Peristiwa Merah Salju 3

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Kamis, 15 September 2011

0oo0
Di tengah kesunyian pagi nan dingin ini. kedengarannya nyanyian ini amat merawankan hati.
"Dia datang!" kata Cui-long. "Ya, tepat pada waktunya."
"Perlukah kita menyembunyikan diri dulu?" tanya Cui-long.
"Selamanya aku tidak lari, tidak pernah menyembunyikan diri pula."
Terdengar seeorang bergelak tawa di kejauhan, serunya, "Bagus, sungguh laki-laki sejati yang
tidak pernah lari dan tidak sudi bersembunyi."
Cui-long tertawa getir, katanya lirih, "Tajam benar kuping orang ini."
Belum habis kata-katanya, tampak laki-laki gede ini sudah melangkah mendatangi, cepat sekali
orang sudah tiba di depan mereka, topi rumput yang bolong itu masih dipakai di atas kepalanya,
kini tangannya ketambahan sebuah holo (buli-buli) berisi arak, katanya sambil mengawasi Pho
Ang-soat, "Ternyata memang kau, memang sudah kuduga kau pasti akan menungguku di sini."
"Kau tahu?"

"Kalau aku tidak tahu, siapa yang tahu?"
0oo0
Sambil menengadah dia dekatkan mulut buli-buli ke mulutnya terus menenggaknya beberapa
teguk, tiba-tiba dia menarik muka dan membentak bengis, "Aku sudah berada di sini, kenapa kau
tidak lekas turun tangan?"
"Turun tangan?"
"Sudah tentu menyerang dengan golokmu?"
"Kenapa harus menyerang dengan golok?"
"Untuk memenggal batok kepalaku."
"Kenapa aku harus memenggal kepalamu?"
"Orang she Si malang melintang di dunia, betapa banyak manusia yang kubunuh, memangnya
siapa yang tidak menginginkan batok kepalaku ini?"
"Aku tiada niat!" ujar Pho Ang-soat.
Laki-laki gede itu tertegun. "Bahwasanya aku tidak kenal kau."
"Musuh orang she Si tersebar di segala pelosok dunia, mereka yang kenal diriku sudah kubunuh
bersih, yang bisa meluruk kemari hendak membunuh aku memangnya mereka yang belum
kukenal."
"Jadi kau selalu menunggu orang datang untuk membunuh kau?"
"Tidak salah!"
"Sayang sekali, kali ini kau pasti kecewa."
"Bukankah kau menungguku di sini untuk membunuhku?"
"Aku sudah bersumpah untuk membunuh orang, aku tidak perlu menunggu."
"Tidak perlu menunggu?"
"Aku sudah pernah menunggu sekali."
"Waktu itu kau tertipu?"
"Waktu itu aku memang tidak perlu menunggu."
Laki-laki gede itu tiba-tiba menghela napas, ujarnya, "Memang tidak salah ucapanmu,
kesempatan untuk membunuh orang memang hanya sekejap mata saja dan terus berlalu, kalau
menyia-nyiakan kesempatan baik itu memang harus disayangkan, oleh karena itu sekali-kali
jangan kau menunggu kesempatan untuk menunggu musuh."
"Oleh karena itu bila kau musuhku, kemarin malam aku sudah membunuh kau."
"Oleh karena itu aku bukan musuhmu?"
"Bukan."
Laki-laki gede itu tergelak-gelak, ujarnya, "Agaknya nasibku masih baik, agaknya menjadi
musuhmu bukan suatu hal yang harus dibuat gembira."
"Ya, memang bukan."
"Kalau menjadi temanmu?"
"Aku tidak punya teman."
"Hah, sampai pun Si Toa-han juga tidak setimpal menjadi temanmu?"
"Si Toa-han?"

"Aku inilah Si Toa-han (Si si gede)."
"Aku tetap tidak mengenalmu."
"Kau tidak ingin kenal dengan aku?"
"Aku tidak ingin."
"Wah susah, bukan saja tidak ingin batok kepalaku, juga tidak mau jadi temanku, jarang kulihat
laki-laki macammu ini."
"Memangnya jarang ditemukan."
"Lalu apa yang kau inginkan?"
"Hanya ingin mengikuti keretamu, pergi ke Pek-hun-ceng."
"Begitu saja?"
"Ya, begitu saja."
"Baik, silakan naik kereta."
"Aku tidak naik kereta."
Si Toa-han melengak, tanyanya, "Kenapa tidak mau naik kereta?"
"Karena aku tidak punya lima puluh tahil untuk membayar ongkosnya."
"Jadi kau hendak mengintil di belakang kereta saja?"
"Kau boleh naik keretamu, aku akan jalan kaki saja, memangnya kita tiada sangkut-paut."
Si Toa-han mengawasi mukanya yang pucat, goloknya yang hitam gelap, tak tahan dia
menghela napas, ujarnya, "Kau memang orang aneh, malah lebih aneh dari aku."
Memang Si Toa-han sendiri pun seorang aneh.
0oo0
BAB 29. WANITA CANTIK BERHATI BERBISA
Cuaca sudah terang benderang. Sang surya yang baru terbit laksana golok membelah kabut
tebal yang halus laksana kain paris yang halus lembut, kehidupan jiwa di jagat raya mulai siuman
dan bekerja kembali.
Si anak muda kusir kereta itu masih belum bangun dari dengkurnya.
Si Toa-han maju mendekat dengan langkah lebar, sekali raih dia jinjing badan orang serta
berseru keras, "Lekas bangun, hayo berangkat ke Pek-hun-ceng."
Anak muda itu kucek-kucek matanya yang masih sepat, katanya mengunjuk tawa, "Toaya
silakan naik ke atas kereta."
"Toaya tidak naik kereta."
Anak muda itu tercengang, tanyanya, "Kenapa tidak naik kereta?"
"Karena Toaya senang!" sahut Si Toa-han.
0oo0
Masih amat muda usia anak muda ini, tapi dia sudah tujuh tahun melakukan pekerjaan ini
sehari-hari, selama ini belum pernah dia kebentur dengan laki-laki seaneh ini. Uang sudah dibayar
untuk ongkos perjalanan naik kereta, tapi dia malah rela berjalan di belakang kereta.
Tapi asal orang yang mengeluarkan uang suka begitu, umpama dia merangkak di belakang
kereta, tiada orang yang mempedulikan dirinya. Meski dalam hati si anak muda merasa heran dan
tidak mengerti, tapi dia pun tidak ambil peduli lagi.

Begitulah segera dia jalankan keretanya di depan, di belakang kereta ikut berjalan tiga orang,
laki-laki gede laksana malaikat galak, seorang timpang yang bermuka pucat, orang ketiga adalah
perempuan muda yang cantik manis.
Rombongan aneh yang berjalan berjajar seperti mereka, tidak heran bila menimbulkan
perhatian dan menjadi pandangan aneh orang-orang di pinggir jalan. Tapi Si Toa-han beranjak
sambil membusungkan dada, bagaimana orang memandang dirinya, sedikit pun dia tidak ambil di
hati.
Sebaliknya pikiran Pho Ang-soat amat kalut, aku berjalan menurut arahku sendiri, hakikatnya
dia tidak pernah melirik kepada orang lain
Demikian pula Cui-long seolah-olah tidak melihat orang lain, di depan Pho Ang-soat
bahwasanya tidak pernah dia melirik orang lain.
Anak muda yang pegang kendali di atas kereta diam-diam menggerutu, sungguh dia tidak habis
mengerti kenapa ketiga orang ini hendak menuju ke Pek-hun-ceng. Pek-hun-ceng bukan tempat
yang harus didatangi oleh orang-orang aneh seperti mereka.
Sebetulnya tempat apakah Pek-hun-ceng itu?
Setelah menenggak araknya, tiba-tiba Si Toa-han memburu beberapa langkah ke depan
mendekati kereta seraya berteriak, "Kita bukan hendak buru-buru melawat orang mati, apa tidak
bisa kau perlambat jalan keretamu?"
"Bisa, sudah tentu bisa," sahut si anak muda menyengir tawa. Kalau yang menyewa kereta
tidak terburu-buru, sudah tentu dia lebih tidak tergesa-gesa.
Akhirnya Si Toa-han kendorkan langkah kakinya, katanya, "Pek-hun-ceng tidak jauh dari sini,
yang terang dalam satu hari kita bisa tiba di sana " Ucapannya ini agaknya dia tujukan kepada Pho
Ang-soat, tapi Pho Ang-soat anggap seperti tidak mendengar.
Akhirnya Si Toa-han sejajar dengannya, tanyanya, "Entah untuk apa kau hendak pergi ke Pekhun-
ceng?"
Pho Ang-soat tetap bungkam seperti tidak mendengar.
"Kau kenal Wan Chiu-hun?" tanya Si Toa-han.
"Siapa itu Wan Chiu-hun?" akhirnya Pho Ang-soat balas bertanya.
"Wan Chiu-hun adalah Cengcu Pek-hun-ceng."
"Aku tidak kenal."
Si Toa-han tertawa, ujarnya, "Dengan Si Toa-han saja kau tidak kenal, sudah tentu tidak kenal
siapa sebenarnya Wan Chiu-hun itu."
"Kau kenal dia?"
"Bagaimana aku bisa kenal dengan si kolot tua itu?" Lama Pho Ang-soat berdiam diri, tiba-tiba
bertanya, "Kau hanya kenal Lok Siau-ka?"
"Darimana kau tahu aku hanya kenal dia?" tiba-tiba Si Toa-han geleng-geleng kepala,
sambungnya, "Sudah tentu kau tahu, siapa pun akan menduga bahwa aku ke sana memang
hendak mencarinya."
"Untuk apa kau cari dia?"
"Tidak untuk apa-apa, cuma ingin mengiris batok kepalanya, sekali tendang memasukkan
mayatnya ke dalam selokan."
"Jadi dia musuhmu?"
"Sebetulnya bukan," ujar Si Toa-han, setelah menenggak araknya, dia menambahkan,
"Sebetulnya dia adalah teman baikku."

"Teman baik?"
Si Toa-han mengertak gigi, katanya, "Ada kalanya seorang teman lebih menakutkan dari
seorang musuh, terutama teman seperti dia itu."
"Kau pernah ditipu olehnya?"
"Seluruh harta milik keluargaku telah kuserahkan kepadanya, tapi dia malah tinggal minggat,
membawa semua harta dan perempuanku."
Pho Ang-soat mengerut kening, katanya, "Kelihatannya dia bukan orang seperti apa yang kau
tuduhkan."
"Justru karena tampangnya tidak mirip orang jahat, maka aku mau percaya kepadanya."
"Ada kalanya teman memang jauh lebih menakutkan dari seorang musuh," Pho Ang-soat
menegas.
"Selamanya kau tidak punya teman?"
"Tidak."
Si Toa-han menghela napas, kembali dia menenggak arak sepuasnya.
Lama sekali tiba-tiba Pho Ang-soat buka suara, "Sebetulnya kau tidak usah mengiringi aku
berjalan."
"Memang tidak perlu, sebetulnya kita bisa naik kereta bersama."
Pho Ang-soat tidak banyak komentar. Setelah menempuh perjalanan beberapa jauh, tiba-tiba Si
Toa-han angsurkan buli-buli araknya sambil berkata, "Kau minum arak?"
"Aku tidak pernah minum arak "
"Selamanya tidak pernah minum arak?"
"Sejak lahir tidak pernah."
"Berjudi?"
"Selamanya tidak pernah berjudi dengan uang."
"Apa yang suka kau lakukan?"
"Apa pun tidak suka."
"Bila seseorang tidak mempunyai sesuatu kesenangan, apa faedahnya hidup?"
"Memangnya aku hidup bukan untuk kesenangan."
"Lalu untuk apa kau hidup?"
"Untuk membalas dendam "
Mengawasi muka orang yang pucat, timbul rasa ngeri pada lubuk hatinya, katanya tertawa
getir, "Agaknya menjadi musuhmu memang bukan suatu hal yang menyenangkan."
Pho Ang-soat menunduk mengawasi goloknya, mulutnya terkancing Bercahaya sorot mata Si
Toa-han, katanya mencari tahu, "Apa kau juga kenal Lok Siau-ka?"
"Aku hanya pernah melihatnya."
"Bagaimana kau bisa melihatnya?"
"Dia hendak membunuhku."
"Akhirnya bagaimana?"
"Akhirnya dia tinggal pergi malah "
"Kau biarkan dia pergi?"

"Aku memang tidak bermaksud membunuhnya ... yang ingin kubunuh hanya seorang."
"Musuhmu?"
Pho Ang-soat manggut-manggut. "Musuhmu hanya satu orang?"
"Sekarang aku hanya tahu satu saja."
"Agaknya nasibku lebih baik dari kau." Setelah menenggak araknya, mulutnya bernyanyi-nyanyi
kecil melagukan nyanyian yang merawankan hati itu.
Tiba-tiba Pho Ang-soat menghela napas, katanya, "Sebetulnya nasibmu lebih baik dari aku."
"Kenapa?"
"Kalau ada musuh banyak yang bisa kau bunuh, sungguh merupakan uatu hal yang
menggembirakan, sayang aku ...." sorot matanya memancarkan derita yang tidak terperikan,
katanya rawan, "Sayang sekali musuh satu-satunya yang kucari itupun tidak bisa kutemukan "
"Siapakah musuhmu yang satu itu?"
"Kau tidak perlu tahu."
"Bukan mustahil aku bisa bantu kau menemukan dia." Pho Ang-soat ragu-ragu, dia
mempertimbangkan sekian lamanya. Akhirnya berkata, "Dia she Be."
"Be apa?"
"Be Khong-cun."
"Majikan Ban-be-tong?" tanya Si Toa-han terbelalak.
"Kau kenal dia?"
Si Toa-han geleng-geleng kepala, tidak menjawab dia malah menggumam, "Tak heran kau
hendak meluruk ke Pek-hun-ceng."
"Ada hubungan apa Pek-hun-ceng dengan Ban-be-tong?"
"Sebetulnya tidak ada hubungan apa-apa."
"Sekarang ada?"
"Memangnya kau tidak tahu hari apa sekarang?"
"Darimana aku bisa tahu?"
"Jadi kau tidak menerima undangan?"
"Undangan apa?"
"Undangan pernikahan!"
"Siapa yang menyebar undangan ini?"
"Sudah tentu Pek-hun-ceng, hari ini adalah hari pernikahan Siau-cengcu mereka," tutur Si Toahan.
"Aku sendiri tidak kenal dia, tapi mempelai perempuannya, kau tentu mengenalnya."
"Siapa mempelai perempuannya?"
"Ialah putri Be Khong-cun, kabarnya bernama Be Hong-ling."
Seketika berubah roman muka Pho Ang-soat.
"Kuduga Be Khong-cun pasti juga hadir di dalam pernikahan putrinya di Pek-hun-ceng." Belum
habis dia berkata, tahu-tahu Pho Ang-soat sudah melesat ke depan, melompat naik ke atas kereta.
Begitu ilmu Ginkangnya dikembangkan, gerak-geriknya secepat anak panah, lincah dan
cekatan, sekali-kali orang tidak akan menyangka bila dia adalah seorang timpang. Mengawasi
gerak-geriknya, sorot mata Si Toa-han mengandung perhatian yang serius, sesaat kemudian dia
baru menghela napas, seraya berseru memuji, "Memang hebat Ginkangnya."

Saat itu Pho Ang-soat sudah menerjang ke depan kereta, sekali raih dia sambar cemeti di
tangan anak muda itu, "Tar!", dengan keras dia melecut pantat kuda. Setiap kali mendengar kabar
atau jejak Be Khong-cun, seketika dia lupa segalanya.
Kereta itu dibedal kencang sebentar saja sudah pergi jauh meninggalkan kepulan debu panjang
di belakangnya, Si Toa-han dan Cui-long berdua ditinggal pergi begitu saja.
Cui-long menundukkan kepala, tak tertahan air mata sudah hampir bercucuran.
Mendadak Si Toa-han tertawa mengawasinya, katanya, "Jangan kuatir, dia tidak akan
meninggalkan kau seorang diri." Sembari bicara tiba-tiba dia gerakkan kakinya melangkah lebar
enam-tujuh langkah mengejar di belakang kereta, dimana tangannya diulur, dia menarik bagasi
kereta.
Kuda yang menarik kereta seketika meringkik panjang dan berdiri dengan kedua kaki
belakangnya, secara kekerasan kereta yang berlari kencang ini berhasil dia tahan dan tarik secara
mentah-mentah, setengah langkah pun tidak bisa maju lagi.
Si Toa-han berpaling kepada Cui-long, katanya tertawa, "Silakan naik "
Cui-long akhirnya mengangkat kepala tersenyum kepadanya, waktu lewat di samping orang,
tiba-tiba dia berkata lirih, "Tidak pantas perempuan itu meninggalkan kau lari ikut Lok Siau-ka, kau
adalah seorang Kuncu."
Si Toa-han menghela napas, ujarnya, "Sayang sekali pada zaman seperti ini, Kuncu di hadapan
perempuan sudah tidak lagi terpandang."
0oo0
Cuaca sudah terang berderang. Sang Surya sudah menyinari segala penjuru dunia.
Hari ini adalah tanggal 15 bulan 9.
0oo0
Jalan raya yang menuju ke Pek-hun-ceng penuh sesak dengan hilir mudiknya kendaraan kereta
dan kuda-kuda yang ditunggangi anak-anak muda yang berpakaian perlente.
Biasanya kuda untuk menarik kereta memang bukan kuda yang dapat berlari cepat, tapi karena
dihajar dan dipecut, sekarang dia sudah kerahkan setaker tenaganya.
Pho Ang-soat sudah mengembalikan cemeti kepada si anak muda dan duduk kembali di
belakang, tangannya menggenggam kencang gagang goloknya. Memang kedua tangannya itu
tidak cocok untuk memegang kendali.
"Kenapa tidak kau menyimpan tenaga untuk menghadapi Ban-be-long-cu!"
Pho Ang-soat diam-diam saja, mukanya yang pucat bersemu hijau mengkilap.
Cui-long duduk di sampingnya, mengawasinya dengan sorot kuatir dan masgul
Sementara Si Toa-han masih sibuk menenggak araknya, gumamnya, 'Aku mengharap Lok Siauka
dan Be Khong-cun sama-sama berada di sini
"Kalau begitu kurangilah minummu," kata Pho Ang-soat.
"Kenapa?"
"Ikan yang mabuk takkan bisa membunuh orang, terutama melawan orang seperti Lok Siauka."
"Apakah sebelum membunuh orang hanya boleh makan kacang?"
Sedikitnya kacang lebih baik daripada arak."
"Dalam hal apa kacang lebih baik dari arak."
"Dalam hal apa saja lebih baik."

Bila mulut seseorang sedang mengunyah, memang membikin semangat orang kendor,
sebaliknya kacang memang makanan yang menambah vitamin dan menyehatkan badan,
menambah tenaga dan gairah orang.
Mata Si Toa-han melotot, seperti marah, namun dia menghela napas, katanya, "Agaknya kita
memang harus makan kacang, naga-naganya kita terlalu tegang sendiri."
Anak muda yang pegang kendali tiba-tiba berpaling ke belakang, katanya tertawa, "Sekarang
kita sudah menuju ke arah Pek-hun-ceng dari sini sudah terlihat perkampungan Pek-hun-ceng di
depan sana."
Si Toa-han mengulurkan leher memandang ke tempat jauh. Katanya kemudian dengan
mengerut kening, "Agaknya Pek-hun-ceng merupakan perkampungan yang tidak kecil!"
"Keluarga Wan adalah keluarga terkaya dan berkuasa di daerah ini, setiap kali menyinggung
tuan muda keluarga Wan, delapan ratus li sekitar daerah ini tiada yang tidak mengenalnya."
Si Toa-han segera mendelik, bentaknya bengis, "Toayamu justru tidak tahu barang macam apa
tuan muda dari keluarga Wan itu."
Melihat dirinya dipelototi, seketika kuncup nyali si anak muda, selanjutnya dia tidak berani
banyak mulut lagi.
Tatkala itu kereta sudah memasuki jalan pegunungan, kedua sisi jalan dipagari pepohonan
yang rindang, jarang kelihatan bayangan orang di sepanjang jalan ini. Tamu yang diundang
agaknya sudah berkumpul semua di Pek-hun-ceng.
"Apakah Be Khong-cun betul-betul berada di sini?" Pho Ang-soat bertanya-tanya dalam hati,
otot hijau di punggung tangannya sampai merongkol keluar, maklumlah kalau dia tidak pegang
kencang gagang goloknya, jari-jarinya mungkin bisa gemetar.
Diam-diam Cui-long memegang tangannya, katanya halus, "Kalau dia berada di sini, takkan bisa
lolos, kenapa kau tegang dan gugup?"
Kelihatannya Pho Ang-soat seperti tidak mendengar ucapannya, matanya melotot memandang
lurus ke depan, mengawasi golok di tangannya.
Si Toa-han pun sedang mengawasi goloknya itu, golok yang bergagang hitam dan bersarung
hitam pula. Itulah golok biasa yang tiada bedanya dengan golok umumnya, tapi bila golok ini
tergenggam di jari-jari Pho Ang-soat, maka golok itu rasanya seperti membawa kegaiban.
Dengan menghela napas, Si Toa-han bertanya, "Bolehkah aku melihat golokmu?"
"Tidak boleh."
"Kenapa?"
"Tiada orang yang pernah melihat golokku."
"Kalau aku ingin melihatnya?"
"Kalau begitu harus ada orang yang mampus, kau atau aku!" Sedikit berubah rona muka Si
Toa-han, katanya dengan tertawa, "Pedang Lok Siau-ka sebaliknya tidak takut dilihat orang,
pedangnya itu memang tidak punya sarung."
"Sembarang waktu boleh kau melihat golokku." Sorot matanya seperti memandang ke tempat
jauh, katanya lebih lanjut dengan tandas, "Sebetulnya golok ini memang selalu membawa sebal
dan sial, siapa saja yang pernah melihatnya pasti tertimpa malang."
Berubah pula air muka Si Toa-han, ingin bertanya lagi, tapi pada saat itu pula kereta tiba-tiba
berhenti. Begitu dia berpaling, maka dilihatnya sesuatu benda kecil berkilauan disorot sinar
matahari, itulah sebutir kacang. Kacang yang sudah dikuliti melayang di tengah udara. Kacang itu
melayang jatuh, masuk ke dalam mulut Lok Siau-ka. Dengan kemalas-malasan Lok Siau-ka berdiri
di tengah jalan, pedangnya pun berkilauan ditimpa sinar matahari.

Kontan Si Toa-han berjingkrak bangun, atap kereta sampai disundulnya pecah berhamburan.
Lok Siau-ka menghela napas, katanya, "Untung kereta ini tidak kuat, kalau tidak, bukankah
kepalamu yang bocor dan berlubang?"
Bengis suara Si Toa-han, "Bukankah kau memang ingin kepalamu bocor?"
"Coba kau pikir-pikir dulu, keadaan itu memang tidak jelek, kau tuang arak ke dalam lubang
kepalamu, memang lebih enak dan gampang daripada kau tuang arakmu ke dalam mulut."
Si Toa-han berjingkrak gusar, serunya, "Masih berani kau membanyol di hadapanku? Masih
berani kau menemui aku?"
"Kenapa aku tidak berani? Memangnya aku sedang menunggumu disini."
"Kau tahu kalau aku hendak kemari?"
"Banyak orang sedang heran, kenapa kau tidak duduk di atas kereta, aku sebaliknya tidak
heran, umpama kau gendong kereta ini di punggungmu, aku tidak akan heran," ujar Lok Siau-ka
tertawa, "Memangnya orang seperti tampangmu apa saja yang bisa melakukan?"
"Dan kau? Kerja apa pula di dunia ini yang pantang kau lakukan?"
"Pekerjaan orang goblok aku tidak sudi melakukan."
"Sudah tentu kau tidak goblok, aku inilah yang goblok, ternyata aku memandang laki-laki
seperti tampangmu sebagai teman baik."
"Memangnya aku adalah teman baikmu."
"Kau ini temanku? Mana delapan puluh ribu uang perak yang kuserahkan kepadamu?"
"Sudah kugunakan."
"Apa?" Si Toa-han berjingkrak. "Kau gunakan sampai habis?"
"Kita toh teman baik, sebagai teman memang tidak perlu memandang harta milik siapa punya,
kenapa uangmu tidak boleh kugunakan?"
"Kau ... cara bagaimana kau gunakan uang sebanyak itu?"
"Kuberikan kepada orang."
"Kau berikan kepada siapa?"
"Sebagian besar kuberikan kepada rakyat jelata yang mengungsi dari banjir sungai Huang-ho,
sebagian lagi kuberikan kepada para yatim piatu dan janda-janda yang suaminya kau bunuh."
Tanpa memberi kesempatan Si loa-han bicara, lekas dia menyambung, "Uang itu asal-usulnya
tidak genah, tapi aku menggunakannya secara gamblang demi kepentingan masyarakat lagi, untuk
ini pantas kalau kau berterima kasih kepadaku."
Si Toa-han menjublek sampai lama, tiba-tiba dia bertanya dengan keras, "Lalu perempuanku,
memangnya juga kau berikan kepada orang lain?"
"Perempuanmu sih tidak kuberikan kepada orang."
"Lalu dimana dia sekarang?"
"Aku sudah membunuhnya."
Si Toa-han berjingkrak gusar, teriaknya, "Apa? Kau membunuhnya?"
"Aku membunuh orang memangnya bukan kejadian yang harus dibuat heran, kenapa kau ribut
tak keruan?"
"Kau ... kenapa kau membunuhnya?"
"Karena dia ingin mencuri orang."
"Hah, mencuri orang, mencuri laki-laki? Siapa dia?"

"Aku!"
Si Toa-han melongo dan melenggong
Kata Lok Siau-ka, "Walau dia hendak mencuri hatiku, tapi dia tidak berhasil, tapi aku tidak
berani tanggung laki-laki lain semua seperti diriku, aku pun tidak berani tanggung kalau
perempuanmu itu tidak akan mencuri laki-laki lain, oleh karena itu terpaksa kubunuh dia, hanya
dengan cara ini aku bisa menolong kesulitanmu."
"Memangnya kau tidak bisa menggunakan cara lain?"
"Cara lain aku tidak bisa, aku hanya bisa membunuh orang."
Si Toa-han menjublek lagi sekian lamanya, mendadak dia terbahak-bahak dengan
menengadah, serunya, "Bagus, bagus sekali kau membunuhnya?"
"Memangnya tepat aku membunuhnya."
"Setiap kali membunuh kau memang menyenangkan hati orang juga."
"Menghamburkan uang aku pun bisa menyenangkan hati orang."
"Benar, memang menyenangkan, mau tidak mau aku harus mengagumi dan memuji kau."
"Memang aku tahu kau pasti akan kagum dan memuji aku."
"Arakku ini lumayan, nah minumlah."
"Kacangku inipun enak, kebetulan untuk teman minum."
Keduanya tertawa terbahak-bahak berhadapan, yang satu menarik pundak, yang lain
menggengam kencang tangannya.
Anak muda kusir kereta itu sampai melongo dan terkesima mengawasi tingkah-laku mereka,
belum pernah selama hidup dia melihat dua orang teman seaneh dan selucu ini.
Tiba-tiba Si Toa-han bertanya pula, "Tapi kenapa tidak kau tunggu aku pulang terus tinggal
pergi?"
"Aku buru-buru hendak membunuh orang."
"Membunuh siapa?"
"Orang yang barusan berada dalam keretamu."
"Barusan? ...." waktu Si Toa-han berpaling, baru sekarang dia melihat Pho Ang soat yang tadi di
atas kereta kini sudah tidak kelihatan bayangannya, tinggal Cui-long seorang yang masih duduk,
tapi sekarang tidak tertunduk lagi, malah dengan tajam dia mengawasi Lok Siau-ka. "Mana lakilakimu?"
tanya Si Toa-han.
"Dia bukan laki-lakiku, karena dia tidak pernah memandang aku ini perempuannya, boleh dikata
selama ini dia tidak memandang aku sebagai manusia."
"Mungkin kau salah menilainya," kata Si Toa-han
"Aku tidak salah ... selamanya aku tidak akan keliru menilai seorang laki-laki." Waktu bicara
matanya tetap mengawasi Lok Siau-ka, tiba-tiba dia menyeringai dingin, katanya pula, "Sekarang
akhirnya aku bisa melihat juga laki-laki macam apa kau sebenarnya."
"Aku laki-laki macam apa?"
"Laki-laki yang tidak punya nyali, laki-laki penakut."
Lok Siau-ka mandah tertawa.
"Jika kau punya keberanian, kenapa kau tidak berani mengawini Be Hong-ling?"
"Kenapa aku harus mengawini dia?"
"Karena aku tahu dia pergi ikut kau."

"Kau tahu?"
"Aku melihat dia pergi mengejar kau, aku tahu dia pasti berhasil menyandakmu."
"Agaknya tidak sedikit urusan yang kau ketahui."
"Sayang sekali sedikit sekali urusan yang diketahuinya, maka dia jatuh hati kepadamu."
"Kau kira dia memang mencintai aku?"
"Kalau tidak mencintai kau. buat apa dia mengejarmu."
"Mungkin hanya karena dia ingin aku membunuh orang bagi kesenangan hatinya."
"Laki-laki membunuh orang demi seorang perempuan bukan suatu kejadian yang harus dibuat
heran, memangnya kau tidak pernah membunuh orang?"
"Apakah kau pun ingin aku membunuh Pho Ang-soat?"
"Kau berani melaksanakan?"
Lok Siau-ka tertawa dingin.
"Justru karena kau tidak berani, maka kau mencari jalan memberikan dia kepada orang lain."
"Kau kira aku yang tidak sudi mengawini dia?"
"Jika dia mengejarmu tanpa menghiraukan segalanya, bagaimana mungkin tidak mau kawin
dengan kau?"
"Dalam hal ini sudah tentu ada kisahnya."
"Kisah apa?"
"Aku membawanya ke Pek-hun-ceng, dia bertemu dengan Siau Wan,tiba-tiba dia merasa Siau
Wan lebih baik dari aku, maka dia lantas jatuh hati kepada Siau Wan, aku ditendangnya pergi."
Sampai di sini Lok Siau-ka menghela napas, katanya dengan menyengir kecut, "Cerita ini tidak
berbelit-belit dan tidak perlu dibuat heran, tidak jarang terjadi peristiwa seperti ini "
"Kenapa kau membawanya ke Pek-hun-ceng?"
"Karena aku sering pergi datang ke tempat itu."
"Mungkin kau hanya ingin berusaha membebaskan diri dari kuntitannya, maka sengaja kau
membawanya ke sini, sengaja kau memberi peluang kepadanya untuk bertemu dengan Siau
Wan."
"O, menurut rekaanmu begitu."
"Karena sebenarnya kau takut berhadapan dengan Pho Ang-soat, takut pedangmu tidak lebih
cepat dari goloknya."
"O, kau kira aku takut mati "
"Tapi sekarang tentunya kau tidak perlu takut kepadanya lagi, karena dia pasti tidak akan
mencarimu, sekarang sedikit pun kau tiada sangkut-paulnya dengan orang-orang Ban-be-tong."
"Memangnya sejak mula aku tiada hubungan apa-apa dengan mereka."
"Tapi sekarang Pek-hun-ceng sudah terikat besanan dengan Ban-be-long”
"Bukankah perjodohan ini memang setimpal?"
"Dan lagi dia tentu tidak tahu bahwa kaulah yang membawa Be Hong ling kemari."
"Memang tidak banyak persoalan yang dia ketahui."
"Oleh karena itu dia pun merasa Wan Chiu-hun adalah salah satu dari musuh-musuhnya."
"Ya, kemungkinan."

"Maka kemungkinan sekarang dia sudah membunuh Wan Chiu-hun."
"Memang mungkin."
"Sedikit pun kau tidak ambil perhatian?"
"Kenapa aku harus memperhatikannya? Peduli dia yang membunuh Wan Chiu hun atau Wan
Chiu hun yang membunuhnya, memang apa sangkut-pautnya dengan diriku?"
"Lalu apa yang menjadi perhatianmu?"
"Aku hanya memperhatikan diriku sendiri." sahut Lok Siau-ka tertawa. "Seperti juga kau, kapan
kau pernah memperhatikan orang lain?"
Cui-long menggigit bibir, katanya pelan-pelan, "Tapi aku sungguh amat memperhatikannya."
"Memperhatikan Pho Ang-soat?"
"Kau tidak percaya?" tiba-tiba biji matanya yang elok itu berlinang air mata, katanya pilu,
"Sudah tentu kau tidak percaya, ada kalanya aku sendiri pun tidak percaya, kenapa aku bisa
berubah amat memperhatikan dirinya."
"Di kala air mata berlinang, keadaanmu sungguh amat mempesonakan, sayang sekali aku
hanya suka perempuan yang bisa tertawa, bukan yang suka menangis."
Cui-long mengkertak gigi, tiba-tiba dia menubruk turun dari atas kereta entah kapan dia sudah
mengeluarkan sebilah pisau, langsung dia menusuk ke dada orang. Tapi cepat sekali tangannya
sudah kena ditangkap.
Lok Siau-ka tersenyum, dengan kencang dia pegang tangan orang, katanya, "Membunuh orang
sebetulnya tidak usah kau menggunakan pisau, perempuan seperti kau, kenapa harus
menggunakan pisau untuk membunuh orang?"
"Ting", pisau itu jatuh ke atas tanah. Cui-long tiba-tiba menjatuhkan diri ke dalam pelukannya,
pecah tangisnya tergerung-gerung. Barusan dia hendak membunuhnya, tapi kini dia rebah di dada
orang, seolah-olah sudah menyerahkan seluruh raganya kepadanya. Karena Lok Siau-ka
kenyataan lebih kuat lebih perkasa dari dirinya. Perempuan memang hanya menghormati dan
mengagumi laki-laki yang lebih kuat, lebih perkasa dari dirinya.
Dari samping Si Toa-han mengawasi mereka dingin-dingin saja, tiba-tiba tertawa, ujarnya,
"Barusan agaknya dia ingin benar membunuhmu."
"Memang kenyataan."
"Tapi sekarang ...."
"Sekarang dia sudah tahu takkan bisa membunuhku."
"Oleh karena itu dia sekarang sudah siap untuk kau garap!”
"Apa? Garap?"
"Masakah kau tidak tahu apa yang kumaksud dengan 'Garap' ?"
Sudah tentu Lok Siau-ka tahu. Setiap laki-laki pasti tahu.
"Begitulah perempuan, kalau dia tidak berhasil menggarapmu, kau boleh segera
menggarapnya."
Lok Siau-ka menunduk mengawasi Cui-long dalam pelukannya.
Jelas Cui-long sudah mendengar seluruh percakapan mereka, tapi sedikit pun dia tidak
memperlihatkan reaksi apa-apa. Badannya terasa lembut, gemulai dan hangat.
Berkata pula Si Toa-han dengan tertawa, "Pho Ang-soat adalah bocah yang belum tahu main
asmara, perempuan ini agaknya hanya bisa dilayani oleh laki-laki setaraf kita ini."

Lok Siau-ka tiba-tiba berkata dingin, "Memang dia sebetulnya adalah pelacur." Mendadak kedua
tangannya merenggut payudaranya, meremasnya dengan keras. Tapi Cui-long tetap diam saja
tidak menunjukkan reaksi apa-apa.
Mengawasi muka orang, sorot mata Lok Siau-ka tiba-tiba menampilkan rasa muak dan benci,
sekali renggut dia jambak rambutnya, sebelah tangan yang lain pulang pergi menempeleng
pipinya. Kulit mukanya yang pucat itu seketika merah bertapak jari-jari tangan, darah meleleh dari
ujung bibirnya.
Akan tetapi sorot matanya malah bersinar terang, mengawasi Lok Siau-ka, mendadak dia
tertawa lebar, serunya, "Ternyata kau adalah ...."
Lok Siau-ka tidak memberi kesempatan mulutnya mengoceh, kembali telapak tangannya
melayang menampar mulutnya. Cui-long kontan terlempar jatuh dan terguling ke bawah kereta,
meringkuk lemas tak bergerak lagi.
Si Toa-han menarik napas, katanya, "Tidak pantas kau memukulnya, kau harus ...."
"Seharusnya aku telah merenggut jiwanya."
"Kenapa? Karena dia mencuri laki-laki lain? Tapi Pho Ang-soat kan bukan temanmu, apalagi dia
sendiri memangnya seorang pelacur "
"Pelacur tidak pantas dibunuh, di dunia ini masih ada perempuan yang lebih rendah
martabatnya dari pelacur."
"Perempuan macam apa?"
"Pelacur pembawaan sejak lahir."
"Memangnya kau mengharap perempuan di seluruh dunia ini semuanya harus perawan tingting?"
"Buat apa kita berdiri di sini hanya mengobrol soal perempuan?"
"Kita harus kemana?"
"Melihat orang membunuh orang," sikapnya menjadi bergairah, dia merasa melihat membunuh
orang lebih baik daripada melihat perempuan.
"Membunuh orang? Siapa membunuh orang?"
"Kecuali Pho Ang-soat, siapa pula yang membunuh orang patut kita tonton?" sahut Lok Siau-ka
tertawa. "Tentunya kau pun ingin melihat betapa cepat gerakan golok Pho Ang-soat itu."
Kini muka Si Toa-han yang menampilkan mimik aneh, katanya tersenyum, "Aku cuma
mengharap dia jangan salah membunuh orang."
0oo0
BAB 30. JAGO PEDANG PELINDUNG BUNGA
Lok Siau-ka dan Si Toa-han sudah pergi, Cui-long masih meringkuk di bawah kereta, lemas tak
bergerak.
Kusir kereta sejak tadi menyembunyikan diri di belakang kereta, mukanya pucat-pias karena
ketakutan melihat adegan tadi, setelah melongo sekian lamanya baru bergegas dia maju
menghampiri serta berjongkok menarik Cui-long keluar dari kolong kereta. Dia mengira Cui-long
pasti amat marah, penasaran dan tersiksa.
Siapa tahu dia justru sedang tertawa. Selebar mukanya sudah merah menghijau karena
tamparan keras tadi, darah masih meleleh dari ujung bibirnya, tapi sorot matanya penuh
mengandung cemooh dan ejekan
Anak muda itu melenggong.

Tiba-tiba Cui-long berkata, "Tahukah kau kenapa dia memukulku?"
Anak muda itu geleng-geleng kepala.
"Karena dia sedang marah terhadap dirinya sendiri."
Si anak muda lebih tidak mengerti, tanyanya, "Kenapa marah kepada dirinya sendiri?"
"Dia amat gegetun karena dirinya bukan laki-laki jantan, meski aku ini seorang perempuan, tapi
dia hanya bisa melihat aku saja."
Si anak muda tetap tidak mengerti.
"Sekarang baru aku tahu, dia tidak lebih hanya seekor cacing."
"Cacing?"
"Kau belum pernah melihat cacing?"
"Sudah tentu aku pernah lihat."
"Bagaimana rupa cacing itu?"
"Lemas, dingin dan licin serta menjijik”
"Bukankah cacing tidak bisa keras?"
"Selamanya takkan bisa jadi keras."
"Nah, oleh karena itu dia adalah Cacing, di hadapan perempuan selama hidupnya anunya itu
tidak akan bisa menegang keras."
Baru sekarang anak muda itu paham duduk persoalannya. "Dia memang pelacur pembawaan
sejak lahirnya", teringat akan makian ini, serta melihat tubuh orang yang montok dan
menggiurkan, mukanya nan molek ... jantung si anak muda menjadi berdegup keras, tiba-tiba dia
memberanikan diri katanya megap-megap, "Aku ... aku bukan cacing."
Cui-long tertawa manis. Waktu dia tertawa, sorot matanya malah menampilkan rasa duka dan
derita, katanya halus, "Menurut pandanganmu aku ini perempuan macam apa?"
Dengan muka merah si anak muda mengawasinya, katanya tergagap, "Kau ... kau ... kau
adalah perempuan yang amat cantik."
"Dan apa lagi?"
"Dan lagi ... dan lagi kau amat baik, baik ...." sungguh tak habis terpikir dalam benaknya
dengan kata-kata muluk apa dia harus memuji.
"Apakah kau hendak meninggalkan aku seorang diri di sini?"
"Sudah tentu tidak," sahut si anak muda dengan suara keras. "Aku bukan laki-laki keparat
seperti dia itu."
"Jadi laki-laki yang meninggalkan aku begitu saja adalah keparat?"
"Bukan saja keparat, dia memang bedebah, laki-laki pikun."
Mengawasi orang, lama kelamaan berlinang air mata Cui-long, lama sekali baru dia ulur
tangannya pelan-pelan. Jarinya nan lembut dan runcing halus. Mengawasi jari-jari tangan yang
putih halus laksana salju ini, si anak muda sampai terpesona.
"Lekas papah aku naik ke atas kereta," kata Cui-long
"Mau ... mau pergi kemana?" tanya si anak muda kebingungan
"Terserah mau kemana, asal kau yang membawaku pergi," kata Cui-long lembut, habis katakatanya
tak tertahan air mata pun bercucuran.
^"^

"Apa benar hari ini keluarga mereka yang ada kerja?"
"Sudah tentu benar, kalau tidak, masakah mereka mengundang tamu begini banyak."
"Tapi kenapa muka semua hadirin tiada yang kelihatan riang gembira? Kelihatannya seperti
melayat orang meninggal."
"Dalam hal ini tentu ada sebabnya."
"Sebab apa?"
"Sebetulnya hal itu merupakan rahasia, tapi sekarang sudah tidak bisa mengelabui kau lagi."
"Sebetulnya kenapa?"
"Orang-orang yang diundang semuanya sudah hadir hanya masih kurang seorang lagi."
"Siapa?"
"Seorang yang amat penting."
"Siapakah sebenarnya?"
"Mempelai laki-laki. Dua hari yang lalu dia pergi ke kota, hadir dalam undangan pernikahan
orang, sebetulnya hari itu juga dia sudah pulang, tapi sampai sekarang dia justru masih belum
kelihatan bayangannya "
"Kenapa?"
"Tiada yang tahu."
"Lalu dimana dia sekarang? Pergi kemana?"
"Tiada orang pernah melihatnya, mendadak dia menghilang."
"Aneh...."
"Memang aneh."
0oo0
Melihat para undangan dalam perjamuan pernikahan ini merengut dan menarik kening,
semuanya seperti tegang dan tidak sabar, sungguh merupakan suatu kejadian yang tidak boleh
dianggap aneh dan menarik.
Tapi Yap Kay justru tertarik oleh kejadian aneh ini. Seolah-olah dia seperti memperoleh suatu
pengalaman yang jarang terjadi dan sulit didapat, memang perjamuan pernikahan dalam suasana
seperti sekarang jarang terlihat.
Dengan seksama dia memperhatikan setiap orang yang lewat dari depannya, dia tengah
mereka-reka, entah berapa banyak di antaranya tengah kebat-kebit dan menguatirkan bagi
keluarga Wan? Ada raut muka orang yang amat serius, ada yang masgul, tapi mungkin karena
perut mereka lapar dan ingin lekas-lekas makan minum dari hidangan yang disediakan. Mungkin
pula ada yang sedang menyesal, terasa kado yang mereka sumbangkan nilainya terlalu besar,
terlalu banyak, tak setimpal dengan imbalan.
Akhirnya Yap Kay tertawa.
Ting Hun-pin duduk di sebelahnya, katanya berbisik, "Kau tidak pantas tertawa."
"Kenapa?"
"Setiap hadirin sekarang sudah tahu bahwa mempelai laki-laki hilang, kalau kau tertawa,
bukankah kau seolah-olah sedang merestui kejadian ini."
"Bagaimana pun tertawa kan lebih baik dari menangis, betapa pun mereka hari ini mengadakan
pesta pernikahan, bukan melayat orang mati."
"Jangan kau mengeluarkan kata-kata yang tidak genah lagi."

"Tidak bisa."
"Apanya tidak bisa?"
"Karena kalau aku tidak bicara, kau sendiri juga akan bicara."
Ting Hun-pin sudah menarik muka, kelihatan sedang marah, sebetulnya hatinya malah amat
senang. Karena dia sudah meresapi benar-benar bahwa Yap Kay jauh berbeda dengan laki-laki
umumnya, dan yang terang laki-laki pujaannya ini tidak hilang.
0oo0
Hari sudah lohor.
Walau mempelai pria belum ada kabar, tapi tamu-tamu yang hadir kan tidak boleh menunggu
terlalu lama dengan perut kosong. Maka perjamuan cepat sekali sudah dihidangkan, oleh karena
itu semangat hadirin kelihatannya rada pulih dalam kegembiraan.
Ting Hun-pin malah mengerut kening, katanya, "Para kakakku yang jempolan itu kenapa tiada
yang kelihatan?"
"Apa mereka mau datang?"
"Mereka berjanji hendak datang."
"Kau juga mengharap mereka datang?"
Ting Hun-pin manggut-manggut, katanya menahan geli, "Ingin aku melihat bagaimana sikap
cecongor Lok Siau-ka bila berhadapan dengan mereka "
"Kalau benar Lok Siau-ka berhasil membunuh mereka semua?"
"Kenapa kau memandang rendah anggota keluarga Ting kami?"
"Karena anggota keluarga Ting juga memandang rendah diriku."
"Ya hanya keluarga Be saja yang memandang tinggi pribadimu sampai putra dan putrinya
dipasrahkan kepadamu."
Yap Kay mendadak menghela napas, ujarnya, "Kalau tahu Be Hong-ling bakal menikah, tentu
Siau-hou-cu akan kubawa kemari."
Sekarang Siau-hou-cu sudah dia tinggalkan di rumah seorang sahabatnya. Seorang sahabat
yang mempunyai peternakan besar, mereka suami isteri sejak lama sudah menginginkan punya
anak, begitu melihat Siau-hou-cu, senang mereka bukan main seperti ketiban rezeki.
Memang Yap Kay punya banyak teman, teman yang beraneka ragam, dari tingkat tinggi sampai
tingkat terendah, teman-teman yang mempunyai obyek kerja yang berlainan pula. Memang
wataknya yang supel dan suka berteman, sehingga teman-temannya pun senang bergaul
dengannya.
Ting Hun-pin melotot katanya tiba-tiba dengan dingin.. "Kenapa menghela napas? Apakah
karena nona Be menikah dengan orang lain, maka hatimu sedih dan mendelu."
"Yang terang nona Ting yang ayu ini toh belum menikah dengan laki-laki lain, buat apa aku
bersedih?"
Tak tahan Ting Hun-pin tertawa, katanya lirih, "Kalau kau tidak segera ke rumah meminang
aku, akan datang suatu hari aku pasti menikah dengan orang lain."
"Kalau begitu aku akan....” sampai di sini dia merandek dan tidak meneruskan kata-katanya,
karena saat itu juga dia melihat Pho Ang-soat.
0oo0
Pho Ang-soat tetap menggenggam goloknya, pelan-pelan dia melangkah ke dalam ruang
perjamuan yang besar dan luas ini. Di dalam ruang perjamuan penuh sesak berjubel para tamu,

tapi sikap dan tindak-tanduknya seolah-olah sedang berjalan di padang ilalang yang semak dan
belukar. Dalam pandangan matanya seolah-olah tiada orang lain.
Tapi perhatian hadirin seketika tertuju kepadanya, setiap orang tiba-tiba merasa ruang
perjamuan yang panas dan gerah ini seketika menjadi dingin. Pemuda timpang yang bermuka
pucat ini seolah-olah membawa hawa membunuh yang tajam laksana pisau.
Yap Kay pun merasakan hal ini, katanya pelan-pelan sambil mengerut alis, "Kenapa dia pun ke
sini?"
"Bukan mustahil Lok Siau-ka yang mencarinya kemari?"
"Kenapa dia sengaja mencari kita dan membawa kemari? Aku sendiri sebenarnya juga merasa
heran," sampai di sini tiba-tiba dia berhenti bicara, karena Pho Ang-soat saat itu juga sudah
melihat mereka, sorot matanya seolah-olah dilapisi es.
Dengan tersenyum Yap Kay segera berdiri, selamanya dia menganggap Pho Ang-soat sebagai
teman sendiri. Tapi lekas sekali Pho Ang-soat sudah melengos ke arah lain tanpa melirik pun
kepadanya, pelan-pelan dia maju terus melewati orang-orang yang memagari jalanan, kulit
mukanya seolah-olah sudah dilapisi es.
Tapi jari-jari tangannya yang memegang golok malah gemetar, meski kencang pegangan
tangannya, tak urung gemetar juga tangan dan badannya kalau langkahnya pelan sebaliknya
napasnya menderu kencang.
Ting Hun-pin geleng-geleng kepala, katanya, "Lagaknya dia bukan hendak mencicipi
perjamuan."
"Memangnya dia tidak ingin melalap hidangan."
"Memangnya apa maksud kedatangannya?"
"Sudah tentu hendak membunuh orang "
"Membunuh siapa?"
"Dia sudah berada di sini, sudah tentu orang yang punya tempat ini yang hendak dibunuhnya."
Suaranya kalem, tapi bernada berat dan prihatin.
Selama berkumpul, belum pernah Ting Hun-pin melihat sikap dan mimiknya ini, tanyanya,
"Apakah dia hendak membunuh Wan ...."
Semakin serius sikap Yap Kay, pelan-pelan dia manggut-manggut. "Membunuhnya di sini?
Sekarang juga membunuhnya?"
"Selamanya dia tidak pernah menunggu untuk membunuh orang."
"Kau tidak berusaha mencegahnya?"
"Tiada orang yang kuasa merintangi dia membunuh orang." Sorot matanya tiba-tiba berubah
setajam golok, hanya orang-orang yang dibekali dendam kesumat saja yang punya sorot mata
begitu menakutkan.
Ting Hun-pin kalau melihat sorot matanya ini, mungkin bisa tidak mengenalnya lagi, karena
saat itu seolah-olah dia mendadak berubah menjadi bentuk manusia yang lain.
Tapi Ting Hun-pin hanya mengawasi golok di tangan Pho Ang-soat, katanya menghela napas,
"Agaknya pesta perjamuan hari ini bakal berubah menjadi bencana ...."
0oo0
Muka yang pucat, goloknya yang hitam.
Hati orang ini seperti juga adanya warna hitam dan putih ini, penuh dirundung pertentangan
dan kontradiksi.

Apakah itu kehidupan? Apa pula kematian itu? Mungkin dia tidak tahu. Dia hanya tahu
membalas sakit hati. hanya tahu adanya dendam.
0oo0
Pelan-pelan Pho Ang-soat menyusuri pagar manusia yang mengawasinya dengan pandangan
ngeri, maju terus. Di ujung tengah ruang perjamuan sana tergantung secarik kertas warna emas
yang bertuliskan "Hi" dilingkari hiasan kain sutra merah.
Warna merah tanda bahagia, melambangkan kesenangan dan suasana gembira.
Tapi darah juga merah.
Seorang nyonya pertengahan umur yang sanggul kepalanya penuh ditaburi perhiasan tengah
membawa sebuah cangkir berisi teh, entah apa yang sedang dipercakapkan dengan temannya
secara bisik-bisik. Mendadak waktu dia berpaling, dilihatnya Pho Ang-soat yang mendatangi,
Cangkir teh di tangannya tiba-tiba terlepas jatuh.
Pho Ang-soat melirik pun tidak kepadanya, tapi golok di tangannya tahu-tahu sudah terulur ke
depan, kelihatannya gerak-geriknya biasa saja, tidak cepat, tapi cangkir yang melayang jatuh
ternyata tepat jatuh di atas pedangnya. Air teh dalam cangkir sedikit pun tidak tercecer tumpah.
Yap Kay menghela napas, ujarnya, "Golok yang cepat sekali "
"Memang amat cepat," Ting Hun-pin ikut kagum.
Pelan-pelan Pho Ang-soat mengangkat tangannya, dia angsurkan kembali cangkir di ujung
pedangnya ke hadapan nyonya itu. Ingin tertawa, tapi kulit mukanya serasa kaku, terpaksa
nyonya itu menyengir dan berkata dengan suara dipaksakan, "Terima kasih!" Tangannya sudah
diulurkan hendak mengambil cangkir itu, tapi tangannya gemetar hebat
Sekonyong-konyong dari samping terulur sebuah tangan menyambut cangkir itu. Sebuah
tangan yang tenang dan tabah. Mengawasi tangan ini akhirnya Pho Ang-soat mengangkat kepala,
maka dilihatnya orang yang mengambil cangkir itu.
Seorang laki-laki pertengahan umur yang berpakaian serba mewah, bermuka bersih dan
bercahaya, meski rambut di pinggir kedua keningnya sudah memutih. Kelihatannya masih gagah
dan dan kekar, tindak-tanduknya masih menarik perhatian kaum perempuan.
Sebetulnya sukar menilai berapa sebenarnya usianya. Jari-jari tangannya pun terpelihara
dengan baik amat bertenaga. Bukan saja amat kokoh memegang golok atau pedang, agaknya jarijarinya
itupun ahli dalam menggunakan senjata rahasia.
Pho Ang-soat menatapnya, tiba-tiba bertanya, "Kau Wan Chiu-hun?"
Orang itu tersenyum sambil geleng-geleng kepala, sahutnya, "Cayhe Liu Tang-lay."
"Mana Wan Chiu-hun?"
"Sebentar dia akan keluar."
"Baik. aku menunggunya."
"Untuk apa tuan mencarinya?"
Pho Ang-soat tidak mau menjawab. Sorot matanya tertuju ke tempat jauh, dalam
pandangannya sudah tidak terlihat lagi adanya Liu Tang-lay yang berdiri di depan matanya.
Ternyata Liu Tang-lay juga bersikap acuh tak acuh, dengan tersenyum dia kembalikan cangkir
teh itu kepada nyonya perlente itu, katanya, "Tehnya sudah dingin, biarlah kucarikan secangkir
yang lain untuk gantinya."
Nyonya itu tertawa berseri sambil menunduk, sahutnya, "Banyak terima kasih." Berhadapan
dengan Liu Tang-lay, perasaan tertekan tadi terasa mengendor sama sekali.

Ting Hun-pin juga sedang mengawasi Liu Tang-lay, katanya, "Apakah dia itu Hou-hoa-kiamkhek
Liu Tang-lay?" Hou-hoa-kiam-khek artinya ahli pedang pelindung kembang, yang diartikan
kembang tentunya perempuan-perempuan cantik
Yap Kay tertawa, ujarnya, "Ada juga orang yang menamakan Toh-bing-kiam-khek." Toh-bingkiam-
khek berarti tokoh pedang pencabut nyawa.
"Bukankah dia termasuk saudara ipar Wan Chiu-hun?"
"Bukan saja mereka famili, mereka pun mengangkat saudara "
"Kabarnya orang ini amat menarik perhatian kaum perempuan."
"O, begitukah yang kau dengar "
"Kulihat sikapnya memang lembut dan sopan terhadap perempuan, kau harus belajar banyak
kepadanya."
"Memang aku harus banyak belajar kepadanya, kabarnya di rumah dia punya sembilan gundik,
entah berapa lagi gendak-gendaknya di luaran, mungkin tak terhitung banyaknya."
Ting Hun-pin melotot, katanya dengan menggigit bibir, "Kenapa kau tidak belajar yang baikbaik."
Tiba-tiba mukanya jadi merah karena disadari dalam ruang besar yang sepi ini hanya
mereka berdua saja yang masih bersenda-gurau dan bicara, maka tidak sedikit hadirin yang
berpaling ke arah mereka.
Memang hadirin belum ada yang tahu apa maksud kedatangan pemuda bermuka pucat ini tapi
samar-samar mereka sudah mendapat firasat jelek, seolah-olah suatu bencana bakal terjadi.
Pada saat itulah semua hadirin melihat seseorang menerjang keluar dari pintu belakang,
seorang perempuan yang berpakaian mewah serba merah dengan mahkota berada di atas
kepalanya. Perempuan ini adalah mempelai perempuan Be Hong-ling.
Mempelai pria hilang dan tidak diketahui arah parannya, tiba-tiba mempelai perempuan berlari
keluar seorang diri, seketika mata hadirin terbelalak, mulut pun melongo, serasa bernapas pun
sesak.
0oo0
Pakaian pengantin yang dipakai Be Hong-ling amat menyolok, entah potongan atau warnanya,
tapi raut mukanya ternyata amat pucat. Dia langsung menerjang ke depan Pho Ang-soat,
teriaknya dengan suara bergetar, "Kau! Ternyata kau!"
Pho Ang-soat hanya meliriknya sekilas, seolah-olah sebelum ini belum pernah dia melihat
perempuan di depannya ini.
Be Hong-ling melotot, biji matanya merah membara desisnya, "Mana Wan Ceng-hong?"
"Wan Ceng-hong siapa?" bertaut alis Pho Ang-soat.
"Bukankah kau sudah membunuhnya? Ada orang melihat kalian ...."
Akhirnya Pho Ang-soat mengerti, jadi tuan muda pemilik perkampungan ini adalah mempelai
pria, dan mempelai pria ini adalah pemuda berpedang yang berhadapan dengan dirinya di kota
Tiang-an itu.
Sekarang dia pun sudah melihat Peng Liat. Sudah tentu Peng Liat juga menjadi tamu dalam
pesta perjamuan ini, bukan mustahil Peng Liatlah yang memberi tahu hal itu kepada mereka.
"Sebetulnya aku memang bisa membunuhnya," ujar Pho Ang-soat tawar.
Bergetar badan Be Hong-ling, mendadak dia berteriak kalap, "Pasti kaulah yang membunuhnya,
kalau tidak, kenapa dia tidak datang, kau ... kau ... kenapa kau selalu menyakiti aku, kau ...."
Suaranya serak dan tersendat, air mata pun bercucuran. Di dalam lengan bajunya sudah
menyembunyikan sebatang pedang pendek, mendadak dia menubruk maju, laksana kilat

menyambar pedang pendek di tangannya menusuk ke dada Pho Ang-soat. Serangannya ini amat
keji dan penuh dendam, rasanya ingin sekali dia tusuk tamatkan riwayat Pho Ang-soat.
Dengan dingin Pho Ang-soat mengawasinya, tiba-tiba sarung pedangnya terangkat melintang
terus mengetuk. Kontan Be Hong-ling tergentak mundur, seketika pinggangnya meliuk dan
muntah-muntah dengan kerasnya. Tapi tangannya masih mencekal pedang pendek itu kencangkencang.
"Sebetulnya bisa aku membunuh kau," jengek Pho Ang-soat dingin.
Be Hong-ling berusaha menegakkan badan dengan napas tersengal-sengal, tiba-tiba dia
memekik keras, kembali dia menubruk maju sambil mengayun pedang. Agaknya kali ini dia sudah
mengerahkan setaker tenaganya. Tapi dari samping seseorang dengan ringan menarik lengan
bajunya, seluruh kekuatannya yang menerjang ke depan seketika sirna tanpa bekas. Itulah ilmu
Su-nio-boat-jian-kin dari aliran Lwekeh, suatu kepandaian peranti digunakan untuk meminjam
tenaga lawan.
Tidak banyak orang yang pernah meyakinkan kepandaian dari aliran Lwekeh ini, maka lebih
jarang tokoh-tokoh yang benar-benar mahir dan lihai menggunakan ilmu kepandaian ini. Meski
ada, paling sedikit harus mempunyai landasan Lwekang dua-tiga puluh tahun. Oleh karena itu
orang ini tentu seorang kakek, seorang tua yang punya wibawa.
Pakaian orang ini tidak kalah perlente dan mewah, sikapnya lebih gagah berwibawa dan serius
dari Liu Tang-lay, sepasang matanya menyorotkan cahaya terang, dengan bengis dia menatap Pho
Ang-soat, bentaknya, "Apa kau tidak tahu bila dia seorang perempuan?"
Pho Ang-soat tutup mulut.
Semakin gusar dan beringas si orang tua, serunya, "Walau dia bukan apa-apaku, aku tidak
akan membiarkan kau bertindak kasar terhadap perempuan."
"Jadi dia adalah menantumu?" tiba-tiba Pho Ang-soat buka suara.
"Benar," sahut si orang tua.
"Jadi kau inilah Wan Chiu-hun?"
"Tidak salah."
"Aku tidak membunuh putramu."
Dengan tajam Wan Chiu-hun mengawasinya, akhirnya dia manggut-manggut, katanya,
"Agaknya kau bukan laki-laki yang pandai membual."
"Tapi kemungkinan aku akan membunuhmu," ujar Pho Ang-soat kalem.
Sekilas Wan Chiu-hun melenggong, tiba-tiba dia terbahak-bahak Biasanya dia jarang tertawa
lebar, bahwa sekarang dia terbahak-bahak, karena di dalam benaknya mendadak dibayangi
ketakutan yang benar-benar mengetuk sanubarinya. Katanya dengan tertawa lebar. "Katamu kau
hendak membunuhku? Berani kau di sini mengucapkan kata-kata seperti ini?"
"Barusan sudah kukatakan, kini aku ada sebuah pertanyaan ingin bertanya kepadamu."
"Kau boleh bertanya."
"Sembilan belas tahun yang lalu, apakah kau pun berada di luar Bwe-hoa-am di Loh-sia-san?"
Tawa Wan Chiu-hun tiba-tiba berhenti seperti mulutnya mendadak tersumbat sesuatu, sorot
matanya seketika memancarkan ketakutan dan ngeri, raut mukanya yang kereng berwibawa
seketika berkerut-kerut berubah bentuk. Teriaknya tertahan, "Kau adalah Pek ... pernah apa kau
dengan Pek-tayhiap?"
Mendapat pertanyaan balasan ini, muka Pho Ang-soat yang pucat seketika merah padam,
badannya mulai gemetar. Anehnya tangan yang semula gemetar kini malah tenang dan mantap.
"Aku adalah putranya!" mulutnya mendesis.

Habis mendengar jawaban ini, jiwa Wan Chiu-hun pun melayanglah.
Golok Pho Ang-soat tiba-tiba menyambar keluar. Membunuh orang dia tidak pernah
membuang-buang waktu.
0oo0
Sinar golok berkelebat, semua hadirin hanya melihat berkelebatnya selarik sinar perak, tiada
seorang pun yang melihat jelas bentuk goloknya. Demikian pula Wan Chiu-hun sendiri tidak
melihatnya. Tahu-tahu sinar perak atau ujung golok itu sudah amblas tembus ke dalam dadanya.
Semua kegaduhan seketika sirap dan suasana menjadi hening lelap, segala gerakan pun
berhenti seluruhnya. Sesaat kemudian baru terdengar tenggorokan Wan Chiu-hun berbunyi "krokkrok"
seperti suara katak. Matanya terbelalak mengawasi Pho Ang-soat, sorot matanya
mengandung heran, tidak mengerti, ketakutan, duka lara dan curiga. Dia tidak percaya bahwa
sambaran golok Pho Ang-soat ternyata begitu cepat. Lebih tidak dipercaya lagi bahwa Pho Angsoat
benar-benar tega membunuh dirinya.
Dengan melotot Wan Chiu-hun mengawasi muka orang yang pucat, tiba-tiba dia meronta
mundur melepaskan badannya dari tusukan golok orang. Maka terjungkallah badannya. Darah
menyembur keluar membasahi badan, berceceran di atas lantai. Biji matanya sudah melotot,
dengan sisa tenaga dan napasnya yang terakhir dia paksakan diri berkata, "Malam itu aku tidak
berada di luar Bwe-hoa-am!" Habis kata-katanya, melayang juga jiwanya.
Golok itu sudah kembali di dalam sarungnya, golok yang masih berlepotan darah.
Sekonyong-konyong didengarnya di belakang sebuah suara dingin yang tajam berkata, "Kau
salah orang!"
Kuping Pho Ang-soat seolah-olah pekak dan mendengung mendengar kata-kata ini, meski tidak
keras orang bicara, tapi bagi pendengaran Pho Ang-soat laksana bunyi guntur menggelegar di
pinggir kupingnya. Lama sekali baru dia pelan-pelan membalik badan.
Liu Tang-lay berdiri di depannya, mukanya pucat beringas, matanya setajam golok, katanya
pelan, "Malam itu, dia memang tidak berada di Bwe-hoa-am."
"Kau tahu?" tanya Pho Ang-soat mengertak gigi.
"Hanya aku yang tahu."
Berkerut-kerut muka Liu Tang-lay karena emosi dan tertekan batinnya, katanya lebih lanjut,
"Malam itu, kebetulan istrinya pun meninggal karena susah melahirkan, dari malam sampai pagi
dia terus berjaga di pinggir pembaringan, setengah langkah pun tidak pernah berpisah sampai
istrinya ajal."
Terasa oleh Pho Ang-soat, seolah-olah dada sendiri pun terhujam oleh golok tajam, seluruh
badan menjadi dingin dan basah kuyup
"Tapi dia tahu jelas peristiwa berdarah di luar Bwe-hoa-am itu."
"Dia ... bagaimana dia bisa tahu?"
"Karena aku memberitahu rahasia itu kepadanya."
Setiap patah kata jawaban ini laksana martil yang mengetuk batok kepalanya.
"Akulah salah seorang dari sekian banyak orang yang berusaha membunuh ayahmu pada
malam itu di luar Bwe-hoa-am," kata Liu Tang-lay dengan menekan perasaan sedihnya, lalu dia
berpaling mengawasi jenazah Wan Chiu-hun, katanya rawan, "Bukan saja dia familiku, dia pun
teman yang paling baik, sejak kecil kita hidup bersama, di antara kita selamanya tiada perbedaan
tiada rahasia apa pun."
"Oleh karena itu kau tuturkan peristiwa itu kepadanya?"
"Tapi tidak pernah terpikir olehku bahwa aku malah mencelakai jiwanya."

Kata-kata ini laksana sebatang jarum menusuk ke hulu hati Pho Ang-soat.
Berkata Liu Tang-lay lebih lanjut, "Setelah mendengar penuturanku, dia pernah memarahi aku,
dikatakan tidak pantas aku demi seorang perempuan sampai melakukan perbuatan yang
memalukan itu, tapi aku maklum akan maksud baiknya, karena dia tidak tahu betapa besar cinta
kasihku terhadap perempuan itu."
"Kau jadi pembunuh gelap, hanya ... hanya karena seorang perempuan?" tanya Pho Ang-soat.
"Benar, untuk seorang perempuan, dia bernama Kiat-ji, semula menjadi milikku, tapi
mengandal kekuasaan dan harta bendanya, Pek Thian-ih merebutnya dari tanganku."
"Kau bohong!" hardik Pho Ang-soat kalap.
"Aku bohong?" Liu Tang-lay terloroh-loroh menengadah, "Buat apa aku harus bohong?
Memangnya kau belum tahu orang macam apa sebenarnya ayahmu itu? Boleh kuberitahu
kepadamu, dia adalah se ...."
Pho Ang-soat mendadak menggerung keras, sinar goloknya yang kemilau kembali berkelebat
keluar dari sarungnya. Dada Liu Tang-kay sudah mengucurkan darah, namun roman mukanya
masih menampilkan senyuman hina dan penuh kebencian.
"Sepatah kata lagi kau berani membusukkan nama beliau, kau akan mampus pelan-pelan!"
"Wan-loji sudah mati lantaran aku, memang aku sudah tidak ingin hidup lagi, bagaimana pun
kematianku tidak menjadi soal."
"Oleh karena itu kau memfitnah dengan mulutmu yang kotor."
"Kapan saja kau boleh membunuh aku, terserah cara apa yang ingin kau gunakan, tapi kau
harus percaya bahwa apa yang kuucapkan adalah benar dan nyata."
Bergetar badan Pho Ang-soat, tiba-tiba dia putar badan, tahu-tahu dia lolos sebatang pedang
dari pinggang seorang yang berdiri di belakangnya terus dilempar kepadanya.
Liu Tang-lay menangkap pedang itu.
"Sekarang kau sudah bersenjata."
"Ya, aku sudah bersenjata."
"Kenapa tidak segera turun tangan, memangnya kau hanya berani membunuh orang bila kau
menutupi mukamu dengan kedok?"
Dengan nanar Liu Tang-lay mengawasi pedang di tangannya, mulutnya menggumam,
"Memang aku pantas membunuhmu, supaya kau tidak kesalahan membunuh orang lain, tapi
darah sudah banjir menjadi aliran, aliran darah sudah panjang dan jauh ...." Tiba-tiba dia
mengayun tangan, pedang di tangannya berkelebat menjadi tabir cahaya kemilau. Gerakan
pedangnya lincah, enteng dan dahsyat. Gerak sasarannya tepat, perubahan jurus tipunya aneh
dan cepat luar biasa.
Hou-hoa-kiam-khek memang salah satu tokoh pedang yang paling kenamaan pada zaman itu,
ketenarannya memang tidak bernama kosong. Karena dia harus menebus ketenaran ini dengan
darah orang banyak. Akan tetapi hari ini dia harus menebus kebesaran namanya dengan darahnya
sendiri
Lekas sekali gugusan tabir cahaya terang dari kemilaunya batang pedang telah kuncup. Tahutahu
golok sudah menghujam ke dadanya.
Dengan senyum sinis dia tetap mengawasi Pho Ang-soat, katanya dengan napas tersengalsengal,
"Memang golok cepat yang tiada bandingannya di dunia, sayang sekali betapa pun cepat
golok itu, kenyataan tidak akan mungkin dipungkiri." Habis kata-katanya badannya segera
tersungkur roboh.
0oo0

BAB 31. TERUKIR HINGGA LUBUK HATI
Golok sudah kembali ke dalam sarungnya. Pelan-pelan Pho Ang-soat membalik badan, kaki kiri
melangkah, kaki kanan dengan kaku diseret maju ke depan. Pelan-pelan dia keluar dari pagar
manusia, matanya mendelong lurus ke depan, serasa ciut nyalinya melihat dua mayat yang
terkapar di lantai, tiada nyali melirik pun kepada orang-orang yang memagari jalannya.
Sekonyong-konyong terdengar jerit tangis sesambatan. Itulah tangisan Be Hong-ling, sambil
tergerung-gerung dia sesambatan dan mengutuk tujuh turunan, semua kata-kata paling kotor
terucapkan dari mulutnya.
Tapi Pho Ang-soat tidak mendengar, seluruh badan atau raganya seolah-olah sudah pati rasa.
Ting Hun-ho merengut, belum bicara. Ting Hun-pin sudah menarik lengan bajunya, katanya
berbisik, "Kau lihat orang di depan itu? Orang yang pinggangnya menyoreng pedang itu."
Orang yang baru masuk dari luar adalah Lok Siau-ka.
Ting Hun-ho mengerut kening, katanya, "Apa kau juga berhubungan dengan orang seperti itu?"
"Kau tahu siapa dia?"
Ting Hun-ho manggut-manggut. Tiada kaum persilatan yang tidak kenal melihat pedangnya.
"Katanya dia hendak membunuhmu," kata Ting Hun-pin.
"O. Membunuhku?"
"Begini saja sikapmu?"
"Yang terang sekarang aku masih hidup."
"Apa kau tak ingin bertanding dengannya, pedang siapa lebih cepat?"
"Pedangku selamanya tidak bisa cepat" Ilmu pedang dari aliran Lwekeh memang
mengutamakan lambat mengatasi cepat ketenangan melumpuhkan gerakan, kalau latihan ini
sudah diyakinkan sampai ke puncaknya baru betul-betul boleh dianggap sudah mencapai tingkat
murni dari ilmu pedang Lwekeh.
Apa boleh buat, Ting Hun-pin melotot kepada Lok Siau-ka dengan gegetun dan membanting
kaki. Lok Siau-ka sebaliknya tidak menghiraukan sikapnya.
Ting Hun-pin tiba-tiba maju memapak, serunya, "Hai!"
Lok Siau-ka menguliti kacang terus dilempar ke atas.
"Yang berdiri di sana adalah Toakoku, kau sudah melihatnya belum?"
Lok Siau-ka sedang mengawasi kacang yang melayang jatuh.
"Bukankah tempo hari kau bilang hendak membunuhnya?"
Kacang sudah masuk ke mulut Lok Siau-ka, baru sekarang dia menjawab tawar, "Aku pernah
mengatakan?"
"Kenapa sekrang tidak kau luruk ke sana menantangnya?"
"Kebetulan, hari ini aku tiada minat membunuh orang," ujar Lok Siau-kn sambil mengunyah
kacang.
"Kenapa?"
"Sudah banyak yang mati hari ini."
Berputar biji mata Ting Hun-pin, katanya dengan tertawa, "Aku mengerti, ternyata kau hanya
garang di mulut, yang benar hatimu penakut "

Lok Siau-ka tertawa. Dia tidak menyangkal, karena dia memang rada jeri terhadap seseorang.
Tapi orang yang dia takuti terang bukan she Ting.
0oo0
Pho Ang-soat berdiri mematung, berdiri di tengah jalan, dimana tadi kereta berhenti. Berdiri
dimana tadi dia berpisah dengan Cui-long.
Tamu-tamu keluar dari Pek-hun-ceng berbondong-bondong, mereka heran dan bertanya-tanya,
"Kenapa orang ini masih berada di sini?"
Pho Ang-soat sebaliknya tidak melihat mereka, meski mereka berlalu-lalang di depan matanya.
Setelah Cui-long tinggal pergi, jagat raya ini seolah sudah kosong melompong. Sekosong
sanubarinya yang ditinggal pergi.
0oo0
Malam.
Bintang berkelap-kelip di angkasa raya, pohon bergontai dihembus angin musim rontok.
Bulan purnama terasa benderang di musim rontok ini Bintang-bintang itu mirip dengan bintangbintang
kemarin malam, demikian pula bulannya lebih bundar.
Tapi dimanakah si dia? Bintang dan rembulan masih bercokol di angkasa raya.
Dimanakah si dia?
0oo0
Tiga bulan. Mereka sudah menetap bersama tiga bulan lamanya, sembilan puluh hari, sembilan
puluh hari sembilan puluh malam. Waktu tiga bulan berjalan cepat laksana sekejap mata, tapi
setiap malam, setiap saat, entah berapa kenangan yang selalu mengetuk kalbu, pernah mengecap
derita, tapi juga pernah senang bahagia, ada kerisauan ada pula kemesraan. Dan semua itu
sekarang sudah berselang dan takkan kembali lagi.
Pho Ang-soat mengertak gigi, langkahnya lebar, angin kering mulai menghembus air matanya.
Hari sudah petang, lampu remang-remang di dalam sebuah warung membuat suasana semakin
sepi dan dingin. Arak pun terasa getir. Belum pernah dia minum arak, tapi sekarang dia ingin
mabuk. Secawan arak keruh yang cukup keras, dia sudah bertekad untuk menghabiskan secawan
penuh.
Tapi sebelum dia mengulurkan tangan mengangkat cawan araknya, sekonyong-konyong dari
samping terulur sebuah tangan mengambil cawan araknya. "Kau tidak boleh minum arak seperti
ini." Tangan yang lebar segede kipas dengan jari-jarinya sebesar lobak, kulitnya kotor kasar dan
kering, suaranya kuat dan sumbang.
Pho Ang-soat tidak perlu mengangkat kepala, dia kenal baik tangan ini, dia pun kenal suara itu.
Bukankah Si Toa-han memang seorang laki-laki kasar yang kuat dan kotor kering.
"Kenapa aku tidak boleh minum?"
"Karena tidak setimpal arak ini kau minum."
Sebelah tangan Si Toa-han yang lain tengah menjinjing sebuah guci arak yang cukup besar,
dengan keras dia gebrakan guci arak ke atas meja, sekali tepuk dia bikin hancur sumbatnya, terus
menuang dua cawan penuh. Tanpa bicara dan menunjukkan sikap apa-apa, dia angkat sebuah
cawan terus ditenggak habis, sementara secawan yang lain dia angsurkan ke depan Pho Ang-soat.
Pho Ang-soat tidak menolak suguhan orang, hanya mabuk yang terpikir dalam benaknya. Arak
yang terasa pahit, getir, keras dan pedas membakar kerongkongan laksana bara api menerjang
masuk ke dalam tenggorokan terus turun ke perut Pho Ang-soat. Dengan mengertak gigi dia teguk
arak yang terakhir, sedapat mungkin dia kendalikan diri dan bertahan, tidak sampai batuk. Tapi air
mata tak tertahan sudah berlinang-linang.

"Dulu kau belum pernah minum arak?" tanya Si Toa-han sambil mengawasinya.
Tiada jawaban.
Si Toa-han tidak bertanya lagi, kembali dia isi secawan penuh arak. Arak cawan kedua ini
rasanya sudah lain. Waktu dia tenggak habis cawan ketiga, tiba-tiba terasa oleh Pho Ang-soat
timbul suatu perubahan di dalam badannya. Selamanya belum pernah dia alami perasaan seperti
ini.
Pelita yang remang di atas meja terasa memancar lebih terang, badannya semula tegang kaku,
kosong melompong, tapi sekarang mendadak timbul suatu daya kekuatan hidup yang aneh dan
sulit dilukiskan dengan kata-kata.
Mengawasi goloknya, Si Toa-han berkata tandas, "Salah membunuh orang bukan suatu hal
yang harus dibuat perhatian. Betapa banyak para Enghiong di kalangan Kangouw, siapa yang
tidak pernah salah membunuh orang?"
Tiada reaksi.
"Jangan kata lain orang, bicarakan saja Wan Chiu-hun, selama hidupnya entah berapa banyak
manusia tidak berdosa yang terbunuh olehnya."
Pho Ang-soat mengangkat cawan araknya, sekali tenggak dia bikin kering. Dia tahu Si Toa-han
salah paham akan derita batinnya, maka dia lebih memelas hati. Bahwa peristiwa pembunuhan itu
hakikatnya sudah tidak menjadi perhatiannya, kini hanya soal perempuan saja yang masih
mengetuk sanubarinya. Seorang perempuan yang minggat meninggalkan dirinya, meninggalkan
cinta murninya.
Si Toa-han mengisi cawannya lagi, katanya, "Oleh karena itu kau tidak perlu berkecil hati, aku
tahu kau seorang laki-laki sejati, kau ...."
"Aku bukan seorang laki," tukas Pho Ang-soat.
"Siapa yang bilang?"
"Aku yang bilang." Setelah menghabiskan araknya dia banting cawannya ke atas meja, katanya
dengan mengertak gigi, "Hakikatnya aku ini bukan manusia."
"Kecuali kau sendiri, aku berani tanggung, orang lain pasti tak punya pikiran seperti itu."
"Soalnya orang lain tiada yang mengerti dan menyelami diriku."
"Dan kau?" Si Toa-han menegas. "Apa kau benar-benar mengerti dan menyelami dirimu?"
Pho Ang-soat menundukkan kepala. Pertanyaan yang tak mungkin dia jawab.
"Kita bertemu di tengah jalan, sudah tentu aku tidak berani menyelami jiwamu, tapi aku
berani bilang, bukan saja kau ini manusia, malah kau adalah seorang laki-laki yang lain dari yang
lain, oleh karena itu kau tidak perlu mereras diri dan mengambek lantaran sesuatu persoalan."
Sikapnya sungguh-sungguh, suaranya kalem dan tegas, "Terutama jangan lantaran seorang
perempuan."
Mendadak Pho Ang-soat mengangkat kepalanya. Mendadak dia menyadari bahwa penilaian dan
pandangan Si Toa-han terhadap dirinya memang tidak salah.
"Boleh kuberi tahu kepadamu, bukan saja dia tidak setimpal kau pikir, kau kenang sehingga
batinmu menderita, hakikatnya tidak setimpal kau meliriknya."
"Kau ... kau ... kau tahu dia ... dia pergi kemana?" suara Pho Ang-soat gemetar saking tegang.
"Aku tahu."
"Ka ... katakanlah!"
"Aku tidak bisa mengatakan."
"Kenapa?"

Mengawasi muka orang, terunjuk rasa derita pula pada sorot mata Si Toa-han, setelah dia
tuang habis arak dalam cawannya, baru memaksakan diri dia manggut-manggut, ujarnya, "Baik,
kukatakan, dia ... dia pergi ikut seorang."
"Ikut siapa?"
"Ikut bocah yang jadi kusir kereta itu."
Kata-kata ini laksana golok tajam menghujam ke hulu hati Pho Ang-soat. Saking terpukul
batinnya, hampir saja dia menjadi gila. "Kau bohong!"
"Selama hidupku tidak pernah bohong."
"Sekali lagi kau katakan, kubunuh kau."
"Kau boleh bunuh aku, yang terang aku tidak berbohong." Sikap Si Toa-han tenang, "Kau harus
percaya kepadaku, harus percaya!"
Pho Ang-soat sudah menggenggam kencang gagang goloknya, tapi goloknya tak kuasa terlolos,
malah matanya tak tertahan berkaca-kaca. Dia yakin Si Toa-han pasti tidak berbohong kepadanya.
"Sebetulnya kau tidak boleh menyalahkan dia, sebetulnya dia memang bukan pasanganmu, jika
perjodohan ini dipaksakan, hanya derita dan sengsara ... hanya mereka berdualah yang benarbenar
setimpal, karena mereka manusia sejenis."
"Mereka berdua", kedua kata ini laksana golok menusuk hati Pho Ang-soat. Masakah
perempuan pujaan hatinya ternyata adalah perempuan jalang yang kotor dan hina-dina?
Tiba-tiba dia roboh terguling. Tak tertahan air mata bercucuran, tak bersuara, tapi tangis yang
tak bersuara sungguh jauh lebih sedih dan memilukan dari tangis tergerung-gerung.
Si Toa-han diam, dia tidak membujuknya. Dari samping dia hanya mengawasi, setelah arak dan
kepedihan Pho Ang-soat habis bercucuran melalui air mata dan keringatnya, segera dia bangkit
menariknya, katanya, "Hayo, kita cari tempat lain untuk minum sepuasnya lagi."
Pho Ang-soat tidak menolak. Seolah-olah dia sudah kehilangan kontrol dan tenaga serta
gengsinya sendiri.
0oo0
Di tempat itu bukan saja ada arak, berbagai jenis perempuan pun dapat kau cari. Orang sering
bilang arak dan perempuan biasanya merupakan pelipur lara, hanya arak dan perempuanlah yang
dapat melupakan segala kesengsaraan.
Sudah tujuh hari dia mabuk di sini. Di sini ada beberapa macam arak, beberapa jenis
perempuan, dari tiga belas sampai umur tiga puluh. Mereka cantik-cantik, mereka cukup tahu cara
bagaimana menghibur laki-laki.
Sore hari itu. Untuk pertama kali Pho Ang-soat sadar dari kehidupan yang kelelap dalam buaian
cinta dan mabuk. Hawa segar membuat pikirannya jernih, dengan langkah sempoyongan dia
berjalan-jalan menyusuri taman kembang, dari sebuah pintu samping dia berada di sebuah gang
lurus kecil panjang yang menuju keluar. Suasana sepi, hidungnya dirangsang bau kembang wangi.
Setiba di ujung gang Pho Ang-soat mendorong daun pintu serta menghirup hawa segar. Baru saja
dia hendak menyongsong hembusan angin segar dan beranjak keluar dari kurungan maksiat ini.
Pada saat itu pula matanya melihat bayangan seseorang.
Cui-long.
Setelah mengalami derita dan siksa, tiba-tiba hari ini dia melihat Cui-long.
Cui-long berjalan dengan seorang pemuda, pemuda yang jadi kusir kereta itu.
Kini dandanannya sudah perlente, orang tidak akan tahu bahwa dia semula hanya bocah kusir
kereta Kini dia mengenakan pakaian serba baru yang mahal harganya, dandanannya mirip benar
dengan putra hartawan di kota yang suka pemogoran

0oo0
Pho Ang-soat merasakan seluruh badannya kaku mengejang. Seluruh badannya seolah-olah
berkobar, goloknya pun seperti memburu. Golok masih dicekalnya, dia boleh menerjang maju,
dalam sekejap mata dia bisa membunuh kedua manusia kerdil dan rendah ini.
Tapi dia tetap berdiri menjublek tak bergerak. Karena tiba-tiba dirinya dirangsang rasa malu
yang sukar dilukiskan, malu untuk berhadapan dengan kedua orang ini. Memangnya setimpal dia
bersedih demi perempuan jalang ini? Dengan mendelong dia mengawasi kedua orang ini masuk ke
dalam sebuah penginapan yang paling mewah dan besar di kota ini. Cui-long berjalan di depan,
kusir kereta itu mengintil di belakangnya.
Entah berapa lama tiba-tiba dia merasakan sebuah tangan mungil yang halus sedang mengelus
jari-jarinya, katanya, "Kenapa kau berdiri melongo di sini? Si-toaya sedang mencarimu ubekubekan
ingin mengajakmu minum."
Seketika terasa mulutnya kering dan ketagihan arak. Kenapa dirinya harus tetap menderita
pukulan batin seberat ini.
Maka dia mulai minum, mabuk lagi. Setelah sadar minum lagi sampai mabuk. Gengsi,
keberanian dan kekuatan sudah kelelap di dalam arak yang ditenggaknya. Sekarang hanya golok
itulah yang masih tersisa padanya.
Si Toa-han duduk di hadapannya, secangkir arak yang belum lagi ditenggaknya untuk pertama
kali dalam hari ini berada di depan hidungnya. Seperti orang yang sudah kehausan dan ketagihan
arak cepat dia mengulur tangan mengambil cangkir arak itu. Tapi tangan Si Toa-han tiba-tiba
terulur maju, sekali tampar dia bikin cangkirnya tumpah.
Pho Ang-soat melenggong.
Sikap ramah dan seri tawa Si Toa-han dulu kini sudah lenyap, katanya dengan suara berat,
"Hari ini kau masih ingin minum arak?"
Dengan ragu-ragu Pho Ang-soat manggut-manggut.
"Tahukah kau berapa banyak arak yang sudah kau minum? Berapa pula yang sudah kubayar?"
Pho Ang-soat tidak tahu, dia sudah tidak ingat lagi
Gadis kecil yang melayani mereka segera menjawab dengan tertawa manis, "Sampai hari ini,
rekening arak Pho-toaya seluruhnya ada tiga ribu empat ratus tahil."
"Berapa dia sudah bayar?"
"Sepeser pun tidak membayar."
Si Toa-han menyeringai dingin, katanya, "Sepeser pun tidak bayar, mengandal apa dia masih
duduk di sini minum arak?"
"Karena dia adalah teman baik Si-toaya."
"Memang dia tamuku, sekali dua kali aku boleh traktir dia, tapi masakah aku harus traktir dia
seumur hidup?"
Gadis itu cekikikan, katanya, "Sudah tentu tidak, dia kan bukan anak Si-toaya, kenapa Si-toaya
harus mengongkosi hidupnya?"
Berkata Si-toaya lebih lanjut, "Semula kutraktir dia karena kuanggap dia seorang Enghiong, tak
nyana dia tak ubahnya seperti anjing buduk yang pandai gegares belaka secara gratis, sedikit pun
tidak punya pambek."
Bergetar sekujur badan Pho Ang-soat, keringatpun bercucuran karena amat malu dan terpukul
gengsinya. Tapi dia mandah diam saja, dia terima segala penghinaan ini. Karena dia tahu apa
yang dikatakan memang beralasan dan kenyataan, dengan mengertak gigi pelan-pelan dia bangkit
berdiri.

"Kau ingin pergi?" Si Toa-han berteriak.
"Aku ... sudah saatnya aku pergi."
"Bagaimana dengan rekening arakmu?"
Pho Ang-soat tutup mulut. Dia tidak bisa menjawab. "Rekening tiga hari di muka aku boleh
mentraktirmu, tapi sebelas hari kemudian ...."
Gadis cilik itu segera menyambung, "Rekening sebelas hari belakangan seluruhnya berjumlah
dua ribu delapan ratus lima puluh tahil."
"Kau dengar tidak, dua ribu delapan ratus lima puluh tahil, tanpa kau lunasi lantas hendak
pergi!"
Pho Ang-soat tetap bungkam, dia tetap tidak bisa memberi jawaban.
"Apakah kau tidak punya uang untuk bayar? Baik, tinggalkan golokmu, kau boleh pergi!"
"Tinggalkan golokmu!", kata-kata ini seolah-olah geledek yang menggelegar di pinggir telinga
Pho Ang-soat, sehingga Pho Ang-soat seakan-akan merasa dirinya hancur-lebur.
Si Toa-han sebaliknya menyeringai bengis, sekarang dia memperlihatkan kedoknya yang asli.
Entah berapa lama, akhirnya dia mendesis dengan mengertak gigi, "Siapa pun jangan harap
bisa menahan golokku."
Si Toa-han tertawa lebar. "Kalau dulu kau yang berkata demikian mungkin aku masih percaya,
tapi sekarang ...."
"Sekarang bagaimana?"
"Sekarang kau sudah tidak boleh mengatakan demikian, kau tidak setimpal lagi."
Tiba-tiba Pho Ang-soat berpaling, biji matanya sudah merah membara, sekarang baru dia
benar-benar melihat jiwa Si Toa-han yang asli.
Si Toa-han tertawa dingin, "Kalau hari ini tidak kau tinggalkan golokmu, mungkin kau harus
tinggalkan kepalamu "
"Tinggalkan kepalamu!", jadi apa yang diperbuat Si Toa-han selama ini adalah hendak
menunggu kesempatan untuk mengucapkan ancamannya. Ternyata semua ini merupakan suatu
jebakan, suatu perangkap keji.
Golok masih berada di tangannya, sembarang waktu Pho Ang-soat masih kuasa membela diri
dengan senjatanya ini. Tapi sekarang dia sudah kehilangan keyakinan diri, sekali serang
menamatkan jiwa musuh, keyakinan yang aneh dan berlebihan itu, karena harga diri, keyakinan
dan keberaniannya kini sudah kelelap ke dalam arak.
"Cabut golokmu!" Si Toa-han sudah berdiri, badannya yang gede laksana malaikat yang garang.
'Apa sekarang kau sudah tidak berani mencabut golokmu?" Suaranya mengandung ejekan, malah
mengandung keyakinan pula bagi dirinya. Karena dia cukup mengerti sampai dimana tingkat
kepandaian silat Pho Ang-soat, lebih mengerti pula selama setengah bulan ini Pho Ang-soat sudah
banyak kehilangan.
Dan kehilangan ini merupakan perubahan yang menakutkan bagi Pho Ang-soat. Memang siapa
penyebab perubahan ini? Bagaimana perubahan ini bisa terjadi?
Pho Ang-soat tidak mencabut goloknya. Dia tidak bisa mencabutnya. Karena goloknya sudah
tidak berada dalam tangannya, tapi berada dalam sanubarinya. Hatinya sedang meneteskan darah
Derita, siksa, menyesal, malu dan marah.
Semua ini sudah dia resapi lantaran seorang perempuan, karena perempuan itu lari
meninggalkan dirinya, ikut seorang kusir kereta. Habis.

Kalau seorang laki-laki masih ingin hidup dalam keadaan tersiksa dan malu, peduli apa alasan
dan sebabnya, maka hidupnya itu tidak akan berharga.
0oo0
Pho Ang-soat sudah bertekad untuk mencabut goloknya.
0oo0
Hari mulai petang.
Pho Ang-soat sudah siaga untuk mencabut goloknya.
Tapi saat itu juga tiba-tiba didengarnya seorang tertawa. Lok Siau-ka sedang tertawa. Entah
sejak kapan tahu-tahu dia sudah muncul di depan jendela, mendekam di jendela sambil tertawa
mengawasi dirinya.
Serasa menciut hati Pho Ang-soat, setitik harapan yang terpercik dalam benaknya, sekarang
terputus dan luluh
"Eh, jangan lupa, arak wangi, perempuan cantik, masakah kalian hendak mengadu jiwa begitu
saja di tempat seperti ini?"
Si Toa-han berkata, "Masakah membunuh orang harus memilih tempat?"
"Sudah tentu harus memilih tempat yang baik," ujar Lok Siau-ka tertawa. "Aku lebih ahli dalam
membunuh orang, aku berani tanggung, disini bukan tempat yang cocok untuk membunuh
orang."
"Kau hendak memilihkan tempat bagi kita?"
"Taman kembang di luar itu cukup baik, peduli dimana kalian terpukul roboh, aku berani
tanggung kalian pasti akan roboh di bawah kembang."
0oo0
Pho Ang-soat berdiri di ujung jalanan di dalam kebun.
Kini Lok Siau-ka duduk di atas jendela membelakangi kamar, katanya kepada Pho Ang-soat,
"Sebetulnya orang yang menjadi korban hari ini bukan kau."
Pho Ang-soat diam dan mendengarkan.
"Ilmu silat Lo Si keras dan ganas, meski sudah termasuk tokoh kosen tingkat tertinggi, tapi
golokmu seolah-olah mengandung kekuatan iblis yang misterius, seharusnya kau bisa
membunuhnya."
"Tapi sekarang lain, karena kau sudah tidak yakin lagi terhadap dirimu sendiri, sudah tentu
golokmu tidak yakin lagi akan dirimu? Maka kaulah nanti yang bakal ajal."
Berkeringat telapak tangan Pho Ang-soat yang menggenggam golok. "Kematianmu harus dibuat
menyesal, tapi hal ini harus menyalahkan kau sendiri. Seorang laki-laki bila ingin menuntut balas,
maka jangan jatuh hati kepada perempuan lacur yang boleh ditiduri oleh laki-laki siapa saja."
Serasa mengkeret jantung Pho Ang-soat, tiba-tiba dia bersuara, "Seseorang bila ingin hidup
lama, maka dia harus sedikit bicara."
"Memang aku sudah kebanyakan bicara," ujar Lok Siau-ka membuka kacang dan dilempar ke
atas, sambungnya dengan tertawa, "Tapi kau sendiri terlalu sedikit bicara."
"O, aku tidak perlu banyak bicara," sahut Pho Ang-soat. Lok Siau-ka sudah menangkap kacang
itu dengan mulut, katanya sambil mengunyah, "Seharusnya kau tanya kepadanya kenapa dia
hendak membunuhmu ?''
"Aku tidak perlu bertanya."
"Kenapa?"

"Karena aku sudah tahu."
"Kau tahu apa?"
"Aku tahu, dia pasti salah seorang pembunuh di luar Bwe-hoa-am dulu itu."
Lok Siau-ka tiba-tiba tergelak-gelak, ujarnya, "Tahun ini dia baru berusia tiga puluh, waktu itu
dia masih bocah ingusan, kenapa tidak kau hitung usianya."
Pho Ang-soat melongo.
"Cuma kalau kau boleh menuntut balas bagi ayahmu, sudah tentu dia pun boleh membunuhmu
demi ayahnya."
Baru sekarang Pho Ang-soat tahu, Si Toa-han sendiri memang bukan musuh keluarga Pek, tapi
ayahnya tidak perlu disangsikan lagi. Jadi perangkap ini sudah lebih gamblang lagi, tujuannya
adalah untuk mencegah Pho Ang-soat pergi membunuh ayahnya. Siapa berani bilang bahwa usaha
Si Toa-han ini keliru?
Selama ini Si Toa-han tidak banyak mulut, dia sudah mengerahkan seluruh kekuatan dan hawa
murninya ke seluruh badan, senjatanya adalah sebuah kampak besar berat lima puluh kati,
agaknya sekali kampaknya terayun, gunung pun bisa dibelahnya hancur.
Pho Ang-soat menghirup napas panjang, katanya, "Baik, sekarang boleh kau turun tangan."
"Biar aku mengalah, kau boleh lolos golokmu dulu, aku tetap bisa mencabut nyawamu."
Sekonyong-konyong sebelum duel ini terjadi, terdengar seorang berteriak, "Jika kau ingin
membunuhnya,, kau harus bunuh diriku lebih dulu." Suaranya serak dan tertelan di dalam
tenggorokan, namun masih bisa didengar.
Tampak seseorang dari ujung kebun sebelah sana memburu datang, jarang ada orang di waktu
berlari masih tetap menunjukkan gaya yang gemulai begitu indah seperti orang menari. Tapi
rambut sanggulnya sudah berantakan, kegugupan dan gelisah serta ketakutan yang menghiasi
mukanya bukan pura-pura belaka.
Seseorang pemuda mengejar di belakangnya, ingin menariknya, "Buat apa kau urus persoalan
orang lain?" Tapi belum habis dia bicara, tahu-tahu pipinya sudah ditampar dan roboh oleh orang
di depannya yang membalik tiba-tiba.
Si Toa-han dan Lok Siau-ka sama-sama kaget dan heran, mereka berseru berbareng, "Kau!"
Dalam waktu sekejap ini, yang paling kaget heran, paling terpukul batinnya, namun paling
gembira dan terhibur juga adalah Pho Ang-soat. Tiada orang yang bisa menyelami perasaan
hatinya sekarang.
Cui-long langsung memburu datang menghadang di depannya.
"Untuk apa kau kemari?" bentak Si Toa-han.
"Aku tidak bisa melihat dia mati," sahut Cui-long.
"Kau bisa melindungi dia?"
"Tidak bisa, tapi aku bisa mati lebih dulu."
"Kau benar-benar rela mati bagi dia?"
"Kalau tidak buat apa aku memburu datang?"
"Lalu kenapa waktu itu kau minggat?"
"Karena...karena waktu itu aku mengira dia membenciku, merendahkan diriku, kukira
hakikatnya dia tidak pernah ingin mempersunting diriku." Tiba-tiba berlinang air matanya, katanya
lebih lanjut "Tapi sekarang baru aku tahu, dia benar-benar mencintaiku sepunuh hati. sikap
kasarnya dulu hanya karena wataknya saja yang aneh."
Si Toa-han tertawa dingin.

Cui-long mengertak gigi, katanya pula, "Kalau bukan lantaran aku jangan harap kalian berani
bertingkah dan menghadapinya seperti hari ini "
"Apa kau benar-benar ingin mampus di tanganku?"
"Sudah tentu benar, jika dia berkorban lantaran aku, apakah aku bisa hidup."
"Bagus, kalau begitu biar aku sempurnakan kalian bersama."
"Tunggu!" sentak Pho Ang-soat tiba-tiba.
"Apa kau juga tergesa-gesa hendak berlomba mendahului."
Pho Ang-soat tidak menjawab, tidak banyak bicara. Karena sikapnya sudah menandakan
segalanya. Dalam waktu sesingkat itu, karena kehadiran dan pernyataan Cui-long, dia sudah
berubah pula. Sekarang hatinya yang pepat sudah terbuka. Sikapnya kembali berubah penuh
keyakinan, karena dia sadar bahwa sang jelita yang dipujanya sedikit pun tidak berubah, cintanya
murni dan abadi. Tangan yang memegang golok secara aneh tiba-tiba berubah tenang dan
mantap.
Mengawasi perubahan sikap orang, hati Si Toa-han tiba-tiba menjadi ciut, suatu perasaan takut
tiba-tiba menjalar dalam sanubarinya, dia insyaf bila sekarang dia tidak bisa membunuh orang di
hadapannya ini, mungkin kelak dia takkan punya kesempatan. Maka dengan menggerung gusar
seperti harimau kelaparan dia menerjang maju. Kampak besarnya yang berat itu sudah terayun
menerbitkan deru angin kencang.
Kuntum-kuntum kembang di dalam taman seolah-olah seperti diterpa angin lesus, mendadak
rontok beterbangan. Tapi cepat sekali deru angin dan kembang-kembang yang beterbangan
itupun berhenti, kelopak kembang berjatuhan.
Kampak besar itu masih teracung tinggi di atas kepala, tak bergeming, dengan melotot Si Toahan
berdiri di tempatnya tanpa bergerak. Tapi Pho Ang-soat ternyata berada di depannya, berdiri
di bawah kampaknya. Namun goloknya ternyata sudah amblas ke hulu hati Si Toa-han, tinggal
gagangnya saja yang masih kelihatan.
0oo0
Kampak Si Toa-han akhirnya meluncur jatuh, tapi sudah tidak bisa mencelakai jiwa siapa pun.
Biji matanya melotot keluar mengawasi Pho Ang-soat. Dalam matanya penuh dilembari rasa curiga
dan tidak percaya. Tapi sekarang dia harus percaya.
Pho Ang-soat sebaliknya tidak mengawasinya, matanya tertuju pada gagang goloknya, "Trap",
goloknya masuk kembali ke dalam sarungnya.
Tapi Si Toa-han masih berdiri tegak, tiba-tiba dia menghela napas panjang, seolah-olah sedih,
rawan dan berkeluh-kesah. "Sebetulnya aku ingin menganggap kau sebagai temanku." Itulah
kata-katanya yang terakhir. Lalu dia pun terjungkal roboh. Roboh di bawah kembang.
0oo0
Pho Ang-soat tetap kaku di tempatnya, sorot matanya yang dingin ternyata menampilkan rona
kepedihan. "Aku sebetulnya tidak ingin membunuhmu." Namun kata-kata ini tidak dia utarakan,
memang ada kalanya kata-kata tidak perlu diutarakan.
0oo0
BAB 32. SIAU-LI SI PISAU TERBANG
Kelopak kembang terakhir berguguran, semuanya berhamburan di atas jenazah Si Toa-han.
Lok Siau-ka tetap berduduk di tempatnya tidak memburu maju memeriksa jenazah temannya
dia menatap golok di tangan Pho Ang-soat, sorot matanya yang biasanya dingin kini memancarkan
bara yang cemerlang.

"Golokmu cepat sekali!" pujinya. Tiba-tiba Lok Siau-ka tertawa, katanya tawar, "Sayang belum
terhitung paling cepat "
Pho Ang-soat tidak memberi reaksi, karena dia sendiri menyadari walau dia berhasil membunuh
Si Toa-han, ini belum menandakan bahwa kecepatan goloknya sudah pulih seperti sedia kala
Maklumlah meski manusia besi juga akan menjadi loyo tersiksa dan menderita selama tiga belas
hari.
Sebaliknya keadaan Lok Siau-ka sekarang sedang berada di puncaknya. Oleh karena itu
tawanya amat riang, tawa yang kejam. Katanya kalem, "Sekarang dalam hati kita masing-masing
tentu memahami sesuatu."
Pho Ang-soat tetap diam. Karena dia maklum apa juntrungan ucapan Lok Siau-ka.
"Jika aku ingin membunuhmu, sekaranglah kesempatan yang paling baik, hanya orang pikun
yang menyia-nyiakan kesempatan baik ini."
"Kau ...." teriak Cui-long tertahan.
"Kau pun ingin membunuhnya?"
"Masa kau kira aku ini laki-laki pikun?" ujar Lok Siau-ka tertawa. Kacang dibuka lalu dilempar.
Tangannya kering bersih dan tenang mantap. Tapi waktu dia mendongak hendak menangkap
kacangnya, tahu-tahu sudah hilang.
Seperti tersedot oleh suatu tenaga gaib, kacang itu tiba-tiba meluncur ke belakang, jatuh ke
dalam mulut seseorang. Orang itu duduk di atas kursi dimana tadi Pho Ang-soat duduk,
mengunyah kacang pelan-pelan, lalu diambilnya cangkir menenggak secangkir penuh.
Begitu membalik badan Pho Ang-soat lantas melihat dia.
Yap Kay. Si setan gentayangan Yap Kay.
Dengan tersenyum Yap Kay meletakkan cangkirnya.
Lok Siau-ka tiba-tiba tertawa, katanya, "Di atas meja masih ada hidangan, kenapa kau rebut
kacangku?"
"Karena jarang mendapat kesempatan untuk makan kacangmu, hanya si pikun saja yang
menyia-nyiakan kesempatan baik ini."
"Agaknya kau memang bukan orang pikun."
"Oleh karena itu aku masih hidup."
Lok Siau-ka tertawa lebar, sekonyong-konyong seiring dengan gelak tawanya badan pun
berjumpalitan terbalik, tahu-tahu bayangannya sudah menghilang ditelan tabir malam yang mulai
mendatang.
Yap Kay menuang secangkir lagi, gumamnya, "Agaknya orang-orang pikun di dunia ini semakin
sedikit."
0oo0
Lampu sudah menyala, Yap Kay sendiri yang menyulut apinya. Begitu api menyala, Pho Angsoat
lantas muncul di depan pintu. Yap Kay menenggak habis araknya, katanya tersenyum, "Aku
tidak menyuguhmu, karena aku tahu kau sekarang takkan sudi minum arak lagi."
Pho Ang-soat menatapnya lekat-lekat
"Tapi kau boleh masuk duduk di sini, silakan."
Tiba-tiba Pho Ang-soat menukas, "Siapa suruh kau kemari? Katakan!"
"Aku sendiri punya kaki."
"Kenapa kau selalu mencampuri urusanku?"

"Siapa yang mencampuri urusanmu?"
"Tadi kau ...."
"Tadi aku hanya mencaplok kacang Lok Siau-ka, apakah itupun urusanmu?"
Terkancing mulut Pho Ang-soat.
Yap Kay menghela napas, katanya, "Sekarang si pikun semakin jarang, tapi satu dua orang
tetap masih ada."
0oo0
Dengan menunduk kepala Cui-long menyusuri jalan kebun ke arah luar. Pintu sudah di depan
mata, beberapa langkah lagi dia sudah keluar dari bilangan kebun yang terkurung tembok tinggi,
tapi saat itu juga dia dengar di belakangnya ada orang bersuara, "Kau ...."
Biji mata Pho Ang-soat laksana permukaan air danau yang putih kemilau ditimpa sinar bintang.
Cui-long menghentikan langkah, pelan-pelan dia membalik badan.
"Kau hendak pergi lagi?" Pho Ang-soat bertanya sambil menatapnya.
Cui-long manggut-manggut, lalu geleng-geleng pula.
"Kenapa kau selalu tidak menunggu aku?"
Cui-long menunduk, sahutnya, "Kau ... kapan kau pernah menyuruh aku menunggumu?"
Jawaban ini laksana jarum menusuk ke hulu hati. Mendadak Pho Ang-soat memburu maju,
dengan kencang dia memeluknya.
Di kala air matanya berlinang, pecah pula tangis Cui-long.
0oo0
Manusia tetap manusia. Umpama benar sanubarinya dilapisi salju, ada kalanya salju itu akan
lumer.
Kekuatan cinta kasih biasanya memang lebih besar, lebih dahsyat dari dendam kesumat. Ada
kalanya meski dendam itu kelihatannya sudah meruncing, lebih mendalam, tapi hanya kekuatan
cinta saja yang selalu abadi takkan pernah berubah.
0oo0
Yang duduk di jendela adalah Yap Kay. Waktu angin menghembus, di belakangnya terdengar
dering suara kelintingan yang lirih. Dengan pandangan mendelong mereka mengawasi Pho Angsoat
dan Cui-long beranjak keluar, lenyap ditelan kegelapan.
Tiba-tiba Ting Hun-pin menghela napas, ujarnya, "Agaknya dia sekarang sudah berubah lebih
mirip manusia " Sudah tentu yang dimaksud adalah Pho Ang-soat.
Sekarang kemana pun Yap Kay pergi, di situ pula dia berada, bahwa tadi dia tidak muncul
karena dia bertugas mengawasi orang-orang yang menghuni rumah pelacuran ini, bukan dia kuatir
mereka melakukan apa-apa yang merugikan dirinya, tapi dia tidak suka Yap Kay melihat mereka,
demikian pula sebaliknya. Mau tidak mau dia sendiri mengakui bahwa dirinya perempuan yang
paling cemburu.
"Kau kira sebelum ini dia bukan manusia?"
"Sedikitnya aku belum pernah melihat orang seperti dia," ujar Ting Hun-pin. "Selamanya tidak
pernah terpikir olehku, dia bisa begitu tersiksa karena Cui-long."
Yap Kay tiba-tiba tertawa, katanya, "Kau kira derita dan siksa itu benar-benar lantaran dia?"
"Memangnya bukan?" Yap Kay geleng-geleng.
"Lalu apa anggapanmu?"

"Dia selalu merasa dirinya lebih tinggi, lebih suci lebih bersih dari Cui-long, selalu dia merasa
Cui-long tidak setimpal dengan dirinya."
"Ya, sedikit pun tidak salah."
"Oleh karena itu setelah Cui-long meninggalkan dirinya, baru dia amat tersiksa, karena dia
merasa Cui-long seharusnya selalu mengikut di belakangnya seperti anjing setia mengikuti setiap
langkah majikannya."
"Jadi anggap dia tersiksa karena dia merasa pamor dan gengsinya terpukul?"
"Sudah tentu lantaran dia pun merasa dirinya tertipu, laki-laki mana pun bila merasa dirinya
tertipu oleh perempuan pasti dirinya amat sedih, umpama dia tidak mencintai dia, dia pun akan
merasa tersiksa."
"Lalu kau pun beranggapan bahwasanya dia tidak mencintai Cui-long?"
"Bukan begitu yang kumaksud."
"Lalu apa maksudnya?"
"Maksudku bila Cui-long tidak meninggalkan dia, akan datang suatu ketika dia yang akan
meninggalkan Cui-long, pada saat itu dia pasti tidak akan menderita lagi."
"Kenapa?"
"Karena dia tumbuh dewasa dalam buaian dendam dan sakit hati maka....."
"Umpama benar dia mencintai Cui-long, dia tetap takkan melupakan dendamnya."
Yap Kay mengawasi setitik bintang jauh di angkasa raya, katanya, "Aku pernah bertemu
dengan seseorang."
"Seseorang yang bagimana?"
"Seorang yang aneh, jika ada malaikat di dunia ini, maka dia itulah malaikatnya."
"Jadi orang itulah yang merubah jalan hidupmu?"
Yap Kay manggut-manggut.
"Dia laki-laki atau perempuan?"
"Kalau dia perempuan, semua orang di dunia ini bakal jadi kaum hawa."
"Apa maksudmu?"
Terunjuk rasa hormat pada sorot mata Yap Kay, katanya, "Aku pernah melihat berbagai macam
manusia, tapi hanya dia, baru boleh dikatakan sebagai laki-laki sejati."
Ting Hun-pin cekikikan.
"Belum pernah aku melihat orang yang lebih agung dan besar daripada dia."
"Kau mengaguminya?"
"Bukan hanya kagum saja, umpama dia suruh aku segera mampus, aku pun akan menerima
dengan suka rela. Tapi dia tidak akan membiarkan aku mati, selamanya dia hanya memikirkan
orang lain mengorbankan dirinya sendiri."
"Siapa dia sebenarnya?"
"Seharusnya kau pernah mendengar namanya."
"O. Siapa?"
"Dia she Li...."
"Apakah Siau Li Tham-hoa?" teriak Ting Hun-pin. "Sudah tentu aku pernah mendengar
namanya, memang siapa orang di dunia ini yang tidak pernah mendengar namanya?"

"Sepak terjangnya memang meninggalkan kesan mendalam bagi semua pihak."
"Terutama pertempurannya melawan Siangkoan Kim-hong dulu, tiada orang yang menyaksikan
duel itu, tapi ceritanya yang tersiar di kalangan Kangouw sungguh lebih menarik dari dongeng
rakyat."
"Paling sedikit aku pernah mendengar lima ratus kali orang membicarakan duel itu, cerita
masing-masing berlainan."
"Demikian pula yang pernah kudengar, satu sama lain tiada yang cocok, tapi mereka
mempertahankan bahwa ceritanya sendiri pasti boleh dipercaya."
"Paling tidak ada satu hal, siapa pun mau tidak mau harus mengakuinya."
"Satu hal apa?"
"Siau Li si pisau terbang selamanya tidak pernah meleset!" bersinar biji mata Yap Kay "Sampai
sekarang di kolong langit ini, belum ada seorang pun yang mampu meluputkan diri dari timpukan
pisaunya.
Bersinar pula muka Ting Hun-pin, katanya, "Sayang sekali pisaunya itu kini sudah menjadi
kenangan nyata saja, kita tentu takkan bisa menyaksikannya lagi."
"Siapa bilang?"
"Kabarnya setelah dia membunuh Siangkoan Kim-hong, dia lantas menyimpan pisaunya dan
mengasingkan diri, selanjutnya tidak mencampuri urusan Kangouw."
Yap Kay malah tertawa saja.
"Kalau dia tidak tetirah di suatu tempat yang sepi, kenapa tiada orang pernah mendengar kabar
ceritanya lagi di kalangan Kangouw? Apakah kau tahu kabarnya?"
"Sudah tentu aku tahu."
"Lekaslah kau ceritakan kapadaku."
"Sayang sekali, sekarang aku tidak punya waktu."
"Kenapa?"
"Karena sekarang aku harus menyusul ke Ho-han-ceng "
"Ho-han-ceng?"
"Ho-han-ceng adalah Si-keh-ceng."
"Tempat kelahiran Si Toa-han, maksudmu?"
"Cengcu Ho-han-ceng adalah ayah Si Toa-han yang bernama Si Bu."
"Kau hendak ke sana memberi kabar duka cita kematian putranya."
"Aku bukan burung gagak."
"Lalu untuk apa kau tergesa-gesa ke sana?"
"Kalau rekaanku tidak salah, sekarang Pho Ang-soat sedang menuju ke sana."
"Kalau dia pergi, kau lantas hendak mengikutinya?" Ting Hun-pin bersungut-sungut, "kenapa
begitu besar perhatianmu kepadanya?"
Yap Kay hanya tersenyum saja.
"Lapat-lapat terasa olehku, kau seolah-olah mempunyai sesuatu hubungan istimewa dengan
dia, sebetulnya hubungan apakah?"
"Masa kau juga cemburu kepadanya? Apa kau sudah lupa dia itu laki-laki."

"Laki-laki memangnya kenapa? Laki-laki dan laki-laki sering melakukan ...." belum habis dia
bicara, dia sudah cekikikan geli dengan muka merah.
Yap Kay justru amat prihatin katanya, "Waktu mudanya dulu Si Bu adalah seorang yang gagah,
senjata kampak kunonya seolah-olah bisa membelah langit membuka bumi, sebanyak seratus
delapan jurus pernah menyapu Thay-hing-san, entah bagaimana perbawanya sekarang?"
"Apa kau kuatir Pho Ang-soat bukan tandingannya, maka kau susul dia ke sana hendak
membantu dia?"
"Kalau golok Pho Ang-soat bukan tandingannya, apa pula gunanya aku menyusul ke sana?"
"Apakah kepandaianmu juga bukan tandingan Pho Ang-soat?"
"Menurut apa yang kutahu, kecepatan gerak permainan goloknya, di jagat raya ini tiada orang
yang menandinginya."
"Tapi aku sering mendengar banyak orang bilang, kau pun memiliki pisau yang amat
menakutkan. Malah pisaumu senjata yang tak pernah terlihat oleh mata telanjang."
Yap Kay hanya bersuara dalam mulut.
"Jangan kau pura-pura pikun, ingin kutanya, apakah pisaumu itu hasil gemblengan atau didikan
Siau Li si pisau terbang?"
"Siau Li si pisau terbang tetap si pisau terbang, kecuali Siau Li Tham-hoa, tiada kedua lagi."
"Kenapa begitu?"
"Karena pisau seperti itu bukan sembarang orang bisa mempelajarinya. Tahu tidak."
"Dan kau?"
"Kalau satu persen saja aku bisa mempelajari kepandaiannya, aku sudah puas."
"Tak hanya kau rendah hati, sayang kau bicara tidak sejujurnya."
"Oleh karena itu lebih baik jangan kau menguntit aku, kalau penyakitku kambuh, bukan
mustahil aku mendadak memperkosa kau "
Merah muka Ting Hun-pin, sejenak dia menggigit bibir, dengan ujung mata dia mengerling
kepada Yap Kay, katanya, "Kalau kau tidak berani, kau ini adalah kura-kura "
0oo0
BAB 33. SUKMA DI UJUNG GOLOK
"Aku tidak ingin pergi, tapi terpaksa aku harus pergi."
Begitu tersentak bangun dari tidurnya, teringat oleh Cui-long akan kata-kata Pho Ang-soat
semalam. Pho Ang-soat yang semalam tidur di sampingnya sudah tak kelihatan lagi.
Rasa ketakutan dan terpencil tiba-tiba memenuhi rongga dada Cui-long, hatinya serasa
tenggelam. Masih segar dalam ingatannya semalam Pho Ang-soat bilang, "Ada sementara
persoalan walau tidak ingin kau kerjakan, tapi terpaksa kau harus menyelesaikan." Sekarang baru
dia menyadari apa maksud kata-kata Pho Ang-soat ini.
Angin pagi menghembus masuk lewat jendela, terasa dingin segar, dengan mendelong dia
mengawasi keluar, dia tidak mengalirkan air mata, tapi sekujur badannya dingin.
0oo0
Pho Ang-soat tengah beranjak di jalan persawahan, tangan mencekal kencang gagang golok.
Hatinya mendelu, tetapi dia tidak begitu menderita dan tersiksa karena kali ini dia yang pergi
meninggalkan si dia, dengan setulus hati dia ucapkan kata-katanya itu. Karena dia masih ingat
akan tanggung jawabnya menuntut balas.

Langkah Pho Ang-soat amat pelan, tapi tidak pernah berhenti. Selewat sebidang hutan yang
hampir gundul daun-daunnya itu, di sanalah letak Ho-han-ceng.
0oo0
Keadaan Ho-han-ceng sekarang sudah mirip keadaan majikannya, loyo dan renta.
Dindingnya sudah menguning hijau berlumut, daun-daun jendelanya bergetar mengeluarkan
suara berisik bila dihembus angin.
Sinar surya menyorot masuk ke dalam, kebetulan menyinari sebilah kampak besar di atas rak
senjata. Kampak besar seberat enam puluh tiga kati.
Dengan menggendong tangan Si Bu berdiri di bawah cahaya matahari, mengawasi kampak
kebanggaannya dulu. Bagi dirinya kampak itu bukan saja sebagai gamannya, namun juga kawan
seperjuangan di medan laga yang ikut mati dan hidup kembali. Tiga puluh tahun yang lalu,
kampak ini pernah ikut dirinya terjun ke dalam Liong-tam (rawa naga), menerjang ke sarang
harimau, menyapu bersih seluruh Thay-hing-san. Sekarang kampak ini masih tetap mengkilap kuat
dan gagah seperti tiga puluh tahun yang lalu. Tapi bagaimana dengan majikan atau pemiliknya?
Si Bu menutup mulut dengan tangannya, batuk perlahan-lahan, cahaya matahari baru
menyinari badannya, tapi nalurinya merasa sinar matahari sedemikian terik membara. Masa-masa
emas waktu yang lampau sudah berselang. Jiwanya kini sedang berada dalam kelam.
0oo0
Di atas meja terdapat secarik kertas.
Itulah secarik surat yang dikirim oleh anak buahnya dari kota dengan burung pos.
Sekarang dia sudah tahu bahwa teman dan putranya sudah ajal di bawah golok seorang
pemuda. Pemuda yang bernama Pho Ang-soat.
Si Bu tahu nama ini tentu bukan nama aslinya. Yang jelas dia she Pek. Golok yang dipakai oleh
keluarga Pek seluruhnya serba hitam, sarung hitam, gagang hitam pula.
Si Bu tahu golok macam apakah yang dibawa si pemuda, karena dulu dia sendiri pernah
menyaksikan golok seperti itu, dalam sekejap mata beruntun membunuh tiga tokoh kosen dari Bulim.
Malah sekarang pada badannya masih terdapat. bekas-bekas bacokan golok, dari tenggorokan
sampai ke pusarnya. Jika dirinya tidak amat beruntung, lawan sudah kehabisan tenaga, bacokan
golok itu mungkin sudah membelah badannya. Meski peristiwa itu sudah puluhan tahun berselang,
terbayang akan bacokan golok waktu itu, sekujur tubuhnya masih gemetar dan berkeringat dingin.
Ada kalanya dalam mimpinya dia sering terjaga bangun, seolah-olah dirinya sudah terbelah
menjadi dua.
Dan sekarang kenyataan orang itu benar-benar meluruk datang!
0oo0
Disingsingnya lengan bajunya, dengan kencang dia pegang kampaknya, pelan-pelan lalu
diayunkan. Dengan kampak ini dulu dia membabat habis tiga puluh perampok kejam yang
mengganas di daerah Thay-hing-san.
Namun kampak ini sekarang rasanya semakin berat, ada kalanya dia tidak kuasa memainkan
seratus delapan jurus ilmu kampaknya sampai habis.
Kini dia bertekad hendak mencobanya sekali lagi.
Ruang pendopo ini amat luas. Dengan mengayun kampaknya, kaki bergerak dengan lincah,
seketika bayangan kampak seperti memenuhi ruangan yang luas ini, angin menderu bagai angin
badai, perbawanya memang hebat dan tidak bernama kosong, bahwa kehebatan ilmu kampak ini
dulu pernah menyapu habis perampok-perampok yang mengganas itu. Akan tetapi Si Bu sendiri
mengerti, kini tenaganya sudah tidak memadai lagi.

Baru sampai jurus ketujuh puluh delapan, napasnya sudah ngos-ngosan seperti sapi disembelih,
ini baru latihan seorang diri, jika berhadapan dengan musuh, mungkin sepuluh jurus saja tidak
kuasa mempertahankan diri.
Terpaksa dia berhenti dengan menurunkan kampaknya, di atas meja tersedia arak. Dengan
napas tersengal-sengal dia duduk, lalu ditenggaknya habis secangkir. Sekarang dia menyadari lagi
takaran minumnya sudah jauh berkurang juga dibanding dulu. Dulu sekaligus dia kuat
menghabiskan puluhan poci, sekarang paling tiga cangkir mukanya sudah merah padam dan
hampir mabuk.
Seorang laki-laki tua dengan rambut ubanan, dengan langkah pelan menunduk melangkah
masuk. Waktu mudanya orang tua ini adalah pelayan Si Bu yang melayani sekolah, sudah enam
puluh tahun dia bekerja di rumah keluarga Si. Waktu mudanya dia pun seorang pemuda yang
kekar, dia pun kuat memainkan kampak seberat tiga puluh kati, pernah membunuh entah berapa
banyak orang-orang jahat.
Tapi sekarang bukan saja punggungnya tumbuh punuk, punggungnya pun bungkuk, otot
daging badannya yang kekar kenyal kini sudah mengendor, lebih celaka lagi dia terjangkit asma,
untuk berjalan saja dia sudah mendenguskan napas seperti kuda menarik beban berat.
Mengawasi orang, Si Bu lantas bertanya, "Tugas yang kupesan kepadamu, sudah kau
selesaikan belum?"
Dengan meluruskan kedua tangannya si tua bungkuk menjawab, "Cengteng, tukang kuda, para
dayang dan bu inang, semua pembantu berjumlah tiga puluh lima orang, semuanya sudah
kusuruh pulang ke kampung halaman masing-masing, setiap orang kebagian lima ratus tahil
perak, cukup untuk berdagang kecil-kecilan, untuk hidup sepanjang umurnya."
"Baik sekali," ujar Si Bu.
"Kini sisa uang kas tinggal seribu lima ratus tiga puluh tahil."
"Baiklah, boleh kau ambil semua dan pergilah."
"Aku ...." orang tua itu tertunduk, "aku tidak akan pergi."
"Kenapa?" tanya Si Bu.
Raut muka si orang tua yang penuh keriput tidak menunjukkan mimik perasaan apa-apa,
katanya tawar, "Tahun ini aku berusia enam puluh delapan. Hendak kemana aku pergi?"
Si Bu tidak bicara lagi. Dia tahu mereka berdua sudah menemukan jalan buntu. "Kemarilah”
katanya kemudian, "marilah duduk minum bersama."
Orang tua itu tidak menolak, tanpa bicara dia menghampiri, lalu duduk di depannya, dia isi dulu
cangkir majikannya lalu mengisi lagi secangkir untuk dirinya sendiri. Tangannya kelihatan gemetar.
"Masih segar dalam ingatanku kau memang sudah berusia enam puluh delapan tahun, usiamu
sama dengan aku "
Si orang tua bungkuk mengiakan.
"Enam puluh tahun, sekejap saja sudah enam puluh tahun, cepat benar hari berlalu."
Kembali si orang tua bungkuk mengiakan.
"Tentunya kau masih ingat, selama hidupmu berapa banyak kau bunuh orang?"
"Seluruhnya kira-kira tiga puluh orang."
"Berapa perempuan yang kau gauli?"
Ujung mata si bungkuk yang keriputan menampilkan senyuman, sahutnya, "Soal ini tidak
kuingat lagi."

Si Bu tersenyum, katanya, "Aku tahu budak kecil yang datang tahun lalu itu kau gagahi juga,
jangan kau kira aku tidak tahu."
Si bungkuk tidak menyangkal, katanya tersenyum. "Walau budak itu bukan gadis baik-baik, tapi
secara diam-diam tadi ku tambah seratus tahil untuk dirinya."
"Terhadap perempuan biasanya kau tidak kikir, hal ini aku cukup tahu "
"Hal ini aku belajar dari Loya."
"Meski aku lebih banyak membunuh orang dibanding kau, perempuan yang pernah kau gauli
tentunya tidak lebih sedikit pula."
"Sudah tentu."
"Oleh karena itu kini kita terhitung sudah berkecukupan hidup."
"Ya, sudah lebih dari cukup."
"Mari kita habiskan dua cangkir."
Mereka baru menghabiskan dua cangkir. Setelah cangkir ketiga diisi penuh, mereka lalu melihat
seseorang pelan-pelan melangkah masuk ke dalam pekarangan. Muka nan pucat, golok yang
hitam.
0oo0
Berdiri di bawah pohon kenari, Pho Ang-soat menggenggam kencang gagang goloknya.
Si Bu pun sedang mengawasinya, mengawasi golok serba hitam itu, sikapnya semakin tenang.
"Kau she Si?" tiba-tiba Pho Ang-soat bertanya.
Si Bu mengangguk-angguk. "Si Toa-han adalah putramu?"
Si Bu mengangguk-angguk. "Sembilan belas tahun yang lalu ...."
Tiba-tiba Si Bu menyeletuk, "Kau tak usah bertanya, orang yang hendak kau cari adalah aku "
"Jadi kau?"
"Hujan salju malam itu amat lebat," kata Si Bu menarik napas panjang.
"Kau ... masih ingat akan kejadian malam itu?"
"Sudah tentu masih ingat, setiap kejadian kuingat benar."
"Coba tuturkan."
"Malam itu waktu aku tiba di Bwe-hoa-am, di sana sudah banyak orang menunggu."
"Siapa saja mereka?"
"Aku tidak tahu, setiap orang mengenakan kedok muka, masing-masing tidak bersuara," tutur
Si Bu. "Aku yakin mereka pun tiada yang mengenalku, karena aku tidak bergaman kampak saktiku
ini, tapi aku membekal golok besar berkepala setan.”
"Di alam bersalju itu kami lama menunggu, hawa begitu dingin, tiba-tiba kami mendengar ada
orang bersuara, katanya orang-orang sudah datang lengkap."
"Apakah Be Khong-cun yang bersuara?"
"Bukan! Saat itu Be Khong-cun sedang minum arak di dalam Bwe-hoa-am."
"Lalu siapa yang bicara? Darimana dia tahu berapa jumlah orang yang menunggu di luar?
Memangnya dia salah satu dari perencana peristiwa berdarah itu?"
Si Bu tertawa, tawa misterius, katanya, "Umpama aku tahu, tidak akan kuberitahu kepadamu."
Lekas sekali dia menyambung ceritanya, "Tak lama kemudian, keluarga Pek berbondong-bondong

keluar dari dalam Bwe-hoa-am. Semuanya mabuk dengan langkah sempoyongan, seperti amat
senang."
"Siapa yang turun tangan lebih dulu?"
"Yang turun tangan lebih dulu ada beberapa orang yang pandai menggunakan senjata rahasia,
tapi mereka tiada satu pun yang berhasil."
"Selanjutnya bagaimana?"
"Serempak semua orang menyerbu maju, Be Khong-cun yang memapak maju paling dulu, tapi
mendadak dia membalik membacok Pek THian-ih dengan goloknya."
Beringas muka Pho Ang-soat, katanya mendesis dengan mengertak gigi, "Dia tidak akan lolos
dari tanganku."
"Dia lolos atau tidak tiada sangkut-pautnya dengan aku."
"Kau pun jangan harap bisa lolos."
"Bahwasanya aku tiada niat hendak melarikan diri. aku memang sedang menunggumu."
"Apa pula yang masih ingin kau katakan?"
"Hanya sepatah kata saja," ditenggak habis araknya, katanya menyambung, "Walau perbuatan
kami waktu itu harus dicela, tapi jika sekarang kembali pada sembilan belas tahun yang lalu, aku
tetap melakukan apa yang pernah kulakukan dulu."
"Kenapa?"
"Karena Pek Thian-ih sebetulnya memang bukan manusia baik-baik."
"Kau keluar!" hardik Pho Ang-soat dengan muka merah padam.
"Kenapa aku harus keluar?"
"Keluarkan kampakmu."
"Kukira tidak perlu lagi" mendadak dia tertawa, dengan tersenyum dia berpaling kepada si
bungkuk, katanya, "Tibalah saatnya."
"Ya, sudah tiba saatnya," sahut si bungkuk.
"Apa pula yang ingin kau katakan?"
"Hanya sepatah kata," sahut si bungkuk, tiba-tiba dia tertawa, katanya tandas, "Pek Thian-ih
memang bukan manusia baik-baik "
Habis kata-katanya, laksana burung walet, tahu-tahu Pho Ang-soat sudah menerobos masuk
lewat jendela. Tapi sudah terlambat.
Si Bu dan si bungkuk sudah terjungkal roboh Roboh dengan tertawa lebar. Dada mereka
tertusuk sebilah golok. Golok tajam yang pendek. Gagang golok masih tercekal di tangan mereka.
0oo0
Dengan goloknya sendiri Si Bu memutuskan dendam sakit hati sembilan belas tahun yang lalu.
Sekarang tiada orang yang dapat menuntut balas kepadanya lagi.
Pho Ang-soat hanya mengawasi dengan mendelong Lama kelamaan dia bergidik sendiri bila
teringat tuduhan orang-orang dilemparkan kepada ayahnya. Mau tidak mau timbul pula rasa
curiga dalam benaknya. "Kenapa begitu banyak tokoh kosen yang punya kedudukan tinggi, tanpa
segan-segan mempertaruhkan keluarga, gengsi dan pamornya, tanpa menghiraukan segala
akibatnya bersekongkol ingin membunuhnya?" Memangnya siapa yang mampu memberi jawaban?
Siapa pula yang sudi memberi penjelasan? Lama kelamaan menghadapi dua mayat yang tak
bernyawa, badan Pho Ang-soat jadi gemetar.

Dilihatnya muka dua mayat yang semakin dingin ini berubah begitu mengerikan, mata mereka
memang sudah melotot, kini darah merembes keluar dari panca indranya, dan yang membuatnya
merinding adalah darah yang mengalir itu ternyata berwarna hitam mengkilap.
Telapak tangan Pho Ang-soat menjadi basah oleh keringat dingin. Tiba-tiba dia ingin menerjang
keluar, lekas meninggalkan tempat ini. Tapi baru saja dia putar badan, matanya segera melihat
Yap Kay. Setan gentayangan.
0oo0
Yap Kay mengawasi kedua mayat yang terkapar di lantai, roman mukanya mengunjuk mimik
yang lugu. Ting Hun-pin berdiri jatuh di belakangnya, perhatiannya tertuju ke tempat lain.
Agaknya dia ngeri melihat kematian orang yang begitu mengerikan.
"Kau datang lagi."
"Ya, aku datang lagi."
"Kenapa kau selalu membuntuti aku?"
"Memangnya kau sendiri yang boleh berada di tempat ini?"
Pho Ang-soat tidak bicara lagi. Segera dia beranjak keluar.
"Tunggu dulu," seru Yap Kay.
Biasanya Pho Ang-soat tidak pernah berhenti, tapi kali ini dia justru berhenti, malah membalik
badan.
"Kedua orang ini bukan kau yang membunuh."
Pho Ang-soat manggut-manggut. "Mereka pun tidak bunuh diri."
"Tidak bunuh diri?"
"Terang bukan!"
Terbelalak heran Pho Ang-soat dibuatnya, dia tahu Yap Kay bukan laki-laki yang suka
sembarang bicara.
"Tapi aku saksikan sendiri dia menikam dada dengan goloknya itu."
"Umpama mereka tidak menusuk diri dengan golok, mereka toh bakal mati juga. Karena
mereka sudah keracunan lebih dulu."
"Arak itu beracun?"
"Racun yang amat lihai dan amat aneh sekali "
"Kalau mereka sudah minum racun, buat apa menikam diri pula?"
"Karena mereka sendiri tidak sadar bahwa dirinya sudah keracunan."
"Jadi orang lain yang menggunakan racun? Siapa dia?"
"Aku sendiri pun belum bisa menyimpulkan," ujar Yap Kay menghela napas. "Orang yang bisa
menaruh racun di dalam arak Si Bu, tentu orang yang sudah dikenal dan amat hapal dengan
situasi rumah ini. Apalagi Si Bu sudah tahu kau bakal datang, dia sudah bertekad akan gugur,
maka seluruh keluarga pembantu rumahnya dia ungsikan atau bubarkan seluruhnya."
Memang di tengah jalan Pho Ang-soat bertemu dengan orang-orang yang keluar dari Ho-hanceng.
Berkata Yap Kay lebih lanjut "Si Bu sudah tahu bahwa dirinya akan mati, buat apa dia menaruh
racun di dalam araknya?" Sulit menjelaskan persoalan ini.
"Mungkin Si Bu sendiri yang menaruh racun."
"Tidak mungkin."

"Kenapa tidak mungkin?"
"Tidak perlu dia bertindak begitu bodoh."
"Mungkin dia kuatir dirinya tiada kesempatan membela diri."
"Untuk membunuhmu, sudah tentu dia tidak punya kesempatan melawan, tapi bila seseorang
ingin mati, kesempatan itu sembarang waktu bisa saja dia dapatkan. Dan yang penting, Si Bu
terang takkan memiliki racun seperti ini."
"Kenapa?"
"Selama hidupnya dia mengagulkan diri sebagai laki-laki gagah, selama hidupnya tidak pernah
menggunakan senjata rahasia, terutama membenci orang-orang yang menggunakan racun, orang
seperti dia masakah sudi menggunakan racun untuk membunuh diri?" Tanpa memberi waktu Pho
Ang-soat bicara, dia melanjutkan, "Apalagi racun jenis ini jarang ada, malah amat menakutkan, tak
peduli racun ini ditaruh dalam arak atau air, tanpa menimbulkan tanda-tanda mencurigakan, tidak
berwarna tidak berbau, malahan alat perak pun tidak bisa membedakan kadar racunnya."
"Kau mengenal racun apa yang digunakan ini?" tanya Pho Ang-soat.
"Seluruh jenis racun yang ada di dunia ini, sedikit jumlahnya yang tidak kukenal."
"Jadi racun jenis ini hanya bisa dicoba dengan batu jade kuno saja?"
Untuk menjajal sesuatu apakah beracun, biasanya menggunakan alat-alat perak. Kalau
menggunakan jade kuno adalah di luar kebiasaan.
"Jadi kau pun tahu cara itu?" tanya Yap Kay.
Pho Ang-soat berkata dingin, "Tidak banyak jenis racun yang kuketahui, tapi racun yang bisa
membinasakan aku tidak banyak jenisnya."
Yap Kay tertawa, ia tahu Pho Ang-soat bukan mengagulkan diri. Bahwa Pek-hong Kongcu,
ibunya, adalah putri sulung Mo-kau Kaucu, dia sendiri pun seorang ahli dalam menggunakan
racun. Sudah tentu putranya takkan bisa terbunuh oleh racun.
Mungkin Pho Ang-soat tidak ahli menggunakan racun, atau mungkin juga tidak pernah melihat
orang mati keracunan, tapi cara untuk membedakan jenis dan kadar racun sudah tentu dia jauh
lebih tahu. Sayangnya pengalamannya saja yang tidak luas.
"Jadi menurut analisamu, Si Bu tidak menaruh racun dalam araknya sendiri."
"Pasti tidak."
"Kalau orang lain tahu dia pasti mati, tidak perlu dia memberi racun dalam arak. Lalu darimana
racun ini?"
"Setelah kupikir-pikir hanya ada satu kemungkinan” ujar Yap Kay lebih lanjut. "Penaruh racun
pasti kuatir dia membocorkan sesuatu di hadapanmu, maka dia hendak meracunnya mati lebih
dulu sebelum kau kemari."
"Tapi waktu aku datang, dia belum mati."
"Mungkin karena kedatanganmu terlalu cepat, atau mungkin kematiannya terlambat."
"Waktu aku datang, sedikitnya dia sudah minum empat-lima cangkir."
"Waktu arak disuguhkan sudah bercampur racun, tak berselang lama kemudian baru Si Bu
mulai minum, maka racun dalam arak sudah mengendap ke bawah. Maka arak yang dia minum
terdahulu kadar racunnya tidak berat."
"Maka waktu aku datang, dia masih hidup dan sempat mengucapkan banyak persoalan."
Yap Kay manggut-manggut.
"Tapi kau belum membongkar rahasia seseorang yang patut dicurigai."

"Coba kau pikir-pikir dulu."
Pho Ang-soat menepekur, katanya kemudian, "Dia memberitahu, cukup lama mereka
menunggu di luar Bwe-hoa-am, mendadak ada orang bilang semua orang sudah lengkap."
Seketika bersinar biji mata Yap Kay, katanya, "Darimana dia bisa tahu bila orangnya sudah
lengkap? Darimana dia tahu berapa jumlah seluruhnya? Hal ini sebetulnya hanya diketahui Be
Khong-cun sendiri "
Pho Ang-soat manggut-manggut.
"Tapi waktu itu Be Khong-cun pasti masih berada di dalam Bwe-hoa-am minum arak."
"Si Bu pun berkata demikian."
"Lalu siapa yang mengatakan? Si Bu tidak memberitahu?"
Pho Ang-soat geleng-geleng kepala. "Katanya umpama dia tahu juga tnkkan memberitahu
kepadaku."
"Jadi besar kemungkinan orang yang bersuara di luar Bwe-hoa-am itulah orang yang menaruh
racun dalam arak Si Bu ini."
Belum Pho Ang-soat bersuara, Ting Hun-pin sudah menukas, "Sudah pasti dia adanya."
"Karena tahu bahwa Si Bu sudah tahu akan rahasia dirinya, maka Si Bu dibunuhnya untuk
menutup mulut," Yap Kay menambahkan.
"Sayang dia salah menilai Si Bu," Ting Hun-pin menghela napas, "ternyata Si Bu adalah seorang
sahabat yang setia kawan."
"Oleh karena Si Bu adalah sahabat karibnya, maka walau dia mengenakan kedok, Si Bu tetap
masih mengenali suaranya."
"Betul."
"Jadi kalau dia datang sendiri kemari, mustahil Si Bu tidak tahu."
"Mungkin saja dia menyuruh orang lain menaruh racun?"
"Mustahil," Yap Kay menggeleng setelah termenung sejenak, "tugas ini amat rahasia, siapa
yang dia tugasi untuk melakukan hal itu?"
"Tentu saja orang kepercayaannya."
"Sahabat karib macam Si Bu saja tak dipercaya, siapa yang bisa dia percayai?"
"Mungkin saja suami atau istrinya, orang tuanya, saudaranya, hubungan semacam ini pasti
lebih akrab ketimbang hubungan teman." Yap Kay menghela napas panjang.
"Sayang tak seorang pun bisa ditemukan di keluarga Si sekarang sulit bagi kita untuk
melacaknya."
"Biarpun anggota keluarga Si telah pergi semua, toh mereka belum mampus."
Yap Kay manggut manggut, diambilnya sisa arak dari dalam teko dan diendusnya sesaat,
kemudian katanya lagi, "Arak ini sudah lama disimpan dalam gudang, bahkan belum lama dibuka."
"Kau tak perlu berlagak," tukas Ting Hun-pin sambil tertawa, "aku tahu, pengetahuanmu
tentang arak memang hebat... heran, kau selalu punya pengetahuan luas terhadap perbuatan
busuk."
"Sayang aku tak tahu siapa pengurus gudang arak keluarga Si," sahut Yap Kay tertawa getir.
"Selama dia masih hidup, suatu ketika pasti akan kita temukan, hakikatnya bukan hal yang
sulit." Pelan-pelan sambungnya, "Kenapa kau menaruh perhatian khusus terhadap hal ini, apa
sangkut-pautnya dengan dirimu?"

Tiba-tiba Pho Ang-soat membalik badan, dengan tajam dia pandang Yap Kay, katanya.
"Persoalan ini tak ada sangkut-pautnya dengan kau, sejak semula sudah kuperingatkan kepadamu
jangan kau ikut mencampuri urusan ini."
Yap Kay meringis, sahutnya, "Aku hanya tertarik saja."
Pho Ang-soat menyeringai dingin, pelan-pelan dia melangkah pergi.
Tiba-tiba Ting Hun-pin berseru, "Tunggu dulu, aku ingin tanya suatu hal kepadamu."
Pho Ang-soat tidak berhenti, hanya melambatkan langkahnya.
"Mana dia?" tanya Ting Hun-pin.
"Dia siapa?" jawab Pho Ang-soat sambil menghentikan langkahnya.
"Perempuan yang selalu mengikutimu."
Paras Pho Ang-soat yang putih memucat berkerut kencang, tanpa menjawab dia berlalu dari
situ.
0oo0
11ok
BAB 34. TONGCU GOLOK SAKTI
Memandangi Pho Ang-soat yang semakin menjauh, Ting Hun-pin menghela napas panjang,
katanya, "Kau benar, tidak seharusnya Cui-long mencari dirinya, sekarang malah dia yang
meninggalkannya."
Setelah geleng-geleng kepala gegetun, dia melanjutkan, "Dia masih seperti yang dulu,
hakikatnya tidak mirip manusia."
"Dia tetap adalah manusia, bukan setan."
"Kalau dia manusia, tidak sepantasnya dia meninggalkan Cui-long."
"Justru seharusnya memang begitu."
"Kenapa?"
"Dia merasa sudah banyak mengalami siksa derita, menanggung beban yang berat, bila dia
masih bersama Cui-long, akibatnya pasti banyak penderitaan yang bakal mereka alami."
"Oleh karena itu dia lebih suka orang lain yang menderita?" jengek Ting Hun-pin.
"Dia sendiri pasti sangat menderita, bagaimana pun juga dia memang harus meninggalkannya,"
kata Yap Kay menghela napas pula.
"Kenapa?"
"Kalau Cui-long boleh meninggalkan dirinya, kenapa pula dia tidak boleh?"
"Karena... karena...."
"Karena Cui-long perempuan dan dia laki, begitu maksudmu?"
"Kan tidak seharusnya laki-laki memperlakukan perempuan begitu."
"Laki-laki kan juga manusia," katanya sambil tertawa getir. "Penyakit paling besar kaum
perempuan adalah selalu menganggap kaum lelaki barang mainan, manusia yang sepantasnya

menderita dan tersiksa seumur hidup, bekerja keras, berkorban dan mampus demi kaum
perempuan."
Mendengar kata-kata ini, tak tahan Ting Hun-pin cekikikan geli, "Siapa bilang kaum lelaki tidak
sepantasnya mampus demi kaum perempuan?" Terus saja ditubruknya tubuh Yap Kay, dipeluknya
dengan kencang, lalu digigitnya kuping Yap Kay dengan gemas. Lalu katanya pula, "Sekali pun
semua kaum lelaki di dunia ini mampus semua juga tak menjadi soal bagiku, aku tak akan
menangis atau bersedih, kecuali kau tetap hidup, tetap hidup di sampingku dan berbahagia
sepanjang masa ...."
Angin berhembus kencang. Kembali dia seorang diri.
Dimanakah perempuan yang mengikut di belakangnya itu?
Pelan-pelan Pho Ang-soat beranjak ke depan, ia tahu di belakangnya sudah tidak ada yang
mengikutinya, tak ada lagi perempuan di belakangnya yang berjalan dengan kepala tertunduk.
Dia sudah biasa menyendiri, tapi sekarang terasa hatinya kosong, seakan-akan kehilangan
sesuatu. Ada kalanya ingin dia menengok sekejap ke belakang.
Dimanakah dia sekarang?
Apa yang sedang dilakukannya sekarang?
Sedang menangis seorang diri?
Atau sudah pergi dengan lelaki lain?
Kembali Pho Ang-soat merasa hatinya sakit sekali, seperti ditusuk-tusuk jarum.
Kini dia telah meninggalkannya, tidak seharusnya masih memikirkannya, dia pun tidak
seharusnya menderita lagi.
Tapi sekarang justru dia selalu memikirkannya, rela menanggung derita.
Pada dasarnya manusia mempunyai sifat suka menyiksa diri sendiri. Dia bisa menyiksa orang
lain, tetapi mengapa pula harus menyiksa diri sendiri?
Walau dia bisa bersembunyi di tempat yang tak bisa ditemukan perempuan itu. namun dia
sendiri juga akan menderita oleh karenanya.
Di kala seorang diri, terkadang Pho Ang-soat suka mengucurkan air mata. Sekarang, belum lagi
ia mengucurkan air mata, didengarnya isak tangis seseorang. Isak tangis seorang laki-laki.
Suara tangisannya keras dan memedihkan hati, jarang ada lelaki menangis secara demikian,
seakan suami yang ditinggal mati istrinya.
Walau Pho Ang-soat tidak suka mencampuri urusan orang lain, tak urung dia merasa heran
juga.
Tentu dia tidak akan ke sana menengoknya lebih-lebih bertanya kepada orang itu mengapa
menangis.
Suara tangisan berasal dari dalam sebuah hutan, tapi dia justru berjalan keluar menjauhi hutan.
Tapi pada saat itulah ia dengar orang itu menangis sambil sesambatan tiada hentinya.
"Pek-tayhiap, mengapa kau mati? Siapakah yang telah mencelakai kau? Mengapa kau tidak
memberi kesempatan kepadaku untuk membalas budi?"
Ketika mendengar perkataan itu, mendadak Pho Ang-soat menghentikan langkah dan berbalik
masuk hutan badan.
Dilihatnya seorang lelaki berbaju berkabung dari kain belacu sedang berlutut di dalam hutan, di
hadapannya terdapat sebuah meja kecil di atas meja terletak orang-orangan dan kuda-kudaan dari
kertas, selain itu tampak pula sebilah golok dari kertas putih, hanya bagian gagangnya saja yang
diwarnai hitam.

Lelaki pertengahan umur itu bertubuh kekar dan tegap, dari rona mukanya menunjukkan
kekerasan hatinya, seorang lelaki yang tegar dan tidak gampang menangis.
Tetapi mengapa sekarang dia menangis dengan begitu memilukan?
Tampak lelaki itu sedang membakar benda-benda yang terbuat dari kertas di atas meja itu,
matanya masih mengembeng air mata.
Pho Ang-soat berjalan menghampiri, berdiri di sampingnya dan mengawasi gerak-geriknya
dengan tenang.
Orang itu tidak berpaling, sibuk mengawasi benda-benda yang dibakarnya, air mata masih
bercucuran membasahi pipinya. Dia mengambil secawan arak dan disiramkan di atas api, lalu
sisanya ditenggak habis.
"Pek-tayhiap," dia bergumam, "aku tak punya apa-apa yang dapat dipersembahkan kepadamu,
semoga di alam baka arwahmu memperoleh ketenangan Belum selesai dia bergumam, air mata
kembali bercucuran, tangisan bertambah sedih.
Menanti lelaki itu menghentikan tangisannya, baru Pho Ang-soat menegur, "He, siapa yang kau
tangisi?"
Lelaki itu terkejut dan berpaling, dipandangnya Pho Ang-soat dengan terkesima. Setelah raguragu
sejenak, ia pun menyahut, "Aku menangisi lelaki sejati yang tiada taranya di dunia ini,
pendekar besar yang termashyur di kolong langit, sayang kalian anak-anak muda tidak tahu
siapakah dia."
Jantung Pho Ang-soat berdebar keras, ia berusaha mengendalikan gejolak perasaannya.
Setelah merandek sejenak, tanyanya pula, "Lalu kenapa kau tangisi?"
"Karena dialah tuan penolong hidupku, tidak pernah kuterima budi kebaikan orang lain kecuali
dia seorang. Dia telah menyelamatkan jiwaku."
"Cara bagaimana dia telah menyelamatkan jiwamu?"
Setelah menghela napas panjang, kata lelaki itu, "Dua puluh tahun lalu, sebenarnya aku adalah
seorang piau-su, waktu itu aku sedang mengawal barang kawalan yang berharga melewati tempat
ini”
"Di tempat ini?" tukas Pho Ang-soat.
Lelaki itu manggut-manggut, lalu ia melanjutkan penuturannya, "Karena tanggung jawab
pengawalan, maka aku ingin cepat-cepat sampai di tempat tujuan, namun sampai di tempat ini
aku lupa memberitahukan kepada penguasa wilayah ini, penguasa Ho-han-ceng, yaitu Si Bu."
"Jadi semua orang yang lewat di tempat ini harus meminta izin dahulu kepadanya?"
"Ya, begitulah, setiap orang yang lewat harus menyambanginya, minum arak di rumahnya dan
menghaturkan sedikit upeti kepadanya, kalau tidak, maka hal ini merupakan penghinaan bagi Si
Bu."
Bicara sampai di sini sorot matanya merah membara, mengunjuk kemarahan yang berkobarkobar,
setelah tertawa dingin, ia melanjutkan, "Si Bu adalah penguasa daerah ini, maka tiada
orang berani mencari gara-gara kepadanya."
"Jadi kau telah menyinggung perasaannya?"
"Betul, oleh karena itu dengan membawa kampak gedenya dia mencari gara-gara kepadaku."
"Apa yang dia kehendaki?"
"Dia suruh aku meninggalkan barang kawalan, kemudian menyuruhku mengundang pemilik
Piaukiok untuk berkunjung ke Ho-han-ceng dan meminta maaf kepadanya."
"Kau tidak mau?"

Kembali lelaki itu menghela napas, sahutnya,- "Kalau hanya untuk meminta maaf sih bukan
masalah, tapi barang kawalan itu kan harus diantar tepat waktu, kalau tidak, bagaimana papan
nama perusahaan akan dapat kami tegakkan."
Setelah berhenti sejenak dan membusungkan dada, ia pun melanjutkan, "Apalagi aku, Tio Tayhong,
jelek-jelek juga sudah punya nama, tentu saja aku menjadi tak tahan menghadapi
perlakuannya itu."
"Maka kalian bertempur?"
Sekali lagi Tio Tay-hong menghela napas, tuturnya pula, "Ai, memang permainan kampak
gedenya itu luar biasa hebatnya, aku memang bukan tandingannya. Dalam keadaan marah besar,
dia hendak membacok aku dengan kampaknya itu, untung saja pada saat itu ada seseorang yang
mencegahnya, dia segera turun tangan menghalangi."
Bicara sampai di sini, rona mukanya sedikit mengunjuk rasa senang, katanya kemudian.
”Setelah mengetahui duduknya perkara, orang yang telah menolongku itu memaki Si Bu kalangkabut,
bahkan menyuruh Si Bu segera melepas diriku."
"Lalu?"
"Tentu saja Si Bu tidak mandah terima dicaci-maki, dia pun turun tangan, namun di hadapan
penolongku itu kampak gedenya itu seakan-akan hanya mainan anak-anak saja."
Sekali lagi Pho Ang-soat merasakan jantungnya berdebar kencang ....
Kemali Tio Tay-hong melanjutkan, "Selama hidup belum pernah aku menyaksikan seorang yang
mempunyai kepandaian begitu lihai, seorang yang gigih membela kebenaran dan keadilan,
sayang...."
"Sayang bagaimana?" tanya Pho Ang-soat.
"Sayang, akhirnya pendekar besar itu harus wafat dalam keadaan tidak jelas oleh siasat busuk
kaum kurcaci dunia persilatan," kata Tio Tay-hong sedih.
Air matanya kembali jatuh berlinang membasahi wajahnya, ia melanjutkan kembali katakatanya,
"Sayang sekali dimanakah letak kuburan pendekar besar itupun tidak kuketahui, oleh
karena itu setiap tahun bila tiba saatnya ketika peristiwa itu terjadi, aku pun datang kemari untuk
bersembahyang bagi arwahnya, tiap kali teringat akan kegagahannya di masa lalu, teringat
kebaikan-kebaikan yang telah ia berikan kepadaku, aku selalu tak kuasa menahan diri dan
menangis."
Pho Ang-soat mengepal kencang tangannya. "Siapakah namanya?" tanyanya.
"Sekalipun namanya kusebutkan juga belum tentu kau ketahui, apalagi kaum muda seperti
kalian," kata Tio Tay-hong sedih.
"Coba kau katakan."
"Dia she Pek ...." jawab Tio Tay-hong ragu-ragu.
"Si golok sakti Pek-tayhiap?"
"Darimana kau bisa tahu?" tanya Tio Tay-hong agak terperanjat.
Pho Ang-soat tidak menjawab pertanyaan itu, tangannya masih mengepal kencang, katanya
lagi, "Sesungguhnya dia manusia macam apa?"
"Sudah kukatakan tadi, dia adalah seorang lelaki sejati berbudi luhur dan arif bijaksana, dia
seorang Enghiong Hohan yang luar biasa selama seratus tahun belakangan ini."
"Apakah karena dia telah menolongmu, maka kau mengatakan demikian?"
Dengan wajah bersungguh-sungguh Tio Tay-hong menjawab, "Sekalipun dia tidak menolongku,
aku tetap akan berkata demikian. Manusia mana di dunia ini yang tidak mengetahui nama si golok
sakti Pek-tayhiap? Siapa pula yang tidak kagum kepadanya?"

"Tapi...”
"Hanya manusia jahat, kaum laknat berhati buas dan manusia tak tahu aturan saja yang benci
kepadanya, sebab Pek-tayhiap adalah seorang yang benci segala macam kejahatan, dan lagi dia
berjiwa pendekar, bila bertemu suatu kejadian yang tidak adil, dia pasti akan ikut campur."
Setelah berhenti sejenak, dia melanjutkan, "Misalnya Si Bu, sudah pasti dia amat membenci
dirinya, sudah pasti dia akan mengucapkan kata-kata busuk di belakangnya, tapi...."
Perasaan Pho Ang-soat yang sudah dingin, tiba-tiba panas kembali.
Apa yang kemudian dikatakan Tio Tay-hong boleh dibilang sama sekali tidak terdengar lagi
olehnya, hati kecilnya tiba-tiba saja diliputi napsu membalas dendam, bahkan perasaan ini jauh
lebih hebat daripada sebelumnya.
Akhirnya dia mengerti, sebenarnya ayahnya manusia macam apa.
Sekarang dia sudah yakin, membalas dendam bagi ayahnya adalah tindakan benar, walau
harus mengorbankan segalanya.
Terhadap orang-orang yang ikut membunuh ayahnya, dia semakin benci. Terutama terhadap
Be Khong-cun!
Dia bersumpah hendak mencari Be Khong-cun sampai ketemu! Dia bersumpah tak akan
mengampuni jiwa pembunuh yang melakukan pembunuhan terhadap ayahnya.
Sekujur badannya gemetar keras saking gusarnya, rasa dendamnya menyala-nyala.
Dengan terperanjat Tio Tay-hong memandangnya, ia tidak habis mengerti apa sebabnya
pemuda itu berubah begitu secara tiba-tiba.
Mendadak Pho Ang-soat berkata, "Pernahkah kau dengar tentang Be Khong-cun?"
Tio Tay-hong tidak menjawab, hanya mengangguk.
"Tahukah kau, sekarang dia berada dimana?" tanya Pho Ang-soat lagi.
Tio Tay-hong menggelengkan berulang kali, sementara sorot matanya dialihkan dari wajahnya
ke arah golok yang berada dalam genggamannya itu.
Golok hitam, sarung golok hitam dan gagang golok hitam pula.
Golok yang tak terlupakan oleh Tio Tay-hong untuk selamanya ....
Tiba-tiba dia melompat bangun dan berseru tertahan. "Kau ... kau ... apakah kau adalah ...."
"Ya, memang akulah orangnya!" jawab Pho Ang-soat.
Dia pun tidak berucap lagi, pelan-pelan membalikkan badan dan beranjak keluar hutan.
^»"«^
Angin berhembus kencang.
Dengan termangu-mangu Tio Tay-hong memperhatikan ke arahnya, ia pun beranjak keluar,
memburu ke arah Pho Ang-soat dan berlutut di hadapannya.
"Pek-tayhiap menaruh budi kebaikan yang tinggi kepadaku," teriaknya, "walaupun dia orang tua
sudah meninggal, tapi kau ... kau harus memberi kesempatan kepadaku untuk membalas budi
kebaikan ini."
"Tidak usah."
"Tapi aku....“
"Anggap saja apa yang barusan kau katakan kepadaku sebagai balas budi kebaikan yang
pernah kau terima."
"Tapi tadi tak kukatakan aku tak tahu kabar tentang orang she Be itu."

"Kau?"
"Sekarang walaupun aku sudah berhenti bekerja sebagai Piausu, tapi teman-temanku di masa
lalu masih banyak sekali, banyak pula di antara mereka yang masih melakukan perjalanan sudah
pasti mereka akan lebih tajam pendengarannya daripada aku, mereka pasti akan mencarikan
berita untuk kau."
Pho Ang-soat menundukkan kepala, memandang golok dalam genggamannya.
Kemudian dia bertanya, "Kau tinggal dimana?"
^»"«^
Rumah itu amat sederhana, tapi bersih dan rapi, di atas dinding ruangan yang berwarna putih
bersih tergantung sebuah lukisan.
Lukisan seorang yang tidak mirip manusia, lebih menyerupai dewa. Itulah lukisan seorang lelaki
setengah umur berwajah putih bersih tanpa jenggot dan bermata tajam, dia sedang
mendongakkan kepala berdiri di luar hutan, tubuhnya tegap.
Dia mengenakan jubah berwarna merah, sebilah golok tersoreng di pinggangnya.
Golok berwarna hitam.
Di depan lukisan terdapat sebuah meja sembahyangan, di atas meja tampak sesajian, sedang
pada papan nama yang terbuat dari kayu putih tertera beberapa huruf: "Tempat arwah In-kong
Pek-tayhiap".
Di sinilah Tio Tay-hong berdiam.
Tio Tay-hong memang seseorang yang mengerti bagaimana cara berterima kasih kepada orang
lain, dia memang seorang laki sejati yang tahu diri.
Sekarang dia sedang keluar rumah mencari kabar buat Pho Ang-soat.
Sedang Pho Ang-soat sendiri sedang duduk di tepi meja sambil mengawasi lukisan ayahnya.
Di tangannya tergenggam sebilah golok yang sama, golok hitam bersarung dan bergagang
hitam.
Sudah empat hari, setiap hari dia datang ke situ.
Selama empat hari ini, setiap hari dia hanya duduk termenung di sana, duduk termangu-mangu
sambil mengawasi lukisan ayahnya.
Sekujur tubuhnya dingin, tapi darah yang mengalir panas dan mendidih.
"Dia seorang lelaki sejati yang arif bijaksana, pendekar berbudi luhur, seorang Enghiong Hohan
yang luar biasa". Kata-kata ini sudah cukup baginya.
Entah beberapa banyak penderitaan yang harus dialami, entah berapa besar pengorbanan yang
harus diberikan, ucapan ini sudah lebih dari cukup.
Dia tak boleh membiarkan arwah ayahnya di alam baka menganggap dia seorang anak yang
tak bersemangat dan tidak memiliki keberanian ....
Dia harus mencuci bersih dendam kesumat ini, walau harus membayar dengan mahal.
Malam sudah menjelang, dia memasang lampu dan duduk termenung seorang diri di bawah
lentera.
Selama beberapa hari ini, dia hampir melupakan Cui-long, tapi bila malam sudah tiba, di tengah
keheningan yang mencekam dan memandang sinar lentera yang bergoyang-goyang, seakan-akan
dia telah menyaksikan kerlingan mata Cui-long.
Sambil mengertak gigi, dia berusaha tidak memikirkan perempuan itu.
Berada di depan lukisan ayahnya, berpikir tentang hal itu adalah tabu, memalukan.

Pada saat itulah dari luar pintu terdengar suara langkah kaki orang.
Lorong dimana rumah itu berada amat sepi dan lenggang, hanya beberapa rumah saja di
sepanjang gang sempit itu, kecil kemungkinan orang berkunjung ke rumah itu.
Ternyata yang datang adalah Tio Tay-hong, pemilik rumah.
Pho Ang-soat segera bertanya, "Sudah ada beritanya?"
Tio Tay-hong menunduk dan menghela napas panjang, ia tidak berkata apa-apa.
Pho Ang-soat tidak menantikan jawabannya lagi, dari mimik mukanya yang murung dan sedih,
ia telah memperoleh jawaban.
Angin di luar jendela berhembus kencang, daun-daun rontok ke tanah seolah-olah suara orang
yang sedang menghela napas.
Pelan-pelan Pho Ang-soat bangkit berdiri, kemudian katanya, "Kau tah usah sedih, aku tak akan
menyalahkan dirimu."
"Kau ... kau akan pergi?" tanya Tio Tay-hong sambil mengangkat kepala.
"Aku sudah menunggu selama empat hari."
"Sekalipun kau hendak pergi, sepantasnya kalau menunggu sampai besok pagi," ucap Tio Tayhong
sambil menggenggam kencang tangannya.
"Kenapa?"
"Karena malam nanti ada orang yang akan berkunjung kemari."
"Siapa?"
"Seorang manusia aneh."
Pho Ang-soat berkerut kening, namun ia tidak berkata-kata.
Tio Tay-hong kelihatan semakin gembira, semakin bersemangat.
"Bukan cuma aneh, malah boleh dibilang orang sinting, tapi dia adalah orang sinting yang
paling tajam pendengarannya."
"Darimana kau bisa tahu kalau dia akan datang kemari?" tanya Pho Ang-soat ragu-ragu.
"Dia sendiri yang mengatakan."
"Kapan dia berkata?"
"Tiga tahun berselang!"
Sekali lagi Pho Ang-soat mengerut kening.
Tio Tay-hong segera berkata lagi, "Sekalipun diucapkan pada tiga puluh tahun berselang pun,
aku tetap percaya hari ini dia pasti akan datang, sekalipun ada orang memenggal kakinya, dia pun
akan merangkak datang kemari."
"Andaikata dia mati?" tanya Pho Ang-soat dingin.
"Dia pasti akan menyuruh orang menggotong jenazahnya kemari!"
"Kau begitu percaya kepadanya?"
"Aku memang sangat mempercayainya, sebab belum sekali pun dia ingkar janji."
Pelan-pelan Pho Ang-soat duduk kembali di kursi.
Tio Tay-hong bertanya lagi, "Kau selamanya tak pernah minum arak?"
Pho Ang-soat menggeleng kepala berulang kali, lamat-lamat dirasakan hatinya amat sakit.

Tio Tay-hong sama sekali tidak melihat penderitaannya ini, malah ia berkata lagi sambil
tertawa, "Tapi si edan itu justru seorang setan arak, paling tidak harus menyediakan dua guci arak
baginya."
"Kuharap kedua guci arak itu tak ada yang meneguknya lebih dahulu," sambung Pho Ang-soat
dingin
Arak telah diletakkan di atas meja, dua guci banyaknya.
Malam pun makin semakin kelam.
Dari kejauhan lamat-lamat terdengar suara kentongan, sudah mendekati tengah malam.
Tengah malam sudah lewat, namun belum juga ada yang datang.
Tio Tay-hong masih duduk di sana dengan tenang, perasaan gelisah atau cemas sedikit pun tak
nampak.
Dia memang sangat mempercayai sahabatnya itu.
Pho Ang-soat juga duduk tak bergerak, dia pun tidak bertanya apa-apa lagi.
Akhirnya Tio Tay-hong lah yang memecah keheningan, ujarnya sambil tersenyum, "Dia bukan
cuma seorang sinting, juga seorang setan arak, bahkan seorang perampok yang bekerja sendiri,
meski begitu belum pernah kujumpai seorang yang lebih bisa dipercaya daripada dirinya ...."
Pho Ang-soat tidak berkata apa-apa, hanya mendengarkan.
Kembali Tio Tay-hong berkata, "Kendati dia seorang perampok ulung, namun seorang
perampok budiman yang suka menolong kaum miskin, tiap kali memperoleh hasil rampokan, dia
selalu membagikan kepada fakir miskin, seringkah dia sendiri malah tak kebagian."
Pho Ang-soat tidak heran, ia pernah menjumpai orang macam begini. Konon Yap Kay termasuk
jenis yang ini.
"Dia she Kim orang-orang memanggilnya Kim si sinting," Tio Tay-hong menerangkan, "lantaran
begitu tersohornya nama Kim si sinting, lambat-laun orang lupa pada nama aslinya."
Pho Ang-soat seakan tidak mendengar ucapannya. Pada saat itulah terdengar berkumandang
suara langkah dari lorong.
Langkah kaki itu amat berat, langkah kaki dua orang.
Tio Tay-hong mendengar pula, tapi segera dia menggeleng kepala berulang kali.
"Yang datang sudah pergi pasti bukan dia," katanya.
"O!"
"Sudah kukatakan tadi, dia adalah seorang perampok yang berkerja sendiri, selamanya luntanglantung
seorang diri." Setelah tertawa, ia melanjutkan, "Sebagai perampok ulung, tak mungkin
suara langkah kakinya berat "
Pho Ang-soat merasa uraian ini masuk akal, tapi langkah kaki itu justru berhenti di depan
rumah ini. Tio Tay-hong mengerut dahi. Terdengar ada orang mengetuk pintu.
Kembali Tio Tay-hong bergumam dengan kening berkerut, "Sudah pasti bukan dia, selamanya
dia tak pernah mengetuk pintu."
Tapi mau tak mau dia harus membuka pintu Di depan pintu benar-benar berdiri dua orang, dua
orang yang menggotong sebuah peti mati besar
0oo0
Malam sudah makin kelam, bintang bertaburan di angkasa.
Cahaya bintang yang redup menyoroti wajah dua orang itu.

Paras mereka biasa saja dan bersahaja, pakaian yang dikenakan juga kain kasar dengan sepatu
rumput.
Siapa pun yang melihat kedua orang itu, akan menduga mereka adalah kuli-kuli panggul kasar.
"Kau she Tio?" tanya mereka.
Tio Tay-hong manggut-manggut.
"Ada orang menyuruh kami mengantar peti mati ini untukmu."
Mereka meletakkan peti mati itu dalam ruangan, kemudian tanpa mengucapkan sepatah kata
pun segera membalik badan dan tinggal pergi, seakan-akan kuatir kepergian mereka kurang
cepat.
Sebetulnya Tio Tay-hong ingin mengejar keluar, tapi setelah memandang peti mati itu sekejap,
niatnya itu diurungkan.
Dia tetap berdiri di tempat, memandang peti mati itu dengan wajah termangu-mangu.
Air mata seolah-olah meleleh keluar dari matanya, dengan sedih dia berkata, "Telah kukatakan,
mati pun dia akan menyuruh orang menggotong peti matinya kemari."
Pho Ang-soat merasakan hatinya seakan-akan tenggelam.
Meski dia tidak menaruh harapan terlalu besar pada persoalan ini, bagaimana pun juga toh dia
mengharap juga setitik harapan. Tapi sekarang harapannya kembali buyar.
Menyaksikan Tio Tay-hong bersedih bagi kematian temannya, hatinya ikut mendelu.
Sayang dia tak pernah menghibur orang, sekarang dia hanya ingin minum arak, secara tiba-tiba
ingin minum arak .... Arak terletak di atas meja.
Tio Tay-hong menghela napas sedih, katanya tiba-tiba, "Tampaknya kedua guci arak ini benarbenar
tak ada yang minum."
"Kalau tak ada yang minum, itu baru aneh," tiba-tiba terdengar seseorang berteriak.
Ternyata suara itu berasal dari dalam peti mati.
Menyusul kemudian, terdengar "Blamm!", penutup peti mati terbuka dan seseorang melompat
keluar dari dalam peti mati itu. Seorang lelaki berwajah penuh cambang, bertelanjang dada dan
mengenakan celana hitam bersulam bunga berwarna merah, sepatunya masih baru.
Sambil tertawa terbahak-bahak Tio Tay-hong segera berseru, "Kau memang benar-benar
sinting, aku sudah tahu kalau kau tak akan mampus."
"Kalau ingin mampus, paling tidak juga harus menghabiskan dulu kedua guci arak ini," sahut
Kim si sinting.
Begitu melompat ke depan, segera dia hancurkan penutup guci arak dan segera meneguknya
dengan lahap.
Pho Ang-soat duduk di sana, tapi sekejap pun dia tidak memandang ke arahnya, seakan-akan
dalam ruangan itu tiada kehadiran orang ini.
Tampaknya orang ini memang rada sinting.
Tapi Pho Ang-soat tidak marah, dia sendiri pun seringkali tidak memandang ke arah orang lain.
Dalam waktu singkat Kim si sinting sudah menghabiskan setengah guci arak itu, kemudian baru
berhenti dan menghembuskan napas panjang, katanya sambil tertawa terbahak-bahak, "Hahaha,
arak bagus, benar-benar arak bagus, hitung-hitung tidak sia-sia kedatanganku kali ini."
"Kalau ingin datang, datang saja kemari, mengapa harus bermain macam begini?" seru Tio Tayhong.
"Siapa yang bermain setan dengan kau?" seru Kim si sinting dengan mata melotot.

"Kalau bukan lagi bermain setan, mengapa kau bersembunyi di dalam peti mati dan menyuruh
orang menggotong kemari?"
"Karena aku malas berjalan sendiri."
Jawaban bagus, juga sinting, tapi ketika mengucapkan kata-katanya ini, sorot matanya seakanakan
memperlihatkan perasaan murung dan takut.
Oleh karena itu cepat dia mengambil guci araknya dan kembali meneguk sampai habis.
Tio Tay-hong segera menarik tangannya.
"Mau apa kau?" seru Kim si sinting, "apakah tidak rela kuminum arakmu ini?"
Tio Tay-hong menghela napas panjang, katanya kemudian, "Kau tak usah mencoba mengelabui
aku, aku tahu kau pasti sedang menghadapi kesulitan."
"Kesulitan apa?"
"Kau pasti telah menyalahi seseorang, untuk menghindari pengejarannya, maka kau
menyembunyikan diri dalam peti mati."
Kim si sinting melotot, teriaknya, "Mengapa aku harus bersembunyi dari kejaran orang? Aku
Kim si sinting pernah takut kepada siapa?"
Terpaksa Tio Tay-hong menutup mulutnya, dia tahu tak ada untungnya berdebat masalah ini
dengan seorang sinting, sekali pun Kim si sinting menghadapikesulitan yang bagaimana pun
besarnya, dia tak akan menunjukkan hal itu di depan orang.
Akhirnya dia baru teringat dalam ruangan masih ada orang ketiga, maka dengan wajah berseri
katanya, "Ah, benar, aku lupa memperkenalkan kalian, temanku ini adalah ...."
"Dia temanmu, bukan temanku?" tukas Kim si sinting cepat.
Belum selesai berkata, mulutnya sudah disumpa guci arak.
Terpaksa Tio Tay-hong tertawa getir, katanya kemudian dengan nada minta maaf, "Sejak tadi
sudah kukatakan, dia adalah seorang sinting."
"Sinting pun ada baiknya juga," kata Pho Ang-soat.
Mendadak Kim si sinting meletakkan guci araknya keras-keras ke atas meja, kemudian dengan
mata melotot serunya, "Apa baiknya orang sinting?"
Pho Ang-soat tidak menjawab, bahkan menggubris pun tidak.
"Kau anggap orang sinting itu baik, jangan-jangan kau sendiri pun sinting?" seru Kim si sinting
lagi.
Pho Ang-soat masih saja membungkam, sama sekali tidak menggubrisnya.
Mendadak Kim si sinting mendongakkan kepala dan tertawa terbahak-bahak, "Hahaha, orang
ini benar-benar menarik, benar-benar menarik...."
Diam-diam Tio Tay-hong menarik ujung bajunya, lalu tertawa paksa katanya, "Mungkin kau
belum tahu siapakah dia, dia adalah ...."
"Memangnya aku tidak tahu siapa dia?" tukas Kim si sinting dengan mata melotot.
"Kau tahu?"
"Begitu melangkah masuk rumah ini, aku sudah tahu siapa dia."
"Darimana kau bisa tahu?" tanya Tio Tay-hong kaget dan tercengang.
"Sekalipun aku tidak kenal orangnya, pasti akan kukenali dari goloknya itu, aku Kim si sinting
sudah puluhan tahun berkecimpung di dunia persilatan, kau anggap aku hanya luntang-lantung
saja tanpa hasil?"

Tio Tay-hong segera menarik muka dan berseru, "Kalau sudah kau ketahui, tidak sepantasnya
bila kau bersikap begitu tak tahu adat."
"Aku ingin mencoba dirinya."
"Mencoba dirinya?"
"Orang lain mengatakan dia pun seorang aneh, aku ingin tahu dia lebih aneh atau aku yang
lebih aneh."
"Aneh dalam hal apa?"
Kim si sinting mengangkat sepasang sepatu barunya tinggi-tinggi, kemudian menjawab, "Konon
dalam menghadapi persoalan dia dapat menahan diri, asal kau bukan musuh besarnya, sekali pun
kau menampar wajahnya, dia tak akan membalas."
"Dalam hal ini ada baiknya jangan kau coba-coba," kata Tio Tay-hong sambil menarik muka.
Kim si sinting segera tertawa terbahak-bahak, "Walaupun aku seorang sinting, tapi hingga
sekarang aku tetap seorang sinting, oleh karena itu aku baru dapat memperoleh banyak berita."
"Berita apa?" Tio Tay-hong segera bertanya.
Kim si sinting sama sekali tidak menggubrisnya, dia malah membalik badan dan melotot ke arah
Pho Ang-soat, tiba-tiba katanya, "Bukankah kau ingin tahu Be Khong-cun berada dimana?"
Pho Ang-soat mengepal kencang, kemudian katanya, "Kau tahu?"
"Yang kuketahui memang banyak sekali."
"Dia ... dia berada dimana?" suara Pho Ang-soat menjadi parau saking tegangnya.
Tiba-tiba Kim si sinting menutup mulut, tidak bicara lagi Tio Tay-hong segera memburu ke
depan dan memegang bahu rekannya, ujarnya, "Bila kau memang tahu, mengapa tidak kau
katakan?"
"Mengapa aku harus mengatakan?" Kim si sinting balik bertanya.
"Karena dia adalah keturunan tuan penolongku, juga sahabatku." "Aku sudah bilang, dia adalah
sahabatmu, bukan temanku "
"Apakah kau bukan temanku?" seru Tio Tay-hong gusar.
"Sekarang masih, karena sekarang aku masih hidup."
"He, apa maksudmu?"
"Seharusnya kau mengerti."
"Apakah kau bakal mati bila mengatakan hal itu?"
Kim si sinting menggeleng kepala berulang kali, "Bukan begitu maksudku."
"Lalu apa maumu?"
"Ya, hanya ada satu syarat."
"Apa itu?"
"Aku minta kau pergi membunuh seseorang bagiku!"
"Membunuh siapa?"
"Membunuh seorang yang sudah tak ingin kujumpai lagi."
"Jadi kau bersembunyi dalam peti mati, karena berusaha menghindarkan diri dari
pengejarannya?"
Kim si sinting tidak menjawab, dia bungkam seribu bahasa.
"Siapa orang itu?" tanya Pho Ang-soat kemudian.

"Seseorang yang sama sekali tidak kau kenal, dengan kau tiada budi maupun dendam, juga
tiada sakit hati."
"Mengapa aku harus membunuhnya?" tanya Pho Ang-soat.
"Karena kau ingin tahu Be Khong-cun berada dimana "
Pho Ang-soat menundukkan kepala mengawasi goloknya, bila dia sedang berpikir, begitulah
sikapnya.
Menyaksikan hal itu, Tio Tay-hong tak tahan bertanya pula. "Mengapa kau ingin dia membunuh
orang itu?"
"Sebab dia hendak membunuhku," jawab Kim si sinting.
"Dia mampu membunuhmu?"
"Mampu!"
"Tidak banyak orang di dunia ini yang sanggup membunuhmu?" kata Tio Tay-hong dengan
wajah berubah.
"Orang yang mampu membunuhnya juga tidak banyak!" Diawasinya golok di tangan Pho Angsoat,
kemudian pelan-pelan melanjutkan, "Mungkin hanya golok ini yang mampu membunuhnya!"
Pho Ang-soat menggenggam goloknya kencang-kencang.
"Aku tahu kau tak mau pergi membunuhnya!" kata Kim si sinting lagi. "Ya, siapa yang mau
membunuh orang yang tidak dikenalnya?"
"Tapi aku harus menemukan Be Khong-cun."
"Oleh karena itu kau harus membunuhnya?"
Pho Ang-soat kembali menggenggam goloknya kencang-kencang.
Apa yang dikatakan Kim si sinting memang benar, siapa pun takkan mau membunuh orang
yang tidak dikenal.
Tapi dendam kesumat yang terukir dalam hatinya selama sembilan belas tahun bagaikan
sebatang rumput beracun yang berakar dalam hatinya. Bila dendam kesumat sudah berakar dalam
hati, maka tiada kekuatan di dunia ini yang sanggup mencabutnya.
Wajah Pho Ang-soat tetap pucat, peluh dingin bercucuran membasahi jidatnya.
Kim si sinting memandang ke arahnya, kemudian katanya, "Wan Chiu-hun juga bukan musuh
besarmu, kau sebenarnya tidak kenal dengannya, kau toh sudah membunuhnya."
Pho Ang-soat menengadah.
Dengan suara hambar Kim si sinting melanjutkan, "Siapa pun yang bermaksud membalas
dendam, dia akan membunuh lebih banyak orang, biasanya orang-orang yang terbunuh itu tidak
dikenalnya sama sekali."
Tiba-tiba Pho Ang-soat berkata, "Darimana aku tahu setelah kubunuh dia, aku pasti akan
menemukan Be Khong-cun?"
"Karena aku yang bilang "
Apa yang telah diucapkannya selamanya tak pernah diingkari, mau tak mau Pho Ang-soat harus
percaya.
Dalam keadaan terancam, orang masih ingat akan janji pertemuan tiga tahun yang lalu.
sungguh tidak mudah untuk melakukannya.
Kembali Pho Ang-soat menundukkan kepala, memandang golok di tangannya, kemudian pelanpelan
berkata, "Sekarang aku hanya ingin kau memberitahukan satu hal kepadaku."
"Hal apa."

"Dimana orang itu berada?" ucap Pho Ang-soat sepatah demi sepatah. Mencorong terang mata
Kim si sinting.
Bahkan Tio Tay-hong pun ikut mengunjukkan perasaan gembira, dia adalah teman mereka, dia
berharap mereka berdua sama-sama bisa memperoleh apa yang diharapkan.
Kim si sinting berkata, "Berjalanlah empat-lima li ke utara, di situ ada sebuah kota kecil, dalam
kota kecil itu terdapat sebuah rumah makan kecil, besok sebelum senja orang itu pasti berada di
dalam rumah makan itu."
"Kota apa? Apa pula nama rumah makan itu?"
"Dari sini menuju ke utara hanya terdapat sebuah dusun kecil, di dusun itu hanya terdapat
sebuah rumah makan, kau pasti dapat menemukannya."
"Darimana kau tahu sebelum senja besok dia pasti sudah berada disitu?"
"Aku kan sudah bilang, banyak persoalan yang kuketahui," jawab Kim si sinting sambil tertawa.
"Macam apa pula orang itu?"
Kim si sinting berpikir sebentar, lalu sahutnya, "Seorang laki-laki."
"Lelaki pun banyak macamnya."
"Lelaki aneh, asal kau bertemu dengannya, kau pasti akan tahu dia berbeda dengan orang
lain."
"Berapa umurnya?"
"Seharusnya tiga-empat puluh tahunan, tapi ada kalanya kelihatan masih sangat muda, tiada
orang yang mengetahui berapa usia sesungguhnya."
"Dia she apa?"
"Kau tak usah tahu dia she apa."
"Aku harus tahu dia she apa, dengan demikian aku baru bisa bertanya kepadanya, apakah dia
memang benar-benar orang yang hendak kubunuh
"Aku menyuruh kau pergi membunuhnya, bukan menyuruh km berkenalan dengannya ...." seru
Kim si sinting.
"Jadi kau harap aku langsung membunuhnya begitu berjumpa orang itu?"
"Sebaiknya begitu, tak perlu banyak bicara dan jangan biarkan di« tahu kalau kau bermaksud
membunuhnya."
"Aku tak dapat membunuh orang dengan cara begitu."
"Harus bisa,kalau tidak, kemungkinan besar kaulah yang akan mati di tangannya." Setelah
tertawa, katanya lagi, "Bila kau mati di tangannya, siapa lagi akan membalas dendam bagi
kematian Pek-tayhiap?"
Pho Ang-soat termenung beberapa saat, kemudian pelan-pelan berkata, "Siapa pun takkan mau
membunuh orang yang tak dikenalnya "
"Kan sudah kukatakan."
"Aku sudah bersedia, tapi kan tidak boleh salah membunuh."
"Aku pun tidak mengharap kau salah membunuh."
"Paling tidak kan aku harus tahu bentuk wajah dan tubuhnya."
Kim si sinting termenung dan berpikir beberapa saat, kemudian menjawab, "Orang ini
mempunyai ciri-ciri khas, setelah kau lihat tentu kau akan tahu."
"Apa ciri-cirinya!"

"Pertama, sorot matanya lain dari sorot mata orang umumnya."
"Lain bagaimana?"
"Sorot matanya seperti sorot mata binatang liar, hanya binatang liar saja yang memiliki sorot
mata semacam ini."
"Selain itu?"
"Kalau sedang makan, dia makan dengan pelan sekali, caranya mengunyah pun amat lambat,
seakan-akan untuk bersantap semangkuk nasi saja entah sampai kapan baru habis, seakan-akan
merasa sayang terhadap hidangannya yang sedang dimakan."
"Selanjutnya...”
"Bila sedang seorang diri tak pernah meneguk arak. tapi dihadapannya pasti tersedia sepoci
arak."
Pho Ang-soat hanya membungkam, dia mendengarkan semua keterangan itu dengan seksama.
"Di pinggangnya selalu terselip sebatang tongkat."
"Tongkat macam apa?"
"Sebuah tongkat yang sederhana, panjangnya kurang lebih tiga kaki "
"Ia tidak membawa senjata lain?"
"Tidak."
"Tongkat itu senjatanya?"
"Ya, boleh dibilang senjata paling menakutkan yang pernah kusaksikan sepanjang hidupku."
Tiba-tiba Tio Tay-hong menimbrung sambil tertawa. "Tentu senjata itu tak akan menangkan
golokmu, belum ada senjata di dunia ini yang sanggup menandingi kehebatan golokmu itu!"
Pho Ang-soat termenung beberapa saat sambil mengawasi goloknya kemudian mendongakkan
memandang pula golok pada lukisan itu.
Dia takkan membiarkan orang memandang rendah golok ini, tak dapat ia biarkan golok ini
berada di tangan orang lain pula.
Kim si sinting sedang mengawasi wajahnya dengan seksama, kemudian ujarnya, "Sekarang
tentu kau sudah tahu manusia macam apa dirinya?"
Pho Ang-soat manggut-manggut, "Ya, dia memang seorang aneh."
"Kujamin setelah kau bunuh dirinya, takkan ada orang bersedih."
"Mungkin hanya aku." Kim si sinting segera tertawa.
"Tapi setelah kau berhasil menemukan Be Khong-cun, yang bakal susah adalah dia."
Pho Ang-soat menatapnya lekat-lekat, lama kemudian baru berkata, "Siapa yang mengatakan
kau sinting?"
"Orang banyak."
"Mereka keliru, aku lihat kau jauh lebih sadar dari mereka "
Kim si sinting tertawa, mengangkat guci arak dan meneguk habis arak itu
Tio Tay-hong yang menyaksikan hal itu tersenyum, katanya, "Kebaikan terbesar orang ini
adalah di kala sadar dia tak akan mabuk, sebaliknya bila mabuk dia pun tak sadar ...."
0oo0
Fajar menyingsing.
Kini Kim si sinting sudah mabuk, mabuk di atas meja sambil mendengkur.

"Aku pun harus beristirahat sebentar ...." gumam Pho Ang-soat.
"Benar, hari ini kau harus memelihara kekuatanmu sebaik-baiknya."
"Apakah membunuh orang pun harus mempunyai semangat dan segar?"
"Kau harus mengerti, orang itu bukanlah seorang yang mudah dihadapi, tidakkah kau
perhatikan apa yang dikatakan Kim si sinting tadi?"
Pho Ang-soat mengawasi golok pada lukisan, tiba-tiba sekulum senyuman angkuh tersungging
di ujung bibirnya, pelan-pelan dia berkata "Tapi aku tidak percaya di dunia ini terdapat tongkat
yang mampu melawan golok ini!"
Dia memang tidak percaya.
Sewaktu Pek Thian-ih masih hidup, dia pun tidak percaya. Tapi sekarang dia sudah mati.
0oo0
BAB 35 TOKOH HEBAT ANGKATAN TUA
Orang asing tak boleh dipercaya, sebab biasanya dia adalah seorang berbahaya.
Orang ini adalah seorang asing.
Belum pernah dia melihat orang ini. juga belum pernah ia saksikan orang macam ini.
Padahal dia bukan seorang aneh.
Wajahnya tampan, bersih, seharusnya merupakan seorang yang disenangi orang banyak.
Dan lagi dia masih muda, kulitnya bersinar, hampir seluruh tubuhnya terdiri dari otot-otot yang
gempal.
Dia tidak membawa sesuatu senjata yang bisa membuat orang takut.
Tapi kenyataan dia memang seorang yang menakutkan ....
Ketenangan dan kemantapannya sudah cukup menakutkan orang.
Tidak berbicara belum tentu tenang, tapi yang menakutkan justru ketenangan dan
kelembutannya.
Sudah lama dia duduk di sana, bukan saja tidak bicara, juga tidak bergerak, padahal semua
orang tahu hal ini merupakan suatu pekerjaan yang amat sukar.
Dilihat dari gerak-geriknya nampak begitu santai, sekan-akan dia memang sering duduk tak
bergerak seperti itu.
Di atas meja ada arak, juga ada cawan arak. Namun sama sekali tidak dia sentuh sedikit pun.
Seolah-olah arak itu dipesan bukan untuk dirinya, melainkan dipesan untuk dilihat saja. Tapi
setiap kali dia memandang poci itu, dari balik sorot matanya yang dingin segera terpancar sinar
kelembutan.
Apakah poci ini dapat membuatnya teringat seorang teman, teman yang sering dibayangkan?
Pakaian yang dikenakan adalah pakaian kasar yang amat sederhana, tapi bersih, pada ikat
pinggangnya yang berwarna sama dengan pakaian yang dikenakan, terselip sebuah tongkat
pendek.
Tongkat pendek bukanlah sesuatu yang menakutkan.
Yang menakutkan justru adalah sepasang matanya.
Sepasang matanya tampak jeli dan bersinar tajam

Banyak orang yang mempunyai mata amat tajam, tapi sepasang matanya ini luar biasa
tajamnya, jauh lebih tajam dari sorot mata siapa pun.
Demikian tajamnya seakan-akan bisa menembus isi hatimu yang diliputi kegelapan.
Siapa saja yang dipandang oleh matanya itu, dia akan merasa seperti semua rahasianya telah
dilihat olehnya.
Sekarang dia telah memesan semangkuk bakmi.
Dia mulai bersantap, bersantap dengan pelan, mengunyah dengan cermat, seolah-olah
semangkuk mi yang berada dihadapannya sekarang merupakan yang terenak yang pernah
disantapnya, seakan-akan semangkuk bakmi yang merupakan bakmi terakhir yang bisa dimakan
olehnya.
Tangannya yang memegang sumpit terlihat kering dan mantap, jari tangannya panjang,
kukunya digunting pendek.
Di kala ia sedang bersantap itulah, Pho Ang-soat beranjak masuk ke dalam ruangan.
Begitu masuk, segera Pho Ang-soat melihat orang ini.
Dilihatnya mata orang itu memandang ke arahnya, seolah-olah dia sudah tahu bakal ada orang
macam begini masuk kemari.
Dipandang oleh matanya itu, terasa perasaan Pho Ang-soat timbul sedikit rasa takut dan ngeri.
Belum pernah dia merasakan perasaan semacam ini.
Dia seperti merasa masuk ke dalam suatu tempat yang gelap gulita dan secara tiba-tiba
menyaksikan ada seekor serigala sedang menanti kedatangannya.
Pelan-pelan dia berjalan masuk, sengaja tidak memandang orang itu. Tangannya masih
menggenggam golok dengan kencang, siap dilolosnya.
Orang itu tetap duduk dengan santainya, sebenarnya setiap saat Pho Ang-soat dapat
mengayunkan golok memenggal kepalanya.
Dia yakin akan kecepatan goloknya.
Dia pun yakin akan serangannya, yakin akan berhasil.
Tapi kali ini tiba-tiba saja dia merasa seperti kehilangan pegangan, seakan keyakinan itu sudah
lenyap.
Sekalipun orang hanya duduk santai seperti itu, tapi sebagai seorang persilatan tentu telah
mempersiapkan pertahanan, hampir tidak dijumpai titik kelemahan.
Belum pernah Pho Ang-soat menjumpai orang semacam ini.
Langkahnya amat lambat, kaki kirinya maju selangkah lebih dulu, kemudian kaki kanan baru
pelan-pelan diseret ke depan.
Dia sedang menunggu kesempatan terbaik untuk melancarkan serangan.
Orang itu masih memandang ke arahnya, tiba-tiba dia berkata, "Silakan duduk!"
Pho Ang-soat menghentikan langkahnya, seakan-akan tidak mendengar orang mempersilakan
dia untuk duduk.
Kembali orang itu menuding kursi di hadapannya dengan sumpit, katanya lagi, "Silakan duduk."
Pho Ang-soat ragu-ragu sejenak, namun akhirnya dia pun duduk di hadapannya.
"Minum arak?" tanya orang itu.
"Tidak!"
"Selamanya tak pernah minum?"

"Sekarang tidak minum."
Tiba-tiba sekulum senyuman aneh tersungging di ujung bibir orang, katanya lagi pelan,
"Sepuluh tahun sudah ...."
Pho Ang-soat hanya mendengarkan, dia tidak mengerti apa maksud ucapannya itu.
Pelan-pelan orang asing itu telah melanjutkan, "Selama sepuluh tahun ini, belum pernah ada
orang ingin membunuh aku."
Jantung Pho Ang-soat berdebar keras, seperti tambur yang dipukul bertalu-talu.
Orang itu kembali menatapnya lekat-lekat, kemudian berkata dengan hambar, "Tapi hari ini kau
datang untuk membunuhku!"
Pho Ang-soat merasa jantungnya berdebar makin keras
Dia benar-benar tidak mengerti, darimana orang bisa tahu maksud kedatangannya.
Orang itu masih mengawasinya lekat-lekat, kemudian bertanya pula, "Benar bukan?"
"Benar!"
Orang itu tertawa, "Aku pun tahu kau adalah seorang yang tidak pandai berbohong."
"Walau tidak pandai berbohong, tapi aku dapat membunuh orang."
"Berapa orang yang telah kau bunuh?"
"Tidak sedikit"
Kelopak mata orang itu berkerut kencang, pelan-pelan tanyanya lagi, "Kau merasa membunuh
orang adalah suatu pekerjaan yang menarik?"
"Bukan disebabkan hal itu."
"Lantas karena apa?"
"Aku tidak perlu memberitahu kepadamu."
Mendadak terpancar sinar mata sedih pada mata orang, sahutnya sambil menghela napas
panjang, "Benar, orang membunuh tentu mempunyai alasan dan tidak perlu diberitahukan kepada
orang lain ...."
"Darimana kau bisa tahu aku datang kemari hendak membunuhmu?" tak tahan Pho Ang-soat
bertanya.
"Kau mempunyai hawa membunuh."
"Kau dapat melihatnya?"
"Hawa membunuh tak dapat dilihat dengan mata, tapi semacam orang yang dapat
merasakannya."
"Apakah kau termasuk orang jenis itu?"
"Ya, benar!"
Kembali sorot matanya dialihkan ke tempat jauh sana, kemudian melanjutkan, "Justru karena
aku mempunyai perasaan demikian, maka sampai sekarang aku masih bisa hidup."
"Sekarang kau memang masih hidup," kata Pho Ang-soat.
"Kau yakin mampu membunuhku?"
"Tiada orang yang tak bisa dibunuh di dunia ini."
"Kau yakin akan berhasil?"
"Bila tidak yakin, aku tak akan kemari."

Lagi-lagi orang itu tertawa. Suara tawanya misterius dan aneh seakan-akan segulung angin
hangat yang berhembus di atas bukit bersalju dan melumerkan bunga-bunga salju.
Katanya lagi sambil tersenyum, "Aku menyukai orang macam kau."
"Tapi aku tetap akan membunuhmu."
"Mengapa?"
"Tiada alasan."
"Masakan tanpa alasan lantas ingin membunuh orang?"
Dari balik sorot mata Pho Ang-soat segera terpancar sinar penderitaan, katanya kemudian,
"Sekalipun ada alasan, aku juga tak dapat memberitahukan kepadamu."
"Apakah kau bersikeras hendak membunuhku?"
"Benar."
"Sayang ...." orang itu menghela napas panjang.
"Sayang? Apa yang perlu disayangkan?"
"Sudah lama aku tidak membunuh orang."
"O."
"Karena aku punya prinsip hidup, bila kau tak ingin membunuhku aku pun tak akan membunuh
kau "
"Bila aku bersikeras hendak membunuhmu?"
"Terpaksa kau harus mati."
"Mungkin yang mati adalah kau."
"Ya, mungkin ...."
Berbicara sampai di situ, dia baru memandang golok dalam genggaman Pho Ang-soat,
kemudian katanya lagi, "Tampaknya golokmu amat cepat?"
"Ya, cukup cepat."
"Bagus sekali!"
Mendadak ia melanjutkan kembali melahap mi, dia makan sangat pelan, mengunyah dengan
seksama.
Tangannya yang sebelah memegang sumpit, tangan yang lain memegang mangkuk.
Tampaknya asal Pho Ang-soat mencabut goloknya, maka mata golok segera akan membelah
batok kepalanya.
Pada hakikatnya dia sama sekali tidak mempunyai kekuatan lagi untuk menangkis ancaman itu.
Tapi golok Pho Ang-soat masih berada dalam sarungnya, sarung golok hitam.
Ia tidak mencabut goloknya karena di hadapan orang itu, tiba-tiba saja dia tidak mengetahui
serangan itu harus diayunkan ke arah mana.
Berada di hadapan orang itu, dia seperti terhadap oleh selapis dinding baja yang tak tertembus.
Orang itu tidak lagi memandang ke arahnya, pelan-pelan dia berkata lirih "Membunuh orang
bukan suatu pekerjaan yang menarik, dibunuh lebih-lebih tidak menarik lagi."
Pho Ang-soat tidak menjawab, bungkam dalam seribu bahasa. Sebab orang itu seperti bukan
lagi bercakap-cakap dengan dirinya.
Kembali orang itu berkata, "Aku tidak suka kepada orang yang ingin membunuh tanpa alasan,
terutama orang muda, sebagai orang muda tidak seharusnya memiliki kebiasaan semacam ini."

"Aku bukan datang kemari untuk mendengar nasehatmu," seru Pho Ang-soat cepat
"Golok toh sudah berada di tanganmu, setiap saat kau dapat mencabutnya."
Pelan-pelan dia melanjutkan kembali santapannya menghabiskan bakmi yang masih tersisa,
sikapnya masih tetap santai, enteng dan leluasa.
Tapi sekujur badan Pho Ang-soat, semua otot dan syarafnya seakan-akan menegang keras.
Dia tahu, sekarang sudah tiba saatnya untuk mencabut golok melancarkan serangan.
Bila golok itu sudah dicabut maka satu di antara mereka berdua pasti akan roboh.
Tiba-tiba saja rumah makan itu berubah menjadi kosong melompong.
Semua penghuni diam-diam sudah mengeluyur keluar dari situ, bahkan orang yang memasang
lentera pun tak ada.
Cahaya matahari senja yang remang-remang mencorong masuk lewat jendela....
Waktu itu benar-benar merupakan senja yang mengenaskan.
Pho Ang-soat duduk tak berkutik di tempatnya, tubuhnya terasa kosong. Seluruh kekuatan dan
tenaga yang dimilikinya telah dihimpun dalam lengan kanannya.
Gagang golok hitam sudah berada dalam genggamannya, otot-otot tangannya yang
menggenggam golok sudah merongkol.
Sebaliknya tongkat orang itu masih terselip di pinggangnya ... tongkat sederhana, terbuat dari
kayu.
Pho Ang-soat hendak mencabut golok!
0oo0
Tiada cahaya golok.
Golok belum sempat dicabut.
Ketika Pho Ang-soat siap mencabut goloknya, mendadak dari luar pintu melayang masuk
seseorang, ketika ia berkelit ke samping, orang itu segera terjatuh di sampingnya.
Tampak seorang lelaki tinggi besar, bertelanjang dada dan mengenakan celana hitam bersulam
bunga berwarna merah.
Sepatu larasnya yang masih baru tinggal sebuah saja yang masih dikenakan.
Kim si sinting!
Si perampok tunggal yang sinting dan aneh kini terkapar di tanah seperti seekor cacing,
wajahnya mengunjukkan rasa kesakitan yang hebat tubuhnya meringkuk, untuk merangkak
bangun pun tak mampu
Mengapa secara tiba-tiba dia pun kemari? Mengapa pula bisa berubah menjadi begini rupa?
Dalam keadaan begini, bagaimana mungkin Pho Ang-soat bisa membunuh orang?
Orang itu telah menghabiskan bakminya, sumpit telah diletakkan ke meja, terhadap semua
perubahan yang secara tiba-tiba, wajahnya sama sekali tidak mengunjuk rasa kaget atau
tercengang.
Bahkan berkedip pun tidak, sekarang dia sedang memandang ke arah pintu.
Dari luar pintu berjalan masuk seseorang. Yap Kay! Si sukma gentayangan.
Orang itu memandang ke arah Yap Kay, dari balik sorot matanya yang dingin terpancar keluar
sinar kehangatan.
Yap Kay menatap orang itu, sikapnya amat menghormat. Belum pernah dia bersikap begini
hormat terhadap siapa pun.

Tiba-tiba orang itu bertanya, "Dia adalah sahabatmu?"
"Benar."
"Orang macam apakah dirinya?"
"Seorang yang gampang ditipu orang."
"Apakah seseorang yang setiap saat bisa membunuh orang."
"Tidak."
"Jadi dia mempunyi alasan untuk membunuh aku?"
"Ya, ada."
"Apakah suatu alasan yang baik?"
"Bukan, tapi alasannya pantas untuk dimaafkan ...."
"Baik, sudah cukup."
Tiba-tiba ia bangkit berdiri dan tertawa ke arah Yap Kay, katanya, "Aku tahu kau suka menjamu
orang, hari ini boleh kau traktir aku."
"Tentu," ucap Yap Kay sambil tertawa.
Orang itu lalu beranjak keluar warung
"Tunggu dulu!" mendadak Pho Ang-soat membentak.
Orang itu sama sekali tidak menggubris, ia berjalan sangat pelan, seakan-akan tidak ada
urusan di dunia ini yang mampu membuatnya berjalan cepat.
Ting Hun-pin berdiri di luar pintu.
Ketika menyaksikan orang berjalan di sampingnya, mendadak dia berseru, "Kuhadiahkan
kelintingan ini untukmu."
Selesai bicara, tiga buah kelintingan yang melingkar di pergelangan tangannya telah meluncur
ke depan.
Kelintingan adalah benda begitu digoyang mudah mengeluarkan bunyi nyaring, tapi begitu
meluncur ke depan tadi, kelintingan itu justru tidak berbunyi, sebab gerakan luncur kelintingan itu
terlampau cepat.
Ketiga buah kelintingan itu segera menghajar punggung orang.
Orang itu sama sekali tidak berpaling, juga tidak bermaksud menghindarkan, dia pun tidak
menggerakkan tangan menyambut datangnya ancaman
Dia masih meluncur ke depan, sepintas gerakannya tampak seperti tidak terlampau cepat, tapi
anehnya, ketiga buah keliningan yang meluncur ke depan dengan kecepatan tinggi itu justru tak
sanggup menghantam punggungnya, benda itu selalu berada empat-lima inci di belakang
punggungnya.
Sekejap saja dia sudah berjalan ke depan beberapa tombak ...
Kelintingan yang semula tidak berbunyi kini mulai berbunyi dan akhirnya satu per satu jatuh ke
tanah.
Kelintingan memancarkan cahaya keemasan di atas tanah, namun orang aneh itu sudah lenyap.
Ting Hun-pin tertegun menyaksikan kejadian itu.
Pho Ang-soat juga tertegun.
Sebaliknya Yap Kay malah tersenyum, di balik senyumannya terselip rasa hormat dan kagum.

Mendadak Ting Hun-pin menghampirinya, menarik tangannya dan berseru, "Sebenarnya orang
itu manusia atau setan?"
"Menurut kau?"
"Aku tak dapat melihatnya."
"Mengapa tak bisa melihat?"
"Tak mungkin di dunia ini ada orang semacam ini, juga tak mungkin ada setan semacam ini."
Yap Kay tertawa mendengarnya.
"Dia adalah temanmu?" tiba-tiba Pho Ang-soat bertanya.
"Aku berharap demikian, asal dia bersedia menganggap diriku sebagai teman, apa pun akan
kulakukan."
"Kau tahu aku hendak membunuhnya?"
"Baru saja tahu."
"Maka kau segera memburu kemari?"
"Kau anggap aku datang untuk menolong dirinya?"
Pho Ang-soat tidak menjawab, hanya tertawa dingin.
Yap Kay menghela napas, katanya, "Aku tahu golokmu cukup cepat, aku pernah melihatnya,
tapi di hadapannya belum lagi golokmu dilolos, tongkat pendeknya mungkin sudah melubangi
tenggorokanmu."
Pho Ang-soat diam saja, tetap tertawa dingin.
"Aku tahu kau tak percaya, karena kau belum tahu siapa dia?"
"Siapa dia?"
"Sekalipun dia bukan orang yang turun tangan paling cepat di dunia ini tapi di dunia ini hanya
ada satu orang yang bisa melebihi kecepatan."
"O."
"Tapi jelas bukan kau."
"Siapa?"
Di wajah Yap Kay segera terpancar rasa hormat yang muncul dari sanubarinya, pelan-pelan dia
berkata pula, "Siau-li si pisau terbang!"
Ucapannya seperti memiliki daya kekuatan iblis, bisa membuat peredaran darah dan napas
orang berhenti.
Beberapa lama kemudian, Pho Ang-soat menghembuskan napas panjang, katanya, "Apakah dia
A Fei?"
"Di dunia ini hanya ada seorang A Fei."
Tangan Pho Ang-soat yang menggenggam kencang goloknya, "Aku tahu dia selalu
menggunakan pedang."
"Sekarang dia sudah tak perlu menggunakan pedang lagi, sebab tongkat pendek di tangannya
telah menjadi pedang yang paling menakutkan di dunia ini."
Paras muka Pho Ang-soat berubah pucat-pasi seperti mayat. "Oleh karena itu kau datang untuk
menolong aku?"
"Aku tidak berkata demikian."

Tidak menunggu Pho Ang-soat buka suara, dia bertanya lagi, " Tahukah kau siapa yang
tergeletak di atas tanah sekarang ...?"
"Dia mengaku dirinya bernama Kim si sinting."
"Bukan, di dunia ini mana ada orang bernama Kim si sinting."
"Lantas siapa dia?"
"Dia adalah Siau-tat-cu."
"Siau-tat-cu?"
"Belum pernah kau mendengar nama Siau-tat-cu?" Setelah tertawa, lanjutnya, "Tentu saja tak
pernah kau dengar, karena kau belum pernah datang ke ibukota, setiap orang yang pernah ke
ibukota pasti mengenal namanya, karena tiada orang yang bisa menandingi kehebatan Siau-tatcu."
"Siapa dia?"
Kembali Yap Kay tertawa, "Dia memang seorang berbakat, berperan sebagai apa pun dia dapat
memerankannya dengan baik."
Sekali lagi Pho Ang-soat tertegun.
"Sekarang dia berperan sebagai orang sinting yang pegang janji, bahkan seorang aneh dunia
persilatan yang mempunyai pendengaran luas, permainannya memang bagus."
Mau tak mau Pho Ang-soat harus mengakui hal ini.
"Permainannya ini dinamakan Siang-cuan-tau (sepasang gelang jebakan)," kata Yap Kay,
"sedang pengatur lakunya adalah Gi Toa-keng."
"Gi Toa-keng?" paras muka Pho Ang-soat agak berubah.
Yap Kay manggut-manggut, dia membungkuk dan mengeluarkan sejilid kitab kecil dari saku
Kim si sinting.
Kitab kecil itu dilapisi kulit tebal, berisi kata-kata dialog yang amat rumit.
Antara lain berbunyi: "Tengah malam, suruh orang menggotongmu dalam peti mati, tunggu
sampai kukatakan 'Arak ini tak ada orang yang minum'. Maka kau boleh melompat keluar dari
dalam peti mati, kemudian berkatalah sambil tertawa, 'Aneh namanya kalau arak itu tak ada yang
minum, kemudian....'."
Cukup dibacakan beberapa bagian, paras muka Pho Ang-soat yang pucat telah berubah
menjadi merah padam karena malu dan gusar.
Kini telah dia sadari apa gerangan yang sebenarnya telah terjadi.
Ternyata segala sesuatu yang berlangsung selama ini merupakan sandiwara belaka, ternyata
naskah sandiwara itu memang sudah disusun orang dengan rapi. Berarti sejak dia menyaksikan
Tio Tay-hong menangis dalam hutan, selangkah demi selangkah dia sudah terjebak dalam
permainan orang.
Dan rupanya sandiwara itu akan berakhir di ujung tongkat pendek ... tongkat pendek yang
sanggup menembus tenggorokan siapa pun.
Kim si sinting masih tergeletak di atas tanah sambil merintih, suaranya menandakan
penderitaan luar biasa.
Entah siapa yang memasang lampu, di bawah sinar lampu, paras mukanya kelihatan pucatpasi.
Ujung baju dan bibirnya masih mengejang terus tiada hentinya, membuat wajahnya turut
berubah menjadi amat menakutkan.
Akhirnya Pho Ang-soat mendongakkan kepala, kemudian katanya, "Yang kau maksud sebagai
Gi Toa-keng itu apakah Thi-jiu-kuncu (lelaki sejati bertangan besi) Gi Toa-keng?"

"Betul , Thi-jiu-kuncu Gi Toa-keng tidak lain adalah Tio Tay-hong yang kau kenal itu."
Dengan penuh kebencian Pho Ang-soat berseru, Semua orang persilatan mengatakan Gi Toakeng
adalah seorang Kuncu, lelaki sejati, tak kusangka dia sesungguhnya adalah seorang Kuncu
semacam ini."
"Di dunia ini memang banyak kuncu gadungan."
"Mengapa dia berbuat begitu?"
"Karena dia hendak membunuhmu?"
Tentu saja Pho Ang-soat tahu, sesungguhnya tak perlu dia bertanya.
"Tapi dia pun tahu betapa cepat golokmu itu," lanjut Yap Kay lebih jauh, "di dunia ini memang
jarang ada yang sanggup menandingi kecepatan golokmu itu."
Tanpa terasa Pho Ang-soat teringat orang asing itu, yang aneh, santai dan begitu tenang.
Cukup berbicara soal ini saja, rasanya jarang ada orang bisa menandinginya.
"Benarkah sebelum golokku tercabut, tongkat pendeknya sanggup menembus tenggorokanku?"
Pho Ang-soat benar-benar tak percaya, dia pun enggan mempercayai hal ini.
Hampir saja dia tak tahan untuk mengejar orang itu dan mencoba untuk bertanding, siapakah
di antara mereka yang sesungguhnya lebih cepat.
Bagaimana pun juga dia tidak bisa mengaku kalah begitu saja.
Cuma dia pun tahu, bila orang sudah berniat pergi, tiada orang sanggup menghalanginya, juga
tiada orang dapat menyusul dirinya.
Tangannya yang memegang golok mulai gemetar.
Yap Kay memandang tangannya sekejap, kemudian ujarnya setelah menghela napas panjang,
"Sekarang mungkin kau masih belum percaya bahwa gerakannya jauh lebih cepat daripada
gerakanmu, tapi...."
Mendadak Pho Ang-soat menukas, "Percaya atau tidak adalah urusanku, urusanku sama sekali
tiada hubungannya dengan kau."
Yap Kay hanya bisa membungkam, hanya tertawa getir.
"Karena itu lebih baik kau jangan ikut campur!" seru Pho Ang-soat. Kembali Yap Kay tertawa
getir.
"Mengapa kau selalu mengikutiku secara diam-diam?"
"Aku tidak mengikutimu."
"Jika kau tidak mengikutiku, mengapa bisa mengetahui kejadian ini?"
"Karena secara kebetulan aku bertemu Gi Toa-keng," Yap Kay menerangkan.
"Banyak orang juga bertemu dia."
"Tapi hanya aku yang tahu dia adalah Gi Toa-keng yang tidak seharusnya berada di sini, juga
tidak seharusnya dia berdandan seperti itu, dia sangat memperhatikan pakaian serta
dandanannya"
"Hal ini toh tiada sangkut-pautnya dengan dirimu ...."
"Tapi bagiku kejadian ini sesuatu yang aneh."
"Maka kau pun menguntitnya?"
Yap Kay manggut-manggut.

"Sudah dua hari aku menguntitnya, tapi selalu tidak berhasil menemukan dimana dia menginap,
aku tak berani menguntitnya terlampau dekat, sebab aku tahu gerak-geriknya amat licin bagai
seekor rase."
"Ehm!"
"Tapi aku tahu dia telah mengundang Siau-tat-cu dari ibukota, maka aku pun berganti arah
mulai menguntit Siau-tat-cu ...." Setelah tertawa getir, dia menambahkan, "Tapi kemudian Siautat-
cu pun tak nampak lagi batang hidungnya ...."
0oo0
BAB 36. HIDUP MANUSIA BAGAI PANGGUNG SANDIWARA
"Rupanya ada juga pekerjaan yang tak sanggup kau lakukan."
"Untung kemudian aku bertemu dengan kedua orang penggotong peti mati itu, mereka adalah
anak buah Siau-tat-cu dalam permainan sandiwaranya, datang ke sana bersama Siau-tat-cu,
selamanya Siau-tat-cu memang sangat baik terhadap anak buahnya."
Peristiwa ini memang penuh lika-liku, mau tak mau Pho Ang-soat harus memperhatikannya
dengan seksama.
"Waktu itu mereka sedang membereskan perbekalan siap meninggalkan kota, setelah
kutemukan mereka, dengan menggunakan kekerasan kupaksa mereka mengaku, akhirnya kutanya
mereka kemana Siau-tat-cu mereka kirim."
"Maka kau pun berhasil menemukan tempat itu?"
"Sewaktu aku ke sana. kau tidak ada, yang ada di rumah hanya Gi Toa-keng serta Siau-tat-cu."
"Tentu saja Gi Toa-keng tak akan memberitahu rahasia ini kepadamu..”
"Tentu saja tidak, aku pun belum tentu bisa memaksanya buka suara atau tidak, sayang sekali
walau rencananya cukup matang, tindakannya justru keji."
Pho Ang-soat tidak memberi komentar, hanya mendengarkan belaka.
"Ternyata dia telah mencampuri racun dalam arak, dia bermaksud membunuh Siau-tat-cu dan
menghilangkan jejak!"
Sekarang Pho Ang-soat baru tahu, penderitaan yang dialami Siau-tat-cu bukan lantaran terluka,
melainkan karena keracunan.
"Ketika aku sampai di sana, rasa sakit Siau-tat-cu baru mulai kambuh, setelah kubongkar
perbuatan keji Gi Toa-keng, tentu saja dia benci setengah mati pada orang she Gi."
"Maka dia pun membongkar rencana keji Gi Toa-keng kepadamu?" sambung Pho Ang-soat.
Yap Kay menghela napas panjang.
"Bila Gi Toa-keng tidak terlampau kejam, rahasia ini selamanya mungkin tak akan kuketahui,
dia berlagak seakan tenaga dalamnya telah mencapai puncaknya, hampir saja aku terkecoh,
malahan aku menganggapnya seorang kuncu sejati, aku ingin minta maaf kepadanya, tapi sayang
dia telah pergi."
Tak tahan Ting Hun-pin juga menghela napas, katanya, "Kalau dia menjadi pemain panggung,
pasti namanya akan lebih tersohor daripada Siau-tat-cu."
"Tadi aku dengar kau memanggilnya sebagai paman Gi?" sindir Yap Kay.
Dengan gemas Ting Hun-pin melotot sekejap ke arahnya, kemudian katanya sambil cemberut,
"Dia sebenarnya teman ayahku, wajahnya ramah dan halus budi, siapa sangka dia lelaki munafik,
Kuncu gadungan?"

Yap Kay ikut-ikutan menghela napas. "Maka perlu kau manusia rendah semacam diriku jauh
lebih baik daripada seorang Kuncu gadungan."
"Hal ini sudah lama kupahami," kata Ting Hun-pin sambil tersenyum manis.
Yap Kay tertawa getir.
"Lebih baik selamanya tidak kau pahami."
Dengan gemas Ting Hun-pin melotot sekejap ke arahnya, tiba-tiba dia berkata, "Aku tetap tidak
paham akan satu hal!"
Yap Kay hanya diam saja, menantikan kata-kata si gadis.
"Pendekar seperti Li Sun-hoan, A Fei dan lain-lain sudah lama tidak ditemukan lagi jejaknya,
darimana Gi Toa-keng bisa tahu hari ini dia berada di sini?"
Yap Kay termenung sebentar, kemudian sahutnya, "Ya, jejak Hui-kiam-khek (jago pedang
terbang) memang susah dicari, bahkan Siau-li si pisau terbang pun belum tentu tahu."
"Itulah sebabnya aku pun merasa heran."
"Tapi sejak Pek-hiau-seng meninggal di dunia persilatan masih ada tiga orang manusia yang
paling tajam pendengarannya, salah seorang di antaranya adalah Gi Toa-keng ini."
"Memang pernah aku mendengar, konon tiap hari dia banyak menerima tamu."
"Mungkin saja dia mendengar bila A Fei akan kemari, maka dia menunggunya lebih dulu disini?"
"Kalau begitu rumah inipun sudah dipersiapkan jauh hari sebelumnya?" kata Ting Hun-pin.
"Benar, setelah itu dia baru berusaha mencari akal untuk menipu Pho Ang-soat datang kesana."
Dengan ujung matanya Ting Hun-pin melirik sekejap ke arah Pho Ang-soat, setelah itu katanya,
"Itu bukan suatu pekerjaan sukar "
"Setiap hari dia keluar rumah, mungkin tujuannya adalah mencari berita Hui-kiam-khek," kata
Yap Kay
"Tapi orang justru mengira dia pergi mencari kabar Be Khong-cun." Yap Kay meringis.
"Cara kerja orang ini cukup rahasia dan rapi, rasanya tiada seorang pun yang sanggup
menandinginya."
Selama ini Pho Ang-soat hanya termenung saja, tiba-tiba katanya, "Dimanakah dia sekarang?"
"Sudah pergi!"
"Mengapa kau lepaskan dia?"
"Mengapa aku harus bersamanya?" Yap Kay balik bertanya sambil tertawa, "apakah dia tak bisa
pergi sendiri?"
"Kau tidak berusaha menghalangi kepergiannya?"
"Kau anggap aku pasti mampu menghalanginya?"
Pho Ang-soat tidak berkata apa-apa, hanya tertawa dingin.
Tiba-tiba Ting Hun-pin juga tertawa dingin, sindirnya, "Sekalipun Siau Yap tidak
menghalanginya, paling tidak dia tidak tertipu olehnya."
Paras muka Pho Ang-soat segera berubah hebat, dia segera membalik badan. Tapi Ting Hunpin
segera berjalan ke hadapannya, kemudian katanya pula, "Sekalipun kau tidak menganggap
Siau Yap sebagai teman, tapi sikapnya terhadap dirimu cukup baik bukan?"
Pho Ang-soat menolak menjawab, dia membungkam.
"Sikapnya terhadap dirimu., seperti sikap bapak terhadap anaknya, sekalipun kau tidak
berterima kasih kepadanya, paling tidak janganlah menganggap dia sebagai musuh."

Kembali Pho Ang-soat membungkam, dia tidak menjawab.
Ting Hun-pin tertawa dingin, katanya pula, "Aku tahu kau tak sudi bicara denganku, terus
terang saja kukatakan biasanya jangankan mengajak bicara, terhadap manusia macam kau,
kendati kau menyembah belum tentu aku sudi memandangmu."
Pho Ang-soat tertawa dingin, namun dia tetap bungkam.
"Ada beberapa terpaksa harus kutanyakan kepadamu."
Pho Ang-soat tetap diam, menantikan pertanyaannya.
"Mengapa semakin baik orang bersikap kepadamu, justru kau semakin galak kepadanya?
Apakah kau takut orang lain berbuat baik kepadamu? Apakah kau punya penyakit?"
Paras muka Pho Ang-soat yang pucat tiba-tiba berubah merah padam, sekujur badannya mulai
gemetar. Dari sorot matanya yang dingin tiba-tiba memancarkan sinar penderitaan, hingga tak
kuasa menahan diri. Ting Hun-pin tertegun dibuatnya.
Dia benar-benar tidak menyangka secara tiba-tiba Pho Ang-soat berubah menjadi begitu, tak
tega dia memandangnya lagi, dengan kepala tertunduk katanya pelan-pelan, "Aku kan cuma
bergurau saja, masakah kau anggap sungguhan? Janganlah marah."
Pho Ang-soat Cuma diam tak bergerak.
Ting Hun-pin juga tidak bicara lagi, merasa rikuh dan tak mampu melanjutkan kata-katanya.
0oo0
Di atas meja tersedia arak Ternyata ia duduk dan minum arak.
Yap Kay membangunkan Siau-tat-cu, seakan-akan tidak tahu ada persoalan di antara mereka
Wajah Siau-tat-cu masih penuh air mata, katanya dengan sesenggukan.
"Aku ... aku tak lebih hanya seorang pemain sandiwara, siapa memberi uang, aku pun bermain
untuknya."
"Aku tahu."
"Aku masih belum ingin mati ...." air mata Siau-tat-cu jatuh bercucuran makin deras.
"Kau tak bakal mati."
"Benarkah aku masih dapat tertolong?"
"Aku telah meluluskan permintaanmu, kau sudah minum obat penawar."
Siau-tat-cu terengah-engah dan duduk, perasaannya telah tenang.
Sambil menghela napas Yap Kay berkata, "Padahal siapa pula yang tidak bermain sandiwara?
Bukankah kehidupan manusia di dunia ini sesungguhnya adalah panggung sandiwara?"
Waktu itu perasaan Pho Ang-soat telah tenang kembali, tiba-tiba dia membalikkan badan dan
melotot ke arah Siau-tat-cu, kemudian ujarnya, "Kau tahu Gi Toa-keng pergi kemana?"
Pucat-pasi wajah Siau-tat-cu karena ketakutan, sahutnya tergagap, "Aku ... mungkin dia sudah
pulang."
"Dimana rumahnya?"
"Konon rumahnya berada di perkampungan Cong-keng-ban-coan-ceng, aku belum pernah ke
sana, tapi banyak orang persilatan yang tahu."
Pho Ang-soat membalikkan badan dan pelan-pelan beranjak keluar. Jangankan menegur Yap
Kay, memandang sekejap ke arahnya pun tidak.
"Eh, tunggu sebentar," seru Yap Kay, "masih ada satu hal perlu keberitahukan kepadamu."
Pho Ang-soat tidak berhenti, menggubris pun tidak.

"Istri Gi Toa-keng she Lok!" seru Yap Kay.
Pho Ang-soat tetap tidak menggubris.
"Dia semarga dengan Lok Siau-ka!" seru Yap Kay lebih lanjut.
Pho Ang-soat masih saja tidak menggubris, namun otot-otot hijau pada lengannya merongkol.
Dia tidak berpaling, selangkah demi selangkah berjalan keluar.
0oo0
Malam makin kelam....
"Bukankah kehidupan manusia pun mirip panggung sandiwara, siapa pula yang tidak sedang
bermain sandiwara?"
Lalu bagaimana cara membawakan peranan dalam sandiwara itu? Apakah ingin berperan dalam
lelakon yang menyedihkan? Ataukah kau lebih suka berperan dan kisah gembira? Apakah kau
tidak ingin mendapat tepuk tangan penonton? Atau juga ingin dilempari tomat busuk?
0oo0
Tomat belum membusuk.
Musim gugur adalah musim panen buah tomat.
Ting Hun-pin menyodorkan sebiji tomat ke hadapan Yap Kay, ujarnya dengan lembut, "Tomat
termasuk buah menyegarkan, bila minum arak sambil makan tomat, maka orang tidak gampang
mabuk!"
"Darimana kau tahu kalau aku tak ingin mabuk?" tanya Yap Kay dengan tawar.
"Bila seorang ingin mabuk, walau minum arak sambil makan apa saja, akhirnya akan mabuk
juga."
Dia menjejalkan tomat itu ke mulut Yap Kay, katanya pula sambil tertawa, "Oleh karena itu
makanlah buah ini kemudian baru bicara."
Terpaksa Yap Kay memakan tomat itu.
Dia bukan manusia yang terbuat dari kayu, dia pun memahami perasaan kasih sayang Ting
Hun-pin terhadapnya, bahkan ia merasa amat berterima kasih kepadanya.
Walaupun gadis ini agak binal dan tak tahu aturan, namun dia bersikap lembut, hangat dan
menyenangkan, ditemani gadis semacam dia, sudah pasti hati akan merasa puas.
Pemuda itu sudah menghabiskan tomat yang disodorkan kepadanya, Ting Hun-pin menghela
napas, ujarnya. "Untung kau bukan Pho Ang-soat, semakin baik orang bersikap kepadanya,
semakin jelek sikapnya kepada orang itu."
Yap Kay juga menghela napas.
"Bila kau menganggap dia adalah orang macam itu, maka pendapatmu itu keliru besar."
"Bagian mana aku salah?"
"Ada orang yang justru enggan memperlihatkan perasaannya."
"Kau anggap dia termasuk manusia jenis ini?"
"Ya, itulah sebabnya di kala seorang bersikap baik kepadanya, dia justru menampilkan sikap tak
berperasaan, karena dia kuatir orang lain mengetahui perasaannya."
"Oleh karena itu kau pun menganggap dia bersikap baik kepadamu?"
Yap Kay tidak menjawab, hanya tertawa.
"Tapi sikapnya terhadap Cui-long ...."

Belum selesai Ting Hun-pin berkata, Yap Kay telah menukas, "Tadi sikapnya tiba-tiba berubah,
karena kau telah menyentuh luka hatinya, membuat ia teringat Cui-long."
"Jika benar dia bersikap baik terhadap Cui-long, mengapa justru meninggalkannya?"
"Bila ia tidak bersikap baik kepadanya, mengapa pula dia terlihat begitu menderita?"
Ting Hun-pin terbungkam, ia tak sanggup menjawab
Sambil menghela napas Yap Kay kembali berkata, "Hanya orang yang benar-benar tak
berperasaan yang tidak mengenal arti penderitaan. Tak aku mengagumi orang macam itu."
"Kenapa?"
"Karena manusia semacam ini pada hakikatnya bukan manusia "
Ting Hun-pin menghela napas, katanya, "Kalian orang laki-laki memang benar-benar memiliki
perasaan aneh."
"Ya, memang aneh, seaneh pikiran kalian orang-orang perempuan," sambung Yap Kay.
Apa yang dikatakan memang benar.
Yang paling aneh dan paling sukar diraba di dunia ini sesungguhnya adalah perasaan manusia,
baik dia lelaki maupun perempuan.
Sambil tersenyum Ting Hun-pin segera berkata. "Untung aku telah mengerti akan dirimu."
"O ya."
"Walaupun di luar kau mirip orang tak berperasaan, sesungguhnya kau sangat baik kepadaku."
Sambil menarik muka, Yap Kay ingin mengucapkan sesuatu, tapi baru saja dia membuka mulut,
kembali Ting Hun-pin menjejalkan sebiji tomat ke mulutnya.
^"^
Malam sudah semakin kelam
Siau-tat-cu telah minum sebungkus obat dan tertidur di atas kursi panjang di sudut ruangan.
Pelayan rumah makan itupun mulai menguap mengantuk.
Ingin dia mengusir orang-orang itu dari sana, tapi ia tak berani ... biasanya orang-orang begini
memang berbahaya.
Ting Hun-pin memenuhi cawan arak Yap Kay, kemudian berkata, "Tampaknya perkampungan
Cong-keng-ban-coan-ceng tidak terlampau jauh dari sini."
"Ya, memang tidak terlalu jauh."
"Menurut pendapatmu, benarkah Gi Toa-keng pulang ke rumah?"
"Dia tak mungkin bisa melarikan diri."
"Mengapa?"
"Sebab dia tak perlu kabur, jika kabur akan menambah curiga orang."
"Bagaimana pun juga sekarang Pho Ang-soat pasti menduga dia salah seorang di antara
pembunuh gelap di luar kuil Bwe-hoa-am tempo hari, maka itulah ia menyusun rencana dan
perangkap keji untuk mencelakai Pho Ang-soat."'
"Pho Ang-soat bukan orang tolol."
"Siapa tahu orang yang meracuni Si Bu juga Gi Toa-keng?"
"Bukan."
"Mengapa?"

"Sebab racun yang dicampurkan ke dalam arak Siau-tat-cu adalah jenis yang berbeda."
"Apakah dia tak bisa membawa obat penawar masing-masing racun?"
"Orang yang mengerti cara khusus mengerjai orang, dia pasti punya obat racun khusus yang
paling sering dipakai, kebiasaan semacam ini seperti juga kebiasaan orang perempuan
menggunakan pupur dan gincu."
Ting Hun-pin tidak mengerti apa maksudnya.
Kembali Yap Kay menerangkan, "Tentu kau pernah menggunakan lebih dari satu macam pupur
bukan?"
Ting Hun-pin berpikir sebentar, kemudian manggut-manggut.
"Bila kau akan keluar rumah, mungkinkah kau membawa kedua macam pupur yang berbeda?"
kembali Yap Kay bertanya.
Ting Hun-pin menggeleng berulang kali, lalu mengerling sekejap ke arahnya, katanya dingin,
"Tampaknya tidak sedikit persoalan kaum wanita yang kau pahami."
"Ah, aku hanya sedikit lebih tahu tentang sifat orang yang menggunakan obat racun, soal
perempuan boleh dibilang aku tidak tahu sama sekali."
"Aneh jika kau tak tahu."
Tiba-tiba dia sambar cawan arak yang disodorkan kepada Yap Kay, sekaligus ditenggaknya
habis.
Menyaksikan itu, Yap Kay tertawa.
Kembali Ting Hun-pin mengerling ke arahnya, katanya, "Aku heran, kenapa kau masih bisa
bergembira duduk di sini sambil minum arak."
"Mengapa tidak?"
"Kalau Gi Toa-keng sudah pulang ke rumah, sudah pasti Pho Ang-soat akan ke sana
mencarinya."
Yap Kay manggut-manggut membenarkan.
"Ka-lau Lok Siau-ka adalah iparnya, tentu juga akan berada di sekitar tempat ini, siapa tahu
saat inipun dia berada di rumahnya” kata Ting Hun-pin lagi.
"Ya, mungkin begitu."
"Kau tidak kuatir Pho Ang-soat dicelakai mereka? Bukankah kau selalu menguatirkan
keselamatannya?"
"Tapi kali ini aku justru merasa lega."
"Sungguh?"
"Tentu saja sungguh, karena aku tahu pada hakikatnya mereka tak mungkin bertarung."
"Mengapa?" Yap Kay tertawa.
"Bila kau memahami orang macam apa Gi Toa-keng, kau akan segera tahu mengapa bisa
demikian."
"Setan yang bisa memahami dirinya."
"Seumur hidup orang ini tak pernah bermusuhan dengan orang secara terang-terangan,
sekalipun orang pergi mencari ke rumahnya, ia akan berusaha orang menganggapnya seorang
Kuncu."
"Namun sekalipun mengalah dan bersabar juga tiada gunanya."
"Tapi ia masih bisa menggunakan cara lain."

"Cara apa?"
"Ia bisa menyangkal keterlibatannya dalam masalah ini, tidak mengakui telah terjadi peristiwa
semacam itu."
"Tapi kenyataan kan sudah di depan mata, sekalipun menyangkal juga tak ada gunanya."
"Bisa saja bilang tak pernah meninggalkan Cong-keng-ceng, bahkan ia dapat beralasan sakit
payah."
"Memangnya Pho Ang-soat akan mempercayainya begitu saja? Dia bukan orang tolol."
"Gi Toa-keng pasti sudah mengumpulkan banyak tokoh persilatan di rumahnya sebagai saksi,
orang macam dia, melakukan pekerjaan apa saja, entah itu bakal berhasil atau tidak, pasti dia
akan menyiapkan jalan mundur lebih dulu."
"Kesaksian orang lain belum tentu dipercaya Pho Ang-soat."
"Orang yang dicari Gi Toa-keng sudah pasti orang-orang yang ternama dan punya kedudukan
tinggi dalam dunia persilatan, sehingga setiap ucapannya pasti berbobot, orang tak mau percaya
pun percaya juga."
"Apakah dia bersedia mambantu membohongi orang lain?" kata Ting Hun-pin.
"Dia pasti tak akan menyuruh mereka berbohong, mereka hanya disuruh menjadi saksi."
"Bersaksi bahwa dia tak pernah keluar rumah?"
"Tentu saja dia mempunyai akal untuk menyuruh orang-orang itu percaya bahwa selama ini dia
tak pernah meninggalkan rumah."
"Aku tidak tahu cara bagaimana bisa begini sempurna, kecuali jika dia punya kepandaian
membelah diri."
"Ilmu membelah diri bukan suatu kepandaian sukar, bisa saja dia mencari seseorang yang
menyaru sebagai dirinya untuk tinggal di rumah dan berpura-pura sakit."
Setelah berhenti sejenak, tambahnya, "Biasanya kamarnya pasti dibikin remang-remang, paras
orang sakit pun tentu kurang baik, suaranya tidak seperti biasanya, oleh karena itu temantemannya
tentu tak menaruh curiga bahwa si sakit sebetulnya bukan Gi Toa-keng, melainkan
samaran orang lain."
"Benar!" Ting Hun-pin manggut-manggut, "apalagi Gi Toa-keng sudah dikenal sebagai seorang
lelaki sejati yang jujur, tentu saja orang lain tak menyangka dia melakukan perbuatan semacam
ini..“
"Tepat sekali."
Ting Hun-pin menghela napas panjang, katanya, "Tampaknya kau cukup mengerti permainan
licik semacam ini."
"Itulah sebabnya aku dapat hidup hingga kini."
"Jika begitu, mumpung kau masih hidup, lebih baik aku cepat-cepat angkat kaki daripada
menunggu kau mati mabuk di tempat ini."
"Kau boleh pergi."
"Dan kau?"
"Aku sudah bertekad akan tinggal di sini."
"Kau anggap tempat ini sangat baik?"
"Tidak baik."
Ting Hun-pin memandang sekejap ke arah pelayan rumah makan yang berkerut kening
semenjak tadi, katanya, "Kau anggap orang lain suka kau tunggu di sini?"

Yap Kay tertawa lebar.
"Aku rasa dia lebih suka kalau aku cepat-cepat membayar rekening dan meninggalkan tempat
ini."
"Lantas apa sebabnya kau masih tinggal di sini?"
"Aku menantikan seseorang."
"Seorang perempuan?" sepasang mata Ting Hun-pin berkedip.
"Aku tak pernah menunggu perempuan, selamanya perempuan yang menunggu
kedatanganku."
"Lantas siapa sebenarnya yang kau tunggu," seru Ting Hun-pin sambil menggigit bibir.
"Pho Ang-soat."
"Masakah dia akan kembali?" seru gadis itu dengan wajah tertegun.
"Dia pasti datang mencariku, karena dia anggap aku telah membohonginya," jawab Yap Kay
yakin.
"Apakah dia tak bisa membedakan Gi Toa-keng sebenarnya adalah Tio Tay-hong?"
"Gi Toa-keng tak memberitahu ada orang sengaja menyaru sebagai dirinya, darimana dia
tahu?"
Ting Hun-pin membungkam dan tak sanggup berkata.
Selama ini si pelayan hanya mendengarkan dari samping, ketika mendengar sampai di situ, tak
tahan dia menghela napas. Saat itulah dari luar pintu terdengar seorang sedang tertawa tergelakgelak.
"Tak kusangka di sini masih ada arak, tampak Thian memang baik terhadapku. Dia masih
belum mengharapkan kematianku."
Seorang yang sedang mabuk menerjang masuk ke dalam ruangan dengan langkah
sempoyongan, dia memakai baju biru, mukanya bulat, hidung berwarna merah, tampaknya
seorang setan mabuk.
Begitu masuk, dia segera melempar sekeping uang perak ke atas meja, kemudian serunya
dengan lantang, "Keluarkan semua arak paling bagus dan sayur paling enak yang dijual di tempat
ini, Toaya tak punya barang lain kecuali uang perak."
Kalau ada uang tentu saja ada arak. Orang itu meneguk beberapa cawan arak lebih dulu,
kemudian tiba-tiba berpaling dan menggapai ke arah Yap Kay.
Yap Kay balas menggapai.
Orang itu tertawa lagi. "Kau memang menarik," serunya, "kau pasti seorang yang baik, mari,
mari aku traktir kau minum arak."
"Bagus sekali," jawab Yap Kay sambil tertawa.
"Apa pun tidak kumiliki, yang kumiliki hanya uang perak."
Ternyata dia benar-benar berpindah ke sana.
Di sinilah letak kebaikan Yap Kay, terhadap persoalan apa pun dia selalu ingin tahu, asal ada
sedikit persoalan yang dirasa aneh, rasa ingin tahunya pasti tak tertahan.
Ia sudah melihat tangan dan kaki orang amat kasar, hidung berwarna merah karena mabuk,
selain memakai baju dan topi baru, sakunya penuh uang. Tentu saja hal ini cukup mengherankan.
Sedikit hal aneh kadang bisa menimbulkan banyak peristiwa aneh lainnya. Ada banyak kejadian
aneh yang justru ditemukan Yap Kay dengan cara begini, apalagi belakangan ini dia memang
sedang mencari orang.

Melihat pemuda itu berpindah ke meja orang, tak tahan Ting Hun-pin menghela napas panjang,
gumamnya, "Tampaknya tiada kejadian yang bisa menghalangi perkenalan antara dua setan
arak."
Orang yang berada di hadapannya sekarang selain berhidung merah, lidahnya juga lebih
panjang dari lidah orang normal. Ia menepuk-nepuk bahu Yap Kay sambil berseru lantang,
"Silakan kau minum sepuas-puasnya, uang perakku cukup untuk mentraktir dirimu."
Sengaja Yap Kay merendahkan suara, dengan berbisik berkata, "Tampaknya kau sedang kaya
mendadak. Bila di sekitar sini bisa dengan gampang memperoleh kekayaan, dapatkah kau
memberitahukan kepadaku, supaya aku pun bisa balas mentraktirmu?"
Orang tua itu kembali tertawa terbahak-bahak, "Kau anggap aku ini seorang perampok? Atau
seorang pencuri?"
Mendadak ia merogoh sakunya dan mengeluarkan semua uang peraknya ke atas meja,
kemudian sambil melotot serunya, "Terus terang kukatakan kepadamu, uangku ini bukan uang
kotor, uang ini kudapat setelah bekerja selama puluhan tahun."
"O."
"Terus terang aku ini bukan orang jahat, aku hanyalah seorang pencuci kuda."
"Masakah seorang pencuci kuda pun bisa mempunyai uang sebanyak itu?" kata Yap Kay sambil
tersenyum. "Tampaknya aku pun harus belajar menjadi seorang tukang cuci kuda."
Orang itu menggelengkan kepala. "Aku bisa saja membawa kau ke sana, tapi sekarang sudah
terlambat."
"Mengapa?"
"Sebab tempat itu sekarang sudah tak ada kuda lagi, bahkan sesosok manusia pun tak
tampak."
"Sebenarnya tempat manakah itu?"
"Perkampungan Ho-han-ceng!"
Mencorong terang mata Yap Kay.
Sesungguhnya dia memang sedang mencari seseorang yang berasal dari Ho-han-ceng,
anehnya tak seorang pun berhasil ditemukan.
Empat-Iima puluh orang yang berkerja di perkampungan itu, habis terima gaji biasanya mereka
minum arak kalau tidak ya main perempuan, sesungguhnya hal semacam ini bukan sesuatu
kejadian aneh.
Di warung arak dan sarang pelacuran yang berada di sekitar tempat itu justru tiada berita
tentang mereka.
Akhirnya Yap Kay berhasil menemukan seorang, seorang yang mungkin bisa menjadi sumber
berita, sudah barang tentu tak akan dia lepaskan begitu saja, dengan nada menyelidik tanyanya,
"Aku pernah berkunjung ke Ho-han-ceng, pengurus gudang arak di sana adalah temanku."
Sambil menuding hidung sendiri, orang itu tertawa terbahak-bahak. "Kau sedang omong
kosong apa, pengurus gudang arak di situ tidak she Khu, dia she Thio bernama Koay-hu!"
"Mengapa bernama Thio si makhluk aneh?"
"Sebab meski dia pengurus gudang arak, namun dia sendiri justru setetes arak pun tak pernah
minum."
"Mungkin lantaran dia tidak minum arak, maka ia dijadikan pengurus gudang arak," kata Yap
Kay tertawa pula.

Orang itu bertepuk tangan sambil tertawa tergelak, "Tepat jawabanmu, tampaknya kau tidak
bodoh."
"Sekarang dia berada dimana?"
"Sudah pulang ke rumah, semua orang yang bekerja di Ho-han-ceng telah pulang ke kampung
masing-masing, bahkan banyak di antaranya sudah ditampung keluarga lain.
Rupanya setelah meninggalkan Ho-han-ceng, mereka mendapat pekerjaan baru dan bekerja
lagi.
Tak heran Yap Kay tidak berhasil menemukan orang-orang itu.
"Mereka sudah bekerja dimana?"
"Kebanyakan ditampung oleh keluarga Ting!"
"Keluarga Ting? Keluarga Ting yang mana?"
"Tentu saja keluarga Ting yang paling kaya dan ternama, kalau tidak, mana mungkin sekaligus
bisa menampung begitu banyak pegawai baru ...."
Hanya ada satu keluarga Ting yang kaya dan ternama, yaitu keluarga Ting Hun-pin.
Yap Kay memandang sekejap ke arahnya, Ting Hun-pin juga sedang memandangnya, sedang
orang itu mengigau tak jelas.
"Walaupun makhluk aneh she Thio itu tak suka arak, tetapi pekerjaan lain selalu bisa dia
bereskan, maka aku mengagumi kehebatannya itu "
"Kalau mereka sudah bekerja di keluarga Ting, mengapa kau tidak ikut ke sana?" sahut orang
itu sambil tertawa.
"Lima ratus tahil perak yang kumiliki belum habis dipakai, sekalipun keluarga Ting hendak
menerimaku sebagai menantu, belum tentu aku ...."
Belum selesai ucapannya, bahkan mulut masih terpentang, mendadak "Tring!", sebuah benda
membentur giginya.
Seketika Yap Kay mendengar suara gigi yang remuk.
Orang itu membungkuk badan kesakitan, mula-mula meludahkan sebiji kacang, kemudian
rontokan gigi dan akhirnya darah. Mengendus bau anyirnya darah, tiba-tiba lambungnya berontak,
dia pun muntah-muntah.
Ternyata benda yang menghancurkan giginya adalah sebiji kacang.
Ting Hun-pin tidak makan kacang, tentu saja dia tak memegang kacang.
Daun jendela terpentang lebar, suasana di luar jendela gelap gulita.
Tiba-tiba Yap Kay berpaling ke arah jendela dan berkata sambil tertawa lebar, "Sebenarnya aku
sedang menantikan kedatangan seorang lain, tak tahunya kau yang datang lebih dulu "
Dari luar jendela segera terdengar seorang tertawa tergelak.
Di balik gelak tawanya itu membawa nada ejekan, menyusul sesosok bayangan berkelebat,
tahu-tahu seorang sudah duduk di jendela.
Yang datang adalah Lok Siau-ka.
Sambil tersenyum Ting Hun-pin lantas berkata, "Sebenarnya aku hendak memberi sedikit
pelajaran kepadanya, ternyata kau telah turun tangan lebih dulu."
Lok Siau-ka tertawa hambar.
"Bisa melakukan sedikit pekerjaan untuk Toasiocia keluarga Ting, merupakan suatu
kebanggaan bagiku," katanya.

"Sejak kapan kau mulai belajar menjilat pantat?"
"Sejak jalan pikiranku dapat menerima kenyataan itu."
"Kenyataan apa?"
"Kenyataan bahwa hingga kini aku masih seorang bujangan, oleh karena itu..”
"Oleh karena itu kenapa?" Lok Siau-ka tersenyum.
"Karena siapa tahu aku punya kesempatan untuk menjadi menantu keluarga Ting."
Ting Hun-pin kembali tertawa lebar.
"Orang yang ingin menjadi menantu keluarga Ting, bila tidak bisa menjilat pantat Tingtoasiocia,
lantas mesti menjilat pantat siapa?"
Ting Hun-pin mengerling sekejap ke arah Yap Kay, setelah itu katanya, "Seharusnya ucapan
mereka ini diperdengarkan kepadanya."
"Aku memang bermaksud untuk mengatakan kepadanya," kata Lok Siau-ka.
Kemudian sambil tertawa tergelak melompat turun dari jendela, lalu memandang ke arah Yap
Kay, katanya, "Kau telah makan berapa biji kacangku, apakah hari ini kau mau mentraktir aku
minum?"
Yap Kay segera tersenyum.
"Tentu saja akan kutraktir kau, cuma aku pun tahu kau juga bukan datang untuk minum arak."
"Tampaknya tiada persoalan yang bisa mengelabui dirimu," kata Lok Siau-ka sambil menghela
napas.
"Lantas karena urusan apa kau datang kemari?" tak tahan Ting Hun-pin segera bertanya.
"Datang untuk menemani seseorang."
"Menemani siapa?"
"Orang yang sedang kalian tunggu!"
Ting Hun-pin berkerut kening, ketika berpaling tertampak Pho Ang-soat dengan pelan-pelan
berjalan mendekat.
Paras muka Pho Ang-soat yang pucat sekarang tampak berwarna hijau membesi.
Belum lagi berjalan masuk, sepasang matanya sudah mengawasi wajah Yap Kay lekat-lekat,
seolah-olah kuatir kalau secara tiba-tiba Yap Kay akan kabur.
Yap Kay sedang memandang pula ke arahnya sambil tersenyum, katanya, "Aku tahu kau pasti
akan kembali kemari, ternyata dugaanku memang tidak salah."
"Hanya ada satu hal kau keliru," kata Pho Ang-soat.
"Oya?"
"Kenapa kau suruh aku membunuh Gi Toa-keng?"
"Aku yang menyuruh kau pergi membunuhnya?"
"Eh, kau kan mengharap dia mati?" kata Pho Ang-soat dingin. "Ataukah berharap aku salah
membunuh orang lagi?"
Yap Kay segera menghela napas panjang setelah mendengar kata¬katanya itu, ujarnya, "Aku
hanya berharap bisa mengetahui persoalan ini dengan lebih jelas."
"Kau masih belum jelas?" seru Pho Ang-soat tertawa dingin
Yap Kay geleng-geleng kepala.
"Tio Tay-hong bukanlah Gi Toa-keng!" seru Pho Ang-soat.

"O..."
"Selama setengah bulan ini, dia belum pernah meninggalkan perkampungan Cong-keng-ceng."
Yap Kay segera tertawa setelah mendengar perkataan itu, namun masih tetap bungkam.
"Kau jangan tertawa dulu, hal ini merupakan suatu kenyataan "
"Apakah ada orang yang menjadi saksi baginya bahwa ia tak pernah meninggalkan
perkampungannya?"
Pho Ang-soat manggut-manggut membenarkan.
"Dan semuanya adalah orang-orang yang bisa dipercaya."
"Tentu saja, selama ini dia sakit, bahkan sakitnya cukup parah."
"Kau tahu?"
Lagi-lagi Yap Kay tertawa lebar.
Semua itu memang sudah berada dalam dugaannya, ternyata apa yang diduga sama sekali
tidak meleset.
Sebaliknya Ting Hun-pin yang berada di sampingnya menggelengkan kepala berulang kali pula,
katanya setelah menghela napas, "Tadi siapa yang mengatakan kalau bukan seorang tolol?"
Lok Siau-ka memandang pula ke arahnya, kemudian memandang lagi ke arah Yap Kay, tibatiba
dia pun berkata sambil tertawa, "Ah, mengertilah aku sekarang."
"Apa yang kau pahami?"
"Kalian pasti mengira Gi Toa-keng telah menyuruh orang untuk berlagak sakit di rumahnya,
sedang dia sendiri diam-diam mengeluyur pergi dari rumah."
"Apakah hal ini tidak mungkin?"
"Tentu saja mungkin, cuma sayang sakit yang diderita olehnya itu justru tak mungkin bisa
wakilkan kepada orang lain."
"Mengapa?"
Lok Siau-ka menghela napas panjang.
"Jarang orang persilatan yang tahu kalau kaki kirinya pada setengah bulan berselang telah
dipenggal kutung oleh orang!"
Ting Hun-pin tertegun mendengarnya. Pho Ang-soat juga tertegun.
"Song Tiang-sia, Ong It-beng, Ting Ling-tiong, Cia Kiam, semuanya khusus datang ke Congkeng-
ceng setelah mendengar kabar kejadian ini," lanjut Lok Siau-ka.
Nama-nama yang disebut olehnya benar-benar merupakan nama termasyhur di dunia
persilatan, bahkan mempunyai kedudukan cukup terhormat.
Yang paling menyolok di antaranya, tentu saja kehadiran Ting Ling-tiong, kakak Ting Hun-pin.
Hampir saja Ting Hun-pin menjerit tertahan, serunya, "Samko juga berada di sana?"
Lok Siau-ka tertawa, sahutnya, "Konon semua anggota keluarga Ting adalah seorang Kuncu,
bukankah seorang Kuncu lebih suka bergaul dengan sesama Kuncu?"
Terpaksa Ting Hun-pin mendengarkan saja tanpa balas menjawab. Kembali Lok Siau-ka berkata
sambil tersenyum, "Entah Ting Sam-sau adalah seorang yang suka berbohong atau tidak?"
"Tentu saja tidak!"
"Kalau begitu kau boleh bertanya kepadanya, apakah kaki Gi Toa-keng benar-benar sudah
kutung? Apakah yang kakinya terkutung itu Gi Toa-keng atau bukan? Sekarang dia berada dalam
Cong-keng-ceng."

Dalam keadaan demikian, apa lagi yang bisa diucapkan oleh Ting Hun-pin.
Yap Kay sendiri pun terpaksa hanya bisa tertawa getir.
Lok Siau-ka memandang ke arahnya kemudian tersenyum, lalu berkata, "Padahal kau pun tak
usah bersedih, setiap orang pasti ada saatnya melakukan kesalahan, hanya lebih baik lagi kalau
mau mengaku salah."
Yap Kay berdehem, tetapi tetap membungkam.
Sambil tertawa kembali Lok Siau-ka berkata, "Tentu saja kau enggan mengakui kesalahan ini,
tapi dalam hati kau bersedia mengaku salah, hal inipun sudah lebih dari cukup."
Ia tidak memberi kesempatan kepada Yap Kay untuk bicara, kembali ujarnya, "Persoalannya
sekarang adalah kalau Gi Toa-keng bukan Tio Tay-hong. lantas siapakah Tio Tay-hong?"
Yap Kay tak mampu menjawab.
"Akan kucari orang ini sampai ketemu," seru Pho Ang-soat tiba-tiba.
"Tentu saja harus kau cari orang ini, siapa tahu dia adalah salah seorang di antara musuh
besarmu," kata Lok Siau-ka.
Tiba-tiba Yap Kay buka suara, katanya, "Siapa tahu dia pun salah seorang musuh besar Gi Toakeng."
"Mengapa?"
"Bila dia bukan musuh Gi Toa-keng, mengapa orang menggunakan cara seperti ini untuk
mencelakainya?"
Terpaksa Lok Siau-ka harus mengakui kebenaran perkataan itu.
Yap Kay termenung sebentar, kemudian katanya, "Tentu saja dia belum tahu bahwa kaki Gi
Toa-keng sudah dikutungi orang, oleh sebab itu dia menggunakan cara seperti ini."
"Kaki dikutungi orang bukanlah suatu kejadian yang pantas dibanggakan, siapa pun tak akan
bersedia menyebar luaskan berita ini."
"Entah kakinya telah dikutungi oleh siapa?"
"Entahlah?"
"Dia tidak mengatakan kepadamu?"
"Pada hakikatnya dia enggan mengungkapkan kejadian itu."
"Mengapa?"
"Karena dia tak ingin orang lain membalaskan dendam baginya, ia beranggapan bahwa dendam
sakit hati tak boleh dibalas begitu saja, sebab kalau balas membalas berlangsung terus, entah
sampai kapan hal ini baru bisa diakhiri."
Yap Kay menghela napas panjang.
"Tampaknya dia memang benar-benar seorang Kuncu sejati, sungguh beruntung Cicimu bisa
kawin dengannya."
Lok Siau-ka memandang ke arahnya, dia tak tahu ucapan itu benar-benar memuji ataukah
hanya sindiran belaka
Sebaliknya Yap Kay berkata lagi sambil tertawa, "Bagaimana pun juga, sudah sepantasnya
kalau kuhormatimu secawan arak lebih dulu."
"Tinggalkan secawan pula bagiku!" tiba-tiba seseorang menyambung.
Ucapan berasal dari suatu tempat agak jauh, tetapi setiap orang yang hadir dapat mendengar
dengan jelas.

Orang yang bicara masih berada di kejauhan, tetapi semua permbicaraan yang berlangsung di
sini dapat didengar olehnya dengan sangat jelas. Sebenarnya siapakah orang ini? Pertanyaan ini
dengan cepat telah terjawab, karena baru saja perkataan itu selesai diucapkan, orangnya udah
muncul di depan pintu.
Sungguh cepat gerak tubuh orang itu. Dia mengenakan pakaian sederhana, di ikat pinggangnya
terselip sebatang tongka pendek, sementara tangannya membawa sebuah buntalan besar
Hampir saja Ting Hun-pin melompat bangun menyaksikan orang itu. Ternyata orang asing yang
biasa tapi aneh itu sudah balik kembali ke sini.
^oo^
Suasana di luar pintu sunyi senyap dan amat gelap, cahaya lampu dalam ruangan pun terasa
redup.
Orang asing itu sudah masuk ke dalam, buntalan besar telah diletakkan di lantai.
Buntalannya itu benar-benar besar!
Orang asing itu segera menarik sebuah kursi dan duduk, setelah itu baru ujarnya dengan
hambar, "Biasanya aku jarang minum, tetapi hari ini boleh dikecualikan!"
Tiada orang bertanya mengapa, tiada orang berani bertanya.
Tiba-tiba orang asing itu berpaling ke arah Lok Siau-ka, tanyanya, "Tahukah kau karena apa?"
Lok Siau-ka menggeleng berulang kali.
"Tahukah kau siapa aku?" kembali orang asing ini bertanya.
Lok Siau-ka tetap menggeleng, lalu mengangguk, dari balik sorot matanya yang tenang
bagaikan batu karang seolah-olah terpancar rasa ngeri dan takut.
"Tapi aku kenal dirimu, juga kenal pedangmu itu," jawab orang asing itu cepat.
Lok Siau-ka menunduk, memandang pedang di pinggangnya, seakan-akan dia berharap pedang
itu tidak terselip di pinggangnya.
Orang asing itu juga sedang memandang pedang di pinggangnya, kemudian berkata dengan
hambar, "Kau tak usah menyesal bagi pedang itu, meskipun orang yang mengajarkan pedang itu
kepadamu adalah musuhku, tetapi dia pun merupakan sahabatku."
"Aku mengerti," kata Lok Siau-ka dengan kepala tertunduk.
"Aku selalu menghormatinya, seperti juga dia menghormati diriku."
"Benar."
Pemuda yang latah ini belum pernah bersikap begitu hormat dan takut terhadap siapa pun.
"Sekarang apakah dia masih baik-baik?" tanya orang itu.
"Aku sendiri pun sudah lama tidak berjumpa dengan dia orang tua."
Orang asing itu tertawa, "Dia juga seperti aku, manusia yang tak berakar, memang tidak
gampang menemukan dirinya."
"Benar."
"Konon kau pun telah menggunakan pedang ini untuk membunuh banyak orang?"
Lok Siau-ka tak berani menjawab, dia hanya membungkam.
Pelan-pelan orang asing itu berkata lagi, "Aku hanya berharap semua orang yang kau bunuh
adalah orang-orang yang pantas mati."
Lok Siau-ka semakin tak berani menjawab.
"Gunakan pedangmu untuk menusuk aku sekali!" tiba-tiba orang asing itu berseru.

Wajah Lok Siau-ka seketika berubah hebat.
"Tahukah kau, setiap perkataan yang telah kukatakan selamanya harus dipenuhi?"
Kembali wajah Lok Siau-ka berubah. "Tapi aku ... aku ...."
"Kau tak usah ragu, akulah yang menyuruh kau melakukan, tentu saja aku tak akan
menyalahkan dirimu."
Tapi Lok Siau-ka masih tetap sangsi.
"Tentu saja aku tak akan membalas," orang asing itu menambahkan
Akhirnya Lok Siau-ka menghembuskan napas lega, sahutnya, "Turut perintah!"
Tangannya pelan-pelan meraba gagang pedangnya. "Lebih baik kau gunakan segenap tenaga
yang kau miliki, anggap aku seakan-akan musuh besarmu yang paling kau benci."
"Baik."
Mendadak suasana menjadi hening, sepi, tak terdengar suara apa pun. Semua orang
membelalakkan mata lebih lebar, semua orang menahan napas.
Setiap orang tahu peristiwa semacam ini tak mungkin bisa dilihat lagi, lebih-lebih tidak bisa
dilihat oleh setiap orang.
Ilmu pedang Lok Siau-ka cepat dan tajam, jarang ada orang persilatan yang mampu
menandinginya.
Tapi bagaimana pula dengan orang asing itu?
Benarkah dia amat sakti seperti apa yang selama ini tersiar dalam dunia persilatan?
Mendadak cahaya pedang berkelebat.
Lok Siau-ka telah melancarkan tusukan, yang dituju adalah tenggorokan orang itu.
Tangan Pho Ang-soat menggenggam kencang golok.
Serangan itu seolah-olah ditujukan ke arahnya, bahkan dia sendiri pun mau tak mau harus
mengakui bahwa serangan pedang itu benar-benar cepat sekali.
Bahkan sama cepatnya dengan gerak goloknya.
Pada saat itulah, tiba-tiba "Tring!", tahu-tahu pedang telah patah menjadi dua bagian.
Hanya orang bermata tajam yang dapat melihat, setelah serangan itu dilancarkan, tiba-tiba
terlihat ada bayangan tongkat pendek berkelebat pula.
Kemudian pedang itupun patah menjadi dua bagian.
Tapi tongkat pendek itu jelas masih terselip di pinggang orang, kembali semua orang menjadi
sangsi.
Hanya Lok Siau-ka yang tidak sangsi, tentu saja dia tahu apa sebabnya pedang itu patah
menjadi dua.
Sambil memegang kutungan pedangnya, peluh dingin pelan-pelan bercucuran membasahi
jidatnya.
Orang itu memungut kutungan pedang dari tanah, setelah diamati sebentar, tiba-tiba ujarnya,
"Pedang ini masih terlalu berat."
"Aku hanya bisa menggunakan pedang yang berat ini," kata Lok Siau-ka sedih.
Orang itu manggut-manggut.
"Benar, makin enteng suatu pedang makin sukar dipergunakan, sayang teori ini jarang
dipahami orang."

"Benar."
Dengan suara dalam orang itu berkata lagi, "Tahukah kau apa sebabnya kupatahkan pedangmu
itu?"
Tentu saja Lok Siau-ka tidak tahu, dia pun tak berani bertanya.
"Karena pedang ini sudah membunuh orang terlalu banyak," lanjut orang asing itu.
Lok Siau-ka menundukkan kepalanya, kemudian berbisik, "Petunjuk Cianpwe pasti akan
kuingat."
Orang itu memandang sekejap ke arahnya, kemudian memandang pula ke arah Pho Ang-soat
dan Yap Kay, sekulum senyuman segera menghiasi ujung bibirnya.
"Aku tahu kalian orang-orang muda bukan cuma pintar, juga rajin, ilmu silat kalian sudah di
atas kemampuanku di masa lalu."
Tiada orang berani menjawab. Terutama Pho Ang-soat, sekarang dia baru mengerti,
seandainya bacokan goloknya diayunkan ke tubuh orang asing itu, entah betapa besar
pengorbanan yang mesti dibayar?
"Tapi aku masih tetap berharap kalian bisa memahami suatu hal," ujar orang asing itu pula.
Semua orang mendengarkan dengan seksama.
"Ilmu silat yang benar-benar agung bukan dilatih hanya mengandalkan kecerdasan serta
ketekunan belaka."
"Mengapa?" pikir semua orang.
Bukankah kecerdasan dan ketekunan merupakan syarat utama yang penting bagi orang yang
berlatih ilmu silat?
Terdengar orang itu berkata lagi setelah termenung beberapa saat, "Kalian harus mempunyai
jiwa yang agung, jiwa yang mulia, sebelum melatih suatu ilmu silat!"
Pelan-pelan sinar matanya memancarkan kehangatan dan kelembutan, sambungnya, "Hal ini
tidak mudah untuk dilaksanakan, setahuku di antara jago-jago lihai dunia persilatan hanya ada
satu orang saja yang benar-benar dapat mencapai taraf semacam itu."
Tentu saja semua orang tahu siapa yang dimaksud.
Tiba-tiba saja jantung mereka berdebar keras, terutama Yap Kay.
Setelah hening beberapa saat, orang itu berkata dengan suara lembut, "Selain teori ini, aku pun
membawa sesuatu yang luar biasa untuk kalian."
Apa yang dia maksud? Mungkin adalah buntalan yang dibawa dan diletakkan di lantai itu?
Kalau benar, apa isinya?
Tiba-tiba Lok Siau-ka melihat buntalan itu bergerak-gerak, hal ini segera membuat wajahnya
berubah hebat, selain terkejut juga heran.
Orang itu memandang ke arahnya, kemudian pelan-pelan berkata, "Jika kau merasa heran,
mengapa tidak kau buka buntalan itu?
Semua orang merasa heran, siapa pun tidak berhasil menebak apakah yang dibawa olehnya.
^"o”^
Bila aku ingin melatih suatu ilmu silat yang benar-benar agung dan mulia, harus kau memiliki
hati yang agung dan mulia terlebih dahulu
Tentu saja bukan suatu yang gampang. Untuk mencapai tingkatan semacam itu kadang orang
harus melalui suatu perjalanan hidup yang penuh dengan penderitaan.

Akhirnya buntalan itu terbuka. Ternyata isinya adalah sesosok tubuh manusia, seorang yang
kaki kirinya kutung. "Gi Toa-keng!"
Hampir semua orang menjeritkan.
Yang paling kaget tentu saja Gi Toa-keng sendiri.
Dia seolah-olah baru bangun dari mimpi buruk dan tiba-tiba menemukan dirinya telah berada di
suatu tempat yang menakutkan.
Dia memandang sekejap ke arah Yap Kay, kemudian memandang pula ke arah Pho Ang-soat
dan Lok Siau-ka.
Setelah itu secara tiba-tiba wajahnya mengejang, akhirnya dia melihat si orang asing itu.
Orang itupun sedang memandang ke arahnya seraya menegur, "Kau masih ingat aku?"
Gi Toa-keng memanggut-manggut. sikapnya mengunjuk rasa hormat dan takut.
"Sudah sepuluh tahun kita tidak berjumpa, waktu itu kakimu belum kutung."
Gi Toa-keng tertawa paksa, kemudian sahutnya. "Tapi kegagahan Cianpwe justru masih seperti
sedia kala."
"Sejak kapan kakimu kutung?"
"Setengah bulan berselang."
"Dikutungi siapa?"
Paras muka Gi Toa-keng segera memperlihatkan rasa pedih dan menderita, sahutnya, "Kejadian
itu sudah lewat buat apa disinggung kembali, hanya akan mendatangkan kemurungan dan
kepedihan belaka "
"Tampaknya kau sangat berjiwa besar dan suka mengampuni kesalahan orang lain?"
"Aku berusaha belajar."
"Paling baik kau belajar suatu hal yang lebih penting."
"Apa itu?"
"Belajar bicara jujur!"
Tiba-tiba sorot matanya berapi-api, menggidikkan, ditatapnya wajah Gi Toa-keng lekat-lekat,
kemudian katanya, "Tentu kau tahu aku selama hidup paling benci terhadap orang yang suka
berbohong " Gi Toa-keng menunduk.
"Tak berani aku berbohong terhadap Cianpwe," katanya, "rasanya tak ada yang berani
melakukannya."
"Menyuruhmu bicara jujur bukannya hal yang mudah," kata orang itu dingin.
"Aku tahu, bila kau bicara jujur, mungkin kau entah sudah mati berapa kali, nyatanya kau
masih hidup dan tak ingin mati."
Gi Toa-keng tak berani menjawab.
"Tapi kau pun harus tahu," ujar orang asing itu lebih jauh.
"Di dunia ini masih banyak kejadian yang lebih menakutkan dan lebih menderita daripada
kematian."
Peluh dingin sebesar kacang kedelai bercucuran membasahi jidat Gi Toa-keng.
"Aku datang kemari karena aku telah bersumpah, tak akan kubiarkan diriku dibohongi lagi oleh
siapa pun."
Di wajahnya yang kaku terlintas suatu penderitaan yang berat, seolah dia teringat kejadian
masa lalu yang membuatnya menderita.

Gi Toa-keng tak berani mendongakkan kepala memandangnya.
Sejenak kemudian orang itu pelan-pelan berkata lagi, "Kau meniru gaya tulisan Siau-li si pisau
terbang untuk mengundangku bertemu di sini, padahal aku tahu gaya tulisan itu bukan yang asli,
tapi aku toh datang juga karena aku ingin tahu perangkap macam apa yang kau rancang untuk
menjebak diriku."
"Sewaktu masih muda dulu, nama besar Siau-li-si pisau terbang telah termasyhur di seluruh
dunia," ujar Gi Toa-keng. "Gaya tulisannya juga amat populer, banyak orang bisa meniru gaya
tulisannya, mengapa Cianpwe menuduh aku melakukan pemalsuan?"
"Sebab dalam kamarmu aku menemukan banyak kertas corat-coret menirukan gaya tulisan
orang....”
Peluh dingin telah bercucuran semakin deras membasahi seluruh badan Gi Toa-keng.
Orang itu menarik muka, kemudian berkata, "Tentunya kau pernah mendengar tentang
bagaimanakah tindak-tandukku semasa masih muda dulu, oleh karena itu kau harus percaya,
sampai sekarang aku masih mempunyai sebuah cara untuk memaksamu bicara terus-terang."
Tiba-tiba Gi Toa-keng menghela napas panjang. "Baiklah, aku akan bicara!" katanya kemudian.
"Darimana kau mengetahui jejakku?" tanya orang asing itu.
"Ting-samkongcu yang memberitahukan kepadaku."
”Ting Ling-tiong?"
"Aku tahu dia seorang pemuda cerdik, tetapi dia tak akan tahu jejakku."
"Tetapi Cing-tojin tahu Cianpwe ada rencana melakukan perjalanan ke wilayah Kanglam."
"Dia kenal Cing-tojin?"
Kembali Gi Toa-keng manggut-manggut, sahutnya, "Jika Cianpwe ada rencana melakukan
perjalanan ke Kanglam, berarti kau pasti akan melalui jalan ini."
"O."
"Sebab ketika pertama kali Cianpwe berjumpa Siau-li si pisau terbang, di jalanan inilah peristiwa
itu terjadi."
Tiba-tiba orang asing itu mengalihkan sorot matanya ke tempat jauh, seakan-akan sedang
mengenang kejadian masa lampau, kenangan yang penuh kehangatan dan kegembiraan, tiada
penderitaan.
Dia percaya bahwa perkenalannya dengan Li Sun-huan (Siau-li si pisau terbang) merupakan
peristiwa paling membahagiakan yang pernah dialaminya selama hidup.
"Oleh karena itu aku pun menyuruh orang menantikan kedatanganmu di gardu Tiang-teng di
depan sana, menunggu Cianpwe lewat dan menyerahkan surat itu kepadamu," kata Gi Toa-keng
lebih jauh.
"Kau anggap aku percaya orang itu benar-benar adalah suruhan Siau-li si pisau terbang?"
"Aku hanya tahu, entah Cianpwe percaya atau tidak, kau pasti akan datang kemari."
Orang itu menghela napas panjang. "Bila aku melihat dirimu, maka aku jadi teringat
seseorang," katanya.
"Siapa?" tak tahan Gi Toa-keng bertanya.
"Liong Siau-hun!"
Setelah menghela napas, lanjutnya, "Liong Siau-hun persis seperti kau, seorang yang berotak
cerdas dan amat teliti dalam menyusun rencana, sayang sekali...."

Dia tidak melanjutkan kata-katanya. Sejenak kemudian barulah dia bertanya, "Sejak kapan
kakimu itu kutung?"
Jawaban Gi Toa-keng sungguh mengejutkan orang, "Hari ini!"
"Siapa yang mengutungimu?"
"Aku sendiri!"
Jawaban ini terlebih mengejutkan, satu-satunya orang yang tidak berubah wajahnya
mendengar pengakuan itu adalah Yap Kay dan orang asing itu.
Agaknya mereka sudah menduga apa gerangan yang sebenarnya telah terjadi.
Kembali Gi Toa-keng berkata, "Mula-mula aku mencari seseorang yang mempunyai perawakan
dan wajah mirip diriku, kupenggal kakinya dan kupaksa dia berbaring di kamar menyaru sebagai
aku."
Orang asing itu hanya mendengarkan, tidak bertanya lagi.
Dia tahu setelah Gi Toa-keng mulai berbicara, maka ia pasti akan berkata secara terus terang.
"Kamar kubuat remang-remang, jendela kuberi tirai cukup tebal "
Kamar orang sakit biasanya demikian.
"Oleh karena itu sekalipun ada teman datang menengok, mereka tak akan curiga orang yang
berbaring di ranjang bukan diriku, mereka enggan mengganggu, tentu saja tak menaruh curiga
pada hal-hal lain."
Ting Hun-pin melirik sekejap ke arah Yap Kay, diam-diam merasa heran. "Aneh, mengapa dia
selalu tahu semua kejadian yang akan berlangsung."
Terdengar Gi Toa-keng berkata lebih jauh, "Pada saat itulah aku diam-diam kelayapan keluar
rumah, mula-mula kuundang Siau-tat-cu, kemudian memancing Pho Ang-soat masuk perangkap,
aku tahu bila dia membunuh orang, serangannya cepat luar biasa."
Wajah Pho Ang-soat yang pucat menampilkan perasaan amat menderita, dia harap orang lain
tidak menganggap dirinya orang yang gampang ditipu.
"Aku tahu, Cianpwe paling benci manusia yang membunuh orang tanpa alasan, aku percaya
Cianpwe pasti tak akan membiarkan ia hidup lebih lama!" kata Gi Toa-keng, setelah menghela
napas, terusnya, "Rencana boleh dibilang cukup sempurna dan rapi, namun aku sama sekali tak
menyangka di dunia ini ada orang suka ikut campur urusan orang lain seperti Yap Kay."
Tak tahan Ting Hun-pin menimbrung, "Bila kau anggap rencanamu betul-betul sempurna,
sepantasnya kau berlagak sakit parah lainnya, meskipun rencanamu berhasil, bukankah kau harus
mengutungi kakimu sendiri?"
Gi Toa-keng memandang sebentar kakinya yang kutung, kemudian katanya, "Aku sudah lama
berniat memotong kakiku sendiri, jadi entah rencana ini berhasil atau tidak hasilnya sama saja."
"Mengapa?"
"Karena sekalipun rencana ini berhasil, aku pun tak ingin ada orang menaruh curiga terhadap
diriku," kata Gi Toa-keng pelan-pelan.
Ting Hun-pin seakan ikut menyesal, "Kau memang tega, terhadap diri sendiri pun tega!"
"Sebenarnya aku bukanlah manusia macam itu."
"O."
"Mungkin watakku licik, aku bertekad menjadi Kuncu sejati, ada kalanya aku harus berpurapura."
Setelah menghela napas Ting Hun-pin berkata, "Seandainya perbuatanmu selalu begitu, tentu
semua orang mengatakan kau seorang Kuncu sejati, sayang kau telah berubah."

Sekilas perasaan sedih dan menderita menghiasi wajah Gi Toa-keng, sahutnya, "Benar, aku
memang telah berubah."
"Apakah ada orang yang memaksamu?"
Gi Toa-keng tidak menjawab, namun wajahnya kembali mengunjuk penderitaan yang hebat.
"Sekarang kau telah bicara jujur, tak ada salahnya kau kemukakan juga rahasiamu," ucap
orang asing itu.
"Aku telah bicara sejujurnya, bukan karena takut kepada Cianpwe."
"O."
"Karena aku tahu Cianpwe bukanlah manusia buas yang kejam”. Agaknya dia kuatir orang
menganggapnya sedang mengumpak, menjilat pantat, maka segera katanya lagi, "Aku merasa
sudah sepantasnya kulakukan hal ini."
Tiada orang bicara, semua mendengarkan.
"Sembilan belas tahun lalu, ketika kulakukan pengeroyokan terhadap Pek Thian-ih, aku tahu
perbuatanku itu kurang gagah, kurang berjiwa ksatria, tapi jika hal itu terjadi sekarang aku pun
tetap akan melakukan perbuatan itu."
Apa yang diucapkan persis seperti apa yang dikatakan Si Bu.
"Sebab Pek Thian-ih terlalu mendesak diriku, bukan saja dia memaksaku bergabung dengan
Sin-to-tong, bahkan memerintahkan diriku mempersembahkan semua harta kekayaan yang
kumiliki untuk perkumpulan Sin-to-tong, dia jamin aku pasti akan termasyhur "
Wajahnya mengejang keras karena penderitaan, sambungnya "Sejak awal aku sudah menjadi
salah seorang bonekanya, kendati termasyhur, lalu apa gunanya?"
Mendadak terdengar dengusan napas memburu memecah keheningan malam, rupanya Pho
Ang-soat sudah berdiri dengan napas berat
"Pek Thian-ih bukan seorang Siau-jin yang tak tahu malu," sambung Gi Toa-keng, "dia seorang
Enghiong, ilmu silatnya hebat, kegagahannya dikenal orang, tidak di bawah Siangkoan Kim-hong."
Dengus napas Pho Ang-soat semakin memburu.
"Cara kerjanya tidak sekejam dan sebuas Siangkoan Kim-hong, andaikata ada orang dalam
kesulitan, dia pasti akan membantu, bahkan demi menolong orang, dia bersedia mengorbankan
segalanya."
Orang asing itu menghela napas panjang, gumamnya, "Andaikata dia benar-benar berbuat
demikian, mungkin kalian pun tak usah pergi membunuhnya."
Gi Toa-keng juga menghela napas, "Dia sukar diajak bergaul, apa yang telah menjadi
keputusannya. asalkan dia menganggap benar, berarti apa yang akan dilakukan adalah benar."
Orang semacam ini tidak banyak jumlahnya.
"Dia selalu bertindak, mengambil keputusan dan melaksanakan sendiri. Jika sudah bekerja, ia
tak peduli berhasil atau tidaknya, apa akibatnya, juga tak pernah memikirkan orang lain, hal ini
merupakan kelebihannya."
Ting Hun-pin melirik sekejap ke arah Yap Kay, dilihatnya wajah pemuda itu mengunjuk rasa
menderita.
"Orang yang berjasa besar, sudah tentu harus memiliki keberanian dan keputusan, meski aku
membencinya, namun aku pun hormat kepadanya," lanjut Gi Toa-keng setelah termenung
sejenak.
Perasaan ini memang tidak sukar untuk dipahami.

"Tidak pernah kukatakan dia orang jahat, perbuatannya jahat, banyak orang pernah menerima
jasa baiknya, tapi orang yang benar-benar dapat mendekatinya, justru orang yang paling
menderita." Setelah menghela napas, lanjutnya, "Seseorang bila berhasil mendekatinya, orang itu
bakal diperintah dan dikendalikan olehnya, harus tunduk seratus persen kepadanya, jika orang itu
ingin bebas darinya, satu-satunya jalan adalah membunuhnya!"
"Apakah pembunuhnya adalah teman-temannya pula?"
"Betul."
"Dia telah melakukan banyak kesalahan," kata orang asing itu dengan dingin, "kesalahan
terbesar yang dia lakukan adalah keliru memilih teman."
Pho Ang-soat memandang sekejap ke arahnya, matanya memancarkan rasa terima kasih.
Orang asing itu kembali berkata, "Sekalipun dia bertindak dan mengambil keputusan sendiri,
namun bagaimana pun juga dia tetap menganggap kalian sebagai teman, dia tak pernah
menyalahi teman sendiri."
Entah temanmu itu baik atau jelek, asal dia adalah temanmu, maka kau tak boleh
menyalahinya.
Gi Toa-keng menundukkan kepala, katanya pelan, "Memang apa yang kami lakukan itu belum
tentu benar, tapi kami terpaksa."
"Jadi harus kalian bunuh?"
"Benar."
Orang itu memandang jauh ke depan sana, kemudian pelan-pelan katanya, "Sewaktu muda
dulu, aku pun beranggapan ada banyak persoalan yang harus dilakukan, tapi kemudian pelanpelan
aku menyadari, sesungguhnya di dunia ini tiada perbuatan yang harus dilakukan,,
persoalannya adalah bagaimana jalan cara kita memandangnya."
Pelan-pelan Pho Ang-soat menunduk.
"Asal kau dapat bersabar, maka ada banyak persoalan yang dapat kau kerjakan," ucap orang
asing itu. Wajahnya berubah serius, "Setiap persoalan harus dilihat dari banyak sudut pandang."
"Tapi...."
Belum habis Gi Toa-keng berkata, orang asing itu kembali menukas, "Kalian ingin membunuh
Pek Thian-ih, karena dia tak mau memikirkan orang lain, tapi apa yang kalian lakukan, bukankah
sama?"
"Mungkin kesalahan itu memang berada di pihak kami," ucap Gi Toa-keng dengan nada sedih.
"Aku kan tidak menyalahkan kalian, siapa benar siapa salah dalam peristiwa ini tak akan bisa
ditentukan oleh siapa pun."
"Oleh karena itu aku lebih suka mengorbankan sebuah kakiku, daripada dendam kesumat ini
berlangsung terus?"
Ia nampak sangat menderita, sambungnya, "Dari sekian banyak orang yang ikut mengeroyok di
Bwe-hoa-am tempo hari, yang bisa kembali dengan selamat hanya tujuh-delapan orang. Rasanya
mereka pun senasib dengan diriku, melewatkan sisa hidupnya dalam penderitaan!"
Bila seseorang harus hidup dalam suasana takut dan curiga, penderitaan ini benar-benar sukar
dilukiskan dengan kata-kata.
Kata Gi Toa-keng, "Waktu itu salju turun amat deras, permukaan tanah penuh dilapisi salju,
setelah pertarungan selesai, segenap permukaan tanah yang putih telah berubah menjadi merah
karena darah." Wajahnya mengejang keras, "Orang yang tidak menyaksikan tak mungkin bisa
membayangkan suasana tragis dan mengenaskan itu, aku tak ingin peristiwa semacam itu
berlangsung lagi."

"Mengapa kau tidak berpikir, siapakah yang menyebabkan terjadinya pertempuran berdarah
itu?" tiba-tiba Yap Kay menyela.
Wajah Gi Toa-keng pucat mengenaskan.
"Aku hanya tahu darah telah berceceran di permukaan salju, bukan hanya darah keluarga Pek
saja, juga darah orang lain."
"Oleh karena itu kau beranggapan bahwa dendam kesumat ini sudah seharusnya diakhiri pula
dengan pertempuran berdarah."
"Sekalipun kami merasa malu terhadap Pek Thian-ih, namun pengorbanan yang kami bayar
kurasa sudah lebih dari cukup."
Orang yang sudah mati memang telah membayar pengorbanan mereka, tapi bagaimana
dengan mereka yang masih hidup?
Gi Toa-keng tidak menjawab, tak mampu untuk menjawab. "Maksudku dendam kesumat ini
harus diselesaikan secara adil, bila mereka yang masih hidup menganggap yang mati telah
membayar pengorbanan untuk mereka, maka pendapat semacam ini jelas salah besar." Setelah
berhenti sebentar, "Bila kau yang berhutang, maka kau sendirilah yang harus membayar."
Gi Toa-keng memandang wajah Yap Kay, seakan-akan baru pertama kali ini ia melihat orang ...
seakan belum pernah melihat orang.
Sikap Yap Kay memang selalu mengunjuk ketenangan, walau sedang menghadapi mara
bahaya, tak pernah dia mengunjuk rasa gugup, kaget, panik maupun ketakutan.
Sejak dia terjun ke dunia Kangouw, sudah beginilah sifatnya. Keadaan semacam ini boleh
dibilang persis keadaan Pho Ang-soat ...Pho Ang-soat pun begitu.
Jelas dia telah mengalami tempaan dan latihan yang berat. Masa lalu juga sama, merupakan
kabut kekosongan. Tak pernah ada orang tahu asalnya? Apa yang telah dia lakukan? Karena asalusulnya
begitu rahasia, dia muncul untuk suatu tujuan yang sangat menakutkan.
Bagaimana dengan Yap Kay?
Apakah Yap Kay pun mempunyai suatu tujuan pula?
Benarkan di antara mereka berdua mempunyai hubungan yang amat rahasia dan misterius?
Gi Toa-keng mengamati wajah Yap Kay lama sekali, kemudian baru berkata, "Sebenarnya
siapakah kau?"
"Kau seharusnya tahu siapa aku," jawab Yap Kay.
"Kau she Yap bernama Kay?"
Yap Kay manggut-manggut.
"Yap berarti daun, Kay berarti buka!"
"Kau benar-benar adalah Yap Kay?"
"Kau anggap siapa aku?" ujar Yap Kay tersenyum.
Tiba-tiba Gi Toa-keng menghela napas panjang, "Aku tidak peduli siapa kau, aku hanya
berharap kau sudi memahami satu hal."
"Aku sedang mendengarkan."
Gi Toa-keng memandang sekejap kakinya yang kutung, "Hutangku tak ingin orang lain
membayarkan, perbuatan salah yang kulakukan juga sudah kubayar dengan harga mahal, bila kau
anggap semua ini masih kurang, aku akan menunggu di sini dan setiap saat kau boleh membunuh
aku."
"Harusnya kau katakan kepada Pho Ang-soat, bukan kepadaku."

"Kukira sama saja, sebab apa yang kukatakan adalah sejujurnya."
Kemudian ia memejamkan mata dan tidak bicara lagi.
Orang asing itu memandang sekejap ke arah Yap Kay, kemudian memandang pula ke arah Pho
Ang-soat, katanya, "Apa yang dia ucapkan memang sejujurnya."
Tiada orang buka suara, juga tiada orang bermaksud menyangkal.
Akhirnya sorot matanya berhenti pada wajah Pho Ang-soat, katanya pula, "Aku mengajaknya
datang tujuan agar dia mau bicara sejujurnya, bukan bermaksud agar kau bunuh dirinya."
Pho Ang-soat tidak berkata apa-apa, dia hanya mendengarkan, tampaknya dia jauh lebih
menderita daripada Gi Toa-keng.
"Sekarang dia telah mengungkap semua persoalan dengan sejujurnya, si.ij a yang benar dan
yang salah tak seorang pun berhak memutuskan."
Apakah Pho Ang-soat sendiri tidak berhak mengambil keputusan?
Kembali orang asing itu berkata, "Dia memang berhutang kepadamu, maka bila kau anggap
apa yang dibayar masih kurang, setiap saat kau boleh pergi membunuhnya, kini tak mungkin ia
melawan."
0oo0
BAB 37. KEMBALI KE JALAN YANG BENAR
Angin berhembus kencang, menderu-deru memekakkan telinga.
Angin malam di musim gugur memang mengerikan, bagaikan hembusan angin di padang
rumput.
Pho Ang-soat menggenggam kencang goloknya, keringat dingin telah membasahi telapak
tangannya. Keringat dingin bukan mengucur bukan karena rasa takut, melainkan karena
penderitaan. Penderitaan yang selama ini belum pernah dialaminya.
Orang asing itu tidak bicara lagi. Tak ada orang buka suara.
Musuh besarnya sedang duduk menunggu di halaman, menunggu kematian....
Ia bersedia merasakan berbagai siksaan dan penderitaan, tujuannya adalah untuk menemukan
musuh besar pembunuh ayahnya. Membunuh mereka dengan ujung goloknya. Tapi setelah dia
memandang orang itu, memandang wajah orang yang penuh keriput karena penderitaan dan rasa
takut yang mencekam, loyo dan tua, dan sekarang kaki kirinya telah kutung. Tak tahu apakah dia
masih harus membunuhnya atau tidak.
"Perbuatan salah yang telah kulakukan, telah kubayar seharga kesalahan yang telah
kuperbuat."
Ucapan ini memang tidak salah.
"Bila bukan disebabkan rasa takut dan menderita, siapa yang bersedia mengutungi kaki
sendiri?"
Jika seseorang harus hidup dalam penderitaan selama sembilan belas tahun, siksaan batin yang
diterimanya benar-benar tak terlukiskan dengan kata-kata, pengorbanan yang dibayar untuk
kesalahannya memang jauh lebih menakutkan daripada kematian.
"Selama ini, aku selalu berusaha menjadi Kuncu sejati."
Apa yang dia ucapkan memang benar.

Selama ini dia selalu berusaha menahan diri, mengalah, tak pernah melakukan kesalahan apa
pun.
Apakah hal ini disebabkan dia merasa bersalah, dia berusaha sepenuh tenaga menebus
dosanya?
"Setiap saat kau masih bisa membunuhnya, dia sudah tidak memiliki kekuatan melakukan
perlawanan!"
Tapi persoalannya adalah apakah orang ini pantas dibunuh?
"Orang ini masih berharga untuk dibunuh?"
Tiada orang bisa menjawabkan pertanyaan Pho Ang-soat ini. Dia harus melakukan pilihan
sendiri. Membunuh? Atau tidak membunuh?
Ujung jari Pho Ang-soat tak bergerak, keringat dingin mengucur di kepala dan punggungnya,
mengalir ke bawah.
Sekarang tiada orang menghalangi niatnya membalas dendam, namun ia justru merasa
semakin menderita.
Berusaha keras mengendalikan kesulitan yang diciptakan orang bukanlah suatu perbuatan yang
menderita.
Sekarang dia menderita karena kesulitan itu justru tercipta dalam hati sendiri.
Ia tak sanggup melakukan pilihan, ia tak mampu mengambil keputusan.
Semua orang sedang memandang wajah Pho Ang-soat, dalam hati dipenuhi persoalan yang
sama.
Dia akan membunuh Gi Toa-keng atau tidak?
Angin masih menderu-deru, makin lama semakin kencang.
Mendengar deru angin kencang seperti ini, terbayang akan padang rumput yang luas,
membayangkan debu di gurun pasir yang beterbangan, bau anyir darah di tengah hembusan
angin....
Rembulan di tengah cakrawala begitu indah.
Di bawah pancaran sinar rembulan, banyak kenangan manis melintas dalam benak orang. Di
antara begitu banyak kenangan, terdapat pula orang-orang yang patut kau kenang. Sejumlah
orang yang meski menjengkelkan tapi juga menyenangkan. Setiap orang punya kejelekan, tapi
juga ada hal-hal yang menyenangkan.
Sekarang Yap Kay sedang membayangkan Siau Piat-li.
Dia sendiri tak tahu mengapa secara tiba-tiba teringat orang ini, mungkinkah disebabkan orang
ini tidak seharusnya mati? Dia menyesal, mengapa orang ini dibiarkan mati? Justru mereka yang
seharusnya mati, kini malah hidup bebas merdeka.
"Aku tidak membunuhmu, karena kau tak berharga untuk kubunuh!"
"Tapi aku tak akan melepaskan Be Khong-cun! Dia bukan cuma sahabat ayahku, bahkan
mereka bersaudara, bagaimana pun juga dia tak seharusnya melakukan perbuatan ini."
"Aku bersumpah akan membunuhnya dengan golokku!" Itulah kata-kata terakhir yang
diucapkan Pho Ang-soat. Inilah pilihannya yang terakhir. Ia tidak membunuh Gi Toa-keng.
Dia pun tidak memandang orang lain, pelan-pelan berjalan keluar pintu, kaki kiri maju
selangkah lebih dulu, kemudian kaki kanan diseret. Gaya berjalannya memang aneh, seperti juga
orangnya. Tapi goloknya masih tetap berwarna hitam, dingin mencekam.
Sesungguhnya dia yang menggenggam golok itu ataukah golok itu yang menggenggam
nasibnya?

"Yang dapat diberikan golok buat manusia hanya kematian serta ketidak beruntungan!"
Yap Kay seolah-olah mendengar suara Siau Piat-li yang bersumpah bagaikan jeritan dari
neraka.
Ia memandang Pho Ang-soat berjalan keluar, menuju ke balik kegelapan yang tidak bertepian.
Angin berhembus makin dingin dan kencang.
Dari balik kegelapan, bayangannya nampak menyendiri, begitu mengenaskan....
Mata Yap Kay mengembeng air mata.
Ting Hun-pin hanya memperhatikan satu orang. Tiba-tiba ia berbisik, "Mengapa kau bersedih?"
"Aku tidak bersedih, aku sedang gembira."
"Apa sebabnya gembira?"
"Karena dia tidak membunuh Gi Toa-keng."
Baru saja ucapan ini selesai diutarakan, mendadak terdengar suara isak tangis Gi Toa-keng.
Sudah lama dia tidak menangis dia bukan lelaki yang gampang mengungkapkan emosi di
hadapan orang lain.
"Benarkah ada kalanya hidup jauh lebih menderita daripada mati."
Pertanyaan itu hanya Gi Toa-keng seorang yang dapat menjawab, kemudian dia memandang
ke arah Lok Siau-ka.
Lok Siau-ka berdiri mematung di tempatnya, tidak bergerak, juga tidak makan kacang.
Wajahnya kaku, tiada emosi sedikit pun. Tanpa emosi bukankah ada kalanya merupakan puncak
penderitaan?
Tiba-tiba orang asing itu menghela napas panjang, katanya, "Sekarang kau boleh
mengantarnya pulang.
"Biasanya aku jarang sekali minum arak, tapi hari ini aku boleh melanggar kebiasaan ini."
Arak berada dalam cawan di tangannya.
Cahaya lentera amat redup, warna arak kuning tua.
Arak ini bukan arak terbaik.
"Baik buruknya arak bukan terletak pada araknya sendiri, melainkan dalam keadaan dan
perasaan macam apa kau minum arak."
Jika seseorang sedang menderita dan murung, kendati tersedia arak paling wangi yang tiada
duanya di dunia pun, akan terasa getir dalam mulut.
Tiba-tiba orang asing itu berkata, "Hari ini aku pun merasa amat gembira."
"Apakah disebabkan dia tidak membunuh Gi Toa-keng?" tanya Yap Kay cepat.
Orang itu manggut-manggut, lalu mengucapkan sepatah kalimat yang tak pernah dilupakan
Yap Kay untuk selamanya.
"Bisa membunuh orang bukanlah suatu pekerjaan sukar, bisa mengampuni seorang musuh
besar yang setiap saat ingin kau bunuh jushu merupakan suatu pekerjaan yang teramat sukar."
Dengan seksama Yap Kay menganalisa kata-kata ini, ia merasa ucapan itu penuh mengandung
kepedihan dan rasa manis, tak tahan ia meneguk habis isi cawannya.
Orang itupun meneguk habis isi cawannya, kemudian ujarnya sambil tersenyum, "Sudah lama
aku tak minum arak dengan cara begini, padahal dulu takaran minum arakku bagus sekali, tapi
kemudian....
Dia tidak melanjutkan kata-katanya.

Yap Kay juga tidak bertanya, sebab dia telah menyaksikan dari balik matanya yang tak
berperasaan, mendadak terpancar perasaan hangat. Cepat dia penuhi kembali cawan araknya
yang telah kosong itu. Ting Hun-pin mengawasi dari samping.
Selama berada di samping Yap Kay, baru pertama kali ini dia mengawasi orang lain dengan
cara begitu.
Mendadak ia bertanya, "Kau benar-benar adalah A...."
"Ya, akulah A Fei," jawab orang itu sambil tertawa, "setiap orang memanggil A Fei kepadaku."
Dengan wajah memerah Ting Hun-pin tertawa, katanya sambil menunduk, "Bolehkah aku pun
menghormati secawan arak untukmu?"
"Tentu boleh saja."
Ting Hun-pin segera meneguk habis isi cawannya, sementara sorot matanya bercahaya terang.
Bagaimanapun juga dapat minum arak A Fei memang merupakan peristiwa yang pantas
dibanggakan.
Memandang sorot mata anak muda yang berkilauan itu, tiba-tiba orang asing itu merasakan
hatinya pedih.
Hanya dia sendiri yang tahu bahwa sekarang ia tak mungkin lagi menjadi A Fei yang dulu.
A Fei yang dulu malang melintang di dunia persilatan, sekarang tak lebih hanya seorang asing
dunia persilatan.
Dia pun enggan mendengar orang lain membicarakan semua kejadian yang pernah
dilakukannya dulu.
Hal ini tak mungkin bisa dipahami Ting Hun-pin, maka katanya sambil tertawa, "Aku sudah
lama mendengar orang berkata bahwa kau adalah orang tercepat di kolong langit, tapi hingga hari
ini aku baru mempercayainya."
Orang asing itu tertawa hambar.
"Kau keliru," ujarnya, "masih ada seseorang yang selamanya jauh lebih cepat dari aku."
Ting Hun-pin membelalakkan mata, dia tidak mengucapkan sepatah kata pun.
Terdengar orang asing itu bertanya, "Tahukah kau siapa yang mengajar ilmu pedang kepada
Lok Siau-ka...."
Ting Hun-pin menggeleng kepala berulang-kali.
"Dia adalah Sim Bu-beng."
"Sim Bu-beng?" seru Ting Hun-pin sambil tertawa, "apakah dia tidak mempunyai nyawa?"
"Setiap orang pasti punya nyawa, begitu pula dengannya, tapi dia beranggapan bahwa
nyawanya bukanlah miliknya.
"Nama ini memang aneh, cara berpikir semacam itu lebih aneh lagi"
"Dia memang seorang yang aneh sekali," ucap orang asing ini sambil menghela napas panjang.
"Apakah permainan pedangnya amat cepat?"
"Menurut apa yang kuketahui, tiada seorang pun di dunia persilatan ini yang memiliki
permainan pedang jauh lebih cepat daripadanya, dan lagi tangan kiri serta kanan sama-sama
cepat dan ganas, kecepatannya sungguh tak terbayangkan."
Tanpa terasa Ting Hun-pin membayangkan manusia yang angkuh dan dingin, katanya, "Aku
pikir dia pasti angkuh sekali."
"Bukan cuma angkuh, bahkan dingin dan ketus, dia bisa membunuh orang hanya disebabkan
sepatah kata saja, dia pun bisa membunuh diri sendiri hanya disebabkan sepatah kata."

"Orang lain pasti amat takut kepadanya."
Orang asing itu manggut-manggut, sorot matanya memancarkan kembali sinar kepedihan,
pelan-pelan ujarnya, "Tapi sekarang di mata orang persilatan dia tak lebih hanya seorang asing."
"Bagaimana pula dengan Siau-li si pisau terbang? Apakah gerakannya lebih cepat dari Sim Bubeng?"
Tiba-tiba mencorong terang sorot mata orang asing itu, sahutnya, "Ilmu silatnya sudah tak
dapat dibayangkan."
Ting Hun-pin mengedipkan mata berulang kali, "Aku mengerti, bukan masalah cepat atau
lambat, karena ilmu silatnya sudah mencapai tingkatan agung dan mulia, tiada orang sanggup
mengalahkan dirinya...."
"Ya, tiada."
"Oleh karena itu meskipun ilmu silat Siangkoan Kim-hong tiada tandingannya di kolong langit,
dia toh masih kalah juga di tangannya."
"Kau memang cerdik," seru orang asing itu sambil tersenyum.
"Sekarang apakah dia masih hidup?"
Orang itu tersenyum. "Sekarang apakah aku masih hidup?" dia balik bertanya.
"Tentu saja kau masih hidup."
"Kalau begitu dia tentu juga masih hidup."
"Seandainya dia telah mati, apakah kau pun akan menemaninya mati?" tanya Ting Hun-pin lagi.
"Mungkin aku tak akan menemaninya mati, tapi setelah dia mati, di dunia ini tak akan ada
orang yang bisa bertemu dengan diriku lagi."
Suaranya masih tetap tenang, seakan-akan dia sedang membeberkan suatu persoalan yang
sederhana sekali.
Tapi siapa pun dapat merasakan bahwa kata-katanya itu memperlihatkan betapa mendalamnya
hubungan persahabatan mereka.
Mencorong terang mata Ting Hun-pin, katanya, "Aku pernah mendengar orang berkata bahwa
di dunia ini tiada orang ketiga yang bisa menandingi persahabatan kalian, sekarang baru aku
percaya."
"Persahabatan sungguh sangat berharga, entah Pek Thian-ih itu orang macam apa, aku anggap
cara Be Khong-cun memberi pelajaran kepadanya merupakan peristiwa yang amat memalukan."
"Oleh karena itu kau tidak keberatan bila Pho Ang-soat pergi membunuhnya?"
Orang itu menghela napas, "Tapi Li Sun-huan pasti tak akan berpendapat demikian, dia hanya
tahu bagaimana cara mengampuni orang dan merasa kasihan terhadap orang
Seketika itu juga hati Ting Hun-pin dipenuhi oleh perasaan agung dan mulia, sejenak kemudian
baru ia bertanya dengan suara pelan, "Belakangan ini pernahkah kau bertemu dengannya?"
"Setiap tahun paling tidak kami bertemu satu kali."
"Tahukah kau dia berada dimana?"
Sesungguhnya tak perlu dia bertanya hal ini, sebab persahabatan mereka sudah tiada
batasnya, berjumpa dimanapun sama saja. Sampai dimana perasaan itu, bahkah Ting Hun-pin
sendiri pun dapat merasakannya.
Sorot mata si gadis dialihkan ke tempat jauh, "Aku berharap pada suatu hari bisa berjumpa
dengannya."
Kokok ayam jago sudah terdengar.

Sinar mentari fajar telah menyorot dari balik langit timur yang berawan.
Pelan-pelan orang asing itu bangkit berdiri, sambil memegang bahu Yap Kay, katanya sambil
tersenyum, "Aku selalu menghormatinya, selalu ingin menjadikan dia sebagai contohmu, oleh
karena itu aku merasa gembira."
Mata Yap Kay terasa basah, hatinya penuh dengan luapan perasaan gembira dan terima kasih.
"Semoga saja aku dapat melakukannya!"
"Asal kau mempunyai tekad untuk berbuat demikian, sudah pasti kau dapat melakukannya."
"Kau ...."
Orang asing itu memandang cahaya keemasan di ufuk timur, "Aku hendak pergi ke Kanglam,
mungkin di sana aku dapat berjumpa dengannya."
Katanya pula kepada Ting Hun-pin sambil tertawa, "Aku pasti akan memberitahu kepadanya,
ada seorang gadis cantik dan pintar berharap dapat berjumpa dengannya."
Ting Hun-pin tertawa, matanya berkilat penuh rasa terima kasih serta pengharapan. "Aku pun
berharap bisa mengetahui satu hal."
"Katakanlah."
"Apakah di Kanglam akan terjadi suatu peristiwa besar yang menggetarkan dunia, hingga kalian
berdatangan ke wilayah Kanglam?"
"Cuma pekerjaan yang hendak kami lakukan yang tak ingin diketahui orang lain, maka tak
mungkin ada orang bakal mengetahuinya."
Pelan-pelan dia berjalan keluar, tiba di luar pintu, berdiri di bawah pancaran sinar matahari
pagi, dia menarik napas panjang, kemudian berpaling dan tertawa, katanya, "Perkataan yang
kuucapkan hari ini jauh lebih banyak daripada biasanya, tahukah kalian apa sebabnya?"
Tentu saja mereka tidak tahu.
"Karena aku sudah tua, biasanya orang tua lebih suka banyak bicara daripada orang muda."
Selesai berkata dia lantas berjalan menyongsong datangnya fajar. Langkahnya enteng dan
mantap.
Cahaya matahari menyorot dari balik kabut menyoroti tubuhnya. Badannya seakan-akan
memancarkan cahaya berkilauan yang menusuk pandangan.
Ting Hun-pin menghela napas panjang, "Siapa bilang dia sudah tua? Dia nampak begitu segar,
cekatan dan gagah, pada hakikatnya jauh lebih muda daripada kita."
Yap Kay tersenyum. "Tentu saja dia takkan menjadi tua, sebab ada sementara orang
selamanya memang tak pernah menjadi tua."
Ting Hun-pin tidak bicara lagi, sorot matanya memandang ke tempat jauh. Memandang ke arah
orang asing itu lenyap. Dia terkesan oleh sikapnya, dalam hati muncul perasaan kagum, simpatik
dan hormat terhadap orang.
"Ada sementara orang memang seperti tak pernah tua, karena dalam hati mereka selalu
dipenuhi oleh pancaran kehangatan dan harapan bagi umat manusia."
Asal dalam hati mempunyai rasa kasih sayang dan pengharapan, dia akan awet muda.
Dengan bergandeng tangan Ting Hun-pin dan Yap Kay melangkah menyongsong terbitnya sang
surya.
Tiba-tiba Yap Kay bertanya, "Engkohmu ketiga sebenarnya orang macam apa?"
"Kau belum pernah melihatnya?"
"Aku pernah bertemu dengan Toakomu."

"Samko seperti kau, cerdik, nakal, kecuali melahirkan anak, agaknya apa pun bisa dia buat dan
lakukan, kepandaian khasnya yang paling ahli adalah memelet perempuan." Sampai di sini tibatiba
dia menarik muka dan suaranya meninggi keras, "Untuk hal ini jangan sekali-kali kau meniru
dia."
"Untuk hal ini aku tidak perlu belajar lagi," ujar Yap Kay tertawa. "Ting-samkongcu paling
romantis, sejak lama hal ini sudah kudengar, aku ingin bertemu dia."
"Memang kau perlu bertemu dia, bila perlu kau harus menjilat pantat dan mengambil hatinya,
supaya di hadapan keluargaku, dia membicarakan kebaikanmu."
"Kecuali dia, apakah keluargamu semua orang kolot?"
"Terutama ayahku, dalam setahun jarang dia tertawa walaupun hanya sekali, karena takut
melihat mukanya yang dingin itu, maka aku minggat dari rumah."
"Tapi aku pun tahu beliau adalah seorang Kuncu."
"Memangnya, sejak ibu meninggal, terhadap perempuan lain melirik pun dia tidak pernah,
tanggung orang lain takkan ada yang bisa memadainya."
"Ya, paling tidak aku sendiri memang tidak bisa melakukannya," Yap Kay tertawa.
Ting Hun-pin melotot, semprotnya, "Oleh karena itu aku pasti takkan mati mendahului kau."
Yap Kay malah tersenyum saja.
"Sekarang kau hendak kemana? Menguntit Pho Ang-soat? Kau pikir dia bisa menemukan Be
Khong-cun?"
Ya Kay menepekur, sahutnya kalem, "Asal dia punya keyakinan dan teguh hati, tiada sesuatu
yang tidak bisa dilaksanakan di dunia ini."
Pada saat itulah dari arah terbitnya surya, mendadak mencongklang mendatangi seekor kuda
yang dibedal kencang. Cepat sekali kuda jempolan ini berlari, lekas sekali sudah kelihatan jelas
penunggangnya, seorang pemuda bermuka cakap ganteng, memegang pecut dengan pakaian
sutra mulus bertopi tinggi dihiasi mutiara, pinggangnya mengenakan sabuk batu giok, pedang
panjang tersoreng di pinggangnya. Begitu tiba di hadapan Yap Kay berdua, kuda yang
mencongklang pesat itu mendadak berhenti.
"Samko," terdengar Ting Hun-pin berjingkrak senang sambil bertepuk tangan, "kita sedang
mencarimu kiranya, kau sudah datang sendiri."
"Memangnya aku sengaja kemari hendak melihatkan teman lakimu ini, kabarnya dia seperti
aku, laki-laki romantis," kata pemuda di atas kuda sambil mengawasi Yap Kay dengan tersenyum.
"Bagaimana pendapatmu?" tanya Ting Hun-pin berkedip-kedip.
"Agaknya tidak mengecewakan aku," sahut kakak ketiga Ting Hun-pin yang bernama Ting Lingtiong.
Yap Kay ikut tertawa. Ting Ling-tiong memang pemuda romantis yang gagah dan ganteng.
"Aku ingin menemuimu, kabarnya kau baru saja menang tiga puluh guci arak."
Ting Ling-tiong tertawa, ujarnya, "Sayang kau datang terlambat arak itu sudah habis masuk ke
perut semua."
"Lalu rombongan penyanyi yang cantik-cantik itu?" tanya Yap Kay pula.
"Nona-nona cilik itu mirip golekan yang molek, kau pasti menyenangi nya, sayangnya aku
takkan memberi kesempatan kepadamu."
"Kenapa?"
"Umpama kau tidak takut adikku ini, jelas aku sendiri rada takut kepadanya."

Sengaja Ting Hun-pin menarik muka, katanya, "Terhitung otakmu cerdik, kalau tidak, bukan
mustahil kubanting hancur semua golekanmu itu."
"Nah, kau dengar tidak?" ujar Ting Ling-tiong berkelakar, "kalau cemburu budak cilik ini amat
galak lho."
Tak tertahan Ting Hun-pin cekikikan melihat banyolan engkohnya yang lucu.
"Kalian hendak kemana?"
"Kau sendiri hendak kemana?" balas tanya Ting Hun-pin.
Ting Ling-tiong menghela napas, ujarnya tertawa getir, "Aku tidak sebebas kalian, kalau tidak
segera pulang, mungkin batok kepalaku ini bisa dihajar sampai keluar kecap."
"Apakah ayah baik-baik saja?"
"Baik-baik saja, akhir tahun yang lalu beruntung aku melihat dia tertawa sekali."
Ting Hun-pin ikut tertawa riang.
"Kukira kau pun perlu hati-hati, meski bibi selalu membela kau, tapi bila ayah marah benarbenar,
kau pun akan dihajarnya."
"Aku tidak perlu takut, paling seumur hidup aku tidak pulang," sahut Ting Hun-pin dengan
merengut.
"Akal yang bagus, aku tidak menentang, cuma aku merasa tidak enak kepadamu," kata Ting
Ling tiong, ucapannya ditujukan kepada Yap Kay.
"Kepadaku?" Yap Kay keheranan.
"Jika budak jelek yang suka cemburu dan galak ini sudah berketetapan hati, dia hendak
menguntitmu seumur hidup, apa pula manfaatnya laki-laki muda menjadi manusia?" tanpa
menunggu komentar Ting Hun-pin, dia sudah mengkeprak kudanya pergi. Dari kejauhan ia
berseru, "Bila kapan waktu kau bisa keluyuran seorang diri, boleh kau mencariku, kecuali maninan
golekan itu, aku masih punya golekan kembang dan banyak lagi lainnya.
Ting Hun-pin membanting kaki, omelnya, "Engkoh ketiga memang bukan orang baik-baik,
pemuda bergajul."
"Tapi apa yang dia katakan memang benar?"
"Apanya yang benar?"
"Masakah kau tidak dengar, katanya ada orang yang galak, jelek dan suka cemburuan "
Ting Hun-pin pura-pura menarik muka, namun tak tertahan dia tertawa geli. Pelan-pelan
mereka beranjak di jalan raya, kedua orang sama-sama melayangkan pikirannya sendiri-sendiri.
Cukup lama kemudian, tiba Yap Kay bertanya, "Adakah ayahmu punya seorang teman yang
amat baik terhadapnya? Orang yang mau dan bisa membicarakan kebaikanku di hadapannya."
Ting Hun-pin geleng-geleng, katanya, "Biasanya jarang dia bergaul dengan orang, umpama ada
teman-temannya, semuanya sama-sama kolot dan berpandangan kuno, kutu buku."
"Memangnya ayahmu biasanya tidak berhubungan dengan kaum persilatan?"
"Sering beliau bilang di Kangouw hanya ada dua orang yang setimpal menjadi sahabatnya."
"Siapa kedua orang itu?"
"Salah satu sudah tentu adalah Siau-li Tham-hoa, ayah berpendapat selama tiga ratus tahun
mendatang, beliau adalah tokoh kosen yang digdaya dan tiada bandingannya, malah beliau pun
berpendapat, apa pun yang dia lakukan pasti tidak akan mampu dilakukan orang lain. Dan seorang
lagi boleh kau terka."
"A Fei?"

Ting Hun-pin geleng-geleng, ujarnya, "Katanya A Fei seorang yang selama hidup takkan bisa
melaksanakan urusan besar, karena wataknya terlalu angkuh, juga karena suka menyendiri."
Untuk pandangan ini Yap Kay tidak membantah. Karena dia sendiri mau tidak mau harus
mengakui, pendapat ayah Ting Hun-pin terhadap A Fei memang masuk akal. "Tapi siapa lagi
orang yang terpandang olehnya di dunia ini kecuali A Fei?"
"Pek Thian-ih!"
Yap Kay melengak, terunjuk keheranan pada mukanya, tanyanya, "Pek Thian-ih? Ayahmu kenal
padanya?"
"Tidak kenal, namun dia berpendapat, Pek Thian-ih adalah seorang tokoh yang luar biasa,
selama ini dia ingin melihatnya, sayang sekali...." Sampai di sini dia menghela napas, "Kecuali
kedua orang ini, dalam pandangannya orang-orang lain kalau bukan goblok tentu keparat!"
"Sayangnya kedua orang ini terang takkan bisa membela aku, membicarakan kebaikanku di
hadapan ayahmu."
Berkedip-kedip mata Ting Hun-pin, katanya, "Yang bisa bicara tentang dirimu di hadapan
ayahku mungkin hanya seorang saja, karena apa pun yang dikatakan orang ini mungkin dia masih
sudi mendengarkan"
"Siapa?"
"Bibiku."
"Adik ayahmu? Sampai sekarang bibimu belum menikah?"
"Pandangan dan penilaiannya akan orang lebih tinggi dari ayahku, laki-laki di dunia ini boleh
dikata tiada satu pun yang terpandang olehnya."
"Mungkin karena orang lain pun merasa tidak senang menghadapi sikapnya, tingkah-laku dan
kejelekannya."
"Tidak, sampai sekarang dia masih terhitung cantik, di waktu mudanya, ada laki-laki yang
meluruk datang dari tempat ribuan li hanya untuk melihatnya saja."
"Tapi dia tidak beri kesempatan kepada orang untuk melihat dirinya."
"Ya, begitulah, sering dia bilang laki-laki adalah babi, kotor dan busuk, seolah-olah laki-laki bisa
membuat dirinya kotor, maka...." Matanya mengerling kepada Yap Kay, lalu meneruskan, "Dia
sering menasehati aku supaya selama hidup tak usah menikah, laki-laki macam apa pun lebih baik
ditendang pergi saja."
"Dia tidak kuatir kakimu kotor?"
"Sayang sekali aku tidak tega menendangmu, malah kau sendiri pun takkan bisa menendangku
pergi."
Yap Kay tertawa, katanya, "Tiga keluarga besar Bu-lim, yang paling aneh adalah keluargamu.
Apakah ilmu silat ayahmu amat tinggi?"
"Aku sendiri pun tidak tahu, yang terang kita putra-putrinya semua belajar silat dan digembleng
oleh beliau, namun tiada satu pun yang mampu mempelajari semua ilmu silatnya."
"Agaknya belum pernah ayahmu bertanding silat dengan orang lain?"
"Soalnya tiada orang berani mencarinya dan mengajak bertanding."
"Apakah dia tidak pernah membuat kesulitan untuk orang lain?"
"Urusan tetek-bengek di Kangouw, hakikatnya malas ia ikut campur."
Jauh pandangan Yap Kay ke depan sana, lama dia termangu-mangu, akhirnya berkata penuh
ketetapan, "Apa pun yang akan terjadi, aku akan menemani kau pulang ke rumahmu."
"Kau berani?" terbelalak mata Ting Hun-pin.

"Mari sekarang juga berangkat."
"Sekarang belum saatnya."
"Kau masih ingin mencari Pho Ang-soat?"
"Musuhnya bertambah, kawannya berkurang malah."
"Kau tahu kemana dia pergi?"
Mimik Yap Kay menjadi aneh, katanya kalem, "Dari sini sudah tidak jauh dari Bwe hoa am.
Kukira pasti ke sana."
BAB 38. THO HOA NIOCU
Waktu itu musim rontok, pohon-pohon kembang Bwe sudah tiada lagi, sudah tentu tiada salju
pula di sana. Pho Ang-soat tidak tahu betapa perasaan hatinya menghadapi tempat yang
meninggalkan sejarah tragedi bagi keluarganya puluhan tahun yang lalu. Dengan menggenggam
kencang goloknya pelan-pelan dia beranjak di undakan batu yang sudah lumutan. Sekali dorong,
pintu biara yang sudah keropos seketika terbuka mengeluarkan suara keras, suaranya mirip
dengan helaan napas manusia.
Dedaunan yang rontok bertumpukan di pekarangan, suasana lengang, tiada bayangan orang,
tak kelihatan asap dupa mengepul, seolah-olah biara ini sudah tidak dihuni manusia. Pho Ang-soat
membungkuk menjemput selembar daun kering, entah apa yang dipikirkan mengawasi daun
kering itu.
Entah berapa lama kemudian, seperti didengarnya suara orang bersabda, lalu seseorang
berkata kepadanya, "Apakah Sicu mau menyulut dupa bersembahyang?"
Seorang nikoh pertengahan umur dengan jubah hijau merangkap tangan berdiri di undakan
batu Tay hiong po tian. Seperti daun kuning di tangannya, Nikoh tua inipun kelihatan layu dan
loyo, kulit mukanya yang kering dan berkeriput seperti dihiasi kehidupan masa lalu yang penuh
diliputi pahit getir dan sengsara.
Serasa sulit Pho Ang-soat menolak, memang dia tidak ingin menolak, pelan-pelan dia beranjak
maju.
"Pinni Liau In, siapakah nama besar Sicu?"
"Aku she Pho," lalu diambilnya segenggam dupa, setelah disulut ditancapkan di tempat
perabuan yang terbuat dari tembaga Habis itu dia beranjak hendak pergi.
"Apakah Sicu tidak ingin minum teh dulu?" terunjuk rasa kasih sayang pada mata si Nikoh.
Pho Ang-soat manggut-manggut, tidak enak dia menampik kebaikan orang.
Tak lama kemudian seorang Nikoh muda belia membawa nampan berisi secangkir air teh,
dengan menunduk kepala dia suguhkan teh itu pada Pho Ang-soat.
Pho Ang-soat hanya meninggalkan sekeping pecahan uang perak di atas nampan.
Nikoh tua merangkap tangan dan membungkuk badan, mengucapkan terima kasih, ujarnya,
"Sudah lama tiada orang datang sembahyang di sini."
Pho Ang-soat menepekur, akhirnya dia bertanya, "Berapa lama kau tinggal di sini?"
"Loni sudah lupa berapa tahun tepatnya, cuma masih kuingat waktu itu patung-patung Buddha
yang ada di sini baru saja didirikan."
"Kalau begitu sedikitnya ada dua puluh tahun?"
"Mungkin sudah dua-tiga puluh tahun."

"Masihkah kau ingat peristiwa yang terjadi dua puluh tahun yang lalu di tempat ini?"
"Bukan dua puluh tahun, tepatnya sembilan belas tahun."
"Kau tahu jelas?"
"Peristiwa yang menakutkan itu takkan bisa terlupakan."
"Kau... kau kenal dengan Pek-sicu itu?"
"Seorang yang sulit dilupakan orang, Loni selalu berdoa kepada Thian, supaya beliau mendapat
tempat yang tenteram di sisinya."
"Kau sendiri menyaksikan peristiwa itu?" tanya Pho Ang-soat menegas.
"Loni tidak berani melihat dan tidak tega melihatnya, di luar keinginanku bahwa tragedi terjadi
di tempat ini." Sampai di sini kulit mukanya yang kuyu dan keriput itu membayangkan sesuatu
yang amat mengerikan, lama baru dia menyambung, "Sampai sekarang Loni sudah tak ikut
campur urusan duniawi, namun setiap kali teringat akan suara malam itu, tetap aku tidak bisa
makan tak nyenyak tidur. Sicu bisa saksikan akibat peristiwa dulu itu, semuanya serba kritis dan
kekurangan, syukurlah sang Buddha bijaksana dan belas kasihan memberkahi umatnya, tanpa
memiliki beberapa hektar sawah, Loni bertiga dengan murid-murid mungkin sudah mati
kelaparan."
Pho Ang-soat jadi tidak tega bertanya lagi, pelan-pelan dia meletakkan cangkir teh di atas
meja, lalu bergerak hendak tinggal pergi.
Mengawasi cangkir teh yang diletakkan di atas meja, Liau In bertanya, "Sicu ingin minum air
teh ini?"
Pho Ang-soat geleng-geleng kepala.
"Kenapa?"
"Selamanya tidak pernah minum teh orang yang tidak kukenal."
"Loni sebagai orang beribadat, masakah Sicu...."
"Orang beribadah juga manusia...."
"Agaknya Sicu teramat hati-hati."
"Karena aku masih ingin hidup."
Tiba-tiba tersimpul senyuman dingin yang sadis pada muka Liau In, katanya dingin, "Sayang
sekali betapapun orang hati-hati, cepat atau lambat akan tiba juga ajalnya." Habis kata-katanya,
badannya yang kurus loyo itu laksana macan tiba-tiba menjelat ke atas segesit garuda,
berjumpalitan ke belakang. Terdengar "Blup" dari lengan jubahnya, tiba-tiba melesat setabir
bintik-bintik sinar terang laksana bintang perak menyerang bersama.
Perubahan ini terlalu di luar dugaan, cara menyerangnya juga cepat sekali. Terutama senjata
rahasia yang disambitkannya, bukan saja kencang, rapat dan lebat, selama sembilan belas tahun,
seolah-olah senantiasa dia selalu melatih dan mempersiapkan diri untuk melakukan serangan
mematikan ini.
Bersamaan waktunya, dari kedua samping Tay hiong po tian, mendadak serempak muncul dua
Nikoh muda berjubah hijau, satu di antaranya adalah Nikoh jelita yang menyuguhkan teh tadi.
Tapi pakaian mereka sekarang sudah ganti, demikian pula sikap dan tindak-tanduknya amat
garang, raut mukanya yang kekuning-kuningan diliputi angkara murka.
Kedua Nikoh muda ini menenteng pedang panjang yang berkilauan, mereka sudah siap bergaya
tempur, seluruh kekuatan sudah dikerahkan. Kemana pun Pho Ang-soat berkelit, kedua pedang
mereka pasti akan memapaknya dengan tusukan yang mematikan pula. Apalagi serangan senjata
rahasia seperti ini bahwasanya memang sulit untuk dihindari.

Aneh memang tingkah-laku Pho Ang-soat, tidak berkelit dia malah sengaja menerjang ke
depan, pada detik-detik yang menentukan itu, tahu-tahu goloknya sudah terlolos. Takkan ada
orang percaya akan kecepatan dia mencabut goloknya. Dimana sinar golok berkelebat, seluruh
bintik-bintik perak itu seketika tergulung dalam sinar golok, kejap lain Pho Ang-soat sudah berada
di samping si Nikoh tua.
Saat itu Liau In baru saja berjumpalitan, pakaiannya yang lebar dan lengan bajunya masih
melambai-lambai, sebelum dia berdiri tegak dan menyadari apa yang telah terjadi, tahu-tahu
terasa lututnya kesakitan, golok hitam legam orang tahu-tahu sudah mengetuk keras-keras di atas
lututnya.
Tanpa kuasa badannya kontan tersungkur jatuh.
Serentak kedua Nikoh muda itu menghardik, dua pedang mereka bergerak silang laksana
bianglala menggunting ke badan Pho Ang-soat. Ilmu Liang-gi-kiam-hoat Bu-tong-pay permainan
pedangnya mengutamakan kelincahan dan kecepatan, keduanya bisa bekerja sama dengan baik
dan ketat. Sasaran dari tusukan kedua batang pedang amat telak pada Hiat-to mematikan di
badan Pho-Ang-soat.
Kali ini Pho Ang-soat tidak menggunakan goloknya, dia gunakan sarung dan gagang goloknya,
berbareng sarung dan gagang goloknya memapak kedua jurusan, tepat sekali menahan ujung
pedang musuh. "Krak", kedua batang pedang yang terbuat dari baja itu ternyata putus di tengahtengah.
Kutungan gagang pedangnya pun tak kuasa dipegangnya lagi. "Trap", mencelat ke atas
dan menancap di belandar.
Telapak tangan mereka pun tergetar pecah berlumuran darah, sigap sekali keduanya tiba-tiba
mencelat dan mundur, tapi sarung dan gagang pedang serba hitam itu bekerja lebih dulu, tanpa
ampun mereka pun terjungkal roboh. Kejap lain golok kembali ke dalam sarungnya.
Pho Ang-soat berdiri diam di tempatnya, Liau In Loni berduduk memeluk lutut di hadapannya,
matanya tertuju ke arah golok di tangannya. "Kau kenal golok ini?" tanyanya.
Liau In mengertak gigi, suaranya serak, "Ini bukan golok manusia, tapi golok iblis, hanya setan
gentayangan di neraka yang bisa menggunakannya." Suaranya rendah dan serak, "Aku sudah
menunggu sembilan belas tahun, aku tahu akan datang suatu hari pasti akan melihat golok iblis
ini, kenyataan hari ini melihatnya."
"Memangnya kenapa kalau kau sudah melihatnya?"
"Aku sudah bersumpah, bila aku melihat golok ini, peduli di tangan siapa, aku harus
membunuhnya."
"Kenapa?"
"Karena golok ini pula yang membikin hidupku sengsara dan merana."
"Jadi asal mulamu bukan penghuni Bwe hoa am ini?"
"Sudah tentu bukan," tiba-tiba terpancar sinar terang pada biji matanya. "Bocah ingusan seperti
kau tentu takkan tahu, tapi dua puluh tahun yang lalu, siapa pun yang menyinggung nama Tho
hoa nio cu, kaum persilatan tiada yang tidak mengenalnya."
Sikapnya semakin beringas, suaranya menjadi kasar. Pho Ang-soat tinggal diam.
Liau In melanjutkan, "Tapi aku disia-siakan, semua hatiku hanya tertuju kepadanya, siapa tahu
hanya tiga hari dia menggauli aku, tahu-tahu aku dibuang dan ditinggalkan begitu saja, sehingga
aku dihina dan ditertawakan orang banyak."
"Kalau kau bisa menyia-nyiakan orang lain, kenapa dia tidak boleh menyia-nyiakan kau?" Pho
Ang-soat tidak utarakan isi hatinya ini. Segala tetek-bengek mengenai pribadi Tho hoa nio cu di
masa lalu tidak menjadi perhatiannya. Dia hanya ingin tahu, "Pada malam hujan salju sembilan
belas tahun yang lalu, kau berada di luar atau di dalam Bwe hoa am?"

Liau In tertawa dingin, sahutnya, "Sudah tentu aku berada di luar, sejak lama aku sudah
bersumpah hendak membunuhnya."
"Waktu kau menunggu di luar malam itu, adakah kau mendengar orang bilang 'Orangnya sudah
lengkap’?"
Sekilas Liau In berpikir, sahut, "Benar agaknya pernah kudengar ada orang bilang demikian."
"Tahukah kau siapa dia? Kenalkah kau akan nada suaranya?"
"Peduli siapa dia? Yang kutunggu malam itu hanya laki-laki ingkar janji yang hendak kubunuh
itu, akan kubakar jenazahnya lalu kuaduk dengan arak dan kuminum habis sebagai ramuan jamu."
Sampai di sini mukanya menjadi beringas, mendadak dia sobek baju di depan dadanya,
menunjukkan dadanya yang kempes dan kering, sejalur luka-luka bacokan golok menggaris dari
pundak sampai ke perutnya.
Lekas Pho Ang-soat melengos, dia tidak merasa simpati, hatinya malah jijik dan muak. Tak
tahan Pho Ang-soat tertawa dingin.
Liau In berkata pula, "Tahukah kau kehidupan apa yang kualami selama sembilan belas tahun
ini? Usiaku baru tiga puluh sembilan, tapi kau lihat, perubahan macam apa yang menimpa diriku?"
Tiba-tiba dia mendekam di tanah dan menangis tergerung-gerung.
Terketuk juga rasa iba Pho Ang-soat orang memang sudah mendapat ganjaran setimpal. Pelanpelan
dia memutar badan.
"Kau," teriak Liau In keras, "kembalilah kau!" Pho Ang-soat tidak berpaling.
"Kau sudah kemari, kenapa tidak kau bunuh aku dengan golokmu, jika kau tidak berani
membunuhku, kau ini binatang jalang."
Tanpa berpaling Pho Ang-soat beranjak keluar, tangis dan caci-maki di belakangnya tak
dihiraukannya pula.
Waktu Yap Kay berdua tiba, malam sudah larut, sudah lama Pho Ang-soat berlalu dari tempat
itu. Demikian pula Liau In sudah tidak terlihat bayangannya.
Peti jenazah Liau In sudah tertutup, layon ini sebelumnya sudah disiapkan, kalau bukan untuk
mengubur Pho Ang-soat, tentu untuk mengubur jenazahnya sendiri.
Dua Nikoh muda itu sedang berisak tangis memeluk layon, mereka menangis karena ingat akan
nasib hidupnya, ingin rasanya menghabisi hidup yang serba menderita ini, sayang mereka tidak
punya keberanian. Mati memangnya bukan suatu hal yang gampang dilaksanakan.
Waktu Yap Kay meninggalkan tempat itu, malam semakin dingin. Ting Hun-pin menggelendot
di badannya, katanya menghela napas, "Aku tidak habis mengerti, kenapa Nikoh setua itu tidak
diberi ampun oleh Pho Ang-soat."
"Kau kira Pho Ang-soat yang membunuhnya?" tanya Yap Kay.
"Yang terang sekarang dia sudah mati."
"Memangnya setiap hari banyak orang mati di dunia ini."
"Tapi dia mati setelah Pho Ang-soat mampir kemari. Kau tidak merasa heran?"
Lama Yap Kay menepekur, sahutnya setelah menghela napas, "Seharusnya aku sudah tahu
siapa sebenarnya Liau In ini"
"Liau In?"
"Nikoh tua yang mati itu."
"Kau pernah melihatnya? Kau pernah mengunjungi Bwe hoa am?"
Yap Kay manggut-manggut.

"Siapakah dia?"
"Sejak peristiwa berdarah sembilan belas tahun yang lalu, banyak tokoh-tokoh Kangouw
mendadak hilang, yang menghilang lebih banyak dari korban yang jatuh di luar Bwe hoa am.
Waktu itu di Bu-lim terdapat seorang gadis kenamaan yang berjuluk Tho hoa nio cu. sayang
hatinya sejahat ular sebuas binatang. Entah berapa laki-laki yang kepincut padanya menjadi
korban keganasannya."
"Jadi kau kira Nikoh tua di Bwe hoa am itu adalah Tho hoa nio cu? Apakah tidak mungkin dia
pun sudah ajal pada malam itu?"
"Tidak mungkin. Kecuali Pek Thian-ih, hanya beberapa gelintir manusia saja yang mampu
membunuhnya."
"Mungkin Pek Thian-ih sendiri yang membunuhnya?"
"Pek Thian-ih tidak pernah membunuh wanita yang pernah digaulinya."
"Tapi bagaimana cara kau membuktikan analisamu?"
"Buktinya sudah kuperoleh," lalu dia membuka telapak tangannya, sebuah senjata rahasia yang
mengkilap terletak di atas telapak tangannya itulah kelopak kembang Tho.
"Apakah ini?" tanya Ting Hun-pin.
"Inilah senjata rahasia tunggalnya, tiada orang kedua di Kangouw yang bisa menggunakan
senjata semacam ini."
"Darimana kau memperolehnya?"
"Di ruang sembahyang Bwe hoa am tadi."
"Tadi kau temukan?"
"Agaknya dia menggunakan senjata rahasia tunggalnya ini untuk menyerang Pho Ang-soat, tapi
berhasil diruntuhkan oleh Pho Ang-soat, maka di atas senjata gelap ini ada bekas gumpil."
"Lalu apa bedanya bila kau tahu akan dirinya sekarang?"
"Bedanya aku tidak bisa minta keterangan padanya."
"Jadi kau masih ingin bertanya sesuatu kepadanya? Pentingkah pertanyaanmu?"
Yap Kay manggut-manggut.
"Pertempuran berdarah itu dimulai di sini dan berakhir tiga li di luar sana, akhirnya Pek Thian-ih
roboh kehabisan tenaga, sepanjang tiga li terdapat ceceran darah, anggota badan manusia yang
tidak lengkap dan mayat-mayat yang bergelimpangan."
Berdiri bulu kuduk Ting Hun-pin, dengan kencang dia peluk lengan Yap Kay.
"Dalam pertempuran itu, tiada korban yang ajal dengan jazad yang utuh, terutama keluarga
Pek. Setelah pertempuran berakhir, semua anggota badan dan mayat-mayat kawanan pembunuh
yang berkomplot itu segera dibersihkan dan digotong pergi, soalnya Be Khong-cun tidak ingin
orang tahu siapa para pembunuh ini."
"Untuk menghindari kecurigaan orang lain, sudah tentu Be Khongcun tetap bermain sandiwara,
malah di hadapan orang banyak dia bersumpah untuk menuntut balas bagi kematian Pek Thian-ih
dan keluarganya."
"Tua bangka itu memang cerdik dan licin seperti rase," kata Ting Hun-pin.
Suara Yap Kay serak, "Yang harus dikasihani adalah Pek Thian-ih, dia bukan saja kaki
tangannya buntung, malah batok kepalanya pun terpenggal entah kemana."
Mengawasi mimik muka Yap Kay, tiba-tiba terasa oleh Ting Hun-pin sekujur badannya menjadi
dingin, telapak tangannya pun berkeringat dingin.

"Kau kira Tho hoa nio cu yang mencurinya?"
"Pasti tidak salah lagi."
"Kenapa?"
"Umpama ada perempuan lain dalam kawanan pembunuh itu, yang masih hidup hanya dia
seorang saja. Kalau orang lain hanya ingin kematian Pek Thian-ih, tapi dia di samping
menginginkan kematian Pek Thian-ih, juga ingin didampingi Pek Thian-ih sehidup semati. Maka dia
gunakan cara edan itu."
Bergidik seram Ting Hun-pin dibuatnya, tiba-tiba ter ketuk sanubarinya, apakah dia pun akan
melakukan perbuatan yang sama? Dia sendiri pun tak dapat memastikan. Mendadak sekujur
badannya gemetar tiada hentinya.
Udara dingin berhembus kencang, namun keringat dingin membasahi sekujur badannya.
Malam semakin larut, bintang pun semakin jarang.
Yap Kay dapat merasakan keringat dingin di telapak tangan Ting Hun-pin, belum pernah gadis
itu mengalami hal ini.
"Kau harus mencari tempat untuk tidur!"
"Aku tak dapat tidur, sekalipun sekarang tersedia ranjang paling empuk dan nikmat, aku tak
dapat tidur."
"Kenapa?"
"Karena banyak persoalan yang harus kupikirkan"
"Apa yang kau pikirkan?"
"Memikirkan kau, cukup persoalanmu sudah cukup membuatku berpikir tiga hari tiga malam."
"Aku toh berada di sisimu, apa lagi yang mesti kau pikir?"
"Hal ini menyangkut dirimu, makin berpikir aku makin heran."
"Heran?"
"Ya, jelas kau lebih mengerti daripada Pho Ang-soat, tapi aku tak habis mengerti mengapa bisa
begini?"
Yap Kay tertawa. "Memang banyak bukti yang telah kukumpulkan."
"Sebenarnya kan tak ada hubungannya dengan kau, kenapa kau begitu menaruh perhatian
terhadap masalah ini?"
"Sebab aku adalah orang yang selalu ingin tahu, aku justru senang ikut campur urusan orang."
"Kenapa?"
"Karena persoalan ini cukup rumit, makin rumit makin menarik"
Ting Hun-pin menghela napas, "Apa pun yang kau katakan, aku tetap merasa heran."
Yap Kay tertawa getir. "Kalau kau merasa heran, aku pun tak bisa berbuat apa-apa lagi!"
"Hanya ada satu cara yang bisa kau lakukan."
"Katakanlah."
"Aku minta kau bicara terus terang kepadaku."
"Baik, aku akan bicara terus terang, bila aku mengatakan adalah adik Pho Ang-soat, maka aku
baru akan memperhatikan hal ini, apakah kau percaya?"
"Tidak percaya, sebab Pho Ang-soat tidak mempunyai adik."
"Sebenarnya kau ingin aku mengatakan apa?"

Ting Hun-pin kembali menghela napas, "Aku sendiri pun tidak tahu."
Yap Kay tertawa, "Kuanjurkan kau lebih baik jangan berpikir yang bukan-bukan sebab hal ini
tiada sangkut-pautnya dengan dirimu, bila kau bersikeras ingin tahu berarti kau mencari kesulitan
untuk dirimu sendiri."
Ting Hun-pin tersenyum. "Aku seperti juga kau selalu cari penyakit katanya.
Setelah sekian lama, tiba-tiba ia berkata, "Aku sedang memikirkan suatu hal lain."
"Hal apa?"
"Seandainya batok kepala Pek-tayhiap benar dicuri Tho hoa-niocu, mungkin karena is tak
berhasil mendapatkan orangnya di kala masih hidup, terpaksa dia menyuruh orang mati
menemaninya?"
"Caramu bicara kurang baik, tapi memang begitulah ...."
"Setelah dia mati, pasti kepalanya tak mungkin meninggalkan nya."
"Maksudmu ...."
"Maksudku seandainya batok kepala Pek-tayhiap dicuri Tho-hoa niocu, sekarang sudah pasti
kepala itu berada di dalam peti matinya."
Yap Kay tertegun.
Dia memang tak pernah menduga sampai ke situ, tapi mau tak mau harus mengakui jalan
pikiran Ting Hun-pin sangat masuk akal.
"Apakah kau ingin kembali ke sana melakukan pemeriksaan?"
Yap Kay termenung, akhirnya menghela napas panjang. "Tidak perlu!"
"Tadi kau berusaha menemukan batok kepala Pek-tayhiap, sekarang bilang tidak perlu?"
Paras Yap Kay berubah sedih, pelan-pelan sahutnya,
"Aku ingin menemukan batok kepala itu untuk dikuburkan."
"Tapi ...."
Cepat Yap Kay menukas, "Jika batok kepalanya benar berada dalam peti mati, sudah pasti ada
orang akan menguburnya secara baik-baik, mengapa aku harus mengganggu arwahnya lagi dan
buat apa aku mesti membuat Tho hoa niocu harus mati dengan mata tidak meram?" Setelah
menghela napas, sahutnya pula, "Dia memang perempuan yang patut dikasihani, buat apa aku
merampas barang miliknya?"
"Kenapa sekarang kau membelanya?"
"Karena ada orang pernah berkata padaku, sebelum kau berbuat sesuatu, pikirkan dulu orang
lain." Sorot matanya memancarkan sikap hormat, "Ucapan ini tak akan pernah kulupakan."
Ting Hun-pin memandang ke arahnya, ujarnya, "Kau memang aneh, pada hakikatnya jauh lebih
aneh dari Pho Ang-soat."
"Ehm."
"Pho Ang-soat tidak begitu aneh, apa pun yang dilakukan nya, sebaliknya kau apa yang kau
lakukan kau sendiri tak tahu apakah harus dilakukan atau tidak."
BAB 39. CINTA SEDALAM LAUTAN
Waktu menyingsing fajar, kota itu seperti baru bangun dari lelap impiannya. Pho Ang-soat
sudah berada di dalam kota.

Pelan-pelan Pho Ang-soat beranjak ke jalan raya dalam kota yang mulai ramai dengan lalulalangnya
penduduk kota dan orang-orang desa yang sibuk ke pasar menjajakan dagangannya.
Hari masih sepagi ini, namun perut dan tenggorokan Pho Ang-soat sudah ketagihan dan kering,
ingin rasanya segera masuk ke warung makan, mengisi perut dan menghilangkan dahaga, tapi
sebelum dia mendapatkan warung makan malah dilihatnya selarik kain belacu sepanjang dua
tombak lebar tiga kaki.
Kain belacu putih ini terikat di ujung dua buah galah yang dibentangkan di tengah jalan raya. Di
atas kain belacu ini terdapat sebarisan huruf tintanya belum kering dimana tulisan itu menyolok
mata dan berbunyi: "Pho Ang-soat, jika kau berani, datanglah ke Kiat hu pong."
Dua puluh sembilan orang sedang menunggu kedatangan Pho Angsoat di Kiat hu pong, besar
kecil tua muda dari kedua puluh sembilan orang ini mengenakan kain belacu, kepalanya
berkerudung atau berikat kepala kain putih belacu pula, tanda duka cita. Peduli laki perempuan
anak-anak atau orang tua, mereka menenteng golok berkepala setan yang mengkilap.
Raut muka mereka diliputi kepedihan yang tak terperikan, seolah-olah mirip serombongan
serdadu yang dipaksa mengadu jiwa di medan laga. Orang yang berdiri paling depan adalah lakilaki
tua berjenggot panjang, di belakangnya terang adalah keluarga nya. Meski usianya lanjut, tapi
berdirinya masih tegap dan gagah, jenggotnya yang ubanan melambai-lambai tertiup angin, mata
semua orang tertuju ke ujung jalan sana. Sudah dua hari mereka menunggu kedatangan
seseorang. Orang yang ditunggu adalah Pho Ang-soat.
Kehadiran kedua puluh sembilan orang berkabung di Kiat hu pong sudah tentu menimbulkan
perhatian dan keheranan khalayak ramai, maka setiap had pagi-pagi benar orang sudah berduyunduyun
datang ke tempat itu untuk menyaksikan apa sebenarnya yang hendak terjadi, tak sedikit
penonton yang saling terka dan bisik-bisik.
Sekonyong-konyong semua suara sirap dan keadaan menjadi hening sepi. Tampak seorang
muncul dan menghampiri dari ujung jalanan sans. Gaya jalannya amat aneh, karena dia seorang
timpang, seorang pemuda timpang dengan raut muka yang pucat, membawa golok serba hitam.
Melihat orang dan golok hitamnya itu, air muka laki-laki berjenggot panjang itu seketika
berubah pucat dan diliputi nafsu membunuh. Baru sekarang penonton tahu siapa sebenarnya
orang yang mereka tunggu.
Dengan menggenggam kencang goloknya, Pho Ang-soat berhenti setombak di depan mereka.
Tapi dia tidak kenal dan tidak tahu mereka serta apa maksudnya menunggu dirinya.
Mendadak laki-laki jenggot panjang berkata dengan lantang, "Aku she Kwe, bernama Wi."
Pho Ang-soat pernah mendengar nama ini, Sin to Kwe Wi memang tokoh kenamaan di Bu-lim,
namun sejak Sin to tong Pek-Tian-ih malang melintang di Kangouw, Sin to atau golok sakti Kwe Wi
terpaksa harus diubah artinya. Sebetulnya dia tidak ingin merubahnya, tapi mau tidak mau harus
diubah juga.
Hanya ada satu golok sakti di dunia ini, yaitu golok sakti milik Pek Thian-ih.
"Kaukah keturunan Pek Thian-ih? ada persoalan yang ingin kuberitahu kepadamu. Malam itu
aku ikut juga berkomplot untuk membunuh ayahmu di luar Bwe hoa am."
Tiba-tiba berkerut-kerut seperti bergidik kulit daging muka Pho Ang-soat.
"Selama ini aku tunggu keturunannya untuk menuntut balas."
"Sekarang aku sudah berada di sini."
"Keluarga Pek pernah kubabat habis, kalau engkau hendak menuntut balas, nah keluarga orang
she Kwe sudah berkumpul di sini, boleh kau membabatnya habis semua."
Serasa ditusuk sembilu sanubari Pho Ang-soat, kakinya seperti terpaku di tempat, sekujur
badan bergidik gemetar kecuali tangannya yang memegang golok. Bukan dia tidak berani turun

tangan soalnya muka orang ini terlalu asing dan belum pernah dilihatnya, memangnya mereka
harus membayar hutang dengan jiwa dan darah untuk menebus dendam sakit hati masa lalu?
Sekonyong-konyong jeritan pilu dan perih berkumandang memecah kesunyian. Seorang anak
laki-laki menerjang keluar dari rombongan orang banyak sambil menenteng golok besar. "Kau
hendak membunuh kakekku, biar kubunuh kau lebih dulu."
Kwe Wi tergelak-gelak sambil menengadah, serunya, “Bagus, anak baik, tidak malu kau
menjadi keturunanku!" Di tengah gelak tawanya yang memilukan, anak kecil yang menenteng
golok lebih tinggi dari badannya itu sudah menerjang ke depan Pho Ang-soat sambil mengayun
golok yang berat itu.
Apakah Pho Ang-soat tega menggerakkan goloknya membela diri serta membunuh anak sekecil
ini?
Di saat genting itu, anak kecil itu mendadak menjerit dengan suara menyayat hati, golok di
tangannya terpental, berbareng badannya terjengkang roboh. Entah darimana tahu-tahu
tenggorokan nya tertancap sebilah pisau yang merenggut nyawanya.
Tiada orang melihat tegas darimana datangnya pisau ini, yang terang mereka menduga Pho
Ang-soatlah yang menimpukkannya.
Di iringi gerungan murka orang banyak, seorang nyonya muda berbadan langsing, agaknya ibu
si anak berlari keluar sambil menjerit kalap. Seorang laki-laki menggerung keras seperti binatang
buas yang menguber mangsanya. Serempak seluruh orang yang berkabung itu merubung maju
dengan gerungan gusar.
Pho Ang-soat sebaliknya terkesima dan menjublek mengawasi pisau di tenggorokan si anak
kecil. Dia sendiri tidak tahu darimana datangnya pisau ini.
Yap Kay! Tentulah buah karya Yap Kay, demikian batinnya.
Kwe Wi mengangkat goloknya, dampratnya beringas, "Bocah kecil pun kau bunuh, kenapa tidak
lekas kau cabut golokmu?"
Tak tahan Pho Ang-soat membantah, "Bukan aku yang membunuh bocah ini."
Kwe Wi tergelak-gelak seperti orang kalap kesetanan, "Membunuh tidak berani mengakui? Tak
kukira putra Pek Thian-ih adalah laki-laki lemah pembohong."
Serasa panas dan merah muka Pho Ang-soat karena marsh. Selama hidupnya paling penasaran
kalau dituduh semena-mena, mati pun dia tidak terima.
Diselingi gelak tawa yang berkumandang, golok di tangan Kwe Wi terayun miring membabat
batok kepalanya. Sekonyong-konyong Pho Ang-soat pun menggerung bagai banteng ketaton.
goloknya bersinar terang, laksana kilat berkelebat, darah seketika muncrat kemana-mana.
Matanya sudah merah membara, yang terlihat hanya ceceran darah, seakan-akan dirinya sudah
kesetanan. Dimana goloknya bergerak dan jerita kesakitan menjelang ajal saling bersahutan, yang
terdengar hanya golok mengenai tulang dan daging, tak terdengar senjata beradu, namun kuping
Pho Angsoat seolah-olah sudah tuli, hanya ada satu suara yang terkiang di kupingnya, "Biarlah
musuhmu terbabat habis, kalau tidak, jangan kau kembali menemui aku" itulah pesan ibundanya.
Seolah-olah dia sudah kembali ke dalam rumah yang gelap serba hitam itu. Sejak kecil dia
dibesarkan dalam kegelapan, sejak kecil tumbuh dendam membara dalam relung hatinya. Darah
berwarna merah, salju pun menjadi merah darah.
Pho Ang-soat terus mengamuk di antara kerubutan orang-orang berkabung yang sudah nekad
mengadu jiwa. Tapi usaha mereka bagai telur menumbuk batu, satu per satu berguguran tanpa
kuasa balas menyerang.
Entah siapa di antara mereka tiba-tiba membentak, "Mundur! Semua mundur! Pertahankan
nyawamu, untuk menuntut balas kelak!"

Cepat sekali kejadian berlangsung, tiba-tiba suasana menjadi lelap, tak terdengar suara apa
pun. Tinggal Pho Ang-soat seorang yang berdiri di antara mayat-mayat yang bergelimpangan,
darah membanjir menjadi aliran kecil. Jenazah Kwe Wi dan anak itu berada di bawah kakinya.
Serasa kaku dan pati rasa sekujur badannya.
Sekonyong-konyong kilat berkelebat, disusul guntur menggelegar dengan dahsyatnya. Pho Angsoat
tersentak sadar dari lamunannya oleh sambaran petir, sekilas dia menjelajahkan pandangan
ke sekelilingnya, lalu dipandangnya golok di tangannya, pelan-pelan hatinya mengkeret, perutnya
pun hampir kejang. Tiba-tiba dia membungkuk mencabut pisau di tenggorokan anak kecil itu,
putar badan terus lari bagai terbang.
Didahului petir menyambar pula. Hujan lebat seketika mencurah tumpah dari langit.
Pho Ang-soat berlari kencang seperti mengejar waktu dalam hujan lebat. Sebesar ini belum
pernah dia berlari secepat ini, gaya larinya jauh lebih aneh dan menarik dari gaya jalannya, hujan
ini membersih noda-noda darah yang berlepotan di bajunya. Kenangan tragis dalam pertempuran
berdarah yang dialaminya ini bakal meninggalkan ukiran mendalam di sanubarinya.
Orang-orang yang dibunuhnya tadi, banyak yang tidak patut mati, apalagi mati di tangannya.
Gara-gara pisau kecil di tenggorokan bocah itulah hingga tragedi ini terjadi.
Diam-diam sanubarinya bertanya, "Kenapa Yap Kay memancing petaka ini?"
Kebetulan di depan ada sebuah penginapan, Pho Ang-soat langsung berlari masuk dan minta
sebuah kamar, pintu terus ditutupnya rapat, lalu dia memeluk perut dan muntah-muntah. Di saat
dia muntah-muntah itulah badannya bergetar dengan hebat, waktu dia terjungkal roboh,
badannya sudah meringkuk seperti trenggiling.
Dia rebah dan berkelejetan di atas tumpahannya sendiri, badannya terus bergerak-gerak, dia
sudah kehilangan kesadaran. Memang dalam keadaan seperti ini mungkin keadaannya jauh lebih
baik, tanpa perasaan bukankah tanpa derita?
Hujan semakin lebat, kamar kecil itu semakin gelap. Dalam kegelapan, jendela kamar kecil itu
tiba-tiba terbuka, sesosok bayangan orang muncul di jendela.
Petir menyambar didahului sambaran kilat, sinar kilat menyinari raut muka orang ini, nampak
aneh menghiasi muka orang ini, pandangannya tertuju ke arah Pho Ang-soat yang rebah di lantai.
Sulit dibedakan, mimiknya itu marah, duka, dendam, riang atau menderita.
Waktu Pho Ang-soat rebah di atas ranjang, selimut kering menutupi badannya. Pelita pun
sudah tersulut.
Bayangan seseorang terpeta di dinding, sinar pelita guram, namun jelas menandakan adanya
seorang di dalam kamar ini! Siapa?
Orang itu duduk membelakangi pelita, seolah sedang termenung. Pho Ang-soat sedikit
mengangkat kepala, seketika dia melihat raut muka orang, seraut wajah yang keletihan, kurus dan
pucat, diliputi kerisauan, merana dan derita, namun wajah nan cantik dan elok. Seketika serasa
mengejang jantung Pho Ang-soat. Kembali dia berhadapan dengan Cui long.
Cui long sudah mengawasinya, mukanya yang kurus pucat mengulum senyuman getir, katanya
lembut "Kau sudah bangun?"
Tidak bergerak tidak bicara, Pho Ang-soat seolah-olah sudah kaku.
"Kau harus tidur lagi, sudah kusuruh orang membuat bubur untukmu," suara Cui long halus
lembut penuh perhatian, seperti waktu mereka masih bersama.
Mendadat Pho Ang-soat menjadi beringas, teriaknya sambil menuding pintu, "Pergi,
menggelindinglah pergi!"
Sikap Cui long amat tenang, sahutnya kalem, "Aku tidak akan menggelinding, juga tidak akan
pergi!"

"Siapa suruh kau kemari?" suara Pho Ang-soat serak.
"Aku sendiri, karena aku tahu kau sakit. Kau harus istirahat, setelah buburnya matang, sebentar
kubangunkan kau lagi."
Terkepal kencang jari-jari Pho Ang-soat, sedapat mungkin dia kendalikan emosinya, katanya
sinis, "Terima kasih membikin repot kau untuk melayani aku.”
"Tidak jadi soal, kenapa sungkan, kita kan teman lama."
"Ya, tapi kau adalah tamuku, akulah yang harus melayanimu."
"Sudah kukatakan tidak jadi soal, pendek kata suamiku sudah tahu bahwa aku berada di sini."
"Apa? Suamimu?" tenggorokan Pho Ang-soat serasa hampir pecah, lama kemudian baru
tercetus kata-katanya.
"Benar, aku sampai lupa memberitahukan kepadamu, aku sudah menikah."
Hancur hati Pho Ang-soat, hancur-lebur.
"Selamat atas pernikahanmu!" Pho Ang-soat sendiri seolah-olah tidak mendengar apa yang dia
ucapkan, entah berapa lama berselang, baru dia mendengar suara Cui long.
"Setiap perempuan, peduli perempuan mana pun, cepat atau lambat dia pasti akan berumah
tangga, akhirnya pasti akan menikah."
"Aku maklum."
"Bahwa kau tidak mau mengawini aku, terpaksa aku menikah dengan orang lain."
Pho Ang-soat mendelong mengawasi langit-langit rumah, agaknya sedapat mungkin dia
kendalikan perasaannya, bukan saja tidak ingin Cui long melihat dan tahu akan keputus-asaan
hatinya serta derita batinnya. pun tidak ingin memikirkannya. Lama sekali baru dia bertanya.
"Apakah suamimu kemari?"
Cui long mengiakan. Pengantin baru sudah tentu kemana-mana pun berduaan.
"Kenapa tidak kau temani suamimu, malah berada di sini?"
"Kau tidak usah kuatir, segala persoalan sudah diketahui suamiku."
"Suamimu tahu apa?"
"Dia tahu akan dirimu, tahu pula akan hubungan intim kita masa lalu. Aku sudah menceritakan
hubungan kita dulu kepadanya. Kedatanganku kemari dia pun sudah tahu."
Bibir Pho Ang-soat sampai berdarah saking keras dia mengertak gigi, tak tahan dia tertawa
dingin, "Agaknya suamimu seorang yang berpikiran terbuka. Tapi aku laki-laki yang cupat pikiran
malah."
Cui Long mengunjuk tawa dipaksakan, ujarnya, "Kalau kau kuatir dia salah paham, boleh
kupanggil dia kemari."
Tanpa menunggu persetujuan Pho Ang-soat, segera dia berpaling keluar dan berseru, "Hai,
masuklah kau, mari kukenalkan seorang teman."
Daun pintu memang tidak terkunci, segera seorang mendorong pintu melangkah masuk,
agaknya sejak tadi dia memang sudah menunggu di luar pintu.
Tak tahan Pho Ang-soat berpaling dan melirik ke arah orang yang baru masuk ini. Usia laki-laki
ini belum tua, tapi tidak muda. Usianya sekitar tiga puluhan hampir genap empat puluh, bermuka
persegi penuh keriput dari hasil kerja berat selama hidupnya. Seperti pengantin baru umumnya,
laki-laki ini mengenakan pakaian serba baru, sehingga sepintas pandang pakaian nya itu amat
menyolok dan tidak cocok dengan pribadinya yang serba sederhana. Karena siapa pun yang
berhadapan dengan dia pasti tahu bahwa orang adalah seorang jujur polos.

Begitu melihat orang ini, perasaan dan emosi Pho Ang-soat malah terkendali dan sabar, rasa
irinya seketika lenyap.
Menarik tangan orang, Cui long berkata dengan tersenyum, "Inilah suamiku, dia she Ong
bersama Toa-hong."
Ong Toa-hong seperti bocah desa yang menurut saja digandeng ibunya, suruh dia ke timur dia
tidak akan berpaling ke berat.
Cui long berkata, "Inilah Pho Ang-soat Pho-kongcu yang pernah kukatakan itu."
Terunjuk secercah senyuman di muka Ong Toa-hong, sapanya bersoja, "Nama besar Phokongcu
sudah lama Cayhe mendengarnya."
Adem saja Pho Ang-soat menanggapi sapaan orang, katanya seperti menggumam, "Selamat,
kuhaturkan selamat atas pernikahan kalian. Silakan duduk!"
Ong Toa-hong mengiakan. Dengan kaku dan kikuk dia tetap berdiri di tempatnya.
"Suruh duduk, kenapa kau masih berdiri?" omel Cui long seraya melotot.
Tanpa bercuit Ong Toa-hong segera duduk. Laki-laki jujur mempersunting bini ayu, sungguh
bukan merupakan nasib yang mujur, karena dia terang-terangan takut bini, tanpa disuruh Cui-long
sampai pun duduk dia tidak berani. Malah kedua tangannya tergantung lurus di atas pahanya.
Maka terlihatlah jari-jarinya yang besar dan kasar, malah sela-sela kukunya kelihatan berminyak.
Sekilas Pho Ang-soat mengawasi sepasang tangannya itu, lalu bertanya, "Berapa lama sudah
kalian menikah?"
"Sudah ada ...ada....." jawaban Ong Toa-hong gelagapan sambil melirik kepada istrinya.
"Hampir sepuluh hari," cepat Cui long menambahkan.
Segera Ong Toa-hong menjawab, "Benar, sudah hampir sepuluh hari, sampai hari ini pas
sembilan hari."
"Apa kalian memang sudah kenal sebelumnya?"
"Bukan...." merah tegang raut muka Ong Toa-hong jawaban yang sepele pun tak mampu dia
berikan. Cuaca buruk hari dingin, tapi kepala Ong Toa-hong dibasahi keringat dingin yang
bercucuran, seolah-olah dia tidak tahan duduk lagi.
Mendadak Pho Ang-soat berkata pula, “Kau bukan pedagang kain seperti yang dikatakan
isterimu."
Seketika berubah rona muka Ong Toa-hong, sahutnya tergagap, "Ya ya...ya...."
Pelan-pelan Pho Ang-soat berpaling, matanya melotot kepada Cui long, katanya tandas, "Dia
pun bukan suamimu."
Rona muka Cui long seketika berubah pula, seperti mukanya digampar dengan keras. Tak
tertahan air mata berderai, badan pun bergetar hebat. Perubahan sikapnya sudah merupakan
jawaban tegas bahwa laki-laki yang bernama Ong Toa-hong sebenarnya bukan suaminya.
Pho Ang-soat bertanya lagi, "Siapakah sebenarnya laki-laki ini?"
"Tidak tahu.” menunduk kepala Cui long. "Dia adalah orang yang dicarikan kacung hotel ini,
sebelum ini tidak kukenal."
"Kau mengundang dia kemari hanya untuk menyaru jadi suamimu? Kenapa kau berbuat
demikian?"
Semakin rendah kepala Cui long tertunduk, sahutnya pilu, "Ka rena aku ingin menengok dirimu
ingin aku mendampingimu, merawatmu, namun aku takut kau mengusirku."

Yang penting dia amat penasaran akan sikap hina dan dingin Pho Ang-soat terhadap dirinya,
maka dia terpaksa menggunakan cara ini untuk melindungi dirinya. Meski alasan ini tidak dia
utarakan, namun Pho Angsoat sudah maklum.
Dengan air mata bercucuran Cui long berkata lebih lanjut, "Sebetulnya hanya kau saja yang
selalu bersemayam dalam sanubariku, umpama kau mengusirku, aku tetap takkan kawin dengan
orang lain, sejak bersamamu, laki-laki mana pun tidak terpandang olehku."
Mendadak Pho Ang-soat berteriak, "Siapa bilang aku mengusirmu, siapa bilang aku tidak peduli
kepadamu?"
Tersentak ke atas kepala Cui long, katanya sambil mengawasi dengan air mata berlinang,
"Benarkah kau masih menginginkan diriku?"
"Sudah tentu aku ingin kau, peduli kau perempuan macam apa, kecuali kau, aku tidak peduli
perempuan lain." Pertama kali ini dia limpahkan isi hatinya.
Begitu dia buka kedua Iengannya, Cui long segera menubruk ke dalam pelukannya. Mereka
berpeluk-pelukan dengan kencang seolah-olah dua raga sudah bersenyawa, dua hati sudah
bertaut jadi satu. Seluruh derita, duka cita marah dan penasaran seketika sirna tak berbekas lagi.
"Sejak hari ini aku tidak akan meninggalkan kau, aku tidak akan berpisah dengan kau," Cui long
berbisik di tepi telinga Pho Ang-soat.
"Aku pun tidak akan meninggalkan kau," Pho Ang-soat menjawab tegas.
Mengawasi kedua insan yang berpelukan, terpancar sorot hambar dan tak mengerti pada mimik
muka Ong Toa-hong. Sudah tentu dia takkan bisa menyelami perasaan dua hati yang bertaut
setelah mengalami aral-rintang yang berliku-liku, bahwa kedua insan berlainan jenis ini saling
mencinta, kenapa pula mereka sengaja mencari kerisauan sendiri. Tahu bila dirinya tetap di sini
akan berlebihan, pelan-pelan Ong Toa-hong berdiri, agaknya sudah siap tinggal pergi.
Begitu asyik perpaduan dua hati yang dibuai asmara, sudah tentu Pho Ang-soat dan Cui long
tidak memperhatikan lagi kehadirannya, seolah-olah sudah lupa adanya orang lain di samping
mereka.
Sinar pelita yang guram menyoroti badannya yang membayang di atas dinding putih. Pelanpelan
Ong Toa-hong memutar badan tiba-tiba tangannya sudah bertambah sebilah pedang pendek
sepanjang satu kaki tujuh dim.
Pedang pendek yang tipis dan tajam mengkilap, di bawah penerangan lampu tampak
memancarkan cahaya biru kepucat-pucatan. Apakah pedang ini dilumuri racun? Pelan-pelan Ong
Toa-hong beranjak keluar, dua langkah saja mendadak dia membalik badan!
Dimana pedang pendek warna kebiruan itu berkelebat, laksana kilat menusuk ke bawah ketiak
kiri Pho Ang-soat yang terbuka lebar.
Takkan ada orang yang bisa membayangkan perubahan ini, apa lagi sepasang kekasih yang
sedang dimabuk asmara. Kedua tangan Pho Ang-soat terangkat memeluk Cui long, maka
ketiaknya merupakan sasaran empuk, bukan saja tusukan pedang ini cepat dan ganas tempat
yang diincar pun amat tepat di tempat terlemah. Agaknya orang ini sudah bertahun-tahun melatih
diri untuk melancarkan tipuannya ini.
Bukan saja tidak melihat, Pho Ang-soat pun tidak merasa sama sekali.
Untung Cui long kebetulan membuka mata, dan dari bayangan orang di dinding dilihatnya
gerak-gerik orang, tanpa pikir mendadak dengan seluruh kekuatannya dia dorong Pho Ang-soat,
lalu memapak tusukan pedang orang dengan badan sendiri.
Sinar pedang yang membiru dengan telak menghujam amblas di punggungnya. Rasa sakit yang
tak terperikan, seolah-olah membuat sekujur badan Cui long seperti dirobek-robek. Tapi sepasang
matanya menatap kepada Pho Ang-soat. Pho Ang-soat jatuh di atas ranjang, dia pun balas

menatapnya, mengawasi sorot matanya yang mengandung derita dan menghibur, mengawasi
senyuman manisnya yang memilukan.
Akhirnya tercetus kata-kata dari mulut Cui long, "Kau harus percaya kepadaku, aku tidak tahu
siapa dia, tidak tahu bahwa dia hendak membunuhmu."
"Aku aku percaya kepadamu." Dengan keras dia mengertak gigi, tapi air mata tak tertahan
bercucuran.
Tiba-tiba Cui long tersenyum lebar, badannya tersungkur jatuh, raut mukanya yang pucat
memutih kini sudah berubah hitam. Pedang pendek itu masih terselip di tulang punggungnya.
Karena tidak sempat mencabutnya, terpaksa Ong Toa-hong melepasnya, selangkah demi
selangkah menyurut mundur, dia harap Pho Ang-soat di saat berduka tak melihat dirinya.
Memang melirik pun Pho Ang-soat tidak berpaling kepadanya, namun terdengar desis suara
dari celah-celah giginya,
"Berhenti!" Suaranya membawa daya sedot yang tak terlawan oleh siapa pun.
Bukan takut, Ong Toa-hong mendadak menyeringai dingin, katanya, "Tentu kau ingin tahu
siapa aku sebenarnya."
Pho Ang-soat menjawab dengan anggukan kepala.
"Akulah orang yang hendak menagih jiwamu."
Sikap Pho Ang-soat menjadi tenang, ujarnya, "Kau ikut berkomplot dalam pembunuhan di luar
Bwe hoa am itu?"
"Tidak, hanya kau yang ingin kubunuh."
"Kenapa?"
"Kalau kau biasa membunuh orang, kenapa orang lain tidak boleh membunuhmu?"
"Aku tidak mengenalmu."
"Kau pun tidak kenal Kwe Wi, tapi kau membunuhnya, membunuh cucunya pula."
"Kau hendak menuntut balas bagi kematian mereka?'
"Bukan."
"Lalu apa maksudmu?"
"Banyak alasan membunuh orang, jadi bukan melulu lantaran dendam." Setelah tertawa dingin
Ong Toa-hong melanjutkan, "Bocah sekecil itu selama hidupnya tidak pernah mencelakai orang
lain, sudah tentu belum pernah membunuh orang, tapi kenyataan dia mati di tanganmu, dan kau?
Berapa banyak orang yang kau bunuh yang memang patut dibunuh?"
Tiba-tiba Pho Ang-soat merasa kaki tangan dingin.
Cercaan Ong Toa-hong semakin sengit, "Asal kau pernah membunuh jiwa seorang, bukan
mustahil akan datang banyak orang menuntut balas kepadamu! Apalagi kau salah membunuh
orang yang tidak berdosa maka selama hidupmu kau tiada hak bertanya kepada orang lain kenapa
mereka hendak membunuhmu!"
Pho Ang-soat pelan-pelan berdiri, membungkuk badan, menarik tangan Cui long pelan-pelan.
Tangan yang halus dan hangat tadi kini sudah mulai dingin. Tidak mengalirkan air mata, dengan
mendelong dia mengawasi mukanya, seolah-olah sudah melupakan kehadiran Ong Toahong.
Mukanya tidak mengunjukkan sesuatu perasaan, namun jarinya dengan kencang sudah
menggenggam gagang golok. Melihat goloknya ini, Ong Toa-hong seketika bergidik seram, sekujur
badan dingin berkeringat.
Tanpa berkesip Pho Ang-soat berkata, "Kau boleh membunuhku, siapa pun boleh
membunuhku, tapi tidak seharusnya kau membunuh dia." Suaranya aneh seperti gema dari

tempat jauh, seolah-olah berkumandang dari neraka. "Aku tidak peduli kau siapa? Peduli apa
tujuanmu kemari, yang terang kau telah membunuhnya, maka aku harus mencabut jiwamu."
Muka Ong Toa-hong sudah berubah sepucat kapur, namun tetap menyeringai dingin,
"Memangnya sekarang kau masih punya tenaga mencabut golokmu?"
Pelan-pelan Pho Ang-soat berdiri, pelan-pelan beranjak mendekati Ong Toa-hong dengan
menggenggam golok. Matanya tertuju ke arah tenggorokan Ong Toa-hong.
Napas Ong Toa-hong serasa mendadak tercekik lehernya. Dia tak menyurut mundur lagi,
karena memang tiada jalan untuk dirinya mundur. Mengawasinya golok orang, akhirnya dia
menghela napas.
"Kau sudah menyesal?" tanya Pho Ang-soat.
Ong Toa-hong manggut-manggut, katanya rawan, "Aku hanya menyesal tidak mematuhi pesan
seseorang."
"Pesan apa?"
"Dia sebetulnya menyuruh aku menghancurkan dulu golokmu itu."
"Menghancurkan golok ini?"
"Golok itu sendiri tidak luar biasa, tapi berada di tanganmu, nilainya teramat besar sekali,"
demikian kata Ong Toa-hong, "golok ini bagai sebuah tongkat, tanpa golok ini, kau tidak lebih
hanya seorang timpang yang harus dikasihani, hanya di waktu kau memegang golok saja baru
bisa berdiri, berdiri dengan tegak."
Seperti terbakar raut muka Pho Ang-soat yang pucat.
Ong Toa-hong memperhatikan perubahan rona mukanya, katanya pula, "Sudah tentu bukan
aku yang mengatakan kenyataan ini, karena bahwasanya aku tidak atau belum memahami
dirimu."
"Lalu siapa yang bilang demikian?" tanya Pho Ang-soat.
"Ada seorang yang mengatakan."
"siapa dia?"
"Kenapa aku harus memberitahu kepadamu?"
"Jadi orang itu yang menghendaki kau membunuhku?"
"Mungkin benar, tapi mungkin pula tidak benar." Tiba-tiba tertunjuk mimik aneh pada mukanya,
katanya menyambung, "Bagaimana pun juga, selamanya kau tidak akan tahu siapa dia malah
selamanya kau tidak akan bisa menduganya "
Tiba-tiba terangkat kepala Pho Ang-soat, biji mata mulai terbakar biji mata yang membara
menatapnya lekat-lekat.
Sikap Ong Toa-hong malah tenang, katanya dingin. "Kenapa tidak kau cabut golokmu?"
Lama Pho Ang-soat menepekur, akhirnya berkata pelan-pelan, "Karena aku tidak mengerti."
"Hal apa yang tidak kau mengerti?"
"Aku tidak tahu kenapa kau sudi mati bagi orang lain?"
"Mati bagi orang lain?"
"Kau hanya benda yang diperalat saja oleh orang itu, bahwasanya tidak setimpal aku turun
tangan membunuhmu. Jadi orang yang menyuruh kau membunuhku itulah yang setimpal
kubunuh."
"Jadi asal aku sebutkan nama orang itu, kau bebaskan aku?"
"Sudah kukatakan, manusia rendah seperti dirimu tidak setimpal kubunuh."

Tiba-tiba Ong Toa-hong menepekur, agaknya dia sedang berpikir, menimang-nimang.
Pho Ang-soat memberi peluang selama mungkin untuk orang berpikir, dia tidak perlu
mendesaknya, karena tekanan dan ancaman malah membikin akibatnya terbalik.
Lama sekali baru Ong Toa-hong berkata, "Tentunya kau sudah tahu bahwa aku ini bukan
seorang Kuncu. Seorang Siaujin seperti katamu tadi, demi menyelamatkan jiwa sendiri, kepada
siapa pun berani menjual diri."
"Agaknya kau tidak bodoh."
"Maka aku masih punya persoalan. Darimana aku tahu bila kau tidak akan membunuhku?
Mungkin sekarang ini kau bukan lawanku, lalu buat apa aku membongkar rahasia orang lain
kepadamu?"
Lama Pho Ang-soat bungkam, mengawasinya tajam, katanya pelanpelan, "Seharusnya aku
tebas putus dulu sebuah kupingmu, supaya kau percaya. Tapi bukan saja kau tidak setimpal aku
turun tangan, tidak patut pula aku menggerakkan golokku. Cuma bisa tidak bisa kau harus
mengerti akan satu hal."
"Hal apa?"
"Tanpa menggunakan golok, aku tetap bisa membunuhmu."
Seketika Ong Toa-hong tertawa riang. Sudah tentu dia tidak percaya Pho Ang-soat bakal
meninggalkan goloknya ini. Tapi kenyataan di waktu dia tertawa Pho Ang-soat sudah meletakkan
goloknya di atas meja.
Betul juga Ong Toa-hong mengunjuk rasa heran dan tidak mengerti, namun sigap sekali tahutahu
sebilah pedang pendek entah darimana sudah terpegang di tangannya, pedang pendek yang
memancarkan cahaya kemilau, sekali berkelebat tiba-tiba pedang itu sudah menusuk ke dada Pho
Ang-soat.
Dari gaya dan cara serta jurus serangannya ini, sudah dapat dipastikan bahwa Ong Toa-hong
bukan saja seorang ahli pedang, malah dia seorang ahli bunuh yang sudah bertahun-tahun
berkecimpung dalam usahanya. Gerak pedangnya keji dan telengas, meski tidak mengandung
perubahan rumit yang aneh, tapi besar manfaatnya untuk membunuh jiwa manusia. Laksana lidah
ular saja yang terjulur keluar.
Tak mungkin Pho Ang-soat mengayunkan goloknya menangkis, tangannya sudah kosong. Tapi
dia masih mampu menggerakkan tangannya. Tangan yang putih, sebat sekali badannya berkelit
seraya mengulurkan tangannya dengan tangkas mencengkeram ke batang pedang. Seolah-olah
sudah terlupakan bahwa tangannya itu terdiri dari darah daging dan tulang yang tidak kuat
melawan senjata tajam, seolah-olah dia lupa bahwa dirinya tidak membekal senjata. Apalagi
pedang itu dilumuri racun, sekali tangannya tergores luka, kontan dia akan roboh binasa.
Gerakan pedang Ong Toa-hong tidak berubah. Sudah tentu dia tidak mau merubah
gerakannya, dia harap Pho Ang-soat menangkap pedangnya, semakin kencang lebih baik.
Seorang yang benar-benar pintar, selamanya tidak akan menganggap orang lain pikun. Orang
yang menganggap orang lain pikun, akhirnya dia akan menyadarinya sendiri, bahwa orang yang
benar-benar pikun bukan orang lain, tapi adalah diri sendiri.
Hampir saja Ong Toa-hong tertawa, dia anggap Pho Ang-soat sudah pikun maka dia tetap
menyodorkan pedangnya untuk ditangkap olehnya. Tapi sekilas itu mendadak terasa pandangan
matanya seperti kabur, tahu-tahu tangan memutih itu sudah menyambar mukanya dan telak sekali
memukul mukanya.
Kiranya dalam waktu sesingkat itu gerakan tangan Pho Ang-soat tiba-tiba berubah, lebih cepat
dan tangkas, sampai sukar dilukiskan. Tahu-tahu Ong Toa-hong merasa matanya berkunangkunang,
kepalanya posing tujuh keliling. Waktu dia siuman kembali, didapatinya dirinya roboh di
pojok dinding, darah bercucuran dari hidungnya yang sudah penyok, rasa sakit masih menjalari

mukanya karena tulang hidungnya remuk. Waktu itu dia mengangkat kepala, tampak pedangnya
sudah berada di tangan Pho Angsoat.
Dengan nanar Pho Ang-soat mengawasi pedang di tangannya, lama sekali baru berpaling,
tanyanya dingin, "Pedang ini bukan milikmu?"
Ong Toa-hong geleng-geleng.
"Biasanya kau memakai pedang panjang."
Ong Toa-hong manggut-manggut. Biasa memakai pedang panjang tiba-tiba berganti pedang
pendek, meski gerakannya lebih cepat, tapi tenaga dan incarannya menjadi sulit dikontrol dan
kurang tepat. Baru sekarang dia memahami akan hal ini.
"Pedang ini milik orang yang menyuruh kau kemari?"
Ong Toa-hong mengiakan dengan anggukan kepala.
Tiba-tiba Pho Ang-soat membuang pedang itu di kakinya, katanya, "Kalau kau ingin mencoba
lagi, boleh kau ambil pedang itu."
Ong Toa-hong geleng-geleng, melirik pun tidak ke arah pedang itu, keberaniannya sudah
runtuh total.
"Kenapa tidak kau ulangi? Aku tidak memegang golok, aku tidak lebih seorang timpang yang
harus dikasihani."
"Kau bukan..." ujar Ong Toa-hong, setelah menghela napas dia menambahkan, "Kau bukan
orang pikun."
"Sekarang kau mau mengatakan siapa orang itu?"
"Umpama kukatakan takkan berguna."
"Kenapa?"
"Karena kau tidak akan percaya."
"Aku percaya."
Ong Toa-hong ragu-ragu, katanya, "Sebaliknya bolehkah aku percaya kepadamu? Kau benarbenar
mau membebaskan aku"
"Sudah kukatakan sekali."
Akhrnya Ong Toa-hong menghela napas lega, katanya, "Sebetulnya orang itu adalah temanmu,
jejakmu tiada orang lain yang lebih jelas dari pada dia."
Seketika Pho Ang-soat menggenggam kencang jari-jarinya, lapat-lapat dia sudah menduga
siapa orangnya. Yang jelas dia tidak punya teman, maka dia tidak mau percaya begitu saja,
namun mau tidak mau dia harus percaya, maka tak tahun dia bertanya lagi, "She apa orang itu?"
"Dia she ...."
Sekonyong-konyong selarik sinar berkelebat, hanya sekali saja, lebih cepat cari sambaran kilat
maka segalanya menjadi tenang, suara apa pun sirap.
Ong Toa-hong tidak mampu menyebut she dan nama orang itu. Karena sebilah pisau sudah
memutus pernapasannya tepat di tenggorokannya. Matanya melotot, mulut terbuka dan lidahnya
menjulur keluar, cepat sekali dia mati. Tapi sampai ajalnya dia tetap tidak percaya bahwa orang
itu tega membunuhnya.
Mau tidak mau Pho Ang-soat harus percaya. Pisau yang tidak kelihatan merupakan pisau yang
paling menakutkan. Orang yang sukar diketahui seluk-beluk dart kedok aslinya merupakan orang
yang paling ditakuti. Mendadak Pho Ang-soat menyadari, Yap Kay pemuda itu jauh lebih
menakutkan dari pisau terbangnya yang melesat secepat kilat.
Pisau itu melesat dari luar jendela, namun tidak terlihat bayangan orang di luar.

Dipapahnya jenazah Cui long yang sudah kaku dingin itu, pelanpelan Pho Ang-soat melangkah
keluar, melangkah terus tanpa tujuan, menyusuri sungai melalui jembatan, dia terus maju
meninggi naik ke atas bukit, dia terus memanjat ke tempat yang paling tinggi, lalu berlutut
menghadap sang surya yang baru saja terbit, pelan-pelan dia letakkan jazadnya ke atas tanah. Di
sini dia menggali tanah, di bawah kesaksian sinar matahari dia kebumikan pujaan hatinya yang
gugur demi membela dirinya. Sejak kini, sepanjang tahun, selama matahari terbit dari ufuk timur,
sinarnya akan selalu menyoroti pusaranya. Sinar matahari abadi, demikian pula cinta nan murni.
BAB 40. DENDAM BARU KEBENCIAN LAMA
Malam kedua baru Pho Ang-soat turun dari atas bukit. Baru saja dia sembuh dari sakit, kini
harus mengalami pukulan batin separah ini, kecuali duka cita, perih, marah, penasaran dan
dendam, apa pula yang dia miliki? Mungkin masih punya rasa takut.
Takut akan kesepian. Sepanjang masa hidupnya, dia takkan bisa melihatnya lagi, cars
bagaimana dia harus membebaskan diri dari kesepian dan sebatangkara abadi ini? Terpaksa dia
harus melarikan diri.
Sebuah kota kecil berada di bawah bukit di sana ada arak. Arak yang getir, namun dia tidak
peduli lagi, entah berapa banyak poci arak yang dia habiskan, waktu dia berdiri dan beranjak
keluar, sinar pelita masih menyala di dalam warung, dengan menggenggam kencang goloknya dia
tinggalkan warung itu. Dia sudah mabuk, langkahnya sempoyongan. Entah berapa jauh dia
teringsut-ingsut, akhirnya tersungkur roboh, roboh di bawah pohon yang daunnya sudah
menguning. Hembusan angin merontokkan daun-daun pohon yang bertaburan di atas badannya,
seolah-olah dia tidak merasakan derita dan sengsara yang sudah membeku pada dirinya.
Dia tidak tahu tempat apa itu, dia hanya mendekam di tanah saja. Hanya dendam kesumat
yang masih menjalari sanubarinya, di samping dendam, dia pun merasa ditipu dan dihina oleh Yap
Kay, maka dia bersumpah untuk bertahan hidup. Dia bersumpah akan menuntut balas terhadap
Be Khong-cun, terhadap Yap Kay.
Sang waktu berlalu tanpa terasa, Pho Ang-soat tetap meringkuk di atas tanah dia tahu banyak
orang berlalu-lalang dan menengok badannya, tapi hanya menghela napas, lalu tinggal pergi pula.
Tapi tak sedikit pula yang menertawakannya.
Pho Ang-soat diam saja mendengar ejekan, olok-olok dan helaan napas orang banyak yang
mengandung belas kasihan pula, yang terang pukulan batin yang dialami memang teramat besar,
sehingga dia tidak menghiraukan keadaan sekelilingnya lagi. Apa pun yang terjadi, golok tetap
berada di tangannya.
Sekonyong-konyong didengarnya seseorang menjerit tertahan, "Oh, dia!" Itulah suara
perempuan, perempuan yang kenal dan dikenal dirinya, peduli siapa dia, Pho Ang-soat mengharap
dia lekas pergi. Celakanya perempuan ini tidak pergi malah menjengek sinis, katanya,
"Pho-kongcu ahli bunuh yang kejam, kenapa sekarang berubah begini rupa seperti anjing liar
yang kelaparan, apa kau dilukai orang?"
Serasa muak dan perut Pho Ang-soat seperti dipelintir. Kini dia sudah kenal siapa pembicara ini.
Be Hong-ling! Orang yang justru tidak mau ditemui, sekarang muncul di saat dirinya serba
runyam. Gigi Pho Ang-soat gemeratak, jari-jarinya mencengkeram tanah dengan kencang, seperti
merenggut hulu hati sendiri.
Be Hong-ling tertawa dingin, ejeknya, "Kau begini menderita lantaran nona Cui long itu,
sungguh tidak setimpal pengorbananmu, sebelum ini dia menjadi perempuan piaraan ayahku,
memangnya kau tidak tahu?"

Kata-kata ini laksana jarum menusuk hati, laksana cambuk melecut badannya. Tak tertahan
mendadak Pho Ang-soat berjingkrak berdiri, dengan matanya yang berdarah dia melotot
kepadanya, keadaannya sungguh harus dikasihani, tapi amat menakutkan pula.
Lain dulu lain sekarang, dulu mungkin Be Hong-ling simpati kepadanya, namun sekarang dia
sudah berubah, pemuda yang pernah membuatnya duka dan merana, kini tidak lagi terpandang
olehnya. Dengan dingin kembali dia mengoceh, "Aku tahu cepat atau lambat dia akan
meninggalkan kau, lari mengikuti laki-laki lain, seperti dia meninggalkan Yap Kay mengikut
kepadamu, kecuali ayahku, laki-laki lain bahwasanya tidak terpandang olehnya."
Muka Pho Ang-soat yang pucat tiba-tiba beringas merah. napasnya tiba-tiba tersengal-sengal,
katanya, "Sudah cukup bicaramu?"
"Kau tidak suka mendengar ucapanku?"
Otot di jari tangan Pho Ang-soat yang memegang golok merongkol, katanya kalem, "Sepatah
kata lagi kau ucapkan, kubunuh kau."
Be Hong-ling malah tertawa, di saat dia tertawa itu seseorang muncul di sampingnya. Seorang
pemuda yang tinggi besar dengan jubah sutra, raut mukanya amat congkak dan pongah, Memang
dia punya alasan untuk pongah dan bangga akan dirinya.
Bukan karena tinggi besar dan gagah ganteng, sepasang matanya yang dinaungi alis lentik
laksana pedang mencorong terang dan berwibawa pakaian yang dikenakan pun teramat mewah
perlente. Sekilas pandang orang akan tahu, pemuda ini sudah biasa berbuat sewenang-wenang,
suka bersimaharaja, apa pun yang ingin dia lakukan, tanpa peduli akibatnya harus dilaksanakan,
jarang ada orang yang berani merintanginya. Dengan tajam sekarang dia balas menatap Pho Angsoat,
katanya dingin, "Apa katamu barusan?"
Tiba-tiba Pho Ang-soat sadar apa sebabnya Be Hong-ling berubah sikap kepadanya.
Pemuda perlente kembali berkata, "Bukankah kau bilang hendak membunuhnya?"
Pho Ang-soat manggut-manggut.
"Dia adalah istriku," ujar pemuda perlente.
Dingin suara Pho Ang-soat, "Kalau dia berani bilang sepatah kata lagi, maka kau harus mencari
perempuan lain untuk jadi binimu."
Seketika pemuda perlente berubah muka, bentaknya bengis, "Kau tahu siapa aku?"
Pho Ang-soat geleng-geleng.
"Aku she Ting. Akulah Ting Ling-ka," ujar pemuda perlente congkak. "Walau kurangajar, aku
masih boleh memaafkan kau, karena keadaanmu tidak mirip laki-laki yang bisa membunuh orang."
Memang keadaan Pho Ang-soat serba mengenaskan, terang dia tidak akan mampu banyak
bergerak, mulutnya terbungkam, mau tidak mau dia harus mengakui akan hal ini.
Ting Ling-ka menyeringai puas, dia tahu kebesaran namanya cukup membuat siapa pun kaget
ketakutan, bila tidak perlu benar, dia tidak sudi turun tangan. Karena itu dia merasa dirinya
seorang yang kejam. Sekaligus dia ingin supaya bininya yang baru ini mengerti dia punya
kemampuan untuk melindunginya. Maka dengan tersenyum dia berpaling dan berkata dengan
latah, "Apa pun yang masih kau ingin katakan, boleh kau katakan sesuka hatimu."
Be Hong-ling menggigit bibir, "Apa pun yang ingin kukatakan tidak jadi soal?"
Ting Ling-ka tersenvum, ujarnya, "Asal kau di sampingku, apa pun yang ingin kau katakan tidak
menjadi soal."
Karena gairah dan senang, raut muka Be Hong-ling menjadi bersemu merah, katanya tiba-tiba
dengan keras, "Kukatakan perempuan yang dicintai si timpang ini adalah pelacur, pelacur yang
tidak ada harganya."

Muka Pho Ang-soat menjadi pucat seperti kertas. jari-jari tangan kirinya menggenggam gagang
golok yang dipegangnya.
"Berani kau turun tangan?" bentak Ting Ling-ka. Dia tahu tiada suatu kekuatan apa pun di
dunia ini yang kuasa mencegah dia turun tangan. Maka dia menghardik lebih dulu, tahu-tahu
pedang sudah terlolos, sinar pedangnya bagai selarik lembayung, langsung menusuk tenggorokan
Pho Ang-soat. Pedang yang digunakan bobotnya cukup berat, maka tusukannya mengeluarkan
deru angin keras, apalagi dilandasi kekuatannya, maka daya serang ini amat ganas dan hebat.
Meski tidak cepat serangan ini, tapi tusukan pedang ini cukup lihai, dahsyat, sasarannya tepat
dan mematikan. Menyerang memang nya pertahanan yang paling baik. Orang yang mampu
membalas serangan seperti ini, di dunia ini tidak akan lebih dari tujuh orang. Dan Pho Ang-soat
justru salah satu dari ketujuh orang itu.
Dia tidak berkelit, tidak menangkis, malah tiada orang melihat dia bergerak, Be Hong-ling
sendiri tidak melihat gerakan apa-apa, namun ia hanya melihat selarik sinar kemilau secepat kilat
dari sambaran sinar golok. Hanya berkelebat sekali, darah bagai kembang api berpijar muncrat
sederas sumber minyak yang menyemprot dari bumi.
Sinar pedang bagai selarik rantai perak melesat terbang ke samping dan menancap di atas
pohon. Jari-jari tangan Ting Ling-ka masih kencang memegangi gagang pedang, seluruh lengan
kanannya bergantung di ujung pedangnya, masih bergoyang turun naik.
Darah masih bertetesan dari kutungan lengan pundak Ting Ling-ka. Bahna kaget Ting ling-ka
sampai berdiri melongo mengawasi kutungan tangannya yang bergoyang-goyang di atas pohon,
seolah-olah tidak menyadari apa sebenarnya yang telah terjadi. Karena perubahan ini sungguh
amat mendadak.
Bila dia menyadari lengan yang tergantung di atas pohon itu adalah kutungan lengannya,
seketika dia jatuh semaput. Hampir saja Be Hong-ling ikut semaput tapi bukan karena kaget dan
gelisah karena luka-luka suaminya, namun karena gusar yang putus asa. Dengan penuh kebencian
dia melotot sekali kepada Ting Ling-ka yang semaput di tanah, terus putar badan dan berlari sipatkuping.
Di pinggir jalan raya berhenti sebuah kereta tertutup yang ditarik kuda, langsung dia
menerjang ke sana terus menarik pintu kereta sekeras-kerasnya.
Tampak seorang duduk kaku tidak bergerak di dalam kereta, raut mukanya nan cantik dan
pucat membayangkan mimik kaku dan kosong. Begitulah mimik seseorang bila dia kehilangan
sesuatu miliknya yang paling berharga. Pho Ang-soat juga melihat orang dalam kereta ini, dia
kenal baik orang ini!
Ting Hun-pin. Bagaimana dia bisa berada di sini? Kehilangan apa dia? Dimana Yap Kay?
Tiba-tiba Be Hong-ling membalik badan seraya menuding Pho Angsoat, katanya keras, "Orang
itulah yang membunuh Jikomu, tidak lekas kau menuntut balas?"
Lama berselang baru Ting Hun-pin mengangkat kepala, sekilas ia memandangnya, katanya,
"Benarkah kau ingin aku menuntut balas?"
"Sudah tentu, dia kan Engkohmu, dia adalah suamiku."
Mengawasinya, mendadak matanya menyorotkan rasa ejek dan hina, katanya, "Apa benar kau
anggap Engkohku sebagai suamimu?"
Berubah air muka Be Hong-ling, serunya, "Kau... apa-apaan kau mengucapkan kata demikian?"
"Tentunya kau mengerti apa maksudku, umpama engkohku mati, kau tidak akan bersedih
apalagi meneteskan air mata, mati hidupnya tidak menjadi perhatianmu!"
Seperti dihajar lecutan cambuk badan Be Hong-ling berjingkrak mundur, mukanya yang pucat
semakin pucat.
"Kau ingin aku menuntut balas, karena kau membencinya seperti kau membenci Yap Kay."
Dengan kencang Ting Hun-pin mengertak gigi, sambungnya, "Terhadap laki-laki siapa saja kau

amat membenci karena kau mengira semua laki-laki amat menghina dirimu, sampai pun ayah
kandungmu tidak peduli mati hidupmu. Bahwa kau kawin dengan Jikoku, tidak lebih hanya hendak
kau peralat untuk membalas sakit hatimu."
Syaraf Be Hong-ling menjadi kalut, pikirannya sudah mendekati gila, mendadak dia berteriak
keras. "Aku tahu kau membenci aku, karena aku suruh Engkohmu membawamu pulang, tapi kau
senang kelayapan mengikuti Yap Kay seperti anjing gelandangan."
"Benar, aku lebih suka keliaran bersama dia di luaran, karena aku mencintainya," debat Ting
Hun-pin sambil menatap Be Hong-ling, "tentunya kau sudah tahu bahwa aku mencintainya, maka
kau merasa iri, cemburu, maka kau paksa Engkohku untuk bertindak membawaku meninggalkan
dia. Soalnya kau pun mencintainya."
Mendadak Be Hong-ling tertawa terkial-kial seperti kesurupan setan, serunya, "Aku
mencintainya..... aku hanya berharap dia lekas mampus."
"Sekarang kau membencinya malah, karena kau tahu dia tidak akan mencintai kau." Tersorot
mimik aneh dan menakutkan pada pandangan mata Ting hun-pin, katanya lebih lanjut, "Di dunia
ini banyak perempuan jahat yang gila, jika tidak terlaksana keinginannya untuk memiliki sesuatu,
maka dia berusaha dengan berbagai daya upaya, meski cara yang paling kejam dan keji, untuk
melenyapkannya, dan kau termasuk perempuan seperti itu, kau pantas mampus."
Lama kelamaan tawa gila Be Hong-ling menjadi isak tangis bercampur tawa yang memilukan,
akhirnya tidak terbedakan lagi dia tertawa atau menangis. Tiba-tiba dia berpaling menghadap Pho
Ang-soat, serunya serak, "Kalau kau ingin membunuhku, kenapa tidak segera turun tangan?"
Sebaliknya tanpa mengawasinya, Pho Ang-soat beranjak pelan-pelan mendekati kereta dimana
Ting Hun-pin berada. Mendadak Be Hong-ling menubruk ke atas badannya, serta memeluknya
erat-erat, ratapnya, "Jika kau tidak membunuhku, bawalah aku pergi, peduli kemana pun, aku
ingin mengikuti kau, apa pun yang kau inginkan, pasti kulakukan."
Sekujur badan Pho Ang-soat dingin dan kaku.
Dengan bercucuran air mata Be Hong-ling berkata pula, "Asal kau sudi membawaku, aku... aku
boleh membawamu mencari ayahku."
Mendadak sikut bergerak menyodok ke perutnya dengan keras. Kontan Be Hong-ling
melengking seperti babi disembelih, badan nya terbungkuk-bungkuk sambil memeluk perut.
"Menggelindinglah pergi!" tanpa berpaling Pho Ang-soat membentak.
Akhirnya Be Hong-ling menegakkan badan, semula dia adalah gadis jelita yang cantik rupawan,
penuh dihayati keyakinan akan kehidupan masa depan. Tapi sekarang dia sudah berubah, kini raut
mukanya benar-benar dihiasi mimik jahat dan beringas mendekati gila. "Baik, aku pergi," desisnya
sambil melotot kepada Pho Ang-soat, "Kau tidak mau pergi dariku, terpaksa aku menyingkir, tapi
apa kau lupa akan kelakuanmu sekasar anjing liar yang kelaparan merayapi badanku di padang
pasir dulu? Memangnya di saat orang lain tidak melihatmu baru kau berani memperkosa aku?"
Muka Pho Ang-soat menampilkan derita pukulan batin yang tertekan, namun dia tetap tidak
berpaling.
Malah Ting Hun-pin yang bersuara, "Apa sekarang kau sudah menyesal, kenapa malam itu kau
tidak menuruti keinginannya?"
"Jangan kau pongah! Kau kira Yap Kay mencintaimu?" jengek Be Hong-ling pedas, "Jika dia
benar-benar mencintaimu, masakah dia biarkan ikut kita? Sekarang bukan mustahil dia sedang
menggumuli perempuan pelacur entah dimana, bukan mustahil kawan mainnya adalah kekasih
tuannya itu, Cui long." Mendadak dia terloroh-loroh gila lagi, langkahnya menyurut mundur dan
mundur terus memasuki hutan belukar. Lain kejap loroh tawanya hilang, bayangannya pun tidak
kelihatan lagi.
Ting Hun-pin menghela napas, ujarnya, "Sebetulnya dia gadis yang harus dikasihani, sayang
sekali setiap langkah dan tindakannya salah, jelasnya dia salah memilih laki-laki."

"Dan kau?" tiba-tiba Pho Ang-soat menjengek.
"Aku tidak salah!"
"Yap Kay ...."
"Sejak lama aku sudah tahu orang macam apa Yap Kay," tukas Ting Hun-pin. "Umpama dia
tidak mencintai aku, tidak jadi soal, karena aku benar-benar mencintainya dan ini sudah cukup."
Bertambah tebal derita pada sorot mata Pho Ang-soat, lama kemudian baru dia berkata pelan,
"Tapi kau toh meninggalkan dia."
"Karena terpaksa dan aku tidak berdaya."
"Kenapa tidak berdaya?"
"Di saat aku tidak berjaga-jaga. Ting-loji tiba-tiba menotok Hiat-toku."
"Terpaksa Yap Kay mengawasi dirimu dibawa mereka pergi?"
"Dia pun kewalahan dan mati kutu, Ting-loji adalah Engkoh kandungku, apa yang dapat dia
lakukan?" terpancar cahaya dari biji matanya, "tapi aku tahu cepat atau lambat dia pasti
mencariku, kelihatannya sikapnya selalu acuh tak acuh, sebenarnya dia pemuda romantis, waktu
orang membawaku pergi, aku dapat merasakan penderitaannya, jauh lebih besar dari aku sendiri."
"Sekarang bukankah kau ingin mencarinya?"
Ting Hun-pin tertawa riang, katanya, "Ada semacam orang di dunia ini yang takkan dapat kau
temukan selama hayatmu, terpaksa kau harus menunggu dia yang mencarimu, Yap Kay adalah
orang macam itu."
Pho Ang-soat masih mengawasinya, tiba-tiba terunjuk pula mimik aneh pada sorot matanya.
"Walau kau melukai, malah membikin cacad Engkohku, tapi aku tidak menyalahkan engkau."
"Oh," Pho Ang-soat bersuara dalam tenggorokan.
"Bukan lantaran memaksa aku ikut dia, sehingga aku membencinya. Soalnya kau mengutungi
sebelah tangannya, tapi engkau membuatnya sadar macam apa sebenarnya perempuan seperti Be
Hong-ling itu kalau bukan lantaran tebasan golokmu. kelak hidupnya akan lebih celaka lagi.
Sekarang kau boleh pergi, aku tidak ingin dia melihatmu setelah siuman dari pingsannya."
Tapi Pho Ang-soat diam saja.
Menunggu sekian saat tak tahan Ting Hun-pin bertanya. "Kenapa tidak segera kau pergi?"
"Karena aku sedang mempertimbangkan satu soal."
"Soal apa?"
"Aku tidak tahu haruskah aku membuka totokan Hiat-tomu, supaya kau ikut aku, atau
membawamu pergi dengan menggendongmu."
Seketika berubah rona muka Ting Hun-pin, teriaknya, "Apa sih maksudmu?"
"Maksudku ingin membawamu pergi."
"Kau... kau sudah gila...."
"Aku tidak gila," sahut Pho Ang-soat dingin, "aku tahu kau pasti tidak sudi ikut pergi."
Dengan terbelalak Ting Hun-pin mengawasi orang, mendadak dia ayunkan tangan, kelintingan
di pergelangan tangannya tiba-tiba melesat membawa dering suara nyaring, sekaligus mengincar
Ing-hian, Thian-sek dan Hian-ki, tiga Hiat-to. Jarak mereka dekat, serangan mendadak serta
cepat. Kelintingan pencabut nyawa Ting Hun-pin merupakan salah satu senjata rahasia paling
menakutkan di samping tujuh macam senjata rahasia di Kangouw lainnya, karena bukan saja
gerakannya cepat, incarannya tepat mengenai Hiat-to, malah yang ditimpukkan belakangan tiba

lebih dulu, yang ditimpukkan duluan tiba-tiba berubah arah, hingga orang yang diserangnya tidak
tahu caranya harus berkelit.
Tapi Pho Ang-soat tidak berkelit. Hanya sekali sinar goloknya berkelebat, tiga kelintingan tahutahu
sudah terbelah menjadi enam buah. Waktu sinar golok masuk kembali ke dalam sarungnya,
tahu-tahu dia sudah mencengkeram urat nadi pergelangan Ting Hun-pin, sekali tarik dia peluk
pinggang orang, terus dijinjingnya. Keruan Ting Hun-pin meronta dan berteriak-teriak, "Kau
timpang yang tidak tahu malu ini, lekas lepaskan aku!"
Pho Ang-soat anggap tidak mendengar teriakannya. Kereta itu dikendalikan kusir, di jalan raya
banyak orang berlalu-lalang, semua orang mengawasinya dengan pandangan kaget dan heran.
Pho Ang-soat anggap tidak melihat mereka, langsung dia beranjak ke bukit sebelah timur. Gunung
yang terbungkus mega di bawah langit membiru.
Gunung itu tidak terlalu tinggi, dengan mengempit Ting Hun-pin, Pho Ang-soat mulai beranjak
di tanah pegunungan yang diliputi awan tebal Kini Ting Hun-pin tidak meronta dan malah diam
dibawa orang. Tapi dia menyadari bahwa si timpang ini memang bukan pemuda normal, apalagi
bila teringat ucapan Be Hong-ling, "Hanya di tempat tiada orang lain, baru kau berani memperkosa
aku." Seketika bergidik dan takut hatinya badannya gemetar.
Akhirnya Pho Ang-soat menurunkan dia, katanya tiba-tiba, "Kau takut?"
Ting Hun-pin tiba-tiba tertawa, ujarnya, "Aku takut apa? Kenapa harus takut? Memangnya aku
takut kepadamu? Kau kan teman Yap Kay, temannya adakah temanku, kenapa aku takut
kepadamu."
"Kalau musuhnya?"
"Agaknya dia takut punya musuh "
"Kalau dia punya musuh, tentunya jadi musuhmu juga.
"Boleh dikata demikian, karena...."
"Karena kau merasa orang yang terdekat di dunia ini adalah dia."
Ting Hun-pin tertawa riang, tawa yang manis, setiap kali teringat akan hubungan dirinya
dengan Yap Kay, hatinya menjadi syur, sedap dan hangat.
"Jika kau tahu ada orang yang akan membunuhnya, bagaimana sikapmu terhadap pembunuh
itu?"
"Tiada yang bisa membunuhnya, tiada orang bisa membunuhnya."
"Kalau ada?"
"Aku tidak akan melepaskan orang itu, takkan segan-segan kutuntut balas kepadanya meski
dengan cara apa pun." Segera dia menambahkan, "tentunya aku bukan perempuan bertangan
gapah berhati jahat, tapi bila benar-benar ada orang yang membunuh Yap Kay, bukan mustahil
aku akan mengiris kulit daging badannya serta mengunyah habis."
Waktu Ting Hun-pin bicara, Pho Ang-soat sudah putar badan menghadap gundukan tanah yang
gundul yang masih baru.
"Gundukan tanah apakah itu?" tanya Ting Hun-pin.
"Sebuah pusara."
"Kuburan maksudmu?" berubah muka Ting Hun-pin.
"Darimana kau tahu tanah gundukan itu adalah kuburan?"
"Karena kedua tanganku sendiri yang menyusunnya," suaranya seolah-olah lebih dingin dari
hawa puncak salju, tak terasa Ting Hun-pin bergidik dibuatnya.
Lama sekali baru dia bersuara lirih, "Siapakah yang terkubur di sini?"

"Seorang yang paling dekat denganku."
"Kau... kau amat mencintainya?"
"Cintaku terhadapnya jauh lebih mendalam dari cintamu terhadap Yap Kay "
"Kenapa dikubur di sini?"
"Karena dibunuh orang."
Ting Hun-pin bergidik seram, gumamnya, "Angin di sini teramat dingin."
"Kau tak usah menguatirkan dia, sekarang dia tidak takut dingin lagi."
"Tapi aku takut."
"Takut terhadapku?"
"Bukan takut kepadamu, takut dingin."
"Aku pun akan menguburmu, kau tidak akan takut dingin lagi."
"Ah, tidak usahlah, aku toh belum mati."
"Tapi dia sudah mati kau tidak mati, dia sebaliknya sudah mati, kenapa dia harus mati? Kenapa
harus mati?"
"Setiap insan akhirnya mati, ada yang mati muda, ada yang mati tua, kukira kau tidak perlu
sedih."
"Kalau Yap Kay mati, kau tidak akan bersedih?"
"Aku... aku...."
Tiba-tiba Pho Ang-soat membalik badan dengan beringas, bentaknya bengis, "Kenapa tidak kau
tanya, siapa yang membunuhnya? Apakah karena kau sudah tahu siapa yang membunuhnya?"
Ting Hun-pin mengertak gigi, mendadak dia berkata keras, "Aku tidak tahu bagaimana aku bisa
tahu?"
"Seharusnya kau tahu."
"Kenapa?"
"Karena Yap Kay lah yang membunuhnya."
"Tidak mungkin, pasti tidak mungkin." Ting hun-pin berjingkrak, "Selama ini aku berdampingan
dengan Yap Kay, aku berani tanggung dia tidak pernah membunuh orang."
"Kemarin malam kau pun berada bersama dia?"
Terkancing mulut Ting Hun-pin, sejak kemarin pagi dia sudah diringkus dan dibawa pergi oleh
Ting Ling-ka, sejak itu dia tidak pernah melihat Yap Kay lagi.
"Kau tahu kemarin malam dia dimana? Apa yang dia lakukan?"
Tertunduk kepala Ting Hun-pin. Dia tidak tahu.
Mendadak Pho Ang-soat keluarkan sebuah pisau kecil, pisau yang tipis tajam diacungkan di
depan matanya. "Kau kenal pisau ini!"
Semakin dalam kepala Ting Hun-pin tertunduk. Dia kenal betul pisau itu, lama sekali baru dia
mengangkat kepala, katanya, "Yap kay adalah aku, aku adalah Yap Kay, jika kau anggap Yap Kay
yang membunuhnya, boleh kau membunuhku."
"Kau rela mati demi jiwanya?"
"Dengan sukarela." Matanya bersinar bangga, seolah-olah dapat mati bagi kekasih merupakan
suatu peristiwa yang meninggikan derajat dan menyenangkan hatinya. "Kenapa tidak segera kau
turun tangan," dia mendesak malah setelah menunggu sebentar.

Lama Pho Ang-soat termenung, katanya kemudian, "Aku tidak ingin membunuhmu."
"Kau... apa keinginanmu? Kenapa kau membawaku kemari?"
Kembali lama Pho Ang-soat berdiam diri, baru menjawab, "Tadi kau katakan dia pasti
mencarimu."
"Jadi kau akan menunggu dia?" Jari-jari Ting Hun-pin terkepal kencang, "Tapi dia kan tidak
tahu aku di sini."
"Dia akan tahu."
"Kenapa?"
"Karena banyak orang melihat kau kukempit pergi dan kemari."
"Memangnya kenapa kalau dia kemari? Memangnya kau hendak membunuhnya? Apakah kau
sudah lupa apa yang dilakukan dulu? Jika tiada dia, apa kau masih hidup?"
"Dia membantuku hidup, mungkin karena ingin aku menderita siksaan batin "
Tiba-tiba gemetar badan Ting Hun-pin mengawasi muka orang, katanya. "Dia sering bilang
kepadaku apa yang kau lakukan memang menakutkan, tapi hatimu bajik, bijaksana, kau sejak
kapan kau berubah menjadi jahat dan telengas?"
Pho Ang-soat mengawasi golok di tangannya, mulutnya terkancing bersuara lagi.
Hawa semakin dingin, kabut mega semakin tebal. Pakaian Ting Hun-pin sudah lembab, saking
kedinginan dia mulai gemetar dan gemeratak giginya. Bukan saja dingin, perutnya pun sudah
ketagihan.
Pho Ang-soat sudah berduduk, duduk mematung di tengah-tengah mega yang dingin dan
basah.
"Mungkin dia takkan datang," entah berapa lama kemudian tak tahan.
Ting Hun-pin menyeletuk. "Umpama mau datang, tiada orang tahu dia akan kemari. Kalau tiga
hari lagi baru dia datang, apa kau mau menunggu tiga hari di sini?"
Lama Pho Ang-soat berdiam diri, lalu menjawab dingin, "Tiga tahun dia baru kemari, akan
kutunggu tiga tahun."
"Kau... kau paksa aku menemani kau menunggunya tiga tahun."
"Kalau aku bisa menunggu, kenapa kau tidak?"
"Karena aku manusia. Asal manusia, dia takkan tahan menunggu tiga tahun di sini, mungkin
tiga hari pun tak tahan lagi. Umpama tidak mati kedinginan, kita akan mati kelaparan juga."
Pho Ang-soat diam saja seperti tidak mendengar ocehannya.
"Sebetulnya tak perlu kau menunggunya di sini, kau boleh mencarinya di bawah gunung, cara
itu lebih baik daripada kau menunggunya. Eh, kenapa kau tidak bicara? Apakah...." tiba-tiba
suaranya terputus, mendadak didapatinya Pho Ang-soat yang duduk di tengahtengah kabut tak
terlihat bayangannya.
Kabut semakin tebal, pandangan menjadi pekat, hawa semakin dingin dan basah, pandangan
Ting Hun-pin yang remang-remang hanya bisa melihat beberapa langkah di sekitarnya, hatinya
menjadi takut, teriaknya, "Pho Ang-soat, kemana kau? Kembalilah kau?"
Tiada jawaban, tiada reaksi. Ingin dia lari, sayang Hiat-tonya tertotok, kakinya kaku, inilah hasil
ilmu totok keluarganya sendiri yang manjur. Ingin dia menjerit, namun dia takut mendengar gema
suaranya yang berkumandang di alam pegunugan Pada saat itulah, tiba-tiba setetes benda cair
yang dingin menetes di punggung tangannya, waktu dia menunduk dilihatnya tetesan itu bukan
hujan, tapi adalah darah. Keruan hatinya melonjak, tak tahan dia berpaling, tiba-tiba sebuah
tangan menyentuh pipinya, tangan yang dingin dan berlepotan darah, darah siapa? Tangan siapa?

Ting Hun-pin tidak sempat melihat jelas, tahu-tahu pandangannya menjadi gelap dan tidak tahu
apa-apa lagi.
BAB 41. ENGHIONG DI UJUNG JALAN
Tiada mega, kabut pun telah hilang. Di dalam goa yang gelap itu, sinar api yang menyala
sedang menari-nari menerangi dinding goa yang berbentuk aneh, menyinari raut muka Ting Hunpin.
Begitu siuman, pertama yang terlihat olehnya adalah gundukan api itu. Namun dia tetap tidak
bergerak, rebah diam saja mengawasi kobaran api yang bergerak-gerak. Lalu dilihatnya Pho Angsoat
yang duduk di pinggir api unggun, dia sedang memanggang seekor kelinci yang sudah
dikuliti, gerak-geriknya kalem, tersimpul rasa ketenangan hati pada raut mukanya yang tersorot
sinar api.
Daging kelinci yang berlepotan darah itu lama kelamaan sudah merah terpanggang, bau wangi
yang menimbulkan selera seketika merangsang hidung. Tak tahan Ting Hun-pin memberi
penjelasan, "Sungguh tadi aku terlalu lapar dan kedinginan, maka aku tidak tahan lagi."
"Untung kau membawa ketikan api, kalau tidak terpaksa kau makan daging kelnci mentah dan
berlepotan darah," ujar Pho Ang-soat tawar.
"Kau ambil ketikan api milikku?" Ting Hun-pin berteriak tertahan.
Pho Ang-soat menjawab dengan anggukan kepala.
Seketika Ting Hun-pin menarik muka, katanya keras, "Mana boleh kau sembarang
menggeledah barang orang?"
"Memang tidak pantas, lebih baik kalau aku lucuti pakaianmu, lalu kupanggang kau di atas api
untuk daharan."
Tersipu-sipu Ting Hun-pin menarik pakaiannya, seperti kuatir orang benar-benar akan
menelanjangi dirinya. Sementara itu Pho Ang-soat sudah menyobek kelinci menjadi dua, bagian
yang besar dilempar ke arahnya.
Daging panggang tanpa garam dan bumbu, sebetulnya mirip dengan perempuan yang punya
18 anak, takkan menimbulkan selera siapa pun. Tapi betapa pun daging panggang yang tawar ini
masih boleh dirasakan juga.
Habis makan tiba-tiba Pho Ang-soat berdiri, katanya dingin, "Kau sendiri tidak bisa mencopot
pakaian?"
"Kenapa aku harus mencopot pakaian?"
"Aku tidak ingin mati kedinginan atau mati karena sakit."
Baru sekarang Ting Hun-pin menyadari pakaiannya memang basah
kuyup, karena dalam goa lembab dingin sekali, kalau rebah semalam ditempat seperti ini, besok
pagi bukan mustahil dirinya akan jatuh sakit. Sudah tentu dia tidak ingin jatuh sakit, namun harus
mencopot pakaian di hadapan kecuali Yap Kay, dia lebih rela mati. Dengan mengertak gigi dia
tiba-tiba bertanya, "Apakah kau pernah memperkosa Be Hong-ling?"
Melonjak-lonjak kulit daging di muka Pho Ang-soat, sorot matanya menyorotkan penderitaan,
tapi dia manggut-manggut. Apa yang pernah dia lakukan dia tidak pernah pungkiri.
"Kalau kau hendak memperkosa aku, sudah tentu aku tidak kuat melawanmu, tapi kuharap kau
tahu satu hal."
Pho Ang-soat sedang mendengarkan.

"Kecuali Yap Kay, lelaki siapa pun yang menyentuh aku, membuatku muak, tiada laki-laki yang
sebanding dia. Dan kau membencinya, bukan lantaran dia membunuh Cui long, tapi lantaran kau
tahu dirimu selamanya takkan dapat menandinginya...."
Sekonyong-konyong Pho Ang-soat merenggut bajunya, lalu menjinjingnya, katanya serak, "Kau
salah."
"Aku tidak salah."
"Kau sendiri yang memaksa aku melakukan hal ini." Mendadak dia gunakan tenaga menarik
pakaiannya. Waktu Ting Hun-pin terjengkang jatuh, buah dadanya yang padat kenyal memutih
laksana salju tertiup angin dingin.
Air matanya berlinang, katanya mengertak gigi, "Aku tidak salah, Yap Kay yang salah, dia yang
salah menilai dirimu, hakikatnya kau bukan manusia, kau binatang."
Sekujur badan Pho Ang-soat bergetar, semakin lama semakin keras, mendadak badannya
tersungkur jatuh meringkuk dan berkelejetan. Di bawah cahaya api, mukanya berkerut-kerut
berubah bentuk, bibir mulutnya seperti congor kuda, buih meleleh keluar dari mulutnya.
Ting Hun-pin jadi melongo dan menjublek. Dia tahu Pho Ang-soat mengidap penyakit, namun
tidak diduganya penyakitnya itu mendadak kumat dan begini menakutkan.
Mengawasi keadaan orang, rasa gusar dan takut Ting Hun-pin beransur-angsur hilang, kini
berganti kasihan dan simpatik. Kalau dia bisa berdiri, tentu sudah membimbingnya bangun serta
memeluk nya kencang, sayang bergerak pun tak bisa, hanya kedua tangan yang kaku kedinginan
saja yang kuasa menutupi dadanya.
Tiba-tiba didengarnya langkah kaki orang di luar goa. Bukan seorang saja yang datang.
Serasa tenggelam hati Ting Hun-pin. Malam selarut ini siapakah gerangan yang menempuh
perjalanan jauh dalam hawa sedingin ini kelayapan di atas pegunungan? Cepat sekali langkah kaki
itu sudah tiba di luar goa. Cahaya api di dalam goa sekaligus memberitahu mereka bahwa di
dalam goa ada orang.
Sesaat kemudian seseorang berseru di luar, "Siapakah nama besar saudara di dalam? Silakan
keluar!"
Ting Hun-pin mengertak gigi. Diharap orang di luar dalam waktu dekat tidak berani menerjang
masuk, diharap Pho Ang-soat lekas siuman sebelum mereka menyerbu masuk. Tapi dilihatnya
sebatang golok terjulur masuk, disusul orang yang memegangi golok. Yang masuk hanya seorang,
muka orang inipun menghijau seperti menggunakan topeng. Biji matanya dingin melotot kejam,
sekilas melirik kepada Pho Ang-soat, sorot matanya akhirnya berhenti pada dada Ting Hun-pin
yang hanya tertutup kedua tangannya, seketika terbayang nafsu birahi dalam matanya. Ingin
rasanya Ting Hun-pin mengorek kedua biji matanya yang kurangajar itu.
"Apa yang kau lihat? Kau tidak pernah melihat perempuan?"
Orang itu tertawa, kakinya menendang Pho Ang-soat, katanya, "Dia pernah apamu?"
"Peduli amat dengan kau?"
"Bukankah dia inilah Pho Ang-soat yang meruntuhkan Koan-tang Ban be tongcu?"
"Darimana kau tahu?"
"Memangnya aku sedang mencari dia."
"Untuk apa kau mencarinya?"
"Kucari hendak minta bantuannya mencari sesuatu untuk membunuh orang," lalu dia tertawa
sendiri, katanya pula. "tapi sekarang dia malah dibunuh orang lain."
Sedapat mungkin Ting Hun-pin mengendalikan perasaannya, "Kalau benar kau punya pikiran
demikian, kau pasti menyesal."

"Bukan saja aku berpikir demikian, aku masih ada pikiran lain pula."
"Apa yang kau pikirkan?"
"Laki-laki siapa yang melihat gadis cantik telanjang dada tidak akan meengiler, tentunya kau
bisa membayangkan apa yang kupikirkan sekarang."
Dingin dan kaku sekujur badan Ting Hun-pin, teriaknya, "Kau berani?"
"Kenapa tidak, umpama Pho Ang-soat bisa mencabut goloknya, aku tidak takut. Apalagi kalau
dia tahu aku siapa, bukan mustahil dengan suka rela kau diserahkan kepadaku."
"Mengandal apa kau berani berkata demikian?"
"Mengandal suatu benda, benda yang tak mungkin diperoleh Pho Ang-soat meski dia mimpi
seratus kali." Dengan tersenyum dia gunakan goloknya menyingkirkan tangan Ting Hun-pin yang
menutupi dada, katanya lebih lanjut, "Dengan benda itu, bukan saja aku berani berpikir, malah
berani kulakukan, kalau tidak percaya, biar sekarang kulakukan."
Hampir saja Ting Hun-pin menjerit, kedua tangannya terpaksa terpentang. Pada saat-saat kritis
itulah, tiba-tiba dilihatnya sebuah benda kecil melayang masuk dari luar, tepat mengenai gigi
orang yang sedang tersenyum lebar. "Krak", kontan tiga giginya rontok, sebuah benda bersama
tiga giginya jatuh di atas badan Ting Hun-pin, itulah sebutir kacang kulit.
Seketika berubah air muka orang itu, sebelah tangan mendekap mulut, tangan yang lain
mengayun golok. Melihat kacang itu, seketika muka Ting Hun-pin berubah juga, teriaknya, "Lok
Siau-ka."
Kabut masih tebal dan gelap di luar gua, terdengar seorang berkata dengan tertawa, "Bukan
Lok Siau-ka seorang yang bisa makan kacang di dunia ini." Dengan tersenyum seorang tampak
melangkah masuk, pakaiannya sembarangan, senyumannya adem-ayem, melihat mimiknya,
umpama langit ambruk pun tidak akan dia pedulikan.
Melihat orang ini, terasa oleh Ting Hun-pin hawa berkabut yang menyesakkan napas tiba-tiba
sirna, hujan deras di luar pun terasa berhenti, umpama dunia kiamat pun tak dihiraukan pula,
karena orang yang datang ini adalah Yap Kay.
Betapa lega dan terhibur hati Ting Hun-pin, memang sengaja dia menarik muka, katanya,
"Kelayapan kemana saja kau, sampai sekarang baru datang."
Yap Kay menghela napas, ujarnya, "Sebetulnya aku ingin datang lebih pagi, namun tidak tega
aku melihat Engkohmu rebah di tanah, betapa pun dia toh Engkohmu kedua."
Tak tahan Ting Hun-pin cekikikan geli, katanya, "Memang kau harus sedikit baik dan mengambil
hatinya, karena cepat atau lambat akhirnya dia toh Bakal menjadi Engkohmu juga."
Tiba-tiba berkerut alis Yap Kay mengawasi keadaan Ting Hun-pin, katanya, "Kenapa orangorang
keluarga Ting kalian suka rebah di tanah?"
"Kau sendiri pernah bilang, seorang pintar bila punya waktu merebahkan diri, dia takkan mau
duduk."
"Benar, masuk di akal," ujar Yap Kay, lalu dipandangnya Pho Ang-soat serta berpaling kepada
laki-laki yang membawa golok itu, mulut orang sudah terbungkam, namun darah masih merembes
keluar. Sebagai seorang kawakan Kangouw yang licik dan licin bagai rase, sudah tentu dia tahu
orang yang mampu memukul rontok ketiga giginya dengan kacang, tenth bukan orang
sembarangan.
Tapi kebetulan Yap Kay membelakangi dirinya, betapa pun lihainya seseorang, punggungnya
takkan tumbuh mata, kebetulan goloknya teracung tepat mengarah ke Yap Kay, kesempatan yang
sukar didapat ini, sayang sekali kalau disa-siakan. Mendadak dia ayun goloknya membacok
tengkuk Yap Kay.

Tak nyana punggung Yap Kay justru seperti tumbuh mata mendadak dia membalik badan,
jarinya dengan ringan menggaris di tangan laki-laki yang memegang golok. Tahu-tahu golok orang
sudah berpindah ketangannya. Dengan mengawasi golok di tangannya, Yap Kay tersenyum,
"Agaknya golok ini cukup baik juga mutunya."
Kaku dan menyengir jelek muka orang itu, dia paksakan hendak tersenyum, namun
senyumannya lebih jelek dari mewek tangisnya.
"Golok secepat ini bila membacok leher siapa pun, batok kepalanya pasti terpenggal jatuh, kau
percaya tidak?" dengan golok itu dia gerakgerakan di leher orang lalu menambahkan, "Jika kau
tidak percaya, boleh kau mencobanya."
Saking ketakutan, pucat-pias muka orang itu, katanya tergagap, "Tidak tidak usah dicoba."
"Jadi kau percaya?"
"Sudah tenth sudah tentu aku percaya, siapa tidak percaya dialah kura-kura."
Yap Kay tertawa terpingkal-pingkal.
Tiba-tiba orang itu bertanya, "Kulihat tuan naik kemari, adakah melihat teman-temanku?"
Yap Kay manggut-manggut, sahutnya, "Kulihat mereka sudah letih setengah mati, maka
kuanjurkan mereka merebahkan diri istirahat saja."
Kembali berubah air muka orang itu, katanya, "Sebetulnya aku... aku pun sudah amat letih
sekali."
"Kalau sudah letih kenapa tidak tidur saja."
Tanpa bercuit, orang itu segera menuju ke pojokan sana, lalu merebahkan diri lempang kaku.
Ting Hun-pin cekikikan geli, katanya, "Agaknya orang ini tahu diri"
"Zaman sekalut ini, memangnya tidak banyak orang bodoh"
Yap Kay menghela napas, "Aku tahu kau pun ingin berdiri dan jalan-jalan, kalau rebah terlalu
lama badan pun terasa amat penat."
"Oleh karena itu kau boleh menggunakan kesempatan ini untuk memijat dan meraba-raba
pahaku," goda Ting Hun-pin tertawa malu-malu.
Yap Kay menghela napas, ujarnya, "Aku heran kenapa waktu Jikomu menotok Hiat-tomu, tidak
sekalian menotok mulutmu supaya tidak cerewet?"
"Karena dia tahu aku hendak menggigitmu sampai mampus."
Pelan-pelan badan Pho Ang-soat sudah mulai menjulur tegak, namun napasnya masih
tersengal-sengal.
Mengawasinya, Yap Kay berkata rawan, "Laki-laki seperti dia kenapa dihinggapi penyakit seperti
ini."
Ting Hun-pin sudah berdiri, dia tengah membungkuk mengurut kakinya katanya, "Dia memang
orang yang harus dikasihani, tapi ada kalanya sikapnya membuat orang ketakutan." Lalu dia
bertanya, "Tahukah kau kenapa dia menggusurku ke tempat ini?"
Yap Kay geleng-geleng.
"Dia kira kaulah yang membunuh Cui long."
Bertaut alis Yap Kay, tanyanya melenggak, "Cui long sudah mati?"
"Kuburannya ada di luar, Pho Ang-soat sendiri yang menguburnya."
Lenyap senyuman yang menghiasi muka Yap Kay.
"Apa benar kau yang membunuhnya?" Ting Hun-pin menegas.

"Kau pun mengajukan pertanyaan seperti itu?"
"Sudah tentu aku tahu kau tidak akan melakukan perbuatan serendah itu, tapi kenapa pisaumu
berada di tangannya?"
"Pisauku?" Yap Kay bersuara heran. Belum Ting Hun-pin bersuara, tiba-tiba dilihatnya sinar
kemilau berkelebat. Tahu-tahu Yap Kay mengulurkan tangan, sinar kilat dari cahaya pisau sudah
berada di tangannya, sebilah pisau terbang yang tajam dan runcing. Waktu dia mengangkat
kepala, dia melihat Pho Ang-soat.
Waktu Pho Ang-soat berdiri, keadaannya mirip kabut yang mendadak menguap keluar dari
dalam bumi, sinar api sudah guram, kelihatan mu kanya lebih kurus, pucat dan terlalu letih. Tapi
dendam hatinya jauh lebih berkobar dari bara api yang menyala. Jarinya menggenggam kencang
sebatang pisau, setajam golok matanya menatap Yap Kay, katanya tandas, "Bukankah ini
pisaumu?"
Yap Kay tidak menjawab, tidak bisa menjawab, memang pisau itu mirip benar dengan pisau
miliknya, tapi pisau itu terang bukan miliknya. Tidak banyak orang yang bisa menggunakan pisau
ini, tapi bukan mustahil tiada orang yang tidak bisa menggunakan nya. Tapi sungguh dia tidak
habis pikir entah siapa yang mampu membuat pisaunya mirip kepunyaannya. Bahwasanya tiada
orang di dunia ini yang pernah melihat pisaunya itu.
Pho Ang-soat masih menatapnya, menunggu jawabannya. Terpaksa Yap Kay berkata dengan
tersenyum getir, "Membunuh siapa saja aku pakai pisau ini?"
"Kau bunuh cucu Kwe Wi, lalu membunuh Ong Toa-hong. Apa bukan?" tuduh Pho Ang-soat.
"Ong Toa-hong? Siapa pula Kwe Wi?"
"Kau suruh Ong Toa-hong membunuh orang, lalu kau membunuhnya pula untuk menutup
mulutnya."
"Jadi Cui long mati di tangan Ong Toa-hong?"
"Yang dipakai adalah pedang beracun, tapi cara kerjamu jauh lebih jahat dari pedangnya yang
beracun."
Yap Kay menghela napas, ujarnya tersenyum kecut, "Umpama sekarang aku menyangkal
tuduhanmu, kau pun takkan mau percaya."
"Pasti tak percaya."
"Tapi tidak pernah terpikir olehmu, kenapa aku harus membunuh Cui long?"
"Yang ingin kau bunuh bukan Cui long, tapi aku."
"Kau? Kenapa aku hendak membunuh kau?"
Belum Pho Ang-soat bicara, laki-laki yang rebah di tanah itu mendadak mencelat bangun,
teriaknya, "Karena kau sudah dibeli oleh Ban be tong, secara kebetulan aku mencuri dengar
pembicaraan nya."
Tiba-tiba Pho Ang-soat membalik, menatap orang itu, bentaknya bengis, "Kau siapa?"
"Aku she Pek bernama Kian, teman-teman Kangouw menjuluki aku Pek bin long kun?"
"Kau pernah melihat Be Khong-cun?"
"Setiap hari aku melihatnya."
"Dimana dia sekarang?"
"Bunuh dia dulu, sembarang waktu aku bisa membawamu ke sana"
Membara pula muka Pho Ang-soat karena menahan emosi. Penguberan lama dan melelahkan
selama beberapa hari tanpa hasil kini tanpa sengaja memperoleh kabar jejaknya. Kini terbetik
setitik harapan menuntut balas akan dendam membara yang selalu mengganjal dalam

sanubarinya. Terkepal kedua jari-jari tangan Pho Ang-soat, tak tertahan air mata berlinang di
kelopak matanya.
Kata Pek Kian, "Aku kemari, maksudku hendak mengajakmu menemui Be Khong-cun, tapi
dia...."
"Dia memang sudah harus mampus," tukas Pho Ang-soat kasar.
Pek Kian sudah menghela napas lega, sorot mata dan mulutnya sudah menyungging
senyuman. Tapi sekonyong-konyong sinar kemilau tiba-tiba berkelebat di depan matanya, selarik
angin dingin menyerempet telinganya. Lalu disusul suara "Trap!", kembang api berpijar, sebatang
pisau terbang menancap di dinding gua di belakangnnya, pisau tipis dan sekecil itu, amblas
seluruhnya.
Kontan Pek Kian merasakan kedua lututnya tiba-tiba menjadi lemas, berdiri pun tak kuat lagi.
Jelas dia melihat pisau itu semula berada di tangan Yap Kay, cara bagaimana Yap Kay turun
tangan, sedikit pun dia tidak melihatnya. Demikian pula Pho Ang-soat tidak tahu kapan pisau itu
melesat terbang, seketika mukanya pun berubah.
Terdengar Yap Kay berkata tawar, "Jika benar aku sudah dibeli oleh Ban be tong, orang ini
sekarang sudah menjadi mayat."
Sejenak Pho Ang-soat ragu-ragu, tiba-tiba tertawa dingin, katanya, "Sudah tentu di hadapanku
kau tidak akan membunuhnya untuk menyumbat mulutnya."
"Kau percaya obrolannya?"
"Hanya percaya pada kejadian yang kusaksikan sendiri. Aku dengan mata kepalaku sendiri aku
melihat Cui long roboh di hadapanku."
"Jadi kau benar-benar bertekad hendak membunuhku untuk membalas sakit hatinya?"
Pho Ang-soat tidak banyak kata lagi. Tahu-tahu goloknya sudah bergerak. Lebih cepat dari
sambaran kilat, lebih menakutkan dari kilat. Tiada orang yang bisa melukiskan, karena begitu
golok ini bergerak seolah-olah dia dilandasi kekuatan dahsyat yang datang dari neraka. Selamanya
belum pernah ada orang yang mampu lobos dari sambaran golok ini.
Tapi Yap Kay tahu-tahu menghilang. Begitu golok Pho Ang-soat bergerak, bayangannya tibatiba
berkelebat pula mencelat mundur tiga tombak, seperti cecak menempel di dinding. Di saat
golok tajam belum meninggalkan sarungnya, badannya sudah mencelat dan berjumpalitan ke
belakang.
Gerakan mencabut golok Pho Ang-soat sudah dilatihnya berlaksa kali, gerakan yang paling
sempurna, bila goloknya sampai meninggalkan sarungnya, takkan ada orang yang mampu
meloloskan diri dari serangan golok ini. Badan Yap Kay justru seperti diantar hembusan angin.
Agaknya dia sudah mempersiapkan diri untuk menghindarkan tabasan golok ini.
Hanya Pho Ang-soat saja yang tahu betapa indah dan cepat gerakan jumpalitan berkelit dari
tabasan goloknya. Telapak tangan yang menggenggam gagang golok sudah berkeringat.
Mengawasinya, tiba-tiba Yap Kay bersuara, "Cara ini kurang adil."
"Kenapa tidak adil?"
"Kau membunuhku, aku mati penasaran, tapi jika sebaliknya aku yang membunuhmu?"
Ting Hun-pin segera menyeletuk, "Jika kau mati, siapa lagi yang mewakili kau mencari Be
Khong-cun? Memangnya kau sudah melupakan dendam kesumatmu?"
Mana Pho Ang-soat bisa melupakannya! Hidupnya memangnya untuk memikul beban dendam
kesumat ini, umpama dia ingin melupakan, juga takkan bisa melupakan.
Dengan menenteng goloknya yang sudah keluar dari sarungnya, Pho Ang-soat menjublek, dia
tidak tahu apakah harus melanjutkan serangan goloknya yang kemilau bening seperti selalu
ketagihan darah itu.

Pek Kian mengertak gigi dengan bersitegang leher, sorot matanya diliputi warna darah saking
menahan gejolak hati. Dia sudah melihat keraguan Pho Ang-soat, dia pikir bila Yap Kay tidak
mampus, maka dirinya yang ajal. Biasanya dia licik dan culas, tapi di bawah tekanan ancaman
kematian, otaknya menjadi bebal seperti babi gobloknya. Mendadak dia berseru,
"Kenapa tak lekas kau turun tangan? Waktu kau rebah di atas tanah tadi, bila aku tidak
menolongmu, dia sudah membunuhmu, memangnya kau masih hendak memberi kesempatan pula
kepadanya?" Pikirnya hasutannya amat manjur, kalau dia sendiri dalam keadaan seperti Pho Angsoat,
sekarang mungkin sudah kalap dan beringas, takkan memberi kesempatan kepada musuh.
Tapi dia salah besar. Dia lupa dan mungkin tidak tahu bahwa Pho Ang-soat bukan laki-laki seperti
yang dia ukur dengan bajunya.
Tiba-tiba Pho Ang-soat menghadapnya pula, setajam golok matanya menatap lekat-lekat,
tanyanya sepatah demi sepatah, "Tadi kau yang menolongku?"
Sekuat tenaga Pek Kian manggut-manggut.
"Kenapa kau menolongku?"
"Karena aku hendak mengajakmu membunuh Be Khong-cun, sehari Be Khong-cun tidak
mampus, sehari hidupku takkan tenteram." Penjelasan ini cukup adil dan masuk akal, dia merasa
puas dan bangga.
Tak nyana Pho Ang-soat tiba-tiba tertawa dingin, "Masih ada sebuah hal yang belum
kumengerti."
"Hal apa?"
"Kalau dia benar-benar hendak membunuh aku, memangnya kau mampu menolong aku?"
Seketika Pek Kian melongo. Akhirnya dia mengerti, meski pemuda ini cacad, mengidap penyakit
yang bisa kumat sembarang waktu, terang bukan pemuda hijau dan bodoh seperti yang dia kira
semula. Baru sekarang dia benar-benar sadar, barusan dia melakukan tindakan yang paling
goblok.
Dengan dingin Pho Ang-soat mengawasinya, mengawasi keringat bercucuran membasahi
badannya, rona matanya seperti mengawasi anjing liar yang diusir dari tumpukan sampah. Seperti
muak mengawasi orang, kepala Pho Ang-soat tertunduk, katanya dingin, "Seharusnya kubunuh
kau."
Mengawasi goloknya, sekujur badan Pek Kian gemetar. "Tapi orang serendah dirimu
bahwasanya tidak setimpal aku yang turun tangan."
Kaki Pek Kian jadi lemas, badannya roboh menindih dinding, siapa pun yang berhasil
merangkak keluar dari jurang kematian, takkan luput seperti keadaannya sekarang.
"Aku tidak membunuhmu," ujar Pho Ang-soat lebih lanjut, "maka jangan kau memaksaku."
"Aku aku mengerti."
"Apa benar Be Khong-cun masih hidup?"
"Takkan salah."
"Kau membawaku ke sana? Atau ingin mati di sini? Boleh kau pilih satu di antara dua jalan ini,"
dia tidak menambahkan peringatannya, tak meliriknya lagi. Karena orang toh tiada kesempatan
untuk memilih lagi.
Mengawasi orang, Yap Kay tertawa riang, katanya, "Agaknya sudah banyak kemajuanmu."
Pho Ang-soat masih mengawasi goloknya sendiri. Sejak kematian Cui long, baru sekarang
mendadak dia merasa keyakinan yang teguh pada sanubarinya. Diangkatnya kepala mengawasi
Yap Kay, katanya, "Hari ini aku boleh melepas kau pergi, tapi perhitungan kita tetap akan
kubereskan."

"Aku mengerti."
"Kapan? Di tempat mana? Boleh kau tentukan sendiri."
"Waktu dan tempatnya tidak perlu ditentukan lagi."
"Kenapa?"
"Aku sedang menganggur, sekarang aku boleh ikut kau."
"Asal aku melihat Be Khong-cun, takkan ada orang yang mampu menolongnya."
"Bukan aku ingin menolongnya, tapi aku ingin melihat keramaian"
"Melihat aku membunuh Be Khong-cun, baru menunggu aku membunuhmu?"
"Umpama kau merubah niatmu tidak akan membunuhku, aku pun tidak akan menantangmu."
"Kau boleh menonton atau menunggu, peduli dia yang membunuhku atau aku yang
membunuhnya, lebih baik kalau kau tidak turut campur."
"Baik, aku berjanji."
"Di tengah jalan, lebih baik kalian jauh di belakang jangan sampai aku melihat kalian." Dia tidak
akan senang melihat muda-mudi lain berpasang-pasangan, dia lebih suka sebatang kara.
Yap Kay cukup merasakan pukulan batinnya, katanya tertawa, "Sebetulnya kau tidak perlu
minta orang ini menunjukkan jalan."
"Kenapa?"
"Karena aku sudah ingat akan asal-usulnya."
"Oh, dia orang mana?"
"Dia orang Liong hou ce. Be Khong-cun selama ini tentu menyembunyikan diri di Liong hou ce."
Pucat menghijau muka Pek Kian, secara tidak langsung dia sudah mengakui bahwa Be Khongcun
memang berada di Liong hou ce. Hidupnya sudah tidak berharga lagi bagi orang lain. Dia kira
Yap Kay takkan mengampuni jiwanya. Sayang dia salah sekali lagi. Dia lupa bahwa Yap Kay
merupakan manusia jenis lainnya lagi, bukan laki-laki seperti dirinya.
Tiba-tiba Ting Hu-pin cekikikan mengawasi dirinya, katanya, "Tak usah kuatir, walau mereka
tidak perlu kau menunjukkan jalan, jiwamu takkan dibunuh, karena mereka bukan manusia jahat
yang berhati kejam."
Pek Kian menyeka keringat, katanya tersendat, "Aku...aku tahu
mereka adalah orang baik-baik."
"Mereka memang orang baik, tapi aku bukan."
Seketika pucat pula muka Pek Kian, serunya, "Kau...."
"Aku hanya seorang perempuan, perempuan biasanya berpikiran sempit, oleh karena itu selalu
kau harus ingat, siapa pun boleh kau permainkan, namun jangan kau main-main dengan
perempuan."
Bercucuran pula keringat Pek Kian, katanya meratap, "Selanjutnya aku pasti pasti ingat."
"Benarkah selama hidupmu tidak akan melupakannya?"
"Benar, aku bersumpah."
"Sayang aku tidak percaya omonganmu."
"Kau... dengan cara apa baru kau mau percaya?"
"Hanya ada satu cara."

Mengawasi rona mukanya, tiba-tiba Pek Kian sadar cara apa yang dia maksud, mendadak
dengan sisa tenaganya dia menerjang keluar. Kali ini dia tidak salah. Walau dia tidak mengerti apa
itu yang dinamakan Enghiong dan Kuncu, tapi cukup mengerti akan watak perempuan. Waktu dia
melangkah keluar gua, tiba-tiba didengarnya suara kelintingan yang nyaring merdu mengejar di
belakang. Dan suara itulah yang didengarnya terakhir kali.
Malam semakin larut. Cuaca yang tambah pekat menandakan hari menjelang terang tanah.
Pho Ang-soat mengawasi Pek Kian tersungkur roboh di kegelapan, dia berpaling kepada Yap
Kay, katanya dingin, "Tidak seharusnya kau biarkan dia mati."
"Tapi dia pun tidak pantas berbuat dosa terhadap perempuan."
"Jika Be Khong-cun tidak berada di Liong hou ce?"
"Dia pasti di sana."
Sayang kali ini Yap Kay salah. Be Khong-cun tidak berada di Liong hou ce, di sana sudah
kosong tiada seorang pun yang ketinggalan hidup.
Darah yang berceceran sudah membeku, mayat-mayat yang bergelimpangan pun sudah kaku
dingin. Yap Kay bukan laki-laki yang tidak pernah melihat darah dan mayat, namun sekarang dia
hampir muntah-muntah. Bukan saja di sini dia tidak menemukan seorang hidup, malah tiada
sesosok mayat pun yang utuh jasadnya.
Pho Ang-soat sebaliknya menggenggam kencang goloknya, sekuat tenaga dia menahan diri, toh
tidak tertahan muntah-muntah juga, dia tidak tega melihat pemandangan yang begini mengerikan.
Apakah begini juga keadaan sembilan belas tahun yang lalu di luar Bwe hoa am dulu? Belum
pernah dia begitu membenci Be Khong-cun seperti sekarang. Karena dia sekarang menyaksikan
sendiri betapa kejam dan culas manusia bernama Be Khong-cun itu.
Entah berapa lama kemudian baru Yap Kay menarik napas panjang, katanya, "Tentu dia sudah
tahu bila Pek Kian mencari dan mengundangmu kemari, maka dia turun tangan sekeji ini."
Pho Ang-soat tidak memberi komentar, asal dia buka suara, rasanya hendak muntah-muntah.
Yap Kay berjongkok dengan dua jarinya dia menjumput tanah yang berlepotan darah, tanah itu
masih basah, sinar surya tidak menyorot sampai di sini, darah memang sudah membeku, tapi
belum kering seluruhnya. Maka Yap Kay berani berkepastian, "Agak belum lama dia pergi."
Ting Hun-pin melengos, katanya dengan menutup muka, "Tapi siapa yang tahu ke jurusan
mana dia melarikan diri?"
"Tiada yang tahu," sahut Yap Kay. Matanya menatap ke tempat jauh, sorot matanya dijalari
amarah, lama sekali dia baru menyambung, "Aku hanya tahu, orang seperti dia kemana dia pergi,
takkan pergi jauh."
"Kenapa?"
"Karena jalan mana pun akhirnya akan habis dia lalui."
BAB 42 JALAN BUNTU PISAU PAMUNGKAS
Umpama seseorang sudah habis melalui jalan yang harus ditempuhnya, umpama sudah tiada
jalan yang bisa dia lalui, dia pun takkan mau berhenti. Karena dia masih punya semacam jalan
lain. Jalan buntu.

Tiada orang yang suka rela menempuh jalan buntu, tapi jika kau benar-benar tidak mau,
takkan ada orang yang memaksamu untuk menuju ke jalan buntu hanya dirimu sendiri.
Jalan pegunungan amat sempit dan tidak rata, terjal dan berbatu, ada batu runcing setajam
tatah, seperti bor. Tapi di depan masih ada jalan. Sebidang hutan yang rimbun menutupi cahaya
matahari yang semakin terik menyengat kulit.
Ban be tongcu menanggalkan topi rumputnya yang lebar, duduk di tanah, bersandar di pohon
mengatur napas. Ingin dia menggunakan topi rumputnya mengipas diri supaya terasa segar, tapi
terasa lengannya amat linu beku, diangkat pun rasanya amat berat. Dulu dia tidak pernah
merasakan hal seperti ini.
Dulu berapa banyak manusia yang dia jagal, tak pernah merasa lelah, ada kalanya semakin
banyak dia membunuh orang, semangatnya malah berkobar, dulu pernah dia merasa dirinya
manusia luar biasa, makhluk aneh setengah malaikat setengah binatang. Selamanya dia
beranggapan tenaga dan kekuatannya takkan pernah habis digunakan. Sekarang baru dia
mengerti bahwa dirinya tidak lebih hanya manusia biasa, seorang tua yang sekujur badannya
terasa sakit dan linu. hatinya diliputi kegelisahan.
"Kenapa aku seperti juga orang lain, bisa berubah jadi tua dan lemah?" Tua memang suatu hal
yang sering membuat orang sedih, namun hanya amarah, penasaran dan dendam yang
bersemayam dalam sanubarinya. Terhadap setiap persoalan dia selalu dihayati dendam.
Dianggapnya dunia sudah berlaku tidak adil kepada dirinya. Sejak muda dia berjuang seumur
hidup, darah dan keringat yang dia cucurkan puluhan lipat lebih banyak dari orang lain. Tapi
sekarang dirinya bagai binatang yang diburu pemburu, lari sana sembunyi sini, melarikan diri dari
pertanggung jawaban ....
Dia pernah memiliki bumi yang paling besar di dunia ini, namun sekarang tempat untuk
berteduh pun tiada lagi. Dia pernah memiliki rombongan kuda yang paling tinggi mutunya di dunia
ini, sekarang dia harus lari menggunakan kedua kakinya sendiri, sampai telapak kakinya tertusuk
berdarah oleh batu runcing. Sudah tentu dia marah penasaran dan dendam. Karena tidak terpikir
dalam benaknya, siapa yang membuat akibat ini. Atau mungkin dia memang tidak berani
memikirkannya.
Sim Sam-nio duduk di hadapannya, duduk di atas sebuah buntalan yang amat besar, napasnya
pun tersengal-sengal, biasanya perempuan ini paling pintar berdandan dan memelihara tubuh, tapi
sekarang badannya penuh berlepotan darah, debu, lumpur, sepatu yang dipakainya pun sudah
tipis hendak robek berlubang, malah telapak kakinya pun sudah berdarah.
Badannya sudah lunglai, karena barusan dia muntah-muntah, dari atas sanggulnya tadi dia
menurunkan sekeping dagu manusia. Bila angin berhembus, badannya lantas merasa kedinginan,
tapi lantaran dibayangi ketakutan.
Baju di depan dadanya sudah terbelah, hanya serambut saja golok Tok gan liong hampir
membuat dadanya terbelah. Namun dalam hatinya tidak merasa dendam. Karena semua ini dia
sendiri yang mencarinya, tidak bisa menyalahkan orang lain.
Dia tahu Ban be tongcu sedang mengawasi dirinya, biasanya bila orang memandangnya, segera
dia menyunjuk senyuman manis dan genit, tapi sekarang dia tetap tunduk, mengawasi dadanya
yang memutih karena bajunya sudah koyak.
Tiba-tiba Ban be tongcu menghela napas, katanya, "Dalam buntalan masih ada pakaian,
kenapa tidak kau ganti yang lain?"
"Baik, biar aku ganti." Namun jangan toh ganti, bergerak pun tidak. Biasanya apa pun yang
dianjurkan Ban be tongcu selalu dituruti. Ban be tongcu menatapnya lekat-lekat, lama sekali baru
bertanya kalem, "Apa yang sedang kau pikirkan?"
"Apa pun tidak kupikirkan," sahut Sim Sam-nio.
"Tapi kulihat kau sedang banyak pikiran."

"Umpama aku sedang memikirkan apa-apa, rasanya tak perlu kuberitahukan kepadamu "
Kulit daging ujung mulut Ban be tongcu tiba-tiba terasa kaku, seolah-olah mulutnya digampar
orang. Mungkin perempuan ini pernah menipunya, menjual dirinya, tapi belum pernah sebandel
dan seberani ini membantah kepadanya, dan ini untuk pertama kalinya.
Cuma sekarang dia sudah tua, sudah cukup pintar untuk memandang perempuan sebagai
kuda, sudah tentu dia takkan berbuat seperti anak-anak muda pada umumnya, memburu maju
terus menjambak rambutnya dan menghajar sepuas hati, kenapa kau berubah? Dia hanya tertawa
saja, katanya, "Kau sudah letih, pergilah cuci muka, mungkin semangatmu akan lebih baik."
Di luar hutan terdengar gemercik suara air mengalir, tak jauh dari tempat mereka duduk bisa
ditemukan sebuah sumber air yang mengalir.
Tapi dia tidak bergerak, sekilas Ban be tongcu memandangnya, pelan-pelan dia pejamkan
mata, dia enggan mempedulikan orang lagi. Tak disangka Sim Sam-nio malah bersuara, "Tadi kau
tanya apa yang sedang kupikirkan, sebetulnya tidak ingin kuutarakan, tapi sekarang sudah tiba
saatnya aku harus mengemukakan isi hatiku."
"Baik, katakan."
"Tidak pantas kau bunuh mereka."
"Tidak pantas membunuh mereka?"
"Ya, tiada hak kau bunuh mereka."
Ban be tongcu masih memejamkan mata, namun kelopak matanya bergerak-gerak, lama
kemudian baru dia berkata pelan-pelan, "Kubunuh mereka karena menjual diriku, siapa yang
menjual diriku, harus mampus."
Bibir Sim Sam-nio hampir berdarah tergigit kencang, agaknya dia mengendalikan diri, tapi tak
urung dia berkata pula, "Apakah orang-orang itu semuanya menjual dirimu. Apakah anak-anak
dan perempuan itu mendurhakai kau? Kenapa kau bunuh mereka seluruhnya?"
"Karena aku harus hidup."
Tiba-tiba Sim Sam-nio tertawa dingin, katanya, "Kau hendak hidup memangnya orang lain tidak
ingin hidup? Kalau kita ingin pergi, tiada seorang pun di antara mereka yang kuasa menahanmu,
kenapa kau harus turun tangan sejahat itu?"
Tiba-tiba terkepal kencang jari-jari Ban be tongcu, otot merongkol di punggung tangannya,
sesaat kemudian baru pelan-pelan mengendor dan dilepaskan pelan-pelan pula, lalu berdiri dan
beranjak keluar hutan.
Air sumber dingin dan bening, Ban be tongcu berjongkok menggayung air dengan kedua
telapak tangannya, begitu air mengalir dari celah-celah tangannya, perasaannya semakin tenang.
Hanya dia sendiri yang tahu bilamana dia murka, ada kalanya dia pun tak kuasa mengendalikan
emosinya. Punggungnya masih tegap, pinggangnya lencir, dilihat dari belakang, siapa pun takkan
menyangka dia adalah seorang yang sudah tua. Sim Sam-nio sendiri mengakui, Ban be tongcu
memang seorang laki-laki yang lain dari yang lain.
Semula demi menuntut balas dia rela menyerahkan diri memberikan kesuciannya, tapi setelah
orang menggauli dirinya, tiba-tiba dia merasakan kepuasan hingga dia merasa senang. Rasa
kepuasan semacam itu belum pernah dia nikmati dari laki-laki mana pun. "Apakah lantaran
kepuasan itu, maka aku rela mengikuti jejaknya?" tiba-tiba hatinya bertanya-tanya.
Ban be tongcu merasakan orang berada di belakangnya, namun dia tidak berpaling. Setelah
melewati sungai kecil ini, jalan pegunungan akan berakhir, dari tempat ketinggian di depan sana.
Memandang ke tempat jauh, berkata Ban be tongcu, "Setiba di bawah gunung, kita bisa mencari
rumah petani untuk menginap semalam...."
Tiba-tiba Sim Sam-nio menukas, "Selanjutnya bagaimana?"

Ban be tongcu menepekur, lama kemudian baru bersuara, "Kau tanya aku hendak berbuat apa?
Atau kita yang kau maksud?"
"Kutanya kau. Bukan kita."
Kaku badan Ban be tongcu.
Sim Sam-nio tidak mengawasinya, tiba-tiba tertawa dingin, katanya, "Apakah kau pun hendak
membunuh keluarga petani itu untuk menutup mulutnya?"
Tiba-tiba Ban be tongcu membalik badan, sambil menatapnya berkata, "Seorang waktu
melarikan diri, ada kalanya melakukan perbuatan memuakkan, tapi aku tak menyuruh kau ikut
aku, selamanya tidak pernah "
"Aku sendiri yang ingin ikut kau, kemana pun kau pergi, aku akan mengikutimu, kau hidup, aku
ikut hidup, kau mati aku pun mati." Suaranya sudah tersendat dan air mata berlinang, katanya
sesenggukan, "Sebetulnya aku sudah berkeputusan menyerahkan jiwa ragaku kepadamu, karena
aku... aku merasa bersalah terhadap kau, peduli apa pun yang pernah kau lakukan dulu, kau tetap
adalah laki-laki sejati, tapi sekarang... sekarang...."
"Sekarang bagaimana?"
Sim Sam-nio menyeka air mata, sahutnya, "Sekarang kau sudah berubah." Sampai di sini
serasa hulu hatinya ditusuk sembilu, karena dia sendiri pun tahu, bukan saja Ban be tongcu yang
berubah, dirinya pun berubah.
Lama Ban be tongcu mengawasinya dengan teliti, akhirnya dia manggut-manggut, ujarnya,
"Baik, kau sendiri yang mau ikut padaku, kalau sekarang kau hendak pergi, sudah tentu aku tidak
akan memaksamu."
"Aku sudah memikirkan dengan seksama, aku akan pergi dengan membawa kebaikan bagi
dirimu."
"Terima kasih akan perhatianmu, aku tahu akan maksud baikmu," suaranya datar dan tawar.
"Selanjutnya kau hendak pergi kemana? Bagaimana pula rencanamu?"
"Sekarang belum ada rencana, mungkin... mungkin aku akan berusaha mengumpulkan sedikit
uang, berdagang dulu kecil-kecilan atau mungkin aku kembali ke kampung untuk bercocok tanam
di sawah."
"Kau bisa hidup dengan cara itu?"
"Dulu sudah tentu aku tidak bisa, tapi sekarang aku hanya ingin hidup tenang dan tenteram,
umpama ajal juga tidak menjadi soal."
"Kalau tidak sampai mati?"
"Kalau tidak mati, aku akan jadi Nikoh saja."
Ban be tongcu tertawa, katanya, "Tak usah kau utarakan maksudmu ini, aku tahu kau
perempuan yang tak mungkin sudi jadi biarawati, yang benar usiamu masih muda, kau harus
mencari laki-laki yang masih muda, laki-laki yang romantis dan tahu kasih sayang terhadap bini,
aku sendiri memang terlalu tua bagi jodohmu." Mulutnya tersenyum, namun sorot matanya
memancarkan rasa cemburu dan marah.
Sim Sam-nio tidak melihatnya, katanya menghela napas, "Aku takkan mencari laki-laki lain,
aku...."
"Mungkin kau tidak akan mencari laki-laki, tapi bukan mustahil ada laki-laki yang mencarimu."
"Mungkin... apa yang akan terjadi besok pagi memang tiada manusia yang bisa menduganya."
"Sebetulnya aku cukup kenal watakmu, perempuan seperti kau asal tiga hari tidak ditemani
laki-laki, kau takkan bisa hidup tenteram."

Sim Sam-nio tersentak, mengangkat kepala, dengan kaget dia pandang Ban be tongcu.
Sungguh tidak pernah terpikir olehnya orang bakal mengeluarkan kata-kata sekasar dan sekotor
ini, ucapan yang begini menakutkan.
Biji mata Ban be tongcu pun sudah merah karena marah. Sebetulnya dia berusaha
mengendalikan diri, menjadi laki-laki yang bersikap jantan, namun terbayang adegan ranjang yang
merangsang itu, terbayang bahwa kelak dia bakal tidur seranjang dengan laki-laki lain, teringat
laki-laki muda yang bakal merayapi badannya seperti anjing kelaparan itu... tiba-tiba hatinya
seperti digerogoti oleh ular beracun, tiba-tiba katanya dingin, "Oleh karena itu aku usulkan lebih
baik kau jadi pelacur saja, paling tidak setiap hari kau bisa berganti seorang laki-laki."
Bercucuran keringat dingin Sim Sam-nio, rasa sesal dan bertobat dalam sanubarinya tadi
seketika berubah menjadi amarah yang meluap, mendadak dia berkata keras, "Usulmu ini
memang baik, mungkin akan kulaksanakan, cuma sehari ganti satu laki-laki terlalu sedikit, tidak
cukup memuaskan, lebih baik kalau sehari bisa ganti tujuh-delapan laki-laki. Belum habis dia
bicara, tiba-tiba Ban be tongcu melayangkan telapak tangannya menggampar pipinya, sekali
renggut dia jambak rambutnya pula, bentaknya beringas, "Sekali kau katakan lagi, kubunuh kau."
Sim Sam-nio mengertak gigi, katanya menyeringai dingin, "Lebih baik kau bunuh aku, memang
sudah lama kau harus membunuhku, supaya aku tidak menemani kau tidur lagi, hatiku sudah
muak." Tahu dirinya takkan bisa melukai orang, kecuali dengan sindiran tajam ini.
Kepalan Ban be tongcu sudah terangkat. Sorot mata Sim Sam-nio sudah membayangkan
ketakutan, dia tahu kepalan orang yang menakutkan, sekali kepalan ini menggenjot, muka orang
bisa dipukulnya hancur. Tapi dia tidak meratap dan minta ampun. Matanya masih terbelalak
melotot tajam.
Ban be tongcu balas mendelik, sekian lama mereka saling pelotot, akhirnya Ban be tongcu
menghela napas, kepalan yang terangkat diturunkan, lalu diulapkan tangannya, katanya,
"Pergilah, lekas pergi, lebih baik selamanya kau tidak muncul di hadapanku, lebih baik...."
Suaranya tiba-tiba terputus. Tiba-tiba dia melihat selarik sinar pisau berkelebat melesat dari
belakang Sim Sam-nio.
Tampak raut muka Sim Sam-nio tiba-tiba berkerut-kerut menahan sakit. Biji matanya yang
indah dan elok melotot membundar hampir melotot keluar, sorot matanya mengandung rasa
heran, tak mengerti, ketakutan dan menderita, tangannya terulur hendak minta bantuan Ban be
tongcu untuk memapak, tapi Ban be tongcu malah mundur setapak. Tenggorokannya berbunyi
"krak", seperti hendak bicara, namun belum sempat suaranya terdengar badannya sudah
tersungkur roboh.
Sebatang pisau tampak menancap di punggungnya, menembus tulang punggungnya. Itulah
sebilah pisau kecil.
Melihat pisau ini semula Ban be tongcu merasa gusar dan heran, tapi mendadak mimiknya
berubah ketakutan. Sebetulnya dia ingin maju memapaknya, namun mendadak dia menyurut
mundur malah keringat dingin sudah bercucuran dari kepalanya.
Pisau terbang ini melesat dari dalam hutan, namun hutan yang gelap gulita di sana tak
kelihatan bayangan seorang pun. Ban be tongcu terus menyurut mundur, paras mukanya sudah
berubah saking ketakutan, mendadak dia putar badan, sekali lompat dia melewati sungai kecil,
tanpa berpaling terus lari lintang-pukang.
Sim Sam-nio mendekam di tanah, dia meronta-ronta, mulutnya mengeluh dan merintih. Tapi
laki-laki yang diandalkannya tak menolongnya malah lari sipat-kuping. Mendengar langkah orang
menuju bawah bukit, hatinya menjadi dingin dan mendelu.
Mimpi pun tak pernah dia duga, laki-laki yang begitu kejam, telengas, kadang kala beringas dan
buas, kini baru menunjukkan belangnya, jiwanya ternyata begitu kerdil dan rendah serta hina,
malah melarikan diri. Baru sekarang benar-benar dia menyadari hidupnya selama ini ternyata siaTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
sia belaka, segala pengorbanannya pun nihil, karena dia sudah memasrahkan jiwa raga dan
kehidupannya kepada seorang laki-laki pengecut.
Waktu darah merembes dari ujung mulutnya, air matanya tak tertahan bercucuran. Pada saat
itu juga dia mendengar langkah kaki seseorang mendatangi diiringi helaan napas.
"Tak nyana memang Ban be tongcu laki-laki demikian umpama dia tidak bisa menuntut balas
bagimu, paling tidak harus merawat luka-lukamu, tapi larinya malah lebih cepat dari anjing." Dari
suaranya, sepertinya laki-laki yang masih muda, laki-laki asing. Orang inikah yang membokong
dirinya dari belakang?
"Walaupun kau mati di tanganku, tapi kau patut membencinya, karena dia lebih berdosa
daripadaku terhadapmu."
Kiranya benar, memang orang ini yang menurunkan tangan keji. Sim Sam-nio mengertak gigi,
dia meronta hendak membalik badan melihat orang di belakangnya, sedikitnya dia harus melihat
siapa sebenarnya yang membunuhnya? Tapi kaki orang itu sudah menginjak punggungnya,
katanya tertawa dingin, "Jika kau ingin melihat aku, tak usahlah, yang terang kau toh tidak kenal
siapa aku, hakikatnya kau belum pernah melihatku."
Dengan mengerahkan setaker tenaga, Sim Sam-nio bersuara serak "Lalu kenapa kau
membunuh aku?"
"Karena kurasa hidupmu di dunia ini sudah tiada artinya lagi," sahut orang. "Lebih baik kau
mati saja."
Sim Sam-nio mengertak gigi, menahan sakit, mau tidak mau harus mengakui kebenaran
ucapan orang, memang tadi pernah timbul keinginan begitu dalam benaknya.
"Jika aku jadi perempuan, jika ikut laki-laki seperti Be Khong-cun, aku takkan mau hidup lagi,
cuma... mati, mempunyai rasa yang berbeda-beda."
"Sekarang kau belum ajal, tiada halangan kuberitahukan kepadamu, ada kalanya mati malah
lebih nyaman daripada hidup, tapi mati harus cepat, kalau pelan-pelan, deritanya sungguh tak
tertahankan"
Sim Sam-nio meronta, katanya gemetar dengan napas memburu, "Kau... masa kau masih ingin
menyiksaku?"
"Tergantung kau sendiri, asal kau mau mendengar omonganku, aku boleh memberi kematian
yang nyaman kepadamu."
"Apa keinginanmu?"
Terjulur tangan orang itu menjinjing buntalan besar itu, katanya, "Buntalanmu ini tidak kecil,
tapi harta milik Ban be tong bukan hanya ini saja, sebelum kalian lari, dimana kalian menyimpan
harta bendanya?"
"Aku tidak tahu, benar-benar tidak tahu."
"Sekali lagi kau mengatakan tidak tahu, kubelejeti pakaianmu, biar kurasakan dulu kenikmatan
badanmu, baru kuputus urat nadi kakimu, lalu kubawa ke kota dan dijual ke sarang pelacuran."
Dia tersenyum senang, lalu meneruskan, "Ada laki-laki yang tidak suka pilih-pilih, perempuan
cacad pun bolehlah."
Dingin sekujur badan Sim Sam-nio, cara bicara orang ini halus dan sopan, tentunya seorang
pemuda terpelajar yang tahu aturan dan kesopanan. Tapi apa yang dia katakan dan dia lakukan,
sungguh lebih kejam dan buas dari binatang liar.
Terdengar orang itu berkata pula, "Sekarang kutanya sepatah kata lagi, kau tahu tidak?"
"Aku... aku...."

Sekoyong-koyong dari hutan sebelah sana terdengar berkumandang suara kelintingan
berdering. Suara seorang gadis yang merdu berkata, "Aku tahu dia pasti lari lewat jalan ini, aku
punya firasat."
Seorang laki-laki terdengar tertawa.
Gadis itu berkata lebih keras, "Apa yang kau tertawakan? Ketahuilah, jangan kau pandang
ringan firasat perempuan, ada kalanya jauh lebih manjur dari ramalan Cukat Liang si ahli
perbintangan dan nujum itu. "
Sim Sam-nio belum pernah mendengar suara gadis ini, tapi suara tawa laki-laki itu sudah amat
dikenalnya. Tiba-tiba ia teringat siapa gerangan orang ini, jantungnya seketika berdetak keras.
Disusul tiba-tiba dia menyadari, orang yang menginjakkan kaki di punggungnya entah kapan tahutahu
sudah menghilang tanpa bekas.
Waktu Yap Kay keluar dari dalam hutan, pandangan pertama yang dilihatnya adalah
perempuan yang rebah tengkurap di pinggir sungai.
Sudah tentu dia pun melihat pisau yang menancap di punggung orang itu. Sang korban masih
hidup, napasnya tersengal-sengal. Lekas dia memburu maju terus memapahnya duduk, mendadak
dia berteriak kaget, "Sim Sam-nio!"
Sim Sam-nio tertawa, tawa yang pilu dan rawan Sebetulnya dia tak ingin dalam keadaan seperti
ini berjumpa Yap Kay, tapi setelah berhadapan, hatinya terasa sedap dan hangat. Mulutnya
merintih, tiba-tiba dia bersenandung lirih, "Langit bergoncang, bumi bergoyang. Manusia secantik
dan semulus batu giok, berbadan harum bagai kembang. Sim Sam-nio dari Ban be tong...."
katanya memilukan, tanyanya lirih, "Masih kau ingat akan nyanyian ini?
Sudah barang tentu Yap Kay masih ingat. Itulah syair lagu yang dia nyanyikan di tengah
padang rumput pada malam hari waktu dia bertemu dengan Sim Sam-nio. Tak nyana Sim Sam-nio
masih mengingatnya sampai sekarang.
"Tentu kau tidak mengira aku masih mengingatnya, malam itu.”
"Aku hanya ingat orang yang menemani aku minum malam itu bukan kau," tukas Yap Kay
tertawa pilu juga.
"Aku pun ingat, malam itu hakikatnya kau tidak pernah berkunjung ke tempat itu." Habis
mengucapkan omongannya, darah kembali merembes dari ujung mulutnya.
Dengan ujung jarinya Yap Kay menyeka darah yang meleleh, di samping berduka, dia amat
marah pula. tanyanya, "Apakah Ban be tongu pula yang turun tangan sekeji ini?"
"Bukan dia!"
"Siapa kalau bukan dia?"
"Seorang pemuda, melihat pun tidak bayangannya."
"Lalu darimana kau tahu dia seorang pemuda?"
"Karena aku mendengar suaranya, barusan dia sedang memeras aku, dia mengompas
keterangan tempat penyimpanan harta Ban be tong. Mendengar suara kalian baru dia lari."
"Mana Be Khong-cun?"
"Dia pun pergi, seperti mendadak melihat setan, lari lintang-pukang ke bawah gunung...."
"Kenapa dia lari?" berkerut alis Yap Kay. "Apa yang dia lihat?"
"Tentu dia mengira kalian mengejar tiba, dia...."
Mata Yap Kay tiba-tiba bersinar, teriaknya tertahan, "Tentunya dia melihat pisau di
punggungmu ini!"
Pisau terbang sepanjang tiga dim tujuh mili.

Yap Kay menyobek pakaiannya, menggunakan obat luka yang dibawanya dia menyumbat luka
di punggung Sim Sam-nio.
Pisau yang tipis dan tajam kemilau memancarkan sinar ditimpa sinar matahari, sinar ini
menyilaukan mata Pho Ang-soat. Rona mukanya berubah.
Tiba-tiba Yak Kay berpaling, katanya, "Tentunya kau telah melihat pisau seperti ini!"
Lama sekali baru Pho Ang-soat manggut-manggut. Tidak bisa tidak ia harus mengakui.
Pertama kali melihat pisau macam ini, di toko kelontong Li Ma-hou, kedua kali di jalan raya
yang baru saja dicuci air darah, ketiga kali di dalam kamar remang yang meninggalkan kesan
mendalam, dimana jenazah kekasihnya rebah tak bernyawa lagi.
Semua kejadian masih segar dalam ingatannya, mesti dia pejamkan mata, tetap terbayang
olehnya raut muka Li Ma-hou yang mengerikan, putus asa dan ketakutan, terbayang si bocah yang
terjengkang roboh dengan pisau menancap di lehernya... tapi semua dugaan dan analisanya
semula kini tumbang seluruhnya.
Yap Kay menatapnya, katanya kalem, " Sekarang tentunya kau sudah mengerti, pisau seperti
ini bukan aku saja yang bisa menggunakan nya."
Pho Ang-soat bungkam, terpaksa dia harus bungkam.
"Sebetulnya umpama benar aku hendak membokong mati seseorang, pasti akan menggunakan
pisauku, umpama terpaksa harus menggunakan pisau, sekali-kali tidak akan kubiarkan dilihat
orang."
Tiba-tiba Pho Ang-soat bersuara, "Karena pisau itu amat luar biasa?"
"Boleh dikata demikian "
"Kalau orang lain tak bisa melihat pisaumu, cara bagaimana dia membuat dan menirunya?"
"Hal ini aku pun tidak habis mengerti, untuk menciptakan pisau seperti pisau ini memang bukan
suatu pekerjaan yang gampang. Yang terang siapa pun kalau dia ingin mencelakai jiwa orang, dia
harus banyak memeras keringat."
"Aku kira orang itu sengaja hendak memfitnah dan menjatuhkan tuduhan atas dirimu?"
"Memangnya kau belum bisa menilainya?"
Pho Ang-soat menunduk mengawasi golok di tangannya, setiap kali tidak mau menjawab suatu
pertanyaan selalu dia menunduk mengawasi goloknya sendiri.
"Orang itu sengaja hendak mengadu domba kepadamu supaya kau beranggapan bahwa
pembunuh Kwe Wi dan keluarganya adalah aku, kembali dia berusaha supaya kau mengira akulah
orang di belakang layar yang mengakibatkan kematian Cui long. Waktu itu Ting Hun-pin kebetulan
dibawa pergi Engkohnya, tiada seorang pun yang bisa membuktikan alibiku!" Setelah menghela
napas Yap Kay meneruskan,
"Tujuan dari perbuatannya ini adalah hendak mengadu bentrokan di antara kau yang
mendendam kepadaku, supaya kita berduel mengadu jiwa, lalu dia memungut keuntungannya."
Gemeratak gigi Pho Ang-soat, otot-otot hijau menghias lehernya, dia tetap bungkam.
"Agaknya dia memang sudah bekerja dengan segala perhatian dan rencana yang matang,
karena rencananya ini memang baik dan amat mendetail, sehingga aku tidak punya kesempatan
untuk membuktikan alibiku, untunglah kali ini dia sendiri menunjukkan kelemahan dan
kelalaiannya, kalau tidak, apa pun yang kujelaskan, pasti tak kau percaya."
Mau tidak mau Pho Ang-soat harus mengakui, memang sepatah kata pun orang tidak berusaha
menjelaskan kepadanya.
"Kali ini tentu dia tidak mengira bahwa kita tidak berduel hingga salah satu pihak babak belur.
celakanya malah bersama mencarinya." Dengan tertawa getir dia menambahkan, "Jika Sim SamTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
nio meninggal dan kau tidak bersamaku, tentu kau bisa mengira pembunuh Sim Sam-nio adalah
aku pula, sekarang Be Khong-cun sendiri tentu juga berpikir demikian."
Selama ini Ting Hun-pin merengut saja di samping, tiada yang tahu kenapa dia mengambek.
Sekarang tak tahan dia menyeletuk, "Tidakkah kau bisa memikirkan siapa kiranya yang
membencimu? Begitu tega menggunakan cara keji ini hendak mencelakai kau?"
"Tidak pernah terpikir olehku, maka aku ingin menanyakan sampai jelas," waktu dia menunduk,
dilihatnya Sim Sam-nio tengah meronta mengangkat kepala, dengan sorot mata yang aneh sedang
mengamati Ting Hun-pin. Sebaliknya Ting Hun-pin juga sedang mengawasi dengan sorot mata
aneh pula.
"Sim Sam-nio ini, kau belum pernah melihatnya...." Yap Kay hendak memperkenalkan.
"Aku tahu siapa dia," tiba-tiba Ting Hun-pin menukasnya. "Cuma belum tahu entah bagaimana
dia begini intim dengan kau, terhadapnya agaknya kau jauh lebih baik daripada terhadapku."
Baru sekarang Yap Kay tiba-tiba sadar kenapa orang merengut dan mengambek. Dia sedang
jelus. Sembarang waktu anak perempuan memang gampang cemburu, kalau sudah cemburu
omongan apa pun berani diucapkan. Tapi kenapa pula Sim Sam-nio mengawasinya dengan sorot
mata seaneh itu? Yap Kay tidak habis mengerti.
Ting Hun-pin tertawa dingin, ujarnya pula, "Hai, aku sedang bicara dengan kau, kenapa tidak
kau hiraukan ucapanku."
Bahwasanya Yap Kay memang tidak mau menghiraukan dirinya, bila orang sedang cemburu,
wah, lebih baik dia bungkam saja.
Tak nyana Ting Hun-pin malah naik pitam, katanya pula, "Kulihat di antara kalian seperti ada
suatu kenangan lama yang tidak bisa terhapuskan, apa perlu aku menyingkir dulu, supaya kalian
bisa bermesra-mesraan?"
"Ya. Memang begitu!" kata Yap Kay.
Ting Hun-pin melotot kepadanya, biji matanya tiba-tiba merah, dengan memonyongkan mulut
dan membanting kaki segera dia putar badan tinggal pergi. Yap Kay tiada niat menahannya.
Tiba-tiba Sim Sam-nio menghela napas, katanya, "Agaknya nona cilik ini amat mencintaimu,
tidak pantas kau membakar amarahnya."
"Tapi aku ada banyak pertanyaan ingin bertanya kepadamu."
"Bukankah kau hendak tanya laki-laki yang membokong aku tadi, logatnya bagaimana?"
"Berbincang dengan aku memang amat menyenangkan, seolah-olah kau sudah tahu dan
meraba isi hati orang lain saja."
Sim Sam-nio tertawa getir. Ban be tongcu adalah laki-laki yang tidak bisa menyelami watak dan
jiwanya, tapi dia pasrahkan nasib dan hidup kepadanya. Lalu apa pula gunanya dia
menyelaminya? Lama kemudian baru dia pompa semangat, katanya, "Orang itu bicara dengan
logat utara, usianya pasti tidak lewat tiga puluh, bicaranya lemah lembut, umpama dia hendak
membunuhmu, suaranya tetap lembut dan merdu, malah seperti dengan tersenyum."
"Memang banyak orang menyembunyikan golok di balik tawanya di dunia ini, hal itu tidak usah
dianggap istimewa."
"Tapi nada bicaranya ada bagian yang istimewa."
"Dalam hal apa?"
"Setiap kali dia mengatakan 'orang', lidahnya seperti tidak bisa terangkat, jadi kedengarannya
seperti mengatakan 'olang’ suaranya persis benar dengan nona Ting tadi."

Akhirnya Yap Kay mengerti pula, kenapa tadi orang memandang Ting Hun-pin dengan sorot
begitu aneh. Kontan matanya bersinar terang, namun raut mukanya malah pucat, lebih pucat dan
menakutkan dari muka Pho Ang-soat.
Mengawasi mukanya, tak tahan Sim Sam-nio bertanya, "Kau sudah tahu siapa dia?"
Agaknya Yap Kay sedang menjublek, lama sekali baru dia geleng-geleng.
"Apa yang kau pikirkan?"
Kali ini Yap Kay seperti tidak mendengar apa yang ditanyakan karena di dalam kupingnya
seolah-olah mendengar ada seseorang sedang berteriak, "Orangnya sudah datang semua bukan?"
Seperti disambar geledek tiba-tiba Yap Kay berjingkat sendiri, mukanya yang pucat tiba-tiba
memancarkan rona merah yang aneh.
Pho Ang-soat tak tahan mengangkat kepala, mengawasinya dengan pandangan kaget. Sudah
tentu Ting Hun-pin jauh lebih kaget.
Meski dia jauh berdiri di sana, namun matanya sejak mula terus menatap Yap Kay. Belum
pernah dia melihat tingkah Yap Kay seaneh ini, malah membayangkan pun belum pernah.
Biasanya banyak orang mengakui bahwa Yap Kay seorang pemuda yang tabah dan besar nyalinya,
umpama kau iris putus hidungnya, mukanya tidak akan menampilkan mimik seaneh ini. Tiada
orang yang bisa melukiskan mimik wajahnya itu, tiada orang yang tahu apa yang terkandung
dalam pikirannya.
Melihat mimiknya itu hati Ting Hun-pin serasa hancur. Dalam hati barusan dia bersumpah,
selamanya takkan mempedulikan dia lagi. Tapi sekarang sumpahnya itu sudah dia lupakan sama
sekali. Tanpa kuasa segera dia memburu maju serta menarik lengan Yap Kay. Terasa jari-jarinya
dingin. Karena hatinya makin gugup, katanya sambil menempelkan tangan orang di mukanya,
"Kenapa kau berubah demikian rupa?"
"Aku... aku sedang marah."
"Marah kepada siapa?"
"Terhadapmu."
Ting Hun-pin menunduk dengan tertawa geli.
Tak tahan Yap Kay bertanya, "Aku marah kepadamu, kenapa kau malah tertawa?"
"Justru karena kau marah kepadaku, hatiku malah senang."
"Kenapa malah senang?"
"Karena... bila kau tidak menyukai aku, buat apa kau harus marah kepadaku?"
Yap Kay tertawa tertahan, cuma tidak tertawa lebar dan sewajar biasanya, dalam senyum
tawanya seperti mengandung sesuatu bayangan gelap yang dikuatirkan. Ting Hun-pin tidak
melihat perubahan rona tawanya, karena dia sudah merebahkan badannya dalam pelukan Yap
Kay, peduli berapa banyak orang di sekelilingnya, dia tidak peduli lagi, biasanya dia tidak pernah
menutupi rasa cintanya di hadapan orang.
Sebentar Pho Ang-soat mengawasi mereka, lalu dia putar badan, pelan-pelan turun gunung, air
sungai mengalir di bawah kakinya, namun halangan sekecil ini seperti tidak dilihatnya.
Yap Kay terseok-seok di belakangnya, "Tunggu sebentar, kita berangkat bersama, mencari Be
Khong-cun."
Pho Ang-soat anggap tidak mendengar, langkahnya pelan, tapi selamanya tidak pernah
berpaling.
Yap Kay mengantar bayangan orang yang sebatangkara, tak tahan dia menghela napas, "Dia
benar-benar berubah, bukan saja semakin menyendiri malah semakin pesimis, kalau keadaan

seperti ini terjadi terus, aku kuatir...." Tak tega dia meneruskan kata-katanya.
"Kenapa dia bisa berubah?" tiba-tiba Sim Sam-nio bertanya.
"Dengan mata kepalanya sendiri dia melihat pujaan hatinya mati dipelukannya, namun dia tidak
kuasa menolongnya."
"Cui long maksudmu?"
"Benar, Cui long."
Kembali tersorot mimik aneh pada mata Sim Sam-nio, katanya menghela napas, "Sungguh tak
pernah terbayang olehku, dia benar-benar jatuh cinta kepada Cui long."
"Apa kau beranggapan Cui-long tidak setimpal dia cintai?"
Sim Sam-nio bungkam, dia tidak kuasa menjawab.
Yap Kay tertawa duka, katanya kalem, "Sayang sekali banyak orang di dunia ini justru
mencintai orang yang tidak patut dia cintai, dan itulah duka laranya dan penderitaan manusia yang
terbesar."
"Untuk apakah itu?" ujar Sim Sam-nio rawan, "memangnya siapa tahu lantaran apa hal itu bisa
terjadi?" Perasaan manusia memangnya sesuatu yang abstrak dan tidak bisa diraba dan
dipandang mata, lebih celaka lagi karena manusia takkan mampu membelinya. Dan oleh karena
itu, maka manusia dibekali duka cita dan penderitaan.
Kini ganti Yap Kay yang memandang Sim Sam-nio dengan sinar aneh, katanya, "Siapa pun
orangnya bila mengalami pukulan lahir batin seperti yang dialami Pho Ang-soat, pasti akan mirip
keadaannya, hari ke hari amat pesimis dan patah semangat, namun di dunia ini mungkin hanya
ada seorang saja yang bisa menolongnya."
"Siapa?"
"Kau."
Sebentar Sim Sam-nio menepekur, akhirnya dia manggut-manggut, katanya, "Maka aku tidak
boleh mati, memang banyak persoalan yang harus kuselesaikan."
Pelan-pelan Ban be tongcu menutup pintu, lalu memalangnya dari dalam. Lalu dia merebahkan
diri di atas ranjang, ranjang kayu yang keras dan dingin lembab seperti berada di liang kubur.
Bagaimana pun juga sekarang dia masih bertahan hidup, hidup jauh lebih baik daripada mati.
Kenapa orang tua selalu lebih takut mati dari anak muda? Bahwasanya dia sudah tidak perlu
mengganduli jiwanya yang sudah mulai keropos dan mempertahankannya mati-matian.
Kayu ranjang itu mengeluarkan bau apek, seperti benda yang membusuk, membawa bau busuk
dari kotoran kuda pula, mendadak dia hampir muntah-muntah. Sebetulnya dia sendiri tumbuh
dewasa sampai tua di tempat seperti ini, rumah dimana dia lahir, jauh lebih kotor dan busuk dari
kamar yang dia tempati sekarang.
Waktu dia berkelana di Kangouw, demi menghindarkan diri dari kuntitan dan kejaran musuh,
ada kalanya dia malah tidur di istal kuda atau kandang babi. Suatu ketika, bersama dua Pek
bersaudara mereka kena disergap di pegunungan Tiang pek-san, mereka terkepung oleh musuh
banyak dari rombongan tiga komplotan penjahat, terpaksa harus lari ke atas gunung, malah
mereka di sana harus minum air seni sendiri.
Kehidupan yang serba sengsara meski sudah tidak biasa dia alami, namun dia tetap bisa
menerimanya. Bahwa dia hendak muntah bukan lantaran bau busuk, adalah karena mendadak dia
menyadari bahwa dirinya hina-dina dan rendah memalukan.

Seorang laki-laki dengan mendelong mengawasi ceweknya roboh di depan matanya, apa pun
yang terjadi tidak pantas dia melarikan diri. Tapi waktu itu dia terlalu takut. Karena dulu dia pun
pernah melihat pisau itu.
Pisau itu sendiri tiada sesuatu yang istimewa, tapi siapa pun tahu bahwa pisau ini merupakan
pisau yang paling menakutkan di seluruh dunia. Itulah pisau terbang milik Siau-li. Siau-li atau Li si
kecil (sekarang seharusnya sudah Lo-li, Li si tua).
Pek Thian-ih pernah memegang dan mengacungkan pisau ini, sorot matanya memancarkan
rasa haru dan kegirangan. "Lekas kalian kemari dan lihatlah, inilah Siau-li si pisau terbang, Siau-li
Tham-hoa sendiri yang memberikan kepadaku."
Waktu itu pertama kali Ban be tongcu melihat pisau ini, di atas pisau ada diukir dua huruf "Jinjin"
artinya cinta kasih.
"Huruf Jin ini adalah ukiran Siau-li Tham-hoa sendiri menggunakan pisaunya yang lain, katanya
dia bisa hidup sampai sekarang, karena selama ini dia sudah meresapi arti sejati dari huruf 'Jin' ini,
maka huruf ini dia hendak hadiahkan kepadaku."
Waktu itu Pek Thian-ih memang pernah mendapat kebaikan Siau-li Tham-hoa, sudah tentu dia
bukan laki-laki yang tidak tahu kebaikan.
"Dia malah berjanji kepadaku, jika putraku yang kedua lahir, boleh diantar ke tempatnya
tetirah, dia malah menambahkan, kalau ada orang bisa mempelajari kepandaian pisau terbangnya,
maka orang itu pasti adalah putraku."
Sayang sekali belum cinta dan harapannya terlaksana, dia sudah keburu ajal, kalau dia sudah
lupa akan pemberian huruf "Jin" dari Siau-li Tham-hoa. Tapi Ban be tongcu justru tidak lupa,
kejadian masa lalu ini masih segar dalam ingatannya.
Cuaca sudah mulai gelap. Ban be tongcu mengawasi warna kertas jendela yang putih, pelanpelan
menjadi buram dan gelap, dia harus bisa tidur nyenyak meski hanya sejenak.
Sejak turun gunung dia tidak berhenti di kampung-kampung yang dia lewati, langsung menuju
ke tempat ini. Karena selama hidupnya belum pernah dia menemukan penginapan sekotor, gelap
dan bobrok seperti ini.
Jangan kata tamu, pelayan pun tiada di penginapan ini, pemiliknya adalah seorang laki-laki tua
setengah tuli bermata lamur lagi, setua itu usianya masih berusaha di tempat yang miskin ini,
maklumlah karena tiada tempat lain untuknya berteduh. Berhadapan dengan orang tua ini, mau
tidak mau Ban be tongcu memikirkan diri sendiri. "Dan aku? Apakah aku seperti dia, tiada tempat
lain untukku berteduh?" Tangannya terkepal, dia tertawa dingin kepada diri sendiri.
Tatkala itu dari jendela yang sudah rusak terhembus angin, tercium bau bawang goreng yang
dimasak dengan bakmi, agaknya lebih lezat dan nikmat daripada daging sapi yang baru saja
dipanggang di atas api.
Sekujur badannya lemas-lunglai, jari tangannya pun rada gemetar, lapar, sungguh suatu derita
yang susah ditahan. Di tengah jalan tadi, dia pikir hendak mampir di warung bakmi, namun
teringat tidak membawa uang sepeser pun. Sebagai majikan besar, biasanya Ban be tongcu tidak
pernah membawa uang tunai meski pergi kemana pun juga. Maka sampai detik ini, sebutir nasi
pun belum masuk ke perutnya.
Pelan-pelan dia merangkak bangun dengan gerakan pelan, baru sekarang dia menyadari akan
kelemahan dirinya. Lapar membuat dia tak tahan lagi. Setelah mendorong pintu, dia menyusuri
serambi panjang di pekarangan kecil, akhirnya dia menemukan dapur.
Laki-laki tua pemilik penginapan setengah tuli bermata lamur tengah meletakkan sebuah
mangkuk besar berisi bakmi kuah. Di bawah sinar pelita yang guram, kuah bakmi kelihatan seperti
air lumpur, bagian atasnya masih kelihatan beberapa lembar daun menguning yang terapung. Tapi
bagi pandangan Ban be tongcu yang sudah kelaparan ini, sudah merupakan hidangan malam yang

paling enak. Dengan membusungkan dada dia menghampiri seraya berkata, "Kau boleh masak
semangkuk lagi."
Sampai detik ini, setiap kali bicara, suaranya masih membawa nada memerintah, sayangnya
sekarang tiada orang yang sudi menganggap perkataannya sebagai perintah. Balas menatapnya,
kakek tua lekas sekali menggeleng kepala.
Ban be tongcu mengerut kening, tanyanya, "Kau tidak mendengar?"
Waktu tertawa si kakek memperlihatkan gigi kuningnya yang sudah ompong, katanya, "Aku
bukan orang tuli, masakah tidak mendengar, cuma setelah aku makan, boleh nanti kubikinkan
semangkuk lagi untuk kau, tapi kau harus keluar uang dulu supaya kubelikan bakmi."
Seketika Ban be tongcu menarik muka, katanya, "Apa-apaan sikapmu ini? Caramu menghadapi
tamu, mana bisa kau berdagang?"
Kakek tua tertawa pula, ujarnya, "Memangnya aku tidak ada usaha dagang"
"Lalu untuk apa kau buka penginapanmu ini?"
"Tiada maksud apa-apa, aku hanya menunggu ajal di sini, hanya orang yang ingin lekas mati
baru sudi berdiam di tempat ini."
Tanpa peduli kepada Ban be tongcu lagi, mendadak dia terbungkuk batuk-batuk, terus berludah
beberapa kali ke dalam mangkuk bakminya, gumamnya, "Aku tahu kau pun gelandangan yang tak
mampu membayar, tidak jadi soal kau tidur di kamarmu itu dua tiga hari secara gratis, tapi
semangkuk bakmi ini aku sendiri hendak memakannya, kecuali kau berani makan ludahku juga."
Sudah tentu Ban be tongcu tertegun. Jari-jarinya terkepal, hampir tak tahan sekali genjot dia
pukul remuk batok kepala si kakek tua kurangajar ini. Tapi dia menahan sabar. Agaknya untuk
marah pun sekarang dia sudah enggan, namun terasa mulutnya getir dan kecut, entah harus
tertawa atau menangis? Masakah Ban be tongcu yang sudah merajai jagat hampir setengah abad,
hanya demi semangkuk bakmi kuah seperti air pencomberan rela membunuh seorang kakek tua
renta di dapurnya yang bobrok dan kotor ini Sungguh dia merasa geli. Tak tahan akhirnya dia
tertawa, namun tawa pilu yang lebih dari menangis.
Angin menghembus, beberapa daun kering bergulung melayang jatuh. "Bukankah keadaanku
mirip daun kering itu? Sedang bergelimang di tengah tanah becek?" Dengan menunduk Ban be
tongcu melangkah ke arah pekarangan, bulan sabit memancarkan cahayanya yang redup,
bayangan tubuhnya terseret memanjang, waktu dia mendorong pintu, sinar bulan ikut menyorot
masuk, menyoroti badan seseorang.
Bagai dedemit seorang berdiri tegak di tempat gelap, waktu pintu terbuka, cahaya rembulan
yang redup kebetulan menyinari pakaian yang dipakainya, seperangkat rok warna merah pendek
bagian atasnya, dikombinasikan gaun panjang berlempit rapat warna merah dadu dengan sabuk
sutra hitam.
Tiba-tiba napas Ban be tongcu seperti terputus. Dia kenal baik pakaian ini, waktu pertama kali
Sim Sam-nio menemui dirinya, pakaian inilah yang dipakainya. Pada malam itu juga dialah yang
menelanjangi pakaian ini dari atas badannya, malam itu juga dia menggagahi gadis perawan ini.
Dimana dan kapan, untuk selamanya dia tidak akan lupa adegan mesra malam itu, orang
bercucuran air mata, sorot matanya mengunjuk rasa minta dikasihani, dia pun takkan melupakan
seperangkat pakaian ini, walau pakaian ini sudah beberapa tahun tak pernah dipakainya lagi.
Sekarang kenapa dia justru memakainya lagi? Bagaimana bisa mendadak muncul di sini?
Mungkinkah dia belum mati?
Tak tahan Ban be tongcu berseru lirih, "Sam-nio, kaukah?"
Tiada jawaban, tiada suara. Hanya deru angin yang menghembus masuk dari luar, maka
melambailah pakaiannya itu seperti bidadari yang turun dari kahyangan. Tapi bayangan tubuhnya
seperti tidak berbentuk lagi, tiada jasad tak bermuka, tidak berdarah daging, hanya pakaian saja
yang kosong melompong, mungkin hanya sukmanya saja, peduli mati atau hidup, sukmanya yang

gentayangan tetap mengejar laki-laki yang tidak kenal budi dan meninggalkan dirinya di saat
sekarat menjelang ajal. Hanya untuk menyelamatkan jiwa sendiri.
Menghijau pucat muka Ban be tongcu, katanya tawar, "Sam-nio, aku tahu perbuatanku
memang berdosa terhadap kau, peduli kau masih hidup atau sudah menjadi setan, selanjutnya
aku tak akan meninggalkan kau lagi."
Sambil bicara kakinya pelan-pelan beranjak maju, habis bicara mendadak dia bergerak secepat
kilat, sekali raih dia cengkeram lengan orang.
Sayang sekali yang ditangkap bukan orangnya, bukan sukma gentayangan, tapi adalah manusia
rumput yang mengenakan pakaiannya Seketika berubah muka Ban be tongcu, baru saja hendak
membalik badan namun belum sempat dia bergerak, ujung sebatang pedang tahu-tahu sudah
mengancam punggungnya, ujung pedang yang tajam dan dingin sudah tembus pakaian dan
menyentuh kulitnya.
Seorang melangkah keluar dari balik pintu sambil bersenandung, "Langit bergoncang, bumi
bergetar, Kwan tang ban be tong. Kuda bagai naga. Manusia bagai baja."
"Siapa kau?" bentak Ban be tongcu dengan suara kereng
Jawab orang itu, "Aku manusia, seperti dirimu, manusia yang punya darah daging, jadi bukan
setan, namun bukan baja, maka kalau aku jadi kau sekarang aku pasti berdiri diam, bergerak pun
tidak." Suaranya runcing dan aneh kedengarannya, jelas dia menggunakan suara palsu. Dengan
dingin dia melanjutkan, "Tentunya kau tidak ingin melihat pedang di tanganku ini amblas dan
tembus dadamu." Sedikit dia kerahkan tenaga, ujung pedang yang tajam sudah menusuk ke
dalam kulit dagingnya.
Tapi Ban be tongcu malah menghela napas lega, karena itu pedang bukan golok, karena orang
yang mengancam dirinya ini bukan Pho Ang-soat. Umpama benar yang datang adalah Pho Angsoat,
orang tak akan mengubah suaranya.
Orang itu berkata pula, "Lebih baik kalau pikiranmu tidak melantur karena selamanya kau
takkan bisa tahu siapa aku sebenar nya."
"Darimana kau tahu siapa aku?"
"Sejak lama aku sudah mengenalmu, cuma selamanya tidak pernah terpikir, Ban be tongcu dari
Kwan tang yang diagulkan seperti kuda bagai naga dan manusia bagai baja ini, ternyata tahu
mawas diri bahwa perbuatannya amat tercela. Jika Sim Sam-nio belum meninggal, hatinya pasti
riang mendengar ucapanmu."
"Kau... kau pun kenal Sim Sam-nio?"
"Banyak urusan yang kuketahui, maka terhadap persoalan apa pun lebih baik kau jangan
mengelabui aku. "
"Pakaian ini kau dapatkan dari buntalannya?" tanya Ban be tongcu Orang itu mandah tertawa
dingin, tawa dingin dan diam saja adalah pertanda mengakui.
Mendadak serasa ditusuk sembilu hulu hati Ban be tongcu, tak pernah terpikir olehnya Sim
Sam-nio bakal menyimpan pakaiannya yang penuh kenangan pahit dan nikmat ini. Memangnya dia
pun menyekap rasa senang, nikmat dan sakit malam itu di dalam sanubarinya? Dengan mengertak
gigi Ban be tongcu tiba-tiba tertawa dingin, "Memalsu malaikat bermain setan, memangnya
permainan yang berhasil. Tapi tidak pantas kau menggunakan pakaian ini. Karena secara tidak
langsung kau sudah memberitahu kepadaku bahwa kaulah orang yang membunuh Sim Sam-nio."
Suaranya mengandung dendam. Katanya lebih lanjut, "Bukan saja membunuh jiwanya, kau pun
merampas buntalannya...."
Orang itu segera menukas ucapannya, jengeknya dingin, "Masakah kau tidak pernah
membunuh orang? Caraku memang kejam. Tapi dibanding kau paling tidak lebih baik, yang terang
aku belum pernah membunuh saudara angkat seperjuangan, juga tidak menggunakan harta
pening-galan saudaraku yang terbunuh itu untuk mendirikan Ban be tong di Kwan tang."

Seketika berubah air muka Ban be tongcu, hanya beberapa gelintir orang Kangouw saja yang
sampai sekarang tahu akan rahasia ini. Sampai pun Pho Ang-soat sendiri belum tahu, bahwa uang
dan modal untuk membangun Ban be tong memang benar hasil rampasan dari peninggalan
keluarga Pek Thian-ih. Lalu bagaimana orang ini bisa tahu?"
Sekonyong-konyong terasa oleh Ban be tongcu arus hawa dingin setajam golok merembes naik
dari telapak kakinya, katanya dengan suara serak, "Kau siapa sebetulnya!?"
"Tadi sudah kukatakan, aku ini adalah orang yang serba tahu, tentunya kau tahu bahwa aku
bukan menggertak kau."
"Kalau kau serba tahu, apa pula yang kau inginkan?"
"Apa pun tak kuinginkan, cuma semua harta yang berhasil kau rebut dari tangan orang lain
harus kau serahkan kepadaku."
"Kalau kau mau, boleh kau ambil, sayang sekali Ban be tong yang dulu terkenal serba subur
dengan kuda dan rumput, kini sudah menjadi tumpukan puing belaka."
"Tentunya kau tahu yang kuinginkan bukan tanah puing-puing itu, yaitu harta mestika yang
secara diam-diam kau sembunyikan. "
"Harta mestika? Harta mestika apa?"
"Dulu Sin to tong menggetarkan Bu-lim, malang melintang di seluruh jagat, ketenaran
kekuasaannya jauh mengungguli Kim ci pang yang dipimpin Siangkoan Kim-hong. Setelah
Siangkoang Kim-hong wafat dia meninggalkan harta-karun yang tak ternilai banyaknya, apa lagi
Sin to tong."
"Sayangnya aku bukan anggota Sin-to-tong."
"Sudah tentu kau bukan, kau tidak lebih adalah seorang pembunuh durjana yang menghabisi
seluruh jiwa keluarga pemilik Sin to tong, kau suruh orang banyak membantu kejahatan,
membunuh Pek Thian-ih, namun seorang diri kau caplok seluruh harta bendanya, harus dikasihani
orang-orang yang menjadi korban di luar Bwe hoa am, sungguh mereka mati dengan penasaran...
penasaran."
Kaki tangan Ban be tongcu menjadi dingin dan lemas, tiba-tiba disadarinya bahwa apa yang
diketahui oleh orang ini memang terlalu banyak. Terdengar suara orang semakin bengis, "Para
yatim piatu semua korban itu, sampai sekarang ada yang hidup sengsara, kedinginan, kelaparan
tak punya rumah tak bisa berpakaian. Sekarang aku justru mewakilkan mereka membuat
perhitungan terhadap kau."
Ban be tongcu tiba-tiba tertawa dingin, jengeknya, "Tapi darimana kau bisa tahu siapa saja
orang-orang yang menjadi korban di luar Bwe hoa am?"
Orang itu tidak menjawab, cuma pedang di tangannya terasa sedikit gemetar.
Sepatah demi sepatah Ban be tongcu menyambung, "Kecuali aku, hanya seorang lagi yang
tahu di dunia ini, siapa saja orang-orang yang ikut berkorban malam itu, hanya seorang...
sungguh tak terpikir olehku bahwa orang-orang ini bakal membocorkan rahasia ini kepada orang
ketiga." Suaranya mendesis dingin dan kejam, diliputi dendam dan amarah. Katanya lebih lanjut,
"Dan kaulah orang ketiga yang mengetahui rahasia ini, siapa kau sebenarnya?"
Orang itu tertawa dingin.
"Siapa kau?" desak Ban be tongcu lebih lanjut.
Terpaksa orang itu menjawab dengan tertawa dingin, "Untuk selamanya kau takkan tahu siapa
aku sebenarnya."
"Kalau begitu kau selamanya jangan harap bisa tahu dimana letak harta-karun itu."
Agaknya orang itu tertegun.

"Apa lagi," demikian Ban be tongcu bermuslihat, "umpama tidak kau katakan, aku sudah tahu
siapa kau sebenarnya, jika kau benar membunuhku, tiga hari setelah aku mati, akan ada
seseorang yang akan membocorkan rahasia keluargamu, supaya seluruh kaum persilatan di kolong
langit tahu... sudah tentu keturunan keluarga Pek juga akan mengetahuinya."
Agak bergetar pedang di tangan orang itu, katanya dingin, "Jika kau mampus, siapa lagi yang
bisa membocorkan rahasia ini?" Betapa pun usianya masih terlalu muda, betapa pun licik dan
licinnya, dia bukan tandingan Ban be tongcu si rase tua ini. Ucapannya bukan saja menunjukkan
kelemahannya sendiri, sekaligus dia sudah mengakui bahwa dirinya memang benar adalah yang
sudah diperkirakan Ban be tongcu.
Seketika bersinar biji mata Ban be tongcu, katanya dingin, "Di saat aku masih hidup, memang
tak ada orang yang membocorkan rahasia ini."
Tak tahan orang itu bertanya pula, "Kalau kau mampus malah ada?"
"Benar."
"Kau... jadi kau meninggalkan sepucuk surat di tangan seseorang? Jika kau mati, dia akan
membuka dan membeber isi surat itu kepada umum?"
Suara Ban be tongcu tawar, "Agaknya kau memang cerdik, terpikir juga cara yang baik ini."
"Ya, gampang saja untuk menggunakan cara ini, tapi aku tidak percaya. Karena tiada seorang
pun di dunia ini yang kau percayai, mungkinkah kau menyerahkan surat rahasia itu kepadaku?"
Mendadak Ban be tongcu tertawa, katanya, "Apa kau ingin tahu siapa orang yang kutitipi surat?
Setelah kau membunuh aku, baru sekalian kau akan membunuhnya?"
Terkancing mulut orang itu.
Ban be tongcu mendapat angin, katanya tertawa tawar, "Cara yang kau gunakan ini memang
bagus, hanya sayangnya tiga puluh tahun yang lalu aku pun pernah menggunakannya."
Lama orang itu membungkam, tiba-tiba dia tertawa, ujarnya, "Apa kau beranggapan aku akan
membebaskan kau begini saja?"
"Sudah tentu tidak, tapi tiada ruginya kita bertransaksi dagang."
"Transaksi dagang apa?"
"Kau temani aku membunuh Pho Ang-soat, kubawa kau mencari harta-karun itu, kau tetap
merahasiakan keburukanku, aku pun tak menyinggung tentang dirimu. Harta-karun yang
kusembunyikan itu, lebih dari cukup untuk dibagi dan kita gunakan seumur hidup, coba katakan
bukankah transaksi dagang ini cukup adil?"
Orang itu diam saja, otaknya diperas, agaknya hatinya sudah terpikat akan tawaran ini.
"Apalagi kau pun harus tahu, leluhurmu adalah satu-satunya orang yang sama-sama
merahasiakan kejadian itu, karena aku mempercayainya, dia pun percaya kepadaku, maka kita
berhasil melakukan urusan besar yang menggetarkan dunia, bukankah kesempatan kita sekarang
jauh lebih baik dari dulu?"
Orang itu mulai bimbang, katanya pelan-pelan, "Aku boleh menerima, cuma kau harus temani
aku mengambil harta-karun itu baru kutemani kau membunuh Pho Ang-soat."
"Begitupun boleh."
"Masih ada, di waktu kita mengambil harta-karun itu, aku harus menotok kedua Hiat-to di
kedua lenganmu."
"Apakah kau takut aku turun tangan mencelakai jiwamu?"
"Aku hanya tanya kau mau terima tidak syaratku?"

Ban be tongcu tertawa lebar, ujarnya, "Boleh juga, kalau aku sudah mempercayai leluhurmu,
sudah tentu aku percaya juga terhadapmu."
Akhirnya orang itu menghela napas lega, katanya, "Aku hanya menotok Jian-kin-hiat di kedua
pundak kanan kirimu, supaya kau tidak bisa turun tangan." Lalu dia melangkah setindak,
menggunakan kedua jari tangannya yang semula menggenggam gagang pedang, menotok ke
pundak kanan Ban be tongcu. Untuk ini terpaksa dia harus menurunkan dulu pedang di tangan
kanannya, kalau tidak, kedua jarinya takkan bisa menotok pundak Ban be tongcu. Akan tetapi
kejadian hanya berlangsung sekejap saja, begitu pedang di tangan kanan diturunkan, berbareng
tangan kiri sekaligus menotok pula, dia yakin kecepatan gerakannya takkan kalah cepat dari orang
lain.
Tapi dia tetap kurang cepat. Di dalam waktu sekejap itu, mendadak Ban be tongcu mendak dan
miringkan badan, berbareng sikut kanannya telak sekali menyodok lambung orang, disusul
kepalannya terayun balik ke belakang, menghajar muka orang.
Kontan orang itu mendengar suara keras dari bunyi tulang patah, itulah tulang iganya yang
tersodok remuk, berbareng badannya mencelat naik dan terbang jauh, sekonyong-konyong terasa
pandangan matanya gelap, di tengah kegelapan dihiasi bintang-bintang yang berkelap-kelip.
Namun dia tahu dirinya sekali-kali tidak boleh jatuh semaput, latihan berat secara tekun selama
lima belas tahun, bukan saja dia pandai memukul orang, dia pun sudah kebal dihajar orang.
Begitu badannya terbanting di tanah, sekuatnya dia menggigit bibir, rasa sakit beruntung masih
kuat mempertahankan kesadarannya. Sigap sekali dia terus menggelinding di tanah.
Waktu Ban be tongcu memburu maju, dilihatnya orang mengayun tangan, disusul sinar pisau
berkelebat. Sinar senjata bagai kilat menyambar, itula pisau terbang. Pisau terbang Siau-li
selamanya tak pernah luput, kewibawaan dan kebesaran nama pisau terbang Siau-li, sampai
sekarang tetap membikin setiap insan persilatan mengkirik bila mendengarnya. Walau yang
menyambar ini bukan pisau terbang milik Siau-li, namun cukup membikin sukma Ban be tongcu
serasa terbang dari raganya. Bukan saja dia tidak berani mengulur tangan menyambut, gerakgeriknya
berkelit lantaran terlalu ketakutan menjadi lambat. Cepat sekali sinar pisau lantas lenyap,
tahu-tahu pisau sudah menancap di pundaknya.
Itupun sebilah pisau terbang. Tapi di atas langit maupun di bawah bumi, sejak zaman dulu,
jelas tak pernah ada pisau terbang milik siapa pun yang kuasa menandingi pisau terbang Siau-li,
umpama bintang-bintang di angkasa raya yang memancarkan cahayanya yang terang, betapa pun
cemerlangnya takkan kuasa menandingi benderangnya sinar bulan purnama.
Jika pisau terbang yang menyambar ini benar adalah milik Siau-li, sepuluh kali lebih cepat pun
gerakan berkelit Ban be tongcu takkan bisa meluputkan diri dari sambarannya.
Karena bukan saja pisau terbang Siau-li merupakan pisau terbang mandra-guna, sekaligus
pisau terbangnya merupakan perlambang kesaktian, kejahatan, suatu kekuatan yang tiada
taranya. Tiada orang yang mampu meluputkan diri dari serangan Siau-li, karena kedua orang yang
berhadapan itu sendiri sudah menentukan apakah dia mampu meluputkan diri dari sambarannya.
Hal ini ibarat setiap orang sudah sama-sama mengetahui, bencana alam siapa pun takkan kuasa
menghindarinya.
Begitu pisau berkelebat, orang itupun sudah menggelundung keluar ke pekarangan, begitu
membalik badan, setangkas kera badannya lantas mencelat tinggi. Ban be tongcu hanya melihat
sesosok bayangan hitam berkelebat, tahu-tahu sudah lenyap ditelan kegelapan. Dengan
mengertak gigi, dia cabut pisau di pundaknya seraya mengejar keluar. Dia percaya orang ini
takkan bisa lari jauh, siapa pun yang terkena dua kali pukulannya, pasti takkan bisa lari jauh.
BAB 43. KETURUNAN KELUARGA PERSILATAN

Malam berlarut, bulan sabit bercokol dengan cahayanya yang redup dingin, menyoroti mukanya
yang pucat, menyoroti goloknya yang hitam.
Pho Ang-soat berdiri diam di bawah sinar rembulan, di depannya adalah hutan belantara,
demikian pula di belakangnya adalah hutan belukar. Seorang diri dia hadapi alam semesta yang
tak berujung pangkal gelapnya, seolah-olah dia sudah tiada di dunia ini. Dunia seakan-akan sudah
melupakan dirinya. Badan lelah, kantong kosong, perut kelaparan, badan kedinginan lagi. Tiada
tempat untuknya berpijak, karena walau dia punya rumah, tapi dia tak boleh pulang.
Dengan kedua tangannya sendiri dia mengubur pujaan hatinya, ingin dia menuntut balas,
sayang siapa pembunuhnya dia belum mengetahuinya. Yang dia tahu salah seorang musuhnya
adalah Be Khong-cun, tapi dia pun tidak tahu kemana dia harus mencarinya?
Yap Kay menganggapnya sebagai teman, tapi bukan saja dia menolak, malah lari menyingkir.
Akan tetapi kecuali Yap Kay, tiada seorang pun manusia di dunia ini yang memandang dirinya
sebagai kawan, umpama dia mampus di tengah jalan, mungkin takkan ada orang mengurus
jenazahnya. Dunia sebesar ini, seolah-olah tiada tempat lagi untuk dirinya berpijak. Hidupnya
seolah sudah berlebihan, tapi dia justru harus mempertahankan hidup. Lalu apa pula yang harus
dia kerjakan bila bertahan hidup? Kemana dia harus pergi? Kemana pula dia harus menuju? Dia
tidak tahu.
Sampai pun malam ini dia harus kemana dia pun tidak tahu, sampai pun sebuah hotel yang
paling rendah dan murah serta bobrok pun dia tidak berani masuk ke sana, karena sepeser uang
pun dia tidak memiliki. Apakah dia harus hidup terlunta-lunta sepanjang hari dan malam
menunggu hari terang tanah? Lalu apa pula yang harus dia kerjakan setelah hari menjadi siang?
Tangan Pho Ang-soat tetap menggenggam golok, sanubarinya terasa hambar dan kosong. Dulu
paling dia masih bisa merindukan seseorang, meski rindu merupakan suatu tekanan batin yang
menyiksa jiwa, tapi sedikitnya ada seorang yang patut dia kenang. Tapi sekarang ....
Sekarang apa pula yang dia miliki? Hanya kekosongan belaka, sampai pun dendam kesumat
yang sudah mendarah daging dalam sanubarinya, kini sudah terasa terpencil, seolah-olah
khayalan belaka. Dan itulah yang paling menakutkan.
Dengan mengertak gigi, sedapat mungkin dia mengendalikan diri, meski tiada orang lain di sini,
dia tetap mempertahankan supaya air matanya tidak meleleh.
Pada saat itulah sekonyong-konyong dilihatnya sesosok bayangan orang berlari kencang keluar
hutan belantara nan gelap sana. Seorang serba hitam yang mukanya berlepotan darah. Laksana
dikejar setan jahat layaknya sampai pun orang berdiri di depannya pun sudah tak terlihat lagi,
hampir saja dia menumbuk badan Pho Ang-soat. Begitu dia berhadapan dengan Pho Ang-soat,
untuk berpaling pun sudah terlambat. Raut mukanya yang sudah terpukul hancur berubah dari
bentuknya semula, mendadak berubah lebih mengerikan karena dibayangi rasa ketakutan yang
tak terperikan.
Pho Ang-soat malah tidak merasa heran, siapa pun takkan menyangka di dalam hutan selebat
ini di tengah malam lagi, masih ada dirinya yang menjublek di sini. Dia memandang laki-laki baju
serba hitam ini. Sebaliknya laki-laki baju serba hitam ini menyurut mundur beberapa langkah,
serunya tiba-tiba, "Kaukah Pho Ang-soat?"
Pho Ang-soat melengak, sungguh di luar dugaan, tanyanya, "Siapa kau? Dimana kau kenal
diriku?"
Laki-laki baju hitam tidak menjawab pertanyaannya, dia malah menuding hutan belantara di
belakangnya, katanya dengan suara sumbang, "Be Khong-cun berada di belakang, kau... lekas kau
pergi membunuhnya."
Bagai tali busur yang tertarik kencang, setiap jengkal otot daging Pho Ang-soat seketika
mengencang keras. Dia sudah biasa menderita dalam kehidupan, sampai telapak kakinya sudah
tebal, tetap dia tidak menemukan musuh besarnya, kini orang asing yang muncul mendadak ini
menunjukkan jejak orang kepadanya, sungguh dia tidak percaya, tidak berani percaya.

Agaknya laki-laki baju hitam bisa meraba pikirannya, segera dia menambahkan, "Selamanya
aku tidak kenal kau, kenapa aku harus menipu kau? Paling tidak kau harus menengoknya ke sana,
bagimu toh tiada ruginya."
Pho Ang-soat tidak banyak bertanya lagi. Peduli siapa laki-laki baju hitam ini, orang memang
tiada alasan membual terhadap dirinya, apalagi tiada ruginya umpama orang memang membual.
Bahwa seseorang memang sudah tidak memiliki apa-apa lagi, apa pula yang dia takutkan?
Pelan-pelan Pho Ang-soat membalik badan, kejap lain bayangannya sudah lenyap ditelan
gelapnya hutan lebat.
Sungguh tak pernah terbayang oleh laki-laki baju hitam bahwa pemuda cacad yang kurus dan
pucat ini ternyata memiliki gerakan badan seringan dan secepat itu. Matanya memancarkan sorot
kuatir, mendadak dia berseru sekeras-kerasnya, "Bukan saja Be Khong-cun musuhmu, dia pun
musuhku, jangan kau percaya akan obrolannya."
Sebenarnya setiap langkah kerja dan tindak-tanduknya, dia amat hati-hati dan cermat, agaknya
dia takut bila Pho Ang-soat mendengar adu domba Be Khong-cun, Pho Ang-soat akan kembali
mengudak dirinya. Sungguh tak pernah terpikir olehnya bahwa ucapannya ini justru merupakan
suatu kesalahan fatal yang mengancam jiwanya kelak.
Belum lenyap kumandang suaranya, tiba-tiba bayangan Pho Ang-soat muncul kembali di
hadapannya, mukanya yang pucat menampilkan rona menakutkan, matanya melotot, katanya
tandas, "Katakan Be Khong-cun pernah apamu?" Kedua biji matanya yang sudah mengantuk dan
dingin, kini kembali cermelang setajam golok.
Tanpa kuasa laki-laki baju hitam menyurut mundur oleh tatapan tajam ini, sahutnya,
"Kukatakan dia... dia orang adala... musuhku."
Pho Ang-soat menatap lekat-lekat, sekujur badannya seakan-akan kaku menjadi seonggok
kayu. "Setiap kali orang mengucapkan ‘orang', lidahnya seakan-akan menjadi kaku, sehingga
kedengarannya menjadi "olang". Teringat cerita Sim Sam-nio yang seperti guntur di siang hari
bolong menggelegar di pinggir telinganya. Mukanya yang pucat seketika bersemu merah terus
terbakar seperti bara yang menyala. Sekujur badannya bergetar hebat. Hanya tangan yang
mencekal golok masih mantap dan tenang. Seluruh kekuatannya sudah dia kerahkan di tangannya
yang satu ini. Tangan putih, golok nan hitam.
Laki-laki baju hitam mengawasinya dengan kaget, katanya, "Kau... masa kau tidak percaya
ucapanku?"
Seolah-olah tidak mendengar pertanyaannya, pelan-pelan Pho Ang-soat memutar badan terus
berlutut ke arah timur. Laki-laki baju hitam terlongong, sungguh dia tidak habis mengerti
menghadapi tingkah-laku aneh dari pemuda cacad ini, entah apa yang sedang dilakukan?
Muka pucat yang tertimpa cahaya rembulan redup kelihatan mulai tenang dan mantap,
matanya berlinang air mata, mulutnya menggumam, "Akhirnya kutemukan musuhku, di dalam
baka bolehlah kau istirahat dengan tenteram."
Sudah tentu laki-laki baju hitam tidak tahu apa arti ucapannya namun nalarnya merasakan
adanya bahaya yang mengancam jiwa, tanpa kuasa dia menyurut mundur, dia siap tinggal pergi.
Tapi Pho Ang-soat tahu-tahu sudah mengadang di depannya pula, katanya dingin, "Mana
pisaumu?"
Laki-laki baju hitam melengak, tanyanya, "Pisau apa?"
"Pisau terbang."
Seketika terbayang rasa ketakutan yang tak terperikan pada sorot mata laki-laki baju hitam,
teriaknya, "Aku mana punya pisau terbang segala?"
Anda sedang membaca artikel tentang Peristiwa Merah Salju 3 dan anda bisa menemukan artikel Peristiwa Merah Salju 3 ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/09/peristiwa-merah-salju-3.html,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Peristiwa Merah Salju 3 ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Peristiwa Merah Salju 3 sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Peristiwa Merah Salju 3 with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/09/peristiwa-merah-salju-3.html. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar