Cerita Silat : Iblis Sungai Telaga 3

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Selasa, 20 September 2011

sambil mengayun pedangnya. Dia memikir sekalian saja
membunuh musuh itu walaupun oarng sudah rebah pingsan.
Sementara itu Pauw Goan Tojin yang berpengalaman,
lantas menerka jelek selekasnya ia melihat robohnya Tauw
Kong itu maka justru Hong Kun menyerang dengan kecepatan
yang luar biasa, dia sudah menyambut serangan busuk dari
pemuda itu.
Hong Kun terperanjat, ia mencoba berkelit dengan Tiat
Poam Kio, jurus silat Jembatan Papan Besi, akan tetapi biar
bagaimana, ia toh terlambat maka juga bajunya robek
terpapas pedang dan darahnya mengalir keluar membasahi
bajunya itu !
Selagi penyerangan itu berlaku Pauw Pok telah menyerukan
adik seperguruannya : "Sute, tahan!"
Pauw Goan mentaati kata-kata kakak seperguruannya, ia
masukkan pedangnya ke dalam sarungnya, matanya
mengawasi It Hiong palsu yang kabur seketika, hilang lenyap
di tempat jauh. Habis itu, ia menghampiri Tauw Kong untuk ia


menjemput Pek Giok Saim Uh yang ia terus letaki diatas
hidung orang, sedangkan dengan tangannya yang lain ia
menotok, menekan dan menguruti dada dan perut si pingsan,
guna memberikan pertolongannya.
Luar biasa khasiatnya benda pusaka itu yang bisa
menyingkirkan racun dan menyembuhkan, karena dilain detik,
Gu Tauw Kong mendusin dengan tidak kurang suatu apa.
Hampir berbareng dengan itu, ketiga yang lainnya pun dapat
berbangkit sebab mereka bisa menyelamatkan diri dengan
usaha penyaluran pernapasannya itu.
Pauw Pok Tojin menyimpan benda pusakanya, sesudahnya
Gu Tauw Kong berempat dapat berjalan bersama-sama
mereka mulai pula bertindak ke arah Siauw Lim Sie. Sembari
jalan Pauw Pok penuh keragu-raguan. Inilah sebab ia melihat
ilmu silatnya It Hiong tak mirip dengan ilmu silat Kie Bun Pat
Kwa Kiam dari Pay In Nia dan gerakan ringan tubuhnya tak
sama dengan ilmu ringan tubuh Te In Ciong, Tangga Mega.
Walaupun demikian, ia cuma merasa heran, tidak ia utarakan
itu. Ia melihat tetapi ia menutup mulut........
Selagi Tio It Hiong palsu kabur meninggalkan gunung Siong
San, maka It Hiong yang dapat celaka berbalik menjadi
memperoleh keberuntungan, hingga tidak saja jiwanya tak
lenyap di jurang di Ay Lao San itu, sebaliknya ia memperoleh
buku silat pedang Gie Kiam Sut.
Tanpa ia ketahui, It Hiong terjatuh di dalam jurang dengan
ia tercebur ke dalam air hingga saking terkejut ia kena
menengaknya. Justru karena itu, karena hawa dingin ia lantas
terasadar. Ia melihat gelap disekitanya. Air dingin luar biasa
dan perih rasanya terkena mata. Maka ia lantas memejamkan
pula matanya itu serta menyalurkan pernafasan dengan ilmu
Hian Bun Sian Thian Khie kang, sedangkan kedua tangannya


digerak geraki tak hentinya untuk berenang. Ia terus menahan
nafas. Ia tahu, ia terjatuh ke air dan tenggelam, entah berapa
dalam. Maka ia ingin muncul dipermukaan air itu.
Tidak lama muncul juga ia dipermukaan air. Ia berenang
terus sampai tangannya memegang stalaktit. Sekarang ia bisa
membuka matanya tetapi disekitarnya gelap, tak dapat ia
melihat apa-apa. Ia pula merasa seluruh tubuhnya gatal,
hingga ia menjadi terkejut. Disebelah itu ia telah biasa dengan
dingin itu. Ketika ia pusatkan tenaga matanya ia cuma bisa
melihat sejauh tiga kaki.
Tiba-tiba si anak muda ini melihat sinar kuning emas
berkelebat di depannya bergerak maju dan mundur. Waktu ia
mendekati kiranya itulah sekumpulan ikan yang sisiknya
mengeluarkan cahaya seperti kunang-kunang. Dan kumpulan
ikan itu berkumpul di mulutnya sebuah goa. Dengan berani ia
masuk ke dalam goa itu hingga kakinya kena injak lumut yang
tebal dan licin sekali. Goa itu mendaki naik. Ia lantas bertindak
seperti merayap, kedua tangannya sekalian dipakai sebagai
mata, sebab tetap ia berada di dalam gelap gulita. Ia pula
merasa yang ia mendaki berputar. Jadi terowongan itu tidak
terus lempang. Waktu ia angkat tangannya ke atas, tangan itu
membentur langit-langit goa, terpisah goa dari kepala cuma
satu kaki. Ditempat seperti itu, terang tak dapat ia duduk atau
kepalanya akan sundul dengan langit-langit. Terpaksa ia
beristirahat sambil rebah diam saja. Selekasnya ia merasa
letihnya berkurang, ia mulai merayap pula hingga tangan dan
kakinya bekerja sama.
Makin jauh ia merayap, It Hiong merasai terowongan
mendaki terus. Tentu sekali tak tahu ia berapa jauh ia sudah
berjalan merayap itu. Makin ia merayap makin ia mendaki
tinggi. Kembali ia merasa bahwa ia telah merayap memutari.
Hanya kali ini segera ia merasa debarannya angin dan waktu


ia membuka matanya, ia melihat sedikit sinar terang.
Sementara itu ia merasa letih bukan main, cuma dengan
menguatkan hatinya dapat ia merayap lagi kira-kira tiga puluh
tombak. Disini ia merasa gua makin lebaran dan juga langitlangitnya
tinggi, cari duduk dan berjongkok ia dapat berdiri
tanpa kepalanya sundul.
"Ah !" demikian ia menghela nafas, lalu ia meluruskan jalan
nafasnya. Ia berduduk akan beristirahat. Kali ini ia duduk
bersemedi dengan membuka matanya supaya ia bisa melihat
segala apa. Ia merasakan nadinya bagaikan tertutup, itulah
penghalang untuk mengatur pernafasannya. Cuma ia merasa
hatinya tenang, ia lantas ingat bahwa ia telah jadi korban
racunnya lagu bangsi dari Kwie Tiok Giam Po. Maka lekaslekas
ia merogoh sakunya, mengeluarkan peles hijaunya buat
mengeluarkan pil dari pendeta tua dari Bie Lek Sie, untuk
terus dimakannya. Bahkan sekali telan, ia menelan enam butir.
Sesudah itu ia menyenderkan tubuhnya pada dinding dan
matanya dipejamkan. Tanpa merasa, ia tidur kepulasan.
Entah berapa lama sudah sang waktu lewat. Tatkala It
Hiong mendusin, pakaiannya sudah separuh kering sendirinya.
Yang menggirangkan hatinya ialah waktu ia mendapat
kenyataan tenaganya sudah pulih dan otaknya sudah jernih
seperti biasa. sekarang ia ingat akan rasa lapar. Untung
baginya, rangsum bekalannya tidak lenyap, hingga ia bisa
mengeluarkan itu dan mulai mengisi perutnya.
Lalu tibalah saatnya yang anak muda ini berbangkit, untuk
mulai berjalan. Ia mengikuti jalanan yang banyak
pengkolannya. Ia mengharap-harap bisa tiba di mulut goa. Ia
pula merasa aneh, goa itu bebas dari tikus atau ular atau
binatang lainnya. Satu hal ia kuatirkan juga, kalau jalan keluar
masih jaun, ia bisa kehabisan rangsum dan celakalah bila ia
sampai kelaparan.


"Bak !" tiba-tiba terdengar satu suara keras dan It Hiong
terperanjat. Ia berjalan sambil berpikir keras, matanya sampai
tak memperhatikan jalan disebelah depan itu, maka diluar
tahunya ia membentur dinding. Lantas ia mengawasi, ia
menjadi girang sekali. Ia melihat sinar matahari ! Bukan main
girangnya ! Lantas ia lari ke arah darimana cahaya itu datang.
Berdiri di mulut goa, It Hiong berpaling ke belakang. Ia
melihat goa itu cukup lebar. Tadi dari dalam, tak dapat ia
melihat lebih tegas.
Ia melihat pembaringan dan kursi batu. Benda lainnya
tapinya tak ada.
"Pasti goa ini pernah orang pakai buat bertapa" pikirnya.
"Karenanya mulut goa ini pastilah jalan keluar...."
Dengan tenang It Hiong mengawasi dinding. Ia mendapat
lihat dinding yang rata seperti buatan manusia, lebar kira satu
tembok. Mungkin itu hasil papasan dengan golok atau kapak.
Dinding lainnya tak rata.Sesudah pikirannya menjadi lega itu,
It Hiong cepat kembali ketenangannya. Disitu tak ada benda
lainnya. Ia jadi tertarik dengan dinding yang rata itu. Lantas ia
bertindak menghampiri sampai dekat sekali, untuk meneliti.
Samar-samar ia melihat huruf-huruf, hanya sebab cahaya
kurang tak dapat ia melihat nyata, hingga juga tak dapat ia
membaca huruf-huruf itu. Ia ingat api lekapannya tetapi tak
dapat ia menyalakan itu karena sumbunya basah bekas
kerendam.
Saking masgul It Hiong pergi ke pembaringan batu. Ia naik
diatas itu dan duduk beristirahat guna menenangka hatinya.
Mulanya ia tetap berpikir keras. Dengan begitu tak dapat ia
duduk tenteram. Pikirannya tertarik pada dinding licin itu. Ia
turun dari pembaringan, ia berjalan mondar mandir.


"Bagaimana aku harus berdaya buat bisa melihat dan
membaca huruf-huruf itu ?" pikirnya berulang-ulang.
Masih lewat pula beberapa saat sampai mendadak saja ia
ingat sesuatu.
"Ah, mengapa aku menjadi tolol ?" akhirnya ia kata sambil
menepuk tangan. Ia lantas mengambil sumbunya yang tadi ia
lemparkan
ke tanah sebab tak dapat disulut nyala. Buat mendapatkan
api, ia mencabut pedangnya. Ia pakai itu buat mengetuk
dinding, hingga pelatikannya merupakan api. Kali ini sesudah
berulang-ulang dapat juga ia menyalakan sumbu itu hingga
selanjutnya sumbu itu menggencang terus hingga bisa dipakai
menyalai.
Ada bagian lain yang telah tumbuh lumut lantas lumut itu
dikorek,disingkirkan. Untuk kegirangannya, ia melihat tiga
huruf yang berbunyi "Gie Kiam Sut" Ilmu Mengendalikan
Pedang. Itulah ilmu pedang yang sudah lenyap dari
perbendaraan dunia persilatan selama setengah abad paling
belakang. Orang umumnya menyebut itu sebagai ilmu
"Pedang Terbang". Huruf-huruf lainnya adalah cara
mempelajari ilmu pedang yang istimewa itu.
It Hiong telah mengerti ilmu pedang walaupun Gie Kiam
Sut sulit setelah ia membaca berulang-ulang, dapat ia
menangkap artinya. Hal itu membuatnya girang bukan main.
Lupa segalanya, ia terus membaca dan membacanya sampai
ia sanggup mengapalkan itu diluar kepala, hingga ia lupa lapar
dan haus !


Untuk melatih diri dengan ilmu pedang yang baru ini, maka
It Hiong berdiam di dalam goa itu. Ia tidak menyia-nyiakan
waktu kecuali buat makan dan beristirahat sewaktu-waktu,
terutama buat tidur. Di waktu malam ia tidur sampai waktu
sudah larut, untuk besoknya bangun pagi-pagi. Selama itu ia
telah menghabiskan semua bekalan rangsum keringnya.
Bahkan disaat ia menghadapi kesempurnaan latihannya itu, ia
mengisi perut dengan beberapa lembar daun hosin ouw sebab
tak mau ia membuang waktu sedetik juga !
Dengan memakan hosin ouw obat mujarab itu, It Hiong
dapat menahan lapar. Di sebelah itu, khasiat obat
membuatnya bertambah hingga ia menjadi lebih ringan,
kesaktiannya bertambah hingga ia menjadi sangat
bersemangat, ia pula merasa bahwa matanya dapat melihat
dengan terlebih terang.
Mula pertama It Hiong dapat menerbangkan pedangnya
setinggi tiga tombak lebih dan sejauh belasan tombak. Itulah
hasilnya dua bulan, tetapi hasil itu adalah hasil belasan tahun
buat orang biasa. Ia memperoleh kecepatan sebab bakat
dasar baik ilmu silatnya sendiri, pengaruh obat dan rejekinya.
Tapi hasil itu belum memuaskan. Ia ingin memperoleh lebih.
Toh ada sebab-sebab yang memaksanya meninggalkan goa
terlebih cepat. Itulah soal pamannya, urusan pertemuan besar
kaum persilatan di gunung Tay San, memikirkan Kiauw In,
Giok Peng dan anaknya. Pula janjinya dengan Tan Hong.
Tentunya ia diliputi urusan famili, partai, dan asmara. Maka
akhirnya ia mengambil keputusan buat berangkat pulang.
Pagi itu masih It Hiong berlatih, selesai itu dan beristirahat
sebentar, terus ia berjalan menuju ke mulut goa, akan keluar
dari situ, hingga ia melihat dinding gunugn disekitarnya.
Dinding itu tinggi seratus tombak lebih. Matahari sudah


muncul akan tetapi hal mana belum buyar seluruhnya. Sejauh
tiga puluh tombak kabut tebal.
Setelah mengawasi ke atas sekian lama, It Hiong
mengerahkan tenaganya. Ia mesti mendaki dinding itu. Untuk
ini ia mesti menggunakan ilmu ringan tubuh Tangga Mega.
Saban-saban ia meminta bantuan pedangnya guna menikam
dinding, guna menancapkan pedangnya itu supaya ia bisa
meminjam kekuatan pedang guna saban-saban mengapungi
tubuhnya naik terus. Ketika akhirnya ia tiba diatas gunung, ia
girang bukan main. Ia menghirup pula hawa segar di tempat
terbuka. Ia mengawasi ke pelbagai arah habisnya sambil
bersiul nyaring ia lari turun gunung.
Di detik itu tak tahu ia arah tujuannya. Yang penting ialah
asal ia tiba dulu di kaki gunung. Disini ia akan bisa memilih
jalan atau menanya orang.
Sementara itu pada hari itu, pagi-pagi habis para pendeta
melakukan ibadatnya, telah diadakan sebuah rapat dimana
hadir semua orang anggota dari kuil Siauw Lim Sie serta para
tamunya yang terdiri dari beberapa orang ketua partai dan
orang-orang rimba persilatan. Di kursi baris kedua hadir para
pendeta dan murid dari tingkat kedua. Ruang rapat itu
memang tempat khutbah, jumlah hadirin seratus orang lebih
tetapi suasana tenang dan sunyi. Tidak ada orang yang bicara.
Semua berdiam.
Segera juga Pek Cut Taysu ketua Siauw Lim Sie berbangkit
dari tempat duduknya. Ia merangkap tangannya sembari
hormat pada semua hadirin sambil mulutnya mengucapkan
doa puji, setelah mana ia menatap keseluruh hadirin. Dengan
demikian ia melihat diantara sekalian hadirIn Goaw Han Tojin
dari Bu Tong Pay bersama Pauw Goan Tojin adik
seperguruannya, Cio Sim Tojin dari Kun Lun Pay, Cukat Tan


dan Hea Poan Liong dari Ngo Bie Pay juga In Gwa Sian serta
lainnya sejumlah tiga puluh orang lebih ahli silat kenamaan.
Tiga orang lagi tidak hadir disebabkan pantangan keagamaan
dari Siauw Lim Sie ialah Beng Sio Sanhay dari Kun Lun Pay
serta Cio Kiauw In dan Pek Giok Peng, walaupun mereka telah
berada diatas gunung.
Dengan tenang tetapi bersungguh, Pek Cut Taysu
mengutarakan sebab musabab atau keperluannya Tay Su Tay
Hwan. Pertemuan Besar di gunung Tay Su nanti, ialah guna
menentang bencana rimba persilatan, guna menyelamatkan
dunia persilatan lurus dan ancaman pihak yang sesat. Maka itu
para hadirin terutama harus sadar seluruhnya, diminta suka
nanti bekerja sama menumpas para bajingan itu.
"Begitulah, maka lolap bersama Sicu In Gwa Sian sudah
mengirim surat undangan kepada pelbagai pihak yang sama
tujuan, guna kita membuat pertemuan di Lam Thian bun
digunung suci Tay San. Sekarang sudah tanggal sepuluh bulan
delapan, saatnya sudah mendesak. Disebelah kanan kiri kita
menyusun kekuatan, kita juga perlu ketahui kekuatan pihak
lawan, supaya kita bisa menempatkan pepatah : 'Tahu lawan,
tahu diri sendiri. Seratus kali perang, seratus kali menang.'
Maka itu para hadirin yang terhormat, tolong kalian membantu
memberikan petunjuk supaya kita dapat bekerja dengan
sempurna."
In Gwa Sian tidak menanti suara orang berhenti, sembari
menepuk meja dia berkata keras : "Eh, pendeta tua, buat apa
sih kau bicara merendah panjang lebar begini ? Kalau kita
menghadapi kawanan bajingan jin, kita hajar saja, tak usah
kita banyak berpikir lagi ! Buat aku si orang tua, aku cuma
akan menyediakan dua tangan ini."


Demikian tabiatnya si pengemis, yang tidak sabaran.
Memang biasanya kalau ia bicara dengan orang, atau orangorang
sebayanya tak sudi ia pakai adat istiadat atau aturan. Ia
membawa caranya sendiri, baik ditempat umum atau di
tempat resmi. Sekalipun Pek Cut Taysu ketua dari Siauw Lim
Sie, suci dan dihormati oleh semua orang, bagi ia sama saja.
Ia bicara tanpa bahasa pengertian.
Masih lugas ia memanggil imam tua, sedangkan Tek Cio
Siangjin, tabib kenamaan gurunya It Hiong, ia kerap panggil
dengan sebutan si hidung kerbau ! Diantara hadirin ada
murid-muridnya yang masih muda yang semangatnya meluaplupa,
mereka ini bertepuk tangan dan berseru menyambut
suaranya si pengemis itu.
Setelah suasana sunyi kembali, Pauw Pok Tojin dari Ceng
Shia Pay berbangkit. Ia mengangguk kepada para hadirin,
istimewa mengangguk kepada In Gwa Sian, sembari
menyingkap janggutnya yang panjang, ia berkata sabar : "In
sicu benar, hanya itu aku pikir, kalau kita berlaku sabar sedikit
dan kita merundingkan tentang kekuatan pihak sana, mungkin
itu ada baiknya juga. Pernah pada tiga puluh tahun dahulu
pinto bertemu dengan Thian Cia si imam tua si biang
kejahatan. Itulah pertemuan di tengah jalan di Holo. Dalam
pertemuan itu pinto menginsyafi lihainya ilmu Sam Im Khie
kang dan Sam Ciang hoat yang dimilikinya. Setelah sekarang
lewat puluhan tahun, entah berapa jauh sudah kemajuannya
kedua ilmunya itu. Atau mungkin dia telah menambah dengan
lain macam kepandaian yang jauh terlebih lihai. Maka itu,
lawan sebagai dia itu sungguh tak dapat dipandang ringan !"
Habis berkata, rahib itu mengawasi para hadirin, lalu
mengangguk terus berduduk pula.
Setelah itu Cukat Tan, murid kepala Ngo Bie Pay,
berbangkit dan berkata : "Sayang guruku Leng In Tojin tak


dapat datang hadir dalam rapat ini, sebab ialah ia kebetulan
lagi menutup diri. Karena itu aku yang rendah telah dikirim
kemari guna minta maaf, buat aku menerima segala titah agar
aku dapat berbuat apa-apa untuk kita semua."
Habis berkata, Cukat Tan mengawasi para hadirin, lalu ia
bertanya : "Taysu, telah aku mendengar tentang saudara Tio
It Hiong murid pandai dari Tek Ciok Siangjin dari Pay In Nia,
halnya dia telah membantu mengusir kawanan bajingan yang
telah menyerbu kemari, bahwa kepandaiannya luar biasa lihai.
Aku kagum sekali mendengar halnya itu. Tapi sekarang
manakah saudara Tio itu, kenapa ia tidak turut hadir disini ?"
Pemuda itu menanya polos, tetapi itu justru menyulitkan
Pek Cut Taysu hingga ia berdiam saja. Maka ia dapat
menjawab karena ia sendiri tidak tahu dimana adanya pemuda
yang ditanyakan itu.
Sementara itu sejumlah hadirin yang tak mengerti maksud
pertanyaannya Cukat Tan pada menoleh mengawasi murid
Ngo Bie Pay itu. Alis panjang dari Pek Cut Taysu bergerak,
agak bersangsi ia berkata juga. "Sebenarnya sekarang ini Tan
wat Tio It Hiong sedang pergi ke Ay Lao San berhubung
dengan urusan pamannya, Tanwat Beng Kee Eng tetapi lolap
rasa bila tiba saatnya pertempuran ia tentu akan datang tepat
pada waktunya. Tentang Tio Tanwat itu harap sicu tak usah
buat kuatir."
Justru baru pendeta itu habis berkata muncullah seorang
kacung muridnya dengan laporannya ini.
"Kakak Beng Kee Eng dengan masih sakit telah tiba dan ia
menantikan perintah Su cun."
Kata-kata Su cun itu berarti guru yang terhormat.


Mendengar laporan berduka, ia girang sebab murid itu
datang dan berduka lantaran orang lagi sakit. Ia lantas
memberikan perintahnya. "Tempatkan ia di Ruang Bawah.
Kalau ada bicara lainnya, tunggu sampai sebentar malam !"
Kacung murid itu mengangguk lantas dia mundur.
Pek Cut menahan sabar. Sebenarnya ingin ia segera bicara
dengan murid Siauw Lim Sie itu. Ia berbangkit pula dan
berkata :
"Sebenarnya sulit buat kita mengetahui tentang kekuatan
lawan maka itu benar seperti katanya In Lo sicu, kita baik
menyambutnya dengan kekuatan kita. Sekarang hendak lolap
menitahkan. Ang Sian Sute berangkat bersama dua puluh
orang murid sebagai rombongan pertama. Mengenai pelbagai
partai, lolap minta para ciangbunjin untuk mengatur masingmasing
orangnya sendiri. Kita sendiri para hadirin, akan
berangkat pada tanggal tiga belas yang mendatang. Karena
itu, silahkan sicu semua bersiap-siap !"
Semua hadirin segera berbangkit.
"Baiklah !" kata mereka serempak.
Maka sampai disitu selesai sudah rapat itu dan semua
orang lantas bubaran.
Malam itu juga Pek Cut mengajak Liauw In dan In Gwa
Sian pergi ke Ho In pendoponya yang disebut Ruangan Bawah
itu untuk melihat Beng Kee Eng. Mereka disambut Whie Hoay
Giok yang selalu mendampingi dan merawat gurunya itu.
Kemudian anak muda pintu menggendong gurunya, buat


diajak keluar dari kamarnya akan membuat pertemuan di
ruang tamu.
Kee Eng tetap belum dapat berdiri maka ia memberi
hormat dengan mengangguk saja kepada gurunya bertiga itu.
Ia pun memohon maaf.
Terharu Liauw In melihat keadaan muridnya itu.
"Muridku, kau terkena racun siapa ?" tanyanya memotong
kata-kata si murid. "Dan sicu Tio It Hiong, dimanakah adanya
dia sekarang ?"
Kee Eng memberikan keterangannya, bagaimana mulanya
ia dipancing Kie Cie Hoan Heng Su, bagaimana ia terkena
racunnya ular oleh Kin Lam It Tok sampai It Hiong datang
menolong bersama Hoay Giok serta Tan Hong dari Hek Keng
To.
"Apa kabar kemudian mengenai Tio sicu ?" tanyanya Pek
Cut yang memuji sang Buddha.
Kee Eng tidak dapat memberi keterangan kecuali hanya di
dusun Liong Peng tiu di pinggiran propinsi Secuan, ia telah
bertemu orang yang mirip It Hiong yang sudah melukakan
murid-murid dari Ceng Shia Pay dan malamnya ia bertiga telah
diserang secara menggelap hingga Tan Hong pergi mengejar
penyerang gelap itu, bahwa sejak itu Nona Tan belum
kembali.
"Ha, binatang itu berubah !" teriak In Gwa Sian yang
bergusar dengan secara mendadak matanya mendelik, alisnya
terbangun.


"Sabar In Locianpwe," Kee Eng meminta. "Dengan
kepalaku ini aku yang muda berani menjamin anak Hiong tak
nanti melakukan sesuatu yang dapat membuat malu gurunya !
Yang harus dipikirkan justru keselamatan dirinya karena ia
berada di gunung Ay Lao San sendiri saja...."
Pek Cut Taysu mengernyitkan alisnya.
"Dalam hal itu cuma keselamatannya Tio Tanwat yagn
harus dipikirkan." katanya. "Dalam hal itu mesti ada
terasangkut sepak terjang orang jahat yang bekerja
mengalihkan bencana buat mencelakai orang !"
Pendeta itu lantas menuturkan halnya itu malam ada orang
yang menyamar sebagai Tio It Hiong sudah datang
mendatangi kamar suci di gunung belakang Siauw Lim Sie dan
memperdaya Pek Giok Peng. Karenanya ia mau menyangka
benar It Hiong sebenarnya lagi menghadapi bahaya, mungkin
dia terkurung di Ay Lao San atau ditangah jalan telah
dirintangi orang jahat.
Mendengar semua itu, In Gwa Sian tidak lagi bergusar.
Terpaksa, ia menjadi berduka. Sambil menyentil-nyentil meja,
ia memperdengarkan suara bagaikan ngelamun.
Pek Cut berduka sekali, tetapi di depannya In Gwa Sian ia
mencoba berlaku tenang.
"Bagaimana kalau lolap mencoba meramalkan keadaannya
Tio Tanwat ?" ia tanya kemudian.
In Gwa Sian menjadi seorang luar biasa, ia tak percaya
ilmu tenung, maka dia kata dalam hatinya : "Orang hidup atau
mati sudah takdir. Mana aku percaya segala nujummu ? Mana


orang ketahui apa yang terjadi di tempat jauh ratusan lie ?
Dasar si pendeta tua banyak tingkahnya."
Walaupun dia memikir demikian Pat Pie Sin Kit toh tak
menolak kata-katanya sang pendeta.
"Kau, kau cobalah !" katanya tawar. "Kau membuat capek
dirimu saja, pendeta tua !"
Pek Cut lantas duduk bersila sambil memejamkan mata,
mulutnya komat kamit, entah apa yang ia ucapkan. Habis
membaca jampi tangan kirinya dimasuki ke dalan tangan baju
yang kanan, terus ia berdiam bagaikan orang bersemedi.
Lewat sesaat mendadak ia membuka matanya yang bersinar
terang terus ia memperlihatkan wajah girang terus ia berkata
nyaring kepada In Gwa Sian: "In Sicu, jangan kuatir ! Barusan
ramalanku adalah ramalan yang baik sekali ! Memang Tio
Tanwat menghadapi ancaman bencana tetapi dia selamat,
bahkan dari dalam ancaman bahaya dia memperoleh
kebaikan. Dia justru harus diberi selamat !"
In Gwa Sian bersangsi, separuh percaya separuh tidak.
Kemudian ia menghela nafas. "Syukur kalau seperti katamu
itu, pendeta tua ! Buatku tidak ada lain keinginanku agar anak
itu tak kurang suatu apa !"
Ayah angkat ini menyayangi anak itu. Dalam keadaan
berduka itu, ia tetap memanggil Pek Cut si pendeta tua,
sedangkan pendeta itu selalu menghormatinya dengan
memanggil ia In Sicu. Sicu itu berarti pengamal, penderma.
Liauw In sementara itu mendukakan muridnya, yang ia
lihat keadaan parah sekali. Bagaimana racun ular itu dapat
disingkirkan, supaya murid ini bisa sembuh hingga
kesehatannya pulih seluruhnya. Ia adalah seorang pendeta


tetapi saking berdukanya, air matanya menetes beberapa
butir. Tetapi mendengar kata-katanya Pek Cut, sang suheng,
kakak seperguruan, ia lantas tanya kakak seperguruan itu,
"Suheng, dapatkah ramalanmu itu terbukti ?"
"Ya, benarkah ramalanmu itu tepat ?" In Gwa Sian turut
bertanya.
Pek Cut tertawa.
"Kalau aku gagal, akan aku bertapa lagi sepuluh tahun !"
In Gwa Sian tertawa.
"Aku cuma bergurau !" katanya.
Pek Cut mengawasi Kee Eng, lalu ia tanya Liauw In,
bagaimana dia lihat sakitnya murid itu.
"Barusan aku memeriksa dia" sahut Liauw In. "Muridku
terkena racun jahat, pada ketiga jalan darahnya yang paling
berbahaya...."
Pendeta ini, sang sute, adik seperguruan, bicara pada
kakak seperguruannya itu sambil menjura. Ia tampak sangat
suaram.
""Ha !" mendadak In Gwa Sian berseru. "Eh, pendeta tua,
apakah lupa bahwa didalam kuilmu ini ada ahli pengobatan
racun ular ? Nah, lekas kau undang si tua bangka she Ngay
datang kemari buat dia mengobati keponakan muridmu ini !
Apakah yang harus ditunggu lagi ?"
Kata-kata ini menyadarkan Liauw In dan kakaknya, lantas
saja ia berlompat untuk terus lari keluar. Untung bagus buat


Kee Eng, segera setelah ia dirawat Ngay Eng Eng, racunnya
telah bisa diusir, cuma buat ia sehat kembali seperti biasa,
harus beristirahat selama satu tahun. Biar bagaimana,
keadaan seumumnya toh membuat hati orang lega.
Pada malam tanggal lima belas bulan delapan, rembulan
indah luar biasa. Diwaktu begitu di rumah-rumah orang
sedang asyik merayakan pesta Tiong Cia pertengahan musim
gugur, berkumpul diantara sanak keluarga, saling memberi
selamat. Tapi di gunung Tay San, orang bergerak-gerak
didalam rombongan besar, sebagaimana besar juga jumlahnya
mereka masing-masing. Diatas puncak, segala apa tampak
mirip siang hari, sedangkan sang angin bertiup bersiur-siur.
Pohon-pohon cemara memain diantara sang angin, dahandahannya
bergerak bagaikan bayangan bergerak, bagaikan
bersaing dengan golok dan pedang ditangannya dua
rombongan orang itu.
Itulah kawanan jago-jago kaum lurus dan sesat yang telah
datang menghadiri pertemuan besar rimba persilatan guna
merebut pengaruh. Di pihak lurus sadar guna menegakkan
keadilan buat kesejahateraan khalayak ramai. Di pihak sesat
buat menjagoi guna nanti memperluas pengaruh. Mereka
berkumpul di puncak datar dari Koan Kit Hoang, puncak
Melihat Matahari.
Diluar dari kedua rombongan besar itu adalagi satu
rombongan lain, hanya jumlahnya sangat kecil karena mereka
cuma berdua, satu pria dan satu wanita. Yang satu tua, yang
lainnya muda. Yang pria berdandan sebagai Agama To, To
Kauw, jenggotnya panjang, punggungnya tergendolkan
pedang. Yang wanita berdandan ringkas, pada punggungnya
tergemblokan sanho pang. Sebab mereka itulah It Yap Tojin
ahli pedang dari Heng San Pay dan Tan Hong, si cantik dari
Hek Keng To, pulau ikan Lodan Hitam.


It Yap Tojin termasuk orang separuh sesat, separuh sadar,
kali ini dia mengambil sikap sebagai kampret, jadi ada
ketegasan terakhir. Tan Hong kaum sesat tetapi ia mencintai
Tio It Hiong, ya dia menggilainya maka dia telah mengambil
ketetapan buat berubah cara hidupnya, buat meninggal-kan
kesesatan, guna hidup lurus selanjutnya. Dia datang untuk
menjenguk Tio It Hiong dengan siapa dia belum pernah
bertemu pula sejak perpisahan mereka di Ay Lao San. Dia
bahkan tak tahu si anak muda berada dimana dan bagaimana
keadaannya.
Di pihak sadar, rombongan dipimpin oleh Pek Cut Taysu,
ketua Siauw Lim Pay, ia muncul dari rombongan dengan diapit
oleh Ang Sian dan Liauw In, kedua adik seperguruannya.
Dengan jubah suCinya dia nampak tenang dan agung. Dengan
mengangkat tangannya, ia memberi hormat pada pihak lawan,
lalu berkata dengan suara dalam. "Para sahabat rimba
persilatan, selamat datang. Pin lap mohon sudi apalah
pemimpin para sahabat suka keluar dari rombongan kalian
untuk kita berbicara !"
Kata-kata "pin-lap" itu seperti "pin-jeng" adalah "aku" buat
kaum pendeta Hed Kauw Agama Buddha.
Di dalam rombongan pihak sesat itu lantas terdengar suara
"Hm !" yang dingin menyusul itu muncullah orang yang
menyuarakannya. Kiranya dialah Thian Cie Lojin. Dia diiringi
muridnya yaitu Tong Hiang, serta Cit Mo Siauw Wan Goat,
bajingan nomor tujuh, si bungsu dari To Liong To, pulau Naga
Melengkung.
Si orang tua, yang dandanannya pria bukan wanita bukan,
sudah lantas membuka suaranya : "Eh, pendeta tua, apakah
kau masih belum naik ke nirwana ? Nah, ada pesan terakhir


apakah dari kau ? Silahkan mengatakannya, tak ada
halangannya."
Ucapan itu kontan membangkitkan amarah sejumlah orang
kaum lurus itu. Orang tua mirip orang banci itu terlalu kasar,
dia menghina sangat.
Pek Cut Taysu sebaliknya melawan kekasaran dengan
senyuman. "Tak usah kita mengadu mulut" katanya tertawa.
"Buat menjadi jago untuk merebut pengaruh orang masih
harus mempertunjuki kepandaiannya yang berarti ! Nah,
losiancu tolong kau utarakan pendapatmu mengenai
pertemuan besar kita ini. Silahkan !"
Thian Cie Lojin tertawa terkekeh.
"Aku ?" tanyanya jumawa. "Buat aku berkelahi satu sama
satu atau main keroyokan sama saja! Aku bersedia
menyambut kamu dengan cara apapun ! Cuma kalau
bertempur tanpa syarat itulah tidak menarik. Bagaimana kalau
membataskan umpama sampai sepuluh kali ? Di dalam
sepuluh itu tiga untuk bu pie dan tujuh bun pie ! Aku percaya
dengan begini seandianya pihakmu yang kalah, kamu akan
kalah dengan menutup mulut kamu, kalah dengan puas !"
"Amida Buddha !" berseru Pek Cut.
"Baiklah, aku menerima baik saranmu ini." sahutnya.
"Sebutkanlah bagaimana caranya yang pertama. Lebih dahulu
bn pie atau bun pie ?"
"Lebih dahulu bu pie tiga kali !" sahutnya. "Dengan itu kita
akan uji kepandaianmu yang sesungguh-sungguhnya. Habis
itu barulah bun pie. Nanti, sehabisnya pertandingan yang
keenam, maka kamu dapat memikir-mikir ! Andiakata kamu


sudah tidak punya tenaga lagi, empat pertandingan yang
selanjutnya boleh disudahi dengan begitu saja."
Mendengar suara orang itu, Pat Pie Sin Kit gusar bukan
main. Ia lantas saja berlompat maju.
"Siluman bangkotan !" bentaknya. "Kau keluarkan ilmu Sam
Im Ciang mu, kau pakai itu menyambut Hang Liong Hok Houw
ku untuk mencoba-coba !"
Setelah berkata tadi Thian Cio sudah lantas memutar
tubuhnya buat kembali kedalam rombongannya, waktu ia
mendengar bentakan itu lantas ia menoleh.
"Eh, pengemis tua, sang waktu masih banyak sekali !"
berkata dia, tawar. "Jangan kau tergesa-gesa !"
Pek Cut Taysu menarik ujung baju kawannya itu.
"Jangan layani dia bicara" katanya sambil ia terus mengajak
keuda adik seperguruannya mundur.
In Gwa Sian menurut.
Sejenak itu, sunyilah medan laga itu. Sang putri malam
terus bersinar indah. Dari pihak sesat lantas tampak majunya
satu tubuh kecil dan langsing yang cara berlompatnya lincah
sekali. Selekasnya ia tiba ditengah lapangan lantas ia berkata
dengan suaranya yang nyaring halus, "Aku yang muda adalah
Teng Hiang, aku ingin belajar kenal dengan kepandaian
istimewa dari orang-orang yang berilmu."
Melihat gayanya itu, hatinya Giok Peng panas.


"Nanti aku yang keluarkan mengajar adat pada anak itu !"
katanya pada Kiauw In sengit.
Nona Cio mencekal lengan orang. "Sabar" katanya. "Kita
dengar dahulu suaranya Pek Cut Taysu."
Justru itu sang pendeta mengawasi pihaknya sambil
menanya siapa yang bersedia maju melayani nona itu. Cukat
Tan dari Ngo Bie Pay muncul sebelum sang pendeta menutup
matanya. Ia memberi hormat pada ketua itu terus ia lompat
ke tengah lapangan menghampiri si nona penantang.
Murid Ngo Bie Pay ini baru berusia dua puluh lebih, tampan
dan gagah orangnya. Dia mengenakan baju biru yang singkat
dan sepatunya sepatu ringan. Dengan pedang di
punggungnya, dia tampak menarik hati.
Hatinya Teng Hiang menggetar ketika melihat pemuda itu,
kontan ia tertarik hati, lantas matanya memain, tetapi
kemudian ia tertawa dan berkata dengan bentakannya : "Jika
kau bernyali besar, berani menyambut pedang nonamu, maka
haruslah kau memberitahukan dahulu namamu !"
Alisnya si anak muda berbangkit.
"Aku Cukat Tan dari Ngo Bie Pay !" sahutnya nyaring. "Kau
catatlah !"
Berkata begitu si pemuda menghunus pedang terus
menikam sambil ia memberi peringatan. "Awas ! Lihat
pedangku !"
Teng Hiang bergerak mundur satu tindak. Ia tidak segera
menghunus pedangnya. Sebaliknya ia tertawa manis dan kata


merdu. "Kau berhati-hatilah menyambutku !" Baru sekarang
dengan cepat ia mencabut pedangnya dan menusuk.
Barusan itu Cukat Tan menyerang untuk menggertak saja.
Setelah pedangnya diluncurkan separuh, ia menarik pulang
kembali. Justru itu tibalah pedang si nona, maka terpaksa ia
menangkis tusukan itu. Karena itu beradulah pedang mereka
berdua, suaranya nyaring, percikan apinya muncrat, hingga
keduanya saling mencelat mundur menyingkir dari percikan
itu.
Cukat Tan merasai besarnya tenaga lawan, ia menjadi
waspada. Ketika ia menyerang pula, ia menggunakan "Soat
Hoa Kiam hoat" ilmu silat "Bunga Salju", ilmu itu gerakannya
ialah : satu beruntun menjadi tiga.
Teng Hiang melayani dengan seksama. Ia hendak
membuat anak muda itu mengagumi ilmu silatnya, maka ia
berlaku keras. Segera ia menyerang dengan jurus Melintang
Mengusap, yang terus diubah menjadi "Badai Menggulung
Salju".
Di dalam hati Cukat Tan terkejut. Ia tidak menyangka
seorang nona mempunyai tenaga demikian besar. Tanpa ayal
lagi, ia melayani dengan ilmu pedang "Bunga hujan
berhamburan". Dengan demikian kedua pedang jadi bergerak
sama cepatnya, cuma cahayanya yang tampak, pedangnya
tidak !
Para penonton kedua belah pihak kagum menyaksikan
pertempuran seru itu, semua menonton dengan berdiam,
tanpa suara, mata mereka mengawasi tajam.
Tengah kedua pihak bertempur hebat itu, mendadak tubuh
Teng Hiang mencelat tinggi. Pedangnya diarahkan ke kepala


lawan. Ia bermaksud supaya lawan menangkis serangan itu,
hingga tubuh orang lowong dan ingin mendepaknya, itulah
jurus silat "Burung Belibis Turun Di Pasir Dasar"
Cukat Tan menangkis dengan jurus silat "Menggoyanggoyang
langit Memisahkan Mega" tak sempat ia mundur,
maka buat melindungi dadanya, ia mengulur kakinya
menyambuti kaki lawan.
Teng Hiang melihat ancaman bahaya, ia menangkis tangan
orang dengan tangan kirinya. Tiba-tiba ia terkejut. Tangannya
si anak muda keras sekali dan ia merasa lengannya nyeri dan
kaku. Tetapi yang hebat ialah ujung sepatunya telah
terasambar lawan, hingga guna membebaskan diri, mesti ia
tebas tangannya orang. Ia melakukan itu dengan cepat sekali.
Cukat Tan melepaskan cekalannya. Ia lihat pedang
berkelebat hendak menebas tangannya itu. Justru itu, dengan
kecepatan luar biasa, si nona mengulurkan tangannya ke
kepala orang ! Kaget sekali pemuda itu, ia mencoba mengelik
kepalanya, ia toh sedikit ayal, kopiahnya telah kena
terasambar !
Selagi si pemuda lompat mundur, s pemudi turut berlompat
mundur. Keduanya saling mengawasi dengan berdiri bengong.
Ternyata kepandaian mereka seimbang.
Hanya sejenak, maka gegerlah orang-orang di kedua belah
pihak. Mendadak mukanya Cukat Tan menjadi merah. Ia tahu
apa artinya tawa itu. Orang mentertawakannya sebab ia masih
memegangi sepatunya si nona. Sedangkan Teng Hiang
melongo disebabkan sepatunya itu copot kena dirampas lawan
!


"Nah, ini aku kembalikan sepatumu !" katanya kemudia.
Dan ia melemparkan sepatu ditangannya itu.
Teng Hiang menyambuti, matanya mendelik kepada si anak
muda. Rupanya ia mendongkol. Setelah itu ia pun
melemparkan kopiah orang yang ia telah kena cabut dari
kepala orang dan merampasnya.
"Ini, sambutlah !" ia berseru.
Hebat jalannya pertempuran dan jenaka juga tetapi
kesudahannya seri. Setelah itu sama-sama mereka
mengundurkan diri kedalam rombongannya masing-masing.
Dari dalam kalangan sesat segera muncul dua orang lain.
Kiranya dialah Yan Tio Siang Cian si sepasang ganas dari
tanah Yan Tio dua saudara yang masing-masing bernama dan
bergelaran Toa Cian Leng Gan, si Telengas Besar dan Siauw
Cian Leng Ciauw, si Telengas Kecil. Untuk wilayah utara
merekalah dua orang kejam kaum Hek To, Jalan Hitam.
Selamanya kalau mereka mencuri mereka berdua saja dan
biasanya pula mereka tak meninggalkan korban hidup, mesti
korban mati. Dan kalau mereka berselisih, mereka mesti
menuntut balsa dengan membinasakan semua musuhnya
Yang paling mereka senangi ialah menganiaya, membuat
orang tersiksa. Itulah kekejaman yang membuat mereka
memperoleh julukan "Cian" ialah kejam atau telengas dan
"Siang" sepasang.
Dua bersaudara itu bertubuh kate dan gumu mukanya,
berdaging tak rata, matanya bersinar bengis. Senjata mereka
yaitu golok bengkok melengkung yang istimewa, yang umum
menyebutnya "Bima To" atau golok Birma. Ilmu golok mereka
juga istimewa sebab selamanya mereka berkelahi berdua
bersama, goloknya dicekal ditangan kiri dan kanannya masingKang
Zusi website http://cerita-silat.co.cc/

masing seperti kita menggunakan golong sepasang. Siauw
Cian yang memegang golok dengan tangan kiri dan Toa Cian
dengan tangan kanan.
Setibanya di tengah lapangan keduanya mengulapkan
golok mereka, untuk pun berkata dengan berbareng. "Tadi
orang melawan satu dengan satu tetapi kami berdua saudara,
kami menghendaki dua lawan dua. Tangan kami sudah gatal
sekarang. Kami mau mencari orang yang darahnya dapat
dipakai mencuci golok kami ini ! Nah, siapakah yang bernyali
besar hendak mencoba-coba golok kami ?"
Tantangan itu dikeluarkan dengan suara yang dikurung
pengerahan tenaga dalam, maka juga terdengarnya nyaring
bagaikan genta membuat telinga bagaikan berbunyi pengang.
Kedua rahib dari Bu Tong Pay, Leng Hian dan Seng Hian
hendak menyambuti tantangan itu tetapi sebelumnya sampai
mereka keluar dari dalam rombongan, dua sosok tubuh orang
lainnya sudah mendahului, mereka berlompat mirip bayangan,
hanya dua orang itu lompat ke depannya Pek Cut Taysu atau
memberi hormat sambil berkata : "Lo Siansu, dapatkah kami
berdua kakak beradik yang menyambut tantangan pihak sana
itu ?"
Itulah Cio Kiauw In dan Pek Giok Peng.
Pek Cut Taysu menoleh kepada In Gwa Sian baru ia
memberikan jawabannya sambil ia mengangguk. "Baiklah
tanwat berdua, asal kalian berhati-hati !"
Kedua nona lantas berlompat maju, tangan mereka
masing-masing pada gagang pedang mereka. Dengan
menuruti kebiasaan kaum Bu Lim rimba persilatan lebih


dahulu mereka menyapa dengan hormat kepada kedua lawan
itu.
Toa Cian Len Gan tertawa bergelak.
"Bagaimana nyaring namanya kelima partai besar rimba
persilatan di tionggoan." demikian ejeknya, " siapa sangka ini
yang muncul hanya dua orang nona cilik ! Justru kami berdua
saudara tak mempunyai rasa kasihan terhadap nona-nona
manis. Nona-nona baiklah kamu pulang saja, akan mencicipi
penghidupan berbahagia di rumah kamu ! Janganlah kamu
hanya membuat malu saja disini."
Hatinya Giok Peng panas sekali mendengar hinaan itu.
Kiauw In yang sabar pun tidak puas. Lantas keduanya tanpa
membuka suara lagi menghunus pedang mereka, untuk
menyerang dari jurus Kie Bun pat Kwa Kiam hoat. Yan Tio
Sian Cian tetap memandang sebelah mata kepada kedua nona
itu, mereka juga sangat mengandalkan golok mereka yang
tajam seperti golok mestika. Mereka lantas menangkis dengan
maksud membacok kutung pedang lawan. Tapi mereka
terkejut. Mereka menangkis angin, sebab nona dengan cepat
sekali sudah menarik pulang ke arah pundak lawan.Terpaksa,
kedua saudara itu berkelit mundur dan tindak ! Baru sekarang
mereka sadar bahwa nona-nona itu tidak dapat dipandang
ringan.
Jilid 28
Cio Kiauw In berdua mendesak. Itulah saatnya buat dapat
menang diatas angin. Mereka pun sebal terhadap kedua lawan
itu, ingin mereka lekas-lekas merobohkannya. Leng Gan dan


Leng Ciauw kalah ketika, terpaksa mereka membiarkan diri
mereka terdesak hingga mereka repot menangkis, tak
hentinya mereka berlompatan akan menjauhkan diri ke kiri
atau kanan dia, ke segala arah. Mereka menjadi sangat kaget
dan gusar sekali. Mereka penasaran sekali. Tapi gusar dan
penasaran tinggal gusar dan penasaran, mereka tetap tidak
dapat segera membebaskan diri dari desakan. Beruntung bagi
mereka, mereka masih tetap bisa bertahan.
Semua penonton kagum. Di pihak lurus, orang berbareng
girang melihat pihaknya menang angin. Di pihak sesat, selagi
mengagumi pertempuran mereka menguatirkan kawannya
nanti kena dikalahkan. Dengan berlangsung terus
pertempuran, kedua saudara Leng seperti sudah dikurung
sinar pedangnya kedua pedang nona-nona lawannya itu. Itu
berarti malapetaka tengah mengancam.......
Tan Tio Ciam pun penasaran sebab sampai sebegitu jauh
tak dapat mereka membentur pedang lawan sedang niat
mereka ialah membuat kedua pedang itu terkutungkan. Kiauw
In dan Giok Peng tahu golok lawan tajam luar biasa, mereka
berlaku cepat sekali. Tak mau mereka membiarkan senjata
mereka beradu dengan bagian tajam dari golok. Pek Cut
Taysu dan In Gwa Sian menonton dengan perhatian, si
pendeta melirik si pengemis, lantas dia bersenyum. Mereka
puas sebab nona-nona itu telah mempertunjuki
kepandaiannya yang mengagumkan.
Cukat Tan dilain pihak menjadi sangat kagum, dia seperti
lupa pada diri sendiri. Pikirnya : "Ilmu pedang Bunga Salju
guruku lihai sekali, tetapi dibanding dengan ilmunya nonanona
itu, kepandaianku masih kalah setingkat......."
Tengah jago muda dari Ngo Bie Pay itu bagaikan
ngelamun, tiba-tiba dia mendengar jeritan hebat. Segera dia


menoleh ke arah lapangan dimana sudah terjadi satu
perubahan. Yan Tio Siang Cian repot bukan main. Mereka
cuma bisa membela diri. Leng Tiauw penasaran dan bingung.
Sudah tujuh delapan puluh jurus pihaknya tetap berada
dibawah angin. Itulah tidak menguntungkan, bahkan
berbahaya. Saking bingung, dia menjadi tak dapat menguasai
lagi dirinya. Diam-diam merogoh keluar senjata rahasianya
yang istimewa "Hong Go Tok Piauw", yaitu piauw tawon
beracun, yang beracun. Selekasnya dia mendapat
kesempatan, dia lantas menimpuk Giok Peng. Itulah
bokongan, perbuatan curang.
Pedangnya Nona Peng berputar terus, piauw itu kena
terasampok hingga terpental balik. Sialnya senjata rahasia itu
makan tuan, ialah menancap di pergelangannya sendiri,
nancap dalam setengah dim. Dia menjerit, membuat Leng
Gan, kakaknya kaget sekali. Sebabkan ketahui, piauw beracun
itu piauw maut, akan meminta jiwa setelah racunnya mengalir
sampai kerongkongan. Di dalam satu jam racun akan meresap
ke seluruh anggota tubuh terutama bagian perut. Ini artinya
tak ada pertolongan pula. Maka juga kakak ini menggertak
gigi, dengan telengas dia membabat kutung lengan adiknya
itu, guna mencegah menjalarnya racun.
Kalau tadi Leng Ciauw menjerit tertahan, sekarang dia
berteriak sekerasnya saking nyerinya tubuhnya terhuyung
beberapa tindak. Dia mesti memegang kehormatan dirinya.
Semampunya dia bertahan. Dengan begitu tak sampai dia
roboh. Cuma jeritannya itu yang membuat orang mendengar
dan mengetahui hal jeritannya itu.
Kiauw In melihat kejadian itu. Segera nona itu berlompat
mundur. Dia menghormati aturan kaum Kang Ouw, tak mau
dia menggunakan kesempatan itu membinasakan musuh.


Malah melihat Giok Peng masih menyerang Leng Gan, dia
menyerukan akan si adik menunda perkelahiannya itu.
Nona Pek mendengar kata, dia menahan serangan
pedangnya, tetapi disaat dia mau mengundurkan diri, tiba-tiba
beberapa cahaya menyambar ke arahnya ! Itulah
bokongannya Toa Cian Leng Gan yang bersakit hati karena
adiknya dilukai, bukannya dia menyerang Kiauw In, dia justru
membokong Giok Peng yang lengah, tak siap sedia itu.
Dengan tangan kirinya dia menimpukkan piauw-nya yang
beracun itu. Ketika itu si nona tengah membalik belakang.
Sedangnya piauw maut itu mau merampas jiwa orang, satu
sinar pedang berkelebat menyampoknya jatuh ke tanah
berumput. Itulah perbuatannya Kiauw In yang membantu
adiknya. Hal itu membuat gusar nona yang sabar itu yang
terus mencelat ke depan Toa Cian, bahkan terus saja ia
menyerang dengan satu luncuran pedang dengan ilmu
"Burung Air Mematuk Ikan."
Toa Cian kaget sekali. Ia mau menyerang lawan, siapa tahu
ia pun diserang. Repot ia mengelakkan diri. Ketika ia
menggerakkan lengan kirinya, tepat lengan itu terbabat
pedangnya si nona. Maka ia pun menjerit seperti adiknya itu,
lengan kirinya itu putus dan jatuh ke tanah !
"Jika kalian tidak puas, mari maju pula !" Kiauw In kata
sambil ia menuding dua saudara Leng itu, si Sepasang Ganas.
Leng Gan menotok tubuhnya sendiri, guna menghentikan
darah yang mengucur keluar dari lengannya itu, dengan sinar
mata penuh kebencian, dia mengawasi tajam Nona Cio
kemudian ia kata sengit : "Sakit hati lengan buntung ini pasti
akan datang harinya yang aku akan tagih dari kau, budak !"


Berkata begitu jago dari Yan tio itu menjemput kedua
potong tangan mereka, lalu sambil menarik tangan
saudaranya lalu pergi mengundurkan diri.
Pek Cut Taysu lantas mengasih dengar suaranya yang
nyaring : "Losicu Thian Cia, terima kasih yang kau telah sudi
mengalah !"
Dari dalam rombongan sesat itu bukannya Thian Cia yang
menyambut sang pendeta, hanya satu suara yang cempreng.
Katanya : "Inilah belum berarti apa-apa ! Segera juga tongcu
nomor satu dari Losat Bun kami dari Ay Lao San, Hong Hwio
Lui Siu Pek Lie Cek akan mengajukan dirinya. Pendeta tua
berhati-hatilah kau memilih orang untuk melayaninya !"
Tongcu yang disebut namanya itu sudah lantas muncul
bersama sepotong senjatanya yang luar biasa yaitu Tok kak
Tong-jin, boneka perunggu dengan kaki sebuah, lima jalan
darahnya tersimpankan senjata rahasia beracun. Panjangnya
boneka itu empat kaki dan beratnya empat puluh kati.
Pek Lie Cek mempunyai kepala besar dan mata bundar,
hidungnya hidung singa dan mulutnya besar lebar, pipinya
berewokan dan dagunya berjanggut panjang. Dia pula
bertubuh besar. Dia mengenakan baju kuning panjang sampai
dimulut dan sepatunya sepatu ringan warna hitam. Tiba di
lapangan dia berdiri tegak hingga sikapnya menjadi keren
sekali, kata orang mirip dengan malaikat penjaga pintu....
"Siapa bernyali besar, mari muncul akan terima binasa !"
demikian orang itu membuka suara. Suaranya keras, sikapnya
jumawa. Suara itu bagaikan guntur kerasnya.
Pek Cut Taysu lantas mengawasi orang-orang pihaknya.


"Bagaimana kalau aku si tua yang melayani dia ?" tanya Pat
Pin Sin Kit yang tak biasanya menjadi sungkan.
Pendeta dari Siauw Lim Sie itu menggeleng kepala sambil
berkata : "Jangan tergesa-gesa Losicu, sebentar akan muncul
lawan yang tangguh...."
Belum berhenti suaranya sang pendeta Gouw Hoat Taysu
sudah muncul dan sembari memberi hormat berkata pada
ketuanya, "Suheng, dapatkah adikmu yang keluar ?"
Pek Cut Taysu mengangguk dengan perlahan, maka Goay
Hoat Taysu lantas berlompat ke tengah lapangan sambil ia
membawa sianthung, tongkatnya yang panjang mirip toya.
Bahkan segera dia memperdengarkan suaranya terhadap
pihak lawan, "Sicu Peklie Cek, apakah sejak perpisahan kita,
sicu masih sehat-sehat saja ? Apakah sicu masih mengenali
padaku si pendeta dari dua belas tahun yang lampau ?"
Peklie Cek mengawasi pendeta itu. Lantas ingat ia kepada
peristiwa dahulu di jalan di perbatasan propinsi Siamsee -
Kamsiok. Ketika itu dalam satu bentrokan dia telah merasai
lengan "Lohan Cian" dari si pendeta.
"Hm !" dia lantas memperdengarkan suara dinginnya.
"Sungguh berbahagia ! Sungguh berbahagia disini kita
berjumpa pula !"
Berkata begitu ia lantas memutar senjatanya yang luar
biasa itu, hingga anginnya menderu-deru. Ia tidak takut. Dua
belas tahun yang lalu ia kalah, tetapi setelah itu ia masuk
dalam rombongan Losat Bun dan belajar lebih jauh dibawah
pimpinannya Kwie Tiok Giam Po, maka ia bukanlah Peklie Cek
yang dahulu. Ia sengaja berlaku jumawa guna memancing


keluarnya si pendeta yang ia tak menyebut namanya secara
langsung.
Segera setelah kedua pihak berdiri berhadapan, Gouw Hoat
Taysu mulai dengan penyerangannya. Peklie Cek menyambut
serangan itu dengan satu tangkisan keras, maka sebagai
akibat bentrokan itu, keduanya sama-sama mundur tiga
tindak. Gouw Hoat Taysu tak menghiraukan tenaga lawan
yang bertambah itu, ia maju pula kembali ia menyerang.
Peklie Cek tertawa. Dia mundur ke samping satu tindak,
kepalanya diegoskan. Selewatnya tongkat lawan, dia
membalas menghajar dengan hebat, niatnya membikin
tongkat terpental terlepas dari cekalan lawan. Gouw Hoat
Taysu dapat menerka maksud lawan itu. Ia mengelit
tongkatnya, tetapi bukan ditarik pulang hanya diteruskan
dipakai menyerang ke pinggang si orang takabur.
Peklie terkejut. Dia tidak menyangka si pendeta demikian
cepat. Terpaksa dia harus waspada. Habis berkelit dia berseru
: "Kepala gundul, kau sambutlah ini !" Dan dia menyerang
dengan jurusnya "Membelah Bambu".
Gouw Hoat penasaran yang orang masih membelah. Ia
menyambut dengan sekuat tenaganya. Ilmu silat yang dipakai
ialah "Kie Kee Thian Ho" atau "Jembatan di Kaki Langit".
Hebat bentroknya kedua senjata berat itu. Percikan apinya
muncrat. Lengan kanannya Peklie Cek terasa kesemutan dan
nyeri, tubuhnya terpental mundur lima tindak. Sebaliknya
adalah Gouw Hoat Taysu, yang kuda-kudanya tangguh. Dia
melesak kakinya tiga dim dan tubuhnya limbung, bergoyang
beberapa kali. Dengan cepat dia berlompat maju kepada
lawan, tongkatnya dipakai menyerang pula. Sembari


menyerang itu, ia berkata nyaring : "Hong hwe Lui-siu, kau
juga sambutlah tongkatku ini !"
Peklie Cek tidak takut. Masih ia mau menguji tenaga lawan.
Ia percaya kekuatannya masih akan bertahan. Segera ia
menangkis dengan bonekanya itu. Lagi-lagi kedua senjata
beradu keras, suaranya sampai memekakkan telinga. Tapi
kedua jago tetap sama tangguhnya. Maka mereka terus
melanjuti pertempuran mereka. Seperti tanpa terasa, mereka
sudah melalui kira tiga puluh jurus. Sekarang ini lengan
mereka masing-masing terasa kaku dan darah seperti
bergolak di dalam dada mereka.
Satu kali mereka bentrok keras lantas keduanya sama-sama
mundur. Ketika itu dipakai buat mengatur pernapasan masingmasing,
berniat menyerang pula tetapi mereka berjaga-jaga
kalau-kalau nanti kena didahului.
Diluar kalangan maka tongcu Losat Bun yang nomor dua
habis sabar. Dialah Sam Chiu Pia Kauw Hu Leng, si Kera
Bertangan Tiga. Dia habis sabar sebab menanti terlalu lama
hingga dia kuatir kawannya nanti kalah sebab sudah selama
itu sang kawan belum berhasil merebut kemenangan. Dia pula
bukannya maju akan membantu kawannya itu, hanya dengan
tiba-tiba secara diam-diam dia menyerang Gouw Hoat Taysu
dengan senjata rahasianya yang diberi nama Tengkorak Badsi.
Senjata itu menyambar dari atas ke bawah, menungkrap
kepala.
Melihat menyambarnya senjata rahasia lawan, dari dalam
rombongan pihak lurus menyambar pula serentetan dari enam
buah Liam Cu, mutiara biji tasbih kaum pendeta agama
Buddha, semua menyerang kepada senjata rahasia lawan itu.
Tepat serangan itu ! Hancurlah senjata rahasia lawan, besinya
muncrat ke empat penjuru, akan tetapi bubuknya yang


berwarna merah tua justru turun dengan perlahan-lahan,
turun ke arah Gouw Hoat Taysu yang sudah tak berdaya.
Apakah yang telah terjadi ? Kenapakah Gouw Hoat Taysu
roboh ? Inilah akibat bentrokan si pendeta dengan lawannya,
bentrokan yang terakhir. Habis mereka berjaga-jaga, mereka
mengadu kekuatan pula. Peklie Cek meyerang, keduanya
roboh sama-sama, sebab kepala mereka pusing, dada mereka
bergolak, tenaga mereka habis. Mereka pula muntah darah.
Justru bubuk beracun itu turun. Ang Sian Taysu dapat
melihatnya. Pendeta ini menerka kepada bubuk jahat. Ia
lompat keluar dari kalangan, ia menyerang dengan pukulan
angin Loahan Ciang. Maka buyarlah bubuk itu terkena angin
keras dari pukulan itu. Ketika itu Hu Leng juga sudah masuk
ke dalam kalangan. Ia mengangkat bangun tubuh Peklie Cek,
buat diajak mengundurkan diri. Tiba-tiba Cukat Tan lompat
menghampiri, anak muda ini terus menyerang orang she Hu
itu, yang ditikam punggungnya.
Hu Leng tidak melihat datangnya orang, dia pula tidak tahu
orang menyerangnya. Tapi justru itu, dari rombongan sesat
ada sesosok tubuh yang membalas, menangkis membuat
pedang si anak muda terpental, berbareng dengan orang itu
menegur : "Eh, bocah, kau tahu aturan rimba persilatan atau
tidak ?"
Cukat Tan mundur satu tindak, dia mengawasi orang yang
menghalangi serangannya itu.
Kiranya orang itu ialah Tan Hong dari Hek Keng To.
"Barusan orang menyerang dengan senjata rahasianya !" si
anak muda balik menegur. "Apakah itu berarti dia
menghormati aturan kaum rimba persilatan ? Aku hanya


menurut buat ! Kalau kau berani, mari kau melayani ilmu
pedang dari Ngo Bie Pay barang beberapa jurus ! Beranikah
kau ?"
Di saat itu dari kedua belah pihak ada tujuh atau delapan
orang yang berlompat keluar, bersiap buat bertarung guna
membantai pihaknya masing-masing. Pek Cut Taysu sudah
lantas berseru meminta pihaknya mengundurkan diri dan
menyuruh murid-murid Siauw Lim Sie segera membantu Gouw
Hoat buat dibawa balik ke dalam rombongan. Sampai disitu
Thian Cie Lojin muncul dengan tindakan perlahan.
Dia tertawa dan kata. "Kali ini pertempuran seri pula ! Nah,
pendeta tua, bagaimana kalau kita mulai dengan bunpie ?"
Licik jago tua ini, tak mau ia menyebutkan soal serangan
gelapnya Hu Leng itu yang mulai melanggar aturan rimba
persilatan. Malah dengan cerdik ia hendak menukar bertarung
mereka. Setelah bun pie, mengadu tenaga dengan cara keras,
sekarang ia hendak mulai dengan bun pie, cara halus.
"Terserah kepadamu, sicu pinlap selalu sedia untuk
melayani" sahut Pek Cut Taysu tenang.
Thian Cie sudah lantas mengulapkan tangannya maka
muncullah Ang Gan Kwie Bo dari gunung Lee San di pulau
Haylam.
Dengan sinar matanya yang bengis jago wanita itu
menyapu ke arah pihak lurus, lalu dia berkata dengan
suaranya yang dingin yang berada jumawa : "Tuan siapakah
yang mempunyai kegembiraan untuk mendengarkan lagu Toat
Hun Im Po dari tenaga dalamku ?"


Ilmunya Ang Gan Kwie Bo itu berarti "Gelombang Lagu
Merampas Roh."
Leng Hian Tojin dari Bu Tong Pay sudah lantas
menggerakkan tubuhnya menghadapi ketua Siauw Lim Pay, ia
menjura sambil bekata : "Bagaimana kalau kali ini pici yang
menunjuki keburukanku ?"
Pek Cut Taysu mengangguk.
Lantas Leng Hian bertindak menghampiri lawan, yang terus
tertawa tawar dan kata seenaknya saja. "Eh, Leng Hian
hidung kerbau, benarkan kau mempunyai kepercayaan yang
ilmu Hian bun Lio Kam Cin Kie dari Bu Tong Pay kamu dapat
bertahan dari ilmuku ? Nah, kau berhati-hatilah !"
Ilmu Bu Tong Pay yang disebutkan Ang Gan Kwie Bo itu
adalah ilmu tenaga dalam yang berdasarkan patkwa, delapan
diagram.
Leng Hian tidak menjawab, hanya sambil bersenyum dia
mengerahkan tenaga dalamnya. Ia berdiri tegak mengawasi
lawan yang takabur itu. Sejenak kemudian, ia mengulur
sebelah tangannya, baru setengah jalan, ia sudah berseru
perlahan : "Kau sebutilah !"
Ang Gan Kwie Bo menggerakkan pinggangnya untuk
berjaga-jaga, lalu ia mengibas sebelah tangannya, memapak
tangan lawan itu. Ia menggerakkan tangannya dengan
perlahan tetapi berbareng dari mulutnya terdengar suara
tertawa yang nyaring dan tajam seumpama kata suara
bajingan. Itulah Toat Hun Im Po !
Kedua tangan mereka lantas beradu satu sama lain,
nampaknya mereka seperti main-main. tak tahunya kedua


belah pihak tengah mengerahkan tenaga dalam mereka.
Mereka tengah menguji kekuatan masing-masing. Tubuh
mereka lantas menggigil, tangan mereka bergemetaran.
Selama itu Ang Gan Kwie Bo terus tertawa makin lama
suaranya makin keras makin tinggi, terdengarnya tajam sekali
hingga telinga orang terasa bagaikan tertusuk-tusuk.
Kedua rombongan terpisah dari dua orang itu sepuluh
tombak lebih tetapi mereka yang tenaga dalamnya belum
sempurna, mereka merasakan kehebatan tawa itu. Itulah yang
diumpamakan "Tangisan keras di selat Bu Kiap, tangisan
berdarah burung cockoo, nyanyian iblis dikuburan musim
gugur atau tangisan diwaktu malam dari seorang janda."
Toh semua itu masih kalah hebatnya. Semangat orang
dapat buyar karenanya.
Pek Cut Taysu sudah lantas memerintahkan murid atau
kawannya yang tenaga dalamnya kurang untuk bergerak
munduk belasan tombak supaya mereka tak usah menjadi
korban konyol. Di sana pun mereka harus menjaga diri baikbaik.
Di pihak sesat juga orang telah bergerak mundur
sendirinya.
Di tengah lapangan, kepalanya Leng Hian dan Ang Gan
telah sama-sama mengeluarkan uap putih bagaikan halimun.
Suaranya si sesat tak lagi terus menerus, hanya suka terputusputus
akan tetapi nada dan iramanya tak sedap buat sang
telinga. Suara itu membuat hati orang berdebaran.
Di dalam keadaan seperti itu, sekonyong-konyong saja
Leng Hian Tojin bersiul nyaring dan panjang, hingga siulannya
itu berkumandang di lembah dan sekitarnya. Siulan itu pula
bagaikan menutup tawanya lawan. Tak lama siulan itu, lalu


berhenti tetapi berbareng dengan itu lenyap juga tawanya Ang
Gan Kwie Bo. Maka itu sunyilah medan pertempuran itu. Dua
dua lawan tampak berdiri diam. Uap diatas kepala mereka
sudah berkurang. Tangan mereka tapinya masih terus
menempel satu pada lain, tak bergeming sedikit juga.
Gouw Hian Tojin, ketua Bu Tong Pay menjadi bingung. Ia
tahu bahwa pertempuran segera akan sampai pada detik
terakhir. Inilah sangat berbahaya. Dan ia menguatirkan
keselamatannya sang sute, adik seperguruannya. Buat
membantu, ia tidak berani. Itulah akan melanggar aturan
rimba persilatan dan nama baiknya bakal tercemar karenanya.
Maka ia menjadi tidak karuan rasa, berulang kali ia mengepalngepal
tangannya serta menggedruk-gedruk tanah !
Selagi sunyi senyap itu tiba-tiba terdengar suaranya Pek
Cut Taysu : "Kali ini kita yang kalah ! Leng Hian Totiang,
silakan mengundurkan diri !" Terus ia mementangkan
tangannya, untuk segera dirapatkan pula.
Atas itu maka tubuhnya Leng Hian, mirip boneka kayu,
bergerak ke arah rombingannya, datang kepada tangannya si
pendeta. Karena Pek Cut Taysu telah menggunakan ilmu "Liap
Hun Ciu Siu Kang", Menarik Roh" guna membantu si imam.
Ketika itu terlihat Thian Cia Lojian tahu-tahu sudah berada
di tengah lapangan untuk menekan jalan darah sin tong dan
thian cu di punggungnya Ang Gan Kwie Bo, guna membantu
wanita tua itu menyalurkan napasnya. Sebab juga nyonya itu
telah sampai pada saat mati hidupnya....
Di pihak Siauw Lim Pay, Gouw Hian juga sudah lantas
membantu Leng Hian, adiknya.


Selama kedua pihak saling menolong kawan itu, kesunyian
tetap berlangsung, cuma deburan angin yang terdengar.
Rembulan sudah mulai doyong ke barat. Mungkin waktu itu
sudah jam empat mendekati fajar.
"Inilah pertempuran yang menjengkelkan, yang
memepatkan hati." kata Pat Pie Sin Kit In Gwa Sian yang
menjadi tak sabaran.
Hanya sejenak, segera terdengar tawanya Thian Cie Lojin.
Ketua pihak sesat itu sudah lantas berkata : "Bun pie yang
pertama sudah berlalu ! Terima kasih ! Terima kasih kalian
sudah mengalah ! Nah, pendeta tua, masih ada pertandingan
yang kedua ! Siapakah dari pihakmu yang bakal maju ?"
Belum lagi Pek Cut Taysu menjawab, atau Pat Pie Sin Kit
sudah bertindak keluar dari dalam rombongan, terus dia
membentak : "Siluman tua, jangan tertawa ! Beranikah kau
malayani aku, si orang tua ?"
Thian Cie Lojin mengawasi, ia membuat main bibirnya, lalu
dengan dingin menjawab : "Baik ! Baik ! Supaya tulangmu
yang sudah tua tidak hancur berantakan, bagaimana kalau
kita main-main dengan batu licin itu ? Setujukah kau ?"
In Gwa Sian tertawa lebar. "Kita sudah berusia hampir
seratus tahun, kalau kita mati, kita tidak mati muda !"
katanya. "Kau tidak suka keras lawan keras, baiklah, akan aku
turuti kehendakmu ! Apakah kepandaianmu itu ? Kau
keluarkanlah !"
Tanpa berkata apa-apa Thian Cie Lojin bertindak ke dinding
bukit di kaki puncak, In Gwa Sian berjalan bersama.
Rombongan di kedua pihak lantas turut mengikuti mereka itu,
guna masing-masing mengambil tempat.


Batu yang disebutkan Thian Cie itu berupa seperti tembok,
lebar satu tombak persegi, bagian mukanya rata licin, bekas
dipapas dengan golok atau kapak. Jadi itulah buatan manusia.
"Di sini kita mencoba khie kang kita !" berkata Thian Cie
tertawa sambil tangannya menunjuk dinding rata itu. "Siapa
yang kalah, dia harus hapus buat selamanya, agar dia tak
muncul pula ! Pengemis tua, beranikah kau berjanji demikian
?"
In Gwa Sian tertawa.
"Siluman tua, apa juga kau katakan, aku terima baik !"
Thian Cie Lojin lantas berdiri di depan dinding batu itu,
tenaganya lantas dikerahkan hingga terdengar otot-ototnya
pada meretak. Ia mengeluarkan napas, ia maju beberapa
tindak, terus ia mundur beberapa tindak pula. Ini cara
pengerahan tenaga. Ia ulangi beberapa kali lalu mendadak ia
melenggak hingga pinggangnya melengkung keluar dan
kepalanya dongak terangkat ke atas. Habis itu mendadak saja
ia mengajukan diri, agaknya ia hendak menerjang batu besar
itu, atau mendadak pula ia menghentikan tindakannya. Ia
mengangkat pula kepalanya dan mukanya diarahkan kepada
batu itu, terus ditempelkan. Selagi berdiri diam itu, segera
juga tampak keluar dari arah mukanya. Pinggang dan kakinya
diluruskan tetapi kedua belah pihak tangannya bergerak-gerak
seperti bergemetar. Selama itu tampak mukanya seperti
melesak kepada permukaan dinding.
Hanya sekira kesadaran mati, mendadak jago tua kaum
sesat itu berlompat mundur, tubuhnya terhuyung beberapa
tindak sebelumnya dia dapat berdiri tetap tegak. Ia berdiri
dengan memejamkan mata, terus ia mengembuskan napas


panjang. Di lain saat ia mementang matanya dan kata nyaring
: "Telah aku pertunjuki kepandaianku yang buruk. Nah ini dia
ilmuku yang dijuluki Sam In Sin kang, pada dinding batu itu
tertinggal tanda melesak dari mukaku ! Pengemis tua
bagaimana perasaanmu sekarang ? Panas hatimu atau tidak ?"
Memang, orang banyak melihat mukanya Thian Cie telah
bertapak dan berbekas didinding batu lebar yang rata itu.
Petaan itu tegas dan jelas sekali, sehingga semua orang
menjadi sangat kagum. Di pihak lurus orang berkuatir buat Pat
Pie SIn Kit. Musuh demikian lihai, dapatkah dia diatasi atau
sedikitnya menyamai ?
In Gwa Sian telah menyaksikan gerak geriknya lawan itu,
selama orang masih membawa aksi terus berdiam saja tapi
selekasnya orang membuka suara jumawa itu, ia
menyambutnya dengan tertawa berkakakan. "Hai siluman tua
!" ktanya nyaring. "Sam Im Sin kang mu ini tak dapat dicela
banyak, sayangnya pada bagian mukamu itu tidak ada bekas
kumis janggutnya."
Suara itu menusuk tajam telinga Thian Cie Lojin si pria
bukan wanita bukan.....
Dari tindakan ayal-ayalan, In Gwa Sian bertindak
menghampiri dinding itu dari mana lawannya sudah
mengundurkan diri guna dia memberikan giliran padanya. Ia
berhenti di depan batu terus ia menghadapinya sambil berdiri
tegak untuk segera mengumpulkan tenaga dalamnya. Itulah
tenaga dalam dari ilmu Tong Cu Kang, ilmu kanak-kanak atau
"Jaka".
Cepat luar biasa mukanya si pengemis menjadi merah
umpama kata seperti api, giginya atas dan bawah gemeretak
nyaring, kumis dan jenggotnya lantas bergerak-gerak


sendirinya tanpa angin, berdiri kaku bagaikan jarum perak.
Matanya yang dipentang sebentar dipejamkan memperlihatkan
cahaya tajam sekali. Berdiri sebagai itu mukanya In Gwa Sian
hampir menempel pada dinding. Lain tiba saatnya ia
memperdengarkan serunya yang nyaring, lantas mukanya
didekatkan pada batu hampir nempel hingga kumis
janggutnya itu mengenai dinding rata dan licin itu. Gerakkan
itu diulangi beberapa kali, saban kalinya si pengemis
memperdengarkan serunya itu. Ia baru berhenti beraksi
sesudah pada batu itu tampak bekas-bekas kumis janggut.
Semua orang melengak, mata mendelong, mulut
ternganga. Semua kagum dan heran. Itulah ilmu tenaga
dalam yang mereka belum pernah dengar, jangan kata
menyaksikannya. Sudah Thian Cie hebat, sekarang ada pula
yang lebih hebat. Namanya itu bun pie, ujian lunak atau halus,
kesudahannya itulah tenaga yang kuat sekali.
Sementara itu It Yap Tojin yang menyaksikan pertandingan
itu, tahu apa akibatnya adu tenaga dalam diantara Thian Cie
dan In Gwa Sian. Akibat itu ialah kedua orang tersebut sudah
mengobral tenaganya, hingga masing-masing sudah
mendapat luka di dalam, luka yang parah, yang sukar
obatnya. Tapi hal itu membuatnya puas. Kelemahan kedua
jago itu berarti bahwa ia berkurang saingannya dengan dua
orang. Buat manjagoi, ia bagaikan mendapat jaminan. Ia
berada diantara sesat dan lurus. Di saat ini mendadak timbul
niatnya buat menjadi jago Bu Lim, akan menjuarai rimba
persilatan. Maka ia tertawa perlahan, tawa puas lalu diamdiam
ia mengangkat kaki.
Sementara itu Tan Hong di satu pihak telah menanti
dengan tidak sabaran. Sudah mendekati jam empat, masih
belum ia melihat munculnya Tio It Hiong, pacar dalam citacitanya.
Sendirinya ia menjadi bingung, Ada niatnya


menghampiri Kiauw In, buat minta keterangannya nona Cio, ia
ragu. Bersama Kiauw In ada Giok Peng dan berani ia
mendekati nona yang galak itu. Ia takut nanti terbit salah
paham. Ia memikir buat berlalu, tetapi hatinya tak
mengizinkan. Biar bagaimana ingin ia melihat It Hiong. Maka
terpaksa ia berlaku sabar. Ia berdiri seorang diri saja. Di sana
ada banyak orang tetapi ia kesepian.....
In Gwa Sian sendiri tahu yang ia telah mengobral tenaga
dalamnya hingga ia menjadi letih sekali, akan tetapi di
depannya Thian Cie Lohin tak mau ia menunjuki itu. Di lain
pihak, ia ingin sekali mengadu jiwa dengan jago tua itu agar
orang tak dapat menjagoi dan mengancam dunia rimba
persilatan. Kalau ia menang, syukur atau sedikitnya, biarlah
mereka berdua mati bersama.....
"Eh, siluman tua" kata ia yang sengaja tertawa nyaring.
"Pertandingan kita ini sangat menarik hati ! Sayang belum ada
kepastiannya ! Bagaimana, apakah kau berani menyambut
tanganku ?"
Ketika itu beda daripada lawannya yang masih dapat
berdiri, Thian Cie sudah duduk numprah ditanah, sebab
hendak ia mengatur pernafasannya. Ia insyaf yang ia telah
menggunakan semua tenaga dalamnya hingga menjadi letih
sekali. Ia mendengar tantangannya si pengemis, hatinya
menjadi gentar. Ia bakal mati atau terluka parah. Hanya,
bagaimana kalau ia tidak menyambuti tantangan itu ?
Bukankah ia justru mau menjadi jago rimba persilatan ? Mana
bisa ia mengangkat muka ? Maka itu ia berpikir keras.
Perlahan-lahan jago tua itu berbangkit bangun, matanya
mengawasi kedua rombongan. Ia berlaku ayal-ayalan untuk
menang waktu. Kemudian ia tertawa dan kata : "Ya, kitalah
dua orang tua yang tak mau mampus, kapan lagi kesempatan


buat kita bergembira ria kalau bukan sekalian saja malam ini ?
Mari, pengemis bangkotan, mari ! Sebelum ada akhirnya,
jangan kita berhenti ! Mari !'
"Nah, berhati-hatilah menyambuti tanganku !" Berseru In
Gwa Sian selekasnya lawan itu menerima tantangannya. Ia
lantas menyerang dengan satu jurus dari Han Liong Hok Mo
Ciang, pukulan Menaklukan Naga Menundukkan Harimau. Dan
itulah pengerahan tenaga yang terakhir.
Thia Cie Lojin terkejut sekali. Begitu orang bersuara, begitu
angin serangannya sudah lantas tiba. Ia licik tapi tak sempat
mengelakkannya. Terpaksa ia mengerahkan tenaga
terakhirnya menangkis serangan itu. Hebat suara nyaring yang
menjadi kesudahan dari beradunya tangannya kedua jago itu.
Mereka sendiri pada mengeluarkan suara tertahan. Kontan
Thie Cie Lojin roboh terguling untuk terus berguling.
Pat Pie Sin Kit terhuyung-huyung beberapa tindak, tak
dapat ia bertahan terus, ia roboh terduduk. Pek Cut Taysu
memuji Sang Buddha, ia lompat kepada kawannya itu. Kiauw
In dan Giok Peng turut lompat bersama, hingga ketiganya
lantas berada disisinya si pengemis luar biasa.
In Gwa Sian duduk bercokol dengan tenang, mukanya
tersungging senyuman, napasnya berjalan dengan perlahan.
Melihat keadaan orang itu, Pek Cut Taysu yang biasanya tabah
menjadi terkejut dan pucat mukanya. Dan lekas-lekas ia
mengeluarkan obat "Ban Biauw Leng Tan" buatan Siauw Lim
Pay dan masuki beberapa butir ke dalam mulutnya jago tua itu
sembari ia menekan jalan darah beng hun dipunggungnya.
Kiauw In dan Giok Peng memegangi In Gwa Sian dikiri dan
di kanan, mereka mengucurkan air mata melihat keadaannya


paman itu yang napasnya tinggal satu kali dan satu kali
tarikan saja tarikannya sangat lemah.
"Paman In ! Paman !" mereka memanggil-manggil. "Paman
In, bagaimana kau rasa ?..."
Juga semua orang lainnya kaum lurus menjadi sangat
berduka.
Thian Cie Lojin juga telah digotong pergi oleh
rombongannya, yang tak mempunyai harapan lagi atau
kelanjutan jiwanya.
Menyaksikan keadaan itu Jie Mo Lam Hong Hoan, bajingan
nomor dua dari To Liong To berkata keras : "Hm !" Beginilah
tingkahnya orang-orang partai-partai besar dari Tionggoan !
Tingkahnya mirip lagak wanita saja ! Apakah yang aneh kalau
orang bertempur dan binasa ? Apakah cukup dengan
ditangiskan saja ? Hayo bilang kalian berani atau tidak untuk
bertempur dengan kami ?"
Sengaja Lam Hong Hoan berkata demikian karena ia
melihat pihak kaum sesat sudah kalah semangat disebabkan
runtuhnya Thian Cie Lojin, orang yang sangat diharapkan oleh
golongannya. Ia hendak membantu mukanya.
Ketika itu Pek Cut Taysu tengah membantu In Gwa Sian, ia
mengerahkan tenaga dalamnya. Tak dapat ia melayani orang
bicara, maka ia melirik dan mengedipi mata pada Liauw In,
adik seperguruannya itu yang menyambuti orang bicara.
Belum lagi pendeta itu muncul atau Leng Hian Tojin dari Bu
Tong Pay sudah mendahuluinya. Rahib itu maju dan
mengangguk kepada Lam Hong Hoan, dan sembari tertawa
bertanya hormat : "Ada pepatah berkata ular tanpa kepala tak


dapat jalan. Maka itu, Lam Sicu, selagi Thian Cie Lojin telah
menerima keruntuhannya, punyakah kau tenaga atau
kemampuan untuk menggantikannya memimpin kawanan dari
luar lautan kamu, untuk membuat pertandingan ini dilanjutkan
?"
Ditanya begitu Lam Hong Hoan bungkam, hingga ia berdiri
diam saja.
Teng Hiang dengan air mata bercucuran bertindak maju.
Berdiri di sisinya Lam Hong Hoan terus dia menuding Leng
Hian untuk berkata keras : "Hidung kerbau, jangan berbicara
takabur ! Tentang sakit hatinya guruku ini, aku Teng Hiang,
aku bersumpah akan aku perhitungkan dengan kau sekalian !
Hari ini biarlah suka aku mengasi lewat kepada kamu tetapi
nanti sesudah lewat satu tahun akan aku cari kamu buatku
mencari keadilan !"
Ketika itu sinarnya si putri malam sudah mulai suaram,
selagi baru saja si nona berhenti bicara dari atas puncak
tempak satu bayangan orang berlompat turun sembari lompat
itu, bayangan itu memperdengarkan suaranya yang keras. "
Buat apa menunggu sampai satu tahun lagi ? Tak dapatkah itu
dilakukan malam ini juga ?"
Segera terlihat orang itu ada seorang muda dengan jubah
panjang, di belakangnya tergendol pedangnya. Dia berwajah
tampan dan gagah. Kiranya dialah Tio It Hiong.
Melihat anak muda itu datang secara tiba-tiba Pek Giok
Peng lantas berbangkit hendak ia berlari menghampirinya,
tetapi baru ia berseru "Adik Hiong !" atau ia sudah ditarik oleh
Kiauw In yang segera ia berkata padanya perlahan. "Sabar
adik ! Lihat dulu dia yang palsu atau bukan !"


Luar biasa nona Cio. Sekalipun ia sangat memikirkan It
Hiong dan mengharap-harapnya di dalam keadaan sulit seperti
itu masih dapat ia berwaspada. Di saat itu maka dari sisi
dinding puncak pun tampak munculnya satu tubuh yang
langsing yang terus menghampiri It Hiong di depan siapa dia
tertawa manis dan menyapa merdu : "Adik Hiong. Mengapa
baru sekarang kau datang ?"
Pada punggungnya nona itu tampak senjatanya yaitu sanho
pang. Maka tak salah lagi dialah Tan Hong dari Hek Keng To.
Dan dia datang langsung pada si anak tanpa ragu-ragu lagi.
Tak puas Giok Peng melihat tingkahnya Nona Tan. Seperti
biasanya rasa jelusnya muncul tanpa dapat dicegah, hanya dia
dapat tidak sembarang bertindak. Ia cuma berkata nyaring
kepada si anak muda : "Paman In terluka parah sekali. Dia
saat mati hidupnya. Lekas kau membantu membantunya !
Kenapa kau ayal-ayalan ?"
"Oh !" It Hiong memperdengarkan suaranya lantas ia
berpaling kepada Lam Hoang Hoan dan Teng Hiang untuk
melirik sesudah itu, dia menghampiri In Gwa Sian.
Pek Giong Peng mau memapaki si anak muda itu. Lagi-lagi
ia dicegah Kiauw In. Ia menjadi tidak puas. Maka ia menoleh
kepada kakak itu, akan menatap matanya. Atau ia melihat
Nona Cio terdiam mengawasi tajam kepada si anak muda. Tio
It Hiong bertindak turut kepada In Gwa Sian. Selekasnya dia
datang dekat, bukannya dia menghampiri ayah angkat itu,
guna menyapa atau membantunya, mendadak dia
menggerakkan tangannya untuk menyerang.
"Kurang ajar !" demikian satu bentakan nyaring halus yang
dibarengi dengan serangannya kepada tangannya si anak
muda, guna menghadang serangannya dia itu.


Menyusul itu bangun berdirilah nona yang berseru itu yang
menyerang dengan tangan kirinya kepada orang sambil dia
mendamprat : "Hai, bangsat yang tak tahu malu ! Bagaimana
kau begini kejam menyerang kepada orang tua yang lagi tak
berdaya ?"
Kata-kata itu adalah campuran panas hati dan menyesal,
ketika Giok Peng mendengar itu, dia bagaikan terasadar. Pek
Cut Taysu lagi menolong In Gwa Sian, ia toh menoleh
mengawasi si anak muda. In Gwa Sian sudah sadar, ia turut
mengawasi juga.
Semua orang pihak lurus itu menjadi heran, kenapa It
Hiong bersikap demikian aneh ? Kenapa dia menyerang ayah
angkatnya sendiri ? Kenapa dia bentrok dengan nona Cio ?
Giok Peng pun heran hingga ia berdiri bengong saja.
In Gwa Sian mengawasi sebentar walaupun matanya rada
kunang, ia toh lantas mengenali anak pungutnya itu. Ia
menjadi gusar sekali. Dengan suara tak tegas, ia berkata keras
: "Anak Hiong tahan ! Apakah artinya perbuatan anehmu
ini....?"
Saking mendongkol, napasnya jago tua itu menjadi sesak.
Ia pingsan seketika.
"Paman In jangan bergusar !" Kiauw In berseru. "Dia ini It
Hiong palsu."
Mendengar suaranya Kiauw In, Giok Peng dan Tan Hong
bagaikan dihajar guntur lantas mereka sadar. Sebaliknya para
hadirin semakin heran.
Tiba-tiba Cukat Tan murid Ngo Bie Pay berseru : "Dia yang
telah menyerang ayah angkatnya sendiri, dia juga menempur


tunangannya, dia sama jahatnya dengan satu bajingan. Maka
itu jangan perdulikan dia yang tulen atau yang palsu. Mari kita
bekuk dia ! Bekuk dia baru bicara !" Dan ia mendahului lompat
maju guna membantu Kiauw In.
Suaranya Cukat Tan mendapat sambutan hangat. Sejumlah
anak muda lantas menghunus masing-masing senjatanya,
terus mereka itu maju menghampiri. Tio It Hiong, ya Tio It
Hiong palsu melihat suasana buruk itu. Dengan tiba-tiba dia
berlompat ke tengah tanah lapang ke arah Nona Tan.
Tan Hong masih ragu-ragu ketika ia melihat si anak muda
berlompat itu tetapi tidak ayal lagi, ia menyerang dengan
tangan kirinya sedangkan tangan kanannya menyambar ke
muka orang. Niatnya buat membetot kulit muka orang, kulit
yang menyamai wajahnya It Hiong sejati. Hong Kun dapat
menerka maksud orang. Ia tidak menangkis tangan kanan
nona itu, bahkan sengaja ia biarkan mukanya kena diraba,
setalah mana ia berlompat mundur.
Tan Hong heran bukan main. Ia bukannya meraba topeng
atau lainnya. Hanya kulit dan daging yang lunak, licin dan
hangat. Jadi itulah bukan topeng. Hong Kun mundur bukannya
buat mundur pergi, dia hanya menggunakan tipu daya. Dia
mau membikin Tan Hong menjadi bersangsi betul-betul. Tapi
justru dia mundur itu, satu serangan tangan segera meluncur
ke arahnya !
Itulah Siauw Wan Goat, bajingan bungsu dari To Liong To
yang menyerang secara tiba-tiba. Dia mempuaskan
penasarannya terhadap It Hiong, dia berlompat maju dan
menyerang. Hong Kun berkelit tetapi kurang cepat. Iganya
terhajar hingga ia merasakan nyeri. Untung baginya serangan
Wan Goat dilakukan dengan setengah hati. Nona itu
membenci tetapi hanya separuh, sebab tetap dia masih


menyinta. Sambil menyerang itu dia membentak : "Manusia
tak berbudi ! Nonamu hendak mengadu jiwa denganmu !"
Panas hati Hong Kun. Ia memandang si nona. Dia tidak
bergusar tetapi dengan airmata menggenang. Ia menjadi
sebal. Tak ingin ia digurambangi nona itu. Maka timbullah rasa
bencinya. Ia pula tak ingin nanti terkepung dan terbekuk oleh
orang lurus. Itu sebab rahasianya bakal terbuka. Tapi ia cerdik
sekali, ia kata nyaring : "Siauw Wan Goat, jangan salah
paham. Cinta kita dalam bagaikan lautan ! Mari kita pergi !"
Nona Siauw heran hingga ia menjadi melongo. Justru ia
berdiam itu, Hong Kun maju menikam padanya ! Pemuda itu
hendak merampas nyawa orang. Selagi si anak muda itu
menyerang, dua sosok tubuh lompat berbareng kepadanya.
Yang satu menyerang dengan senjata roda sepasang Ji Goat
Siau lun yang lain dengan cambuk joan pian, dengan begitu
beradulah senjata mereka. Roda sepasang yaitu Ji Goat Siau
lun kena terpapat kutung, hingga pemiliknya menjadi berdiri
bengong.
Wan Goat melihat penolongnya itu ialah kedua kakaknya,
kakak nomor dua Lam Hong Hoan dan kakak nomor lima Bok
Cee Lauw itu yang senjatanya terkutung sekejap itu,
meluaplah hawa amarahnya. Maka ia lantas menikam Hong
Kun. Dalam nekad ia bersedia mati bersama.....
Hong Kun melayani serangan itu tetapi karena ia kuatir
nanti kena terkepung, setelah mendapat kesempatan, ia
berlompat mundur akan terus lari turun gunung. Ketika si
anak muda mau kabur itu ia mendengar tawa yang dalam dan
dingin lantas seorang tua merintangi larinya. Dia itu seorang
tua dengan jubah panjang dan janggut mancung seperti
janggutnya kambing gunung.


"Eh, Tio It Hiong bocah !" bentak orang tua itu. "Mana
kegagahanmu selama di Ay Lao San. Apa dengan cara begini
saja kau hendak kabur ?"
Kata-kata itu ditutup dengan serangan dua belah tangan
kosong. It Hiong palsu, ia tidak menangkis, ia juga tidak lantas
melawan. Ia hanya mundur dua tindak.
"Siapa kau ?" bentaknya.
Orang tua itu tertawa.
"Kau berpura-pura ya ?" tegurnya. "Bocah, akulah Kiu Lam
It Tok ! Aku datang menghaturkan obat pemunah racun buat
pamanmu ! Jika kau benar kosen mari layani aku."
Lagi sekali orang tua itu mengulangi serangannya. Hong
Kun datang ke Tay San dengan maksud mengacau, tak perduli
terhadap pihak mana ia hendak menerbitkan salah paham,
supaya orang terus bentrokan. Siapa tahu dua-dua pihak
justru memusuhinya. Ia menyesal yang niatnya gagal. Tapi
satu hal ia telah lihat tegas semua pihak tak ada yang
berkesan baik dan senang terhadap musuhnya.
Hal ini membuatnya sedikit girang. Tetapi sekarang Kiu
Lam It Tok menghadangnya, timbullah rasa jemunya. Diamdiam
ia mengeluarkan racunnya yang berbahaya itu, ia
mengebut si orang tua setelah itu ia lari ke arah kaum sesat,
buat juga melepaskan bubuk beracunnya itu !
Hanya sebentar saja, enam atau tujuh orang kaum sesat itu
telah roboh karena kena mencium bubuk beracun. Yang
lainnya ada yang menangkis dengan sampokan, ada yang
lompat berkelit. Dengan begitu, kaum sesat itu menjadi kacau.


Ang Gan Kwie Bo dari Ngo Cie San mempunyai seorang
murid bernama Cio Hoa, murid itu tidak tahu selatan, hendak
dia membokong penyebar maut itu, dengan berani dia lompat
menerjang atau dia lantas terkena bubuk beracun, kontan dan
roboh tak sadarkan diri.
Ang Gan Kwie Bo terkejut. Lekas-lekas ia menutup jalan
darahnya sendiri, ia menahan napas, sambil berbuat begitu ia
lompat ke depan untuk menjemput, memondong muridnya itu,
buat dibawa pergi. Hanya belum lagi ia mengangkat kaki, satu
sinar pedang sudah berkelebar ke arahnya. Ia berkelit dengan
memutar tubuhnya, hingga ia bisa lantas melihat
penyerangnya itu, ialah Tio It Hiong palsu. Ia menjadi gusar
sekali, ia lantas membalas menyerang dengan tangan kiri,
terus ia membuka suara, akan menyanyikan lagu yang lihai
itu, lagu Toat Hun Im Po, Gelombang Irama Merampas Nyawa
!
Mendengar suara itu, kontan It Hiong palsu menggigil,
pernapasannya menjadi tidak karuan, tubuhnya terus
terhuyung-huyung. Lekas-lekas dia berdiam diri, guna
menetapkan hati, buat mengatur pernafasannya. Dengan
begitu, tak dapat ia berkelahi lebih jauh. Ang Gan Kwie Bo
bingung, hendak ia membantu muridnya, melihat orang tidak
bergerak lebih jauh, ia menghentikan suaranya, ia bawa
muridnya itu masuk ke dalam rimba.
Lam Hong Hoan dan Siauw Wan Goat mengejar si anak
muda, selagi mendatangi, mereka mendengar suaranya jago
wanita dari Ngo Cie San itu, pikiran mereka kacau, lekas-lekas
mereka berhenti berlari guna mengatur pernafasan mereka.
Selekasnya suara berhenti dan si nyonya tua lari terus, baru
mereka mengejar pula.


Hong Kun panas hati dan penasaran menyaksikan ia masih
dikejar Hong Hoan dan Wan Goat, lantas ia menyambuti,
mendahului menikam si orang she Lam. Hoang Hoan juga
gusar. Ia melancarkan joan pian hingga cambuk itu menjadi
kaku dan panjang seperti tombak, menikam ke dadanya si
anak muda. Hong Kun menangkis dengan satu tebasan,
niatnya supaya cambuk lawan bisa ditebas kutung. Tapi Hong
Hoan lihai, dapat ia menarik pulang senjatanya untuk dipakai
mengulangi serangannya, dengan begitu dapat ia mendesak
lawan, yang terpaksa berkelahi sambil mundur.
Menyaksikan si anak muda terdesak, Siauw Wan Goat tidak
maju membantui kakaknya. Dia hanya berdiri diam untuk
menonton. Rasa tak tega terhadap si anak muda membuat
hatinya goncang dan serba salah. Sesudah Hong Kun mundur
tiga tombak lebih, mendadak Kiu Lam It Tok muncul pula,
jago itu terus berlompat maju sambil menyerang sembari dia
menyerukan : "Lihat tanganku !"
Hong Kun repot. Ia dikepung dari depan dan belakang.
Sementara itu, ia sudah bermandikan peluh. Satu kali ia
berlompat sambil menyerang, di saat Hong Hoan berkelit ia
berlompat terus. Maka tibalah ia disebelah barat tanah lapang
itu, ditempat rombongannya kaum lurus.
Tepat itu waktu Tan Hong berlompat maju pula. Si nona
penasaran, maka ingin dia ketahui, It Hiong itu It Hiong palsu
atau tulen. Di lain pihak dia melihat Kiauw In berdua Giok
Peng tengah mengawasi tajam kepada It Hiong, rupanya
mereka itu tengah meneliti anak muda itu. Maka berpikirlah
dia, "Mereka itu istrinya It Hiong. Mereka dapat berlaku sabar,
kenapakah aku tidak ? Kalau aku maju terus, bukankah orang
akan mentertawakan aku ? Baiklah, aku bersabar....." Maka
dia mundur pula.


Ketika itu terdengar suaranya Giok Peng berkata kepada
Kiauw In, "Kakak, kalau dia bukannya adik Hiong, kenapa dia
menyerang pihak sana ? Wanita dari To Liong To itu seperti
juga mempunyai hubungan yang tak layak dengan dia !
Bagaimanakah pandangan kakak ?"
Tan Hong menoleh ke arah darimana suara itu datang. Dia
melihat Kiauw In menarik tangannya Giok Peng dan berulang
kali menggelengkan kepala, mulutnya bungkam, matanya
tetap menatap It Hiong.
Kiu Lam It Tok Sia Hong bersama Lam Hong Hoan sudah
mengambil sikap mengepung bersama akan tetapi sepasang
tangan kosongnya tidak dapat menandingi golok Kia Hoat dari
Hong Kun, tak berani tangan berdarah daging itu menyentuh
pedang yang tajam itu, bahkan pedang mustika, maka sering
dia merubah serangannya atau berlompatan berkelit. Maka
juga lantas juga dia terdesak menjadi pihak yang diserang.
Karena dia terdesak itu, dia membuat sulit juga pada Lam
Hong Hoan, kawannya hingga cambuk panjang she Lam itu
tak berani sembarangan diluncurkan, kuatir nanti mencelakai
kawan sendiri. Dengan demikian It Hiong palsu menjadi
mendapat angin.
Selagi bertempur itu, Hong Kun masih sempat melirik ke
sekitarnya hingga ia melihat ada ancaman bahwa ia nanti
kena terkurung. Para "penoton" agaknya semakin mendekati,
ia melihat di barat Kiauw In bersama Giok Peng, ditimur Siauw
Wan Goat bersama Bok Cee Lauw. Di bagian tengah ada Tan
Hong. Justru mereka itu bertiga yang dikuatirkan bakal
melucuti kedoknya. Celaka kalau dia terkurung, pasti
rahasianya akan terbuka dan itu berarti namanya terutama
nama perguruannya bakal runtuh.


"Aku harus menyingkir !" demikian ia mengambil
keputusan. Maka juga dia lantas menyerang Kiu Lam It Tok
yang dia desak dengan tikaman atau sabetan berantai lima
kali tak hentinya.
Terpaksa, Sia Hong telah terdesak mundur. Lam Hong
Hoan penasaran, dia mencoba mendesak, cambuknya memain
turun dan naik, cepat dan berbahaya. Selagi dia mendesak itu
mendadak ada orang lain yang berlompat masuk ke dalam
kalangan pertempuran, orang mana sambil memperdengarkan
suara yang bengis. "Manusia jahat, serahkan nyawamu !" Dan
dialah Cukat Tan, murid Ngo Bie Pay.
Hebat pemuda she Cukat itu. Begitu dia menyerang, begitu
dia mendesak, pedangnya menyambar-nyambar tak hentinya
tiga kali beruntun. Hong Kun repot, hingga tanpa merasa
ujung bajunya terhajar cambuknya Hong Hoan dan robek. Dia
menjadi kaget, tak mau dia membuang waktu lagi. Lantas dia
menjatuhkan diri dengan jurus "Tidur Mabuk diatas pasir". Dia
menggulingkan tubuh buat menjauhkan diri sampai tiga
tombak, setelah mana dia berlompat bangun sambil terus
mengayun sebelah tangannya, melepaskan bubuk beracunnya
yang seperti halimun musim semi itu. Dengan senjata rahasia
itu, dia menghadang orang mengejarnya. Dia sendiri terus lari
turun gunung.
Jilid 29
Sia Hong dan Lam Hong Hoan berdiri melongo, mengawasi
lawannya kabur. Mereka tidak dapat mengejar. Selekasnya
halimun racun itu lenyap, maka lima sosok tubuh lantas
berlari-lari turun gunung, larinya sangat cepat. Merekalah
orang-orang yang paling prihatin terhadap Tio It Hiong, Cio
Kiauw In, Pek Giok Peng, Tan Hong dan Siauw Wan Goat,


yang kelima ialah si pemuda Cukat Tan, yang paling
mengagumi Tio It Hiong !
Sementara itu sunyilah medan pertempuran. Dengan
berlalunya Gak Hong Kun si pengacau, pertempuran juga telah
tidak dilanjuti lagi. Lam Hong Hoan menghela nafas melihat
gadis seperguruannya itu kabur menyusul Tio It Hiong, terus
ia menoleh berniat kembali kepada rombonganya, rombongan
kaum sesat atau ia lantas menjadi berdiri melongo !
Kiranya rombongan itu sudah mengangkat kaki secara
diam-diam, tak seorang juga yang tinggal ! Yang menjadi
kecuali ialah Teng Hiang yang lagi menangis sedih sambil
memeluki tubuhnya Thian Cie Lojin dan Cek hong-cu Cin Tong
dari Hek Keng To bersama Bok Cie Lauw lagi berdiri diam
disisi mereka. Beberapa orang yang roboh karena racunnya
Gak Hong Kun telah tiada pula.
Kapan Kiu Lam It Tok menyaksikan semua itu, dia
mendongkol sekali. Dia bukannya mengumbar hawa
amarahnya, dia justru tertawa terbahak-bahak. Dia lantas
memberi hormat kepada Lam Hong Hoan sambil berkata :
"Sampai jumpa pula !" Terus dia pun lari mengangkat kaki.
Lam Hong Hoan bertindak menghampiri Teng Hiang.
"Nona Teng, bagaimana kau hendak urus mayat gurumu ini
?" tanyanya.
Teng Hiang menepas air matanya.
"Bukankah lebih baik akan menguburnya di puncak Koan
JIt Hong ini ?" katanya menjawab pertanyaan itu. "Dengan
begini, sekalian kuburannya dapat dijadikan peringatan
peristiwa di sini !"


Lam Hong Hoan mengangguk lalu dengan dibantu Cia Tong
dan Bok Cie Lauw, ia menggali tanah buat mengubur Thian
Cie Lojin. Mereka memilih tempat di dalam rimba.
Selesai dengan upacara penguburan yang sangat
sederhana itu, Hong Hoan mengajak si nona bersama Bok Cie
Lauw dan Cin Tong pergi ke tengah lapang, ia menghadapi ke
arah barat, ke tempatnya kaum lurus untuk berkata nyaring :
"Aku minta Pek Cut Taysu dari Siauw Lim Sie keluar untuk
bicara."
Ketika itu pihak lurus tidak lantas meninggalkan tempat
pertemuan dan Pek Cut Taysu repot membantu In Gwa Sian
dengan menggunakan "Tay Poan-jiak Siam-kang" yaitu ilmu
keagamaan Prajna besar, jalan darah dan pernapasannya si
pengemis dibuat lurus hingga dia sadar dari pingsannya. Dia
mendengar suaranya Hong Hoan, di saat itu dia letih sekali
sebab ia mesti menguras semua tenaga dalamnya. Tapi dialah
pemimpin disitu dan dia yang diminta, terpaksa tanpa menanti
beristirahat dahulu, dia muncul dengan dipayang Liauw In dan
Ang Sian berdua. Dia bertindak perlahan-lahan. Kapan dia
sudah melihat Hong Hoan berempat itu, dia kata sabar.
"Pertemuan besar ini tak perduli siapa yang kalah, dengan ini
telah ditutup, karena itu Lam sicu ada pengajaran apakah lagi
dari diri kalian ?"
Dengan tampang sungguh-sungguh, dengan suara keren
Lam Hong Hoan berkata : "Dalam pertempuran ini tanpa
dijelaskan pula, terang pihak kami yang kalah, tetapi kali ini
ketua kami dari To Liong To tidak dapat hadir. Karena itu
kelak di belakang hari, pastilah To Liong ToCit Mo akan
mencari kalian untuk mencari keputusan ! Pendeta tua, kau
mempunyai nyali atau tidak akan menerima tantangan kami ini
?"


Pek Cut Taysu memuji sang Buddha. "Bukankah kita samasama
orang rimba persilatan ?" katanya bertanya. "Kenapakah
permusuhan hendak terus menerus diperpanjang ? Demi
menghindarkan bencana rimba persilatan, bukankah lebih baik
untuk menanggalkan itu ?"
Tapi Lam Hong Hoan tetap gusar, kata dia bengis : "Sakit
hati dari kebinasaannya Locianpwe Thian Cie Lojin serta
penasaran dari terkutungnya tangan dari Yan Tio Siang Bian,
dapatkah itu dihabiskan dengan kata-kata sederhana seperti
kata-katamu ini ? Inilah hutang darah yang mesti kami tagih.
Lain tahun pada hari ini ketua dari To Liong To pasti akan
memimpin orang-orang gagah dari luar lautan datang ke kuil
Siauw Lim Sie kalian di Siong San guna membuat perhitungan
! Pendeta tua, kau lihatlah !"
Habis mengucap itu Lam Hong Hoan lantas mengajak Teng
Hiang bertiga berlari-lari turun gunung. Pek Cut Taysu menarik
nafas melihat orang berlalu itu. Dengan munculnya sang
surya, dengan cahayanya terang dan hangat lembut maka
sekarang pulihlah keremangan puncak Koan JIt Hong seperti
sedia kala.
Habis memandangi cuaca Pek Cut Taysu berkata kepada
Ang Sian Siang-jin, menyuruh adik seperguruan itu
menitahkan beberapa orang murid pergi mencari kayu, bambu
dan rotan untuk membuat semacam joli guna mengangkut In
Gwa Sian pulang. Ang Sian Siangjin menyahuti, lantas ia pergi
untuk bekerja.
Bersama Liauw In, Pek Cut Taysu kemudian menghampiri
rombongannya yang tengah berkumpul di kaki puncak, diatas
tanah yang penuh berumput, setelah memandang semua
orang, ia berkata : "Dengan bantuan besar dari tuan semua,


dalam pertemuan ini kita memperoleh kemenangan, walaupun
kemenangan kecil. Hanya kejadian ini sayang belum bisa
menghapuskan bencana rimba persilatan. Thian Cie Lojin telah
menerima bagiannya tetapi In Losicu In Gwa Sian telah
mendapat luka parah. Hal ini amat mendukakan pihak kita,
sedangkan barusan, Lam Hong Hoan sudah mengancam
dengan tangannya. Memang benar kita tak usah takut tapi
pun benar bahwa kita harus waspada. Karena itu tuan-tuan,
lolap memohon kerja sama lebih jauh dari kalian, untuk kita
berjaga-jaga supaya kita jangan mengijinkan ada bajingan
yang menyelusup ke Tionggoan untuk membuat kekacauan.
Tuan-tuan, disaat kita bakal berpisah ini, tolong kalian
memberikan petunjuk kalian, petunjuk-petunjuk yang ada
faedahnya untuk kita semua."
Sang Hiang Tojin berbangkit, ia mengangguk memberi
hormat. "Harap janganlah kau sungkan, Toheng," berkata
rahib itu. "Buat menghindari bencana rimba persilatan, kami
takkan menampik segala apa. Dengan ini kami berjanji, asal
kami menerima surat dari Toheng, segera pinto akan
memimpin anggota kami untuk datang menerima segala titah.
Nah, toheng, perkenankanlah kami meminta diri !"
Benar-benar Sang Hiang mengajak rombongannya berlalu
setelah mereka memberi hormat pada Pek Cut Taysu beramai.
Lalu Pauw Pok Tojin dari Beng Shia Pay berbangkit dan
sembari memberi hormat kepada Pek Cut Taysu, ia berkata :
"Pinto mohon bertanya, bagaimana dengan Tio It Hiong murid
pandai dari Tek Cio Totiang ? Gerak gerik dia menjadi satu
teka teki ? Kenapa dia sebentar palsu, sebentar asli ? Kuil
Leng Siauw Koan kami telah dikacau olehnya serta beberapa
muridku pun terbinasa dan dilukai. Pinto minta sukalah
Toheng membuat penyelidikan, supaya kutu busuk kaum
rimba persilatan itu bisa disingkirkan. Buat ini lebih dahulu


pinto menghaturkan banyak terima kasih. Nah, Toheng,
ijinkanlah kami mengundurkan diri !"
Imam itu lantas mengajak rombongannya memberi hormat,
terus mereka pergi turun gunung.
Pek Cut Taysu membalas hormat, ia mengucap terima kasih
seraya memberi selamat jalan. Habis itu, ia tampak masgul.
Itulah karena soal Tio It Hiong yang membingungkan itu.
"Jika benar semua kejahatan itu diperbuat oleh anaknya
itu, akan aku binasakan dia !" berkata In Gwa Sian yang gusar
bukan main.
"Sobat Losicu," Pek Cut Taysu menghibur pendeta itu yang
baru terasadar itu, tak selayaknya si pengemis bergusar.
"Sekarang ini baiklah Losicu merawat diri lebih dahulu. Akan
lolap membuat penyelidikan, guna membikin soal menjadi
terang dan jelas."
Sampai disitu, para tetamu atau kawan lainnya berganti
memohon diri, buat berpamitan hingga mereka tak usah
kembali dahulu ke kuil. Dilain saat, Ang Sian Siangjin sudah
kembali bersama joli daruratnya. Diwaktu naik ke joli, In Gwa
Sian tidak melihat Kiauw In dan Giok Peng, ia tanya kemana
perginya nona-nona itu.
"Mereka lagi menyusul Tio Sicu." Pek Cut Taysu
memberikan keterangan.
Lantas mereka turun gunung, buat berjalan pulang.
Sementara itu Kiauw In berlima, setibanya mereka di kaki
puncak, mereka telah kehilangan orang yang disusulnya.
Mereka tak dapat menyandak tadi sebab mereka tidak berani


datang terlalu dekat, mereka jeri terhadap bubuk beracun
yang jahat dari pemuda yang dicurigai itu.
"Sudah, adik, tak usah kita menyusul terus." kata Kiauw In
kemudian sambil ia menahan larinya Giok Peng. "Paman In
terluka parah, mari kita melihat padanya, mari kita pulang !"
"Di sana ada Pek Cut Taysu yang merawati, aku percaya
luka Paman In tidak berbahaya," kata Nona Pek. "Aku berpikir
buat menyusul lebih jauh, buat melihat bagaimana sebentar."
Ketika itu Tan Hong, yang lari belakangan, menyandak
kedua nona. Ia memberi hormat dan berkata : "Kakak, kenapa
kakak berhenti disini ? Bagaimana penglihatan kakak, apakah
benar ia tidak Hiong yang terkena racun hingga tabiat atau
kelakuannya menjadi berubah demikian rupa ?"
Berkata begitu, Tan Hong hanya memandang Kiauw In, tak
terhadap Giok Peng.
Giok Peng memandang tajam kepada Tan Hong, bukannya
dia menjawab pertanyaan nona itu, bahkan ia dengan
suaranya yang tak sedap berkata : "Kau bersama adik Hiong
telah pergi bersama ke Ay Lao San, apakah kau bikin di sana ?
Bukankah kau yang membujukinya hingga dia menjadi
berubah demikian macam ? Aku justru hendak meminta
keteranganmu !"
Bukan main berdukanya Tan Hong. Ia bermaksud baik,
orang keliru menerimanya. Terhadap nona Pek, tak dapat dia
bergusar menuruti tabiatnya. Maka itu, dia menjadi sedih
sendirinya.
"Tentang kepergianku ke Ay Lao San bersama adik Hiong,"
kata ia sambil menangis, "ada suheng Whie Hoay Giok serta


cianpwe Beng Kee Eng yang mengetahuinya. Kalau kakak
salah mengerti, silahkan kakak tanyakan mereka itu berdua."
"Hm !" Giok Peng membentak. "Merekalah orang laki-laki,
mana mereka ketahui tentang kepandaianmu, budak setan ?
Kalau sampai terjadi sesuatu atas dirinya adik Hiong kau yang
harus bertanggung jawab !"
Tan Hong berdiam, dia menangis sedih sekali hingga
tubuhnya menggigil.
Kiauw In berkasihan melihat orang demikian berduka. Ia
berkesan baik sekali terhadap nona itu yang seperti dia,
sangat mencintai Tio It Hiong. Dia menghampiri, akan
menggenggam tangan orang. " Nona Tan, janganlah kau
berduka karena kata-katanya adik Giok Peng." ia menghibur. "
Kita bertiga toh memikir sama semua buat kebaikannya adik
Hiong. Apakah kau pun ada soal, bukankah baik untuk kita
mengatakannya dengan sejujurnya ?"
Berkata begitu Kiauw In menarik Giok Peng. "Adik Peng,
janganlah kau salah paham terhadap Nona Tan" kata ia pula.
"Nona ini pun telah berjasa kepada adik Hiong."
Tadi Giok Peng tengah panas hati, dia bicara keras,
sekarang melihat sikapnya Kiauw In dengan luwes, dia sadar.
Dia malu sendirinya. Dia memangnya jujur.
"Barusan aku berbuat salah." kata dia mengakui. "Itu
semua sebab kecerobohan kakakmu ini, maka itu suka apalah
kau memakluminya."
Tan Hong bersyukur mendengar kata-kata halus dari Kiauw
In, sekarang ia mendengar Giok Peng meminta maaf. Legalah
hatinya, hilang kesedihannya. Ia lantas menepas air matanya.


"Terimakasih kakak berdua, kalian sangat menyayangi
aku." kata dia yang lantas dapat bersenyum. "Kakak, Tan
Hong akan ukir kebaikan kalian ini dalam hatinya. Demi adik
Hiong, aku tak akan mundur walaupun aku mesti menghadapi
lautan api ! Kakak apakah ajaran kakak untukku ?"
"Buat mencari adik Hiong, usaha kita harus dipecah
menjadi dua." kata Kiauw In. "Pertama-tama kita harus cari
tahu dimana adik Hiong sekarang ini, terutama guna
mengetahui tentang keselamatan dirinya. Yang kedua ialah
memberi tahu siapa sebenarnya orang muda tadi. Segala ia
sama dengan adik Hiong kecuali gerak geriknya. Kalau dia
benar adik Hiong, dia tentunya menjadi korban semacam obat
atau racun yang merusak sifat asalnya. Di dalam hal ini, ia
membutuhkan pengobatan dan perawatan yang cepat dan
tepat. Nah, bagaimana kalian pikir ?"
"Baik rupa maupun pakaiannya, orang itu tidak ada bagianbagiannya
yang mencurigai," kata Giok Peng, "apa yang beda
ialah caranya dia menyamai adik Hiong. Sebenarnya aku
bingung sekali."
Kiauw In diam berpikir sampai dia ingat satu hal. "Adik
Tan." katanya kemudian kepada Tan Hong, "coba kau
tuturkan hal ikhwal kalian semenjak atau selama kalian pergi
ke Ay Lao San sampai peristiwa yang paling akhir yang kau
ketahui. Kau ceritakan segala apa dengan jelas, mungkin dari
situ dapat memikir sesuatu."
Berkata begitu nona Cio mengajak kedua kawan itu pergi
berduduk di atas batu di tepi gunung.
Tan Hong mengikuti, dia duduk dibatu. Lebih dahulu dia
merapikan rambutnya yang kusut tertiup angin. Dia pun


tunduk dahulu mengingat-ingat. Setelah itu baru dia
memberikan keterangannya. Dia menutur segala apa dengan
jelas terutama disaat mereka mau berpisahan sebab Tio It
Hiong pergi mendaki gunung seorang diri guna menggempur
kaum Losat Bun.
"Sejak itu aku tidak tahu apa-apa lagi mengenai adik
Hiong" kata ia kemudian. "Adalah kemudian di Liong Peng aku
bertemu pemuda yang mirip adik Hiong itu dan malamnya
dirumah penginapan dia datang menyerbu cianpwe Beng Kee
Eng hingga aku mengejarnya. Hampir aku bercelaka
ditangannya. Aku terkena bubuknya yang jahat, yang
membuatku roboh tak sadarkan diri. Dia membawa aku ke
sebuah gubuk dimana aku secara kebetulan ditolongi Lam
Hong Hoan. Belakangan lagi di kecamatan Iap lee di rumah
penginapan aku bertemu dengan Siauw Wan Goat yang kena
diakali oleh pemuda itu, dia telah dicemarkan dan dilukai."
Tan Hong menghela nafas. "Adik Hiong menjanjikan aku
buat kami bertemu pula di gunung Tay San." ia menyambungi
akhirnya. "Adik Hiong jujur, dia pasti memegangi janjinya.
Disamping itu dia benci perbuatan jahat, aku percaya dia pasti
akan menghadiri pertemuan besar itu, sebab itulah saatnya
guna mengakhiri bencana rimba persilatan. Tapi malam ini,
adik Hiong tidak hadir. Hal itu membuatku bingung dan
berkuatir."
Dua-dua Kiauw In dan Giok Peng berpikir keras, mereka
berkuatir dan bingung. Itulah sebab Tio It Hiong mendaki
gunung Ay Lao San seorang diri. Sekian lama mereka berdiam
saja.
Tan Hong juga terus membungkam.


"Setelah mendengar penuturan kau, Nona Tan," akhirnya
Kiauw In berkata : "aku berkesimpulan pemuda di Kuan JIt
Hong tadi bukanlah adik Hiong, dia pasti seorang lain yang
memalsukan dirinya. Dia pula bukannya orang dari golongan
sesat yang hendak mengacau. Dia mestinya musuh dari adik
Hiong yang menyamar dan bertindak guna menimpakan
segala dosa kepada adik Hiong !"
Giok Peng dan Tan Hong mengawasi nona itu.
"Bagaimana kakak," tanyanya, "bagaimana sekarang ?"
"Menurut aku, baik kita bekerja dengan memisah diri."
sahut nona Cio. "Adik Tan, coba kau pergi ke Ay Lao San guna
membuat penyelidikan di sana guna mencari jejaknya adik
Hiong. Aku bersama adik Peng, aku akan pergi menyelidiki
pemuda yang mencurigai itu. Setelah setengah bulan, kita
akan bertemu pula di rumah di belakang gunung Siong San
itu. Apakah kalian setuju ?"
Tan Hong adalah wanita Kang Ouw, dia lompat bangun
paling dulu.
"Akan aku turut perintahmu, kakak !" katanya pada Kiauw
In. "Nah, adikmu berangkat lebih dahulu ! Sampai kita
berjumpa pula !"
Ia lari turun gunung, akan terus menghilang cepat.
Giok Peng mengawasi orang berlari-lari. "Ah, anak tolol !"
katanya tertawa.
"Dia sudah tahu bahwa adik Hiong sudah mempunyai kau
dan aku, kakak. Kenapa dia masih tergila-gila demikian rupa ?


Memangnya di kolong langit ini sudah tidak ada pertanyaan
lagi ?"
Kiauw In tersenyum, matanya melirik nona itu. "Inilah
mungkin yang dibilang hutang dari limaratus tahun dahulu !"
kata ia sabar. "Adik Tan itu bolehlah dikata seorang yang
harus dikasihhani....."
Giok Peng mengawasi kakak itu. "Tetapi kakak." katanya.
"Disisi pembaringan kita, dapatkah kita membiarkan lain orang
tidur menggores ? Kakak bicara dengan seenaknya ! Kakak
berpura menjadi orang baik hati !"
Kiauw In tidak melayani bicara, ia hanya menengadah
langit. Sang waktu berjalan terus.
"Mari !" ia mengajak adik itu.
Giok Peng mengikuti, maka pergilah mereka berdua.
Ke empat nona itu dan Cukat Tan telah jadi permainannya
Gak Hong Kun. Dia tahu dia dikejar, itulah artinya berabe.
Maka setibanya di kaki gunung, dia menyelinap ke samping,
masuk di tempat pepohonan lebat dimana ada batu karang
yang besar. Di situ tanpa terlihat dari sebelah luar, dia
merebahkan diri. Sempat dia melihat lewatnya lima orang
yang mengejarnya itu, hampir dia keluar dari tempat
persembunyiannya, akan menyusul Giok Peng sebab melihat
nona Pek timbul pula cinta bahkan jelusnya hingga dia ingin
memiliki nona itu. Dia membatalkan niatnya itu sebab lantas
dia melihat datangnya Lam Hong Hoan sekalian kemudian
beruntun yang lain-lain, yang meninggalkan puncak Koan JIt
Hong. Baru sesudah semua orang lewat, dia keluar dari
tempatnya bersembunyi itu. Selama itu dia rebah saja. Setelah


tiba di jalan umum, dia berlari-lari, niatnya menyusul Giok
Peng.
Sementara itu Cukat Tan sudah berlaku cerdik. Sesudah
menyusul sekian lama tanpa hasil, timbullah kecurigaannya
hingga ia berpikir : "Mengimbangi dengan lari kita, tak
mungkin orang itu tak dapat disusul. Mestinya dia
bersembunyi di tengah jalan. Baik aku tungu dia disini...." Dan
ia pergi ke tepi jalan dimana terdapat gerombolan rumput
tebal dan tinggi, disitu dia menyembunyi-kan diri.
Tak lama terlihatnya orang-orang yang berjalan pulang dari
tempat pertemuan. Paling belakang, terlihat juga orang yang
dicarinya, berlari-lari melewatinya. Ia puas sekali. Diam-diam
ia lantas menguntit.
Tio It Hiong palsu baru berhenti berlari dan berjalan
perlahan, itu sudah magrib. Dengan berani dia memasuki kota
karena dia menerka Giok Peng semua singgah di dalam kota
itu. Dia ingat pelajaran yang dapat dari Koay To Ciok Pek
dikota Kay hong ketika diserang, maka dia takut menemui
orang, kuatir nanti menjadi berabe. Dia sengaja mencari
sebuah jalan yang sepi serta rumah penginapan kecil dan
buruk perlengkapannya.
Cukat Tan terus membuntuti dan ia pun singgah di
penginapan itu. Dengan demikian terus ia bisa memasang
mata.
Perhatiannya anak muda she Cukat itu terlalu dipusatkan
kepada pemuda yang ia bayang itu, diluar tahunya ditengah
jalan tadi ia terlihat oleh Teng Hiang, si nona yang pikirannya
menjadi kacau sebab kematian gurunya, hingga ia menjadi
sebatang kara. Dia telah memisah diri dari Lam Hong Hoan.
Melihat si anak muda, semangatnya menjadi terbangun. Sejak


di tempat pertandingan tadi, dia sudah sangat tertarik oleh
pemuda yang tampan itu yang kepandaian pedangnya dia
telah uji sendiri. Dia lantas mengikuti dan masuk juga di
penginapan yang sama. Hanya dia tak mau berlaku sembrono
akan segera menyapa pemuda itu.
Cukat Tan baru mendapat tahu orang menguntitnya setelah
mereka sudah memasuki rumah penginapan. Ia tidak tahu
maksud orang tetapi ia bercuriga maka diam-diam ia
berwaspada. Ia pula berpura tak lihat nona itu. Teng Hiang
mendapat meja di sebelah timur karena Cukat Tan duduk di
meja sebelah barat. Tetapi setelah beberapa tetamu berlalu
dia pindah ke dekat meja si anak muda.
Habis memesan barang makanan, diam-diam Teng Hiang
mengawasi si anak muda. Dimatanya, pemuda itu tampan
sekali, hingga hatinya menjadi sangat tergiur. Hingga ingin dia
supaya anak muda itu segera berada didalam rangkulannya.
Dia lantas berpikir keras. Apa daya akan dapat berbicara
dengan pemuda itu. Mereka ada dari laIn Golongan bahkan
baru saja mereka bertempur sebagai lawan satu dengan lain.
Dia sebenarnya cerdas, hingga dia dapat "merokoki" It Hiong
dengan Giok Peng, tetapi buat urusannya sendiri ini,
pikirannya menjadi ruwet. Sulitnya ialah dia mau menjaga
derajat supaya si pemuda tidak mengatakan centil dan ceriwis.
Cukat Tan minum seorang diri, ia pun berpikir keras. Ketika
itu, orang yang dikuntit dan diintainya menyekap diri di dalam
kamar. Satu kali ia menuang araknya malahan hingga terkena
bajunya. Teng Hiang tertawa melihat orang kelabakan sebab
bajunya terkena arak itu.
Cukat Tan terperanjat mendengar si nona tertawa, ia
menoleh. Teng Hiang mengawasi pemuda itu hingga sinar


mata mereka berdua seperti beradu satu sama lain. Ia
tersenyum, ia memperlihatkan wajah manis.
Cukat Tan hendak membersihkan bajunya waktu ia
mendapati sebuah saputangan dilemparkan kepadanya dan si
nona berkata sambil tertawa : "Kau susutlah dengan
saputangan ini ! Sebenarnya arak tidak membuat orang
sinting, hanya oranglah yang sinting sendirinya !'
Si pemuda menyambuti saputangan itu, ia menyusuti
bajunya, kemudian setelah memerasnya kering, ia bertindak
menghampiri si nona.
"Terima kasih !" katanya sambil mengembalikan
saputangan itu.
Teng Hiang tertawa.
"Kita sama-sama orang Kang Ouw, jangan kita berlaku
sungkan !" katanya manis. "Ya, kalau kita tidak bertempur,
kita tak bakal kenal satu pada lainnya ! Cukat kongcu, kiranya
kau baru sampai disini !"
"Kongcu" adalah panggilan terhormat tuan untuk seorang
muda.
Cukat Tan tertawa. Di dalam keadaan seperti itu, tak dapat
ia berlaku bengis atau memusuhkan si Nona Tanpa alasan.
"Maaf, Nona Teng Hiang !" ia berkata. "Nona pun singgah
disini ?"
Teng Hiang mengangguk.


Itulah pembicaraan permulaan mereka, lantas selanjutnya
mereka dapat memasang omong tanpa canggung lagi. Teng
Hiang demikian pandai membawa diri hingga lenyaplah
keragu-raguan pemuda itu terhadap dirinya. Ia memangnya
tidak bermaksud jahat bahkan baik. Sebab ia ingin mencapai
cinta kasihnya si anak muda.
Dari berpisah meja, berdua mereka lantas duduk bersamasama.
Dan mereka makan dan minum sampai cukup setelah
mana Cukat Tan kena dibujuk akan memasuki kamar si nona,
buat mereka melanjuti memasang omong dengan asyik.
Banyak soal yang dibicarakan sampai kepada halnya Tio It
Hiong.
Cukat Tan dengan polos mengutarakan kekagumannya
terhadap Tio It Hiong, akan kemudian ia tanya nona di
depannya itu : "Nona, kau telah banyak menjelajah, apakah
kenal Tio It Hiong ?"
Sebelumnya menjawab, si nona tersenyum dan melirik si
anak muda. "Ah, kenapa kau masih saja memanggil aku nona,
nona lagi ?" katanya. Ia menegur tetapi tidak gusar. "Apakah
dengan begitu kau tak kuatir derajatmu akan turun ? Memang
pergaulan kita masih sangat baru tetapi aku merasa kita
sudah sangat akrab satu dengan lain, maka itu aku tak
menyukai panggilanmu ini ! Tak dapatkah kau memanggil
kakak kepadaku ?"
Cukat Tan melengak. "Dia asal sesat tetapi begitu rupa kita
saling berbahasa, apakah kelak guruku tak akan menegurku ?"
pikirnya bingung. "Hebat kalau aku dipersalahkan....." Tapi si
nona cantik sekali dan suaranya merdu maka tergeraklah "hati
batunya", ia berpikir keras hingga tak dapat ia segera
memberikan jawabannya.


Teng Hiang mengawasi, dia tertawa terus dia menepuk
bahu orang.
"Bagaimana, eh ?" tanyanya, "Menyebut kakak saja begini
susah ! Apakah kau memandang hina kepadaku ?"
Tiba-tiba si nona menjadi sedih, air matanya meleleh
keluar. Itulah perubahan sejenak, itu pula kepandaiannya
seorang wanita yang cerdik.
Tak dapat Cukat Tan mempertahankan diri lagi. "Kakak !"
panggilnya. "Kakak, kau....."
Bukan main girangnya Teng Hiang tetapi ia tidak segera
utarakan itu pada wajahnya. Perlahan-lahan ia mengangkat
mukanya, menatap anak muda itu.
"Adik, apakah katamu ?" tanyanya.
"Aku menyesal, kakak." sahut si anak muda itu. "Aku
menyesal telah membuatmu berduka." Ia nampaknya likat.
Teng Hiang tersenyum.
"Tak akan aku sesalkan kau, adik." bilangnya. "Adik yang
baik, jangan kau pikirkan itu......"
Pemuda itu mengawasi lampu, ia berdiam saja. Teng Hian
pun berdiam, ia cuma mengawasi, lewat sesaat barulah ia
memecahkan kesunyian itu.
"Eh, adik, bukankah tadi kau menanyakan aku tentang Tio
It Hiong ?" tanyanya.
Cukat Tan melengak, ia bagaikan baru mengingat sesuatu.


"Ya, kakak." sahutnya. "Aku menanya kau kenal Tio It
Hiong atau tidak....."
Mendengar disebutnya nama Tio It Hiong, Teng Hiang
masgul. Lantas ia ingat peristiwa pada suatu malam di Lek
Tiok Poo, itulah ketika ia menempur salah seorang lawan dan
jatuh dari atas genting tetapi Tio It Hiong menyanggah
tubuhnya hingga ia kena terpeluk dan menjadi tak kurang
suatu apa, itulah kejadian yang tak dapat dilupakan. Itulah
suatu budi.....
Masih ada suatu hal lain yang Teng Hiang ingat benar.
Itulah katanya Tio It Hiong bahwa si anak muda akan
memperlakukan ia sama seperti terhadap Pek Giok Peng.
Kata-kata itu ia mengartikan banyak, itulah kata-katanya
seorang pria pada seorang gadis belia, Itu waktu pun Tio It
Hiong, si anak muda memanggilnya "adik" itu pun yang
menyebabkan ia berduka dan kabur dari Lek Tio Po sebab dia
merasa tak mungkin ia melayani pemuda itu bersama-sama
Giok Peng yang mudah jelus itu. Maka ia kabur dan kebetulan
sekali ia bertemu dengan Thian Cie Lojin si jago tua yang lihai
hingga ia berguru padanya. Sekarang gurunya menutup mata
dan ia menjadi sebatang kara pula. Tapi ia tidak takut
merantau seorang diri. Ia telah berpengalaman dan bernyali
besar. Selama mengikuti Giok Peng merantau, ia sudah
melihat dan mendengar banyak. Tapi sekarang di depannya
itu ada seorang pemuda lain yang tak kalah tampan dan
gagahnya. Pikirannya lantas berubah.
"Tio It Hiong ?" dia menegaskan tiba-tiba, lalu dia tertawa.
"Bukan saja kakakmu ini mengenalnya, bahkan kami
pernah....."


Mendadak saja budak bengal ini berhenti bicara. Hampir ia
membuka rahasianya. Syukur ia lantas ingat peristiwa itu bisa
membangkitkan kesan tak baik dalam hatinya Cukat Tan.
"Apakah itu kakak ?" tanya Cukat Tan polos.
"Kami pernah berkenalan, dalam waktunya pendek sekali."
sahut si nona yang terpaksa menderita.
"Kakak" tanya pula si anak muda, "Kalau kakak kenal dia
kenapa kemarin ini di Koan JIt Hong, kakak tidak
menyapanya. Aneh bukan, Tio It Hiong justru bertempur
dengan tunangan atau istrinya ! Aku maksudkan dengan Cio
Kiauw In dan Pek Giok Peng. Hal itu membuatku heran
sekali......."
Teng Hiang mau menunjuki pengetahuannya yang luas, ia
juga ingin membuat senang anak muda itu, ia lantas
menjawab perlahan, "Kau tidak tahu adik didalam dunia Kang
Ouw terdapat banyak sekali akal muslihat yang licik ! Di atas
puncak Koan JIt Hong itu dapat orang menyamar dan menipu
orang lain tetapi tidak kakakmu ini !"
Cukat Tan heran, ia mendelong menatap nona cantik manis
di depannya itu.
"Ah, kakak maksudkan dialah Tio It Hiong palsu ?"
tanyanya. "Habis kakak, siapakah dia sebenarnya ?"
"Dialah Gak Hong Kun, murid dari Heng San Pay !"
"Gak Hong Kun ?" Cukat Tan mengulangi nama orang.
Mendadak saja pintu jendela terpentang, satu tubuh
berloncat masuk, sebatang pedang menyambar pada nona


Teng, sembari menyerang secara mendadak itu, si penyerang
pun memperdengarkan suara bengis : "Teng Hiang budak
bau, kau cari mampus ya ?"
Kaget Teng Hiang juga Cukat Tan tetapi sempat mereka
berlompat memisahkan diri, menyingkir dari ujung pedang itu,
setelah mana mereka menghunus pedangnya masing-masing.
Keduanya balik mengawasi si penyerang gelap itu. Mudah saja
akan mengenali orang ialah Tio It Hiong si pengacau puncak
Koan JIt Hong.
"Kau siapa ?" Cukat Tan menegur.
"Jangan usil aku siapa !" sahut orang itu membentak.
"Gak Hong Kun !" berkata Teng Hiang yang tidak takut.
"Jangan kau main gila ! Apakah kau sangka rahasiamu dapat
ditutup terhadap Teng Hiang ?"
Hatinya Gak Hong Kun tergetar. Dia memang paling takut
orang membeber rahasianya.
Tapi dia tidak takut, sebaliknya dia jadi membenci Teng
Hiang juga Cukat Tan. Maka muncullah keinginannya untuk
menyingkirkan sepasang muda mudi itu. Tapi dia licik sebelum
dia turun tangan ingin dia mengorek dahulu keterangannya
nona itu.
Berapa banyak si nona telah mengetahui rahasianya. Maka
ia tertawa terkekeh-kekeh. "Eh, budak bau, jangan kau
menghina orang." tegurnya. "Apakah kau sangka tuan
besarmu benar takut akan ancamanmu ini ? Nah, kau
bicaralah !"


Kecerdikannya Teng Hiang tak kalah dari kecerdikannya si
anak muda, ia menangkap maksud hati orang. Ia kata
jumawa. "Sudah cukup bagiku yang aku ketahui kaulah orang
Tio It Hiong palsu ! Buat apa bicara banyak pula ?"
Cukat Tan gelap bagi tampangnya Tio It Hiong dan Gak
Hong Kun berdua. Sekarang ia hanya merasa pasti bahwa
orang adalah It Hiong palsu. Maka itu ia terus mengawasi
tajam anak muda di depannya itu yang matanya bersinar
mengandung sifat kekejaman atau kegemaran akan
pembunuhan. Diam-diam ia merasa bergidik sendirinya.
Diam-diam pula ia melirik dan mengedipi mata pada Teng
Hiang, mengisikkan untuk si nona berwaspada. Gak Hong Kun
ingin membinasakan dua orang muda ini tetapi ia masih
memikirkan bagaimana caranya. Berat usahanya kalau muda
mudi itu bekerja sama. Kepandaiannya Teng Hiang ia telah
ketahui, tidak demikian kepandaiannya Cukat Tan. Maka ia
pikir baik ia ancam saja Teng Hiang.
"Ah, kenapa aku lupa" pikirnya kemudian, mendadak ia
ingat sesuatu. "Bukankah selama di Heng San pernah dia
menunjukkan cintanya padaku ? Kenapa sekarang aku tidak
mau pakai itu sebagai umpan ? Dengan mendapati tubuhnya,
aku pun bisa terus peralat padanya."
Setelah memikir begitu, Gak Hong Kun lantas merubah
sikapnya.
"Adik yang baik" katanya sabar, "bukankah kau telah
melihat sendiri bagaiman Tio It Hiong telah merampas pacar
orang ? Habis kenapakah kau hendak membantunya buat
membuka rahasiaku ? Coba kau pikir apakah kebaikannya Tio
It Hiong terhadapmu."


Teng Hiang mengawasi dengan berdiam saja. Ucapan itu
memang membangkitkan cintanya terhadap Tio It Hiong.
Gak Hong Kun pandai melihat selatan. Ia sudah maju satu
tindak, hendak ia maju lebih jauh. Ia tertawa dan kata pula,
"Demikan, adik aku jadi gemar berdandan sebagai dianya. Aku
ingin menarik perhatian supaya kau makin mencintai aku !
Nah, demikian rupa aku menggilai kau, adik, kau tahu atau
tidak ?"
Coba Gak Hong Kun bersikap begini sebelumnya Teng
Hiang bertemu dengan Cukat Tan, pasti akan mudah saja ia
dapat merebut hati si nona. Sekarang tidak. Bahkan sikapnya
itu menimbulkan kesan sebaliknya. Teng Hiang justru menerka
orang mau merusak pergaulannya dengan pemuda she Cukat
itu.
"Apakah artinya penyamaranmu ini ?" tanya si nona tawar.
"Apakah artinya semua perbuatanmu itu ? Kau bicara begini
rupa terhadap aku, berapa tebal mukamu ? Apakah kau tak
kuatir orang justru membencimu ?"
Gak Hong Kun terkejut. Tak dia sangka bahwa dia bakal
dapat perlakuan sebaliknya dari pada apa yang dia harapharap.
Dia lantas melirik kepada Cukat Tan saingannya itu !
"Jika kau tak sudi menerima aku, adik, tidak apa." kata ia.
"Sekarang aku minta sukalah kiranya kau menyimpan
rahasiaku ini."
"Atas nama persahabatan kita dahulu hari !"
"Kalau kau menampik, hm !"


Tak puas Teng Hiang. Orang bicara tak karuan. Katakatanya
orang itu pula dapat menggoncangkan
kepercayaannya Cukat Tan ! Kalau anak muda itu bercuriga ?
Maka ia mau mencegah.
"Aku Teng Hiang, aku ada seorang putih bersih !" kata ia
keras. "Apakah hubungan kau dengan aku ? Kapannya kita
bersahabat ? Jangan kau mengoceh saja ! Awas, pedang
nonamu tak akan mengampunimu !"
Habis dayanya Gak Hong Kun, habis pula sabarnya.
Mendadak saja dia menghunus pedangnya hingga sinarnya itu
berkemilau diseluruh ruang itu.
"Teng Hiang !" bentaknya. "Kau suka menerima atau tidak,
terserah kepadamu ! Mengingat persahabatan kita, telah aku
memberikan kau satu jalan hidup ! Kau tahu atau tidak, siapa
ketahui rahasiaku, dia tak dapat hidup lebih lama pula !"
Cukat Tan menjadi gusar sekali. Orang telah mendesak
nona yang ia cintai. Maka bangkit bangunlah sepasang alisnya.
"Kiranya kaulah seorang jahat !" teriaknya. "Kalau kau
benar gagah, kau sambutlah beberapa jurusku !"
Begitu ia menantang, begitu si anak muda menyerang. Ia
menikam !
"Tahan!" Teng Hiang maju sama tengah. "Kalau kita mau
mengadu jiwa, mari kita cari tempat yang sepi. Kita tidak
dapat mengganggu ketenteraman disini !"
Itulah yang Gak Hong Kun inginkan. Memang ia takut nanti
ada orang lain yang muncul disitu dan orang itu
mengenalinya.


"Bocah bau," katanya jumawa, "kalau benar kau berani,
pergilah kau keluar pintu kota timur, di Go Gu Po ! Ditanjakan
itu akan aku nantikanmu untuk mengantarkan kau pergi
berpulang....."
Kata-kata itu disusul dengan lontaran tubuh pesat keluar
jendela.
Malam itu Gak Hong Kun keluar buat mencari tahu tentang
Giok Peng, kebetulan ia melihat api dikamarnya Teng Hiang.
Ia lantas datang mencintai, maka lebih kebetulan pula ia
menemui pemudi itu bersama si pemuda. Mulanya ia tidak
menghiraukan segala apa, hendak mengangkat kaki, akan
tiba-tiba ia mendengar namanya disebut-sebut dan Teng
Hiang membuka rahasianya. Dalam gusarnya ia lantas masuk
kekamar orang, niat membinasakan muda mudi itu atau ia
bersangsi sebab ia belum tahu kepandaiannya pemuda she
Cukat itu. Pula di dalam penginapan, tak berani ia membuat
onar. Keributan bakal merugikannya. Demikian ia menahan
sabar dan menantang untuk berkelahi di luar kota.
Hatinya Cukat Tan masih panas, hendak ia melompat
menyusul, tapi Teng Hiang menarik ujung bajunya.
"Jangan kena dipancing, adik !" mencegah si nona. "Jangan
susul dia !"
"Tadi kita sudah berjanji, kakak." kata si anak muda polos.
"Janji kaum rimba persilatan harus dipenuhi. Mana dapat
sudah berjanji, tapi kita tidak muncul...."
Teng Hiang tertawa. "Seorang laki-laki tak dapat
membiarkan dirinya diperdayakan !" kata ia. "Terhadap


manusia jahat, buat apa kita mengukuhi kehormatan kita ?
Paling benar kita jangan ladeni dia !"
Tapi Cukat Tan sedang bersemangatnya. "Tetapi, kakak,"
kata dia, "dapat menyingkirkan seorang jahat juga menjadi
salah satu tugas kaum rimba persilatan ! Aku Cukat Tan
sekalian saja hendak aku menguji kepandaian orang itu !"
Tak mau Teng Hiang mengadu mulut dengan orang yang
dia cintai itu.
"Sungguh kau gagah, adik !" katanya sambil memuji.
"Menghormati kepercayaan justru menjadi peganganku, hal itu
membuatku gembira. Cuma biar bagaimana harus kita
waspada ! Kita harus berjaga-jaga dari akal busuknya !"
Keduanya lantas bersiap, habis memadamkan api, mereka
meninggalkan kamar dengan jalan meloncati jendela. Mereka
berlari-lari keluar kota. Teng Hiang kira ketika itu sudah jam
empat.
Selekasnya muda mudi ini mendekati Go Gu Po, di sana
mereka melihat sinar pedang bergerak-gerak bagaikan
bayangan memain diantara bayangan pepohonan.
"Mari lekas !" Cukat Tan mengajak. Di sana ada
pertempuran, hendak ia melihat siapa mereka itu. Ia perkeras
larinya.
Teng Hiang lari keras menyusul pemuda itu.
Diatas tanjakan itu, dua orang tengah bertempur seru,
yang satu ialah Siauw Wan Goat dari To Liong To, yang
lainnya si Tio It Hiong palsu. Siauw Wan Goat kecewa,
bersusah hati dan gusar. Ia telah dipermainkan pemuda itu. Ia


jadi nekad dan bersedia mati bersama si pemuda. Sejak di
Koan JIt Hong ia mencari anak muda itu, sampai kebetulan ia
melihat si anak muda berlari-lari ke pintu kota timur itu. Ia
menyusul dan menyandak, ditanyakan itu lantas ia
menyerang.
Maka itu bertarunglah mereka berdua.
Siauw Wan Goat berkelahi dengan menggunakan ilmu
ringan tubuh dari To Liong To namanya "Kwio Siam Tong
Hiang" artinya ilmu "Bajingan berkelit". Ia bergerak-gerak
dengan sangat pesat dan lincah dan tidak ada suaranya juga.
Mulanya ditikam Gak Hong Kun dapat berkelit, walaupun
itulah bokongan. Inilah sebab dia lihai sekali.
"Kau cari mampus !" dia membentak setelah dia menoleh
dan mengenali jago wanita dari pulau naga melengkung itu.
Siauw Wan Goat makin gusar, dia menyerang pula. Maka
itu, berdua mereka menjadi bertempur sampai tibanya Cukat
Tan dan Teng Hiang. Dalam ilmu silat, Gak Hong Kun menang
satu tingkat, tetapi si nona nekad. Dia terdesak maka satu
kali, karena ayal sedikit saja ujung pedang si nona sudah
berhasil menggores iga kirinya hingga bajunya robek dan
kulitnya tergores hingga darahnya mengalir keluar.
Hal ini membuatnya gusar sekali. Belum pernah orang
melakukan secara demikian. Maka ia balik menyerang hebat
sekali. Ia menggunakan jurus silat "Su Yan Hong In" atau
"Badai di Empat Penjuru."
"Traaang," demikian terdengar satu suara nyaring sesudah
jurus-jurus dikasihh lewat.


Siauw Wan Goat kaget sekali. Pedangnya kena dipapas
kutung pedang mustika lawannya yang dia benci itu. Sudah
begitu pedang lawan terus meluncur ke kepalanya. Tapi
sempat ia berkelit, memindahkan diri ke belakang orang, maka
terus saja dengan pedang buntungnya ia menghajar
punggung musuhnya. Ia menggunakan pedang seperti senjata
rahasia !
Gak Hong Kun terkejut, selekasnya si nona lenyap dari
depannya. Ia lantas menerka akan datangnya serangan dari
belakang, ia lantas memutar tubuh sambil mendak seraya
dengan pedangnya menangkis ke belakang. Maka tepat ia
kena menghajar pedang buntung hingga pedang itu terpental
jauh setombak lebih.
Siauw Wan Goat hilang napsu berkelahinya. Tanpa pedang
ia pasti tak dapat berbuat apa-apa. Tanpa ragu lagi, ia putar
tubuhnya dan lari turun tanjakan. Gak Hong Kun panas hati, ia
ingin binasakan nona itu, maka ia mengejar, tetapi orang tidak
mau memberi ketika padanya. Tiba-tiba saja Cukat Tan
menghadang di depannya.
Teng Hiang mengenali Siauw Wan Goat, ia membiarkan si
nona lewat sambil ia menanya : "Adik Wan Goat, siapakah
orang yang mengejarmu ?"
Siauw Wan Goat berlari terus tetapi dia menoleh dan
menjawab : "Dialah Tio It Hiong !"
Teng Hiang tertawa di dalam hati.
"Dasar budak tolol !" pikirnya, "Dia cari penyakit sendiri ! Si
palsu dikatakan si tulen !"


Sementara itu Cukat Tan yang memegat Tio It Hiong palsu
segera membentak : "Orang she Gak, tahan ! Cukat Tan
menepati janji !"
Gak Hong Kun menahan diri dengan ia lompat jumpalitan
mundur. Setelah ia hadapi si anak muda she Cukat, terus ia
berkata nyaring : "Bocak cilik, kau mau mati ya ? Lekas kau
minggir ! Tuan Gak kamu hendak menyingkirkan kau budak
bau itu, habis dia baru aku akan berurusan dengan aku !"
Teng Hiang tertawa haha-hihi, dengan tangannya
menunjuk ke bawah tanjakan dimana Siauw Wan Goat sedang
berlari-lari. Didalam waktu yang lekas, Nona Siauw tampak
sudah seperti bayangan, yang terus melenyap.....
"Gak Hong Kun, kau lihat !" berkata pula Nona Teng.
"Berapa lihainya ilmu ringan tubuhmu ? Dapatkah kau
menyusul nona itu ?"
Ketika itu pula cuaca remang-remang.
Gak Hong Kun melihat lenyapnya Siauw Wan Goat, hatinya
semakin panas, maka mau ia memindahkan kemarahannya
terhadap muda mudi di depannya itu. Ia mengawasi mereka
dengan sorot mata bengis.
"Kamu berdualah yang dikatakan ada jalan ke sorga kamu
tidak ambil, kamu justru menuju neraka !" katanya keras.
Cukat Tan gusar.
"Lihat pedang !" serunya dan terus ia menikam. Dia tahu
sang lawan menggunakan pedang mustika, tak sudi ia
memberi ketika akan pedang musuh memapas kutung
pedangnya, tak sudi ia memberi ketika akan pedangnya, maka


itu ia berkelahi dengan waspada. Asal ditangkis dia dahului
menarik pulang pedangnya. Cepat sekali dia menusuk
berulang-ulang sebab dia menggunakan "Soat Hoa Kiam hoat"
ilmu pedang "Bunga Salju."
Gak Hong Kun tidak memandang mata pada anak muda itu
dan ia tidak lari walaupun orang ada berdua bersama Teng
Hiang. Ia percaya mudah saja ia kaan mengalahkan pemuda
itu. Bukankah ia bersenjatakan Kie Koat, pedang mustikanya ?
Maka adalah diluar dugaannya yang pemuda itu cerdik sekali
dan sangat gesit, bergeraknya sangat lincah.
Cukat Tan menang diatas angin.
Teng Hiang menonton pertempuran dengan merasa kagum
untuk pemuda she Cukat itu sebab orang dapat melayani Gak
Hong Kun dengan baik sekali. Beberapa kali anak muda she
Gak itu mencoba membabat pedang orang gagal bahkan ada
kalanya habis membabat, dia repot sendirinya sebab setelah
berkelit Cukat Tan terus melakukan penyerangan pembalasan.
Maka berimbanglah kekuatan mereka berdua. Lama-lama
Cukat Tan toh kalah ulat. Ia lebih muda dan kalah
pengalaman, ia menjadi kalah tenaga. Perlahan-lahan gerak
geriknya menjadi lambat. Gak Hong Kun gusar, dia penasaran,
tetapi dia pun merasa letih. Menurut keinginannya ingin ia
dengan satu gebrak saja menyudahi pertempuran itu dengan
lawan dapat dirobohkan. Keinginan itu tak mudah dipenuhi.
Cukat Tan tetap dapat berkelahi walaupun gerak geriknya
sudah kendor.
Selama itu berdua mereka bermandikan peluh pada
dahinya, apa panaspun mengendus. Teng Hiang terus
menonton, dia bermata tajam, dia bisa melihat keadaan.
Setelah mendapati Cukat Tan sudah letih, tak mau dia


berdiam saja. Ia berkuatir pemuda itu salah tangan dan roboh
ditangan musuh. Itulah berbahaya. Pemuda itu bisa
terbinasakan atau sedikitnya terluka parah. Maka ingin dia
membantunya.
"Adik, kau beristirahatlah !" akhirnya dia berseru. "Kau
kasihlah kakakmu yang membereskan si manusia jahat !"
Dengan hanya satu kali berloncat masuk sudah si nona
dalam kalangan pertempuran dan dengan dua tiga kali
serangan saja, dia membuat dirinya menang diatas angin.
Cukat Tan merasai keletihannya, bagus si nona menggantikan.
Dengan lantas ia lompat mundur untuk beristirahat.
Gak Hong Kun menjadi mendongkol sekali. Belum tercapai
maksudnya membinasakan si anak muda itu, sudah datang
nona ini, satu tenaga baru. Ia juga telah merasa letih.
"Kalau aku berkelahi terus, bisa-bisa aku roboh." pikirnya,
maka itu sambil melayani Teng Hiang dia berkata : "Aku ingat
akan persahabatan kita, maka kali ini suka aku mengampuni
jiwamu, Teng Hiang ! Kau sebenarnya bukan satu manusia
yang baik-baik ! Kau berhati-hatilah ! Ingat olehmu, kekasih
yang baru tak sama dengan kekasih yang lama ! Ha ha ha
haaa.... !"
Tak kepalang mendongkolnya Teng Hiang sampai ia
berkhayal dan pedangnya kena terasampok. Syukur bukannya
ditebas pedangnya menjadi tidak sampai terkutungkan.
Tengah ia terperanjat, lawannya sudah lompat mundur, untuk
terus memutar tubuh dan lari mendaki tanjakan.
Teng Hiang melengak mengawasi orang kabur. Ia tidak
mau mengejar, sebaliknya ia masuki pedangnya kedalam


sarungnya. Ia dongak melihat langit, sang pagi sudah tiba,
sang matahari mulai muncul......
Ketika itu, Cukat Tan sedang duduk mengatur
pernafasannya. Dengan perlahan si nona bertindak
menghampiri, untuk terus bertanya dengan suaranya yang
menyatakan dia sangat prihatin, "Adik, apakah kau terluka di
dalam ?"
Cukat Tan menggelengkan kepala. Dia tidak menjawab,
bahkan dia duduk terus dan matanya tetap dipejamkan. Teng
Hiang tahu selatan, tak mau ia mengganggu. Menanya pula
dan tidak. Dia bertindak ke sisi si anak muda untuk berdiri
diam disitu, matanya melihat kelilingan. Sembari berdiam itu
dia seperti menjagai si anak muda dengan berbareng dia pun
beristirahat.
Belum lama beristirahat dari bawah tanjakan terlihat dua
orang berlari-lari mendatanginya. Cepat larinya mereka itu,
cepat sekali mereka sudah datang mendekati. Mereka adalah
Cio Kiauw In dan Pek Giok Peng !
Kiauw In heran menyaksikan Teng Hiang berdiri disisinya
Cukat Tan yang lagi beristirahat itu, hingga dia mengawasi
saja. Tidak demikian dengan Giok Peng walaupun nona Pek
pun heran.
"Eh, Teng Hiang, apakah kau bertempur dengan sahabat
Cukat ini ? " tanya nona itu, nona bekas majikan.
Teng Hiang jengah. Sekarang mereka ada dari laIn
Golongan. Walaupun demikian masih melekat rasanya suasana
pergaulan majikan dan pegawainya. Maka atas teguran si
nona, dia lebih dahulu memberi hormat, baru ia menjawab :


"Jangan salah mengerti nona. Sekarang ini Teng Hiang
dengan tuan Cukat ini adalah sahabat-sahabat Kang Ouw."
Tiba-tiba si nona merasai mukanya panas hingga katakatanya
terputus......
Kiauw In melihat selatan, lekas-lekas dia mengedipi Giok
Peng, lalu ia berkata tertawa. "Nona Teng Hiang, selagi kau
turun gunung dari Koan JIt Hong, ada atau tidak kau melihat
seseorang yang segalanya mirip dengan Tio It Hiong ?"
"Ah, kakak In !" kata Teng Hiong tertawa. "Kenapa kakak
begini sungkan terhadap aku si Teng Hiang.....?" Dia hening
sedetik lalu meneruskan : "Adik Cukat ini baru saja menempur
orang yang kakak sebutkan itu. Mereka bertempur sama
sekali. Dia itu......"
Hampir Teng Hiang memberitahukan bahwa orang itu
adalah Gak Hong Kun, baiknya dia lantas ingat disitu ada Giok
Peng. Kalau dia menyebutkannya, bekas nonanya itu tentulah
bersusah hati.
"Eh, Teng Hiang," tegur Giok Peng yang menjadi tidak
sabaran, "sejak kapan kau belajar bicara main terputus-putus
begini ? Apakah di depanku kau masih mau main gila ?"
Teng Hiang cerdik, ia memutar haluan, sahutnya : "Orang
itu baru saja lari mendaki tanjakan ini, kalau nona mau
mencari dia baik lekas susul padanya !"
Ketika itu Cukat Tan sudah pulih kesegarannya, dia dapat
mendengar pembicaraan orang, lantas ia berbangkit bangun,
matanya pun dibuka.


"Nona-nona, aku yang rendah telah menemui orang itu
sejak tadi malam." ia berkata tanpa diminta lagi. "Dialah orang
yang menyamar-nyamar menjadi saudara Tio. Menurut aku
dialah Gak...."
"Kau biarkan kakakmu yang bicara ! " Teng Hiang
memotong si anak muda, sebab anak muda itu mau
menyebutkan namanya Hong Kun. "Nona, orang itu benar Gak
Hong Kun !"
Kali ini sudah terlanjur, Teng Hiang menyebut terang
namanya si orang she Gak. Mukanya Giok Peng menjadi
pucat, dia melengak, matanya dibuka lebar-lebar.
Jilid 30
"Benarkah kata-katamu ini, Teng Hiang ?" tanyanya
kemudian. "Apakah yang mencurigakan kau maka kau
mengenali penyamarannya itu ?"
Teng Hiang mau bicara dengan sebenar-benarnya, maka ia
tuturkan hal pembicaraan diantara Tong It Beng dan Gak
Hong Kun semasa di rumah penginapan di kecamaTan Hong
bwe, bagaimana It beng menganjurkan Hong Kun menyamar
menjadi It Hiong guna memfitnah pemuda she Tio, buat
mengacaukan dunia Sungai Telaga. Ia jelaskan juga yang It
Hiong palsu itu telah memakai cat muka buatan luar negeri
hingga Hong Kun menjadi mirip sekali dengan It Hiong.
Mendengar itu Giok Peng membanting-banting kaki.
"Memang aku telah menerka bangsat itu." katanya sengit.
"Cuma sampai sebegitu jauh, belum ada jalan untuk membuka
rahasianya."


"Dan kalian berdua," kata Kiauw In pada Teng Hiang dan
Cukat Tan, "kenapa kalian bertempur dengan Gak Hong Kun
?"
Pertanyaan itu membuat canggung dua dua Teng Hiang
dan Cukat Tan, hingga muka mereka menjadi bersemu dadu,
hingga mereka saling melirik tanpa dapat memberikan
jawaban. Memang sulit buat mereka menceritakan halnya tadi
malam mereka sedang berbicara dengan asyik sampai
diganggu Hong Kun.
"Sebenarnya Hong Kun benci aku." kata Teng Hiang
kemudian. "Dia membenci aku takut aku membuka
rahasianya, maka itu dia hendak membunuh kami berdua.
Begitulah kami berjanji bertempur disini."
Kiauw In cerdas sekali. Ia lantas mendapat satu pikiran.
Dengan sungguh-sungguh ia memegang tangannya Teng
Hiang dan kata halus : "Adik Teng ! Kau telah ketahui
rahasianya Hong Kun yang busuk itu. Dapatkah kau
membantu adik Hiong membersihkan dirinya ? Kalau kau sudi
dapat kau menyebar perbuatan busuknya ini di muka umum
dan dengan demikian lenyap sudah penasaran adik Hiong."
Teng Hiang berpikir, matanya berputaran. "Kakak In,"
katanya kemudian, "dapatkah kau menanti sebentar bersama
adik Cukat ini ? Hendak aku bicara dahulu dengan Nona
Pek......"
Kiauw In mengangguk. Teng Hiang menghampiri Giok Peng
buat diajak menyingkir sedikit jauh. Keduanya lantas bicara
perlahan sekali satu dengan lain. Habis itu Giok Peng kembali
ke tempatnya.


"Kakak mari !" Ia memanggil Kiauw In, tangannya
menggapai.
Kiauw In mengangguk dan menghampiri. Cukat Tan heran
hingga ia mengawasi dengan mendelong. Ia cuma bisa
melihat kedua nona saling berbisik.
Kiranya Teng Hiang mengajukan syarat untuk ia dapat
menerima baik permintaannya Nona Cio dan syaratnya itu
ialah supaya Giok Peng menjadi perantara untuk
mencomblangi jodohnya dengan jodohnya Cukat Tan. Dalam
hal ini yang sukar yaitu soal menginsyafkan Len In Tojin,
ketua Ngo Bie Pay, gurunya Cukat Tan, agar guru itu senang
menerima Teng Hiang sebagai istri muridnya itu. Maka juga
perlu Nona Cio berunding dengan Nona Pek.
"Adik Peng, terimalah syarat ini." Kiauw In menganjurkan
Giok Peng sesudah ia mengasi keterangan pada nona itu,
yang nampak rada bersangsi. "Di dalam hal ini yang paling
penting ialah urusan adik Hiong, supaya perkaranya menjadi
terang dan dia bebas dari fitnah."
Giok Peng tidak melihat lain jalan maka ia mengangguk.
Dengan begitu, berdua mereka menghampiri muridnya Thian
Cie Lojin itu, Giok Peng sudah lantas menepuk bahunya budak
pelayan.
"Teng Hiang," katanya, "urusanmu menjadi tanggung
jawab kami berdua kakak beradik, suka kami menerima
syaratmu itu ! Sekarang bagaimana dengan permintaan kami.
Sukalah kau menerimanya dan melakukan itu ?"
Teng Hiang menjawab lantas, dengan sungguh-sungguh ia
kata : " Untuk membeberkan rahasianya Gak Hong Kun, Teng
Hiang akan segera melakukannya. Buat itu ia bersedia


menyerbu api. Nah, beginilah janji kita, tak akan ada yang
menyesal dan melanggarnya !"
Habis berkata begitu bukan main bunga hatinya Nona Teng
ini hingga wajahnya terang dengan senyuman hingga
kecantikannya nampak mentereng sekali.
Tinggallah Cukat Tan yang ketika mengetahui urusan
jodohnya itu mukanya menjadi merah. Ia girang tetapi toh ia
likat. Di lain pihak diam-diam ia berkuatir gurunya nanti
menentang dan menguasirnya sebab ia telah memilih seorang
nona dari kaum sesat. Kalau gurunya menampik dan dia
digusur.........
"Nah, disini kita berpisah dahulu," kata Kiauw In kemudian
kepada Teng Hiang dan Cukat Tan. "Aku pikir kita berdua
pihak bekerja masing-masing."
Lalu tanpa membuang waktu lagi, nona Cio ajak Giok Peng
berangkat.
Segala-segalanya yang terjadi itu baik perbuatan terkutuk
dari Gak Hong Kun maupun jalannya pertempuran di gunung
Tay Sa, Tio It Hiong tidak tahu sama sekali. Ia turun gunung
dengan melihat matahari. Tanpa ia merasa, ia sudah
meninggalkan jauh markas Losat Bun. Ia telah melintasi
beberapa puncak, jalannya berliku-liku dengan jarak berbeda
kali. Ia bukan pergi ke tempat darimana ia datang, justru
sebaliknya. Ia justru menuju ke arah gunung Cu Liang San di
propinsi In lam, di sebelah baratnya propinsi itu.
Selama itu apa yang diingat It Hiong ialah pertemuan besar
di gunung Tay San serta keselamatan pamannya. Ia pun ingin
meminta obat pemunah racun dari Kiu Lam It Tok, guna
membersihkan racun didalam tubuhnya. Soal lain ialah soal


asmara, tentang istri dan anaknya. Ditengah pengunungan itu,
ia lebih banyak menggunakan Te Ciong Sut, ilmu ringan tubuh
Tangga Mega. Kalau tidak, entah berapa sulitnya ia mesti
melakukan perjalanannya itu. Ia lupa atau sebenarnya tak
tahu arah, ia menuju seenaknya saja, sampai ia sadar itu dan
menjadi terkejut karenanya. Sekian lama itu, ia belum
mendapati jalan umum. Ia juga tak bertemu dengan siapapun
di tanah pegunungan itu. Akhirnya ia berhenti berlari-lari.
Sambil berdiri diam, ia memandang sekitarnya, matanya
melihat, otaknya berfikir.
"Ah, aku telah berjalan satu hari penuh !" pikirnya. Ia tetap
berada di tanah pegunungan. Hari pun sudah magrib. Mana
jalanan untuk turun gunung ? Tapi tak dapat ia berdiam saja,
terpaksa ia pergi mencari gua untuk berlindung malam itu.
Di depan ada sebuah pohon yang tengah berbuah. Melihat
buat itu, datanglah rasa laparnya. Ia ingat sudah lewat dua
minggu yang ia makan dua helai hosin ouw, baru sekarang ia
ingin makan pula. Maka ia petik buah itu dan memakannya
sebagai pengganti nasi. Sebab tak dapat ia sembarangan
menghamburkan obatnya yang manjur dan banyak khasiatnya
itu.
Tak tahu It Hiong buah itu buah apa namanya. Macamnya
seperti buah toh, mirip buah kiekwee atau kesemak, besarnya
sebesar kepalan, kulitnya merah menggiurkan. Diluar kulitnya
yang keras, ada bulunya yang halus. Belum pernah ia melihat
buah semacam itu. Untuk memakannya, ia harus pecahkan
kulitnya yang berbatok. Isi buah putih terang dan bentuknya
bundar. Ketika ia telah memakannya, terasa buah itu harum,
lezat dan adem. Ia makan terus sampai sepuluh biji. Cukup
sudah, lenyap lapar dan dahaganya. Untuk bekal, ia memetik
lagi. Ia mengisikan penuh kantungnya. Buat itu ia sampai
berlompatan naik ke atas pohon.


Di saat anak muda ini mau meninggalkan pohon buah itu,
tiba-tiba ada bayangan hitam dari sesosok tubuh berlompat ke
depannya. Mulanya ia mengira seekor kera, kiranya itulah
seorang bocah perempuan usia lima atau enam tahun,
wajahnya manis dan diatas bibir kirinya ada tai lalatnya hitam.
Dia memelihara rambut panjang, yang teriap ke punggungnya.
Sagai pakaiannya ialah semacam rok, yang dari bahu sampai
ke lututnya, hingga tampak hanya sepasang lengan dan
betisnya. Kedua tangan dan kedua kakinya memakai gelang
emas.
Semunculnya, bocah itu terus berdiri diam. Matanya
mengawasi pemuda itu. Matanya itu kebiru-biruan dan
sinarnya indah. Ia mengawasi orang dari atas ke bawah dan
sebaliknya.
Dengan adanya bocah itu, It Hiong menerka didekat-dekat
situ tentulah ada rumah orang atau kampung pemburu. Ia
menghampiri bocah itu dua tindak dan sembari tertawa ia
menyapa : "Eh, nona kecil, apakah kau tinggal disini ?"
Nona itu tidak menjawab hanya dia menatap tajam, terus
dia menanya dingin : "Kau telah mencuri makan buah liokjiak-
ko kami ! Berapa bijikah kau telah habiskan ?"
Ditegur begitu, It Hiong melengak. Belum pernah ia
mencuri barang orang. Ia makan buah ini sebab mengira
itulah buah hutan, tak ada yang memilikinya. Ia menjadi likat.
"Harap kau tidak salah paham, nona kecil." katanya
kemudian. "Aku tersesat di dalam hutan ini, aku lapar. Waktu
aku melihat buah itu, aku lantas petik dan makan. Berapakah
harganya buah ini? Akan aku ganti...." Ia terus merogoh


sakunya, mengeluarkan sepotong perak, terus ia
menganggukan itu.
Tanpa sungkan-sungkan anak itu kata tawar : "Kau tentu
menganggap buah ini tak ada pemiliknya yang menjagai,
lantas kau lancang memetik dan memakannya secara mencuri,
lalu setelah kau tertangkap basah, kau hendak menggantinya
dengan uang ! Apakah dengan cara licin ini kau anggap dapat
kau membebaskan diri dari dosamu sebagai pencuri ?"
It Hiong sabar tetapi ia tidak puas. Nona itu ngotot dan
berlaku kasar. Ia melepaskan uangnya hingga jatuh ke tanah,
terus ia kata kasar : "Terserah kepada kau, kau terima uang
ini atau tidak ! Aku tidak mempunyai waktu untuk bicara lamalama
denganmu !" Ia terus memutar tubuhnya buat berlalu
dari rimba itu.
Nona itu tertawa geli. "Adat keras !" katanya. "Sebentar
kapan, tiba saatnya kau hendak meminta obat pemunahnya,
baru kau lihat !"
It Hiong melongo. Ia terkejut. Mendengar kata-kata si
bocah tentang obat pemunah, ia menjadi berpikir. "Apakah
buah ini buah beracun ? Bocah ini masih terlalu kecil, tak
mungkin dia mendusta....."
Tanpa merasa si anak muda bergidik sendirinya.
"Nona kecil," tanyanya, "apakah gunanya buahmu ini ?
Apakah beracun ?"
Nona itu bersikap jenaka, baik wajahnya maupun
tangannya, yang dia bawa kemukanya, tangan kiri untuk
menutupi muka, tangan kanan buat menowel pipi.


"Eh....eh..., kau masih belum mau pergi ?" tanyanya
mengejek. "Apakah kau tak membawa lagi adatmu ? Hm !
Mari, nonamu beritahukan padamu ! Buah yang menor itu
bernama liok jiak ko ! Bukankah barusan aku telah berkatai
kau ? Buah itu tidak beracun, hanya mempunyai khasiat yang
luar biasa dalam hal membangunkan nafsu birahi. Setelah
lewat dua jam habis orang memakannya, datanglah nafsunya
itu. Walaupun kau seorang kakek kakek atau nenek nenek
yang sudah loyo, tak akan kau sanggup menahan dorongan
nafsumu itu ! Kecuali kau minta obat pemunahnya dari aku !"
"Liok jiak ko" itu berarti buah dari enam nafsu birahi.
Habis berkata begitu, si nona cilik nampak sangat puas,
mata dan alisnya memain, wajahnya manis dan menggiurkan.
Mendengar keterangan itu, lega hatinya It Hiong. Ia pikir,
kalau cuma gangguan nafsu birahi, itulah mudah. Ia kata
didalam hati : "Kalau saatnya tiba dan aku tidak dapat
obatnya, cukup aku menceburkan diri ke dalam air dan
berdiam di sana sampai aku kedinginan. Jadi tak usah aku
minta dari anak nakal ini !"
Dengan tampang sabar tapinya anak muda kita toh kata
pada nona itu : "Nona, kalau nona berkenan akan
menolongku, bagaimana andiakata kau memberikan aku obat
pemunahnya ? Dapatkah ?" Ia terus memberi hormat.
Boleh dibilang tepat selagi ia berkata itu, tiba-tiba It Hiong
melihat tubuhnya si nona cilik berubah menjadi besar dan
tinggi, mirip dengan seorang nona usia delapan atau sembilan
belas tahun, dengan senyuman manis dia mengawasi si anak
muda. It Hiong heran hingga ia mengedip-ngedipkan
matanya, lalu mengucek-uceknya. Ia menyangka matanya


kabur seketika. Ia pula mengerahkan tenaga dalamnya untuk
memperkokoh batinnya.
Ketika itu mungkin sudah jam permulaan, rembulan
bersinar suaram. Tidak salah It Hiong melihat seorang nona
elok dan manis sekali yang tubuhnya langsing bukan lagi
bocah kecil tadi. Nona tiu mempunyai wajah sama seperti si
bocah cuma tubuhnya menjadi tinggi dan besar. Bahkan tai
lalat hitam di ujung bibir kirinya tetap tak lenyap. Pakaiannya
juga tak berubah.
Saking heran, It Hiong mengawasi. Bingung ia akan
perubahan tubuh orang itu. Kalau bukannya ia mungkin orang
menyangka nona itu seorang siluman atau jejadian. Karena
menyangka nona bukan orang dari golongan baik-baik, diamdiam
It Hiong meluruskan pikirannya dan mengerahkan ilmu
Hian Bun Sian Thian Khie kang buat bersiap sedia dari segala
kemungkinan.
"Nona," kata ia kemudian, "sukakah nona memberikan obat
pemunah itu padaku ? Nona jawab saja dengan satu
perkataan atau aku akan segera berlalu dari sini !"
Bukannya menjawab, si nona tertawa.
"Siapakah namamu ?" dia balik bertanya.
"Aku yang rendah Tio It Hiong muridnya Tek Cio Siangjin
dari Pay In Nia !" sahut It Hiong terus terang. "Dapatkah aku
menanyakan nama nona ?"
"Oh ! " kata si nona tertahan, lalu dia merapihkan
rambutnya yang panjang. "Aku Touw Hwe Jie."


It Hiong sedikit melengak. Nama itu pernah ia dengar entah
dimana. Nama itu rada aneh sebab artinya "anak aci." Maka ia
berpikir keras. Segera ia ingat pesan ayah angkatnya In Gwa
Sian. Di propinsi In lam ada seorang wanita buruk, namanya
Touw Hwe Jie, orangnya cantik tetapi centil dan kejam. Gemar
sekali mengumbar nafsu birahi gunanya selagi berplesiran dia
menghisap darah orang. Wanita itu katanya dapat lari keras
seperti terbang dan kepandaian silatnya lihai. Siapa menemui
wanita itu, jangan harap dia lolos dari bahaya. Wanita itu,
saking kejamnya digelari "Kip Hiat Hong Mo" atau si bajingan
edan, tukang menghisap darah. Sejak tiga puluh tahun dahulu
namanya wanita itu sudah terkenal dan ditakuti. Entah kenapa
dia menyembunyikan diri selama beberapa puluh tahun hingga
orang melupakannya. Selama itu maka amanlah wilayah
perbatasan propinsi Ilam dan Kwieciu itu. Siapa sangka
sekarang dia muncul di depannya anak muda itu.
"Mungkin dia sudah berumur tujuh atau delapan puluh
tahun." si anak muda berpikir pula . "Kenapa sekarang dia
menjadi seorang nona remaja ? Kenapa tadi aku melihatnya
sebagai seorang bocak cilik ?"
"Nona Touw Hwe Jie." kemudian ia tanya saking herannya
itu, "nona bukankah gelaran nona ialah Kip Hiat Hong Mo ?"
Pertanyaan itu membuat si nona melengak. "Kenapa kau
ketahui gelaranku itu ?" dia balik bertanya.
It Hiong tertawa. "Pernah aku yang rendah mendengar
orang menyebut-nyebut tentang Kip Hiat Hong Mo Touw Hwe
Jie." sahutnya. "Katanya dialah seorang tua usia tujuh atau
delapan puluh tahun ! Kenapa nona sebaliknya begini muda ?
Bukankah apa yang aku dengar itu bertentangan dengan
kenyataan ? Karena itu, aku lancang menanya...."


Wanita itu tertawa nyaring. Rupanya dia gembira sekali
mendengar pertanyaan itu. "Kalian dapat dibilang sebagai
orang yang kurang penglihatan tetapi banyak rasa herannya !"
kata dia.
It Hiong melengak. Ia memikir. Lekas juga ia berkata pula,
"Jika nona bukannya mengerti ilmu membuat diri menjadi
muda, kaulah seorang yang telah memalsukan namanya
Cianpwe Toaw Hwe Jie itu !"
Sekarang si wanita menunjukan tampang tidak puas. Tetapi
dia masih dapat tertawa, kata dia, "Kau boleh bilang
sesukamu hal itu, tidak ada halangannya denganku !"
It Hiong menganggap si nona luar biasa. Ia lantas memikir,
buat apa ia usil orang. Touw Hwe Jie atau bukan, yang terang
dia tentulah wanita cantik dan cabul, jadi perlulah lekas-lekas
ia meninggalkannya.
"Ah, hari sudah tak siang lagi, aku yang rendah hendak
memohon diri !" katanya.
"Ya, sudah lewat jam dua." kata wanita itu, suaranya
tenang sekali. "Racun dari buah yang kau makan itu, sebentar
jam tiga akan bekerja. Dari itu kau masih dapat jalan jauh
juga...."
Tak puas It Hiong mendengar lagu suaranya orang itu.
"Nona membekal obat pemunah, tetapi nona tak sudi
memberikan itu padaku, dan apa yang bisa aku bilang ?"
katanya mendongkol. "Aku mempunyai jalan buat
menyelamatkan diriku."
Begitu ia berkata, begitu si anak muda bertindak pergi.


Nona itu berjalan mengikuti, sembari jalan ia berkata
berduka : "Kau bertabiat tak sabaran, kau tidak mengerti
maksud orang. Nonamu memang ada membekal obat itu,
walaupun demikian hendak aku menanti dahulu sampai racun
sudah bekerja, baru aku akan memberikan obat padamu!"
It Hiong berjalan, tanpa menoleh. Biasanya, telinganya tak
dapat diakali. Kali ini lain, orang mengikuti tanpa suara
tindakan kaki. Itulah hebat, ia mendengar suara orang tetapi
tidak suara tindakan kakinya. Dalam herannya, ia toh
menjawab. "Aku tak membutuhkan obatmu." katanya. "Mau
apa kau mengikuti aku ?"
Nona itu terdengar tertawa. "Aku ingin melihat caranya kau
membebaskan dirimu dari racun buah itu !" kata dia.
"Andiakata kau gagal, kau membutuhkan obatku atau tidak ?"
"Tidak !" sahut It Hiong, singkat dan kaku.
Atas itu terdengar suara jumawa si nona : "Kau tak
membutuhkan ? Kau bakal kalap dan berputar ! Kau nanti mati
melingkar ! Coba kau pikirkan, bagaimana sengsaranya akan
terbinasa dengan siksaan hebat semacam itu ?"
Belum sempat menjawab atau berpikir, It Hiong sudah
mulai merasakan dadanya sesak dan darahnya mulai berjalan
cepat, hawa nafsunya terus mendesak dan pikirannya bekerja
tidak karuan, menyusul mana matanya seperti melihat sesuatu
yang berkhayal. Ia terkejut. Tahulah ia yang buah liok jiak ko
telah mulai bekerja. Lekas-lekas ia mengatur pernafasannya
hendak ia menggunakan Hian Bun Sian Thian Khie kang yang
barusan ia tak siap siagakan lagi karena selalu melayani orang
bicara. Tapi ia kalah cepat. Racunnya buah bekerja terlebih
cepat daripada pikirannya itu. Ia merasai dua jalan darahnya,


jim dan tok, tak wajar lagi. Maka tak berjalanlah ilmunya itu.
Sebaliknya ia merasakan yang nafsu birahinya telah muncul.
Aneh racun itu. Kalau racun lain yang bahayanya dapat
ditolak Hian bun Sian Thian Khie kang, kali ini pengerahan
tenaga dalam itu bahkan mempercepat bekerjanya racun liok
jiak ko.
Mukanya It Hiong lantas menjadi merah, seluruh tubuhnya
serasa panas. Ia mencoba mengekang nafsunya itu. Masih ada
satu jalan darahnya, dim-keng yang masih terlindung berkat
khasiatnya darah belut emas hingga pikirannya tak segera
menjadi kacau hingga ia ingat dirinya. Tanpa memilih jalan
lagi, ia lari sekeras-kerasnya. Ia beniat mencari telaga atau
rawa, dimana ia bisa menceburkan diri untuk berendam guna
mendinginkan tubuhnya itu.
Aneh Tou Hwe Jie. Dia dapat mengintil terus selama mana
dia berkata-kata sambil tertawa-tawa guna menggoda si anak
muda. Lama-lama It Hiong menjadi habis sabar. Kata-kata
orang membuatnya sebal. Selekasnya ia menahan larinya dan
memutar tubuh sambil menyerang dengan satu jurus dari
Heng Liong Hok Houw Ciang.
Hebat nona itu. Dia terserang secara mendadak tapi ilmu
ringan tubuhnya sangat mahir. Dia tidak menangkis, hanya
mendadak ia menjatuhkan diri setelah mana barulah dia
mencelat bangun untuk menyiapkan diri.
It Hiong tidak menyerang pula. Ia hanya lari lagi sampai ia
mendengar mendebarnya suara air tumpah yang terbawa
angin, maka kesanalah ia menuju dengan mempercepat
langkahnya. Ia menikung di sebuah tempat sesudah itu ia
lantas melihat curuk itu, yang airnya putih bagaikan perak


karena sinar suaram dari si putri malam. Airpun bermuncratan
seperti turunnya hujan.
It Hiong lari ke kaki gunung, ke dinding di mana air tumpah
itu turun menjadi satu hingga merupakan sebuah kolam,
airnya jernih dan terang, seumpama kaca. Tidak bersangsi
sejenak juga, ia terjun kedalam kolam itu !
Kiranya kolam dangkal, cuma tiga atau empat kaki
dalamnya. Pula airnya bukan air dingin hanya air hangat.
Maka itu ia merendam di dalam air itu. It Hiong merasai
tubuhnya hangat bahkan lama-lama panas. Maka juga
nafsunya bukan berkurang tetapi justru bertambah !
"Celaka !" pikirnya.
Segera It Hiong lompat ke tepian ke darat. Untung baginya
otaknya tetap sadar. Ia lantas duduk diatas sebuah batu besar
untuk memejamkan matanya, guna memperkokoh hatinya. Ia
ingin mengusir racun dengan jalan bersemadhi. Sementara itu
si nona terus mengikuti.
Dia tidak berbuat apa-apa, hanya menempati diri di sisi si
anak muda. Ia mulai memperdengar-kan suara nyanyiannya.
Suara itu merdu dan sedap memasuki telinga.
It Hiong tetap bertahan tetapi belum lama ia membuka
matanya maka tampaklah di depannya beberapa orang yang
ia kenal baik. Kiauw In, Giok Peng dan Tan Hong, juga Teng
Hiang dan Siauw Wan Goat. Lebih lanjut ia pun mendapatkan
beberapa nona yang ia pernah lihat. Hanya sekarang ini,
semua nona-nona itu justru lagi memperlihatkan gaya centil
dan ceriwis, semuanya genit-genit !


Masih It Hiong ingat akan dirinya. Hampir ia menjadi putus
asa. Ia mengangkat tangannya dan pakai itu menepuk
kepalanya, ia ingin supaya dengan begitu ia mendapat hati,
agar ia sadar seluruhnya. Berbuat begitu ia berbangkit untuk
berdiri.
Sekarang si anak muda membuka matanya. Ia melihat
Touw Hwe Jie berdiri di depannya terpisah cuma tiga kaki.
Nona itu tengah menari-nari dan menyanyi-nyanyi, suaranya
tetap merdu sangat menggiurkan hati, sedangkan tari-tarian,
gerak geriknya sangat menggiurkan......
Di dalam keadaan tersiksa batin itu, It Hiong berkata
perlahan sekali : "Aku tak berdaya melenyapkan racunnya liok
jiak ko. Maukah nona memberikan aku obat pemunahnya ?
Pertolongan nona ini akan aku ukir dalam hati sanubariku."
Mendengar demikian dengan lantas si nona menghentikan
nyanyian dan tarinya.
Ia menghampiri sampai dekat pemuda itu. Ia tertawa. "Jadi
tak berhasil sudah daya upayamu guna membebaskan diri dari
racun buah nafsu itu ?" katanya. "Obat itu berada ditubuhku.
Nah, kau ambillah sendiri !"
Dengan matanya yang jeli, Touw Hwe Jie menatap
mukanya si anak muda. Pada wajahnya tampak jelas
kegenitannya.
It Hiong merasakan darahnya panas, nafsunya bergejolak.
Ia pun mengawasi si nona cantik yang keelokannya sangat
menggiurkan hati. Tanpa merasa, ia mendekati si nona, untuk
merangkulnya.


"Nona..... nona.... mana obatmu ?" tanyanya. Dalam hal
obat pemunah, ingatannya kuat sekali. "Dimanakah kau
taruhnya ?"
Nona itu tertawa perlahan. "Pengaruhnya buah itu adalah
membantu mendorong nafsu birahi laki-laki" kata ia. "Itulah
dorongan untuk orang dapat berplesiran dengan kepuasan.
Obat pemunahnya ? Itulah tubuh wanita ! Masihkan kau
belum mengerti ? Oh, kakak tolol !"
Kata-kata itu diantar dengan satu ciuman hangat.
It Hiong kaget sekali, ia tahu artinya kata-kata orang itu.
Sendirinya dia lantas mengeluarkan keringat dingin. Kagetnya
itu hatinya terbuka hingga ia lantas berpikir. "Aku Tio It Hiong.
Akulah laki-laki sejati. Mana dapat aku main gila dengan
wanita ini ? Hilang jiwa tak berarti bagiku, tetapi kalau aku
merusak nama guruku, itulah hebat ! Biarlah aku menguatkan
hatiku ! Tak dapat aku mengiringi kehendaknya wanita ini !"
Dengan cepat It Hiong melepaskan rangkulannya dan
mundur setindak.
Touw Hwe Jie maju satu tindak. Tak ingin ia melepaskan
ikan yang sudah terkena pancingnya. Ia maju sambil
menggertak gigi, ia menyenderkan tubuhnya di dadanya si
anak muda dan meletakkan kepalanya di bahu orang. Kata ia
dengan perlahan, "Aku tak menyayangi tubuhku yang putih
bersih, suka aku menyerahkannya padamu. Dengan begitu
juga aku jadi membantu kau dari pengaruhnya buah
keplesiran itu ! Itu kau tahu aku sangat mencintaimu ! Kenapa
kau masih tidak mengerti adikmu ini ?"


Berkata begitu si cantik mengelus-elus pipinya si anak
muda. Ia berkata dulu merdu. "orang tolol, apakah kau masih
belum mengerti kebaikan hati orang ?"
Berdekatan dengan si cantik It Hiong mencium bau yang
harum menyerang hati, tanpa merasa, terbangun pula
nafsunya, ia memegangi bahu orang.
"Kau baik sekali, adik, aku mengerti." katanya. "Tetapi
kitalah sama-sama orang yang terhormat, tak dapat kita
melakukan sesuatu yang menyaitui adat istiadat. Bagaimana
kalau perbuatan kita ini tersiar di muka umum ? Nona, apakah
tak ada lain jalan untuk membebaskan aku dari racun buah
liok jiak ko itu ?"
"Hmm" Touw Hwe Jie memperdengarkan suaranya, sambil
dia menggigit bibirnya. "Tak kusangka kau seorang Kang Ouw
tetapi lagumu mirip seorang guru sekolah ! Kami wanita begini
polos tetapi kau pula kau memikir terlalu jauh ! Sungguh lucu
!"
It Hiong tidak melayani bicara, ia hanya memejamkan
matanya, sedangkan hatinya bekerja keras tetapi sia-sia
belaka ia hendak menenangkan diri itu. Pikirannya justeru
menjadi kacau dan di depan matanya kembali berbayang
tingkah polah genit dan ceriwis dari beberapa nona-nona serta
pria. Masih ia sadar, maka sebisa-bisa ia mencoba melawan
gangguan itu.
Pengaruhnya liok jiak ko bekerja terus dan tiba pada
puncaknya, disaat mana terdengar tawa merdu dari Touw
Hwe Jie.


"Kenapa kau tertawa, nona ?" tanya It Hiong yang
pikirannya mulai kacau. "Apa yang menyebabkan kau begini
gembira ?"
Si nona berhenti tertawa tetapi sebagai gantinya ia
menatap orang. "Aku tertawa bukan disebabkan aku sangat
gembira." katanya. "Aku tertawa sebab lagakmu mirip pelajar
tolol. Bukankah peribahasa berkatai bahwa bunga mekar
harus dipetik dan jangan menanti sampai rontok hingga
tangkainya menjadi sundal ? Bukankah sedetik berarti seribu
tail perak dan ketika yang baik sukar ditemukan ? Kau begini,
bukankah itulah menandakan ketololanmu !"
Dan si nona tertawa pula.
Dalam kacaunya pikirannya, senang It Hiong mendengar
suara orang yang merdu meresap itu.
"Adik yang baik, kau harus mencari sebuah tempat dimana
kau dapat menolong aku menyingkirkan pengaruh buah liok
jiak ko itu....." katanya perlahan ditelinga orang.
Touw Hwe Jie melirik, terus ia memandang ke depannya
dimana ada dinding puncak.
"Kita pergi kesana." katanya. "Di sana ada gua batu...."
It Hiong mengangguk, jantungnya memukul. Touw Hwe Jie
mencekal tangan orang, lalu sambil berendeng mereka
menuju ke dinding puncak itu. Sudah mendekati jam empat,
selagi rembulan guram, muda mudi itu merasai siuran angin
gunung. Suasana pun sunyi.
Tiba-tiba terdengar suaranya seekor burung jenjang, yang
memecahkan kesunyian. Suara burung itu agaknya sedih.


Tubuhnya It Hiong menggigil, ia bergelendot pada tubuhnya si
nona, yang terus memegang dan memayangnya.
Touw Hwe Jie mengeluarkan liur. Ia bagaikan harimau
yang menghadapi anak kambing. Pikirannya terbuka. Ketika
itu tubuh mereka nempel rapat satu pada lain. Tiba-tiba ia
merasa sesuatu yang keras di pinggangnya si anak muda.
"Apa isinya kantung ini ?" tanya si nona heran.
Ditanya begitu It Hiong terperanjat. Ia ingat kantungnya itu
terisi buah liok jiak ko bekalannya ! Ia menjadi mendongkol.
Tanpa ragu pula, ia tuang semua buah itu ! Hal itu membuat
kemendongkolannya berkurang.
Sementara itu sang waktu tetap berjalan terus. Selama itu,
dengan sendirinya, It Hiong sudah menderita cukup lama.
Dengan lewatnya sang waktu berkurang juga pengaruh
kekuatannya racun liok jiak ko. Perlahan dengan perlahan,
berkurang pula desakan nafsu biarahinya, dengan
berkurangnya desakan tiu, jantungnya tak lagi memukul keras
seperti tadi. Itu pula berarti ketenangan. Dengan berdiam
anak muda kita itu menjadi terbuka pikirannya. Ia menjadi
sadar.
Biasanya seorang pria tak dapat mempertahankan diri dari
godaan semacam itu sekalipun ia cuma makan sebiji buah.
Dengan It Hiong keadaan lain, ia kuat batin dan lahir sebab ia
mempunyai banyak keuntungan. Pertama-tama latihannya
telah sempurna, dapat ia memusatkan pikirannya. Asal ia
dapat mengatur pernafasannya dan bersemadhi, ia cepat
memperoleh ketenangan hatinya. Disebelah itu, ia dibantu
khasiatnya darah belut serta hosin ouw dan paling belakang
latihan ilmu pedang Gie Kiam Sut.


Selekasnya ia sadar, It Hiong ingat obat Kay Tok Tan Yoh,
hadiah pendeta tua dari kuil Bie Lek Sie. Tidak ayal lagi, ia
mengeluarkan peles obatnya itu, untuk mengambil beberapa
butir isinya, terus ia masuki kedalam mulutnya dan
menelannya. Habis makan obat itu, pelesnya disimpan pula.
Touw Hwe Jie melihat orang makan obat, cuma ia tidak
tahu obat itu obat apa, ia menatap si anak muda dan berkata
sambil tertawa manis, "Kakak yang baik, mari aku beritahu
kau ! Racunnya buah liok jiak kok cuma dapat dilenyapkan
oleh tubuh wanita, obat lainnya juga tak akan menolongnya !
Maka itu sia-sia saja kau makan obatmu !"
Ketika itu mereka sudah berjalan sampai di dinding
gunung.
"Lihat gua itu" berkata Touw Hwe Jie sambil tertawa seraya
tangannya menunjuk. "Bukankah itu sebuah gua yang indah ?
Kakak, mari kita memasukinya !" Dan ia mencekal erat-erat
tangan si pemuda buat diajak berjalan memasuki gua itu.
Mereka tetap berjalan berendeng.
It Hiong mengikuti. Ia membutuhkan waktu supaya
obatnya keburu larut di dalam perutnya. Agar obat itu dapat
mengusir racun .
Tiba di dalam gua, si nona sudah lantas menyalakan lilin
yang berada di atas meja. Hingga It Hiong bisa melihat tegas
keadaan dalam gua itu, yang luas kira empat tombak persegi.
Ada meja dan kursinya yang semua terbuat dari batu.
Pembaringan terbuat dari batu juga, hanya pembaringan itu
berkelambu. Kasurnya tertutup seperti sulam, demikian juga
bantal dan kepalanya. Semuanya indah. Semua perlengkapan
lainnya seperti perlengkapan kamarnya seorang hartawan.
Yang lebih menarik hati, pembaringan itu menyiarkan bau


harum. Teranglah semua itu disediakan Touw Hwe Jie untuk
setiap waktu ia bersenang-senang dengan pria yang bakal
menjadi korbannya.
Touw Hwe Jie heran waktu ia mengawasi It Hiong. Anak
muda ini berdiam saja mengawasi seluruh kamar, dia tak
"kalap" seperti pria yang, sudah yang lantas membawanya ke
pembaringan. Ia memegang tangan orang, untuk ditarik,
diajak duduk diatas pembaringan.
It Hiong sementara itu merasai panas tubuhnya sudah
berkurang banyak dan darahnya tak bergolak seperti taditadinya.
yang paling menyenangkannya ialah ia merasa
otaknya jauh terlebih tenang. Maka itu selagi berpikir hendak
ia mendapati bukti wanita ini benar Touw Hwe Jie atau bukan,
ia membiarkan ia diajak duduk diatas pembaringan. Justru
dengan begitu ia menjadi memperoleh kesempatan untuk
diam-diam mempersiapkan tenaga Hian Bun Sian Khie kang.
Si cantik itu mencium pipi si anak muda terus ia turun dari
pembaringannya, akan membuka bajunya hingga dilain saat ia
telah menjadi separuh telanjang hingga tampak kulitnya yang
putih dan halus. Tubuhnya itupun menyiarkan bau harum.
It Hiong duduk tetap, waktu ia melihat tubuh si nona
hatinya goncang. Masih ada sisanya racun. Tak mau ia
memejamkan mata supaya orang tidak mencurigainya.
Touw Hwe Jie naik pula ke pembaringan, akan duduk di sisi
si pemuda.
"Eh," tegurnya tertawa, "aku telah siap memberikan obat
pemunah racun padamu kenapa kau tidak mau lekas
memakainya ?"


It Hiong menguasai dirinya menahan gejolak jantungnya
yang memukul keras. Lekas-lekas ia mengeluarkan obatnya
buat menelan pula beberapa butir.
Kali ini si nona dapat melihat peles obat orang.
"Oh !" serunya. "Kiranya kau makan obatnya si kepala
gundul dari Bie Lek Sie !" Ia lantas menyambar peles orang
sembari ia kata : "Mari sini aku lihat !"
It Hiong menolak tangan orang dengan begitu ia
membentur tangan si nona. Ia merasai sebuah tangan yang
halus dan lunak, ia merasakan sesuatu yang membuat hatinya
goncang pula. Tapi ia sudah sadar. Mendadak ia berbangkit
akan turun dari pembaringan itu. Dengan cepat luar biasa, ia
menelan tiga butir obatnya.
"Lekas bilang !" akhirnya ia menegur, "kau pernah apa
dengan Kip Hiat Hong Mo ?"
Nona itu menoleh dan mengangkat kepala, dia tertawa
manis.
"Bukankah telah aku bilang tadi." katanya. "Akulah Touw
Hwe Jie. Apa yang kau buat kuatir ?"
It Hiong terus melayani bicara. Ia mau menang waktu
supaya obatnya selesai bekerja agar sisa racun terusir
semuanya.
"Bukankah Locianpwe Touw Hwe Jie sudah berusia delapan
puluh tahun lebih ?" katanya. "Kau sendiri nona, kau begini
muda ! Sebelum aku kenal atau mengetahui kau dengan baik,
tak berani aku bergaul erat-erat denganmu....."


Nona itu melengak sejenak, terus ia tertawa pula.
"Jodoh kita jodoh selewat jalan" katanya. "Kita bukannya
suami istri. Lelaki siapakah yang tak menghendaki kesenangan
semacam ini ! Tapi kau, dari siapakah kau mendapat pula
ajaran tolol ini ? Heran, kuCing tidak sudi makan ikan......"
Tiba-tiba si nona menarik ujung bajunya si pemuda,
matanya menatap. "Mari kakak." katanya merdu. "Mari,
sungguh aku tak tahan...."
It Hiong melepaskan tangan bajunya itu, ia mundur.
"Seorang nona berbuat seperti kau ini, apakah kau tak
malu ?" tanyanya.
Nona itu maju satu tindak ia menekan dahi orang.
"Ah, kau pria tak mempunyai jantung !" katanya sengit.
"Kau menyia-nyiakan kebaikanku !"
It Hiong menatap tajam. Disaat ini ia merasa sehat benarbenar.
Maka ia percaya tubuhnya sudah bersih dari sisa racun
liok jiak ko. Sekarang berubahlah pandangan matanya. Tak
lagi rasa tergiurnya walapun ia melihat terang tubuh yang
jangkung putih. Ia merasa jemu akan kelakuan centil itu.
Maka sekarang ia tak memperdulikan lagi nona itu Touw Hwe
Jie yang tulen atau yang palsu. Kata ia keras : "Karena nona
tidak mau memberitahukan tentang dirimu yang sebenarnya,
maafkan aku. Aku mohon diri !"
Terus anak muda ini lompat turun dari pembaringan untuk
bertindak keluar gua dengan langkah lebar.


Touw Hwe Jiterperanjat. Inilah ia tidak sangka. Dengan
begini ia insyaf yang It Hiong bukan kebanyakan pria
korbannya. Maka sia-sialah ihtiarnya sebegitu jauh akan
merobohkan hati orang. Karena pemuda ini mau pergi
meninggalkannya, tiba-tiba hatinya menjadi panas.
"Aku mesti binasakan dia...." pikirnya. Lekas-lekas ia
mengenakan pula bajunya sedangkan dari bawah kasur ia
menjumput sepotong sesuatu yang hijau, ia lantas libat pada
pinggangnya, kemudian dengan tersipu-sipu ia lari keluar
guna menyusul si anak muda.
Masih ada cahaya sisa rembulan. Kecuali suara angin tanah
pegunungan itu sunyi sekali. Di sebelah depan terlihat tubuh It
Hiong bagaikan bayangan yang lagi bergerak cepat. Si nona
tidak mengejar, hanya dia lari ke lain arah.
It Hiong sudah menyingkir kira tiga puluh tombak lebih dari
gua, baru ia menoleh. Ia tidak melihat Touw Hwe Jie
mengejarnya.
"Sunguh berbahaya....." katanya di dalam hati. Sendirinya
ia menggigil kalau ia ingat detik-detik berbahaya tadi. Ia
berdiam sebentar guna menenangi diri, setelah itu ia berjalan
dengan perlahan memutari kaki gunung. Selekasnya ia muncul
dari sebuah tikungan, kira-kira tiga tombak di depannya, ia
melihat sebuah batu besar diatas mana seorang tampak
sedang duduk bersila. Ia menunda langkahnya, untuk terus
mundur satu tindak. Ia lalu mengawasi sangat tajamnya
sambil hatinya bekerja, "Jangan-jangan aku bertemu pula
dengan wanita siluman itu."
Orang di depan itu memang seorang wanita, kundianya
melingkar tinggi bagaikan naga, pipinya montok, mukanya
bundar seperti bulan purnama dan sepasang alisnya lentik. Dia


tengah duduk berdiam, matanya dipejamkan. Tubuhnya
tertutup oleh sabuk hijau. Kedua lengannya yang putih
tampak tegas. Menurut dandanan dialah seorang nona remaja
akan tetapi dilihat dari seumumnya, dialah seorang nyonya
muda.
"Ah, masa bodoh dia siapa...." pikir si anak muda yang mau
terus melewatinya dengan cepat. Tak ada perlunya buat ia
mencari tahu atau menegurnya.
"Berhenti !" mendadak wanita itu berseru cepat selagi si
anak muda lewat di sisinya.
It Hiong mengangkat kepala. Untuk kagetnya, ia tidak
melihat wanita yang baru saja bercokol di atas batu. Selagi ia
keheran-heranan dari sebelah depannya ia mendengar suara
wanita keras sebagai berikut : "Eh, bocah, apakah kau
memikir meninggalkan Cang Lo Ciang dengan nyawamu masih
berada ? Coba kau tanya dirimu, berapa tingginya ilmu
kepandaianmu."
It Hiong menoleh. Ia melihat seorang wanita lain. Wanita
ini cantik dan tampangnya gesit dan sinar matanya menunjuki
bahwa dia berkepadiaan silat tinggi. Maka tak mau ia berlaku
sembarangan, ia lantas memberi hormat dan bertanya sabar.
"Cianpwe memegatku ada pengajaran apakah dari cianpwe
untukku yang muda ?"
Wanita itu tertawa.
"Melihat dari wajahmu, suatu wajah, bukan sembarang
wajah, maka aku memberi ampun pada jiwamu !" berkata dia.
"Mari kau turut aku supaya kita bisa sama-sama menikmati
kesenangan istimewa ! Kau setuju bukan ?"


Hatinya It Hiong tercekat. Lantas timbul rasa tak puasnya.
Kembali ia menemui wanita muka tebal. Walaupun demikian ia
menekan hawa amarahnya.
"Sebenarnya, kau siapakah cianpwe ?" tanyanya sabar.
Wanita itu menjawab cepat, suaranya tawar.
"Siapa lancang lewat di Ceng Lo Ciang ini, masih dia tak
ketahui namanya Touw Hwe Jie ?"
It Hiong heran, kembali Touw Hwe Jie. "Bukankah Touw
Hwe Jie ialah si nona yang mengganggunya satu malam
suntuk ? Kenapa nyonya ini menyebut dirinya Touw Hwe Jie
juga ? Habis ada berapa orangkah Touw Hwe Jie ?"
"Cianpwe, tolong cianpwe beritahukan gelaran cianpwe ?"
tanyanya.
"Kip Hiat Hong Mo !" sahut wanita itu singkat.
It Hiong heran bukan main.
"Ini pula satu Kip Hiat Hong Mo !" katanya, seorang diri
mengulangi nama orang.
Wanita itu turun dari atas batu, untuk menghampiri, untuk
secara tiba-tiba menyambar tangan orang.
"Mari turut aku !" katanya.
It Hiong terkejut sebab ia lantas merasai tangannya
kesemutan, tetapi ia tidak takut. Ia hanya mengagumi
kehebatan nyonya itu. Segera ia bertahan dengan sebuah tipu


dari ilmu silat pedang Gie Kiam Sut. Ia mengawasi wanita itu
dengan alisnya terbangun.
"Cianpwe !" tegurnya. "Secara diam-diam cianpwe
menangkap tanganku. Apakah perbuatan itu tidak
menurunkan derajatmu ?"
Wanita itu heran. Ia melihat si anak muda tidak kaget atau
meringis kesakitan sedangkan ia tahu cekalannya itu hebat
sekali. Setelah melengak sejenak, ia menambah tenaganya,
terus ia menyambar tangan orang sambil ia berkata :
"Robohlah kau !"
Tubuhnya It Hiong terpelanting tetapi ia tidak roboh seperti
kehendaknya si nyonya, sebaliknya dengan mengimbangi diri,
tangan kirinya mencekal itu sekalian dikebaskan sembari
mulutnya pun menyerukan : "Robohlah kau !"
Bukan main kagetnya si nyonya. Bukannya si anak mudah
yang roboh, adalah dia sendiri yang kena tertarik, banyak
syukur, dia pun lihai, selekasnya tangan si anak muda
terlepaskan dia dapat bertahan, dia cuma terhuyung dua
tindak. Dia lantas berdiri tegak terus ia memandang sinar
matanya yang bengis suatu tanda dia sangat mendongkol.
Tanpa mengucap sepatah kata dia meloloskan sabuknya yang
berwarna hijau mengkilat. Kiranya itulah seekor ular hijau,
panjang tiga kaki. Bagaikan kilat, dia meluncurkan ular itu ke
mukanya si anak muda sambil dia berseru : "Bocah, kau tidak
minum arak pemberian selamat, kau justru mau menengak
arak dendaan, maka kau rasailah makhlukku ini !"
It Hiong melihat senjata lawan itu ialah seekor ular hidup.
Ia kuatir kalau ular itu beracun, tak mau ia menyentuh dengan
tangannya, dengan berkelit sambil menjejak tanah, ia lompat
tiga tindak ke samping.


Hebat ular itu ! Setelah gagal dengan serangannya yang
pertama itu, tubuhnya terus bergerak menggeliat ke samping,
untuk menyambar pula, sambil menyemburkan racunnya,
untuk memagut si anak muda !
Menampak orang bertindak keterlaluan, hatinya si anak
muda menjadi panas. Ia meraba gagang pedangnya untuk
"Sret !" menghunus senjatanya yang tajam luar biasa itu
untuk menyambut dengan satu tebasan ! Maka terdengarlah
satu suara putusnya semacam benda, terus tubuhnya ular itu
terkutungkan dan ujungnya jatuh ke tanah !
Nampaknya si wanita terkejut, tetapi dia tabah dan cepat.
Cepat luar biasa, potongan tubuh ular yang jatuh itu dia
pungut dan tempelkan potongan yang ada di tangannya, terus
ia pakai pula untuk mengulangi serangannya. Anehnya ular itu
dapat bergerak-gerak seperti masih hdiup !
"Cianpwe" tegur It Hiong, "kita tidak kenal satu pada lain.
Kita juga tidak bermusuh, kenapa cianpwe berlaku begini
keterlaluan padaku ?"
Wanita itu tidak menjawab. Dia menggerakkan tubuhnya
hingga terdengar pinggangnya bersuara, terus tangan
kanannya dilancarkan. Aneh tangan itu, yang tampak berubah
lebih besar dari tadinya, terus meluncur dengan lima buah
jerijinya menjambak, nampaknya lima menjambak,
nampaknya kelima jari tangan itu mirip cagak cagak besi.
It Hiong terperanjat saking heran. Wanita itu bagaikan
bajingan jadi-jadian. Ia lantas putar pedangnya, untuk
membabat ke belakang, sambil berbuat begitu, tubuhnya turut
berputar juga. Itulah suatu gerakan dari jurus silat Gie Kiam


Sut, maka dengan bergeraknya itu, tubuhnya terus melesat ke
depannya dimana terdapat sebuah jurang !
Selama itu, sang matahari sudah muncul tanpa terasa.
Itulah sebab sang waktu telah berlalu secara diam-diam.
Karena itu dari tepian, tampak bagian bawahnya jurang. Di
bawah itu ada sebuah jalanan yang berliku-liku berputar.
Maka ingatlah It Hiong akan kata-kata si wanita tadi. Tempat
itu disebutnya Ceng Lo Ciang dan "cenglo" artinya keong.
Jalanan dibawah itu berputar seperti macamnya sang keong,
seperti jalanan kucar. Kalau ia ambil jalan itu, mungkin ia akan
kembali kepada si wanita. Maka ia lantas mengambil jalan lalu.
Dengan satu gerakan pesat, tubuhnya mencelat tinggi tiga
tombak, meluncur ke lain arah, hingga ia berada di bawahnya
lainnya dinding puncak. Itulah lompatan Gie Kiam Sut.
Di bawah dinding puncak itu terdapat sebuah kali kecil
yang airnya mengalir deras hingga terdengar suara
berkericiknya yang berisik, alirannya berliku-liku dan airnya
jernih sekali hingga tampak dasarnya. It Hiong menghampiri
kali kecil itu, untuk meraup airnya untuk diminum hingga
beberapa kali. Air adem sekali, meminum itu rasanya sangat
nyaman hingga pikirannya terbuka.
"Jalanan disini sukar" pikir It Hiong kemudian. "Baiklah aku
turun ke air dan mengikuti alirannya, mungkin aku akan
menemukan jalan keluar...."
Pikiran itu diwujudkan. Anak muda kita turun ke air dan
berjalan mengikuti alirannya. Ia jalan berliku-liku. Ia merasa
jalannya makin lama makin rendah. Selang sekian lama, ia
tiba dimulutnya sebuah lembah dimana terdapat banyak batu
karang dan pepohonan. Dari lembah itu tampak beberapa
puncak. Air kali itu tumplak pada sebuah gua. Dengan begitu
aliran itu buntu.


It Hiong berdiri diam, otaknya bekerja, telinganya
mendengari suaranya air. Untuk jalan di air itu, tak mungkin
lagi. Tengah ia berdiam, tiba-tiba ia mendengar suara orang
sebentar terdengar sebentar tidak. Sebab itulah suara yang
terbawa sang angin dan angin bersiur terputus-putus.
Mendengar suara orang, It Hiong menjadi bersemangat. Ia
mendapat harapan walaupun ia belum tahu orang itu jahat
atau orang itu baik......
Tanpa berpikir lagi, segera ia bertindak menuju ke arah
darimana suara datang. Jalanan tidak ada tetapi itu bukanlah
soal. Di tanah pegunungan itu memangnya tidak ada jalanan
manusia.
Selagi menghampiri itu, kadang-kadang It Hiong mendapat
dengar suara. Ia menerka orang berbicara sendiri atau dua
orang berbicara saling sahut sembari mereka bersantap. Ia
berjalan terus hingga selanjutnya ia mendengar pula suara
orang itu. Tak mudah akan melihat lantas orangnya, orang
mungkin teraling batu karang yang besar.
"Paha kambing itu gemuk dan empuk." terdengar satu
suara, "dan ayam panggang itu gurih sekali. Mari minum, mari
minum !"
It Hiong heran, tak dapat ia mencari orang itu, suaranya
terdengar terang, orangnya tak segera tampak. Ia mesti
berputaran mencarinya. Kadang-kadang suara terdengarnya
disebelah belakang. Di situ terdapat banyak batu karang,
hingga tempat itu seumpama hutan batu.....
"Aneh !" pikirannya. Hampir ia menggempur sebuah batu
besar yang menghadang di depannya saking penasaran. Ia


membatalkan niat menyerang itu karena ia mendapat pikiran
hancuran batu bisa mencelakai orang, baik orang itu orang
lihai atau orang biasa saja.
"Ah, kenapa kau tolol begini ?" akhir-akhirnya ia memaki
dirinya sendiri.
Segera juga anak muda itu menjejak tanah untuk
berlompat mengapung diri naik ke atas sebuah batu karang
yang tinggi, hingga dari atas batu itu ia bisa memandang ke
sekelilingnya.
"Ah !" serunya pula, kali ini dengan napas lega. Sekarang ia
bisa melihat orang yang suaranya ia dengar sekian lama itu.
Di bawah batu besar itu terlihat sebuah tempat sepuluh
tombak luasnya, tanahnya rendah. Di sekitarnya orang itu
terdapat banyak batu karang yang kecilan. Dia tengah duduk
seorang diri. Dialah tua yang berdandan sebagai seorang rahib
To Kauw Agama Lo Cu, rambutnya terkundiakan dan tubuhnya
tertutup jubah. Dia telah berusia lanjut. Dia duduk diatas
sebuah batu hijau, menghadapi setumpukuan "Cio lo" besar
dan kecil. Tangan kiri dia itu memegang sepasang sumpit
yang belang bentong dan tangan kanannya menjumput Ciolo,
untuk dimakan tak hentinya.
Saban-saban dia bicara seorang diri, bicaranya mirip dua
orang bicara satu dengan lain.
"Heran..." pikir si anak muda. Ia melihat orang makan Ciolo
"telur batu" dengan lahap sekali. Bagaimana Ciolo dapat
dijadikan barang makanan dan dia memakannya begini lahap
? Kalau dia bukannya seorang bajingan, pasti dialah seorang
pandai luar biasa yang sedang hidup menyendiri. Biar
bagaimana, dia mestinya seorang ahli silat.


Tengah dia keheranan itu, It Hiong melihat si orang tua
mengangkat cawannya. Dia tidak mengangkat juga kepalanya,
untuk berdongak mengawasi kepadanya tetapi dia toh berkata
nyaring. "Eh, laote. Kau begini berjodoh, marilah turun kemari
! Maukah kau minum bersama-sama aku ?"
It Hiong heran bukan kepalang. Ia pun dipanggil "lao te",
adik yang tua. Akan tetapi ia tertarik hati dan ia pun tidak
takut. Tanpa ragu pula, ia lompat turun akan menghampiri
orang tua itu, untuk berdiri sejarak tiga kaki terpisahnya.
Ia lantas mengangkat kedua tangannya untuk memberi
hormat sambil berkata : "Maaf, totiang. Aku yang muda ialah
Tio It Hiong. Aku menyesal telah datang kemari hingga aku
mengganggu ketenangan totiang."
Rahib itu memandangi si anak muda, lantas ia menunjuk
sebuah batu disisinya sambil tersenyum ia berkata : "Laote,
silahkan duduk. Aku si oarang tua masih mempunyai sisa dua
potong paha kambing. Itulah tepat buat dipakai mengundang
tetamu bersantap bersama !"
Jilid 31
It Hiong melihat bagaimana orang tua itu makan Ciolo
dengan lahap sekali. Ia tahu kalau seorang luar biasa suka
hidup menyendiri. Itulah disebabkan tabiatnya yang aneh,
banyak yang jumawa, maka tak mau ia banyak aturan lagi.
Orang tua itu tertawa lebar menyaksikan si anak muda
polos.


"Sungguh kita berjodoh ! Sungguh kita berjodoh !" serunya
berulang-ulang kali. Itulah suatu tanda bahwa dia girang
sekali. Kemudian ia menyentil ke arah tumpukan Ciolo, maka
sebuah Ciolo sebesar telur angsa mental kepada si anak
muda, mentalnya perlahan. Dia menambahkan kata-katanya :
"Orang gunung tidak punya barang hidangan lezat, maka itu
laote silahkan kau coba daging bakar ini. Bagaimana rasanya
?"
Dengan menunjuki wajah heran, It Hiong menyambuti Ciolo
itu. Diluar dugaannya, ia bukan memegang batu yang keras
hanya lembek seperti kue bopaw. Ia tidak lantas makan
"daging kambing" itu, sebab ia masih ingat baik sekali
pelajaran buah liok jiak ko.
"Terima kasih totiang." katanya hormat, "tetapi ilmu silatku
masih jauh dari sempurna, tak ada rejekiku untuk makan
barang hidangan lezat ini. Aku memulangkannya, harap
totiang sudi terima kembali. Maaf, maaf......" Dan
melemparkannya.
Si orang tua seperti telah menerka penampikan itu, ia
mengangguk, terus ia membuka mulutnya, maka tepat sekali
dia menyambut Ciolo dengan mulutnya itu, untuk terus
dikunyah. Ia makan tanpa berkata apa-apa, maka It Hiong
pun berdiam saja mengawasi tuan rumahnya itu.
Sekaranglah It Hiong berkesempatan melihat tegas wajah
si rahib. Muka orang merah dadu, licin seperti mukanya
seorang anak muda, pipinya montok, janggutnya ialah yang
dinamakan "janggut kambing gunung" sebab kecil dan lancip
ujungnya. Sinar matanya orang itu sangat jernih dan
penampilannya bersih. Seumumnya dia mirip seorang
setengah tua. Tanpa merasa ia menaruh hormat.


Habis menelan Ciolo itu, si orang tua minum secangkir,
kemudian dia kata : "Aku sudah kenyang dan minum banyak,
sudah cukup, sudah cukup !"
It Hiong memberi hormat.
"Cianpwe," tanyanya, "dapatkah aku yang muda
mengetahui nama atau julukan cianpwe ?"
Orang tua itu meletakkan cawannya, dia tertawa.
"Namaku si tua bangka sudah lama tak dipakai !" sahutnya,
"karenanya aku sampai melupakannya ! Adalah saudarasaudara
kaum Kang Ouw yang memberikan julukan padaku
yaitu Couw Kong Put Lo, maka itu kau panggillah aku dengan
sebutan itu !"
Dia berhenti sebentar, lantas dia menambahkan, "Laote,
ilmu ringan tubuhmu tak dapat dibilang rendah, siapakah
sebenarnya gurumu yang terhormat ?"
Dengan sikap hormat, It Hiong menjawab, "Guru yang baik
budi dari boanpwe ialah Sin Siauw Hong gelar Tek Cio Siangjin
dari Pay In Nia."
Couw Kong Put Lo mengangguk.
"Murid ajarannya Tek Cio si hidung kerbau, benar-benar tak
dapat dicela !" katanya. Seperti tingkahnya In Gwa Sian, dia
menyebut hidung kerbau pada rahib yang menjadi guru
tamunya itu. Dia bersikap wajar, tak likat, tidak terjumawa.
It Hiong sebaliknya melengak. Ia heran, pikiranya : "Orang
tua ini berkundia dan berjubah sebagai rahib To Kauw, kenapa


dia menyebut rahib lainnya dengan sebutan hidung kerbau ?"
Karena herannya itu, ia menatap muka orang.
Couw Kong Put Lo dapat menerka keheranan orang muda
itu. Dia tertawa terbahak-bahak dan kata : "Aku si orang tua,
aku gemar berdandan sebagai rahib To Kauw, tetapi
sebenarnya aku bukanlah orang kaum Sam Ceng. Laote,
janganlah kau mentertawakan aku !"
It Hiong tetap merasa aneh, hendak ia menanya pula atau
si orang tua mendahului padanya. Kata dia : "Pay In Nia
terpisah sangat jauh dari Ceng Lo Ciang, habis sekarang laote
berada disini, mau apakah kau ?"
It Hiong tahu baik, orang semacam orang tua ini tak
pernah banyak pernik, maka ia menjawab cepat dan polos.
"Selama berada di Ay Lao San, aku yang muda telah
tercemplung ke dalam jurang," demikian jawabnya, "di sana
aku menemukan sebuah gua hingga untuk tiba diatasnya aku
mesti merayap naik. Sebab aku tidak tahu jalan dan arah, aku
telah tiba disini. Aku justru hendak memohon petunjuk dari
cianpwe supaya aku bisa keluar dari ini tanah pegunungan,
buat aku lekas-lekas pulang ke Tionggoan....."
Orang tua itu mengangguk-angguk.
"Kau telah tersesat jalan sampai disini, laote," katanya.
"Selama itu sudah lewat berapa harikah?"
"Kira-kira tiga hari dua malam." sahut It Hiong.
Orang tua itu menatap muka orang, dia mengangguk.


"Imanmu kuat, imanmu kuat !" katanya berulang kali terus
dia tertawa, kemudian lantas dia tanya pula : "Kau bilang kau
berada di Cianglo Ciang ini sudah tiga hari dua malam, kecuali
kau si orang tua, kau telah bertemu dengan siapa lagi ?"
Parasnya si anak muda menjadi merah. Ia ingat halnya ia
telah makan buah liok jiak ko hingga ia membawa lakonnya
dengan Touw Hwe Jie, tetapi walaupun likat, toh dia
menjawab : "Selama itu aku yang muda telah menemukan
tiga orang, semuanya wanita dan ketiga-tiganya menyebut
dirinya Touw Hwe Jie......."
Pemuda ini menuturkan jelas sampai terakhir ia bertempur
dengan wanita yang menggunakan ular hijau sebagai senjata
mirip joan pian, hingga ia menyingkir sampai akhirnya
bertemu orang tua ini. Cuma satu ia umpatkan, yaitu halnya di
dalam gua ia sudah terpaksa main-main dengan wanita itu.
Couw Kong Put Lo tertawa berkakak. "Namun wanita
siluman itu" katanya nyaring, "kenapa dia sedemikian sabar,
sudah satu malam dia berkumpul denganmu tetapi toh dia
membuatmu dapat lolos ?"
"Tapi, Cianpwe" berkata It Hiong menegaskan, "orang
pertama yang aku ketemukan ialah seorang bocah usia lima
atau enam tahun, lalu seorang nona umur delapan atau
sembilan belas tahun. Sedang paling belakang dengan siapa
aku bertempur, seorang wanita setengah tua. Sama sekali aku
tak bertemu dengan orang perempuan itu...."
Orang tua itu tertawa lebih nyaring dan lama hingga
umpama kata tawa itu mengacaukan rimba dan lembah.
Setelah berhenti tertawa, ia berkata dengan sungguh-sungguh
: "Tahukah laote, Cianglo Ciang ini tempat apa ? Inilah tempat
kediamannya seorang wanita yang tersohor kejamnya. Dialah


"Kip Hiat Hong Mo Touw Jie" yang kau ketemukan dengan tiga
orang wanita yang tak sama satu dengan lain. Itulah
kepandaiannya si wanita tua, yaitu ilmu Sin Kut Kang, ilmu
menciut tulang belulang atau tubuh, sedangkan sebenarnya
dia hanya satu orang !"
It Hiong terkejut saking heran.
"Sin Kut Kang ?" katanya. "Itulah ilmu yang aku belum
pernah dengar ! Ilmu apakah sebenarnya itu ? Pengingatan
dan pendengaranku masih sangat berkurang, cianpwe.
Jadinya siapa mempelajari ilmu itu, dia dapat berubah-ubah
tubuh dan wajahnya sesukanya ?"
"Begitulah ilmu itu." sahut Couw Kong Put Lo. "Disamping
itu, dia dibantu banyak oleh air mani para korbannya hingga
wajahnya dapat berubah tua dan muda. Lebih-lebih kalau ia
mendapati air mani pria yang lihai ilmu silatnya, ilmunya
menjadi bertambah mahir. Demikian maka dia mendapat
julukannya itu. Kip Hiat Hong Mo, si bajingan edan tukang
menghisap darah ! Dengan darah sekalian dimaksudkan air
mani pria."
Berkata sampai disini, orang tua itu menghela nafas.
"Kau tahu, anak muda." ia meneruskan, "aku hidup
menyendiri disini untuk memahami So Lie Kang, ilmu
kewanitaan, supaya dengan pandai ilmu itu dapat aku
menyingkirkan dia. Walaupun kemudian aku ragu-ragu dapat
mengalahkannya..."
Orang tua itu berkatai bahwa ia sudah menyekap diri dua
puluh tahun lamanya.
Sepasang alisnya It Hiong terbangun.


"Cianpwe !" katanya, "kau telah berilmu tinggi, sampai pun
batu kau dapat makan seperti barang hidangan lezat. Kenapa
cianpwe masih tak sanggup menempur wanita cabul itu ?
Apakah masih ada lain kepandaiannya Touw Hwe Jie ?"
Dengan "batu" It Hiong maksudkan Ciolo, "telur batu".
Couw Kong Put Lo bersenyum. "Kau masih muda, laote.
Tidak heran kalau kau kurang pengetahuanmu." katanya. "Dia
sebenarnya mempunyai satu kepandaian yang dinamakan Sek
Bie Tay Hoat, yaitu ilmu paras yang menyesatkan. Dalam hal
ilmu silat tangan kosong atau bersenjata, aku tidak takuti
siapa juga. Dahulu gurumu si hidung kerbau itu sangat
tersohor sebagai ahli ilmu pedang tetapi pada tiga puluh tahun
yang lampau, pernah dengan tangan kosong aku melayani
ilmu pedangnya itu. Kesudahannya kami seri. Hanya dengan
keteguhan iman, aku kuatir aku tidak sanggup melawan Touw
Hwe Jie. Lantas melawan dia toh berarti membuang jiwa siasia
belaka, bukan ?"
Tertarik It Hiong mendengar keterangannya si orang tua.
Ia percaya orang melebih-lebihkannya ketika berbicara
tentang Sin Kut Kang, ilmu memperciut tubuhraga itu. Ia
lantas tertawa : "Cianpwe, kanapa Bie Sek Tay Hoat itu
demikian lihai ? Apakah locianpwe pernah menempur wanita
tua itu ?"
Hampir It Hiong mengatakan apa orang tua itu pernah
dikalahkan si wanita, syukur ia lantas ingat dan dapat lekas
merubah kata-katanya itu, kalau tidak, ia bisa dipandang
sudah mengejek atau menghina orang tua ini.
Couw Kong Put Lo tidak menjawab, hanya dia berkata :
"Aku ingin ketahui jelas ialah tentang perempuan tua itu,


laote, maka itu coba kau terangkan kepadaku segala sesuatu
mengenai pertemuanmu dengan dia. Sekalipun kau telah
bersetubuh dengannya, hal itu jangan kau lewatkan. Kau
tuturkan semuanya. Itulah malah lebih penting sekali !
Tegasnya, hendak aku melayani dia dalam hal ilmunya Kip
Hiat itu, menghisap darah."
It Hiong tersenyum mendengar kata-kata orang itu.
"Menurutku, Touw Hwe Jie tidak mempunyai kepandaian
yang luar biasa sekali." katanya. "Ketika tadi fajar aku
meloloskan diri dari tangannya, kenapa dia tidak
menggunakan Sek Bie Tay Hoat, ilmu kepandaiannya yang
istimewa itu ?"
Couw Kong Put Lo tertawa lebar.
"Eh, anak, kau sedang mudanya, kenapa kau tidak ketahui
tentang cinta kasih diantara muda mudi ?" tanyanya. "Ilmu
Sek Bie Tay Hoat itu dipakai bukan dengan jalan keras, hanya
dengan jalan halus dengan pengaruhnya harus elok, supaya
dengan begitu nafsu birahi pria dipancing dibangkitkan,
supaya orang tanpa merasa roboh dalam rangkulannya seperti
seerangga yang menyambar api, hingga orang mencari
matinya sendiri. Setelah orang roboh, dia akan menghisap
darah orang habis sampai pada sumsumnya !"
It Hiong mengangguk-angguk tetapi tak dapat ia setujui
keterangannya orang tua itu. Buktinya ia dapat bertahan dari
bujukan hebat dari Touw Hwe Jie, ia cuma hampir roboh......
Pemuda ini lupa yang ia dapat bertahan sebab ia
memperoleh terutama bantuannya obat pendeta dari Bie Lek
Sie.


Si orang tua melihat si anak muda berdiam saja, ia belum
juga dijawab, maka ia mendesak. Katanya : "Laote, kau
turunkan segala apa dengan sebenar-benarnya ! Itulah
untukku. Keteranganmu dapat membuat aku menduga-duga
dia telah menggunakan Sek Bie tay Hoat atau tidak. Menurut
rasaku, dia tak akan menaruh belas kasihan terhadapmu...."
Terpaksa, It Hiong mengulangi penuturannya, kali ini tanpa
ada yang dilupakan.
Menurut ia, mungkin ia telah menemui muridnya Kip Hiat
Hong Mo.....
Couw Kong Put Lo nampak heran hingga dia menatap anak
muda di depannya ini.
"Anak, bujukan atau rayuannya Kip Hiat Hong Mo didalam
guanya itu ialah apa yang dinamakan Sek Bie Tay Hoat."
katanya kemudian. "Apa mungkin kau telah menemukan atau
mendapatkan suatu ilmu lainnya hingga kau jadi dapat
bertahan dari godaannya itu ?"
"Sejak aku keluar dari rumah perguruanku, belum pernah
aku menemui sesuatu yang luar biasa," sahut It Hiong, "hanya
ketika aku terjatuh ke dalam jurang, disitu didalam sebuah
gua aku telah pelajari ilmu pedang Gie Kiam Sut sebab aku
mendapatkan pahatannya pada dinding gua. Tanpa guru aku
mempelajari itu, maka juga sampai sebegitu jauh aku cuma
bicara menyampaikan jarak tinggi tiga tombak lebih dan jarak
jauh sepuluh tombak lebih juga."
Orang tua itu menggeleng kepala. "Gie Kiam Sut adalah
ilmu pedang, bukannya ilmu tenaga batin yang dapat dipakai
menolak rayuan asmara." katanya. "Juga ilmu Hian Bun Sian
Thian Khie kang mu bukanlah ilmu yang dapat menentang


rayuan itu. Kalau benar segala keteranganmu ini, sungguh aku
tidak mengerti....."
"Benar-benar cianpwe, aku tidak mempunyai ilmu lainnya."
berkata It Hiong memberi kepastian. "Ketika aku dibujuk
memang beberapa kali hampir aku roboh tak berdaya, hatiku
menjadi kuat pula, selekasnya aku ingat perbuatan cabul itu
bisa merusak nama baik guruku. Tentang kekuatan iman saja,
cianpwe, aku rasa tak dapat aku melawan cianpwe....."
Couw Kong Put Lo mengangguk perlahan. Ia lantas
berpikir. Lewat kira setengah jam baru ia mengangkat
mukanya. Ia menatap pula si anak muda. Lalu mendadak ia
bertanya, "Laote, kau mempunyai kegembiraan atau tdiak
akan mengantarkan aku pergi ke guanya Kip Hiat Hong Mo
untuk kita membuat penyelidikan ?"
It Hiong tidak menerima atau menolak, hanya tanpa
berpikir lagi, ia berkata : "Aku sangat memikirkan soal
pertemuan besar di gunung Tay San, waktunya yaitu tanggal
lima belas bulan delapan. Aku perlu lekas pulang supaya aku
dapat mencegah bencana rimba persilatan itu. Aku minta
cianpwe tolong tunjuki aku jalan keluar dari daerah
pegunungan ini !"
Si orang tua tertawa lebar.
"Kau memikir keluar dari sini, laote, itulah tak sukar."
katanya. "Aku pun dapat mengantarkan kau. Hanya saat
pertemuan besar itu, pertengahan bulan delapan sudah lewat.
Bukankah tadi malam pertengahan bulan itu ?"
It Hiong melengak. "Oh !" serunya tertahan. Saking
menyesal lalu wajahnya menjadi suaram. Ya, peristiwa sendiri
membuatnya lupa waktu. Sang waktu berjalan cepat bagaikan


anak panah. Demikian juga umur manusia, berapakah
panjangnya. "Cepat sekali, dua bulan telah lewat pula !" Dan
ia menghela nafas.
Si orang tua mengawasi, ia berkata : "Waktu pertemuan di
Tay San sudah lewat, manusia tak dapat menahannya
karenanya disesalkan pun percuma ! Laote, kau hendak
melenyapkan bencana rimba persilatan, perbuatan itu dapat
kau lakukan dimana-mana dan di segala saat, maka itu kalau
kau dapat singkirkan wanita tua itu, bukankah itu sama
artinya ? Dialah si wanita jahat dan cabul yang merusak !
Bahkan dengan menyingkirkan wanita itu, laote, namamu
bakal terlebih tersiar, perbuatanmu jauh terlebih mulia !"
It Hiong menganggap si orang tua benar. Tay San Tay Hwe
sudah lewat, tak dapat ia pergi terus kesana. Karena tak ada
halangannya kalau ia pulang terlambat beberapa hari pula.
Laginya dengan mencari si wanita itu, ia cuma memerlukan
waktu satu malam itu. Ia pula ingin ketahui jelas siapa
sebenarnya Touw Hwe Jie. Maka lantas ia mengambil
keputusannya.
"Cianpwe, jika cianpwe tidak menyela aku, baiklah bersedia
kau mengikuti dan menurutmu!"
Si orang tua tertawa girang. "Dasar kau gagah, laote !"
katanya nyaring. "Kaulah pemuda berbakat dan penuh
harapan ! Pantas kau berjodoh dengan aku si orang tua !" Ia
berbangkit perlahan-lahan akan mengangkat kepala melihat
langit, kemudian menambahkan : "Kita berbicara saja, sang
waktu telah berlalu. Sekarang masih ada waktu, aku pikir baik
kita berangkat sebentar malam jam pertama . Karena
sekarang masih ada waktu senggang, laote, kau
beristirahatlah disini!"


It Hiong menurut, ia mengangguk. Ketika itu, sesudah
hatinya tenang, ia merasakan perutnya meminta makan. Maka
ia kata pada orang tua itu : "Aku mau pergi mencari barang
makanan, sebentar aku kembali."
"Ah, aku sampai lupa !" katanya. "Aku lupa bahwa kau
belum makan dan minum ! Kau tunggu saja, nanti aku si tua
yang mencarikan kau daging !"
It Hiong menurut, ia duduk menantikan. "Orang tua ini
main-main atau benar-benar ?" beberapa kali ia tanya didalam
hati. Masih ada keragu-raguannya, sebab orang tua itu agak
aneh.
Belum terlalu lama maka berhentilah It Hiong berpikir.
Saking letih dan kantuk, tanpa merasa ia tidur kepulasan.
Berapa lama ia telah tidur nyenyak, ia tidak tahu. Kemudian ia
mendusin sebab hidungnya mencium bau harum dari daging
bakar, waktu ia membuka matanya, ia melihat orang tua
tengah memanggang kambing. Seekor kambing gunung yang
kecil terletak tergantung diantara api tabunan, bau harumnya
terbawa angin.
It Hiong mendapati, karena nyala api tempat disekitarnya
itu menjadi terang sekali. Ketika itu sudah mendekati jam
pertama. Ia berbangkit dengan merasa segar, lenyap letih dan
kantuknya. Ketika ia mendekati kambing, terbangunlah nafsu
makannya dia bahkan bau harum daging panggang itu.
"Benar rejeki mulutmu, laote." kata si orang tua tertawa.
"Kau mendusin dari tidur yang nyenyak, justru kambing
matang."
Lantas orang tua itu mengangkat kambing panggang itu.


"Mari !" ia mengajak si anak muda. Ia mematahkan sepaha
kambing, diangsurkan pada kawannya yang muda itu. "Kau
cobailah panggang dagingku ini !" Ia terus merabai
pinggangnya, guna meloloskan cupu-cupu araknya. Sembari
membuka tutup cupu-cupu itu, ia menambahkan, "Arak bunga
putih ini tak dapat dicela, siapa meneguknya, semangatnya
terbangun hingga itu ada baiknya buat sebentar kita bekerja."
It Hiong menyambuti daging sambil mengucap terima
kasih. Ia lantas makan dengan lahapnya hingga daging itu
habis. Sesaat kemudian, ia mengambil paha yang kedua. Ia
pun minum arak hingga tempat arak itu senantiasa berpindah
tangan.
Setelah menghabisi paha yang kedua ini, It Hiong melihat si
orang tua sudah selesai makan, dia sedang menengak habis
araknya. Nyata dia kuat sekali makan daging kambingnya
tanpa sisa.
"Cianpwe" tanya si anak muda kemudian. "Bagaimana
caranya sebentar dia menyelidiki Kip Hiat Hong Mo ?"
"Sebentar kau hendak mencoba menantang ilmu Sek Bie
Tay Hoat dari Kip Hiat Hong Mo" sahut orang tua itu. "Selama
itu laote, kau bersiap-siap saja disini. Apa yang aku kuatirkan
ialah hatimu nanti tergiur dan kau tak dapat bertahan ! Selagi
aku melayani dia, mana dapat kau membantumu ? Baik kita
pikirkan satu cara yang sempurna."
It Hiong berpikir. Ia menyangsikan kekuatiran orang tua
itu. Bukankah sudah terbukti ia sanggup melayani atau
menantang ilmunya Kip Hiat Hong Mo ?
"Bukankah lebih baik kita menempur ilmu silatnya ?"
tanyanya. "Buat apa kita melayani pula ceriwis yang cabul itu."


"Kau benar anak muda, tetapi aku memikir lalu," sahut si
orang tua. "Sudah dua puluh tahu aku memahamkan ilmu So
Lie Kang, sekaranglah waktunya aku mencoba mengujinya.
Dia biasa menghisap manik dan darah orang, aku hendak
mencoba atas dirinya, supaya aku yang menghisap hingga dia
kehabisan tenaganya dan mati karenanya. Dia berbuat jahat
secara demikian terhadap banyak orang lain, hendak aku
membalaskan sakit hati mereka itu dengan caranya sendiri.
Mungkin dia menyesal atau mati puas karenanya."
"Bukankah lebih baik kita membinasakannya dan
membakar mayatnya ?" tanya pula It Hiong. "Kenapa kita
mesti mencoba-coba ? Bukankah itu perbuatan tak cerdik ?"
Couw Kong Put Lo memperlihatkan tampang sungguhsungguh.
"Bicara dengan sebenarnya, laote." katanya. "Jika
aku berhasil menghisap darah dia itu, dengan sendirinya aku
memperoleh bantuan tenaga hingga pemahamanku
memperoleh kesempurnaan. Sampai itu waktu maka di dalam
dunia rimba persilatan ini, akulah si jago tunggal ! Ha ha ha !"
It Hiong melengak, lantas ia sadar. Maka berpikirlah ia,
"Kalau begini, kau juga bukanlah orang baik-baik !" Karenanya
ia pun memikir untuk bila saatnya tiba, akan menyingkirkan
orang aneh ini. Keduanya mereka itu, satu wanita dan satu
pria sama kejamnya. Untuk tak membangkitkan kecurigaan
orang, ia lekas-lekas berkata : "Cianpwe, bagaimana kalau aku
mengintai selagi cianpwe menempur perempuan itu ? Dengan
begitu mudahlah aku turun tangan bila itu diperlukan."
"Begitu pun baik." sahut si orang tua setelah dia berfikir
sejenak. "Cuma janganlah laote mengintai terlalu jauh dan
jangan kau simpangkan perhatianmu, itulah berbahaya
buatku."


"Aku mengerti cianpwe !"
"Baiklah, begini janji kita !" kata si orang tua.
Selanjutnya sambil menanti tibanya jam dua, bahagian
terakhir jam pertama itu, keduanya berbicara dari hal lainnya.
Selekasnya jam tiba, berdua mereka meninggalkan tempat itu.
It Hiong jalan di muka. Keduanya berlari-lari.
Nyatanya Couw Kong Put Lo ketahui Kip Hiat Hong Mo,
waktu mereka tiba, dia yang paling dahulu menghentikan
langkahnya.
"Sudah sampai ?" katanya. "Pantas ilmu ringan tubuhmu
lihai sekali, kau dapat menyamai aku si orang tua !"
It Hiong berhenti berlari, ia berpaling kepada si orang tua
atau segera ia berdiri melengak.
Orang tua itu tak lagi berjanggut seperti janggut kambing
gunung dan mukanya juga tidak keriputan seperti semula ia
menengokkannya. Di depannya sekarang berdiri seoraang
muda sebaya dengan ia, tampan sehat.
"Locianpwe !" katanya heran, "kau juga dapat merubah diri
menjadi muda belia ? Apakah ilmumu ini ilmu awet muda atau
itulah hasilnya pemahamanmu atas ilmu kewanitaan So Lie
Kang?"
Orang tua yang ditanya itu tertawa terbahak-bahak. "Inilah
hasil pelajaran Sang Seng Sie yang aku pahamkan." sahutnya
terus terang. "Itulah ilmu kehidupan. Ilmu ini jauh lebih
menang daripada ilmu awet muda. Dengan ilmu ini, dapat aku


merubah wajahku dengan anak kecil, orang muda, orang
setengah tua ataupun orang tua, segalanya sesuaka hatiku.
Hanya inipun masih ada cacatnya...."
"Apakah cacat itu locianpwe ?" tanya It Hiong. "Dapatkah
locianpwe menjelaskan padaku supaya aku memperoleh
tambahan pengetahuan umum ?"
Nampaknya senang si orang tua atas pertanyaan itu.
Lantas ia mengawasi ke arah lembah. Ia sudah berjalan pula
tetapi ia lantas menghentikannya. Ia menghela nafas.
Sahutnya, "Cacatnya ialah aku dapat merubah wajah tetapi
tidak tubuhku seluruhnya. Karenanya Sin Kut Kang masih
menang setingkat...."
Mendengar suaranya si orang tua, It Hiong mengawasi.
Benarlah kata si orang tua itu. Tadi ia cuma melihat muka, tak
tubuh orang. Memang tubuh orang tua itu tak berubah sama
sekali. Beda dengan Kip Hiat Hong Mo yang dapat berubah
seluruhnya.
"Tapi itulah tidak apa !" katanya kemudian. "Kau telah
berubah menjadi muda ! Siapakah lain orang yang ketahui
perubahan wajah locianpwe ini ?"
Orang tua itu tampak puas bahkan jumawa. "Karena
kepandaianku merubah wajah ini, orang Kang Ouw telah
memberi gelaran Couw Kong Out Lo itu padaku !" kata dia,
habis mana dia bertindak pula memasuki lembah.
"Put Lo" itu berarti "tak tua."
Baru jalan sepuluh tombak, mendadak Couw Kong Put Lo
menghentikan langkahnya, dia menoleh pada kawannya dan
katanya : "Laote, pernahkah kau tiba dilembah ini ?"


Ia Hiong melihat keseputarnya.
"Belum pernah" sahutnya.
Si tua lantas memperlambat langkahnya dengan begitu ia
jadi jalan berbareng dengan si anak muda.
"Aku lupa memberitahuka kau, laote." kata dia sembari
jalan. "Lembah ini diberi nama Goh Cit Kok artinya lembah
bencana. Disini ada go gwee cit hiam, lima tempat berbahaya,
tujuh tempat malapetaka dan caranya menyelamatkan diri
ialah menemukan rintangan, mutar ke kiri satu kali, tiga kali
ke kanan, kalau ketemu belokan kita menyeberanginya
melintas dan kalau kita melihat buah jangan kita makan itu.
Dengan begitu kita tak akan tersesat atau menghadapi
bencana. Nah, kau ingatlah baik-baik !"
It Hiong menganguk. "Akan aku ingat, locianpwe." katanya.
"Cuma nama goh cit itu aneh sekali. Apakah arti sebenarnya
?"
Si orang tua tertawa. "Goh cit berarti kematian." Ia
memberi keterangan. "Si orang perempuan tua yang
memberikan nama itu. Maksudnya siapa datang kemari, dia
tak bakal kembali dengan masih hidup. Dia pula sengaja
menyebutkan dua baris kata-kata lain yaitu, 'cuma ada setan
yang memasuki lembah, tiada manusia yang keluar dari sini'.
Dengan sini diartikan lembah ini. Selama tiga puluh tahun
sampai sekarang ini, entah berapa banyak korban sudah
roboh disini, roboh ditangannya si wanita tua sebab mereka
itu kemaruk paras elok hingga kesudahannya tinggallah
tengkorak atau tulang belulangnya yang putih meletak....."


It Hiong memandangi lembah, ia merasa bergidik. Tapi ia
memikir, "Jangan-jangan orang tua ini sengaja mengatakan
begini buat menguji keberanianku ? " Maka ia sengaja tertawa
dan kata : "Locianpwe, tak mungkinkah kata-katamu ini cerita
belaka yang orang sengaja menyiarkannya ?"
"Jangan terburu nafsu menerka, laote." kata orang tua itu.
"Sebentar kalau kita sudah tiba ditempat yang dinamakan
Selat Rangka baru kau akan mendapatkan bukti dari katakataku
ini bahwa aku tidak mendustai orang buat menakutnakuti
saja."
It Hiong berdiam, ia mengikuti orang tua itu maju terus.
Lekas sekali mereka sudah melalui kira-kira tiga lie. Sabansaban
mereka mendengar suaranya burung malam atau
suaranya angin dingin diantara daun-daun pohon. Rembulan
suaram, maka suaram juga tempat yang dilalui itu. Suasana
itu dapat membuat orang merasa seram.....
Lagi sedikit jauh, setelah satu tikungan, dua orang itu
dihadap sebuah batu besar yang warnanya hitam gelap.
Terpaksa keduanya menghentikan langkah mereka.
Couw Kong Put Lo mengawasi batu, lalu tiba-tiba ia kata :
"Ketemu rintangan, belok kiri, satu kiri tiga kanan !" Dan terus
ia bertindak ke arah kiri.
It Hiong mengikuti, nyeplos disisi batu itu. Ia bergerak
cepat seperti si orang tua.
Di depan mereka sekarang terbentang tanah penuh dengan
batu karang berserakan. Diantara sinarnya si puteri malam,
semua batu karang itu nampaknya aneh-aneh. Di sebelah kiri
ialah dinding gunung. Pada dinding itu dipajang rapi sejumlah
rangka manusia lengkap, tulang-tulang putih semuanya.


It Hiong heran dan kagum. Katanya : "Darimana si wanita
tua memperoleh semua rangka ini ? Semua ini tak
mendapatkan rasa seram atau takut !"
"Jangan merasa puas dahulu, laote !" berkata si orang tua
kepada kawannya. "Inilah baru permulaan dari go gwee cit
hiam."
Berkata begitu, si orang tua berjalan terus melintasi
karang-karang berserakan itu. Selalu ia jalan belok ke kiri
terus ke kanan di tempat berliku-liku itu. Sampai mereka
memasuki sebuah gua kecil yang berdinding batu kiri dan
kanannya. Di sini cahaya rembulan terhalang, mereka menjadi
berada di dalam kegelapan. Selang belasan tombak barulah
mereka melihat suatu sinar terang bundar berwarna kebirubiruan
yang menggantung dan berputaran karena tiupan
angin.
Setelah datang dekat pada cahaya terang itu, It Hiong
berdua bukan mendapatkan lentera kertas atau kain, hanya
lentera terbuat dari tengkorak, dan api molos dari pelbagai
lubang, terutama dari sela-sela giginya. Giris akan mengawasi
itu.
Menunjuk pada lentera istimewa itu, Couw Kong Put Lo
kata pada kawannya, "Itulah yang dinamakan lentera
tengkorak manusia berapi kunang-kunang dan itu pula buah
karyanya si nyonya tua yang kejam !"
It Hiong mengawasi. Lentera semacam itu bukannya cuma
satu. Masih ada satu berupa yang lainnya disepanjang jalan
itu. Maka ia menduga, jalan itu mestinya panjang atau jauh
beberapa lie. Ia tidak takut. Itulah cuma alat. Ia menggertak


sambil menghunus pedangnya sembari bersiul, terus ia
melangkah maju dengan cepat.
Sekeluarnya dari jalan sempit itu, si anak muda melihat
sebuah lembah luas beberapa puluh tombak. Sekitarnya
dinding gunung belaka. Di tengah lembah terdapat tanah
kosong dan rata yang tumbuh rumput. Jalan lainnya tak
tampak...... Di tanah itu terlihat banyak tubuh bergerak-gerak
mirip bayangan, lurus merupakan satu Barisan yang berdiri
diam tak bergeming.
"Ah, ada banyak orang disini !" kata It Hiong tanpa merasa.
Couw Kong Put Lo tertawa. "Semua mereka itu korbankorbannya
wanita tua !" katanya. "Habis air mani dan darah
mereka terhisap, mereka menjadi mayat-mayat kering dan
kaku !"
It Hiong heran. Dengan lantas ia bertindak menghampiri,
untuk mendekati. Ia bersiaga dengan Hian Bun Sian Thian
Khie kang, guna menjaga diri.
Barisan rangka itu berdiri tegak dengan tangan dikasihh
turun, kulitnya bersemu kuning, matanya cengok dalam,
dahinya nongol tinggi. Pakaian mereka tidak seragam, ada
yang berpakaian biasa, ada yang mengenakan jubah pendeta.
Mereka pula ada yang tua, ada yang muda. Mereka tinggal
kulit pembungkus tulang. Gigi mereka menambah keseraman
mereka.
"Jumlah mereka tak kurang dari pada seratus orang," pikir
It Hiong. "Tak mungkin mereka mati berbareng. Herannya
kenapa kulit mereka tak membusuk atau rusak ?"


Couw Kong Put Lo bertindak mendampingin anak muda itu.
Ia dapat tahu keheranan orang.
"Laote, maukah kau mendengari keteranganku mengenai
pasukan rangka manusia ini ?" tanyanya.
It Hiong menoleh. "Cuma hal membuatku heran," katanya,
"mereka tentunya mati tersiksa bukan berbareng dan buat
waktu yang lama, tetapi kenapa mereka tetap masih tulang
belulang tertutup kulit dan tak menjadi rusak seperti
seharusnya ?"
Si kawan tua tertawa. "Kau boleh merasa heran, tetapi
itulah bukannya keanehan !" sahutnya. "Sebenarnya sumsum
dari semua korban ini telah habis dihisap si wanita tua, yang
kemudian dengan perlahan-lahan menyedot juga darah dan
dagingnya hingga akhirnya tinggal kulitnya saja. Supaya
semua kulit tak jadi rusak, si wanita tua telah
memanggangnya selama enam jam dengan ilmu memanggang
bajingan langit......"
Mendengar demikian, bukan main gusarnya It Hiong.
"Sungguh jahat dan kejam Touw Hwe Jie !" katanya keras.
"Sudah orang dihisap darah dagingnya, sekarang matanya
dibiarkan tersiksa begini macam ! Bagaimana kalau aku
menggunakan api membakar habis semua ini ?"
Belum lagi berhenti suaranya anak muda kita atau ia sudah
lantas mendengar tawa yang dingin dan orang yang tertawa
itu muncul dengan segera, muncul dari belakang pusaka
rangka itu. Dialah seorang wanita usia lima-enam tahun, yang
tubuhnya tergubat kain hijau, lengan dan kakinya telanjang,
rambutnya panjang riap-riap, mukanya cantik dan segar
mengagumi !


Couw Kong Put Lo menarik It Hiong mundur beberapa
tindak.
"Hai, perempuan tua, kiranya kau bersembunyi disini ?"
tegurnya.
Nona itu mengawasi tajam.
"Apa katamu ?" tanyanya. Dia terus tertawa.
Put Lo menuding.
"Touw Hwe Jie, masihkan kau berpura-pura ?" tegurnya
pula.
Nona itu tapi bersikap tenang.
"Apakah kalian berdua datang mencari guruku ?" dia balik
bertanya.
Put Lo melengak, dia menatap nona cilik itu. Hatinya pun
berkata : "Kapannya Touw Hwe Jie mengambil murid ?" Tapi
ia lekas menjawab, "Kami datang untuk mengunjungi Tauw
Hwe Jie, gurumu. Nah, kau pimpinlah kami untuk
menemuinya."
Tapi si nona berkata dulu : "Aturan di Goh Cit Kok ini ialah :
Kalau ada orang hendak mengharap guruku, cuma satu orang
yang diijinkan masuk menemuinya, yang lainnya harus
menanti di sini, buat mendengar panggilan lebih jauh ! Nah,
diantara kalian, siapa yang mau masuk terlebih dahulu ?"
It Hiong tidak puas.


"Pedangku tidak kenal aturanmu ini." katanya sengit. "Jika
kau tidak mau memimpin kami masuk, kau harus
menyerahkan jiwamu !" Dan ia menghunus pula pedangnya.
Ia pula melompat maju untuk menghampiri si nona cantik.
Nona itu nampak tak takut, bahkan dia memperlihatkan
sikap jumawa. Dia mendelik terhadap anak muda di depannya
itu. Dengan membuat main bibirnya dia kata, "Kau
mengandalkan pedangmu itu buat menghina nonamu ini ? Hm
! Sebentar ilmu Sin Kut Kang dari guruku akan membuatmu
tahu rasa !"
"Hm !" It Hiong pun perdengarkan suara dingin.
"Mengingat kaulah seorang bocah, suka aku memberi ampun
padamu satu kali ini ! Kalau kau tahu selatan, lekas kau antar
kami !'
Berkata begitu, anak muda kita masukkan pedangnya ke
dalam sarungnya.
Justru itu berubahlah tubuhnya si nona cilik. Lekas sekali
dia menjadi tinggi dan besar hingga dia tampak seperti
seorang nona usia enam atau tujuh belas tahun. Selagi orang
melengak, dia tertawa manis dan kata merdu : "Kau lihat,
usiaku tidak muda lagi ! Kau lihat, bagaimana cantik manisku !
Kamu bangsa pria, melihat aku ini, apakah kau tak merasa
menyayangi dan berkasihan ? Bagaimana dapat kau
membinasakan aku ?"
Sembari berkata, si nona bertindak menghampiri,
lengannya halus. Dengan matanya yang jeli, dia menatap anak
muda di depannya itu. Wajahnya pun ramai sekali.
It Hiong gusar. Ia ingat lakonnya dengan Touw Hwe Jie.


"Siluman bangkotan !" ia membentak. "Lagak tengikmu ini
telah tuan mudamu menyaksikan ! Masih kau hendak menjual
pula lagak tengikmu yang menjemukan disini."
Kata-kata itu ditutup dengan satu jurus Hang Liong Hok Mo
Ciang.
"Hayyah !" menjerit si nona, yang tubuhnya berkelebat,
menyingkir ke dalam pasukan rangka manusia itu. Di dalam
sekejap hilang lenyap sudah dia.
Couw Jong Put Lo berlompat maju mendampingi kawannya.
"Aku lihat perubahannya nona itu bukan menurut ilmu Sin
Kut Kang dari Touw Hwe Jie." kata dia. "Hanya aku belum
pernah mendengar yang dia pernah menerima murid."
Sepasang alisnya It Hiong terbangun, matanya bersinar
tajam.
"Biar bagaimana semua orang dari Goh Cit Kok ini bukan
orang baik-baik !" katanya sengit. Terus dia bertindak maju,
matanya celingukan mencari sesuatu.
Put Lo menyangka si anak muda mencari si nona.
"Laote," kata dia, " si nona barusan masuk ke dalam
Barisan rangkanya ini ! Kau mencari apa ?"
Tidak ada jawaban. Tubuhnya si pemuda hilang di dalam
kegelapan. Heran si orang tua, dia berdiri diam. Masih
beberapa kali ia memanggil-manggil, tetap tanpa penyahutan.
Ia menghela nafas. Justru ia mendengar suara apa-apa dialah
belakangnya, segera ia menoleh. Maka ia mendapati It Hiong


mendatangi dengan sepondongan cabang-cabang dan daun
kering.
"Locianpwe, apakah tak tampak gerak gerik orang jahat ?"
dia tanya.
Put Lo menggeleng kepala. "Tidak !" sahutnya.
It Hiong meletakkan cabang keringnya itu, ia pergi pula,
akan kembali dengan dahan-dahan serupa. Perbuatan itu ia
ulangi beberapa kali maka lekas juga terdapat setumpuk besar
dahan dan daun itu. Setelah itu ia membinasakan dahandahan
itu didekati semua rangka, akan akhirnya menjalankan
api dan pakai itu menyulutnya !
"Ha ha ha !" si orang tua tertawa. "Siapa sangka kau
mempunyai kegembiraanmu ini, laote ! Yang benar ialah kita
mencari jalan guna mencari si siluman tua !"
"Barusan aku melihat dari tempat yang tinggi, " berkata It
Hiong. "Di seputar ini semua dinding gunung melulu, tida ada
jalannya, tidak ada guanya. Aku percaya siluman itu
mempunyai jalan atau gua di dalam tanah, kalau tidak
sebentar dia bakal mati tembus !"
"Pintar ! Pintar !" Put Lo memuji sambil menganggukangguk.
Si anak muda telah mendahului dia memeriksa
tempat itu. Sementara itu sinar matanya memperlihatkan sinar
bengis.
It Hiong merasa hatinya ciut ketika ia melihat sinar mata
itu, diam-diam ia bersiap sedia andiakaata orang berbalik
pikiran hendak berbuat jahat atas dirinya.


Sementara itu sang api sudah mulai berkobar, angin
gunung membantu mengipasinya. Api terus melentap,
membakar rangka itu hingga dilain saat terdengar suara apaapa,
rupanya dari terbakarnya tulang belulang. Suara berisik
dari bekerjanya api, sinarnya dan juga hawanya yang panas,
membuat sejumlah ular lari serabutan !
It Hiong dan kawannya tak dapat bertahan dari hawa
panas itu, keduanya berlompat tinggi ke batu gunung yang
menonjol di dinding gunung, disitu keduanya duduk sambil
mengawasi bekerjanya Hwe Tek Seng kun si raja api.
Semua tulang belulang itu habis dimakan api, hanya
herannya dari situ terhembuskan sinar api kebiru-biruan,
terlihat diantara api yang berkobar, untuk akhirnya bersama
padamnya api itu.
Selekasnya hawa panas mulai reda, It Hiong berdua lompat
turun pula. Ketika itu lembah sudah kosong.
"Entah apa itu yang menyebabkan cahaya kebiru-biruan
itu....." kata It Hiong heran, matanya mengawasi ke tempat
pembakaran itu. Atau tiba-tiba ia melihat munculnya sebuah
batu besar. Segera ia menyangka kepada mulut gua, maka
lantas ia lompat maju menghampiri buat memeriksanya.
"Laote kembali !" berseru Couw Kong Put Lo.
Anak muda itu mendengar kata, segera ia lompat mundur,
hingga ia berada disisi si orang tua. Justru ia mau
menanyakan sesuatu atau dengan tiba-tiba Couw Kong Put Lo
menolak keras dengan kedua telapakan tangannya terbuka,
menolak ke arah batu besar itu, maka segera terdengar satu
suara keras, terus terlihat batu itu terdampar mundur satu
tombak lebih. Sebaliknya tempat dari mana batu itu muncul,


tampak berubah menjadi mulutnya sebuah gua di dalam tanah
!
Menyaksikan itu, si orang tua tertawa bergelak-gelak.
"Pandai kau menerka laote." kata ia memuji kawannya.
"Kau menerka adanya gua didalam tanah, nyatanya kau tidak
keliru ! Kau lebih cerdas setingkat daripada kebanyakan orang
!"
It Hiong tertawa.
"Locianpwe" katanya, "darimana kau mendapat kopiah
tinggi untuk dipakaikan diatas kepalaku. Budak tadi telah lolos
dari jalan di dalam gua itu, mari kita susul padanya! Aku
percaya kita akan berhasil mencari sarangnya si siluman tua !"
Couw Kong Put Lo mengangguk, lalu bersama-sama
mereka menghampiri mulut lubang, yang lebar empat kaki
persegi, bagian dalamnya gelap, tak tampak apa juga. Sulit
untuk memeriksanya.
It Hiong tertawa. Ia menjemput sebuah batu, ia lemparkan
ke dalam lubang itu sembari ia memasang telinga, guna
mendengar suaranya batu itu. Suaranya batu itu akan
menyatakan sesuatu.
"Kau benar cerdik, laote !" si orang tua berkata pula.
"Kaupun ingat ini kepandaian melempar batu menunjukan
jalan !"
It Hiong tidak menjawab, hanya telinganya lantas
mendengar suara batu membentur sesuatu di dalam lubang
itu.


"Bagaimana ?" si orang tua tanya.
"Lubang ini dalam tak sepuluh tombak" sahut si anak
muda. "Biar aku yang turun lebih dahulu untuk memeriksa
bagian dalamnya....."
Lantas ia menghunus pedangnya sambil memutar itu, ia
lompat masuk kedalam lubang buat turun ke dasarnya. Ia
memasang matanya tajam-tajam, demikian pun telinganya.
Couw Kong Put Lo tidak diam saja. Ia sudah tua, tak mau
ia kalah dari anak muda. Tetapi ia berpengalaman dan teliti,
maka ia masuki gua bukan dengan jalan berlompat turun
seperti si anak muda, ia hanya merayap untuk turun dengan
ilmu "Pek Houw Ya Cong Kong", Cecak bermain-main di
Tembok. Selekasnya ia sampai di dasar lubang dimana ia
meletakkan kakinya, lantas ia memasang mata tajam, melihat
ke sekitarnya. Ia mengumpulkan semangatnya pada matanya
supaya Bisa melihat di tempat gelap.
Gua itu lebar dua tombak, dasarnya pasir melulu.
Disekitarnya tak tampak apa juga yang mencurigakan. Di
depannya terdapat sebuah jalan atau terowongan sempit,
dimana terlihat berkilaunya cahaya pedang, maka ia menerka
pada pedangnya si anak muda, kawannya itu. Tidak ayal lagi
ia bertindak cepat menyusul sang kawan. Ia percaya tempat
yang telah dilewati anak muda itu tak ada bahayanya lagi.
Tiba-tiba diujung terowongan itu kiranya sebuah tempat
terbuka diatas gunung. ketika si jago tua mengangkat
kepalanya, ia melihat It Hiong tengah bersembunyi disisi
sebuah batu besar dimulut terowongan itu, agaknya orang
tengah mengawasi atau mengintai semata. Ia lantas bertindak
mendekati anak muda itu, hingga ia pun bisa melihat segala
apa seperti si anak muda sendiri.


Mulut gua itu menghadapi sebuah tempat terbuka luas
beberapa batu dimana terdapat banyak pepohonan dan batu
besar-besar dan beraneka ragam bentuknya. Pada sisi dinding
gunung terdapat sebuah rumah batu yang sedang, tak kecil,
tak besar. Di depan rumah batu itu yang berhalaman datar,
terdapat sejumlah meja dan kursi, semuanya terbuat dari batu
juga.
Di bawah sinar rembulan tampak seorang berduduk diatas
salah sebuah kursi batu. Dialah seorang wanita tua yang
rambutnya diriap-riapkan, tubuhnya tertutup pakaian hitam,
kedua lengannya telanjang, kedua tangan itu memeluki seekor
beruang hitam yang besar, sedangkan mukanya diletaki
dipunggung binatang liar itu, nampaknya dia sedang
menghisap-hisap......
Dilihat dari jauh, dari tempat It Hiong berdua bersembunyi,
beruang yang besar itu seperti sudah kehabisan tenaga, sebab
tubuhnya berdiam saja, dia seperti tak dapat bergeming dari
pelukan wanita tua itu, ketika itu cuma terdengar Pekiknya,
Pekik dari kesedihan, suaranya keras berkumandang
disekitarnya.
Pada kursi batu yang lainnya berduduk seorang nona. Ialah
nona yang tadi menghadapi It Hiong berdua, dia tengah
mengawasi si wanita tua menghisap darahnya si beruang
hitam. Dia mengawasi dengan tubuh tak bergerak.
Suaranya binatang itu terdengar semakin perlahan makin
perlahan, lalu kepalanya teklok berbareng dengan berhentinya
Pekikan itu. Baru setelah itu si wanita tua menggerakkan
kepalanya, memisahkan mulutnya dari tubuh sang binatang.
Dia lantas mengeluarkan hembusan nafas panjang, sedangkan
kedua tangannya melepaskan rangkulannya itu. Maka di lain


saat, rebahlah sang beruang di depannya, rebah terkulai di
atas tanah.
Wanita tua itu terus bangun berdiri. Ia merapihkan
rambutnya yang riap-riapan itu. Baru sekarang terdengar
suaranya, suara tertawa yang nyaring, pertanda dari
kepuasannya. Sebaliknya wajahnya memperlihatkan tampang
yang cerah. Dia berdahi jantuk dan hidungnya mancung. Yang
hebat ialah kedua matanya yang bersinar kebiru-biruan. Kedua
lengannya besar dan kasar, sedang tubuhnya gemuk
terokmok hingga dilihat seluruhnya dia mirip seekor harimau
betina.....
Setelah itu si wanita tua mengangkat hidungnya tinggitinggi
untuk dipakai mencium sesuatu bau, kemudian ia
berpaling kepada si nona untuk bertanya, "Eh, Ya Bie, ketika
tadi kau merondia Barisan rangka di dalam lembah diatas, kau
bertemu orang atau tidak ?"
Ditanya si wanita tua, nona itu lantas berlutut dan
menjawab : "Barusan selagi meronda, aku bertemu dengan
dua orang asing. Entah apa maksudnya mereka datang ke
tempat kita ini. Aku sudah lantas lari kemari dan selekasnya
aku menutup pintu gua. Maksudku untuk memberi laporan
pada suhu, tetapi suhu tengah menghisap beruang itu,
terpaksa aku menantikan supaya aku tidak menganggu suhu."
Touw Hwe Jie, demikian wanita tua itu, tidak menanya apaapa
lagi. Ia tidak tahu, bagaimana tidak mengambil mumet
yang ia telah didustai muridnya itu, yang tak berani secara
terus terang seluruhnya. Ia lantas mencium-cium lagi dengan
hidungnya, lalu dia tertawa terkekeh dan menegur : "Ah,
sahabat dari mana telah datang kemari ? Silahkan keluar
untuk kita membuat pertemuan."


Mendengar pertanyaan itu, tahulah It Hiong berdua yang
kehadiran mereka telah diketahui wanita lihai itu. Si anak
muda segera membisiki kawannya, " Locianpwe, silakan kau
menemuinya. Aku akan memasang mata disini...."
Couw Kong Put Lo mengangguk, terus ia lompat keluar dari
tempat sembunyinya itu. Ia tertawa nyaring dan berkata
keras, "Sahabat Touw Hwe Jie, kau sungkan sekali ! Nah, kau
terimalah hormatku !" Ia benar-benar merangkap kedua
tangannya. Ia pula segera sampai di depan rumah batu itu.
Touw Hwe Jie mengawasi tajam tamunya itu yang muda
dan tampan dan tubuhnya tegap. Itulah pria yang sangat
disukainya. Bagaikan lupa daratan, ia tertawa dan kata :
"Sahabat, kau she apa dan nama siapa ? Ada urusan apakah
kau datang ketempat kami ini ?"
Couw Kong Put Lo mengangkat kepalanya guna menatap
muka orang. Di saat itu timbullah kekagumannya. Si nenek
yang tubuhnya besar dan buruk wajahnya sudah tidak
nampak. Di dalam saat sedetik itu, dia telah digantikan oleh
seorang wanita yang cantik manis, usia kira-kira tiga puluh
tahun yang tubuhnya langsing dan putih mulus.
"Aku datang kemari guna belajar kenal dengan ilmu Sin Kut
Kang yang lihai." Ia menjawab dingin.
Nampak si wanita muda melengak. Itulah jawaban diluar
dugaan. Belum pernah ia menemui atau mendengar ada pria
yang menyebut ilmunya yang luar biasa itu. Inilah yang
pertama kali. Maka heranlah ia yang orang mengetahui
ilmunya, cuma beberapa orang kenalannya saja. Lalu ia
tertawa tawar dan kata, "Namamu masih disembunyikan,
mana dapat kau menempur ilmuku itu. Apakah kau tak akan
sia-sia saja menyerahkan jiwamu ?"


Couw Kong Put Lo tahu sudah selayaknya ia
memperkenalkan diri, kalau ia menyebut nama palsu dan
kemudian rahasianya pecah, itu akan merusak nama baiknya.
Terpaksa ia menjawab, "Akulah Couw Kong Put Lo.
Sekarang ini aku datang kemari guna menguji kepandaianmu
yang sifatnya kejam telengas itu guna mengambil nyawamu !"
"Oh !" seru Touw Hwe Jie, yang terus mengejek. "Kiranya
kaulah si orang gagah yang buat dua puluh tahun menyekap
diri di Cenglo Ciang untuk memahami ilmu So Lie Kang ! Ha ha
ha ! Apakah kau tak takut yang pertapaanmu nanti pudar
didalam sekejap waktu dibawahnya pohon bungan bouwtan ?"
Kawannya It Hiong melayani bicara, tetapi lebih dahulu ia
menjatuhkan diri akan berduduk secara jumawa diatas sebuah
kursi batu. Ia menjawab, "Kalau aku menggunakan golok atau
pedang atau kepalan buat membinasakan kau, buat
mengambil jiwamu, tenagaku berlebihan. Hanya cara itu
tawar, tidak menarik hati. Lebih baik kau menggunakan ilmu
Sek Bie Tay Hoat guna melayani So Lie Kang, kau buat
menguji kepandaianku. Dengan jalan ini aku mengambil
jiwamu, barulah aku bergembira sekali !"
Touw Hwe Jitertawa geli sekali.
"Baiklah," sahutnya menerima tantangan itu. "Asal kau
tidak menyesal ! Cuma baiklah kau coba-coba dahulu dengan
Souw Han Cian Li muridku, kalau kau menang baru kau lawan
aku ! Itu waktu pastilah kau akan merasa puas betul-betul !"
Put Lo melirik ke arah nona disisinya wanita cabul itu. Nona
itu cantik. Ia pikir, "tidak apa kalau aku mencoba dahulu nona
itu, diapun manis sekali ! Aku tahu si tua ini mau bertempur


bergantian menunggu sampai aku letih. Biarlah dia bawa
kelicikannya itu 1"
"Touw Hwe Jie, aku terima syaratmu ini." katanya berani.
"Hendak aku membikin kau puas."
"Baik, sahabat tetapi kau sabarlah." kata Touw Hwe
Jitertawa. "Aku menjadi nyonya rumah, aku mesti melakukan
keharusanku."
"Kau harus disuguhkan dahulu arak kehormatan supaya
aku tidak berlaku kurang hormat terhadapmu, ahli dari
pendekar So Lie Kang !"
Habis berkata, nyonya itu menoleh kepada muridnya untuk
mengedipi mata, maka Ya Bie sudah lantas menyajikan barang
makanan diatas sebuah meja. Itulah sepiring besar buah liok
jiak ko, sepiring abon bersama tiga pasang sumpit serta tiba
buah cawannya. Araknya termuatkan didalam sebuah poci
beling yang tinggi besar dan putih.
Segera juga Touw Hwe Jie duduk di depannya sang tetamu
dan muridnya berdiri di sampingnya. Masih ada sebuah kursi
tetapi ditinggali kosong. Maka Put Lo kata pada si nona,
"Nona, kaupun duduklah ! Habis minum, aku ingin menguji
kepandaianmu !"
Jilid 32
Mendengar kata-kata orang itu, Touw Hwe Jie kata dingin,
"Kursi ini disediakan buat sahabat yang datang bersamamu."
Terus ia berbangkit, sembari menoleh ke tempat It Hiong
bersembunyi, ia kata nyaring : "Sahabat yang
menyembunyikan diri di belakang batu, hayo, jangan kau


bersikap sempit pikiran ! Buat apa kau malu sembunyisembunyi.
Marilah keluar, mari kita minum bersama!"
Begitu ia mendengar suara orang itu, begitu It Hiong
muncul dari tempatnya sembunyi. Ia juga merasa malu
mengumpatkan diri. Dengan satu lompatan Tangga Mega, tiba
ia di depan meja, sembari ia kata nyaring : "Tio It Hiong
mempunyai kegembiraan minum arak sambil menghadapi
rembulan yang indah. Dia hanya bersedia menyingkirkan kutu
busuk dunia rimba persilatan ! Kalian boleh berpesta pora, aku
akan menantikan sampai berakhirnya......"
Touw Hwe Jie melirik si anak muda.
"Hm !" ia perdengarkan suaranya. "Kiranya murid pandai
dari Tek Cio Totiang dari Pay In Nia ! Maaf, maaf. Sahabat Tio,
kau telah berlalu dengan menggunakan ilmu pedangnya yang
istimewa, bukannya kau meninggalkan Cenglo Ciang dan pergi
pulang, kau justru kembali kemari mencari permusuhan !
Bukankah diantara kita tidak ada budi, tak ada ganjalan ?
Kenapa kau memaksa menyeterukan aku si wanita tua ? Tapi
tak apalah, kalau kau tidak mau minum arak. Kau dapat
minum teh, bukan ?
Nyonya rumah ini memberi isyarat mengundang tetamunya
berduduk, ia sendiri terus menjatuhkan diri di kursinya.
It Hiong tidak mendapat alasan buat turun tangan,
terpaksa ia duduk di kursi yang disediakan itu dan Ya Bie
segera menyuguhkan air teh sembari mempersilakan orang
minum, dia melihat dengan manis.
Put Lo kuatir nanti akan dicurangi si wanita tua, dia tidak
makan dan minum seperti diundang. Maka itu dia diam duduk
saja.


It Hiong heran melihat kawan itu berdiam saja, tak dapat ia
menerka sang kawan itu mau menantikan apa. Ia sendiri, ia
mendongkol sekali terhadap wanita tua itu. Habis sabarnya, ia
menanya bengis : "Touw Hwe Jie, di dalam lembah aku
melihat banyak rangka atau tengkorak manusia hitung ratus.
Apakah mereka semua korban-korban hisapan darah olehmu ?
Adakah itu hasilnya kekejaman ilmu Sek Bie Tay Hoatmu itu ?"
Kip Hiat Hong Mo tertawa bergelak. "Sudah tiga puluh
tahun aku si orang tua tak pernah setengah tindak pun keluar
dari Cenglo CIang !" katanya. "Semua mereka itu datang
padaku sesudahnya aku hidup menyendiri ditempatku ini dan
mereka semua datang karena hendak menguji Sek Bie Tay
hoat, kepandaianku itu. Mereka semua menyebut diri sebagai
orang-orang gagah tetapi sayang belum sampai melampiaskan
nafsu birahinya, baru saja mereka melihat paras elok, mereka
sudah runtuh sendirinya. Mereka membuang jiwa seperti
kawanan serangga yang menyerbu api ! Mereka mencari
matinya sendiri. Habis apa mau dibilang ? Mereka tak dapat
menyesalkan atau menyalahkan siapa juga !"
Habis berkata begitu Touw Hwe Jie mengawasi Couw Kong
Put Lo, dia tertawa tawar. Tingkahnya seperti menunjuki
bahwa dihadapannya ada seorang lagi yang rela
mengantarkan diri atau jiwanya !
It Hiong tetap tak puas, amarahnya tidak menjadi reda.
"Kau telah menghisap habis darahnya banyak orang,"
katanya, "kau telah membinasakan jiwa mereka. Semua itu
cuma untuk menambah ilmu kepandaianmu yang jahat dan
kejam itu. Kau boleh kata mereka itu mengantarkan diri
sendiri, tetapi itu tetap kejahatanmu ! Apakah kau tak takuti
kutukan Thian ?"


Nyonya itu melengak. Kemudian ia kata perlahan, seperti
pada dirinya sendiri, "Biasanya kalau aku menghisap darah,
aku lakukan itu terhadap segala binatang dan belum pernah
aku menggunakan paras elokku membujuk atau memancing
orang bangsa pria. Eh, sahabat Tio, janganlah kau memfitnah
aku....."
It Hiong gusar sekali.
"Lidahmu sangat tajam !" teriaknya. "Alasanmu itu bagus
sekali ! Sekarang mari aku tanya, siapakah yang didalam gua
sudah menggunakan keelokannya buat membujuki aku Tio It
Hiong ? Siapakah ?"
Nyonya itu kembali melengak.
"Benarkah ada kejadian serupa itu ?" tanyanya.
"Kau sedang muda dan gagahnya, sahabat Tio !" katanya.
"Kau menghadapi paras elok itu, dapatkah kau bertahan ?
Kalau benar katamu itu mana dapat kau bisa datang kemari
dengan masih hidup ? Sungguh, sukar akan mempercayai
kata-katamu ini......!"
"Sudah jangan mengoceh saja !" Couw Kong Put Lo
menyela. "Eh, Touw Hwe Jie lekas bilang, kau hendak
menyuruh siapa menguji ilmu So Lie Kang ku ? Nah, kau
suruhlah dia keluar !"
Nyonya itu tertawa. Dia tak menjawab. Dia hanya
mengangkat poci araknya dan menuangi cawannya si pria tua.
Ia pun menuangi cawannya sendiri. Habis itu barulah dia
berkata : "Aku seorang tua adalah wanita terhormat, tak mau
aku berlaku secara menggelap. Arak ini yang dinamakan Sit


Kui Tok jiang, arak beracun peranti merendam tulang." Ia
menunjuk buah merah menor diatas piring dan
menambahkan, "Dan buah ini ialah liok jiak ko, buah untuk
membangunkan nafsu birahi ! Siapa habis minum arakku ini
dan makan buah itu tetapi hatinya tetap tenang tak bergerak,
dialah baru dapat melawan ilmu Sak Bie Tay hoat dari
nyonyamu ini ! Nah, sekarang kalian pikirkan masak-masak.
Kalian berani mencoba arak ini dan makan buah itu atau tidak
?"
Touw Hwe Jie berbicara dengan bergaya ia seperti
bergurau terhadap Couw Kong Put Lo tetapi juga bagaikan
menggertak.
Put Lo merasai mukanya panas. "Aku si tua tidak memikir
mencoba arak atau buahmu ini." sahutnya. "Aku cuma hendak
menguji ilmu kepandaianmu !"
"Baiklah !" menjawab si nyonya cepat. "Akan aku
membuatmu puas supaya kau insyaf akan kelayakanku !"
Terus ia menekuk bibirnya untuk memperdengarkan siutan
beberapa kali kemudian dia menambahkan : "So Han Cian Li,
mari keluar !"
Dari dalam rumah batu segera muncul seekor kera
perempuan yang besar sekali, diikuti oleh seekor harimau
yang betina. Si kera berbulu kuning emas dan bulunya
panjang-panjang, matanya bersinar bengis, semua giginya
tajam, tampangnya sangat galak. Si harimau adalah harimau
loreng yang galak yang biasa dinamakan seebiu houw,
harimau tukang gegares manusia.
Kedua ekor binatang itu lantas mengawasi tajam kepada
kedua orang asing itu. Mereka berdiri diam tak bergerak,
mereka seperti tengah menantikan perintah.


Touw Hwe Jie menunjukkan kepada kera dan harimaunya
yang jinak dan mengerti itu, sembari dia kata pada Couw
Kong Put Lo, "Merekalah yang aku namakan So Han Cian Li, si
wanita cantik penyedot roh manusia, sekarang terserah
kepadamu untuk memilih yang mana ! Cuma hal yang aku
minta, yaitu suka apalah kau menaruh belas kasihan terhadap
mereka itu...."
Couw Kong Put Lo menjadi gusar. Dia datang guna menguji
ilmu kepandaian si wanita tua, sekarang dia disuruh melawan
dua ekor binatang. Itulah penghinaan ! Bukankah dengan
begitu berarti dia dipandang sebagai binatang juga ?
"Perempuan siluman, kau sangat kurang ajar !"
dampratnya, sedangkan tangannya dikibaskan hingga habis
tersumpurlah semua barang diatas meja di depannya. Habis
itu dia bertindak meninggalkan meja, bersiap akan menantikan
musuhnya.
Touw Hwe Jie tidak bergusar, sebaliknya dia tertawa
terkekeh.
"Couw Kong Put Lo !" katanya nyaring. "Usiamu bukan
muda lagi dan pertapaanmu bukan sedikit tahun, kenapa kau
belum insyaf apa yang dinamakan pantangan paras elok ?
Sengaja aku memerintahkan mereka ini muncul dalam diri
asalnya, itulah guna membuat hatimu tenang, supaya kau tak
usah membuang jiwamu ! Jika memangnya tidak puas,
baiklah, biar aku menggunakan ilmuku Hoan Kak Bie Cia, buat
melenyapkan perasaan dan memalsukan yang tulen, guna
membikin mereka menyalin rupa menjadi cantik manis seperti
yang kau kehendaki !"


Tiba-tiba terdengarlah satu suara tawa yang nyaring dan
tajam sekali hingga hati orang tergetar, menyusul mana tibatiba
lenyaplah kera dan harimau itu dan sebagai gantinya
ditempat itu tampak sepasang nyonya muda yang elok sekali,
rambut mereka terurai di belakangnya, tubuhnya tertutup pita
hitam tetapi tangan dan kaki mereka telanjang, muka mereka
tersunggingkan senyuman ramai.
Melihat kedua wanita itu Couw Kong Put Lo berdiri
menjublak, agaknya dia kagum sekali dan tertarik hatinya.
Kedua nyonya itu mengawasi dengan sinar mata memain
terus, mereka bertindak menghampiri si orang tua, untuk
menempatkan diri di kiri dan kanannya guna memegang
kedua tangan orang buat akhirnya ditarik, diajak masuk ke
dalam rumah batu.
Menampak demikian, hatinya It Hiong goncang. Segera ia
mengerahkan Hian Bun Sian Thian Khie kang, akan
mengumpulkan semangatnya, guna menguatkan hatinya.
Dengan cara demikian, ia berhasil membuat matanya tak
seperti kabur dan hatinya menjadi tenang. Setelah itu, ia
memikirkan keselamatan kawannya, tak perduli si kawan
sebenarnya bukan orang lurus. Ia telah memberikan janji
bantuannya bukan ? Sekaranglah saat bantuannya itu
menyingkirkan si wanita tua, yang berilmu aneh itu ! Lantas ia
menghunus pedangnya dan berlompat, untuk lari masuk ke
dalam rumah batu.
Touw Hwe Jie berlompat bangun, untuk berlompat lebih
dahulu ke depan pintu kamar batunya dimana dia berdiri
menghadang.
"Sahabat Tio, tahan !" serunya mencegah. It Hiong gusar,
ia lantas menikam dada orang. Itu serangan berantai tiga kali.


Touw Hwe Jie tidak menangkis, ia cuma selalu berkelit
setelah itu kembali ia berdiri di ambang pintu.
"Eh, siluman tua !" bentak It Hiong, "kalau kau tidak kenal
selatan dan tak mau menyingkir, jangan nanti kau salahkan
pedangku ini yang tak kenal kasihan !"
Si nyonya tak menggubris peringatan itu. Dia tetap tertawa
manis.
"Sabar, sahabat Tio ! "katanya. "Tua bangka itu tak akan
hilang jiwanya!"
"Aku tidak percaya kau !" bentak It Hiong. "Dia datang
bersamaku, tak dapat aku membiarkannya menempuh
ancaman bencana !"
"Apa yang nyonya tua bilang," kata pula si wanita itu, "satu
tetap satu, dua tetap dua, tak nanti aku memperdayai kau !
Jika kau masuk kedalam rumahku itu bukan saja kau tak bakal
berhasil membantu dia, sebaliknya asal kau melihat kalapnya
nafsu birahinya, bakal lenyaplah rasa hormatmu
terhadapnya....."
Kata-kata nyonya itu membangkitkan ragu-ragunya si anak
muda.
"Dia bukan orang lurus, dia sama sesatnya seperti wanita
tua ini." kemudian pikirnya. "Baik, aku biarkan mereka berdua
sama roboh, paling akhir baru aku yang turun tangan
membasmi mereka itu."
Si nyonya mengawasi, ia menarik nafas. "Sahabat Tio, kau
percaya aku atau tidak ?" tanyanya sabar agak menyesal,


"bersediakah kau mendengar beberapa perkataan pula dari
aku ?"
It Hiong berfikir sejenak. "Coba kau ucapkan itu !" katanya
kemudian. Lantas si nyonya mengasi lihat sikap sungguhsungguh.
"Aku si perempuan tua, aku sangat menghargai Tek Cio
Siangjin yang menjadi gurumu itu," demikian katanya. "Dialah
orang lurus dan lihai seperti kau sendiri, bukan orang sesat.
Kau gagah berani bahkan kau sangat benci kejahatan. Aku
suka sekali mewariskan kepandaianku Hoan Kak Bie Cia guna
membantu usahamu dalam dunia Kang Ouw ! Apakah kau
suka menerima ilmu itu ?"
It Hiong menatap sambil otaknya bekerja. Ia telah
menyaksikan sendiri anehnya ilmu wanita itu. Ia merasa
keberatan. Tak sudi ia menerima pelajaran dari kaum sesat. Ia
menunjuk rupa senang sembari memberi hormat, ia
memberikan jawabannya, "Sebelum aku menerima ijin dari
guruku, tidak dapat kau menerima pelajaran dari lain
perguruan. Kau baik sekali, aku berterima kasih padamu."
Touw Hwe Jitertawa. Dia seperti mengerti maksud orang,
maka dia tak menjadi kurang senang. Ia berkata pula : "Aku si
wanita tua bercita-cita menyembunyikan diri, sudah puluhan
tahun aku tak muncul dalam dunia Kang Ouw, tetapi melihat
kau muda belia dan bakatmu begini bagus, tertariklah hatiku.
Tak sayang-sayang hendak aku mewariskan kepadamu, maka
itu sungguh diluar dugaan, kau tidak menghargai aku. Kau
sudah menampik dengan kata-kata dustamu. Ah, sayangsayang,
kaupun dapat bicara bohong...."


It Hiong mengawasi wanita itu. Nada bicara orang beda
sekali daripada nada bicaranya semula. Dia benar-benar
menjadi seorang wanita tua.
"Mungkin dia bicara jujur...." pikirnya. Tapi tak senang ia
yang orang mengatakannya mendusta, maka ia kata sungguhsungguh.
"Jangan kau sembarang bicara ! Aku Tio It Hiong,
belum pernah aku membohong !"
Touw Hwe Jitetap bersabar. Kata dia, "Kalau kau tidak
mendusta, habis bagaimana dengan ilmu pedang Gie Kam Sut
mu itu ? Apakah kau pelajari itu sesudah kau memperoleh ijin
dari gurumu ?"
It Hiong berdiam diri. Memang ilmu itu ia pelajari tanpa
mengasi tahu gurunya, tanpa meminta perkenan lagi. Di
dalam keadaannya seperti itu, mana ada kesempatan buat ia
pulang dahulu dan memohon ijin dari gurunya itu ?
Touw Hwe Jie menghela nafas. "Walaupun aku si wanita
tua telah masuk ke dalam jalan sesat dan telah mempelajari
ilmu tidak lurus," kata dia masgul, "aku bukan seperti katanya
Couw Kong Put Lo bahwa aku menggunakan penggunaan
paras elok guna mencelakai orang, untuk menghisap darah
dan membinasakannya. Sebenarnya aku tak sejahat dan
sekejam itu. Maukah kau mendengar sebab musababnya ?"
Tio It Hiong tidak menjawab ya atau menolak, ia hanya
kata, "Kenyataan dari kebenaran memenangi sangkalan atau
bantahan. Di dalam dunia Kang Ouw, orang bekerja harus
dengan cara jujur, berani berbuat berani mengakuinya ! Apa
yang tersiar diluaran mungkin berlebihan tetapi untuk
menyangkalnya mesti ada bukti kenyataannya !"


Touw Hwe Jie merasai mukanya panas. "Aku si wanita tua,
kau tahu aku tetap adalah gadis belia yang suci murni" kata
dia. "Hanya untuk membuktikan itu yang kurang leluasa.
Jadi...." Ia lantas memperlihatkan lengannya dimana ada
tanda merah dadu yang dinamakan sie kiong see, tanda dari
kesucian kehormatan diri.
It Hiong heran. Habis melengak sejenak, ia lantas bertanya
: "Bagaimana dengan gelaran atau itu - Kip Hiap Hong Mo--
dan itu semua rangka atau tengkorak manusia di dalam
lembah ? Dapat kau dibilang bahwa kau tak ada sangkut
pautnya dengan semua itu ?"
Kembali si nyonya menghela nafas. "Itulah justru soal yang
hendak aku jelaskan duduk perkaranya kepadamu." sahutnya.
It Hiong tidak berkatai apa-apa, hanya ia mengawasi
wanita tua itu.
Kembali Touw Hwe Jie menarik nafas, lau dia kata :
"Memang benar aku si wanita tua mempelajari ilmu
menghisap darah ketika aku belum menyendiri di Cenglo Ciang
ini, semua korbanku adalah pelbagai binatang liar atau bukan.
Lain soalah setelah aku berhasil menyempurnakan ilmu
rahasia yang dinamakan Bie Cong Hoan Kak Bie Cia. Ketika itu
aku saban diganggu oleh kedatangannya orang-orang sesat
kaum Bu Lim Rimba Persilatan. Mereka datang untuk
menganggu kesucian diriku. Mereka itu sama dengan si Couw
Kong Put Lo itu...."
Nyonya itu berhenti guna menatap si anak muda. Dia
seperti mau melihat perubahan sikapnya pemuda itu. Lalu ia
meneruskan, "Aku gusar terhadap kawanan pria hidung
belang itu, maka aku memikir membuat mereka hilang jiwa
karena orang paras elok tetapi supaya mereka puas.


Karenanya aku memikir menangkap pelbagai binatang seperti
beruang, kera, harimau dan ular, semuanya yang betina yang
terus aku amprokinya dengan kawanan pria busuk itu. Maka
terjadilah, semua pria itu mati karena darahnya terhisap.
Sebaliknya aku lantas menyedot darahnya sekalian beserta
binatang itu, seperti barusan beruang hitam itu..." Dia lantas
menunjuk korban beruang yang masih terkulai di tanah itu.
Terpaksa, hatinya It Hiong kena tergerakkan. Mau percaya
keterangan itu. Toh ia masih ragu-ragu.
"Dengan demikian" katanya, "jadi semua rangka dan
tengkorang itu adalah milik orang rimba persilatan yang busuk
itu."
"Memang ! Barusan toh aku telah menyebutkannya, aku si
wanita tua selama tiga puluh tahun, belum pernah aku
melangkah setindak juga keluar dari wilayah Cenglo Ciang ini.
Kalau bukannya mereka sendiri yang datang mencari mampus,
mana bisa kau mendapatkan sedemikian banyak rangka dan
tengkorak."
Kemudian si nyonya menunjuk Ya Bie, si nona cantik.
"Muridku satu-satunya, yang bakal jadi ahli warisku," kata
dia, "ialah dia Ya Bie namanya. Aku harus mengajari dia Sin
Kut Kang, belum aku mendidik dia dalam ilmu Hoan Kak Bie
Ciu dan Sek Bie Tay hoat itu. Aku berkuatir buat usianya yang
masih muda, takut kalau-kalau dia tak sanggup bertahan dari
godaan nafsu birahi... Godaan itu lebih bisa mencelakai
daripada mendatangkan kebaikan untuk dirinya !"
Mendengar keterangan paling belakang itu It Hiong
tertawa. "Aku yang muda, masih muda sekali." kata ia, "aku
pula pria. Bagaimana aku dapat mempelajari Hoan Kak Bie


Cia, bagaimana andiakata aku jadi main gila sekehendak
hatiku ? Tidakkah begitu hebat sekali ?"
"Pertanyaan yang bagus sekali !" berkata Touw Hwe Jie.
"Sungguh seorang anak muda yang cerdas dan berpikir
panjang ! Tapi harus kau ingat anak muda, bukankah aku
telah menguji kekuatan imanmu ? Apakah kau tak tahu itu ?"
It Hiong mengawasi tajam. "Bukankah kita baru bertemu
malam ini ?" tanyanya. "Dimanakah kau pernah menguji aku
?"
Touw hwe Jitertawa. Dia tak lantas menjawab. Hanya dia
menoleh kepada muridnya, untuk berkata, "Ya Bie pergi
masuk kedalam. Kau suruh mereka itu --So Huan Cian Li--
berlalu, sedangkan kepada tua bangka tak tahu mampus itu,
kau berikan sebutir obat Ceng Sim Tan !"
Si nona Ya Bie menyahuti sambil menjura, lantas dia
mengundurkan diri.
Setelah murid itu berlalu, Touw Hwe Jie kata pada anak
muda di depannya : "Bukan aku sendiri yang menguji kau,
hanya Ya Bie muridku itu. Malam itu dikebun buah, dia
bertemu denganmu. Dia melihat kau muda dan tampan sekali,
hatinya sangat tertarik. Kontan setan cilik itu mencintai kau.
Dari masih kecil dia hidup di tanah hutan dan pegunungan ini,
dia tak mengerti adat istiadat, perihal pantangan pergaulan
pria dan wanita diluar garis, dia lantas menggodia kau dengan
ilmu Sin Kut Kang ! Yang dia belum paham sempurna.
Demikian di dalam gua, berulang kali dia mengganggumu,
buat membangunkan nafsu birahimu, tetapi dia tak berhasil
memancingmu. Tentang itu, dia menceritakan padaku, maka
itu aku menjadi mendapat tahu kaulah orang satu-satunya
yang tepat untuk menjadi muridku, guna menerima warisan


Hoan Kan Bie Ciu itu. Nah, sahabat Tio, kau telah dengar
semua, maka jawablah, benarkah peristiwa itu ?"
It Hiong melengak.
"Benar !" sahutnya selang sejenak. Ia ada terlalu jujur buat
menyangkal, meski sebenarnya ia jengah.
Touw Hwe Jitertawa berkakak, sampai rambutnya yang
kusut beterbangan. Lama dia tertawa, baru dia berhenti.
"Sekarang," katanya, "tak perduli kau suka menerima atau
tidak, mesti aku mengajari Hoan Kek Bie Ciu kepadamu....!"
It Hiong menjublak, lalu ia merasa tak puas. Pikirnya :
"Aneh, didalam dunia ini ada orang yang begini memaksakan
diri hendak mewariskan ilmu kepandaiannya !"
Tengah ia berpikir itu, It Hiong lantas melihat di depannya
ada beberapa Touw Hwe Jie hingga ia menjadi bingung.
Justru itu ada sebelah tangan yang meluncur ke arahnya,
untuk menekan jalan darahnya, jalan darah beng bun.
Di dalam keadaan biasa, tak perduli Touw Hwe Jie sangat
gesit dan cepat, tak nanti dia dapat menowel tubuhnya si anak
muda. Kali ini keadaan lain. Kali ini anak muda itu justru
terpengaruhkan ilmu Hoan Kak Bie Cin yang membuat mata
orang kabur.
Tiba-tiba It Hiong merasai tubuhnya kaku dan pada jalan
darah beng bun itu terasakan terasalurkan hawa dingin
bagaikan es. Tanpa ia merasa, ia menggigil kedinginan. Tapi ia
masih sadar, maka ia mendongkol sekali.


"Touw Hwe Jie" bentaknya, "kau menyerang secara
membokong, apakah artinya perbuatanmu ini ?"
Tapi si nyonya tua berkata dengan sungguh-sungguh, "Aku
si tua hendak menyalurkan masuk tenaga latihanku beberapa
puluh tahun ke dalam tubuhmu supaya aku bisa membantumu
di dalam waktu yang sangat singkat mempelajari sempurna
ilmu Hoan Kak Bie Cin ! Apakah kau tidak puas dan tak sudi
menerimanya ? Lekas kau duduk bersila dan dengan tenang
mengatur pernafasanmu ! Kau pejamkan mata !"
It Hiong tidak puas. Masih ia berkata : "Kau terima baik
dahulu dua rupa permintaanku, baru aku suka menerima
pelajaran ilmu dari kau ini !"
"Apakah syaratmu itu ?" tanya si nyonya. "Lekas bilang !"
"Yang pertama," sahut It Hiong yang mengemukakan
syaratnya. "Kalau lain kali ada orang keliru mendatangi Cenglo
Ciang ini, kau harus nasehati dia secara baik dan antarkan dia
keluar dengan tidak kurang suatu apa ! Sebaliknya, jangan
kau aniaya atau membinasakannya !"
"Dan apakah itu yang kedua ?" Touw Hwe Jie tanya pula.
It Hiong berpikir dahulu baru dia berkata : "Diantara kita
tidak ada soal guru dengan muridnya ! Kau telah melepas budi
memberikan pelajaran padaku, budi itu aku ingat di dalam hati
sanubariku. Di belakang hari akan aku balas budimu ini. Tetapi
kalau nanti kemudian kita bertemu pula dalam dunia sungai
telaga, kau harus berdiri dipihakku ! Aku Tio It Hiong !"
"Apakah masih ada permintaan lainnya ?" Touw Hwe Jie
tanya pula.


"Tidak ada lagi." sahut It Hiong. "Hanya itu jiwanya Couw
Kong Put Lo, aku minta kau suka mengasihaninya !"
"Semua syaratmu aku si wanita tua menerimanya !" sahut
Touw Hwe Jie. "Sekarang kau duduklah biar tenang dan
meluruskan nafasmu dengan baik, untuk kau menerima
pelajaranku !"
It Hiong tidak berkata apa-apa lagi, ia terus duduk dengan
tenang. Ia menyalurkan tenaga Hian Bun Sian Thian Khie kang
dari gurunya, membuat dirinya tenang, maka juga dilain saat
ia sudah berada didalam keadaan sempurna untuk segala
keadaan, sedangkan selama belajar pedang Gie Kiam Sut,
kedua nadinya jim dan tok telah terasalurkan selesai.
Demikian ketika hawanya Touw Hwe Jiterasalurkan masuk,
maka dua hawa dingin dan panas bercampur menjadi satu
menjadi hangat dan rasanya nyaman menyenangkan sekali.
Hawa itu menjalar ke seluruh jalan darah, memasuki apa yang
dinamakan Hian kwan, pusat kehidupan dan kematian.
Tiba-tiba terdengar Touw Hwe Jitertawa dan kata : "Eh,
kiranya kedua nadimu jim dan tok sudah terasalurkan
sempurna, pantas kau lihai ! Itu artinya mempermudah untuk
kau menyempurnakan Hoan Kak Bie Ciu !"
It Hiong membuka matanya, ia melihat cuaca sudah terang.
Barulah ia ketahui yang tanpa merasa sang waktu sudah lewat
dengan cepat. Sebentar saja berlalulah waktu empat jam
lamanya. Ia lantas berbangkit.
"Nah, sekarang ada pelajaran apa lagi ?" tanyanya. "Atau
apakah sekarang aku sudah selesai ?"


Touw Hwe Jie mengeluarkan sejilid buku kecil dari sakunya,
sembari menyerahkan itu kepada si anak muda, ia berkata :
"Kau sudah berhasil ! Inilah hasil yang cepat luar biasa !
Sekarang, kau bacalah kitab ini lalu melatihnya. Maka segera
kau dapat berbuat apa saja yang kau suka dengan ilmu Hoan
kak Bie Cin ini !"
It Hiong menyambuti menerima kitab itu, ia membaca
selewatan lantas ia masuki itu kedalam sakunya.
"Kau..." katanya, atau mendadak ia merendah.
"Apa ?" tanya Touw Hwe jie, agak heran.
"Diantara kita telah terjalin budi menyerahkan dan
menerimanya," kata si pemuda ragu-ragu. "Karena itu, apa
atau bagaimanakah aku harus membahasakan kau ?"
Touw Hwe Jitertawa.
"Aku si wanita tua sudah berusia delapan puluh lebih,"
katanya, "kau panggil saja cianpwe padaku !"
Justru itu It Hiong menoleh kesamping mana si nona,
diatas kursi batu ia melihat Couw Kong Put Lo, yang tengah
berduduk. Tak tahu ia kapan kawan itu muncul. Dia duduk
menyandar, napasnya sengal-sengal, mukanya pucat pasi dan
berkerut. Karena dia telah kembali kepada muka asalnya,
wajah dari seorang tua. Ia terperanjat.
"Cianpwe !" ia tanya Touw Hwe Jie, "kenapa Couw Kong
Put Lo menjadi demikian rupa ?"
Wanita itu menjawab dingin : "Itulah hasil atau akibatnya,
dia main-main asmara ! Dia telah berjalan di jalan kematian


tetapi dia berhasil mendapati pulang nyawanya. Darah
didalam sumsumnya telah tersedot tak sedikit oleh Sa Hun
Cian Li, dia makan obatku, obat Ceng Sim Tan, yang
menetapkan hati, dia tak akan berkhayal lagi, berfikir yang
tidak-tidak...."
Lega hatinya It Hiong mendapati Couw Kong Put Lo tidak
hilang jiwa, ia lantas menghampirinya dan menanya,
"Locianpwe, kau toh tak kurang sesuatu apa ?"
Orang tua itu mengangkat kepalanya, mengawasi si anak
muda.
"Aku si orang tua roboh dalam demam asmara." katanya
masih belum tentram juga. "Aku merasa tersiksa lebih
menderita dari pada mati."
It Hiong menghibur. "Sekarang locianpwe, kau harus
istirahat ! Jangan locianpwe putus asa. Bukankah ada pepatah
yang mengatakan, asal sang gunung hijau, kita tak akan
kekurangan kayu bakar ?"
Mukanya Couw Kong Put Lo bersemu sedikit merah,
pertanda dia malu berbareng mendongkol, mendadak dia
mengerahkan tenaganya untuk berlompat bangun, guna
berlari-lari turun gunung. Tapi dia masih sempat menoleh dan
berkata keras : "Sakit hati ini harus dibalas !" Dia lari terus.
It Hiong mengawasi sampai orang lenyap dari pandangan
matanya. Ia tidak bilang apa-apa. Ia tidak menyusul atau
pergi, ia hanya terus berdiam bersama Touw Hwe Jie buat
melatih Hoan Kak Bie Ciu dibawah petunjuk dan penilikan
wanita tua itu. Dengan demikian ia menjadi berdiam terus
dirumah batu di lembah Goh Cit Kok itu sampai beberapa hari.
Selekasnya ia sudah selesai, ia keluar dari Cenglo Ciang


dengan diantar oleh Ya Bie yang menunjuki jalan sampai di
jalan umum. Hanya ketika keduanya mau berpisah, Ya Bie
agaknya merasa berat.....
Sekeluarnya dari tanah pegunungan itu, gunung Bu Lian
San, It Hiong segera keras memikirkan pula pamannya yang
terancam bahaya racun ular itu. Hal kedua yang ia ingin tahu
ialah kesudahannya pertempuran di gunung Tay San. Dan
akhirnya soal ketiga urusan pribadinya ialah soal asmara.
Hari itu It Hiong tiba di daerah pegunungan In Bu San
dipropinsi Kwiuciu. Karena waktu baru tengah hari tepat, ingin
ia singgah di kecamatan Tengkoan saja.
Ketika itu ada di pertengahan musim gugur, diwaktu
tengah hari matahari panas seperti api membakar, maka ia
lantas berhenti dibawah sebuah pohon di tepi rimba di kaki
gunung. Ia duduk diatas akar pohon yang berbongkol besar,
matanya dipejamkan. Angin yang bersiur-siur membuatnya
merasa nyaman. Baru kemudian ia membuka mata untuk
terus melepaskan nafas lega kemudian lagi tangannya
merogoh kepinggangnya guna mengambil kantong air, sebab
ia merasa berdahaga atau segera ia ingat yang ditengah jalan
tadi, airnya telah terminum habis. Maka ia berbangkit dan
berjalan akan mencari sumber air, guna mengisikan kantong
airnya itu.
Sekarang ini tubuh It Hiong jauh terlebih ringan daripada
biasanya. Kedua nadinya jim dan tok yang telah terbuka telah
disempurnakan oleh Touw Hwe Jie si nyonya tua yang aneh
sikapnya itu, maka itu ia dapat berjalan jauh lebih ringan dan
cepat. Ia sudah melewati sebuah lembah tetapi ia tetap masih
berada ditepian rimba. Rupanya rimba itu luas dan panjang
hitung lie.


Tidak ada sumber air yang diketemukan, tidak telaga, tidak
curug. Maka ia memikir buat kembali saja atau tiba-tiba sang
angin membawakannya suara air tumpah. Segera ia
memasang telinga akan mendengar lebih jauh. Suara air
datangnya dari dalam rimba, air seperti tengah memukuli
batu....
Tanpa ragu lagi, si anak muda bertindak cepat ke dalam
rimba. Ia sudah memasuki jauh juga, sang air masih belum
diketemukan. Ia maju lebih jauh sampai di depannya tampak
mengapungnya sebuah dinding gunung tinggi sepuluh tombak
dan sela-sela dinding gunung itu terlihat air mengucur turun,
jatuhnya ke bawah menimpa batu-batu besar. Air berbunyi
nyaring dan bermuncratan, tetapi tadi, kalau tidak dibawa
sang angin, suaranya itu tak terdengar sama sekali.
Segera It Hiong menghampiri air itu. It Hiong merasakan
ketenangan rimba itu, tidak heran kalau lantas ia mendengar
suara oarng berbicara, ia heran. Lantas ia memasang telinga.
Suara itu sering berhenti. Ia merasa orang yang mengeluarkan
suara itu seorang ahli tenaga dalam.
"Kenapa di dalam rimba ini, diapit gunung, ada demikian
banyak orang ?" pikirnya lebih jauh. Ia mendengar bukan
suaranya satu orang hanya lebih. "Siapakah mereka ? Mereka
tengah melakukan apakah ? Baik aku melihatnya."
Maka ia merapikan kantung airnya, terus ia bertindak keras
ke arah suara itu.
It Hiong berjalan dengan tindakan ilmu ringan tubuh
Tangga Mega. Maka ia dapat melangkah cepat dan tanpa
suara apa-apa. Selekasnya sudah melalui tiga puluh tombak
lebih, di depannya ia melihat belasan orang sedang duduk
berkumpul dibawah sebuah pohon besar, dimana mereka itu


asyik berbicara, mereka pria dan wanita, ada yang berjubah
suci, ada yang biasa saja dan bekal senjatanya pedang dan
golok. Mereka duduk bersila dalam sebuah bundaran.
Melihat caranya orang berduduk saja, It Hiong merasa
heran. Itulah cara duduknya kaum rimba persilatan. Dengan
berduduk demikian, orang tak usah tengok sana tengok ini
untuk melihat andiakata ada orang luar yang datang ke arah
mereka. Sebab mereka masing-masing sendirinya sudah
melihat ke sekitar mereka.....
It Hiong tidak mau kena dipergoki. Ia ingin ketahui dahulu,
siapa mereka itu. Mereka orang lurus atau sesat, maksudnya
baik atau buruk. Ia pula tak ingin dicurigai, sebab itulah
berbahaya. Celaka kalau ia disangka sebagai mata-mata. Maka
lantas ia lompat naik ke atas pohon, akan bersembunyi
diantara dahan-dahan daun-daun yang lebat. Dengan berhatihati
ia merayap diatas pohon itu supaya ia bisa datang lebih
dekat. Dari tempat jauh tak dapat ia mendengar tegas
pembicaraan orang. Dengan berada lebih dekat, ia pun bisa
melihat lebih nyata pada mereka itu.
Karena formasi tempat persembunyiannya itu, It Hiong jadi
menghadapi beberapa orang, sebaliknya beberapa orang
membelakangi padanya. Kebetulan baginya, orang yang paling
dahulu ia lihat, ia kenali sebagai Heng San Kiam khek It Yap
Tojin, gurunya Gak Hong Kun. Rahib itu mudah dikenali dari
kundia dan janggutnya yang panjang dan jubahnya serta
pedang yang menggemblok di punggungnya.
It Yap Tojin diapit di satu sisi oleh seorang tua yang
bertubuh besar dan berwajah keras, alisnya gombiok,
matanya tajam dan berewokan pula. Di sisi dia itu berduduk
seorang nona yang cantik yang dikenalnya, Siauw Wan Goat
adanya. Di sisi yang lain ada seorang wanita usia empat puluh


tahun lebih, mukanya merah, air mukanya menarik tetapi
rambutnya sudah putih semua, bajunya dengan pundak
terbuka, bajunya itu tersulamkan banyak gambar kupu-kupu.
It Hiong mengenali pria itu ialah Tocu pemilik atau tertua
dari To Liong To, ialah Kang Teng Thian, sedangkan si nyonya
setengah tua adalah Ang Gan Kwie Bo dari gunung Ngi Cie
San dikepulauan Haylam.
Dan orang yang menarik perhatiannya anak muda itu ialah
dua orang tua yang tampangnya luar biasa. Mereka itu katal
torokmok, mukanya penuh dengan daging tak rata. Mereka itu
bermata tajam dan galak, senjatanya ialah golok. Rupanya
mereka bersaudara. Yang paling aneh ialah yang satu kutung
lengan kirinya, yang lain buntung lengan kanannya.
Seorang lain yang It Hiong kenali ialah Kim Lam It Tok
yang mukanya ia lihat sebagian saja. Mereka yang
membelakanginya, sulit buat melihat atau mengenalinya.
Pembicaraan mereka itu berlangsung terus sampai It Hiong
mendengar suaranya It Yap Tojin. Kata imam itu : "Kekalahan
di Tay San disebabkan Thian Cie Toheng terlalu memandang
ringan kepada pihak lawan. Pinto tidak turun tangan tetapi
pinto merasa kecewa dia membuang jiwanya!"
Imam itu bicara dengan lagak jumawa, agaknya dia puas
jauh dia tidak turut di dalam pertemuan atau pertemuan besar
itu.
Suara jumawa itu mendapatkan sambutan seorang wanita
yang suaranya nyaring bagaikan kelenengan. Begini sambutan
itu : "Benar, guruku itu bercelaka tetapi dia toh membuat si
pengemis terluka parah ! Totiang, kau bicara dengan caramu


ini, kalau begitu kemanakah perginya persahabatan diantara
kau dan guruku itu ?"
"Hm !" si imam memperdengarkan suara dinginnya.
"Budak, jangan kau sembarang menggoyang lidahmu !
Tahukah kau akan maksudnya pertemuan kita ini ? Pinto
justru hendak membangun Bu Lim Cit Cun, guna
membalaskan sakit hatinya gurumu ! Rombongan yang
menyebut dirinya kaum lurus itu harus dimusnahkan
seluruhnya !"
It Hiong mengenali wanita itu ialah Teng Hiang.
Sampai disitu maka Kang Teng Thian lantas campur bicara.
Tanya dia, "It Yap Totiang, dapatkah kau memberikan
penjelasan bagaimana caranya memilih Bu Lim Cit Cun itu ?"
Bu Lim Cit Cun itu berarti Tujuh Jago.
It Yap Tojin tertawa lebar. "Pemilihan itu mudah saja asal
dicari dahulu orang atau orang-orang yang bersatu tujuan
dengan kita" sahutnya kemudian. "Disebelah itu mereka
haruslah yang ilmu silatnya tinggi. Pinto memikir untuk
meminta kalian memilih atau menyebut beberapa nama.
Mereka itu dapat mereka yang sekarang hadir disini atau
tidak."
"Bagaimana andiakata jumlah yang dipilih lebih daripada
tujuh orang ?" tanya Ang Gan Kwie Bo.
Si orang tua yang tangan kirinya kutung mencela, "Kalau
sampai terjadi begitu, aku pikir tidak ada halangannya kita
merubah sebutan menjadi Pat Cun atau Cap Cun !"
Pat ialah delapan dan Cap ialah sepuluh.


Suara itu mendatangkan suara dingin "Hm" daripada
hadirin, maka juga orang tua itu serta saudara, ialah Yan Tio
Siang Cian menjadi jengah, wajahnya pucat dan suaram
bergantian.
Kang Teng Thian lantas berkata pula. "Totiang kau
berpengetahuan luas dan ilmu silatmu lihai. Aku percaya
totiang telah mempunyai rencanamu, maka itu tolong kau
memberi pengutaraan. Silakan lekas bicara, tak usah totiang
bersangsi-sangsi !"
It Yap Totiang bersikap ayal-ayalan. Ia mengurut pula
janggutnya. Ia tertawa dahulu baru ia berkata : "Kang To cu
terlalu memuji aku ! Tak dapat pinto menerima pujian itu !
Niatku ialah begini. Kita mengumpul sebanyak kita bisa, lantas
kita memilih tujuh diantaranya."
Mendengar demikian sunyi sidang itu. Orang saling
mengasi
"Seperti telah pinto katakan, namanya badan kita itu mesti
tetap bernama Bu Lim Cit Cun," kata pula si imam habis
memandangi semua hadirin. "Kita memilih mereka yang paling
lihai, lalu satu diantaranya kita angkat menjadi bengcu kepala
kemudian kepala itu nanti memberi nama apa saja kepada
enam sebawahannya itu, terserah."
Lantas terdengar suara dingin dari seorang wanita, "Tapi
totiang, bagaimana kau hendak memilih tujuh orang itu ?
Bagaimanakah caranya supaya mereka yang tidak terpilih
nanti merasa puas dan suka tunduk kepada segala
perintahnya ? Kita harus berlaku adil dan mempuasi semua
pihak !"


Kiranya pembicara itu ialah Kwie Tiok Giam Po dari Losat
Bun, Ay Lao San.
"Itulah justru yang barusan aku minta It Yap Totiang
menyebutkannya !" berkata pula Kang Teng Thian yang suara
dalam.
"Aku menghendaki cara pemilihan yang dapat diterima
semua orang."
"Cara itu ialah kita mengadu kepandaian kita." It Yap Tojin
menjawab. "Umpama kata kepandaianku tidak berarti, dengan
segala senang hati aku akan mengalah. Apa yang aku minta
ialah setelah menjadi Bu Lim Cit Cun, orang tetap berlaku
agung, tak berat sebelah ke pihak mana juga supaya semua
orang tunduk dan puas ! Bagaimana pendapat para hadirin ?"
Diwaktu bicara itu, imam ini bersikap gagah sekali bahkan
rada pemberang. Rupanya dia merasa bahwa dia yang bakal
menjadi bengcu dari Bu Lim Cit Cun itu. Sebelum orang mau
menjawab, dia sudah berkata pula : "Seperti aku kata
barusan, kita memilih orang dengan mengadu kepandaian.
Kita menetapkan satu tempat dan waktunya, di sana siapa
yang berminat menjadi Bu Lim Cit Cun hadir untuk diuji....."
Ang Gan Kwie Po menyela, "Cara ini memang sederhana
tetapi aku anggap kesudahannya dapat merusak kerukunan
diantara kita ! Pula kaki dan tangan sukar dikendalikan
sepenuhnya, bagaimana kalau ada yang keterlepasan
gerakannya dia melakukan lawannya. Maka itu aku pikir,
walaupun sederhana tiada pemilihan ini tak dapat diambil....."
It Yap Tojin menoleh kepada nyonya itu, matanya dibuka
lebar.


"Tunggulah sampai pinto sudah bicara habis !" katanya.
"Setelah itu semua orang memikirkan dan memberikan
pertimbangannya."
Dia mengangkat bahunya dan menyambungi. "Tak usah
dijelaskan lagi bahwa orang yang dipilih sebagai Bu Lim Cit
Cun mesti seorang kepala partai atau sedikitnya yang
kepandaiannya lihai luar biasa. Sesudah diuji barulah dapat
diketahui orang pandai sampai dimana ! Kepandaian itu tak
terbatas kepada ilmu keras atau lunak atau dengan
bersenjata, yang penting ialah dia mengatasi semua orang.
Aku percaya, orang semacam itu pasti akan ditaati...."
Semua orang setujui pikiran ini, mereka pada bertepuk
tangan.
It Yap Tojin menunjuk tampang puas. "Jika para hadirin
sudah setuju, nah, silakan tolong tunjuki nama-nama orang
yang dipilih itu ! " katanya kemudian. "Akan pinto mencatat
nama mereka itu, untuk kemudian kita memilih tempat dan
tanggal pertemuan guna melakukan ujian."
It Hiong mendengari pembicaraan itu dengan merasa
girang berbareng mendongkol. Girang sebab ia ketahui
maksudnya It Yap Tojin. Mendongkol sebab terang mereka itu
berkomplot buat mengganggui dan mencelakai kaum lurus.
Jadinya mereka itu hendak mengacau saja. Inikah yang
dinamakan bencana rimba persilatan ?
Satu hal melegakan hatinya It Hiong. Dari pembicaraan
mereka ini dapat diterka yang dalam pertemuan besar di Tay
San, kaum sesat itu sudah tidak memperoleh hasil bahwa
Thian Cie Lojin, ketuanya, menerima bagiannya yang hebat
itu. Hanya, entah bagaimana dengan pihak lurus.....


Dengan berlaku sabar, It Hiong terus sembunyi memasang
telinga dan mata.
Pembicaraan rombongan itu dilakukan terus, ramai suara
mereka. Selang hampir setengah jam baru mereka menjadi
reda. Justru didalam kesunyian, sekonyong-konyong Kwie Tiok
Giam Po dari Losat Bun berkata terkejut : "Ah, aku si wanita
tua lupa ! Aku melupakan namanya seorang yang berilmu
tinggi ! Dialah Kip Hiat Hong Mo Touw Hwe Jie dari Cenglo
Ciang dari Bu Liang San ! Dia lihai sekali hingga dari aku harus
mengalah tiga bahagian dari dianya....."
Nyata namanya Kip Hiat Hong Mo masih asing bagi
kebanyakan hadirin itu, banyak yang melongo mendengarnya.
Semua lantas mengawasi jago Losat Bun itu.
It Yap Tojin kenal Touw Hwe Jie. Pada kiranya empat puluh
tahu dahulu, pernah dia menemuinya satu kali. Kang Teng
Thian kenal nama tetapi tak pernah bertemu, jangan kira,
kenal pada orangnya.
Setelah berpikir sejenak It Yap Tojin berkata : "Ya, aku
kenal Kip Hiat Hong Mo Touw Hwe Jie. Dia pandai ilmu silat
Sin Kut Kang. Pada empat puluh tahun, pernah aku
menemuinya di perbatasan propinsi Inlam. Ketika itu dialah
seoang nona yang gemar mengenakan kain hitam. Kemudian
pinto dengar wajahnya itu bukan wajah yang asli. Sampai
sekarang ini dia tentunya telah berusia delapan atau sembilan
puluh tahun. Apakah dia masih hidup ?"
"Aku si perempuan tua penah kenal dengannya," berkata
Kwie Tiok Giam Po. "Beberapa waktu yang lampau ada orang
yang mencari pohon obat-obatan di gunung Bu Liang San dan
pernah bertemu dengan muridnya. Katanya dia dilembah Gah
Cit Kok di Cianglo Ciang dan dia masih sehat walafiat."


It Yap Tojin memperlihatkan tampang ragu-ragu,
sedangkan didalam hati ia kata : "Mana dia itu diundang ! Dia
pasti terlebih lihai daripada aku..." Kemudian ia kata, "Dia
sudah mengundurkan diri puluhan tahun, dia telah hidup
menyendiri begitu lama, tak mudah akan mengundang dia
turun gunung...."
Teng Hiang masih tidak puas sebab si rahib menghina
gurunya, maka dia campur bicara dan berkata nyaring : "Yang
kita kehendaki jalan kemenangan, yang hendak kita balas
ialah dendam sakit hati ! Karena itu selagi di depan kita ada
orang sedemikian lihai, kenapa kita tidak mau pergi
mengundangnya ?"
Nona ini bicara secara gagah, ia mendatangkan kesan baik
dari para hadirin. Setelah berkata begitu, ia minta Kwie Tiok
Giam Po mengajaknya pergi mengundang ahli Sin Kut Kang
itu. Ia kata ingin sekali ia jalan-jalan ke Cenglo Ciang.
Untuk sekian lama orang berdiam, maka Kang Teng Thian
berkata pula, "Tuan-tuan bagaimana? Apakah tuan-tuan
bersedia untuk memilih tempat serta tanggal bulannya
pemilihan akan dilakukan ?"
Kiu Lam It Tok telah berdiam saja tetapi kali ini tak dapat
dia membungkam terus. Kata dia, "Baiklah tanggal bulan itu
kita tepatkan hari raya Tiong Yang dan tempatnya ialah ini
gunung In Bu San di puncak utamanya ! Bukankah urusan
selesai sudah ?"
Kang Teng Thian campur bicara. Ia bersikap sabar dan
berkata tenang. "Aku fikir hari raya Tiong Yang sudah terlalu
dekat. Mungkin kita tidak keburu berkumpul bersama.
Sekarang sudah lewat pertengahannya musim gugur, untuk


sampai kepada hari raya Tiong Yang itu harinya tinggal
sepuluh hari kira-kira ! Aku fikir baik kita mundur sampai
pertengahan bulan pertama tahun yang akan datang, disaat
pesta Cap Gome ! Bukankah itu terlebih bagus ?"
Pikirannya ketua dari To Liong To ini mendapat kesetujuan
umum. Maka hari dipilihnya itu telah ditetapkan. Sesudah
berjanji untuk nanti berkumpul pula dipuncak utama In Bu San
mereka lantas bubaran.
It Hiong menanti sampai orang sudah bubar semua, baru ia
keluar dari tempatnya sembunyi. Dengan lekas ia mengambil
keputusan. Ia mesti lekas pulang ke Siauw Lim Sie memberi
kabar pada pihak Siauw Lim Pay perihal bahaya yang lagi
mengancam ini. Sungguh kebetulan, ia mendengarnya. Maka
tanpa ayal lagi, ia juga meninggalkan tempat itu. Ia lari keras
dengan ilmu ringan tubuh Tangga Mega sebab ketika itu
sudah lohor. Ia berlaku hati-hati agar jangan sampai ia terlihat
orang atau orang-orang rombongan tadi.
Terpisahnya gunung In Bu San di kecamatan Kwieteng
cuma kira tiga puluh lie. Waktu begitu, jalanan juga sudah
sepi. Lebih-lebih ditengah, tak seorang tampak. Tiba di dalam
kota, It Hiong melihat cuaca magrib. Nyata kota itu ramai
sebab Kwieteng adalah kota hidup untuk menuju ke Ouwlam.
Tengah pemuda kita mencari penginapan, ia berpapasan
dengan dua orang yang tadi hadir dipertemuan di dalam
rimba. Yang satu ialah si orang tua yang alisnya gomplok dan
berewokan yang tubuhnya tinggi besar dan yang lainnya satu
nona yang bukan lain daripada Siauw Wan Goat dari To Liong
To.
Nona Siauw berpakaian serba merah, rambutnya dijepit
gelang pada mana ada tusuk konde burung-burungan. Ketika


mereka berpapasan dekat, matanya It Hiong dan matanya si
nona bentrok satu dengan lain. Ia lewat terus dengan
berpura-pura tak memperhatikan si nona itu.
It Hiong sementara itu tidak tahu halnya Gak Hong Kun
sudah menyamar sebagai dianya bahwa dikecamatan Lapkeng
didalam penginapan, Hong Kun sudah permainkan Siauw Wan
Goat. Ia sama ingat halnya digunung Heng San, Wan Goat
telah menggoda padanya tanpa ia mengerti duduknya hal. Ia
menyesal berpapasan dengan nona itu, yang nampaknya
tergila-gila padanya.
Habis bertemu Nona Siauw itu, It Hiong berjalan cepat
sekali. Masih ia memikirkan hal nona itu waktu ia tiba
disebuah rumah penginapan merangkap rumah makan.
Selama itu hari sudah malam dan tamu-tamu restoran telah
berkurang.
Lebih dahulu It Hiong memesan barang makanan sekalian
dengan araknya. Ia sudah berjalan jauh, hendak ia
menyegarkan diri dengan minum sedikit, supaya setelah
letihnya hilang, dapat ia tidur nyenyak.
Tepat sedangnya si anak muda mengangkat cawan
araknya, Siauw Wan Goat tiba bersama si orang tua. Mereka
itu mengambil tempat di meja didekatnya. Habis memesan
barang makanan, Wan Goat berbisik pada si orang tua yang
menjadi kawannya itu. Selagi berbisik, ia terus melirik anak
muda kita.
It Hiong bersantap sambil menunduki kepala. Ia tidak
menyangka yang si nona dan si orang itu mengikutinya. Ia
heran ketika tiba-tiba si orang tua menghampirinya dan
sembari memberi hormat dia menyapa : "Tuan, adakah kau
Tuan Tio It Hiong, murid dari Pay In Nia ?"


Orang tua itu bicara dengan tenang tetapi suaranya
sungguh-sungguh. Terang ia tengah menguasai diri, supaya ia
tak terpengaruh hawa amarahnya. Ia mau memegang
derajatnya sebagai seorang tua, sebagai ketua dari satu
golongan. Dialah Kang Teng Thian pimpinan dari To Liong To.
Ia sekarang hendak melindungi dan berbuat baik untuk Siauw
Wan Goat, adik seperguruannya itu.
It Hiong bangkit untuk mengawasi orang yang menyapanya
itu, yang ia tidak kenal, walaupun ia nampak heran, ia toh
lekas-lekas membalas hormat sambil memberikan
jawabannya, "Aku yang rendah benar Tio It Hiong. Siapakah
kau, bapak ? Apakah she dan nama yang mulia dari bapak ?
Ada pengajaran dari bapak untukku ? Silahkan duduk ! Mari
minum !"
It Hiong mempersilahkan duduk sambil ia menuangkan air
teh.
Orang tua itu menunjuki wajah padam, dari mulutnya juga
terdengar suara "Hm!". Ia berduduk dengan perlahan-lahan.
"Aku si orang tua adalah Kang Teng Thian dari To Liong
To," demikian ia perkenalkan diri. "Aku mempunyai seorang
adik seperguruan yang ketujuh namanya Siauw Wan Goat.
Apakah saudara Tio kenal padanya ?"
Berkata demikian Teng Thian menoleh dan menunjuk pada
sumoaynya itu.
It Hiong melengak tetapi ia lantas berpaling ke arah nona
yang ditunjuk itu. Ia mendapati Siauw Wan Goat tengah
mengawasinya. Dari sinar matanya si nona terang si nona itu
sangat prihatin terhadapnya. Itulah rasa cinta yang bercampur


penyesalan atau penasaran. Mata nona itu tergenangkan
airmatanya.....
Saking heran It Hiong melengak. Sekian lama ia teringat
akan lagak si nona baru-baru ini, suatu hal yang ia tak
mengerti.
Teng Thian nampak tak sabaran, ia mesti menanti sekian
lama.
"Hm !" kembali terdengar suara dinginnya. "Saudara Tio,
mengapa kau tidak menjawab pertanyaanku si orang tua ?
Apakah karena melihat adik seperguruanku itu maka lantas
mengerti akan kesalahanmu sendiri ?"
Si anak muda makin heran, dari melengak dia menjadi
bingung.
"Sebenarnya aku yang muda pernah bertemu dengan nona
Siauw yang menjadi adik seperguruanmu itu," sahutnya
kemudian terpaksa. "Apakah yang hendak kau tanyakan, Keng
cianpwe ? Aku mohon suka apalah kau menunjuki."
Kumis dan janggutnya Teng Thian bergerak sendirinya.
Itulah bukti ia tengah menguasai dirinya, guna mengendalikan
hawa amarahnya. Tak mau ia segera bentrok dengan anak
muda di depannya ini.
"Saudara Tio, kau cuma pernah bertemu satu kali dengan
sumoayku ?" berkata dia menahan sabar. Tetapi suaranya
bernada keras dan ketus. "Bahkan kau pernah menghinanya !
Masihkah kau tak hendak mengakuinya ?"
It Hiong heran sekali tetapi ia berpikir, "Orang-orang To
Liong To termasuk kaum sesat. Mungkin sikapnya orang tua


itu disebabkan peristiwa di gunung Heng San hingga mereka
menjadi mendendam dan sekarang mencari gara-gara guna
melampiaskan dendamnya itu...."
"Aku mempunyai urusan penting buat pulang ke Siong San,
tak ada kesempatan buatku untuk melayani orang tua ini...".
Maka ia lantas menjawab sabar, "Bapak, secara kebetulan saja
aku bertemu dengan sumoaymu itu, apa yang telah terjadi
adalah diluar kehendakku. Karena kita sama-sama tak
unggulkan itu taklah dapat dibilang bahwa aku telah menghina
saudaramu itu. Tapi jika Kang cianpwe tetap menganggap aku
bersalah, bagaimana kalau aku matur maaf padamu ?"
Lantas It Hiong bangkit, ia mundur sedikit terus menjura
pada orang tua itu. Ia menjura dalam.
Justru orang minta maaf, justru Kang Teng Thian menjadi
gusar sekali. Ia pun tidak senang mendengar si anak muda
mengatakan tak menghinai adik seperguruannya itu.
"Hei, bocah !" bentaknya, "sebenarnya kau memikir
bagaimanakah terhadap adik seperguruanku itu ? Lekas kau
bicara terus terang di depanku si orang tua ! Kalau tidak... Hm
!"
Jilid 33
It Hiong menjadi heran. Ia pun menjadi tidak senang.
Seingatnya belum pernah ia berlaku merendahkan diri sebagai
kali ini, tidak karuan menghaturkan maaf pada orang yang
tidak dikenal.


"Kang cianpwe" katanya keras, "kalau kau tidak dapat
memaafkan aku, baiklah. Baik didalam air maupun di dalam
api, Tio It Hiong bersedia melayanimu !"
Ketua dari To Liong To juga menjadi gusar sekali. Tak
dapat ia menguasai diri lagi. Ia berbangkit dan menggeprak
meja, hingga cawan dan piring pada berlompatan.
"Tak kusangka kau yang bernama besar, kiranya begini tak
berharga !" teriaknya. "Bocah, bagaimana kau berani
menyangkal perbuatanmu atas dirinya adik seperguruanku itu
? Bagaimana sekarang kaupun berani kurang ajar di depanku
?"
It Hong menjadi terkejut sekali. Dia jadi semakin heran.
"Kang cianpwe !" katanya keras. "Keng Cianpwe kaulah
seorang ketua partai. Kalau kau bicara harus kau ingat akan
kedudukanmu yang tinggi dan mulia itu ! Bagaimana kau
mudah saja memfitnah orang ? Apakah kau tengah mencari
alasan untuk menerbitkan onar ?"
Kang Teng Thian menjadi bingung juga. Sikapnya si anak
muda membuatnya heran.
"Mari" ia menoleh kepada adik seperguruannya dan
memanggil sambil menggapaikan.
Siauw Wan Goat menghampiri sambil menundukkan kepala.
Biar bagaimana ia tetap masih mencintai orang muda itu yang
ia percaya Tio It Hiong adanya sedangkan orang yang
mempermainkannya ialah Tio It Hiong palsu. Ia kemudian
mengawasi si pemuda. Ia menutup muka cuma sinar matanya
menyatakan ia sangat berduka.


"Kau bilangi aku, bagaimana caranya bocah ini
menghinamu !" kata Kang Teng Thian bengis pada sumoaynya
itu. "Kakakmu nanti membelamu, tak peduli bagaimana licin
dan licik juga."
Wan Goat malu sekali. Mana dapat ia membuka rahasia
hatinya di depan orang lain sekalipun orang itu kakak
seperguruannya sendiri ? Disebelah itu, ia masih mengharap
akan dapat berbaik pula dengan "Tio It Hiong" bisa bentrok
hebat dengan kakak seperguruan itu. Dan yang sangat kejam
itulah berbahaya bahkan kesudahannya akan membuatnya
menyesal seumur hidupnya !
Begitulah dengan airmata bercucuran, ia mengawasi Tio It
Hiong. Mulutnya memperdengarkan tangis segak seguk sedih,
tangannya dipakai menunjuk ke dadanya si anak muda.
Tak dapat ia bicara.
Kang Teng Thian mengawasi sumoay itu. Ia menjadi
bingung. Ia bergusar tetapi tak dapat mengumbarnya. Bahkan
sebaliknya ia menjadi dapat berpikir, "Ah, lebih baik aku recoki
jodoh mereka berdua !"
It Hiong pun berdiam. Biar bagaimana ia berkesan baik
terhadap si nona. Ia merasa kasihan. Sekian lama ketiga
orang itu berdiri diam saja, cuma si nona terus menangis
sedih.
Akhir-akhirnya Tio It Hiong yang memecah kesunyian.
"Nona Siauw" berkata ia, "sebenarnya kenapakah kau menjadi
begini rupa ? Kenapa suhengmu ini mencari aku, hingga dia
menerbitkan gara-garanya ini ?"


"Kau.... kau...." berkata Wan Goat, tetapi cuma sebegitu
suaranya, airmatanya terus mengucur deras, tak dapat ia
meneruskan kata-katanya.
It Hiong mengawasi tajam. "Aku tahu aku tidak melakukan
kesalahan apa juga !" ia berkata pula sungguh. "Kalau benar
ada terjadi sesuatu aku minta kau tuturkan biar terang !"
"Ya, itu benar !" Kang Teng Thian turut bicara. "Kakakmu
ini bukan orang luar. Karena itu kau boleh bicara terang
terang ! Kau sebut kesalahannya supaya dia jangan terus
menerus berlagak pilon !"
Siauw Wan Goat mengeluarkan saputangannya buat
menepas airmatanya. Ia pun berhenti menangis.
"Kakak Hiong" katanya kemudian, perlahan, "kenapa kau
begini tak berbudi..."
Suara itu sangat sedih.
It Hiong bingung, kalau begini ia menerka urusan bukan
sebab urusan di Heng San itu. Maka ia lantas berkata
sungguh-sungguh, "Nona Siauw, kita sama-sama orang Kang
Ouw. Karena itu kalau kau bicara, bicaralah biar jelas !
Setahuku diantara kita tidak ada persahabatan atau pergaulan
kita baru mengenal satu dengan yang lain. Mengapa kau
katakan aku tidak berbudi ? Kapannya aku telah menyianyiakanmu
dan dalam urusan apakah ?"
Sambil berkata begitu It Hiong melirik Kang Teng Thian. Ia
mendapati muka orang merah padam dan tangannya dikepal,
tanda dari kemurkaannya. Ia heran hingga ia melengak.


Siauw Wan Goat mengawasi, matanya lemah, tampangnya
sangat lesu. Ketika ia berkata suaranya lemah juga. Katanya :
"Kakak Hiong benar-benarkah kau begini tak berbudi ? Kalau
begitu kenapakah kau mendustai dan menipuku ?"
Mukanya It Hiong merah dan pucat. Ia heran dan
mendongkol. Masih ia mencoba mengendalikan diri.
"Nona Siauw !" katanya, nadanya keras, "dalam urusan
apakah aku menipumu ? Kapannya aku menyia-nyiakanmu ?
Kau bicaralah terus terang supaya suhengmu ini mendengar
dan dapat menimbang !"
"Hal itu telah aku beritahukan suhengku" sahut si nona.
"Itulah urusan kita berdua, mana kakakku menimbangnya ?
Buatku sudah cukup asal aku tak berbuat, tak berbudi asal
tidak menyia-nyiakan diriku. Dengan begitu aku sudah puas,
tidak akan kau sesalkan padamu, kakak..."
It Hiong tunduk. Ia berpikir keras. Ia menerka si nona
tergila-gila padanya karenanya dia main gila, sekarang dia
mau gunakan kakaknya itu supaya si kakak mempengaruhnya.
"Tak mungkin !" pikirnya. Ia tidak kenal Wan Goat tadinya,
ia tidak bergaul dengan nona itu ! Darimana datangnya rasa
cinta ? Ya, ia belum pernah melakukan apa juga terhadap si
nona, apa pula terhadap kesucian dirinya.
"Nona ! Tio It Hiong adalah seorang laki-laki sejati !" kata ia
sungguh-sungguh, sikapnya gagah. "Kalau aku melakukan
sesuatu tak pernah aku sangkal itu ! Demikian terhadapmu !
Tak pernah aku melakukan apa juga ! Kita toh baru pernah
bertemu satu dua kali !"


"Ah, kakak !" kata Wan Goat, "apa katamu itu ? Sungguh
kau berkelakar ! Aku baru saja sembuh dari hajaran sebelah
tanganmu !"
It Hiong heran hingga ia mengawasi mendelong. Inilah
hebat. Kalau sumoay dan suheng itu berkongsi memfitnah
padanya sudah menganggap kehormatannya sumoay ini.
Kapannya ia pernah menghajar nona itu ? Bukankah itu yang
dinamakan orang "melukis ular dengan ditambahkan kakinya
?"
"Pasti disini ada sesuatu yang luar biasa...." pikirnya.
"Nona Siauw, sungguh aku tidak mengerti !" katanya. "Aku
pikir, baiklah hal ini dibikin terang....!"
Ah, Kak Hiong, kau memikir terlalu banyak...." kata si nona.
Kang Teng Thiang berdiri terus mengawasi muda mudi itu.
Ia heran hingga ia berpikir keras. Kedua pihak sama-sama
ngotot. Dapatkah ia datang sama tengah ? Adik itu harus
dikasihhani tetapi si adik tak dapat menggusari It Hiong.
"Sudah tak siang lagi." katanya kemudian. "Mari kita masuk
ke dalam kamar. Di sana kita bicara lebih jauh."
Memang, mereka itu bicara di tempat terbuka.
Orang tua itu menghampiri pengurus hotel, akan
melemparkan sepotong perak. Ia minta disediakan tiga buah
kamar yang bersih. Setelah itu ia mengikuti seorang pelayan
yang mengantarkannya ke dalam. Lebih dahulu mereka pergi
ke kamar mandi untuk membersihkan diri kemudia bertiga
mereka duduk disebuah kamar.


"Kamu berdua anak muda, kamu membuat aku si orang tua
pusing." kata kemudian Kang Teng Thian. "Sekarang, apa juga
urusan kalian, kalian boleh utarakan secara bebas, jangan
kuatir aku si orang tua mendengarnya."
Orang tua itu lantas menghampiri pembaringannya, ia naik
diatas itu untuk merebahkan diri, untuk beristirahat sambil
memejamkan mata.
Selama itu It Hiong menurut saja. Ia penasaran dan ingin
tahu ia dituduh tak berbudi di dalam urusan apa. Selekasnya si
orang tua merebahkan diri, ia lantas tanya, "Nona, kapannya
kau dilukai oleh aku ? Cobalah kau jelaskan duduknya hal !"
Siauw Wan Goat melirik dahulu ke arah pembaringan
kepada sang Toa suheng, kakak seperguruannya yang paling
tua, kemudian ia menghampiri si anak muda untuk menjawab,
"walaupun aku telah dihajar kau, aku tidak membencimu,
maka itu buat apa kita bicarakan pula urusan itu ?"
"Aku justru mau minta keteranganmu, nona !" kata It Hiong
mendesak. "Aku ingin kau menjelaskannya sebab aku tidak
mengerti."
"Sebenarnya sudah cukup asal kau ingat peristiwa itu." kata
si nona sabar. "Kenapa kau begini mendadak menghendaki
aku bicara ? Apakah kau tidak kuatir orang mendengarnya dan
nanti mentertawakannya ?"
"Aku hanya kuatir kau keliru, nona" kata It Hiong. "Baiklah
nona, tuturkan itu dan dengan jelas!"
Wan Goat mengawasi lilin, hatinya goncang. Ia menghela
nafas.


"Di dalam hal ini aku yang harus dipersalahkan," katanya
perlahan. "Itulah disebabkan aku terlalu menyintaimu.
Demikian aku telah ditipu olehmu ! Dan sekarang habis ditipu
itu, aku pun dipermainkan...."
Ia tunduk dan menangis, air matanya meleleh, menetes
jatuh.....
It Hiong mengawasi, hatinya berpikir. Melihat keadaan si
nona, ia percaya nona itu tidak lagi mendusta. Hanya ia
merasa aneh, kenapa justru ia yang dituduh.
"Dilihat begini, mesti ada orang yang main gila...." pikirnya
kemudian. Ia menjadi curiga dan menerka-nerka. "Mesti hal ini
mesti dibikin jelas !"
Lantas anak muda kita merubah sikapnya. Ia mengulur
tangannya mencekal lengan si nona bagaikan seorang kakak.
Ia juga menyusut air matanya nona itu.
"Kau bicaralah, nona" katanya halus. "Kau tuturkan padaku
bagaimana caranya kau telah orang perhina. Kau tuturkan
semua biar jelas, supaya aku dapat mendengar dan
mengetahui...."
Wan Goat merasakan manis. Orang bersikap lemah lembut
terhadapnya. Maka diakhirnya ia meluluskan permintaan anak
muda itu.
Nona Siauw lantas menceritakan peristiwa di dalam hotel di
kota Lap kan di pinggiran propinsi Sa-coan, peristiwa malam
itu ia telah dipermalukan oleh It Hiong palsu yang ia sangka
Tio It Hiong tulen. Habis menuturkan, ia lantas mengawasi
anak muda di depannya itu untuk melihat sikap orang.


"Oh, begitu" seru It Hiong perlahan, suaranya tertahan. Ia
terus tunduk.
"Kakak Hiong" berkata si nona heran, "kakak, kenapa kau
melupakan aku sampai begini ?"
It Hiong balik menatap.
"Kau dengar nona," katanya kemudian. "Aku juga
mempunyai sebuah cerita. Kau dengarkan lalu kau pikirkan.
Bersediakah kau ?"
Wan Goat heran, tetapi ia mengangguk.
It Hiong lantas bercerita halnya ia membantu Beng Kee
Eng, pamannya di gunung Ay Lao San, terus akhirnya sampai
disini mereka berdua bertemu. Ia menuturkan semua kecuali
halnya di In Bu San ia telah mencuri lihat dan mendengari
semua pembicaraan kawanan sesat itu yang dikepalai oleh
Yap It Tojin hendak memusuhkan kaum lurus.
Mendengar cerita anak muda ini, Wan Goat jadi berpikir.
Lantas ia ingat keterangannya Tan Hong tentang Tio It Hiong
palsu. Kalau anak muda ini benar, terang ia telah ditipu orang.
Tentu sekali hal itu membuatnya sangat bersusah hati. Tapi
kemudian ia ingat lain kata-katanya Tan Hong ialah, "Tak
perduli orang Tio It Hiong yang tulen atau yang palsu, semuamua
asal demi Tio It Hiong!" Maka ia pun lantas mengambil
keputusan, katanya pasti : "Telah kau pergi kemana, semua
itu tak akan perdulikan. Apa juga mau dibilang, aku toh telah
menjadi istrimu ! Apakah kau hendak membuang dan menyianyiakan
aku ?"
Alisnya It Hiong bangkit.


"Nona Siauw !" katanya keras, "kau bicara pakai aturan
atau tidak ?"
"Tetapi" kata nona itu, "mana ada wanita yang memaksa
mengakui suaminya ? Mustahilkah ada dua orang yang sama
she dan namanya yang sama juga muka dan potongan
tubuhnya."
Panas hatinya It Hiong hingga tubuhnya menggigil, tetapi ia
mesti berdiam saja karena ia kewalahan untuk menyangkal si
nona.
Dengan susah payah Siauw Wan Goat membujuki kakak
seperguruannya mengikuti ia mencari Tio It Hiong, sekarang
ia telah berhasil mendapatkan anak muda itu. Mana ia mau
sudah saja, mana ia mau dengan mudah saja melepaskannya
pula. Ia tahu kecuali kali ini, lain waktu sukar buat ia mencari
pula anak muda itu. Ia lantas memegangi anak muda itu dan
menarik-nariknya, ia menangis dan mengatakan hendak mati
atau hidup bersama si pemuda.
Kang Teng Thian sudah layap-layap ketika ia dibikin
mendusin suara berisik adik seperguruan-nya itu. Ia bangkit
berduduk dan menanya : "Apalagi yang kalian ributkan ?"
"Toa suheng, kau berilah keputusan dalam urusan kami ini
!" berkata si nona menangis. "Dia......"
Teng Thian menyela sumoay itu dengan ia kata keras pada
It Hiong, "Tio It Hiong urusanmu dengan adikku ini, tak
perduli bagaimana duduknya, harus ada mulanya mesti ada
akhirnya, maka itu kalian harus menjadi suami isti ! Apakah
kau sangka kami orang-orang To Liong To dapat diperhina ?"


It Hiong tidak kena digertak. "Kang cianpwe" berkata ia
lantang, "bukankah aku telah bicara terus terang barusan ?
Apakah kau tidak mendengar nyata ? Aku telah tuturkan hal
ikhwalku, bagaimana aku telah terkurung di Ay Lao San,
karena itu mana dapat didalam waktu yang bersamaan aku
berada di kecamatan Lapkee di Sucoan dan berada bersamasama
adik seperguruanmu ini hingga dia mendapat perlakuan
seperti yang dia tuturkan itu ? Aku pikir yang terang ialah dia
telah terpedayakan orang jahat...."
"Ya, aku si orang tua telah mendengar nyata." menjawab
ketua dari To Liong To itu. "Tapi mana dapat kata-katamu itu
menipuku ? Apakah kau hendak menggunakan lidahmu yang
tajam buat mencuci diri bersih-bersih untuk menyia-nyiakan
saudaraku ini ? Hm !"
It Hiong menjadi gusar. Ia telah berlaku jujur tetapi orang
tidak percaya padanya ! Ia merasa terhinakan. Kata ia sengit,
"Akulah laki-laki sejati, mana dapat kau menyia-nyiakan
seorang gadis remaja ? Kang Cianpwe, habis apakah maumu
?"
"Hm !" Kang Teng Thian memperdengarkan suaranya yang
dingin. "Kalau kau tidak menjadi suami istri, hendak aku si
orang tua membawamu ke Siauw Sit San, buat mencari In
Gwa Sian ayah angkatmu itu, guna membuat perhitungan
dengan. Urusan kalau ini akan aku gunakan sebagai cara
mengundang mengumpulkan semua jago rimba persilatan
supaya merekalah yang nanti memberikan keputusan yang
adil ! Sampai itu waktu hendak aku lihat kau masih
mempunyai muka tidak !"
It Hiong terkejut. Pasti ia merasa malu kalau urusan ini
sampai tersiar di muka umum. Tak mau ia yang nama


perguruannya, nama ayah angkatnya terbawa-bawa
karenanya. Maka itu ia menjadi berlaku sabar pula.
"Kang cianpwe," kata ia, "dalam hal ini kita perlu dengan
pembicaraan terlebih jauh. Aku minta kau jangan bergusar
dahulu supaya janganlah si manusia jahat lolos dan bebas
sebebas-bebasnya...."
Kang Teng Thian menjawab tetap : "Asal kau suka
menerima baik urusan ini, asal kau suka mengakui adik
seperguruanku adalah istrimu, suka aku tidak membikin susah
padamu !"
Siauw Wan Goat menarik ujung bajunya si anak muda.
"Kakak Hiong," katanya berduka, "kau jawablah kakakku itu
! Kakak, asal kau suka menerima baik aku, aku bersedia
sekalipun menjadi pelayan atau budakmu, semua-mua aku
rela !"
Kembali sepasang alisnya It Hiong bangkit, dari duduknya
ia bangun berdiri. Ia berjalan bolak balik dengan kedua
tangannya di pinggangnya. Ia merasakan hatinya berat
melebihkan tindakan kakinya.
Teng Thian dan Wan Goat mengawasi tanpa berkedip.
Mereka melihat dibawah sinarnya api bagaimana pemuda
yang tampan itu tampak sangat berduka, sedikit juga tak ada
tanda-tandanya bahwa dia mendusta atau ia lagi berpurapura.
Siauw Wan Goat mengawasi terus hingga ia merasa bahwa
pemuda ini benar-benar Tio It Hiong yang asli, bahwa orang
yang ia ketemukan di kecamatan Lapkee itu pastilah Tio It
Hiong palsu. Ia merasa dapat membedakan sikap duduk


orang. Walaupun demikian tak dapat ia melepaskan anak
muda ini. Kesucian dirinya sudah dikorbankan...
It Hiong berpikir keras. Tak dapat ia dipaksa Teng Thian.
Rasa hormat dirinya melarangnya, ia tidak bersalah. Tapi, ia
mesti mencari jalan untuk meloloskan diri. Bagaimanakah ?
"Nona," kemudian ia kata perlahan kepada Siauw Wan
Goat, sikapnya ramah. "Kau sangat mencintai aku, inilah aku
mengerti. Tak selayaknya kalau cintamu itu disia-siakan....
Akan tetapi keadaan kita lain. Masa dapat aku dipaksa ? Di
dalam hatimu nona, maukah kau akan cinta paksaan ?"
Wan Goat tunduk, ia tampak likat. Ia mengangkat
kepalanya akan mengawasi si anak muda, hendak ia bicara
tetapi gagal....
Tapi Kang Teng Thian membentak : "Tio It Hiong, jangan
kau jual lagak lagi ! Kau harus ketahui pukulanku si orang tua
Bu Eng Sin Kun tak dapat dipandang ringan !"
Pukulan itu, Bu Eng Sin Kun ialah pukulan sakti, pukulan
dahsyat "Tanpa Bayangan".
It Hiong pun menjadi habis sabar. Tak puas ia dengan
ancaman itu. Alisnya bangkit dengan tiba-tiba. Dengan
kecepatan kilat, ia menghunus Keng Hong Kiam, Pedang
Mengejutkan Pelangi, hingga sinarnya menyilaukan mata.
Dengan satu bacokan, ia membuat ujung meja putus
terkutung !
"Tio It Hiong cuma dapat menerima cinta suci murni dari
Nona Siauw Wan Goat, " kata ia nyaring. "Tetapi buat menjadi
suami istri, itulah satu hal penting. Sekarang ini aku
menghendaki diperiksa dahulu tentang peristiwa yang


sebenar-benarnya di rumah penginapan di kecamatan Lapkee
itu, setelah ada kepastian dan kenyataan, akan aku minta
persetujuan dahulu dari kedua kakakku, baru dapat aku
mengambil keputusan ! Nona, beginilah keputusanku
sekarang, dapatkah kau mengerti dan memaafkan aku ?"
Wan Goat menangis dengan air matanya bercucuran deras.
"Kakak Hiong, semua-muanya aku terserah kepadamu !"
sahutnya sedih. Ia putus asa dan tak berdaya.
Dengan hanya satu jejakan pada lantai, tubuhnya It Hiong
mencelat keluar dari jendela.
"Hm !" bersuara Kan Teng Thian yang menjadi sangat
gusar. "Sumoay, urusan jodohmu ini mengenai
kehormatannya To Liong To, maka itu kalau si orang she Tio
menampik, itulah tak mungkin !"
Belum lagi berhenti dengung kata-kata si orang tua, ketua
dari pulau To Liong To, atau tertua dari Cit Mo, Tujuh
Bajingan atau tubuhnya sudah mencelat juga keluar jendela
untuk menyusul anak muda kita.
Wan Goat terkejut, tetapi ia menghela nafas. Tanpa ayal
lagi ia pun lompat keluar jendela, meninggalkan kamarnya itu,
guna menyusul kedua orang itu, maka dalam kegelapan sang
malam, tiga bayangan orang tampak berkelebat saling susul.
Sebenarnya malam suaram sebab adanya sisa sinar si putri
malam.
Kang Teng Thian mendapat tahu Wan Goat menyusulnya,
ia lari menyusul It Hiong tidak dengan sekeras-kerasnya. Ia


harus menjaga supaya adik seperguruan itu tak ketinggalan
jauh dan kesasar.
Orang berlari-lari terus sampai jam tiga atau empat, lantas
jago dari To Liong To itu kehilangan orang yang disusulnya.
Ketika itu Wan Goat telah bernapas sengal-sengal dan
tubuhnya bermandikan peluh tetapi karena kuatir nanti
dimarahi kakak seperguruannya, ia menyusul terus....
"Bocah she Tio itu pandai lari cepat," kata Teng Thian
kemudian, "pantas kau sangat menggilai dia, adikku !"
Wan Goat melotot memandang kakak itu tetapi sambil
menyusuti peluhnya ia kata sabar : "Oleh karena urusanku
kakak, kau menjadi capek dan pusing..."
Hatinya si kakak panas, kata dia keras : "Kalau tidak karena
aku menunggui kau, sumoay, hingga aku mesti memperlahan
lariku, pasti bocah itu akan sudah merasai pukulan Bu Eng
Sing Kun ku !"
Wan Goat diam saja, tak mau ia mengatakan sesuatu yang
bisa membikin kakak itu bertambah besar marahnya.
Tatkala itu, orang telah tiba di Heesia tiang dan tengah
berjalan didalam kota. Tepat mereka membiluk disebuah gua,
mereka berpapasan dengan Tio It Hiong. Hanya sekarang
pemuda ini ada bersama seorang laki-laku muda usia tiga
puluh lebih yang membekal pedang pada punggungnya.
Anak muda itu sudah lantas melihat Kang Teng Thian di
belakang siapa ada Siauw Wan Goat, ia mengawasi nona itu,
lalu Teng Thian lantas ia menarik tangan kawannya untuk
segera diajak berlari pergi !


Teng Thian melihat orang lari, hatinya semakin panas.
"Hm ! Hm !" dia perdengarkan suara dingin berulang kali.
"Apakah kau masih memikir buat lolos dari tanganku ?"
Segera jago tua itu lari mengejar.
Di dalam waktu yang pendek orang sudah lari keluar dari
dalam kota. Teng Thian tidak lagi menanti-nanti adik
seperguruannya, bahkan ia berkeras larinya. Selekasnya
mereka tiba di kaki bukit Loaw san, It Hiong berdua sudah
hampir tersusul. Kedua pihak cuma terpisah belasan tombak
satu dari lain.
"Orang she Tio, tahan" teriak ketua To Liong To itu.
Tio It Hiong dan kawannya berhenti berlari, segera mereka
memutar tubuh.
"Lotiang, apakah she dan namamu yang besar ?" tanya si
anak muda. "Kenapa kau mengejar aku ?"
Teng Thian berseru sambil berlari terus, hingga ia lantas
berada di depan orang sejarak tiga tombak. Terus ia tertawa
dingin dan berkata keras : "Orang she Tio, pandai kau
berpura-pura ! Masih kau berlagak tak mengenali aku si orang
tua ? Hm !"
Sebelum si anak muda menjawab, dia didahului oleh
kawannya yang membekal pedang itu sembari memberi
hormat, dia itu tanya hormat : "Tuan, adalah kau Cianpwe
Kang Teng Thian dari To Liong To ? Aku yang rendah
bernama Teng It Beng dan ini adik angkatku."


Teng Thian membentak memutuskan kata-kata orang. "Aku
tidak perduli kau siapa ! Bocah, tidak dapat tidak, kau perlu
diajar adat !" Dan dengan bengis ia menuding anak muda itu.
Mendengar itu It Hiong berdua lantas dapat menerka
maksud orang. Inilah tidak heran sebab It Hiong itu It Hiong
palsu, dia Gak Hong Kun si licik ! Hanya Hong tidak kenal
Teng Thian serta tidak tahu orang berkepandaian berapa
tinggi. Cuma karena adanya Wan Goat, ia menduga yang satu
pertempuran tak akan dapat dihindarkan lagi, tidak takut
terutama karena adanya Teng It Beng bersamanya. Ia lantas
menghunus pedangnya dan berkata garang : "Kang Teng
Thian, kalau kau benar mempunyai kepandaian kau
keluarkanlah itu !"
Teng It Beng sebaliknya dari pada kawannya itu. Ia juga
tidak tahu ketua To Liong To lihai sampai dimana, tetapi ia
pernah mendengar tentang hebatnya "Bu Eng Sun Kun" maka
ia tidak menghendaki kawannya berlaku sembrono. Ia lantas
maju menyelak diantara dua orang, ia kata : "Kang Tocu,
kalau diantara kau dan saudaraku ini ada ganjalan aku minta
sudilah kau menjelaskan dahulu ! Untuk bertempur waktunya
masih banyak !"
Tepat itu waktu Siauw Wan Goat dapat menyandak kakak
seperguruannya. Selekasnya dia melihat Hong Kun dia lantas
mengawasi sangat tajam dan bersinar terang untuk meneliti
ada apa yang membedakan It Hiong tulen dari yang palsu.
Hong Kun tahu yang dia pernah menipu orang, diawasi
nona Siauw dia agak takut. Diapun agak kuatir yang
rahasianya nanti terbuka. Maka dia lantas membawa
tingkahnya itu.


Kang Teng Thian menunda penyerangannya. Tak mau ia
sembarang menyerang orang, ia hendak menjaga nama
baiknya. Tapi ia tak dapat berdiam saja. Maka ia terus
menunjuk adiknya, dengan suara dalam, ia kata pada Teng It
Beng : "Bocah she Tio itu telah menghina adik seperguruanku
ini, untuk mengelakkan diri dia lari menghilang."
Hong Kun tidak menanti It beng menjawab orang tua itu,
dia menjalak dengan suaranya yang berupa bisikan seperti
suara lalar. "Saudara Teng, tolong kau layani situa ini bicara
atau tahanlah dia buat beberapa jurus, aku membekuk dulu
budak perempuan Siauw Wan Goat itu, buat dijadikan
manusia tanggungan, setelah itu baru kita berhitungan
dengannya !"
Begitu suaranya berhenti, begitu Hong Kun lompat kepada
Siauw Wan Goat, untuk menyerang si nona dengan
pedangnya yang mengancam kepala orang, berbareng dengan
itu, tangan kirinya menotok ke jalan darah kie bun di dada si
nona. Sebab itulah totokan "Menawan Naga."
Siauw Wan Goat terkejut atas datangnya serangan tiba-tiba
itu. Sukur untuknya, ia justru lagi mengawasi tajam anak
muda itu hingga ia tak sampai terbokong. Secara wajar ia
berkelit dengan lompatan "Kwie Siam Hian" yang menjadi
kepandaiannya yang istimewa "Kelitan Bajingan". Tapi ia toh
terkejut hingga mengeluarkan seruan tertahan.
Selekasnya ia bebas, ia lantas menghunus pedangnya guna
menutup dirinya.
Di lain pihak, baru saja Hong Kun membokong itu, atau
diapun menjerit secara perlahan, tubuhnya sudah lantas
mencelat mundur pula ke belakangnya Teng It Beng,
sedangkan sebenarnya dia hendak membekuk si nona. Itulah


secara diam-diam Kang Teng Thian sudah menyerang dengan
Bu Eng Sin Kun yang mengenai pergelangan tangan yang
memegang pedang hingga dia merasa nyeri, hampir
pedangnya terlepas dari cekalannya.
Menampak demikian, Teng It Beng terus saja menyerang si
jago tua. Ia membacok bahu kanan jago tua itu....
Ketua To Liong To mendapat lihat datangnya serangan, ia
berkelit ke samping, terus ia membalas menyerang dengan
tangan kirinya. Kembali ia menggunakan Bu Eng Sin Kun,
Kepalan Tanpa Bayangan. Tapi ia masih ingat urusan diantara
It Hiong dan Wan Goat, ia menyerang tidak dengan cara
hebat. Ia cuma hendak membuat senjata orang terlepas dari
cekalan.
Teng It Beng lihai dan berpengalaman. Ia segera menerka
pastilah Kang Teng Thian sudah menggunakan ilmu Bu Eng
Sin Kun, maka itu sembari melayani ia senantiasa mengawasi
jago tua itu, dengan begitu saban-saban ia bisa melihat
serangannya sang lawan.
Cepat sekali jalannya pertempuran diantara kedua jago itu.
Hanya sebentar saja sepuluh jurus telah dilewatkan. Kang
Teng Thian menyerang saling susul secara berantai, tetapi It
Beng berkecepatan bagai angin, dia selalu berkelit dari
berbagai pukulan Kepalan Tanpa Bayangan.
Selama itu It Hiong mesti menonton sambil menahan
nyerinya tangan kanannya sampai tak dapat diangkat. Ia
berkuatir ketika ia menyaksikan saudara angkatnya yang
memegang pedang, tetapi terjatuh di bawah angin. Ia takut
kalau-kalau tak sampai dua puluh jurus, saudara itu bakal
kena dirobohkan. Maka diam-diam ia melawan rasa nyerinya
itu, ia mencoba mengatur pernafasannya guna membikin


darahnya berjalan seperti biasa. Di lain pihak, diam-diam ia
melirik Siauw Wan Goat sebab ia takut nona itu nanti turun
tangan.
Selang hampir setengah jam reda sudah nyerinya Hong
Kun. Sekarang lantas ia memikir jalan untuk meloloskan diri.
Apakah jalan itu ?
"Tidak bisa lain, mesti aku gunakan bubuk beracunku...."
pikirnya. Ia ingat Sie Hun Tok Hun racunnya itu. Maka ia
lantas merogoh ke dalam sakunya. Justru itu ia mendengar
suara tertahan dari It Beng. Ketika ia menoleh, ia mendapati
tubuh saudara itu terhuyung-huyung beberapa tindak
sedangkan pedangnya terlempar setombak lebih jauhnya. Ia
kaget, ia lantas melompat maju. Tidak ada ketika lagi buat ia
main ayal-ayalan, setelah berlompat itu tangannya dikibaskan
guna membuyarkan bubuknya.
Hanya sekejap itu tersiarlah bau yang harum yang
menusuk hidung. Bubuk itu berhamburan dalam rupa merah
naga.
Sebenarnya Kan Teng Thian bermurah hati. Ketika ia
menghajar lengannya It Beng, ia tak menggunakan tenaga
seluruhnya. Kalau tidak pastilah orang she Teng itu bakal
terbinasa seketika. Setelah melihat lawan terhuyung, ia terus
menoleh ke arah It Hiong palsu, maksudnya untuk menegur,
kebetulan ia melihat orang menggunakan bubuk beracunnya
itu. Mendapat pengalaman di Tay San tahulah ia kenapa
musuh menggunakan bubuk jahat itu. Itulah pertanda musuh
mau mengangkat kaki. Ia telah berpengalaman, tak mau ia
menyerahkan diri menjadi korban bubuk itu, maka juga cepat
sekali, ia menyerang dengan jurus silat perguruannya
menghajar buyar bubuk itu. Itulah Cian Pian Ciang, Pukulan
Seribu Perubahan.


Menyaksikan demikian orang telengas, Kang Teng Thian
menjadi sangat gusar, akan tetapi selekasnya bubuk buyar, ia
telah kehilangan si anak muda dan juga It Beng. Ia tahu
sebabnya itu, tapi hal itu justru membuatnya gusar.
"Cit Moay, mari kita kejar mereka !" ia serukan adik
seperguruannya. Dan ia lantas berlompat akan lari mendahului
adik seperguruannya itu.
Siauw Wan Goat tidak berayal menyusul kakak seperguruan
itu. Ia sudah mencurigai It Hiong palsu. Tadi ia hendak
membeberkan rahasia orang, tidak disangka Hong Kun telah
mendahului menyebar bubuknya itu yang merupakan tirai
bubuk hingga dia dan saudaranya kena teraling dan bisa kabur
meninggalkan jago-jago dari To Liong To.
Dua saudara itu berlari-lari ke sepanjang kaki bukit terus
melintasi ke sebuah jalan umum, jalan yang menuju ke
propinsi Ouwlam. Dari situ lantas tampak di kejauhan tubuh
kecil Hong Kun berdua, hanya sekarang mereka itu bukan
berlari-lari hanya berjalan dengan perlahan. Bersama mereka
tampak seorang rahib dari Agama To sebagaimana terlihat
tegas dari jubah suCinya.
Kang Teng Thian tidak mau pikirkan siapa si rahib, ia terus
lari menyusul. Hebat ilmu ringan tubuh Kwie Siam Tong Hian
dari To Liong To. Dengan lekas ia sudah menyandak sejauh
beberapa tombak.
Segera jago dari To Liong To mengenali siapa rahib itu.
Ialah It Yap Tojin. Dia dalam perjalanan pulang dari gunung
In Bu San dan disitu kebetulan bertemu dengan Hong Kun
berdua It Beng. Sedangkan Hong Kun bersama It Beng
sebenarnya mau pergi ke In Bu San sebab ia mendengar hal


gurunya mengumpuli orang di gunung itu. Kebetulan sekali,
guru dan murid bertemu di tengah jalan selagi Hong Kun dan
It Beng menyingkir dari Kang Teng Thian.
Maka bertemu muridnya, It Yap Tojin menjadi heran. Ia
tidak mengenali murid itu, ia menyangka kepada Tio It Hiong.
Kesaksiannya It Beng yang membuatnya percaya. Maka
kesudahannya mereka jalan sama-sama. Karena mereka
berjalan dan bukannya berlari-lari, mudah saja mereka
bercandak Teng Thian.
"Tio It Hiong, bocah tahan !" bentak jago tua itu.
It Yap Tojin yang berpaling dahulu. Ia mengenali ketua To
Liong To.
"Oh, Kang Tocu !" sapanya tertawa. "Ada apakah ?"
Teng Thian heran mendapatkan It Yap Tojin ada bersama
si anak muda. Bukankah It Yap Tojin mengumpuli kawan guna
memusnahkan Siauw Lim Pay serta partai lainnya yang
menentang kaum sesat ? Kenapa dia berada bersama It
Hiong, orang dari pihak lawan ? Maka itu ia mengawasi tajam
pada rahib itu pertanda yang ia kurang senang. Atas
pertanyaan si rahib, ia lantas kata dingin : "Toheng, kiranya
kaulah si penjual kaum kerabat Kang Ouw ! Kau jadinya
adalah si kampret !"
Ditegur begitu It Yap dapat menerka maksud orang.
"Kang Tocu, harap kau jangan salah paham"katanya. "Ini
adalah......
Hampir It Yap membuka rahasia muridnya. Mendadak ia
ingat bahaya yang mengancamnya kalau ia mengakui Hong


Kun sebagai It Hiong palsu, bahwa Hong Kun adalah
muridnya. Kalau rahasia itu tersiar secara umum, ia bisa dicela
dan dimusuhi orang ramai dan muridnya itu bisa bercelaka
juga. Maka ia lantas menunjuk pada Teng It Beng sambil
memperkenalkan : "Inilah sahabatku kaum Kang Ouw,
saudara Teng It Beng !"
Teng Thian memperdengarkan suara dingin, "Hm !"
"Dan ini" tanyanya, menuding It Hiong palsu, "Apakah
diapun sahabat Toheng ?"
Tak dapat It Yap Tojin menjawab sejujurnya, buat
mendusta pun ia tidak berani. Di lain pihak, sikap orang
membuatnya tidak senang. Maka akhirnya ia menjawab
dengan dingin : "Di belakang hari Tocu bakal ketahui jelas,
jadi sekarang tak usahlah kau tanya-tanya !"
Ketua To Liong To menjadi tidak puas. Ia tak senang hati.
"Toheng." katanya. "Kalau Toheng membekuk bocah ini, itu
baru namanya kau dapat membedakan siapa kawan, siapa
lawan."
It Yap Tojin tertawa lama.
"Hebat suaramu ini Kang Tocu !" katanya. "Nyatalah kau
hendak menggunakan soal umum ini guna kepentingan
pribadimu sendiri ! Apakah kau menghendaki pinto turun
tangan hanya guna adik seperguruanmu ?"
Hebat pertanyaan itu. Mukanya Teng Thian menjadi merah,
ia merasa kulit mukanya panas sekali. Ia tidak menjawab si
rahib, hanya mendadak ia menyerang kepada Hong Kun, dada
siapa dijadikan sasaran !


Hong Kun cerdik dan licik, dia selalu waspada maka waktu
ia melihat ia diserang jago itu lantas ia berkelit. Meski begitu
ia toh kurang cepat, maka bahunya kena terhajar, saking nyeri
tubuhnya terhuyung beberapa tindak. Rasa nyeri itu sampai ke
hulu hatinya !
Kang Teng Thian maju pula dua tindak untuk mengulangi
serangannya.
It Yap Tojin terkejut.
"Orang she Kang, kenapa kau tidak memakai aturan ?"
tegurnya. Ia pun maju untuk menyerang iganya jago dari To
Liong To.
Teng It Beng pun kaget melihat Hong Kun terancam
bahaya, dengan dua tangannya ia menangkis Bu Eng Sin Kun
guna membantu kawan itu.
Ketika Kang Teng Thian mengulangi menyerang Hong Kun,
ia telah memasang mata terhadap It Yap Tojin. Selekasnya
rahib itu menegur dan menyerang, ia dapat segera menggeser
tubuh setengah tindak untuk sembari memutar tubuhnya itu ia
juga meneruskan menyerang ! Ia mendongkol, maka itu ia
mengerahkan tenaga delapan bagian !
It Yap pun menjadi gusar, hendak ia melayani jago itu atau
mendadak ia ingat perlawanannya Bisa merusak usahanya
membangun Bu Lim Cit Cun. Maka ia lantas lompat mundur
tujuh tindak.
"Kang Tocu, tahan !" Ia berseru. "Mari kita bicara !"


Meski ia berkata begitu, diam-diam rahib ini mengedipi
mata kepada Hong Kun dan It Beng maka murid serta
kawannya segera mengangkat kaki.
Kang Teng Thian menunda penyerangannya, selekasnya ia
melihat It Yap tidak melayani ia bertempur.
"Ada bicara apa ?" tanyanya.
It Yap Tojin tertawa.
"Kang Tocu, benar hebat Bu Eng Sin Kun mu itu." dia
memuji. "Hari ini mata pinto telah dibuka. Sungguh aku
sangat kagum."
Siauw Wan Goat menyelah.
"Apakah kau juga jeri terhadap kepalan kakak
seperguruanku ini ?" tanyanya.
It Yap Tojin mendelik kepada nona itu. Ia mendongkol.
Tapi ia menahan sabar.
"Kang Tocu," katanya, "salah paham ini jadi makin besar !
Pinto justru hendak menanya Tio It Hiong si bocah tentang
duduknya perbuatannya terhadap adik seperguruanmu dan
siapa tahu disini kita kebetulan bertemu. Pinto hendak
menanya dia secara baik-baik supaya dia suka memberikan
keterangan yang sebenar-benarnya. Mengenai sikapku ini
pinto minta Tocu suka memakluminya."
Teng Thian dapat tahu maksud orang tetapi karena Hong
Kun berdua sudah mengangkat kaki, ia bersabar. Sebaliknya
daripada bergusar, dia tertawa.


"Memang aku si orang she Kang bertabiat keras dan
sembrono." kata dia. "Aku tak mengerti akan siasatmu,
Toheng. Maka beruntunglah bocah itu yang dapat
mengangkat kaki !"
It Yap Tojin senang dengan kesudahan itu. Ia berhati lega
yang Kang Teng Thian tidak menghajar Hong Kun. Ia
menganggap tak perlu ia berdiam lebih lama pula disitu.
Segera mengangkat kaki adalah jalan yang paling baik, maka
ia memberi hormat sambil menjura seraya berkata : "Buat
urusan adik seperguruanmu Tocu, akan kau tetap membuat
penyelidikan. Maka itu sekarang hendak aku susul bocah she
Tio itu. Sampai kita jumpa pula !"
Tanpa menanti jawaban lagi, imam itu lantas berangkat
pergi.
Teng Thian tidak menahan imam itu, ia hanya mengawasi
orang berjalan dengan cepat. Ia cuma memperdengarkan
ujaran "Hm!" Kemudian ia berpaling kepada adik
seperguruannya dan kata : "Nampaknya urusan benar sulit.
Cit Moay apakah kau telah melihat sesuatu yang
mencurigakan ? Bagaimana bedanya Tio It Hiong malam itu
dipadu dengan Tio It Hiong itu ?"
Wan Goat terperanjat atas pertanyaan suheng itu. Ia
memang sedang berpikir keras sebab kesangsiannya makin
bertambah. Ia pula kuatir sangat bahwa Tio It Hong yang
mengganggunya benar Tio It Hiong yang palsu. Kalau benar
demikian, sungguh celaka. Bagaimana dengan dirinya nanti ?
Ia menggigil.
"Suheng" sahutnya perlahan sambil duduk, "hal ini
membuat aku jeri sekali hingga aku rasanya mau mati.....
Suheng, didalam hal ini, aku minta sangat bantuanmu."


Tak dapat si nona meneruskan kata-katanya. Air matanya
turun deras dan mulutnya bagaikan terkanCing hingga
akhirnya ia cuma dapat menangis sedu sedan.
Pikirannya Teng Thian kacau, ia merasa berkasihan
terhadap sumoaynya yang manis itu. Apa yang ia harus
lakukan ?
"Ah, anak tolol, buat apa kau menangis saja ?" katanya
kemudian. "Apakah tangismu akan menolongmu ? Kita harus
berdaya dan bekerja ! Biar bagaimana akan aku bertanggung
jawab buat urusan ini ! Aku pikir dia Tio It Hiong tulen atau
palsu yang sudah pasti ialah jodohmu harus direcokkan !"
"Tapi aku kuatir, suheng." berkata si nona berduka. "Aku
bukannya takut It Hiong menyangkal, yang aku takuti ialah dia
It Hiong yang palsu...."
Teng Thian berdiam. "Begini, sumoay !" katanya kemudian,
suaranya pasti. "Sekarang kita tinggalkan dulu Tio It Hiong ini,
sekarang kita pergi ke kuil Siauw Lim Sie di Siang San untuk
mencari In Gwa Sian ! Beranikah It Hiong menyangkal di
depan ayah angkatnya itu ? Nah, mari kita berangkat !"
Dan kakak tua itu berjalan sambil menarik tangan adiknya.
Sementara itu baiklah kita menengok dulu kepada Teng
Hiang yang turut Kwie Tiok Giam Po meninggalkan gunung In
Bu San. Di sepanjang jalan, budak cerdik dapat saja jalan buat
membuat si nyonya tua menjadi bergirang, hingga dia suka
tertawa dan nampak selalu tersenyum-senyum. Ia membuat
nyonya tua itu sangat menyukainya.


Selang beberapa hari, tiba sudah mereka di Ay Lao San. Di
gunungnya ini, selagi Kwie Tiok Giam Po mengajak Teng
Hiang melintas sebuah tikungan, tiba-tiba mereka
bersamplokan dengan Tan Hong. Nona Tan terperanjat sebab
tak ada ketika lagi buat ia menghindari pertemuan itu.
"Eh, Tan Hong." tegut Teng Hiang, "mau apakah kau
datang ke gunung ini ?"
Tan Hong melengak. Ia bukan menjawab, ia justru balik
bertanya.
"Teng Hiang." demikian pertanyaannya, "mau apa kau
datang ke Ay Lao San ini ?"
Kwie Tiok Giam Po melirik tajam kepada nona dari pulau
Hek Keng To itu.
"Hai, budak setan!" katanya nyaring, nadanya dingin. "Kau
tentunya telah menyelundupi memasuki gunungku ini ! Kau
pasti mengundang maksud yang tidak baik ! Hayo bilang
apakah maksud kedatanganmu ini ?"
Parasnya Tan Hong menjadi merah pucat.
"Kwie Tiok Giam Po !" sahutnya keras. "Nonamu datang
kemari justru buat mencarimu !"
Si nyonya tertawa terkekeh.
"Sungguh mulutmu besar, budak setan !" katanya. "Nah,
kau bicara terus terang ! Aku beri ketika kepadamu ! Aku
memberimu ampun ! Habis kau bicara baru aku akan
menghajar adat padamu !"


Tan Hong tidak menghiraukan ancaman itu. Dengan
bersungguh-sungguh dia tanya : "Tio It Hiong telah
menempur Barisan pedang rahasiamu, setelah itu, manakah
tapak jejaknya ? Dia sudah menutup mata atau hidup ? Kau
harus memberitahukan hal ini padaku dengan sebenarbenarnya
!"
Teng Hiang berdiam mengawasi Tan Hong dan si wanita
tua. Pertanyaan Tan Hong membuatnya mendapat anggapan
mungkin Tio It Hiong telah menutup mata. Maka itu
mengingat perkenalan mereka begitu lama, ia terharu.
Di tanya begitu, Kwie Tiok Giam Po tertawa dingin.
"Hai, budak setan !" tegurnya. "Budak setan, kau toh
anggauta dari pulau Hek Keng To ? Tio It Hiong sebaliknya
adalah muridnya Tek Cio Siangjin dari Pay In Nia ! Bukankah
kami berdua berdiri berhadapan sebagai lawan satu dengan
lain ? Habis kenapakah kau menanyakan begini tentang Tio It
Hiong ? Mau apakah kau ? Kenapa kau nampaknya sangat
prihatin terhadapnya ?"
Hatinya Tan Hong panas ditanya demikian. Ia tahu wanita
tua hendak mengejek atau menyindirinya. Tapi ia mencoba
menyabarkan diri. Ia perlu mengorek keterangan dari
mulutnya nenek ini.
Belum sempat Kwie Tiok Giam Po mengulangi
pertanyaannya karena si nona berdiam saja, sudah terdengar
suaranya Teng Hiang. Dia tertawa geli dan kata pada si wanita
tua : "Buat apakah orang susah-susah mencari Tio It Hiong ?
Toh sudah jelas bukan ? Kauwcu tahu, disini ada soalnya si
nona yang cintanya mengotot dan si pemuda yang tak
bertanggung jawab....!"


Bukan main mendongkolnya Tan Hong mendengar suara
orang itu, maka juga sepasang matanya mendelik dan
mulutnya berludah.
"Eh, Teng Hiang !" tegurnya, "seorang wanita, apa pula
wanita muda sebagai kau, tidak dapat sembarang
menggoyang lidah ! Kenapa kau bersikap begini terhadapku ?
Mungkinkah kau hendak merasai sanhopang ku ?"
Saking gusar Nona Tan sudah lantas mengeluarkan
senjatanya.
Teng Hiang juga menghunus pedangnya yang ia terus
putar di depannya.
"Tahan !" teriak Kwie Tiok Giam Po yang terus tertawa
tawar. "Tan Hong mari kau tanya kau ! Kau mencari aku si
wanita tua kau sebenarnya hendak mencari tahu tentang
dimana adanya Tio It Hiong sekarang atau hendak mencari
onar dengan berkelahi ?"
Tan Hong melengak. Lantas ia berpikir, "Memang juga aku
menempuh ancaman bencana datang ke Ay Lao San ini guna
mencari Tio It Hiong ! Buat apa aku layani Teng Hiang ? Ah,
kenapa aku menuruti hawa amarahku dan berbuat begini
sembrono ? Bukankah aku jadi mencari keruwetan tidak
karuan ? Karena dapat memikir demikian, ia lantas
menyimpan pula senjatanya.
"Kauwcu, haraplah kau jangan salah paham." katanay
lantas. "Aku yang muda, aku cuma mau minta keterangan
tentang Tio It Hiong ! Aku ingin tahu dimana adanya dia
sekarang dan bagaimana keadaannya."


Teng Hiang pun menyimpan pedangnya tetapi ia masih
melirik dengan lirikan menghina. Dingin sinar matanya itu !
Kwie Tiok Giam Po sudah lantas memberikan jawaban :
"Tio It Hiong si bocah dia benar mempunyai kepandaian yang
berarti ! Bertempur melawan Barisan pedang rahasiaku dia
tidak kalah, dia hanya telah terkena hawa beracun dari suara
bangsiku yang dinamakan Kwie Tiok Mo Im. Dia roboh
didalam kalangan Barisanku itu...."
Kwie Kiok Mo Im ialah irama kebajingan-bajingan dari
bangsi setan.
Tan Hong terkejut, tubuhnya sampai bergemetar, kalau
orang roboh di dalam Barisan rahasia, apakah itu berarti
masih ada jiwanya ?
"Kemudian bagaimana ?" ia tanya selekasnya ia dapat
menetapkan hatinya.
"Jangan kaget, jangan berkuatir dahulu budak setan !"
tertawa Kwie Tiok Giam Po. "Bocah cilik itu tidak kehilangan
jiwanya ! Disaat si bocah cilik terkena hawa beracunku dan
roboh pingsan, pingsan juga dua belas orang murid wanitaku
yang merupakan Barisan rahasiaku itu !"
Tan Hong dapat melegakan hatinya.
"Apakah dia ditawan Kauwcu setelah dia roboh pingsan itu
?" tanyanya.
Hebat nona dari Hek Keng To itu. Setelah hatinya tenang,
dapat dia tertawa.
Sebaliknya Kwie Tiok Giam Po, mukanya menjadi merah.


"Bocah itu mempunyai kekuatan batin yang mahir sekali."
katanya. "Dia memiliki tenaga dalam yang luar biasa kuat.
Disaat aku bertindak menghampirinya, mendadak dia
berlompat bangun dengan terus dia menikam kepadaku
hingga aku mesti berkelit. Syukur aku memperolehi
kesempatannya. Sedangnya aku berkelit mengelakan diri dari
ancamannya itu, sekonyong-konyong bocah itu berlompat
keluar dari dalam Barisan, terus saja dia kabur turun
gunung...."
"Oh !" menjerit Tan Hong yang menjadi kaget pula. Sebab
mendadak timbul pula kekuatirannya untuk It Hiong. Sebisabisa
ia menenangkan diri.
"Apakah itu artinya dia telah lari dari Ay Lao San ?" ia
menegaskan kemudian.
Kwie Giok Tiam Po berpura batuk-batuk. Inilah sebab ia
malu untuk menerangkan yang ia telah lari menyusul si anak
muda tetapi sia-sia saja, tak dapat ia menyusulnya dan sia-sia
pula usahanya mencari si anak muda disekitar gunungnya itu.
Habis batuk-batuk itu baru ia memberikan jawabannya,
"Apakah kau sangka aku si wanita tua seorang yang kejam
yang hendak membinasakan nyawa orang ? Tidak ! Habis dia
lari itu aku membiarkan saja. Dia toh telah terkena racunku !
Tak ada kesempatan buatku mencari dia....."
Tan Hong berdiam, otaknya bekerja keras. Wanita tua ini
tak dapat menerangkan kemana It Hiong sudah lari dan
bagaimana keadaannya sekarang. Tapi toh dia berkuatir.
Bukankah It Hiong telah terkena hawa racunnya si wanita tua
?


"Ah !" pikirnya kemudian. "Wanita ini sangat licik, aku tidak
dapat mempercayai dia sepenuhnya! Dia tentu tak sudi bicara
dengan sebenarnya ! Tak dapat aku mengasikan diriku ditipu
dia !"
Karena memikir begini, Tan Hong tidak mau percaya wanita
itu. Ia pikir terus. Kemudian ia menanya pula : "Kauwcu,
karena kau tidak tahu kemana larinya Tio It Hiong serta tak
tahu juga dimana adanya dia sekarang, aku minta perkenan
guna mencari dia di Ay Lao San dan sekitarnya. Bagaimana
dapatkah ?"
Kwie Tiok Giam Po tidak berkesan baik terhadap Tan Hong.
Ia juga tidak takut terhadapnya, hal yang masih membuatnya
suka memandang mata ialah nona ini dari Hek Keng To dan
dengan pihak Hek Keng To tak sudi ia bentrok. Ia malu hati
terhadap Beng Leng Cinjin, ketua dari Hek Keng To, pulau
Ikan Lodan Hitam itu. Maka itu ia berpikir sebentar, lantas ia
menjawab : "Dengan memandang kepada muka kakakmu,
suka aku memberi ampun padamu, senang aku mengijinkan
kau mencarinya digunungku ini, supaya hatimu menjadi puas !
Hanya awas jangan kau nanti mengacau atau merusak
digunungku ini !"
Teng Hiang jail, ia pun kata dengan kata-katanya yang
tajam, "Heran Tio It Hiong ! Kenapa dia dapat membuat orang
sangat berkesan baik terhadapnya hingga orang suka menjual
nyawa untuknya ?"
Tidak cukup cuma dengan kata-kata yang tajam itu, bekas
budaknya Giok Peng ini pun menjebikan mulutnya dan tertawa
tawar, matanya melirik secara menghina.
Kwie Tiok Giam Po tertawa dan menambahkan, "Ya, kalian
bangsa wanita muda, kalian paling menggemari paras tampan


saat kalian bertemu dengan bocah yang cakap ganteng, lantas
kalian melupakan sekalipun jiwa kalian !"
Tan Hong tetap menahan sabar terhadap Teng Hiang yang
mulutnya jail itu, dengan tidak mengatakan sesuatu ia lari
meninggalkan nya. Ia menganggap lebih perlu untuk mencari
It Hiong.
Sebenarnya sebelum bertemu Kwie Tiok Giam Po dan Teng
Hiang tadi, Nona Tan sudah tiba lebih dahulu di gunung Ay
Lao San itu dan sudah membuat penyelidikan di pinggiran
gunung, cuma ia belum berhasil mendapatkan sesuatu. Ia
pula belum berani memasuki pusatnya partai Losat Bun dari
wanita tua itu. Sekarang ia telah mendapat perkenan, maka ia
menggunakan kesempatan guna mempuaskan hatinya.
Ketika Nona Tan melintasi sebuah puncak ia menemukan
sebuah goa. Ia lantas masuk ke dalam goa itu karena ia
memikir baiklah ia beristirahat dahulu untuk sekalian
menantikan tibanya sang malam kira lewat jam dua. Ketika itu
baru magrib, Di dalam goa itu ia duduk untuk memakan
rangsum keringnya dan kemudian bersamedhi. Tak tahu
berapa lama ia berdiam di dalam gua, waktu ia membuka
matanya ia melihat sinar rembulan yang terang indah dan
telinganya mendengar desirnya angin gunung, maka ia
berbangkit dan berjalan keluar dari dalam gua sambil tak lupa
membawa senjatanya.
Jilid 34
Dengan melesat naik ke tembok, dapat Tan Hong
memandang ke dalam Pekarangan, kepada markas sekali. Ia
berdiam sekian lama, tidak ada orang atau bayangannya yang
ia lihat. Dengan berani ia pergi ke pendopo depan. Disini ia


mengintai ke dalam dengan menyantol kakinya di payot,
setelah itu ia melepaskan cantelannya untuk menjatuhkan diri
ke lantai. Ringan sekali tubuhnya hingga ia tidak menerbitkan
suara apa juga.
Itulah halaman depan dari pendopo muka. Itulah tempat
yang ia pernah datangi bersama-sama Tio It Hiong dan Whie
Hoay Giok. Maka juga, walaupun tempat gelap, ia dapat maju
dengan mudah. Kalau perlu, ia berjalan dengan merayap,
secara demikian ia melintasi Toa tian, ruang besar, sampai di
belakangnya. Belakangnya Toa tian berupa sebuah halaman
terbuka yang kiri dan kanannya terapit dengan deretan
pelbagai kamar, banyaknya umpama kata mirip sarang tawon
!
Dengan berhati-hati, Tan Hong berjalan melintasi deretan
kamar-kamar itu sampai diujung itu, ia menikung ke arah
barat. Di sinipun ada halaman yang serupa, hanya ditengahtengah
halaman itu terdapat sebuah ranggon atau loteng yang
panjang bentuknya. Sambil menempel tubuh pada dinding,
Tan Hong mengawasi loteng itu. Ia mengharap munculnya
salah seorang Losat Bun, buat ia cukup, guna ia memaksa dia
memberikan segala keterangan yang diingininya.
Justru itu, nona ini menjadi kaget sekali. Tempat ia
menyendiri justrulah sebuah pintu rahasia. Dan pintu sudah
lantas terbuka. Syukur terbukanya secara perlahan-lahan,
hingga ia sempat melompat minggir. Pintu terpentang dengan
dibarengi berkelebatnya sebatang golok disusul dengan
munculnya orang yang membawa golok itu, seorang laki-laki
yang bertubuh kekar. Tan Hong tidak mau menyebabkan
orang memperdengarkan suaranya, ia lantas mendahului
turun tangan. Ia berlompat untuk menotok dengan totokan
ilmu Mo Teng Ka. Sasarannya ialah jalan darah kek tiam
dibatok kepala orang.


Hanya sedetik saja, robohlah orang itu tak sadarkan diri.
Dengan satu gerakan cepat, Tan Hong memondong orang
buat dibawa masuk kedalam pintu rahasia itu. Ia berlaku
berani sebab ia tak kuatir nanti ada perangkap disebelah
dalam pintu itu. Sesampainya didalam, ia lantas merapatkan
pintu. Tempat gelap tetapi Tan Hong lantas menyalakan
bahan apinya. Maka ia melihat pintu itu adalah jalan keluar
dari sebuah ruang di dalam tanah. Ia letaki orang
tawanannya, lantas ia berpikir. Hanya sebentar, ia menepuk
jalan darah orang untuk menyadarkannya, menyusul mana ia
merampas golok orang dan mencekal keras pergelangan
tangannya sambil orang itu ditatap dengan tajam.
Sambil mengeluarkan suara perlahan, orang tawanan itu
terasadar, terus dia membuka matanya, tapi segera juga dia
merasakan nyeri hingga hampir dia menjerit atau ia batal
sebab tengkuknya terasa dingin terancam goloknya sendiri.
"Jika kau sayang jiwamu, jangan buka suara !" Nona Tan
mengancam. "Dan dengan sejujur-jujurnya kau jawab setiap
pertanyaan nonamu ini !"
Bukan main nyerinya cekalan si nona, orang lantas
bermandikan peluh pada dahinya, mukanya menyeringai
menahan sakit, dan giginya dirapatkan buat bisa bertahan. Ia
memperdengarkan suara "Ya" yang tak nyata.
"Hendak aku tanya kau." Tan Hong mulai dengan
pertanyaannya. "Bagaimana dengan itu pemuda yang dua
bulan yang lampau telah datang kemari menempur Barisan
rahasia kamu ? Benarkah dia dikurung disini ?"
Orang itu menggeleng kepala. "Tidak benar !" sahutnya.


Tan Hong perkeras cekalannya membuat orang itu
berjangit pula. Dia pun merasa sangat tersiksa.
"Kau tidak mau bicara secara jujur ?" tanya pula si nona.
"Apakah kau tidak menyayangi jiwamu ?"
"Aku....... aku yang rendah tidak mendusta sedikit
juga......." sahut orang tawanan itu. "Dia memang tidak
berada disini....."
Tan Hong membuka matanya lebar-lebar, otaknya bekerja.
Kemudian ia perlunak cekalannya itu.
"Apakah anak muda itu telah melarikan diri dari sini ?"
tanyanya pula kemudian. "Tahukah kau kemana larinya dia ?"
Orang itu melegakan nafasnya.
"Mana aku yang rendah mendapat tahu." sahutnya.
"Kauwcu telah mencari dia sampai setengah hari tetapi dia
tetap tak dapat ditemukan...."
Tan Hong menganggap tak usah ia menanya lebih banyak
lagi. Penyahutan orang ini sama dengan keterangannya Kwie
Tiok Giam Po bahwa mereka itu tak tahu kemana perginya Tio
It Hiong. Karena itu, dengan goloknya ia mengetuk otot
pingsan si orang tawanan hingga dia roboh tak sadarkan diri
lagi. Kemudian dengan membawa golok orang, ia bertindak ke
sebelah dalam. Dengan terangnya api, ia melihat anak-anak
tangga. Terowongan cuma memuat satu orang.
Selekasnya ia berjalan, Tan Hong merasai hembusan angin
yang sangat dingin yang membuat apinya berkelak kelik
hampir padam. Karena api terus bergerak gerak, sulit buat
melihat nyata. Keras keinginannya mencari Tio It Hiong, ia


lupa pada bahaya. Ia maju terus bahkan ia meniup apinya,
sebab ada api pun percuma. Ia mengerahkan tenaga lunak Mo
Teng Ka, ia bertindak dengan langkah yang ringan.
Jalan kira-kira dua puluh tindak, Tan Hong merasai hawa
makin dingin. Tanpa merasa, ia menggigil. Tanpa merasa
juga, langkahnya menjadi lebih berat. Toh ia berjalan terus
atau tiba-tiba ia mendengar bunyinya kelenengan, terus kaki
kirinya melesak disebabkan anak tangganya turun sendirinya.
Dengan begitu, tubuhnya menjadi miring, seperti mau roboh.
Meski demikian, si nona tak menjadi gugup. Dengan lantas
ia menjejak dengan kaki kanan membuat tubuhnya mencelat
mundur sekalian ia berjumpalitan dengan loncatan "Auw Cu
Coan In", Elang Menembusi Mega. Dengan begitu sendirinya
ia mundur kira setengahnya. Lantas ia mundur terus sampai di
pintu gua.
Karena kaget dan mengeluarkan tenaga secara tiba-tiba,
napasnya si nona memburu dan peluh membasahi dahinya.
Baru saja ia memikir tindakan apa yang ia mesti ambil,
mendadak ada hembusan sinar api kebiru-biruan menyambar
padanya. Ia kaget, ia lompat ke samping. Lantas ia mencoba
membuka pintu tetapi gagal. Daun pintu tak dapat ditolak
terbuka. Makin insaflah ia, yang ia lagi terancam bahaya maut.
"Rupanya orang Losat Bun dapat mendengar suara
kelenengan tadi," pikirnya. Ia mesti lekas menyingkir kalau ia
mau selamat. Di dalam keadaan seperti itu, ia tidak menjadi
putus asa. Ia ingat orang tawanannya maka ia hampiri orang
itu akan menotok mendusin padanya, setelah mana ia kata :
"Lekas buka pintu rahasia ini !"
"Apa kau kata ?" tanya orang itu yang baru sadar hingga
karenanya dia masih layap-layap matanya seperti mata orang


kantuk dan telinganya pun belum dapat mendengar dengan
baik.
"Lekas buka pintu !" perintah Tan Hong hingga ia
menghajar telinga orang.
"Oh !" seru orang tawanan itu yang kaget disebabkan rasa
nyeri pada telinganya itu. Sekarang dia sadar betul-betul.
Maka dia lantas bertindak ke arah pintu. Baru dua langkah
tubuhnya sudah limbung, terus dia roboh.
Tan Hong dapat melihat, dia menyambar tubuh orang buat
terus sekalian dibawa ke depan pintu sekali.
"Lekas buka pintu !" ia mengulangi perintahnya. "Kalau kau
ayal-ayalan akan aku bacok padamu, kau tak akan dapat
ampun lagi !"
Meski begitu bacokan toh dilakukan pada dada orang
hingga dada itu terluka ringan dan darahnya lantas mengucur
keluar. Kaget dan kesakitan terutama ketakutan, orang itu
menyambar pintu untuk tangannya meraba alat rahasianya
hingga dilain detik daun pintu telah terpentang.
Tan Hong mandek dan berlompat keluar tanpa ragu pula, ia
lari terus ke depan untuk seterusnya berlompat naik ke atas
payon. Ia mendapatkan rembulan sudah berada di tengah
langit hingga ia bisa mengawasi tegas pelbagai wuwungan
rumah. Ia merayap di genteng untuk menghampiri tembok
sebab niatnya ialah meninggalkan markas Losat Bun itu.
Bagaikan bayangan ular, dari bagian lain dari payon itu
muncul seorang lain yang terus membentak dengan suaranya
yang nyaring seperti kelenengan, "Hai budak hutan, kau
berani menyelundup masuk ke dalam Losat Bun !" Kata-kata


itu dibarengi meluncurnya senjatanya yang mengarah iganya
Nona Tan !
Tan Hong memutar tubuhnya, goloknya diayun, diangkat
memapaki senjata penyerangnya. Kiranya itulah sebatang
joanpian, maka dengan bentroknya kedua senjata, ruyung
lunak itu terhajar terpental. Tan Hong tak bisa menggunakan
golok, ia terpaksa menggunakan senjatanya orang
tawanannya tadi sebab senjata itu terus ia bawa-bawa.
Segera setelah berhadapan, kedua pihak dapat saling
melihat nyata satu pada lain. Kiranya penyerang itu ialah Cin
Cia Koan Im Lou Hong Hai. Dia mengenali Nona Tan seperti
Tan Hong pun mengenalnya. Sebab baru-baru ini di lembah
Lok Han Kok, keduanya pernah saling bertemu dan bertempur.
Hong Hui membenci lawannya ini seba dia ingat sakit hatinya
Cian Pie Long kun, Sutouw Kit.
"Hai, budak bau dari Hek Keng To, kau serahkanlah jiwamu
!" membentak Hong Hui yang terus mengulangi serangannya.
Tapi dia menggunakan siasat, mulanya dia menusuk dada lalu
mendadak dia merubah sasarannya, senjatanya terus
bergerak ke atas dan ke bawah beruntun sampai tiga kali.
Tan Hong repot. Itulah disebabkan senjatanya yang tak
cocok itu. Sedangkan lawannya berlaku sangat lincah dan
gesit, dia mendesak terus hingga ia mesti lebih banyak
berlompat atau berkelit dan beberapa kali menggulingkan
tubuh diatas genteng, maka satu kali habis bergulingan itu, ia
terus lompat ke atas tembok Pekarangan.
Tan Hong tak mudah bingung, sembari berkelahi ia telah
memikir jalan buat meloloskan diri. Ia telah melihat kesana
kemari. Ketika ia sudah berdiri di atas tembok, ia
mendapatkan Hong Hui menyusulnya. Tidak bersangsi pula, ia


menyambut wanita itu dengan timpukan goloknya sambil ia
membentak : "Perempuan busuk, lihat senjataku !"
Dengan berkilauan golok menyambar ke arah tongcu dari
Losat Bun itu. Di lain pihak, habis menimpuk Tan Hong
berlompat terus keluar tembok Pekarangan. Hanya diluar
dugaannya, belum lagi ia berdiri tegak, ia sudah mendengar
suara menyambarnya senjata yang diiringi dengan bentakan
keras : "Kalau kau mau hidup, kau diamlah untuk mandah
diringkus !"
Kiranya itulah Hong Ho Lui Sin Peklie Cek, yang dengan
satu ayunan genggaman bonekanya, To Kak Tongjin sudah
menantikan untuk menghadang. Tan Hong mundur setindak.
Ia melihat musuh tinggi besar dan gagah mirip seorang arhat
yang bengis.
Tepat si nona mundur, tepat ia mendengar juga suara
lainnya di belakangnya. Suara tertawa dingin berulangkali.
Maka lekas-lekas ia menoleh. Dengan demikian ia melihat
seorang musuh pula, orang mana bertubuh katai dan
dandanannya seperti seorang pelajar. Dia bermata sangat
tajam, mulutnya lancip, kumisnya pendek. Dari tubuhnya dan
tangannya terang dialah seorang kurus kering. Tetapi dia
bersenjatakan sepasang ruyung Long gaepang. Dialah Sam
Ciu Pie Kauw Hu Leng, tongcu nomer dua dari partai
agamanya Kwie Tiok Giam Po ! Dialah yang berjuluk si Kunyuk
Tangan Tiga.
"Eh, perempuan genit, malam-malam kau menyatroni
markas Losat Bun kami," kata si kunyuk itu. "Apakah maumu ?
Apakah kau sengaja mencari aku Sam Ciu Pie Kauw untuk
mengikat jodoh kita berdua ? Kalau benar, kau jangan malumalu,
mari kita bergandengan tangan !"


Tan Hong mendongkol sekali. Terang orang tengah
menggodanya. Ia lantas menarik keluar senjatanya. Tanpa
mengatakan sesuatu, ia maju menyerang si kunyuk yang
ceriwis dan kurang ajar itu !
Hu Leng bermata jeli dan gesit, ketika ia menyelamatkan
diri, ia sengaja menjatuhkan tubuhnya buat bergulingan
ditanah. Dasar bergelar si kunyuk, ia rupanya pandai Kauw
Kan, Si Kera. Ia tidak gusar, ia terus tertawa haha hihi.
"Mari !" katanya. "Jangan kau galak nona manis !"
Di mulut tongcu ini bernada manis, sepasang senjatanya
tapinya dipakai menyerang dengan sigap menjepit musuh !
Tan Hong tidak mau mengadu senjata. Ia percaya senjata
lawan berat sekali. Maka ia lompat mundur tiga tindak.
Justru itu datang lagi dua lawan. Yang satu ialah Lou Hong
Hui yang menyusul dan yang lainnya Teng Hiang yang baru
muncul. Rupanya Nona Teng datang sebab dia mendengar
bunyi kelenengan. Teng Hiang kini gusar sekali, dengan mata
mendelik dia mengawasi Tan Hong, sedang dari mulutnya
keluar ajakan buat Hu Leng dan Peklie Cek, "Kedua tongcu
mari maju bersama ! Kita bekuk dahulu budak bau, baru nanti
kita bicara !"
Hu Leng menyambut ajakan dengan dia mendahului
menyerang. Dia berada di belakangnya Tan Hong, langsung
saja dia menghajar punggungnya nona itu ! Tan Hong repot
juga. Ia mesti menghadapi musuh di depan dan di belakang
dan musuh berjumlah empat, Peklie Cak tidak dengan segera
turun tangan tetapi dia dengan senjatanya yang berat luar
biasa itu, melakukan pengawasan, bersiap sedia untuk
menghadang kalau-kalau musuh berniat angkat kaki.


Tak kecewa Tan Hong mendapat julukan si Rase Sakti
Bermuka Gemala, meski terkurung banyak musuh, hatinya tak
menjadi ciut. Dari mendongkol dan gusar, dia berhasil
menenangkan diri, hingga ia bisa menggunakan otaknya untuk
berpikir. Begitulah ketika ia diserang Hu Leng dia berkelit
sambil mendak setelah dia berdiri pula dia berdiri sambil
berlompat pada penyerangnya, buat membalas menyerang
dengan sanhopang yang cahayanya berkilau. Diwaktu
menyerang itu dia mengerahkan tenaga dalam Mo Teng Ka.
Hu Leng terkejut karena serangan kilat itu. Ia pun tidak
menyangka yang serangannya bakal gagal. Ia melihat cahaya
berkilau itu. Tak sempat buat ia berkelit, terpaksa ia
menggunakan senjatanya menangkis ! Suatu suara nyaring
adalah akibat beradunya kedua senjaa. Tapi Hu Leng kaget
pula. Itulah sebab ruyung kirinya terlepas dan terpental dan
ujung senjata lawan terus melesat mengenakan bahunya
hingga ia merasakan nyeri sekali. Rasa nyeri itu nyelusup ke
hulu hatinya ! Mau tidak mau si kunyuk terhuyung mundur
lima tindak.
Habis menyerang Hu Leng, Tan Hong mesti melayani Lou
Hong Hui, sebab Tongcu wanita dari Losat Bun itu sudah
lantas menerjang, beradunya senjatanya, buat membantu
kawannya sekalian mencoba melampiaskan sakit hatinya.
Hong Hui pun menyerang secara sangat hebat.
Peklie Cek adalah seorang tongcu yang memegang derajat
kehormatan dirinya. Tadi ia cuma menghadang seterusnya tak
mungkin membantu kawan-kawannya mengepung lawan.
Bukan saja lawan itu seorang diri, dia juga seorang wanita.
Tapi setelah melihat Hu Leng kena dihajar, tak dapat ia
berdiam lebih lama pula. Ia melihat ilmu silat lawan bukan
sembarang ilmu silat. Ia pun segera dapat melihat bagaimana
Lou Hong Hui tidak dapat mendesak lawan itu.


"Lou Tongcu !" ia lantas memperdengarkan suaranya,
"silakan kau mundur untuk beristirahat. Biarlah aku si orang
tua yang melayani dia !"
Berkata begitu, tanpa menanti Hong Hui mundur, Peklie
Cek terus maju sambil menyerang ke tengah-tengah diantara
dua orang yang lagi bertempur seru itu. Melihat demikian duadua
Teng Hiang dan Lou Hong Hui lompat mundur menahan
diri. Tan Hong bernafas sengal-sengal. Ia telah menggunakan
terlalu banyak tenaga melayani sekian musuhnya itu. Ia berdiri
diam sambil memegang senjatanya, matanya mengawasi
semua musuh terutama si orang tua yang bersenjatakan
boneka itu.
Peklie Cek mendekati Nona Tan, matanya mengawasi
bengis.
"Kau berani banyak lagak disini, mari kau sambut beberapa
jurusku !" dia berkata keras terus dia menyerang.
Tan Hong tidak berani menangkis, ia berkelit. Peklie Cek
hendak menawan si nona, ia juga mau menunjuki
kegagahannya, ketika nona itu berkelit, maka ia menyerang
pula dan waktu nona itu berkelit pula ia terus merangsek. Kali
ini terus-terusan hingga ia menyerang tak henti-hentinya
selama lima jurus ! Tan Hong terus masih berkelit.
Teng Hiang bertepuk tangan, bersorak sorai menyaksikan
cara berkelahi lawan itu, kata dia nyaring : "Bagus ! Bagus !
Sungguh menarik hati ! Lihat ! Lihat si Rase Sakti Bermuka
Gemala menjadi seperti seekor tikus. Eh, eh, kalian lagi
bertarung atau lagi bermain-main ?"


Hatinya Tan Hong menjadi panas sekali mendengar ejekan
itu. Sebenarnya ia tak mau menangkis lawan sebab diam-diam
ia lagi mengumpulkan tenaganya. Sekarang tidak dapat ia
berkelit terus-terusan, maka ia lantas mencari kesempatan.
Kembali Peklie Cek menyerang lawannya. Dia menjadi
penasaran. Suaranya Teng Hiang pun membuat hatinya
bergolak. Dia menyerang dengan cepat sekali sebab ingin dia
merobohkan lawannya itu.
Dan inilah saat baik dari Tan Hong. Dengan satu gerakan
tubuh yang lincah ia berkelit ke samping, lalu sama cepatnya
ia berkelit itu, sanhopang diluncurkan ke sikut penyerangnya
itu. Ia telah mengerahkan tenaga Mo Teng Ka pada
tongkatnya itu. Jika serangan ini mengenai sasarannya, pasti
putuslah lengan orang yang diserang itu. Peklie Cek lihai.
Selekasnya serangannya gagal, ia dapat membaca gerak gerik
lawan yang tidak berkelit dengan melompat jauh. Ia lantas
bersikap sedia. Akan tetapi Tan Hong cepat luar biasa, ia
mendahului.
Hong Hu Lui Sin terperanjat. Ia merasai sikutnya sedikit
nyeri sebab sambaran angin sanhopang. Maka ia lantas
berlaku cepat luar biasa. Ia menangkis serangan lawan.
Hendak ia membuat senjata lawan terhajar hingga lepas dari
cekalan dan terpental. Tan Hong sedang menyerang ketika ia
ditangkis. Tidak sempat ia menarik pulang senjatanya. Dengan
begitu kedua senjata lantas beradu dengan keras sekali
hingga suaranya terdengar nyaring. Percikan api pun
bermuncratan karenanya.
Dan dua lawan tangannya sesemutan dan bergemetaran !
Peklie Cek tidak tahu yang senjata lawan telah dikerahkan
dengan tenaga dalam Mo Teng Ka yang luar biasa. Ia
menyangka senjata itu hanya senjata biasa. Maka kaget dan
heranlah ia atas kesudahannya bentrokan itu. Sungguh diluar


dugaan yang si nona demikian besar tenaganya serta
senjatanya pun tangguh sekali. Dengan mendelong ia awasi
nona itu, kemudian kata dengan kekaguman, "Nona, kau
berkepandaian begini rupa, tak kecewa kau menjadi orang
Hek Keng To."
Setelah suaranya orang tua itu, maka disitu terdengar satu
suara nyaring, tajam, terang dan jelas : "Ketiga Tongcu
pulanglah ! Budak itu datang kemari tanpa maksudnya yang
buruk. Dia cuma hendak menjual jiwanya untuk sang cinta !
Nah, berilah ampun kepadanya !"
Itulah suaranya Kwie Tiok Giam Po, suaranya disalurkan
dengan ilmu "To Kia Toan Im", saluran nafas teratas yang
dikeluarkan oleh wanita tua itu dari atas ranggon kecil di Toa
tian.
Tan Hong cerdik sekali. Ia kenali suaranya ketua Losat Bun
itu yang segera juga ia berkata : "Kauwcu, jika tidak ada apaapa
lagi darimu, Tan Hong meminta perkenan untuk
mengundurkan diri !" Ia berkata begitu tapi tanpa menantikan
jawaban lagi, ia lantas bertindak. Mulanya ia menghadapi
Peklie Cek dang Hu Leng, untuk memberi hormat, terus ia
mengawasi Teng Hiang dan Lou Hong Hui dengan sinar mata
kemarahan, habis itu ia menyimpan pula senjatanya, baru
lantaslah ia berlalu, tak cepat dan perlahan sampai ia lenyap
diantara kegelapan malam.
Hu Leng memegangi bahu kirinya, ia menjemput
senjatanya, untuk melindungi mukanya dia berkata :
"Beginilah hasilnya tabiatku yang suka belas kasihan ! Asal aku
melihat nona yang cantik, tanganku lantas menjadi lembut,
maka aku telah kena dicurigai budak tadi ! Ha ha ha ha !"


Lou Hong Hui melirik kawan itu, ia memperlihatkan
tampang menghina tetapi tidak mengatakan sesuatu.
Teng Hiang sebaliknya. Nona jail ini kata sambil tertawa :
"Nona-nona tak menyukai sepasang kumis setan dibibirmu ini
!"
"Mari aku tambahkan kata-kata katamu ini !" berkata Lou
Hu Leng tertawa. "Bukankah kau maksudkan nona-nona jemu
terhadapku ?"
Teng Hiang tidak melayani bicara, melainkan ia tertawa.
Sampai disitu maka berangkatlah mereka pulang dengan
berjalan bersama-sama dengan perlahan-lahan.
Sementara itu Tan Hong sudah lantas kembali ke gua yang
tadi, sebab ia tak menyingkir terus dari gunung itu. Ia belum
menyelidiki seluruh gunung Ay Lao San tapi sekarang ia
percaya memang benar Tio It Hiong tidak berada di markas di
gunung itu. Ia merasa sangat letih, maka ia terus merebahkan
diri, tidur pulas hingga tibanya sang fajar. Pagi itu pun ia tak
segera meninggalkan gunung, hanya ia masih berputaran di
sekitar kaki gunung, buat mencari terus, di gua-gua atau
tempat lebat lainnya. Demi ini, tak mengenal lelah ia memakai
waktu beberapa hari. Hingga ia kemudian mengambil
kepastian kalau It Hiong tidak dibinasakan pihak Losat Bun
dengan tubuh raganya dilenyapkan. Pasti anak muda itu
sudah lolos dan turun gunung dengan tidak kurang apa-apa,
tapi toh masih terus ia mencari ditanah pegunungan itu hingga
tanpa merasa ia memasuki wilayah gunung Bu Liang San.
Hari itu tengah pikiran si nona kacau sekali, tiba-tiba ia
melihat jauh di depannya ada bayangan orang, bayangan
yang kecil yang lagi berlompatan naik dan turun. Ia belum
melihat tegas bayangan itu tetapi ia lantas menerka bahwa


orang tengah berlatih ilmu ringan tubuh atau dia itu lagi
bermain-main seorang diri......
"Baiklah, aku menemui dia....." pikir nona ini yang terus
saja lari ke arah bayangan itu atau lebih benar sosok tubuh
manusia. Tak mudah akan datang dekat kepada orang itu,
hanya setelah ia datang mendekati, selekasnya ia melihat
nyata, ia menjadi hilang harapan. Orang itu adalah seorang
anak umur lima atau enam tahun, seorang bocah perempuan.
"Ah !..." serunya perlahan. Tapi sudah kepalang ia
bertindak menghampiri anak itu.
Si anak melihat ada orang asing datang, dia tak
menghiraukan. Tetap dia lompat naik dan lompat turun atau
berlompatan kesana kemari.
Tan Hong menghentikan tindakannya, dia tertawa dan
menyapa : "Adik kecil, sungguh gembira kau bermain-main !
Adik, maukah kau bicara sebentar denganku ?"
Justru itu, anak kecil lagi lompat naik keatas sebuah pohon,
disitu dia menyangkolkan kedua kakinya pada sebuah dahan,
tubuhnya ditarik melonjor terus hingga dia tergantung, kaki
diatas, kepala dibawah terus dia berayun-ayun. Itulah sikap To
Kwa Kim Ciong, Menggantung Lonceng Emas. Sembari
berbuat begitu, dengan tingkahnya seorang gagah ia
menggerakkan kedua belah tangannya pada orang yang
menanyanya sambil sekalian membuat main bibirnya juga.
Caranya itu seperti orang bergurau atau mengejek.....
Tan Hong tak menghiraukan lagak orang.
"Adik kecil" tanyanya pula, "maukah kau bicara denganku
?"


Sekarang si nona cilik tertawa, nyaring suaranya.
"Kalau kau mempunyai kepandaian, kau nyandaklah
nonamu !" serunya. "Kalau kau dapat menyandak aku, baru
suka bicara aku denganmu !" Dan terus mencelat ke lain
dahan, gerakannya mirip gerakan kera kecil, hebat dan lincah.
Biar bagaimana Tan Hong tak puas.
"Ah, anak." katanya didalam hati, "baru saja belajar sampai
disini kau sudah jumawa...... Anak, mau turun !" meneruskan
berkata, sambil berbuat begitu ia meluncurkan sebelah
tangannya buat menggapai terus menarik. Dengan berbuat
begitu ia mengerahkan tenaga Mo Teng Ka yang lunak.
Nona cilik itu tidak dapat bergerak lagi. Mudah saja ia
tertangkap dan dikasihh turun perlahan-lahan, kemudian
dengan masih memegangi pergelangan tangan orang, Tan
Hong menanya sambil tertawa : "Oh, adik, kau sungguh lihai."
Nona cilik itu mengawasi orang yang menegurnya.
"Katanya kau mau bicara denganku, dari hal apakah ?" dia
tanya.
"Aku hendak tanya kau, adik" sahut Tan Hong, "kau pernah
lihat atau tidak seorang anak muda usia kurang lebih dua
puluh tahun yang biasa mengabloki pedang dipunggungnya ?
Anak muda itu pada kira dua bulan yang lalu telah datang
kemari......"
"Apakah hubungannya anak muda itu dengan kau ?" si
nona cilik bertanya pula sebelum ia menjawab orang.


"Kami bersahabat satu dengan lain" sahutnya.
"Bukankah pemuda itu pandai ilmu Gie Kiam Hui Hang ?" si
Nona Tanya lagi.
Tan Hong heran hingga ia menyerukan "Oh...!" perlahan.
"Gie Kiam Hui Hang" berarti "menerbangkan pedang". Ia tidak
tahu yang It Hiong pandai ilmu itu atau tidak. Ia lantas tunduk
dan berpikir, hingga dia tidak lantas memberikan jawabannya.
Nona cilik itu bertanya pula, "Bukankah dialah si anak muda
yang datang ke Cenglo Ciang mencari Couw Kong Put Lo si
bocah ?"
Tan Hong memperdengarkan melongo. Ia tidak tahu
bahkan belum pernah mendengar nama Couw Kong Put Lo.
Tentu saja ia tak tahu juga Couw Kong Put Lo itu orang kaum
mana, lurus atau sesat. Tapi ia maka lantas menanya :
"Dimana adanya Couw Kong Put Lo sekarang ?"
Anak itu mau menjawab atau mendadak dia mengerutkan
mukanya terus ia mengeluarkan nafas melegakan dirinya. Dia
pun tunduk dan berkata perlahan : "Ah, aku tak dapat
melanjuti latihan Sin Kut Kang ku....."
Tan Hong mengawasi dengan tidak mengerti. Si nona
bicara apa yang tak ditanyakan. Ia pun lantas melihat nona
cilik itu bergemetar atau bergidik, tubuhnya lantas terhuyunghuyung
ke kiri dan ke kanan, lalu dengan perlahan-lahan
tubuhnya itu menjadi besar hingga ia merupakan seorang
gadis usia lima atau enam belas tahun....
Saking heran dan terkejut Nona Tan mundur dua tiga
tindak. Tetapi ia mengawasi dengan tajam.


Setelah itu nona itu menggerakkan tubuh atau
pinggangnya, terus ia berdiri tegak. Dia mengawasi orang
asing di depannya terus ia bertanya : "Mengapa kau
mengawasi aku begitu rupa ? Apakah kau belum pernah
mempelajari ilmu Sin Kut Kang ?"
Tentang ilmu Sin Kut Kang itu pernah Tan Hong mendengar
dibicarakan Beng Leng Cinjin, kakak seperguruannya yang
tertua. Katanya itulah suatu ilmu yang terdapat dalam kita "Ie
Kin Kang" dari Tat Canwan atau Budhi dharma pencipta dari
ilmu silat Siauw Lim Pay, cuma ilmu itu sudah lenyap dari
peredaran. siapa tahu sekarang ditanah pegunungan ini, ia
mendengar si nona cilik menyebutnya bahkan juga nona itu
tubuhnya dari kecil berubah menjadi besar itu.
Setelah mengawasi pula sejenak, Tan Hong menghampiri.
Ia melihat orang tidak bermaksud buruk. Ia menanya halus :
"Adik, apakah Sin Kut Kang ini pelajaran dari dalam kitab Ie
Kin Kang ? Adik, siapakah itu gurumu ? Dan apakah namanya
gurumu itu ?"
Mendadak si nona mengawasi dengan matanya dibuka
lebar.
"Apa, apa kau menanya semua ini ?" tanyanya. "Kau
sebenarnya mau mencari Couw Kong Put Lo atau hendak
mengadu lari denganku ?"
Kembali Tan Hong melengak. Heran nona ini. Tapi justru ia
melengak itu si nona justru sudah memutar tubuh buat lari ke
dalam rimba. Walaupun dia heran sekali, Tan Hong pun
segera lari menyusul. Ia pun ingin mengetahui tentang Couw
Kong Put Lo yang disebutkan nona itu.


Mereka berlari-lari melintasi rimba itu lalu disebuah
tikungan Tan Hong kehilangan nona yang dikejarnya, sia-sia
saja nona mencari kesana kemari. Disitu pun banyak
pepohonan dan batu-batu besar dan batu-batu besar itu yang
disebut batu rebung- letaknya tak teratur.
"Adik ! Adik !" ia memanggil-manggil.
Tan Hong tidak berani sembarangan untuk memasuki batubatu
rebung itu yang setelah dia awasi mirip sebuah "tiu" atau
Barisan rahasia.
Sia-sia belaka panggilan itu yang terdengar cuma jawaban
berupa kumandang yang lenyap terbawa angin. Sementara itu
matahari sudah doyong pula ke barat. Sang magrib dengan
cepat mendatangi. Dan Tan Hong berada seorang diri diantara
tumpukan batu itu. Ia menjadi merasa sangat kesepian. Ia
melihat kesekitarnya dengan pikiran kosong.
Tiba-tiba dari sela-sela beberapa buah batu rebung itu
muncul seorang tua dewasa, tubuh tertutup jubah keimaman,
dialah seorang yang kurus dan wajahnya pucat. Melihat orang
itu, Tan Hong menjadi girang dengan mendadak. Tanpa
menghiraukan siapa orang itu, ia lantas bertindak
menghampiri, sembari memberi hormat dia menanya.
"Totiang, mohon bertanya, apakah Couw Kong Put Lo
tinggal disini ?"
Orang itu mengawasi.
"Siapakah kau ?" dia balik bertanya. "Ada urusan apa kau
mencari Couw Kong Put Lo ?"


"Aku yang muda dari Hek Keng To," si nona menyahut
dengan sebenar-benarnya. "Aku ingin menemui Couw Kong
Put Lo guna menanyakan tentang seorang muda...."
Orang dengan jubah imam itu memperdengarkan suara
"Oh !" perlahan. Rupanya ia merasa sedikit heran. Kemudian
ia berkata pula : "Aku si orang tua ialah Couw Kong Put Lo.
Kau ada bicara apa nona ? Mari masuk kedalam, di sana kita
dapat bicara sambil duduk !" Ia pun terus mengasi jalan.
Tan Hong mengawasi. Ia melihat air muka orang berubah.
Tak mau ia lancang memasuki tempat orang.
"Jangan sungkan, totiang," katanya. "Aku cuma mau
menanyakan tentang si orang muda. Tak berani aku
mengganggu waktu totiang...."
Lantas orang tua itu menunjuk tampang tidak puas.
"Anak perempuan !" katanya dingin. "Nah, kau tanya itu !"
"Orang muda itu totiang, biasa berdandan ringkas dan
membawa pedang di punggungnya, usianya dua puluh lebih.
Apakah totiang pernah melihat dia ?"
Ditanya begitu, si orang tua tertawa lebar.
"Di dalam dunia persilatan ada banyak anak muda yang
biasa membawa-bawa pedang !" katanya. "Sebenarnya nona,
siapakah yang Nona Tanyakan itu ?"
"Dialah Tio It Hiong muridnya Tek Cio Totiang dari Pay In
Nia." Tan Hong memberikan keterangannya. "Apakah totiang
pernah bertemu dengannya ?"


"Hm ! Hm !" orang itu mengasi dengan suara dingin.
"Kiranya nona mencari bocah she Tio itu ! Percuma saja nona
!"
Tan Hong terkejut. Lantas muncul kekuatirannya, "Apakah
adik Hiong telah menampak bencana?" Maka ia lantas
menanya : "Totiang, apakah totiang pernah bertemu dengan
dia ?"
Couw Kong Put Lo- demikian nama orang itu- tidak puas
yang orang berulang-ulang memanggilnya Totiang. Itulah
panggilan khusus buat rahib dari kaum To Kauw.
"Hm, bocah wanita !' katanya keras, "bagaimana kau
memaksakan kau menjadi si hidung kerbau dari kalangan Sam
Ceng ? Hm !"
"Sam Ceng" ialah tri tunggal kalangan To Kauw dan Couw
Kong Put Lo tak menyukainya walaupun ia toh mengenakan
jubah kaum agama itu.
Tan Hong heran hingga ia melengak. Tapi ia cerdas dan
cerdik. Ia lantas ingat halnya banyak orang rimba persilatan
yang tabiat dan sifatnya aneh.
"Maaf, maaf locianpwe" katanya cepat. "Harap locianpwe
maafkan aku..." Ia lantas menatap tajam baru ia
menambahkan, "Locianpwe, apakah anak muda she Tio itu
pernah datang kemari ?"
"Hm !" kembali si orang tua mengasi dengan suara
dinginnya. "Bukan saja bocah itu pernah datang kemari,
bahkan hampir aku si tua menjual di waktu untuknya ! Dia
sekarang berada di Goh Cit Kok, dia tinggal bersama dan


galang gulung dengan Kip Hiat Hong Mo ! Mau apa kau cari
dia?"
Mendengar itu Tan Hong girang berbareng terkejut. Girang
sebab ia mendapat kabar ini, jadi Tio It Hiong tidak terbinasa,
hanya ia kaget sebab ia menerka tentunya si "Adik Hiong"
kena terkurung di dalam lembah Goh Cit Kok itu. Disaat dia
hendak menanya pula, ia mendengar seperti orang berjalan
yang datangnya dari belakang batu disisi jalan lalu sirap.
Untuk sejenak ia heran, hingga ia berdiam saja. Di lain saat ia
toh terus menanya juga, "Locianpwe, dapatkah locianpwe
menjelaskan padaku tentang pemuda Tio It Hiong itu ?"
Couw Kong Put Lo suka memberi keterangan. Kata dia,
"Dia kesasar di Cenglo Ciang lalu dia ketemu denganku.
Lantas bersama-sama kami pergi ke Goh Cit Kok maksudnya
guna membinasakan Kip Hiat Hong MoTouw Hwe Jie.
Kesudahannya aku si orang tua telah terluka didalam,
tenagaku habis. Sebaliknya bocah itu, dia bukannya
membantu aku, dia justru bersahabat dengan Touw Hwe Jie.
Ketika aku pulang kemari, dia masih berada dilembah itu !"
Tan Hong mendapat harapan, walau ia tetap merasa
kurang senang. Maka mau ia menanya pula orang tua itu atau
ia lantas melihat mendatanginya dua orang. Seorang wnita tua
dan seorang lagi seorang nona. Rupanya suara tadi suaranya
mereka itu. Lekas-lekas dia bersembunyi dibalik batu darimana
ia terus mengintai.
Selagi berjalan itu terdengar suara nyaring dari si nona,
"Jangan kau berkuatir, Ciok Kauwcu ! Touw Hwe Jie berubah,
suka turut dalam rombongan Bu Lim Cit Cun kalau Tio It
Hiong ada bersamanya. Inilah soal mudah,aku Teng Hiang
akan aku mencarikan seorang Tio It Hiong ! Kalau kita akali
dia dengan Tio It Hiong palsu, mustahil dia tak mau muncul ?"


"Hm !" Si perempuan tua memperdengarkan suaranya yang
dingin. "Budak setan, enak saja kau bicara ! Touw Hwe Jie
bukannya seorang bocah cilik, mana dia mudah diperdayakan
? Kalau kita pakai Tio It Hiong palsu, kemudian akal itu pecah
bukankah itu bakal mendatangkan kesudahan yang lebih
hebat ?"
"Hal itu jangan kauwcu kuatirkan." berkata pula si nona
ialah Teng Hiang seperti dia menyebut namanya. "Aku tahu
halnya seorang Tio It Hiong palsu. Di dalam segala hal dia
sangat mirip dengan Tio It Hiong yang tulen. Jangan kata
Touw Hwe Jie, Kauwcu sendiri yang bermata awas mungkin
kau bakal tak dapat membedakannya !"
Dua orang itu bicara sambil berjalan terus sampai mereka
melewati batu rebung di belakang mana Tan Hong
menyembunyikan diri. Si wanita ialah Kwie Tiok Giam Po.
Teng Hiang membenci It Yap Tojin tak sudi ia mengangkat
imam itu menjadi kepala dari Bu Lim Cit Cun. Maka itu
selekasnya ia mendengar halnya Touw Hwe Jie dari Kwie Tiok
Giam Po, dia membujuki kepala Losat Bun itu pergi ke Goh Cit
Kok guna mencari Touw Hwe Jie, buat mengundang dan
mengajaknya bekerja sama. Mereka gagal. Touw Hwe Jie
menampik dengan alasan ia tidak mau campur pula urusan
dunia Kang Ouw. Tapi mereka penasaran, mereka membujuki
nyonya yang berilmu itu, sampai Touw Hwe Jie kewalahan dan
memberitahukan, kalau toh ia muncul, ia akan berdiri di
pihaknya Tio It Hiong atau sedikitnya Tio It Hiong yang datang
mengundang atau memintanya turun gunung.
Habis daya Kwie Tiok Giam Po mengajak Teng Hiang
berjalan pulang dengan tangan hampa tetapi di tengah jalan
ini Teng Hiang mengutarakan akalnya buat memakai Tio It


Hiong palsu buat memperdayakan Touw Hwe Jie. Bekas
pelayannya Giok Peng itu mengusulkan Gak Hong Kun, maka
kalau kejadian hendak dia pergi mencari Tio It Hiong palsu itu.
Diluar dugaan Teng Hiang, pembicaraan mereka itu dapat
didengar Tan Hong.
Sementara itu Kwie Tiok Giam Po sudah lantas melihat
Couw Kong Put Lo yang berdiri diam diatas batu rebung. Ia
tertawa, dia berkata sambil menggapai : "Itu imam palsu,
kenapa kau berdiri diam saja ? Apakah kau tengah mencuri
dengar pembicaraan kami ?"
Couw Kong Put Lo menjawab dengan dingin : "Bagus
perbuatan kalian ya ! Kalian menggunakan Tio It Hiong yang
palsu buat mengakali Touw Hwe Jie, supaya dia turun gunung
turut dalam usaha kalian ! Apakah kalian hendak mengacau
dunia Kang Ouw hingga terwujudlah bencana berdarah rimba
persilatan ?"
"Eh, Couw Kong Put Lo, jangan kau berpura-pura menjadi
orang baik-baik !" kata Kwie Tiok Giam Po menegur. "Kau tahu
kami hendak membangun apa yang dinamakan Bu Lim Cit Cun
! Kalau nama kau dapat turut mengambil bagian !"
"Ah, itulah suatu nama yang baru" berkata Couw Kong Put
Lo, "perempuan tua bangkotan, bagaimana caranya kalian
hendak membangun Bu Lim Cit Cun itu ?"
Kwie Tiok Giam Po menunda langkahnya. "Bu Lim Cit Cun
bakal dipilih dengan menguji dulu kepandaian silat seseorang,"
ia memberikan keterangannya. "Dia yang paling lihai, dia
bakal diangkat menjadi pemimpin utama. Pemilihan sudah
ditetapkan akan dilakukan pada tanggal lima belas bulan


pertama lain tahun, diwaktu malam di puncak In Bu San.
Apakah ada minatmu untuk turut dalam pemilihan itu ?"
Couw Kong Put Lo tertawa menyeringai, nampak dia
masgul.
Dua puluh tahun Couw Kong Put Lo sudah melatih ilmu
silatnya, dia memang bercita-cita buat menjagoi dalam dunia
rimba persilatan, tetapi peristiwa di Goh Cit Kok membuatnya
berduka dan masgul, sebab dia gagal mengumbar nafsu
birahinya ! Hingga kesudahannya habislah tenaganya, hingga
kepandaian silatnya tak dapat dipergunakan tanpa ia memiliki
tenaga. Maka akhirnya ia ada minat, tiada tenaganya.
"Nanti saja bila waktunya sudah tiba !" kata dia. "kalau ada
kegembiraanku, akan aku pergi ke In Bu San untuk melihatlihat
!"
"Sampai bertemu pula !" berkata Kwie Tiok Giam Po yang
terus saja berlari pergi.
Couw Kong Put Lo pun lantas masuk ke antara batu-batu
rebungnya.
Tan Hong sementara itu telah berpikir keras. Selagi Couw
Kong Put Lo berbicara dengan Kwie Tiok Giam Po, ia pikirkan
halnya It Hiong. Gerakan Bu Lim Cit Cun itu mengancam
ketentraman kaum rimba persilatan, hal itu perlu disampaikan
pada pihak Siauw Lim Pay. Ia pula perlu lekas pergi ke Siauw
Lim Sie guna menemui Giok Peng dan Kiauw In guna
mengabarkan tentang Tio It Hiong yang sudah lolos dari Ay
Lao San, hanya entah berada dimana.
"Aku tidak tahu jalan keluar, baik aku ikuti dua orang itu,"
kemudian ia pikir lebih jauh. Dan lantas ia bekerja, ia


berlompat akan menyusul Kwie Tiok Giam Po dan Teng Hiang,
yang berlalu sambil berlari-lari. Sempat ia melihat orang
menikung, ia menyusul terus, ia menguntit.
Di lain pihak, Gak Hong Kun sudah kabur bersama Teng It
Beng. Selekasnya mereka berdua ditolongi secara tak
langsung oleh gurunya, It Yap Tojin. Ia merasai bahunya sakit
tetapi ia lari terus, sampai mencapai tigapuluh lie lebih, baru
mereka mencari tempat singgah, guna beristirahat, buat
mengobati luka mereka selama beberapa hari. Sejak itu ia
sangat membenci orang To Liong To dan berniat sangat
membalas sakit hati. Selama itu ia cuma bisa menyesal dan
mendendam sebab ia insyaf seorang diri tak sanggup ia
melawan Kang Teng Thian.
Pada suatu hari berdua Teng It Beng, Gak Hong Kun
menimbulkan soal sakit hati itu.
Teng It Beng tertawa dan kata : "Saudaraku, tentang itu
aku telah pikir jalannya hanya saja kita tidak dapat membalas
langsung kepada Siauw Wan Goat dan Kang Teng Thian...."
"Bagaimana itu saudara Teng ?" Hong Kun tanya. "Coba
kau jelaskan !"
"Sekarang ini Kang Teng Thian berdua lagi mencari Tio It
Hiong" kata kakak angkat itu, "itu artinya mereka berada di
luar To Liong To, maka juga marilah kita pergi ke pulaunya,
kita serbu untuk membinasakan atau melukakan sejumlah
orangnya. Tidakkah jalan ini akan melampiaskan juga sakit
dendam kita ?"
"Jalan ini dapat diambil, cuma karena bukan terhadap
mereka berdua rasanya kurang mempuaskan" Hong Kun
menyatakan pikirannya.


"Tetapi saudaraku," Teng It Beng terangkan lebih jauh, "itu
pun suatu jalan buat menimpakan kesalahan pada Tio It Hiong
! Apakah kau tidak dapat berpikir sampai ke situ ? Dengan
begini kita menambah hebatnya permusuhan mereka supaya
mereka saling balas membalas diantara kawan sendiri ! Kita
sendiri, menonton dari kejauhan saja !"
Gak Hong Kun terasadar.
"Kakak benar !" katanya bersuara. "Kenapa otakku menjadi
begini gelap ? Kakak bagus akalmu ini, hayo kita segera
berangkat ke To Liong To !'
Maka berangkatlah mereka itu.
Pulau To Liong To adalah sebuah pulau kecil diluar wilayah
Liawrong. Pesisir yang terdekat dengannya ialah kecamatan
Aulinsia, tempat yang hidup bagi kaum nelayan serta
penduduk pedagang setempat. Disitu Gak Hong Kun berdua
menyewa perahu, untuk pergi ke To Liong To. Selekasnya
mereka mencari keterangan seperlunya mengenai pulau itu.
Kira tengah hari tibalah mereka ditengah laut hingga
disekitarnya mereka tak melihat daratan. Disitu gelombang
makin besar dan sang angin bertiup makin keras. Ombak
saban-saban mendampar kendaraan air, yang dapat laju
dengan pesat.
Ketika matahari mulai turun ke barat ditengah laut muncul
sebuah perahu yang besar yang layarnya tiga buah. Perahu
besar itu menuju ke perahu kecil. Di atas perahu besar itu
berkibar sebuah bendera besar yang memain diantara
deburan sang angin.


Dengan lekas kedua perahu sudah terpisah kira sepuluh
tombak lebih satu dengan lain, lantas tukang perahu
melaporkan pada Gak Hong Kun dan Teng It Beng soal perahu
besar itu miliknya To Liong To. Cuma entah buat urusan apa
mereka dihampiri.
Gak Hong Kun mengerutkan alis, tak tahu ia harus
mengatakan apa, tetapi Teng It Beng kata : "Aku sudah
mengerti, kau mundurlah!"
Tukang perahu itu menurut, ia mengundurkan diri. Segera
juga terdengar suara bentakan dari luar perahu.
"Bagus mereka datang !" kata Teng It Beng. "mari kita
labrak mereka, supaya mereka tahu siapa kita !"
Gak Hong Kun mengangguk. Berdua mereka lantas pergi
keluar. Kedua kendaraan terpisah tinggal tiga tombak, lantas
pihak perahu besar menggunakan dadung bandringan akan
mencangkol tiang perahu layar perahu kecil.
Bendera perahu besar, bendera To Liong To merupakan
naga yang tengah menonjolkan kukunya yang tajam, yang
mulutnya bergigi tajam dipentang lebar. Di sisinya ada pula
gambar tengkorak hitam dasar menyolok mata.
Di muka perahu besar itu terlihat sejumlah orang yang
berpakaian seragam hitam, tubuhnya tinggi besar,
tampangnya bengis, senjatanya golok semua. Lantas yang
menjadi Tauwbak atau kepala berseru : "Perahu kecil, lekas
serahkan semua barangmu, nanti aku beri jalan hidup buat
kamu semua !"
Hong Kun menjawab perintah yang mengancam itu : "Kalau
kamu bisa, kamu datanglah kemari mengambil sendiri !"


Tauwbak itu bernama Thia Han Bin senjatanya sebuah
golok besar, dua jeriji tangan kirinya buntung, sebab ketika
bertempur di Siauw Lim Sie baru-baru ini dia kena ditebas
pedangnya Pek Giok Peng. Dia menerima tantangan, dia
berlompat ke perahu kecil, lantas saja dia menebas ke arah
Gak Hong Kun dan Teng It Beng yang berdiri berendeng.
Gak Hong Kun menghunus pedangnya, ia menyampok
pedang musuh itu.
Thia Han Bin terkejut. Hebat sambutan lawan hingga ia
mundur setindak dan tangannya sesemutan. Tengah ia
melongo, Hong Kun kata padanya : "Hendak aku pinjam
mulutmu ! Kau beritahu pemimpinmu bahwa Tio It Hiong dari
Pay In Nia datang untuk membuat perhitungan dengan Kang
Teng Thian !"
Sengaja anak muda ini bersuara keras supaya anak buah
kedua perahu itu mendengar terang-terang. Thian Han Bin
tidak tahu akal orang. Ia percaya kata-kata itu, sembari maju
pula guna menyerang kembali, ia teriaki salah satu orangnya ;
"Lekas memberi laporan pada Tio To Cah...."
Hong Kun mau menunjuki pengaruhnya, ia menyambut
serangan dengan keras sekali, setelah itu, ia membalas
menyerang. Kembali ia berlaku keras, ia mendesak. Tiga kali
ia membalas, saban-saban ia berseru nyaring dengan tebasan
yang ketiga menyampok golok lawan hingga golok itu
terpental ke laut, lalu menyusul tikamannya yang membuat
musuh menjerit dengan tubuhnya roboh bermandikan darah
sebab ujung pedang menembusi dadanya !
Dengan satu depakan, Gak Hong Kun membuat tubuh
orang akhirnya tercebur ke laut !


Berbareng dengan robohnya orang itu ke laut, dari dalam
perahu besar muncul tujuh orang lainnya. Serempak mereka
itu lompat ke perahu kecil guna menerjang si anak muda.
"Kamu ingin cari mampus ?" bentak Teng It Beng yang
maju menghadang akan terus menerjang, maka dalam
beberapa gebrakan saja, empat orang roboh binasa. Tiga
rebah terluka merintih-rintih !
Gak Hong Kun menjadi seperti kalap, dia lompat naik ke
perahu besar, dia menerjang setiap orang yang paling dahulu
diketemui hingga orang terbinasa atau terluka, hingga perahu
besar itu berisik dengan jeritan-jeritan, rintihan dan tubuh
bergelimpangan dilantai perahu, selain mereka yang roboh ke
laut.
Segera juga dari dalam perahu muncul seorang usia empat
puluh tahun lebih, yang tangannya mencekal seutas " Twie
Hua Hot Bing So", tali "Pengejar Roh Perampas Nyawa".
Dengan suara "hm !" berulang-ulang dengan nadanya seorang
mabuk, dia membentak "Bocah she Tio, bagaimana berani kau
main gila disini ?" lalu terus ia menyerang !
Gak Hong Kun berkelit sambil dia pun berseru, "Kalau kau
benar laki-laki sejati, kau beritahukan namamu !"
Orang itu menunda penyerangannya, dia mirip orang
mabuk tetapi tubuhnya dapat berdiri tegak tanpa terhuyung
sedikit juga. Dengan lantas ia menjawab : "Akulah Tio Siong
Kang, Tocu nomor enam dari To Liong To ! Akan aku ambil
nyawamu !" Dan ia meneruskan menerjang. Hebat serangan
itu sebab talinya diluncurkan menjadi kaku dan dipakai untuk
menotok jalan darah !


Tapi itulah tidak aneh, karena dalam menggunakan
senjatanya itu Tio Siong Kang sudah berlatih selama dua
puluh tahun lebih. Sebab itulah senjata istimewa, yang langka.
Hanya hari itu, Tio Siong Kang tengah menenggak banyak
arak, hingga dia sudah pusing tujuh bagian diwaktu datang
laporan perihal penyerbuan musuh tidak dikenal itu.
Gak Hong Kun menyambut serangan itu. Hendak ia
membuat tali putus. Maka ia membabat.
Lihai Siong Kang, dia dapat tahu maksud musuh. Dia
menghindar diri dari babatan itu. Sebaliknya, begitu dia
berkelit, begitu dia menyerang pula. Dua-dua gerakannya itu
sama gesit dan cepatnya. Maka disitu mereka berdua lantas
bertarung dengan seru. Gak Hong Kun terkejut. Beberapa kali
ia menghadapi ancaman senjata lawan itu. Maka itu ketahui
lihainya lawan, ia menggunakan tipu dari ilmu silat Heng San
Pay, partainya itu.
Lekas juga Teng It Beng pun naik ke perahu besar, setelah
ia menyaksikan dua orang itu lagi bertarung seru, ia tidak
membantui kawannya. Sebaliknya ia melabrak musuh, hingga
ia menyapu bersih kira-kira lima atau enam puluh orang To
Liong To, setelah itu baru ia kembali ke tempat pertempuran,
akan menonton.......


Jilid 35
Teng It Beng menonton tidak lama, lantas dia bertindak
guna membantui kawannya, supaya pertempuran segera
sampai di akhirnya. Diam-diam dia mengeluarkan Bie Hun Tok
Han dan menimpukkannya kepada Tio Siong Kang.
"Saudara, kau beristirahatlah !" dia teriaki kawannya.
Tio Siong Kang cerdik dan bermata jeli. Ia melihat orang
menimpuk ke arahnya. Ia tidak tahu lawan menggunakan
senjata apa, tetapi ia sudah menerka. Ia sendiri biasa
menggunakan senjata rahasia. Maka ia menggunakan
kesempatan menyimpan talinya untuk sebaliknya
menggunakan senjata rahasianya. yaitu tiga batang Hui Hu
Piauw, yaitu piauw Ikan Terbang, yang mana ia gunakannya
dengan membungkukkan pinggangnya, sedangkan dengan
tangan kirinya ia membarengi menimpuk dengan senjata
rahasianya lainnya, ialah jarum beracun. Ia menyerang
kepada Gak Hong Kun dan Teng It Beng berdua.
Dua-dua Gak Hong Kun dan Teng It Beng terkejut, dua-dua
lantas menangkis dengan pedangnya masing-masing. Ketiga
piauw dapat dibikin terpental balik, tetapi jarum beracun mesti
dihindarkan dengan lompat berkelit, sebab jarum bukannya
satu batang melainkan segumpal. Dari berlompat ke kiri dan
kanan, terpaksa mereka menceburkan diri ke laut.
Selagi Tio Siong Kang bisa mengusir musuh, ia sendiri telah
kena menyedot bubuk beracun, selekasnya ia terhuyung
lantas tubuhnya roboh dengan ia tak sadarkan diri. Sudah
begitu, di dalam perahu besar itu telah tidak ada seorang lain
juga.


Pemilik perahu kecil, melihat kedua penumpangnya terjatuh
ke air, mulanya dia mengawasi saja, tak berani dia membantu
sebab dia takut perbuatannya nanti dapat dilihat orang To
Liong To. Itulah berbahaya. Tapi selekasnya dia melihat
perahu besar tak ada orang yang bergerak, baru dia
menyuruh orangnya lekas membantui Teng It Beng dan Gak
Hong Kun naik ke kapalnya.
Dua-dua kawan itu tidak bisa berenang, tetapi mereka
sadar dan cerdik. Diwaktu tercebur mereka menahan nafas,
hingga mulut mereka tidak kemasukan air. Sesudah
kecemplung masuk ke dalam air, tubuh mereka mumbul
timbul. Mereka pun menggerakkan kaki tangan mereka buat
mencakar-cakar air. Justru mereka timbul, mereka dihampiri
anak buah perahu sewaannya, lalu ditarik buat dibawa ke
perahu, hingga dilain saat mereka berhasil diangkat naik.
Mereka tidak terluka tetapi mereka kena menenggak juga air
laut, dari itu, mereka nampak letih. Lantas mereka menyalin
pakaian. Mereka meminjam pakaian kering tukang perahu,
pakaiannya terus digarang di api. Mereka sendiri lantas duduk
beristirahat buat bersemadhi.
Lewat sepuluh menit, maka pemilik perahu mengasih tahu
kedua penyewanya bahwa perahu mereka terpisah dari tepian
To Liong To tinggal belasan lie jauhnya, maka ia tanya mereka
mau melanjuti belajar atau mau pulang dahulu, buat menunda
sampai besok pagi.
"Sekarang sudah jam berapa ?" Teng It Beng tanya
sebelum dia memberikan jawabannya.
"Kira-kira jam dua lewat."
"Jam berapa kita bakal tiba di To Liong To ?" Gak Hong Kun
turut bicara.


"Jika tak ada halangan, kita akan tiba pada jam empat
lewat."
Teng It Beng berpikir sebentra, baru ia berkata : "Kalau
kita maju terus kita bakal terhadang musuh. Sekarang ini
malam gelap dan angin keras, gelombang pun dahsyat,
berbahaya buat kita melakukan pertempuran di tengah laut.
Kita pula tidak bisa berenang. Karena itu aku pikir baik kita
pergi besok saja."
Penghidupan di atas perahu asing sekali bagi Gak Hong
Kun dan Teng It Beng. Mereka merebahkan diri tetapi tak
dapat tidur. Gelombang membuat tubuh perahu bergerak
tiada hentinya. Buat bersemedhi pun sulit. Maka itu keduanya
cuma rebah diam saja, mata mereka dipejamkan.
Entah sudah lewat berapa lama ketika Gak Hong Kun
berdua dikejutkan suara terompet, keduanya lompat turun
dari pembaringan, untuk melongok di jendela. Di dalam
malam tampak bayangan dari dua atau tiga perahu yang
terlihat hanya dari lentera diatas tiang layarnya. Seberhentinya
suara terompet, perahu-perahu itu memencar diri. Menyusul
itu ada api melesat ke arah perahu kecil itu. Teng It Beng
terkejut.
"Musuh menyerang kita dengan panah api." katanya keras.
Kemudian ia lompat keluar menyuruh tukang perahu lekas
mundur.
Tapi sudah kasip ! Panah-panah itu berdatangan terus. Dua
batang kena terasampok tetapi ada pula yang mengenakan
tutup perahu dan terus menyala, terus berkobar sebab angin
laut seperti mengipasinya. Ada api yang menyambar Gak Hong
Kun dan Teng It Beng yag terkena pada bajunya, maka


keduanya lompat ke depan, guna menjatuhkan diri
bergulingan akan memadamkan api itu. Keduanya menjadi
bingung.
"Bagaimana sekarang kakak Teng ?" Gak Hong Kun tanya
kawannya.
Teng It Beng melengak. Dia bingung juga.
"Api ini tak dapat dipadamkan." katanya kemudian. "Baik
kita turun ke laut untuk berpegangan pada pinggiran perahu
atau kemudinya."
Gak Hong Kun menurut. Memang jalan lainnya tidak ada.
Kembali ada panah api menyambar, mereka menyampoknya.
Lantas mereka mencari dadung akan mengikat pinggang
mereka sesudah itu mereka merosot turun ke air, untuk
melindungi diri dengan pertolongannya kemudi.
Anak buah perahu sudah pada terjun ke air, sebab tak
sanggup mereka memerangi api yang lantas mengganas
berkobar besar. Malam gelap tetapi cahaya api kebakaran
memungkinkan orang melihat kesana kemari dengan cukup
terang. Demikian tampak perahu-perahu penyerang.
Tengah Teng It Beng berdua mengawasi dari kemudi,
mendadak mereka mendengar suara terompet lantas perahuperahu
penyerang itu bergerak menjauhkan diri. Rupanya
mereka itu berlalu sebab melihat perahu lawan sudah menjadi
seperti lautan api. Syukurlah sang fajar segera tiba. Api pun
telah padam sendirinya.
Teng It Beng berdua Gak Hong Kun merayap naik. Mereka
pun mendapatkan segala apa diatas perahu telah musnah
dimakan api. Perahu tinggal dasarnya saja. Pakaian mereka


cukup terpaksa mereka keringkan saja. Berdua mereka duduk
dilantai.
Gak Hong Kun menghela nafas.
"Tak kusangka kita bakal mengalami nasib begini." katanya
masgul. "Hampir kita mati konyol !"
Teng It Beng tertawa menyeringai.
"Jangan menyesal dan berduka cita saudaraku." katanya.
"Inilah pengalaman berbareng pengajaran pertama bagi kita
selama kita menjelajah dunia Kang Ouw !"
Gak Hong Kun mengernyitkan alis.
"Bagaimana sekarang ?" tanyanya. "Kita benar sudah lolos
dari ancaman kematian tetapi sekarang kita berada di atas
perahu kosong ini dan di tengah laut juga."
Teng It Beng tertawa. Nyata dia besar hati.
"Tak lama lagi musuh bakal datang memapak kita !"
katanya. "Sekarang adikku, kau gunakanlah ketika ini untuk
beristirahat ! Kita tunggu tibanya mereka itu..."
Terkaannya Teng It Beng tepat, belum terlalu lama,
mereka melihat mendatanginya dua buah perahu kecil yang
dapat berlayar dengan sangat pesat. Lekas sekali kedua
perahu itu sudah datang sejarak empat tombak. Setiap perahu
memuat lima orang. Dari masing-masing lima orang itu, yang
satu memegang kemudi, yang empat ditengah-tengah. Di
tempat kemudi ditancapkan sebatang bendera kecil hitam
bawah putih.


Itulah benderanya rombongan To Liong To.
"Adik bersiap sedialah." berkata Teng It Beng separuh
berbisik pada kawannya. "Kita menerjang masing-masing
sebuah perahu. Kita habiskan mereka itu."
Begitu berkata begitu Teng It Beng bangkit sambil
menghunus pedangnya, justru perahu itu telah datang sangat
dekat terus dia lompat ke sebuah diantaranya untuk tak
ampun lagi menyerang kalang kabutan.
Hanya sekejap robohlah empat lawan, tinggal si tukang
kemudi. Dia itu terkejut dia lantas turun tangan. Dia
menimpuk tiga buah golok terbang Liu yap To setelah mana
dia menghunus goloknya buat terus menerjang.
Teng It Beng repot menyelamatkan diri dari serangan
senjata itu. Ia sampai mesti menjatuhkan diri, waktu ia mau
bangun, serangan golok tiba. Ia menangkis sedangkan tangan
kirinya sekalian menekan lantai, guna membantui tubuhnya
berlompat bangun. Selekasnya ia dapat berdiri, ia membalas
menebas penyerangannya itu.
Hebat serangan dan tangkisan itu, kedua senjata beradu
keras. Teng It Beng terpental mundur, begitupun
penyerangnya, orang To Liong To, tetapi dia kehabisan
tempat. Dia terpental tercebur ke laut !
Selekasnya Teng It Beng menoleh ke perahu yang lainnya,
di sana ia melihat Gak Hong Kun tengah melayani tiga orang
musuh, yang lagi melibatkannya. Dua orang musuh lainnya
sudah rebah binasa.
"Saudara Gak, akan aku bantu kau !" teriak Teng It Beng.


Tetapi perahu terpisah kira lima tombak, tak dapat orang
she Teng ini berlompat. Maka ia menjemput pengayuh untuk
mengayuhnya maju, mendekati perahu To Liong To itu. Ketika
orang To Liong To mendengar suaranya Teng It Beng, mereka
menjadi berkuatir. Memangnya melayani Gak Hong Kun
seorang diri mereka sudah kewalahan. Lantas mereka saling
lompat ke sisi membuat perahu miring terus terbalik, mereka
sendiri meneruskan menceburkan diri !
Teng It Beng menjerit saking kaget. Dia berkuatir buat
kawannya. Dia percepat majunya perahunya. Dari tempat
orang di perahu karam itu, tak ada seorang juga yang lekas
timbul di permukaan air, baru kemudian terlihat kepalanya
Gak Hong Kun yang terus merayap naik, akan berduduk di
dasar perahu. Tadi ia berlaku cerdik. Karena ia tahu ia tidak
bisa berenang, selagi perahu terbalik ia menyantol kakinya
pada pinggiran perahu, ketika perahu karam ia tak terpisah
dari perahu itu, tak usah ia terlempar ombak. Itulah sebabnya
kenapa ia sempat naik ke atas perahu yang tetap terbalik itu.
Teng It Beng mengayuh perahunya menghampiri kawan
itu.
"Kau jempol saudaraku !" katanya memuji sambil tertawa.
"Bagus untungnya ketiga orang itu !"
Gak Hong Kun pindah ke perahu kawannya, dia pun
tertawa.
"Inilah pengalaman kita yang berharga." katanya.
Keduanya lantas mengayuh perahu, membuat kendaraan
air itu menuju ke To Liong To. Mereka tak sesal sesuatu, maju
terus menurut rencana mereka. Di waktu tengah hari, mereka
sudah melihat pulau yang melengkung bagai naga. Maka


mereka merasa pasti, itulah To Liong To. Mereka maju terus,
mereka mengayuh sekeras-kerasnya membuat perahu laju
dengan pesat sekali.
Akhirnya mereka tiba juga ditepian, dibagian yang sepi.
Itulah bagian belakang dari To Liong To. Mereka tahu dimana
beradanya markas To Liong To itu. Dari tengah laut tadi
mereka melihat bendera besar di puncak. Mereka menduga
itulah tentu markas tempat tujuan mereka tetapi mereka tak
lantas pergi ke sana. Lebih dahulu mereka mencari sebuah
goa buat merebahkan diri. Mereka merebahkan diri buat
tiduran. Kapan sang lohor tiba mereka memburu kelinci buat
dibakar, dijadikan barang hidangan.
Tepat jam pertama, dua orang ini mulai dengan perjalanan
mereka menuju ke markas To Liong To. Jalanan sukar tapi
mereka tak hiraukan itu. Mereka merayap dan berlari. Tujuan
mereka ialah tempat ada cahaya api. Jalan berliku-liku
membuat mereka tak lekas-lekas tiba ditempat tujuan.
Sampai jam dua, masih belum juga mereka sampai. Selama
itu tak pernah mereka bertemu orang. Mereka heran kenapa
kawanan To Liong To demikian lalai. Mereka maju terus
sampai telinga mereka mendengar suara berkericik.
Kiranya itulah sebuah kali kecil yang lebar sepuluh tombak
tetapi dasarnya cetek cuma dua atau tiga kaki, hingga dasar
air dapat terlihat. Saking dangkalnya, air jadi mengalir deras
hingga terdengar suaranya itu. Dasar kali terlihat seperti pasir.
Teng It Beng berpikir keras. Dia mencurigai kali itu. Kenapa
tempat demikian dibiarkan tak terjaga. Toh mudah saja orang
maju dengan jalan menyeberang ke situ...


Kecuali orang dalam, tak ada yang ketahui yang dasar kali
itu pasirnya berupa pasir membal. Kalau orang injak, pasir
melesak, kaki orang akan melebas masuk berikut tubuhnya.
Gak Hong Kun sudah lantas menCinCing celananya. Hendak
dia turun ke air. DIa menurunkan sebelah kakinya, disusul kaki
yang lain. Segera kakinya itu melebas masuk ke lumpur pasir.
Dengan cepat ia sudah terlebas sebatas dengkul, terus ke
paha dan perut ! Maka bukan main kagetnya !
"Kakak, tolong !" dia menjerit.
Teng It Beng terkejut, dia menoleh. Tahulah ia apa
sebabnya jeritan itu.
"Adik, tahan nafas !" ia segera memberitahukan.
"Ringankan ia bahaya, jangan bergerak ! Nanti aku mencari
dahan guna membantumu !"
Kawan itu lari ke sebuah pohon yang tumbuh, ia tebas
sembarang dahannya yang panjang. Ia lekas membawa itu,
untuk lantas disodorkan pada kawannya.
"Pegang !" katanya, setelah mana, ia menarik.
Gak Hong Kun memegangi dahan itu, hingga ia terbawa ke
tepian, dimana ia merayap naik ke darat. Ia menarik nafas
lega. Hampir dia tenggelam di dasar lumpur pasir itu !
"Tak kusangka lumpur pasir ini merupakan semacam
perangkap." katanya, peluhnya membasahi dahinya.
Keduanya mengawasi kali itu, yang panjang. Mereka
bingung sebab terang disitu mereka tak dapat menyeberang.
Tapi tak lama, Gak Hong Kun sudah lantas tertawa dan


berkata : "Kita jangan kurang akal ! Mari kita cari pohon kayu
yang besar, kita gunaui itu sebagai alat buat menyeberang !
Itu toh dapat, bukan ?"
Teng It Beng setuju. Maka keduanya lantas bekerja. Hanya
sayang, disekitar itu, mereka tak berhasil mendapatkan
sebuah pun pohon kayu yang besar. Kesudahannya mereka
masgul dan mengeluh dengan berbareng.
Lama mereka berdiam, sampai Teng It Beng bersenyum. Ia
dapat memikir satu akal.
"Adik, kau mengenakan berapa lembar celana ?" tanyanya.
Gak Hong Kun melengak sambil mengawasi kawan itu.
"Ah, kakak, kau masih dapat bergurau ?" tanyanya heran.
"Buat dapat menyeberang disini, celana pun ada faedahnya
!" kata kawan itu, yang terus tertawa.
Melihat sikap kawan itu, Gak Hong Kun percaya orang tidak
lagi berkelakar.
"Semuanya tiga lapis !" sahutnya kemudian.
"Bagus !" kata Teng It Beng. "Mari serahkan dua potong
padaku !"
Gak Hong Kun menurut.
Segera setelah memegang celana, Teng It Beng ikat itu
pada bagian kedua kaki dan pinggangnya. Talinya ialah ujung
baju yang ia robek. Dengan itu ia membuat dua buah
pelembungan.


Gak Hong Kun tertawa.
"Sungguh kau cerdik, saudara. Kau dapat memikir akal ini
!" pujinya.
Teng It Beng tersenyum.
"Mari !" dia mengajak. Lantas dia turun ke air.
Gak Hong Kun menurut dan mengikuti.
Dengan pelembungan istimewa itu, kedua saudara itu
berhasil juga melintasi kali istimewa itu. Setibanya diseberang,
Gak Hong Kun mengeringi celananya, buat dipakai pula.
Selama itu, waktu sudah jam tiga. Di situ tak ada jalanan,
bahkan banyak batu besar dan pohon duri.
Ketika Teng It Beng mendongak, dia melihat di atas dinding
terdapat ujungnya semacam bangunan pesanggrahan. Ia
percaya disitu tentu ada penjaganya.
"Mari !" ia mengajak Gak Hong Kun. Terus ia mulai
mendaki. Ia telah minta bantuannya pohon oyo dan batu batu
yang menonjol, hingga dia mirip seorang pendaki gunung. Gak
Hong Kun meniru buat.
Setelah bersusah payah dan membuang waktu, kedua
kawan itu tiba juga diatas puncak. Mereka mendapati sepi saja
di dalam pesanggrahan itu, yang merupakan sebuah
bangunan terdiri dari ranggon serta beberapa kamar atau
ruangan. Api pun tidak ada.


Kedua saudara angkat itu saling mengawasi terus. Mereka
menghunus pedangnya masing-masing lantas mereka
membabat kutung terompet tanduk menjangan untuk terus
mencoba berlompat naik memasuki ranggon. Tepat mereka
sampai di depan ranggon, telinga mereka lantas mendengar
tawa dingin di belakangnya diikuti dengan bentakan ini :
"Tahan !" Dan suara itu lantas disusul munculnya tujuh orang
dari belakang dan depan, hingga jalan mereka dihadang di
depan dan di belakang.
Teng It Beng berdua berdiri diam, matanya diarahkan
kepada semua orang itu, yang semua berseragam hitam,
hingga tubuhnya masing-masing tinggi dan katai, dan
senjatanya macam-macam.
Tio It Hiong palsu berani sekali, dia tertawa dingin. Dia kata
: "Untuk apakah Tio It Hiong datang ke To Liong to ? Tak
usah aku jelaskan pasti kalian sudah ketahui ! Jika kalian lakilaki,
kalian beritahukan nama kalian, untuk seterusnya
menerima binasa."
Seorang yang bertubuh tinggi besar kata dengan dingin,
"EH, bocah Tio It Hiong, apakah kau tidak kenali kami Lie Tay
Kong dan Mie A Lun, kedua hiocu dari To Liong To ? Baiklah
kalian lihat saja sepasang tombak cagakku. " Kata-kata orang
itu dibarengi dengan satu serangan.
Juga Mie A Lun dengan cepat berlompat maju akan turut
menyerang. Karena ini lima orang kawannya turut maju juga.
Hingga Gak Hong Kun berdua segera kena diserang.
Selewatnya beberapa jurus, Gak Hong Kun dan Teng It Beng
membikin musuh menjadi dua rombongan. Itu pula
maksudnya Lie Tay Kong yang hendak memecah tenaga
lawan.


Tay Kong berkelahi dibantu dua kawannya, mereka
mengepung Gak Hong Kun. Mie A Lun beserta tiga kawannya
mengurung Teng It beng. Kedua belah pihak sama unggulnya.
Gak Hong Kun dapat membuat ia seimbang dengan ketiga
musuhnya, begitu juga Teng It Beng hanya lewat pula
beberapa jurus lagi dia nampak repot bertarung tiga
lawannya, Mie A Lun dapat mendesak hebat.
Pertempuran berlangsung seru dan berisik. Kecuali suara
beradunya senjata, pihak To Liong To sering membentak. Dari
atas ranggon suara terompet pun terdengar berngiang-ngiang.
Itulah terompet tanda ada bahaya.
Gak Hong Kun melihat suasana buruk timbullah
kegalauannya. Sembari melakukan Bie Hun Tok Hun ia kata
murung pada kawannya, "Kakak Teng, kenapa kita masih
tidak mau menurunkan tangan besi ? Buat apa melayani
mereka lama-lama ?"
Lie Tay Kong tertawa. Kata dia, "Tio It Hiong, kau ada
punya kepandaian apa ? Di saat kematianmu mendatangi, kau
keluarkanlah !"
Kata-kata "tangan besi" dari Gak Hong Kun adalah isyarat
darinya untuk mengasi bubuk beracunnya seperti ia sudah
menyiapkannya.
Gak Hong Kun menanti kesempatan. Satu kali ia diserang
sepasang tombak cagak, ia tidak menangkis. Hanya mendadak
ia melengak hingga tubuhnya seperti rebah terlentang.
Sembari melengak itu telah tangannya diayun dipakai
menimpukkan bubuk beracunnya.
Lie Tay Kong kaget sekali. Ketika ia menyedot bubuk,
hidungnya terasa nyeri. Tahu ia apa artinya itu.


"Mundur !" ia berteriak. Begitu pun dua orang lawannya itu.
Selagi orang roboh, Gak Hong Kun berlompat bangun untuk
berlompat lebih jauh kepada tiga orang musuhnya itu. Ia
bersiul nyaring dan dingin, menunjuki kepuasannya. Setelah
itu berulang kali ia menebas dengan pedangnya, membikin Lie
Tay Kong bertiga putus lehernya masing-masing.
Mie A Lun terperanjat ketika ia mendapat kenyataan Lie
Tay Kong bertiga roboh, lantaran itu gerakan tangannya
sedikit terlambat. Teng It Beng menggunakan ketika itu untuk
mendesak hingga lawannya mundur tiga tindak. Justru itu Gak
Hong Kun pun lalu segera berlompat datang guna membantui
kakaknya. Maka kebetulan saja dia menyambut A Lun dengan
satu tikaman !
Disaat sangat terancam itu A Lun sampai berkelit tetapi
ujung pedang lawan menggores juga bahunya. Di lain pihak
senjatanya telah mengenai lengan lawan hingga Gak Hong
Kun juga terluka walaupun tidak parah. Ketika ia melihat
ketiga kawannya, hatinya gentar dan giris. Ketiga kawan itu
telah roboh sebagai mayat-mayat yang bermandikan darah
sebab Teng It Beng tidak mau mengasih ampun pada mereka.
"Habislah." pikirnya. Maka tak ayal pula dengan menahan
rasa nyerinya, ia terus lari ke kaki gunung.
"Sungguh berbahaya." berkata Teng It Beng sambil
menyusuti peluhnya. Kemudian ia memeriksa lukanya. Syukur
itu cuma luka dikulit. Setelah dibalut, darahnya tak keluar
lebih jauh.
"Baiknya kau cerdas dan cepat saudara Gak !" kemudian ia
memuji.


"Sayang si orang she Mie dapat lolos !" kata Gak Hong Kun.
"Sekarang sulit bagi kita menyerang lebih jauh...."
"Ah lihat." kata Teng It Beng. "Mereka ada orang-orang
dari tingkat dua, tujuh bajingan dari To Liong To belum
tampak sama sekali....."
"Kang Teng Thian bersama Siauw Wan Goat tidak berada
dipulaunya." kata Gak Hong Kun. "Jie Mo Lam Hong Hoan dan
Nho Mo bok Cee Lauw pernah aku menemuinya di perbatasan
propinsi Secuan. Mungkin mereka itu belum pulang maka
kalau yang lain-lainnya ada disini, tinggallah tiga orang lagi.
Aku pikir dengan mengandalkan bubukku dapat kita melawan
mereka itu. Kita lagi meminjam golok membunuh orang,
makanya Biearlah kemudian mereka itu pergi cari Tio It
Hiong!"
Teng It Beng tertawa.
"Kapan telah tiba saatnya kau bertemu Siauw Wan Goat,
dapatkah kau membagi aku barang secangkir arak ?" katanya
bergelak.
Gak Hong Kun pun tertawa.
Ketika itu kira jam empat, rembulan terang sekali. Karena
itu untuk maju lebih jauh, Gak Hong Kun dan Teng It Beng
tidak pergi melalui jalan berbata di jalan itu. Mereka selalu
menyembunyikan diri diantara pepohonan dan gerombolan
rumput. Dengan begitu tak dapat mereka menuju langsung ke
markas To Liong To, mereka mesti jalan sedikit memutar.
Tepat fajar mendatangi, Gak Hong Kun berdua telah tiba di
belakang gunung di belakang markas. Terlihat bangunan


benteng yang berlapis-lapis dan megah, diempat penjurunya
terdapat ranggon-ranggon pemilik yang tinggal dimanapun
diakibatkan bendera To Liong To yang besar, tengkorak hitam
diatas putih. Sang angin membuat bendera itu berkibar-kibar
tak hentinya.
"Mari kita maju !" berkata Gak Hong Kun. "Tak perduli
dengan jalan berterang atau menggelap, kita mesti mengacau
dan mengubrak abrik mereka !"
Boleh dibilang belum berhenti suaranya murid dari Heng
San Pay itu atau mereka sudah lantas mendapat dengar suara
bersuitnya anak-anak panah yang dalam jumlah besar
berjatuhan saling susul ke arah mereka. Lantas mereka
mendekam, pedang mereka dihunus yang datang menyampok
setiap anak panah yang datang menyambar.
Luar biasa penyerangan anak panah itu, hampir tak ada
hentinya, ada tambahnya tak berkurang. Tentu saja Teng It
Beng dan Gak Hong Kun menjadi repot juga. Tak dapat
mereka menangkis terus-terusan, bisa-bisa ada anak panah
yang lolos dari tangkisan atau mereka kurang gesit.
"Saudara Gak mari kita menyerbu benteng." Teng It Beng
kata perlahan pada kawannya itu. Ia bukannya menjadi jeri,
sebaliknya ia menjadi penasaran dan gusar. Memangnya
mereka telah bertekad bulat untuk tidak mundur lagi.
Habis mengajak itu, tanpa menunggu jawaban, si orang
she Teng sudah lantas lompat maju, sekali mencelat, ia
mencapai tiga tombak. Gak Hong Kun menjawab dengan
suaranya, lantas ia menyusul.
Selekasnya mereka berada ditempat dimana tidak terdapat
serangan anak panah, hati mereka menjadi lega. Disini


mereka lantas berlari-lari keras, hingga mereka mendekati
sebuah ranggon pengawasan, jaraknya kira sepuluh tombak.
Tiba-tiba dua saudara itu sangat terkejut. Tahu-tahu ada
anak panah menyambar mereka bahkan ada panah yang
disertakan api. Panah itu terjatuh di belakang mereka
mengenai rumput lantas menyala !
Gak Hong Kun gusar sekali. Dia ayal sedikit, bajunya
termakan api. Maka dengan cepat ia berlompat maju
menghampiri ranggon. Ia lantas tiba pada dinding bawahnya.
Dari atas ranggon lantas terdengar suara tertawa yang
disusul dengan ini kata-kata dingin : "Tio It Hiong, ilmu
pedangmu bagus sekali ! Karena itu aku si orang tua suka
menghentikan panahku ! Kalau kau berani, kau majulah untuk
kita bertempur buat mendapatkan keputusan !"
Suara itu tajam sebab itulah suaranya Su Mo Siauw Tiong
Beng, bajingan nomor empat.
Gak Hong Kun tidak menjawab, hanya ia menggapaikan
Teng It Beng buat mengajak kawan itu maju terus. Tanpa
adanya serangan panah, mereka dapat maju dengan cepat
dan mudah hingga mereka tiba di depan pintu dari bangunan
ranggon pengawasan itu. Disitu ada sebuah tangga batu, di
depan mana terdapat halaman terbuka penuh rumput. Di kiri
dan kanannya terdapat semacam pagar. Di situ pun ada
sebuah saluran air laut, peranti keluar masuknya perahuperahu
To Liong To. Di tepiannya tertambat beberapa buah
perahu kecil.
Di depan tangga berkumpul banyak orang dengan seragam
hitam, tiga orang yang menjadi pemimpin menempatkan diri
di depan mereka itu semua.


Itulah Sam Mo Cia Seng Ciang, bajingan nomor tiga yang
berdandan sebagai pelajar yang menggembloki pedang di
punggungnya. Yang kedua ialah Su Mo Siauw Tiong Beng,
bajingan nomor empat. Dia ini mengenakan kopiah seragam
bajunya kuning, celananya hitam tanpa senjata di tangan.
Yang ketiga ialah Mie A Lun yang tadi pernah bertempur dan
sekarang melihat dua orang musuh itu dia yang paling dulu
lompat menyerang Gak Hong Kun dengan jurus silat menawan
roh menangkap sukma. Dia bersakit hati sebab tadi dia
dikalahkan secara curang.
Gak Hong Kun menangkis dengan hebat maksudnya guna
membuat kutung senjata lawan, diluar pengetahuannya Mie A
Lun berlaku cepat, senjatanya lekas-lekas ditarik pulang buat
menebas kaki ! Segera juga Gak Hong Kun kena terdesak
mundur !
Menyaksikan Mie A Lun menang diatas angin, Siauw Tong
Beng tertawa menghina. Kata dia : "Orang she Teng, mari kau
mencoba menyambut beberapa kali tanganku !" Dia benarbenar
maju dengan serangan tangan kosongnya !
Hebat serangan orang tua ini, walaupun ia tidak bersenjata.
Angin gerakan tangannya menghembus keras. Inilah sebab ia
adalah ahli "Hun Kin Co Kut Ciang hoat", ilmu membikin orang
salah otot.
Teng It Beng terkejut, lekas-lekas ia menutup diri dengan
pedangnya. Ia menggunakan tipu pedang "Menutup Jendela,
Menolak Rembulan". Toh ia menjadi repot sekali.
Setelah itu tangan lawan mendadak berada di belakangnya.
Hingga ia mesti berkelit nyamping satu tindak, menyusul mana


ia terus berontar sambil menyabet dengan pedangnya, niatnya
membikin kutung lengan si lawan.
Pertempuran ini selanjutnya berjalan secara berat sebelah.
Menurut pantas pedang melawan tangan kosong, pedang
mesti lebih unggul tetapi sekarang ternyata tangan kosong
yang menang diatas angin. Siauw Tiong Beng merangsek
membuat lawannya berkelit atau berlompat. Teng It Beng
kena didesak terus.
Selang tiga puluh jurus orang she Teng itu telah terdesak
ke tepi pesisir buatan manusia itu.
Di pihak satunya mula-mula Gak Hong Kun kena terdesak
oleh Mie A Lun, tetapi dasar dia lihai, perlahan-lahan dapat dia
memperbaiki diri, hingga dari berada dibawah angin dia
membuatnya pertempuran berjalan berimbang. Lalu dilain
saat dia merubah keadaan membuatnya lebih unggul.
Tiba-tiba Mie A Lun dibuat menjadi kaget sekali waktu
senjatanya yang kanan kena terpapas pedangnya Gak Hong
Kun, sebab terus dia ditebas ! Dalam keadaan seperti itu sukar
buat dia meloloskan diri dari ancaman bahaya, kecuali dia
berlaku nekad, bersedia sama-sama terluka dan terbinasa.
Masih dia mencoba menangkis dengan senjata ditangan
kirinya.
"Tas !" demikian satu suara keras dan kembali senjata itu
kena terkutungkan ! Karena Gak Hong Kun berlaku bengis dan
tak sudi dia memberi ampun. Kembali dia meneruskan
menikam !
Dengan sangat terpaksa Mie A Lun mengetuk pedang
lawan dengan gagang senjatanya. Dia berhasil tapi tak
seluruhnya. Ujung pedang terasampok tetapi meluncur terus.


"Traaaangg !" demikian satu suara lain dan pedangnya Gak
Hong Kun terpental, untung tidak terlepas dari cekalan. Mie A
Lun pun bebas dari ancaman maut.
Kiranya Cia Seng Ciang yang membantu pembantunya
dengan jalan menghajar pedangnya Gak Hong Kun dengan
senjata rahasianya, Thie Lian hoa atau bunga seroji besi.
Menyusul itu Cia Seng Ciang berlompat maju sambil
berseru : "Bocah she Tio, apakah kau tak mau mengandalkan
pedangmu menghina orang ?" sambil maju itu ia terus
menyerang dengan satu tikaman kepada jalan darah tay yang.
Gak Hong Kun terkejut. Tidak saja pedangnya terhajar
nyamping, juga tangannya sesemutan. Tapi masih ia berniat
menghajar Mie A Lun atau ia melihat lawannya itu menyingkir
dari kalangan dan Cia Seng Ciang telah menggantikan dia
menghadang dan menyerangnya. Lekas-lekas dia berkelit,
terus dia berlompat mundur.
Tepat itu waktu Gak Hong Kun juga melihat keadaan
berbahaya dari Teng It Beng, maka mengertilah ia bahwa
pihak To Liong To masih terlalu kuat buat pihaknya hingga ia
lantas memikir untuk mengangkat kaki. Karena ini ia lantas
memikir buat menggunakan bubuk beracunnya : Bie Hua Tok
Han !
Setelah berkelit itu, Gak Hong Kun berhasil memperbaiki
diri, ia lantas cepat menyerang buat mencoba merubah
keadaan. Cie Seng Ciang melihat bahaya mengancam, ia
berkelit ke samping, dari situ ia membarengi menggeprak
keatas pedang.


Gak Hong Kun terkejut. Gagal dia menikam, sebaliknya
pedangnya kena terhajar. Dia terkejut sebab pedang itu
hampir terlepas. Karena itu hendak ia menggunakan bubuknya
yang jahat, yang sangat berbahaya itu. Begitulah tidak
menanti sampai disusul dengan serangan lain, mendadak ia
loncat mencelat dengan berjumpalitan, lalu selagi tubuhnya
mau turun ia mengayun sebelah tangannya yang sudah
menggengam bubuknya itu.
Mie A Lun telah kenal bubuk berwarna ungu yang jahat itu,
selekasnya ia melihat bubuk berhamburan, dia lompat
menyingkir sambil berteriak berulang-ulang : "Bubuk beracun !
Cia To cu, awas !'
Cia Seng Ciang sendiri sementara itu sudah bercuriga.
Memangnya ia adalah seorang Kang Ouw kawakan, banyak
pengalamannya, luas pengetahuannya itu. Selagi lawan
berjumpalitan ia sudah heran dan menerka itulah sepak
terjang permulaan dari senjata rahasia yang bakal digunakan.
Selekasnya dia melihat bubuk warna ungu itu tahulah ia yang
lawan menggunakan bubuk beracun maka juga belum lagi Mie
A Lun memperdengarkan peringatannya, ia sudah mendahului
menahan nafas serta menutup jalan darahnya, menyusul
mana ia berlompat ke kepala angin.
Gak Hong Kun kecele ! Dia bermaksud merobohkan musuh
atau sedikitnya menghadang gerak gerik musuh itu supaya ia
memperolah luang buat mengangkat kaki buat membantu
Teng It Beng, siapa sangka ia telah menghadapi seorang
lawan yang lihai kepandaian silat dan otaknya.
Dan belum lagi ia menginjak tanah, dua buah tie lian hoa
sudah menyambar padanya, sebab lawan membalas
menyerangnya dengan senjata rahasia juga. Terpaksa ia
menjatuhkan diri dengan bergulingan di tanah, dengan


pedangnya ia menyampok kedua belah senjata rahasia itu,
menyusul mana ia berlompat bangun buat terus lari ke arah
Teng It Beng.
Mie A Lun dengan mengajak ke empat kawannya maju
untuk memegat. Tak kecewa dia bergelar "Coe Sun Ka" Si
Tenggiling, dengan satu loncatan "KuCing Hutan Lompat
keluar dari Lobang" dia segera tiba di depan lawan yang dia
terus bacok !
Tadi sepasang senjata siangjin ciang dari A Lun telah
terkutungkan lawan maka sekarang ia menggantikannya
dengan golok, karena itu bukan genggaman pegangannya,
bacokannya kurang tepat. Gak Hong Kun menyambuti
bacokan itu. Ia berniat menebas kutung lawan, ia tapinya
tidak berhasil. Setelah berpengalaman, Mie A Lun berlaku
cerdik.
Dia menarik pulang goloknya setengah jalan buat
diteruskan dipakai membabat dari samping, mengarah batang
lehernya lawan itu. Gak Hong Kun terancam bahaya, ia
menegakkan tubuhnya, dengan begitu selamatlah ia. Karena
terhadang ini, ia sekarang kena disusul empat orang
kawannya A Lun. Dengan begitu ia terus kena terkepung di
empat penjuru. Ia insyaf akan bahaya itu, ia menjadi nekad.
"Awas !" dia berteriak sambil pedangnya disabetkan ke kiri
dan kanan dibulang balingkan dengan jurus "Badai Menyapu
Salju". Maka robohlah dua orang musuhnya sambil mereka itu
mengeluarkan jeritan kesakitan !
Saking kaget dua orang musuh lainnya berlompat mundur.
"Kurang ajar !" berteriak Mie A Lun yang gusar dan segera
lompat menerjang.


Gak Hong Kun menangkis. Tak ada niatnya berkelahi lama.
Maka ia lantas desak lawannya itu. Selagi si lawan mundur ia
lompat lari pula menghampiri Teng It Beng kawannya. Tatkala
itu Siauw Tiong Beng sudah mendesak Teng It Beng sampai
dipojok, lagi kira dua tombak Teng It Beng pasti akan tercebur
ke air. Tetapi Teng It Beng lihai walaupun terdesak hebat
belum bisa ia segera dirobohkan. Dengan pedangnya ia
bertahan sedapat-dapatnya.
Tadi itu sesudah lawan mundur, Cia Seng Ciang tidak
mengejar. Ia hanya mengawasi. Ia pikir cukup asal ia dapat
mengusir Tio It Hiong. Tidak ada niatnya akan nanti
bermusuhan dengan Tek Cio Siangjin, walaupun murid orang
ini sudah datang menyerbu tanpa alasan. Orang pun
menggunakan bubuk beracun yang lihai itu. Tapi setelah
menyaksikan dua orangnya dirobohkan, panas hatinya,
membuat ia memikir lain.
"Dia sungguh kurang ajar !" pikirnya. Lantas ia lari
memburu.
Gak Hong Kun sendiri selekasnya dia mendekati Teng It
Beng dan Teng It Beng lagi dua tombak, dia melihat Teng It
Beng menikam lawan tetapi pedangnya kena terasampok.
Karena pedangnya terpental, dadanya Teng It Beng menjadi
terbuka. Melihat ini Siauw Tiong Beng lantas maju sambil
menikam dada orang !
Sungguh Teng It Beng terancam bahaya. Gak Hong Kun
melihat itu lantas ia lompat ke arah Siauw Tiong Beng dan
menikam punggung jago To Liong To itu. Itulah cuma satusatunya
jalan buat membantu Teng It Beng.


Siauw Tiong Beng mendapat tahu datangnya serangan dari
belakang itu, tidak mau menangkis, hanya cepat bagaikan kilat
ia mengegos tubuh ke samping membiarkan pedang meluncur
terus ke arah Teng It Beng.
Ketika itu Teng It Beng justru merasa nyeri sediki pada
dadanya. Ia tidak kena terhajar, baru terpental angin
tangannya lawan. Kapan ia melihat pedangnya Gak Hong Kun,
ia melejit mundur satu tombak lebih.
Habis membantu Teng It Beng, Gak Hong Kun melihat
mendatanginya Cia Seng Ciang. Ia lantas memberi isyarat
kepada saudara angkatnya itu, pertanda bahwa ia hendak
menggunakan bubuknya, sembari berbuat begitu ia kata :
"Kakak Teng, mari kita turuni tangan besi." Menyusul itu ia
lompat ke sisinya saudara itu, terus ia melepaskan bubuknya,
hingga dilain detik tubuh mereka teraling bubuk warna ungu
itu.
Cia Seng Ciang sekalian melihat bubuk itu, mereka pada
menyingkir ke kepala angin. Kapan bubuk sudah buyar, Gak
Hong Kun dan It Beng tak tampak lagi sebab keduanya telah
menggunakan kesempatan yang baik buat lekas-lekas
menyingkir dari tempat yang berbahaya itu.
"Mari !" kata Cia Seng Ciang yang terus mengajak orangorangnya
lari ke arah pelabuhan. "Mereka itu pasti lari ke sini !
Biarlah mereka akan kepandaian mereka main jahat dengan
kita."
Selekasnya mereka tiba di pelabuhan, Mie A Lun berseru
kaget.
"Perahu kita hilang sebuah !" serunya. "Lihat Cia Tocu !"


"Lekas kejar !" Cia Seng Ciang berseru dengan titahnya.
Orang pada lantas lari ke tepian, tiga buah perahu segera
digayuh pergi menuju ke tengah laut buat mencari dan
menyusul kendaraan mereka yang lenyap itu yang mereka
terka pasti sudah dipakai Gak Hong Kun berdua untuk
menyingkirkan diri.
Gak Hong Kun cerdik bukan main. Habis melepas bubuk
dan kabur ke perahu tidak lantas mereka mengayuh ke tengah
laut. Mereka tak pandai menggunakan pengayuh. Ia tahu
kalau mereka dikejar, mereka bakal tergesa-gesal. Maka ia
lantas menggunakan akal. Begitulah mereka turun ke air,
perahu mereka terkejar, tetapi terus ditarik masuk ke dalam
air. Biar tidak bisa berenang, mereka pandai mengatur
pernafasan mereka. Dengan menahan nafas, dapat mereka
menyelam mempertahankan diri. Air disitupun kira baru enam
kaki dalamnya. Mereka mendekam di dalam air sampai ketiga
perahu To Liong Ti melewatinya, sampai ketiga perahu itu tak
nampak lagi. Ketika mereka timbul pula, sepi sekitar mereka.
"Sungguh berbahaya !" kata Teng It Beng yang
mengeluarkan nafas lega. "Mari kita naik atas sebuah perahu
lainnya...."
"Jangan !" kata Gak Hong Kun yang menarik baju
kawannya. "Tak dapat kita menyingkir dengan jalan naik
perahu ! Selekasnya kita berada diluar, musuh bakal dapat
melihat kita. Bukankah itu berarti mengantarkan diri ke dalam
jaring ?"
Teng It Beng diam berpikir, kemudian ia mengangguk.
"Kau benar tabah dan cerdik, adikku !" pujinya.


"Nah, mari kita menyingkir ke gunung belakang !"
Tio It Hiong palsu mengangguk. Maka berlari-larilah mereka
ke belakang gunung, ke sebuah ranggon dimana ada delapan
orang berseragam tengah melakukan tugasnya. Semua
kedelapan orang To Liong To melihat dua orang ini, yang
pakaiannya kuyup basah, sampai mereka pada melengak. Gak
Hong Kun lari ke pintu ranggon.
"Siapa tidak kejam, dia bukan laki-laki sejati !" gumamnya,
"Hm !"
Habis tertawa dingin, muridnya It Yap Tojin lantas maju
untuk menerjang ke delapan orang To Liong To itu. Mudah
saja untuk merobohkan mereka itu, hingga semuanya roboh
bermandikan darah.
Dengan satu isyarat tangan, Gak Hong Kun mengajak Teng
It Beng menerjang ke dalam ranggon dimana masih ada
beberapa orang To Liong to. Mereka itupun dapat dirobohkan
semua. Habis itu dengan menggunakan api, ranggon disulut
dan dibakar ! Lekas sekali api berkobar besar.
Kebakaran itu menyebabkan banyak orang To Liong To
lainnya datang untuk memadamkannya. Di lain pihak, Gak
Hong Kun dan Teng It Beng lari ke belakang gunung dengan
memondong seorang musuh yang tengah pingsan. Mereka
mencari sebuah goa dimana mereka dapat menyembunyikan
diri sekalian beristirahat. Selekasnya malam tiba, orang To
Liong To, itu yang telah disadarkan dipaksa turut mereka
mencari sebuah perahu dengan apa bersama-sama mereka
berlayar ke tengah laut !
Kebetulan sekali, selagi rembulan terang, laut pun tenang.
Dengan duduk mengawasi si orang To Liong To, Gak Hong


Kun berdua bersabar menantikan kendaraan air itu meluncur
pergi. Layar dipasang, maka itu perahu laju pesat. Mereka
berhati puas dan lega.
Orang To Liong To itu memegang kemudi dengan tak
mengucap sepatah kata. Nampaknya dia jinak dan penurut.
Ketika itu malam dan Teng It Beng berdua tak tahu arah.
Mereka pun berdiam saja. Mereka tak tahu yang perahu
secara diam-diam diputar kembali ke pulau !
Tiba-tiba saja maka di tengah laut, di kejauhan tampak
satu titik seperti bayangan bendera, makin lama terlihat makin
besar. Hingga dilain saat ketahuanlah bahwa itu adalah layar
dari sebuah perahu besar.
"Tempat apakah ini ?" tanya Gak Hong Kun kepada tukang
kemudinya.
"Sudah tak jauh lagi dari daratan." sahut si tukang perahu,
singkat. Diam-diam ia arahkan perahunya kepada perahu
besar itu.
Kedua kendaraan air itu laju sama pesatnya, tak lama,
keduanya sudah datang semakin dekat. Sengaja tukang
kemudi membuat perahunya meluncur terus kepada perahu
besar itu ! Lekas juga timbullah kecurigaannya Gak Hong Kun.
Ia lantas mengulur tangannya menyambar tukang kemudinya.
Justru itu kedua perahu sudah beradu satu dengan yang lain
hingga terdengar suara tabrakannya yang berisik. Justru itu
juga si tukang kemudi telah membuang diri terjun ke laut.
Dua dua Gak Hong Kun dan Teng It Beng merasai kepala
mereka pusing. Tabrakan itu tak menyebabkan perahunya
terbalik dan karam cuma terjadi benturan dan goncangan


yang keras. Mereka mesti berpegangan dengan keras supaya
tak usah terhuyung jatuh dari perahunya.
Tepat itu waktu dari atas perahu besar terdengar suara
dingin : "Hm ! Tio It Hiong bocah ! Mana dapat kau lolos dari
tangannya Cut Tong Kauw ? Hm !"
"Cut Tong Kauw", si Ular naga keluar dari Gua adalah
gelarannya Tio Siong Kang, Liok Mo atau bajingan nomor
enam dari To Liong To. Dia berasal perompak pandai
menyelam tinggal dan berenang dan tersohor telengas. Habis
membentak itu dia mengambil senjatanya tempaling No bie
cie, bersiap buat lompat naik ke perahu kecil, guna
menghampiri Gak Hong Kun berdua didalam perahu kecilnya
itu.
"Sabar Tio Tocu" berkata Siauw Kwie, salah seorang
tauwhak bawahannya, "Buat apa Tocu turun tangan sendiri ?
Bukankah lebih baik untuk membiarkan mereka terkubur
didalam perut ikan?"
Tio Siong Kang mengangguk sambil dia tertawa. Batal dia
pindah ke perahu kecil. Lantas dia mengawasi kepada Gak
Hong Kun dan Teng It Beng berdua.
Teng It Beng berdua masih tetap berada di atas perahunya.
Mereka itu menyekal golok di tangan kanan dan tangan kirinya
dimasuki ke dalam sakunya. Mereka mengangkat kepala,
mendongak mengawasi ke atas perahu besar. Terang yang
mereka itu bersiap sedia buat menyambut musuh.
Sebenarnya Gak Hong Kun telah berpikir keras. Keadaan
mereka berbahaya terutama sebab mereka tidak bisa
berenang. Maka ia pikir baiklah ia memancing kemarahan
musuh supaya musuh suka melayani mereka bertempur.


Tanpa bertempur tidak ada jalan lain buat menyelamatkan
diri......"
"Cut Tong Kauw", kemudian ia berseru, "di dalam air kau
benar lihai tetapi di darat itulah soal lain. Dulu pun kau lolos
dengan mengandalkan senjata rahasiamu ! Beranikah kau
datang padaku buat kita main-main barang beberapa jurus ?"
Siong Kang tertawa. Dia pun cerdik.
"Tio It Hiong !" jawabnya dingin, "kau berani membakar
kami, maka sekarang kami hendak mengundang kau minum
air laut. Inilah budi dibalas budi ! Ini pula yang dibilang
keadilan api dan air saling tolong !"
Habis berkata demikian Siong Kang berseru kepada orangorangnya,
menyuruh menggunakan gala gaitan, maka itu
dilain saat perahunya Gak Hong Kun sudah lantas terbalik
karam dan Gak Hong Kun bersama Teng It Beng tercebur ke
laut ! Maka sejak itu tersiarlah berita yang Tio It Hiong telah
mati kelelap di laut....
Sementara itu Tio It Hiong yang sejati sebenarnya tengah
melakukan perjalanan pulang. Habis lolos dari rumah
penginapan di kecamatan Kwie teng di Kwiecie dimana ia
"diganggu" Siauw Wan Goat, ia kabur keluar ke kecamatan.
Dengan lompat naik ke atas sebuah pohon besar ia bisa
melihat Wan Goat bersama Teng Thian berlari-lari
menyusulnya. Tentu saja arah mereka berdua pihak jadi
berlainan. Anak muda kita turun dari pohon dengan terus
ambil jalan sepi lainnya.
Berjalan terus menerus, It Hiong kemudian telah memasuki
wilayah propinsi Ouw Lam terus ke propinsi Ouwpak untuk


setibanya dikota Gakyang mencari rumah penginapan untuk
singgah.
Habis bersantap malam It Hiong merebahkan dirinya. Ia
ingin mendapat istirahat dan tidur nyenyak. Tengah ia layaplayap
telinganya mendengar ketukan perlahan pada daun
pintu kamar, disusul dengan suaranya pelayan : "Tuan Tio ada
tamu !"
Dengan merasa heran It Hiong turun dari pembaringannya,
akan membukai pintu. Kiranya tamu itu seorang To kouw,
rahib wanita kaum To Kauw, hanya aneh, selekasnya daun
pintu dipentang itu, lantas menerobos masuk ke dalam kamar.
It Hiong heran. Lekas-lekas ia membesarkan api untuk
mengawasi To kauw itu guna mengenalinya.
Walaupun dia orang beragama, wanita itu tapinya berpupur
medok dan memakai yancie, tampangnya centil sekali. Tanpa
sungkan-sungkan, dia lantas menjatuhkan diri duduk diatas
kursi, matanya menatap anak muda di depannya, selagi anak
muda itu mengawasinya.
"Eh, Tuan Tio !" tegurnya sambil tertawa-tawa. "Tuan, kau
telah melihat aku, kenapa kau berdiam saja ? Kapannya tuan
tiba disini ?"
It Hiong mengawasi terus. Ia rasa kenal si imam tetapi ia
tak ingat dimana pernah bertemu dengannya.
"Maaf," katanya bersenyum, "dimanakah kita pernah
bertemu ? Kenapa aku lupa sekali ? Bagaimana aku harus
memanggilmu ?"
"Ah, Tuan Tio, kenapa kau bergurau denganku ?" tanya
rahib itu. "Ah, benarkah tuan tak mengenali aku ? JanganKang
Zusi website http://cerita-silat.co.cc/

jangan kau telah menemukan yang baru maka juga kau lantas
melepas yang lama !'
To kauw itu memanggil tuan, itulah sebenarnya sebutan
"kong cu" kata-kata yang halus istimewa untuk orang muda,
anak kaum berpangkat atau hartawan.
It Hiong heran sekali. Tetap ia tidak dapat segera
mengenali orang suci itu - suci cuma jubahnya. Tentu sekali,
ia menjadi curiga, ia tahu baik sekali lihainya orang Kang Ouw.
Dan si To kouw pastilah orang Kang Ouw, kaum sungai telaga.
"Apakah kau tidak keliru mengenali orang ?' tanya ia
akhirnya. "Aku yang rendah bernama Tio It Hiong ! Siapakah
itu sahabatmu yang kita cari ?"
Mukanya si rahib terang tidak puas, tetapi dia masih dapat
tertawa.
"Adik Tio It Hiong, masihkah kau tetap berpura-pura ?"
katanya. "Bukankah pada bulan yang lain kau berada di kuil
Siang Ceng Koan di Kiu Kiong San dimana kau singgah selama
beberapa hari ? Bukankan selama di dalam kamar, kita ada
bagaikan sepasang merpati yang mencintai satu sama lain ?"
Selekasnya orang menyebut nama kuil dan gunungnya,
selagi terperanjat It Hiong lantas ingat kepada Tokauw ini,
ialah Gouw Ceng. Lekas-lekas ia berkata : "Memang benar
pernah aku pergi ke Siang Ceng Koan tetapi di sana aku cuma
untuk mengambil pulang kitab Sam Cay Kiam, setelah itu aku
sudah lantas turun gunugn lagi. Karena itu, kata-katamu yang
tak bersih ini adalah kata-kata yang dibuat-buat !"
Sepasang alisnya Gouw Ceng bangkit, wajahnya menunjuki
dia gusar dan menyesal.


"Di kolong langit ini" katanya keras, "laki-laki yang tak
berbudi adalah kau Tio It Hiong ! Sudah kau perdayakan
cintaku, kau juga menyuruhku main gila dengan si orang she
Teng sahabatmu itu! Aku lakukan itu semua demi kau. Kenapa
sekarang, setelah kita bertemu pula, kau membaliki belakang
padaku ? Bilang ! Bilanglah !"
Lantas si imam menangis sedu sedan. It Hiong bingung
sekali. Inilah lakonnya Siauw Wan Goat. Orang menggilai dia
sepihak. Maka ia menerka-nerka siapa itu yang telah
menyamar menjadi ia yang tampangnya pasti sangat mirip
hingga orang tak dapat membedia yang palsu dari yang tulen
atau sebaliknya.
"Pernah guruku mengatakan hal bencana asmaraku, terang
itulah benar." pikirnya. Ia menghela nafas. Tak dapat ia
bergusar. Maka ia kata sabar, "Gouw Ceng Tokauw,
kekasihmu bukanlah aku, karena itu silahkan kau pergi ke lain
tempat mencarinya...."
Jilid 36
Meski demikian dia bercucuran air mata, masih dia
menangis.
"Tokouw, benar-benar akulah seorang putih bersih." kata It
Hiong pula. "Tak dapat aku main gila denganmu. Silahkan kau
pergi."
Dari berduduk, Gouw Ceng bangkit berdiri. Karena ia
menangis, pupurnya menjadi tidak karuan, mukanya menjadi
seperti belang. Dengan sinar mata berapi ia mengawasi si


anak muda. Tiba-tiba ia menjambret baju orang untuk ditarik
terus digoyang-goyang.
"Orang tak berbudi ! Orang tak berbudi !" katanya keras.
"Aku mau mengadu jiwaku denganmu!"
It Hiong repot, hatinya pun menjadi panas.
"Diam !" bentaknya. "Apakah kau sudah menjadi gila ?"
Gouw Ceng mundur setindak. Dengan mendelong ia
mengawasi pemuda itu. Melihat muka orang tidak karuan itu,
It Hiong mendongkol berbareng merasa geli di hati, hingga ia
tertawa.
Gouw Ceng menyangka orang mengajaknya bergurau, ia
menuding muka orang, ia pun tertawa.
"Kau terlalu !" katanya. "Kau bergurau keterlaluan ! Lihat,
hatiku goncang !"
Tio It Hiong menolak lengan orang.
"To Kouw, kaulah yang bergurau. Bukannya aku !" katanya.
"Apakah kau tidak malu ? Tak ada waktuku buat melayani kau
main gila ini ! Nah, kau pergilah !'
Si rahib wanita tertawa. Dia maju setindak.
"Adik yang baik." katanya. "Apanya yang tak menarik dalam
diriku ini ? Adik, kau maafkan aku. Sekarang sudah malam,
jangan kau menyia-nyiakan waktu yang baik ini !"
Tio It Hiong menjadi gusar juga.


"Jika kau hendak mencari laki-laki, pergilah ke lain tempat
!" bentaknya. "Kenapa kau main gila begini padaku ? Kenapa
kau menuduh aku ?"
Gouw Ceng pun kewalahan, dia habis sabar.
"Tio It Hiong !" katanya. "Benar-benarkah kau begini tak
berbudi ? Kemana perginya kata-katamu yang manis selama di
Siang Ceng Koan ? Malam itu kau membuat aku roboh tak
berdaya.... Kenapa sekarang kau jadi begini rupa ? Tidak,
tidak nanti aku lepaskan kau !"
It Hiong mencoba menahan sabar. Ia kuatir suara berisik
rahib itu mengagetkan para tamu hotel lainnya.
"Sebenarnya kau mau apa ?" tanyanya ke Gouw Ceng
menjadi girang dalam sekejap. Dia tertawa.
"Aku ingin bermalaman bersamamu !" katanya tanpa malumalu.
It Hiong melengak, matanya mengawasi api. Bukan main
sulitnya dia.
"Kau lihatlah kaca muka !" katanya. "Kau sudah setengah
tua, kau memoles bagaimana juga, tak dapat kau menyalin
wajahmu ! Coba pikir, mustahil seorang pemuda dapat tergilagila
terhadapmu ? Percuma akal busukmu ini ! Nah, lekas kau
pergi !"
"Kau menolak aku ?" kata rahib itu. "Kau menyangkal ?
Tidak ! Tidak ! Masih ada lagi sahabatmu she Teng itu serta si
imam pria ! Merekalah saksinya !"


"Masa bodoh !" bentak It Hiong. "Masih kau tidak mau
pergi !"
Akhirnya si To kouw pun menjadi gusar.
"Oh, Tio It Hiong !" serunya. "Kau tak berbudi ! Kau nanti
lihat aku Gouw Ceng, aku mudah dipermainkan atau tidak !
Ya, kau lihat nanti !"
Berkata begitu, Gouw Ceng bertindak keluar. Di muka
pintu, ia menoleh, akan kata bengis : "Malam ini kau tenangi
hatimu dan pikirlah baik-baik, supaya kau jangan menyesal
kelak ! Besok malam aku datang pula !"
It Hiong tidak menanti orang berhenti bicara, dia maju dan
menolak tubuh orang hingga keluar, setelah mana ia menutup
pintu. Ia menghela nafas, matanya mendelong mengawasi
api. Keras otaknya bekerja.
"Sudah belasan hari, aku terus terganggu seperti ini."
pikirnya masgul. "Sejak aku mendaki Ay Lao San, sampai hari
ini sudah lewat dua bulan. Selama itu aku tidak tahu apa yang
sudah terjadi di dalam dunia sungai telaga. Yang aku hadapi
ialah lakonnya Siauw Wan Goat dan rahib wanita ini ! Kenapa
lagak mereka tidak karuan ? Kenapakah ? Sulit buat aku
menjaga diri, terutama buat melindungi nama baik
perguruanku....."
Sia-sia belaka It Hiong berpikir, tak dapat ia
memecahkannya. Ketika sudah jam tiga, ia paksakan naik ke
pembaringan buat mencoba tidur. Tak mudah ia pulas. Ketika
akhirnya ia ketiduran, ia mendusin sesudah matahari tinggi. Ia
tidur tanpa menyalin pakaian lagi. Ia pun menjadi heran.
Hidungnya terdesak bau harum semerbak. Ia lekas
mementang kelambu dan turun dari pembaringan. Lantas ia


menjadi terperanjat. Di depannya tampak seorang wanita lagi
duduk menghadapi kaca, lagi merapikan rambutnya. Karena
orang duduk membaliki belakang tak dapat ia lantas melihat
wajahnya. Ia lantas mengawasi.
Wanita itu mengenakan baju luar warna hijau, pinggangnya
ceking. Dia rupanya melihat pada kacanya, bagaimana si anak
muda tercengang. Dia bersenyum.
"Ah, kau sudah mendusin !" sapanya. Terus dia bangun
berdiri akan memutar tubuh. Selekasnya dia melihat wajah si
anak muda, dia tertawa.
Tio It Hiong lantas mengenali Gouw Ceng yang telah
mengganti pakaian dari jubah suci dengan pakaian biasa. Dia
melepas rambutnya terurai ke belakang dan rambut di dahinya
dipotong pendek, dijadikan poni, mukanya tetap terpulas
medok hingga nampak tegas tampang centilnya.
"Kau datang pula ?" tegur si anak muda mendongkol.
Wanita itu tertawa. Dia menunjuk ke kaca rasa menyuruh si
anak muda melihat wajahnya.
It Hiong memandang kepada kaca, hatinya tercekat.
Kiranya pipinya telah menjadi merah dengan yancie, bibirnya
si wanita berpeta di pipinya itu. Ia menjadi jengah sekali, ia
pun gusar.
"Kau yang tempelkan yancie ini ?" tegurnya, tetapi sambil
lekas menyusuti mukanya itu.
"Buat apa dibilang lagi ?" berkata si wanita tertawa. "Itulah
tanda cintaku kepadamu !"


Bukan main kagetnya It Hiong. Bukan main juga
menyesalnya. Kenapa ia tidur demikian kebluk? Kenapa ia
tidak mendusin ? Pantas barusan ia mencium bau harum,
kiranya itu keluar dari yancie di pipinya itu !
"Apakah kau tidur diatas pembaringan ?" tanyanya, atau
mendadak ia merasa menyesal. Itulah pertanyaan yang tak
perlu.
"Itu juga tanda cintaku !" sahut si wanita. Dia agak
menyesal sebab si pemuda tetap tidak menghiraukannya.
"Kau menggunakan ilmu apa ?" It Hiong tanya.
"Tadi malam aku berdandan sebagai rahib, kau tak suka.
Kau usir aku, maka sekarang aku menyalin rupa. Aku ingin
menyenangimu !"
"Bukan itu yang aku tanyakan ! Kau mengunakan ilmu apa
hingga aku tidak tahu kau masuk kedalam kamarku ini ?"
Wanita itu menghela nafas.
"Di dalam dunia Kang Ouw ada banyak macam benda buat
membikin orang tidur pulas hingga dia tak tahu apa. Benarkah
kau tidak ketahui itu ? Sayang aku menggunakannya terlalu
banyak hingga kau tidur sangat nyenyak sampai aku tidak
dapat jalan menghilangkan dahagaku ! Sayang, sang malam
yang indah telah dilewatkan !"
It Hiong gusar sekali tetapi ia mesti mengekangnya.
"Mengingat yang kita tidak bermusuhan, kali ini aku beri
ampun padamu !" katanya bengis. "Sungguh kau beruntung !


Jika lain kali kau berani berbuat pula begini atas diriku,
darahmu akan muncrat berhamburan !"
Gouw Ceng melengak. Tak ia sangka si anak muda menjadi
gusar. Ia menjadi menangis salah tertawa salah. Akhirnya toh
mendekam di meja dan menangis sesegukan.
It Hiong menjublak. Ia pun serba salah. Hanya sejenak ia
bagaikan sadar. Perlahan-lahan ia masuki pedangnya ke
dalam sarungnya, terus ia berjingkat-jingkat ke pintu. Dengan
jalan berjinjit itu ia tidak memperdengarkan suara apa-apa.
Dengan berhati-hati, ia membuka daun pintu terus ia nyeplos
keluar. Selekasnya ia telah berada di luar hotel, segera ia
bertindak dengan cepat untuk keluar dari kota Gakyang. Ia
merasa lega hati sebab ia bisa lolos dari gangguannya si rahib
centil dan gatel itu.
Tengah ia berlari-lari di jalan umum mendadak It Hiong
mendengar suara conglang kuda di belakangnya, bahkan
segera juga ia dilewati. Setelah mana si penunggang kuda
jumlahnya dua orang, lantas menahan kudanya buat
membaliki dan menghadangnya. Segera mereka itu
mengawasi tajam.
Kedua penunggang kuda itu yang satu tua, yang lainnya
muda. Dandanan mereka menandakan merekalah orang-orang
Bu Lim rimba persilatan. Keduanya membekal golok di
punggungnya masing-masing.
Hanya sebentar si anak muda sudah lantas berlompat turun
dari kudanya dan goloknya pun dihunus. Ia memperdengarkan
suaranya yang nyaring : "Suhu, tak salah lagi. Inilah dia si
bocah !" Lalu terus dia bertindak ke arah anak muda kita.


"Sae Sie tahan !" berseru si orang tua yang dipanggil suhu
itu. "Nanti gurumu menanya jelas dahulu. Masih ada banyak
waktu untuk turun tangan !"
Dan guru ini -suhu- lompat turun dari kudanya.
It Hiong heran. Ia tidak kenal mereka itu, kenapa ia seperti
dimusuhi ? Tak ingat ia banyak omong, maka ia mengangkat
kakinya buat melanjuti perjalanannya.
"Tahan !" bentak si orang tua, sedangkan sinar golok pun
berkelebat di depan mukanya pemuda kita. Lantas dia itu
menanya : "Apakah kau Tio It Hiong ?"
It Hiong mundur dua tindak. Ia menatap kedua orang itu.
"Lotiang, kau she dan nama apakah ?" tanyanya. "Kenapa
kau merintangi aku ?"
"Aku si orang tua ialah Koay To Ciok Peng !" menyahut si
orang tua itu. "Baru-baru ini di dalam kota Kayhong kau dapat
lolos karena kau menggunakan akal bulus ! Masihkah kau
berpura-pura ?"
It Hiong belum kenal, bahkan belum pernah bertemu
dengan Koay To Peng si Golok Kilat, tetapi ia pernah
mendengar nama orang, yang tersohor sejak tiga puluh tahun
yang lalu. Karena itu ia lekas-lekas memberi hormat.
"Ciok Locianpwe" katanya, "kalau ada urusan, tolong kau
memberikan keterangan padaku ! Bukankah kita belum pernah
berkenalan ? Tak mungkinlah locianpwe keliru mengenali
orang."
Alis panjang dari si orang tua bangkit berdiri.


"Hm !" dia memperdengarkan suara dinginnya. "Ketika
dirumahnya Bu Eng Thung Liok Cia di Siang Kang, bukankah
kau telah melakukan perbuatan tangan berdarah yang berbau
baCin ? Masihkah kau hendak menyangkal ?"
It Hiong terkejut. Itulah fitnah hebat. Maka lekas-lekas ia
berkata : "Cianpwe, Liok Cia dalah sahabat karib dari ayah
angkatku In Gwa Sian, mana dapat kau main gila terhadap
keluarganya ? Memang benar pada dua yang lalu aku pernah
singgah satu malam dirumahnya, tetapi aku tidak melakukan
suatu apa pula yang buruk ! Dalam hal ini keterangan bisa
didapat dari Liok Cianpwe sendiri....."
Tapi Ciok Peng justru menjadi gusar.
"Tentang perkara berdarah itu, justru Liok Cia sendiri yang
memberitahukan padaku !" katanya keras. "Sekarang ini dia
justru ada dirumahku !"
It Hiong melengak. Itulah aneh. Ciok Peng orang ternama,
mungkinkah dia memfitnah ? Kalau tidak bagaimana ? Ia
memang tidak melakukan perbuatan yagn dituduhkan itu.
Selagi si anak muda berdiam itu mendadak ada sinar golok
berkelebat ke arahnya, datangnya dari belakang !
"Lihat golokku !" teriak si penyerang itu, ialah Sae Sie
muridnya Ciok Peng si Golok Kilat karena murid itu sudah tak
sabaran.
It Hiong berkelit sambil mencelat jauh satu tombak. Ia
berlompat dengan loncatan Tangga Mega. Setelah itu, ia tidak
membalas menyerang, hanya ia berkata : "Sahabat, tahan !
Sebentar masih ada waktu untuk melayanimu..."


Sae Sie heran atas cara berkelit dan berlompatnya pemuda
itu, ia ingat itulah cara bergerak yang berbeda dengan Tio It
Hiong yang ia ketemukan di kota Kayhong. Ia tidak
mengulangi serangan, ia hanya menatap.
It Hiong maju dua tindak, ia memberi hormat pada Ciok
Peng.
"Ciok Cianpwe," katanya sabar, "apa yang cianpwe bilang,
aku Tio It Hiong, aku tidak berani tidak mempercayainya,
tetapi kalau peristiwa berdarah di rumah Liok Cianpwe yang
dimaksudkan kepadaku, sungguh itulah penasaran bagiku !
Perbuatan yang tak aku lakukan mana dapat aku akuinya ?"
Baru saja It Hiong mengucapkan kata-katanya, lantas ada
orang yang menyambutinya. Suaranya keras dan nyaring :
"Bagaimana perbuatanmu atas diriku ! Kau telah memperdayai
cinta dan kesucian tubuhku ! Itulah hal yang benar ! Kau mau
akui atau tidak ?"
It Hiong terperanjat. Itulah suaranya Gouw Ceng, yang
orangnya segera muncul. Ia menjadi gusar. Maka ia hadapi
rahib wanita itu, untuk menegur dengan berkata bengis.
"Perempuan tak tahu malu ! Apakah kau mencari mampusmu
?"
Tapi Gouw Ceng tidak takut. Dia mengenali Ciok Peng dan
muridnya itu. Dengan alis berdiri, dia berkata lantang :
"Biarpun bersuami istri cuma semalam tetapi itulah cinta kasih
seratus malam ! Kalau kau benar demikian kejam, kau
bunuhlah aku ! Ya, bunuhlah ! Oh, setan yang cintanya tipis!"
Berkata begitu, dengan mata menatap, Gouw Ceng
berlenggang menghampiri si anak muda.


Sae Sie tidak kenal Gouw Ceng tetapi melihat wajah orang
serta gerak geriknya itu, ia sudah sebal terlebih dahulu. Ia
heran hingga ia berdiri melongo. Ciok Peng sebaliknya tahu
baik tentang pribadi si rahib wanita.
"Hm, Tio It Hiong !" katanya bengis. "Apa lagi yang hendak
kau katakan ? Tidak kusangka kau menjadi begini buruk
hingga kau mendatangkan malu kepada guru dan rumah
perguruanmu !"
It Hiong terkejut berbareng gusar. Si orang tua sampai
menyebut guru dan perguruannya. Mukanya menjadi pucat
pasi.
"Baru sekarang aku yang muda ketahui tentang sifatnya
kaum Kang Ouw !" katanya keras. "Lihat sampai seorang
cianpwe yang berpengalaman toh masih kena dikelabui !
Baiklah setelah ini aku akan berdaya mencuci penasaranku ini
!"
"Jangan mengoceh tidak karuan !" Sae Sie membentak.
"Hutang darah dari Liok Cianpwe itu tak dapat dihabiskan
dengan ocehan saja !"
Ciok Peng sebaliknya kena terpengaruhkan kata-kata si
anak muda, sikap siapa yang tegak pun menarik perhatiannya.
Ia berdiam sebentar lalu sikapnya sedikit berubah.
"Kau kata kau penasaran sebab peristiwa di rumah
keluarga Liok itu adalah satu fitnah." katanya. "Habis apa
katamu tentang perkara di depanmu ini ?"
Jago tua itu maksudkan tuduhannya Gouw Ceng yagn ia
terus tunjuk.


"Juga inilah fitnah belaka !" kata It Hiong cepat dan tetap !
Gouw Ceng tertawa.
"Saudara Tio, mengapa kau bersikap begini bersungguhsungguh
?" tanyanya. "Bukankah kita berdua telah saling
menyinta ? Buatku apapun yang kau bilang boleh saja asal
kau tetap menyintai aku !"
"Tutup mulutmu !" bentak It Hiong. "Sekali lagi kau
mengucap yang tidak-tidak, akan aku tidak kenal kasihan lagi
!"
"Orang licik dan kejam." ejek Sae Sie tertawa tawar. "Buat
apa bicara saja ? Kalau benar kau terfitnah kenapa kau tidak
mau segera turun tangan ?"
Gouw Ceng sebaliknya mundur sampai lima tindak. Ia
melihat It Hiong benar-benar sudah sangat marah. Wajah
orang merah padam, bibirnya rapat satu sama lain sebab si
anak muda menggertak gigi mengendalikan hawa amarahnya.
Saking gusarnya tetapi kegusaran itu ia tahan, It Hiong
tertawa sendirinya. Nyaring tawanya itu. Dan lama juga.
Mendengar tawa itu hatinya Ciok Peng bertiga memukul.
Justru itu It Hiong telah bertindak. Mendadak saja ia
menghunus Keng Hong Kiam dan terus membolang
balingkannya di mukanya Gouw Ceng.
"Aduh !" menjerit si rahib wanita yang terus terhuyung dan
terjatuh duduk, mukanya mengeluarkan darah.
Itulah sebab kedua belah pipi yang medok dengan pupur
telah tergurat menjadi sepasang tapak jalak sehingga pupur


pun bercampuran dan tertutup darah merah ! Hingga
sekarang muka cantik si rahib berubah menjadi muka
bajingan......
"Gouw Ceng !" It Hiong membentak, "kita sebenarnya tidak
bermusuhan. Maka juga terhadap segala perbuatan centilmu
aku menahan sabar saja. Tetapi sekarang buat membuktikan
bahwa aku tidak pernah bercintaan dan main gila denganmu,
terpaksa aku merusak pipimu. Sekarang aku mengharapkan
kau merubah cara hidupmu, supaya selanjutnya kau menjadi
orang baik-baik."
Rahib itu menangis.
"Tio It Hiong" katanya, "Kalau benar kau tidak pernah
berjodoh denganku, kau mesti memberikan sumpahmu yang
berat."
Sepasang alisnya si anak muda terbangung.
"Baik, aku bersedia !" sahutnya cepat dan tegap. "Kau
dengar !" Dan dia berikan sumpahnya itu.
Gouw Ceng melengak. Ia melihat sikap sungguh-sungguh
dari si pemuda. Kemudian ia menghela nafas dan bangkit
bangun. Dari mulutnya, terdengar ini kata-kata sangat
perlahan, "Apakah benar-benar ada Tio It Hiong palsu.......?"
"Eh, apakah katamu ?" tanya It Hiong. Kata-katanya si
rahib membuatnya terperanjat.
Ketika itu Ciok Peng dan muridnya datang menghampiri.
Gouw Ceng menyusuti darah di pipinya.


"Sebenarnya kau Tio It Hiong yang tulen atau yang palsu ?"
tanyanya perlahan.
It Hiong makin bercuriga.
"Akulah Tio It Hiong, murid Pay In Nia !" sahutnya dengan
kepastian. "Aku bukannya Tio It Hiong yang palsu.
Memangnya ada orang memalsukan aku ?"
"Gouw Ceng Tokouw, bagaimana ?" Sea Sie menyela,
mencampur bicara. "Benarkah ada Tio It Hiong palsu ?"
"Sea Sie, jangan banyak bicara !" Ciok Peng menegur
muridnya itu.
Kesangsian jago tua ini menjadi goyah. Mulanya ia percaya
Tio It Hiong mendusta, tetapi sekarang lain. Gouw Ceng
sendiri pun terbenam dalam keragu-raguan sedangkan tadinya
dia bersitegang.
"Gouw Ceng Toya." Ciok Peng terus tanya si rahib.
"Bagaimana pendapatmu ? Dia ini Tio It Hiong yang tulen atau
yang palsu ?"
Gouw Ceng mengawasi tajam pada anak muda di depannya
itu, ia menjawab : "Tio It Hiong yang pernah berhubungan
denganku, tampang dan dandanannya memang sangat mirip
dengan anak muda ini, hanya caranya bicara dan gerak
geriknya dia ini, beda seperti langit dan bumi dengan Tio It
Hiong yang aku kenal itu. Rasanya mataku tidak keliru
melihat. Memang pernah aku mendengar perihal satu Tio It
Hiong, yang muncul di dalam pertemuan besar di gunung Tay
San dimana dia telah menyerang pada Pat Pie Sin Kit In Gwa
Sian. Dia ini beda daripada orang yang aku kenal itu, apa pula
dia ini telah memberikan sumpahnya yang berat barusan....."


"Jadi sebenarnya kau masih belum pasti ?" Ciok Peng
menanya menegaskan.
Belum lagi Gouw Ceng manjawab atau Sae Sie sudah
menghunus goloknya dengan apa dia membacok It Hiong
sambil berseru : "Dialah musuhnya Liok Cim, kita bunuh
dahulu baru kita bicara ! Mana ada waktu akan mencari tahu
dia si palsu atau si tulen ?"
Tio It Hiong berkelit dengan cepat. Ilmu pedang Gie Kiam
Sut membuatnya bermata sangat celi dan bergerak sangat
cepat dan pesat. Kapan ia diserang terus berulang-ulang,
lantas ia main berkelit terus juga dengan menggunakan ilmu
ringan tubuh Tangga Mega. Tak sudi ia membalas menyerang.
Di lain pihak, ia mesti akui kegesitan dan kecepatan bergerak
anak muda itu, maka tidaklah kecewa dia menjadi muridnya
Koay To Ciok Peng si Golok Kilat !
Sae Sie menyerang tak hentinya tetapi setelah lewat tiga
puluh jurus, selama mana tak sekali jua lawan membalasnya,
mendadak ia berhenti sendirinya. Biar bagaimana ia tetap
muridnya seorang jago tua yang lurus. Kalau ia tadi cuma
mengiringi panas hatinya, sekarang ia sadar. Tapi ia toh
menanya : "Tio It Hiong, kenapa kau tidak melayani aku
bertempur ? Beginikah kelakuan-nya seorang Kang Ouw sejati
? Apakah kau hendak memohon keampunan ?"
Alisnya anak muda kita bangun.
"Aku hanya menghargai persahabatan guruku !" sahutnya
sungguh. "Dengan melihat mukanya Ciok Cianpwe, tak ingin
aku sama sependapat denganmu. Aku tidak mau merusak
persahabatan. Itulah sebabnya tak sudi aku menggerakkan
tanganku, tetapi itu bukan berarti bahwa Tio It Hiong adalah


seorang penakut !" Ia hening sejenak. "Kalau toh kau ingin
menyaksikan kepandaianku, baiklah akan kau memberikan
pertunjukan !"
Begitu berhenti suaranya si anak muda, begitu Keng Hong
Kiam telah menghunus dan cahayanya berkilau menyilaukan
mata. Menyusul itu tubuhnya si anak muda mencelat,
terapung tinggi sampai beberapa tombak terus berputar tiga
kali, pedangnya berputaran juga. Habis itu terlihatlah ia turun
pula berdiri dengan tegak di depannya ketiga orang itu !
"Saudara Sae Sie" katanya sabar. "Bagaimana
penglihatanmu, dapatkah menyambut ilmu golok kilat darimu
? Atau apakah aku harus meminta ampun dari kau ?"
Sae Sie melongo, demikian juga gurunya. Ciok Peng sendiri
belum pernah melihat ilmu pedang semacam itu. Tak usah
dibilang lagi bagaimana kagum dan menyesalnya Gouw Ceng.
Selagi Sea Sie belum menjawab si anak muda, kepada mereka
sudah datang dua orang lain, yang datangnya dengan berlarilari.
Rupanya tadi selagi It Hiong bersilat, mereka itu muncul.
Lekas juga mereka mengawasi It Hiong dengan tajam.
Dua orang itu adalah dua orang pendeta yang berjubah
kuning, kaus kakinya putih, sepatunya sepatu rumput. Kepala
mereka lanang hingga berkilauan disinarnya matahari. Muka
mereka bundar dan montok. Alis dan mata mereka
menandakan mereka bukan dari pihak sesat. Tangan mereka
sama-sama mencekal Liong Houw Kiam Hoan, gelang emas
naga-nagaan dan harimau-harimauan.
"Ciok Sicu, adakah orang ini si bocah Tio It Hiong ?"
demikian suara mereka yang pertama keras dan tegas.


Ciok Peng sudah lantas mengenali kedua biksu itu, ialah
Liong Houw Sang Ceng, Sepasang pendeta naga dan harimau
dari gunung Ngo Tay San. Lekas-lekas ia memberi hormat dan
menjawab : "Liong Houw Taysu selamat jumpa ! Dengan
sebenarnya pemuda ini ialah Tio It Hiong dari Pay In Nia !"
Kedua pendeta itu maju setindak menghampiri It Hiong,
keduanya menatap tajam, hingga sikapnya menjadi bengis.
"Eh, orang she Tio !" lantas yang satu menegur, "kau masih
begini muda, kenapa berani melakukan kejahatan yang tidak
dalam dunia Kang Ouw ? Kenapa dengan cara hina dan busuk,
kau binasakan dua orang murid kami ? Hari ini harus kami
memberikan keadilan !"
It Hiong heran yang orang-orang datang menegurnya
secara demikian, tetapi ia tabah. Ia dapat menerka bahwa
salah mengerti ini masih sama dengan salah mengertinya
Gouw Ceng dan Ciok Peng. Maka itu bukannya ia lantas
menjawab, ia hanya berlaku tenang, dengan mengangkat
kepala ia menengadah mega yang lagi beterbangan di udara.
Baik kemudian selagi orang menantikan jawabnya, ia
menghela nafas, matanya mengawasi kedua biksu itu.
Liong Houw Siang Ceng adalah murid-murid kesayangan
dari Pie Sie Siansu, pendeta kepala dari kuil Goan Cio Sie di
gunung Ngo Tay San, nama suci mereka ialah Bu Sak Hweshio
dan Bu Siang Hweshio. Kuil Goan Cio Sie termasuk satu
cabang dari Siauw Lim Sie. Dalam hal peryakinan Ie Kiu Ken
dari Tatmo Couwen. Pie Sie Siansu telah melatihnya selama
lima puluh tahun lebih cuma sebab ia tak pernah turun
gunung untuk merantau, orang tidak ketahui sampai dimana
lihainya ilmu silatnya. Apa yang orang ketahui, katanya dia
lihai sekali. Muridnya cuma dua. Belum lama murid-murid itu
merantau, mereka sudah membuat nama hingga terkenallah


julukan Liong Houw Siang Ceng itu, dua pendeta Naga dan
Harimau. Sekarang mereka berdua telah kena dipermainkan
Tio It Hiong palsu yang duduk kejadiannya seperti berikut :
Pada suatu hari di kota Ceelam, It Hiong palsu bertemu
dengan dua orang murid angkatan kedua dari Goan Cio Sie.
Mereka ini tengah menghadang Lek Hoat Jit Long, seorang
jahat dari kalangan hitam. Hong Kun dan It Beng kena diberi
oleh penjahat itu yang menghadiahkannya sebuah mutiara
besar. Bertiga mereka lantas mengepung dua pendeta itu,
tetapi mereka tak berhasil bahkan mereka keteter. Sampai
disitu guna merebut kemenangan, Hong Kun lantas
menggunakan bubuk beracunnya yang lihai itu. Kedua
pendeta itu kena dikalahkan, yang satu bahkan terbunuh,
maka yang lainnya lari pulang buat memberi kabar kepada
Liong Houw Siang Ceng, hingga kejadianlah si Naga dan si
Harimau itu pergi merantau mencari Tio It Hiong guna
menuntut balas. Dan kebetulan sekali disini mereka bertemu
satu dengan lain !
Bu Siang Hweshio tidak sabaran sambil memperlihatkan
senjatanya yang kuning berkilauan, gelang Liong Houw Kim
Hoan. Dia membentak : "Orang she Tio, terhadap kami masih
hendak berlagak pilon ? Kau lihatlah !" Dan dia menyerang
dengan gelangnya itu, mulanya kanteg lalu diterus ke tengah,
ke kepala dan perut !
It Hiong tidak diberikan kesempatan bicara, hatinya panas.
Tetapi ia dapat mengendalikan diri. Ketika diserang itu ia terus
berkelit dan berkelit lagi seperti ia melayani Sea Sie tadi.
Tanpa melakukan pembalasan ia ingin meredakan suasana.
Bu Siang Hweshio lihai, dia menyerang dengan hebat,
hatinya bergolak ketika ia mendapat kenyataan selalu si anak
muda dapat berkelit. Sudah tujuh atau delapan belas jurus,


masih sia-sia saja ia mendesak si anak muda. Dia melihat
orang bertubuh ringan dan gesit, maka sendirinya kulit
mukanya terasa panas. Ia lantas berseru keras, serangannya
dipergencar hingga sinar kuning emas dari gelangnya itu
berkilauan mengurung tubuhnya lawan ! Ciok Peng dan
muridnya kagum menyaksikan kehebatan si pendeta.
Bu Siang penasaran sekali, pelbagai macam serangannya
tidak dapat menemui sasarannya. Yang paling memalukan
dirinya ialah It Hiong tetap main berkelit, tak sekali juga dia
pernah menangkis atau membalas menyerang.
Sesudahnya lewat beberapa puluh jurus akhirnya Bo Sak
Hweshio dan Ciok Peng berseru dengan : "Tahan !"
Kedua orang yang bertempur itu bertempur secara sepihak,
yang masing-masing berbaju hijau dan kuning berhenti
bergerak secara serentak. Bu Siang mentaati saudaranya dan
It Hiong memangnya tiada niatnya bertempur. Ketika itu
mukanya Bu Siang merah karena letihnya, nafasnya pun
mendesak. It Hiong sebaliknya berdiri tenang, nafasnya lurus
seperti biasa, dia bukan seperti habis "bertarung" seru. Dia
mengawasi si pendeta seperti orang yang berniat berbicara.
Segera terdengar suara terang jelas dari Ciok Peng.
"Urusan kita ini berpangkal pada dirinya Tio It Hiong, tetapi
sekarang aku melihat sesuatu yang menyiksaku. Menurut aku,
soal tak sederhana seperti perkiraan kita. Bukankah demikian
pula pemandangan kalian ?"
Jago tua ini mengawasi kedua pendeta dan Gouw Ceng,
untuk menanti jawaban. Ia pun memandang kepada It Hiong,
yang terus berdiri diam dengan tenang. Bu Sak dan Bu Siang,
juga Gouw Ceng berdiam. Jelas yang mereka tengah
memikirkan persoalan mereka itu.


Melihat orang berdiam saja, Ciok Peng berkata pula :
"Menurut aku, baiklah dengan memandang kepada Tek Cio
Siangjin dan Pat Pie Sin Kit, hari ini urusan kita tunda sampai
disini. Kita beri ampun kepada Tio It Hiong, supaya dia dapat
berlalu. Kita sendiri, harus kita membuat penyelidikan guna
mendapatkan bukti, setelah mana baru kita bertindak terlebih
jauh. Aku percaya suhu berdua urusan kalian pasti akan dapat
dibikin terang."
"Ciok Sicu dan Gouw Ceng Tocu." berkata Bu Sak Hweshio.
"Jadinya kalian berada disini untuk berurusan dengan ini
bocah she Tio, guna membuat perhitungan ?"
Mukanya Gouw Ceng menjadi merah, dia tunduk.
"Benar !" Ciok Peng menjawab. "Tapi kami mau bekerja
untuk sahabatku Bu Eng Thung Liok Cim dari Siang kang.
Itulah urusan tumpah darah."
Jago tua ini pun menutur perihal kejadian dirumah
penginapan di kota Kayhong di waktu mana mendadak It Yap
Tojin datang, maka "It Hiong" dapat kabur. Kemudian ia
mengutarakan keragu-raguannya sebab kabarnya ada It Hiong
palsu dan It Hiong tulen. Kedua It Hiong sama tampangnya
tetapi beda gerak geriknya dan perilakunya.
Bu Sak Hweshio tertarik hati dan mau percaya Ciok Peng.
Dia menghela nafas dan kata : "Dunia Kang Ouw memang
sudah diganggu manusia-manusia licik, bahwa segala
keanehan dapat terjadi. Kau benar sekali, Ciok Sicu."
Tetapi Bu Siang gusar dan kata keras : "Tio It Hiong sudah
banyak dosanya, dia pasti seorang jahat ! Orang semacam dia


memang banyak akal muslihatnya ! Ciok Sicu, janganlah kau
mudah diakali orang !"
"Aku si orang tua, aku paling benci kejahatan !" berkata
Ciok Peng. "Mana dapat aku membiarkan manusia busuk terus
main gila ? Tapi pengalaman beberapa puluh tahun mengajari
aku buat berlaku sabar dan tenang, demikian sekarang ini.
Dalam hal kita ini aku ingin kita bertukar pikiran." Ia melirik
pada It Hiong terus ia menambahkan, "Sekarang ini kawanan
bajingan diluar lautan tengah mengacau karena itu kita harus
berhati-hati. Siapa tahu kalau mereka itu lagi mengatur tipu
daya dengan satu batu mendapati dua ekor burung ?"
Mendengar suaranya Ciok Peng, It Hiong kagum. Ia lantas
memberi hormat pada jago tua itu sambil berkata : "Ciok
Cianpwe terima kasih. Dengan kata-katamu ini cianpwe telah
membeber rahasianya si manusia jahat. Baiklah cianpwe, disini
aku menjanjikan bahwa aku akan bertanggung jawab didalam
semua peristiwa keluarga Liok, perkara berdarah kuil Goan Cio
Sie dan penasarannya Gouw Ceng Tokouw ! Di dalam masa
satu tahun jika aku gagal dengan usahaku akan aku undang
cianpwe beramai datang pula kemari. Nanti di depan kalian
akan kau habiskan jiwaku guna menebus dosa. Aku berkata
satu tidak dua. Bagaimana kalau sekarang kita berpisah secara
baik-baik ?"
Liok Houw Siang Ceng dan Ciok Peng saling memandang,
keduanya berdiam.
Gouw Ceng mengawasi si anak muda.
"Saudara Tio. Baiklah, urusan sakit hatiku ini aku serahkan
pada kau." kata ia. "Aku berterima kasih yang kau telah
melukakan kedua belah pipiku sebab itulah suatu pengajaran
untukku yang telah tersesat. Sekarang aku sadar, hendak aku


bertobat. Akan aku hidup suci menyendiri selama sisa
hidupku."
Lantas si rahib memberi hormat pada semua orang, lantas
dia mengeloyor pergi.
It Hiong mengawasi Tokouw itu, ia terharu. Ia berkesan
baik buat nasib buruk si rahib karena dari kecantikannya.
Kemudian ia memberi hormat pada Ciok Peng dan kadua
pendeta untuk mengucap : "Sampai jumpa pula." Setelah
mana segera ia pergi mengangkat kaki !
Sae Sie melihat orang pergi, dia beragu-ragu !
"Suhu !" katanya pada gurunya. "Si orang she Tio
mengangkat kaki, apakah itu bukan disebabkan dia telah
melihat suasana buruk baginya ? Apakah bukan dia sengaja
menggunakan akal untuk meloloskan dirinya ?
Ciok Peng tertawa bergelak.
"Muridku, kecerdasanmu berlebihan !" katanya. "Sebaliknya
kau kekurangan kejujuran !"
Murid itu berdiam !
Sementara itu Bu Siang telah mendapati pulang
ketenangan dirinya. Ia ingat halnya It Hiong demikian sabar,
selalu berkelit dari pelbagai serangannya yang hebat. Pula
kepandaiannya anak muda itu nampaknya tak berada
dibawahnya. Kenapa dia tak menangkis atau membalas
menyerang ? Bukankah itu bukti dari kebesaran jiwa ? Mana
dapat seorang jahat bersabar sampai begitu ?


"Aku lihat sikapnya It Hiong barusan mencurigai...."
katanya.
"Apakah Toasuhu menyangka dia licik ?" Sae Sie tanya.
"Bukan !" sahut si pendeta. "Aku heran dia dapat melayani
aku bertempur dengan caranya yang luar biasa itu. Dia selalu
berkelit, dia tak sudi membalas barang satu jurus. Ya, aku tak
dapat mengerti apa maksudnya !"
"Aku si tua dapat menerka hatinya." berkata Ciok Peng.
"Tadi pun ia melayani Sae Sie tanpa menangkis dan
menyerang. Terang dia tak sudi bentrok dengan kaum lurus.
Maka dia terus mengalah. Mengenai kau, suhu, aku percaya
itulah karena dia menghormati dan menghargai kalian...."
Selagi jago tua itu berkata begitu, diantara mereka muncul
seorang muda tampah dan gagah tampangnya, bajunya
panjang, pedangnya digemblokkan dipunggungnya. Usia dia
lebih kurang dua puluh tahun. Sembari memberi hormat, dia
lantas menanya jago tua itu : "Mohon bertanya lotiang,
apakah barusan lotiang melihat Tio It Hiong dari Pay In Nia ?"
Ciok Peng heran, dia mengawasi anak muda itu, kemudian
dia tertawa dan balik bertanya.
"Saudara kecil, apakah she dan nama saudara ?"
"Aku yang rendah Cukat Tan murid dari Ngo Bie Pay."
sahut anak muda itu terus terang, suaranya nyaring.
"Dana Cukat, ada urusan apakah anda mencari Tio It Hiong
?" Bu Siang menyela dengan pertanyaannya.
Cukat Tan mengawasi pendeta itu, serta pendeta lainnya.


"Toasuhu, apakah kalian Liong Houw Siang Ceng ?" ia balik
menanya.
"Benar, kamilah Bu Sak dan Bu Siang !" sahut Bu Sak. Ia
menunjuk pada Ciok Peng dan memperkenalkan, "Itulah Sicu
Koay To Ciok Peng ! Dan itu muridnya Ciok Sicu Dana Sae Sie
!"
Lagi sesaat Cukat Tan memberi hormat pada ke empat
orang itu, untuk seterusnya mengulangi pertanyaannya :
"Apakah lotiang beramai melihat pada Tio It Hiong ?
Kemanakah perginya saudara Tio itu ?"
Ciok Peng mengangguk.
"Benar, kami melihatnya." sahutnya. "Ada urusan apa
saudara Cukat mencari dia ?"
"Barusan aku bertemu Gouw Ceng Tokouw dan dia berkatai
aku bahwa saudara Tio It Hiong berada disini." sahut Cukat
Tan yang memberikan keterangannya.
Ciok Peng mengawasi untuk bertanya : "Saudara Cukat,
apakah kau pernah bertemu dengan Tio It Hiong palsu ?"
Alisnya Cukat Tan berdiri.
"Bukan saja aku pernah bertemu dengannya, bahkan kita
pernah bertempur !" Sahutnya. "Sebaliknya dengan Tio It
Hiong tulen yang aku cari. Aku belum berhasil menemuinya.
Begitulah aku menyusul kemari. Hendak kau menyampaikan
kabar padanya."


"Coba kau bilang aku." Bu Siang campur bicara. Dia tak
sabaran. "Kau terangkan padaku, bagaimana kau kenali Tio It
Hiong yang bertempur denganmu adalah Tio It Hiong yang
palsu ?"
"Itulah sebab aku kenal baik silat mereka." sahut si anak
muda. "Ini pula soal yang hendak aku sampaikan pada
saudara Tio It Hiong."
Ciok Peng puas mendengar keterangannya Cukat Tan itu.
Jadi taklah keliru pendapatnya bahwa Tio It Hiong tadi benar
Tio It Hiong yang tulen. Sembari tertawa dan tangannya
menunjuk, ia lantas kata : "Tio It Hiong barusan lari ke arah
sana ! Saudara Cukat Tan pergilah lekas kau menyusul dia !"
Cukat Tan mengangguk, habis mengucap terima kasih, ia
lantas lari ke arah yang ditunjuk itu.
Tio It Hiong sementara itu telah melakukan perjalanan
cepat. Ia mau pulang Lek Tiok Po terus ke Siauw Lim Sie dan
ingin lekas-lekas tiba di sana. Ia memikirkan ayah angkatnya,
istrinya dan juga yang lain-lainnya. Kalau ia memikirkan ayah
angkatnya, lain orang juga tentu memikirkannya sebab dia
telah pergi lama dan tanpa sesuatu berita. Sekarang muncul
Tio It Hiong palsu, karena ini ia juga ingin membuat
penyelidikan. Ia merasa aneh dimana ia tahu suka ada orangorang
yang memperhatikannya, sinar mata mereka itu
menandakan mereka memandang hina terhadapnya.
Pada suatu hari It Hiong tiba juga di Siang-cuinpa, ditapal
batas kedua propinsi, di Kangsay dan Ouwpak. Ia kenal baik
tempat ini. Disinilah yang dahulu buat pertama kalinya ia
bertemu dengan Pek Giok Peng untuk terus mereka berada
berduaan berbicara sambil tertawa gembira hingga kemudian
ia turut si nona ke Lek Tiok Po sampai akhirnya jodoh mereka


terikat satu pada lain. Ia ingat bagaimana sudah sekian lama
ia tak pernah pulang ke Lek Tiok Po, akan menemui
mertuanya, terutama ia belum pernah melihat pula Hauw Yan,
puteranya. Karena ini tanpa merasa ia berlari-lari keras.
Barulah ia berjalan perlahan setibanya ia ditempat yang
jalanannya sukar dilalui.
Ketika akhirnya si anak muda tiba di Lek Tiok Po, hari
sudah jauh lohor, matahari layung bersinar indah. Akan tetapi,
kapan dia mengawasi Lek Tiok Po, ia heran. Pintu gerbang
yang besar yang berwarna hitam tertutup rapat dan kesunyian
memerintah disitu dan sekitarnya ! Itulah suasana yang beda
jauh dengan kebiasaan dahulu hari.
"Ah, apakah telah terjadi sesuatu yang tak diharapi ?"
demikian pikirnya. Karena itu ia menjadi berpikir, menerka
yang tidak-tidak, hatinya pun mulai memukul.
Dengan satu loncatan pesat, It Hiong menaruh kakinya
diundakan tangga di muka pintu gerbang. Di sini ia lebih
merasai suasana kesunyian. Tidak ayal lagi, ia memegang
gelang pintu yang merupakan muka binatang itu, maka
nyaringlah suaranya gelang itu.
Tidak ada jawaban, tidak ada orang yang muncul untuk
membuka pintu atau mendengarnya !
"Ah !" serunya di dalam hati.
Kali ini tanpa berayal lagi, It Hiong menjejak tanah untuk
berlompat naik ke atas payon. Justru sang angin membawa
tibanya suara bentrokannya barang-barang keras lawan
senjata tajam !


"Celaka !" pikirnya. Maka segera ia menghunus pedangnya,
lantas ia berlompat turun untuk berlari-lari ke dalam, ke arah
tempat datangnya suara bentrokan senjata tajam. Ia bergerak
dengan Gie Kiam Hui Hong Sut, ilmu pedang terbang
melayang hingga tubuhnya melesat luar biasa pesat.
Beberapa wuwungan telah dilintasi, maka lantas juga ia
melihat loteng Ciata Yan Lauw, tempat darimana datangnya
suara bahkan ia segera melihat sinar golok dan pedang serta
beberapa bayangan tubuh lagi bergerak-gerak cepat dan
gesit. Dan diantara suara bentakan-bentakan terdengar juga
suaranya anak kecil !
"Itukah suaranya Hauw Yan ?"demikian pertanyaan yang
lantas timbul di benak otaknya It Hiong.
Kaget dan berkuatir, anak muda ini berlari sekerasnya ia
mampu, hingga kali ini ia segera tiba di tempat kejadian,
bahkan ia lantas menaruh kaki di dalam lankan lotengnya itu.
Tapi disini ia segera melihat pemandangan yang
mengejutkan dan menggetarkan hatinya.
Hauw Yan berada di dalam rangkulannya seorang usia
setengah tua, tangan kirinya yang memeluk, tangan kanannya
yang memegang pedang, menudingkan ujung pedangnya ke
dadanya anak yang tak tahu apa-apa. Itulah rupanya yang
tadi membuat anak itu menjerit.
Di sebelah kanan orang setengah tua itu, berdiri seorang
muda dengan pedang terhunus ditangannya. Dengan pedang
itu dia tengah mengancam Pek Giok Peng. Karena kedudukan
mereka, anak muda itu cuma nampak punggungnya tetapi It
Hiong segera seperti mengenalinya. Sebaliknya Pek Giok Peng


yang menghadapinya tampak pucat sekali. Air matanya
tergenang.......
Menyaksikan semua itu, lupalah It Hiong akan segala apa.
Yang ia cuma ingat ialah anak dan isterinya, terutama si anak
yang harus ditolongi. Untuk membantu Hauw Yan, lain jalan
pun tidak ada kecuali ia menyerbu. Dan itu ia lakukan !
Satu gerakan Gie Kiam Hui Heng membuat tubuhnya
pemuda kita mencelat kepada si orang setengah tua yang lagi
mengancam jiwanya Hauw Yan, pedang Keng Hong Kiam
menebas dengan hebat. Gerakan itu cepat luar biasa.
Lawan itu terkejut, lupa pada anak yang lagi diancamnya
itu, dia mengangkat pedangnya akan menangkis serangan
yang tiba-tiba itu.
"Traaangg !" demikian satu suara nyaring dan pedangnya si
orang setengah tua terkutungkan sedangkan tubuhnya
terhuyung tiga tindak. Bocah ditangannya pun menjerit karena
kaget.
Sekarang It Hiong melihat tegas orang itu, yang terus ia
kenali, ialah Teng It Beng.
Orang dengan siapa ia telah mengadu pedang di lembah
Pek Keng Kok diwaktu mana ia menaruh belas kasihan, ia
telah mengampuni jiwa orang. Mulanya ia melengak sejenak,
lalu segera alisnya bangkit berdiri, matanya dibuka lebar-lebar,
sinar matanya menyala. Karena anak berada di tangan orang,
ia masih dapat mengendalikan diri. Dalam murka hebat itu, ia
tertawa nyaring, suaranya sangat tak sedap bagi telinganya It
Beng.


"Oh, saudara Teng, selamat bertemu !" demikian katanya,
keras dan dingin. "Sudah banyak tahun kita tidak pernah
berjumpa, maka itu ingin aku ketahui dari mana saudara telah
mempelajari ilmu menculik orang ?"
It Beng kaget sejenak, lantas dia juga tertawa dingin.
"Orang she Tio, lihat anakmu ditanganku ini !" ia berkata
jumawa. "Jangan kau sembarang bergerak !'
"Teng It Beng !" berseru si anak muda. "Kalau kau benar
laki-laki sejati, kau turunkan anak itu ! Mari kita bertempur !
Aku Tio It Hiong, akan aku mengalah sepuluh jurus kepadamu
! Mari kita bertempur satu lawan satu, sampai siapa hidup
siapa mati ! Itulah baru bukti buat orang gagah sejati !"
Teng It Beng tertawa terkekeh. Dia mengejek.
"Orang she Tio, kau memikir terlalu polos !" katanya.
"Sekarang kau dengar aku. Akan aku menyebut tiga kali !
Kalau setelah tiga kali itu kau tidak meletakkan senjatamu,
akan aku bunuh anakmu ini !"
Berkata begitu dengan pedang buntungnya, si orang she
Teng mengancam batang lehernya Hauw Yan. Ia pula
memencet membuat si anak kesakitan dan menjerit menangis.
Bukan main panas hatinya It Hiong hingga ia mau berlaku
nekad atau Giok Peng menghampirinya dan dengan suara
sedih berkata padanya : "Adik Hiong, kita dapat
mengorbankan segala apa, asal jiwanya Hauw Yan selamat !"
It Hiong sudah mencekal keras pedangnya atau ia mesti
mengendorkannya pula.


Justru itu, It Hiong berdua Giok Peng mendengar satu
suara keras di belakangnya : "Adik Peng, jika kau
menghendaki jiwanya anakmu, sekarang juga kau mesti
putuskan hubunganmu dengan Tio It Hiong dan kau lantas
pergi mengikuti aku pergi dari sini !"
It Hiong segera menoleh, maka ia menghadapi si orang
muda yang muka dan pakaiannya mirip dengan ia sendiri,
hingga ia menjadi heran sekali tetapi ia cuma melengak
sejenak lantas ia ingat bahwa pemuda itu ialah musuh yang
menyamar menjadi dianya yang sudah melakukan bermacammacam
perbuatan kejam dan keji guna memfitnah padanya.
Ia dimusuhkan dan dicari banyak orang yang hendak
membinasakannya.
Sedetik itu bukan main bingungnya It Hiong. Menyerah ia
tak sudi, tak menyerah putranya terancam kematian ! Tetapi
sebagai seorang laki-laki sejati, ia lebih mengutamakan
kehormatan dirinya. Maka ia memikir buat mengambil jalan
pendek. Nekad !
Kembali terdengar suara si anak muda : "Tio It Hiong !
Kalau kau menyayangi jiwa anakmu, kau mesti dengar kata
terhadapku !"
"Kau siapa ?" tanya It Hiong heran. "Kenapa kau menyamar
sebagai aku ?"
Pemuda itu tertawa terkekeh. Kata dia : "Di dalam dunia
ini, kaulah manusia paling licin ! Dengan menyamar sebagai
aku, kau mendatangi Lek Tiok Po, mau apa kau sebenarnya ?
Sekarang kau telah bertemu denganku, Tio It Hiong
bagaimana kau masih hendak berpura-pura ?'


It Hiong mendongkol bukan main, sampai ia tak tahu harus
mengucapkan apa. Ia mengawasi dengan sinar mata yang
menyala.
"Kaukah Tio It Hiong ?" tanyanya. "Barusan kau memanggil
apa padaku ?"
Pemuda itu melengak, memang barusan itu dia menyebutnyebut
she dan nama orang. Tapi dia licik dan kulit mukanya
tebal. Dia lantas tertawa.
"Barusan aku cuma hendak menguji kau." katanya. "Aku
hendak mencoba dihadapanku, kau berani mengaku diri
sebagai Tio It Hiong atau bukan !"
Giok Peng mengawasi dua orang itu bergantian. Memang
sulit buat dia mengenali yang mana satu Tio It Hiong yang
tulen. Tapi toh mudah buat ia memastikan yang mana satu.
Bukankah tadi It Hiong yang sana itu datang bersama-sama
Teng It Beng ? Bukankah lantas merampas Hauw Yan dan
memaksanya pergi mengikut dia itu ? Maka dia itu pastilah
Gak Hong Kun si It Hiong palsu. It Beng tidak pernah ada
bersama It Hiong.
Tiba-tiba Giok Peng berseru, "Adik Hiong lekas binasakan
manusia yang menyamar sepertimu ini ! Kau tolonglah anak
kita !"
Hebat seruannya si nona. Mendadak saja kedua-duanya It
Hiong bergerak dengan berbareng ! Sama-sama mereka
menghunus pedangnya masing-masing ! Lantas It Hiong sana
menerjang It Hiong sini !
It Hiong tak menangkis, ia hanya berkelit. Ia berkelit terus
ketika ia diserang berturut turut hingga tiga kali. Selama itu ia


memperhatikan ilmu pedang penyerangnya, hingga ia
mengenali itulah ilmu pedang Heng San Pay ! Kemudia ia
melirik pada Teng It Beng yang menemani lawannya itu.
Hauw Yan masih berada ditangan orang setengah tua itu !
Dan itulah bahaya untuk si anak !
"Gak Hong Kun !" berkata ia kemudian, suaranya keras dan
tajam. "Gak Hong Kun ! Sungguh sepak terjangmu amat keji !
Baiklah, hari ini akan kurampas batok kepalamu guna
membersihkan dunia persilatan yang dikeruhkan olehmu !"
Gan Hong Kun tertawa mengejek. Dia melirik It Beng.
"Kau benar bermata tajam !" katanya. "Kau dapat
mengenali diri asli dari tuan Gak mu ! Tapi lihatlah anakmu itu
! Ingatlah kau akan jiwanya ! Dia telah berada dalam
genggamanku. Masihkah kau hendak berkeras kepala ?"
Menyambungi kata-katanya si anak muda, terdengar
jeritannya Hauw Yan. Itulah sebab anak itu dipencet It Beng
yang telah menangkap arti lirikan konconya ! Nyeri hatinya It
Hiong. Terpaksa, ia menoleh kepada anaknya itu. Justru ia
menoleh, "Ser !" maka pedangnya Hong Kun meluncur
kepadanya menyambar punggungnya !
Setelah mengerti Gie Kiam Sut, It Hiong telah berubah
menjadi luar biasa sekali. Baik mata maupun telinganya telah
menjadi lebih tajam dan celi, dan gerakan-gerakannya pun
sangat cepat dan cepat. Maka itu waktu dibokong itu wajar
saja ia dapat menangkis ke belakang sambil memutar
tubuhnya !
"Traaaangg !" demikian suaranya nyaring akibat
bentroknya kedua pedang, dua-duanya pedang mustika.


Hong Kun terkejut, dia mundur satu tindak. Tidak ia sangka
yang It Hiong menjadi demikian lihainya, jauh lebih cepat dan
bertenaga besar ! Sedangkan tadinya, mereka berdua hampir
berimbang.
It Hiong tidak menghiraukan lagi penyerangnya itu, yang
melengak. Ia hanya menghadapi Teng It Beng untuk berkata
nyaring dan bengis : "Saudara Teng, aku menyesal atas
perbuatanmu sekarang ! Kenapa kau membantui Gak Hong
Kun melakukan hal yang melakukan ini ? Sekarang, saudara
Teng, aku bilang padamu, jika kau tidak menyerahkan Hauw
Yan secara baik-baik kepadaku, maka jangan nanti kau
persalahkan aku tidak kenal kasihan lagi !"
Ketika itu, Hong Kun sudah sadar, maka ia maju pula.
Menyerang kembali kepada It Hiong yang ia tak mau
memberikan ketika dapat berbicara dengan It Beng agar
kawan tidak sampai kena terbujuk atau tergertak.
It Hiong terpaksa menangkis serangan orang, tetapi ia
masih belum mau membalas. Ia tetap memperhatikan It Beng.
Ia menangkis si anak muda melulu guna membela diri. Teng It
Beng tertawa menyeringai. Ia tidak mengambil perduli
ancaman itu bahkan lagi-lagi ia memencet si anak ditangannya
hingga kembali Hauw Yan memperdengarkan jeritannya yang
menyayatkan hati.....
Bukan main sakit hatinya Giok Peng. Dia gagah tetapi dia
tak berdaya. Semenjak tadi dia telah menjadi korbannya Hong
Kun. Si anak muda telah menotok jalan darahnya, jalan darah
moa hiat, hingga tubuhnya menjadi kaku, tenaganya habis.
Tak dapat ia bertahan lagi. Kapan ia mendengar jeritan Hauw
Yan beberapa kali, ia terus roboh !


Hong Kun sementara itu penasaran sekali, tak dapat ia
merobohkan It Hiong.
"It Hiong !" kemudian katanya, "permusuhan kita berdua
tak lain tak bukan disebabkan kau telah merampas kekasihku,
hinggga kau mengangkangi adik Giok Peng. Tetapi sekarang
hendak aku memberikan ketika kepadamu ! Kalau kau masih
menyayangi anakmu itulah sangat mudah kau menerima baik
satu syaratku !"
Jilid 37
"Apakah itu ?" sahutnya. Ia menjawab saking terpaksa.
"Lekas bilang !"
Hong Kun tersenyum. Sengaja dia membawa lagak ugalugalan.
"Itulah bukan syarat sukar sebaliknya sangat mudah !"
sahutnya. "Itulah asal kau dapat mengembalikan adik Giok
Peng kepadaku supaya dia menjadi istriku. Kau sendiri sejak
saat ini kau mesti mundur dari dunia Kang Ouw, dan nama Tio
It Hiong tetap menjadi namaku si orang sungai telaga......"
Tanpa menanti suara orang berhenti, It Hiong sudah lantas
berseru : "Bangsat tak tahu malu. Kalau kau dapat melayani
aku sepuluh jurus apa juga kau kehendaki akan aku luluskan
!"
Meskipun ia berkata demikian, dalam murkanya, It Hiong
tidak mau menanti jawaban lagi. Dengan kecepatan luar biasa,
ia lompat menerjang orang yang menyamar menjadi dirinya
itu. Keng Hong Kiam berkelebat menyambar ke perut orang.


Hong Kun cerdik, tidak mau dia menangkis. Dia justru
lompat ke samping terus kepada Giok Peng untuk berlindung,
diantara si cantik itu yang pinggangnya dia rangkul. Lalu
sembari tertawa mengejek dia berkata : "Nah, orang she Tio,
kau menerima baik syaratku ini atau tidak ? Kau harus ketahui
tuan Gak kamu ini tidak mempunyai banyak waktu
melayanimu !"
Kembali si anak muda menoleh kepada It Beng buat
mengedipi mata. Kali ini dia menganjuri sahabat itu kabur
dengan membawa Hauw Yan. Dia pun sudah memikir buat
membawa Giok Peng lari bersama !
Sulit buat It Hiong memilih : Menolong dahulu istrinya atau
anaknya ?
Kembali Hauw Yan menjerit. Itulah siasatnya It Beng
hendak membikin kacau hatinya si pemuda musuhnya itu. Ia
pikir selagi si anak muda bingung hendak ia berlompat pergi
buat kabur dari Ciat Yan Lauw......
Hampir It Hiong kalap selekasnya ia mendengar jeritan
anaknya itu. Ia ingat hanya kepada puteranya itu. Mendadak
dia lompat melesat kepada It Beng, itulah gerakan "Katak
Loncat". Berbareng dengan itu, Keng Hong Kiam pun
digerakkan dipakai menusuk si penculik anak dengan tikaman
"Peng Ter Sang Lui", Guntur di Tanah Datar. Sasarannya ialah
pinggang lawan.
Di dalam keadaan seperti itu, It Hiong menggunakan
kepandaian dari ilmu sejati. Coba ia sempat memikir,
seandianya ia menggunakan ilmu "Hoan Kak Bie Ciu"
ajarannya Touw Hwe Jie, pasti ia akan berhasil. Hanya ilmu itu
adalah ilmu sesat.......


It Beng bukan sembarang orang. Dia bekerja dengan telah
memikir dahulu. Ia pula selalu memasang mata. Selekasnya ia
melihat It Hiong berlompat, ia pun berlompat ke samping. Tak
mau ia menjadi sasaran pedangnya lawan. Tapi ia bukan
menghindari diri. Ia masih mempunyai satu akal lain. Ialah
sambil berkelit itu, dengan tangan kirinya mengangsurkan
tubuhnya Hauw Yan buat dipakai menghadang pedang lawan,
sambil ia berseru, "Ilmu pedangmu lihai sekali ! Nah, kau
bunuhlah anak ini ! Ha ha ha.."
It Hiong kaget tak terkirakan. Kalau tikamannya
mengenakan sasaran, sasaran itu bukan pinggang lawan
hanya tubuhnya Hauw Yan. Tapi ia lihai sekali. Ia cepat bukan
main. Berbareng kaget, tangannya digeser ke lain arah,
diteruskan ke betis lawan !
Teng It Beng sudah menerka kalau lawan dapat
membatalkan serangannya. Lawan itu tentu akan menarik
pulang pedangnya, tidak ia sangka bahwa orang dapat
meneruskan menusuk ke bawah kakinya. Tentu sekali ia
menjadi kaget. Lantas menjejak tanah, buat berlompat tinggi.
Tetapi ia mengapungi tubuh bukan melulu guna
menyelamatkan diri, ia sempat membalas menyerang juga,
ialah ia menendang dengan sebelah kaki selagi ia mengangkat
kedua-dua kakinya !
Itulah depakan "In Lie Twie", Kaki Didalam Mega. Dengan
menendang secara begitu, tubuh si penendang sekalian
diputar, maka juga Teng It Beng kemudian dapat turun dan
menaruh kaki dipintu.
Orang she Teng itu sangat cepat tetapi It Hiong terlebih
cepat pula. "Tae In Ciong" Lompatan Tangga Mega, istimewa
sekali. Dengan mudah anak muda ini dapat menghindarkan


diri dari depakan itu. Di lain pihak, ia pun menggunakan pula
pedangnya sembari berkelit, ia menebas !
"Taar !" demikian terdengar satu suara lantas It Beng
memperdengarkan seruan tertahan. Inilah sebab tak keburu ia
menyingkir diri. Lengan kirinya sebatas bahu kena tertebas
dan kutung karenanya, disusul dengan tubuhnya yang
terhuyung-huyung dan terus roboh ke lantai !
It Hiong berlaku cepat luar biasa. Selagi tangan kanannya
menebas, tangan kirinya menyambar. Maka berhasillah ia
merampas Hauw Yan, yang tak usah sampai jatuh terbanting.
"Anakku !" serunya perlahan. Tapi, waktu ia menoleh ke
arah Gak Hong Kun, si pemalsu itu sudah lenyap, lenyap
bersama Giok Peng. Sebab terang sudah, selagi ia menempur
It Beng, Hong Kun yang licik telah menggunakan kesempatan
kabur dengan membawa si nona !
Di dalam keadaan seperti itu, tak sempat It Hiong memikir
banyak. Dari dalam rumah besar ia telah lantas mendengar
samar-samar suara senjata beradu serta bentakan berulangulang.
Tidak berayal sedetik juga, ia membawa anaknya lari ke
arah kepada mana lantas melihat roboh bergelimpangannya
beberapa orang dari Lek Tiok Po. Hal mana membuatnya
kaget dan berkuatir, lekas dia lari terus kedalam, hingga ia
melihat suatu pemandangan yagn hebat !
Di dalam Toa thia, ruang besar dari Lek Tiok Po, orang
tengah bertempur seru. Disatu bagian, Kiauw In lagi dilibat
dengan dua orang tua yang tampang dan dandanannya
sangat beda dari kebanyakan orang. Di pojok kiri Pek Thian
Liong dengan pedang ditangan sedang menempur seorang tua
setengah tua yang senjatanya joanpian. Dan pojok kanan,


nyonya rumah Ban Kim Hong lagi bertarung seorang yang
kate gemuk, usianya lanjut.
Diantara tiga rombongan itu, It Hiong melihat Thian Long
dalam keadaan berbahaya sebab dia terdesak lawannya
seorang setengah tua. Maka ia menganggap perlu ia
membantu pemuda itu yang menjadi iparnya. Maka sambil
terus memeluki Houw Yan, ia berlompat melayang kepada si
ipar untuk mana ia mesti loncat lewat di atas kepalanya Kiauw
In. Selekasnya ia tiba, ia lantas membacok pada musuh
hingga musuh itu roboh seketika ! Sebab musuh tak sempat
berdaya.
Pek Thian Liong terkejut mendapat pertolongan tak
disangka-sangka itu, akan tetapi kapan ia sudah mengangkat
kepalanya dan melihat orang yang menolongnya, ia heran
hingga ia mendelong mengawasinya. Sebab ia mendapati
orang itu Tio It Hiong adanya !
"Saudara Tio !" teriaknya atau ia berhenti.
"Aneh !" pikirnya kemudian. Masih ia mengawasi iparnya
itu. "Tadi dia datang lantas mengejar Paman Tong dan juga
melukai ayah ! Tapi sekarang dia datang pula justru
membantu aku ? Bahkan dia membinasakan musuh !"
It Hiong tidak melihat Thian Liong bingung itu, tak sempat
ia mengawasi orang atau memperhatikannya, sebab segera ia
lompat ke arah Cio Kiauw In.
Ketika itu nona Cio sedang diserang oleh kedua lawannya
yang dapat bekerja sama dengan baik, hingga ia menjadi
repot hingga ia mesti berkelit dengan berloncatan kesana
kemari. Ketika itu It Hiong tiba justru ia lagi menahan
serangan sepasang tangannya orang tua yang dikiri,


sedangkan orang tuan yang dikanannya membarengi
menghajar punggungnya, sebab ia membaliki belakang pada
musuhnya itu.
Dengan kecepatan yang luar biasa, It Hiong membabat
kutung tangannya penyerang di sebelah kanan hingga dia itu
menjerit keras terus dia roboh dengan kesakitan, giginya
dirapatkan buat menahan nyeri dan mukanya meringis hingga
tak sedap dipandang !
"Tahan !" teriaknya It Hiong selekasnya ia merobohkan
musuh itu.
Suara itu sangat nyaring dan keras, pengaruhnya besar
sekali. Sebab dua rombongan yang lagi berkelahi itu berhenti
dengan sekejap. Ia berdiri tegak dengan tampang gagah,
sebelah tangan memegang pedang terhunus, tangan yang lain
mengempo Hauw Yan !
Kiauw In berdiri melongo mengawasi anak muda itu. Ban
Kim Hong bersama si orang tua katai dan terokmok sudah
lantas menghampiri, keduanya mengawasi dengan tajam.
Ketika itu ruang besar yang barusan ramai dan berisik,
sekarang menjadi sunyi senyap.
"Hai anak bau !" si orang tua katai gemuk lantas
memperdengarkan suaranya yang dingin menegur It Hiong,
"kau telah menipu. Dari Kolong ta kami telah kami turut
datang kemari membantui kau, katanya guna membalaskan
sakit hatimu, kenapa sekarang kau jadi berbalik, bahkan kau
telah membunuh muridku dan melukai saudaraku ? Apakah
kau rasa kau sanggup bertahan dari pukulan Peng Thiang
Ciang ku ?"


"Peng Thian Ciang" ialah pukulan Tangan Es.
It Hiong tidak kenal orang tua ini bahkan Kolong ta yang
disebutkan si orang tua juga ia tak tahu, belum pernah ia
mendengarnya. Tapi melihat tampang dan dandanan orang
serta ilmu silatnya yang lihai ia menerka pada salah satu
golongan bajingan dari luar lautan. Ketika itu ia pun sedang
melihat keliling ruang besar itu.
Di pojok ruang diatas kursi tampai Pek Kiu Jia duduk
menyender dengan tubuhnya mandi darah yang keluar dari
balutan dadanya. Nampak orang tua itu sudah tak berdaya,
mukanya pucat, kedua matanya rapat. Ketika itu Thian Liong
sedang menghampiri ayahnya itu buat ditolongi. Thian Liong
menangis dengan airmata bercucuran deras.
Di lantasi rebak menggeletak tiga sosok tubuh, dan
diantaranya orang-orang Lek Tiok Po. Yang ketiga ialah Tong
Wie Lam, si guru silat tua. Melihat berdiamnya tubuh mereka
bertiga itu, terang bahwa mereka sudah tak bernyawa....
Ketika itu Hauw Yan telah hilang kagetnya. Kapan ia
melihat Ban Kim Hong dan Kiauw In, ia berteriak memanggil,
"Nenek !". Setelah itu ia menjerit menangis terus tangan dan
tubuhnya digerak-gerakkan seperti yang mau nubruk
neneknya itu.
Teriakan anak itu membuat It Hiong bagaikan terasadar,
maka ia lantas mengangsurkan anaknya kepada Kiauw In
sambil ia berkata : "Kakak, kau jagai anak ini, bersama-sama
ibu, pergilah kau beristirahat ! Kau serahkan semua musuh
padaku !"
Kiauw In menyambut Hauw Yan tetapi matanya masih
mengawasi It Hiong sedangkan mulutnya bungkam. Inilah


sebab ia pun diliputi rasa herannya. Ia ingin memperoleh
kepastian pemuda itu It Hiong tulen atau It Hiong palsu.....
Ban Kim Hong melihat cucunya telah diserahkan pada
Kiauw In, ia segera menghampiri nona itu terus membisiki,
untuk akhirnya ia menyambuti sang cucu.
It Hiong sendiri segera menoleh akan menghadapi si orang
tua katai teromok. Ia memberi hormat sembari menanya,
"Mohon tanya lotiang, aku dari Kolong ta, apakah she dan
nama besarmu ?"
Orang tua itu tengah membalut tangan kawannya
mendapat pertanyaan itu, dia menjawab tawa ejekan
berulang-ulang kemudian ia kata bengis, "Bocah she Tio, kau
banyak berlagak pilon ya ? Aku si orang tua telah membantu
jiwamu bahkan aku telah ajari kau ilmu Peng Thian Ciang
tetapi sekarang kau berpura tidak mengenalku. Hm, sunggu
kau pandai sungguh lihai caramu berpura-pura ini !"
Sembari berkata si orang tua sudah bangun berdiri dan
terus setindak dengan setindak menghampiri si anak muda,
dia tidak saja mengawasi dengan tajam, kedua tangannya pun
disiapkan untuk menyerang.
Mendengar suara si orang tua, It Hiong lantas ketahui di
dalam halnya mereka berdua pasti ada suatu hal yang luar
biasa.
"Lotiang, harap lotiang jangan bergusar dulu", ia lekas
berkata. "Rupanya telah orang menipu lotiang tetapi dia
bukanlah aku. Dialah Gak Hong Kun, dia...."


"Jangan banyak bacot !" si orang tua menyela. Ia gusar
sekali, "Kalau bukan kau Tio It Hiong yang menipu aku, siapa
lagi ? Hm !"
Kali ini si orang tua lantas menyerang dengan tangan
kanannya rupanya dia sudah tak tahan sabar lagi. Segera juga
serangan ini membawakan sambaran angin yang keras dan
dingin sekali, sampai pun Ban Kim Hong dan Kiauw In
menggigil hingga lekas-lekas mereka menjauhkan diri.
It Hiong juga merasai sambaran hawa dingin, tetapi ia
memiliki tenaga dalam yang sungguh luar biasa, ia dapat
bertahan, apa pula selekasnya pun ia minggir ke samping
mengasi lewat sambaran itu. Ia tidak membalas menyerang.
Hanya ia lekas berkata pula : "Sabar lotiang ! Aku minta
lotiang dengar dahulu kata-kataku. Setelah itu kalau perlu, aku
bersedia akan menyambut pukulan Tangan Es dari lotiang....."
Si orang tua heran. Dia telah menyeranga dengan tujuh
atau delapan bagian tenaganya. Aneh, si anak muda dapat
menghindari diri secara demikian mudah, orang tenangtenang
saja. Belum pernah ia menghadapi lawan setangguh
ini. Maka ia tidak mengulangi serangannya.
"Kau bicaralah !" sahutnya.
"Lotiang, orang yang menipu lotiang adalah Tio It Hiong
palsu !" It Hiong memberikan keterangannya. "Dia sebenarnya
Gak Hong Kun yang telah banyak melakukan kejahatan ! Dia
bukan melainkan menipu lotiang, dia juga telah melakukan
banyak pembunuhan dan semua kejahatannya itu dia
timpakan atas diriku !"
Si orang tua menatap anak muda di depannya itu.


"Benarkah aku salah mata ?" katanya seperti kepada
dirinya sendiri. Lantas dia mengangkat kepalanya, "Kau
katakan ada seorang lain yang menyamar sebagai kau. Baik !
Di mana adanya dia sekarang ?"
"Dia sudah kabur, lotiang !" sahut It Hiong. "Dia malah
membawa lari isteriku !"
"Oh, orang muda lihai !" kata orang tua itu. "Tak dapat aku
meladeni ocehanmu !" Dan dia maju pula setindak, berniat
menyerang.
"Tahan lotiang !" berseru Kiauw In yang maju
menghampiri. "Kalau lotiang tidak percaya adik Hiongku ini,
itulah sulit ! Sekarang begini saja ! Silahkan lotiang turut
adikku pergi menyusul orang yang menipu lotiang itu supaya
dia dibekuk ! Dengan demikian, bukankah urusan gelap bakal
lantas menjadi terang ?"
Orang tua itu berpikir, terus dia mengangguk. Tapi dia
masih berdiri diam saja.
It Hiong memberi hormat pula.
"Jika aku, Tio It Hiong mendusta, aku bersedia
menyerahkan diri kepada lotiang buat lotiang hukum sesuka
lotiang !" katanya. "Tidak nanti kau menyangkal atau melawan
!"
"Baik !" jawab si orang tua akhirnya. Kemudian ia menoleh
kepada sepasang orang tua berwajah dan berdandan aneh itu
untuk berkata : "Mari kita pergi !" Begitu berkata dia lantas
berangkat, terus dia diikuti dua orang tua kawannya itu.


It Hiong segera menoleh kepada mertuanya dan Kiauw In
untuk minta mereka itu lekas mengobati Kiu Jie. Ia kata ia
akan lekas pergi dan lekas pulang dan nanti sepulangnya baru
mereka dapat bicara banyak. Setelah memberi hormat, ia
lantas pergi untuk menyusul ketiga orang tadi.
Sampai disitu barulah lega sedikit hatinya Ban Kim Hong.
Dengan berlalunya orang jahat, Lek Tiok Po menjadi aman,
maka ia lantas memanggil orang-orangnya buat mengurus
semua mayat serta membersihkan seluruh ruang dan
Pekarangan. Ia sendiri bersama Kiauw In lekas-lekas masuk ke
dalam guna mengobati suaminya.
Sampai disini perlu kita kembali dahulu kepada Gak Hong
Kun dan Teng It Beng, waktu mereka dipegat Tio Siong Kang
yang membikin perahu mereka terbalik dan karam sehingga
mereka tercebur ke laut. Hingga kemudian tersiarlah berita
bahwa Tio It Hiong sudah mati kelelap, tenggelam di lautan.
Pengalaman dua kali tercebur di laut membuat It Beng dan
Hong Kun menjadi cerdik. Demikian kali itu, selekasnya
mereka tercebur, lantas mereka menutup mulut dan menahan
nafas. Tentu sekali, karenanya, mereka jadi tak menenggak
air laut, baik dari mulut maupun dari hidung mereka. Hong
Kun memegangi pinggiran perahu, ia pula menjambret leher
bajunya It Beng. Lalu bersama-sama mereka berdiam saja.
Tak berani mereka lekas-lekas timbul. Dengan perpegangan
pada perahu, mereka juga tak terbawa arus gelombang.
Setelah berdiam sekian lama di dalam air, keduanya timbul
dengan perlahan-lahan. Tetap mereka memegangi pinggiran
perahu, supaya jangan hanyut terdampar gelombang.
Musuh tidak ada, mereka tak melihat apa-apa. Sementara
itu, selain tubuh rasanya kaku bekas terendam air terlalu


lama, mereka juga merasa haus dan lapar. Tak adanya musuh
membuat hati mereka sedikit lega.
"Saudara Gak, bagaimana sekaran ?" tanya It Beng.
Hong Kun naik ke dasar perahu yang sekarang jadi berada
di muka air. Kawannya menatap dia. Mereka melihat
bagaimana perahu terbalik itu bergerak-gerak mengikuti arus.
Entah berapa lie jauhnya mereka sudah dibawa pergi.
"Kita, menanti nasib kita...." kata It Beng.
"Lihat ! Lihatlah di sana !" tiba-tiba Hong Kun berseru,
tangannya menunjuk. Ketika itu, dia tengah memandang jauh
ke depan. Di sana tampak sebuah titik hitam, "Bukankah itu
sebuah pulau kecil ?"
It Beng menoleh, ia mengawasi.
"Ya, mirip !" serunya. "Mari kita pergi ke sana !"
Orang she Teng cuma bisa berkata demikian, berbuat dia
tak mampu. Di situ tidak ada pengayuh ! Mana dapat mereka
mengemudikan perahunya itu ? Keduanya saling mengawasi,
saling menyeringai.
Hong Kun berdiam tetapi otaknya bekerja.Diantara saat
menghadapi maut itu, dia tak mudah menyerah. Maka juga
tak heran kemudian, sambil menggertak gigi, mendadak ia
menghajar perahunya ! Maka pecahlah perahu itu !
"Eh, kau bikin apakah ?" tanya It Beng terkejut. "Perahu
inilah penolong jiwa kita ! Tanpa perahu ini kita sudah lama
mampus di dasar laut... "


Hong Kun tidak menjawab, hanya dia bekerja. Dia
meloloskan papan yang pecah, untuk dipakai mengayuh air.
"Kau lihat, apakah ini bukannya mengayuh ?" katanya
kemudian. Terus dia naik ke atas perahu pecah itu, yang tetap
masih terbalik. Terus dia mengayuh.
"Oh...!" seru It Beng yang menjadi girang. Maka ia pun
mengambil sehelai papan. Ia juga naik ke punggung perahu,
buat turut mengayuh....
Demikian, dengan mengambil banyak waktu tiba juga dua
orang itu di pesisir pulau kecil itu. Hari sudah magrib, laut
tenang. Di permukaan laut terlihat sisa sinar layung
menyilaukan mata.
Selekasnya perahu kandas diatas pasir, keduanya lantas
mereka jalan ke arah pulau dan mendakinya. Tidak ada
pepohonan, ada juga rumput dan lumut yang sampai pada
batu karang hingga lumut itu sukar diinjak saking licinnya.
Sedangkan mereka letih dan lapar dan dahaga. Selama satu
lie, mereka tak menemui orang, tak ada rumah ataupun
gubuk. Ada juga burung laut yang terbang berbondongbondong.
Diakhirnya mereka merebahkan diri untuk
beristirahat.
"Biar bagaimana, perlu kita menghilangi lelah....." kata
Hong Kun.
Mereka memilih tempat yang kering. It Beng tertawa
menyeringai.
"Lihat, pakaian kuyup kita kering sendirinya !" katanya.
"Bagus juga untung kita ini sebab kita tak usah jadi setanKang
Zusi website http://cerita-silat.co.cc/

setan gentayangan di dasar laut. Ha ha ha ! Nah, mari kita
tidur dahulu......"
Benar-benar si orang she Teng memejamkan matanya !
Hong Kun pun turut kawannya itu mencoba buat tidur.
Kapan sang malam telah lewat, sang pagi muncul dengan
hawanya yang nyaman. Sinar matahari indah lemah, angin
bersiur halus. Beristirahat satu malam membuat kawan itu
merasa segar seperti biasa. Mereka mendusin atau duduk
berhadapan saling mengawasi dengan menyeringai. Mereka
ingin halnya mereka belum lepas dari kesulitan. Paling celaka
ialah geruyukannya perut mereka.
Tengah berdiam itu, It Beng dan Hong Kun mendengar
samar-samar suara orang yang terbawa angin. Diam-diam
mereka memperoleh harapan. Jadi pulau itu ada penghuninya.
Mereka mengharap akan memperoleh makanan walaupun
buat satu kali bersantap saja. Tak bersangsi pula, mereka
berangkat dan lari ke arah suara itu.
Sejauh kira setengah lie, di sana tedapat sebuah jalan kecil
diantara batu-batu karang. Jalan itu menikung berputar,
membawa orang ke sebuah jurang yang menghadapi laut. Di
situ terdapat sebuah halaman berbatu, luas tiga
Anda sedang membaca artikel tentang Cerita Silat : Iblis Sungai Telaga 3 dan anda bisa menemukan artikel Cerita Silat : Iblis Sungai Telaga 3 ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/09/cerita-silat-iblis-sungai-telaga-3.html,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Cerita Silat : Iblis Sungai Telaga 3 ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Cerita Silat : Iblis Sungai Telaga 3 sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Cerita Silat : Iblis Sungai Telaga 3 with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/09/cerita-silat-iblis-sungai-telaga-3.html. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar