Darah Ksatria
(Harkat Pendekar-Gan KH)
Karya : Khu Lung
Prakata
Menurut penilaian orang, dalam tiga ratus tahun ini, orang
yang paling beruntung di dunia Kang-ouw adalah putera
sulung keluarga Toan di Kim-tan, Toan Giok. Di Kim-tan,
keluarga Toan adalah keluarga ternama. Di dunia Kang-ouw,
keluarga Toan juga merupakan keluarga persilatan yang
termasyur.
Walaupun ilmu golok yang diwariskan turun-temurun dalam
keluarga itu bersifat lembut dan serasi, tanpa menggunakan
racun atau cara-cara licik lainnya, tapi ilmu tenaga dalam
mereka amat murni dan mendalam. Juga luar biasa. Dan
karena itu, persis seperti sifat Toan Giok sendiri, ilmu golok
mereka tidak membangkitkan perasaan takut di hati orang
lain, tapi menimbulkan perasaan hormat.
Senjata warisan keluarga itu, Bik-giok-to (Golok Kemala),
juga termasuk senjata pusaka. Golok itu mempunyai riwayat yang hebat dalam sejarah persilatan.
Tapi kisah yang akan kita ceritakan ini tentu saja bukan mengenai Bik-giok-to.
Di dunia Kang-ouw, juga ada sebuah mustika yang disebut Bik-giok-je (Tusuk Konde Kemala).
Bila Bik-giok-to membawa pemiliknya kepada nasib baik dan kemakmuran, Bik-giok-je ini justru
membawa kemalangan dan bencana.
Menurut cerita, siapa pun yang memiliki Bik-giok-je ini, suatu bencana tentu akan segera menimpa
dirinya.
Menurut cerita itu juga, setiap pemiliknya akan mengalami kematian yang tragis, tanpa terkecuali.
Di dunia Kang-ouw, banyak beredar cerita dongeng yang berhubungan dengan Bik-giok-je. Ada
yang lebih mirip mitos, penuh takhyul dan khayalan belaka. Tapi kisah kita ini juga bukanlah cerita
tentang Bik-giok-je.
Kisah yang akan kita ceritakan sekarang adalah tentang Bik-giok-cu.
Apakah Bik-giok-cu itu? Apakah seorang manusia? Sejenis senjata? Sejenis pusaka? Atau semacam
obat yang mujarab?
Bab 1: Empat Tuan Muda
Pertengahan musim dingin, dan hawa terasa amat dingin menggigit. Lembah itu tertutup oleh salju.
Koleksi Kang Zusi
Sejauh mata memandang, yang tampak cuma es, dan bumi kelihatan berwarna putih keperakan. Di
lembah bersalju itu, seorang laki-laki sedang sibuk menggali sebuah lubang berukuran lebar tiga
kaki, dalam lima kaki dan panjangnya tujuh kaki.
Dia masih muda, kuat, bertubuh tinggi dan berwajah tampan. Dan lebih dari itu, sikapnya seperti
seorang pemuda terpelajar dan berasal dari keluarga berada. Bajunya tampaknya terbuat dari bahan
yang mahal, dengan mantel berbulu tebal yang berharga seribu tael emas. Dia menggenggam
sebilah tombak perak yang berkilauan di tangannya, dan gagang tombak terbuat dari perak murni.
Di atas gagang tombak terukir beberapa huruf berbunyi: “Hong Seng, Gin-jio, Khu”.
Pemuda seperti ini seharusnya bukan seorang penggali tanah. Tombak perak sebagus itu juga
seharusnya tidak digunakan untuk menggali tanah.
Tempat itu adalah sebuah lembah yang indah di bawah naungan langit biru yang cerah. Tumpukan
salju berwarna putih keperakan. Bunga bwe bermekaran dengan warna yang merah menyala.
Dia datang ke sini dengan menaiki kuda, menempuh perjalanan yang jauh. Kuda itu merupakan
turunan kuda jempolan yang ternama, harganya pasti amat mahal.
Kuda jempolan. Pelana yang bagus dan mengkilap. Bahkan sanggurdinya pun terbuat dari perak
murni.
Mengapa pemuda segagah ini, dengan kuda sebagus ini, mau menempuh perjalanan jauh datang ke
sini dan menggunakan senjatanya untuk menggali tanah?
Lubang itu sudah selesai digali. Dia lalu berbaringnya di dalamnya seperti sedang mengukur besar-
kecilnya, apakah sudah cukup nyaman baginya untuk rebah di sana. Apakah pemuda ini menggali
lubang itu untuk dirinya sendiri?
Cuma orang mati yang menggunakan lubang seperti ini. Padahal dia masih muda dan sehat,
agaknya dia masih bisa hidup selama beberapa puluh tahun lagi. Mengapa dia menggali lubang
kubur untuk dirinya sendiri? Apakah dia ingin mati? Manusia mana pun ingin hidup. Kenapa dia
ingin mati? Dan kenapa harus mati di tempat ini?
Hujan salju sudah berhenti sejak tadi malam dan cuaca sudah menjadi cerah. Dia melepaskan
pelana kudanya dan menepuk leher kudanya dengan perlahan. Lalu dia berkata, “Pergilah. Carilah
seorang majikan yang baik.” Kuda yang gagah itu meringkik pelan dan segera berlari keluar dari
lembah bersalju itu. Pemuda itu lalu duduk di atas pelana yang ditaruh di atas salju dan mendongak
ke angkasa. Entah apa yang sedang dilamunkannya, sorot matanya tampak resah dan sedih.
Saat itulah serombongan orang datang ke lembah bersalju itu. Ada yang membawa kotak makanan.
Ada yang memanggul meja dan kursi. Juga ada yang memikul dua guci arak. Mereka semua datang
dari luar lembah. Orang yang berjalan di depan tampaknya seperti seorang pengurus rumah makan.
Dia datang menghampiri pemuda tadi dan bertanya sambil tersenyum, “Maafkan hamba, Kongcu.
Apakah tempat ini Han-bwe-kok?”
Pemuda penggali tanah itu mengangguk. Dia bahkan tidak melirik ke arah mereka.
Orang itu bertanya lagi, “Apakah Toh-siauwya yang mengundang Kongcu ke mari?”
Pemuda penggali tanah itu diam saja.
Koleksi Kang Zusi
Pengurus rumah makan itu menghela napas. Dia lalu menggerutu sendiri, “Aku tidak paham.
Kenapa Toh-kongcu menyuruh kami mengantarkan makanan dan arak ke sini?”
Seorang temannya tertawa dan berkata, “Anak-anak keluarga kaya kan tingkahnya aneh-aneh.
Orang miskin seperti kita tentu saja tidak bakal mengerti.”
Segera mereka mengatur meja dan kursi di bawah sebatang pohon bwe, menyiapkan makanan dan
arak di atas meja, dan kemudian bergegas pulang.
Beberapa saat kemudian, tiba-tiba dari luar lembah terdengar suara senandung dengan nada yang
tinggi,
“Langit cerah, salju bertumpuk. Bunga bwe mekar semerbak di mana-mana. Naik keledai melintasi
jembatan. Keleningannya berbunyi nyaring.”
Bunyi keleningan memang berkumandang nyaring dan merdu. Seorang yang menaiki keledai hitam
dan seorang lagi menunggang kuda putih lalu memasuki lembah itu. Si penunggang keledai
berwajah pucat, seperti orang berpenyakitan. Tapi wajahnya selalu dihiasi senyuman yang hangat
dan pakaiannya pun perlente. Temannya berpakaian indah, dengan sebilah pedang panjang yang
tergantung di pinggangnya, sebuah topi berbulu rase di kepalanya, dan sebuah mantel berbulu rase
warna perak. Dengan menunggang seekor kuda putih yang gagah dan besar, sekujur badannya
kelihatan berwarna putih keperakan. Dia tampak amat angkuh. Tentu saja dia pantas untuk bersikap
angkuh. Memang tidak banyak pemuda yang setampan dia.
Agaknya ketiga pemuda ini semuanya berasal dari keluarga berada, berkumpul di sini tanpa
perjanjian sebelumnya. Tapi jelas tujuan mereka berbeda. Kedua pemuda yang baru datang ini
sedang berjalan-jalan menelusuri salju, mengagumi bunga-bunga bwe yang sedang mekar, dan
menikmati pemandangan alam sambil minum arak. Pemuda yang menggali tanah itu sedang
menunggu ajalnya.
Di bawah pohon bwe sudah tersedia arak. Pemuda yang selalu tersenyum tadi lalu menuangkan
secawan dan menenggaknya. Lalu dia berkata, “Arak bagus.”
Di depan arak tumbuh kembang, dan bunga-bunga itu sedang mekar. Pemuda tadi menghabiskan
secawan arak lagi dan berkata, “Kembang bagus!”
Warna kembang terpantul di salju, merah menyala. Dia menenggak secawan lagi dan berkata,
“Salju bagus.”
Setelah tiga cawan arak masuk ke dalam perutnya, wajahnya yang pucat pun bersemu merah. Dia
seolah-olah hendak melayang – semangatnya pun berkobar-kobar.
Walaupun tubuhnya lemah karena penyakitan, dia bisa menghargai kesenangan hidup. Agaknya dia
tertarik pada segala sesuatu, dan karenanya dia hidup dalam aneka ragam kesenangan.
Pemuda tampan yang menunggang kuda putih, berbaju bulu dan membawa pedang panjang itu,
ekspresi wajahnya justru tampak kelam dan kaku, seolah-olah tak ada yang bisa menarik
perhatiannya.
Sambil tersenyum tipis, pemuda berpenyakitan tadi bertanya, “Salju bagus, kembang bagus, arak
bagus. Kenapa kau tidak minum secawan?”
Koleksi Kang Zusi
“Aku tidak minum arak,” jawab pemuda tampan itu.
Pemuda berpenyakitan berkata, “Kita jauh-jauh datang ke sini, dan kau tidak mau minum arak. Kau
tidak memperdulikan lembah bersalju yang indah dan ribuan bunga bwe yang sedang mekar di
sini.”
Dia lalu menghela napas dan bergumam, “Orang ini benar-benar kelewatan. Sungguh menyebalkan,
kenapa aku berteman dengan dia?”
Si pemuda penggali tanah masih duduk melamun. Pemuda berpenyakitan itu tiba-tiba bangkit
berdiri, berjalan menghampiri dan mengelilingi lubang itu beberapa kali. Lalu dia berkata, “Lubang
bagus.”
Si pemuda penggali tanah cuma diam saja.
Pemuda berpenyakitan lalu meneruskan, “Lubang ini digali dengan bagus.”
Pemuda penggali tanah tetap diam tak memperdulikannya.
Maka pemuda berpenyakitan itu lalu beranjak ke hadapannya dan bertanya, “Apa kau yang
menggali lubang ini?”
Pemuda penggali tanah itu tidak bisa diam lagi. Dia terpaksa berkata, “Ya.”
Pemuda berpenyakitan bertanya pula, “Tadi kubilang lubang ini digali dengan bagus. Apa kau tahu
maksudku?”
“Kau ingin aku minum arak denganmu,” jawab pemuda penggali tanah.
Sambil tertawa, pemuda berpenyakitan berkata, “Kau bukan cuma bisa menggali tanah, tapi kau
juga bisa menebak maksud hati orang lain.”
“Sayangnya, aku tidak mau minum,” kata pemuda penggali tanah.
Pemuda berpenyakitan tertawa lebar dan bertanya, “Kau tidak pernah minum?”
Pemuda penggali tanah menjawab, “Jika sedang senang, aku minum. Tapi jika tidak, buat apa
minum?”
Pemuda berpenyakitan bertanya, “Dan sekarang, kenapa kau tidak mau minum?”
“Karena sekarang aku sedang susah, aku tidak mau minum,” jawab si pemuda penggali tanah ketus.
Walaupun demikian, pemuda berpenyakitan itu tetap tertawa dan berkata, “Sekarang aku tahu siapa
kau. Sudah sering kudengar orang mengatakan bahwa watak Gin-jio Kongcu persis seperti
tombaknya, lurus dan keras. Kau tentu Khu Hong-seng.”
Pemuda penggali tanah itu tidak menghiraukannya lagi.
Pemuda berpenyakitan tadi berkata, “Aku she Toh, namaku Ceng-lian (Teratai Hijau).”
Khu Hong-seng tetap tidak memperdulikannya, seolah-olah belum pernah mendengar nama itu.
Koleksi Kang Zusi
Padahal dia mengenal nama itu. Di antara orang-orang yang berkelana di dunia Kang-ouw, amat
sedikit yang tidak mengenal nama ini.
Di dalam Bu-lim, di jaman ini tentu tidak ada orang yang tidak kenal nama Bu-lim-si-toakongcu,
empat kongcu ternama – Gin-jio (Tombak Perak), Pek-ma (Kuda Putih), Ang-yap (Daun Merah)
dan Ceng-lian (Teratai Hijau). Dia juga tahu bahwa si pemuda tampan yang menunggang kuda
putih, bermantel bulu dan membawa pedang panjang itu adalah Pek-ma Kongcu, Ma Ji-liong. Tapi
dia pura-pura tidak mengenalnya.
Toh Ceng-lian menghela napas dan berkata, “Agaknya kau telah memutuskan untuk tidak minum
hari ini.”
Mendadak terdengar sebuah suara yang nyaring dari luar lembah, “Kalau mereka tidak mau minum,
biar aku saja.”
Orang yang gemar minum pun tiba. Setelah hujan salju berhenti, hawa malah lebih dingin dari
sebelumnya. Mereka mengenakan pakaian berbulu, tapi tetap saja merasa dingin. Sebaliknya orang
ini memakai baju tipis, dan walaupun bahannya bagus, baju itu tidak cocok dipakai dalam udara
sedingin ini. Maka dia pun menggigil kedinginan. Tapi, walau udara teramat dingin, dia malah
memegang sebuah kipas lempit di tangannya. Guci arak berada di atas meja, begitu pula dengan
cawan-cawannya. Mereka melihat dia berjalan ke sana dan mengangkat sebuah guci dengan kedua
tangannya. Lalu dia menenggak beberapa teguk. Setelah itu, sambil menghela napas dia berkata,
“Arak bagus.”
Toh Ceng-lian tertawa.
Lalu orang itu menenggak sekali lagi dan berkata, “Bukan hanya arak dan kembangnya yang bagus,
tapi saljunya juga bagus.” Setelah minum beberapa teguk, dia pun tidak menggigil lagi. Wajahnya
mulai bersemu merah.
Walaupun orang ini miskin, dia tidak tampak menyebalkan. Dia justru mampu menarik simpati
orang. Alisnya yang panjang lentik dan bola matanya yang cemerlang tampak menyenangkan. Bila
tersenyum, sudut mulutnya terangkat, dua lesung pipi pun tampak menghiasi wajahnya. Toh Ceng-
lian mulai menyukainya.
Orang ini benar-benar menyenangkan.
Orang ini juga berkata, “Dengan perasaan seperti ini, pemandangan yang seperti ini, di saat seperti
ini, orang yang tidak mau minum seharusnya.....”
Toh Ceng-lian berkata, “Seharusnya.... apa?”
“Seharusnya dipukul pantatnya,” jawab orang itu.
Toh Ceng-lian tertawa terbahak-bahak. Pemuda penggali tanah itu tetap pura-pura tidak mendengar
dan membisu. Kecuali orang yang sedang dia khawatirkan dan persoalan yang sedang membuatnya
bingung dan gundah, dia tidak perduli pada urusan lain.
Walaupun Ma Ji-liong mengerutkan keningnya karena gusar, namun dia masih menahan sabar.
Bukannya dia tidak berani. Dia cuma tidak mau menurunkan martabatnya dan bersikap kasar seperti
orang ini.
Koleksi Kang Zusi
Tapi pemuda yang baru datang itu justru mendekati dirinya. Sambil menepuk guci arak, dia berkata,
“Ayo, kau pun minum secawan.”
“Kau tidak setimpal,” kata Ma Ji-liong dengan dingin.
Orang itu bertanya, “Oh, orang macam apa yang cukup setimpal untuk minum denganmu?”
“Orang macam apakah kau?” kata Ma Ji-liong.
Orang itu tidak menjawab. Malah, “sret!”, dia membuka lebar-lebar kipas di tangannya. Di kipas itu
tertulis beberapa huruf. Tulisan itu sangat indah, amat berseni, persis seperti dirinya sendiri.
“Daun-daun di musim gugur lebih merah daripada bunga-bunga di bulan dua.”
Walaupun orang ini miskin, kipasnya itu jelas merupakan barang berkualitas tinggi. Selain itu,
huruf-huruf di kipasnya pun tentu ditulis oleh seorang seniman ternama.
Toh Ceng-lian menenggak secawan arak lagi dan berkata, “Tulisan yang bagus.”
Orang itu mengangkat guci arak dan menenggak isinya. Lalu dia berkata, “Pandanganmu tajam
juga.”
Toh Ceng-lian berkata, “Siapa yang menulis huruf-huruf itu?”
Orang itu menjawab, “Kecuali aku, siapa lagi yang bisa menulis sebagus itu?”
“Sekarang aku juga tahu siapa kau,” kata Toh Ceng-lian sambil tertawa tergelak.
Orang itu berseru, “Oh, benarkah begitu?”
Toh Ceng-lian melanjutkan, “Kecuali Sim Ang-yap, siapa lagi yang segila dirimu?”
Di antara Bu-lim-si-toakongcu itu, yang paling angkuh adalah Pek-ma (Kuda Putih) Ma Ji-liong.
Yang paling keras wataknya adalah Gin-jio (Tombak Perak). Toh Ceng-lian adalah yang berhati
paling hangat. Dan yang paling edan adalah Sim Ang-yap.
Tiga orang pertama – Ma, Khu dan Toh – berasal dari keluarga ternama. Sementara Kuda Putih,
Tombak Perak dan Teratai Hijau adalah kongcu-kongcu yang berasal dari keluarga terkenal dan
baik-baik, asal-usul Sim Ang-yap sendiri benar-benar misterius.
Menurut cerita, dia adalah keturunan dari pendekar nomor satu di jaman dulu, Sim Long.
Juga dikabarkan bahwa sahabat karib Siau Li Tam-hoa (Li Sun-hoan) – dan jago pedang tercepat di
dunia – Ah Fei, adalah leluhurnya.
Sejarah hidup Ah Fei sendiri merupakan teka-teki, dan karena itu pula kisah hidup Sim Ang-yap
juga merupakan teka-teki. Dia sendiri tidak pernah bercerita tentang asal-usulnya. Orang
mencantumkan dirinya dalam Bu-lim-si-toakongcu karena dia dibesarkan dalam keluarga Yap.
Keluarga Yap yang dimaksud tentu saja keluarga Yap Kay. Dan Yap Kay adalah murid Siau Li
Tam-hoa. - Siapakah Siau Li si Pisau Terbang? Siapa yang tidak tahu tentang pendekar besar itu?
Koleksi Kang Zusi
Saat ini Bu-lim-si-toakongcu sudah datang semua. Tapi bukan maksud mereka untuk bertemu di
sini. Tempat ini letaknya ribuan li dari rumah mereka. Toh Ceng-lian memiliki selera yang tinggi,
tidak mungkin dia mau menempuh perjalanan ribuan li hanya untuk menikmati panorama bunga
bwe yang indah dan minum arak.
Khu Hong-seng juga tidak mungkin menempuh perjalanan jauh dan hanya duduk di situ untuk
menunggu ajalnya. Jika orang ingin mati, di tempat mana pun bisa. Kenapa mereka semua datang
ke sini? Untuk apa?
Dengan sikap dingin, Ma Ji-liong duduk di sana, bertingkah seolah-olah nama Sim Ang-yap tidak
berarti apa-apa buat dirinya. Tapi tangannya telah bergerak meraba gagang pedangnya. Dia menatap
Sim Ang-yap dengan dingin dan mendadak berkata, “Bagus sekali.”
Sim Ang-yap bertanya, “Apanya yang bagus sekali?”
“Kau adalah Sim Ang-yap. Itu bagus sekali,” jawab Ma Ji-liong.
Sim Ang-yap bertanya, “Kenapa begitu?”
“Mulanya aku menganggap dirimu tidak berharga, tidak setimpal bagiku untuk mencabut pedangku.
Pedangku tidak pernah membunuh seorang badut,” jawab Ma Ji-liong.
Sim Ang-yap melanjutkan, “Dan sekarang?”
Ma Ji-liong berkata, “Sim Ang-yap bukan badut. Maka, jika sekarang kau menyemprotkan kata-
kata kotor, di antara kau dan aku akan terjadi pertumpahan darah dan harus ada yang mati.”
Sambil tersenyum pahit, Sim Ang-yap menghela napas dan berkata, “Aku cuma meminta kau untuk
minum arak denganku, dan kau sudah sebegitu marahnya!”
Toh Ceng-lian menyela, “Dia tidak mau minum. Tapi aku mau.” Lalu dia merebut guci arak dari
tangan Sim Ang-yap, membuka mulutnya dan menenggak beberapa teguk. Sambil terbatuk, dia
berkata, “Arak bagus.”
Sim Ang-yap merampas guci itu kembali dari tangannya dan minum beberapa teguk. Sambil
menghela napas, dia berkata, “Arak seperti ini, biarpun diracuni juga akan tetap kuminum sampai
mati.”
Toh Ceng-lian terkekeh dan berkata, “Benar sekali. Jika kita bisa mati di sini sekarang, itulah nasib
kita yang bagus.”
Sim Ang-yap bertanya, “Kenapa begitu?”
“Karena... di sini sudah ada orang yang menggali liang lahatnya,” jawab Toh Ceng-lian.
Sim Ang-yap bertanya lagi, “Baguskah liang lahat itu?”
“Bagus sekali,” jawab Toh Ceng-lian.
Sim Ang-yap mendadak bangkit, sambil membawa guci arak dengan kedua tangannya, dia
mengelilingi lubang di tanah itu beberapa kali. Lalu dia bergumam, “Benar, ini liang yang amat
Koleksi Kang Zusi
bagus. Jika orang mati dan dikuburkan dalam liang yang bagus seperti ini, dia benar-benar bernasib
mujur.”
“Sayangnya dia bukan menggali liang ini untuk kita,” kata Toh Ceng-lian.
Sim Ang-yap berkata, “Cuma orang mati yang menggunakan liang seperti ini. Apakah dia ingin
mati?”
“Agaknya begitu,” jawab Toh Ceng-lian.
Sim Ang-yap tampak kaget dan berkata, “Orang ini kenapa ingin mati?”
“Karena, seperti kita, dia sudah menerima sepucuk surat yang mengundangnya untuk datang ke sini
hari ini.”
Sim Ang-yap bertanya, “Apakah surat yang dikirimkan oleh Bik-giok Hujin itu?”
Toh Ceng-lian menjawab, “Tentu saja.”
Sim Ang-yap berkata, “Bik-giok Hujin mengundang kita semua datang ke sini. Apakah karena dia
ingin agar salah seorang dari kita menjadi menantunya?”
“Benar,” jawab Toh Ceng-lian.
Sim Ang-yap melanjutkan, “Bik-giok Hujin adalah jago kosen yang paling terkenal di dunia. Di
Bik-giok-san-ceng, semua penghuninya adalah perempuan-perempuan yang amat cantik. Saat
menerima surat itu, aku merasa begitu senangnya hingga tidak bisa tidur.”
“Aku bisa membayangkannya,” balas Toh Ceng-lian.
Sim Ang-yap berkata, “Jika dia memilihku sebagai menantunya, kurasa aku bisa gila saking
senangnya.”
“Sebaiknya kau jangan menjadi gila. Bik-giok Hujin tidak mau menantunya menjadi gila,” kata Toh
Ceng-lian.
Sim Ang-yap bertanya, “Apakah dia mau mengambil orang mati sebagai menantunya?”
“Tentu saja tidak,” jawab Toh Ceng-lian.
Sim Ang-yap bertanya lagi, “Kalau begitu, kenapa Khu-kongcu kita mendadak ingin mati di sini?”
Toh Ceng-lian berkata, “Karena dia adalah pemuda yang romantis. Ia sudah bertunangan dengan
seorang nona muda yang cantik dan bersumpah setia sampai mati.” Ia menghela napas dan
meneruskan, “Jika Bik-giok Hujin memilih dia menjadi menantunya, dia tidak akan bisa hidup
bersama nona itu lagi.”
“Jadi, jika Bik-giok Hujin mengambilnya sebagai menantu, maka dia akan mati di sini,” tebak Sim
Ang-yap.
“Benar sekali,” jawab Toh Ceng-lian.
Koleksi Kang Zusi
“Tapi persoalan ini masih bisa dilihat dari sudut pandang lain,” kata Sim Ang-yap setelah berpikir
sejenak.
Toh Ceng-lian bertanya, “Sudut pandang apa?”
Sim Ang-yap berkata, “Apakah menurutmu Bik-giok Hujin bisa melihat liang ini?”
Toh Ceng-lian terkekeh dan berkata, “Liang ini begitu besar. Walaupun orang tidak ingin
melihatnya, rasanya hal itu sulit untuk dihindari.”
“Jika dia melihat liang ini, dia akan menyadari bahwa Khu-kongcu sudah bertekad untuk mati.
Tidak mustahil dia akan membebaskannya pergi dan memilihku sebagai menantu Bik-giok-san-
ceng,” kata Sim Ang-yap.
Sambil menghela napas, Toh Ceng-lian menjawab, “Kau benar-benar orang yang cerdas. Sudut
pandang orang cerdas memang selalu berbeda dengan orang lain, apalagi dengan orang romantis.”
“Orang romantis belum tentu tidak cerdas,” kata Sim Ang-yap sambil tertawa tergelak.
Rona muka Khu Hong-seng sudah berubah. Tiba-tiba dia berdiri dan menatap Toh Ceng-lian. Lalu
dia bertanya, “Kenapa kau bisa tahu semua ini?” Ini adalah rahasia, dan cuma dua orang yang tahu
tentang hal ini. Tapi ucapannya itu telah mengukuhkan bahwa kata-kata Toh Ceng-lian memang
benar.
Sambil menghela napas, Toh Ceng-lian berkata, “Kau tidak menyangka kalau aku pun tahu hal ini,
bukan?”
“Ya, aku tidak mengira, kau tahu dari siapa?” tanya Khu Hong-seng.
“Semula aku juga tidak tahu, sayangnya nona cantik itu.....”
Dia tidak menyelesaikan kata-katanya. Mendadak muncul mimik yang aneh di wajahnya. Mukanya
yang semula pucat mendadak berubah menjadi gelap. Dia menatap Sim Ang-yap dan membuka
mulutnya untuk mengatakan sesuatu, tapi tidak ada suara yang keluar.
Sim Ang-yap berkata, “Apakah kau.....” Suaranya pun mendadak hilang setelah beberapa patah kata
itu.
Mimik mukanya tampak aneh. Kedua orang itu berdiri saling berpandang-pandangan, sorot mata
mereka menampilkan perasaan takut yang teramat sangat.
“Plok!”, guci arak Sim Ang-yap terlepas dari genggaman tangannya dan jatuh ke dalam liang, pecah
berantakan.
Mendadak, dengan senyum yang sedih dan misterius di wajahnya, sepatah demi sepatah kata dia
berujar dengan serak, “Agaknya nasibku lebih baik darimu. Aku berdiri di pinggir liang ini....” Ini
adalah kata-kata terakhirnya. Dan belum habis bicara, tubuhnya sudah jatuh ke dalam liang.
Walaupun liang lahat itu bukan dipersiapkan untuknya, tapi dia sudah masuk lebih dulu.
Memangnya orang hidup mau berebut liang lahat dengan orang mati?
HARKAT PENDEKAR
Koleksi Kang Zusi
Saduran : Gan K. H
Bab 2: Pembunuh
Toh Ceng-lian pun juga roboh. Sebelum terjatuh, darah merembes dari sudut mulutnya. Tapi dia
masih berjuang untuk bangkit. Di atas meja masih ada arak di dalam guci lainnya. Ia merangkak ke
sana dan menenggak arak itu. Sambil tertawa dengan keras, dia berkata, “Arak bagus. Arak bagus.”
Suara tawanya terdengar melengking dan menyedihkan.
“Ini arak yang amat bagus. Walaupun aku tahu arak ini beracun, aku tetap meminumnya. Kalian
berdua lihat, bukankah hari ini aku minum sampai mati?” Ketika suara tawanya lenyap, dia pun
terjungkal ke dalam liang itu. Dia tidak mau membiarkan Sim Ang-yap memakai liang itu sendirian.
Langit tiba-tiba berubah menjadi gelap, angin dingin terasa mengiris kulit, tapi kedua pemuda itu
tidak akan pernah merasa kedinginan lagi.
Khu Hong-seng dan Ma Ji-liong mengawasi kematian kedua orang itu dengan ketakutan, mereka
merasa diri mereka sendiri pun seperti akan ambruk juga. Perubahan ini terlalu mendadak, terlalu
mencekam dan terlalu menakutkan.
Setelah sekian lama, Khu Hong-seng pelan-pelan mengangkat kepalanya dan menatap Ma Ji-liong.
Tatapan matanya lebih dingin daripada angin. Sorot matanya tajam seperti pisau, seakan-akan dia
hendak merobek dada Ma ji-liong dan mengorek hatinya. Kenapa dia memandang Ma Ji-liong
seperti itu? Ma Ji-liong sudah pulih kembali ketenangannya. Toh Ceng-lian adalah temannya, yang
baru saja mati dengan tiba-tiba tepat di hadapannya. Tapi dia tidak kelihatan sedih. Kematian Toh
Ceng-lian sangat aneh. Tapi dia pun tidak kelihatan terkejut.
Agaknya dia tidak perduli apakah orang lain hidup atau mati, atau bagaimana mereka bisa mati,
karena dia masih hidup. Karena dia masih tetap Ma Ji-liong, yang selamanya dijuluki Pek-ma
Kongcu Ma Ji-liong.
Khu Hong-seng menatapnya. Tiba-tiba dia bertanya, “Kau benar-benar tidak pernah minum?”
Ma Ji-liong tidak menjawab. Jarang sekali dia mau menjawab pertanyaan orang. Biasanya, dialah
yang bertanya dan memberikan perintah.
“Aku tahu kau juga minum arak. Aku pernah melihatmu minum, dan minummu itu tidak sedikit,”
kata Khu Hong-seng.
Ma Ji-liong tidak mengiyakan dan juga tidak menyangkal.
Khu Hong-seng berkata, “Kau bukan cuma pernah minum, tapi kau juga sering minum. Bahkan kau
sering mabuk. Saat berada di rumah makan Tin-cu-hong di Hangciu, kau minum siang dan malam
selama tiga hari berturut-turut. Kau mengusir semua tamu di rumah makan Tin-cu-hong itu karena
mereka semua jorok, tidak setimpal untuk minum denganmu.” Dia berhenti sejenak dan kemudian
melanjutkan, “Menurut cerita orang, kau pernah menghabiskan seluruh persediaan arak Li-ang-ciu
di rumah makan Tin-cu-hong itu, arak simpanan sebanyak 20 kati setiap gucinya. Dan kau
menghabiskan empat guci. Sampai saat ini, belum ada yang berhasil memecahkan rekormu itu.”
Ma Ji-liong berkata dengan dingin, “Guci terakhir bukan berisi arak Li-ang-ciu. Rumah makan Tin-
cu-hong itu cuma punya tiga guci arak Li-ang-ciu yang tulen.”
Koleksi Kang Zusi
“Setelah menghabiskan enam puluh kati arak simpanan, kau masih bisa membedakan bahwa guci
terakhir bukan berisi arak yang tulen. Kemampuan minum arakmu benar-benar bagus.”
“Kemampuanku minum arak memang bagus,” kata Ma Ji-liong.
Khu Hong-seng berkata, “Tapi.... hari ini kau tidak menyentuh arak setetes pun.” Sorot matanya
semakin dingin. “Kenapa hari ini kau tidak minum? Kau tahu ada racun di dalam arak ini, bukan?”
Ma Ji-liong tetap tutup mulut.
Khu Hong-seng meneruskan, “Kau datang ke mari bersama Toh Ceng-lian. Kau tentu tahu di mana
dia memesan makanan dan arak. Kau menyuap seseorang untuk meracuni arak itu. Itu benar-benar
urusan yang amat mudah.”
Walaupun Ma Ji-liong tidak membenarkan, anehnya dia pun tidak menyangkalnya.
Khu Hong-seng berkata, “Aku sudah bertekad hendak mati daripada masuk ke Bik-giok-san-ceng.
Sekarang Toh Ceng-lian dan Sim Ang-yap sudah tergeletak mati seperti ini, maka Bik-giok Hujin
tidak perlu memilih lagi. Paduka yang mulia ini tentu akan menjadi menantunya.” Lalu dia
menyeringai dan berkata, “Hal ini benar-benar menggembirakan.”
Ma Ji-liong tetap berdiam diri. Baru kemudian, dengan dingin dia berkata, “Sekarang aku paham
apa maksudmu.”
“Seharusnya kau sudah paham,” Khu Hong-seng berkata, tombak perak sudah berada di tangannya.
Ma Ji-liong tidak mau bicara lagi. Perlahan-lahan dia melangkah dan berhadapan dengan Khu
Hong-seng.
Mendadak seseorang muncul dan berkata, “Khu Hong-seng adalah milikku. Sekarang bukan
giliranmu.”
Tidak ada yang tahu kapan orang ini tiba. Mungkin waktu Toh Ceng-lian dan Sim Ang-yap tewas
secara tragis. Tidak ada yang memperhatikan urusan lain pada saat itu.
Orang ini bertubuh jangkung dan kurus, dengan tulang pipi yang menonjol tinggi. Kedua tangannya
berukuran amat besar, memegang sepasang tombak emas. Kedua tombak ini panjangnya empat kaki
sembilan dim, dan ujungnya gemerlap berkilauan. Andaikan tidak terbuat dari emas, bahan baku
tombak-tombak itu amat mirip dengan emas.
Pakaian orang ini juga berwarna kuning keemasan. Bajunya tampaknya terbuat dari bahan yang
mahal dan dijahit sesuai dengan ukuran tubuhnya. Ini adalah mereknya, sehingga bila orang-orang
Kang-ouw melihatnya, mereka akan segera mengenalinya sebagai Kim-jio (Tombak Emas) Kim
Tin-lin.
Dulunya, di dunia Kang-ouw, tombak yang paling terkenal adalah tombak emas ini – tombak emas
Kim Tin-lin. Tapi keadaan sudah berubah sejak Gin-jio Kongcu mengalahkan tombak emas ini tiga
tahun yang lalu. Sejak saat itu, di antara mereka sudah timbul kebencian yang tidak bisa
dihilangkan oleh siapa pun.
Kim Tin-lin berkata, “Kita masih punya urusan yang belum beres. Hutang lama ini harus
diselesaikan dulu.”
Koleksi Kang Zusi
Dia mengacungkan tombak emasnya pada Khu Hong-seng dan berkata, “Dan kita akan
melakukannya hari ini juga.”
Khu Hong-seng menyeringai dan berkata, “Waktumu amat tepat.”
Kim Tin-lin balas menyeringai. Tiba-tiba ia memutar tubuhnya, bergerak maju selangkah dan
menusukkan tombak emas dengan ganas. Ketika sinar keemasan tampak berkilauan, Ma Ji-liong
mengulurkan tangannya, tapi dia melangkah mundur. Ini adalah kebiasaan di dunia Kang-ouw bila
orang lain hendak menyelesaikan hutang-piutang lama.
Serangan tombak emas itu keji, lincah dan kuat. Selain itu, tombak itu juga lebih panjang daripada
tombak perak. Semakin panjang, semakin kuat. Tapi, tombak perak lebih ringan dan cepat, dan
teknik yang digunakan juga jauh lebih baik daripada tombak emas. Tentu tombak emas akan kalah
lagi. Khu Hong-seng jelas ingin mengakhiri pertarungan ini dengan cepat. Saat dia menjulurkan
tangannya, dia sudah bersiap untuk menggunakan seluruh tenaganya. Tapi ketika dia hendak
mendesak Kim Tin-lin, tiba-tiba seseorang muncul dari balik sebatang pohon bwe yang tertutup
salju.
Orang ini serba hitam. Dengan baju hitam dan topeng hitam, seluruh badannya serba hitam.
Tubuhnya lebih tinggi dan kurus dibandingkan dengan Kim Tin-lin, persis seperti sebatang anak
panah berwarna hitam. Dia bergerak dengan cepat, amat mirip dengan sebatang anak panah.
Tangannya menggenggam sebilah golok, golok Yap-hap-to yang tipis dan tajam. Sinar golok
berkilauan, langsung menyerang dengan cepat ke arah leher Khu Hong-seng. Benar-benar sebuah
serangan golok yang mematikan.
Khu Hong-seng mengelakkan serangan golok itu, tapi akibatnya dadanya terbuka lebar. Tombak
emas Kim Tin-lin pun secepat kilat menusuk ke jantungnya.
Serangan tombak ini juga mematikan! Setelah menyerang, Kim Tin-lin tidak berhenti lagi.
Tubuhnya melayang di udara dan mencelat mundur sejauh 40 kaki.
Darah Khu Hong-seng menyembur keluar. Saat dia ambruk ke atas tanah, Kim Tin-lin sudah
menjauh 100 kaki. Orang serba hitam malah mundur lebih cepat darinya.
Ma Ji-liong tidak mengejar. Dia malah menghambur ke arah Khu Hong-seng. Dia tidak perduli
dengan nyawa orang lain. Tapi sekarang, jika dia tidak memeriksa, dia akan kehilangan kesempatan
untuk melihat apakah Khu Hong-seng benar-benar sudah mati. Dan dia telah salah perhitungan –
sesuatu yang tidak pernah diduga oleh siapa pun!
Kim Tin-lin tersusul oleh orang serba hitam, dan kedua orang itu lalu melarikan diri secara
berdampingan. Orang serba hitam itu pelan-pelan mulai ketinggalan. Tiba-tiba, bagaikan kilat,
golok Yap-hap-to di tangannya membacok ke leher sebelah kiri Kim Tin-lin. Serangan ini, bila
dibandingkan dengan serangan yang dia lancarkan tadi, jauh lebih cepat dan keji.
Kim Tin-lin menjerit kesakitan, darah pun muncrat. Dia ingin memutar kepalanya untuk menyerang
orang serba hitam itu. Tapi saat tubuhnya bergerak, dia pun ambruk ke atas tanah.
Setelah menyerang, orang serba hitam tadi tidak memperlambat gerakannya. Tubuhnya naik turun,
melesat keluar dari lembah. Teknik membunuhnya benar-benar bersih, mulus dan amat efektif.
Koleksi Kang Zusi
Jelas dia adalah orang yang sangat berpengalaman. Setelah membunuh orang, dia pun pergi tanpa
memandang ke belakang. Sayangnya gerakannya itu masih kurang cepat.
Tiba-tiba dia sudah dihadang oleh beberapa orang. Tadi dia membunuh untuk melenyapkan saksi,
dan segera dia pun berpikir bahwa orang lain akan melakukan hal yang sama pula. Dia tidak
menunggu lawan melancarkan serangan. Dia menyerang lebih dulu. Goloknya lebih beracun
daripada ular berbisa. Saat membunuh orang, jarang sekali dia membuat kesalahan. Sayangnya kali
ini dia memilih sasaran yang salah.
Di mulut lembah itu berdiri berdampingan tiga orang laki-laki -– yang satu bertubuh amat besar dan
kuat; satunya lagi gemuk luar biasa; dan yang ketiga adalah seorang hwesio. Si tinggi besar tadi
adalah seorang laki-laki tua berambut putih, bermuka merah dengan wajah yang serius dan sikap
yang agung. Sedangkan untuk si hwesio itu, siapa pun yang terjun ke dunia Kang-ouw pasti tahu
bahwa 'pengemis, wanita dan pendeta' adalah tiga jenis manusia yang paling sulit dihadapi.
Sebagai seorang pembunuh yang profesional, tentu saja dia akan memilih orang yang paling lemah.
Dia pun memilih orang yang tampaknya bukan cuma gemuk luar biasa – tapi juga kelihatan amat
lamban itu.
Mimpi pun dia tidak menyangka kalau orang gemuk ini adalah Peng Thian-pa, yang amat terkenal
karena ilmu golok Ngo-hou-toan-bun-to keluarganya itu. Di jaman ini, itulah ilmu golok yang
tercepat, paling keji dan paling termasyur di dunia Kang-ouw.
Peng Thian-pa tentu saja membawa golok di pinggangnya, masih tersarung. Tapi tahu-tahu golok
itu sudah menyentuh tenggorokan si orang serba hitam. Tadi orang serba hitam itu sudah
melancarkan serangan terlebih dulu, tapi mendadak dilihatnya kilauan golok yang menyambar
tenggorokannya sendiri.
Si orang tua tinggi besar buru-buru berseru, “Jangan bunuh saksi......” Sayangnya, saat ketiga patah
kata ini baru saja dikeluarkan, kepala orang serba hitam itu sudah terpisah dari lehernya.
“Kau terlambat!” Peng Thian-pa berkata sambil menghela napas.
Si orang tua tinggi besar juga menghela napas. Dia berkata, “Benar, seharusnya aku sudah tahu.
Tidak pernah ada saksi hidup di bawah serangan golokmu.”
Si hwesio berkata dengan nada menyindir, “Walaupun Peng-tayhiap sudah banyak membunuh
orang, tapi mereka semua memang pantas mati. Orang ini sudah mengambil nyawa lima orang
secara berturut-turut, maka kematiannya tidak patut disesali.”
Si orang tua tinggi besar berkata, “Aku cuma ingin menanyai dia tentang kelima orang pelayan dari
rumah makan Kik-hong-wan. Mereka bukan orang-orang Kang-ouw dan tidak punya musuh.
Kenapa dia harus memasang perangkap kematian untuk mereka?”
Peng Thian-pa berkata, “Walaupun orang ini sekarang sudah mati, belum tentu kita tidak bisa
menuntaskan persoalan ini cepat atau lambat.”
Orang tua itu menyindir, “Siapa yang akan kita tanyai? Kecuali dia, siapa lagi yang tahu tentang
persoalan ini?”
Tiba-tiba terdengar sebuah suara yang keras, “Aku.”
Koleksi Kang Zusi
Ternyata Khu Hong-seng tidak mati. Dia berjuang untuk bangkit dan mendorong Ma Ji-liong ke
samping. Dengan terengah-engah dia berkata, “Untunglah aku tahu apa yang telah terjadi.”
Sejak jaman kemasyuran puteri-puteri dari Ih-hoa-kiong (Istana Bunga), perempuan yang paling
ajaib dan misterius di dalam Bulim adalah Bik-giok Hujin, dan tempat yang paling rahasia di dunia
ini adalah Bik-giok-san-ceng. Tidak seorang pun di dunia Kang-ouw yang tahu banyak tentang Bik-
giok-san-ceng atau di mana letaknya. Ini terjadi karena, seperti Ih-hoa-kiong, Bik-giok-san-ceng
adalah dunianya para wanita, di mana laki-laki tidak diperbolehkan masuk.
Menurut cerita orang, perempuan-perempuan di sana bukan saja amat cantik, mereka semua juga
melatih semacam ilmu kungfu yang amat misterius. Tapi, biarpun mereka adalah perempuan-
perempuan yang hebat, ada saatnya di mana laki-laki tetap dibutuhkan. Jika mereka ingin punya
keturunan, mereka tidak bisa melakukannya tanpa laki-laki.
Puteri Bik-giok Hujin sudah cukup umur, dan Bik-giok Hujin sendiri tentu saja tidak mau anaknya
hidup sendirian untuk selamanya. Seperti ibu-ibu lainnya, dia pun harus mencari menantu yang
tepat. Di jaman ini, laki-laki yang paling pantas dipilih di dunia Kang-ouw, yang patut menjadi
menantunya, sudah pasti keempat orang Bu-lim-si-toakongcu.
Sayangnya dia cuma punya seorang puteri dan hanya bisa memilih satu dari keempat orang pemuda
itu. Maka dia pun mengundang mereka ke Han-bwe-kok sini. Bila Bik-giok Hujin mengundang
orang, tidak seorang pun yang bisa mengatakan tidak. Tidak satu pun yang berani.
Karena itu keempat orang Bu-lim-si-toakongcu -– Khu Hong-seng, Ma Ji-liong, Toh Ceng-lian dan
Sim Ang-yap –- semua datang ke sini. Bik-giok Hujin tentu saja tidak berniat menyimpan rahasia
ini, tapi keempat pemuda itu sendiri tidak mau menyinggung hal itu. Ini terjadi karena hanya salah
satu dari mereka yang akan terpilih, dan yang tidak terpilih tentu akan kehilangan muka. Keempat
pemuda itu sama-sama terkenal. Ditolak orang tentu saja sangat memalukan.
Tidak seorang pun yang menduga bahwa arak beracun akan membunuh Toh Ceng-lian dan Sim
Ang-yap dan bahwa musuh bebuyutan Khu Hong-seng – Kim-jio Kim Tin-lin – akan muncul di
sini. Selain itu juga ada si pembunuh bayaran. Selain keempat orang pemuda itu, tidak ada yang
tahu kalau Khu Hong-seng hari ini akan berada di sini. Kenapa Kim Tin-lin bisa tahu tentang hal
ini?
Tentu ada seseorang yang menyuruhnya datang ke sini. Orang itu juga menyewa seorang pembunuh
bayaran karena dia tahu bahwa Kim Tin-lin mungkin bukanlah tandingan Khu Hong-seng.
Tentu orang ini pula yang meracuni arak. Lalu, untuk membungkam mulut para saksi, dia
menyuruh Kim Tin-lin dan pembunuh bayaran itu untuk membinasakan kelima orang pelayan dari
rumah makan Kik-hong-wan.
Orang itu juga menyuruh si pembunuh bayaran untuk membunuh Kim Tin-lin agar melenyapkan
seorang saksi lagi. Dia tidak takut kalau si pembunuh bayaran akan membuka rahasianya karena
pembunuh bayaran itu seorang profesional. Dia bukan saja mempunyai hati yang hitam, tangan
yang keji dan golok yang cepat, bibirnya juga akan selalu tertutup rapat. Maka, biarpun pembunuh
bayaran itu tetap hidup, dia tidak akan membocorkan rahasia pelanggannya.
Khu Hong-seng akhirnya menarik kesimpulan, “Menurut rencana itu, seharusnya aku sudah mati
oleh tombak emas Kim Tin-lin, dan kalian bertiga tidak ada di sini. Rencana orang ini benar-benar
hebat, dan tak ada orang yang lebih cerdik darinya. Bik-giok Hujin pasti tidak perlu memilih lagi.
Tentu orang inilah yang akan menjadi menantu Bik-giok-san-ceng.”
Koleksi Kang Zusi
Khu Hong-seng tidak menyebutkan siapa orang itu, dan dia memang tidak perlu mengatakannya.
Semua orang jelas paham. Semua orang sedang menatap Ma Ji-liong dengan dingin.
Ma Ji-liong tidak menjawab. Tak perduli bagaimanapun orang lain memandangnya, tak perduli apa
pun yang orang pikirkan tentang dia, dia tetap acuh tak acuh.
Peng Thian-pa berjalan mondar-mandir. Meskipun gemuk, dia amat aktif. Langkah kakinya terhenti
oleh mayat Kim Tin-lin, lalu dia memungut tombak emas itu. Dia menimbang-nimbangnya dalam
genggamannya dan bergumam, “Tombak ini tidak berat.”
“Dia melatih ilmu Tombak Bunga dari keluarganya. Ilmu itu memang termasuk ilmu tombak
ringan,” Khu Hong-seng menjelaskan.
Peng Thian-pa berkata, “Menurut cerita, pernah ada seseorang yang melemparkan tujuh keping
uang tembaga di depannya. Dalam sekali ayunan, tombaknya sudah berhasil menusuk tembus
semuanya.”
“Ilmu tombaknya memang sangat akurat,” Khu Hong-seng memberi komentar.
Sambil menghela napas, Peng Thian-pa berkata, “Tentu dia tidak berpikir begitu. Kali ini
tusukannya meleset.”
Khu Hong-seng berkata, “Memang benar.”
Peng Thian-pa berkata dengan nada kering, “Kalau tusukannya tidak meleset dari sasaran,
bagaimana mungkin kau masih bisa hidup?”
Khu Hong-seng tidak memberikan jawaban langsung. Dia malah berusaha membuka pakaiannya.
Baju luarnya merupakan mantel bulu yang tebal. Di dalamnya ada tiga lapisan lagi. Lapisan baju
yang terdekat dengan kulit mempunyai sebuah kantung, persis di atas jantungnya. Di dalam kantung
itu tersimpan sebuah dompet.
Di atas dompet itu tersulam gambar bunga. Sulaman itu amat bagus, jelas dibuat oleh tangan
perempuan yang cekatan. Sekarang, dompet bersulam itu sudah tertusuk bolong. Di dalam dompet
juga ada sepotong Giok-pwe (mainan kalung dari batu giok), dan Giok-pwe itu juga sudah hancur
berantakan.
Tentu saja tombak Kim Tin-lin tidak meleset. Tombak itu pasti sudah menembus mantel bulu Khu
Hong-seng dan kemudian menusuk jantungnya. Tapi Kim Tin-lin tidak menduga kalau ada
sepotong giok yang tersimpan tepat di luar kulitnya, persis di depan jantung.
Khu Hong-seng berkata, “Dompet ini diberikan oleh Siau-hoan kepadaku. Dia ingin agar aku
memakainya tepat di luar kulitku. Dia tak mau aku melupakannya karena perempuan lain.”
Tiba-tiba sorot matanya melunak. Dia berkata, “Aku tidak melupakannya, dan karena itulah aku
masih hidup.” Siau-hoan pasti kekasihnya. Dia lebih suka mati daripada mengingkari kekasihnya.
Peng Thian-pa menghela napas. Dengan sinar mata berseri, dia berkata, “Agaknya menjadi orang
romantis juga ada keuntungannya.”
Koleksi Kang Zusi
Si orang tua tinggi besar tiba-tiba berkata, “Khu-kongcu, walaupun aku tak mengenalmu, tapi aku
mengenali tombak perak ini.”
Khu Hong-seng berkata, “Tombak ini diwariskan turun-temurun di keluargaku. Boanpwe tidak
berani memamerkan diri sendiri.”
Orang tua itu berkata, “Aku tahu.” Dengan ekspresi wajah yang hangat, dia meneruskan, “Dulu
ayahmu menggunakan tombak perak ini untuk bertempur melawan kawanan beruang dari Tiang-
pek-san. Aku pun ikut berada di sana.”
Kawanan beruang dari Tiang-pek-san adalah penjahat-penjahat yang berkuasa dan jahat, bertahun-
tahun mereka menduduki daerah Liau-tang. Orang-orang di dunia Kang-ouw tidak berani
melanggar daerah kekuasaan mereka itu.
Suatu saat ayah Khu Hong-seng dan Hong-seng-thian Tayhiap, Pang Tio-hoan, menyerbu ke
gunung Tiang-pek-san. Dengan tombak perak dan sepasang gun-goan-pai yang terbuat dari baja
murni – logam pipih yang dinamakan sesuai dengan tenaga kasar Pang Tio-hoan, mereka berhasil
mengobrak-abrik sarang kawanan beruang dari Tiang-pek-san itu. Pertempuran tersebut bukan
hanya mengguncangkan dunia di jaman itu, sampai hari ini pun orang masih membicarakannya.
Khu Hong-seng bertanya, “Apakah Cianpwe adalah Pang-tayhiap?”
“Benar, aku Pang Tio-hoan,” jawab orang tua itu.
Sambil tersenyum tipis, orang tua itu menunjuk Peng Thian-pa, “Kau lihat dia menggunakan golok.
Tentu kau tahu siapa dia.”
Selain ilmu golok Ngo-hou-toan-bun-to, di kolong langit ini benar-benar tidak ada golok yang bisa
menyayat seperti itu. Sebuah sabetan golok -- akibatnya perasaan orangnya disabet, manusianya
disabet dan nyawanya pun disabet! Selain itu, sekali golok itu membunuh orang, selamanya tidak
akan pernah ada saksi.
Sambil menghela napas, Khu Hong-seng berkata, “Orang ini memang sudah berbuat jahat. Dia
pantas mati di bawah Ngo-hou-toan-bun-to-hoat.”
Peng Thian-pa tertawa terbahak-bahak dan berkata, “Tadi, jika si hwesio yang turun tangan, aku
khawatir kematiannya akan lebih cepat lagi.”
Memangnya kungfu hwesio itu lebih keji lagi daripada ilmu golok Ngo-hou-toan-bun-to?
“Apakah Cianpwe ini adalah Coat-taysu dari Siau-lim-si?” Khu Hong-seng menebak-nebak.
“Benar. Dia adalah Coat-taysu,” jawab Peng Thian-pa.
Coat-taysu dari Siau-lim-pay memang benar-benar keji dan tidak punya perasaan. Semua kejahatan
di kolong langit ini adalah musuhnya. Semua penjahat yang jatuh ke dalam cengkeramannya akan
segera pergi ke neraka.
Khu Hong-seng menghela napas dan berkata, “Tidak ada yang mengira kalau dewata akan
mengutus ketiga Cianpwe datang ke sini.”
“Jika kami tidak bermaksud datang ke sini, maka kami tidak akan datang,” kata Peng Thian-pa.
Koleksi Kang Zusi
Pang Tio-hoan menambahkan, “Sebenarnya kami cuma ingin minum-minum di rumah makan Kik-
hong-wan.” Dia adalah pelanggan tetap Kik-hong-wan.
Di rumah makan ini, pelanggan tetap mempunyai pelayan sendiri yang siap melayani mereka,
karena hanya pelayan-pelayan ini yang tahu kesukaan si pelanggan. Tidak perduli apakah mereka
ingin makan atau minum, mereka tidak perlu memesan lagi. Tapi hari ini, ketika Pang Tio-hoan
berada di sana, pelayannya sedang dikirim untuk mengantarkan makanan dan arak ke Han-bwe-kok.
Cuaca sedingin ini, tapi ada orang yang ingin menyaksikan bunga bwe dan minum-minum di
lembah. Tentulah orang ini mempunyai selera yang tinggi.
Peng Thian-pa meneruskan, “Setelah minum tiga cawan arak, kami bertiga mendapatkan ide yang
cemerlang, hendak melihat orang yang berselera tinggi ini.”
Pang Tio-hoan menambahkan, “Kami tidak menyangka kalau di pertengahan jalan ke lembah ini,
kami akan menemui mayat orang-orang dari rumah makan.”
“Semuanya dibunuh dengan sebilah golok. Setiap sabetan pun bersih dan amat cepat!” Peng Thian-
pa berkata.
Pang Tio-hoan melanjutkan, “Dia sendiri adalah seorang jago golok. Tentu saja dia tidak tahan
ingin melihat siapa orang yang mempunyai ilmu golok secepat itu!”
Peng Thian-pa mengakhiri, “Itulah sebabnya kami bertiga, yang seharusnya tidak datang, sekarang
berada di sini.”
Ini benar-benar sudah takdir. Khu Hong-seng menengadah ke langit dan bergumam, “Thian yang
maha pemurah, Kau tidak buta. Siapa yang membunuh, akan dibunuh!” Tiba-tiba ia bangkit berdiri
dan menghadap ke arah Ma Ji-liong. Lalu dia berujar sepatah demi sepatah kata, “Kau ingat ini di
dalam benakmu dan jangan pernah lupa.”
Saat itulah langit berubah menjadi gelap. Malam di musim dingin memang selalu datang teramat
cepat.
HARKAT PENDEKAR
Saduran : Gan K. H
Bab 3: Thian-sat
Tetap tidak ada jawaban dari Ma Ji-liong. Jika itu orang lain, seandainya tidak minggat, mereka
tentu akan menyangkal dosanya dengan keras. Tapi dia tidak. Dia cuma berdiri dengan tenang di
sana, seolah-olah hal itu tidak ada hubungannya sama sekali dengan dia.
Dia tidak menyangkal. Apakah karena dia tahu kalau persoalan ini tidak bisa dibantah?
Dia tidak melarikan diri. Apakah karena dia tahu bahwa tidak seorang pun bisa lolos dari kejaran
tiga orang di depannya ini?
Koleksi Kang Zusi
Coat-taysu sejak tadi berdiri di sana dengan tenang, wajahnya tanpa ekspresi. Baru sekarang dia
mulai bicara, “Agaknya aku pernah mendengar seseorang mengatakan bahwa ilmu golok Ngo-hou-
toan-bun-to adalah ilmu golok terbaik di dunia, dan tidak ada ilmu golok yang tidak dia ketahui di
kolong langit ini.”
Peng Thian-pa berkata, “Kau memang pernah mendengarnya. Bukan 'agaknya'.”
Coat-taysu bertanya, “Siapa yang mengucapkan kata-kata itu?”
“Tentu saja aku,” Peng Thian-pa menjawab.
Coat-taysu berkata, “Jika kau yang bicara, tentu tidak salah.”
Peng Thian-pa berkata, “Meskipun aku suka membual, aku cuma membual pada wanita, bukan
pada hwesio.” Dia tertawa dan meneruskan, “Membual pada hwesio sama seperti bermain musik di
depan sapi, tidak ada gunanya.”
Coat-taysu tidak menjadi marah, dia juga tidak balas bergurau. Wajahnya tetap dingin dan kaku.
Dia berkata, “Orang serba hitam tadi hendak membunuhmu dengan goloknya. Serangan golok tadi
pasti merupakan jurus terbaiknya.”
Peng Thian-pa berkata, “Dalam keadaan seperti tadi, dia pasti menggunakan jurus terbaiknya.”
“Tapi agaknya kau pernah bilang bahwa tidak ada ilmu golok yang tidak kau ketahui di kolong
langit ini,” kata Coat-taysu.
“Memang,” kata Peng Thian-pa.
Coat-taysu bertanya, “Kalau begitu, jurus tadi berasal dari partai mana?”
Peng Thian-pa berkata, “Tidak tahu.” Jawabannya langsung saja, tanpa tedeng aling-aling. Orang-
orang Kang-ouw memang tahu bahwa ketua perguruan golok Ngo-hou-toan-bun-to sekarang ini
adalah orang yang tidak suka bertele-tele.
Coat-taysu bertanya lagi, “Kau benar-benar tidak tahu?”
Peng Thian-pa menjawab, “'Tidak tahu' berarti 'tidak tahu'. Memangnya ada arti lain?”
“Kau tidak tahu, tapi aku tahu,” kata Coat-taysu.
Tentu saja Peng Thian-pa sangat terkejut. Terlontar kata-katanya, “Kau tahu?”
Coat-taysu berkata, “'Aku tahu' berarti 'aku tahu'. Tidak ada arti lain.”
Peng Thian-pa tertawa dan bertanya, “Jurus golok itu berasal dari partai mana?”
“Itulah Thian-sat!” Coat-taysu menjawab.
Thian-sat!
Peng Thian-pa bertanya, “Aku masih tidak mengerti. Apa itu Thian-sat?”
Koleksi Kang Zusi
“Buka bajunya dan periksalah,” jawab Coat-taysu.
Di dada orang serba hitam itu terdapat belasan huruf berwarna merah menyala. Apakah huruf-huruf
itu ditato dengan tinta merah ataukah darah?
Tulisan itu berbunyi, “Thian memberikan segalanya kepada manusia, manusia tidak pernah
memberikan apa-apa kepada Thian, Bunuh! Bunuh! Bunuh! Bunuh! Bunuh! Bunuh!”
Bunuh!
Peng Thian-pa bertanya, “Inikah Thian-sat itu?”
“Benar,” kata Coat-taysu.
“Sayangnya aku masih belum paham,” kata Peng Thian-pa.
Coat-taysu menjelaskan, “Thian-sat adalah sebuah organisasi pembunuh bayaran. Di dalam
organisasi ini, anggotanya membunuh untuk mencari nafkah, dan mereka membunuh demi
kesenangan. Asal kau punya uang, siapa pun yang kau ingin mereka bunuh, mereka akan bunuh
orang itu untukmu.”
Peng Thian-pa bertanya, “Bagaimana kau tahu?”
“Aku sedang memburu mereka, aku sudah memburu mereka selama lima tahun ini,” jawab Coat-
taysu.
“Bagaimana caramu memburu mereka?” Peng Thian-pa bertanya lagi.
Coat-taysu menjawab, “Aku memburu markas mereka, pemimpin mereka, dan nyawa mereka!”
Lalu dia meneruskan dengan pelan, “Siapa yang membunuh, harus dibunuh. Mereka sudah
membunuh banyak korban. Jika mereka tidak mati, lalu di mana letaknya keadilan?”
“Kau belum menemukan mereka?” Peng Thian-pa bertanya.
“Belum,” jawab Coat-taysu.
Peng Thian-pa berkata, “Tapi suatu hari nanti kau akan menemukan mereka. Jika tidak, mati pun
kau tidak akan melepaskan mereka.”
“Benar,” kata Coat-taysu.
Langit menjadi gelap, angin yang dingin menyayat bagaikan pisau. Peng Thian-pa membungkukkan
badan dan menutup mayat orang serba hitam itu dengan mantelnya, seolah-olah dia khawatir kalau
orang serba hitam itu kedinginan. Tapi orang mati tentu saja tidak merasa kedinginan.
Seandainya orang serba hitam itu masih hidup, dia tentu sudah membeku ketakutan. Peng Thian-pa
tidak perlu melakukan hal ini. Tapi orang memang selalu bersikap baik pada orang mati. Ini terjadi
karena setiap orang pasti mati, dan mereka berharap orang lain pun akan bersikap baik pada mereka
bila giliran mereka sudah tiba. Tapi saat Peng Thian-pa menarik mantel itu, sebuah benda tiba-tiba
terjatuh.
Koleksi Kang Zusi
Itulah sepotong giok – paling langka di antara yang langka dan paling berharga di antara benda-
benda berharga. Giok adalah benda yang membawa kemujuran. Bukan hanya bisa mengusir setan,
tapi juga membawa kemakmuran dan ketenangan.
Dalam sebuah kisah klasik, diceritakan bahwa giok pun bisa 'berkorban' untuk pemiliknya.
Potongan giok yang diberikan oleh Siau-hoan pun sudah menyelamatkan nyawa Khu Hong-seng.
Tapi potongan giok yang ini malah menginginkan nyawa Ma ji-liong. Karena giok itu terikat
dengan seutas tali sutera. Ujung lain tali sutera itu terikat pada sebuah medali emas. Di salah satu
sisi medali emas itu terukir lukisan seekor kuda. Di sisi lain medali itu ada tertulis beberapa huruf!
“Thian-ma-hing-khong”.
Inilah lencana perintah Thian-ma-tong. Dan Ma Ji-liong adalah putera pemimpin Thian-ma-tong.
Bagaimana mungkin lencana perintah Thian-ma-tong bisa ditemukan di tubuh pembunuh ini? Cuma
ada satu penjelasan. Ma Ji-liong tentu menggunakan potongan giok dan lencana perintah ini untuk
meminta si pembunuh agar datang ke sini dan membunuh orang – Toh Ceng-lian, Sim Ang-yap,
Khu Hong-seng, Kim Tin-lin, dan para pelayan dari rumah makan Kik-hong-wan.
Tapi dia tak menduga kalau Khu Hong-seng tidak mati dan Peng Thian-pa, Pang Tio-hoan dan
Coat-taysu akan tiba di tempat kejadian. Inilah kejadian yang tak disangka-sangka. Kegagalan
membunuh juga tidak diduga-duga. Inilah pesan dari Thian untuk si pembunuh!
Sampai sekarang tidak seorang pun yang menyebut nama orang ini. Karena hal ini adalah persoalan
besar. Kematian Toh Ceng-lian, Sim Ang-yap, dan Kim Tin-lin tentu akan mengguncangkan dunia
Kang-ouw. Lebih dari itu, tidak mustahil akan segera terjadi aksi balas dendam di antara keluarga-
keluarga ternama di dunia Kang-ouw!
Bila peristiwa itu sampai terjadi, maka tidak akan mudah mengakhirinya. Tidak seorang pun yang
tahu berapa banyak orang tak berdosa yang akan mati karenanya.
Dengan raut muka kelam, Pang Tio-hoan perlahan-lahan berkata, “Sekarang kita harus
mendengarkan apa yang akan dikatakan Ma Ji-liong.”
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Ma Ji-liong pelan-pelan melepaskan mantel bulu rubahnya.
Lalu dia berkata dengan perlahan-lahan, “Sam-siok (paman ketigaku) mendapatkan ini waktu
berburu pada malam hari di gunung saat dia masih muda. Ini adalah barang milik pamanku. Aku
tidak boleh merusaknya di tanganku.”
Dia menyerahkan mantel bulu rubah itu pada Peng Thian-pa dan berkata, “Aku tahu, dulu Cianpwe
dan Sam-siok bersahabat. Kuharap kau mau membawa benda ini kembali ke Thian-ma-tong dan
memberikannya pada bibiku.”
Sambil menghela napas, Peng Thian-pa berkata, “Ma-samko mati muda. Aku...... aku pasti akan
mengembalikannya untukmu.”
Ma Ji-liong pelan-pelan melepaskan pedang panjangnya yang indah dan berkilauan, dan
memberikannya pada Coat-taysu.
Koleksi Kang Zusi
Dia berkata, “Pedang ini mulanya diberikan kepada ayahku oleh ketua Bu-tong-pay. Siau-lim dan
Bu-tong berasal dari aliran yang sama. Kuharap kau bersedia mengembalikan pedang ini kepada
Hian-cin Koancu di Bu-tong-pay sehingga tidak terjatuh ke tangan yang salah!”
“Baik,” kata Coat-taysu.
Kembali Ma Ji-liong mengeluarkan setumpuk perak dan daun emas dari tubuhnya dan
memberikannya pada Pang Tio-hoan.
“Kepada siapa kau ingin memberikannya?” Pang Tio-hoan bertanya.
“Harta tidak ada pemilik aslinya. Kau boleh memberikannya pada siapa saja,” jawab Ma Ji-liong.
Pang Tio-hoan merenung sejenak dan kemudian berkata, “Aku akan mendermakannya untukmu. Ini
perbuatan yang baik.”
Sekarang setiap orang sudah tahu bahwa Ma Ji-liong sedang menjelaskan pada mereka apa yang dia
inginkan setelah dia mati. Jarang ada orang yang menentang keinginan terakhir orang yang akan
mati. Mereka menggenggam benda-benda yang diberikan Ma Ji-liong dengan kedua tangan mereka,
hati mereka terasa berat.
Sambil menghela napas dalam-dalam, Ma Ji-liong bergumam, “Sekarang yang tersisa cuma kuda
ini.”
Kuda putihnya masih terikat pada sebatang pohon bwe di pinggir sana. Kuda itu adalah hewan yang
terlatih dan terkenal. Dan, seperti majikannya, meskipun dalam bahaya dia tetap tenang seolah-olah
tidak terjadi apa-apa. Ma Ji-liong berjalan menghampiri dan melepaskan talinya. Dia menepuk
bokong hewan itu dan berkata, “Pergilah!”. Kuda putih itu meringkik perlahan dan segera berlari
pergi.
Lalu Ma Ji-liong membalikkan badan dan menghadapi Pang Tio-hoan. Dia berkata, “Sekarang
cuma ada satu hal yang hendak kukatakan.”
“Katakanlah,” kata Pang Tio-hoan.
Ma Ji-liong berkata dengan dingin, “Sekarang kalian harus mengejarku!”
Habis berkata begitu, tubuhnya segera melesat seperti anak panah dan meletik di udara. Kuda
putihnya tadi pergi dengan berlari-lari kecil, tapi kemudian bertambah kencang, dan sekarang
jaraknya ada 20-30 kaki. Ma Ji-liong mengerahkan seluruh kekuatan tubuhnya, menampilkan ilmu
ginkang Thian-ma-hing-khong (Kuda Langit Berlari Di Angkasa). Ilmu ginkang ini sebenarnya
menguras banyak energi. Tapi, di saat tenaganya surut, dia telah berhasil menyusul kudanya. Inilah
kuda dengan kecepatan tak tertandingi. Sekarang tubuhnya sudah hangat, maka dia bisa berlari
secepat mungkin. Ma Ji-liong melompat ke atas punggung kuda, dan kuda itu pun meringkik
panjang. Lalu mereka bergerak seperti naga. Penunggang dan kudanya sama-sama serba putih, dan
begitu pula dengan bumi.
Pang Tio-hoan dan Peng Thian-pa bergerak mengejar, tapi tangan mereka menggenggam daun
emas dan mantel bulu rubah yang diberikan Ma Ji-liong pada mereka. Saat mereka merasa betapa
mengganggunya benda-benda itu, penunggang dan kudanya ternyata sudah lenyap dari pandangan.
Pang Tio-hoan membanting kakinya, dan tumpukan daun emas itu terjatuh ke atas tanah. Lalu dia
berkata, “Aku benar-benar bodoh.”
Koleksi Kang Zusi
Langit semakin gelap. Angin bertambah dingin, menyayat seperti pisau. Tapi wajah Ma Ji-liong
tampak merah membara – merah karena gusar! Ini terjadi karena dia tahu sendiri bahwa dia tidak
membunuh siapa-siapa. Dan tentu saja dia tidak meracuni arak itu.
Sayangnya, selain dirinya sendiri, tidak ada orang yang akan percaya bahwa dia tidak bersalah. Dia
memahami hal ini. Karena itu dia lari.
Dia tentu saja tidak perduli dengan kematian. Bertarung sampai mati dengan orang-orang yang
menuduhnya sebagai pembunuh tentu menyenangkan. Tapi jika dia mati di tangan mereka, ketidak-
adilan ini tak akan pernah tersingkap. Jika ingin mati, dia harus mati dalam keadaan bersih dan
jujur. Dia bersumpah pada dirinya sendiri – bila urusan ini mendapat titik terang dan semua
kebenaran sudah terungkap, dia akan mencari mereka dan bertarung dengan mereka sampai mati.
Siapakah pembunuh sebenarnya? Siapa yang menebar racun ke dalam arak? Siapa yang menyewa
Thian-sat?
Dia masih belum punya petunjuk.
Siapa pun itu, satu hal sudah jelas. Dia adalah orang yang amat jahat dan keji. Rencana yang
disusunnya amat teliti dan tak ada cacatnya. Sekarang dia tak bisa mengatakan apakah dia akan
mampu mengungkapkan persoalan ini dan menemukan penjahat sebenarnya, dia juga tak tahu
hendak mulai dari mana. Tapi dia tahu – bila dia tidak berhasil menemukan orang itu, maka dialah
yang menjadi penjahatnya di mata dunia.
Jika Pang Tio-hoan, Peng Thian-pa dan Coat-taysu dari Siau-lim-pay mengatakan bahwa orang
tertentu adalah seorang pembunuh, tidak seorang pun di dunia Kang-ouw yang akan meragukan
kata-kata mereka. Tak perduli ke mana pun dia pergi, tentu akan ada orang yang berusaha
membunuhnya. Dia pun tidak bisa membawa urusan ini ke rumah. Orang-orang akan mengetahui
keberadaannya. Benar-benar tidak ada tempat yang bisa dituju olehnya dan tidak ada tempat untuk
berpaling baginya.
Jika orang lain yang berada dalam situasi seperti dirinya, mereka tentu akan menyerah dan bunuh
diri. Tapi dia tidak perduli. Dia percaya bahwa dunia ini luas, dan akan selalu ada tempat ke mana
dia bisa pergi. Dia percaya bahwa Thian itu maha kuasa, melihat semua dan tahu semua. Suatu hari
nanti dia akan menyingkap persoalan ini dan menemukan penjahat sebenarnya. Dia yakin pada
dirinya sendiri. Tak satu sel pun dalam tubuhnya yang tidak dia percayai. Dibandingkan dengan
orang lain, tangannya pun lebih kuat, otaknya lebih cerdas, mata dan telinganya lebih tajam.
Saat itulah dia mendengar sesuatu yang tidak mungkin bisa didengar orang lain. Suara yang mirip
jeritan, tapi lemah, seperti suara bisikan. Lalu dia melihat segumpal rambut. Walaupun langit sudah
gelap, rambut hitam itu amat bertolak-belakang dengan salju yang putih, dan karena itu bisa
tertangkap oleh matanya.
Jika itu orang lain yang lewat di sini, mereka pun mungkin sudah melihat gumpalan rambut ini.
Tapi mereka tentu tidak bisa melihat orangnya. Seluruh tubuh orang ini terkubur dalam salju dan es,
dan cuma setengah dari wajah pucatnya yang tersembul. Saat bayangan setengah wajah itu melintas
di depan matanya, kudanya sudah melesat lewat. Ma Ji-liong tidak berhenti. Dia sedang sibuk
menyelamatkan diri.
Terkenal karena kesadisannya, Coat-taysu tentu tidak akan melepaskannya, dan saat ini dia
mungkin sudah sangat dekat. Jika orang-orang itu berhasil menyusulnya, tentu tidak akan ada lagi
Koleksi Kang Zusi
kesempatan baginya untuk melarikan diri. Tentu saja dia tak boleh berhenti hanya untuk seorang
asing yang sudah hampir mati karena beku.
Orang itu memang masih belum mati. Tapi apa salahnya kalau dia lebih mementingkan dirinya
sendiri? Ma Ji-liong adalah orang yang egois dan sangat angkuh.
Rambut hitam kelam itu sudah penuh dengan es, dan sedikit pun tidak terlihat tanda-tanda
kehidupan di wajah yang pucat membiru itu. Orang ini benar-benar sebuah keajaiban hidup. - Jika
terkubur dalam salju dan es seperti ini, berapa banyakkah orang yang tidak mati beku?
Katanya perempuan lebih tahan terhadap kelaparan, kedinginan dan rasa sakit, karena itu mereka
lebih kuat daripada laki-laki. Orang ini adalah seorang perempuan. Dia masih amat muda, tapi tidak
cantik. Kenyataannya, dia berwajah buruk – sangat buruk. Di bawah hidungnya ada sepasang bibir
yang gemuk dan tebal seperti bibir babi. Gadis ini seperti sebuah boneka porselen mentah yang
rusak di dalam tungku saat dibakar.
Walaupun sekarang dia masih hidup, amat sulit baginya untuk bertahan hidup. Jika ada secawan
arak, semangkok sup panas dan seorang tabib yang sangat baik, dia mungkin bisa bertahan hidup.
Sayangnya, tidak satu pun dari semua itu yang ada di sana sekarang.
Baju Ma Ji-liong sendiri tidak cukup untuk melindungi dirinya dari hawa dingin, dan dia sendiri
mungkin tidak mampu menyelamatkan dirinya sendiri. Dia tahu benar bahwa sekarang adalah
waktunya untuk mengacuhkan orang asing yang amat jelek itu dan terus melarikan diri. Tapi dia
malah melepaskan satu-satunya pakaian yang tetap kering di tubuhnya dan menyelubungi
perempuan itu dengannya. Lalu dia memeluknya erat-erat, menggunakan panas tubuhnya untuk
menghangatkan gadis itu.
Yang paling menyedihkan dari seorang laki-laki adalah kebodohannya, dan yang paling jelek bisa
terjadi pada seorang perempuan adalah keburukannya. Perempuan buruk rupa biasanya tampak
menyedihkan. Tapi Ma Ji-liong bukan saja tidak mencampakkannya karena dia buruk rupa, dia juga
bersimpati kepadanya. Asalkan dia masih bernapas, dia tak akan membiarkan gadis ini mati beku
seperti anjing liar. Tapi dia tidak tahu ke mana harus membawanya. Sekarang dia sendiri tidak
punya apa-apa dan tidak ada tempat tujuan.
Sekarang langit sudah gelap gulita. Malam di musim dingin bukan saja datang sangat cepat, tapi
juga amat lama berakhirnya.
HARKAT PENDEKAR
Saduran : Gan K. H
Bab 4: Malam Yang Panjang
Malam yang panjang baru saja dimulai. Ma Ji-liong memungut beberapa potong ranting kering dan
menemukan sebuah kuil yang rusak dan terpencil sebagai tempat berlindung dari tiupan angin. Lalu
dia membuat api unggun.
Kemungkinan besar api itu akan menarik perhatian musuh. Setiap orang pun tahu bahwa seorang
buronan tidak boleh menyalakan api unggun, biarpun dia sudah hampir mati beku. Tapi gadis itu
benar-benar membutuhkannya. Dia sendiri boleh mati beku, tapi dia tidak boleh membiarkan orang
Koleksi Kang Zusi
asing ini mati karena dia khawatir musuh-musuhnya akan segera menemukannya. Dia lebih suka
mati daripada kehilangan kehormatannya.
Api unggun menyala terang benderang. Dia lalu memindahkan gadis itu ke tempat yang paling
hangat dan kering. Dia sendiri butuh beristirahat. Tapi, tak lama sesudah dia menutup matanya,
tiba-tiba terdengar sebuah suara lengkingan, “Siapa kau?”
Ternyata gadis itu sudah bangun. Dia bukan saja amat buruk rupa, suaranya pun tajam melengking.
Ma Ji-liong tidak menjawab. Saat ini, dia sendiri pun tak tahu siapa dirinya, dia sudah seperti mayat
hidup.
Dia tidak punya masa depan, juga tidak punya masa lalu. Perlahan-lahan dia bangkit, bermaksud
hendak memeriksa keadaan gadis itu.
Dia ingin melihat apakah dia bisa bergerak, atau apakah dia bisa bertahan hidup. Dia tidak menduga
kalau gadis itu tiba-tiba mengambil sepotong kayu kering dari api unggun dan berteriak dengan
keras, “Jika kau berani mendekat, aku akan memukulimu sampai mati!”
Dia mempertaruhkan nyawanya untuk menolong gadis ini, tapi perempuan yang aneh dan amat
buruk rupa ini malah seakan-akan menganggap bahwa dia hendak memperkosanya. Ma Ji-liong
tidak berkata apa-apa.
Dia kembali duduk.
Sambil memegang kayu api erat-erat, gadis itu menatapnya tajam dengan sepasang matanya yang
mirip dengan mata tikus. Ma Ji-liong menutup matanya. Dia benar-benar terlalu letih untuk
memandang gadis itu lagi. Tapi gadis itu kembali bertanya dengan suara yang nyaring, “Bagaimana
aku bisa berada di sini?”
Ma Ji-liong terlalu lelah untuk menjawab.
Akhirnya, teringat pada nasibnya sendiri, gadis itu berkata, “Tadi aku terkubur di dalam salju.
Apakah kau yang menolongku?”
“Ya,” Ma Ji-liong menjawab.
Dia tidak mengharapkan gadis itu bertanya lagi, tapi ternyata dia masih bicara, “Karena kau sudah
menyelamatkanku, kenapa kau tidak membawaku ke tabib? Kenapa kau malah membawaku ke kuil
rusak ini?”
Suaranya makin melengking, “Aku tahu orang sepertimu. Aku tahu kau tidak bertindak dengan
maksud baik.”
Ma Ji-liong sudah hampir habis kesabarannya dan ingin berkata, “Jangan kau khawatir. Seandainya
aku hendak memperkosamu, melihat tampangmu itu, aku jadi kehilangan minat.” Tetapi dia tidak
mengatakannya. Dalam sinar api unggun, gadis itu tampak lebih jelek lagi. Dia tidak tega melukai
hatinya, karena itu dia hanya menghela napas panjang dan berkata, “Aku tidak membawamu ke
tabib karena aku tidak punya uang.”
Gadis itu menyeringai dan berkata, “Bagaimana mungkin orang dewasa sepertimu bisa tidak punya
uang? Tentu karena kau terlalu malas untuk mencari pekerjaan.” Ma Ji-liong menyabarkan diri saat
Koleksi Kang Zusi
mendengar omelan itu. Tapi gadis itu tidak mau sudah. Dia terus menyemprot dan melemparkan
tuduhan kepadanya, tak henti-hentinya.
Tiba-tiba Ma Ji-liong bangkit berdiri. Dia berkata dengan dingin, “Di sini ada api unggun.
Seharusnya cukup untuk satu malam. Besok pagi, orang-orang tentu akan datang ke sini.” Dia
benar-benar tak tahan lagi. Dia lebih baik pergi.
Sekali lagi gadis itu mengomel, “Apa yang kau lakukan? Kau hendak pergi? Apakah kau benar-
benar hendak meninggalkanku, perempuan lemah yang sengsara ini, sendirian di sini? Laki-laki
macam apa kau ini?” Seseorang seperti ini tidak mungkin bisa dianggap 'lemah'. Sayangnya, dia
memang seorang perempuan.
Gadis itu menyeringai dan meneruskan, “Apa kau takut kalau musuhku akan menyusulku ke sini?
Itukah sebabnya kenapa kau ingin cepat-cepat pergi?”
Ma Ji-liong tak bisa menahan diri lagi. Dia bertanya, “Kau punya musuh?”
“Jika tidak, kenapa aku harus menguburkan diriku sendiri di dalam salju? Memangnya aku sudah
gila?” Gadis itu mencemooh.
Ma Ji-liong duduk lagi dengan perlahan-lahan. Dia tidak menanyakan siapa musuh gadis itu, atau
kenapa dia diburu orang. Dia cuma tahu bahwa sekarang dia tidak mungkin pergi. Seseorang sudah
menguburkan seorang gadis yang lemah di dalam es dan salju, dengan maksud agar dia mati.
Seorang laki-laki sejati tidak boleh mengacuhkan persoalan ini.
Gadis itu bertanya lagi, “Sekarang kau tidak jadi pergi?”
“Tidak,” Ma Ji-liong menjawab.
Tapi gadis itu melanjutkan lagi, “Kenapa tidak? Apakah kau hendak melakukan sesuatu yang
busuk?“
Tapi Ma Ji-liong malah tersenyum. Padahal dia benar-benar sudah tak tahan. Perempuan seperti ini
benar-benar sangat langka, dan tak pernah dia sangka akan bisa dijumpainya. Apa lagi yang bisa dia
lakukan selain tersenyum? Apakah dia harus menangis terisak-isak atau membenturkan saja
kepalanya sendiri ke batu hingga tewas?
Kembali gadis itu berteriak, “Kenapa kau tersenyum sendiri? Rencana jahat apa yang sedang kau
pikirkan? Ayo katakan!”
Ma Ji-liong tidak bicara... karena sebuah suara dari luar kuil rusak itu sudah memotong, “Dia tidak
akan berkata apa-apa. Pek-ma Kongcu ini tak pernah memberitahukan maksud hatinya pada orang
lain.”
Nyala api berkerlap-kerlip, dan seseorang melangkah masuk ke dalam kuil itu dengan perlahan-
lahan. Ternyata dia adalah Peng Thian-pa.
Peng Thian-pa menjinjing mantel bulu rubah itu di tangan kirinya, dan sebilah golok di tangan
kanannya. Golok itu sudah dihunus. Sayangnya gadis ini tidak mengenalnya, tidak juga goloknya.
Dia menatap Peng Thian-pa dengan sepasang matanya yang seperti mata tikus itu. Dengan suara
yang keras dia bertanya, “Siapa kau?”
Koleksi Kang Zusi
“Aku seekor babi,” kata Peng Thian-pa.
“Seandainya pun kau lebih gemuk, kau tetap agak kurus bila dibandingkan dengan seekor babi,”
gadis itu berkomentar.
Sambil menghela napas, Peng Thian-pa berkata, “Sayangnya aku lebih dungu daripada seekor babi,
itulah sebabnya kenapa aku membawa mantel bulu rubahnya ini.”
Gadis itu jelas terkejut. Dia bertanya, “Apakah mantel itu miliknya?”
“Benar,” jawab Peng Thian-pa.
“Kenapa dia memberimu benda sebagus itu?” gadis itu bertanya.
“Karena dia ingin menaruh mantel ini di tanganku,” jawab Peng Thian-pa.
Gadis itu bertanya lagi, “Apakah kau menggunakan tanganmu untuk memegang mantel itu atau
mantel itu yang mencegahmu untuk menggunakan tanganmu?”
“Keduanya sama,” kata Peng Thian-pa.
Gadis itu bertanya, “Kenapa begitu?”
Peng Thian-pa menjelaskan, “Tak perduli apakah tanganku yang terhalang atau aku yang
menggunakan tanganku untuk memegang mantel ini...... yang jelas tanganku sudah sibuk sehingga
aku tidak bisa mencabut golokku atau menggunakan senjata rahasiaku.”
Senjata rahasia Toat-beng-hui-hou (Harimau Terbang Pengejar Nyawanya) sama menakutkannya
dengan ilmu golok Ngo-hou-toan-bun-to-nya.
Gadis itu tetap tidak paham. Dia bertanya, “Kenapa dia tidak membiarkanmu mencabut golokmu
atau melemparkan senjata rahasia?”
“Karena dia ingin melarikan diri,” jawab Peng Thian-pa.
Gadis itu bertanya lagi, “Kenapa dia ingin lari? Apakah karena kau menakut-nakutinya? Kenapa
kau menakut-nakuti orang?”
Peng Thian-pa cuma tersenyum dipaksa. Dia baru menyadari bahwa berbicara dengan gadis ini
bukanlah hal yang baik. Wajahnya pun menjadi masam dan dia berkata dengan dingin, “Ma-
kongcu, kau tidak usah lari lagi. Saat ini kami bertiga sudah datang dari tiga penjuru. Sekarang baru
aku yang berada di sini. Kau boleh membunuhku untuk melenyapkan saksi lagi.”
Ma Ji-liong tidak menjawab.
Gadis itu menyela, “Dia tidak akan membunuhmu. Dia orang yang baik.”
Peng Thian-pa mengulangi, “Dia orang yang baik?”
Gadis itu menambahkan, “Tentu saja dia orang yang baik. Aku belum pernah melihat orang yang
sebaik ini. Jika kau berani menyentuhnya, aku akan membunuhmu.”
Koleksi Kang Zusi
Peng Thian-pa menyeringai. Mendadak gadis itu melompat maju dan mencengkeram lengannya.
Lalu dia berseru, “Aku akan menghalanginya. Cepat kau lari.”
Tapi Ma Ji-liong tidak lari, dan gadis itu pun tidak bisa menghentikan Peng Thian-pa. Peng Thian-
pa hanya mengangkat tangannya, dan gadis itu sudah terbanting ke atas tanah.
Peng Thian-pa berkata, “Bicara terlalu banyak seperti ini, kau tentu lelah. Lebih baik kau berbaring
saja.” Setelah berkata begitu, kakinya pun diayunkan dan menotok jalan darah tidurnya. Lalu dia
melemparkan mantel bulu rubah di tangannya ke atas tubuh gadis itu.
Ma Ji-liong menatap goloknya, menunggu senjata itu bergerak. Siapa sangka kalau Peng Thian-pa
malah menyarungkan goloknya lagi dan menaruh tangannya di atas api unggun. Dia tahu bahwa Ma
Ji-liong tidak bisa lolos, maka dia pun menggunakan kesempatan itu untuk menghangatkan
tangannya. Sikap tenang jago tua ini menimbulkan kekaguman di hati orang.
Anehnya, Ma Ji-liong juga bersikap sangat tenang. Dia tidak kelihatan gelisah, juga tidak mau
melancarkan serangan lebih dulu.
Api unggun itu sudah hampir padam. Peng Thian-pa lalu melemparkan beberapa potong ranting lagi
dan berkata dengan perlahan-lahan, “Kau tahu bahwa paman ketigamu dan aku bersahabat, bukan?”
“Hmm,” kata Ma Ji-liong.
Peng Thian-pa bertanya lagi, “Apakah dia pernah bercerita tentang aku sebelum dia mati?”
“Hmm,” kata Ma Ji-liong.
Peng Thian-pa meneruskan, “Apakah dia menceritakan bagaimana dia dan aku bisa bersahabat?”
Ma Ji-liong menjawab, “Tidak.”
Peng Thian-pa lalu berkata, “Kami berdua harus bertarung dulu sebelum bersahabat.” Dia tertawa
dan melanjutkan lagi, “Paman ketigamu adalah orang yang amat angkuh. Tentu saja dia tidak mau
menceritakan hal ini padamu.”
Ma Ji-liong bertanya, “Kenapa begitu?”
Peng Thian-pa berkata, “Karena......... walaupun kecerdasan dan pengetahuanku kalah dibandingkan
dengan dia, sayangnya minatnya terlalu luas. Dia ingin mempelajari semuanya – musik, catur,
sastera, melukis, apa saja – dan karena itu dia tidak punya banyak waktu untuk melatih ilmu
pedangnya sendiri.”
Ma Ji-liong pernah mendengar hal itu. Paman ketiganya bukan hanya dikenal karena ilmu
pedangnya yang hebat, tapi dia juga seorang pecinta seni yang termasyur.
Peng Thian-pa berkata, “Maka, walaupun dia agak lebih kuat dariku, tapi kungfunya tidak setanding
denganku. Kami bertarung sebanyak tiga kali, dan setiap kalinya aku berhasil mengalahkan dia
dalam seratus jurus.” Dia tidak membiarkan Ma Ji-liong bicara, tapi tiba-tiba dia bertanya,
“Bagaimana ilmu pedangmu bila dibandingkan dengan ilmu pedang pamanmu?”
Tanpa menunggu jawaban, dia berkata, “Aku yakin ilmu pedangmu masih di bawah ilmunya.
Maka, seandainya kau punya pedang di tanganmu, aku masih mampu untuk membunuhmu dalam
Koleksi Kang Zusi
seratus jurus.” Dia meneruskan dengan lembut, “Sekarang kau bertangan kosong, paling banyak
kau hanya bisa bertahan sebanyak 60 jurus.”
Ma Ji-liong tetap tutup mulut. Peng Thian-pa melanjutkan, “Golokku ini, meskipun hanya
digunakan untuk membunuh orang yang pantas dibunuh, setiap serangan selalu dilancarkan dengan
sekuat tenaga. Kadang-kadang aku tidak ingin membunuh orang, tapi sekali golokku ini diayunkan,
aku sendiri tidak bisa mengendalikannya lagi.”
Sambil menghela napas, dia berkata, “Karena itu, tidak banyak orang hidup yang bisa bicara
tentang golokku.”
Ma Ji-liong bertanya, “Apa maksud tujuanmu?”
Setelah bimbang sekian lama, akhirnya Peng Thian-pa berkata dengan perlahan, “Tiba-tiba aku
teringat pada beberapa kejadian aneh.”
“Ya?” Ma Ji-liong berkata.
Peng Thian-pa bertanya, “Apakah kau tahu kenapa aku bisa mencarimu ke sini?”
Ma Ji-liong menggelengkan kepalanya.
Peng Thian-pa menjelaskan, “Kaulah yang membawaku ke sini. Aku mengikuti jejak kaki yang
ditinggalkan kudamu di atas salju.”
Ma Ji-liong tidak berpikir sampai ke situ. Dia belum pernah menjadi seorang buronan.
Peng Thian-pa berkata, “Jika kau bisa membuat rencana yang keji dan tanpa cacat seperti itu untuk
melukai orang, tentu kau tidak akan begitu lalai seperti ini dan, di saat kritis antara hidup dan mati,
kau tentu tidak akan mengambil resiko untuk menolong perempuan yang aneh dan buruk rupa ini.”
Sambil menghela napas, dia berkata, “Tapi kau malah melakukan semua itu. Sesudah kupikir-pikir,
pasti ada yang tidak benar. Walaupun aku mudah ditipu seperti babi bodoh, aku tetap merasa hal ini
sedikit aneh, karena itu......”
Lalu dia meneruskan, “Kuharap kau mau ikut denganku secara sukarela agar aku tidak perlu
menggunakan kekerasan.”
“Ke mana kau akan membawaku?” Ma Ji-liong bertanya dengan sikap mengejek.
Peng Thian-pa menjawab, “Akan kubawa kau ke Siau-lim-pay. Beri aku waktu tiga bulan dan aku
pasti akan menyingkap kebenaran ini dan memberimu keadilan.”
Ma Ji-liong tidak mengiyakan, juga tidak menolak tawaran itu.
Peng Thian-pa berkata, “Sekarang kau sudah terkepung. Tak perduli ke mana pun kau pergi, orang-
orang tidak akan melepaskanmu. Cuma ini satu-satunya jalan keluar.” Dia benar, sama sekali benar.
Peng Thian-pa pelan-pelan berjalan menghampiri dan berkata, “Jadi sekarang kau harus benar-
benar mempercayaiku. Akulah satu-satunya orang yang bisa menolongmu.” Lalu dia mengulurkan
kedua tangannya, agaknya memang dialah satu-satunya orang di dunia ini yang bersedia menolong
Ma Ji-liong.
Koleksi Kang Zusi
Akhirnya, sambil menerima uluran tangannya, Ma Ji-liong berkata, “Aku percaya padamu, tapi......”
Belum habis kata-katanya, kaki Peng Thian-pa tahu-tahu sudah melayang dan menendang jalan
darah 'huan tiao'-nya, akibatnya kakinya pun tertekuk. Lalu tangan Peng Thian-pa melesat secepat
kilat, menotok jalan darah di pergelangan tangannya.
Sambil tertawa dengan keras dan gembira, Peng Thian-pa berkata, “Lihat, sekarang siapa yang
babi?”
Tangan Peng Thian-pa terayun ke bawah lagi dan begitu pula tubuh Ma Ji-liong. Kemudian,
“sing!”, golok Ngo-hou-toan-bun-to sudah meninggalkan sarungnya. Golok ini memang termasuk
golok terbaik di dunia Kang-ouw. Bukan hanya bisa dihunus dengan mulus dan cepat, bentuknya
juga amat indah.
Gaya membunuh ilmu golok ini pun sangat indah. Dan sekali meninggalkan sarungnya, golok itu
pasti akan membunuh orang. Tapi setidaknya dia kan harus bertanya dulu pada Ma Ji-liong.
Seandainya dia sudah memutuskan bahwa Ma Ji-liong adalah penjahat yang sebenarnya, seharusnya
dia menginterogasi dulu untuk memastikan. Kenapa sekarang dia mencabut goloknya?
Ma Ji-liong akhirnya paham. Saat dia melihat golok Peng Thian-pa dicabut keluar, dia tahu bahwa
Peng Thian-pa adalah pembunuh sebenarnya! Rencana busuknya disusun secara rahasia, dan itulah
sebabnya dia tidak bisa membiarkan orang serba hitam itu, pembunuh bayaran dari Thian-sat, tetap
hidup sehingga bisa membocorkan rahasianya.
Dan itulah sebabnya kenapa dia tidak perlu bertanya lagi. Dia pun tidak membiarkan Ma Ji-liong
hidup dan membocorkan rahasianya. Sayangnya, Ma Ji-liong terlambat memahami hal ini. Sinar
golok yang berkilauan sudah terayun ke arahnya.
Siapa yang bisa membayangkan kalau golok itu ternyata tidak berhasil membacok tenggorokan Ma
Ji-liong? Malah tubuh Peng Thian-pa yang terpental dan berjungkir-balik di udara sebelum akhirnya
terbanting jauh. Wajahnya menjadi gelap karena ketakutan dan dia berteriak dengan suara serak,
“Siapa di situ?”
Kecuali dua orang manusia yang jalan darahnya tertotok, tidak ada orang lain di sana. Mungkinkah
dia sudah bertemu dengan hantu?
Api unggun berkerlap-kerlip. Wajah Peng Thian-pa tampak berubah bolak-balik dari merah ke
gelap. Tapi di sana tidak ada orang lain, bahkan bayangan hantu pun tidak. Mendadak dia melompat
bangkit, goloknya ditusukkan kembali ke tenggorokan Ma Ji-liong.
Kembali hantu itu muncul! Dan kali ini bahkan lebih menakutkan. Walaupun Ma Ji-liong tidak
melihat apa-apa, tapi tubuh Peng Thian-pa tahu-tahu sudah terpental dan berputar-putar di udara.
Saat mendarat di tanah, dia segera melarikan diri tanpa melirik lagi ke belakang.
Suasana di luar kuil rusak itu tampak gelap, begitu gelapnya sehingga tidak terlihat satu bayangan
pun. Nyala api menari-nari, angin menderu-deru. Tiba-tiba, bersama dengan bunyi deruan angin,
terdengar suara jeritan kaget dan ngeri yang pendek dan nyaring.
Ma Ji-liong mendengar suara jeritan Peng Thian-pa itu, tapi dia tidak bisa menduga apa yang telah
terjadi. Dia sangat ingin melompat keluar dan melihatnya. Sayangnya jalan darah di pergelangan
tangan dan kakinya sudah tertotok.
Koleksi Kang Zusi
Walaupun Peng Thian-pa terkenal dengan ilmu goloknya, ternyata ilmu totokannya pun tidak kalah
dari orang lain. Sekarang, jika datang seseorang dengan golok di tangannya – siapa pun, dengan
senjata apa pun – dia bisa menebas tenggorokan Ma Ji-liong dengan mudah. Untunglah tidak ada
yang datang, baik itu orang, hantu, tidak ada suara, tidak ada gerakan, tidak ada apa-apa. Seolah-
olah Thian tahu bahwa kedua orang itu tidak mampu menggerakkan tubuhnya, api pun akhirnya
padam.
Tapi Ma Ji-liong tahu bahwa orang lain bisa datang setiap saat. Peng Thian-pa tidak akan datang
kembali, tapi Coat-taysu, Pang Tio-hoan, dan Khu Hong-seng masih mungkin. Dan tidak perduli
siapa pun yang datang, orang ini tidak akan melepaskan dirinya.
Malam panjang yang dingin itu serasa tiada berakhir, dan tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi.
Malam di musim dingin memang selalu panjang, benar-benar amat panjang.
HARKAT PENDEKAR
Saduran : Gan K. H
Bab 5: Gadis Bernama Toa-hoan
Ranting kering terbakar sangat cepat, dan api unggun pun semakin redup. Ma Ji-liong ingin
menjaga ketenangannya, tapi pikiran di benaknya tidak mau menurut. Tubuhnya makin dingin dan
akan segera membeku. Api unggun akan padam, tapi dia tetap tidak tahu kapan totokan di tubuhnya
akan terbuka.
Dan sekarang adalah saat yang paling dingin di malam hari. Jika terus begini, mungkin dia akan
mati beku di sini. Dia tidak pernah memikirkan hal ini sebelumnya. Kemungkinan dirinya sendiri
akan mengalami nasib seperti ini sama sekali tak pernah terbayangkan olehnya.. Memang tidak
seorang pun yang bisa meramalkan masa depan, tidak seorang pun juga yang tahu tentang
takdirnya. Inilah permainan nasib!
Ma Ji-liong menghela napas dalam-dalam, baru sekarang dia menyadari bahwa sifatnya yang
angkuh sudah lenyap. Saat itulah, mendadak gadis tadi mengangkat kepalanya dari mantel bulu
rubah itu.
Jalan darah Ma Ji-liong masih tertotok, tapi jalan darah gadis itu tidak. Dengan sepasang matanya
yang seperti mata tikus, sekian lamanya dia melirik ke sana ke mari seperti tikus yang sedang
mengawasi keadaan sekelilingnya. Lalu dia menghela napas yang panjang sekali dan berkata,
“Siapa yang menyangka kalau orang gemuk itu tiba-tiba akan pergi dan kau ternyata masih hidup.”
Itu memang kejadian yang tak terduga! Tak seorang pun yang bisa membayangkan kalau Peng
Thian-pa tiba-tiba akan melepaskan Ma Ji-liong dan melarikan diri seperti kelinci yang terkena
panah, kabur ke dalam hutan rimba.
Si nona bangkit berdiri, sambil mengenakan mantel bulu Ma Ji-liong. Sambil tersenyum dia
berkata, “Bulu mantel ini lumayan. Rasanya enteng, halus dan hangat. Ukurannya pun pas.”
Untunglah Ma Ji-liong masih bisa bicara.
Dia tak tahan lagi dan berkata, “Sayangnya mantel itu milikku.”
Gadis itu menggelengkan kepalanya dan berkata, “Bukan milikmu. Bukan kepunyaanmu lagi.”
Koleksi Kang Zusi
“Kenapa begitu?” Ma Ji-liong bertanya.
“Karena kau sudah memberikannya pada orang gemuk tadi, yang kemudian memberinya padaku,”
gadis itu menerangkan.
Lalu dia menambahkan sambil tersenyum riang, “Jadi mantel ini sekarang milikku.”
Ma Ji-liong tidak mau berdebat. Dia bukan orang yang kikir, dan tentu saja dia tidak perduli dengan
urusan seperti itu. Tapi dia benar-benar sangat kedinginan. Maka, tak tahan lagi dia pun bertanya,
“Bisakah kau menyalakan api unggun itu?”
“Kenapa aku harus menyalakannya? Aku kan tidak kedinginan,” jawab gadis itu.
Sambil tersenyum pahit, Ma Ji-liong berkata, “Kau tidak, tapi aku ya.”
“Aku tidak kedinginan. Kenapa kau bisa kedinginan?” gadis itu berkata.
Ma Ji-liong tertegun. Gadis ini benar-benar gila, begitu gilanya sehingga dia bahkan tak bisa
menangis biarpun dia ingin. Dia pun tidak bisa tertawa. Mendadak perutnya terasa kosong. Itulah
nasibnya sendiri.
Tapi gadis itu melanjutkan lagi, “Orang muda harus tahan terhadap kesulitan dan kerja keras. Apa
salahnya kedinginan sedikit? Kau masih muda. Jika kau tidak bisa menahan sedikit penderitaan,
bagaimana kau bisa melakukan sesuatu yang besar di kemudian hari?”
Ma Ji-liong menutup mulutnya. Akhirnya dia sadar bahwa menjelaskan sesuatu kepada orang
seperti ini bukan saja sia-sia belaka, tapi juga merupakan perbuatan yang bodoh. Bila seorang laki-
laki bertemu dengan perempuan seperti ini, yang bisa dia lakukan hanyalah menutup mata dan
mulutnya.
Tiba-tiba gadis itu berpaling dan bergumam, “Apakah langit sudah cerah? Aku akan pergi melihat.”
Dia bicara pada dirinya sendiri sambil melangkah keluar pintu. Tapi tiba-tiba dia menjerit keras-
keras dan berlari masuk kembali, seolah-olah sebatang anak panah sudah menancap di bokongnya.
Ma Ji-liong sebenarnya tidak ingin memperdulikannya lagi. Tapi, walaupun gadis ini tidak
menyenangkan, tapi dia cukup baik padanya.
Gadis itu bukan hanya mengatakan bahwa dia orang yang baik, tadi dia bahkan berani
mempertaruhkan nyawanya untuk menghalangi Peng Thian-pa agar dia bisa lari. Asal dia masih
hidup, dia harus hidup dengan kesadaran yang jernih, harus mampu membedakan antara terima
kasih dan dendam.
Maka Ma Ji-liong tidak punya pilihan lain kecuali bertanya, “Ada apa?”
“Di luar.... ada seseorang di luar,” gadis itu berkata dengan ketakutan.
Hawa amat dingin, bumi serasa membeku, dan malam pun sudah larut. Bagaimana mungkin ada
orang di luar kuil yang rusak dan terpencil ini?
Kembali Ma Ji-liong bertanya dengan terpaksa, “Siapa?”
“Orang gemuk yang tadi,” jawab gadis itu.
Koleksi Kang Zusi
Mimik muka Ma Ji-liong pun berubah. Dia lalu berkata, “Dia belum pergi?”
Gadis itu menjawab, “Belum.”
Dia belum pergi, tapi kenapa dia tidak masuk?
Ma Ji-liong bertanya, “Apa yang dia lakukan di luar sana?”
Gadis itu menjawab, “Siapa yang tahu apa yang sedang diperbuatnya? Dia berbaring sendirian di
sana, seperti sedang tidur.”
Anehnya, dia masih bisa berkata lagi, “Orang gemuk memang selalu suka tidur.”
Tapi tak perduli betapa pun gemuknya seseorang, atau betapa sukanya dia tidur, tidak mungkin dia
tidur di atas salju.
Ma Ji-liong berkata, “Mungkin kau salah lihat.”
Gadis itu berkata, “Tentu saja tidak. Aku bukan hanya bisa melihat jauh, pandangan mataku juga
sangat baik.”
Dari kejauhan matanya memang tidak terlihat buruk, setidaknya masih lebih baik sedikit daripada
mata seekor tikus.
“Bisakah kau pergi keluar dan memeriksa lagi?” Ma Ji-liong meminta.
“Kenapa kau tidak pergi sendiri?” gadis itu bertanya.
Gadis itu memandangnya dan tiba-tiba dia tertawa. Lalu dia berkata, “Aku paham. Kau sama
sepertiku. Tadi kau ditendang oleh orang gemuk itu, sekarang kau tidak bisa bergerak.”
Ma Ji-liong tidak berkata apa-apa.
Secara tidak terduga gadis itu kemudian berkata, “Baik, aku akan memeriksa keluar untukmu.
Paling tidak kau sudah bersikap baik padaku.”
Tapi, baru saja keluar, dia sudah menjerit dan berlari masuk kembali ke dalam kuil, tampaknya dia
bahkan lebih ketakutan daripada tadi.
“Dia tidak ada di sana?” Ma Ji-liong bertanya.
Napas gadis itu terengah-engah. Setelah tenang, dia lalu berkata, “Dia... dia ada di sana. Tapi dia
tidak akan pergi lagi.”
“Kenapa begitu?” Ma Ji-liong bertanya.
Gadis itu menjawab, “Karena dia sudah mati!”
Bagaimana Peng Thian-pa bisa mati? Tadi dia masih segar bugar. Selain itu dia pun sehat, tanpa
penyakit atau merasa sakit, agaknya dia bahkan lebih sehat daripada orang lain.
Koleksi Kang Zusi
“Apakah dia benar-benar sudah mati?” Ma Ji-liong bertanya.
Gadis itu menjawab, “Mati ya mati, benar-benar mati, mati sungguhan.”
“Apakah kau tahu kenapa dia tiba-tiba mati?” Ma Ji-liong bertanya.
Gadis itu berkata, “Tentu saja aku tahu.”
Tubuhnya tampak menggigil, “Tak perduli siapa pun, aku tentu saja tahu bahwa tidak mungkin bisa
hidup setelah tenggorokannya digorok orang!”
Ma Ji-liong makin terkejut. Ilmu golok Peng Thian-pa berada di deretan terbaik dan paling
termasyur di dalam Bulim. Bagaimana seseorang bisa menggorok lehernya? Siapa yang
melakukannya? Apakah ada orang di dunia ini yang memiliki ilmu golok yang lebih cepat dan lebih
ternama? Dan kenapa orang itu menggorok tenggorokannya?
Cuma ada satu penjelasan. Peng Thian-pa bukan penjahat sebenarnya. Masih ada orang lain di balik
persoalan ini, yang memberikan perintah kepadanya. Dan orang ini telah membunuhnya untuk
melenyapkan saksi. Siapakah orang ini? Setelah membunuh Peng Thian-pa, kenapa dia tidak masuk
untuk menghabisi Ma Ji-liong?
Kecuali 'orang ini', tidak ada orang lain yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Ma Ji-liong
akhirnya tahu bahwa persekongkolan ini bahkan lebih rumit dan lebih menakutkan daripada yang
semula dia perkirakan.
Gadis itu tiba-tiba berkata, “Ini tidak bagus.”
“Apanya?” Ma Ji-liong bertanya.
“Kita tidak boleh tinggal di sini,” gadis itu menerangkan.
Ma Ji-liong setuju dengannya. Mereka tentu saja tak boleh tinggal lagi di sini. Sayangnya dia tidak
bisa berjalan.
Mendadak gadis itu berkata, “Aku seorang perempuan.”
“Aku tahu,” kata Ma Ji-liong.
Gadis itu berkata, “Semua pahlawan adalah laki-laki. Laki-laki sejati juga laki-laki. Jadi...”
“Jadi apa?” Ma Ji-liong bertanya.
“Aku bukan seorang laki-laki sejati, juga bukan seorang pahlawan,” ia berkata sambil menghela
napas.
“Jadi, walaupun kau tidak bisa berjalan, aku tetap harus pergi,” dia menambahkan.
Demi dia, Ma Ji-liong berhenti di tempat ini, membuat api unggun, dan mendapat masalah.
Sekarang dia berkata bahwa dia harus pergi begitu saja, seorang diri.
Anehnya, Ma Ji-liong hanya menjawab, “Kau memang harus pergi.”
Koleksi Kang Zusi
Tapi gadis itu menambahkan pula, “Tapi aku tidak bisa berjalan kaki. Aku membutuhkan kudamu.”
Ma Ji-liong malah berkata, “Boleh, silakan bawa.”
Gadis itu akhirnya merasa bahwa orang ini sedikit ganjil. Sesungguhnya dia tetap seorang manusia
juga. Tak dapat menahan helaan napasnya, dia berkata, “Kau benar-benar orang yang baik.
Sayangnya.....”
Ma Ji-liong bertanya, “Sayangnya... apa?”
“Sayangnya orang baik selalu mati muda,” kata gadis itu.
Dan dia pun benar-benar pergi. Dia mengenakan mantel bulu Ma Ji-liong, naik ke atas punggung
kuda putih Ma Ji-liong dan pergi. Api unggun sudah padam. Dia pun tidak menambahkan kayu api
lagi untuk pemuda itu. Apa yang dilakukan gadis itu benar-benar sadis, lebih sadis daripada yang
pernah diperbuat oleh Coat-taysu.
Malam yang dingin dan sepi. Sebelum bunyi derap kaki kuda menghilang di kejauhan, bersama
dengan hembusan angin dingin, terdengar bunyi langkah kaki yang amat ringan dan cepat. Itulah
langkah kaki dua orang manusia, yang kemudian berhenti tepat di luar kuil rusak itu.
“Di sini ada mayat,” terdengar sebuah suara berkata. “Mayat Peng Thian-pa.”
“Masih bisakah kita menyelamatkannya?”
“Luka ini mematikan. Bahkan dewa pun tak akan sanggup menghidupkannya kembali.”
Hati Ma Ji-liong serasa karam. Mendengar suara-suara itu, dia tahu bahwa dua orang yang datang
itu adalah Coat-taysu dan Pang Tio-hoan. Mereka baru saja menemukan mayat Peng Thian-pa. Jika
mereka menemukan dia di sini, mereka tentu tidak akan memberinya kesempatan untuk
menjelaskan lagi. Tapi tidak seorang pun menyangka kalau mereka malah tidak jadi masuk ke
dalam kuil. Ini terjadi karena mereka tadi sempat melihat kepergian kuda putihnya itu.
“Itulah kuda Naga Putih dari Thian-ma-tong.”
Mereka juga melihat seseorang yang mengenakan mantel bulu di atas punggung kuda itu.
“Inilah serangan golok yang mematikan. Dia membunuh dan kemudian pergi. Benar-benar tangan
yang keji! Benar-benar orang yang jahat!”
“Dia tidak akan lolos.”
“Tapi Peng Thian-pa.....”
“Peng Thian-pa akan menunggu di sini. Ma Ji-liong tidak. Maka, ayo kita kejar dia!”
Baru saja terdengar kata-kata itu, bunyi langkah kaki dan lengan baju yang berkepak di udara pun
kemudian terdengar menghilang di kejauhan. Mereka mengira penunggang kuda bermantel bulu
rubah itu adalah Ma Ji-liong, tanpa menyadari bahwa masih ada seseorang lagi di dalam kuil rusak
itu.
Koleksi Kang Zusi
Jika gadis itu tidak pergi, atau jika di sana masih ada api unggun, atau jika kuda putih itu pun ada di
sana, apa yang akan terjadi sekarang? Tadinya Ma Ji-liong tentu saja tidak memikirkan semua itu.
Tiba-tiba dia menyadari bahwa gadis itu bukan saja tidak sadis, tapi juga amat baik hati dan
misterius. Ia juga menyadari bahwa gadis itu bukan seorang perempuan yang sulit dan semaunya
sendiri seperti kelihatannya tadi. Dia mungkin malah lebih cerdik daripada orang lain.
Tak perduli betapa dingin atau betapa panjangnya malam di musim dingin, fajar tetap akan selalu
datang. Tidak perduli betapa hebatnya ilmu totokan seseorang, jalan darah yang tertotok akhirnya
tentu akan terbuka.
Sekarang fajar sudah mulai merekah. Darah dan hawa pun sudah mengalir menembus jalan darah
yang tertotok itu.
Peng Thian-pa tentu saja tidak menggunakan ilmu totokan yang berat. Dia tidak bermaksud
menotok jalan darah Ma Ji-liong untuk waktu yang sangat lama, karena dia menyangka pemuda itu
akan segera mati. Siapa yang menduga kalau saat ini Ma Ji-liong masih hidup, tapi dia sendiri sudah
berubah menjadi mayat yang dingin dan kaku. Golok itu menggorok tenggorokannya sebelah kiri,
mulai dari depan hingga ke belakang, memutuskan semua jalan darah utama di lehernya.
Inilah serangan golok yang amat mematikan. Orang ini adalah jago golok nomor satu di dalam
Bulim. Agaknya tidak seorang pun yang bisa mengelakkan serangan goloknya. Dan tentu saja tidak
ada serangan golok yang tidak bisa ditangkis olehnya. Tapi golok ini telah mengambil nyawanya.
Mimpi pun dia tidak menyangka kalau orang itu akan berbalik melawannya, atau golok itu akan
menggorok tenggorokannya. Ini terjadi karena orang itu adalah temannya – teman akrabnya –
teman yang setia dan dipercayainya. Mereka sudah merencanakan semua ini bersama-sama. Dia
tidak menyangka kalau orang itu akan membungkamnya setelah segalanya berhasil. Siapakah orang
itu? Ma Ji-liong tidak bisa menebak. Dia juga tidak punya petunjuk sama sekali. Benar-benar tidak
ada orang yang tahu jawaban untuk pertanyaan ini.
Pertanyaan yang lebih gampang adalah – setelah rencana mereka sukses, apa yang akan terjadi?
Apakah akibatnya? Siapa yang akan mendapat keuntungan?
Tentu orang ini membuat rencana tersebut untuk keuntungannya sendiri. Setelah rencana
dilaksanakan, Ma Ji-liong akan menjadi kambing hitamnya. Keluarga dan teman-teman Toh Ceng-
lian, Sim Ang-yap dan Khu Hong-seng akan memburu Ma Ji-liong.
Jika mereka tidak berhasil menemukan Ma Ji-liong, mereka tentu akan mencarinya ke Thian-ma-
tong. Dan jika mereka berhasil membunuh Ma Ji-liong, Thian-ma-tong akan membalas dendam.
Dan akhirnya persoalan ini akan menjadi dendam keluarga, dendam antara Thian-ma-tong dan
keluarga Toh, Sim dan Khu.
Permusuhan di antara keluarga-keluarga ternama ini akan menyebabkan kehancuran bersama. Bila
ikan dan kepiting bertarung, yang untung adalah sang nelayan. Siapakah si nelayan ini?
Di bawah naungan langit yang tak berawan, jejak kaki kuda di atas salju terlihat dengan jelas
sehingga mirip seperti seseorang yang sudah memberi petunjuk untuk diikuti orang lain. Apakah
mereka sudah berhasil menyusul gadis itu?
Ma Ji-liong tidak bisa membayangkan mimik muka “entah tertawa entah menangis” di wajah kedua
orang itu bila mereka tahu orang macam apa gadis itu. Dia tiba-tiba merasa bahwa gadis yang
sangat kasar, amat buruk rupa dan aneh luar biasa itu benar-benar menarik.
Koleksi Kang Zusi
Inilah pertama kalinya dia merasa gadis itu sangat menarik.
Tapi dia tidak berhutang apa-apa pada gadis itu, dan dia mungkin tidak akan bertemu dengannya
lagi. Perempuan itu pergi ke arah timur. Dia tentu saja akan pergi ke barat. Sekarang dia merasa
amat kedinginan dan kelaparan. Dia tahu bahwa di sebelah barat sana ada sebuah kota besar dengan
losmen yang sangat bagus. Di losmen itu kamar-kamarnya selalu tertata rapi dan bersih, dengan
seprai yang selalu diganti dengan yang baru dan perapian yang hangat! Di dapurnya selalu tersedia
daging kambing rebus yang sangat lezat dan kue biji wijen yang harum dan lembut. Dan itulah yang
dia butuhkan sekarang ini.
Kota itu adalah kota yang ramai dan sibuk dengan jalan raya yang bersih dan rapi. Pelayan losmen
sedang menunggu di depan pintu, berusaha menarik perhatian calon pelanggan. Ketika hendak
berjalan masuk ke dalam losmen, Ma Ji-liong tiba-tiba teringat bahwa dia tidak punya uang, bahkan
tidak untuk sepotong kue biji wijen, maka ia pun tidak berani masuk. Pelayan losmen itu pun tidak
berusaha mengundangnya. Dalam cuaca yang amat dingin seperti ini, orang ini bahkan tidak punya
secarik bulu pun di tubuhnya. Dia pasti bukan calon pelanggan yang baik.
Mendapat perlakuan yang dingin dari orang lain, mulutnya pun terasa getir. Inilah pertama kalinya
Ma Ji-liong menerima perlakuan seperti ini. Akhirnya dia menyadari bahwa orang-orang jauh lebih
menghargai uang daripada dia. Karena itu, meskipun kedinginan, kelaparan dan kelelahan, dia lalu
menegakkan tubuhnya dan terus bergerak dengan langkah-langkah yang lebar.
Walaupun dia tidak tahu ke mana dia akan pergi, tapi kakinya tidak pernah berhenti. Tiba-tiba dia
melihat seekor kuda putih. Dia mengenali kuda ini, dan agaknya kuda itu pun mengenalinya.
Kuda itu mengangkat kakinya dan meringkik pelan. Itulah kuda naganya sendiri.
Kuda itu terikat di bawah emperan sebuah rumah makan. Tiba-tiba seseorang tampak menjulurkan
kepalanya dari jendela rumah makan itu dan memberi isyarat kepadanya.
Yang membuatnya terkejut, orang itu ternyata gadis buruk rupa yang sadis, misterius dan menarik
itu. Jelas dia pergi ke arah timur. Kenapa tiba-tiba dia muncul di kota sebelah barat ini?
Dengan suara yang keras, gadis itu berseru, “Ayo naik. Ayo naik, cepat.”
Ma Ji-liong merasa bimbang. Tapi gadis itu mendesak lagi, “Kau mau bergabung denganku di sini,
atau aku harus menjemputmu ke sana?”
Ma Ji-liong hanya bisa tersenyum dipaksa. Dia berkata, “Aku datang. Aku akan datang sendiri.”
Rumah makan itu luas dan hangat, penuh dengan aroma daging kambing rebus, ikan goreng dan
kue biji wijen.
Seorang diri dia duduk di sebuah meja yang bisa ditempati delapan orang, dan di atas meja sudah
tersedia begitu banyak makanan dan arak yang bahkan tidak mungkin bisa dihabiskan oleh delapan
orang sekaligus. Dia masih memakai mantel bulu Ma Ji-liong.
Si nona memandangnya dan berkata, “Duduklah. Duduklah, cepat.”
Ma Ji-liong hanya bisa duduk.
Koleksi Kang Zusi
Kembali dia memerintahkan, “Makanlah. Makanlah, cepat.”
Dan Ma Ji-liong pun makan. Dia tidak mau gadis itu mendesak-desaknya, juga tidak mau
perempuan itu menyuapkan daging kambing ke mulutnya. Agaknya dia bukan tipe perempuan yang
akan membiarkan orang lain melakukan sendiri apa yang dia mau.
Melihat Ma Ji-liong sudah menelan sepotong kecil daging kambing rebus, matanya berkedip-kedip
dengan berseri. Tapi kemudian dia memasang muka serius dan berkata, “Orang muda harus dapat
menahan rasa lapar, dan mereka pun harus bisa makan. Jika kau tidak menghabiskan semangkok
daging kambing rebus ini, tak perduli apa pun yang kau katakan, aku tidak mau mendengarkannya.”
Ma Ji-liong benar-benar menghabiskan semangkok besar daging kambing rebus itu dan dua potong
kue biji wijen.
Gadis itu menuangkan semangkok besar arak untuknya dan menyerahkannya padanya. Dia berkata,
“Kau sudah makan. Sekarang kau boleh minum. Minumlah, cepat.”
“Aku tidak mau minum,” Ma Ji-liong menggelengkan kepalanya.
Gadis itu berkata, “Kau ingin aku menjepit hidungmu dan menuangkan arak ini ke dalam
mulutmu?”
Ma Ji-liong tidak memperdulikannya. Dia benar-benar tidak percaya kalau seorang gadis akan
berani menjepit hidungnya di depan umum. Tapi dia keliru. Gadis itu benar-benar menjepit
hidungnya dengan jari tangannya.
Walaupun wajahnya buruk dan aneh, tapi tangannya indah, halus dan mulus.
Tangan yang lembut dan lemas. Inilah pertama kalinya Ma Ji-liong menyadari bahwa ada sesuatu
yang indah di tubuh gadis ini. Dia pun menghabiskan semangkok arak itu.
Dia tidak pernah menyentuh setetes pun arak sejak dia bermabuk-mabukan selama tiga hari di
rumah makan Tin-cu-hong. Dia sudah memutuskan untuk berhenti minum. Tapi, tak perduli apa
pun yang sudah diputuskan seseorang, setelah mengalami serentetan peristiwa buruk dan seorang
gadis menjepit hidungnya di depan umum seperti ini, keputusan seseorang bisa saja goyah.
Gadis itu akhirnya tertawa dan berkata, “Sekarang kau baru tampak hidup. Jika seorang laki-laki
tidak berani minum arak, maka dia bukan seorang laki-laki sejati.”
Dia menuangkan semangkok lagi dan berkata, “Tapi jangan khawatir. Tidak ada racun di dalam
arak ini. Aku pasti tidak ingin meracunimu sampai mati.”
Sekarang setelah Ma Ji-liong minum lagi setelah berpantang sekian lama, dia pun minum dengan
riang gembira. Siapa pun orangnya, jika mereka menjadi dia, mereka pun tentu ingin mabuk.
Sesudah minum tiga mangkok, tubuhnya mulai mengendur. Akhirnya ia bertanya, “Sekarang, boleh
aku bicara?”
Gadis itu berkata dengan dingin, “Jika itu hal yang baik, bicaralah. Jika cuma omong kosong, diam
sajalah.”
“Bagaimana kau bisa tiba di sini?” Ma Ji-liong bertanya.
Koleksi Kang Zusi
“Aku merasa suka, maka aku datang,” gadis itu menjawab.
“Tapi tadinya kau menuju ke timur, bukan?” Ma Ji-liong bertanya.
Gadis itu menjawab, “Tiba-tiba aku ingin pergi ke barat.”
“Apakah kau sedang memata-mataiku?” Ma Ji-liong melanjutkan.
“Apakah kau kira kau begitu tampannya sehingga setiap gadis harus memata-mataimu?” gadis itu
membalas.
Sambil menyeringai, tiba-tiba dia berkata, “Aku toh bukan ibu Toh Ceng-lian, juga bukan ibu Sim
Ang-yap. Aku pun bukan nenek-moyangnya hwesio bau itu. Kenapa aku harus memata-mataimu?”
Mimik muka Ma Ji-liong segera berubah. Dia bertanya, “Apakah kau juga tahu tentang hal itu?”
Gadis itu cuma menyahut, “Hmmm.”
“Bagaimana kau bisa tahu?” Ma Ji-liong bertanya.
“Hmmm,” jawab gadis itu.
Ma Ji-liong bertanya pula, “Apakah kau bertemu dengan Pang Tio-hoan dan Coat-taysu? Apakah
mereka yang memberitahukan semua itu padamu?”
Gadis itu tidak bersuara lagi. Pelan-pelan dia menuangkan semangkok arak lagi untuknya,
semangkok besar arak.
Sambil menghela napas, Ma Ji-liong berkata, “Apakah kau selalu minum dengan mangkok yang
besar?”
“Ya,” akhirnya gadis itu menjawab.
Ma Ji-liong bertanya, “Mengapa begitu?”
Gadis itu berkata, “Cuma Siau-hoan yang minum dengan mangkok kecil (siau hoan). Aku bukan
Siau-hoan.”
Siau-hoan? Ma Ji-liong merasa seperti pernah mendengar nama ini sebelumnya. Dia tadi
mendengarnya dari Khu Hong-seng, yang mengatakan bahwa kekasihnya bernama Siau-hoan. Dan
potongan giok di kantungnya itu diberikan kepadanya oleh Siau-hoan itu.
Ma Ji-liong tidak bisa menahan diri. Dia bertanya lagi, “Apakah kau juga kenal Siau-hoan?”
Gadis itu berkata dengan dingin, “Kau terlalu banyak bertanya.”
“Tapi kau tidak menjawab satu pun,” kata Ma Ji-liong.
Gadis itu berkata, “Itu karena kau terus mengajukan pertanyaan yang seharusnya tidak ditanyakan,
dan kau tidak menanyakan apa yang seharusnya kau tanyakan.”
“Lalu apa yang seharusnya kutanyakan?” Ma Ji-liong berkata.
Koleksi Kang Zusi
Gadis itu menjawab, “Kau sudah mencicipi makananku. Kau sudah meminum arakku. Setidaknya
kau seharusnya sudah menanyakan namaku!”
“Siapa namamu?” Ma Ji-liong bertanya.
Dia berkata, “Siau-hoan selalu minum dengan mangkok kecil (siau hoan). Aku minum dengan
mangkok besar (toa hoan). Jadi apa namaku?”
“Namamu Toa-hoan?” Ma Ji-liong berkata.
Gadis itu tertawa terbahak-bahak dan berkata, “Akhirnya kau semakin cerdas.”
HARKAT PENDEKAR
Saduran : Gan K. H
Bab 6: Mangkok Pecah
Gadis ini bernama Toa-hoan. Walaupun mukanya galak dan buruk, tangannya ternyata lebih indah
daripada tangan sebagian besar gadis. Dan walaupun matanya kecil dan sipit, bila tersenyum, mata
itu ternyata amat lembut, seperti air mata air yang mengalir dalam sinar matahari.
Kata-katanya pendek dan lugas, tapi jika orang benar-benar memikirkannya, kata-kata itu seperti
menyampaikan pesan yang mendalam.
Dan meskipun dia bisa membuat orang “tak bisa tertawa tak bisa menangis” dan sikapnya sering tak
masuk di akal, orang-orang kemudian akan menyadari bahwa apa yang dia lakukan adalah untuk
kebaikan mereka sendiri. Jika dia tidak memakai mantel bulu Ma Ji-liong dan membawa pergi kuda
putihnya, dia mungkin tidak bisa hidup sampai sekarang.
Mungkin sekali dia sudah mendengar persoalan ini dari Pang Tio-hoan. Tapi dia tetap tidak
memperlakukan pemuda itu sebagai pembunuh berdarah dingin. Jika sekarang ada orang yang
bersedia menjadi temannya di dunia ini, mungkin dialah orangnya. Tapi sebenarnya, siapakah dia?
Mendadak Ma Ji-liong berkata, “Kau orang yang baik.”
Dia menghela napas lagi, “Sebelumnya aku selalu menganggapmu aneh. Baru sekarang aku tahu
bahwa kau adalah orang yang baik.”
“Bagaimana kau tahu kalau aku orang yang baik?” Toa-hoan bertanya.
“Aku belum bisa mengatakannya, tapi aku tahu,” jawab Ma Ji-liong.
Lalu dia menuangkan semangkok arak untuk si nona. Dia berkata, “Ayo, aku pun menggunakan
mangkok besar (toa hoan) untuk menghormatimu.”
Anehnya, Toa-hoan benar-benar meminum semangkok besar arak itu. Dia minum dengan gembira.
Tiba-tiba Ma Ji-liong bertanya lagi, “Kau bernama Toa-hoan. Apakah ada hubungannya dengan
Siau-hoan?”
Koleksi Kang Zusi
“Tidak,” jawab Toa-hoan.
“Sayang,” kata Ma Ji-liong.
Toa-hoan bertanya, “Kenapa? Apakah karena kau ingin bertemu dengan Siau-hoan?”
“Aku benar-benar ingin bertemu dengannya,” jawab Ma Ji-liong.
Toa-hoan berkata, “Sayangnya kau tidak bisa menemukannya.”
Ma Ji-liong tersenyum dipaksa dan berkata, “Sayangnya dia bukan bernama Toa-hoan.”
“Kenapa harus disayangkan?” Toa-hoan berkata.
Ma Ji-liong menjawab, “Jika namanya adalah Toa-hoan, tentu mudah menemukannya. Sayangnya
dia bernama Siau-hoan.”
Lalu dia menjelaskan, “Tidak mungkin banyak gadis yang bernama Toa-hoan, tapi yang bernama
Siau-hoan pasti lebih sedikit lagi. Aku cuma tahu bahwa namanya Siau-hoan. Bagaimana aku bisa
menemukannya?”
Toa-hoan berkata, “Walaupun kau tidak bisa menemukannya, tapi selalu ada orang yang bisa.”
“Siapa yang bisa menemukannya?” Ma Ji-liong bertanya.
Toa-hoan tidak menjawab. Dia malah bertanya, “Berapa banyak yang sudah kau minum hari ini?”
Ma Ji-liong berkata, “Delapan mangkok, delapan mangkok besar.”
“Kau masih bisa minum semangkok lagi?” Toa-hoan bertanya.
“Tak tahu,” kata Ma Ji-liong.
Toa-hoan berkata, “Apa kau masih sanggup minum banyak lagi?”
Ma Ji-liong berkata, “Entahlah... Biasanya aku minum tidak menggunakan mangkok.”
“Apa yang kau gunakan?” Toa-hoan bertanya.
“Aku minum dari guci arak,” kata Ma Ji-liong.
Toa-hoan tertawa.
“Kau kira aku membual?” Ma Ji-liong bertanya.
Toa-hoan berkata, “Jika kemampuan minum arakmu benar-benar hebat, aku bisa membawamu
menemui seseorang.”
“Siapa?” Ma Ji-liong bertanya.
Toa-hoan menjawab, “Seseorang yang tidak minum dari mangkok kecil (siau hoan) tapi pasti bisa
menemukan Siau-hoan itu.”
Koleksi Kang Zusi
“Lalu dia minum pakai apa?” Ma Ji-liong bertanya.
“Mangkok pecah,” Toa-hoan menjawab.
Ma Ji-liong berkata, “Jika dia minum dari mangkok pecah, maka dia bernama Boa-hoan (Mangkok
Pecah), bukan?”
“Aku terkejut melihatmu semakin cerdas,” kata Toa-hoan dengan senang.
Dengan mata bersinar-sinar, Ma Ji-liong berkata, “Mangkok pecahmu ini, apakah dia bukannya
Boa-hoan Ji Ngo?”
“Siapa lagi kalau bukan dia?” Toa-hoan berkata.
***
Selain dia, memang tidak ada orang lain. Pasti tidak ada orang lain seperti dia. Tidak ada orang
yang bisa minum seperti dia, dan tidak ada orang yang memahami arak lebih baik darinya. Tak
seorang pun yang bisa menandingi kemampuannya makan, dan tak seorang pun yang sangat pilih-
pilih soal makanan seperti dia.
Tapi dia bukan cuma terkenal dengan kemampuan makan dan minumnya. Dulu, jago nomor satu di
dunia Kang-ouw – Ye Kai – pernah menguraikan dirinya sebagai berikut, “Semiskin debu, sekaya
satu negara, terkenal ke seluruh dunia, tapi tidak seorang pun yang bisa mengenalinya.”
Menggunakan kata-kata ini untuk menjelaskan tentang dirinya adalah yang paling tepat. Garam
adalah sumber kekayaan terbesar di dunia, dan perdagangan yang paling cepat menghasilkan uang
adalah yang berhubungan dengan minyak dan beras, sutera, kayu dan toko gadai. Keluarga Ji di
Kanglam bukan hanya merupakan pedagang garam terbesar, keluarga ini juga terkenal dalam
keempat usaha lainnya. Mereka tentu saja termasuk orang terkaya di antara orang-orang kaya.
Kekayaan mereka sama dengan kekayaan satu negara.
Keluarga Ji dari Kanglam terdiri dari lima bersaudara, dan Ji Ngo adalah orang kelima.
Orang paling miskin di dunia tentu saja pengemis. Ji Ngo juga salah seorang dari tetua para
pengemis, dan ketua partai pengemis yang sekarang. Walaupun namanya menonjol di dalam Bulim,
tapi tidak banyak orang yang pernah bertemu dengannya, dan dia biasanya tidak dikenal orang. Tapi
anak-buahnya adalah pengemis-pengemis di seluruh dunia, baik yang berada di sebelah utara dan
selatan sungai Tiangkang. Dan karena itu, jika orang ingin menemukan seseorang yang tidak bisa
ditemukan, maka orang itu harus pergi mencarinya.
“Kau bisa menemukan dia?” Ma Ji-liong bertanya.
“Jika aku tidak bisa, lalu siapa yang bisa?” Toa-hoan menjawab.
Ma Ji-liong bertanya, “Kau tahu di mana dia berada?”
Toa-hoan berkata, “Seharusnya kau tahu. Dia tentu saja berada di sebuah tempat di mana dia bisa
makan dan minum.”
Bagi pengemis, seluruh dunia adalah rumah mereka. Di mana ada makanan, maka mereka pun
makan di sana. Tempat mana pun adalah tempat yang baik untuk makan, dan tempat mana pun juga
Koleksi Kang Zusi
baik untuk minum. Banyak tempat yang bisa dipakai untuk makan dan minum, dan di mana-mana
juga ada warung makanan dan warung arak yang kecil.
Toa-hoan membawanya ke sebuah rumah makan yang sangat kecil. Itulah rumah makan yang
benar-benar sempit, cuma ada dua buah meja rusak dan beberapa buah kursi yang berantakan di
dalamnya.
Ma Ji-liong melangkah melewati ambang pintu dan tercium olehnya bau yang busuk. Di atas salah
satu meja kecil tersedia beberapa macam sayur asin yang warnanya sudah berubah. Selain itu sayur
itu pun tampak kering dan keras seperti setumpuk batu yang diambil dari selokan. Meskipun orang
yang hampir mati kelaparan, dia tentu tidak berani mencicipinya. Dengan melihat sayur asin ini
saja, orang bisa membayangkan bagaimana rumah makan ini dijalankan. Walaupun Ji Ngo seorang
pengemis, dia adalah ketua partai pengemis yang paling bersih dan paling pilih-pilih soal makanan.
Dalam urusan makan, dia tidak pernah sembarangan. Bagaimana mungkin dia mau datang ke
tempat ini untuk makan dan minum?
Di tempat ini tidak ada tamu, dan seorang pelayan tua tampak sedang tidur lelap. Toa-hoan berjalan
menghampiri dan membisikkan beberapa patah kata ke telinganya. Dia segera bangun, sepasang
matanya yang tadi seperti linglung tiba-tiba tampak bersinar dengan terangnya. Dunia kang-ouw
memang penuh dengan harimau mendekam dan naga bersembunyi. Mungkinkah orang tua ini juga
seorang jago Bulim yang sedang menyamar?
Dia terus mengawasi Toa-hoan dengan cara yang amat aneh. Jelas dia bersikap setengah hormat dan
setengah gembira, seperti seorang bocah yang tiba-tiba bertemu dengan seorang idola yang sudah
lama dikaguminya. Ma Ji-liong berwajah tampan, dan di seluruh dunia Kang-ouw orang yang
tampan seperti dirinya adalah langka. Biasanya dia akan menarik perhatian orang ke mana pun dia
pergi. Tetapi, anehnya, orang tua ini bahkan tidak meliriknya sedikit pun. Berdiri di samping Toa-
hoan, dia seperti dianggap tidak ada. Ma Ji-liong merasa pengalaman ini sangat menarik.
Orang tua itu tiba-tiba menghela napas dalam-dalam. Lalu dia bergumam, “Aku tidak mengira, aku
tidak menyangka. Aku sama sekali tidak menduga.”
Toa-hoan berkata, “Kau tidak menyangka aku akan berada di sini?”
Orang tua itu menjawab, “Hamba mendapat kesempatan untuk bertemu dengan nona, hidupku ini
tidak akan sia-sia.”
Tiba-tiba dia berlutut, menjatuhkan dirinya ke lantai, dan merangkak untuk mencium kaki Toa-
hoan. Sikapnya amat mirip dengan seorang pejabat pemerintah setia yang sedang memberi hormat
pada kaisarnya. Lalu dia bangkit berdiri dan berkata, “Ji Ngo sedang berada di dapur, di belakang.
Silakan ikuti hamba.”
Ma Ji-liong merasa sangat aneh. Bagaimanakah asal-usul gadis buruk rupa yang aneh ini? Orang itu
memberinya hormat seperti ini. Dia pun menerimanya tanpa canggung sedikit pun, seolah-olah dia
sudah menduganya.
Toa-hoan tahu apa yang sedang dia pikirkan, maka ia berkata dengan lembut, “Dulu orang tua ini
pernah bekerja untuk kami sebagai pelayan di dapur. Adat-istiadat di dalam keluarga kami memang
selalu ketat.”
Koleksi Kang Zusi
Ma Ji-liong ingin bertanya, “Jadi pelayan dalam keluarga kalian harus mencium kakimu bila
mereka melihatmu? Bahkan di istana kaisar tidak ada adat-istiadat seperti itu.” Tapi dia tidak
sempat mengatakannya karena mereka telah berjalan memasuki dapur.
Tidak seorang pun bisa menduga bahwa rumah makan kecil dan bau ini akan mempunyai dapur
seperti ini. Ruangan dapur itu luas, bersih dan berkilauan. Semuanya tertata rapi. Piring dan
mangkok lebih mengkilap daripada cermin, dan bahkan tidak setitik debu pun yang terlihat di
tungku pembakaran. Thian-ma-tong adalah rumah milik keluarga bangsawan, di mana orang-
orangnya tidak mau makan sembarangan. Tetapi dapurnya bahkan tidak sebersih dan seluas ini.
Tampak seseorang sedang memasak makanan di dapur. Bila orang sedang menggoreng sesuatu,
sikapnya tentu tidak kelihatan agung. Tapi orang ini merupakan kekecualian. Di tangannya
tergenggam sebuah sudip, tapi dia terlihat seperti Bu Tau-ji – pelukis terbesar sepanjang masa –
yang sedang memegang kuas, atau Sebun Jui-soat – jago pedang yang unik dan termasyur itu –
sedang memegang pedangnya. Sikap dan gerak-geriknya bukan saja indah, dia pun benar-benar
asyik dengan masakannya.
Dia sedang menggoreng tahu, tahu isi udang. Karena sekarang tahu-tahu itu belum selesai digoreng,
maka orang tua tadi hanya berdiri saja di belakangnya, tidak berani mengusik. Anehnya Toa-hoan
juga tidak mengganggunya. Orang itu bertubuh sedang, dengan wajah yang halus dan cerah. Dan
meskipun penuh dengan tambalan, bajunya yang panjang itu bersih tak bernoda. Dia seperti seorang
laki-laki terpelajar.
Ma Ji-liong tak sanggup berdiam diri terus. Dia lalu bertanya, “Apakah dia adalah Kanglam Ji
Ngo?”
Sambil menghela napas, Toa-hoan berkata, “Siapa lagi kalau bukan dia?”
Tahu itu sudah selesai digoreng, dan periuk pun telah dipindahkan dari atas api. Dia lalu
menggunakan sudip untuk mengambil tahu itu satu demi satu. Setiap potongnya dimasak dengan
baik. Dimasak dengan suhu yang rendah, tahu-tahu itu sudah berwarna kuning, ditumpuk di atas
sebuah piring porselen berwarna putih seperti salju, tampak seperti gumpalan-gumpalan emas. Tapi
gumpalan emas pasti tidak harum dan mengundang selera seperti ini. Dia memandang tahu-tahu itu
dan tampak sangat puas pada dirinya sendiri. Lalu dia gunakan kedua tangannya untuk meletakkan
piring tadi di atas sebuah meja kayu yang tidak bernoda. Lalu dia menghela napas dan mengangkat
kepalanya.
Akhirnya dia melihat Toa-hoan dan berkata, “Kau rupanya.”
“Ini aku,” Toa-hoan berkata sambil tertawa terbahak-bahak. Dia tidak memperlihatkan penampilan
yang memuakkan lagi. “Aku terkejut Ji Ngo mengenaliku.”
Ji Ngo bersikap hangat kepadanya. Dia berkata, “Apa hari ini kau sudah minum?”
“Baru sedikit,” jawab Toa-hoan.
Ji Ngo berkata, “Bagus, bagus sekali. Aku baru saja hendak mencari orang yang bisa menemaniku
minum.”
Sambil terkekeh dia berkata, “Minum arak itu seperti main catur. Perlu dua orang baru menarik.”
Koleksi Kang Zusi
Ji Ngo akhirnya menatap Ma Ji-liong. Lalu dia bertanya, “Apakah dia juga minum? Bisakah dia
minum?”
“Kudengar kekuatan minum araknya cukup bagus,” jawab Toa-hoan.
“Siapa yang bilang?” Ji Ngo bertanya.
Toa-hoan berkata, “Dia sendiri yang mengatakannya.”
Ji Ngo bertanya, “Dia berkata begitu dan kau percaya begitu saja?”
“Kenapa kau tidak mencoba dan melihatnya sendiri?” Toa-hoan berkata.
“Bagus, bagus sekali,” Ji Ngo terkekeh.
Tahu itu sangat enak. Ma Ji-liong sampai lupa menjaga sopan-santun. Dengan sekali telan dia sudah
menghabiskan tiga potong. Setiap potongnya diikuti dengan semangkok arak. Dalam sekejap dia
sudah minum tiga mangkok, tiga mangkok besar. Ji Ngo juga sudah minum tiga mangkok.
Ji Ngo benar-benar menggunakan sebuah mangkok yang pecah, mangkok pecah yang sangat besar.
Mangkok itu pecah menjadi tiga keping yang kemudian direkatkan kembali. Mangkok itu berwarna
biru terang, seperti warna langit setelah badai reda.
Tiba-tiba Ma Ji-liong berkata, “Mangkok yang bagus.”
“Kau tahu ini mangkok yang bagus?” Ji Ngo bertanya.
Ma Ji-liong menjawab, “Mangkok ini dibuat oleh Chaifu, mangkok terbaik yang pernah keluar dari
tempat pembakaran. Kecuali sebuah yang ada di istana kaisar, pasti tidak ada mangkok lain seperti
ini di dunia ini.”
Ji Ngo berkata, “Benar, memang cuma ada dua mangkok seperti ini di dunia ini.”
Dia memandang Ma Ji-liong dan terkekeh, “Ternyata pandangan matamu cukup bagus. Kau bukan
hanya pandai melihat orang, kau pun pintar melihat mangkok.”
“Bila melihat orang, pandangan matanya tidak begitu bagus,” Toa-hoan berkata dengan dingin.
Sambil tertawa terbahak-bahak, Ji Ngo berkata, “Jika dia tidak pandai melihat orang, kenapa dia
bisa menyukaimu?”
Toa-hoan seolah-olah tidak mendengarnya. Wajah Ma Ji-liong sendiri sudah memerah sedikit.
Tiba-tiba Ji Ngo berkata, “Kalian berdua datang ke sini. Tujuan kalian tentunya bukan untuk minum
arak denganku.”
“Aku ingin mencari seseorang, tapi aku tidak tahu di mana dia berada,” kata Ma Ji-liong.
“Kau ingin aku membantu menemukannya, bukan?” Ji Ngo bertanya.
“Benar!” Ma Ji-liong menjawab.
Koleksi Kang Zusi
Ji Ngo bertanya, “Siapa yang ingin kau temukan itu?”
“Namanya Siau-hoan,” kata Ma Ji-liong.
Ji Ngo tertawa dengan kerasnya. Dia berkata, “Siau-hoan tidak sebaik Toa-hoan. Kau sudah
mendapatkan gadis 'hoan' yang ini, kenapa kau harus mencari Siau-hoan lagi?”
Pengamatan pendekar terkenal ini jelas tidak begitu bagus. Dia mengira Ma ji-liong adalah kekasih
Toa-hoan.
Melihat kedua orang itu, yang satunya sangat buruk rupa, yang lainnya amat tampan. Seharusnya
dia dapat melihat bahwa mereka tidak sebanding.
Toa-hoan sengaja bertanya, “Kenapa Siau-hoan tidak sebaik Toa-hoan?”
Ji Ngo berkata, “Apabila kau ingin makan atau minum, mangkok kecil (siau hoan) tidak bisa
menampung sebanyak mangkok besar (toa hoan). Jadi Siau-hoan jelas kalah bila dibandingkan
dengan Toa-hoan.”
“Bagaimana dengan mangkok pecah (boa hoan)?” Toa-hoan bertanya.
“Mangkok pecah bahkan lebih baik daripada mangkok besar,” Ji Ngo berkata.
Toa-hoan bertanya, “Kenapa begitu?”
Ji Ngo berkata, “Mangkok yang pecah berarti mangkok itu sudah melalui hal yang baik dan buruk.
Seperti manusia, orang harus melalui tantangan hidup untuk menjadi tua. Pengalaman orang tua
selalu lebih banyak daripada pengalaman seorang bocah, seperti jahe yang makin tua semakin
pedas.”
Lalu dia mengangkat mangkok pecahnya dan meneguk habis araknya. Sambil tertawa terbahak-
bahak, dia lalu berkata, “Dan itulah sebabnya mangkok pecah lebih baik daripada mangkok besar.”
Toa-hoan juga tertawa. Dia berkata, “Untunglah kita bicara tentang manusia, bukan mangkok. Siau-
hoan yang ini bukan hanya lebih baik daripada Toa-hoan, dia juga lebih baik daripada boa-hoan
(mangkok pecah).”
“Oh, ya?” Ji Ngo berkata.
Toa-hoan berkata pula, “Siau-hoan ini adalah gadis yang sangat cantik. Selain itu dia juga lembut
dan penuh kasih sayang.”
"Bagaimana kau tahu?" Ji Ngo bertanya.
Toa-hoan menjelaskan, “Karena dia adalah kekasih Khu Hong-seng. Tentu saja gadisnya si Tombak
Perak tidak mungkin makhluk yang buruk dan aneh seperti diriku.”
Ji Ngo tertawa dan berkata, “Siau-hoan ini rupanya milik orang lain. Tak heran kenapa kau biarkan
aku membantu dia menemukannya.”
Dia tidak membiarkan Ma Ji-liong membantah, dia juga tidak bertanya lagi.
Koleksi Kang Zusi
Tiba-tiba dia berkata, “Ayo kita buat perjanjian.”
“Perjanjian apa?” Ma Ji-liong bertanya.
Ji Ngo menjawab, “Kau tinggal di sini dan minum bersamaku, dengan menggunakan mangkok
besar. Lalu akan kuberitahukan cara menemukan Siau-hoan ini padamu.”
“Baik,” kata Ma Ji-liong.
“Dalam tiga hari, aku akan mendapatkan berita untukmu,” Ji Ngo berkata.
“Aku akan tinggal di sini menemanimu minum selama tiga hari,” Ma Ji-liong menegaskan.
Ji Ngo berkata, “Dengan mangkok besar?”
“Tentu saja menggunakan mangkok besar,” kata Ma Ji-liong.
Ji Ngo berkata, “Dan kau bertanding minum denganku?”
“Tentu,” jawab Ma Ji-liong.
Ji Ngo menatapnya sekian lama. Lalu dia bertanya lagi, “Apakah kau tahu kemampuan terbaikku?”
“Katakanlah,” kata Ma Ji-liong.
Ji Ngo berkata, “Kemampuan terbaikku adalah makan, minum dan tidur.”
Ma Ji-liong berkata, “Aku tidak tahu dengan makan dan tidur, tapi minum.... aku akan
menandingimu.”
Ji Ngo bertanya, “Kau tidak takut mabuk?”
Ma Ji-liong menjawab, “Biarpun mabuk sampai mati, aku tetap akan minum.”
Ji Ngo tertawa terbahak-bahak. Lalu dia berkata, “Bagus, benar-benar bagus.”
Di dunia ini ada orang yang lebih suka mati daripada menyerah kalah. Ma Ji-liong tentu saja
termasuk orang seperti ini.
Melihat mereka berdua menenggak minuman mereka terus-menerus, Toa-hoan pun menghela napas
dan berkata, “Saat pergi dari rumah, ibuku sudah memperingatkan aku agar tidak mabuk atau
bercampur-baur dengan orang-orang mabuk. Dia bilang – semua pemabuk di dunia ini sama saja.
Mereka bukan saja tidak tahu siapa diri mereka, mereka juga selalu bertindak bodoh dan tak masuk
akal terhadap orang lain.”
Toa-hoan melanjutkan lagi, “Dan kemudian dia berkata – bila bertemu dengan seorang pemabuk,
yang sebaiknya dilakukan oleh seorang gadis yang cerdik adalah pergi jauh-jauh secepatnya.”
Ma Ji-liong berkata, “Benar.” Dia minum semangkok lagi dan berkata, “Benar sekali.”
“Dua orang pemabuk tentu saja lebih buruk daripada seorang,” kata Toa-hoan.
Koleksi Kang Zusi
Ji Ngo berkata, “Benar.” Dia juga minum semangkok lagi dan berkata, “Satu-satunya yang lebih
buruk daripada satu orang pemabuk adalah dua orang pemabuk.”
Sambil menghela napas, Toa-hoan berkata, “Sayangnya aku segera akan bertemu dengan dua orang
pemabuk.”
Ji Ngo bertanya, “Di mana? Di mana ada dua orang pemabuk?”
Toa-hoan berkata, “Agaknya akan ada di sini, tepat di hadapanku.”
Ji Ngo memandang Ma Ji-liong. Ma Ji-liong memandang Ji Ngo. Dan mereka berdua lalu tertawa
terbahak-bahak.
“Ibuku cuma menyuruhku lari bila bertemu dengan seorang pemabuk. Dia tidak memberitahu apa
yang harus kulakukan jika bertemu dengan dua orang pemabuk.” Sambil tertawa cekikikan, dia
berkata, “Untunglah aku menemukan jalan keluarnya.”
Ji Ngo bertanya, “Apa itu?”
“Aku harus mabuk juga.” Dia menenggak semangkok besar dengan cepat. “Jika aku mabuk, aku
tidak perlu takut pada pemabuk lagi.”
Ji Ngo bertepuk tangan dan berkata, “Benar.”
“Tapi ada satu hal lagi,” kata Ma Ji-liong.
Ji Ngo bertanya, “Apa itu?”
Ma Ji-liong berkata, “Bukankah tiga orang pemabuk lebih buruk daripada dua orang pemabuk?”
Ji Ngo berkata, “Tentu saja.” Lalu dia menghela napas, “Di dunia ini, kurasa satu-satunya yang
lebih buruk daripada dua orang pemabuk mungkin adalah tiga orang pemabuk.”
“Dan sekarang aku sudah bertemu tiga orang pemabuk,” kata Ma Ji-liong sambil menghela napas.
“Karena aku adalah salah seorang dari mereka.”
Dia sendiri belum mabuk, maka ini bukanlah omongan orang mabuk. Hatinya masih dibanjiri oleh
berbagai macam perasaan. Seorang laki-laki tidak bisa melarikan diri dari dirinya sendiri.
Kesalahan dan tanggung-jawabnya tak bisa dihindari. Karena semua itu seperti bayangannya
sendiri, dari mana orang tidak bisa melarikan diri.
HARKAT PENDEKAR
Saduran : Gan K. H
Bab 7: Gadis Bernama Siau-hoan
Ma Ji-liong sedang mabuk. Bila seseorang minum bersama orang-orang yang bisa dia percayai,
maka amat mudah baginya untuk mabuk, dan dia mempercayai Toa-hoan dan Ji Ngo.
Koleksi Kang Zusi
Bila hati seseorang sedang gundah, menderita ketidak-adilan, mudah juga baginya untuk mabuk.
Walaupun dia yakin bahwa kesalah-pahaman ini suatu hari akan terungkap, dia tetap tak bisa
menahan perasaan gundahnya.
Dia sudah minum selama dua-tiga hari dan karenanya dia pun mabuk. Dan bila seseorang dalam
keadaan seperti dia, apa pun yang dikatakan atau dilakukannya, dia tak akan ingat dengan jelas.
Meskipun dia ingat, pasti samar-samar seperti dalam mimpi, atau lebih mirip seperti orang lain yang
mengatakan atau melakukannya daripada dirinya sendiri.
Dia agaknya ingat dirinya pernah mengatakan sesuatu yang membuatnya berjingkrak kaget bila
mengingatnya sekarang. Saat itu setiap orang sudah hampir mabuk. Dia lalu mencengkeram tangan
Toa-hoan dan berkata, “Maukah kau menikah denganku?”
Toa-hoan tertawa. Dia tertawa tiada hentinya sampai kehabisan napas. Lalu dia bertanya, “Kenapa
kau ingin aku menikah denganmu?”
“Karena aku tahu kau sangat baik padaku. Karena di saat orang lain mencurigaiku dan
memperlakukan aku sebagai pembunuh berdarah dingin dan berusaha membunuhku, tapi kau
mempercayaiku. Kau adalah satu-satunya orang yang bersedia menolongku.”
Ma Ji-liong mengutarakan isi hatinya. Bila seseorang mabuk seperti ini, dia pasti selalu mengatakan
perasaan yang sebenarnya.
Tapi Toa-hoan tidak mempercayainya. “Kau cuma ingin menikah denganku karena kau sedang
mabuk. Tunggu sampai kau sadar, kau pasti akan menyesal.”
Dia tertawa, tapi suaranya terdengar pedih. “Tunggu sampai kau bertemu dengan gadis yang lebih
cantik dariku, kau pasti ingin bunuh diri karena menyesal.”
Lalu dia berkata pula, “Aku buruk rupa, dan aneh, dan jahat. Dan tidak terhitung jumlah gadis yang
lebih cantik dariku.”
Sekarang Ma Ji-liong sudah sadar, dia tak ingat apakah Toa-hoan menerima 'lamarannya' itu. Tidak
henti-hentinya dia bertanya pada dirinya sendiri, “Jika dia mengatakan ya, apakah aku
menyesalinya atau tidak? Sekarang, apakah aku masih ingin menikah dengannya?”
Tapi dia tidak tahu jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan ini.
Lalu dia melihat seorang gadis, seorang gadis yang jauh lebih cantik daripada Toa-hoan.
Ketika dia terbangun, dia tidak berada di dapur itu lagi, dan Ji Ngo dan Toa-hoan tiba-tiba tidak
kelihatan lagi. Dia menemukan dirinya sedang berbaring di sebuah ranjang yang kecil tetapi lembut,
yang juga beraroma harum dan sangat nyaman. Ranjang ini ditaruh di sebuah kamar yang kecil
tetapi amat bersih, sangat mewah dan amat harum.
Di kamar ini, orang bisa melihat beberapa batang pohon bunga di luar jendela. Di bawah jendela
terdapat sebuah meja rias kecil. Di atas meja rias ada sebuah cermin tembaga yang mungil. Di dekat
cermin ada sebuah pot berisi bunga bwe. Dan berdiri di sebelah bunga bwe itu adalah gadis ini.
Bunga bwe itu indah luar biasa, dan begitu pula gadis ini. Dan seperti bunga-bunga itu, dia pun
cantik molek. Tapi walaupun dia mengenakan gaun merah, wajahnya kelihatan pucat kebiruan.
Koleksi Kang Zusi
Meski matanya bening dan indah, tetapi sorot matanya memancarkan kesedihan yang teramat
sangat.
Dia sedang memandang Ma Ji-liong. Dia sedang menatapnya dengan sinar yang sangat aneh di
matanya, seolah-olah dia setengah ragu dan setengah takut. Ma Ji-liong merasa kepalanya sangat
sakit. Dia tidak mengenal gadis ini, dia juga tidak tahu kenapa dia bisa berada di sini.
Tiba-tiba gadis itu bertanya, “Apakah kau Ma-kongcu, 'Pek-ma Kongcu' Ma Ji-liong?”
Ma Ji-liong menjawab, “Ya.”
“Apakah kau pergi ke Han-bwe-kok beberapa hari yang lalu?” gadis itu bertanya.
“Benar,” kata Ma Ji-liong.
Gadis itu bertanya, “Apakah kau bertemu dengan Khu Hong-seng?”
Tapi Ma Ji-liong berkata, “Apakah kau juga mengenalnya?”
Gadis itu mengangguk. Alisnya dikerutkan dengan sedih. Lalu dia berkata dengan lembut, “Aku she
So, namaku Siau-hoan. Kau ingin bertemu denganku?”
“Tempat apakah ini?” Akhirnya Ma Ji-liong bertanya. “Kenapa aku bisa berada di sini?”
“Seorang Tuan Ngo yang membawamu ke sini,” dia memilih untuk menjawab pertanyaan kedua.
Lalu, untuk menjelaskan kenapa dia mau menerima kedatangan seorang laki-laki asing yang sedang
mabuk, dia berkata, “Tuan Ngo berkata bahwa kau adalah teman Khu Hong-seng dan cuma kau
yang tahu di mana dia berada sekarang.”
Ma Ji-liong tersenyum dipaksa. Ji Ngo masih mampu mengantarnya ke mari. Seorang laki-laki yang
sedang mabuk tentu tidak bisa melakukannya. Dia tak pernah menyangka kalau ada orang yang
mampu mengalahkan dirinya dalam soal minum. Dia tiba-tiba menyadari bahwa dia terlalu
memandang tinggi dirinya sendiri.
Dengan sopan dia bertanya, “Apakah ini rumahmu?”
Siau-hoan menjawab, “Aku tidak punya rumah. Tempat ini tidak bisa disebut rumah.”
Ma Ji-liong paham apa maksudnya.
Tentu saja sebuah 'rumah' bukan sekedar sebuah rumah. Tidak perduli betapa pun cantiknya sebuah
rumah, sebuah 'rumah' dan sebuah rumah tetap tidak sama.
Siau-hoan berkata, “Dulu aku bekerja di Ti-hong-wan di kota Kay-hong sebagai seorang..... seorang
pelacur. Sejak kecil aku sudah tidak punya ayah dan ibu. Hong-seng membawaku keluar dari
tempat itu dan membelikan rumah ini untukku.”
Dia pun tersenyum, sebuah senyuman yang mengungkapkan penderitaannya. Lalu dia melanjutkan,
“Tapi, jika dia tidak ada di sini, bagaimana tempat ini bisa disebut rumah lagi?”
Koleksi Kang Zusi
Ma Ji-liong menghela napas dan berkata, “Aku tidak tahu kalau dia adalah orang yang begitu
romantis!”
Bagi seorang pemuda dari keluarga ternama dan kaya raya seperti Khu Hong-seng, tergila-gila pada
seorang perempuan seperti ini benar-benar amat menyentuh hati.
Siau-hoan berkata, “Walaupun dia keras dan tidak mau kalah, dia adalah orang yang baik dan
tegas.”
Berbicara tentang Khu Hong-seng, sorot matanya memperlihatkan emosi yang lembut. Lalu dia
meneruskan, “Dia begitu baik. Dia melakukan segalanya untukku. Dan dia tidak pernah bersikap
kasar padaku, seorang perempuan yang seperti ini..... Aku bisa bertemu dengan seorang laki-laki
seperti itu.... mati pun aku puas.”
Ma Ji-liong berkata, “Kalian berdua masih muda, kenapa kau bisa mati?”
Siau-hoan tersenyum getir, “Seandainya kau datang terlambat, kau tidak akan bertemu denganku
lagi.”
Ma Ji-liong tiba-tiba teringat bagaimana Khu Hong-seng menggali liang di tanah itu.
Siau-hoan berkata, “Sebelum pergi, dia berjanji padaku bahwa paling lama dia akan kembali tadi
malam.”
Ma Ji-liong bertanya, “Bagaimana jika dia tidak pernah kembali?”
Dengan hati yang patah, Siau-hoan berkata, “Berarti dia sudah meninggalkan dunia ini. Aku pun
tentu akan menemaninya dalam kematian.”
Walaupun suaranya lembut, tapi mengandung keputusan yang kuat untuk mati. Mereka sudah
bersumpah untuk tetap bersama dalam hidup dan mati.
Ma Ji-liong menutup mulutnya. Dia pun tidak tahu di mana Khu Hong-seng berada sekarang. Saat
Peng Thian-pa, Pang Tio-hoan dan Coat-taysu mengejarnya, Khu Hong-seng tentu tidak ikut
dengan mereka.
Walaupun dia tidak mati akibat tusukan tombak Kim Tin-lin, luka-lukanya pasti tidak ringan. Ke
manakah seorang laki-laki yang terluka parah bisa menuju?
Hari itu mereka semua pergi ke Han-bwe-kok karena undangan Bik-giok Hujin. Apakah perempuan
itu akhirnya muncul? Apakah dia yang membawa Khu Hong-seng ke Bik-giok-san-ceng?
Ma Ji-liong tidak yakin.
Siau-hoan menatapnya, menunggu jawabannya. Ma Ji-liong benar-benar tak sanggup mengutarakan
isi hatinya, tidak ingin menyakiti gadis yang mengibakan ini lagi.
Siau-hoan menghela napas dengan lembut. Dia berkata, “Aku tahu jika dia masih hidup, dia pasti
akan kembali. Kenapa kau mendustaiku?”
Ma Ji-liong berkata, “Aku.....”
Koleksi Kang Zusi
Siau-hoan tidak membiarkannya bicara lagi. Dia memotong, “Kau memang tidak bisa
memperdayaiku. Aku tahu ini – dia dan aku saling mencintai. Itu sudah cukup untukku.”
Sikapnya tiba-tiba menjadi dingin. Dia berkata, “Hari akan segera menjadi gelap. Aku tidak berani
menahan Ma-kongcu lagi.”
Setelah dia berkata begitu, maka percakapan pun tidak bisa diteruskan lagi.
Ma Ji-liong cuma bisa pergi. Tapi, sebelum pergi, dia berkata, “Aku paham keputusanmu dan aku
tidak akan memaksamu. Tapi kuharap kau bisa menunggu selama tiga hari. Dalam tiga hari ini, aku
bisa memberikan kabar yang lebih banyak tentang Khu Hong-seng.”
Siau-hoan tampak bimbang. Lalu akhirnya dia setuju, “Baik. Aku akan menunggu selama tiga hari.”
Langit sudah menjadi gelap. Rumah Siau-hoan berada di mulut sebuah gang yang sempit dan
panjang. Ma Ji-liong menaikkan kerah bajunya sebelum melangkah keluar dalam hembusan angin.
Dia ingin menemukan Siau-hoan karena dia hendak menegaskan apakah Khu Hong-seng
mengatakan hal yang sebenarnya pada hari itu. Dia tidak meragukan Khu Hong-seng, tapi dia
benar-benar tidak punya petunjuk lain. Seperti orang yang hampir tenggelam, dia harus
berpegangan erat-erat pada apa pun yang terlihat di tangannya.
Sekarang ia sudah memastikan bahwa Khu Hong-seng benar-benar orang yang romantis, cinta
mereka sungguh menggugah hatinya. Dia ingin menolong mereka. Dia berharap dia bisa
mengetahui keberadaan Khu Hong-seng dalam waktu tiga hari ini.
Dia berharap dia bisa menyatukan kembali kedua kekasih ini.
Tapi dia tetap merasa ada sesuatu yang tidak benar, tapi dia tidak bisa menunjukkannya. Dia selalu
merasa ada sesuatu yang terlalu sedikit dan terlalu banyak pada rumah Siau-hoan itu. Tapi apakah
yang hilang? Apakah yang terlalu banyak? Dia benar-benar tidak bisa mengatakannya.
Apakah Toa-hoan sekarang sudah bangun? Apakah dia pun merasa sakit kepala seperti dirinya?
Tiba-tiba dia menyadari bahwa dia merindukan gadis itu. Gadis yang aneh luar biasa, buruk rupa
dan tidak rasional itu agaknya masih mempunyai sisi-sisi yang menarik.
Sayangnya ia tidak tahu dari mana gadis itu berasal, juga tidak tahu ke mana dia hendak pergi.
Mereka bertemu secara kebetulan. Nantinya mereka tentu akan pergi ke arah tujuan masing-masing.
Mungkin ia tidak akan pernah melihatnya lagi. Ma Ji-liong menghela napas dan memutuskan untuk
tidak memikirkan gadis itu lagi.
Sekarang sudah akhir musim dingin. Ketika akhir tahun semakin dekat, setiap keluarga tentu akan
membeli baju Tahun Baru dan barang-barang lainnya. Di saat seperti ini, setiap orang tentu
memiliki uang di sakunya dan sibuk melakukan jual-beli. Persis di luar jalan sempit itu juga
terdapat sebuah pasar bunga yang mungil. Bunga lili dan wintersweet kebetulan sedang mekar.
Seorang isteri saudagar dan pelayannya yang masih muda baru saja kembali dari belanja barang-
barang Tahun Baru – jamur jarum, jamur kuping kayu, kurma merah, buah pek, pakis dan rebung
bambu – yang semuanya terkemas dalam sebuah keranjang. Gadis itu sedang menjinjing keranjang
di tangannya tapi matanya tertuju pada setangkai bunga seruni. Gadis berumur 15-16 tahun mana
yang tidak menyukai hal-hal yang indah? Bagaimana mungkin orang tidak menyukai bunga seruni
yang cerah dan harum itu?
Koleksi Kang Zusi
Gadis itu tidak tahan lagi. Dia lalu bertanya, “Toa-naynay (Nyonya Besar), apa kita beli saja
beberapa tangkai bunga seruni ini?”
“Tidak,” Si nyonya berbaju sutera menjawab dengan tegas, wajahnya tampak kaku.
Gadis muda itu tidak menjadi surut. Dia bertanya lagi, “Bunga-bunga ini tidak mahal. Kenapa kita
tidak membeli beberapa agar bisa kita pandang di rumah?”
“Karena aku tidak suka.”
Sambil menghela napas, pelayan muda itu bergumam, “Nyonya terlalu banyak pikiran. Tuan cuma
pergi beberapa hari dan dia sudah tidak suka melihat bunga.”
Walaupun pelayan itu tidak mendapatkan apa yang dia inginkan, dia masih sempat bicara sendirian
sebelum mengikuti majikannya pulang. Ini cuma urusan sepele dan tidak seorang pun yang
memperhatikan mereka.
Tapi Ma Ji-liong lain.
Isteri saudagar tadi membawa seorang pelayan untuk mendampinginya. Melihat latar belakang
keluarga Khu Hong-seng dan bagaimana cara pemuda itu memperlakukan kekasihnya, mengapa
Siau-hoan tidak mempunyai seorang pelayan pun di rumahnya?
Dan di atas meja rias kecil itu ada sebuah pot berisi bunga mawar. Bunga yang masih segar.
Jika Ma Ji-liong tidak muncul, dia tentu sudah bunuh diri karena urusan cinta. Tapi kenapa dia
masih sempat-sempatnya memetik bunga?
Sekarang dia tahu apa yang aneh pada rumah itu. Di ruangan itu tidak ada pelayan. Dan pot bunga
itu seharusnya tidak ada di sana.
Maka dia lalu membalikkan badannya. Sebagian besar orang yang tinggal di jalan itu adalah
keluarga-keluarga saudagar yang kaya. Rumah Siau-hoan lebih besar dari kebanyakan rumah di
tempat itu, dengan tembok yang tinggi. Pintu gerbangnya terbuat dari potongan papan yang keras
dan tebal, dengan kunci gembok di sebelah dalam.
Tapi jika Ma Ji-liong ingin masuk, hal itu benar-benar tidak sulit.
Dia sudah bisa melompati tembok seperti ini sejak berusia belasan tahun. Di dunia Kang-ouw,
Thian-ma-tong menduduki tempat yang tinggi karena ilmu ginkang dan ilmu pedangnya. Dia curiga
kalau Siau-hoan menyembunyikan sesuatu darinya, seharusnya dia melompati tembok ini untuk
menyelidiki rahasia gadis itu. Dia juga tahu bahwa jika dia ingin mengetahui tabiat orang yang
sebenarnya, dia harus mencari tahu di saat orang itu tidak menyadari bahwa dia berada di sana.
Sayangnya dia tidak bisa melakukannya. Dia tidak pernah melakukannya sebelumnya, dan tidak
akan pernah.
Dia memutuskan untuk mengetuk pintu. Tapi ketika dia hendak mengetuk, tiba-tiba dia mendengar
suara yang aneh.
Koleksi Kang Zusi
Dia mendengar seseorang tertawa. Suara tawa itu sendiri tentu tidak aneh. Walaupun kejadian
buruk sering terjadi di dunia ini, orang masih tetap bisa mendengar suara tawa seseorang di mana-
mana.
Yang anehnya di sini adalah suara tawa ini adalah suara tawa seorang laki-laki. Selain itu, suara
tawa ini berasal dari dalam rumah tersebut, yang dibeli Khu Hong-seng untuk Siau-hoan. Cuma ada
seseorang, Siau-hoan, di sana, kenapa bisa terdengar suara tawa laki-laki?
Malam itu sunyi, dan begitu pula jalan tersebut. Walaupun suara tawa itu hanya berkumandang
sebentar, tapi dia mendengarnya dengan amat jelas.
Setiap orang yang terlibat dalam urusan ini, mengalami kematian yang tragis satu demi satu.
Ada orang yang selalu tertawa sebelum membunuh.
Apakah itu adalah suara tawa seseorang yang berusaha membunuh Siau-hoan untuk membungkam
mulutnya?
Ma Ji-liong tidak perduli lagi dengan sopan-santun. Dia segera melompati tembok itu.
Di dalam ruangan tadi, tampak api unggun menyala berkobar-kobar, dan sebuah jendela dibiarkan
terbuka. Sambil bersembunyi di sebatang pohon cemara di luar rumah, dia bisa melihat lewat
jendela bahwa Siau-hoan sedang berdiri di ruangan tadi.
Tadi Ma Ji-liong melompat masuk lewat tembok dan kebetulan mendarat di atas pohon cemara ini.
Dia tidak ingin mengganggu orang lain. Tapi... dia sudah melihat mereka. Dia melihat Siau-hoan
dan seorang laki-laki.
Dia tidak bisa melihat wajah laki-laki itu.
Orang itu duduk membelakangi jendela. Sambil berhadapan dengan Siau-hoan, dia bersandar di
sebuah kursi yang empuk.
Ma Ji-liong hanya bisa melihat sebuah kaki yang terjulur dari kursi tersebut. Kaki itu mengenakan
sebuah sepatu kulit yang amat indah, jenis sepatu yang hanya dipakai oleh laki-laki yang kaya dan
selalu menyukai kemewahan.
Siau-hoan berdiri di depan laki-laki itu. Dia memandang laki-laki itu dengan tatapan yang sangat
aneh. Tiba-tiba dia berkata dengan dingin, “Kau benar-benar menginginkan aku mati?”
Dengan suara yang sama laki-laki itu menjawab, “Kau kira aku tidak tega? Kau kira aku takut
padamu?”
Siau-hoan berkata, “Bagus. Kau ingin aku mati. Akan kuperlihatkan padamu.”
HARKAT PENDEKAR
Saduran : Gan K. H
Bab 8: Hubungan Rahasia
Koleksi Kang Zusi
Ada orang yang sangat menyukai bunga. Tak perduli bagaimana pun suasana hati mereka, mereka
akan selalu memetik bunga dan meletakkannya di dalam pot.
Agaknya Siau-hoan tidak menyembunyikan apa-apa atau mempunyai sebuah skandal. Dia benar-
benar sudah memutuskan untuk mati demi cinta. Tapi kenapa laki-laki ini harus memaksanya mati?
Apa hubungannya dengan gadis itu? Apakah dia sahabat Khu Hong-seng yang datang untuk
memaksanya bunuh diri atas nama cinta atau datang untuk membungkam mulutnya?
Berpikir sampai sejauh ini, Ma Ji-liong tiba-tiba melihat sesuatu yang tidak pernah dia bayangkan
sebelumnya walaupun dalam mimpi. Mendadak Siau-hoan berjalan mendekat dan duduk di
pangkuan laki-laki itu. Dia lalu melingkarkan lengannya di leher laki-laki itu dan menggigit daun
telinganya dengan perlahan.
Dengan terengah-engah dia berkata, "Kau ingin aku mati. Aku ingin kau juga mati."
Gaun luarnya tahu-tahu sudah merosot jatuh. Di balik gaun sutera yang ketat itu terdapat pakaian
dalam berwarna merah menyala, yang membuat kulitnya tampak semakin putih. Ma Ji-liong benar-
benar tidak sanggup menonton terus. Ini adalah skandal orang lain. Dia seharusnya tidak mengorek-
ngorek urusan mereka.
Tapi... dia teringat pada Khu Hong-seng yang dirundung cinta di dekat liang itu. Dia ingin berteriak
dan memisahkan kedua orang yang hendak 'mati' itu. Dia juga bermaksud untuk melompat masuk
lewat jendela.
Tapi dia malah melompat keluar tembok lagi dan mengetuk pintu gerbang. Dia mengetuk beberapa
kali sebelum akhirnya mendengar suara Siau-hoan dari dalam, "Siapa itu?"
"Ini aku."
"Siapa kau? Bagaimana aku tahu siapa kau? Apakah kau tidak punya nama?" Nada suara Siau-hoan
tidak begitu ramah, tapi akhirnya ia keluar untuk membukakan pintu gerbang.
"Oh, kau!"
Melihat Ma Ji-liong, dia tentu saja terkejut, tetapi ketenangannya kembali pulih dengan cepat.
Dengan muka tanpa ekspresi, dia berkata dengan dingin, "Aku tidak tahu kalau Ma-kongcu akan
datang lagi. Apakah kau khawatir kalau aku akan kesepian di malam hari? Apakah kau datang ke
sini untuk menghiburku sebagai pengganti Khu Hong-seng?"
Kata-kata ini amat menusuk. Mendengar ucapan seperti ini, orang yang mempunyai maksud seperti
yang dikatakannya itu tentu akan cepat-cepat pergi.
Sayangnya Ma Ji-liong tidak bermaksud begitu. Dia berkata dengan tenang, "Aku tahu pasti bahwa
kau tidak kesepian. Aku cuma khawatir kalau kau akan mati di tangan seseorang."
Wajah Siau-hoan memerah, lalu berubah pucat. Tiba-tiba dia membalikkan badan dan berjalan
masuk ke dalam rumah. Lalu dia berkata, "Ikutlah denganku."
Ma Ji-liong mengikutinya. Ternyata gadis itu membawanya ke ruangan tadi. Laki-laki itu telah
lenyap.
Koleksi Kang Zusi
"Duduklah," perempuan itu menunjuk kursi empuk yang tadi diduduki laki-laki itu. "Silakan
duduk."
Ma Ji-liong tidak duduk. Dia tidak melihat laki-laki itu, tapi dia melihat sepasang sepatu kulit itu,
sepasang sepatu kulit yang amat indah.
Di kamar itu ada sebuah ranjang. Di belakang ranjang tergantung sehelai tirai kain yang amat
panjang. Tetapi ujungnya masih belum menyentuh lantai. Dan sepasang sepatu kulit itu terlihat
berada di bawah tirai.
Siau-hoan bertanya, "Kenapa kau tidak duduk?"
"Agaknya kursi ini bukan diperuntukkan buatku," kata Ma Ji-liong.
Siau-hoan tertawa, tapi tentu saja tawanya itu tidak timbul dengan wajar. Dia berkata, "Kau tidak
duduk. Lalu siapa yang akan duduk di sini?"
"Agaknya ada seseorang," kata Ma Ji-liong.
Siau-hoan berkata, "Selain Khu Hong-seng, kau adalah satu-satunya orang yang pernah
menginjakkan kaki di kamar ini. Bagaimana mungkin ada orang lain?"
Dia menekan amarahnya, masih ngotot mengatakan bahwa tidak ada orang lain di ruangan itu. Ma
Ji-liong juga merasa marah. Dia tak tahan lagi, lalu dia melangkah maju dan menyingkap tirai kain
itu. Tentu saja memang ada seseorang di balik tirai itu. Tapi memang bukan orang lain yang pernah
datang ke ruangan ini. Karena orang di balik tirai itu ternyata adalah Khu Hong-seng.
Ma Ji-liong menghambur keluar dari kamar itu, keluar dari pintu gerbang, dan keluar ke jalan
sempit itu. Untunglah di luar sudah gelap.
Hari sudah gelap dan hawa terasa dingin menggigit, dan tidak ada siapa-siapa di jalan raya. Kalau
tidak orang tentu akan mengira kalau dia adalah orang gila.
Sekarang satu-satunya yang ingin dia lakukan adalah menampar telinganya sendiri berkali-kali. Dia
tidak akan pernah melupakan bagaimana dia menyingkap tirai kain tadi dalam sekali sapuan, atau
mimik muka Khu Hong-seng, atau bagaimana cara Siau-hoan menatapnya pada saat itu.
Dia seharusnya tahu bahwa Khu Hong-seng akhirnya akan pulang. Dia seharusnya juga sudah
menduga bahwa orang itu mungkin sekali Khu Hong-seng. Tapi, di saat merasa gusar tadi, dia
benar-benar tidak bisa berpikir. Dia juga seharusnya mengenali suara Khu Hong-seng, tapi dia tidak
memperhatikannya.
Khu Hong-seng adalah seorang pemuda terpelajar dari keluarga bangsawan. Dalam keadaan seperti
tadi, anehnya, dia malah tertawa. Tapi, bagi Ma Ji-liong, kejadian tadi rasanya lebih buruk daripada
telinganya ditusuk-tusuk orang. Dan begitulah, dia pun melarikan diri seperti dikejar-kejar orang
dengan sapu ijuk.
Kembali dia sendirian, tanpa uang dan tanpa tujuan, dan dia tetap tidak punya petunjuk tentang apa
yang sedang terjadi. Nyawanya seperti tergantung pada seutas benang, tubuhnya tergantung di
udara. Walaupun dia belum jatuh, dia mungkin akan segera ambruk menuju kematiannya.
Tapi dia keliru! Tiba-tiba dia merasa bahwa dirinya tidak sendirian lagi. Di belakangnya sudah
muncul seseorang.
Koleksi Kang Zusi
Dia tidak memutar kepalanya untuk melihat siapa orang itu. Dia pun tidak tahu kenapa perasaannya
yang seperti tergantung pada seutas benang tadi tiba-tiba telah menghilang. Orang itu menyusulnya,
lalu memberikan sesuatu yang amat indah kepadanya.
Ma Ji-liong menerimanya. Sekarang yang paling dia butuhkan adalah obat untuk sakit kepalanya.
Dan orang itu dengan tepat telah memberikan sebungkus obat sakit kepala kepadanya.
Orang itu menunggu dirinya menelan obat tersebut. Lalu dia mengeluarkan tujuh-delapan bungkus
obat lagi. Ada yang berupa pil bundar, ada pula yang berbentuk tablet. Bahkan ada yang berbentuk
bubuk. Dia memberikan semuanya kepadanya.
"Ini untuk menghilangkan pengaruh arak. Ini tablet emas ungu. Ini untuk meredakan rasa sakit di
perut. Yang ini bagus untuk sistem pencernaanmu....."
Ma Ji-liong tersenyum, "Memangnya kau pikir aku siapa? Kaleng obat?"
Dia balas tersenyum, "Aku tahu kau bukan kaleng obat. Kau adalah guci arak."
Lalu dia tertawa cekikikan, "Sayangnya, guci ini sangat-sangat kecil dan tidak bisa menampung
arak terlalu banyak."
Toa-hoan tampak lebih bersemangat daripadanya, dan rona mukanya juga lebih cerah. Dalam
hatinya dia berpikir, "Apakah kemampuan minum araknya lebih baik dariku?"
Ma Ji-liong tidak yakin. Dia pun terpaksa bertanya, "Kepalamu tidak terasa sakit?"
"Tidak," jawab Toa-hoan.
"Bagaimana bisa?" Ma Ji-liong bertanya.
Toa-hoan menjawab, "Karena aku tidak suka ikut campur dengan urusan orang lain."
Ikut campur urusan orang memang merupakan sumber utama sakit kepala. Bukan hanya bisa
membuat orang sakit kepala, kepalanya juga akan terluka.
Lalu si nona bertanya, "Kau sudah bertemu Siau-hoan?"
"Hmm."
"Bagaimana?"
"Bagaimana apanya?"
"Bagaimana rupanya?"
"Dia sangat cantik."
Toa-hoan tertawa cekikikan, "Kalau dia sangat cantik, kenapa kau kelihatan seperti baru bertemu
hantu?"
Koleksi Kang Zusi
Sambil menghela napas, Ma Ji-liong menjawab, "Jika aku melihat hantu, hal itu masih jauh lebih
baik."
"Lalu apa yang kau lihat?" Toa-hoan bertanya.
Ma Ji-liong menjawab, "Aku melihat Khu Hong-seng."
Aneh, dia membicarakan segala sesuatu yang baru saja terjadi. Semula dia mengira bahwa dia tidak
akan pernah menceritakan kejadian itu pada siapa pun. Tapi, entah karena alasan apa, dia merasa
bahwa dia boleh menceritakan semuanya pada gadis ini, dan tidak usah menyembunyikan apa-apa.
Toa-hoan tidak menertawakannya. Dia malah menghela napas dan berkata, "Jika aku adalah kau,
aku pasti ingin melarikan diri juga."
Ini memang sesuai dengan perasaannya. Tiba-tiba dia menyadari bahwa walaupun gadis ini
kelihatan licik, kejam dan buruk rupa, tapi dia sebenarnya berhati baik. Selain itu dia juga penuh
pengertian dan simpatik. Inilah pertama kalinya dia memiliki perasaan seperti ini.
Tiba-tiba Toa-hoan berkata, "Tapi aku tidak paham."
"Apa yang tidak kau pahami?" Ma Ji-liong bertanya.
Toa-hoan berkata, "Khu Hong-seng jelas-jelas tahu bahwa kau yang berada di sana, kenapa dia
harus bersembunyi?"
Ma Ji-liong menjelaskan, "Mereka berdua masih belum menikah secara resmi. Dengan latar
belakang keluarganya, dia tentu harus berhati-hati. Jika aku adalah dia, aku mungkin akan
bersembunyi juga."
Toa-hoan menatapnya. Sambil tersenyum lirih, dia berkata, "Aku tidak tahu kalau kau pun bisa
mempertimbangkan perasaan orang lain."
Ma Ji-liong bertanya, "Memangnya kau kira aku orang macam apa?"
Toa-hoan berkata, "Kukira kau adalah orang yang angkuh dan mementingkan diri sendiri, tidak
perduli apakah orang lain akan hidup atau mati."
Lalu suaranya mendadak menjadi lembut, "Tapi sekarang aku tahu bahwa aku keliru."
Gadis yang aneh ini bisa mengakui bahwa dirinya keliru. Hal ini tentu saja membingungkan orang.
Kembali Toa-hoan bertanya, "Apa yang dia katakan ketika dia melihatmu tadi?"
"Rasanya bahkan semakin serba salah karena dia tidak berkata apa-apa," jawab Ma Ji-liong.
"Dan apa yang kau katakan?" Toa-hoan bertanya.
Ma Ji-liong tersenyum dipaksa. Dia berkata, "Apa yang bisa kukatakan di saat seperti itu?"
Toa-hoan berkata, "Apakah dia berusaha menangkapmu untuk Pang Tio-hoan?"
"Tidak," Ma Ji-liong menjawab.
Koleksi Kang Zusi
Toa-hoan berkata, "Dan kau tidak bertanya kepadanya apa yang terjadi di Han-bwe-kok setelah kau
pergi? Apakah Bik-giok Hujin sudah muncul? Apakah beliau memilihnya sebagai menantunya?"
"Aku tidak menanyakannya," jawab Ma Ji-liong.
Tiba-tiba dia balik bertanya, "Bagaimana kau tahu tentang semua ini?"
Toa-hoan tersenyum. Senyumannya amat misterius. Dia berkata, "Tentu saja ada yang
memberitahuku."
Ma Ji-liong bertanya, "Siapa?"
"Orang mabuk," kata Toa-hoan.
Ma Ji-liong bertanya, "Apakah orang mabuk itu adalah aku?"
Toa-hoan tertawa, "Kau tidak terlalu bodoh."
Ma Ji-liong cuma bisa tersenyum dipaksa. Dia tentu mengatakan banyak hal dalam keadaan mabuk,
tapi sayangnya dia sendiri tidak tahu apa saja yang sudah dikatakan olehnya.
"Bik-giok Hujin tentu tidak perlu memilih lagi. Toh Ceng-lian dan Sim Ang-yap sudah mati. Kau
telah menjadi sasaran kebencian seluruh dunia. Selain Gin-jio Kongcu Khu Hong-seng, tidak ada
yang cukup baik untuk menjadi menantu Bik-giok-san-ceng."
Dia menghela napas dan meneruskan, "Meskipun Bik-giok Hujin ingin memilih, tidak ada lagi yang
bisa dipilih."
Itulah kenyataannya. Setelah apa yang terjadi, Khu Hong-seng menjadi satu-satunya calon.
Ma Ji-liong berkata, "Tapi... tidak mungkin dia penjahatnya!"
"Kenapa tidak?" Toa-hoan bertanya.
Ma Ji-liong menerangkan, "Karena dia sudah mempunyai kekasih sehidup semati. Dia tidak ingin
menjadi menantu Bik-giok-san-ceng."
Sambil menghela napas, Toa-hoan berkata, "Aku pun tidak berpikir bahwa dia bisa melakukan
semua ini. Tapi, jika dia bukan penjahatnya, dan kau pun bukan, lalu siapa yang membunuh semua
orang itu?"
Ma Ji-liong berkata, "Pasti Thian-sat!"
Toa-hoan bertanya, "Siapa Thian-sat itu?"
Ma Ji-liong berkata, "Thian-sat bukan nama seseorang. Itu adalah nama sebuah organisasi rahasia,
organisasi pembunuh bayaran."
Toa-hoan bertanya, "Tapi kenapa mereka melakukannya? Mengapa mereka memfitnahmu?"
Ma Ji-liong menebak-nebak, "Karena... mereka ingin menciptakan kekacauan."
Koleksi Kang Zusi
Lalu dia menjelaskan, "Jika keluarga kami bertarung satu sama lain, dunia Kang-ouw akan porak-
poranda. Mereka akan mendapatkan kesempatan untuk naik."
Penjelasannya itu masuk di akal. Peristiwa seperti itu pernah terjadi di masa lalu. Dan hal itu
mungkin bisa terjadi lagi.
Ma Ji-liong berkata, "Sekarang mereka hanya sebuah organisasi penjahat biasa. Jika rencana
mereka berhasil, mereka bisa menjadi sebuah partai yang terbuka dan berdaulat. Karena saat itu
tidak seorang pun di dunia Kang-ouw yang akan mampu untuk menghentikan mereka."
Toa-hoan berkata, "Karena saat itu seluruh keluarga sudah saling menghancurkan karena
perselisihan ini."
Ma Ji-liong berkata, "Tapi aku tentu saja tidak boleh membiarkan hal itu terjadi."
Toa-hoan bertanya, "Apa rencanamu untuk menghentikan mereka?"
Ma Ji-liong berkata, "Pertama aku harus mencari tahu dulu siapa pemimpin Thian-sat sebenarnya."
"Bagaimana caramu melakukannya?" Toa-hoan bertanya.
Ma Ji-liong tidak menjawab. Dia benar-benar tidak punya petunjuk saat itu. Dia pun tak tahu
bagaimana cara memulainya.
Toa-hoan berkata, "Orang ini pasti tahu bahwa Bu-lim-si-toakongcu akan berada di Han-bwe-kok
hari itu."
"Benar," kata Ma Ji-liong.
Toa-hoan berkata, "Bagaimana dia bisa tahu? Selain kalian berempat, siapa lagi yang tahu tentang
hal itu? Apakah kau pernah memberitahukan hal ini pada orang lain?"
Ma Ji-liong berkata, "Aku tidak. Tapi Khu Hong-seng......"
Tiba-tiba dia teringat bahwa Siau-hoan pernah menyebut tentang Han-bwe-kok.
Siau-hoan bertanya padanya - apakah kau pergi ke Han-bwe-kok beberapa hari yang lalu? Dia pasti
tahu bahwa mereka pergi ke Han-bwe-kok. Khu Hong-seng telah memberitahukan hal itu
kepadanya. Dan jika Khu Hong-seng bisa memberitahu hal itu padanya, maka dia pun bisa
memberitahukannya pada orang lain. Siau-hoan juga bisa buka mulut. Seperti laki-laki lainnya, dia
pun tidak percaya kalau seorang perempuan bisa menyimpan rahasia. Ini adalah satu-satunya
petunjuk yang dimilikinya.
Ma Ji-liong berkata, "Aku harus bertanya padanya. Ada begitu banyak hal yang baru bisa kupahami
setelah bertemu dengannya."
Toa-hoan bertanya, "Apakah kau hendak pergi bertanya padanya?"
"Tentu saja," kata Ma Ji-liong.
Setelah berkata begitu, dia pun bersiap-siap hendak pergi.
Koleksi Kang Zusi
Sambil menghela napas, Toa-hoan berkata, "Kau benar-benar pandai memilih waktu. Tidak ada
waktu lain seperti ini. Sekarang mereka berdua mungkin sedang melakukan 'kau ingin aku mati, aku
juga ingin kau mati'. Mereka tentu akan sangat berterima-kasih bila kau memaksa masuk untuk
menolong mereka di saat seperti ini."
Ma Ji-liong tidak jadi pergi. Dia bisa membayangkan mimik wajah kedua orang itu jika mereka
melihat dia kembali ke sana. Situasinya tentu akan serba salah, dan tidak ada orang yang akan
menyambutnya dengan baik karena hal itu.
Ma Ji-liong bertanya, "Menurutmu, kapan seharusnya aku pergi ke sana?"
Mendadak sorot mata Toa-hoan memancarkan sinar yang aneh. Dia cepat-cepat merendahkan
suaranya, "Sebaiknya kau pergi sekarang juga. Pergilah cepat."
Hati seorang perempuan memang seperti cuaca di bulan enam. Perubahannya benar-benar cepat.
Ma Ji-liong terpaksa bertanya, "Kenapa kau ingin aku pergi sekarang?"
"Karena jika tidak, kau tak akan bisa pergi lagi untuk selamanya," Toa-hoan menjawab.
Tiba-tiba dia menghela napas dan berkata, "Sekarang aku rasa sudah terlambat."
Saat itu mereka sedang berjalan di sebuah gang yang gelap. Ma Ji-liong tidak perlu bertanya
'kenapa' lagi, karena dia telah melihat beberapa orang sudah menghadang mereka di kedua ujung
gang. Semuanya ada tujuh orang, tujuh orang berpakaian hitam.
HARKAT PENDEKAR
Saduran : Gan K. H
Bab 9: Musuh Dan Hati Yang Suci
Tak diragukan lagi, gang ini adalah tempat tinggal para saudagar kaya.
Orang-orang kaya ini harus menjaga diri dari perampok dan maling yang ingin mencuri harta
mereka. Karena mereka tidak bisa melihat dengan jelas setelah matahari terbenam, maka mereka
harus tinggal di balik tembok yang tinggi. Dan begitulah, kedua sisi jalan sempit itu diapit oleh
tembok-tembok yang sangat tinggi, begitu tingginya sehingga orang yang memiliki ginkang Thian-
ma-hing-khong pun tidak sanggup untuk melompatinya.
Gang ini panjang dan sangat gelap. Di depan mereka ada empat orang, dan tiga orang lagi di
belakang. Ketujuh orang itu berpakaian serba hitam, pakaian yang ketat, masing-masing
menggunakan sehelai kain hitam untuk menyembunyikan wajahnya. Mereka melangkah perlahan-
lahan seperti acuh tak acuh. Mereka tahu bahwa kedua orang itu seperti kura-kura dalam tempayan,
atau ikan yang terperangkap di dalam jala, tidak mempunyai jalan keluar lagi.
Ma Ji-liong merendahkan suaranya, “Kau tidak perlu takut. Aku akan meminta mereka untuk
melepaskanmu pergi.”
Koleksi Kang Zusi
“Dan mereka akan melepaskanku begitu saja?” Toa-hoan bertanya.
Ma Ji-liong berkata, “Kau tidak punya sangkut-paut dengan mereka. Kenapa mereka tidak mau
melepaskanmu?”
“Kau kira mereka datang untukmu?” Toa-hoan bertanya.
“Tentu saja,” kata Ma Ji-liong.
Toa-hoan berkata, “Kau keliru.”
Sambil menghela napas, dia melanjutkan, “Aku pun berharap mereka datang ke sini untukmu.
Sayangnya tidak begitu halnya.”
“Kenapa tidak?” Ma Ji-liong bertanya.
Toa-hoan menjawab, “Kau dianggap seorang pembunuh. Menangkap pembunuh adalah hal yang
benar, dan orang-orang akan melakukannya secara terbuka, kenapa mereka harus menyembunyikan
wajah mereka di balik topeng hitam?”
Ma Ji-liong akhirnya teringat bahwa gadis ini pun berada dalam masalah seperti dirinya. Ada orang
yang ingin membunuhnya.
Toa-hoan berkata, “Tapi kau tidak usah takut. Aku pun bisa meminta mereka untuk
melepaskanmu.”
Ma Ji-liong bertanya, “Kau kira aku bisa pergi?”
Toa-hoan menjawab, “Kita tidak punya hubungan. Orang-orang ini bukan mengejarmu. Apa kau
ingin mati denganku di sini?”
Ma Ji-liong berkata, “Bagaimana pun juga, aku tidak boleh membiarkanmu sendirian di sini.”
“Kenapa tidak?” Toa-hoan bertanya.
“Karena aku tidak boleh melakukan hal seperti itu,” kata Ma Ji-liong.
“Alasan itu tidak cukup baik,” kata Toa-hoan.
Ma Ji-liong berkata, “Menurutku, itu sudah cukup.”
“Mungkin aku seorang perempuan jahat, seorang pencuri. Mungkin kau seharusnya membantu
mereka untuk menangkapku,” Toa-hoan berkata.
“Aku tahu kau bukan orang seperti itu,” kata Ma Ji-liong.
Toa-hoan berkata, “Kau tidak mungkin tahu. Kau bahkan tidak tahu nama margaku.”
Ma Ji-liong berkata, “Tapi aku percaya padamu.”
Toa-hoan menatapnya. Tiba-tiba dia menghela napas dan berkata, “Kukira kau sudah semakin
pintar. Tidak kusangka kalau kau sedungu ini.”
Koleksi Kang Zusi
Walaupun tempat itu adalah sebuah gang yang panjang dan ketujuh orang itu melangkah dengan
perlahan-lahan, tapi sekarang mereka sudah benar-benar dekat. Dan mereka semua menggenggam
senjata, masing-masing merupakan senjata yang langka. Ada yang memegang Liong-hong-kim-
hoan yang tidak pernah digunakan orang lagi sejak kematian Siangkoan Kim-hong di tangan Siau-li
Tam-hoa, dan ada pula yang membawa Yan-yan-gua-hou-lan.
Senjata-senjata itu sudah lama menghilang dari dunia Kang-ouw. Hal ini terjadi karena, walaupun
senjata-senjata itu amat ampuh, tapi juga sangat sukar untuk dipelajari. Dan karena itu, orang yang
bisa menggunakan senjata-senjata ini pasti bukan jago sembarangan.
Ma Ji-liong benar-benar tidak tahu cara mengatasi mereka, tapi dia tidak merasa takut.
Toa-hoan mendadak berkata, “Hei, kalian datang untukku atau untuk dia?”
Orang yang memegang Liong-hong-kim-hoan itu bertubuh kecil tapi kuat. Langkah kakinya teguh,
dan sinar matanya tampak berkilat-kilat di balik topeng hitam itu. Dia pasti seorang jago yang
tangguh.
Dia menyeringai, “Bagaimana jika aku datang untukmu? Bagaimana jika aku datang untuk dia?”
Toa-hoan berkata, “Jika kalian memburunya, itu bukan urusanku. Aku bukan seorang pendekar,
juga bukan seorang laki-laki sejati. Jika kalian datang ke sini untuk membunuhnya, maka aku tidak
ada hubungannya dengan kalian.”
Orang itu berkata dengan dingin, “Tidak usah dijelaskan. Aku bisa melihatnya.”
Toa-hoan berkata, “Tapi jika kalian mencariku, situasinya akan berbeda.”
“Oh, ya?” laki-laki itu berkata.
Toa-hoan menjelaskan, “Walaupun masalahnya sendiri sudah cukup besar, dia tidak akan
berpangku tangan. Jika kalian ingin menangkapku, dia akan berkelahi dengan kalian sampai mati.”
Orang itu berkata, “Jadi jika kami ingin menangkapmu, maka kami harus membunuhnya dulu.”
Toa-hoan melirik Ma Ji-liong. Lalu dia bertanya, “Benarkah itu?”
“Ya,” jawab Ma Ji-liong.
Dia sendiri tidak tahu kenapa dia berkata seperti itu. Sebenarnya masih banyak yang harus dia
kerjakan. Rencana busuk itu belum tersingkap, dan karena itu dia tidak boleh mati. Jika dia mati di
sini sekarang, dia bukan hanya mengalami kematian yang tragis, fitnah dan ketidakadilan yang
dideritanya pun tidak akan pernah lagi diungkapkan. Tapi dia sudah mengatakan ya. Dia tidak mau
menarik kembali kata-katanya, dia juga tidak menyesalinya.
Toa-hoan berkata, “Hei, kalian dengar apa yang barusan dia katakan?”
Orang baju hitam itu menyeringai, “Agaknya dia bukan hanya seorang pendekar, tapi juga seorang
laki-laki sejati.”
“Agaknya memang begitu,” kata Toa-hoan.
Koleksi Kang Zusi
“Sayangnya orang seperti ini selalu mati muda,” kata orang itu.
Sambil menghela napas, Toa-hoan berkata, “Aku sudah mengatakan hal itu padanya. Sayangnya dia
tidak mau mendengarkan.”
Sebuah bunyi “tring!” terdengar bergema ketika kedua roda itu saling berbenturan, bunga api
memercik ke segala penjuru. Di jaman dulu, Siangkoan Kim-hong menguasai dan mengguncangkan
dunia, dia pun mendirikan partai Kim-ci-pang yang memerintah dunia Kang-ouw. Dia bukan hanya
seorang laki-laki yang sangat berambisi, kungfunya juga luar biasa. Sayangnya, dalam daftar
senjata, Liong-hong-kim-hoan Siangkoan Kim-hong hanya tercantum di urutan kedua. Tapi
sebagian besar orang di dunia Kang-ouw yakin bahwa kungfunya tidak berada di bawah jago nomor
satu, Thian-ki Lojin.
Selama beberapa saat orang itu menggenggam Liong-hong-kim-hoan di telapak tangannya agar
orang-orang mengenali senjata terampuh di dunia itu. Senjata seperti itu di tangan orang seperti dia
tidak akan menyamai aura yang dimiliki Siangkoan Kim-hong saat memerintah dunia Kang-ouw,
tapi kekuatannya tetap menakutkan.
Toa-hoan bahkan tidak melirik senjata itu. Dia sedang menatap Ma Ji-liong dengan senyuman yang
hangat dan gembira.
Musuh-musuh tangguh sudah datang ke sini untuk membunuh mereka, dan hidup atau mati akan
diputuskan dalam waktu singkat. Anehnya, dia tampak sangat gembira. Hal ini terjadi karena Ma Ji-
liong tidak meninggalkannya dan pergi melarikan diri. Tak perduli apa yang pernah dia katakan,
apa yang sedang dia rasakan di hatinya sekarang agaknya lebih penting daripada hidup dan mati.
Ma Ji-liong tiba-tiba merasakan kegembiraannya yang meningkat. Sepasang matanya yang jelek itu
menjadi tampak lebih menarik. Keindahan dan keburukan memang tidak bisa dipisahkan dengan
jelas. Orang yang berbahagia biasanya akan terlihat cantik.
Toa-hoan bertanya dengan lembut, “Kau takut?”
Ma Ji-liong tentu saja tidak benar-benar hilang rasa takutnya. Perasaan takut adalah salah satu
kelemahan manusia yang paling sulit untuk ditaklukkan. Untunglah ada beberapa macam perasaan
yang bisa digunakan manusia untuk mengatasi rasa takut.
Toa-hoan berkata, “Jika kau takut, mungkin masih ada waktu bagimu untuk pergi.”
“Aku tidak akan pergi,” kata Ma Ji-liong.
Toa-hoan menghembuskan napas lembut. Lalu dia berkata, “Maka aku......”
Dia tidak menyelesaikan kata-katanya itu. Suaranya seolah tiba-tiba terpotong oleh sebuah golok
yang tak terlihat, dan tenggorokannya dicekik oleh sesosok setan yang tidak kelihatan. Sorot
matanya juga memperlihatkan perasaan takut seakan-akan dia telah melihat hantu yang tidak bisa
dilihat oleh orang lain.
Ma Ji-liong memutar kepalanya untuk melihat. Apa yang dilihat gadis itu ternyata hanya seseorang
– seorang perempuan berbaju hitam yang amat sederhana dengan keranjang bunga di tangannya.
Dia baru saja berbelok memasuki gang itu.
Ma Ji-liong tidak memutar kepalanya lagi dan dia hanya bertanya, “Ada apa?”
Koleksi Kang Zusi
Toa-hoan berkata, “Aku harus pergi. Kau tidak pergi, tapi aku harus.”
Dan pergilah dia. Sebelum dia selesai bicara, tubuhnya sudah mengapung ke atas. Tidak seorang
pun yang bisa membayangkan bahwa dia akan mampu melompati tembok yang tinggi itu seperti
ini.
Perempuan penjual bunga yang sederhana itu terus berjalan dengan kepala tertunduk, seolah-olah
dia tidak melihat adanya tembok tinggi di depannya. Melihatnya kepalanya akan menubruk tembok,
setiap orang pun mengira kepalanya akan pecah dan darah akan berhamburan. Tapi tak disangka-
sangka, ternyata kepalanya tidak pecah tapi tembok itu yang hancur berantakan. Dengan bunyi
“brak!” yang keras, pada tembok setebal dua-tiga kaki itu sudah terukir lubang berbentuk tubuh
manusia, tembok yang tahan terhadap angin kencang dan api itu! Penjual bunga yang sederhana itu
berjalan menjebol tembok seolah-olah tembok itu terbuat dari sehelai kertas yang tipis.
Ma Ji-liong merasa terperanjat, dan begitu pula semua orang lainnya. Ilmu ginkang Toa-hoan sudah
cukup mencengangkan, tapi kungfu perempuan penjual bunga ini bahkan lebih hebat lagi.
Mendadak langit bertambah gelap, angin pun semakin dingin. Kedua perempuan itu sudah pergi.
Orang yang hendak mereka bunuh sudah pergi bersama angin. Tapi roda emas perenggut nyawa itu
masih berada di sini.
Ma Ji-liong akhirnya bertanya, “Kalian mengejar dia atau aku?”
“Gadis itu,” kata si orang baju hitam.
“Dia sudah pergi,” kata Ma Ji-liong.
Si orang baju hitam berkata, “Sayang sekali kalau begitu.”
“Kenapa?” Ma Ji-liong bertanya.
Orang baju hitam itu menjawab, “Seharusnya kau tahu. Golok yang sudah dihunus harus melihat
darah, kalau tidak malah akan mendatangkan nasib buruk.”
Dia mempunyai senjata yang berbahaya di tangannya dan nafsu membunuh di sorot matanya.
Dia lalu meneruskan, “Kami semua di sini sama. Jika kami sudah mulai, maka kami harus
membunuh. Sekarang dia sudah pergi, maka kami hanya bisa membunuhmu.”
“Bagus sekali,” kata Ma Ji-liong.
Sebenarnya dia tahu kalau situasinya tidak begitu bagus. Tidak perduli siapa pun yang dia hadapi,
keadaannya tetap tidak begitu bagus. Dia tidak membawa senjata. Dia tidak punya nafsu
membunuh. Dan dia tidak punya pilihan.
Kenapa manusia harus membunuh manusia lainnya? Dia benci kekerasan. Tapi dalam situasi
tertentu, orang terpaksa harus menggunakan kekuatan untuk menghentikan kekerasan. Dia pun
menghimpun seluruh tenaganya. Dia hanya punya satu nyawa, dan dia tidak mau mati. Dia harus
menghentikan kekerasan ini.
Koleksi Kang Zusi
Dengan mengeluarkan bunyi “tring!”, kim-hoan (roda emas) itu berbenturan sekali lagi, bunga api
terpercik ke segala penjuru seperti air hujan. Tubuh Ma Ji-liong tiba-tiba melesat seperti anak
panah. Dia tidak punya nafsu membunuh, tapi dia punya sesuatu yang lain.
Yaitu keberanian!
Tentu saja dia tidak mengincar orang baju hitam yang memegang kim-hoan itu, tapi seorang
lainnya. Taktik 'harus menangkap sang raja lebih dulu' tidak benar-benar bisa digunakan dalam
situasi seperti ini. Sekarang dia harus menyerang titik terlemah mereka.
Benar dan salah tidak bisa hidup berdampingan. Dalam situasi di mana seseorang ditekan oleh
kekuatan musuh yang berjumlah lebih banyak, jika dia bisa melindungi tubuhnya sendiri, maka
tubuhnya harus dilindungi. Jika dia bisa menghabisi salah seorang musuh, maka musuh itu harus
dibinasakan.
Orang yang dia serang adalah Tuan Hitam.
She (marga) Tuan Hitam adalah Oey (kuning). Setiap orang memanggilnya Tuan Hitam hanya
karena dia adalah yang paling jahat dan bertubuh paling besar di antara mereka, persis seperti
seorang tuan besar. Tubuh Tuan Hitam tingginya delapan kaki sembilan dim, dan bahunya selebar
tiga kaki. Lengannya sebesar paha laki-laki dewasa dan tinjunya seukuran kepala anak-anak.
Kenapa Ma Ji-liong menganggap orang seperti ini sebagai titik terlemah dari musuh? Apakah
karena orang ini selalu mengikuti ke mana pun Roda Emas perenggut nyawa pergi? Benalu tumbuh
pada sebatang pohon besar agar bisa tetap hidup. Rubah yang licik selalu mengandalkan kekuatan
harimau agar dia bisa menakut-nakuti manusia. Yang lemah selalu berharap agar mereka bisa
bergantung pada yang kuat untuk mendapatkan perlindungan. Bagaimana kuat atau lemahnya
seseorang tentu saja tidak bisa dilihat dari penampilannya, dan penilaian Ma Ji-liong ternyata tidak
keliru.
Senjata Tuan Hitam adalah sepasang lempengan besi yang agaknya berbobot 60-70 kati. Ma Ji-
liong bergerak menyerang, dan Tuan Hitam, dengan bersenjatakan lempengan besi itu, membalas
serangan itu dengan sebuah sapuan mendatar dan sebuah hantaman tegak lurus. Sayangnya nilai
sebuah senjata pun tidak bisa dilihat dari bobotnya saja.
Tinju Ma Ji-liong melayang masuk di antara sepasang lempengan besi itu dan mendarat di atas
batang hidung Tuan Hitam. Sebuah suara yang amat perlahan seperti bunyi seseorang memukul
daging pun terdengar. Tapi, tanpa menjerit sekali pun, Tuan Hitam sudah roboh terjengkang di atas
tanah.
Saat orang itu terjungkal, Ma Ji-liong tentu saja bisa keluar dari kepungan itu dengan segera. Dia
pun bisa meloloskan diri lewat lubang di tembok sana. Tapi dia memutuskan tidak melakukannya
karena dia tiba-tiba merasa bahwa dirinya sanggup bertahan terhadap keroyokan mereka dan dia
bukannya tidak memiliki kesempatan sama sekali. Dan asalkan ada sedikit kesempatan, maka dia
tidak akan menyerah.
Dia adalah orang yang angkuh, orang yang benar-benar sangat angkuh.
Tuan Hitam sudah roboh. Ma Ji-liong lalu menggaet salah satu lempengannya dengan kakinya dan
kemudian meraupnya dengan tangan kirinya. Lalu dia memanfaatkan situasi dan mengayunkan
Koleksi Kang Zusi
senjata itu pada orang yang bersenjata roda emas. Tangan kanannya juga menghantam dengan keras
pada pergelangan tangan orang lainnya dan memukul jatuh senjata boan-koan-pit-nya.
Tapi roda emas tetap berada di tangan musuh, dan seseorang lainnya masih memegang yan-yan-
gua-hou-lan. Kedua pasang tangan dan kedua jenis senjata itu benar-benar menakutkan. Ketika dia
melihat kekuatan gabungan kedua senjata itu, dia baru menyadari kekeliruannya yang tidak bisa
dimaafkan. Dia terlalu memandang rendah musuh-musuhnya dan memandang tinggi dirinya sendiri.
Kesalahan seperti ini tidak akan pernah terulang karena sekali saja sudah cukup fatal! Tapi dia
masih bisa bertarung sampai mati! Bila seseorang sudah bertekad untuk mati dan mengerahkan
segala kemampuannya, maka dia bukan hanya berbahaya, tapi juga menakutkan. Dan hanya orang
yang sudah tersudut yang akan bertarung mati-matian, tapi kenapa orang-orang ini pun tidak takut
mati bersamanya?
Pasti Thian-sat!
Mereka memang datang untuk membunuhnya. Tiba-tiba dia menyadari hal ini.
Tuan Hitam berusaha bangkit. Hidungnya yang patah membuatnya sukar untuk bernafas, maka dia
pun hanya bisa terengah-engah. Tiba-tiba dia merobek bagian depan bajunya yang besar. Lalu dia
mendesis seperti orang gila, “Bunuh dia! Bunuh dia! Bunuh! Bunuh! Bunuh! Bunuh! Bunuh!
Bunuh!”
Itulah suara jeritan yang nyaring dan memilukan! Di balik bajunya yang robek, terlihat belasan
huruf merah darah di atas dada Tuan Hitam!
Thian-sat!
Tak perduli apa pun cara yang harus mereka gunakan atau siapa yang harus mereka korbankan,
mereka pasti akan membunuhnya!
Tinju Ma Ji-liong terkepal erat. Dia menggertakkan giginya, bersiap untuk bertarung mati-matian!
Dia telah merobohkan seorang lagi dengan tinjunya. Dia tidak sempat melihat siapa orang itu
karena tiba-tiba dia melihat sekilas sinar perak, sinar perak dari sebilah tombak yang sedang
meluncur tiba. Tombak perak!
“Gin-jio (Tombak Perak) Khu Hong-seng.”
Ketika tombak perak itu tiba, Khu Hong-seng lalu berkata, “Jika kalian ingin membunuhnya, maka
kalian harus mematahkan tombak perak ini dulu. Jika kalian ingin mematahkan tombak ini, maka
kalian harus membunuhku dulu!”
Dia tak pernah menyangka kalau Khu Hong-seng akan datang untuk menolongnya, tapi memang
Khu Hong-seng yang datang! Dan di tangannya tergenggam tombak perak.
Seseorang telah datang untuk ikut bertarung mati-matian dengannya! Kenapa orang harus selalu
berhadapan dengan musuh dulu baru bisa tahu bagaimana sosok orang itu sebenarnya dan
mengenali siapa teman yang sesungguhnya?
Tombak itu sudah menembus tenggorokan satu orang musuh, dan tinjunya telah menghancurkan
rusuk musuh yang lain. Kali ini setiap orang bisa mendengar suara tulang yang hancur berantakan
itu.
Koleksi Kang Zusi
Tidak ada lagi musuh yang roboh. Tiba-tiba semua telah menghilang. Tentu saja dua orang yang
bertekad untuk bertempur mati-matian lebih berbahaya daripada satu orang, apalagi kalau kedua
orang itu adalah Khu Hong-seng dan Ma Ji-liong.
Tidak seorang pun yang tahu jam berapa saat itu, tapi malam sudah amat larut. Jalan yang kecil itu
pun terasa dingin dan gelap. Tahu-tahu Ma Ji-liong merasakan sebuah tangan yang hangat sedang
menggenggam tangannya.
Suara Khu Hong-seng pun sama hangatnya. Dia berkata, “Aku tahu apa yang kau butuhkan
sekarang ini. Kau benar-benar membutuhkan secawan arak.”
HARKAT PENDEKAR
Saduran : Gan K. H
Bab 10: Pertanyaan-pertanyaan
Arak itu memang tidak begitu enak. Juga bukan termasuk jenis arak yang bagus, dan tentu saja
bukan arak Li-ji-ang. Arak itu cuma sejenis arak yang bisa kau beli di pasar biasa. Walaupun Ma Ji-
liong tidak perduli, tapi Siau-hoan tetap menjelaskan dengan nada meminta maaf, “Hong-seng
sangat jarang minum di sini. Dia pun tidak pernah mengundang temannya ke sini. Baru tadi aku
membeli seguci arak ini.”
Arak itu baru saja dibelinya, dan makanan baru saja dimasaknya. Ini terjadi karena di tempat itu
tidak ada seorang pun pelayan.
“Hong-seng sangat menyukai ketenangan. Dia tidak mau ada pelayan. Maka aku mengerjakan
segalanya di sini sendirian.” Suaranya penuh mengandung kelembutan seorang perempuan. Seluruh
hidupnya berkutat di sekitar Khu Hong-seng. Dia pasti akan melakukan apa saja yang diinginkan
Khu Hong-seng.
Cinta sudah cukup bagi mereka. Kenapa mereka butuh orang lain? Mengapa mereka perlu arak
yang bagus untuk diminum? Tiba-tiba Ma Ji-liong merasa iri pada mereka. Dia tak henti-hentinya
bertanya pada dirinya sendiri, seandainya dia memiliki seorang perempuan seperti Siau-hoan ini –
yang tidak memikirkan apa pun selain dirinya dan selalu melayani seluruh kebutuhannya – maukah
dia meninggalkan segalanya dan hidup sederhana seperti ini?
Tiba-tiba dia teringat pada Toa-hoan. Jika dia menikahi gadis itu, apakah gadis itu akan
memperlakukan dia seperti ini?
Ma Ji-liong tidak mencari tahu lebih lanjut. Pertanyaan ini bukan saja aneh, tapi juga lucu.
Tentu saja dia tidak akan menikahi seorang perempuan seperti Toa-hoan, meskipun lehernya
ditodong dengan sebilah pisau. Walaupun Toa-hoan sekarang tidak begitu buruk dan jahat seperti
sebelumnya, tapi dia masih jauh dari kesan menarik dan menyenangkan. Bagaimana mungkin Pek-
ma Kongcu menikahi gadis seperti itu? Ma Ji-liong mengangkat cawannya dan menghabiskan
araknya dalam satu tegukan, dia memutuskan untuk melupakan gadis tersebut sejak saat itu.
Agaknya Khu Hong-seng sudah cukup banyak minum. Dan karena hari ini dia ingin minum, Siau-
hoan tentu saja ikut minum bersamanya. Mereka berdua tampaknya sudah agak mabuk, dan tingkah
mereka terlihat semakin mesra, agaknya mereka lupa kalau Ma Ji-liong berada tepat di hadapan
Koleksi Kang Zusi
mereka. Ma Ji-liong sudah mulai merasa diabaikan, maka dia pun mencari kesempatan untuk
mengucapkan selamat tinggal.
Semula dia hendak mengajukan banyak pertanyaan pada Khu Hong-seng, tapi sekarang dia tidak
mau lagi. Ini terjadi karena dia sudah sangat mempercayai Khu Hong-seng. Tepat ketika dia akan
bangkit, Khu Hong-seng tiba-tiba mengajak bersulang.
Dia menarik tangan Siau-hoan dan berkata sambil tersenyum, “Kau harus minum tiga cawan untuk
menghormatinya, tiga cawan besar.”
Sambil cekikikan, Siau-hoan menggelengkan kepalanya, “Aku hanya akan minum secawan.”
“Kau harus minum tiga cawan.”
“Jika aku minum tiga cawan, aku pasti akan mati karena mabuk.”
“Jika kau tidak minum, maka aku akan mencekikmu sampai mati.”
Siau-hoan tersenyum memikat, sorot matanya penuh dengan perasaan cinta. Dia berkata, “Aku
lebih suka dicekik olehmu sampai mati.”
“Benarkah?”
“Tentu saja, sungguh.”
“Bagus.” Khu Hong-seng tersenyum, sambil meremas leher gadis itu dengan tangannya.
Lalu dia berkata dengan lembut, “Maka aku akan mencekikmu hingga mati.”
Ma Ji-liong benar-benar tidak ingin mendengarkan lagi, dia juga tidak mau bertindak sebagai
penonton lagi. Seharusnya dia segera pergi, tapi tidak jadi. Karena ketika dia bangkit, tiba-tiba dia
melihat sesuatu yang tidak pernah dibayangkannya meskipun dalam mimpinya. Dia melihat mata
Siau-hoan yang indah melotot keluar seperti mata ikan mati, mukanya menjadi biru dan tubuhnya
menjadi kaku. Kali ini dia benar-benar mati. Khu Hong-seng benar-benar mencekiknya hingga
mati.
Ma Ji-liong merasa terperanjat, seolah-olah lehernya juga sudah tercekik oleh sebuah tangan yang
tidak kelihatan. Napasnya tiba-tiba berhenti. Tubuhnya menjadi kaku. Bahkan tangan dan kakinya
pun terasa dingin seperti es. Tubuh Siau-hoan akhirnya ambruk ke lantai, dan Khu Hong-seng
mengawasi tubuh itu tanpa perubahan sedikit pun di wajahnya.
Yang mengejutkan, di wajahnya malah tersungging sebuah senyuman.
“Berbohong itu buruk. Aku tidak pernah berbohong.”
Sambil tersenyum dia berkata, “Kubilang aku akan mencekiknya hingga mati, dan itulah yang
kulakukan. Maka, nanti, apa pun yang kukatakan, kau harus mempercayaiku.”
Ma Ji-liong tidak sanggup bicara. Dia cuma ingin muntah, membuang semua yang baru saja dia
makan dan minum. Tapi dia bahkan tidak bisa melakukannya.
Khu Hong-seng tertawa dengan riangnya, “Mengapa kau tidak bertanya kenapa aku mencekiknya?”
Koleksi Kang Zusi
Dia tidak menunggu Ma Ji-liong bertanya. Dia malah mulai bicara lagi, “Sebenarnya, aku sudah
berencana untuk membunuhnya sejak kami bertemu pertama kalinya. Aku menebus dia dan
membeli rumah ini agar terlihat mustahil kalau aku sebenarnya akan membunuhnya. Aku
memungut gadis ini karena dia bukan saja sangat cantik, tapi dia juga bodoh. Perempuan seperti ini
memang amat cocok untuk rencanaku.”
Rencananya? Rencana apa?
Meskipun Ma Ji-liong tidak bodoh, tapi dia benar-benar belum paham tentang segala kejadian ini.
Khu Hong-seng menerangkan lagi, “Aku harus membuat semua orang tahu bahwa aku sudah
bertekad untuk mati dengan gadisku dan bahwa kami sudah bersumpah setia satu sama lain dan
maut pun tidak akan bisa memisahkan kami. Setiap orang pun akan percaya bahwa aku tidak ingin
menjadi menantu Bik-giok Hujin.”
Sambil menghela napas, dia berkata, “Padahal sesungguhnya, aku sangat menginginkan hal itu.”
Tapi saingan-saingannya terlalu kuat dan dia sendiri pun belum tentu terpilih.
Dia melanjutkan, “Maka aku harus menyingkirkan kalian bertiga dulu.”
Sesungguhnya, menyingkirkan tiga orang manusia tidaklah mudah.
“Untunglah aku tahu bahwa kalian semua adalah pemabuk, dan aku pun kebetulan tahu bahwa Toh-
kongcu sudah memesan makanan dan arak dari Kik-hong-wan.”
Maka dia menyuap seorang pegawai Kik-hong-wan untuk meracuni arak dan kemudian memesan
Thian-sat untuk membungkam orang-orang dari rumah makan itu.
“Tapi aku tidak menyangka kalau kau tidak mau minum.”
Dia meneruskan lagi, “Untunglah rencanaku amat teliti. Aku punya orang-orang di belakangku.”
Orang-orang itu adalah Kim Tin-lin dan Peng Thian-pa. Kim Tin-lin dulu pernah ditundukkan
olehnya, dan Peng Thian-pa sudah sejak lama menjadi kaki tangannya. Giok-pwe yang tergantung
di dadanya juga merupakan bagian dari rencana. Sesudah itu, semua saksi harus disingkirkan.
“Pang Tio-hoan dan Coat-taysu sebenarnya tidak tahu apa-apa. Aku sengaja menyuruh Peng Thian-
pa mengundang mereka minum di Kik-hong-wan dan membawa mereka ke Han-bwe-kok untuk
membuktikan bahwa aku benar-benar tidak bersalah dan bahwa kau adalah penjahat yang
sesungguhnya.”
Dia tertawa terbahak-bahak, “Tapi kau tidak boleh menyalahkan diriku. Kau hanya bisa
menyalahkan nasibmu sendiri yang buruk sehingga kau tidak meminum arak itu dan mati begitu
saja. Jika kau mati, maka kau tidak akan mengalami masalah seperti ini.”
Sekarang dia tidak punya saingan lagi. Tapi, jika Siau-hoan tidak mati, dia tidak punya cara untuk
menjelaskan status dirinya, juga tidak bisa mencampakkannya begitu saja untuk menjadi menantu
Bik-giok Hujin. Maka Siau-hoan pun harus mati.
Koleksi Kang Zusi
Khu Hong-seng menatap Ma Ji-liong. Lalu dia berkata, “Dan sekarang, apakah kau hidup atau mati
tetap tidak ada artinya. Setiap orang tahu bahwa kau adalah si pembunuh. Bila kau tetap hidup, hal
itu malah akan menjadi keuntungan buatku.”
“Keuntungan apa?” Ma Ji-liong akhirnya sanggup bersuara. “Kenapa hal itu baik untukmu?”
Khu Hong-seng menghela napas dan mendadak berkata, “Apakah kau belum bisa menebak kalau
aku adalah ketua Thian-sat?”
Segalanya menjadi jelas, dan Ma Ji-liong pun berdiri tertegun. Selama ini dia mengira bahwa dia
tidak akan pernah memahami apa yang telah terjadi. Dia tidak menyangka kalau penjahat yang
sebenarnya akan memberitahukan semua ini padanya.
Tak tahan lagi dia pun bertanya, “Kenapa kau memberitahukan rahasiamu padaku?”
Sambil tersenyum, Khu Hong-seng berkata, “Karena.........”
Dia tidak menyelesaikan kata-katanya. Wajahnya tiba-tiba berubah, persis seperti wajah Toh Ceng-
lian yang ketakutan menjelang saat kematiannya. Mukanya yang pucat tiba-tiba menjadi gelap. Dia
berusaha bangkit, tapi kakinya malah menendang meja. Dan ketika meja itu terbalik, maka dia pun
terjungkal ambruk.
Bab 11: Hukuman Gantung
Ma Ji-liong tercengang. Bagaimana mungkin ada racun di dalam arak itu? Siapa yang membubuhi
racun? Mungkinkah Siau-hoan sudah tahu bahwa Khu Hong-seng akan membunuhnya, maka dia
memutuskan untuk meracuni arak itu lebih dulu? Ma Ji-liong minum dari guci arak yang sama.
Sekarang Khu Hong-seng mati keracunan, tapi kenapa dia tidak merasa apa-apa?
Begitu banyak pertanyaan yang tak terjawab, dan semuanya juga begitu rumit. Selain itu, semua
peristiwa ini terjadi begitu tiba-tiba. Pikirannya menjadi kacau, dan dia bahkan tidak sanggup
menjawab meskipun pertanyaan yang paling sederhana. Sekarang, yang sebaiknya dilakukan adalah
meninggalkan tempat ini dengan segera. Mungkin sekali kejadian ini juga merupakan sebuah
rencana yang telah direkayasa dengan baik untuk menjebaknya. Dia sudah memikirkan hal ini.
Sayangnya, sementara dia sedang berpikir, dia benar-benar sudah terjebak. Rencana itu memang
akurat dan berbisa. Tak perduli siapa pun yang terjatuh ke dalam perangkap ini, dia tidak akan bisa
lolos.
Di ruangan itu ada empat buah lampu, empat buah lampu kristal Persia yang sangat mahal. Barang
mahal adalah barang yang berkualitas. Meskipun jatuh ke lantai, lampu-lampu itu tidak akan pecah.
Keempat lampu itu dipasang dengan teguh di atas sebuah meja.
Tiba-tiba terdengar suara ‘wut!’, dan kap lampu pun pecah. Sinarnya tampak berkerlap-kerlip.
Saat itulah Ma Ji-liong merasakan gelombang tekanan yang luar biasa kuatnya menghantamnya dari
segala penjuru. Jantungnya berdebar dengan keras dan kencang. Napasnya hampir berhenti.
Hidungnya berdarah, dan dia pun bisa merasakan darah di tenggorokannya. Bola matanya seperti
akan melompat keluar. Dia sudah hampir pingsan. Tapi tekanan yang aneh dan menakutkan itu tiba-
tiba menghilang ketika empat orang manusia muncul di ruangan itu. Orang pertama yang dilihatnya
adalah Coat-taysu yang tidak punya hati ataupun perasaan itu.
Koleksi Kang Zusi
Karena Coat-taysu sudah tiba, tentu saja Pang Tio-hoan juga berada di sini. Orang ketiga adalah
seorang hwesio yang amat kurus dan bermuka hitam, seperti seorang pertapa yang berlatih ilmu
menyiksa diri. Dan walaupun ia mengenakan jubah hwesio yang ditambal di sana sini, tapi dia
menggenggam seuntai tasbih giok yang tak ternilai harganya.
Orang terakhir adalah seorang tosu yang mengenakan jubah berlengan lebar, memakai sandal
jerami tanpa kaus kaki. Rambutnya disanggul, dan kulitnya putih berkilauan, membuat dirinya
kelihatan seperti sebuah patung yang diukir dari giok putih. Dia merupakan kebalikan dari hwesio
pertapa yang tampak kasar itu.
Keempat orang itu datang dari empat penjuru, dan tenaga dalam mereka muncul mendahului
kedatangan mereka, lwekang yang telah dilatih selama puluhan tahun. Orang-orang ini pasti
mengirimkan lwekang mereka untuk menutup jalan lari Ma Ji-liong dan menangkal serangannya.
Mereka menggunakan langkah terakhir ini terhadap Ma Ji-liong karena mereka yakin bahwa dia
akan melakukan apa saja untuk melarikan diri.
Tadi, saat energi mereka menyerangnya, kekuatan dari arah timur dan barat jauh lebih hebat
daripada yang datang dari arah utara dan selatan. Yang datang dari arah timur adalah hwesio
pertapa itu, dan Giok-tojin (tosu dari giok) tiba di tempat itu dari arah barat. Ternyata kedua orang
itu mempunyai lweekang yang jauh lebih dahsyat daripada Coat-taysu yang termasyur ke seluruh
dunia itu.
Ma Ji-liong tidak perlu melihat mereka untuk tahu siapa mereka sebenarnya.
Nama Budha hwesio pertapa itu adalah Cia-go (tahan kesukaran). Dia memang tahan terhadap
berbagai macam kesukaran. Dia pernah pergi ke India, tapi dia tentu saja tidak pergi ke sana untuk
mencari kitab agama Budha. Dia malah mengembara ke seluruh negeri itu untuk mencari kungfu
misterius kaum Hud-bun (Budha). Tentunya perjalanannya itu tidak sia-sia belaka.
Dan Giok-tojin dulunya adalah Giok-long-kun yang berjuluk ‘Satu Pedang Tanpa Rintangan’, yang
pernah mengguncangkan dunia Kang-ouw. Semua pendekar di dunia ini pasti akan gemetar
ketakutan terhadap dirinya, dan semua perempuan cantik pasti akan menyerahkan hatinya pada
Giok-long-kun ini.
Melihat keempat orang itu, hati Ma Ji-liong serasa karam. Tentu saja tidak seorang pun di dunia ini
yang bisa melarikan diri dari mereka, dan tidak seorang pun juga yang bisa menyelamatkan
seseorang dari cengkeraman mereka. Itulah kenyataan yang tidak bisa dibantah.
Lampu-lampu belum dipadamkan. Ini terjadi karena mereka tidak ingin lampu-lampu itu padam.
Bila orang-orang ini ingin melakukan sesuatu, mereka tentu saja akan dan bisa melakukannya. Jika
tidak, tak seorang pun yang bisa memaksa mereka untuk bertindak. Agaknya mereka tidak melihat
Ma Ji-liong, karena pandangan mata mereka tertuju pada Khu Hong-seng.
Khu Hong-seng sudah berhenti bernapas, dan guci arak serta cawan telah terbalik dan berserakan di
lantai. Cia-go Hwesio memungut dan mengendusnya. Lalu, seperti sebilah golok yang tajam, sinar
dingin tampak berkilat-kilat di sepasang mata yang cekung itu. Dia pernah mengikuti rute ke barat
yang dahulu digunakan oleh pendeta Tong Sam-cong(1) saat melakukan perjalanan ke Thian-tiok
(India), dan jalur ini tentu saja tidak mudah untuk dilalui. Dia harus melewati gunung-gunung yang
tandus, sungai-sungai liar dan rawa-rawa, semua yang ada di sana pun amat berbisa – serangga
berbisa, ular berbisa, bunga beracun dan tanaman-tanaman beracun. Dia sudah melihat hampir
Koleksi Kang Zusi
semua racun yang ada di dunia ini dan, karenanya, dalam hal racun dia hampir sama ahlinya dengan
Sin-long (Petani Sakti) yang termasyur itu.
Meskipun Coat-taysu telah menjadi orang beribadat selama puluhan tahun, sifatnya yang tidak
sabaran sama sekali tidak berubah.
Tak dapat menahan diri lagi, dia lalu bertanya, “Bagaimana?”
Cia-go Hwesio tidak berkata apa-apa dan menutup matanya. Coat-taysu menjadi makin gelisah.
Jika Cia-go Hwesio tidak bisa menebak racun apa yang telah diminum Khu Hong-seng, tentu saja
tidak ada lagi orang lain yang tahu di dunia ini. Untunglah Cia-go Hwesio akhirnya angkat bicara.
“Tidak ada racun di guci arak itu.”
“Lalu di mana racunnya?”
“Di cawannya yang terakhir.”
“Racun apa itu?”
“Itulah Jiu-jo-san yang dibuat dari tiga macam tumbuhan beracun – Jian-ki, Toan-yang dan Sio-
hun.”
“Bagaimana kau tahu?”
“Racun jenis ini tidak berwarna dan tidak berasa. Paling baik bila dicampur dengan arak, karena
dengan arak racun ini akan bekerja dengan sangat cepat.”
“Berapa cepat?”
“Racun ini akan langsung bekerja setelah masuk ke tenggorokannya. Dan bila mencapai usus, dia
akan sama saja seperti ulat di musim gugur.”
“Jadi racun di dalam tubuhnya sudah bekerja.”
“Maka racun itu pasti berada di dalam cawan arak terakhirnya.”
“Bisakah dia diselamatkan?”
“Orang tidak selalu harus mati karena racun ini. Jika kita bertindak cukup cepat, racun ini masih
bisa ditawarkan.”
“Bisakah kau melakukannya?”
“Aku tidak bisa, tapi dia bisa.”
Cia-go Hwesio memalingkan kepalanya pada Giok-tojin. Lalu dia berkata, “Tidak ada orang yang
tahu tentang racun sebaik diriku, tapi dalam hal menawarkan racun, aku tidak sebaik dirimu.”
Giok-tojin bertanya, “Bagaimana kau tahu kalau kau tidak sebaik diriku?”
Koleksi Kang Zusi
Cia-go Hwesio menjawab, “Karena kau dulu seorang penakluk wanita dan aku bukan.”
Giok-tojin tersenyum. Dia tidak punya pilihan kecuali mengakui hal itu. Sejak dia berusia enam
belas tahun, tak ada yang tahu berapa banyak perempuan yang telah berusaha membunuhnya
dengan racun. Ini terjadi karena kekasihnya terlalu banyak dan dia tidak pernah pilih-pilih. Karena
banyak perempuan yang memujanya, dan mereka tidak mau melepaskannya jatuh ke pelukan
perempuan lain, mereka pun tahu bahwa mereka harus meracuninya sampai mati. Jika tidak, cepat
atau lambat pikirannya akan berubah. Karena seringnya dia diracuni orang, akhirnya dia menjadi
terbiasa dengan racun.
Bagaimana mungkin orang seperti dia tidak tahu cara menawarkan racun?
Cia-go Hwesio berkata, “Jika dia tidak tahu cara menawarkan racun ini, pemuda ini pasti sudah
mati.”
Coat-taysu bertanya, “Jika dia tidak bisa menawarkan racun ulat musim gugur ini, apakah tidak ada
orang lain yang bisa?”
Kali ini Giok-tojin sendiri yang menjawab pertanyaan itu. Dia berkata, “Tidak.”
Ma Ji-liong akhirnya paham. Ini bukan cuma sebuah perangkap. Tapi merupakan seutas tali, tali
yang akan digunakan untuk menggantungnya. Racun itu ada di dalam cawan arak terakhir. Saat
Khu Hong-seng meminum cawan itu, Siau-hoan sudah mati, jadi tidak mungkin dia yang menaruh
racun itu. Tapi jika Khu Hong-seng meracuni dirinya sendiri, siapa yang akan percaya kalau dia
berbuat begitu?
Dan karena itu, Ma Ji-liong tentu saja menjadi tersangka.
Khu Hong-seng diracun dengan cara yang sama seperti Sim Ang-yap dan Toh Ceng-lian. Pasti
racun di dalam guci arak di Han-bwe-kok juga adalah racun Jiu-jo-san ini.
Dan karenanya, tersangka peristiwa itu juga adalah Ma Ji-liong.
Khu Hong-seng sudah tahu bahwa Coat-taysu dan kawan-kawannya akan datang. Dia sudah tahu
pasti bahwa dirinya akan tertolong. Karena itu dia meracuni arak tersebut.
Barusan dia telah memberitahu Ma Ji-liong bahwa dialah penjahat yang sebenarnya, tapi tak ada
orang lain kecuali Ma Ji-liong yang telah mendengar pengakuannya itu. Tak seorang pun di dunia
ini yang akan percaya bahwa dia bisa meracuni dirinya sendiri. Dan meskipun Ma Ji-liong ngotot
mengatakan hal yang sebenarnya kepada orang-orang, tak ada orang yang akan mempercayainya.
Dan karena orang-orang menganggap bahwa Ma Ji-liong adalah orang yang meracuni Khu Hong-
seng, mereka juga akan percaya bahwa dialah yang telah mencekik Siau-hoan hingga mati. Mereka
tidak akan menyelidiki lagi kenapa dia harus membunuh Siau-hoan. Memangnya masih ada yang
tidak bisa diperbuat oleh seorang pembunuh seperti dirinya?
Semua pembunuh harus mati. Sekarang Ma Ji-liong telah dihadapkan dengan hukuman gantung.
------------------------------------------
(1)Tong Sam-cong = pendeta Budha dalam cerita 'Perjalanan Ke Barat'
Bab 12: Kembang Melati
Koleksi Kang Zusi
Khu Hong-seng tidak mati. Inilah kali kedua dia berhasil selamat setelah bersinggungan dengan
maut. Ma Ji-liong teringat dengan tombak Kim Tin-lin dan bagaimana Khu Hong-seng telah
menyembunyikan Giok-pwe itu di dadanya. Saat itu nama Siau-hoan yang digunakan olehnya untuk
menjelaskan hal itu. Setiap langkah dan setiap detil rencananya benar-benar dirancang dengan
seksama. Dan setiap kalinya dia telah menyediakan perangkap kematian untuk dirinya sendiri
sehingga tidak ada orang yang akan mencurigainya.
Sekarang dia telah memuntahkan semua arak beracun itu, setiap orang bisa melihat bahwa dia pasti
akan selamat, dan mungkin dia akan hidup lebih lama daripada siapa pun.
Saat itulah perhatian mereka mulai dialihkan pada Ma Ji-liong, dan sorot mata mereka amat mirip
dengan senjata yang tajam.
Yang pertama bicara adalah Pang Tio-hoan.
Dia berkata, “Apa lagi yang hendak kau katakan?”
Ma Ji-liong tidak bisa berkata apa-apa. Jika dia mengungkapkan hal yang sebenarnya, siapa yang
akan percaya kalau Khu Hong-seng telah mencekik Siau-hoan hingga mati? Siapa yang akan
percaya kalau dia telah mengungkapkan rahasianya sendiri? Dan siapa yang akan percaya kalau dia
telah meracuni araknya sendiri?
Coat-taysu bertanya dengan dingin, “Apa yang akan kau berikan pada kami kali ini?”
Meskipun Ma Ji-liong punya sebilah pedang mestika di tangannya, setumpuk emas di kantungnya,
dan sehelai mantel bulu rubah di tubuhnya, tipuan lamanya tidak akan berhasil lagi.
Coat-taysu berkata, “Bukti kejahatanmu sudah amat banyak, tapi bila kau tidak mengakuinya, kami
tidak bisa mengikat tanganmu.”
Ma Ji-liong tahu bahwa dia bukan hanya tidak bisa membersihkan dirinya dari tuduhan, dia pun
tidak bisa melarikan diri. Dia sangat paham akan hal ini.
Tapi asalkan dia masih bernapas, dia tidak akan pernah menyerah tanpa bertarung.
Coat-taysu berkata, “Dengan kami berempat berada di sini, menangkapmu akan sama mudahnya
dengan memakan kue. Tapi kami tidak mau menang cuma karena jumlah kami lebih banyak
darimu.”
“Aku paham,” kata Ma Ji-liong.
“Apa yang kau pahami?” Coat-taysu bertanya.
Ma Ji-liong berkata, “Kau ingin bertarung sendiri denganku dan berharap kau sendiri sudah
sanggup membunuhku.”
Lalu dia meneruskan dengan tenang, “Karena membunuh orang adalah hobimu.”
Kalimat ini seperti jarum yang menusuk ke hati lawan. Tapi Coat-taysu tidak perduli.
Dia menyeringai, “Jika kau tidak ingin aku yang membunuhmu, kau boleh memilih siapa pun yang
kau inginkan untuk bertarung denganmu.”
Koleksi Kang Zusi
“Aku memilihmu,” kata Ma Ji-liong.
“Bagus sekali,” kata Coat-taysu.
Ma Ji-liong berkata, “Benar, seharusnya bukan kau. Walaupun lwekangmu tidak sehebat Cia-go
Hwesio dan ilmu pedangmu tidak sebanding dengan Giok-tojin, tapi pengalaman membunuhmu
jauh lebih banyak daripada mereka. Dan karena itu caramu membunuh pasti lebih baik daripada
mereka.”
Sambil menghela napas, dia melanjutkan, “Sayangnya, meskipun tahu hal ini, aku tetap harus
memilihmu.”
Coat-taysu tak tahan lagi dan bertanya, “Kenapa?”
Ma Ji-liong menjawab, “Karena aku selalu berpikir bahwa meskipun kau adalah orang gila yang
kejam, keras kepala dan angkuh, aku bisa berharap padamu untuk membawa keadilan dan bila kau
menuduh seseorang, maka kau akan bertindak bengis dan tidak akan membiarkan orang itu hidup.”
Suaranya terdengar berduka ketika dia berkata, “Aku memilihmu karena aku harus membunuhmu
demi orang-orang yang telah salah dibunuh olehmu. Meskipun aku bukan tandinganmu, aku bisa
menjamin bahwa aku punya cara untuk membuat agar kau dan aku gugur bersama.”
Coat-taysu terpaksa bertanya, “Cara apa?”
Mau tak mau dia harus percaya pada Ma Ji-liong. Ekspresi wajahnya mulai berubah. Walaupun dia
ingin membunuh Ma Ji-liong, dia sendiri pun takut terbunuh.
Dan dia tidak bisa menyembunyikan perasaan takutnya itu.
Tiba-tiba Ma Ji-liong tertawa terbahak-bahak. Dia berkata, “Sesungguhnya kau tidak sebengis yang
orang kira. Kau takut pada kematian seperti juga orang lain.”
Suaranya terdengar penuh dengan nada ejekan, “Sebenarnya aku tidak punya cara tertentu untuk
membunuhmu. Aku cuma ingin menakut-nakutimu saja, tidak lebih.”
Bila jago-jago kungfu akan bertarung, mereka bukan hanya harus menenangkan pikirannya, mereka
pun harus mengendalikan emosinya. Kalau tidak mereka akan rapuh terhadap serangan. Coat-taysu
sudah lama paham akan hal ini.
Tapi saat itu amarahnya telah memuncak, bola matanya memerah seperti berdarah, di keningnya
muncul urat-urat biru. Kedua tangannya pun diulurkan seperti cakar burung rajawali.
Dia bergerak ke arah Ma Ji-liong, selangkah demi selangkah.
Ruangan ini berlantai papan kayu yang mengkilap, dan ke mana pun dia menginjakkan kakinya,
papan kayu itu segera hancur berkeping-keping.
Coat-taysu telah mengumpulkan seluruh tenaganya. Jika orang terpukul oleh tangannya, dia tentu
akan terjungkal mati!
Tak pernah terpikir olehnya kalau dia mungkin akan membunuh orang yang salah!
Koleksi Kang Zusi
Kecuali bunyi papan kayu yang hancur, seolah-olah tidak ada suara lain di dunia ini.
Mendadak mereka mendengar suara teriakan seseorang yang menjajakan bunga.
“Anggrek mutiara. Kembang melati.”
Suara penjual bunga itu terdengar nyaring dan merdu seperti mengalun dari tempat yang jauh. Tapi
suara itu tiba-tiba bergerak semakin dekat hingga seakan-akan kata-kata tadi diucapkan orang di
pinggir telinga mereka.
“Brak!”, tiba-tiba sebuah lubang berbentuk manusia telah muncul di dinding yang putih dan cerah
itu.
“Anggrek mutiara. Bunga melati.”
Tiba-tiba seseorang telah muncul dari lubang di dinding tersebut. Dia adalah seorang penjual bunga
bertubuh ramping, memakai topi bambu dan bergaun hitam. Di tangannya terdapat beberapa
kuntum bunga melati yang terikat oleh seutas kawat besi.
Bunga melati yang harum tentu indah, dan begitu pula tangan penjualnya. Ma Ji-liong tiba-tiba
teringat, ketika mereka berada di jalan sempit itu, Toa-hoan telah pergi bersamaan dengan
kedatangan seorang perempuan penjual bunga yang misterius. Apakah yang akan dilakukan
perempuan itu di sini?
“Apakah Tuan suka bunga melati?”
Tiba-tiba dia meletakkan sekuntum melati di antara cakar rajawali Coat-taysu. Seperti anak panah
yang dipentang kencang pada sebuah busur, tangan ini mengandung tenaga yang akan terlepas saat
bersentuhan. Dan jika dilepaskan, bahkan batu karang pun akan hancur karenanya.
Yang mengejutkan, ternyata bunga melati itu tidak hancur. Malah sepertinya bunga melati itu yang
menusuk tangannya. Dan rasa sakitnya pun pasti telah menusuk hatinya, karena setelah
mendapatkan bunga itu, dia lalu melompat ke udara dan – seperti anak panah – melesat keluar lewat
jendela.
Siapakah gadis penjual bunga ini? Kekuatan misterius macam apa yang dimiliki bunga melati itu?
Penjual bunga itu membalikkan badan dan berjalan menghampiri Giok-tojin.
“Tuan suka bunga melati?”
Dia mengambil sekuntum bunga lagi.
“Inilah sekuntum bunga melati yang harum dan indah. Tuan harus membelinya sekarang juga.
Kalau tidak, Tuan pasti akan menyesalinya nanti.”
“Aku ingin membelinya. Berapa harganya?” Giok-tojin bertanya.
“Bungaku berharga pantas. Aku tidak pernah berlaku curang.”
Suaranya terdengar jernih dan lembut, “Satu nyawa.... untuk sekuntum bunga melati.”
Koleksi Kang Zusi
Giok-tojin tersenyum dipaksa. Lalu dia berkata, “Aku tidak sanggup.”
Tiba-tiba dia melesat mundur, tubuhnya meluncur lewat lubang di tembok seperti sebatang anak
panah yang lepas dari busurnya. Cia-go Hwesio dan Pang Tio-hoan juga ikut pergi dengan
kecepatan yang sama.
Sambil menghela napas, penjual bunga itu berkata, “Bunga melati yang begini indah, kenapa tidak
ada yang mau membelinya?”
Ma Ji-liong tiba-tiba berkata, “Mereka tidak mau, tapi aku mau.”
Perempuan penjual bunga itu tidak berpaling. Dia hanya berkata, “Kau cuma punya satu nyawa.
Kau pun tidak akan sanggup.”
“Bagaimana jika aku benar-benar ingin membelinya?”
“Aku tidak jual.”
“Kenapa tidak?”
“Karena aku tidak menginginkan nyawamu.”
“Aku baru saja mendapatkan kembali nyawaku.”
“Karena kau baru saja mendapatkannya kembali, seharusnya kau benar-benar menghargainya.”
Sambil bicara, dia pun mulai melangkah. Ma Ji-liong lalu membuntutinya. Dan mereka berdua pun
berjalan keluar dari rumah itu dan masuk ke jalan raya yang gelap di luar sana.
Bab 13: Gadis Penjual Bunga
Malam yang dingin, tidak berawan dan penuh bintang. Di bawah sinar bintang, punggung gadis
penjual bunga itu terasa sudah dikenalnya, seolah-olah gadis itu adalah kenalan lamanya. Dia tidak
menggunakan ginkang, dia pun tidak lari. Tapi Ma Ji-liong tetap tidak mampu menyusulnya.
Maka dia lalu menggunakan Thian-ma-hing-khong yang termasyur di dunia Kang-ouw. Tapi tiba-
tiba gadis itu sudah menjauh 50-60 kaki. Dia berusaha menyusulnya lagi, tapi gadis itu malah
semakin jauh di depan sana.
Ketika dia menurunkan kecepatannya, maka langkah kaki gadis itu pun melambat.
Ketika dia berhenti, maka gadis itu pun berhenti.
Agaknya, meskipun gadis itu tidak mau dia menyusulnya, ia pun sebenarnya tidak mau
meninggalkan dirinya jauh-jauh di belakang.
Mendadak Ma Ji-liong bertanya, “Kau tidak membiarkan aku melihatmu karena kau tidak ingin aku
tahu siapa kau, benarkah begitu?”
Dia tidak menjawab. Dia pun tidak membantah.
Ma Ji-liong tertawa kecil, “Sayangnya aku sudah tahu siapa kau.”
Koleksi Kang Zusi
“Tentu saja kau seharusnya sudah tahu.”
Dia tertawa cekikikan dan berkata, “Karena kau tentu tidak begitu bodoh.”
Tentu saja gadis itu adalah Toa-hoan yang tadinya telah lari karena takut pada seorang gadis penjual
bunga. Saat ini dia telah mengenakan baju gadis penjual bunga itu, bahkan keranjang bunga di
tangannya juga milik gadis itu. Tapi di manakah penjual bunga yang misterius itu?
Ma Ji-liong tidak memahami gadis ini. Kehidupan Toa-hoan, kungfunya dan asal-usulnya, semua
terlalu misterius. Bagaimana dia dulu bisa terkubur di dalam es dan salju? Coat-taysu dan Giok-
tojin termasuk jago-jago terbaik di dalam Bulim, tapi kenapa mereka begitu takut padanya? Tidak
seorang pun yang bisa menjelaskan kejadian yang terjadi di sekitarnya ini. Semakin lama dia
bergaul dengan gadis ini, sebaliknya dia malah semakin tidak bisa memahaminya.
Dan dia tentu saja tidak bisa pergi. Setiap kali gadis ini muncul, sesuatu yang misterius tentu akan
terjadi. Kali ini apa lagi yang akan diperbuat olehnya? Tipuan licik apa lagi yang ada di dalam
benaknya? Ma Ji-liong benar-benar ingin tahu.
Tentunya Toa-hoan punya tipuan lain. Dengan mata yang bersinar-sinar, tiba-tiba dia berkata, “Aku
sudah tahu bahwa kau adalah orang yang pemberani, maka kali ini aku akan membawamu ke
sebuah tempat yang aneh.”
“Untuk apa?”
“Untuk bertemu dengan seseorang.” Toa-hoan sengaja bersikap misterius. “Seorang perempuan
yang amat aneh.”
“Pernahkah aku bertemu dengannya?”
“Mungkin pernah satu kali.”
“Maksudmu gadis penjual bunga itu?”
“Kau memang tidak bodoh.”
Lalu Toa-hoan meliriknya dan bertanya, “Kau berani pergi menemuinya?”
Ma Ji-liong tentu saja berani. Meskipun gadis penjual bunga itu adalah makhluk pemakan manusia,
dia tetap ingin bertemu dengannya.
Sambil mengedipkan mata penuh arti, Toa-hoan bertanya lagi, “Kau tidak akan menyesal? Setelah
kau bertemu dengannya dan apa pun yang terjadi, kau sama sekali tidak akan menyesalinya?”
Jawaban Ma Ji-liong sudah pasti. “Aku sudah banyak mengalami hal yang patut disesalkan. Apa
artinya kalau ditambah dengan satu lagi?”
Toa-hoan tertawa dan berkata, “Tidak ada artinya.” Suara tawanya terdengar nyaring seperti bunyi
lonceng. “Memang tidak ada artinya.”
Maka mereka pun berangkat. Dalam perjalanan, Ma Ji-liong terus bertanya-tanya tentang tempat
tujuan mereka. Dia memikirkan beberapa tempat yang aneh, tapi dia tidak pernah menduga kalau
gadis itu ternyata membawanya ke kantor pengadilan Xiangcheng.
Koleksi Kang Zusi
Meskipun hakim di sini hanya berpangkat rendah, tempat ini tetap saja kantor pengadilan dan
ukurannya jauh lebih besar daripada yang dulu dibayangkan oleh Ma Ji-liong. Jalan masuknya
sudah ditutup, sehingga mereka pun masuk lewat pintu samping.
Inilah pertama kalinya Ma Ji-liong memasuki kantor pengadilan. Di atas kepalanya ada sebuah
genderang dan di aula utama tergantung sebatang tongkat bambu untuk menghukum terdakwa. Di
situ juga dipertunjukkan segala jenis alat siksaan. Semua yang ada di sini membuatnya merasa
ganjil dan aneh.
Di sana juga ada prajurit-prajurit bertopi merah. Walaupun hakim telah keluar dari aula utama itu,
di sana tetap ada prajurit-prajurit yang bertugas jaga, dua orang di tiap pintu. Tapi prajurit-prajurit
ini seperti buta semua matanya, tidak perduli akan kedatangan mereka.
Prajurit-prajurit itu pasti tidak buta. Dia dan Toa-hoan jelas-jelas berjalan melewati mereka. Kenapa
mereka tidak melihatnya? Apakah Toa-hoan menggunakan semacam ilmu sihir? Apakah dia bisa
menyembunyikan sosok mereka dari pandangan para prajurit itu?
Di belakang aula utama itu ada sebuah halaman yang suram, di sana juga ada dua orang prajurit
bertopi merah yang bertugas jaga. Tiba-tiba Ma Ji-liong berjalan menghampiri salah seorang dari
mereka dan berkata, “Hei, kau tidak melihatku?”
Prajurit itu tidak perduli, bahkan tidak meliriknya. Dia malah bertanya pada temannya, “Apakah
barusan ada orang yang bicara?”
“Tidak.”
“Apakah kau melihat seseorang?”
“Tidak, bahkan bayangan setan pun tidak ada.”
Tentu saja Ma Ji-liong merasa heran. Jika bukan Toa-hoan yang membawanya datang ke halaman
ini, dia tentu akan mencoba untuk mencubit mereka. Apakah mereka akan kesakitan?
Sambil tertawa cekikikan, Toa-hoan berkata, “Meskipun kau berjungkir-balik di depan mereka,
mereka tidak akan melihatmu.”
“Kenapa begitu?”
Tiba-tiba gadis itu merubah pokok pembicaraan dan berkata, “Apakah kau tahu tempat apa ini?”
Ma Ji-liong tidak tahu, tapi dia sudah bisa merasakan hawa yang menyeramkan di tempat itu.
“Ini adalah kamar mayat,” kata Toa-hoan. “Jika ada orang yang terbunuh di daerah ini, mayat
mereka akan dibawa ke sini untuk diotopsi.”
Ma Ji-liong tidak melihat jenazah, juga tidak mencium bau darah yang menyengat, tapi perutnya
sudah mulai terasa tidak enak. Di tempat seperti ini, tidak ada orang yang bisa merasa tenang.
Kenapa Toa-hoan membawanya ke sini?
Di halaman itu ada dua baris bangunan, tanpa lampu maupun jendela. Tapi dari kamar terakhir di
sebelah kanan, meskipun pintunya tertutup, sepertinya ada secercah cahaya yang merembes keluar
dari retakan pintu. Dan Toan-hoan berjalan memasuki pintu itu.
Koleksi Kang Zusi
Ma Ji-liong tak tahan lagi dan bertanya, “Apakah kau membawaku ke sini untuk bertemu dengan
seseorang di kamar ini?”
“Kenapa kau tidak masuk dan melihat sendiri?” Dan gadis itu mendorong pintu hingga terbuka.
Di kamar itu memang ada cahaya, dan orang bisa melihat sebuah lampu yang redup dan sebuah
ranjang yang besar. Di atas tempat tidur ada selembar kain putih yang menutupi sesosok tubuh di
bawahnya. Walaupun mukanya tertutup kain, tapi kakinya tidak.
Yang pertama dilihat Ma Ji-liong adalah kaki itu, sepasang kaki yang seputih salju dan betis yang
indah.
Jari-jari kakinya tampak lembut dan indah. Siapa pun yang melihat sepasang kaki ini tentu segera
menyadari bahwa ini adalah sepasang kaki wanita, yang tentunya milik seorang perempuan yang
cantik jelita.
Ma Ji-liong sekarang teringat bahwa dia belum sempat melihat wajah gadis penjual bunga tersebut
di dalam gang gelap itu. Tak tahan lagi dia pun menghela napas.
“Apakah dia sudah mati?”
“Tampaknya begitu.”
“Apakah kau yang membunuhnya?”
Toa-hoan menjawab dengan acuh tak acuh, “Dia selalu memandang rendah pada diriku, dia
mengira bahwa dia lebih baik dariku dan bisa mengalahkanku kapan saja. Asal melihatnya, aku
pasti lari. Itulah yang membuat dirinya menganggap enteng padaku.”
Meremehkan musuh selalu merupakan kesalahan yang tak bisa dimaafkan.
Toa-hoan berkata dengan tenang, “Dia memandang rendah pada diriku, itulah sebabnya aku masih
bisa berdiri tegak sementara dia sudah ambruk. Bagiku, dia sama saja sudah mati.”
Ma Ji-liong terpaksa bertanya sekali lagi, “Kau bilang, dia sama saja sudah mati?”
“Hmm.”
“Jadi dia sebenarnya belum mati?”
“Kenapa kau tidak melihat sendiri?” Gadis itu tersenyum misterius. “Lihatlah baik-baik.”
Agar bisa dilihat, lembaran kain itu pun harus disingkap. Ma Ji-liong lalu menyingkapnya dan
segera melepaskannya kembali secara mendadak, wajahnya tiba-tiba menjadi merah dan jantungnya
berdebar-debar semakin keras. Walaupun dia belum melihat dengan jelas, dia tidak berani melihat
lagi.
Di balik kain itu adalah tubuh seorang gadis yang telanjang bulat sama sekali. Dia belum pernah
melihat seorang perempuan dengan tubuh yang seindah dan wajah yang secantik itu. Jika
perempuan seperti dia benar-benar sudah mati, hal ini benar-benar patut disayangkan.
Toa-hoan bertanya lagi, “Lihatlah. Apakah dia sudah mati?”
Koleksi Kang Zusi
Ma Ji-liong tidak tahu.
Toa-hoan berkata, “Kau cuma melihatnya sepintas, tentu saja kau tidak tahu apakah dia sudah mati
atau tidak. Tapi kau tentu bisa melihat bahwa perempuan secantik dia itu adalah langka.”
Ma Ji-liong mengakui hal itu.
Toa-hoan berkata, “Kalau begitu, seharusnya kau tahu bahwa dia masih hidup.”
“Kenapa begitu?” Ma Ji-liong bertanya.
Sambil menghela napas, Toa-hoan berkata, “Karena dia benar-benar terlalu cantik. Aku tidak tega
membiarkan dia mati. Meskipun aku sangat ingin membunuhnya, tapi aku tidak tega.”
Ma Ji-liong menghela napas.
Toa-hoan bertanya, “Kenapa kau menghela napas?”
Ma Ji-liong berkata, “Bagaimana kau bisa menemukan dia?”
Sambil menghela napas sekali lagi, Ma Ji-liong lalu meneruskan, “Aku sudah melihatnya, dan aku
yakin bahwa dia masih hidup. Tapi aku malah semakin bingung.”
Toa-hoan bertanya, “Bingung kenapa?”
Ma Ji-liong berkata, “Apakah aku mengenalnya?”
“Tidak,” jawab Toa-hoan.
Ma Ji-liong bertanya, “Lalu apa hubungan dia denganku?”
“Sekarang memang belum ada hubungannya,” jawab Toa-hoan.
Ma Ji-liong berkata, “Lalu kenapa kau membawaku untuk bertemu dengannya?”
Toa-hoan berkata, “Karena meskipun kalian berdua belum ada hubungannya, tapi nanti pasti ada.”
Ma Ji-liong bertanya, “Bagaimana bisa begitu?”
Senyuman Toa-hoan menjadi makin misterius. Dia berkata, “Ada hal-hal yang belum bisa
kuceritakan kepadamu saat ini, tapi aku berjanji, apa pun yang kuingin kau lakukan, kau tidak akan
menyesalinya.”
Ma Ji-liong bertanya, “Apa yang sekarang sudah kau rencanakan untukku?”
“Aku hendak membawamu untuk bertemu seorang lagi,“ kata Toa-hoan.
Ma Ji-liong bertanya, “Siapa dia?”
Toa-hoan menjawab, “Seorang laki-laki yang amat menyukaimu, dan agaknya kau pun
menyukainya.”
Koleksi Kang Zusi
Ma Ji-liong bertanya, “Bagaimana kau tahu kalau aku menyukainya?”
Toa-hoan menjelaskan, “Asalkan orang berjumpa dengannya, sangat sulit bagi orang itu untuk tidak
menyukainya.”
Segera Ma Ji-liong teringat pada seorang laki-laki yang tidak sulit untuk disukai orang lain dan dia
pun berkata, “Kanglam Ji Ngo?”
Toa-hoan berkata, “Siapa lagi kalau bukan dia?”
Ma Ji-liong bertanya, “Dia juga ada di sini?”
“Ada di sisi sana,” jawab Toa-hoan.
Ma Ji-liong bertanya, “Apa yang sedang dia lakukan?”
Toa-hoan tertawa dan berkata, “Seumur hidupmu, kau tidak akan bisa menebak apa yang sedang dia
kerjakan.”
Bab 14: Tiada Ampunan
Pertama kalinya Ma Ji-liong melihat Ji Ngo, Ji Ngo sedang memasak makanan. Banyak orang yang
memasak setiap harinya di dunia ini, jadi memasak bukanlah hal yang aneh. Tapi bila Kanglam Ji
Ngo yang memasak di dapur, orang-orang pasti akan merasa kagum.
Tapi tempat ini adalah kamar mayat, bukan rumah makan atau sebuah dapur.
“Jika kau bisa menebak apa yang sedang dia lakukan, aku akan menghormatimu.”
“Aku tidak ingin kau menghormatiku. Aku tidak bisa menebak.”
“Dia sedang menyisir rambut.”
Menyisir rambut pun bukanlah hal yang aneh. Kanglam Ji Ngo tentu saja menyisir rambutnya
sendiri seperti yang dilakukan orang lain. Tapi ternyata dia bukan sedang menyisir rambutnya
sendiri. Dia sedang menyisir rambut orang lain. Dia sedang menyisir rambut seorang perempuan tua
yang hampir semua giginya sudah ompong.
Di sebuah kamar di seberang sana, entah sejak kapan tahu-tahu sudah menyala sebuah lampu.
Seorang perempuan tua sedang duduk di bawah cahaya lampu. Dia memakai baju merah, kelihatan
seperti seorang pengantin yang mengenakan gaun sulam merah. Salah satu kakinya sedang
diangkat, dan dia mengenakan sepasang sepatu sutera berwarna merah cerah. Wajahnya penuh
dengan kerutan. Jumlah giginya juga lebih sedikit daripada seorang bocah berumur dua tahun. Tapi
rambutnya masih hitam mengkilap, persis seperti sutera hitam.
Orang akan tercengang bila melihat Kanglam Ji Ngo sedang menyisir rambut seorang perempuan
tua seperti ini. Gerakan menyisirnya sama seperti gerakan waktu dia sedang menggoreng makanan,
indah dan mempesona. Tidak ada bedanya apakah dia sedang memegang sudip atau sisir.
Bagaimana pun juga dia adalah Kanglam Ji Ngo, Kanglam Ji Ngo yang tiada duanya itu.
Meskipun Ma Ji-liong tidak bisa menebak kenapa dia menyisir rambut perempuan tua itu, atau
kenapa Toa-hoan membawanya untuk melihat hal ini, dia mulai merasa heran. Agaknya Ji Ngo
Koleksi Kang Zusi
tidak melihat kedatangan mereka. Apa pun yang dia lakukan, dia selalu melakukannya dengan hati
dan jiwanya. Itulah sebabnya dia melakukannya lebih baik daripada orang lain.
Saat itu dia menggunakan sebuah jepit rambut yang hitam dan panjang untuk membuat sanggul
rambut yang rapi buat perempuan itu, dan dia pun mengagumi karyanya sendiri sembari
melakukannya. Memang itulah sebuah karya yang bagus, bahkan Ma Ji-liong pun harus
mengakuinya. Perempuan tua itu menjadi tampak lebih muda puluhan tahun. Ji Ngo menutup
matanya sebentar, dan ekspresi wajahnya seperti orang yang sedang dibelai oleh kekasihnya.
“Kau benar-benar tidak ada tandingan. Benar-benar tidak ada orang yang bisa dibandingkan
denganmu.” Suara perempuan itu terdengar parau, tapi orang masih bisa merasakan betapa merdu
dan lembutnya suara itu di masa mudanya dulu. Dia menghela napas dengan perlahan dan berkata,
“Jika ilmu kungfumu bisa setengah saja dari keahlian menata rambutmu, kau pasti akan
menaklukkan dunia.”
Ji Ngo tergelak, “Untunglah, aku tentu saja tidak ingin menaklukkan dunia.”
“Kenapa tidak?”
“Karena jika seseorang berhasil menaklukkan dunia, hari-harinya tentu akan menjadi sangat
membosankan.”
Perempuan tua itu tertawa terbahak-bahak. Lalu dia berkata, “Aku suka padamu. Aku benar-benar
menyukaimu. Meskipun kau tidak menata rambutku, kurasa aku tetap akan melakukannya
untukmu.”
Siapakah perempuan tua ini? Ji Ngo ingin dia melakukan apa? Saat keinginan-tahu Ma Ji-liong
semakin membesar, Toa-hoan malah menariknya keluar.
“Sekarang kau tentu sedang bingung. Kau tidak tahu apa yang hendak kulakukan.”
“Apakah rencanamu? Siapa lagi yang akan kita temui kali ini?”
Toa-hoan berkata, “Kita akan melihat 'orang dalam lukisan'.” Lalu dia meneruskan, “Meskipun kau
seratus kali lebih cerdik daripada sekarang, kau pasti tidak akan bisa menebak identitasnya.”
Sebuah lampu sedang menyala di kamar sebelah, terlihat sebuah lukisan di atas dinding. Itulah
lukisan seorang laki-laki setengah baya yang tampaknya amat jujur.
Ma Ji-liong belum pernah melihat orang ini. Atau kalau pun pernah, dia pasti tidak ingat lagi.
Orang seperti ini bukannya tidak berharga untuk diingat, tapi dia memang tidak akan meninggalkan
kesan yang mendalam di hati orang lain.
“Dia bermarga Thio. Namanya Thio Eng-hoat. Dia adalah orang yang amat jujur dan baik hati. Dia
membuka sebuah toko kelontong kecil di kota, bersama seorang pembantu yang hampir sama
jujurnya dengan dia sendiri.”
Toa-hoan menjelaskan tentang orang dalam lukisan itu, “Dia terlahir pada tahun Babi, dan tahun ini
dia berusia empat puluh empat tahun. Ketika berumur sembilan belas tahun, dia menikah dengan
seorang perempuan bernama Ong Kui-ci. Perempuan itu pemarah dan jatuh sakit karena dia tidak
bisa punya anak. Semakin timbul amarahnya, maka makin menjadi sakitnya. Terakhir sakitnya
Koleksi Kang Zusi
menjadi begitu parah, sehingga dia harus berbaring saja di tempat tidur dan si tua Thio yang harus
memberinya makan. Setelah sakit yang teramat parah ini, perangainya yang buruk malah semakin
menjadi-jadi. Tidak satu pun tetangga yang tahan mendengar ocehannya.”
Tiba-tiba dia berhenti dan bertanya pada Ma Ji-liong, “Apakah kau mendengarkan dengan jelas?”
Ma Ji-long memang mendengar uraiannya dengan jelas, tapi dia tetap merasa bingung. Dia tidak
bisa membayangkan kenapa Toa-hoan membawanya untuk melihat lukisan ini dan menjelaskan
tentang laki-laki dalam lukisan itu secara begitu terperinci.
Tentu saja dia pun akhirnya bertanya, “Jadi laki-laki ini ada hubungannya denganku?”
“Begitulah.”
“Bagaimana mungkin dia punya hubungan denganku?”
“Karena orang ini adalah kau.” Agaknya Toa-hoan tidak sedang bergurau. “Kau adalah dia, dan dia
adalah kau.”
Ma Ji-liong merasa sangat lucu, begitu lucunya sehingga dia hampir bergulingan di lantai sambil
tertawa sampai perutnya sakit. Sayangnya tidak ada suara tawa yang keluar. Karena dia tahu bahwa
Toa-hoan tidak sedang bergurau. Dia pun tidak gila.
Maka dia pun bertanya, “Orang bernama Thio Eng-hoat ini adalah aku?”
“Tepat sekali.”
“Sedikit pun dia tidak mirip denganku.”
“Tapi kau akan segera mirip dengannya, sangat mirip dengannya. Bahkan aku bisa mengatakan,
persis seperti dia.”
“Sayangnya aku tidak bisa merubah diriku sendiri.”
“Kau tidak bisa, tapi orang lain bisa melakukannya untukmu.”
Toa-hoan tiba-tiba bertanya, “Tahukah kau kenapa Ji Ngo menata rambut perempuan muda itu?”
Ma Ji-liong berkata, “Perempuan itu tidak muda lagi. Tampaknya dia sudah tua.”
Anehnya Toa-hoan tidak setuju dengannya. “Dia tidak tua. Dia perempuan muda. Ada orang yang
bisa hidup sampai berusia 180 tahun. Jadi dia masih terhitung muda.”
“Apakah dia orang seperti itu?”
“Benar.” Toa-hoan meneruskan, “Jika bukan begitu, takkan ada orang seperti itu di dunia ini.”
“Kenapa bisa demikian?”
“Karena dia bermarga Giok (1).”
Koleksi Kang Zusi
Ma Ji-liong akhirnya teringat pada seseorang, “Apakah dia ada hubungannya dengan Giok-hujin
yang termasyur sejak 60 tahun lalu itu?”
Toa-hoan menjawab, “Dialah Giok-hujin. Dialah Giok-jiu Ling-long, Giok Ling-long.”
-----
(1) Giok = batu giok, kemala
Bab 15: Ling-long-giok-jiu Giok Ling-long
Mulai bab 15 ini, ceritanya berasal dari buku yang diterjemahkan oleh Gan K.H., yaitu Harkat
Pendekar. Kontributor: adis (dewira).
-------------------------------------------------------------------------------
Enam puluh tahun yang lalu, di dunia kangouw ada tiga pasang tangan manusia yang terkenal dan
dikagumi, yaitu Bu-ceng-thiat-jiu, Sin-tho-biau-jiu dan Ling-long-giok-jiu.
Thiat-jiu-bu-ceng (Tangan Besi Tidak Kenal Ampun), setiap beroperasi tidak ada korban yang
hidup meskipun hanya sekejap saja.
Biau-jiu-sin-tho (Maling Sakti Bertangan Lincah), barang apa saja yang tidak mungkin dicuri orang
lain, dengan mudah dapat diambilnya.
Giok-jiu-ling-long (Tangan Kumala Ahli Operasi), tidak ada orang tahu, sepasang tangan ini dapat
melakukan apa saja yang sebetulnya tidak masuk akal, kenyataannya ia justru dapat menciptakan
sesuatu yang aneh dan ganjil, namun nyata. Dalam jangka setengah jam, seseorang bisa dirubah
bentuk wajahnya menjadi orang lain oleh keprigelan kedua tangannya itu.
Ilmu tata rias dan ilmu operasi yang dikuasainya sedemikian bagus dan sempurna, kecuali Toa-sin-
thong Biau-hoat-thian-ong dari Persia, tiada orang kedua di Tionggoan yang dapat menandinginya.
---------------00000--------------------
Sekarang Ma Ji-liong paham, “Ji Ngo mau menyisir rambutnya karena hendak meminta bantuannya
memproses diriku menjadi Thio Eng-hoat, begitu?”
“Betul.”
“Kalian memilih tempat ini karena kaum persilatan tiada yang berkeliaran di sini?”
“Betul.”
“Para petugas itu pura-pura bisu, tuli, dan buta karena mereka memerlukan bantuan Ji Ngo, maka
mereka memberi kesempatan kepadanya?”
“Betul, memang demikian.”
“Aku difitnah sebagai pembunuh kejam, sudah kepepet, dan tidak bisa mungkir, maka kalian
berdaya upaya untuk menyelamatkan diriku?”
Koleksi Kang Zusi
“Tidak benar,” tukas Toa-hoan tegas, suaranya berat dan serius. “Ji Ngo percaya kepadamu,
prihatin akan nasibmu, aku pun mempercayai dirimu, kami yakin kau difitnah, dijadikan kambing
hitam. Kami juga sadar, watakmu angkuh, tidak gampang membujukmu merendahkan diri menjadi
majikan sebuah toko serba ada yang tiada artinya.”
Lama Ma Ji-liong menepekur tanpa suara. Darahnya mendidih, tenggorokannya tersumbat, agak
lama kemudian dia baru bertanya dengan serak, “Kenapa kau percaya kepadaku?”
“Seseorang pembunuh di kala buron, jiwa sendiri susah diselamatkan, mana mungkin mau
menyelamatkan jiwa orang lain yang terpendam di bawah salju, menolong seorang gadis jelek yang
hampir mati kaku kedinginan. Maka aku percaya di balik persoalan ini pasti ada lika-liku yang patut
diselidiki.”
Ma Ji-liong tidak bicara, perasaannya sukar dilukiskan dengan rangkaian kata.
Toa-hoan berkata pula, “Kau harus percaya, keadilan dan kebenaran masih tegak di dalam dunia,
kejahatan harus ditumpas, muslihat keji juga harus dibongkar, akan datang saatnya fitnah atas
dirimu akan terungkap, hal ini hanya soal waktu saja.” Perlahan ia menggenggam tangan Ma Ji-
liong, lalu menambahkan, “Yang penting kau yakin, demi membongkar kejahatan ini, sudilah kau
merendahkan derajatmu sementara.”
Ma Ji-liong masih termenung beberapa kejap, mendadak ia bertanya, “Di mana letak toko serba ada
itu?”
“Di sebuah gang sempit di kota sebelah barat, langgananmu adalah penduduk sekitarnya, mereka
adalah rakyat jelata dari kalangan sedang dan rendah, semua berhati baik dan sederhana, keluarga-
keluarga yang cukup untuk sesuap nasi setiap hari, penduduk di sana jarang mau mencampuri
urusan orang lain,” Toa-hoan menjelaskan, kemudian sambungnya lebih lanjut, “Pegawaimu she
Thio, orang lain memanggilnya Lo-thio, kadang ia mencuri satu dua cawan arak di kamarnya, tetapi
pegawai yang dapat dipercaya penuh.”
“Apakah ia tak curiga bila majikannya ganti orang lain?”
“Mata Thio-lausit sudah lamur, kupingnya juga agak tuli.”
“Umpama Lo-thio tidak mengenal perbedaanku, bagaimana dengan orang lain?”
“Orang lain?” Toa-hoan balas bertanya sambil tertawa geli. “Maksudmu bininya yang sakit-sakitan
itu?”
Ji-liong tertawa getir, tanyanya pula, “Orang macam apakah dia?”
Toa-hoan tertawa, katanya, “Sebetulnya kau sudah pernah melihat dan mengenalnya.”
“Aku pernah melihat dan mengenalnya? Kapan aku pernah melihatnya?”
“Barusan bukankah kau sudah melihatnya?”
Ma Ji-liong melenggong, “Jadi gadis yang hampir mati tadi adalah...... adalah......” mendadak Ji-
liong sadar salah omong, cepat ia menambahkan, “Apakah gadis tadi akan dijadikan isteri Thio
Eng-hoat?”
Koleksi Kang Zusi
“Sebetulnya bukan, tapi tak lama lagi akan diproses menjadi isteri Thio Eng-hoat, demikian pula
dirimu, nanti setelah dioperasi akan menjadi Thio Eng-hoat tulen.”
“Siapakah dia sebetulnya?”
Toa-hoan terpekur, agaknya sulit memberi penjelasan, sikapnya jelas tak ingin memberi keterangan.
Tapi Ma Ji-liong mendesak, “Orang macam apakah dia? Urusan sudah berlarut sejauh ini, kau
masih main rahasia terhadapku?”
Toa-hoan menarik napas panjang, katanya, “Ya, kalau aku masih main rahasia, rasanya memang
keterlaluan.”
Ma Ji-liong diam.
“Ia she Cia bernama Giok-lun, lengkapnya Cia Giok-lun,” demikian Toa-hoan menerangkan.
“Ya, aku sudah tahu.”
“Dia seorang perempuan.”
“Memangnya aku tidak bisa membedakan laki-laki atau perempuan?”
Toa-hoan tertawa getir, katanya, “Kau pasti tahu aku sengaja mengulur waktu. Terus terang saja,
aku tidak tahu betapa banyak urusan yang harus kuterangkan kepadamu.”
“Ya, berapa banyak yang akan kau beritahu kepadaku?”
Setelah termenung sejenak, Toa-hoan berkeputusan, “Baiklah, biar kujelaskan kepadamu. Tahun ini
dia berusia 19 tahun, mungkin belum pernah menyentuh atau disentuh laki-laki.”
“Apa betul berusia 19 tahun?”
“Memangnya kau kira dia sudah nenek-nenek?”
“Kalau betul berusia 19 tahun, padahal ilmu silatnya setinggi itu, tembok ditabraknya ambrol,
kekuatan sedahsyat itu, laki-laki berusia 91 tahun juga belum tentu mampu melakukannya!”
“Ilmu silatku tidak asor dibandingkan dia, apa kau kira aku sudah tua?”
Terkancing mulut Ma Ji-liong. Umpama dirinya goblok juga takkan berani mengatakan gadis jelek
ini sudah tua.
Toa-hoan berkata, “Ilmu silat tidak diyakinkan secara serampangan, tinggi rendahnya lwekang
seorang ahli silat tidak ada sangkut pautnya dengan usia dan besar kecilnya umur.”
“Aku mengerti.”
“Ilmu silatnya memang tinggi, para enghiong dan pendekar yang kau kenal di zaman ini, yakin
tidak genap sepuluh orang yang mampu mengalahkan dia. Ia punya seorang guru yang baik, guru
jempolan, lihai, sejak keluar dari rahim ibunya sudah belajar dan latihan silat.”
Koleksi Kang Zusi
“Siapakah gurunya?” tanya Ma Ji-liong.
“Aku hanya berjanji menjelaskan perihal pribadinya, bukan tentang gurunya.”
“Baiklah, aku tidak tanya gurunya.”
“Tabiat nona itu tidak baik, maklum nona pingitan yang disayang, dalam segala hal ingin menang
dan minta diladeni secara berlebihan, jika mendadak ia sadar dan tahu dirinya menjadi bini seorang
pemilik toko serba ada yang kecil di kampung jorok di pinggir kota, mungkin dia bisa jadi gila.”
“Celaka kalau gilanya kumat, pemilik toko serba ada itu mungkin bisa digorok lehernya. Hal ini
perlu kuperhatikan karena pemilik toko serba ada itu adalah diriku.”
Toa-hoan tertawa manis, katanya lembut, “Tentang hal itu tak perlu kuatir, dia tidak akan
menggorok lehermu.”
“Bagaimana kau tahu dia tidak akan berlaku kasar terhadapku?”
“Ingat, dia sedang sakit, makin lama penyakitnya makin parah hingga sepanjang hari rebah di
ranjang, berdiri pun tidak bisa.”
Jago silat kosen yang mampu menjebol tembok dengan langkah seenaknya, bagaimana mungkin
mendadak jatuh sakit? Ma Ji-liong bukan laki-laki yang suka rewel, tidak suka bertanya, hatinya
sudah membayangkan bagaimana datangnya penyakit itu. Kepandaian Toa-hoan cukup mampu
membuat seseorang jatuh sakit dan itu bukan pekerjaan yang sukar.
Ma Ji-ling berkata, “Kelihatannya dia tidak mirip bini seorang pemilik toko.”
“Saat ini tidak mirip, sebentar lagi akan persis, kutanggung dia akan berubah persis bentuk aslinya.”
“Apa betul Giok Ling-long punya kemampuan selihai itu?”
“Betapa besar kemahirannya, boleh kau buktikan sendiri.”
Ma Ji-liong menghela napas, katanya, “Sebetulnya aku sih tidak ingin melihatnya.”
“Bila dia sadar nanti, dirinya sudah rebah di ranjang dalam kamar besar yang terletak di belakang
toko serba ada itu.”
“Dan aku?”
“Sebagai suami, kau harus merawat dan menjaganya di pinggir ranjang, kalian adalah suami isteri
yang hidup rukun belasan tahun lamanya.”
Ji-liong menyengir kecut, katanya, “Wah, bisa geger dan dia mungkin akan mencaci maki diriku.”
“Sudah pasti dia akan ribut, kau harus bersikap lebih sayang dan prihatin karena kesehatan isterimu
makin buruk. Binimu itu she Ong bernama Kwi-ci. Sudah 18 tahun kalian menikah, tanpa
dikaruniai anak seorang pun. Apa pun yang ia katakan, keributan apa saja yang ia lakukan, kau
harus sabar, menjaga, dan meladeninya dengan penuh pengertian.”
Koleksi Kang Zusi
“Bila aku membandel, berkata bahwa ia adalah isteriku sejak 18 tahun lalu, ia pasti bingung dan
heran, bertanya-tanya dalam hati, siapa dia sebenarnya.”
“Syukur kau sudah mengerti.”
“Masih ada satu hal yang tidak kumengerti.”
“Coba jelaskan.”
“Aku tidak kenal siapa dia, tidak pernah bermusuhan, kenapa dia harus kuperlakukan demikian?”
“Karena kejadian ini amat berguna bagi dirimu, juga bermanfaat untuknya, dua pihak sama-sama
mendapatkan keuntungan. Kurasa hanya dengan cara begini kau bisa mencuci bersih fitnah itu,
membongkar muslihat keji ini,” sikap Toa-hoan menjadi serius, nada perkataannya tegas dan tulus.
“Aku tahu sebagai pemuda jumawa, perbuatan yang merugikan orang lain ini tak sudi kau lakukan,
kali ini anggaplah kau bekerja karena aku, demi diriku. Aku percaya padamu, maka paling sedikit
kau juga harus percaya kepadaku. Lakukan apa yang telah kami atur dan rencanakan ini.”
Ma Ji-liong tidak bicara lagi, dia memang jumawa, tidak mau berhutang budi kepada orang lain.
Tentang perbuatannya ini, setelah kejadian usai, apakah fitnah terhadap dirinya dapat dicuci bersih,
hakikatnya tidak terpikir lagi olehnya.
Apa yang dilakukan Ma Ji-liong biasanya memang bukan untuk kepentingan pribadinya. Umpama
ada orang bertanya kepadanya, “Orang macam apakah kau ini?” Jawabannya pasti berbeda dengan
sebelum Ji-liong mengalami musibah. Setiap orang yang pernah mengalami siksa derita dan
gemblengan hidup yang nyata, baru akan mengenal dirinya sendiri, maka ia bertanya, “Sekarang
apa yang harus kulakukan?”
“Kau harus minum. Sekarang akan kusuguh arak kepadamu,” Toa-hoan tertawa lebar. “Ji Ngo di
sini, kau juga di sini. Kalau kalian tidak diberi kesempatan minum sepuas-puasnya, bukankah aku
ini tidak tahu diri?”
---------------000000------------
Di belakang kedua deret rumah itu terdapat rumah besar tunggal yang letaknya agak jauh.
Wuwungan rumah berbentuk serong, tembok berwarna kelabu gelap. Siapa pun yang berada di
tempat ini akan merasa seram dan bergidik.
Dilihat dari luar, dari bentuknya, orang akan membayangkan bahwa rumah besar ini adalah gudang
mayat. Di dalam gedung inilah para petugas membedah mayat yang terbunuh, maka orang akan
membayangkan di sana terdapat berbagai jenis alat dan perkakas, berbagai jenis pisau, juga ada
ganco yang karatan, jarum, benang, dan masih banyak lagi benda-benda yang tak terpikir oleh
orang.
Namun bila sudah masuk dan berada di dalam rumah itu, jalan pikiran akan berbalik berubah.
Di luar dugaan, rumah ini amat bersih, luas dan bercahaya, dinding bagian dalam putih bersih, jelas
tidak lama baru dikapur. Meja dilembari taplak putih. Di meja ini tersedia enam menu masakan dan
enam guci arak ukuran sedang. Empat guci diantaranya tersegel rapat, isinya adalah Sian-yang, dua
guci yang lain adalah Li-ji-ang yang beratnya dua puluh kati.
Orang biasa bila melihat arak sebanyak itu, belum minum pun sudah mabuk.
Koleksi Kang Zusi
Ma Ji-liong bukan orang biasa, terutama dalam hal minum meminum. Setiap melihat arak hatinya
amat getol. Minum dan mabuk-mabukan memang bukan perbuatan baik, tapi berhadapan dengan Ji
Ngo, kalau tidak minum, lebih baik menjahit mulut sendiri saja. Kali ini Ma Ji-liong akan membalas
meloloh Ji Ngo hingga mabuk, ia sudah berkata dalam hati akan membatasi minum.
Ji Ngo sedang mengawasinya dengan senyum lebar, seolah sudah dapat menerka apa yang terpikir
di dalam benaknya.
“Aku tahu kau gemar minum Li-ji-ang, sayang di tempat ini sukar memperoleh Li-ji-ang lebih dari
dua guci.”
“Sian-yang juga arak bagus.”
“Mari kita habiskan dulu Li-ji-ang baru dilanjutkan dengan Sian-yang,” Ji Ngo tampak gembira,
tawanya lebar. “Satu orang satu guci, setelah habis satu guci, minum arak lain juga akan sama.”
“Satu orang satu guci,” ujar Ma Ji-liong ke arah Toa-hoan, “Dia bagaimana?”
“Hari ini aku tidak minum,” Toa-hoan berkata dengan tertawa, “Giok-toasiocia memberi tahu
kepadaku, perempuan kalau minum banyak bukan saja lekas tua, juga mudah ditipu orang.”
Ma Ji-liong menghela napas, ia maklum apa yang dipikir tadi tiada harapan dan tak mungkin
terlaksana.
------------------00000-------------
Giok-toasiocia bukan lain adalah Giok Ling-long.
Giok Ling-long berda di rumah besar itu, duduk di depan sebuah meja. Meja besar dan panjang. Di
atas meja menggeletak sebuah mainan jade dan sebuah kotak perak, belasan kaleng bundar yang
terbuat dari perak murni. Di pinggir meja terdapat sebuah baskom besar yang juga terbuat dari
perak.
Dalam baskom berisi air hangat, Giok Ling-long menurunkan tangan ke dalam baskom untuk
mengukur suhu panas air, apakah sesuai dengan kebutuhan Toa-siocia yang satu ini. Meski sudah
lanjut usia, sudah patut menjadi nenek, tapi gaya dan gerak-geriknya tidak kelihatan tua. Apalagi
dipandang dari belakang, gerak kaki maupun tangan, kepala maupun sekujur badannya, demikian
pula kerlingan matanya tetap terlihat muda dan manis serta luwes. Bila lebih diperhatikan, maka
akan terasa dia belum tua, bukan nenek peyot. Ya, harus maklum karena Giok ling-long tidak
pernah merasa dirinya tua.
“Silakan minum sepuasnya, aku akan mulai bekerja,” demikian kata Giok Ling-long dengan
tertawa, “Aku tidak pernah minum arak, tapi tidak pernah pula melarang orang minum arak. Aku
malah senang melihat orang minum.”
Toa-hoan tertawa, katanya, “Biasanya aku pun demikian, melihat orang minum jauh lebih nikmat
daripada aku sendiri yang minum.”
Giok Ling-long sependapat, katanya, “Ada orang mabuk yang mengoceh tidak karuan, membuat
ribut dan brengsek, tapi ada juga orang mabuk yang menjadi patung malah, sepatah kata pun tidak
mau bicara. Ada juga orang mabuk yang menangis, ada yang tertawa ngakak, aku jadi geli dan
Koleksi Kang Zusi
senang melihat tingkah lakunya yang lucu.” Mendadak dia bertanya kepada Ma Ji-liong,
“Bagaimana keadaanmu setelah mabuk?”
“Aku tidak tahu,” Ma Ji-liong menjawab. Memang tiada orang tahu bagaimana keadaan diri sendiri
waktu mabuk. Seseorang bila mabuk pikirannya seperti meninggalkan badan. Setelah sadar akan
merasa lidahnya terbakar, tenggorokannya kering, kepala pusing. Persoalan apa pun dilupakan,
persoalan yang harus diukir dalam sanubari dilupakan, sebaliknya persoalan yang harus dilupakan
justru terukir di dalam sanubarinya.
Giok Ling-long tertawa, katanya, “Sejak muda sampai setua ini usiaku, hanya pernah kulihat dua
pria yang betul-betul cakap dan tampan. Kau adalah salah satu diantaranya. Aku percaya umpama
sudah mabuk tampangmu msih kelihatan bagus.”
Ji Ngo bergelak tawa, serunya, “Bagaimana keadaannya setelah mabuk, sebentar dapat kau saksikan
sendiri.”
Kali ini Ma Ji-liong bertahan lebih lama baru mulai sinting. Setelah habis tiga guci baru betul-betul
mabuk. Sambil minum ia memperhatikan gerak-gerik Giok Ling-long.
Setelah merendam sepasang tangannya di air panas dalam baskom, lalu diambilnya handuk kecil
untuk mengeringkan telapak tangannya. Dari sebuah kotak perak ia mengeluarkan sebilah pisau
lengkung kecil lalu mulai membersihkan kuku jari.
Apa pula isi peti perak itu?
Setelah membersihkan kuku, dari tujuh delapan kaleng yang berbeda-beda di atas meja itu, ia
menuang tujuh delapan jenis obat yang berbeda warna. Ada puyer, ada cairan seperti minyak, ada
kuning dan kelabu, ada juga yang berbuih biru. Tujuh delapan bahan obat yang berbeda itu ia tuang
ke dalam baskom yang lebih kecil lalu diaduk dengan sendok perak.
Ma Ji-liong tahu ramuan obat itu merupakan persiapan pertama untuk mengubah bentuk wajah
orang. Melakukan kerja apa pun kalau sebelumnya sudah dipersiapkan secara teliti dan baik, buah
karyanya tentu amat bermutu.
Setelah tiga guci arak masuk ke perut Ma Ji-liong, pikirannya mulai kabur, “Giok Ling-long pandai
merias wajah orang, yang jelek menjadi cantik, yang tua menjadi muda demikian pula sebaliknya.
Kenapa dia tidak merias wajah sendiri? Mengubah dirinya menjadi nona jelita?”
Seperti dapat meraba jalan pikiran Ma Ji-liong saja, Giok Ling-long berkata, “Aku hanya bekerja
untuk orang lain, tak pernah bekerja untuk diriku sendiri.” Sembari tertawa ia melanjutkan,
“Sebabnya, umpama aku berubah menjadi muda, katakanlah berhasil menipu orang lain, tetap tidak
bisa menipu diriku sendiri.” Suaranya menjadi tawar, lalu menyambung dengan suara keras, “Kerja
untuk membohongi orang lain bisa kukerjakan, menipu diri sendiri aku emoh melakukannya.”
Sembari bicara tangannya merogoh peti perak. Ia mengeluarkan beberapa jenis alat dan perkakas
yang semuanya terbuat dari perak. Ada gunting, pisau, obeng, dan sekop kecil, ada juga gergaji
mini.
Untuk apa ia mempersiapkan alat-alat itu?
Kalau Ji-liong belum mabuk, masih segar bugar, melihat perkakas yang dipersiapkan untuk
mengoperasi dirinya, mungkin dia akan cepat-cepat kabur alias angkat langkah seribu. Sayang
Koleksi Kang Zusi
badannya lunglai oleh pengaruh arak yang ada di perutnya. Keadaan Ma Ji-liong sudah hampir
mabuk. Satu kejadian yang masih sempat terlintas dalam benaknya adalah jari-jari Giok Ling-long
meraba, memijat, dan mengelus wajahnya. Tangan orang terasa halus, dingin, gerakannya lincah
lagi lembut.
Bab 16: Toko Serba Ada
Bentuk rumah itu terlalu rendah, lelaki bertubuh tinggi kalau mengulur tangan bisa menjakau langit-
langit rumah. Kapur dinding juga sudah luntur, di dinding tengah yang menghadap pintu luar
tergantung sebuah papan ukiran yang menggambarkan Kwan Kong berduduk sambil membaca
buku Jun-jiu. Di pinggirnya tergantung kertas panjang yang memuat tata tertib kehidupan keluarga
menurut tradisi kuno yang ditulis Cu-hucu. Di sisi lain adalah tulisan berisi petuah bagi manusia
untuk hidup rukun, jujur, dan bajik, serta bertakwa kepada Thian. Gaya tulisannya amat kuat dan
indah dengan model kuno lagi, merupakan tulisan yang tinggi nilainya.
Rumah pendek itu hanya ada satu jendela dan satu pintu. Di pintu dipasang kain tirai biru yang
sudah luntur warnanya. Sebuah meja segi delapan terbuat dari kayu merah kelihatan sudah tua dan
kotor ternyata masih berguna dan diletakkan di seberang pintu.
Di atas meja ditaruh sebuah poci teh yang mulutnya sudah gumpil separuh, tiga cawan kecil berjajar
di depan poci. Di sebelah atas bagian belakang meja terdapat sebuah altar pemujaan yang masih
kelihatan rapi dan terpelihara--yang dipuja bukan Kwan-te-kun, tetapi Koan-im Hudco yang
membopong orok kecil gendut dan mungil.
Di pojok kamar bertumpuk tiga peti kayu. Di pojok lain ada sebuah meja rias yang kelihatannya
tidak terpakai karena berdebu, kacanya kotor dan buram, sisir yang terbuat dari kayu juga sudah
patah sebagian besar.
Kecuali itu hanya ada sebuah ranjang. Ranjang besar terbuat dari kayu berukir dengan empat batang
galah di keempat kakinya sebagai penyangga kelabu. Di atas ranjang tempat tidur terdapat seorang
perempuan--tubuhnya ditutup tiga lapis selimut tebal yang terbuat dari kapas.
Rambut perempuan ini kusut masai. Mukanya kuning pucat. Kelihatannya amat kuyu lagi kurus dan
lemas. Kalau sedang tidur terdengar mulutnya merintih-rintih.
Udara dalam rumah berbau obat yang beraroma tebal. Di luar ada seorang perempuan bermulut
tajam dengan suaranya yang melengking sedang mengomel panjang pendek. Katanya telur yang
dijual oleh toko ini kecil-kecil, demikian pula minyak goreng yang dia beli kemarin bercampur air,
garam juga lebih mahal dari yang ia beli di pasar.
----------------00000------------------
Waktu Ma Ji-liong terjaga dari pulasnya, ia mendapatkan dirinya berada di tempat itu. Semula ia
mengira dirinya sedang bermimpi, kecuali bermimpi orang seperti dirinya mana mungkin berada di
tempat seperti itu. Untungnya, meski pengaruh arak belum hilang sepenuhnya, kepalanya juga
masih pusing, namun pikirannya sudah segar. Lekas sekali ia maklum apa yang terjadi dan di mana
sekarang dirinya berada.
Reaksi pertama yang dilakukan Ma Ji-liong setelah sadar adalah melompat berdiri dari kursi malas
di mana barusan ia tertidur lelap. Ia bergegas menghampiri meja rias serta membersihkan kaca
dengan lengan bajunya. Ji-liong merasakan jari jemarinya dinging dan gemetar.
Koleksi Kang Zusi
Bagaimana hasil operasi Giok Ling-long atas mukanya? Lumrah kalau Ji-liong ingin lekas tahu
berubah macam apa wajahnya sekarang.
Yang terbayang dalam cermin buram itu bukan lagi wajah aslinya yang dulu, tetapi wajah Thio
Eng-hoat seperti yang pernah ia lihat di gambar itu. Ma Ji-liong mengucek-kucek matanya,
akhirnya ia yakin bayangan dalam cermin memang betul adalah wajah Thio Eng-hoat--bukan wajah
Ma Ji-liong lagi.
Seseorang bercermin di depan kaca, wajah yang terbayang di cermin ternyata wajah orang lain,
bagaimanakah perasaan hatinya? Bagi yang belum pernah mengalami kejadian seperti ini mimpi
pun takkan pernah membayangkan apa yang terkandung di dalam hatinya. Dalam hal ini jarang Ma
Ji-liong mengagulkan dir, tetapi kenyataannya memang demikian--siapa pun mengakui bahwa Ma
Ji-liong adalah seorang pemuda berwajah tampan. Entah mereka yang membenci dirinya atau
merasa dengki dan iri karena kalah tampan dan gagah, namun mereka harus bertekuk lutut
menghadapi kenyataan yang tidak bisa dipungkiri. Dalam keadaan seperti ini mau tidak mau Ji-
liong bertanya-tanya dalam hati, “Kelak apakah wajahku bisa dipulihkan seperti semula?”
Sudah tentu Ji-liong tidak bisa menjawab pertanyaan yang membuatnya khawatir. Hatinya gregetan
dan gegetun setengah mati karena kenapa sebelum ini tidak bertanya langsung kepada Toa-hoan
atau Giok Ling-long.
--------------00000----------------
Suara ribut di luar sudah tak terdengar. Mungkin perempuan cerewet itu sudah pulang. Sementara
itu perempuan yang tidur di ranjang masih terlelap dalam mimpi. Besar rasa ingin tahu Ma Ji-liong.
Ia ingin melihat wajah perempuan yang tidur di atas ranjang. Begitu berdiri di pinggir ranjang,
seketika ia berjingkat mundur saking kagetnya.
Apa betul perempuan bermuka pucat dan kuning, berbadan kurus dan kuyu tanpa cahaya sedikitpun
ini, betul adalah gadis cantik rupawan bertubuh montok padat dan semampai yang pernah diintipnya
di kamar mayat di balaikota waktu itu?
Ma Ji-liong tahu bahwa dirinya sudah divermak sedemikian rupa, namun tak urung hatinya masih
kaget dan takut.
Kalau perempuan ini bangun nanti, mendadak tahu dirinya tidur di ranjang dan di tempat asing,
tahu pula dirinya sudah berubah rupa, entah apa yang akan dilakukannya.
Ma Ji-liong mulai bersimpati terhadapnya.
--------------00000-------------
Kini Thi Eng-hoat yang sau ini sudah bertemu dengan dirinya sendiri, melihat keadaan rumah
tinggalnya, dan menyaksikan isterinya yang sakit-sakitan di ranjang.
Toko serba ada macam apa pula toko miliknya ini? Orang macam apa pula Thio-lausit--pegawainya
yang jujur dan setia itu? Ji-liong ingin melihat sendiri pembantunya itu.
Dinamakan toko serba ada karena toko ini menjual dan menyediakan bahan sandang-pangan.
Dalam toko penuh berbagai jenis barang, dari keperluan dapur sampai keperluan sehari-hari. Ada
minyak, garam, kecap, cuka, beras, gula, telur ayam, telur bebek, telur asin, udang kering, permen,
sabun, jarum, benang, pisau, gunting, paku, kertas, alat-alat tulis juga lengkap. Setiap bahan yang
Koleksi Kang Zusi
dibutuhkan untuk kehidupan keluarga dapat dibeli di toko serba ada ini. Di atas pintu rumah
tergantung sebuah papan merk yang dihiasi empat huruf gaya tegak 'Thio-ki-jay-hwe'.
Di depan pintu terdapat sebuah gang--jalan kampung yang tidak begitu lebar. Bila angin menghebus
kencang, debu dan pasir berterbangan. Bila datang hujan, jalanan menjadi becek. Para tetangga
kanan kiri adalah keluarga miskin. Anak-anak ingusan tanpa pakaian ataupun kalau berpakaian juga
tidak genah--tidak lengkap, berkeliaran di jalan, berkelahi, menangis, dan ribut. Kotoran ayam,
bebek, anjing, dan kucing ada di mana-mana. Di depan setiap rumah sepanjang gang sempit itu
bergantungan pakaian orok atau popok bayi dan baju orang tua yang dijemur matahari.
Di tempat seperti itu, dalam lingkungan keluarga yang serba kurang, kecuali menimang anak, boleh
dikata tiada kerja lain untuk mengisi waktu dan menghibur kehidupan ini.
Para enghiong atau orang gagah yang berkecimpung di dunia persilatan pasti tak akan sudi datang
ke tempat sejorok ini.
Mimpi pun M Ji-liong tak akan menyangka dirinya bakal berubah begini nasibnya--menjadi juragan
sebuah toko kecil di sebuah kampung miskin.
----------00000------------
Thio-lausit bertubuh pendek kurus. Gerak-geriknya selambat babi hamil yang kurang makan. Wajah
bulat dengan sepasang mata yang selalu mengantuk, seperti tidak pernah tidur pulas. Hidungnya
menonjol merah seperti terong.
Terhadap taoke atau majikannya, sikap Thio-lausit tidak sopan, tidak mau menggubrisnya, kalau
tidak ditanya tidak akan bicara, menjawab juga hanya seperlunya saja, tingkah lakunya kaku, segan
bicara karena selalu mengantuk. Sewaktu Ma Ji-liong beranjak keluar, jangan kan menyapa, melirik
pun ia malas.
Maklum, di toko serba ada yang serba kotor dan jorok begini, memangnya kenapa kalau kau adalah
majikan dan aku hanya kuli? Bagaimanakah tata krama sepantasnya? Yang pasti majikan atau kuli
sama-sama mencari sesuap nasi. Kalau bisa makan saja sudah cukup, kenapa pula harus banyak
peradatan membedakan tinggi rendah segala?
Setelah berputar-putar dalam toko atau jelasnya mengadakan pemeriksaan ala kadarnya, Ma Ji-liong
malah merasa puas. Seandainya Thio-lausit itu cerewet, suka menjilat majikan umpamanya, justru
dirinya akan kikuk, takkan lama hidup begini.
Kemanakah Thio Eng-hoat dan bininya--pemilik asli toko serba ada ini? Mungkin Ji Ngo sudah
mengatur hidup mereka secara rapi dan baik. Hidup mereka pasti akan lebih baik, tenteram, dan
bahagia.
Maka Ma Ji-liong bertanya-tanya dalam hati, “Hidup dalam keadaan seperti ini, berapa lama aku
bisa bertahan di sini?”
--------------------00000-----------------
Pembeli datang, ternyata seorang nyonya muda yang bunting tua membeli satu kilo gula merah.
Koleksi Kang Zusi
Ma Ji-liong sedang memperhatikan keadaan di luar sambil menggendong tangan ketika mendadak
ia berjingkat kaget oleh jeritan yang memilukan. Walaupun suaranya tidak keras, tetapi selama
hidup belum pernah Ma Ji-liong mendengar jeritan gugup, panik, dan ketakutan seperti itu.
Ternyata Cia Giok-lun sudah terjaga dari pulasnya. Ia tentu telah melihat perubahan yang terjadi
pada dirinya--perubahan yang menakutkan.
Hampir saja Ma Ji-liong tidak berani masuk menengoknya.
Didengarnya nyonya muda yang besar perutnya itu menggerutu sambil menggeleng kepala,
“Penyakit Laupan-nio (isteri juragan) kelihatannya makin berat saja.”
Ma Ji-liong hanya tersenyum getir. Lekas ia menyingkap tirai dan menyelinap masuk. Tampak Cia
Giok-lun sedang meronta bangun, sorot matanya tampak kaget, gugup, juga ngeri. Sukar bagi Ma
Ji-liong melupakan mimik wajahnya waktu itu--gusar, panik, dan takut sehingga suaranya serak.
Begitu Ji-liong masuk ia melolot dan menatap dengan pandangan curiga, “Siapa kau? Tempat apa
ini? Kenapa aku ada di sini?”
“Ini kan rumahmu, sudah delapan belas tahun kau tinggal di sini. Aku kan suamimu, masa suami
sendiri sudah tidak dikenal lagi?” Ma Ji-liong sendiri merasa sewaktu bicara dirinya seperti musang
mencuri ayam yang ketahuan oleh pemiliknya. Tapi ia harus bicara dan menanggapinya dengan
wajar, “Kulihat penyakitmu makin berat, biar aku mencari tabib untuk memeriksa penyakitmu.”
Cia Giok-lun mengawasinya dengan mata terbelak. Tidak ada orang yang bisa melukiskan
bagaimana mimik matanya. Bagaimana perasaannya saat itu.
Nyonya muda yang perutnya besar itu mendadak melongok ke dalam sambil menyingkap tirai.
Katanya sambil menghela napas, “Mungkin suhu badan Laupan-nio amat tinggi, maka mengoceh
tak keruan. Seduhkan wedang jahe dicampur gula merah dan lekas diminumkan!”
Belum habis ia berbicara, mendadak Cia Giok-lun meraih sebuah mangkok yang terletak di atas
meja kecil di pinggir ranjang. Sekuat tenaga ia timpukkan ke sana. Mungkin karena sakitnya berat,
tenaga lemah, mangkok sekecil itu tidak kuat ia lemparkan. Keruan saja ia lebih panik--lebih takut
hingga sekujur badannya gemetar. Padahal ia tahu betapa tinggi ilmu silatnya--sampai dimana taraf
lwekang yang ia yakini, namun sekarang kemanakah ilmu silat yang dimilikinya selama ini?
Sambil menghela napas dan menggeleng kepala, nyonya muda yang hamil tua itu mengeret mundur
lalu beranjak pulang. Dalam jangka waktu setengah jam, para tetangga sudah tahu dan mendenger
berita bahwa sakit bini Thio-laupan (juragan Thio) semakin parah aja--mungkin sudah menjadi gila.
Cia Giok-lun memang hampir gila. Waktu melihat tangannya sendiri, tangan dengan jari-jari putih
halus terpelihara itu kini telah berubah menjadi kering, kusut, dan kasar seperti cakar ayam.
Bagaimana dengan anggota badannya yang lain?
Perlahan ia masukkan tangan ke dalam selimut. Sejenak ia celingukan, dilihatnya cermin tembaga
di atas meja rias. Sekuat tenaga ia meronta miring lalu merangkak ke pinggir ranjang mendekati
cermin itu. Begitu melihat wajahnya sendiri di depan cermin, seketika ia menjerit lalu semaput.
Perlahan-lahan Ma Ji-liong berjongkok membersihkan pecahan mangkok yang hancur di lantai--
kalau sebagai Ma Ji-liong, ia segan melakukan hal seperti ini. Dia menampar muka dan mulutnya
Koleksi Kang Zusi
sendiri delapan belas kali di hadapan bininya lalu membeberkan persoalan sebenarnya kepada nona
Cia yang terpaksa ikut berkorban karena dirinya.
Tapi ia sadar tidak boleh mengingkari kepercayaan Toa-hoan kepada dirinya. Toa-hoan percaya
kepadanya, sudah sepantasnya ia juga percaya kepada Toa-hoan. Bahwa Toa-hoan sampai berbuat
demikian tentu punya makna yang mendalam, tujuan yang baik, juga berguna untuk semua pihak.
Ma Ji-liong menarik napas panjang. Perlahan ia melangkah ke pintu, melongok keluar lalu memberi
pesan kepada pegawainya, “Hari ini kita tutup toko lebih dini.”
Bab 17: Tidak Ada Yang Tidak Dilakukan
Malam itu Ma Ji-liong hanya makan nasi dengan lauk ikan goreng lombok, satu macam menu saja,
ada satu mangkuk kuah tulang daging babi juga tersedia di meja, semangkuk kuah ini untuk bininya
yang sakit.
Bininya digotong ke atas ranjang dan diselimuti, sudah sadar, tapi rebah diam tidak bergerak,
matanya melotot mengawasi langit-langit rumah.
Habis makan Ma Ji-liong merasa iseng, ia duduk santai di kursi malas yang terbuat dari rotan di sisi
ranjang. Otaknya memikirkan banyak persoalan, mengenang masa lalu, segala kejadian dan
perbuatan dirinya di masa lalu yang patut dibanggakan.
Apa betul perbuatannya dulu patut ia lakukan? Pantaskan diagulkan dan membuatnya bangga?
Manusia dengan manusia, kenapa terdapat jurang pemisah sebesar itu? Kenapa ada sementara orang
hidup dalam kemelaratan? Kenapa ada juga orang yang hidup berkelebihan?
Ji-liong sadar, jika bisa memperpendek jarak antara manusia dengan manusia itu, barulah patut
berbangga diri. Di sinilah letak kemajuan Ma Ji-liong, setelah merasakan, bisa meresapi, jika
sekarang ia masih hidup dalam lingkungan lama, pasti tidak pernah Ma Ji-liong berpikir sejauh dan
seluas ini.
Dalam mengarungi hidup, jika manusia mengalami proses hidup yang tidak menyenangkan,
menderita pukulan lahir batin, bukankah kejadian itu langsung membawa manfaat bagi dirinya?
Toa-hoan berbuat demikian terhadap Cia Giok-lun, apakah lantaran sebab itu juga? Teringat akan
hal ini, perasaan Ma Ji-liong menjadi lega malah, gejolak hatinya jauh lebih tenteram.
Ia yakin, meski belum pernah mengenal pribadi gadis ini, Cia Giok-lun pasti seorang gadis yang
suka berbangga hati, gadis ini memang mempunyai nilai tinggi untuk membanggakan diri.
Entah sejak kapan Cia Giok-lun mengawasi dirinya, lama menatapnya. “Coba ulangi sekali lagi,”
demikian pintanya dengan nada datar.
“Apa yang harus kuulangi?” tanya Ma Ji-liong.
“Katakan, kau siapa dan aku siapa?”
“Aku bernama Thio Eng-hoat, kau bernama Ong Kwi-ci.”
“Kita adalah suami isteri?”
Koleksi Kang Zusi
“Ya, suami isteri sejak 18 tahun yang lalu, sejak menikah kita tinggal di sini membuka toko serba
ada, dagang kecil-kecilan hingga sebesar ini, lumayan. Para tetangga di kampung ini siapa yang
tidak kenal kau dan aku?” Ma Ji-liong menghela napas, lalu berkata pula, “Mungkin kau merasa
kehidupan ini serba kekurangan, sudah bosan dan sebal tinggal di rumah bobrok ini, maka ingin
melupakan pengalaman hidup masa lampau.” Ma Ji-liong berganti nada, “Sebenarnya kehidupan
begini juga ada baiknya, paling sedikit kita hidup tenteram dan berkecukupan meski sederhana,
hanya sayang kita tidak punya anak.”
Cia Giok-lun mendengar sambil menatapnya lekat. “Dengarkan,” katanya kemudian dengan nada
tegas. “Aku tidak tahu dan tidak kenal kau siapa, juga tidak tahu apa yang telah terjadi atas diriku,
tapi aku yakin kejadian ini kau lakukan karena disuap atau diperalat orang lain untuk membuatku
celaka begini.”
“Siapa yang membuatmu celaka? Kenapa membuatmu celaka?”
“Apa betul kau tidak tahu siapa diriku yang sebenarnya?”
Ma Ji-liong memang tidak tahu, tapi dia bertanya, “Kau kira kau ini siapa?”
Cia Giok-lun menyeringai dingin, katanya, “Kalau kau tahu siapa diriku, kau bisa mati saking
kagetnya.” Nadanya tinggi mengandung rasa bangga dan jumawa, “Aku putri malaikat, tiada
perempuan di dunia ini yang bisa menandingi aku, setiap saat aku bisa membuatmu kaya raya, tapi
juga bisa membunuhmu. Oleh karena itu, lekas kau antar aku pulang, kalau tidak akan datang suatu
hari aku akan mengiris tubuhmu untuk dimakan anjing.”
Gadis ini memang jumawa, terlalu membanggakan diri, tidak pandang sebelah mata kepada orang
lain, jiwa raga orang lain tidak berharga sama sekali, kecuali dirinya, jiwa siapa pun tidak ada
nilainya. Perempuan galak dan bawel seperti ini memang pantas dihajar adat, biar merasakan sedikit
derita, biar kapok, kejadian ini akan membawa manfaat bagi dirinya.
Ji-liong menghela napas, katanya, “Penyakitmu kumat lagi, lekas tidur saja.” Setelah melontarkan
ucapannya, baru Ji-liong sadar, masalah tidur menjadi persoalan bagi dirinya. Di dalam rumah itu
hanya ada satu ranjang, di mana ia harus tidur malam ini?
Tentu Cia Giok-lun juga memikirkan hal ini, mendadak ia berteriak, “Awas, berani kau tidur di sini,
berani kau menyentuh aku, aku akan.... aku akan.....” Ia tak meneruskan omongannya.
Bahwasanya ia takkan berbuat apa pun terhadap gadis yang berdiri pun tidak kuat, kalau Ma Ji-
liong mau berbuat kasar dan main kekerasan, jelas gadis ini takkan mampu melawan.
Untung Ma Ji-liong tidak berbuat apa-apa terhadapnya. Ma Ji-liong memang pemuda yang tulus
lagi bijak, tidak sia-sia namanya menjulang tinggi dalam percaturan dunia persilatan, hakikat
seorang pendekar memang melekat pada dirinya.
Ma Ji-liong adalah laki-laki sejati, sehat lagi kuat dan normal, pernah melihat wajah dan tubuhnya
yang polos semampai, tahu bahwa gadis ini rupawan lagi jelita. Dalam kamar yang remang-remang,
di atas ranjang yang tertutup kain mori...... Pandangan sekilas itu terukir dalam relung hatinya,
seumur hidup takkan terlupakan. Tapi Ma Ji-liong adalah Ma Ji-liong, pendekar muda, harkat
pendekar melekat pada pribadinya, maka Ma Ji-liong tidak berbuat apa-apa, tindakan maupun
perkataan.
Koleksi Kang Zusi
Walau jalan pikirannya sudah berubah, sekarang Ma Ji-liong sadar dirinya tidak perlu
membanggakan diri seperti dulu, tapi ada sementara perbuatan yang tak mungkin mau ia lakukan,
umpama memaksa dengan mengancam akan membunuhnya juga pantang ia lakukan. Hal ini saja
patut membuat dirinya bangga.
----------------------------ooo00ooo--------------------------
Hidup ini berkembang, berlalu dari hari ke hari, dari minggu menjadi bulan, lambat laun Cia Giok-
lun menjadi betah dan tenang, meski tanpa kerja dan hanya berbaring saja di atas ranjang dengan
tenteram dan damai, hanya tidak bisa bergerak atau turun dari ranjang. Maklum, bila seorang
menghadapi kenyataan apa boleh buat, siapa pun akan menerima nasib secara penuh kesabaran,
penuh pengertian. Memangnya mau apa kalau tidak sabar, apa yang bisa dilakukan, umpama
menjadi gila, ribut dan bergulingan di tanah, kecuali nekad menumbukkan kepala ke tembok untuk
bunuh diri.
Lalu bagaimana dengan Ma Ji-liong selama ini?
Tata kehidupan ini jelas bertolak belakang dibanding kehidupannya sebagai anak hartawan, sebagai
pendekar muda yang gagah terkenal, kini hidup terpencil dalam sebuah rumah, setiap hari
mendampingi wanita yang tidak bisa berbuat apa-apa, malah harus meladeninya dengan penuh
kesabaran, putus hubungan dengan orang-orang yang ia kenal, dengan keluarganya. Orang-orang
yang dulu ia pandang rendah dan bodoh serta miskin, sekarang ia temukan gambaran lain di balik
kemiskinan mereka yang bijak lagi sederhana itu.
Datang saatnya ia juga merasa risau lagi bebal, bosan dan murung, ingin keluar mencari berita,
pergunjingan apa yang telah terjadi di Kangouw selama ini, ingin pergi mencari Toa-hoan dan Ji
Ngo. Sayang dalam keadaan dirinya sekarang, meski keinginan teramat besar dan susah dibendung,
namun orang lain tidak mengizinkan ia berbuat demikian. Karena ia juga sadar bahwa dirinya
sekarang adalah Thio Eng-hoat, walau bukan Thio Eng-hoat tulen.
------------------------ooo00ooo--------------------------
Beberapa hari ini, secara beruntun menjelang maghrib, tokonya kedatangan seorang pembeli. Orang
yang membuka toko jamak kalau kedatangan pembeli yang membutuhkan sesuatu untuk keperluan
hidup sehari-hari. Tapi lain dengan pembeli yang satu ini, pembeli aneh, karena setiap datang selalu
membeli dua puluh butir telur ayam, dua kilo kertas merang, dua kilo garam dan sekati arak beras
merah.
Adalah lumrah bila orang punya duit setiap hari makan telur, tapi jarang ada orang yang makan dua
puluh butir telur setiap hari, untuk apa pula dua kilo kertas merang dan garam, siapa pun pasti akan
menaruh perhatian dan prasangka. Kejadian ini memang aneh dan mencurigakan, tapi pembeli itu
justru tidak merasa aneh. Telur ayam, kertas merang, garam dan arak adalah barang biasa untuk
keperluan sehari-hari. Pembeli itu seorang laki-laki berperawakan tinggi agak kurus dengan muka
legam, tak ubahnya lelaki umumnya, hanya sikap dan tindak-tanduknya saja yang kelihatan agak
gelisah, gugup dan keletihan.
Hingga pada suatu hari, tepatnya pada hari kedelapan, kebetulan nyonya muda yang hamil tua juga
melihatnya di depan toko. Setelah pembeli aneh itu pergi, baru nyonya muda hamil tua itu bertanya
dengan setengah berbisik kepada Ma Ji-liong, “Siapakah orang ini? Belum pernah aku melihatnya?”
Sejak itu baru Ma Ji-liong menaruh perhatian.
Koleksi Kang Zusi
Nyonya muda itu dilahirkan dan dibesarkan di kampung ini, setiap penduduk di kampung ini ia
kenal dengan baik. Dasar perempuan yang satu ini memang cerewet, maka ia bertanya lagi dengan
nada tegas, “Eh, siapakah dia? Laki-laki ini pasti bukan penduduk asli, dulu pasti tak pernah datang
ke mari. Entah kalau penduduk baru yang pindah belum lama ini.”
-------------------------ooo00ooo-------------------------
Diam-diam Ma Ji-liong menaruh perhatian terhadap pembeli yang misterius ini, memperhatikan
secara seksama. Sebetulnya Ma Ji-liong tidak berpengalaman dan tidak mahir membuat
penyelidikan, apalagi mencari tahu asal-usul orang lain. Tuan muda yang dilahirkan dari keluarga
besar dan kaya raya seperti dirinya, biasanya jarang dan bukan kegemarannya untuk mencari tahu
hal-ihwal orang lain. Kalau memerlukan suatu keterangan, cukup memberi perintah pada orang
untuk mencari tahu, kapan pula ia pernah turun tangan sendiri. Tapi dari pengamatan yang cermat,
apalagi setelah beberapa bulan hidup prihatin, Ji-liong mendapatkan beberapa titik persoalan yang
ganjil pada laki-laki langganannya yang baru ini.
Perawakan laki-laki itu kurus tinggi, tapi tangan dan kakinya luar biasa kasar dan kuat. Waktu
mengambil barang dan mengulurkan uang, selalu bergerak ragu-ragu tetapi cepat dan tangkas,
seperti ingin menyembunyikan tangannya yang panjang dan besar, maksudnya supaya orang tidak
memperhatikan tangannya, tapi justru tingkah-lakunya yang takut-takut ini malah menarik perhatian
Ma Ji-liong.
Setiap hari menjelang maghrib, di saat penduduk sekitarnya siap makan malam, saat itu jarang ada
penduduk di luar atau berlalu-lalang di jalanan.
Perawakan lelaki ini memang tinggi, satu kepala lebih tinggi dari Ma Ji-liong, kakinya kekar, kasar
lagi kuat, lengannya bergerak enteng, setiap datang hampir tidak terdengar langkah kakinya, tahu-
tahu orangnya sudah berdiri di depan toko. Sore hari itu kebetulan turun hujan, jalan kampugn
becek dan licin, tapi sepatu rumput laki-laki ini tidak kelihatan kotor seperti sepatu orang lain yang
berjalan di tanah becek.
Musim dingin sudah lewat, musim semi pun menjelang, tapi hawa masih terasa dingin. Orang lain
masih memakai baju tebal, tapi laki-laki ini hanya berpakaian tipis saja, namun tidak kelihatan
kedinginan.
Betapapun Ma Ji-liong pernah berkecimpung di Kangouw, meski belum lama dan tak banyak
pengalaman, namun berdasarkan beberapa kenyataan itu, ia menarik kesimpulan bahwa lelaki ini
pasti pernah meyakinkan ilmu silat, malah ilmu silat yang hebat dan lihai, sepasang telapak
tangannya kasar, mungkin pernah meyakinkan Thi-soa-ciang, Ilmu Pukulan Pasir Besi, atau
sejenisnya.
Seorang jago Bulim setiap hari membeli telur ayam, kertas, garam dan arak untuk keperluan apa?
Kalau menyembunyikan diri dari pengejaran musuh yang menuntut balas kepadanya, rasanya tidak
perlu setiap hari membeli barang-barang itu.
Jika anak buah Ji Ngo yang diutus ke sini untuk menjaga dan melindungi Ma Ji-liong berdua,
rasanya tidak perlu melakukan langkah-langkah yang bisa mengundang perhatian orang.
Mungkinkah Khu Hong-seng, Coat-taysu dan lain-lain sudah tahu adanya gejala-gejala tidak normal
di toko serba ada ini, maka mengirimkan anak buah untuk mengawasi gerak-geriknya?
Koleksi Kang Zusi
Kalau betul demikian, kan tidak perlu membeli dua puluh butir telur ayam dan dua kilo kertas dan
garam setiap harinya?
Beberapa persoalan ini sukar mendapatkan jawabannya. Persoalan yang tidak bisa dimengerti lebih
baik tak usah dipikir, tapi Ma Ji-liong mulai tertarik oleh kejadian ini.
Setiap orang pasti menaruh perhatian terhadap sesuatu menurut kesenangannya, demikian pula Ma
Ji-liong dan Cia Giok-lun pun tak terkecuali, lama-kelamaan ia pun tahu adanya pembeli aneh
setiap maghrib yang mencurigakan itu, maka suatu petang Cia Giok-lun bertanya, “Orang yang
kalian bicarakan itu, apa betul seorang laki-laki?”
“Sudah tentu laki-laki.”
“Mungkinkah samaran perempuan?” tanya Cia Giok-lun.
“Tidak mungkin, pasti lelaki tulen.”
Walaupun bukti sudah di depan mata, Ma Ji-liong sudah berkenalan langsung dengan keajaiban tata
rias, tapi ia percaya lelaki pembeli garam itu pasti bukan perempuan yang menyamar.
Dilihatnya Cia Giok-lun memperlihatkan rasa kecewa.
Ma Ji-liong merasa pertanyaan orang agak aneh, maka ia balas bertanya, “Kenapa kau tanya dia laki
atau perempuan? Kau mengharap pembeli itu seorang perempuan?”
Lama Cia Giok-lun diam tidak memberi jawaban. Setelah menghela napas, baru dia berkata, “Kalau
perempuan, mungkin sekali sedang berusaha menolong aku.”
Mengapa kalau pembeli itu perempuan, maka akan menolong dirinya?
Ma Ji-liong tidak bertanya, ia hanya berkata tawar, “Delapan belas tahun kau menikah dengan aku,
selama ini aku baik terhadapmu, kenapa orang lain harus menolongmu dan membawamu pergi?”
Cia Giok-lun melotot gemas setiap membicarakan hal ini, sorot matanya memancarkan derita,
dendam dan kebencian. Bila terjadi perubahan pada mimik dan sikap perempuan yang satu ini, Ma
Ji-liong lekas menyingkir, tidak tega dan kasihan, tidak berani ia bertatap muka dan beradu pandang
dengannya.
------------------------ooo00ooo----------------------------
Suatu malam, belum lama setelah laki-laki misterius itu datang membeli keperluan yang itu-itu
juga, nyonya muda yang hamil tua itu datang lagi dengan langkahnya yang gontai seperti bebek,
sikapnya kelihatan tegang lagi gugup, tapi juga bangga. “Aku sudah tahu, aku sudah tahu,”
napasnya sedikit memburu. “Aku tahu di mana orang itu tinggal.”
Sungguh heran, Thio-lausit yang biasanya tak banyak mulut dan tidak mau mencampuri urusan
orang lain, kali ini bertanya, “Dia tinggal di mana?”
“Tinggal di rumah To Po-gi,” nyonya muda itu menerangkan. “Dengan mata kepalaku sendiri
kulihat dia masuk ke sana.”
To Po-gi adalah kepala opas di wilayah kampung itu, kabarnya dulu pernah berlatih silat, tapi dia
sendiri tidak pernah bilang atau mengagulkan diri, tidak ada orang yang pernah melihat ia berlatih
Koleksi Kang Zusi
silat. Ia menempati sebuah rumah setengah permanen yang cukup besar menurut ukuran rumah
penduduk di sekitarnya, rumahnya bertembok dengan genteng merah.
Seorang kepala opas tentu punya banyak kawan, pergaulan luas. Kalau ada teman yang tinggal di
rumahnya, sepatutnya tak perlu dibuat heran. Tapi keluarga To Po-gi hanya terdiri dari suami-isteri
saja tanpa anak, ditambah seorang tamu, umpama tiap hari mampu menghabiskan dua puluh butir
telur ayam, rasanya tak mungkin makan dua kilo garam. Isteri To Po-gi juga bukan pedagang
makanan atau mengerjakan sesuatu yang memerlukan garam sebanyak dua kilo setiap harinya, dua
kilo garam cukup membuat tiga orang itu kering menjadi ikan asin.
Nyonya muda itu berkata pula, “Tadi sengaja aku bermain ke rumah To Po-gi dan berbincang-
bincang dengan isterinya, dari depan aku berkeliling ke belakang, namun bayangan orang itu tidak
kelihatan, padahal jelas aku melihat dia masuk ke rumah itu. Secara bisik-bisik aku bertanya pada
bini To Po-gi, untuk apa setiap hari orang itu membeli dua kilo garam? Entah kenapa, dengan suatu
alasan yang kurang wajar, To Po-gi mendadak mengajak ribut mulut dengan bininya. Tanpa
mendapat jawaban, terpaksa aku mengeluyur pulang.”
Thio-lausit hanya mendengarkan, mendadak dia bertanya pada perempuan itu, “Hari ini kau tidak
membeli gula merah?”
“Hari ini aku tidak membeli apa-apa.”
“Juga tidak membeli kecap?”
“Kecapku belum habis.”
Thio-lausit menarik muka, katanya, “Kalau begitu, kenapa tidak lekas kau pulang tidur saja?”
Nyonya muda itu berkedip-kedip matanya, sejenak berdiri melongo, tanpa bicara lagi lekas ia
mengeluyur pulang.
Thio-lausit bersiap menutup toko, mulutnya menggerundel, “Mencampuri urusan orang lain tidak
baik. Aku paling benci melihat tampang yang suka mencampuri urusan orang lain.”
Ma Ji-liong mengawasinya, mendadak ia menemukan sesuatu yang aneh pada orang jujur ini, untuk
pertama kalinya Ma Ji-liong merasakan adanya keanehan pada Thio-lausit yang jujur dan setia ini.
Bab 18: Orang Yang Makan Garam
Seperti biasanya, malam itu Ma Ji-liong menggelar tikar untuk tidur di lantai di pinggir ranjang.
Tapi dia tidak bisa tidur.
Agaknya Cia Giok-lun juga tidak bisa tidur, mendadak ia bersuara, “He, kau belum tidur?”
“Hampir saja pulas, tapi belum tidur.”
Orang yang sudah tidur mana mungkin diajak bicara.
“Kenapa kau tak bisa tidur?” Cia Giok-lun bertanya. “Apa kau sedang memikirkan persoalan orang
itu?”
“Persoalan apa?” sengaja Ma Ji-liong balas bertanya.
Koleksi Kang Zusi
“Bila opas itu pernah meyakinkan ilmu silat, mengapa kau tidak menduga kalau dulu ia seorang
begal atau penjahat besar? Orang yang tiap hari membeli garam itu adalah komplotannya,
kehadirannya di sini mungkin sedang merencanakan sesuatu?”
“Maksudmu melakukan kejahatan? Apa sangkut-pautnya dengan membeli garam?” bantah Ma Ji-
liong. “Apa pula sangkut-pautnya dengan kita?”
“Siapa tahu dia menaksir tokomu dan akan merampoknya habis, membeli garam hanya untuk
mencari tahu seluk-beluk tokomu ini.”
Tak tahan Ma Ji-liong bertanya, “Ada barang penting atau berharga apa di toko kita yang harus
direbut orang lain?”
“Hanya ada satu.”
“Satu yang mana?”
“Akulah yang mereka incar.”
“Kau kira mereka hendak merebut atau menculik dirimu?” Kali ini Ma Ji-liong tidak bisa tertawa,
karena ia maklum rasa kuatir Cia Giok-lun memang beralasan.
Mendadak Cia Giok-lun menghela napas, katanya, “Mungkin kau memang tidak tahu siapa aku
sebenarnya, tapi kau harus percaya, jika aku jatuh ke tangan kawanan penjahat itu........” Suaranya
menjadi lemah, lidah seperti kaku, seolah-olah membayangkan akibat yang mengerikan, sorot
matanya tampak panik dan takut. Sesaat lamanya baru ia mendesah pula, “Selama ini aku tidak
habis pikir, kenapa kau berbuat begini terhadapku, tapi setelah hidup bersama dalam rumah ini
sekian bulan, aku juga sudah melihat dan tahu, kau bukan orang jahat, sukalah kau menolong aku
mencari tahu asal-usul orang itu.”
“Bagaimana aku harus mencari tahu asal-usulnya?” tanya Ma Ji-liong.
Mendadak Cia Giok-lun tertawa dingin, katanya, “Kau kira aku tidak tahu bahwa kau juga pandai
silat, umpama betul kau adalah pemilik toko serba ada ini, dulu kau pasti pernah berkecimpung di
Kangouw, mungkin seorang terkenal di Bulim, aku menilai ilmu silatmu tidak rendah.”
Ji-liong menunduk bungkam. Seorang pesilat kosen yang sudah belasan tahun berlatih ilmu silat,
banyak segi dan kondisi yang berbeda dengan orang biasa. Ia percaya apa yang dikatakan Cia Giok-
lun memang benar, setiap hari orang selalu memperhatikan gerak-geriknya. Maklum Cia Giok-lun
memang benar, setiap hari orang selalu ia perhatikan, tiada buku yang dapat ia baca di rumah ini.
Cia Giok-lun menatapnya sekian lama, lalu katanya, “Kalau kau tidak melaksanakan permintaanku
ini, aku akan........”
“Kau akan apa?”
“Sejak saat ini aku akan mogok makan dan minum, yang pasti aku sudah tidak ingin hidup tersiksa
seperti ini.”
Akal bagus dan tepat. Sudah tentu Ma Ji-liong tidak akan membiarkan dia mati kelaparan.
“Bagaimana?” desak Cia Giok-lun.
Koleksi Kang Zusi
“Kapan aku harus melakukannya?”
“Sekarang, sekarang juga harus kau lakukan,” sejenak ia berpikir, lalu menambahkan, “Kau harus
berganti pakaian hitam, menutup kepala dengan kain hitam pula. Jika jejakmu ketahuan orang dan
dia mengejarmu, jangan langsung lari pulang. Aku tahu kau pun tidak suka kalau asal-usulmu
diketahui orang, benar tidak?” Ternyata perempuan ini juga paham lika-liku kehidupan kaum
persilatan.
Cia Giok-lun berkata lebih lanjut, “Kau harus bekerja menurut petunjukku, aku sendiri belum
pernah berbuat seperti apa yang kuanjurkan tadi, tapi ahli Kangouw mengajarkan dan memberi
petunjuk kepadaku.” Setelah menghela napas ia menyambung, “Aku rela dan tinggal diam selama
ini di atas ranjang yang menyebalkan ini, dengan satu tekad: apa yang terjadi, apa yang kualami ini,
akan datang suatu hari nanti seorang pasti datang menjelaskan kejadian sebenarnya, maka jangan
kau biarkan orang lain mencariku. Kalau kau abaikan peringatanku, kita berdua bisa mati konyol.”
Ma Ji-liong hanya mendengarkan, hanya tertawa getir. Selama hidup belum pernah ia bertindak
sembunyi-sembunyi, tapi kali ini harus bekerja secara diam-diam macam panca-longok saja.
-------------------------ooo00oo---------------------------
Larut malam.
Keluarga miskin, karena kerja keras di siang hari, umumnya penduduk kampung beristirahat lebih
dini. Kecuali menghemat minyak, juga untuk mengejar hiburan, menikmati kesenangan yang bisa
dilakukan di dalam rumah gelap, tanpa merogoh kantong. Mungkin juga ada berbagai alasan lain,
maka mereka selalu tidur pagi-pagi.
Jalan kampung yang sempit panjang itu gelap gulita tiada lampu, juga tak ada orang lewat. Sesekali
hanya terdengar anjing menggonggong dan kucing brengsek yang lagi bermain cinta.
Dengan Ginkang yang tinggi Ma Ji-liong keluar dari toko serba ada, pakaiannya ketat serba hitam,
dengan kain penutup kepala hitam pula, yang kelihatan hanya sepasang matanya saja.
Menetap tiga bulan lebih di kampung itu, Ma Ji-liong pernah juga keluyuran ke rumah tetangga,
maka ia tahu di mana letak rumah To Po-gi. Rumah To Po-gi dibangun dengan batu bata dan
genteng merah, seluruhnya ada lima bangunan rumah, tiga terang dua gelap, namun lampu sudah
dipadamkan. Di belakang rumah ada pekarangan yang tidak begitu besar, di sebelah kiri pekarangan
ada dapur, ada gudang kayu, di bagian tengah ada sebuah sumur.
Hampir empat bulan lamanya Ma Ji-liong tidak pernah latihan, malam ini ia mengembangkan
Ginkangnya yang tinggi, dengan seksama memeriksa dari luar hingga ke belakang rumah To Po-gi.
Tapi tiada sesuatu yang ditemukan, tiada yang menarik perhatian, suara apa pun tidak terdengar.
Isteri To Po-gi masih muda, segan ia mengintip kamar tidur orang dari jendela. Setelah yakin tiada
sesuatu yang berhasil diselidiki, segera ia pulang ke rumah.
-------------------------------ooo00ooo--------------------------
Cia Giok-lun belum tidur, matanya masih terbuka lebar, melotot mengawasi langit-langit rumah
yang gelap, ia menunggu dengan penuh kesabaran. Dengan terbelalak ia mendengar laporan Ma Ji-
liong, lalu menghela napas, katanya kemudian, “Aku keliru. Tadi aku bilang kau terkenal, sekarang
Koleksi Kang Zusi
baru aku sadar dugaanku ternyata keliru. Kenyataannya kau masih hijau, tidak paham seluk-beluk
dan segi kehidupan kaum persilatan.”
Sebetulnya Cia Giok-lun tidak keliru. Seorang ternama belum tentu kawakan Kangouw, kawakan
Kangouw belum tentu terkenal.
Ma Ji-liong tidak ingin berdebat, pokoknya dia sudah pergi melaksanakan tugas, memberi
keterangan sesuai kenyataan.
Ternyata Cia Giok-lun tidak puas, ia menganggap Ma Ji-liong belum menunaikan tugasnya dengan
baik, maka ia berkata, “Tempat yang tidak perlu diperiksa sudah kau periksa, tempat yang harus kau
perhatikan justru kau abaikan.”
“Tempat apa yang harus kuperiksa?” tanya Ma Ji-liong.
“Kau sudah memeriksa dapur?” tanya Cia Giok-lun.
“Tidak,” Ma Ji-liong tidak mengerti. “Di dapur tidak ada orang, kenapa aku harus memeriksa
dapur?”
“Kau harus periksa apakah dapur masih digunakan, apakah tungkunya masih hangat.”
Ma Ji-liong bingung, tidak habis mengerti. Dapur digunakan untuk memasak atau tidak, apa
sangkut-pautnya dengan persoalan ini?
Cia Giok-lun berkata, “Pernahkah kau memeriksa sumur itu? Apakah sumur itu berair?”
“Kenapa sumur itu harus kuperiksa.”
“Karena dapur yang tidak dipakai, sumur yang tidak ada airnya adalah tempat bagus untuk
bersembunyi. Di dalam dapur atau sumur bukan mustahil ada lorong rahasia di bawah tanah.”
Ma Ji-liong menghela napas, katanya, “Ahli silat yang mengajar berbagai segi kehidupan kaum
persilatan kepadamu itu, agaknya luas sekali pengalamannya.”
“Betul, apa yang pernah kupelajari, sekarang kuajarkan kepadamu.”
“Maksudmu, aku harus ke sana lagi?”
“Lebih baik kau segera berangkat, periksa lagi dengan teliti.”
------------------------ooo00ooo-----------------------------
Tungku masih hangat, di pinggir tungku ada arang yang masih menyala, di atas tungku juga ada
wajan yang berisi air hangat.
Sumur itu memang tidak ada airnya.
Apa betul orang itu bersembunyi di dasar sumur? Dasar sumur amat gelap, Ma Ji-liong tidak
melihat apa-apa kecuali kegelapan.
Koleksi Kang Zusi
Waktu kecil Ma Ji-liong pernah meyakinkan Pia-hou-kang (Ilmu Cecak Merambat). Untuk
memeriksa keadaan dasar sumur tidak sukar, tapi kalau benar ada orang bersembunyi di dasar
sumur, bila ia melorot ke bawah, tentu akan mudah disergap dan mungkin terbunuh secara konyol.
Kalau betul orang itu buronan, jejaknya tentu pantang diketahui orang, maka jiwanya nanti takkan
diampuni.
Dengan bekal kepandaiannya, Ma Ji-liong mungkin mampu mempertahankan diri, mungkin juga
mampu balas menyerang. Tapi kenapa harus menyerempet bahaya? Tiada alasan dan tujuan apa pun
untuk berkorban secara konyol, ia sudah siap meninggalkan tempat itu, siap mendengarkan omelan
Cia Giok-lun pula.
Walau belum pernah menikah, belum menjadi suami, namun Ma Ji-liong sudah maklum, sudah
paham, seorang suami kalau selalu diomeli isterinya yang cerewet, bagaimana rasa dan keadaannya.
Sebelum Ma Ji-liong beranjak meninggalkan mulut sumur, mendadak didengarnya suara dingin
berkumandang dari dasar sumur, “Thio-laupan, kau sudah datang?” Suaranya serak rendah, betul
adalah suara pembeli garam itu, Ji-liong kenal suaranya. Sebelum dirinya melihat
persembunyiannya, orang sudah tahu kedatangannya.
Ma Ji-liong tertawa getir, sahutnya, “Ya, aku datang.”
Pembeli garam berkata pula, “Kalau sudah datang, kenapa tidak turun ke mari dan duduk
mengobrol sebentar?”
Kalau mau Ma Ji-liong bisa tinggal pergi dengan leluasa, tiada orang yang bisa merintangi, tapi
orang di dasar sumur sudah tahu kedatangannya, umpama sekarang pergi, orang akan meluruk ke
toko untuk membuat perhitungan dengan dirinya. Seorang buronan tentu harus merahasiakan
jejaknya.
Ma Ji-liong maklum dan tahu akan hal ini, karena ia juga terhitung buronan, sekarang ia juga
sedang menyembunyikan diri. “Baik, aku akan turun,” sahutnya kemudian.
--------------------------ooo00ooo-------------------------
Sinar api mendadak menyala di dasar sumur yang semula gelap gulita, setitik sinar lampu kecil.
Di dasar sumur ternyata ada dua orang, seorang adalah pembeli garam, seorang lagi orang yang
makan garam. Pemakan garam ini berpundak lebar, kaki panjang, jidat tinggi, tulang pipi menonjol,
seharusnya terhitung laki-laki yang bertubuh kekar, namun sekarang sudah menjadi kurus kering
tinggal kulit membungkus tulang, keadaannya tidak menyerupai manusia umumnya, kulit badannya
kering.
Anehnya ia terus meneguk air, seteguk air segenggam garam, lalu menelan sebutir telur ayam.
Bukan saja tak takut asin, juga tidak mati karena terlalu banyak makan garam, air yang tertelan ke
perutnya entah mengalir ke mana. Kulit badannya kelihatan mirip tanah liat yang kering kerontang
lalu merekah.
-----------------------ooo00ooo--------------------------
Bab 19: Berbuat Pasti Ada Tujuan
Koleksi Kang Zusi
Pembeli garam duduk di pinggir sambil minum arak, hanya sebotol arak untuk dirinya sendiri. Ia
minum seteguk demi seteguk, minum perlahan-lahan, gayanya mirip setan arak yang kikir, mau
minum tidak mau merogoh kantong, yang pasti ia gemar minum tapi sayang keluar uang.
Di sini, di dasar sumur ini, tidak bisa tidak harus minum arak, tapi tidak boleh mabuk. Badan harus
selalu segar, pikiran harus selalu jernih, karena harus menjaga keselamatan dan merawat kesehatan
saudaranya, mengawasi orang yang tidak takut asin dan terus melalap garam seperti kakap
mencaplok teri itu.
Dasar sumur ternyata amat lebar dan luas, di situ ada sebuah pembaringan, sebuah meja dan satu
kursi.
Lampu minyak kecil terletak di atas meja.
Pemakan garam duduk setengah tiduran di ranjang, pembeli garam duduk di kursi. Duduk diam dan
tenang mengawasi Ma Ji-liong yang melorot turun dengan Pia-hou-kang.
Tangan yang memegang botol kelihatan gede dan kasar, kuku jarinya mengkilap, jelas pernah
meyakinkan ilmu pukulan sejenis Cu-soa-ciang yang keji. Di pinggir kursi tergeletak sebatang Cu-
coat-pian yang berat, ruyung beruas tujuh yang terbuat dari baja murni, selintas pandang bobotnya
mungkin ada empat-lima puluh kati. Senjata itu tergeletak di tempatnya, pembeli garam itu juga
tetap duduk minum, yang pasti Ma Ji-liong disambut dengan sikap dingin dan pandangan tajam
penuh selidik.
Dengan menatap dingin, pembeli garam berkata, “Thio-laupan, kami sudah menduga, cepat atau
lambat, kau pasti ke mari, terbukti sekarang kau berada di sini.”
“Kau tahu aku akan ke mari?” tanya Ma Ji-liong tidak mengerti. “Dari mana kau tahu?”
Pembeli garam meneguk araknya sekali, seteguk kecil saja, lalu berkata, “Jika aku membuka toko,
tiap hari ada orang yang membeli dua kilo garam, aku pun akan curiga.” Sambil menyeringai
dingin, ia melanjutkan, “Tapi seseorang yang betul-betul membuka toko, berusaha mencari nafkah
secara jujur, umpama merasa heran dan curiga terhadap langganannya, ia pasti takkan mencampuri
urusan orang lain, sayang kau bukan pengusaha toko.”
“Aku bukan apa?”
“Kau bukan pengusaha toko yang baik, pengusaha tulen,” demikian desis si pembeli garam.
“Seperti juga aku, tidak pantas membeli garam di tokomu itu.”
“Agaknya kau pandai melihat kenyataan,” ujar Ji-liong.
Pembeli garam berkata, “Kau ingin tahu asal-usulku, bukan? Ketahuilah, aku pun sudah mencari
tahu tentang dirimu. Seharusnya kau bernama Thio Eng-hoat, delapan belas tahun membuka toko,
kau punya bini yang sakit-sakitan dan seorang pegawai yang jujur setia, selama hidup Thio Eng-
hoat tidak suka ikut campur urusan orang lain.” Sampai di sini ia menghela napas, “Sayang kau
bukan Thio Eng-hoat yang sesungguhnya, pasti bukan.”
“Dari mana kau tahu aku bukan Thio Eng-hoat?” tanya Ma Ji-liong.
“Kuku jarimu terlalu bersih, rambut pun tersisir rapi, malah setiap hari kau mandi. Aku sudah
mencari tahu, Thio Eng-hoat yang asli adalah laki-laki yang jorok dan bau, laki-laki yang pelit lagi
Koleksi Kang Zusi
kikir, dua tiga hari bisa tidak mandi atau ganti pakaian, tapi teliti menghitung laba rugi
dagangannya. Karena rajin kerja itulah maka isterinya selalu mengomel dan menggerutu, sehingga
jatuh sakit.”
Ma Ji-liong diam saja, tidak membantah. Ia maklum dirinya sedang berhadapan dengan kawakan
Kangouw yang banyak pengalaman. Sebelum Ma Ji-liong menaruh curiga terhadapnya, orang
sudah lebih dulu menaruh perhatian terhadap dirinya.
“Kalau kau bukan Thio Eng-hoat, lalu siapa kau? Kenapa kau menyaru sebagai Thio Eng-hoat?
Thio Eng-hoat yang asli kau apakan? Di mana dia sekarang?” ujar si pembeli garam. Lebih jauh ia
berkata, “Persoalan ini sering kupikirkan, sejak lama kupikirkan.”
“Kau sudah mendapatkan jawabannya?”
“Hanya sedikit, tidak berarti.”
“Sedikit bagaimana?”
“Aku yakin kejadian ini pasti direncanakan secara cermat. Setiap segi, setiap langkah sudah
diperhitungkan dengan seksama. Kau bisa menyamar sebagai Thio Eng-hoat, dapat mengelabui
isterinya yang sudah menikah dan hidup bersama selama belasan tahun lamanya, demikian pula
pegawainya, ini membuktikan bahwa kau berganti rupa dengan tata rias yang luar biasa baiknya,”
nadanya tegas dan pasti, lalu sambungnya, “Meski tidak sedikit kaum persilatan yang ahli di bidang
tata rias, tapi yang mampu berbuat sebagus ini, di kolong langit ini mutlak hanya satu orang saja.”
Yang dimaksud orang yang satu ini tentu Ling-long-giok-jiu Giok Ling-long.
Lebih jauh pembeli garam berkata, “Giok-toasiocia pernah bilang, dua puluh tahun beliau tidak
mencampuri urusan Kangouw, tapi ada seorang yang dapat menyeretnya keluar untuk
mengembangkan keahliannya.”
“Ya, memang hanya satu orang saja,” ucap Ma Ji-liong.
“Mutlak hanya satu orang. Kecuali Kanglam Ji Ngo, tiada orang lain yang bisa mengundang dan
meminta bantuannya.”
Ma Ji-liong menyengir kecut. Akhirnya dia paham, di dunia ini tiada rencana betapa pun
sempurnanya yang tidak bisa dibongkar, tidak ada titik kelemahannya, juga tidak ada rahasia yang
selalu bisa mengelabui orang.
Sayang, sejauh ini Ma Ji-liong belum berhasil membongkar rahasia Khu Hong-seng.
Pembeli garam berkata pula, “Kau sudah diatur sedemikian rapi, memakan banyak waktu dan
tenaga, berjerih payah menyamar sebagai pemilik toko serba ada, itu berarti kau sama dengan kami,
kau juga seorang buronan, menyingkir dari muka umum dan bersembunyi dari pelacakan musuh.
Berbagai hal di atas dapat kami simpulkan, bahwa musuh yang menuntut jiwamu pasti jauh lebih
menakutkan dibanding musuh kami.” Dengan tertawa pembeli garam menambahkan, “Sebagai
sesama buronan, orang yang dikejar-kejar musuh, buat apa harus menyelidiki rahasiamu?
Sebetulnya kau tidak perlu mencari tahu tentang diriku, karena setiap hari aku akan membeli garam
di tokomu.”
“Sebetulnya aku tidak punya niat ke mari,” ujar Ma Ji-liong menghela napas.
Koleksi Kang Zusi
“Tapi kau sudah berada di sini,” ujar pembeli garam.
“Apa kau hendak membunuhku?” tanya Ma Ji-liong.
“Kanglam Ji Ngo mau membantumu, kalau kau keroco, kuyakin dia takkan bersusah payah, kau
pasti punya latar belakang yang meyakinkan. Umpama aku berniat membunuhmu, belum tentu aku
berhasil.” Dengan tertawa pembeli garam berkata, “Jika betul kau adalah orang yang kuduga, bila
mau turun tangan, mungkin aku yang mati lebih dulu di tanganmu.”
Ma Ji-liong berkata, “Siapakah orang yang kau duga itu?”
“Ma Ji-liong,” sahut si pembeli garam. “Tuan muda Thian-ma-tong, Pek-ma Kongcu Ma Ji-liong.”
Berdebar keras jantung Ma Ji-liong. Kalau wajahnya tidak dipermak oleh Giok-jiu-ling-long, orang
pasti melihat betapa jelek perubahan mimik mukanya. Ji-liong balas bertanya, “Berdasarkan apa
kau mengira aku Ma Ji-liong?”
“Ya, aku punya alasan.”
Alasannya adalah buronan terbesar yang sedang dikejar-kejar kaum persilatan saat ini adalah Ma Ji-
liong. Hanya Ma Ji-liong saja yang mungkin mendapat bantuan Kanglam Ji Ngo.
Pembeli garam berkata lebih jauh, “Dalam kalangan Kangouw, ada tiga marga besar persilatan,
Ngo-toa-bun-pay (Lima Perguruan Besar), mereka berani mengeluarkan hadiah lima laksa tahil
emas murni bagi siapa saja yang bisa membekuk atau membunuh Ma Ji-liong. Jago-jago kelas
wahid yang dikerahkan untuk mencari jejakmu ada lima-enam puluh orang, hanya murid-murid
Kaypang saja yang tidak ikut berlomba memperebutkan hadiah sebesar itu, mereka seperti tutup
mata dan menyumbat telinga, seolah-olah segan mencampuri urusan ini.”
Murid Kaypang tersebar luas, jumlahnya juga tidak terhitung banyaknya, kekuasaan mereka
berkembang terus makin luas dan besar. Di seluruh pelosok dunia ada orang mereka yang bisa
memberi informasi yang tidak mudah diperoleh pihak lain, tidak sedikit ahli-ahli mereka yang
pandai melacak jejak orang. Dapat kita bayangkan betapa besar ongkos kehidupan untuk keperluan
organisasi besar ini, lima laksa tahil emas bukan nilai yang kecil.
Pembeli garam berkata pula, “Kenapa mereka tak ikut berlomba memperebutkan hadiah besar itu?
Bagiku sudah jelas, karena Kanglam Ji Ngo punya hubungan intim dengan Ji-liong.”
Lama Ma Ji-liong terpekur, lalu berkata perlahan, “Sebetulnya tidak perlu kau bicara sepanjang
itu.”
“Setelah kubeberkan rahasiamu, kau akan membunuh aku? Kau kira aku ingin lima laksa tahil emas
murni itu?”
“Apa kau tidak ingin kaya?” Ma Ji-liong menegas.
“Aku tidak ingin kaya,” sahut pembeli garam.
“Kenapa?” tanya Ma Ji-liong.
Sebelum pembeli garam menjawab, pemakan garam menyeletuk, “Karena aku.”
Koleksi Kang Zusi
----------------------------ooo00ooo------------------------
Laki-laki kurus ini terus mengganyang garam dengan lahap, garam kasar lagi murni, garam yang
asin. Sukar dibayangkan ada manusia yang suka makan garam sebanyak itu.
Sudah separoh dari dua kilo garam itu dilalap orang ini. Setelah 10 butir telur ayam masuk ke
perutnya, rona wajahnya baru kelihatan merah, baru leluasa ia bicara, katanya, “Selama dua puluh
tahun, orang-orang yang ingin menjagal kepalaku, yakin tidak kalah jumlahnya dibanding dengan
mereka yang mengejarmu. Bagaimana rasanya orang yang difitnah, aku sudah kenyang
merasakannya.
ALWAYS Link cerita silat : Cerita silat Terbaru , cersil terbaru, Cerita Dewasa, cerita mandarin,Cerita Dewasa terbaru,Cerita Dewasa Terbaru, Cerita Dewasa Pemerkosaan Terbaru
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar