“Ah jangan mengatakan begitu!” sahut Ca Giok dengan dingin.
Dengan merekah senyum riang, gadis itu berkata, “Harap tuan sudi menanti sebentar.
Hamba akan menghidangkan arak kepada tuan tetamu yang lain dahulu.”
Nona itu segera melangkah ke tetapat imam-pencabut-nyawa Ting Yan-san. Sambil
menuang arak ke cawan tokoh itu, ia mempersilahkannya supaya minum.
Tetapi jago tua itu hanya tersenyum dan memandang tuanrumah: saudara Nyo keliwat
menyanjung, Ting Lo-san seumur hidup belum pernah merasakan persembahan arak dan
gadis cantik semacam ini. Benar-benar aku merasa tak enak hati.”
Habis berkata tokoh itu tertawa gelak-gelak. Nadanya amat kuat penuh kewibawaan
jantan. Pagoda seolah-olah tergetar oleh kumandang ketawanya.
Nona itu serasa pecah anak telinganya. Seketika pucatlah wajahnya, tubuhnyapun
menggigil.
Rupanya Nyo Bun giau menyadari hal itu. Buru-buru ia tertawa dingin, serunya,
“Pagoda bunga ini tak berapa kokoh bangunannya. Apabila saudara Ting terus tertawa,
dikuatirkan kita tak leluasa disini.”
Dalam ucapan itu jelas secara halus ia memberi peringatan kepada Ting Yan-san.
Ting Yan-san hentikan tertawanya lalu berpaling ke arah nona itu. “Apabila seorang
jelita semacam nona yang menghidangkan, jangankan arak wangi, sekali pun racun, tentu
Ting Yan-san tetap akan meneguknya!”
Ia terus mengangkat cawan lalu diteguknya habis.
Sambil mengawasi sang tetamu meneguk arak, Nyo Bun-giau mengurut-urut
jenggotnya dan tertawa “Sikap saudara Ting yang jantan itu memang merupakan sifat2
ksatrya yang perwira. Tetapi harap jangan kuatir, rumah marga Nyo disini hanya
menyediakan arak wangi untuk menghormat tetamu, sama sekali bukan racun untuk
mencelakai orang!”
Kembali orang she Nyo itu tertawa gelak dengan amat nyaring.
Ting Yan-sanpun tertawa. “Ah, memang aku orang she Ting ini rakus dengan minuman
arak sehingga menjadi buah tertawaan saudara Nyo…..”
Diam-diam dia mengutuk, “Huh, jangan jual lagak di hadapanku. Arak atau racun, aku
tetap tak sudi melihat tingkahmu yang memuakkan itu!”
Imam Pencabut-nyawa Ting Yan-san seorang tokoh yang licin. Maka pada saat nona
cantik itu menyuguhkan arak kepadanya, ia sengaja tertawa keras. Tetapi bukan karena
terpikat kecantikan nona itu, melainkan mempunyai maksud lain. Pertama, agar suara
ketawanya yang nyaring dapat didengar oleh kedua kemenakannya Ting Hong dan Ting
Ling. Kedua, ia ingin mengetahui apakah setelah bertetapur dengan Han Ping tetapo hari,
tenaga-dalamnya sudah pulih kembali.
Dan ketika meneguk arak, ia gunakan tenaga dalam untuk memusatkan arak itu di
suatu tetapat. Ia tahu bahwa Nyo Bun-giau itu hukan seorang ksatrya. Sudah tentu
mempunyai maksud tertentu dalam menghidangkan arak itu.
Demikian setelah menghidangkan arak kepada Ting Yan-san, jelita itu terus pindah
menuju ke tetapat Leng Kong-siau. Sambil tersenyum simpul, ia menuang arak ke cawan
jago tua itu seraya berkata, “Tuan adalah tetamu terhormat dari poh-cu kami, silahkan
menikmati cawan arak ini….”
Leng Kong-siau juga jago tua yang amat licin. Sejenak memandang lebih dulu kepada
Ting Yan-san, baru ia menatap jelita itu. “Maaf, aku tak pernah minum arak….”
Habis berkata ia tertawa pula.
Jelita itu meletakkan poci arak, lalu mengangkat cawan dan dengan setengah meratap
berkata, “Tuan adalah tetamu kami yang terhormat. Sudilah menerima suguhan kami ….”
Dengan nada dingin, Leng Kong-siau menyahut, “Seumur hidup aku tak minum arak,
harap nona jangan sibuk!”
Tolakan itu membuat wajah si jelita merah. Ia berpaling ke arah Nyo Bun-giau. Tetapi
orang itu sedang memandang ke arah jembatan dan seolaholah tak menghiraukan
pandangan si jelita.
Jelita itu sekali lagi membujuk Leng Kong-siau tetapi rupanya jago dari Lembah Seriburacun
itu tetap tak mau minum.
Beberapa saat kemudian barulah Nyo Bun-giau berputar tubuh, memandang ke arah
Leng Kongsiau dan nona cantik serunya, “Apakah saudara Leng tak minum arak?”
Sambil mengangkat cawan arak, nona cantik itu menjelaskan, “Tuan ini seumur hidup
tak pernah minum arak maka tak mau memberi muka kepada hamba!”
“Dan engkau tak dapat membujuknya?”
Jelita itu tundukkan kepala dan berkata dengan pelahan, “Hamba sudah berulang kali
menganjurkan….”
Dengan mata dingin, Nyo Bun-giau memandang sejenak ke arah Leng Kong-siau lalu
menyuruh nona itu. “Kemarilah engkau ..”
Nona itu meletakkan cawan arak lalu menghampiri ke tetapat Nyo Bun-giau.
“Banarkah engkau sudah membujuknya?” Nyo Bun-giau menegas.
Nona itu kisarkan tubuh maju ke hadapan Nyo Bun-giau dan mengangguk pelahan.
“Benar, hamba sudah berusaha…..”
“Hm… manusia tak berguna ….” dengus Nyo Bun-giau. Nona itu terkejut ketika melihat
pandangan mata Nyo Bun-giau berkilat-kilat menakutkan. Ia hendak memberi penjelasan
lagi tetapi sudah terlambat. Tangan kanan orang she Nyo itu menampar punggung dan
huak …. nona cantik itu menguak, mulutnya muntah darah dan tubuhnya yang semampai
pun terlempar ke dalam kolam.
Tindakan Nyo Bun-giau itu benar mengejutkan ketiga tetamunya. Bahkan Ting Yan-san
yang banyak pengalaman pun tergetar hatinya.
Tetapi tampaknya Nyo Bun-giau tenang-tenang saja. Ia mengangkat cawan arak dan
meneguk habis. Kemudian meletakkan cawan dan berkata seorang diri, “Jika saudara Leng
benar-benar menolak, aku sungguh tak punya muka lagi….”
“Giok-lan, kemarilah!” serunya seraya mendorong poci arak.
Seorang nona cantik yang memakai baju biru menyala, segera tampil dari jembatan.
Setelah datang di hadapannya, Nyo Bun-giau menunjuk ke arah Leng Kong-siau, “Tuan
Leng itu adalah tetamuku yang terhormat. Engkau harus pandas melayaninya dan
haturkan secawan arak kehormatan kepadanya…”
Dengan rawan nona baju!aim itu mengangguk lalu menghampiri ke muka Leng Kongsiau.
Setelah menuangkan arak ia menghaturkan dengan kedua tangannya, “Harap tuan
sudi menerima persembahan arak ini…”
Sebenarnya Leng Kong-siau tak mau mempedulikan tetapi ia berpaling juga menatap
nona itu beberapa jenak. Setelah merenung, wajahnya berobah, “Beritahukan kepada
majikanmu bahwa aku tak senang arak….”
Habis berkata ia berpaling lagi ke arah Nyo Bun-giau.
Dengan langkah berat nona yang bernama Giok-lan itu menghampiri Nyo Bun-giau lagi
seraya berkata pelahan, “Tuan Leng mengatakan bahwa seumur hidup dia tak suka minum
arak ….”
“Hm, engkau juga tak berguna!” dengus Nyo Bun-giau seraya gerakkan tangan ke
pinggang nona itu. Tanpa dapat berteriak lagi, Giok-lan rubuh ke dalam kolam.
Melihat peristiwa yang ngeri itu, Ting Yan-san dan Ca Giok serempak memandang ke
arah Leng Kong-siau. Tampak wajah tokoh itu dingin saja memandang ke arah rombongan
gadis penari yang berada di atas jembatan.
“Giok-ho, kemarilah!” kembali Nyo Bun-giau bertepuk tangan. Sesosok tubuh
berpakaian putih, segera tampil menghampiri sambil tundukkan kepala.
“Tetamu terhormat berkunjung tatapi tak becus menghantarkan arak. Bukankah berarti
akan membikin malu diriku? Giok-ho, persembahkan arak kehormatan kepada tuan Leng
itu!”
Nona baju putih itu rupanya hendak bicara, tetapi Nyo Bun-giau cepat menghalaunya,
“Lekas, kalau arak terlanjur dingin tentu tak enak!”
Terpaksa Giok-ho atau Teratai Kumala si nona baju putih itu menghampiri ke tetapat
Leng Kongsiau. Namun tokoh dari Lembah Seribu-racun itu tetap menolak minum.
Ketika Teratai Putih menghadap Nyo Bun-giau, sebelum bicara apa-apa, Nyo Bun-giau
sudah menampar sehingga nona itu pecah batok kepalanya dan terjebur ke dalam kolam.
“Giok-kiok, lekas kemari persembahkan arak kehormatan kepada tuan Leng!” kembali
Nyo Bun-giau berseru.
Seorang nona baju kuning muncul. Seorang dara yang umurnya baru 16-an tahun.
Ketika menghampiri Leng Kong-siau, dara itu sudah bercucuran airmata. Ia
mempersembahkan cawan arak ke hadapan Leng Kong-siau tanpa berkata apa-apa.
Hanya sepasang matanya berlinang-linang memandang Leng Kong-siau dengan mohon
belas kasihan.
Ketika Leng Kong-siau memandang dara itu, hatinya tak tega. Dengan mendengus ia
menyambuti cawan terus diminumnya habis.
Melihat itu Nyo Bun-giau tertawa gelak-gelak, serunya, “Seumur hidup saudara Leng
tak minum arak. Karena saudara telah melanggar pantangan, aku benar-benar merasa
bahagia mendapat kehormatan itu!”
Jawab Leng Kong-siau, “Dunia persilatan mengatakan Lembah Seribu-racun itu amat
ganas. Tetapi tindakan saudara Nyo hari ini, benar-benar menegakkan bulu roma. Aku
Leng Loji kecewa sekali digelari orang sebagai Manusia beracun!”
Nyo Bun-giau hanya tersenyum, ujarnya, “Jangan merendah diri. Saudara Leng
memang sengaja hendak memberi muka kepadaku ….”
Tiba-tiba wajah Leng Kong-siau berobah dan berbangkitlah ia dengan serentak, “Leng
Kong siau memang gemar membunuh, membakar dan lain-lain kejahatan. Tetapi seumur
hidup aku tak mau bergaul dengan paras cantik dan tak pernah menghilangkan
kepercayaan!”
Tetapi Nyo Bun-giau tak mengacuhkan kemarahan tetamunya. Dengan tersenyum
gembira ia memanggil Giok-kiok atau Seruni Kumala. Kemudian ia merogoh keluar mutiara
sebesar buah kelengkeng dan diserahkan kepada dara itu, “Aku selalu tegas memberi
hukuman dan hadiah. Yang melanggar, dihukum. Yang berjasa tentu kuhadiahi, Karena
engkau berhasil mempersembahkan arak kepada tuan Leng, maka kuhadiahkan
segenggam mutiara itu kepadamu.”
Sambil menyambuti mutiara, Seruni Kumala berlutut memberi hormat dan
menghaturkan terima kasih. Nyo Bun-giau suruh nona itu menyingkir.
Nyo Bun-giau menghampiri pagar batu. Sekali mengguncangkan. terdergarlah suara
bergemuruh dan jembatan itupun meluncur ke muka terus lenyap ke dalam hutan.
Kemudian ia berpaling ke arah ketiga tetamunya dan tersenyum simpul, “Arak yang
saudara-saudara minim tadi, adalah arak obat yang kubuat dengan susah payah. Tiada
mengunjuk warna apa-apa dan tak berbau tetapi hebat sekali racunnya
.”
Leng Kong-siau tertawa dingin lalu berbangkit, serunya, “Ah, sayang untuk
melaksanakan maksud itu saudara harus mengorbankan tiga jiwa nona yang tak berdosa
..”
Ia menutup kata-katanya dengan sebuah gerakan melambung ke udara dan melayang
di tepi pagan batu lalu semburkan arak ke kolam bunga teratai.
Cepat Nyo Bun-giau kebutkan tangannya ke arah semburan arak Leng Kong- siau.
Semburan arak itu melengkung ke samping dan mencurah ke arah segerumbul bunga
teratai yang tumbuh di tepi kolam.
Juga Ting Yan-san mengambil sebuah cawan lalu muntahkan kembali arak yang
diminumnya tadi. Cawan itu berisi lagi sampai penuh seperti di saat dihidangkan
kepadanya tadi.
Setelah muntahkan semua arak yang diminumnya itu, diam-diam hati Ting Yan-san
lega.
Hanya Ca Giok sendiri yang gelisah. Pikirnya, “Kedua tua bangka itu sudah tahu kalau
arak dari Nyo Bun-giau itu berisi racun. Tetapi mereka tak mau memberi peringatan
kepadaku. Kini mereka sudah muntahkan arak yang diminumnva, hanya aku sendiri yang
tak dapat memuntahkan arak ..”
Dengan sikap tenang, Leng Kong-siau menatap tuan rumah dan tertawa. “Perhitungan
saudara Nyo memang lihay sekali tetapi sayang ada kalanya meleset juga. Engkau tentu
sudah memperlengkapi pagoda bunga ini dengan alat rahasia. Engkau siapkan barisan
gadis-gadis cantik untuk menari. Kemudian tuan perintahkan nona2 cantik untuk
mempersembahkan arak kepada kami bertiga. Oh, hebat, benar-benar hebat. Tetapi
sayang engkau tak memperhitungkan bahwa aku Leng Loji dan Ting lo-sam, juga sudah
mempersiapkan rencana. Telah kumuntahkan semua arak yang kuminum tadi.
Demikianpun dengan saudara Ting. Bahkan saudara Ting lebih hebat lagi. Dia telah
mengembalikan arak secawan penuh. Dengan begitu jerih payah saudara Nyo tadi
hanyalah berhasil mencelakai seorang Ca Giok saja. Tetapi tak berguna terhadap kami dari
Lembah Raja-setan dan Lembah Seribu-racun ….”
Berhenti sejenak. Leng Kong-siau melanjutkan lagi, “Dan masih ada sebuah hal yang
tak masuk dalam perhitungan saudara. Dalam pagoda ini, dari kita berempat ada tiga
orang yang bersumpah tak mau hidup di bawah satu matahari dengan saudara. Memang
kuakui aku seorang diri tentu tak mampu menandingi engkau. Tetapi apabila di sampingku
terdapat Ting Lo-sam dan Ca Giok, keadaannya tentu berlainan. Cobalah saudara
perhitungkan apakah saudara mampu menghadapi kami bertiga?”
Nyo Bun-giau tak segera menjawab melainkan berkeliaran memandang keempat
penjuru. Tampak Ca Giok dan Leng KOng-siau berpencar menjaga sebuah tetapat dan
merupakan pengepungan. Jago she Nyo itu mengurut jenggot sambil tertawa keras.
“Jangankan saudara bertiga sudah meminum arak buatanku yang amat beracun.
Sekalipun tidak minum, Nyo Bun-giau masih mampu melayani keroyokan kalian bertiga.
Kalau tak percaya, silahkan turun tangan!”
Ting Yan-san maju dua langkah dan berdiri pada jarak satu meter di depan Nyo Bungiau,
lalu berkata dengan dingin, “Kegagahan saudara Nyo sunggah mengagumkan sekali.
Ting Losam memang paling tak kenal diri, hendak coba-coba mengadu tenaga dengan
saudara barang 10-an jurus saja, tetapi . “
Ia tak melanjutkan kata-katanya.
“Jika saudara Ting mempunyai kegembiraan, jangankan lagi 1O jurus, bahkan seratus
sampai seribu jurus, aku tentu suka melayani. Tetapi apakah yang hendak saudara
katakan lagi? Harap mengatakan lebih dulu. Soal hidup atau mati, tak perlu harus terburuburu!”
“Dimanakah kedua gadis kemenakanku yang saudara tahan dalam gedung ini?” tegur
Ting Yansan. Percobaan tertawa nyaring tadi, menambah keyakinannya bahwa tenagadalamnya
sudah pulih kembali. Nyalinyapun bertambah besar.
“Pertanyaan saudara itu sungguh tepat. Kedua gadis kemanakan saudara itu berada di
gedung belakang dan kusuruh isteriku memperlakukan mereka sebaik-baiknya. Harap
saudara jangan kuatir!”
Ting Yan-san gontaikan kebut hud-tim, tegurnya “Dalam kedudukan sebagai seorang
ketua marga yang terhormat, apakah maksud saudara menawan kedua gadis
kemanakanku itu?”
“Memang heuar kedua nona kemanakan saudara itu berada di gedung sini. Tetapi kalau
saudara menuduh aku menawan, sungguh tak dapat kuakui. Tetapi jika saudara memang
mempunyai lain tujuan, sukarlah kudapat menjawab!”
“Tak peduli menawan atau memikat tetapi tindakan itu benar-benar menghina sekali!”
Ting Yan-san terus ayunkan kebutannya ke arah kepala orang.
Nyo Bun-giau kebutkan lengan bajunya untuk menangkis, serunya, “Jika saudara Ting
memang sungguh-sungguh hendak berkelahi, harap menggunakan senjata yang terselip di
punggung saudara itu.”
“Tak perlu!” seru Ting Yan-san seraya sapukan hud-tim ke pinggang orang.
“Saudara Ting seorang tetamu, aku sebagai tuan rumah akan mengalah sampai tiga
jurus!” seru Nyo Bun-giau seraya berputar tubuh loncat ke samping.
Tetapi Leng Kong-siau segera menyambut dengan sebuah hantaman, serunya,
“Bertetapur adu kesaktian, harus mengeluarkan kepandaian sesungguhnya. Harap saudara
Nyo jangan banyak tingkah!”
Saat itu Nyo Bun-giau masih melayang di atas. Terpaksa ia menangkis dengan tangan
kanan. Dan menggunakan pukulan itu, ia melambung lebih tinagi, berputar-putar di udara
dan melayang ke luar dari pagoda. Tepat pada saat itu terdengarlah suara menggemuruh.
Dari empat penjuru pagoda meluncur jaring emas.
Kiranya dalam saat melambung ke udara tadi, Nyo Bun-giau gerakkan alat rahasia.
Dengan memperhitungkan waktu yang tepat untuk menantang Ting Yan-san dan Leng
Kong-siau, ia melayang keluar dari pagoda.
Ketua marga Nyo itu melayang turun di atas selembar daun teratai dalam kolam.
Sambil mengurut jenggot ia tertawa mengejek, “Harap saudara bertiga beristirahat
beberapa hari dalam pagoda bunga. Memang pagoda itu sepintas pandang merupakan
pagoda bunga yang indah tetapi di dalamnya penuh dengan alat2 rahasia. Jika kalian taat
tinggal di dalam dengan tenang, tiap hari tentu kusuruh orang mengantar hidangan dan
minuman. Tak nanti mengecewakan penghormatanku terhadap tetamu. Tetapi jika
saudara berusaha hendak memboholkan jaring emas itu, jika terjadi sesuatu akibat, harap
jangan sesalkan aku karena sebelumnya sudah kuberi peringatan!”
Dalam pada itu, jarak antara pagoda dengan tetapat Nyo Bun-giau makin jauh. Entah
kapan dan bagaimana halnya, tahu-tahu pagoda itu sudah meluncur ke tengah kolam.
Ketika Leng Kong-siau menjamah jaring, ia dapatkan jaring itu lemas itu ulet sekali.
Entah terbuat dari bahan apa. Syukurlah mereka bertiga sudah banyak pengalaman.
Walaupun berada dalam bahaya namun mereka masih tenang dan memandang lekat2 ke
arah Nyo Bun-giau.
Habis bicara, Nyo Bun-giau loncat ke tepi daratan terus lenyap ke dalam gerumbul
bunga.
Leng Kong siau duduk kembali, ia tertawa, “Apa maksudnya mengurung kita dalam
pagoda ini? Kalau dia benar-benar hendak mencelakai kita rasanya sukar dipercaya.
Karena din tentu tak berani mengikat permusuhan dengan kedua Lembah ditambah marga
Ca!”
Setelah mondar-mandir sejenak, Ting Yan-san berkata, “Kemasyhuran Nyo Bun-giau
memang bukan desas desus kosong. Pagoda ini sudah berada di tengah kolam tetapi aku
Ting Losam tetap belum menemukan jalan keluar.”
Dalam pada itu diam-diam Ca Giok gelisah, pikirnya kedua orang itu sih tak mengapa
tinggal beberapa hari di sini. Karena mereka sudah muntahkan arak beracun. Tetapi aku
tentu mati karena arak beracun itu. Ah, aku harus mencari akal keluar dari sini.”
ooo000ooo
Kini kita tinggalkan dulu ketiga orang yang ditawan dalam pagoda itu. Mari kita ikuti
lagi Han Ping.
Di sebuah ruang yang diterangi dengan 4 batang lilin, Sin-ciu-it-kun Ih Thian-heng
berdiri di sudut ruangan sambil berseri-seri memandang si dara baju ungu.
Tampak dara itu membuka kain yang menutup mulutnya kemudian mengatur lagi
perhiasan rambutnya. Sepasang matanya yang indah, berkeliaran memandang ke
sekeliling ruang. Tiba-tiba bibirnya merekah senyum. Senyum itu berbeda dengan
hamburan tertawa dari mulutnya yang ditutupi kain tadi. Raut wajahnya yang cantik makin
bertambah cantik dengan seri senyuman sehingga sekalian orang yang berada dalam
ruang itu kesima.
Di saat sekalian orang terpesona melibat senyuman si dara ayu itu, tiba-tiba terdengar
Han Ping muntah darah.
Dara itu melirik ke arah Han Ping. Tiba-tiba ia hentikan senyumannya, lalu menghampiri
ke tetapat pemuda itu. Tegurnya dengan nada dingin, “Eh, mengapa engkau ini.”
Saat itu Han Ping baru saja ditolong dari pingsan. Darahnya masih belum lancar.
Karena saat itu pengemis-sakti Cong To masih bergerak untuk merebut obat dari si dara
Singkwan Wan Ceng, ia tak sempat memapah Han Ping. Pemuda itu berhangkit dan berdiri
tetapi jatuh lagi. Darah dalam tubuhnya yang masih belum lancar itu, pun bergolaklagi. Ia
berusaha untuk menekan tetapi gagal dan akhirnya muntahkan segumpal darah segar.
Pemuda itu mengusap darah di mulutnya dengan lengan baju lalu berusaha untuk
bangun. Sejenak memandang ke sekeliling ruang, ia memberi hormat kepada Cong To,
“Atas budi pertolongan lo-cianpwe kelak Han Ping tentu akan membalas!”
Habis berkata dengan terhuyung-huyung ia melangkah keluar.
Sikap Han Ping yang keras kepala itu menarik perhatian sekalian orang. Semua mata
mencurah ke arah pemuda itu. Mereka tahu bahwa pemuda itu terluka berat. Apabila tak
mendapat pertolongan yang tepat, tentu jiwanya berbahaya.
Sesungguhnya Pengemis-sakti Cong To hendak membuka mulut tetapi tak jadi. Ia
mengambil buli-buli arak dan meneguknya sampai tiga kali.
Dara baju ungu itu kisarkan kaki mundur setengah meter untuk memberi jalan.
Siangkwan Wan Ceng memutar ke samping ayahnya dan membentak pemuda itu,
“Berhenti! Hendak kemana engkau!”
Mendengar bentakan itu, Han Ping berpaling. Seluruh sisa tenaganya sedang digunakan
untuk menahan tubuhnya. Karena berpaling dengan tibatiba itu, tubuhnya kehilangan
keseimbangan. Ia jatuh lagi.
Sin-ciu-it-kun Ih Thian-heng cepat maju dan menyanggapi tubuh pemuda itu. Han Ping
yang masih tetap memandang lekat ke arah Siangkwan Wan Ceng, balas membentak,
“Peduli apa engkau aku hendak pergi kemana saja?”
“Hm, siapa yang akan mempedulikanmu…..” nona itu mendengus, lalu berkata pula,
“Pertetapuran kita belum selesai. Kalau engkau pergi, habis kemana aku harus
mencarimu?”
Han Ping tertegun lalu menjawab dengan garang, “Jika aku mati sudah tentu tak dapat
melanjutkan pertetapuran ini. Tetapi selama aku masih bernapas, tentu akan mencarimu
untuk menyelesaikan pertandingan kita!”
“Bagus! Apabila engkau sembuh, pergilah ke marga Siangkwan di Kanglam. Asal tak
mendengar berita kematianmu, aku tentu selalu….” tiba-tiba gadis itu tak melanjutkan
kata-katanya karena merasa kelepasan omong.
Sambil menunjukkan tiga buah jari tangannya, berkatalah Han Ping. “Tiga tahun lagi!
Jika belum datang mencarimu berarti aku sudah mati!”
Tiba tiba Siangkwan Wan Ceng menghela napas dan berkata dengan rawan, “Jika
engkau sampai mati ah, seumur hidup aku tentu kehilangan seorang lawan yang sanggup
menandingi aku. Sungguh sayang sekali!”
Memang sejak menyelesaikan pelajarannya, selama making melintang di wilayah
Kanglam dan Kangpak, belum pernah ia mendapat tandingan. Bahwa malam itu ia
bertetapur seru dan berakhir sama-sama terluka, benar-benar baru pertama kaki itu ia
alami. Kalau pemuda itu sampai meninggal, kemanakah ia akan mencarinya lagi? Di luar
kesadarannya, timbullah rasa sayang akan kehilangan itu.
Siangkwan Ko tabu bahwa puterinya itu telah mendapat pelajaran dari seorang sakti.
Dalam hal kepandaian dan kesaktian, ia kalah dengan puterinya itu. Namun mendengar
ucagan gadisnya yang agak tekebur, buru-buru ia membentak, “Jangan ngaco belo! Kalau
tak mendapat pertolongan Ih lo-cianpwe, masakan engkau dapat hidup!”
“Ah, saudara Siangkwan keliwat sungkan. Jika bukan karena puteri saudara itu memiliki
lwekang yang tinggi, mungkin aku tak dapat memberi pertolongan,” seru Ih Thian-heng.
Mendengar ucapan itu, tiba-tiba Han Ping berpaling dan meronta dari pegangan Ih
Thian-heng, lalu lari dan bersandar pada pintu. Serunya, “Ih Thian-heng, jika aku sembuh,
tahukah engkau siapa orang pertama yang akan kubunuh?”
Sambil mengurut-urut jenggot, Ih Thian-heng tertawa, “Agaknya saudara banyak
mengikat permusuhan. Hendak membunuh siapa, sukar diduga!”
Han Ping deliki mata dan berseru dengan nyaring, “Engkau!”
Ih Thian-heng tersenyum dan menyahut apa yang tak ditanyakan. “Lukamu amat
parah. Engkau hendak membunuh siapa, kelak urusan besok saja. Sekarang yang penting
engkau harus beristirahat merawat lukamu!”
Dara baju ungu itu tiba-tiba menghampiri Han Ping. Kemudian dengan sikap ramah dan
suara lembut ia berkata, “Dalam dunia ini tiada seorangpun yang mampu mengobati
lukamu. Engkau bakal kehilangan ilmu kesaktian dan menjadi orang biasa…”
Lembut dan merdu sekali ucapan dara itu, namun di telinga Han Ping tak ubah seperti
halilintar berbunyi di siang hari. Pemuda itu gemetar lalu bertanya dengan nada sarat,
“Apakah omonganmu itu benar?”
Dara ayu itu kedipkan matanya yang mempesonakan kemudin tersenyum rawan,
“Mengapa aku harus membohongimu? Engkau memang benar-benar terluka parah!”
Di kala tertawa, wajah dara itu tampak laksana bunga mekar di hari pagi. Cerah dan
menyengsamkan orang. tetapi di waktu berduka, pun wajahnya berobah sedemikian
menghibakan sekali sehingga membuat hati orang ikut tersayat.
“Celaka!” diam-diam Han Ping mengeluh dalam hati, “jerih payahku menyelundup ke
gereja Siau-lim-si dan berhasil bertemu dengan Hui Gong taysu yang telah memberi ilmu
sakti ajaran kitab Tatmo-ih-king-keng, betapa pengorbanan paderi sakti itu yang telah
menyalurkan lwekangnya hiagga dirinya sendiri sampai binasa, akhirnya hanya begini
jadinya. Cita-citaku untuk membalas sakit hati orangtuaku, hanya lamunan belaka.”
Penderitaan itu telah menggoncangkan hati sanubarinya. Darah meluap lagi dan
dengan tengadahkan kepala ia memekik sekuat-kuatnya untuk mengantar darah yang
muntah keluar.
Dara baju ungu itu dua kali mengedipkan ekor matanya. Tiba-tiba wajahnya berobah
cerah, dan berserulah ia serentak, “Ada harapan!”
Setelah muntah darah, rongga dada Han Ping terasa longgar. Ia tertegun dan berseru
kaget, “Apa katamu?”
“Jika engkau tak muntahkan darah kental, kalau darah itu mengendap di perut tentu
akan lebih parah lagi lukamu. Sekalipun tabib sakti Hoa Toa hidup lagi, tak mungkin dapat
mengobatimu.”
“Hm, apa macam bicaramu itu!” Han Ping marah, berputar tubuh dan melangkah ke
muka.
Dara baju ungu itu terkesiap lalu balas mendamprat, “Hm, manusia yang tak tahu diri!”
Dari jauh terdengar penyahutan Han Ping, “Seorang lelaki takkan berkelahi dengan
wanita. Aku Ji Han Ping seorang anak lelaki, tak sudi berpandangan sempit seperti
engkau!”
Lelaki baju benang emas yang menjaga di ambang pintu, setelah melihat Han Ping
sudah jauh, baru masuk ke dalam ruangan dan berkata kepada si dara baju ungu,
“Sumoay, sudah beberapa hari engkau mengalami penderitaan, harap lekas
beristirahat……..”
Kemudian lelaki itu berpaling kepada nenek berambut putih dan berkata dengan
hormat, “Harap antarkan nona beristirahat pulang. Urusan di sini, aku dan kedua saudara
Au serta Oh yang mengurus. Kiranya sudah cukup!”
Lelaki itu bertubuh tinggi tegap. Wajahnya penuh wibawa dan nada suaranya
melantang nyaring. Apalagi dalam pakaian sebagai pengawal istana, tambah garanglah
tampaknya.
Nenek berambut putih itu dingin sekali wajahnya. Seolah-olah ia menganggap sepi
dunia ini. Sejak tadi ia berdiri tegak seperti patung. Baru setelah lelaki tinggi besar itu
berkata kepadanya, nenek itu sejenak memandang ke sekeliling lalu berkata dengan
segan, “Orang-orang itu adalah tokoh-tokoh persilatan Tiong-goan yang ternama. Apakah
kalian bertiga sanggup menghadapi?”
Dengan hormat lelaki berbaju indah itu menyahut, “Harap ibu Bwe jangan kuatir.
Sekalipun sudah lama tinggalkan perguruan tetapi sedetikpun tak pernah aku malas
berlatih….”
Tampak wanita tua berambut putih itu kerutkan alis. Tampaknya ia tak mempedulikan
ucapan lelaki tinggi itu. Waktu ia hendak membuka mulut, tiba-tiba dari lain ruangan
terdengar suara orang yang bernada kasar, “Au Bungkuk dan Oh Pendek, apa perlumu
datang ke tetapat yang begini sunyi? Dimanakah sumoayku?”
Tepat dengan kumandangnya ucapan itu, tahu-tahu muncullah seorang lelaki aneh ke
dalam ruangan situ. Rambutnya kusut masai, mengenakan jubah panjang warna merah,
mukanya penuh dengan brewok. Punggungnya menyelip sebatang pedang dan lengan
kanannya mengepit sebatang tongkat besi.
Melihat orang aneh itu, si dara baju ungu tiba-tiba tertawa kecil, “Ih, ji-suheng,
mengapa engkau datang kemari?”
Orang aneh itu tertawa gelak-gelak. “Seorang diri engkau pergi ke tanah Tiong-goan,
masakan aku tak kuatir. Maka buru-buru aku menyusul.”
Tiba-tiba ia memandang ke sebelah kanan dan ketika melihat lelaki tinggi besar tadi,
seketika wajahnya berobah. Ia menyurut mundur dua langkah. Kiranya dia hanya memiliki
sebuah kaki. Tongkat besi yang dikepit di bawah ketiak itu, untuk pengganti kakinya yang
hilang.
Tampak ia memberi hormat kepada lelaki tinggi besar tadi, serunya, “Adakah selama ini
toa-suheng tak kurang suatu apa? Sudah hampir 20 tahun kita tak berjumpa! Tadi siaute
terlambat memberi hormat, harap toa-suheng suka maafkan!”
“Bagaimana suhu? Apakah selama ini tak kurang suatu apa?” tanya lelaki tinggi besar
itu dengan nada serius.
Lelaki kaki-buntung itu menyahut, “Beberapa tahun terakhir ini suhu memang suka
menyepi tak senang bertemu orang luar. Siaute pun sudah hampir tiga tahun tak pernah
menghadap beliau.”
Lelaki berpakaian indah itu menghela napas, dan suruh si Buntung berdiri. Dengan
hormat lelaki buntung itu berdiri di samping. Sepatahpun ia tak berani bersuara, lain sekali
dengan sikapnya yang garang ketika baru masuk ke dalam ruangan.
Si dara baju ungu menggodanya, “Eh, ji-suheng, engkau biasanya selalu tertawa riang
gembira. Mengapa sekarang mendadak pura-pura seperti orang gagu?”
Si Kaki-satu tersenyum tak menjawab.
Lelaki tinggi besar itu maju selangkah, berkata, “Beberapa hari ini sumoay telah
menderita kelelahan, lebih baik lekas beristirahatlah!”
Tetapi dengan wajah kurang senang, dara baju ungu itu membantah, “Toa-suheng,
mengapa engkau hendak menyuruh aku pulang?”
Lelaki tinggi besar itu berkata dengan serius, “Saat ini yang kita hadapi adalah tokohtokoh
ternama dari dunia persilatan Tiong-goan. Sekali turun tangan, tentu akan
berbahaya. Tidaklah tepat apabila sumoay berada di sini. Apabila aku tak dapat melindungi
sumoay, bagaimanakah tanggung jawabku?”
“Dalam beberapa hari ini, aku telah ditawan orang. Jika mereka telah membunuhku,
lalu bagaimana akibatnya!” sahut si dara.
Ucapan tajam dari dara itu membuat si lelaki tinggi besar tak dapat menjawab dan
tertegun. Beberapa saat kemudian baru ia menghela napas, “Memang aku menyesal
karena tak dapat melindungi sumoay. Hanya karena mengandalkan rejeki besar maka
sumoay tak sampai kurang suatu apa. Aku berjanji akan lebih menjaga sumoay dengan
hati-hati agar jangan sampai terulang peristiwa semacam itu lagi. Maka kuminta sumoay
pulang agar perhatianku jangan sampai terpecah di dalam menghadapi suasana saat ini!”
“Bagaimana kalian hendak menjagaku? Mau pergi setiap saat aku segera pergi!”
berkata sampai di sini tiba-tiba dara itu merasa ucapannya keliwat tajam, maka segera ia
menyusuli lagi, “Sesungguhnya, jika bertemu musuh, juga sama saja.”
Dara itu berputar tubuh lalu melangkah ke luar pintu.
Ih Thian-heng tetap berseri tawa. Tetapi Pengemis-sakti Cong To dan Siangkwan Ko
marah.
“Pengemis tua ini lama benar mendengar kemashyuran ilmu kepandaian Lam-hay-bun
yang luar biasa. Sungguh beruntung sekali kalau hari bisa menyaksikan!” seru si pengemis
Cong To yang tak dapat menahan luapan hatinya lagi.
Ih Thian-heng berpaling memandang Siangkwan Ko dan tertawa, “Beribu aliran asalnya
dari satu sumber. Daun gugur kembali kepada akarnya. Demikianlah dengan ilmu silat.
Sekali ada jenis ilmusilat yang tampaknya bercorak aneka ragam dan penuh perobahan,
tetapi apabila direnungkan dengan seksama. Tak lain tak bukan hanya tergantung dari
latihan, memelihara kondisi tenaga dalam tubuh dan berpusat pada Memberi dan
Meminta. Dahulu kaum persilatan Tiong-goan telah bertemu di gunung Lam-gak. Setiap
partai telah mengirim jago yang sakti. Dengan harapan dalam pertemuan itu akan dapat
menyelesaikan persengketaan dunia persilatan Tiong-goan yang selalu keruh selama ini.
Tetapi sayang dalam pertemuan itu telah dikacau oleh Manusia-aneh dari Lamgak ….”
Habis berkata tiba-tiba ia melambaikan tangan. Keenam anak baju putih itu serempak
loncat berhamburan menghadang si dara baju ungu. Masing-masing membolang-balingkan
pedangnya.
Melihat itu terkejutlah Pengemis-sakti Cong To. Diam-diam ia menimang dalam hati. “Ih
Thianheng benar-benar hebat sekali. Keenam budak kecil itu saja sudah dapat
digolongkan sebagai tokoh kelas satu kepandaiannya!”
Juga lelaki tinggi besar dan nenek berambut putih itupun terperanjat melihat gerakan
keenam anak kecil itu Mereka kerutkan dahi.
Ih Thian-heng tersenyum, serunya lebih lanjut, “Si tua Lam-gak Ki-soh (Manusia aneh
dari Lam-gak) itu, di hadapan 13 orang tokoh-tokoh sakti dari Tiong-goan telah mendebat
Imusilat dari Tiong goan. Dan saat itu ia mengeluarkan sebuah kitab bersampul kuning.
Dia menyatakan kitab itu sebagai kitab pusaka Lam-hay-bun. Dengan pengacauan itu,
bubarlah pertemuan di Lam-gak!”
“Tetapi karena peristiwa itu, nama Lam-gak Ki-soh menggemparkan dunia persilatan,”
kata Ih Thian-heng, partai Lam-hay-bun dan kitab pusaka Lam-hay-bun telah menjadi
buah bibir dunia persilatan. Begitu meluas kabar2 itu hingga menimbulkan suatu dongeng
seolah-olah kitab itu sebuah pusaka yang ajaib. Sehingga sampai saat ini, ilmusilat. Lamhay-
bun itu, menjadi idamidaman kaum persilatan Tiong-goan ….”
Si Kaki-buntung yang sejak tadi berdiam diri, tiba-tiba menyelutuk, “Ilmu kepandaian
dari Lamhay-bun memang meliputi segala ilmu kepandaian sejak dahulu sampai sekarang,
merajai semua partai dan perguruan persilatan. Sudah tentu merupakan sumber ilmusilat
yang paling hebat. Masakan hal itu perlu disangsikan lagi?”
Sin-ciu-it-kun Ih Thian-heng tetap tenang-tenang dan tersenyum, “Sesungguhnya
ilmusilat Tionggoan itu amat dalam dan tinggi sekali. Lam-haybun tak mungkin dapat
menyamai. Misalnya, ke 72 buah ilmu pusaka dari Siau-lim-si, setiap macam cukup untuk
menghabiskan tenaga dan pikiran orang sampai seumur hidupnya. Terutama ilmu
pelajaran dalam kitab Tat-mo-ih-kin-keng. Kitab itu benar-benar merupakan sumber ilmu
kesaktian yang tiada taranya di dunia. Asal mendapatkan separoh bagian saja, sudah
cukuplah tak habis digunakan seumur hidup. Dan kalau berbicara soal ilmusilat yang aneh
dan galas, Lam-hay-bun pun tak menang dengan wanita pambenci dunia Hengthiam It Ki.”
Pengemis-sakti Cong To mengambil buli-buli arak dan meneguknya beberapa kali.
“Apakah saudara Cong tak percaya pada keteranganku?” tanya Ih Thian-heng sambil
tertawa.
Sesungguhnya Cong To hendak mendebat. Tetapi mengingat saat itu ia masih harus
menghadapi orang Lam-hay-bun, jika sampai bentrok dengan Ih Thian-heng, tentu akan
lebih runyam. Maka ia terpaksa menekan perasaannya dan minum arak. Tetapi didesak
oleh pertanyaan Ih Thian heng, pengemis itu mengkal juga. Sahutnya sambil tertawa
dingin, “Hampir setengah umur, pengemis tua berkelana dalam dunia persilatan, tak
pernah mendengar tentang nama wanita Pembenci dunia Heng-thian It Ki. Harap saudara
Ih bicara sedikit genah.”
Tetapi Ih Thian-heng tetap tertawa berseri dan menyahut dengan tenang. “Memang
wanita Heng-thian It Ki itu tak pernah muncul di dunia persilatan. Jangankan saudara
Cong, sedang tokoh-tokoh dalam dunia persilatan dewasa ini, hanya berapa gelintir orang
yang mengetahuinya!”
“Kalau begitu hanya saudara Ih sendiri yang tahu?” Cong To berseru dingin.
Ih Thian-heng tertawa, “Ah, bukan begitu, yang tahu hanya dua orang saja!”
“Siapa?”
Ih Thian-heng alihkan pandang matanya ke arah Siangkwan Ko dan gadisnya, “Harap
saudara Siangkwan jangan pegang rahasia agar aku jangan berdebat dengan saudara
Cong. tetapat kediamannya di toan-jong-ki itu dekat dengan tetapat saudara. saudara
pasti tahu tentang wanita itu.”
Siangkwan Ko kerutkan dahi dan menyahut tersekat-sekat, “Ini…. ini….”
Tampaknya ia sukar mengatakan sehingga sampai beberapa saat tak dapat
menjelaskan.
Tiba-tiba Siangkwan Wan Ceng menyelutuk, “Guruku itu tak pernah berhubungan
dengan orang persilatan. Bagaimana engkau dapat mengetahuinya?”
“Ah, bukankah itu berarti engkau memberi tahu orang?” tukas Siangkwan Ko.
Gadis itu tertegun. Sesaat kemudian ia tertawa. “Ah, tak sengaja. Sekalipun suhu tahu,
tentu takkan memarahi aku.”
“Begitulah!” seru Ih Thian-heng, “jika saudara Cong tak percaya kepadaku, seharusnya
juga percaya akan kata-kata saudara Siangkwan dengan puterinya!”
Cong To batuk-batuk dan menyahut seenaknya. “Takkan suatu hal yang memalukan
apabila aku tak tahu orang itu.”
“Kecuali Heng-thian It Ki, di dunia persilatan dewasa inipun terdapat ilmu kepandaian
dari yang disebut It-kiong, Ji-koh dan Sam-poh. Mereka masing-masing mempunyai
keistimewaan sendiri. Mengembangkan ilmu barisan Ngo-heng, Ki- bun Pat-kwa, ilmu
pengobatan, perbintangan dan lain-lain…”
Dara baju ungu itu tiba-tiba berpaling dan menyelutuk, “Baik Heng thian It Ki maupun
It-kiong, Jikoh, Sam-poh dan lain-lain, hanya memiliki ilmu kepandaian yang terbatas saja.
Dan ilmu barisan Ngoheng-tin, Pat-kwa-tin, ilmu pengobatan serta perbintangan dan lainlain
ilmu menciptakan alat rahasia bukanlah suatu kepandaian yang mengagumkan.
Cobalah misalnya kitab Ho-tho dan Lok-sut, siapakah tokoh persilatan yang mengerti
isinya.”
Suara besar dari nona itu telah membuat seorang Ih Thian-heng yang penuh toleransi
menjadi berobah wajahnya.
“Seorang nona yang masih remaja, mengapa berani bicara begitu besar? Dalam dunia
yang luas ini, semua keanehan tentu ada. Berapa banyakkah pengalamanmu sehingga
engkau berani memandang rendah pada seluruh orang gagah dalam dunia persilatan?”
Dara baju ungu itu maju dua langkah dan berseru lantang, “Siapakah di antara kalian
jago2 dunia persilatan yang paling diindahkan orang?”
Pertanyaan itu datangnya amat mendadak sekali sehingga Pengemis-sakti Cong To,
Siangkwan Ko dan Ih Thian heng saling berpandangan satu sama lain tanpa dapat bicara
sepatah kata.
Memang hal itu sukar dijawab. It-kiong, Ji-koh dan Sam-poh selama ini terkenal sekali
dalam dunia persilatan, Pengemis-sakti Cong To dan Ih Thian-hengpun harum sekali
namanya. Masih ada pula gereja Siau-lim-si yang sejak ratusan tahun dianggap sebagai
pemimpin dunia persilatan. Juga partai Bu-tong-pay tiada yang menandingi dalam ilmu
pedang.
Sejak munculnya It-kiong, Ji-koh dan Sam-poh dalam dunia persilatan, dari golongan
Hitam dan Putih muncul beberapa tokoh-tokoh yang hebat, Suasana dunia persilatan
makin acak-acakan tak keruan.
Pengemis-sakti Cong To, Ih Thian-heng dan Siangkwan Ko, merupakan tokoh-tokoh
sakti yang ternama. Untuk mengatakan siapakah tokoh dunia persilatan yang paling
disegani sendiri, memang amat sukar bagi mereka.
Setelah terdiam lebih kurang sepeminuman teh lamanya, barulah Ih Thian-heng
membuka suara, “Dari pertanyaanmu itu, jelas mengunjukkan kehijauanmu dan kurangnya
pengalamanmu!”
“Apa salahnya pertanyaanku itu?” bantah si dara.
“Ilmu silat itu, luas dan amat dalam sekali. Seorang yang bagaimana pintar dan
saktinya, tak mungkin dapat merangkum seluruh ilmu kepandian silat itu. Tentang ilmu
pengobatan dan perbintangan, ilmu barisan dan lain-lain, juga suatu ilmu yang
menghabiskan umur dan tiada seorangpun yang dapat dikata sempuma sama sekali.
Tentang siapakah tokoh yang paling disegani sendiri, tentulah karena dia memiliki
kepandaian yang luar biasa hebatnya dan diakui oleh umum. Oleh karena ilmusilat itu
tiada batasnya dan tak ada seorangpun yang mampu menguasai keseluruhannya maka
tiada seorang tokoh yang patut dianggap sebagai jago nomor satu dalam dunia! Jika ada,
pun hanya karena sempurna dalam sebuah jenis kepandaian saja. Maka pertanyaan nona
tadi, sukar untuk kujawab. Tetapi dapatlah kuberitahukan kepadamu. Bahwa yang
dihadapanmu saat ini, adalah tokoh-tokoh dunia persilatan yang sedikitnya mempunyai
nama juga. Jika engkau mampu menundukkan kami beberapa orang ini, mungkin ilmu
kepandaian dari Lam-hay bun itu akan termasyhur dalam dunia persilatan Tiong-goan!”
Dara itu memandang lekat kepada Ih Thianheng, sahutnya pelahan, “Kalau begitu,
kalian bertiga itu merupakan tokoh kelas satu dalam dunia persilatan Tiong-goan?”
“Anggap sa-a satu bagianlah!” Pengemis-sakti Cong To mendengus.
Dara itu pelahan-lahan mengemasi rambutnya, kemudian berkata, “Ah, maaf, maaf,
aku telah berlaku kurang hormat untuk menanyakan nama kalian bertiga yang terhormat
ini?”
Ih Thian-heng kerutkan alis, diam-diam ia mambatin bahwa dara itu memang suka
menyulitkan orang. Tetapi sebagai seorang tokoh yang licin, ia tetap tenang-tenang
menjawab, “Apakah nona benar-benar tak tahu ataukah hanya pura-pura saja?”
“Setelah tahu nama kalian, bukankah tiada manfaatnya bagiku karena akupun takkan
tumbuh besar lagi tinggi badanku,” sahut si dara.
Ih Thian-heng berpaling ke arah Cong To, ujarnya, “Yang punggungnya menyelip bulibuli
arak ini, adalah pendekar besar Pengemis-sakti Cong To yang pernah menggemparkan
dunia persilatan! Dahulu ketika nona bersama ayah nona mengacau pertemuan Lam -gak
itu, boleh dikata sudah mencampuri urusan dunia persilatan Tiong- goan. Tentulah nona
sudah mendengar hal itu dari ayahmu!”
Dara baju ungu itu keliarkan mata dan memandang ke arah Pengemis-sakti Cong To,
serunya, “Pengemis-sakti Cong To, ya, pernah juga kudengar tentang nama itu.”
Ih Thian-heng tersenyum lalu menunjuk pada Siangkwan Ko, “Dan saudara Siangkwan
Ko, ini adalah kepala marga Siangkwan yang menggetarkan golongan Hitam dan Putih di
wilayah utara sampai selatan!”
Si dara condongkan kepala ke samping sambil kerutkan dahi. “Dalam dunia persilatan
terdapat It-kiong, Ji-koh dan Sam-poh. Dengan begitu Siangkwan pohcu ini tentulah
terwasuk salah satu dari Sam-poh itu!”
Siangkwan Ko mendengus dan palingkan kepala tetapi Siangkwan Wan Ceng balas
menatap dara itu dengan tajam. Diam-diam ia mengakui bahwa dara itu seorang jelita
yang jarang terdapat keduanya.”
“Perlu apa engkau memandang aku?” tegur si dara baju ungu kepada Siangkwan Wan
Ceng.
Melihat dara ungu itu tersenyum, diam-diam Siangkwan Wan Ceng tersengsam juga.
Buru-buru ia palingkan muka tak mau memandangnya lagi.
“Dan aku sendiri bernama Ih Thian-heng. Nah, nama kami bertiga telah kuberitahukan,
apakah nona masih ada pertanyaan lagi?” seru Ih Thian-heng.
Dara baju ungu itu mengangkat kepalanya pelahan-lahan, memandang ke tiang
penglari, ujarnya, “Memang kalian bertiga adalah tokoh-tokoh ternama dalam dunia
persilatan Tiong-goan, tetapi….”
“Tetapi bagaimana?” bentak Pengemis-sakti Cong To yang marah melihat sikap dara
itu, “memang pengemis tua ini sudah lama mendengar bahwa ilmu silat Lam-hay-bun
hebat sekali. Malam ini sungguh beruntung kalau dapat menyaksikannya!”
Dara baju ungu itu berpaling ke arah si Kaki satu, serunya, “Ji-suheng, orang ingin
melihat kepandaian ilmusilat Lam-hay-bun, tetapi sayang aku segan mengotorkan
tanganku dengan seorang pengemis tua yang busuk baunya. Cobalah engkau layaninya
beberapa jurus saja. Tetapi jangan terlalu lama, hanya terbatas 10 jurus sajalah!”
Si Kaki-satu itu berpaling memandang kepada si lelaki tinggi besar seperti hendak minta
ijin.
“Sumoy membawa panji Burung Hong putih, harus diperlakukan sebagai suhu sendiri.
Mengapa engkau tak lekas melakukan perintahnya!” seru lelaki tinggi besar itu.
Dara baju ungu itu tertawa. “Uh, memang jisu-heng itu biasanya tak mau mendengar
perintahku. Harap toa-suheng menasehatinya!”
Si Kaki-satupun tertawa keras, “Toa suheng sudah lama tak mengajar padaku.
Sekalipun dimaki, akupun akan menerimanya.”
Tiba-tiba kaki buntung itu loncat ke tengah gelanggang dan menuding Cong To, “Hai,
pengemis busuk, lekaslah engkau keluar sini ….”
Ia tak melanjutkan kata-katanya karena saat itu ia teringat bahwa dirinyapun lebih
brengsek dari pengemis itu.
“Huh, pengemis busuk, apakah engkau tak memanggil dirimu sendiri!” seru Cong To
seraya menghantam dan loncat menerjang.
Kaki-satu itu tertawa dingin. Ia mendorongkan tangannya kiri ke muka untuk
menangkis.
Ketika saling berbentur, diam-diam Cong To terkejut sekali. Tenaga pukulan yang
dilambari dengan lwekang keras, ternyata telah sirna lenyap.
“Dunia. persilatan Tiong-goan mengatakan bahwa kepandaian ilmu silat Lam-hay-bun
itu itu luar biasa dan sukar diduga tingginya. Merupakan suatu aliran tersendiri. Jika
malam ini aku sampai jatuh di tangan orang buntung ini, tentu akan ditertawakan oleh
seluruh kaum persilatan di dunia!” timang pengemis Cong To dalam hati.
Seketika ia mengempos semangat dan menarik pulang pukulannya. Dia telah mencapai
tataran yang tinggi dalam ilmu menggunakan lwekang. Dilancarkan dan ditarik dapat
dilakukan menurut sekehendak hatinya.
Di lain fihak, si Kaki-satu itupun tak kurang kejutnya ketika menerima pukulan dari
pengemis sakti. Ia rasakan hatinya mendebur keras sekali. Diam-diam ia membatin, “Ah,
pengemis tua ini benar-benar tak omong kosong. Pertetapuran kali ini, aku tak berani
memastikan bisa menang!”
Diapun segera berdiam diri untuk mengerahkan tenaga-dalam dan menunggu serangan
lawan.
Ilmu lwekang kedua tokoh itu berlainan sifatnya. Pengemis-sakti Cong To
mengutamakan lwekang keras. Pukulannya dapat menghancur leburkan batu karang.
Sedang si Kaki-satu itu memiliki ilmu lwekang yang bersifat lunak. Dia mengutamakan
gerak ketangkasan yang ganas dun pukulan yang tak bersuara untuk mencelakai lawan.
Sepintas pandang memang tak ada tanda-tanda yang menonjol bahwa dia memiliki
kepandaian tinggi. Oleh karena itu ketika hatinya goncang karena menerima pukulan Biatgong-
ciang dari Cong To. pengemis tua itu tak dapat melihat perobahan yang diderita
lawan.
Setelah adu pukulan itu, keduanya menyadari kekuatan lawan dan tak berani
memandang rendah lagi.
Sejenak memandang ke arah Ih Thian-heng, Pengemis-sakti Cong To batuk-batuk, lalu
melangkah pelahan-lahan. Lantai yang dilaluinya, meninggalkan bekas telapak kaki.
Wajahnyapun tampak gelap.
Sekalian orang menyadari ketegangan suasana. Mereka menahan napas dan mengikuti
dengan penuh perhatian.
Setelah kira-kira satu setengah meter dari si Kakisatu, pengemis itu berhenti dan
berseru dengan dingin, “Mengingat engkau cacad kaki, maka aku bersedia mengalah
sampai 3 jurus!”
Si Kaki-satu itu menyadari bahwa kalau dapat menyerang lebih dulu tentu akan
memperoleh posisi yang baik. Maka segera ia berseru, “Engkau sudah lebih dulu
melepaskan Biat-gong-ciang, jika sekarang aku yang menyerang lebih dulu, bukanlah
dianggap mengalah!”
Ia menutup kata-katanya dengan ayunkan tangan ke muka. Sambil miringkan tubuh ke
samping, Pengemis-sakti Cong To balas mendorongkan tangan kirinya. Sedang tangan
kanan dilindungkan ke dada.
Tiba-tiba si Kaki-satu tekankan tongkatnya ke lantai dan tubuhnya melambung ke atas.
Kakinya berayun menendang perut prang.
Gerakan menghindar sambil menyerang secara tak terduga-duga itu dilakukan amat
cepat sekali.
Tetapi Cong To tetap tak mau menghindar. Ia surutkan perutnya ke belakang. Tetapi si
Kaki-satu itu lihay sekali. Tubuhnya tetap masih melambung ke atas sehingga kakinyapun
ikut terangkat naik. Luput Mendupak perut, kainya menjejak dada orang.
Cong Topun tetap tak mau menghindar mundur. Ia menabas kaki orang dengan tangan
kanannya.
Walaupun hanya berkaki satu dan sedang melambung di udara, tetapi si Kaki-satu itu
hebat sekali. Ia surutkan kakinya yang hendak ditabas lalu secepat kilat dijulurkan lagi
untuk menyepak dahi lawan. Dalam posisi melambung di udara, dia telah melancarkan 3
buah tendangan secara berturut-turut dan amat cepat sekali.
Menghadapi permainan yang luar biasa itu, mau tak mau, Cong To terpaksa harus
mundur dua langkah.
Tiba-tiba dara baju ungu itu melengking, “Ji-suheng, engkau sudah menendang 3 kali
dan memukul 2 kali jadi sudah 5 jurus, sudah separoh.”
Si Kaki-satupun mendengus. Berjumpalitan udara, ia melayang turun ke belakang dan
berseru, “Berhenti dulu, aku hendak bicara!”
Sesungguhnya karena didesak sampai mundur dua langkah, hatinya pun sekali. Pada
saat ia hendak balas menyerang, tiba-tiba si Kaki-satu meluncur ke belakang beberapa
meter.
“Engkau ,hendak bicara apa. lekas bilang! Pengemis tua masih hendak meminta
pelajaran lagi kepadamu!” sahutnya.
Si Kaki-satu mendengus lalu berpaling ke arah si dara, “Eh, bagaimana caramu
menghitung itu, sumoay? Walaupun kakiku menendang 3 kali tetapi posisiku tidak
berubab. Mengapa gerakan itu engkau anggap 3 jurus?”
Dara baju ungu itu tersenyum, “Tak peduli Tiga kali menendang kuhitung 3 jurus!”
“Tetapi itu kan hanya gerakan dalam sebuah jurus, bagaimana dihitung 3 jurus!” Kakisatu
itu makin gugup.
“Kubilang 3 jurus ya 3 jurus, Engkau tak dapat mengalahkan orang, walaupun 20 jurus
juga tak berguna. Jika memang menang, sejurus dua jurus saja tentu sudah menang. Jika
ayah bertanding dengan lawan, apakah pernah lebih dari 3 jurus?”
Si Kaki-satu terkesiap, serunya dengan sungguh-sungguh, “Tetapi suhu kan manusia
luar biasa. Walaupun aku belajar sampai 100 tahun, tak mungkin dapat menyamai beliau!”
“Nah, itu dia!” seru si dara, “kepandaianmu jelek, tak dapat mengalahkan orang.
Dilanjutkan sampai 1000 juruspun tak ada gunanya!”
Mendengar percakapan suheng dan sumoay itu, mau tak mau Ih Thian-heng dan
beberapa tokoh lainnya, terkejut sekali. Diam-diam mereka menilai pertetapuran tadi.
Walaupun hanya beberapa jurus tetapi nyatalah si Kaki satu itu haya terpaut sedikit
rendah dari Cong To. Jika pertetapuran itu dilanjutkan, sebelum seribu jurus tentu sukar
diketahui yang menang dan kalah. Kiranya, beralasan juga kalau dara itu begitu congkak
kata-katanya.
Rupanya si Kaki satu tak berani berdebat lagi dengan si dara baju ungu. Ia berpaling ke
arah Cong To. “Kita mash mempunyai 5 jurus. Mati atau hidup terletak dalam 5 jurus itu!”
Sahut si Pengemis sakti dengan dingin, “Sekalipun dalam 5 jurus itu, pengemis tua
sukar untuk menang, tetapi pengemis tua tetap ingin mendapat pelajaran dari ilmu
kesaktian Lam-hay-bun yang luar biasa hebatnya itu!”
“Pengemis busuk, engkau benar-benar lapang dada….” tiba-tiba si Kaki-satu tak
melanjutkan kata-katanya. Setelah tertegun sejenak, baru ia berkata lagi, “Jurus yang
hendak kulancarkan ini disebut Ban-tianhance. Marilah kita bersama-sama menyerang!”
“Hm, pengemis tua akan gunakan jurus Hun-soh-ceng-tham untuk menghadapimu!”
seru Cong To.
Kedua segera mundur selangkah dan bersiap-siap. Tetapi mereka tak lekas bergerak
melainkan saling berpandangan.
Melihat itu, si dara baju ungu memandang nenek berambut putih dengan tersenyum.
Tergetar hati si Kaki-satu mendengar senyum tertawa si dara. Ia melirik sejenak. Tepat
pada saat itu si darapun tengah memandangnya. Dia makin gelisah. Tetapi karena
menyadari yang dihadapinya itu seorang lawan berat, dia cepat tumpahkan perhatianya ke
muka lagi.
Sepeminuman teh lamanya kedua tokoh itu saling berpandangan. Tampak tubuh
keduanya agak mengendap. Kaki kiri si Pengemis-sakti berkisar ke kiri. Sedang si Kakibuntung
agak berkisar ke kanan. Kemudian mereka bergerak pelahan-lahan. Sarat dan
lambat sekali mereka bergerak itu. Setiap inci, memakan waktu beberapa jenak.
Tongkat penyanggah tubuh si Kaki-buntung kedengaran berbunyi berderak-derak dan
meninggalkan bekas guratan pada lantai.
Pengemis sakti Cong To juga tak kurang hebatnya. Lantai yang dilaluinya,
meninggalkan bekas yang cukup dalam.
Suasana hening lelap. Tampaknya kedua tokoh itu bergerak lambat sekali. Tetapi Ih
Thian-heng dan Siangkwan Ko serta tokoh-tokoh yang menyaksikan hal itu, sama-sama
menahan napas. Mereka tahu bahwa kedua tokoh itu sedang adu lwekang dari jarak jauh
tampaknya tenang, tetapi scsungguhnya menghamburkan pancaran gelombang tenagasakti
yang dahsyat sekali.
Beberapa saat kemudian, wajah mereka mulai tenang, mata direntang lobar dan
langkah kakinya pun makin cepat, berputar melingkar-lingkar….
Setelah tiga lingkaran, kedua orang tiba-tiba berhenti dengan serentak dan berdiri
tegak. Tetapi tubuh mereka agak bergetar.
Dara baju ungu mendengus pelahan, serunya, “Bagus, satu juras!”
Si Kaki-satu mengangguk kepala dan bergerak lagi pelahan-lahan. Pengemis-sakti Cong
Topun mengikuti juga gerakan lawan. Makin lama makin cepat lagi.
Setelah kurang lebih 10 putaran, tiba-tiba si Kakisatu menggeram dan dorongkan
tangan kiri ke muka. Gerakan itu menggunakan tenaga-lwekang penuh tetapi pukulannya
tak menimbulkan angin deru yang dahsyat melainkan hembusan angin yang lunak.
Pengemis-sakti Cong To yang sudah kenal akan keanehan ilmu Lam-hay-bun, tak
berani berayal. Segera ia luruskan kedua tangan kemuka dada. Tenang sekali ia
menunggu. Setelah angin lunak menghembus tiba, barulah ia kebutkan kedua tangannya
itu, wut….! terdengar deru angin yang keras dan lenyaplah angin lunak itu!
Dengan kerahkan hampir seiuruh tenaga-sakti Im (lunak), si Kaki-satu yakin bahwa kali
itu tentu dapat menjatuhkan lawan.. Tetapi di luar dugaan, serangannya telah dilenyapkan
lawan dan masih pula tenaga-sakti keras dart Cong To itu dapat mementalkan kembali
serangan tenaga-sakti lunak itu kepada si Kaki-satu. Seketika si Kaki-satu rasakan
jantungnya berguncang keras!
Tetapi di hadapan si dara baju ungu, Kaki-satu makin kalap. Satelah menekan golak
jantungnya, tiba-tiba ia tekankan tongkatnya kelantai dan melayanghlah tubuhnya ke arah
lawan. Terjangan itu disertai gerakan menendang lambung orang sekuat-kuatnya.
Tetapi Pengemis-sakti, merupakan seorang pendekar aneh dalam dunia persilatan.
Pengalamannya luas sekali.
Pada permulaan pertetapuran ia sudah mengetahui bahwa sekalipun lawan hanya
mempunyai sebuah kaki, tetapi orang itu telah melatihnya dengan sungguh-sungguh
sehingga kakinya yang tinggal satu itu, amat berbahaya sekali. Cong To selalu
memperhatikan gerakan kaki lawan.
Begitu melihat orang melayang ke atas, cepat ia endapkan tubuh ke bawah. Dengan
gerak Menyingkap-awan-melihat-bulan, tangannya menyambar kaki lawan.
Kaki-buntung itu benar-benar hebat sekali. Melihat lawan siap menerkam kakinya, cepat
iapun menyurutkan kaki itu lalu ayunkan tongkatnya kearah kepala si pengemis.
Pengemis-saktipun tak kalah lihaynya. Ia telentang ke tanah kemudian kakinya
menekan lantai dan tangan kiri lepaskan pukulan.
Kaki-satu terperanjat. Dua buah gerak serangan dengan kaki kiri lalu tongkat, gagal
semua. Bahkan ketika belum orangnya melayang turun ke tanah, lawan sudah
membayangi dengan pukulan, ia terkejut sekali. Buru-buru ia gunakan ilmu Cian-kin-tui
(Tindihan seribu kati), untuk bertahan diri.
Tepat pada saat tongkatnya menyentuh lantai, si dara sudah kedengaran berseru,
“Sudahlah! Sudahlah! Ji-suheng, 10 jurus sudah berjalan. Apalagi yang hendak
diteruskan!”
Kaki-satu sebenarnya terus hendak menyerang lawan lagi. Tetapi demi mendengar
seruan dara itu, ia hentikan gerakannya dan berpaling, “Tetapi pertetapuran ini masih
belum selesai ….”
“Tak peduli kalian sudah selesai atau belum, aku hanya membatasi engkau sampai 10
jurus. Karena 10 jurus sudah habis, sudah tentu tak boleh dilanjutkan lagi!” habis berkata
dara itu alihkan pandang matanya kepada Siangkwan Ko.
Lelaki tinggi besar cepat mendahului si Kaki-satu yang hendak membantah. “Hm,
ucapan sumoay, seperti suhu sendiri. Apa lagi yang hendak engkau katakan!”
Kaki-satu memandang kepada suheng itu dan berseru dengan hormat, “Balk, siaute
menurut!” terus mundur ke samping.
Pengemis-saktipun tak mau mendesak. Ia mundur ke samping juga.
Setelah memandang sejenak ke arah Siangkwan Ko, dara itu berpaling ke arah si lelaki
tinggi besar. “Sudah lama aku tak pernah melihat toa-suheng bertetapur. Sekarang
silahkan mengajaknya – ia menunjuk ke arah Siangkwan Ko – bermain beberapa jurus,
agar mereka dapat menyaksikan ilmu kepandaian perguruan kita. Tetapi kalian hanya
kubatasi sampai 5 jurus saja!”
ooo000ooo
Dara baju ungu.
Setelah memperbaiki pakaian dan ikat kepala, lelaki tinggi besar itu segera maju
menghampiri Siangkwan Ko dan memberi hormat. “Ijinkan aku menemani Siangkwan
pohcu bermain barang beberapa jurus saja!”
Jago tua Siangkwan itu mengurut jenggot seraya mengangguk tertawa. “Baik, baiklah.
Memang aku si orang tua ini sudah lama mendengar tentang keistimewaan dari ilmu
kepandaian Lam-haybun. Bahwa hari ini aku dapat menambah pengalaman sungguh
menggembirakan sekali!” Kembali jago tua itu tertawa nyaring.
“Ah, Siangkwan pohcu termasyhur di seluruh dunia persilatan. Apalagi diantara ketiga
Marga itu, masing-masing mempunyai keistimewaan sendiri-sendiri. Akulah yang merasa
beruntung karena dapat menerima pelajaran dari Siangkwan pohcu.”
Siangkwan Ko tertawa meloroh, “Ho, ho, masakan aku berani menerima sanjungan
yang sedemikian hebat itu. Ilmu silat itu sukar diukur dalamnya. Aku si orang tua ini hanya
dapat mengetahui beberapa bagian sajalah!”
Berhenti sejenak, jago tua itu berkata pula, “Malah kalian dari Lam-hay-bun yang telah
mendirikan sebuah cabang persilatan tersendiri itulah yang patut mendapat pujian.
Siapakah orang persilatan yang tak kepingin menyaksikan ilmu kesaktian Lam-hay-bun
yang luar biasa itu? Pertemuan hari ini, benar-benar suatu kesempatan yang sukar
didapat. Harap jangan menyimpan ilmu yang berharga itu!”
Lelaki tinggi besar itu hendak berkata lagi tetapi tiba-tiba ia mendengar suara tanah
didebur dua kali. Ia tergetar dan berpaling. Kiranya yang mendebur tanah itu adalah
nenek berambut putih yang berdiri di belakang dara baju ungu. Nenek itu gunakan
tongkatnya untuk menghunjam tanah.
Lelaki tinggi besar itu menyadari bahwa si nenek berambut tak sabar lagi mendengar
percakapan itu berlarut-larut panjang. Rupanya ia jeri terhadap nenek itu. Cepat ia
melangkah maju ke muka Siangkwan Ko.
“Harap Siangkwan pohcu segera mulai, aku yang rendah menanti dengan hormat!”
serunya.
Ia tetap tegak berdiri. Sikapnya tenang sekali.
“Baiklah, tetapi seyogya engkau yang mulai lebih dulu!” seru Siangkwan Ko.
Melihat kedua orang itu saling mengalah, si dara baju lalu cepat menyelutuk, “Tidak,
tidak! Kaum persilatan menghormati kaum tua. Siang-kwan pohcu adalah tokoh angkatan
tua yang ternama dalam dunia persilatan, Sudah selayaknya kalau Siangkwan pohcu yang
mulai dulu!”
Siangkwan Ko melirik ke arah dara itu. Dilihatnya dara itu berkata dengan sungguhsungguh,
Maka ia terpaksa meluluskan “Kalau begitu, maafkanlah!”
Siangkwan melangkah dua tindak ke hadapan si lelaki tinggi besar. serunya, “Baiklah
kita menurut kata-kata nona itu, membatasi main-main ini dalam lima jurus saja. Entah
bagaimana maksud saudara mengenai cara bertanding ini?”
“Semua terserah kepada Siangkwan pohcu. Aku hanya menurut saja,” sahut si lelaki
tinggi besar.
Siangkwan Ko mendengus, “Menurut pendapatku, tiga jurus kita saling menguji
kepandaian tinju dan yang dua jurus dalam kepandaian tenaga-dalam. Bagaimana
pendapat saudara?”
Belum lelaki tinggi besar itu menyahut, si dara baju ungu sudah mendengus pelahan
dan berseru, “Usul lo-pohcu itu sungguh tepat sekali. Sudah tentu toa-suheng akan
menurut saja.”
Sejak Siangkwan Ko menatap lelaki tinggi besar itu, memberi hormat lalu berseru
lantang, “Harap menerima seranganku yang pertama!”
Ia menutup kata-katanya dengan sebuah gerak loncatan ke udara. Tangan kanan
menghantam dengan jurus Kapak-sakti-membelah-gunung, ke arah bahu kiri orang itu.
Siangkwan Ko telah membenam diri selama berpuluh tahun dalam ilmu silat, Namanya
telah menggetarkan dunia persilatan kaum Hitam maupun Putih. Sudah tentu
kepandaiannya hebat sekali. Apalagi saat itu ia menghadapi seorang lawan yang berat.
Maka ia tak berani memandang rendah. Pukulannya itu dilancarkan dengan tenaga ribuan
kati dahsyatnya.
Lelaki tinggi besar itu tak gugup, tenang-tenang saja ia mengendap tubuh lalu condong
ke samping dan menyongsongkan tangan kiri menangkis serangan itu.
Dua buah tenaga pukulan saling beradu. Yang satu meluncur dari atas, yang satu
menyongsong ke atas. Angin keras segera menderu-deru.
Baik Siangkwan Ko maupun lelaki tinggi besar itu agak tergetar hatinya. Mereka saling
bertukar pandang dan diam-diam saling memuji tenaga kepandaian lawan.
Tampak kedua tokoh itu berloncatan dua langkah. Begitu menginjak lantai, lelaki tinggi
besar itu maju seraya dorongkan kedua tangannya ke arah lambung lawan.
Melihat hebatnya serangan itu, Siangkwan Ko pun tak berani lengah. Ia salurkan
tenaga-dalam ke lengannya untuk menjaga dada, pinggang dan perut. Kemudian ia
lepaskan pukulan tangan kanan untuk menghantam pukulan orang.
Serangan yang kedua itu, dilakukan dengan lebih hati-hati Keduanya tak berani
memandang rendah lawan dan tak mempunyai anggapan kalau dirinya bakal menang.
Keduanya bergerak sarat dan mantap sehingga langkah kaki mereka menimbulkan bunyi
menderak-derak. Begitu pula sampai beberapa saat, mereka tetap saling menanti, tak
berani bergerak lebih dulu. Beberapa saat kemudian, tampak kedua orang itu saling loncat
ke samping.
“Toa-suheng engkau hanya tinggal mempunyai satu jurus lagi,” seru si dara baju ungu
dengan suara lembut.
Belum kata-kata dara itu selesai, di gelanggang sudah berlangsung pertempuran lagi.
Dua buah jari Siangkwan Ko menusuk ke arah dada lawan. Tetapi orang tinggi besar itu
tamparkan tangannya kiri ke atas untuk melindungi dadanya.
Walaupun sepintas pandang mereka bergerak dengan sederhana dan tak ada sesuatu
gerakan yang biasa, tetapi karena masing-masing memiliki ilmu kepandaian yang berbeda
maka setiap gerakan mereka tentu mengandung tenaga-sakti yang dahsyat. Benar hanya
tiga jurus, tetapi cukuplah sudah untuk membuat sekalian hadirin menahan napas.
Siangkwan Ko luput menutuk jalan darah dan si orang tinggi besarpun gagal untuk
menampar. Dengan demikian pertempuran itu tetap seri alias tiada yang kalah dan
menang.
“Siangkwan Ko benar-benar tak bernama kosong sebagai tokoh sakti dunia persilatan,”
si orang tinggi besar memuji.
Siangkwan Ko tertawa menyahut, “Ah, saudara benar seorang tokoh yang berilmu. Aku
siorang tua ini benar-benar mendapat pengalaman yang bermanfaat!”
“Setelah adu ketangkasan tangan dan kaki ini selesai, harap Siangkwan poh-cu suka
memberi pelajaran ilmu tenaga-dalam,” seru si tinggi besar itu.
Siangkwan Ko mengurut jenggot seraya mengangguk.
Kata orang tinggi besar itu pula, “Rasanya adu tenaga-dalam itu tidak seperti adu
ketangkasan kaki dan tangan. Dalam sebuah gerakan saja, dapat diketahui menang
kalahnya. Pada hematku, bagaimana kalau kita saling menguji dengan cara berdiri dan
duduk?”
“Boleh, boleh,” sahut Siangkwan Ko.
Sambil berseru mempersilahkan, orang tinggi besar itu segera mengempos semangat
dan siap menunggu serangan lawan.
Siangkwan Ko pun tak man berayal lagi. Kedua mata agak dipicingkan dan kedua
keningnya pun tampak menonjol. Dia tegak berdiri laksana sebuah batu karang.
Hampir sepeminum teh lamanya kedua tokoh itu saling mengerahkan tenaga-dalam
masing-masing. Pada lain saat keduanya mengangkat tangan masingmasing. Tubuh agak
condong kemuka dan wajah mereka tampak memerah.
Sekonyong-konyong meledaklah dua buah suara bentakan menggeledek. Dan keduanya
segera gerakkan tangan masing-masing. Gerakan itu teramat cepat sehingga tampaknya
mereka bergerak dengan berbareng.
Seketika terdengar deru angin yang dahsyat. Dan tubuh merekapun tampak
berguncang. Cepat mereka salurkan napas untuk menenangkan darah yang bergolak
keras. Setelah saling merasa tiada terdapat suatu gangguan pada peredaran darahnya,
barulah mereka menghela napas longgar.
Berkata Siangkwan Ko lebih dulu, “Masih ada satu jurus lagi. Sebaiknya kita jangan
mengandung rasa dendam dan sungkan. Keluarkan saja seluruh kebiasaan agar aku
benar-benar dapat menikmati ilmu-ilmu kepandaian Lam hay-bun yang luar biasa itu….” —
jago tua itu terus duduk di tanah.
Seorang tinggi besar tertawa dingin lalu duduk juga herhadapan dengan Siangkwan Ko.
Setelah beberapa saat menyalurkan napas, mereka saling memberi anggukan kepala.
Kira-kira sepeminum teh lamanya, tiba-tiba napas mereka menderu keras, rambut
meregang tegak. Sampai beberapa saat, mereka masih duduk mematung di tempat
masing-masing dan belum kelihatan bergerak.
Si dara baju ungu pun termangu melihat mereka. Beberapa saat kemudian, tampak ia
tersenyum. Dan beberapa jenak kemudian baru ia berpaling ke arah nenek berambut putih
yang berdiri di belakangnya, “Eh, mengapa mereka duduk seperti patung saja dan belum
ketahuan siapa yang menang dan kalah!”
Sebelum nenek berambut putih itu membuka mulut, si dara sudah berkata pula,
“Dikuatirkan tenaga-dalam mereka itu berimbang hingga sukar ada yang menang dan
kalah. Kurasa, baiklah Bwenio berusaha untuk melerai mereka!”
Nenek berambut putih itu kerutkan alis, memandang sejenak kepada si dara lalu
dengan nada yang segan tetapi tak berani membantah perintah segera berkata, “Mereka
mungkin selama ini belum pernah mendapat lawan yang seimbang. Lebih baik biarkan
mereka beradu sampai ada yang kalah dan menang.”
Tetapi dara baju ungu itu gelengkan kepala, “Aku tak sampai hati melihat mereka
sampai ada yang remuk bahu, putus kaki. Oleh karena itulah maka kubatasi jurus
pertempurannya.”
Sejenak memandang ke arah toa-suheng dan Siangkwan Ko, dara itu berkata lagi, “ Ih,
cukup lama mereka adu tenaga-dalam itu. Jika tak lekas dipisah, keduanya tentu samasama
terluka. Lekaslah pisahkan mereka!”
Perintah itu mengandung wibawa sekali sehingga si nenek berambut putih sambil
geleng-geleng kepala, terpaksa menghampiri ke tengah gelanggang.
Nenek Bwe berjalan beberapa langkah dan berhenti kira-kira satu setengah meter dari
kedua orang itu. Tangan kanan menggentak dan tongkatnya melambung, kemudian ia
cepat menyambar lagi ujung tangkai tongkat itu lalu tangannya dijungkirkan ke bawah
sehingga ujung tongkat melengkung ke bawah tepat menyambar ke arah kedua orang itu.
Kedua tokoh yang sedang beradu kesaktian tenaga-dalam itu, duduk membeku laksana
patung. Masing-masing tak berani pencarkan perhatiannya kelain sasaran. Pada saat ujung
tongkat nenek itu meluncur di tengah mereka, terdengar bunyi mendesis bagai gerumbul
pohon bambu tertiup angin. Desis getaran itu mengandung tenaga, yang hebat sehingga
debu bertebaran ke udara.
Setelah meluncurkan ujung tongkatnya, cepat nenek berambut putih itu menarik pulang
lagi. Tubuhnya agak berguncang dan berdiri lagi di samping dara baju ungu.
Dengan wajah agak cerah, dara itu menghibur sinenek dengan beberapa patah kata. Si
nenek hanya tertawa tak menyahut. Matanya memandang ke arah Siangkwan Ko dan
lelaki tinggi besar.
Tampak kedua tokoh itu berbangkit dan masing-masing loncat mundur 6 langkah,
berdiri tegak.
“Pertandingan itu juga tiada yang menang dan kalah,” seru si dara dengan nada
hambar.
Kemudian ia berpaling ke arah Ih Thian-heng, serunya, “Telah lama kudengar bahwa
engkau Sinciu-it-kun Ih Thian-heng itu mempunyai kedudukan yang amat tinggi dalam
dunia persilatan Tionggoan. Tentulah kepandaiannya bukan olah-olah hebatnya.
Sebenarnya ingin kumencobamu sendiri. Tetapi seumur hidup aku tak suka dirangsang
oleh rasa kegagahan diri untuk mengadu jiwa dengan engkau. Karena apakah artinya
perbuatan begitu?”
Ia berhenti sejenak. Setelah merenung beberapa saat, ia berkata pula, “Hanya
kukhawatir hatimu tak puas. Maka baiknya begini sajalah. Akan kuminta Bwe-nio supaya
menemani engkau tukar kepandaian barang beberapa jurus saja!” ia berpaling ke arah si
nenek, “Bwe-nio, temanilah tokoh nomor satu dari Tiong-goan Sin-ciu It-kun Ih Thianheng
itu, bermain beberapa jurus. Cukuplah tiga jurus saja!”
Nenek berambut putih itu menghela napas seraya bersungut, “Anak nakal, masakan
akupun hendak engkau permainkan!”
Dara itu tersenyum, “Ah, mana aku hendak menggolokmu? Bukankah ayah sering
mengatakan bahwa dia tak pernah bertempur dengan orang sampai lebih dari tiga jurus?”
Nenek Bwe tertawa hambar, “Ih, jangan ayahmu dijadikan ukuran. Di dunia ini berapa
orangkah yang dapat menandinginya?”
Walaupun rambutnya putih tetapi wajah nenek itu berseri bersih, masih tampak segar
dan tiada keriput sama sekali. Pada saat tertawa, masih tampak baris giginya yang putih
rapih. Wajah dengan rambut putih itu memiliki ciri-ciri tersendiri yang sedap.
Ih Thian-heng melangkah maju dan memberi hormat, “Kepandaian nyonya tentu jauh
lebih tinggi dari diriku. Walaupun tiga jurus itu terlalu singkat untuk menyudahi suatu
pertandingan namun sekurang-kurangnya dapat memberi penilaian tentang tinggi
rendahnya kepandaian.”
Wajah nenek itu mengerut serius. Sikapnya kembali dingin seperti semula. Sambil
mencekal tongkat bambu ia melangkah maju petahan-lahan.
“Walaupun mempunyai Batas tiga jurus tetapi tiada larangan untuk menggunakan
tangan atau senjata. Silahkan engkau mencabut senjatamu!” serunya dengan jelas. Ia
menghendaki suatu pertandingan dengan memakai senjata.
Ih Thian-heng yang berwajah ramah, pun saat itu hanya tersenyum, sahutnya,
“Silahkan nyonya memakai apa saja, aku tetap hendak menggunakan kedua tangan
kosong untuk menerima tiga jurus seranganmu “
“Ucapan yang congkak!” nenek itu tertawa dingin dan serentak gerakkan tongkat untuk
menutuk. Tampaknya serangan itu biasa sekali, dada suatu gerakan yang mengejutkan
serta tenaga yang keras, Sekalipun anak berumur tiga tahun saja, tentu dapat
menghindar.
Tetapi wajah Ih Thian-heng tampak serius sekali. Dipandangnya serangan tongkat itu
dengan penuh perhatian lalu ia mengangkat kaki kanan dan melangkah setindak ke
samping.
“Satu jurus!” tiba-tiba dara itu melengking.
Si nenek tertawa tawar. Setelah menarik pulang tongkatnya lalu ia membuat gerakan
menyapu. Juga gerakan itu tampak lamban sekali. Sama sekali tak tampak sesuatu yang
mengejutkan. Hanya yang berlainan adalah tongkat itu tampak agak bergetaran seperti
digerakkan oleh tangan yang lemah.
Tampak ubun-ubun kepala Ih Thian-heng mengepul uap keringat. Dua buah jari kiri,
dijulurkan miring ke arah tongkat. Bahunyapun bergetar bagai orang yang sedang
memanggul beban maha berat. Kemudian dengan pelahan ia mundur menghindar dari
serangan tongkat.
“Hm tinggal satu jurus lagi,” seru si dara.
Si nenek menarik pulang tongkat, menarik napas agak terengah-engah lalu menatap Ih
Thian-heng.
“Pada jurus yang terakhir aku hendak menguji ilmu silatmu….!”
Jilid 17 : Ilmu silat Lam Hay Bun
Ujian
“Silahkan nyonya mulai!” sahut Ih Thian-heng.
Setelah menggeram pelahan, nenek Bwe berseru, “Awas, hati-hatilah!”
Pelahan saja ia menghunjamkan tongkatnya dan ujung tongkat itu menyusup beberapa
dim ke dalam lantai. Dan kemudian orangnyapun sudah melesat maju.
Gerakan nenek itu jauh berlainan dengan yang tadi. Terjangannya luar biasa cepat dan
gesit. Seluruh mata hadirin menumpah pada kedua tokoh itu. Hanya dalam berapa kejab
mata saja, keduanya serang menyerang dalam satu jurus dan pada lain kejab mereka
sudah sama lompat mundur lagi.
Pertempuran yang luar biasa cepatnya itu hampir tak danat diikuti oleh Pandang mata
sekalian yang terada di tempat itu.
Ih Thian-heng mengangkat kedua tangannya memberi selamat seraya tertawa. “Ah,
ilmusilat Lam-hay-bun benar-benar luar biasa!”
Nenek Bwe mencabut tongkatnya yang tertancap di lantai seraya menggerutu, “Sayang
pertandingan malam ini tak boleh dilanjutkan.”
Kalau Ih Thian-heng diam saja adalah Pengemis-sakti Cong To yang penasaran
mendengar ucapan si nenek yang begitu angkuh.
“Itu kan mudah saja! Kalau memang hendak diselesaikan, boleh dilanjutkan!” serunya
menantang.
Nenek Bwe kerutkan sepasang alis. Tetapi sebelum ia sempat membuka mulut, si dara
baju ungu sudah mendahului, “Hai, pengemis tua, Apakah engkau belum puas?”
“Hm, seumur hidup pengemis tua ini tak pernah tunduk kepada siapa pun juga!” sahut
Cong To.
Dara itu melangkah pelahan-lahan, serunya seraya mengulum senyum, “Jika belum
terima, marilah kita main-main beberapa jurus!”
Pengemis tua itu tertegun, katanya sesaat ke-mudian, “Pengemis tua ini sudah hampir
masuk liang kubur, bagaimana disuruh berkelahi dengan seorarg anak perempuan? Kalau
menang, tetap akan ditertawai orang. Lebih baik suruh salah seorang dan kedua
suhengmu itu nanti melayani pengemis tua!”
Sahut si dara baju ungu. “Tumpukan jerami dan rumput setinggi gunung, tetap tak
mampu menindih mati seekor tikus. Apakah yang hendak engkau banggakan dengan
umurnya yang tua itu?”
Pengemis sakti Cong To marah sekali. Cepat ia loncat keluar dan membentaknya,
“Pengemis tua akan mengalah 3 pukulan dulu, baru nanti kita berhantam lagi!”
Tepat pada saat pengemis sakti itu loncat, lelaki tinggi besar dan nenek Bwepun
serempak loncat ke samping si dara. Tetapi data itu membentaknya, “Huh, siapakah yang
suruh engkau kemari!”
Lelaki tinggi besar itu gugup, “Tetapi mana boleh sumoay sembarangan bertempur
dengan orang. Apabila terjadi sesuatu….”
“Huh, sedang ayahpun tak dapat mengurus diriku, masakan engkau hendak mengatur
aku?” tukas dara itu.
“Ini…..” belum si tinggi besar selesai mengucap, dara itu sudah mengerat, “Apa ini itu!
Apakah kepandaianku tak sehebat engkau!”
Lelaki tinggi itu memandang ke arah Nenek Bwe lalu menyurut mundur pelahan-lahan.
Kemudian si dara berpaling kepada Nenek Bwe, “Bwe-nio yang baik, kuminta engkau
jangan mengurus diriku!”
Nenek Bwe menghela napas pelahan, “Nak, bertempur adu pukulan itu, setiap saat
diintai maut, jangan dianggap seperti permainan kanak-kanak….”
Kata si dara, “Bukankah engkau pernah berkata kepadaku, bahwa dalam hal apa saja.
engkau mau menurut aku, bukan?
Bwe-nio tertegun lalu mundur tiga langkah.
Setelah dapat mengundurkan kedua orang itu, si dara menghampiri Cong To, ujarnya,
“Engkau suruh aku memukulmu tiga kali lebih itu, apakah sungguh-sungguh keluar dari
hatimu yang ikhlas?”
Sambil memandang ke puncak wuwungan, pengemis itu menyahut tawar, “Selama
hidup pengemis tua selalu tak pernah menarik ucapannya!”
Dara itu tersenyum, “Kalau kupukul, apakah engkau akan menghindar?”
“Pengemis tua ini sudah berpuluh-puluh tahun umurnya, masakan sudi adu mulut
dengan engkau. Lekas mulailah!”
Dara itu menyeringai, “Siapa akan sudi bergurau dengan engkau? Baik, hendak
kutampar pipimu tiga kali!”
“Apa?” pengemis Cong To terbeliak.
“Baumu busuk bukan main. Kalau kupukul tentu membikin kotor tanganku. Hanya
bagian mukamu yang agak bersih itu. Kalau memang engkau mau mengalah, apa bedanya
tiga pukulan dengan tiga tamparan itu?”
Cong To merenung diam. Akhirnya terpaksa ia menjawab, “Baiklah, pokoknya asal
pengemis mengalah sampai tiga kali saja!”
Pelahan-lahan sekali dara itu ulurkan tangannya. Rupanya ia sengaja memaksa
perhatian orang untuk ikut memperhatikan, berapa kalikah ia nanti akan menampar si
pengemis tua itu.
Cong To batuk-batuk pelahan. Tetapi jelas bahwa kepalanya telah bersimbah peluh
yang bercucuran menetes ke bawah. Ia tetap menengadah memandang ke puncak
wuwungan rumah. Wajahnya menampilkan kemurungan yang hebat.
Dia adalah seorang tokoh ternama yang amat diindahkan kaum persilatan. Dalam
kedudukan setinggi itulah ia harus membiarkan dirinya ditampar oleh seorang dara di
bawah kesaksian berapa tokoh ternama. Karena tak dapat menarik pulang ucapannya,
terpaksa ia menunggu dengan tenang.
“Plak!” tiba-tiba tangan dara itu berayun ke pipi Cong To. Pengemis tua itu sedikit pun
tak berguncang. Kebalikannya, si dara kerutkan sepasang alisnya, menunduk memandang
tangan kanannya lalu diangkatnya pelahan-lahan lagi.
Menurut perhitungan Cong To, meskipun tamparan dara itu tak mungkin membuatnya
rubuh terluka berat, tetapi juga tak boleh dipandang ringan. Maka diam-diam ia kerahkan
tenaga-dalam untuk berjaga-jaga.
Cong To adalah seorang tokoh utama. Sekali mengatakan akan mengalah untuk tiga
jurus, tetap ia akan melaksanakannya.
Tetapi sungguh di luar dugaannya sama sekali bahwa tamparan dara itu sama sekali
tak terasa sakit. Diam-diam ia malah curiga.
Berpaling ke samping, dilihatnya dara itu pelahan-lahan mulai mengangkat tangan lagi
untuk menampar. Diam-diam tergetarlah hati Cong To, keringat pun membasahi tubuhnya
lagi.
Pada saat dara itu hendak ayunkan tangannya, tiba-tiba ia melihat kerut wajah si
pengemis yang menderita. Buru-buru ia menarik pulang tangannya. Kemudian tangan
kanan dan kiri susul menyusul ditamparkan ke udara kosong, serunya, “Selesai! Sekarang
engkau harus memukul aku!” katanya seraya mundur tiga langkah.
Perangai dara itu memang aneh dan sukar diduga. Setempo bengis dan
mempermainkan orang. Tetapi setempo tiba-tiba berobah baik dan ramah.
Karena disaksikan oleh beberapa tokoh persilatan, Cong To menerima tamparan dari si
dara, ia amat murka. Ia berpaling dan berseru, “Engkau sendirilah yang tak memenuhi tiga
kali pukulan itu. Sekarang jangan persalahkan pengemis tua!”
“Ih, aku kan sudah memukul tiga kali penuh! Sekarang akupun hendak membiarkan
engkau menampar mukaku sampai tiga kali. Asal engkau hanya memukul satu kali, berarti
engkau kalah!”
Sahut Cong To dengan dingin, “Pengemis tua selamanya tak kenal kasihan terhadap
wanita. Aku tak percaya kalau tak dapat memukulmu sampai selesai!”
Dara itu menyeringai tawa, “Jika engkau tak dapat melanjutkan, kelak jika ketemu aku,
engkau harus menurut perintahku!”
“Jika sampai binasa, engkau sendirilah yang mencari penyakit itu. Jangan salahkan si
pengemis tua ini seorang ganas!”
Tiba-tiba dara itu jungkatkan sepasang alisnya.
Wajahnya yang segar berseri laksana bunga mekar itu, tiba-tiba mengerut rawan,
sedih. Dan entah bagaimana, suasana dalam ruang itu seolah-olah ikut tercekam kabut
kesedihan. Seketika sekalian orang yang berada di situ merasa bahwa dunia ini penuh
dengan kedukaan, kesedihan dan kehampaan….
Pada saat itu Pengemis-sakti Cong To sudah mengangkat tangannya, siap
dihunjamkan. Tetapi ketika pandang matanya beradu dengan sinar mata si dara, seketika
hatinya berguncang. Tangannya lemas lunglai dan tanpa disadari, tangannya itupun
diturunkan kembali.
Susana dalam ruang itu hening lelap. Keenam bocah berpakaian putih yang bersenjata
pedang itu pun turunkan senjatanya masing-masing. Wajah mereka tampak berduka,
mata berlinang-linang.
Tiba-tiba terdengar suara isak pelahan, makin lama makin terdengar jelas. Dalam
keadaan seperti suasana saat itu, suara isak tangis makin menghancurkan sanubari orang.
Setiap orang sukar untuk menahan turunnya air mata.
Yang pertama-tama adalah keenam bocah baju putih tadi. Airmata mereka membanjir
membasahi kedua belah pipi.
Mendengar suara isak tangis, Pengemis-sakti Cong To segera berpaling. Tampak si dara
baju ungu tengah memandang kepadanya dengan mata berkaca-kaca. Ketika beradu
pandang, Cong To merasakan hatinya seperti dihunjam benda keras. Hawa penasaran,
meluap ke atas dada. Matanya terasa panas, airmata hampir meluncur keluar.
Tetapi dia adalah seorang tokoh yang sudah mencapai tataran tinggi dalam ilmu
lwekang. Cepat-cepat ia dapat menyadari sesuatu yang tak wajar. Buru-buru ia palingkan
muka dan menekan airmatanya yang hendak turun itu. Kemudian menghela napas
panjang dan terus melangkah ke luar ruangan.
Karena keenam bocah baju putih itu sedang dirundung kesedihan maka mereka
membiarkan saja pengemis tua itu keluar.
Tepat pada saat Cong To hendak melangkah ke luar pintu, tiba-tiba dara baju ungu itu
melengking, “Tunggu! Apakah engkau hendak melarikan diri?”
Cong To tertegun dan berpaling. Dilihatnya dara baju ungu itu sudah kembali bersikap
seperti sediakala. Seketika pulihlah kesadaran Cong To. Sekalian orangpun sama
menghela napas. Mereka seperti tersadar dari mimpi yang sedih.
“Apakah engkau hendak ingkar janji?” seru si dara.
Cong To melangkah masuk ke dalam ruangan lagi, sahutnya, “Tak mungkin pengemis
tua akan ingkar!”
“Tadi sudah kukatakan, jika engkau mampu memukul aku satu kali saja, engkau
menang. Bukankah aku pernah mengatakan begitu?” tanya si dara.
“Ya,” Pengemis-sakti Cong To mengiakan.
“Jika engkau tak mampu memukul, sudah tentu engkaulah yang kalah!”
“Benar!”
“Kukatakan apabila engkau kalah, kelak apabila bertemu aku lagi, engkau harus
menurut perintahku. Benar atau tidak?”
Pengemis-sakti Cong To mengangkat kepala memandang wuwungan rumah, sahutnya,
“Hal itu pengemis tua belum pernah menyetujui!”
Dara itu tersenyum, “Engkau tak setuju tetapi tidak menentang. Benar atau tidak?”
Pengemis-sakti Cong To mendengus tetapi tak menyahut.
“Nama Pengemis-sakti Cong To, termasyhur sekali dalam dunia persilatan. Apa yang
sudah diluluskan, kemudian merasa menyesal dan tak mengakui. Jika hal ini tersiar keluar,
bukankah akan merugikan namamu?” seru si dara pula.
Cong To menghela napas, serunya, “Bilanglah, apa maksudmu?”
Si dara tersenyum, “Kalau engkau tak mau menurut, bukankah sia2 saja aku
mengatakan?”
“Bilanglah,” seru Cong To penasaran, “pengemis tua tak menarik kembali ucapannya.
Kalau memang pernah meluluskan, tentu akan melaksanakannya!”
“Sesungguhnya bukan hal yang sukar. Asal kelak kalau berjumpa lagi engkau mau
menurut perintahku, itulah sudah cukup!”
“Huh, orang apakah pengemis tua ini? Masa sudi menerima perintahmu?” Cong To
berkata murka.
Tiba-tiba wajah data itu berobah serius. “Engkau kalah bertaruh, siapa yang hendak
engkau persalahkan? Jika pada saat itu engkau memukul aku sampai mati, bukankah aku
mengantar jiwa dengan sia-sia?”
Diam-diam pengemis itu mengakui. Memang benar dia tak melanjutkan memukul. Jadi
bukan salah si dara itu.
“Jangan kuatir berhubungan dengan aku, tak nanti engkau menderita kerugian!” seru si
dara.
“Masakan pengemis tua ini hendak meminta kemurahan dari engkau!” seru Cong To.
Melihat ucapan pengemis itu tak sekeras yang tadi, si dara tertawa hambar. “Begini
sajalah. Jika engkau mau mengerjakan sesuatu untukku, setelah selesai, akupun bersedia
melakukan sesuatu menurut yang engkau kehendaki. Cara begitu, tentu takkan merugikan
engkau, bukan?”
Cong To seorang tokoh yang keras perangainya. Karena merasa kalah bertaruh,
sekalipun belum pernah berjanji tetapi menurut kepantasan, ia harus bersedia melakukan
perintah dara itu. Tetapi dara itu pun tak mau terlalu menghilangkan mukanya dan sedia
juga melakukan perintahnya juga.
“Ah, jika kutolak, tentu orang akan mencap aku sebagai tokoh yang mau menang
sendiri!” diam-diam Cong To menimang.
Setelah mengambil keputusan, ia menghela napas, ujarnya, “Sekalipun belum berjanji,
tetapi karena sudah kalah bertaruh, maka baiklah kita atur begini saja. Lima tahun sebagai
batas waktu. Selama dalam 5 tahun itu kalau engkau berjumpa dengan pengemis tun ini,
aku tentu akan mengerjakan sebuah perintahmu!”
“Kalau kusuruh engkau mati, apakah engkau juga mau?” si dara tersenyum.
Wajah Pengemis-sakti Cong To mengerut serius, “Apa yang pengemis tua telah
menyanggupi, adalah ibarat kuda lepas dari kendali. Soal mati hidup, tak kuhiraukan.
Hanya sayang dunia begini luas, dikuatirkan dalam waktu 5 tahun engkau tak sempat
ketemu dengan pengemis tua lagi!”
Si dara tertawa, “Soal yang akan datang siapakah yang dapat meramalkan. Kalau
memang benar tak dapat bertemu dengan engkau, itu berarti aku menaruh bertaruh
secara sia-sia.”
Kemudian Cong To menyatakan hendak tinggalkan tempat itu. Sebelumnya ia
menanyakan kalau dara itu masih hendak mempunyai sesuatu keperluan lagi dengannya.
Tetapi rupanya dara itu tak menghiraukan pengemis itu karena sudah berpaling
menatap Ih Thian-heng dengan dingin, “Engkau memiliki gelar sebagai Ksatrya-utama-Sin
ciu. Kabarnya kaum persilatan golongan Putih maupun Hitam daerah Tionggoan, semua
menghormat kepadamu. Itu memang bukan salahmu tetapi salah mereka yang punya
mata tetapi tak bisa melihat sehingga tak dapat membedakan yang baik dengan yang
jahat!”
Ih Thian-heng tertawa menyeringai, “Batas antara Kejahatan dan Kebaikan itu sukar
ditafsirkan dengan sepatah dua patah perkataan. Ah, soal yang nona kemukakan itu
terlalu berat!”
“Kalau begitu, kuganti saja dengan acara yang kecil. Di antara kalian bertiga, kecuali
Pengemis tua Cong To, siapakah yang paling sakti kepandaiannya?” seru si dara.
Siangkwan Ko amat berterima kasih kepada Ih Thian-heng yang telah menolong
puterinya. Maka sebelum tuan rumah membuka mulut, cepat ia menyelutuk, “Dalam soal
kewibawaan nama dan kepandaian silat, sudah tentu saudara Ih lebih tinggi dari diriku!”
Demi untuk menyatakan rasa terima kasihnya, ia rela mengakui kepandaiannya lebih
rendah. Habis berkata, jago tua itu tundukkan kepala. Sikapnya agak berduka.
Ih Thian-heng mengurut janggotnya pelahan-lahan dan tertawa, “Jika membicarakan
soal tokoh sakti dalam dunia persilatan Tiong-goan, sungguh tiada habis-habisnya. Setiap
angkatan tentu melahirkan orang-orang yang cemerlang. Tetapi pada umumnya orang
yang berilmu sakti itu tentu angkuh dan aneh perangainya. Kebanyakan mereka
mengasingkan diri tak mau berkeliaran di dunia persilatan! Kami bertiga ini, walaupun
mempunyai nama di dunia persilatan, tetapi belumlah memadai apabila disebut sebagai
tokoh cemerlang dunia persilatan!”
Dara baju ungu tersenyum, “Benar, memang dalam dunia persilatan Tiong-goan
dewasa ini, kecuali beberapa partai persilatan golongan Ceng-pay, masih terdapat Itkiong,
Ji-koh dan ketiga Marga. Karena It-kiong itu termasuk dalam urutan pertama,
tentulah para imam yang mengepalai It-kiong itu memiliki kepandaian yang hebat!”
Ih Thian-heng gelengkan kepala, “It-kiong, Ji-koh dan Sam-poh, sama-sama sejajar
namanya. Masing-masing mempunyai keistimewaan sendiri-sendiri. Ada yang dahsyat
ilmusilatnya, ada yang mengandalkan ilmu Racun, ada yang termasyhur kepandaiannya
merancang dan ada pula yang mahir dalam ilmu barisan. Belum terhitung tokoh-sakti yang
tak sering muncul. Merekapun memiliki kepandaian tersendiri. Tetapi kesemuanya itu
belumlah dapat digolongkan sebagai tokoh yang paling menonjol sendiri. Tentang diriku
dan saudara Cong, sekalipun mempunyai nama yang tak berarti tetapi hanya beginilah,
tiada mempunyai pangkalan perguruan suatu apa…..”
Cong To tertawa dingin, “Akh… Jangan sungkan dan merendah diri. Memang kalau
pengemis tua bergelandangan kemana-mana seperti kelinci liar itu, suatu kenyataan.
Tetapi kalau saudara Ih, mana dapat dipersamakan dengan pengemis tua?”
Ih Thian-heng tetap ganda tertawa, “Ah, hanya desus desus yang tak nyata, mengapa
saudara Cong mau percaya!”
ooo000ooo
Dendam dan Asmara.
Pada saat si dara hendak membuka mulut, Ih Thian-heng sudah mendahului, “Jika
berbicara tentang tokoh sakti yang tinggi ilmunya, kiranya paderi Hui Gong dari gereja
Siau-lim-si itu dapat dikemukakan. Di seluruh jagad, sukar mencari orang yang mampu
menandinginya….”
Sekonyong-konyong nenek Bwe gentakkan tongkatnya ke lantai pe-lahan2. “Entah
sampai dimanakah tingginya kepandaian paderi itu? Apakah aku dapat berhadapan
dengannya?”
“Ilmu silat sukar diukur tingginya. Sampai, mencapai batas yang bagaimana tingginya,
sukar dikatakan,” seru Ih Thian-heng.
“Kalau ada yang digolongkan ilmu silat golongan Ceng-pay, tentulah ada ilmu silat yang
termasuk Pian-kek (ganas)……” seru si dara.
“Nona pintar sekali. Jika mempunyai kepandaian meramal sesuatu yang belum
terjadi….” baru Ih Thian-heng berkata sampai di situ, si dara sudah berseru, “Tak perlu
jual pameran kosong, lekas lanjutkan keteranganmu!”
Ih Thian-heng benar-benar seorang yang penuh toleransi. Siapapun yang
merangsangnya dengan ucapan maupun sikap menantang, dia selalu dapat menghadapi
dengan sabar. Sedikit pun tak mengunjuk perubahan air muka, tetap tertawa-tawa.
Sambil mengurut jenggot, ia melanjutkan, “Pada umumnya orang mengambil jalan
samping sehingga sukar berhasil. Tetapi sesungguhnya di dunia persilatan Tiong-goan
dewasa ini terdapat seorang yang mengkhususkan diri dalam ilm usilat aliran Pian-kek dan
telah berhasil. Dia adalah seorang wanita …….”
Belum habis Ih Thian-heng berkata, Siangkwan Wan-ceng cepat menyelutuk, “Apakah
yang engkau maksudkan itu suhuku?”
“Benar, memang suhu nona Hen-thian It-ki!” sahut Ih Thian-heng.
Dara baju ungu itu kerutkan alis dan berkata, “Jika orang mampu mengalahkan Hui
Gong taysu dan Hen-thian It-ki, barulah orang itu dapat dianggap sebagai tokoh nomor
satu di dunia?”
Sambut Ih Thian-heng, “Hui Gong taysu dan Hen-thian It-ki, memang dapat dianggap
sebagai tokoh luar biasa yang jarang terdapat dalam dunia persilatan sejak ratusan tahun
ini. Keduaya mempunyai keistimewaan sendiri-sendiri, dua datuk golongan Ceng-pay dan
Sia-pay!”
Seru si dara baju ungu, “Kalau begitu, kalian beberapa orang ini hanya tergolong
orang-orang persilatan yang tak berarti?”
Sahut Ih Thian-heng, “Pada umumnya kaum persilatan Tiong-goan mengangkat nama
karena memiliki kepandaian bersilat dengan tangan kosong, menggunakan senjata dan
ilmu meringankan tubuh. Sekalipun tergolong pada aliran Pian-kek, paling2 orang hanya
memiliki kelebihan dalam gerakan tubuh dan kegesitan. Yang benar-benar tergolong ajaib
semisal ilmu Meraga-sukma dan lain-lain, selama ini belum pernah kudengar di Tiong-goan
terdapat tokoh yang mahir ilmu itu.”
Siangkwan Ko menyambuti, “Saudara Ih memang benar. Dalam pertandingan adu
kesaktian, hanya adu pukulan dan adu tenaga yang diutamakan untuk merebut
kemenangan. Ilmu sihir yang tergolong aliran Sia-pay (Hitam), sekalipun menang tetapi
tak dapat digolongkan sebagai ilmu silat.”
Dara baju ungu itu amat cerdas. Sudah tentu ia dapat menangkap tujuan kata-kata
kedua orang itu. Dengan tertawa tawar ia berseru, “Benarkah kalian menganggap caraku
memenangkan pengemis Cong To tadi sebagai ilmu sihir Aliran hitam, bukankah begitu?”
“Ah, pengalamanku sempit,” kata Ih Thian-heng.
“Apa yang nona gunakan tadi benar-benar aku tak mengerti. Hanya para orang yang
hadir di ruangan ini menganggap bahwa ilmu nona tadi hampir mirip dengan ilmu sihir Ihhun-
tay-hwat (ilmu memindah nyawa) yang pernah terdengar dalam cerita.”
Dara baju ungu itu tertawa melengking, “Walaupun memang banyak kemiripan antara
Ih hun-tay-hwat dengan ilmu yang kugunakan tadi. Tetapi ilmuku itu sama sekali bukan
Ih-hun-tay-hwat. Menilik engkau berpengalaman luas, tentulah sedikit2 dapat mengetahui
Jenis alirannya.”
“Ah, nona keliwat memuji,” seru Ih Thian-heng.
Tiba-tiba wajah dara itu mengerut serius, ujarnya, “Kalian selalu mengatakan bahwa
aku telah gunakan ilmu sihir dan tidak tergolong ilmusilat. Apakah kalian berniat hendak
adu kepandaian silat dengan aku?”
Diam-diam Siangkwan Ko menimang. Menilik umur dara itu lebih muda dari anaknya
(Siang-kwan Wan-ceng) sekalipun luar biasa cerdas dan taruh kata begitu lahir sudah
berlatih silat, pun hanya selama 17 tahun belajar silat. Betapapun cerdas dan berbakatnya,
tentu tak dapat mengalahkan dia dalam tiga jurus. Dan jika menilik kepandaian kedua
suhengnya tadi, kiranya kepandaian dara itu tentu takkan jauh terpautnya.
“Jika ingin mengadu ilmu pukulan, akulah yang pertama ingin menerima pelajaran
nona, “serunya sesaat kemudian.
Dara baju ungu itu tertawa dingin, “Apakah engkau yakin ilmu silatmu lebih tinggi dari
Sin-ciu-it-kun Ih Thian-heng?”
Siangkwan Ko tertegun, serunya, “Ini….”
“Jangan ini itu!” tukas si dara, “jika engkau merasa tak dapat melebihi Ih Thian-heng,
lebih baik engkau undurkan diri saja agar jangan membuang waktuku!”
Karena merasa berterima kasih atas pertolongan Ih Thian-heng kepada puterinya,
maka relalah jago tua Siangkwan itu mengalah. Ia diam saja.
Ih Thian-heng tersenyum, serunya Jika nona tetap menghendaki memberi pelajaran
kepadaku, terpaksa aku akan menurut. Tetapi apakah harus bertempur sampai ada yang
kalah dan menang atau hanya sekedar beberapa jurus saja?”
“Sudah tentu sampai ada yang kalah dan menang.
Ih Thian-heng terkesiap. Ia tak duga kalau nona itu menghendaki cara lain dari yang
tadi.
Memandang ke muka, dilihatnya wajah nona itu bersemu merah, sepasang alisnya yang
melengkung bagai dalam lukisan. Setitik pun tak mengunjuk tanda-tanda bahwa nona itu
memiliki ilmu tenaga-sakti. Diam-diam Ih Thian-heng curiga apakah nona itu telah
mencapai tataran ilmu tenaga-dalam yang sedemikian rupa sehingga dapat
menyembunyikan ciri-ciri seorang yang memiliki tenaga-dalam tinggi?
Dia adalah seorang yang selalu bersikap hati-hati sekali. Jika merasa tak sanggup
menang, tentu tak mau sembarangan turun tangan. Setelah merenung sekian lama, ia
tertawa, “Baik, silahkan nona mulai!”
Tiba-tiba nona itu berseru dengan wajah tak senang, “Kalau aku sungguh-sungguh
bertempur dengan engkau, bukankah akan mengotorkan tanganku?”
Kembali Ih Thian-heng terkesiap, serunya, “Kalau tidak dengan adu pukulan lalu
dengan cara bagaimana?”
Dara itu kicupkan biji matanya sejenak lalu tertawa mengikik, “Mundurlah dua langkah!”
Walaupun heran tetapi Ih Thian-heng menurut.
“Sekarang hati-hatilah. Aku hendak melancarkan jurus Bintang-mengejar-bulan.
Melangkah maju dan gunakan dua buah jari kananku untuk menutuk jalan darah di
dadamu!” seru si dara.
Ih Thian-heng terdiam sejenak lalu tertawa, “ Oh, apakah nona hendak mengadu
kepandaian secara lisan?”
“Engkau akan menghindar atau akan menangkis? Jariku sudah hampir mengenai jalan
darahmu!” tanpa menghiraukan si dara tetap berseru.
Terpaksa Ih Thian-heng menyahut, “Akan kugunakan jurus Merentang-busurmemanah-
alap2. Setelah menghindarkan jalandarah yang hendak engkau tutuk itu, tangan
kiriku balas memukul dada. Kemudian tangan kananku menyambar pergelangan tangan
nona!”
Seru si dara, “Kugunakan gerak-langkah Berbalik-menginjak-tujuh-bintang untuk
menghindari:alik-ruenginjak-tujuh-bintang untuk menghindari tangan kirimu dan dengan
cepat kuturunkan kedua jariku menutuk jalandarah di perutmu. Tangan kiriku menampar
jalandarah pada bahumu! “
Ih Thian-heng tertawa, “Jurus kuganti dengan Bulan-berkisar-bunga-membayang!”
“Kugunakan jurus Kuda-melintas-pesat, sekaligus kuserang dua buah jalandarah pada
perut dan dadamu!” seru si dara.
Sejenak merenung Ih Thian-heng bertanya, “Apakah nona tak terlambat?”
Sahut si dara, “Jurus Awan-menutup-lima-gunung yang engkau hendak tutukkan ke
kepalaku itu memakai tangan kiri atau tanganmu yang kanan?”
Kembali Ih Thian-heng merenung. Sejenak kemudian baru ia menjawab, “Kugunakan
tangan kanan.”
“Itu benar,” seru si dara, “jalandarah Thian-coan merupakan uratnadi saluran jantung.
Dengan jurus Kuda-melintas-pesat, tangan kiriku dari bawah menyerang ke atas. Jika
engkau tak menyurut tentu jalandarahmu itu dapat kulukai dulu. Jika tangan kananmu
terluka, apakah dapat digunakan?”
“Benar,” sahut Ih Thian-heng, “tangan kiri dengan jurus Kuda-besi-muncul-keluar,
menyerang samping punggungmu. Cobalah saja, siapa yang lebih dulu terluka.”
“Tangan kananku sudah menutuk ke arah jalandarah Hian-ki dan lenganmu yang kanan
sudah terluka. Meskipun tanganmu kiri dapat memukul punggungku tetapi engkau tak
mampu menolong lengan kananmu yang kututuk jalandarahnya itu!”
Kata Ih Thian-heng, “Jika kugunakan jurus Menyiak-awan-mengambil-bulan, kedua
tanganku kujulurkan ke muka untuk menyiak kedua tanganmu, apakah gerakan itu tak
dapat melukaimu?”
Si dara menjawab, “Bertempur dengan musuh, siapa yang menyerang lebih dulu tentu
dapat menguasai kesempatan. Jurus Menyiak-awan-mengambil-bulan walaupun agak
terlambat, tetapi tetap dapat dipergunakan untuk merebut kemenangan dalam kekalahan.
Dan jika pada saat itu aku segera menggunakan gerak Jembatan-gunung, menengadah
dan menekuk tubuh sampai menyentuh tanah, untuk menghindari seranganmu Menyiakawan-
mengambil-bulan.”
Ih Thian-heng tertawa, “Saat itu nona sudah kehilangan kesempatan. Seluruh
jalandarah tubuh nona berada dalam ancaman jariku. Mungkin tokoh sakti yang manapun,
sukar menghindarkan diri.”
“Belum tentu,” si dara menyelutuk, “dengan meminjam tenaga pada saat punggungku
melekat di tanah, kuayunkan kedua kakiku untuk menendang jalandarah Yang-kwan pada
betis kananmu dan mendupak jalandarah Te-ki pada betismu kiri, engkau akan
menghindar atau tidak?”
Ih Thian-heng tertegun, serunya, “Nona cerdik luar biasa dan dapat berpikir dengan
tangkas. Memang gerakanmu itu tepat sekali. Tetapi dengan jurus apakah engkau
gerakkan kakimu itu?”
Si dara tersenyum, “Tendangan kakiku yang kiri menggunakan jurus Ksatrya-saktimelempar-
pena. Dan gerakan kaki yang kanan dengan jurus Pengemis-menggebukanjing.”
“Jurus Ksatrya-sakti-melempar-pena itu, masih diterima,” kata Ih Thian-heng, “tetapi
nama jurus Pengemis-menggebuk-anjing itu, mengingatkan aku akan sebuah jurus yang
mirip dengan jurus Pengemis-menggebuk-anjing itu!”
“Jurusmu itu mungkin jurus Dewi rase-menghadap-dewa.”
“Gerakan, diciptakan oleh angan2 dan nama ditetapkan orang. Kurasa tendangan kaki
kanan nona itu seharusnya disebut jurus Siluman-rase-menyembur-bunga. Kiranya lebih
sedap didengar dari pada nama yang nona gunakan Pengemis-menggebuk-anjing.”
Kata si dara, “Delapan jurus ilmu tendangan Menjelajah-dunia dari perguruan Lam-haybun,
khusus menggunakan kedua belah kaki untuk menundukkan lawan. Yang kugunakan
tadi baru dua jurus saja, masih ada enambelas jurus. Setiap jurus selalu mengarah pada
jalandarah berbahaya. Untuk kedua buah jurus tendanganku tadi, engkau merasa kalah
atau tidak?”
Diam-diam Ih Thian-heng menimang, “Dara itu tangkas sekali bicara,
kepandaiannyapun amat luas. Apakah nama jurus2 itu memang sengaja diganti untuk
memaki diriku tetapi memang gerakan kedua kakinya itu, memaksa aku menyurut
mundur.”
Sampai lama Ih Thian-heng tak dapat menemukan cara untuk memecahkan serangan
dara itu. Akhirnya terpaksa ia berkata, “Aku menggunakan gerakau Ikan-lehi-melentingmembalik,
untuk menghindari tendangan nona dan siap menunggu serangan berikutnya.”
“Terima kasih….. begitu engkau mundur, tak ku-sia2kan kesempatan mengejar.
Tahukah akan jurus Bayangan-naga-mendatar-lurus?”
Wajah Ih Thian-heng berobah makin serius, serunya, “Akan kugunakan jurus Ayamemas-
menebar-sayap yang terus kuganti dengan jurus Awan-musim semi-bertebaran
untuk mengurangi kesibukan!”
“Aku akan menggunakan jurus Memotong bunga bwe, yang kuganti dengan jurus
Burung hong-naik-naga-menjulang!” seru si dara.
Adu ilmu silat secara lisan itu ternyata meliputi ilmusilat dari berbagai partai persilatan.
Tampak wajah Ih Thian-heng makin lama makin gelap dan kepalanya mulai mengucur
keringat. Semisal orang yang bertempur sungguh-sungguh.
Tetapi si dara tetap bersenyum simpul. Mulutnya nyericis menyebutkan berbagai jurus
ilmusilat seperti air bah yang melanda sungai bengawan.
Sekalian yang hadir disitu adalah orang-orang persilatan ternama. Mereka mengerti
jurus2 yang diucapkan oleh kedua orang itu. Diam-diam mereka tegang mendengar si
dara makin lama makin gencar mengucapkan jurus2 untuk menyerang Ih Thian-heng.
Rasa kagum dan terkejut meliputi hati sekalian yang hadir.
Pengemis-sakti Cong To, Siangkwan Ko, lelaki tinggi besar atau suheng dari dara baju
ungu itu, si Kaki-satu, si Bungkuk, si Pendek dan lain-lain, semua ikut terpikat mengikuti
pertandingan secara lisan yang dahsyat itu. Di luar kesadaran, mereka pun ikut memikir
untuk memecahkan setiap jurus-lisan yang dilancarkan si dara.
Adu silat secara lisan itu makin lama makin hebat. Setiap kali menjawab, Ih Thian-heng
harus berpikir sampai beberapa jenak. Kebalikannya, si dara enak2 dan cepat sekali
mengucapkan jurusnya, Seolah-olah tanpa berpikir lagi.
Saat itu bukan Ih Thian-heng saja yang kepalanya basah kuyup dengan keringat dan
wajah makin mengerut gelap, Pun Pengemis-sakti Cong To, Siangkwan Ko dan beberapa
tokoh lain yang menyaksikan di pinggir, juga tampak tegang sekali seperti menghadapi
seorang lawan yang berat.
Tampak Ih Thian-heng mengusap peluh di kepalanya dan menghela napas, ujarnya,
“Nona benar-benar hebat sekali. Dapat mengetahui segala ilruu simpanan dari setiap
partai persilatan. Dapat pula menggunakannya secara cepat. Aku benar-benar merasa
kagum….”
Si dara agak kisarkan kepala dan bertanya, “Kalau begitu, apakah engkau sudah
mengaku kalah?”
Ih Thian-heng agak tertegun, sahutnya. “Walaupun nona lebih unggul dalam
pertempuran lisan tetapi hal itu karena nona dapat memahami pelajaran2 di luar kepala.
Sudah tentu berbeda dengan pertempuran secara sungguh-sungguh!”
Si dara hanya tersenyum simpul tak menyahut. Tetapi senyumnya itu mengandung
rahasia yang menyebabkan Ih Thian-heng dan sekalian tokoh-tokoh saling menduga-duga.
Kemudian Ih Thian-heng tertawa menyeringai, serunya, “Memang pelajaran ilmusilat itu
mengandalkan kecerdasan otak. Tetapi yang penting adalah kesempurnaannya berlatih.
Karena sama-sama menggunakan sebuah jurus, belum tentu serupa dahsyat dan
hebatnya ..”
“Huh, kiranya karena menggandalkan tenagamu yang hebat, engkau masih belum puas
kalau belum bertempur sungguh-sungguh dengan aku. Jika aku mau melakukan
pertempuran itu, perlu apa aku membuang waktu untuk adu mulut begitu lama?” ia
menghela napas.
Sejenak kemudian ia mengisar tubuh dan berkata, “Sudahlah, Bwe-nio mari kita pergi!”
Dengan penuh kasih sayang, nenek berambut putih itu memandangnya sejenak. Tibatiba
ia hunjamkan tongkatnya ke lantai, lalu berpaling deliki mata ke arah Ih Thian-heng.
“Tidak!” serunya dengan suara sarat, “engkau telah ditawannya. Kalau hari ini tiada
penyelesaian, bukankah perguruan Lam-hay-bun kita akan ditertawakan orang?”
Saat itu wajah Ih Thian-heng tampak tenang kembali. Ia menyahut dengan tersenyum,
“Harap, nenek jangan salah mengerti. Walaupun orang sebawahanku membawa nona itu
kemari, tetapi mereka tak tahu sama sekali. Apalagi mereka membawanya dengan sopan
dan sekali-kali tak menggunakan kekerasan. Kalau tak percaya, boleh tanya pada nona….”
Cepat si dara menyambar lengan baju si nenek serunya, “Urusan yang lalu, sudahlah!
perlu apa diungkat lagi?”
Sambil berkata mata si dara melekat pada Pengemis-sakti, merenung sejenak lalu
berkata dengan berbisik, “Tadi engkau sudah meluluskan melakukan sebuah hal bagiku.
Sekarang aku hendak menagih janjimu!”
Pengemis-sakti Cong To merenung, serunya, “Pengemis tua sudah berjanji. Lima tahun
kemudian maupun hari ini, sama saja. Silahkan engkau mengatakan!”
Dara baju ungu itu berkata pelahan, “Kurasa….” berkata sampai di situ ia tundukkan
kepala, matanya tampak berkaca-kaca dan wajahnyapun bersemu merah.
Lewat beberapa saat kemudian baru ia melanjutkan lagi, “Soal, kelak kita bicara
lagilah!”
Pengemis-sakti tertegun, serunya, “Sekali pengemis tua sudah berjanji, tetap takkan
menyesal. Betapapun sulitnya, harap nona mengatakan. Ke lautan maupun ke dalam api,
tetap kupergi!”
Dara baju ungu itu palingkan kepala. Dengan mata berkilat-kilat ia menghela napas
pelahan, “Sudahlah, aku tak peduli lagi kepadanya! Kita sudah berjanji bertaruh!”
“Nak, siapakah yang engkau maksudkan?” tanya si nenek dengan heran.
Dara itu gelengkan kepala. “Maukah engkau jangan bertanya kepadaku?”
Lelaki tinggi besar cepat menyelutuk, “Kalau sumoay tak ingin mengungkat lagi
peristiwa yang lampau, lebih baik kita lekas pulang!”
Sedang si Kaki-buntung deliki mata kepada Ih Thian-heng dan Siangkwan Ko lalu
berseru dingin, “Hm, terlalu murah bagi mereka itu!” dengusnya.
“Apa? Apa engkau kira kami takut kepadamu? “ teriak Siangkwan Ko marah.
Sekali tekankan tongkatnya ke tanah, si Buntung terus loncat maju. Tetapi pada saat ia
hendak menyerang, si tinggi besar cepat meneriakinya, “Kembali!”
Juga Ih Thian-heng cepat melangkah mencegah Siangkwan Ko, “Harap saudara
Siangkwan memandang mukaku dan bersabar diri! “
Si Buntung patuh. Terpaksa ia kembali ke tempatnya semula.
Sedangkan saat itu tanpa berpaling lagi, si dara terus melangkah keluar dari pintu. Si
nenek berrambut putih tetap mengikutinya di belakang.
Keenam bocah bersenjata pedang yang menjaga di pintu tadi, bingung. Mereka belum
mendapat perintah Ih Thian-heng tetapi tahu kalau Ih Thian heng tak mau bertempur
dengan rombongan orang Lam-hay-bun. Keenam bocah itu tak mau menghadang orang
Lam-hay-bun tetapi pun tak berani melepaskan mereka.
Begitu pula si Bungkuk dan si Pendek yang menjaga di ambang pintu marah karena
melihat keenam bocah itu tak mau menyingkir. Segera ia melangkah masuk dan
membentak mereka, “Hai, apakah kalian buta dan tak mau menyisih?”
Sambil lintangkan pedang di muka dada untut melindungi diri, keenam bocah itu tak
mau menyambut perintah si Bungkuk dan si Pendek, tetap mereka tak mau menyingkir.
Melihat si Bungkuk dan si Pendek, Ih Thian-heng menegur dengan tertawa, “Saudara
Au dan saudara Oh, kapankah kalian menggabungkan diri dengan Lam-hay-bun?”
Kedua tokoh itu memandang Ih Thian-heng dengan dingin tetapi tak mau menyahut
apa-apa.
Kembali Ih Thian-heng tertawa tawar lalu memberi perintah kepada keenam bocah itu
supaya menyingkir.
Karena Ih Thian-heng yang memberi perintah, barulah keenam bocah itu tunduk dan
menyisih.
Si Bungkuk dan si Pendek pun mundur lagi untuk memberi jalan. Dengan memandang
lurus ke muka, si dara baju ungu pelahan2 melangkah keluar.
Memandang bayangan dara itu, timbullah rasa rawan dalam hati Ih Thian-heng. Diamdiam
ia menimang, “Dalam pertempuran malam ini, dia tampak berwibawa sekali.
Seharusnya dia merasa gembira. Tetapi aneh, mengapa dia malah tampak bersedih
hati….?”
Tak berapa lama rombongan dara baju ungu yang dikawal dari muka dan belakang oleh
si nenek berambut putih dan kedua tokoh Bungkuk dan Pendek, lenyap dalam kegelapan
malam.
Lelaki tinggi besar yang berpakaian indah dan si Kaki-buntung, masih berdiri di luar
pintu. Lelaki tinggi besar mengangkat tangan memberi hormat, “Peristiwa malam ini,
sudah lewat. Kuharap saudara apabila kelak bertemu dengan sumoayku, suka mengalah.”
Ih Thian-heng tersenyum, sahutnya. “Malam ini kami sekalian barulah terbuka mata
dan amat mengagumi sumoay saudara yang begitu tangkas dan faham tentang ilmusilat
dari setiap partai persilatan. Suatu hal yang benar-benar jarang terdapat mengingat
usianya yang masih begitu muda belia. Aku sendiri, secara peribadi, merasa kagum sekali.
Kelak apabila mempunyai rejeki bertemu lagi sudah tentu akan memperlakukannya
dengan hormat!”
Lelaki tinggi besar itu tertawa nyaring, “Saudara Ih seorang tokoh yang termasyhttr,
sudah tentu akan menepati ucapan. Lebih dulu kuhaturkan terima kasih,” katanya
memberi hormat lalu berputar tubuh dan melangkah pergi.
Cepat Ih Thian-heng meluncur ke ambang pintu dan balas memberi hormat!
“Harap saudara suka berhenti sebentar. Sukalah saudara memberitahukan nama
saudara yang mulia.”
Lelaki tinggi besar itu berpaling muka dan tertawa, “Aku yang rendah ini bernama Ong
Kwan-ting.”
Habis berkata ia terus Iari dan menghilang dalam kegelapan malam. Si Kaki-buntung
pun segera menyusulnya.
Setelah itu barulah Ih Thian-heng berputar tubuh dan memberi hormat kepada Cong To
serta Siangkwan Ko, “Saudara Siangkwan yang menelap dan mengepalai kaum persilatan
daerah Se-pak, tentu jarang sekali datang ke Tiong-goan. Begitu pula saudara Cong To
yang selalu mengembara di dunia persilatan, juga suatu peristiwa yang suka terjadi dapat
bertemu di sini. Ijinkan aku sebagai tuan rumah hendak mengundang kedua saudara
untuk minum arak.”
Pengemis-sakti Cong To tertawa dingin, “Pengemis tua ini sudah biasa makan sisa
makanan dan arak. Sungguh tak pantas menerima undangan saudara. Maaf, aku terpaksa
hendak minta diri,” habis berkata ia terus berputar tubuh dan melangkah keluar.
Saat itu Ih Thian-heng sedang berdiri di ambang pintu. Terpaksa ia menyisih ke
samping untuk memberi jalan kepada pengemis tua.
Kebalikannya Siangkwan Ko marah karena melihat sikap Cong To yang begitu dingin
dan angkuh. Segera ia berseru memaki, “Hm, pengemis hina! Tak tahu diri! “
Cong To berpaling dan tertawa nyaring, sahutnya, “Sejak dahulu hingga kini, tiada
perjamuan yang baik dan tiada pertemuan yang bagus. Pengemis tua hendak
menasehatimu sepatah dua patah kata. Lebih baik jangan engkau rakus makan….”
Tanpa menunggu reaksi dari Siangkwan Ko dan Ih Thian-heng, pengemis sakti itu terus
loncat lari.
Ih Thian-heng kerutkan alis. Kerutan itu menampilkan nafsu membunuh yang menyala.
Tetapi pada lain saat wajahnya tampak tenang kembali. Kemudian berpaling pada
Siangkwan Ko ia berkata, “Saudara Cong itu memang gemar ber-olok2. Terhadap siapa
pun juga dia tak pernah berlaku sungkan dan menghormat. Tetapi dia seorang ksatria
yang berhati polos dan suka berterus terang.”
“Memang pernah kudengar bahwa Cong To itu seorang yang berwatak aneh dan
angkuh. Ternyata apa yang kulihat malam ini, memang benar. Jika kelak dia datang ke Sepak,
tentu akan kuberi sedikit ajaran!”
“Ah, tak perlu begitu,” sahut Ih Thian-heng “ menurut yang kudengar walaupun dia
memang agak ugal-ugalan tetapi dia selalu bersungguh-sungguh dam setia pada janjinya.
Gemar mencampuri urusan orang dan mendamaikan sehingga dia mendapat nama yang
harum.”
Sejenak merenung, Siangkwan Ko menghela napas, “ Ah, saudara Ih. Sungguh
berlapang dada. Aku kagum kepada saudara. Cong To begitu congkak dan angkuh
memperlakukan engkau tetapi saudara tetap membelanya. Ah, tak heran kalau kedua
golongan Hitam dan Putih dalam dunia persilatan, selalu amat mengindahkan kepada
saudara. Nama Sin-ciu-it-kun benar-benar bukan suatu gelar yang kosong. Karena malam
ini tak berani lagi mengganggu, maka terpaksa aku tak berani menerima undangan
saudara dan hendak minta diri!”
Ia menutup kata-katanya dengan menjura memberi hormat kepada Ih Thian-heng. Ih
Thian-heng tersipu2 membalas hormat, “ Ah, kalau saudara memang sudah memutuskan
hendak pergi, akupun tak berani menahan lebih lama. Maaf, aku tak dapat mengantar…. “
Ketika melangkah sampai ke ambang pintu, terlihat Siangkwan Ko berpaling lagi,
serunya, “Atas budi kebaikan saudara Ih, aku merasa berterima kasih tak terhingga ……”
Ia berhenti sejenak lalu melanjutkan pula, “Ada sedikit perkataan yang kalau tak
kunyatakan tentu menyesakkan dada.”
“Ah, silahkan saudara Siangkwan mengatakan,” seru Ih Thian-heng.
“Adakah saudara Ih tahu maksud kedatanganku malam ini?” seru Siangkwan Ko.
“Apakah saudara Siangkwan tidak tertarik karena kitab pusaka Lam-hay-bun yang
termasyhur itu? “ kata Ih Thian-heng.
Siangkwan Ko menghela napas, sahutnya, “Dugaan saudara tepat sekali. Saat ini di
sekeliling penjuru kota Lok-yang, penuh dengan tokoh-tokoh persilatan. Bukan saja dari
fihak It-kiong, Ji-koh, Sam-taypoh masing-masing telah mengutus wakilnya, pun juga
tokoh-tokoh dari Siau-lim-si, Bu-tong dan lain-lain partai juga telah mengirim jago2nya.
Oleh karena itu mudah didengar bahwa peristiwa penawanan si dara baju ungu oleh
anakbuah saudara Ih itu tentu cepat akan tersiar diluar….”
“Terima kasih atas petunjuk saudara. Sungguh aku belum sempat mendengar hal itu,”
sahut Ih Thian-heng.
Siangkwan Ko terdiam sejenak lalu berkata pula, “Selain peristiwa penawanan dara
Lam-hay-bun itu, dalam dunia persilatan terbetik pula sebuah peristiwa besar ….” tiba-tiba
ia diam.
“Adakala peristiwa itu mempunyai hubungan dengan diriku?” tanya Ih Thian-heng.
Wajah Siangkwan Ko berobah serius. Ia melangkah mundur lagi pelahan2 kemudian
berkata dengan nada yang sarat, “Sebelum berjumpa dengan saudara Ih, memang agak
terpengaruh perasaanku mendengar berita itu. Tetapi setelah malam ini berkenalan
dengan saudara, barulah kutahu bahwa ada orang yang sengaja memfitnah. Tetapi hal itu
merupakan persoalan besar. baik saudara Ih bersiap-siap sebelumnya!”
“Soal apakah sampai sedemikian gawatnya?” Ih Thian- heng heran.
“Hai? Apakah sama sekali saudara tak pernah mendengar?” Siangkwan Ko juga heran.
Ih Thian-heng menandaskan bahwa ia benar-benar tak tahu. ia minta Siangkwan Ko
segera menjelaskan.
Berkata Siangkwan Ko, “Pada waktu akhir ini, dunia persilatan memang mendesasdesuskan
tentang diri saudara Ih. Oleh karena semua partai persilatan sama mempunyai
mata2 maka mereka dapat mangetahui segala sepak terjang yang terjadi dalam dunia
persilatan. Adakah soal itu benar atau palsu, aku tak berani menarik kesimpulan. Yang
nyata soal itu telah menarik perhatian It-kong, ji-koh dan Sam-poh. Akupun datang kemari
karena ada hubungan dengan soal ini.”
Ih Thian-heng kerutkan dahi, menghela napas, “Ah, bahaya yang timbul dalam dunia
persilatan itu memang sukar dijaga. Entah bagaimanakah pendapat saudara?”
Sejenak Siangkwan berpaling memandang ke arah puterinya, lalu berkata, “Telah
kukatakan tadi bahwa sebelum bertemu dengan saudara, pikiranku memang goyah.
Setengah percaya setengah tidak terhadap berita itu. Karena anak buah it-kiong, Ji-koh
dan Sam-poh, telah melakukan penyelidikan dengan seksama. Walaupun hal itu belum
terbukti kenyataannya, tetapi karena berita itu tersiar luas sekali sehingga orang sukar
untuk tak percaya.”
Wajah Ih Thian-heng tenang kembali, kemudian tersenyum simpul, “Perguruan dan
partai2 persilatan itu seharusnya menyelidiki kebenaran laporan para anak muridnya.
Tetapi mengapa mereka berbondong2 datang ke daerah Tiong-goan?”
Siangkwan Ko batuk-batuk kecil, ujarnya, “Entah mengapa sampai tersiar berita tentang
tindakan saudara Ih, mengundang para mata2 utusan partai2 itu ke gedung sini dan
meminta keterangan mereka. Karena hal itulah maka partai2 persilatra segera mengirim
tokoh-tokoh yang sakti untuk menyelidiki benar tidaknya hal itu…. “
“Terlepas dari benar tidaknya hal itu, tetapi karena mendapat perhatian begitu besar
dari sekalian partai persilatan, aku merasa terkejut kali!” kata Ih Thian-heng.
“Akan kututurkan apa yang didesas-desuskan itu. Tetapi lebih dulu kuminta maaf
sekiranya ada hal2 yang menyinggung perasaan saudara,” kata Siangkwan Ko.
Ih Thian-heng tertawa dan menghaturkan terima kasih atas perhatian Siangkwan Ko
kepadanya. Ia minta jago itu menuturkan dengan terus tenang.
Siangkwan Ko mundur tiga langkah baru berkata, “Pertolongan saudara Ih kepada
puteriku itu seumur hidup takkan kulupakan Jika saudara membutuhkan tenagaku, cukup
saudara mengirim surat, aku pasti akan melakukan dengan sepenuh tenagaku.”
Ih Thian-heng memberi hormat dan mengucapkan beberapa kata merendah. Ia
menyatakan bahwa kelak apabila memang perlu, ia pasti akan datang sendiri ke Kanglam
untuk mengundang jago tua itu.
Katanya lebih lanjut, “Watakku selalu berterus terang. Selama ini tak mempunyai
perselisihan suatu apa dengan lain orang. Oleh karena merasa tak mempunyai dendam
permusuhan dengan siapapun juga, tetapi pun juga tak pernah mempunyai sahabat yang
amat karib. Oleh karena nyata gedung kediamanku ini menjadi sasaran desas-desus maka
akupun tak berani menahan saudara Ih lebih lama lagi. Kuberjanji, kelak apabila peristiwa
itu sudah lewat aku pasti akan sering pergi ke Kanglam untuk mengundang saudara
Siangkwan minum arak.”
Siangkwan Ko tertawa, ujarnya, “Desas-desus yang mongandung fitnah itu, kelak pada
suatu hari pasti akan dapat tercuci bersih. Sekali lagi ku-tandaskan bahwa setelah
berkenalan dengan saudara pada malam ini, aku tak ragu2 lagi terhadap diri saudara.
Kuharap, tak lama lagi saudara benar-benar akan berkunjung ke daerah Kanglam. Akan
kukerahkan seluruh jago2 kuat dalam wilayah itu untuk membantu usaha saudara
memulihkan nama baik. Nah, kiranya sudah cukup dan ijinkan aku mohon diri.” Habis
berkata ia terus melangkah keluar.
Ih Thian-heng memberi isyarat dan keempat bocah bersenjata pedang itu segera
mengantar jago tua itu dengan sikap menghormat.
Sesungguhnya karena belum sembuh benar, Siangkwan Wan-ceng tak dapat
menggunakan ilmu berlari cepat pada malam hari. tetapi ia memang seorang gadis yang
keras kepala. Di bawah antaran pandangan mata dari Ih Thian-heng dan keenam bocah
itu, ia tak mau unjuk kelemahan. Dengan mengatupkan gigi, ia lari mengikuti ayahnya.
Bibir Ih Thian-heng bar-gerak2. Tetapi sebelum terlanjur mangeluarkan kata-kata, tibatiba
ia menelannya kembali tak jadi bicara.
Demikianlah setelah rombongan tokoh-tokoh itu pergi, yang masih berada dalam
ruangan gedung itu hanya Ih Thianaheng dan keenam bocah baju putih.
Ih Thian-heng mondar-mandir beberapa jenak. Bibirnya yang selalu merekah senyum
pun tak tampak lagi. Sekali ia gerakkan tangan memberi isyarat keenam bocah itu segera
loncat keluar ke halaman. Mereka berpencaran ke empat penjuru. Masing-masing menjaga
sebuah tempat, lalu tiga kali menamparkan tangan.
Mendengar itu, Ih Thian-heng segera menuju ke sudut ruang sebelah kiri, mengisar
sebuah meja lalu berseru dengan ber-bisik2, “Matikan lampu!”
Dua bocah baju putih yang tertinggal dalam ruangan, segera memencarkan diri dan
memadamkan lampu. Ruangan menjadi gelap gulita sampai orang tak dapat melihat jari
jemarinya sendiri.
Pada lain saat terdengar suara ber-derak2 pelahan dan pada sudut ruangan itu terbuka
sebuah pintu rahasia. Ih Thian-heng segera melangkah masuk.
ooo000ooo
Sekarang marilah kita ikuti lagi Han Ping.
Setelah muntah darah, ia merasa dadanya agak longgar. Ia terus berjalan tinggalkan
desa itu. Karena merasa tak dapat menggunakan ilmu lari cepat, terpaksa ia berjalan
menyusur jalan.
Sekalipun di sekitar pedesaan itu penuh dengan tokoh-tokoh silat sakti, tetapi mereka
sudah dikuasai dan di bawah perintah Ih Thian-heng. Oleh karena itu merekapun tak
menghalangi Han Ping.
Padahal dalam bayangan Han Ping, di sepanjang jalan keluar dari desa itu, ia tentu
bakal menghadapi pertempuran lagi. Oleh karena itu ia ber-siap2 menjaga setiap
kemungkinan. Tetapi ternyata, ia tak menemui suatu halangan.
Sesungguhnya ia harus beristirahat untuk menyembuhkan lukanya. Tetapi karena terus
menerus tegang bersiap menghadapi musuh, lukanya makin parah. Sekeluarnya dari desa,
kakinya terasa sakit lentuk hingga sukar dibawa berjalan. Tetapi ia memaksakan diri untuk
berjalan. Lima tombak jauhnya, rubuhlah ia di tanah.
Ia rasakan tulang belulangnya seperti terlepas. Dicobanya berusaha duduk, namun dua
kali berusaha, dua kali itu juga ia rubuh lagi.
Angin malam berhembus keras sehingga rumput2 kering berhamburan ke-mana2.
Apabila ia tak menyaksikan sendiri tentu ia takkan percaya bahwa desa yang sunyi dan
gedung yang misterius itu ternyata penuh dikepung dengan tokoh-tokoh persilatan yang
menyembunyikan dari di sekelilingnya. Dan tokoh-tokoh persilatan itu, berasal dari tempat
yang ribuan li jauhnya.
Tiba-tiba teringatlah ia akan si dara baju hitam yang berkelahi dengannya kemarin.
Sungguh tak pernah dinyananya bahwa seorang gadis yang lemah ternyata memiliki ilmu
kepandaian begitu sakti. Memang ia sendiripun termasuk seorang yang mendapat rejeki
luar biasa. Karena dari seorang pemuda yang tak bisa silat, dalam wakau hanya beberapa
bukan saja ia sudah berobah menjadi seorang tokoh yang dapat digolongkan sebagai jago
kelas satu. Tetapi ah . . ternyata seorang gadis pun memiliki kesaktian yang setaraf
dengan dia juga. Rupanya ilmu silat itu memang benar-benar tiada batasnya.
Demikian pikirannya merana tak keruan dan ia makin letih. Tetapi pikirannya masih
sadar. Tiba-tiba ia teringat bahwa saat itu pamannya, Kim Lo-ji dan Ih Seng, tentu masih
berada di sekitar tempat situ mencarinya. Segera timbul pikirannya untuk berseru
memanggil mereka.
Setelah kerahkan tenaga maka mulailah ia berteriak. Tetapi ah….suaranya seperti
hilang. Saat itu barulah ia menyadari bahwa keadaannya tak ubah seperti pelita yang
kehabisan minyak. Jika tetap akan memaksa, bukan saja luka-dalamnya tentu akan
semakin parah, pun ia akan terancam cacat seumur hidup.
Untunglah ia segera teringat akan ajaran kitab Tat mo-ih-kin keng ajaran mendiang Hui
Gong taysu yang mengatakan ‘memelihara napas adalah dasar penggerak urat’.
Seketika pikirannya terbuka. Segera ia tenangkan pikiran memulangkan napas.
Beberapa saat kemudian Mulailah ia gerakan kaki tangan untuk melemaskan tubuh dan
melakukan pernapasan. Setelah tiga kali bernapas panjang, ia meramkan mata dan
beristirahat.
Kira-kira sepeminuman teh lamanya, ia rasakan semangatnya bertambah baik. Lalu ia
gerakkan kaki tangan menurut ajaran Hui Gong taysu. Ah, tulang belulangnya sakit bukan
kepalang. Serasa sendi tulang terlepas dari ruasnya. Tetapi ia sudah dapat memahami isi
ajaran Hui Gong taysu. Dan wataknya yang keras, menyebabken ia pantang mundur.
Walaupun sakit, tetap ia melakukan gerakan. Auh…. menjerit keras ketika rasa sakit itu
menyerang sampai ke ulu hati sehingga hampir ia pingsan.
Sesungguhnya puncak kesakitan itu memang sesuai dengan ajaran Hui Gong Taysu.
Setelah menderita kesakitan, tertidurlah dia.
Sekarang kita tinggalkan dulu Han Ping yang terlena tidur. Kita jenguk Kim Loji dan
kipas-besi-pedang-perak, Ih Seng.
ooo000ooo
Pada saat menuju ke desa tempat kediaman Ih Thian-heng, pernah pengemis sakti
Cong To berkata kepada Kim Loji, “Walaupun malam ini akan terjadi keramaian, tetapi
pertunjukan yang sesungguhnya belumlah berlangsung. Lebih baik engkau dan saudara Ih
Seng bersembunyi dahulu. Aku dan anak muda ini akan masuk melihat-lihat keadaan
dulu.”
Kemudian Pengemis-sakti itu pun meninggalkan pesan kalau sampai lewat tengah
malam belum kembali, Kim Loji dan Ih Seng supaya menuju ke sebuah kuil kecil yang
terletak kira-kira sepuluh li di sebelah utara dan menunggu di situ.
Kim Loji dan Ih Seng menyadari bahwa penyelidikan malam itu amat penting sekali.
Mereka pun tak berani semabrangan bergerak masuk gedung. Setelah Pengemis-sakti dan
Han Ping memasuki gedung, mereka pun segera mencari tempat sembunyi.
Tetapi menunggu sampai langit penuh bertabur bintang, tetap kedua orang orang itu
belum muncul kembali. Mulailah mereka gelisah memikirkan keselamatan Han Ping.
Malam semakin larut dan tubuh kedua orang itupun mulai dingin lembab. Ketika
memandang ke langit, ternyata sudah lewat tengah malam.
Ih Seng tak sabar lagi. Bisiknya kepada Kim loji, “Ji siangkong dan Cong lo-cianpwe,
tentu mendapat kesulitan. Lebih baik kita menyusul masuk!”
“Jangan,” kata Kim loji, “bukankah Cong lo-cianpwe sudah memesan kita tak boleh ikut
masuk? Dan memang kalau kita ikut, belum tentu ada manfaatnya Lebih baik kita tunggu
lagi beberapa waktu. Jika mereka tetap tak muncul, baru kita pergi ke kuil sebelah utara
untuk menunggu mereka.”
Ih Seng menurut. Malam merayap makin dingin dan akhirnya tabir malam mulai
menyingkap. Haripun mulai terang. Dalam keremangan kabut pagi, mulai bayang2
pepohonan tampak.
Kim Loji mengajak maju mendekati gedung besar. Kira-kira duabelas tombak jauhnya,
mereka mendengar derap langkah orang dalam gedung itu. Buru-buru Kim loji menarik Ih
Seng untuk bersembunyi dalam gerumbul pohon.
Saat itu dari ufuk timur mulai tampak sinar putih. Berkat indera penglihatan yang
tajam, dapatlah kedua tokoh itu melihat keadaan di sekelilingnya.
Mereka tak berani sembarangan bergerak karena tahu bahwa di sekeliling gedung itu
penuh dijaga secara sembunyi oleh tokoh-tokoh lihai. Bahkan untuk menjaga keselamatan,
keduanya menahan napas. Ketika memandang ke muka, mereka melihat empat orang
melangkah ke luar dari gedung.
Yang paling depan adalah si Bungkuk dan si Pendek. Dan yang ketiga adalah si dara
baju ungu. Di sampingnya, adalah si nenek rambut putih yang berjalan dengan tongkat.
Ke empat orang itu justeru berjalan menuju ke arah tetapat Kim-loji dan Ih Seng
bersembunyi.
Setelah berjalan beberapa puluh langkah, si dara tampak mengemasi rambutnya dan
menghela napas rawan, “Ah, aku lelah sekali. Tak dapat berjalan selangkanpun….”
“Nak, berjalan sebentar lagi, kereta sudah menunggu kita,” kata si nenek berambut
putih.
Dara itu gelengkan kepala, “Tidak bisa, kakiku tak dapat berjalan lagi. Bwe-nio yang
baik, jangan memaksa akulah!”
Nenek berambut putih itu menghela napas, ujarnya, “Nak, di tempat yang begini seram
tak mungkin tersedia ranjang dan kasur yang empuk. Dan lagi sekitar sini lembab dengan
embun. Bagaimana engkau hendak beristirahat di sini?”
Dara baju ungu tengadahkan kepala memandang cakrawala yang mulai cerah lalu
tertawa, “Berselimut langit biru, barkasur rumput hijau dan bersantap embun pagi, kepada
siapakah akan meratap belas kasihan?”
Kata yang setengahnya bernada senandung itu diucapkan dengan suara halus. Senyum
tawa di wajah si dara pun ikut lenyap. Dua titik airmata mengucur dari sudut matanya.
Tampak wajah si Bungkuk dan si Pendek juga ikut bersedih. Buru-buru kedua tokoh itu
berpaling muka, membelakangi dara itu. Mereka tak berani memandangnya lagi.
Kiranya perasaan hati kedua tokoh itu tersentuh oleh suara si dara yang amat
mengharukan.
Nenek berambut putih gelengkan kepala lalu bertanya, “Nak, apakah engkau bersedih?”
Si dara mengusap airmatanya dengan ujung lengan baju, sahutnya, “Ah, kini baru aku
mengetahui. Bahwa betapa pun gembiranya seseorang, tetapi tentu mempunyai
kesusahan juga….”
Ia duduk di tanah lalu berbaring di atas rumput.
Angin pagi berhembus meniup baju si dara dan rambut si nenek. Nenek itu tancapkan
tongkatnya ke tanah hingga ujung tongkat menyusup sampai setengah depa dalamnya.
Kemudian ia berlutut dan berkata dengan lembut, “Nak, kudukungmu supaya tidur,
maukah engkau?”
Sambil sedikit picingkan mata, dara itu menolak, “Ah, tidak. Aku hendak tidur di atas
rumput sini sajalah!”
“Nak, tubuhmu lemah, mana engkau tahan hawa sedingin ini?”
Dara itu tertawa rawan, “Biarlah aki menderita sakit dengan enak.”
Bwe Nio terbeliak, “Anak tolol, perlu apa begitu? Kalau sakit tentu harus minum obat.
Bukankah engkau paling benci minum obat?”
“Aku mau tidur, jangan mengajak bicara,” kata dara itu. Tetapi wajahnya mengerut
kesedihan. Airmatanya berderai-derai turun membasahi kedua belah pipi. Barang siapa
yang menyaksikan keadaannya, tentu akan turut bersedih.
Demikianpun dengan si nenek Bwe Nio. Dua butir airmata menitik. Dari pelupuk
matanya. Kemudian ia berteriak, “Nak, apakah yang menyebabkan engkau bersedih hati?
Akulah yang merawatmu sejak kecil sampai dewasa. Walaupun namanya sebagai majikan
dan budak, tetapi rasa kesetiaanku kepadamu melebihi seorang ibu. Asal engkau dapat
menyelami perasaan induk semangmu ini, aku tentu tak mau menyimpan rahasia lagi.
Dengan selambar jiwaku yang sudah tua ini, aku tentu dapat mengerjakan apa yang
engkau perintahmu. Nak, maukah engkau memberitahu kepadaku?”
Tiba-tiba dara itu membuka mata dan tertawa rawan, “Bwe-nio, kalau aku sampai mati,
apakah ayah dapat hidup seorang diri?”
Pertanyaan itu benar-benar di luar dugaan sehingga si nenek berambut putih terpesona
tak dapat menyahut. Beberapa saat kemudian baru ia berkata, “Ini, ini….”
“Sejak kecil engkau sudah tinggal bersama ayah. Sudah tentu engkau harus tahu
apakah ayah dapat hidup seorang diri tanpa aku? Bwe-nio, jangan membohongi aku. Kasih
tahulah dengan sejujurnya!”
Kata si nenek Bwe-nio, “Ayahmu mencintai engkau sepenuh hatinya. Tetapi karena
wataknya memang aneh dan dingin, dia tak mau mengunjukkan perasaan cinta itu
kepadamu. Tampaknya dia memang seperti tak mengacuhkan dirimu. Tetapi sebenarnya
dia selalu menanyai aku tentang keadaanmu sehari-harinya. Entah sudah berapa puluh
kali ia meminta keterangan itu kepadaku….”
Bwe-nio menghela napas perlahan, lalu berkata pula, “Sejak ibumu meninggalkan
dunia, selintas pandang tampak dia memang tak berduka…. “
Tiba-tiba nenek itu berobah wajahnya dan tak lanjutkan kata-katanya lebih lanjut.
Serentak dara itu berbangkit duduk. Dipandangaya si nenek lekat2. Sejenak kemudian
ia bertanya, “Bwe-nio, mengapa engkau?”
“Tak apa-apa, tak apa-apa,” sahut Nenek itu sambil memulihkan semangat agar tampak
setenang mungkin.
Si dara tertawa hambar, “Apakah engkau merasa telah kelepasan omong dan takut
ayah menghukummu? Sebenarnya walaupun engkau tak bilang, akupun sudah tahu sejak
dulu. Ayah sendiri memberitahu kepadaku bahwa ibuku sudah mati. Dan untuk
mengenang ibu, ayah telah membangun sebuah makam palsu. Tetapi kesemuanya itu
hanyalah untuk mengelabuhi aku. Cobalah engkau tebak, hal apa lagi yang dapat
mengelabuhi aku itu?”
Bwe-nio menghela napas. Ia diam tak dapat menyahut.
Kembali dara itu rebahkan diri di atas rumput, ujarnya pula, “Sesungguhnya aku pun
tahu bahwa ibuku itu masih hidup di dunia tetapi tak mau bertemu muka dengan ayah.”
Sambil memandang dara itu, Bwe-nio bertanya dengan penuh kasih sayang, “Nak,
mengapa engkau tahu hal itu?”
Si dara memejamkan kedua matanya, lalu menyahut, “Menilik peyakinan ayah dalam
ilmu tenaga-dalam yang begitu tinggi, sekalipun umurnya tambah 10 tahun lagi, tak
mungkin dia menjadi begitu tua. Kecuali batinnya menderita suatu luka atau pukulan
hebat, tak mungkin rambutnya menjadi putih dan dahinya penuh keriput!”
“Tetapi ketika ibumu masih berkumpul dengan ayahmu, ayahmu sudah berumnr 50
tahun,” kata Bwe-nio.
“Sungguhpun begitu tetapi wajah ayah tetap masih berseri segar, tampaknya seperti
seorang pemuda umur 30-an tahun.”
Bwe-nio tak menyahut.
“Sejak ibu bertengkar dengan ayah, ayah amat menderita batinnya. Walaupun dia tak
mau mencari ibu, tetapi penderitaan batin itu telah menyebabkan ayah menjadi begitu tua
tampaknya. Ah, ayah sesungguhnya kasihan sekali. Entah apakah ibuku juga demikian…. “
kata si dara pula.
Bwe-nio mendesah, serunya, “Nak, ketika peristiwa itu terjadi engkau masih bayi. Aneh
bagaimana engkau dapat mengetahuinya? Jika tak ada orang yang memberitahukan,
mustahil engkau tahu!”
“Tiada orang yang memberitahu aku,” sahut si dara, “aku sendiri juga begitu. Dan lagi,
kecuali ayah tiada lain orang yang berani memberitahu kepadaku. Tetapi ayah tak
mungkin akan memberitahuku!”
“Ah, engkau dapat menduga begitu menandakan amat cerdas sekali….”
Si dara cepat menyeletuk, “Ayah sangat mencintai ibu. tetapi setelah ibu pergi, ayah
tetap masih mau hidup. Dan rasanya akupun akan mati, ayah juga tetap hidup. Hm,
sungguh kubenci sekali, lebih baik mati saja!”
“Siapa yang engkau benci?” tanya Bwe-nio heran.
“Semua orang lelaki!”
“Engkau benci mereka lalu apa gunanya engkau harus mati? “ tanya Bwe-nio.
Si dara tertawa hambar, “Ah, kalau aku mati, ayah tentu sedih dan marah. Karena aku
mati di daerah Tiong-goan, dia tentu, akan menumpahkan kemarahannya pada orang
Tiong-goan. Entah berapa banyak korban nanti yang akan dibunuh…”
“Sekalipun membunuh seribu sampai sepuluh ribu orang. tetapi tak dapat mengganti
selembar jiwamu. Nak, apakah engkau tak pernah merasa gembira?” kata Bwe-nio, “entah
berapa banyak lelaki yang jatuh di bawah kakimu. Perguruan kita telah mengerahkan
segenap orangnya yang berilmu tinggi untuk melindungi keselamatanmu. Bahkan toasuhengmu
yang sebenarnya sudah diusir oleh ayahmu untuk selama-lamanya, demi
menjaga keselamatanmu yang hendak pesiar ke Tiong-goan, khusus diberi kelonggaran
lagi dengan syarat: harus menebus dosa dengan jasa. Jika sampai terjadi sesuatu pada
dirimu, toa-suhengmu akan dianggap berbuat dua kali dosa dan tentu akan dibunuh
ayahmu. Ah….dikuatirkan bukan hanya dia seorang tetapi segenap anak murid Lam-haybun
tentu akan diamuk ayahmu!”
“Begitu akan lebih baik,” kata si dara, “kita mati semua dan semua menjadi setan di
Neraka jadi tetap ada yang menemani aku bermain-main.”
Bwe-Nio menghela napas, ujarnya, “Nak, umurmu masih begitu muda, mengapa
engkau memikirkan soal2 begitu .. .”
Dibelainya rambut dara itu dengan penuh kasih sayang.
Si dara mengangkat muka memandang wajah inang pengasuhnya. Melihat wajah Bwenio
yang penuh kasih sayang, si dara pun menghela napas dan berkata rawan, “Ah, bukan
aku memikirkan soal2 tadi, tetapi…. “
Ia berhenti, geleng-geleng kepala dan tertawa hambar, “Baiklah, takkan kukatakan hal
itu. Tetapi aku benar-benar kepingin tidur. Bwe-nio, duduklah di sini menemani aku
sebentar.”
Habis berkata ia terus julurkan lengan dan pejamkan mata. Tak berapa lama, ia sudah
tidur pulas.
Si Bungkuk dan si Pendek melihat si dara tidur dan Bwe-nio menjaga di sampingnya,
terpaksa menjaga di dekat mereka.
Rupanya dara itu lelah seka!i sehingga tertidur sampai lama. Saat itu mentari pagi
mulai muncul dan menyingkap kabut pagi.
Sementara itu, Kim loji dan Ih Seng yang bersembunyi dalam gerumbul rumput, merasa
gelisah saat itu. Jika terang tanah, persembunyian mereka pasti diketahui orang. Dan
celakanya, sejak tadi mereka terpaksa menahan pernapasan saja karena kuatir dicium bau
mereka oleh si Bungkuk atau si Pendek. Betapapun tinggi ilmu kepandaiannya namun
keadaan semacam itu, tak mungkin dapat bertahan. Dan karena tak kuat lagi akhirnya Ih
Seng menghamburkan napas perlahan2. Tetapi hal itu sudah cukup didengar telinga si
Bungkuk dan si Pendek yang amat tajam. Tiba-tiba si Bungkuk loncat menerjang gerumbul
pohon.
Selagi melayang di udara, si Bungkuk berseru, “Sahabat siapakah itu? Mengapa tak
mau unjuk diri secara terang2an? Cara main bersembunyi begini sungguh tak pantas!”
Walaupun tak ingin bentrok tetapi karena sudah terlanjur kepergok, terpaksa mereka
berpencar menghindari sergapan si Bungkuk.
Rupanya si Bungkuk marah karena menyergap angin. Belum kaki menginjak bumi, ia
sudah hantamkan tangan kanannya ke arah Ih Seng.
Sambil menghindar lagi, Ih Seng berseru, “Bagus, aku orang she Ih, ingin mencoba
juga.”
Tetapi Kim-loji cepat mencegah, “Tunggu, lebih baik kita memberi keterangan apa
adanya….”
“Ah, apa yang harus diterangkan? Berkelahi dulu baru nanti bicara lagi!” kata Ih Seng
seraya tebarkan kipas besinya dan menutuk si Bungkuk.
Dengan tenang, si Bungkuk menghindar ke samping lalu mendengus, “ Hm, bagus!
Engkau seorang pemimpin persilatan, tetapi tingkanmu tidak sesuai dengan
kedudukanmu, suka main sembunyi mencuri lihat lain orang. Kudengar engkau termasyhur
dengan senjata pedang perak kipas-besimu, hari ini aku hendak berkenalan!”
Ih Seng deliki mata, “Jangan mengoceh tak berguna….”
Ih Seng tebarkan kipas besi, ia maju lagi untuk menutuk jalandarah di pelipis orang.
Jalan darah itu merupakan tempat yang membuat orang pingsan.
Si Bungkuk tak berani lengah. Sambil mengendap tubuh, ia loncat menghindar ke
samping. Sebelum menginjak tanah, ia bersuit pelahan dan menerjang lagi. Menghindar
dan balas menyerang lagi. Menghindar dan balas menyerang itu dilakukan dengan gerak
yang luar biasa cepatnya. Dan serangan itu diantar dengan jurus Matahari-bulan-salingberebut.
Tahu bahwa pukulan si Bungkuk itu amat dahsyat, Ih Seng tak berani menangkis. Ia
berputar tubuh seperti angin. Sebelum serangan si Bungkuk tiba, ia sudah berada di
belakangnya dan secepat kilat menutuk belakang kepala orang bungkuk itu.
Si Bungkuk terkejut. Baru saja ia dapat berdiri tegak atau tiba-tiba belakangnya sudah
diserang. Buru-buru ia gunakan jurus Terjun-kedalam-laut. Condongkan tubuh ke muka
dan secepat kilat berbalik lagi untuk menghantam dan menutuk dada Ih Seng.
Melihat pertempuran itu makin lama makin dahsyat, si Pendek kuatir orang-orang itu
membangunkan si dara baju ungu. Ia harus membantu menyelesaikan pertempuran itu
secepat mungkin.
Pada saat si Bungkuk lancarkan serangan, cepat si Pendekpun loncat ke tengah
gelanggang untuk menunggu Ih Seng.
Sesungguhnya Kim loji masih belum sembuh benar lukanya. Tetapi karena melihat si
Pendek ikut campur, terpaksa ia pun loncat menerjang orang pendek itu.
Sedang Ih Seng ternyata tak menduga akan gerakan si Bungkuk yang dalam
menghindar dapat melancarkan serangan yang sedemikian berbahaya. Terpaksa pada saat
dadanya terancam tutukan jari, Ih Seng hendak menyambutnya dengan tamparan kipas
besinya.
Tetapi di luar dugaan karena melihat si Pendek membantu, si Bungkuk tak senang hati.
Ia tarik pulang serangannya dan mundur dua langkah ke belakang lalu menegur si
Pendek, “Menyingkirlah, biar aku yang menghadapinya….”
“Bungkuk! Jangan temaha menang,” sabot si Pendek, “harus cepat-cepat diselesaikan
agar jangan sampai menjagakan nona.”
Habis berkata, tanpa menghiraukan si Bungkuk lagi, ia terus maju ke muka.
Karena tak dipedulikan, marahlah si Bungkuk. Dengan mata mendelik ia berputar tubuh
dan terus menghantam si Pendek!
Melihat si Bungkuk marah, terpaksa si Pendek mendengus dan mundur kembali.
Sedangkan di sana, Ih Seng pun sudah siap kembali. Ia mainkan kipasnya dan maju
menyerang si Bungkuk lagi. Kim Lojipun membantunya dari samping.
Apa yang dikuatirkan si Pendek ternyata benar. Karena ketiga orang yang bertempur itu
amat berisik, si nona baju ungu terbangun. Ia mengisar tubuhnya. Me!ihat itu si nenek
Bwe-nio marah. Ia gentakkan tongkatnya terus hendak maju. Tetapi dicegah si dara,
“Bwe-nio, jangan. Kita saksikan saja mereka berkelahi!”
Si Bungkuk tak gentar dikeroyok dua orang. Kira-kira limapuluh jurus lamanya,
pertempuran itu masih seimbang. Diam-diam si tokoh Bungkuk itu marah.
Setelah menyaksikan beberapa saat, si dara berseru, “ Ah, ,akanya engkau tak dapat
menang karena salah mengeluarkan jurus!”
Kemudian dara itu berseru memberi perintah, “Bungkuk, lekas keluarkan jurus Nagahijau-
pulang ke laut….”
Si Bungkuk tergetar hatinya. Buru-buru ia gunakan jurus itu untuk mencengkeram Ih
Seng. Ih Seng cepat menyurut mundur tetapi kipasnya dapat direbut si Bungkuk.
Ih Seng cepat mengeluarkan pedangnya. Ketika hendak maju menyerang, tiba-tiba
terdengar suara bentakan keras, “Tahan!”
Tahu-tahu Han Ping muncul dan loncat ke tengah gelanggang.
Melihat pemuda itu, Kim Loji berseru girang, “Anak Ping, apakah engkau tak kurang
suatu apa ….?”
Han Ping memberi hormat kepada paman gurunya itu dan menghaturkan terima kasih.
“Harap Ji siangkong mengaso dulu. Biar kubereskan si Bungkuk ini!”
Tetapi Han Ping gelengkan kepala. “Dia bertenaga hebat, bukan lawanmu!”
Jika lain orang yang mengucap, Ih Seng tentu marah. Tetapi karena yang berkata itu
Han Ping, ia menurut saja. Pedang disarungkan dan mundurlah ia.
Sejenak memandang ke sekeliling, Han Ping berkata kepada si Bungkuk, “Kita selama
ini tak bermusuhan. Akupun tak mau berkelahi dengan kalian. Kembalikanlah!” katanya
seraya ulurkan tangan.
“Apa?” si Bungkuk, terbeliak.
Tiba-tiba Han Ping melesat maju. Sekali tangsannya bergerak tahu-tahu kipas-besi yang
dicekal si Bungkuk itu sudah berpindah ke tangan Han Ping. Gerakan pemuda itu amat
cepat dan luar biasa anehnya. Si Bungkuk rasakan pergelangan tangannya kesemutan.
Sebelum tahu apa yang terjadi, dilihatnya kipas sudah direbut Han Ping.
“Keparat!” teriak si Bungkuk dengan murka seraya melontarkan pukulan dalam jurus
ikut-angin-memecah-ombak.
Tetapi dengan mengisar ke samping, Han Ping menghindari pukulan itu. Ia tertawa
dingin. Kemudian berpaling kepada Ih Seng.
“Mari kita pergi….”
Ia memberikan kipas dan terus melangkah pergi.
“Berhenti!” sekonyong-konyong terdengar lengking teriakan.
Han Ping yang sudah berjalan baberapa langkah terpaksa berhenti. Ketika berpaling
tampak si dara baju ungu berdiri menggandeng tangan si nenek. Ditingkah mentari pagi,
wajahnya yang cantik amat menonjol.
Entah karena hatinya berguncang atau karena tak tahan hawa, dara itu tampak
gemetar.
Sejenak memandang dara itu, Han Ping menengadah memandang awan putih di langit
sambil berseru dengan nada dingin, “Apa maksud nona suruh aku berhenti?”
“Bagaimana engkau merasa kalau yang kusuruh berhenti itu engkau?” si dara balas
bertanya.
Han Ping tertegun, serunya, “Kalau tak suruh aku, ya sudahlah! “
Han Ping berputar tubuh ia terus lanjutkan langkahnya.
“Hm, sudah bagaimana, engkau masih mau apa lagi? “ si dara mendengus.
Han Ping berhenti dan berpaling memandang dara itu. Rupanya ia hendak marah tetapi
ditahannya lagi dan terus pergi.
Dara itu berteriak dengan penasaran, “Perlu apa memandang aku? Huh, tak tahu
malu!”
Han Ping tak dapat bersabar lagi. Ia berpaling dan membentak, “Siapa yang engkau
maki?”
Tiba-tiba dara itu tersenyum, “Siapa yang kumaki, apa pedulimu?”
Diam-diam dara itu heran. Jelas semalam pemuda itu terluka berat, mengapa dalam
waktu beberapa jam saja sudah sembuh kembali.
Rupanya Han Ping tak mau bentrok dengan dara itu. Sejenak merenung, ia berkata,
“Sudah berapa kali aku selalu mengalah. Janganlah engkau keliwat menghina…”
Habis berkata ia berputar diri dan melangkah lagi.
Tiba-tiba dara itu lepaskan tangannya yang memegang bahu si nenek lalu lari mengejar
Han Ping, serunya, “Eh, apakah engkau terburu-buru hendak mengantar jenazah….?”
Sekonyong-konyong Han Ping berpaling dan loncat ke depan si dara. “Engkau selalu
menyakiti hati orang, apakah engkau kira aku tak berani….”
Sebenarnya ia ingin mengatakan, “apakah aku tak berani memukulmu?”
Tetapi tiba-tiba ia tak melanjutkan kata-katanya karena merasa tak pantas berkata
begitu di hadapan seorang gadis.
Wut…. tiba-tiba si nenek loncat membolang-balingkan tongkatnya untuk menutuk tiga
buah jalandarah di tubuh Han Ping sehingga pemuda itu terpaksa mundur tiga langkah.
Si dara hadangkan tangan mencegah, “Bwe-nio, mundurlah. Dia tentu tak berani
memukul aku!”
Serangan si nenek itu membuat Han Ping terkejut gentar dan marah. Pikirnya, “Nenek
ini dapat menyalurkan tenaga-dalamnya ke ujung tongkat. Lukaku baru sembuh, entah
aku dapat atau tidak menghadapinya…”
Tetapi ia anggap data itu lancang mulut. Setiap kali tentu menyakiti hati orang. Jika tak
diberi sedikit hajaran tentu tak kapok. Sambil mengangkat tangan kanannya, ia berseru,
“Bagaimana engkau tahu kalau aku tak berani memukulmu?”
Rambut putih si nenek Bwe-nio menjulur tegang. Diam-diam ia salurkan tenaga-dalam
untuk bersiap. Asal Han Ping turun tangan, ia segera akan menyerangnya.
Sambil memandang tangan Han Ping, dara itu tertawa, “Tanganmu sudah engkau
acungkan. Jika tak berani memukul aku, bagaimana hendak engkau turunkan?”
Sambil tertawa cerah, dara itu melangkah perlahan-lahan menghampiri Han Ping.
Wajahnya yang cantik makin berseri gemilang karena bersenyum itu. Seketika tangan Han
Ping serasa lentuk tak bertenaga sehingga tak jadi memukul.
“Mengapa engkau tak memukul?” tiba-tiba dara itu berseru dingin.
Han Ping termangu-mangu.
“Mengapa engkau melamun? Takut aku mati?”
ooo000ooo
Masuk sarang harimau.
Hati Han Ping tergetar, pikirnya, “Sewaktu bergaul dengan kedua nona Ting, aku tak
mempunyai perasaan apa-apa. Aneh, mengapa aku terpesona melihat gadis ini tertawa?”
Cepat-cepat ia mengempos memangat. Setelah pikirannya terang, ia berkata dengan
tawar, “Mengingat budi pertolonganmu kepada nona Ting Ling, biarlah kali ini aku
mengalah lagi.”
Dalam berkata-kata itu, kepala Han Ping masih menengadah memandang ke langit.
Tiba-tiba hidungnya terbau serangkum hawa yang harum dan tahu-tahu. plakk,
plakk….! kedua belah pipinya yang halus sudah ditampar si dara. Tetapi sedikitpun tak
terasa sakit.
Dan saat itu terdengarlah si dara tertawa melengking, “Karena engkau tak memukul
aku, akulah yang memukulmu!”
Han Ping terbeliak dan mundur dua langkah lalu mengangkat tangan kanannya hendak
balas menampar. Tetapi hatinya serentak tergetar ketika melihat sepasang mata si dara
tampak ber-linang2 airmata. Diam-diam ia menimang, “Jika kutampar, dikuatirkan dia
akan mati …..”
Ah, di luar kesadarannya ia turunkan lagi tangannya itu, serunya, “Aku Ji Han Ping
adalah seorang anak lelaki, masakan mau bertengkar dengan seorang anak perempuan
seperti engkau!”
“Setiap membuka mulut tentu membanggakan dirimu seorang lelaki seorang jantan,
hm, apa sih yang engkau banggakan sebagai seorang lelaki? Bagaimana kalau dirimu
dibanding dengan Sin-ciu-it-kun?” tukas si dara.
“Sekalipun sekarang aku belum tentu dapat mengalahkannya tetapi pada suatu hari aku
pasti akan menghancurkannya?”
Dara itu tertawa, “Benar, soal besok, besok bicara lagi. Kalau sekarang, bukankah
engkau tak mampu mengalahkannya?”
“Aku terluka ketika berkelahi dengau gadis baju hitam sehingga tak dapat menempur
Thian-heng. Jadi, belum pernah mencobanya. Bagaimana dapat dipastikan aku tak dapat
mengalahkannya?” sahut Han Ping.
Mendengar nada ucapan Han Ping amat membenci Ih Thian-heng, dara itu tertawa,
“Kulihat kecuali berilmu tinggi, Ih Thian-heng itu seorang yang amat baik budi, sesuai
sekali dengan gelarnya sebagai Ksatrya-nomor-satu dari Sin-ciu.”
“Dia seorang manusia palsu. Lahirnya baik tetapi batinnya jahat sekali!” teriak Han
Ping.
Dara itu tertawa, “Bagaimana engkau tahu dia seorang jahat? Kurasa ia masih lebih
baik dari pada dirimu!”
“Aku jemu bicara dengan engkau, hm, pikiran orang perempuan!” Han Ping marah
terus berputar tubuh dan sekali loncat sudah beberapa tombak jauh lalu lari sepesatpesatnya.
Kim loji dan Ih Seng segera menyusul.
Memandang bayangan Han Ping yang lenyap dari pandangan mata, dara itu menghelanapas
lalu berpaling si nenek seraya mendamprat gemas, “Si tolol yang berotak udang….”
Bwe-nio tertawa, “Engkau menamparnya, memakinya. Sudah tentu dia lari ketakutan…”
Dara itu tengadahkan kepala memandang ke langit. Tiba-tiba ia berpaling ke arah si
Bungkuk dan si Pendek, serunya, “Hai, lekaslah kalian kembali ke gedung tempat Ih Thianheng.
Suruh dia dalam tiga hari, selambat-lambatnya lima hari, datang menemui aku di
gunung Bik-san-cung!”
Kedua tokoh itu tertegun. Pada lain saat mereka tersipu-sipu mengiakan lalu lari balik.
Tampak sepasang alis dara itu menjungkat ke atas. Pada seri wajahnya yang cantik,
memancar hawa pembunuhan yang menyala-nyala.
Bwe-nio tercengang lalu berkata dengan ramah, “Sin-ciu-it-kun Ih Thian-heng adalah
manusia yang paling ganas di dunia persilatan Tiong-goan. Perlu apa engkau suruh dia
datang ke Bik-lo-san?”
Sudut bibir dara itu merekah senyuman, ujarnya, “Aku hendak membantunya untuk
mengacau balaukan dunia persilatan Tiong-goan!”
Bwe-nio kerutkan alis, serunya, “Kita pesiar ke Tiong-goan ini, takkan campur urusan
orang lain. Perlu apa kita harus mengundang kesulitan?”
Sinar mata si dara yang cantik itu penuh dengan pancaran penasaran. Sahutnya dingin,
“Kuingin dunia persilatan Tiong-goan, saling bunuh membunuh sendiri sehingga mayat
malang melintang dan darah bergenangan membasahi bumi!”
Bwe-nio terkejut dan berpaling memandangnya. Tampak dara itu memandang ke langit
biru. Menggigit bibir dan mengerut wajah dendam penasaran. Suatu sikap yang berbeda
dengan keadaannya semula. Bwe-nio tak pernah melihatnya dalam sikap seperti saat itu.
Buru-buru ia memegang tangan dara itu dan dielus2nya seraya bertanya dengan lemah
lembut, “Nak, mengapa engkau hari ini? Kita tak punya dendam permusuhan suatu apa
dengan kaum persilatan Tiong-goan. Mengapa engkau hendak begitu?”
Sambil memandang jauh ke muka, dara itu menyahut dengan nada dalam, “Hm, aku
memang hendak bertindak begitu. Hendak mengaduk-aduk mereka supaya kacau
balau….”
Melihat sikap dara itu terpaksa Bwe-nio tak dapat berbuat suatu apa. Sampai beberapa
saat ia tertegun memandangnya. Dilihatnya kedua belah pipi dara itu merah muda. Tibatiba
ia menyadari. Tentulah dara itu letih, maklum karena tak pernah bekerja berat.
“Nak, jangan lama-lama berhenti di sini. Mari kita kembali ke gunung Bik-lo-san dulu!”
kata nenek itu.
Si dara mengangguk dan sambil memegang bahu si nenek, ia segera ikut berjalan
pelahan-lahan.
Tak berapa lama mereka tiba di sebuah hutan yang lebat dengan pohon siong. Di
bawah gerumbul pohon yang rindang, tampak sebuah kereta kuda. Begitu melihat si dara
dan Bwe-nio muncul, dua orang lelaki segera siap berdiri di samping kereta. Bwe-nio
memanggil mereka lalu mendukung dara itu ke atas kereta. Setelah menutup tenda maka
meluncurtah kereta di sepanjang jalan.
Sementara itu, setelah menerima dua buah tamparan dari si nona, hati Han Ping tak
keruan rasanya. Dengan marah ia lari. Kim loji dan Ih Seng buru-buru mengikutinya.
Setelah lari beberapa saat, kemarahan Han Ping agak reda. Dalam kesempatan itu
bertanyalah Kim lo-ji, “Anak Ping, apakah semalam di dalam gedung itu engkau bentrok
dengan mereka?”
“Tidak,” sahut Han Ping.
“Lalu mengapa engkau begitu lama dalam gedung itu?”
“Aku terluka.”
“Oh, siangkong terluka? Apakah bertempur dengan mereka?” tanya Ih Seng yang selalu
membahasakan Han Ping dengan Panggilan `siangkong` atau tuan yang baik budi.
“Memang banyak hal yang sukar diduga,” kata Han Ping, “aku telah berjumpa dengan
anak perempuan Siangkwan Ko!”
“Dia terkenal paling sukar dihadapi. Apakah siangkong berkelahi dengannya?”
Han Ping hanya mengangguk tersenyum.
“Kalau engkau terluka bagaimana engkau hendak melanjutkan perjalanan. Apakah tak
membahayakan lukamu?” tanya Kim loji cemas.
Han Ping mengatakan bahwa saat itu lukanya sudah hampir sembuh. Sebenarnya ia
hendak menuturkan tentang cara ia menyembuhkan lukanya itu. Tetapi mengingat hal itu
akan menyangkut nama Hui Gong taysu, suatu hal yang tak boleh disiarkan kepada orang
lain. terpaksa Han Ping tak mau melanjutkan keterangannya dan hanya menerangkan,
“Setelah beristirahat menyalurkan darah, lukaku itupun sembuh.”
“Anak Ping, apakah engkau kenal kepada dara baju ungu itu?!” tanya Kim-loji pula.
“Tak kenal….,” Han Ping menggeleng. Tiba-tiba ia merasa salah jawab dan cepat
berkata lagi, “Sesungguhnya aku sudah beberapa kali bertemu. Semalam dalam gedung
itupun berjumpa lagi.”
Kim Loji kerutkan alis. Jika pemuda itu tak mengatakan sejujurnya, Kim loji dapat
menduganya. Tetapi karena pemuda itu, menerangkan se-jujurnya, Kim loji malah
bingung. Paling2 ia hanya menduga kemungkinan Han Ping tak senang membicarakan
dara itu. Maka iapun tak mau menanyakan lebih lanjut.
Sambil memandang langit, Ih Seng bertanya, “Apakah semalam dalam gedung itu anda
bertemu dengan Ih Thian-heng?”
“Ya,” sahut Han Ping, “ketika aku terluka setelah bertempur dengan anak perempuan
Siangkwan Ko, Ih Thian-heng menolong aku.”
Ih Seng melongo sampai lama baru ia menghela napas, ujarnya, “Jika Ih Thian-heng itu
benar-benar seperti yang dikatakan Kim lo-cianpwe, tak mungkin dia mau memberi
pertolongan kepada anda.”
Dengan ucapan itu jelas bahwa Ih Seng masih tetap menaruh kepercayaan kepada Ih
Thian-heng.
Mendengar itu timbullah keraguan Han Ping.
Menilik sikap dan tingkah laku Ih Thian-heng yang begitu baik dan ksatrya, mungkinkah
ia sampai melakukan perbuatan yang seganas itu?
Sebagai seorang tua yang berpengalaman luas tahulah Kim Loji akan isi hati Han Ping
saat itu. Ia menghela napas, “ Anak Ping, semalam apakah ada orang lain yang
menyaksikan Ih Thian-heng menolong engkau?”
“Pengemis sakti Cong lo-cianpwe dan pemilik benteng marga Siangkwan yakni
Siangkwan Ko!”
“Bukankah lebih dulu dia menolong anak perempuan Siangkwan Ko baru kemudian
menolong engkau?”
Han Ping terkejut, serunya, “Benar! Bagaimana paman dapat mengetahui hal ini?”
Tiba-tiba wajah Kim loji berobah tegang, serunya, “Ping-ji, apakah dalam menolong
kalian itu, dia memberikan pil supaya kalian meminumnya?”
Han Ping merenung beberapa jenak lalu menngiakan, “Rasanya memang ada ….”
“Anak Ping! Apakah engkau meminumnya?” Kim loji makin tegang.
“Tidak! Lebih dulu ia memberi pil kepada anak perempuan Siangkwan Ko tetapi direbut
Cong lo-cianpwe!”
Kim loji menghela napas longgar, “Ah, Pengemis-sakti Cong To itu benar-benar hebat.
Dia memiliki kecerdasan yang luar biasa.”
Han Ping heran dan hendak meminta keterangan tetapi Ih Seng sudah
mendahuluinya:.”Sungguh aku tak mengerti maksud ucapan Kim lo-cianpwe. Apakah
dalam memberi pertolongan itu, Ih Thian-heng juga bermain sandiwara?”
“Di sinilah letak perbedaan ksatrya dengan manusia rendah,” kata Kim loji, “tampaknya
dengan memberi pil itu, dia telah melakukan perbuatan yang terpuji. Tetapi sesungguhnya
pil itu mengandung racun yang luar biasa ganasnya. Beberapa bulan kemudian barulah
obat itu menghancurkan alat2 dalam tubuh orang. Sekalipun tabib sakti Hoa To hidup lagi,
tak mungkin mampu menyembuhkan….”
“Hai, benarkah itu?” Ih Seng terkejut.
Kim loji tertawa nyaring, “Anak Ping, bukankah setelah pil itu direbut Cong To, Ih
Thian-heng berusaha merebutnya kembali?”
“Benar,” sahut Han Ping, Ih Thian-heng cepat menerjang hendak merebut pil itu dari
Cong lo-cianpwe.”
“Itulah,” kata Kim loji, “kalau pil itu berada di tangan Pengemis-sakti, perbuatan palsu
dari Ih Thian-heng pasti akan diketahui seluruh dunia persilatan, oleh karena itu ….”
Tiba-tiba wajah Kim loji berobah ….
Jilid 18 : Sarung Pedang Pemutus Asmara terampas oleh Ih Thian Heng
Bagian 33
Duel
Han Ping dan Ih Seng heran melihat perubahan wajah dan sikap Kim Loji. Tetapi belum
sempat bertanya, Kim Loji sudah mengajak Han Ping berjalan lagi.
Melihat wajah paman gurunya itu mengunjuk kerut ketakutan, Han Ping tak berani
bertanya lebih lanjut. Ia mengikuti berjalan di belakangnya.
Ih Seng seorang persilatan yang banyak pengalaman. Ia duga Kim Loji tentu
menyimpan sesuatu. Ia memandang ke seluruh dan ah . . . . benarlah. Pada tanah rumput
yang terpisah empat lima tombak jauhnya, tampak sebuah piagam yang berkilat-kilat
memancarkan cahaya perak. Kecuali itu, tiada terdapat apa-apa lagi.
Ketika berpaling ke muka, Kim Loji dan Han Ping sudah jauh beberapa tombak di muka.
Seketika timbul pikirannya untuk melihat piagam itu.
Cepat ia berbalik tubuh dan loncat ke tempat piagam itu. Dalam dua kali loncatan saja,
ia sudah tiba di sebelah benda itu. Ketika mengamati, ternyata piagam perak itu terdapat
ukiran gambar sebatang tulang putih. Diangkatnya piagam itu, ah, berat juga. Rupanya
terbuat daripada bahan perak murni.
Saat itu Kim Loji dan Han Ping sudah berjalan belasan tombak jauhnya. Ih Seng tak
sempat memeriksa lebih teliti lagi. Cepat ia masukkan piagam itu ke dalam saku lalu
bergegas menyusul kedua orang itu.
Tetapi ternyata Kim Loji berjalan makin pesat. Dia tak pernah berpaling ke belakang
walaupun sebentar saja. Sikapnya seperti orang yang dikejar setan. Terpaksa Han Ping
dan Ih Seng mengikutinya saja.
Tak berapa lama, tibalah mereka di tepi sebuah hutan. Pada saat itu Ih Seng segera
mengeluarkan piagam perak tadi dan bertanya kepada Kim Loji : "Bukankah Kim
locianpwe melihat benda ini ?"
Piagam itu kecil bentuknya. Kecuali ukiran tulang putih, tak ada lain-lain hal yang
istimewa. Tetapi begitu melihat benda itu, seketika berubahlah wajah Kim Loji. Dahinya
mengucurkan keringat dingin.
Sudah tentu Han Ping heran. Meminta benda itu dari Ih Seng, ia berkata : "Apakah
yang istimewa dengan benda ini sehingga paman ketakutan ?"
Sambil menatap piagam kecil itu, Kim Loji menyahut : "Balik dan periksalah piagam itu
!"
Han Ping menurut. Di balik piagam itu terdapat dua baris kata, berbunyi :
Piagam pencabut nyawa
Siapa melihat, mati.
Kecuali tulisan itu tak ada lain-lain tanda yang mencurigakan lagi.
Tiba-tiba Ih Seng tertawa : "Uh, sungguh heran. Adakah kalian juga terkena peraturan
itu ? Ah, hanya Ih Thian Heng yang tahu. Kusaksikan sendiri, dalam waktu semalam saja
ia sudah cepat menyebarkan 6 buah piagam. Sebelum terang tanah, tiada seorangpun dari
keenam orang itu dapat lolos dari peraturan piagam. Masuk ke dalam sarang ular dan
digigit mati oleh ular beracun . . . ."
"Ji siangkong, lepaskan. Itu, itu . . . . piagam beracun !" tiba-tiba Ih Seng memekik
keras.
"Paman," bisik Han Ping, "apakah yang engkau pikirkan ?"
Kim Loji hentikan langkah lalu berputar tubuh perlahan-lahan. Ketika memandang
wajah pamannya itu kejut Han Ping bukan kepalang.
Wajah Kim Loji tampak berwarna biru gelap, keringat membanjir deras. Rupanya
seperti orang yang menderita kekagetan hebat.
"Kim Locianpwe, mengapa engkau ?" seru Ih Seng.
Kim Loji mengambil saputangan, mengusap peluhnya : "Anak Ping, aku hanya dapat
hidup sampai setengah hari saja ! Nanti sebelum malam tiba, aku tentu sudah mati secara
mengenaskan sekali."
"Mengapa ?" Han Ping terkejut.
Perlahan-lahan Kim Loji berpaling memandang empat penjuru lalu duduk. Ia pejamkan
mata bersemedhi. Tak herapa lama wajahnya agak merah. Ujarnya : "Karena kupernah
melihat piagam maut dari Ih Thian Heng itu. Barang siapa melihat, tentu akan mati !"
"Masakan begitu ?"
Kim Loji tertawa hambar, ujarnya : "Piagam maut itu selalu dibawa oleh Ih Thian Heng.
Kecuali dia, tak boleh lain orang menjamah piagam itu. Sekali piagam itu muncul tentu ada
orang yang mati. Dalam waktu 4 jam. Orang yang melihat piagam itu akan mati terputus
tubuh atau segera menerima kematian digigit kawanan ular beracun. Hukuman itu tiada
yang melebihi ganasnya !"
Diam-diam Han Ping menimang. Ia heran mengapa orang yang selalu menghias kulum
senyum di bibir dapat melakukan hukuman yang begitu ganas.
Han Ping cepat berputar tubuh dan mengamati diri Ih Seng. Ah . . . . ternyata tangan
kiri Ih yang mencekal piagam tadi, mulai menguap hitam.
"Anak Ping dan saudara Ih, lekas salurkan tenaga murni untuk menutup seluruh jalan
darah dalam tubuhmu. Jangan sampai racun menjalar ke dalam tubuhmu . . . ."
Sekonyong-konyong dari dalam hutan, terdengar suara orang berseru dengan dingin :
"Ah, sayang sudah terlambat. Piagam perak itu memang dilumuri racun yang tiada
bandingan keganasannya. Sekali menjamah piagam, racun segera melekat pada tubuh.
Jika ingin selamat, lekas kutungilah lengan yang digunakan mengambil piagam tadi !"
Ketika menunduk dan memeriksa, Ih Seng dapatkan lengan kirinya menghamburkan
asap hitam, yang merayap ke atas. Kejutnya bukan kepalang.Bburu-buru ia kerahkan
tenaga dalam untuk menutup jalan darah lengannya itu. Sambil mencabut pedang, ia
membentak : "Hai, siapakah yang main sembunyi seperti setan itu ?"
Han Ping lain lagi tindakan. Cepat ia sabitkan piagam itu ke arah orang yang berseru
dari dalam hutan itu. Habis melontar, cepat ia menerjang ke dalam hutan.
Piagam itu melayang ke arah semak belukar yang lebat, terus lenyap. Serempak itu
Han Pingpun tiba. Sebelum kaki menginjak tanah, ia lepaskan sebuah hantaman ke arah
semak itu.
Pukulan pemuda itu dapat menyiak semak belukar. Ia percaya orang yang bersembunyi
dalam semak itu pasti terpaksa keluar. Bila orang yang tak diketahui itu muncul keluar, ia
akan berusaha meringkusnya dan memaksanya supaya memberi obat penawar racun
untuk Ih Seng.
Tetapi ternyata tiada seperti yang diharap. setelah tersiak ke samping, semak rumput
itu pun mengatup lagi. Tetapi orang yang berseru tadi tak kelihatan batang hidungnya.
Semak rumput itu selain amat lebat juga rumputnya tumbuh setinggi orang. Sampai
dua tiga tombak Han Ping menyusup ke dalam semak, tetap orang tadi tak tampak. Diamdiam
ia heran, pikirnya : "Jelas orang yang bicara tadi, berasal dalam semak ini. Masakan
aku salah dengar ? Dan karena semak ini amat lebat sekali, setiap orang melakukan
gerakan, walaupun memiliki ilmu meringankan tubuh yang tinggi, tetap tentu menerbitkan
suara. Tetapi aneh sekali. Mengapa orang itu lenyap tak berbekas . . . ."
Tiba-tiba ia mendengar pada jarak dua tombak di sebelah kiri, bunyi gerakan rumput
kering yang cukup keras. Cepat ia menggerung seraya apungkan tubuh ke udara. Di
tengah udara ia berputar tubuh lalu melayang ke arah tempat itu.
Cepat sekali Han Ping bergerak. Ia tiba selagi semak rumput itu masih bergerak-gerak.
Tetapi aneh benar. Disitupun Han Ping tak melihat barang seorang manusiapun juga.
Seketika meluaplah amarahnya.
"Main sembunyi seperti tikus, bukankah laku seorang lelaki !" teriaknya seraya
gerakkan sepasang tinju.
Dess . . . . deru angin pukulan itu berhamburan memenuhi empat penjuru. Memang
tenaga saktinya sekarang, sudah mencapai tataran yang tinggi. Ranting dan daun-daun
berhamburan keempat penjuru.
Setelah melepaskan 20 pukulan, barulah ia berhenti. Rumput-rumput kering seluas
setombak, telah bersih semua sehingga terbuka sebuah tanah kosong. Namun orang itu
tetap tak kelihatan.
Pada saat ia terbenam dalam keheranan, tiba-tiba ia mendengar suara mendesah
tertahan. Ia tersentak kaget, pikirnya : "Celaka ! Mereka telah gunakan siasat untuk
memikat aku kemari dan kemudian turun tangan kedua orang itu . . . ."
Cepat ia loncat keluar. Ketika keluar dari gerumbul semak, astaga ! Kim Loji dan Ih
Seng lenyap !
"Paman !" teriaknya segera memburu ke tempat Kim Loji beristirahat tadi.
Ah . . . . Ih Seng menggeletak di tanah. Matanya menutup, pedang perak dan kipas
besi terkapar di sisinya. Tetapi Kim Loji tak tampak.
Ketika memeriksa, nyatalah Ih Seng ditutuk jalan darahnya. Buru-buru ia menolongnya.
Ih Seng menghela napas panjang, ujarnya : "Kim locianpwe dibawa orang, lekaslah
siangkong mengejarnya !"
"Ke arah mana ?"
"Ke utara . . . . dari arah kita datang tadi !"
"Kalau begitu tentu kembali ke gedung Ih Thian Heng lagi . . . ." sekali loncat, Han Ping
terus lari ke utara. Kira-kira dua li jauhnya, tiba-tiba ia mendapat pikiran. Ia hentikan
larinya lalu loncat ke atas sebatang pohon besar. Dengan bergelantungan pada dahan, ia
ayunkan diri ke atas puncak.
Saat itu matahari sedang bersinar terang benderang. Dan dari ketinggian puncak pohon
itu dapatlah ia melihat jelas keseluruh penjuru. Tak jauh di jalanan sebelah barat, tampak
sebuah kereta tengah meluncur. Kecuali kereta itu, tak ada lain benda lagi.
Cepat ia melayang turun ke bumi lagi. Pikirnya : "Empat penjuru daerah ini terdapat
banyak gerumbul rumput yang lebat dan dapat dipergunakan bersembunyi. Jika dia
bersembunyi, tentu sukar mencarinya . . . ."
Saat itu barulah ia menyadari bahwa di dunia memang terdapat banyak hal yang sulit.
Hal yang tak selalu dapat dipecahkan dengan mengandal kepandaian ilmu silat saja.
Ketika berpaling ke belakang, dilihatnya Ih Seng tengah berjalan mendatangi dengan
langkah terhuyung-huyung.
Buru-buru ia menyongsongnya : "Apakah lukamu amat parah ?"
Ih Seng menggeleng : "Memang saat ini darah masih belum lancar tetapi mungkin
sehari saja tentu sudah baik. Apakah siangkong sudah melihat jejak Kim locianpwe ?"
"Belum !"
Ih Seng merenung beberapa saat, ujarnya : "Urusan sudah sampai begini, terburuburupun
tiada gunanya. Sekeliling tempat di sini penuh dengan gerumbul rumput. Mereka
dapat menyembunyikan diri dengan leluasa dan sukar dicari. Rasanya hanya menuju
kembali ke gedung itu untuk mendapatkan Ih Thian Heng."
Sambil memandang ke langit, Han Ping berkata seorang diri : "Jika ia berada di sini
tentu dapat memikirkan daya."
"Siapakah yang siangkong maksudkan ?" tanya Ih Seng.
"Nona Ting Ling dari Lembah Raja setan itu. Dia cerdas dan cermat. Banyak akal dan
dapat memperhitungkan sesuatu dengan tepat."
Mendengar itu diam-diam Ih Seng penasaran. Masakan dia seorang tokoh yang
kenyang berkecimpung dalam dunia persilatan, kalah dengan seorang anak perempuan
saja ?
Segera ia berdiam diri memutar otak. Tetapi kecerdasan itu memang pembawaan otak
sejak dilahirkan. Umur dan pengalaman walaupun menambah luasnya pengetahuan, tetap
tak dapat membantu mengembangkan kecerdasan. Oleh karenanya, walaupun sudah
berpikir sampai setengah hari, dia tetap belum mampu menemukan daya upaya.
Karena sampai sekian lama menunggu, Han Ping tak sabar dan segera menegurnya :
"Saudara Ih, bagaimanakah orang yang menyerang itu ?"
Ih Seng tertegun. Wajahnya merah kemalu-maluan, sahutnya : "Belum sempat kulihat,
orang itu sudah mendahului menutuk jalan darahku. Yang dapat kuketahui hanya dua
sosok bayangan berpakaian biru, menyanggul golok . . . ."
Kata Han Ping dengan tegas : "Harap saudara Ih mencari tempat beristirahat yang sepi
untuk merawat luka. Besok siang kita bertemu lagi di sini. Jika aku tak datang, berarti
terjadi sesuatu. Harap saudara Ih pulang dan lanjutkan memegang kedudukan pemimpin
kaum Rimba Hijau di daerah saudara !"
"Bagaimana mungkin ? Aku sudah memutuskan untuk ikut kepadamu . . . ."
Han Ping menghela napas : "Engkau ikut pergipun tak dapat membantu kerepotanku.
Kebalikannya bahkan merepotkan aku untuk melindungimu. Rasanya lebih baik engkau
pulang saja . . . ." - ia terus berputar tubuh dan melangkah menuju ke arah gedung.
Ih Seng lekas cepat mengejar untuk meminta anak muda itu berhenti dulu. Han Ping
menurut dan minta Ih Seng lekas mengatakan maksudnya.
"Aku hendak mencari tempat bersembunyi di luar gedung menunggu siangkong !"
katanya.
Setelah merenung sejenak, Han Ping menyetujui : "Baiklah, jika sampai matahari silam
aku belum keluar, tak perlu engkau menunggu lagi !"
"Jika siangkong sampai mendapat kecelakaan dalam gedung itu, aku hendak
menyiarkan kepada seluruh kaum persilatan tentang kejahatan Ih Thian Heng. Kemudian
aku hendak mengadu jiwa !"
Han Ping mengeluarkan pedang Pemutus asmara. Ia menghunus batang pedang dan
menyerahkan sarung kepada Ih Seng.
"Peta yang terdapat pada sarung pedang itu, merupakan rahasia dari harta karun yang
tersimpan dalam makam tua itu. Jika aku kalah, sarung pedang itu tentu akan diambil Ih
Thian Heng. Harta karun dalam makam tentu akan jatuh ke tangannya. Simpanlah sarung
pedang itu. Jika sampai terjadi sesuatu pada diriku, serahkanlah sarung pedang itu kepada
Pengemis sakti Cong To dan ceritakan semua pengalaman yang kita jumpai dalam makam
tua itu. Mintalah kepadanya supaya mengambil harta di dalam makam tua . . . ."- Han
Ping berhenti sejenak lalu membolang balingkan pedang pusaka Pemutus asmara seraya
berseru : "Pedang, pedang Pemutus asmara ! Walaupun tajammu tiada taranya tetapi
dunia menganggapmu sebagai benda terkutuk. Semoga kali ini engkau dapat membantu
aku untuk membalaskan sakit hati ayah bundaku . . . ."
Pedang itu memancarkan cahaya berkilat dan angin dingin yang menegakkan bulu
roma. Ih Seng terpaksa mundur sampai tiga langkah.
Ketika melihat anak muda itu mainkan pedang, Ih Seng terkejut heran. Yang dimainkan
Han Ping itu ternyata suatu gerak ilmu pedang yang luar biasa hebatnya. Ih Seng
terlongong-longong memandangnya.
Han Ping hentikan pedangnya. Wajahnya tampak tenang. Ternyata yang dimainkan tadi
adalah ilmu pedang jurus Empat penjuru pedang sakti dalam kitab Tat-mo-ih-kin-keng
yang diuraikan oleh mendiang Hui Gong taysu. Dalam memainkan ilmu pedang itu harus
bersikap tenang dan serius.
Ilmu pedang Empat penjuru pedang sakti itu, walaupun terdiri dari empat jurus, tetapi
merupakan gerak pedang yang dilambari tenaga sakti tinggi.
Tetapi Han Ping sendiri tak menyadari kehebatan permainan pedang itu. Adalah karena
kesal hati memiliki pedang pusaka tetapi merasa tak memiliki suatu ilmu pedang yang
sakti, maka tanpa terasa ia mainkan pedang menurut ajaran Hui Gong taysu. Sekali
mainkan jurus itu, tenaga saktinyapun memancar dan tercurahlah seluruh semangat
perhatiannya.
Sebagai pemimpin kaum Rimba Hijau dari empat propinsi, Ih Seng sangat dimalui orang
berkat senjatanya pedang perak dan kipas besi. Dalam ilmu pedang ia sudah mengabdikan
diri selama 20 tahun. Apabila bertemu dengan jago pedang, ia selalu memperhatikan
gerakannya. Pengalaman dan pengetahuannya dalam ilmu pedang itu dituang dalam
sebuah ciptaan permainan pedang dan kipas yang terdiri dari 13 jurus. Sesungguhnya,
dalam ilmu pedang, ia telah mempunyai keyakinan yang amat mendalam sekali.
Namim ketika melihat permainan pedang Han Ping yang sedemikian aneh, ia terkesiap.
Belum selama ini ia menyaksikan permainan ilmu pedang yang begitu penuh dengan
perubahan-perubahan tak terduga.
Tiba-tiba pemuda itu menghela napas, ujarnya : "Terima kasih atas kesungguhan
hatimu terhadap diriku. Di dunia jarang terdapat seorang sahabat sejati. Kepergianku
mencari Ih Thian Heng kali ini, belum tentu berhasil. Entah mati entah hidup, belum dapat
kupastikan. Mungkin sejak itu, setan dan manusia akan terpisah selama-lamanya . . . ."
"Ah, siangkong, orang baik tentu dilindungi Tuhan . . . ."
Han Ping tertawa hambar, serunya : "Sejak bertempur dengan putri dari ketua marga
Siang kwan barulah kusadari bahwa ilmu silat itu benar-benar tiada batasnya. Karena
dapat menolong kami berdua saat itu, tentulah kepandaian Ih Thian Heng itu tak di
bawahku . . . ."
"Benar," sahut Ih Seng, "Ih Thian Heng adalah tokoh yang paling disegani oleh
golongan Hitam maupun Putih di daerah Kanglam-Kangpak. Dia dipandang sebagai tokoh
nomor satu. Sekalipun engkau memiliki kepandaian yang hebat tetapi mungkin masih
sukar untuk menandinginya . . . ."
Han Ping memandang ke arah cakrawala. Beberapa saat kemudian baru ia berkata pula
: "Sekalipun aku tak takut mati tetapi selama cita-cita belum terlaksana, sukarlah bagiku
mati dengan tenteram."
"Apabila siangkong hendak memberi pesan apa-apa, silahkan mengatakan, aku tentu
melakukan . . . ." tiba-tiba Ih Seng hentikan kata-katanya karena ia merasa ucapannya itu
berarti sudah memastikan bahwa Han Ping tentu akan binasa.
Kata Han Ping : "Engkau banyak membantu aku. Sebagai anak, aku merasa sedih sekali
karena belum pernah berlutut memberi sembah sujud di hadapan makam kedua orang
tuaku . . . ."
"Benar," sahut Ih Seng, "pasti akan kulakukan hal itu untuk siangkong."
"Masih ada lagi mendiang guruku yang telah mengorbankan putranya sendiri demi
menolong aku kemudian merawatku sampai besar. Juga makamnya tiada orang yang
menaburkan bunga . . . ." ia berhenti sejenak lalu melanjutkan pula "akupun telah
meluluskan untuk melaksanakan pesan mendiang Hui Gong taysu. Jika hal itu gagal,
bukankah berarti menyia-nyiakan jerih payahnya . . . ."
Han Ping mengoceh sendiri, menumpahkan seluruh isi hatinya selama ini. Sudah tentu
Ih Seng tak mengerti apa yang diucapkannya itu.
Beberapa jenak kemudian barulah Han Ping berpaling memandang Ih Seng dan
tersenyum : "Apa yang kukatakan tadi adalah seluruh isi hatiku. Sudah tentu engkau tak
mengerti."
"Apakah siangkong mengatakan . . . ." karena diliputi bajangan bahwa kepergian Han
Ping kali ini tentu akan binasa maka hati Ih Seng diliputi dengan rasa kesedihan sehingga
ia tak mendengar jelas apa yang dikatakan pemuda itu.
Tiba-tiba dengan nada perwira ia bersenandung kecil : "Angin berhembus, airpun
mendingin . Sekali seorang ksatria pergi, takkan kembali lagi . . . ."
Ih Seng serentak maju dua langkah seraya menjura memberi hormat : "Kepandaian
siangkong tidak di bawah Sin-ciu-it-kun Ih Thian Heng. Mungkin hanya kalah tenaga saja.
Oleh karena itu kalau berhadapan dengan dia, janganlah mengadu kesaktian tenaga.
Selama gunung masih menghijau, masakan takut tak mendapat kayu . . . ."
Sahut Han Ping : "Satu-satunya sahabat baik dari almarhum ayahku hanya tinggal
paman Kim seorang. Jika tak mampu menolongnya, masakan aku masih ada muka untuk
bertemu orang ?"
Habis berkata pemuda itu terus berputar tubuh terus melangkah ke muka.
Ih Seng yang berwatak angkuh dan tinggi hati, saat itu dua titik airmata. Sambil
mengangkat tangan, ia mengantarkan doa puji : "Semoga siangkong diberkahi
keselamatan . . . ."
Tiba-tiba Han Ping berhenti dan berpaling. Serunya tertawa : "Ah, kebaikan budi
saudara Ih, aku belum dapat membalas . . . ."
Ih Seng cepat mengusap airmatanya lalu memandang anak muda itu. Tiba-tiba hatinya
agak bergetar. Ternyata air muka pemuda itu berubah. Tidak lagi menampilkan keputusasaan,
melainkan memancar penuh keyakinan. Dan pada lain saat terdengar kata-kata
ramah dari pemuda itu.
"Ah, kini aku teringat akan beberapa jurus ilmu silat yang terdiri dari Tiga pedang dan
Tiga pukulan. Keenam jurus itu masing-masing berdiri sendiri-sendiri, tiada saling
bersangkut-paut. Akupun tak tahu asal sumbernya. Tetapi yang jelas apabila digunakan,
perbawanya amat dahsyat sekali. Biarlah dalam waktu yang amat singkat ini, keenam
jurus ilmu pedang dan pukulan itu kuajarkan kepada saudara Ih. Mudah-mudahan saudara
dapat meyakinkan sendiri," kata Han Ping.
Pada saat Ih Seng hendak menolak, Han Ping sudah maju menghampiri, serunya
perlahan : "Saudara Ih, perhatikanlah. Pukulan ini disebut Burung hong keluar sarang . . .
." - ia lempangkan tangan ke dada lalu didorongkan agak mencondong.
Pertama lurus ke muka, setengah jalan tiba-tiba dibalikkan ke kiri. Setelah menjulur
lurus lalu ditamparkan balik ke kanan.
Sebagai tokoh yang berpengalaman, sekali lihat saja, Ih Seng sudah mengetahui. Buruburu
ia menirukan. Tampak jurus Burung hong keluar sarang itu sederhana sekali. Tetapi
ketika dilakukan, Ih Seng merasa bingung. Sudah 10 kali mengulang, tetap ia belum
mampu menguasai rahasia inti keindahannya.
Karena ingin lekas-lekas menolong Kim Loji, Han Ping tak punya banyak waktu. Belum
Ih Seng paham seluruhnya, ia sudah mulai mengajarkan lagi jurus yang kedua.
Jurus kedua itu disebut Halilintar menggetar ribuan kait. Suatu pukulan yang penuh
dengan kekerasan dahsyat sehingga menggunakan tenaga penuh.
Setelah Ih Seng berlatih 10 kali, Han Ping segera mengajarkan jurus yang ketiga,
disebut Seribu tali sebuah jala. Merupakan ilmu pukulan yang aneh, mengutamakan
sambaran dan cengkeraman. Penuh dengan perubahan-perubahan.
Selesai tiga jurus ilmu pukulan itu, sudah memakan waktu sepenanak nasi lamanya.
Sejenak memandang ke cakrawala, Han Ping segera meminjam pedang Ih Seng lalu
dibolang-balingkan dua lingkaran kemudian menusuk.
"Jurus ilmu pedang ini disebut Pohon besi berbunga perak. Sekarang sudah siang, maaf
aku tak dapat mengajarkan kedua jurus yang lainnya . . . ." kata Han Ping. Setelah
memainkan sekali lagi jurus itu, ia letakkan pedang lalu loncat dan lari menuju ke gedung
milik Ih Thian Heng.
Pada saat Ih Seng memungut pedang, Han Ping empat lima tombak jauhnya dan pada
lain kejap sudah lenyap dari pandangan mata.
Matahari menjulang tinggi di langit. Angin berhembus membaur muka. Ih Seng
menghela napas lalu menyimpan sarung pedang pusaka pemberian Han Ping tadi, terus
hendak mencari tempat bersembunyi. Sekonyong-konyong terdengar suara orang tertawa
dingin . . . .
Ih Seng terkejut dan cepat berpaling. Dari balik sebuah gerumbul rumput yang tak jauh
di sebelah muka, muncul seorang lelaki pertengahan umur. Mengenakan jubah dan topi
persegi. Gayanya seperti seorang terpelajar, mulutnya mengulum tawa.
Seketika tergetarlah semangat Ih Seng, serunya serentak : "Bukankah engkau Sin-ciuit-
kun Ih Thian Heng ?"
Orang itu tertawa : "Ah, benar. Benda apakah yang saudara Ih pegang itu ?"
Ih Seng mengacungkan pedang peraknya : "Apakah ini . . . ."
Ih Thian Heng menggeleng : "Bukan itu tetapi yang berada di tangan kirimu itu !"
Sambil memandang ke arah sarung pedang yang dipegang di tangan kiri, Ih Seng
berseru : "Apakah saudara menanyakan benda ini ?"
Ih Thian Heng tertawa mengangguk.
"Benda ini kepunyaan seorang sahabat yang minta tolong supaya kusimpankan"
"Ah, masakan hendak engkau simpan ? Bukankah hendak engkau berikan kepada
Pengemis sakti Cong To ?" seru Ih Thian Heng, seraya menghampiri ke muka Ih Seng lalu
ulurkan tangan kanan berseru sambil tertawa : "Boleh pinjam lihat benda itu sebentar saja
?"
"Ini . . . ."
Ih Thian Heng cepat menukas : "Aku tak senang menerima kebaikan. Jika saudara Ih
suka menyerahkan benda itu, tentu akan kuobati racun pada tangan saudara."
Sesungguhnya Ih Seng hampir melupakan tentang tangannya yang keracunan itu. Demi
mendengar kata Ih Thian Heng, segera ia menunduk mengamati tangannya. Bengkaknya
sudah lenyap tetapi berganti dengan bintik-bintik merah. Ia heran, pikirnya : "Semula
racun itu seperti berbahaya tetapi mengapa belum diobati sudah hilang sendiri . . . ."
Sin-ciu-it-kun Ih Thian Heng tersenyum, ujarnya : "Saudara Ih tentu mengira bengkak
itu sudah sembuh dan tak perlu diobati lagi, bukan ? Ah, sebenarnya racun itu sudah
menyusup masuk ke dalam kulit dan bercampur dengan darah. Apabila racun itu sudah
bekerja, seluruh tubuh akan membusuk dan mati."
"Apa ?" teriak Ih Seng.
Dengan nada bersungguh, Ih Thian Heng menegaskan : "Aku berkata dengan
sebenarnya. Jika saudara Ih tak percaya, cobalah saudara mencungkil bintik-bintik merah
itu dengan ujung pedang dan lihatlah darahnya berwarna bagaimana. Segera saudara
tentu percaya omonganku !"
Sejenak Ih Seng bersangsi kemudian ia melakukan juga. Ternyata darah yang
mengucur dari bintik merah itu berwarna ungu tua.
Ih Thian Heng tertawa : "Sejam lagi, racun itu akan menyerap ke seluruh tubuh
saudara. Jika racun sudah mengalir ke jantung, jangan harap mendapat obat lagi !"
Ih Seng tertawa dingin dan tiba-tiba membentak : "Semula kaum persilatan golongan
Hitam maupun Putih amat mengindahkan sekali kepadamu dan memberikan nama yang
agung Ksatria utama dari Sin-ciu. Mereka mengira engkau benar-benar seorang tokoh
yang berbudi luhur. Tetapi ternyata kesemuanya itu hanya pulasan belaka. Engkau tak
lebih dari seekor harimau yang berselimut kulit domba . . . ."
Ih Thian Heng hanya tersenyum : "Aku tak suka memaksa orang. Jika saudara Ih
memang tak mau meminjamkan benda itu, akupun takkan memaksa." - Habis berkata, ia
terus berputar tubuh dan pergi.
Memandang ke langit, Ih Seng diam-diam berpikir : "Taruh kata keterangannya itu
benar, aku masih mempunyai waktu hidup selama tiga hari. Aku harus menggunakan
waktu tiga hari itu untuk mencari Cong To dan menyerahkan benda ini . . . ."
Tiba-tiba terlintas sesuatu, pikirnya ; "Tetapi aku sudah berjanji hendak menunggunya
di sini. Ah, apakah harus ingkar janji ?"
Demikian karena merasa kedua hal itu sama pentingnya, Ih Seng tak segera dapat
mengambil keputusan.
Memandang kemuka tampak bayangan Ih Thian Heng mulai lenyap dalam gerumbul
rumput. Hati Ih Seng serasa pedih. Sifat kegagahannyapun lenyap. Ia menghela napas.
"Dia mau menyerahkan benda berharga ini kepadaku, berarti percaya penuh bahwa aku
tentu dapat memberikan benda ini kepada Cong To. Jika sampai tak mampu mengerjakan,
bukanlah aku menyia-nyiakan kepercayaannya ? Apalagi harta karun dalam makam itu
bernilai seharga pembelian sebuah negeri. Pula terdapat pusaka Tenggoret Kumala dan
Kupu-Kupu Emas yang jarang terdapat di dunia persilatan. Jika harta pusaka itu sampai
jatuh ke tangan Ih Thian Heng, tentu celakalah dunia persilatan. Hm, aku harus
menyerahkan kepada Pengemis sakti Cong To . . . ." ia mengoceh seorang diri.
Tiba-tiba dari balik gerumbul rumput terdengar bunyi rumput tersiak. Cepat ia
berpaling. Entah dan mana, tahu-tahu muncullah enam anak lelaki baju putih,
mengepungnya dengan menghunus pedang pendek. Mereka rata-rata berumur 14-15
tahun, berubah terang tetapi agak bengis. Mata mereka berkilat tajam.
Sebagai seorang persilatan, sepintas memandang tahulah Ih Seng bahwa keenam anak
itu bukan bocah sembarangan. Diam-diam ia kerutkan dahi.
"Hai, mau apa kalian ?" bentaknya.
Anak yang berdiri di sebelah timur, rupanya menjadi pemimpin. Sambil gerakkan
pedang perlahan-lahan, ia berseru dingin : "Jangan banyak bicara ! Pilihlah satu di antara
dua : mati atau cacad !"
Walaupun suaranya kekanak-kanakan tetapi nadanya angkuh dan congkak sekali.
Sesaat Ih Seng tertegun lalu balas membentak : "Apa katamu ?"
Pemimpinan kawanan bocah berpedang itu melengking dingin : "Apakah engkau tuli ?
Mati atau cacad ! Pilih salah satu."
Hampir meledak serasa dada Ih Seng. Namun ia masih dapat menyabarkan diri dan
menegas : "Bagaimana kalau memilih mati dan bagaimana kalau memilih cacad ?"
Keenam bocah itu saling berpandangan satu sama lain. Kemudian bocah yang menjadi
pemimpin itu berkata : "Jika memilih mati itu mudah. Kami yang mencincang tubuhmu
atau engkau sendiri yang berhara kiri. Kalau memilih cacad, walaupun masih hidup tetapi
engkau akan menderita sekali. Lebih dulu akan kami korek sepasang biji matamu, lalu
memotong lidah dan kemudian mengiris putus urat nadi pergelangan tanganmu. Agar
engkau tak dapat membocorkan apa yang engkau saksikan . . . ."
Bukan main marah Ih Seng : "Bocah yang masih ingusan seperti kalian berani
menghina aku !" - ia menutup kata-katanya dengan menyerang bocah pemimpin itu.
Sebagai seorang persilatan tahulah ia bahwa keenam bocah itu memang berisi. Maka ia
gunakan siasat untuk mendahului menyerang dikala mereka masih belum siap sedia.
Kemudian setelah berhasil, ia akan meloloskan diri dari kepungan mereka.
Pada saat bicara tadi, diam-diam ia telah memperhatikan keadaan kawanan bocah itu.
Di antara mereka dilihatnya bocah yang berdiri di sebelah barat, bertubuh kurus. Ia duga
tentulah bocah itu merupakan yang paling lemah sendiri di antara kawannya. Maka
dengan gunakan jurus ilmu pedang Burung hong naik naga berbangkit, ia langsung
menerjang ke barat.
Terdengar bocah itu tertawa dingin seraya mengangkat pedang ke atas untuk
memapas pedang Ih Seng Gerakannya amat cepat sekali.
Ih Seng rasakan bahwa pedang pendek kawanan bocah itu memancarkan hawa dingin
yang tajam. Ia tak berani mengadu senjata dengan mereka. Cepat ia menarik pedang dan
terus berganti dengan jurus lain untuk menusuk lengan bocah itu. Serempakpun mencabut
kipas besinya lalu ditebarkan untuk melindungi punggungnya.
Dalam perhitungan Ih Seng, sekalipun kawanan bocah itu mendapat pelajaran dari Ih
Thian Heng, tetapi mengingat usia mereka masih begitu muda, tentulah dalam hal tenaga
mereka masih belum sempurna. Bukti bahwa muncul berenam, menandakan bahwa
mereka memerlukan gabungan tenaga untuk menghadapi musuh.
Di luar dugaan. perhitungan Ih Seng itu meleset. Pada saat ia menyerang ke sebelah
barat, kelima bocah yang lain diam saja, tak mau maju menyerang.
Bocah yang menjaga di sebelah barat itu, serentak memutar pedang lalu ditebaskan ke
bawah.
Gerak perubahan itu mengejutkan sekali karena tak terduga-duga. Pada saat tangannya
berputar, pedangnyapun sudah memapas pedang Ih Seng. Tring . . . . seketika kutunglah
pedang Ih Seng menjadi dua !
Begitu mendapat hasil, bocah itu mengisar kakinya ke muka, sekali pedang menabur,
ujung pedangnya mengancam tiga buah jalan darah di dada Ih Seng.
Ancaman itu memaksa Ih Seng harus menggunakan kipas besinya dalam jurus Awan
mengambang menutup bulan. Ia menghindar ke samping seraya membalikkan kipas untuk
menutup ancaman pedang si bocah.
Tetapi rupanya bocah itu sudah mengetahui apa yang akan dilakukan lawan.
Pedangnya digoyangkan ke kanan lalu digelimpangkan ke kiri, tring, tring, tring . . . .
terdengar bunyi bergemerincingan disusul dengan rangka kipas besi yang berhamburan
jatuh ke tanah.
Hanya dua jurus saja, pedang perak dan kipas besi milik Ih Seng sudah rusak. Kejut Ih
Seng bukan alang kepalang. Ia menyurut mundur dua langkah.
Tiba-tiba terdengar angin berkesiur. Bocah yang menjaga sebelah selatan, serentak
maju menyerang. Sekali tangannya bergerak, ia sudah menyambar sarung pedang
Pemutus asmara dan ujung pedang sudah mengancam dada Ih Seng.
Kalau Ih Seng tetap mempertahankan sarung pedang, dadanya tentu akan tertusuk.
Dalam keadaan terdesak, terpaksa ia lepaskan sarung pedang lalu loncat mundur. Tetapi
setelah berhasil merampas sarung pedang, bocah itu pun mundur lagi ke tempatnya
semula.
Ih Seng memandang ke sekeliling. Tampak wajah keenam bocah itu dingin laksana
boneka anak-anak. Sekecil itu mereka sudah dapat menguasai perubahan mimik
wajahnya.
Bocah yang menjaga di sebelah timur, yakni yang menjadi pemimpin itu berseru dingin
: "Sekarang kami akan mulai menghitung. Sampai pada hitungan yang ke 9, rasanya
sudah cukup bagimu untuk memilih jalan kematian. Jika sudah menghitung sampai 9,
engkau masih belum mati, terpaksa kami akan turun tangan !"
Sudah banyak pengalaman Ih Seng berhadapan dengan musuh yang bengis dan ganas
tetapi belum pernah ia mengalami peristiwa mengenaskan seperti saat itu. Keenam bocah
yang berwajah bersih itu, selain memiliki ilmu pedang yang luar biasa dan gerak tubuh
yang amat tangkas, pun memiliki juga pedang pusaka yang dapat menabas logam seperti
memotong tanah liat saja.
Dari beberapa gebrak tadi, dimana pedang dan kipasnya kutung serta sarung pedang
Pemutus asmara dapat direbut, Ih Seng menyadari bahwa tak mungkin ia mampu lolos
dari kepungan keenam bocah itu. Sekalipun ia bertempur satu lawan satu, belum tentu ia
akan memperoleh kemenangan.
la menghela napas putus asa. Memandang ke langit luas, diam-diam ia berdoa : "Ji
Siangkong, maafkan aku Ih Seng yang tak berguna ini, sehingga tak dapat melaksanakan
pesananmu. Sebagai tanda terima kasihku atas kepercayaanmu, aku akan mengadu jiwa .
. . ."
"Satu !" tiba-tiba bocah pemimpin yang berdiri di sebelah timur itu mulai menghitung.
"Dua !" bocah yang berdiri di sebelah timur taut segera menyambung. Kemudian
disusul oleh kawan-kawannya yang menghitung sampai 6.
Saat itu Ih Seng sudah menentukan pilihannya. Wajahnya pun tampak tenang. Belum
bocah-bocah itu menghitung sampai 7, tiba-tiba ia berseru nyaring : "Tuan besarmu Ih
Seng ini, mana sudi menerima hinaanmu semacam itu !"
Tiba-tiba ia loncat ke udara dan lepaskan pukulan Burung hong keluar sarang ke arah
bocah yang berdiri di sebelah timur. Dia sudah bertekad untuk mati.
Ilmu pukulan itu adalah ilmu yang beberapa saat tadi baru saja diajarkan oleh Han
Ping. Ketika dilontarkan, ternyata menghamburkan tenaga pukulan yang dahsyat sehingga
anginnya terdengar menderu-deru.
Bocah yang menjaga di sebelah timur itu rupanya terkejut melihat pukulan Ih Seng
yang begitu hebat. Dalam gugupnya, ia loncat ke samping.
Pukulan Ih Seng menemui angin kosong. Tetapi pada saat itu tersadarlah ia bahwa
pukulan yang diajarkan Han Ping itu, benar-benar amat sakti. Selekas turun ke bumi,
cepat ia lepaskan lagi pukulan jurus kedua yakni Halilintar menggetarkan ribuan kait.
Bocah yang menjaga di utara dan bocah yang menjaga di selatan dengan tangkas
segera loncat untuk menutup lubang kepungan yang ditinggalkan kawannya tadi. Tetapi
ketika terlanda oleh angin pukulan Ih Seng, yang ampuh, mereka berduapun menyurut ke
samping. Kesempatan itu tak disia-siakan Ih Seng. Secepat kilat ia loncat menerobos
keluar.
Keenam bocah itu berhamburan memburu. Gerakan mereka seperti merupakan sebuah
kesatuan. Secepat kilat mereka menghadang di muka Ih Seng terus berpencar diri
menurut formasi kedudukan seperti tadi.
Bocah pemimpin yang menjaga di sebelah timur tadi, sambil gerakkan pedangnya,
berteriak menghitung : "Tujuh . . . ."
Nadanya amat nyaring seolah-olah menembus ke awan.
"Tuan besarmu Ih Seng ini sudah kenyang mengembara di dunia persilatan. Apakah
kalian anggap aku tak mampu lolos ?"
Wut . . . . kembali ia lancarkan jurus yang ketiga yakni Burung hong keluar sarang. Ia
menyadari bahwa dari semua kepandaiannya silat, hanyalah ilmu pukulan ajaran Han Ping
yang mampu mengatasi kawanan anak-anak itu.
Jago pedang perak kipas besi Ih Seng itu sudah bertekad untuk mati. Tetapi
sebelumnya iapun harus melukai kawanan bocah itu. Ia tak mau menderita malu dari
gerombolan bocah yang tak terkenal. Maka begitu lepaskan pukulan iapun serempak
menerjang ke arah barat daya.
Melihat pukulan yang sedemikian dahsyatnya, bocah yang berdiri di sebelah barat daya
itu terkejut lalu loncat mundur beberapa langkah.
Tepat pada saat Ih Seng berhasil mengundurkan penjaga sebelah barat daya itu, bocah
yang menjadi pemimpin tadipun sudah menghitung : "Delapan . . . ."
Ih Seng agak tertegun. Ketika ia hendak bergerak menerjang kepungan bocah yang
berdiri di sebelah timur itupun sudah berseru : "Sembilan . . . ."
Seketika kedua bocah yang berada di sebelah kanan kirinya, loncat ke udara. Di tengah
udara mereka berputar tubuh sambil gerakkan pedang. Begitu melayang turun ke tanah,
merekapun segera menyerang Ih Seng.
Ih Seng terkejut dan hentikan terjangannya lalu gerakkan kedua tangannya dalam
pukulan Ribuan benang sebuah jaring.
Jurus itu merupakan sebuah ilmu pukulan yang aneh. Sekalipun Ih Seng masih belum
paham betul, namun perubahan yang sedemikian aneh itu, membuat kedua bocah
penghadangnya kebingungan.
Sepasang tinju Ih Seng yang ditujukan kepada kedua bocah itu, sekonyong-konyong
ditebarkan menjadi gaya cengkeraman. Secepat kilat berhasil mencengkeram lawan, terus
ia dorong ke muka. Terdengar suara erang tertahan. Bocah yang dicengkeram dengan
tangan kanan itu, terlempar beberapa langkah jauhnya.
Celakanya, bocah yang dicengkeram dengan tangan kiri itu, karena tangan kirinya
sudah terkena racun sehingga tenaganya berkurang, hanya dapat didorong mundur
setengah langkah saja.
Sesungguhnya bocah itupun diam-diam sudah kerahkan tenaga dalam untuk bertahan
diri. Begitu menyurut mundur setengah langkah, cepat ia melangkah maju lagi dan
mendadak menendang kaki Ih Seng. Bluk . . . . Ih Seng jatuh terduduk di tanah !
Pada saat kedua kawannya dicengkeram Ih Seng, bocah yang menjadi pemimpin itu
secepat kilat sudah loncat menerjang. Ketika Ih Seng jatuh di tanah, bocah pemimpin
itupun sudah lekatkan ujung pedangnya ke dada Ih Seng.
Tahu pasti mati, Ih Seng meramkan mata menunggu kematian. Tetapi sekonyong
konyong terdengar suara melantang : "Tahan dulu !"
Suara nyaring itu amat berwibawa sehingga sekalian orang tertegun seketika. Ketika
berpaling, Ih Seng melihat seorang lelaki berumur 50an tahun, berdiri pada jarak 5
langkah dari tempatnya. Wajahnya persegi, telinga besar.
"Ah, Ca Cu Jing juga muncul !" diam-diam Ih Seng terkesiap.
Memang yang datang itu adalah Ca Cu Jing, ayah dari Ca Giok atau kepala marga Cake-
poh. Sejenak sapukan mata ke arah keenam bocah itu, Ca Cu Jing bertanya kepada Ih
Seng : "Saudara Ih saat itu berada dalam bahaya. Apakah saudara menghendaki bantuan
tenagaku ?"
Selama berkelana dalam dunia persilatan, Ih Seng pantang tunduk pada orang.
Mendengar pertanyaan itu, ia berpikir : "Manusia tak luput dari kematian. Perlu apa aku
harus minta bantuannya ? Lebih baik aku mati !"
Maka ia menatap orang she Ca itu dengan pandang acuh tak acuh. Tetapi pada lain
saat terlintaslah dalam benaknya : "Ah, Ih Seng, Ih Seng ! Engkau memang manusia tak
berguna. Ji Han Ping mempercayakan kepadamu sebuah urusan penting, tetapi engkau
tak mampu melakukan dan bahkan hendak mati . . . ."
Seketika timbullah hasratnya untuk hidup. Namun dia seorang tokoh ternama dalam
dunia persilatan. Sukar baginya untuk membuka mulut minta pertolongan orang.
Dipandangnya ketua marga Ca itu. Mulutnya bergetar-getar tetapi tak mengeluarkan
suara apa-apa.
Sudah tentu sebagai tokoh tua yang berpengalaman, Ca Cu Jing tahu apa arti sikap Ih
Seng itu. Ia tersenyum : "Tak perlu saudara Ih mengatakan, aku sudah tahu maksud
saudara . . . ."
Tiba-tiba ia tertawa keras, katanya pula : "Tetapi selamanya aku tak pernah membantu
orang dengan percuma. Tak perlu saudara Ih menghaturkan terima kasih. Asal saudara
mau melakukan sebuah permintaanku, kita tak saling berhutang budi . . . ." - tiba-tiba ia
menggembor keras seraya ayunkan tangan kanannya. Serangkum angin pukulan yang
tajam bersama selarik sinar perak, segera meluncur ke arah kedua bocah yang
menghampiri ke belakang Ih Seng. Kedua kocah itu loncat menyingkir.
Ternyata pada saat Ih Seng sedang bicara dengan Ca Cu Jing, dua bocah yang berada
di sebelah timur dan utara, loncat ke belakang Ih Seng. Mereka hendak menyelesaikan
nyawa Ih Seng. Tetapi gerak gerik mereka itu tak luput dari pengamatan mata Ca Cu Jing
yang tajam. Pemimpin marga Ca itu cepat lepaskan pukulan Pembelah angkasa dan
taburkan 24 batang jarum Hong Wi Ciam lalu serentak loncat ke samping Ih Seng untuk
melindunginya.
Pemimpin barisan bocah itu menyurut mundur. Tiba-tiba ia gerakkan pedangnya.
Keenam bocah serentak bergerak mengepung Ca Cu Jing.
Melihat gerakan keenam bocah yang sedemikian tangkas, agak berubahlah wajah ketua
marga Ca itu. Katanya kepada Ih Seng : "Saudara Ih, apakah saudara setuju ? Harap lekas
bilang. Aku masih mempunyai urusan yang penting, tak lama-lama berada di sini saja !"
"Soal apa ? Harap saudara Ca katakan agar dapat kupertimbangkan, apakah aku
mampu mengerjakan atau tidak ?"
"Amat mudah sekali. Bagi saudara Ih hanya sepatah kata !"
"Ah, apakah itu ?"
"Supaya dalam kedudukan sebagai pemimpin Rimba Hijau, saudara Ih memerintahkan
anak buah yang tersebar di empat propinsi untuk mencari jejak putraku Ca Giok !"
"Ah, ternyata memang mudah," diam-diam Ih Seng membatin tetapi ia pura-pura
berkata merendah : "Ah, seorang tokoh sakti seperti saudara Ca, sekali membuka mulut
masakan ada orang yang berani tak mengindahkan ? Sudah tentu aku senang sekali
melakukan perintah itu tetapi entahlah akan berhasil atau tidak !"
Ca Cu Jing tertawa dingin : "Memang dalam wilayah utara sungai Hongho, aku
mempunyai pengaruh. Tetapi kalau di beberapa propinsi Tionggoan, aku tak dapat
berbuat apa-apa. Maka terpaksa akan memerlukan tenaga saudara !"
Diam-diam Ih Seng menimang dalam hati : "Kepandaian orang ini jarang terdapat
tandingannya. Barisan bocah itu tentu sukar untuk mengepungnya. Tetapi sarung pedang
itu sudah terampas mereka. Sekalipun aku dapat ditolongnya keluar dari kepungan ini
tetapi aku tiada muka bertemu dengan Cong To lagi . . . ."
Cepat ia menyahut dengan setengah berbisik :
"Sesungguhnya aku ingin sekali melakukan perintah saudara Ca itu, hanya saja . . . ."
Rupanya Ca Cu Jing tak sabar. Cepat ia berseru keras : "Saudara juga seorang tokoh
persilatan yang ternama. Mengapa bicara begitu tergugu. Saudara setuju atau tidak, harap
lekas nyatakan saja . . . ." - mungkin karena merasa hendak mengatakan perkataan yang
kasar, ia hentikan bicara.
Sambil memandang ke arah sarung pedang yang berada di tangan pemimpin barisan
bocah, berkatalah Ih Seng : "Aku mempunyai sebuah sarung pedang yang dirampas
orang. Harap saudara Ca suka merebutkan kembali. Apa saja yang saudara hendak
perintahkan termasuk mencari jejak Ca sau pohcu itu, pasti akan kulakukan dengan
sepenuh hati !"
Ca Cu Jing tertawa dingin : "Apakah artinya sebuah sarung pedang. Jika saudara Ih
menghendaki, aku segera kirim orang untuk mengambilkan sarung pedang yang bagus !"
Ih Seng terbeliak. Ia menyadari kata-katanya itu memang lemah. Namun jika
menerangkan dengan terus terang, ia kuatir orang she Ca itu setelah berhasil merebut
sarung pedang, tentu tak mau mengembalikan sarung pedang itu kepadanya.
Saat itu pemimpin barisan bocah melambaikan pedang dan keenam bocah baju
putihpun mengisar langkah, perlahan-lahan maju mempersempit lingkar kepungannya.
Melihat kegentingan memuncak dan setiap saat tentu akan meletus pertempuran,
timbullah pikiran Ih Seng. Ia anggap jika sarung pedang Pemutus asmara itu jatah ke
tangan Ca Cu Jing kelak Pengemis sakti Cong To masih dapat meminta. Daripada kalau
jatuh ke tangan Ih Thian Heng.
Setelah menetapkan keputusan, Ih Seng pura-pura menghela napas, ujarnya : "Atas
kesungguhan hati saudara Ca kepadaku, aku Ih Seng merasa tak enak sendiri. Sarung
pedang itu bukanlah benda biasa melainkan sarung dari pedang Pemutus asmara yang
termahsyur di dunia persilatan. Pada sarung pedang itu terdapat denah lukisan dari peta
tempat penyimpanan harta pusaka yang tiada taranya . . . ."
Tanpa menunggu Ih Seng selesai bicara, secepat kilat Ca Cu Jing sudah melesat ke
tempat pemimpin Barisan Bocah yang berkedudukan di arah timur.
Tetapi pemimpin barisan itu tertawa dingin lalu menaburkan pedangnya untuk
melindungi diri dengan lingkaran sinar pedang yang memancarkan hawa dingin.
Bocah yang berada di sebelah selatan dan utara segera menyerang dari belakang Ca Cu
Jing.
Sebenarnya tadi Ca Cu Jing hendak menggunakan gerak kilat untuk merebut sarung
pedang itu dari tangan pemimpin Barisan Bocah. Ia terkejut sekali ketika melihat bocah itu
dapat mainkan pedang sedemikian hebatnya.
Ketua marga Ca itu sudah mencapai tataran tinggi dalam ilmu menggunakan tenaga
sakti. Walaupun tadi ia menerjang begitu dahsyat, tetapi iapun dapat menghentikannya
secara mendadak. Secepat menghimpun tenaga, ia melambung ke udara berjumpalitan
dua kali dan setelah menghindari serangan kedua bocah tadi, terus meluncur lagi di sisi Ih
Seng.
Tetapi sebelum ia berdiri tegak, dua buah sinar bianglala perak sudah menerjangnya
lagi dari muka dan belakang.
"Bagus !" seru Ca Cu Jing memuji seraya hantamkan kedua tangannya ke arah muka
dan belakang.
Melihat pukulan jago tua itu sedemikian hebat, kedua bocah ita tak berani menangkis.
Setelah cepat menekuk tubuhnya, merekapun melayang turun ke samping.
Ca Cu Jing tak mau memberi kelonggaran lagi. Dengan menggembor keras, ia taburkan
kedua tangan dan berturut-turut lepaskan enam kali pukulan.
Pukulan itu adalah ilmu pukulan Peh-poh-sin-kun atau Pukulan sakti seratus langkah
dari marga Ca yang termahsyur. Angin menderu-deru sehingga keenam bocah itu
berloncatan menyingkir. Tetapi gerakan mereka tetap teratur rapi dalam bentuk barisan.
Tetapi sekalipun Peh-poh-sin-kun itu dahsyatnya bukan alang kepalang, namun paling
banyak menghabiskan tenaga dalam. Setelah melancarkan enam kali pukulan, napas Ca
Cu Jingpun terengah juga.
Selekas hujan pukulan berhenti, keenam bocah itupun kembali ke tempatnya semula
lagi. Sambil lintangkan pedang melindungi dada, mereka maju mendekati lagi.
Sebagai seorang tokoh ternama, sepintas memandang tahulah Ca Cu Jing bahwa ilmu
pedang keenam bocah itu bukan olah-olah hebatnya. Ketua marga Ca itu menyadari
bahwa saat itu ia bakal menghadapi pertempuran yang dahsyat. Seketika lenyaplah rasa
memandang rendah pada kawanan bocah itu. Iapun segera tegak dengan pusatkan
semangat untuk menunggu serangan.
Tetapi setelah terpisah setombak luasnya, barisan bocah itu terhenti tiba-tiba.
Pemimpin barisan yang berada di sebelah timur, segera ayunkan pedangnya, membentuk
sebuah lingkaran bianglala perak. Kelima kawannyapun segera mengikuti tindakan itu.
Tiba-tiba dari keenam gulung bianglala perak itu, terdengar seruan perlahan. Dua buah
sinar pedang menerjang dada dan kaki Ca Cu Jing.
Ca Cu Jing sudah siap. Tangan kirinya memukul dengan jurus Mendorong gunung
menimbun laut. Dan tangan kanan cepat merogoh seutas sutra putih lalu ditamparkan.
Dengan tenaga dalamnya yang tinggi, sutra putih merupakan senjata yang
mengejutkan sekali. Kedua bocah itu bergegas menarik pedang dan menyurut mundur.
Tetapi sesaat dua bocah itu mundur, secepat itu pula dua bocah lainnya segera maju
menyerang dari muka dan belakang.
Ca Cu Jingpun tak mau kalah tangkas. Ia miringkan tubuh dan sutra putih yang
ditaburkan tadi, tiba-tiba melayang balik menampar punggung salah seorang bocah yang
menyerang dari belakang. Kemudian ia serempaki dengan pukulan tangan kiri dalam ilmu
Peh-poh-sin-kun ke arah penyerangnya di muka.
Sinir pedang dari keenam bocah itu berhamburan memenuhi sekeliling tempat. Mereka
telah lancarkan serangan dahsyat. Ada kalanya dua bocah yang maju, ada kalanya
sekaligus empat bocah. Mereka maju menyerang dan mundur menghindar dengan teramat
gesit sekali.
Ca Cu Jing tetap melawan dengan sutra putihnya. Menampar, menyabat dan menyapu.
Setiap gerakan selalu menerbitkan deru angin yang mendesis desis.
Sutra putih hanya dua meter panjangnya.
Tetapi dimainkan Ca Cu Jing, perbawanya bukan kepalang. Sekalipun keenam bocah itu
memegang pedang pusaka yang amat tajam, tapi karena berhadapan dengan sutera putih
yang lem as, paling-paling hanya dapat membuat beberapa lubang saja dan tak dapat
memapasnya kutung. Dan lagi permainan sutra dari ketua marga Ca itu memang luar
biasa. Sutra dapat menjulur panjang tetapipun dapat menyurut pendek sehingga sukar
diduga lawan. Dan yang penting, taburan sutera itu menimbulkan hamburan tenaga sakti
yang hebat sekali. Sungguh tak mudah bagi keenam bocah untuk memapas sutra itu.
Cepat sekali 40 jurus telah berlalu namun tetap belum tampak siapa menang siapa
kalah. Keenam bocah itu tak mampu maju setapakpun juga. Tetapi Ca Cu Jingpun belum
dapat menghantam jatuh sebuah senjata dan melukai seorang lawan.
Melihat keenam becah itu memiliki tenaga dalam yang penuh, diam-diam ketua marga
Ca itu mulai gelisah. Pikirnya : "Pertempuran ini selain tak menguntungkan juga akan
mencemarkan namaku karena berkelahi dengan kawanan bocah kecil. Kalau tak lekas
turunkan tangan ganas, entah kapan pertempuran ini akan selesai . . . ."
Serentak timbullah nafsu membunuh. Setelah pindahkan sutra putih ke tangan kiri,
tangan kanan segera mengambil sebatang ruyung rantai emas.
Senjata itu amat aneh. Seuntai gelang kecil sebesar jari kelingking, dironce jadi satu.
Setiap gelang besarnya seperti cawan teh. Semuanya berjumlah 33 biji.
Setelah mengeluarkan ruyung Gelang emas, Ca Cu Jing segera menebarkan.
Gemerincinglah untaian gelang emas itu laksana puluhan kelinting. Pada saat hendak
bergerak menyerang, tiba-tiba terdengar suara bentakan keras disusul dengan gelombang
angin keras yang melanda.
Keenam bocah itu berhamburan loncat ke samping sehingga barisan mereka menjadi
kacau.
Pada lain saat sesosok bayangan melayang ke samping Ih Seng. Ih Seng terperanjat
demi melihat pendatang itu : "Apakah Ji siangkong tak . . . . kurang suatu apa ?"
Ternyata yang muncul itu adalah Han Ping. Karena girangnya, Ih Seng tertawa sepuaspuasnya
sehingga tak melanjutkan kata-katanya.
Dengan dada bergolak-golak mendendam kemarahan, Han Ping menerobos ke dalam
gedung.Tetapi dari muka terus masuk sampai ke belakang, tetap tak dapat menemukan
Kim Loji. Bahkan seorang pun tiada dijumpainya dalam gedung itu. Untuk melampiaskan
kemarahannya, ia mengobrak-abrik segala barang yang dilihatnya. Tetapi ternyata gedung
besar itu boleh dikata kosong melompong. Kecuali daun pintu dan jendela, tak ada lainlain
perabot lagi.
Setelah menghancurkan pintu dan jendela, Han Ping teringat akan Ih Seng yang
menunggu di luar. Kuatir kalau Ih Seng akan ditawan musuh, buru-buru ia lari keluar.
Pada saat itu Ca Cu Jing sedang bertempur melawan barisan bocah. Maka Han Ping segera
berteriak dan menghantam kawanan bocah itu terus loncat ke samping Ih Seng.
Melihat pendatang itu hanya seorang anak muda yang berumur 18-19 tahun,
terkejutlah Ca Cu Jing, pikirnya : "Baru semuda itu tetapi sudah sedemikian saktinya.
Pukulannya begitu ampuh. Beberapa tahun tak menginjak Tionggoan, ternyata di sini telah
muncul tunas-tunas baru yang begitu cemerlang."
"Terima kasih atas bantuan locianpwe kepada kawanku," ketua marga Ca itu terkejut
demi mendengar suara pemuda itu. Ia berpaling, tanyanya : "Apakah engkau
menghaturkan terima kasih kepadaku ?"
Han Ping mengiakan.
Ca Cu Jing tertawa keras : "Ah, tak usah. Selamanya aku tak pernah mernbantu orang
tanpa alasan."
Han Ping tertegun, katanya : "Kalau begitu locianpwe sudah kenal dengan saudara Ih
ini ?"
"Kenal seluruh dunia. Tetapi karena berdasar kenal dan membantunya, bukankah itu
tak berarti membantu ?"
Han Ping merasa ucapan orang itu bernada aneh. Setiap patah kata sukar dimengerti.
Tetapi karena orang sudah membantu Ih Seng, sekalipun dalam hati tak puas, terpaksa ia
menahan perasaan juga.
Buru-buru Ih Seng memberi penjelasan tentang perjanjiannya dengan Ca Cu Jing. Jika
dia dapat merebutkan kembali sarung pedang Pemutus asmara, Ih Seng akan
membantunya untuk mencari jejak putranya, Ca Giok.
"Kapankah aku berjanji padamu untuk merebutkan sarung pedang itu ?" tukas Ca Cu
Jing dengan mendengus.
Ih Seng tertegun. Diam-diam ia mengakui memang ketua marga Ca itu tak berjanji
begitu.
Sekonyong-konyong keenam bocah itu loncat lari. Sudah tentu Ih Seng terkejut sekali :
"Ji siangkong, lekas kejar. Merekalah yang merebut sarung pedang Pemutus asmara itu !"
Pada saat itu keenam bocah sudah loncat sampai setombak lebih jauhnya. Han Ping, Ca
Cu Jing serempak loncat mengejar mereka. Sekali ayunkan tubuh, keduanya dapat
mencapai jarak dua tombak. Tetapi keenam bocah itu licin sekali. Tiba-tiba mereka
berpencar diri dan menyusup ke dalam gerumbul rumput.
Keenam bocah itu sama tingginya dengan rumput disitu. Sedang Han Ping dan Ca Cu
Jing tak tahu pasti sarung pedang itu berada di tangan bocah yang mana. Sesaat
keduanya tertegun dan lenyaplah keenam bocah itu.
"Siapakah kawanan bocah itu ?" tanya Ca Cu Jing kepada Han Ping.
Melihat nadanya begitu angkuh, sebenarnya Han Ping tak mau menghiraukan. Tetapi
mengingat orang telah mernbantu Ih Seng, terpaksa ia tahan kesabaran, sahutnya : "Anak
buah Sin-ciu-it-kun Ih Thian Heng !"
"Apakah Ih Thian Heng berada di sini ?"
"Dia muncul lenyap tak menentu. Sukar dipastikan adakah ia saat ini berada di sini !"
Han Ping menyahut tetapi karena merasa kurang lengkap, ia menyusuli lagi : "Keenam
bocah itu adalah pengawal pribadinya. Jika mereka muncul di sini, tentulah Ih Thian Heng
juga berada di sekeliling tempat ini !"
Saat itu Ih Sengpun menghampiri, serunya : "Sebelum keenam bocah itu muncul, Ih
Thian Heng sendiri memang datang . . . ."
"Adakah dia menyebut-nyebut paman Kim ?" Tukas Han Ping.
Ih Seng gelengkan kepala : "Tidak, dia hendak meminjam sarung pedang Pemutus
asmara dan memberitahu bahwa aku sudah terkena racun ganas. Dalam waktu tiga hari
racun itu akan bekerja. Tubuhku akan membusuk dan mati !"
"Uh, racun apakah yang sedemikian ganas itu ? Cobalah kuperiksanya apakah aku
mampu mengobati atau tidak," seru Ca Cu Jing.
Segera Ih Seng menjulurkan tangannya yang terluka itu. Setelah memeriksa, Ca Cu
Jing berkata : "Ah, racun di tangan saudara itu sudah menyusup ke dalam kulit, mungkin
sudah merembes ke dalam darah. dikuatirkan sukar pengobatannya."
Ketua marga Ca itu mengeluarkan sebuah botol kecil dari kumala. Ia menuang keluar
dua butir pil warna kuning lalu diberikan kepada Ih Seng : "Sekalipun pil ini bukan buatan
dewa, tetapi terhadap racun memang manjur sekali. Cobalah saudara minum !"
Sambil menyambuti, Ih Seng berkata : "Ah, kupercaya pengetahuan saudara Ca yang
begitu luas tentu sudah mengetahui tentang racun dalam tubuhku ini."
Ca Cu Jing mendesus : "Sekalipun tak tahu racun apa yang menyerang saudara itu,
tetapi pil itu mernpunyai daya kegunaan yang besar. Harap jangan kuatir, paling tidak
tentu dapat memperlambat jalannya racun itu"
Setelah minum dua butir pil kuning itu, Ih Seng tertawa : "Apakah saudara Ca kuatir
kalau aku mati tentu tak dapat mernbantu mencarikan putra saudara ?"
"Saudara seorang yang cepat berpikir dan tangkas bicara," Ca Cu Jing tertawa sambil
mengurut jenggot, "memang begitulah maksudku. Entah apakah saudara masih ada lain
urusan lagi. Jika tak ada, marilah kita lekas-lekas berangkat . . . ."
"Apa ? Apakah saudara Ca Giok belum pulang ?" seru Han Ping.
Ca Cu Jing amat memanjakan kasihnya terhadap putranya itu. Hatinya terharu getar
mendengar pertanyaan Han Ping itu. Cepat-cepat ia meminta keterangan : "Kapankah
saudara melihatnya ?"
Sejenak merenung, berkatalah Han Ping : "Kira-kira sudah sebulan lebih ! Dia
menderita luka dalam dan mengatakan kepadaku hendak pulang ke Ca-ke-poh . . . ."
Mata jago tua itu berlinang-linang dan tubuhnya gemetar : "Siapakah yang melukainya
? Tahukah saudara ?"
"Dia dilukai oleh Leng Kong Siau dari lembah Seribu racun. Tetapi kala itu dia sudah
melakukan pengobatan dengan menyalurkan napas dan sudah banyak baik. Rasanya luka
itu tak berapa berat."
Ketegangan hati Ca Cu Jing mereda, tanyanya agak tenang : "Adakah saudara
mengetahui sendiri peristiwa Leng Kong Siau melukai putraku itu atau hanya mendengar
cerita orang ?"
"Aku bertemu dengan saudara Ca pada saat dia dikejar Leng Kong Siau. Aku
menyaksikan sendiri Leng Kong Siau telah melukai saudara Ca !"
"Hm, memang selain beberapa setan tua itu, tak mungkin ada orang lain yang mampu
melukai putraku . . . ." kata Ca Cu Jing. Tiba-tiba ia tersadar bahwa yang penting ia harus
mengetahui jelas peristiwa itu selengkapnya. Maka bertanyalah ia lebih lanjut : "Mengapa
Leng Kong Siau tak membunuhnya sekalian ? Biasanya setan tua itu sekali turun tangan
tentu tak mau memberi ampun orang !"
"Keadaan saat itu memang tegang sekali. Terpaksa aku turun tangan membantu
saudara Ca !" kata Han Ping.
Memang tadi ia menyaksikan sendiri gerakan Han Ping yang mempesonakan. Tetapi ia
sukar mempercayai bahwa pemuda itu mampu menandingi tenaga sakti Leng Kong Siau.
"Apakah hanya saudara seorang diri ?" ia menegas sambil menatap Han Ping.
Han Ping tertawa sungkan, sahutnya : "Ya . . . ."
"Seorang diri saudara sanggup menerima pukulan Leng Kong siau ?" kembali Ca Cu
Jing menegas dengan nada meragu.
Han Ping merenung sejenak jawabnya : "Sekalipun agak kewalahan tetapi mampu juga
menerima."
"Ah, kuhaturkan banyak terima kasih atas bantuan saudara kepada putraku itu," buruburu
Ca Cu Jing menghaturkan terima kasih.
Han Ping menerangkan bahwa sekalipun perkenalannya dengan Ca Giok itu belum lama
tetapi sudah seperti seorang sahabat yang karib.
"Entah siapa lagi yang hadir pada saat itu ?" kembali Ca Cu Jing bertanya.
"Selain aku, masih ada lagi saudara Ih ini dan Kim locianpwe . . . ."
Cepat Ca Cu Jing alihkan pandang matanya ke arah Ih Seng, serunya : "Benarkah
saudara Ih berada di situ ?"
"Benar, aku menyaksikan dengan mata kepala," sahut Ih Seng.
Makin tertarik perhatian Ca Cu Jing untuk menyelidiki jejak putranya. Ia bertanya lagi
kepada Han Ping : "Apakah setelah membantu, lalu saudara berpisah dengan dia ?"
"Saat itu saudara Ih terluka dalam dan duduk melakukan penyaluran darah. Tak lama
kemudian, Leng Kong Siau muncul lagi bersama dua orang. Rombongan dari lembah Raja
Setan Ting Yan San dan kedua nona Ting juga muncul . . . ."
"Hai, apakah, Ting Yang San juga memusuhi putraku ?" seketika berubahlah wajah Ca
Cu Jing.
"Adakah dia mengandung permusuhan kepada saudara Ca. aku tak tahu. Tetapi sampai
tiga kali Leng Kong Siau mendorongnya, tetap dia tak mau turun tangan terhadap saudara
Ca !"
"Oh, begitu. Lalu dimanakah sekarang putraku itu ?" tanya Ca Cu Jing.
Han Ping merenung, pada lain saat ia berkata : "Entahlah, aku tak tahu. Hanya dia
mengatakan kalau hendak pulang merawat lukanya."
Ca Cu Jing memandang ke langit. Beberapa saat merenung, akhirnya ia bertanya :
"Selain orang lembah Seribu racun dan Raja setan, siapa lagi yang mengetahui putraku itu
?"
"Pengemis sakti Cong To !" celutuk Ih Seng, "tetapi Cong To dan kami segera menuju
kemari."
"Selain Cong To ?"
"Nyo Bun Giau kepala marga Nyo !"
"Bagus !" seru Ca Cu Jing, "rupanya tokoh-tokoh terkemuka dari kedua Lembah dan
ketiga Marga itu berbondong-bondong muncul untuk melihat keramaian. Benar-benar
suatu pertemuan besar dari orang gagah di seluruh dunia !"
Memandang ke langit, Ih Seng berkata : "Ji siangkong, karena Ih Thian Heng tak
muncul, kemungkinan dia tentu sudah pergi. Suasana tempat ini merupakan hutan lebat,
mudah untuk bersembunyi. Kita tak paham tempat ini, sukar untuk menghadapi mereka.
Kurasa lebih baik kita bakar saja tempat ini !"
Belum Han Ping menyahut, tiba-tiba tak jauh dari tempat itu terdengar suara seseorang
tertawa dingin : "Hm, mereka menggunakan lubang di bawah tanah yang ditimbuni
gerumbul rumput. Sekalipun hutan ini dibakar habis, pun sukar untuk mencari jejak
mereka !"
Han Ping bertiga berpaling. Ah, ternyata Pengemis sakti Cong To sedang melangkah
datang dengan perlahan.
Serta merta Ca Cu Jing memberi salam : "Saudara Cong, tiga tahun kita tak berjumpa,
apakah selama ini saudara baik-baik saja ?"
"Eh, mengapa saudara Ca begitu sungkan kepada pengemis tua ? Tentulah saudara
hendak meminta apa-apa kepada pengemis tua !"
Sebenarnya Ca Cu Jing memang hendak menanyakan tentang jejak putranya. Tetapi
karena Pengemis sakti Cong To belum-belum sudah memagarinya, ia mundur teratur.
"Adakah saudara Cong menghendaki supaya aku mendamprat saudara ?" serunya
mendengus.
Dengan tak kalah dinginnya, Cong To menyahut : "Turut pendapatku, saudara Ca saat
ini belum berani memaki pengemis tua"
Diam-diam ketua marga Ca itu menimang dalam hati : "Hm, tajam benar kata-katanya.
Mungkin dia sudah mendengar pembicaraan kita tadi. Dan kalau tak tahu jejak Ca Giok,
tentulah dia tak berani bersikap begitu angkuh kepadaku."
Segera ia tertawa meringis : "Kita sudah bersahabat lama, hanya beberapa patah kata
tajam dari saudara, masakan dapat membikin marah hatiku ?"
Pengemis sakti Cong To tertawa gelak-gelak : "Dunia persilatan mengatakan bahwa
engkau seorang rubah bertulang besar. Kiranya memang benar !"
"Ah, jangan memuji, " Ca Cu Jing tertawa, "tetapi aku selalu bekerja untuk mencapai
hasil, bukan memerlukan cara !"
Cong To tertawa : "Hal itu harus dilihat terhadap siapa. Jika dengan manusia yang tak
doyan Lunak atau Keras seperti diri pengemis tua ini, saudara tentu akan kewalahan."
Ca Cu Jing tersonyum : "Siapa orang persilatan yang tak tahu saudara Cong itu Keras di
luar, lunak di dalam. Seorang tokoh yang lapang dada, berterus terang dan luhur perwira.
Aku, Ca Cu Jing, memang mengagumi pribadi saudara . . . ."
Cong To tertawa : "Seumur hidup, pengemis tua belum pernah menerima pujian seperti
itu. Pereobaan hari ini, benar-benar ada faedahnya. Jika saudara hendak mengetahui jejak
putra saudara, lebih dulu supaya mengerjakan sebuah hal untuk pengemis tua."
"Soal apa ?" tanya Ca Cu Jing.
Cong To tertawa : "Saudara Ca meluluskan untuk merebut kembali sarung pedang
Pemutus asmara itu. Kita tukar menukar. Saudara membantu aku merebut kembali sarung
pedang itu, dan aku membantumu mencari jejak putra saudara !"
Ca Cu Jing merenung beberapa saat, katanya : "Keenam bocah itu entah kemana
perginya. Bagaimana caraku mencari mereka ?"
Cong To tertawa : "Dalam dunia yang begini luasnya, putra saudara tak menentu
perginya. Bagaimana pula caraku mencari jejaknya ?"
"Memang ucapan saudara itu benar, tetapi dalam hal ini ada bedanya."
"Dimana letak perbedaannya, harap saudara Ca mengatakan"
Kata Ca Cu Jing : "Menolong orang adalah ibarat menolong kebakaran. Bagaimana bisa
diulur ulur waktunya ? Apalagi saudara itu tadi" - ia menunjuk Han Ping - "mengatakan
bahwa putraku menderita luka dalam. . . Sedangkan soal sarung pedang Pemutus asmara
itu, lambat beberapa hari mencarinya, juga tak mengapa. Jika saudara Cong benar-benar
mampu mendapatkan jejak putraku, aku Ca Cu Jing tentu akan berusaha sekuat tenaga
untuk merebut sarung pedang itu. Sekalipun aku harus bertempur dengan Ih Thian Heng,
akupun takkan mundur !"
Pengemis sakti Cong To memandang lekat ke wajah ketua marga Ca itu sampai
beberapa saat. Pikirnya : "Orang ini seorang manusia ganas. Setiap orang persilatan tahu
semua. Tetapi tak kira kalau dia begitu sayang kepada putranya."
Pengemis sakti Cong To seorang tokoh yang berhati emas. Melihat seri wajah Ca Cu
Jing, tergeraklah hatinya. Ia menghela napas perlahan, berkata : "Saudara Ca begitu
sayang kepada putra, sudah tentu pengemis tua ini akan berusaha memenuhi harapan
saudara . . . ."
Seketika tertawalah Ca Cu Jing dengan gembira : "Dunia persilatan menyebarkan
saudara Cong itu seorang yang aneh dan herhati dingin. Apa yang dikatakan tentu
dilaksanakan. Hari ini, Ca Cu Jing, benar-benar mempercayai kata-kata orang persilatan itu
!"
Beberapa titik airmata menetes dari mata jago tua itu. Sukar orang meraba adakah dia
sedang diliputi kesedihan atau kegirangan.
Tiba-tiba Pengemis sakti Cong To berpaling ke arah Han Ping, serunya : "Sarung
pedang Pemutus asmara itu mengandung peta rahasia dari tempat harta karun yang
bernilai sebanyak gudang kas negara. Aku pengemis tua ini sudah biasa makan sisa-sisa
nasi dan ampas teh jika mendadak harus menjadi hartawan besar, mungkin tak dapat
menikmati. Benda itu harus kembali pada tuannya. Lebih baik engkau simpan lagi sendiri .
. . ."
Sejenak berhenti ia berkata pula : "Turut yang diketahui pengemis tua, Ca sau pohcu
sudah berada jauh dari wilayah Tionggoan. Pengemis tua sudah mengirim pengemis kecil
untuk mengejar jejaknya. Mungkin sudah ada laporan. Karena pengemis tua sudah
berjanji kepada saudara Ca untuk mencari jejak putranya, tentu akan melaksanakan. Jika
tak salah, Ca sau pohcu memang berada dalam bahaya. Seorang diri saja, saudara Ca
tentu kewalahan maka pengemis tua akan membantunya. Nah, kita berpisah sampai di sini
dulu . . . ."
"Tunggu dulu locianpwe," seru Han Ping, "aku dan saudara Ca Giok walaupun hanya
bergaul sebentar tetapi dia amat memperhatikan kepentinganku. Sekarang karena dia
berada dalam kesulitan, masakan aku dapat berpeluk tangan saja ?"
Cong To tertawa nyaring : "Memang Ca Giok baik sekali kepadamu. Jika engkau
berkeras hendak ikut, pengemis tua pun tak mencegah. Sarung pedang Pemutus asmara
itu sudah jatuh ke tangan Ih Thian Heng. Untuk cepat-cepat merebutnya kembali,
bukanlah hal yang mudah. Mengandal tenagamu seorang diri, sukar untuk terlaksana."
"Jika putraku tak kurang suatu apa, aku tentu akan mengerahkan seluruh anak buah
Ca-ke-poh untuk membantu saudara Cong."
"Nah, kita sudah saling berjanji !" kata pengemis sakti terus berputar tubuh dan pergi.
Han Ping menghela napas, katanya : "Silahkan locianpwe berdua pergi lebih dahulu.
Kita tentukan tempat bertemu lagi. Aku hendak mencarikan tempat beristirahat untuk
saudara Ih ini, baru nanti menyusul."
Kata Ca Cu Jing : "Racun pada tubuhnya itu tak sembarangan obat dapat
menyembuhkan ."
Sambil memandang Ih Seng, Han Ping berseru : "Masakan racun itu benar-benar tiada
obatnya ?"
Kata Ca Cu Jing pula : "It-kiong, Ji-koh dan Sam-poh, semua tahu tentang ilmu racun.
Tetapi di antara mereka hanyalah orang Lembah Raja setan dan Lembah Seribu racun
yang paling mahir. Lembah Raja setan khusus mengumpulkan segala jenis obat bius.
Sedang lembah Seribu racun rajin menyelidiki beracun jenis racun di dunia. Turut
pendapatku, kecuali tiga tokoh tua dari lembah Seribu racun, mungkin di dunia ini sukar
mendapatkan orang yang mampu mengobati racun dalam tubuh saudara Ih itu"
"Mati atau hidup, bukan soal bagiku !" seru Ih Seng dengan gagah.
Cong Topun menghela napas, ujarnya : "Pengemis tua memang tak mengerti ilmu itu.
Harap saudara Ca suka menolongnya."
"Aku hanya membekal sebotol obat penawar racun. Sakalipun tak dapat
menyembuhkan luka saudara Ih, tetapi obat itu juga hebat khasiatnya. Di dalamnya
mengandung ramuan obat yang istimewa sekali. Untuk mendapatkannya, aku telah
menjelajahi gunung-gunung ternama di seluruh negeri dan menghabiskan waktu selama
tiga tahun. Selama ini aku pelit sekali menggunakan obat itu. Sebotol obat ini akan dapat
menahan luka beracun saudara Ih itu selama tiga bulan. Nanti setelah menemukan
putraku, aku bersedia bersama saudara Cong mendapatkan tiga Manusia racun dari
lembah Seribu racun untuk memintakan obat. Dengan memandang muka kami berdua
orang tua ini, rasanya ketiga Manusia racun itu tentu takkan menolak !"
"Bagus !" seru Cong To, "Sekarang kita tetapkan janji. Lebih dulu mencari jejak putra
saudara Ca, lalu menemui ketiga Manusia racun dari lembah Seribu racun kemudian
mencari Ih Thian Heng !"
"Ah, untuk jiwa Ih Seng yang tak berharga ini, mengapa sampai merepotkan locianpwe
berdua ?" kata Ih Seng.
Cmg To deliki mata : "Jika engkau memang ingin mati, silahkan saja ! Pengemis tua tak
senang mendengar mulut manis begitu begituan !"
Ca Cu Jingpun membujuk Ih Seng supaya usah memikirkan apa-apa. Hanya ketiga
Manusia racun dari lembah Seribu racun itulah yang mampu mengobati lukanya.
Ih Seng memandang Han Ping tanpa bicara.
Bertanya Cong To kepada Ca Cu Jing : "Apakah setelah minum pil itu, dia masih dapat
melakukan kepandaiannya ?"
"Asal jangan kelewat menggunakan tenaga, rasanya tiada halangan," jawab Ca Cu Jing.
Pengemis sakti tak mau bicara lagi terus lari ke arah timur. Han Ping, Ca Cu Jing dan Ih
Seng mengikutinya.
Kurang lebih 8 li, tibalah mereka di bawah sebatang pohon. Cong To hentikan larinya
dan menghampiri sebuah kuil kecil. Ia mengambil secarik kertas dari kuil kecil itu lalu
dibuka. Tiba-tiba ia kerutkan alis.
"Apakah putraku dalam bahaya ?" seru Ca Cu Jing cemas.
Sambil mengangsurkan kertas itu ia suruh Ca Cu Jing membacanya sendiri.
Pada kertas itu Ca Cu Jing melihat beberapa deret tulisan yang berbunyi :
"Kedua nona Ting itu sudah ditawan oleh anak buah Bik-lo-san. Ca Giok yang hendak
memberi pertolongan, pun tertangkap di situ. Murid dengan menyamar telah
mengikutinya. Beruntung tiada diketahui orang . . . ."
Huruf berikutnya tak jelas. Seperti melihat sesuatu lalu tak menulis lebih lanjut.
Ia mengulang beberapa kali namun tetap tak tahu dimanakah letak gunung Bik-lo-san
itu. Kemudian ia monghela napas dan serahkan surat itu kepada pengemis sakti lagi.
"Aku benar-benar sudah tua. Ombak bengawan Tiang-kiang, yang belakang mendorong
yang muka. Setiap jaman tentu muncul tunas baru yang lebih hebat dari angkatan tua . . .
." - perlahan-lahan ia memandang Han Ping, ujarnya lebih lanjut : "Saudara Cong, desa
Bik-lo-san-cung itu tentu muncul belakangan setelah timbulnya It-kiong, Ji-koh dan Sampoh,
Desa itu tentu merupakan sarang harimau dan naga !"
"Wanita siluman dari Lam-hay-bun muncul ke mari. Sekalian kaum persilatan
berbondong-bondong menuju ke Tionggoan untuk merebut kitab pusaka dari perkumpulan
Lam-hay-bun itu. Sejak itulah nama desa Bik-lo-san-cung menjadi terkenal. Pengemis
tuapun baru beberapa hari mengetahui nama itu !" kata Cong To.
"Kalau begitu saudara pernah kesana. Berapa jauhkah tempat itu dari sini ?" tanya Ca
Cu Jing.
"Dekat saja tak sampai 100 li . . ."
"Saudara Cong, jika sudah tak ada lain urusan penting lagi, mari kita berangkat ke sana
! Anak ku belum ketahuan nasibnya. Pun yang menulis surat itu juga perlu dicemaskan . .
. ."
Pengemis sakti mengamati surat itu dengan tajam, katanya : "Walaupun guratannya
memang berasal dari tangan pengemis kecil, tetapi nadanya agak beda."
Dimana bedanya ?" tanya Ca Cu Jing.
"Jika tulis surat kepada pengemis tua, pengemis kecil itu tak pernah menggunakan
huruf cakar ayam begitu. Surat itu ditulis dengan gaya mentereng, rupanya berbeda
dengan biasanya !"
"Memang cara locianpwe mengadakan hubungan berita, aku sendiri merasa heran.
Masakan ada orang yang berani menirunya ?" Han Ping menyelutuk.
Belum Cong To menjawab, Ca Cu Jing sudah mendahului : "Untunglah desa itu tak jauh
dari sini. Maka baiklah kita menyelidiki ke sana"
Tidak menjawab tetapi Pengemis sakti tampak tengadahkan kepala merenung.
Beberapa saat kemudian, ia berkata : "Baik mari kita ke sana . . ." - tiba-tiba terdengar
suara anjing menggonggong dari kejauhan.
Ketika berpaling, mereka melihat seekor anjing hitam yang amat besar, lari
mendatangi. Cepat sekali anjing hitam itu sudah tiba di muka sekalian orang.
Cong To memandang anjing itu. Tiba-tiba ia mendengus lalu berjongkok mengusapusap
kaki belakang binatang itu dengan penuh rasa kasihan. Ternyata kaki belakang
anjing itu mengucur beberapa tetes darah. Cong To mengeluarkan sebuah kotak besi yang
berisi bubuk putih. Bubuk putih itu segera dilumurkan ke kaki anjing yang terluka itu lalu
menegurnya : "Kemanakah pengemis kecil ?"
Anjing besar berbulu hitam itu menyalak lalu lari ke muka. Cong To segera mengajak
Han Ping menyusul binatang itu. Walaupun terluka tetapi anjing itu masih cepat larinya.
Dalam sekejap saja sudah mencapai 5-6 li.
Tiba-tiba Cong To membelok ke sebelah kanan dan menyambar tubuh Ih Seng untuk
dikepit lalu loncat mendahului Ca Cu Jing. Serunya kepada anjing hitam : "Hitam, Hitam,
jika lukamu tak berat, hayo larilah lebih cepat lagi"
Rupanya anjing itu mengerti akan kata-kata pengemis sakti. Setelah meraung keras, ia
pesatkan larinya.
Melihat itu Han Ping terkejut. Tak terasa ia terseru memuji : "Hebat sekali larinya . . . ."
Bermula Ca Cu Jing mengira bahwa hanya nenggunakan 4- 5 bagian ilmunya lari cepat,
ia tentu dapat mengejar anjing itu. Tetapi di luar dugaan, makin lama anjing itu makin lari
lebih kencang. Terpaksa Ca Cu Jing tambahkan tenaga dalamnya.
Ih Seng yang dikepit Cong To, hanya mendengar angin tajam memekak telinga. Diamdiam
ia kagum sekali atas kesaktian pengemis tua itu. Walaupun mengepit orang tetapi
mampu lari secepat angin diam-diam ia malu hati.
"Saudara Cong, biarlah aku lepas. Kuyakin aku masih dapat berlari sendiri !" serunya.
Bagian 34
Tugas pertama.
"Racun dalam tubuhmu masih belum sembuh, tak boleh terlalu letih. Biarlah kubawamu
lari" sahut Pengemis sakti.
Kira-kira berlari sepenanak nasi lamanya, mereka melihat pemandangan di sebelah
muka mulai berganti. Tanahnya datar tiada berujung. Puncak gunung berderet tinggi
rendah.
Tiba-tiba anjing hitam itu berhenti dan berpaling ke arah tuannya. setelah menyalak,
binatang itu segera lanjutkan larinya menuju ke sebuah puncak.
"Harap berikan saudara Ih kepada adik kecil (Han Ping) saja !" seru Ca Cu Jing.
Cong To tertawa : "Tak apa, pengemis tua masih kuat !" - Sekali loncat ia mendahului
lari di muka.
Hampir sejam lamanya mereka mengikuti anjing itu mendaki ke puncak. Akhimya
tibalah mereka di muka sebuah halaman yang luas, dikelilingi pohon bambu dan pohon
siong.
Memandang ke muka tampak sebuah gedung besar berdinding merah, menonjol megah
di antara lingkungan puncak gunung.
Karena bambu dua pohon siong yang mengelilingi gedung itu amat lebat, maka sukar
dilihat bagaimana keadaan gedung itu.
Anjing itu berhenti di luar halaman dan memandang Cong To. Seolah-olah hendak
menunggu perintah tuannya.
Setelah meletakkan Ih Seng, pengemis sakti itu tertawa : "Saudara Ca, inilah yang
disebut Bik-lo-san-cung ! Kita secara terang minta pintu atau masuk dengan paksa ?"
Ca Cu Jing merenung sejenak lalu menjawab : "Terserah bagaimana pendapat saudara
!"
Cong To tertawa : "Selama ini pengemis tua tak pandai merangkai kata-kata indah. Kita
masuk saja secara setengah sopan setengah paksa !"
Habis berkata pengemis sakti itu terus mengitari pagar pohon bambu lalu menyusup ke
muka.
Pada pintu yang luar biasa besarnya, tergantung sebuah papan bertulis empat huruf
emas : "Gedung Bik-lo-san."
Pintu gerbang itu tertutup rapat.
Sejenak Ca Cu Jing kerutkan alis lalu berkata : "Saudara Cong, sehebat ini gedung Biklo-
san, tetapi mengapa tiada penjaganya sama sekali ?"
Cong To tertawa : "Menurut hemat pengemis tua, mereka tentu sudah tahu tetapi
pura-pura diam agar kita tak dapat menduga-duga keadaan mereka . . . ." - katanya
seraya melangkah maju lalu mendebur pintu : "Hai, apakah di dalam tak ada orang ?"
Sekonyong-konyong pintu gerbang terbuka dan empat orang berpakaian hitam berjajar
menghadang jalan. Cong To memandang mereka.
"Beritahukan kepada majikan gedung ini bahwa pengemis tua datang hendak
mengemis nasi !"
Tanpa mempedulikan keempat penjaga Itu, pengemis sakti Cong To terus menerjang
masuk.
Keempat penjaga itu buru-buru menyisih ke samping. Setelah keempat tetamu masuk,
mereka segera menutup pintu lagi.
Cong To tertegun. Berpaling ke belakang, dilihatnya keempat penjaga itu tak
mempedulikannya. Habis menutup pintu mereka segera masuk ke sebuah rumah kecil di
belakang pintu gerbang.
"Saudara Cong, apakah mereka orang gagu !" tanya Ca Cu Jing,
"Bertemu keanehan jangan merasa aneh. Keanehan itu pasti akan kalah sendiri. Tak
usah pedulikan mereka !" sahut Cong To. Ia terus melangkah maju.
Halaman gedung yang amat luas itu penuh ditumbuhi bermacam-macam pohon bunga
dan rumput hijau. Angin halus menyerbak bau harum. Di sepanjang tepi halaman, dibuat
pagar bertingkat.
Cong To minta kepada Ca Cu Jing supaya mengamati pohon-pohon bunga itu : "Adakah
sesuatu yang aneh pada batang-batang bunga itu ?"
Ca Cu Jing mahir dalam ilmu barisan. Khusus ia mempunyai peyakinan istimewa dalam
ilmu barisan Pat-kwa-kiu-kiong-tin dan Ngo-heng-tin.
Setelah memandang beberapa jenak pada barisan bunga, ia berkata : "Aku yang jalan
di muka dan saudara-saudara mengikuti di belakang !"
Setelah melintasi halaman kebun bunga itu mereka memasuki sebuah ruang gedung
yang besar. Di tengah ruang tersedia meja, penuh dengan makanan dan minuman. Empat
cawan dan empat mangkuk tersedia disitu. Tetapi di dalam ruang tak tampak seorang pun
juga.
Seketika timbullah selera Cong To untuk minum arak : "Mereka tentu akan menjamu
kita berempat. Hayo, kita lalap dulu hidangan itul" Tetapi Ca Cu Jing mencegahnya. "Ah,
biarlah pengemis tua yang mencicipi dulu. Jika hidangan itu tak mengandung racun, kalian
akan kuundang !" - Sekali loncat pengemis sakti itu terus menerobos masuk.
Di meja hidangan terdapat secarik kertas berbunyi : "Karena dari jauh, tentulah
saudara-saudara lapar dan haus maka khusus disediakan hidangan dan arak istimewa
sebagai tanda penyambutan dari tuan rumah."
Han Ping melangkah masuk, katanya : "Cong locianpwe, apa yang ditulis dalam kertas
itu ? Bolehkah aku melihatnya ?"
Gong To angsurkan kertas itu : "Dengan adanya surat pengantar itu, hidangan dan
minuman ini tentu tak diberi racun !"
Han Ping menyambuti dan membacanya bersama Ca Cu Jing. Ketua marga Ca itu
geleng-geleng kepala berseru : "Ini menandakan bakwa makanan itu tak boleh kita
makan. Karena saudara Cong sudah lama berkelana di dunia persilatan, tentulah
mengetahui tentang tipu muslihat kaum persilatan. Dengan meninggalkan surat itu, tak
dapat disangsikan lagi mereka tentu sudah mencampuri racun . . . ."
Tepat pada taat itu terdengarlah suara tertawa dari luar ruang. Empat orang berbaju
hitam menerobos masuk dan tanpa menghiraukan Cong To, mereka terus duduk di kursi.
Salah seorang mengambil poci arak dan menuang pada cawan kawan-kawannya seraya
tertawa : "Kami memang mempunyai paru tembaga usus besi. Tak takut keracunan. Hayo,
minumlah sepuas-puasnya !"
Keempat orang itu makan dan minum dengan lahap sekali. Makanan dan minuman
habis dilahapnya. Setelah mengusap mulut, mereka terus melangkah keluar lagi.
Memandang ke arah meja yang hanya tinggal terdapat tetesan arak, pengemis sakti
Cong To bersungut-sungut menyesali Ca Cu Jing : "Ah, pengemis tua mengatakan
hidangan itu tidak mengandung racun, kalian tak percaya. Sekarang bagaimana ?"
Ca Cu Jing tertawa : "Harap saudara Cong jangan kuatir. Begitu putraku sudah bebas,
akan kuundang saudara ke Ca-ke-poh. Bukan aku hendak menyombongkan diri tetapi
memang kami memelihara tukang masak yang istimewa. Selama satu bulan tiap hari
makanan tentu berbeda-beda !"
Namun Cong To masih bersungut mengatakan rasa sayangnya karena hidangan yang
lezat dan arak yang wangi telah dihabiskan keempat orang tadi. Kemudian ia keluar
ruangan dan menuju ke belakang.
Disitu merupakan sebuah halaman yang penuh dihias dengan pot-pot bunga. Empat
orang budak perempuan berbaju hijau, sudah siap menunggu. Begitu melihat kedatangan
keempat tetamu itu, dengan langkah lemah gemulai mereka segera menyambut. Mereka
masing-masing membawa sebuah penampan kumala, berisi cawan teh yang masih panas,
jelas tentu baru saja dituang.
Memandang ke arah keempat buyang perempuan itu, Ca Cu Jing menolak : "Tak
usahlah !"
Keempat gadis pelayan itu saling memandang lalu tertawa. Mereka mengambil cawan
teh terus diteguknya habis. Kemudian mereka memberi hormat kepada rombongan Cong
To, lalu masuk ke belakang.
"Huh, penyambutan busuk ini hebat juga !" dengus Pengemis sakti Cong To.
Sahut Ca Cu Jing : "Walaupun mereka hendak mengunjukkan cara apa saja, lebih baik
kita tak pedulikan dan tak minum !"
Cong To tertawa gelak-gelak : "Kecuali arak, tiada lain benda di dunia yang pengemis
tua senangi. Uh, sungguh mengerikan. . . ." - tiba-tiba ia lari ke muka.
Setelah melintasi sebuah halaman itu, mereka tiba pula di sebuah ruang besar yang
mewah sekali. Pintu terentang lebar, di tengah ruang tampaklah si dara baju ungu sedang
duduk.
Seorang wanita cantik berbaju hijau, duduk di sebelah kirinya. Di belakang wanita baju
hijau itu berdiri seorang pemuda berpakaian indah.
Ketika mengamati, tahulah Han Ping bahwa wanita berbaju itu adalah yang melukai
Ting Ling tempo hari. Sedang pemuda berpakaian indah itu adalah Ho Heng Ciu.
Tetapi lain halnya dengan Pengemis sakti Cong To. Begitu melihat wanita baju hijau itu,
seketika lenyaplah kegarangannya. Ia tertegun seperti patung.
Melihat sikap Cong To, heranlah Ca Cu Jing.
"Saudara Cong, mengapa engkau berhenti ?" serunya.
Pengemis sakti Cong To hanya batuk-batuk dua kali tetapi tak menyahut.
Han Ping menyelinap dari samping Cong To lalu melangkah ke tengah ruang. Ca Cu
Jingpun segera menggandeng tangan Cong To diajak masuk. Ih Seng mengikuti dari
belakang.
Sekeliling ruang besar itu ditutup dengan kain berudu hijau. Hanya meja persegi
delapan yang dipasang di tengah ruang itu berwarna merah. Di atas meja terdapat sebuah
Giok-ting sehingga seluruh ruangan berbau harum.
Kecuali si dara baju ungu, wanita baju hijau dan Ho Heng Ciu bertiga, tiada lain orang
lagi dalam ruang besar itu. Juga tiada lain perabot lagi kecuali meja merah dan dua buah
kursi besar.
Ca Cu Jing rasanya pernah melihat wanita baju hijau itu. Tetapi melihat sikapnya yang
begitu tak mengacuhkan tetamu, marahlah ketua marga Ca itu.
Ia mendengus : "Aku Ca Cu Jing, memerlukan datang kemari untuk menghadap pemilik
gedung. Apakah dapat mengundangnya keluar ?"
Dara baju ungu itu perlahan-lahan berpaling muka lalu tertawa tawar : "Apakah engkau
ketua marga Ca yang bernama Ca Cu Jing itu ?"
"Benar . . . ." sahut Ca Cu Jing. Tiba-tiba ia merasa omongan dara itu congkak sekali.
Seketika ia berseru marah : "Ya, Ca Cu Jing memang aku ini. Mengapa engkau seorang
anak perempuan bicara begitu tak sopan ? Jika tak memandang engkau ini seorang anak
perempuan, kekasaranmu itu pantas dihukum mati !"
Sebagai tokoh terkemuka dari dunia persilatan wilayah Hopak, selama ini tiada orang
yang berani meremehkan Ca Cu Jing. Ca Cu Jing angot lagi kebiasaannya dihormati orang.
Dara baju ungu itu memandang ke atas langit wuwungan seraya berkata tenang sekali:
"Dari ketiga marga, aku telah bertemu dengan Siang Kwan Ko. Dan sekarang dengan
engkau !"
Ca Cu Jing terbeliak . . . .
Jilid 19 : Keluar dari desa Bik lo san
Bagian 35
Jinak-jinak merpati.
Ca Cu Jing, ketua marga Ca, heran mengapa dara baju ungu itu bertemu dengan
Siangkwan Ko. Padahal jago tua Siangkwan Ko yang merajai dunia persilatan Se-pak itu,
jarang sekali datang ke Tionggoan.
Adalah karena tak sabar lagi mendengar percakapan yang kurang perlu maka Han Ping
segera menyelutuk dengan hormat : "Maafkan kedatangan kami kemari hendak mohon
keterangan nona. Kita tak saling bermusuhan dan hendaknya jangan sampai menimbulkan
hal-hal yang tak menyenangkan."
Tanpa menunggu jawaban si dara, Han Ping meminta surat dari Pengemis sakti, lalu
diberikan kepada dara itu : "Harap nona suka membaca surat ini . . . ."
Sejenak memandang surat itu, si dara terus berpaling muka dan berkata dengan dingin
: "Bagaimana engkau tahu kalau aku tentu mau membaca surat itu ?"
"Surat itu menyebut bahwa saudara Ca Giok dan murid dari Cong locianpwe, tertawan
dalam gedung ini. Kami datang untuk keperluan itu dan lebih dulu menunjukkan surat ini
agar nona suka memberi keterangan."
Perlahan-lahan dara itu berpaling ke muka. Dengan wajah marah, ia ulurkan tangan
menyambuti, terus merobek-robeknya lalu dilempar ke lantai.
Pucat seketika wajah Ca Cu Jing. Serentak ia maju mencengkeram dara itu. Tetapi
cepat-cepat Han Ping mencegahnya.
"Engkau berani mencegah !" bentak Ca Cu Jing dengan deliki mata.
Han Ping terkejut bingung. Buru-buru ia menjelaskan : "Ca pohcu seorang tokoh
ternama, bagaimana mungkin hendak menghajar seorang anak perempuan."
Melihat Han Ping melerai, dara itu berseri riang wajahnya. Tetapi setelah mendengar
kata-kata Han Ping, tiba-tiba wajahnya membeku dingin lagi. Lalu deliki mata dan
mendamprat pemuda itu : "Siapa suruh engkau menolong aku ? Huh, tak malu !"
Bermula Ca Cu Jing tak puas atas tindakan Han Ping. Tetapi pada lain saat ia mengatai
kata-kata pemuda itu memang benar. Sambil tersenyum ia berkata : "Engkau benar.
saudara. Memang orang semacam Ca Cu Jing ini tak pantas melayani seorang anak
perempuan . . . ."
Tiba-tiba dara baju ungu itu mengangkat tangan dan kain layar warna ungu perlahan
melambung ke atas.
Sekalian orang berpaling ke samping. Tampak pengemis kecil diikat tubuhnya, mulut
disumbat kain sutra. Dua orang lelaki baju hitam berdiri di kanan kirinya sambil memegang
kedua bahu pengemis kecil itu. Pada bahu kanan kiri pengemis kecil itu dilekati dengan
tiga batang pedang. Sekali digerakkan, bahu pengemis kecil pasti akan terbelah.
Melihat muridnya dalam keadaan begitu rupa, marahlah Pengemis sakti Cong To. Tetapi
ia tak berani bertindak.
Dara baju ungu tertawa dingin. Sekarang ia mengacungkan tangan kirinya. Layar di
sebelah kanan pun perlahan tersingkat ke atas.
Sebenarnya Han Ping sudah hampir tak dapat menahan kemarahannya melihat
keadaan pengemis kecil itu. Serentak ia sudah akan menyerbu untuk menolong. Tetapi
karena kuatir jika kalah cepat kebalikannya malah akan mencelakakan jiwa pengemis kecil
itu, terpaksa ia termangu di tempatnya.
Dan ketika berpaling ke sebelah kanan, ia tersirap kaget. Seorang lelaki yang kedua
matanya menutup, wajah pucat lesi dan lengan kutung sebelah, diikat pada sebilah papan
kayu. Dua lelaki baju hitam dengan bersenjata tombak, berdiri pada jarak dua meter.
Ujung tombak, yang berkilat-kilat tajam, dilekatkan pada bahu orang itu. Sekali mereka
gerakkan tangan, tubuh orang itu pasti akan tersusup tombak.
Kejut Han Ping bukan kepalang. Jelas orang yang diikat itu adalah pamannya Kim Loji.
Seketika meluaplah darahnya, mata berkunang-kunang dan tubuhnya terhuyung mau
jatuh.
Tiba-tiba terdengar Ca Cu Jing berseru lantang : "Lekas angkatlah layar di belakang itu.
Aku hendak melihat adakah putraku masih hidup atau sudah mati . . . ."
Ketua marga Ca itu amat tegang sekali hatinya. Setelah menyaksikan kedua orang
tawanan itu, ia duga layar di belakang itu tentu berisi Ca Giok.
Tenang-tenang saja dara baju ungu itu memandang Ca Cu Jing. Tiba-tiba ia
mengangkat kedua tangannya dan layar di belakangnya itupun segera menyingkap ke atas
. . . .
Ca Cu Jing memandang dengan tegang sekali. Wahai . . . . ternyata di balik layar itu
bukan berisi Ca Giok tetapi hanya tiga buah kursi besar.
Kursi di sebelah kiri diduduki seorang nenek berambut putih, mencekal sebatang
tongkat. Kursi di tengah, duduk seorang lelaki bertubuh gagah perkasa, mengenakan
pakaian Kim-ih atau pakaian yang biasa dipakai oleh pengawal istana. Sedang kursi
sebelah kanan, ditempati oleh seorang lelaki baju merah. Lelaki itu buntung sebelah
kakinya.
Begitu layar tersingkap, mereka serentak berbangkit dan melangkah ke dalam ruangan.
Tiba-tiba Pengemis sakti Cong To tertawa nyaring, serunya : "Cara penyambutan yang
saudara berikan ini, sungguh membuat pengemis tua sungkan setengah mati !" - tiba-tiba
ia melesat ke samping si dara baju ungu.
Tetapi secepat itu juga, nenek rambut putih tertawa dingin dan loncat ke samping si
dara seraya hadangkan tongkatnya ke arah Cong To.
"Hai, kemanakah putraku !" teriak Ca Cu Jing kalap. Karena tak melihat Ca Giok, ia
duga anak itu tentu sudah tertimpa bahaya.
Dara baju ungu tersenyum dan bertanya dengan lembut : "Adakah putramu itu yang
bernama Ca Giok ?"
Sekalipun marah tak karuan, tetapi Ca Cu Jing tak berani bertindak sembarangan.
Karena selama belum mengetahui pasti nasib putranya, kalau turun tangan ia kuatir
bahkan akan mencelakai anak itu.
Dan ketika mendengar pertanyaan si dara, hatinya serasa longgar. Bergegas ia
menyahut : "Benar, benar, anakku itu bernama Ca Giok. Adakah nona mengetahuinya ?"
Dara itu tersenyum : "Sekalipun dia tak berada di sini tetapi kutahu dia masih hidup.
Harap jangan gelisah !"
Ucapan dara itu dirasakan Ca Cu Jing bagaikan hujan sejuk di musim panas. Ketua
marga Ca itu mengerang lalu berkata pula : "Jika nona suka memberitahukan dimana
anakku berada, aku segera tinggalkan tempat ini !"
"Tak perlu terburu-buru. Karena sudah datang kemari, mengapa tergesa-gesa hendak
pergi." kata si dara yang kemudian berpaling ke arah Cong To, serunya : "Pengemis tua,
apakah engkau kenal pada orang yang duduk disana itu ?"
"Hm, kalau kenal lalu bagaimana ?" dengus Pengemis sakti.
Si dara tertawa : "Kalian berdua kakak dan adik seperguruan sebenarnya sejak kecil
sudah menjadi kawan sepermainan. Tetapi mengapa lantas tak mau campur seperti
minyak dengan air ? bagaimana kalau kudamaikan kalian ini ?"
Kata-kata si dara itu bagaikan halilintar menyambar di tengah hari sehingga Cong To
termangu tak dapat menjawab apa-apa.
Si dara lalu berpaling ke arah Ih Seng, ujarnya dengan tertawa : "Karena sudah terkena
racun ganas dari Ih Thian Heng, mungkin engkau tak dapat hidup lama. Tetapi tak apalah.
Aku mempunyai daya untuk mengobatimu. Dalam tiga hari saja, racun dalam lukamu itu
pasti sembuh !"
Lalu ia melambai pada wanita cantik baju hijau. Ia tertawa : "Kemarilah !"
Wanita cantik baju hijau itu mengiakan lalu menghampiri. Pengemis sakti Cong To
memandang wanita itu dengan sikap agak gelisah.
Berkatalah wanita cantik itu dengan lemah lembut : "Kita sama belajar dalam
seperguruan. Sejak kecil mula sampai dewasa selalu bersama. Adakah suheng sungguhsungguh
bermaksud hendak memusuhi siaumoay ?"
Siaumoay artinya adik kecil. Sebuah sebutan untuk membahasakan diri sendiri terhadap
saudara yang lebih tua.
Cong To kerutkan alis tak menjawab. Biasanya ia selalu bersikap gagah dan periang.
Tetapi pada saat berhadapan dengan wanita cantik baju hijau itu, ia tak ubah seperti
anjing yang mengepit ekor karena takut digebuk.
Sampai beberapa saat, pengemis itu tak dapat berkata apa-apa . . . .
Suasana yang semula tegang regang, pada saat itu berubah amat sunyi rawan. Wanita
cantik baju hijau itu seolah-olah telah memberi angin segar pada sekalian orang.
Rombongan tamu itu masing-masing mempunyai harapan sendiri-sendiri. Ca Cu Jing
ingin lekas melihat putranya. Ih Seng merenungkan si dara baju ungu yang menjanjikan
akan mengobati lukanya. Pengemis sakti Cong To terbenam dalam kenangan kepada
wanita cantik baju hijau itu.
Han Ping dapat menyelami perasaan kawan-kawan serombongannya. Sesaat ia merasa
terpencil seorang diri . . . .
Terdengar wanita cantik baju hijau itu berkata pula : "Jika suheng mau menghapus
kesalahan yang lampau, siaumoay bersedia kembali ke dalam partai Kim-pay-bun. Ah
sejak bertemu di biara tua itu, aku segera teringat akan petuah mendiang suhu kita. Anak
tiang Kim-pay-bun, hanya suheng dan aku berdua. Jika kita berdua saling bermusuhan,
bukan saja akan ditertawakan kaum persilatan, pun kita berdosa kepada arwah suhu . . .
."
Pengemis sakti Cong To menghela napas : "Apakah ucapan siaumoay itu keluar dari
hati siaumoay yang sungguh-sungguh ?"
"Setiap patah kata, adalah suara hatiku. Jika suheng tak percaya, apakah perlu aku
harus mengangkat sumpah ?"
Cong To menengadahkan kepala, merenung.
Tiba-tiba Ca Cu Jing tampil selangkah ke muka dan berkata kepada si dara baju ungu :
"Aku benar-benar ingin lekas bertemu dengan putraku. Sukalah nona memberi petunjuk.
Ca Cu Jing tentu takkan melupakan budi nona !"
Dara baju ungu itu berpaling kepada lelaki pincang : "Ji suheng, harap bawa Ca
lopohcu ke belakang dan kasih tahulah tentang diri Ca Giok itu . . . ."
Setelah itu ia berkata pula kepada Ca Cu Jing : "Karena di sini banyak orang, di
antaranya ada yang benci kepada putramu, maka aku tak leluasa mengatakannya."
Pikiran Ca Cu Jing hanya tertuju kepada putranya. Sejenak merenung. Ia bertanya :
"Entah siapakah kiranya yang benci kepada putraku itu ? Aku ingin sekali berkenalan !"
Dara baju ungu itu keiiarkan biyi matanya. sejenak tiba pada Han Ping, ia tersenyum
tapi tak mengatakan apa-apa.
"Hm," Ca Cu Jing mendengus, "tahukah nona mengapa dia membenci putraku ?"
Dara itu agak mengangkat alis dan berkata perlahan-lahan : "Soal itu, sukar dijelaskan.
Jika lo pohcu bertemu dengan putramu, tentu akan tahu sendiri."
Bluk lelaki pincang itu menggentakkan tongkat besi penyanggah tubuhnya lalu berseru
: "Lo pohcu, silahkan ikut aku !" - ia terus melangkah keluar.
Sekalipun masih setengah percaya, tetapi Ca Cu Jing mau juga mengikuti. Ia percaya
pada kekuatan dirinya untuk mengatasi kemungkinan yang tak diduga.
Setelah itu si dara baju ungu melambai Ih Seng : "Kemarilah, biar kuperiksa lukamu itu
terkena racun apa ?"
Ih Seng menurut. Ia maju menghampiri ke tempat si dara.
Dengan penuh kelembutan, si dara memeriksa luka Ih Seng lalu berkata : "Ih Thian
Heng benar-benar bukan manusia sembarangan. Bukan saja racun itu amat ganas, pun
sekali meresap ke kulit terus bercampur darah dan masuk ke dalam jantung. Apabila
sudah sampai disitu, tak mungkin diobati lagi . . . ."
"Apakah tiada daya untuk menolongnya ?" di luar kesadarannya, Han Ping menyelutuk.
Tiba-tiba wajah dara itu berubah dingin. Tanpa mengacuhkan. Ia menggeram : "Siapa
bilang tak dapat ditolong ? Huh, mulut iseng !"
Han Ping terkesiap lalu tundukkan kepala.
Wajah si dara ramah pula, katanya pada Ih Seng : "Jika tidak bertemu aku, mungkin di
dunia ini tiada orang yang sanggup menolongmu ! Tetapi cara pengobatannyapun
berlainan. Selain minum obat, juga harus diobati dengan tusuk jarum ! Pun pengobatan itu
tidak sehari dua hari selesai. Paling sedikit harus makan waktu sampai tujuh hari. Engkau
harus tinggal di sini. Setelah tujuh hari, barulah racun itu dapat disembuhkan sama sekali."
Ih Seng berpaling ke arah Han Ping. Tetapi sebelum ia buka suara, Han Ping sudah
mendahului : "Baiklah saudara Ih tinggal saja di sini selama tujuh hari !"
Tanpa memandang Han Ping, dara itu mendengus : "Huh, siapa yang mengajakmu
bicara ? Mengapa engkau suka usil mulut saja ?"
Karena selalu disentil si dara, marahlah Han Ping. Tetapi pada lain saat ia menyadari
bahwa dara itu memang sedang bicara dengan Ih Seng dan ia campur mulut. Ah, lebih
baik ia tahan lagi kemarahannya itu.
Setelah berdiam beberapa saat, Cong To bertanya kepada wanita cantik baju Hijau :
"Adakah engkau yang menawan pengemis kecil itu ?"
Belum wanita baju hijau menyahut, si dara baju ungu sudah mendahului : "Jika
muridmu tak kami tawan lebih dulu, begitu kalian masuk kemari tentu akan terjadi
pertempuran hebat. Sekarang hatimu sudah agak tenang, sudah tentu tak perlu
memperlakukan dia begitu lagi !"
Habis berkata ia segera berseru memberi perintah supaya pengemis kecil itu
dibebaskan.
Setelah dibebaskan, pengemis kecil itu menghela napas dan berjalan menghampiri
Cong To lalu berlutut : "Murid wajib menerima hukuman karena telah menghilang muka
suhu !"
Tetapi Cong To menyuruhnya bangun : "Tak apa, memang tak dapat mempersalahkan
engkau !"
Dara baju ungu berkata pula : "Setelah kalian berdua suheng dan siaumoay tiada
bermusuhan, urusan selanjutnya tentu mudah dibereskan. Telah kusuruh siapkan
hidangan untuk kalian, sekedar untuk merayakan bersatunya kembali kalian berdua !"
Terhadap siapapun, dara baju ungu itu tentu bersikap dan berkata dengan lemah
lembut.
Hanya terhadap Han Ping seorang dia tentu selalu bersikap dingin dan ketus.
Terdengar pula wanita baju hijau itu tertawa melengking : "Sedikit kesalahan siaumoay
itu, apakah suheng sungguh-sungguh takkan melupakan seumur hidup . . . . ?"
"Ah, mana aku berani bersikap begitu," jawab Cong To, "Jika siaumoay memang
bersungguh hati hendak kembali ke dalam perguruan kita, harap tiga hari kemudian suka
berkunjung ke biara tua tempo hari. Aku akan menunggu disitu. Aku hendak membantu
orang untuk menyelesaikan urusan di Bik-lo-san . . . ."
"Ho, bagus, pengemis tua !" teriak si dara, "aku membantu mendamaikan kalian
berdua, tetapi engkau masih hendak memusuhi aku !"
"Selama hidup pengemis tua tentu akan melaksanakan apa yang telah kujanjikan ! Tak
pernah ingkar. Memang kedatanganku kemari adalah demi membantu orang
menyelesaikan urusan disini. Harap nona jangan mencampur baurkan soal pendamaian
kami berdua dengan siaumoay untuk memaksa pengemis tua melanggar janjinya kepada
orang !"
Tiba-tiba wanita tua bertongkat tadi tertawa dingin sehingga rambutnya yang putih
bergetaran, serunya : "Kalau begitu kalian memang hendak cari perkara di sini !"
Sambil gentakkan tongkat, ia melangkah maju. Tetapi si dara cepat berseru
memanggilnya kembali.
Wanita baju hijau berpaling ke arah dara baju ungu lalu mengeluarkan sebuah Kim-pay
atau lencana emas dari dalam bajunya. Lencana itu diacungkan ke atas kepala dan
berserulah ia tertawa : "Suheng, harap memberi hormat kepada Kim-pay perguruan kita !"
Serta merta Pengemis sakti Cong To berlutut dan memberi hormat kepada Kim-pay itu.
"Atas nama pemegang Kim-pay dari Kim-pay-bun, kuperintahkan suheng supaya
meninggalkan desa Bik-lo-san dan jangan menanyakan sebabnya !"
Dara baju ungu itu serentak berbangkit lalu menghampiri Ih Seng dan berkata dengan
nada ramah : "Sudah engkau pikirkan matang atau belum ? Jika engkau percaya padaku,
aku segera akan mulai mengobatimu !"
Setelah merenung beberapa saat, Ih Seng berkata tergugu : "Ini, ini . . . ."
Dara itu menukas tertawa : "Jangan ini itu ! Di seluruh Tionggoan, mungkin tiada
seorang pun yang mampu mengobati lukamu itu !"
Ih Seng berpaling memandang Han Ping. Tak tahu ia bagaimana harus mengambil
keputusan.
"Silahkan saudara Ih berobat," kata Han Ping.
Dara baju ungu melambai Ih Seng lalu berjalan perlahan-lahan menuju ke balik layar.
Ih Seng segera mengikutinya.
Memandang ke arah paman Kim Loji yang masih terikat, tiba-tiba Han Ping berseru :
"Nona, harap berhenti dulu ! Aku hendak bicara."
Dari belakang layar terdengar dara baju ungu itu berkata kepada Bwe Nio : "Bwe Nio,
kalian, masuklah semua ! Jika dia hendak turun tangan bunuhlah Kim Loji lebih dulu !"
Nenek Bwe Nio memandang Han Ping, katanya "Anak muda, jika engkau tak ingin Kim
Loji mati, silahkan duduk yang baik !"
Habis berkata nenek itu terus melangkah ke dalam layar. Lelaki berpakaian baguspun
mengikuti di belakang nenek itu.
Berpaling ke samping, Han Ping melihat ruangan itu kosong melompong. Cong To dan
wanita baju hijau entah kemana perginya. Sedang Ih Seng telah dibawa masuk oleh si
dara baju ungu. Nenek berambut putih dan lelaki berpakaian indah, pun ikut masuk. Layar
kembali menurun, begitu pula pintu ruangpun menutup.
Dari balik layar itu masih terdengar suara orang bernada dingin memberi ancaman :
"Jika engkau berani bergerak sembarangan, Kim Loji tentu akan terpanggang tombak !"
Han Ping merenung sejenak lalu tertawa : "Apakah maksud kalian mengurung aku di
sini . . ."
Diulanginya sampai beberapa kali pertanyaan itu, namun tiada penyahutan.
Giok-ting atau bejana kumala yang terletak di atas meja delapan persegi itu, tetap
mengepulkan asap harum. Karena jendela dan pintu tertutup semua, asap itu tak dapat
keluar sehingga berkepul-kepul memenuhi ruangan.
Dalam beberapa bulan sejak mengalami beberapa peristiwa, hatinya sudah lebih
tenang. Menghadapi keadaan seperti saat itu, dia tak lekas gugup. Tenang-tenang saja ia
duduk pejamkan mata bersemedhi memusatkan pikiran.
Rupanya dara baju ungu itu memang sengaja memusuhi dirinya. Karena terhadap lain
orang, tetap bersikap ramah hanya kepada dirinya tentu ketus dan dingin. Mengingat
nasib paman Kim Loji, Han Ping tak berani bertindak sembarangan.
Dalam diam merenung itu, ia putar otak untuk mencari akal. Tetapi sampai sekian lama
belum juga ia berhasil mendapat akal. Ia mulai gelisah, menghela napas lalu berdiri dan
berjalan mondar mandir dalam ruangan.
Tiba-tiba terdengar derap langkah kaki yang halus. Datangnya dari belakang dinding.
Layar perlahan-lahan terbuka dun muncullah seorang gadis pelayan berpakaian merah
darah. Dia membawa penampan kumala dan menghampiri sambil tertawa.
Gadis pelayan itu baru berumur 14-15 tahun, berwajah bersih. Walaupun tidak amat
cantik tetapi cukup sedap dipandang.
Han Ping hentikan langkah, memandang bujang itu.
"Apakah engkau sudah lapar ?" tanya gadis pelayan itu ketika menghampiri Han Ping.
Han Ping gelengkan kepala : "Tidak !"
Sambil memandang ke penampan kumala yang dibawanya itu, gadis pelayan berkata :
"Kalau tak lapar, silahkan minum saja !" - Ia menuang teh ke sebuah cawan kumala lalu
diberikan kepada Han Ping.
Melihat teh berwarna biru kental, diam-diam timbullah kesangsian hati Han Ping. Tetapi
hidungnya segera mencium bau teh yang harum sekali.
"Ini !ah daun Bwe-cu-lo yang sengaja dibawa nona dari Lamhay. Enak sekali rasanya.
Tetapi kalau engkau curiga, biarlah kuminum dulu . . ." gadis pelayan itu terus meneguk
teh dalam cawan tersebut.
"Enak ?" Han Ping tersenyum.
"Terlalu enak sekali, kalau tak percaya cobalah cicipi sendiri," sahut pelayan.
"Kalau begitu, minumlah sendiri semua !"
"Tidak !" gadis pelayan itu terkesiap. "kalau nona tahu aku tentu digebuk !"
"Bukankah dalam ruangan ini hanya terdapat kita berdua. Asal engkau tak mengatakan,
akupun takkan bilang. Mana orang lain akan tahu ?" kata Han Ping.
Gadis itu mengangguk dan mengiakan. Ia meneguk habis cawan itu semua. Sambil
pejamkan mata ia menghela napas panjang : "Ah, enak sekali ! Sayang engkau tak mau
mencicipi . . ."
Diam-diam Han Ping memperhatikan. Gadis itu masih seperti kekanak-kanakan, jujur
dan menyenangkan.
"Engkau tak lapar dan tak haus, lalu bagaimana maumu ?" tanya gadis pelayan itu.
"Apanya yang bagaimana itu ?" tanya Han Ping.
"Minuman yang kubawa untukmu, engkau tak mau minum. Apakah harus kubawa
kembali ?"
Diam-diam Han Ping menimang. Dara bujang itu seperti kanak-kanak yang jujur.
Mungkin ia dapat menggali sedikit keterangan dari mulutnya.
"Bagaimana kalau engkau tinggal dulu main-main sebentar saja disini ?" tanyanya.
"Main apa ?" tanya si dara bujang. Tiba-tiba ia tertawa lalu mengambil 5 biji batu kerikil
sebesar biji buah tho, serunya : "Ya, ya, adalah. Kita bermain menangkap kerikil !"
Han Ping terkesiap, tegurnya : "Bagaimana caranya bermain ? Ah, aku tak bisa !"
Memang sejak kecil ia tinggal di tempat yang terasing dan jarang mempunyai kawan
bermain. Lebih-lebih dengan permainan anak perempuan, tak pernah ia tahu.
Dara bujang itu cibirkan bibir tertawa : "Begitu besar tetapi bermain menangkap kerikil
saja engkau tak bisa ! Ai, benar-benar tolol . . . ."
Kemudian ia duduk bersila dan meletakkan kelima batu itu di lantai. Menjemput sebuah
dilemparkan ke atas lalu menjemput lagi sebuah dan dilemparkan ke atas. Setelah berturut
turut melempar dan menyambuti batu itu sampai empat kali, barulah ia berhenti.
"Sudah bisa atau belum ?" tanyanya.
Han Ping hanya ganda tersenyum, sahutnya : "Ah, gampang sekali !" - ia lalu meminta
kerikil dan mulai melempar - menyambuti seperti yang dilakukan bujang itu.
"Ih, ternyata engkau pintar sekali. Begitu melihat terus bisa," si dara memuji.
Walaupun dalam hati ingin lekas-lekas bertanya keterangan tetapi Han Ping masih
belum mendapat kesempatan untuk memulai. Setelah berpikir beberapa saat, barulah dia
berkata : "Apakah nonamu juga suka main lempar kerikil ?"
Seumur hidup baru pertama kali ia menyelidiki keadaan pribadi seseorang. Diam-diam
ia tak enak dalam hati sehingga nada ucapannya agak kemalu-maluan.
Dara bujang itu rentangkan kedua matanya lebar-lebar : "Siapakah yang engkau
tanyakan itu ?"
Han Ping terbeliak, serunya "Engkau mempunyai berapa orang nona majikan ?"
"Dua !"
"Yang kumaksud ialah dara baju ungu itu."
Bujang dara itu gelengkan kepala : "Kalau yang itu, aku tak tahu."
Han Ping terbeliak kaget : "Lalu siapakah yang suruh engkau mengantar hidangan ini ?"
"Cobalah engkau terka sendiri ?"
"Tuan majikanmu !"
"Bukan !" sahut dara bujang itu : "tetapi nona baju ungu itu !"
Han Ping curiga jangan-jangan teh itu diberi obat bius atau racun.
"Tahukah engkau, siapa yang paling lihay dalam gedung sini ?" tanya si dara bujang.
Han Ping gelengkan kepala.
"Sebenarnya majikan tua yang paling lihai. Tetapi sejak nona baju ungu itu datang,
majikan tua kalah lihai. Semua urusan harus menurut perintah nona itu !"
Han Ping mendesah. Belum ia menjawab, tiba-tiba bujang itu melonjak dan berteriak :
"Aya, aku harus kembali. Nona pesan kepadaku, setelah engkau makan hidangan itu, aku
harus lekas kembali tak boleh lama-lama tinggal di sini !"
Sambil membawa penampan kumala, dara itu bergegas-gegas tinggalkan ruangan. Han
Ping kecewa karena tak dapat mengorek keterangan apa-apa dari bujang itu. Ia
memutuskan untuk berhadapan muka dengan si dara baju ungu sendiri saja - "Tunggu
dulu, aku hendak bicara !" cepat ia meneriaki bujang dara itu.
"Mau bicara apa ? Lekas katakanlah ! Aku betul-betul terburu-buru sekali !" sahut si
bujang.
Han Ping menghampirinya : "Kalau engkau kembali, sampaikanlah kepada nona baju
ungu, bahwa aku perlu ketemu padanya hendak bicara !"
Bujang dara itu tertegun, kejapkan mata lalu ayunkan langkah seraya berkata perlahan
: "Baik, tetapi jika dia tak mau menemuimu, akupun tak dapat berbuat apa-apa !"
Han Ping tertawa : "Tak apa, asal engkau sudah menyampaikan kepada nonamu itu,
aku sudah berterima kasih !"
"Jika nona tak mau menemuimu, nanti diam-diam aku tentu akan datang kemari lagi
memberitahukan. Kalau tidak engkau tentu gelisah menunggu sia-sia !"
"Ah, tak usah engkau repot begitu !"
Dara bujang itu tertawa : "Kulihat engkau seorang yang baik hati. Entah mengapa nona
amat benci kepadamu ?"
"Mengapa dia membenci diriku ?" Han Ping terkesiap heran.
Dara itu gelengkan kepala dan mengatakan ia sendiri juga tak tahu sebabnya. Setelah
itu ia berputar tubuh dan melangkah masuk ke dalam layar.
Kini yang tinggal dalam ruang besar itu hanya Han Ping seorang. Empat penjuru
dinding tertutup layar sukar melihat keadaan luar. Tetapi karena dalam ruang sudah gelap,
tentulah hari sudah petang.
Ia menghampiri ke pintu dan merabanya. Ah, tangannya terasa dingin seperti es.
Terang kalau pintu itu terbuat daripada besi. Seketika timbullah dugaan Han Ping. Kalau
pintunya terbuat dari besi, tentulah dinding dan jendelanya juga terbuat daripada besi . . .
.
Ia hendak menyelidiki hal itu tetapi takut kalau dianggap bertindak sembarangan
sehingga akan mengakibatkan hilangnya jiwa Kim Loji.
"Ah, di dunia ternyata banyak sekali hal-hal yang aneh. Bukan melainkan ilmu silat, pun
nasib orang memang sukar diketahui. Jika tak mengingat nasib paman Kim Loji, ia tentu
sudah lolos dari tempat situ.
Mengingat keadaan dirinya yang terkurung dalam ruang berdinding baja, meluaplah
seketika amarah Han Ping. Ia menggemertakkan geraham, mengepal tinju dan
mengucurkan air mata. Sejak kecil ia memang sudah banyak menerima hinaan sehingga
menggembleng dirinya menjadi seorang pemuda yang keras hati dan mudah naik darah.
Hampir saja ia tak kuat menahan nafsunya untuk mengobrak-abrik tempat itu.
Tiba-tiba di atas meja segi delapan muncul sebatang lilin yang menyala. Si nenek
rambut putih Bwe-nio, berdiri dengan tongkatnya di sisi meja.
Biasanya nenek itu selalu berwajah bengis tetapi entah bagaimana saat itu tampak
sikapnya ramah. Sambil gentakkan tongkat, ia berkata lembut : "Nak, kamariiah. Aku
hendak bertanya kepadamu !"
Nadanya ramah dan lembut seperti seorang ibu terhadap putranya.
Han Ping berbangkit dan perlahan-lahan menghampiri. Sambil mengusap airmata, ia
menjura di hadapan nenek itu : "Apakah locianpwe hendak memberi sesuatu pelajaran
kepadaku ?"
Sesungguhnya ia amat geram sekali. Tetapi karena nenek itu bicara dengan lemah
lembut, terpaksa iapun bicara sopan.
Nenek itu menghela napas perlahan, ujarnya : "Ah, anak-anak, perlu apa harus
menderita ?"
Han Ping terbeliak kaget, serunya : "Apakah yang locianpwe maksudkan ?"
Nenek itu rupanya menyadari bahwa ucapannya tadi memang sukar dimengerti. Yang
tidak bersangkutan tentulah tak dapat menangkap artinya. Ia tersenyum dan balas
bertanya : "Nak, mengapa engkau tadi kesal hatimu hingga menangis ?"
"Ini . . . ini . . . ." Han Ping tersekat tenggorokan tak dapat bicara lampias.
Nenek itu tertawa : "Ah, tak usah mengatakan, masakan aku si nenek tua ini tak
mengerti isi hati kalian !"
Han Ping menghela napas : "Mohon locianpwe suka membantu . . . ."
"Jika tak bermaksud membantumu, perlu apa aku muncul di sini ?" tukas nenek Bwenio.
Han Ping kembali memberi hormat : "Budi locianpwe tentu akan kubalas. Kelak jika
locianpwe hendak memerlukan tenagaku, aku tentu akan membantu dengan sepenuh
tenagaku !"
"Tetapi dalam soal itu, aku sendiripun tak dapat mengambil keputusan. Nak, tunggulah
sebentar, aku hendak memberitahu kepadanya. Nanti bicara sendirilah kepadanya !" kata
Bwe-nio terus melangkah masuk ke dalam layar.
Han Ping terlongong-longong memandang bayangan nenek itu. Pikirnya : "Yang
dimaksudkan nenek itu, tentulah dara baju ungu. Entah mengapa sebabnya, dia begitu
membenci diriku mati-matian. Kalau kuajukan permintaan kepadanya, entah dia mau atau
tidak meluluskan. Jika menolak, bagaimana aku harus bertindak . . . . dan jika berhadapan
muka nanti, bagaimana aku harus mulai merangkai kata-kata agar dapat mengambil
hatinya . . . ."
la memeras otak sampai beberapa saat namun tetap buntu. Tetap tak dapat
menemukan kata-kata apa yang akan dikatakan kepada si dara nanti.
Lebih kurang sepenanak nasi lamanya, muncullah nenek Bwe-nio bersama si dara
bujang baju merah lagi.
"Nak, ikutlah pada budak ini !" seru nenek Bwe sambil tertawa.
Han Ping mengiakan. Tetapi tatkala ia hendak berjalan, nenek Bwe mencegahnya :
"Tunggu sebentar !"
Atas pertanyaan Han Ping, Bwe-nio tertawa : "Sejak kecil ia selalu dimanjakan. Kalau
berhadapan nanti, sebaiknya engkau suka mengalah sajalah !"
Han Ping menghela napas panjang dan mengiakan. Kemudian ia mengikuti berjalan di
belakang dara bujang itu masuk ke dalam.
Ternyata dinding di balik layar itu mempunyai sebuah pintu berbentuk pesegi panjang.
Begitu melangkah ke dalam pintu, tiba-tiba bujang itu berpaling dan berkata kepada Han
Ping : "Jalannya gelap, ikut aku saja, jangan salah jalan !"
"Jangan kuatir, mataku cukup tajam untuk melihat dalam kegelapan," sahut Han Ping.
Bujang itu tertawa. Ia hendak berkata tetapi tak jadi dan terus lanjutkan langkahnya.
Kira-kira tiga empat tombak jauhnya dan membelok beberapa kali, akhirnya mereka tiba di
ujung gang. Melintasi sebuah pintu kecil, haripun sudah terang tanah.
Sambil menunyuk ke arah sebuah bangunan bertingkat, dara itu berkata : "Kami tinggal
di tingkat itulah !"
Pikiran Han Ping masih terpancang pada rencana kata-kata yang hendak ia ucapkan
apabila berhadapan dengan si dara nanti. Maka ia tak memperhatikan apa yang dikatakan
bujang itu dan hanya mengiakan saja.
Untunglah bujang itu masih murni hatinya. Ia tak menyadari penyambutan acuh tak
acuh dari Han Ping. Sambil tersenyum ia berkata pula. Kamar dari nona kami itu, tak pakai
lampu . . ."
"Eh, malam hari tanpa lampu apakah leluasa ?" tanya Han Ping.
"Mengapa engkau terburu-buru menukas ? Omonganku kan belum selesai . . . ."
"Ya, ya, silahkan melanjutkan !" kata Han Ping, Pikirannya tertuju pada usaha
menolong paman Kim Loji. Terhadap siapa saja yang dipandang dapat memberi bantuan
ke arah usaha itu, ia tentu berlaku sungkan dan mengindahkan.
Bagian 36
Benci-benci cinta.
"Engkau seorang baik. Terhadap siapa saja engkau selalu ramah," dara bujang itu
tertawa.
Han Ping menghela napas : "Benarkah begitu ?"
"Hm. benar," seru si dara bujang, "ah, sayang engkau jarang berada di Bik-lo-san sini.
Jika menetap lama di sini, tentu akah kulayani sebaik-baiknya."
Han Ping gelengkan kepala : "Tidak, seumur hidup aku tak pernah dilayani anak
perempuan !"
Seketika bujang itu menyadari bahwa ucapannya tadi terlalu kelepasan. Merahlah
mukanya lalu menunduk dan menutupi mukanya.
Melihat bujang itu diam saja, Han Ping menegur : "Eh, apa lagi yang hendak engkau
katakan ?"
Dalam hati, Han Ping hendak menanyakan apa sebab dara baju ungu itu tak mau
pasang lampu. Tetapi karena merasa pertanyaan itu terlalu tak sopan, maka ia terpaksa
memutar.
Dara bujang itu berpaling. Mukanya masih kemerah-merahan. Memandang Han Ping ia
hendak berkata, tetapi tak jadi dan berpaling muka lagi.
Han Ping tertegun. Ia merasa salah omong maka tak berani membuka mulut lagi.
Setelah berjalan tiga tombak jauhnya lagi, dara bujang itu tak kuat berdiam diri lalu
berkata perlahan : "Tahukah engkau apa sebab kamar nona itu tak dipasangi lampu ?"
"Entahlah !"
Bujang itu gelengkan kepala : "Ah, lebih baik tak kuberitahukan sajalah ! Nanti engkau
kan tahu sendiri."
"Ha, engkau masih sekecil itu bisa juga mempermainkan orang !"
Dalam pada bicara itu mereka sudah masuk ke gerumbul pohon bunga. Dua buah
lentera, bersinar terang dari gerumbul bunga dan serentak terdengar orang membentak :
"Berhenti ! Lepaskan dulu senjatamu baru boleh jalan lagi !"
Han Ping terkesiap. Ia membawa pedang Pemutus Asmara. Jika pedang itu diberikan,
mungkin mereka tak mau mengembalikannya lagi.
Tetapi ia tak bisa berbohong mengatakan tak membawa senjata. Maka ia tegak terpaku
tak dapat menyahut.
Untunglah si dara bujang berseru : "Ah, dia tak membekal senjata apa-apa !"
"Senjata rahasia ?" seru orang itu pula.
"Selamanya aku tak pernah membawa senjata rahasia !" serentak Han Ping menyahut.
Kedua lentera yang berkilau terang itupun lenyap. Dan terdengar pulalah orang tadi
berseru dingin : "Silahkan kalian berjalan !"
Dara bujang itu berpaling dan berbisik menerangkan kepada Han Ping bahwa tempat
itu sebenarnya ditempati majikannya. Tetapi sejak nona baju ungu datang, majikannya
mengalah pindah ke ruang lain.
Setelah melintasi beberapa gunduk pohon bunga, tibalah mereka di bawah gedung
bertingkat itu. Pintu yang bermula tertutup, tlba-tibapun terbuka. Di dalam ruangan
diterangi lilin. Si Bungkuk dan si Pendek menjaga di ambang pintu. Wajah kedua orang itu
sedingin es. Setelah sejenak memandang Han Ping, mereka berputar tubuh memberi
jalan.
Dara bujang itu menuju ke tangga kayu di sebelah kiri. Sejenak berpaling ke arah si
Bungkuk dan si Pendek. Han Ping lalu mengikuti bujang itu naik ke atas tangga.
Di sebelah tingkat atas, merupakan sebuah ruangan besar yang luas. Empat buah
lentera Kiong-teng (lentera yang lazim dipasang di istana raja) , tergantung di empat
sudut. Di tengah ruangan, dipasang sebuah meja bundar dengan diberi alas kain warna
kuning. Di tengah meja bundar itu, ditaruh sebuah Giok-ting atau bejana kumala. Entah
apa isinya. Memang ruangan itu semerbak berbau harum, tetapi tak tampak suatu asap
apapun.
Dura bujang itu menyeringai seperti mengejek Han Ping, katanya : "Nona tinggal di
tingkat ketiga !" - Habis berkata, ia terus menuju ke sudut ruangan.
Tiba-tiba Han Ping rasakan dadanya sesak dan ingin keluar dari ruangan itu. Tetapi
karena mengingat nasib paman Kim Loji, terpaksa ia menahan kemarahannya. Diam-diam
ia menghela napas lalu bergegas menyusul bujang tadi.
Bujang tadi ulurkan tangan menjamah bagian bawah dari sebuah lukisan yang
tergantung di ujung dinding. Tiba-tiba dinding merekah sebuah pintu. Ternyata di balik
pintu rahasia itu terdapat tangga penyambung ke tingkat ketiga.
Setelah mendaki 15 titian tangga, tibalah mereka di sebuah ruangan yang keempat
dindingnya tertutup sutra putih. Si dara baju ungu duduk bersandar pada jendela.
Meskipun dia tengah membelakangi tubuh, namun dari warna pakaian dan potongan
tubuhnya yang cantik, Han Ping cepat dapat mengenalinya.
Bujang baju merah tadi tiba-tiba menggamit lengan baju Han Ping seraya menunjuk
pada sebutir mutiara yang tergantung di tengah ruangan. Walaupun tak memakai lilin dan
penerangan apa-apa, tetapi mutiara yang sebesar buah kelengkeng itu cukup
memancarkan sinar yang terang.
"Mungkin itu yang dinamakan mutiara Ya-beng-cu . . . ." pikir Han Ping.
Tiba-tiba terdengar bujang itu berseru dengan suara bergemerincing : " Nona, nona . .
. . dia sudah datang . . . ."
Karena tak tahu nama Han Ping, dara bujang itu hanya melaporkan 'dia sudah datang'
saja.
Tanpa berpaling muka, dara baju ungu itu menyahut dingin : "Sudah tahu ? Turunlah
engkau ke bawah !"
Rupanya bujang itu masih hijau sehingga tak mengerti tentang hubungan pria-wanita.
Sejenak ia bersangsi, serunya : "Apakah nona tak memerlukan pelayan ?"
"Tak perlu !"
Mendengar jawaban itu barulah si dara bujang turun ke bawah. Setelah bujang itu
lenyap, Han Ping hendak mulai membuka mulut. Tetapi ia tak tahu bagaimana harus
memulai. Setiap kali bibir bergetar hendak berkata, selalu ditelannya kembali.
Dan sampai beberapa saatpun, dara baju ungu itu tak mau berpaling ke belakang.
Akhirnya Han Ping menimang. Jika terus menerus bersikap main-main, tentu kurang
baik - ia batuk-batuk lalu paksakan mulutnya berseru : "Apakah nona hendak mempunyai
keperluan ?"
Sahut data baju ungu itu dengan dingin : "Engkau sendiri yang hendak menjumpai aku.
Masakan aku yang mempunyai keperluan."
Kembali Han Ping batuk-batuk lalu berkata lagi : "Benar, benar, memang akulah yang
hendak menjumpai nona."
"Engkau hendak menjumpai aku, apakah ada keperluan ?" si dara balas bertanya
dengan meminjam kata-kata Han Ping tadi.
"Aku hendak mohon sesuatu kepada nona, entah apakah nona suka meluluskannya ?"
Tiba-tiba nada si dara berubah ramah juga, ujarnya : "Silahkan engkau bilang saja ! Di
ruang tingkat atas ini, hanya kita berdua. Sekalipun engkau salah omong, juga tak
mengapa !"
Han Ping menghela napas panjang, katanya : "Pertama, Han Ping menghaturkan terima
kasih atas penyambutan nona yang begini hebat . . . ."
"Ah, tak perlu sungkan . . . ." tukas si dara.
Sambil menyeka peluh di mukanya, Han Ping berkata lagi : "Aku hendak mohon nona .
. . ." - entah bagaimana, berkata sampai disitu, Han Ping merasa kikuk sekali sehingga tak
dapat melanjutkan.
Tiba-tiba terdengar dara itu tertawa : "Ah, mengapa engkau tak berkata lagi. Malu ?
Bukankah telah kukatakan bahwa di ruang tingkat ini hanya kita berdua saja ? Apapun
yang hendak engkau katakan, lain orang pasti tak dapat mendengar."
Han Ping menghela napas panjang, kemudian membuka mulut pula : "Sejak kecil aku
sudah ditinggal mati kedua orang tua . . . ."
"Ah, sungguh kasihan," tukas dara itu, "aku pun senasib juga. Sejak kecil sudah
kehilangan ibu. Walaupun ayah amat mencintai aku tetapi tetap tak dapat menghibur
kerinduanku akan kasih ibu."
"Semasa hidupnya, ayah mempunyai dua orang sahabat baik. Salah seorang sahabat
ayah itulah yang memelihara aku sampai besar. Dia menganggap aku sebagai putranya
sendiri dan bahkan memberi pelajaran silat. Beliau adalah ayah angkat dan guruku . . . ."
Si dara saat itu masih tetap membelakangi tubuh. Tanpa menunggu Han Ping bicara
lebih lanjut, dara itu cepat menukas : "Sungguh baik sekali budi orang itu. Engkau harus
berbakti dan menghormatnya. Apakah dia mempunyai anak perempuan ?"
"Tidak punya," kata Han Ping, "hanya punya seorang putra tunggal"
"Anak itu tentu sudah seperti saudaramu sendiri. Entah dimanakah dia sekarang ?"
tanya dara baju ungu.
Ucapan dara itu amat menyinggung perasaan Han Ping. Seketika berderai-derailah
airmata pemuda itu : "Adik itu . . . telah meninggal . . . ."
Rupanya si dara tergerak hatinya dan ikut pilu. Ia segera menghibur dengan lembut :
"Sudahlah, jangan berduka. Orang yang sudah mati takkan hidup lagi. Berdukapun lagi
tiada berguna."
Han Ping menggigit gigi untuk mengeraskan hatinya : "Guru dan putranya itu telah mati
demi aku. Selama hayat masih dikandung badan, aku tentu akan membalaskan sakti hati
itu . . . ."
"Apakah engkau hendak minta bantuanku membalaskan sakit hati itu ?" tanya si dara.
"Tidak . . ."
Tiba-tiba dara jelita itu berputar tubuh menghadap ke arah Han Ping. Matanya yang
bening tampak berlinang-linang namun sepasang bibirnya tetap merekah senyum.
Sepasang pipinya merah jambu dan dengan mimik yang tegang-tegang sedap, berserulah
ia kepada Han Ping : "Asal engkau yang minta, apa saja tentu kululuskan . . . ."
Han Ping menghela napas, ujarnya : "Meminta pada orang, sungguh malu untuk
mengucapkan. Tetapi . . . tetapi . . . ."
Karena sampai beberapa jenak Han Ping hanya berkata 'tetapi . . . tetapi . . .' tanpa ada
kelanjutannya, dara jelita itu tak sabar lagi lalu berseru : "Bicaralah dengan perlahan ! Aku
tetap bersabar menunggumu . . ."
"Guruku, adikku, semua mati karena aku. Ayah kandungku, mati sejak aku masih kecil.
Sedang ibuku entah mati entah masih hidup, belum jelas. Tetapi rasanya kemungkinan
besar tentu sudah meninggal dunia. Dalam dunia yang begini luas, aku hanya mempunyai
seoarang sanak . . ."
"Ah . . ." si jelita mendesis pilu, "nasibmu sungguh tak beruntung sekali. Orang tentu
akan ikut bersedih dan iba !"
Tiba-tiba sepasang alis Han Ping mengerut ke atas, serunya : "0leh karena itu dengan
melenyapkan segala rasa malu, aku hendak mohon kepada nona . . . ." sampai disitu,
merahlah mukanya dan tak melanjutkan kata-katanya lagi.
Dengan wajah berseri cerah laksana bunga menunggu kumbang, berkatalah si jelita
dengan mesra : "Mengapa engkau tak melanjutkan kata katamu ? Sejak ibuku meninggal,
ayah amat memanjakan aku sekali. Asal aku setuju . . . ."
Berkata sampai disitu si jelita memejamkan mata. Dua butir airmata menitik dari
pelapuk matanya. Dan dengan suara yang lemah lembut, ia berkata pula : "Ayah takkan
menentang kehendakku. Ya . . . katakanlah lekas, apa yang hendak engkau minta . . . ."
Sejenak Han Ping mengatur napas. Setelah memusatkan nyali, barulah ia berkata :
"Yang hendak kumohon kepada nona hanyalah tentang seorang tua yang menjadi saudara
angkat ayahku atau orang satu-satunya yang menjadi sanakku itu"
Seketika si jelita membuka mata dan menatap Han Ping lekat-lekat. Kemudian bertanya
tenang : "Apakah yang engkau maksudkan Kim Loji itu ?"
Han Ping mengiakan : "Benar, dengan memandang mukaku, harap nona suka
melepasnya !"
Si dara jelita mengusap airmatanya lalu mengangguk perlahan : "baiklah . . . ."
Serta merta Han Ping menjura di hadapan si jelita : "Budi nona sedalam lautan, seumur
hidup Han Ping takkan melupakan."
Kembali jelita itu berputar tubuh seraya bertanya : "Apakah engkau masih ada lain
pertanyaan lagi ?"
"Tidak ada."
Tiba-tiba dara jelita itu berbangkit dan menegas lagi : "Benar tidak ada lagi ?"
Setelah merenung sejenak Han Ping mengatakan bahwa ia sudah tak punya permintaan
apa-apa lagi.
"Kalau begitu silahkan pergi !" kata si jelita.
Han Ping mengiakan lalu ayunkan langkah. Tiba di tangga, tiba-tiba ia teringat sesuatu.
Cepat ia berputar tubuh. Hai . . . . entah kapan ternyata dara jelita itupun sudah
menghadap ke arah Han Ping dan seketika beradulah pandang . . . . mata mereka !
Dua pasang mata saling beradu dan tergetarlah hati kedua insan remaja itu . . . .
Han Ping cepat-cepat tundukkan kepala sedang si jelitapun buru-buru berpaling muka
seraya berkata : "Mengapa engkau tak pergi ?"
"Ada sebuah hai lagi yang hendak kumohonkan keterangan kepada nona," kata Han
Ping.
"Untuk diri Kim Loji itu lagi ?"
"Nona dapat menduga seperti seoraan dewa !"
Dara jelita itu tertawa dingin : "Sekali sudah kululuskan untuk melepaskannya, masakan
aku hendak menipumu, hm . . . ."
"Tetapi nona belum menyebutkan waktunya akan melepaskan dia . . . ."
Tiba-tiba dara itu berdiri dan gerakkan tangan : "Malam ini juga akan kulepas.
Tunggulah di luar desa . . . ."
Kembali Han Ping menjura menghaturkan terima kasih : "Terima kasih atas budi nona.
Kelak apabila ada jodoh tentu akan kubalas budi nona !"
"Mengapa engkau tak lekas pergi dan masih ini itu lagi ? Hatiku membencimu setengah
mati !" seru dara itu.
Han Ping tercengang. Kemudian ia berputar tubuh dan turun dari tangga. Di ruang
tingkat kedua, si dara bujang sudah menantinya. Begitu melihat Han Ping dara bujang
yang masih kekanak-kanakan itu segera menyongsong dengan tertawa : "Apa yang nona
katakan kepadamu ?"
"Tak apa-apa," Han Ping gelengkan kepala.
"Apakah sebelumnya engkau sudah kenal pada nona ?" tanya bujang itu tanpa mau
memperhatikan kerut wajah Han Ping.
"Tidak kenal !" sahut pemuda itu seraya terus turun ke tangga bawah.
"Aneh," kata si bujang sembari mengikuti berjalan di sampingnya.
"Apanya yang aneh ?"
"Selain aku dan Bwe-nio, tak pernah lain orang diperbolehkan masuk ke kamar nona."
kata bujang itu, "sekalipun dengan tuan majikanku, nonapun akan menemuinya di tingkat
kedua. Tetapi mengapa dia mau menerima engkau di kamar pribadinya ?"
Tiba-tiba Han Ping berhenti. Ia tengadahkan kepala merenung, seperti menyadari
sesuatu Sesaat kemudian ia melanjutkan turun ke bawah lagi.
Saat itu hari sudah makin malam. Rembulan tanggal satu, tampil di angkasa. Setelah
keluar dari halaman pohon bunga, Han Ping minta supaya bujang itu kembali, tak usah
mengantarkan lebih lanjut.
Buyang itu agak terkejut dan bertanya : "Hendak kemana ? Apakah tak kembali ke
ruang besar ?"
"Tidak !" Aku hendak tinggalkan desa ini !"
"Tetapi di sekitar tempat ini, setiap tempat dijaga orang. Bagaimana engkau dapat
keluar ?" tanya bujang itu.
Diam-diam Han Ping membenarkan. Sekalipun ia dapat mengatasi perkakas rahasia di
sekitar tempat itu, tetapi tentu akan timbul pertempuran. Suatu hal yang akan
membahayakan jiwa Kim Loji apabila dara baju ungu itu marah dan menarik pulang
janjinya.
Melihat Han Ping diam saja, dara itu tertawa : "Beginilah ! Biar kuantarkan engkau
keluar dari halaman gedung. Semua penjaga tahu bahwa aku ini pelayannya nona. Mereka
tentu takkan merintangi.
Setelah berpikir sejenak Han Ping menyetujui : "Baiklah, tetapi apakah engkau leluasa
?"
"Apanya yang tidak leluasa ?" bujang itu heran, "selekas kuantar sampai diluar desa,
aku terus kembali lagi. Hayolah !"
Demikianlah Han Ping segera mengikuti bujang dara itu. Rupanya dia paham jalanan
disitu sehingga dapat mengambil jalan singkat. Tak berapa lama mereka sudah tiba di tepi
hutan.
"Sekeluar dari hutan ini, sudah berada di luar desa. Tetapi dalam hutan penuh dengan
rintangan-rintangan yang tersembunyi. Mari kugandeng tanganmu !" Tanpa menunggu
persetujuan Han Ping, bujang itu terus mencekal tangan Han Ping dan diajak masuk ke
dalam hutan. Han Ping terpaksa menurut saja.
Sekeluarnya dari hutan, mereka tiba di sebuah lapangan rumput yang luas. Si dara
bujang lepaskan cekalan : "Pada waktu hendak mengantar engkau, aku tak takut. Tetapi
sekarang mendadak aku takut. Lekas saja engkau pergi, akupun hendak kembali . . . ."
Tanpa menunggu jawaban Han Ping, bujang itu terus lari masuk ke dalam hutan lagi.
Diam-diam Han Ping merasa cemas. Jika karena mengantar itu si dara bujang sampai
menerima hukuman, bukankah berarti dia yang mencelakai bujang itu ?
Tengah dia termenung tiba-tiba serangkum angin melanda dari arah belakang. Han
Ping cepat berpaling ke belakang dan ah . . . . ternyata nenek Bwe-nio tegak berdiri
dengan tongkatnya. Dengan wajah berseri nenek berambut putih itu menegur : "Nak,
bagaimana dengan pembicaraan kalian ?"
"Lancar sekali, dia mau meluluskan . . . ."
Sepasang mata nenek itu memancar sinar kegembiraan : "Ah, begitu mudahnya !
Engkau benar-benar manusia yang paling beruntung di dunia. Aku harus memberi selamat
kepadamu . . . ."
Han Ping terkesiap. Pada saat ia hendak membuka mulut, Nenek Bwe-nio sudah
mendahului : "Rupanya sepasang mataku ini belum kabur" ia bicara sendiri dengan
gembira. Kemudian memandang rembulan, ia berkata pula : "Persoalan itulah yang paling
makan hatiku. Namun sekarang bebaslah beban hatiku . . . ."
Han Ping menghela napas, serunya : "Locianpwe . . . ."
Nenek Bwe-nio memandang lekat-lekat pada Han Ping. Tiba-tiba ia berseru marah :
"Mengapa engkau menghela napas ? Engkau telah dapat mempersunting seorang bidadari,
apakah hatimu masih belum puas ?"
"Ah, locianpwe salah paham . . ."
Bwe-nio gentakkan tongkatnya dan berseru gusar : "Lam-hay Sin-soh hanya
mempunyai seorang putri tunggal. Jika engkau tak memperlakukannya baik-baik, sedikit
saja ia menderita, jangan harap engkau hidup lagi !"
Han Ping bingung sekali. Cepat ia berseru lantang : "Locianpwe, maukah locianpwe
mendengarkan keteranganku ?"
Tiba-tiba dari arah hutan terdengar derap langkah orang dan muncullah si Bungkuk
memanggul sesosok tubuh orang. Begitu berbadapan dengan Han Ping, si Bungkuk terus
meletakkan orang itu : "Terimalah orang ini !"
Melihat orang yang diletakkan di tanah itu bukan lain Kim Loji, Han Ping cepat lari
menghampiri. Ia tak menghiraukan pembicaraannya dengan Bwe-nio lagi.
"Paman . . ." katanya sambil mengangkat tubuh Kim Loji.
Kim Loji mengucurkan beberapa titik air mata serunya : "Anak Ping, aku menyebabkan
engkau menderita . . . ."
"Tak apa," kata Han Ping sambil mengusap airmatanya, "Jika sampai tak dapat
menolong paman, matipun aku tak dapat meram !"
Nenek Bwe-nio menghampiri tanyanya : "Nak engkau mengatakan bahwa dia mau
meluluskan. Apakah yang diluluskannya itu ?"
"Dia meluluskan permintaanku untuk melepaskan paman Kim ini. Dan ternyata dia
memang pegang janji. Tolong locianpwe sampaikan terima kasihku kepadanya. Dan
akupun minta diri kepada locianpwe," kata Han Ping seraya memberi hormat lalu
memanggul Kim Loji dan terus hendak pergi.
"Tunggu !" bentak Bwe-nio.
Han Ping berhenti. Ia menanyakan nenek itu hendak memberi pesan apa.
Bwe-nio menghela napas panjang. Lebih dulu ia suruh si Bungkuk kembali ke gedung.
Kemudian ia maju menghampiri Han Ping : "Nak apakah dalam pertemuan tadi kalian tak
membicarakan soal-soal lain ?"
"Tidak," sahut Han Ping, "aku hanya minta kepadanya supaya suka melepas pamanku
ini. Karena dia sudah meluluskan, akupun tak berani meminta lain-lain lagi !"
Habis berkata Han Ping terus ayunkan langkah tinggalkan tempat itu.
Memandang bayangan anak muda itu, timbullah perasaan rawan dalam hati Bwe-nio.
Tiba-tiba terlintas dalam pikiannya. Dara jelita itu amat manja sekali. Menerima sikap Han
Ping yang tolol dan keras kepala itu, si jelita tentu menderita siksaan batin.
Seketika meluaplah amarah nenek itu. Tiba-tiba ia gentakkan tongkatnya dan berteriak
sekeras-kerasnya : "Hai, berhenti dulu"
Tetapi ketika memandang ke muka ternyata Han Pmg sudah tak kelihatan
bayangannya.
Bwe-nio tegak terlongong-longong. Mendadak ia ingat akan diri si dara. Cepat-cepat ia
lari kembali ke dalam gedung lagi.
Cepat sekali ia sudah tiba di gedung bawah lalu bergegas-gegas naik ke tingkat tiga.
Tampak si jelita baju ungu tengah berdiri di muka jendela, memandang rembulan
dengan terlongong-longong . . . ."
Sekalipun Bwe-nio sudah tiba setengah meter di belakangnya, tetap si jelita itu tak
merasa. Rupanya seluruh pikiran dan semangatnya sedang melayang jauh ke angkasa . . .
Bwe-nio mengelus-elus rambut dara ayu itu seraya menghiburnya dengan suara mesra
: "Nak, apakah yang sedang engkau pikirkan ?"
Dara jelita itu berpaling. Wajahnya penuh diliputi perasaan yang sedih dan berkatalah ia
dengan nada lemah : "Bwe-nio, berapakah umurku sekarang ?"
Bwe-nio terkejut. Diam-diam ia mengeluh bahwa dara itu kelewat bermanja diri.
Sahutnya : "Eh, mengapa umurmu sendiri engkau tak dapat ingat ? Bukankah tahun ini
engkau berumur 18 tahun ?"
Sambil lekatkan tangannya ke daun jendela, dara itu berkata : "Ah, sudah 18 tahun,
sudah seharusnya menikah !"
"Apa ?" nenek Bwe-nio terbeliak.
Jelita itu tersenyum simpul : "Mengapa engkau terkejut ? Bukankah kelak aku pasti
akan menjadi menantu orang ?"
Nenek Bwe-nio menghela napas. Dua butir airmata menitik dari pelapuk matanya. Ia
geleng-geleng kepala : "Nak, engkau ini mengapa . . . ."
"Aku tak kurang suatu apa, Bwe-nio. Jangan kuatir !"
"Di dunia yang begini luas, siapakah yang sepadan menjadi pasangan seorang bidadari
seperti dirimu ?" ujar nenek itu.
Dara itu gelengkan kepala tertawa : "Tetapi aku sendiri sudah mendapatkannya. Tak
perlu engkau susah payah memikirkan."
"Siapa ? Mengapa aku tak tahu ?" nenek itu makin terkejut.
"Bukankah ayah sudah mengatakan," kata dara jelita itu, "aku boleh menikah menurut
pilihan hatiku. Ayah tak mau mempedulikan masakan engkau berani mengurus aku !"
"Ah, nak, aku bukan hendak mengurus melainkan ingin tahu siapa yang mempunyai
rezeki besar itu ?"
Si dara tertawa mengikik : "Ah, rezeki apa ? Siapa yang memperistrikan aku, dialah
manusia yang paling tak berbahagia. Karena setiap hari paling tidak dua kali tentu aku
mengajaknya setori !"
Diam-diam nenek Bwe-nio terkejut. Ia duga pikiran dara itu tentu sudah kacau. Lebih
baik lekas-lekas membawanya pulang ke Lamhay.
"Ah, nak, tampaknya engkau sudah lelah. Lebih baik tidurlah," katanya.
Tetapi dara itu menoiak : "Aku masih ingin menggadangi rembulan. Engkau tidurlah
sendiri !"
"Tidak, aku akan menemanimu !"
"Perlu apa ?" dara itu tertawa.
"Pada saat dan tempat seperti ini, bagaimana aku dapat membiarkan engkau pergi
seorang diri ? Segenap tokoh-tokoh persilatan dari wilayah Tionggoan sudah sama
berkumpul di Lok yang. Setiap saat mereka menunggu kesempatan untuk mendapat kitab
pusaka Lam-hay. Siapa tahu diluar desa ini, mereka sudah bersembunyi menunggu saat.
Jika sampai terjadi sesuatu yang tak diinginkan bagaimana engkau dapat mengatasi ?"
kata nenek Bwe.
"Empat penjuru keliling desa Bik-lo-san, sudah dijaga ketat. Setiap ada orang yang
berani menyelundup, tentu akan kepergok. Dan lagi akupun takkan keluar dari lingkungan
gedung ini, mengapa takut ?" bantah si dara.
Nenek Bwe gelengkan kepala : "Nak, engkau tak tahu bagaimana ketika engkau lenyap
tempo hari, aku dan suhengmu kelabakan setengah mati ! Jika sampai terulang peristiwa
semacam itu lagi, tentu celakalah . . . ."
Nenek Bwe menghela napas, melanjutkan pula : "Ayahmu telah mengutus Ji suhengmu
mengejar kemari, bukan lain karena takut kami tak mampu melindungi dirimu. Ah,
sekalipun lahirnya ayahmu itu tak memperhatikan dirimu tetapi sesungguhnya dalam batin
ia menyintaimu sekali. Nak, jika terjadi apa-apa pada dirimu, sukar dilukiskan betapa
derita hati ayahmu nanti !"
"Ayah sedang terbenam dalam ilmu kesaktian dan kebatinan. Dia sudah memandang
tawar terhadap urusan dunia, masakan dia masih mengingat diriku lagi ? Jika aku tertimpa
bahaya, mungkin hanya beberapa waktu saja ayah akan menderita batin, tetapi lewat
beberapa hari, tentu sudah melupakannya !"
Bwe-nio menghela napas. Pada saat ia hendak berkata, tiba-tiba terdengar derap
langkah kaki mendatangi dan muncullah si dara bujang baju merah memberi hormat di
hadapan si dara jelita : "Nona, tuan majikan mempunyai urusan penting hendak bertemu
dengan nona. Tetapi lebih dulu dia mengutus aku, jika nona sedang tidur, tak boleh
diganggu."
"Dimana dia sekarang ?" tanya si jelita.
"Menunggu di tingkat bawah."
"Suruh dia naik ke tingkat kedua !"
Setelah si bujang pergi, dara jelita itu tertawa kepada Bwe-nio : "Apakah engkau masih
ingin ikut aku ?"
Nenek Bwe menghela napas : "Ai, anak nakal, makin besar engkau makin menjadi
pikiranku"
Hati nenek itu tiba-tiba pilu, airmatanya meluap. Tetapi cepat-cepat ia katupkan
pelapuknya untuk mencegah turunnya airmata.
Walaupun Bwe-nio itu hanya sebagai inang pengasuh, tetapi hubungannya dengan dara
jelita itu tak ubah seperti ibu dan putrinya. Sejak kecil dara itu selalu menurut kata. Maka
kalau pada saat itu, Bwe-nio mendapat tantangan dari si dara, hatinya benar-benar
tersinggung . . . .
Perlahan-lahan dara jelita itu berpaling lalu lari memeluk dada inang pengasuhnya itu :
"Bwe-nio, apa engkau marah ?"
Nenek itu gelengkan kepala : "Ah, babu tua mana berani memarahi nonanya . . ." -
nadanya rawan disusul dengan titikan airmata.
Jelita itu segera mengusap airmata Bwe-nio seraya menghiburnya : "Ah, dalam
beberapa hari ini, hatiku selalu murung-murung saja. Kata-kata kuucapkan sekenanya saja
sehingga menyinggung perasaanmu . . . ."
Dara itu makin menyusupkan kepalanya ke dada Bwe-nio dan menangis tersedu-sedu.
Kedudukan segera berubah. Kini nenek Bwe yang sibuk menghibur si jelita.
Setelah menangis beberapa saat, longgarlah perasaan si jelita. Ia menghapus
airmatanya dan rebahkan kepala pada babu nenek Bwe, ujarnya : "Mari kita turun ke
bawah. Mungkin toa suheng sudah menunggu lama !"
Di ruang bawah yang luas, tegak seorang lelaki berpakaian Kim-ih. Rupanya cukup
lama sudah menunggu di situ tetapi tetap bersikap sabar.
"Ah, maafkan, suheng tentu sudah lama menunggu," seru si dara jelita sambil
tersenyum.
Dengan sikap menghormat, lelaki berpakaian indah itu menyahut : "Ah, akulah yang
seharusnya minta maaf karena masih mengganggu sumoay yang sudah lelah . . . ."
"Tidak, aku tidak lelah," kata si dara, "silahkan toa suheng mengatakan maksud toa
suheng . . . ."
Lelaki yang bertubuh tinggi besar itu menghela napas : "Kunjungan sumoay ke daerah
Tionggoan ini, bertujuan hendak melihat alam pemandangan daerah ini. Sudah selayaknya
kalau menghindarkan diri dari pergolakan dunia persilatan Tionggoan. Berdasarkan hal itu,
maka aku memberanikan diri mewakili sumoay untuk menghapus janji pertemuan dengan
Sin-ciu-it-kun Ih Thian Heng . . . ."
"Apakah Ih Thian Heng sudah datang ?" dara itu kerutkan dahi.
"Sudah," kata orang itu, "tetapi dengan halus sudah kutolak."
Dara itu tak bicara apa-apa lagi. Perlahan-lahan ia putar tubuh lalu menghampiri ke
muka jendela dan memandang rembulan.
Sejenak memandang Bwe-nio, lelaki itu segera menyusul si dara, ujarnya : "Pribadi Ih
Thian Heng Itu, sikapnya memang ramah manis budi bahasa. Tetapi sesungguhnya
hatinya amat ganas. Sepintas kesan, dia seolah-olah menempatkan diri sebagai pemimpin
dunia persilatan Tionggoan, namun sebenarnya dia seorang manusia yang julig licin,
hatinya amat temaha sekali.
Dalam beberapa hari terakhir ini terbetik berita bahwa seorang murid sebuah partai
yang telah menjadi anak buah Ih Thian Heng dan ditugaskan untuk memata-matai partai
itu, telah diketahui oleh partai-partai yang bersangkutan. Peristiwa itu telah menimbulkan
para pimpinan partai-partai persilatan. Segera mereka mengadakan pembersihan ke dalam
partai masing-masing. Mengusut asal usul dan riwayat muridnya. Jika desas desus itu
benar, maka nyatalah Ih Thian Heng benar telah menanam orang pada setiap partai
persilatan dengan tugas untuk memata-matai partai tersebut.
Dengan tindakan para pimpinan partai untuk mengadakan penyaringan ke dalam partai
nya masing-masing itu, mungkin akan bermunculanlah bukti-bukti tentang kelicikan Ih
Thian Heng menggunakan mata-mata itu. Dengan demikian tentu akan menimbulkan
peristiwa yang menggemparkan. Sekalipun Ih Thian Heng mempunyai kesaktian untuk
menembus ke langit, tetap tak mungkin dapat menghadapi kekuatan dari persatuan para
tokoh-tokoh partai-partai itu . . . .
Berpuluh tahun sepintas pandang Ih Thian Heng seolah-olah menyekap diri tak sering
berhubungan dengan orang luar. Dia berkelana di dunia persilatan untuk melakukan amal
perbuatan yang baik dan luhur. Tetapi ternyata hal itu hanya untuk mengelabui anggapan
golongan Putih maupun Hitam agar mereka menaruh perindahan dan kepercayaan
kepadanya. Tetapi karena jarang bergaul dengan orang dan sedikit sekali mempunyai
sahabat karib, sekali kedoknya terbuka, tentu akan dikecam dan ditentang oleh segenap
lapisan persilatan.
Dia bersikap begitu ramah dan rendah hati terhadap sumoay, kukuatir tentu
mempunyai maksud tersembunyi. Rupanya dia mempunyai rencana untuk melibatkan
perguruan Lam-hay-bun kita ke dalam pergolakan dunia persilatan Tionggoan. Hendak
digunakan sebagai perisai untuk menghadapi ancaman partai-partai itu . . . ."
Demikian panjang lebar suheng dari si dara itu memberi penjelasan.
Tenang-tenang si dara jelita berpaling, ujarnya : "Orang itu memang lahirnya baik dan
berbudi tetapi hatinya licik dan kejam. Sekali lihat, aku sudah tahu. Masakan dia mampu
mengelabui kita ?"
Lelaki itu memuji : "Ah, sumoay memang amat cerdas sekali. Aku merasa tak mampu
menandingi . . . ."
Tiba-tiba dara ayu itu menghela napas : "Ah, setiap orang yang berjumpa denganku
tentu tak ada yang tak memuji aku cerdik, cantik. Tetapi apakah sebenarnya kegunaan
kepintaran dan kecantikan itu ?"
Pertanyaan itu membuat lelaki tmggi besar itu tertegun. Sampai beberapa saat ia belum
dapat mengungkap maksud apa yang tersembunyi dalam ucapan dara itu. Tetapi karena
sungkan kalau tak menjawab, terpaksa ia mengulur waktu sambil batuk-batuk.
Si dara tertawa mengikik : "Toa suheng, cobalah engkau lihat sungguh-sungguh,
apakah aku ini benar-benar cantik atau tidak ?"
Lelaki tinggi besar itu menghela napas, ujarnya : "Kecantikan sumoay membuat bunga
dan rembulan menyurut malu. Keagungan wajah sumoay memaksa burung dan ikan
menunduk. Sumoay laksana bidadari menjelma di dunia !"
Tiba-tiba dara itu menutup muka dengan lengan bajunya, berputar tubuh dan berkata
dengan perlahan : "Ah, sudah menjadi takdir, bahwa wanita cantik itu tentu pendek umur
! Mengapa bunga dan rembulan harus malu karena kalah cantik ? Akan kubikin jadi rusak
wajahku yang cantik ini, mungkin terhindarlah aku dari segala kesulitan . . . ."
Lelaki baju Kim-ih itu menyurut mundur karena terkejut sekali : "Sumoay, apakah yang
membuat sumoay menderita ?"
Dara itu turunkan lengan baju dan berputar menghadap suhengnya lagi : "Aku tak
kurang suatu apa !"
Lelaki baju Kim-ih itu merenung. Beberapa saat barulah ia mulai berkata : "Jika sumoay
merasa ada sesuatu yang tak menyenangkan hati sumoay, harap katakan kepadaku. Demi
membalas budi suhu yang sebesar lautan, siang malam aku berusaha untuk mencari jalan
agar dapat membalas budi perguruan. Tetapi selama ini belum terdapat kesempatan."
Dara itu tersenyum : "Ayah telah mengusirmu dari perguruan, cukuplah sudah asal
engkau tak mendendam. Mengapa barus susah payah memikirkan membalas budi ?"
Dengan wajah serius, lelaki tinggi besar berkata : "Budi suhu laksana laut dalamnya.
Bagaimana aku dapat melupakannya ! Jangankan hanya diusir, sekalipun dibunuh atau
dihukum supaya mencebur ke dalam lautan api, akupun tetap akan melakukan !"
Dara itu tertawa : "Ah, ayah tak pernah merusak nama orang. Apa yang dilakukan,
tentu ditanggung sendiri. Di dunia tiada hal yang dapat membuatnya takut. Suheng adalah
murid pertama dari ayah. Mengapa tindakan suheng lain sekali dengan ayah ?"
Lelaki itu kerurkan dahi, sahutnya : "Adalah karena kekhilafan, aku telah melanggar
pantangan suhu, sehingga diusir. Tetapi kuyakin, selama ini aku belum pernah berbuat
sesuatu yang merugikan nama perguruan kita."
"Lalu mengapa engkau begitu ketakutan tak mau membantu Ih Thian Heng untuk
menggempur partai-partai persilatan Tionggoan ?"
"Ini . . . ."
Dara itu menghela napas, menukasnya : "Sudahlah jangan mengatakan ! Jika kalian tak
mau membantuku, aku tetap akan mencari Ih Thian Heng sendiri !"
Lelaki tinggi besar itu alihkan mata memandang nenek Bwe, ujarnya : "Selama ini Ih
Thian Heng tiada mempunyai hubungan apa-apa dengan perguruan Lam-hay-bun.
Mengapa sumoay hendak membantunya ?"
Waktu si dara hendak menjawab, tiba-tiba di udara tampak meluncur sebuah bunga api
dan meledak berhamburan memancarkan bunga api.
Lelaki itu kerutkan sepasang alisnya : "Hm, ada orang yang menyelundup ke dalam
desa kita."
Bunga api itu merupakan pertandaan apabila ada orang yang menyelundup masuk ke
daerah terlarang dari desa Bik-lo-san.
Rupanya si dara tak mengerti apa artinya bunga api itu. Ia meminta keterangan.
Lelaki tinggi besar itu sesungguhnya hendak cepat-cepat keluar tetapi ia sungkan kalau
tak memberi keterangan. Maka sambil melongok keluar jendela, ia menerangkan : "Orang
itu telah menyelundup ke tempat yang terlarang. Harap sumoay tunggu dulu, aku hendak
memeriksa keluar."
Dara cantik itu tertawa : "Ih, tak usah sibuk-sibuk menyelidiki, Sin-ciu-it-kun datang !"
Dari luar jendela serentak terdengar suara orang tertawa nyaring : "Ah, nona benarbenar
hebat, dapat menduga tepat seperti dewa !"
Serangkum angin berhembus dan muncullah seorang sastrawan setengah umur dalam
pakaian jubah panjang, mengenakan ikat kepala. Jenggotnya yang hitam memanjang
menutupi dada.
Lelaki tinggi besar atau suheng dari si dara segera menyambut dengan tertawa dingin :
"Hm, saudara Ih, benar-benar dapat muncul dan hanya seperti hantu . . . ."
Ih Thian Heng buru-buru memberi hormat, katanya dengan tertawa : "Harap saudara
Ong suka maafkan kelancanganku masuk ke gedung saudara. Tetapi apa boleh buat.
Kalau tak bertindak begitu tentu sukar berjumpa dengan nona ini."
Ternyata lelaki tinggi besar itu bernama Ong Koan. Pada saat ia hendak menjawab, si
dara sudah mendahului : "Harap toa suheng jangan marah dulu. Memang aku yang
menjanjikan kedatangannya."
Dengan wajah berseri ramah, Ih Thian Heng pun memberi penjelasan : "Adalah
sumoay saudara yang mengirim surat mengundang aku supaya mengirimkan orang yang
kutawan kemari untuk diberi hukuman. Dan perintah itupun telah kulaksanakan . . . ."
"Suruh mengirim orang memang benar, tetapi masakan juga mengundang engkau
untuk bicara ?"
"Jikalau sumoay saudara tak mengundang, masakan tengah malam buta begini aku
berani masuk kemari . . . ."
Ong Kuan mendengus : "Hm, ditinjau dari peraturan dunia persilatan, cara saudara
masuk ke daerah kami ini, jelas tak memandang mata kepadaku."
Ih Thian Heng tak mau menyahut melainkan berpaling ke arah si dara jelita dan
tersenyum.
"Jika suheng hendak meminta pertanggungan jawab, harap kepadaku saja. Jika aku tak
mengirimkan undangan, masakan dia berani melanggar peraturan begitu !"
Ong Kuan kerutkan sepasang alisnya : "Sumoay memegang Panji Burung Hong putih,
ibarat suhu yang datang sendiri. Bagaimana aku berani menyesali ?"
"Kalau begitu, harap suheng jangan mengganggu dulu. Aku hendak bicara beberapa
patah kata dengan saudara Ih ini," kata si dara.
Ong Kuan tertegun. Tetapi terpaksa mengiakan lalu tinggalkan ruangan.
Nenek Bwe hanya geleng kepala. Diam-diam ia heran dan ingin tahu apa yang hendak
dipercakapkan dara itu dengan Ih Thian Heng.
Setelah Ong Kuan lenyap, barulah si dara berpaling dan menyuruh bujang baju merah
supaya keluar juga.
Bujang dara itupun mengiakan dan pergi.
Yang terakhir, si dara berpaling ke arah nenek Bwe. Tetapi belum membuka mulut,
nenek itu sudah mendahului : "Pembicaraan apakah itu sehingga akupun juga tak boleh
hadir juga !"
"Kiranya locianpwe ini tak perlu pergi," Ih Thian Heng menyelutuk.
Si dara menghampiri ke tempat nenek Bwe, sandarkan tubuh ke bahu nenek itu, ia
tertawa : "Bolehlah engkau hadir mendengarkan pembicaraanku. Tetapi jangan
memberitahu kepada suheng, maukah ?"
"Pembicaraan apakah sehingga tak boleh diberitahukan kepada toa suhengmu."
"Bukan sama sekali tak boleh melainkan nanti setelah beberapa hari barulah boleh
memberitahu kepadanya."
"Baiklah," akhirnya nenek Bwe mengiakan.
Si dara tersenyum lalu berpaling kepada Ih Thian Heng : "Engkau mengatakan bahwa
makam tua itu berisi harta karun yang tak ternilai jumlahnya. Sungguhkah itu ?"
"Hal itu merupakan rahasia besar di kalangan persilatan Tionggoan. Sekalipun yang
tahu hanya sedikit, tetapi memang hal itu sungguh-sungguh nyata !" kata Ih Thian Heng.
"Lalu bagaimana kau mengetahui ?" tanya si dara.
"Jika diceritakan amat panjang. Pendek kata, kutanggung hal itu memang sungguhsungguh
ada !"
"Kalau makam itu mengandung harta karun dan terdapat Kupu-kupu Emas serta
Tenggoret Kumala, dua buah pusaka yang jarang terdapat di dunia, mengapa tak engkau
ambil sendiri tetapi perlu mencari aku ?"
"Alat-alat rahasia dalam makam itu kelewat hebat. Hanya seorang yang memiliki
kecerdasan luar biasa seperti nona, baru dapat memecahkan kesulitan itu !"
Si dara tersenyum : "Bagaimana engkau tahu aku tentu dapat memecahkan rahasia
alat-alat itu ?"
Berkata Ih Thian Heng dengan nada bersungguh : "Ih Thian Heng sudah menjelajah
seluruh pelosok dunia. Walaupun tak mempunyai ilmu kepandaian meramal, tetapi
sepasang mata tua dari Ih Thian Heng ini, belumlah kabur. Sejak bertemu nona, segera
kutahu bahwa nona memiliki kecerdasan yang luar biasa. Apalagi nonapun berasal dari
keluarga yang menjadi sumber ilmu kepandaian. Maka kuyakin, hanya nonalah satusatunya
orang yang mampu memecahkan rahasia alat-alat itu . . . ."
Si dara merenung beberapa jenak. Kemudian berkata : "Kedatanganmu kemari tentulah
hendak merundingkan soal itu dengan sungguh hati. Aku mempunyai sebuah pertanyaan
tapi entah layak atau tidak kuajukan kepadamu ?"
Ih Thian Heng tertawa : "Kalau nona hendak bertanya, silahkanlah. Asal tahu saja,
tentulah akan kuberitahukan !"
Dara itu mengangguk, ujarnya : "Tadi engkau mengatakan bahwa dalam makam tua itu
terdapat berbagai alat-alat rahasia. Hal itu engkau mendengar cerita orang atau engkau
sendiri pernah menyelidiki ?"
Rupanya Ih Thian Heng tak pernah menduga kalau ia bakal menerima pertanyaan
semacam itu. Ia alihkan pandang matanya kepada nenek Bwe dan batuk-batuk.
Melihat itu si dara cepat menerangkan : "Dia adalah pengasuhku sejak kecil. Segala hal
tentu kuberitahukan kepadanya. Katakanlah, tak jadi apa."
Ih Thian Heng tertawa menyeringai : "Alat-alat rahasia dalam makam itu, sekalipun aku
tak menyelidiki sendiri, tapi menurut pendapatku, tidaklah jauh bedanya dengan kalau aku
menyelidiki sendiri . . . ." - habis berkata ia terus mengeluarkan kotak pedang Pemutus
Asmara, diserahkan kepada si dara : "Lukisan pada kotak ini, merupakan peta dari makam
itu. Silahkan nona memeriksa, tentulah keteranganku tadi benar . . . ."
Dara itu segera mengamati peta pada kotak pedang, dengan teliti. Beberapa saat
ruangan hening lelap.
Kira-kira sepeminum teh lamanya, barulah dara itu menganggukkan kepala :
"Perlengkapan dalam makam itu, diatur dengan tepat sekali dan disusun dengan
sempurna. Benar-benar sebuah karya yang hebat. Patut mendapat penghargaan . . . ."
Dalam pada berkata-kata itu, tetap si dara masih mengamati peta itu. Kemudian
berkata pula : "Konon kabarnya alat-alat dalam gedung marga Nyo di Kimleng merupakan
suatu ciptaan yang luar biasa hebatnya. Tetapi menurut hematku, masih kalah jauh
dengan perlengkapan di Lam-hay. Dan menilik ciptaan perlengkapan makam tua itu,
rasanya tak kalah dengan Lam-hay-bun. Bahkan ada beberapa bagian yang benar-benar
memusingkan.
Melihat si dara tertarik, Ih Thian Heng segera menukas : "Tokoh sakti dari Lamhay,
memang memiliki ilmu pengetahuan yang amat luas. Bahwa nona berasal dari turunan
keluarga yang berilmu, memang dapat diketahui . . . ."
Saat itu seluruh perhatian si dara tertumpah pada gurat-gurat kotak pedang. Ia tak
mengacuhkan kata-kata pujian Ih Thian Heng. Tiba-tiba dara jelita itu kerutkan sepasang
alis dan mendesis perlahan. Ia membawa kotak pedang ke dekat lentera dan mengamati
dengan teliti. Jarinya menyusur dan meraba-raba kotak lalu berkata seorang diri.
"Aneh, guratan peta pada kotak ini walaupun halus dan lembut sekali. tetapi garis2
jalannya cukup jelas. Tetapi mengapa pada bagian di sini menjadi kacau balau ?"
Mendengar pernyataan si dara, Ih Thian Heng terkejut. Matanya membelalak
memandang kotak itu.
Dara itu pejamkan mata. setelah merenung beberapa jenak ia letakkan kotak itu di atas
meja lalu berkata : "Telah kuperiksanya. Karena garis-garis jalannya ada satu dua yang
tak jelas, untuk sementara masih belum ketemu lingkarannya. Jika engkau percaya,
tinggalkan kotak ini barang tiga hari kepadaku. Akan kuperiksa dengan teliti. Tetapi jika
engkau kuatir, silahkan membawa pulang . . . ." - habis berkata si dara tertawa.
"Ah, mengapa nona mengucap begitu ?" buru-buru Ih Thian Heng menanggapi,
"Jangankan hanya tiga hari, sekalipun 10 hari sampai setengah bulan, pun tiada halangan
!"
"Apakah engkau tak kuatir kotak itu akan kukangkangi sendiri ?" tanya si dara.
"Jika aku kuatir, masakan kukeluarkan kotak itu," sahut Ih Thian Heng.
"Menilik gambaran peta itu, jelas bahwa makam tua itu memang penuh dengan alatalat
perlengkapan yang hebat sekali. Adakah alat-alat rahasia itu masih lancar, saat ini
belum dapat kuketemukan pada kotak itu. Pun adakah aku dapat berhasil menyelidiki peta
itu, juga sukar dikatakan. Tetapi tiada jeleknya jika sebelumnya kita rundingkan dulu
tentang cara pembagian dari hasil dalam makam tua itu. Ini untuk menyaga agar jangan
sampai timbul pertikaian mengenai pembagiannya !"
Serentak Ih Thian Heng menyahut : "Harta pusaka dalam makam itu, tak terhitung
nilainya. Maksudku, kita bagi sama rata, masing-masing mendapat separuh bagian . . . ."
"Nak !" tiba-tiba nenek Bwe menyeletuk kepada si dara, "tempat kediaman kita di Lamhay,
harta permata dan benda-benda berharga, sudah tak kekurangan. Mengapa engkau
hendak menempuh bahaya ke dalam makam itu hanya karena memburu harta benda saja
?"
Si dara tertawa : "Tetapi Kupu-Kupu Emas dan Tenggoret Kumala itu, di dunia tak ada
keduanya lagi ! Baru kedua benda pusaka itu saja kiranya sudah berharga untuk kita
masuki makam."
"Kupu-kupu Emas dan Tenggoret Kumala, kita masing-masing mendapat satu. Dan
nona yang memilih lebih dulu !"
"Tetapi kedua-duanya aku menghendaki semua !" sahut si dara.
Ih Thian Heng tertawa : "Ikan mau, telapak beruangpun menghendaki juga. Ah,
apakah nona tak merasa temaha ?"
Telapak beruang merupakan hidangan yang lezat. demikianpun ikan. Jika ikan dan
telapak beruang dua-duanya mau, menunjukkan tamsil seorang yang angkara murka alias
tamak.
Enak saja si dara menjawab : "Jika tak mempunyai hati temaha, masakan aku mau
menyelidiki ke dalam makam itu. Beginilah, kedua benda Kupu kupu Emas dan Tenggoret
Kumala itu menjadi bagianku. Sedang harta karun semuanya boleh engkau ambil."
Di luar dugaan Ih Thian Heng menyetujui : "Kupu-Kupu Emas merupakan benda yang
memancarkan racun yang amat ganas. Sedang Tenggoret Kumala itu khusus untuk
membasmi segala jenis racun ganas. Jika dibagi pada dua orang, memang tak leluasa
menggunakannya. Karena nona menghasratkan, biarlah kedua benda itu nona ambil . . . ."
Berhenti sejenak, ia berkata pula : "Tetapi harta lain-lainnya, semua harus diserahkan
kepadaku."
Sebentar merenung, dara itu tertawa : "Apakah maksudmu mengenai alat mainan dari
batu pualam yang aneh serta mutiara yang memancarkan sinar emas dan perak itu . . ."
Sambil mengurut jenggot, Ih Thian Heng tertawa : "Dalam makam tua itu tersimpan
banyak sekali harta permata. Tetapi kedua pusaka Kupu-Kupu Emas dan Tenggoret
Kumala itulah yang paling terkenal sendiri. Kedua benda itu sudah nona kehendaki,
adakah nona masih kurang puas ?"
Si dara tertawa melengking : "Turut hematku dalam makam tua itu tentu masih
tersimpan banyak sekali benda pusaka yang tak kalah dengan Kupu-Kupu Emas dan
Tenggoret Kumala."
Ih Thian Heng tertawa : "Soal itu tak dapat kuketahui lebih dulu. Tetapi karena nona
mengatakan tentulah sudah mengetahui benda-benda itu."
"Mengapa makam tua itu disebut sebagai makam terpencil ?" tidak menyahut
pertanyaan, si dara malah mengalihkan pembicaraan.
"Karena orang yang dikubur dalam makam itu menyebut dirinya sebagai Ko Tok Lojin.
Sesuai nama Ko Tok (sendirian) maka makam itu disebut makam Tunggal."
"Itulah !" seru si dara, jika Ko Tok Lojin menumpahkan seluruh kepandaiannya dalam
makam iiu, bukankah berarti lebih berharga dari segala harta permata termasuk Kupu-
Kupu Emas dan Tenggoret Kumala itu ?"
Diam-diam Ih Thian Heng terkejut. Tetapi ia tetap berlaku tenang. Dengan tersenyum
tawar, ia mengelus-elus jenggot : "Nona benar-benar amat cerdik sekali. Aku merasa tak
dapat menyamai !"
"Yang kusebutkan baru satu hal itu, lain-lainnya masih banyak lagi !"
"Silahkan nona mengatakan agar dapat menambah luas pengetahuanku !"
Si dara tertawa : "Sesuai dengan namanya Ko Tok, dalam hidupnya dia tentu kesepian
seorang diri. Ia tentu menganggap dalam dunia yang begini luas, tiada terdapat seorang
yang layak menjadi sahabatnya . . . ?"
"Walaupun nama Ko Tok itu tentu sesuai dengan wataknya, tetapi hal itu tiada
sangkutnya dengan alat-alat rahasia yang diciptakan dalam makam itu !"
"Karena dapat menciptakan suatu ciptaan alat-alat rahasia, dia tentu seorang yang luar
biasa cerdasnya. Dengan kepandaiannya itu amat mudahlah jika ia hendak
menghancurkan makam itu. Tetapi dengan berbuat begitu, segala rahasia dalam makam
tentu ikut lenyap. Oleh karenanya, dia telah membuang waktu, tenaga dan pikiran untuk
melengkapi makam tua itu. Jangankan alat-alat rahasia yang berada dalam makam,
bahkan cukup melihat bangunan makam itu saja, sudah dapat dibayangkan tentu tak
selesai 10 tahun pembuatannya.
Membuat makam lebih dulu sebelum meninggal memang dilakukan oleh orang-orang
berada. Tetapi anehnya walaupun semasa hidupnya dia suka menyendiri mengasingkan
diri dari pergaulan, tetapi mengapa setelah meninggal dia masih penasaran dan
menciptakan bangunan makam yang sehebat itu. Mengapa dia hendak meninggalkan teka
teki bagi angkatan kemudian hari ?
Karena sikapnya yang dingin, maka dia tak punya barang seorang sahabatpun jua.
Namanya saja Ko Tok, tetapi sesungguhnya tingkah lakunya mempunyai maksud untuk
mengejek orang di dunia. Sudah tentu tidak seorangpun dapat sesuai sebagai sahabatnya.
Ah, seharusnya kalian jago-jago persilatan Tionggoan malu karena ejekan Ko Tok Lojin itu.
Tetapi kalian malah gembira hati dan berlomba-lomba hendak mengambili harta
peninggalannya dalam makam itu . . . ."
Ih Thian Heng terbeliak, ujarnya : "Penjelasan nona itu benar-benar suatu hal baru
yang membuka mataku !"
Si dara tertawa hambar : "Dengan membangun makam itu Ko Tok Lojin hendak
menonjolkan kepandaiannya yang hebat. Ia hendak mempermainkan orang-orang di
dunia. Kalau hanya terbatas begitu saja, sih tak mengapa. Tetapi rupanya ia sengaja
membuat peta pada kotak pedang Pemutus Asmara. Pedang Pemutus Asmara, sebuah
pedang pusaka yang tajamnya luar biasa. Dapat memangkas kutung semua jenis logam
seperti mengiris tanah liat. Sudah tentu setiap orang persilatan mengiler akan pedang itu.
Dan itu justru termakan siasat Ko Tok Lojin yang hendak mengejek orang-orang
Tionggoan. Ah, tetapi sayang, ternyata memang orang Tionggoan itu hanya terpikat oleh
pedang tetapi tak mengerti maknanya . . . ."
"Ucapan nona, setiap patah bagaikan emas, setiap rangkaian kata laksana untaian
mutiara yang tak ternilai harganya . . . ."
Tanpa mempedulikan pujian orang, dara itu melanjutkan lagi : "Walaupun aku tak
mengerti mengapa Kupu-kupu Emas dan Tenggoret Kumala dapat tersiar di dunia
persilatan, tetapi hal itu tentulah sengaja diatur oleh Ko Tok Lojin untuk menambah
keangkeran dan kekeramatan makam itu. Padahal sesungguhnya hal itu hanya suatu
pancingan untuk memikat perhatian orang-orang di belakang hari. Sampai dimanakah
kecerdasan otak orang-orang itu !"
"Bercakap-cakap dengan nona satu malam saja, sudah melebihi membaca buku 10
tahun !"
"Walaupun sudah meninggal, tetapi Ko Tok Lojin tetap hendak mengadu kepandaian
dengan orang-orang angkatan kemudian hari. Dia tak rela kalau kecerdasannya sampai
terpendam dalam makam itu. Dengan kesimpulan itu, jelas bahwa makam itu berisikan
buah karya dari kecerdasan otaknya yang gilang gemilang . . . ."
"Apakah nona maksudkan dia tentu meninggalkan sebuah kitab yang berisi seluruh
kepandaiannya ?" tanya Ih Thian Heng.
Dara jelita itu tersenyum.
"Aku tak mengatakan begitu. Dia meninggalkan kitab, atau . . ."
Dara itu berhenti dan merenung . . . .
Jilid 20 : Han Ping bertempur dengan ketua dari It Kiong
Bagian 37
Telur di ujung tanduk.
Dara jelita baju ungu merenung sejenak lalu berkata pula dengan perlahan : “Atau
menggunakan lain cara apa saja. Tetapi pokoknya, dalam makam tua itu kecuali Kupu-
Kupu Emas dan Tenggoret Kumala, tentu masih ada lain benda yang lebih berharga dari
kedua benda itu. Jika aku hanya mengambil kedua benda itu, apakah takkan rugi besar ?”
“Lalu bagaimana maksud nona ?” tanya Ih Thian Heng.
“Kalau menurut kemauanku, dikuatirkan engkau tentu tak setuju !”
“Harta permata merupakan benda keduniaan yang dalam hidup orang sukar membawa,
matipun tak dapat membawanya. Silahkan nona mengatakan saja. Asal dipertimbangkan
sedikit untukku, aku tentu setuju !”
Si dara tertawa : “Mungkin pendirianku, tidak terlalu adil ! Tetapi sesungguhnya di
dunia ini tak ada barang yang adil seratus persen. Yang besar menghendaki pembagian
besar, yang kecil dapat kecil. Hanya karena terpaksalah maka orang mau menerima
keadilan itu secara main mengalah di sana sini !”
Ih Thian Heng tertawa ; “Harap nona suka mengatakan apa yang nona kehendaki itu
lebih dulu. Soal lain-lainnya nanti kita bicarakan lagi. Besar meminta bagian besar, yang
kecil hanya diberi sedikit, sesungguhnya hanya merupakan hukum alam. Sekalipun bagiku
hal itu memang berguna tetapi bagi nona tak berarti apa-apa.”
“Siapa bilang tak berguna ? Hanya tak berlaku sajalah,” seru si dara tertawa.
“Uraian nona benar merupakan pembicaraan yang bermutu. Aku senang sekali
mendengarkan !”
“Kami dari perguruan Lam-hay-bun sesungguhnya tiada mempunyai dendam
permusuhan suatu apa dengan dunia persilatan Tionggoan. Sekalipun kenyataan memang
ada beberapa orang dari Tionggoan yang mengilerkan kitab pusaka Lam-hay-bun dan
berusaha untuk mendapatkan bahkan mencurinya. Tetapi hal itu tak sampai menimbulkan
permusuhan besar-besaran. Mungkin mereka menyadari bahwa mengadakan persekutuan
untuk menghadapi Lam-hay-bun, bukanlah tindakan yang menguntungkan . . . .”
Tergetar hati Ih Thian Heng. Namun ia tetap bersikap setenang mungkin, serunya :
“Apakah nona mengatakan bahwa aku bakal menderita serangan serempak dari seluruh
kaum persilatan Tionggoan yang bersatu ?”
Dingin-dingin saja si dara menjawab : “Kecuali Lam-hay-bun yang mungkin mau
membantumu menghadapi serangan bersama dari seluruh kaum persilatan Tionggoan itu,
rasanya di dunia tiada lagi orang yang mau membantumu . . . .”
Si dara berhenti sejenak lalu menyusuli kata-kata : “Mungkin ada juga yang
membantumu, tetapi mereka tak punya kemampuan !”
Ih Thian Heng mengurut jenggot dan tertawa : “Jangankan dugaan itu tipis sekali
kemungkinannya. Andaikata benar ada, aku Ih Thian Hengpun takkan tunduk kepada
mereka !”
“Sebuah tangan sukar untuk bertepuk,” kata si dara, “sekalipun engkau mempunyai
kepandaian setinggi langit, pun tetap sukar untuk melawan tenaga persatuan dari seluruh
kaum persilatan di Tionggoan itu !”
Kata Ih Thian Heng : “Dalam dunia persilatan Tionggoan, dendam permusuhan amat
berliku-liku coraknya. Siau-lim-pay, Bu-tong-pay dan beberapa partai yang menamakan
diri sebagai partai aliran Putih, mereka tak suka berhubuugan dengan pihak It-kiong, Jikoh
dan ketiga Marga besar. Mengatakan mereka akan berserikat untuk menggempur aku,
sukarlah terlaksananya. Apalagi jika aku menggunakan siasat untuk mengadu domba,
mereka tentu akan saling bunuh sendiri !”
Si dara tertawa : “Andaikata akupun turut memusuhi engkau, apakah engkau yakin
dapat menang ?”
“Nona adalah satu-satunya lawan yang kupandang paling berat bagiku. Oleh karena itu
aku segera bergegas datang kemari memenuhi undangan nona. Dengan membawa usul
membagi rata harta pusaka dalam makam tua itu, aka hendak mengajak perguruan Lamhay-
bun dalam persekutuan bersama.”
“Jika engkau datang dengan hati sungguh-sungguh, soal itu bukan mustahil terjadi.
Tetapi tubuh tak dapat mempunyai dua kepala. Lalu siapakah yang akan menjadi
kepalanya ?”
“Ini . . . sebaiknya merupakan pimpinan bersama. Sebelum persoalan besar itu selesai,
masing-masing baik mencurahkan segala kemampuannya sendiri.”
“Masing-masing mencurahkan kepandaiannya ?” ulang si dara.
“Benar,” sahut Ih Thian Heng, “Dalam mempersiapkan dan menyusun barisan serta
perbekalan, aku menurut perintah nona. Tetapi dalam soal menghadapi dan
memenangkan pertempuran, memilih orang, harap nona menurut perintahku. Setelah
pergolakan dunia persilatan dapat ditenangkan, baru kita tetapkan pembagian daerah.
Masing-masing menguasai sebuah wilayah, tak saling ganggu dan saling menghormati
kedaulatan !”
Dara jelita itu tertawa : “Kita berdua, tentu tak mudah diperintah orang. Jika di dunia
persilatan terdapat dua pemimpin, sukar terjadi ketenteraman. Kalau bukan aku yang
menelanmu, tentu engkau yang menelanku !”
“Tetapi kalau nona benar-benar mentaati kedaulatan masing-masing wilayah, sudah
tentu aku tak berani mengganggu nona,” Ih Thian Heng tertawa.
“Ah, itukan ibarat orang menggambar kue untuk menghibur perut lapar. Tetapi
kenyataannya tak berguna,” jawab si dara, “sekarang lebih baik kita rundingkan lagi
tentang cara pembagian harta pusaka dalam makam tua itu dulu. Baru nanti kita bicara
lain-lainnya.”
Ih Thian Heng tertawa : “Silahkan nona mengusulkan saran. Jika aku tak dapat
menyetujui, kita perdebatkan lagi.”
“Kupu-Kupu Emas dan Tenggoret Kumala menjadi bagianku. Emas permata, bagainmu.
Lain-lain benda, kita bagi berdua !”
“Jika benda itu tak sama nilainya dan kedua pihak saling menginginkan, bukankah akan
timbul perselisihan lagi ?”
“Kita nanti putuskan dengan bertaruh adu kepandaian. Siapa menang boleh memilih
dulu !”
“Bertaruh banyak sekali caranya,” kata Ih Thian Heng, “kita masing-masing mempunyai
kepandaian sendiri-sendiri. Walaupun nona memiliki kecerdikan yang luar biasa, tetapipun
tidak dalam semua hal dapat mengalahkan aku. Lebih baik kita bicarakan acaranya agar
jangan pada waktunya nanti timbul perdebatan lagi !”
“Engkau dapat berpikir dengan sempurna sekali,” si dara tertawa, “aku mempunyai dua
cara, terserah engkau hendak memilih yang mana !”
“Silahkan !”
“Kesatu, pada waktu memasuki makam itu, kita saling berlomba untuk mendapat
bagian. Siapa yang dapat lebih banyak, akan besar bagiannya. Dan benda penemuannya
itu akan menjadi hak miliknya. Yang kalah tak boleh merebut !”
“Cara itu walaupun cukup baik tetapi dikuatirkan takkan menghindari suatu perebutan.
Lalu bagaimanakah cara yang kedua ?”
“Yang kedua, kecuali pembagian Kupu-Kupu Emas dan Tenggoret Kumala serta harta
permata yang telah disetujui itu, lain-lain benda kita bagi dengan cara bertanding.
Bertanding satu kali dalam merangkai syair. Dan satu kali dalam ilmu silat. Jika masih
belum berhasil menentukan siapa pemenangnya, kita pakai cara Menebak-tangan !”
“Cara itu memang boleh dilakukan. Nah, kita jadikan perjanjian itu. Tiga hari lagi aku
akan datang berkunjung kemari lagi.”
Si dara tertawa : “Saat ini kita belum tahu apakah kita ini sekutu atau musuh. Maaf, tak
mengantar.”
“Kawan atau lawan, bukan kawan pun bukan lawan, garis antara kawan dan lawan,
semua tergantung pada anggapan nona,” kata Ih Thian Heng seraya memberi hormat lalu
melangkah keluar. Tiba di ambang pintu, mendadak ia berpaling lagi dan berseru :
“Berkawan tentu tiada yang rnampu menandingi. Bermusuhan, kedua-duanya akan
menderita kerusakan. Soal kawan atau lawan, mohon nona suka mempertimbangkan
sedalam-dalamnya. Tiga hari kemudian, aku akan menghadap untuk menerima keputusan
nona !”
Sekali enjot tubuhnya, Ih Thian Heng loncat melayang keluar dari jendela.
Sementara si darapun mengambil kotak pedang itu seraya berkata seorang diri : “Peta
pada kotak pedang ini, dapat menghibur tempoku selama dua hari !” - Sambil berkata,
kakinyapun melangkah perlahan lahan naik ke tingkat ketiga.
“Nak, apakah engkau benar-benar hendak campur tangan dalam urusan orang
Tionggoan ?” seru nenek Bwe, seraya memburu.
Sambil naik ke tangga, si dara menyahut : “Kita sudah terbawa dalam kisaran arus,
untuk menarik diri rasanya sudah terlambat !”
“Saat ini baru dalam babak permulaan, kalau kita segera pulang ke Lam-hay, tentu
habis perkaranya !”
Si dara tertawa : “Hatiku gundah gulana sekali. Jika tak mencari perkara untuk
melewatkan waktu, mungkin aku akan mati !”
Nenek Bwe terkesiap. Ia berhenti tak berani menyusul terus. Diam-diam ia membatin :
“Bocah itu memang sudah terlanjur manja dan selalu membawa kemauannya sendiri.
Percuma saja mencegah kehendaknya !”
Sekarang kita tinggalkan dulu si dara jelita yang tengah memeras otak untuk
memecahkan rahasia peta pada kotak pedang pemutus Asmara itu.
Kita ikuti lagi Han Ping yang sudah bertemu dengan pamannya, Kim Loji. Dengan
mendukung Kim Loji, Han Ping berjalan melintasi dua buah puncak gunung lalu berhenti
pada sebuah lembah. Ia menanyakan kesehatan pamannya.
Walaupun sakit tetapi Kim Loji paksakan tertawa : “Anak Ping, aku kuatir takkan tahan
hidup sampai besok siang . . . .”
“Apa ?” Han Ping berteriak kaget.
Kim Loji berusaha untuk menenangkan ketegangan hatinya dengan tertawa : “Nak,
engkau harus tenang dan dengarkan kata-kataku sampai selesai. Jika Ih Thian Heng
menghendaki seseorang harus mati, tak seorangpun yang mampu lolos dari tangannya
yang ganas. Percuma saja engkau berteriak mengeluh dan mengerang sedih, tiada
berguna. Sebelum menghantar ke Bik-lo-san, Ih Thian Heng telah memaksa aku menelan
obat racun yang lambat daya kerjanya. Tetapi jelas obat itu ganas dan tiada penawarnya.
Begitu masih dia belum puas dan menutuk tiga buah jalan darahku. Sehingga andaikata
aku bisa mendapat obat penawarpun obat itu takkan dapat beredar lancar dalam tubuhku
. . . .”
“Jalan darah bagian manakah yang ditutuknya ? Mungkin aku dapat menolong !” Han
Ping makin gugup.
“Tetapi percuma, nak. Dapat menolong jalan darahku, pun tak mungkin memperoleh
obat penawarnya . . . .”
Han Ping menghela napas dan tundukkan kepala. Ia menyesal karena terlalu singkat
belajar pada Hui Gong taysu yang sakti ilmu silatnya dan mahir ilmu ketabiban.
Kim Loji menghela napas : “Lukaku ini, kecuali Ih Thian Heng sendiri, mungkin di dunia
ini tiada orang yang dapat mengobati !”
Tiba-tiba Han Ping teringat pada si dara jelita. Bukankah dara itu mampu mengobati
Ting Ling dan si pedang perak kipas besi Ih Seng ? Ah, dara itu tentu mampu juga
mengobati luka pamannya !
Han Ping segera memutar otak untuk mencari akal bagaimana supaya si jelita itu mau
menolong.
Sesaat kemudian kembali Kim Loji menghela napas dan berkata dengan bersemangat :
“Selagi saat ini semangatku masih baik, sebelum mati aku hendak menumpahkan isi hati
kepadamu . . .”
“Paman, aku teringat akan seseorang yang dapat mengobati luka paman !” seru Han
Ping.
Tetapi Kim Loji gelengkan kepala : “Siapakah yang engkau maksudkan itu ?”
“Dara baju ungu dari Bik-lo-san itu !”
Kim Loji tertawa hambar : “Tentang peristiwa kematian kedua orang tuamu itu, aku
belum menceritakan kepadamu sampai habis. Mumpung aku masih segar, aku hendak
memberitahu kepadamu !”
Sesungguhnya Kim Loji memang tak percaya kalau dara baju ungu itu mampu
mengobati lukanya. Maka ia tak begitu menaruh perhatian kepada kata-kata Han Ping.
“Tentang kematian orang tuaku itu, besok sajalah paman ceritakan. Sekarang yang
penting ialah mengobati luka paman !” Han Ping tetap mendesak.
Dengan wajah serius, Kim Loji berkata : “Aku sudah tiada harapan hidup lagi. Perlu apa
engkau bersusah payah memikirkan ? Apakah aku harus mati dengan membawa
penasaran ?”
Han Ping menyahut dengan nyaring : “Dalam dunia yang begini luas, Han Ping hanya
tinggal mempunyai seorang paman. Apakah paman benar-benar tega meninggalkan diriku
sebatang kara ?”
Kim Lojipun berteriak marah : “Bngaimana engkau tahu kalau gadis baju ungu itu tentu
dapat mengobati lukaku ? Bagaimana engkau yakin kalau ia pasti mau menolong aku ?”
Han Ping tertegun. Diam-diam ia mengakui memang pertanyaan pamannya yang tepat.
Setelah merenung beberapa saat, ia menghela napas panjang, ujarnya : “Tak peduli ia
mau membantu atau tidak, aku tetap akan mengusahakan !”
Perasaannya sebagai seorang yang sudah sebatang kara, menyebabkan Han Ping
bertekad bulat untuk melindungi jiwa pamannya itu.
“Mari kita kembali ke Bik-lo-san lagi !” serentak ia berbangkit dan mengajak.
Kim Loji tak sampai hati lagi untuk mendamprat putra dari sahabat satu-satunya di
dunia. Ia hanya gelengkan kepala menghela napas : “Nak, jika aku tahu dapat hidup,
masakan aku rela mati secara begini saja ? Kalau dara itu tak mampu mengobati,
bukankah kita malah membuang waktu yang berharga ? Jika tak kucurahkan isi hatiku
kepadamu, benar-benar aku mati tak dapat meram !”
“Paman dapat menceritakan dalam perjalanan,” kata Han Ping. Dan tanpa menunggu
persetujuan orang, Han Ping terus menyambar tubuh Kim Loji dan dipanggulnya. Tetapi
ketika ia berputar tubuh hendak berangkat, tiba-tiba di sebelah muka tegak berdiri
seseorang.
Bila dan bagaimana orang itu muncul, sedikitpun Han Ping tak mengetahui. Orang itu
seorang yang berwajah pucat seperti mayat, punggung menyanggul sebatang pedang.
Tegak berdiri seperti patung.
“Siapakah engkau !” tegur Han Ping seraya bersiap.
Orang aneh yang dandanannya saperti seorang imam itu menyahut dengan nada tinggi
: “Tak perlu dari lain orang, orang yang dapat mengobati sudah berada disini !”
Han Ping terbeliak. Dipandangnya orang aneh itu dengan seksama. Ah, wajahnya yang
pucat seperti mayat itu ternyata bukan wajah yang sebenarnya melainkan karena
memakai kedok muka. Tiba-tiba ia teringat akan kedua nona Ting yang sering memakai
kedok muka.
“Siapakah yang dapat mengobati luka pamanku ini ?” ia memberanikan diri berseru.
“Aku !” sahut orang itu dengan nada dingin.
Sudah tentu Han Ping tegang sekali hatinya : “Apakah locianpwe ini orang dari lembah
Raja Setan ?”
“Hm,” orang aneh itu mendengus. “masakan orang sebagai aku sudi berhubungan
dengan orang-orang lembah Raja Setan ?”
“Kalau bakan dan lembah Raya Setan, mengapa locianpwe memakai kedok muka ?”
Orang aneh itu tiba-tiba tertawa keras, serunya : “Apakah hanya orang Lembah Raja
Setan saja yang berhak memakai kedok muka ?”
Han Ping terkesiap. Ia mengakui kata-kata orang itu memang benar.
Tiba-tiba Kim Loji menyelutuk dengan nada gemetar : “Bukankah totiang ini ketua dari
Hian-bu-kiong, Thian Hian totiang ?”
Imam itu tertawa nyaring : “Sudah 10 tahun lamanya aku tak pernah tinggalkan biara
Hian-bu-kiong. Tak kira dalam dunia persilatan masih ada orang yang kenal padaku !”
“Kemahsyuran nama totiang meluas sampai di Kanglam dan Kangpak. Siapakah orang
yang tak kenal pada totiang ?” sahut Kim Loji.
Thian Hian totiang gembira dengan pujian itu. Sambil mengurut jenggot ia tersenyum :
“Berdasar pada ucapanmu itu, aku akan mengobati lukamu sampai sembuh . . . .”
Ia maju menghampiri seraya berkata : “Sin-ciu-it-kun Ih Thian Heng memang rnahir
menggunakan racun. Dalam dunia persilatan, kecuali aku, rasanya tiada terdapat lagi
orang yang mampu mengobati racunnya itu !”
Karena belum pernah mendengar tentang diri Thian Hian totiang, maka dengan
setengah bersangsi Han Ping rnenegaskan : “Soal jiwa, bukan barang permainan. Aku
pasti berterima kasih sekali kalau totiang dapat menyembuhkan luka pamanku ini. Tetapi
kalau memang totiang tak sanggup mengobati, kuharap jangan menelantarkan waktuku
untuk mencari lain orang !”
“Anak Ping jangan bicara sembarangan !” buru-buru Kim Loji mencegahnya, “Thian
Hian totiang adalah salah seorang dari tokoh sakti dalam dunia persilatan dewasa ini.
Kemahsyuran namanya melebihi ketua kedua lembah dan ketiga Marga. Masakan beliau
mau bersenda gurau dengan engkau !”
Untunglah Han Ping cepat menyadari ucapan pamannya itu. Ia memang mendengar
bahwa ketua dari It-kiong itu, merupakan yang paling lihai sendiri dari kedua lembah dan
ketiga marga. Buru-buru ia menjura : “Locianpwe, harap maafkan ucapanku tadi . . . .”
Karena mengenakan kedok muka, Thin Hian totiang tak kelihatan bagaimana
perubahan air mukanya saat itu. Hanya dengan nada dingin ia berseru : “Perlu apa bicara
tak berguna ! Lekas turunkan pamanmu !”
Han Ping segera menurunkan Kim Loji dari punggungnya lalu mundur dua langkah.
Dipandangnya gerak gerik imam itu dengan perhatian penuh. Apabila ternyata imam itu
bohong, ia cepat akan turun tangan menolong pamannya.
Ketiga jalan darah Kim Loji yang tertutuk itu sudah mulai membeku. Kecuali tak dapat
berdiri tegak, wajahnyapun sudah berubah pucat lesi.
Thian Hian totiang segera berjongkok dan memeriksa. Katanya : “Sekarang belum
dapat diketahui racun dalam tubuhmu . . . .”
“Sedang racun apa saja engkau tak tahu, bagaimana hendak mengobati ?” seru Han
Ping gelisah.
Sahut imam berkedok itu dengan dingin : “Dalam menggunakan racun, Ih Thian Heng
selalu mencampurkan beberapa macam racun. Kalau hanya dengan satu jenis racun saja,
perlu apa harus aku yang turun tangan ? Banyak sekali orang yang mampu mengobati !”
Sejenak merenung, Han Ping berkata : “Harap locianpwe suka mengatakan terus
terang. Apakah locianpwe dapat mengobati pamanku atau tidak. Agar jangan sampai
menelantarkan waktu untuk mencarikan obat untuknya.
Karena terus menerus pemuda itu mengucapkan kata-kata yang tak sedap, marahlah
Thian Hian totiang, sahutnya : “Jika aku tak mampu, di dunia persilatanpun tak mungkin
ada orang yang mampu mengobati nya !”
“Huh, perlu apa engkau bermulut besar . . .” diam-diam Han Ping, mendamprat. Namun
ia tetap menyahut dengan hormat : “Apabila locianpwe dapat mengobati pamanku, aku
tentu akan membalas budi locianpwe . . . .”
Thian Hian totiang mendengus dingin. Tiba-tiba ia memanggul Kim Loji lalu dibawa
pergi. Sudah tentu Han Ping amat terkejut. Tetapi ketika ia tersadar hendak mencegah,
ternyata Thian Hian sudah tiga tombak jauhnya. Dengan menggembor keras, Han Ping lari
mengejar.
Tetapi Thian Hian totiang tak menggubris dan tetap berjalan pesat. Walaupun
mendukung orang. gerakannya tetap secepat angin.
Han Ping terkejut heran. Ia kerahkan seluruh kepandaiannya untuk mengejar tetap tak
mampu. Diam-diam ia kagum. Belum pernah selama ini ia melihat seseorang yang
memiliki ilmu berjalan cepat seperti imam itu.
Demikian dalam malam yang diterangi rembulan, kedua orang itu saling kejar mengejar
seperti dua ekor kuda yang lari kencang.
Kira-kira lima li jauhnya, tetap jarak keduanya terpisah tiga tombak jauhnya. Han Ping
tak mampu lebih maju selangkah, Thian Hian totiang pun tak dapat mendahului setapak
lagi.
Tetapi walaupun sepintas pandang, ilmu lari cepat kedua orang itu berimbang. Namun
dalam penilaian, Thian Hian totianglah yang lebih hebat. Ia mendukung sesosok tubuh
orang, sedang Han Ping tidak membawa apa-apa.
Meskipun tidak berpaling ke belakang, tetapi dari derap langkah Han Ping, tahulah
Thian Hian totiang bahwa pemuda itu mengejar di belakangnya. Diam-diam imam tua itu
terkejut juga : “Dia masih begitu muda tetapi mengapa ilmu larinya begitu hebat ?”
Seketika imam tua itu mengempos semangat dan pesatkan larinya. Karena tancap gas
itu Han Ping ketinggalan beberapa meter lagi. Sudah tentu anak muda itu makin bingung.
Ia berteriak sekeras-kerasnya : “Jika locianpwe tak mau berhenti, terpaksa akan kumaki !”
Dalam gugup, Han Ping teringat bahwa seorang cianpwe yang berkedudukan tinggi
dalam dunia persilatan itu, paling takut kalau dimaki-maki. Maka dalam keadaan terdesak,
Han Ping gunakan gertakan itu.
Dan ternyata gertakan itu berhasil. Thian Hian hentikan larinya lalu berputar tubuh.
Han Ping tak menduga kalau imam itu akan berhenti secara begitu mendadak. Ia tak
sempat menghentikan larinya. Tepat pada saat Thian Hian berbalik tubuh, Han Pingpun
sudah tiba dekat sekali di hadapannya dan terus menutuk dada Thian Hian.
Tetapi dengan kisarkan tubuh ke samping, tutukan Han Ping itu menemui angin.
Pemuda itu penasaran. Tutukannya gagal, ia susuli dengan dua buah pukulan tangan
kanan dan kiri.
Thian Hian totiang tertawa dingin. Sekali menggeliat, ia menyurut mundur selangkah.
“Dalam 100 jurus jika engkau mampu memukul atau menyepak diriku, saat ini juga aku
akan kembali ke Hian-bu-kiong dan bertapa 10 tahun lagi ?” seru imam itu.
Sebenarnya Han Ping hendak menyerang lagi, tetapi demi mendengar ucapan imam
aneh itu, ia tertegun. Beberapa saat kemudian baru berkata : “Kita tiada saling
bermusuhan, perlu apa harus bertanding ? Jika dalam 100 jurus itu aku sampai melukai
totiang, bukankah kita akan terikat dendam permusuhan . . . .”
“Ha, ha, ha !” Thian Hian menukas kata-kata pemuda itu dengan tertawa gelak, “Jika
dalam 100 jurus engkau mampu melukai diriku, pamanmu segera akan kuobati dan
setelah itu aku terus pulang ke Hian-bu-kiong !”
“Kalau begitu, totiang tetap menghendaki cara itu ?” Han Ping menegas.
“Ho, perlu apa orang semacam diriku ini beromong kosong dengan engkau ?” Thian
Hian totiang marah.
Diam-diam Han Ping menimang : “Imam ini benar-benar aneh sekali. Jika dia memang
bersungguh hati hendak bertempur, tentu akan menantang aku mengadu kepandaian
sampai ada yang kalah dan menang. Andaikata mengalah, pun tentu hanya untuk dua tiga
jurus saja. Masakan ia bermulut besar berani mengalah sampai 100 jurus. Betapapun
kesaktiannya, tetapi karena tak boleh balas menyerang, tentu mudahlah kuserang habis
habisan !”
Dengan ketetapan itu segera ia hendak menyahut. Tetapi tiba-tiba terlintas dalam
pikirannya : “Tetapi aku seorang anak laki yang masih muda dan bertenaga penuh.
Masakan mau diberi keringanan begitu oleh orang !”
“Jika totiang memang hendak berkelahi, janganlah pakai mengalah. Kita keluarkan
kepandaian masing-masing saja !” sahutnya.
Engkau serang dulu sampai 100 jurus, baru nanti kupertimbangkan pantas atau tidak
kita berkelahi !” Thian Han totiang tetap kukuh.
“Ah, tak perlulah, “ kata Han Ping, “kita berkelahi secara biasa saja. Siapa kalah harus
tunduk . . .”
Thian Hian totiang menunduk memandang Kim Loji yang dikepitnya, lalu menukas :
“Apabila membuang waktu terlalu lama, racun dalam tubuhnya tentu sukar diobati lagi !”
Kata-kata itu seperti ujung belati yang menusuk ulu hati Han Ping. Seketika darahnya
bergolak keras, serunya lantang : “Jika pamanku sembuh, tak apalah. Tetapi jika sampai
terjadi apa-apa pada dirinya aku tentu akan meminta pertanggungan jawab totiang !”
Imam aneh itu tidak marah sebaliknya malah tertawa gelak-gelak : “Jika engkau
hendak menolong jiwanya, lekas-lekaslah engkau mulai saja !”
Han Ping terkesiap. Benar-benar ia tak mengerti apa maksud imam yang berkeras
minta diserang sampai 100 jurus. Karena bingung, akhirnya Han Ping tak berbanyak hati
lagi. Maju selangkah, ia terus menghantam imam itu dengan jurus Halilintar memecah
langit barat.
Jurus itu merupakan salah sebuah jurus dalam kitab Ih-kin-keng. Dalam terdesak, Han
Ping tiba-tiba teringat akan jurus itu.
Saat itu barulah Thian Hian totiang terbeliak kaget. Gerakan pemuda itu benar-benar
belum pernah diketahuinya sama sekali.
Karena imam itu diam saja tak mau menghindar, Han Ping heran. Diam-diam ia
menduga kemungkinan imam itu memiliki ilmu kebal. Begitu ditinjunya terus akan
memancarkan tenaga membalik untuk melukai lawan.
Dengan dugaan itu, Han Pingpun lambatkan pukulannya. Dan pada saat tinjunya
hendak mengenai, barulah Thian Hian totiang menyurut mundur.
Pukulan pertama luput, Han Ping maju setengah langkah. Tanpa menarik pulang
tangan kanannya, tangan kirinya digerakkan mernbalik ke atas. Itulah jurus Tali emas
mengikat naga. jurus untuk mencengkram pergelangan tangan kiri Thian Hian.
Tetapi kembali imam itu mendengus perlahan dan mundur tiga langkah lagi. Diam-diam
imam itu makin heran : “Huh, mengapa anak ini memiliki ilmu kepandaian yang begitu
aneh sekali ?”
Tengah ia merenung tiba-tiba serangkum tenaga dahsyat melanda dadanya. Seketika ia
rasakan hatinya mendebur dan mundurlah ia tiga langkah ke belakang.
Tetapi dalam anggapan Han Ping, Thian Hian totiang tentu sengaja menghindar
mundur. Cepat ia membayangi dan menyambar pergelangan tangan imam itu.
Diam-diam Thian Hian totiang telah menderita kerugian. Ia marah dan terkejut. Kini tak
berani lagi ia memandang rendah lawan. Tubuhnya berputar miring, sikapnya seperti
hendak melangkah maju tetapi mendadak ia menyurut mundur. Bermula seperti hendak
nyelonong ke muka tetapi ternyata malah menyelinap mundur sampai empat lima langkah.
Han Ping terperanjat, pikirnya : “Hah, ilmu apakah yang digunakan imam itu. Jika tadi
aku terburu-buru mengejar ke muka, tentu akan kecele. Dan andaikata ia balas memukul,
aku pasti tak sempat menjaga diri lagi !”
Buru-buru ia hentikan gerakannya maju dengan berputar tubuh.
Thian Hian totiang memiliki keyakinan tenaga dalam yang amat tinggt. Sejenak
menyalurkan pernapasan, sakit yang diderita dari pukulan anak muda itu, segera sembuh.
Han Ping tiba-tiba mundur dua langkah, memberi hormat dan berkata dengan rada
serius : “Ilmu kepandaian locianpwe hebat sekali. Kita tak saling bermusuhan, mengapa
locianpwe mendesak hendak berkelahi ? Lepas dari siapa yang menang dan kalah tetapi
pertempuran itu jelas menghambat waktu untuk menolong jiwa pamanku . . . .”
Selama hidup Han Ping tak pernah memohon pada orang. Adalah karena ingat akan
keselamatan paman Kim, terpaksa ia membuka mulut. Tetapi belum selesai mengucap, ia
sudah tak dapat meneruskan lagi.
Sahut Thian Hian dingin : “Biasanya aku segan bertempur dengan sembarang orang.
Bahwa aku mengajakmu berkelahi itu, merupakan suatu kehormatan bagimu !”
Han Ping merenung. Sesaat kemudian ia berkata : “Jika locianpwe tetap hendak
berkelahi dengan aku, aku terpaksa meladeni. Tetapi lebih dulu harap locianpwe
meluluskan sebuah permintaanku !”
“Apa ?”
“Harap locianpwe suka mengobati pamanku lebih dulu, baru nanti kita bertempur.
Sekalipun harus mati di tangan locianpwe, setitikpun aku tak menyesal !”
Kini Thian Hian totianglah yang merenung. Pada lain kejap ia berseru menyatakan
setuju. Lalu berputar tubuh dan terus lari. Han Ping terpaksa mengikuti. Mereka menuju
ke sebuah tempat di tengah lembah.
Thian Hian letakkan tubuh Kim Loji, katanya : “Biasanya Ih Thian Heng mencampuri
beberapa jenis racun dalam ramuannya, sehingga bekerjanya racun itu berbeda-beda.
Kecuali dia sendiri yang tahu obatnya, siapapun mauusia di dunia ini, dalam waktu yang
singkat tak mungkin mengetahui obat penawarnya . . . .”
Han Ping tergetar hatinya : “Kalau begitu, locianpwe . . . .” - maksudnya hendak
mengatakan, imam itu tentu tak sanggup mengobati. Tetapi teringat akan kesombongan
orang, Han Ping batalkan kata-katanya.
Thian Hian totiang tertawa gelak-gelak : “Sebelum aku menggantungkan pedang pada
10 tahun yang lalu. aku memang sering keluyuran ke dunia persilatan. Orang persilatan
memberikan julukan delapan buah kata kepada diriku. Kalau dipikir-pikir, tak salah juga . .
. .”
“Apakah kedelapan kata-kata itu ?” tanya Han Ping.
Thian Hian totiang tertawa : “Mirip Putih, mirip Hitam. Mirip perwira mirip penjahat.”
Han Ping tak menanggapi. Tetapi diam-diam ia membenarkan julukan itu.
Kembali imam aneh itu tertawa nyaring : “Julukan itu berarti Baik atau Jelek, aku tak
mau minta penjelasan. Tetapi dalam melakukan sesuatu, memang aku selalu menurutkan
perasaan senang atau marah. saat ini tiba-tiba aku merasa . . . .”
Han Ping terkesiap dan mengeluh, jangan-jangan imam itu kumat lagi edannya. Buruburu
ia bertanya.
“Tiba-tiba aku merasa engkau boleh juga. Mungkin di belakang hari kita akan menjadi
sahabat karib !” kata imam itu.
“Kurang umur kurang pengalaman, bagaimana aku berharga menjadi sababat
locianpwe ?”
Thian Hian tertawa dingin : “Bukan kawan pun bukan lawan. Keduanya mungkin semua
!”
Mendengar ocehan yang tak berguna itu, Han Ping tak tahan lagi, serunya agak keras :
“Menjadi kawan atau lawan, kelak masih panjang waktunya. Lebih baik sekarang jangan
dibicarakan dulu. Kumohon locianpwe suka segera mengobati pamanku, agar jangan
menghambat waktu !”
Thian Hian totiang mengeluarkan sebuah botol kumala dari jubahnya dan menuang 3
butir pil, katanya : “pil mukjizat Kiu- hoa-sing-sin-tan ini, dapat mengobati segala macam
racun. Andaikata tak dapat melenyapkan racun dari Ih Thian Heng tetapi paling tidak tentu
dapat memperlambat bekerjanya racun itu. Minumkanlah 3 butir pil ini lebih dulu, setelah
selesai bertempur, kita nanti berusaha lagi mengobatinya sampai sembuh !”
Han Ping kerutkan alis. Setelah menyambuti pil ia merenung : “Hm, rupanya kalau tidak
berkelahi dia belum puas,”
Cepat ia menghampiri Kim Loji dan memintanya supaya menelan ketiga butir pil itu.
Urat nadi Kim Loji sudah diracuni Ih Thian Heng kemudian dibawa lari Thian Hian
totiang, sehingga bekerjanya racun makin cepat. Saat itu kaki dan tangannya lentuk
lunglai, pikirannyapun tak sadar. Tetapi dia seorang tokoh yang tinggi kepandaiannya.
Dengan kerahkan semangat, ia paksakan diri bertahan lalu ngangakan mulut. Tangannya
sudah tak kuat bergerak lagi.
Melihat keadaan pamannya, Han Ping mengucurkan beberapa titik airmata.
“Huh, mengapa tak lekas minumkan pil itu ? Apakah harus tunggu racun bekerja dulu !”
Thian Hian totiang menggeram.
“Keadaan sudah begini payah, masakan belum bekerja !” sahut Han Ping.
“Siapa bilang racun sudah bekerja !” bentak Thian Hian, “tentulah Ih Thian Heng
menutuk jalan darahnya. Karena darahnya mangumpul, racun itu mudah bekerja. Jika
engkau tetap ayal meminumkan pil, mungkin racun itu akan segera bekerja !”
Diam-diam Han Ping mengakui memang Kim Loji pernah mengatakan kalau jalan
darahnya ditutuk juga oleh Ih Thian Heng. Cepat ia masukkan pil ke mulut pamannya.
Tiba-tiba Thian Hian totiang mundur sampai tiga tombak jauhnya lalu berseru : “Jangan
membikin kaget dia. Mari kita mulai bertempur !”
Sebenarnya Han Ping hendak menjaga beberapa saat dulu untuk menunggu
perkembangan pamannya setelah minum pil itu. Teapi karena didesak Thian Hian totiang,
ia penasaran juga. Pikirnya : “Hm, aku sudah merasa kalah mengapa engkau masih
mendesak saja ?”
Seketika meluaplah darah mudanya. Cepat ia berbangkit dan menghampiri ke tempat
Thian Hian totiang lalu memberi hormat.
“Mengapa engkau ini ?” tegur Thian Hian heran.
“Berkelahi adu kepandaian. tentu akan ada yang terluka atau mati. Tidak engkau tentu
aku yang binasa. Inilah penghormatanku atas budi pertolongan locianpwe !”
Han Ping marah karena terus menerus ditantang berkelahi itu. Ia seperti bertekad
hendak mengadu jiwa.
Thian Hian totiang tertawa dingin : “Bagaimana, apakah hendak mengadu jiwa dengan
aku ?”
“Engkau amat sakti, jika aku tak bertekad untuk mengadu jiwa, bagaimama aku
mampu memenangkan ?”
“Bagus !” Thian Han totiang tertawa, “dunia persilatan mengatakan aku seorang yang
selalu ingin menang. Tetapi ternyata engkau lebih sombong dari aku. Apakah benar-benar
engkau hendak mengalahkan aku ?”
“Tanpa memiliki tekad begitu . . . .” - sebenarnya ia hendak mengatakan kalau tak
mengandung tekad menang, perlu apa harus bertempur ? Tetapi tiba-tiba ia teringat akan
keadaan Kim Loji yang masih memerlukan bantuan Thian Hian. Maka ia hentikan katakatanya.
Thian Hian totang dapat juga meneropong isi hati pemuda itu. Tiba-tiba wajahnya
berubah ramah dan dengan tersenyum ia berkata : “Dalam soal 'HARUS MENANG', hari ini
aku benar-benar bertemu dengan seorang yang sama watak. Rupanya kita berdua
memang banyak sekali persamaannya.”
Ia berhenti sejenak, lalu : “jangan kuatir, keluarkan seluruh kepandaianmu. Mungkin
kepandaianmu itu belum cukup untuk melukai aku. Seranglah aku 100 jurus dulu tanpa
kubalas. Setelah 100 jurus berlangsung, obat yang ditelan pamanmu tentu sudah dapat
mencairkan racun. Kemudian kuobati lagi lukanya, kita nanti tentukan lagi apa perlu
melanjutkan pertempuran atau tidak !”
Sejenak merenung, Han Ping berkata : “Tinggal 97 jurus saja karena tadi aku sudah
menyerang tiga jurus !”
“Ya. 97 jurus !” Thian Hian tertawa.
Masih Han Ping berkata pula : “Sebenarnya aku tak suka menerima pelajaranmu
mengalah sampai sekian banyak. Tetapi karena jiwa paman berada di tanganmu, terpaksa
aku menyetujui.”
Tampaknya imam itu memang ngotot sekali hendak adu kepandaian dengan Han Ping,
ia menjawab : “Baik, dengan alasan apapun juga, asal engkau mau bertempur, jadilah !”
Han Ping tiada alasan untuk menolak lagi. Terpaksa ia maju dan mulai menyerang.
Thian Hian totiang miringkan tubuh, menghindari pukulan dan berdiri tegak lagi menunggu
serangan. Oleh karena tadi ia sudah menderita, kali ini ia tak berani berlaku ayal.
“Hm, tak apa. Masih ada 96 jurus lagi. Kalau tak kuselesaikan yang 96 jurus, dia tentu
tak mau balas menyerang,” pikir Han Ping. Ia menyerang lagi. Kali ini tinju dan kaki
serempak digunakan.
Thian Hian totiang sambil lekatkan kedua tangan pada kedua pahanya, mulai
berlincahan menghindar. Lincah, gesit dan tak terduga-duga. Sudah 45 jurus serangan
deras dilancarkan Han Ping, masih juga ia belum mampu menyentuh jubah imam itu.
Namun Han Ping masih seorang muda yang berdarah panas. Sekalipun seharusnya ia
tahu bahwa apabila ia sudah menyelesaikan 100 jurus, pamannya tentu segera diobati.
Tetapi karena 45 jurus itu ia sama sekali tak berhasil menyentuh pakaian lawan, tanpa
disadari meluaplah kemarahannya. Tiba-tiba ia loncat mundur dan lepaskan pukulan dari
jauh.
Thian Hian sendiripun hampir jemu karena serangan pemuda itu tak berarti. Ketika
melihat anak muda itu keluarkan gerakan aneh, ia duga anak itu tentu sudah dirangsang
kemarahannya.
Diam-diam ia menghitung masih ada 50an jurus. Seketika timbullah semangatnya lagi.
Saat itu ia rasakan serangkum arus tenaga melandanya. Sambil mengerahkan tenaga
dalam untuk melindungi tubuh, ia menghindar ke samping.
Setelah menampar, Han Ping terus maju menyerang. Tetapi kali ini gaya serangannya
berbeda dengan yang sudah-sudah. Sebentar gunakan jari, sebentar kaki. Cepat dan deras
sekali. Gerakan tinju dan tamparan tangannya makin menghebat. Tinjunya keras laksana
pukul besi. Tamparannya selebat hujan mencurah. Tutukan jarinya seperti mirip dengan
ilmu pelajaran Siau-lim-si.
Ternyata Han Ping mengeluarkan ilmu Kim-liong-jin atau Menangkap naga yang terdiri
dari 12 jurus. Ilmu itu memang penuh gerak perubahan yang sukar diduga.
Mau tak mau Thian Hian totiang terkejut juga. Ia merasa ancaman anak muda itu
makin terasa. Berulang kali ia kelabakan juga karena serangan Han Ping. Hampir saja ia
gerakkan tangannya untuk menangkis. Untunglah tiap kali ia menyadari perjanjiannya
sehingga tak jadi.
Dalam beberapa kejap saja, 30 jurus telah berlangsung. Sambil menyerang, Han Ping
diam-diam menghitung. Tinggal 9 jurus lagi, akan genaplah sudah 100 jurus itu.
“Imam ini benar-benar sakti sekali. Rasanya lebih sakti dari Pengemis sakti Cong To.
Jika dalam 100 jurus tak mampu mengalahkan, sungguh memalukan sekali . . . .” pikirnya.
Namun ia tak dapat menemukan daya untuk memenangkan lawan.
Sekalipun ia dapat menghafal isi kitab Tat-mo-ih-kin-keng. Tetapi karena setiap kata
dalam kitab itu mengandung arti yang luas sekali, kecuali diberi penjelasan oleh Hui Gong
taysu tentang penggunaannya. Ia hanya dapat menghafal saja tetapi tak dapat
menggunakan. Dan celakanya, makin bingung, makin hilang daya pikirnya.
Memang sesungguhnya, kepandaian Han Ping itu belum mampu untuk meneropong isi
kitab Tat-mo-ih-kin-keng. Hanya diwaktu bertempur, sering ia mendapat pikiran, teringat
lalu menggunakan salah sebuah jurus yang hebat. Tetapi itupun kalau ia sedang terdesak.
Jika bertempur dengan lawan yang tak begitu tinggi kepandaiannya, pikirannyapun sukar
terbuka.
Dalam memeras otak itu, ia tetap menyerang dan cepatlah 9 jurus terakhir itu sudah
selesai. Tiba-tiba ia berhenti terus loncat mundur.
Tubuh Thian Hian totiang yang berputar-putar seperti roda itu, pun berhenti. Serunya
tertawa : “Eh, mengapa berhenti ?”
“Sudah 100 jurus, mana boleh menyerang lagi !”
“Baru 99 jurus, masih kurang satu jurus !” Thian Hian totiang tertawa.
Sesaat timbullah rasa malu dalam hati Han Ping, pikirnya : “Dalam 100 jurus ternyata
aku tak mampu menyerang seorang yang tak membalas. Dengan begitu, apakah aku ada
muka muncul di dunia persilatan . . . .”
Tanpa baayak pikir lagi, serentak ia menyahut : “Baiklah, aku akan menyelesaikan
kekurangan sejurus itu !” - Habis berkata ia terus layangkan pukulan.
Tampaknya pukulan itu ringan sekali, macam anak-anak bermain-main. Hal itu
disebabkan karena pada saat mengangkat tinju, tiba-tiba Han Ping ingat akan keselamatan
Kim Loji. Cepat-cepat ia menarik kembali tenaga dalam yang telah disalurkan itu. Pikirnya,
biarlah jurus yang terakhir itu berlalu begitu saja dan pamannya segera diobati.
Tetapi seketika Han Ping rasakan hawa panas dalam perutnya meluap ke atas,
bagaikan air bah yang tak dapat dibendung lagi. kejutnya bukan alang kepalang !
Ternyata penyaluran hawa murni yang diberikan mendiang Hui Gong taysu, belum
meresap benar-benar ke dalam jalan darahnya sehingga belum dapat dikuasai menurut
sekehendak hatinya. Dan hawa murni itu biasanya mengumpul di bagian perut. Karena
gerakan menghantam kemudian ditarik kembali itu, hawa murni itu memancar dan meluap
ke atas kemudian memancar keluar melalui gerak pukulannya tadi . . . .
Thian Hian totiang yang berdiri beberapa meter jauhnya, bermula hanya ganda tertawa
melihat gerakan Han Ping yang tak berarti itu. Tetapi sebelum ia sempat membuka mulut,
tiba-tiba sebuah gelombang tenaga dahsyat telah mendamparnya.
Imam itu terkejut bukan kepalang !
Sebagai seorang tokoh persilatan yang tinggi ilmu kepandaiannya, tahulah ia bahwa
tenaga yang melandanya itu bukan tenaga sembarangan. Dan karena sudah tiba, ia tak
sempat lagi menghindar. Tak ada lain jalan, kecuali ia harus cepat-cepat kerahkan tenaga
dalam untuk bertahan.
Dess . . . . hembusan angin lembut dari pukulan Han Ping itu, begitu berbenturan
dengan tubuh Thian Hian, seketika berubah menjadi suatu gelombang tenaga yang luar
biasa kuatnya !
Tergetarlah hatinya dan kuda-kuda kakinyapun ikut bergoncang, darah bergolak, tubuh
terhuyung mundur lima langkah . . . .
Tetapi Han Pingpun terdengar mengerang tertahan lalu ngelumpruk terduduk di tanah.
Kiranya pertahanan Thian Hian totiang tadi telah memantulkan tenaga membal yang
amat kuat. Seketika Han Ping kesemutan tubuhnya, tulang-tulangnya seperti berhamburan
lepas. Bluk . . . . jatuhlah ia terkulai duduk.
Sedang Thian Hian totiang yang terhuyung mundur lima langkah dan kuatkan diri
berdiri tegak. Huak . . . . Ia muntah darah lalu duduk di tanah bersemedhi menyalurkan
tenaga murni untuk mengobati diri.
Berselang beberapa saat, barulah ia berhasil menenangkan darahnya yang bergolak.
Ketika memandang ke muka, dilihatnya Han Ping menggeletak tak ingat diri di tanah.
Sebenarnya imam itu marah. Tetapi melihat keadaan pemuda yang terkena lontaran
tenaga membaliknya, redalah amarahnya. perlahan-lahan ia menghampiri.
Sinar rembulan terang, meningkah wajah Han Ping. Tampak wajah pemuda itu gelap
kehijau-hijauan. Ujung mulutnya masih membekas aliran darah. Thian Hian berjongkok
memeriksa. pernapasan pemuda itu. Ia kerutkan dahi. Ternyata napas pemuda itu
berkeliaran lemah sekali.
Thian Hian memandang rembulan dan menghela napas panjang. Ia tengah
mempertimbangkan, perlu atau tidak menolong pemuda itu. Saat itu jika ia mau sekali
gerakkan tangan Han Ping tentu sudah amblas jiwanya. Untuk menghilangkan jejak, Kim
Lojipun ia bunuh sekali. Pada tempat dan suasana seperti saat itu, pembunuhan itu pasti
takkan diketahui orang.
Pukulan terakhir dari Han Ping tadi, mengejutkan Thian Hian sekali. Diam-diam ia
menimang. Pemuda yang masih begitu muda usianya, sudah memiliki pukulan dan tenaga
yang begitu sakti. Berapa tahun lagi, dia pasti sukar mendapat lawan . . . .
Tetapi dalam pada itu, diam-diam Thian Hian pun sayang sekali akan bakat Han Ping
yang amat bagus itu. Sampai lama, belum juga Thian Hian dapat mengambil keputusan,
Tampaknya memang sederhana sekali soal itu. Tetapi tak mudahlah untuk memutuskan.
Sebelum ia mendapat ketetapan tiba-tiba dari belakang terdengar suara orang tertawa
perlahan : “Apakah disitu Thian Hian toheng ?”
Thian Hian terkejut. Tetapi ia tetap berdiri di tempatnya, seolah-olah tak mengacuhkan
seruan itu. Namun diam-diam ia kerahkan tenaga dalam untuk berjaga-jaga.
Kembali terdengar suara orang tertawa meloroh : “Apakah selama ini toheng baik-baik
saja ? Sudah penuhlah masa 10 tahun menggantungkan pedang, aku belum sempat
menghaturkan selamat kepada toheng !”
Thian Hian serasa kenal dengan nada suara itu. Perlahan-lahan ia berpaling. Dua
tombak jaraknya, tampak seorang sastrawan pertengahan umur berdiri dalam pakaian
seperti seorang sastrawan.
Serentak berserulah Thian Hian totiang : “Ih Thian Heng . . . .”
Pendatang itu memang benar Ih Thian Heng.
“Benar, aku memang Ih Thian Heng. Bilakah toheng menyudahi masa penggantungan
pedang ?” orang itu atau Ih Thian Heng tersenyum seraya menghampiri perlahan-lahan.
“Sudah tiga bulan aku pergi dari Hian-bu-kiong,” sahut Thian Hian totiang.
“Selamat selamat,” seru Ih Thian Heng, “aku bakal menikmati pula bayangan kilat
pedang toheng menyilaukan dunia persilatan . . . .” merunduk kepala memandang Han
Ping, ia berkata pula dengan tertawa : “Apakah dia orang pertama yang berani menentang
pada waktu toheng terjun kembali ke dunia persilatan ?”
Masih ia melanjutkan memandang Han Ping lalu tertawa hambar : “Kali ini toheng
kembali ke dunia persilatan, apakah sudah mempunyai rencana tertentu ?”
Semula Thian Hian totiang mengira kalau pertempurannya dengan Han Ping tadi telah
diketahui Ih Thian Heng. Tetapi ternyata Ih Thian Heng hanya melihat sejenak pada Han
Ping lalu tak mengacuhkannya lagi.
Namun ketawa orang she Ih itu, membuat Thian Hian totiang tersinggung. Ia merasa
seperti ditertawakan. Dan pandangan Ih Thian Heng yang meremehkan Han Ping itu,
tentulah menganggap pemuda tak terkenal itu seorang budak yang tak berharga. Seketika
timbullah rasa malu dan penasaran dalam hati Thian Hian totiang.
“Hm, jika membiarkan anak itu hidup. Kecuali peristiwa malam ini tentu akan tersiar,
pun kewibawaanku dalam dunia persilatan tentu akan merosot. Dikalahkan oleh seorang
pemuda tak ternama, tentu merupakan suatu hinaan besar !” diam-diam ia menimang.
Seketika meluaplah nafsu pembunuhan dalam hati Thian Hian totiang. Diam-diam ia
kerahkan tenaga dalam. Menggunakan kesempatan nada saat membalikkan tubuh Han
Ping, diam-diam ia telah menutuk jalan darah maut Sin-hong pada punggung pemuda itu.
Namun perbuatan imam itu tak lepas dari mata Ih Thian Heng yang tajam. Diam-diam
ia bersyukur dalam hati. Namun lahirnya ia tetap berkata dengan tawar : “Jika toheng
belum punya rencana, aku mempunyai sebuah masalah yang hendak mohon toheng suka
membantu !”
Setelah menutuk jalan darah Han Ping, longgarlah perasaan Thian Hian. Ia anggap
peristiwa pertempuran malam itu tentu akan tertutup. tiba-tiba ia teringat sesuatu,
serunya : “Apakah sudah lama saudara datang kemari ?”
“Ah, belum lama !”
“Urusan apakah yang saudara hendak minta bantuanku itu ?” tanya Thian Hian pula.
Ih Thian Heng tertawa : “Selama ini aku selalu tak mau mengikat permusuhan dengan
orang. Permintaanku itu jelas bukan urusan berkelahi. Dalam hal ini harap totiang tak
perlu bersangsi !”
Marahlah Thian Hian totiang : “Dalam dunia persilatan, siapakah yang kutakuti ? Hm,
sekalipun bertanding dengan orang, akupun tak gentar !”
“Kepandaian silat toheng, memang yang paling kukagumi !” kata Ih Thian Heng,
“pertempuran antara toheng dengan wanita Pembenci Dunia pada 10 tahun yang lalu,
sampai kini aku masih merasa penasaran . . . .”
Wajah Thian Hian totiang terasa panas, serunya : “Kepergianku dari Hian-bu-kiong kali
ini, pertama kali ialah hendak mencari wanita Heng-thian-It-ki itu. Untuk menyelesaikan
pertempuran pada 10 tahun yang lalu. Barang siapa yang diam-diam hendak
membantunya . . . .”
“Toheng telah berturut-turut memenangkan 4 buah pertandingan. Kali ini andaikata
kalah 2 buah pertandingan, tetap tak mengurangi kemenangan toheng . . . .”
“Jika saat itu tiada orang yang diam-diam membantunya, tak mungkin wanita itu
mampu mengalahkan aku . . . .”
Ih Thian Heng trrsenyum : “Heng-Thian-It-ki telah melanggar pantangan dan menerima
seorang mund pewaris. Toheng tentu tahu hal itu, bukan ?”
“Siapa ?” seru Tiiian Hian totiang.
“Putri kesayangan dari marga Siangkwan di Kanglam, bernama Siangkwan Wan-ceng.
Kalau toheng hendak memusuhi Heng-Thian-It-ki tentu akan tambah dengan seorang
lawan yang tangguh”
Thian Hian totiang tertawa dingin : “Hanya seorang marga Siangkwan, masakan
kupikirkan ! Masakan selama aku menutup diri 10 tahun itu, suasana dunia persilatan
bertambah keruh ?”
Melihat orang sudah mulai terpikat dalam siasatnya, Ih Thian Heng diam-diam girang.
Namun ia tetap bersikap tenang dan tertawa hambar : “Benar, memang selama 10 tahun
ini dunia persilatan telah mengalami perubahan besar. Kedua Lembah dan Tiga Marga,
makin membesar pengaruhnya. Siau-lim-pay dan Bu-tong-pay yang dipandang sebagai
partai terkemuka, kini sudah mulai menurun gengsinya !”
“Bagaimana dengan nama Hian-bu-kiong ?” tanya Thian Hian totiang.
“Nama Hian-bu-kiong, sekalipun tidak lenyap tetapi tidak sehebat ketika toheng masih
berkecimpung dalam dunia persilatan dahulu. Kedua Lembah dan Tiga Marga itu makin
mendesak nama Hian-bu-kiong ke pojok !”
Huh . . . saking marahnya, Thian Hian totiang menendang tubuh Han Ping yang sudah
tak berkutik itu. Pemuda itu terlempar setombak jauhnya.
Diam-diam Ih Thian Heng memperhatikan bahwa pemuda itu sudah tak dapat begerak.
Diam-diam ia girang sekali karena mengira pemuda itu tentu mati.
Sambil mengurut jenggot, Ih Thian Heng tertawa : “Ah, ternyata perangai toheng
masih sepanas 10 tahun yang lalu. Nah, sampai jumpa lagi !” Memberi hormat, Ih Thian
Heng lalu melangkah pergi.
Thian Hian totiang hanya mendengus perlahan. Dipandangnya bayangan orang she Ih
itu lenyap dalam kegelapan. Semula ia hendak memanggilnya supaya kembali dan
menanyakan soal apa yang rnenghendaki bantuannya itu. Tetapi teringat dirinya saat itu
masih terluka dan memerlukan beristirahat, jika memanggil Ih Thian Heng kemudian
sampai bentrok, dia sendiri lah yang rugi.
Batalkan niatnya memanggil Ih Thian Heng ia berpaling memandang Han Ping yang
menggeletak tak berkutik di tanah. tiba-tiba hatinya gelisah. Anak itu tak bermusuhan
dengan dia. Bahkan dialah yang memaksa anak muda itu berkelahi. Dengan tindakannya
tadi, apakah tidak terlalu kejam . . .
Thian Hian totiang termenung-menung beberapa saat. Ia berkata seorang diri : “Telah
kututuk jalan darah maut Sin-hong. Sekalipun tabib Hoa To dan dewa turun ke dunia lagi,
tak mungkin dapat menolongnya. Ah, aku harus menolong luka beracun dari pamannya itu
agar dapat menebus kesalahanku . . . .”
Kemudian ia menghampiri Kim Loji. Karena racun sudah bekerja, saat itu Kim Loji
pingsan. Tetapi tanpa menghiraukan dirinya sedang terluka .Thian Hian totiang terus
mengangkat tubuh Kim Loji. Dengan kerahkan hawa murni, ia mulai menutuki ke 18 jalan
darah penting dan tiga buah urat nadi utama pada tubuh Kim Loji.
Kim Loji menghela napas panjang dan perlahan-lahan membuka matanya. Memandang
pada Thian Hian totiang, ia bertanya : “Mana kemenakanku itu ?”
Thian Hian totiang menghela napas perlahan, sahutnya : “Mati !”
Kim Loji kaget seperti dipagut ular dan serentak ia loncat bangun : “Apa ?”
Berkata Thian Hian totiang denean dingin : “Lukamu baru sembuh, tak boleh kaget.
Lekas duduk dan salurkan darah. Aku masih perlu melenyapkan racun dalam tubuhmu !”
Kim Loji seorang jago tua yang banyak pengalaman. Cepat ia dapat menguasai
ketegangan hatinya dan duduk bersemedhi sambil bertanya : “Apakah dia terluka di
tangan totiang ?”
Sambil pejamkan mata, imam itu menyahut : “Benar aku telah kelepasan tangan
sehingga menyebabkan kematiannya”
“Ah, hal itu tak dapat menyalahkan totiang, bertanding adu kepandaian, kaki dan
tangan memang tak bermata. Salahnya sendiri mengapa kepandaiannya masih dangkal !”
Tiba-tiba Thian Hian totiang membuka mata dan memandang lekat pada Kim Loji :
“Sudah berpuluh tahun aku berkelana dalam dunia persilatan dan banyaklah orang yang
kuketahui. Ingin kuperingatkan kepadamu, jika engkau berani bertingkah di hadapanku,
berarti engkau cari mati sendiri . . . .”
Sejenak berhenti ia berkata pula : “Aku sudah berjanji pada anak itu untuk mengobati
lukamu. Sekarang walaupun dia sudah mati, akupun tetap akan memenuhi janjiku !”
“Kalau totiang takut setelah sembuh aku nanti akan membalaskan sakit hatinya, lebih
baik totiang bunuh aku saja sekarang !”
Mata imam itu berkilat-kilat memandang Kim Loji, katanya dengan dingin : “Sekalipun
membunuhmu untuk menutup mulut, tetapi pun harus tunggu sampai lukamu sembuh !”
Tergetar hati Kim Loji, diam-diam ia merenung kata-kata imam itu. Kalau imam itu
hendak membunuhnya karena hendak melenyapkan mulut kemungkinan imam itu tentu
menggunakan cara licik untuk mencelakai Han Ping. Seketika timbullah rasa dendam
dalam hati Kim Loji. Tetapi ia menyadari bahwa kepandaiannya masih kalah jauh sekali
dengan imam itu. Ia harus berusaha untuk mencari siasat.
“Terpaksa harus kulakukan pengobatan dengan tusuk jarum. Dengan gunakan jarum
emas untuk mengenyahkan hawa dalam tubuhmu, barulah racun itu dapat keluar. Kirakira
memakan waktu sehari semalam. Tetapi aku tak mempunyai waktu untuk rnenunggu
pengobatanmu itu. Setelah kutusuk dengan jarum emas, engkau bawa suratku menuju ke
Hian-bu-kiong. Setelah engkau memberitahukan tentang lukamu itu, tentu akan segera
ada orang yang mengobatimu !”
Kim Loji tertawa : “Sekalipun lukaku sembuh tetapi seumur hidup tak mungkin aku
keluar dari Hian-bu-kiong lagi !”
“Lebih baik daripada mati !” Thian Hian totiang tertawa dingin.
Kim Loji tahu bahwa percuma saja ia menentang. Thian Hian totiang tentu akan
membunuhnya. Ia pejamkan mata tertawa : “Hian-bu-kiong merupakan tempat keramat
dalam dunia persilatan. Mati disana, pun tak kecewa !”
Rupanya Thian Hian totiang tak mau banyak bicara lagi. Ia mengeluarkan 3 batang
jarum emas lalu menusuk tiga jalan darah pada tengkuk perut dan punggung Kim Loji.
Kemudian mengambil 3 batang jarum lagi dan menusuk di tubuh Kim Loji. Dalam
beberapa kejap, tubuh Kim Loji berhias 12 batang jarum. jarum-jarum itu tetap
ditinggalkan pada tubuh Kim Loji.
Thian Hian mengambil 2 butir pil, diberikan Kim Loji, ujarnya : “Pengobatan dengan
jarum ini, rasanya dalam dunia persilatan belum pernah kudengar orang yang memiliki
ilmu itu. Jangan coba bergerak kemana-mana. Akan kucarikan seekor kuda . . . .” imam itu
terus loncat pergi.
Tak berapa lama terdengar derap kaki kuda bersama Thian Hian totiang. Entah dari
mana imam itu mendapatkannya.
Kim Loji heran meiihat punggung kuda itu tak berpelana. Ia kerutkan dahi dan bertanya
: “Apakah engkau menghendakl aku menunggang kuda itu ?”
Thian Hian totiang tertawa : “Akan kuikat tubuhmu di atas punggung kuda agar jangan
sampai jatuh. Sesudah makan dua butir pil kim-tan, dalam sehari semalam engkau takkan
lelah. Asal engkau ingat bahwa jangan sampai lebih dari 12 jam engkau harus tiba di Hianbu-
kiong, engkau tentu akan selamat tiba disana !”
“Tak perlu diikat, aku masih dapat menunggang sendiri,” kata Kim Loji.
“Tetapi jarum pada tubuhmu itu belum dapat kuambil. Separuh tubuhmu masih lemas.
Jika tak diikat tentu tak dapat duduk tegak !”
Tanpa mendapat persetujuan Kim Loji, Thian Hian totiang terus mengangkat Kim Loji
diletakkan di atas punggung kuda lalu diikatnya dengan seutas tali sutra, ujarnya : “Mati
atau hidup terserah pada nasibmu sendiri. Jika dalam 12 jam engkau tak tiba di Hian-bukiong,
sebelum racun dari Ih Thian Heng itu bekerja, ke 12 batang jarumku yang
menancap pada jalan darah di tubuhmu itu tentu akan berkisar tempat dan pasti matilah
engkau saat itu juga !”
Kim Loji hanya menghela napas.
Thian Hian tertawa : “Mengapa engkau menghela napas ? Sekalipun perjalanan itu
tampaknya sukar. tetapi kuperhitungkan delapan puluh persen engkau tentu dapat
mencapai Hian-bu-kiong !” habis berkata ia terus menepuk pantat kuda. Kudapun segera
mencongklang pesat.
Karena tangan Kim Loji diikat dengan tali kendali maka ia masih dapat menguasai arah
lari kuda. Cepat sekali kuda itu sudah lari 20 an li. Melihat kuda basah keringat, Kim Loji
kendorkan kendali supaya mengurangkan larinya.
Saat itu sisa rembulan masih memancar di langit barat. Hari sudah hampir fajar. Ia
menengadah ke udara menarik napas. Seketika tergugahlah semangat keperwiraannya.
Dua butir airmata menitik turun. Air mata pahlawan . . .
Pada saat hatinya tercengkam dalam kedukaan dan penasaran, tiba-tiba ia terkejut
mendengar seseorang memanggilnya dari arah belakang : “Adakah paman tahu jalan ke
Hian-bu-kiong ?”
“Hai, apakah engkau Ping ji ?” teriaknya kaget.
Nada suara orang yang tak asing baginya itu menyahut : “Benar !”
“Ping Ji, apakah kita sedang bermimpi ?”
“Jangan bersedih hati, paman. Kita masih hidup tak kurang suatu apa,” buru-buru Han
Ping menghiburnya.
“Bukankah engkau telah dipukul mati oleh Thian Hian totiang ?”
“Benar, aku terkena tenaga balik dari imam itu sehingga pingsan. Kaki tangan dan
tulang-tulang seperti copot. Tetapi pikiranku masih sadar, hanya tak kuat bicara saja.
Mungkin imam itu mengira aku sudah mati lalu menendangku sampai terlempar tujuh
delapan meter . . . .”
“Apakah engkau tak terluka ?”
Han Ping tertawa : “Di luar dugaan tubuhku yang sudah tak dapat berkutik, malah
dapat melancar darahnya karena tendangan itu !”
“Hai, benarkah itu ?” Kim Loji terkejut.
“Benar, paman. Tetapi walaupun darahku sudah melancar iagi, aku tetap tak berani
bergerak dulu karena hendak mendengarkan pembicaraan antara imam itu dengan Ih
Thian Heng. Setelah Ih Thian Heng pergi, Thian Hian segera menolong paman. Karena
kuatir dia hendak mencelakai paman buru-buru kukerahkan tenaga dalam untuk
mengobati lukaku. Eh, aneh. Lukaku hampir sembuh, semangatku penuh lagi, bahkan
lebih penuh dari sebelum terluka . . .
Berserulah Kim Loji dengan girang : “Hidup lebih dari 50 tahun, baru pertama kali ini
aku menyaksikan suatu peristiwa yang seaneh dirimu. Adakah ayah toako dan samte yang
melindungi dirimu ?”
“Benar, paman. Aku juga heran atas peristiwa itu. Lama kupikir, tetap belum ketemu
sebab-sebab nya . . .” kata Han Ping lalu melanjutkan ceritanya : “aku tetap
menggeleletak di belakang Thian Hian totiang, mengawasi dia mengobati paman dengan
tusuk jarum. Ketika kulihat imam itu bersikap kurang ajar terhadap paman, meluaplah
kemarahanku. Tetapi mengingat racun dalam tubuh paman itu kecuali dia tiada lain orang
lagi yang dapat mengobati, terpaksa kutekan kemarahanku. Kemudian pada saat dia
menaikkan paman ke atas kuda dan suruh paman menuju ke Hian-bu-kiong, diam-diam
aku segera mengikuti paman.”
“Ping-ji, dimanakah engkau sekarang ?” tiba-tiba Kim Loji teringat.
“Aku membonceng di kuda ini !”
Kim Loji perlahan-lahan berputar ke belakang tetapi Han Ping tak kelihatan. Sudah
tentu ia heran sekali : “Ping-ji, dimana engkau ?”
“Bonceng di ekor kuda !”
Kim Loji tertegun, serunya : “Masakan bulu ekor kuda yang lemas dapat engkau naiki ?”
“Ekor kuda kupegang dengan tangan, bukan kunaiki !”
Makin menjadi-jadi keheranan Kim Loji, pikirnya : “Tubuh orang tentu berat tetapi
mengapa tak mengurangkan kepesatan lari kuda dan mengapa sama sekali aku tak
merasakan gandulan tubuhnya ? Dan lagi betapapun tinggi kepandaian seseorang, tetapi
tak mungkin dapat sekian lama menahan napas . . . .”
Han Ping tertawa : “Sebenarnya aku hendak duduk di belakang paman. Tetapi karena
punggung paman masih tertancap jarum tusukan, aku kuatir nanti menyentuh jarum itu.
Maka terpaksa aku mencekali ekor kuda saja !”
“Dengan mencekal ekor kuda dan lari sekian li jauhnya, apakah engkau tak lelah ?”
“Bermula kukira tentu letih. tetapi setelah lari 10an li, ternyata tak merasa letih sama
sekali !”
Dengan paksakan diri Kim Loji berputar tubuh. Dilihatnya Han Ping mencekal ekor kuda
dengan kedua tangannya, tubuhnya direbahkan membujur. Kakinya terpisah beberapa
centi dari tanah. Seakan-akan sedang berbaring di atas papan saja.
“Apakah engkau sungguh-sungguh tak merasa letih ?” tanya Kim Loji tertawa.
“Sama sekali tidak !”
“Ping ji, dengan cara apa Thian Hian totiang melukaimu ?”
“Dengan tenaga dalam membalik !”
“Apakah tidak menggunakan cara-cara yang ganas ?”
“Tidak !” sahut Han Ping.
“Apakah Ih Thian Heng mengetahui dirimu ?”
“Melihat juga tetapi dia kira aku sudah mati !”
Kim Loji perlahan-lahan berputar tubuh !agi. Hatinya merasa longgar sekali. Ia getarkan
kendali dan mencongklangkan kuda lagi. Han Ping tetap membonceng di belakang dengan
mencekal ekor kuda.
Karena pengalamannya dalam dunia persilatan amat luas, maka Kim Loji tak asing lagi
dengan letak tempat Hian-bu-kiong atau yang disebut It-kiong, Ji-koh atau kedua Lembah
Raja Setan dan Seribu Racun serta ketiga Marga.
Seketika timbul semannat hidup dalam sanubari Kim Loji. Hal itu terdorong oleh adanya
Han Ping yang ternyata masih hidup tak kurang suatu apa. Dia merasa anak itu memang
mempunyai rezeki besar. Karena setiap tertimpa bahaya bukan saja selalu dapat terhindar
pun bahkan malah menambah maju kepandaiannya dan memperbanyak pengalamannya.
Cita-cita Han Ping untuk membalas sakit hati dan melenyapkan Ih Thian Heng kiranya
bukan hal yang mustahil. Ia merasa berkewajiban untuk menyumbangkan pengalamannya
yang luas guna membantu anak itu. Setelah itu barulah ia dapat mati dengan meram . . .
Merenung hal itu, makin besarlah nyala semangat hidupnya. Ia harus lekas-lekas tiba di
Hian-bu-kiong untuk mengobati lukanya itu.
Kira-kira dua puluh li jauhnya haripun sudah fajar. Matahari mulai muncul di ufuk timur.
Kim Loji hentikan kudanya. Han Pingpun cepat lepaskan cekalannya lalu melesat ke
muka untuk menahan kuda : “Menempuh perjalanan satu malam, paman tentu lapar. Aku
hendak mencari makanan dulu untuk paman barulah kita nanti lanjutkan perjalanan lagi !”
Kim Loji tertawa. Ia mengatakan memang lapar, begitu juga kuda itu. Maka lebih baik
mencari tempat untuk beristirahat.
Sambil melepaskan tali pengikat tubuh Kim Loji, Han Ping bertanya : “Paman,
bagaimanakah dengan pribadi Thian Hian totiang itu ? Baik atau jahat ?”
“Pribadi Thian Hian totiang itu sukar ditentukan. Perwira pun jahat. Tergolong Putih
tetapi pun tergolong Hitam . . .”
Sambil memanggul tubuh Kim Loji, Han Ping menghela napas : “Kepergian kita ke Hianbu-
kiong jika memang dapat menyembuhkan paman, itu sih tak mengapa. Tetapi kalau
imam itu hanya main-main sekedar untuk mempertangguhkan jiwa paman, hm, dia harus
mengganti dengan jiwanya !”
Kim Loji tertawa : “Nak, masalah dalam dunia persilatan tidak hanya mengandalkan
keberanian dan kegagahan sesaat. Tetapi yang mengandalkan ketajaman melihat gelagat
dan suasana, memang sedikit sekali. Banyak nian pertikaian dan dendam kesumat dari
dua orang yang saling bersumpah tak mau hidup bersama, tetapi dalam suatu saat, tibatiba
mereka dapat akur dan menjadi sahabat. Tetapi pun banyak sahabat karib pada
waktu menghadapi saat yang genting, berbalik menjadi musuh . . . .”
“Paman, setelah selesai membalaskan sakit hati ayah bundaku, jangan kita
berkecimpung dalam dunia persilatan lagi. Kita cari sebuah dusun kecil dan hidup tentram
disitu. Menuntut penghidupan jual besi saja . . . .”
Kim Loji menatap wajah pemuda itu. Dalam waktu beberapa bulan saja, rupanya
pemuda itu sudah bosan dengan kehidupan dalam dunia persilatan dan jemu dengan
manusia. Kalau tidak masakan semuda itu umurnya sudah mempunyai cita-cita
mengasingkan diri hidup tentram . . .
Di tepi jalan tampak sebuah pondok yang dilingkungi dengan pagar bambu. Han Ping
segera membawa pamannya kesitu.
Tetapi Kim Loji menyatakan, lebih baik jangan membikin kaget orang : “Cari saja
tempat yang sunyi dan tinggalkan aku disitu. Setelah engkau membawa makanan, kita
makan seadanya lalu berangkat lagi.”
“Tetapi tubuh paman penuh dengan jarum, bagaimana aku tega meninggalkan paman
seorang diri ?” bantah Han Ping.
“Tetapi bukankah engkau hanya pergi sebentar saja ? Masakan akan berjumpa dengan
peristiwa lain lagi”
Akhirnya Han Ping menurut. Setelah meletakkan Kim Loji di bawah pohon besar kirakira
10an dari jalan besar. Kemudian ia lari menuju ke rumah pondok itu. Setelah meminta
makanan dari rumah itu, ia terus kembali tetapi astaga Kim Loji lenyap !
Seketika itu meluaplah kedukaan dan kemarahan Han Ping. Makanan yang dibawanya
itu terus dilemparkan ke atas pohon ! Byur . . . taburan nasi itu telah merontokkan daundaun
pohon sehingga berguguran jatuh ke tanah.
Sekonyong-konyong terdengar orang tertawa gelak-gelak. Sambil membopong Kim Loji.
Pengemis sakti Cong To loncat turun dari atas pohon.
Melihat itu lenyaplah kemarahan Han Ping ujarnya : “Ah, tak kira di sini akan berjumpa
dengan locianpwe pula !”
Pengemis sakti tertawa : “Memang pengemis tua sengaja mencarimu, bukan karena
kebetulan bertemu !”
Han Ping terkejut dan segera menanyakan keperluan pengemis sakti itu.
Pengemis sakti yang biasanya selalu bersikap acuh tak acuh, saat itu tampak merenung
dengan serius. Beberapa saat kemudian baru ia berkata : “Ada sebuah soal penting yang
hendak kuberi tahukan kepadamu !”
“Harap locianpwe suka mengatakannya. Asal perlu bantuanku, aku tentu akan
membantu. Tetapi kuminta waktu dua hari lagi. Ialah setelah kuantarkan pamanku
berobat ke Hian-bu-kiong !” kata Han Ping.
Pengemis Sakti gelengkan kepala : “Hian-bu-kiong telah bersiap diri. Setiap imam dari
biara Hian-bu-kiong itu, sama memiliki kepandaian tinggi. Engkau seorang diri hendak ke
sana, tentu sukar menghadapi mereka . . . .”
“Tetapi takkan menantang mereka bertempur melainkan hendak minta obat untuk
paman.”
“Semula memang ada urusan penting yang akan kubicarakan kepadamu. Tetapi
keadaan saat ini lebih penting membantumu lebih dulu ke Hian-bu-kiong. Setelah
pamanmu sembuh, baru kita berunding lagi !” tukas Pengemis Sakti Cong To.
Bermula Han Ping hendak menolak. Tetapi mengingat kemungkinan timbulnya
pertentangan dengan kawanan imam Hian-bu-kiong, bantuan Cong To akan menambah
kekuatan yang amat besar.
Serta merta Han Ping menjura menghaturkan terima kasih atas kesediaan Pengemis
sakti itu.
“Waktu amat berharga, sekarang juga kita harus berangkat lagi !” seru Cong To.
Han Ping gugup dan minta waktu sebentar untuk mencarikan makanan guna Kim Loji.
Tetapi pengemis itu mengatakan tak perlu karena ia sudah membekal makanan.
Setelah menerima Kim Loji, Han Ping lalu menaikkannya di atas kuda. Tiba-tiba ia
bertanya kepada pengemis sakti : “Tubuh pamanku, penuh ditancapi jarum emas. Dia
sukar duduk tegak. Apakah perlu harus diikat ?”
“Kalau tidak diikat bagaimana bisa mengelabui orang Hian-bu-kiong !” sahut Cong To.
Demikianlah, tetap didudukkan di atas punggung kuda dengan diikat tubuhnya. Cong
To dan Han Ping menggunakan ilmu lari cepat mengikuti di belakang kuda. Han Ping
heran mengapa kakinya terasa amat ringan sekali.
“Hai, ilmu apakah yang engkau gunakan itu ?” tegur Pengemis sakti yang heran atas
kepesatan lari Han Ping.
“Entahlah, aku sendiri juga tak jelas !”
Cong To kerutkan dahi. Ia tahu anak muda itu tentu tak mau mengatakan. Diapun tak
mau mendesak lagi.
Cepat sekali kuda itu sudah lari sampai empat lima belas li. Dan Han Ping tetap merasa
heran mengapa larinya makin lama makin pesat dan tak terasa letih sama sekali.
Untuk mencapai Hian-bu-kiong dengan cepat, mereka tidak mau berhenti dan hanya
makan rangsum kering yang dibekal Pengemis Sakti Cong To.
Tepat pada saat matahari silam ke barat, tibalah mereka di biara Hian-bu-kiong.
Sebuah bangunan gedung yang megah dan besar, dibangun di atas sebuah tanah lapang
di tengah hutan bambu seluas beberapa li.
Setelah hentikan kuda yang membawa Kim Loji, berkatalah Cong To kepada Han Ping :
“Turut yang kuketahui, kawanan imam dari Hian-bu-kiong itu jarang sekali keluar. Mereka
tak mau berhubungan dengan orang luar. Tetapi kepada orang yang berani gegabah
masuk ke dalam sarang mereka, tentu takkan dibiarkan hidup. Banyak sudah tokoh-tokoh
dunia persilatan yang mengunjungi Hian-bu-kiong, tetapi tiada seorang pun yang tahu
keadaan tempat itu. Sampai detik ini, tiada pernah orang yang masuk ke Hian-bu-kiong
dapat keluar lagi dengan masih bernyawa. Oleh karena itu Hian-bu-kiong merupakan
sebuah biara yang amat menyeramkan . . . .”
“Lalu kita akan masuk ke sana atau tidak ?” tanya Han Ping agak gelisah.
Pengemis sakti tertawa : “Jika kita ikut masuk, mereka tentu tak mau mengobati Kim
Loji !”
“Tetapi kalau hanya paman yang masuk seorang diri, apakah tidak berbahaya ?” Han
Ping makin cemas.
Pengemis sakti Cong To tertawa : “Thian Hian tojin, meskipun bertindak menurut
kemauannya sendiri tetapi dia berdiri di antara aliran Putih dan Hitam. Dan pada
hakekatnya dia adalah seorang pendiri sebuah aliran cabang persilatan. Tentu takkan
ingkar janji. Kalau dia mengirim Kim Loji ke biara, tentu mempunyai kemampuan untuk
mengobatinya. Kita tunggu saja di luar. Setelah hari gelap barulah kita berusaha untuk
menolongnya. Hanya dengan cara begitu, tiada lain jalan lagi !”
“Jika imam Hian-bu-kiong tak mengobati luka paman, atau jika mereka melakukan
sesuatu tindakan yang menghina . . . .”
Cong To tersenyum : “Mengobati tentu akan mengobati. Tetapi sikap menghina, tentu
juga akan diterima. Minta tolong orang mengobati luka, hal itu sukar terhindar . . . .”
“Jika mereka mencelakai atau memenjarakan paman, bagaimanakah kita akan
mencarinya ?” tanya Han Ping pula.
“Dalam dunia persilatan memang tak terlepas dari sedikit hujan angin bahaya. Turut
pendapat pengemis tua, kawanan imam Hian-bu-kiong tentu tak mengira, kalau Kim Loji
masih mempunyai bala bantuan. Dan lagi kedatangan Kim Loji itu tentu akan menjadi
pembicaraan ramai dalam biara. Jika mereka sampai menahan Kim Loji, tentu juga mudah
diketahui. Yang menjadi keprihatinan kita, ialah kita bakal mengikat permusuhan dengan
Hian-bu-kiong, yang berarti akan tambah seorang musuh yang tangguh . . . .”
“Karena urusan sudah sampai begini, kita tak dapat berbuat apa-apa lagi. Jika
locianpwe takut bermusuhan dengan Thian Hian totiang, biarlah aku seorang diri saja yang
masuk . . . .”
“Jika takut bermusuhan dengan Thian Hian totiang, masakan aku menemani engkau
datang kemari . . . . !” tukas Pengemis sakti Cong To. Kemudian ia berkata pula, “lebih
baik kita jangan membuang waktu agar luka pamanmu jangan sampai kasip.”
Habis berkata ia terus mencambuk pantat kuda. Kuda itu cepat lari menuju ke Hian-bukiong.
Setelah kuda mendekati biara, Pengemis sakti mengajak Han Ping bersembunyi dalam
gerumbul semak.
Ketika Kim Loji dengan kudanya tiba di biara, pintu biara yang semula tertutup rapat,
tiba-tiba terbuka lebar. Lima lelaki bersenjata pedang berbaris menghadang di ambang
pintu. Salah seorang segera mencekal kendali kuda Kim Loji seraya membentaknya :
“Siapakah engkau ? Mengapa berani masuk ke Hian-bu-kiong ?”
“Aku telah ditolong Thian Hian totiang dengan pengobatan tusuk jarum. Karena masih
ada lain urusan, totiang segera mengirim aku kemari supaya diberi pengobatan lebih lanjut
!”
Melihat tubuh Kim Loji benar tertancap jarum emas, orang itu segera menyisih ke
samping memberi jalan.
Ketika Kim Loji masuk ke dalam, Pengemis sakti mengetahui kalau Han Ping makin
tegang. Ia menggamit ujung baju anak muda itu, katanya : “Segala hal yang terjadi di
dunia persilatan, tak ada yang tak berbahaya. Kalau engkau begitu tak dapat menguasai
perasaanmu, mana engkau mampu melakukan usaha besar !”
Pengemis sakti itu mengambil buli-buli araknya lalu meneguk beberapa kali, katanya
pula : “Mari kita cari tempat beristirahat untuk memulangkan semangat kita !”
Han Ping terpaksa mengikuti Cong To. Duduk di bagian dalam dari semak yang lebat.
Kembali Cong To meneguk arak beberapa kali lalu tertawa : “Dari manakah engkau
memperoleh pedang Pemutus Asmara itu ?”
Han Ping tak sangka kalau mendapat pertanyaan semacam itu. Ia tertegun lalu
menyahut : “Pedang itu adalah pemberian dari seorang locianpwe. Mengapa locianpwe
mendadak menanyakan hal itu”
“Bukankah pedang itu milik seorang padri Siau-lim ?” tanya Cong To pula.
Han Ping makin heran. Pikirnya, mengapa pengemis itu tahu tentang pedang Pemutus
Asmara. Lalu ia menanyakan : “Bagaimana locianpwe tahu hal itu ?”
Padri Siau-lim-si semua tahu bahwa pedang itu adalah milik gereja mereka. Pula
mereka tahu kalau pedang itu jatuh ke tanganmu. Kini Siau-lim mengutus sejumlah besar
anak muridnya untuk mengejar jejakmu. Mereka hendak mengambil pulang kotak pedang
itu !”
“Oh, begitu . . .”
“Dan lagi mereka sudah mengetahui bahwa engkau berada di sekitar sini lalu kirim
orang melapor pada gereja di Kosan. Tentu mereka segera akan mengirim bala bantuan
besar. Rupanya mereka sudah bertekad harus dapat merebut kembali pedang Pemutus
Asmara itu !”
Han Ping mendengus perlahan. Sambil menengadah memandang langit, pikirannya
melayang-layang
“Pedang itu milik mendiang Hui Gong taysu. Seharusnya memang menjadi milik Siaulim-
si. Tetapi Hui Gong taysu secara pribadi telah memberikan kepadaku. Adakah pedang
itu perlu kukembalikan kepada gereja ?” pertanyaan itu, tak dapat Han Ping mengambil
keputusan.
Melihat Han Ping berdlam diri, Pengemis sakti tersenyum : “Apakah sesungguhnya
pedang pusaka itu milik gereja Siau-lim-si atau bukan ?”
Sahut Han Ping : “Walaupun menjadi milik seorang padri besar dari Siau-lim-si, tetapi
tak dapat dianggap sebagai milik gereja . . . .”
“Hampir separuh hidup kuhamburkan dalam dunia persilatan. Beberapa bahasa daerah
dari utara sampai selatan, aku tahu semua. Tetapi aneh, mengapa aku tak mengerti apa
yang engkau maksudkan tadi ?”
“Walaupun pedang Pemutus Asmara itu menjadi milik seorang locianpwe Siau-lim-si,
tetapi benda itu termasuk milik pribadi. Sebelum menutup mata, beliau telah memberikan
pedang itu kepadaku. Jadi jelas, pedang itu adalah pemberian pribadi dari seorang padri
Siau-lim-si kepadaku. Sekarang padri-padri Siau-lim-si hendak mencari guna meminta
kembali pedang itu. Adakah aku harus mengembalikannya atau tidak ?” Han Ping balas
bertanya.
Cong To kerutkan dahi : “Sudah berpuluh tahun Siau-lim-si tak pernah menggerakkan
murid-murid nya secara besar-besaran seperti kali ini. Dan yang diutus keluar itu, adalah
para padri yang berilmu tinggi. Jelaslah sudah, kalau gerakan mereka untuk merebut
pedang itu kembali sudah tak boleh ditawar lagi . . . .”
Berhenti sejenak, pengemis sakti itu melanjutkan pula : “Kekuatan Siau-lim-pay amat
besar. Dalam dunia persilatan, dewasa ini menempati kedudukan yang terkemuka sendiri.
Lebih baik engkau terang-terangan menemui pimpinan mereka untuk menjelaskan duduk
perkaranya. Mungkin dapat menghindarkan salah paham !”
Han Ping merenung, lalu menghela napas : “Bukan karena aku temaha pada pedang
pusaka itu. Tetapi benar-benar pedang itu adalah pemberian dari seseorang yang
menaruh kepercayaan kepadaku. Bagaimana dengan gampang akan kuserahkan lagi
kepada lain orang ?”
“Apakah pedang itu sekarang berada padamu ?” beberapa saat kemudian Cong To
bertanya.
Han Ping segera mengeluarkan pedang Pemutus Asmara : “Inilah pedang itu ! Tetapi
sayang sarung pedang telah dirampas orang !”
Setelah memeriksa pedang itu beberapa saat Cong To tertawa : “Mungkin tujuan para
padri Siau-lim-si itu justru pada sarung pedang. Jika engkau tak ingin bentrok dengan para
padri Siau-lim-si, baiklah engkau memberitahukan dimana adanya sarung pedang itu
kepada mereka . . . .”
Han Ping gelengkan kepala : “Tidak ! Sama sekali tak keberatan menyerahkan kotak
pedang itu tetapi aku tak mau menodai nama baik orang yang memberikan pedang itu.
Karena bukan hasil yang kucuri, dengan hak apa para padri Siau-lim-si hendak meminta
kembali padaku ?”
Diam-diam Cong To membenarkan pendirian Han Ping. Karena menyerahkan pedang
itu kepada para padri Siau-lim-si berarti suatu pengakuan bahwa anak muda telah
mencuri.
Cong To agak bingung juga. Ia menghela napas : “Menurut ceritanya, pedang itu
membawa sial. Beberapa orang yang pernah menjadi pemiliknya, semua telah mengalami
akibat yang mengenaskan. Entah apa sebab, masih ada saja orang yang berusaha untuk
mendapatkannya . . . .”
Belum selesai bicara, tiba-tiba serangkum angin melanda. Sebagai seorang yang
berpengalaman, Cong Topun cepat berbangkit dan menamparkan tangan kirinya. Sedang
tangan kanan cepat mencengkram pedang Pemutus Asmara !
Gerakan pengemis itu teramat cepatnya Tetapi ternyata pendatang itu lebih hebat lagi.
Sekali berkelebat, tahu-tahu pedang pusaka itu sudah berada di tangan orang itu.
Ah, ternyata pendatang itu seorang nenek tua baju hitam yang mengenakan kerudung
kepala sutera hitam. Sambil mencekal pedang Pemutus Asmara, ia tengah memeriksa
dengan teliti.
Pengemis sakti Cong To yang luas pengalaman tetap tak kenal siapa nenek itu. Mau tak
mau ia tertegun heran.
“Hai, siapakah engkau ?” teriak Han Ping dengan marah.
Tegang sekali nenek itu mengangkat kepala lalu lemparkan pedang Pemutus Asmara ke
tanah : “Lihat-lihat kan boleh, toh ?” ia terus berputar tubuh dan melangkah pergi. Pada
lain kejap sudah lenyap di dalam hutan.
Setelah nenek itu lenyap barulah Han Ping termenung-menung. Ketika beradu pandang
dengan nenek itu, ia tak dapat mengingat bagaimana wajah nenek itu. Tampaknya
gerakan nenek itu acuh tak acuh dan perlahan sekali tetapi sesungguhnya luar biasa
cepatnya.
Tiba-tiba Han Ping teringat akan ajaran mendiang Hui Gong taysu dalam kitab Tat-moih-
kin-keng. Ada dua baris kata yang mengatakan : “Beribu perubahan dalam kelambatan.
Lambat tetapi sesunguhnya amat cepat sekali . . . . pikiran mendua, sekali gerak dua
serangan . . . .”
Lama benar Han Ping tak jelas apa yang tersembul dalam pelajaran itu. Tetapi setelah
berhadapan dengan nenek tadi, tiba-tiba pikirannyapun terbuka.
Melihat Han Ping termenung-menung, Cong To segera memungut pedang Pemutus
Asmara itu lalu diberikan kepada anak muda itu.
Han Ping gelagapan. Sambil menyambuti, ia bertanya, apakah pengemis itu kenal akan
nenek tadi.
“Tidak kenal,” sahut Cong To.
Han Ping menghela napas : “Dunia persilatan memang benar-benar penuh dengan
tokoh-tokoh sakti, Kesaktian nenek tadi mungkin tidak di bawah locianpwe dan Ih Thian
Heng . . . .”
“Engkau kenal padanya ?” tegur Cong To.
“Sekalipun tidak kenal tetapi kutahu jelas kepandaiannya amat sakti !”
“Bagaimana bisa diketahui ?” tanya Pengemis sakti. Diam-diam ia memang mengakui
kepandaian nenek itu lebih unggul dari dirinya.
“Apakah locianpwe memperhatikan pakaian dan wajahnya ?”
“Pakaiannya serba hitam . . .” baru Cong To menjawab begitu tiba-tiba ia tertegun. Ia
tak ingat bagaimana wajah nenek itu. Sambil batuk-batuk ia berkata pula : “Tetapi
wajahnya aku tak jelas.”
“Dia tak jauh berdiri di depan kita, tetapi kita tak dapat meiihat jelas wajahnya. Apakah
kesaktiannya itu tidak membuat kita kagum ?” kata Han Ping.
Cong To kerutkan alis dan termenung-menung.
Han Pingpun tak mau membicarakan nenek itu lebih lanjut. Ia segera duduk
bersemedhi, memusatkan pikiran dan semangatnya untuk memecahkan dua baris katakata
dalam kitab Tat-mo-ih-kin-keng : “Beribu perubahan dalam kelambatan, lambat tetapi
cepat hati mendua, sekali gerak dua serangan . . .”
Matahari mulai terbenam dan cuacapun makin gelap. Tampak wajah Han Ping mulai
mengembang seri gembira. Cong To tak mau mengganggunya.
Tiba-tiba beberapa burung melayang di udara. Cong To menggamit Han Ping dan
membisiki : “Ada orang akan datang !” ia terus menyelinap ke dalam semak.
Han Ping yang belum sempat bersembunyi, tiba-tiba mendengar suara orang berkata :
“Jika toheng tak percaya, silahkan memeriksanya !”
Terdengar seseorang lain menyahut : “Hal ini besok pagi kita bicarakan lagi. Aku
hendak kembali ke biara melihatnya !”
Han Ping terkejut. Jelas yang bicara itu adalah Thian Hian totiang. Mengapa imam itu
buru-buru pulang ?
Kata orang yang pertama tadi : “Hian-bu-kiong selama ini tak menerima orang luar.
Akupun tak berani memaksa melanggar pantangan itu. Besok siang, kutunggu toheng di
luar biara !”
Tetapi Thian Hian menolak : “Aku tak senang segala macam kericuhan. Lebih baik
engkau tinggalkan tempat ini saja !”
Terdengar derap kaki orang makin lama makin dekat. Diam-diam Han Ping bersiap-siap.
Orang yang pertama bicara tadi berkata lagi : “Walaupun toheng tak menginginkan
harta permata dalam kuburan itu, tetapi apakah toheng juga tak mempunyai minat akan
pusaka Tenggoret Kumala dan Kupu-Kupu Emas itu ?”
Derap kaki berhenti dan terdengar Thian Hian totiang bersuara : “Apakah benar-benar
kedua benda itu berada dalam kuburan itu ?”
“Hal ini sudah pasti, tak mungkin salah lagi !” kata orang itu dengan yakin.
Thian Hian berdiam diri beberapa jenak, lalu berkata : “Baik, biar kupikir semalam ini.
Besok pagi akan kuberimu jawaban !”
Terdengar derap kaki lagi. Makin lama makin jauh. Tentulah orang yang bicara dengan
Thian Hian itu tinggalkan tempat itu.
Tiba-tiba timbul suatu pikiran pada Han Ping : “Hm, jika aku dapat rneringkus Thian
Hian totiang, tentulah akan dapat memaksa kawanan imam dalam Hian-bu-kiong itu untuk
mengobati pamannya !”
Belum ia mengambil putusan, tiba-tiba terdengar suara jeritan ngeri dari jauh.
“Hai, siapakah itu . . . . !” teriak Thian Hian totiang dengan marah.
“Aku ! Engkau tentu tak mengira !” terdengar sebuah lengking suara perempuan.
Setelah meragu sejenak, Thian Hian totiang berseru : “Heng-Thian-It-ki . . . .”
“Benar,” sahut wanita itu, “setelah selesai 10 tahun menutup diri, perjanjian kitapun
sudah tiba waktunya !”
Tiba-tiba Thian Hian totiang tertawa lepas. Nadanya bergema menggetar hutan,
mengejutkan kawanan unggas.
Dalam kesempatan itu, Han Ping diam-diam menyelinap ke dalam semak belukar.
“Tak usah engkau tertawa begitu macam !” wanita pembenci dunia atau Heng-thian-Itki
berseru, “apa perlumu memanggil kawanan imam dalam biara ? Apakah suruh mereka
membantumu ?”
Thian Hian menyahut dingin : “Sungguh tepat sekali kedatanganmu ini. Kita segera
selesaikan saja segala perhitungan. Hayo kita ke tanah lapang di luar hutan sana. Malam
ini, jika bukan engkau yang mati tentu akulah yang binasa !”
Heng-thian-It-ki tertawa mengejek : “Pergi engkau lebih dulu ke dalam biara untuk
menyerahkan segala urusan apabila engkau mati nanti. Kutunggu engkau di tanah lapang
itu !”
“Tak perlu” sahut Thian Hian seraya terus loncat melayang ke luar hutan.
Wanita Pembenci dunia itupun segera mengikuti. Gerakan keduanya luar biasa
cepatnya. Dalam sekejap saja sudah lenyap.
Cong To muncul dari semak tempat persembunyian : “Mumpung ada kesempatan ini,
kita masuk ke dalam biara menolong pamanmu !”
Sebenarnya Han Ping ingin menyaksikan pertempuran dahsyat dari kedua tokoh sakti
itu. Tetapi demi mendengar ajakan Cong To, segera menyetujui. Bergegas-gegas ia
menyusul Cong To yang sudah mendahului lari ke arah biara.
“Kila dapat bergerak cepat, setelah menolong pamanmu, kita masih sempat melihat
pertempuran kedua tokoh itu !” kata Cong To.
Saat itu mereka tiba kira-kira tiga tombak di luar biara Hian-bu-kiong. Cong To
berhenti, mengeluarkan dua helai sutra hitam, dibagikan kepada Han Ping : “Selain
sikapnya yang angkuh dan congkak, sebenarnya Thian Hian totiang bukan orang jahat.
Nanti dalam biara, jika sampai bertempur, kita harus dapat menghindari pertumpahan
darah yang tak perlu !”
Setelah membungkus mukanya dengan sutra hitam, Cong To terus loncat ke dalam
biara.
Han Pingpun segera mengenakan kerudung muka hitam itu. Sekali enjot tubuh, ia
melambung sampai tiga tombak lebih tingginya.
Tetapi ketika ia memandang ke bawah, kejutnya bukan kepalang . . .
Jilid 21
Bagian 38
Dari Harimau ke Buaya.
Sinar pedang berhamburan dalam biara Hian-bu-kwan. Han Ping duga Pengemis sakti
Cong To tentu sudah terlibat dalam pertempuran. Cepat anak muda itu melayang ke
bawah.
Tetapi belum kakinya menginjak bumi, dua sosok bayangan sudah menyambut,
menabas dada dan membabat kaki.
Han Ping baru saja menyelami inti rahasia dari apa yang disebut ‘lambat tetapi cepat,
sekali gerak dua serangan’. Salah satu dari isi kitab Tat-mo-ih-kin-keng ajaran mendiang
Hui Gong taysu.
Cepat ia gerakkan tangan kanan dan kiri. Tangan kiri untuk mencengkeram
pergelangan tangan penyerang yang membabat kakinya. Selekas mencengkeram terus
dipijat sekeras-kerasnya dan cepat merebut pedang itu.
Kemudian tangan kanannya disongsongkan untuk menjepit pedang lawannya yang
menabas muka, mendorongnya ke belakang dan menendang lututnya.
Penyerang yang ternyata imam dari biara Hian-bu-kwan, mendesus tertahan lalu rubuh
terlentang.
Han Ping berhasil mempraktekkan inti ajaran ‘lambat tetapi cepat, sekali gerak dua
serangan’.
Saat itu Pengemis sakti Cong To memang sedang diserang oleh dua imam. Melihat
dalam sekali gebrak Han Ping dapat merobohkan dua imam, timbullah semangat Pengemis
sakti itu. Dua buah pukulan segera dilayangkan sehingga kedua lawannya terpaksa harus
mundur 3 langkah.
Cong To tak mau melukai orang. Setelah mengundurkan lawan, iapun cepat gunakan
ilmu Pat-poh-teng-gong melambung sampai 3 tombak tingginya dan hingga di atas
wuwungan rumah.
Han Pingpun segera menyusul.
Kedua imam yang menyerang Cong To tadi, yang seorang loncat mengejar yang
seorang segera meniup seruling pertandaan.
Para imam biara Hian-bu-kwan rata-rata berkepandaian tinggi. Dalam sekali dua kali
loncatan, imam tadi dapat mengejar ke atas wuwungan.
“Awas, pedang!” teriak Han Ping seraya lontarkan pedang rampasannya tadi ke arah
imam itu.
Belum kaki imam itu menginjak atap, taburan pedang Han Ping sudah tiba. Dalam
gugup itu menangkis. Tetapi lontaran pedang itu bukan kepalang dahsyatnya. Sambil
menjerit ‘Celaka’, imam itu terdorong jatuh ke bawah lagi. Bahunya termakan pedang dan
rubuhlah ia ke tanah.
Han Ping cepat menyusul Pengemis sakti. Rupanya telinga pengemis tua itu tajam
sekali. Segera ia menegur, “Engkau melukai orang?”
“Entahlah!” sahut Han Ping.
Tepat pada saat itu belasan sosok tubuh orang melesat tiba terus menyerang.
“Hati-hati menghadapi mereka!” pesan Pengemis sakti seraya hantamkan tangan kanan
menyongsong 3 imam yang menyerbu dari sebelah timur.
Sedang Han Pingpun hantamkan tangan kanan dengan jurus Naga sakti menggeliat
kepala untuk menghalau musuh dari arah barat. Sedang tangan kiri menampar seorang
imam yang menyerang dari selatan.
Pukulan Cong To yang keras dapat mengundurkan penyerang dari sebelah timur dan
utara. Sedang pukulan Han Ping dapat menyurutkan 4 orang imam yang menyerang dari
barat. Ternyata anak muda itu gunakan lwekang lemah2 keras. Tampaknya pukulan Han
Ping lak mengeluarkan deru angin keras. Tetapi begitu mengenai orang, barulah orang itu
terkejut. Mereka terkejut tetapi terlambat. Tubuh mereka seperti dilanda gelombang
tenaga yang bukan olah-olah dahsyatnya.
Serempak dengan gerakan tangan kanan tadi, tangan kiri Han Pingpun gunakan jurus
Kin-liong-jiu atau menyambar naga, untuk meraih dan merebut pedang imam yang
menyerangnya. Setelah mendapat pedang, Han Ping tambah garang. Terdengar dering
senjata beradu dan kedua imam dihalaunya mundur.
Dua belas imam yang menyerang dari empat jurusan, dapat dihalau mundur oleh
Pengemis sakti dan Han Ping.
Memandang ke muka, mereka melihat paseban besar sudah tak berapa jauh. Tampak
di bawah sinar lentera merah yang menerangi paseban itu, berpuluh-puluh imam
berhamburan memburu datang. Jumlahnya tak kurang dari seratusan orang.
“Lawan berjumlah sekian banyak. Jika kita terpancang tak boleh melukai orang, entah
sampai kapan dapat mengakhiri pertempuran ini!” Han Ping kerutkan dahi.
Cong To juga tak mengira kalau imam Hian-bu-kwan berjumlah sekian banyak. Ia
tertegun. Diam-diam ia membenarkan keluhan pemuda itu. Kalau tak melukai mereka,
tentu sukar.
Kedua belas imam yang menyerang tadi menyadari bahwa kedua orang yang datang
itu, berkepandaian tinggi. Cepat mereka menyusun diri dalam sebuah barisan pedang,
untuk menghadang jalan. Mereka tegak berdiri diam. Tak mau menegur, pun tak mau
menyerang.
Melihat suasana makin genting, baik di atas genteng maupun di bawah penuh dengan
imam Hian-bu-kwan, diam-diam Han Ping gelisah. Apalagi Thian Hian totiang berada di
luar biara. Jika dia datang, tentu makin sukar….
“Locianpwe, mari kita serbu ke dalam paseban besar untuk melihat keadaan di situ!”
serunya kepada Pengemis sakti sesaat ia mendapat keputusan.
Saat itu di atas wuwungan rumah di mana Han Ping dan Cong To berdiri, sudah
dikepung lebih dari 20an imam. Begitu Han Ping bergerak, merekapun segera menyerang.
Sambil lepaskan hantaman, Cong To melambung ke udara, melampaui kawanan imam
dan melayang turun ke bawah. Pukulan pengemis tua itu memang bukan olah-olah
dahsyatnya. Kawanan penyerangnya berhamburan mundur.
Han Pingpun segera putar pedangnya untuk membuka jalan pada barisan pedang
lawan.
Pada waktu ia ditutuk oleh Thian Hian totiang tempo hari, tenaga murni dari mendiang
Hui Gong taysu yang disalurkan ke tubuhnya, membeku pada urat nadinya. Jika dibiarkan
begitu, tak berapa lama. Han Ping tentu mati. Tetapi karena Thian Hian totiang
menendangnya lagi, tanpa disengaja telah mengenai jalan darah Yim dan Tok dalam
tubuhnya. Dan seketika menyalurlah tenaga murni yang membeku itu ke seluruh jalan
darah penting yang terdiri dari 12 buah. Selekas ke 12 buah jalan darah itu mengalir maka
terbukalah saluran Yim dan Tok itu. Dengan terbukanya saluran Yim dan Tok itu, maka
seluruh jalan darah di tubuh Han Ping dapat disaluri dengan tenaga murni.
Dengan penganiayaan Thian Hian totiang itu, Han Ping malah mendapat suatu berkah
besar. Karena tanpa harus bersusah payah selama 3 tahun bersemedhi melakukan ilmu
pernapasan, jalan darah yang terakhir dan yang paling sukar ditembus yakni Yim dan Tok,
kini sudah terbuka. Hal itu berarti tenaga dalamnya bertambah hebat sampai berlipat
ganda.
Mendapat serangan pemuda itu, barisan pedang imam Hian-bu-kwan, pecah dan
menyisih mundur. Beberapa pedang imam itu dapat ditabas jatuh oleh Han Ping.
Han Ping tertegun ia tak menyangka bahwa saat itu ia memiliki tenaga dalam yang
begitu dahsyat.
Kawanan imam Hian-bu-kwan memang sudah terlatih dan berpengalaman sekali.
Walaupun menghadapi musuh yang bagaimana tangguhnya, mereka tetap tak panik. Pada
saat Han Ping tertegun, mereka segera bersatu dan membentuk barisannya lagi.
Han Ping terkejut ketika melihat Cong To dikepung kawanan imam. Diam-diam ia
memutuskan. Jika harus menghindari supaya jangan sampai melukai lawan, tentu sukar.
Terpaksa ia harus bertindak tegas.
“Siapa merintangi pasti mati!” serunya seraya menerjang.
Kawanan imam itu tak berani memandang rendah. Setelah menyisih ke samping,
mereka menyerang lagi dari dua arah.
Tring, tring, tring. Han Ping putar pedang menangkis serangan mereka. Sekonyongkonyong
tangan kirinya menyambar lengan seorang imam terus ditariknya ke samping.
Kemudian pedang di tangan kanan digerakkan dalam jurus Awan menutup sinar emas,
menangkis serangan di belakang lalu menghalau empat pedang yang menyerang dari
samping. Setelah itu ia enjot tubuh melayang turun.
Karena pergelangan tangannya dicengkeram Han Ping, imam itu tak dapat berkutik.
Serta dibawa loncat Han Ping, tubuh imam itupun ikut meluncur ke bawah.
Begitu tiba di atas atap bagian bawah, Han Ping rasakan tubuh imam itu amat berat.
Cepat ia kuatkan kuda-kuda kakinya dan menarik tubuh imam itu supaya jangan
menghancurkan genteng. Dan usahanya itu berhasil. Ia dapat menahan tubuh imam itu
tetapi karena mengerahkan tenaga kaki, genteng yang diinjaknya itupun remuk dan
tubuhnya amblong ke bawah.
Di bawah ternyata sudah siap menyambut delapan batang pedang. Dalam gugupnya,
Han Ping menarik tubuh si imam ke bawah sebagai perisai. Sudah tentu kedelapan
penyerangnya terkejut dan buru-buru menarik pulang pedangnya.
Han Ping empos semangat lalu bergeliatan melambung ke atas lagi. Ketika berpaling,
dilihatnya imam yang ditawan itu biru wajahnya dan napasnyapun lemah. Ia tak sampai
hati lalu melepaskannya ke bawah.
Saat itu dilihatnya Pengemis Sakti Cong To sedang dikepung ketat oleh kawanan imam.
Bertempur di atas tanah, kawanan imam itu dapat bergerak dengan leluasa. Barisan
mereka seolah-olah menyerupai gunung pedang yang lebat.
Han Ping tak mau buang waktu. Cepat ia putar pedang menerjang barisan pedang
lawan. Terdengar dering gemerincing yang riuh dan berhasillah ia membuka sebuah jalan,
pada barisan lawan.
Melihat kegagahan anak muda itu, seketika menyalalah semangat Cong To. Ia
lontarkan dua buah hantaman ke arah penyerangnya di sebelah barat.
Habis menyapu lima batang pedang musuh, Han Ping berseru, “Aku yang membuka
jalan, locianpwe yang menjaga belakang. Kita terjang masuk ke dalam paseban besar itu!”
Sebenarnya diam-diam Cong To sedang menimang dalam hati. Kawanan imam Hianbu-
kwan rata-rata berkepandaian tinggi dan berjumlah banyak. Sukarlah untuk
menghadapi mereka. Belum ia memperoleh daya untuk bertindak, tiba-tiba ia mendegar
teriakan Han Ping. Seketika ia mendapat akal dan berseru keras, “Baiklah!”
Han Ping menggembor keras. Ia menerjang ke arah utara. Kini tenaga dalam pemuda
itu memang hebat sekali. Dalam adu pedang, jika tidak terbabat kutung tentulah pedang
lawan mencelat jatuh. Han Ping benar-benar seperti harimau mengamuk sehingga barisan
pedang lawan kacau dan terpaksa menyingkir.
Sedang Cong Topun terus menerus lepaskan pukulan untuk menghalau lawan yang
menyerang dari belakang dan samping.
Dalam waktu singkat, kedua orang itu telah berhasil menerobos barisan pedang dan
menuju ke paseban besar. Saat itu mereka tiba di bawah titian paseban. Tiba-tiba Han
Ping enjot tubuhnya melayang ke atas atap paseban. Dalam pada itu setelah dapat
mengundurkan dua orang imam yang menyerangnya, Cong Topun enjot tubuh,
berjumpalitan di udara dan melayang di atas atap paseban.
Tiba-tiba mereka melihat seorang imam tua sedang duduk di puncak wuwungan
sembari memegang sebuah lentera mereh. Wajahnya amat tenang, mata meram seolaholah
tak menghiraukan suatu apa.
Han Ping tertarik atas ketenangan imam itu. Dipandangnya dengan seksama.
Jenggotnya yang putih menjulai panjang. Wajahnya penuh keriput, punggung agak
bungkuk.
Sambil kiblatkan pedang, Han Ping berseru perlahan, “Locianpwe….”
Imam tua itu membuka mata dan memandang Han Ping serta Cong To, serunya,
“Kalian memakai kerudung muka, apakah ada sesuatu yang tak leluasa dilihat orang?”
Mendengar ucapan yang tajam itu, Han Ping terkesiap, sahutnya, “Kami bermusuhan
dengan biara locianpwe. Oleh karena itu kami tak ingin dilihat mereka. Pun pemimpin
biara ini Thian Hian totiang, juga memakai kedok kulit, apakah dia juga malu dilihat
orang?”
Imam tua itu tertawa gelak-gelak, “Tetamu mendesak tuan rumah! Tidak menyahut
pertanyaanku, tak apalah. Tetapi mengapa berani mendesak pertanyaan padaku!”
Han Ping tak mau berlaku sungkan lagi, serunya, “Aku tak ada tempo mengadu lidah
denganmu! Kuhormati engkau sebagai seorang tua maka kusebutmu sebagai ‘ locianpwe’.
Sebenarnya dalam kedudukan sebagai lawan, tak perlu aku harus berlaku sungkan
kepadamu!”
Imam tua itu tetap tertawa, “Engkau membawa pedang. Kalau kita bermusuhan
mengapa tak segera membunuhku saja!”
“Umurmu yang sudah begitu tua, tak sampai hatiku membunuh….”
Tiba-tiba imam tua itu hentikan tertawa dan berseru keras, “Hm, baik benar hatimu!
Akupun akan membiarkan mayat kalian tetap utuh!”
“Apa?” teriak Han Ping.
Tiba-tiba imam tua itu lepaskan lentera merah dan lentera itu terus meluncur ke arah
Han Ping.
“Huh, mencekal lentera saja ia sudah tak kuat….” baru Han Ping membatin begitu, tibatiba
kakinya terperosok dan tubuhnyapun terjerumus ke bawah.
“Celaka….” diam-diam Han Ping mengeluh kaget dan cepat-cepat ia kerahkan tenaga
untuk melenting ke atas. Tetapi tiba-tiba sebuah arus tenaga melanda di atas kepalanya
dan serempak terdengar gelak tawa si imam tua tadi, “Dalam kamar rahasia penuh
dengan alat-alat jebakan. Harap kalian jangan sembarangan bergerak….”
Pandang mata Han Ping berubah gelap dan tubuhnya tetap meluncur ke bawah. Ia
julurkan tangan meraba-raba. Ternyata ia sedang meluncur dalam sebuah lubang yang
keempat dindingnya licin sekali. Sedikitpun tiada terdapat bagian yang dapat untuk
cekalan tangan.
Blung….kira-kira empat lima tombak ke bawah, Han Ping tercebur dalam air dan terus
meluncur ke bawah. Ketika tiba di dasar, barulah ia dapat berdiri tegak, lepaskan
kerudung muka lalu enjot kakinya melambung ke permukaan air.
Ketika mengangkat muka, dilihatnya Cong To duduk di atas sebuah batu besar yang
terapung di pemukaan air. Mengambil buli-buli arak dan siap hendak meneguk isinya.
Kiranya pengemis tua itu kaya akan pengalaman dunia persilatan. Begitu tubuhuya
terperosok ke bawah, cepat ia mencabut kerudung muka. Begitu melihat sebuah batu
besar, ia terus bergeliatan hinggap di atasnya. Dengan begitu ia tak usah masuk ke dalam
air.
Han Ping segera berenang menghampiri lalu merayap ke atas batu. Diam-diam ia
kagum melihat Cong To. Walaupun menghadapi maut, masih tetap enak-enak meneguk
arak.
Setelah meneguk beberapa kali, tertawalah pengemis tua itu, “Di tempat ini amat
dingin sekali. Minum arak dapat menghangatkan badan!”
Han Ping tak mempedulikan ocehan pengemis itu. Ia rnemandang ke sekeliling penjuru.
Ternyata saat itu ia berada di sebuah empang seluas satu tombak. Empat penjuru dipagari
dengan dinding batu. Di sebelah atas gelap sekali. Kecuali batu yang hanya setengah
meter lebarnya itu, semuanya air yang dingin.
“Pernahkah engkau melihat penjara air?” tegur Cong To tertawa.
Han Ping gelengkan kepala, “Belum.”
Cong To tertawa gelak-gelak, “Sekarang engkau boleh menikmati peagalaman baru!
Menilik kokohnya penjara air ini, mungkin kita tak dapat keluar selama-lamanya….”
“Cong locianpwe, apakah engkau gembira?” tanya Han Ping setengah mendongkol.
Cong To tertawa, “Pengemis tua sudah kebanyakan umur, matipun tak menyesal!”
Tiba-tiba Han Ping menyadari bahwa Cong To itu memang membantunya untuk
membebaskan Kim Loji. Ah, tak seharusnya ia bersikap getas terhadap pengemis itu. Ia
menghela napas, ujarnya, “Penjara air semacam ini, belum tentu dapat menahan kita
sampai mati.”
“Menurut penilaian pengemis tua, tipis sekali kemungkinannya kita dapat lolos!”
“Hm, aku pernah terkurung dalam makam tua yang penuh alat-alat maut itu, lebih
berbahaya beberapa kali dari tempat ini. Bukankah aku tetap dapat meloloskan diri?”
“He, jadi engkau pernah masuk ke dalam makam tua itu?” Cong To terkejut.
“Sampai beberapa hari aku terkurung dalam makam tua itu. Alat-alat dan jebakan
dalam makam itu jauh lebih banyak dan lebih berbahaya dari Penjara air ini….” Han Ping
berhenti sejenak , lalu, “Kukira dalam Penjara air ini tentu ada alat pemutar air. Asal kita
dapat menyalurkan air air, tentu dapat lolos keluar dan sini!”
Cong To membenarkan.
“Sayang alat pemutar air itu berada di luar penjara air ini. Sudahlah, jangan
mengharapkan hal itu lagi!“ tiba-tiba dari arah samping terdengar sebuah suara bernada
dingin.
Cong To tertawa lepas, “Sekalipun terkurung dalam penjara air, tetapi dalam 10 hari
sampai setengah bulan, belum tentu kami berdua akan mati!”
Kembali suara bernada dingin itu berseru, “Jika menghendaki kalian cepat mati, asal
batu penutup lubang perjara ini diturunkan ke bawah, kalian tentu terdesak ke dalam air
dan mati kelelap!”
“Aku mampu selulup selama tiga hari tiga malam dalam bengawan Tiangkang. Makan
ikan mentah untuk mengisi perut. Masakan takut dengan penjara air semacam ini saja?”
Cong To menyahut dengan ejekan.
Rupanya orang itu marah dengan ejekan itu. Dengan tertawa dingin ia berseru, “Jika
kalian tak percaya akan kehebatan penjara air ini silahkan mencobanya. Hm, kami tak ada
waktu untuk mengadu lidah.
Cong To tetap tertawa dan menantang, “Kalau tak percaya pada kemampuan ilmu
selulup kami. silahkan turunkan batu penutup itu!”
Tetapi sampai diulang beberapa kali, Cong To tak mendapat penyahutan lagi.
“Apakah locianpwe benar-benar mampu selulup selama tiga hari tiga malam dengan
hanya makan ikan mentah saja?” tanya Han Ping dengan berbisik.
“Engkau bisa atau tidak?” balas bertanya Cong To.
“Aku tak dapat berenang!”
Cong To meneguk buli-buli araknya lagi, ujarnya, “Pengemis tua sendiri juga tak pemah
belajar berenang!”
Han Ping terbeliak, “Jika orang itu marah karena ejekan locianpwe tadi lalu
menurunkan batu penutup terowongan ini, bukankah kita benar-benar akan mati
terbenam?”
Pengemis sakti gelengkan kepala tertawa, “Tadi pengemis tua mengejeknya karena
ingin menyelidiki apakah mereka benar-benar hendak membunuh kita dengan segera.
Tetapi karena mereka tak menurunkan batu penutup penjara air, berarti kita harus hidup
disini selama beberapa hari lagi!”
Han Ping heran dan menanyakan apa sebab orang itu tak segera menurunkan batu
penutup.
Jawab Pengemis Sakti, “Dalam hal ini banyaklah alasannya. Tak dapat kuterangkan
sejelas-jelasnya saat ini. Tetapi cukup kalau engkau tentramkan hatimu. Paling sedikit kita
masih mempunyai waktu satu setengah hari untuk hidup.”
Ia berhenti sejenak lalu melanjutkan lagi, “Sayang arak dalam buli-buli ini tak banyak.
Mungkin tak cukup untuk sehari.”
Mendengar pengemis tua itu mengoceh tak keruan, Han ping tak mau menghiraukan.
Ia mulai bersemedhi.
Entah berapa lama, ketika membuka mata, Han Ping melihat pengemis tua mencekal
seekor benda semacam ikan belut. Sudah tentu ia heran dan menanyakan.
“Ular air,” Pengemis sakti Cong To.
“Untuk apa?”
“Jika sampai 8 atau 10 hari mereka tak membinasakan kita, kita terpaksa harus mengisi
perut juga. Imam hidung kerbau itu rupanya sengaja hendak membikin kita kelaparan
sampai lemas baru akan menangkap kita hidup-hidup. Tetapi perhitungan mereka meleset.
Dalam penjara air itu ternyata terdapat sarang ular air. Kalau tak salah, ada lebih kurang
32 ekor isinya. Tetapi kita harus hemat agar kuat bertahan sampai 10an hari.”
Seumur hidup Han Ping tak pernah makan ular. Sudah tentu ia terkesiap, “Ah, apakah
daging ular boleh dimakan?”
“Empuk dan harum sekali. Enaknya bukan alang kepalang.” Cong To tertawa.
Han Ping menghela napas, “Sekalipun dimakan tetapi tempat ini tak ada angin.
Masakan kita makan mentah-mentah saja?”
Pengemis sakti tertawa riang, “Pengemis tua mempunyai 28 macam resep masakan
ular. Tanpa apipun tetap dapat membuat hidangan daging ular yang lezat. Ah, sayang
arak dalam buli-buli ini sudah tak cukup banyak!”
“Bagaimana kalau kawanan ular itu kita makan habis tetapi kita belum dapat keluar dari
sini?” tanya Han Ping.
“Apa boleh buat kita harus menderita mati kelaparan,” sahut Cong To dengan
seenaknya sendiri.
Saat itu barulah Han Ping menyadari bahwa tokoh pengemis tua benar-benar seorang
yang tak takut mati. Bermula kenal padanya, ia anggap pengemis tua itu congkak sekali.
Tetapi. ternyata seorang tokoh yang periang. Sikap Cong To yang begitu tenang
menghadapi bahaya maut telah membangkitkan semangat Han Ping.
“Locianpwe, kita benar-benar kesepian disini….”
“Selama ada ular, pengemis tua senang tinggal disini sampai 5 tahun dan takkan
merasa kesepian!”
“Maaf, aku tak mempunyai selera untuk main-main dengan ular. Tetapi aku mempunyai
cara untuk menghilangkan kesepian.”
“Permainan yang engkau gemari, belum tentu pengemis tua suka. Katakanlah lebih
dulu apa itu!”
“Aku paham beberapa pelajaran ilmu silat secara lisan, sayang aku tak dapat
memahami intinya. Mumpung saat ini kini berada dalam penjara maut, jika dapat
membuang soal mati, pikiran kita tentu lebih tenang. Akan kukatakan pelajaran lisan itu
agar locianpwe dapat membantu memecahkannya!”
Cong To tertawa, “Sudah jamsa kalau pelajaran lisan dari suatu ilmu yang sakti itu,
tentu sukar dimengerti. Jika meminta pengemis tua turut membahasnya, bukankah berarti
engkau membocorkan rahasia ilmu pelajaran itu?”
Han Ping tersenyum. Diam-diam ia menimang, “Tokoh ini memang berhati perwira dan
luhur. Ilmu kepandaian makin tinggi, makin berguna pada umat manusia. Dengan alasan
sama-sama memecahkan rahasia pelajaran lisan itu, kuberikan ilmu pelajaran itu
kepadanya. Selain tindakan itu tak meninggalkan bekas, pun dapat kuperuntukkan
membalas budinya.
Tak menyahut pertanyaan Cong To, Han Ping terus mulai menghafal dengan suara
berbisik, “Semua gerak perubahan bersumber pada Kelambatan, meskipun lambat tetapi
sesungguhnya cepat….”
Cong To memiliki kepandaian yang tinggi. Mendengar kata-kata itu tergeraklah hatinya.
Ia rasakan rangkaian kata-kata yang sederhana itu, telah menyentuh isi hatinya yang
selama ini belum terpecahkan. Tanpa disadari tangannyapun mengendor dan lepaslah ular
air itu ke dalam air.
Han Ping berseru tersenyum, “Apakah sesungguhnya yang terkandung dalam rangkaian
kata-kata pelajaran itu?”
Cong To mrnghela napas, “Rangkaian kata-kata yang sederhana itu, sebenarnya
mengandung sumber dari ilmu silat yang tinggi. Terus terang, sebelum engkau
melantangkan kata-kata itu, akupun sudah mengetahui tetapi sampai saat ini belum
menyelaminya.”
“Adakah kata-kata itu dapat diterapkan pada semua pelajaran ilmu silat?” tanya Han
Ping.
“Jika ilmu kepandaiannya masih terbatas, tentu sukar menyelami inti sari kata-kata itu.
Walaupun seluruh umurku kuabdikan untuk belajar ilmu silat tetapi dengan terus terang
aku tak mengerti apa yang dimaksud dengan kata-kata ‘Segala gerak perubahan
bersumber pada Kelambatan’ ….”
Sejak bersua dengan wanita Heng-Thian-It-ki, diam ia memperhatikan gerak gerik
wanita sakti itu dan dapat meraba makna dari pelajaran lisan yang dikatakan tadi. Tetapi
berhubung ia merasa pengalamannya kurang dan tempo yang digunakan belajar silat
selama ini hanya terbatas. Ia menjadi bimbang lagi ketika mandengar jawaban Cong To
tadi. Ia merasa banyak sekali hal-hal yang tak dimengertinya.
“Locianpwe mendengar satu saja sudah mengetahui sepuluh. Tentulah locianpwe sudah
dapat memahami seluruh maksud kata-kata tadi. Maukah locianpwe memberi petunjuk
padaku?”
Pengemis sakti hanya ganda tertawa, “Berpuluh puluh tahun pengemis tua memikirkan
soal itu, walaupun otakku tak cerdas sehingga belum mampu menyelami intinya, tetapi
pengemis tua sudah berhasil mengetahui lapisan kulit luarnya. Mendengar kata-kata yang
engkau hafalkan tadi, pengemis tua seperti melihat lentera terang….”
“Harap locianpwe suka menjelaskan.”
“Manusia itu walaupun memiliki kemampuan berpikir yang tak terbatas tetap
kemampuannya untuk mengetahui ilmu, tetap terbatas. Apabila memiliki ilmu silat yang
telah mencapai tingkat tinggi, untuk memperdalam lebih lanjut, sukarnya seperti naik
tangga ke langit….”
Han Ping mendesak supaya pengemis tua itu segera mulai memberi penjelasan .
Sahut Cong To, “Orang yang sudah tinggi ilmunya jika hendak mencari kemajuan yang
lebih tinggi lagi, haruslah mencari jalan lain. Mengembangkan kecerdasan otak untuk
menghapus kemampuan mengertinya yang terbatas itu. Tetapi kemampuan berpikir kita
apabila sudah mencapai titik tinggi yang tertentu haruslah mengarah ke lain perubahan….
Tiba-tiba ia hentikan kata-katanya dan merenung beberapa saat. Ujarnya pula, “Ilmu
pelajaran silat, memang menghendaki cepat. Tetapi apabila kecepatan itu sudah tiba pada
titik tertentu, tentunya tak dapat cepat lagi. Tetapi ketangkasan dan tenaga dalam ilmu
silat itu, segala gerak perubahannya terdapat pada waktu kita bergerak. Tampaknya
memang lambat tetapi sesungguhnya gerakan itu cepat sekali. Makin lambat tampaknya
gerakan itu….”
“Terima kasih, locianpwe. Aku sudah mengerti sekarang,” kata Han Ping tersenyum.
Dalam pembicaraan selanjutnya, Han Ping pun menumpahkan banyak sekali jurus-jurus
dalam kitab Tat-mo-ih-kin-keng yang selama ini mengeram tak terjawab dalam hatinya.
Dengan pengalaman dan pengetahuannya yang luas, Cong To bantu memecahkan soalsoal
itu. Apabila lelah, mereka lalu pejamkan mata bersemedhi. Dengan begitu, entah
berapa lama mereka bercakap-cakap memperbincangkan soal-soal dalam ilmu pelajaran
silat yang pelik dan rumit.
Bermula masuk, mereka rasakan penjara air itu dingin sekali. Tetapi beberapa hari
kemudian, mulailah mereka terbiasa.
Hal itu disebabkan secara tak sengaja. Pada waktu Han Ping menghidangkan ilmu
pelajaran tentang bagian tenaga dalam untuk ‘mencuci’ urat-urat tubuh yang terdapat
pada kitab Tat-mo-ih-kin-keng, keduanya segera mulai mempraktekkan.
Berkat sudah memiliki dasar ilmu tenaga dalam yang tinggi, dalam waktu beberapa hari
saja, tenaga dalam mereka makin bertambah maju pesat. Hawa dingin dalam penjara air
itu tak terasa lagi.
Hari itu setelah Cong To membuka mata dari persemedhiannya, ia ulurkan tangan ke
dalam air. Tetapi ah….tangannya tak mendapat suatu apa. Barulah ia gelagapan sadar
bahwa persediaan ular-air dalam liang, sudah habis dimakan mereka berdua. Dihitunghitung,
mereka sudah 20 hari lebih, berada dalam penjara air di situ. Karena persediaan
makanan sudah habis, Pengemis sakti pun menghela napas.
Kala itu Han Ping masih bersemedhi. Mendengar helaan napas Cong To, cepat ia
membuka mata dan bertanya, “Mengapa locianpwe menghela napas?”
“Pengemis tua sudah kehabisan ular. Mulai saat ini kita akan meyakinkan ilmu pelajaran
dengan perut kosong!” sahut Cong To.
Diam-diam Han Ping merenung. Dalam beberapa hari makan daging ular mentah,
rasanya lebih baik mati saja. Tetapi dikarenakan tenggelam dalam lautan ilmu pelajaran
silat yang tinggi, ia seperti tak ingat segala apa lagi. Tetapi kini setelah tak ada persediaan
makanan, tentu sukar untuk bertahan hidup.
Dari pada hanya meyakinkan ilmu silat dan akhirnya harus ditawan musuh, mengapa
tak mencoba untuk membobolkan penjara air itu?
Han Ping meraba bajunya dan menjamah bungkusan pedang Pemutus Asmara yang
selama ini belum pernah digunakannya. Setelah membuka kain bungkusannya, pedang itu
memancarkan sinar kemilau yang menyilaukan air.
Cret, cret, mulailah ia membobol dinding terowongan itu.
“Ah, tak salah kalau orang persilatan memuji setinggi langit pedang Pemutus Asmara
itu. Ternyata memang sesuai dengan kenyataannya. Dengan memiliki pedang itu, harapan
kita untuk keluar dari penjara air ini, makin besar!” Cong To memuji.
Pengemis tua itu terus berbangkit dan loncat ke pinggir dinding lalu gunakan ilmu Cicak
merayap, lekatkan punggung pada dinding, sambil merayap sambil menunjuk dan
menutuki dinding.
Han Ping tahu kalau pengemis sakti itu memberi petunjuk bagian dinding mana yang
harus dibobol. Tiba-tiba setelah sepeminum teh berkeliaran merayapi dinding, pengemis
itu berhenti.
Han Ping heran dan hendak bertanya. Tetapi tiba-tiba didengarnya suara seseorang
menyusup ke dalam telinganya, “Aneh, kemanakah perginya pengemis tua itu….?”
Han Ping cepat mendapat akal. Disembunyikannya pedang Pemutus Asmara lalu rebah
miring di atas batu menonjol.
Terdengar pula lain suara berkata, “Kedua orang itu benar-benar tahan dingin dan
lapar. Sudah 25 hari menjebloskan mereka dalam penjara air, tetap tak mati….”
Kembali orang pertama yang berkata tadi, berseru pula, “Di dunia tak mungkin terdapat
keajaiban semacam itu, Tentu mereka sudah membekal bahan makanan.”
“Tadi apakah suara bergerudukan itu?” tanya pula kawannya.
Kiranya bunyi bergerudukan itu berasai dari ketukan tangan Cong To yang hendak
mencari lubang. Dan bunyi itu terdengar oleh penjaga di atas.
Dalam pada rebah mendengarkan pembicaraan kedua penjaga itu, diam-diam Han
Pingpun memperhitungkan letak tempat suara orang itu. Jelas tentu terdapat lubang angin
sehingga pembicaraan penjaga itu dapat terdengar ke bawah.
Belum sempat ia menentukan langkah, tiba-tiba segumpal penerangan lentera
menyorot ke bawah Karena sudah beberapa hari berada dalam kegelapan, ia tak dapat
melihat jelas keadaan dalam penjara air itu. Begitu penjaga menggunakan lampu sorot,
barulah ia mengetahui bahwa dinding terowongan penjara air itu tak berapa tebalnya.
Timbullah harapannya untuk membobol dinding.
Tiba-tiba lampu sorot itu padam. Ia heran dan serentak bangun.
Tiba-tiba Cong To berseru tertawa, “Ada perubahan besar!” – serunya seraya melayang
turun.
Atas pertanyaan Han Ping, pengemis sakti itu menyahut, “Sukar dikatakan. Kalau tidak
berubah baik tentu berubah celaka!”
Han Ping mendongkol mendengar kata-kata yang tak karuan itu. Sudah tentu setiap hal
kalau tak jadi baik tentu jadi buruk.
Tiba-tiba air menyurut ke bawah sampai beberapa meter. Terdengar air itu mengalir ke
sebuah saluran. Dan beberapa saat, airpun kering semua dan seketika tampaklah sebuah
pintu batu terbuka lebar. Empat orang imam menghunus pedang, menerobos masuk.
Salah seorang yang berada di muka, segera berseru, “Hai, kalian berdua harap turun!”
Cong To melayang turun dan tertawa, “Menyurutkan air dan membuka pintu, apakah
tak takut kalau pengemis tua akan menerobos keluar?”
Wajah imam itu mengerut serius, “Kepala biara kami mengundang kalian bertemu di
paseban besar,” – ia terus berputar diri dan melangkah keluar.
Perubahan yang tak disangka-sangka itu sungguh mengejutkan Cong To. Dengan
pandang tak mengerti, ia berpaling ke arah Han Ping lalu mengikuti rombongan imam itu
keluar.
Di luar penjara air itu ternyata merupakan sebuah titian yang kecil dan melanda rubuh
ke atas. Penerangan bersinar dari atas.
Diam-diam Han Ping menghitung. Titian itu berjumlah 128 buah. Menilik itu jelas kalau
penjara air itu dibangun dengan megah dan kokoh.
Ketika tiba di belakang paseban, Han Ping menghela napas longgar untuk menghirup
udara segar.
Keempat imam itu berjalan perlahan tetapi tak pernah berpaling ke belakang. Setelah
mengitari sebuah padang bunga, tibalah mereka dipintu paseban. Imam itu mengangkat
kedua tangannya ke atas dan berseru nyaring, “Tawanan penjara air sudah datang!”
Cong To tertawa keras, “Imam hidung kerbau, mulutmu besar sekali. Sedang gurumu,
Thian Hian totiang itupun tak berani menyebut begitu kepada pengemis tua ini!” – ia cepat
melangkah ke atas batu titian.
Imam itu hendak mencegah dengan hadangkan tangannya tetapi cepat lengannya
dicengkeram Han Ping lalu didorong mundur. Pemuda itu terus melangkah mengikuti Cong
To.
Ketika mengangkat muka memandang ke muka, Han Ping terkesiap. Kiranya di tengah
ruang paseban besar itu, sudah menyambut Thian Hian totiang. Tetapi saat itu dia tak
mengenakan topeng muka. Wajahnya bundar seperti bulan purnama. Jenggot menjulai
sampai ke dada. Dengan jubah pertapaan yang berkibar-kibar, sepintas pandang dia
menyerupai dewa yang turun ke bumi….
Di belakang tampak berdiri pengemis kecil murid Pengemis sakti Cong To dan si Tangan
kilat Ca Giok!
Di sebelah kanan tampak kedua nona Ting. Ting Ling berpakaian hitam, Ting Hong
tetap berpakaian putih. Wajah keduanya tetap secantik seperti biasa.
Pengemis kecil cepat lari dan berseru, “Suhu….” – tetapi Pengemis-sakti menolakkan
tangannya seraya berkata, “Jangan meributi pengemis tua dulu. Akulah yang hendak
menanyakan bagaimana engkau ini!”
Ca Giok segera memberi hormat dan berkata dengan tertawa, “Kami mendengar Cong
locianpwe mendapat kesukaran dalam penjara air maka sengaja datang hendak
menolong….”
Cong To gelengkan kepala, tukasnya, “Apakah begitu sederhana sekali? Jangan
membuat lemah hatiku!”
Ca Giok tersenyum lari menghampiri dan terus mencekal tangan Han Ping, serunya,
“Saudara Ji tetap gagah seperti biasa. Mengapa tersiar berita kalau saudara sudah
meninggal?”
Han Ping melirik ke arah Thian Hian totiang. Tampak wajah imam yang semula
berwibawa itu, berubah terkejut. Han Ping tersenyum hambar, sahutnya, “Aku memang
manusia dari dua dunia. Sudah tentu kabar burung itu hilang kenyataannya!”
Ting Hong tertawa, “Ci, bukanlah telah kukatakan bahwa dia tak mungkin bisa mati!
Lihatlah, bukankah dia tak kurang suatu apa!”
Thian Hian menatap Han Ping dan bertanya, dengan nada dingin, “Apakah engkau
benar-benar orang yang malam itu bertempur dengan aku?”
Han Ping tertawa, “Kita telah bertempur sampai 100 jurus. Aku engkau lukai dengan
tenaga dalam daya mental. Lalu engkau tutuk jalan darah maut Sin-hong-hiat tubuhku.”
Thian Hian mengangguk, “Aku selalu bertanggung jawab apa yang kulakukan. Tak
perlu engkau ungkit peristiwa itu lagi!”
“Tetapi aku masih belum mempunyai rencana untuk menuntut balas kepadamu,” kata
Han Ping.
Thian Hian mendengus dingin, “Sekalipun engkau mempunyai rencana itu, kiranya
sukar juga untuk melaksanakannya!”
Han Ping tertawa hambar, “Tetapi ada suat hal yang benar-benar aku tak tahan….”
bicara sampai disitu wajahnya serentak berubah bengis katanya, “Apakah luka beracun
pamanku Kim itu sudah baik?”
“Sekali aku sudah berjanji hendak menyembuhkannya, biarkan menderita luka yang
lebih hebat dari itu, tetap dapat menyembuhkan….“ tiba-tiba ia berhenti karena merasa
jawaban seperti dikarenakan rasa takut kepada pemuda itu. Serentak ia lantangkan
suaranya, “Setelah kututuk jalan darah maut tubuhmu, mengapa engkau masih hidup dan
dapat datang ke biara sini!”
Mendengar pamannya Kim Loji sudah sembuh, legahlah hati Han Ping. Ia tersenyum
menyahut, “Hal itu harus kuhaturkan terima kasih atas tendangan yang locianpwe berikan
kepadaku saat itu. Tendanganmu itu telah membuka jalan darah bagian Yim dan Tok
dalam tubuhku. Sekali tenaga murni melancar, jalan darah maut yang engkau tutuk itupun
dapat terbuka sendiri!”
“Benarkah itu?” seru Thian Hian heran.
“Jika tendanganmu itu tak tepat mengenai jalan darah bagian Yim dan Tok, tentu saat
ini aku sudah menjadi tumpukan tengkorak!”
Thian Hian menghela napas ringan lalu berpaling memberi pesan kepada seorang imam
kecil supaya mengundang Kim Loji keluar.
Setelah imam kecil itu pergi, Thian Hian berpaling ke arah Pengemis sakti Cong To,
serunya dingin, “Kedatangan saudara Cong kemari dan melukai beberapa orang di sini,
entah dengan cara bagaimana saudara Cong hendak mempertanggung jawabkan?”
Pengemis sakti tertawa, “Tetamu harus menurut kehendak tuan rumah. Silahkan
toheng mengatakan, pengemis tua tentu akan menurut saja!”
Mata Thian Hian berkilat ke arah pengemis kecil, ujarnya, “Untuk sementara kita catat
saja rekening itu. Kelak kita perhitungkan lagi….”
“Aneh!” seru Cong To, “tak pernah selamanya saudara begitu sungkan terhadap
orang….”
“Benar, memang bicara kami tak pernah menumpuk hutang orang sampai lama. Tetapi
terhadap engkau si pengemis tua, akan kuberi pengecualian,”
Cong To memandang ke arah puncak wuwungan paseban tertawa, “Hal itu sungguh
mengejutkan pengemis tua.”
Ting Hong tak kuat menahan luapan hatinya lagi. Cepat ia lari menghampiri Han Ping,
“Apakah engkau tak melihat kami berdua?”
“Melihat….”
“Kalau melihat mengapa tak menegur?”
Merah muka Han Ping. Tersipu sipu ia memberi hormat dan berseru, “Nona berdua….”
Tiba-tiba Ting Hong menutup hidungnya dengan ujung lengan baju, serunya, “Sudah
berapa lama engkau tak ganti pakaian?”
“Kira-kira sudah satu bulan!” sahut Han Ping. memang selama terkurung dalam penjara
air hampir satu bulan itu, pakaiannyapun sudah menjamur, baunya apek sekali.
Mendengar adiknya bicara yang tak genah, buru-buru Ting Ling berseru, “Hai, budak
liar, sudah berumur 16 17 tahun masih tak tahu adat. Hm, apakah tak mau ditertawai
orang, hayo, lekas kembali ke sini!”
Malulah Ting Hong karena dimaki tacinya di depan orang banyak itu. Ia tundukkan
kepala dan mundur ke tempat Ting Ling lagi.
Menatap Han Ping, berkatalah Thian Hian, “Benar-benar aku tak mengerti, kalian
makan apa saja selama dalam penjara air itu? Spakah sebelumnya kalian memang sudah
membawa bekal makanan?”
Mendengar pertanyaan itu, perut Han Ping serentak menguak dan huak….Ia muntah air
masam.
Pengemis sakti Cong To tertawa gelak-gelak, “Adalah engkau sendiri yang menyediakan
makanan lezat itu! Masakan engkau sendiri tak tahu?”
Thian Hian tahu bahwa pengemis itu memang tak pernah bohong. Mau tak mau ia
terbeliak, serunya, “Apakah yang kami sediakan di situ?”
“Engkau merencanakan untuk membikin kami berdua lemas lalu menawan, bukan?”
tanya Cong To.
Setiap orang yang terjeblos dalam penjara air itu memang harus menderita kelaparan
selama 10 sampai 15 hari,” jawab Thian Hian.
“Sayang kehendak Tuhan itu tak seperti yang dikehendaki manusia. Ternyata engkau
tak mampu membikin kami kelaparan….”
“Engkau kan bukan manusia baja, bukan? Kalau lapar sampai 15 hari, tentu kalian tak
dapat bergerak lagi!”
Cong To tertawa gelak-gelak, serunya, “Perhitunganmu kali ini meleset, imam hidung
kerbau! Engkau tentu tak pernah menduga bahwa dalam penjara air itu terdapat sarang
ular air. Tuhan selalu murah. Kawanan ular air itu cukup memberi makan pengemis tua
sampai sebulan lamanya!”
Thian Hian tertegun, serunya, “Penjara air itu luar biasa dinginnya. Sekalipun kalian
membawa bahan api, tetap tak dapat menahan haw a dingin di situ. Apakah engkau
makan mentah mentah saja ular itu?”
“Pengemis tua mempunyai 28 resep makan ular. Untuk makan ular mentah, pengemis
tua mempunyai 12 macam resep. Tentulah engkau imam hidung kerbau tak pernah
mengetahui….”
Huak…. kembali Han Ping muntah lagi. Mendengar ucapan Cong To tadi, seketika
perutnya seperti dipelintir pelintir. Ia merasa perutnya tentu masih ada sisa daging ular.
Tetapi ketika dimuntahkan ternyata hanya air saja.
Cong To tetap tertawa bebas dan menuturkan tentang pengalamannya makan ular
mentah dalam penjara air. Dia benar-benar seorang ahli bicara. Dalam penuturannya itu,
ia memberi nama yang berlain- lainan pada 12 resep makan ular mentah itu. Setiap nama,
sedap sekali didengarnya.
Makin Cong To bicara dengan riang gembira, makin Han Ping muntah-muntah dengan
hebat. Yang kedengaran seolah-olah tertawa Cong To sahut menyahut dengan muntah
Han Ping.
Melihat itu Ting Hong tak kuat menahan perasaannya lagi. Segera ia berseru nyaring,
“Pengemis tua, sudahlah, jangan terus menerus bicara tentang makan daging ular
mentah, bising telingaku mendengarnya!”
Ting Lng terkejut. Ia hendak mencegah tetapi sudah tak keburu. Diam-diam ia memaki
adiknya itu, “Hm, budak yang tak tahu tingginya langit. Siapakah Cong To itu, mengapa
engkau benani memanggil dengan sebutan ‘Pengemis tua’….”
Siapa tahu, ternyata Cong To tak marah melainkan tersenyum dan diam.
Thian Hian totiang berpalmg ke arah Ting Hong, serunya, “Budak perempuan, nyalimu
sungguh besar sekali! Mau engkau menjadi murid per guruanku?”
Sekalian orang terkejut dan memandang Ting Hong, menunggu apa jawab dara itu.
Mereka anggap tawaran Thian Hian totiang itu benar-benar suatu hal yang tak terdugaduga.
Tetapi Ting Hong termangu saja. Wajahnya tegang tetapi tak berkata suatu apa.
Kata Thian Hian pula, “Apakah engkau takut ayahmu Raja Setan itu tak setuju? Hm,
jika dia berani tak setuju, Lembah Raja setan tentu akan kubumi-hanguskan!”
“Bangunan Lembah kami terbuat dari batu karang semua, tak mempan dibakar api
yang bagaimanapun besarnya….”
“Kalau api tak mempan akan kubongkar tanahnya supaya sebuah bangunanpun tak sisa
lagi….”
“Persiapan lembah kami ketat sekali. Belum kalian mencapai ke tengah lembah, tentu
sudah dipergoki….”
“Dipergoki lalu akan diapakan?”
“Obat penyesat jiwa dari Lembah Raja setan termahsyur di seluruh dunia. Siapa yang
berani masuk ke dalam lembah tentu tak dapat keluar lagi….”
Cepat Thian Hian mengerat kata-kata Ting Hong, “Aku tak punya waktu adu lidah
dengan engkau! Pendek kata, engkau suka tidak menjadi murid perguruanku?”
Sejenak merenung, Ting Hong menyahut, “Walaupun hati suka, tetapi aku harus minta
izin dulu kepada ayah.”
“Kuterima engkau menjadi murid dan kuberikan ilmu pelajaran kepadamu. Apakah
sangkut pautnya dengan ayahmu?”
Ting Ling berpaling ke arah adiknya dan berbisik, “Adik Hong, engkau terimalah saja!
Nanti aku yang mengatakan kepada ayah, Karena ayah tentu takkan melarang!”
Ting Hong tahu bahwa tacinya itu amat cerdas dan tepat sekali memperhitungkan
segala kemungkinan. Ia tak akan sangsi lagi dan tersenyum-senyum berpaling ke arah
Thian Hian, serunya, “lt kiong, Dua Lembah dan Tiga Marga, sama-sama terkenal di dunia
persilatan. Kepandaianmu berimbang dengan ayahku. Ilmu apa lagi yang hendak
kauberikan kepadaku?”
Ting Hong seorang dara yang polos hati dan suka bicara terus terang. Apa yang dipikir
dalam hati, tentu segera diucapkan.
Thian Hian tertegun, “Kepandaian dan pengetahuan ayahmu, masakan dapat
disejajarkan dengan aku. Berbicara tentang ilmu silat saja, mana dia dipersamakan dengan
diriku….”
Tiba-tiba Cong To menyelutuk, “Ilmu silat dari Lembah Raja setan mana bisa
dibandingkan dengan ilmu pedang dari imam hidung kerbau Thian Hian? Sudahlah, baik
engkau mengangkat guru kepadanya. Jika ayahmu si Raja Setan tahu, dia tentu girang
setengah mati. Masakan dia akan mempersalahkan engkau!”
Thian Hian mengelus-elus jenggotnya seraya tertawa, “Entah apakah saudara Cong
percaya pada kata kataku atau tidak. Dalam waktu tiga tahun akan kugembleng dia
menjadi pendekar wanita kelas satu dan dapat diadu dengan beberapa tokoh kelas satu
dalam dunia persilatan. Saudara Cong sendiri, dalam tiga tahun belum tentu mampu
mengalahkannya!”
Cong To tertawa, “Dalam hal itu, pengemis tua hanya percaya setengah bagian saja!”
Thian Hian berseru heran, “Mau percaya, harus percaya penuh. Kalau tak percaya,
cobalah buktikan saja nanti tiga tahun kemudian. Masakan percaya hanya separuh
bagian….”
Berhenti sejenak, imam itu melanjutkan ucapannya pula, “Saudara Cong tentu merasa
bahwa ilmu silat dan ilmu pedangku terpaut tak berapa banyak dengan engkau. Maka
engkau hanya mau percaya setengah-setengah saja!”
“Dalam hal ilmu silat dan ilmu pedang memang pengemis tua merasa harus tahu diri….”
“Bukan terbatas pada saja, pun dalam ilmu Meringankan tubuh, ilmu pedang dan
pelajaran tenaga sakti Hian-bun-kong-gi, di dunia rasanya tiada terdapat keduanya lagi!”
Diam-diam Han Ping membatin, “Hm, imam ini luar biasa congkaknya. Masakan memuji
kepandaiannya sendiri setinggi langit!”
Cong To hanya ganda tertawa, “Dalam waktu tiga tahun engkau mampu menjadi budak
setan itu seorang pendekar wanita kelas satu, pengemis tua memang percaya. Bahkan
pengemis tua pun yakin, jika engkau sungguh-sungguh hati mendidiknya, dalam waktu 10
tahun dia tentu menjadi pendekar wanita yang amat cemerlang….”
Thian Hian tertawa dan memuji akan ketajaman pandangan pengemis Cong To. Cong
To mengucap beberapa kata merendah.
Mendengar percakapan kedua tokoh itu, Ting Hong berpaling ke arah tacinya lalu
berpaling kepada Thian Hian totiang lagi, serunya, “Engkau hanya menerima aku seorang,
apakah taciku tak dapat engkau terima sekali?”
Thian Hian sejenak memandang Ting Ling, ujarnya, “Kalau soal kecerdasan dan bakat,
engkau kalah jauh dengan tacimu. Tetapi sayang, aku hanya dapat menerima seorang
murid saja!”
Ting Ling tertawa, “Bahwa kwan-cu (kepala biara) mau menerima adikku sebagai
murid, aku sudah sangat berterima kasih sekali….”
Tiba-tiba terdengar derap langkah kaki orang mendatangi dan muncullah si imam kecil
membawa Kim Loji.
“Paman, apakah lukamu sudah sembuh?” teriak Han Ping seraya lari menyongsong.
“Baik,” kata Kim Loji tertawa, “dimana saja engkau selama sebulan ini?”
Han Ping tertawa, “Aku berada dalam penjara air selama 25 hari. Tetapi karena paman
sudah sembuh, sedikit penderitaan itu tak kuanggap apa-apa.”
Entah girang entah karena teringat sesuatu, maka dua butir airmata menitik turun dari
kelopak Kim Loji. Ia tertawa, “Nak, hanya membuat sengsara engkau saja!” – ia maju
menghampiri. Lebih dulu memberi hormat kepada Cong To kemudian kepada Thian Hian
totiang, ujarnya, “Terima kasih atas budi pertolongan kwancu yang telah menyembuhkan
lukaku.”
Tiba-tiba tampak Thian Hian totiang gembira, serunya sambil mengurut jenggot,
“Berpuluh tahun ini. orang yang minta pertolongan rnenyembuhkan lukanya padaku dan
dapat keluar dengan tak kurang suatu dari biara Hian-bu-kwan ini, baru engkau seorang!”
Kembali Kim Loji menghaturkan terima kasih yang tak terhingga.
Han Ping berpaling dan bertanya kepada Pengemis sakti, “Cong locianpwe, apakah
masih ada urusan lain lagi?”
Sahut Cong To, “Selama hidup, jarang aku bicara dengan imam hidung kerbau sampai
begini lama. Baik, mari kita pergi.”
Ting Hong hendak membuka mulut tetapi didahului Thian Hian totiang, “Jangan buruburu
dulu, pengemis tua. Kita masih belum selesai bicara!”
“Soal apa lagi?” tanya Cong To.
“Kata-katamu tadi bertentangan sendiri dan belum engkau jelaskan,” kata Thian Hian.
“Sebulan yang lalu, engkau mengatakan bahwa perempuan itu dalam tiga tahun tentu
dapat mengalahkan pengemis tua. Pengemis tuapun percaya penuh. Tetapi saat ini
bukanlah seperti saat itu. Pengemis tua tak dapat dibandingkan dengan keadaannya
sebulan yang lalu!”
Thian Hian merenung sejenak. Tiba-tiba ia berseru marah, “Engkau ngoceh sesukamu
sendiri saja. Selama sebulan ini engkau berada di biara sini. Masakan engkau mendapat
rezeki lain yang luar biasa!”
Cong To tertawa, “Hal ini maaf, pengemis tua tak dapat memberitahukan. Jika tak
percaya, nanti 3 tahun lagi kita boleh dicoba. Pada saat itu mungkin engkau imam hidung
kerbaupun tak dapat menandingi pengemis tua ini!”
Dua puluh lima hari bersama Han Ping sama-sama meyakinkan ilmu dalam kitab Tatmo-
ih-kin-keng, Cong To telah memperoleh kemajuan yang pesat sekali.
Thian Hian totiang tahu bahwa Pengemis sakti Cong To itu selalu bicara terus terang.
Hitam bilang hitam, Putih bilang putih. Sekali pengemis itu menolak memberitahukan,
percuma saja untuk mendesaknya.
“Kalian telah masuk ke Hian-bu-kiong tanpa izin, terpaksa aku tak dapat mengantar
keluar. Kecuali kalian mau menghadap dan memberi hormat kepada patung cousu pendiri
biara ini, untuk mengaku menjadi murid secara simbolis….”
“Ah, pengemis tua ini sudah biasa hidup bebas. Sukar kiranya kalau harus ganti cara
hidup terikat oleh peraturan biara….”
“Memang sudah kuduga engkau tentu tak mau,” tukas Thian Hian totiang, “di luar
paseban itu terdapat tujuh lapis pintu yang dijaga oleh barisan pedang. Kalian dengan
cara bagaimana tadi masuk kemari, silahkan dengan cara itu kalian keluar!”
Mendengar ucapan kepala Hian-bu-kiong itu, seketika berubahlah wajah Han Ping.
Melihat sikap Han Ping, Cong To kuatir kalau pemuda itu akan mengeluarkan kata-kata
yang keras. Buru-buru ia mendahului, “Tujuh buan barisan pedang tentu bukan olah-olah
hebatnya. Entah pengemis tua mampu menerobosnya atau tidak tetapi yang jelas tentu
sukar menghindari korban-korban yang menderita luka.”
Thian Hian tertawa, “Harap kalian bermurah hati sedikit sajalah. Nah, silahkan!”
Cong To menyadari bahwa kata-kata Thian Hian itu memang merupakan kenyataan
dari aturan biara Hian-bu-kwan. Sekali-kali bukan karena sengaja hendak membikin susah.
Maka iapun segera memberi hormat dan minta diri. Sekali melesat, pengemis tua itu sudah
berada di luar paseban,
Ca Giokpun juga ikut memberi hormat dan pamitan.
“Silahkan kalian tinggalkan tempat ini,” sahut Thian Hian totiang tertawa.
Ting Ling mencekal tangan Ting Hong dan mengucapkan kata-kata selamat berpisah
dengan menghiburnya, “Adikku, tenangkanlah hatimu belajar ilmu kepandaian di sini.
Nanti beberapa waktu lagi, aku tentu datang ke mari menjenguknya!”
“Luka cici masih belum sembuh sama sekali. Harap baik-baik menjaga diri dalam
perjalanan. Maaf, aku tak dapat mendampingi cici,” kata Ting Hong.
“Tak apalah,” Ting Ling tertawa, “dari sini aku terus langsung pulang ke lembah.”
Ting Hong memandang ke arah Thian Hian totiang lalu minta izin untuk mengantarkan
tacinya.
“Hanya boleh sampai di luar paseban ini,” kata Thian Hian.
“Terima kasih suhu,” kata Ting Hong seraya menggandeng tangan tacinya berjalan
keluar.
Pengemis kecil dan Kim Loji mengikuti di belakang kedua nona itu. Sedang Han Ping
berjalan paling belakang.
Tiba di luar paseban besar, pengemis kecil dan Ca Giok cepat menyusul Cong To. Ting
Ling dan Ting Hong masih saling bercekalan tangan seperti berat untuk berpisah.
Dengan menghela napas, Han Ping berjalan di sisi kedua nona itu.
Tiba-tiba Ting Hong berseru memanggilnya, “Ji siangkong….”
“Nona hendak pesan apa?” Han Ping berhenti.
Ting Hong tertawa rawan, “Engkau begitu sungkan kepada kami. Beberapa bulan tak
bertemu, kita seperti orang yang belum kenal.”
“Nona berdua telah memperlakukan diriku amat baik sekali. Sudah tentu takkan
kulupakan seumur hidup,” sahut Han Ping.
“Kuharap nanti beberapa waktu kemudian, engkau bersama taci Ling suka datang
menjenguk aku kemari,” kata Ting Hong.
Han Ping merenung sejenak, ujarnya, “Orang luar tak diizinkan masuk ke dalam Hianbu-
kiong sini. Jika aku datang menjengukmu, tentu tak lepas dari rintangan para imam
disini….”
“Jika engkau sungguh mau datang, sudah tentu akan kusambutmu di luar pintu biara,”
Ting Hong tertawa.
“Masih banyak beban yang harus kutunaikan. Sekalipun aku meluluskan permintaan
nona untuk menjenguk kemari tetapi tak dapat ditentukan entah kapan….”
“Tak peduli pada tanggal, bulan dan tahun berapa, asal engkau benar-benar mau
kemari, aku tentu tetap akan menunggumu,” sahut Ting Hong.
Ting Ling menghela napas, serunya tertawa, “Adik Hong, Ji siangkong mempunyai
banyak urusan yang penting. Mengapa engkau hendak menyulitkan dirinya….”
Ting Hong tertegun, sahutnya, “Ah, cici benar….”
Kata Ting Ling lebih lanjut, “Thian Hian totiang merupakan seorang tokoh yang jarang
terdapat dalam dunia persilatan dewasa ini. Dia mau menerima engkau menjadi murid,
sudah suatu keberuntungan yang tak terduga-duga. Engkau harus belajar dengan
sepenuh hatimu agar supaya jangan sampai mengecewakan harapan gurumu.”
Tiba-tiba Han Ping menyelutuk, “Setahun lagi, jika Ji Han Ping masih hidup, tentu akan
datang kemari menyambangi nona,” ia memberi hormat terus melangkah keluar.
Juga Ting Ling segera lepaskan cekalan tangan adiknya dan berseru dengan tertawa,
“Adikku, lekaslah engkau kembali masuk ke dalam paseban!”
Ting Hong mengangguk lalu berjalan perlahan-lahan ke dalam paseban.
Ting Ling cepatkan langkah menyusul kawan-kawannya. Menikung ujung paseban,
ternyata Pengemis sakti Cong To menunggunya.
“Harap nona berjalan di tengah, Cong locianpwe yang mempelopori di muka dan aku di
belakang,” kata Han Ping.
Ting Ling menurut.
Cong To berpaling memberi pesan, “Dalam menembus barisan pedang, hindarilah
supaya jangan sampai melukai orang.”
Cepat mereka tiba di pintu pertama yang dijaga oleh 8 imam pertengahan umur.
Mereka menghadang di tengah jalan dengan menghunus pedang.
Cong To acungkan tangan kiri dan berseru nyaring, “Hati-hatilah, pengemis tua hendak
menerobos!”- ia menutup kata-katanya dengan gerakan sebuah hantaman.
Ke 8 imam itu tiba-tiba menyisih ke samping.
Gerakan mereka teratur dan amat rapi. Pada saat itu juga, Cong To melesat ke ambang
pintu lalu rentangkan kedua tangan ke kanan dan kiri dalam jurus Hun-hoa-hud-liu atau
Membagi bunga menyiak pohon liu.
Pedang ke 8 imam itupun serempak berhamburan untuk menutup jalan. Tetapi pukulan
Cong To itu bukan kepalang dahsyatnya. Baru pedang mereka bergerak, orangnyapun
sudah terpental rnundur. Oleh karena tubuh ke 8 imam itu terdorong ke belakang sampai
dua langkah, pedang merekapun tak berdaya lagi untuk menutup jalan. Cong To cepatcepat
melangkah keluar dari pintu itu.
Ca Giok yang mengikuti di belakang Cong To, diam-diam pun sudah siap sedia. Teiapi
di luar dugaan ke 8 imam itu tak mau mengganggu rombongan di belakang Cong To lagi.
Dengan begitu Ca Giok, Kim Loji, Ting Ling dan Han Ping dapat melalui pintu pertama itu
dengan aman.
Selanjutnya dalam melewati enam lapis pintu dan menerobos 6 buah barisan pedang,
keadaannyapun hampir sama. Barisan pedang pada setiap pintu itu tentu menghadang
Cong To. Tetapi setelah Cong To dapat menghalau mereka, merekapun segera menyisih
mundur dan tak mau merintangi rombongan yang ikut di belakang pengemis sakti itu.
Cara yang begitu mudah dalam melalui enam lapis pintu, menimbulkan keraguan
Pengemis sakti Cong To. Diam-diam ia berpikir, “Imam hidung kerbau itu walaupun
mengandung maksud untuk membiarkan kita keluar, tetapi tak mungkin dengan cara yang
semudah itu….”
Dalam pada menimang nimang itu, Cong Topun tiba di pintu terakhir. Ialah pintu besar
dari biara Hian-bu-kiong. Setelah melalui pintu besar itu, mereka benar-benar sudah keluar
dari lingkungan biara.
Memandang ke muka, Cong To melihat berpuluh imam menghunus pedang tengah
berkerumun menjaga pintu. Begitu melihat kehadiran Cong To dan rombongannya,
mereka segera pencarkan diri dalam sebuah barisan pedang. Formasi barisan pedang itu,
tak banyak bedanya dengan barisan-barisan pedang yang menjaga pada setiap pintu.
Tetapi ketika Han Ping condongkan tubuh ke samping untuk melihat keadaan di sebelah
muka, ia menjerit tertahan.
Ternyata ia terkejut karena melihat dua orang imam tua yang rambut dan jenggotnya
sudah putih, duduk bersila di tengah barisan pedang. Di muka kedua imam tua itu masingmasing
terletak sehelai panji merah dan sebatang pedang panjang.
Bisik Han Ping, “Cong locianpwe, apakah di antara kedua imam tua yang duduk di
tengah barisan pedang itu terdapat salah seorang yang tempo hari menjerumuskan kita ke
dalam penjara air?”
Cong To tertawa, “Bermula kukira imam hidung kerbau itu sungguh-sungguh
bermaksud hendak membebaskan kita. Tetapi ternyata dia telah tumpahkan seluruh
kekuatan biara pada barisan pedang di pintu terakhir. Jelas keenam lapis pintu yang kita
lampaui tadi, bukan karena mereka bersikap sungkan kepada kita. Melainkan karena
imam-imam anggota barisan pedang itu, termasuk murid-murid yang kepandaiannya
tergolong kelas 3 atau 4. Jika berani menempur kita, mereka kuatir akan mendapat malu!”
“Jadi menurut pandangan locianpwe, apabila kita mampu melintasi barisan pedang
terakhir ini, barulah kita dianggap betul-betul memiliki kepandaian yang berarti?” tanya
Han Ping.
“Thian Hian si imam hidung kerbau itu, sekalipun tak mengandung maksud untuk
merintangi kita keluar dari biara ini, tetapi paling tidak dia tentu hendak suruh kita
merasakan sedikit hidangan pahit”
Kata Han Ping dengan nada gelisah, “Jika mereka sudah mengerahkan kekuatan dan
kita tak boleh melukai orang, tentulah kita akan menderita kerugian. Apalagi pamanku Kim
dan nona Ting masih belum sembuh benar….”
Cong To tiba-tiba berpaling, ujarnya, “Yang paling menguatirkan adalah kedua imam
tua berambut putih yang duduk bersila di dalam barisan itu. Pada malam kita terpikat ke
dalam penjara air. Pengemis tua telah merasakan sebuah pukulannya. Walaupun belum
sepenuh tenaga, tetapi tenaga pukulannya tak di bawah pengemis tua. Seorang saja
sudah cukup menyulitkan apalagi tambah seorang lagi. Kali ini kita betul-betul berhadapan
dengan musuh berat. Lebih baik kita berunding dulu!”
Mendengar keterangan pengemis tua, Ca Giok, Kim Loji dan Ting Ling anggap
persoalannya tentu serius. Tokoh semacam Cong To, biasanya tak pernah sembarangan
memuji kepandaian musuh. Perhatian mereka tertumpah seluruhnya kepada kedua imam
itu.
Ting Ling seorang nona yang teliti sekali. Melihat pedang kedua imam itu berbentuk
istimewa, seketika timbullah kecurigaannya. Diam-diam ia menimang, “Biasanya orang
yang menggunakan pedang itu tentu unggul dalam ilmu meringankan tubuh. Tetapi
pedang kedua imam itu kecuali panjangnya luar biasa, pun lebih berat dari pedang biasa.
Entah apa maksudnya.”
Ting Ling memang cermat sekali. Sebelum ia dapat meneropong rahasia sesuatu hal
yang dicurigai, tak mau ia sembarangan bicara.
Han Pingpun memandang barisan pedang itu dengan seksama. Diam-diam ia terkejut.
Tampak semua imam yang membentuk barisan pedang itu meramkan mata dan
tundukkan kepala.
Cara memusatkan perhatian dan semangat itu, benar-benar suatu persiapan dari ilmu
barisan pedang yang bermutu tinggi.
Diam-diam Han Ping menghitung. Kecuali kedua imam tua itu, barisan pedang terdiri
dari 36 orang imam. Sesuai dengan jumlah ke 36 daya alam. Tetapi dengan ditambah 2
orang imam tua, agaknya sudah tak sesuai lagi.
“Cong locianpwe, aku mendapat akal, entah sesuai digunakan atau tidak?” tiba-tiba Han
Ping berseru.
“Bagaimana?” tanya Cong To.
“Biarlah aku seorang diri yang menggempur barisan mereka. Jika dapat menembus, ya
sudah. Tetapi jika gagal, locianpwe dan saudara-saudara tentu dapat mengamati gerak
perubahan dari barisan dan menemukan daya untuk memecahkannya!”
Cong To merenung. Sesaat kemudian ia berkata, “Cara itu memang tepat. Tetapi
barisan pedang itu merupakan pengerahan tenaga kekuatan Hian-bu-kiong. Kecuali setiap
anggotanya tentu berkepandaian tinggi, pun barisan itu tentu mempunyai gerak
perubahan yang hebat. Lebih baik aku si pengemis tua saja yang mencobanya!”
“Locianpwe luas pengalaman. Jika locianpwe yang berada di luar dan memperhatikan
perubahan mereka, tentulah berhasil. Tetapi kalau locianpwe yang menyerbu dan kami
yang tinggal di luar, tentu kurang waspada!”
“Biarlah kutemani saudara Ji menyerbu barisan itu,” seru Ca Giok sambil mengangkat
dada.
Cong To tertawa, “Marga Ca memang termahsyur dalam ilmu barisan yang aneh-aneh.
Tentulah engkau sudah mempunyai pegangan untuk menghadapi barisan pedang itu.”
“Sedikit-sedikit memang telah kuketahui rahasia barisan itu. Tetapi karena ditambah
dengan dua orang imam tua, kukuatir barisan itu mempunyai lain perubahan lagi….” Ca
Giok tertawa.
“Kedua imam tua itu?” tanya Cong To.
Ca Giok mengiakan.
Tiba-tiba Ting Ling menyeletuk, “Aku mempunyai pendapat. Entah benar atau tidak?”
“Uh, dunia persilatan siapakah yang tak kenal pada nona Ting. Silahkanlah,” kata Ca
Giok.
Han Pingpun ikut memuji, “Nona Ting selalu dapat membuat penilaian yang tepat,
aku….”
Ting Ling tersenyum, “Sudahlah, jangan kelewat menyanjung….tahukah kalian apa
sebab kedua imam tua itu duduk bersila seperti patung?”
“Entahlah!” Han Ping gelengkan kepala.
“Kedua imam tua itu orang cacad! Kalau tidak sebelah kaki tentu kedua belah kaki
mereka buntung semua!” kata Ting Ling.
Mendengar itu Cong To, Ca Giok bahkan si pengemis kecil yang licin, terbeliak kaget.
“Bagaimana engkau tahu?” tanya Cong To.
“Aku memang sudah curiga mengapa mereka berdua duduk bersila tak bergerak. Kalau
mereka berdua yang memegang pimpinan barisan, tak perlu duduk begitu dan tentu
berdiri di tempat tertentu memberi aba-aba. Dua helai panji merah dan dua batang
pedang yang istimewa panjangnya, memang aneh sekali. Jika Thian Hian locianpwe
menaruh kepercayaan kepada kedua imam tua itu akan mampu menghalangi perjalanan
kita, tentulah beliau tak perlu lagi menyertakan barisan pedang untuk memperkuat kedua
imam itu….”
Cong To mengangguk, “Dunia persilatan memuji budak perempuan yang besar dari
Lembah Raja Setan itu, cerdas dan cermat. Rupanya memang benar. Tetapi dengan
sedikit ulasan itu, kiranya masih belum cukup untuk menarik kesimpulan bahwa kedua
imam tua itu cacad kakinya!”
“Locianpwe benar.” Ting Ling tertawa, “karena curiga kepada kedua imam tua itu,
maka diam-diam kuperhatikan gerak geriknya. Tadi tiba-tiba angin berhembus agak keras
dan jubah kedua imam tua itu tersingkap naik….”
“Cukup! Cukup!” Cong To menghela napas, “hampir separuh umur pengemis tua
gentayangan di dunia persilatan tetapi tetap tak mampu memikirkan hal-hal yang sekecil
itu.”
Juga Ca Giok ikut memuji. Berkatalah Ting Ling sambil merendah diri, “Siapapun juga,
asal mau memperhatikan tentu dapat. Soal itu sesungguhnya amat sederhana sekali….”
Tiba-tiba kedua imam tua itu membuka mata dan berkilat-kilat memandang ke arah
Ting Ling. Rupanya mereka menangkap pembicaraan nona itu.
Melihat itu Ting Ling malah sengaja lantangkan suaranya, “Karena tak dapat bergerak
dengan leluasa maka kedua imam tua itu sengaja membuat pedang yang istimewa
panjang dan berat. Kedua helai panji merah itu tentulah untuk memberi aba-aba pada
barisan.
Han Ping membenarkan pendapat nona itu. Karena ketika pada malam itu ia bersama
Cong To dijebak dalam penjara air, pun imam tua yang menjebaknya itupun
menggunakan lentera merah.
Berkata Ting Ling, “Saudara Ca, ilmu silat Peh-poh-sin-kun dari keluarga Ca, yang
mampu melakukan serangan dari jarak jauh maupun dekat, ditambah pula dengan
pengetahuan saudara Ca tentu ilmu barisan Pat-kwa-kiu-kiong, kiranya tepat kalau
saudara yang maju menggempur lebih dulu!”
Ca Giok tidak menyahut. Tetapi diam-diam ia mengeluh mengapa nona itu hendak
menganjurkan ia yang menjadi pelopor. Apakah ia harus maju seorang diri?
Melihat perubahan muka Ca Giok, Ting Ling tertawa, “Dengan Ca saupohcu yang
mendampingi Ji siangkong, kiranya tentu dapat menghadapi barisan mereka. Karena ilmu
silat sakti didampingi dengan pengetahuan tentang gerak perubahan barisan. Tetapi
perhitungan itupun ada kalanya meleset juga. Lalu bagaimana pendapat Cong locianpwe
andaikata ia sampai gagal?”
“Sudahlah, engkau toh sudah mengaturnya dengan cermat. Tak perlu memberi muka
lagi pada pengemis tua ini,” Cong To tertawa.
“Tetapi aku hanya rnemberi usul saja. Hak memutuskan tetap pada locianpwe,” Ting
Ling tertawa juga.
“Engkau boleh merencanakan dengan teliti, jauh lebih luas dari pemikiran pengemis
tua. Terserahlah saja padamu!”
Han Ping berpaling dan mengajak Ca Giok segera menyerbu.
“Apakah kalian tak membawa senjata?” tanya Ting Ling.
“Sayang tak seorangpun dari kita yang membekal senjata” sahut Ca Giok.
“Tak apalah, kita nanti dapat merebut senjata salah seorang imam,” kata Han Ping
seraya melangkah ke arah barisan. Ca Giok terpaksa mengikuti.
Selekas tiba di muka barisan, secepat kilat Han Ping terus menyerbu. Ternyata
walaupun sedang pejamkan mata, tetapi anggota barisan itu memiliki reaksi yang tajam
sekali. Begitu Han Ping menerjang, barisan pun segera bergerak. Empat batang pedang
segera menyongsong Han Ping dari empat jurusan.
Sekonyong-konyong Han Ping menarik diri. Tubuhnya ditekuk ke belakang sehingga
hampir rebah telentang ke tanah. Itulah jurus Thiat-poan-kio yang sederhana. Tetapi
karena Han Ping bergerak dengan luar biasa cepatnya, jurus itu lain juga gerakannya.
Selekas keempat pedang menusuk angin, dengan gerak secepat kilat, Han Ping
sambarkan kedua tangannya untuk merebut pedang dua orang imam.
Tetapi saat itu barisan sudah bergerak. Imam-imam itu mulai berlincahan melalu lintas.
Kiblatan pedang merekapun tampak seperti pagar yang rapat.
Pada saat tangan Han Ping menjamah jubah kedua imam, empat batang pedang telah
menusuknya dari samping.
Gerak saling mengisi dan saling mem bantu dari barisan itu, memaksa Han Ping harus
menyelamatkan diri lebih dulu. Cepat ia menarik kedua tangannya lalu menggeliat ke
samping. Tetapi baru kaki berdiri tegak, kembali 4 pedang sudah menusuknya lagi. Sampai
empat lima kali ia harus berpindah tempat karena serangan pedang.
Diam-diam Han Ping menimang. Tiap kali ia selalu bergerak pindah ke sebelah kiri dan
setiap kali itu pula dirinya tentu diserang oleh 4 pedang.
Diperhatikan juga bahwa ia telah terdesak ke tengah barisan. Jaraknya dengan kedua
imam tua itu hanya satu setengah meteran.
Ca Giok masih berhenti di luar barisan. Rupanya ia hanya mengawasi gerak perubahan
barisan itu dan tengah mempelajarinya.
Tetapi Ting Ling gelisah. Ia tahu bahwa beberapa kejap lagi Han Ping tentu akan
bertempur dengan kedua imam tua itu. Maka cepat ia mendorong Ca Giok supaya lekas
masuk ke dalam barisan.
Mendengar seruan si nona, terpaksa Ca Giok bertindak. Dengan menggembor keras
lebih dulu ia lepaskan sebuah hantaman Peh-poh-sin-kun lalu baru menerjang.
Menerima pukulan Ca Giok. Salah satu bagian barisan kacau. Ca Giok cepat gunakan
kesempatan itu untuk loncat ke dalam barisan. Begitu berada dalam barisan, ia segera
merasakan hebatnya tekanan lawan. Pedang berkiblatan menyerang dari empat penjuru.
Untung, sekalipun ilmu silat Ca Giok tak setinggi Han Ping, tetapi ia tahu akan rahasia
perubahan barisan. Dalam menghadapi serangan barisan. Ia dapat bertahan dengan
tenang.
Imam-imam anggota barisan itu sudah terlatih dengan sempurna. Sekalipun Ca Giok
tahu akan perubahan barisan, tetapi ia tetap tak mampu menghadapi tekanan yang
dahsyat dari serangan mereka. Berturut-turut ia terdesak ke tengah barisan.
Terdesaknya Ca Giok ke tengah barisan, menyebabkan tekanan pada Han Ping agak
kendor. Ketika Han Ping sempat berpaling, dilihatnya Ca Giok pontang panting setengah
mati. Rupanya pemuda Ca itu kewalahan. Melihat itu, Han Pingpun segera lontarkan dua
buah hantaman seraya menerjang.
Peristiwa-peristiwa aneh yang merupakan rezeki luar biasa bagi Han Ping selama
beberapa bulan ini, menyebabkan ilmu silatnya maju luar biasa pesatnya. Dua buah
pukulan yang dilepaskannya itu, laksana damparan gelombang laut dahsyatnya. Barisan
pedang yang ketat, tersiak mundur. Dua imam yang berada paling muka mencelat ke
belakang dan pedangnyapun terlepas.
Han Ping sendiri juga terkejut. Ia tak nyana kalau tenaga dalamnya sekarang berubah
begitu dahsyat.
Ca Giok menggunakan kesempatan untuk cepat memungut pedang yang jatuh itu. Lalu
lemparkan yang sebatang kepada Han Ping. “Saudara Ji, terimalah!”
Pada saat Han Ping menyambuti pedang, Ca Giokpun sudah loncat ke samping nya.
Tetapi barisan pedang yang kacau itupun sudah menyusun diri pula. Kedua imam yang
kehilangan pedangnya tadi, cepat mundur ke belakang. Serangan pedang kembali
melancar deras.
Dengan mencekal pedang, semangat Ca Giok pun bertambah besar. Berkatalah ia
dengan tertawa kepada Han Ping, “Saudara Ji, marilah kita sambut pedang mereka untuk
menguji sampai dimana tenaga kawanan imam itu. Kemudian baru kita cari akal untuk
membobol barisan….”
Tring, tring…. Ia sudah mendahulul menangkis dua batang pedang yang
menyerangnya.
“Aku tak paham akan barisan itu. Cara membobolkannya, harap saudara Ca yang
memberi petunjuk….” – pedang diobat-abitkan ke kanan kiri untuk menghalau tiga pedang
lawan.
Kini kedua pemuda itu tak mau menghindar lagi. Bahu membahu, mereka mulai
menangkis serangan lawan.
Pada saat itu jelas dapat diketahui bagaimana tingkat kepandaian kedua pemuda itu.
Han Ping tegak laksana sebuah karang. Gerakan pedangnya mantap dan keras. Setiap
imam yang beradu pedang dengannya, kalau tidak pedang imam itu tersiak ke samping
tentulah orang dengan pedangnya terpental mundur.
Tetapi Ca Giok dalam menghadapi serangan para imam itu kuda-kuda kakinya tak
tenang. Jika punggungnya tak saling bertekanan dengan punggung Han Ping, tentulah ia
sudah tak kuat bertahan lagi.
Saat itu kedua imam tua yang duduk bersila tadi, sudah mulai membuka mata untuk
melihat gerakan barisannya. Rupanya mereka gelisah juga melihat barisannya macet.
Salah seorang segera mengambil panji merah lalu digoyang-goyangkan dua kali,
Sekonyong konyong barisan berhenti serempak. Dan terdengarlah imam tua yang
satunya, batuk-batuk berkata, “Sungguh hebat sekali kalian dapat bertahan dalam barisan
ini sampai sekian lama. Sekarang apabila kalian mampu melintasi penjagaan kami berdua
saudara seperguruan ini. Kami segera akan membukakan pintu biara untuk mengantar
para tetamu keluar.”
Barisan itupun membubarkan diri. Ke 36 imam segera tegak berjajar-jajar di samping
kedua imam tua.
Cong To tertawa gelak-gelak, serunya, “Kukira kalian berdua imam hidung kerbau
hendak pinjam kewibawaan barisan untuk merintangi pengemis tua….”
Imam tua yang duduk di sebelah kiri tertawa dingin, “Hanya dengan kekuatan kami
berdua saudara seperguruan saja, dikuatirkan kalian tak mampu melintasi!”
Han Ping memperhatikan kedua imam tua itu. Umur mereka jauh lebih tua dari Thian
Hian totiang. Diam-diam ia meragu jangan-jangan kedua imam itu kedudukan
angkatannya lebih tinggi dari Thian Hian!
“Jika benar, tentulah kepandaian kedua imam tua itu hebat sekali. Tentu lebih tinggi
dari Thian Hian totiang. Menilik gelagat, tak mudah untuk melintasi rintangan yang
terakhir ini.” Diam-diam Han Ping menimang.
Tiba-tiba terdengar Ting Ling melengking, “Entah bagaimanakah kedudukan lo-cianpwe
dengan Thian Hian totiang!”
Rupanya nona itu juga mengandung kecurigaan seperti pikiran Han Ping. Ia duga
kedua imam tua itu tentulah imam golongan angkatan yang lebih tinggi dari Thian Hian.
Tetapi begitu mendengar disebutnya nama Thian Hian totiang, kedua imam tua itu
berubah tegang wajahnya. Dengan sikap menghormat, menyahut, “Thian Hian totiang
adalah guru kami!”
Ting Ling terbalik lalu tertawa, “Suheng berdua. apakah baik-baik saja?”
Imam tua yang duduk di sebelah kiri tertawa dingin, serunya mendamprat, “Gadis yang
masih begitu muda belia, mengapa mengucap kata-kata begitu tak tahu aturan.”
Sahut Ting Ling dengan serius juga, “Adikku sekarang menjadi murid dari Thian Hian
totiang. Jika menurut urut-urutan, apakah tak pantas kalau kupanggil kalian dengan
sebutan ‘suheng’ itu?”
Kedua imam tua itu terkesiap, “Benarkah itu?”
Apakah engkau tak dapat menghitung jumlah rombongan kami ini?” sahut Ting Ling.
Kedua imam tua itu saling berpandangan satu sama lain, lalu berkata, “Kalau begitu,
silahkan sumoay lewat!” – tanpa berganti tempat duduk, tiba-tiba kedua imam tua itu
menyisih ke samping.
Begitu pula ke 36 imam anggota barisan itu, sama turunkan pedangnya dan memberi
hormat kepada Ting Ling seraya menyebut bibi guru.
Sudah tentu Ting Ling risih sekali. Umur mereka rata-rata 20 tahun lebih tua dari
dirinya. Walaupun banyak pengalaman tetapi tak urung, Ting Ling merah juga wajahnya.
Sejenak tertegun baru ia membalas hormat kepada mereka lalu berpaling ke arah kedua
imam tua, serunya, “Siapakah nama gelaran kalian?”
“Aku Hoan In,” sahut yang duduk di sebelah kiri.
“Aku Goay Jiu,” sahut yang kanan.
Ting Ling kerutkan dahi. ‘Hoan In’ artinya membayar budi. Goay Jiu artinya dendam
tajam. Benar-benar suatu gelaran yang aneh. Ia tertawa, “O, kiranya Hoan In dan Goay
Jiu berdua suheng. Aku hendak mengajukan permohonan entah kedua suheng suka
meluluskan atau tidak?”
“Silahkan bilang!” seru Hoan In.
“Apa yang kami dapat melakukan, tentu meluluskan,” sahut Goay Jiu.
Ting Ling tersenyum, “Aku hendak mohon supaya suheng berdua suka memberi jalan
kepada rombonganku ini.”
“lni….” Hoan In kerutkan alis.
“Eh, engkau ini bagaimana,” tukas Goay Jiu, sumoay kita baru pertama kali
mengajukan permintaan kepada kita, sekalipun harus menerima dampratan suhu, kitapun
tak boleh membikin kecewa hati sumoay.”
Hoan In tertawa gelak-gelak, “Engkau benar, suto….,!”- ia memberi isyarat dengan
tangan kepada anggota barisan, “lekas antarkan paman gurumu keluar biara.”
Ke 36 imam anggota barisan mengiakan dengan sikap menghormat.
Ting Ling memberi hormat kepada kawanan imam itu lalu menghaturkan terima kasih
kepada kedua imam tua dan terus berjalan keluar biara.
Cong To tertawa gelak-gelak, “Berpuluh – puluh tahun mengembara di dunia persilatan,
baru pertama kali ini pengemis tua mengalami peristiwa yang seaneh ini!”
“Aku sendiri juga belum pernah….” Ting Ling tersenyum.
“Meskipun umurnya sudah begitu tua, tetapi kedua imam itu masih seperti kanakkanak,”
kata Han Ping.
“Kurasa mereka agak linglung….” kata Ca Giok.
Tiba-tiba Ting Ling menghela napas, “Ah, sekarang aku mengerti!”
“Mengerti apa?” tanya Cong To.
“Cong locianpwe luas pengalaman. Daya berpikir tentu jauh lebih hebat dari aku.
Tahukah locianpwe apa sebab kedua imam itu mau melepaskan kita keluar?”
“Kalau pengemis tua mengetahui, tentu tak perlu bertanya kepadamu. Hm, budak
perempuan, jangan banyak tingkah!”
Ting Ling sengaja menghela napas panjang, “Perasaan hati orang, tak dapat dikatakan
habis dalam sepatah kata. Perutku amat lapar, mana bisa bercerita? Nanti saja kita
lanjutkan bicara lagi!”
Mendengar kata-kata itu, seketika Cong To dan Han Ping seperti diingatkan. Perut
mereka seperti berontak.
“Huh, engkau mengili perutku!” Cong To bersungut.
Ting Ling mengemasi rambutnya yang kusut. Lalu mengeluarkan sebungkus dendeng
sapi, serunya “Ah, sayang dendeng ini hanya sedikit, cuma cukup untuk seorang saja….” –
ia menjiwir sekerat lalu dimasukkan ke dalam mulut terus dikunyahnya dengan
mengeluarkan suara keras.
Cong To batuk-batuk kecil, serunya, “Budak setan, kelak apabila sudah menyelesaikan
pelajarannya pada Thian Hian, adikmu itu jauh lebih sakti dari engkau!”
Sambil memakan dendeng, berkatalah Ting Ling seenaknya, “Benar! Memang nasibku
yang sial. Tiada orang yang menaruh kasihan kepadaku. Uh, apa daya?”
Kata Cong To, “Pengemis tua ingat akan sejurus ilmu pukulan. Ilmu pukulan itu
merupakan salah sebuah dari 9 jurus ilmu simpanan perguruan Kim-pay-bun. Paling cocok
untuk anak perempuan dan mudah pula dipelajari. Tak perlu menggunakan banyak
waktu….”
Sambil mengeluarkan sekerat dendeng, Ting Ling tertawa, “Jika locianpwe mau
mengajarkan ilmu itu kepadaku, tentu akan kuberi locianpwe sepotong dendeng ini.”
Cong To tertawa, “Jika tak kepingin makan, tak nanti pengemis tua sudi mengajarkan
kepadamu!” – menyambar dendeng sapi, terus dimasukkan ke dalam mulut.
Han Ping berpaling, memandang sejenak pada dendeng yang masih berada di tangan
Ting Ling, lalu cepat-cepat berpaling muka lagi.
Habis makan, Cong To berseru, “Budak setan, sepotong dendeng ditukar dengan
sejurus ilmu pukulan. Pengemis tua benar-benar rugi besar!”
“Jika engkau meluluskan untuk mengajar sejurus lagi, tentu akan kuberi dua iris lagi!”
“Bagus! Akan kuajarkan sejurus lagi!” seru Cong To.
Ting Ling mengambil dua iris dendeng lalu diberikan kepada Cong To.
Ca Giok hanya menghela napas, serunya, “Sayang aku lupa membekal dendeng
kering.”
Memeriksa dua potong dendeng itu, berserulah Cong To, “Budak setan kecil, dua iris
dendeng ini terpaut tak berapa besar dengan sepotong dendeng yang tadi! Orang
mengatakan engkau pintar menyiasati, rasanya memang benar.”
“Locianpwe sendiri yang menghendaki, apa peduliku!” Ting Ling tertawa.
Sekali telan habislah dua iris dendeng itu. Dikata iris kiranya kurang tepat. Lebih sesuai
kalau dikatakan butir, karena dendeng itu tidak dipotong berlapis melainkan digelindingi
bundar seperti buah kelengkeng.
“Akan kuberimu ajaran sejurus lagi entah berapa butir dendeng engkau mau
memberikan?”
“Sepuluh butir, masih ada sisa 15 butir. . .”
“Jadi!” teriak Cong To, “lekas serahkan padaku….”
Setelah menghitung 10 butir dan diserahkan kepada Cong To, sisanya lalu diberikan
kepada Han Ping, “Harap Ji siangkong suka menerimanya!”
Menyambuti dendeng, berkatalah Han Ping, “Nona sendiri masih lapar, bagaimana
suruh aku makan?”
Ting Ling tertawa mengikik, “Ah, mana aku lapar? Aku memang sengaja hendak
membohongi Cong locianpwe supaya suka memberi pelajaran ilmu silat kepadaku.”
Cong To tertawa keras, “Huh, apakah engkau kira pengemis tua ini kena engkau tipu?”
“Adakah locianpwe bermaksud hendak memberi gemblengan padaku?” tanya Ting Ling.
“Bukan begitu,” sahut Cong To, “memang pengemis sungguh-sungguh hendak makan
dendeng. Walaupun hanya makan 13 butir dendeng dan harus kutukar dengan 3 jurus
ilmu pukulan. Rugi sekalipun tetapi aku tak berhutang apa-apa padamu. Kelak di dunia
persilatan, tak ada orang yang mengejek pengemis tua!”
Tiba-tiba tergeraklah hati Han Ping, serunya, “Nona Ting, karena makan 15 butir
dendeng, aku pun hendak memberimu 5 jurus ilmu silat!”
tiba-tiba wajah Ting Ling berubah rawan, ia menghela napas, “Ah, terima kasih atas
kebaikanmu. Tetapi rasanya percuma saja aku mendapat ilmu pelajaran silat dari kalian
berdua.”
Han Ping heran, “Mengapa engkau senang menerima pelajaran silat dari Cong
locianpwe, tetapi keberatan menerima pelajaran dari aku .”
“Apakah engkau lupa bahwa luka dalam tubuhku masih belum sembuh sama sekali?
Dalam waktu beberapa hari ini, sesungguhnya kurasakan terjadi suatu perubahan dalam
tubuhku. Tetapi selalu kutahan supaya adikku tak tahu. Setelah sampai di jalan besar, kita
akan segera berpisah. Aku harus lekas-lekas pulang ke Lembah. Jika terlalu lama
berkeliaran di luar, mungkin aku tak sempat pulang dalam keadaan bernyawa.”
Han Ping merenung lalu berkata, “Aku telah berjanji untuk mengobati luka nona sampai
sembuh. Selama hal itu belum terlaksana janjiku tetap berlaku. Jika nona suka percaya
kepadaku sukalah nona pertangguhkan dulu jangan pulang ke Lembah agar aku dapat
kesempatan untuk mengusahakan sekuat tenaga.”
Ting Ling tertawa, “Sudah kelewat lama aku dan adikku pergi dari rumah. Banyak sekali
hal-hal yang perlu kulaporkan kepada ayah. Jika sampai mati di luaran, bukankah dendam
itu akan kubawa mati?”
Han Ping tertegun. Diam-diam ia merenung, “Untuk mengobati lukanya, harus minta
pertolongan kepada si dara baju ungu itu. Aku sudah sekali tebalkan muka minta
kepadanya untuk menyembuhkan paman Kim. Apakah aku harus minta sekali lagi
kepadanya….Ah, tetapi aku sudah berjanji kepadanya. Selama lukanya belum sembuh aku
tak dapat ingkar janji….”
Tiba-tiba Cong To tertawa keras, “Budak kecil apakah engkau sungguh hendak
mengobati luka budak setan itu?”
Sekonyong-konyong Han Ping seperti disadarkan, “Goblok! Wanita cantik baju Hijau
yang melukai Ting Ling itu, adalah adik seperguruan dari Pengemis sakti ini. Sama
seperguruan, tentu pengemis tua ini dapat juga menyembuhkan!”
“Sekali seorang laki-laki berkata, tak boleh dijilat kembali! Aku sudah berjanji kepada
nona Ting, betapapun juga, aku harus berusaha menyembuhkan lukanya!”
Tiba-tiba Ca Giok menyelutuk, “Nona Ting, selama tempo hari kita bersama-sama
seperjalanan, mengapa aku tak mengetahui sama sekali kalau engkau menderita luka
dalam?”
“Kalau engkau tahu, kemungkinan kita tak akan selamat seperti saat ini!” sahut Ting
Ling.
“Ah, nona masih mencurigai diriku….”
“Dunia persilatan penuh jerat dan bahaya. Kepada siapapun aku tak dapat percaya
penuh!”
“Benar!” seru Cong To, “pengemis tuapun tak percaya kalau kalian ke Hian-bu-kiong itu
karena hendak membantu pengemis kecil menolong diriku!”
Kemudian Cong To berpaling kepada muridnya, “Hm, mengapa engkau membisu saja?”
“Di tengah perjalanan ke Hian-bu-kiong, murid berjumpa dengan Ca saupohcu dan
kedua nona Ting….”
“Mengapa engkau tahu aku terkurung dalam Hian-bu-kiong?” bentak Cong To.
Pengemis kecil itu terbeliak dan menyahut tersendat-sendat.
“Murid….murid….”
Jilid 22
Bagian 39
Sebuah mayat.
“Hm, makin lama engkau makin tak keruan. Masakan bicara saja tak jelas,” damprat
Pengemis sakti Cong To kepada muridnya.
“Kudengar dari Sin-ciu-it-kun Ih Thian Heng yang mengatakan bahwa suhu telah
terjebak dalam biara Hian-bu-kiong,” sahut pengemis kecil itu.
“Ih Thian Heng….?” Han Ping mengulang.
“Ih Thian Heng mengatakan kepadaku agar menyampaikan kepada suhu. Jika suhu
menghendaki tenaganya, ia tentu akan membantu dengan senang hati,” kata pengemis
kecil itu pula.
Cong To tertawa dingin, “Sungguh kebaikan yang berselimut kepalsuan! Jika tak
mengetahui….”
“Pada waktu kita terkurung dalam penjara air, jika tak atas persetujuan Thian Hian
totiang, mungkin kita takkan bertemu muka lagi dengan engkau. Bagaimana Ih Thian
Heng hendak membanggakan diri mampu menolong!” kata Han Ping.
Kim Loji cepat menyelutuk, “Ping Ji, janganlah memandang rendah pada Ih Thian
Heng. Sekali dia menyatakan hendak membantu tentu akan dibuktikan benar-benar….”
Cong Topun ikut memberi komentar, “Meskipun Thian Hian totiang memiliki ilmu
pedang yang hebat, tetapi kalau hendak bermusuhan dengan Ih Thian Heng, tetap bukan
tandingannya! Pengemis tuapun percaya dia tentu mampu menolong kita dari penjara air
itu!”
Sekalipun dalam hati tak setuju dengan pernyataan kedua orang itu, tetapi Han Ping
tak mau mendebatnya.
Pengemis kecil berpaling memandang Han Ping, hendak bicara tetapi tak jadi.
Tiba-tiba Pengemis sakti Cong To berpaling ke arah Ca Giok dan bertanya apakah
pemuda itu sudah bertemu dengan ayahnya.
“Sudah,” sahut Ca Giok, “Jika ayah tak lekas datang ke Kim-leng, kemungkinan aku dan
kedua nona Ting itu masih terkurung dalam gedung marga Nyo!”
“Atas bantuan Ca pohcu untuk menolong kami, kami berdua saudara merasa berterima
kasih sekali….”
Ca Giok tertawa, “Ah, tak perlulah nona harus begitu serius. Bukankah antara kedua
marga kita mempunyai hubungan yang baik? Sudah layak kalau kita saling tolong
menolong!”
Berkata pula Ting Ling, “Jika Nyo Bun Giau tak mau melepas, dikuatirkan ayahmu tak
dapat menolong kita dari gedungnya. Mengenai hal ini….”
Ca Giok memaki tertawa, “Dalam ilmu perang dikatakan, tanpa berperang tetapi dapat
menundukkan lawan, itulah siasat yang paling jempol. Hanya dengan menggunakan
sepatah dua patah saja, ayah telah dapat menundukkan Nyo Bun Giau sehingga kita dapat
bebas tak kurang suatu apa. Bukankah hal itu lebih hebat daripada harus bertempur matimatian?”
Ting Ling baIas tertawa juga, “Tetapi jika kurenungkan, kiranya tak mungkin urusan itu
dapat selesai begitu sederhana. Oleh karenanya timbullah kecurigaanku….”
“Eh, dalam hal apakah nona menaruh kecurigaan?” tukas Ca Giok.
“Pada saat kita tinggalkan gedung orang she Nyo itu, kita hanya bertemu muka satu
kali saja dengan ayahmu. Setelah itu Nyo Bun Giau terus mengantar kita keluar. Sedang
ayahmu masih tinggal di dalam. Pun pada waktu bertemu muka, saudara Ca hampir tak
bicara sama sekali dengan ayah saudara. Bukankah tidak begitu kebiasaannya? Kurasa
tentu ada sebabnya.”
Ca Giok tertawa, “Ah, aku sampai lupa memberitahukan nona. Paman nona Ting
locianpwe, bersama aku telah dipenjara di tengah taman bunga gedung Nyo….”
Ting Ling terkesiap, “Apakah pamanku yang ketiga?”
Ca Giok mengiakan.
“Mengapa aku tak melihatnya?”
Ca Giok tertawa, “Ah, nona terlalu tegang dan terburu buru bertanya sehingga karena
mulutku hanya satu, sukar untuk menerangkan.”
Diam-diam Ting Ling mendamprat pemuda itu namun ia tetap tertawa, ujarnya, “Kalau
begitu harap saudara menjelaskan dengan perlahan!”
Ca Giok batuk-batuk lalu berkata, “Di dalam jaring besi pada kebun bunga di samping
empang, terdapat tahanan 3 orang. Selain aku dan paman nona, masih ada seorang lagi
yang kalau kusebut namanya tentu akan membuat saudara-saudara di sini tak mau
percaya!”
Cong To mendengus, serunya, “Di hadapan seorang pengemis tua engkau masih berani
jual tingkah. Hm, sungguh sudah bosan hidup rupanya, engkau ini!”
Ca Giok berpaling ke arah pengemis sakti itu, tertawa, “Ayah pernah pesan kepadaku.
Apabila berjumpa dengan Cong locianpwe harus mengindahkan segala nasehatnya. Jika
tak mendapat perintah ayah tentu akupun takkan menemani mereka menempuh bahaya
datang ke Hian-bu-kiong.
Pengemis sakti Cong To tahu kalau kata-kata anak muda itu memang sejujurnya. Maka
iapun tak mau mendampratnya lagi.
Beberapa saat kemudian kembali Ca Giok berkata, “Dan masih ada seorang lagi yakni
tokoh Lembah Seribu racun Leng Kong Siau….”
“Ho, Sungguh besar sekali nyali Nyo Bun Giau!” Cong To tertawa, “masakan dia berani
mencari perkara dengan Lembah setan dan Lembah Seribu racun masih ditambah pula
dengan marga Ca!”
Rupanya Ting Ling ingin tahu tentang diri pamannya Ting Yan San. Kuatir kalau
pengemis sakti mengalihkan pembicaraan, buru-buru ia menyelutuk, “Kemanakah perginya
pamanku ketiga dan Leng Kong Siau? Mengapa ketika meninggalkan gedung Nyo Bun
Giau, yang kulihat hanya ayah saudara sendiri?”
“Dalam hal itu,” kata Ca Giok, “Walaupun tak jelas tetapi menurut dugaan paman nona
dan Leng Kong Siau itu tentu sudah di….” – tiba-tiba ia hentikan kata-kata dan batukbatuk.
Cong To tertawa dingin. “Huh, penyakit lama angot lagi!”
Ca Giok batuk-batuk. Setelah meludah ia menyambung pembicaraannya, “Dalam
beberapa hari ini aku merasa masuk angin sehingga tak dapat bicara lancar. Ting
locianpwe dan Leng Kong Siau sudah tak kelihatan sebelum kita tinggalkan gedung Nyo
Bun Giau. Entah kemana perginya mereka itu!”
Cong To tertawa dingin, menyelutuk, “Sekalipun engkau tak mengatakan, pengemis tua
juga dapat menduga. Beberapa orang itu memang sama busuknya. Pada satu saat mereka
dapat bertempur mati-matian tetapi pada saat melihat keuntungan, mereka mau
melempar permusuhan lama. Mereka gemar main siasat menyiasati. Ting Losam dan Leng
Loji tak menghiraukan rasa malu karena ditangkap Nyo Bun Giau. Ca Cu Jingpun tak mau
menarik panjang persoalan putranya ditahan itu. Mereka bersatu tujuan lalu bersekutu.
Masakan persekutuan semacam itu akan bertujuan baik? Hm, sejak saat ini dunia
persilatan pasti akan mengalami perubahan besar!”
Ting Ling tersenyum, ujarnya, “Bagus! Sekaligus locianpwe telah memaki habis-habisan
pada Lembah Raja setan kami, lembah Seribu racun, marga Ca dan marga Nyo….”
“Siapa yang ingin kumaki tentu kumaki sampai puas! Masakan engkau budak
perempuan masih merasa kurang terima?” sahut Cong To.
Ting Ling tertawa, “Ah, sudah tentu terima! Tetapi setelah locianpwe hamburkan
makiannya, apakah locianpwe sudah dapat mengetahui perubahan apa yang akan terjadi
dalam dunia persilatan itu?”
Sengaja nona itu hendak membuat Pengemis sakti nanti mengagumi kecerdikannya
maka ia mengajukan pertanyaan begitu untuk mengetes kepandaian pengemis sakti itu.
Cang To terkesiap, ujarnya, “Kalau soal itu pengemis tuapun sudah dapat menduga,
bukankah bakal menjadi dewa?”
“Tak perlu dewa, manusia biasapun dapat menduganya!” sahut Ting Ling.
Cong To kerutkan alis, “Dalam setengah hari saja bersama dengan engkau, pengemis
tua akan mempunyai kesan bahwa kemahsyuran kedua gadis dari Lembah Raja setan itu
memang tak bernama kosong. Kalau engkau sudah dapat menduga, pengemis tua ingin
sekali mendengar petunjukmu!”
Dengan ucapan itu jelas Pengemis sakti menaruh rasa kagum akan kecerdasan nona
itu.
Ca Giok berpaling ke arah Ting Ling lalu tertawa, “Nona Ting memang termahsyur
cerdas. Tentu memiliki pandangan yang lebih tajam dari lain orang. Aku pun ingin sekali
mendengarkan!”
Dari wajah pemuda yang tampak cerah itu, persoalan Itu. Paling tidak, sedikitnya ia
pasti sudah mengerti.
Ting Ling sejenak keluarkan biji matanya lalu tertawa, “Menilik cahaya muka saudara
Ca yang berseri-seri, tentulah saudara sudah mengetahui rahasia soal itu….”
Ca Giok gelengkan kepala dan menyangkal kalau sudah tahu.
Ting ling tertawa, “Marga Ca dan marga Nyo sekalipun tak mempunyai hubungan tetapi
kedua pihak tak mempunyai dendam juga. Marga Ca sebaliknya mempunyai persahabatan
erat dengan Lembah Raja setan….”
Ca Giok membenarkan.
“Oleh karena itu apabila ayah saudara mempunyai rencana tentu akan dirundingkan
dengan ayahku. Kebalikannya marga Ca mempunyai dendam permusuhan kepada lembah
Seribu racun. Keduanya seperti api dengan air.”
Diam-diam Ca Giok terkejut. Namun ia tinggal diam saja dan membiarkan nona itu
melanjutkan bicaranya.
Ting Ling tiba-tiba berubah kerut wajahnya dan berseru dengan nada dingin, “Dengan
terus menerus saudara mengikuti perjalanan kami berdua taci beradik tentulah sudah
mempunyai rencana tertentu!”
Ca Giok hendak membuka mulut tetapi tak jadi. Ia mengangkat muka memandang
awan yang tengah berarak di langit.
Melihat itu diam-diam Ting Ling gelisah, keluhnya dalam hati, “Celaka, dia tak mau
buka mulut. Bagaimana aku dapat mencari kelemahannya? Ah, kali ini aku bakal mendapat
malu karena tadi berani buka mulut besar….”
Sekalipun hati cemas, namun sikap nona itu tetap tenang. Ujarnya pula, “Ayah saudara
dan Nyo Bun Giau diam-diam telah merancang suatu rencana dan suruh paman serta Leng
Kong siau untuk menempuh bahaya lebih dulu….” – ia melirik Ca Giok. Didapatinya wajah
pemuda itu agak berubah. Buru-buru ia melanjutkan kata katanya lagi, “Ayah saudara dan
Nyo Bun Giau seperti nelayan yang menunggu hasil jaringnya. Hebat memang rencana itu
tetapi sayang kurang sempurna. Sekali salah hitung, seluruh rencana akan gagal total!”
Ca Giok terkesiap, serunya, “Masa merencanakan….” – tiba-tiba ia merasa kelepasan
omong dan tutup mulut lagi.
Ting Ling tersenyum, “Kumaksudkan, tidak seharusnya Nyo Bun Giau melepas kami
berdua taci beradik bersama saudara Ca. Hal itu mungkin dia tak memikir sampai di situ.”
Pancingan yang dipasang Ting Ling itu, benar-benar membuat Ca Giok tak tahan lagi,
serunya, “Untung rugi mempunyai hubungan. Masakan dia berani mencelakai ayahku!”
“Ah, saudara Ca hanya memperhitungkan untung rugi pada satu saat. Tetapi kurang
memikirkan yang jauh,” kata Ting Ling. “Ayah saudara dan pamanku serta Leng Kong siau
itu, bukanlah tokoh-tokoh biasa. Tak mungkin tergerak hati karena hanya melihat
keuntungan kecil saja. Bahwa Nyo Bun Giau mampu memberi perintah kepada mereka
tentulah dengan pikatan janji yang hebat. Jelas orang she Nyo itu tentu tak mau membagi
rata rejeki besar kepada mereka berempat. Jalan satu-satunya ialah, lebih dulu memakai
tenaga ayah saudara dan pamanku, setelah berhasil baru akan turun tangan untuk
melenyapkan kedua orang itu….”
Ca Giok terbeliak, “Penilaian nona tak salah!”
“Bukannya tak salah saja tetapi pasti tak salah lagi!” kata Ting Ling, “demi
menyelamatkan ayah, saudara Ca harus cepat-cepat mempersiapkan rencana….” – ia
menghela napas perlahan, lalu melanjutkan, “Sebenarnya ayah saudara, pamanku dan
Leng Kong siau itu mempunyai pengalaman yang luas. Belum tentu Nyo Bun Giau dapat
mencelakai mereka. Tetapi mengingat yang seorang mempunyai tujuan dan yang lain
tidak menyangka suatu apa. Hati dan pikiran mereka sudah terbuai oleh janji-janji muluk
yang amat memikat sehingga kehilangan pertimbangan yang sadar. Dan lagi semua
rencana adalah Nyo Bun Giau yang merancang sehingga ayah saudara dan pamanku itu
tak ubah seperti orang buta yang naik kuda buta. Segala-galanya menurut perintah Nyo
Bun Giau saja!”
Makin pucatlah wajah Ca Giok mendengar uraian Ting Ling yang tajam dan tepat itu.
“Nona telah menyadarkan pikiranku. Aku harus cepat-cepat memberitahukan hal itu
kepada ayah.”
“Ah, Nyo Bun Giau tentu membawa mereka ke makam tua itu….” seru Kim Loji yang
lalu menuturkan tentang pengalaman selama berada dalam makam tua mencari pusaka
bersama Nyo Bun Giau sehingga sebelah lenganku ini kutung.
“Kutungnya sebelah lenganku ini adalah karena dicelakai Nyo Bun Giau. Jika aku tak
cepat-cepat menyesuaikan diri sehingga dapat bertemu dengan Han Ping, mungkin saat ini
aku sudah menjadi mayat penunggu makam itu!” katanya.
Ca Giok makin gelisah. Ditatapnya Ting Ling, “Ayahku dan paman nona sama-sama
berada dalam bahaya. Dalam hal ini nona tentu takkan berpeluk tangan mengawasi saja!”
Pengemis sakti Cong To tertawa gelak-gelak, serunya, “Bagus! Biarlah mereka saling
bunuh membunuh dulu, pengemis tua akan menjadi nelayan yang menunggu sang ikan
masuk jaring!”
“Sarung pedang Pemutus Asmara itu sudah jatuh di tangan Ih Thian Heng.
Kemungkinan dia tentu sudah bergerak juga.”
Pengemis sakti Cong To makin keras tertawanya, “Itu yang paling bagus! Ditambah
dengan Ih Thian Heng, pertunjukan tentu akan lebih ramai lagi!”
Tiba-tiba Han Ping berpaling dan bertanya kepada Ca Giok, “Saudara Ca apakah
ayahmu benar-benar pergi ke makam tua itu?”
Ca Giok mengangguk perlahan, “Waktunya amat mendesak sekali sehingga ayah hanya
gunakan tanda rahasia marga Ca memberitahukan kepergiannya bersama Nyo Bun Giau
mencari pusaka. Tentulah mereka menuju ke makam tua itu!”
“Harta permata dalam makam itu tak ternilai banyaknya. Orang yang temaha tentu lupa
daratan!” kata Han Ping.
“Engkau sudah menyaksikan harta karun itu, mengapa engkau tak lupa daratan?” tegur
Pengemis sakti Cong To.
Han Ping tersenyum, “Harta permata memang setiap orang tentu ngiler. Tetapi benda
itu hanyalah benda lahiriah. Ada takkan menambah apa-apa, tak ada pun takkan
mengurangi apa-apa. Apalagi setiap benda tentu mempunyai pemilik, masakan kita dapat
mengambil semau kita sendiri….”
Ting Ling tersenyum, “Nyo Bun Giau gemar sekali mengumpulkan ratna mutu manikam.
Gedung marga Nyo di Kim-leng itu berisi kekayaan yang menyamai dengan kas negara.
Harta pusaka dalam makam tua itu makin banyak. Jiwa pamanku dan ayah saudara Ca
makin terancam!”
Ca Giok menatap Han Ping, “Karena saudara Ji sudah pernah ke sana, maukah saudara
memberi petunjuk letak tempat itu?”
Han Ping kerutkan dahi, “Makam itu penuh dengan alat rahasia. Sekalipun saudara Ca
dapat mencapai makam itu tetapi sungguh berbahaya kalau masuk….”
Cong To tertawa, “Sekalipun pengemis tua tak ingin mencari harta karun tetapi
kepingin juga kesana untuk melihat pertunjukan!” tiba-tiba ia berhenti tertawa lalu
menghela napas perlahan, katanya pula, “Siau-lim-si sudah mengetahui tentang
munculnya pedang Pemutus Asmara di dunia persilatan. Mereka telah mengutus tokohtokoh
yang berilmu tinggi untuk menyelidiki pedang itu. Berpuluh-puluh tahun berselang,
dunia persilatan mengatakan bahwa pedang Pemutus Asmara itu selalu membawa
kesialan. Barang siapa yang membawa pedang itu, betapapun saktinya, tetap takkan
terhindar dari kematian. Rupanya cerita dalam dunia persilatan itu memang benar. Hanya
beberapa bulan saja pedang itu muncul lagi, telah menimbulkan kekacauan dalam dunia
persilatan.”
Han Ping tertawa, “Ah, kalau siang-siang kuserahkan kembali pedang itu kepada Hui In
taysu, mungkin tak sampai menimbulkan huru hara begini.”
“Sesungguhnya tujuan Siau-lim-si mengejar pedang itu, bukanlah pedangnya tetapi
sarung pedang itu. Dengan demikian bukankah tujuan mereka juga hendak menyelidiki
tentang harta pusaka itu? Oleh karena sarung pedang itu sudah jatuh ke tangan Ih Thian
Heng, engkaupun harus lekas-lekas menuju ke makam tua mencari Goan Thong taysu dan
memberitahukan hal itu,” kata Kim Loji.
Beberapa jenak Han Ping merenung. Katanya sesaat kemudian, “Biarlah
kupertimbangkan dulu hal itu….”
Sekalipun ia tak setuju akan usul pamannya Kim Loji tetapi ia tak mau menolak
mentah-mentah sehingga membuat malu pamannya.
Tiba-tiba wajah Kim Loji berubah, “Ping Ji, sebelum Hui Gong meninggal, apakah ia
memberi pesan apa kepadamu?”
Han Ping tertawa rawan, “Tidak, sekalipun beliau telah memberi pelajaran silat
kepadaku tetapi kita tak mempunyai ikatan sebagai guru dan murid….”
“Huh, peagemis tua tak mengerti kata-katamu itu,” Cong To menyelutuk, “tata
peraturan murid dan guru, mana boleh hendak dilanggar! Karena dia memberimu
pelajaran ilmu silat….”
“Ah, locianpwe tentu tak tahu,” buru-buru Han Ping meuukas, “beliau mengajarkan ilmu
kepandaian serta menyerahkan pedang pusaka itu kepadaku, adalah karena kalah
bertaruh.”
Cong To mendesah lalu menatap Ting Ling, “Pengemis tua sungguh tak jelas mengapa
kalian menuju ke gedung marga Nyo dan bagaimana bisa berjumpa dengan Thian Hian
totiang? Selama ini, tiada seorangpun yang diizinkan masuk ke dalam biara Hian-bu-kiong
tetapi mengapa kalian dapat mengikat persahabatan dengan Thian Hian imam hidung
kerbau itu?”
Melihat wajah Han Ping tampak merah, Cong To kuatir anak itu akan naik darah. Maka
buru-buru ia alihkan pembicaraan dengan Ting Ling.
Sejenak memandang Han Ping, tertawalah nona itu lalu menjawab pertanyaan Cong
To, “Soal itu panjang sekali ceritanya….”
“Tak perlu panjang lebar, cukup jawaban yang singkat jelas saja!” kata Cong To
Ting Ling tampak merenung beberapa saat, baru berkata, “Dalam perjalanan pulang
bersama adikku, di tengah jalan kami telah tertawan oleh Nyo Bun Giau lalu dibawa ke
Kim leng. Tetapi setengah bulan kemudian kamipun dilepas lagi….”
Han Ping menyelutuk, “Perlu apa Nyo Bun Giau membawa kalian ke gedungnya?
Bukankah dia seperti hendak mencari penyakit?”
“Karena ia menduga kalau kami berdua sudah tahu akan rahasianya. Padahal dialah
yang banyak cerita sendiri….” – berhenti sejenak ia melanjutkan pula, “Tanpa tahu
kesalahan apa, kami berdua dijebloskan dalam penjara air….”
“Hai, gedung marga Nyo juga punya penjara air?” seru Han Ping.
“It kiong dan It koh ketiga gedung besar itu masing-masing mempunyai penjara air!”
“Eh, mengapa hanya It kiong dan It-koh saja? Apakah Lembah Seribu racun itu tak
punya penjara air?” Han Ping heran.
“Yang tak punya penjara air adalah Lembah Raja setan. Sebagai gantinya kami
mempunyai penjara api. Tak kalah hebatnya dengan penjara air jauh lebih ngeri!”
Han Ping menghela napas.
“Setelah dilepas dari gedung marga Nyo, maksudku terus hendak pulang ke Lembah
Raja setan. Tetapi adikku berkeras hendak datang kemari dan kemudian berjumpa dengan
murid pilihan dari Cong locianpwe….”
Cong To tertawa gelak-gelak, “Ah, jangan kelewat menyanjung. Sebut saja si pengemis
kecil!”
“Pengemis kecil memberitahu dua buah hal penting. Pertama, Cong locianpwe terjebak
dalam Hian-bu-kiong dan kedua, Ji siangkong meninggal di tangan Thian Hian totiang.”
“Aneh,” Cong To kerutkan dahi, “Mengapa rahasia Hian-bu-kiong dapat tersiar keluar!”
Sejenak Ting Ling memandang Han Ping lalu menghela napas perlahan, sambungnya
lagi, “Mendengar berita itu, adik berkeras menuju ke Hian-bu-kiong untuk membantu
pengemis kecil menolong Cong locianpwe….”
Cong To tertawa, “Benarkah begitu? Uh, mungkin ada lain tujuan lagi!”
Ting Ling tertawa rawan, “Entah bagaimana tetapi adikku mempunyai naluri lain. Ia
percaya Ji siangkong tentu belum meninggal. Ia hendak meminta keterangan pada Thian
Hian totiang….”
“Dan apakah engkau juga membantu pengemis kecil untuk menolong pengemis tua
ini?” tanya Cong To kepada Ca Giok.
“Memang pertama untuk membantu menolong Cong locianpwe dan kedua untuk
membuktikan benar tidaknya berita tentang saudara Ji!”
Tiba-tiba Pengemis sakti menengadahkan kepala tertawa terbahak-bahak. Lalu berseru,
“Betapalah berbahayanya Hian-bu-kiong itu. Apakah dengan kepandaian yang kalian miliki
itu, kalian berani mencabut kumis harimau? Ho, sungguh besar nian nyalimu! Kalau
pengemis kecil itu nekad menempuh bahaya itu masih ada alasannya. Tetapi kalau kalian
juga rela mempertaruhkan jiwa hanya karena hendak menolong pengemis tua ini,
pengemis tua sungguh sukar percaya!”
“Apakah yang harus diacuhkan! Kalau seorang sudah tak menghiraukan jiwanya,
apakah yang harus ditakuti lagi?” Ting Ling melengking.
Cong To tertegun kaget, serunya, “kata-kata itu memang benar….”
Ca Giok tersenyum, “Adakah berita kematian saudara Ji itu yang mendorong langkah
nona berdua….”
Ting Ling tertawa hambar, “Ya atau tidak, bukan urusanmu. Lebih baik jangan usil
mulut, agar jangan menelantarkan keselamatan jiwa ayahmu”
Tiba-tiba Cong To tertawa keras lagi, “Lalu kalau kalian bertemu dengan Thian Hian
totiang yang menderita luka parah. Karena kalian menolongnya, imam hidung kerbau itu
lantas hendak membalas budi dan segera akan mengajak kalian ke dalam Hian bu-kiong
walaupun dia harus melanggar pantangan!”
Ting Ling tertawa, “Ah, locianpwe seperti melihat sendiri peristiwa itu sehingga dapat
menebak dengan jitu….”
Kemudian nona itu berpaling ke arah Ca Giok dan berkata, “Memang dalam perjalanan
kami tertiga telah berjumpa dengan Thian Hian totiang. Walaupun belum pernah kenal
tetapi kami dapat menduga dari pakaiannya. Dia sedang menderita luka parah dan tak
ingat diri. Jika saat itu kami bunuh, tentu mudah sekali….”
“Membunuh orang yang sudah tak bersadar bukanlah laku seorang perwira!” seru Han
Pin .
“Dalam dunia persilatan jika semua orang seperti engkau, tentulah dunia persilatan
takkan terdapat kejahatan lagi!”
“Lalu mengapa kalian tak membunuhnya?” tanya Cong To pula.
“Kami berjumlah 4 orang. Dalam menghadapi soal Thian Hian totiang, ada 3 suara yang
senada. Murid locianpwe menghendaki untuk membawanya ke Hian-bu-kiong. Tetapi
saudara Ca Giok menghendaki bunuh saja dulu baru nanti berusaha menolong Cong
locianpwe. Adikku tidak setuju semua dan menghendaki untuk menolong dan mengobati
lukanya….”
Ca Giok hendak bicara tetapi tak jadi.
Ting Ling tertawa dan melanjutkan ceritanya, “Eh, mengapa tak jadi bicara? Sekalipun
tak bilang, tetapi aku sudah dapat menduga apa yang hendak engkau katakan. Hm,
selama aku masih di sini, lebih baik engkau jangan jual mulut tajam!”
Sebenarnya tadi Ca Giok hendak berkata bahwa tindakan Ting Hong untuk menolong
Thian Hian totiang itu tak lain hanya untuk mencari keterangan tentang diri Han Ping.
Nona itu sama sekali tak tulus hendak menyelamatkan jiwa Thian Hian totiang. Tetapi
pada lain saat. Ca Giok merasa kata-kata itu tak perlu, maka ia tak jadi mengucapkan.
“Setelah berdebat beberapa saat. akhirnya kami menyetujui usul adikku untuk
menolong luka Thian Hian totiang. Peristiwa selanjutnya kurasa Cong locianpwe tentu
sudah tahu sendiri tak perlu kuceritakan,” kata Ting Ling lebih lanjut.
Dalam pada bercakap-cakap itu tak terasa mereka sudah berjalan 7-8 li jauhnya dan
tiba di sebuah persimpangan jalan.
Ting Ling segera memberi hormat kepada Cong To, “Harap locianpwe menjaga diri
baik-baik, sampai disini terpaksa aku harus minta diri!”
Sebelum Pengemis sakti menjawab, Han Ping sudah mendahului, “Nona Ting hendak
kemana?”
“Pulang ke Lembah Raja setan….”
“Paman nona masih terancam bahaya masakan nona tak mau mempedulikan?”
“Kepandaianku terbatas. Pergipun tiada guna. Sudah ada beberapa saudara yang pergi,
rasanya sudah cukup!”
“Tetapi lukamu masih belum sembuh sama sekali. Bagaimana engkau hendak berjalan
seorang diri?” seru Han Ping.
“Sekalipun lukaku berat tetapi dalam satu dua bulan ini belum mati. Mati di rumah jauh
lebih baik daripada mati di luaran. Kelak apabila engkau ada waktu menjenguk adikku di
Hian-bu-kiong, tentu takkan menyia-nyiakan harapan hatinya selama ini kepadamu….”
Ting Ling tertawa rawan lalu ayunkan langkah.
“Nona masih menderita luka, mana boleh pergi seorang diri….” cepat Han Ping loncat
menghadangnya.
Ting Ling tertawa, “Kalau engkau tak memperbolehkan aku pergi lalu bagaimana
maksudmu?”
Han Ping tertegun, “Akan kuusahakan obat untuk menyembuhkan luka nona!”
Ting Ling menutupi mulut dengan lengan bajunya, tertawa, “Bukankah engkau hendak
menuju ke makam tua itu? Mana engkau mempunyai waktu untuk cari obat?”
Sahut Han Ping, “Meskipun luka nona itu parah tetapi dalam sebulan ini tentu takkan
berbahaya. Sehabis ke makam tua dan merebut kotak pedang Pemutus Asmara, tentu
akan kucurahkan seluruh tenaga dan pikiranku untuk mengusahakan obat buat nona.”
Thian Hian si imam hidung kerbau itu, merupakan ahli mengobati luka yang paling
jempol dewasa ini. Baiklah kita kesana untuk minta dia mengobati lukamu!” tiba-tiba
Pengemis sakti Cong To menyelutuk.
Ting Ling gelengkan kepala tertawa, “Aku terkena pukulan tenaga Sam-yang-gi-kang.
Hawa murni dalam perut membeku menjadi luka. Budak perempuan dari Lam hay-bun itu
(dara baju ungu) pada waktu mengobati aku, telah menduga bahwa aku tentu takkan
dapat beristirahat menurut pesannya. Dengan tusuk jarum ia menghalau luka beku dalam
perutku ke dalam dada. Karena tak dapat minum obat dan beristirahat seperti yang
dipesannya, luka dalam itu berubah menjadi penyakit menongkol. Terus terang,
sesungguhnya aku sudah tak mampu bertempur dengan orang lagi. Thian Hian totiangpun
sudah mengetahui kalau aku menderita luka dan telah memeriksanya. Dia mengatakan
aku masih dapat hidup selama tiga bulan. Dalam masa tiga bulan itu, aku harus
bergembira. Kalau tidak, masa hidup tiga bulan itu akan berkurang separuh. Atas
perhatian saudara-saudara, Ting Ling menghaturkan banyak terima kasih….”
“Kalau begitu Thian Hian si imam hidung kerbau itu sudah tak berdaya lagi?” Cong To
menegas.
“Dia mengatakan sendiri kepadaku supaya aku lekas pulang saja ke Lembah Raja setan
agar dapat meninggal di rumah,” sahut Ting Ling.
Cong To menghela napas, “Ho, maka dia hanya mau menerima adikmu menjadi murid
dan bukan engkau!”
“Bukan semata-mata karena itu,” sahut Ting Ling, “hati budi adikku lebih baik dan lebih
wajar. Kepada orang selalu bersikap sungguh-sungguh, tidak suka berpura-pura. Dan lagi
adikku tidak memiliki landasan yang kokoh dari tenaga dalam keluargaku. Maka mudah
dirubah. Aku hanya dapat hidup beberapa bulan saja, percuma dia hendak mengambil
murid!”
Han Ping mengangkat kepala memandang ke langit. Ujarnya dengan sedih, “Jika tidak
karena mengobati lukaku, tentulah nona takkan kenal dengan dara baju ungu itu. Dengan
begitu, akulah yang menjadi gara-gara penyebab penderitaan nona saat ini, jika tak
mampu mengobati luka nona, kecuali menjadi manusia yang tak dapat dipercaya akupun
menyia-nyiakan budi pertolongan nona kepadaku….”
Karena tak menduga pemuda itu ternyata amat memperhatikan dirinya, hati Ting Ling
merekah bahagia. Ia tertawa lembut, “Ah, mana boleh menyalahkan engkau. Yang salah
adalah diriku sendiri karena banyak dosa. Tetapi ucapanmu tadi, cukup membuat hatiku
puas….”
Kemudian nona itu memandang Cong To, tertawa kemalu-maluan, “Ah, harap saudarasaudara
jangan menertawakan diriku tak punya malu. Aku seorang yang sudah tak berapa
lama lagi hidup dalam dunia, tentulah tak terhindar dari mengucapkan kata-kata yang tak
genah”
Cong To tertawa, “Dunia persilatan mengatakan bahwa kedua nona dari Lembah Raja
setan itu, berhati dingin dan ganas. Membunuh orang sambil tertawa. Tetapi apa yang
kusaksikan hari ini, benar-benar tak sesuai dengan kabar-kabar itu….”
Tiba-tiba terdengar derap kuda lari mendatangi. Dan dari jauh terdengar penunggang
kuda itu berseru, “Suhu, engkau berada di sini? Ah, aku sampai susah payah mencarimu
kemana-mana!”
Ketika Cong To berpaling, dilihatnya penunggang kuda itu Ho Heng Ciu. Pemuda itu
tetap mengenakan pakaian indah. Wajah menampil kerut girang-girang kejut. Tetapi
kudanya yang berlari amat pesat itu, sudah mandi keringat.
Cong To kerutkan dahi menegur, “Mau apa engkau kemari?”
Ho Heng Ciu loncat dari kudanya, “Kalau hari ini murid tetap tak dapat menemukan
suhu, tentulah….” tiba-tiba Ho Heng Ciu hentikan kata-katanya lalu beralih memandang
Han Ping tercengang heran, “Hai, engkau belum mati?”
Han Ping tertawa hambar, “Apa? Engkau mengharap aku lekas mati?”
Ca Giok tertawa dingin, mendamprat Ho Heng Ciu, “Penyakitmu memang sudah
mendarah daging! Perlu apa engkau berkaok-kaok macam begitu?”
Serentak teringat Heng Ciu bahwa ketika di Bik-lo-san ia pernah bertemu dengan
beberapa orang itu. Jika tak mempunyai lencana Kim-pay untuk menekan Cong To supaya
membubarkan kedua anak muda itu, tentulah jiwanya sudah melayang.
Ho Heng Ciu tergetar nyalinya. Buru-buru ia berpaling dan memberi hormat kepada
Cong To, “Murid menerima amanat dari Kim-pay untuk mencari suhu. Untuk itu murid
diberi waktu yang terbatas. Hari ini adalah hari yang terakhir dari batas waktunya. Jika tak
dapat menemukan suhu, murid tentu mendapat hukuman sendiri!”
“Mau perlu apa mencariku!”
“Paman dan bibi berjanji untuk bertemu pada….”
Wajah Cong To seketika berubah, tukasnya, “Pulanglah engkau! Kecuali paman gurumu
sudah meluluskan untuk mengembalikan Kim-pay itu, pengemis tua tak mau bertemu
muka dengan bibi gurumu!”
Ho Heng Ciu tertawa dingin lalu berkata., “Amanat Kim-pay merupakan kekuasaan
tertinggi dari partai Kim-pay-bun. Apakah suhu hendak menentang?”
Ting Ling menyelutuk, “Amanat Kim-pay dapat memaksa Cong locianpwe. Tetapi
apakah mampu memaksa kita!”
Ho Heng Ciu tertegun. Cepat ia loncat ke atas kuda dan sekali keprak kuda itu loncat
dua tombak jauhnya. Heng Ciu menghentikan kudanya lalu berpaling dan berseru lantang,
“Paman guru memerintahkan murid supaya menyampaikan amanat Kim-pay kepada suhu.
Dalam waktu 10 hari suhu supaya datang ke desa Bik-lo-san-cung. Jika tak memenuhi,
berarti menghina pada sucou!”
Tanpa menunggu penyahutan Cong To, pemuda itu terus larikan kudanya sekencang
angin.
Sejenak Ca Giok memandang Cong To, katanya, “Saudara Ji, lain kali kalau bertemu
dengan pemuda itu, selesaikan saja jangan kasih ampun lagi!”
Diam-diam Ca Giok melirik bagaimana perubahan air muka Cong To. Tetapi ternyata
pengemis itu seolah olah tak mendengarkan. Dia tampak tegak termangu-mangu seperti
tengah merenung suatu hal yang penting….”
Han Ping menghela napas perlahan, ujarnya, “Ah, manusia hidup ini memang tak dapat
lepas dari kesukaran. Seorang tokoh macam Cong locianpwe juga mempunyai persoalan
yang sukar diputuskannya. Ah, karena nasib seseorang itu berbeda maka kesulitannyapun
berlain-lain.”
Ting Ling mengajak Cong To untuk melanjutkan perjalanan lagi. Pengemis sakti
mengiakan lalu melangkah paling depan, diikuti Han Ping bertiga. Karena masing-masing
mempunyai persoalan sendiri-sendiri, maka mereka berjalan tanpa bicara.
Empat lima li jauhnya, Cong To tiba-tiba berhenti dan berpaling, “Pergilah kalian ke
makam tua itu lebih dulu. Pengemis tua hendak menyelesaikan suatu urusan pribadi.
Setelah itu tentu akan cepat-cepat menyusul ke sana!”
“Apakah locianpwe hendak menjumpai sumoay locianpwe?” tanya Han Ping.
Cong To gelengkan kepala. Belum ia membuka mulut, tiba-tiba terdengar seruan
Omitohud dari gerumbul pohon di tepi jalan dan menghadang rombongan Cong To.
Seorang padri jubah kuning yang rupanya menjadi pemimpin rombongan, segera
memberi hormat dan bertanya, “Adakah di antara saudara-saudara yang bernama depan
Ji?”
Han Ping agak terkesiap lalu melangkah maju, “Akulah orang she Ji itu. Apakah para
suhu ini dari Siau-lim-si?”
“Benar,” padri jubah kuning itu mengiakan, “kami memang dari Siau-lim-si. Bukankah
nama anda ini Han Ping?”
Mata Han Ping berkilat-kilat menyapu kawanan padri itu. Ia merasa tak kenal semua.
Dengan tenang ia mengangguk kepala, “Akulah Ji Han Ping itu. Maaf kalau sampai
membuat para suhu berusaha payah mencariku.”
Padri jubah kuning itu agak terkesiap. Rupanya ia tak menduga bahwa Han Ping akan
memberi keterangan begitu terus terang.
“Ji sicu seorang tangkas, kami benar-benar kagum. Tetapi entah bagaimana kehendak
anda?” seru padri jubah kuning.
“Hal itu terserah kepada kalian semua. Dari tempat yaag begitu jauh, apakah maksud
suhu-suhu sekalian mencari diriku ini?” jawab Han Ping.
Padri itu tertawa kecil, “Jika anda berani mengunjukkan diri mengapa tak berani
mengakui soal itu?”
“Soal apa?” Han Ping makin heran.
Rupanya padri jubah kuning itu memiliki kesabaran yang besar. Sahutnya tenangtenang,
“Ji sicu telah mengambil sebuah pusaka dari gereja Siau-lim-si. Entah apakah sicu
hendak menyerahkan pedang itu kepada kami atau hendak ikut kami menghadap ketua
kami!”
“Benda apakah yang telah kuambil itu?”
Masih wajah padri itu tetap tenang, “Adakah saudara sungguh tak tahu atau hanya
pura-pura tak tahu?” tegurnya.
“Sudah tentu tak tahu sungguh-sungguh!” sahut Han Ping.
Tiba-tiba padri itu melengking nyaring, “Pedang Pemutus Asmara!”
Han Ping tertawa dingin, “Pedang Pemutus Asmara adalah pedang milikku! Entah
apakah hubungannya dengan gereja saudara?”
Marahlah paderi itu, “Terang kalau milik almarhum Hui Gong siansu dari gereja kami,
mengapa engkau berani mengaku sebagai milikmu? Apakah engkau bendak mengelabui?”
Han Ping tertawa, “Benar, memang semula pedang Pemutus Asnrara adalah milik Hui
Gong taysu. Tetapi karena kalah bertaruh, dia memberikan pedang itu kepadaku. Hanya
seorang dari gereja Siau-lim-si yang dapat meminta kembali pedang itu!”
“Siapa?”
“Hui Gong taysu!” Han Ping tertawa nyaring.
Sesaat padri jubah kuning itu tak dapat menyelami kata-kata Han Ping. Maka tanpa
banyak pikir ia segera berkata “Sayang, Hui Gong taysu sudah beberapa waktu ini
mukswa!”
“Pedang itu diberikan oleh Hui Gong taysu karena kalah bertaruh dengan aku. Kecuali
Hui Gong taysu hidup kembali, tiada seorangpun yang berhak memintanya kembali!”
“Kalau begitu jelas saudara hendak membikin sulit gereja kami!” seru padri itu marah.
Melihat suasana makin panas, berserulah Kim Loji kepada Han Ping, “Ping Ji, jangan
cari perkara dengan orang. Lebih baik engkau tuturkan kejadian yang sebenarnya kepada
mereka!”
Han Ping berpaling memandang paman gurunya seraya geleng-geleng kepala. Lalu
berkata kepada padri jubah kuning dengan nada tandas, “Harap taysu suka
menyampaikan pada ketua gereja. Bahwa pedang pusaka Pemutus Asmara itu kini sudah
menjadi milikku. Jika hendak mengambilnya, lebih dulu harus melangkahi….”
Padri jubah kuning gentakkan tongkatnya ke tanah, “Aku telah mendapat perintah. Jika
saudara tak mau menyerahkan pedang itu, engkau harus ikut kami menghadap ketua
gereja. Bila ada persoalan, silahkan saudara mengutarakan di hadapan ketua kami!”
Han Ping ganda tertawa dingin, “Karena tak merasa mengambil, apa tidak lucu kalau
harus menghadap ketua Siau-lim-si?” balas Han Ping
“Jika saudara membangkang, apa boleh buat kami terpaksa menggunakan kekerasan.”
kata padri itu.
Han Ping maju tiga langkah, serunya, “ Kalau taysu sekalian hendak menggunakan
kekerasan silahkanlah”
Melihat Han Ping hanya bertangan kosong, terpaksa padri jubah kuning itupun letakkan
tongkatnya ke tanah.
Dari arah belakang terdengar orang menyebut Omitohud. Seorang padri jubah biru
muda tampil menghampiri padri baju kuning itu, bisiknya “Harap paman guru bersabar
dulu. Murid ingin memberi penjelasan”
“Baik,” kata padri jubah kuning.
“Dalam perintah ketua, apabila bertemu dengan pemuda itu memang tak terdapat
perintah supaya menyeret pemuda itu ke hadapan ketua, “Maksud murid, lebih baik kita
mengadakan perjanjian untuk bertemu lagi dengan dia….”
Padri jubah kuning merenung beberapa jenak, lalu berkata kepada Han Ping, “Saudara
memang seorang perwira dan tak takut menanggung akibat. Sungguh berjodoh karena
aku beruntung melaksanakan perintah untuk mencari dan menemukan saudara. Kita
tetapkan saja kapan dan dimana akan bertemu lagi. Nanti akan kulaporkan kepada ketua
kami. Pada saat itu ketua kami , pasti akan datang untuk meminta kembali pedang itu!”
Han Ping kerutkan dahi. Merenung beberapa saat lalu menjawab, “Baiklah, 10 hari
kemudian, kita bertemu di makam tua itu!”
“Saudara telah berjanji sendiri, aku pun segera akan pulang melapor!” kata padri jubah
kuning seraya memungut tongkatnya lalu mengajak rombongannya pergi.
Sambil memandang rombongan padri Siau-lim-si yang pergi, Cong To tertawa, “Aha,
tambah lagi dengan padri Siau-lim-si. Pertunjukan di makam tua itu tentu akan lebih
ramai!”
Ting Ling tersenyum, “Cong locianpwe tak perlu lagi mencari adik seperguruan cianpwe
itu….”
“Apa?” Cong To terkejut.
“Ho Heng Ciu menipumu!”
“Hm, jangan ngoceh tak keruan engkau, anak perempuan setan!” damprat Cong To.
Ting Ling tetawa, “Selama ini memang locianpwe memandang hina pada orang-orang
Lembah Raja Setan. Lebih-lebih terhadap kami berdua taci adik. Kebalikannya, sudah
sejak lama aku mengagumi sepak terjang ksatria dari locianpwe. Maka apabiIa ada yang
kuketahui tentu akan kuberitahu kepadamu. Jika Ho Heng Ciu sungguh sungguh hendak
minta locianpwe dalam 10 hari ini datang ke desa Bik-lo-san-cung, tak mungkin ia akan
memberitahukan jejak kita ini kepada rombongan padri Siau-lim-si. Kalau perhitunganku
tak salah, adik seperguruan locianpwe Itu tentu berada di sekeliling tenpat ini. Oleh karena
itu maka Ho Heng Ciu terburu-buru pergi hendak memberitahukan kepada bibi gurunya
itu. Tetapi diam-diam pemuda itu kuatir kita akan mempercepat perjalanan sehingga tak
sempat menyusul. Oleh karena itu sengaja ia memberitahu kepada rombongan padri Siau-
Lim-si agar dapat menghambat perjalanan kita. Kalau tak percaya, locianpwe boleh
menunggu disini beberapa waktu. Dalam waktu sejam, Ho Heng Ciu pasti datang
membawa kawan-kawannya!”
“Tetapi bagaimana nona dapat mengatakan kalau kedatangan para padri Siau-lim-si itu
karena diberitahu Ho Heng Ciu?” tanya Han Ping.
Ting Ling tertawa, “Silahkan Ji siangkong meneliti keadaan di sekeliling sini. Tentulah
engkau akan setuju atas pendapatku. Hutan ini dekat dengan jalan besar. Jika rombongan
padri tadi datang dari arah depan, sekalipun masih jauh tentu dapat kita lihat. Dan kalau
mereka sebelumnya sudah bersembunyi dalam hutan ini, juga tak mungkin. Apalagi sekali
buka mulut, padri baju kuning tadi terus menanyakan orang she Ji. Dari beberapa
kesimpulan itu saja, jelas tentulah Ho Heng Ciu yang memberitahu kepada mereka.
Dengan begitu barulah rombongan padri itu mengambil jalan kecil dan muncul tanpa
sepengetahuan kita!”
“Hebat!” puji Ca Giok, “dugaanmu itu memang tepat!”
Ting Ling tertawa dan berpaling kepada Cong To, “Cong locianpwe, jika ingin bertemu
dengan mereka, silahkan tunggu di sini beberapa saat. Tetapi kalau tak mau menemui
mereka, lebih baik kita lekas lanjutkan perjalanan lagi!”
Han Ping menghela napas, “Ah, nona menduga jitu sekali. Tuh, mereka sudah
muncul….”
Ketika sekalian berpaling, tampak dari arah timur 4 penunggang kuda mencongklang
pesat. Dalam kepulan debu tebal di belakang kuda itu, samar-samar beberapa sosok tubuh
lari mengejar. Ternyata orang itu jauh lebih cepat dari kuda dan lari ke arah tempat
rombongan Han Ping.
Cong To menghela napas, “Budak perempuan setan, engkau benar-benar cerdik sekali.
Hari ini pengemis tua mengaku kalah!”
“Bah, locianpwe kelewat memuji,” Ting Ling tertawa.
Pada saat itu kedua sosok tubuh yang lari mendatangi itu sudah tiba pada jarak tiga
empat tombak di muka Cong To dkk. Ternyata kedua orang itu adalah tokoh yang pernah
menggetarkan dunia persilatan pada 10 tahun yang lalu yakni si Bongkok dan si Pendek.
Keduanya hentikan lari dan memandang tajam kepada Han Ping. Wajah mereka
menampil rasa kejut.
Melihat dirinya dipandang begitu rupa, Han Ping menegur, “Kalian melihat apa!”
Belum sempat kedua tokoh itu membuka mulut, keempat penunggang kudapun sudah
tiba. Yang pertama adalah Ong Kwan Tiong, pemilik dari gedung Bik-lo-san-cung. Kedua,
adalah Ho Heng Ciu. Sedang dua ekor kuda yang lain, dinaiki oleh dua lelaki baju hitam
dengan membawa senjata.
Juga Ong Kwan Tiong memandang tajam kepada Han Ping. Beberapa saat kemudian
baru berkata, “Ah, kiranya saudara masih hidup!”
Han Ping mau marah tetapi tiba-tiba ia teringat bahwa ketika kedua nona Ting bertemu
padanya, pun juga mengatakan begitu.
“Terima kasih, aku masih segar bugar,” sahut pemuda itu.
Ong Kwan Tiong tiba-tiba menghela napas perlahan. Ia memandang Cong To dan Ting
Ling lalu berkata, “Hendak kemanakah saudara-saudara ini?”
“Adakah engkau perlu mengurus hal itu?” balas Cong To.
“Aku ingin bicara empat mata dengan saudara Ji. Adakah saudara-saudara tak
keberatan?”
Han Ping tertawa, “Jangankan hanya bicara, berkelahi beberapa jurus, pun tak
mengapa!”
Ong Kwan Tiong tertawa nyaring, “Ah, saudara Ji memang gagah dan sakti, aku amat
kagum. Tetapi aku tak mengandung maksud begitu.”
Ia terus mencongklangkan kudanya lari ke muka. Han Pingpun cepat loncat menyusul.
Tak berapa lama mereka sudah terpisah berpuluh tombak dari tempat rombongan Cong
To.
Sekonyong-konyong Ong Kwan Tiong loncat dari kudanya, melambung dan
berjumpalitan di udara lalu melayang menyerbu Han Ping.
Pemuda itu terkejut. Buru-buru ia hentikan larinya dan siap menghadapi. Tetapi ketika
hampir dekat kepada Han Ping, Ong Kwan Tiong tegakkan diri dan melayang turun dua
meter di hadapan Han Ping.
“Menurut kabar dalam dunia persilatan, saudara Ji sudah binasa di tangan Thian Hian
totiang. Entah adakah berita itu benar atau tidak?” Ong Kwan Tiong mulai buka mulut.
Han Ping tertawa, “Memang berita itu tak salah. Tetapi kenyataannya, hanya separuh
bagian yang benar!”
“Maaf, aku tak mengerti kata-katamu itu!”
Sahut Han Ping, “Jika aku benar sudah mati di tangan Thian Hian totiang, tentu saat ini
tak berada di sini bicara denganmu. Memang peristiwa itu telah terjadi, hanya saja aku tak
sampai binasa di tangan Thian Hian totiang!”
“Apakah hanya pingsan karena menerima pukulannya,” Ong Kwan Tiong menegas.
“Boleh juga dikatakan begitulah.”
Berkata Ong Kwan Tiong dengan nada serius, “Pada saat berita kematianmu itu sampai
di Bik-lo-san-cung, sumoayku tak percaya. Ia mengatakan bahwa saudara tak bernasib
begitu malang!”
“Apa yang engkau maksud dara baju ungu itu?”
“Benar,” sahut Ong Kwan Tiong, “bagaimana pandangan saudara tentang
perangainya?”
Han Ping tertegun, serunya, “Ini…. aku sukar menilainya.”
Ong Kwan Tiong menghela napas, “Tetapi saudara tak berketentuan muncul perginya.
Berita kematian saudara itu tersebar luas. Sumoayku itu tetap tak percaya maka diamdiam
kusuruh orang untuk menyelidiki dan akhirnya berhasil menemukan jenazah
saudara!”
“Aku masih segar bugar mengapa kalian menemukan jenazahku?” seru Han Ping.
Ong Kwan Tiong menghela napas, “Dalam semak belukar diketemukan sesosok mayat
yang sudah busuk. Umur dan pakaiannya mirip dengan engkau. Dan yang penting, mayat
itu tepat berada di tempat engkau diberitakan telah mati….”
“Aneh!” kata Han Ping.
Ong Kwan Tiong menengadah memandang gumpalan awan yang menebar di langit.
Dengan nada penuh kekesalan ia berkata, “Ah, kalau saat itu aku mau mempertimbangkan
lebih teliti, mungkin tak sampai terjadi kekilafan begini. Sungguh harus disesalkan
mengapa saat itu pikiranku agak kacau sehingga keliru menganggap mayat itu adalah
saudara….”
Han Ping tertawa, “Kita tak saling berhubungan, tentu tak terikat suatu perasaan batin.
Andaikata mayat itu benar diriku, kiranya saudara Ong tak usah harus bersedih hati.”
“Benar.” sahut Ong Kwan Tiong, “asal saja tidak dikarenakan sumoayku, tak nanti
kukerahkan seluruh jago-jago Bik-lo-san-cung untuk menyelidiki jejak saudara!”
“Mengapa sumoay saudara itu?” Han Ping heran.
“Setelah mendapat laporan, segera kuperintahkan supaya mayat itu segera diangkut
pulang agar dapat dikenali. Apakah saudara Ji atau bukan. Ah, ternyata wajah mayat itu
sudah rusak sama sekali sehingga sukar dikenali lagi. Dan lagi tubuhnyapun mulai
menyiarkan bau busuk….”
“Ah, mengapakah saudara Ong begitu menaruh perhatian besar kepadaku?” makin
heranlah Han Ping dibuatnya.
“Entah siapa yang telah memberitahukan kepada sumoay tentang mayat yang dibawa
pulang itu. Sumoay segera masuk ke dalam kamar mayat Itu….”
“Oh….” Han Ping mendesus dan tundukkan kepala.
“Sumoayku memiliki kecantikan yang sukar dicari kedua dalam dunia. Hal itu saudara Ji
tentu sudah menyaksikan sendiri. Maka tak perlu kujelaskan lagi. Tetapi tentang kabar
kecerdasannya, saudara Ji tentu belum mengetahui. Bukan karena terlalu menyanjungnya,
tetapi memang dia memiliki kecerdasan yang luar biasa. Adalah karena menyadari kedua
keistimewaan itu, cantik dan pintar, maka perangainyapun angkuh dan tinggi hati. Segala
tindakannya tentu tak sama dengan orang biasa….” berkata sampai di sini, tiba-tiba wajah
Ong Kwan Tiong berubah rawan. Dua titik airmata menetes turun dari sudut matanya.
“Saudara Ong, mengapa engkau?” Han Ping terkejut.
Ong Kwan Tiong mengusap airmatanya lalu tertawa memanjang. Nadanya mirip
dengan ringkikan naga, melengking jauh tinggi menyusup ke angkasa.
Han Ping makin kaget. Jelas tertawa itu merupakan suatu hamburan dari rasa duka
yang ditumpahkan keluar….
Diam-diam Han Ping menduga tentu telah terjadi sesuatu yang tak diharapkan pada diri
dara baju ungu itu. Hal itu dapat ditilik dari sikap dan cara Ong Kwan Tiong membawakan
ceritanya.
Setelah berhenti tertawa, berkatalah Ong Kwan Tiong pula, “Setelah melihat mayat itu
bertanyalah sumoayku, “Apakah itu mayat Ji Han Ping?”
“Apakah jawab saudara Ong?” seru Han Ping dengan tegang.
Jawab Ong Kwan Tiong, “Ia telah mencapai latihan yang sempurna untuk
mengendalikan diri. Walaupun hatinya remuk redam, tetapi ia masih tampak tetap tenang
seperti tak terjadi apa-apa. Dan aku yang tak berpikir panjang akan akibatnya, menyahut
sekenanya saja, “kiranya tak salah lagi. Ah, tak kuduga sama sekali bahwa beberapa patah
keteranganku kepadanya itu, merupakan suatu kesalahan besar yang menimbulkan
dendam penyesalan dalam hidupku….”
Karena sesaat tak dapat menangkap apa maksud ucapan Ong Kwan Tiong itu, maka
Han Ping hanya geleng-geleng kepala dan berkata, “Apa sebabnya menjadi kesalahan dan
penyesalan besar bagi saudara Ong….?”
“Pada saat itu sumoay mengulang tanya lagi. Seharusnya aku menyadari tetapi ah, saat
itu aku tetap linglung…. tiba-tiba Ong Kwan Tiong berhenti berkata lalu menampar
mukanya sendiri sampai beberapa kali. Tamparan itu telah membuat pipi begap dan mulut
berlumuran darah.
“Ah, mengapa saudara Ong bertindak begitu hendak menghukum diri sendiri? Sekalipun
engkau keliru menganggap mayat itu, kiranya bukan menjadi soal yang penting….!” seru
Han Ping.
Memang pertanyaan sumoayku itu tidak salah. Demikianpun jawabanku itu juga tak
keliru. Tetapi sesungguhnya dalam hati aku tak yakin. Tetapi entah bagaimana waktu itu
aku sembarangan membuka mulut saja. Ketika melihat wajahnya agak berubah, aku
sudah merasa tentu ada sesuatu yang tak wajar. Tetapi saat itu ia tetap tertawa dan
berkata, “Mati biarlah mati. Orang itu tiada sangkut pautnya dengan perguruan Lam-haybun
kita. Lekas perintah orang untuk menanamnya. Perlu apa harus dilihat bolak balik….”
Berkata Han Ping, “Benar, memang aku mati atau tidak, tak ada hubungan apa-apa
dengan partai saudara. Ucapannya memang benar!”
Kata Ong Kwan Tiong, “Pada saat mengucap kata-kata itu, sikapnya tenang sekali
sehingga aku sukar dapat meraba hatinya Dan setelah berkata ia terus berputar tubuh
pergi. Suatu hal yang makin membuat orang sukar menduga. Kala itu aku masih geli dan
menganggap diriku pintar karena telah menyuruh orang untuk membawa pulang
mayatmu. Ah, tak kira kalau diam-diam ia sudah mempunyai rencana tertentu….”
Han Ping makin tak mengerti, ujarnya, “Sesungguhnya persoalan ini bagaimana? Makin
mendengar aku makin bingung!”
Ong Kwan Tiong menghela napas panjang, ujarnya, “Sumoayku adalah mustikanya
manusia. Pribadi dan perbuatannya memang jarang orang yang dapat menduga.”
Tiba-tiba Han Ping berbalik tubuh, berseru, “Bolak balik pembicaraan saudara itu hanya
urusan partai Lam-hay-bun semua. Maaf, aku tak ingin mendengarkan lagi….” ia terus
melesat tiga tombak jauhnya.
“Ia telah menaruh Kumala Dingin mustika partai Lam-hay-bun….” baru Ong Kwan Tiong
berseru begitu, Han Ping sudah gelengkan kepala menukas, “Mustika perguruan Lam-haybun,
tiada sangkut pautnya dengan aku!”
Dengan beberapa kali loncatan, pemuda itu sudah tiba kembali di tempat Pengemis
sakti Cong To, katanya, “Mari kita lekas pergi!” Dan iapun terus mendahului berjalan.
Si Bungkuk dan si Pendek karena belum menerima perintah Ong Kwan Tiong, saat itu
tampak bingung dan tak tahu bagaimana harus bertindak. Keduanya hanya melongo saja
mengawasi rombongan Cong To pergi.
Rombongan Cong To itu terdiri dari jago-jago yang memiliki ilmu silat tinggi. Ketika Ong
Kwan Tiong tersadar dan memberi perintah supaya mengejar Han Ping yang sudah lenyap
dari pandangan.
Memang Cong To dan rombongannya berjalan pesat sekali. Kira-kira sepuluh tombak
jauhnya, kepala Ting Ling sudah basah kuyup dengan keringat. Dengan terengah-engah
nona itu berkata, “Silahkan kalian berjalan dulu, aku sudah tak kuat berlari lagi!”
Cong To tertawa gelak-gelak dan mengatakan sedia memanggul nona itu.
“Tidak!” Ting Ling menolak, “aku hendak pulang ke Lembah Raja setan. Kita tak sama
arah jalan!”
Tetapi pengemis itu nekad. Ia tak peduli penolakan si nona, lalu disambarnya dan
dipanggulnya, “Memang keringat pengemis tua bau busuk maka orang tentu tak sudi!”
Dipanggul dan dibawa berjalan oleh Pengemis sakti Cong To, Ting Ling tertawa,
“Bukankah selama ini locianpwe memandang rendah pada orang Lembah Raja setan?
Mengapa hari ini locianpwe begitu memperhatikan diriku?”
Cong To tertawa, “Budak setan besar, ternyata tidak sejahat yang dikabarkan orang….”
“Ah. locianpwe kelewat menyanjung saja. Dengan mendapat pujian begitu rupa dari
locianpwe, matipun aku puas!”
“Budak setan, jangan terus menerus memasak ‘gulai’, pengemis tua tak mau makan!”
Ting Ling tertawa, “Sayang aku tak dapat hidup lama. Jika tak menderita luka maut,
aku tentu senang sekali menjadi murid locianpwe dan masuk ke dalam perguruan Kimpay-
bun!”
“Tidak bisa,” sahut Cong To, “sekalipun engkau ingin masuk, tetapi belum tentu
pengemis tua mau menerima.”
Ting Ling tertawa, “Locianpwe sudah meluluskan hendak memberi pelajaran silat
kepadaku. Sekalipun tak terikat nama guru dan murid tetapi dalam kenyataannya memang
mempunyai tali hubungan begitu!”
Dalam pada bercakap-cakap itu mereka sudah mencapai 10 li lagi. Kim Loji yang
lukanya baru sembuh dan lengannya yang kutungpun masih belum sembuh sama sekali,
tampak tak kuat lagi. Kepalanya basah kuyup dengan keringat.
Setelah berpaling ke belakang dan tak tampak Ong Kwan Tiong dengan rombongannya,
barulah Han Ping lambatkan jalannya dan mengajak kawan-kawannya berhenti.
Sambil memandang ke sekeliling, Cong To berkata, “Terus sedikit, kita beristirahat di
bawah pohon besar itu!”
Setelah duduk di bawah pohon itu Kim Lojipun segera pejamkan mata mengambil
pernapasan. Ca Giok dan pengemis kecil pun tampak agak terengah. Hanya Han Ping dan
Pengemis sakti Cong To yang wajahnya tetap biasa.
Tiba-tiba Ting Ling berpaling memandang Han Ping, katanya tertawa, “Apakah yang
dibicarakan lelaki berpakaian indah tadi dengan engkau? Mengapa engkau terus tinggalkan
mereka begitu saja!”
“Dia terus menerus menceritakan urusan perguruannya Lam hay bun….”
“Belum tentu begitu,” Ting Ling tertawa, apakah tak menyinggung diri dara baju ungu
itu?”
“Ya, mengatakan juga,” sahut Han Ping, “entah mengapa orang tahu tempat aku
menderita luka dari Thian Hian totiang lalu meletakkan sesosok mayat disitu. Mayat itu
diberi pakaian yang mirip dengan pakaianku. Mereka menganggap mayat itu adalah
mayatku!”
“Ih, aneh juga,” Ting Ling mendesis, “perlu apa mereka mencari mayatmu?”
“Entahlah.”
“Lalu dimanakah mayat itu sekarang?”
“Rupanya seperti sudah ditanam…. tiba-tiba Han Ping teringat tadi ketika ia hendak
pergi, Ong Kwan Tiong telah berseru nyaring mengenai mustika perguruan Lam-hay
bun…. tetapi karena ia terus melesat pergi ia tak tahu bagaimana kelanjutan kata-kata
orang Lam-hay-bun itu.
Saat itu barulah ia menyadari bahwa ucapan Ong Kwan Tiong tadi mengandung hal
yang amat penting. Seketika teganglah hatinya dan tanpa disadari mulut Han Ping
meluncur seruan, “Tusuk Kundai Kumala dingin….”
“Apakah Tusuk Kundai Kumala dingin….?”
Han Ping gelengkan kepala, “Tusuk Kundai Kumala dingin adalah pusaka perguruan
Lam-hay-bun….”
“Ih, rupanya pikiranmu agak kacau! Kutanya apakah hubungan Tusuk Kundai Kumala
dingin dengan dirimu?”
Han Ping menengadah memandang ke langit dan merenung sampai lama. Kemudian ia
mengatakan tak tahu hal itu.
Betapapun cerdasnya Ting Ling tetapi terhadap soal Tusuk Kundai Kumala dingin yang
tiada kepala dan ekornya itu, ia tak dapat menyelaminya. Maka berulang-ulang ia
mengulang kata-kata, “Tusuk Kundai Kumala dingin, Tusuk Kundai Kumala dingin, pusaka
perguruan Lam-hay-bun….”
“Harap saudara-saudara tunggu dulu di sini, aku hendak meminta keterangan
kepadanya lagi!” tiba-tiba Han Ping berkata seraya terus loncat tiga tombak jauhnya.
“Tak usah kesanalah!” seru Ting Ling.
“Mengapa?” Han Ping berpaling.
“Mereka sudah jauh. Daripada menyusul mereka lebih baik engkau tunggu sebentar
akan kupecahkan soal itu. Mungkin dapat menerka apa maksudnya.”
Karena sudah tahu kecerdasan Ting Ling menganalisa sesuatu, terpaksa mau juga Han
Ping kembali.
Sambil membereskan rambutnya yang kusut, nona itu berkata seorang diri, “Tusuk
Kundai Kumala dingin. Dari namanya dapat diketahui maksudnya. Bentuknya tentulah
menyerupai perhiasan tusuk kundai yang sering dipakai kaum wanita.”
Ca Giok tertawa, “Tentulah sebuah tusuk kundai dari kumala!”
Angin musim rontok meniup. Hutanpun makin sunyi ketika matahari mulai condong ke
barat. Margasatwa sibuk berkemas pulang ke sarang masing-masing.
Ting Ling tahu kalau Ca Giok bermaksud hendak mengejeknya tetapi ia tak
mempedulikannya. Dengan tenang ia melanjutkan kata-katanya, “Benar, sebatang tusuk
kundai kumala. Tetapi yang menjadi pertanyaan, sampai dimanakah nilai tusuk kundai
kumala itu sehingga menjadi barang pusaka perguruan Lam-hay-bun?”
Nona itu merenung beberapa jenak lalu bertanya kepada Han Ping, “Ji siangkong,
entah apakah maksud orang itu mengatakan Tusuk Kundai Kumala dingin kepadamu?
Awal perkataannya dan akhir penutupnya jika dapat dirangkai tentulah akan banyak
membantu untuk memecahkan persoalan itu. Di tempat mana benda itu ditaruhnya?”
“Ucapan selanjutnya telah kukerat!” sahut Han Ping.
“Apakah ditaruh di dalam peti mati jenazahmu itu?”
“Hai! Mungkin begitulah,” seru Han Ping, “memang ia suruh orang menyediakan peti
mati untuk menaruh mayat itu.”
“Benar!” Ting Ling tertawa, “ia telah menaruh pusaka perguruan Lam-hay-bun ke dalam
peti mayat itu.”
“Apa gunanya?” tanya Han Ping.
Ting Ling tertawa tawar, “Dia telah keliru menyangka kalau mayat itu adalah mayatmu.
Maka diberinya tusuk kundai kumala itu. Kalau benda itu merupakan pusaka perguruan
Lam-hay-bun tentu mempunyai khasiat istimewa. Kalau tidak demikian tentulah berarti
tusuk kundai itu sebagai wakil pribadi, untuk menemani sang kekasih. Ai, dara itu benarbenar
sudah terbenam dalam lautan asmara!”
Han Ping tercengang. Ia kerutkan dahi, ujarnya, “Adakah sungguh begitu?”
“Mudah-mudahan dugaanku tepat,” sahut Ting Ling.
Han Ping tundukkan kepala duduk bersandar pohon. Wajah si dara baju ungu yang
cantik segar laksana bunga mekar dipagi hari, mulai terbayang pelapuknya….
Setelah termenung beberapa saat, berkata pula Han Ping, “Dia mengatakan kalau dara
baju ungu itu telah menaruh Tusuk Kundai Kumala dingin pusaka perguruan Lam-haybun….”
Kembali ia diam merenung sampai beberapa saat. Rupanya Ca Giok kesal, bisiknya
kepada Cong To, “Entah masih berapa jauhkah makam tua itu dari sini?”
Tiba-tiba Han Ping berbangkit bangun, “Sudah tak berapa jauh lagi, mari kita lanjutkan
jalan!” ia terus berjalan lebih dulu.
Cong To, Ting Ling dan kawan-kawannya terpaksa mengikuti anak muda itu. Dalam
pada itu diam-diam Ting Ling memperhatikan kerut wajah Han Ping. Dihtiatnya wajah
pemuda itu menampil suatu tanda keresahan hati. Diam-diam Ting Ling menghela napas,
pikirnya, “Menilik gelagatnya, dia juga menaruh hati pada dara baju ungu itu. Ah, kasihan
adik Hong ia mati-matian mencintainya tetapi yang dicinta sudah menaruh hati pada lain
orang….”
Oleh karena ingin tahu bagaimana kelanjutannya, maka Ting Ling tak mau mengatakan
akan pulang ke lembah lagi.
Ca Giok tetap merisaukan keadaan ayahnya. Sedang Cong To dan Kim Lojipun ingin
lekas-lekas mencapai makam tua itu. Mereka berjalan pesat. Bahkan pada malam haripun
tetap melakukan perjalanan. Menjelang fajar tibalah mereka di tempat yang dituju.
Sambil menunjuk ke arah gunduk-gunduk batu yang tinggi rendah menonjol tak
keruan, Han Ping berkata, “Nah, itulah makam tua yang hendak kita cari!”
Ca Giok memandang ke arah yang ditunjuk Han Ping. Tak tampak bayangan
seorangpun jua. Begitu pula dengan suara pertempuran.
“Aneh, mengapa tiada seorangpun juga?” kata Ca Giok.
“Dikuatirkan kita terlambat datang kemari. Yang mati sudah mati, yang luka tetap
terluka. Sedang yang hidup sudah pergi!” kata Ting Ling.
Ca Giok tertegun, serunya, “Biarlah aku yang masuk lebih dulu!” ia terus lari. Cong To
dan rombongannya mengikuti.
Melintasi pohon jati tua, tampak makam itu tak terdapat sesuatu jejak apa-apa. Ca Giok
makin gelisah memikirkan keselamatan ayahnya. Setelah memutari makam itu satu kali, ia
berjalan dengan kepala menunduk, serunya, “Cong locianpwe yang luas pengalaman tentu
dapat menemukan sesuatu jejak….”
Sahut Ting Ling dengan dingin, “Baik pihak mana yang menang, juga takkan
meninggalkan mayat disini…. Sekalipun tak diurus orang, mayat itu tentu sudah habis
dimakan binatang buas!”
Wajah Ca Giok berubah. Namun ia masih berusaha menenangkan diri, “Menurut
hematku mungkin kita datang terlalu pagi. Jika tempat ini benar telah dijadikan tempat
pertempuran, tentu sekurang-kurangnya terdapat bekas-bekas senjata rahasia atau pun
jenis senjata tajam”
Sahut Ting Ling, “Tanah tertutup rumput dan rumput tertimbun salju jika engkau tak
menyingkap rumput-rumput itu, mana engkau dapat menemukan jejak?”
Sebenarnya Ting Ling hendak mengolok-oloknya. Tetapi karena amat gelisah
memikirkan ayahnya maka Ca Giok kacau pikirannya. Ia anggap kata-kata Ting Ling itu
benar maka segera ia mematahkan sebatang dahan jati lalu mencongkel gerumbul
rumput.
Makam tua itu penuh ditumbuhi rumput setinggi lutut. Pada akhlr musim rontok, embun
tebal bertumpuk mirip salju. Karena dibongkar oleh Ca Giok, lapisan embun tebal
berhamburan ke pakaian pemuda itu.
Melihat itu tertawalah Ting Ling. Ca Giok berpaling dan tersadarlah ia kalau dirinya
sedang dipermainkan sinona. Seketika marahlah ia. Ia berjalan menghampiri seraya
menegur tajam, “Apa artinya ini?”
Wajah Ting Ling berubah bengis, balasnya, “Apa? Bukankah engkau sendiri yang
menurut kata-kataku? Siapa yang engkau salahkan?”
“Dalam saat dan tempat begini, masakan nona masih mempunyai selera untuk
mengolok-olok diriku! Apakah engkau tak mempedulikan sama sekali nasib pamanmu?”
“Huh, siapa bilang tak peduli!” jawab Ting Ling, “engkau sediri yang tak tenang. Engkau
tak dapat memikir panjang. Jika benar mereka sudah tiba kemari dan bertempur, baik
pihak manapun yang menang tentu akan masuk ke dalam makam. Dan di luar makam
tentu diberi orang yang jaga. Jika keadaan makam ini begini tenang, masakan ada orang
yang sudah memasuki makam itu?”
Mendengar uraian Ting Ling, Ca Giok terpaksa menelan kemengkalan hatinya. Dalam
pada itu diam-diam ia girang karena Nyo Bun Giau dan rombongannya belum datang ke
makam situ.
“Kalau begitu, mereka belum datang kemari?” Han Ping ikut bicara.
“Sudah datang atau belum, sukar dikata. Tetapi jelas disini belum terjadi pertempuran.
Harta pusaka dalam makam tua itu masih tetap belum terganggu!”
Setelah memandang ke sekeliling makam itu, berkatalah Ca Giok, “Jika dalam makam
tua ini benar-benar terdapat harta pusaka, sekalipun tanpa peta, tetap dapat
mengambilnya!”
Mendengar itu tak tahan lagi Cong To, serunya, “Bagus, angkatan muda akan
menyisihkan angkatan tua. Kalian ternyata jauh lebih pintar dari pengemis tua. Tetapi
pengemis tua benar-benar ingin mendengar, dengan cara apakah harta pusaka dalam
makam itu dapat diambil tanpa menggunakan peta petunjuk!”
“Soal itu sederhana sekali,” sahut Ca Giok, “asal kita gunakan pekerja yang bertenaga
kuat untuk menggali makam ini, masakan tak dapat menemukan harta pusaka itu!”
Tetapi Han Ping membantah dengan mengatakan bahwa makam itu dibuat dengan
bangunan yang amat kokoh sekali dan dilengkapi dengan bermacam-macam perkakas
rahasia. Cara penggalian seperti yang dikatakan Ca Giok itu tentu akan makan banyak
korban jiwa.
Setelah merenung sejenak, Ca Giok menjawab lagi, “Segala rasa milik, tentu
membangkitkan keberanian. Mereka begitu ngiler hendak mencari harta pusaka, matipun
tentu rela!”
Han Ping menghela napas. Ia tak mau berbantah lebih lanjut.
Kebalikannya Kim Loji mulai buka mulut, “Pendapat Ca sau pohcu tadi meskipun bagus,
tetapi Ca sau pohcu tak tahu ciptaan bangunan makam yang luar biasa itu. Tanpa
menggunakan peta petunjuk, sekalipun menggunakan seribu tenaga, tetap tak mungkin
dapat membobolkan bangunan makam itu. Apalagi perkakas rahasianya, wah, hebatnya
bukan kepalang jika tak tahu cara bagaimana menggerakkan perkakas rahasia itu, jangan
harap dapat keluar….”
“Lekas bersembunyi? sekonyong-konyong Ting Ling melengking tegang sehingga
sekalian orang tak sempat memandang ke muka lagi, terus menyusup ke dalam gerumbul.
Ting Ling sendiri mengikuti di belakang Han Ping bersembunyi di dalam semak.
Ketika sudah bersembunyi, Han Ping melongok ke empat penjuru. Ia heran karena tak
melihat suatu apa. Segera ia berpaling ke belakang, menegur Ting Ling, “Apakah sungguh
ada orang datang?”
Ting Ling gelengkan kepala, “Tak ada!”
Han Ping marah, “Engkau ini bagaimana? Bicara dan bekerja tanpa menyesuaikan
suasana. Mengapa pada saat begini masih suka bengurau!” – habis berkata ia terus berdiri
lalu melangkah keluar.
“Tunggu dulu sebentar, maukah engkau?” seru Ting Ling perlahan, “aku hendak bicara
dengan engkau!” – ia jambret ujung baju pemuda itu.
Karena nada nona itu amat rawan, tanpa terasa Han Pingpun berhenti. Ketika berpaling
dilihatnya mata nona itu berlinang-linang airmata. Sudah tentu Han Ping terkejut.
“Kalau hendak bicara, silahkan mengatakan. Asal tenagaku mampu saja, aku tentu
akan melaksanakannya,” kata Han Ping.
Nona yang biasanya keras kepala itu, tiba-tiba saat itu berubah lemah lembut. Dua
tetes airmata menitik turun.
“Aku tak lama lagi tentu mati,” katanya, “sekalipun aku mengatakan beberapa patah
kata yang tak pantas, engkaupun tentu takkan menganggap dalam hati.”
Han Ping terkesiap. Ia mendesak supaya nona itu segera mengatakan apa yang
dikehendaki.
Ting Ling tertawa hambar, “Tahukah engkau mengapa aku menipu kalian ini?”
“Entahlah,” sahut Han Ping.
“Tadi tiba-tiba kurasa lukaku timbul suatu perubahan. Mungkin aku akan mati lebih
cepat!”
Han Ping terbeliak, “Apa? Mengapa bisa begitu?”
“Ah, masakan aku hendak membohongimu!” sahut Ting Ling.
Han Ping berjongkok lalu lekatkan telapak tangannya ke punggung si nona seraya
menyuruhnya melakukan pernapasan untuk menyambut tenaga murni yang hendak ia
salurkan.
Saat itu tenaga dalam Han Ping sudah mencapai tataran tinggi. Begitu menyalurkan
tenaga murni, seketika Ting Ling rasakan tubuhnya dialiri serangkum hawa panas.
“Percuma,” Ting Ling gelengkan kepala, “lukaku ini sudah tak mungkin disembuhkan
lagi. Sedangkan Thian Hian totiang saja sudah angkat tangan, perlu apa engkau
membuang tenaga sia-sia!”
Berkata Han Ping dengan nada bersungguh, “Tak peduli bermanfaat atau tidak,
pokoknya aku akan berusaha sekuat tenaga. Lekaslah nona melakukan pernapasan!”
Ting Ling tertawa, “Ah, apakah engkau benar-benar tak merelakan aku mati?”
“Masakan perlu bertanya?” jawab Han Ping.
Ting Ling tertawa terhibur lalu perlahan-lahan pejamkan mata dan melakukan
pernapasan untuk menyambut penyaluran hawa murm itu.
Pada permulaan, Ting Ling hanya rasakan aliran hawa panas itu menyalur ke seluruh
urat nadinya sehingga tubuh terasa nyaman. Tetapi pada saat aliran hawa panas itu
melanda ke bagian dada, tiba-tiba ia rasakan uluhatinya amat sakit sekali. Ia tak tahan
dan condongkan tubuh ke muka, menghindari tangan Han Ping.
Kepala pemuda itu basah dengan keringat. Jelas dia sudah mengerahkan seluruh
tenaga dalam untuk memberi penyaluran. Ting Ling tersenyum, serunya, “Sakitku
kambuh….” – ia mengambil sapu tangan lalu mengusap kepala Han Ping seraya berkata,
“Ah, keringatmu begini banyak….”
Han Ping menghela napas, “Jika engkau mau menahan sakit sedikit waktu saja,
mungkin aku dapat menembus jalan darah yang menyebabkan perubahan pada lukamu
itu!”
“Jangan sesalkan aku. Aku benar-benar tak tahan menderita sakit yang begitu hebat.
Lebih baik biarkan aku mati saja….” – kata Ting Ling seraya perlahan-lahan sandarkan
kepalanya ke bahu Han Ping.
Melihat keadaan nona itu, timbullah rasa kasihan Han Ping. Sambil menepuk perlahan
bahu nona itu ia menghiburnya “Tak apalah. Nanti setelah kututuk jalan darahmu supaya
engkau pingsan, barulah kusalurkan tenaga murni untuk menembus jalan darah tempat
luka itu.
Saat itu engkau tak merasa sakit dan dapat bertahan beberapa waktu.”
Tiba-tiba Ting Ling mengangkat kepala dan menatap iba pada wajah Han Ping, “Apakah
engkau kira aku sungguh-sungguh tak tahan menderita kesakitan itu?”
Han Ping terkesiap, “Bukankah engkau sendiri yang bilang tadi? Bagaimana aku dapat
mengetahui?”
Ting Ling menghela napas. Ia merentang sepasang mata memandang wajah Han Ping.
Seolah-olah ia hendak mencari sesuatu miliknya yang hilang….
Dua pasang mata beradu!
Saat itu barulah Han Ping mengetahui pandang mata nona itu memancar rasa kasih.
Tergetarlah perasaan Han Ping. Buru-buru ia berpaling muka dan berbisik, “Harap jangan
memandang aku begitu rupa.”
Belum Ting Ling membuka mulut, tiba-tiba di sebelah luar terdengar suara orang
berseru nyaring, “Apakah Tusuk Kundai Kumala Dingin itu dapat menyamai khasiat dari
Tenggoret Kumala?”
Jelas suara itu dari lain orang, bukan salah seorang dari rombongan Cong To.
Ting Ling menarik lengan baju Han Ping dan membisikinya, “Tuh, aku tak menipumu.
Memang ada orang yang datang”
Kuatir didengar pendatang itu, Han Ping tak berani bicara dan melainkan berpaling
seraya tertawa. Ia beringsut mengisar diri untuk melongok keluar dari celah semak. Tetapi
batu makam yang berjajar-jajar itu menghalang pandang matanya. Ia tak dapat melihat
pendatang itu.
Rupanya yang datang itu bukan hanya seorang. Karena saat itu juga terdengar suara
lain orang berkata, “Bukan hanya menyamai, pun bahkan melebihi Tenggoret Kumala.
Kecuali itu ada pula kegunaannya yang besar sekali!”
“Apa?” seru suara lantang tadi.
Orang yang nadanya bening menyahut, “Apakah saudara suka akan kitab pusaka
perguruan Lam-hay-bun?”
Orang bernada nyaring tadi tertawa keras, “Setiap hidung orang persilatan tentu
menyukai kitab pusaka Lam-hay-bun. Akupun tak terkecuali dari mereka!”
Han Ping membisiki Ting Ling, “Rupanya salah seorang dari mereka itu Ih Thian Heng!”
Ting Ling tertegun, “Pernahkah engkau melihat Ih Thian Heng?”
“Pernah bertemu sampai tiga kali. Nadanya mirip dengan dia tetapi entah benar entah
tidak!”
Ting Ling goyangkan tangan beberapa kali lalu membisiki ke dekat telinga Han Ping,
“Dia amat sakti sekali. Jika kita terus bicara tentu akan diketahuinya!”
Han Ping mengangguk dan tak berani bicara lagi. diam-diam Ting Ling merasa pemuda
itu mendadak menurut perintahnya. Dengan tersenyum ia lekatkan lehernya ke bahu
pemuda itu dan memasang telinga untuk menangkap pembicaraan kedua pendatang itu.
Berkata pula orang yang bernada bening itu, “…. percayalah omonganku. Selain Tusuk
Kundai Kumala dan kitab pusaka dari Lam-hay-bun akan dapat kita peroleh, pun masih
akan mendapat seorang istri yang luar biasa kecantikannya….”
Nada suara orang itu makin lama makin lemah sehingga tak dapat didengar lagi.
Rupanya mereka tiba-tiba berganti arah, membelok ke arah lain.
Han Ping tajamkan pendengarannya tetapi tetap tak mendengar suara apa-apa.
Rupanya mereka sudah pergi. Ia menghela napas untuk melonggarkan ketegangan
hatinya. Tiba-tiba daun telinganya terbaur angin lembut yang harum baunya.
Ketika berpaling, dilihatnya Ting Ling sedang sandarkan muka ke bahunya. Bau harum
itu berasal dari tubuh gadis itu.
Han Ping kerutkan alis, “Karena mereka sudah pergi, mari kita keluar juga!”
“Jangan,” Ting Ling tertawa, “mereka segera akan kembali lagi!”
Han Ping sudah menaruh kepercayaan penuh atas kecerdasan Ting Ling menduga
sesuatu. Maka ia menurut dan duduk kembali.
Ting Ling tertawa seraya menariknya bangun, “Ah, aku hanya membohongimu,
mengapa engkau percaya?”
Dipermainkan begitu rupa, Han Ping tak dapat berkata apa-apa.
Sambil masih mencekal tangan Han Ping, Ting Ling mengajaknya loncat keluar.
“Ha, ha, ha, kalian sungguh mesra benar!” tiba-tiba terdengar orang tertawa gelakgelak.
Merahlah wajah Ting Ling. Buru-buru ia lepaskan tangan Han Ping lalu berputar diri.
Tampak Ca Giok berdiri beberapa meter di sebelah muka sambil menggendong kedua
tangannya di punggung. Dengan tersenyum senyum, pemuda itu berseru pula, “Ah, rejeki
saudara Ji sungguh besar sekali!”
“Ini, ini, ini….” Han Ping tergagap tak dapat bicara.
Adalah Ting Ling yang cepat menegur Ca Giok, “Apa? Apakah engkau sakit
melihatnya?”
“Ah, mana aku merasa begitu?” Ca Giok tertawa, “aku toh belum sempat menghaturkan
selamat pada kalian?”
Ting Ling maju dua langkah ke samping Han Ping lalu menantang, “Kalau engkau
belum puas melihat, pandanglah sampai puas!” – ia terus menggandeng lengan Han Ping.
Sudah tentu Han Ping terkesiap dan menyurut mundur untuk menghindar, “Ah, harap
nona jangan bergurau!”
Ca Giok tertawa, “Sikap saudara Ji menolak orang yang datang dari ribuan li jauhnya,
sungguh kelewat….” – baru ia berkata begitu tiba-tiba ia merasa dilanda oleh serangkum
angin keras. Cepat ia menyingkir ke samping. Dan ketika berpaling, tampak Cong To
sudah berdiri di tempat sebelum Ca Giok menyingkir tadi.
“Ih Thian Heng dan seorang lelaki pertengahan umur serta seorang berpakaian
sastrawan, menuju ke arah tenggara. Dalam beberapa saat ini pengemis tua melihat
belasan tokoh persilatan menuju ke sana. Tentu bukan sewajarnya….” kata Pengemis sakti
Cong To,
“Tadi ketika bersembunyi dalam semak, akupun mendengar Ih Thian Heng bicara
dengan seseorang tentang Tusuk Kundai Kumala. Rupanya soal itu ada hubungannya. Kita
meninjau ke sana atau tidak!”
Cong To merenung sejenak, katanya “Ya, kita lihat saja kesana!” – ia terus mendahului
lari ke arah tenggara.
“Karena mereka berjumlah banyak kemungkinan ayah tentu ke sana juga,” kata Ca
Giok terus menyusul lari.
Han Ping memandang kian kemari tetapi tak melihat Kim Loji. Baru ia hendak
menanyakan, tiba-tiba dari balik pohon jati tua, terdengar suara Kim Loji berseru, “Ping Ji,
kemarilah. Aku hendak bicara!”
Han Ping segera menghampiri. Dilihatnya Kim Loji berada di atas dahan pohon. Segera
Han Ping memberi hormat serta menanyakan apa yang akan dikatakan pamannya itu.
”Ping-ji, kelak apabila bertemu dengan padri Siau-lim-si, jangan berkelahi dengan
mereka,” kata Kim Loji.
Han Ping mengiakan.
“Silahkan kalian pergi, biarlah kutunggu di sini. Apabila urusan sudah selesai, harap
lekas kembali lagi,” kata Kim Loji.
“Mengapa paman tak ikut?”
Kim Loji merenung sejenak lalu berkata, “Pertama, karena makam tua Ini sudah
termahsyur di dunia persilatan kalau menyimpan harta pusaka yang tak ternilai jumlahnya.
Maka aku hendak menunggu di sini saja. Nanti akan kuperhatikan tokoh-tokoh siapa yang
datang kemari mencari harta pusaka itu. Dan kedua kalinya, Ih Thian Heng muncul di
sana. Kalau sampai kepergok, sungguh tak enak bagiku!”
Bermula Han Ping hendak mendesak Kim Loji supaya ikut sekali. Tetapi pada lain kilas,
ia teringat, nyali pamannya tentu sudah kuncup karena kewibawaan Ih Thian Heng. Jika
memaksa pergi, tentulah tak baik. Lebih baik tinggalkan paman itu di situ, seakan untuk
menjaga makam.
“Baiklah, jika paman hendak menjaga di sini,” Han Ping memberi hormat, “asal jangan
pergi kemana-mana agar kita jangan bingung mencari.”
Kim Loji tertawa, “Jangan kuatir, aku tentu dapat menjaga diri”
Setelah itu Han Ping segera ajak Ting Ling pergi. Tetapi nona itu menolak, “Silahkan
engkau pergi sendiri, maaf, aku tak dapat menemani.”
“Mengapa?” Han Ping heran.
“Lukaku segera terasa sakit. Mengapa engkau ajak aku ke sana untuk menerima
hukuman?”
“Tetapi kalau engkau seorang diri di sini, sungguh menguatirkan.”
“Tak perlu banyak pikiran. Sebelum kita berkenalan, bukankah aku sudah sebesar ini?”
Kata-kata nona itu membuat Han Ping tak dapat bicara. Ia hanya tergagap, “lni, ini
aku….”
“Sudahlah, jangan ini itu,” seru Ting Ling, “lekaslah ke sana! Aku bersama Kim
locianpwe menunggu kalian di sini. Dalam dua tiga hari ini kemungkinan aku belum mati.
Mungkin masih dapat bertemu muka lagi….” – nada nona itu berubah rawan. Ia berputar
tubuh terus melangkah perlahan- lahan.
“Nona Ting, harap kembali….” buru-buru Han Ping memanggil. Tetapi sampai diulang
beberapa kali, tetap Ting Ling tak mau kembali. Ia terus berjalan ke muka, menyusup ke
dalam salah sebuah batu nisan yang menonjol.
Han Ping menghela napas. Ia minta kepada Kim Loji supaya suka melindungi Ting Ling.
Setelah meninjau ke tempat tokoh-tokoh persilatan itu, segera ia akan kembali.
“Ah, nona Ting tak perlu dilindungi. Ia cerdik dan kaya dengan akal. Mungkin ia dapat
membantu aku di sini.” Kim Loji tertawa.
Han Ping tegak sampai beberapa jenak. Tak tahu apa yang harus dikatakan lagi. Tibatiba
ia berputar diri lalu loncat tiga tombak jauhnya. Dengan gunakan ilmu meringankan
tubuh, cepat sekali ia sudah lenyap dari pandangan.
Melihat gerakan pemuda itu diam-diam Kim Loji tersenyum gembira. Dalam sebulan tak
berkumpul, ternyata Han Ping sudah maju pesat sekali dalam ilmu silatnya.
Kepergian Han Ping itu membawa hati yang gundah. Tampaknya ia setengah tahu
setengah tidak, akan gerak gerik Ting Ling yang penuh dengan curahan Asmara itu. Tetapi
ia tak tahu bagaimana cara menghibur hati nona yang sedang dimabuk Asmara itu agar
jangan sampai menderita putus asa dan tersinggung perasaannya. Hal itulah yang
membuat hati Han Ping serasa tertindih oleh batu besar sehingga dadanya seperti
terhimpit tak dapat bernapas….
Dalam cengkaman keresahan dan kekacauan pikiran itu, larilah Han Ping sepembawa
kakinya. Ia lari asal lari, entah sudah berapa lama, entah sudah tiba dimana. Baru setelah
terkejut mendengar suara orang memanggil namanya, iapun berhenti.
Ketika berpaling, dilihatnya Cong To berlari menghampiri diikuti dari belakang oleh Ca
Giok.
Ternyata pada waktu lari tadi, Han Ping tundukkan kepala sehingga ia tak merasa kalau
sudah mendahului Cong To dan Ca Giok.
“Ho, lari saudara Ji sungguh cepat sekali!” seru Ca Giok seraya mengusap keringat di
kepala.
Karena lari secepat-cepatnya itu, kepala Han Ping pun basah dengan keringat. Ia
mengatakan hendak menyusul kedua orang itu.
Cong To tertawa, “Tadi pada jarak 10 li, engkau sudah mendahului kami berdua.
Mengapa engkau masih lari seperti diuber setan?”
“Aku hanya menumpahkan perhatian untuk lari, tidak memperhatikan orang di jalanan”
“Andaikata tak kupanggil, sampai kapankah saudara Ji akan berhenti!” tanya Ca Giok.
Han Ping terkesiap, “lni sukar dikata. Jika sudah letih tentu berhenti!”
Pengemis sakti Cong To kerutkan dahi, tegurnya, “Eh, mengapa budak setan yang
besar itu tak ikut serta?”
Han Ping mengatakan nona itu hendak beristirahat merawat luka. Demikianpun dengan
pamannya Kim Loji.
“Ah, seharusnya engkau bawa budak setan itu kemari. Siapa tahu kita memerlukan
bantuannya,” kata Cong To.
“Ya, memang nona Ting Ling seorang gadis cantik lagi cerdas. Dan saudara Han Ping
gagah perkasa dan berilmu tinggi. Benar-benar merupakan sepasang mustika yang amat
sepadan. Dalam hal menjodohkan mereka, Cong locianpwe harus turun tangan….” Ca Giok
menggoda.
Cong To tertawa, “Terus terang selama ini pengemis tua tak mempunyai kesan baik
terhadap orang kedua Lembah dan ketiga Marga itu. Dan yang paling menjemukan sendiri
adalah orang dari kedua lembah itu. Tak kira beberapa hari bergaul saja, aku benar-benar
amat berkesan kepada budak perempuan besar dari Lembah Raja Setan itu. Rupanya
pekerjaan pengemis tua sebagai comblang nanti, tentu ada harapan!”
Ca Giok tertawa, “Sayang nona Ting Ling tak dapat menikmati rezeki sebesar itu karena
mengidap luka yang tak dapat disembuhkan!”
Cong To tertegun lalu mendamprat pemuda itu, “Bagus! Ho, nyalimu sungguh besar.
Berani juga engkau mempermainkan pengemis tua, ya!”
“Tetapi bicaraku belum selesai dan locianpwe sudah menukas. Bagaimana hendak
menyalahkan aku!” bantah Ca Giok.
Han Ping memandang Ca Giok dan berkata dengan serius, “Senda gurau semacam itu
tadi, harap saudara jangan mengatakan lagi. Soal yang menyangkut nama baik seseorang,
hendaknya jangan dibuat main-main!”
Masih Ca Giok membela diri, “Putra putri persilatan, kebanyakan tak terlalu
memusingkan soal adat istiadat yang tak berarti. Janganlah hendaknya saudara Ji
memakai ukuran orang biasa untuk mengukur diriku.”
Melihat kedua pemuda itu saling tarik urat tegang, tiba-tiba Cong To tertawa, “Ho,
pengemis tua paling tak senang melihat orang mengerut dahi. Hayo kita lanjutkan
perjalanan lagi!”
Han Ping melirik ke samping lalu berseru, “Cong locianpwe….”
“Bukankah engkau hendak menanyakan pengemis kecil!” tukas Cong To,
“Benar, kemanakah dia?”
“Selamanya pengemis tua dan pengemis kecil itu selalu berjalan sendiri-sendiri. Kami
tak perlu mengurus satu sama lain,” sahut Cong To seraya lari.
Terpaksa kedua pemuda itu mengikuti lari. Kira kira berlari 10 li jauhnya, tibalah
mereka di sebuah lereng gunung. Tampak Pengemis sakti bersembunyi di balik pohon
yang tumbuh di atas puncak lereng dan mengacungkan tangan memanggil.
Han Ping terkesiap. Ia yakin kalau tidak bertemu dengan musuh yang tangguh tentulah
pengemis sakti itu melihat sesuatu hal luar biasa yang belum pernah dialami seumur
hidup. Karena menilik tingkatan pengemis tua itu, tak mungkin akan bersembunyi jika tak
menghadapi kedua kemungkinan tersebut.
Han Ping lepaskan tangannya dari cekalan Ca Giok, katanya, “Saudara Ca, Cong
locianpwe tentu menghadapi musuh tangguh. Hendaknya jangan kita sampai mengejutkan
mereka!” dengan perlahan-lahan ia terus mendaki ke atas.
Ca Giokpun sependapat dengan dugaan Han Ping. Ia mengikut di belakang Han Ping
dan merangkak ke atas dengan hati-hati.
Ketika tiba di belakang pengemis sakti, kedua pemuda itu melongok ke bawah dan
serempak tergetarlah hati keduanya!
Di muka sebuah gunduk makam yang rupanya baru saja ditimbuni tanah dan taburan
bunga serta sesaji buah-buahan segar, seorang dara baju ungu dan kepala terbungkus
sutra hitam, sedang duduk bersila di hadapan makam itu. Tangannya tak henti hentinya
menabur bunga dan kertas.
———— Hal 70 – 71 hilang ——————–
lahi. Mereka sedang melakukan upacara penguburan. Tentu hatinya berduka cita.
Kurang layak kalau membuat onar.” sahut Han Ping.
“Baiklah, pengemis tua tak pernah mau memaksa orang. Kalau engkau tak suka pergi,
tunggulah di sini saja!” kata Cong To seraya mulai menuruni lereng gunung.
Sekalipun dalam hati Han Ping menduga bahwa yang dikubur itu tentulah orang yang
dianggap sebagai dirinya, tetapi diam-diam Han Ping masih ragu-ragu. Ia masih tak
percaya masakan dara baju ungu yang begitu cantik dan begitu angkuh, mau mencintai
dirinya….?
Diam-diam ia kepingin mengetahui juga. Cepat ia melambung, bersembunyi di atas
sebatang pohon yang rindang daunnya.
Sementara setelah tiba di lembah tempat upacara penguburan, tiada seorangpun yang
memperhatikan kedatangan Cong To dan Ca Giok.
Setelah batuk-batuk, Pengemis sakti Cong To Iangsung menghampiri kuburan itu….
Jilid 23.
Si Penampar Bunga.
Ca Giok pun segera menyusup dan berdiri di sebelah ayahnya. Ketua marga Ca itu
berpaling memandang puteranya.
“Mengapa engkau ke sini? Lekas pergi!” bentaknya lirih.
Ca Giok tertegun, tanyanya, “Kemana aku harus pergi?”
“Pulang ke rumah!”
Nyo Bun-giau yang berdiri tak jauh dari Ca Cu-jing segera tersenyum, “Tak usah kuatir,
saudara Ca. Puteramu cukup cerdas dan dapat menjaga diri. Bukankah sayang kalau tak
suruh dia ikut menyaksikan pengalaman yang jarang terdapat seperti ini?”
Ca Cu-jing serentak palingkan muka, dia membisiki puteranya, “Giok-ji, nanti apabila
terjadi apa pun juga, jangan sekali-kali engkau gegabah ikut campur dan lekas engkau lari
sembunyi di lereng puncak itu.”
Ca Giok mengiakan.
Saat itu Pengemis-sakti Cong To sudah makin dekat di muka makam. Hanya terpisah
satu dua meter dari tempat si dara baju ungu.
Tiba-tiba Ih Thian-heng berpaling dan berkata kepada pemuda baju putih itu, “Saudara
Siong, orang yang berpakaian compang camping itu adalah Pengemis-sakti Cong To yang
termasyhur di dunia persilatan!”
Pemuda baju putih itu hanya tertawa hambar, sahutnya, “Nanti aku hendak minta
pelajaran!”
Mendengar itu Leng Kong-siau melirik sejenak ke arah pemuda baju putih itu.
Lelaki berjubah kuning yang berdiri di sisi pemuda baju putih tertawa dingin dan
membentak Leng Kong-siau, “Lihat apa engkau jahanam busuk!”
Rupanya ia baru kenal akan kata-kata makian itu maka waktu mengucapkan pun agak
masih kaku.
Ong Kwan-tiong, tokoh Lam-hay-bun yang berpakaian indah, berpaling dan
menyelutuk, “Eh, mengapa saudara ribut2 saja? Bukankah nanti banyak waktu untuk
bertengkar?”
Berobahlah wajah lelaki jubah kuning tadi. Ketika ia hendak balas mendamprat,
pemuda baju putih cepat mencegahnya, “Jangan bicara lagi!”
Tampak orang berjubah kuning itu amat garang perawakan dan sikapnya, tetapi
terhadap pemuda baju putih ia amat mengindahkan dan takut.
Leng Kong-siau yang dimaki tadi sudah tentu tak terima. Sambil diam-diam kerahkan
tenaga-dalam, ia berkata kepada Nyo Bun-giau dan Ting Yan-san, “Tahukah saudara,
siapakah orang berjubah kuning itu?”
Nyo Bun-giau berpaling memandang sejenak lalu mengatakan bahwa orang itu adalah
orang undangan dari Ih Thian-heng.
“Dia bermulut kasar, aku hendak memberinya sedikit pengajaran,” kata Leng Kong-siau.
Nyo Bun-giau tertawa hambar, “Harap bersabar dulu, saudara. Kalau tak kebetulan, kita
akan berhadapan dengan orang Lam-hay-bun.”
Dengan ucapan itu Nyo Bun-giau hendak memberitahukan siasatnya. Kalau fihaknya tak
dapat mengekang diri dan turun tangan, tentu akan bentrok dengan Ih Thian-heng. Tetapi
kalau dapat bersabar dan tunggu sampai fihak lain yang bentrok dulu, tentulan fihaknya
akan mendapat keuntungan. Setelah fihak yang bertempur ada yang bonyok, barulah ia
dapat menyelesaikan mereka semua.
Ting Yan-san membenarkan Nyo Bun-giau, “Ya, memang saudara Nyo benar. Menilik
gelagatnya, suasana hari ini tentu takkan selesai secara baik-baik. Walaupun yang datang
amat banyak tetapi menurut kesimpulanku, hanya tiga kekuatan yang benar-benar harus
diperhitungkan. Kesatu, Lam-hay-bun. Kedua rombongan Ih Thian-heng yang
mengundang beberapa tokoh dan yang ketiga adalah kita sendiri. Jika kita yang habis dulu
bentrok dengan Lam-hay-bun, tentu kita akan rugi dan Ih Thian-henglah yang untung.
Nyo Bun-giau pun cepat beringsut maju ke samping Leng Kong-siau. Ia tahu orang she
Leng itu licin sekali. Nasehatnya yang didukung Ting Yan-san belum tentu dapat
mencegah tindakannya.
Jika dalam urusan kecil tak dapat menahan diri, urusan besar tentu akan terbengkalai.
Jangan hendaknya saudara Leng terlalu dipengaruhi oleh emosi. Siapa yang dapat
menahan diri, dialah yang akan memperoleh keuntungan,” katanya menandaskan sekali
lagi kepada Leng Kong-siau.
Leng Kong-siau menyanggupkan diri untuk menuruti permintaan kedua orang itu.
Pembicaraan ketiga orang itu dilakukan dengan ilmu Menyusup-suara. Oleh karena itu,
lain orang tiada yang dapat mendengarkannya.
Saat itu Cong To yang sudah hampir dekat dengan tempat si dara baju ungu, tiba-tiba
merasa dilanda oleh serangan angin yang kuat. Ia terkejut dan buru-buru loncat
menghindar ke belakang.
Ternyata nenek Bwe-nio memandang pengemis itu dengan rambut bergetaran dan
wajah murka. Tetapi nenek itu tak berkata apa-apa.
Dan ketika berpaling ke kanan kiri, Cong To melihat tokoh-tokoh Lam-hay-bun lainnya
seperti lelaki pincang, si Bungkuk dan si Pendek, sama memandangnya dengan marah
tetapi mereka pun tak berkata apa-apa.
Setelah memandang ke arah punggung si dara, barulah Cong To menyadari mengapa
orang-orang Lam-hay-bun begitu memandangnya dengan marah.
Kiranya saat itu si dara baju ungu tengah menangis. Tetapi karena amat pelahan sekali
sehingga tak kedengaran.
Nenek Bwe-nio dan lelaki kaki buntung itu, rupanya mengetahui keadaan si dara. Maka
mereka tak berani membentak Cong To karena kuatir mengejutkan si dara baju ungu.
Semula Cong To mengira bahwa dugaannya benar. Tetapi pada lain saat timbullah
pertanyaan dalam hatinya, “Jika benar dara itu sedang menangis, bukankah mereka dapat
menggunakan kesempatan membentak aku supaya menghentikan tangisnya? Mengapa
mereka malah membiarkan saja…?”
Cong To pasang telinga. Didengarnya tangis data itu seperti orang yang sedang
meratapi nasib dan mencurahkan isi hatinya. Tetapi karena suaranya amat pelahan sekali
sehingga sukar ditangkap dengan jelas.
Dan ada sesuatu yang istimewa. Tangis dara itu begitu memilukan sekali sehingga
orang-orang yang mendengarnya pun ikut bersedih. Beberapa saat kemudian, Cong To
sendiri pun ikut merasa rawan dan ingin menangis juga.
Lama kelamaan, samar2 dapat terdengar juga kata-kata tangis dara itu. “Engkau sudah
mati meninggalkan diriku seorang diri. Untuk siapakah sang bunga mekar itu? Kepada
siapakah kerinduan itu akan tercurah? Mempersembahkan hati duka kepada nisan….”
Tangis itu walaupun pelahan tetapi setiap patah kata dapat didengar jelas dan
mengandung daya kuat mengikat hati orang.
Tanpa disadari, Cong To pun menitikkan beberapa airmata. Diam-diam ia menghela
napas. “Entah kepada siapakah ia sedemikian menumpahkan hatinya!”
Tiba-tiba dari arah belakang terdengar derap langkah orang. Dan ketika ia berpaling,
ternyata si pemuda baju putih tadi berjalan menghampiri ke tempat pengemis itu sambil
kebut-kebutkan kipas batu kumalanya.
Rupanya pemuda itu sengaja suruh orang mendengar jalannya maka langkahnyapun
terdengar berat.
Nenek Bwe Nio segera berpaling dan deliki mata kepada pemuda baju putih itu. Tetapi
pemuda itu tak menghiraukan. Dengan langkah bergoyang gontai, Ia tetap menghampiri
ke belakang si dara.
Bwe Nio hendak bergerak menghalanginya. Tetapi ia kuatir akan mengganggu si dara
yang tengah meratap itu. Sesaat ia tak tahu apa yang harus dilakukan.
Pemuda baju putih percepat langkahnya dan cepat sekali ia sudah lewat di sisi Cong To.
Melihat tingkah laku pemuda itu, Cong To segera ulurkan tangan hendak
mencengkeramnya. Ia gunakan kim Toa-kin-jiu. Ilmu untuk merebut senjata. Ia pikir,
sekali pun pemuda itu memiliki ilmu kepandaian silat, tetapi tentu tak dapat menghindar
karena tak menduga-duga.
Di luar dugaan, ujung baju si pemuda itupun tak kena dicengkeramnya. Cong To
terkejut bukan kepalang. Pikirnya, “Seorang budak yang tak ternama, mengapa mampu
menghindari cengkeramanku? Hm, dia tentu sakti!”
Dalam pada Cong To tertegun itu, si pemuda baju putih pun sudah tiba di belakang si
dara baju ungu. Saat itu asal menjamahkan tangan, tentulah pemuda itu dapat
menyingkap kain kerudung si dara.
Entah bagaimana tiba-tiba timbullah rasa iba Cong To terhadap dara itu. Ia anggap
dara yang begitu halus perasaannya, barulah orang yang pantas dihormati. Melihat
pemuda baju putih itu menghampiri ke belakang si dara, Cong To marah sekali.
“Berhentil”teriaknya marah,”berani bergerak, tentu pengemis tua akan membeset
kulitmu!”
Ia loncat menerkam pemuda baju putih itu. Tetapi tepat pada saat itu, si pemuda baju
putih pun mengisar diri dua langkah ke samping lalu berputar tubuh.
Ternyata pemuda baju putih itu menghindari beberapa taburan benda bersinar emas
yang mengarah dirinya. Tetapi entah siapa yang melepaskan senjata rahasia itu.
Dara baju ungu itu tetap tenang sekali. Sekalipun sudah hentikan ratapannya tetapi
tampaknya tak mengetahui apa yang terjadi di belakangnya. Ia tetap diam tak bergerak.
Ternyata nenek Bwe Nio sudah mendahului Cong To melesat ke belakang si dara. Yang
penting melindungi dara itu baru kemudian menggerakkan tongkatnya untuk menutuk si
pemuda baju putih.
Loncat-lesat dan pukul-tutuk itu, berlangsung hampir serempak cepat dan temponya.
Secepat berputar diri, pemuda baju putih itu hendak menegur siapa yang menyerang
dengan senjara gelap tadi. Tetapi belum sempat membuka mulut, tongkat Bwe Nio sudah
tiba. Dan saat itu, pukulan Cong To pun menyusul datang.
Pemuda baju putih itu tebarkan kipasnya lalu menghindar tiga langkah ke samping.
Gesitnya bukan kepalang. Sekaligus ia menghindari tutukan tongkat Bwe Nio serta pukulan
Cong To.
Dan saat itu dari empat penjuru hadirin serentak menyerbu mengepung makam.
Si Bungkuk, si Pendek dan si Kaki Buntung berturut-turut melesat ke samping Bwe Nio.
Mereka berempat tegak berjajar melingkari si dara.
Setelah tutukannya luput, Bwe Nio menarik pulang tongkatnya. Matanya menatap
lekat2 pada pemuda baju putih itu tetapi tak mau menyerangnya lagi.
Begitu pula Cong To. Sehabis memukul, ia tak mau menyerang lagi. Keadaan tenang
kembali tetapi hanya suatu penundaan dari suatu bentrokan yang akan meledak.
Ih Thian-heng berpaling ke arah pemuda baju putih, lalu kerutkan alis. Rupanya ia tak
senang akan tindakan pemuda itu mencari gara2. Tetapi tak enak hati untuk menegurnya.
Kemudian ia berpaling kepada Cong To, katanya, “Apakah maksud saudara Cong
mengganggu kekhidmatan suasana saat ini?”
Dengan licik, Ih Thian-heng memindahkan kesalahan itu kepada Cong To.
Pengemis-sakti Cong To juga seorang yang aneh dan keras kepala. Sesungguhnya ia
dapat menyangkal tuduhan itu. Tetapi kebalikannya dengan tertawa dingin ia menyahut,
“Pengemis tua mengacau di sini, engkau mau apa?”
Ih Thian-heng tersenyum, “Itu nanti orang Lam-hay-bun yang akan minta
pertanggungan jawab kepada saudara. Aku sih tak punya hak apa-apa, hanya
menyayangkan tindakan saudara itu.”
Tiba-tiba Nyo Bun giau menyelutuk, “Apabila saudara Ih kenal pada pemuda baju putih
itu, harap saudara suka memperkenalkan kepada kami. Rasanya dalam dunia persilatan
Tiong-goan belum pernah tampak tokoh muda semacam dia.”
Memang sesuai dengan tata kesopanan, ucapan Nyo Bun-giau yang minta dikenalkan
dengan pemuda baju putih itu. Tetapi sesungguhnya diam-diam ia telah membantu Cong
To.
Seluruh hadirin tahu jelas bahwa pemuda baju putih itu telah gegabah menghampiri ke
tempat si dara. Tetapi sengaja Nyo Bun-giau bertanya lagi dengan melibatkan Ih Thianheng
sebagai kawan pemuda itu.
Pelahan-lahan Ih Thian-heng beralih memandang Nyo Bun-giau. Ia
tersenyum;”Rupanya saudara Nyo lebih banyak menikmati kebahagiaan tinggal di rumah
raja sehingga jarang keluar ke dunia persilatan. Maka tak heran kalau saudara tak banyak
kenal orang!”
Jawaban menyindir itu diterima dengan tertawa oleh Nyo Bun-giau, serunya, “Aku
memang sebagai katak dalam tempurung, mana bisa dibandingkan dengan saudara!”
Keduanya adalah rase tua yang licin dan licik. Sekalipun adu lidah tajam tetapi wajah
mereka tetap mengulum senyum. Sedikitpun tak menampilkan kemarahan.
Saat itu Ong Kwan-tiong dengan membawa 12 pengawal bersenjata, menghampiri Ih
Thian-heng, ditatapnya dingin2 jago dari Sin ciu itu, tegurnya, “Kenalkah saudara Ih
kepada pemuda baju putih itu?”
Pertanyaan yang langsung dan terus terang itu membuat Ih Thian-heng sesaat tak
dapat menjawab.
Ia tersenyum menyahut, “Tokoh-tokoh persilatan, aku memang banyak yang kenal….”
Ong Kwan-tiong melanjutkan dengan nada tawar, “Aku bertanya adakah saudara Ih
kenal dengan pemuda itu?”
Ia alihkan pandangan ke arah pemuda baju putih.
Rupanya pemuda baju putih itu memang bermaksud supaya Ih Thian-heng mendapat
kesulitan. Dia mengangkat kepala memandang ke langit tanpa berkata apa-apa. Seolaholah
tak mendengarkan tanya jawab Ong Kwan-tiong dengan Ih Tnian-heng.
Karena terpojok, Ih Thian-heng sukar untuk menghindar. Sambil mengelus jenggot, ia
tertawa, “Kalau kenal lalu bagaimana?”
“Kalau saudara Ih sudah kenal padanya, lebih dulu aku harus minta maaf baru akan
memberinya pelajaran. Tetapi jlka saudara Ih tak kenal, terpaksa hari ini aku membuka
pantangan membunuh!”kata Ong Kwan-tiong dengan tandas.
Ih Thian-heng tersenyum, “Aku kenal….”ia berpaling ke arah pemuda baju putih itu dan
tertawa nyaring, “Saudara Siong, silahkan kemari. Akan kuperkenalkan beberapa tokoh
terkemuka dunia persilatan Tiong-goan pada saudara!”
Sambil berkipas-kipas, pemuda baju putih menghampiri dengan langkah bergoyang
gontai.
Memang pemuda itu, kecuali Ih Thian-heng, tak ada yang kenal. Walaupun dadanya
dihimpit kemarahan, tetapi Ong Kwan-tong tetap tenang, Hanya sinar matanya memang
tak terhindar dari sinar kemarahan. Ia memandang lekat2 pada pemuda tak dikenal itu.
Sambil menunjuk kepada Ong Kwan-tiong, berkatalah Ih Thian heng;”Saudara Ong
Kwan-tiong ini adalah murid pertama dari perguruan Lam-hay-bun….”
Walaupun mendendam kemarahan namun Ong Kwan-tiong tak mau meninggalkan
kesopanan. Ia membungkukkan tubuh seraya memberi hormat. Tetapi di luar dugaan
pemuda baju putih sombongnya bukan kepalang. Ia tetap menggoyang-goyangkan
kipasnya tanpa berkata kata sepatah kata pun.
Ih Thian-heng kerutkan dahi. Menunjuk pemuda baju putih itu ia berkata, “Dan saudara
adalah Hud Hua kongcu dari Kwan-gwa (luar perbatasan). Saudara berdua yang satu dari
ujung utara dan yang satu dari ujung selatan. Sungguh tepat seperti yang dikata oleh
pepatah, “Delapan penjuru dunia itu, satu adanya.”
Ong Kwan-tiong tertawa dingin, “Sudah belasan tahun aku tinggal di daerah Tionggoan,
tetapi selama ini belum pernah aku mendengar nama saudara.”
Selain sombong, pemuda baju putih itu amat tebal mukanya. Sindiran tajam dari Ong
Kwan-tiong itu tak dapat memancing kemarahannya. Sambil berkipas-kipas, ia berkata
pelahan-lahan, “Aku memang jarang keluar ke Tiong-goan. Maka sedikit sekali yang kenal
padaku.”
Ong Kwan-tiong tiba-tiba maju selangkah, tegurnya dingin, “Tahukah Hud Hua kongcu,
tempat apa disini ini?”
“Hutan belantara di puncak bukit. Sebuah tempat yang gersang. Apakah masih
mempunyai lain nama lagi?”sahut pemuda itu.
“Aku tak kenal pada saudara, perlu apa saudara datang kemari!”bentak Ong Kwantiong
dengan keras.
“Kudengar Lam-hay Ki-soh mempunyai seorang puteri yang teramat cantik jelita,
bagaikan bidadari menjelma di dunia. Maka sengaja kuperlukan datang untuk
membuktikan, yang mana lebih cantik dia atau isteriku?”sabut pemuda baju putih itu.
Saking marahnya gemetarlah tubuh Ong Kwan-tiong, “Sungguh seorang manusia yang
tak punya mata! Masakan engkau berani mengucapkan kata-kata yang seliar itu!”
Hud Hua kongcu tertawa nyaring, “Di kalangan Air hitam dan Gunung putih, siapakah
yang tak kenal akan namaku yang romantis. Bahwa aku sampai memerlukan datang,
seharusnya dia berusaha untuk memikat, barulah tepat!”
Diam-diam Ong Kwan tiong sudah kerahkan tenaga dalam lalu berkata, “Manusia
semacam engkau ini, hidup di dunia tiada guna apa-apa….”pelahan-lahan ia mengangkat
tangan, siap hendak memukul.
Sekalipun gerakan mengangkat tangan itu amat pelahan, tetapi sekalian hadirin tahu
bahwa pengerahan tenaga dalam itu benar-benar penuh sekali. Sekali dihantamkan, tentu
bukan kepalang tanggung hasilnya.
“Harap saudara Ong berhenti dulu. Sukalah saudara mendengar sedikit kata-kata
keteranganku,”tiba-tiba terdengar seseorang berkata. Dan ketika Ong Kwan-tiong
berpaling ternyata yang berbicara itu adalah Ca Cu-jing, ketua marga Ca atau ayah dari Ca
Cu-giok.
“Saudara hendak mewakilinya bicara?”tegur Ong Kwan-tiong.
Jago tua dari marga Ca itu batuk-batuk dua kali baru menyahut, “Nama dari Hud Hua
kongcu ini, bukan saja saudara Ong sendiri, pun aku dan semua hadirin yang berada di
sini memang belum pernah mendengar….”
Ia berhenti sejenak lalu berkata, “Orang yang sombOng, memang patut dibunuh.
Masakan aku mau berbicara untuk membelanya. Hanya sebelum turun tangan apakah
saudara Ong tak lebih baik menanyakan lebih dahulu, mengapa dia kenal bahwa sumoay
saudara teramat cantik sekali?”
Diam-diam Ong Kwan-tiong membenarkan, “Ya, sumoay selama ini tinggal di luar
lautan, jarang bertemu orang apalagi berkelana ke Tiong-goan pun baru yang pertama kali
ini. Tetapi mengapa pemuda itu tahu kalau sumoay cantik jelita?”
Pada saat ia hendak menanyakan hal itu, tiba-tiba pemuda baju putih itu tertawa gelakgelak,
“Tak ada yang tak kuketahui, tak ada yang tak kudengar. Hal ini….”
Tiba-tiba terdengar seseorang menukas dengan tertawa dingin, “Tigabelas propinsi
telah pengemis tua jelajahi, tak sedikit menjumpai manusia2 yang aneh dan sombong.
Tetapi belum pernah selama ini pengemis tua malihat seorang manusia yang bermuka
tebal. Baru hari ini pengemis tua mendapat pengalaman baru!”
Yang bicara itu bukan lain Pengemis-sakti Cong To. Dan ucapannya yang tajam benar
tak dapat diterima oleh Hud Hoa kongcu. Sekonyong-konyong ia menggembor lalu
menampar Cong To dengan kipas.
Gerakan pemuda itu hebat sekali. Ilmu kepandaiannya tak kalah dengan tokoh kelas
satu Tiong-goan.
Cong To menghindar ke samping lalu balas menyerang sampai 8 kali. Suatu gerak
serangan-berantai yang benar-benar mempesonakan. Memang sejak sama mempelajari isi
kitab Tat-mo-cin-keng bersama Han Ping sewaktu terjeblus dalam lubang penjara air
tempo hari, baik dalam ilmu pukulan maupun tenaga dalam, Cong To telah mempeloleh
kemajuan yang mengejutkan orang.
Melihat gaya serangan Hud Hua kongcu sedemikian hebatnya, tahulah Cong To kalau
pemuda itu mendasarkan kesombongannya karena kepandaian sakti. Tiba-tiba ia teringat
akan seseorang. Maka ia segera melakukan serangan sekaligus 8 jurus. Dengan serangan
kilat itu ia hendak memaksa lawan supaya mengunjukkan aliran ilmunya. Adakah pemuda
ini benar-benar ajaran dari tokoh yang diduganya.
Tetapi pemuda itu melakukan gerakan yang aneh. Tubuhnya berputar-putar sangat
cepat sambil beralih kedudukan kaki. Dan ternyata ia dapat menghindari ke 8 jurus
serangan Cong To yang tak kalah derasnya dengan hujan mencurah itu.
Mereka bergerak dengan sebat dan terlalu cepat sekali sehingga tokoh-tokoh yang
hadir tak sampai mengetahui jurus dan aliran kepandaian keduanya.
Diam-diam Ih Thian-heng kerutkan kening, membatin, “Rupanya beberapa tokoh
terkemuka dalam dunia persilatan, masih belum padam ambisinya untuk merebut nama.
Selain tidak bertambah loyo karena unsur tua, pengemis Cong To itu bahkan malah
bertambah maju ilmu kepandaiannya Menilik kesimpulannya, tokoh dari It-kiong, Jikoh dan
ketiga Marga itu tentu juga berusaha keras untuk meningkatkan ilmu kepandaiannya.”
Dalam pada itu, tampak Hud Hoa kongcu sudah melancarkan serangan pembalasan.
Kipasnya menari-nari laksana sayap burung garuda yang menyambar lawan.
Sekalian hadirin tertegun. Mereka tak menyangka bahwa pemuda baju putih yang
sombong itu ternyata memiliki kepandaian yang sakti.
Sambil menghindar dan balas menghantam, pikiran Cong To pun menimang-nimang,
“Gerakan tubuh dan pukulannya tampaknya dari partai Tiang-pak-pay. Tetapi ada
beberapa bagian yang lain. Jurusnya yang sama, kebanyakan sukar ditangkis. jika tempo
hari aku tak mempelajari ilmu kitab Tat-mo-ih-kin-keng, hari ini aku pasti kalah.”
Memikir sampai di situ, diam-diam ia berterima kasih kepada Han Ping.
Cepat sekali kedua orang itu sudah bertempur sampai empat lima puluh jurus. Tetapi
keadaannya masih tetap berimbang.
Perhatian seluruh hadirin mulai mencurah kepada pemuda baju putih itu. Mereka
terkejut dan kagum akan kepandaiannya.
Sesungguhnya kerut wajah pemuda itu juga agak berobah. Rupanya ia pun terkejut
karena pengemis tua dapat melayaninya sampai sekian lama.
Demikianlah pertempuran berjalan makin seru dan cepat. Masing-masing hendak
merebut kesempatan untuk menguasai lawan. Dalam hati kecil kedua lawan itu, masingmasing
mengakui bahwa baru pertama kali itu benar-benar bertemu dengan musuh yang
setanding. Padahal menang kalahnya pertempuran saat itu, mempunyai akibat besar
sekali. Maka keduanya pun makin ngotot sekali.
Tiba-tiba pemuda baju putih itu berseru, “Pengemis tua, engkau benar-benar tak
bernama kosong. Sekarang cobalah engkau nikmati ilmu Tiga-kipas-pencabut nyawa ini!”
Cong To menjawab tertawa, “Apa yang engkau punyai, silahkan keluarkan semua!”
Tetapi walaupun mulut mengatakan begitu, diam-diam ia tak berani memandang
rendah lawan. Dan ternyata serangan ilmu Tiga kipas-pencabut-nyawa itu memang bukan
olah-olah hebatnya.
Cong To harus menghadapi dengan gerakan yang istimewa juga. Cepat ia merobah
gaya gerakannya. Tangan kiri melancarkan pukulan Bintang-berputar-pindah, salah
sebuah jurus istimewa dari perguruan Kim pay-bun. Tangan kanan bergerak menghantam
dalam jurus Halilintar memancar-Se thian. Ilmu pukulan dalam pelajaran Tat mo-cin-keng.
kedua pukulan itu, yang satu bersifat keras dan penuh perobahan yang sukar diduga.
Yang satu pelahan gerakannya tetapi mengandung tenaga-dalam yang hebat.
Sebelum Hud Hoa kongcu sempat mulai mengembangkan jurus Tiga-kipas-pencabutnyawa,
Cong To sudah hantamkan tangan kirinya ke kepala pemuda itu. Hud Hua Kongcu
terpaksa menangkis dulu setelah itu baru memutar kipas untuk menutup dengan serangan
Bintang-pindah alih dari Cong To. Dan serempak dengan itu, Hud Hua gunakan dua buah
jarinya untuk menutuk jalandarah pergelangan tangan kanan si pengemis tua.
Hud-Hua kongcu memang hebat. Ia tahu bahwa jurus Halilintar memecah-langit-barat
mengandung tenaga-dalam yang hebat. Bahkan mungkin jurus itu pun masih ada
perobahan2 yang tak dapat diduga. Maka timbullah rencananya untuk mendahului
menghindar gerakan lawan. Cepat ia gunakan jurus Melukis-naga-menutuk-mata, untuk
mendahului menutuk pergelangan tangan lawan. Ia perhitungkan ancaman itu tentu akan
memaksa pengemis tua menarik pulang pukulannya.
Memang perhitungan pemuda dari Kwan-gwa itu tepat sekali. Tetapi ia lupa bahwa
pengemis Cong To yang dihadapinya itu sudah jauh berlainan dan beberapa bulan yang
lalu. Sejak meyakinkan ilmu pelajaran dalam kitab Tat- mo-ih-kin-keng pengemis itu telah
memperoleh kemajuan yang mengejutkan. Hud Hua kongcu kecele menilai kesaktian
pengemis Cong To!”
Saat tutukan jari Hud Hua kongcu, Cong To hanya menekuk lengannya ke bawah
sehingga pukulannya pun hanya menyurut mundur sedikit. Tetapi ia menyerempaki
tekukan tangan itu dengan menghamburkan tenaga-dalam. Serangkum tenaga dalam
yang tak mengeluarkan suara, segera melanda tubuh pemuda itu.
Hud Hua kongcu semula gembira karena tutukannya itu ia kira dapat memaksa lawan
menarik tangannya mundur. Segera ia hendak melancarkan serangan jurus Tiga-kipas
pencabut-nyawa. Tetapi belum sempat ia bergerak, tiba-tiba rasanya tubuhnya dilanda
angin keras. Dalam terkejutnya, cepat-cepat ia kerahkan tenaga-dalam untuk bertahan.
Tetapi terlambat. Seketika itu juga ia merasakan tubuhnya menggigil dan tanpa dapat
dikuasainya lagi, ia terdorong mundur sampai tiga langkah.
Sekalian hadirin terbeliak kaget. Mereka benar-benar tak tahu jurus apakah yang
digunakan Pengemis-sakti itu. Padahal jelas pengemis itu sama sekali tak bergerak
memukul lawan. Mengapa pemuda lawannya tahu-tahu terpental ke belakang!
Kekalahan itu seketika menghapus kesombongan Hud Hua kongcu. Sambil melakukan
pernapasan, ia menatap Pengemis-sakti Cong To, serunya, “Kepandaian saudara, benarbenar
hebat. Kalau saudara mampu melayani Tiga-kipas pencabut-nyawa, aku segera
mengajak anakbuahku pulang ke Kwan-gwa. Dalam tiga tahun takkan menginjak tanah
Tiong-goan lagi!”
Cong To tertawa lepas, “Jangankan Tiga kipas, Sembilan kipas pun pengemis tua
takkan mundur!”
Hud Hua kongcu tak mau berbantah. Selekas tebarkan kipas ia terus melangkah maju.
Belum orangnya merapat, kipas sudah berputar-putar cepat sehingga tubuh pemuda itu
seolah-olah terbungkus oleh bayangan sinar perak. Delapan penjuru empat kiblat,
berhamburan sinar putih dengan deru angin keras, melanda Cong To.
Tiba-tiba terdengar pemuda baju putih itu menggembor keras. Gulungan sinar kipas
itupun tiba-tiba menjadi satu, terus meluncur ke dada Cong To.
Perobahan itu bukan saja tak terduga-duga, pun merupakan suatu pengerahan tenaga
untuk menutuk dada Cong To. Suatu serangan kilat dan mendadak yang sukar ditahan
musuh.
Cong To terkejut sekali. Capat ia robah tangan kanannya dalam jurus Sungai-es-mulaimeleleh.
Pukulannya dilancarkan dengan miring, menebas lengan kanan lawan.
Dia mendengar suara tertawa dingin dari Hud Hua kongcu. Tutukan kipasnya tiba-tiba
berganti ditebarkan dan menghamburkan gulungan sinar perak lagi dari samping
memapas dan atas menampar dan dari bawah menyapu. Gerakan yang penuh variasi dan
sukar diduga-duga.
Cong To kembali terkejut dan cepat-cepat meloncat mundur. Tetapi betapapun
cepatnya ia menghindar namun masih tetap terlambat. Kipas menampar bajunya dan baju
pengemis yang sudah butut itu bertambah dengan sebuah hiasan lubang robekan yang
memanjang.
Cong To menundukkan kepala memandang bajunya yang robek itu. Seketika
berobahlah wajahnya. Ia mundur tiga langkah.
Tiba-tiba Nyo Bun-giau menyelutuk, “Ah, saudara Cong sudah menang lebih dulu.
Menurut peraturan pertandingan dalam dunia persilatan, Hud Hua kongcu sudah harus
kalah. Tetapi kalau dalam pertempuran mati-matian, itu lain lagi penilaiannya. Kalau sekali
dua kali sampai lengah, itu sudah jamak.”
“Saudara Nyo memang benar,”Ca Cu-jing ikut berseru,”setiap orang memang
mempunyai kekurangan dan kelebihan sendiri-sendiri. Kalau kebetulan kelebihan lawan itu
justeru merupakan kelemahan kita, kita menderita sedikit kerugian, adalah sudah biasa.
Memang sukar dihindari. Sedikit kesalahan itu, rasanya takkan sampai menghilangkan
muka!”
Cong To tersenyum, “Ucapan kalian berdua memang bukan tak beralasan. Tetapi
pengemis tua….”
Tiba-tiba Ih Thian-heng menyelutuk, “Ah, saudara Cong seorang ksatrya yang berjiwa
besar. Selamanya tentu dapat membedakan mana budi mana dendam. Tak perlu kita
kuatir apa-apa.”
Cong To tertegun, ujarnya, “Ah, soal itu pengemis tua benar-benar tak berani
menerima….”
Nama Ih Thian-heng memang jauh lebih termasyhur dari tokoh-tokoh kedua lembah
dan ketiga Marga. Di hadapan sekian banyak tokoh-tokoh persilatan jago she Ih itu sampai
memberi pujian tentulah mengandung maksud tertentu. Tetapi Cong To menganggap hal
itu, tak ada apa-apanya.
Tiba-tiba Nyo Bun-giau batuk-batuk, serunya, “Ah, apakah ucapan saudara Ih itu tak
terlalu menyolok? setiap orang dalam dunia persilatan, siapakah yang tak tahu bahwa
saudara Cong To itu satu satunya orang yang menentang padamu.”
Berhenti sejenak, ia melanjutkan pula, “Adalah karena saudara dapat menutupi hal itu
dengan baik maka tak sampailah teruwar keluar. Seluruh mata dan telinga umum dunia
persilatan, termasuk kami dari Dua Lembah dan Tiga Marga, dapat terkelabui dan
menaruh perindahan yang tinggi kepadamu….”
Ih Thian-heng tertawa gelak-gelak, “Bagaimana? Apakah sekarang kalian tak
mengindahkan lagi kepadaku?”
“Engkau sendiri tak mau mempertimbangkan segala tingkah perbuatanmu. Apakah hal
itu layak mendapat penghargaan orang?”sahut Nyo Bun-giau.
Seketika wajah Ih Thian-heng yang selalu berhias senyum itu tiba-tiba berobah dingin.
Ditatapnya Nyo Bun-giau tajam2.”Kalau tak mau mengindahkan, lalu dapat berbuat apa
terhadap diriku?”
Nyo Bun-giau tersenyum, “Hal itu, sukar dikata. Saudara telah menanam orang dalan
setiap partai persilatan dan Dua Lembah serta Tiga Marga. Terhadap segala gerak gerik
dunia persilatan, saudara tentu tahu jelas dan dapat memperhitungkan dengan tepat.
Tetapi saudara pura-pura berlaku perwira dan budiman. Mengatur dan menyelesaikan
kesukaran2 orang. Duduk bergoyang kaki menikmati sanjungan orang…”
Ih Thian-heng tertawa dingin, “Nyo Bun-giau, apakah engkau pernah melihat seorang
Eng-hiong (orang gagah) marah?”
Dan sambil berkata itu, Ih Thian-heng melangkah ke tempat Nyo Bun-giau. Melihat
sikap Ih Thian-heng yang penuh memancar sinar pembunuhan itu, mau tak mau gentarlah
hati Nyo Bun-giau. Tiada seorang persilatan yang tahu sampai dimana kepandaian tingkat
yang sesungguhnya dari Ih Thian-heng. Berpuluh tahun ini tak pernah ada orang yang
bertempur mati-matian dengannya. Ih Thian-heng benar-benar merupakan seorang tokoh
yang misterius. Baik ilmu kesaktiannya maupun sepak terjangnya!
Satu-satunya ciri khas yang termasyhur dari Ih Thian-heng itu ialah bahwa ia selalu
berwajah seri dan mengulum tawa. Maka pada saat itu ketika Ih Thian-heng menarik seri
tawanya dan memancarkan sinar pembunuhan, sikapnya memang mengerikan sekali.
Nyo Bun-giau pun diam-diam mengerahkan tenaga-dalam dan berpaling memandang
Ca Cu-jing dan Leng Kong-siau di kanan kirinya.
Ca Cu jing dan Leng Kong-siau tahu apa maksud Nyo Bun-giau. Tentulah hendak minta
bantuan.
Entah bagaimana, saat itu timbul suatu perasaan aneh dalam hati Leng Kong-siau
maupun Ca Cu-jing. Semula mereka tak gentar kepada Ih Thian-heng. Tetapi entah
bagaimana sesaat melihat wajah Ih Thian-heng yang memancar kemarahan, diam-diam
kedua tokoh itupun tergetar hatinya.
Saat itu Ih Thian-heng melangkah pelahan-lahan dan berhenti di muka ketiga orang itu,
serunya nyaring, “Nyo Bun-giau, majulah 3 langkah ke muka.”
Kata-kata itu amat berwibawa sekali. Seolah-olah mengandung suatu kekuatan yang
tak dapat ditentang. Tanpa disadari Nyo Bun-giau pun menurut dan maju tiga langkah.
Tetapi orang she Nyo itu seorang tokoh yang banyak pengalaman. Selekas berdiri
tegak. ia segera menyadari tindakannya yang keliru. Segera ia melambaikan tangan dan
majulah Ca Cu-jing serta Leng Kong-siau. Kini ketiga tokoh itu tegak berjajar. Apabila Ih
Thian-heng tetap hendak mengganas, mereka akan melawan bertiga. Setelah mengetahui
sampai dimana kesaktian Ih Thianheng, barulah mereka akan menentukan siasat
perlawanan.
Tampak Ih Thian-heng kerutkan alis dan berkatalah ia dengan nada berat, “Nyo Bungiau,
kusuruh engkau seorang maju tiga langkah. Dengar atau tidak? Mengapa engkau
mengajak lain orang?”
Ditantang secara begitu sinis, seorang persilatan yang tak ternama sekalipun tentu tak
dapat menahan kemarahannya. Apalagi seorang tokoh ternama seperti Nyo Bun-giau.
Tetapi ternyata orang she Nyo yang licik dan licin itu, pada waktu menghadapi
ancaman maut, telah mengesampingkan gengsi dan nama. Sejenak merenung, ia berkata,
“Saudara Ih tak perlu malu atau marah2. Sekalipun mau berkelahi, tetapi aku harus
menyelesaikan kata-kataku tadi.”
Tiba-tiba Bwe Nio gentakkan tongkatnya dan berseru nyaring, “Dunia begini luas, kalau
kalian hendak berkelahi, silahkan cari tempat dimana saja. Mengapa harus memilih tempat
ini?”
Saat itu sebenarnya keadaan sudah gawat sekali. Ih Thian-heng sudah tak dapat
dicegah lagi, kecuali terus berkelahi. Sedang Nyo Bun-giau walaupun tak mau, tetapi ia
sudah terpojok. tak mungkin dapat mundur lagi.
Mendengar seruan nenek Bwe Nio itu, kedua tokoh itu seperti tersiram air dingin.
Seketika tersadarlah mereka akan tujuan datang ke situ. Ialah hendak merebut Tusuk
Kundai Kumala dan kotak pedang Pemutus Asmara. Barang siapa yang dapat menahan
diri, tentu akan mendapat keuntungan.
Yang hadir dalam upacara pemakaman di situ, terbagi dalam tiga golongan Perguruan
Lam-hay bun, Ih Thian-heng dan Nyo Bun-giau. Ketiga fihak, mempunyai kekuatan besar.
Tetapi fihak Ih Thian-heng dan Nyo Bun-giau, masing-masing mempunyai perhitungan
yang sama. Mereka memperhitungkan untung ruginya kalau bertempur lebih dulu. Siapa
yang bertempur lebih dulu, dia yang rugi. Oleh karenanya, kedua fihak itu sama
mempertahankan diri dan berusaha untuk mengadu pihak yang lain dengan Lam-hay-bun
lebih dulu.
Tetapi tadi cara Nyo Bun-giau membakar hati Ih Thian-heng tajam sekali sehingga
menimbulkan kemarahan orang she Ih itu. Akibatnya, Nyo Bun-giau harus bentrok dengan
Ih Thian-heng.
Andaikata nenek Bwe Nio tak campur mulut, pastilah kedua tokoh itu sukar untuk
mundur.
Teriakan nenek itu telah menolong mereka. Seketika Ih Thian-heng tersadar dan reda
amarahnya. Diam-diam ia menimang, “Sebenarnya aku harus dapat memenangkan
suasana hari ini. Sayang dikacau Hud Hua kongcu. Tetapi memang kesediaan pemuda itu
untuk membantu fihakku karena hendak menyaksikan kecantikan wajah dara baju ungu.
Menilik gelagat, tempat ini sudah tak menguntungkan lagi. Lebih baik kuundurkan diri,
kelak cari kesempatan untuk bergerak lagi!”
Maka berkatalah ia kepada Nyo Bun-giau, “Nyo Bun-giau, seumur hidup belum pernah
aku marah kepada orang. Maka hatiku tak enak karena tadi aku tak dapat mengendalikan
kemarahanku kepadamu…”
“Ah, akulah yang menyalahi saudara Ih karena bicara sembarangan saja ..”buru-buru
Nyo Bun-giau menyambut.
Ih Thian-heng tertawa tawar, “Di dunia ini tiada seorang yang pernah menyalahi aku.
Adakah saudara Nyo merasa kalau menyalahi aku?”
Nyo Bun giau tertegun. Sesaat ia tak dapat meraba kata-kata Ih Thian-heng yang sukar
diraba maksudnya itu. Pada lain saat ia meminta penjelasan, “Apalah maksud saudara Ih?”
Ih Thian-heng tersenyum, “Dewasa ini belum pernah ada orang yang berani menyalahi
aku….”— ia berputar tubuh lalu melambai kepada pemuda baju putih, “Saudara Siong,
mari kita pergi!”katanya terus ayunkan langkah.
Setelah bertempur beberapa jurus dengan Cong To, barulah Hud Hua kongcu itu
menyadari bahwa dunia persilatan Tiong-goan tak boleh dibuat main-main. Sikapnya yang
congkak, menurun seketika. Tetapi dalam hati ia masih berat untuk meninggalkan si dara
baju ungu. Maka ia hanya tegak termangu-mangu saja.
Sekonyong-koayong terdengar sebuah suara yang halus merdu, “Ih Thian-heng, jangan
pergi. Aku hendak bertanya kepadamu!”
Karena Hud Hua kongcu tak mau diajak pergi, sebenarnya Ih Thian-heng marah. Tetapi
ia tak dapat memaksa pemuda itu. Tetapi kalau meninggalkannya, ia merasa kehilangan
seorang pembantu yang tangguh.
Panggilan si dara baju ungu itu dapat menyelamatkan kesukarannya. Segera ia berhenti
dan berseru, “Apakah yang hendak nona pesan kepadaku?”
“Engkau berdiri terlalu jauh, datanglah lebih dekat. Aku hendak bertanya
kepadamu!”seru si dara.
Ih Thian-heng kerutkan dahi. Terpaksa ia menurut perintah si dara. Ia berjalan di
samping Hud Hua kongcu dan pemuda itu segera mengikuti di belakangnya. Ih Thianheng
berpaling dan deliki mata kepada pemuda itu tetapi tak dapat berbuat apa-apa.
Kira2 3 meter dari tempat si dara, barulah Ih Thian-heng berhenti Kemudian ia
menanyakan pula apa maksud dara itu.
Dara baju ungu itu menghela napas, “Apakah engkau lupa akau perjanjian kita itu?”
Ih Thian-heng tertegun, pikirnya, “Mengapa ia hendak membicarakan rahasia itu di
hadapan orang banyak?”
Cepat ia menyahut, “Nonalah yang lebih dulu tidak memenuhi janji, mengapa sekarang
hendak mendamprat aku?”
“Dalam beberapa hari ini hatiku memang resah sehingga tak sempat memikirkan soal
itu,”kata si dara.
“Adakah sekarang nona sudah tenang?”
“Sudah,”sahut si dara,”bahkan dalam sepanjang hidupku nanti takkan kacau lagi!”
“Ah, nona armat cerdas sekali. Segala tindakan nona memang sukar diduga orang.”
“Sudahlah, tak perlu omong yang tak berarti. Mari kita bicarakan soal2 yang
penting,”kata si dara.
Tergetar hati Ih Thian-heng, pikirnya, “Huh apakah maksudmu? Hendak merundingkan
siasat untuk menghadapi tokoh-tokoh dunia persilatan pada hal mereka sudah berada di
hadapan situ. Bukankah itu sama artinya dengah memberitahu kepada mereka. Bukankah
suruh meraka berjaga-jaga lebih dulu?”
Diam-diam Ih Thian-heng marah dan mendamprat dara baju ungu itu. Ia anggap dara
itu hendak membuka rahasianya agar sekalian tokoh persilatan mengetahui siapa
sesungguhnya Ih Thian-heng itu.
Namun dengan sikap setenang mungkin, Ih Thian-heng tetap tertawa, “Silahkan nona
bicara, aku pasti mendengarkan dengan hormat!”
Karena wajah si dara itu tertutup oleh kain sutera warna hitam, maka tak dapatlah
diketahui jelas bagaimana mimik wajah Hanya setelah sutera hitam itu bergetaran,
terdengarlah dara itu berseru, “Dalam perjanjian kita itu, pertama ialah akan mengambil
barang pusaka dalam makam tua. Pusaka2, Kupu2 Emas dan Tonggeret Kumala aku yang
ambil, sedang emas permata menjadi bagianmu. Jika masih ada benda lainnya, kita nanti
rundingkan lagi. Benar tidak?”
Ih Thian-heng batuk perlahan-lahan, sahutnya, “Apakah nona tak salah ingat?”
“Aku adalah manusia yang dapat mengingat paling tepat di dunia ini. Masakan salah?”
“Aku sudah tak ingat lagi,”kata Ih Thian-heng,”kalau nona dapat mengingat, tentulah
takkan salah.”
Dari balik kerudung hitam terdengar gemerincing tertawa si dara.”Perjanjian yang
kedua, entah engkau ingat atau tidak? Apakah perlu kuulangi juga?”
“Tak usahlah,”sahut Ih Thian-heng,”Perjanjian yang kedua itu dapat kuingat jelas!”
“Saudara Ih, apakah perjanjian kedua yang kalian adakan itu? Bolehkah kuikut
mendengarkan?”tiba-tiba Hud Hua kongcu menyelutuk.
“Soal itu panjang sekali. Nanti saja akan kuceritakan semua kepada saudara,”sahut Ih
Thian-heng.
Tiba-tiba dara baju ungu berbangkit dan menghampiri nenek Bwe Nio. Sandarkan
kepala ke bahu nenek tua itu, si dara berkata, “Ih Thian-heng, siapakah pemuda baju
putih itu?”
Sebelum Ih Thian-heng menyahut, pemuda baju putih ini pun sudah mendahului, “Aku
tinggal di gunung Tiang-pek san. Ayahku terkenal di kalangan gunung hitam dan air
putih….”
“Sudahlah, jangan bicara lagi!”tukas si dara,”apakah engkau hendak menghafalkan
nama kakek moyangmu?”
Hud Hua kongcu terkesiap, serunya.”Lalu bagaimana aku harus mengatakan?”
Terdengar dara itu tertawa bergemerincing. Nadanya amat aneh. Tiada seorang pun
yang tak terpikat hatinya. Hud Hua kongcu tak dapat mengendalikan diri lagi. Ia lupa diri
dan terus melangkah maju.
Tiba-tiba Ih Thian-heng maju mencekal lengan kanan pemuda itu, “Saudara Siong, mau
kemana?”
“Nada suara ketawanya saja sudah cukup membuat orang kesengsem. Wajah dan
warna kulitnya tentu lebih hebat lagi. Jika tak melihat wajahnya, bukankah aku akan
kecewa seumur hidup?”
Wajah Ih Thian-heng agak berobah, katanya berbisik, “Saudara juga seorang keturunan
keluarga tokoh silat yang ternama. Siapakah yang tak kenal akan nama ayah saudara
sebagai datuk persilatan daerah Kwan-gwa? Adakah sedikit sikap untuk mengendalikan
diri, saudara Siong tak tahu sama sekali?”
Melihat Ih Thian-heng mencengkeram lengan Hud Hua kongcu, lelaki jubah kuning
cepat menghampiri dan membentaknya, “Lepaskan kongcu, apakah tak dapat engkau
bicara dengan baik-baik!”
Saat itu si dara baju ungu sudah tak tertawa lagi. Perasaan sekalian hadirin serasa
longgar lagi. Dalam pada itu diam-diam Nyo Bun-giau girang.”Bagus, bagus, si jubah
kuning itu kasar dan berangasan sedang Hud Hua kongcu congkak dank tak tahu malu.
Rasanya akan terjadi pertunjukan yang menarik.”
Ternyata cengkeraman Ih Thian-heng itu bukan sembarangan cengkeraman melainkan
diserempaki dengan memijat jalandarah. Seketika itu Hud Hua kongcu baru tersadar dan
cepat-cepat kerahkan tenaga-dalam. Tetapi secepat itu Ih Thian-heng sudah pindahkan
tangannya ke jalan Beng-bun (belakang pusar). Dan kerahkan tenaga-dalam untuk
menekan. Hal itu dimaksud sebagai suatu peringatan, kalau Hud Hua kongcu berani
bertindak semaunya sendiri, Ih Thian-heng akan menghancurkan alat2 dalam tubuh
pemuda itu.
Sesungguhnya, Hud Hua kongcu bukan orang jahat. Tetapi dia memang sudah terlanjur
bermanja kecongkakan. Dengan mengandalkan pengaruh-ayahnya, ia malang melintang di
daerah Kwantang. Ditambah pula karena ia sendiri memiliki kepandaian yang tinggi dan
selama itu belum pernah ketemu lawan maka tingkah lakunya pun makin liar dan
sombong.
Saat itu setelah dicengkeram Ih Thian-heng, barulah ia terkejut dan hendak memberi
perlawanan. Namun sudah terlambat. Apa boleh buat, ia terpaksa menyerah dan purapura
sikit.
Ih Thian-heng mengeluarkan sebutir pil, katanya tertawa, “Harap saudara Siong minum
pil ini. Walaupun bukan obat dewa, tetapi pil ini dapat menyembuhkan segala penyakit.”
Tetapi Hud Hua kongcu sudah waspada. Ia gelengkan kepala, “Hanya sedikit tak enak
badan, setelah beristirahat sebentar, tentu akan sembuh. Tak perlu minum obat.”
“Kita sebagai orang yang belajar silat, sebenarnya tahan akan perobahan hawa dingin
maupun panas. Tetapi karena merasa sakit, tentulah agak berat. Baiklah saudara minum
saja,”kata Ih Thian-heng sembari memperkeras cengkeramannya. Seketika Hud Hua
kongcu rasakan jantungnya bergetar keras. Terpaksa ia menyambuti pil itu terus
menelannya, “Terima kasih atas budi kebaikan, saudara!”
Ih Thian- heng tertawa hambar dan berpaling kepada si jubah kuning, “Kongcu-mu tak
enak badan. Lekas bawalah ia beristirahat.”— diam-diam ia kerahkan tenaga-dalam lalu
tutukkan jarinya ke jalandarah darah Jiok-ti-hiat di lengan pemuda itu.
Tiba-tiba wajah Hud Hua kongcu berobah. Dua butir keringat menitik dari dahinya.
Si jubah kuning memang seorang yang jujur dan kasar. Mendengar Ih Thian-heng, ia
anggap sungguh-sungguh. Dipandangnya wajah Hud Hua kongcu. Memang wajah kongcu
itu mengucurkan keringat. Buru-buru ia berseru, “Kongcu, apakah engkau tak enak
badan?”
Hud Hua kongcu hanya mendengus pelahan. Belum menyahut, Ih Thian-heng sudah
cepat lepaskan cengkeramannya dan dipindahkan ke pinggang pemuda itu.
“Ah, karena tak enak badan, silahkan saudara Siong beristirahat dulu!”— diam-diam Ih
Thian-heng pancarkan tenaga dalam. Seketika Hud Hua kongcu tergetar hatinya dan buruburu
menyahut, “Ah, memang aku merasa panas, mungkin terserang angin dingin!”
Ih Thian-heng tahu bahwa kepandaian pemuda itu amat tinggi. Pada waktu menutuk
lengannya tadi, ia gunakan enam bagian tenaga-dalam. Dalam keadaan tak siap, sudah
tentu Hud Hua kongcu tak dapat bertahan. Ia rasakan lengannya kesemutan, tulang2
berkisar, sakitnya bukan kepalang. Itulah sebabnya maka ia sampai mengucurkan
keringat.
Ih Thian-heng tertawa, “Harap saudara Siong lekas jalankan pernapasan. Asal obat itu
bekerja, tentu akan sembuh.”
“Terima kasih. Seumur hidup, aku pasti ingat dalam hati,”sahut Hud Hua kongcu.
“Ah, jangan sungkan dan harap saudara Siong lekas menyalurkan pernapasan,”Ih
Thian-heng tertawa.
Hud Hua kongcu menurut. Ia segera duduk bersila dan mulai menyalurkan napas.
Tiba-tiba dari balik kain kerudung hitam, terdengar si dara baju ungu berseru, “Ih
Thian-heng, engkau tertipu!”
“Apa?”Ih Thian-heng terbeliak.
“Hud Hua kongcu tak menelan pil pemberianmu tadi!”seru si dara.
“Tak mungkin!”Ih Thian-heng berpaling. Dilihatnya Hud Hua kongcu masih pejamkan
mata.
“Jika tak percaya, suruh dia mengangakan mulut!”seru si dara pula.
Sahut Ih Thian-heng, “Selamanya aku selalu menaruh kepercayaan pada kawan.
Bagaimana nona tahu kalau saudara Siong tidak menelan pil itu?”
“Kudengar dari ucapannya,” sahut si dara. “Dia tak sebodoh yang engkau kira. Dia
memang sudah terbiasa bersikap congkak sehingga memandang rendah semua orang.
Dan karenanya dia juga lengah. Setelah menderita dari engkau, dia sudah makin berlaku
hati-hati!”
Sebagai seorang yang cerdik, cepat Ih Thian-heng menaruh kecurigaan. Ia berpaling ke
arah Hud Hua kongcu, serunya, “Benarkah saudara Siong tak percaya kepadaku?”
Dengan tenang Hud Hua membuka mata, tertawa, “Aku sungguh kagum sekali kepada
nona itu,” tiba-tiba ia berbangkit dan terus ludahkan pil tadi keluar.
Sekalipun amat marah tetapi wajah Ih Thian-heng tetap tenang. Ia menghela napas
pelahan, “Mengapa saudara Siong tak percaya kepadaku….”
Hud Hua kongcu tertawa dingin, “Pada waktu meninggalkan rumah, ayah telah
memberi dua buah pesan.”
“Apakah itu?” tanya Ih Thian-heng.
“Pertama, ayah mengatakan bahwa setiap tokoh persilatan Tiong-goan itu berhati licik,
tidak dapat dipercaya!”
Ih Thian-heng mengelus jenggot, tertawa. “Ayah saudara memang amat mencintai
puteranya. Ucapannya itu memang tak salah. Kaum persilatan memang susah diraba
hatinya. Lalu bagaimana pesan yang kedua?”
“Pada waktu menderita luka, jangan sekali-kali mau menerima pemberian obat orang.
Ayah bilang dalam dunia persilatan Tiong-goan terdapat gerombolan Lembah Setan yang
pandai menggunakan obat bius. Sekali minum obat mereka seumur hidup tentu akan
menjadi budak mereka.”
“Ah, hal itu tak boleh disama-ratakan,” bantah Ih Thian-heng, “pil yang kuberikan
kepada saudara tadi, benar-benar obat yang mujarab sekali,” tiba-tiba ia maju dan
menjemput pil yang disemburkan keluar oleh Hud Hua kongcu tadi, terus ditelannya.
Sekalian hadirin terbeliak. Pengemis-sakti Cong To menghela napas pelahan, serunya,
“Apakah saudara Ih menelan pil itu?”
Ih Thian-heng hanya terseyum, tak menyahut.
Kembali si dara baju ungu berseru, “Ih Thian-heng, Hud Hua kongcu sudah
membencimu.”
Sambil mengurut jenggot, Ih Thian-heng menyahut, “Apa yang kulakukan, adalah demi
menjaga keselamatan diriku. Tentang orang suka atau tidak, itu bukan hakku untuk
mengatasinya.”
Hud Hua kongcu tiba-tiba melangkah maju menghampiri si dara baju ungu. Kali ini Ih
Thian heng tak mau merintangi lagi.
“Berhenti!”tiba-tiba Ong Kwan-tiong maju menghadang.
“Toa-suheng biarkanlah,” seru si dara.
Ong Kwan-tiong terkesiap, “Dia tak tahu aturan, mana boleh dekat pada sumoay?”
“Tak apa, harap toa suheng suka memberi jalan,” kata si dara.
Setelah bersangsi sejenak, Ong Kwan-tiong segera menyisih ke samping. Ia menghela
napas pelahan, hendak bicara tetapi tak jadi. Namun dari kerut wajahnya dapatlah
diketahui bahwa ia tak puas atas tindakan sumoaynya tetapi tak dapat berbuat apa-apa.
Setelah Hud Hua kongcu kurang dua meter dari tempat si dara, tiba-tiba nenek Bwe Nio
gerakkan tongkatnya untuk menggurat tanah. Debu berhamburan menghalangi jalan Hud
Hua kongcu.
“Berhenti di situ, lekas katakan apa yang engkau kehendaki!” bentak nenek itu.
Memandang ke muka, Hud Hua kongcu melihat dara itu dikawal oleh tiga orang yang
bersikap bengis. Ketiga pengawal itu memandang berapi-api kepadanya. Jika ia berani
berbuat sembarangan, mereka tentu akan menyerangnya.
“Engkau datang kemari, apa keperluan apa?” tegur si dara kepada Hud Hua kongcu.
Nadanya lunak dan merdu, penuh keramahan.
Hud Hua kongcu serasa melayang semangatnya. Sikapnya yang congkak, lenyap
seketika dan serta merta ia menjura memberi hormat, serunya, “Apakah dalam hidupku ini
aku mempunyai keberuntungan untuk memandang wajah nona?”
Dari balik kain kerudung, terdengar suara tertawa gemerincing, “Hanya karena hendak
melihat wajahku?”
“Selain itu, memang masih ada sebuah permohonan kepada nona,” kata Hud Hua
kongcu.
“Bolehkah aku bertanya kepadamu dulu?” sahut si dara.
Hud Hua kongcu tertegun, serunya, “Baiklah, silahkan nona bertanya!”
“Selain hendak melihat wajahku. apa sajakah persetujuanmu dengan Ih Thian-heng
datang kemari ini?” tanya si dara.
Tanpa banyak pikir menjawablah Hud Hoa kongcu, “Selain melihat wajah nona, aku
akan membantunya mengambil pedang Pemutus-asmara dan Tusus Kundai Kumala dari
nona.”
Pengakuan yang terus terang itu mau tak mau membuat Ih Tnian-heng meringis.
Sekalipun dia seorang tokoh yang telah mengenyam pengalaman dari peristiwa2 besar,
namun tak urung merah juga wajahnya saat itu.
Dalam keadaan tersudut di pojok, ia hanya batuk-batuk pelahan dan berkata, “Mungkin
yang datang ke sini ini, kebanyakan tentu mempunyai tujuan.”
“Tak usah diterangkan!” tukas si dara, “sekalipun Hud Hua kongcu tak bilang, masakan
aku tak dapat menduga!”
“Karena nonalah yang lebih dulu membocorkan perjanjian kita itu maka maafkanlah
kalau aku bicara melanggar kepercayaan,” kata Ih Thian-heng.
Tiba-tiba Hud Hoa kongcu maju selangkah, serunya, “Sudah selesaikah pertanyaan
nona?”
“Sudah!”
“Kedatanganku kemari, tujuan yang pertama-tama ialah hendak melihat wajah nona….”
Si dara tertawa, “Di hadapan sekian banyak orang sekalipun aku tak keberatan untuk
mengunjukkan mukaku, tetapi tak sampai mukaku setebal itu!”
“Lalu maksud nona?” Hud Hua kongcu menegas.
“Nanti tengah malam, kita bertemu di puncak gunung sebelah muka itu. Kita nanti
bercakap-cakap di bawah sinar rembulan, barulah menimbulkan suasana yang
menggairahkan. Jika saat ini kubuka kain kerudungku, bukan hanya engkau seorang yang
melihat. Bukankah akan merusak suasana?” kata si dara.
Kata-kata itu diucapkan dengan nada yang mesra serta merdu. Seketika perasaan Hud
Hua kongcu melayang-layang. Berpaling memandang sekalian hadirin, ia berkata, “Baiklah,
aku minta diri dulu sampai jumpa nanti tengah” – ia berputar tubuh terus angkat kaki.
Lelaki jubah kuning mengikuti di belakangnya.
Setelah Hud Hua kongcu pergi, nenek Bwe geleng-geleng kepala dan berbisik kepada si
dara, “Nak, engkau bermain-main apa lagi? Mataku si nenek tua ini telah engkau tutupi!”
si dara sandarkan tubuhnya ke tubuh nenek Bwe dan membisiki ke dekat telinganya,
“Bwe Nio, aku tertipu.”
“Siapa menipumu?” Bwe Nio terkesiap.
“Sudahlah tak perla kukatakan. Tiada gunanya. Sekalipun dia tak mati, akupun tak mau
bertemu lagi,” kata si dara.
Sekalipun pelahan sekali si dara bicara, tetapi yang hadir di tempat situ adalah tokohtokoh
persilatan sakti. Pendengaran mereka amat tajam sekali. Apalagi mereka memang
mempunyai maksud untuk mencuri dengar. Maka pada saat si dara membisiki nenek Bwe,
sekalian orang sama pasang telinga.
Ong Kwan-tiong mendengus. Tiba-tiba ia gerakkan kedua tangannya untuk menampar
kian kemari. Tamparan itu dimaksud untuk menghapus gelombang suara si dara. Dan
memang orange itu tak berhasil mencuri dengar pembicaraan si dara.
Rupanya nenek Bwe menyadari apa yang dimaksud si dara, “Nak, lebih baik kita lekas
pulang ke Lam hay! Ayahmu serba bisa, mungkin dapat menyembuhkan….”
Tiba-tiba si dara tegakkan tubuh, tukasnya, “Tidak! aku tak mau pulang. Engkau pulang
sendiri!”
Nenek Bwe terbentur batu. Ia menghela napas, “Hm, anak manja, apakah engkau
benar-benar hendak menyiksa aku sampai mati?”
Dara itu tak menggubris nenek Bwe. Ia menghampiri Ih Thian-heng. Tetapi secepat itu
Ong Kwan-tiong menghadangnya, “Kalau hendak bicara, baiklah sumoay menyampaikan
dari sini saja…..”
Dara itu menghela napas, “Apakah engkau hendak mengurus aku? Apakah engkau
merasa belum cukup mencelakai diriku? Lekas menyingkirlah!” Ong Kwan-tiong terkesiap.
Dengan wajah merah terpaksa ia menyisih ke samping. Di hadapan Ih Thian-heng, dara
itu berhenti, mengeluarkan kotak pedang Pemutus-asmara dan sejilid kitab.
“Kitab ini berisi petunjuk masuk ke dalam makam tua itu. Asal engkau menurut catatan
yang kubuat dalam buku ini, tentu dapat masuk” katanya.
Ih Thian-heng terbeliak. Cepat ia menyambut terus memasukkannya ke dalam baju.
“Dengan begitu engkau tentu sudah lega bukan?”
Ih Thian-heng meringis. Tetapi ia tetap bersikap tenang dan paksakan diri tertawa,
“Terima kasih atas budi kebaikan nona!”
Tiba-tiba dara itu berseru lantang, “Pusaka Tusuk Kundai Kumala dari Lam-hay-bun,
kutaruh dalam makam baru ini. Siapa yang hendak mengambil, silahkanlah!”
Saat itu mata Nyo Bun-giau, Leng Kong-siau Ting Yan-san, Ca Cu-jing dan sekalian
orang mencurah perhatian kepada Ih Thian-heng. Mereka tak tahu apa isi kitab itu. Tetapi
yang jelas, kotak pedang Pemutus Asmara itu memang asli. Seketika timbul keinginan
para hadirin untuk merebut benda itu.
Ih Thian-heng sejenak memandang ke sekeliling penjuru. Diam-diam ia berpikir, “Budak
perempuan itu telah menyiarkan semua rahasia. Jika aku menyangkal, tentu akan
ditertawakan orang.”
Secepat mendapat pikiran, iapun berkata, “Sudah tentu aku merasa amat bersyukur
karena nona mau kembali menepati perjanjian itu. Entah kapankah kita akan berjumpa
lagi?”
“Eh, engkau mau pergi?”
“Kupikir hendak minta diri dulu,” kata Ih Thian-heng.
“Apa engkau tak takut kalau orang lain akan merebut kotak pedang Pemutus Asmara
itu….?”
“Seumur hidup, jarang aku berebutan dengan kaum persilatan. Tetapi bukan berarti
aku seorang penakut. Tokoh persilatan yang menimbulkan rasa perindahanku, tidak
banyak jumlahnya….”
Suatu ucapan yang congkak dan tekebur!
Ssi dara ganda tertawa, “Perlukah kusuruh orang mengawalmu?”
“Tak usah,” kata Ih Thian-heng terus berputar tubuh dan ayunkan langkah.
Nyo Bun-giau berpaling membisiki Ca Cu-jing lalu berseru nyaring, “Saudara Ih, harap
berhenti dulu. Bagaimana kalau kita menjadi kawan?”
Ih Thian-heng, berpaling tertawa, “Saudara Nyo seorang, apakah tidak merasa lemah?
Suruh mereka maju sekalian!”
Nyo Bun-giau tahu bahwa Ih Thian-heng hendak membikin panas hatinya agar Ca Cujing
dan Leng Kong-siau ikut maju. Tetapi orang she Nyo itu juga seorang rase yang licin.
Ia pura-pura tak mendengar. Bahkan malah tertawa meloroh, “Ho, baiklah, aku tentu
menurut perintah saudara Ih….” — ia terpaling dan memanggil, “Saudara Ca, saudara
Leng dan Saudara Ting, mari kita maju bersama.”
“Karena saudara Nyo mengundang, sudah tentu kami tak berani menolak!” Ca Cu-jing
dan Leng Kong-siau serentak menyahut dan serempak maju.
Setelah beberapa tokoh itu tinggalkan tanah lapang, beberapa hadirin pun hendak ikut
menyusup. Mereka berunding dengan berisik dan tampak hendak berangkat.
“Hai, kalian juga hendak pergi?” teriak si dara.
Di antara hadirin ada seorang lelaki yang bertubuh tinggi besar. Mendengar kata-kata si
dara itu, si tinggi besarpun berpaling menyahut, “Hai, apakah kami tak boleh pergi?”
Si dara tertawa melengking dan berseru, “Engkau benar. Kalian memang tak boleh
pergi ..” — tiba-tiba ia mengangkat tangan dan berseru, “Tahanlah mereka!”
Rombongan penjaga baju hitam yang berdiri beberapa tombak dari tempat itu segera
mengepung rombongan orang yang hendak pergi itu.
Diam-diam Cong To kerutkan kening, rupanya budak perempuan itu mempunyai
maksud lain. Menilik gelagatnya, mungkin akan terjadi suatu pertempuran berdarah.”
Terdengar pula dara itu berkata kepada Ong Kwan-tiong, “Toa-suheng, harap
menghitung mereka itu berjumlah berapa orang…”
Walaupun tak mengerti apa maksudnya, namun Ong Kwan-tiong melakukan perintah
itu juga. Lalu melapor, “Semua masih 31 orang!”
“Pengemis tua itu sudah masuk dalam hitungan atau belum?” tanya si dara.
“Sudah!”
“Engkau, keluarlah!” seru si dara.
Cong To bersangsi sejenak lalu melangkah keluar dari kepungan, serunya, “Apakah
maksud nona suruh pengemis tua keluar?”
“Cobalah engkau perintahkan orang-orang itu. Berapakah yang engkau kenal dan siapasiapakah
yang ilmu kepandaiannya paling baik sendri?”
“Tak peduli dia baik atau jahat, yang penting kukehendaki yang tinggi kepandaiannya!”
kata dara itu pula.
Sejenak Cong To memandang ke sekalian orang-orang yang terkepung itu lalu berkata,
“Mau apakah nona?”
“Engkau tak perlu tanya,” sahut si dara, “dan pilihkan buat aku 12 orang yang
berkepandaian tinggi. Jika engkau tak dapat memilih, pilih saja beberapa orang!”
“Kalau nona tak mau menerangkan, maaf pengemis terpaksa tak dapat melakukan
perintah!”
Tiba-tiba dara itu tertawa mengikik, “Engkau tak mau memilih, masakan aku tak punya
akal? Hari ini akan kuperlihatan kepadamu sedikit ilmu kepandaian Lam-hay bun yang
istimewa!”
“Apakah nona hendak membunuh semua tokoh-tokoh persilatan yang berada disini…..”
“Turun tangan membunuh orang, apanya yang harus dikagumi. Mana dapat
menandingi ilmu istimewa dari Lam-hay-bun?”
Walaupun mulut tak berkata tetapi dalam hati, Cong To mendengus, “Huh, itu yang
hendak kulihat!”
Tiba-tiba si dara mengambil tongkat nenek Bwe nio lalu meng-orat-oret di tanah.
Berapa kejab kemudian, tampak sebuah lukisan yang indah sekali.
Sekalian hadirin kebanyakan pernah mendengar. Dalam pertempuran besar di gunung
Hengsan dahulu, tokoh Lam-hay Ki-soh telah mendebat ilmu silat dari dunia persilatan
Tiong-goan. Maka mendengar si dara hendak mempertunjukkan ilmu kepandaian istimewa
Lam hay-bun, sekalian orang pun segera mencurahkan seluruh perhatian. Tetapi ketika
melihat dara itu hanya menggurat sebuah lukisan, mereka heran dan memandang dara
itu.
Dara itu tertawa pula, “Pengemis tua, di antara yang berada di sini, tentu engkaulah
yang paling tinggi ilmu kepandaiannya. Cobalah engkau kemari melihat-lihat gambar ini.”
Cong To melihat goresan ujung tongkat di tanah itu dengan seksama. Tetapi benarbenar
ia tak tahu apa maksudnya. Mendengar perintah si dara, cepat ia melangkah maju
seraya berkata, “Ho, memang sudah lama pengemis tua ingin menyaksilian ilmu
kepandaian yang istimewa dari perguruan Lam-hay-bun!”
Ia berhenti lebih kurang satu setengah meter dari guratan di tanah itu lalu
memandangnya lekat2.
“Tempatmu salah. Mungkin sukar untuk mengetahui dengan jelas!” seru si dara.
Cong To mendengus, “Huh, apakah melihat gam bar saja harus berdiri di tempat yang
tertentu?”
“Benar” sahut si dara, “kalau tak percaya cobalah engkau melihat dari sebelah selatan!”
Walaupun hati enggan tetapi Cong To terpaksa menurut juga. si dara pun mengisar
tubuh lalu gerakkan tongkat membuat sebuah lingkaran, katanya, “Engkau berdiri dalam
lingkaran ini dan lihatlah!”
Wajah Cong To agak berobah, ujarnya, “Seumur hidup, baru kali ini pengemis tua
diatur orang….” namun ia menurut perintah dan masuk ke dalam lingkaran.
Begitu memandang guratan di tanah itu, seketika perhatiannya melekat. Pengemis itu
tampak terkesiap tercengang.
Cong To dikenal sebagai tokah sakti. Sudah tentu sikap Cong To itu menimbulkan
keheranan sekalian orang. Merekapun segera mengisar langkah beralih ke samping
gambar itu.
Si dara pun membuat belasan lingkaran di sekeliling gambar di tanah tadi. Serunya,
“Menilik kepandaian kaian, tak mungkin kalian dapat menyelami rahasia gambar itu. Jika
mau melihat, lihatlah dari dalam lingkaran ini!”
Memang sekalian orang tak percaya bahwa guratan di tanah itu mengandung hal yang
istimewa. Tetapi kenyataan membuktikan bahwa seorang tokoh macam Cong To pun
terpesona melihatnya.
Keinginan tahu mereka tak dapat dicegah lagi. Mendengar perintah si dara, mereka
segera berhamburan melihat ke dalam lingkaran2 itu.
Dari dalam lingkaran itu mereka melihat bahwa di tengah guratan di tanah itu terdapat
tulisan berbunyi, “Ilmu istimewa dari Lam-hay, menjentikkan jari menutuk jalandarah.
Pikiran dan serangan bersatu, besar sekalilah kegunaannya!”
Memang corak daripada huruf2 itu melingkar-lingkar seperti kuntum bunga Teratai. Jika
dilihat dari sudut yang salah, tentu sukar membacanya. Maka setelah masuk ke dalam
lingkaran, barulah sekalian orang-orang itu dapat membaca jelas.
Kemudian mata sekalian orang itu menurun. Di bawah tulisan itu terdapat lukisan
sebuah telapaktangan besar yang jari2nya separoh dijulurkan, separoh ditekuk. di sisi
telapak tangan itu terdapat hurup. Ujung jari memancar tenaga-dalam.
Di bawah tulisan itu, tampak lukisan sebuah lengan dengan urat2 yang menonjol. Di sisi
lengan itu terdapat beberapa huruf, berbunyi, “HAWA menyusup ke dalam Thay-yangkeng.”
Seperti orang bermimpi, tanpa disadari sekalian orang itupun segera mengerahkan
hawa murni dalam tubuh mantle. Hawa itu dikerahkao masuk kedalam jalandatah Thay
yang keng. Ah, tenaga murni mereka dapat dikerahkan masuk ke dalam ujung jari.
Mereka menyusur ke bawah lagi dan di situ tampak sebuah lukisan kepalan tangan di
sisinya bertulis, “Kepalkan kelima jari pelahan-lahan.”
Karena kesengsem dengan ilmu yang aneh itu, tanpa sadar mereka menurut petunjuk
gambar. Perlahan-lahan mereka sama mengepalkan tinju. Dan memandang ke bawah lagi,
tanganpun menjulurkan dua buah jari, jari tengah dan jari telunjuk. Jari tengah ditindihkan
ke jari telunjuk, dan di samping gambaran itu terdapat tulisan berbunyi, “Kerahkan
semangat dan tenaga murni, tutup pernapasan, salurkan tenaga ke jari tengah dan
telunjuk.”
Sekalian orang sudah terpikat oleh ilmu pelajaran dalam gambar itu. Maka tanpa
disadari mereka pun segera menurut petunjuk itu. Menutup pernapasan lalu diam-diam
kerahkan tenaga-murni.
Kemudian mereka menurutkan pandang mata ke bawah. Dan mereka hanya melihat 4
buah huruf, “Tutup rapat pernapasan”.
Lalu di bawahnya terdapat gambar sekuntum bunga Bwe-hoa dengan sampingnya
terdapat tulisan. ‘Hitunglah kelopak bunga’.
Walaupun merasa bahwa menghitung kelopak bunga Bwe-hoa itu tiada gunanya,
namun karena sudah menyadari bahwa apa yang ditunjukkan pada lukisan itu ternyata
merupakan suatu ilmu kesaktian yang hebat, merekapun tak mau banyak berpikir lagi
terus saja menurut untuk menghitung kelopak bunga.
Kelopak bunga itu dilukis amat ruwet. Walaupun tampaknya sederhana tetapi sukar
juga untuk menghitungnya. Selesai menghitung, mereka rasakan dadanya sesak sekali.
Ingin lekas2 menghembus napas.
Tetapi di bawah lukisan bunga itu terdapat tulisan: ‘Jangan mengeluarkan napas, atau
sia2 latihan tadi.”
Orang yang berlatih, memang lebih tahan lama untuk menutup pernapasan. Melihat
tulisan itu, terpaksa mereka paksakan diri untuk menahan napas. Lalu mereka
memandang ke sebelahbawah lagi terdapat pula tulisan berbunyi: ‘Ulurkan pelahan-lahan
lengan kiri.’
Sekalian orangpun menurut lagi. Mereka sama ulurkan lengan kiri ke sebelah kiri.
Dan memandang ke sebelah bawah lagi, terdapat sebuah lukisan, jari telunjuk dan jari
tengah menjulur ke muka. Di sampingnya terdapat tulisan, “Setelah tenaga-murni
terkumpul, pancarkanlah ke kiri.”
Saat itu dada sekalian orang sudah amat sesak sekali, hampir tak kuat menahan lebih
lama. Bahkan kepalanya agak pening. Tetapi semangat dan perhatian mereka benar-benar
terpikat oleh petunjuk itu sehingga lupa daratan. Mereka serempak menurut petunjuk dan
jentikkan jari telunjuk dan jari tengah.
Garis lingkaran yang dibuat si dara itu, telah diatur menurut jarak yang tertentu.
Sekalian orang yang menjulurkan lengan kiri, tepat seketika tiba di samping orang yang di
sabelahnya. Dan gerakan tangan itu menggunakan sepenuh tenaga. Serentak terdengar
suara bergedebukan dan tubuh2 yang rubuh. Dalam 34 orang itu, yang rubuh ada 32
orang. Hanya Pengemis-sakti Cong To dan seorang yang berdiri paling kanan, tidak rubuh.
Cong To tersenyum melihat lukisan2 itu. Baru setelah orang di sebelah rubuh ke
arahnya, ia tersadar. Saat itu baru ia mengetahui kalau sekalian hadirin sama rubuh. Oleh
karena seluruh semangat dan pikiran terpikat oleh gambar-gambar itu, sampai ia tak
menyadari apa yang telah terjadi di sekelilingnya. Pengemis-sakti Cong To terlongonglongong…..
Begitu pula orang kedua yang tak rubuh itu, seorang lelaki pertengahan umur yang
bertubuh tinggi besar, juga tercengang-cengang menyaksikan pemandangan saat itu.
Tiba-tiba terdengar si dara melengking tertawa, “Pengemis tua. bagaimana
pendapatmu tentang ilmusilat perguruan Lam hay-bun?”
Pengemis tua itu menghela napas, serunya, “Nona memang seorang berbakat yang luar
biasa. Pengemis tua sungguh kagum sekali!”
Si dara perlahan-lahan menghampiri, ujarnya, “Kaum imam dalam dunia persilatan
Tionggoan, engkau termasuk seorang baik. Aku takkan menyulitkan engkau. Lekaslah
engkau pergi!”
Sambil memandang kepada 32 jago2 silat yang rubuh di tanah itu, bertanyalah Cong
To, “Entah hendak nona pengapakan mereka itu?”
“Engkau sendiri selamat, apakah belum cukup….?” si dara berhenti sejenak, lalu,
“mereka datang kemari dengan membawa nafsu serakah. Ingin memperoleh kitab pusaka
Lam-hay bun dan Tusuk Kundai Kumala Hendak kuberi sedikit hukuman. Biarlah mereka
menjaga di sini selama tiga bulan!”
Tiba-tiba dara itu berpaling ke arah lelaki gagah yang tidak rubuh tadi, serunya, “Kuberi
hukuman kepada mereka supaya menjaga makam ini selama tiga bulan, engkau menerima
atau tidak?”
Rupanya lelaki itu gentar terhadap kecerdikan si nona, sahutnya tersipu, “Ini … ini….”
Dara baju ungu tertawa dingin, “Apa ini itu! Sekarang hanya tinggal dua pilihan.
Silahkan engkau pilih. Menilik maksudmu yang mujur karena berdiri dalam garis lingkaran
yang terdepan, maka kuanggap engkau sebagai pemimpin mereka. Jika ada yang tidak
menurut perintah, bunuh sajalah. Sekarang silahkan engkau bicara selaku wakil mereka!”
“Dua pilihan yang mana?” tanya lelaki itu.
“Pertama, segera kuberi perintah untuk mencincang ke 32 orang itu. Sekalipun cara itu
memang ganas, lebih rapi.”
“Yang kedua9”
“Yang kedua, akan kuikat kalian 33 orang ini dengan tali dari ulat sutera pada keliling
makam ini. Karena dalam makam ini tersimpan mustika Tusuk Kundai Kumala dari Lamhay-
bun. tentulah banyak orang yang menginginkan. Kalau menjaga makam ini tetapi tak
boleh mendekati makam. Tiga bulan kemudian aku akan melepaskan tali ikatan itu dan
membebaskan kalian.”
Lelaki gagah itu tersenyum, serunya, “Ini, mungkin tiada orang yang akan menentang.
Saat ini jiwa dari tiga puluhan orang itu berada dalam tangan nona….”
“Jangan memikirkan yang tidak2!” tiba-tiba dara itu menukas, “sampai tiba pada
saatnya, menyesalpun tiada guna!”
Ia berpaling kepada nenek Bwe Nio, “ Pinjam tali ulat Thian-jan selama tiga bulan saja!”
Nenek Bwe agak meragu tetapi akhirnya ia mengambil sebuah kantong bersulam emas,
diberikan pada si dara.
Cong To dan lelaki tinggi besar itu memandang lekat kepada si dara. Dara itu tengah
mengambil segulung tali warna putih salju lalu diurai.
Cepat sekali gerakan tangan dara itu sehingga Cong To belum sempat melihat jelas,
gulungan tali itu sudah terurai lalu dibuat menjadi 33 buah lingkaran. Setelah itu berpaling
menyuruh si Bungkuk dan si Pendek, “Ikatlah leher mereka dengan Lingkaran tali ini….”
Si Bungkuk dan si Pendek segera melaksanakan perintah. Lingkaran tali ulat sutera itu
diikat pada tubur ke 32 orang.
Tiba-tiba dara itu berseru nyaring, “Tariklah dari dua samping sekuat-kuatnya. Paling
tidak harus menggunakan tenaga 100 kati!”
“Jangan nona!” tiba-tiba Cong To berseru gugup, “Bukankah dengan cara itu ke 32
orang itu akan mati semua?”
Si dara tertawa, “Jangan kuatir! Lingkaran tali kubuat sedemikan rupa sehingga tak
sampai menjirat leher mereka. Pun tenaga tarikannya sudah kuperhitungkan. Kalau
menggunakan 80 sampa 100 kati saja, barulah lingkaran itu akan menjadi ikatan mati.
Dengan Leher diberi ikatan rantai tali, mereka tentu tak dapat bergerak leluasa. Sekalipun
mempunyai ilmu menyurut tulang, pu tak mungkin mampu lolos. Tetapi kalau
menggunakan tenaga 200 kati, lingkaran itu tentu akan menyurut kecil!”
Cong to menghela napas, “Mati hidup itu peristiwa besar, bukan mainan kanak-kanak.
Sekali-kali nona tak boleh….”
“Tak apa!” tukas si dara, “kalau mereka sampai mati, akan kuganti jiwa!”
Tanpa banyak bicara si Bungkuk dan si Pendek terus melakukan perintah. Ketiganya
memencar di kanan kiri lalu menarik tali dengan menggunakan tenaga 100 kati. Terdengar
suara mendesis pelahan dan lingkaran tali itupun sama menyurut pada leher ke 32 orang
itu.
Si dara berpaling kepada lelaki tinggi besar tadi dan berseru, “Lingkaran tali yang
terakhir engkau boleh mengikatkan pada lehermu sendiri!”
Sejenak lelaki tinggi itu bersangsi tetapi akhirnya ia ulurkan tangan menyambuti tali
terus dipasang di lehernya. Tanpa ditarik si Bungkuk dan si Pendek, ia terus mencarik
lingkaran tali itu sendiri.
“Bagus, engkau benar-benar mengenal gelagat. Tali ulat sutera itu adalah salah satu
Benda pusaka dari perguruan Lam-hay-bun. Jangan memandang rendah bahwa tali itu
hanya sebesar dupa tetapi uletnya bukan alang kepalang. Tak mudah dipotong dengan
sembarang pedang pusaka. Karena tali ini masih sisa panjang sekali maka sisanya itu akan
kusuruh ikat pada tubuh mereka.”
Ia berpaling ke arah Ong Kwan-tiong dan lelaki kaki buntung, serunya, “Tolong suheng
berdua membuka jalandarah mereka yang tertutuk itu!”
Kedua orang itu cepat loncat ke muka. Yang satu pakai tangan menampar, yang satu
pakai kaki menyepak. Dalam beberapa kejab saja, ke 32 orang itu serempak tersadar dari
pingsannya begitu merasakan lehernya terjirat tali, mereka terus hendak menariknya.
Sesunguhnya Pengemis-sakti Cong To itu memiliki hati nurani yang welas asih. Ia kuatir
tarikan orang-orang itu bahkan akan mempererat ikatan tali. Buru-buru ia berseru
menghentikan mereka.
Teriakan yang menggeledek dari pengemis tua itu mengejutkan sekalian orang.
Merekapun berhenti.
Si dara baju ungu berseru nyaring, “Leher saudara berkalung tali ulat sutera.
Kencangnya bukan kepalang. Tak mempan ditabas pedang. Kalau tak percaya. boleh
mencobanya!”
Seketika ada beberapa orang yang mencabut senjatanya lalu merampas tali itu.
Senjata dari kaum persilatan, tentulah bukan senjata sembarang senjata. Walaupun
bukan semua termasuk jenis pusaka, tetapi tentulah senjata mereka itu senjata pilihan
yang amat tajam. Mampu untuk menabas batang pohon sebesar mangkuk.
Tetapi ketika ditabaskan kepada tali yang besarnya hanya seperti dupa, ternyata macet.
Berpuluh-puluh tabasan pedang dan golok tajam, tak mampu memutuskan tali sutera itu!
Setelah orang-orang itu berhenti menabas, barulah si dara berseru, “Tali yang
mengalung pada leher saudara itu, hanya tahan tarikan tenaga 200 kati. Kalau lebih dari
itu, tali tentu akan menyurut kencang dan saudara-saudara pasti akan terjirat mati….”
Berhenti sejenak, ia berkata pula, “Ikatan yang kubuat itu, tiada orang ketiga di dunia
yang mampu membuka. Jika nekat hendak membuka, sama dengan mencari kematian diri
sendiri. Sekiranya tak percaya, silahkan mencobanya!”
Sekalian tokoh-tokoh persilatan itu sudah menyadari kelihaian si dara. Dan percobaan
untuk menabas tali tadi, telah memberi bukti. Maka mau tak mau mereka percaya akan
keterangan si dara.
Tampak kerudung hitam dara itu bergerak dan terdengarlah kata-katanya pula,
“Sekarang kalian ke 33 orang itu, merupakan kawan sehidup-semati. Jika tali itu sampai
tersambar orang lain dan orang itu menariknya dengan 200 kati, kalian beberapa orang
tentu ada yang terjirat mati dan pasti akan mengganggu sekalian orang. Kalian merupakan
sebuah kesatuan yang sehidup-semati. Dalam menghadapi gangguan orang luar, harus
bersatu bantu membantu. Dan kalian harus menghilangkan rasa dendam satu dengan
lain….”
Ucapannya itu lemah lembut nadanya dan dan penuh dengan perhatan. Sekalipun taruh
kata dara itu bohong, tetapi karena cara membawakan kata-katanya begitu lembut, orang
tentu sukar untuk tak percaya.
Kembali terdengar dara itu menghela napas panjang, katanya pula, “Saat ini ada
sebuah masalah yang hendak memintakan bantuan kalian. Ialah hendak minta tolong
kepada saudara-saudara untuk menjaga makam ini selama tiga bulan.
“Kalau dalam makam ini tersimpan Tusuk Kundai Kumla pusaka Lam-hay-bun. Sudah
tentu akau berdatangan tokoh-tokoh persilatan lihay untuk berusaha mendapatkannya.
Nah, saudara-saudara harus mengenyahkan mereka. Dan hendaknya saudara-saudara
menyadari bahwa saudara-saudara sudah tambah dengan sebuah ilmu baru. Kalian sudah
memiliki ilmu menutuk dengan jari dari jarak jauh. Cukup dengan ilmu itu saja, kalian
sudah dapat menghadapi musuh yang tangguh. Jika kalian sungguh-sungguh mau bersatu
dan serempak melakukan gerak tutukan jari itu, sekalipun tokoh-tokoh silat yang
bagaimana saktinya, tetap tak mampu hendak maju selangkahpun juga….”
Kembali ia berhenti sejenak untuk menghela napas pelahan, lalu berkata, “Masih ada
sebuah hal lagi. Aku hendak mengatakan dengan sejujurnya. Di antara kalian bila ada
seseorang yang menderita luka parah atau binasa, harus cepat-cepat menabas kutung
tubuhnya agar jangan sampai mengganggu kalian semua….”
Perintah yang kejam itu seolah-olah enak saja diucapkan si dara. Sehingga
kedengarannya tak mengerikan. Tetapi jika direnungkan sungguh, perintah itu tentu
menegakkan bulu roma.
Suasana hening lelap. Agaknya orang-orang itu tak tahu apa yang harus dikatakan.
Mereka hanya memandang si dara.
Baju ungu yang dikenakan data itu, melekat pada tubuhnya yang langsing, pinggang
ramping dan kulit yang putih seperti salju. Jari2nya runcing seperti duri landak, bahunya
yang lempang bagai teraju. Tak dapat tidak, potongan tubuh begitu itu tentu dimiliki oleh
seorang jelita yang amat rupawan sekali. Tetapi sayang, wajahnya tertutup oleh kain
hiram sehingga tak dapat dinikmati kecantikannya.
Sekalipun tak dapat melihat wajahnya, namun seluruh tokoh persilatan yang berjumlah
33 orang itu sama mempunyai kesan bahwa dara baju ungu itu tentu seorang cantik jelita.
Kembali terdengar suara helaan napas pelahan dari mulut si dara yang terbungkus
kerudung, “Waktu 3 bulan itu dalam kahidupan manusia tidaklah merupakan waktu yang
berarti. Hanya dalam sekejap mata saja, kalian harus melewatkan hari-hari menjaga
makam ini. Mungkin hal itu merupakan suatu istirahat pendek dalam kehidupan kalian.
Cepat sekali waktu itu segeta akan berlalu….”
Tiba-tiba sebuah suara yang kasar dan gagah, menukas kata-kata si dara, “Waktu 3
bulan walaupun tidak lama tetapi habislah sudah riwayat hidup kami. Leher dijirat tali dan
disuruh menjaga makam dari seorang yang tak terkenal sampai 3 bulan. Apabila peristiwa
itu tersiar di luar, kami tentu tiada muka menegakkan kaki di dunia persilatan.”
Si dara tertawa melengking nyaring, “Kalau begitu, apakah nama dan peribadi itu
benar-benar lebih penting dari jiwa? Kalau saudara-saudara memang beranggapan begitu,
silahkan saja menempuh ajal kebinasaan.”
Sekalian orang tergetar hatinya dan serempak berpaling ke arah orang yang buka suara
tadi. Mereka sama menyesali orang yang banyak mulut itu.
Si dara menghela napas rawan, ujarnya, “Aku tak mau memaksa kalian. Menjaga
kuburan ini atau mati, terserah kalian hendak memilih.
Ia berhenti sampai lama untuk memberi kesempatan sekalian tokoh itu mengambil
keputusan. Setelah itu baru ia berkata pula, “Jika memang tak mau menjaga makam ini,
akupun tak berani memaksa. Silahkan kalian berdirilah!”
Tiada seorangpun yang tahu apa akibat dari kata-kata dara itu. Tetapi mereka
menduga, kebanyakan tentu akan menyeramkan akibatnya.
Hanya orang yang buka suara itu, setelah memandang kian kemari lalu berbangkit
pelahan-lahan. Mata sekalian orang tercurah kepada orang itu. Wajah mereka tampak
tegang. Tetapi tak seorangpun tahu yang bakal terjadi.
Si dara baju ungu berbangkit lalu menghadap orang itu dan berdiri di mukanya,
“Apakah engkau benar-benar tak takut mati?”
Pada waktu si dara mengayun langkah, nenek Bwe mengikuti lekat2 di belakang si
dara. Walaupun kerut wajahnya cemas dan tampak tak setuju akan tindakan si dara,
tetapi ia tak berani buka suara mencegahnya.
Wajah orang itu pucat lesi. Rupanya kematian telah terbayang di wajahnya. Tiba-tiba ia
menghela napas panjang, serunya, “Berkelahi untuk menentukan siapa yang berhak hidup,
bukanlah suatu peristiwa yang besar. Tetapi karena leherku terikat dan tak mempunyai
kesempatan untuk melawan, maka akupun rela pejamkan mata menunggu ajal.”
Memang umumnya orang persilatan amat menjunjung gengsi dan nama. Walaupun
jelas wajahnya menampilkan kecemasan maut namun mulut masih bersuara garang agar
rasa takutnya tak diketahui orang.
Si dara tertawa, “Apakah engkau mempunyai anak isteri?”
Pertanyaan itu benar-benar di luar dugaan sehingga sekalian orang terpukau.
“Kalau punya lalu bagaimana?” sahut orang kasar itu.
“Jika engkau memang punya anak isteri, segera akan kubebaskan pulang!”
“Sungguh?” orang itu heran.
“Kapankah aku pernah bicara bohong…? tetapi…..”
“Tetapi bagaimana?”
“Engkau harus lebih dulu menjawab pertanyaanku tentang anak isterimu itu!”
Orang itu merenung sejenak. “Punya!”
“Berapa umur anak perempuanmu tahun ini?”
Sepintas pandang tanya jawab itu seperti dalam suasana kekeluargaan. Suatu hal yang
benar-benar membuat sekalian orang heran.
Orang itu bersangsi sejenak, lalu berseru, “Puteriku? Tahun ini berumur 13 tahun!”
Tiba-tiba dara itu mengangkat tangan kanannya sehingga tali yang mengikat leher
orang itu bergetar. Lalu berkata pelahan, “Lekas gunakan tenaga untuk membuka
lingkaran tali pada lehermu!”
Orang itu menduga si dara hendak mempermainkan dirinya. Sekonyong-konyong ia
menggembor keras, “Toh aku pasti….” — kata-kata itu diserempaki dengan menghantam
ke arah kepala si nona.
Terdengar suara tertawa dingin dan nenek Bwe Nio yang berdiri di belakang si dara,
secepat kilat segera julurkan tangan kananya menyongsong pukulan orang itu. Terdengar
jeritan keras dan tubub orang itupun terhuyung-huyung dua langkah lalu jatuh terduduk.
Si dara berpaling kepada nenek Bwe Nio, “Lepaskan tali pada lehernya!”
Bwe Nio memandang dara baju ungu itu. Mau bicara tetapi tak jadi. Tetapi ia lakukan
juga perintah si dara dan membuka tali ikatan leher orang itu.
Dan sebelum nenek Bwe sempat bertanya, si dara sudah mendahului, “Bwe Nio, urutlah
uratnya yang engkau lukai itu supaya berjalan lancar lagi. Dan bebaskan dia!”
Terhadap tingkah laku si dara yang sebentar ganas sebentar baik itu. Nenek Bwe
benar-benar bingung. Tetapi ia tak berani membangkang. Setelah menghela napas, ia
menegas lagi, “Nak, apakah benar-benar engkau suruh aku membuka jalan darahnya!”
“Bwe Nio, harap jangan hanyak tanya dan lalukan permintaanku,” sahut si dara.
Bwe Nio tertegun lalu menampar jalandarah orang itu. Segera orang itu berbangkit dan
tercengang memandang si dara, “Apakah nona sungguh-sungguh hendak membebaskan
aku?”
si dara kibaskan tangan, “Sekarang engkau boleh pergi!”
Tiba-tiba orang itu menjura memberi hormat, serunya, “Budi yang kuterima hari ini,
akan kuukir dalam hati. Kelak apabila memerlukan tenagaku, aku pasti akan membalas
dengan sepenuh jiwa raga!”
“Pergilah lekas, jangan banyak omong!”
Orang itu tundukkan kepala. Setelah merenung beberapa jenak, ia mengangkat
kepalanya lagi dan memandang ke sekeliling hadirin. Tiba-tiba ia tegakkan tubuh, serunya,
“Harap nona suka memasang tali itu pada leherku lagi! Aku tak jadi pergi.”
“Itu kemauanmu sendiri, jangan sesalkan aku!”sahut si dara.
“Sudah tentu takkan menyesali nona!” kata orang itu.
Si dara pun segera mengambil tali dan memasangkan lagi di leher orang itu. Katanya
sambil tertawa. “Kutahu engkau tentu akan suka tinggal di sini.”
Saat itu tiba-tiba Cong To teringat bahwa Han Ping masih bersembunyi di atas pohon.
Segera ia memberi salam kepada dara itu, “Pengemis tua akan pamit!”
Dara itu amat sungkan kepada pengemis Cong To. Ia agak membungkukkan tubuh
balas menghormat, “Maaf, tak dapat mengantar.”
Cong To segera ayunkan langkah dan menuju ke batang pohon di puncak gunung. Han
Ping meluncur turun dari pohon, serunya, “Lo-cianpwe, mari kita omong2 di sini.”
Cong To menghampiri dan menghela napas pelahan, ujarnya, “Selama berkelana dalam
dunia hingga sampai setua ini, belum pernah pengemis tua kagum terhadap orang. Tetapi
pada saat umur pengemis tua sudah mendekati lubang kubur begini, barulah aku tunduk
pada dua orang anakmuda.”
“Siapakah yang membuat lo cianpwe begitu kagum?” tanya Han Ping heran.
Cong To tertawa lebar, “Apakah engkau benar-benar tak tahu? Atau memang pura-pura
tak tahu?”
“Sudah tentu tak tahu sungguh-sungguh!”
“Kedua orang itu saat ini berada dekat dari sini,” kata Cong To tertawa.
Han Ping memandang ke sekeliling. Sesaat ia seperti tersadar, tanyanya, “Apakah dara
baju ungu dari Lam-hay-bun itu?”
“Keagungan dara itu, baru pertama kali ini pengemis tua bertema dengan orang yang
seluar biasa itu. Benar-benar seorang insan yang luar biasa pintar. Setiap tindakannya,
tiada seorang pun yang dapat menduga. Ai, pengemis tua tak dapat tidak tunduk
padanya!”
Han Ping tertawa, “Kecuali cerdik, mulutnya juga lihay sekali. Bisa berkata, bisa
mengomong rangkaian kata-kata yang membuat orang bungkam.”
Tiba-tiba Cong To memandang lekat pada wajah anakmuda itu, katanya, “Dan masih
ada seorang anakmuda lagi yang pengemis tua kagumi. Tahukah engkau?”
Han Pirg merenung sejenak, katanya, “Apakah lo-cianpwe maksudkan puteri dari marga
Siangkwan itu?”
Cong To gelengkan kepala tertawa, “Walau-pun kepandaian anak perempuan
Siangkwan Ko itu tinggi tetapi rasanya hampir sudah mendekati puncak bakatnya. Apalagi
dalam gemblengan seorang guru yang sakti, sudahlah wajar kalau memperoleh kemajuan
besar!”
Han Ping tertawa menyengir, serunya, “Apa lo-cianpwe maksudkan diriku?”
Cong To tertawa gelak-gelak, “Benar! Atas kemajuan ilmu silatmu, aku benar-benar
merasa heran sekali. Setiap hari, setiap bulan selalu bertambah hebat. Suatu hal yang
menyimpang dari keadaan biasanya yang terdapat dalam belajar silat….”
Ia menghela napas pelahan lalu melanjutkan pula, “Pada waktu kita bersama dalam
penjara air di Hian-bu-kiong, engkau telah memberi pengemis tua banyak sekali ilmu
pelajaran silat secara lisan. Kesemuanya itu merupakan ilmu pelajaran yang paling
dimimpikan oleh setiap orang persilatan…..”
Han Ping tersenyum, “Aku masih dapat mengingat banyak sekali. Sekiranya lo-cianpwe
suka, akan kututurkan sampai habis….”
“Cukup, sudah cukup!” buru-buru Cong To berseru, “apa yang kudapat dalam penjara
air itu, tak habis kugunakan seumur hidup.”
Pengemis sakti itu merenung beberapa saat. Tiba-tiba ia bertanya, “Ada sebuah hal
yang pengemis tua tak mengerti.”
“Soal apa?” Han Ping terkejut.
Jilid 24.
Adu kesaktian.
“Oleh karena engkau dapat mengingat pelajaran2 lisan dari ilmu sakti yang jarang
terdapat dalam dunia persilatan, maka engkau mampu menggunakan beberapa ilmu
kepandaian yang aneh,” kata Cong To, “tetapi bahwa engkaupun telah memiliki ilmu
tenaga dalam yang begitu hebat, benar-benar membuat aku tak mengerti. Karena ilmu
tenaga-dalam itu, betapapun hebat bakat seseorang, tetapipun harus memakan waktu
yang tertentu. Menilik umurmu, apa yang telah engkau miliki saat ini benar-benar
melampaui usiamu. Dan kemajuan yang engkau peroleh benar-benar sukar dipercaya!”
Han Ping agak kerutkan alis, ujarnya, “Cong lo-cianpwe benar-benar luas pengalaman.
Aku memang telah beruntung memperoleh rejeki yang luar biasa, hanya saja, hanya
saja…..”
“Sudahlah, tak perlu engkau bilang,” tukas Cong To, “kalau mendapat rejeki yang luar
biasa, memang tak leluasa memberitahukan orang. Cukup kalau kuketahui bahwa tenaga
dalam yang engkau peroleh itu bukanlah hasil peyakinanmu sendiri.”
Han Ping menghaturkan terima kasih.
Tiba-tiba Cong To tertawa hambar, “Sudah berpuluh tahun pengemis tua berkelana di
dunia persilatan dan malang melintang di daerah Kanglam dan Kangpak. Bahkan apa yang
menamakan diri sebagai It-kiong, Ji-koh, Sam-poh itu, juga tak kupandang mata. Tetapi
sungguh tak kira dalam beberapa hulan terakhir ini, keangkuhanku telah goncang…”
Han Ping menghela napas, “Karena setiap orang tak sama rejekinya maka hasil yang
diperolehnya pun berbeda. Berkat budi kebaikan dari seorang lo-cianpwe maka aku
memperoleh hasil seperti hari ini. Tetapi lo-cianpwe itu sudah meninggal dunia sehingga
aku tak sempat lagi membalas budinya….”
Terkenang akan budi kebaikan Hui Gong taysu yang telah mengajarkan ilmu pelajaran
sakti dan menyalurkan tenaga-murni, hati Han Ping tersedu dan matanya berlinang-linang.
Cong To menghela napas, “Ih Thian-heng mempunyai permusuhan apa dengan
engkau?”
“Membunuh ayah menghina ibu, tak dapat hidup di bawah satu kolong langit.
Membinasakan guru melenyapkan adik, bagai lautan darah dalamnya!” sahut Han Ping.
Cong To merenung sejenak lalu berkata, “Walaupun engkau memiliki ilmu kepandaian
sakti, tetapi mungkin belum dapat mencapai kesempurnaan untuk membunuh Ih Thianheng.
Selalu berilmu tinggi, orang itu memang luar biasa licinnya. Di mata umum dia purapura
berbuat kebaikan tetapi diam-diam dia telah membentuk komplotan. Berapa banyak
anakbuahnya, mungkin tiada orang yang mengetahui jelas….”
Pengemis tua itu menengadahkan kepala dan menghela napas panjang, ujarnya pula,
“Orang pada umumnya hanya tahu bahwa dia berilmu sakti. Tetapi sampai dimana
kesaktiannya, tiada seorangpun yang tahu. Dalam dunia persilatan dewasa ini, kecuali
pengemis tua ini, tiada seorangpun yang pernah bertempur dengannya. Tetapi baru tiga
jurus saja, pengemis tua sudah tahu kalau tak mampu melawannya …
“Kalau begitu, ilmu kepandaian Ih Thian-heng itu benar-benar tiada dapat diukur
tingginya?” tukas Han Ping.
“Jika menurut peraturan biasa, 10 tahun lagi mungkin engkau baru dapat
mengalahkannya!”
“Aku ingin lekas2 membalas dendam. Setiap hari hatiku seperti ditusuki jarum. Jika
menunggu 10 tahun, mana aku sabar menunggunya?”
Cong To tertawa, “Pengemis tua ini memang sudah usang. Mungkin dalam hidup
sekarang ini aku tak mempunyai kesempatan untuk memenangkan dia. Apabila rejekinm
besar sekali, kemungkinan tak perlu makan waktu begitu lama!”
Han Ping memandang Cong To dengan pandangan kecewa lalu menundukkan kepala.
“Tetapi dewasa ini kedok muka Ih Thian-heng yang berpura-pura melakukan kebaikan
itu sudah terbuka. Setiap partai persilatan golongan Putih sudah memusuhinya. Tentu
banyak membantu meringankan bebanmu hendak membalas sakit hati….”
“Aku hendak menangkap hidup2 hangsat itu untuk kusembahyangkan di makam ayah
dan guru barulah hatiku puas.”
Cong To terkesiap, ujarnya, “Kalau terbunuh mati, mungkin ada harapan. Tetapi untuk
menawannya hidup2 sukar sekali. Sekali pun dalam ilmu kepandaian engkau dapat
mengalahkannya tapi dia tentu lebih unggul dalam tipu muslihat. Dia seorang manusia
yang julig, licin dan ganas. Masakan dia tak tahu kalau akan ditangkap hidup-hidup….”
Tiba-tiba Han Ping menitikkan airmata, “Menilik ucapan lo cianpwe, dalam hidup yang
sekarang ini, aku tentu tiada mempunyai harapan untuk membalas sakit hati?”
Cong To kerutkan alis, “Sudahlah, jangan menangis. Asal melihat airmata, pengemis
tua tentu kehilangan faham.”
Han Ping membesut airmata lalu mengangkat muka dan bersuit panjang. Dengan
gagah perkasa ia tertawa nyaring, “Bagi seorang jantan, airmata itu laksana emas
mahalnya. Mengapa aku sembarangan menjatuhkan airmata! Sekalipun tubuh Ih Thianheng
itu terbuat dari besi dari baja, tetap akan kuhancur leburkan dan kusembahyangkan
di muka makam ayah dan suhu!”
“Ha, ha, ha,” Cong To tertawa tergelak, “bagus. bagus! Dengan pernyataanmu yang
gagah perkasa itu, engkau sudah berhasil menyelesaikan cita-ciiamu untuk menempur Ih
Thian-heng!”
Tiba-tiba Cong To berpaling. Ah, pada jarak setombak dari tempatnya, tampak berdiri
seorang lelaki bertubuh tinggi besar. Dia adalah Ong Kwan-tiong dengan dikawal 4 orang
jago silat baju hitam.
Oleh karena sedang bertukar pembicaraan yang asyik, Han Ping dan Cong To sampai
tak mendengar kedatangan Ong Kwan-tiong.
Setelah menghentikan tertawanya, Pengemis-sakti segera menegur Ong Kwan-tiong,
“Bukankah engkau hendak mencari pengemis tua ini?”
“Benar, ada sebuah hal yang sengaja hendak kutanyakan!” sahut Ong Kwan-tiong.
“Ah, tak usah sungkan. Silahkan bertanya!” sahut Cong To.
“Jika tiada hal yang penting lagi, kuharap kalian berdua segera tinggalkan tempat ini!”
seru Ong Kwan-tiong.
“Apakah engkau hendak mengusir pengemis tua?”
“Aku memohon dengan baik-baik,” sahut Ong Kwan-tiong.
“Baik!” sahut Cong To,”kami segera pergi!”
Habis berkata pengemis tua itu berpaling ke arah Han Ping dan mengajak pemuda itu
pergi.
Han Ping hendak bicara tetapi tak jadi. Terpaksa ia mengikuti di belakang Cong To.
Berjalan 50-an tombak jauhnya, tiba-tiba mereka mendengar derap langkah orang, dari
arah belakang. Han Ping berpaling dan melihat Ong Kwan-tiong tergopoh-gopoh
menyusulnya. Tetapi keempat pengawalnya masih tegak berdiri di tempat semula.
“Cong lo-cianpwe!” seru Ong Kwan tiong.
Cong To berpaling dan hentikan langkah.
Ong Kwan-tiong memberi hormat dan berkata dengan serius, “Aku masih ada sebuah
permohonan lain, entah apakah saudara Ji dapat meluluskan atau tidak.”
Han Ping tertegun, sahutnya, “Hal ini, harap mengatakan lebih dulu agar dapat
kupertimbangkan baru memberi keputusan.”
“Sukar atau mudah tergantung pada pertimbangan saudara sendiri!”
Han Ping kerutkan alis tiada menyahut.
Cong To tertawa dingin, “Saudara Ong tak perlu banyak omongan. Lekas katakan saja!”
Berkata Ong Kwan-tiong dengan nada tertahan, “Kuminta saudara Ji ini, supaya jangan
bertemu muka dengan sumoay-ku lagi….”
Karena merasa ucapannya itu tidak nalar, maka setelah mengucap, Ong Kwan-tiong
lalu menghela napas panjang.
“Memang sulit untuk kukatakan alasannya,” kata Ong Kwan-tiong pula, “apalagi soal itu
pun tak merugikan saudara Ji. Apalagi saudara Ji suka meluluskan, ah, sungguh aku
merasa berterima kasih tak terhingga….”
Han Ping tersenyum, “Kukira hal apa, kiranya hanya begitu saja. Sejak saat ini, aku
takkan….”
“Jangan buru-buru meluluskan!” tiba-tiba Cong To mengerat.
Han Ping tertegun, “Mengapa?”
“Harap saudara Ong jangan menyalahkan aku si pengemis tua ini banyak mulut.
Memang sederhana tampaknya soal itu, tetapi….”
“Tak perduli bagaimana saja, siapa suruh engkau banyak mulut!” Ong Kwan-tiong
berteriak marah.
Cong To tertawa dingin, “Justeru dalam hidupku, si pengemis tua ini paling suka
mengurusi orang. Dalam dunia persilatan Tiong-goan, siapakah yang tak kenal….”
Dengan mata berkilat-kilat, Ong Kwan-tiong menatap pengemis tua itu. Tetapi entah
bagaimana pada lain saat, tiba-tiba kemarahannya lenyap dan menghela napas, “Dalam
dunia persilatan Tiong-goan, engkau memang seorang yang paling berterus terang.”
Pengemis-sakti memandang ke atas dan tertawa, “Ah, jangan membikin kaget
pengemis tua dengan pujian!”
Berkata pula Ong Kwan-tiong, “Sukar kukatakan mengapa sumoayku tak mau bertemu
muka lagi dengan saudara Ji. Jika kalian tak mau meluluskan, aku….”
Murid dari perguruan Lam-hay-bun itu berhenti bicara. Tetapi sampai lama tetap tak
melanjutkan kata-katanya lagi.
“Karena saudara tak mau mengatakan alasannya, akupun sukar untuk meluluskan.
Dalam dunia yang begini luas, siapapun tak dapat menjamin takkan bertemu, pun tak
berani memastikan kalau takkan bertemu. Yang penting, asal kedua fihak tidak
mengandung maksud untuk saling mencari, itu sudah cukup. Maaf, aku masih mempunyai
lain urusan lagi yang hendak kukerjakan!”
Han Ping memberi hormat, memutar tubuh lalu melangkah pergi.
Cong To menghela napas, “Harap saudara Ong pertimbangkan lagi adakah rencana itu
bisa dilaksanakan atau tidak! Sampai disini dulu pengemis tua berkata. Kita masih ada
kesempatan berjumpa lagi maka terburu-buru harus memutuskan soal itu sekarang juga!”
Dan tanpa menunggu penyahutan Ong Kwan-tiong, pengemis tua itupun berputar
tubuh mengikuti jejak Han Ping.
Ong Kwan-tiong hanya termangu-mangu memandang bayangan kedua orang itu.
Setelah mereka lenyap dari pandangan mata, barulah ia tersadar lalu melangkah dengan
wajah kecewa.
Setelah empat lima li jauhnya dan tak tampak Ong Kwan-tiong lagi, barulah Han Ping
dan Cong To berjalan pelahan.
Han Ping menghela napas, tanyanya, “Tahukah lo-cianpwc siapakah yang terkubur
dalam Kuburan itu?”
“Soal itu pengemis tua tak jelas!” sahut Cong To.
Merenung sejenak, Han Ping bertanya pula, “Dara baju ungu itu mengapa memakai
kerudung muka yang tebal?”
Cong To batuk-batuk lalu menyahut, “Soal itu, ada dua sebab!”
“Apa saja?”
Tiba-tiba Cong To tertawa lepas, “Pertama, karena ia terlalu cantik. Malu
memperlihatkan mukanya di depan umum sehingga perlu memakai kerudung muka warna
hitam yang tebal.”
Han Ping tertawa hambar, “Apakah itu dapat dianggap sebagai suatu alasan? Lalu
bagaimana alasan yang kedua?”
Sejak pengemis tua itu memandang Han Ping lalu katanya, “Alasan yang kedua? Ah,
mungkin karena wajahnya mengalami perobahan….”
Seketika Han Ping merasa seperti menerima pukulan keras sehingga tubuhnya gemetar.
Serunya, “Perobahan apa?”
Cong To tertawa nyaring, “Kulitnya yang begitu halus, digigit nyamuk saja tentu akan
membengkak besar….”
“Ah, lo cianpwe bergurau!”
Tiba-tiba wajah Cong To berohah sungguh-sungguh, serunya, “Wajah cantik tentu
menyengsamkan orang. Percintaan antara kaum muda mudi itu memang sukar dihindari.
Karena masih mengandung kewajiban membalas sakit hati, hendaknya janganlah engkau
berkecimpung dalam lautan asmara sehingga akan melenyapkan tujuanmu!”
Han Ping termangu. Serta merta ia menjura memberi hormat, “Petuah lo-cianpwe yang
berharga itu, seperti membungkus diriku dalam kabut kebingungan. Harap lo-cianpwe
suka memberi penjelasan lebih lanjut.”
Cong To tersenyum, “Anak baik memang dapat dididik!”
“Tempat ini bukan tempat yang sesuai, mari kita cepat-cepat lanjutkan perjalanan.”
Cong To mengiakan, “Benar, Kim Loji dan budak perempuan Lembah Setan yang benar
itu tentu tak sabar lagi menunggu di makam tua”
Dia berhenti sejenak lalu berkata gopoh, “Ih Thian-heng sudah memiliki kotak pedang
Pemutus Asmara lagi. Dia selalu bekerja dengan rencana yang terperinci. Dikuatirkan saat
ini dia sudah mendahului ke makam tua itu. Jika kita terlambat, mungkin jiwa kedua orang
itu terancam!”
Mengingat bagaimana susah payah untuk menolong Kim Loji yang kena racun itu, Han
Ping makin cemas. Ia tahu bahwa Ih Thian-heng amat membenci Kim Loji. Jika berjumpa
sekali lagi, pasti akan bertindak lebih ganas.
Han Ping gelisah sekali. Cepat ia gunakan ilmu lari cepat. Demikianlah keduanya
seolah-olah berlomba menuju ke makam tua.
Tempo hari dalam ilmu lari cepat, Han Ping kalah setingkat. Tetapi sekarang ia sudah
mampu menyamai pengemis tua. Walaupun Cong To menggunakan sembilan bagian
tenaga-dalamnya untuk berlari, namun dengan enak saja Han Ping dapat mengimbangi.
Diam-diam panaslah hati pengemis sakti itu. Segera ia gunakan penuh sehingga larinya
sekencang angin.
Tetapi ketika berpaling ke belakang, ah … ternyata Han Ping masih tetap membayangi.
Diam-diam pengemis .sakti itu menghela napas, pikirnya, “Anak ini bukan saja memiliki
pelajaran lisan dari ilmu kesaktian yang luar biasa, pun memiliki bakat yang hebat. Dia
dapat mencapai kemajuan yang begitu pesat dalam waktu yang amat singkat. Bila
pengemis tua dapat membikin panas hatinya supaya giat belajar, dalam waktu satu dua
tahun saja dia tentu sudah tiada lawannya.”
Keduanya berlari cepat sekali. Pada waktu siang hari di sepanjang jalan besar, sepintas
pandang keduanya seperti dua gulung asap. Orangnya tak kelihatan lagi.
Lebih kurang setengah jam kemudian, makam tua itu sudah tampak. Tiba-tiba Cong To
lambatkan larinya dan berbisik, “Pelahan sedikit.”
Han Ping menurut dan mengikuti di belakang pengemis sakti itu.
Sekonyong-konyong Cong To membungkuk. Dia mengalingi diri dengan rumput yang
tinggi, berjalan maju pelahan-lahan. Setelah lebih kurang dua tombak dari makam tua,
tiba-tiba ia menggenjot tubuh melayang ke atas pohon jati tua.
Han Ping mencontoh tindakan Cong To dan hinggap di samping pengemis tua itu.
Ketika memandang ke arah makam tua, seketika tergetarlah hati Han Ping.
Di samping dua buah makam besar, tegak Ih Thian-heng dengan pakaiannya yang
mewah. Di sampingnya terdapat Hud Hoa kongcu.
Sedang Ting Ling sambil mendekap kedua lututnya, duduk di atas meja tempat
sembahyang makam itu. Rambutnya terurai kena angin. Kepalanya memandang ke langit.
Sikapnya amat tenang. Ia tak mengacuhkan kedua pendatang itu.
Cong To berpaling memandang Han Ping. Pengemis sakti itu mengangguk-anggukkan
kepala. Wajahnya menampilkan rasa kagum.
Han Ping juga diam-diam memuji keberanian Ting Ling. Dengan menderita luka-dalam
yang cukup parah, nova itu tak gentar sedikitpun juga. Sikapnya yang setenang itu,
sungguh jarang dimiliki oleh sembarang orang.
Cong To dan Han Ping saling bertukar pandang lalu sama-sama anggukkan kepala dan
tersenyum.
Tiba-tiba terdengar Ih Thian-heng tertawa nyaring, “Kedua jelita dari Lembah Setan,
ibarat bandul dengan timbangan, selalu tak dapat terpisah. Kalau engkau berada di sini,
tetapi adikmu tidak, siapakah yang mau percaya?”
Ting Ling tersenyum, “Kalau engkau tak mau percaya, lalu apa daya lagi?”
“Engkau berani berkeras tutup mulut kepadaku, masakan aku tak dapat
membunuhmu?”
Ting Ling tertawa, “Kalau aku minta2 padamu dengan ratap tangis, apakah engkau
benar-benar mau melepaskan diriku?”
Ih Thian heng tertawa, “Sungguh seorang budak perempuan yang tajam mulut! Apa
yang disohorkan dalam dunia persilatan tentang kedua nona dari Lembah Setan itu,
ternyata memang benar. Memang seorang lawan yang sukar dihadapi!”
“Ah, tak perlu memuji, tuan pendekar Ih yang terbesar!”
Ih Thian-heng tertawa, “Sekalipun lidahmu dapat memutar balik keadaan bunga teratai,
tetapi hari ini jangan harap engkau dapat menyelamatkan jiwamu…..”
“Memang aku sudah tak memikirkan lagi soal mati atau hidup. Dalam dunia yang seluas
ini hanya Ih Thian-heng seorang yang tak engkau bunuh sendiri. Siapa lagi orang yang
mampu lolos dari genggamanmu?”
“Asal engkau sudah tahu, cukuplah .. . Ih Thian-heng tertawa.
Ia berhenti sejenak lalu berkata pula, “Jika sudah berumur 100 tahun, orang tentu tak
terhindar dari kematian. Maka tentang soal mati itu, tak perlu ditakutkan lagi. Yang
ditakuti adalah rasa sakit sebelum mati. Jika engkau dengan berani menghindari yang
berat memilih yang enak, tak mau bicara sejujurnya. Maka lebih dulu kusuruh engkau
menikmati rasanya derita Hun-kin-jo-kut (pencarkan urat, selisihkan tulang)!”
Ting Ling mengangkat kepala memandang cakrawala, tertawa, “Tayhiap hendak
menghancur-leburkan tulang belulangku, lalu harus bagaimana aku bertindak? Toh hari ini
aku pasti mati?”
Dada Han Ping serasa meledak dadanya. Ia tak dapat menahan kemarahannya lagi.
Tetapi pada saat ia hendak loncat turun, Cong To cepat mencegahnya.
Terdengar Hud Hoa kongcu tertawa gelak-gelak, serunya, “Sungguh tak kira bahwa di
Tiong-goan terdapat seorang gadis yang secantik dan selincah begini. Apakah saudara Ih
Tak sayang kalau membunuhnya?”
“Lalu bagaimana menurut pendapat saudara Siong?” tanya Ih Thian-heng.
“Alangkah baiknya kalau saudara Ih serahkan nona itu kepadaku….”
Wajah Ting Ling berobah seketika. Menatap wajah pemuda itu ia melengking,
“Diserahkan kepadamu lalu bagaimana…?”
Hud Hoa kongcu tertawa, “Persoalan selanjutnya, aku tak leluasa mengatakan.”
Ih Thian-heng tertawa, “Begini sajalah….” tiba-tiba ia maju dua langkah lalu menampar.
Ting Ling melengking dan menggigil tubuhnya. Ih Thian-heng tertawa gelak-gelak,
“Lebih dulu biar kututuk tiga buah jalandarahnya agar dia hilang daya perlawanannya.
Saudara Siong hendak mengapakannya tak perlu harus berunding dengan dia lagi!”
Diam-diam Han Ping me-maki-maki.
Hud Hoa kongcu tertawa lepas lalu berseru perlahan, “Budi kebaikan saudara Ih,
sungguh kuhaturkan terima kasih tiada habisnya!”
Sekali menyambar, ia sudah menarik tubuh Ting Ling ke dalam pelukannya. Tetapi
pada saat hendak ayunkan langkah, tiba-tiba Ih Thian-heng mencengkeram pergelangan
tangan Hud Hoa kongcu yang kiri.
“Saudara Siong, aku masih hendak bicara beberapa patah kata lagi,” Ih Thian-heng
tertawa.
Memeluk seorang jelita, darah Hud Hoa kongcu meluap keras. Sahutnya gopoh, “Kalau
saudara Ih hendak bicara apa-apa nanti sajalah!” – ia gerakkan lengan kiri untuk meronta
dari cengkeraman Ih Thian-heng.
Tetapi runyam. Jika tadi Hud Hoa kongcu tak meronta, ia tak merasa sakit. Tetapi
begitu hendak meronta, seketika ia rasakan pergelangan tangannya seperti dijepit baja.
Lengan kirinya mendadak kesemutan.
Ih Thian-heng tersenyum, “Malam musim Semi berharga seribu tail emas. Bukan sekalikali
aku bermaksud hendak mengganggu kesenangan saudara. Melainkan karena aku
masih mempunyai omongan yang terpaksa harus kukatakan.”
“Silahkan lekas mengatakan saja.”
Ih Thian-heng tertawa hambar, “Kedua jelita dari Lembah Setan, merupakan gadis
yang termasyhur cantik dalam dunia persilatan Tiong-goan. Tetapi entah bagaimana
penilaian saudara?”
Sahut Hud Hoa kongcu serentak, “Wajahnya secantik bunga di musim Semi. Benarbenar
seorang jelita yang sukar dicari tandingannya, Jauh lebih cantik dari beberapa orang
isteriku….”
Sejenak berdiam, pemuda itu bertanya, “Saudara Ih, apakah engkau hanya perlu
mengatakan begitu saja?”
Ih Thian-heng tertawa, “Bunga mawar yang cantik tentu memiliki duri yang tajam.
Wanita cantik membuat orang lupa daratan. memang merupakan bahaya yang latah.
Lembah Raja Setan dalam dunia persilatan Tiong-goan memiliki kedudukan yang tinggi.
Jika saudara Siong sampai menodai puteri mereka yang sulung, kelak tentu akan
menimbulkan bahaya besar. Orang-orang Lembah Raja-setan tentu tak mau tinggal diam.
Tentu akan mengerahkan seluruh kekuatannya untuk membuat perhitungan kepada
saudara. Bahkan ayah saudara dan aku sendiri, juga akan tersangkut!”
Hud Hoa kongcu menunduk memandang Ting Ling, tampak nona itu memejamkan
mata dengan pipi ke-merah2an. Serangkum bau harum dari seorang gadis, melanda Hud
Hoa kongcu. Seketika berkobarlah nafsu pemuda itu.
“Hal itu tak perlu saudara Ih cemaskan. Bahwa aku gemar dengan paras cantik,
memang ayah sudah tahu dan diam-diam membiarkan saja. Sekalipun nanti beliau
terembet dalam peristiwa ini, belau pasti takkan menyalahkan saudara!” sahutnya gopoh.
“Sekalipun saudara tak kuatir akan mere-bet ayah saudara, tetapi aku sendiri tak suka
bermusuhan dengan fihak Lembah Raja-setan!”
“Lalu bagaimana maksud saudara?” tanya Hud Hoa Kongcu tegang.
Ih Thian-heng membisikinya, “Setelah menikmati angin segar dari musim Semi,
segeralah saudara bunuh untuk melenyapkan jejak!”
Telinga Cong To dan Han Ping bukan main tajamnya, sekalipun Ih Thian-heng berkata
dengan pelan namun kedua orang itu tetap dapat menangkap kata-kata itu.
Seketika wajah Cong To berobah. Ia berpaling dilihatnya wajah pemuda itu merah
membara dan siap hendak loncat turun.
“Baiklah, akan kulakukan pesan saudara. Harap segera lepaskan tanganku,” sahutnya
gopoh.
Ih Thian-heng tersenyum lalu lepaskan cengkeramannya, “Baiklah saudara Siong
membuka jalandarahnya dulu….”
Tetapi saat itu Hud Hoa kongcu sudah melesat setombak jauhnya dan berseru dari
jauh, “Aku tahu, tak perlu saudara berbanyak kuatir!”
Dengan dua kali loncatan, pemuda itu sudah lenyap di tengah-tengah gundukan
makam.
Han Ping gugup sekali. Buru-buru ia membisiki Cong To, “Harap lo-cianpwe mengejar
Hud Hoa kongcu dan aku yang akan menghadapi Ih Thian-heng!”
Tanpa menunggu jawaban si Pengemis-sakti, Han Ping sudah enjot tubuh melayang
turun beberapa meter di hadapan Ih Thian-heng.
Tenang sekali rupanya Ih Thian-heng. Walaupun mendengar desir pakaian orang
melayang turun ia tetap tak mau bergerak. Baru setelah Han Ping turun di tanah, ia pelahan2
berputar tubuh.
Rupanya kehadiran Han Ping itu di luar dugaan Ih Thian-heng. Hal itu terbukti dari
sinar mata Ih Thian-heng yang memancarkan cahaya kaget. Tetapi beberapa saat
kemudian, ia sudah tenang kembali dan tersenyum, “Kukira siapa, kiranya engkaulah!”
Sahut Han Ping dingin, “Engkau tak pernah menyangka? Bukankah karena mengira aku
sudah mati?”
Sambil memandang ke arah sesosok tubuh yang melayang turun dari puncak pohon jati
tua, Ih Thian-heng tertawa dingin, “0, saudara Cong juga datang?”
Tetapi Pengemis-sakti Cong To tak menghiraukan teguran orang. Dengan gunakan ilmu
lari cepat Pat-poh-teng-gong atau Delapan-langkah-mendaki-udara, Cong To meluncur
dan menghilang.
Memandang ke sekeliling penjuru, Ih Thian-heng tertawa, “Berapa orangkah jumlah
kalian yang datang? Mengapa tak serempak keluar semua saja?”
“Hanya aku dan Cong To lo-cianpwe berdua,” sahut Han Ping tertawa hambar, “dan
yang akan menghadapi engkau Ih Thian-heng, hanya aku seorang.”
Ih Thian heng tertawa, “Nyalimu sungguh besar! Dalam dunia persilatan dewasa ini,
belum ada orang yang berani bicara begitu kepadaku!”
Ia tertawa keras lalu berseru pula, “Mungkin tak sedikit orang yang iri kepadaku. Tetapi
memang kenyataannya, selama ini aku belum pernah bertemu orang yang berani terus
terang menantang aku. Cukup untuk menghormati keberanianmu itu saja, kali ini akan
kubebaskan engkau dari kematian!”
Alis Han Ping menjungkat ke atas, biji matanya memberingas lalu tertawalah ia dengan
hina, “Menurut pendapatku, hal itu tak perlu. Si rusa bakal mati oleh siapa masih belum
dapat ditentukan. Jangan terkebur dululah!”
Ih Thian-heng memandang tajam ke arah pemuda itu. “Umurku sudah tua dan engkau
masih muda. Soal berkelahi itu soal kecil. Tetapi lebih dulu bilanglah, dendam apakah yang
menyebabkan engkau membenci padaku?”
Han Ping tertawa. “Membunuh ayah, menghina ibu, membasmi guru melenyapkan
adik.”
Tiba-tiba Ih Thian-heng jungkatkan alis dan menukas, “Siapakah ayahbundamu?
Mengapa engkau menuduh aku yang mencelakai mereka?”
Dengan wajah penuh geram, Han Ping menyahut lantang, “Dengan mata kepala sendiri
kusaksikan hal itu dan dengan telingaku sendiri kudengar peristiwa itu. Di depan ranjang
suhuku engkau pura-pura mengakui kesalahan. Tetapi setelah itu, engkau lalu turunkan
tangan ganas kepada suhu yang telah merawat aku sampai besar itu. Dan adik
seperguruanku yang baru berumur 15 tahun pun engkau lenyapkan….”
Se-konyong2 Ih Thian-heng tertawa nyaring, “Siapakah gurumu itu?”
“Tanganmu penuh berlumuran darah sehingga engkau tak dapat mengingat lagi
korban2 yang yang engkau bunuh itu?”
“Hm, engkau berani sekurang ajar begitu kepadaku?” mata Ih Thian-heng ber-kilat2.
Biasanya ia selalu mengulum senyum dan berseri muka. Tetapi begitu marah, matanya
perti memancar api yang menyeramkan.
Han Ping terkesiap karena agak gentar menghadapi keangkeran orang. Tetapi pada lain
saat marahlah ia, “Dengan tanganku sendiri aku hendak menuntut balas. lalu hendak
kusembahyangkan orang itu di hadapan makam ayahku. Berlaku kurang ajar kepadamu,
itu saja masih suatu sikap yang sungkan.”
Ih Thian heng tengadahkan kepala memandang ke langit, Kemudian ia tertawa dingin,
“Bagus, bagus, hari ini tentu akan kuselesaikan kehendakmu itu!”
Pe-lahan2 ia mengangkat tangannya kanan, Menghadapi seorang musuh yang tangguh,
Han Ping tak berani berayal. Ketika memperhatikan tangan Ih Thian-heng, mau tak mau
tergetarlah hatinya. Kiranya ditingkah oleh sinar matahati ia melihat tinju Ih Thian-heng itu
berwarna merah darah.
“Hai, ilmu apakah itu?” karena kurang pengalaman Han Ping heran melihat warna tinju
itu.
Tetapi Ih Thian-heng tak segera ayunkan tinjunya. Bahkan wajahnya tampak ramah
pula dan serunya tertawa, “Engkau dapat sama-sama terluka melawan Siangkwan Wanceng,
puteri dari ketua marga Siangkwan di Kanglam, tentulah kepandaianmu tinggi juga.
Kenalkah engkau akan kekuatan pukulanku ini?”
Han Ping tertawa hina, “Pukulan yang bagaimana dahsyat dan beracun, aku tetap tak
mengacuhkan!”
“Katak dalam tempurung, berapa luaskah pengetahuanmu? Engkau tentu tak mungkin
mengetahui nama pukulanku ini!”
Han Ping sudah kerahkan seluruh tenaga-dalam. Sahutnya lantang, “Tak peduli ilmu
pukulan apa saja, silahkanlah segera lepaskan!”
“Kuberi kesempatan agar engkau mengetahui atan mati di bawah pukulan apa. Inilah
yang disebut Hong-yan-ciang.” – tiba-tiba ia mengangkat tinjunya lalu diayunkan.
Saat itu Han Ping sudah siap hendak menyongsongnya. Tetapi karena tiba-tiba Ih
Thian-heng menarik kembali pukulannya, Han Ping terkejut heran. Pada saat ia
memutuskan hendak mendahului menyerang, sekonyong-konyong ia rasakan serangkum
tenaga-panas melanda dirinya.
Han Ping tak berani berayal. Sambil kerahkan tenaga-dalam untuk melawan, ia pun
melepaskan pukulan balasan. Tangan kanan diluruskan ke muka dada terus dihantamkan.
Memang Ih Thian-heng seorang tokoh yang luas pengalaman. Melihat dorongan tangan
Han Ping itu sama sekali tak bersuara, diam-diam Ih Thian-heng menimang, “Budak ini
walaupun masih muda, tetapi mengapa dapat memiliki kepandaian yang begitu sakti?”
Saat itu pukulan Hong-yan-ciang (Api merah) yang dilontarkan Ih Thian heng sudah
ber-sambutan dengan pukulan Han Ping. Pertempuran yang dilangsungkan antara Han
Ping lawan Ih Thian-heng, jault sekali bedanya dengan pertem-puran biasa. Kalau pada
umumnya, tokoh-tokoh silat kalau bertempur tentu bergerak serba cepat dan keras tetapi
tidaklah demikian dengan Han Ping lawan Ih Thian-heng. Gerakan tinju kedua orang itu
pelahan dan ringan2 saja. Tetapi pukulan me-reka itu mengandung keindahan yang sukar
dilu. kis.
Pukulan Hong-yan-ciang dari Ih Thian-heng cepat sekali sudah berbentur dengan
pukulan Han Ping. Tiba-tiba angin menderu keras sehingga dehu dan pasir bertebaran
tebal sehingga memaksa kedua seteru itu berpencaran lagi.
Ih Thian-heng terkejut sekali. Setitikpun tak mengira bahwa lawannya yang masih
semuda itu mampu mencapai tataran yang tinggi dalam ilmu kepandaian silat. Ia dapatkan
tenaga-dalam pemuda itu tak kalah di bawahnya.
Sehabis mendorongkan pukulan, hati Han Ping berguncang keras. Pukulan lawan serasa
seperti gunung rubuh. Ia merasa tak mampu menghadapi. Segera ia susuli dengan
pukulan tangan kiri yang dilambari tenaga dalam penuh. Dengan gerakkan kedua tangan
itu, barulah Han Ping dapat memperoleh keseimbangan tubuh dan berdiri tegak. Dan
tenaga pukulan Ih Thian-heng yang melandanya, pun hilang sirna.
Kiranya pukulan yang dilancarkannya itu adalah pukulan sakti dari perguruan kaum
agama tataran tingkat tinggi. Dan berhasillah ia menghalau pukulan Api merah yang amat
beracun.
Ih Thian-heng kaya pengalaman dalam pertempuran. Ilmu tenaga dalamnya telah
mencapai tataran yang sempurna. Benturan itu segera menyadarkannya bahwa pukulan
Api-merahnya tak berhasil melukai lawan.
Pada saat itu sedang tertegun, tiba-tiba ia rasakan tubuhnya bergetar. Sisa tenaga
pukulan pemuda yang masih merembes dan bahkan mendadak bertambah dahsyat
berlipat kali sehingga ia terdorong mundur selangkah.
Ih Thian-heng, jago yang menganggap dan dipandang sebagai tokoh nomor satu dalam
dunia persilatan dewasa itu, terkejut dan marah. Ia mendengus dingin dan ayunkan
tangan kirinya.
Angin menderu dan debu pasirpun berhamburan pula. Keduanya seperti teraling oleh
gulung debu tebal. Tetapi mereka memiliki mata yang amat tajam. Walaupun tak melihat
jelas keadaan lawan masing-masing, tetapi keduanya tak berani menduga bahwa
lawannya menderita kekalahan.
Hasil adu pukulan itu makin menimbulkan kepercayaan Han Ping pada diri sendiri.
Walaupun ia telah memperoleh suatu rejeki yang luar biasa tetapi apa yang telah
diyakinkan itu masih belum mencapai tataran sempurna. Penyaluran tenaga dalam yang
diberikan Hui Gong taysu kepadanya, belum dapat dikembangkan sehingga dapat
digunakan menurut sekehendak hatinya.
Andaikata Ih Thian-heng dapat mengetahui mimik wajah Han Ping yang mengerut
kesakitan lalu menyerangnya lagi dengan seluruh tenaga dalamnya, boleh dipastikan Han
Ping tentu akan terluka.
Ih Thian-heng seorang yang licik, licin dan penuh tipu muslihat. Justeru karena itulah
maka telah menghilangkan kesempatan yang bagus.
Dua kali adu pukulan dengan Han Ping, menimbulkan dugaan padanya bahwa pemuda
itulah satu satunya lawan yang dapat mengimbangi kepandaiannya. Maka ia sengaja
sisakan 3 bagian tenaganya untuk menghadapi pertempuran terakhir. Dan karena hanya
menggunakan tujuh bagian tenaga dalam, adu pukulan menjadi berimbang.
Setelah lancarkan dua buah pukulan, Han Ping menyadari bahwa tenaga dalamnya
masih kalah setingkat. Maka ia tak berani menyusuli dengan pukulan yang ketiga.
Untunglah Ih Thian-heng juga tak mau memukul lagi. Ia pun menyadari bahwa adu
pukulan tenaga-dalam itu, berbahaya sekali akibatnya. cepat menghabiskan tenaga dan
bisa sama-sama terluka berat. Kedua seteru itu saling berdiri memusatkan perhatian dan
menyalurkan napas.
Berkat ilmu pelajaran Cara Bernapas dari perguruan kaum agama yang diterima dari
Hui Gong taysu, pula karena jalandarahnya yang penting yaitu di bagian jalandarah Sengsi-
hian-kwan, tanpa disengaja telah ditendang terbuka oleh Hian Thian totiang tempo hari,
maka dapatlah Han Ping melakukan pernapasan dengan cepat sekali. Tak berapa saat saja
ia sudah pulih tenaganya.
Saat itu gulungan debu tebal yang mengaling di tengah mereka, pun sudah makin
menipis sehingga keduanya dapat saling melihat.
Memandang ke muka, Ih Thian-heng melihat wajah Han Ping tenang seperti biasa.
napasnyapun tak terengah-engah. Diam-diam ia makin terperanjat dan menghela napas,
“Ah, anak itu betul2 luar biasa. Dalam satu dua tahun saja aku tentu tak mampu
melayaninya sampai 100 jurus….”
Tengah dia termenung, tiba-tiba terdengar suara orang tertawa dari belakang. Dan
menyusul terdengar orang itu berseru nyaring, “Ih Thian-heng, cara hidup yang engkau
tuntut untuk pura-pura menjalankan kebaikan, memang sukar sekali melakukannya. Apa
yang engkau tunjukkan hari ini, benar-benar telah menghapus jerih payahmu selama
selama 40 tahun. Apakah tak sayang?”
Ih Thian-heng tertawa dingin tanpa berpaling ke belakang, “Yang bicara di belakangku
ini apakah bukan saudara Cong?”
“Benar! Aku memang si pengemis tua!”
“Kalau tak salah dahulu kita pernah dua kali berkelahi, bukan?” seru Ih Thian-heng.
“Apakah engkau menyesal karena waktu. itu engkau tak membunuh saja pengemis tua
ini?” Cong To tertawa.
“Ah, tidak. Saudara amat sakti, sekalipun aku mempunyai pikiran begitu, juga tetap tak
mampu membunuhmu!”
“Hm, bukan karena itu. Engkau tak mau turunkan tangan ganas untuk membunuh
pengemis tua dahulu, bukan karena tak mampu tetapi karena engkau hendak membeli
nama baik. Dalam hal ini pengemis tua tak berani menerima kebaikanmul”
Ih Thian-heng tertawa gelak-gelak, “Gunung tidak berkisar hanya jalanan yang berobah
melenggok-lenggok. Sekalipun pada hari ini saudara Cong dan aku takkan mati tetapi lain
hari kita masih mempunyai kesempatan untuk bertemu muka lagi!”
Sahut Cong To, “Pengemis tua sudah hidup 7-8 puluh tahun dan sudah sejak yang
beberapa waktu lalu merasa kalah. Kalau kelak kita berjumpa lagi, akan pengemis tua
usahakan untuk bertanding dengan mati-matian….”
Berhenti sejenak, ia melanjutkan pula, “Hari ini saudara Ih rasanya sudah tak mampu
melanjutkan pertempuran lagi. Baiklah pertempuran saat ini, kita lanjutkan lagi apabila
kelak kita berjumpa pula!”
Tiba-tiba kaki Ih Thian-heng berkisar dan tahu2 ia sudah berada di samping pengemis
sakti. Tetapi pengemis itu sudah siap. Sebelum Ih Thian-heng sempat turun tangan, ia
sudah ayunkan tangan kanan untuk menamparnya.
Ih Thian-heng gunakan jurus Angin-meniup-pohon liu untuk menyongsongnya.
Plak….terdengar letupan keras. Cong To menyurut mundur selangkah tetapi tubuh Ih
Thian-hengpun berputar satu kali.
“Wah, kepandaian saudara Cong bertambah maju sekali,” Ih Thian-heng tertawa sambil
menutuk dengan dua buah jarinya.
Dengan jurus Pohon-besi-berbunga, Cong To menangkis tutukan lawan. Tetapi sambil
menutuk Ih Thian-heng pun maju selangkah lalu tamparkan tangan kirinya ke dada orang.
Gerakan Ih Thian-heng itu luar biasa cepat dan tak terduga-duga. Cong To hendak
menangkis tetapi sudah tak keburu lagi.
Ih Thian-heng tertawa dingin. Tangannya dilekatkan ke dada Cong To, “Cong To,
janganlah engkau terlalu….”
Tiba-tiba ucapannya terputus oleh dengus Han Ping menggeram, “Hm, dengan cara
licik merebut kemenangan, tak patut diherankan….”
Ih Thian-heng berpaling, sahutnya, “Dengan ilmu pukulan kukuasai lawan, mengapa
engkau menuduh aku berlaku licik?”
“Setelah dua kali adu pukulan lalu tiba-tiba gunakan serangan kilat untuk merebut
kemenangan pada lawan yang belum siap, apakah itu bukan suatu cara licik?”
Ih Thian-heng tertawa, “Sudah, jangan bermulut tajam. Apakah engkau tak tahu bahwa
dalam berperang itu digunakan segala macam siasat untuk mengalahkan musuh?
Bukankah makin licik, makin bagus!”
Pada saat Ih Thian-heng bicara dengan Han Ping, diam-diam Cong To kerahkan
tenaga-dalam. Se-konyong2 ia gerakkan tangan kanannya untuk menyiak tangan orang
yang menjamah dadanya.
“Ha, ha, bukankah saudara Ih bermaksud hendak mengadu jiwa dengan pengemis tua?
Adu tenaga-dalam saja agar jangan menggunakan gerakan tak terduga untuk menindas
lawan. Kita adu tenaga-dalam sampai ada yang mati baru selesai!”
Sambil bicara, Cong To melirik ke arah Han Ping. Wajahnya tampak serius sekali.
Han Ping merasa pancaran mata pengemis sakti itu mengandung sinar ksatrya yang
suram. Tetapi sesaat, Han Ping tak dapat mengetahui apa maksud pengemis tua itu.
Ih Thian-heng tertawa nyaring, “Saudara Cong apakah engkau benar-benar hendak
mengadu jiwa denganku!” dalam pada ber-kata-kata itu ia memperkeras saluran tenagadalamnya.
Se-konyong2 Cong To menggembor keras. Rambutnya meregang tegak karena luapan
amarah.
Kuluman tawa pada wajah Ih Thian heng pun tiba-tiba lenyap. Wajahnya tampak
serius.
Melihat itu tahulah Han Ping bahwa kedua tokoh itu sudah mulai melakukan
pertempuran mati2an. Mereka saling mencurahkan seluruh tenaga-dalam yang diyakinkan
selama berpuluh tahun.
Pada waktu Han Ping sedang bingung untuk membantu, tiba-tiba terdengarlah lengking
suara Ting Ling, “Ih, apakah engkau sudah menemukan?”
Han Ping berpaling. Tampak Ting Ling tegak dengan wajah penuh kedukaan, rambut
terurai. Ia terkesiap, tanyanya, “Menemukan apa?”
“Kesukaran Cong lo-cianpwe!” sahut sinona.
“Betul. Harap nona suka memberi petunjuk!”
Ting Ling tertawa, “Cong lo cianpwe adalah seorang pendekar luhur. Dia hendak
menyerahkan jiwanya untuk kematian Ih Thian-heng….”
“Apa?” Han Ping tersentak kaget.
“Dia tahu bahwa dia bukan lawan Ih Thian-heng tetapi ia tetap nekad hendak mengadu
jiwa dengan orang itu. Tahukah engkau apa sebabnya?”
“Apakah dia berkelahi demi membela aku?” Han Ping menegas.
“Engkau menduga tepat tetapi hanya separo bagian saja. Cong lo cianpwe tak sayang
membuang jiwa untuk menghabiskan tenaga-dalam Ih Thian-heng agar dengan mudah
engkau nanti dapat membinasakannya. Membalas sakit hati ayah bundamu dan
melenyapkan seorang momok berbahaya dalam dunia persilatan!”
“Ini .. . mana boleh…..”
“Terlambat,” tukas Ting Ling, “mereka sudah sama-sama mencurahkan seluruh
tenaganya. Kalau belum ada salah satu yang mati tentu belum berhenti. Menilik kesaktian
kedua orang itu, mungkin dalam dunia persilatan dewasa ini sukar dicari orag yang
mampu melerai mereka. Lekas sajalah engkau melakukan pernapasan untuk bersiap-siap
menemui harapan Cong lo-cianpwe….”
Ting Ling yang terkenal sebagai seorang nona ganas dalam dunia persilatan, rupanya
menaruh simpati besar kepada pengemis Cong To. Habis bicara, airmatanya berderai derai
membasahi kedua pipinya.
Han Ping merenung diam.
Melihat pemuda itu seperti tak mengacuhkannya, Ting Ling gelisah sekali. Ia segera
maju menghampiri ke samping Han Ping dan berseru, “Ji kong….”
“Apa?” Han Ping gelagapan.
“Apakah engkau mendengar apa yang kukatakan tadi?”
“Mendengar,” sahut Han Ping, “aku tengah berpikir….”
Ting Ling menghela napas. “Ah, tak perlu dipikir lagi. Lekas engkau salurkan
pernapasan memulihkan tenagamu. Jika perhitunganku tak salah, dalam setengah jam
nanti, Cong lo-cianpwe tentu sudah tak kuat bertahan lagi……”
“Kutahu….”
“Kalau sudah tahu mengapa engkau masih termenung-menung saja dan tak lekas2
melakukan pernapasan?”
“Cong lo-cianpwe seorang ksatrya yang berjiwa luhur, bagaimana kurela membiarkan
dia menyertai kematian Ih Thian-heng?”
“Tetapi kenyataan sudah begitu,” bantah Ting Ling, “tiada jalan lain lagi. Sekalipun locianpwe
tentu kalah tetapi Ih Thian-heng pun takkan mendapat keuntungan. Dia tentu
menderita kehabisan tenaga dalam. Nah, jika engkau turun tangan, tentu ada harapan
menang….”
“Tidak!” seru Han Ping, “bagaimanapun juga, aku harus berdaya untuk menolong Cong
lo-cianpwe!”
“Apa-apaan engkau ini!” teriak Ting Ling marah.
“Kenapa?”
“Jika tidak mengetahui bahwa engkau tentu akan dapat memenangkan Ih Thian-heng,
Cong lo-cianpwe tentu tak mau menempuh bahaya begitu!”
“Nona Ting,” seru Han Ping, “harap jangan mengganggu aku dulu, maukah? Kasihlah
aku waktu untuk mencari daya menolong Cong lo-cianpwe?”
Ting Ling makin menggeram keras, “Sebelum engkau menemukan daya itu, Cong locianpwe
sudah celaka. Menilik kesaktiannya, apabila mendapat kesempatan untuk
beristirahat sebentar saja, Ih Thian-heng tentu sudah pulih tenaganya. Pada saat itu,
jangan harap kita dapat hidup lagi….”
Tetapi Han Ping tetap gelengkan kepala lalu melangkah ke samping. Ting Ling
memburunya. Dengan bercucuran airmata ia meratap, “Ji siang-kong, kumohon sangat
kepadamu. Sekalipun engkau tak mau membalas saki hati orangtuamu tetapi sukalah
engkau menolong Cong lo-cianpwe dari tangan Ih Thian-heng.”
Pada saat Han Ping hendak menyahut, tiba-tiba terlintaslah dalam benaknya sesuatu
pikiran. Cepat-cepat ia pejamkan mata dan mengosongkan pikiran.
Ting Ling seorang nona yang keras kepala. Selama hidup ia belum pernah memohon
sampai begitu sangat kepada orang. Melihat Han Ping malah memejamkan mata tak mau
mengacuhkan, marahlah nona itu. Plak, plok . .. ia menampar pipi Han Ping.
Han Ping tetap berdiri mematung. la tak mau melawan sehingga kedua pipinya
membengap.
Setelah menampar, Ting Ling menyesal sekali. Ia menutup matanya dengan kedua
tangannya dan menangis tersedu-sedu….
Beberapa saat kemudian ia rasakan rambutnya dibelai pelahan-lahan oleh sebuah
tangan. Ia menduga tentu Han Ping yang menghiburnya. Ia makin menyesal dan pedih,
ujarnya, “Apakah engkau sakit?”
Tiba-tiba terdengar suara agak parau menyahut, “Tak apa, Ping-ji seorang jujur. Karena
kebingungan engkau menamparnya, dia tentu tak marah kepadamu!”
Ting Ling cepat dapat menduga bahwa yang bicara itu tentulah Kim loji. Ia tersipu-sipu
malu. Ketika mengusap airmatanya, tampak Han Ping masih tetap berdiri di tempatnya.
Wajahnya tampak aneh. Pemuda itu geleng-geleng kepala dan mengertakkan gigi. Tetapi
tak tahu apa yang dikatakan.
Ting Ling terkejut heran, pikirnya, “Apakah dia kena serangan gelap dari Ih Thianheng?
Ah, tadi aku telah salah sangka kepadanya!”
Tiba-tiba Han Ping membuka mata, Wajahnya berseri-seri, serunya, “Nona Ting, Cong
lo-cianpwe ketolongan!”
Habis berkata, Han Ping terus enjot tubuh melambung ke udara dan meluncur ke
samping Cong To, berdiri di tengah kedua tokoh itu lalu mengangkat kedua tangannya.
Ting Ling terkejut sekali. Buru-buru ia berseru, “Ji siangkong, jangan sembarangan
mengganggu mereka!” — ia terus lari memburu dan menyambar ujung baju Han Ping.
Han Ping berpaling, “Lekas mundurlah! Jangan menghalangi pekerjaanku. Cong locianpwe
sudah tak kuat bertahan!”
“Kalau Cong lo-cianpwe tak tahan dan engkau goncangkan dia, dialah pasti yang
menderita…….” bantah Ting Ling.
“Aku sudah menemukan cara untuk menolong Cong lo-cianpwe. Jangan kuatir dan
lekaslah menyingkir!” seru Han Ping gopoh.
Ting Ling menatap Han Ping sejenak lalu lepaskan cengkeramannya. Ia mencabut badik
dan berkata, “Baik, karena engkau tak mau mendengar omonganku, kita bertindak sendirisendiri
saja! Dan jangan saling mengerut!”
Badik diangkat terus ditusukkan ke punggung dan perut Ih Thian-heng.
Han Ping terkejut sekali. Cepat ia menyambar tangan si nona, “Mau apa engkau ini?”
“Hendak membunuh Ih Thian-heng dulu!”
“Tidak! Mereka berdua sedang adu tenaga-dalam. Apabila engkau mengganggu Ih
Thian heng tenaga-dalam mereka pasti berbalik akan menghancurkan tubuhmu!”
Ting Ling tertawa dingin, “Kutahu, tetapi sekalipun aku mati, Ih Thian-heng juga tak
mungkin hidup!”
“Bukan dua orang tetapi tiga orang. Cong lo-cianpwe juga ikut binasa. Ah, dia sudah
kehabisan tenaga. Pasti tak kuat menerima ledakan tenaga-dalam itu!”
“Mati-bersama jauh lebih baik daripada Cong lo-cianpwe sendiri yang binasa. Cong locianpwe
seorang ksatrya yang berbudi luhur. Dia memperhatikan sekali dirimu. Tetapi
kebalikannya, engkau amat sayang pada jiwamu . ..”
Sekali tangan kiri Han Ping memijat agak keras, lengan kanan Ting Ling terasa
kesemutan dan lemas lunglailah seluruh tenaganya.
Han Ping tertawa, “Engkau keras kepala dan tak mau mendengar keteranganku.
Terpaksa kusuruh menderita sedikit!”
Han Ping pelahan-lahan menutuk dua buah jalandarah di tubuh nona itu lalu
mengangkat tubuhnya ke tempat Kim Loji, ujarnya, “Harap paman menjaga nona Ting ini
sebentar. Jangan sampai digigit ular berbisa!”
Kim Loji yang banyak pengalaman, saat itu wajahnya pucat lesi. Matanya tak berkedip
memandang ke arah Cong To dan Ih Thian-heng dengan penuh kecemasan.
Pada waktu Han Ping berkata kepadanya, Kim Loji pun seperti tak mengacuhkan dan
sembarangan saja mengiakan.
Han Ping menghela napas pelahan lalu menghampiri ke tempat Cong To dan Ih Thianheng
lagi. Berdiri di tengah kedua orang. Ia mengangkat kedua tangannya. Begitu
menyalurkan tenaga- dalam, terus direntang ke arah dada kedua orang itu.
Entah bagaimana, tiba-tiba tangan kedua orang yang tengah beradu teraga dalam itu,
menyurut ke belakang. Seolah-olah urat2 tangan kedua orang itu mengerut. Tubuh
mereka bergoncang-goncang dan serempak rubuh ke tanah.
Han Ping cepat loncat ke samping Kim Loji, bisiknya, “Paman….”
Kim Loji seperti terjaga dalam mimpi, serunya heran, “Apakah Ih Thian-heng mati?”
“Belum….”
“Oh…..” Kim Loji mendesus. Tubuhnya menggigil.
Melihat pamannya ketakutan, Han Ping segera menghibur, “Tak usah takut, paman. Ih
Thian-heng sudah kututuk jalandarahnya, Untuk beberapa waktu dia tak dapat bergerak.”
“Kalau dia sudah dapat bergerak, kita pasti tak dapat hidup!” seru Kim Loji.
Han Ping tahu bahwa pamannya itu sudah terlanjur patah nyalinya terhadap Ih Thianheng.
Maka begitu melihat orangnya saja, sudah seperti melihat hantu.
Ketika berpaling ke arah Ting Ling, bukan kepalang kejut Han Ping. Tubuh nona itu
tengah dirayapi seekor ular aneh. Warnanya merah, berkembang putih. Panjangnya antara
semeter.
Sekalipun jalan darahnya tertutuk tetapi pikiran Ting Ling masih sadar. Semangatnya
serasa terbang ketika tubuhnya dijalari ular aneh itu. Namun karena tak dapat berkutik,
iapun tak berdaya apa-apa.
Sedang Han Ping walaupun memiliki kepandaian sakti tetapi sesungguhnya ia agak jeri
terhadap ular. Tak berani ia menyambar dengan tangan. Serentak ia teringat akan Cong
To. Kalau pengemis sakti itu dapat bergerak tentu dengan mudah dapat menangkap ular.
Saat itu si ular mulai merayap ke arah kepala Ting Ling. Lidahnya yang merah,
menjulur-julur mengerikan sekali. Melihat itu Han Ping terpaksa memberanikan diri. Ia
menyambar ular aneh itu.
Sesungguhnya berkat kepandaian yang dimiliki saat itu, jangankan hanya ular kecil,
meskipun harimau, orang utan dan lain-lain binatang tentu tak mampu menghindar dari
sambarannya. Tetapi karena ia memang agak gentar kepada ular itu, maka ketika
tangannya memegang tubuh ular, tiba-tiba hatinya menggigil sehingga tangannya pun ikut
lemas.
Adalah karena keayalan itu, si ular berkembang putih, tiba-tiba palingkan kepala dan
menyambar lengan Han Ping. Han Ping cepat condongkan tangannya terus menjentik
leher ular itu.
Celaka! Walaupun hanya menyelentik tetapi cukup membuat kepala ular itu terpental ke
muka lagi dan serentak menggigit lengan Ting Ling.
Han Ping terkejut dan marah sekali. Cepat ia memapas tubuh ular itu dengan telapak
jarinya. Karena menggunakan tenaga-dalam, ular itu kutung menjadi dua. Tetapi ia tetap
menyesal karena melihat lengan kiri Ting Ling tergigit ular sampai meninggalkan bengap
warna merah gelap sebesar uang sen. Cepat ia membuka jalan darah nona yang tertutuk.
Ting Ling menggeliat duduk dan menghela napas, “Ah…. aku salah menyangkamu.
Kiranya engkau benar-benar hendak menolong Cong lo-cianpwe. Apakah Cong lo-cianpwe
terluka?”
Begitu membuka mulut, nona itu segera menanyakan diri Cong To. sama sekali ia tak
menghiraukan luka digigit ular tadi.
“Cong lo-cianpwe hanya tertutuk jalandarahnya untuk sementara waktu. Tak lama dia
tentu tersadar….”
“Kutamparmu dua kali tadi apakah engkau marah kepadaku?” Ting Ling tertawa.
“Keadaan saat itu tak dapat menyalahkan engkau,” kata Han Ping.
“Jadi engkau marah?” Ting Ling tertawa.
“Ah, sudahlah, jangan bicara seperti anak kecil! Bagaimana rasanya lenganmu yang
digigit ular tadi?”
Tetapi Ting Ling tak menyahut melainkan bertanya, “Entah berapa lama lagikah Cong
lo-cianpwe akan tersadar?”
“Kalau dia mampu lakukan penyaluran darah untuk membuka jalandarahnya yang
tertutuk itu, kira2 setengah jam lagi tentu sudah bangun.”
“Lekas engkau buka jalandarah Cong lo-cianowe dan sekalian bunuh saja Ih Thian-heng
itu!”
Han Ping kerutkan dahi, “Jika mau membunuh Ih Thian-heng saat ini adalah semudah
orang membalikkan telapak tangannya. Tetapi dia tentu penasaran, apalagi….”
“Apalagi bagaimana? Kekejaman dan keganasannya, di dunia tiada terdapat keduanya
lagi. Tindakannya ganas, kejahatannya kelewat takaran. Mengapa tak mau membunuh
manusia semacam itu?” seru Ting Ling.
“Dia telah membunuh ayahku dan menghina ibuku. Cita-citaku yang utama di dunia ini
ialah membunuhnya untuk membalas sakit hati orang-tuaku. Tetapi membunuh di kala dia
tak berdaya, bukanlah laku seorang ksatrya! Apalagi dia pernah melepas budi kepadaku.
Menurut kepantasan, aku harus satu kali melepaskannya juga.”
Ting Ling menghela napas, “Kata-katamu benar! Tetapi dunia persilatan itu licik. Tak
mungkin lain orang akan berpikiran begitu murni seperti engkau……
Tiba-tiba tubuh nona itu gemetar seperti orang yang menderita pukulan.
“Hai, mengapa engkau!” Han Ping berseru terkejut.
“Aku segera akan mati, harap engkau suka menurut beberapa permintaan ini,
maukah?”
“Jika tak kucengkeram, ular itu tentu tak menggigit nona Ah, akulah yang mencelakai
nona….” Han Ping menyesali dirinya sendiri dengan berlinang-linang airmata.
Ting Ling Tersenyum, “Tak perlu engkau salahkan dirimu. Dan memang hal itu tak
dapat menyalahkan dirimu. Sekalipun tak digigit ular, aku pun tak mungkin hidup sampai
besok pagi .
Nona itu menghela napas lembut. Wajahnya menampilkan keramahan yang mesra.
Pelahan-lahan ia ulurkan tangan kanan, menjamah Han Ping, ujarnya pula, “Dunia
persilatan mengatakan kami berdua gadis dari Lembah Raja-setan itu kejam dan ganas
seperti ular….”
“Ah, itu hanya desas desus saja. Sedikitpun aku tak merasakan hal itu….”
Ting Ling berkata pula, “Terima kasih atas pujianmu. Sebenarnya, dalam setiap
langkah, memang aku agak kejam. Orang mengatakan diriku begitu, memang bukan
omong kosong.”
Han Ping hanya mendesus karena tak tahu harus menjawab bagaimana. Lalu batukbatuk.
“Tetapi adikku Ting Hong itu tidak berdosa,” kata Ting Ling pula, “walaupun kami taci
dan adik saling sayang dan rukun, tetapi perangai kita memang beda. Adikku murni jujur,
baik hati. Sering2 menasehati agar aku suka memberi ampun orang. Tetapi watakku
memang sukar dirobah. Setiap menghadapi persoalan tentu menyelesaikan dengan cara
yang ganas. Misalnya seperti tadi. Jelas sudah kuketahui bahwa membunuh Ih Thian-heng
yang tak berdaya itu bukan perbuatan ksatrya. Tetapi toh kuminta engkau melakukan
juga….”
“Ah, karena nona memikirkan keselamatan diriku, lain tidak!” sahut Han Ping.
Ting Ling memegang tangan kanan Han Ping tiba-tiba ia memijatnya lebih keras, “Aku
hendak minta tolong kepadamu, entah engkau suka meluluskan atau tidak?”
“Asal dapat, aku tentu tak menolak!”
Ting Ling pejamkan mata. Dua butir airmata menitik turun dari pelupuknya, “Belum 20
tahun aku hidup tetapi banyak kejahatan yang telah kulakukan. Aku tak takut mati dan tak
ada sesuatu yang memberatkan hatiku. Satu-satunya yang menyebabkan aku tak dapat
meram di alam baka ialah adikku itu. Dia bakal tak ada orang yang merawatnya lagi. Sejak
umur 3 tahun sudah ditinggal mati ibu. Saat itu aku baru berumur 6 tahun. Hampir 14
tahun lamanya kami selalu berdua, baik tidur, makan dan ber-main-main. Walaupun saat
ini ia sedang berguru pada seorang tokoh sakti, tetapi begitu mendengar kabar tentang
kematianku, dia tentu tak mau hidup juga. Ayah karena meyakinkan suatu aliran tenagasakti
khikang, maka wataknya berobah aneh dan dingin. Terhadap adik Hong selama ini
belum pernah mengunjukkan rasa kasih sayangnya….”
Han Ping menghela napas pelahan lalu tundukkan kepala.
Ting Ling sandarkan tubuhnya pada Han Ping dan karena kasihan, Han Pingpun tak
sampai hati untuk menyiaknya. Terpaksa ia rentangkan kedua tangan untuk memeluk
tubuh si nona yang lunglai.
Ting Ling menghela napas, ujarnya, “Kutahu hatimu tentu resah. Tetapi aku akan mati.
Inilah permintaanku yang pertama kali kepada orang dalam sepanjang hidupku. Juga
merupakan permintaanku kepada orang yang terakhir kalinya….” dua butir airmata menitik
turun.
Selama hidup belum pernah Han Ping menghadapi saat2 seperti itu. Dan belum pernah
ada orang yang minta begitu sangat kepadanya.
Hati pemuda itu bergolak. Memandang ke awan putih di cakrawala, diam-diam ia
menimang, “Soal ini bukan main beratnya. Meluluskan permintaannya berarti harus baikbaik
menjaga adiknya seperti adikku sendiri….”
Ringan tampaknya soal itu tetapi apabila direnungkan lebih dalam, beratnya bukan
kepalang.
Ting Ling perlahan-lahan mengangkat muka. Ketika melihat Han Ping sedang
memandang ke atas langit, tahulah ia bahwa pemuda itu sedang menimbang persoalan
itu.
Walaupun masih muda, tetapi Ting Ling sejak lecil sudah sering berkelana dalam dunia
persilatan sehingga ia tahu berbagai macam watak perangai orang. Ia tahu bahwa orang
yang tak mudah untuk berjanji, sekali sudah meluluskan, tentu akan memegang teguh
janjinya sampai mati.
Ting Ling mengisar tubuh, menyandarkan kepalanya di bahu Han Ping agar ia dapat
duduk agak lebih enak.
Ia mengetahui watak orang jujur seperti Han Ping itu. Maka ia tak mau lekas2
mendesak supaya Han Ping memberi keputusan. Dalam pada itu diam-diam ia menimang
dalam hati, “Ah, apabila dia meluluskan, aku tentu dapat meram di alam baka. Ting Hong
yang kasihan nasibnya itu, tentu bakal dapat seorang pelindung yang akan menjaganya
baik-baik.”
Pikiran Ting Ling melayang lebih jauh. “Aku atau adik Hong harus salah satu yang mati.
Dengan demikian barulah ada salah satu yang dapat menikmati kebahagiaan. Aku dan
adik Hong sama-sama mencintai pemuda ini. Jika aku mati, adikku pasti bahagia. Akulah
yang membentuk kebahagiaan itu untuknya. Apabila keduanya berkelana di dunia
persilatan, lama kelamaan tentu akan tumbuh rasa sayang-menyayangi. Ah, adik Hong,
belasan tahun lamanya aku sering marah kepadamu. Tetapi sesungguhnya hatiku sayang
sekali kepadamu. Akh tak tahulah. Apabila kelak pada saat kalian menikmati kebahagiaan
adakah engkau akan ingat pada tacimu ini. Ji siangkong seorang jujur. Dia tentu akan
memberitahu kepadamu tentang permintaanku sebelum mati. Ah, adik Hong, pada saat itu
engkau tentu berterima kasih kepada tacimu….”
Wajah Ting Ling berseri-seri. Hatinya tenang sekali, Sedikitpun tak takut menghadapi
detik2 kematian.
Sambil merapikan rambutnya yang terurai, nona itu menimang lebih lanjut, “Orang
menganggap Kematian itu seperti perjalanan yang menyeramkan. Sekalipun ksatrya.
pendekar dan orang gagah, dalam detik2 menghadapi kematian tentu gelisah dan cemas.”
Tetapi ia tak takut sama sekali akan kematian itu. Hatinya setenang telaga,
perasaannya secerah pagi hari…. sikapnya bagai seekor anak kambing yang akan
mendambakan diri ke dalam pelukan malaekat Elmaut….
Tiba-tiba Han Ping sudah bulat dengan keputusannya. Ia menghela napas panjang dan
menatap si nona, “Ya, aku meluluskan. Biarlah dalam kehidupan yang sekarang ini, akan
kuperlakukan dia sebagai adikku sendiri.”
Ting Ling tertawa puas. Perlahan-lahan ia pejamkan mata dan berkata dengan berbisik,
“Ah, kutahu, engkau tentu akan meluluskan. bagaikan sebuah gunung yang tak goyah
dilanda gelombang lautan, janjimu itu tentu takkan berobah selama-lamanya…”
Han Ping tertawa hambar, “Ah, nona terlalu memuji aku….” — berhenti sejenak, ia
berkata pula, “tetapi kalau aku mati, sudah tentu aku tak dapat menjaganya. Aku mau
menuntut balas sakit hati orangtuaku dan masih ada lain hal penting pula yang harus
kukerjakan. Karena hal itu sukarnya bukan main. Mungkin sebelum berhasil melaksanakan,
aku sudah mati lebih dulu….”
Ting Ling menghela napas rawan, “Jika sekarang engkau mau membunuh Ih Thianheng,
sudah satu dari tugasmu tentu selesai!”
Nona itu agak merentang pelupuk matanya. Ketika melirik dan melihat wajah Han Ping
mengerut gelap, buru-buru Ting Ling menyusuli kata-kata, “Ah, aku salah omong lagi.
Engkau seorang lelaki, seorang ksatrya perwira. Tentu akan bekerja dengan terus terang
tak seperti aku yang licik dan banyak muslihat ini…..”
Han Ping tersenyum, tegurnya, “Eh, bagaimana keadaanmu saat ini?”
“Cepat! Segera akan mati!”
“Apakah engkau merasa tiada obatnya lagi?” tanya Han Ping.
“Tidak. Apakah engkau tak kenal akan ular tadi?” kata Ting Ling dengan tandas.
“Tidak.”
“Ular itu disebut Pik sian-nio atau Nona selendang putih. Ular berbisa yang jarang
terdapat di dunia. Tokoh silat yang bagaimana saktinya tetap tak mampu bertahan dari
racunnya yang ganas. Menurut ceritanya, ular itu tiada punya bapak dan ibu yang
tertentu. Sejenis ular yang muncul dari tumpukan kotoran. Setiap kali lahir, tentu
sepasang, laki dan perempuan. Yang betina tubuhnya berjalur putih dan yang jantan
tubuhnya penuh dengan bintik2 putih. Yang betina ganasnya luar biasa. Yang jantan,
amat cabul sekali….”
Berkata sampai di situ, wajah Ting Ling bersemu merah kemalu-maluan. Ia segera
palingkan kepala dan susupkan muka ke dada Han Ping. Kemudian berkata pula, “Oleh
karena itu kaum persilatan menganggap ular itu sebagai makhluk aneh yang amat
berbahaya sekali!”
“Ah, kalau begitu dia tentu mau,” diam-diam Han Ping membatin, “karena tiada
harapan tertolong lagi, akupun harus membantu sekuat tenaga. Cong lo-cianpwe paling
gemar bermain ular, tentu punya daya. Racun ular itu….”
Begitu mendapat pikiran, Han Ping terus mendorong tubuh si nona dari dadanya dan
terus hendak membuka jalan darah Cong To.
Tetapi Ting Ling memeluknya kencang2, “Mau apa engkau?”
“Hendak kubuka jalandarah Cong lo-cianpwe dan minta kepadanya supaya
mengobatimu!”
“Terlambat!” sahut Ting Ling,”begitu tergigit ular itu, orang paling lama tanya dapat
tahan sampai seperminuman teh. Sudahlah, tak perlu susah payah!”
Diam-diam Han Ping menghela napas, “Pukulan beracun Sam-yang-khi-kang masih
membeku di dalam dadanya. Jika sekarang tambah lagi dengan ular, ah, tak mungkin dia
dapat ditolong.”
Kembali Ting Ling berbisik ke dekat telinga Han Ping. “Peluklah aku agak erat, maukah?
Agar aku dapat mati dengan tenang….”
Han Ping menghela napas. Belum ia sempat menjawab, Ting Ling sudah mendahului
lagi, “Mengapa engkau menghela napas?”
“Kutahu engkau bakal tinggalkan dunia fana ini tetapi aku tak dapat berbuat apa-apa
untuk menolong. Perasaanku sungguh sedih?” sahut Han Ping.
Tiba-tiba Ting Ling rasakan jantungnya bergolak keras. Diam-diam ia mengeluh dan
pejamkan mata, ujarnya, “Lekas, aku sudah merasa diraih elmaut. Peluklah aku erat2!”
Melihat keadaan nona itu, luluhlah hati Han Ping. Ia anggap nona itu sedang meregang
jiwa. Betapa jahat kalau ia menolak sehingga melukai hati nona itu. Maka tanpa
menghiraukan tata susila lebih lanjut, segera ia memeluknya kencang2.
Ketika menunduk, dilihatnya wajah Ting Ling tenang sekali dan mulut mengulum
senyum. Sedikitpun tak mengunjuk rasa takut mati. Tak ada tanda-tanda bahwa nona itu
menderita kesakitan karena digigit ular berbisa tadi.
“Ah, orang mengatakan bahwa mati itu seperti pulang ke rumah,” diam-diam Han Ping
membatin, “nona ini benar-benar hebat. Mungkin kelak kalau aku menghadapi kematian,
takkan setenang seperti ini.”
Sampai beberapa saat Han Ping terpukau memandang Ting Ling Seorang nona cantik
yang sedang menjelang keriangan masa muda. Tiba-tiba telah direnggut oleh maut….
Bayang2 pohon2 yang ditingkah matahari makin mengisar maju. Diam-diam Han Ping
memperhitungkan bahwa keadaan itu sudah seperminum teh lamanya. Diperhatikannya
wajah Ting Ling. ternyata nona itu masih bernapas. Sedikitpun tak ada tanda-tanda seperti
orang mati. Wajahnya tetap memerah segar, bibir mengulum senyum.
Han Ping heran. Jelas nona itu tak mengunjuk tanda-tanda seperti orang mati. Maka
diguncang2kannya tubuh Ting Ling seraya berseru pelahan, “Nona Ting…. nona Ting…. .”
Tiba-tiba Ting Ling membuka mata memandang Han Ping dan bertanya, “Apakah aku
sudah mati?”
Han Ping gelengkan kepala, “Tidak, sedikit pun engkau tak mengunjuk tanda-tanda
mati!”
Tiba-tiba Ting Ling melenting bangun, lepaskan diri dari pelukan Han Ping. Sembari
merapikan rambutnya ia berseru, “Sungguh aneh….”
Ia menggigit jari telunjuknya sendiri, serunya, “Hai, aku benar-benar tidak mati!”
“Dunia persilatan mengatakan kalian berdua saudara dari Lembah Raja-setan itu, licin
dan banyak muslihat. Kiranya memang benar…..”
“Ular Pek-sian nio itu ganasnya bukan kepalang. Orang yang digigitnya pasti mati.
Tetapi mengapa aku tak mati?”
Han Ping tertawa, “Kalau engkau tidak mati, akulah yang kaget setengah mati…..”
“Kalau tak percaya, tanyakan saja nanti pada Cong lo-cianpwe. Orang yang digigit ular
sabuk putih itu dapat tertolong atau tidak!”
Tiba-tiba Han Ping teringat akan sebuah kalimat dalam buku Tat mo-cin-keng yang
mengatakan bahwa sesuatu kekerasan yang telah mencapai puncaknya tentu akan
menimbulkan Kelunakan.
“Ah, kutahulah….” akhirnya ia mendesus.
“Tahu apa? Kalau aku sengaja menipumu, biarlah kelak aku mati tersiksa,” seru Ting
Ling dengan mengucurkan airmata.
“Eh, mengapa engkau bingung sendiri? Aku tak mengatakan kalau engkau menipu!”
Han Ping tertawa.
Sambil mengusap airmata, Ting Ling maasih heran, “Sungguh aneh sekali, mengapa
aku tak jadi mati?”
Han Ping memberi keterangan, “Apabila dua macam racun saling bertemu, maka
hilanglah khasiat kedua2nya. Dalam ilmu ketabiban pun terdapat apa yang disebut
`Mengobati racun dengan racun `. Tubuhmu masih mengandung racun Sam-yang-khikang.
Pada saat bertemu dengan racun ular Pek-sian-nio, kedua racun itu sama-sama
hilang khasiatnya….”
“Benar!” seru Ting Ling seperti disadarkan.
“Racun ular Pek-sian-nio termasuk jenis hawa Im yang murni. Sedang racun dari Sam
yang-khi-kang itu bersifat keras. Im dan Yang saling lenyap melenyapkan….”
“Begitulah…..” kata Han Ping tertawa. Tiba-tiba ia teringat akan janjinya terhadap Ting
Hong. Ia tak jadi bicara lebih lanjut melainkan menghela napas. Kemudian ia melangkah
ke tempat Pengemis sakti Cong To.
Cong To dan Ih Thian-heng masih tetap rebah di tanah. Tetapi wajah mereka sudah
berseri merah. Rupanya pikiran mereka sudah pulih dan diam-diam sedang kerahkan
tenaga dalam untuk membuka jalan darah mereka yang tertutuk itu.
Han Ping berjongkok lalu mengurut dada Cong To. Tiba-tiba Cong To menghela napas
panjang dan menggeliat duduk. Memandang Ih Thian-heng, dia tertawa, “Masih berapa
lama lagikah engkau dapat bangun?”
Belum Han Ping menyahut, tiba-tiba Ih Thian-heng menggeliat bangun seraya berseru,
“Ah, saudara Cong tak perlu gelisah memikirkan diriku!”
Cong To tertegun. serunya, “Saudara Ih memang benar-benar lebih sakti dari Pengemis
tua!”
Sambil tersenyum, Ih Thian-heng menjawab, “Jika tak memperhitungkan kemungkinan
akan menderita luka dalam, dalam seperminuman teh saja aku tentu sudah mampu
membebaskan diri.”
Han Ping terkejut melihat kesaktian orang. Pikirnya, “Kepandaiannya benar-benar luar
biasa!”
Ih Thian-heng bangun perlahan-lahan. Ketika melihat Ting Ling sedang memandang
Kim Loji, ia tertawa dingin dan memanggilnya, “Kim Loji, kemarilah!”
Kim Loji gemetar. Tetapi ia tak berani membangkang dan perlahan-lahan menghampiri.
Melihat itu Han Ping segera maju menghadang Ih Thian-heng, membentaknya nyaring,
“Apakah tenagamu sudah pulih kembali?”
“Sudah delapan bagian!” sahut Ih Thian-heng.
“Baik! Sekarang aku hendak turun tangan!” seru Han Ping seraya menghantam dengan
jurus Naga-sakti-keluar-air.
Keduanya pernah adu pukulan. Masing-masing sudah mengetahui kekuatan lawan.
Pukulan pertama dari Han Ping itu menggunakan tujuh bagian tenaga-dalamnya.
Ih Thian-heng menghindar ke samping lalu balas menebas dengan gerak Sungai-esmulai
cair.
Han Ping menangkis dengan tangan kiri, bersuit panjang dan maju merapat. Melihat itu
Ih Thian-heng gerakkan tangan kanan dalam gerak Menunjuk-langit-menggurat-tanah
untuk menahan pukulan dari pemuda lawannya. Tetapi dengan sebuah gerakan tubuh
yang luar biasa anehnya, Han Ping dapat menghindar dan tetap merapat maju.
Gerakan Han Ping itu, mengejutkan Ih Thian-heng. Bahkan Cong To pun terbeliak
kaget. Ia merasa gerakan yang dilakukan Han Ping itu tak mungkin ditahan dengan segala
jenis jurus ilmu silat.
Begitu merapat, Han Ping terus gerakkan kedua tangannya. Pukulan dan tutukan
serempak berhamburan menyerang lawan. Dalam sekejab saja ia sudah lancarkan buah
pukulan dan 4 buah tutukan jari.
Kecuali luar biasa cepatnya, pun kelima buah pukulan dan keempat tutukan itu
ganasnya bukan kepalang. Tutukan jari mencari jalan darah besar, pukulan mengarah
bagian tubuh yang berbahaya. Setiap gerakan jari maupun tinju selalu membawa maut
bagi lawan.
Diserbu dengan serangan maut yang begitu gencar, Ih Thian-heng dipaksa mundur
beberapa langkah. Sembilan jurus serangan dan tepat sembilan langkah ia harus mundur.
Saat itu ia berada di muka sebuah makam besar. Sekeliling makam itu penuh ditumbuhi
rumput setinggi anak. Ih Thian-heng dipaksa harus masuk ke dalam gerumbul rumput
situ.
“Tahan!” tiba-tiba Cong To lompat membentak Han Ping dan Ih Thian-heng terkejut.
Secepat kilat Cong To melayang ke belakang Ih Thian-heng, menyambar ke dalam
gerumbul rumput terus cepat-cepat menyurut mundur tiga langkah.
Karena kuatir pengemis tua itu akan menyerangnya dari belakang, Ih Thian-heng sudah
bersiap. Tetapi melihat pengemis itu mundur lagi, barulah ia longgar hatinya.
Berpaling ke belakang, Ih Thian-heng melihat pengemis tua itu sedang mencengkeram
seekor ular yang tubuhnya berbintik putih Panjang semeter dan besarnya seperti cawan
arak.
Sebagai seorang yang luas pengalaman tahulah Ih Thian-heng bahwa pengemis tua itu
sedang mencekal seekor ular Pek-sian-nio yang amat berbisa. Tiba-tiba ia merasa malu
hati, pikirnya, “Kalau tadi kuhantamnya, pengemis tua itu tentu tak dapat menghindar dari
pukulan mautku. Tetapi akupun pasti akan digigit ular Pek sian-nio itu. Dan akupun tak
mungkin hidup juga……. Eh, tetapi mengapa tadi aku tak memukulnya? Apakah aku sudah
merasa kalau pengemis itu akan menolong diriku? Atau mungkinkah aku kuatir sekali
pukul tak dapat membinasakannya? Entahlah, entah! Tetapi jelas apabila pengemis itu
beratu dengan budak laki ini mengeroyok aku, aku pasti tak sanggup menghadapi….”
Sekalipun dalam hati merasa malu, tetapi ia tetap mengulum senyum seperti tak terjadi
suatu apa. Sambil memberi hormat ia berseru, “Ah, memang kemasyhuran nama saudara
Cong sebagai seorang ksatrya luhur itu tak bohong. Jika saudara Cong tak menolong, hari
ini jiwaku tentu melayang digigit ular berbisa itu!”
Cong To hanya tertawa dingin, “Dalam dunia persilatan dewasa ini hanya pengemis tua
seorang saja yang berani menentangmu. Berpuluh tahun selama ini, sesungguhnya
engkau mempunyai banyak kesempatan untuk melenyapkan pengemis tua. Tetapi engkau
selalu bermurah hati, memberi jalan hidup….”
Ih Thian heng hanya tersenyum tak menyahut.
Cong To batuk-batuk dua kali lalu melanjutkan, “Tetapi sesungguhnya engkau bukan
seorang manusia yang benar-benar berhati baik dan welas asih. Tindakanmu itu hanyalah
untuk menjaga tingkah lakumu yang palsu selama ini. Dengan membunuh pengemis tua,
mungkin kedok kepalsuanmu akan terbuka….”
Ih Thian-heng tertawa hambar, serunya, “Silahkan saudara Cong hendak mengucap
apa saja tetapi aku tetap mengucap terima kasih atas pertolonganmu hari ini!”
“Pengemis tua menolongmu itu bukan sekali-kali karena hendak mengharap terima
kasihmu. Melainkan mengharap agar kelak engkau mau merobah diri menuju ke jalan
yang benar. Mendirikan suatu pahala besar untuk kepentingan umat manusia!”
Ih Thian-heng menengadahkan kepala memandang langit dan merenung. Tiba-tiba ia
tertawa nyaring, “Dewasa ini seluruh kaum persilatan telah bersatu hendak menghadapi Ih
Thian-heng seorang. Apakah saudara Cong tak merasa ucapan itu agak sudah terlambat?”
Han Ping tertawa dingin, “Tingkah laku dari perbuatanmu selama ini, setiap orang
berhak menumpasmu. seluruh orang gagah dalam dunia persilatan telah engkau tipu
selama berpuluh tahun. Jika dulu2 mereka mau mendengar nasehat Cong lo-cianpwe
untuk bersatu padu memberantasmu, tentulah engkau tak sampai melakukan kejahatan
lebih banyak!”
Memperhatikan cuaca, berkatalah Ih Thian-heng, “Mengingat bahwa tadi engkau tak
mau menyerang aku secara pengecut, kali ini kuberimu ampun. Silahkan pergi, lekas!”
“Lain orang takut akan gertakanmu. Tetapi aku Ji Han Ping sedikitpun tak gentar.
Terimalah pukulanku ini!” Han Ping menutup kata-katanya dengan sebuah pukulan dalam
jurus Burung-hong-melambung naga-menjelang.
Ih Thian-heng tertawa keras, “Seluruh orang gagah dalam dunia persilatan. hanya
engkau yang paling sesuai menjadi lawanku. Bagus!”
Ih Thian-heng menghindar ke samping lalu balas menutuk tiga kali dan memaksa Han
Ping mundur dua langkah.
Diam-diam Han Ping membatin, “Orang ini memang benar-benar hebat sekali. Ketiga
buah tutukan jarinya itu semua mengarah jalandarah yang berbahaya!”
Han Ping makin mempertinggi kewaspadaannya. Setelah mengempos semangat cepat
ia membalas sampai lima kali pukulan. Kelima pukulan Han Ping itu merupakan ilmu
kepandaian yang tercantum dalam kitab pusaka Tat mo-ih-kin-keng. Setiap jurus
mengandung tenaga-keras. Dan dengan lima buah pukulan itu, ia cepat memaksa lawan
mundur dua langkah juga.
Ih Thian-heng kerutkan ails. serunya, “Rupanya engkau mempunyai huhungan erat
dengan perguruan Siau-lim-si. Kelima pukulanmu tadi, merupakan jurus2 dalam ilmu
pukulan Cap-peh lo-han-ciang (18 dewa). Mengandung tenaga Toalat-kim-kong-ciang!”
Dalam pada berkata-kata itu Ih Thian-heng pun maju lagi dan menyerang. Tangan kiri
menabas, tangan kanan memukul.
Han Ping merasa bahwa ilmu pukulan lawan itu mengandung banyak perobahan yang
aneh dan luar biasa. Untuk sesaat itu tak mampu menemukan daya untuk
memecahkannya Maka ia tak berani menangkis melainkan loncat menghindar ke samping.
“Ah, kiranya engkau mengenal gelagat juga,” seru Ih Thian-heng,”mengapa engkau tak
berani menangkis pukulanku Mengamankan-dunia ini? ‘
Han Ping tertawa dingin. Tangan kiri menampar ke udara, jari tangan kanan menebar
didorong ke muka.
Ih Thian-heng tercengang. Ia belum pernah melihat ilmu pukulan semacam itu. Oleh
karena ia merasa bahwa dalam jari2 lawannya itu mengandung jurus2 maut yang sukar
diduga, ia tak berani menangkis. Cepat ia enjot tubuh loncat mundur dua tiga langkah.
“Ih Thian-heng, mengapa engkau tak berani menangkis pukulanku Lima tali-serempakmelentik?”
Ih Thian-heng tersenyum, “Bagus, jurus Lima-tali-serempak-melentik yang hebat!” — ia
loncat maju lagi dan menghantam dari samping seraya berseru, “Budak kecil, cobalah
engkau rasakan jurus Badan-halilintar-serempak-timbul ini!”
“Mengapa tak berani?” sahut Han Ping sambil gerakkan tangan kanan untuk
menyambut.
Ih Thian-heng tertawa dingin. Tiba-tiba ia endapkan pukulannya lalu tebarkan jari
untuk menutuk. Jika Ih Thian-heng melakukan perobahan, Han Pingpun juga tidak tinggal
diam. Ia juga julurkan kedua jarinya secepat kilat dijentikkan.
Dari adu pukulan sampai pada pukulan mereka lakukan dengan cepat sekali. Setiap
gerak perobahan itu mengandung ancaman maut.
Terdengar Han Ping dan Ih Thian-heng sama-sama mendengus tertahan dan samasama
mundur ke belakang, ternyata keduanya telah menderita luka. Begitu muncul
mereka lalu pejamkan mata mengambil pernapasan.
Wajah Ih Thian heng pucat lesi. Sedang muka Han-Ping merah seperti orang habis
minum arak.
Baik Cong To maupun Ting Ling sama sekali tak mengetahui mengapa kedua orang itu
sama-sama menderita luka. Merekapun tak mendengar suara benturan pukulan sama
sekali. Tahu2 kedua seteru itu sudah sama-sama terluka.
Ting Ling buru-buru menghampiri ke tempat Han Ping dan bertanya, “Apakah engkau
terluka?”
Han Ping sedikit membuka matanya, gelengkan kepala, “Hm, tetapi Ih Thian-heng pun
juga terluka!”
Ting Ling berpaling ke arah Ih Thian-heng, tanyanya pula, “Apakah lukamu berat?”
“Nanti baru ketahuan,” sahut Han Ping.
Ting Ling terkesiap. “Kalau begitu tentu parah sekali!”
Han Ping tersenyum, “Mungkin tidak beralangan!”
Tiba-tiba terdengar orang berseru kepada Ting Ling, “Hai, budak-setan besar,
pamanmu datang!”
Ting Ling berpaling. Ah, ternyata pamannya Ting Yan-san, Leng Kong-siau, Ca Cu-jing
dan Ca Giok serta Nyo Bun-giau. Nona itu girang sekali.
“Apakah yang di sebelah muka itu Ling-ji?” seru Ting Yan-san pula.
“Ah, paman, selamat datang,” seru Ting Ling.
Begitu tiba, rombongan Nyo Bun-giau itu terkesiap dan memandang ke sekeliling
tempat itu kepada Han Ping. Ih Thian-heng dan pengemis Cong To.
Ca Cu-jing memberi hormat berseru, “Apa kabar saudara Cong?”
Cong To balas memberi hormat lalu menjawab, “Pengemis tua tidak sakit, tak ada yang
tak baik selama ini.”
Nyo Bun-giau membisiki Ting Yan-san. Ting Yan-san pun lalu berseru keras2
memanggil Ting Ling.
Sejenak memandang Cong To, si nona lalu menghampiri ke tempat pamannya. Kira2
lima enam langkah dari tempat Ting Yan-san, nona itu berhenti, “Paman hendak memberi
perintah apa kepadaku?”
Ting Yan-san batuk-batuk lalu berkata, “Kemana adikmu si Hong?”
“Disuruh tinggal dalam biara Hian-bu-kiong oleh Thian Hian-totiang.”
Sambil berpaling ke arah Nyo Bun-giau, Ting Yan-san berseru, “Apa? Apakah Thian
Hian totiang juga berada di sini?”
Diam-diam nona itu menimang. Hadir atau tidaknya Thian Hian totiang di situ, ternyata
mempunyai pengaruh penting.
Ting Ling gelengkan kepala mengatakan tak melihat Thian Hian totiang. Diam-diam
Cong To memuji kecerdikan si nona yang tak mau membohongi orangtua tetapi suruh
mereka meraba-raba dalam dugaan sendiri.
Ting Yan-san kerutkan dahi, ujarnya, “Beradanya adikmu dalam biara Hian-bu-kiong itu,
sebelumnya engkau sudah tahu atau belum?”
“Tahu,”sahut Ting Ling.
“Kalau tahu kenapa mencegahnya?”
“Ilmu pedang Thian Hian totiang hebat biasa. Sekalipun maju berdua, kami tetap bukan
lawannya. Mana aku mampu mencegah?” jawab Ting Ling.
Rupanya Ting Yan-san terbentur dengan jawaban itu sehingga ia tak dapat berkata lagi.
Setelah diam beberapa jenak, barulah ia berkata pula, “Hmm, seorang gadis yang
sebatang kara luntang-luntung di dunia persilatan, apa macam! Mengapa tak lekas
pulang? Mau cari apa?”
Ting Ling tak mau membantah lagi dan segera mundur ke samping.
Tiba-tiba Pengemis-sakti Cong To memberi hormat kepada Ting Yan-san, “Ting losam,
pengemis tua hendak merundingkan sebuah hal dengan engkau. Entah engkau mau atau
tidak?”
Ting Yan-san tertegun, serunya, “Ah, kalau saudara Cong mempunyai urusan, silahkan
bilang. Asal dapat, aku tentu tak menolak
Cong To tersenyum, “Dunia persilatan mengatakan bahwa kedua nona dari Lembah
Raja Setan itu, kejam dan banyak tipu muslihatnya. Terutama nona yang pertama lebih
ganas dari adiknya. Tetapi pengemis tua merasa nona yang pertama itu justeru lebih
menarik. Ingin kuambilnya sebagai puteri angkat, entah apakah engkau menyetujui atau
tidak?”
Ucapan itu benar-benar di luar dugaan sekalian orang. Sampai Ting Ling sendiri juga
terkesiap.
Cong To adalah seorang tokoh ternama. Pribadi dan sepak terjangnya, selalu lurus dan
terus terang. Sedang Lembah Raja Setan itu sudah terkenal jahat. Keganasan kedua nona
dari Lembah Raja Setan itu sudah termasyhur di seluruh dunia persilatan. Yang satu dari
Aliran Putih yang lain dari aliran Hitam. Mengapa tahu-tahu pengemis sakti itu hendak
mengambil anak-angkat pada Ting Ling?
Lama Ting Yan-san merenung baru ia berkata, “Bahwa saudara Cong ternyata
menvukai mereka, sungguh suatu kebanggaan bagi Lembah Raja Setan. Tetapi dalam hal
ini, aku tak berani mengambil keputusan. Harus minta ijin dari ketua lembah dulu.”
Cong To tertawa gelak-gelak, “Selama hidup pengemis tua selalu bekerja tak kepalang
tanggung. Dalam soal itu sekalipun saudara Ting tak meluluskan pengemis tua tetap akan
memungutnya sebagai anak angkat.”
Ting Yan-san batuk-batuk, katanya, “Dengan tindakan itu bukankah berarti saudara
Cong hendak menyusahkan aku?”
Cong To tertawa, “Engkau mengembalikan karcis undanganku, bukankah berarti juga
membikin susah padaku?”
Selagi kedua orang itu bertukar pembicaraan, diam-diam Nyo Bun-giau memperhatikan
wajah Ih Thian-heng. Saat itu tiba-tiba ia menyelutuk, “Sesungguhnya urusan saudara
Cong dan Ting berdua itu, aku tak seharusnya campur mulut. Tetapi sejauh
pendengaranku, belum pernah terjadi orang memungut anak atau murid dengan cara
paksa….”
Ia batuk-batuk pelahan, lalu melanjutkan pula, “Mungkin pengalamanku kurang luas
hingga apa yang kuketahui hanya terbatas sekali!”
Tiba-tiba Ih Thian-heng membuka mata dan tertawa, “Bukankah saudara Nyo
bermaksud menyiram minyak pada api untuk mencelakai diriku?”
Nyo Bun-giau tersenyum, “Akh, mana….” — walaupun mulut berkata begitu tetapi
diam-diam ia sudah pancarkan tenaga-dalam dari telapak tangannya ke arah Ih Thianheng.
Tetapi tepat pada saat itu juga, tiba-tiba ia rasakan dari dada Ih Thian-heng pun
menghambur tenaga dalam yang panas ke arahnya.
Dalam pada itu terdengarlah Ih Thian-heng tertawa sinis, “Jari saudara Nyo jangan
salah arah. Jika diletakkan pada tubuhku, kali ini aku tentu menderita luka parah!”
Nyo Bun-giau tak mau menjawab melainkan diam-diam menambah keras tenagadalamnya
sampai beberapa bagian lagi.
Saat itu Cong To pun sudah mendekat ke belakang Nyo Bun-giau dan secepat kilat
lekatkan tangan kanannya ke punggung Nyo Bun-giau, serunya dingin, “Harap saudara
Nyo lekas hentikan gerakan. Sekali kupancarkan tenaga-dalam, urat2 jantungmu tentu
akan putus!”
“Belalang menubruk tonggeret, burung gereja membayangi di belakang. Saudara Cong
apakah engkau tak memandang mata padaku?”
Tiba-tiba sesosok tubuh mendekat ke belakang Cong To. Cong To terkejut dan
mengisar ke samping. Tetapi sudah terlambat.
Sebuah tangan telah melekat di punggung pengemis sakti itu….
Jilid 25 : Ih Thian Heng bertempur melawan Empat tokoh dari dua lembah
dan tiga marga
Gajah, harimau dan ular.
“Sekali saudara Cong pernah melepas budi kepadaku,” tiba-tiba terdengar suara Ca Cujing,
“tetapi dalam keadaan seperti saat ini, terpaksa aku tak dapat mengorbankan
kepentingan umum….”
Cong To hentikan gerakannya. Ia berdiri diam dan mendengus dingin, “Ca Cu-jing,
apakah engkau merasa yakin tentu dapat melukai pengemis tua ini?”
Ca Cu-jing tertawa, “Sama sekali aku tak bermaksud melukai saudara Cong, asal
saudara suka lepaskan diri dari campur tangan urusan ini!”
Sekalipun mulut Cong To bernada garang, tetapi diam-diam ia menyadari. Bahwa sekali
ketua Marga Ca itu perkeras tenaganya, urat2 jantungnya tentu akan putus. Maka iapun
diam saja dan mencari akal untuk lepaskan diri.
Terdengar, Leng Kong-siau dan Ting Yan-san tertawa gelak-gelak seraya menghampiri.
Leng Kong-siau sudah berdiri di belakang Ih Thian-heng sedang Ting Yan-San cepat
lekatkan tangan ke punggung Han Ping.
Mata Ih Thian-heng berkeliaran memandang ke sekeliling tetapi tubuhnya tetap berdiri
tak bergerak.
Han Ping pun tetap pejamkan mata, seolah-olah tak tahu kalau punggungnya dilekati
tangan Ting Yan-san.
Ca Cu-giok berdiri dua tiga tombak jauhnya untuk melihat perobahan
perkembangannya. Sementara Ting Ling walaupun tampaknva acuh tak acuh tetapi
sesungguhnya ia sedang gelisah mencari akal untuk memecahkan ketegangan saat itu.
Kim loji masih jeri terhadap Ih Thian-heng dan berdiri terpukau.
Angin pegunungan pada musim rontok, meniup menderu-deru. Pohon2 jati berderakderak,
makin menambah ngeri suasana tempat itu …
Suasana yang berlangsung saat itu benar-benar penuh diliputi dengan berbagai
pertentangan. Masing-masing fihak mempunyai rasa takut tetapipun saling mendendam
permusuhan. Dan adalah karena saling memburu keuntungan maka keadaan pun
bertambah makin ruwet. Rasa persahabatan dilumuri rasa untuk memiliki keuntungan.
Dendam permusuhan diselipi rasa persahabatan.
Tiba-tiba Leng Kong-siau mengangkat tangan kanannya terus diletakkan pada jalan
darah Beng-bun-hiat di punggung Ih Thian-heng, serunya, “Jika aku bersama saudara Nyo
bersatu untuk menekan dari muka belakang, entah apakah mampu untuk merubuhkan
saudara Ih?”
Sambil memandang ke arah Han Ping, Ih Thian-heng tertawa tak acuh. Jika umurku
memang masih panjang, apakah tenaga saudara berdua itu dapat membunuh diriku? Aku
sendiri tak tahu entah apakah saudara Leng sudah memperhitungkan hal itu?”
Leng Kong-siau tertegun tak dapat menjawab. Saat itu Nyo Bun-giau sudah kerahkan
seluruh tenaga dalam ke arah telapak tangannya. Ia siap untuk menggempur dada Ih
Thian-heng dengan sekuat tenaga. Dia memperhitungkan, jika mengerahkan seluruh
tenaga, paling tidak daya kekuatannya tentu dapat mencapai 3000 kati. Betapapun Ih
Thian-heng hendak melawan, rasanya tentu sukar. Sekalipun tidak sampai binasa, tetapi
pasti terluka parah. Ia yakin bahwa ilmu sakti Pasir Emas yang dimilikinya itu, merupakan
ilmu tunggal yang istimewa dalam dunia persilatan. Dan setelah terluka itu, apabila nanti
Ih Thian-heng nanti mengamuk, ia tentu masih dapat menghadapinya. Apabila perlu, ia
dapat meminta bantuan Leng Kong-siau dan Ting Yan-San untuk mengeroyok.
Tetapi sekalipun sudah dapat memperhitungkan kekuatan lawan dengan kekuatannya
sendiri tetapi pada saat itu punggungnya telah dikuasai Cong To. Ia kuatir kalau
mengerahkan tenaga dalam menekan Ih Thian-heng, Cong To pun akan bertindak
demikian kepada dirinya. Oleh karena kalau menghamburkan tenaga dalam menekan Ih
Thian-heng itu berarti tenaga penjagaan dirinya kosong, maka asal Cong To menggunakan
sedikit tenaga saja, iapun pasti akan mati.
Diam-diam orang she Nyo itu hanya mengharap agar Ca Cu-jing turun tangan lebih
dahulu untuk menghancurkan si Pengemis sakti. Dengan demikian ia tentu longgar dari
bahaya.
Tetapi Ca Cu-jing masih mengingat akan budi dari Pengemis sakti. Ia menekan
punggung pengemis itu dengan maksud agar pengemis itu segera lepaskan tangannya
yang menekan punggung Nyo Bun-giau. Ia belum tiba pada rencana untuk melukai
pengemis sakti itu.
Namun Ca Cu-jing sungkan untuk menyatakan keinginanya kepada pengemis Cong To.
Maka ia segera gunakan ilmu Menyusup-suara, “Saudara Cong, keadaan saat ini, hanyalah
untuk menghadapi Ih Thian-heng dan budak itu. Jika saudara Cong suka meluluskan untuk
tidak ikut campur tangan, segera akan kutarik tanganku yang melekat pada punggung
saudara ini!”
Cong To tertawa gelak-gelak, “Tak apalah. Karena aku toh takkan menderita kerugian
apa-apa. Bahkan akan kupinjam tenaga saudara dan kugabungkan dengan tenagaku
untuk memberi tekanan yang lebih dahsyat pada punggung Nyo Bun-giau ini!”
“Tetapi sekalipun dapat meremukkan urat jantung Nyo Bun-giau tetapi saudara Cong
sendiri juga takkan hidup!” seru Ca Cu-jing.
Cong To tertawa, “Lambat atau cepat pengemis tua ini toh akan mati juga. Jiwa
pengemis tua ditukar dengan sebuah jiwa….”
Nyo Bun-giau cepat menukas, “Kalau menurut keinginan saudara Cong, aku harus
meminjam tenagamu dan tenaga saudara Cong, untuk menghancurkan Ih Thian-heng!”
Cong To tertawa nyaring, “Bagus, bagus! Itulah yang dinamakan mati habis-habisan….”
Ih Thian-heng deliki mata kepada Nyo Bun-giau, “Dalam waktu seperminum teh
lamanya, kukuatir saudara Nyo tentu terpaksa melepaskan tangan saudara yang melekat
pada punggungku!”
“Ah, belum tentu!” jawab Nyo Bun-giau.
Cong To tertawa gelak-gelak lagi, serunya, “Jika kita hari ini harus mati semua, dan
selanjutnya dunia parsilatan tentu aman dari pergolakan berebut….” tiba-tiba ia berpaling
ke arah Ting Ling dan berseru, “Setan perempuan yang besar, selagi pengemis tua belum
mati, lekas engkau sebut aku dengan panggilan ayah angkat! Agar kelak ada yang
menyambangi kuburanku.”
Sejenak merenung, Ting Ling terus berlutut di tanah dan berseru, “Puteri angkat Ting
Ling memberi hormat kepada ayah angkatnya!”
Cong To tertawa lepas. “Sebenarnya pengemis tua benci akan adat istiadat manusia.
Tetapi keadaan saat ini berbeda. Ya, tak apalah!”
Melihat anak kemanakannya benar-benar menyebut pengemis tua sebagai ayah angkat,
Ting Yan-san menguak-nguak marah sekali, “Bagus! Budak setan, kulihat engkau sudah
berkhianat. Lebih dulu akan kubereskan jiwa budak laki-laki ini, dan baru nanti membuat
perhitungan dengan engkau!”
Ia terus kerahkan tenaga dalam untuk menghancurkan tubuh Han Ping, Tetapi
alangkah kejutnya ketika mendapatkan bahwa punggung pemuda itu berobah seperti
segumpal kapas yang lunak.
Tepat di kala Ting Yan-san terpaku itu secepat kilat Han Ping pun sudah menyelinap
dan merapat ke samping Ca Cu-jing lalu luruskan tiga buah jarinya dengan jurus tigamatahari-
menyinari-Thaysan, menutuk tiga buah jalan darah tubuh Ca Cu-jing.
Sebelum jari tiba, anginnya sudah menampar tajam.
Ca Cu-jing kaget sekali. Diam-diam ia memuji, “Angin gerakan jari yang lihay sekali!”
Cepat ia miringkan tubuh menghindar. Tetapi jarinya yang melekat pada punggung
Cong To tetap tak berkisar. Dengan gerak Memutar-balik-Im-yang, ia gerakkan tangan kiri
untuk menyambar pergelangan tangan Han Ping.
Han Ping tertawa dingin. Tutukan ketiga jarinya itu mendadak dirobah menjadi gerak
Kim-liong-jiu atau menangkap naga. Begitu membalik telapak tangannya, ia menang cepat
mencengkeram siku lengan Ca Cu-jing.
Apabila tokoh-tokoh sakti bertempur, menang kalah hanya berlangsung pada beberapa
kejab mata saja. Ca Cu-jing telah menderita kekalaban. Seketika ia rasakan siku lengannya
kesemutan. Ia kalah cepat dengan lawan.
Tetapi ketua dari Marga Ca itu memiliki kepandaian yang hebat serta kaya akan segala
pengalaman. Dalam ancaman bahaya, ia tak cepat gugup. Meskipun telah dikuasai lawan,
ia tetap tak mau melepaskan tangannya yang melekat pada punggung Cong To. Ia
tebarkan jari tangan kiri untuk balas mencengkeram siku lengan kanan Han Ping.
Maksud Han Ping hanyalah memaksa Ca Cu-jing supaya lepaskan tekanannya pada
punggung Cong To. Tetapi oleh karena Ca Cu-jing ngotot hendak mengadu jiwa, marahlah
Han Ping. Cepat ia memperkeras cengkeramannya.
Tetapi sebagai seorang jago tua yang berpengalaman, Ca Cu-jing sudah siap. Karena
kalah cepat sehingga siku lengannya dicengkeram lawan, diam-diam ia sudah
memperhitungkan kemungkinan Han Ping akan menambah keras tenaga cengkeramannya
itu. Maka ketika ia hendak balas mencengkeram siku lengan Han Ping, diam-diam ia sudah
kerahkan tenaga dalam untuk menjaga kemungkinan Han Ping akan memijat lebih keras.
Seketika Han Ping dan Ca Cu-jing sama-sama merasa siku lengannya seperti dijepit besi
keras.
Saat itu Ting Yan-sanpun sudah memburu tiba terus hendak memukul punggung Han
Ping. Pemuda itu mendadak menarik lengan kirinya ke belakang diserempaki dengan
memutar tubuh setengah lingkaran. Dengan jurus Awan-berarak-menutupi-bulan, ia
ayunkan tangan kirinya untuk melindungi diri.
Karena tak melihat suatu lubang kelemahan pada Han Ping, diam-diam Ting Yan-san
terkejut dan cepat menyurut mundur dua langkah.
Sambil perkeras cengkeramannya pada siku lengan Han Ping, Ca Cu-jing berbisik,
“Saudara Ting, lekas bereskan orang ini!”
Ting Yan-san mengiakan. Sekaligus ia gerakkan kedua tangannya untuk menghantam
ke atas dan ke bawah.
Cepat Han Ping gunakan Jurus Burung-belibis-kebaskan-sayap untuk menampar
lambung Ting Yan-san. Karena harus menyelamatkan diri, Ting Yan-san terpaksa
menyingkir ke samping dua langkah sehingga serangannya pun percuma saja.
Dua kali tokoh dari Lembah Raja Setan menyerang, semua dapat dihalau oleh Han
Ping. Ting Yan-san geram dan marah. Dengan menggerung keras, ia menyerang lagi
dengan pukulan Air-terjun-mengaliri-sumber.
Karena tangan kanannya sedang adu cengkeram melawan Ca Cu-jing, maka Han Ping
hanya gunakan tangan kiri untuk menghadapi Ting Yan-san. Sekalipun begitu, hampir 14
jurus lamanya tetap masih bertahan.
Melihat Han Ping dapat memberi perlawanan sampai sekian lama, kejut Ting Yan-san
bukan kepalang. Ia merasa malu dan marah. Pikirnya, “Hm, budak ini ketika pertama
bertemu dengan aku, masih belum begini lihay. Rupanya ia telah memperoleh kemajuan
yang pesat sekali. Kalau sekarang tak dapat melenyapkannya, bukan hanya aku akan
kehilangan muka, pun kelak tentu menimbulkan bencana padaku.”
Setelah mengambil keputusan, seketika menyalalah nafsu pembunuhannya. Setelah
melontarkan dua buah pukulan, ia cepat menyurut mundur. Tegak berdiri pejamkan mata,
kedua tangannya diacungkan ke atas dalam gaya mencengkeram.
Melihat gerakan aneh dari orang she Ting itu, diam-diam Han Ping heran. Timangnya,
“0rang2 Lembah Raja Setan itu memang semua serba misterius!”
Ting Ling yang sejak tadi mengikuti pertempuran itu dengan penuh perhatian, diamdiam
ia terkejut ketika melihat pamannya sedang menyiapkan ilmu istimewa dari Lembah
Raja Setan. Cakar Setan Hian-im yang terdiri dari 24 gerak, merupakan ilmu kebanggaan
dari kaum Lembah Raja Setan. Ilmu itu luar biasa gerakannya dan sukar sekali diduga
gerak perobahannya. Setiap gerak cengkeramannya mengandung ilmu tenaga sakti Hianim-
gi-kang. Ilmu itu walaupun termasuk aliran ganas tetapi merupakan ilmu pamungkas.
Selalu untuk berhadapan dengan musuh yang sakti, tak boleh sembarangan dalam
penggunaannya.
Jika tangan kanan Han Ping tak terikat adu tenaga dalam dengan Ca Cu-jing. tentulah
anakmuda itu masih dapat menghadapi Ting Yan-san. Tetapi karena Han Ping tak bebas,
mungkin ia tak dapat bertahan serangan tenaga sakti Cakar-setan-hian-im yang ganas
sekali itu.
Tetapi betapapun Ting Ling gelisah, ia tak mampu berbuat apa-apa kecuali hanya
bingung dan mengucurkan keringat dingin.
Ca Giok memandang ke arah Ting Ling dan sengaja menghela napas, serunya, “Jika
saudara Ji tidak adu tenaga dengan ayahku, aku tentu akan membantunya!”
Ting Ling tertawa, “Hm, kalau tidak membantu Han Ping, seharusnya engkau
membantu ayahmu!”
Ca Giok tertegun, “Ayahku bagaimana?”
Cepat ia memandang ke arah ayahnya.
“Dikuatirkan ayahmu tak dapat bertahan lama,” sahut nona itu.
Sesungguhnya ia hanya sembarangan saja berkata, tetapi ketika melirik, didapatinya
wajah pemuda itu tampak serius. Diam-diam ia heran sendiri. Benarkah kepandaian Han
Ping saat ini telah mencapai kemajuan yang luar biasa hebatnya?
Sejenak memandang ke arah ayahnya. Ca Giok tiba-tiba maju menghampiri. Melihat itu
Ting Ling terkejut dan cepat memburunya, “Mau apa engkau?”
Sekonyong-konyong Ca Giok loncat ke muka ayahnya dan berseru pelahan, “Ayah!”
Tetapi Ca Cu-jing membentaknya, “Lekas mundur!”
Belum Ca Giok menyahut, tiba-tiba Nyo Bun-giau berteriak keras dan menarik
tangannya yang dilekatkan pada dada Ih Thian-heng lalu mengisar ke samping.
“Sabuk Putih!” Ting Ling menjerit.
Ca Cu-jing menunduk. Seekor ular ganas yang disebut Pek-sian-nio atau Sabuk Putih
telah melingkar di bawah kakinya. Ular itu merupakan ular yang paling ganas di antara
jenisnya. Sebenarnya ia dapat menendang kepada ular itu.
Karena Nyo Bun-giau menyusur ke samping maka tangan Cong To yang melekat pada
punggung Nyo Bun-giau itupun ikut terseret ke samping. Pada saat itu Ca Cu-jing sedang
mengangkat kaki kiri untuk menginjak ular Sabuk Putih. Karena gerakan Cong To, tubuh
Ca Cu-jing telah kehilangan keseimbangannya dan terpaksa ikut bergeser ke samping
juga.
Sekalipun gerakan tokoh itu susul menyusul berturut-turut, tetapi karena amat
cepatnya, sepintas pandang seperti dilakukan dalam waktu serempak.
Pada saat tubuh Ca Cu-jing bergerak, Cong To cepat menggunakan kesempatan itu
untuk membebaskan punggungnya dari lekatan tangan Ca Cu-jing.
Waktu itu Ting Yan-san pun sudah selesai menyalurkan tenaga-ganas Cakar-setan-hianim
dan segera akan dihantamkan kepada Han Ping. Pertama, untuk melenyapkan bahaya
di kemudian hari. Dan kedua untuk mempamerkan ilmu istimewa dari Lembah Raja Setan
di hadapan tokoh tokoh persilatan yang berada di situ.
Tetapi alangkah kejutnya ketika membuka mata, ia dapatkan keadaan sudah berobah.
Diam-diam ia membatin, “Ketua Lembah pesan wanti2, kalau tak menghadapi musuh
tangguh tak boleh menggunakan ilmu Cakar-setan itu.
Karena situasi sudah berobah dimana ia masih belum tahu fihak mana yang kalah dan
menang, maka terpaksalah ia tak jadi lepaskan pukulan ganas itu. Sejenak memandang
situasi gelanggang pertempuran, kembali ia pejamkan mata dan pura-pura masih
mengerahkan tenaga.
Tokoh-tokoh yang berada itu, masing-masing terdiri dari bangkotan tua yang julig, licik
dan licin. Masing-masing tak mau menderita kerugian untuk dijadikan korban lebih dulu.
Begitu melihat gelagat tak baik, yang penting mereka cepat-cepat berusaha menjaga diri.
Setelah itu baru melihat perkembangannya lagi.
Terdengar Ih Thian-heng tertawa dingin. “Apakah saudara Leng masih tetap tak mau
menyingkir?”
Agaknya Lang Kong-siau mau mendengar kata. Sambil mengiakan, ia melesat ke
samping.
Suasana yang tegang regang, saat itu tampak reda kembali.
Cong To yang lepaskan cengkeraman tangannya pada punggung Nyo Bun-giau,
mundur dua langkah, serunya, “Pengemis tua tak mau mencuri kesempatan untuk
mencelakakan orang. Silahkan saudara Nyo mengambil pernapasan dulu. Setelah engkau
merasakan tenaga murnimu sudah pulih, kita nanti bertempur lagi!”
Ih Thian-heng tersenyum, “Saudara Cong tak perlu kuatir. Nyo Bun-giau sudah kulukai
dengan tenaga sakti Thay kek-gi-kang. Dalam dua jam ini, ia tak punya kekuatan
bertempur lagi.”
Cong To tertawa dingin, “Saudara Ih tak usah mengobral kemurahan hati. Pengemis
tua tak ingin bantuanmu.”
Jenggot panjang orang she Ih itu tampak tergetar. Jelas ia tersinggung oleh kata-kata
pengemis sakti itu. Tetapi ia benar-benar seorang tokoh yang kuat menahan perasaan.
Sejenak merenung, ia tertawa hambar, “Tak peduli bagaimana hati saudara Cong, tetapi
aku tetap akan membantumu!”
Saat itu Ca Cu-jing pun sudah menendang ular Sabuk putih sampal beberapa langkah.
Lalu ia loncat ke samping.
Han Ping pun menarik pukulannya dan tak mau mengejar. Suasana kembali seperti
semula lagi.
Ting Yan-san tiba-tiba membuka mata dan berseru keras, “Ling-ji, kemari engkau!”
Cong To ternyata menyambar ular Sabuk Putih yang ditendang Ca Cu-jing tadi. Serunya
tertawa Ular beracun ini telah menolong jiwa pengemis tua. Sungguh tak kira kalau
binatang begini ada juga gunanya!”
Karena dicekal sirip kepalanya, ular itu tak dapat berkutik. Cong To segera
melingkarnya lalu dimasukkan ke dalam kantong hitam yang diambil dari saku bajunya.
Leng Kong-siau berteriak nyaring, “Ular Sabuk Putih itu ular yang luar biasa ganasnya.
Sekali menggigit, tiada obatnya lagi. Harap saudara Cong berhati-hati!”
Cong To tersenyum, “Tak usah saudara Leng kuatir, aku mempunyai ilmu untuk
menundukkan ular!”
Pengemis sakti itu lalu alihkan pandang ke arah Ting Ling. Tampak nona itu maju
menghampiri ke tempat Ting Yan-san dengan wajah ketakutan.
Tiba-tiba Ih Thian-heng memberi hormat kepada Cong To, “Selagi di hadapan saudara
Cong, kunyatakan bahwa mulai sejak saat ini aku takkan menarik panjang tindakan
khianat dari Kim loji!”
Cong To hanya tertawa dingin, “Dalam hal ini pengemis tua tak minta belas kasihan
saudara Ih!”
Sambil mengurut jenggot, Ih Thian-heng tertawa dan mengalihkan pertanyaan, “Ada
sebuah hal yang hendak kuminta saudara Cong suka menjadi saksi. Entah apakah saudara
suka meluluskan atau tidak?”
Sekalipun tak suka akan pribadi Ih Thian-heng, tetapi Cong To mengakui bahwa orang
she Ih itu memang lebih tenar dari dirinya. Mendengar permintaan orang, terpaksa ia tak
dapat menghindar. Setelah batuk-batuk kecil ia berkata ; “Ah, saudara begitu memandang
tinggi kepada pengemis tua. Kalau begitu silahkan bilang saja. Asal mengenai hal yang tak
melanggar kepentingan umum, pengemis tua tentu akan mempertimbangkannya!”
Kata Ih Thian-heng, “Kecuali fihak It-kiong, orang? dari Dua Lembah dan Tiga Marga
telah berkumpul termasuk Nyo Bun-giau dan Ca Cu-jing, dua tokoh terkemuka dari
kalangan mereka. Peristiwa itu merupakan suatu pertemuan yang luar biasa.”
Setelah merenung Cong To mengiakan.
“Harap saudara Cong bersama saudara muda itu (Han Ping ) suka menjadi saksi di
samping, sekalian untuk beristirahat. Setelah kuberi pelajaran kepada mereka berempat,
barulah kita nanti membereskan urusan kita berdua lagi. Bagaimana, setujukah saudara
Cong?”
Cong To tak mengira bahwa yang akan dikatakan Ih Thian-heng itu ternyata mengenai
urusan begitu. Sesaat ia tak dapat menemukan jawabannya.
“Dalam soal ini engkau harus memberi waktu kepada pengemis tua untuk berpikir,”
akhirnya Cong To menyahut.
“Ih Thian-heng!” teriak Ca Cu-jing marah, “apakah engkau yakin tentu dapat
menghadapi kami berempat?”
Ih Thian-heng tersenyum, sahutnya, “Asal saudara Cong meluluskan nntuk menjadi
saksi saja, kalian berempat boleh maju coba-coba!”
Diam-diam Cong To menimang; “Mengapa Ih Thian-heng begitu mengindahkan
kepadaku? Apakah dia benar-benar takut kepadaku? Ataukah kepada Han Ping?
Betapapun juga, nyata ia hendak memperalat diriku. Tetapi orang Lembah Raja-setan,
Lembah Seribu-racun, marga Nyo dan marga Ca itu juga bukan manusia baik-baik. Lebih
baik biarkan Ih Thian-heng bertarung dengan mereka. Betapapun tinggi kepandaian Ih
Thian-heng tentu tak mudah memenangkan keroyokan keempat orang itu!”
“Pengemis tua tak menghiraukan kedua belah fihak, pun tak akan menjadi saksi!” seru
Cong To dengan nada dingin.
“Cukup kalau saudara meluluskan tak ikut campur sajalah!” kata Ih Thian-heng.
Karena memperhatikan Ting Ling maka Han Pingpun tak mendengar pembicaraan
kedua orang itu.
Tampak saat itu si nona sedang berjalan dengan langkah yang berat menghampiri ke
tempat pamannya, Ting Yan-san. Lebih kurang satu setengah meter dari tempat
pamannya, ia berhenti.
“Ada pesan apakah paman memanggil aku?” katanya.
“Maju dua langkah lagi, engkau!” seru Ting Yan-san dingin.
Ting Ling menurut, serunya, “Paman…”
“Maju lagi sedikit!”
Sejenak Ting Ling bersangsi, tiba-tiba ia cepat maju dua langkah dan berdiri di hadapan
pamannya.
Plak…. tiba-tiba Ting Yan-san tamparkan tangan kanannya sehingga Ting Ling
berputar-putar sampai tiga kali lalu jatuh terduduk di tanah. Separoh pipinya membengkak
merah, mulut bercucuran darah.
Ting Yan-san menampar keras dan Ting Ling tak mau menghindar maupun kerahkan
tenaga dalam untuk menahan. Sudah tentu nona itu tak kuat menderitanya.
“Paman, mengapa engkau memukul aku. ..?” teriak Ting Ling terus pingsan.
Han Ping marah sekali. Ia melesat ke muka Ting Yan-san, “Mengapa engkau
menamparnya!”
“Mengapa aku tak bisa menamparnya?” Ting Yan-san balas menyahut.
Han Ping tertegun. Ia teringat bahwa Ting Yan-san itu adalah paman dari Ting Ling.
Sudah tentu berhak menghajar. Sejenak merenung, Han Ping terus mundur lagi.
“Hai, siapa yang berani memukul anak perempuan angkatku itu!” teriak Cong To seraya
loncat dan mengangkat tubuh Ting Ling.
Ih Thian-heng tertawa nyaring, serunya, “Biarlah kulonggarkan kemengkalan hati
saudara Cong untuk puterimu itu!”
Dalam pada berkata itu, Ih Thian-heng pun sudah loncat ke hadapan Ting Yan-san
terus menamparnya.
Ting Yan-san menyurut mundur. “Apakah saudara Ih hendak berkelahi dengan aku?”
Ih Thian-heng tertawa, “Leng Kong-siau, Nyo Bun-giau dan Ca Cu-jing boleh maju
sekalian!” ia ulurkan tangan mencengkeram bahu kanan Ting Yan-san.
Walaupun dalam hati agak gentar terhadap Ih Thian-heng, tetapi karena saat itu
terdesak. terpaksa Ting Yan – san gunakan gerak Kuda-besi – melonjak, untuk menangkis.
Entah karena Ih Thian-heng hendak mempamerkan kepandaiannya atau karena kuatir
Ca Cu-jing akan mengeroyoknya, maka ia gunakan serangan kilat. Sambil menggembor
keras, ia balikkan tangan untuk mencengkeram pergelangan tangan Ting Yan – san.
Serangan itu dilakukan secepat kilat dan dengan gerak yang tak terduga-duga. Ting
Yan – san terkejut dan hendak endapkan tangannya tetapi sudah terlambat. Seketika ia
rasakan pergelangan tangannya kesemutan dan seluruh tenaganya hilang.
Serangan pertama berhasil, Ih Thian-heng hendak menyusuli dengan hantaman di
dada.
Ting Yan – san miringkan tubuh untuk menghindar. Tetapi di luar dugaan tangan kiri Ih
Thian-heng itu diserempaki dengan gerakan kaki kanannya untuk menendang lutut orang.
Pruk….terdengar dengus orang tertahan dari Ting Yan – san. Lututnya termakan
tendangan dan ia terhuyung – huyung mundur 5 – 6 langkah baru dapat berdiri tegak.
Ternyata setelah dapat menendang lutut, Ih Thian-heng lepaskan cengkeramannya
sebingga Ting Yan – san dapat terhuyung mundur.
Menyaksikan itu, diam – diam Han Ping kerutkan dahi ; “Ih, mengapa Ting Yan – san
begitu tak berguna? Pukulan dan tendangan itu kecuali hanya mengutamakan kecepatan,
tiada hal yang luar biasa lagi. Mengapa menghadapi serangan begitu saja Ting Yan – san
sudah kalah.”
Kiranya pada saat diserang Ih Thian-heng itu, dalam hati Ting Yan – san sudah
mempunyai rasa takut. Begitu lengannya dapat dicengkeram, hatinya makin panik,
nyalinya pecah. Karena tekanan – tekanan moril itu maka tangannyapun lentuk kaku.
Jika saat itu Ih Thian-heng mau turun tangan sungguh-sungguh, Ting Yan – San tentu
terluka parah tetapi setelah menendang, Ih Thian-heng tak mau menyusuli serangan lagi.
Dengan demikian sekalian orang yang berada disitu mendapat kesan bahwa orang she Ih
itu memang berlaku murah hati.
Melihat dalam satu gebrak saja Ih Thian-heng dapat melukai Ting Yan – san, Leng
Kong – siau menggigil. Memang seperti Ting Yan – san, iapun sudah gentar terhadap Ih
Thian-heng.
Terdengar Ih Thian-heng tertawa, “Lama kudengar bahwa marga Ca itu termasyhur
dengan ilmu pukulan Peh – poh – sin – kun dan jarum maut Hong – wi – ciam. Hari ini aku
hendak minta pelajaran ilmu itu!”
Di hadapan sekian banyak orang, sesungguhnya Ca Cu – jing tak mau bertempur
dengan Ih Thian-heng. Tetapi karena terdesak dan apalagi Ih Thian-heng terang-terangan
menantang, maka ia bersikap tenang, serunya tertawa, “Bagus, bagus! Akupun memang
lama mengagumi nama saudara Ih. Sungguh beruntung sekali hari ini bisa menerima
pelajaran!” ia melirik ke arah Leng Kong – siau.
Leng Kong – siau dapat menangkap isyarat mata itu. Ca Cu – jing mengundangnya
untuk bersama – sama mengeroyok Ih Thian-heng. Maka majulah ia ke muka.
“Bagus!” seru Ih Thian-heng, “kalian berdua boleh maju serempak agar dapat
menghemat tenagaku!”
Dalam pada itu Ting Yan – san tetap pejamkan mata tak mau menyatakan apa-apa.
Sedang Pengemis – sakti Cong To sambil mengurut urat2 Ting Ling, memperhatikan
keadaan disekelilingnya. Diam-diam ia heran melihat sikap Ih Thian-heng yang begitu
garang. Pikirnya, “Hm, apakah orang – orang itu sungguh takut kepada Ih Thian-heng?”
Ih Thian – hong tertawa nyaring sehingga kumandangnya sampai menembus jauh ke
hutan. Kemudian serunya, “Harap kalian lekas bersiap karena akupun segera akan mulai!”
Ca Cu – jing dan Lang Kong – siau saling bertukar pandang dan berdiri berjajar. Tibatiba
Nyo Bun-giaupun rentangkan matanya yang meram tadi. Berkilat – kilat memandang
Ih Thian-heng.
Sebenarnya saat itu Ih Thian-heng sudah melangkah pelahan tetapi melihat mata Nyo
Bun-giau berkilat, timbullah pemikiran lalu. Pikirnya, “Menilik sinar matanya yang begitu
tajam, masakan dia menderita luka. Apakah orang-orang itu memiliki ilmu kepandaian
yang istimewa?”
Tiba-tiba ia hentikan langkah, serunya nyaring ; “Nyo Bun – giau!”
Nyo Bun – giau mendengus dingin. Serunya, “Bagaimana?”
Ih Thian-heng tersenyum. “Engkau pandai sekali bersandiwara” habis menjawab Nyo
Bun-giau, sekonyong – konyong Ih Thian-heng melangkah maju dan menghantam Ca Cu –
jing dengan jurus Mendorong – gunung – menimbun – laut.
“Hati-hati saudara Leng!” Ca Cu – jing berseru pelahan seraya menggerakkan tangan
kanan menangkis.
Leng Kong – siaupun segera bergerak. Ia condongkan tubuh dan menghantam
punggung Ih Thian-heng dengan jurus Angin-kisaran-meniup.
Ih Thian-heng tak mengira kalau Ca Cu-jing berani menangkis. Ia hendak menambahi
tenaga pukulannya tetapi sudah terlambat. Krak… secepat beradu tinju, Ih Thian-heng
terus loncat beberapa langkah ke samping untuk menghindari pukulan Leng Kong – siau.
“Sin-ciu-it-kun, hanya begitu saja!” teriak Ca Cu-jing seraya menghantam ke udara.
Itulah pukulan Peh-poh-sin-kun atau Pukulan-sakti-seratus-langkah dari marga Ca yang
termasyhur di dunia persilatan. Setiup angin dahsyat berhamburan melanda.
Ih Thian-heng kenyang pengalaman. Setelah mengetahui Nyo Bun-giau, ternyata tak
menderita luka, ia tak mau menghamburkan tenaga untuk melayani Ca Cu-jing dan Leng
Kong-siau. Ia tetap hendak mempertahankan tenaga dalam untuk menghadapi Ca Cu-jing.
Pada saat Ca Cu-jing lepaskan pukulan Peh-poh-sin-kun, tiba-tiba Ih Thian-heng
mendapat siasat. Ia cepat melesat menghindar dua langkah ke samping lalu balas
menghantam dari jauh.
Tokoh-tokoh itu telah mencapai tataran yang tinggi dalam ilmu pengerahan tenaga
dalam. Maka dapatlah mereka menghantam menurut saat dan jarak yang dikehendakinya.
Setelah adu pukulan dengan Ih Thian-heng, Ca Cu-jing merasa bahwa Ting Yan-san
dan Long Kong-siau takut terhadap Ih Thian-heng, Maka ia bersikap gagah dan garang,
menangkis pukulan lawan dengan tangan kiri. Semula ia hendak mengembalikan nyali
kedua kawannya yang sudah runtuh itu agar bangkit kembali. Dan ternyata ia dapatkan
pukulan orang she Ih itu tidaklah biasa hebatnya. Nyalinya makin besar. Cepat ia susuli
lagi dengan pukulan Peh – poh – sin – kun.
Ih Thian – hong berlincahan menghindar, lalu ayunkan kedua tangannya menghantam
Leng Kong-siau dan Ca Cu-jing.
Melihat Ca Cu -jing berani menangkis pukulan Ih Thian-heng. Leng Kong – siaupun
kerahkan tenaga-dalam dan menangkis sekuat-kuatnya. ia membentur tempat kosong
sehingga tubuh menjorok ke muka.
Ia telah tertipu Ih Thian-heng, Ih Thian-heng banya menggunakan tenaga sedikit
sekali. Kebalikannya Long Kong-siau menumpahkan seluruh tenaganya. Akibatnya ia
kehilangan keseimbangan tubuh.
Pada saat itu Ca Cu – jing kembali lepaskan sebuah pukulan Peh-poh-sin-kun. Tetapi
kali ini Ih Thian-heng diam-diam telah kerahkan tenaga dalam untuk menghalau.
Ca Cu – jing rasakan lengannya tergetar. Serentak ia menggembor keras dan lontarkan
sebuah Peh-poh-sin-kun pula.
Oleh karena ia menduga Ih Thian-heng pasti akan kerahkan tenaga untuk menangkis,
maka kali ini Ca Cu-jing gunakan sembilan bagian tenaganya.
Tetapi di luar dugaan, Ih Thian-heng tak mau adu kekerasan. Mendadak ia melesat
menghindar ke samping. Wut… angin pukulan Ca Cu-jing yang dahsyat itu melanda ke
arah Nyo Bun – giau!
Memang Ih Thian-heng selalu sakti pun pintar sekali. Ia memperhitungkan arah
sambaran angin pukulan dari Ca Cu – jing serta tempat kepala marga Ca itu berdiri.
ternyata tetap menjurus ke arah Nyo Bun – giau. Dengan begin], asal ia menghindar ke
samping, angin pukulan Ca Cu-jing itu pasti akan mendampar ke tempat Nyo Bun – giau.
Ca Cu – jing menggunakan tenaga penuh dan pukulan Peh – poh – sin – kun itu
merupakan pemusatan dari tenaga dalam. lalu dari pukulan biasa. Begitu dilepas, sukar
untuk ditarik secara mendadak.
Ca Cu – jing terkejut dan cepat-cepat berteriak, “Saudara Nyo, awas angin pukulanku!”
Sesungguhnya walaupun tak diteriaki, Nyo Bun – giaupun sudah waspada. Cepat ia
loncat menghindar ke samping.
Celaka! Pada saat Ca Cu – jing tumpahkan perhatian untuk memberi peringatan kepada
Nyo Bun – giau, Ih Thian-heng menggunakan kesempatan kosong itu untuk menyerang.
Dalam beberapa kejab saja ia sudah lancarkan lima buah pukulan dan empat buah tutukan
jari. Kesemuanya merupakan pukulan dan tutukan yang mengandung tenaga – dalam
hebat.
Ca Cu – jing berlincahan menghindar mundur sampai delapan sembilan langkah.
Untunglah saat itu Leng Kong – siau segera menyerang Ih Thian-heng dari belakang.
Dengan demikian dapatlah Ca Cu – jing terlepas dari taburan serangan.
Ih Thian-heng tertawa lepas. “Nyo Bun – giau, mengapa engkau tak ikut maju?”
Nyo Bun – giau melirik Ca Cu-jing lalu menyahut dingin, “Yang melakukan kejahatan
memang tak pantas hidup. Mengapa saudara Ih mendesak kami bertiga supaya
mengeroyok? Kalau nanti saudara terluka, itu berarti saudara cari penyakit sendiri!”
Ih Thian-heng merobah pukulannya. Setelah berturut – turut melancarkan empat
pukulan untuk mengundurkan Leng Kong – siau, ia tertawa, “Jika saudara Nyo tak ikut,
mereka berdua tentu tak mampu melayani aku sampai 100 jurus!”
Melihat Nyo Bun – giau ternyata tak menderita luka, semangat Ca Cu – jing makin
besar. Berteriaklah ia sekerasnya, “Tak perlulah kiranya saudara Nyo omong ceng – li
(nalar) kepada orang semacam dia! Dia berulang kali menantang kita bertiga supaya
mengeroyoknya. Saudara Cong menjadi saksinya. Jika hari ini kita tak dapat
mengalahkannya, sungguh kita bakal tak punya muka lagi ketemu dengan sahabat –
sahabat persilatan.”
Dengan kata-kata itu, Ca Cu – jing hendak menganjurkan kepada Nyo Bun – giau dan
Leng Kong-siau, supaya bertempur dengan sepenuh tenaga untuk menghancurkan Ih
Thian-heng.
Tiba-tiba Nyo Bun – giau tertawa nyaring, serunya, “Saudara Ca memang benar. Bila
hari ini tak memberinya sedikit hajaran, tentulah Tiga Marga dan Dua Lembah akan
menjadi buah tertawaan orang persilatan.”
Rupanya Leng Kong – siau tergugah semangatnya mendengar pembicaraan itu. Ia
tertawa nyaring, “Saudara berdua benar.JiAka hari ini Ih Thian-heng tak dilenyapkan, Dua
Lembah dan Tiga Marga tentu takkan hidup tenang!”
Ih Thian – hang tertawa congkak ; “dalam berkelahi, mata dan kaki tak kenal kasihan.
Harap kalian bertiga hati-hati!” ia terus loncat menyerang Nyo Bun – giau.
Ca Cu – jing dan Leng Kong – siau serempak menggembor dan maju menyongsong.
Pertempuran saat itu benar-benar merupakan sebuab peristiwa yang jarang terjadi
dalam dunia persilatan. Beberapa tokoh terusama telah terlibat dalam pertempuran yang
dahsyat.
Dalam tahuran pukulan tiga orang tokoh tangguh, Ih Thian-heng berlincahan
menghindar dan setiap kalipun balas menyerang.
Dalam sekejab mata, mereka berempat sudah bertempur sampai 20 jurus lebih.
Sambil menyerang, Nyo Bun – giau tak henti-hentinya berseru, “Saudara Ca dan Leng,
harap pertahankan kedudukan, aku hendak mencobanya dengan beberapa jurus!”
Ca Cu – jing dan Leng Kong – siau makin lama makin bersemangat, seru mereka
serempak, “Silahkan saudara Nyo turun tangan!”
Mendadak Nyo Bun – giau merobah serangannya. Ia mengeluarkan ilmu pukulan Kim –
sat-san-jiu atau Pukulan Pasir Emas yang termasyhur. Ditingkah sinar matahari, gerakan
tangan Nyo Bun – giau itu memancarkan sinar berkilat dan deru angin yang tajam.
Gerakan pukulan itu tak berapa cepat tetapi dahsyatnya bukan main. Getarannya
sampai meliputi seluas beberapa meter.
Ca Cu – jing dan Leng Kong – siau diam-diam terkejut, pikirnya, “Orang ini benar-benar
memiliki kepandaian yang hebat tetapi dunia persilatan tak pernah mendengarnya!”
ALWAYS Link cerita silat : Cerita silat Terbaru , cersil terbaru, Cerita Dewasa, cerita mandarin,Cerita Dewasa terbaru,Cerita Dewasa Terbaru, Cerita Dewasa Pemerkosaan Terbaru
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar