalu
bergebrak dan berlatih dengan sang suami mengenai aneka
macam perubahan dari Kim-na-jiu-hoat itu. Sampai akhirnya
Boh-thian benar-benar sudah paham dan hafal, biarpun tidak
dengan tenaga dalam yang kuat juga sudah mampu serangmenyerang
dengan Ting Tong dengan sama sekuatnya.
Sampai pagi hari kedelapan, sesudah berdehem sekali, Ting
Put-sam telah berkata, “Awas, tinggal tiga hari saja.”
“Yaya,” kata Ting Tong, “kau suruh dia mengalahkan Pek BanKang
Zusi http://cerita-silat.co.cc/
kiam, menurut pandanganku hal ini toh bukan sesuatu yang
sukar. Biarpun ilmu pedang Pek Ban-kiam dari Swat-san-pay
itu cukup lihai, tapi juga masih bukan tandingan ilmu silat
keluarga Ting kita, Kim-na-jiu-hoat yang dilatih Engkoh Thian
ini sudah cukup masak, tenaga dalamnya bahkan sangat hebat,
melulu dengan bertangan kosong saja dia sudah dapat merebut
pedang dari tangannya Pek Ban-kiam. Kalau dia dapat merebut
senjata lawan dengan tangan kosong, hal ini dianggap
kemenangan atau tidak?”
“Huh, budak setan, bicara seenaknya saja,” jengek Ting Putsam.
“Hanya dengan sedikit kepandaiannya ini dia mampu
merebut pedang dari tangannya Gi-han-se-pak yang tersohor
itu? Ha, lebih baik kau jangan mimpi di siang bolong. Sekalipun
kakekmu sendiri dengan bertangan kosong juga tidak mampu
merebut pedang dari tangannya Pek Ban-kiam.”
Ting Tong menjadi uring-uringan, katanya, “Ke sana kemari toh
sama-sama akan mati, kalau berusaha merebut pedang orang
she Pek itu boleh jadi masih ada harapan akan berhasil
daripada mati konyol di tanganmu. Yaya, kau suruh dia
mengalahkan Pek Ban-kiam itu di dalam waktu sepuluh hari,
tapi kalau di dalam sepuluh hari orang she Pek itu tidak
diketemukan, ini kan bukan salahnya Engkoh Thian?”
“Sekali kukatakan sepuluh hari, maka tetap juga sepuluh hari,”
sahut Ting Put-sam. “Pendek kata orang she Pek itu pasti
berada di sungai ini, apakah akan dia ketemukan atau tidak
adalah bukan urusanku, singkatnya kalau di dalam sepuluh hari
dia tidak mengalahkan orang she Pek itu, maka bocah she Ciok
yang sinting inilah yang akan kubunuh.”
“Sekarang waktunya tinggal tiga hari saja, ke mana harus
mencari orang she Pek itu?” ujar Ting Tong. “Ai, kau ... kau
benar-benar keterlaluan dan tidak pakai aturan.”

“Kalau Ting Put-sam tidak keterlaluan kan bukan Ting Put-sam
lagi,” sahut si orang tua. “Boleh kau coba cari tahu di kalangan
Kangouw apakah selama ini Ting Put-sam kenal kasihan dan
bicara tentang aturan?”
Ting Tong menjadi bungkam. Di dalam hari kedelapan dan
kesembilan ini dia hanya mengajarkan Boh-thian jurus-jurus
“Say-cu-bok-tho” (singa lapar terkam kelinci), “Jong-eng-liakkhe”
(elang menyambar anak ayam), “Jiu-kau-nah-lay” (di
mana tangan tiba lantas diambilnya), dan “Tam-kiu-ju-but”
(merogoh saku mengambil barang), keempat jurus ini adalah
khusus dipakai untuk merebut senjata yang lihai.
Pada hari kesembilan itu Ting Put-sam selalu melirik-lirik Ciok
Boh-thian dengan senyum mengejek dan mencemoohkan.
Ting Tong tahu sang kakek pasti akan membunuh Engkoh
Thian pada hari kesepuluh, pada waktu ini jangankan Ciok Bohthian
masih bukan tandingan Pek Ban-kiam, sekalipun ilmu
silatnya benar-benar dapat mengalahkan orang she Pek itu
juga susah mencari lawan di dalam waktu singkat di tengah
sungai yang luas itu.
Lewat tengah hari, sesudah Ting Tong berlatih pula sebentar
dengan Ciok Boh-thian, tanpa merasa ia telah berkeringat, ia
telah mengambil saputangan dan mengusap keringat yang
membasahi hidung dan di atas bibirnya. Tiba-tiba ia menguap
kantuk. Katanya, “Sudah bulan kedelapan, hawa masih segerah
ini!”
Kemudian ia duduk berjajar dengan Boh-thian di tepi perahu,
sambil menunjuk dua burung belibis yang sedang berenang di
tengah sungai sana ia berkata, “Engkoh Thian, coba lihat,
alangkah bebas dan bahagianya sepasang suami-istri itu

berenang kian kemari di dalam sungai. Kalau burung jantan itu
dipanah mati umpamanya, burung betina itu akan hidup
merana sebatang kara, bukanlah sangat kasihan?”
“Ya, dahulu aku sering berburu di pegunungan, di waktu
menangkap burung aku tidak pernah pikirkan apakah burung
itu jantan atau betina, jika demikian halnya, kelak aku hanya
memburu burung betina saja.”
Ting Tong menghela napas dengan rasa gemas-gemas dongkol,
pikirnya, “Sungguh tolol Engkoh Thian ini.”
Saat itu ia merasa lelah, ia bersandar di bahu Boh-thian sambil
pejamkan mata, lambat laun ia terpulas.
“Ting-ting Tong-tong, apakah kau sudah penat? Kupondong
kau ke dalam kamar perahu saja, ya?” kata Boh-thian.
“Tak mau, aku ingin tidur begini saja,” sahut Ting Tong dengan
samar-samar.
Boh-thian tidak berani membantah maksud si nona, terpaksa
membiarkannya tidur bersandar di bahunya. Terdengar
pernapasan anak dara itu makin lambat dan makin panjang,
tidurnya semakin nyenyak. Rambutnya yang panjang
bergosok-gosok di pipi kiri Boh-thian, anak muda itu merasa
geli dan nikmat tak terkatakan.
Tidak lama kemudian, tiba-tiba terdengar suara seorang yang
sangat lembut sedang berkata padanya, “Aku bicara padamu,
tapi kau hanya boleh mendengarkan saja dan jangan
mengangguk, lebih-lebih tidak boleh bersuara, mukamu juga
tidak boleh memperlihatkan rasa heran dan kaget. Paling baik
kau pun pejamkan mata dan pura-pura tidur saja, kalau kau
mengeluarkan suara mendengkur pula tentu akan lebih bagus

lagi untuk menutupi suara ucapanku.”
Dari suara itu Boh-thian mengenali pembicara itu adalah si Ting
Tong, semua ia terheran-heran dan mengira anak dara itu
sedang mengigau, tapi waktu ia meliriknya, tertampak bulu
mata si Ting Tong yang panjang itu sedikit bergerak,
mendadak mata kirinya terbuka dan mengedip dua kali
padanya, lalu terpejam pula.
Boh-thian lantas sadar, kiranya si Ting Tong ingin bicara apaapa
yang harus dirahasiakan dan tidak boleh didengar oleh
kakeknya. Maka Boh-thian lantas pura-pura menguap juga,
katanya, “Ahhham! Ngantuk!” Lalu ia pun memejamkan
matanya.
Diam-diam Ting Tong bergirang, ia pikir Engkoh Thian betapa
pun toh bukan seorang tolol benar-benar, hanya sekali diberi
tahu saja sudah paham, suruh dia pura-pura tidur, dia lantas
berpura-pura dengan sangat mirip.
Kemudian Ting Tong lantas membisiki Boh-thian, “Yaya
mengatakan ilmu silatmu terlalu rendah, kelakuanmu anginanginan
pula dan tidak sesuai untuk menjadi cucu menantunya.
Batas waktu sepuluh hari sudah akan habis sampai besok, kau
pasti akan dibunuh olehnya. Kita pun susah menemukan Pek
Ban-kiam. Jalan satu-satunya sekarang ialah kita harus
melarikan diri dan sembunyi di pegunungan yang sunyi agar
Yaya tidak dapat menemukan kita.”
Diam-diam Boh-thian merasa heran, “Tanpa sebab mengapa
Yaya akan membunuh aku? Ah, dasar Ting-ting Tong-tong ini
masih kekanak-kanakan, ucapan kakek yang cuma berkelakar
saja dianggapnya sungguh-sungguh. Dia mengajak aku
bersembunyi di pegunungan yang sunyi agar tidak dapat
ditemukan Yaya, ha, permainan ini menarik juga.”

Dalam pada itu terdengar Ting Tong sedang berbisik pula, “Bila
kita melarikan diri ke daratan, tentu kita akan ditangkap
kembali oleh Yaya dan susah terlepas lagi. Maka kau harus
ingat dengan baik-baik nanti tengah malam bila mendadak aku
merangkul Yaya dengan kencang sambil menjerit dan
menangis, ‘O, Yaya, ampunilah Engkoh Thian, janganlah kau
membunuhnya!’ – Pada saat itu juga kau harus lekas memburu
masuk ke dalam hanggar perahu, tangan kananmu
menggunakan jurus ‘Hou-jiau-jiu’ (cengkeraman cakar
harimau) untuk memegang punggung kakek, sedang tangan
kiri dengan jurus ‘Giok-li-cui-ciam’ (si gadis ayu menyusup
jarum) berbareng pinggangnya harus dicengkeram. Ingat, asal
terdengar aku menjerit, ‘Janganlah kau membunuh dia,’ maka
kau harus segera bertindak. Ingat yang baik, jurus ‘Hou-jiaujiu’
dan ‘Giok-li-cui-ciam’. Saat itu Yaya telah kurangkul dengan
kencang, seketika dia tak dapat melawan, maka sekali pegang
dengan tenaga dalammu yang kuat itu tentu Yaya takkan bisa
berkutik lagi.”
Diam-diam Boh-thian membatin, “Si Ting Tong benar-benar
sangat nakal, masakah suruh aku bermain gila pada Yaya,
entah nanti Yaya akan marah atau tidak? Ya, sudahlah, jika si
Ting Tong suka bergurau, biarkan aku menuruti dia saja.
Rasanya permainan ini sangat menarik.”
Lalu Ting Tong berbisik lagi, “Cengkeramanmu itu nanti
menentukan mati dan hidup kita berdua, maka kau harus
melakukannya dengan cepat dan tepat. Coba kau meraba
‘Leng-tay-hiat’ di punggungku ini, jurus ‘Hou-jiau-jiu’ itu nanti
harus mencengkeram di tempat ini.”
Dengan tetap memejamkan mata perlahan-lahan Boh-thian
menggeser tangannya dan meraba perlahan di punggung si
anak dara.

“Ya, benar, di situlah tempatnya,” kata Ting Tong. “Dalam
keadaan gelap nanti, caramu menyerang harus cepat,
tempatnya harus jitu, dengan mati-matian aku akan merangkul
Yaya dengan kencang, asal kau dapat bertindak dalam waktu
singkat tentu urusan akan menjadi beres, sebaliknya kalau
terlambat sehingga rencana kita disadari Yaya, tentu kita akan
celaka. Coba sekarang kau pegang pula ‘Koan-ki-hiat’ di
pinggangku, jurus yang digunakan adalah ‘Giok-li-cui-ciam’
yang dipakai hanya jari jempol dan jari telunjuk saja, tenaga
dalam harus digunakan melalui jari untuk menutuk Hiat-to ini.”
Perlahan-lahan tangan Boh-thian lantas menggeser ke samping
bawah, dengan kedua jari yang dikatakan itu perlahan-lahan ia
memegang sekali “Koan-ki-hiat” di bagian pinggang si nona.
Sudah tentu sekarang dia tidak menggunakan tenaga dalam,
maka jarinya seakan-akan hanya mengilik-ngilik saja,
memangnya si Ting Tong masih perawan yang takut geli,
karena ia menjadi tak tahan maka tertawalah dia terkikik-kikik
sambil membentak, “Hei, kau main gila apa?”
Ketika Ciok Boh-thian bergelak tertawa, segera Ting Tong balas
mengilik-ngilik iga pemuda itu.
Begitulah kedua muda-mudi itu lantas bergurau sendiri dan
tertawa haha-hihi melupakan kelakuan mereka yang pura-pura
tidur tadi.
Pada petang harinya, si tukang perahu telah melabuhkan
perahunya di dermaga sebuah kota kecil, dengan membawa
poci arak dia mendarat ke kota untuk membeli arak.
“Engkoh Thian, marilah kita juga jalan-jalan ke kota,” ajak si
Ting Tong.

“Hayo,” sahut Boh-thian.
Segera mereka mendarat dengan bergandeng tangan. Kota itu
sangat kecil, penduduk tiada lebih daripada seratus rumah,
belasan rumah di antaranya adalah pedagang-pedagang ikan.
Sampai di ujung kota sana, melihat sekitar mereka tiada orang
lain, Boh-thian telah berkata, “Yaya sedang tidur di dalam
perahu, kalau sekarang juga kita lantas angkat kaki dan
melarikan diri, apakah beliau dapat menemukan kita kembali?”
“Tidak semudah demikian,” sahut Ting Tong dengan
menggeleng. “Biarpun kita sudah berlari 20-30 li jauhnya
akhirnya pasti akan dapat disusul olehnya.”
“Memang, biarpun kau sudah lari seratus atau seribu li juga
akhirnya kami pasti dapat menyusul dan membekuk kau,”
demikian tiba-tiba suara seorang yang agak serak berkata di
belakang mereka.
Waktu Boh-thian dan Ting Tong menoleh tertampaklah dua
orang lelaki telah muncul dari balik pohon sana, kedua orang
itu yang satu tinggi dan yang lain pendek sedang menyengir
ejek pada mereka.
Boh-thian lantas kenal kedua orang itu adalah Houyan Ban-sian
dan Bun Ban-hu dari Swat-san-pay. Ia terkejut dan merasa
takut.
Kiranya sesudah orang-orang Swat-san-pay memergoki jejak
Ciok Boh-thian di perairan Tiangkang, bahkan dua orang di
antaranya berusaha menangkap Boh-thian, tapi diserang
pemuda itu sehingga luka parah. Sesudah mendapat laporan
itu segera Pek Ban-kiam menyebarkan para Sutenya untuk
menguber melalui darat dan sungai.

Rombongan Houyan Ban-sian dan Bun Ban-hu bertugas
mengejar ke arah barat menuju ke hulu sungai. Tak terduga di
kota kecil inilah mereka dapat memergoki Ciok Boh-thian.
Houyan Ban-sian orangnya lebih hati-hati, ia pikir pihaknya
berdua belum tentu mampu melawan bocah she Ciok ini, baru
saja dia ingin melepaskan panah berapi sebagai tanda untuk
memanggil kawan-kawannya yang lain sebagaimana telah
diperintahkan Pek Ban-kiam, tak terduga Bun Ban-hu yang
bertabiat berangasan itu sudah tidak tahan diri lagi dan segera
menegur Ciok Boh-thian. Ting Tong juga terkejut melihat
munculnya orang-orang Swat-san-pay, ia khawatir janganjangan
Pek Ban-kiam juga berada di sekitar situ, jika demikian,
bila nanti Yaya memaksa Engkoh Thian harus bertanding
dengan orang she Pek itu kan urusan bisa runyam?
Segera ia memelototi Ban-sian dan Ban-hu, semprotnya, “Kami
sedang bicara sendiri, siapa suruh kalian ikut menimbrung?
Marilah Engkoh Thian, kita kembali ke perahu saja.”
Memang Boh-thian merasa jeri, segera ia mengangguk setuju
dan kedua orang lantas membalik tubuh hendak bertindak
pergi.
Biasanya Bun Ban-hu sangat memandang hina kepada murid
keponakan she Ciok ini, ia pikir kepandaian apa yang kau miliki
selama beberapa tahun saja bela jar di Leng-siau-sia? Jika
sekarang aku dapat menangkapnya, maka ini akan merupakan
suatu pahala besar bagiku dan tentu akan mendapat pujian
dari Suhu. Maka ia lantas membentak pula, “Hendak lari ke
mana bocah she Ciok? Hayo, lebih baik ikut padaku saja jika
kau tidak ingin dihajar!”
Sambil berkata segera tangan kirinya digunakan menjambret

pundak Ciok Boh-thian.
Cepat Boh-thian mengegos ke samping dan secara otomatis ia
mengeluarkan Kim-na-jiu-hoat ajaran si Ting Tong untuk
menangkis cengkeraman Bun Ban-hu itu.
Sudah tentu Bun Ban-hu tidak membiarkan tangannya beradu
dengan tangan lawan, cepat ia tarik kembali dan berbareng
kakinya lantas menendang ke perut Ciok Boh-thian.
Boh-thian menjadi bingung menghadapi tendangan itu, ia tidak
tahu cara bagaimana harus menangkis atau mengelakkan diri.
Maklum, dalam hal tendangan sama sekali ia tidak pernah
belajar, Ting Tong hanya mencurahkan perhatiannya
mengajarkan Kim-na-jiu-hoat, terutama jurus “Hou-jiau-jiu dan
Giok-li-cui-ciam” yang akan digunakan terhadap kakeknya, tapi
dalam hal cara bagaimana menghadapi serangan-serangan
atau tendangan dari golongan lain sama sekali tak diajarkan
kepada pemuda itu.
Begitu pula dalam hari terakhir ini Ciok Boh-thian juga melulu
menghafalkan dengan sebaiknya jurus-jurus “Hou-jiau-jiu” dan
“Giok-li-cui-ciam,” maka dalam keadaan berbahaya yang
teringat olehnya juga kedua jurus itu.
Tapi sekarang dia berdiri berhadapan dengan Bun Ban-hu,
padahal kedua jurus itu khusus digunakan menyerang bagian
belakang tubuh lawan, terang tak cocok untuk dipakai. Tapi di
saat terancam bahaya ia menjadi tidak peduli apakah jurusjurus
serangan itu cocok digunakan atau tidak, sekali kakinya
menggeser, tahu-tahu ia telah memutar ke belakang Bun Banhu.
Karena Lwekangnya sangat tinggi, gerak-geriknya menjadi
cepat dan gesit luar biasa sehingga langkahnya itu dengan

tepat justru berhasil menghindarkan tendangan Bun Ban-hu
tadi, bahkan dengan tangan kanan menggunakan “Hou-jiaujiu”
dan tangan kiri memakai jurus “Giok-li-cui-ciam”, sekaligus
ia cengkeram Leng-tay-hiat dan Koan-ki-hiat di bagian
pinggang lawan.
Dengan Lwekangnya yang lihai itu, di mana dia
mencengkeram, seketika Bun Ban-hu merasa tubuhnya
menjadi lemas lunglai, kontan roboh terjungkal.
Dalam pada itu baru saja Houyan Ban-sian hendak ikut
mengerubut maju, demi tampak Ciok Boh-thian telah dapat
mencengkeram Hiat-to penting di tubuh sang Sute dengan cara
yang lihai, dalam gugupnya Ban-sian tidak sempat melolos
senjata lagi, tapi cepat ia menghantam ke pinggang Ciok Bohthian.
Karena tujuan hendak memaksa agar Boh-thian melepaskan
cengkeramannya kepada sang Sute, maka tenaga yang
digunakan Ban-sian ini adalah sekuat-kuatnya, maka
terdengarlah suara “bluk”, hampir berbareng juga terdengar
suara “krak”, Houyan Ban-sian merasa kesakitan sendiri,
ternyata tulang lengannya telah patah sebaliknya Boh-thian
hanya merasa pinggangnya seperti tersodok perlahan oleh
sesuatu, waktu ia melepaskan tubuh Bun Ban-hu, ternyata jago
Swat-san-pay itu sudah meringkuk kaku dalam keadaan yang
menyeramkan tampaknya.
Keruan Boh-thian terperanjat, teriaknya, “Haya, celaka! He,
Ting-ting Tong-tong, ken ... kenapa mendadak dia kejang?
Jangan-jangan dia ... dia sudah mati?”
Ting Tong tertawa, sahutnya, “Engkoh Thian, kedua jurus itu
telah kau mainkan dengan sangat bagus, cuma saja langkahmu
tadi agak tergesa-gesa dan gugup, sedikit pun tiada

memperlihatkan gaya seorang jagoan. Sesudah kau
cengkeram, orang ini takkan mati, tapi akan cacat untuk
selama hidupnya, kedua kaki dan tangannya takkan bisa
bergerak lagi.”
Boh-thian tambah kaget, segera ia memayang Bun Ban-hu
sambil berkata, “Ai, ma ... maaf, aku ... tidak sengaja
membikin susah padamu. Lantas bagaimana baiknya? Ting-ting
Tong-tong, dapatkah kau mencari akal untuk menyembuhkan
dia?”
Tapi Ting Tong lantas melolos pedang yang tergantung di
pinggang Bun Ban-hu, katanya, “Apa kau ingin dia tidak terlalu
menderita dalam hidupnya nanti? Itulah mudah, boleh sekali
tebas kau membinasakan dia saja.”
“Tidak, tidak boleh jadi!” seru Boh-thian, dan saling gelisahnya
ia sampai meneteskan air mata.
“Kalian berdua siluman cilik ini, hendaklah tahu bahwa murid
Swat-san-pay lebih suka dibunuh daripada dihina,” teriak
Houyan Ban-sian dengan gusar. “Hari ini kami berdua telah
terjungkal di tanganmu, jika mau bunuh hayolah lekas bunuh
saja.”
Khawatir kalau si Ting Tong benar-benar membunuh kedua
orang itu, cepat Boh-thian merampas pedangnya dan
ditancapkan ke atas tanah, lalu katanya, “Ting-ting Tong-tong,
lekas, lekas kita kembali saja.” Segera ia tarik nona dan diajak
pulang ke perahu mereka.
“Orang Kangouw suka mengatakan Ciok-pangcu dari Tiang-lokpang
berhati keji dan bertangan gapah, membunuh orang tidak
kenal kasihan, mengapa sekarang tiba-tiba berubah alim?”
demikian Ting Tong mencemoohkan. “Engkoh Thian, sebaiknya

kejadian barusan ini jangan dikatakan kepada Yaya.”
“Baik, aku takkan bilang padanya,” sahut Boh-thian. “Ting-tang
Ting-tong, apakah dia benar-benar akan ... akan cacat untuk
selama hidupnya?”
“Sudah tentu,” sahut Ting Tong. “Kau telah cengkeram kedua
Hiat-to penting di tubuhnya, kalau paling sedikit tak bisa
membikin dia cacat selama hidup, habis apa gunanya ke-18
jurus Kim-na-jiu-hoat dari keluarga Ting kita yang tersohor
ini?”
“Jika demikian lihainya cengkeraman-cengkeraman itu,
mengapa kau suruh aku nanti malam menggunakan jurus-jurus
keji ini untuk mencengkeram Yaya?” tanya Boh-thian.
“Engkoh tolol, tokoh macam apakah Yaya kita itu? Masakan
dapat dipersamakan dengan kaum keroco sebangsa orang
Swat-san-pay itu?” ujar Ting Tong. “Jika untung kau dapat
mengerahkan segenap tenaga dalam, paling-paling hanya akan
membikin Yaya tak bisa berkutik dalam dua-tiga jam saja,
memangnya kau sangka begitu mudah Yaya dibikin cacat?”
Namun Boh-thian masih bersangsi, ia menjadi ragu-ragu dan
tidak tenteram.
Petangnya, sesudah si tukang perahu menyediakan daharan,
dengan kurang nafsu ia makan setengah mangkuk saja, lalu
duduk te-menung-menung.
Malam itu ia tak bisa tidur nyenyak. Sampai tengah malam,
benar juga tiba-tiba terdengar Ting Tong sedang berseru di
dalam kamar perahu, “O, Yaya, ampunilah jiwa Engkoh Thian,
janganlah membunuh dia! Janganlah membunuh dia!”

Cepat Boh-thian melompat bangun dan berlari ke dalam
hanggar perahu, dalam keadaan remang-remang tertampak
Ting Tong telah menyingkap badan bagian atas Ting Put-sam
sambil masih berseru, “Yaya, janganlah kau membunuh
Engkoh Thian!”
Segera Boh-thian menjulurkan tangannya dan bermaksud
mencengkeram ke punggung Ting Put-sam sebagaimana telah
direncanakan si Ting Tong.
Tapi mendadak terbayang olehnya keadaan menyeramkan
tatkala Bun Ban-hu habis kena cengkeramannya itu, seketika
Boh-thian ragu-ragu, pikirnya, “Bila aku jadi
mencengkeramnya sehingga Yaya juga kaku kejang sebagai
orang Swat-san-pay itu, wah, aku benar-benar akan berdosa.
Tidak, aku ... aku takkan melakukan hal demikian.”
Karena itu diam-diam ia lantas mengundurkan diri dan kembali
ke tempatnya untuk tidur lagi.
Semula si Ting Tong sudah bergirang ketika melihat Boh-thian
berlari ke dalam hanggar, siapa tahu mendadak pemuda itu
menjadi ragu-ragu, lalu mengundurkan diri keluar lagi, rencana
mereka menjadi gagal sama sekali, keruan Ting Tong menjadi
gelisah dan mendongkol pula.
Bab 19. Pergi Ting Put-sam, Datang Ting Put-si
Sesudah merebah di tempatnya, Boh-thian merasa jantungnya
masih berdebar-debar. Selang sejenak, tiba-tiba terdengar si
Ting Tong lagi berseru pula, “Ai, Yaya, mengapa aku telah
merangkul badanmu? Tadi ... tadi aku mengimpi buruk seakanakan
Engkoh Thian telah kau pukul hingga mati, kumohon
engkau suka mengampuni jiwanya dan engkau tidak mau. Tapi
syukurlah itu hanya dalam impian saja.”

Boh-thian menjadi agak lega, pikirnya, “Ting-ting Tong-tong
sungguh pintar berdusta, rupanya khawatir Yaya mencurigai
diriku, maka dia telah mengarang omongan kosong tentang
mimpi segala untuk menutupi kejadian tadi.”
Tapi lantas terdengar Ting Put-sam sedang menjawab, “Apakah
kau mimpi atau tidak, pendek kata bila hari sudah terang
tanah, maka genaplah batas waktu sepuluh hari. Tinggal
melihat dia dalam hari terakhir dapat mengalahkan Pek Bankiam
atau tidak.”
“Ai, kuyakin Engkoh Thian pasti bukan seorang sinting,” kata
Ting Tong sambil menghela napas.
“Ya, hati nuraninya sungguh harus dipuji,” sahut Ting Put-sam.
“Orang yang berhati nurani baik adalah orang tolol, orang
sinting, pantas kalau mampus. Ha, dengan Hou-jiau-jiu
memegang Leng-tay-hiat dan dengan Giok-li-cui-ciam
mencengkeram Koan-ki-hiat, ai, sungguh akal yang bagus,
sungguh tipu yang baik.”
Ucapan Ting Put-sam ini sekaligus membikin kaget baik Ting
Tong yang berada di dalam kamar maupun Boh-thian yang
berada di buritan. Sungguh susah dipahami dari manakah sang
kakek mengetahui rencana mereka itu?
Masih mendingan si Boh-thian yang tidak tahu apa-apa,
sebaliknya Ting Tong sampai berkeringat dingin, pikirnya,
“Kiranya Yaya sudah mengetahui apa yang akan kulakukan,
jika demikian diam-diam tentu beliau sudah berjaga-jaga.
Untunglah Engkoh Thian tidak jadi turun tangan. Namun susah
dibayangkan juga hukuman apa yang akan dijatuhkan Yaya
kepadaku?”

Di sebelah sana Ciok Boh-thian percaya bahwa besok pagi Ting
Put-sam benar-benar akan membunuhnya, dengan seenaknya
saja ia terpulas lagi dengan nyenyaknya.
Menjelang pagi, sekonyong-konyong terdengar suara orang
ribut-ribut di daratan sana. Ada orang sedang berteriak, “Itu
dia, di sini orangnya!” lalu ada yang menanggapi, “Ya, betul!
Itulah kepalanya.” – “Hayo, tangkap, jangan sampai siluman
tua itu meloloskan diri!”
Waktu Boh-thian bangun berduduk, ia lihat di tepi sungai ada
puluhan orang dengan penerangan obor sedang berlari-lari ke
samping perahu sambil membentak, “Di mana siluman tua itu?
Hayo, hendak lari ke mana siluman tua yang membikin celaka
manusia itu?”
Rupanya Ting Put-sam juga terjaga bangun oleh suara ributribut
itu, segera ia keluar dari kamar perahu dan membentak,
“Kurang ajar! Kalian ribut-ribut apa di sini dan mengganggu
tidurnya tuan besarmu?”
“Nah, inilah dia! Inilah silumannya! Lekas semprot!” teriak
seorang laki-laki.
Segera dari belakang laki-laki itu maju ke depan dua kawannya
yang membawa alat semprot yang terbuat dari bumbung
bambu, dengan mengincar ke arah Ting Put-sam segera
mereka menyemprotkan air darah.
Berbareng itu orang-orang yang berada di tepi sungai sana
serentak bersorak, “Nah, kena dia. Darah anjing hitam telah
tepat mengenai siluman tua itu, dia tak bisa menghilang lagi!”
Akan tetapi semprotan darah anjing itu mana dapat mengenai
tubuh Ting Put-sam? Mendadak orang tua itu meloncat ke atas,

pikirnya dengan murka, “Dari manakah datangnya orang-orang
gila ini? Masakah aku dianggap siluman dan hendak disemprot
dengan darah anjing hitam?”
Biasanya, biarpun orang lain tidak mengganggunya, asal dia
merasa gatal tangan, setiap saat dia juga suka membunuh
orang, apalagi sekarang, tanpa sebab orang lain berani
mengganggunya, keruan Ting Put-sam menjadi tambah murka
dan tidak kenal ampun. Begitu tubuhnya menurun kontan
kedua lelaki yang membawa alat semprot tadi kena ditendang
mencelat menyusul tangannya menghantam pula, tanpa
ampun lagi lelaki yang pertama tadi juga terpental dan mati
seketika di tepi sungai.
Ketika Ting Put-sam hendak mengumbar angkara murkanya
lagi, sekonyong-konyong dari belakang terdengar Ting Tong
mendengus padanya, “Yaya, Ce-jit-pu-ko-sam (satu hari tidak
lebih tiga)!”
Ting Put-sam tertegun. Saking gusarnya sampai dia hampirhampir
lupa kepada sumpahnya sendiri, yaitu menurut
julukannya yang menyatakan satu hari takkan membunuh
orang lebih dari tiga. Maka serangannya yang hampir
dilontarkan lagi itu lantas dibatalkan.
Orang-orang itu ketakutan setengah mati, serentak mereka
berteriak-teriak dan lari sipat kuping. Hanya dalam sekejap
saja keadaan menjadi sunyi kembali meninggalkan tiga sosok
tubuh yang tak bernyawa, obor pun terlempar di sana-sini tak
terurus.
Segera Ting Put-sam berkata kepada si tukang perahu, “Lekas
berangkat, kalau kedatangan orang lagi aku bisa kewalahan
membunuh mereka!”

Dengan tangan gemetar si tukang perahu lantas mengangkat
galah dan menolak perahunya ke tengah sungai, lalu
meluncurlah perahu itu ke depan. Darah anjing yang tidak
mengenai tubuh Ting Put-sam tadi telah menyemprot ke dalam
perahu sehingga menimbulkan bau anyir busuk.
Tiba-tiba Ting Put-sam menegur si Ting Tong, “A Tong,
bukankah kau yang main gila dalam peristiwa ini? Sebab apa
kau berbuat demikian?”
“Yaya,” sahut Ting Tong dengan tertawa, “kau pegang janji
atau tidak terhadap apa yang telah kau ucapkan?”
“Bilakah aku pernah mengingkar janji?” sahut Ting Put-sam.
“Bagus!” kata Ting Tong. “Kau mengatakan bahwa habis
sepuluh hari bila Engkoh Thian tidak mengalahkan orang she
Pek itu, maka Engkoh Thian segera akan kau bunuh. Sekarang
adalah hari kesepuluh, terang dia tak dapat menemukan orang
she Pek itu, akan tetapi tadi kau sudah genap membunuh tiga
orang.”
Ting Put-sam menjadi melengak, semprotnya kemudian,
“Budak setan, kiranya Yaya telah tertipu oleh muslihatmu.”
Ting Tong sangat senang, dengan tersenyum-senyum ia
berkata, “Ting-samya kita biasanya paling pegang janji, kau
mengatakan akan membunuh Engkoh Thian pada hari terakhir
ini, akan tetapi kau sudah membunuh tiga orang, orang
keempat ini tentulah tak boleh kau bunuh lagi. Yaya, jikalau
kau tidak dapat membunuh dia, untuk seterusnya kau pun
tidak boleh membunuh dia lagi. Kulihat cucu menantumu ini
toh bukan seorang tolol sungguh-sungguh, nanti kalau
kesehatannya sudah pulih kembali, dengan sendirinya ilmu
silatnya juga akan maju lebih pesat, pendek kata pasti takkan

membikin malu padamu.”
Mendadak Ting Put-sam membanting kakinya sehingga papan
geladak perahu itu terinjak satu lubang, lalu teriaknya dengan
gusar, “Tidak, tidak bisa! Sekarang juga Ting Put-sam sudah
merasa malu karena ditipu oleh seorang budak setan seperti
kau.”
“Aku adalah cucu perempuanmu, kita adalah sekeluarga,
kenapa bicara tentang membikin malu apa segala? Toh
kejadian ini takkan kukatakan kepada orang luar.”
“Tidak bisa. Karena aku ditipu, maka hatiku tetap tidak senang.
Apakah kau akan katakan kepada orang luar atau tidak
bukanlah soalnya.”
Mendengar percakapan kedua kakek dan cucu itu, baru
sekarang Boh-thian tahu duduknya perkara. Kiranya orangorang
yang datang membikin ribut dan menyemprot Ting Putsam
dengan darah anjing hitam itu adalah permainan si Ting
Tong yang sengaja didatangkan agar sang kakek membunuh
orang, bila sudah terpenuhi sumpah membunuh tiga orang
dalam sehari, maka orang tua itu tidak lagi membunuh dia.
Begitulah, maka ketika melihat Ting Tong berjalan ke buritan
dengan tersenyum simpul segera Boh-thian berkata, “Ting-ting
Tong-tong, untuk menolong jiwaku, sebaliknya kau telah
korbankan tiga jiwa yang tidak berdosa, bukankah ini ter ...
terlalu kejam?”
Tiba-tiba Ting Tong menarik muka, sahutnya, “Kematian
mereka itu adalah gara-garamu, mengapa aku yang
disalahkan?”
“Gara-garaku?” Boh-thian mengulangi dengan bingung.

“Mengapa tidak? Bukankah kita sudah merancang dengan baik,
tapi sampai detik terakhir kau tidak berani turun tangan. Kalau
tidak, tentu kita berdua sudah lolos dengan selamat dan tidak
perlu mengorbankan tiga jiwa orang yang tak berdosa itu.”
Boh-thian pikir apa yang dikatakan si Ting Tong juga ada
benarnya, seketika ia menjadi tak bisa bicara pula.
“Hahahaha! Dapat sekarang, dapat!” demikian tiba-tiba
terdengar Ting Put-sam berseru dengan bergelak tertawa, “Hei,
bocah she Ciok, Yaya akan mencukil matamu dan akan
memotong kedua tanganmu supaya kau mati tidak dan hidup
sempurna juga tidak, tapi akan menjadi seorang cacat. Asal
aku tidak mencabut nyawamu, maka aku tak dapat dianggap
melanggar sumpahku.”
Boh-thian dan Ting Tong terkejut mendengar ucapan itu.
Sebaliknya makin dipikir Ting Put-sam makin senang, berulangulang
ia berseru, “Ya, akal bagus, akal bagus! Aku takkan
membunuh kau, tapi akan membikin dia menjadi manusia
bukan manusia dan setan pun bukan setan. Nah, A Tong, cara
demikian tentulah boleh bukan?”
Ting Tong menjadi susah mendebatnya, terpaksa ia menjawab,
“Hari kesepuluh ini toh belum berakhir, boleh jadi sebentar lagi
akan bertemu dengan Pek Ban-kiam dan sekali gebrak nanti
mungkin Engkoh Thian dapat mengalahkan dia.”
“Hahaha! Memang betul juga!” seru Ting Put-sam sambil
terbahak-bahak. “Urusan kita ini dilakukan dengan adil, maka
bolehlah kakek menunggu sampai tengah malam nanti baru
turun tangan.”
Ting Tong menjadi serbasusah dan tak dapat menemukan

sesuatu akal untuk menyelamatkan Boh-thian dari kesukaran
ini. Yang paling lucu adalah justru Boh-thian sendiri tidak sadar
kalau dirinya sedang terancam elmaut sebaliknya ia malah
tanya kepada Ting Tong, “Eh, Ting-ting Tong-tong, sebab
apakah kau sedih, apakah ada kesukaran?”
“Tidakkah kau mendengar Yaya mengatakan akan mencukil
matamu dan memotong kedua tanganmu?” omel Ting Tong
dengan mendongkol.
“Ah, Yaya hanya bergurau saja untuk menakut-nakuti kau,
kenapa kau anggap sungguh-sungguh?” ujar Boh-thian. “Apa
sih gunanya dia mencukil mataku dan memotong tanganku?”
Dari dongkol Ting Tong menjadi gemas, pikirnya, “Dasar tolol
dan sinting, kalau selama hidup ini aku ikut dia, rasanya juga
tidak menyenangkan. Jika Yaya berkeras hendak membunuh
dia, maka biarpun dia mampus saja sudah.”
Tapi lantas teringat olehnya bahwa sang kakek sekarang
takkan membunuh pemuda itu lagi, sebaliknya akan mencukil
mata dan memotong kedua tangannya. Apabila dirinya kelak
mendadak berubah pikiran dan terkenang pula kepada kekasih
ini, padahal kedua mata dan tangannya tentu tak bisa
dipulihkan kembali. Lalu apa gunanya aku bersuamikan
seorang yang cacat demikian?
Begitulah Ting Tong termenung-menung memandangi
bayangan sendiri yang terapung di permukaan air bersama
bayangan Ciok Boh-thian, makin lama makin memanjang
mereka, ternyata tanpa terasa hari sudah makin sore, sang
surya sudah makin condong ke barat. Dalam kesalnya tiba-tiba
terpikir pula oleh Ting Tong, “Daripada suamiku yang baik-baik
dibikin cacat oleh Yaya, adalah lebih baik aku sendiri yang
mengerjakan dia saja.

Ketika berpaling, dilihatnya duduk Ciok Boh-thian sedang
membelakanginya, mendadak ia menjulurkan kedua tangannya
terus mencengkeram ke “Leng-tay-hiat” di punggung dan “Koan-
ki-hiat” di bagian pinggang, jurus-jurus lain yang digunakan
adalah Hou-jiau-jiu dan Giok-li-cui-ciam. Memangnya Ciok Bohthian
tidak berjaga-jaga, keruan ia lantas kena dibekuk dengan
mudah, seketika ia tak bisa berkutik.
Sebaliknya karena bekerjanya tenaga dalam Ciok Boh-thian,
maka Ting Tong juga tergetar dan terhuyung-huyung ke
belakang, hampir-hampir saja kecemplung ke dalam sungai.
Cepat ia memegangi atap kolong perahu dan memaki, “Yaya
segera akan mencukil matamu dan memotong kedua
tanganmu, orang cacat demikian kalau hidup di dunia ini
andaikan tidak membikin malu kepada Yaya juga aku si Tingting
Tong-tong yang merasa tiada muka untuk berjumpa
dengan orang. Maka tidak perlu Yaya yang turun tangan,
biarlah aku sendiri yang mencukil kedua biji matamu.”
Segera ia mengambil seutas tambang layar di buritan, lalu kaki
dan tangan Boh-thian diringkusnya dengan kencang, bahkan ia
terus membelebat Ciok Boh-thian mulai dari bahu sehingga
sampai bagian kaki, ia ikat badan pemuda itu dengan tambang
layar itu selingkar demi selingkar sehingga seluruhnya paling
sedikit ada 50-60 lingkar, sampai akhirnya badan Ciok Bohthian
mirip sebuah lemper raksasa.
Mestinya orang yang dicengkeram Hiat-to penting seperti Ciok
Boh-thian sekarang akan susah membuka suara di dalam
waktu satu-dua jam. Tapi dasar tenaga dalam Boh-thian
mahakuat, meski kaki dan tangannya tak bisa bergerak, tapi
dia masih dapat bicara, maka katanya, “He, Ting-ting Tongtong,
apakah kau bergurau padaku?”

Walaupun demikian dia bertanya, tapi demi tampak sikap si
Ting Tong yang galak dan bengis itu, diam-diam ia pun tahu
gelagat jelek maka matanya telah memantulkan sinar mata
yang mohon dikasihani.pTapi Ting Tong lantas menendang satu
kali di pinggang pemuda itu dengan gemas, dampratnya, “Hm,
kau sangka aku bergurau padamu? Kematianmu sudah di
depan mata, tapi kau masih bermimpi? Huh, orang tolol
sebagai kau biarpun dicincang menjadi perkedel juga pantas.”
“Sret”, mendadak ia lolos goloknya, ia gosok-gosok beberapa
kali di pipi Ciok Boh-thian seperti orang yang sedang mengasah
senjata.
“Ting-ting Tong-tong, untuk selanjutnya aku pasti akan turut
kepada segala ucapanmu, hendaklah kau jangan membunuh
aku,” demikian Boh-thian memohon.
Tapi Ting Tong menjawab dengan sengit, “Hm, mestinya aku
bermaksud menolong jiwamu, tapi kau justru tidak turut
kepada pesanku, maka kau sendirilah yang cari mampus dan
tak perlu menyalahkan orang lain. Kalau sekarang aku tidak
membunuh kau, tentu nanti juga kau akan dibunuh Yaya. Kau
adalah suamiku, bila harus dibunuh biarlah aku sendiri saja
yang melakukan, kalau orang lain yang membunuh suamiku,
hidupku tentu juga akan merana selamanya.”
“Ampunilah diriku, bolehlah aku tidak menjadi suamimu,”
mohon Boh-thian.
“Upacara nikah juga sudah berjalan, masakah kau dapat
membatalkan menjadi suamiku?” sahut Ting Tong. “Pendek
kata, lebih baik kau tutup mulut saja, kalau rewel-rewel lagi
segera kupenggal kepala anjingmu ini.”
Boh-thian menjadi ketakutan dan tidak berani bersuara pula.

Maka terdengar Ting Put-sam telah berkata dengan tertawa,
“Haha, bagus, bagus! Cara demikianlah baru sesuai sebagai
cucu perempuannya Ting-losam. Nah, boleh lekas turun tangan
saja, sekali bacok bikin dia menjadi dua potong sudah.”
Si tukang perahu sampai gemetar ketakutan ketika melihat si
Ting Tong mengangkat golok hendak membunuh orang,
sampai-sampai kemudi yang dipegangnya menjadi menceng,
perahunya menjadi oleng.
Kebetulan pada saat itu dari depan sedang meluncur tiba
sebuah perahu kecil mengikuti arus sungai, karena olengnya
perahu yang ditumpangi Ting Put-sam itu, segera kedua
kendaraan air itu akan bertubrukan. Maka terdengar si tukang
perahu di atas perahu kecil sana telah berteriak-teriak
khawatir, “Hai, belokkan kemudimu! Belokkan!”
Dalam pada itu sang surya sudah hampir menghilang di ufuk
barat, cahaya matahari senja menyorot di atas golok yang
dipegang si Ting Tong sehingga menimbulkan sinar gemerdep
yang menyilaukan matanya Ciok Boh-thian. Mendadak tangan
si Ting Tong yang putih halus itu mengayun ke bawah, “plok”,
golok nona itu kena membacok di atas geladak perahu yang
cuma beberapa senti di sisi kepala Ciok Boh-thian.
Begitu goloknya membacok papan geladak perahu, segera Ting
Tong lepas tangan, dengan cepat ia angkat tubuh Ciok Bohthian
terus dilemparkan sekuat-kuatnya menuju ke kolong
perahu kecil yang saat itu menyerempet lewat di sebelahnya.
Melihat cucu perempuannya mendadak main gila, dengan gusar
Ting Put-sam lantas membentak, “Apa yang kau lakukan!”
Cepat Ting Put-sam memburu keluar dan segera hendak
menjambret tubuh Ciok Boh-thian.

Namun sudah terlambat. Arus sungai teramat kencang, kedua
perahu dalam sekejap saja sudah berpisah belasan meter
jauhnya, betapa pun tinggi Ginkangnya Ting Put-sam juga tak
dapat melompat ke atas perahu kecil itu.
Dengan gusar ia menampar Ting Tong sekali sambil berteriak
kepada si tukang perahu, “Lekas putar kemudi, putar balik ke
sana dan kejar, lekas!”
Tapi arus sungai Tiangkang teramat deras, untuk memutar
kemudi dalam sekejap itu bukanlah pekerjaan yang mudah.
Apalagi perahu kecil tadi meluncur dengan cepat mengikuti
arus, makin lama makin cepat dan makin jauh sehingga susah
dikejar lagi.
Ciok Boh-thian yang tubuhnya diringkus kencang-kencang
dengan tambang layar, ketika tubuhnya d lemparkan si Ting
Tong, ia merasa badannya berputar setengah lingkaran di atas
udara, lalu melayang ke depan, waktu turun mukanya
menghadap ke bawah, ia merasa di mana badannya jatuh
adalah suatu tempat yang empuk dan tidak terasa sakit, hanya
saja keadaan di situ gelap gulita, segala apa tidak kelihatan.
Tiba-tiba terdengar suara jeritan orang yang tertahan, Bohthian
sendiri tidak dapat bergerak, maka ia pun tidak berani
membuka suara. Ia diam saja sampai sekian lamanya,
perlahan-lahan hidungnya mengendus bau harum, rasanya
seperti kembali berada di atas tempat tidur di dalam kamarnya
di markas Tiang-lok-pang.
Benar juga, sesudah tenangkan diri, ia lantas merasa dirinya
menggeletak di atas kasur, mukanya terbenam di atas bantal,
di samping bantal terasa ada kepala seorang lain lagi yang

berambut panjang, nyata seorang wanita adanya. Keruan Bohthian
terperanjat dan menjerit.
Sekonyong-konyong Boh-thian merasa belakang lehernya
ditempel sesuatu yang dingin dan rada sakit pula, ia tahu ada
orang telah memasang senjata tajam di atas lehernya.
Menyusul lantas terdengar suara seorang wanita telah berkata,
“Siapa kau? Apa kau adalah anak muridnya siluman tua Ting
Put-si?”
“Aku ... aku ....” sahut Boh-thian dengan terputus-putus, ia
sendiri tidak tahu cara bagaimana harus menjawab.
Wanita itu menjadi gusar, dampratnya pula, “Kau berani
menyusup ke dalam perahu kami, tentu kau bukan manusia
baik-baik, biarlah nona binasakan kau saja.”
Habis berkata, segera ia tambahkan tenaga tangannya
sehingga Boh-thian merasa belakang lehernya kesakitan.
“Ti ... tidak, bukan aku sendiri yang datang ke sini, tapi ... tapi
orang yang melemparkan aku kemari,” seru Boh-thian.
“Hayo, lekas ... lekas keluar, mengapa kau menyusup ke dalam
ke dalam selimutku ini?” kata wanita itu.
Waktu Boh-thian coba-coba merasakan, benar juga di depan
dadanya adalah kasur, di atas punggung ada selimut, mukanya
menindih bantal, malahan di dalam kolong selimut terasa
masih hangat-hangat.
Kiranya lemparan Ting Tong tadi dengan tepat telah membikin
Boh-thian menyusup ke dalam kolong perahu kecil ini terus
masuk ke dalam kolong selimut malah, yang paling runyam
adalah dari nada ucapan si wanita ini agaknya kolong selimut

ini adalah miliknya.
Coba kalau Boh-thian tidak diringkus dan dapat bergerak, tentu
sejak tadi dia sudah melompat bangun dan berlari keluar.
Celakanya sekarang dia tertutuk Hiat-to yang penting dan tak
dapat bergerak sama sekali. Maka terpaksa ia hanya berkata,
“Aku tidak dapat bergerak, aku mohon dengan sangat padamu,
silakan kau pindahkan aku keluar saja, dorong aku keluar juga
boleh, ya, depak aku keluar juga baik.”
Tiba-tiba terdengar suara seorang wanita lain yang tua berkata
di belakang sana, “Ngaco-belo apa keparat itu? Lekas bacok
mampus dia saja!”
“Nenek, kalau bunuh dia, tentu di dalam kolong selimutku akan
berlumuran darah, lantas ... lantas bagaimana?” demikian
sahut wanita yang semula.
“Setan alas dari manakah dia?” kata si wanita tua dengan
gusar. “He, keparat kau, lekas kau merangkak keluar!”
“Aku benar-benar tidak dapat bergerak,” sahut Boh-thian.
“Coba kalian lihat sendiri, aku telah dicengkeram orang bagian
Leng-tay-hiat dan Ko-an-ki-hiat, sekujur badan diikat kencang
pula dengan tali, untuk bergerak sedikit saja tidak dapat. Ai, ini
nona atau nyonya, silakan lekas bangun saja, kita tidur di
dalam satu kolong selimut, rasanya me ... memang kurang
pantas.”
“Nyonya apa? Aku masih gadis, tahu!” semprot wanita pertama
tadi. “Aku sendiri pun tidak dapat bergerak. Nenek, hendaklah
engkau mencarikan suatu akal bagiku saja, orang ini memang
benar-benar terikat kencang dengan tali-tali.”
“Ya, Lothaythay (nyonya tua), aku pun mohon padamu,

tolonglah kau menyeret aku keluar,” kata Boh-thian. “Ai, aku
... aku telah membikin susah nona ini, sungguh aku merasa ...
merasa tidak enak.”
“Setan alas, masih bicara muluk-muluk,” damprat si nenek
dengan gusar.
“Nenek, bolehkah kita suruh si tukang perahu menyeretnya
keluar saja,” usul si nona.
“Tidak, tidak bisa, kalau tukang perahu itu sampai masuk ke
sini, tentu jiwa kita akan melayang,” sahut si nenek.
Diam-diam Boh-thian membatin, “Jangan-jangan Lothaythay
dan nona ini pun diringkus orang dan tak bisa berkutik seperti
diriku?”
Rupanya nenek itu menjadi gusar dan gelisah, tiada hentinya ia
memaki, “Setan alas, keparat, mengapa kau tidak pilih perahu
yang lain, tapi justru cari mampus ke sini? Sudahlah, A Siu,
bunuh saja dia!”
“He, jangan, jangan! Darahku sangat kotor, tentu akan
merusak kolong selimut yang harum ini. Pula ... pula kalau di
kolong selimut ini terdapat mayat, tentu tidaklah baik,”
demikianlah Boh-thian berseru.
“Uh,” hanya terdengar suara demikian, lalu Boh-thian merasa
golok yang mengancam di belakang lehernya telah terangkat
pergi. Ia menjadi girang, pikirnya, “Rupanya nyali nona cilik ini
sangat kecil, biarlah aku menakut-nakuti dia lagi.”
Maka ia lantas berkata pula, “Sekarang aku tak bisa berkutik,
jika kau membunuh aku, tentu aku akan berubah menjadi
mayat hidup. Wah, betapa menakutkan bila kau tidur bersama

mayat hidup. Sekarang aku tak bisa bergerak, tapi sesudah
menjadi mayat hidup tentu bisa bergerak, dengan kedua
tanganku yang kaku dan dingin aku akan mencekik lehermu.”
Rupanya nona itu benar-benar ketakutan atas obrolan Bohthian
itu, segera ia berkata, “Tidak, aku takkan membunuh
kau! Aku takkan membunuh kau!”
Selang sejenak si nona berkata pula kepada si wanita tua,
“Nenek, kita harus mencari suatu akal untuk mengeluarkan dia
dari sini.”
“Ya, aku sedang berpikir, kau jangan banyak bersuara,” sahut
si nenek.
Dalam pada itu hari sudah malam, di dalam kolong perahu
keadaan gelap gulita. Meski Boh-thian berada di dalam selimut
bersama si nona, tapi karena waktu dia dilempar masuk
kebetulan menceng di samping, maka tidak sampai menyentuh
badan nona itu. Dalam kegelapan sekarang dapat didengarnya
suara napas si nona yang memburu, nyata nona itu sangat
khawatir dan cemas.
Sampai agak lama, si nenek tetap tidak mendapatkan sesuatu
akal apa-apa. Pada saat itulah mendadak dari arah sungai sana
terdengar suara suitan melengking tajam yang menyeramkan.
Belum lenyap suara suitan itu, terdengarlah suara orang
bergelak tertawa panjang, suaranya serak tua. Sambil tertawa
orang tua itu pun berseru, “Siau-jui, aku telah tunggu kau
sehari semalam, kenapa baru sekarang kau tiba?”
“Wah, celaka, nenek! Siluman tua itu telah memapak datang,
lantas bagaimana tindakan kita?” tanya si nona dengan
khawatir.

Si nenek mendengus sekali, katanya, “Kau jangan bersuara
lagi. Aku sedang mengumpulkan tenaga, asal aku bisa
bergerak sedikit saja segera aku akan ... akan terjun ke dalam
sungai daripada dihina oleh siluman tua itu.”
“Jangan ... jangan, nenek,” kata si nona dengan cemas.
“Sudah kukatakan jangan bersuara, masih kau mengganggu
aku lagi,” semprot si nenek. “Nanti kalau nenek terjun ke
dalam sungai, kau akan ikut aku apa tidak?”
Untuk sejenak si nona merasa sangsi, akhirnya ia menjawab,
“Aku ... aku akan mati bersama nenek saja.”
“Baik!” kata si nenek. Habis ini ia lantas tidak bicara lagi.
Boh-thian sendiri pernah dua kali merasakan ketika
Lwekangnya “tersesat”, pikirnya, “Kiranya Lothaythay dan nona
ini juga mengalami nasib seperti diriku, melatih Lwekang dan
tersesat sehingga tak bisa bergerak. Celakanya pada saat ini
musuhnya telah mengejar tiba, keadaan mereka benar sangat
sulit.”
Dalam pada itu suara si orang tua tadi terdengar pula dari hilir
sungai sana, “Sekarang boleh kau pilih, mau tanding pedang
boleh, mau adu kepalan juga jadi, Ting-losi pasti akan
mengiringi, kau, kita boleh bertempur tiga hari tiga malam
barulah menyenangkan. Nah, Siau-jui, mengapa kau tidak
menjawab?”
Dari suara orang tua itu rasanya jaraknya sekarang sudah
semakin mendekat lagi. Selang tak lama, mendadak terdengar
suara gemerencing rantai besi, menyusul lantas terdengar
suara gedubrak yang keras, suatu benda yang berat telah jatuh

di atas perahu si nenek. Kiranya dari kapal yang memapak dari
depan itu telah dilemparkan sebuah jangkar berantai. Seketika
Boh-thian merasa badannya miring sebelah, rupanya
perahunya menjadi doyong karena tertimpa jangkar yang berat
itu.
“Hei, hei! Mau apa itu?” demikian si tukang perahu berteriakteriak
kaget.
Karena miringnya perahu, badan Boh-thian lantas
menggelinding ke samping, sebaliknya si nona juga lantas
menggelinding dan bersandar di badan pemuda itu.
“Wah, ini ... ini ....” demikian Boh-thian ingin minta si nona
jangan menempelkan tubuhnya itu, tapi segera teringat nona
itu pun serupa dirinya dalam keadaan tak bisa berkutik maka
kata-kata yang akan diucapkan itu lantas ditelan kembali.
Dalam pada itu terasa ada orang melompat ke atas perahu
mereka, hanya sekejap saja imbangan perahu itu sudah pulih
kembali.
“Siau-jui,” terdengar seorang tua tadi berkata di haluan
perahu, “sekarang aku sudah datang, apakah kita akan segera
bertanding?”
“Eh, jangan kau main begitu, kedua perahu bisa berjungkir
semua,” seru si tukang perahu di buritan dengan khawatir.
Si orang tua menjadi gusar, “Keparat, tutup bacotmu!” Segera
ia angkat jangkar tadi dan dilemparkan kembali.
Begitu dua perahu terpisah, segera terhanyut ke hilir semua
mengikuti arus.

Melihat betapa hebat tenaga orang itu, jangkar besi yang
bobotnya beberapa ratus kati dilemparkan kian kemari dengan
seenaknya saja, keruan si tukang perahu ternganga kaget dan
tak berani bersuara lagi.
“Nah, Siau-jui, aku telah berada di haluan perahumu, lekas
keluar,” demikian kata si kakek pula dengan tertawa. “Aku
takkan tertipu olehmu, aku tak mau masuk ke kolong perahu
yang mungkin telah kau siapkan perangkap.”
Mendengar itu Boh-thian dan kedua wanita berada di dalam
kolong perahu itu menjadi lega hatinya. Mereka pikir kalau
kakek itu tidak mau masuk ke kolong perahu, itu berarti dapat
mengulur tempo lebih lama lagi.
Tapi Boh-thian lantas teringat lagi bila nanti si wanita tua
sudah dapat mengumpulkan sedikit tenaga saja tentu akan
terjun ke dalam sungai bersama si nona cilik ini. Walaupun
Boh-thian belum pernah kenal kedua wanita itu, bahkan si
nenek berulang-ulang ingin membunuhnya, namun dasar sifat
Boh-thian memang baik, ia tidak tega menyaksikan nenek dan
cucu perempuan itu mati secara mengenaskan.
Kebetulan saat itu telinga si nona terletak di sisi mulutnya,
segera ia membisikkannya, “Nona, kau harus minta nenekmu
jangan terjun ke sungai untuk membunuh diri.”
“Dia ... dia takkan menurut, beliau pasti akan terjun,” sahut si
nona dengan perlahan. Saking sedihnya air matanya lantas
bercucuran.
Sekali air mata sudah bercucuran, maka susah dihentikan lagi,
nona itu lantas menangis tersedu-sedu, air matanya
membasahi pula pipi Boh-thian.

“Ma ... maafkan aku, air ... air mataku telah membikin kotor
mukamu,” kata si nona dengan suara parau. Nyata nona ini
mempunyai perangai yang sangat lemah lembut dan halus
budi.
“Ai, nona jangan main sungkan-sungkan, hanya air mata saja
tidak apa-apa,” sahut Boh-thian.
“Sesungguhnya aku tidak mau mati,” kata si nona pula dengan
perlahan. “Tetapi orang di haluan perahu itu sangat kejam,
nenek bilang lebih suka mati juga tidak sudi ditawan olehnya.
O, maaf, air mataku ... ah, kenapa kau pun menangis juga?”
“Aku menjadi terharu atas tangisanmu, maka aku pun ikut-ikut
menangis,” sahut Boh-thian.
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara orang berbangkit, di
pojok kolong perahu ada bayangan seorang telah berduduk.
Semula Ciok Boh-thian mestinya berada dalam keadaan
tengkurap, tapi sesudah menggelinding, badannya sekarang
menjadi miring. Maka waktu melihat orang itu berduduk, ia
menjadi khawatir, dengan suara terputus-putus ia membisiki si
nona, “Ne ... nenekmu sudah dapat bergerak dia ... dia telah
berduduk.”
Nona itu berseru khawatir, segera ia bermaksud memegangi
Boh-thian. Tapi dia sendiri tak bisa berkutik, bahkan satu jari
saja tak bisa bergerak, maka hanya hatinya yang gelisah, tapi
tak dapat berbuat lain.
Selang sejenak, terdengar Boh-thian membisikinya lagi, “Dia ...
dia telah menjulurkan tangannya hendak menjambret kau.”
“Lekas ... lekas kau suruh dia jang ... jangan pegang diriku ...

aku takut ....” seru si nona. Tapi pada saat itu juga
punggungnya lantas terasa dicengkeram oleh sepasang tangan.
Karena tak bisa bergerak, terpaksa Boh-thian hanya berseru,
“Lothaythay, jangan kau mencengkeramnya, dia tak mau
mengiringi kau terjun ke dalam sungai. Tolong, tolong!”
Si kakek yang berada di haluan perahu itu menjadi heran
ketika mendadak terdengar suara seorang pemuda dari dalam
kolong perahu, bentaknya, “Siapa itu yang bergembargembor?”
Cepat Boh-thian menjawab, “Lekas kau masuk kemari, lekas
tolong orang. Lothaythay tidak dapat menandingi kau, dia
hendak terjun ke sungai untuk membunuh diri.”
Rupanya si kakek menjadi terkejut, segera ia menghantam
sehingga atap perahu tersingkap separuh, segera tangannya
mencengkeram sehingga lengan si nenek kena dipegangnya.
Hawa murni si nenek yang sudah terkumpul sedikit itu lantas
buyar seketika terus roboh terkulai.
Si kakek menjadi terkejut sesudah memegang nadi si nenek,
cepat ia tempelkan tangannya ke punggung si nenek, katanya
dengan khawatir, “He, Siau-jui, apakah kau melatih Lwekang
dan sesat jalannya? Mengapa tidak kau katakan sejak tadi, tapi
sengaja bertahan.”
“Lepaskan diriku, jangan kau pedulikan diriku! Lekas enyah
dari sini!” seru si nenek dengan napas terengah-engah.
“Denyut nadimu tak teratur, keadaanmu sangat berbahaya,
kalau tidak segera ditolong mungkin ... mungkin bisa cacat
untuk selamanya. Biarlah aku membantu kau,” demikian kata
si kakek.

Tapi si nenek menjawab dengan gusar, “Tidak, tidak perlu
bantuanmu! Jika kau sentuh badanku lagi, biarpun aku tak bisa
bergerak, segera juga aku akan menggigit putus lidahku untuk
membunuh diri.”
Si kakek kenal watak si nenek yang keras, berani berkata dan
berani berbuat. Terpaksa ia membujuknya pula, “Denyut
nadimu di bagian tangan semuanya kacau tak keruan, untuk ini
....”
“Kau tak perlu urus,” sahut si nenek. “Kau berkeras ingin
menangkan diriku. Sekarang aku melatih Lwekang dan
tersesat, bukankah menjadi lebih baik bagimu dan terpenuhi
cita-citamu?”
“Kita jangan bicara soal ini,” ujar si kakek. “A Siu, kenapakah
kau? Lekas kau menghibur nenekmu. Eh, ken ... kenapa kau
tidur di situ bersama seorang lelaki? Apakah dia kekasihmu?”
“Bu ... bukan!” A Siu dan Boh-thian menjawab berbareng.
“Kami tak bisa bergerak sama sekali.”
Si kakek merasa heran dan geli pula. Segera ia seret Ciok Bohthian
keluar.
Tak terduga seluruh badan Boh-thian terikat dengan kencang
oleh tambang sehingga kaku lempeng, pinggang tak bisa
membungkuk, tangan tak bisa melengkung, karena diseret,
seketika tubuhnya terangkat menegak ke atas sehingga
membuat kaget si kakek. Sesudah jelas duduknya perkara,
kakek itu terbahak-bahak geli, katanya, “A Siu, apa kau
kelaparan, maka kau menyimpan sebuah lemper raksasa di
kolong selimutmu?”

“Bukan,” sahut si A Siu cepat,” dia ... dia melayang masuk
sendiri dari luar dan bukan ... bukan aku yang menyimpannya.”
“Kau sendiri juga tidak bisa bergerak, apakah kau pun ingin
menjadi lemper raksasa?” kata si kakek.
Mendadak si nenek membentak dengan bengis, “Jangan kau
coba menyentuh A Siu atau segera aku mengadu jiwa dengan
kau.”
“Baik, aku takkan menyentuh dia,” sahut si kakek. Lalu ia
menoleh kepada si tukang perahu dan berkata, “Juru mudi,
putar haluan, pasang layar, kalau aku suruh kau berhenti harus
segera berhenti!”
Si tukang perahu tidak berani membangkang, terpaksa ia
menurut segala perintah itu.
“Apa yang hendak kau lakukan?” seru si nenek dengan gusar.
“Aku akan membawa kau ke Pik-lwe-san untuk merawat kau
dengan baik-baik,” sahut si kakek.
“Tidak, mati pun aku takkan ke Pik-lwe-san (gunung keong
hijau),” bantah si nenek. “Aku toh tidak kalah padamu,
mengapa kau memaksa aku datang ke sarang anjingmu?”
“Bukankah kita sudah berjanji akan bertanding di sungai
Tiangkang ini. Kalau aku kalah, aku akan datang ke rumahmu
dan menyembah padamu. Sebaliknya kalau kau kalah, kau
harus ikut ke rumahku. Sekarang aku tak peduli apakah kau
melatih Lwekang dan tersesat atau kau kalah bertempur,
pendek kata sekali ini kau harus ikut aku ke Pik-lwe-san.”
“Tidak, aku tidak mau ke sana! Tidak ....” baru sekian si nenek

menjerit dengan murka, mendadak napasnya menjadi sesak,
orangnya lantas pingsan.
“Hahaha! Mau tidak mau kau harus ikut aku ke sana,” kata si
kakek dengan tertawa. “Hari ini sudah terang kau tak berkuasa
lagi.”
“Eh, kalau dia tidak mau pergi, mana boleh kau memaksa
orang?” demikian Boh-thian telah menimbrung.
Si kakek menjadi gusar, “Siapa suruh kau ikut-ikut kentut?”
bentaknya, berbareng ia menampar ke muka Ciok Boh-thian.
Tampaknya pemuda itu pasti akan puyeng tujuh keliling kena
tempelengan itu, boleh jadi giginya bisa rontok pula semua.
Tapi sekilas tiba-tiba si kakek melihat di pipi Boh-thian terdapat
sebuah cap tangan yang hitam gosong, ia menjadi tertegun
dan menahan pukulannya. Katanya dengan tertawa, “Aha,
lemper raksasa, kukira siapa yang meringkus kau sedemikian
rupa, kiranya adalah perbuatan aku punya cucu keponakan
perempuan yang nakal itu. Bekas tamparan di mukamu ini
bukankah adalah pukulan cucu keponakan perempuan?”
“Cucu keponakan perempuanmu?” Boh-thian menegas dengan
bingung.
“O, barangkali kau belum tahu siapa diriku ini? Aku adalah Ting
Put-si, cucu keponakan perempuanku ialah ....”
“Ah, benar, Ting-ting Tong-tong adalah cucu keponakan
perempuanmu,” demikian sela Boh-thian. “Ya, memang si Tingting
Tong-tong yang telah menampar pipiku ini. Dia pula yang
telah meringkus aku dengan tali tadi.”

Bab 20. Ciok Boh-thian Mengalahkan Ting Put-si
“Hahahaha! Memangnya aku sudah menduga di dunia ini selain
si budak cilik A Tong itu tiada anak perempuan yang demikian
nakalnya,” kata Ting Put-si dengan tertawa terpingkal-pingkal.
“Ehm, bagus! Sebab apakah dia meringkus kau sekencang ini?”
“Kakeknya hendak membunuh aku, katanya ilmu silatku terlalu
rendah, aku dikatakan tolol dan sinting,” tutur Boh-thian.
“Hahahaha!” Ting Put-si terpingkal-pingkal pula sampai
menungging dan memegangi perutnya yang sakit. “Orang yang
hendak dibunuh Losam, sekarang telah kepergok oleh Losi,
maka ... hahahaha!”
“Kau juga hendak membunuh aku?” tanya Boh-thian dengan
khawatir.
“Pikiran Ting-losi di dunia ini siapakah yang dapat menerka?”
ujar Ting Put-si. “Kau mengira aku hendak membunuh, tapi
aku justru tidak mau membunuh.”
Habis berkata ia lantas mencengkeram tengkuk Ciok Boh-thian
dan ditegakkan. Telapak tangan kanan setajam pisau lantas
bekerja berulang-ulang ia memotong tambang layar yang
meringkus badan Boh-thian itu sehingga berpuluh-puluh
potong tali lantas jatuh semua dalam keadaan terputus-putus.
“Wah, Loyacu, kepandaianmu ini benar-benar sangat lihai.
Kepandaian apakah ini namanya?” puji Boh-thian.
Dasar watak Ting Put-si memang suka dipuji dan suka menang,
pujian Ciok Boh-thian itu telah membuatnya senang tidak
kepalang. Sahutnya, “Kepandaianku ini sudah tentu sangat
hebat, di dunia ini mungkin tiada orang kedua lagi yang dapat
menandingi kepandaian Ting Put-si ini. Tentang nama

kepandaian ini ....”
Mendengar bualan Ting Put-si itu, si nenek yang baru saja
siuman kembali segera mengejeknya, “Hm, tikus naik di atas
meja, membual dan memuji diri sendiri! Kepandaian Gway-tocam-
loan-moa (pisau cepat memotong tali rami) seperti itu
asal orang yang pernah belajar dua-tiga jurus saja tentu akan
dapat memainkannya. Kenapa mesti dibuat heran?”
“Fui!” semprot Ting Put-si. “Asal orang yang pernah belajar
dua-tiga jurus saja akan dapat memainkan jurus Gway-to-camloan-
moa ini? Nah, boleh coba kau memainkannya sekarang
juga!”
“Kau tahu aku tak bisa bergerak, maka sengaja bicara
seenaknya,” sahut si nenek. “He, Lemper raksasa, biarlah
kukatakan padamu, jurus ‘Gway-to-cam-loan-moa’ ini di manamana
dapat kau saksikan, setiap penjual obat di pasar, asal
kau memberi dia satu-dua picis dan suruh dia memainkan jurus
ini, maka dia tentu akan memainkannya bagimu, tanggung
caranya serupa dengan gerakan tua bangka ini tadi. Jurus ini
adalah kepandaian yang tak berarti, setiap penipu di dunia ini
tentu juga bisa, kenapa mesti dibuat heran?”
Ting Put-si paling benci kalau orang mengolok-olok
kepandaiannya, sekarang ucapan si nenek sedemikian
menghinanya, keruan ia menjadi murka, kontan tangannya
mencengkeram ke pundak si nenek.
“He, jangan main kasar!” seru Boh-thian dan cepat tangannya
memotong ke pergelangan tangan Ting Put-si, yang digunakan
adalah jurus “Pek-ho-jiu” (cakar bangau putih) dari ke-18 jurus
Kim-na-jiu-hoat ajaran si Ting Tong.
Kiranya sudah cukup lama dia punya Hiat-to dicengkeram oleh

si Ting Tong, dengan Lwekangnya yang kuat, Hiat-to yang
tertutuk itu sudah punah dengan sendirinya, sekarang tali layar
yang meringkusnya itu sudah putus semua, darah telah jalan
lancar kembali, maka seketika ia dapat bergerak dengan
bebas.
Tangkisan Boh-thian itu membuat Ting Put-si bersuara heran.
Segera ia memutar tangannya untuk menggaet lengan pemuda
itu.
Namun Boh-thian sudah hafal sekali meyakinkan ke-18 jurus
Kim-na-jiu-hoat itu, segera ia pun ganti serangan, telapak
tangan kiri memukul, jari tangan kanan dipakai mencolok
kedua mata lawan.
“Bagus! Ini adalah Kim-na-jiu-hoat ajaran Losam!” bentak Ting
Put-si. Berbareng kedua tangannya menolak ke depan untuk
menahan kedua tangan pemuda itu.
Tapi mendadak kedua tangan Ciok Boh-thian memutar dari
kedua samping untuk menggecek Thay-yang-hiat di kedua
pelipis lawan. Namun secepat kilat kedua tangan Ting Put-si
menerobos dari bawah ke atas terus menyampuk keluar
sehingga kedua lengan Ciok Boh-thian terketuk.
Disangkanya benturan tangan itu pasti akan membuat lengan
Ciok Boh-thian patah seketika. Tak terduga begitu keempat
lengan beradu, Boh-thian tetap berdiri tegak tanpa bergerak.
Sebaliknya Ting Put-si sendiri merasa tubuh bagian atas
seakan-akan kaku semua, “krak”, tanpa merasa sebuah papan
perahu telah patah kena diinjaknya, badan perahu itu pun
terombang-ambing ke kanan dan ke kiri beberapa kali.
Sama sekali Ting Put-si tidak menduga bahwa bocah tolol ini
memiliki tenaga dalam sedemikian hebatnya, cepat ia mundur

selangkah supaya tidak kejeblos ke dalam lubang papan yang
patah itu sambil bersuara heran lagi.
Semula Ting Put-si bersuara heran karena di luar dugaannya
Ciok Boh-thian ternyata mahir menggunakan Kim-na-jiu-hoat
dari keluarga Ting. Tapi ia bersuara heran pula dengan terkejut
karena getaran tenaga dalam pemuda itu telah membuatnya
mundur selangkah dan mematahkan papan perahu, ia merasa
Lwekang anak muda ini benar-benar luar biasa dan susah di
ukur. Sungguh susah dimengerti entah dari manakah
mendadak bisa muncul seorang jago muda yang memiliki ilmu
silat setinggi ini?
Walaupun benturan tangan tadi Ting Put-si tidak mengeluarkan
seluruh tenaganya, tapi pihak lawan seakan-akan tidak
merasakan apa-apa, sebaliknya dirinya telah menginjak patah
papan perahu, hal ini boleh dikata dirinya sudah kalah satu
jurus. Pemuda ini sedemikian lihainya, mengapa kena
ditangkap oleh Ting Tong? Bahkan kena ditampar pula?
Begitulah seketika Ting Put-si menjadi ragu-ragu dan sangsi.
Di sebelah sana si nenek juga heran dan terkejut. Tapi setiap
ada kesempatan untuk mengolok-olok Ting Put-si selalu
digunakannya dengan baik, maka ia lantas tertawa. Sesudah
terbahak-bahak beberapa kali, maksudnya hendak bicara, tapi
seketika napasnya menjadi sesak dan susah mengeluarkan
suara, terpaksa ia berkata dengan perlahan-lahan, “Hahaha!
Ter ... ha ... dap seorang bocah ... bocah tolol saja tidak ...
tidak bisa ....”
Ting Put-si menjadi gusar, teriaknya, “Biarlah aku mewakilkan
kau bicara saja. Kau hendak bilang: Terhadap seorang bocah
tolol saja tidak bisa menang bukan?”
Nenek itu tersenyum simpul dan manggut-manggut

membenarkan.
Tiba-tiba Ting Put-si berpaling kepada Ciok Boh-thian,
tanyanya, “Hei, Lemper raksasa, siapakah gurumu?”
Boh-thian menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal, ia
pikir meski Cia Yan-khek dan si Ting Tong pernah mengajarkan
ilmu silat padanya, tapi mereka bukanlah gurunya yang resmi,
maka jawabnya, “Aku tidak punya guru.”
“Ngaco-belo, habis kau punya Kim-na-jiu-hoat ini kau mencuri
belajar dari mana?” bentak Ting Put-si.
“Aku tidak mencuri belajar, tapi si Ting-ting Tong-tong yang
mengajarkan aku selama sepuluh hari,” sahut Boh-thian. “Si
Ting Tong bukan guruku, tapi adalah ... adalah ....”
Mestinya ia ingin menerangkan bahwa “dia adalah istriku”, tapi
ia merasa tidak enak, maka tidak diucapkannya.
Ting Put-si menjadi gusar, ia memaki, “Keparat, kau bilang
Kim-na-jiu-hoat ini si Ting Tong yang mengajarkan kau? Huh,
ngaco-belo!”
Dalam pada itu napas si nenek sudah teratur kembar, segera ia
menyindir lagi, “Orang Kangouw suka mengatakan bahwa
‘Kedua jago keluarga Ting, yang satu adalah kesatria dan yang
lain adalah babi’. Sekarang dengan mataku sendiri aku telah
menyaksikannya dan nyata memang tidak salah kabar orang
Kangouw itu.”
Ting Put-si berjingkrak marah-marah, teriaknya, “Bilakah orang
Kangouw mengatakan demikian? Huh, pasti kau sendiri yang
membuat-buatnya. Coba katakan, siapa yang kesatria dan
siapa yang babi? Ilmu silatku lebih tinggi daripada Losam,

siapa orangnya di dunia persilatan yang tidak tahu hal ini?”
Si nenek tidak berani bicara terlalu buru-buru, maka dengan
sekata demi sekata ia menjawab, “Si Ting Tong adalah cucu
perempuannya Ting-losam.
“Kepandaian Ting-losam diajarkan kepada putranya, putranya
mengajarkan kepada putrinya si Ting Tong itu dan akhirnya si
Ting Tong mengajarkan pula kepada bocah dogol ini. Malahan
bocah dogol ini cuma belajar sepuluh hari saja sudah
mengalahkan Ting Put-si.
“Nah, boleh kau coba minta pertimbangan setiap orang di dunia
ini, sia ... siapakah ....” sampai di sini napasnya kembali sesak
lagi dan susah meneruskan.
Ting Put-si menjadi tidak sabaran lagi, segera ia menyambung,
“Biarlah kuwakilkan bicara, ‘Siapakah sebenarnya yang kesatria
dan siapa yang babi? Sudah tentu Ting-losam adalah kesatria
dan Ting-losi adalah babi’, bukan?”
“Ya, asal ... asal kau tahu saja,” kata si nenek sambil
memanggut dan tersenyum-senyum ejek.
Walaupun suara si nenek sangat lemah tapi bagi pendengaran
Ting Put-si terasa sangat menusuk, teriaknya pula, “Siapa
bilang si Lemper raksasa ini telah mengalahkan Ting Put-si?
Hayo, mari, mari, boleh kita coba-coba lagi! Kalau aku tidak
....”
Mestinya ia hendak mengatakan, “Kalau aku tidak menghantam
kau masuk ke dalam sungai di dalam 3 jurus saja, biarlah aku
menyembah padamu” dan lain-lain lagi. Tapi sebelum
diucapkan ia lantas ingat ilmu silat Ciok Boh-thian yang susah
diduga itu, jangan-jangan di dalam tiga jurus tidak dapat

merobohkan dia, kan urusan bisa runyam? Kalau menyatakan
“di dalam sepuluh jurus”, rasanya juga tidak meyakinkan,
sebaliknya kalau bilang “di dalam 50 jurus” rasanya terlalu
banyak, masakah dirinya sebagai seorang tokoh ternama harus
memerlukan 50 jurus baru dapat mengalahkan murid cucu
keponakan perempuan sendiri, lalu apakah dirinya masih dapat
disebut sebagai kesatria?
Sedikit Ting Put-si merandek saja, kesempatan itu lantas
digunakan si nenek untuk mengejeknya pula, “Boleh kau
katakan jika di dalam 200 jurus kau tidak mengalahkan dia,
maka kau akan menyembah dan mengangkat dia sebagai ....”
“Mengangkat dia sebagai guru, demikian hendak kau katakan
bukan?” teriak Ting Put-si dengan murka. Berbareng ia terus
meloncat ke atas, dari udara kedua tangannya lantas
menghantam kepala dan pundak Ciok Boh-thian.
Walaupun Boh-thian telah mempelajari ke-18 jurus Kim-na-jiuhoat,
tapi dia hanya dapat mematahkan serangan-serangan si
Ting Tong saja, cara belajarnya bukan cara yang hidup, cara
menggunakannya juga tidak bisa cara hidup.
Maka ketika melihat kedua tangan Ting Put-si menghantam
dari atas, ia menjadi kelabakan, terpaksa ia menjulurkan kedua
tangan ke atas untuk melindungi kepalanya sendiri.
Pada saat lain “Tay-cui-hiat” di kuduknya lantas terasa sakit
dan ditumbuk oleh suatu tenaga yang kuat, nyata telah kena
pukulan lawan.
Tay-cui-hiat itu adalah Hiat-to penghubung antara urat-urat
nadi kaki dan tangan, dari situ seketika timbul tenaga reaksi
yang mahakuat. Kontan Ting Put-si merasa seluruh badannya
tergetar, tubuhnya lantas terpental balik. Waktu dia pandang

Ciok Boh-thian, pemuda itu ternyata tenang-tenang saja
seperti tidak terjadi apa-apa.
Meski serangan ini tepat mengenai Ciok Boh-thian, namun Ting
Put-si sendiri malah terpental mundur, maka tidak dapat
dianggap kalah atau menang.
Tapi si nenek sudah lantas menyindir lagi, “Ting-losi, orang
sengaja membiarkan seranganmu mengenai dia, tapi kau
sendiri malah terpental, sungguh terlalu tidak becus. Teranglah
hanya satu jurus saja kau sudah kalah.”
“Mana bisa aku kalah? Ngaco-belo!” sahut Ting Put-si dengan
gusar.
“Umpama kau belum kalah, maka boleh coba membiarkan dia
menghantam kau punya Tay-cui-hiat, bila kau tidak mampus
dan dapat pula membikin dia terpental mundur maka kalian
dapat dianggap seri, sama-sama kuat.”
Diam-diam Ting Put-si memikir, dengan tenaga dalam anak
muda yang mahakuat ini, bila aku punya Tay-cui-hiat kena
dihantam, andaikan tidak binasa juga pasti terluka parah. Maka
lantas jawabnya, “Tanpa sebab buat apa aku membiarkan
diriku dihantam? Kalau perlu kau punya Tay-cui-hiat boleh coba
kuhantam saja.”
“Huh, memangnya aku sudah tahu si ‘Ting babi’ adalah
pengecut, hanya mau menang sendiri, kalau disuruh
bertanding secara kesatria tentu tidak berani,” jengek si nenek.
Ting Put-si menjadi bungkam karena sindiran si nenek kena
betul isi hatinya. Dasar dia memang suka unggul, biarpun kalah
bicara juga tidak mau tunduk. Segera ia berkata lagi kepada
Boh-thian, “Marilah kita coba-coba lagi!”

“Tidak,” sahut Boh-thian. “Aku hanya belajar sedikit
kepandaian kepada Ting-ting Tong-tong, ilmu silat lain aku tak
paham sama sekali. Serangan-seranganmu yang ruwet tadi
aku tak dapat menangkisnya. Maka, biarlah anggap kau yang
menang dan tak perlu bertanding lagi.”
“Anggap kau yang menang”, kata-kata ini sangat menusuk
telinga Ting Put-si. Segera ia berseru, “Kalau kalah bilang
kalah, kalau menang ya menang, mengapa pakai anggap atau
tidak anggap? Sekarang aku akan membiarkan kau menyerang
dahulu. Nah, lekas kau mulai!”
“Tidak, aku tidak bisa,” sahut Boh-thian sambil menggeleng.
Ting Put-si menjadi murka, apalagi dari samping si nenek
masih terus tertawa mengejeknya, segera ia memaki, “Anak
bedebah, kau tidak bisa, biar aku mengajar kau. Nah, lihatlah
yang jelas, jika kau memukul padaku cara demikian, aku lantas
begini menangkisnya, menyusul aku balas menyerang kau, kau
lantas mengegos ke samping dan batas memukul aku dengan
kepalan kiri.”
Disuruh belajar memang Ciok Boh-thian sangat cepat
memahaminya. Maka ia lantas menurutkan gaya yang
diajarkan Ting Put-si, ia menyerang dahulu, lalu Ting Put-si
balas menghantam.
Baru saja mereka bergebrak empat jurus, ketika Ting Put-si
memukul pula maka Boh-thian tidak tahu cara bagaimana
menangkisnya lagi, terpaksa dia terdiri tegak dan berkata,
“Bagaimana aku harus terbuat? Aku tidak tahu lagi.”
Ting Put-si merasa geli dan mendongkol pula, katanya, “Kalau
semuanya harus aku yang mengajarkan, lalu bertanding apa

lagi?”
“Memangnya aku bilang tak perlu bertanding dan anggap saja
kau yang menang,” sahut Boh-thian.
“Tidak, tidak bisa,” kata Put-si. “Jika aku tidak menangkan kau
dengan sungguh-sungguh, selama hidup ini tentu aku akan
ditertawai Siau-jui dan dianggap sebagai babi dan pengecut.
Nah, ingatlah yang baik, bila aku sampai memukul begini,
maka kau tidak perlu menangkis, tapi menggeser maju terus
balas menusuk perutku dengan jarimu. Serangan balasan ini
sangat lihai dan terpaksa aku harus menarik kembali
pukulanku untuk menghindari seranganmu.”
Begitulah Ting Put-si sambil berkata sambil bergaya memberi
contoh, Ciok Boh-thian juga mengingatnya dengan baik.
Sesudah paham lalu kedua orang bergebrak lagi dari
permulaan jika sudah terpakai habis jurus-jurus ajaran Ting
Put-si, lalu Boh-thian berhenti dan terpaksa Put-si mengajarkan
lagi, lalu mulai bergebrak dan begitu seterusnya sehingga
tanpa merasa lelah berlangsung sampai ratusan jurus, tapi Ting
Put-si tetap susah merobohkan Boh-thian, walaupun jurusjurus
yang digunakan anak muda itu adalah ajarannya.
Lama-kelamaan Ting Put-si menjadi gelisah. Apalagi si nenek
masih terus mencemoohkan dari samping, sehingga Ting Put-si
tidak berani main licik, terpaksa ia mengajarkan jurus-jurus
serangannya dengan sungguh-sungguh. Dasar ingatan Bohthian
sangat baik, Lwekangnya sangat kuat pula, terpaksa Ting
Put-si harus melayani dengan semangat, pertarungan demikian
menjadi tidak kalah hebatnya daripada dahulu tatkala dia
bertanding melawan si nenek.
Sesudah beberapa puluh jurus lagi, sementara itu fajar sudah
menyingsing. Ting Put-si menjadi tidak sabar lagi, mendadak

ilmu pukulannya berganti, ia mengeluarkan jurus “Kat-mapeng-
coan” (kuda haus berlari ke sumber air) yang telah
diajarkan permulaan tadi, mendadak ia menubruk maju sambil
menghantam.
“He, he! Salah! Urut-urutannya salah!” teriak Boh-thian.
“Peduli urut-urutannya salah apa segala? Asal jurus yang
pernah kuajarkan saja tadi kan sudah jadi?” sahut Ting Put-si.
Namun demikian Boh-thian juga belum lupa harus
mematahkan serangan Ting Put-si itu dengan jurus “Hun-tiappian-
hui” (kupu-kupu terbang menari di angkasa) ajaran Ting
Put-si tadi, cepat ia melompat ke samping.
Menurut rekaan Ting Put-si, asal pemuda itu didesak mundur
sehingga kecemplung ke dalam sungai, maka itu berarti dia
sudah menang dan betapa pun Siau-jiu (si nenek) tiada alasan
untuk menyindirnya lagi. Maka cepat ia mendesak maju,
dengan jurus “Heng-sau-jian-kun” (menyapu seribu prajurit),
kedua tangannya berbareng memotong dari samping.
Tapi Boh-thian lantas menggunakan jurus “Ho-hong-se-uh”
(angin halus hujan gerimis) untuk menghindarkan serangan
lawan yang membadai. Namun terpaksa ia mesti mundur lagi
setindak sehingga sebelah kakinya telah menginjak di atas tepi
perahu.
Ting Put-si sangat girang. “Turunlah!” bentaknya sambil
menyerang dengan gerak tipu “Ciong-koh-ce-bin” (genderang
menggema serentak), kedua kepalan sekaligus hendak
menghantam kedua pelipis Ciok Boh-thian.
Kalau menurut kepandaian ajaran Ting Put-si tadi, maka Bohthian
terpaksa harus melangkah mundur untuk memberi

tangkisan. Akan tetapi sekarang dia tiada jalan mundur lagi,
kalau melangkah mundur berarti terjerumus ke dalam sungai.
Dalam gugupnya tanpa pikir lagi Boh-thian lantas
menggunakan kepandaian yang paling dipahami ajaran si Ting
Tong dahulu, segera ia menggeser ke samping sehingga
berbalik berada di belakang Ting Put-si, berbareng tangan
kanan menggunakan jurus “Hou-jiau-jiu” untuk mencengkeram
“Leng-tay-hiat” dan tangan kiri memakai jurus “Giok-li-cui-ciam”
untuk memegang “Koan-ki-hiat” sekali tangannya kena
memegang sasarannya, seketika pula tenaga dalamnya yang
mahadahsyat juga bekerja.
Tanpa ampun lagi Ting Put-si menjerit sekali, kontan ia roboh
terkulai di atas geladak perahu.
Padahal biarpun Lwekang pemuda itu teramat kuat, betapa pun
juga susah merobohkan Ting Put-si yang tergolong jago
kawakan itu. Soalnya Ting Put-si terlalu memandang enteng
kepada Boh-thian, disangkanya pemuda itu pasti akan
menggunakan jurus ajarannya untuk menangkis serangannya,
untuk mana pemuda itu pasti akan terdesak masuk ke dalam
sungai. Tak terduga olehnya bahwa pemuda dogol ini
mendadak bisa ganti tipu serangan, bahkan yang digunakan
adalah tipu serangan yang telah dipelajarinya dengan masak
betul sehingga Ting Put-si sama sekali tiada kesempatan untuk
menghindar, malahan tenaga dalam Ciok Boh-thian juga
sedemikian lihainya sehingga Ting Put-si tak dapat
menahannya.
Kejadian di luar dugaan ini, bukan saja Ting Put-si dan Ciok
Boh-thian sendiri terkejut, bahkan si nenek juga melongo
kaget. Tapi ia lantas terbahak-bahak beberapa kali, tiba-tiba
napasnya sesak, lalu jatuh pingsan lagi dengan mata mendelik.
Keruan Boh-thian terperanjat, cepat ia berseru, “He,

Lothaythay, ken ... kenapakah kau?”
Si nona yang tak bisa berkutik dan berada di dalam kolong
perahu itu dengan sendirinya tidak dapat mengikuti apa yang
terjadi di luar itu, ketika mendengar suara seruan Boh-thian
yang gugup itu, segera ia bertanya, “Toako itu, bagaimanakah
dengan nenekku?”
“Dia ... dia telah pingsan,” sahut Boh-thian dengan tak lancar.
“Sekali ini tampaknya ... tampaknya agak berat, mungkin ...
mungkin susah sadar kembali.”
“Ha, kau maksudkan nenek telah ... telah meninggal?” tanya si
nona dengan khawatir.
Boh-thian coba memeriksa pernapasan hidung si nenek, lalu
menjawab, “Napasnya sih masih bekerja, cuma ... cuma
melihat gelagatnya agak ... agak berat.”
“Berat bagaimana?” tanya pula si nona.
“Wajahnya pucat sebagai mayat,” tutur Boh-thian. “Ah, biarlah
aku memondong kau keluar untuk melihatnya sendiri.”
Sebenarnya si nona merasa rikuh dipondong pemuda itu, tapi
sesungguhnya ia sangat mengkhawatirkan keselamatan
neneknya. Sesudah ragu-ragu sejenak, akhirnya ia berkata,
“Baiklah! Tolong engkau suka memayang aku keluar.”
Selama hidup Ciok Boh-thian belum pernah mendengar orang
bicara sedemikian halus dan sopan padanya. Keruan ia sangat
senang. Biasanya kalau orang-orang Tiang-lok-pang bicara
padanya sikapnya sangat hormat dan takut-takut, hanya katakata
si nona inilah terasa sangat “sreg” dan enak bagi
pendengarannya.

Maka perlahan-lahan ia lantas memondong nona itu, ia
membungkus tubuhnya dengan sehelai selimut tipis, lalu
membawanya ke haluan perahu.
Waktu melihat neneknya dalam keadaan pingsan, si nona telah
menjerit khawatir. Serunya, “Toako ini, sukalah engkau tolong
menyalurkan sedikit ... sedikit tenaga dalam ke tubuh nenek
melalui ‘Leng-tay-hiat’ di punggungnya. Permohonan ini agak
melampaui batas, sungguh aku merasa tidak enak.”
Mendengar suara si nona yang lemah lembut dan merdu itu,
tanpa terasa Boh-thian menunduk dan mengamati-amati
mukanya. Saat itu sang surya baru saja memancarkan sinarnya
yang gilang-gemilang, maka tertampaklah dengan jelas raut
muka si nona yang bundar telur, cantik molek, terutama
sepasang matanya yang besar juga sedang memandang
padanya dengan sorot matanya yang sayu rawan.
Ketika sinar mata kedua orang kebentrok, maka si nona
menjadi merah jengah.
Karena tidak dapat berpaling ke arah lain, terpaksa dia
pejamkan mata.
Sebaliknya Ciok Boh-thian tanpa merasa telah berkata,
“Kiranya kau juga sedemikian cantiknya, nona!”
Muka si nona tambah merah. Karena jarak muka kedua orang
terlalu dekat, ia tidak berani membuka suara, sebab khawatir
bau mulutnya menyembur ke muka Ciok Boh-thian, maka dia
diam saja dengan menutup mulut kencang-kencang.
Sesudah terkesima sejenak, kemudian Boh-thian berkata, “O,
maaf!”

Segera ia menaruh tubuh si nona, lalu menggunakan telapak
tangannya untuk memegang Leng-tay-hiat di punggung si
nenek, sebenarnya ia tidak tahu cara bagaimana harus
menyalurkan tenaga dalam sebagaimana diminta oleh si nona,
maka dia hanya menggunakan cara mencengkeram Hiat-to itu
dengan “Hou-jiau-jiu” ajaran si Ting Tong, segera ia
mengerahkan tenaga.
Mendadak si nenek menjerit sekali dan siuman kembali. “Anak
dogol, apa yang kau lakukan?” omelnya kepada Boh-thian.
“Nona ini minta aku menyalurkan tenaga kepadamu dan kau
ter ... ternyata sudah sadar kembali,” sahut Boh-thian.
“Kau justru telah menutup aku punya Hiat-to di punggung,
masakah cara ini kau katakan hendak menyalurkan tenaga
padaku?” damprat si nenek.
“O, aku ... aku memang tidak bisa, harap engkau suka
mengajarkan padaku,” pinta Boh-thian dengan kemalu-maluan.
Rupanya karena cengkeraman Boh-thian tadi sehingga
membikin si nenek tergetar sadar, semula ia sangat marah,
tapi ia lantas tahu juga Lwekang anak muda itu ternyata
sangat kuat, ia pikir apa barangkali bocah tolol ini telah makan
sesuatu buah-buahan atau tumbuhan ajaib sehingga membikin
tenaga dalamnya menjadi kuat, tapi dia justru tidak tahu cara
menggunakan tenaga dalam itu.
Sekarang aku melatih Lwekang dan tersesat, mungkin berkat
tenaga dalamnya yang kuat dapat membantu aku
menembuskan urat-urat yang tersumbat di dalam badanku,
asal jalan nadi sudah lancar, untuk kesembuhan selanjutnya
aku dapat melakukannya sendiri.

Begitulah maka ia lantas berkata, “Baiklah, akan kuajarkan
padamu. Hendaklah kau himpun dulu tenagamu ke dalam
perut, bila sudah merasakan suatu arus hawa hangat mulai
bergolak, maka dapatlah kau salurkan ke mana pun menurut
pikiranmu. Nah, untuk pertama kali hendaklah kau
menyalurkan hawa hangat itu ke nadi Siau-yang-meh di
telapakan tanganmu.”
Segera Boh-thian melakukannya sesuai dengan petunjuk itu,
maka dengan mudah saja ia telah dapat menyalurkan tenaga
dalamnya ke telapak tangan. Hendaklah maklum bahwa “Lohan-
hok-mo-kang” yang telah diyakinkan sebelumnya itu
adalah Lwekang paling tinggi dari Siau-lim-pay yang serbaguna
dan dapat dikerahkan menurut keinginannya, soalnya dahulu ia
tidak tahu cara bagaimana menggunakan Lwekang itu sehingga
mirip seorang hartawan memiliki harta karun segudang penuh,
namun tidak menemukan kunci untuk membuka pintu gudang
harta karunnya. Tapi sekarang sesudah mendapat petunjuk si
nenek dan dilakukannya dengan baik, maka tenaga dalamnya
lantas membanjir keluar laksana air bah melanda.
Sedemikian hebat bekerjanya Lwekang Ciok Boh-thian
sehingga si nenek merasa kewalahan, ia berseru, “Tahan,
tahan dulu, per ... perlahan-lahan saja ....” belum habis
ucapannya, mendadak ia muntahkan sekumur darah hitam
kental.
Boh-thian terperanjat, serunya cepat, “He, kenapa? Apakah
keliru caraku?”
“Toako ini, nenek minta kau lambatkan tenaga yang kau
salurkan itu dan jangan terburu-buru,” kata si nona yang
menggeletak di samping itu.

“Tolol,” demikian si nenek mengomel, “apakah kau ingin
membikin jiwaku melayang? Kau harus menyalurkan tenagamu
sedikit demi sedikit, sesudah aku bernapas, lalu kerahkan pula
tenagamu.”
“O, ya, ya!” sahut Boh-thian.
Dan baru saja ia hendak lakukan menurut permintaan si nenek,
tiba-tiba terlihat Ting Put-si telah melompat bangun sambil
berteriak, “Bedebah, keparat! Hayo, kita bertanding lagi, yang
tadi tak bisa dihitung!”
“Huh, tua bangka yang tidak tahu malu! Mengapa yang tadi tak
bisa dihitung? Sudah terang kau telah kalah, bukan?” demikian
si nenek menanggapi. “Coba kalau tadi dia tambahkan sekali
hantam lagi atau membacok kepalamu dengan golok, apakah
jiwamu masih ada sampai saat ini?”
Ting Put-si merasa di pihak yang salah, maka ia tidak berani
bertengkar mulut lagi dengan si nenek. Tanpa bicara ia terus
menghantam pula ke arah Ciok Boh-thian sambil membentak,
“Jurus ini tadi telah kuajarkan padamu, tentunya kau sudah
paham, bukan?”
Lekas-lekas Boh-thian mematahkan serangan Ting Put-si
dengan jurus ajaran orang tua itu pula.
Tapi Ting Put-si lantas menyerang pula sambil membentak,
“Dan jurus ini pun sudah kuajarkan tadi, tentu kau tak bisa
mengatakan aku main licik dan mau menang sendiri.”
Ternyata setiap serangannya memang betul-betul adalah jurus
yang dia telah ajarkan kepada Ciok Boh-thian tadi, dengan
demikian dia hendak perlihatkan kepada si nenek bahwa dia
tetap pegang janji sebagai seorang kesatria. Namun tentang

dia kena dicengkeram pemuda itu tadi sehingga jatuh kalah,
untuk ini sepatah kata pun dia tidak menyinggung.
Makin lama makin cepat, sesudah belasan jurus mulut Ting
Put-si menjadi kewalahan atas kecepatan serangannya sendiri,
maka dia hanya membentak-bentak, “Ini sudah kuajarkan,
sudah kuajarkan, sudah kuajarkan!”
Karena serangan-serangan kilat itu, biar bagaimana pintarnya
Ciok Boh-thian juga tak dapat melayani dengan baik, hanya
beberapa jurus saja ia sudah kelabakan dan tampaknya akan
segera dirobohkan oleh Ting Put-si.
Untunglah pada saat ia sedang kewalahan, tiba-tiba terdengar
si nenek berseru, “Tahan dulu! Aku ingin bicara!”
Ting Put-si lantas menghentikan serangannya dan bertanya,
“Siau-jui, apa yang hendak kau katakan?”
Tapi si nenek berpaling kepada Boh-thian dan berkata, “Anak
muda, badanku merasa tidak enak, harap kau menyalurkan
sedikit tenaga lagi padaku.”
“Ya, boleh juga,” sela Ting Put-si sambil mengangguk. “Urat
nadimu memang kacau, napasmu juga sesak. Jika kau tidak
mau terima pertolonganku, boleh juga suruh dia membantu
kau. Ilmu silat pemuda ini rendah, tapi tenaga dalamnya
sangat kuat.”
“Hm,” si nenek mendengus sekali. “Memangnya, ilmu silatnya
adalah ajaranmu.”
“Ilmu silatnya mana boleh buat dianggap aku yang
mengajarkan dia, padahal aku hanya memberi petunjuk dalam
waktu tiada satu jam barusan ini,” sahut Ting Put-si dengan

gusar. “Tapi kalau dia mau ikut belajar padaku selama tiga
atau lima tahun, hm, aku tanggung kelak tiada seorang
kesatria angkatan muda yang dapat menandinginya.”
“Sekalipun berhasil belajar sepandai dirimu juga apa sih
gunanya?” jengek si nenek. “Tanpa mempelajari ilmu silatmu
dia dapat mengalahkan kau, kalau sudah berhasil mempelajari
ilmu silatmu mungkin dia malah akan kau kalahkan. Makin
belajar padamu makin dungu dan semakin kalahan. Nah, coba
katakan, apa lebih baik belajar ilmu silatmu atau tidak?”
Untuk sejenak Ting Put-si menjadi bungkam, kemudian ia
mendebat lagi, “Jurus-jurus Hou-jiau-jiu dan Giok-li-cui-kiam
yang dia gunakan tadi bukankah juga kepandaian keluarga
Ting kami?”
“Tapi itu adalah ajaran cucu perempuan Ting-losam dan bukan
kau yang mengajarkan dia,” sahut si nenek. “Anak muda,
marilah ke sini, jangan gubris dia lagi.”
Boh-thian mengiakan dan mendekati si nenek, ia gunakan
telapak tangannya untuk menahan di Leng-tay-hiat orang tua
itu dan membantunya melancarkan jalan darah urat nadinya.
Si nenek perlahan-lahan mengangkat lengannya ke atas, ia
pura-pura menutup mukanya dengan lengan baju, tujuannya
agar Ting Put-si tidak melihat dia sedang bicara, lalu dengan
suara bisik-bisik ia berkata kepada Boh-thian, “Sebentar bila
kau bergebrak lagi dengan dia, telapak tanganmu harus
menggunakan tenaga dalam sebagaimana sekarang
mengerahkan tenaga ke tanganmu ini. Bila dia memukul kau,
maka kau harus menggunakan jurus yang sama untuk
memapak tangannya, asal kedua tangan beradu, segera kau
kerahkan tenagamu ke badan lawan. Hati-hatilah, tua bangka
itu hendak mendesak kau terjerumus ke dalam sungai, kau

bisa mati kelelap. Maka ingatlah baik-baik, jurus apa pun yang
dia keluarkan kau pun menyambutnya dengan jurus yang
sama. Hanya dengan cara demikian barulah dapat
mempertahankan jiwa ... jiwa kita bertiga.”
Rupanya sesudah si nenek berkumpul beberapa jam bersama
Ciok Boh-thian, diam-diam orang tua itu telah dapat
mengetahui pemuda itu berhati baik dan berjiwa luhur. Kalau
suruh dia bertanding tanpa alasan melawan Ting Put-si,
mungkin setiap saat dia bisa mengalah. Tapi kalau ditekankan
bahwa “demi untuk mempertahankan jiwa kita bertiga”, ini
berarti termasuk jiwa si nenek dan cucu perempuannya, maka
besar kemungkinan Ciok Boh-thian akan membelanya dengan
sepenuh tenaga.
Benar juga, segera tertampak Boh-thian manggut-manggut
setuju.
Lalu si nenek berkata pula, “Sementara kau tidak perlu
menyalurkan tenaga padaku lagi. Sebentar kalau tanganmu
saling tahan dengan tangannya, maka tenaga yang kau
kerahkan tidak boleh perlahan-lahan, tapi harus cepat dan
keras, semakin kuat semakin baik.”
“Dia akan muntah darah atau tidak?” tanya Boh-thian.
“Tidak,” sahut si nenek. “Tadi aku muntah darah karena aku
sendiri sangat lemah dan mendadak diterjang oleh
membanjirnya tenagamu yang kuat. Tapi Lwekang tua bangka
itu sangat hebat, kalau kau tidak mengerahkan tenaga
sekuatnya tentu kau sendiri yang akan tergetar dan muntah
darah. Dan kalau kau terluka, tentu tiada orang lain lagi yang
mampu membela kami nenek dan cucu berdua. Dalam keadaan
tak bisa berkutik terpaksa kami mesti pasrah nasib dan
membiarkan diri kami dibunuh orang sesukanya.”
Anda sedang membaca artikel tentang Cerita Silat / Cersil : Medali Wasiat 1 dan anda bisa menemukan artikel Cerita Silat / Cersil : Medali Wasiat 1 ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/09/cerita-silat-cersil-medali-wasiat-1.html,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Cerita Silat / Cersil : Medali Wasiat 1 ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Cerita Silat / Cersil : Medali Wasiat 1 sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Cerita Silat / Cersil : Medali Wasiat 1 with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/09/cerita-silat-cersil-medali-wasiat-1.html. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar