Anak Berandalan 1

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Selasa, 13 September 2011

Anak Brandalan
___________________________________________________________________________
Petualangan Siauw cap it long (Siau Shiyi Lang), karya Gu Long, disadur oleh O.P.A.
Sebanyak 15 jilid, diterbitkan tahun 1970. Diketik ulang dengan menggunakan Ejaan Yang
Baru.
Jilid 1________
Sinar Matahari pagi menmbusi kertas tipis tutup lobang daun jendala sebuah kamar mandi,
menyinari tubuh seorang wanita muda yang putih halus licin bagaikan gading.
Suhu air panas yang digunakan untuk merendam tuibuhnya, mungkin sama dengan suhu sinar
matahari pagi itu. Ia dengan malas malasan terlentang di dalam bak mandi berisi air panas,
sepasang kakinya yang runcing halus diletakkan tinggi tinggi diatas pinggiran bak,
membiarkan telapak kakiknya disoroti oleh sinar matahari pagi....ia membayangkan, itulah
tangan kekasihnya yang sedang mengelus elus kakinya.
Tampaknya ia sangat senang dan gembira sekali dengan cara mandi demikian. Setelah
melakukan perjalanan hampir setengah bulan lebih lamanya, cara mandi demikian telah
membuat ia melupakan segala keletihan selama dalam perjalannya yang panjang itu. Sekujur
tubuhnya semua terendam dalam air hangat, hanya bagian kepada dan mukanya dengan
sepasang matanya yang setengah terbuka saja yang berada diatas permukaan air, dengan
matanya itu memandang kearah kakinya yang indah.
Sepasang kaki itu pernah mendaki gunung yang tinggi, pernah menyebrangi sungai yang
dalam, pernah melakukan perjalanan tiga hari tiga malam berturut turut digurun pasir yang
panas, juga pernah melakukan perjalanan diatas air sungai yang sudah membeku menjadi
salju.
Sepasang kaki itu pernah menendang sampai mati tiga ekor srigala kelaparan, seekor kucing
liar, pernah menginjak sampai mati entah berapa banyak ekor ular berbisa, pernah juga
menendang diri seorang kepala berandal yang banyak tahun mengganas digunung Kie lian
san, hingga terjatuh kedalam jurang yang dalam.

Tetapi sekarang, sepasang kaku itu tampak dan masih tetap demikian runcing dan indah,
demikian halus dan putih bersih, sedikit cacatpun tidak dapat ditemukan. Biarpun seorang
gadis pingitan yang belum pernah melangkah keluar dari dalam kamarnya, belum tentu
memiliki kaki yang demikian indah sempurna.
Dalam hatinya ia merasa puas.
Diatas perapian masih terdapat air panas. Ia lalu menambah lagi air panas kedalam bak
mandinya. Meskipun airitu sudah cukup panas, tapi ia masih perlu menambah panas sedikit
lagi, sebab ia paling senang dirinya dipanasi demikian rupa.
Ia suka sekali dengan berbagai jenis dan berbagai cara yang mengandung ketegangan.
Ia suka menunggang kuda yang bisa lari paling cepat, mendaki gunung yang paling tinggi,
makan hindang yang paling pedas, minum arak yang paling keras, mainkan senjata yang
paling tajam, membunuh orang yang paling jahat.
Orang lain sering berkata: “Ketengangan urat syaraf paling mudah membuat orang perempuan
lekas tua”
Akan tetapi pepatah kata itu tidak berlaku baginya. Matanya, buah dadanya masih tetap
membusung tinggi dan padat. Pinggangnya masih tetap ceking langsing, perutnya pun masih
tetap rata, sepasang kaki dan pahanya padat kuat. Pendeknya, sekujur tubuhnya dari atas
sampai kebawah, semua menunjukkan tubuh indah, dan padat sekali, kulitnya putih bersih
bagaikan sutera.
Sepasang matanya jernih, kalau tertawa lesung pipitnya yang dekik itu dapat menggerakan
hati setiap laki laki yang melihatnya. Siapapun mungkin tak akan percaya kalau ia adalah
seorang wanita muda yang sudah berusia tigapuluh tiga tahun.
Selama tigapuluh tiga tahun itu, wanita muda yang bernama Hong Sie Nio ini dapat menjaga
dirnya benar benar. Ia mnengerti di dalam keadaan dan suasana bagaimana harus mengenakan
pakaian macam apa, ia mengerti terhadap orang bagaimana harus mengucapkan perkataan
apa, ia mengerti kalau makan sesuatu barang hidangan yang paling cocok harusnya ditimpali
dengan arak yang bagaimana, ia juga mengerti harus menggunakan gerak tipu macam apa
untuk membunuh lawan yang bagaimana!
Ia mengerti seluk beluknya penghidupan, ia juga mengerti bagaimana harus menikmati hidup.
Orang seperti dia, didalam dunia ini tidak banyak jumlahnya. Ada banyak orang yang mengiri
terhadapnya. Tak kurang orang dengki padanya; tetapi ia sendiri sudah cukup merasa puas.
Cuma ada satu hal yang belum bisa membuat ia puas benar benar.
Hal itu adalah kesepian.
Tidak peduli hal hal apa yang menegangkan urat syarafnya juga tidak dapat menghapuskan
rasa kesepiannya itu.
Sekarang perasaan letihnya yang terakhir juga lenyap didalam air. Waktu inilah ia baru
menggunakan handuk putih, menyeka tubuhnya. Handuk yang halus puith telah menyeka
tubuh dan kulitnya, tentunya membuat orang merasakan kenikmatan yang tidak dapat
dilukiskan. Tetapi, ia sesungguhnya ingin sekali merasakan, yang menyeka tubuhnya itu
adalah tangan seorang laki laki.
Tangan laki laki yang dicintainya.
Betapapun halus lembutnya handuk sutera juga tidak dapat dibandingkan dengan tangan dari

kekasih, dalam dunia ini tiada sebuah bendapun yang dapat menggantikan tangan seorang
kekasih.
Termangu mangu ia memandang tubuhnya sendiri yang licin putih bersih, hampir tidak ada
sedikitpun nodanya, dalam hatinya sekonyong konyong timbul perasaan sedih.
Mendadak, di jendela, pintu dan dinding dinding kamar mandi itu, dalam waktu bersamaan
terdapat tujuh delapan lobang. Disetiap lobang tampak menojol kepala orang, setiap muka
kelihatan sepasang matanya yang rakus.
Ada yang tertawa cekikikan, ada yang memandangnya dengan mata terbuka lebar sampai
tidak sempat tertawa. Tapi yang terang kebanyakan orang laki laki kalau sudah menyaksikan
tubuh seorang perempuan yang cantik dalam keadaan telanjang bulat, dalam waktu singkat
saja bisa berubah seperti anjing, anjing kelaparan!
Lubang diatas lubang jendela itu yan gletaknya paling baik, terpisah paling dekat, hingga bisa
melihat paling jelas nyata. Orang yang menongolkan kepalanya dilubang ini, adalah seorang
laki laki yang mukanya penuh daging menonjol, demikianpun kepalanya juga terdapat sebuah
daing lebih yang besar, tampaknya seperti mempunyai dua kepala yang ditumpuk menjadi
satu, orang semacam ini sebetulnya sangat memuakkan.
Yang lainnya juga tidak lebih baik dari pada orang ini, sekalipun seorang laki laki kalau
sedang mandi dan mendadak dilihat begitu banyak orang, barangkali juga akan merasa
terkejut dan ketakutan setengah mati.
Akan tetapi bagi Hong Sie Nio, seorang wanita yang lain dari pada yang lain, ia sedikitpun
tidak menjukkan perobahan sikap apa apa, bahkan masih dengan tenangnya duduk setengah
badang didalam bak mandinya dengan handuknya yang halus dan putih menyeka tubuh dan
tangannya sendiri.
Ia sedikitpun tidak menghiraukan orang orang itu, sedikitpun tidak mau angkat muka
menegornya. Ia hanya memerhatikan jari jari tangnnya yang runcing halus. Perlahan lahan jari
tangan itu diseka kering, barulah ia unjuk tertawanya yang hambar, dan setelah itu disusul
oleh kata katanya, “Apakah tuan tuan selamanya belum pernah melihat orang perempuan
mandi?”
Tujuh delapan orang laki laki itu semua tertawa dengan berbareng. Seorang laki laki yang
baru mangkat dewasa, yang mukanya penuh jerawat, matanya dibuka paling lebar, tertawanya
paling senang, ia yang mendahului kawan kawannya berkata, “Aku bukan saja sudah pernah
lihat orang perempuan mandi, bahkan memandikan seorang perempuan, itu adalah
keahlianku. Apakah kau suka kiranya kalau kuseka punggungmu dengan handuk halus itu?
Kutanggung kau nanti akan merasa puas”
Hong Sie Nio juga tertawa, kemudian berkata sambil unjukkan senyumnya: “Punggungku
justru sedang gatal sekali, kalau kau suka, lekaslah masuk!”
Sepasang mata pemuda itu sudah seperti lubang celengan, sambil tertawa besar ia mneggedor
daun jendela hingga terbuka, ia sudah ingin lompat masuk, tetapi baru saja badannya
bergerak, sudah ditarik oleh lelaki yang banyak tumbuh daign lebih dikepala dan mukanya.
Tertawa pemuda tadi jadi lenyap seketika, dengan wajah pucat pasi dan membelalakkan lebar
kedua matanya ia berkata kepada laki laki yang mencegahnya: “Kay Lo Jie, kau sudah
mempunyai banyak istri, perlu apa masih hendak merebut orang lain punya?”
Kay Lo Jie tidak menunggu habis ucapannya, sudah membalikkan tangannya dan menampar
sekeras kerasnya, sampai tubuh anak muda tadi terpental jauh.

Hong Sie Nio lalu berkata padanya: “Jikalau kau menggosok punggungku dengan caramu
seperti memukul orang demikian keras, aku tidak sanggup menerima”
Kay Lo Kie mendelikkan mata kepadanya. Sepasang matanya mendadak beruba demikian
buas dan kejam, seperti seekor ular berbisa yang hendak menerkam mangsanya. Suaranya
juga demikian tidak enak, ia berkata sepatah demi sepatah: “Tahukah kau ini tempat apa?”
“Jikalau aku tidak tahu, bagaimana aku bisa datang kemari?” demikian Hong Sie Nio balas
bertanya.
Ia kembali perdengarkan suara tertawanya kemudian baru berkata lagi: “Disini adalah gunung
Loan ciok san juga dinamakan gunung berandal, sebab orang yang berdiam digunung ini
semua adalah kawanan berandal, sehingga pemilik rumah penginapan kecil ini yang
nampaknya jujur, sebetulnya juga kawanan berandal”
“Kalau kau sudah tahu ini tempat apa, mengapa kau masih berani datang kemari?” kata pula
Kay Lo jie dengan bengis. “Kedatanganku toh tidak mengganggu kalian, bukan? Aku hanya
ingin meminjam tempat ini untuk mandikan diriku saja. Apa itu salah?” “Dimana saja kau toh
bisa mandi. Apa sebanya kau sengaja datang disini untuk mandi?”
Sepasang mata Hong Sie Nio bergerak gerak. Katanya dengan suara lemah lembut: “Mungkin
aku senang membiarkan diriku ditonton leh kawanan berandal, bukankah itu merupakan satu
hal yang menegangkan urat syaraf”
Kay Lo Jie mendadak membalikkan tangannya, menghajar tiang jendela, hingga kayu kayu
itu telah terpukul hancur olehnya, jelas bahwa pukulan tangan kosongnya sudah mencapai
ketaraf yang cukup tinggi. Hong Sie Nio sebaliknya tetap berlaga seperti tidak pernah melihat,
ia hanya menghela napas perlahan, dan katanya seperti menggumam sendiri: “Masih untung
aku tidak suruh orang ini menggosok punggungku, tindakannya demikian kasar....”
Kay Lo Jie marah dan bentaknya dengan suara keras: “Dimata seorang bajingan tidak perlu
kau berlaga, kau datang kemari sebetulnya ada keperluan apa? Lekas kau jawab dengan terus
terang!”
Hong Sie Nio kembali tertawa dan kemudian baru berkata: “Kau benar benar tidak salah, aku
dari tempat ribuan pal jauhnya dari sini datang kemari, sudah tentu tidak hany lantarang
hendak mandi saja”
Sepasang mata Kay Lo Jie bergerak dan memancarkan sinar berkilauan, katanya: “Apa bukan
ada orang yang mengutusmu kemari untuk mencari berita?” “Sekali kali tidak, aku hanya
ingin menengok seorang kawan lama saja” “Tapi disini mana ada kawanmu?” “Bagaimana
kau tahu kalau aku tidak punya kawan? Apakah aku tidak boleh berkawan dengan berandal?
Mungkin aku sendiri juga berasal dari orang berandal yang belum kau ketahui”
Wajah Kay Lo Jie berubah seketika, tanyanya: “Siapakah kawanmu itu?” “Aku juga sudah
lama tidak ketemu dengannya, kabarnya selama beberapa tahun ini keadaanya boleh juga, ia
sudah menjadi toako dari kawanan berandal di daerah Koan tiong, cuma masih belum tahu
kau kenal orang yang kumaksud itu atau tidak”
Wajah Kay Lo Jie kembali berubah, tanyanya: “Kawan kawan golongan hitam di daerah
Koan tion, semua berjumlah tiga belas golongan. Setiap golongan ada seorang toako, tidak
tahu siapa yang kau maksudkan itu?” “Ia seperti sudah menjadi pemimpin besar dari tiga
belas golongan berandal kalian” jawab Hong Sie Nio dengan hambar.
Kay Lo Jie kini tercengang, tak lama kemudian tiba tiba ia tertawa besar, dan berkata sambil
menunding Hong Sie Nio, “Dengan perempuan seperti kau ini, juga apakah pantas berkawan
dengan seorang pemimpin besar?” “Mengapa aku tidak bisa berkawan dengannya? Tahukan

kau aku ini siapa?”
Tertawa Kay Lo Jie berhenti dengan mendadak, sepasang matanya berputaran lama diatas diri
Hong Sie Nio, lalu katanya dengan nada suara dingin: “Kau siapa? Tidak mungkin kau Hong
Sie Nio perempuan siluman itu?”
Hong Sie Nio tidak menjawab pertanyaan itu, sebaliknya ia balas bertanya: “Kau ini
bukankah seorang yang bernama Kay Put Tek yang mempunyai nama julukan ular kepala
dua?”
Diwajah Kay lo Jie saat itu menunjukkan rasa bangga, katanya sambil tertawa: “Benar, tidak
perduli siapa, kalau melihat aku siular kepala dua semua harus mati!”
“Kalau kau benar memang ular kepala dua, aku terpaksa mengaku adalah Hong Sie Nio.”
Jilid 1-2. Tangan Hong Sie Nio (Anak Berandalan)
Kepala ular kepala dua seperti pecah dengan mendadak, menjadi berkeping keping.
Perempuan yang duduk dalam keadaan telanjang bulat didalam bak mandi, benarkah Hong
Sie Nio yang namanya menggemparkan dunia persilatan, dan yang setiap orang yang
melihatnya pasti menjadi pusing kepala?
Ia benar benar tidak percaya, tetapi juga tidak bernai tidak percaya. Kakinya sudah melangkah
mundur, sudah tentu yang lainnya sudah mundur lebih cepat lagi.
Dengan sekonyong konyong terdengar suara bentakan perlahan yang keluar dari mulut Hong
Sie Nio: “Jangan bergerak!”
Setelah semua orang itu benar benar tidak bergerak, dari wajahnya barulah tampak pula
sedikit senyumnya, senyumnya itu masih tetap demikian lemah lembut, dan demikian
menggiurkan. Kemudian ia berkata sambil tertawa: “Kalian sudah mengintip orang
perempuan mandi, dengan begitu saja kalian kira bisa pergi?” “Lalu...kau mau apa?” bertanya
si ular kepala dua.
Meskipun suaranya sudah agak gemetaran, tetapi sepasang matanya masih terbelalak lebar,
sewaktu menyaksikan dada terbuka dari Hong Sie Nio yang tubuhnya padat, nyalinya
mendadak menjadi besar lagi” katanya sambil tertawa dingin: “Apakah kau masih ingin kami
menyaksikan tubuhmu lebih jelas lagi?” “Oh...kiranya kau menghina aku karena tidak
berpakaian? Apakah kau kira aku tidak berani melompat mengejar kalian?” “Benar, kecuali
sewaktu kau mandi ada juga membawa senjata, sekalipun kau duduk didalam bak mandi juga
bisa membunuh orang” berkata ular kepala dua sambil perdengarkan suara tertawanya yang
aneh.
Hong Sie Nio menghela napas, ia mengangkat tangnnya dan berkata: “kalian lihat....apakah
tanganku ini mirip dengan tangan seorang pembunuh?”
Jari jari sepasang tangan itu, tampakanya demikian putih halus seperti tidak bertulang, juga
seperti bunga yang indah. “Tidak mirip” jawab ular kepala dua. “Aku lihat juga tidak mirip,
tetapi yang aneh, ada kalanya tangan ini justru bisa membunuh orang!”
Kedua tangannya itu digerakkan dengan perlahan, dari sela sela jari tanganya tiba tiba melesat
keluar sepuluh lebih sinar berkilauan.
Selanjutnya baru ketahuan, bahwa itu adalah serentetan suara jeritan, maka setiap orang, telah
tertancap sebatang jarum perak, siapapun tidak melihat dengan nyata jarum jarum itu
dilancarkan dari mana.

Maka siapapun juga tidak ada yang mengelak.
Hong Sie Nio kembali menghela napas, katanya seperti menggumam sendiri: “Mengintip
orang perempuan mandi, bisa tumbuh jarum dimatanya, apakah ucapan ini kalian belum
pernah dengar?”
Tujuh delapan orang itu semua dengan menggunakan tangannya untuk menutupi mata masing
masing, rasa sakit membawa mereka bergelimpangan di tanah.
Suara jeritan tujuh delapan orang itu yang diperdengarkan dengan berbareng ternyata masih
belum membuat hong Sie Nio menutup telinganya, sebab ia masih sedang memeriksa
sepasang tangannya sendiri.
Lama ia memeriksa tangnnya, barulah menutupi matanya dan berkata sambil menghela napas.
“Sepasang tangan yang baik baik tidak digunakan untuk menyulam, sebaliknya digunakan
untuk membunuh orang, benar benar sangat sayang....”
Dengan mendadak suara jeritan itu berhenti semua, seolah olah dalam waktu sekejap mata
berhenti dengan berbareng, Hong Sie Nio mengerutkan alisnya, memanggil dengan suara
perlahan.
“Hoa Peng?”
Di luar tidak ada suara, hanya suara angin yang meniup daun daun diatas pohon hingga
memeperdengarkan suara bekeresekkan.
Lama telah berlalu, baru terdengar suara golok masuk kedalam sarungnya.
Bibir Hong Sie Nio tersungging senyuman, katanya pula: “Aku tahu kau yang datang!
Kecuali kau, siapa lagi yang dapat membunuh tujuh delapan orang itu dalam waktu sekejap
mata? Siapa lagi yang bisa menggunakan golok demikian cepat?”
Diluar masih tetap tidak terdengar suara orang menjawab.
Hong Sie Nio berkata lagi: “Aku tahu kau yang membunuh mereka, disebabkan supaya
mereka tidak terlalu lama menderita, aku tidak tahu sejak kapan hatimu berubah demikian
lemah?”
Sesaat kemudian dari luar baru terdengar suara orang berkata perlahan: “Hong Sie Nio kah
yang ada didalam?” “Syukur kau masih mengenali suaraku, ternyata kau masih belum lupa
padaku.” menjawab Hong Sie Nio sambil tertawa. “Kecuali Hong Sie Nio, didalm dunia ini
masih ada siapa lagi diwaktu mandi juga mebawa bawa senjata rahasia?” berkata Hoa Peng.
Hong Sie Nio tertawa terkekeh kekeh, kemudian berkata: “Kiranya kau juga sedang
mengintip aku yang sedang mandi, ya? Kalau tidak, darimana kau bisa tahu kalau aku sedang
mandi?”
Hoa Peng seolah olah tidak mendengar ucapannya.
Hong Sie Nio berkata: “Kalau kau sudah melihat, mengapa kau tidak mau masuk terang
terangan saja?” “Kau pergi meninggalkan daerah ini enam tujuh tahun lamanya, bukankah
kau sudah merasa aman? Mengapa sekarang kau kembali lagi?”
“Sebab aku memikirkan kau”

Hoa Peng kembali bungkam. “Apakah kau tidak percaya kalau aku memikirkan kau? jikalau
aku tidak memikirkan kau, mengapa aku sampai datang kemari ini untuk mencarimu?”
Hoa Peng kembali bungkam, hanya terdengar suara elahan napasnya. “Mengapa kau terus
menerus menghela napas? Apakah kau kira aku datang mencarimu itu artinya mesti aku
membawa urusan tidak baik? Seorang sudah menjadi jaya, kawan lamanya juga tidak ingin
meelihat lagi?” “Pakailah pakaianmu, sebentar aku tengok kau” “Aku sudah berpakaian,
masuklah!”
Orang yang dipanggil Hoa Peng tadi akhirnya kini sudah berada diambang pintu. Wajahnya
yang memang banyak guratan, ketika melihat Hong Sie Nio masih duduk didlam bak
mandinya dalam keadaan telanjang bulat, wajahnya dengan mendadak seperti bertambah
banyak guratannya.
Hoa Sie Nio tertawa terkekeh kekeh kemudian berkata: “Ada orang sengaja mengintip aku
mandi, maka aku lalu membunuhnya, sedang kau yang tidak ingin melihat, sebaliknya aku
membiarkan kau menyaksikannya”
Hoa Peng sebetulnya perperawakan pendek, tetapi siapapun semua tidak ada yang
menganggap ia seorang pendek, sebab ia bertubuh kekar dan ototnya tampak sangat kuat,
tampaknya bertenaga besar.
Waktu itu ia mengenakan mantel panjang warna hitam, namun diatas punggungnya masih
tampak gagang goloknya yang diselubungi dengan kain warna merah.
Hoa Peng bisa menjadi kepala semua berandal didaerah Koan tiong, justru disebabkan
goloknya itu.
“Kudengar kabar beberapa tahun berselang kau telah membunuh mati Koo Hui, si jago
pedang didaerah Tay goan, apakah itu benar” bertanya Hong Sie Nio. “Ya\\\’ menjawab Hoa
Peng. “Kabarnya sepasang golok gunung Tay heng san dua saudara Teng juga kalah dibawah
golokmu. Itu juga betul?” “Ya!” jawab Hoa Peng.
Orang she Hoa ini bukan saja tidak berani memandang Hong Sie Nio, bahkan bicarapun tidak
suka banyak.
“Koo Hui dan dua saudara Teng semua adalah orang orang terkuat dalam rimba persilatan,
kau ternyata bisa membunuh mereka, suatu bukti bahwa ilmu golokmu sudah semakin cepat
lagi” berkata Hong Sie Nio sambil tertawa.
Kali ini sepatah katapun tidak keluar dari mulut Hoa Peng.
Hong Sie Nio bekrata lagi: “Aku kemari, sebabnya ialah hendak melihat ilmu golokmu yang
cepat!”
Wajah Hoa Peng mendadak berubah, katanya dengan suara berat “Benarkah kau hendak
melihat?” “Kau tidak usah panik, aku bukan mencari kau untuk bertanding, sebab aku tidak
suka mati dibawah golokmu, juga tidak tega membunuh kau” berkata Hong Sie Nio sambil
tersenyum.
Perobahan wajah Hoa Peng tadi lama sekali baru pulih seperti biasa, lalu katanya dengan nada
suara dingin: “kalau begitu, kau tak usah melihat lagi sajalah” “Mengapa?” “Sebab golokku
ini hanya dapat digunakan untuk membunuh orang, sama sekali bukan buat ditonton!”
Sepasang biji mata Hong Sie Nio yang jelita tampak berputaran, katanya sambil tertawa:
“Tetapi bagaimana kalau aku justru hendak melihatnnya?”

Hoa Peng yang sejak tadi hanya dia saja, tiba tiba berkata: “Baik, kau lihatlah!”
Jilid 1-3. Tangan Hoa Peng (Anak Berandalan)
Ucapan Hoa Peng itu meskipun sangat perlahan, tetapi seluruh ucapannya hanya itu saja, bagi
orang lain siapa saja, kalau mengucapkan perkataan yang demikian singkat, kiranya tidak
perlu menggunakan waktu demikian lama, akan tetapi setelah kata kata yang diucapkan
sangat lambat itu selesai, goloknya sudah keluar dari sarungnya dan kemudian dimasukkan
lagi.
Orang hanya melihat berkelebatnya sinar golok, sebuah bangku yang berada diambang pintu
didepan sana tahu tahu sudah terbelah menjadi dua potong.
Kecepatan Hoa Peng main golok benar saja sangat mengejutkan dan mengagumkan sekali.
Tetapi Hong Sie Nio yang menyaksikan itu sebaliknya malah jadi tertawa cekakakan,
kemudian berkata sambil menggelengkan kepala: “Yang kuingin saksikan ialah ilmu golokmu
untuk membunuh orang, bukan untuk membelah bangku! Dihadapan kawan lama, kau masih
mau menyimpan rahasia?” “Menyimpan rahasia?” “Ya, ilmu golokmu meskipun
menggunakan tangan kiri dan kanan, bahkan bisa menggunakan kedua duanya dalam waktu
berbareng tetapi dalam kalangan Kang-ouw siapakah yang tidak tahu bahwa kalau kau
bertempur melawan musuh kau selalu menggunakan tangan kiri? Golok yang kau gunakan
dengan tangan kiri, sedikitnya lebih cepat dari tangan kananmu berlipat ganda, bukankah
begitu?”
Wajah Hoa Peng kembali berubah, ia berdiam lama, kemudian baru berkata dengan suara
berat: “Apakah kau musti hendak menyaksikan ilmu golok tangan kiriku?” “Tentu” Hoa Peng
menghela napas, kemudian berkata: “Baik, kau lihatlah!”
Dengan mendadak ia membuka kerudung mantelnya yang hitam.
Hong Sie Nio waktu itu sedang tertawa. Tetapi pada saat mantel Hoa Peng terbuka suara
tertawanya itu mendadak berhenti. Ia tidak bisa tertawa lagi.
Golok sakti tangan kiri terkenal dikalangan Kang-ouw dan orang yang mempergunakan golok
itu sampai mendapat nama julukan golok tercepat dalam daerah Tionggoan seperti Hoa Peng
ini, tapi siapa tahu sebelah tangan kirinya sebatas bahu ternyata telah dipotong orang.
Lama kedua orang itu tidak bisa berkata apa apa. Hong Sie Nio lalu menarik napas panjang,
baru berkata: “Ini....ini apakah terkutung oleh tangan orang?:” “Ya” jawab Hoa Peng singkat.
“Lawanmu itu menggunakan pedang ataukah kampak?: “Menggunakan golok!” “Golok?
Siapa lagi orang yang dapat menggunakan golok lebih cepat dari padamu?” “Hanya satu
orang!” jawab Hoa Peng sambil memejamkan mata.
Sikapnya itu meskupun sedih, tetapi rupanya ia penasaran, jelas terhadap ilmu golok orang
yang mengutungi lengannya, ia sudah merasa tunduk. Ia merasa bahwa terkutung lengannnya
dibawah ilmu golok orang itu, sedikitpun tidak harus sampai disesalkan terlalu. Hong Sie Nio
agak heran, lalau bertanya kepadanya: “Siapakah orang itu?” Hoa Peng dengan pandangan
mata ditujukan ketempat jauh menjawab sepatah demi sepatah: “Siauw cap it long!”
“Siauw cap it long!” Ketika nama itu tercetus dari mulut Hoa Peng, diwajah Hong Sie Nio
segera terjadi semacam perobahan yang sangat aneh. Ia sendiri juga tidak dapat mengatakan
itu entah perasaan marah, girang ataukah duka.
Sementara itu Hoa Peng sudah berkata seperti menggumam sendiri: “Siauw cap it long...Kau
seharusnya kenal padanya” Hong Sie Nio menganggukkan kepala lambat, katanya: “Benar,

aku kenal dia...sudah tentu aku kenal dia!”
Pandangan mata Hoa Peng kini beralih ke wajah Hong Sie Nio, katanya: “Kau ingin mencari
dia atau tidak?”
Hong Sie Nio mendadak mendelikkan matanya, katanya dengan suara keras: “Siapa kata aku
hendak mencari dia? Menagapa aku harus mencari dia?”
Hoa Peng menghela napas, kemudian berkata: “Cepat atau lambat kau nanti toh akan mencari
dia” “Kentutmu!” kata Hong Sie Nio marah. “Sebetulnya itu juga tidak perlu membohongi
kau, aku sudah lama tahu bahwa kali ini kau datang kembali ialah lantaran hendak melakukan
suatu pekerjaan.” “Siapa kata?” bertanya Hong Sie nIo sambil mendelikkan matanya.
“Meskipun aku tidak tahu, urusan apa yang kau hendak lakukan, tetapi setidak tidaknya aku
tahu bahwa urusan itu pastilah urusan besar, kau karena takut dengan tenaga sendiri tidak
cukup, maka kau hendak mencari pembantu.”
Dengan hati pilu Hoa Peng tertawa, kemudian berkata lagi: “Oleh karena itu maka barulah
kau bisa datang mencari aku, namun sayang sekali kau ternyata sudah salah alamat.”
“Taruhlah bahwa dugaanmu itu sama sekali tidak salah, tapi aku toh masih boleh pergi
mencari orang lain” Mengapa musti mencari Siau cap it long? Apakah orang orang kuat dan
pandai dalam rimba persilatan ini sudah mati semua?” “Akan tetapi kecuali dia, siapa lagi
yang masih bisa membantu kau?”
Dengan keadaan masih telanjang bulat Hong Sie nio lompat keluar dari bak mandinya,
katanya dengan suara keras: “Siapa kata tidak ada? Aku sekarang justru hendak mencari
seorang yang akan segera kuperlihatkan padamu!”
Hoa Peng buru buru memejamkan matanya, katanya lambat lambat: “Kau hendak mencari
siapa? Apakah si tabib terbang yang kau maksudkan?” “Benar, aku justru sedang hendak
mencari dia!”
Mata Hong Sie Nio kini memancarkan sinar terang, katanya pula: “Si tabib terbang itu, dalam
hal mana yang tidak sebanding dengan Siau cap it long? Bukan saja kepandaian ilmu
meringankan tubuhnya sangat tinggi, dan ilmu jari tangannya yang hebat, sepuluh Siau cap it
long barangkali juga tidak dapat dibandingkan dengannnya”
Menurut cerita orang orang dunia Kang-ouw, sitabib terbang yang bernama Kongsun Leng
itu, hanya dengan menggunakan kekuatan tenaga satu jari tangannya, dapat menahan larinya
kuda. Ilmunya meringankan tubuhnya boleh dikata menjagoi dalam rimba persilatan,
ditambah lagi dengan ilmunya obat obatan dan tabibnya yang luar biasa, maka dalam rimba
persilatan banyak orang menjunjung tinggi padanya.
Sitabib terbang Kongsun Leng ini kediamannya juga sangat ganjil. Kediamannya itu ialah
merupakan sebuah kuburan yang dibuat dari batu marmer, tempat tidurnya juga merupakan
sebuah peti mati.
Ia anggap dengan cara begini paling mudah, nmati atau hidup tidak perlu menukar tempat
lagi.
Dalam rumahnya didalam kuburan itu tidak ada barang lain, hanya seorang anak yang
menjaga pintu, anak kecil itu juga sangat aneh bentuknya, ketika Hong Sie Nio tiba
dikediamannya, ia mengajukan pertanyaan kepada anak penjaga itu: “Kongsun sianseng
adakah didalam atau tidak?” Karena tidak mendapat jawaban, ia terpaksa bertanya lagi:
“Kongsun sianseng pergi kemana?”
Namun ia masihn tetap tidak mendapat jawaban, maka ia lalu bertanya lagi: “kongsun

sianseng hari ini pulang atau tidak?Kapan ia pulang?” Ditanya hingga tiga empat kali, anak
itu barulah menjawab dengan singkat: “Tidak ada”
Hong Sie Nio sangat mendongkol sekali, hingga ia ingin sekali menamparnya barang dua kali
saja.
Sebetulnya ia juga tahu bahwa sitab terbang kalau keluar pintu hanya mempunyai satu tugas
saja: ialah memeriksa orang sakit. Adat tabib terbang itu meskupun sangat aneh, tetapi hatinya
baik.
Ia juga tahu sebab tabib terbang diwaktu malam tidak mungkin tidur dilain tempat, ia sudah
pasti akan tidur didalam peti matinya. Maka itu sekalipun tidurnya itu tidak akan mendusin
lagi, juga tidak perlu repot repot pindah kelain tempat.
Hong Sie Nio sebetulnya boleh duduk menunggu hingga tabib itu pulang tetapi seorang
seperti Hong Sie Nio yang suka bergerak ini duduk didaerah perkuburan apalagi duduk diatas
peti mati sebetulnya sangat tidak menyenangkan baginya.Maka itu, ia lebih suka duduk
menunggu ditepi jalan.
Hari perlahan lahan mulai gelap, aingin meniup sudah mengandung rasa dingin.
Tempat Hong Sie Nio duduk menunggu ialah diatas sebuah bukit kecil, ia mencari ke suatu
tempat yang lebih enak untuk merebahkan diri, dengan mata memandang jauh keatas angkasa,
menantikan munculnya bintang yang pertama.
Sedikit sekali jumlahnya orang yang dapat melihat bagaimana bintang pertama itu mucul
diatas angkasa.
Demikianlah orangnya dan sifatnya Hong Sie Nio, tidak perduli didalam keadaan
bagaiamanapun, ia selalu dapat mencari pekerjaan yang menyenangkan baginya, sedikitpun
tidak mau menyia nyiakan hidupnya. Dalam dunia ini ada berapa orang yang mengerti dan
dapat menikmati penghidupan?
malam telah larut, bintang bintang dilangit pada bermunculan.
Dalam cuaca yang gelap itu akhirnya terdengar suara langkah kaki yang berat, segera nampak
oleh Hong Sie Nio, dua orang memikul sebuah tandu kecil berjalan melalui jalanan
pegunungan, diatas tandu duduk seorang tua kurus kering berpakaian jubah kain kasar yang
berwarna hijau.
Sikap orang tua itu sangat tenang, tampaknya letih sekali, ia memejamkanmata mungkin
untuk menghilangkan letihnya.
Dua orang laki laki yang memikul tandu itu tampaknya letih sekali,napasnya memburu seperti
napas kerbau sehabis membajak, ketika berjalan dihadapan bukit kecil dimana diatasnya
rebah Hong Sie Nio, tukang tandu yang ada didepan berpaling dan berkata kepada kawannya:
“Didepan merupakan suatu jalanan gunung yang amat panjang, mari kita berhenti sebentar
disini, baru mendaki gunung” Kawannya yang berada dibelakang lalu menyahut: “Dua hari
ini semangatku menurun nanti kalau kita mendaki gunung, kita tukar tempat saja”
Memang kalau mengusung tandu, orang yang memikul dibelakang sudah tentu menggunakan
tenaga lebih banyak.
Sang kawan yang ada didepan berkata sambil memaki dan tertawa: “Enak saja kau, kembali
mau enaknya sendiri, Apakah tadi malam kembali kau main pacar pacaran dengan
pacarmu?Kulihat cepat atau lambat satu hari kelak nanti kau mampus diatas perutnya”

Dua tukang tandu itu berkata kata dan tertawa tawa, sedang langkah kaki mereka sudah mulai
lambat, sedang orang tua yang diatas tandu itu juga tahu entah benar benar tidur, entah tidak
atau pura pura tidur untuk mendengarkan pembicaraan mreka. Namun demikan matanya itu
sama sekali belum pernah dibuka.
Tiba didepan tanah pegunungan, tukang tandu itu berhenti, dan perlahan lahan meletakkan
tandunya.
Dengan mendadak, dua orang itu dalam waktu besamaan dari tiang tandu masing masing
menghunus dua bilah pedang yang panjang dan kecil, dua bilah pedang menikam kedepan ulu
hati siorang tua, sedang dua bilah pedang yang lain menikam belakang punggung orang tua
itu!
KAKI SITABIB TERBANG
Orang itu adalah sitabib terbang Kongsun Leng. Sedang dua tukang tandu tadi sungguh tidak
disangka sangka ternyata adalah orang orang rimba persilatana yang berkepandaian tinggi
namun tidak ditunjukkan, cepatnya mereka bergerak, benar benar sangat mengagumkan.
Empat bilah pedang itu bergerak dengan berbareng, menikam dari depan belakang, atas dan
bawah, dalam waktu sekejap mata saja, sudah menutup semua jalan mundur sitabib terbang,
biar bagaimana hendak mengelak, ditubuhnya pasti tidak terhindar dari dua buah lubang.
Hong Sie Nio meskipun merupakan seorang Kangouw kawakan tapi tidak menduga akan
terjadinya hal demikian, ia ingin memburu dan coba mencegah juga sudah tidak keburu lagi,
ia mengira kali ini sitabib terbang barangkali akan mati ditangan mereka.
Siapa sangka pada saat yang sangat berbahaya itu tubuh sitabib terbang mendadak
dimiringkan, dua bilah pedang telah lewat disamping tubuhnya, dua bilah yang lain baru
mengenakan bajunya, tetapi sudah berhasil dijepit oleh dua jari tangan kiri dan dua jari tangan
kanan, jari tangan itu bagaikan tangan besi yang menjepit sangat kuat.
Dua tukang tandu itu mengerahkan seluruh kekuatan tenaganya juga tidak dapat bergerak
sama sekali.
Sesaat kemudian, terdengar suara “tak!!’ dua kali, dua bilah pedang tajam tadi sudah
dipatahkan oleh jari tangan sitabib terbang.
Dua tukang tandu itu dalam keadaan terkejut, lalu lompat mundur dan jumpalitan sejauh dua
tombak.
Sitabib terbang masih memejamkan mata tapi kedua matanya menyambit keluar, dua potong
ujung pedang yang tergenggam ditangannya melesat dan berubah menjadi dua benda
berkeredipan.
Kemudian disusul oleh dua kali suara jeritan ngeri.
Darah segar muncrat keluar dari tenggorokkan dua tukan tandu tadi, meskipun dua orang itu
sudah mati, namun gerak melesatnya mereka masih tetap hingga darah merah berceceran
ditanah.
Ketika suara jeritan itu berhenti, suasana kembali berubah menjadi sunyi senyap seperti
semula belum ada kejadian itu.
Dalam suasana sunyi itu, tiba tiba terdengar suara tepuk tangan nyaring.

“Siapa?” bertanya sitabib terbang dengan suara bengis. Sepasang matanya selalu terbuka lebar
lebar, memancarkan sinarnya yang tajam, ditujukan ketempat dimana Hong Sie Nio sedang
tempatkan diri, ia segera menampak wajah Hong Sie Nio yang sedang memandangnya dengan
berseri seri.
Sitabib terbang mengerutkan alisnya, katanya: “Oh, kiranya kau”
“Sudah banyak tahun kita tidak ketemu, tak disangka Kongsun Sianseng masih tetap gagah
dan lincah seperti dahulu kala, tampaknya kepandaian ilmumu semakin banyak maju lagi”
berkata Hong Sie Nio sambil tersenyum.
Sepasang alis sitabib terbang semakin dikerutkan, katanya: “Sie Nio, kau demikian
meerendahkan diri terhadap aku situa bangka, apakah kedatanganmu ada maksud?”
Hong Sie Nio menghela napas, katanya menggumam: “Jikalau aku berlaku baik kepada
orang, orang mengatakan aku datang hendak minta pertolongan, jikalau berlaku tidak baik
terhadap orang, orang mengatakan aku tidak sopan. Aiiih! Jaman ini benar benar tidak mudah
menjadi orang”
Sitabib terbang mendengarkan dengan tenang diwajahnya tidak menunjukkan sikap apa apa.
“Sebetulnya aku hanya kebetulan lewat di tempat ini, tiba tiba kuingat dan ingin menengok
kau, bagaimana juga, kita toh masih terhitung kawan kawan lama” berkata Hong Sie Nio.
Sitabib terbang masih tetap mendengarkan dengan tenang, tidak ada reaksi sedikitpun juga.
Hong Sie Nio mengawasi padanya sejenak, lalu menepok nepok pakaiannya sendiri dan
berkata: “Kau lihat, aku toch tidak sakit, tidak terluka, untuk apa aku harus minta
pertolonganmu?”.
“Sekarang bukankah kau sudah melihat aku?”.
“Ya”.
“Baik sampai ketemu lagi”.
Hong Sie Nio mengedip-ngedipkan matanya, dengan tiba-tiba tertawa terkekeh-kekeh, dan
berkata:
“Benar saja kau ini seperti rase tua, siapapun tidak dapat menipumu”.
Kini sitabib terbang barulah tunjukkan tertawanya, kemudian berkata;
“Ketemu siluman perempuan seperti kau ini, aku juga terpaksa menjadi rase tua”.
Sepasang mata Hong Sie Nio berputaran lalu berkata sambil menunjuk jenasah dua orang tadi
yang ada ditanah:.
“Tahukah kau siapa dua orang ini? Apa sebab ia hendak hendak membunuh kau?”.
“Aku situa bangka seumur hidupku malang melintang didunia Kang ouw, membunuh orang
tak terhitung jumlahnya, kalau ada orang membunuh aku, itu juga merupakan satu hal yang
wajar, perlu apa aku harus mencari keterangan asal-usul mereka?”, menjawab si tabib terbang
hambar.
“Aku sudah tahu bahwa kau tidak takut mati jikalau kau dibunuh oleh seorang tingkatan muda

secara tidak terang, bukannya itu sangat mengecewakan? Apakah kau kau tidak takut namamu
yang sudah kesohor itu akan hancur lebur?”.
Sepasang biji mata sitabib terbang tampak bergerak-gerak menatap wajah Hong Sie Nio lama
sekali, dan lalu berkata dengan suara berat.
“Kau sebetulnya hendak suruh aku berbuat bagaimana?”.
Hong Sie Nio dengan sikap tenang dan sambil berpeluk tangan berkata:
“Jikalau kau mau membantu aku, aku nanti akan membantumu mencari keterangan tentang
musuh-musuhmu. Kau harus tahu mencari keterangan itu adalah keahlianku”.
Sitabib terbang menghela napas, katanya sambil tertawa getir:
“Aku memang sudah lama tahu, kau mencariku tidak mungkin ada urusan baik”.
“Tetapi kali ini benar-benar mengenai soal yang sangat baik”, berkata Hong Sie Nio sungguhsungguh.
Ia berjongkok dihadapan tandu sitabib terbang, katanya pula:
“Bukan saja mengenai urusan baik, tetapi juga urusan besar, setelah urusan ini berhasil, kau
dan aku semuanya akan mendapat kebaikan semua”.
Sitabib terbang berdiam agak lama, diwajahnya tiba-tiba menunjukkan senyum getir, katanya
lambat-lambat: “Sudah tentu dikutung orang”, jawabnya sitabib terbang sambil tertawa getir.
“Siapakah yang berbuat demikian kejam?”, bertanya Hong Sie Nio.
“Aku sebetulnya juga suka membantu tenaga kepadamu, tetapi sayang kedatanganmu sudah
agak terlambat”.
“Sudah terlambat? Kenapa?”, bertanya Hong Sie Nio sambil mengerutkan alisnya.
Sitabib terbang tidak menjawab, sebaliknya ia membuka selimut yang menutupi bagian
kakinya, Hong Sie Nio saat itu seperti dengan mendadak diguyur air dingin, sekujur tubuhnya
menjadi kaku.
Ternyata sepasang kaki sitabib terbang sudah dipotong orang sebatas lulut.
Kepandaian ilmu meringankan tubuh sitabib terbang itu sudah terlalu tinggi sekali, itulah
yang mendapat dia julukan tabib terbang. Kalau ilmunya yang dinamakan burung walet
terbang diatas air ia keluarkan, benar-benar ia dapat menyambar burung terbang dengan
tangannya, tetapi sekarang sepasang kakinya sudah dikutungi oleh orang.
Hong Sie Nio benar-benar lebih terkejut daripada menyaksikan tanga Hoa Peng yang sudah
terkutung juga oleh orang, maka ia lalu bertanya dengan sepasang mata yang membelalak:
“Apa artinya ini?”
“Siauw cap-it-long!” menjawab sitabib terbang, sepatah demi sepatah.
Hong Sie Nio mendengar disebutnya nama itu napasnya serasa berhenti, lama sekali ia dalam
keadaan begitu, lalu dengan mendadak ia lompat bangun dan berkata sambil membanting
kaki;

“Aku tidak memikirkan dia, mengapa kalian hendak menyebut dia?”.
“Kau seharusnya pergi mencari dia, hanya asal ia membantumu, urusan yang bagaimanapun
besarnya tak usah takut tak akan berhasil?”, berkata sitabib terbang.
“Dan kau? apakah kau tidak ingin mencari dia untuk membalas dendam?”, bertanya Hong Sie
Nio.
Sitabib terbang menggeleng-gelengkan kepala dan berkata:
“Meskipun ia menganiaya aku, tetapi aku tidak sesalkan dia”.
“Kenapa ?”.
Sitabib terbang memejamkan sepasang matanya, tidak menjawab lagi.
Lama Hong Sie Nio berdiam, baru terdengar suara elahan napasnya yang panjang katanya:
“Baik, kalau kau masih tidak mau membuka mulut juga, aku nanti akan ajak kau pulang saja”.
“Tak usah”.
“Mana boleh kau kata tak usah? Dengan keadaanmu seperti ini, dapat kau turun gunung ?”.
“Laki-laki perempuan ada batasnya, aku tidak berani minta pertolonganmu, Sie Nio silahkan
kau lanjutkan perjalananmu!”.
“Apa laki-laki dan perempuan ada batasnya? Aku selamanya juga tidak anggap aku sebagai
orang perempuan, aku selamanya tidak perdulikan hal-hal semacam itu”, berkata Hong Sie
Nio sambil mendelikkan matanya.
Ia juga tidak perduli sitabib terbang itu mau tidak, sudah memondong dia dari tempat duduk
diatas tandunya.
Terhadap perempuan seperti Hong Sie Nio, sitabib terbang hanya bisa tertawa getir, tidak bisa
berbuat apa-apa.
Malam semakin larut, tanah kuburan itu tampaknya semakin menyeramkan, dikuburan
dimana sitabib terbang berdiam, meskipun terdapat sinar lampu tetapi tampaknya seperti
kelap-kelipnya api setan.
“Aku benar-benar tidak mengerti, mengapa kau suka berdiam diri ditempat semacam ini?”,
bertanya Hong Sie Nio.
“Bertetangga dengan setan adakalanya lebih aman daripada berkawan dengan manusia”,
menjawab sitabib terbang.
“Itu memang benar, setan setidak-tidaknya tidak bisa mengutungi kedua kakimu”, menjawab
Hong Sie Nio dingin.
SEPATU PEMBUNUH
Dalam kuburan itu meskipun ada pelita, tetapi tidak ada orangnya, kacung yang adatnya aneh
luar biasa, yang oleh sitabib terbang ditugaskan menjaga pintu, kini juga entah kemana
perginya. Yang paling mengherankan ialah, peti mati tempat tidur sitabib terbang itu juga

tidak tertampak lagi.
Apakah ditempat semacam itu juga ada pencuri yang datang menganggu?
Hong Sie Nio yang menyaksikan itu semua tertawa sendiri:
“Pencuri ini juga lucu sekali, ia apapun tidak mengambil, hanya mencuri peti mati, sekalipun
dia sedang kematian, juga tidak perlu datang kemari......”
Ia tidak menghabiskan ucapannya itu, sebab dengan tiba-tiba ia menampak tubuh sitabib
terbang sedang gemetaran, dan ketika ia memperhatikan mukanya, juga sedang mengucurkan
keringat dingin.
Hong Sie Nio segera merasakan bahwa urusan ini agak tidak beres, maka lalu bertanya sambil
mengerutkan alisnya:
“..., Peti matimu apakah ada rahasianya apa-apa?”.
Sitabib terbang menganggukkan kepala.
“Kukira kau tidak mungkin seorang pengumpul harta, sudah tentu tidak mungkin kau
menyimpan harta bendamu yang berupa uang atau barang permata yang disimpan dalam peti
matimu, kalau begitu......”
Matanya mendadak membelalak dan berkata lagi: “Aku tahu kau tentunya mengira bahwa
dalam dunia ini tidak akan ada orang yang berani peti matimu, maka kau menyimpan kitab
ilmu tabib dan pelajaran ilmu silatmu didalam peti mati, supaya kalau kau mati bisa ikut
dikubur bersama-samamu”.
Sitabib terbang kembali menganggukkan kepala, ia agaknya tidak mau mengatakan lagi.
Hong Sie Nio menghela napas dan berkata:
“Aku benar-benar tidak mengerti, kalian orang-orang ini mengapa selalu egoistis, mengapa
tidak mau menurunkan pelajaran sendiri....”
Belum habis ucapannya, tiba-tiba terdengar suara orang menghela napas kacung penjaga pintu
yang aneh itu sudah kembali berdiri di ambang pintu.
Akan tetapi sekujur tubuhnya sudah penuh darah, lengan tangan kanannya juga terkutung,
sepasang matanya memandang sitabib terbang seperti sudah tidak bercahaya, dengan suara
serak dan terputus-putus ia mengucapkan nama seseorang:
“Siauw Cap it-long!”.
Setelah mengucapkan perkataan itu, orangnya rubuh kekiri, sedang tangannya masih
memegang sebuah sepatu, ia menggenggam demikian eratnya, sehingga matipun belum mau
melepaskan.
Siauw Cap it-long, kembali nama Siauw Cap it-long disebut oleh kacung tadi.
Hong Sie Nio menjejakkan kakinya, katanya dengan suara gemas:
“Tak disangka dia..... dia telah berubah menjadi orang demikian. Aku selamanya juga tidak
menduga ia bisa melakukan perbuatan demikian”.

“Ini tidak mungkin perbuatannya!”, berkata sitabib terbang.
Pandangan mata Hong Sie Nio kini ditujukan kepada sepatu itu.
Sepatu itu terbuat dari kulit sapi buatannya sangat indah dan halus, tetapi juga tidak
sembarang orang yang dapat memakai sepatu semacam itu, biasanya hanya orang-orang
sopan saja yang mengenakannya. Sedangkan pendekar-pendekar rimba persilatan yang
mengenakan sepatu semacam itu jumlahnya juga tidak banyak.
Hong Sie Nio menghela napas panjang katanya:
“Dia sebetulnya tidak pernah memakai sepatu semacam ini, tetapi setan yang tahu dia
sekarang sudah berubah bagaimana macamnya!”.
“Siauw Cap it-long selamanya tidak bisa berubah”, kata sitabib terbang.
Waktu itu meskipun Hong Sie Nio sedang cemberut mukanya, tetapi dibibirnya masih
tersungging senyuman, katanya: “Ini benar-2 suatu kejadian yang sangat aneh, ia telah
mengutungi kedua kakimu, mengapa kau sebaliknya malah masih membela padanya dengan
mengucapkan perkataan baik begitu?”
“Dia datang mencari aku dengan cara yang sopan dan seperti laki-2 jantan, ia melukai aku
secara jantan, aku tahu dia juga seorang jantan, tidak mungkin melakukan perbuatan serendah
ini.” berkata si tabib terbang.
Hong Sie Nio menghela napas, baru berkata:
“Kalau demikian halnya, kau seolah-olah lebih mengerti padanya dari padaku. Akan tetapi,
bocah ini sewaktu hendak menghembuskan napasnya yang penghabisan, mengapa
menyebutkan namanya?”
“Bocah ini tidak mengenal siapa Siauw Cap It Long, tetapi sebaliknya kau mengenal dia,
jikalau kau dapat mengejar pembunuh itu kau nanti akan tahu siapa adanya dia.”
“Bolak balik toh kau masih ingin minta aku pergi mengejar bangsat itu.”
Si tabib terbang menundukkan kepala dengan sikap duka mengawasi ke arah pahanya yang
tidak mempunyai sambungan lagi ke bawah.
Di wajah Hong Sie Nio menunjukkan sikap simpatik, katanya:
“Baik aku nanti akan pergi mengejar hanya semata-mata untukmu, tetapi dapat menyandak
atau tidak, aku sekarang tidak berani memastikan, kau tentunya tahu bahwa ilmu meringankan
tubuhku tidak seberapa hebat, bukan?”
“Orang itu mengusung peti mati, pasti tidak bisa berjalan cepat, kalau tidak bocah ini juga
tidak sampai mati. Bocah itu tentunya sudah dapat mengejar dan menyandak orang itu bahkan
sudah berhasil memeluk kakinya.”
Hong Sie Nio berkata sambil menggigit bibir:
“Apa sebab dia mau mengaku bernama Siauw Cap-it-long? Apa sebab ia telah membunuh
bocah ini? Jikalau tidak demikian sekalipun dia telah mencuri delapan ratus perti mati aku
juga tidak akan pergi mengejar.”
Malam gelap keadaan dan suasana di tanah pegunungan sepi sunyi angin meniup kencang.

Hong Sie Nio selamanya tidak suka menggunakan ilmu lari pesatnya sambil melawan angin
kencang, sebab ia takut angin meniup di mukanya bisa-bisa membuat kulitnya jadi keriputan.
Tetapi sekarang dia malah berlari sedemikian pesat sambil melawan angin kecang ini
bukanlah disebabkan ia hendak atau ingin cepat-2 dapat menyandak pembunuh dari kacung si
tabib terbang melainkan hendak menggunakan angin dingin dan kencang itu untuk
menghapuskan bayangan orang di dalam hatinya.
Waktu pertama kali ia bertemu dengan Siauw Cap-it-long, Siauw Cap-it-long masih
merupakan seorang pemuda yang baru meningkat dewasa, sewaktu itu Siauw Cap-it-long
dalam keadaan setengah telanjang, melawan derasnya air yang mengalir, ia coba menerjang
air yang turun dari air terjun.
Ia mencoba berkali-kali, tapi entah sudah berberapa kali mengalami kegagalan, sampai satu
kali ia sudah hampir berhasil, tetapi kemudian terpukul oleh air yang terjun dengan derasnya
sehingga tubuhnya menumbuk sebuah batu, dan darah mengalir dari kepala dan tubuhnya.
Namun demikian, luka-luka itu tidak dihiraukannya, bahkan dibalutpun tidak, sambil
menggertak gigi ia kembali menerjang air deras itu dah kali ini ternyata berhasil, ia dapat
mendaki sampai di puncaknya gunung, berdiri diatas bukit sambil tertawa dan tepuk-tepuk
tangan.
Sejak saat itu, dalam hati Hong Sie Nio selalu ditempati oleh bayangan Siauw Cap-it-long
Betapapun kencangnya angin meniup, juga tidak dapat membuyarkan bayangan Siauw Cap-itlong.
Hong Sie Nio mengigigt bibir, hingga bibirnya dirasakan sakit, ia tidak ingin memikirkan
orang itu, tetapi semakin ia tidak ingin memikirkan, bayangan itu semakin keras
mengganggunya.
Dalam keadaan demikian, dengan tiba-tiba ia tampak bayangan orang sedang bergoyanggoyang
tertiup angin.
Hong Sie Nio yang sedang terganggu pikirannya, apapun juga tidak melihat, ia lari sambil
menundukkan kepala, dengan tiba-tiba seperti berpapasan dengan sebuah muka orang, dan
yang aneh muka itu ternyata muka seorang yang melihat kebawah, dan dagunya menunjuk
keatas, sepasang matanya yang penuh darah hampir melotot keluar, waktu itu sedang
mengawasi padanya tidak berkesip, keadaan demikian benar-benar sangat menakutkan.
Betapapun besar nyalinya seseorang, kalau sudah menyaksikan muka yang demikian
menakutkan, pasti akan terperanjat juga. Hong Sie Nio dalam keadaan terkejut mundur
sampai tiga langkah, dan buru-buru angkat kepala.
Waktu itu ia baru liat bahwa orang tadi ternyata digantung sepasang kakinya diatas pohon,
sekarang entah dalam keadaan masih hidup ataukah mati.
Baru saja Hong Sie Nio hendak menggunakan tangannya untuk meraba lubang hidungnya,
sepasang biji mata orang itu sudah bergerak berputaran; sedang dari tenggorokannya
mengeluarkan suara gelopakan seperti ingin bicara.
Hong Sie Nio lalu menegornya.
“Apakah kau dibokong orang?” Orang itu hendak menganggukan kepala juga tidak bisa,
hanya kedip-kedipkan matanya dan berkata dengan suara terputus-putus:

“Berandal....berandal....”
“Kau ketemu dengan berandal?” bertanya pula Hong Sie Nio
Orang itu kembali mengedip-ngedipkan matanya:
Orang itu usianya belum tua, kumis dan jenggot diwajahnya habis dicukur, dibadannya
mengenakan pakaian sangat perlente tapi wajahnya menunjukkan ia seorang buas dan jahat.
“Aku lihat kau sendiri mirip dengan berandal, jikalau aku menolongmu barangkali aku nanti
malah kau rampok.” berkata Hong Sie Nio sambil tertawa.
Sepasang mata orang itu memancarkan sinar buas, namun ia masih berkata sambil tersenyum:
“Asal nona mau menolong aku nanti akan beri hadiah besar padamu.”
“Kau sendiri sudah dirampok habis-habisan, barang apa yang akan kau hadiahkan padaku?”
Orang itu tidak bisa membuka mulut lagi, sedang keringat dingin dikepalanya sudah
mengucur keluar.
Hong Sie Nio tertawa dan berkata:
“Mengapa dalam pandanganku kau ini tidak mirip dengan orang baik? Tetapi aku juga tidak
dapat melihat orang yang mau mati, tidak memberi pertolongan.”
Orang itu tampaknya sangat girang, katanya:
“Terima kasih......terima kasih.....”
“Aku juga tidak minta kau mengucapkan terima kasih padaku. Asal setelah aku menolong
kau, kau jangan pikir bermaksud jahat terhadap diriku, itu saja sudah cukup.”
Orang itu masih tidak hentinya mengucapkan terima kasih, tetapi sepasang biji matanya terus
berputaran ditujukan ke dada Hong Sie Nio yang menonjol tinggi.
Hong Sie Nio juga tidak marah, sebab ia tahu bahwa kaum laki-laki kebanyakan memang
bermata keranjang.
Ia segera lompat melesat keatas pohon, selagi hendak membuka tali yang mengikat sepasang
kaki orang itu, dengan tiba-tiba ia melihat bahwa sepasang kaki orang yang diikat diatas
pohon itu, yang satu hanya mengenakan kaos kaki, tidak ada sepatunya, bahkan diatas
kakinya itu masih terdapat tanda darah.
Ketika ia melihat lagi, satu kakinya yang lain hanya mengenakan sebuah sepatu.
Sepatu yang terbuat dari kulit sapi itu, sama benar dengan sepatu yang dibawa oleh kacung si
tabib terbang.
Hong Sie Nio tercengang.
Ia mendengar orang itu berkata: “Nona, sudah berjanji hendak menolongku, mengapa tidak
lekas bertindak?”
Mata Hong Sie Nio berputaran, tampaknya sedang berpikir, kemudian berkata:

“Kupikir bolak-balik, masih merasa kurang tepat tindakanku ini.”
“Mengapa kurang tepat?”
“Aku hanya seorang perempuan, melakukan apa-apa tak boleh tidak harus berhati-hati,
sekarang ini malam sudah larut, sudah tidak mungkin ada orang berjalan lagi, Jikalau aku
sehabis menolong kau, lalu kau......., nanti timbul hati jahat, bagaimana aku harus berbuat?”
“Nona jangan khawatir, aku bukanlah seorang yang jahat. Apalagi, kulihat gerakan nona tadi
naik keatas pohon tadi, juga bukanlah seorang yang mudah dipermainkan.” berkata orang itu
sambil tertawa dibuat-buat.
“Tetapi sebaiknya aku berlaku hati-hati sedikit, sekarang kuperlu menanyakan padamu lebih
dulu beberapa soal”
Orang itu jelas sudah merasa tidak sabaran, katanya:
“Kau hendak menanya apa?”
“Aku belum tahu siapakah namamu, dan darimana kau datang?”
“Aku seorang she Siauw, aku datang dari utara.”
“Dan berandal yang menggantung kau disini, orangnya bagaimana macamnya?”
“Dengan terus terang, bagaimana macam orangnya itu sendiri aku sendiri juga tidak melihat,
dan tahu-tahu sudah digantung disini oleh mereka” berkata orang itu sambil menghela napas.
Hong Sie Nio mengerutkan alisnya, katanya lagi:
“Dan dimanakah kau taruh peti mati yang kau curi itu? Apakah juga sudah dirampok oleh
kawanan berandalan itu?”
Wajah orang itu mendadak berubah, namun ia masih pura-pura tertawa dan berkata:
“Peti mati apa? ucapan nono ini aku sungguh tidak mengerti semua?”
Hong Sie Nio mendadak melompat turun, dan menampar kedua pipi orang itu demikian
kerasnya, hingga mukannya kini menjadi bengap giginya juga rontok dan darah mengalir
keluar dari mulutnya, sehingga orang itu menjadi marah dan bertanya:
“Kau sebetulnya siapa? Apa sebab kau memukul aku?”
“Hong Sie Nio tertawa hambar, katanya:
“Aku justru hendak menanya padamu, kau ini sebetulnya siapa? Mengapa kau mencuri peti
mati si tabib terbang? Siapa yang menyuruh kau datang kemari? Apa maksudnya kau
menggunakan nama Siauw Cap-it-long?”
Orang itu seperti dibacok, oleh Hong Sie Nio, kulit mukanya berkenyit, matanya
memancarkan sinar buas, memandang Hong Sie Nio, giginya berkeretekan. Hong Sie Nio
berkata lagi dengan suara lebih terang :
“Kau tidak mau percaya betul tidak? Kalau begitu kuberitahukan padamu aku adalah Hong
Sie Nio, barang siapa yang suda terjatuh di dalam tanganku tiada seorangpun yang tidak akan
berbicara terus terang.”

Orang itu kini baru menunjukkan sikapnya terkejut dan ketakutan, dari mulutnya
mengeluarkan seruan.
“Hong Sie Nio! Kiranya kau ini adalah Hong Sie Nio ?”
“Kalau kau sudah mendengar namaku, seharusnya kau tahu bahwa ucapanku ini tidaklah
bohong.”
Orang itu menghela napas panjang, gumamnya:
“Tidak disangka hari ini aku telah bertemu dengan kau siluman perempuan. Baik, baik, baik
........ "
Setelah berkata demikian, dengan mendadak ia mengertek giginya sendiri.
Sepajang mata Hong Sie Nio terbuka lebar ia masih ingin memegang dagunya tetapi sudah
tidak keburu lagi. Kini tampak mata orang itu mendelik, wajahnya sudah menjadi hitam tetapi
ujung bibirnya menunjukkan senyum misteri biji matanya melotot keluar seolah-olah
mengawasi Hong Sie Nio katanya dengan suara hampir tidak kedengaran :
“Apakah kau sekarang masih ada akal minta aku bicara?”
Orang itu ternyata lebih suka habiskan jiwanya sendiri dengan menelan obat racun, juga tidak
mau menceritakan asal usul dirinya. Jelas kalau dia pulang dalam keadaan hidup, derita dan
siksaan yang akan diterimanya dari orang yang menyuruhnya tentu akan lebih celaka dari
pada mati.
Urusan semacam ini memang bukan tidak ada, Hong Sie Nio sendiri juga sudah pernah
melihatnya, tetapi obat racun yang bekerja demikian keras, ia masih jarang melihatnya.
Hong Sie Nio menjejak-jejakkan kakinya, katanya sambil tertawa dingin :
“Kau mati juga baik, bagaimanapun juga kau menyebutkan atau tidak, dengan aku tidak ada
hubungannya sama sekali ...”
Dalam hatinya waktu itu hanya tinggal satu persoalan: Siapakah yang menggantung penjahat
ini? Dan kemana dibawanya peti mati si tabib terbang?
SUARA NJANYI DITENGAH MALAM
Ketika Hong Sie Nio kembali kekediaman sitabib terbang, peti matinya ternyata sudah berada
didalam kuburannya lagi.
Apakah peti mati itu bisa terbang kembali sendiri? Sudah tentu tidak. Hong Sie Nio hampir
tidak percaya kepada matanya sendiri, ia lompat maju dan bertanya dengan suara keras:
“Dengan cara bagaimana peti mati ini bisa kembali ?”
Sitabib terbang yang ditanya hanya tertawa saja kemudian baru berkata :
“Sudah tentu ada orang yang mengantarkannya kemari.”
“Siapa ?”
Tertawa sitabib terbang agaknya semakin misteri katanya lambat-lambat:

“Siaw Tjap-it-long !”
Hong Sie Niio kembali menjejak-jejakkan kakinya katanya dengan suara gemas :
“Lagi-lagi dia ! Kalau begitu orang itu tentunya dia juga yang menggantungnya ! Mengapa ia
tidak menanyakan asal-usul oran gitu?”
“Ia tahu ada orang yang tidak mau menceritakan asal usul dirinya ditanyapun tidak ada
gunanya,” berkata sitabib terbang hambar.
“Kalau begitu mengapa ia masih meninggalkan orang itu dijalanan dalam keaddan tergantung
kedua kakinya ? Apakah dia sengaja meninggalkan untuk aku lihat ?” bertamya Hong Sie Nio
marah.
Sitabib terbang hanya tertawa tidak menjawab.
Mata Hong Sie Nio menyapu keadaan sekitarnya, kemudian berkata :
“Sekarang di mana dia ?”
“Sudah pergi.”
“Kalau ia tahu aku disini, mengapa ia tidak mau menunggu aku ?” bertanya Hong Sie Nio
sambil mendelikkan matanya.
“Aku kata kau tidak suka menemui dia, maka ia terpaksa pergi.”
Hong Sie Nio menggigit bibir, katanya sambil tertawa dingin :
“Benar, aku begitu melihat oran gitu lantas merasa sangat mendongkol ....... kemana ia pergi ?”
“Kalau kau tidak mau menemui dia perlu apa kau tanya dia pergi kemana ?”
Hong Sie Nio tercengang, mendadak mendadak mengangkat kakinya dan menendang meja,
hingga terbalik, katanya dengan suara keras :
“Kau sirase tua ini, kuharap ia datang lagi untuk mengutungi kedua tanganmu !”
Sehabis berkata demikian, orangnya juga sudah lari kabur keluar dari kediaman sitabib
terbang yang berupa kuburan.
Sitabib terbang menghela napas panjang, mulutnya menggumam sendiri :
“Seorang wanita yang sudah berusia tiga puluh tahun tapi masih seperti kanak2 saja lakunya,
ini benar-benar juga merupakan suatu hal yang sangat aneh ........”
Arak yang bernama daun bambu hijau, berada dalam cangkir keramik berwarna biru muda,
hingga tampaknya seperti sepotong batu giok yang bening.
Bulan purnama berpancang diangkasa bagaikan piring perak bunda, rembulan sudah bundar,
tapi mana orangnya ? Wajah Hong Si Nio sudah menjadi merah, agaknya sudah sedikit
mabok, sinar rembulan menembusi lubang jendela, ia lalu angkat muka, memandang
rembulan yang bundar dan terang, hatinya terkejut.
“Apakah hari ini sudah tanggal limabelas?” demikian ia bertanya-tanya kepada dirinya

sendiri.
Tanggal limabelas bulan tujuh, itu adalah hari ulang-tahunnya, selewatnya malam ini, berarti
usianya sudah tambah lagi satu tahun.
Usia tiga puluh empat tahun, bagi seorang wanita merupakan suatu jumlah angka yang sangat
menakutkan.
Sewaktu ia masih berusia limabelas enambelas tahun, pernah memikirkan bahwa seorang
wanita apabila sudah hidup tigapuluh tahun lebih, kalau hidup lagi juga tidak ada artinya,
wanita yang sudah berusia tigapuluh tahun lebih, seperti bunga seruni bulan sebelas yang
sudah layu, hanya menunggu rontoknya saja.
Akan tetapi ia sendiri sekarang tanpa disadari sudah berusia tigapuluh empat tahun. Ia mau
tidak percaya, namun tentunya tidak bisa lagi tidak percaya. Sang waktu mengapa demikian
cepat berlalu?
Di satu sudut dinding kamarnya ada sebuah cermin, ia memandang bayangan orang dalam
cermin seperti patung, berdiri tanpa bergerak.
Bayangan orang dalam cermin itu tampaknya masih demikian muda, bahkan kalau tertawa, di
ujung matanya juga tidak terdapat keriput, siapa pun tidak percaya bahwa ini adalah seorang
perempuan yang sudah berusia tigapuluh empat tahun.
Akan tetapi, sekalipun ia bisa menipu mata orang lain, tetapi yang terang ia tidak bisa menipu
dirinya sendiri.
Ia memutar diri, menuang araknya ke dalam cangkirnya penuh-penuh, sinar rembulan telah
membuat bayangannya yang di tanah seperti panjang sekali, dalam hati dengan sekonyongkonyong
teringat dua bait syair.
Syair itu demikian bunyinya:
“Mengangkat cawan mengajak rembulan minum arak, menghadapi bayangan menjadi tiga
orang.”
Dahulu ia selamanya tidak pernah merasakan betapa dalamnya maksud yang terkandung
dalam syair itu.
Di luar rumah tiba-tiba terdengar suara tangisan anak.
Dahulu ia paling benci kepada suara tangisan anak, akan tetapi sekarang betapakah besarnya
kerinduannya untuk mendapatkan seorang anak! Ia benar-benar sangat mengharap bisa
mendengar suara tangisan dari anaknya sendiri.
Sinar rembulan menyinari wajahnya, entah dari mana datangnya air mata di kedua pipinya?
Selama beberapa tahun terakhir ini, ia pernah beberapa kali ingin mencari seorang laki-laki
sebagai suami, akan tetapi ia tidak bisa. Laki-laki yang dijumpainya sebagian menjemukan
bagi dirinya.
Demikianlah usia remajanya telah berlalu, lewat beberapa tahun lagi, laki-laki yang dahulu
menjemukan itu, barangkali juga tidak mau lagi kepadanya. Aih! Beginilah nasibnya
perempuan yang sudah berusia tigapuluh empat tahun.
Di luar pintu kembali terdengar suara tertawa dari seorang laki-laki.

Suara tertawa itu demikian kasar dan kerasnya, bahkan siapa pun yang mendengarnya dapat
segera tahu bahwa orang itu sedang mabuk.
“Laki-laki ini entah bagaimana macamnya?” demikian ia coba bertanya-tanya kepada dirinya
sendiri.
Laki-laki itu pasti sangat kasar, jorok dan penuh bau arak.
Akan tetapi apabila laki-laki itu masuk ke dalam dan meminang dirinya, mungkin ia bisa
menerima......
Seorang wanita yang sudah mencapai usia tigapuluh empat, pilihannya terhadap laki-laki
tidak bisa sekeras seperti kalau ia memilih pria pujaannya pada usia duapuluh tahun.
Dalam hati Hong Si Nio bertanya-tanya kepada diri sendiri, di ujung bibirnya tersungging
senyuman getir.
Malam semakin larut, di luar berbagai macam suara semua sudah tidak kedengaran lagi,
kembali menjadi sunyi senyap.
Dalam kesunyiannya itu, dari jauh terdengar suara kentongan yang kedengarannya sangat
menjemukan, tapi begitulah keadaan dalam desa pada setiap malamnya.
“Sudah waktunya harus tidur,” demikian Hong Si Nio berkata lagi kepada dirinya sendiri.
Ia lalu bangkit dari tempat duduknya, baru saja hendak menutup daun jendela, angin malam
dengan tiba-tiba meniup masuk membawakan suara nyanyian seseorang, suara nyanyian itu
kedengaran memilukan hati dan juga telah dikenal baik olehnya.
“Siauw Cap-it-long!”
Ia ingat, setiap kali bertemu dengan Siauw Cap-it-long, di mulutnya selalu menyanyikan lagu
ini sangat perlahan dengan irama yang sama, waktu itu sikapnya bisa berubah demikian
mengenaskan.
Dalam hati Hong Si Nio merasa terganggu, ia tidak ingin apa-apa lagi, secepat kilat ia sudah
mengambil keputusan dan dengan tangan menekan meja, orangnya bagaikan anak panah
sudah melesat keluar dari lubang jendela, meluncur ke arah dari mana datangnya suara
nyanyian tadi.
Jalan raya yang panjang tampak sunyi senyap.
Didepan setiap pintu rumah hampir semua ada setumpukan abukertas yang habis dibakar,
sewaktu angin meniup abu itu berterbangan mengikuti arah kemana angin berhembus dalam
keadaan gelap itu juga tidak diketahui ada berapa banyak setan gentayangan yang berebutan
abu kertas sembahyang itu.
Tanggal lima belas bulan tujuh menurut kepercayaan bangsa Tionghoa itu adalah saatnya
setan-setan pada keluar dan sekarang pintu setan sudah terbuaka lagi, benarkah di dunia ini
ada berbagai jenis setan?
Hong Sie Nio mengertek gigi mulutnya menggumam sendiri:
“Siauw Tjap-it-liong kau juga seperti setan keluarlah sekarang!”
Akan tetapi satu bayangan setanpun tidak ada dan suara nyanyian tadi juga sudah lenyap

kembali.
Hong Sie Nio berkata sendiri dengan suara gemas:
“Orang ini benar-benar seperti setan. Ia tidak suka melihat aku tapi membiarkan aku
mendengar suara nyanyiannya?”
Pikiran Hong Sie Nio mendadak berubah kesepian tenaganya seperti sudah lenyap seketika,
adal ia pulang minum beberapa cawan arak, mungkin bisa tidur hingga esok hari.
Dan besok, mungkin segala2nya sudah berubah semua.
Sebabnya seseorang bisa hidup terus, mungkin lantaran selalu ada harapan di hari esok.
SIAUW TJAP-IT-LONG
Ketika Hong Sie Nio melihat sinar lampu dari jendela rumah, dalam hatinya timbul perasaan
hangat yang tidak diketahui apa sebabnya, ia merasa seolah2 sudah pulang kerumahnya
sendiri.
Seseorang pulang kerumah, lalu menutup pintu, itu seolah2 seperti sudah meninggalkan
segala penderitaan harinya diluar pintu..... mungkin inilah arti utam dari apa yang dinamakan
rumah tangga.
“Tetapi benarkah ini rumah tanggaku? ini hanya sebuah kamar dari satu rumah penginapan
saja.” demikian Hong Sie Nio berkata kepada dirinya sendiri.
Ia menghela napas panjang, ia belum pernah tahu kapan baru mempunyai rumah tangga, huga
belum pernah tahu kapan rumah tangganya nanti bakal dibangun.
Baru saja ia berjalan kebawah jendela, sudah terdengar suara orang didalam kamarnya.
“Keluar dari Yang-koan tiga ribu li jauhnya, selanjutnya pandang Siauw-long sebagai orang
jalanan ..... Hong Sie Nio Hong Sie Nio, kupikir kau sudah melupakan diriku!” demikian
suara dari dalam kamarnya itu.
Sekujur tubuh Hong Sie Nio mendadak dirasakan panas, tanpa banyak berpikir lagi lantas
lompat melesat masuk kedalam kamar, dan berkata dengan suara nyaring:
“Kau setan ini ....akhirnya kau toh unjuk muka juga!”
Secawan arak diatas meja ternyata sudah kosong. Diatas pembaringan nampak rebah
terlentang seseorang, dengan menggunakan bantal menutupi mukanya sendiri.
Orang itu menggunakan pakaian berwarna biru, tetapi sudah mulai agak keputih-putihan.
Dipinggangnya terdapat ikat pinggang kain warna biru tua, diikat pingganggnya itu
tergantung sebilah golok.
Golok itu bentuknya lebih pendek dari golok biasa, sarung golok terbuat dari kulit berwarna
hitam, sudah terlalu lama hingga warnanya tidak begitu terang lagi, tetapi masih agak baru
tampakanya kalau dibandingkan dengan sepasang sepatunya.
Kakinya diangkat tinggi2, dibawah sepatunya terdapat dua lubang.
Dengan kakinya Hong Sie Nio menendang sepatu orang itu, katanya dengan raut muka
cemberut:

“Setan malas dan mesum, siapa suruh kau tidur ditempat tidurku?”
Orang diatas pembaringan itu menghela napas, katanya menggumam:
“Bulan yang lalu aku baru mandi, orang ini ternyata masih mengatakan aku mesum.......”
Hong SIe Nio tidak tahan rasa gelinya, hingga ia jadi tertawa lebar, tetapi secepatnya ia
kembali cemberutkan muakanya, bantal yang tadi digunakan untuk menutup muka orang tadi
ditariknya dan dilemparkan jauh2, katanya:
“Lekas bangun, supaya aku bisa liahat selama beberapa tahun ini kau sebetulnya sudah
berubah jadi bagaimana rupamu?”
Bantal sudah dilemparkan, tapi orang diatas pembaringan itu menggunakan tangannya
menutup lagi mukanya.
“Benarkah kau sudah tidak berani melihat orang?” bertanya Hong Sie Nio.
Orang diatas pembaringan itu cuma merenggangkan sela2 jari tangannya itu tampak sepasang
mata yang penuh mengandung ejekan, katanya sambil tertawa:
Seorang perempuan yang sangat galak, pantas kau tidak laku kawin, tampaknya selain aku
sudah tidak ada orang lain yang berani mengawini kau......”
Belum habis ucapannya, Hong Sie Nio sudah menampar dengan tangannya.
Orang di atas pembaringan itu mengerutkan tubuhnya, seluruh tubuhnya dengan mendadak
pindah dan menempel di dinding tembok, seperti orang-2-an yang dibuat dari kertas berada di
dinding, namun ia tidak bisa jatuh ke bawah.
Sepasang matanya yang bersinar tajam masih tetap mengandung maksud mengejek, orang itu
beralis tebal, hidungnya mancung, di bawah hidungnya ada tumbuh kumis yang indah.
Orang laki itu sebenarnya tidak terhitung golongan orang tampan, namum sepasang matanya,
bibirnya tersungging senyum mengejek, benar-2 penuh daya penariknya sebagai seorang laki-laki
Hong Sie Nio menghela napas perlahan, katanya sambil menggelengkan kepala:
“Siauw Cap-it-long, kau masih belum berubah, benar-benar sedikitpun juga tidak berubah....
kau masih tetap seperti seorang bajingan besar....”
“Aku selalu masih mengira kau hendak menikah dengan aku si bajingan besar ini, tampaknya
dugaanku itu telah keliru” kata Siauw Cap-it-long sambil tertawa.
Wajah Hong Sie Nio menjadi merah, katanya dengan suara keras:
“Menikah denganmu? Aku bisa menikah denganmu? .... Orang-2 dalam duniah sudah mati
semua, aku juga bisa menikah denganmu!”
Siauw Cap-it-long menghela napas panjang, katanya:
“Kalau begitu, aku sudah tidak perlu khawatir lagi!”
Tubuhnya merosot dari dinding tembok dan duduk kembali di atas pembaringan, katanya
sambil tertawa:

“Dengan sejujurnya, ketika aku mendengar kabar kau mencari aku, aku sebetulnya benarbenar
ada sedikit takut; aku kini baru berusia dua puluh tujuh tahun, andaikata aku hendak
kawin, aku juga akan mencari seorang gadis kecil yang beru berusia enam belas tahunan,
orang seperti kau yang sudah nenek-nenek.....”
Hong Sie Nio lompat bangun dan berkata dengan marah:
“Aku seorang nenek-nenek? Berapa tuaku coba kau katakan....”
Secepat kilat, ia sudah menghunus sebilah pedang pendek dari pinggangnya.
Sesaat kemudian, ia sudah menyerang Siauw Cap-it-long tujuh delapan kali.
Siauw Cap-it-long kembali harus melesat ke dinding tembok, kemudian melesat ke atas
genteng, lalu seperti cecak raksasa menempel di atas genteng, katanya sambil menggoyanggoyangkan
tangan:
“Jangan, jangan kau turun tangan, aku hanya main-main saja denganmu! Sebetulnya kau
sedikitpun belum tampak tuanya, paling banyak baru empat puluh tahun usiamu!”
Hong Sie Nio berusaha hendak cemberutkan mukanya, namun ia tidak tahan rasa gelinya
hingga jadi tertawa lagi, katanya sambil menggeleng-gelengkan kepala:
“Masih untung aku tidak sering-sering melihatmu, jikalau tidak, aku benar-benar bisa mati
kaku.”
“Orang yang menyanjung-nyanjung kau sudah banyak jumlahnya, kalau ada seorang yang
bisa membikin kau mendongkol hatimu, bukankah itu merupakan suatu hal yang cukup
menyenangkan?” berkata Siauw Cap-it-long sambil tertawa.
Sementara itu orangnya sudah melayang turun kembali, namun sepasang matanya terus
ditujukan kepada pedang di tangan Hong Sie Nio.
Itu adalah sebilah pedang pendek yang hanya satu kaki saja panjangnya, ujung pedangnya
sangat tipis, dan memancarkan sinar berkilauan, pedang semacam ini paling cocok digunakan
kaum wanita. Jago pedang wanita Kong-sun Toa Nio yang terkenal namanya pada jaman
kerajaan Tong, pedang yang digunakan olehnya juga adalah pedang semacam ini.
Siauw Cap-it-long mengawasi pedang pendek yang tajam itu, sedangkan Hong Sie Nio
sebaliknya mengawasi terus sepasang mata Siauw Cap-it-long. Tapi sekonyong-konyong ia
membalikkan tangannya, dan membabat cangkir arak di atas meja.
Terdengar suara nyaring cawan arak keramik berwarna biru muda telah terbelah menjadi dua.
Siauw Cap-it-long berseru dengan pujiannya:
“Pedang bagus sekali.”
Hong Sie Nio seperti tertawa namun bukan tertawa, katanya hambar:
“Pedang ini meskipun tidak bisa digunakan benar-benar untuk memotong besi sebagai tanah,
tetapi masih terhitung boleh juga. Pedang pusakaku ini terlalu disayang oleh Siao-yao-hauw
bagaikan benda pusaka yang sangat berharga, sekalipun untuk diperlihatkan saja kepada
orang lain juga ia bisa merasa keberatan.”

Siauw Cap-it-long mengedip-ngedipkan matanya, tanyanya sambil tertawa:
“Tapi, dia akhirnya toh memberikan juga pedang ini padamu. Betul tidak?”
“Sedikitpun tidak salah” menjawab Hong Sie Nio sambil angkat muka.
“Jikalau demikian halnya dia ternyata sudah menaksir dirimu”
“Apakah dia tidak boleh menaksir aku? Apakah aku benar-benar sudah sedemikian tua?”
Siauw Cap-it-long menghela napas dan berkata:
“Orang perempuan bisa menarik perhatian orang seperti Siauw-yao-hauw itu, sesungguhnya
tidaklah mudah. Entah ia hendak mengambil kau akan dijadikan gundik yang keberapa?”
“Kentutmu......” berkata Hong Sie Nio marah.
Pedangnya kembali diangkat, namun Siauw Cap-it-long cepat cepat sudah mengkeretkan
kepalanya.
Hong Sie Nio perlahan lahan menurunkan kembali pedangnya, matanya melirik kepada Siauw
Cap it long seraya berkata:
“Kalau kau benar benar pintar seharusnya tahu asal usul pedang ini”
“Tampaknya pedang ini seperti pedang Na giok (batu giok biru) yang digunakan oleh murid
kepala Kongsun Toa Nio Sin Beng Lan” jawab Siauw Cap it long.
Hong Sie Nio mengangguk anggukkan kepala dan berkata:
“Kau bermata tajam”
“Tetapi pedang Na giok ini adalah sebilah pedang betina, kau sudah memiliki Na giok,
seharusnya ada pedang timpalannya yang bernama Cek hee (batu giok warna merah) baru
betul, kecuali...”
“Kecuali apa?”
Siauw Cap it long tertawa dahulu, kemudian baru berkata:
“Kecuali Siao yao hauw berat memberikan dua bilah pedang kepadamu”
“Jangankan dua bilah pedang ini, sekalipun aku menghendaki batok kepalanya ia juga akan
menyerahkan dengan kedua tangannya” berkata Hong Sie Nio sambil pendelikkan mata.
“Kalau demikian halnya, pedang Cek hee itu dimana sekarang berada?”
“Biar kau membuka mata juga tidak halangan”
“Sebetulnya aku juga bukan benar benar ingin melihat, tetapi kalau aku tidak melihatnya
kutakut kau kembali akan menjadi marah” Siauw Cap it long tertawa lagi, lalu meneruskan:
“Ingatkah kau pada bulan sepuluh tahun itu? Hawa udara masih panas sekali, tapi kau
mengenakan pakaian dingin datang menengok aku. Meskipun hawa panas sekali dan kau
masih bersikap keras mengatakan bahwa kau masuk angin, hingga mau memakai pakaian
yang tebal sediki...” berkata Siauw Cap it long pula sambil tertawa cekikikan.

Hong SIe Nio marah, katanya:
“Kentutmu! apa kau kira aku hendak menyerahkan barang pusaka kehadapanmu?”
“Ada barang pusaka untuk dipersembahkan, bagaimanapun juga itu baik sekali, orang seperti
aku ini yang tidak mempunyai barang pusaka untuk dipersembahkan, terpakasa
mempersembahkan barang pusaka apa saja”
“Kau benar benar seperti pusaka hidup” berkata Hong Sie Nio sambil tertawa.
Sambil berkata demikian dia memutar diri, dari pinggangnya mengeluarkan sebilah pedang
lagi, disarung pedangnya dihiasi dengan batu giok warna merah jambu.
SIauw Cap it long menyambut pedang itu, katanya sambil tertawa dan menggelengkan kepala:
“Barang barang yang dipakai oleh orang perempuan benar saja tidak lepas dari warna merah
jambu”
Mulutnya berkata demikian, tangannya sudah menghunus pedang pusaka itu.
Sebilah pedang keluar dari sarungnya, sesaat itu dia berdiri tercengang.
Ternyata pedang Cek hee adalah sebilah pedang kutung.
Hong Sie Nio sebaliknya tidak menunjukkan perubahan sikap, dengan tenang dia mengawasi
padanya, kemudia bertanya:
“Kau merasa heran?”
“Barang tajam demikian rupa bagaimana bisa terkutung?”
“Terkutung malah oleh golok!”
“Golok apakah itu? Mengapa demikian tajamnya?”
“Aku tahu kau begitu dengan ada golok baik, lalu hatimu lantas tertarik. Tetapi kali ini, aku
justru tidak memberitahukan kepadamu, juga supaya jangan kau anggap aku menghadiahkan
barang pusaka”
Biji mata SIauw Cap it long berputaran terus, lalu mendadak ia bangkit dan berkata:
“Melihat kau, aku lantas menjadi lapar, Jalan, aku undang kau makan malam.”
GOLOK CIE TAY SU
Diujung jalan raya, ada sebuah warung bakmi kecil.
Kabarnya warung bakmi itu sudah dibuka sejak beberapa puluh tahun berselang, bahkan tidak
peduli hujan angin deras, tidak peduli tahun baru atau harian sembahyang apa saja, tukan mie
itu belum pernah mengaso satu hari saja.
Oleh karena itu, maka orang orang yang suka pesiar diwaktu malam, semua tak usah khawatir
akan kelaparan, disebabkan seandainya benar sampai pulang tak dapat pintu dari istri, setidak
tidaknya masih bisa makan diwarung mie kecil itu sehingga kenyang.
Tukang mie seorang she Thio benar-benar sudah lanjut usianya, kumis jenggot dan rambutnya
semua sudah berwarna dua, saat itu sedang duduk di bangkunya, dan minum mie kuahnya

sambil menundukkan kepala, lenteranya yang terbuat dari kertas sudah menjadi berwarna
kuning dan kehitam-hitaman, hal ini mirip sekali dengan wajahnya.
Langganan-langganan lama yang datang ke situ, semua sudah tahu bahwa orang tua itu
selamanya tidak pernah menunjukkan sikap apa-apa kecuali jikalau ia sedang minta uang,
juga sedikit sekali mendengar ia mengucapkan kata-kata.
Ketika Siauw Cap-it-long dan Hong Sie Nio tiba di warung kecil itu, Siauw Cap-it-long lalu
berkata:
“Mari kita makan mie di sini saja?”
Hong Sie Nio mengerutkan alisnya, lalu berkata:
“Baiklah”
“Kau tak usah mengerutkan alis, mie daging sapi di sini kutanggung kau selamanya belum
pernah makan.”
Ia lalu mengambil tempat duduk di belakang sebuah meja yang sudah hampir rubuh, katanya
dengan suara keras:
“Lao Thio, hari ini aku ada membawa tamu agung, bikinkan mie yang agak baik.”
Si orang tua she Thio menolehpun tidak, ia hanya melirik Siauw Cap-it-long dengan mata
yang tidak menunjukkan sikap apa-apa, seolah-olah mau berkata:
“Tak perlu kau tergesa-gesa, tunggu aku habiskan dulu mie kuahku ini.”
Siauw Cap-it-long menggeleng-gelengkan kepala, katanya sambil tertawa:
“Orang tua ini adalah satu makhluk yang aneh, jangan kita ganggu dia”
Siauw Cap-it-long yang namanya menggemparkan rimba persilatan tidak berani mengganggu
seorang tua penjual mie, ucapan ini keluar dari mulutnya sendiri, siapakah yang mau percaya?
Maka itu Hong Sie Nio merasa geli juga mendongkol.
Lama mereka menunggu si tukang mie tua she Thio barulah mengeluarkan dua piring sayur
sepoci arak diletakkan di atas mejanya yang butut, setelah itu ia berjalan pergi lagi tanpa
menoleh juga.
Hong Sie Nio tidak tahan rasa gelinya, ia berkata:
“Kau barangkali masih ada hutang arak padanya!”
Siauw Cap-it-long membusungkan dada, katanya sambil tertawa:
“Aku sebetulnya masih hutang padanya serenceng uang, tetapi kemarin dulu aku sudah
lunasi....”
Hong Sie Nio memandang padanya lama sekali, baru menghela napas perlahan dan berkata:
“Orang-orang dunia Kang-ouw semua mengatakan bahwa Siauw Cap-it-long adalah seorang
Kang-ow merangkap berandal besar yang turun tangan paling cepat dan padangan mata paling
jitu selama lima ratus tahun ini, ada siapa yang tahu bahwa Siauw Cap-it-long hanya
mengundang kawannya makan mie dengan daging sapi, bahkan ada kemungkinan masih perlu

hutang”
Siauw Cap-it-long tertawa besar, katanya:
“Ada aku yang tahu, juga ada kau yang tahu, apakah itu masih belum cukup?.... Mari, minum
secawan”
Begitulah orangnya Siauw Cap-it-long, ada orang memaki dia, ada orang membenci dia, juga
ada orang yang suka dia, tetapi sedikit sekali orang yang mengerti jiwanya.
Ia juga tidak mengharapkan orang bisa mengerti akan dirinya, selamanya belum pernah
memikirkan untuk diri sendiri.
Jikalau anda sebagai Hong Sie Nio, maka anda suka padanya atau tidak?
Hong Sie Nio memiliki suatu kelebihan yang paling baik. Kalau orang lain minum banyak
bisa menjadi mabok seperti orang sinting, atau sepasang matanya bisa menjadi lamur, tapi dia
tidak.
Semakin banyak dia minum, sinar matanya sebaliknya semakin terang, siapapun tidak bisa
mengetahui ia sudah mabuk atau belum. Sebetulnya ia tidak terlalu kuat minum, tetapi sedikit
sekali orang yang berani bertaruh minum dengannya.
Dan sekarang, sinar matanya demikian terang seperti lampu pijar, sepasang matanya terus
menatap Siauw Cap-it-long, suatu ketika mendadak ia berkata:
“Kisah tentang golok itu, apakah kau tidak ingin dengar?”
“Aku sudah tidak ingin dengar lagi” menjawab Siauw Cap-it-long.
Lama juga Hong Sie Nio mengendalikan perasaannya, akhirnya ia tidak sabar lagi dan
bertanya:
“Mengapa kau tidak ingin dengar?”
“Sebab jikalau aku bilang mau dengar, kau bisa lantas tidak mau menceritakan. Sebaliknya
jikalau aku kata tidak ingin dengar mungkin kau bisa menceritakannya sendiri kepadaku.”
Belum habis ucapannya, Hong Sie Nio sudah tidak dapat menahan rasa geli dihatinya, hingga
ia tertawa besar, sedang mulutnya memaki-maki:
“Kau ini benar-benar setan.... orang lain sering mengatakan bahwa aku adalah siluman
perempuan, tetapi aku siluman perempuan ini jikalau bertemu dengan kau setan laki-laki ini
juga tidak berdaya sama sekali.”
Siauw Cap-it-long hanya menenggak araknya saja tidak menjawab. Ia tahu bahwa saat itu ia
tidak bisa menjawab. Apabila ia menjawab sepatah saja, ada kemungkinan Hong Sie Nio
tidak mau bercerita atau mengatakan apa-apa lagi.
Terpaksa Hong Sie Nio menyambung ucapannya sendiri, katanya:
“Sebetulnya, tidak perduli kau ingin dengar atau tidak aku tetap akan menceritakan juga
padamu. Golok itu namanya Kwa liok to!”.
“Kwa liok to?”.
“Benar Kwa liok to!”.

Nama ini sunguh aneh dan baru pula, dahulu aku belum pernah mendengar nama semacam
itu?”.
“Sebab golok ini baru keluar dari perapian belum sampai setengah tahun”.
“Sebilah golok yang baru saja dibuat ternyata sudah dapat mengutungkan benda pusaka kuno,
kekuatan tenaga dalam orang yang membuatnya, apakah dibandingkan dengan seorang tukan
membuat senjata tajam pada jaman perang?”.
Hong Sie Nio tidak menjawab, sebaliknya ia bertanya:
“Sesudah beberapa pembuat golok kenamaan seperti Kan Tjiang, Bo Gee, Auw-tie Tju dan
lain-lannya, masih ada satu tukang membuat pedang dan golok kenamaan yang tidak pernah
muncul didunia Kang ouw. Tahukah kau siapa dia?”.
“Apakah dia bukan Cie hujin?”.
“Benar, tidak kusangka kau benar-benar mempunyai sedikit pengetahuan?”.
“Cie Hujin bukanlah seorang wanita, ia hanya seorang she Cie bernama Hujin. Pedang yang
digunakan Keng Ko untuk membunuh raja Cin, adalah pedang buatan dari Cie Hujin ini.
Sekarang mata Siauw Cap-it-long bergerak-gerak, tiba-tiba berkata:
“Golok Kwa liok to itu apakah dibuat oleh Cie lu Ci Cie taysu?”.
“Kau juga tahu”, bertanya Hong Sie Nio heran.
Siauw Cap-it-long hanya tertawa saja kemudian baru berkata:
“Cie Lu Cu adalah keturunan dari Cie Hujin, kau sekarang mendadak mengatakan tentang diri
Cie Hujin, sudah tentu ada sedikit hubungannya dengan golok Kwa liok to itu”.
Sinar mata Hong Sie Nio menunjukkan sikapnya yang memuji, katanya:
“Benar, golok Kwa liok to itu memang buatan Cie taysu. Lantaran golok itu, ia hampir saja
menggunakan waktu dan tenaganya seumur hidup. Nama Kwa liok itu diambil dengan
maksud: “Kerajaan Cin kehilangan liok atau manjangan, orang-orang seluruh dunia pada
mengejar, hanya yang menang dan mendapatkan manjangan dan memotongnya. Maksudnya
juga, hanya seorang pendekar nomor satu yang dinamakan Kwa liok to ini!. Ia terhadap
goloknya ini terlalu bangga, disini kita dapat membayangkan sendiri”.
Sepasang mata Siauw Cap-it-long memancarkan sinar terang, tanyanya cemas:
“Kau tentunya sudah pernah melihat golok itu?”.
Hong Sie Nio memejamkan mata, menghela napas panjang dan berkata sambil tertawa:.
“Itu benar-benar sebilah golok pusaka, pedang Cek-hee ketemu dengannya seolah-olah
berubah menjadi besi karatan”.
Siauw Cap-it-long lebih dulu mengeringkan arak dalam cawannya, kemudian berkata sambil
menepuk meja:
“Golok pusaka seperti itu, entah aku ada jodoh melihatnya atau tidak?”.

“Kau sudah tentu masih ada kesempatan dapat melihatnya”.
Siauw Cap-it-long tiap-tiap menghela napas kemudian berkata:
“Aku tidak kenal dengan Cie-taysu, dengan cara bagaimana ia mau memperlihatkan golok
pusakanya kepada orang yang belum pernah dikenalnya?”.
“Golok itu sekarang tidak berada ditangan Cie Lu cu”.
“Lalu ada dimana?”.
“Aku sendiri juga tidak tahu”.
Siauw Cap-it-long kali ini benar-benar tercengang, ia mengangkat cawan araknya, lalu
diletakkan kembali, ia bangkit dari tempat duduknya dan berjalan berputaran kemudian duduk
lagi, lalu mengambil sepotong daging sapinya, sudah lupa dimasukkan kedalam mulutnya.
Hong Sie Nio tertawa geli, katanya:
“Tak kusangka aku juga bisa mendapat kesempatan menyaksikan kau demikian cemas.
Bagaimanapun juga, kalau masih muda tentu tidak dapat menahan kesabarannya”.
Siauw Cap-it-long mengawasi Hong Sie Nio sambil kedip-kedipkan matanya, kemudian
berkata:
“Kau kata aku seorang muda? Aku ingat kau masih muda dua tahun daripadaku”.
Hong Sie Nio memaki-maki sambil tertawa:
“Setan kecil, kau jangan coba menyanjung-nyanjung aku lagi!, Aku lebih tua daripadamu
lima tahun, empat bulan dan tiga hari, kau seharusnya panggil aku enci baru benar”.
“Enciku, kau ingat demikian jelas?”, berkata Siauw Cap-it-long sambil tertawa getir.
“Adik, kau masih tidak lekas menuangkan arak untuk encimu?”.
“Ya ya ya ya ku akan tuangkan arak”.
Hong Sie Nio melihat menuangkan arak, baru berkata sambil tertawa:
“Ha..... itulah baru namanya adikku yang baik”.
Ia sedang tertawa, tapi dimatanya toh masih menunjukkan sikap sedih, sehingga air matanya
seolah-olah hendak mengalir keluar, ia mengangkat kepala dan minum kering arak
dicawannya, baru berkata lagi lambat-lambat:
“Golok Kwa-liok-to itu kini sedang dalam perjalanan menuju kedaerah ini”.
Siauw Cap-it-long panik mendengar ucapan itu, hampir saja araknya tertumpah diatas meja,
tanyanya pula dengan sikap cemas:
Disepanjang jalan ada orang yang melindungi golok itu atau tidak?”.
“Golok pusaka yang demikian kesohor, mana bisa tidak ada orang melindunginya?”.
“Siapakah orang yang melindunginya?”.

“Thio Bu Kek......”.
Baru saja Hong Sie Nio mengucapkan nama itu, Siauw Cap-it-long sudah merasa tertarik, lalu
memotongnya :
“Thio Bu Kek ini, apakah bukan ketua golongan Bu kek dahulu?”.
“Kalau bukan dia siapa lagi?”.
Siauw Cap-it-long diam sesaat lamanya barulah perlahan-perlahan menganggukkan kepala,
agaknya sudah menetapkan suatu rencana dalam hatinya.
Hong Sie Nio terus menatap wajahnya, memperhatikan perubahan sikap pada wajahnya,
kemudian berkata pula:
“Kecuali Thio Bu Kek, masih ada lagi Koan tong tayhiap To Siao Thian, satu-satunya tokoh
jago pedang golongan Hay lam yang bernama Hay leng cu......”.
“Sudah cukup, tiga orang ini saja sudah cukup”.
“Tetapi mereka masih belum anggap cukup, maka mengundang lagi Su-khong Koan yang
mendapat nama julukan raja garuda lengan satu dengan satu tangan dahulu pernah
membinasakan delapan penjahat besar, yang membuat namanya jadi tekenal”.
Siauw Cap-it-long tidak berkata apa-apa lagi.
Hong Sie Nio masih terus menatap wajahnya, katanya pula:
“Ada empat orang ini yang melindungi golok pusaka itu, dalam dunia rimba persilatan pada
dewasa ini, barangkali sudah tidak ada orang yang berani merampas golok itu lagi”.
Siauw Cap-it-long mendadak tertawa besar katanya:
“Bolak-balik kau berkata, ternyata cuma ingin memanaskan hatiku supaya dapat merebut
golok itu untukmu”.
“Apa kau tidak berani?”.
“Kalau aku merebut golok untuk kau, golok itu selanjutnya akan menjadi milikmu, dan aku
masih tetao bertangan hampa!”.
Hong Sie Nio menggigit bibir, katanya:
“Mereka memasuki benteng ini dengan membawa dan melindungi golok itu, tahukah kau apa
sebabnya?”.
Siauw Cap-it-long menggeleng-gelengkan kepala, katanya sambil tertawa:
“Tidak tahu, dan aku juga tidak perlu tahu. Sebab, biar bagaimana mereka tentunya tidak akan
mungkin mau memberikan golok itu kepadaku.”
“Taruhlah kau tidak berani merampas golok itu, apakah kau juga tidak ingin melihatnya
saja?”
“Tidak!”

“Kenapa?”
Jilid 2_________
“Jikalau aku sudah melihat golok itu, mau tidak mau akan tergerak dan tertarik hatiku. Dan
kalau sudah begitu, mau tak mau tentu akan timbul juga pikiran jahat untuk merampasnya.
Kalau tidak berhasil, maka akibatnya akan kehilangan nyawa.”
“Dan bagaimana jikalau berkasil kau rampas ?”
“Jikalah ku berhasil merampasnya, kau tentunya akan minta padaku. Meskipun aku merasa
berat, juga tidak enak tidak kuberikan kepadamu. Maka itu, sebaiknya aku tidak usah
melihatnya saja.” kata Siauw Cap-it-long sambil menghela nafas.
Hong Sie Nio berbangkit sambil menjejakkan kakinya, katanya dengan suara gemas
bercampur dongkol :
“Kiranya kau demikian tidak ada gunanya. Aku benar-benar salah ukur terhadap dirimu, Baik,
kalau kau tidak mau, biarlah aku sendiri yang pergi, biar tidak ada kau, kau boleh lihat aku
bisa mati atau tidak.”
“Sifatmu yang setelah melihat barang baik, lantas ingin dapatkan, benar-benar aku tidak tahu
sampai kapan bisa kau rubah.” berkata Siauw Cap-it-long sambil tertawa getir.
Raja garuda lengan satu.
KOTA ITU tidak besar, tetapi cukup ramai, sebab kota itu merupakan pusat yang harus di
lalui oleh para pedagang yang pergi atau pulang, dari daerah luar benteng dengan daerah
Tiong-goan. Pedagang-pedagang kolesom, kulit dan kuda dari daerah Koan-tong, pedagangpedagang
mas yang hendak mendatangkan barang mas dari gurun pasir kedaerah Tiong-goan,
hampir semuanya singgah satu atau dua malam di tempat itu.
Justru lantaran banyaknya pedagang yang lalu lintas dan singgah di kota itu, barulah
menjadikan kota itu luar biasa ramainya.
Di kota itu ada dua hal yang paling ter.
Satu ialah soal makan, kaum pria di dalam dunia ini jarang sekali yang tidak suka makan
enak. Disini terdapat berbagai macam makanan yang berbeda-beda jenisnya, untuk memenuhi
selera para tamunya.
Daging kambing dikota itu bahkan lebih gemuk dan lebih murah dari daging kambing yang
terdapat di kota raja, rumah makan Ngo-hok-lauw terkenal dengan hidangannya apa yang
dinamakan kepala singa dimasak asam manis, hidangan dari rumah makan itu tidak kalah
dengan hidangan di kota Hang-ciu yang terkenal.
Sekalipun tamu yang paling cerewet, disini juga akan merasa puas.
Kedua sudah tentu soal perempuan, perempuan yang dimaksudkan disini ialah perempuan
golongan “P”, kaum pria di dunia ini sedikit sekali jumlahnya yang tidak suka perempuan,
Disini terdapat berbagai tingkat kaum wanita golongan “P”. Orang boleh pilih sesukanya,
yang sesuai dengan keinginannnya.
Disuatu kota hanya mempunyai dua rupa hal yang terkenal, meskipun tidak terhitung banyak,
tetapi kedua hal itu sudah cukup menarik perhatian buat banyak kaum lelaki yang singgah
disitu.

Satu rumah makan yang bernama In-tek-goan, pemiliknya bernama Ma Hwe Hwe bukan saja
bisa membuat daging dari seekor sapi, bisa di jadikan sebanyak seratus delapan macam
sayuran yang berlainan rasa, tetapi juga merupakan salah seorang terkenal sebagai jago gulat
di daerah luar bentengan.
Rumah makan In-tek-goan tidak terlalu besar, hiasan dan perlengkapannya juga tidak terlalu
indah. Tetapi pemiliknya Ma Hwe-Hwe, dengan ikat pinggang kulit sampingnya yang lebar,
dengan batok kepalanya yang botak, berdiri di depan pintu sambil memegang perutnya yang
gendut, merupakan reklama hidup dari rumah makan tersebut.
Orang-orang kalangan kang-ouw yang melalui kota itu, jikalau tidak berkunjung ke rumah
makan In tek-goan untuk minum secangkir dua cangkir arak, dengan Ma Hwe-Hwe seolaholah
kurang berarti.
Pada hari-hari biasanya meskipun Ma Hwe Hwe juga selalu menunjukan wajahnya berseriseri
semangatnya yang selalu segar tetapi hari itu Ma Hwe Hwe lebih gembira.
Hari belum lagi terlalu terang, Ma Hwe Hwe sudah tidak henti-hentinya berjalan keluar
rumah makannya, matanya selalu ditujukan ke jalan raya seolah-olah sedang menantikan
kedatangan tamu agung.
Hampir menjelang hari petang, dari jalan raya benar saja mincul sebuah kereta kuda yang di
cat hitam, kereta itu ditarik oleh empat ekor kuda besar, larinya pesat sekali berjalan di jalan
raja yang banyak orang lalu lalang juga tidak mengendurkan lari kudanya. Untung kusir
kereta tampaknya cukup pandai mengendalikan kudanya. Juga lantaran empat ekor kuda yang
menarik kereta itu merupakan kuda-kuda jempolan yang disah terlatih dengan baik, maka
meskipun kereta itu larinya pesat, tapi tidak sampai menimbulkan kecelakaan lalu lintas.
Di jalan raya itu meskipun tidak sedikit jumlahnya kereta kuda yang mondar-mandir tetapi
kereta kuda yang demikian besar dan mewah masih jarang tampak, sudah tentu menarik
banyak perhatian dari penduduk dan tamu dari luar kota yang berada di kota itu, mereka pada
keluar menyaksikan dengan perasaan terheran-heran.
Kereta mewah itu baru berhenti di depan rumah makan In tek-goan, Ma Hwe Hwe sudah
maju menyongsong, dan dengan wajah berseri-seri membuka pintu keretanya.
Orang-orang yang menyaksikannya, pada merasa heran, meskipun Ma Hwe Hwe seorang
pedagang, tapi biasanya tidak mau merendahkan derajat sendiri, untuk menyongsong setiap
tamunya, hari ini mengapa kelakuannya demikian hormat terhadap tetamu yang di dalam
kereta itu ?
Orang pertama yang turun dari atas kereta ialah seorang laki laki setengah baya bermuka
putih dan di bawah hidungnya tumbuh kumis yang jarang, mukanya yang bulat sering-sering
unjukkan senyumnya, tubuhnya yang sudah mulai gemuk mengenakan jubah panjang sutera
hijau berkembang-kembang yang sepadan sekali dengan tubuhnya, sikap orang ini tampak
ramah, tampaknya seperti keturunan raja-raja atau kongcu yang sedang pesiar dalam pakaian
preman.
Ma HWe Hwe segera mengangkat kedua tangannya memberi hormat, seraya berkata sambil
tersenyum :
“Thio tayhiap datang dari tempat yang jauh, tentunya sudah letih sekali, silakan dulu
didalam.”
Laki-laki setengah baya itu juga membalas hormat sambil tersenyu, dan berkata :

“Tuan Ma terlalu merendahkan diri, silakan.”
Orang banyak, terutama orang-orang dari kalangan Kang ouw yang pada berdiri berjubal
menonton di tepi jalan, ketika mendengar ucapan Ma Hwe Hwe dan sebutannya kepada
terhadap orang itu, dalam hari samar-samar sudah dapat menduga siapa adanya laki-laki
setengah baya itu, hingga mata mereka tampak terbuka semakin lebar.
Apakah orang ini adalah ketua dari golongan Bu-kek, Thio Bu Kek yang dengan satu tangan
dengan ilmunya Sian-thian-bukek, dan ilmu pedang Bu-kek-kiam pernah menggemparkan
rimba persilatan ?
Dan siapakah orang kedua yang akan turun dari kereta itu ?
Orang kedua yang turun dari kereta itu adalah seorang tua berambut putih, orang tua ini
dandanannya sederhana, hanya baju atas berwarna abu-abu, bagian bawah mengenakan
pakaian berwarna biru, selain dipinggangnya dengan ikat pinggang warna putih, ditangannya
membawa pipa rokok panjang, tampaknya seperti orang desa yang sangat bodoh, tetapi kalau
sepasang matanya bergerak, memancarkan sinar yang menakutkan.
Ma Hwe Hwe segera membungkukkan badan dan tertawa sambil berkata :
“To loya, beberapa tahun tidak lihat, keadaan loya tampaknya semakin sehat.”
Orang tua itu mengangkat kepala dan tertawa terbahak-bahak :
“Semua ini adalah berkat kawan-kawanku yang masih hidup.”
Orang tua itu seorang she To, tentu dia adalah orang yang berdiam di Koan-tong selama
empat puluh tahun, pipa panjang ditangannya itu selain berfungsi sebagai pipa rokok, tetapi
juga khusus digunakan untuk menotok jalan darah ditubuh manusia, di kalangan Kang-ouw
mendapat julukan Koan-tong tayhiap tukang totok jalan darah, nama yang sebenarnya ialah
To Siao Thian! Dalam kereta ada dua orang yang terkenal namanya itu, mungkinkah orang
ketiga adalah seorang lemah ?
Orang banyak pada kasak kusuk, membicarakan kedatangan orang-orang itu, perhatian
mereka menjadi besar.
Orang ketiga yang turun dari kereta adalah seorang imam jangkung dan kurus kering. sedang
hidungnya seperti hidung betet dan pelipisnya tampak menonjol.
Dia seorang beribadat, tetapi pakaiannya sangat mewah, pada jubahnya yang berwarna ungu,
terdapat sulaman benang emas, di belakang punggungnya mencoren sarung pedang yang
terbuat dari kulit ikan paot, di bagian atas dilapis dengan mas,pedangnya juga merupakan
sebilah pedang panjang yang bentuknya aneh.
Sepasang matanya yang sipit selalu memandang ke atas, seolah-olah tidak pandang mata
kepala semua orang.
Ma Hwe Hwe menunjukkan sikapnya yang lebih menghormat, katanya sambil
membongkokkan badan:
“Boanpweh sudah lama dengar nama besar Hay totiang, hari ini bisa bertemu sebetulnya
merasa sangat beruntung sekali!”
Imam tua itu memandangpun tidak, hanya mengangguk-anggukkan kepada dan menyahut

dengan seenaknya: “Hm, hm!”
Hay hotiang? apakah imam itu yang mendapat julukan Hat leng cu?
Ilmu pedang dari golongan Hay-lam, terkenal dengan gerakannya yang cepat dan aneh, jago
pedang golongan Hay-lam, semuanya juga mempunyai sifat yang aneh-aneh, selamanya tidak
suka mengadakan perhubungan dengan orang-orang golongan lain.
Dalam pertempuran di pulau tong-ya pada tujuh tahun berselang, yang pernah
menggemparkan rimba persilatan. pocu pulau itu dengan tiga belas muridnya, semua terbinasa
di bawah pedang golongan Lam-hay, akan tetapi sembilan tokoh golongan Lam-hay juga mati
hanya tinggal Hay-leng-cu seorang yang masih hidup, sejak pertempuran itu, nama Hay-lengcu
semakin kesohor, tetapi juga semakin tidak pandang mata orang lain.
Mengapa hari ini ia bisa datang bersama-sama dengan Thio Bu kek dan thio Siao Thian?
Yang paling mengherankan ialah, tiga orang itu setelah turun dari keretenya tidak ada satu
yang langsung masuk ke dalam, semuanya pada berdiri di pinggir pintu, rupanya mereka
masih menunggu turunnya orang keempat.
Lama sekali, dari dalam kereta baru tampak turun seorang lagi.
Orang itu begitu turun dari keretany6a, semua pada terkejut.
Orang itu sesungguhnya terlalu aneh.
Tinggi tubuhnya tidak cukup lima kaki, namun kepalanya besar sekali, rambut diatas
kepalanya yang awut-awutan dengan alisnya yang tebal hampir menjadi satu garis, mata
kirinya memancarkan sinar berkilauan, namun mata yang kanan tampaknya tidak bercahaya
seperti mata ikan yang sudah mati. Di atas bibir kumisnya tumbuh seperti rumput tak karuan
tebal dan merah bagaikan darah.
Lengan kanannya sudah terkutung sebatas bahu, yang tinggal hanya sebuah lengan kiri yang
panjangnya sangat menakutkan, jikalau diluruskan mungkin dapat mencapai ujung kakinya.
Tengannya itu masih menenteng sebuah bungkusan panjang yang terdiri dari kain berwarna
kuning.
Kali ini Ma Hwe Hwe tidak berani mengangkat muka sama sekali, dengan sikap yang sangat
hormat sekali, ia berkata sambil tertawa:
“Dengar kabar locianpwe hendak datang maka teecu sengaja memilih seekor sapi jantan ...”
Dengan sikap kemalas-malasan orang berlengan satu itu mengangguk-anggukkan kepalanya
dan berkata:
“Sapi jantan lebih baik dari pada sapi betina, tetapi entah dalam keadaan mati, ataukah masih
hidup?”
“Sudah tentu masih hidup. teecu sengaja tingglkan untuk locianpwe dahar dalam keadaan
segar.” menjawab Ma Hwe Hwe dengan muka berseri-seri.
“Bagus, bagus! Mempunyai cucu seperti kau ini, masih boleh juga, masih mengerti caranya
menghormati orang tua” berkata orang berlengan satu itu sambil tertawa besar.
Ma Hwe Hwe dianggap sebagai cucu, ternyata masih menunjukkan sikap yang sangat girang,
orang yang tidak mengetahui asal usul orang tua berlengan satu itu, dalam hati sedikit banyak

tidak habis mengerti.
Tetapi ada sebagian orang yang sudah menduga siapa adanya orang tua berlengan satu itu,
dalam hati sebaliknya anggap Ma Hwe Hwe sangat beruntung, sebab bisa dianggap cucu oleh
orang yang mempunyai nama julukan raja garuda lengan satu, sebetulnya bukan suatu soak
yang sangat mudah.
Dibagian belakang rumah makan In tek goan, ada sebuah pekarangan kecil, disediakan khusus
untuk tamu-tamu agung, didalam pekarangan itu ada sebuah gunung-gunungan itu ada
beberapa pohon besar.
kini dibawah pohon besar itu ada seekor sapi yang dicancang dengan tambang besar.
Sapi itu luar biasa besarnya, sepasang tanduknya besar dan runcing, seolah-olah dua bilah
golok.
Bungkusan kuning ditangan raja garuda lengan satu tadi, kini entah emana disimpannya, saat
itu ia sedang berputaran mengitari sapi jantan itu, sedang mulutnya mengeluarkan suara
cericisan, berkata tidak berhentinya:
“Bagus, bagus, .......”
To Siao Thian yang menyaksikan itu berkata sambil tersenyum:
“Saudara Su-khong, kalau sudah merasa puas, mengapa masih belum turun tangan?”
“Kau si tua bangka tidak berguna ini, apa ingin menonton pertunjukkanku?” berkata si raja
garuda berlengan satu sambil tertawa cekikikan.
Kemudian dengan tiba-tiba ia melambaikan tangannya di depan mata sapi jantan itu. Keruan
saja sapi itu yang mendadak dikejutkan, menundukkan kepala, dengan kedua tanduknya yang
runcing menyeruduk perut si raja garuda.
Si Raja Garuda membentak sambil tertawa besar:
“Bagus!”
Sementara itu, tubuhnya yang pendek mengelak, entah dengan cara bagaimana, ia sudah
berada di perut sapi, sedang satu tangannya yang panjang bergerak, ternyata sudah masuk ke
dalam perut sapi besar tadi.
Sapi jantan yang merasa kesakitan, lompat-lompatan ke atas, sehingga tambang besar yang
mengikat lehernya telah terputus, sapi itu menerjang ke depan, darah segar mengucur keluar
dari bawah perutnya dan dalam keadaan kalap sudah menubruk dinding tembok pekarangan.
Dinding tembok itu diseruduk sehingga terjadi sebuah lubang, sebagian tubuh sapi jandan itu
masuk ke lubang tadi. Sapi itu meronta-ronta seperti kalap, tapi karena darahnya mengucur
terlalu banyak, akhirnya tidak bisa bergerak lagi.
Pada saat itu, hati sapi besar tadi sudah berada di tangan si Raja Garuda lengan satu. Ia
tertawa besar dan membuka mulutnya, hati sapi yang baru dirogoh dari perutnya itu telah
dimakan begitu saja.
Suara mengunyah hati sapi yang baru dikeluarkan dari dalam perutnya itu kedengarannya
begitu keras, benar-benar dapat membuat bulu roma orang yang melihatnya.

Hay leng cu yang menyaksikan perbuatan si Raja Garuda Lengan Satu, mengerutkan alisnya,
ia berpaling tidak berani mengawasi lagi.
Si Raja Garuda Lengan Satu tampaknya sangat bangga sekali, ia berkata sambil tertawa
cekikikan:
“Kau tidak perlu mengerutkan alismu, dengan orang seperti kau, jikalau ingin makan hati sapi
hidup-hidup secara demikian, barangkali tidak mudah, sedikitnya kau masih perlu melatih
ilmu cengkeraman kaki garuda sepuluh tahun lamanya.”
Di wajah Hay leng cu yang angkuh tampak marah, katanya dingin:
“Aku tidak perlu melatih segala ilmu cengkeraman kuku garuda.”
Si Raja Garuda Lengan Satu pendelikkan matanya dan berkata:
“Kau tidak perlu mempelajari atau melatih, apakah kau tidak pandang mata ilmu
cengekeraman kuku garuda loyamu ini?”
Sebelah tangannya yang masih berlumur darah segera sudah menyambar kepada Hay leng cu.
Hay leng-cu lompat mundur hingga delapan kaki, parasnya semakin pucat.
Si Raja Garuda Lengan Satu mendongakkan kepala dan tertawa besar, katanya:
“Imam kecil, kau tak usah takut, aku si loya hanya main-main menggertak kau saja. Aku
dengan imam tua gurumu itu adalah sahabat baik, bagaimana aku boleh menghina kau si
bocah ini?”
Hay leng-cu sudah berusia lima puluh tahun lebih, tak disangka masih ada orang panggil ia
bocah, hingga dua tangannya gemetaran bahna menahan hawa amarahnya, namun ia tidak
mempunyai nyali untuk menghunus keluar pedangnya.
Kekuatan tenaga si Raja Garuda Lengan Satu yang dapat menoblos perut sapi dan mengambil
hati dari dalam perutnya, bukan saja menunjukkan kekuatan tenaganya yang besar, tetapi juga
menunjukkan sifatnya yang kejam, benar-benar membuat orang lenyap keberaniannya.
Perjamuan makan yang diadakan di ruangan besar rumah makan itu, sudah mulai masuk
dalam ronde ketujuh.
Masakan Ma Hwe Hwe benar-benar luar biasa, ia bisa membuat daging sapi dimasak seperti
daging ayam, seperti daging bebek yang gemuk, seperti rasanya ayam arak, ada kalanya
demikian lunak seperti tahu.
Ia bisa masak daging sapi menjadi beberapa macam hidangan yang berlainan rasanya, yang
lebih aneh ialah rasa daging itu tidak seperti daging sapi rasanya.
Ketika tiba gilirannya hidangan kedelapan, diantar sendiri oleh Ma Hwe Hwe, pemilik plus
tukang masak rumah makan itu berkata kepada para tamunya:
“Hidangan meskipun kurang baik, tetapi araknya masih boleh juga, cianpwe semua harap
minum lebih banyak sedikit.”
Si Raja Garuda Lengan Satu mendadak menggeprak-geprak meja, lalu katanya dengan suara
keras:
“Araknya juga tidak baik.”

Ma Hwe Hwe terkejut, hingga saat itu berdiri terpaku di tempatnya.
Masih untung Thio Bu Kek segera menyambungnya sambil tertawa:
“Araknya meskipun arak baik, tetapi jikalau tidak ada selendang merah yang menemani arak,
rasa arak juga menjadi tawar.”
Si Raja Garuda Lengan Satu tertawa besar, katanya:
“Benar, itu tidak salah! Kau yang sudah pernah sekolah sudah tentu harus tahu bahwa arak
sekali-kali tidak boleh dipisahkan dengan paras elok.”
Ma Hwe Hwe juga tertawa, katanya:
“Boanpwee sebetulnya juga belum pernah memikirkan hal itu, tetapi karena kwatir bahwa
perempuan-perempuan di sini umumnya biasa saja, mungkin nanti malah akan tidak
dipandang oleh cianpwe sekalian.”
“Kabarnya perempuan di sini kesohor, apakah seorang yang elok saja sudah tidak ada?” tanya
si Raja Garuda Lengan Satu sambil mengerutkan alisnya.
“Ada sih ada, tapi cuma satu saja......”
Si Raja Garuda Lengan Satu kembali menggeprak meja dan berkata:
“Satu sudah cukup! Imam tua ini adalah seorang beribadat, Thio Bu Kek terkenal seorang
laki-laki takut istri, dan tua bangka she To ini meskipun kemauannya ada, tetapi tenaganya
sudah kurang, maka kau tidak perlu khawatirkan terhadap mereka, mereka pasti tidak suka!”
To Siao Thian berkata sambil tertawa:
“Benar, asal kau mencarikan seseorang saja untuk Su khong cianpwe sudah cukup, aku si tua
bangka ini hanya ingin menonton di samping saja. Sebagai orang yang sudah lanjut usianya,
asal dapat menonton dari samping juga sudah cukup puas.”
Thio Bu Kek juga ikut-ikutan berkata sambil berkata:
“Lelaki yang takut istri, menonton saja juga tidak baik, tetapi jikalau tidak menonton sebentar,
aku masih benar-benar berat untuk pergi. Toa Ma, tolong kau pergi panggil satu kali ini saja.”
“Boanpwe sekarang hendak mencari, tapi....”
“Kenapa?” bertanya si Raja Garuda Lengan Satu sambil pendelikkan matanya.
“Nona itu sangat terkenal dengan sikapnya yang terlalu angkuh, belum tentu dapat
diketemukan dengan segera” menjawab Ma Hwe Hwe.
“Itu tidak halangan, aku justru senang kepada perempuan yang angkuh, sebab perempuan
yang angkuh pasti mempunyai apa yang berlainan dengan yang lain. Jikalau tidak, bagaimana
ia bisa berlaku angkuh?” berkata si Raja Garuda Lengan Satu sambil tertawa besar.
“Kalau begitu, harap supaya cianpwe suka menunggu sebentar....”
“Menunggu lama sedikit juga tidak apa. Buat urusan lain aku si loya meskipun tidak mau
menunggu, tetapi kesabaranku untuk menunggu perempuan justru aku mempunyai.”

Sudah hampir satu jam si Raja Garuda Lengan Satu menunggu, namun perempuan elok itu
masih belum datang juga.
To Siao Thian, terus menenggak araknya berkata sambil menggelengkan kepala:
“Perempuan ini benar-benar sangat angkuh sekali.”
Si Raja Garuda Lengan Satu juga berkata sambil menggelengkan kepala:
“Kalau tua bangka ini benar-benar tidak mengerti adat perempuan, pantas kau menjadi
buangan selama-lamanya....... apa kau kira perempuan itu benar-benar beradat angkuh?”
“Apakah tidak?” bertanya tiba-tiba To Siao Thian.
“Dia berbuat demikian, bukanlah karena adatnya yang benar-benar angkuh, itu hanya sengaja
menarik perhatian atau kesukaan kaum lelaki saja.”
“Menarik kesukaan kaum lelaki?”
“Benar, ia tahu kaum laki-laki semuanya adalah orang yang tidak berharga, semakin lama
menunggu, semakin besar perasaan tertariknya, sehingga semakin merasakan betapa
berharganya perempuan itu. Perempuan yang begitu diundang segera datang, lelaki umumnya
menganggap tidak berarti.”
“Sungguh suatu pendapat yang hebat, aku tak sangka saudara Su-khong bukan saja tinggi
kepandaian ilmu silatmu, tetapi terhadap perempuan juga ternyata mempunyai pengertian
yang mendalam.”
“Hendak mempelajari soal sifat dan adat perempuan, jauh lebih sulit dari pada mempelajari
ilmu silat.”
Mendadak si Raja Garuda Lengan Satu itu berdiam sambil tertawa, lalu pasang telinga,
kemudian berkata sambil tertawa:
“Nah, itu dia sudah datang.”
Baru saja ucapan itu keluar dari mulutnya, di luar pintu sudah terdengar suara langkah kaki
yang halus.
Hay leng-cu sendiri juga sudah berpaling untuk melihat, ia sebetulnya ingin menyaksikan
bagaimana rupanya orang yang dikatakan luar biasa eloknya itu.
Pintu ruangan itu memang terbuka, hanya ditutup dengan selapis tirai saja.
Di bawah tirai tampak sepasang kaki.
Sepatu yang dikenakan oleh orang yang mempunyai kaki itu, meskipun hanya sepasang
sepatu lemas yang terbuat dari kain berwarna hijau, tetapi modelnya indah, hingga membuat
sepasang kaki itu juga tampak indah.
Meskipun hanya baru melihat sepasang kakinya saja, si Raja Garuda Lengan Satu sudah
merasa puas.
Kepala yang luar biasa besarnya itu mulai bergoyang-goyang, satu matanya yang
memancarkan sinar berkilauan terus menatap sepasang sepatu itu tanpa berkedip, sedang biji

matanya juga seolah-olah seperti mau melompat keluar.
Dari luar tirai, terdengar suara orang bertanya:
“Apakah aku boleh masuk?”
Nada suaranya itu sedemikian dingin, tetapi lembut halus dan sangat merdu.
Si Raja Garuda Lengan Satu tertawa besar, katanya:
“Kau tentu saja boleh masuk, lekas.... masuklah.”
Kaki di luar tirai masih belum bergerak. Dari luar itu tiba-tiba tampak diulurkan masuk
sebuah tangan.
Tangan itu sangat putih, jari-jari tangannya panjang dan halus, kukunya dipotong demikian
bersih dan ramping, tetapi tidak mirip dengan seorang perempuan yang suka bersolek. Di atas
kukunya hanya dipoles dengan minyak kembang.
Jari itu bukan saja indah, tetapi juga mempunyai sifat lain.
Hanya melihat tangan itu saja, sudah menimbulkan kesan bahwa perempuan itu benar-benar
lain dari pada yang lain.
Si Raja Garuda Lengan Satu tidak berhentinya mengangguk-anggukkan kepala dan berkata
sambil tertawa:
“Bagus,bagus....bagus sekali...”
Tangan itu perlahan-lahan mulai menyingkap tirai.
Perempuan yang berbeda dengan perempuan lainnya itu, akhirnya berjalan masuk juga.....
Dalam bayangan To Siao Thian, perempuan yang sangat angkuh itu, pasti berpakaian sangat
mewah, bersolek dengan pupur tebal atau dipenuhi oleh berbagai perhiasan barang permata.
Tetapi anggapan demikian itu ternyata keliru.
Perempuan itu hanya mengenakan pakaian kain hijau yang span, tampak sederhana sekali, di
wajahnya tidak terlihat bedak, atau pupur dan lipstik. Hanya di daun telinganya ada sepasang
giwang yang terbuat dari mutiara kecil.
To Siao Thian merasa heran, ia sungguh tidak menyangka perempuan tuna susila
dandanannya demikian sederhana, bahkan boleh dikata sedikit bersolekpun tidak ada.
To Siao Thian sudah berusia lanjut, tetapi pengertiannya terhadap kaum wanita sebenarnya
tidaklah banyak. Sedangkan pengertian perempuan itu terhadap kaum pria agaknya lebih
banyak. Rupanya dia tahu benar, bila ia bersolek terlalu menyolok, akan kelihatan seperti
biasa saja.
Hati kaum pria memang benar-benar sangat aneh, mereka selalu mengharapkan perempuan
golongan tuna susila tidak mirip dengan perempuan tuna susila, tetapi mencari yang mirip
dengan gadis bangsawan, atau gadis pingitan dari keluarga baik-baik.
Tetapi apabila mereka bertemu dengan perempuan yang baik-baik, bersih suci, mereka
sebaliknya mengharap wanita ini bisa mirip dengan wanita tuna susila.

Maka itu, apabila perempuan tuna susila yang bersikap dan berdandan seperti perempuan
biasa golongan baik-baik, pasti menjadi terkenal, dan gadis golongan baik-baik jikalau mirip
dengan perempuan tuna susila, juga pasti bisa menarik banyak kaum lelaki yang mengejarngejar
padanya.
Thio Bu Kek meskipun takut istri, tetapi suami yang takut istri kadang-kadang juga bisa
menyeleweng di luar. Di dalam dunia ini, umumnya tidak ada orang laki yang tidak suka
menyeleweng seperti juga tidak ada kucing yang tidak rakus.
Begitu juga Thio Bu Kek ini, ia pernah menyeleweng beberapa kali, dalam kesannya, setiap
perempuan tuna susila begitu masuk ke dalam menemui tamunya, di wajahnya selalu
tersungging senyum manis.... sudah tentu senyuman itu bersifat profesional.
Akan tetapi perempuan yang duduk bersama-sama ini sebaliknya berbeda dengan wanita
biasa.
Ia bukan saja tidak tertawa atau tersenyum, bahkan sepatah katapun tidak keluar dari
mulutnya.
Begitu berjalan masuk, lalu duduk di atas kursi, sikapnya demikian dingin, seolah-olah sebuah
patung.
Hanya patung ini benar-benar sangat elok.
Usianya agaknya sudah tidak muda lagi tetapi juga tidak terlalu tua, sepasang matanya jernih
berkilat di ujungnya agak berdiri ke atas, tampaknya malah semakin menggiurkan.
Mata si Raja Garuda Lengan Satu sudah menyipit, katanya sambil tertawa:
“Baik,baik... silahkan duduk.”
Wanita itu memandang padanyapun tidak, jawabnya dingin:
“Aku sudah duduk”
“Oya benar benar! Kau sudah duduk, dudukmu bagus sekali.” berkata si Raja Garuda Lengan
Satu sambil tertawa.
“Kalau begitu kau bileh lihatlah sepuas hatimu, aku memang sudah ditakdirkan hidup untuk
dilihat orang” menjawab perempuan itu.
Si Raja Garuda Lengan Satu menepok meja, katanya sambil tertawa besar:
“Tua bangka, kau lihatlah.... kau lihatlah. Perempuan ini betapa menyenangkan, setiap patah
kata yang keluar dari mulutnya berbeda sekali dengan orang lain, ia ternyata berani
membantah aku.”
Jikalau ada orang lain berani membantah ucapannya ia pasti akan pukul kepala orang itu
hingga pecah, tetapi wanita itu sudah membantah ucapannya sebaliknya ia malah merasa
kesenangan.
Aih kaum wanita benar-benar hebat.
“Ku tidak tahu nona ini suka memberitahukan namanya atau tidak?” demikian To Siao Thian
berkata juga tertawa.
“Namaku Sie Nio.” menjawab wanita itu lekas.

“Sie Nio?..... Pantas kau demikian tidak gembira, kelihatannya kiranya kau sedang
memikirkan ibumu? Apakah ibumu juga demikian cantik seperti kau?” bertanya si Raja
Garuda Lengan Satu sambil tertawa besar.
Sie Nio tidak berkata apa-apa, ia bangkit dari tempat duduknya dan lalu berjalan keluar.
Si Raja Garuda Lengan Satu berseru:
“Tunggu dulu, tunggu dulu! Kau hendak ke mana?”
“Aku hendak pergi.”
“Pergi? Kau mau pergi? Baru saja kau datang, apa sudah mau pergi lagi?” tanya si raja garuda
lengan satu heran.
“Meskipun aku adalah seorang perempuan yang jual tawa dan muka manis, tetapi ibuku
bukan demikian! Aku datang ke mari juga bukanlah hendak mendengar ucapan kalian yang
membawa-bawa ibuku untuk dibuat permainan,” jawab Si Nio dingin.
Ia ternyata mengerti sifat laki-laki yang benar-benar, ia tahu laki-laki yang kedudukannya
semakin tinggi dan semakin banyak akal tentu semakin senang kepada perempuan yang tidak
dengar kata. Sebab mereka sudah terbiasa melihat banyak orang yang selalu dengar katanya.
Jarang melihat perempuan semacam dia itu baru senang dengar perempuan yang membuat
mabuk dirinya.
Benar saja, si Raja Garuda Lengan Satu sedikit pun tidak marah, sebaliknya malah tertawa
semakin senang, katanya:
“Benar, benar, benar! Selanjutnya, siapa yang berani main-main dengan ibumu, aku akan
potes lebih dulu lehernya!”
Kini Si Nio barulah dengan terpaksa duduk lagi.
Thio Bu Kek lalu berkata:
“Kalau nona tidak suka main-main, apakah yang nona sukai?”
“Apa pun aku tidak suka, apa pun aku tidak senang,” menjawab Si Nio.
“Satu jawaban yang sangat bagus, benar-benar lebih menarik daripada suara orang
menyanyi!” berkata si Raja Garuda Lengan Satu sambil tertawa besar.
“Ucapan nona sudah demikian enaknya, nyanyiannya pasti lebih enak lagi. Entah nona bisa
menyanyi apa? Sudikah nona menyanyi, supaya kami semua bisa turut merasa senang?”
berkata Thio Bu Kek sambil tertawa.
HATI PEREMPUAN
“Aku tidak bisa menyanyi,” menjawab Si Nio.
“Kalau begitu......... nona tentunya bisa main mandolin?” bertanya pula Thio Bu Kek.
“Juga tidak bisa.”
“Bagaimana kalau main Tipa?”

“Lebih tidak bisa.”
Thio Bu Kek tertawa, katanya:
“Kalau begitu......... nona sebetulnya bisa main apa?”
“Aku datang hanya untuk menemani kalian minum arak, sudah tentu bisanya cuma minum
arak.”
Si Raja Garuda Lengan Satu tertawa besar ketika mendengar ucapan itu, kemudian berkata:
“Bagus sekali! Bagus sekali! Bisa minum arak sudah cukup bagus, aku justru senang sekali
kepada perempuan yang bisa minum arak.”
Wanita yang mengaku bernama Si Nio ini benar-benar boleh dikata bisa minum arak. Thio Bu
Kek sebetulnya sengaja hendak meloloh ia hingga mabuk, supaya perempuan itu bisa lebih
cepat menunjukkan tingkah-lakunya yang sebenarnya.
Tetapi Si Nio semakin banyak menenggak arak, sinar matanya semakin terang, sedikit pun
tidak dapat dijejaki sampai di mana kuatnya dia minum arak. Maka itu, Thio Bu Kek
sebaliknya tidak berani mengajak ia minum lagi.
Si Raja Garuda Lengan Satu sendiri tidak berani meloloh ia minum arak. Ia adalah seorang
laki yang mengerti, bahwa buat menikmati orang perempuan itu sedikit mabuk, perempuan itu
tidak boleh mabuk arak benar-benar.
Ia juga mengerti caranya menguasai waktu.
Ketika saatnya tiba, ia sendiri yang lebih dulu berpura-pura mabuk.
Sementara itu, Thio Bu Kek juga tahu diri, telah menganggap saatnya tiba, ia berkata sambil
tertawa:
“Saudara Su-khong beberapa hari ini terlalu lelah, sekarang barangkali tidak sanggup minum
arak lagi!”
“Ingin tidur saja...... aku sudah mabok, hendak tidur........”
“Toa Ma sudah menyediakan satu rumah yang tenang di belakang sana, tolong nona ini antar
saudara Su-khong ke kamar!” berkata Thio Bu Kek.
Si Nio mendelikkan matanya tetapi tidak menolak, ia membimbing si Raja Garuda Lengan
Satu berjalan ke luar. Perbuatan seperti ini rupanya sudah biasa dilakukannya.
To Siao Thian berkata sambil tertawa:
“Aku masih menganggap ia benar-benar tidak ada apa-apanya yang berlainan, kiranya pada
akhirnya juga sama saja seperti perempuan yang lain.”
Thio Bu Kek juga lantas berkata sambil tertawa:
“Pada akhirnya, setiap perempuan dalam dunia ini memang semua sama saja. Terutama
perempuan semacam ini, mereka memang lantaran hendak menjual diri baru keluar
melakukan pekerjaan semacam ini. Kalau tidak buat menjual diri, tidak mungkin dia mau
berbuat demikian.”

“Hanya cara menjual diri perempuan ini tadi sebetulnya agak berlainan dari yang lain,”
berkata To Siao Thian sambil tertawa.
Rumah yang disediakan oleh Ma Hwe Hwe untuk keperluan si Raja Garuda Lengan Satu
benar saja sangat tenang.
Begitu masuk pintu, Si Nio mendorongnya sekuat tenaga, katanya dingin:
“Mabukmu seharusnya sudah waktunya untuk sadarkan diri!”
“Mabuk arak mana bisa sadar demikian cepat?” berkata si Raja Garuda Lengan Satu sambil
tertawa.
“Kau sebetulnya memang tidak mabuk, apa kau kira aku bisa kau kibuli?” berkata Si Nio
sambil tertawa dingin.
“Juga tahu, sadar ialah mabuk, mabuk berarti sadar, penghidupan manusia memang seperti
main sandiwara. Perlu apa kau bedakan demikian jelas?”
Ia mencari poci teh sendiri, lalu ditenggaknya begitu saja, sedang mulutnya menggumam:
“Arak terbuat dari air, tapi air benar-benar tidak seperti arak enaknya.”
Si Nio memandang padanya dengan sinar mata dingin, katanya:
“Sekarang aku sudah antar kau pulang, kau masih hendak suruh aku bikin apa?”
Dengan tangannya yang tinggal satu, si Raja Garuda Lengan Satu menarik tangan Si Nio, lalu
berkata sambil menyipitkan matanya:
“Orang laki pada saat seperti ini hendak melakukan apa, apakah betul-betul kau tidak
mengerti?”
Si Nio mengibaskan tangannya, katanya dengan suara keras:
“Dengan hak apa kau mengira aku perempuan semacam itu? Dengan hak apa kau mengira
aku bisa melakukan perbuatan semacam itu?”
“Aku hanya bisa berbuat dengan hak ini,” berkata si Raja Garuda Lengan Satu, yang sudah
lantas mengeluarkan sepotong uang mas, dilemparkan di atas meja, sedang matanya tak
lepasnya terus melirik kepada Si Nio dan mulutnya berkata:
“Ini kau mau tidak?”
“Kami yang melakukan pekerjaan seperti ini, tujuannya memang buat mencari uang sematamata.
Jikalau bukan lantaran hendak mencari uang, siapa yang kesudian harus dianggap botol
arak oleh orang lain?”
Si Raja Garuda Lengan Satu tertawa besar, katanya:
“Kiranya kau masih mau uang? Kalau begitu mudah sekali.”
Kembali ia menarik tangan Si Nio, dan Si Nio mengibaskan lagi, katanya dingin:
“Meskipun aku mau uang, tetapi aku juga harus memilih orangnya.”
Wajah si Raja Garuda Lengan Satu berubah, katanya:

“Kau mau memilih orang macam apa? Lelaki tampan?”
“Lelaki tampan sudah banyak aku melihatnya, yang kukehendaki ialah laki-laki yang benarbenar
jantan!”
“Itu benar, kau memilih aku tidak bisa salah lagi, aku adalah laki-laki yang jantan benarbenar,”
berkata si Raja Garuda Lengan Satu sambil tertawa.
Si Nio mengawasi padanya dari atas sampai ke bawah, kemudian berkata:
“Yang kukehendaki ialah laki-laki yang hebat, apakah kau ya?”
“Sudah tentu.”
“Jikalau kau benar-benar memiliki kehebatan, perlihatkanlah padaku. Jikalau kau bisa
menggerakkan hatiku, sekalipun kau tidak memberikan uang sama sekali, aku juga bersedia
melayani kau.......”
“Kau tidak kenal aku, sudah tentu tidak tahu betapa hebatnya aku ini. Tetapi orang-orang
dunia Kang-ouw yang pernah mendengar namaku, kalau aku sudah suruh ia pergi ke timur, ia
tidak mungkin berani menuju ke barat,” berkata si Raja Garuda Lengan Satu sambil tertawa.
“Membual setiap orang pun bisa.”
“Kau tidak percaya? Baik, aku perlihatkan padamu.” berkata si Raja Garuda Lengan Satu.
Ia menggunakan tangannya dan memotong perlahan di atas meja, meja itu telah terpapas
bagaikan oleh pisau tajam.
“Baik, benar kau mempunyai kepandaian. Tetapi dalam mataku masih belum cukup.........”
berkata Si Nio hambar.
“Tidak perduli bagimu sudah cukup atau belum, tapi aku sudah tidak bisa sabar menunggu
lagi,” berkata si Raja Garuda Lengan Satu sambil tertawa besar.
Ia menarik perlahan, Si Nio hampir jatuh dalam pelukannya.
Si Nio memejamkan matanya tanpa bergerak, katanya:
“Tenagamu besar, kalau kau hendak memperkosa aku, aku juga tidak berdaya untuk melawan.
Tetapi seorang laki yang benar-benar jantan, seharusnya suruh perempuan yang mengikuti
kemauannya dengan kerelaan hatinya sendiri.”
Si Raja Garuda Lengan Satu bungkam, sebab tangannya sudah bergerak, meskipun ia hanya
memiliki satu tangan saja, tetapi gerakannya lebih cepat dan lebih hebat daripada orang laki
lain yang mempunyai tangan dua.
Si Nio menggertak gigi, katanya sambil tertawa dingin:
“Percuma saja kau berani mengatakan sendiri seorang laki-laki jantan, kiranya kau hanya
bisanya menghina seorang perempuan. Orang laki yang menghina orang perempuan bukan
saja seorang yang tidak tahu malu, juga paling tidak ada harganya. Aku sungguh tidak
menduga kau adalah seorang laki bertipe demikian.”
Si Raja Garuda Lengan Satu mendengus, katanya sambil tertawa:

“Kau kira aku ini orang macam apa?”
“Kulihat meskipun mukamu buruk, namun masih ada sedikit sifat laki-laki, maka aku baru
mau mengikuti kau datang kemari. Tapi jikalau diganti dengan tiga orang itu, sekalipun
mereka mabok dan rubuh di tanah, aku juga tidak sudi membangunkan mereka” kata Sie Nio.
Ia menarik napas perlahan, lalu katanya lagi dengan suara hambar:
“Siapa sangka aku ternyata sudah keliru melihat tentang dirimu. Tapi ini juga terpaksa cuma
bisa sesalkan diriku sendiri, tidak dapat menyesalkan orang lain…………, baik… kalau kau
mau lekaslah, biar bagaimana urusan ini juga tidak memerlukan banyak waktu”.
Tangan si Raja Garuda lengan satu sekarang sudah tidak begitu aktif lagi, orangnya juga
diam. Sekian lama ia berada dalam keadaan tercengang, barulah lompat bangun dan berkata
dengan suara keras:
“Kau sebenarnya menghendaki aku berbuat bagaimana?”
Sie Nio duduk dan berkata:
“Aku dengar, orang yang memiliki kepandaian semakin tinggi, semakin tidak suka
memperlihatkan. Contohnya, Hansin di jaman dahulu, meskipun terhina disuruh merangkak di
bawah selangkangan kaki orang, ia menurut saja. Orang-orang dikemudian hari baru
merasakan bahwa ia itu benar-benar seorang yang hebat, sebab pada saat itu ketika ia dibunuh
oleh kaum bajingan itu, masih ada yang mengaguminya dengan prestasinya dikemudian hari”.
“Apakah kau menghendaki aku merangkak di bawah selangkanganmu?”
Sie Nio merasa geli hingga tidak dapat menahan tawanya.
Kalau disaat ia tidak tertawa, hanya merupakan seorang cantik seperti patung, tapi setelah
tertawa, benar-benar sangat menggiurkan, jikalau ada pria yang melihatnya dan tidak tergerak
hatinya, orang itu pasti seorang laki-laki yang sudah tidak bernyawa.
Si Raja Garuda Lengan Satu tentu bukan orang mati, dengan mata terbelalak ia berkata sambil
tertawa:
“Aku Su-khong Cu pernah malang melintang dalam dunia kang-ouw, tetapi jika kau benarbenar
suruh aku merangkak di bawah selangkanganmu, aku juga bisa menurut.”
“Bukan itu maksudku. Tapi………..” berkata Sie Nio.
Biji matanya berputaran, kemudian berkata pula:
“Kalau kau kupukul sekali, namun tidak membalas, itulah baru laki-laki bersifat jantan. Baru
benar-benar seorang laki-laki yang mempunyai keberanian.”
Si Raja Garuda Lengan satu berkata sambil tertawa besar:
“Ini sangat mudah. Kalau kau mau, kau boleh pukul aku sepuasnya, apa salahnya?”
“Benarkah?”
“Sudah tentu benar! Sekarang kau boleh coba pukul. Pukul lebih berat juga tidak halangan.”
“Kalau begitu aku benar-benar hendak memukulmu”

Ia menggulung lengan bajunya, sehingga tampak tangannya yang putih.
Si Raja Garuda lengan Satu benar-benar sama sekali tidak bergerak, ia rupanya sudah terima
dirinya dipukul orang.
Itulah orang lelaki yang patut dikasihani. Karena hendak menunjukkan dirinya seorang lakilaki
berjiwa jantan di hadapan perempuan, karena hendak menunjukkan keberaniannya, oarng
laki-laki benar-benar dapat melakukan apa saja.
Sie Nio tertawa, tangannya lalu memukul ringan.
Ia bergerak lambat, tetapi sewaktu hendak memukul muka Raja Garuda Lengan Satu, lima jari
tangannya yang runcing dengan tiba-tiba melakukan totokan demikian cepat dan dengan
beruntun beberapa kali, menotok empat tempat di bagian jalan darah orang itu.
Si Raja Garuda Lengan Satu jelas tidak menduga sama sekali akan tindakan Hong Sie Nio itu,
ketika ia menyadari, sudah tidak keburu lagi…….. hingga ia sendiri seketika itu juga sudah
berubah menjadi patung
Sementara itu Sie Nio sudah memperdengarkan suara tertawanya yang nyaring, setelah itu ia
berkata:
“Baik, Raja Garuda Lengan Satu benar saja memiliki jiwa laki-laki jantan, aku kagum
kepadamu!”
Si Raja Garuda Lengan Satu hanya mendelikkan matanya memandang padanya, matanya itu
sudah merah membara, tapi dari mulutnya sepatah katapun tidak dapat keluar, seluruh
mukanya sudah kaku.
Sie Nio berkata pula:
“Sebetulnya kau tidak perlu marah, tidak perlu sedih. Sebab tidak perduli bagaimana
pintarnyapun laki-laki, kalau sudah melihat perempuan cantik, juga bisa berubah jadi
linglung.”
Ia tertawa gembira, kemudian berkata lagi:
“Maka itu, ada beberapa gadis cilik berusia tujuh belas tahunan, juga bisa menipu seorang tua
bangka licik yang gemar paras elok. Dalam dunia ini urusan semacam ini banyak sekali…….”
Sambil berkata demikian, tangannya meraba-raba seluruh tubuh si Raja Garuda Lengan Satu.
Si Raja Garuda Lengan Satu memakai pakaian pendek tetapi lebar.
Bungkusan kuning yang tadi berada di tangannya, justru disembunyikan dalam pakaiannnya.
Sie Nio setelah menemukan bungkusan itu, matanya bersinar semakin terang.
Ia membuka bungkusan kuning itu, di dalamnya ternyata ada kotak untuk menyimpan golok.
Golok dalam kotak itu memancarkan sinarnya yang berkilauan.
Sie Nio lama memandang golok dalam kotak itu, sedang mulutnya menggumam:
“Siauw Cap-it-long, Siauw Cap-it-long! Kau anggap dengan seorang diri aku tidak dapat
merampas golok ini? Kau bukan saja terlalu memandang rendah diriku, tetapi juga terlalu

memandang rendah kepada kaum wanita, betapakah besar kepintaran seorang wanit,
barangkali tidak dapat dipikirkan untuk selama-lamanya oleh kalian kaum pria.”
Aih, sungguh seorang perempuan yang hebat!
Hong Sie Nio benar-benar boleh dikata seorang perempuan yang hebat.
Tetapi Hong Sie Nio bagaimanapun juga adalah seorang wanita.
Wanita jikalau melihat barang yang disenangi sendiri, lalu tidak melihat bahaya yang
mengancam dirinya.
Betapa banyak laki-laki yang gemar paras elok kebanyakan semua tahu kelemahan kaum
wanita ini, maka sering menggunakan barang hadiah yang menyolok dan menarik, dan
menjaga serangan yang membahayakan dirinya sendiri.
Saat itu, seluruh perhatian Hong Sie Nio sedang dicurahkan ke golok pusaka itu, hingga tidak
melihat kalau bibir si Raja Garuda Lengan Satu sudah tersungging satu senyuman yang
menyeramkan.
Ketika ia hendak berjalan, sudah tidak keburu lagi.
Lengan yang panjangnya seperti orang hutan dari si Raja Garuda Lengan Satu itu dengan tibatiba
dan secepat kilat sudah diulur menyambar dada Hong Sie Nio, hingga setengah badannya
menjadi kesemutan sesaat itu juga, sudah tentu golok di tangannya lalu jatuh terlempar ke
tanah.
Gerakan tangannya yang demikian cepat gesit, membuat Hong Sie Nio tidak mendapat
kesempatan untuk mengelak.
Si Raja Garuda Lengan Satu berkata sambil tertawa besar:
“Jikalau kau anggap aku benar-benar seorang tolol, itu berarti kau bukan saja sudah pandang
rendah diriku, juga terlalu pandang rendah kami kaum pria. Kepintaran laki-laki sebetulnya
ada berapa besar, barangkali tidak dapat terpikirkan oleh kalian orang-orang perempuan yang
biasanya kerja di dapur!”
Hati Hong Sie Nio waktu itu meskipun sudah seperti tenggelam, tetapi di wajahnya masih
tersungging senyuman manis. Sebab ia tahu senjata satu-satunya pada saat itu ialah
senyuman.
Ia melirik si Raja Garuda Lengan Satu, lalu berkata sambil tersenyum manis:
“Perlu apa kau marah-marah? Orang laki satu kali ditipu oleh orang perempuan bukankah itu
merupakan suatu hal yang sangat interesan? Jikalau terlalu menganggap benar-benar tambah
tidak ada artinya lagi.”
“Orang perempuan satu kali diperkosa oleh orang laki-laki, bukankah juga suatu hal yang
sangat interesan?”
Tangannya dengan mendadak mencengkeram hebat, hingga sekujur tubuh Hong Sie Nio kini
menjadi kesemutan, sedikit tenagapun ia sudah tidak punya. Ketika sekali lagi ia dipukul oleh
punggung telapak tangan si Raja Garuda, waktu itu juga tubuhnya lantas terjatuh di atas
pembaringan.
Si Raja Garuda Lengan Satu sudah berjalan menghampirinya sambil unjukkan tertawanya

yang menyeramkan. Hong Sie Nio terpaksa mengertak gigi, dengan menggunakan sisa
kekuatan tenaga yang ada padanya, kakinya menjejak ke depan.
Tetapi tendangan itu belum dilakukan, kakinya sudah terpegang oleh si Raja Garuda Lengan
Satu.
Ketika jari tangan si Raja Garuda Lengan Satu menekan kaki itu, kaki Hong Sie Nio
dirasakan seperti mau patah, air matanya juga hampir keluar.
Sepatu kain warna hijau yang tipis juga sudah berobah menjadi robek sehingga tampak kaki
Hong Sie Nio yang putih halus, sedikitpun hampir tidak ada cacatnya.
Si Raja Garuda Lengan Satu ketika melihat sepasang kaki yang indah itu, seolah-olah sudah
menjadi kesima, sedang mulutnya menggumam:
“Sepasang kaki yang indah.....”
Ia menundukkan kepala, mencium telapakan kaki Hong Sie Nio.
Tiada ada seorang perempuan yang tidak takut geli di telapakan kakinya, terutama Hong Sie
Nio. Kumis si Raja Garuda Lengan Satu yang kaku bagaikan rumput menusuk telapakan
kakinya, sedangkan suara dengusan napas seperti kerbau dipotong menusuk-nusuk hatinya. Ia
boleh terkejut, takut dan marah.... namun apa daya?....
Dalam keadaan demikian, ia benar-benar sudah tidak sanggup lebih lama.
Meskipun hatinya sudah hampir meledak, tetapi orangnya masih bisa tertawa tergelak-gelak,
hingga mengeluarkan air matanya. Ia sambil tertawa, mulutnya terus memaki-maki tidak
berhentinya.
“Binatang, kau binatang yang tidak mau mampus ini, lekas bebaskan aku.....”
Segala ucapan yang paling keji ia sudah keluarkan semua, namun masih tidak dapat
mengendalikan rasa gelinya.
Si Raja Garuda Lengan Satu pendelikkan matanya, sepasang matanya seperti api membara,
mendadak ia mengulurkan tangannya, baju didepan dada Hong Sie Nio telah dirobek,
sehingga tampak buah dadanya yang bulat menonjol.
Hampir saja Hong Sie Nio jatuh pingsan. Ia hanya merasakan bahwa tubuh si Raja Garuda
Lengan Satu kini sudah mulai menindihi tubuhnya, ia hanya dapat menggunakan sepasang
kakinya untuk melilit dan meronta, bagaimanapun juga tidak mau melepaskan.
Terdengar suara mendengus si Raja Garuda Lengan Satu :
“Kau perempuan busuk ini, ini adalah kau sendiri yang mencari mampus, tidak boleh sesalkan
aku”
Tangannya sudah mencengkeream leher Hong Sie Nio sampai perempuan ini hampir2 tidak
bisa bernapas, mana masih mempunyai tenaga untuk melawan? Matanya perlahan2 menjadi
lemas, dan sepasang kakinya perlahan2 juga mulai kendur........
Dalam keadaan seperti itu, mendadak terdengar suara gempuran dijendela, dan daun jendela
telah terbuka lebar.
SEorang berbaju warna hijau bagaikan anak panah melesat dari busurnya mencelat masuk,

merampas golok yang terjatuh ditanah.
si Raja Garuda Lengan Satu benar-benar tidak kecewa menjadi seorang tokoh kenamaan yang
sudah banyak pengalaman, dalam keadaan seperti itu, ternyata tidak menjadi gugup dengan
satu gerakan mencelat balik, lengan tangannya yang panjang berbulu menyambar kepala
orang itu.
Orang itu tidak keburu memungut golok, tubuhnya dikerutkan dan lompat mundur setengah
kaki.
Tiba tiba terdengar suara krak, lengan si Raja Garuda yang tinggal satu itu mendadak jadi
tambah panjang setengah kaki, tempat yang tadi tidak dapat dijangkaunya, sekarang sudah
dalam kekuasaannya.
Itulah kepandaian tunggal si Raja Garuda Lengan Satu yang membuat ia bisa malang
melintang didunia Kang ouw. Tetapi, orang itu ternyata bukan orang sembarangan. Jikalau
orang lain, bagaimanapun juga rasanya sulit untuk mengelakkan samberan tangannya itu.
Tak disangka oleh si Raja Garuda, orang berpakaian hijau itu sungguh memiliki kegesitan
yang tidak habis dipikir, dengan tiba2 ia memutar tubuhnya, tangannya sudah membacok
pergelangan tangan si Raja Garuda, sedang ujung kakinya menyontek golok ditanah hingga
golok itu terbang kearah Hong Sie Nio
Hong Sie Nio dengan sebelah tangannya menutupi baju bagian depannya yang terkoyak,
tangan yang lainnya menyambuti datangnya golok, lalu berkata sambil tertawa terkekehkekeh
:
“Terima kasih kuucapkan padamu....”
Diantara suara tertawanya, orangnya sudah terbang dan melesat keluar dari lubang jendela.
Orang berbaju hijau itu menghela napas, ia membalikkan tangan dan mengibas, saat itu juga
ada sebilah golok bersinar berkilauan bagaikan rantai yang menyambar bahu Raja Garuda
Lengan Satu.
Kecepatan gerak golok itu, benar-benar sulit dilukiskan.
Seorang tokoh kenamaan seperti Raja Garuda Lengan Satu yang sudah malang melintang
beberapa puluh tahun didunia Kang-ouw, sesungguhnya juga belum pernah melihat,
menyaksikan ilmu golok yang demikian cepat, bahkan dengan cara bagaimana golok itu
keluar dari sarungnya. Ia juga tidak melihat nyata, dalam keadaan terkejut, ia lompat balik,
dan membentak dengan suara bengis :
“Kau siapa?”
Orang berbaju hijau itu juga tidak menjawab, ia mencecar dengan hebatnya, hanya nampak
sinar goloknya yang berputar putaran demikian rapat, mengancam si Raja Garuda Lengan
Satu.
Si Raja Garuda Lengan Satu berhasil mengelakkan serangan gencar itu, dengan tiba tiba ia
lompat mundur dan berkata sambil tertawa terbahak bahak :
“Siauw Tjap-it-long! Kiranya adalah kau!”
Orang berbaju hijau itu juga berkata sambil tertawa besar:
“Raja Garuda benar2 tajam matamu!”

Diantara suara tertawanya, orang berikut goloknya sekali dengan tiba2 sudah menjadi satu,
merangsak kedepan.
Begitu sinar goloknya berkelebat, orangnya sudah lompat keluar melalui lobang dijendela.
Si Raja Garuda Lengan Satu memperdengarkan suara hardiknya, ia juga lompat keluar pergi
mengejar.
Diluar gelap gulita dan sunyi senyap, hanya sinar bintang yang menyinari bumi, sudah tidak
tertampak lagi bayangan Siauw Tjap-it-long.
Hong Sie Nio yang waktu itu sudah berada didalam kamar, sambil menukar pakaian mulutnya
terus memaki2 dengan suara yang sangat perlahan, tidak tahu siapa yang dimaki olehnya, juga
entah ucapan apa yang keluar dari mulutnya.
Hanya diwajahnya tidak tampak tanda marah, sebaliknya malah merasa gembira terutama
ketika ia melihat kotak golok diatas tempat tidur, dibibirnya tersungging senyum manis
Hong Sie Nio dengan sebelah tangannya menutupi baju bagian depannya yang terkoyak,
tangan yang lainnya menyambuti datangnya golok, lalu berkata sambil tertawa terkekeh
kekeh :
“Terima kasih kuucapkan padamu... "
Diantara suara tertawanya, orangnya sudah terbang dan melesat keluar dari lubang jendela.
Orang berbaju hijau itu menghela napas, ia membalikkan tangan dan mengibas, saat itu juga
sebilah golok bersinar berkibaran bagaikan rantai yang menyambar bahu Raja Garuda Lengan
Satu.
Kecepatan gerak golok itu, benar benar sulit dilukiskan.
Seorang tokoh kenamaan seperti Raja Garuda Lengan Satu yang sudah malang melintang
beberapa puluh tahun didunia Kang-ouw, sesungguhnya juga belum pernah melihat,
menyaksikan ilmu golok yang demikian cepat, bahkan dengan cara bagaimana golok itu
keluar dari sarungnya. Ia juga tidak melihat nyata, dalam keadaan terkejut, ia lompat balik,
dan membentak dengan suara bengis :
“kau siapa ?”
Orang berbaju hijau itu juga tidak menjawab, ia mencecar dengan hebatnya, hanya tampak
sinar goloknya yang berputar piteran demikian rapat, mengamcam di Raja Garuda Lengan
Satu.
Si Raja Garuda Lengan Satu berhasil mengelakkan serangan genjar itu, dengan tiba tiba ia
lompat mundur dan berkata sambil tertawa terbahak bahak :
“Siauw Cap it-long ! kiranya adalah kau !”
Orang berbaju hijau itu juga berkata sambil tertawa lebar :
“Raja Garuda benar benar tajam matamu !”
Diantara suara tertawanya, orang berikut goloknya sekali dengan tiba tiba sudah menjadi satu,
merangsek kedepan.

Begitu sinar goloknya berkelebat, orangnya sudah lompat keluar melalui lobang jendela.
SI Raja Garuda Lengan Satu memperdengarkan suara hardiknya, ia juga lompat keluar pergi
mengejar.
Diluar gelap gulita dan sunyi senyap, hanya sinar bintang yang menyinari bumi, sidah tidak
tampak lagi bayangan Siauw Cap it-long.
Hong Sie Nio waktu itu sudah berada didalam kamar, sambil meukar pakain mulutnya terus
memaki maki dengan suara yang sanat perlahan, tidak tahu siapa yang dimaki olehnya, juga
entah ucapan apa yang keluar dari mulutnya.
Hanya diwajahnya tidak tampak tanda marah, sebaliknya malah merasa gembira terutama
ketika ia melihat kotak golok diatas tempat tidur, dibibirnya tersungging senyum manis.
Golok Kwa-liok-to yang dipikirkan siang hari malam olehnya itu, akhirnya terjatuh juga
ketangannya.
Lantaran golok itu, Hong Sie Nio benar benar sudah memeras otak dan tenaga, beberapa hari
berselang, ia sudah tiba dikota itu, sebab ia sudah menghitung dengan pasti bahwa Thio Bu
Kek pasti melalui kota ini.
Diluar kota, ia menyewa sebuah rumah kecil ditempat sepi, lalu pergi mencari lagi kepada Ma
Hwe Hwe. Ma Hwe Hwe adalah seorang yang cukup setia kawan, dahulu karena pernah
hutang budi padanya, sudah tentu ia tak boleh tidak harus memberikan bantuannya.
Tetapi si Raja Garuda Lengan Satu sesungguhnya merupakan seorang tokoh yang tangguh,
hingga hampir saja ia sendiri yang terjatuh dicengkeraman raja garuda. Djikalau bukan
lantaran datangnya Siauw Tjap-it-long.....
Teringat diri Siauw Tjap-it-long, ia mendadak merasa gemas.
Baru saja ia membetulkan kancing leher dibajunya, diluar jendela tiba tiba terdengar suara
orang menghela napas panjang, katanya dengan suara sedih :
“Dinasehatkan tuan tuan sekali2 jangan berkawan dengan orang perempuan, lebih2 jangan
membantu perempuan. Kalau kau membantu juga padanya, ia sebaliknya bisa kabur, dan
meninggalkan kau seorang diri biar terjemur juga.”
Mendengar suara itu, wajah Hong Sie Nio semakin merah, tanpa disadari olehnya kancing
yang baru diperbaiki tadi juga dipatahkan olehnya, tampaknya ia sudah ingin menendang
hancur jendela tetapi kemudian ia menahan sabar lagi, sebaliknya malah tertawa terkekeh
kekeh dan berkata:
“Sedikitpun tidak salah, aku justru merasa gemas dan ingin kau terjemur mati disitu biar si
Raja Garuda Lengan satu itu mengorek hatimu, sebetulnya bagaimana rupanya entah hitam
atau merah?”
Daun jendela terbuka sedikit, Siauw Tjap-it-long menongolkan mukanya, katanya sambil
tertawa cekikikan:
“Entah hatiku entah hatimu yang hitam?”
“Kau masih berani mengatai aku? Aku ini sejujur hatiku minta kau bantu aku, tapi kau
menolaknya dengan alasan rupa2, lantaran terpaksa aku pergi sendiri, tapi kau diam2
mengikuti aku, hampir aku akan berhasil kau muncul dengan mendadak. Ingin enak2 tanpa

mengeluarkan keringat memungut hasil orang. Coba kau pikir sendiri, kau ini orang apa?”
Ia semakin berkata semakin marah, akhirnya ia tidak dapat kendalikan emosinya dan lompat
menerjang jendela hingga dijendela itu terbuka satu lubang besar, ia rupanya begitu gemas
sekali, dan mengharap bahwa yang ditendang tadi adalah muka Siauw Tjap-it-long.
Namun Siauw Tjap-it-long siang2 sudah kabur jauh2, setelah itu ia balik kembali dan berkata
sambil tertawa:
“Sudah tentu aku bukan barang, sudah jelas aku adalah orang, bagaimana kau katakan
barang?”
Ia menghela napas dan lalu menggumam sendiri:
“Mungkin aku benar2 tidak harus datang biar saja sisetan kepala besar tadi mencium kakimu
yang bau busuk, biar ia mabok dan mati, dan aku juga sudah tidak perlu lagi.....”
Hong Sie Nio berteriak, katanya sambil memaki-maki:
“Kentutmu! Bagaimana kau tahu kalau kakiku bau busuk? Apa kau sudah pernah
menciumnya?”
“Aku tidak mempunyai kegembiraan seperti itu” menjawab Siauw Tjap-it-long sambil
tertawa.
Hong Sie Nio saat itu juga merasakan bahwa dengan ucapannya itu, sebetulnya mencari
kesulitan sendiri, maka ia lalu berkata lagi dengan muka merah:
“Sekalipun benar kau telah membantu aku, tapi aku juga tidak suka menerima budimu. Sebab
kau sama sekali bukan menolong aku tadi, yang kau maksudkan hanya golok itu saja”
“oh!”
“Jikalau kau benar datang hendak menolong aku, mengapa kau tidak perdulikan orangnya,
sebaliknya merampas goloknya lebih dahulu?”
Siauw Tjap-it-long geleng-gelengkan kepala, katanya sambil tertawa getir:
“Perempuan ini sedikitpun tidak mengerti akal muslihat suara ditimur menyerang dibarat.....
Sekarang kutanya padamu. jikalau aku tidak merampas goloknya itu lebih dulu, mana bisa
demikian mudah ia melepaskan kau?”
Itu memang benar juga, hingga Hong Sie Nio jadi terdiam.
Sebab apabila Siauw Tjap it long waktu itu tidak merampas goloknya lebih dulu, atau kalau ia
menyerang orangnya lebih dahulu, ia sendiri mungkin sudah dilukai oleh raja garuda lengan
satu.
Sementara itu Siauw Tjap it long sudah berkata:
“Jikalau ada seekor tikus coba naik ke gelasmu, apa kau dapat menggunakan batu untuk
memukulnya? Apakah kau tidak takut akan memecahkan gelasmu sendiri?”
“Ialah, hitung-hitung kau pandai bicara.....” berkata Hong Sie Nio dengan muka cemberut.
“Aku tahu dalam hatimu juga sudah mengerti kesalahanmu, tetapi mulutmu tetap tidak mau

mengakui.” berkata Siauw Tjap it long sambil tertawa geli.
“Bagaimana kau tahu isi hatiku? Apakah kau cacing dalam perutku?”
Justru karena dalam hatimu mengakui salah, lalu kau berterima kasih kepadaku, maka aku
jadi berani demikian galak. Asal dalam hatimu sudah berterima kasih kepadaku, apa yang
keluar dari mulutmu juga tidak ada arti apa-apa.
Hong Sie Nio meskipun ingin cemberutkan mukanya, tapi akhirnya tak tahan merasa gelinya.
Hati perempuan memang sangat aneh, terhadap laki-laki yang tidak ia senangi, hatinya bisa
keras bagaikan baja, tetapi kalau ketemu laki=laki yang disukanya, hatinya tidka bisa keras
lagi.
KEPANDAIAN ORANG LELAKI
Siauw Cap-it-long terus memandang ke arah Hong Sie Nio, seolah-olah orang terkesima.
Hong Sie Nio pendelikan matanya, katanya sambil tertawa geli :
“Apa yang kau lihat ?”
“Kau ternyata tidak mengerti. Saatnya yang paling menarik dan paling manis bagi seorang
perempuan, sewaktu ia sedang cemberut, tetapi tidka sanggup menahan rasa gelinya.
Kesempatan ini mana boleh aku lewatkan begitu saja?” jawab Siauw Cap-it-long.
“Cis! Kau jangan terlalu menyanjung aku. Sebetulnya apa yang sedang terpikir dalam hatimu,
semua aku tahu.”
“Oh! sejak kapan kau juga sudah berubah menjadi cacing dalam perutku ?”
“Kali ini dugaanmu meleset, dalam hatimu sudah tentu penasaran, selalu pikir dari aku sini
untuk mendapat kembali sedikit keuntungan. Betul tidak ?”
“Itu juga bukan, tapi.... "
Ia tertawa dan berkata lagi :
“Kau sudah memiliki golok Kwa-liok-to, untuk apa pedangmu Na-giok itu ?”
“Aku sudah tahu kau bangsat kecil ini memang sedang mengincar pedangku itu.... , Tapi
baiklah, mengingat kau masih demikian berbakti terhadap aku, sekarang biarlah pedang
pusaka ini kuhadiahkan kepadamu.”
Ia lalu mengeluarkan pedang, dilemparkan keluar jendela.
Siauw Cap-it-long menyambut datangnya pedang dengan kedua tangannya, lalu berkata
sambil tertawa :
“Terima kasih.”
Ia menghunus pedangnya, dielus-elus dengan mesra, sedang mulutnya mengguman sendiri :
“Benar saja sebilah pedang yang sangat bagus sekali, Tapi sayangnya dipakai hanya oleh
kaum wanita saja.”
Hong Sie Nio mendadak bertanya :

“Oh ya, kau menghendaki pedang kaum wanita ini untuk apa ?”
“Sudah tentu hendak kuberikan kepada seorang wanita.” menjawab Siauw Cap-it-long sambil
tertawa.
“Hendak kau berikan kepada siapa ?” bertanya Hong Sie Nio sambil mendelikkan matanya.
“Kuberikan kepada siapa, sekarang ini aku masih belum tahu, tapi biar bagaimana aku pasti
akan dapat menemukan seorang wanita yang cocok untuk kuberikan pedang ini, kau jangan
khawatir.”
Hong Sie Nio gigit bibir, katanya :
“Baik! Tapi kalau kau nanti sudah menemukan, kau harus beritahukan padaku!”
“Baik sekarang aku hendak pergi mencari.”
Siauw Cap-it-long lalu memutar dirinya hendak berlalu, Hong Sie Nio kembali berseru
padanya :
“Tunggu dulu.”
Siauw Cap-it-long lambat-lambat membalikkan tubuhnya dan bertanya :
“Masih ada perintah apa lagi ?”
Sepasang biji mata Hong Sie Nio berputaran , ia mengambil golok Kwa-liok-to di atas
pembaringan katanya :
“Apakah kau tidak ingin melihat golok ini ?”
“Tidak.”
Jawabannya itu ternyata demikian tegas, hingga mengejutkan Hong Sie Nio, tanyanya :
“Kenapa ?”
Siauw Cap-it-long tertawa, kemudian berkata :
“Sebab ......., jikalau dugaanku tidak keliru, golok ini tentunya barang palsu!”
“Barang palsu ? berdasar atas apa kau menganggap golok ini palsu ?”
“Sekarang hendak ku tanya kepadamu, Thio Bu-kek, To Siao Thian, dan Hay-leng-tju, tiga
orang ini bagaimana dalam pandangan matamu?”
“Tiga orang itu semua bukanlah orang baik-baik.” menjawab Hong Sie Nio sambil tertawa
dingin.
“Kalau begitu, kenapa mereka mencari siluman tua si raja garuda lengan satu itu dan dengan
rela hati mereka malah di bikin mendongkol olehnya, bahkan masih mennyerahkan golok
kepadanya, dan setelah urusan berhasil juga dia seorang nanti yang akan unjuk muka ?
Seorang tokok lihay seperti Thio Bu-kek, sebab apa dapat melakukan perbuatan setolol itu ?”
“Coba kau kata apa sebabnya ?”

“Justru disebabkan mereka hendak menggunakan si Raja Garuda Lengan Satu ini sebagai
setan pengganti nyawa mereka menjadi sasaran anak panah.”
“Sasaran anak panah ?”
“Mereka sudah tahu betul bahwa sepanjang jalan ini sudah pasti ada banyak orang yang bisa
merampas golok pusaka itu dan orang yang berani merampas golok itu, sudah tentu memiliki
kepandaian cukup, maka itu mereka lalu menyerahkan sebilah golok yang palsu pada Su
khong Cu biar semua orang pergi merampas golok paslu itu, dan dengan demikian mereka
baru dapat mengantarkan golok yang tulen ke tempatnya dengan selamat.”
Ia menghela nafas dan berkata pula :
“Coba kau pikir, jikalau mereka tidak tahu golok itu sebenarnya adalah palsu, disini kita
bertempur demikian hebat, mengapa mereka bertiga tidak ada satupun yang datang membantu ?”
“Dalam hal ini mungkin disebabkan mereka takut mengganggu Su-khong Cu...... bahkan
mereka memang berdiam di tempat lain, Ma Hwe Hwe hanya menyediakan satu tempat saja
untuk Su-khong Cu seorang menginap.
“Jikalau benar golok yang di bawa Su-khong Cu itu adalah golok yang tulen, apakah mereka
tidak khawatir ia seorang diri berdiam disini ?”
Hong Sie Nio kini tidak dapat berkata apa-apa lagi.
Ia berdiam sekian lama, dengan mendadak mengeluarkan goloknya, katanya dengan suara
keras :
“Tidak peduli apa juga katamu, aku tetap tidak percaya kalau golok ini kau bilang barang
palsu!”
Golok itu kelihatannya memang sangat bagus, sinarnya berkilauan menyilaukan mata. Tetapi
kalau diperiksa dengan seksama dapat di temukan bahwa sinarnya yang berkilauan itu ada
buram-buram sedikit, seperti tusuk konde yang yang di lapis mas.
Siauw Cap-it-long menghunus pedang Na-gioknya dan berkata :
“Jikalau kau tidak percaya, coba saja kau uji!”
Sambil gigit bibir Hong Sie Nio melesat keluar dari lubang jendela, dan goloknya digunakan
untuk membabat pedang Na-giok di tangan Siauw Cap-it-long.
Sesaat kemudian terdengar suara nyaring beradunya dua senjata tajam itu.
Hasilnya, golok yang tadinya berkilauan sinarnya itu kini telah terkutung menjadi dua potong!
Hong Sie Nio berdiri terpaku di tempatnya, samapi sepotong golok yang lain juga terlepas
dari tangannya dan terjatuh ditanah. Ia juga masih belum merasa, bila ada orang mengatakan
bahwa Hong Sie Nio tidak bisa tua, maka saat itu dalam waktu sekejapan saja, benar-benar
kelihatan sudah lebih tua beberapa tahun.
Siauw Cap-it-long menggeleng-gelengkan kepalanya dan mulutnya mengguman :
“Semua orang kata bahwa orang perempuan lebih pintar dari lelaki, akan tetapi orang
perempuan apa sebab selalu bisa tertipu oleh orang lelaki ?”

Hong Sie Nio mendadak lompat dan berkata dengan suara marah :
“Kau jelas sudah tahu bahwa golok ini adalah palsu, namum kau masih menipu pedangku,
kau benar-benar seorang bajingan, seorang berandal.”
Siauw Cap-it-long berkata sambil menghela nafas :
“Aku memang benar tidak seharusnya menipu kau. Akan tetapi oleh karena aku mengenal
seorang nona yang sangat pintar, cantik, juga polos, lagi sudah lama aku tidak bertemu muka
dengannya, maka kupikir hendak cari sebuah barang hadiah untuknya agar ia senang.”
Hong Sie Nio membelalakan matanya lebar-lebar, tanyanya :
“Siapa perempuan itu?”
Siauw Cap-it-long memandang lurus ke depan, dibibirnya lalu tersungging senyuman yang
hangat, katanya lambat-lambat :
“Dia bernama Hong Sie Nio, entah kau kenal dia atau tidak ?”
Sekonyong-konyong dalam hati Hong Sie Nio timbul perasaan hangat, segala marah semua
telah lenyap bagaikan asap tertiup angin sekujur badannya merasa lemas, ia menyender di
jendela seperti tidak bertenaga, katanya sambil gigit bibir ;
“Kau, kau orang ini ..... aku kenal denganmu paling sedikit juga harus dikurangi tigapuluh
tahun umurku.”
Siauw Cap-it-long menyerahkan pedang Na-giok kepadanya dengan kedua tangan, katanya
sambil tertawa :
“meskipun kau tidak mendapatkan golok Kwa-liok-to, tetapi ada orang yang menghadiahkan
pedang Na-giok-kiam, bukankah kau seharusnya juga merasa senang ?”
CEMBURU
Didalam sebuah kedai minuman teh di kota Ce-lam.
Kota Ce-lam meskipun merupakan kota yang terkenal dengan banyaknya orang Kang-ouw
yang berkepandaian tinggi, tetapi hendak mencari suatu tempat yang lebih ramai dan lebih
banyak pembicaraan orang dari pada kedai minuman teh, barangkali sedikit sekali.
Hong Sie Nio sebetulnya tidak banyak waktu untuk duduk di kedai minuman teh, tetapi setiap
kali duduk disitu, ia selalu merasa gembira. Ia senang kalau ada pria yang memandangnya,
memperhatikan dirinya.
Seorang wanita yang bisa menarik perhatian kaum pria, biar bagaimana merupakan suatu hal
yang menyenangkan.
Sebagian besar mata kaum pria yang duduk di dalam kedai minuman teh itu, memang benar
semua ditujukan kepadanya. Kaum wanita yang duduk minum di kedai minuman teh
jumlahnya memang tidak banyak, apalagi perempuan yang demikian cantiknya, semakin
sedikit jumlahnya.
Hong Sie Nio dengan menggunakan sebuah cangkir teh yang kecil, perlahan-lahan minum
tehnya, teh itu tidak begitu harum, teh semacam itu dia biasanya tidak suka minum tetapi
sekarang ia seolah-olah berat untuk meletakan cangkirnya.

Ia sedikitpun tiada maksud untuk menikmati rasanya teh, ia sendiri merasa bahwa sikapnya
minum teh itu sangat indah menarik, juga masih dapat membiarkan orang lain menikmati
sepasang tangannya yang putih, halus dan indah.
Siauw Cap-it-long juga sedang mengawasi dirinya, pemuda itu merasa senang.
Ia kenal dengan Hong Sie Nio sudah banyak tahun, ia memahami betul adatnya Hong Sie Nio.
Jago betina yang oleh orang-orang dunia Kang-ouw di sebut sebagai siluman perempuan itu,
meskipun susah didekati karena terlalu galaknya, tetapi ada kalanya ia bisa berlaku kekanakkanakan
yang benar-benar seperti anak kecil.
Siauw Cap-it-long selama itu suka padanya, setiap kali berada bersama-sama dengannya,
selalu merasa gembira. tetapi di kala berpisah dengannya, sudah tidak merasa berat.
Ini sebetulnya perasaan semacam apa ? Ia sendiri juga tidak terang.
Mereka menuju ke kota Ce-lam, sebab golok Kwa-liok-to juga sudah tiba di kota tersebut.
Masih ada banyak lagi orang-orang terkemuka yang tiba di kota itu....
Sekonyong-konyong, semua mata yang tadinya di tujukan kepada Hong Sie Nio, dalam waktu
sekejap mata sudah beralih keluar pintu, ada yang cuma menongolkan kepalanya, ada juga
yang sudah bangkit dari tempat duduknya, lari ke depan pintu.
“Apakah diluar ada datang orang perempuan lain yang jauh lebih cantik dari padaku ?”
demikian Hong Sie Nio bertanya-tanya kepada diri sendiri.
Ia agak mendongkol, tetapi juga agak heran, hingga ia juga ingin pergi melihat ke luar pintu.
Setiap kali kalau dalam hatinya ingin melakukan sesuatu, ia selalu tidak akan ragu-ragu.
Ia keluar ke depan pintu, barulah menyaksikan bahwa apa yang mereka sedang saksikan itu
adalah sebuah kereta.
Kerena itu meskipun sedikit mewah dari pada kereta biasa, tetapi juga tidak ada bagian yang
luar biasa. Baik jendelanya maupun pintunya. Semuanya tertutup rapat, tidak diketahui orang
macam apa sebenarnya yang duduk di dalamnya.
Kuda yang menarik kereta itu jalannya juga tidak tepat, kusir yang mengendalikan kuda itu
tampaknya sangat berhati-hati hingga cemetinya juga tidak berani digunakan, seolah-olah
takut cemetinya akan melukai orang di jalanan.
Kuda yang menarik kereta itu boleh dikatakan cukup baik, tetapi juga bukanlah merupakan
kuda yang jempolan.
Yang mengherankan ialah semua mata di tujukan kepada kereta itu, ada beberapa orang
bahkan masih kasak kusuk membicarakannya, seolah-olah diatas kereta itu telah tumbuh
kembang dengan mendadak.
Hong Sie Nio benar-benar tidak habis mengerti, apakah kaum pria di tempat ini semuanya
gila ?
“Apakah orang-orang disini belum pernah melihat kereta ? Sebuah kereta berkuda saja,
apanya yang perlu ditonton?” demikian ia bertanya-tanya pada dirinya sendiri.

Orang yang berada di sisinya berpaling dan melihatnya sejenak, kembali mengalihkan
pandangan matanya ke arah kereta itu lagi, hanya seorang tua bungkuk yang menjawabkan
pertanyaannya :
“Nona, Kau tidak tahu, Kereta itu meskipun biasa, tapi orang yang didalam kereta adalah
seorang nomor satu di daerah kita ini.”
“Oh! Siapa ?” bertanya Hong Sie Nio.
“Berbicara tentang orang ini, ia benar-benar seorang yang sangat kesohor, ia adalah nona
besar dari keluarga Siem yang bernama Siem Pek Kun, juga merupakan seorang wanita
tercantik dalam rimba persilatan.” berkata laki-laki tua tadi sambil tertawa.
Ia tampaknya demikian gembira, seolah-olah turut merasa bangga, katanya :
“Ucapanku tadi keliru, nona Siem sebetulnya sudah tidak seharusnya dipanggil nona Siem
lagi, seharusnya dipanggil Nyonya Lian, baru betul. Tampaknya nona juga seorang yang
banyak pengetahuan dan pengalaman sudah tentu tahu bahwa di daerah Kow sow ada sebuah
perkampungan yang dinamakan Bu kee san-kung, perkampungan itu adalah perkampungan
seorang hartawan nomor satu di daerah selatan sungai Tiang-kang, suami nona Siem adalah
kungcu dari perkampungan dari perkampungan Bu kee san-kung itu, ialah Lian Seng Pek
kongcu.”
“Lian Seng Pek ... ? Nama ini aku rasanya pernah dengar.” berkata Hong Sie Nio hambar.
Nama ini sebenarnya sudah pernah dengar dari mulut orang banyak.
Nama Lian Seng Pek itu pada waktu belakangan ini sangat terkenal sekali dikalangan Kangouw,
bagaikan matahari yang sedang berada di tengah-tengah, baik kawan maupun lawan
semua mengakui ketangkasan dan kegagahannya.
Orang tua bungkuk itu makin lama tampaknya semakin gembira, katanya pula :
“Nona Siem menikah sudah dua tiga tahun lamanya, bulan yang lalu baru pulang ke rumah
orang tuanya, maka kaum tua dan saudara-saudara dalam kota ini, semua ingin melihat selama
dua tahun ini apakah dia menjadi semakin cantik atau berkurang kecantikannya.
Tamu-tamu dalam kedai minuman teh itu, semua mengeluarkan suara seruan kaget, tak
disangka2 orang itu hanya mundur selangkah, dan tangannya sudah berhasil menarik les kuda,
dan kereta itu ditariknya hingga berhenti seketika itu juga.
Sedang kedua kakinya seperti terpantek ditanah, kekuatan tangannya yang menahan larinya
kuda itu barangkali mempunyai kekuatan ribuan kati, oleh karenanya hingga membuat orang
yang menyaksikannya pada memberi pujian riuh.
Namun orang itu se-olah2 tidak mendengar, dan minta maaf kepada kusir kereta yang
ketakutan setengah mati.
Sehabis minta maaf kepada kusir kereta, orangnya sudah lari masuk kedalam kedai minuman
teh, mulutnya baru tersungging senyuman lebar, katanya:
“Sie Nio, akhirnya aku dapat menemukan kau juga.”
Hong Sie Nio mendelikkan matanya, lalu katanya dingin:
“Perlu apa kau ber-teriak2 seperti orang gila? Orang lain tentunya mengira aku hutang uang

kepadamu, sampai perlu kau ber-teriak2 tidak keruan.”
Senyum orang itu tampaknya meskipun agak getir, namun ia masih tertawa dan berkata:
“Apa salahku?”
Hong Sie Nio mengeluarkan suara dari hidung, katanya:
“Perlu apa kau mencari aku?”
“Tidak.. tidak ada apa-apa.”
“Tidak ada apa-apa? Kalau tidak ada urusan perlu apa mencari aku?” berkata Hong sie Nio
sambil mendelikkan matanya.
Orang itu tampaknya sangat gelisah, katanya:
“Aku.... aku hanya merasa.... sudah lama kita tidak ketemu muka denganmu, maka itu....”
Oleh karena gelisah, hingga suaranya menjadi gelagapan.
Seorang yang terkenal sopan, saat itu dengan mendadak berubah seperti orang kebingungan.
Hong Sie Nio juga tidak dapat menahan perasaan gelinya, maka lalu tertawa, kemudian
berkata:
“Sekalipun lama tidak ketemu, kau juga tidak perlu berkaok-kaok sambil berdiri ditengah
jalan, tahu?”
Karena melihat Hong Sie Nio tertawa, orang sopan itu baru bisa bernapas lega, katanya
sambil tertawa juga:
“Kau.... seorang diri?”
Hong Sie Nio menunjuk kepada Siauw Tjap-it-long yang duduk tidak jauh dengannya
katanya:
“Berdua”
sudah dididik keras dengan ilmu kitab dan sopan santun rumah tangga, hingga jarang sekali
keluar. Aku si orang tua sudah menunggu hampir duapuluh tahun, juga hanya pernah melihat
dia satu dua kali saja.”
“Kalau begitu nona Sim ini benar-benar merupakan sebuah mustika dalam mata kalian orangorang
kota Celam.”
Orang tua itu tidak mengerti bahwa ucapan Hong Si Nio tadi ada mengandung maksud
menyindir, ia malah berkata sambil menganggukkan kepala dan tertawa:
“Sedikit pun tidak salah, sedikit pun tidak salah........”
“Ia duduk di dalam kereta, apakah kalian juga bisa melihat dia?”
“Orang yang tidak dapat melihat dirinya, melihat keretanya saja juga sudah harus merasa
puas.”
Hong Si Nio mendongkol mendengar ucapan itu, untung pada saat itu kereta sudah berjalan

hampir ke ujung jalan, kalau membelok lagi sudah tidak tertampak lagi, barulah semua orang
banyak tadi baru mulai duduk di tempat masing-masing lagi.
Ada orang masih ramai membicarakan soal kereta tadi:
“Kau lihat orang pulang ke rumah sendiri, sudah dua bulan lebih lamanya, baru keluar kota
satu kali. Aih, siapa yang beruntung dapat mengawini seorang wanita seperti nona Sim ini,
benar-benar sangat beruntung.”
“Tetapi Lian-kongcu juga baik, bukan saja pintar ilmu surat, hartawan yang banyak uang,
kelakuannya juga cukup baik, demikian pula wajahnya, tetapi juga kabarnya kepandaian ilmu
silatnya cukup dapat digolongkan dalam salah satu orang kuat rimba persilatan. Lelaki
semacam itu, ke mana hendak dicari lagi?”
“Itulah yang dinamakan pasangan yang benar-benar setimpal.”
“Kabarnya dua hari berselang Lian-kongcu juga pernah datang ke sini, tapi entah benar atau
tidak.........”
Semua mulut pada membicarakan tentang mereka, yang dibicarakan hanya soal yang
menyangkut diri Lian Seng Pek dan Sim Pek Kun suami-istri itu sebagai orang-orang yang
beruntung dan yang jarang ada di dalam dunia.
Hong Si Nio juga malas untuk mendengar cerita orang banyak itu lagi, selagi hendak
mengajak Siauw Cap-it-long lekas membayar uangnya dan melakukan perjalanannya,
mendadak ia menampak kedatangan seseorang.
Di seberang kedai minuman teh itu, ada sebuah perusahaan bank yang memakai merk Goan Ki.
Para pedagang dan pelancong yang melakukan perjalanan jauh pada waktu itu, kalau merasa
membawa uang banyak sekali terlalu berat, boleh ditukar dengan cek dari bank tersebut.
Bank-bank yang sudah mendapat kepercayaan baik di mata rakyat, ceknya berlaku di seluruh
negeri. Yang kepercayaannya agak kurang, sama sekali tidak bisa berdiri lagi.
Waktu itu, banyak perusahaan bank-bank semacam itu, disebabkan karena kepercayaan
mereka dipegang teguh, hingga mendapat nama baik di mata rakyat.
Dan perusahaan bank merk Goan Ki itu merupakan salah satu bank terbesar dalam kota itu.
Hong Si Nio melihat orang itu, yang saat itu baru saja keluar dari perusahaan bank Goan Ki.
Orang itu usianya baru kira-kira tigapuluh tahunan, mukanya berbentuk persegi, demikian
pula mulutnya, mengenakan pakaian berwarna biru muda, sedang di luarnya memakai jubah
panjang warna hijau, tampaknya seperti orang sopan, demikian pula kelakuannya.
Tetapi Hong Si Nio ketika menampak orang itu, dengan cepat menggunakan tangannya untuk
menutupi muka sendiri, ia menundukkan kepala dan menggeser mundur tempat duduknya,
seolah-olah takut ditagih hutang.
Apa mau, mata orang itu juga sangat tajam, baru saja keluar dari perusahaan bank Goan Ki, ia
sudah melihat Hong Si Nio yang duduk di kedai minuman teh, begitu melihat Hong Si Nio,
matanya segera memancarkan sinar terang, sedang mulutnya memanggil-manggil:
“Si Nio, Si Nio......... Hong Si Nio..........”
ENAM ORANG SOPAN YANG KESOHOR DI DUNIA

SUARA orang itu sangat nyaring, orang-orang yang berada di tempat jauh mungkin juga bisa
mendengar.
Hong Si Nio terpaksa membatalkan maksudnya hendak pergi, dan mulutnya menggumam
sendiri:
“Sialan! Kenapa aku bisa ketemu dengan setan sial ini?”
Sedang orang itu tadi sudah berjalan dengan langkah lebar.
Ia begitu melihat Hong Si Nio, agaknya semua apa sudah tidak ada di matanya lagi, dari
sebuah tikungan jalan justru ada sebuah kereta yang dilarikan, karena tidak keburu berhenti,
hingga kereta itu hendak menubruk padanya.
Tamu-tamu dalam kedai minuman teh itu, semua mengeluarkan suara seruan kaget, tak
disangka2 orang itu hanya mundur selangkah, dan tangannya sudah berhasil menarik les kuda,
dan kereta itu ditariknya hingga berhenti seketika itu juga.
Sedang kedua kakinya seperti terpantek ditanah, kekuatan tangannya yang menahan larinya
kuda itu barangkali mempunyai kekuatan ribuan kati, oleh karenanya hingga membuat orang
yang menyaksikannya pada memberi pujian riuh.
Namun orang itu se-olah2 tidak mendengar, dan minta maaf kepada kusir kereta yang
ketakutan setengah mati.
Sehabis minta maaf kepada kusir kereta, orangnya sudah lari masuk kedalam kedai minuman
teh, mulutnya baru tersungging senyuman lebar, katanya:
“Sie Nio, akhirnya aku dapat menemukan kau juga.”
Hong Sie Nio mendelikkan matanya, lalu katanya dingin:
“Perlu apa kau ber-teriak2 seperti orang gila? Orang lain tentunya mengira aku hutang uang
kepadamu, sampai perlu kau ber-teriak2 tidak keruan.”
Senyum orang itu tampaknya meskipun agak getir, namun ia masih tertawa dan berkata:
“Apa salahku?”
Hong Sie Nio mengeluarkan suara dari hidung, katanya:
“Perlu apa kau mencari aku?”
“Tidak.. tidak ada apa-apa.”
“Tidak ada apa-apa? Kalau tidak ada urusan perlu apa mencari aku?” berkata Hong sie Nio
sambil mendelikkan matanya.
Orang itu tampaknya sangat gelisah, katanya:
“Aku.... aku hanya merasa.... sudah lama kita tidak ketemu muka denganmu, maka itu....”
Oleh karena gelisah, hingga suaranya menjadi gelagapan.
Seorang yang terkenal sopan, saat itu dengan mendadak berubah seperti orang kebingungan.

Hong Sie Nio juga tidak dapat menahan perasaan gelinya, maka lalu tertawa, kemudian
berkata:
“Sekalipun lama tidak ketemu, kau juga tidak perlu berkaok-kaok sambil berdiri ditengah
jalan, tahu?”
Karena melihat Hong Sie Nio tertawa, orang sopan itu baru bisa bernapas lega, katanya
sambil tertawa juga:
“Kau.... seorang diri?”
Hong Sie Nio menunjuk kepada Siauw Tjap-it-long yang duduk tidak jauh dengannya
katanya:
“Berdua”
Wajah orang itu segera berubah, matanya menatap Siauw Tjap it long, seolah olah ingin
menelannya, dengan muka merah ia bertanya dengan suara gelagapan:
“Dia.... dia itu siapa?”
“Dia itu siapa ada hubungan apa dengan mu? Dengan hak apa kau menanya siapa dia?”
berkata Hong Sie Nio sambil pendelikkan mata.
Orang itu demikian gelisah, untung pada saat itu Siauw Tjap it long sudah berjalan
menghampiri dan berkata dengan tertawa:
“Aku adalah adik sepupunya, tuan ini....”
Mendengar Siauw Tjap it long mengauk adik sepupu, orang sopan ini kembali menghela
napas lega, suara dari ucapannya juga berubah menjadi jelas lagi, katanya sambil mengangkat
tangan memberi hormat:
“Oh, kiranya tuan adalah adik sepupu Hong Sie Nio? Bagus, bagus... aku bernama Yo Khay
Thay, selanjutnya harap tuan suka banyak2 memberi petunjuk kepadaku.”
Siauw Tjap it long agak merasa diluar dugaan ia berkata:
“Tuan apakah bukan direktur muda bank Goan Kie yang oleh sahabat2 dunia Kang ouw
diberi nama julukan Thiat-kun-cu Yo tayhiap ?”
“Ah, itukan hanya omongan mereka saja yang memberikan nama yang bukan2 saja...”
menjawab Yo Khay Thay sambil tertawa.
“Aku merasa beruntung dapat bertemu, denganmu....” berkata Siauw Tjap it long juga sambil
tertawa.
Ia terkejut bukan disebabkan karena orang ini adalah direktur muda perusahaan Goan Kie
yang kekayaannya dapat dibandingkan dengan kekayaan negara, melainkan karena orang ini
adalah satu2nya murid golongan orang biasa dari padri gereja Siao-lim-sie Thian-san Taysu,
ilmunya pukulan tangan yang dinamakan Siao-lim-lim sin koan kabarnya sudah memiliki
sembilan puluh persen keatas kemahirannya, dalam kalangan Kang-ouw semua sudah
mengakui bahwa dia adalah tokoh kuat nomor satu diantara murid2 orang biasa dari gereja
Siao-lim-sie.
Seorang yang tampaknya seperti orang tolol dan ketika melihat Hong Sie Nio hampir tidak

bisa bicara jelas, ternyata adalah seorang tokoh kuat yang namanya sangat kesohor didalam
benteng itu, sudah tentu kalau Siauw Tjap-it-long merasa diluar dugaannya.
Sepasang mata Yo Khay Thay kembali dialihkan kepada Hong Sie Nio, katanya sambil
tertawa:
“Kalian berdua mengapa tidak duduk mengobrol?”
“Kami justru hendak pergi.” menjawab Hong Sie Nio.
“Pergi? Kemana?”
“Kami justru hendak mencari orang yang mau mengajak makan kami.” berkata Hong Sie Nio.
“Perlu apa mencari orang? Aku.... Aku.....”
“Apa kau ingin mengundang kami makan?” tanya Hong Sie Nio sambil meliriknya.
“Sudah tentu, sudah tentu.....: kabarnya miepaikut disebelah ini sangat lezat, begitu pula
pangsitnya.....”
“Kalau hanya makan mie paikut saja aku sendiri masih sanggup mengeluarkan uang, tidak
perlu kau yang mengundang makan. Pergilah kau.”
Yo Khay Thay menyeka air peluhnya yang menetes keluar, katanya sambil tertawa:
“Kau..... ingin makan apa? Aku sedia mentraktir semua...”
“Jikalau kau benar2 hendak mengundang makan orang, undang kami kerumah makan Wat Pin
Lauw, aku ingin makan hidangan yang enak dirumah makan itu.”
Yo Khay Thay mengigit bibir, katanya:
“Baik! Baik! Mari kita berangkat sekarang juga ke Wat Pin Lauw.”
Sebagaimana biasanya, setiap kota ada memiliki sebuah atau dua rumah makan yang
mempunyai hidangan spesial, tetapi umumnya rumah makan kota2 besar hampir semuanya
ramai dikunjungi orang, sebab orang2 yang beruang suka sekali makan hidangan yang enak2
diluaran.
Duduk dan makan dirumah makan yang luar biasa mahalnya, seseorang se-olah2 bisa berubah
menjadi orang beruang atau orang gedean, ia merasa dirinya benar-benar seperti orang.
Sebetulnya dirumah makan Wat Pin Lauw itu, dengan hanya membawa lima tjie uang perak
saja, sudah dapat dibeli semacam hidangan, juga belum tentu lebih enak daripada hidangan
dari rumah makan lain yang berharga satu tjie. Tapi sifat manusia memang begitu,
dianggapnya rumah makan besar hidangannya lebih enak dari pada yang kecil.
Yo Khay Thay yang jalan naik ketangga loteng hingga duduk, sedikitnya sudah tujuh delapan
kali menyeka keringatnya.
Hong Sie Nio yang sudah duduk, sudah mulai menulis beberapa macam hidangan, wajah Yo
Khay Thay tampaknya sudah mulai agak pucat, dengan mendadak ia bangkit dari tempat
duduknya dan berkata:
“Aku....... aku hendak keluar sebentar, segera akan kembali.”

Hong Sie Nio juga tidak perdulikan padanya, ia masih tetap menulis menunya yang ia sukai,
ia menunggu setelah Yo Khay Thay turun dari tangga loteng, sudah memesan enam tujuh
belas rupa hidangan, barulah berhenti menulis dan berkata:
“Kau tau, ia keluar itu untuk apa?”
“Pergi mengambil uang!” menjawab Siauw Tjap-it-long sambil tertawa.
“Sedikitpun tidak salah, orang semacam ini kalau keluar pintu, uang yang berada disakunya
tidak bisa lebih dari satu tail uang perak.”
“Biar bagaimana, dia adalah seorang sopan, kau juga tidak seharusnya makan habis2an
uangnya.”
“Apa Thiat kuncu, aku lihat ia itu lebih mirip daripada ayam besi, kau sama dengannya, satu
senpun tidak mau keluar, orang semacam ini kalau tidak dimakan, mau makan siapa lagi?”
“Tetapi dia toh berlaku baik terhadapmu...”
“Aku dengan cara ini memakan dia, ialah supaya ia lain hari takut mengajak aku makan lagi.”
Ia memonyongkan mulutnya dan berkata lagi:
“Kau juga bisa tahu betapakah menjemukannya orang ini, sejak bertemu muka satu kali
didalam perjamuan ulang tahun nyonya Ong dahulu, setiap hari hampir seperti anjing saja
terus mengintil dibelakangku.”
“Aku sebaliknya merasa dia itu orang baik, orangnya jujur, juga dari golongan baik2, tetapi
kekayaan rumah tangganya tidak perlu dikatakan lagi, kepandaian ilmu silatnya juga
merupakan dari golongan orang kuat yang terpilih, aku lihat kau sebaiknya menikah
dengannya.....”
Belum habis ucapannya, Hong Sie Nio sudah berseru dan berkata:
“Kentutmu! Sekalipun orang laki didalam dunia ini sudah mati semua, aku juga tidak bisa
menikah dengan orang yang seperti ayam itu.”
Siauw Tjap-it-long menghela napas, katanya sambil tertawa getir:
“Orang perempuan benar2 sangat aneh, sebelum menikah, selalu mengharapkan suaminya itu
seorang yang royal, tetapi setelah menikah dengannya, lantas mengharap supaya berlaku pelit,
lebih pelit lebih baik, sebaiknya jangan mengundang orang makan, dan uangnya dia
menginginkan semua diberikan kepadanya sendiri.”
Sewaktu hidangan yang kedua sudah disajikan, Yo Khay Thaybaru balik, tiba2 seorang
setengah baya yang baru saja duduk disatu sudut, ketika menampak kedatangannya, segera
bangkit dan memberi hormat.
Yo Khay Thay membalas hormatnya, satu sama lain sikapnya sangat sopan.
Orang setengah baya itu juga datang seorang diri, pakaiannya tidak begitu perlente, namun
tampaknya beruang juga, dipinggangnya menggantung sebilah pedang dalam sarungnya yang
hitam, tampaknya bukan pedang sembarangan.
Sepasang matanya bersinar, tampaknya juga berwibawa, jelas merupakan seorang pemimpin
entah dari golongan mana.

Hong Sie Nio sejak tadi sudah perhatikan padanya, dan kini ia sudah tidak sabar lagi, maka
lau bertanya kepada Yo Khay Thay. “Siapakah orang itu?”
“Kau tidak kenal padanya? Sungguh aneh...” berkata Yo Khay Thay.
“Mengapa aku harus kenal dia?”
Dengan suara sangat perlahan sekali, Yo Khay Thay berkata: “Dia adalah murida dari Koo
Tojin digunung Pa-san dahulu, namanya Liu Sek ceng. Jikalau kita berbicara soal ilmu
pedang di kalangan Kang-ouw barangkali sedikit sekali orangnya yang dapat menandingi
ilmu pedangnya.”
Hong Sie Nio juga sampai merasa tertarik, katanya: “Kabaranya ilmu pedangnya Hee-hongliong-
kiam yang terdiri dari empatpuluh sembilan jurus, sudah mendapat seluruh warisan dari
Koo tojin, bahkan melebihi dari gurunya sendiri. Apakah kau pernah menyaksikan ilmu
pedangnya?”
“Orang ini adatnya tidak suka mengagulkan diri, selamanya tidak suka bergaul dengan orang
lain, maka dalam kalangan Kang-ouw orang yang kenal padanya sedikit sekali. Tetapi dengan
Kang-kaouw Suheng di gunung Siong san adalah sahabat karib, maka aku barulah kenal
dengannya.”
padanya, golok ini harus beserta dengan orangnya selama masih hidup, tidak boleh terjatuh
ditangan orang kedua, urusan ini nampaknya sangat mudah, tetapi kalau dilakukan lebih susah
dari pada naik kelangit” berkata Yo Khay Thay.
Ia tertawa getir sebentar, kemudian berkata lagi: “Sekarang ini dari kalangan Kang-ouw entah
sudah berapa banyak orang yang tahu berita tentang golok ini. Maka itu tidak peduli siapa
yang berhasil mendapatkan golok ini namanya segera menjadi kesohor, dan akan
menggemparkan dunia Kang-ouw, bergerak di kalangan Kang-ouw dengan membawa bawa
golok ini, sama juga seperti membawa bungkusan berisi bahan peledak yang setiap saat bisa
meledak dan menghancurkan dirinya sendiri”
Ucapannya ini memang benar, aku sendiri mungkin juga ingin menonton keramaian” berkata
Hong Sie Nio sambil tertawa.
“Tetapi soal pertama ini kalau dibandingkan dengan soal yang kedua, soal yang pertama itu
masih jauh lebih mudah” berkata yo Khay Thay.
“Oh! Ia suruh kau melakukan apa? Apakah mengambil rembulan dari atas langit?”
“Ia suruh kami berjanji padanya, setelah mendapatkan golok ini, dengan golok ini harus
menyingkirkan seorang berandal besar pada dewasa ini yang namanya paling busuk...”
Belum habis ucapannya, Hong Sie Nio sudah tidak sabar dan bertanya: “Siapakah yang ia
maksudkan dengan berandal besar itu?”
“Siauw cap it long!” lambat lambat Yo Kay Thay menjawab, diucapkan sepatah demi sepatah.
Jilid 3______________
MENILAI PENDEKAR SAMBIL MINUM ARAK
saat itu, hidangan yang kesepuluh sudah mulai disajikan.

Yo Khay Thay yang menyaksikan demikian banyak hidangan yang memenuhi meja,
wajahnya seperti mengguman : “Sayurnya terlalu banyak, mana sanggup kita makan habis
semua?”
Ucapan ini seharusnya keluar dari mulut tamu yang diundang, sedangkan sebagai tuan rumah
seharusnya berkata : Sayurnya kurang baik, sayurnya terlalu sedikit.... “Autran begitu saja
apakah kau masih tidak mengerti?” menegor Hong Sie nio
Yo Khay Thay kembali menyeka peluhnya, sedang mulutnya berkata :
“Maaf, aku..... jarang sekali jadi tuan rumah”
Beng Sie Nio juga tidak dapat menahan rasa gelinya, katanya : “Kau ini meskipun pelit, tetapi
masih terhitung seorang jujur”
Siaw Tjap-it-leng mendadak berkata : “Entah saudara Yo kenal dengan Siaw Tjap-it long atau
tidak ?”
“Tidak kenal”
“Saudara Yo belum pernah kenal orangnya, nanti setelah mendapatkan golok itu, apa saudara
Yo tega membunuhnya?”
“Benar aku tidak kenal dia, tapi tahu bahwa dia itu adalah seorang berandala besar yang tidak
pernah dilakukan, orang semacam itu memang seharusnya disingkirkan, mengapa aku tidak
tega membunuhnya?”
“Apakah saudara Yo pernah menyaksikan dengan mata kepala sendiri bahwa dia melakukan
perbuatan yang tidak patut?”
“Itu.... tidak, aku hanya mendengar orang kata saja” Siaw Tjap-it long tertawa, kemudian
berkata.
“Kejadian atau urusan yang disaksikan oleh mata kepala sendiri masih belum tentu jitu
seluruhnya apalagi hanya dengan kabar saja”
Yo Khay Thay berdiam sekian lama, tiba tiba tertawa dan berkata :
“Sebetilnya, sekalipun aku ingin embunuh dia, juga belum tentu dapat membunuhnya.
Dikalangan Kang-ouw entah berapa banyak orang yang ingin membunuh dia, tetapi bukan
kah ia masih hidup dalam keadaan segar bugar?”
“Sedikitpun tidak salah, jikalau kau mau dengar nasihatku, sebaiknya jangan kau mau
mendapat golok itu. Kalau tidak, bukan saja kau tidak sanggup membunuh Siaw Tjap it Long,
salah salah mungkin kau sendiri yang mati ditangannya” kata Hong Sie Nio sambil tertawa
dingin.
“Terus terang, harapanku untuk mendapatkan golok itu, sebetulnya juda tidak besar” berkaya
Yo Khay Thay.
“Menurut pendapatmu, siapa yang paling besar harapannya mendapatkan golok itu?” bertanya
HongSie Nio.
Yo Khay Thay tampak berpikir, kemudian baru berkata :
“May Kang sudah terkenal namanya paling lama, pukulan tangannya juga sudah mahir benar

benar, sayang orangnya terlalu jujur, hingga ilmu pukulannya juga agak kaku sedikit, tidak
ada perobahannya.”
“Jikalau demikian halnya, tentunya juga sudah tidak ada harapan lagi.” berkata Hong Sie Nio.
‘Dia belum tentu dapat menangkan aku” “Bagaimana dengan Chie Ceng Teng?”
Chie Ceng Teng adalah murid kesayangan ketua Bu Tong Pay, baik ilmu pedangnya, maupun
ilmu tangan kosongnya, semuanya sudah dilatih damapai mencapai ketaraf sangat tinggi,
ilmunya meringankan tubuh juga mahir, kabarnya kalau ia menggunakan ilmu pedang,
orangnya sudah seperti terkurung dalam bayangan pedangnya, hanya sayang.... "
“Hanya sayang apa?”
“Dia adalah keturunan seorang jendral dari kota Hang-ciu, biasanya hidup senang dan,
seorang dikalau pernah hidup terlalu senang, biasanya juga ilmu silatnya susah mendapat
kemajuan”
“Oleh karena itu, kau merasa ia juga tidak ada harapan lagi, betul tidak?”
Yo Khay Thay tak menjawab, dengan demikian berarti bahwa ia sudah membenarkan ucapan
Hong Sie Nio.
“Dan bagaimana dengan Cu Pek Cui?” bertanya pula Hong SIe Nio.
“Aku dengar kabar bahwa ia memiliki kepandaian dari golongan Ngo-bie dan Tiam Cong,
juga merupakan anak tunggal nyonya Cu yang dahulu terkenal namanya sebagai ahli senjata
rahasia yang mendapat nama julukan Koan im seribu tangan. Ilmu menggunakan senjata
rahasianya, kabarnya sudah tidak ada yang dapat menandingi”
“Orang ini memang benar benar memiliki kepandaian sangat tinggi, lagi pula cerdas sekali,
hanya sayang ia terlalu pintar.
Kabarnya sudah menyadari kotornya keduniawian, maka ia sudah siap hendak menyuruk
rambut menyucikan diri, maka kali ini ia datang atau tidak masih menjadi suatu pertanyaan”
“Bagaimana kalau ia datang?”
“Karena ia sudah hendak menyucikan diri, sekalipun ia mungkin bakal datang, juga tidak
akan mengeluarkan seluruh kepandaiannya”
“Kalau begitu dia juga sudah tidak ada harapan?”
“Harapannya tidak besar”
Hong Sie Nio kembali mengawasi liu Sek Ceng yang duduk minum seorang diri dilain sudut,
lalu tanyanya perlahan : “Bagaimana dengan dia?”
“Orang ini keahliannya dan kemahirannya dalam ilmu pedang, tak usah dikata lagi, hanya
sayang orangnya terlalu jumawa, kalau bertanding dengan lawan suka telalu pandang ringan
lawannya, bahkan jikalau seliwatnya seratus jurus masih belum merebut kemenangan, bisa
berubah sifatnya, tidak dapat kendalikan emosinya sendiri !”
“Penilaian saudara Yo benar benar sangat berharga... " berkata Siaw Cap it long.
“Kau bisa menilai orang lain, mengapa tidak menilai diri sendiri?” mendadak Hong Sie Nio,
bertanya.

“Aku sejak berusia sepuluh tahun, sudah dibawah didikan Insu, hingga kini sudah dua puluh
tahun lamanya, selama duapuluh satu tahun ini, tiap hari pagi dan malam aku selalu melatih
ilmu yang diturunkan Insu tidak pernah terputus, sekalipun musimhujan, musim panas atau
musim dingin kejuga tidak berani melalaikan pelajaranku. Dikalau ditilik dari kekuatan
tenaga tanganku, dan kekuatan tenaga dalamku,barangkali jarang sekali yang dapat
dibandingkan denganku”
Saudara Yo benar saja tidak kecewa menjadi seorang sopan, menilai diri orang lain tidak
merendahkan orang lain juga tidak mengagulkan diri sendiri, bahkan... " berkata Siaw Cap it
long sambil menghela napas.
“Bahkan dalam hatinya tidak perduli ada urusan apa, semuanya ia tidak dapat
merahasiakannya, diwajahnya segera mengentarkan apa yang terkandung dalam hatinya, ada
orang minta ia mengundang makan, wajahnya lantas berubah demikian rupa, jadi lebih bukur
dari pada muka kuda” menyelak Hong Sie Nio sambil tertawa.
Muka Yo Khat Thay saat itu juga kembali menjadi merah, katanya: “Aku... aku... aku hanya...
hanya... "
“Kau hanya dapat dibanggakan karena sifatmu yang terlalu pelit. Meskipun kekuatan tenaga
dalammu sangat hebat, namun kalau tanganmu selalu terikat kencang tidak pernah terlepas,
selalu... tidak menginginkan dan memikirkan hasilnya, cuma lantaran takut sampai terjadi
kesalahan buat orang lain boleh jadi juga sulit dapat menangkan kau, tetapi kalau kau mau
menangkan orang lain secara mudah, barangkali juga masih belum dapat”
Ia tertawa kemudian berkata lagi : “Kau sudah selesai menilai orang lain, biar sekarang aku
juga akan coba menilai dirimu, boleh tidak ?”
Lama Yo Khay Thay menjublek,barulah berkata sambil menghela napas panjang : ” ...Sie
Nio, kau benar benar tidak kecewa menjadi sahabat akrabku”
“Istilah akrab, aku tidak sanggup menerima, hanya tentang penyakitmu, aku mengetahui
dengan jelas”
“Justru kerana itu, maka aku baru merasa tidak sebanding dengan Lian Seng Pek !” kata Yo
Khay Thay tawar.
“Kalau Begitu bagaimana kau tahu bahwa kepandaian ilmu silatnya lebih tinggi dari
padamu?” Kau jangan salah mengerti, justru lantaran ia jarang sekali menunjukkan
kepandaian ilmu silatnya, barulah membuat orang semakin merasa bahwa kepandaiannya sulit
dijejaki”
Siaw Cap it long lao berkata : “Kabarnya orang ini adalah orang bauj dan supan santun, dalam
usia enam tahun sudah mendapat julukan bocah sakti, dalam usia sepuluh tahun ilmu
pedangnya sudah mencapai ketaraf dangat tinggi, sebelas tahun ia sudah bisa mengadakan
pertandingan pedang dengan salah seorang ketua partay persilatan dari negara timur yang
datang kedaerah Tiong goan, hingga tiga ratus jurus belum terkalahkan, sejak saat itu,
namanya demikian terkenal sehingga kenegeri timur, hingga orang orang rimba persilatan
disana mengetahui bahwa didaerah Tiong goan ada muncul seorang bocah sakti didalam
rimba persilatan”
Ia tertawa dan tiba tiba berkata lagi : “Tetapi aku juga sudah pernah dengar, Siauw Cap-itlong
juga seorang berkepandaian luar biasa tingginya yang jarang muncul dirimba persilatan,
ilmu goloknya merupakan semacam ilmu tersendir, setelah muncul dikalangan Kangouw,
belum pernah menemukan tandingan, entah Lian Kongcu itu bagaimana kalau
dibandingkan dengan dia?”

“Ilmu golok Siaw Cap it long cepatnya bagaikan angin dan bagaikan kilat, ilmu pedang Lian
Seng Pek sebaliknya seperti angin dimusim semi, dua orang itu, yang satu berasal dari
golongan keras, yang lain dari golongan lunak, tetapi semuanya sudah mengcapai ketaraf
yang tidak ada taranya. Namun demikian, sejak dahulu kala semua orang telah tahu bahwa
lunak dapat menundukan keras. Ditinjau dari keadaan rimba persilatan pada dewasa ini,
jikalau mau dikata masih ada orang yang bisa menagkan Siaw Cap it long, barangkali hanya
satu orang saja, ialah Lian Seng Pek itu” berkata Yo Khay Thay.
Siauw Cap-it-long dian saja mendengarkan uraian Yo Khay Thay, lalu berkata sambil
tersenyum :
“Dengar ucapanmu ini, ia berdua yang satu dari golongan keras, sedang yang lain dari
golongan lunak, mirip denagn pasangan lawan yang setimpal”
“Tetapi Siauw Cap-it-long masih mempunyai beberapa keunggulan yang tidak didapatkan
pada diri Lian Seng Pak!”
“Oh !. Apakah yang saudara Yo maksudkan ? aku ingin mendapat penjelasannya!”
Liang Seng Pek adalah keturunan orang berada, perbuatannya selalu baik baik dan suka
membela keadilan, bahkan dalam segala hal ia memikirkan diri orang lain, tidak pernah
mencari nama sendiri, selama beberapa tahun paling belakang ini, nama harumnya tiada orang
yang dapat menandingi,boleh dianggap sebagai pendekar besar benar-benar! Orang semacam
ini tidak perduli berjalan kemana saja, orang lain semua berlaku hormat terhadapnya, boleh
dikata sudah mendapat keuntungan banyak dari bantuan kawan-kawannya”
Hong Sie Nio berkata sambil menggigit bibir : “Dan bagaimana pendapatmu tentang diri
Siauw Cap-it-long?”
“Siauw Cap-it-long sebalinya adalah seorang berandal besar yang namanya terlalu jelek
sekali, sudah tidak ada famili, juga tidak ada kawan, tidak perduli berjalan kemana saja, sudah
tentu tidak akan ada orang yang mau memberikan bantuan padanya”
Siauw Cap-it-long masih tertawa terus, tetapi tertawanya itu begitu hambar seperti orang
putus asa, ia mengangkat secawan arak, diminumnya hingga kering. Lalu berkata :
“Benar, benar! coba saja pikir, Siauw Cap-it-long hanya merupakan anak dari seorang kusir
kereta, bagaimana dapat dibandingkan dengan Lian Seng Pek, keturunan seorang ningrat kaya
raya?”
“Kecuali ini Lian Seng Pek masih ada mempunyai satu hal, juga orang tidak dapat
menandinginya”
“Dalam hal apa?” bertanya Hong Sie Nio :
“Ia masih ada mempunyai seorang pembantu yang baik, ialah istrinya yang bijaksana”
“Apakan Sim Pek Kun itu yang kau maksudkan?”
“Benar! Nyonya Lian ini adalah cucu perempuan Sim Thay Kun yang terkenal dengan senjata
rahasianya yakni jarum mas, bukan saja memiliki kepandaian sangat tinggi, tetapi juga lemah
lembut orangnya, ia merupakan seorang istri yang sangan ideal”
“Hanya sayang ia sudah menikah, jikalau tidak kau boleh pergi meminangnya” Kata Honf Sie
Nio dingin.

Maka Yo Khat Thay kembali menjadi merah seketika, katanya sambil tertawa :
“Aku... aku... aku hanya... "
Hong Sie Nio perlahan lahan menghirup arak dalam cawannya, katanya seperti menggumam :
“Entah bagaimana senjata rahasia jarum mas keluarga Simkalau dibandingkan dengan senjata
rahasia jarum perakku... ?”
Tiba tiba ia mengangkat kepalanya dan berkata sambil tertawa :
“Kapan kalian hendak pergi keperkampungan keluarga Sim ?”
“Besok sore... Su Khong Cu yang melindungi golok pusaka itu masuk kebenteng, selambat
lambatnya besok pagi baru bisa tiba dibenteng”
Biji mata Hong SIe Nio tampak berputaran lalu katanya :
“entah mereka masih mengundang siap siapa lagi ?”
“Tamu tidak banyak... "
Mendadak seperti ingat apa, ia berkata sambil menatap Hong SIe Nio : “Apakah kau juga
ingin pergi kesana?”
Orangtoch tidak mengundang aku? Aku tidak mempunyai muka demikian tebal” berkata
Hong Sie Nio sambil tertawa dingin.
“Akan tetapi aku boleh mengajak kau pergi, anggap saja sebagai... "
Sebagai apamu?” bertanya Hong Sie Nio sambil pendelikan mata.
Muka Yo Khat Thay kembali menjadi merah, katanya dengan suara gelegapan : “Ka... ka...
kawan! ...”
KEBESARAN SIM THAY KUN
Letaknya perkampungan Sim-kee-chung ditepi telaga Tay-beng-ouw adalah membelakangi
gunung dan menghadao telaga. Asal orang melihat sepasang singa-singaan batu di depan
pintu gerbang yang sudah demikian tua usianya, dapat membanyangkan sendiri bahwa
perkampungan ini mempunyai riwayat yang cukup lama dan gemilang.
Pelayan perkampungan Sim-kee-cung jumlahnya tidak banyak, tetapi setiap orang berlaku
sangat sopan, mereka sudah terlatih baik, tidak membuat setiap orang merasa diperlakukan
dingin.
Sejak Chungcu yang tua Sim Keng Hong suami istri pergi membasmi kawanan pemberontak,
dan keduanya mati dimedan perang, Sim-kee0cung selama beberapa tahun sebetulnya nampak
mulai tidak terurus, hanya tinggal Sim Thay Kun seorang yang mempertahankan utuhnya
perkampungan itu.
Akan tetapi, dimata orang orang Kang Ouw, perkampungan Sim-kee-chung ini kedudukannya
selama itu tidak sampai mundur bahkan sebaliknya malah semakin tinggi. ini bukan
disebabkan karena semua orang menaruh simpati atas kematian Sing Keng Hong suami istri,
itu juga bukan disebabkan karena orang orang menghormati jasanya, melainkan karena Sim

Thay Kun ini, yang menjadi ibu Sim Keng Hong, benar benar memiliki ketnagkasan san
kepandaian mengurus rumah tangga membuat orang kagum.
Lian Seng Pek pagi pagi sudah keluar kota untuk menyambut orang yang melindungi golok
pusaka, dan orang yang menyambut para tamu diruangan tengah saat itu, ialah keponakan Sim
Thay Kun dan Ban Tong San yang mendapat nama julukan Siang-yang-kiam khek yang
berarti Jago pedang dari kota Siang-yang.
Tamu tamu yang datang jumlahnya tidak terlalu banyak, yang datang paling pagi ialah Yo
Khay Thay.
Ia datang dengan membawa du kawan, satu ialah seorang pelajar bermuka putij bersih yang
tampaknya sangat gagah dan tampan, ia bernama Pang Su Liang, yang lain bernama Pang
Ngo yang menjadi adik sepupu Pang Su Liang.
Ban Tiong San yang sudah banyak mengalaman, telah merasa bahwa kedua tetamunya tuan
Pang itu, semuanya adalah orang orang gagah, juga jelas kepandaian ilmu silatnya sudah
mencapai ketarap sangat tinggi, Seharusnya orang orang yang bukan tidak ada nama dalam
kalangan Kang-ouw.
Tetapi ia yang sudah lama berkecimpungan didunia Kang-ouw, belum pernah mendengar
nama dua orang ini.
Meskipun dalam hati Ban Tiong San merasa heran, tetapi diluarnya tidak menunjukkan sikap
apa apa, bahkan sedikitpun tidak pernah menyatakan maksudnya, ia percaya kepada Yo Khay
Thay, ia percaya kawan yang dibawa oleh Yo Khay Thay, tidaklah mungkin orang orang
jahat.
Tetapi tidaklah demikian oendirian May Kang.
May Kang yang juga datang pagi pagi setelah kedua tatamunya itu diperkenalkan oelh Ban
Tiong-san kepadanya sepasang matanya yang tajam bagaikan ujung belati terus menatap dua
tuan Pang itu.
Jago terkenal dirimba persilatan dengan pukulan tangan kosongnya yang terdiri dari tiga
puluh enam jurus,bukan saja sepasang matanya yang tajam, tetapi orangnya juga seperti
sebilah golok yang sudah keluar daru sarungnya.
Sifat orang She May ini keras dan tidak takut segal apa.
Hong Sie Nio yakin saudara sepupu Pang Su Liang alias Pang Ngo, hampir tidak sanggup
menahan emosinya, akan tetapi Siauw Cap it Long atau Pang Su Liang sendiri, sebaliknya
masih tenang tenang saja, ia tersenyum sama sekali tidak menghiraukan sikap orang she May
terhadapnya.
Perbedaan Siauw Cap it Long dengan orang lain ialah dalam segala hal ia agaknya bersikap
tenang dan acuh tak acuh.
Kemudian, Liu Sek Ceng juga tiba.
Kedatangannya disusul oleh Chie Ceng Teng, ekturunan Jendral dikota Hang-Ciu ini benar
saja merupakan seorang pemuda romantis, pakaiannya sangat perlente, diatas topinya tampak
dihiasi sebutir mutiara sebesar telur, siapa yang melihatnyua sudah tentu dapat menilai sendiri
betapa herganya mutiara sebesar itu. akan tetapi dia terhadap orang berlaku sopan dan
merendahkan diri, tidak lantaran kekayaannya ia lantas berkalu sombong dan tidak pandang
sebelah mata orang lain.

SElanjutnya, dengan beruntun datang pula beberapa orang tamuy, sudah tentu semuanya juga
merupakan orang tingkatan tua dari rimba persilatan yang mempunyai nama dan kedudukan
baik, tetapi sepasang mata May Kang masih terus juda memperhatikan Siauw Cap it long.
Yo Khay Thay juga merasakan gelagat tidak baik, ia coba mengalihkan perhatiannya orang
she May itu kelain soal, maka ia selalu bertanya kepadanya :
“Saudara May, apakah selama ini pernah berkunjung kegereja Siao-lim?”
May Kang menganggukkan kepala dengan muka cemberut, tiba tiba bertanya : “Saudara Pang
ini apakah kawanmu?” “Benar” menjawab Yo Khay Thay.
“Benarkah dia seorang she Pang?” bertanya pula May Kang.
Hong Sie Nio agaknya tidak dapat kendalikan emosinya lagi, maka saat itu lalu menyelak
sambil tertawa dingin: “Jikalau tuan menganggap kami bukannya orang orang she Pang, maka
kami ini jadi harus memakai she apa ?”
“Jiewie tidak perduli she apa, semua tidak ada hubungan denganku siorang she May. Tapi aku
siorang she May ini selamanya tidak senang ada orang yang sembunyi sembunyikan diri atau
menukar nama. Apalagi kalau aku tahu, sudah terang tidak akan melepaskannya begitu saja”
berkata May Kang dengan muka masam.
Wajah Hong Sie Nio sudah berubah, tetapi Ban Tiong San cepat menyelak, dan berkata
sambil tertawa :
“Saudara May ini orangnya keras dan jujur, semua tahu tentang dia”
Liu Sek Ceng juga segera bertanya sambil tertawa :
“Eh, dimana sudara Pek Cui? mengapa masih belum juga datang ?”
Ban Tiong San menghela napas perlahan dan berkata :
“Saudara Pek Cui sudah mencukur rambut dipucak gunung Ngo-bie, kali ini barangkali sudah
tidak bisa datang lagi”
Kenapa ia tidak bisa pikir penjang? apakah didalam ini masih ada rahasia apa-apa?” bertanya
Chie Ceng Teng.
May Kang mendadak menepok meja dan berkata dengan suara bengis: “Tidak perduli
lantaran apa, yang terang itu tidaklah seharusnya. Keluarga Cu hanya menurunkan anak dia
seorang, dia adalah anak tunggal. Kenapa dia menyucikan diri menjadi padri, sedangkan
pribahasa nenek moyang kita ada kata : Tidak berbakti ada tiga hal, tidak berketurunan itulah
yang paling tidak baik. Ia toch sudah pernah melajar ilmu surat, mengapa pepatah nenek
moyangnya saja sudah dilupakan? Jikalau aku ketemu dengannya... hmm!”
Ban Tiong San dengan Chie Ceng Teng saling berpandangan, tiada satupun yang buka mulut
lagi.
Sementara itu, hawa amarah Hong Sie Nio masih belum reda, maka ai lalu berkata sambil
tertawa dingin :
“Kau lihat orang ini betapakah anehnya. Urusan orang lain ia juga mau turut campur tangan”
May Kang dengan mendadak bangkit dari tempat duduknya dan berkata dengan suara marah:

“Aku justru paling suka mencampuri urusan orang lain, kau mau apa?”
Yo Khay Thay juga bangkit berdiri, katanya dengan suara keras:
“Saudara May jangan lupa, dia adalah kawanku”
Kalau kawanmu lalu mau apa ? aku siorang she Kang ini justru hendak memberi pelajaran
kepada kawanmu ini”
Muka Yo Khay Thay menjadi merah, katanya :
“Baik, baik, baik, kau... kau... tidak halangan kau memberi hajaran lebih dulu kepadaku !”
Kedua orang sama sama sudah menggulung lengan bajunya, seolah-olah sudah akan segera
melakukan pertempuran, yang mengherankan, demikian banyak orang diruangan itu, ternyata
tidak ada satu yang berdiri untuk memisah, sebab semua tahu adat May Kang itu, dengan
begitu, siapaun jadi tidak suka kebentrok dengannya.
Tiba-tiba terdengar suara orang berkata : “Kedatangan kalian kesini, apakah buat berkelahi ?”
Dalam suasana panas seperti itu, ucapan ini sebetulnya kurang cerdik, bukan saja tidak akan
membawa pengaruh, tetapi juga kurang sopan, bahkan ada mirip dengan ucapan orang biasa
yang hendak mencari penyakit sendiri.
Tetapi sekarang ucapan itu dikeluarkan dari mulut orang ini, pengaruhnya seolah-olah
berubah dengan mendadak, siapa juga tidak merasa kata-katanya kurang sopan, atau kurang
cerdik... sebab keluarnya justru dari mulut Nyonya Sim yang tua.
Sim Thay Kun sinenek yang menjadi kepala rumah tangga perkampungan itu, baik usianya
maupun kedudukannya, semua sudah mencapai ketaraf yang ia boleh mengeluarkan perkataan
sesukanya, orang yang dicaci maki olehnya, dalam hati bukan saja tidak merasa tidak senang,
sebaliknya malah merasa bangga. Jikalau ia berlaku merendahkan diri terhadap seseorang,
orang itu sebaliknya malah merasa tidak enak.
Dalam hal ini, Sim Thay Kun selamanya mengerti.
Tidak perduli urusan apa saja ia semua mengerti, ia sudah cukup banyak mendengar, cukup
banyak melihat, juga cukup banyak pengalaman, sekarang meskipun daya pendengarannya
sudah agak berkurang, tetapi asal perkataan yang ia ingin dengar, suara orang lain betapapun
kecilnya ia masih mengdengar dengan jelas.
Kata kata yang tidak suka didengarnya sekalipun diucapkan dengan suara keras ia juga tidak
mau dengar.
Meskipun matanya juga tidak seperti dahulu demikian tajam mungkin untuk melihat wajah
seseorang saja sudah kurang nyata, tetapi setiap isi hati orang is seperti dapat melihat dengan
jelas.
Ketika pelayan perempuan membimbingnya keluar, mulutnya sedang mengunyah sebutir
buah Co, agaknya sedang menikmati rasanya, seluruh perhatiannya dipusatkan kepada buah
Co yang sedang dikunyahnya.
Dan kata kata tadi seperti bukan keluar dari mulutnya.
Akan tetapi, May Kang dan Yo Khay Thay semua sudah menundukkan kepala dengan muka

ke-merah merahan, ia miringkan setengah tubuhnya untuk membetulkan lengan bajunya yang
tadi pada digulung.
Semua orang yang ada didalam ruangan memberi hormat dengan sikap sangat menghormat
sekali.
Nenek tua itu meng-angguk anggukkan kepala sambil tertawa, kemudian nerkata:
“Chie ceng Teng, mutiara diatas topimu itu benar benar sangat bagus. Tetapi kau taruh diatas
topimu, bukankah itu terlalu royal? Mengapa tidak kau taruh dilubang hidungmu saja, supaya
orang lain bisa melihatnya dengan lebih nyata ?”
Wajah Chje Ceng Teng menjadi merah, ia tidak berani menjawab.
Sim Thay Kun kembali mengawasi Liu Sek Ceng sambil tertawa-tawa, setelah itu ia berkata
pula:
“Sudah banyak tahun tidak ketemu, ilmu pedangmu pasti sudah banyak maju. Dalam dunia
rimba persilatan barangkali sudah tidak ada orang lain yang sanggup menandingi ilmu
pedangmu; sebetulnya kau harus dipanggil Jago pedang nomor satu benar benar, setidak
tidaknya pedang yang ada dipinggangmu itu, jauh lebih indah dari pada orang lain punya”
Muka Liu Sek Ceng seketika itu juga menjadi merah, tangannya yang tadi terus
menggenggam gagang pedang, seolah-olah takut diketahui oleh orang lain, sekarang buru
buru gagang pedangnya itu digeser kebelakangnnya.
Wajah mereka meskipun merah, tetapi sedikitpun tidak merasa malu sebab orang yang bisa
dimaki oleh Sim Thay Kun, bukanlah suatu hal yang memalukan.
SEtidak tidaknya dapat menunjukan bahwa Sim Thay Kun tidak enggap orang itu sebagai
orang luar.
Orang yang tidak dimaki olehnya, sebaliknya merasa tidak enak.
Yo Khay Thay menundukakan kepala, katanya dengan suara ketakutan : Siaotit tadi berlaku
kurang sopan, harap Thay hujin maafkan”
SIm Thay Kun menggunakan tangannya didaun telinganya lalu bertanya : “Apa ? apa katamu ? aku tidak
dengar”
Yo Khay Thay kembali berkata dengan muka merah :
“Siao... Siaotit tadi berlaku... kurang sopan... "
“Oh... kau mengatakan bahwa kau datang tidak membawa barang anteran ? itu apa salahnya?
Biar bagaimana aku tahu bahwa kau orang pelit, sedangkan untuk makanmu sendiri saja kau
masih merasa berat, bagaimana kau bisa membawa barang antaran untuk orang lain ?”
Yo Khay Thay sepatah katapun tidak bisa menjawab.
May Kang juga segera berkata :
“Boanpwe tadi juga bukan hendak berkelahi dengan saudara Heng, hanya dua orang ini... "
“Apa ? kau kata hendak berkelahi dengan dua orang ini ?” bertanya Sim Thay Kun.

Lalu dengan wajah berseri seri ia mengawasi Hong Sie Nio dan Siao Cap it long, kemudian
berkata sambil menggeleng-gelengkan kepalanya :
“Tidak bisa ! Dua orang ini tampaknya semuanya anak baik baik, mana boleh berkelahi
ditampatku ini ? Hanya anak liar yang tidak tahu aturan itu, bisa mgomong gede dan
bertingkah ditempat ini”
May Kang tercengang, akhirnya ia menjawab sambil menundukkan kepala :
“Thay Hujin benar”
Hong Sie Nio semakin lama semakin merasa lucu dan senang terhadap nyonya tua ini. ia
merasa bahwa nenek itu sesungguhnya sangat menyenangkan.
Ia hanya menghapar kalau ia sendiri nanti sudah berusia tujuh delapan puluh tahun juga
seperti nenek ini lucunya.
***
KEPALA SIAUW CAP-IT-LONG
Sementasa itu Sim Thay Kun sudah berkata lagi sambil tertawa : “Tamu tamu yang datang
ditempat ini sebetulnya bukan sedikit jumlahnya, akan tetapi sejak Pek Kun menikah, sudah
lama tidak begitu ramai lagi, aku barulah mengerti bahwa orang itu ternyata bukan datang
untuk menengok aku sinenek ini, tetapi hari ini kalian jikalau ingin juga melihat anak
perempuanku yang cantik itu akan menjadi kecewa”
Ia tertawa demikian lucu, hingga dua matanya hampir hampir terpejamkan semua, katanya
pula :
“Anakku itu hari ini tidak dapat menemui tamu, sebab ia sedang sakit”
“Sakit ? sakit apa ?” bertanya Yo Khay Thay.
“ANak tolol, perlu apa kau demikian cemas ? jikalau ia benar benar sakit, apa kau masih bisa
demikian gembira ?” berkata Sim Thay Kun sambil tertawa.
Kembali ia mengedip ngedipkan matanya, ia sengaja membuat perlahan sampai seperti habis
suaranya, katanya :
“Kuberitahukan padamu, ia bukan sakit, melainkan sedang mengandung. Tetapi kau sekali
kali jangan mengatakan bahwa hal ini aku yang memberitahukan padamu, supaya anakku itu
nanti tidak akan menyesal bahwa aku nenek ini banyak mulut”
Orang orang dalam ruangan itu kembali bangkit dari tempat duduk masing masing, lalu
terdengar ucapan selamat yang sangat riuh. Yo Khay Thay tampak semakin gembira hingga
tertawanya terus terdengar tidak berhentinya
Hong Si Nio mendelikkan mata kepadanya, katanya dengan suara perlahan:
“Perlu apa kau begitu gembira? Anak toh bukan anakmu?”
Mulut Yo Khay Thay segera bungkam, tidak berani tertawa lagi.
Seorang laki yang dengar kata orang perempuan semacam itu, sesungguhnya jarang
tertampak.

Siauw Cap It Long diam-diam menghela napas sendiri, sebab ia mengerti seorang laki-laki
tidak boleh terlalu dengar ucapan orang perempuan, orang laki-laki jikalau terlalu dengar kata
mulut perempuan, orang perempuan itu sebaliknya akan menganggap laki-laki itu tidak ada
gunanya.
Siauw Cap It Long tidak perduli berada di satu tempat dengan banyak orang, selalu seperti
menyendiri, sebab ia selamanya adalah seorang yang berdiri di luar garis, selamanya tidak
suka turut menikmati kesukaan orang lain.
Ia selamanya paling tenang, maka dia jugalah orang pertama yang lebih dulu melihat
kedatangan Lian Seng Pek.
Ia sebetulnya tidak kenal dengan Lian Seng Pek, juga belum pernah bertemu muka
dengannya, akan tetapi ia tahu orang yang sekarang berjalan masuk dari luar itu pasti Lian
Seng Pek.
Sebab ia selamanya belum pernah melihat siapa pun juga yang sikapnya demikian sopan
santun, di dalam sikapnya yang sopan santun itu terkandung keagungan yang tidak dipunyai
oleh lain orang.
Di dalam dunia ada banyak jumlahnya pemuda yang gagah tampan, ada banyak kaum pelajar
yang sopan santun kelakuannya, ada banyak keturunan orang beruang yang sifatnya agung,
juga ada banyak jago muda rimba persilatan yang kesohor namanya, tetapi semuanya tidak
dapat dibandingkan dengan orang yang sekarang sedang berjalan masuk itu.
Siapa pun sebetulnya tidak dapat mengatakan di mana sebetulnya perbedaan ia dengan orang
banyak. Tetapi tidak perduli siapa orangnya, asal melihatnya sebentar, lalu bisa merasakan
bahwa dia benar-benar berbeda dengan orang banyak.
Thio Bu Kek sebetulnya juga seorang yang tampaknya amat berwibawa dan agung, sikapnya
juga pernah membuat banyak orang kagum. Jikalau berjalan bersama-sama dengan orang lain,
sikap dan kelakuannya selalu lebih menarik perhatian.
Tetapi sekarang ia berjalan dengan pemuda ini, Siauw Cap It Long seolah-olah tidak pernah
melihatnya.
Ia selalu mengenakan pakaian yang bahannya paling mahal, potongannya paling cocok
dengan bentuk tubuhnya, apa yang dikenakan tubuhnya selalu dipilih dengan teliti, begitu
juga setiap barang selalu mencocoki dengan dirinya, hingga membuat orang tidak merasa
jemu, juga tidak merasa bahwa perbuatannya itu dibuat-buat, lebih-lebih tidak bisa merasa
bahwa dia itu adalah orang yang kaya mendadak.
Di dalam rimba persilatan orang seperti Thio Bu Kek jumlahnya tidak banyak, tetapi sekarang
berjalan bersama-sama dengan anak muda tadi, benar-benar seperti pengawalnya saja dia.
Orang ini apabila bukan Lian Seng Pek, di dalam dunia ini siapa lagi yang mungkin dapat
disamakan dengan Lian Seng Pek? Jikalau Lian Seng Pek bukan sedemikian itu, ia juga sudah
bukan Lian Seng Pek yang asli lagi!
Lian Seng Pek yang berjalan masuk, begitu masuk sudah melihat Siauw Cap It Long.
Dia juga tidak kenal dengan Siauw Cap It Long, lebih-lebih belum pernah bertemu muka
dengannya, lagipula sama sekali tidak bisa memikirkan bahwa pemuda yang sekarang berdiri
di ambang pintu ruangan itu adalah Siauw Cap I Long.
Akan tetapi ia hanya melihatnya sepintas lalu saja, ia sudah merasakan bahwa pemuda ini ada

banyak hal yang berbeda dengan yang lainnya...
Dalam hal apa sebetulnya berbeda? Dia sendiri juga tidak dapat mengatakan.
Ia ingin memandang lebih lama kepada pemuda ini, akan tetapi ia tidak dapat berbuat
demikian, sebab mengawasi dan mengamati seseorang terlalu melit, adalah suatu perbuatan
yang tidak sopan.
Dalam hidupnya Lian Seng Pek belum pernah melakukan suatu perbuatan yang melanggar
kesopanan........
Ketika semua orang sudah melihat kedatangan Lian Seng Pek dengan Thio Bu Kek, sudah
tentu lantas terdengar pula suara riuh dari tamu-tamunya di dalam ruangan.
Kemudian Thio Bu Kek pergi menjumpai Nyonya Besar Sim.
Sim Thay Kun meskipun masih berseri-seri tetapi dari matanya sudah tidak tampak lagi
perasaan gembiranya seperti tadi, ia agaknya seperti mendapat firasat bahwa urusan agak
tidak beres.
Thio Bu Kek menjura memberi hormat dan kemudian berkata:
“Boanpwe datang terlambat, hingga mencapaikan Thay-hujin menunggu lama, di sini
Boanpwe haturkan maaf sebesar-besarnya.”
“Tidak apa, datang terlambat bagaimana pun juga ada lebih baik daripada tidak datang.
Bukankah begitu?” berkata Sim Thay Kun sambil tertawa.
“Ya,” jawab Thio Bu Kek.
“To Siao Thian, Hay-leng-cu dan si Raja Garuda tua itu, mengapa mereka tidak datang?
Apakah tidak ada muka untuk menemui aku?”
Thio Bu Kek menghela napas perlahan, katanya:
“Mereka benar-benar memang tidak ada muka untuk menemui Thay-hujin......”
Sepasang mata Sim Thay Kun seperti mendadak berubah menjadi muda, matanya bergerakgerak
dan ia berkata:
“Apakah goloknya telah hilang?”
Thio Bu Kek menundukkan kepala.
Sim Thay Kun berkata lagi dengan suara hambar:
“Golok hilang tidak halangan, asal orangnya jangan sampai ikut-ikutan hilang.”
Thio Bu Kek menundukkan kepalanya semakin rendah, katanya:
“Boanpwe sebetulnya juga tak ada muka buat menemui Thay-hujin. Tapi.......”
Sim Thay Kun mendadak tertawa, katanya:
“Kau tidak perlu memberi penjelasan, aku juga tahu bahwa dalam urusan ini tanggungjawabnya
bukanlah diserahkan kepadamu. Ada Raja Garuda tua dengan kalian bersama, ia
yang mau membawa golok itu, maka golok itu pasti hilang di tangannya.”

“Biarpun begitu tapi boanpwe juga tetap tidak lepas dari kesalahan dalam hal kelalaian.
Jikalau tidak dapat merampas kembali golok itu, boanpwe tidak ada muka lagi untuk bertemu
dengan sahabat-sahabat rimba persilatan,” berkata Thio Bu Kek sambil menghela napas.
“Orang yang bisa merampas golok dari tangan Raja Garuda tua, dalam dunia ini jumlahnya
juga tidak seberapa, siapakah orangnya yang berani merampas golok itu?” bertanya Sim Thay
Kun.
“Hong Si Nio,” jawab Thio Bu Kek.
“Hong Si Nio?........... nama ini aku rasanya sudah pernah dengar. Kabarnya ia memiliki
kepandaian yang cukup tinggi. Tapi kurasa dengan ilmu kepandaian seperti dia, barangkali
masih belum dapat merampas golok dari tangan si Raja Garuda!”
“Sudah tentu ia bukan sendirian, ada pembantunya,” menjawab Thio Bu Kek.
“Siapa?” bertanya Sim Thay Kun.
Thio Bu Kek menghela napas panjang, baru menjawab sepatah demi sepatah:
“Siauw Cap-it-long!”
Orang-orang yang berada dalam ruangan itu tidak kecewa mendapat nama julukan orangorang
sopan, mendengar berita yang mengejutkan ini semua ternyata bisa berlaku demikian
tenang, tiada seorang pun di antara mereka yang menunjukkan sikap terkejut atau kecewa,
bahkan tiada seorang pun yang tampak membuka mulut. Sebab mereka tahu, pada saat seperti
itu, ucapan apa pun bisa menimbulkan perasaan pahit bagi Thio Bu Kek.
Sebagai orang sopan, tidak nanti mereka berbuat demikian.
Yang menunjukkan perasaan terkejut hanya dua orang, satu adalah Yo Khay Thay, yang lain
adalah Hong Si Nio.
Yo Khay Thay menatap Hong Si Nio, Hong Si Nio sebaliknya menatap wajah Siauw Cap-itlong.
Dalam hatinya sudah tentu merasa sangat heran, sudah tentu ia tahu bahwa golok yang hilang
itu bukanlah golok yang tulen. Kalau begitu di manakah golok yang tulen itu?
Mendengar disebutnya nama Siauw Cap-it-long, Sim Thay Kun baru mengerutkan alisnya,
lalu katanya seperti menggumam sendiri.
“Siauw Cap-it-long, Siauw Cap-it-long.... pada waktu paling belakangan ini mengapa aku
selalu mendengar nama orang ini? Segala kejahatan di dalam dunia ini seolah-olah diborong
olehnya sendiri.”
Mendadak ia ketawa dan berkata lagi:
“Aku si nenek ini benar-benar ingin melihat rupa orang itu, sebetulnya dia orang yang
bagaimana macamnya? Seseorang dapat melakukan kejahatan demikian banyaknya,
sesungguhnya juga tidak gampang-gampang dapat dilakukan.”
May Kang berkata sambil cemberutkan muka:
“Orang ini jikalau tidak disingkirkan, dunia Kang-ouw tidak akan aman, boanpwe cepat atau
lambat suatu kali kelak pasti akan dapat membawa batok kepalanya untuk diperlihatkan

kepada Thay-hujin.”
Sim Thay Kun tidak menghiraukan segala omongannya, sebaliknya ia berkata kepada Chie
Ceng Teng:
“Chie Ceng Teng, kau ingin batok kepala Siauw Cap-it-long atau tidak?”
Chie Ceng Teng berpikir sebentar, baru menjawab:
“Ucapan saudara May tidak salah, selama orang ini belum dapat disingkirkan, dunia Kangouw
tidak akan aman.......”
Sim Thay Kun tidak menantikan habis ucapannya sudah bertanya lagi kepada Liu Sek Ceng:
“Liu Sek Ceng, bagaimana kau?”
“Boanpwe sudah lama ingin menguji kepandaian orang itu,” menjawab Liu Sek Ceng cepat.
Mata Sim Thay Kun beralih kepada Lian Seng Pek, kemudian bertanya:
“Dan kau?”
Lian Seng Pek hanya tersenyum tanpa menjawab.
Sim Thay Kun menggelengkan kepala, mulutnya menggumam:
“Kau bocah ini segala-galanya semua baik, sayang tidak terlalu suka bicara..... kalian percaya
atau tidak, ia datang di tempatku sini sudah setengah bulan, tapi aku belum pernah dengar ia
berkata lebih dari sepuluh patah kata!”
Yo Khay Thay membuka mulut, tetapi segera dikatupkan lagi.
Sim Thay Kun bertanya padanya:
“Kau ingin bicara apa? Katakanlah. Apakah kau juga ingin meniru dia?”
Yo Khay Thay melirik kepada Hong Sie Nio, barulah berkata:
“Boanpwe selalu merasakan, ada kalanya tidak bicara lebih baik daripada terlalu banyak
bicara.”
Sim Thay Kun kini tertawa, katanya:
“Kalau begitu, bagaimana dengan kau sendiri? Kau ingin membunuh Siauw Cap-it-long atau
tidak?”
“Orang itu namanya terkenal di segala pelosok sebagai orang jahat, siapapun yang bisa
menyingkirkannya, namanya akan kesohor di seluruh rimba persilatan, sudah tentu boanpwe
juga ada maksud seperti itu. Tapi....”
“Tapi apa?”
Yo Khay Thay menundukkan kepala, katanya sambil tertawa masam:
“Boanpwe... barangkali bukan tandingannya.”
Sim Thay Kun tertawa besar, katanya:

“Baik, kau si bocah ini bicaramu masih jujur, aku si nenek justru suka sekali kepada orang
yang sopan santun dan mengetahui keadaan diri sendiri. Tapi sayang, aku tidak mempunyai
cucu perempuan yang kedua untuk dinikahkan kepadamu.”
Wajah Yo Khay Thay kembali menjadi merah, matanya tidak berani memandang Hong Sie
Nio lagi.... hingga bagaimana sikap Hong Sie Nio pada waktu itu, ia mungkin dapat
membayangkan sendiri.
Kini pandangan mata Sim Thay Kun baru dialihkan lagi ke diri May Kang, katanya hambar:
“Kau lihat, ada demikian banyak orang, semuanya ingin mendapatkan batok kepala Siauw
Cap-it-long. Kau kata hendak menenteng batok kepala Siauw Cap-it-long untuk diperlihatkan
kepadaku, barangkali itu tidak mudah dilakukan.”
O R A N G T O L O L
Hong Sie Nio memandang Siauw Cap-it-long, katanya perlahan:
“Ada demikian banyak orang menghendaki batok kepalamu, kau rasa bagaimana?”
“Aku senang sekali.” menjawab Siauw Cap-it-long.
“Senang? Kau masih merasa senang?”
Siauw Cap-it-long tertawa.
“Aku masih belum tahu bahwa batok kepalaku demikian berharga. Kalau aku tahu begitu,
barangkali sudah lama kugadaikan ke rumah pegadaian.”
Hong Sie Nio juga tertawa.
Malam itu sunyi, suara tertawanya seperti keliningan perak.
Di taman belakang di perkampungan keluarga Sim, setiap tetamu telah mendapat sebuah
kamar. Orang yang datang berkunjung ke kampung keluarga Siem, jikalau tidak mau
menginap satu malam, itu berarti terlalu tidak pandang muka kepada Sim Thay Kun.
Suara tertawa Hong Sie Nio dengan cepat sudah berhenti, katanya sambil mengerutkan alis:
“Golok yang kita rampas itu jelas adalah golok tiruan, tetapi yang merka kata kehilangan
golok yang tulen. Menurut kau, urusan ini aneh atau tidak?”
“Tidak aneh.”
“Tidak aneh? Tahukah kau kemana perginya golok yang tulen itu?”
“Golok yang tulen.....”
Baru berkata sampai di situ ia sudah mengatupkan bibirnya.
Sebab ia sudah dengar suara langkah kaki seseorang yang berjalan ke arahnya. Ia tahu itu
pasti adalah Yo Khay Thay, hanya langkah kakinya seorang sopan, baru perdengarkan
suaranya demikian berat.
Sebagai seorang sopan, tidak mungkin mau mencuri dengar pembicaraan orang dengan

caranya seperti maling.
Hong Sie Nio kembali mengerutkan alisnya, katanya perlahan:
“Sukma tidak buyar, kembali datang mengintil....”
Ia memutar tubuhna, mendelikkan matanya kepada Yo Khay Thay yang wakti itu sudah tiba
di belakangnya, katanya dingin:
“Apakah kau hendak mengucapkan terima kasih kepadaku?”
Muka Yo Kay Thay merah seketika, katanya:
“Aku.... tak ada maksudku begitu.”
“Akupun sebetulnya yang harus mengucapkan terima kasih kepadamu. Coba tadi kau katakan
terus terang bahwa aku adalah Hong Sie Nio, orang-orang itu pasti tidak akan mau
melepaskan aku.”
“Mengapa aku...hendak membuka rahasia?”
“Bukankah mereka mengatakan aku adalah maling yang mencuri golok itu?”
“Aku tahu bukan kau.”
“Bagaimana kau tahu?”
“Sebab....sebab.... aku percaya kepadamu.”
“Apa sebab kau percaya kepadaku?”
Yo Khay Thay kembali menyeka peluh dikeningnya, katanya:
“Tidak tahu, aku... aku percaya padamu.”
Hong Sie Nio mengawasi padanya, mengawasi mukanya yang bulat persegi. Sikap yang
terlalu jujur!
Dari sepasang mata Hong Sie Nio tak tertahankan lagi, mulai tampak sedikit basah dan
berkaca-kaca.
Sekalipun ia orang yang terbuat dari batu, ada waktunya juga bisa terharu. Dalam saat seperti
itu, ia juga tidak tahan mengendalikan perasaannya sendiri, hingga ia menggenggam tangan
Yo Khay Thay dan berkata dengan suara lemah lembut:
“Kau benar seorang baik.”
Mata Yo Kay Thay juga basah, katanya dengan suara gelagapan:
“Aku.... aku tidak terlalu baik, aku juga terlalu jahat...aku....”
Hong Sie Nio tertawa, katanya:
“Kau benar-benar seorang sopan, tetapi juga seorang tolol....”
Dengan tiba-tiba ia teringat diri Siauw Cap-it-long, ia segera melepaskan tangannya dan

berpaling seraya berkata sambil tertawa:
“Kau kata dia ini.....”
Tertawanya mendadak berhenti, sebab Siauw Cap-it-long sudah tidak berada di belakang
dirinya lagi.
Siauw Cap-it-long sudah menghilang.
Cukup lama juga Hong Sie Nio berada dalam keadaan tercengang, lalu tiba-2 ia bertanya
kepada Yo Khay Thay:
“Kemana dia? Apakah kau melihat ia pergi kemana?”
“Siapa?” bertanya Yo Khay Thay yang juga terkejut.
“Dia... adikku, kau lihat padanya atau tidak?”
“Ti.... tidak.”
“Apakah kau sudah buta? Orang demikian besar seperti dia, mengapa kau tidak dapat
melihat?”
“Aku.... aku benar-benar tidak melihat, aku hanya .... hanya melihat kau....”
“Ah kau ini, benar-benar seorang tolol.” berkata Hong Sie Nio sambil menjejakkan kakinya
ke jubin.
Cahaya lampu di dalam rumah masih terang benderang.
Hong Sie Nio hanya mengharapkan Siauw Cap-it-long kembali lagi ke kamarnya, tetapi ia
tidak berani memastikan, sebab ia mengerti betul sifat dan adat Siauw Cap-it-long..... ia tahu
Siauw Cap-it-long setiap saat bisa menghilang.
Dalam rumah itu tidak terdapat seorangpun juga, di atas meja terdapat sepotong kertas yang
ditindih pelita.
Tinta di atas kertas masih belum kering semua, itu ditulis oleh Siauw Cap-it-long dengan
tulisannya yang aneh.
“Lekas menikah dengannya, jikalau tidak kau nanti pasti akan menyesal. Aku berani tanggung
dalam hidupmu ini, tidak akan menemukan lagi seorang yang lebih baik terhadapmu daripada
orang ini.”
Demikian bunyi tulisan itu.
Hong Sie Nio menggigit bibir, matanya sudah merah, katanya dengan gemas:
“Bajingan ini, binatang ini, benar-benar bukan keturunan ayah ibunya.”
Yo Khay Thay berkata sambil tertawa:
“Dia bukankah adikmu? Bagaimana kau boleh memaki padanya demikian rupa?”
Hong Sie Nio lompat dan berkata dengan suara keras:
“Siapa kata dia adikku? Apa kau sudah melihat setan?”

Yo Khay Thay demikian cemas, hingga keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya,
katanya:
“Kalau dia bukan adikmu, lalu siapa?”
Hong Sie Nio tidak dapat membendung air matanya, katanya:
“Dia ..... dia juga seorang tolol!”
Orang tolol sudah barang tentu bukanlah orang sopan, tetapi orang sopan sedikit banyak pasti
ada mengandung sifat tolol. Orang yang mau menjadi orang sopan memang bukanlah suatu
perbuatan yang pintar.
Dari mulut Siauw Cap-it-long terdengar suara nyanyian perlahan, irama nyanyian itu mirip
dengan irama nyanyian gembala di tanah datar, irama yang mengandung sifat sedih tetapi
juga mengandung rasa kesunyian.
Setiap kali ia menyanyikan lagu itu, perasaan hatinya selalu merasa tidak terlalu enak, apa
yang tidak memuaskan baginya, ialah ia selama-lamanya tidak suka menjadi seorang tolol.
Suasana malam tidak terlalu menggembirakan, sebab sinar bintang di langit, dan di
rerumputan sebentar-bentar terdengar suara binatang malam, hingga sekitar tempat itu jelas
dirasakan kesunyiannya.
Dalam malam sunyi seperti itu, di bawah sinar bintang di langit, dengan seorang diri berjalan
di alam terbuka, pikiran dan perasaannya kadang-kadang bisa melupakan segala pikiran dan
kesusahan.
Akan tetapi, tidak demikian dengan Siauw Cap-it-long. Pada waktu semacam itu, ia selalu
bisa memikirkan banyak urusan yang seharusnya tidak dipikirkan, ia bisa teringat kepada diri
sendiri, bisa teringat kepada semua pengalamannya semasa hidupnya....
Dalam hidupnya itu, ia selamanya akan menjadi seorang di luar garis, selamanya selalu
merasa terpencil, ada kalanya ia benar-benar merasa letih, tetapi sebaliknya belum pernah ia
berani mengaso.
Sebab penghidupan manusia seperti sebatang pecut, selamanya ada yang memecutinya dari
belakang, suruh ia berjalan ke depan, suruh ia pergi mencari, tetapi selamanya belum pernah
mau memberitahukan padanya apa sebetulnya yang harus dicari....
Ia hanya berjalan maju terus tanpa berhenti, selalu mengharapkan bisa menemukan kejadian
yang hebat-hebat. Jikalau tidak, hidupnya itu bukankah terlalu tidak ada harganya?
RAHASIA RAJA GARUDA
Dengan mendadak, telinganya dapat menangkap suara berkelebatannya pakaian yang sangan
kuat, begitu mendengar ia sudah lantas dapat mengenali bahwa suara itu timbul dari
bergeraknya seorang pejalan malam yang memiliki kepandaian ilmu meringankan tubuh yang
cukup mahir.
Suara angin mendadak berhanti didalam rimba dihadapannya, kemudian disusul oleh suara
dengus orang yang timbul dari dalam rimba itu, bahkan masih terdengar suara rintihannya
yang menandakan sedang kesakitan.
Orang berjalan malam itu jelas sudah mendapat luka parah.

Langkah kaki Siauw Cap it loing tidak berhenti, ia masih berjalan terus kedepan, kini berjalan
memasuki rimba, dan suara dengusan dan rintihan tadi juga berhenti dengan segera.
Sesaat kemudian, tiba tiba terdengar suara orang berkata :
“Kawan, berhentilah !”
Kini Siauw Cap it long baru perlahan lahan memutar tubuhnya. Tampak olehnya seseorang
menongolkan badannya dari belakang pohon, kepalanya luar biasa besarnya, dengan
rambutnya awut-awutan.
Orang ini ternyata adalah Raja Garuda Lengan Satu !
Diwajah Siauw Cap ti Long tidak menunjukan perobahan sikap sedikitpun juga, tanyanya
lambat lambat :
“Tuan ada keperluan apa ?”
Mata Raja Garuda Lengan Satu yang hanya tinggal satu terus menatap padanya, lama sekali,
baru berkata sambil menghela napas :
“Aku terluka” “Aku sudah tahu”
“Tahukah kau didepan sana ada perkampungan keluarga Sim?”
“Tahu”
“Lekas gendong aku kesana, Lekas, sedikitpun tidak boleh terlambat”
“Kau tidak kenal aku, aku juga tidak tahu siapa kau. Mengapa aku harus gendong kau pergi
kesana?”
“Kau... berani berlaku kurang ajar terhadapku ?” berkata si Raja Garuda Lengan Satu merah :
“Kau yang tidak aturan ataukah aku ? jangan lupa, sekarang adalah kau yang minta tolong
padaku, bukan aku yang ninta tolong padamu "
Raja Garuda Lengan Satu kembali menatap wajahnya, sinar matanya penuh dengan hawa
amarah dan kebuasannya, tetapi kulit diwajahnya perlahan lahan sudah berkerinjit, jelas ia
sedang menahan rasa sakitnya.
Telah lama dalam keadaan keheningan, batu terdengan suara elahan nafasnya, sedang
dibibirnya tersungging senyuman yang dipaksakan, ia berusaha untuk mengeluarkan sepotang
mas dari dalam sakunya, kembali berkata dengan napas memburu :
“Ini kuberikan padamu, jikalau kau mau membantu aku, dikemudian hari aku pasti akan
membalas budimu besar sekali”
Siauw Cap it-long tertawa, katanya "
“Nah,begitu baru mirip suara orang. Mengapa tadi kau tidak mengatakan demikian ?”
Perlahan lahan is berjalan menghampiri, seolah olah benar benar hendak mengambil potongan
mas itu, tetapi baru saja tangannya diulurkan, lengan satu dari si Raja Garuda secepat kilat
sudah melayang, lima jari tangannya yang runcing, menyambar pergelangan tangan Siauw

Cap it-long.
Ibarat binatang kelabang, meskipun sudah mati tubuhnya masih belum kaku, demikianlah
keadaan si Raja Garuda Lengan Satu yang jahat, meskipun dalam keadaan terluka parah dan
keadaan diri senridi sangat berbahaya, tetapi serangan terakhir itu, masih dapat dilakukan
demikian cepat dan hebat sekali.
Akan tetapi Siauw Cap it-long bertindak lebih cepat lagi ia lompat dan jumpalitan ditengah
udara untuk mengundurkan diri kedang ujung kakinya ketika itu dapat menggaet potongan
mas yang terjatuh ditanah, setelah itu ia menyambuti dengan tangannya, dengan tenang ia
sudah berhasil mundur sejauh delapan kaki.
Kelincahan, ketangkasan, dan kegesitannya demikian indah dipandang, hanya orang yang
menyaksikan dengan mata kepala sendiri baru percaya, bagi orang lain sesungguhnya tidak
dapat menbanyangkan.
Wajah Raja Garuda Lengan Satu berubah semakin menyedihkan, katanya “\ “Kau Siapa?”
demikian ia bertanya.
“Aku sudah kenal kau, apa kau masih belum mengenali aku ?” balas bertanya Siauw Cap itlong
sambil tersenyum.
“kau... apakah kau bukan Siauw Cap it-long ?” berseru si Raja Garuda Lengan Satu.
“Akhirnya kau tahu juga” berkata Siauw Cap it-long sambil tertawa.
Mata si Raja Garuda Lengan Satu kembali menatap wajah Siauw Cap it-long, seolah olah
ketemu dengan setan, dari mulutnya menghembuskan suara seperti orang bernapas kemudian
menggumam:
“Baik, Siauw Cap it-long, apakah kau baik?” ” ...Ya, aku sekarang tidak sakit” Si Raja Garuda
Lengan Satu kembali pendelikan mata kepadanya, dengan mendadak tertawa besar.
Kalau ia tidak tertawa itu masih baik, tapi karena sudah tertawa lukanya malah dirasakan
semakin sakit, hingga keringat dingin dengan cepat mengucur keluar, tetapi ia masih terus
tertawa tidak berhentinya, entah apa sebenarnya yang ia ingat.
Siauw Cap it-long percaya dalam hidupnya ini, barangkali belum pernah tertawa demikian,
maka ia lalu bertanya padanya:
“Apa kau merasa gembira?”
“SUdah tentu aku gembira, hanya disebabkan Siauw Cap it-long juga sama dengan aku, juga
bisa tertipu oleh akal muslihat orang lain” berkata si Raja Garuda Lengan Satu dengan naps
memburu.
“oh”
Tubuh si Raja Garuda sudah mulai berkerinjit ia menahan sakit sambil mengertek gigi,
katanya dengan suara serak:
“Tahukah kau bahwa golok yang kau rampas itu adalah golok paslu ?”
“Sudah tentu aku tahu, akan tetapi kau... bagaimana kau tahu ?”
“Dengan kepandaian tiga binatang kecil itu, bagaimana dapat mengelabui mataku terus
terusan!’

“Justru lantaran kau mengatahui rahasia mereka, maka itu mereka barulah hendak
membunuhmu !” “Itu memang benar”
Siauw Cap it-long menghela napas, kemudian baru berkata : “Dengan orang orang yang
mempunyai kedudukan baik seperti Thio Bu Kek, Hay lengcu dan TO Siao Thian bertiga,
bagaimana lantasan sebilah golok talah menempuh bahaya demikian besar ? Sehingga...
sayang nama baik, kedudukan baik, rumah tangga dan nyawanya dipertaruhkan semuanya?
Apalagi, golok hanya sebilah sedang orangnya ada tiga, bagaimana harus membaginya ?’
SI Raja Garuda Lengan Satu batuk batuk tidak berhentinya, alam baru berkata :
“Mereka senridi... tidak menginginkan golok itu "
“Jadi siapa yang menghendaki ? Apakah dibelakang mereka masih ada orang yang
memerintah ?”
Batuk si Raja Garuda Lengan Satu semakin keras, sudah mengeluarkan darah.
“Orang itu ternyata dapat memerintahkan Thio Bu Kek, To Siao Thian dan Hay lengcu
dengan sesuka hatinya, siapakah dia sebenarnya”
SI Raja Garuda Lengan Saru dengan menggunakan tangannya yang tinggal satu menunjang
mulutnya, ia berusaha sadapat mungkin untuk menelan kembali darah yang hendak keluar
dari mulutnya, ia hendak mengeluarkan nama orang itu, tetapi hanya baru menyebut satu
huruf, darah segar sudah menyembur keluar dari mulutnya tak tertahankan lagi.
Siauw Cap it-long menghela napas, selagi hendak membimbingnya dan supaya bisa
mengucapkan kata kata lagi, tetapi justru pada saat itu badannya mendadak melompat
sebentar sudah menghilang keatas pohon. justru pada saat itu, sudah ada tiga orang masuk
kedalam rimba yang gelap itu.
Dalam dunia ini ada banyak orang yang memiliki daya kemampuan yang sangat aneh, seolah
olah selalu dapat mengendus bau maut atau tahu bahaya, meskipun matanya tidak melihat,
juga telinganya tidak mendengar, tetapi kalau sedang ada bahaya mengancam, selalu dapat
menghindarkan ancaman bahaya itu pada saat bahaya akan tiba.
Orang macam itu jikalau menjadi pembesarnegeri pasti menjadi seorang pembesar negeri
yang kesohor, jikalau dimedan perang,pasti akan meupakan jendral yang tangkas, jikalau
ceburkan diri dikalangan Kang-ow juga pasti bisa malang melintang didunia kang-ow, dan
menjadi seorang pendekar tanpa tandingan.
Siauw Cap it-long juga orang yang mempunyai daya kemampuan aneh semacam itu, orang
semacam ini sekalipun tidak bisa hidup lebih lama dari pada orang lain, tetapi walaupun mati,
kematiannya juga lebih berharga dari pada orang lain.
Tiga orang yan baru masuk kedalam rimba tadi, kecuali Hay lengcu dan To Siao Thian, masih
ada lagi, seorang berpakaian jubah jihau yang tampaknya seperti orang sastrawan lemah,
orang ini tidak tinggi tubuhnya, wajahnya tidak menunjukkan sedikitpun sikap ramah tetapi
biji matanya kalau bergerak sangat hidup, jelas bahwa wajah orang itu mengenakan kedok
kulit manusia yang dibuat sangat indah.
Gerakannya juda tidak lebih gesit dari pada To Siauw Thain atau Hay lengcu, tetapi
gerakannya itu tenang, seolah olah sedang berjalan ditaman bunga, langkahnya itu tenang
namun bertenaga.

Wajahnya meskipun disembunyikan hingga kehilatannya menakutkan, tetapi separang
matanya yang hidup membuat ia menunjukkan daja penariknya yang sangat aneh, hingga
menimbulkan orang memperhatikannya tanpa disadari olehnya sendiri.
Tetapi apa yang paling menarik perhatian Siauw Cap it-long, adalah sebilah golok yang
tergantung dipinggangnya, golok ini berikut gagangnya tidak lebih dua kaki panjangnya,
sarungnya dan gagangnya bentuknya sederhana, juga tidak dihiasi benda benda yang
menyolok dan menarik, golok masih belum keluar dari sarungnya, hingga tidak dapat dilihat
tajam atau tidak.
Akan tetapi Siauw Cap it-long hanya melihat sekejap mata saja, sudah dapat membedakan
bahwa golok ini ada mengandung hawa dan wibawa yang dapat membuat terbang semangat
orang.
Apa golok itukah yang dinamakan golok Kwa-liok-to ?
Thio Bu Kek, Hay Lengcu dan To Siao Thiam, dengan tidak sayangi namanya sendiri akan
hancur menjaga rapat golok Kwa-liok-to ini. Apakah golok itu akan diberikan kepada orang
ini?
Siapakah dia? Ada mempunyai pengaruh apa dia hingga dapat membuat Thio Bu Kek dan
lain lainnya demikian dengar kata kepadanya?
Suara batuk batuk si Raja Garuda Lengan Satu perlahan lahan sudah mulai lemah hingga
hampir tidak kedengaran lagi.
Hay Lengcu dan Tio Siao Thian saling berpandang sejenak, menarik napas panjang.
“Mahluk tua aneh ini sungguh panjang nyawanya, ternyata bisa melarikan diri sampai disini”
berkata To Siao Thian sambil tertawa :
“Betapapun panjang umur orang, juga tidak sanggup menahan pedang dan dua tangan dari
kita !” berkata Hay Lengcu dingin.
“Sebetulnya dengan adanya pukulan Siao Kongcu tadi, sudah cukup untuk memindahkan
nyawanya, sama sekali tidak perlu kita turut campur tangan” berkata To Siao Thian sambil
tertawa.
Orang berjubah hijau ini mungkin agaknya tertawa, katanya dengan suara lemah lembut :
“Benarkah ?”
Perlahan lahan ini berjalan menghampiri si Raja Garuda Lengan Satu, dengan mendadak
tangannya bergerak, dan golok sudah keluar dari sarungnya.
Golok itu memancarkan sinar hijau muda tetapi tidak begitu menyilaukan mata.
Golok itu hanya tampak memancarkan sinar sekelebatan, dalam sekejap batok kepala si
Garuda Lengan Satu sudah berpisah dari kepalanya.
Orang berjubah hijau melihat sajapun tidak, ia hanya mengawasi golok ditangannya.
Golok hanya tampak sinarnya yang berwana jihau muda, tetapi tidak tampak tanda darah.
Orang muda berjubah hijau itu menghela napas perlahan dan berkata :

“Golok bagus, benar benar golok luar bisa bagusnya”
Orang sudah mati, ia masih tega hati memenggal kepalanya, betapa kejam tindakan itu, benar
benar jarang ada, sehingga orang seperti Hay Lengcu dan lain lain juga lentas berubah
wajahnya.
Siao Kong cu yang sangat misteri
Orang berjubah hijau itu perlahan lahan masukkan goloknya kedalam sarungnya, lalu berkata
:
“Suhu dahulu pernah mengajarkan kepada kita, jikalau hendak membuktikan seseorang sudah
mati benar benar atau belum, hanya ada satu cara ialah penggal dan seriksa dulu batok
kepalanya”
Sepasang matanya memandang To Siao Thian dan Hay lengcu, kemudian berkata lagi dengan
suara lemah lembut :
“Coba kalian katakan, ucapan ini ada benarnya atau tidak ?”
To Siao Thian memperdengarkan suara batuk batuknya dua kali, katanya sambil tertawa yang
dibuat buat:
“Ada benarnya, ada benarnnya... "
“Ucapan yang keluar dari mulut suhuku, sekalipun tidak ada benarnnya, djuga harus diakui
ada benarnnya, betul tidak ?” bertanya pula siorang berjubah hijau.
“Benar, benar, benar, benar sekali” berkata Tio Siao Thian.
Orang berjubah hijau itu memperdengarkan suara tertawanya lagi kemudian berkata pula :
“Ada orang mengucapkan perkataan baik tentak suhuku, aku selalu merasa gembira jikalau
kau hendak membuat aku merasa gembira, seharusnya kau banyak mengucapkan kata kata
yang baik baginya dihadapanku”
Siao kongcu sungguh suatu nama yang sangat aneh.
Orang berjubah hijau ini ternyata bernama Siao Kongcu.
Dilihat dari matanya, didengar dari ucapannya, sudah dapat diketahui bahwa usianya masih
sangat muda, tetapi orang orang sudah berusia limapuluh enam tahunan seperti To Siao Thian
dan Hay Lengcu, demikian merendahkan dirinya, ini sesungguhnya merupakan suatu kejadian
yang sangat ganjil.
Tampaknya ia seperti seorang yang lemah lembut, tetapi untuk memenggal batok kepala
orang yang sudah mati, ia masih tidak pendang mata sedikitpun juga.
Siauw Cap it-long yang menyaksikan itu semua, diam diam menghela napas, ia benar benar
tidak dapat menduga asal usul dari orang itu.
“Mungkin sudah demikian kejam dan ganasnya, entah bagaimana orangnya yang dikatakan
sebagai suhunya itu?” demikian Siauw Cap it-long bertanya tanya kepada dirinya sendiri.
Ini benar benar merupakan suatu hal yang tidak dapat diukur dengan pikiran manusia,hingga
ia tidak berani memikirkan lagi.

Terdengar pula suara Siao Kongcu yang berkata:
“Sekarang meskipun SU-Khong Cu sudah mati, tetapi kita masih ada tugas lain yang harus
dilakukan, betul tidak ?”
“Ya " menjawab To Siao Thian.
“Itu tugas apa ?”
To Sioa Thian mengawasi Hay lengcu sejenak, baru berkata : ” Ini... "
“Apa kau tidak dapat memikirkan ?”
“Tidak : menjawab TO Siao Thian sambil tertawa getir.
‘Dengan usia kalian yang sudah demikian lanjut, urusan sepele ini saja tidak dapat
memikirkan, sesungguhnya sangat aneh !” berkata Siao Kongcu sambil menghela napas.
“Aku sudah tua hingga suka menjadi linglung, harap Kongcu suka memberi penjelasan”
Berkata TO Siao Thian sambil tertawa getir.
“dengan sebenarnnya, kalian memang benar seharusnya banyak belajar dari aku " kata Siao
Kongcu sambil menghela mapas.
Usia To Siao Thian dan Hay lengcu, paling sedikit masih lebih dua kali lipat dari usia Siao
Kongcu, tetapi ia telah pandang mereka seperti anak kecil, dan lain lainnya ternyata juga
benar benar dengar kata seperti anak kecil.
Siao Kongcu kembali menarik napas, baru berkata lagi:
“Sekarang kutanya padamu, Su-Khong Cu sudah banyak tahun melang melintang di dunia
Kang-ouw, dan kini telah binasa secara mendadak, apakah hal itu tidak menimbulkan
perasaan curiga orang ?”
“Ya " jawab To Sioa Thian.
“Nah, Kalau ada orang merasa curiga, sudah pasti ada orang yang harus pergi menyelidiki,
dengan cara bagaimana Su-Khong Cu bisa binasa, dan siapa yang membunuhnya !’
“Benar " Siao Kongcu mengedip ngedipkan matanya, tanyanya pula :
“Kalau begitu, aku tanya padamu lagi, siapa sebetulnya yang membunuh Su Kongcu ini ?
tahukan kau ?”
Kecuali Siao KOngcu, masih ada siapa lagi yang memiliki kepandaian demikian tinggi ?”
Menjawab To Siao Thian sambil tertawa.
Sepasang mata Siao Kongcu mendadak dipendelikkan, katanya :
“Kau kata Su-Khong CU aku yang membunuh ? kau lihat ! apakah aku ini mirip dengan
seorang pembunuh ?”
To Siao Thian tercengang katanya :

“Bu... bukan... "
Kalau bukan aku yang membunuh, apakah kau ?
To Siao Thian menyeka keringatnya, katanya :
“Su-Khong Cu denganku tidak apa permusuhan dan tidak ada ganjalan sakit hati, mengapa
aku harus membunuh dia ?”
“Itulah ! jikalau kau kata bahwa kau yang membunuh Su Khong Cu, dalam dunia Kang-ouw,
masih akan tetap merasa curiga, orang akan tetap mesih hendak mengadakan penyelidikan
dulu !”
Hay Lengcu yang sejak tadi diam saja, kini juga bicara, katanya :
“AJu juga tidak membunuh dia "
“Sudah tentu kaupun tidak bisa membunuh dia, lalu siapakah yang membunuh Su-Khong Cu
ini ?” bertanya Siao Kongcu.
To Siao Thian, Hay Lengcu saling berpandangan, mereka tak dapat menjawab.
Siao Kongcu berkata pula sambil menghela napas :
“Percuma kalin masih mempunyai mata, bagaimana tidak dapat melihat Siaw Cap it-long ?”
Ketika ucapan itu keluar dari mulut Siao Kongcu, Siauw Cap it-long benar benar sangat
terkejut.
“Apakah orang ini sudah melihat diriku ?”
Demikian ia bertanya tanya kepada dirinya sendiri.
Untung pasa saat itu Siao Kongcu sudah berkata lagi :
“Tadi toch sudah jelas adalah Siauw Cap it-long yang memenggal batok kepala Su-khong Cu
dengan goloknya, dan golok yang digunakan itu bukanlah justru golok Kwa-Liok-to ?”
Sepasang mata To Siao Thian mendadak bersinar terang, lalu katanya dengan suara garang :
“Benar, Benar ! Aku tadi juga menyaksikan dengan jelas bahwa Siauw Cap it-long
membunuh SU-Khong Cu dengan goloknya, bahwa golok yang digunakan itu benar adalah
golok Kwa-liok-to. Cuma sayang usiaku sudah terlalu lanjut hingga mataku lamur, hampir
saja aku lupa "
“Ungutn kau masih belum lupa benar benar, hanya... meskipun Su-khong Cu dibunuh oleh
Siauw Cap it-long, tetapi orang orang dalam dunia Kang-ouw sebaliknya tidak tahu, sekarang
bagaimana ?”
“Ini... kita benar benar harus mencari suatu akal supaya orang dunia Kang-ouw
mengetahuinya " Berkata TO Siao Thian.
“Sedikitpun tidak salah, kau sudah mendapatkan akal apa ?”
“Untuk sementara masih belum dapat memikirkan " berkata TO Siao Thian sambil
mengerutkan alisnya.

Siao Kongcu menggeleng gelengkan kepala dan berkata
“Sebetulnya akal ini sederhana sekali. Kau lihatlah !”
Golok pusakanya itu kembali keluar dari sarungnya, hanya tampak berkelebatannya sinar
hijau, sudah mengupas kulit sebuah pohon, katanya :
“Darah Su-Khong Cu masih belum terlalu dingin, kau lekas robek pakaiannya, lalu basahi
dengan darahnya dan tulislah beberapa huruf diatas pohon ini, aku akan membacakan
bunyinya, dan kau yang menulis. Mengertikah ?”
“Baik " menjawab To Siao Thian yang begitu cepatnya menuruti perintahnya.
“Kau tulis dulu begini mula mula : Memotong menjangan tidak lebih baik dari pada
memotong kepala orang, bisa menggunakan golok ini untuk memenggal kepala orang seluruh
negeri bukankah amat menyenangkan ?...
Kemudian dibawahnya kau tulis nama Siauw Cap it-long. Dengan demikian, maka orang
orang seluruh negeri, semua akan tahu bahwa perbuatan ini siapa yang melakukan. Kau kata
akal ini bukankah sangat sederhana sekali ?”
TO Siao Thian berkata sambil menepuk tangan :
“Bagus bagus; Kong Cu benar benar seorang pandai, bukan saja pandai ilmu silat, juga pandai
segala akal. Beberapa patah kata ini juga sepertu jauh keluar dari mulut Siauw Cap it-long
sendiri "
“Aku juga tidak perlu lagi merendahkan diriku, karena kata kata ini kecuali aku, siapa lagi
yang bisa memikirkan ?” berkata siao Kongcu sambil tertawa.
. . . . . .
Siauw Cap it-long yang mendengar dan menyaksikan itu semua, dadanya dirasakan seperti
mau meledak.
Kongcu itu meskipun usianya belum tua tetapi akal muslihatnya yang demikian jahat dan keji,
rasanya masih diaras orang yang lebih tua usianya dan sudah banyak pengalaman dalam
kejahatan, jikalau dibiarkan ia hidup beberapa tahun lagi, orang orang dikalangan Kang-ouw
berangkali akan mati ditangannya semua.
Sementara itu sudah terdengar suara Siao Kongcu yang bertanya lagi :
“Sekarang apakah urusan kita sudah selesai semua ?”
“Boleh dikata selesai sebagian " menjawab To Siao Thian memperdengarkan suara batuk
batuknya hingga dua kali, lalu berpaling dan membuang ludah kearah lain, sedang Hay
Lengcu wajahnya sudah berubah, karena tidak dapat lagi menahan emosinya, ia lalu berkata :
“Apakah masih perlu membelah batok kepala Su-khong Cu ini lagi”
“Itu juga tidak perlu, tapi jikalau secara kebetulan Siaw Cap it-long liwat disini, dan
menyaksikan jenazah SU-Khong Cu, menyaksikan pula tulisan diatas pohon, coba kau pikir,
apa kiranya yang akan dilakukannya ?” bertanya Siao Kongcu sambil tertawa dingin :
Hay Lengcu dan To Siao Than demikian tercengang sampai bungkan terus.

Siao Kongcu nerkata pula :
“Jikalau ia bukan seperti kalian demikian bodoh, pasti akan memapas tulisan diatas pohon itu,
lalu memindahkan lagi janazah Su Khong Cu kelain tempat, dengan demikian, bukankah
semua usaha kita akan tersia sia belaka ?”
“Benar, kita ternyata belum memikirkan sampai disitu " Kata To Siao Thian.
“inilah sebabnya mengapa kalian harus dengar ucapanku, sebab kalian sebetulnya tidak
secerdik aku "
“Menurut pikiran Kongcu bagaimana kita harus berbuat selanjutnya ?” bertanya To Siao
Thian.
“Akal ini sebetulnya juga sangat mudah dan sederhana sekali, benarkah kalian tidak dapat
memikirkan ?”
To SIao Thian hanya tertawa getir sebagai jawabannya. Siao Kongcu menggelengkan kepala
dan berkata sambil menghela napas :
“Kau takut dia akan mengupas tulisan dibatang pohon, apakah kau sendiri tidak bisa
mengupas lebih dulu ?”
“Akan tetapi... "
“Kau mengupas kulit pohon yang ada tolisannya itu, lalu antarkan keperkampungan keluarga
Sim, disana sekarang ini masih ada banyak orang, kau boleh suruh mereka menyaksikan
kematian Su Kong CU !”
Ia tertawa, katanya lagi "
“Ada demikian banyak mata orang yang menyaksikan, sekalipun Siaow Cap it-long lompat
kedalam sungai Hoang ho, juga tidak dapat menyuci bersih penasarannya... coba kalian
katakan, akal ini baik atau tidak ?”
To Siao Thian menarik napas panjang, lalu berkata "
“Akal Kongcu yang demikian teliti, benar benar tidak dapat dibandingkan dengan orang lain "
“Kau juga tidak perlu mengumpak diriku, asal selanjutnya dengar kataku juga sudah cukup”
Mendengar ucapan itu, bukan saja To Siao Thian dan Hay Leng cu semua pada takluk benar
benar, sedangkan Siauw Cap it-long sendiri tak mau mengagumi Siao Kongcu itu, yang
sesungguhnya mempuyai banyak akal keji.
DIa benar benar belum pernah ketamu dengan seorang yang demikian baik. cacad paling
besar Siauw Cap it-longialah : Urusan yang semakin sulit dan semakin berbahaya ia semakin
hendak melakukannya, orang semakin hebat, ia semakin ingin menghadapinya.
Sementara itu sudah terdengar Siao Kongcu berkata pula "
“Kalian setelah berkunjung keperkampungan keluarga Sim, aku masih ada beberapa urusan
hendak kalian minta kalukan sekalian !”
“Harap perintahkan saja " berkata to Siao Thian.

“Aku hendak minta kalian mencari keterangan tentang istri Lian Seng Pek, ialah Sim Pek
Kum, kapan akan pulang kerumah mertuanya? apakah Lian Pek Kun akan berjalan bersama
sama ? dan kapan siap melakukan perjalanan ?”
“Ini sebaliknya tidak terlalu susah, hanya... " berkata To Siao Thian.
“Apakah kau ingin bertanya padaku, apa sebab hendak mencari keterangan tentang dia ia?
apakah lantaran kau tidak berani menanyakan terus terang, hingga kau hanya mengucapkan
sepotong saja ? betul tidak begitu ?”
“Aku tidak berani, hanya... "
“Kembali hanya, hanya saja, sebetulnya kalau kau tanya padaku juga tidak halangan aku
boleh beritahukan padamu, maksudku keluar pintu kali ini, ialah hendak membawa pulang
dua rupa barang, satu diantaranya sudah tentu golok Kwa Liok to,danmasih ada satu lagi ? itu
adalah perempuan tercantik dalam rimba persilatan, Sim Pek Kun !”
Wajah To Siao Thian berubah sesaat, ia agak tidak bisa bernapas.
“Ini ada urusanku, kau takut apa ?” berkata Siao Kongcu sambil tertawa.
“Kepandaian ilmu silat san ilmu pedang Lian Seng Pek, kongcu mungkin belum pernah lihat,
menurut apa yang kutahu, orang ini menyembunyikan rahasia semua kepandaiannya, tidak
mau menonjol nonjolkan kepada orang lain, bahkan... "
“Kau tidak perlu mengatakan lagi, aku juga tahu Lian Seng Pek bukan orang yang gampang
gampang dihadapi, maka aku masih perlu minta bentuan kalian”
To Siao Thian menyeka keringatnya yang membasahi sekujur tubuhnya, lalu katanya:
“Asal,,, asal aku sanggup melakukan, Kongcu perintahkan saja "
“Kau juga tidak perlu menyeka peluhmu, urusan ini tidak terlalu susah...
“Lian Seng Pek kupikir pasti bisa mengantar istrinya pulang, maka itu kalian harus
memikirkan suatu daya upaya, untuk menipu ia pergi kelain tempat”
To Siao Thian kembali harus menyeka keringatnya, katanya sambil tertawa getir :
“Lian Seng Pek suami istri demikian dapan cinta kasihnya, barangkali... "
...apa kau takut ia tidak bisa kena terpancing ?”
“Barangkali tidak mudah”
“Jikalau diganti dengan aku, sudah tentu aku juga tidak suka berpisah dengan istri yang cantik
bagaikan bidadari itu. Tetapi bagaimanapun besarnya seekor ikan, kita toch perlu mencari
akal supaya ikan itu terpancing oleh kita, bukan ?”
“AKal apa ?”
“Hendak memancing kakap harus menggunakan umpan!”
“mana umpannya ?”
“Lian Seng Pek mempunyai harta benda tidak terhitung jumlahnya, ia memiliki kepandaian
ilmu surat dan ilmu silat yang sempurna semua, dalam usia sangat muda namanya sudah

kesohor diseluruh negeri, dan ia juga sudah menikah dengan Sim Pek Kun seorang istri
bijaksana dan cantik molek, coba kau kata, ia seorang masih pikirkan apa lagi ?”
“Menjadi orang sudah seperti ia begitu, seharusnya juga merasa puas” menjawab To Siao
Thian sambil menarik napas lega.
“Hati manusia selamanya tidak bisa merasa puas, ia sekarang ini sedikinya masih ingin
mendapatkan sebuah barang”
“APakah golok Kwa-liok-to yang kau maksudkan ?’
“Kecuali golok Kwa-liok-to, aku benar benar tidak dapat memikirkan didalam dunia ini masih
ada barang mujijat apa yang dapat menggerakkan hatinya”
“Hanya satu... itu adalah batok kepala Siauw Cap it-long !’
Mata To Siao Thian terbuka lebar, katanya sambil tepok tangan :
“Benar, mereka semua tentu menganggap bahwa golok pusaka itu terjatuh ditangan Siauw
Cap it-long, jikalau ia dapat membunuh Siauw Cap it-long, bukan saja namanya semakin
kesohor, goloknya juga akan menjadi miliknya !’
“Benar ! Maka dari itu,buat memancing kakap seperti Lian Seng Pek ini, harus menggunakan
Siauw Cap it-long sebagai umpannya”
“Tetapi kakap ini bagaimana bisa terpancing ? masih perlu petunjuk Kongcu "
Siao Kongcu menggeleng gelengkan kepala dan berkata sambil menghela napas :
“APakah akal ini kalian masih belum mengerti ? Asal kalian beritahukan kepada Lian Seng
Pek, katakan bahwa kalian sudah tahu dimana jejaknya Siauw Cap it-long, sudah tentu Lian
Seng Pek juga akan segera mau turut kalian pergi”
Sepasang mata memandang To Siao Thian dan mulutnya tersungging senyuman menyindir,
katanya pula:
“Orang seperti Liang Seng Pek ini, jikalau lantaran nama baik dan kedudukan, walaupun
harus pertaruhkan nyawa sendiri juga akan melakukan, apalagi isterinya. Sudah tentu akan
dikesampingkan.
“Kalau demikian halnya, menikah dengan orang semacam Lian Seng Pek ini, juga tidak
terlalu beruntung.”
“Sedikitpun tidak salah. Jikalau aku seorang perempuan, aku lebih suka menikah dengan
Siauw Cap-it-long, juga tidak suka menikah kepada Lian Seng Pek.”
“Oh?”
“Orang semacam Siauw Cap-it-long ini jikalau jatuh cinta kepada seseorang, kadang-kadang
ia tidak perdulikan se-gala2nya, selalu cinta dan membela sang isteri, sedangkan Lian Seng
Pek adalah seorang yang terlalu banyak pikir, menjadi isteri seorang semacam dia ini
sesungguhnya tidaklah mudah.”
Teriknya matahari dimusim kemarau begitu hebatnya, kulit serasa dibakar.
Dibawah sebuah pohon besar yang daunnya rindang, ada seorang tukang menjual arak

pikulan, araknya dingin, dapat digunakan untuk menghilangkan dahaga, juga boleh digunakan
untuk menghilangkan rasa ketagihan arak, disamping arak, masih ada kacang goreng, telur
pindang, meskipun rasanya belum tentu enak, tetapi buatannya cukup bersih.
Penjual arak itu adalah seorang tua jang rambutnya putih, hidungnya istimewa, merah sekali
seperti dipoles dengan warna merah, ditilik dari hidungnya yang merah dapat diketahui bahwa
penjual arak itu sendiri pasti adalah seorang yang gemar minum arak juga.
Pakaian tukang jual arak itu meskipun mesum, tetapi wajahnya menunjukkan sikapnya yang
selalu gembira, se-olah2 sudah menerima nasib dengan keadaannya itu. Bagi orang lain
meskipun menganggap bahwa penghidupan orang tua itu tidak seberapa baik, tetapi ia sendiri
sebaliknya sudah merasa puas.
Siauw Cap-it-long selamanya senang bergaul dengan orang demikian.
Seseorang hidup didalam dunia, asal bisa hidup dengan senang gembira, itu sudah cukup,
perlu apa memikirkan dan mempedulikan orang lain? Siauw Cap-it-long ingin mengobrol
dengan orang tua penjual arak itu, tetapi orang tua itu sebaliknya ada sedikit acuh tak acuh
terhadapnya.
Maka itu Siauw Cap-it-long juga hanya minum araknya saja untuk menghilangkan rasa
dahaganya.
Minum arak seperti main catur, ia sendiri seperti main kepada dirinya sendiri, sudah tentu
keadaan demikian itu sangat tidak enak, minum arak dengan seorang diri juga sebetulnya
kurang menyenangkan, Siauw Cap-it-long selamanya tidak suka minum arak seorang diri.
Akan tetapi, tempat itu justru merupakan tempat sepi ditepi jalan persimpangan tiga, ia sudah
menduga pasti bahwa kereta Sim Pek Kun, pasti akan melalui jalan persimpangan tiga itu. Ia
duduk ditempat itu, bukanlah se-mata2 hanya hendak minum arak saja.
Digunakan sebagai umpan kakap oleh orang lain, bukanlah suatu hal jang enak. Siauw Cap-itlong
hari itu setelah mendengar percakapan antara orang berjubah hijau dengan To Siao
Thian, hampir saja tidak sanggup menahan hawa amarahnya, dan hampir saja ia unjuk muka
dan bertempur dengan Siao kongcu itu.
Akan tetapi ia sudah banyak tahun berkecimpungan didunia Kang-ouw, sudah belajar dan
mengerti betul apa artinya menunggu, ia tidak peduli melakukan perbuatan apa, selalu mau
menunggu sehingga pada saat yang paling baik.
Siauw Cap-it-long sudah minum arak dari cawan yang ketujuh, dan kini sedang minum buat
yang kedelapan kalinya.
Orang tua hidung merah mengawasi padanya dengan mata menyipit, sedang mulutnya berkata
sambil ter-tawa2:
“Apakah masih mau minum lagi? Kalau kau mau minum lagi barangkali tidak bisa berjalan.”
“Tidak bisa berjalan ja tidur disini, itu apa salahnya? Bisa tidur dialam terbuka, nanti begitu
sadar dari mabukku, rasanya lebih segar!” menjawab Siauw Cap-it-long sambil tertawa.
“Apa kau tidak lekas ingin pulang?”
“Pulang kemana? Aku sendiri juga tidak tahu dari mana aku datang, kau suruh aku pulang
kemana?”
Orang tua hidung merah itu menghela napas, sedang mulutnya menggumam:

“Orang ini barangkali sudah mabuk, hingga ucapannya tidak keruan.”
“Penjual arak bukankah mengharap orang lain bisa mabuk araknja? Lekas tuangkan lagi
secawan.”
Orang tua hidung merah hanya menyahut: “Baik,” selagi hendak menuangkan lagi araknya,
dari satu jalanan tiba2 tampak serombongan orang yang lari mendatangi.
Sepasang mata Siauw Cap-it-long segera menjadi terang, pula dirinya sedikit rasa mabukpun
tidak ada.
MEMBURU MANUSIA
SEROMBONGAN orang itu, diantaranya ada yang membawa burung diatas bahunya, ada
yang membawa anjing dengan rantai ditangannya, semuanya berpakaian ringkas, membawa
pedang dan busurnya, dipelana kudanya masih membawa barang2 untuk berburu, jelas
mereka itu tentunya habis pulang dari berburu.
Saat itu memang saat jang paling baik untuk berburu.
Dikuda pertama duduk seseorang yang tampaknya seperti kanak2, dilihat dari jauh orang itu
wajahnya putih seperti pupur sedang pakaiannya sangat perlente, kudanya juga seekor kuda
pilihan. Anak muda itu tampaknya seperti anak seorang hartawan.
Kakek hidung merah juga tahu bahwa dagangannya bakal laku, maka semangatnya terbangun
dengan segera. Sebaliknya dengan Siauw Cap-it-long, ia tampaknya agak kecewa sebab itu
bukanlah orang yang sedang ditunggu.
Waktu itulah si kakek hidung merah mulai ber-kaok2 memprogandakan araknya:
“Arak daun bambu hijau enak rasanya, harum baunya, minum satu cawan semangat
terbangun, dua cawan semangat cukup, tiga cawan se-olah2 menjadi dewa.”
Siauw Cap-it-long yang mendengar ucapan itu lalu berkata sambil tertawa:
“Aku sudah minum tujuh cawan mengapa sedikit semangatpun tidak ada? Malah sebaliknya
aku kini rasanya sangat mengantuk dan ingin tidur.”
Kakek hidung merah pendelikkan mata kepadanya, untung waktu itu rombongan orang
berkuda itu per-lahan2 sudah berhenti, anak muda yang menunggang kuda pertama itu sudah
berkata sambil tertawa:
“Kalau kita pulang masih memerlukan perjalanan jauh, marilah kita singgah untuk minum
dulu dua cawan arak disini, tampaknya araknya boleh juga.”
Anak muda itu mukanya bulat, matanya lebar, mulutnya kecil, kulitnya putih dan halus, kalau
ketawa dikedua pipinya tampak tegas lesungnya, benar-benar sangat menarik dan
menyenangkan.
Siauw Cap-it-long mengawasi lagi kepadanya, dalam dunia ini memang banyak anak muda
keturunan orang kaya, tetapi yang dilihatnya menyenangkan jumlahnya tidak banyak, dan
anak muda keturunan orang kaya yang menyenangkan lagi pula tidak sombong dan
bertingkah jumlahnya lebih sedikit lagi.
Anak muda keturunan orang kaya itu ternyata juga memperhatikan Siauw Cap-it-long.

Baru saja orang2nya menggelar tikar untuk duduk, ia tiba2 berkata kepada Siauw Cap-it-long:
“Dari pada senang2 seorang diri, ada lebih baik kalau senang2 ber-sama2. Kawan ini maukah
minum ber-sama2 dengan kami?”
“Bagus sekali. Namun disakuku hanya tinggal uang untuk delapan cawan arak saja, aku
sedang memikirkan dimaan uangnya untuk cawan kesembilan, jikalau ada orang
mengundang, benar-benar sangat baik sekali,” berkata Siauw Cap-it-long sambil tertawa.
Anak muda itu tertawa semakin gembira, katanya:
“Tak kusangka kawan ini ternyata demikian gemar minum arak. Lekas, lekas sediakan arak
lagi!” Kakek hidung merah terpaksa menuang araknya lagi, namun ia pendelikkan matanya
kepada Siauw Cap-it-long sedang mulutnya menggumam:
“Ada arak, lalu minum tidak menggunakan uang, kali ini barangkali kau akan lebih cepat
mabuk.”
“Orang hidup masih bisa mabuk arak, itu namanya tidak mengecewakan hidupnya, apalagi
kalau bisa mabuk lebih cepat, itu ada lebih baik, silahkan minum!” berkata Siauw Cap-it-long
sambil tertawa.
Suara silahkan itu baru saja keluar dari mulutnya, secawan arak sudah tidak kelihatan lagi.
Orang lain kalau minum arak tentu diminumnya sedikit2 dan per-lahan2, tetapi Siauw Cap-itlong
kalau minum arak dituang begitu saja, asal kepala didongakkan, secawan arak sudah
masuk ditenggorokannya dan tidak tinggal setetespun juga.
Pemuda itu berkata sambil tepuk tangan dan tertawa:
“Kamu semua sudah lihat atau belum? Betapa cepatnya kawan ini minum arak.”
“Jikalau mereka belum lihat, aku bersedia minum beberapa cawan lagi,” berkata Siauw Capit-
long.
“Kawan ini bukan saja kuat minum tetapi juga sangat menyenangkan, entah siapa nama tuan
yang mulia?”
“Kau dan aku ketemu dijalan, kau mengundang aku minum arak, sehabis minum aku jalan
lagi. Jikalau aku tahu namamu, dalam hati tentunya akan timbul perasaan terima kasih,
dikemudian hari mau tak mau aku harus mengundang minum kau sekali, dengan begitu, maka
arak yang kuminum sekarang ini sudah tidak menggembirakan lagi, maka itu tentang namaku
… tidak perlu kuberitahukan padamu, sebaiknya kau juga jangan beritahukan namamu
padaku.”
“Benar, benar, benar!”
“Kau dan aku kali ini bisa minum se-puas2nya ditempat ini, sudah boleh dikatakan ada jodoh,
mari, mari, mari … telur pindang ini tampaknya boleh juga, dengan telur pindang sebagai
kawan arak, mabuknya agak lambat dan araknya juga boleh minum lebih banyak,” berkata
pemuda itu sambil tertawa.
“Benar, benar! Kita mabuk terlalu cepat juga tidak ada artinya,” menimpali Siauw Cap-it-long
sambil tertawa.
Ia lalu mengambil sebutir telur pindang, dengan mendadak ia angkat tangannya dan telur itu

dilontarkan tinggi2, setelah itu ia mendongakkan kepalanya, dan membuka lebar mulutnya,
telur yang meluncur turun dari atas masuk kedalam mulutnya, hanya dengan beberapa kali
kunyahan saja, telur itu sudah masuk kedalam perutnya.
“Kawan, kau bukan saja bisa minum cepat, makan telurmu juga cepat …” berkata pemuda
hartawan itu.
“Hanya disebabkan aku tahu sendiri bahwa kematianku juga lebih cepat daripada orang lain,
maka itu tidak peduli melakukan urusan apa saja, aku tidak berani mem-buang2 waktu,”
berkata Siauw Cap-it-long sambil tertawa.
Pemuda itu paling banter juga baru berusia empat lima belas tahun, tetapi kekuatannya minum
arak sangat mengejutkan, Siauw Cap-it-long menenggak secawan, dia juga bisa menemani
secawan, bahkan minumnya juga tidak perlahan.
Orang2 yang mengikuti dirinya semuanya gesit-gesit, bersemangat tinggi dan tubuhnya
tegap2 tetapi tiada satupun yang kuat minum arak seperti dia.
Mata Siauw Cap-it-long sudah mulai menyipit, lidahnya juga dirasakan mulai tebal,
nampaknya sudah ada tujuh delapan puluh persen bagian mabuk, orang yang sudah mabuk
tujuh delapan puluh persen, miunmnya pasti lebih banyak dan lebih cepat.
Orang yang sudah mulai mabuk tujuh puluh delapan puluh persen, hendak tidak minum arak
lagi juga sudah merasa susah.
Begitulah, Siauw Cap-it-long akhirnya mabuk juga.
Pemuda hartawan itu menarik napas dan berkata sambil menggelengkan kepala:
“Kekuatannya minum arak ternyata juga tidak seberapa hebat, ini benar2 sangat
mengecewakan.”
Kakek hidung merah waktu itu baru kedengaran suaranya, berkata sambil tertawa:
“Dia sendiri tadi pernah kata bahwa kalau sudah mabuk ia akan tidur ditempat ini, mati juga
tidak halangan.”
Pemuda itu pendelikkan mata kepadanya dan berkata:
“Bagaimanapun juga ia adalah tamuku, bagaimana boleh dibiarkan tidur ditempat ini?”
Ia lalu melambaikan tangannya memerintahkan orang-orangnya, katanya:
“Jaga kawan ini, tunggu setelah kita berjalan, bawa sekalian dia pulang.”
Pada saat itu, matahari masih belum menyelam kebalik gunung, namun dijalan raya tidak
tampak orang berjalan lagi.
Pemuda itu agaknya merasa kurang gembira, dengan menggendong sepasang tangannya,
matanya memandang kearah jauh, tiba-tiba ia berkata:
“Kakek, siap2lah. Sebentar lagi kau bakal kedatangan orang yang akan membeli arakmu
lagi.”
Benar saja dari jauh tampak mendatangi sebuah kereta dan serombongan orang yang
mengikutinya.

Kereta yang dicat warna hitam itu, meskipun sudah tua usianya, namun tampaknya masih
cukup bagus dan mentereng, pintu kereta sudah tentu ditutup rapat, demikian pula tirai
jendelanya juga diturunkan, orang yang duduk didalam kereta, jelas tidak suka diketahui oleh
orang dari luar.
Kusir kereta adalah seorang setengah baya yang pendiam, namun dari sinar matanya
menandakan bahwa ia memiliki kekuatan dan kepandaian yang cukup tinggi, didepan dan
belakang kereta masih ada tiga penunggang kuda sebagai pengiring, semuanya juga adalah
orang2 yang berkepandaian cukup tinggi.
Serombongan kereta dan kuda itu berjalan sangat cepat, tetapi anjing-anjing dan kuda-kuda
yang dibawa oleh pemuda tadi sudah membendung setengah jalan raya itu, maka ketika kereta
itu berjalan sampai disitu, juga terpaksa dilambatkan.
Begitu rombongan kereta dan kuda itu tiba, kakek hidung merah kembali menawarkan
dagangannya.
Penunggang kuda yang mengiringi kereta tampaknya sudah merasa dahaga, jelas juga ingin
minum secawan dua cawan arak, tetapi tiada satupun yang turun dari atas kudanya, mereka
hanya menantikan pengawal pemuda hartawan tadi supaya memberikan jalan bagi kereta dan
kudanya.
Tiba2 dari dalam kereta terdengar suara orang berkata:
“Kalian sudah melakukan perjalanan setengah hari, tentunya juga sudah letih, baiklah berhenti
disini sebentar untuk minum arak.”
Suara itu demikian merdu merayu, juga mengandung perasaan simpatik dan perhatian kepada
orang2nya, hingga membuat orang rela menuruti perintahnya.
Pengawal diatas kuda tadi segera turun dari kudanya dan berkata sambil membungkukkan
badan:
“Terima kasih nyonya!”
Orang didalam kereta itu berkata pula:
“Lao Tio, kau djuga turun kereta dan minumlah secawan arak, biar bagaimana kita juga tidak
perlu ter-gesa2 melanjutkan perjalanan.”
Kusir kereta yang bernama Lao Tio tadi tampak ragu2 sejenak, akhirnya juga bawa keretanya
ketepi jalan, saat itu si kakek hidung merah menyediakan tiga cawan arak untuk tiga pengawal
berkuda, selagi menuang yang keempat, dan para pengawal yang masing2 sudah disediakan
cawan arak, juga sudah siap akan diminum, tiba2 si kusir she Tio itu berseru:
“Tunggu dulu, periksa dulu didalam arak itu ada racunnya atau tidak!”
Muka si kakek hidung merah sesaat menjadi merah, katanya dengan mendongkol:
“Racun? Dalam arakku dari mana ada racun? Baik, biarlah aku yang keracunan lebih dulu!”
Ia sendiri benar2 sudah minum arak didalam tangannya.
Orang itu tidak menghiraukan padanya, dari dalam sakunya mengeluarkan sebatang sendok
perak, ia telah mengaduk-aduk didalam cawan arak, ketika melihat bahwa sendok peraknya
tidak berubah warna, barulah diminumnya seceguk, kemudian berkata sambil

menganggukkan kepala:
“Boleh diminum.”
Para pengawal yang memegangi cawannya masing2 barulah merasa lega, mereka segera
menenggaknya hingga kering, katanya sambil tertawa:
“Arak ini benar2 boleh juga, entah bagaimana dengan telur pindangnya?”
KECANTIKAN YANG DAPAT MERUNTUHKAN IMAN
PENGAWAL tadi memilih sebutir telur pindang yang paling besar, selagi hendak
dimasukkan kedalam mulutnnya, kusir tadi tiba2 membentak lagi: “Tunggu sebentar …”
Pemuda perlente itu sebetulnya juga tidak menghiraukan mereka, tapi saat itu juga tidak tahan
menahan tertawanya, maka mulutnya menggumam:
“Apakah dalam telur pindang juga mengandung racun? Kawan ini sesungguhnya juga terlalu
hati2 sekali.”
Orang she Tio itu memandangnya sejenak, katanya dengan muka cemberut:
“Orang keluar pintu, kalau bisa berlaku hati2 sedikit, sebaiknya berlaku hati2 ada lebih baik.”
Kembali dari dalam sakunya mengeluarkan sebuah pisau kecil dari perak, selagi hendak
membelah telurnya, pemuda perlente itu sudah berjalan menghampiri dan berkata padanya
sambil tertawa:
“Tak kusangka dalam saku tuan ini masih membawa banyak permainan yang lucu2, kita juga
pikir untuk membuat pisau semacam ini, apakah kawan boleh meminjamkan padaku barang
sebentar?”
Orang she Tio itu mengawasi padanya dari atas hingga kebawah, akhirnya pisau kecil itu jadi
juga diberikan kepadanya. Seorang perlente seperti pemuda itu, setiap permintaan yang keluar
dari mulutnya, sesungguhnya sedikit sekali orangnya yang dapat menolak.
Pisau perak berbentuk kecil itu buatannya sangat indah sekali.
Pemuda perlente menggunakan ujung jari tangannya meng-gosok2 ujung pisau, sikap
diwajahnya semakin lemah-lembut, katanya sambil tersenyum:
“Pisau yang sangat indah buatannya entah dapat digunakan untuk membunuh orang atau
tidak?”
“Pisau ini memang bukan digunakan untuk membunuh orang,” berkata si orang she Tio.
“Kau salah, asal saja berupa pisau, sudah tentu dapat digunakan untuk membunuh orang …”
Baru saja berkata sampai ucapan “membunuh”, pisau kecil ditangannya sudah terbang
melesat, hingga tampak sinar perak meluncur, ketika ia lontarkan perkataannya terakhir, pisau
kecil itu sudah menancap ditenggorokan orang she Tio.
Jilid 4__________________
SI orang Shw Thio menggeram hebat, lebih dulu mencabut pisau dari tenggorokannya, lalu
menyerbu pemuda itu.

Akan tetapi kala itu darah merah sudah menyembur keluar dari lukanya terlalu banyak, tentu
saja kekuatan tenaganya juda turut keluar bersama darahnya.
Ia berjalan belum sampai tiga langkah, sudah jatuh ditanah, tepat dibawah kaki pemuda
perlente itu.
Biji matanya melotot keluar, hingga matinya pun ia mungkin tidak percaya akan terjadi
peristiwa seperti ini.
Pemuda perlente itu menundukkan kepala mengawasi orang she Tio yang telah rebah dengan
mandi darah itu, sinar matanya masih tetap redup dan sikapnya tampak menyenangkan,
katanya dengan suara lemah lembut :
“Aku tadi kata bahwa semua jenis pisau didalam dunia ini boleh saja digunakan untuk
membunuh orang, Sekarang kau seharusnya sudah percaya, bukan ?”
Tiga pengawal yang menunggang kuda itu agakanya tercengang sekali atas kejadian itu,
mereka benar benar tidak akan menduga bahwa pemuda perlente yang demikian lemah
lembut dan menarik hari orang, ternyata adalah seorang iblis jahat yang bisa membunuh orang
tanpa berkedip.
Sehingga orang she Tion itu rubuh, golok dari pinggang mereka baru dihunus keluar, sambil
membentak marah mereka menyerbu sipemuda perlente.
Pemuda perlente itu menghela napas, katanya :
“Kamu semua bukan tandinganku, perlu apa harus menghantar nyawa cuma cuma ?”
Pengawal yang baru minum secawan arak itu, matanya sudah merah, tidak menunggu habis
ucapan sipemuda ia sudah menyerang kelap pemuda perlente itu dengan sebuah goloknya.
Pemuda itu tenang tenang saja, katanya sambil tertawa dan menggelengkan kepala :
“Sungguh hebat seranganmu... "
Namun ia sedikitpun tidak bergerak, tangannya hanya diangkat sedikit, ia hanya
menggunakan dua jari tangan, sudah berhasil menjepit ujung golok tadi, dan golok itu tadi
seperti dibacokkan diatas batu, tidak tembus ditangan itu.
Pengawal itu membalikkan tangannya hendak menggunakan ujung golok untuk memapas jari
tangan sipemuda perlente.
Dengan tiba tiba terdengar suara serrr, sebatang anak penah sudah menancap dibelakang
punggung pengawal tadi, terus menembus dan keluar dari depan dadanya, darah segar
menyembur keluar.
Semua ini terjadinya demikian cepat dan dalam waktu sangat singkat, dua pengawal yang lain
saat itu baru saja berada didepan pemuda perlente tadi, belum mereka melancarkan
serangannya sudah menyeksikan kematian kawan sendiri.
Tepat pasa saat itu terdengar suara orang dalam kereta yang berkata lambat lambat :
“Kalian memang benar semua bukan tandingannya, sebaiknya lekas mundur !”
Pintu kereta lalu terbuka, dari dalamnya muncul keluar seseorang.

Dalam waktu sekejap mata,se mua orang yang ada disitu, bukan saja sudah menghentikan
tindakannya tetapi juda hampir tidak bisa bernapas, Betapa tidak. Selama hidup mereka,
mungkin belum pernah mereka menyaksikan wanita secantik ini. Pakaian yang dikenakan
oleh wanita ini samasekali tidak terdiri dari bahan pakaian istimewa, tetapi tidak perduli
pakaian macam apa saja asal melekat ditubuhnya semua bisa berubah menjadi pakaian
istimewa.
Ia tidak menggunakan perhiasan apa-apa, diwajahnya juga tidak memakai pupur dan lisptik.
Sebab baginya, perhiasan atau barang permata dan bedak atau pupur sudah merupakan barang
yang terlalu ber-lebih lebihan.
Tidak peduli betapa mahal harganya barang permata dan perhiasan, semua tak dapat membagi
kecantikannya, tidak peduli betapa mahal harganya bedak atau pupur dan lipstik, juga tidak
bisa menambah lebaih banyak kecantikan wanita ini.
Kecantikan wanita ini tidak dapat dilukiskan oleh siapapun juga.
Kalau ada juga sementara orang menggunakan kembang sebagai perempuan untuk seorang
wanita cantik, tetapi kembang bagaimana bisa demikian menggiurkan seperti dia? Ada orang
bida kata dia seperti orang dalam lukisan, tetapi pelukis mana yang kiranya sanggup melukis
dia dalam keadaan seperti hidup?
Bidadari dari kayangan, mungkin masih bisa dibandingkan kelemah lembutannya. Tetapi dia,
demikian agungnya dia, hingga tidak perduli siapa asal melihat sepintas lalu saja terang tidak
akan bisa melupakannya untuk semala-lamanya.
Akan tetapi dia sebaikmya tidak seperti hidup benar benar didalam alam dunia ini, di dalam
dunia bagaimana ada wanita demikian cantik? Dia seolah olah pada setiap waktu setiap saat
bisa dengan mendadak menghilang dari muka bumi.
Dia adalah perempuan tercantik dalam rimba persilatan, Sim Pek Kun.
Dalam waktu singkat itu, pemuda perlenta itu juga se-olah olah sudah berhenti bernapas.
Sikap diwajahnya dengan mendadak berubah sangat aneh, sudah tentu is merasa terkejut dan
ter-heran heran, juga merasa mengiri, juda merasa silau oleh kecantikan perempuan itu, itu
adalah reaksi setiap kaumpria jikalau berhadapan dengan wanita cantik luar biasa.
Yang aneh ialah : Sinar matanya itu seolah-olah mengandung dengki.
Tetapi sesaat kemudian, ia sudah tertawa. Tertawanya itu demikian ke kanak-kanakan,
demikian menyenangkan, sedang sepasang matanya terus menatap wajah SIm Pek Kun, lalu
berkata sambil tersenyum :
“Ada orang kata perempuan yang pintar semua tidak cantik, perempuan yang cantik
sebaliknya tidak pintar, sebab mereka repot menghiasi wajahnya sendiri, hingga sudah tidak
ada waktu untuk mengurusi hatinya sendir”
Ia menghela napas perlahan,baru berkata lagi :
“Aku sekarang baru tahu bahwa ucapan ini tidak semuanya benar... "
Sementara itu Sim Pek Kun sudah turun dari atas keretanya, lalu berjalan kehadapan pemuda
perlente itu.
Meskipun didalam matanya sudah menunjukan kemarahannya, tetapi ia jelas sedang

mengendalikan perasaannya.
Dalam hidupnya itu, selalu mendidik dirinya untuk menjadi seorang wanita agung yang benar
benar harus dapat menindih perasaan marah, sedih,girang... segala perasaan yang terkandung
dalam hatinya.
Sekalipun ia tidak dapat menahan perasaannya dan mau mengeluarkan air mata, juga lebih
dahulu menyekap dirinya didalam kamar.
Is berdiri dihadapan pemuda itu dengan tenang, mendangarkan ucapan yang keluar dari mulut
pemuda perlente tadi.
Selama hidupnya itu, ia belum pernah memotong ucapan orang lain, sebab perbuatan
semacam itu, juga merupakan suatu perbuatan yang tidak sopan, Ia sudah lama belajar harus
berbicara sesedikit mungkin banyak dengan sebanyak mungkin.
Sehingga pemuda perlenta itu sudah habis mengucapkan perkataanya, ia baru bertanya lambat
lambat :
“Siapa nama kongcu yang mulia ?”
“Aku hanya seorang yang tidak terkenal namanya, bagaimana dapat dibandingkan nama besr
nona Sim? Nama dan she ku ini, sebetulnya malu kuucapkan dihadapan nona Sin, baiknya
jangan disebutkan sajalah”
SIm Pek Kun ternyata juga tidak bertanya lagi.
APa yang tidak suka diucapkan oleh orang lain, ia tidak mau bertanya lagi.
Ia mengawasi jenazah orang orangnya ditanah sebentar, lalu bertanya :
“Dua orang ini entah kongcu yang membunuhnya tau bukan ?”
“Apakah nona Sim tadi pernah melihat aku membunuh orang ?”
Sim Pek Kun menganggukkan kepala.
Pemuda perlente itu kembali tertawa dan berkata :
“Kalau nona sudah melihat sendiri perlu apa tanya lagi ?”
“Hanya disebabkan kongcu tidak mirip dengan seorang yang kejam dan buas”
“Terima kasih atas pujian nona, tetapi, peribahasa ada kata : Tahu orangnya tahu mukanya
tetapi tidak tahu isi hantinya, ucapan ini harap nona perhatikan baik baik.
“Kongcu sudah membunuh mereka, apakah lantaran mereka itu mempunyai permusuhan
dengan kongcu ?”
“itu juga tidak”
“Kalau begitu, apakah mereka pernah berlaku tidak sopan terhadap kongcu?” “Sekalipun
mereka berlaku tidak sopan terhadapku, bagaimana aku bisa berpikiran seperti mereka?”
“Kalau demikian halnya, mengapa kongcu membunuh mereka? Ini benar2 membuat orang
tidak habis mengerti.”

Pemuda perlente itu tertawa, katanya:
“Apakah nona hendak mendapatkan penjelasannya sekarang juga?”
Sim Pek Kun mengerutkan alisnya tidak membuka mulut lagi.
Dua orang itu berbicara dengan sikap sopan-santun, sedikitpun tidak ada yang dihinggapi oleh
emosi yang me-luap2 tetapi orang lain yang menyaksikan semua pada tercengang, hanya
Siauw Cap-it-long masih terus rebah telentang disana tidak bergerak, agaknya sudah tidur
seperti orang mati.
Sesaat kemudian, Sim Pek Kun tiba2 berkata:
“Silahkan!”
Pemuda perlente itu tercengang, tanyanya:
“Silahkan apa?”
“Silahkan turun tangan.”
Wajah merah pemuda perlente tadi kini mendadak berubah menjadi pucat pasi, lalu katanya:
“Turun … tangan? Apakah kau menghendaki aku berkelahi denganmu?”
“Tanpa sebab kongcu membunuh mereka, sudah tentu ada maksudnya. Karena aku tak dapat
mengorek keterangan darimu, terpaksa hanya dengan kekuatan tenaga kita mencari keadilan.”
“Hanya … hanya … nona, kau adalah jago pedang kenamaan didalam dunia Kang-ouw,
sedang aku hanya seorang anak kecil, bagaimana dapat melawanmu?”
“Kongcu juga tidak perlu merendahkan diri, silahkan.”
“Aku tahu, aku tahu … kau tentunya ingin membunuh aku, untuk membayar nyawa mereka.”
Pemuda perlente itu agaknya ketakutan setengah mati, hingga suaranya juga jadi kedengaran
tergetar.
“Membunuh orang harus membayar dengan nyawa, hal ini memang sdah sewajarnya.”
“Aku hanya membunuh dua budakmu saja, dan kau hendak mengambil nyawaku, kau … kau
berbuat demikian sesungguhnya juga terlalu kejam!”
“Biar budak sekalipun juga mempunyai nyawa? Betul tidak?”
Sepasang mata pemuda perlente itu sudah merah, dengan tiba2 ia berlutut dan berkata sambil
menangis:
“Aku telah ketelepasan tangan membunuh mereka, enci, ampunilah kesalahanku. Aku tahu
enci bukan saja cantik, tetapi hatinya juga sangat baik, pasti tidak akan tega membunuh
seorang anak kecil seperti aku ini.”
Tadi sebelum ia melakukan pembunuhan bicaranya bukan saja teratur baik, tetapi juga seperti
orang tua yang sudah banyak pengalaman, tetapi saat itu dengan mendadak berubah
kelakuannya seperti seorang anak kecil yang nakal.

Hal ini membuat Sim Pek Kun jadi tercengang.
Urusan dan akal muslihat orang2 dunia Kang-ouw ia sebetulnya jarang menghadapi. Bertemu
dengan orang semacam ini, membuat ia semakin tidak tahu bagaimana harus menghadapinya.
Pemuda perlente itu kini sudah mengucurkan air mata, katanya dengan suara gemetaran:
“Enci, jikalau kau masih penasaran, baiklah kau pilih dua orangku yang mana saja, bunuhlah
mereka, bagaimana pikiran enci …?!”
Tidak peduli siapa saja, terhadap seorang anak seperti ia itu, orang manapun tidak tega turun
tangan. Apalagi Sim Pek Kun. Siapa duga, justru pada saat itu, anak k ecil yang menunjukkan
sikap meminta-minta diampuni itu, dengan mendadak bergelindingan ditanah, kaki kirinya
menyapu kaki Sim Pek Kun sedang kaki kanan menendang bagian bawah perut, tangan kiri
dan kanan, secepat kilat melancarkan tujuh delapan jenis senjata rahasia, ada yang
mengandung kekuatan tenaga demikian hebat, ada yang berputaran disekitar tubuh Sim Pek
Kun.
Kedua tangannya itu tadi jelas kosong tidak membawa apa2, tetapi saat itu dengan mendadak
ada tujuh delapan jenis senjata rahasia yang berlainan bentuknya telah melesat keluar dari
tangannya dengan berbareng, benar2 dapat membuat orang tidak habis pikir, entah dari mana
senjata rahasia itu diambilnya.
Sim Pek Kun ternyata masih tidak bergerak sedikitpun juga, ia hanya mengerutkan alisnya,
lengan jubahnya yang panjang sudah menggulung, hingga tujuh delapan jenis senjata rahasia
itu telah digulung semua, dan sudah tidak tampak lagi bayangannya.
Keluarga Sim memang terkenal didalam dunia tentang senjata rahasianya jarum mas, setiap
orang yang bisa menggunakan senjata rahasia, sudah tentu juga bisa menyambut atau
mengelak, Sim Pek Kun yang hatinya lemah-lembut, meskipun kalau menggunakan senjata
rahasia itu cukup cepat, cukup jitu, tetapi kurang kejamnya. Sim Thay Kun tahu itu. Ia selalu
anggap caranya sang anak menggunakan senjata rahasia masih belum terlatih baik, apabila
ketemu dengan lawan tangguh, pasti akan mendapat kerugian.
Maka dari itu Sim Thay Kun suruh dia bertekun mempelajari semacam ilmu, bagaimana harus
menyambut serangan senjata rahasia orang lain. Begitulah, dalam gerakannya dengan
menggunakan lengan bajunya tadi, ia menggunakannya se-olah2 tidak bertenaga, namun
benar2 merupakan suatu ilmu tertinggi didalam rimba persilatan.
Gerak kakinya juga demikian lincah dan indah, bahkan berhasil baik mengelakkan setiap
serangan dari pemuda perlente itu, ia hanya menggerakkan sedikit saja sepasang kakinya
sudah berhasil mengelakkan serangan sepasang kaki pemuda perlente itu, yang dinamakan
ilmu serangan Wan-yo-thwee.
Tak ia sangka bahwa pemuda perlente itu masih memiliki banyak macam ilmu serangannya,
benar2 membuat orang tidak dapat membayangkannya meskipun kedua kakinya sudah
menendang, namun dalam sepatunya masih disembunyikan dua bilah golok.
Meskipun tujuh delapan jenis senjata rahasianya tadi sudah mengenakan tempat kosong,
namun dari dalam lengan bajunya kembali sudah mengepulkan dua macam asap yang sangat
ringan.
Sim Pek Kun hanya merasakan kakinya kesemutan, seperti diantuk nyamuk, selanjutnya ia
telah dapat mencium bau harumnya bunga …
Dan kejadian selanjutnya, ia sudah tidak ketahui lagi.

BINATANG LANDAK
Dan pada saat itulah pemuda perlente tadi baru bangkit berdiri lagi dengan wajah berseri-seri,
ia membersihkan kotoran abu dipakaiannya, memandang Sim Pek Kun yang rubuh
menggeletak ditanah, katanya sambil tertawa bangga:
“Enciku yang baik kepandaian ilmumu benar2 cukup hebat, cuma sayang kepandaianmu ini
hanya dapat diperlihatkan kepada orang lain, sedikitpun tidak ada gunanya.:
Dengan tiba2 terdengar suara tepukan tangan.
Pemuda perlente itu dengan cepat memutar tubuhnya, ia segera menampak sepasang mata
yang memancarkan sinar terang.
Suara orang yang menepuk tangan tadi bukan lain dari pada Siau Cap-it-long.
Tadi Siau Cap-it-long jelas sudah dalam keadaan mabuk dan tidak ingat diri lagi, tetapi
sekarang dari sinar matanya itu tidak menunjukkan sedikitpun juga tentang mabuknya, ia
malah memandang pemuda perlente sambil tertawa, kemudian berkata:
“Adik kecil, kau benar2 memiliki kepandaian yang cukup berarti, aku sangat kagum sekali.”
Pemuda perlente itu me-ngedip2kan matanya lalu berkata:
“Terima kasih atas pujianmu, aku sebetulnya tidak berani menerima.”
“Ku pernah dengar orang kata bahwa dahulu Jie-lay-hud yang mempunyai tangan seribu,
diseluruh tubuhnya ada terdapat senjata rahasia, hal ini mirip dengan binatang landak,
sehingga disentuh sajapun tidak boleh, kutidak sangka laote juga merupakan seskor binatang
landak kecil,” berkata Siauw Cap-it-long dengan sindirannya
“Dengan terus terang, aku juga hanya mempunyai kepandaian itu saja, tidak memiliki
kepandaian lain lagi,” berkata pemuda perlente sambil tertawa.
Dua pengawal Sim Pek Kun saat itu juga sudah dikejutkan hingga pada berdiri terpaku, saat
itu dengan mendadak mereka menjadi marah dan menyerbu si pemuda sambil mengacungkan
golok masing-masing, tampaknya sudah bertekad hendak mengadu jiwa dengannya.
Mulut pemuda perlente masih berbicara, bibirnya masih tersungging senyuman, kepalanya
menolehpun tidak, hanya agak membungkukkan tubuhnya, se-olah2 hendak minta maaf
kepada Siau Cap-it-long.
Ikat pinggang batu kumala dipinggangnya pada saat ia baru saja membungkukkan badannya
terdengar suara terputusnya ikat pinggang, dari ikat pinggang itu sudah menyembur jarum
perak bagaikan hujan.
Dua pengawal Sim Pek Kun baru saja melangkah maju dua langkah, matanya menjadi kabur,
mereka hendak mengelak sudah tidak keburu lagi, sedang jarum tadi sudah menyerang muka
mereka bagaikan turunnya hujan.
Dua orang tadi menjerit, jatuh rubuh ditanah, muka mereka dirasakan gatal dan nyeri, hingga
tidak dapat ditahannya lagi maka lalu menghabiskan jiwanya sendiri dengan membacokkan
goloknya dileher masing-masing.
Wajah Siau Cap-it-long juga berubah, katanya sambil menghela napas panjang:

“Kiranya ucapanmu sepatahpun juga tidak dapat dipercaya.”
Pemuda perlente itu menepuk-nepukkan tangan, katanya sambil tertawa:
“Ini memang benar adalah wasiatku yang terakhir, aku tidak membohongimu, aku telah
anggap kau sebagai kawanku, mari, kalau kau tidak mabuk kita boleh minum dua cawan
lagi.”
“Aku sudah tak ingin minum lagi.”
“Arak itu memang benar2 tidak ada racunnya, aku benar2 tidak membohongimu.”
“Meskipun aku suka minum arak yang tidak menggunakan uang, tapi aku masih bukan setan
arak, jikalau dalam arak itu ada racunnya, kau pikir apakah aku masih bisa minum lagi?”
berkata Siau Cap-it-long sambil menghela napas.
Mata pemuda perlente itu bergerak berputaran, katanya sambil tertawa:
“Aku lihat sekalipun arak itu ada racunnya, kau tentu juga belum tahu.”
“Kalau begitu kau keliru, aku bukannya tidak tahu, kalau aku tidak tahu siapa lagi yang tahu!”
“Apakah terhadap aku sudah ada pikiran siap siaga lebih dahulu? Kau lihat apa aku ini mirip
dengan orang jahat?”
“Tentang kau bukan saja tampaknya masih ke-kanak2an, tetapi juga menyenangkan,
sampaikan kakek hidung merah ini yang tampaknya juga mirip orang jahat aku sebetulnya
juga tidak menduga bahwa ia juga ternyata sudah sekomplot denganmu.”
Kemudian dengan cara bagaimana kau mengetahuinya?”
“Orang tua yang sudah berjualan arak beberapa puluh tahun lamanya, menciduk arak pasti
cepat dan gapah, tetapi sewaktu ia menciduk arak malah sering2 araknya tumpah keluar,
menjual arak dengan cara demikian, bukankah akan menjadi rugi?”
Pemuda perlente mendelikkan matanya kepada kakek hidung merah, katanya pula sambil
tertawa:
“Kalau benar kau sudah tahu kita bukanlah orang baik, apa sebab kau tidak lekas pergi?”
“Tahukah kau apa sebabnya aku datang kesini?”
“Tidak tahu.”
“Aku datang kemari, ialah lantaran hendak menunggu kau.”
Pemuda perlente juga tercengang, tanyanya:
“Menunggu aku? Bagaimana kau tahu aku bisa datang kemari?”
“Oleh karena Sim Pek Kun juga pasti akan lewat ditempat ini!”
Pemuda perlente itu menatap wajah Siauw Cap-it-long, katanya:
“Tampaknya, kau benar2 mengetahui tidak sedikit urusan orang lain.”
“Aku masih tahu bahwa kau pandai mengarang.”

“Menulis karangan?” bertanya pemuda perlente itu terkejut.
Siauw Cap-it-long hanya tertawa, kemudian berkata:
“Memotong manjangan ada lebih baik memotong kepala, dapat menggunakan golok ini untuk
memenggal kepala orang seluruh negeri, bukankah sangat menjenangkan … kata2 ini kecuali
kau siapa lagi yang dapat mengarangnya?”
Wajah pemuda perlente itu menjadi pucat pasi seketika.
Siauw Cap-it-long mendadak berkata lagi:
“Meskipun kau tidak pernah melihat aku tetapi aku sudah pernah melihatmu, bahkan masih
tahu kau mempunyai satu nama yang sangat unik, ialah Siao kongcu.”
Kali ini lama sekali, Siao kongcu baru tertawa. Tertawanya itu menyenangkan hati orang, ia
berkata dengan suara lemah-lembut:
“Kau sebetulnya tahu tidak sedikit urusan, cuma sayang masih ada satu hal yang kau masih
belum tahu.”
“Oh?”
“Araknya meskipun tidak beracun, tetapi pindang telurnya ada racunnya!”
“Oh?”
“Kau tidak percaya?”
“Djikalau dalam telur itu ada racunnya, aku tadi makan sebutir mengapa sampai sekarang
masih belum mati?”
Siau kongcu tertawa, lalu katanya:
“Djikalau minum arak terlalu banyak, racun bekerjanya bisa menjadi lambat.”
“Kalau begitu minum banyak arak juga ada baiknya.”
“Apalagi racun yang kugunakan, bekerjanya semua tidak cepat, sebab aku tidak suka melihat
orang mati terlalu cepat, menyaksikan orang mati lambat2, bukan saja merupakan suatu hal
yang aneh, juga sangat mengggembirakan.”
Siauw Cap-it-long menghela napas panjang, mulutnya menggumam:
“Anak yang baru berusia sepuluh tahun lebih, sudah mempunyai hati demikian kejam, aku
benar2 tidak tahu dia itu bagaimana dilahirkan?”
“Aku juga tidak tahu bagaimana kau dilahirkan, tetapi aku tahu benar bagaimana kau nanti
akan mati!”
Siauw Cap-it-long mendadak tertawa lagi, katanya:
“Mati karena makan racun pindang telur. Betul tidak? Kalau begitu biarlah aku makan sebutir
lagi!”

Per-lahan2 ia membuka tangannya dan dalam tangan entah dari mana dapatnya benar-benar
ada sebutir telur pindang.
Ia menggerakkan tangannya, telur itu sudah terlempar keatas, kemudian ia mendongakkan
kepala dan membuka lebar mulutnya, telur itu sudah turun dan masuk kemulutnya, dengan
satu kunyahan telur itu sudah berada dalam perutnya.
“Rasanya benar2 boleh juga, biarlah aku makan sebutir lagi.”
Kembali ia membuka tangannya, didalam telapakan tangannya entah bagaimana ia sudah
dapatkan sebutir telur pindang lagi.
Dengan cara seperti tadi, ia memakan telurnya itu.
Tetapi ketika ia membuka lagi tangannya, didalam tangannya itu kembali masih ada telurnya
lagi.
Mata setiap orang semua menyaksikannya, tetapi siapapun tidak tahu ia menggunakan cara
bagaimana untuk mendapatkan telur yang tiada habis2nya itu.
Siauw Cap-it-long berkata sambil tertawa:
“Aku bukanlah ayam induk, tetapi mengapa sebaliknya bisa bertelur? Kalian kata heran atau
tidak?”
Siao kongcu berdiam lama, lalu menghela napas dan berkata:
“Kali ini benar2 salah pandanganku terhadap dirimu, kalau kau sudah mengetahui bahwa
kakek hidung merah itu adalah orangku, bagaimana kau mau makan telur pindangnya?”
“Kau tentunya mengerti sendiri,” berkata Siauw Cap-it-long sambl tertawa besar.
“Ada peribahasa yang berkata: “Mabuk dapat menghilangkan kesusahan hati, kau tadi sudah
mabuk, tidak seharusnya mendusin.”
“Oh!”
“Orang yang mabuk arak, begitu mendusin maka berbagai pikiran datang mengganggu lagi.”
“Tapi aku seperti tidak ada pikiran apa2 yang mengganggu.”
“Hanya orang mati saja yang tidak terganggu pikirannya.”
“Apakah aku ini orang mati?”
“Meskipun kau masih bukan orang mati, tetapi juga sudah hampir waktunya.”
“Apakah kau ingin membunuh aku?”
“Ini kau hanya dapat sesalkan dirimu sendiri, karena kau tahu terlalu banyak.”
“Kau tadi masih berkata anggap aku sebagai kawan, apa sekarang kau tega turun tangan?”
Siao kongcu tertawa, dan berkata:
“Kalau tiba saatnya diperlukan, sekalipun isteri sendiri juga bisa dibunuh, apalagi cuma
kawan!”

Siauw Cap-it-long menghela napas, mulutnya menggumam:
“Tampaknya istilah kawan ini semakin tidak berharga lagi.”
Ia per-lahan2 bangkit berdiri, tiba2 berkata:
“Tetapi kau tadi sudah pernah kata aku adalah kawanmu, aku juga tidak ingin
membohongimu, kau hendak membunuh aku tidaklah mudah, kepandaian ilmu silatku
meskipun tidak baik, tetapi sangat berguna.”
“Bagaimanapun juga aku ingin menyaksikan dengan mata kepala sendiri.”
Dengan mendadak ia melakukan satu gerakan tangan, dan sesaat kemudian orangnya sudah
melesat keatas pohon.
Sesaat kemudian terdengar gerakan anak panah yang menghembuskan anak panah bagaikan
hujan.
Orang ini sudah terlatih baik, turun tangan semuanya demikian cepat, tetapi Siauw Cap-itlong
yang tadi jelas berdiri dibawah pohon, ketika anak panah menghujani dirinya, orangnya
sudah tidak tertampak lagi!
Siao kongcu baru saja melompat keatas pohon, sudah menampak Siauw Cap-it-long sudah
berada diatas pohon dan memandangnya dengan wajah ber-seri2.
Siauw Cap-it-long ternyata sudah lebih dulu berada diatas pohon menantikan kedatangannya.
Siao kongcu terkejut, ia berkata sambil tertawa di-buat2:
“Kiranya ilmu meringankan tubuhmu juga cukup hebat.”
“Masih boleh juga.”
“Tapi aku juga tahu bagaimana dengan ilmu kepandaian ilmumu yang lain.”
Sementara mulutnya masih berbicara, tangan si pemuda perlente tidak diam, didalam waktu
yang sangat singkat, dia sudah mengeluarkan serangan sampai tujuh kali.
Kecepatan tangan pemuda kecil ini memang luar biasa, hanya didalam sekejap mata, aneka
macam tipu telah dikeluarkan olehnya, dari tujuh pukulan tadi, terselip juga variasi2 indah
yang menarik, diseling oleh tipu2 muslihat yang luar biasa, perubahan2 dan kombinasi2
membayangi pukulan2nya, yang mana pukulan keras dan yang mana menjadi pukulan variasi,
sulit sekali dilihat dengan mata.
Prinsip ini hanya berlaku untuk orang lain saja.
Tapi, tidak berlaku untuk Siauw Cap-it-long.
Siauw Cap-it-long bukanlah seorang manusia biasa, dia dapat membedakan, tipu mana yang
boleh dielakkan, dan tipu mana yang tidak boleh dielakkan. Bayangannya bergeser, semua
serangan2 sang lawan telah menubruk tempat kosong.
Pemuda perlente gagal menyergap orang, disaat itu juga dia mengibaskan sepasang tangan,
terdengar suara yang gemerincing 10 macam benda menyerang Siauw Cap-it-long, itulah
kuku2 palsu.

Ternyata, si pemuda perlente menggunakan kuku2 palsu, dengan adanya senjata istimewa itu,
musuh mudah dipedayakan olehnya. Kini dia menggunakan senjata diluar dugaan itu,
menyerang 5 tempat jalan darah ditubuh Siauw Cap-it-long.
Jari2 tangan si pemuda begitu halus dan licin, seharusnya dipasang pada tangan seorang
wanita.
Seperti juga hati wanita, tangan-tangan halus dengan jari2 halus itu tidak mudah diselidiki.
Tidak ada orang yang tahu, bahwa sepuluh jari kuku si pemuda perlente bisa dilepas dan bisa
digunakan sebagai senjata rahasia.
Siauw Cap-it-long juga tidak tahu akan rahasia ini.
Terdengar suara jeritan Siauw Cap-it-long, dengan sepasang tangan menekap dada, tubuh
Siauw Cap-it-long terjungkal dari atas pohon.
Si pemuda perlente tertawa, dia mengeluarkan ocehannya yang menandakan betapa
angkuhnya manusia ini. Katanya:
“Jangan dikira, aku tidak mempunyai senjata-senjata ampuh. Bilamana kau terlalu
memandang rendah pada diriku, itulah suatu kesalahan yang terbesar.”
Tubuhnya melesat dari ranting pohon yang diinjak, dia juga melayang turun.
Tiba-tiba......
Satu suara berkata:
“Kau masih mempunyai senjata ampuh yang lainnya?”
Itulah suara Siauw Cap-it-long.
Entah dengan cara bagaimana, Siauw Cap-it-long yang sudah jatuh dari atas pohon itu bangkit
berdiri lagi. Dengan senyumnya yang berseri-seri, dia berkata kepada si pemuda perlente.
Telapak tangan Siauw Cap-it-long direntangkan, maka..... di sana berjejerlah 10 jari-jari kuku
palsu dari si pemuda perlente itu. Benda-benda tersebut sangat tipis sekali.
Wajah si pemuda perlente berubah.
“Kau..... kau..... kau.....” Dia menjadi begitu gugup.
“Jangan takut,” menggoda Siauw Cap-it-long. “Aku belum mati.”
Si pemuda perlente membentak:
“Siapa kau?”
“Aku seorang manusia biasa.”
“Mengapa......”
“Aku kurang senang bilamana dijadikan umpan, seperti pancingan ikan.” Suara Siauw Cap-itlong
sangat tenang.

“Auw.......” Tiba-tiba tubuh si pemuda perlente itu jatuh terlentang.
Di saat yang bersamaan, dari ujung kaki bajunya ada mengeluarkan asap tebal, bsss....
mengepullah asap itu, mengeruhkan suasana di sekitarnya.
Api pun turut menyembur keluar dari benda ajaib tadi.
Lagi-lagi senjata ampuh luar biasa dari si pemuda perlente. Semacam roket kecil di jaman
sekarang.
Roket kecil yang menyemburkan api dan diselubungi oleh asap itu menyerang Siauw Cap-itlong.
Rumput di tempat itu segera terbakar, senjata rahasia sebangsa roket itu dibuat dari bahanbahan
kimia yang tidak mudah padam, lama sekali api berkobar-kobar di tempat itu, meluas
ke sekitarnya.
Si pemuda perlente mengundurkan diri, menjauhkan diri dari api itu.
Dia hendak mendengarkan suara jeritan Siauw Cap-it-long yang dilalap api.
Lama sekali suara yang dinanti-natikan olehnya itu tidak kunjung datang.
Inilah gelagat buruk.
Cepat-cepat si pemuda perlente menolehkan diri, di sana, di belakang dirinya sudah berdiri
seseorang. Siapa lagi dia kalau bukan Siauw Cap-it-long?
Siauw Cap-it-long memperlihatkan senyumnya, katanya:
“Senjata ampuh yang kedua juga sudah muncul, bagus sekali!”
Pemuda itu mengertak gigi.
“Siauw Cap-it-long,” geramnya marah sekali. “Biar aku adu jiwa denganmu.”
Siauw Cap-it-long tertawa lagi.
“Aku belum mau mengadu jiwa denganmu,” katanya riang.
Tangan si pemuda perlente yang diletakkan di pinggang diseret panjang, maka bertambahlah
lain senjata ampuh, itulah ikat pinggang yang sangat tipis, hitam berkilat, dapat digunakan
sebagai cambuk dan amat praktis untuk dipakai menyerang orang yang berada pada jarak
jauh.
Wingggg..............
Disabetkannya cambuk tipis hitam itu ke arah Siauw Cap-it-long.
Serangan ini bukan serangan cambuk biasa, diluruskan keras sekali, lebih mirip dengan tiputipu
gerakan ilmu pedang.
Dalam sekejap mata si pemuda perlente mengancam 7 jalan darah lawannya.
Siauw Cap-it-long memperhatikan betul-betul, ilmu yang diperlihatkan oleh lawannya banyak
persamaannya dengan ilmu pedang dari daerah Hay-lam. Tapi bukan ilmu pedang Hay-lam

Kiam-hoat.
Belum pernah Siauw Cap-it-long menyaksikan ilmu cambuk pedang serupa ini.
Tubuh Siauw Cap-it-long bergerak-gerak sangat cept, dia berlompat-lompatan menyingkirkan
diri dari ancaman ujung cambuk ikat pinggang lawan, empat gerakan yang sama lagi
dilakukan, tiba-tiba dia merentangkan sepasang tangan, dan ditepukkannya ke depan, sangat
keras sekali, sehingga menimbulkan suara tepukan.
Plakkk..............
Ujung cambuk ikat pinggang si pemuda perlente sudah berada di dalam sepasang telapak
tangannya, itulah gencetan yang disertai tenaga dalam.
Dua orang itu berhenti bersilat. Masing-masing diam tak bergerak.
Cambuk ikat pinggang hitam dapat diluruskan panjang, tentu saja harus disertai dengan
tenaga dalam. Pada saat seperti itu, tenaga dalam si pemuda perlente tidak ada tempat
penyaluran, dia mulai menarik ke belakang.
Siauw Cap-it-long melepaskan rangkepan telapak tangannya.
Dan dua bayangan itu pun terpisah kembali, hampir si pemuda perlente jatuh terlentang ke
belakang.
Mengetahui bukan tandingan Siauw Cap-it-long, pemuda perlente itu meletikkan diri, gerakan
ini disertai dengan taburan benda hitam, lagi-lagi terjadi hawa peperangan, gelap pekat
menyesatkan pandangan mata.
Permainan bahan-bahan kimia pemuda ini memang banyak sekali.
Pemuda perlente itu melarikan diri.
Dari suasana perang yang penuh kabut hitam dan kabut putih, disertai oleh api merah itu,
terselinglah suaranya:
“Siauw Cap-it-long, ilmu kepandaianku memang tidak dapat menandingimu, selamat
tinggal......”
Suara yang terakhir sudah terdengar jauh sekali.
Dia sudah dapat menduga siapa si jago gagah perkasa yang menjadi tandingannya.
Kecuali Siauw Cap-it-long, tidak mungkin ada jago kedua.
Tapi Siauw Cap-it-long sudah tidak berada di tempat itu.
Suara si pemuda perlente begitu senang sekali, dia menganggap sudah berhasil
menyingkirkan diri dari gangguan Siauw Cap-it-long.
Karena itu dia menoleh ke arah kabut hitam yang mengepul naik tinggi itu, tanpa membikin
perhitungan yang lebih masak lagi.
Kini dia siap melanjutkan perjalanan. Badannya bergerak ke belakang, siuutttt..... meluncur
jauh.

Tiba-tiba.......
Wajahnya berubah.
Berdiri di depan pemuda itu adalah seorang laki-laki berbaju biru, berikat pinggang biru juga,
dengan sepasang matanya yang bersinar tajam, memandang segala gerak-gerik si pemuda
perlente, di bibirnya tersungging senyuman mengejek, maka terlihatlah jelas, bagaimana
bentuk kumisnya yang cukup merayu itu.
Siauw Cap-it-long!
Betul. Siauw Cap-it-long sudah menunggu lama di tempat itu.
Bagaikan ketemu hantu di siang hari bolong, si pemuda membalikkan badan, dan lari cepat
sekali.
Dari belakangnya, terdengar suara Siauw Cap-it-long:
“Ke mana kau hendak melarikan diri? Mungkinkah sudah kehabisan senjata ampuh?”
Hanya dua kali geseran badan, Siauw Cap-it-long sudah berhasil menghadang jalan orang.
Si pemuda meringis, hampir dia menangis, dengan suara yang merengek minta dikasihani, dia
berkata:
“Kali ini betul-betul aku kehabisan senjata..... Betul-betul kehabisan senjata..... Tidak ada
senjata ampuh lainnya.”
Siauw Cap-it-long tertawa tawar, kemudian berkata:
“Terlebih-lebih lagi, setelah kau kehabisan senjata ampuh. Jangan harap kau dapat melarikan
diri.”
Pemuda itu berkata lagi:
“Siauw Cap-it-long, mengapa kau selalu menggagalkan rencanaku? Apakah karena adanya si
cantik jelita Sim Pek Kun? Bolehlah, akan kuserahkan dia kepadamu.”
“Untuk persembahanmu yang seperti ini, aku mengucapkan banyak terima kasih,” berkata
Siauw Cap-it-long.
“Bolehkah aku pergi dari tempat ini?” merengek lagi pemuda itu.
“Belum bisa.” Jawaban Siauw Cap-it-long sangat tegas.
“Mengapa?”
“Belum waktunya kau pergi.”
“Mungkinkah...... mungkinkah hendak meminta golok Kwa-liok-to?”
“Golok Kwa-liok-to tidak berada pada badanmu, tidak perlu harus kuminta darimu!”
“Bilakah kau hendak memintanya?” bertanya si pemuda penuh harapan.
“Bukan soal meminta atau tidak minta golok Kwa-liok-to,” berkata Siauw Cap-it-long

perlahan. “Hari ini, aku harus membikin perhitungan denganmu.”
“Perhitungan apa?”
Siauw Cap-it-long menyedot napas dalam-dalam, katanya:
“Aku, Siauw Cap-it-long, belum pernah menyaksikan manusia kejam buas seperti kau ini,
hanya dalam waktu sekejap kau dapat membunuh 4 orang, seolah-olah bukan jiwa hidup
ciptaan Tuhan.”
“Kau sendiri, baikkah hatimu?”
“Setidak-tidaknya, aku tidak lebih jahat daripadamu!”
“Kau tidak puas melihat aku dapat membunuh empat orang itu?”
“Tentu saja.”
“Mengapa kau tidak menolong mereka, sebelum aku turun tangan kepada mereka?”
Siauw Cap-it-long menghela napas, katanya sedih:
“Tentu saja aku akan menolong jiwa empat orang itu, kalau gerakanmu tidak terlalu cepat.
Sayang kau terlalu kejam, berkepandaian tinggi pula. Sebelum aku tahu apa yang harus
kulakukan, jiwa keempat orang itu sudah kau layangkan ke alam baka. Inilah salah
perhitungan.”
“Segala sesuatu telah terjadi, jiwa orang-orang itu tidak bisa ditarik kembali. Tidak mungkin
menghidupkan seorang yang sudah mati. Apalagi sekaligus empat orang jiwa, mungkinkah
kau mau menyembahyangi mereka?”
“Orang yang hendak kusembahyangi adalah.... kau....” Siauw Cap-it-long menudingkan
jarinya.
Wajah pemuda itu menjadi pucat pasi seolah-olah tidak berdarah lagi.
“Kau......” dia menjadi gemetar. “Kau hendak membunuhku?”
“Aku tidak suka membunuh orang,” berkata Siauw Cap-it-long tenang. “Tetapi aku tidak
pantang melakukan pembunuhan. Apalagi kepada manusia terkutuk yang sebangsamu ini,
lebih baik tidak memandang bulu lagi. Umurmu masih belum cukup dewasa, toh sudah
mempunyai kekejaman yang seperti itu, bagaimana jadinya bila kau sudah mempunyai
pikiran yang lebih masak? Beberapa tahun lagi, dunia akan dijungkir-balikkan olehmu.
Karena itu, aku harus membunuh....
DI CEMBURU WANITA
Mendengar ancaman kata-kata yang terakhir dari apa yang dicetuskan oleh Siauw Cap-itlong,
tiba-tiba saja, pemuda kecil itu tertawa.
Cara tertawanya dia kali ini lain sekali, tidak lagi mengandung kekejaman, juga tidak disertai
kelicikan, tertawanya begitu menawan hati, inilah tertawa seorang perawan yang bisa
meruntuhkan iman seorang laki-laki, menggiurkan sekali.
Setelah melakukan suatu gerakan yang lebih menantang, pemuda kecil itu berkata:

“Mungkinkah aku belum cukup dewasa?”
Seperti membuat suatu atraksi seni tari tontonan istimewa, perlahan-lahan pemuda itu
meloloskan baju atasnya.
Siauw Cap-it-long menduga kepada tipu muslihat baru dari lawannya, tapi dia tidak takut, dan
untuk mempersingkat terjadinya duel yang akan datang, tangan laki-laki ini bergerak cepat,
giliran dia yang menyerang si pemuda kecil.
Kecepatan tangan Siauw Cap-it-long sangat menakjubkan.
Belum pernah ada orang yang dapat menyingkirkan diri dari serangan ini, belum pernah ada
orang yang dapat menandingi kecepatan tangan ini.
Dan betul-betul hal itu terjadi.
Siauw Cap-it-long membuat suatu gerakan yang biasa saja, tapi kecepatannya luar biasa,
itulah kecepatan suara halilintar di angkasa. Secepat itu pula, tangan Siauw Cap-it-long sudah
mampir di pundak lawannya.
Kita katakan tangan itu mampir, karena belum melakukan sesuatu apa. Inipun sudah cukup
berbahaya, bilaman tokoh silat lainnya, setelah dimampiri atau dielus oleh tangan Siauw Capit-
long tidak mungkin orang itu dapat meloloskan diri lagi.
Lain lagi halnya dengan pemuda kecil yang mempunyai hati kejam itu, kelicinannya tidak
kalah dari binatang apapun juga, kegesitannya memang luar biasa, dengan bentuk tubuhnya
yang begitu kecil, lebih memudahkan dia bergerak.
Tampak dia merosotkan diri, sreeetttt.... dan dibarengi oleh satu suara robekan kain baju,
berhasil juga si pemuda perlente meloloskan diri dari cengkeraman maut Siauw Cap-it-long.
Yang berhasil ditangkap Siauw Cap-it-long hanya selembar baju depan pemuda itu.
Apakah yang terjadi? Sesudah baju depan si pemuda tersobek sebagian?
Suatu pemandangan yang indah menarik lantas terbentang di depan mata. Ternyata, pemuda
perlente itu bukanlah seorang laki-laki, dia adalah seorang wanita yang mengenakan pakaian
pria. Sepasang tumpukan daging putih meletak menonjol keluar menerobos sobekan kainnya.
Seorang anak perawan yang baru mulai akan meningkat dewasa!
Si kecil perlente adalah seorang anak perawan, betul dia mengenakan pakaian laki-laki setelah
terjadinya kejadian ini, terbongkarlah segala rahasianya!
Siauw Cap-it-long terpaku di tempat!
Wajah pemuda kecil itu bersemu merah, dia menjadi sangat malu sekali, cara Siauw Cap-itlong
merobek baju depannya itu adalah suatu perbuatan yang sangat kurang ajar sekali.
Di saat Siauw Cap-it-long belum tahu apa yang harus diperbuat olehnya, gadis itu sudah
mulai menangis sedih, sambil menjatuhkan diri menubruk dada Siauw Cap-it-long.
Semacam parfum yang tidak terdapat pada toko-toko penjual bahan-bahan kimia menyerang
hidung Siauw Cap-it-long. Itulah keringat perawan si pemuda kecil.
Seperti mabuk kepayang, Siauw Cap-it-long menggunakan kedua tangannya untuk

mendorong pergi gadis yang menangis di dalam pelukan dadanya yang lebar itu.
Dan lagi-lagi dia terkejut sekali, tangan yang didorong itu harus segera ditarik pulang, karena
apa yang disentuh oleh tangannya lebih berada di luar dugaan, itulah buah dada si pemuda
kecil.
Siapakah yang bisa berlaku kejam kepada seorang gadis menawan hati yang seperti pemuda
perlente itu?
Tangan halus Siao Kongcu yang kecil itu mulai merayap naik, dan akhirnya terhenti pada
pundak Siauw Cap-it-long.
Cresss......
Dia menggunakan kuku-kuku jarinya mencakar pundak tersebut.
Wajah Siauw Cap-it-long berubah, dia marah, tangannya dikerahkan, dan memukul kepala
gadis itu.
Siao kongcu sudah tertawa cekikikan, begitu gesit sekali, licin sekali, dia sudah berhasil
meloloskan diri. Dengan berdiri di depan si jago berandalan, tanpa menutup lebih dahulu
sepasang buah dadanya yang terbuka itu.
“Siao Cap-it-long.” katanya riang dan senang, “Kau masuk ke dalam perangkapku, di dalam
kuku-kuku jariku tadi sudah tersedia racun buas yang jahat, itulah racun Cit-kiauw-hoa-kutsan,
berarti merusak tulang di dalam tujuh jam. Di dalam waktu yang sangat singkat, dagingdagingmu
akan meleleh dan mencair seperti daging busuk. Masih berani kau menantangku
kini?”
Apa yang dikatakan si Siao kongcu bukan ancaman kosong. Siauw Cap-it-long sudah merasa
akan adanya bahaya itu, dia harus segera menyingkirkan diri, atau akan mati di bawah
kekejaman tangannya pemuda kecil itu.
Giliran Siauw Cap-it-long yang menjadi pecundang lawan, tubuhnya melejit, dengan satu
enjotan kaki yang sangat kuat, dia melesat dan meninggalkan tempat itu.
Siauw Cap-it-long melarikan diri!
Si pemuda kecil Siao kongcu mengusap-usap dadanya, dengan bangga dia berkata:
“Inilah senjata ampuhku yang terakhir, senjata terampuh untuk menghadapi kaum laki-laki,
senjata yang dimiliki oleh setiap wanita, dan kau....kau... Siauw Cap-it-long..... Kau tidak
luput dari parapan senjata ini.”
Gadis ini melanjutkan perjalanannya, dia harus menyelesaikan rencananya.
Di saat itu, Siauw Cap-it-long sudah lari jauh, lari jauh untuk menghidari tangan jahat Siao
kongcu.
Hanya si Cantik Jelita Sim Pek Kun yang masih melakukan perjalanan.
Sim Pek Kun sedang diumbang-ambingkanb oleh empuknya kereta mewah yang
ditumpanginya. Seolah-olah mengendarai awan terbang, kereta itu membuat sang penumpang
tidak mengalami penderitaan kocokan, begitu megah dan begitu empuk, segala sesuatu
dispesialkan untuk manusia-manusia yang terkaya.

Sim Pek Kun memeramkan matanya.
Roda-roda kereta menggelinding terus, dengan disertai pegas-pegas empuk, hal itu tidak
mengganggu ketenangan Sim Pek Kun.
Seolah-olah terbayang, bahwa di samping dirinya duduk sang suami, seolah-olah Lian Seng
Pek mendampingi dirinya.
Perkawinannya dengan Lian Seng Pek telah berjalan 4 tahun. Selama itu, belum pernah terjadi
perubahan-perubahan sifat.
Lian Seng Pek selalu meluluskan segala permintaannya. Hartawan manakah yang tidak kenal
kepada Lian Seng Pek? Tokoh silat manakah yang tidak kenal Lian Seng Pek?
Lian Seng Pek adalah tokoh rimba persilatan yang ternama, juga mempunyai harta kekayaan
yang luar biasa, karena itu namanya begitu cemerlang sekali.
Sim Pek Kun adalah istri dari pemuda hartawan itu. Tentu saja hidup di dalam serba
kecukupan.
Belum pernah sang suami menentang kemauannya.
Sim Pek Kun membuka kedua matanya yang ditutupkan sejak tadi.
Lian Seng Pek tidak berada di samping dirinya.
Inilah suatu kenyataan.
Selama 4 tahun mereka menikah, belum pernah terjadi percekcokkan.
Seharusnya suatu penghidupan yang gembira dan menyenangkan hati.
Betulkah Sim Pek Kun puas?
Belum pernah ada seorang manusia yang puas kepada kenyataan-kenyataan. Inilah suatu
kenyataan.
Sifat tamak manusia itu ada, tidak pernah luput dari manusia manapun.
Demikian halnya keadaan si Cantik Jelita Sim Pek Kun.
Dia hidup serba kecukupan, toh merasa kurang cukup puas juga.
Suaminya adalah seorang pendiam yang jarang membuka mulut. Inilah ketidak-puasan yang
pertama.
Di dalam perjalanan ini, Lian Seng Pek tidak ikut menyertainya, inilah ketidak-puasannya
yang kedua.
Cumbu rayu seorang suami terhadap istrinya terlalu sedikit, inilah yang tidak diharapkan oleh
istri orang manapun juga.
Seorang istri membutuhkan keuangan yang cukup.
Juga membutuhkan cinta kasih yang selayaknya.
Dalam hal bercinta, Lian Seng Pek belum bisa memuaskan lawan jenisnya.

Dia sampai hati membiarkan istrinya melakukan perjalanan seorang diri, tanpa pengawalan
dari seorang suami yang dicintai.
Setiap kali melakukan perjalanan jauh, Sim Pek Kun selalu merasa kesunyian.
Setiap kali ditinggal pergi jauh oleh sang suami, Sim Pek Kun menjadi hidup hampa, seolaholah
makanan kurang sarinya.
Di kala Lian Seng Pek hendak melakukan perjalanan, Sim Pek Kun pernah mencegah dengan
maksud dapat menyertainya.
Tapi, mulutnya terkatup.
Tidak guna dia bicara.
Sebagai seorang jago silat dan sebagai seorang hartawan terkemuka serta terpelajar, setiap
langkah Lian Seng Pek sudah direncanakan lebih dahulu masak-masak.
Lian Seng Pek dilahirkan sebagai pemimpin umum, sebagai tokoh rimba persilatan dan juga
tokoh para hartawan-hartawan.
Wanita yang bagaimanapun tidak dapat mengekang kebebasannya.
Demikian juga Sim Pek Kun, dia tidak berhak mengekang kebebasan suaminya.
Karena itu, di saat ini, dia sedang melakukan perjalanan seorang diri.
Lian Seng Pek adalah milik rakyat banyak.
Lian Seng Pek mempunyai ketajaman otak yang luar biasa. Segala sesuatu sudah dapat
diperhitungkannya secara masak-masak.
Setiap kali terjadi keonaran atau bencana rimba persilatan, tokoh pertama yang menerima
undangan adalah Lian Seng Pek.
Dan kali ini tidak terkecuali.
Munculnya Siauw Cap-it-long yang menghebohkan dunia memaksa Lian Seng Pek tidak
boleh tinggal peluk tangan.
Dikala datang undangan yang menyiapkan Lian Seng Pek, jago muda itu kurang tertarik dia
kurang percaya, bahwa Siauw Cap-it-long itu memiliki ilmu silat tanpa tandingan sehingga
sulit ditaklukkan. Karena itu, mulutnya mengatakan : “Aku tidak mau pergi”.
Sebagai istrinya yang sah, Sim Pek Kun lebih dapat menyelami hati sang suami, selama
mereka menikah sudah 4 tahun itu, dia dididik bagaimana harus menyelami hati seorang
suami.
Dimulut, Lian Seng Pek mengucapkan kata-kata ‘Aku tidak mau pergi’, tapi didalam hatinya
sudah memberikan jawaban yang lain.
Jiwa ksatria dari jago muda itu sudah berulang kali mengucapkan kata-kata ‘Aku segera
pergi’.
Sim Pek Kun paham akan isi hati nurani sang suami, karena itu dia menganjurkan kepada
Lian Seng Pek, agar suami itu menerima bujukan sang tamu, dan menerima undangan itu.

Disini letaknya pertentangan salah paham.
Bilamana Lian Seng Pek berniat menerjang Siauw Cap-it-long, Sim Pek Kun tidak
mempunyai niatan untuk bentrok dengan jago berandalan itu.
Bilamana Lian Seng Pek menolak dengan kata-kata ‘Tidak’, Sim Pek Kun memberi anjuran
kepada sang suami untuk bertanding dengannya, agar nama dan gengsi Lian Seng Pek tetap
terpelihara.
Akhirnya, Lian Seng Pek menerima tawaran bantuan tenaga dan pergi!
Sim Pek Kun Kecewa.
Walaupun demikian, sebagai seorang istri yang arif bijaksana, Dia tidak menuntut apa-apa.
Inilah resiko dari seorang istri, dan dia tahu, bagaimana harus membawa diri, menerima
sedikit kesukaran.
Lian Seng Pek pergi mencari Siauw Cap-it-long.
Sim Pek Kun terpaksa harus menerima nasibnya begitu, dia tahu bagaimana harusnya menjadi
istri Lian Seng Pek yang baik.
Karena itu, dia melakukan perjalanan tanpa didampingi suami tercinta.
Goncangan kereta seperti mengayun-ayun wanita itu. Sim Pek Kun memeramkan kembali
sepasang matanya yang boleh menandingi cahaya kerlap-kerlip bintang dilangit.
Hanya terdengar suara gelinding kereta yang berjalan ditanah dan batu tidak rata.
Sim Pek Kun menerima kenyataan itu.
Tiba-tiba ....
Ujung bajunya dirasakan seperti ditarik-tarik orang.
Sim Pek Kun tidak segera membuka sepasang matanya yang terkatup itu. Dia tahu tangan
jahil yang menarik-narik bajunya sekarang ini bukanlah tangan Lian Seng Pek, sebab belum
pernah suami itu melakukan cumbu rayu yang berlebih-lebihan.
Terlalu lama Sim Pek Kun mengharapkan buaian asmara yang seperti ini, demikianlah dia
menerima adanya kenyataan itu.
Siapakah tangan jahil yang menarik-narik ujung baju Sim Pek Kun?
Kesenangan Sim Pek Kun menjadi terganggu manakala teringat akan kejadian tadi, seorang
‘kanak-kanak’ yang baru meningkat dewasa, si Siao Kongcu yang kejam dan berhati telengas
itu.
Keringat dingin membasahi sekujur pakaian si nyonya cantik jelita.
Dengan satu teriakan kaget Sim Pek Kun membuka sepasang matanya.
Betul-betul kejadian itu terjadi atau terulang kembali.
Tangan jahil yang menarik-narik ujung baju Sim Pek Kun adalah tangan si pemuda kecil Siao

Kongcu itu.
Sepasang sinar mata tajam yang seperti sepasang sinar mata iblis menatap wajah cantik Sim
Pek Kun.
Inilah sinar mata yang paling ditakutkan, sinar mata yang lebih kejam dari sinar mata iblis
yang ada.
Sim Pek Kun hendak meronta dari kenyataan, tubuhnya dikaitkan, dengan maksud bangun
dari tempat duduk.
Dia tidak berhasil. Begitu lemas sekali badan nyonya itu, sehingga menambah grogi
keseimbangannya.
Siao Kongcu tertawa cengar-cengir, dengan mulutnya yang berbentuk mungil berkata :
“Mengapa kau begitu takut kepadaku ? Hayo, ketawa... Jangan kau membuat aku marah.
Awas, kalau aku sudah lupa orang, jangan harap kau bisa bersenang-senang.”
Sim Pek Kun menggigit bibirnya keras-keras, Segala macam kata-kata yang semula sudah
disediakan di tenggorakannya, karena kurang tenaga jadi tidak dapat keluar dari mulutnya.
Siao Kongcu itu memperhatikan beberapa waktu, dia mengurut-urut dadanya sendiri
kemudian berkata :
“Betul-betul manusia yang tercantik didalam dunia ! Tidak percuma kau mendapat julukan si
Cantik Jelita Sim Pek Kun, kecantikanmu sungguh sulit ditandingi. Dikala kau tidak marah
kau memang cantik, apalagi waktu kau marah. Kau kelihatan lebih cantik lagi, sungguh
membuat aku mengiri.”
Sim Pek Kun berusaha menjaga ketenangan dirinya, dia diam.
Siao Kongcu itu sudah mengenakan pakaiannya, dia tetap berdandan sebagai seorang pria,
katanya lagi :
“Tidak lagi kuherankan, mengapa banyak orang tergila-gila kepadamu. Sampaipun aku juga
tidak sanggup mempertahankan diri. Mau aku merangkulmu, mencium untuk beberapa kecup
saja.”
Penyamaran Siao Kongcu hanya diketahui oleh Siauw Cap-it-long seorang. Dan disaat ini, dia
tetap menjadi seorang pemuda kecil yang berpakaian perlente. Karena itu, Sim Pek Kun tidak
tahu, bahwa dirinya sedang dipermainkan olehnya.
Dengan wajah pucat pasi Sim Pek Kun membentak :
“Kau berani ?”
Dia menduga kepada seorang pemuda ceriwis yang terpikat oleh kecantikannya.
Siao Kongcu tertawa.
“Mengapa tidak ?” Betul-betul ia mengulurkan tangannya siap merangkul wanita itu.
Sim Pek Kun memojok sehingga di sudut kereta. Dia mengharapkan terjadinya sesuatu
keajaiban, tapi keajaiban itu tidak pernah terjadi.
Tangan Siao Kongcu sudah berhasil menjambak pakaian wanita cantik ayu itu.

Sim Pek Kun mengharapkan lain bayangan boleh saja dia menerima kenyataan, bila kejadian
disaat ini hanya suatu impian.
Tapi, kenyataan sudah terbukti. Tangan Siao Kongcu menariknya keras. Inilah bukan impian.
Bagaikan seekor kucing yang mempermainkan mangsanya, secara tiba-tiba Siao Kongcu
menggentak tarikan tangan yang memegang baju orang.
Srettttt.....
Dia menyobek baju depan njonja Lian Seng Pek.
“Aaaaaaa ......” terdengar suara jeritan Sim Pek Kun yang melengking panjang, cepat-cepat
membekapkan sepasang tangan kepada dadanya yang terbuka.
Siao Kongcu menggentak tangan-tangan itu, sehingga dia dapat menyaksikan keindahan
tubuh depan wanita cantik itu.
Inilah caranya Siao Kongcu melepas kekesalan.
Belum lama, dia telah mengalami kejadian yang sama atas perlakuan Siauw Cap-it-long
karena itu, dia hendak membuat praktek lain kepada Sim Pek Kun.
“Ha, haaa....” Siao Kongcu tertawa puas. “Sungguh indah.... Sangat indah...... Wajahmu
cantik jelita, buah dadamupun tidak kalah indahnya. Kalau saja aku seorang pria, pasti aku
akan tertarik sekali pada keindahan tubuhmu. Kalau aku seorang suami yang sudah beristri,
bisa-bisa karena kau aku akan meninggalkan istriku.”
Tentu saja Siao Kongcu tidak mungkin menjadi seorang suami yang dapat meninggalkan
istrinya, karena dia sendiripun adalah dari jenis yang sama, jenis Hawa.
Sim Pek Kun hendak berontak dari kenyataan itu, dia tidak berhasil, cengkeraman si pemuda
kecil itu terlalu keras sekali.
Siao Kongcu memajukan mulutnya, Cuuppp...... Dia mencium korbannya.
Sim Pek Kun jatuh pingsan.
Inilah cara-cara purbakala untuk mengurangi penderitaan seseorang. Cara reflex yang ada dari
setiap manusia.
Wajah Sim Pek Kun yang sudah jatuh pingsan lebih menarik dari apa yang sudah Siao
Kongcu saksikan.
Sebagai seorang wanita, Siao Kongcu memiliki sifat cemburu, rasa cemburu ini berubah
menjadi semacam rasa dengki. Karena dia tidak memiliki kecantikan seperti apa yang dimiliki
oleh Sim Pek Kun.
Terlihat senyuman iblisnya si Siao Kongcu itu.
Berkecamuklah pikiran yang tidak sama, haruskah dia membunuh Sim Pek Kun ?
Gurunya hanya memberi tugas kepadanya untuk menangkap Sim Pek Kun.
Siao Kongcu mempunyai hati yang jelus, dia merasa iri atas kecantikan Sim Pek Kun. Karena

itu, dia hendak membunuhnya.
Sepasang mata Sim Pek Kun sudah dipejamkan, didalam keadaan tidak sadar orang itu,
wajahnya semakin cantik lagi. Bulu-bulu mata yang melengkung keatas cukup panjang, ini
semakin menarik lagi.
Siao Kongcu menarik napas, dengan apa boleh buat dia berkata :
“Wanita yang sepertimu memang cukup menarik sampaipun aku tidak tega menurunkan
tangan kejam. Sayang keadaan memaksa, mau tak mau aku jadi harus membunuhmu. Kalau
kubawa pulang, mana dia sanggup menguasai imannya ?”
Disaat ini, dari atas kereta tiba-tiba terdengar suara lagi, yang mengulang ucapan ucapan Siao
Kongcu tadi, katanya :
“Wanita yang sepertimu memang cukup menarik sampaipun aku tidak tega menurunkan
tangan kejam. Sayang keadaan memaksa, mau tak mau aku jadi harus membunuhmu. Kalau
kubawa pulang, orang manakah yang sanggup menguasai imannya ?”
Hanya kata-kata pada bagian terakhirlah yang diubah. Logat suaranyapun meniru logat suara
Siao Kongcu.
Si pemuda kecil itu terperanjat. Cepat-cepat ia mendongakkan kepala, datangnya suara tadi
dari atas kereta, tanpa diketahuinya terlebih dahulu. Suatu bukti betapa hebat ilmu
meringankan tubuh orang tersebut.
Inilah Siauw Cap-it-long !
Menirukan logat suara dan kata-kata Siao kongcu itu, Siauw Cap-it-long ternyata dapat
mengucapnya tepat sekali.
Siao Kongcu seperti menemukan hantu.
“Kau.... Kau belum mati?” Dia menjadi kebingungan sendiri.
Belum pernah ada orang yang lolos dari kekejaman tangannya, kecuali Siauw Cap-it-long ini.
Siauw Cap-it-long tertawa, kemudian berkata:
“Aku bukan seekor tikus biasa, masakan diceker oleh kucing betina saja mudah binasa? Mana
mungkin bisa mati?”
Sambil mengertek gigi Siao Kongcu berkata:
“Kau memang bukan seekor tikus, juga bukan seperti manusia. Bertemu dengan mahluk
seperti kau, betul-betul sial tujuh turunan. Baiklah, aku menyerah kalah. Bila kau hendak
turun membunuh aku, turunlah dan bunuhlah!”
Siao Kongcu memeramkan kedua matanya, betul-betul dia sudah bersedia mati dibawah
tangan Siauw Cap-it-long.
Kejadian ini betul-betul mengherankan si jago berandalan.
Mungkinkah gadis binal ini tidak ada niatan untuk melarikan diri?
Siauw Cap-it-long mengerlip-ngerlipkan matanya kemudian berkata:

“Kau tidak ada niatan untuk melarikan diri?”
“Mengapa harus melarikan diri?” berkata Siao Kongcu, “Semua senjata-senjata ampuhku
sudah dipergunakan, tidak satupun yang sanggup menandingimu. Mungkinkah dapat
melarikan diri?”
Siauw Cap-it-long masih menaruh curiga, dia menjajal dengan lain alasan :
“Mengapa tidak kau gunakan Sim Pek Kun sebagai barang tanggungan ? Kau bisa
mengancamku akan menggorok lehernya kalau aku tidak mau membebaskan dirimu. Kau bisa
pilih macam-macam cara lain.”
Siao Kongcu berkata :
“Sim Pek Kun bukan nyonyamu juga bukan kekasihmu. Apa guna kupakai sebagai barang
tanggungan ? Aku tidak pernah melakukan sesuatu yang tidak dapat dijaminan sepenuhnya.”
“Kau dapat mencoba, bukan ?”
“Dicobapun tidak guna. Lebih baik tidak dicoba saja.”
“Betul-betul kau menyerah ?”
Siao Kongcu mengucurkan air mata, dengan sedih berkata :
“Bertemu dengan Siauw Cap-it-long, mana bisa tidak menyerah?”
Siauw Cap-it-long tertawa, dia menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Bukan, bukan.... Bukan dengan alasan yang seperti itu. Kulihat, kau bukan seorang gadis
yang seperti itu, kau pantang menyerah. Kukira, kau masih mempunyai senjata ampuh
lainnya.”
“Betul-betul senjata-senjata ampuhku sudah habis digunakan.” Berkata Siao Kongcu rendah.
“Tidak perduli ada atau tidaknya senjata ampuh lainnya, tidak mungkin aku masuk ke dalam
perangkapmu lagi.”
Siao Kongcu berkata :
“Jadi, kau berani turun kedalam kereta ini ?”
Siauw Cap-it-long tertawa, katanya :
“Mengapa harus turun kesitu ?”
“Bukankah kau hendak membunuhku ?”
“Terlalu mudah untuk membunuh orang, bisa saja aku membunuhmu diluar kereta.”
“Baiklah. Bunuhlah aku diluar kereta. Bisakah kau lakukan segera ?” Siao Kongcu masih
menantang.
“Baik. Hei kusir kereta, hentikanlah segera keretamu !”
Kereta terhenti segera.

Siauw Cap-it-long membentak lagi :
“Siao Kongcu ! Apa boleh buat, aku hanya dapat memanggilmu dengan sebutan ini. Hayo,
bawa Sim Pek Kun meninggalkan kereta.”
Siao Kongcu menggendong Sim Pek Kun itu waktu, nyonya Lian Seng Pek masih belum
siuman, apapun tidak diketahui olehnya.
Siauw Cap-it-long lalu memberi perintah lebih jauh :
“Jalan terus, lurus kedepan ! Jangan coba-coba kau menoleh kebelakang, aku tetap
mengikutimu. Nanti kalau sudah sampai dipohon hijau itu, kau letakkanlah diri Sim Pek Kun
dibawah pohon.”
“Baik.” Berkata Siao Kongcu. “Aku akan menjalankan segala perintahmu.”
Tanpa menoleh atau melirik, betul-betul pemudi berpakaian pria itu turun dari kereta,
menggendong Sim Pek Kun dan maju lurus kedepan.
Seolah-olah, dia sangat patuh kepada perintah sijago berandalan kita.
Betulkah Siao Kongcu sangat patuh kepada perintah Siauw Cap-it-long?
Betulkah Siao Kongcu tidak ada niatan untuk melawan atau melarikan diri?
Jawaban ini sangat singkat :
T i d a k M u n g k i n.
Dan betul? Siao Kongcu sudah akan mulai main gila lagi.
ANGIN DAN API
Siao Kongcu sudah berjalan sehingga tiba dibawah pohon yang ditunjuk oleh Siauw Cap-itlong.
Secara tiba-tiba saja, badan Sim Pek Kun yang berada didalam gendongannya itu dilemparkan
kebelakang. Tepat kearah dari mana datangnya suara Siauw Cap-it-long.
Tidak ada kesempatan berpikir, daya reflex memaksa Siauw Cap-it-long menjulurkan
sepasang tangannya untuk meninggalkan tubuh yang datang kearahnya.
Tubuh Siao Kongcu melejit tinggi, dengan lincah terbang dan berjumpalitan, tangannya
terayun, dari sana meluncur tiga bintik cahaya terang, mengancam Siauw Cap-it-long dan Sim
Pek Kun.
Sebelum terjadinya kejadian ini, umpamanya Siao Kongcu ingin menggunakan Sim Pek Kun
sebagai barang tanggungan belum tentu Siauw Cap-it-long mau menolong nyonya cantik
jelita itu.
Tapi sekarang lain lagi halnya. Setelah terjadinya kejadian ini, menolong orang adalah
merupakan suatu kewajiban baginya. Siauw Cap-it-long wajib menolong Sim Pek Kun dari
bahaya tiga senjata rahasia itu. Tentunya senjata rahasia yang sangat beracun.
Sambil mendukung tubuh Sim Pek Kun, Siauw Cap-it-long berlompat-lompatan,

menghindarkan diri dari serangan tiga senjata rahasia.
Cepat sekali, dia meletakkan tubuh Sim Pek Kun. Dikala dia hendak membikin pengejaran,
bayangan Siao Kongcu sudah lenyap tidak terlihat.
Dari jauh, masih terdengar suara Siao Kongcu yang melengking panjang :
“Siauw Cap-it-long, barang berduri itu sudah kuserahkan kepadamu. Baik-baiklah
menjaganya.”
Nyonya Cantik Jelita Sim Pek Kun diberi julukan Barang berduri.
Siauw Cap-it-long menyengir, dia menengok kearah benda yang disebut berduri itu, apa yang
dapat dilakukan olehnya ?
Betullah barang berduri.
Dikala Sim Pek Kun sadar dari rasa kaget dan takutnya, dia menemukan dirinya sudah berada
di dalam sebuah kelenteng rusak.
Kelenteng itu bukan saja sudah rusak karena lama tidak terawat, ukurannyapun terlalu kecil
sekali. Semua barang yang ada disitu dapat dilihat jelas sekali.
Patung sembahyang sudah miring kesamping, duduknya tepat ditengah-tengah ruangan.
Didepan patung sembahyang itu sudah di pasang api unggun, membuat suasana tempat itu
agak hangat.
Angin bertiup keras, terasa sangat dingin sekali, meresap sampai keseluruh persendian.
Berhubung masih ada api unggun, sehingga suasana didalam kelenteng itu jadi tidak terlalu
dingin.
Terbawa oleh hembusan-hembusan angin yang masuk kedalam kelenteng, api unggun itu
memainkan lidah apinya.
Didepan tumpukan api unggun, ada berjongkok seorang laki-laki berpakaian warna biru,
berikat pinggang warna biru, dengan sepatunya yang sudah bolong, inilah Siauw Cap-it-long.
Siauw Cap-it-long membelakangi Sim Pek Kun. Dia sedang menghangatkan badannya
dilingkungan bara api itu.
Sim Pek Kun tidak kenal Siauw Cap-it-long, dan dalam posisi seperti itu, karena Siauw Capit-
long membelakangi dirinya, lebih lebih Sim Pek Kun tidak dapat melihat wajah jago
berandalan itu.
Adanya seorang wanita dan seorang pria di dalam sebuah kelentang yang rusak seperti itu
dapat menimbulkna kesan yang kurang baik, rasa canggung antara keduanya pastilah ada.
Untuk menghilangkan rasa canggung seperti itu, Siauw Cap-it-long bersiul perlahan,
membawakan sebuah irama lagu yang hanya dimengerti olehnya sendiri.
Sim Pek Kun sudah siuman, dia segera memanggil Siauw Cap-it-long.
Sifat-sifat Siauw Cap-it-long sangat berandalan. Seharusnya, diapun menyanyikan lagu
dengan irama yang berandalan juga. Tapi kenyataannya tidaklah demikian. Apa yang kini
sedang dilagukan olehnya adalah suara dari hati nuraninya, suara dari seseorang yang sedang

kesepian, merana dalam hidupnya dan sengsara tanpa ada yang dapat atau suka mendampingi
atau memberi hiburan kepadanya.
Lama sekali Sim Pek Kun memperhatikan Siauw Cap-it-long, lama sekali nyonya itu
mendengarkan lagu sedih yang dibawakan oleh Siauw Cap-it-long.
Didalam kelentang rusak yang seperti itu, tentu saja tidak ada tempat tidur atau pembaringan
yang layak. Sim Pek Kun terbaring pada sebuah tumpukan rumput rumput yang tebal.
Inilah perbuatan Siauw Cap-it-long.
Sim Pek Kun sangat berterima kasih pada tuan penolong yang belum diketahui namanya itu.
Sim Pek Kun mulai menggeliat, dia hendak bangkit dari tempat terbaringnya. Sedapat
mungkin, dia mempertahankan, agar tidak menimbulkan suara, dan tidak mengganggu
ketenangan tuan penolong didepan api unggun itu
Siauw Cap-it-long mempunyai pendengaran yang sangat tajam, segera dia sadar bahwa
wanita yang ditolong olehnya itu sedang melakukan gerakan apa apa.
“Jangan sembarang bergerak !” demikian tiba tiba bentaknya.
Sim Pek Kun dibesarkan didalam keluarga yang serba berkecukupan, dia dipelihara didalam
rumah seorang pendekar muda, hanya dia yang dapat memberi perintah kepada orang, belum
pernah ada orang yang berani memerintahnya. Sampaipun sang suami, Lian Seng Pek sendiri
juga belum pernah satu kalipun membentaknya.
Kali ini dia menerima bentakan yang sangat kasar sekali.
Inilah suatu nada suara tidak baik yang berupa sebuah perintah.
Hampir Sim Pek Kun lompat turun dari tumpukan tumpukan rumput kering itu.
Siauw Cap-it-long belum menolehkan kepala, dia berkata lagi :
“Kalau kau ingin bergerak, periksa dulu kakimu. Betapa cantik sekalipun seseorang, kalau
sudah hilang sebelah kakinya, tidak mungkin ada yang tertarik lagi. Pikirkan baik-baik.”
Sim Pek Kun baru sadar, bahwa sebelah kakinya ternyata telah membengkak seperti babi
panggang.
Dia membaringkan kembali tubuh yang sudah disiapkan lompat itu.
Siauw Cap It Long masih menghadap api, sekali saja dia tidak pernah menoleh ke belakang.
Sim Pek Kun berhasil menekan rasa takutnya yang menyerang diri terus menerus lalu mulai
bertanya,
“Siapa Kau?”
“Aku laki-laki.” Jawab Siauw Cap It Long singkat sekali. “Kau wanita, aku laki-laki. Aku
tidak menanyakan namamu kuharap kau tidak menanyakan namaku.”
Sudah jelas dikatakan begitu, dengan sendirinya Sim Pek Kun juga tidak menanyakan nama
Siauw Cap It Long lagi.

Angin bertiup kencang.
Sim Pek Kun sampai menggigil kedinginan.
“Bagaimana … Bagaimana kejadiannya sampai aku bisa berada di tempat ini?” demikian
tanya Sim Pek Kun.
“Banyak sekali persoalan yang tidak boleh diuraikan,” kata Siauw Cap It Long tanpa
menoleh, “ pertanyaanmu ini termasuk salah satu darinya. Lebih baik kau tidak tahu saja
daripada harus menanggung banyak resiko!”
Pembicaraan putus kembali.
Kurang lebih setengah jam kemudian, Sim Pek Kun yang tidak sanggup menahan gejolak
hatinya, tiba-tiba bertanya,
“Mungkin kaulah yang menolongku. Betulkah begitu?”
Siauw Cap It Long tertawa, katanya,
“Ha ha … Mana mungkin orang seperti aku menolong orang?”
Sim Pek Kun kehabisan bahan bicara. Mereka diam seperti patung-patung hidup.
Hanya terdengar deru suara angin santer yang bertiup terus menerus, dalam keadaan malam
gelap gulita seperti itu, sudah tidak terdengar suara apapun lagi.
Begitu sunyi dan sepi sekali.
Kecuali dengan suaminya, belum pernah Sim Pek Kun tidur berdua dengan laki-laki lain. Tapi
dia kini terpaksa harus mengalami peristiwa itu. Bermalamnya pun sampai di dalam sebuah
kelenteng tua yang sudah rusak sekali.
Dipandangnya sekali lagi laki-laki yang masih berjongkok itu.
Tubuh Siauw Cap It Long cukup kekar, kumisnya tidak terurus, rambutnya panjang dan
gondrong, pakaiannya kurang bersih dan rapi, sepatunya banyak bolong.
Inilah ciri-ciri khas kaum gelandangan. Sim Pek Kun ngeri sendiri kalau memikirkan sampai
di situ. Dia hendak meninggalkan tempat itu dengan segera. Badannya menggeliat hendak
bangkit.
Seperti mempunyai sepasang mata yang tumbuh dibelakang kepalanya, Siauw Cap-it-long
mengetahui gerakan nyonya cantik jelita itu, dengan dingin ia berkata :
“Nyonya yang terhormat, keadaan sangat memaksa. Memang, sudah tentu saja kau tidak
betah menginap ditempat bobrok seperti ini. Tapi, sudah tak ada jalan lain bagimu. Apalagi
kakimu sudah bengkak seperti gajah begitu.”
Sim Pek Kun meluruskan sepasang kakinya. Aduh, sakitnya sampai ke sendi-sendi, tulangnya
sudah tidak bisa digerakkan lagi.
Siauw Cap-it-long membalikkan kepala. Dengan sepasang matanya yang bersinar bening,
memperhatikan gerak-gerik nyonya itu. Suatu cegahan halus agar Sim Pek Kun tidak
meneruskan usahanya yang hendak bangkit meninggalkannya.

Satu komplotankah dia dengan Siao Kongcu tadi ?
Sim Pek Kun memindahkan sebelah kakinya yang tidak terluka.
Lagi-lagi Siauw Cap-it-long membentak :
“Jangan bergerak. Atau kau harus menjalankan operasi kaki, dengan lenyapnya alat gerak
jalan itu.”
Dibentak pulang pergi seperti itu, Sim Pek Kun menjadi naik darah, dia membalas dengan
suara keras :
“Hm... Terima kasih atas perhatianmu. Kau tidak kenal kepadaku. Aku juga tidak kenal
kepadamu. Masing-masing tidak saling mengenal. Mengapa harus turut campur patah atau
tidaknya sepasang kakiku ?”
Hanya dengan mempergunakan sebelah kaki yang baik, Sim Pek Kun meninggalkan tempat
pembaringan rumput.
Siauw Cap-it-long tertawa. Tertawanya aneh sekali, tidak mengandung cegahan juga tidak
mengandung cemoohan. Seolah-olah mengatakan terserah kepada kemauanmu.
Betul-betul Sim Pek Kun berusaha meninggalkan kelenteng rusak yang kecil dan engap itu,
dia tidak betah sekali.
Hanya berlompat satu langkah, terasa rasa sakit yang tidak terhingga.
Toh Sim Pek Kun keras kepala, dia masih memaksakannya. Siauw Cap-it-long tidak
mencegah lagi. Dan membiarkan nyonya itu meninggalkan kelenteng.
Dengan wajah asam cembetut, Sim Pek Kun meninggalkan kelenteng. Dia sangat marah atas
perlakuan Siauw Cap-it-long yang dianggap terlalu kurang ajar, apalagi memandang sepasang
mata laki-laki liar itu, lebih-lebih kurang ajar lagi. Karena itulah dia harus pergi cepat-cepat.
Seumur hidup Siauw Cap-it-long belum pernah dia memaksa atau menekan seseorang.
Dan dimalam ini, dia tidak memaksa Sim Pek Kun melakukan sesuatu.
Dikala Sim Pek Kun meninggalkan pintu kelenteng, Siauw Cap-it-long merasa geli sekali.
Setiap orang menyebut kecantikan nyonya Lian Seng Pek tanpa tandingan, disertai dengan
pujian pujian lain, seperti arif bijaksana, manis budi, tidak pernah marah, ramah tamah, dan
kata kata lainnya.
Belum pernah ada orang yang melihat Sim Pek Kun merengut.
Dan kini, Siauw Cap-it-long dapat menyaksikan wajah yang asam cembetut itu. Lebih cantik
dari sesuatu wajah yang tertawa atau membawakan sikapnya yang biasa.
Tentu saja dianggap sebagai sesuatu kejadian yang menyenangkan.
Dan Sim Pek Kun sudah lenyap dimalam gelap.
Bercerita Sim Pek Kun yang berjalan dimalam gelap, dia hanya bergerak dengan sebelah kaki
yang tidak pincang, caranya sangat lucu sekali, toh dia tidak tertawa. Rasa sakit dan nyeri
yang tidak terhingga merangsang dirinya. Diusahakan sedapat mungkin, agar dia dapat

melepas dari pengawasan laki-laki kurang ajar itu.
Akhirnya dia bersender pada sebuah pohon, setelah dipikir ulang, dia merasa heran atas sikap
yang sudah dibawakan.
Mengapa dia marah kepada seseorang yang belum dikenal ?
Dengan alasan apa dia marah kepada laki-laki itu.
Dimisalkan orang tersebut tidak bermaksud baik, sudah lama dia celaka. Rasa takutnya yang
tidak terhingga membuat dia jatuh pingsan, terlalu lama dia tidak sadarkan diri. Itulah suatu
kesempatan untuk melakukan perbuatan yang kurang ajar kepada dirinya.
Dan laki-laki itu tidak melakukan hal tersebut.
Mengapa dia harus marah kepadanya ?
Apalagi, mengingat kedudukan dirinya. Setelah mengalami gangguan si anak laki-laki kecil
yang binal dan jahat itu, dia jatuh pingsan dan kemudian berada didalam sebuah kelenteng
rusak.
Tentunya telah ditolong oleh laki-laki yang mempunyai sepasang mata kurang ajar itu.
Laki-laki yang mempunyai sepasang mata kurang ajar adalah didalam anggapan Sim Pek
Kun, didalam hal ini, Siauw Cap-it-long yang dimaksudkan olehnya.
Angin menderu-deru, semakin keras dan semakin dingin.
Ditempat udara bebas tidak ada api unggun yang Siauw Cap-it-long pasang, lenyaplah semua
rasa hangat dari api tersebut.
Sim Pek Kun menyelubungkan dirinya menjadi satu ringkelan kecil yang rapet, hampir dia
tidak tahan menerima siksaan seperti ini.
Sebelah kaki yang terluka, inilah luka yang disebabkan oleh senjata rahasia beracun dari Siao
Kongcu, perlahan demi perlahan, kaki ini mulai sakit kembali. Bagaikan ditusuk-tusuk oleh
ribuan jarum kecil, penderitaannya bertambah semacam lagi.
Akhirnya kaki inipun membeku.
Sim Pek Kun menggigit bibir. Dia diam dibawah pohon itu.
Sim Pek Kun dibesarkan dan hidup didalam keadaan serba mewah, belum pernah dia hidup
seorang diri.
Kini dirasakan sakit sekali, sengsara sekali.
Air mata mulai berjatuhan dari sepasang kelopak panca indranya itu.
Mau sekali dia menangis menggerung-gerung.
Dimalam gelap, didalam keadaan angin udara berkuasa dijagat raya, mungkinkah dia harus
menangis seperti anak kecil ?
Sim Pek Kun bertahan sedapat mungkin.

Akhirnya dia berjongkok dan menangis sesenggukan.
Tiba tiba .....
Satu tangan menepuknya perlahan, sangat perlahan sekali, seolah-olah takut mengejutkan si
nyonya cantik jelita itu.
Biar betapa perlahanpun tepukan tangan itu, biar selembut mungkinpun datangnya tepukan
tangan itu, tetap mengejutkan si nyonya Lian Seng Pek.
“Aaaaaa......” Sim Pek Kun terlompat kaget.
“Aduh.....” Rasa sakitnya dikaki menyerang kembali.
Dikala dia menoleh, terlihatlah sepasang sinar mata yang sangat bening dan bercahaya, itulah
sepasang sinar mata Siauw Cap-it-long yang dianggap kurang ajar.
Dilain tangan Siauw Cap-it-long sudah membawa semangkuk berisikan wedang panas yang
masih mengepul berasap.
“Minumlah !” Disodorkannya kedepan sangat perlahan. “Kujamin tidak mengandung racun.”
Sim Pek Kun balas memandang laki-laki petualang itu. Sinar mata nyonya Lian Seng Pek
tidak kalah terangnya, tidak kalah beningnya, dan didalam penilaian jenis kelamin lain, sinar
mata inipun sangat menantang, sangat kurang ajar.
Dua pasang mata beradu didalam keadaan gelap gulita.
Tanpa disadari olehnya, Sim Pek Kun menyambuti mangkuk wedang panas itu.
Uap panas yang disemburkan oleh wedang itu membawakan rasa hangat yang tidak terhingga.
Inilah kasih sesama manusia.
Air mata Sim Pek Kun menetes jatuh didalam mangkuk wedang panas itu.
Teessss......
SEPATU SEORANG WANITA.
Kembali ketempat kelenteng kecil, sempit, rusak dan bobrok itu.
Tidak ada perubahan sama sekali.
Sim Pek Kun terbaring di tempat tumpukan rumput kering, sebelah kaki nyonya itu semakin
besar, membengkak keras. Senjata rahasia Siao Kongcu terlalu jahat.
Siauw Cap-it-long bertengger di depan tumpukan pembakaran kayu.
Api bernyala merah. Lidah api bermain kian ke mari.
Angin masih bertiup keras.
Sim Pek Kun memeramkan matanya, terkenang kembali kejadian yang baru saja dialami.
Belum pernah dia mengucurkan air mata. Di mana pun, belum pernah dia menjatuhkan

butiran bening si panca indra.
Kini, baru saja dia menangis di depan seorang laki-laki asing yang baru saja dikenal di tengah
jalan.
Dia tidak berani memandang Siauw Cap-it-long, dan menjadi gelisah di tempatnya.
Siauw Cap-it-long membuka suara:
“Tidurlah. Dimisalkan kau mau pergi juga, sebentar lagi toh sudah pagi, tunggu sampai hari
terang, baru kau boleh berangkat.....”
Suara ini sangat berpengaruh, seolah-olah kena sirap, Sim Pek Kun tertidur.
Rumput kering yang ditumpuk di tempat itu sangat keras, mengandung bau busuk yang tidak
sedap.
Setelah Sim Pek Kun lelap tidur, semua tidak dirasakan olehnya.
Siauw Cap-it-long masih tetap bercokol di depan tumpukan kayu-kayu api.
Tanpa membikin persiapan kepada adanya laki-laki itu, Sim Pek Kun dapat tertidur. Dia
sangat percaya kepada Siauw Cap-it-long, tidak mungkin laki-laki itu mengganggu dirinya.
Karena itulah, dia cepat menjadi pulas.
Di bawah pengawasan Siauw Cap-it-long, segala sesuatu pasti menjadi beres.
Setiap orang bisa tidur tenang.
Hembusan angin meniup pergi malam gelap, hari menjadi pagi.
Di kala Sim Pek Kun bangun dari tidurnya, angin malam sudah berhenti kerja, api unggun
masih belum padam, kayu-kayu baru sudah bertumpukan di atasnya, itulah hasil perbuatan
Siauw Cap-it-long.
Dan laki-laki aneh itu sudah tidak berada pada tempatnya yang semula.
Mungkinkah sudah pergi tanpa pamit?
Mengikuti perkembangan tari-tarian lidah api, Sim Pek Kun merasa sangat gundah sekali.
Seperti kehilangan sesuatu yang tidak bisa disebut atau diartikan dengan kata-kata.
Dia seperti ditipu, dia seperti ditinggalkan pergi oleh orang yang terdekat.
Begitu baikkah Siauw Cap-it-long kepadanya?
Sim Pek Kun tidak tahu.
Dia belum tahu nama dari laki-laki kasar itu, mengapa boleh begitu mempercayakan dirinya?
Laki2 itu mempunyai hak kebebasan untuk meninggalkannya seorang diri. Tidak ada
kewajiban untuk menjaga sampai pagi. Tidak perlu meminta ijin darinya lagi.
Dikala Lian Seng Pek pergi, sang suami itupun tidak perlu meminta izinnya.
Apalagi seorang asing yang belum dikenal nama?

Dengan alasan apa, dia harus mengekang kebebasan orang?
Pikiran Sim Pek Kun sangat kacau sekali, bingung gundah gulana.
Sayup sayup.....
Terdengar suara lagu sedih yang pernah dibawakan oleh laki2 asing itu.
Mata Sim Pek Kun bercahaya terang, semangatnya segar kembali.
Laki2 yang mempunyai sinar mata kurang ajar itu belum pergi. Belum meninggalkan dirinya.
Semakin lama, lagu itu semakin jelas. Siauw Tjap it long sedang berjalan datang.
Rasa hangat yang mengarungi kelenteng itu dirasakan semakin tebal.
Adanya rumput kering berbau busuk, adanya kelenteng kecil yang sempit tidak berbenak lagi.
Dan ini waktu, Siauw Tjap it long berjalan datang, memasuki pintu kelenteng. Tangan kiri
laki2 itu menenteng ember kayu, sedangkan tangan kanannya membundel seikat obat2an yang
tidak dikenal.
Langkahnya laki2 itu sangat lincah sekali, dan sudah berada didepan Sim Pek Kun.
“Selamat pagi!” Sim Pek Kun memberi ucapan salam kepadanya.
“Kukira sudah cukup siang” Jawaban Siauw Tjap it long urang simpatik.
Sim Pek Kun kebogehan.
Siauw Tjap it long meletakkan tentengannya, hanya melirik sebentar dan melakukan sesuatu.
Sim Pek Kun membuka mulut, katanya:
“Atas kejadian semalam itu, aku....”
Terasa kembali kejadian yang sudah berlangsung, selembar wajah Sim Pek Kun menjadi
merah jengah.
Dia menyambung kata2nya:
“Atas kejadian itu, aku meminta maaf atas bantuanmu, sudah pasti harus kubalas dan
kuingat....”
Siauw Tjap it long mengeluarkan suaranya yang sangat dingin:
“Aku tidak mengharapkan balasan. Jangan kau ingat2 kembali urusan itu.”
Sim Pek Kun tertegun. Sikap yang dibawakan oleh laki2 kasar ini berada diluar dugaannya.
Tidak sedikit laki2 yang dikenal oleh Sim Pek Kun, rata2 itu membawakan sikap yang sopan,
sangat hormat dan menaruh harga diri didepannya.
Hanya laki2 inilah yang sangat berandalan, sangat kurang ajar, selalu menentang kata2nya.
Manusia normalkah orang ini?

Sim Pek Kun memperhatikan segala gerak gerik Siauw Tjap it long. Dia hendak menemukan
sesuatu sifat laki2 ini yang mempunyai ciri2 lain daripada orang lain.
Siauw Tjap it long sudah meletakkan ikatan obat yang baru saja dipetik, kemudian membawa
ember kayu yang berisikan air itu langsung menuju ketempat perapian.
Diatas tumpukan kayu bakar, diatas api yang masih berkobar, terpasang empat buah cagak
keramik, dengan kawat2 yang tidak mudah terbakar, dibawah kerangka itu tergantung kuali
besi.
Inilah kuali besi yang pernah memasak air dimalam hari.
Wedang panas itu dihasilkan dari kuali ini.
Satu malam suntuk sang kuali diberi pemanasan yang terus menerus, karena itu airnyapun
sudah kering.
Kuali itu membara panas, warnanya berubah menjadi merah.
Siauw Tjap it long mengangkat ember kayu itu, dan langsung menuangkan airnya.
Tjeeesssss........
Dengan air dingin yang diruang kekuali panas mengejutkan hati Sim Pek Kun.
Laki laki apakah yang sedang dihadapi olehnya?
Dia memperhatikan Siauw Tjap it long memasak air.
WANITA SUCI DAN LAKI2 BERANDALAN
Siauw Tjap it long menurunkan ember kayunya, kini dia mulai memasak air. Dia duduk
didepan api pemanasan itu, dan menunggu mendidihnya air yang dimasak.
Sim pek Kun semakin tertarik.
Siapakah laki2 ini?
Dia tidak kenal kepada Siauw Tjap it long, karena itu mempunyai dugaan seperti diatas.
Dia adalah seorang laki laki yang sangat aneh, laki laki gagah perkasa yang pernah dijumpai,
laki2 berandalan yang tidak kenal aturan dan laki2 kasar yang tidak tahu perasaan wanita.
Kelenteng ini seperti sangat menyenangkannya, mungkinkah seorang laki2 gelandangan?
Mungkinkah dia menetap didalam kelenteng ini? Rahasia apakah yang menyelubungi dirinya?
Mengapa dia tidak mau menyebutkan namanya?
Tentu saja Sim Pek Kun tidak tahu bahwa laki2 yang berada didepannya itu adalah Siauw
Tjap it long yang ternama, juga berandalan yang sedang mau ditantang oleh suaminya.
Lian Seng Pek mencari Siauw Tjap it long dilain tempat, tentu saja tidak berhasil
menemukannya.
Siauw Tjap it long sedang bermalam disebuah kelenteng rusak dengan istrinya.

Siauw Tjap it long tidak pernah memandang Sim Pek Kun secara meneliti, dia takut kepada
kecantikan wanita itu.
Menunggu masaknya air, Siauw Tjap it long mendengungkan kembali lagunya yang sangat
sedih.
Jilid 5_________________
Dia tidak memberi perlayanan yang secukupnya kepada sang tamu. Dan tidak menganggap
Sim Pek Kun sebagai seorang tamu. Sim Pek Kun dapat merasakan adanya kecanggungan ini.
Dia berpikir: “Dia tak mau melayani aku, mengapa aku harus bersama sama dengannya?
Mengapa aku harus menetap di dalam kelenteng rusak ini? Tidak ada alasan untuknya
mencegah aku pergi dari tempat ini. Aku harus segera kembali”
Siau Cap It Long masih juga melagukan irama yang tak bernada itu. Tidak pernah menoleh
kearah Sim Pek Kun, tidak pernah menggubris Sim Pek Kun.
Adanya wanita cantik jelita ditempat itu mungkin dianggapnya sebagai patung hidup saja.
Sim Pek Kun menjadi marah, dia berkata dengan suara keras. “Hei, aku hendak kembali.
Namaku Sim Pek Kun, bilamana kau ada waktu, datanglah dirumahku, aku tinggal
dikampung Sim kee chung. Disana, aku tidak menyia nyiakan kebaikkan hatimu. Aku wajib
memberi balas jasa yang setimpal”
Tanpa menoleh kebelakang, Siau Cap It Long balik mengajukan pertanyaan: “Kau hendak
pulang sekarang?”
“Betul” jawaban wanita cantik jelita itu sangat singkat.
“Bisakah kau pulang seorang diri?” bertanya lagi laki laki kasar itu.
Sim Pek Kun memandang kearah kakinya yang membengkak semakin besar, dia mencoba
menggerakkan kaki tersebut, tapi tidak berhasil. Bukan saja kaki itu sudah menjadi kaku, dia
tidak dapat menguasainya lagi.
Bagaimana dia menjawab pertanyaan laki laki asing tersebut?
Sementara itu air di dalam kuali mulai mendidih.
SIau Cap It Long membuka ikatan ramuan obat obatan yang dibawanya, memilih beberapa
macam, dan diseduhnya kedalam kuali yang berisi air mendidih itu.
Dengan memilih serangkai kayu kuat, dia mulai mengolah obat obatan yang dibuat.
Sim Pek Kun masih memaku ditempat dengan sinar mata tertatap pada sebelah kakinya yang
seperti kaki gajah bengkak.
Belum pernah Sim Pek Kun menyembah kepada orang, belum pernah Sim Pek Kun meminta
pertolongan kepada orang. Tetapi, di dalam hal ini, mau tidak mau dia harus meminta
pertolongan dari laki laki yang dianggapnya mempunyai sinar mata kurang ajar itu.
“Aku....aku...” suaranya terdengar agak gemetar. “Aku hendak meminta tolong kepadamu”
“Hmm?!...” Siau Cap It Long hanya mendehem.

“Maukah kau menolong aku mencari sebuah kereta?” berkata lagi Sim Pek Kun.
“Tidak bisa” berkata Siau Cap It Long singkat.
SIm Pek Kun tertegun. “Mengapa?” Ia bertanya heran.
Siau Cap It Long berkata: “Tempat ini terlalu jauh dengan kota, kedudukkannya pun berada
dilereng gunung, tidak mungkin ada kereta yang bisa naik ketempat ini”
Sim Pek Kun bingung, kemudian berkata: “Tapi.... bagaimanakah aku bisa berada ditempat
ini?”
Dengan bersungguh sungguh Siau Cap It Long berkata: “Aku menggendong dirimu”
Selembar wajah Sim Pek Kun berubah menjadi merah, dia merasa sangat malu sekali.
Ternyata selagi ia tidak sadarkan diri tadi, Siauw Cap-it-long sudah menggendongnya
sehingga tiba di dalam kelenteng rusak yang sempit ini.
Siauw Cap-it-long berkata lagi:
“Kau tak mau kugendong lagi, bukan?”
Sim Pek Kun harus berpikir lama, bagaimana dia membiarkan dirinya digendong Siauw Capit-
long? Tidak ada lain jalan kecuali menurut kemauannya. Tapi, dia tidak mau pula
membiarkan dirinya digendong-gendong oleh orang yang belum dikenalnya.
“Aku...aku.... mengapa kau membawa aku ke tempat ini?”
Siauw Cap-it-long menerangkan:
“Kalau tidak kau kubawa ke tempat ini, lalu hendak dikemanakan? Membiarkan kau terlantar
di tengah jalan? Coba kau umpamakan kau menjadi aku. Kau bertemu seekor kucing atau
anjing yang terlantar, bisakah kau membiarkan binatang kecil itu menderita begitu saja?”
Wajah Sim Pek Kun semakin pucat, belum pernah dia mempunyai niatan untuk menampar
pipi seorang laki-laki, tapi kini ingin sekali ia menampar laki-laki kurang ajar ini. Cuma
sayangnya kakinya kini tidak bisa digerakkan lagi. Karena itu, dengan tubuh gemetaran,
saking menahan rasa gemasnya, dia menggigil di tempat.
Kini Siauw Cap-it-long sudah bangun berdiri, membalikkan badan dan memandang Sim Pek
Kun, sepasang matanya tertatap pada luka di kaki wanita itu.
Sim Pek Kun mulai menaruh curiga, dengan marah ia membentak:
“Apa yang hendak kau lakukan?”
Siauw Cap-it-long tertawa-tawa, kemudian berkata:
“Sedang kupikirkan, bagaimana harus membuka sepatu di kakimu itu?”
“Tidak.....” Sim Pek Kun berteriak keras. Dia menentang hal yang hendak dilakukan oleh
laki-laki itu. Mana boleh membiarkan sepatunya dibuka oleh laki-laki yang belum
dikenalnya? Sedangkan suaminya sendiripun belum tentu pernah melihat kaki kecil itu.
Terdengar suara ocehan Siauw Cap-it-long:
“Kukira sepatumu tidak bisa dibuka lagi, kecuali menggunakan pisau untuk merusaknya lebih

dulu. Kakimu sudah bengkak dan tentu saja akan menimbulkan rasa sakit yang tidak
terhingga.”
Dan betul-betul Siauw Cap-it-long sudah mengeluarkan pisau lipatnya.
Sim Pek Kun segera memprotes:
“Apa yang hendak kau lakukan?”
“Mengobati kakimu”
“Aku tidak mau!”
“Kaki itu bisa busuk nanti kalau dibiarkan begitu saja.”
“Aku tidak perduli!”
“Kau...kau.....”
“Mengapa?
“Kau hendak berlaku kurang ajar!”
Siauw Cap-it-long tertawa dan ia berkata:
“Belum pernah aku membuka sepatu seorang wanita. Tapi sekarang, keadaan sudah sangat
memaksa sekali.”
Suara Sim Pek Kun menjadi gemetar:
“Ku....kukira, kau adalah laki-laki yang kurang ajar.... betul-betul kau sebagai laki-laki kurang
ajar”
Siauw Cap-it-long berkata:
“Aku memang seorang lelaki yang kurang ajar.”
Ciaat... dengan kecepatan kilat Siauw Cap-it-long sudah menggoreskan pisaunya, begitu cepat
pula dia sudah melepas sepatu Sim Pek Kun.
“Kalau kau menghendaki turun gunung tanpa digendong, inilah cara penyembuhan satusatunya
yang paling cepat. Aku harus menyembuhkan dulu lukamu.” berkata Siauw Cap-itlong.
Di jaman itu, tak ada laki-laki yang bisa membuka sepatu wanita, kecuali suami sendiri. Sim
Pek Kun tidak ada pilihan lain, kecuali menyerah.
Gerakan Siauw Cap-it-long terlalu cepat sekali, sehingga ia tak mampu berbuat apa-apa.
Apalagi dalam keadaan begini, di mana kakinya sudah tambah membengkak. Dengan sangat
cekatan Siauw Cap-it-long lalu menyediakan air panas di depan Sim Pek Kun.
“Rendamlah kakimu di dalam air ini!” berkata Siauw Cap-it-long. Inilah air yang masih panas
mengandung ramuan-ramuan obat yang sudah disediakan.
Sim Pek Kun tidak mempunyai pilihan lain, terpaksa mengikuti segala petunjuk yang
diberikan Siauw Cap-it-long.

Sesudah merendam kaki Sim Pek Kun ke dalam air panas itu, Siauw Cap-it-long memilih lain
ramu-ramuan obat, dikunyah di dalam mulut, obat itu digigit-gigit olehnya, dan bagaikan
seorang nenek yang sedang bersirih, gumpalan obat itu dikeluarkan kembali lalu dipegangnya
di tangan.
Sim Pek Kun memeramkan kedua matanya. Perasaan yang ada di hatinya sekarang
sesungguhnya belum pernah terpikir olehnya kalau bakal terjadi di tempat ini.
Siauw Cap-it-long mengangkat kaki Sim Pek Kun yang sudah direndam di tempat air panas
tadi, dan kini obat yang sudah dikunyah itu diborehkan kepada luka yang ada di kaki si
nyonya cantik jelita.
Tidak ada perlawanan, Sim Pek Kun sudah menyerah pada takdir.
Kaki Sim Pek Kun yang kecil halus putih itu, berada dalam tangan Siauw Cap-it-long.
Sim Pek Kun sudah membayangkan pernahkah suaminya melakukan pekerjaan seperti apa
yang sedang dilakukan oleh laki-laki asing kurang ajar ini?
Jawabannya sangat singkat:
“Tidak pernah!”
Luka yang diderita Sim Pek Kun sebenarnya tidaklah terlalu parah, hanya seperti disengat
oleh semut, atau digigit seekor nyamuk biasa saja, hanya berbintik merah.
Tapi ditempat itulah justru Siao Kongcu telah memberi racun jahat dari senjata rahasianya,
maka luka dikaki Sim Pek Kun menjalar hingga ke paha, bengkak membesar sekali.
Sesudah diborehkannya obat ramu ramuan Siauw Tjap-it-long, rasa sakit dan perih itu
perlahan lahan mulai lenyap, dimulai dari rasa panas, lalu timbul suatu perasaan yang sangat
dingin. Inilah mungkin pengaruh obatnya yang mulai berjalan.
Penilaian Sim Pek Kun, Siauw Tjap it long adalah seorang laki2 liar, laki laki gelandangan
yang mempunyai sepasang mata kurang ajar. Karena itu, sejak tadi dia ketakutan sendiri.
Tapi kini terbukti tidak ada kejadian berikutnya. Kalau begitu dia adalah laki2 yang baik!
Siauw Tjap it long sudah selesai mengobati luka dikaki Sim Pek Kun, setelah selesai
mengobati ia lalu bangin berdiri meninggalkan wanita itu. Dan duduk tepekur didepan api
unggun, membawakan lagu yang entah dipungut dari mana itu, yang bernada penuh kesepian,
kesunyian dan kesengsaraan.
Sim Pek Kun sudah membuka mata, dengan suara perlahan dia berkata:
“Terima kasih”
Cepat sekali luka dikakinya yang membengkak itu sudah mulai susut.
“Tidak kusangka ilmu ketabibanmu sangat hebat” berkata Sim Pek Kun.
“Sangat beruntung aku dapat bertemu denganmu”
Tanpa menolehkan kepala, Siauw Tjap it long berkata:

“Aku tidak mengerti apa itu yang kau sebutkan ilmu ketabiban. Yang kutahu hanyalah:
Bagaimana harus mempertahankan hidup manusia yang hampir direnggut maut!”
Sim Pek Kun menganggukkan kepala, dia menyetujui pendapat laki2 itu.
“Kini aku tahu, dalam keadaan terpaksa semua orang akan berusaha”
Siauw Tjap it long berkata :
“Setiap orang ingin hidup, setiap orang juga wajib hidup. Umpamanya saja seekor binatang
yang tidak mengenal ilmu ketabiban. Jikalau berada dalam keadaan terluka, binatang itupun
pasti akan berdaya upaya mencari obat2an untuk menyembuhkan luka lukanya, kalau perlu
menyembunyikan diri lebih dulu.”
“Ada kejadian seperti ini?” berkata Sim Pek Kun.
Siauw Tjap it long berkata:
“Pernah aku menemukan seekor serigala yang sedang terluka, serigala itu melarikan diri
terjun kedalam sesuatu air kecomberan. Waktu itu aku tidak mengerti, mengapa dia harus
menerjunkan diri kedalam air. Kukira semula dia hendak bunuh diri. Tapi mungkinkah itu?”
“Serigala itu tidak bunuh diri?” berkata Sim Pek Kun heran.
“Tidak !” berkata Siauw Tjap it long tertawa “Kuperhatikan betul2, serigala itu merendam diri
ditempat berair tersebut selama dua hari, dan pada dua hari kemudian ia sudah bnagkit
kembali. Ternyata dalam air itu ada mengandung obat2an, sehingga ia berhasil
menyembuhkan dirinya. Ia berhail memperpanjang umurnya.”
Untuk pertama kalinya Sim Pek Kun menyaksikan Siauw Tjap it long tertawa. Dikala
menyebut binatang, baru dapat melihat wajah laki2 itu tertawa.
Siauw Tjap it long berkata lagi:
“Manusia dan binatang tidak ada perbedaannya. Kalau binatang masih mau berusaha
memperpanjang umurnya, masakan manusia harus diam saja menunggui ajalnya sampai?”
Apakah betul manusia dan binatang itu mahkluk yang serupa?
Sim Pek Kun berpikir lama tentang kejadian ini.
Dikala pertama kali berkumpul dengan Siauw Tjap it long, Sim Pek Kun sangat kawatir
sekali, ia takut kepada laki laki asing yang belum dikenalnya itu.
Kini sudah terjadi perobahan. Laki2 dengan lagu2 yang berirama tak menentu. Mau dia
meduga, bahwa laki2 itu mungkin masih hidup dalam suatu keadaan yang belum normal
seluruhnya, ia sengsara, entah sengsara oleh karena apa, entah apa pula yang dirindukan
olehnya.
Semacam kabut misteri menyelubungi laki laki tersebut. Dan karena inilah semakin menarik
perhatian Sim Pek Kun.
“Disinikah kau tinggal?” tanya Sim Pek Kun.
Siauw Tjap it long lekas menjawab:

“Akhir2 ini aku memang sering tinggal ditempat ini”
Sim Pek Kun bertanya lagi:
“Sebelumnya?”
Siauw Tjap it long berkata:
“Aku tidak pernah mengenang masa lampau. Segala sesuatu yang sudah lewat akan segera
kulupakan, dan segala kejadian yang belum terjadi tidak pernah kupikirkan.”
“Kau..... kau tidak mempunyai rumah sebagai tempat tinggal yang tetap?” berkata Sim Pek
Kun
“Rumah tempat tinggal yang tetap?” Siauw Tjap it long tertawa menyeringai “Aku selamanya
hidup. Aku akan menjajaki seluruh dunia rimba persilatan. Setiap tempat akan kuanggap
sebagai tempat tinggalku. Itulah satu2nya kesenanganku.”
Seseorang yang tidak menpunyai tempat tinggal tetap, bukankah berarti hidupnya sangat
merana sekali. Tapi sering juga terjadi orang itu hidup sebagai orang gelandangan.
Mungkinkah orang ini orang gelandangan? Sim Pek Kun menyedot napas dalam dalam, dia
menduga atas apa kira2 sudah dialami laki2 itu, karena itulah dia lalu berkata:
“Kukira setiap orang wajib mempunyai satu rumah. Apabila kau mempunyai kesulitan, aku
dapat membantumu...”
“Terima kasih.” Siauw Tjap it long berkata dingin.
“Katakalah, apa kiranya yang menyulitkanmu?” berkata lagi Sim Pek Kun
“Kau tanyakan kesulitanku?” suara Siauw Tjap it long tidak enak sekali didengar. “Yang
menjadi kesulitanku ialah, kau..... kau tidak bisa menutup mulutmu itu.”
Mendengar itu Sim Pek Kun tercengang, dia tertegun sekian lama.
Bertemu dengan seorang laki2 yang tidak mengenal adat istiadat, tidak mengerti arti tata
sopan santun, adalah merupakan satu pengalaman yang baru saja dialaminya.
Tapi, betul2 Sim Pek Kun lantas menutup mulut. Ini adalah permintaan laki2 yang pernah
menolong dirinya.
Keadaan ditempat itu menjadi sangat sepi sekali.
Pada saat itulah; tiba2 dari jauh terdengar suara derap kaki orang yang mendatangi arah
kelenteng situ.
Siauw Tjap it long dan Sim Pek Kun saling pandang. Mereka sama2 heran untuk apa mereka
datang ketempat sesepi ini?
Derapan langkah kaki itu semakin lama semakin nyata, dua orang mulai berjalan memasuki
kelenteng.
Siapa dua orang ini?
Dua orang yang datang adalah dua laki2 berpakaian mewah. Yang berjalan dikanan adalah
seorang tua,pinggangnya menyoren golok, tentunya seorang jago rimba persilatan asli dengan

senjata itu. Dan yang dikiri masih lebih muda umurnya, diduga diantara tiga puluhan, ia
menggunakan senjata berat, dan sedang menggembol senjata tersebut dipunggungnya.
Dan orang ini segera menemukan Sim Pek Kun dan Siauw Tjap it long didalam kelenteng itu,
segera juga mereka berseru:
“Nyonya Lian Seng Pek yang sedang kami hadapi?” bertanya mereka.
Sim Pek Kun mengerutkan alisnya “Siapakah kalian berdua?” ia sangat heran.
Orang tua yang menyoren golok dipinggang tersenyum dan berkata:
“Kami Pang Tiauw Hui kawan baik Lian Seng Pek Kongcu. Dikala hari pernikahan nyonya
Lian dan Liang Kongcu itu, kamipun pernah datang menenggak arak kegirangan kalian.”
“Oa.....” Sim Pek Kun tertawa girang,”Ternyata Pang Tiauw Hui tayhiap dengan julukan
Golok Emas?”
Tertawa Pang Tiauw Hui semakin riang, dai berkata dengan bangga:
“Nama Golok Emas itu diberikan oleh kawan2 dunia Kang ouw kepadaku. Sebetulnya nama
itu tidak patut disebut lagi.”
Adanya kawan suaminya ditempat ini tentu sangat menggirangkan hati Sim Pek Kun. Sambil
tersenyum meriah dia berkata:
“Dan bagaimana dengan gelar dan nama sebutan tuan ini?”
Si wanita cantik jelita menunjukkan tangannya kepada laki2 yang menggembol pedang
dipunggung itu.
Si Golok Emas Pang Tiauw Hui segera member keterangan:
“Inilah Liok bin-kiam khek Liu Eng Lam putra ketiga dari Bu-yu-kiam khek Liu Sam Ya.
Sudah pernah bertemu muka beberapa kali dengan Lian Seng Pek Kongcu.”
Sim Pek Kun memberi hormat, katanya:
“Ternyata Liu Kongcu. Sudah lama tidak bertemu dengan ayahmu, bagaimanakah dengan
penyakit batuk ayahmu itu?”
Liu Eng Lam membungkukkan badan dan dia memberikan jawaban dengan hormat:
“Atas rejeki Tuhan, penyakitnya sudah sembuh.”
Sim Pek Kun lalu bertanya lagi kepada kedua orang itu:
“Bagaimana jiwi bisa tahu kalau aku berada ditempat ini?”
Si Golok Emas Pang Tiauw Hui juga yang segera menalangi menjawab:
“Dikelenteng ini bukan tempatnya yang baik untuk membicarakan persoalan kita. Diluar kami
telah menyediakan satu tenda gotong, silahkan nyonya Lian kembali kekampung, kami akan
mengawalnya.”
Gerak gerik Liu eng Lam dan Pang Tiauw Hui sangat hormat, bicaranya juga sopan santun,
tidak seperti Siauw Tjap it long. Karena itu Sim Pek Kun lantas merasa dirinya sudah kembali

kedalam lingkungan keluarganya sendiri, dia girang sekali. Dia tidak takut dihina oleh orang
lain lagi, ia tidak perlu takut dibentak bentak oleh orang lain lagi. Munculnya Liu eng Lam
dan Pang Tiauw Hui membuat Sim Pek Kun lupa kepada Siauw Tjap it long.
Sim Pek Kun menganggukkan kepala, dia bersedia kembali ke Sim kee-tjhung.
Pang Tiauw Hui menggapaikan tangan kearah luar, sebentar kemudian dari sana berlari
datang sebuah tandu gotong, dua wanita berbaju hijau yang gagah dan tegap, menggotong
datang tandu itu, langsung menuju kearah kelenteng.
Dua wanita berbaju hijau yang mempunyai gerakan cekatan dengan membawa tandu gotong
sudah tiba didepan pintu kelenteng, mereka meletakkan tandu gotong itu dan siap menyambut
sang nyonya besar.
Atas segala persiapan yang telah disediakan oleh Liu Eng Lam dan Pang Tiauw Hui tentu saja
membuat Sim Pek Kun sangat puas. Sambil tertawa dia berkata kepada kedua kawan
suaminya itu:
“Jiwi mempunyai pikiran yang bagus sekali, sungguh membuat aku tidak enak hati.”
Liu Eng Lam membungkukkan setengah badan dan berkata:
“Silahkan Lian hujin naik kereta.”
Pang Tiauw Hui sudah membuat segala persiapan secara sempurna, segera ia dapat mengajak
nona cantik jelita itu pergi meninggalkan Siauw Cap-it-long.
Sim Pek Kun siap melangkahkan kedua kakinya, dia sudah merasa puas, dan hendak segera
pulang kekampung halaman.
Disaat ini, tiba-tiba terdengar suara geraman Siauw Cap-it-long.
“Tunggu dulu !”
Baru Sim Pek Kun sadar, bahwa disitu masih ada seorang laki-laki yang mempunyai sinar
mata kurang ajar, biar bagaimanapun laki-laki itu pernah menolong dirinya. Maka dia wajib
mengucapkan sesuatu. Dan tidak segera naik kedalam tandu gotong itu.
Pang Tiauw Hui mendelikkan matanya, segera dia membentak :
“Siapa kau ?”
“Hmm........” Siauw Cap-it-long mengeluarkan suara dengusan dari hidung.
“Ada hubungan apa kau dengan keluarga Lian ?” bertanya Pang Tiauw Hui dingin.
Liu Eng Lam juga membentak :
“Hei, kami adalah Liok bin kiam khek Liu Eng Lam dan Si Golok Emas Pang Tiauw Hui,
dua-duanya kawan dari Lian Seng Pek. Siapa kau, mengapa berani usil ?”
“Hmm......” Sebelum menjawab pertanyaan itu, Siauw Cap-it-long berdehem lebih dahulu,
dan baru dia berkata :
“Boleh saja aku mengaku bahwa aku adalah pendekar besar dari daerah Tiong Ciu, Tiong-Ciu
Tayhiap Ouw Yang Kiu, kau percaya atau tidak ?”

Liu Eng Lam tertawa dingin, dengan nada suara yang tidak enak sekali didengarnya dia lantas
berkata :
“Pui, cecongormu yang seperti ini hendak memalsukan nama Tiong-ciu Tayhiap Ouw Yang
Kiu ? ... Hm....”
“Kau tidak percaya aku Ouw Yang Kiu, mengapa aku harus percaya bahwa kau adalah Liu
Eng Lam dan Pang Tiauw Hui ?”
“Aku tidak memaksa kau percaya” berkata Liu Eng Lam tawar.
“Nyonya Lian sudah percaya kepada kami, itu saja sudah cukup.”
Siauw Cap-it-long berdengus.
“Ouw... ? Dia percaya pada kalian berdua ?”
Dan tiga pasang mata dari tiga laki-laki itu menoleh kearah Sim Pek Kun, meminta pendapat
nyonya Lian Seng Pek.
Nyonya cantik jelita berdehem sebentar, kedudukannya agak terjepit juga, ia tidak boleh
bergerak, dan mereka sudah bentrok, karena itulah dia berkata :
“Kalian bertiga mempunyai maksud yang sama baiknya, tapi aku.... "
Siauw Cap-it-long memotong pembicaraan nyonya itu, dia berkata cepat :
“Lihat ! Dia sudah mulai menaruh curiga kepada kalian. Tapi sebagai seorang yang bijaksana
dan sopan tentu tidak mau mengutarakan kecurigaannya itu.”
Liu Eng Lam berkata :
“Memang dia sudah mulai curiga kepadamu tapi tidak mau mengutarakannya.”
Siauw Cap-it-long berkata tawar :
“Aku tidak pernah mengaku bahwa aku adalah Liok-bin kiam-khek Liu Eng Lam.”
“Tentu saja kau bukan Liok bin kiam khek Liu Eng Lam.” berkata Liu Eng Lam. “Akulah
Liok bin kiam khek Liu Eng Lam.”
“Kau Liok bin kiam khek Liu Eng Lam ?” Siauw Cap-it-long mencibirkan bibirnya.
“Srettt....” Liu Eng Lam mengeluarkan pedangnya, secepat itu pula dia sudah menggerakkan
senjata tersebut, membarengi gerakan itu terdengar suara patahan kayu dahan yang sedang
dipegang oleh Siauw Cap it long, yang lantas patah menjadi empat potongan kecil-kecil.
Reaksi Siauw Cap it long biasa saja, tidak menunjukkan sikapnya yang memperlihatkan takut
atau ngeri, tidak bergerak dari kedudukannya semula, dengan tawa ia berkata :
“Ilmu pedang ini betul-betul ilmu pedang Bu yu kiam khek dari keluarga Liu.”
“Tentu !” berkata Liu Eng Lam girang. “Kiranya kau juga cukup mempunyai mata yang
hebat, masih mengenali jurus ilmu pedangku.” Pang Tiauw Hui berteriak dengan suara keras :

“Kau adalah seorang yang mengenal ilmu silat, tentunya sudah tahu tipu ini bernama Bu-yu
sam-cap, didalam dunia persilatan kecuali Liu Sam Ya dan Liu kongcu, tidak ada orang ketiga
yang dapat memainkannya.”
Sim Pek Kun turut tertawa, dengan memaksakan diri dia berkata :
“Liu kongcu mempunyai ilmu silat yang hebat, jurus Bu-yu sam-cap yang kau mainkan tadi
mungkin sudah lebih hebat dari kalau diperlihatkan oleh kakekmu.”
Siauw Cap it long memandang kepada nyonya itu, kemudian berkata kepadanya :
“Tidak maukah kau tanyakan kepada mereka, bagaimana mereka tahu kalau kau bisa berada
ditempat ini ?”
“Soal ini tidak perlu diperdebatkan.” berkata Sim Pek Kun.
“Dengan nama besar Pang Tayhiap dan Liu kongcu, aku percaya kepada mereka.”
Siauw Cap it long berkata :
“Betul, Mereka mempunyai nama yang cukup dikenal, tentu saja kata-katanya lebih boleh
dipercaya daripadaku, karena aku tidak mempunyai nama !”
Sim Pek Kun menundukkan kepala, dengan suara lemah lembut dia berkata :
“Aku tahu, kau juga mempunyai maksud yang baik ....”
Suara si nyonya cantik jelita terputus oleh suara tertawanya Pang Tiauw Hui, terdengar jago
silat Golok Emas itu berkata :
“Maksud baik ? kukira tidak baik.”
Liu Eng Lam juga berkata :
“Berulang kali ia mengganggu usaha kita yang hendak pulang kembali, maksudnya mencegah
nyonya ikut kepada kita dan tetap tinggal ditempat ini, dan tentunya dia mempunyai maksud
tujuan yang tidak baik.”
“Maksud apakah itu....?”
Pang Tiauw Hui menggelengkan kepala dan berkata :
“Betul. Tepat. Mari kita cacah dulu dia, bawa saja kembali kerumah, kompres padanya !
Siapa suruh dia suka usil dalam urusan orang lain ?”
Golok Emas si jago tua itu segera keluar dari kerangkanya.
Kawan ? Lawan ?
Dikala Pang Tiauw Hui sudah siap menendang Siauw Cap it long, Liu Eng Lam melakukan
pencegahan, dia hendak menjadi seorang baik, katanya :
“Tunggu dulu ! Besar sekali kemungkinannya mungkin orang inipun salah satu kawan dari
nyonya Lian Seng Pek. Mana boleh kita mengganggunya ?”
Pang Tiauw Hui menoleh kearah Sim Pek Kun, dan bertanyalah ia kepada nyonya cantik jelita

itu :
“Nyonya Lian kenal orang ini ?”
Sim Pek Kun menjadi gugup, cepat-cepat menundukkan kepala, sambil jawabnya :
“Ti.....tidak.”
“Huaa, ha, ha,.....” Tiba-tiba Siauw Cap it long tertawa ngakak. “Tentu saja kau tidak kenal
aku. Kau adalah nyonya Lian Seng Pek yang ternama, mana mungkin mau berkenalan dengan
seorang gelandangan yang seperti aku ?”
“Betul..... betul.....” Cepat-cepat Liu Eng Lam berkata. “Tidak mungkin nyonya Lian mau
mengenal kau dengan seorang gelandangan kotor yang tidak tahu malu !”
Dari kanan dan kiri, Pang Tiauw Hui dan Liu Eng Lam lalu menggencet Siauw Cap it long.
Kini Liu Eng Lam bergerak lebih dahulu, pedangnya bergeser cepat, membuat suatu tirai
pedang, menyerang kearah Siauw Cap it long, Inilah ilmu pedang Bu-yu-kiam-khek, ilmu
pedang yang menjadi kebanggaan keluarga Liu.
Ilmu pedang Bu-yu kiam khek adalah ilmu pedang seorang tokoh wanita jago purbakala.
Karena itu, tipu-tipu dan gerakan-gerakannya lebih banyak cocok digunakan oleh wanita
daripada kaum pria. Walaupun demikian keluarga Liu sangat mahir sekali dalam ilmu pedang
itu, tidak kalah hebatnya.
Ilmu Bu-yu kiam khek sangat mementingkan pertahanan diri sendiri, dibawah tangan Liu Eng
Lam pun demikian juga, penyerangan tiga bagian dan pertahanan tujuh bagian. Demikian
banyak variasi-variasi itu, toh jarang sekali yang mengandung ancaman maut.
Siauw Cap it long masih saja tertawa ditempatnya, tanpa bergerak dari kedudukannya semula
dia membiarkan dirinya dikurung oleh sinar-sinar pedang Liu Eng Lam.
Disaat ini Pang Tiauw Hui juga turut bicara :
“Nyonya Lian Seng Pek tidak kenal kepadanya jadi tidak perlulah kita malu-malu lagi. Bunuh
saja habis perkara !”
Golok Emas jago inipun turut membacok dengan senjata yang beratnya lebih dari 20 kati itu,
serangannya terlalu berat mengandung maut.
Liu Eng Lam bermain dengan ilmu pedang Bu-yu kiam-khek, variasinya begitu bagus dan
membuat satu pagar pedang yang mengurung Siauw Cap it long disamping itu golok Pang
Tiauw Hui membacok, dan Siauw Cap it long, harus bergeser tempat, menghindari datangnya
bacokan ini.
Pang Tiauw Hui tidak puas, dia membacok sekali lagi. Ciat...... tapi masih juga tidak berhasil
mengenai sasarannya.
Diserang oleh dua orang, Siauw Cap it long belum mengirim balasan, dia menggeser
kedudukan dari kanan ke kiri dan dari kiri ke kanan, dari utara ke barat atau dari barat ke
timur, terus menerus demikian.
Tidak selembar ujung bajunyapun yang terkena serangan golok apalagi ilmu pedang Liu Eng
Lam. Tenang tenang saja Siauw Cap it long menghindari serangan serangan mereka.

Kemarahan Pang Tiauw Hui meluap luap, dia menggencarkan serangannya, dan dengan suara
geram berkata kepada kawannya :
“Liu Eng Lam, jangan beri kesempatan dia hidup lagi. Ayo bunuh !”
Ciat..... satu bacokan golok datang cepat.
Liu Eng lam membantu dari samping, Wing... membikin satu serangan pedang,..... serangan
pedang ini membantu usaha Pang Tiauw Hui, agar musuhnya tidak dapat melarikan diri.
Sepasang sinar mata Siauw Cap it long tiba-tiba saja menjadi sangat liar sekali, dengan
melompat kekiri sebentar menghindari golok, dan dari sana ia berkata dengan suara dingin :
“Baik. Kalian hendak membunuh aku ? Mengapa melarang aku membunuh kalian ?”
Siauw Cap it long menekukkan sepasang tangannya, sangat keras, tubuh terpelintir cepat
sekali dan entah dengan gerakan apa tahu-tahu dia sudah lompat keluar dari kurungan dua
orang itu.
Ilmu pedang Bu-yu kiam hoat yang dimainkan oleh Liu Eng Lam adalah ilmu pedang yang
sangat rapat sekali, ilmu pedang yang khusus untuk mengurung seseorang didalam
pertahanan, tokh tidak berhasil mengurung Siauw Cap it long.
Tangan Siauw Cap-it-long disodorkan kedepan.
Liu Eng Lam merasa tertekan, karena itu cepat-cepat dia mundur kebelakang, hampir ia
tergelintir jatuh, kaki menyentuh sesuatu, dan itulah mangkok obat yang semalam digunakan
oleh Siauw Cap-it-long untuk menyembuhkan sakit Sim Pek Kun.
Terjadi pertempuran terlalu cepat sekali, Sim Pek Kun mundur kebelakang, dan dikala kaki
Liu Eng Lam menginjak mangkok obat, terbayang kembali kejadian semalam, karena itulah
cepat-cepat dia berteriak:
Berhenti......berhenti.....! jangan serang dia lagi, semua adalah orang sendiri!”
Itu waktu, tangan Siauw Cap-it-long sudah menutup semua jalan kematian lawannya, dengan
satu teriakan jari saja dia pasti dapat mengambil jiwa musuh itu.
Sisaat itulah tiba-tiba terdengar suara teriakan Sim Pek Kun.
Karena Siauw Cap-it-long mendengar Sim Pek Kun mengatakan bahwa semua adalah orang
sendiri, maka dengan cepat ia lantas berhenti bergerak.
Siauw Cap-it-long sudah menarik kembali serangannya.
Disaat suara Sim Pek Kun tercetus keluar dari mulutnya, Siauw cap-it-long merasa darahnya
bergolak cepat, hawa pembunuhannya lenyap mendadak, dia dapat menerima perintah tadi,
karena itu dia menghentikan serangannya.
Tidak sama dengan keadaan Siauw Cap-it-long. Reaksi Pang Tiauw Hui dan Liu Eng Lam
sangat berbeda sekali, mereka mempunyai pengalaman-pengalaman tempur yang sangat
banyak dan itulah kesempatan untuk melenyapkan lawan dari permukaan bumi, satu saja tidak
mau menerima perintah tadi, cepat-cepat mereka menggunakan kesempatannya. Dan masingmasing
melompat maju setapak, pedang dan golok berterbangan, dan menyerang kepala dan
perut Siauw Cap-it-long.
Tresss........ pundak Siauw Cap-it-long berdarah. Dia hanya berhasil menghindari perut dan

kepalanya, tetapi tidak dapat menghindari ancaman pada pundaknya. Dengan demikian Siauw
Cap-it-long jadi menderita rugi.
Pang Tiauw Hui girang sekali, goloknya dibalikan dan menyerang lagi.
Liu Eng Lam meberi kerja sama yang baik, dengan pedang ditangan yang diputar sedemikian
rupa ia menjaga diri sendiri dan juga menjaga keamanan Pang Tiauw Hui.
Terdengar suara bentakan Siauw Cap-it-long yang mengguntur keras, dan disaat itu pula
senjata-senjata Pang Tiauw Hui dan Liu Eng Lam sudah terlepas dari tangan masing-masing,
merasa tangannya kesemutan dengan rasa sakit yang tidak terhingga, dan saking cepatnya
gerakan itu, mereka tidak sadar bahwa golok dan pedang mereka sudah lenyap!
Terdegar suara pletak-pletak beberapa kali, dan secepat itu pula dibarengi denga suara yang
keras Buk..... tembok kelenteng sudah pecah sebagian, runtuhan batu-batunya berserakan
dilantai.
Diantara hancurnya reruntuhan puing-puing itu tampak tubuh Siauw Cap-it-long yang melesat
keluar dan lenyap dengan cepat meninggalkan kelenteng itu, ia keluar melalui pecahan
dinding tembok kelenteng.
Adanya Sim Pek Kun didepan pintu kelenteng yang sudah bergegas-gegas hendak
meninggalkan tempat tersebut, tentu saja sangat menganggu kepergian Siauw Cap-it-long, dia
jadi tidak bisa mengelak dan menerjang ke arah dimana ada berdiri nyonya besar itu. Untuk
menghindari kerewelan-kerewelan dari Pang Tiauw Hui dan Liu Eng Lam itulah Siauw Capit-
long terpaksa jadi menjebol dinding tembok, dan dari sana ia melenyapkan diri.
Begitu, Siauw Cap-it-long akhirnya pergi dengan begitu saja.
Pang Tiauw Hui, Liu Eng Lam memandang patahan golok dan pedang mereka, keringat
dingin membasahi sekujur tubuh kedua orang tersebut, Mereka tidak berani berkutik barang
sedikit pun.
Apabila laki-laki gelandangan tadi ada mempunyai niatan atau maksud tidak baik
mungkinkah nyawa mereka sampai sekarang ini masih melekat pada raganya?
Lama sekali kedua jago silat itu terpaku ditempat, dan setelah betul-betul mengetahui bahwa
lawannya sudah tidak ada, Liu Eng Lam baru mengeluarkan keluhan napas panjang, lalu
katanya:
“Sungguh satu manusia luar biasa!”
Pang Tiauw Hui juga mengeluarkan keluhan yang sama:
“Manusia luar biasa! Betul-betul luar biasa sekali !”
Liu Eng Lam berkata :
“Betul-betul aku takluk.”
Pang Tiauw Hui menyeka keringatnya, kemudian dia berkata sambil menyengir:
“Jago silat yang sehebat dia, mengapa aku tidak dapat mengenal ?”
Liu Eng Lam juga menyusut keringatnya, dan ia pun turut berkata:
“Kecepatan tangan orang ini sungguh-sungguh menakjubkan, ini lah kecepatan yang pernah

kulihat di dalam rimba persilatan.
Pang Tiauw Hui menolah kearah nyonya cantik kita Sim Pek Kun, kemudian bertanya
kepadanya:
“Tahukah nyonya Lian, siapa sebenarnya orang itu tadi ?”
Sim Pek Kun masih menatap lubang dinding yang jebol oleh Siauw Cap-it-long tanpa
bergerak, entah apa yang sedang dipikirkannya. Dengan sendiri ia tidak dapat menjawab
pertanyaan Pang Tiauw Hui tadi. Dia diam saja.
Liu Eng Lam batuk-batuk dua kali, dan bertanya kepada nyonya itu:
“Tahukah nyonya siapa orang tadi ? Mungkinkah kawan nyonya?
Baru sekarang Sim Pek Kun sadar dari lamunannya. Setelah menghela napas perlahan,
barulah ia berkata: “Ku harapkan saja dia adalah kawan dari suamiku. Siapa pun bila dapat
berkenalan dengan seorang yang seperti dia tentu akan merasa senang.”
Sim Pek Kun tidak mengatakan Siauw Cap-it-long sebagai kawannya, hanya mengatakan
mungkin kawan dari suamiku. Ini lah pernyataan yang sangat tepat. Sebab, dengan kedudukan
yang dimiliki oleh Lian Seng Pek dan Sim Pek Kun sebagai orang-orang sopan, tentu saja dia
tidak boleh melakukan kesalahan, dan juga tidak boleh mengucapkan kata-kata salah atau
pembicaraan yang salah.
Liu Eng Lam berkata:
“Nyonya Lian tidak tahu nama dari orang itu ?”
Sim Pek Kun menggelengkan kepala. “Tidak” katanya.
Pang Tiauw Hui berpikir lama, dengan tiba-tiba saja ia berkata keras:
“Kukira orang tadi mungkin adalah Siauw Cap-it-long !”
Siauw Cap-it-long !
Selembar wajah Liu Eng Lam menjadi pucat pasi, lenyaplah semua warna darahnya, dia
berteriak kaget:
“Siauw Cap-it-long? Tidak mungkin kalau dia Siauw Cap-it-long !”
Pang Tiauw Hui menghela napas, kemudian berkata:
“Siauw Cap-it-long adalah seorang penjahat yang dapat membunuh orang tanpa berkedip,
tetapi dia memiliki ilmu kepandaian yang sangat tinggi, semua orang tahu akan hal ini. Belum
ada yang dapat menandinginya, jejaknya pun sangat sulit diikuti, asal usulnya tidak ada yang
tahu, hanya sedikit orang yang kenal dengannya”
Jago silat Golok Emas Pang Tiauw Hui adalah seorang jago kenamaan, walaupun demikian
terhadap Siauw Cap-it-long, ia pun tidak berani memandang rendah, kulitnya menggerinyut,
betapapun dia masih takut kepada Siauw Cap-it-long.
Keadaan Liu Eng Lam tidak banyak berbeda dengan keadaan kawannya itu, bibirnya menjadi
matang biru, saking takutnya kepada nama Siauw Cap-it-long. Tidak henti-hentinya dia

menyusut keringat yang mengucur terus-menerus.
Sim Pek Kun mengoyang-goyangkan kepala, dia tidak setuju kepada keputusan kedua orang
itu, dengan tawar ida berkata:
“Aku tahu benar, orang tadi bukannya Siauw Cap-it-long !”
Pang Tiau Hui menolehkan kepala memandang kepada sang nyonya cantik jelita dan
mengajukan pertanyaan:
“Bagaimana nyonya tahu ?”
Sim Pek Kun memberi penjelasan dengan kata-kata begini:
“Siauw Cap-it-long malang melintang dalam dunia rimba persialatan, dia dapat membunuh
orang tanpa berkedip, dia sangat kejam sekali. Tapi aku tahu benar, orang tadi bukanlah
seorang yang sangat kejam, bukan orang jahat, dia baik sekali. Itu aku tahu benar !”
Pang Tiauw Hui berkata:
“Dalamnya lautan masih mudah diduga. Tapi hati orang siapa tahu? Semakin jahat orang itu,
semakin gans pula tentu sifatnya. Semakin sulit pula dilihat sepintas lalu bagaimana
wataknya.”
Sim Pek Kun tertawa atas reaksi dan putusan Pang Tiauw Hui serta Liu Eng Lam, tentu saja
tidak dapat diterima oleh akalnya, karena itulah dia berkata lagi:
“Kegemaran Siauw Cap-it-long, tentu saja jiwa kalian berdua..............”
Tidak perlu diteruskan lagi kata-katanya Sim Pek Kun tadi, gamblang dan jelas sekali
maksudnya ialah: Kalau benar orang tadi betul-betul adalah Siauw Cap-it-long jangan
digembor-gemborkan orang sebagai tokoh iblis rimba persilatan yang sangat gemar
membunuh orang, jiwa Pang Tiauw Hui dan Liu Eng Lam pasti sudah dikirim ke dunia lain,
atau jelasnya mereka pasti dibunuh mati.
Liu Eng Lam demikian pun Pang Tiauw Hui, mereka sama-sama mengerti, apa yang
dimaksudkan oleh Sim Pek Kun tadi.
Terbukti bahwa Liu Eng Lam dan Pang Tiauw Hui tidak copot kepala, juga tidak menjadi
cedera, hanya pedang dan golok mereka yang dipatahkan oleh laki-laki gelandangan tadi.
Inilah sudatu bukti bahwa lawan itu bukan Siauw Cap-it-long.
Memang, sering kali terjadi kesalahpahaman-kesalahpahaman yang tidak masuk diakal.
Sering kali pula terjadi fitnah-fitnah yang busuk dijatuhkan atas diri orang baik-baik.
Demikian pula keadaannya Siauw Cap-it-long. Didalam rimba persilatan orang menyebutnya
sebagai Anak Berandalan, ada juga yang menyebutnya dengan nama julukan seram, Iblis
Tukang Bunuh Manusia, jago silat yang senang membunuh.
Untuk memecahkan ketegangan itu segera Liu Eng Lam berkata :
“Betul atau tidaknya orang tadi sebagai Siauw Cap-it-long, yang penting kita harus segera
membawa nyonya Lian pulang ke kampung.”
Pang Tiauw Hui menganggukan kepala, kemudian berkata cepat.”
“Betul, kita harus segera membawa nyonya Lian pulang ke kampung.”

Pang Tiauw Hui dan Liu Eng Lam menyilahkan Sim Pek Kun naik keatas tandu gotong yang
sudah tersedia.
Sim Pek Kun sudah bergegas-gegas hendak meninggalkan tempat itu, maksudnya ialah
hendak pulang ke kampung. Karena itu pulalah dia mau cepat-cepat naik kedalam tandu
gotong yang sudah disiapkan.
Dua wanita berbaju hijau dengan tangan dan kaki yang sangat cekatan, membawa tandu
gotong itu turun gunung.
Liu Eng Lam dan Pang Tiauw Hui mengikuti dibelakang mereka.
Jalan pegunungan tidak rata, berliku-liku dan naik turun tidak keruan macam, tapi dua wanita
berbaju hijau itu mempunyai kecepatan lari yang luar biasa, mereka membuat satu
keseimbangan badan yang cukup menarik, karena itu tidak terjadi sesuatu hal yang diluar
kemungkinan.
Mereka sudah jauh meninggalkan kelenteng bobrok yang rusak itu, juga meninggalkan jauh
pula daerah pegunungan, jalan sudah mulai kelihatan mendatar.
Sebentar lagi mereka akan tiba diperkampungan Sim-kee-tjhung.
Kalau saja mereka sudah sampai dalam perkampungan Sim-kee-tjhung, maka segala sesuatu
sudah menjadi beres, dan tak perlu penulis ceritakan pula kelanjutannya. Dalam keadaan
seperti ini, seharusnya Sim Pek Kun sangat senang, tetapi kenyataan tidaklah demikian.
Seolah-olah ada sesuatu yang mengganggu pikirannya, dia membiarkan Liu Eng Lam dan
Pang Tiauw Hui mengintil dibelakang tanpa mengajak mereka berbicara, walau sekecap
katapun juga.
Terbayang kembali sepasang sinar mata laki-laki gelandangan tadi, sangat aneh sekali.
Sepasang mata itu terlalu kurang ajar, wajahnyapun wajah seorang gelandangan, tapi biar
bagaimana Sim Pek Kun tidak dapat melupakannya.
Babak demi babak, terulang kembali hal-hal yang terjadi tadi.
Ingat benar Sim Pek Kun, bagaimana kejadiannya sewaktu Siauw Cap-it-long digencet oleh
Liu Eng Lam dan Pang Tiauw Hui, lalu Sim Pek Kun menjadi malu kepada diri sendiri, dia
berpikir: Mengapa aku malu berkawan dengan orang yang seperti itu? Sim Pek Kun merasa
berhutang budi kepada Siauw Cap-it-long, dan dia pernah berjanji bahwa dirinya hendak
menolong laki-laki gelandangan itu. Mungkinkah sudah lupa dia kepada janjinya sendiri? Sim
Pek Kun tidak berani berpikir terlalu lama.
Sim Pek Kun dijunjung orang, tapi tidak satupun orang2 itu yang dapat memelihara
persahabatan baik dengan dirinya.
Belum pernah dia mempercayakan sesuatu kepada seseorang.
Sering kali terjadi, untuk kepentingan diri sendiri, orang2 itu mengorbankan kepentingan
orang lain. Sim Pek Kun tidak sependapat dengan mereka. Dan kini dia sedang melakukan
sesuatu yang bukan menjadi kehendak hatinya, dia tidak mau mengaku bahwa laki-laki yang
sudah pernah memberikan pertolongan kepada dirinya itu adalah kawannya, Sim Pek Kun
menyangkal keras Siauw Cap-it-long sebagai kawannya.
Sim Pek Kun merasa malu kepada dirinya sendiri. Sim Pek Kun merasa bersalah kepada
Siauw Cap-it-long.

Dibawah kaki gunung sudah menantikan sebuah kereta berkuda. Orang yang menjadi kusir
kereta bertudung lebar dipasang sedemikian rupa sehingga tidak dapat terlihat jelas
bagaimana rupa wajahnya, mungkin sengaja dia berbuat begini supaya orang tidak dapat
melihat wajahnya.
Dua wanita berbaju hijau yang menggotong tandu dimana ada duduk Sim Pek Kun, tiba2
meletakkan usungan itu.
Sim Pek Kun keluar dari tandu gotong.
Kusir kereta yang bertudung lebar itu menghampiri Sim Pek Kun, membungkukkan badan
dan berkata:
“Tentunya nyonya Lian sudah kaget sekali bukan?”
Suatu ucapan yang biasa saja tapi tidak sepatutnya diucapkan oleh seorang tukang tarik
kereta.
Dari bentuk, cara dan adat istiadat itu, Sim Pek Kun sudah mulai merasakan sesuatu yang
tidak beres, dia mulai menaruh curiga.”
Pang Tiauw Hui dan Liu Eng Lam tidak berani datang terlalu dekat, seolah2 mempunyai
kedudukan yang berada dibawah kusir kereta itu.
Kusir kereta yang bertudung lebar memandang kepada dua wanita berbaju hijau dan berkata
kepada mereka:
“Bantu nyonya Lian naik keatas kereta. Kita harus cepat.”
Dengan diiringi oleh dua orang wanita berbaju hijau itu Sim Pek Kun naik keatas kereta.
Pang Tiauw Hui dan Liu Eng Lam memisahkan diri dari kereta berdiri sangat jauh sekali.
Sim Pek Kun semakin tambah curiga, maka dia memandang kepada kedua orang itu dan
berkatalah mereka:
“Kalian tidak berkuda?”
Pang Tiauw Hui dan Liu Eng Lam menundukkan kepala mereka, sangat rendah kebawah.
Sim Pek Kun berkata lagi:
“Mengapa kalian tidak naik serta kedalam kereta?”
Pang Tiauw Hui dan Liu Eng Lam tidak berani mendongakkan kepala mereka, seolah2 dua
orang pesakitan yang merasa bersalah.
Dan waktu itulah tiba2 si kusir kereta berkata lagi:
“Kamipun sudah cukup menjamin keselamatan nyonya Lian, tidak membutuhkan bantuan
mereka lagi.”
Yang diartikan oleh kusir kereta itu ialah tidak membutuhkan tenaga bantuan Pang Tiauw Hui
dan Liu Eng Lam. Kalau begitu, kedudukan kedua orang tersebut jelas masih berada dibawah
sikusir kereta.

Sim Pek Kun memperhatikan wajah kusir kereta itu, sebagian besar tertutup oleh tudung
lebar, maka ia jadi tidak dapat membedakan bentuk dan raut wajah orang tersebut.
Nama jago silat Golok Emas Pang Tiauw Hui dan Bu yu kiam khek Liu Eng Lam sangat
tersohor, seharusnya kedudukkan mereka diatas kusir kereta itu, tapi keluarnya ucapan yang
berupa perintah tadi, seolah olah sudah mnejadi atasan kedua orang tersebut, dan inilah
ketidak wajaran.
Sim Pek Kun memandang tukang kereta dan bertanya :
“Kau siapa?”
“Kusir kereta.”
Sim Pek Kun bertanya lagi:
“Dimana kau bekerja?”
“Dirumah keluarga Lian.” jawab pula orang itu.
“Di rumah keluarg Lian?” Sim Pek Kun menanti ketegasan.
Kusir kereta yang bertudung lebar menganggukkan kepala. “Betul” dia membenarkan
pertanyaan SIm Pek Kun.
Sim Pek Kun berkata lagi:
“Berapa lamakah kau bekerja, mengapa aku belum pernah melihat kau?”
Orang itu bungkam, dan memperlihatkan ketidak puasan, lalu tiba-tiba berkata :
“Banyak sekali pertanyaan-pertanyaan yang seharusnya tidak diucapkan, dan salah satu
pertanyaan itu ialah pertanyaan nyonya Lian tadi. Banyak tanya akan mengakibatkan banyak
kerewelan.”
Sim Pek Kun belum dapat melihat dengan jelas wajah orang itu, tapi rasa curiganya semakin
besar lagi, kini dia menduga pasti bahwa ada sesuatu yang tidak beres, karena itu ia berteriak
kepada Liu Eng Lam dan Pang Tiauw Hui:
“Pang Tayhiap, Liu kongcu, siapa sebenarnya orang ini ? Dan apa sebetulnya yang sudah
terjadi ?”
Pang Tiauw Hui mengeluarkan batuk keringnya, tetap tidak berani mendongakkan kepala,
dengan gugup berkata :
“Teng.... teng...”
Pang Tiauw Hui dan Liu Eng Lam tidak mempunyai keberanian untuk mengatasi kesulitan
itu.
Si kusir kereta menekuk wajahnya, segera dia membentak kepada kedua wanita berbaju hijau :
“Tunggu apa kalian. Lekas tutup pintu kereta.”
Dua wanita berbaju hijau itu segera lompat naik keatas kereta, tangan dan kaki mereka
memang cekatan, gesit sekali.

Sim Pek Kun berusaha melepaskan diri, tapi dia tidak berhasil, karena itulah dia berteriakteriak
:
“Berani kalian berlaku kurang ajar dihadapanku ?”
Dan berteriak kepada Pang Tiauw Hui.
“Pang Tiauw Hui, sebagai kawan Lian Seng Pek, mengapa kau membiarkan mereka
memperlakukan istrinya seperti ini ?”
Pang Tiauw Hui menundukkan kepala semakin rendah, seolah-olah ditanah ada sesuatu yang
menarik hatinya, dia seperti sudah menjadi bisu dan tuli.
Kusir kereta lompat naik keatas tempat duduknya, dengan dingin ia berkata,
“Setelah nyonya bertemu dengan kongcu kami, segala sesuatu pasti akan lekas menjadi
beres.”
Sim Pek Kun mengeluarkan suara melengking tinggi:
“Kongcumu? Mungkinkah kongcu kecil yang ganas dan telengas itu?....”
Terpikir kepada pemuda kecil yang sangat telengas dan binal sekali, satu perasaan dingin
merangsang tubuh Sim Pek Kun, tubuhnya menjadi gemetar lagi.
Kusir kereta tidak melayaninya, dan memandang kepada Pang Tiauw Hui dan Liu Eng Lam
serta berkata kepada mereka :
“Pang Tayhiap, Liu kongcu, segeralah kalian berangkat.”
Tanpa menunggu reaksi mereka lagi, kusir kereta itu sudah siap menjalankan keretanya.
Wajah Liu Eng Lam yang sudah pucat pasi itu, selalu matang membiru, dan disaat inilah tibatiba
dia membalikkan badan, dari tangan kirinya tiba-tiba meluncur dua benda rahasia
mengancam dua wanita berbaju hijau. Tangan kanannya melempar sebuah belati langsung
kearah kusir kereta tadi.
Gerakan Liu Eng Lam ini sangat cepat sekali, juga tepat dan kejam.
Kusir kereta dan kedua orang wanita berbaju hijau tidak menyangka kalau bakal terjadi hal
tersebut, dikala mereka sadar senjata-senjata rahasia itu sudah mengenai sasaran. Setelah
terdengar tiga kali jeritan tertahan, tiga orang lantas kelihatan menggeletak di tanah.
Liu Eng Lam berhasil menolong Sim Pek Kun dari gangguan ketiga orang yang mau
menculiknya.
Sim Pek Kun juga terkejut, ketika kusir kereta itu jatuh jumpalit tudungnya yang lebar
terbuka, dan itulah wajah kepala salah satu dari anak buah Siao kongcu, yang sangat ditakuti.
Sebelum menghembuskan napas yang terakhir, kusir kereta itu masih sempat mengeluarkan
ancaman kepada Liu Eng Lam :
“Kau.... kau.... berani kau ...” napasnya tersendat dan dalam keadaan demikianlah dia
mengakhiri riwayat hidupnya.
Disaat itu si kusir kereta sudah menyambuk kuda, maka keretapun berangkat, dikala dia jatuh
tepat sekali tubuhnya tergilas oleh keretanya sendiri.

Tubuh Liu Eng Lam sudah melesat terbang sangat tinggi sekali, dan dengan satu gebrakan dia
sudah lompat ditempat duduk sang kusir, dengan cekatan dia menarik les kuda itu, kereta
berhenti segera,
Pang Tiauw Hui mendekatinya perlahan-lahan sekali, dengan membanting-banting kaki dia
berkata :
“Liu Eng Lam.... kau.... kau sangat berani sekali.... Tidak terpikirkah olehmu, bahaya apa
yang sekiranya bisa mengancam kita semua?”
Liu Eng Lam meringis.
“Oh, oh,....”
Pang Tiauw Hui berkata lagi:
“Aku tidak mengerti, apa yang menjadi maksud tujuanmu. Bukankah kau cukup mengerti apa
yang akan dilakukan oleh siao Kongcu kepada orang2 yang berani berkhianat kepadanya?”
Liu Eng Lam mengepalkan kedua tangannya, kemudian berkata dengan perlahan:
“Kedudukan kita sudah kejepit sekali”
Pang Tiauw Hui berkata lagi:
“Tentu saja terjepit, karena kau berani menentang Siao Kongcu.”
Liu Eng Lam berkata:
“Tapi kau juga tidak lepas dari tanggung jawab ini”
Pang Tiauw Hui berkata:
“Aku tahu. Aku terseret kedalam jurang kesusahan.... inilah gara gara perbuatanmu. Tapi....
tapi.... apa yang menyebabkan sampai kau berani berbuat seperti ini?”
Liu Eng Lam menoleh kearah Sim Pek Kun dikereta, dengan sepatah demi sepatah dia
berkata:
“Biar bagaimana aku tidak akan membiarkannya terjatuh kedalam rombongan tangan iblis
jahat itu.”
Sampai ini waktu, ketegangan Sim Pek Kun mulai mereda, urat syarafnya yang ditekan terus
menerus, hampir menjadi kejang karenanya.
“Liu kongcu...” dia berkata kepada Liu Eng Lam, suaranya terharu, “Aku... berterima kasih
kepadamu.”
Dan dia menoleh serta memandang kepada Pang Tiauw Hui, sekejap kata tidak dikeluarkan
olehnya.
Jago Silat Golok Emas Pang Tiauw Hui tidak memberikan reaksi sesuatu apa, setelah
menghela napas ia berkata:
“Aku tahu, kau sakit hati kepadaku.”

Sim Pek Kun mengeretek gigi, mulutnya sudah berkatup2 seolah-olah hendak mengucapkan
sesuatu, tapi kata2 itu tidak keluar dari mulutnya, itulah kata yang kejam bagi Pang Tiauw
Hui, karena tidak mau menyakiti hati lebih dalam lagi, maka ditelannya kembali kata2 tadi.
Pang Tiauw Hui menghela napas kembali, menundukkan kepala dan berkata dengan suara
rendah:
“Bukan maksudnya tidak mau menolong, tapi apa guna menolongmu? Kau, Liu Eng Lam dan
aku bertiga andaikan menjadi satu, juga bukan tandingannya Siao Kongcu seorang. cepat atau
lambat pasti kita akan terjatuh ketangan mereka. Karena itulah lebih baik kita menyerah saja.”
Teringat akan tangan kejamnya Siao Kongcu ini, Pang Tiauw Hui menggigil dingin, seram
sekali.
Sim Pek Kun berkata gemas:
“Ternyata kalian juga menjadi begundal begundalnya?”
Liu Eng Lam menggoyangkan kepala, segera dia memberi penjelasan:
“Lian-hujin jangan salah mengerti, kami bukan anak buah Siao-kongcu.”
Sim Pek Kun berkata:
“Mengapa kalian mau mendengar perintahnya …?”
“Kami … kami …” Liu Eng Lam tidak meneruskan kata-katanya.
Pang Tiauw Hui berkata:
“Inilah mendapat tekanannya.”
Sim Pek Kun berkata lagi:
“Pantas kalian tahu bahwa aku berada dalam kelenteng rusak itu. Ternyata atas perintah Siaokongcu
itu.”
Pang Tiauw Hui menganggukkan kepala, dengan perlahan dia berkata:
“Bila tidak ada petunjuk orang, bagaimana kami tahu bahwa Lian-hujin berada didalam
kelenteng itu?” Sim Pek Kun belum keluar dari keretanya, dan kepada kedua orang itu dia
berkata perlahan: “Ternyata kalianlah yang bersalah, kalian bukanlah kawan sejati, laki-laki
kotor itulah yang telah kupersalahkan, ternyata hatinya lebih bersih dari hati kalian berdua
…”
Sim Pek Kun memberi penilaian lain kepada Siauw Cap-it-long!
Untuk menolong nyonya cantik-jelita itu Liu Eng Lam sudah mempertaruhkan jiwanya, tapi
hanya sebaris kalimat ucapan terima kasih saja yang diterima olehnya, dan sesudah itu Sim
Pek Kun memberi pujian kepada seorang laki-laki yang asing dan belum dikenalnya. Karena
inilah dia tidak puas, dengan dingin dia berkata:
“Terima kasih … orang itupun bukan orang baik, mana kau tahu dia mengandung maksud
sesuatu yang tertentu!”
Pang Tiauw Hui menekuk wajahnya, bergumam kepada kawan tersebut:

“Seperti kau juga.”
Liu Eng Lam menolehkan kepala, ia membentak:
“Aku? Mengapa kau menyebut diriku?”
Pang Tiauw Hui tertawa dingin, kemudian berkata:
“Jangan kau sangka aku tidak tahu maksud-maksud tertentu dari tujuanmu, heh? Sudah lama
kuduga akan terjadinya peristiwa yang seperti ini.”
“Saat apa?” bertanya Liu Eng Lam.
Dengan geram Pang Tiauw Hui berkata:
“Sudah lama aku tahu bahwa kau gemar sekali pada paras cantik, tapi matipun tidak kuduga
semula, bahwa kau berani mengatasi nyonya cantik-jelita ini, berani kau menanggung-jawab
dari segala akibatnya. Berpikirlah kembali. Apa kiramu Lian Seng Pek mau tinggal peluk
tangan bila sampai diketahuinya nyonyanya diganggu olehmu?”
Dikala Sim Pek Kun hampir dibawa lari oleh kusir kereta Siao kongcu itu, Pang Tiauw Hui
berpeluk tangan, tidak memberi bantuan, tapi Liu Eng Lam mempertaruhkan jiwanya, dan
membunuh dua wanita berbaju hijau serta kusir bertudung lebar itu, karena inilah Sim Pek
Kun lebih simpatik pada Liu Eng Lam. Kini nama dan jiwa Liu Eng Lam dicemoohkan orang,
tentu saja dia marah, segera dia membentak :
“Pang Tiauw Hui, jangan kau mengucap yang bukan-bukan ! Liu kongcu bukanlah orang
yang seperti kau sebutkan itu !”
Pang Tiauw Hui tertawa dingin, kemudian berkata :
“Jangan kau kira ia seorang baik. Terus terang kukatakan padamu, pada waktu-waktu
belakangan ini, setiap bulan perawan perawan dan gadis-gadis cantik jatuh kedalam
tangannya, wanita-wanita yang dipermainkan dan dijebloskan kedalam lumpur kenistaan oleh
Liu Eng Lam, paling sedikit ada sepuluh orang, atau sekurang-kurangnya belasan, tidak ada
orang yang tahu, perbuatan siapa yang jahat itu. Tapi aku tahu, itu adalah perbuatan Bu yu
Kiam-khek Liu Eng Lam ini !”
Pernah juga Sim Pek Kun mendengar cerita adanya seorang tokoh silat yang gemar pada
paras cantik, tukang merusak kehormatan wanita dan gadis gadis perawan, tapi Sim Pek Kun
tidak tahu siapa tokoh silat itu. Hanya orang menduga kepada Siauw Cap-it-long, mengingat
nama Siauw Cap-it-long yang sudah jelek itu, dan Siauw Cap-it-long tidak berusaha
menampilkan dirinya untuk mencuci tuduhan tuduhan tadi. Karena itulah dugaan kepada
Siauw Cap-it-long semakin keras.
Kalau begitu, orang yang mengganggu kesucian gadis-gadis dan perawan-perawan itu adalah
Liu Eng Lam.
Mungkinkah ada kejadian seperti ini ?
Sim Pek Kun tertegun. Ia memaku di tempatnya. Entah apa yang sedang dipikirkan olehnya.
Dicuci maki didepan seorang wanita yang cantik jelita, tentu saja Liu Eng Lam menjadi
marah, dengan tiba-tiba saja ia menggeram keras, disertai dengan suara bentakannya :
“Pang Tiauw Hui, jangan kau berlaku kurang ajar ! Kau sendiri manusia apa sebetulnya ? Bila

tidak ada bantuanku, kau kira kau bisa....”
“Bantuan siapa ?” tanya Pang Tiauw Hui “Bantuan kau kah ? Tidak tahu malu, rahasiarahasiamu
ini jatuh ketangan Siao kongcu dan Siao kongcu memberi tahu kepadaku, karena
itulah aku tahu.”
Liu Eng Lam membentak :
“Kau kira aku tidak tahu rahasia-rahasiamu ? Aku tahu Siao kongcu juga pernah berkata
kepadaku tentang kesalahan-kesalahanmu.”
Pang Tiauw Hui membentak keras :
“Fitnah ! Kesalahan apa yang aku perbuat ? Jangan kau sembarang memfitnah, katakan segera !”
Liu Eng Lam berkata tenang :
“Tentu saja, sekarang tidak ada yang berani mengganggu atau mengutak-utikmu. Karena kau
adalah seorang hartawan yang ternama, kau adalah seorang tokoh silat yang ternama, kau
mempunyai perusahaan Piauw kiok yang ternama. Sayang kekayaan dan perusahaanmu itu
didapat secara tidak halal. Jangan kau kira aku tidak tahu, dengan cara membuka perusahaan
Piauw kiok itu secara menggelap kau mengadakan pembunuhan-pembunuhan, kau
mengadakan perampokan perampokan, caramu ini terlalu licik sekali. Kau membunuh orang
yang mempercayakan barang itu kepadamu. Kau membunuh orang yang mengirimkan harta
benda kepadamu. Dengan demikian harta kekayaan dan uang-uang mereka itu jatuh kedalam
tanganmu. Kau melakukan perbuatan-perbuatan ini secara sembunyi-sembunyi; Jangan kira
tidak ada yang tahu, heh ! Aku tahu, Siao kongcupun tahu....”
Pang Tiauw Hui melompat bangun, dia membentak dengan suara keras :
“Anjing kau.... binatang kau....”
Pang Tiauw Hui dan Liu Eng Lam adalah dua tokoh silat kenamaan, mereka adalah jago-jago
yang sangat berwibawa, pakaian dan dandanan mereka beserta juga tingkah laku mereka
adalah tingkah laku seorang sopan yang terpuji, sangat hormat sekali, tapi dalam keadaan
yang seperti sekarang ini seolah-olah sudah seperti dua ekor anjing gila, saling cakar, saling
maki, dan saling caci.
Perdebatan masih berlangsung terus.
Pang Tiauw Hui membentak lagi :
“Kau manusia anjing, kerjamu merusak wanita suci ! Tidak adillah rasanya Tuhan
memelihara manusia seperti kau ini !”
Denga suara yang tidak kalah geramnya, dengan nada yang tidak kalah tingginya, Liu Eng
Lam segera membalas :
“Kau bajingan tengik.... kau perampok ulung.... manusia berselimut serigala.... Tuhan wajib
mengutuk dirimu, cukuplah sudah waktunya kau harus mati !”
Jago Golok Emas Pang Tiauw Hui membentak lagi :
“Kau adalah seorang kongcu hidung belang ! Liu Eng Lam, betul-betul kau gila pipi licin,
melihat nyonya Lian Seng Pek, timbul niatan jahatmu, sehingga berani menentang perintah
Siao kongcu ! Lupakah kau kepada kekejaman Siao kongcu, karena perbuatan kau ini, aku
dapat terseret olehmu ! Kematian sudah berada diambang pintu untukmu.”

Liu Eng Lam berkata lagi :
“Kau hendak mencuci diri ?”
“Tentu.” berkata Pang Tiauw Hui. “Aku tidak turut serta dalam penghianatanmu ini, hanya
kau yang membunuh ketiga orangnya, bukan aku.”
“Tapi Siao kongcu tidak mau perdulikan soal itu. Kukira, lebih baik kau bekerja sama
denganku.” bujuk Liu Eng Lam.
“Tidak !” Pang Tiauw Hui menolak “Siapa kesudian harus bekerja sama dengan orang kotor
seperti kau ?”
“Lalu kau mau apa ?”
“Menangkap dan menyerahkan dirimu kepada Siao kongcu !” bentak Pang Tiauw Hui.
“Kau mampu ?” Liu Eng Lam menantang.
“Mengapa tidak ?” Pang Tiauw Hui sudah mengeluarkan goloknya.
Persiapan pertempuran segera terjadi. Liu Eng Lam mengeluarkan pedangnya. Dua jago itu
sudah bersitegang keras sekali.
Dari dua jago yang ternama menjadi dua ekor anjing gila, Pang Tiauw Hui dan Liu Eng Lam
bertempur. Satu dengan golok ditangan dan satu dengan pedang, mereka sudah mulai
bertempur.
Nyonya cantik jelita Sim Pek Kun mengikuti perdebatan mereka tadi, dan kini dibiarkan lagi
kedua jago itu bertempur.
Angin menderu-deru, sinar pedang dan golok berkilat-kilat, menggulung kedua jago yang
masing-masing mempunyai pendirian lain, pertempuran itu berjalan hebat sekali.
Sim Pek Kun dilahirkan dalam suatu keluarga besar yang berkepandaian silat, sedikit banyak
ia dapat memberi ukuran yang agak tepat, pertempuran Liu Eng Lam dan Pang Tiauw Hui
tidak mungkin selesai dalam waktu yang singkat, karena tenaga dalam mereka dan tipu-tipu
silat mereka seimbang. Paling sedikit harus memakan waktu tiga ratus jurus, baru dapat
diselesaikan.
Dua orang yang bertentangan pendapat bertempur hebat, Liu Eng Lam hendak menolong si
cantik jelita Sim Pek Kun karena ia sayang kepada kecantikan nyonya itu, dan hendak
digunakan sendiri, tidak mau diserahkan kepada Siao kongcu.
Pang Tiauw Hui masih takut kepada kekuasaan Siao kongcu, maka dia tidak mau diturut
sertakan didalam pemberontakan tadi. Dan dengan maksud menangkap Liu Eng Lam dia
dapat menarik pahala lain.
Sim Pek Kun mengertek gigi, ia tahu bahaya yang sedang mengancam dirinya, maka biar
bagaimana dia harus berusaha meninggalkan tempat itu.
Sim Pek Kun membuka jendela kereta, dan disana terdapat bangsal tempat duduk si kusir,
diangkatnya bangsal tempat duduk itu dan dilempar kearah kuda.
Terdengar ringkikan kuda yang merasa sakit terkena pukulan bangsal tempat duduk tadi,
empat kaki kuda terangkat naik dan kabur pergi, gerakan ini disertai oleh kuda disampingnya,
dengan membawa kereta yang terdapat Sim Pek Kun, kaburlah binatang-binatang itu.

Kejadian ini tidak disadari oleh Liu Eng Lam dan Pang Tiauw Hui.
Kereta yang membawa Sim Pek Kun lari kencang.
Kuda yang menarik kereta berlari semakin keras, keadaannya sangat berbahaya, tapi Sim Pek
Kun membiarkan kejadian itu berlangsung terus, ia tidak berusaha menghentikannya dan juga
tidak berusaha lompat keluar dari kereta.
Dia lebih suka mati tertumbuk batu atau terpelanting jatuh, dia tidak bersedia jatuh ketangan
Liu Eng Lam. Liu Eng Lam adalah Kongcu hidung belang, kongcu yang sering memperkosa
wanita.
Goncangan kereta yang tidak terkendalikan itu sangat keras sekali, Sim Pek Kun diobrakabrikkan
didalam kereta, kakinya yang mulai kejang terasa sangat sakit, tapi dia
membiarkannya begitu saja.
Sengsara badan yang dirasakan olehnya tidak berarti bilamana dibandingkan dengan suara
hati yang tidak terperihkan itu.
Seseorang yang hendak menunggu ajal kematiannya sering berpikir yang bukan-bukan dan
sering berpikir kejadian-kejadian yang aneh, sering berpikir tentang sesuatu yang belum
pernah terpikir olehnya.
Dan kejadian ini, bayangan yang terpikir oleh Sim Pek Kun bukan bayangan ibu bapaknya
juga bukan bayangan suaminya, itulah suatu bayangan yang sangat asing, bayangan seorang
laki-laki dengan pakaian yang compang-camping, dengan sepasang matanya yang liar dan
nakal menatap kearahnya, itulah Siauw Cap-it-long.
Kalau saja tadi dia mau percaya keterangan laki-laki itu, tidak akan mungkin dapat terjadi
kejadian seperti ini.
Inilah suatu kesalahan. Suatu kesalahan yang membawa akibat panjang, dan dia harus
menerima akibat-akibatnya sekarang.
Lenyap bayangan Siauw Cap-it-long baru terpeta bayangan Lian Seng Pek.
Kalau saja suami itu bersedia mendampingi dirinya, mana mungkin dapat terjadi kejadiankejadian
yang seperti ini ?
Tidak mungkin. Lian Seng Pek mempunyai ilmu kepandaian yang tinggi, dan sang suami itu
cukup untuk menjamin keselamatan dirinya. Sim Pek Kun memberi sesalan yang tidak
terhingga kepada Lian Seng Pek.
Timbul suatu niatannya yang berontak pada kenyataan, dia pikir : Bilamana aku dinikahkan
dengan seseorang biasa saja, bukan seorang jago silat seperti Lian Seng Pek, takkan mungkin
semua ini terjadi. Hidupku tenang tidak bergelombang, dan cukup puas setiap hari didampingi
oleh seorang suami yang sangat mencinta.
Terbayang kembali wajah laki-laki bermata liar itu. Nah, bayangan Siauw Cap-it-long lagi.
Suatu perbandingan yang menyolok mata sifat-sifat Lian Seng Pek dan Siauw Cap-it-long
berbeda sekali.
Sim Pek Kun berpikir :

“Kalau aku kawin dengan laki-laki itu, tentunya tidak seperti Lian Seng Pek yang lebih
mementingkan usaha daripada istri sendiri....”
Inilah akibat suatu pikiran yang sudah berontak kepada kenyataan, entah bagaimana Sim Pek
Kun mempunyai pikiran yang bukan-bukan, mungkinkah dia dapat kawin dengan Siauw Capit-
long ?
Kereta masih berguncang terus, kaki-kaki kuda berketoprakan ditanah, membawa
penumpangnya lari tanpa tujuan.
Apapun tidak dipikir kembali oleh Sim Pek Kun, dia memeramkan matanya, dan bersedia
menerima kematian. Mati jatuh kedalam jurang, atau tertumbuk kebatu besar, adalah lebih
baik dari pada jatuh kedalam tangan Liu Seng Lam.
Tiba-tiba … Terdengar satu suara benturan yang sangat keras, kereta itu rusak dan jatuh
jumpalitan.
Nasib Sim Pek Kun belum ditakdirkan mati, kebetulan sekali tubuhnya terpelanting pada daun
pintu kereta, pintu itu terjeblak terbuka dan tubuh si nyonya cantik-jelita jatuh, jatuhnyapun
demikian tepat, ia jatuh diatas rumput-rumput yang tebal, walaupun sangat sakit sekali, dia
tidak sampai mati.
Ternyata kuda itu telah menyeret kereta menubruk sebuah pohon besar, dan hanya dengan
sisa kayu-kayu kereta saja sang kuda masih melarikan diri terus meninggalkan kereta yang
sudah hancur rusak ditempat itu.
Sim Pek Kun terbaring didalam keadaan yang sakit sekali.
Dimisalkan Sim Pek Kun tidak terlempar keluar dari kereta itu, sudah pasti jiwanya melayang
pergi. Inilah peruntungannya yang masih bagus.
KAWIN PAKSA
SIM PEK KUN tidak segera bangkit dari tempat jatuhnya semula, dia terbaring ditempat itu
beberapa lama, dengan memejamkan kedua matanya.
Dikala Sim Pek Kun membuka kedua matanya, dia menyaksikan suatu pemandangan yang
menakutkan. Didepannya berdiri seseorang, itulah Liu Eng Lam.
Liu Eng Lam sudah berdiri di depan Sim Pek Kun, tapi wajahnya sudah berlainan sama
sekali, gerak geriknya bukanlah gerak gerik yang tadi diperlihatkan.
Pipi Liu Eng Lam sudah matang biru, bengap seperti habis dipukul orang, tubuhnya
menggigil seperti orang kedinginan, seolah-olah takut kepada Sim Pek Kun.
Mengapa Liu Eng Lam takut kepada Sim Pek Kun?
Inilah yang sedang dipikirkan oleh si nyonya cantik jelita. Seharusnya dialah yang takut
kepada kongcu hidung belang itu.
Lama sekali Liu Eng Lam berdiri, lalu perlahan-lahan dia menghampiri korbannya.
Yang heran ialah wajah Liu Eng Lam tidak memperlihatkan satu wajah yang riang gembira,
seolah-olah napsu birahinya sudah lenyap sama sekali. Gerakannya sangat lambat, seolaholah
dibanduli oleh besi yang beratnya ratusan kilo.
Sim Pek Kun menjadi begitu takut, segera dia hendak melarikan diri, tapi tidak berdaya. Ia

hendak bangkit dan berjalan, tapi segera jatuh lagi.
Liu Eng Lam maju tiga tapak lagi.
Sim Pek Kun segera membentak:
“Berhenti! Berani kau maju setapak lagi, segera aku bunuh diri di hadapanmu.”
Kongcu hidung belang Liu Eng Lam ternyata bisa dengar kata, betul-betul dia berhenti. Tidak
maju lagi.
Sim Pek Kun mengeluarkan keluhan napas lega. Apa yang menyebabkan perubahan Liu Eng
Lam? Mengapa dia begitu jinak?
Jawaban ini sangat sulit diduga, sebab saat inilah tiba-tiba terdengar satu suara, datangnya
dari arah Liu Eng Lam:
“Jangan takut, dia tidak mungkin mati, dia juga tidak mungkin bisa bunuh diri. Siapakah yang
bisa mati tanpa ijin dariku?”
Suara ini sangat merdu, berwibawa, inilah suara si anak kecil yang jahat itu, Siao kongcu!
Kata-kata Siao kongcu ditujukan kepada Liu Eng Lam.
Wajah Liu Eng Lam berubah, rasa takutnya hinggap terulang kembali. Betapa kejamnya Siao
kongcu itu, ia sudah tahu betul.
Bukan sekali ini Sim Pek Kun mendengar suara Siao kongcu, berulang kali dia pernah
mendengarnya, itulah suara yang paling menyeramkan.
Sangat masuk di akallah bila Liu Eng Lam ketakutan setengah mati, ternyata Siao kongcu
berada di belakangnya.
Bentuk tubuh Siao kongcu terlalu kecil, ia berada di belakang tubuh Liu Eng Lam, karena
itulah Sim Pek Kun jadi tidak dapat melihatnya.
Adanya Siao kongcu di tempat ini betul-betul memaksa Sim Pek Kun tidak bisa mati.
Didepan Siao Kongcu yang berkepandaian tinggi, siapa yang bisa bunuh diri ?
Terlihat satu bayangan kecil melesat, tahu-tahu Siau Kongcu sudah berada didepan Sim Pek
Kun, dengan tertawa haha hihi, dengan suara yang seperti manis budi, gadis berpakaian pria
ini berkata :
“Nyonya-ku yang baik, jangan harap kau bisa mati, kau akan lebih sengsara lagi. Kukira kau
sedang berada dalam keadaan kesepian, maksudku ialah memberi kau seorang kawan untuk
mendampingimu.”
Siao Kongcu mengenakan baju luar berwarna merah, diatas kepalanya hitam jengat bertudung
kopiah kuning emas, tertiup angin dan bergoyang-goyang, wajahnya yang putih bersemu
kemerah-merahan itu benar-benar bisa membuat orang terpikat kepadanya. Seharusnya orang
yang seperti ini adalah orang yang menarik hati.
Kenyataan tidak. Menyaksikan munculnya Siao Kongcu ditempat itu membuat Sim Pek Kun
ketakutan sekali, seolah-olah bertemu dangan ular yang sangat berbisa, seekor binatang yang
paling ditakuti didalam dunia. Dengan suaranya yang gemetaran Sim Pek Kun berkata :

“Permusuhan apakah yang pernah terjadi di antara kita ? Mengapa kau menggangguku selalu
?”
Siao Kongcu tertawa, dengan sikapnya yang manis dia berkata :
“Justru karena belum pernah terjadi permusuhan antara kita, aku jadi harus membuat satu
sengketa baru lebih dahulu. Dan karena kita tidak bermusuhan, aku tidak dapat membiarkan
kau mati bunuh diri.”
Kemudian Siao Kongcu menoleh kearah Liu Eng Lam, dan menggapaikan tangannya kepada
kongcu hidung belang itu :
“Hayo..... Kemari..... mengapa kau berdiri seperti patung disana ? Kau sudah dewasa, bukan ?
Mengapa harus malu ?”
Liu Eng Lam menundukkan kepala lalu setapak demi setapak dia melangkah, dengan tindakan
berat dia maju kedepan.
Liu Eng Lam sudah berkhianat kepada Siao Kongcu, tapi Siao kongcu tidak membunuhnya,
inilah suatu kejadian yang janggal sekali.
Siao kongcu bukanlah tokoh silat yang mudah dihadapi, entah apa yang sedang dipikirkan
olehnya ? Liu Eng Lam lebih suka mati didalam tangan jago kecil ini, terlalu kejam sekali dia
menganiaya orang.
Siao kongcu sudah berdiri didepan Sim Pek Kun, dan Liu Eng Lam pun mendampingi
mereka. Waktu itulah Siao kongcu tiba-tiba menggoyang-goyangkan kepalanya, dengan suara
yang sangat merdu didengar dia berkata :
“Nah, bagaimana kau tidak berhati-hati sehingga membiarkan orang memukul kedua pipimu
seperti ini ?”
Orang yang belum mengenal kepribadian Siao kongcu; tentu akan menduga bahwa kedua pipi
Liu Eng Lam yang sudah rusak itu adalah hasil kerja orang lain. Tapi kenyataannya tidaklah
demikian, itulah hasil buah tangan Siao kongcu sendiri.
Dari dalam saku bajunya Siao kongcu mengeluarkan sebuah sapu tangan putih, dihampirinya
Liu Eng Lam dan menggosok-gosokkan sapu tangan itu pada kedua pipi si kongcu hidung
belang. Gerakannya sangat luwes sekali, seolah-olah seorang ibu yang sangat prihatin kepada
putranya.
Liu Eng Lam menyengir, seolah-olah hendak dipaksakan tertawa. Tapi mungkinkah dia dapat
tertawa ? Keadaannya lebih menyedihkan dari pada kalau dia menangis. Lebih buruk dari
pada wajah seorang yang menangis.
Setelah selesai mengusap-usap kedua pipi Liu Eng Lam yang matang biru itu, Siao kongcu
menggibrik-gibrikkan baju Liu Eng Lam juga. Dan dibersihkannya dengan baik sekali. setelah
itu dia berkata :
“Nah, dengan memaksakan diri didalam keadaan seperti ini kau dapat bertemu dengan orang.
Tapi lain kali berhati-hatilah jangan sampai terpukul wajahmu sendiri, wajah tampan adalah
modal penting.”
Liu Eng Lam menganggukkan kepala, seolah-olah boneka hidup saja. Dia membiarkan
dirinya dikendalikan oleh Siao kongcu.

Liu Eng Lam mempasrahkan diri, Sim Pek Kun juga pasrahkan nasib dia pejamkan kedua
belah matanya dan menunggu tindakan-tindakan selanjutnya.
Melihat kedua mata Sim Pek Kun yang dipejamkan, wajah Siao kongcu berubah, segera dia
membentak :
“Buka matamu, dan dengarlah perintahku. Bila ku ajukan suatu pertanyaan, jawablah dengan
terus terang. Jangan kau main gila ! jangan menbuat aku marah, ya ! Bila sampai terjadi
sesuatu, umpamanya kusobek atau kucopot pakaianmu, apakah yang akan terjadi ? Disitu
akan timbul suatu manusia cantik jelita telanjang bulat, itulah kau. Berpikirlah baik-baik!”
Sebelum ucapan tadi selesai dikeluarkan, kedua mata Sim Pek Kun dibuka kembali. Betulbetul
ia mendengar perintah. Siao kongcu tertawa girang, dengan sungguh-sungguh dia
berkata :
“Nah, inilah baru namanya seorang anak yang baik.”
Umur Siao kongcu sebenarnya jauh lebih muda daripada Sim Pek Kun, tapi dia menyebut
nyonya cantik itu sebagai anak baik. Sungguh menggelikan sekali dalam pendengaran umum.
Tapi, rasa geli ini tidak dirasakan oleh Sim Pek Kun, juga tidak begitu meresap dalam
pendengaran Liu Eng Lam, karena mereka sedang dalam kesulitan.
Selesai memperanakan Sim Pek Kun, Siao kongcu menepuk-nepuk pundak Liu Eng Lam dan
berkata kepadanya :
“Inilah Bu-ya-kiam-khek Liu Eng Lam yang ternama, belum lama saja sudah membunuh
orang. Satu kusir kereta, dua wanita berbaju hijau dan satu lagi adalah kawan baiknya sendiri
si Jago Silat Golok Emas Pang Tiauw Hai.”
Dan Siao kongcu menoleh kepada Sim Pek Kun seraya bertanya:
“Tahukah kau, mengapa dia melakukan pembunuhan-pembunuhan tadi?”
Sim Pek Kun menggoyangkan kepala.
Siao kongcu mendelikkan sepasang matanya, segera dia membentak keras:
“Kau sudah tidak mempunyai mulut, heh! KAngan cuma goyang-goyang kepala! Jawab
pertanyaanku dengan mulut, bicara segera!”
Dada Sim Pek Kun dirasakan seperti mau meledak, tetapi bertemu dengan manusia seperti
Siao kongcu ini, apa yang bisa diperbuatnya? Kecuali menurut segala perintahnya, tidak ada
lain jalan. Karena itulah dengan menahan butiran-butiran air mata yang sudah berada di ujung
kelopak matanya, ia memaksakan diri berkata:
“Aku....aku.... tidak tahu”
Siao kongcu menggeleng-gelengkan kepala, kemudia berkata lagi:
“Bohong! Kukira kau tidak bisa tidak tahu. Kau tahu, kau pasti tahu mengapa Liu Eng Lam
membunuh kawannya, mengapa Liu Eng Lam membunuh dua wanita berbaju hijau dan
membunuh kusir kereta itu? Kau tahu, bukan?”
Sim Pek Kun terpaksa menganggukkan kepala dan menjawab:

“Betul. Betul.... aku tahu,”
“Tentu saja kau tahu,” berkata Siao kongcu.
Sim Pek Kun diam, sementara Siao kongcu sudah nyerocos lagi:
“Dia sudah jatuh cinta kepadamu, cintanya itu sesungguh hati, bukan?”
“Aku....aku.... aku tidak tahu.” Sim Pek Kun semakin gugup.
“Bagaimana kau tidak tahu?” berkata Siao kongcu. “Nah, jawab lagi sebuah pertanyaanku:
Pernahkah Lian Seng Pek membunuh orang karenamu?”
Sim Pek Kun berkata:
“Belum”
“Nah,” berkata Siao kongcu. “Inilah suatu bukti, bahwa Liu Eng Lam lebih besar cintanya
dari pada Lian Seng Pek.”
Inilah suatu siksaan batin, Sim Pek Kun tidak dapat menahan gejolak hatinya, segera dia
mengutarakan ketidak-puasan itu, dengan suara yang sember dan terisak-isak dia berkata:
“Kau.... kau ini manusia dari mana? Begitu kejam!” Dengan maksud apa kau menyiksa orang
sampai begini rupa?”
Siao kongcu menghela napas, seolah-olah tidak mendengar suara gugatan Sim Pek Kun tadi,
dia mengoceh sendirian:
“Oh … angin semakin keras bertiup. Kalau aku telanjang bulat ditempat dan dalam keadaan
seperti ini, tentu akan masuk angin … Oh, aku malu sekali … masakan ditelantarkan ditengah
jalan tanpa selembar benangpun …!”
Tekadnya untuk membunuh diri diurungkan, Sim Pek Kun memejamkan matanya,
menggerentek menjulurkan lidahnya. Banyak orang mengatakan, manusia yang menggigit
lidahnya sendiri bisa mati segera. Ia bersedia mengambil jalan nekad tersebut untuk
menghindari siksaan-siksaan yang lebih hebat lagi.
Tapi gerakan Siao-kongcu terlalu cepat, sebelum Sim Pek Kun berhasil menggigit lidahnya
sendiri, tangan si gadis berpakaian pria sudah menekan gerahamnya. Dicekal begitu rupa,
sudah tentu tidak bisa Sim Pek Kun bunuh diri.
Dengan suara yang dibuat-buat, selembut-lembut mungkin, Siao-kongcu lalu berkata perlahan
sekali:
“Seseorang yang mau hidup tidak mudah, mau mati juga tidak gampang-gampang. Barangkali
kau baru dapat membuktikan kenyataan-kenyataan ini sekarang, bukan?”
Geraham Sim Pek Kun tertekan keras, sudah tentu jadi tidak bisa bicara lagi. Maka ia hanya
mengangguk perlahan.
Siao-kongcu berkata lagi:
“Mau kau jawab pertanyaanku?”
Sim Pek Kun mengangguk lagi.

Dalam dunia tidak ada lagi yang lebih susah dari pada seseorang yang tertekan, hati, tertekan
jiwa dan bathinnya. Sim Pek Kun kini mengalami hal seperti itu.
Siao-kongcu tertawa, dia berhasil menekan si nyonya cantik-jelita. Lebih dahulu
dilepaskannya pegangan tangannya, baru berkata:
“Kau adalah seorang pintar, tentu kau tahu bagaimana harus menghadapi orang. Aku kira
tidak bermaksud membunuh diri lagi bukan?”
Sim Pek Kun menganggukkan kepala.
“Betul.” Ia berkata. “Biarlah aku mendapat kebebasan bicara lagi.”
Siao-kongcu berkata sambil tersenyum:
“Hutang budi harus dibalas dengan budi. Ini adalah salah satu bunyi pepatah kuno. Dapatkah
kau memahaminya? Seperti kau tahu Liu Eng Lam itu sudah sangat cinta kepadamu. Itu
adalah budi. Jadi, seharusnya kau juga harus membalas dengan budi lagi, bukan?”
“Betul.” Hati Sim Pek Kun sudah menjadi beku, dia menjawab sekenanya.
“Kau mau membalas budi orang itu?” desak lagi Siao-kongcu.
Pandangan mata Sim Pek Kun tertuju kearah tempat yang jauh sekali, dengan suara datar
menjawab:
“Aku wajib membalas budinya.”
Siao-kongcu berkata: “Seorang wanita yang hendak membalas budi seorang pria, hanya ada
satu cara yang paling mudah. Kau seorang wanita, tentunya memahami cara-cara terbaik apa
yang kaumaksudkan itu.”
Pikiran Sim Pek Kun menjadi kalut sendiri, apapun seperti tidak ada di tempat itu, seolah-olah
dia telah menjadi sebuah patung hidup, yang tidak mempunyai hak bicara dan tidak
mempunyai hak bertindak sendiri. Segala sesuatu harus mengikuti kemauan pembuatnya.
Apa yang diucapkan oleh Siao Kongcu boleh tidak dianggap sama sekali. Dia mendengar, tapi
seolah-olah tidak mendengarnya.
Sementara itu sudah berkata lagi, “Liu Eng Lam hendak kawin denganmu. Maukah kau
membalas budi ini? Maukah kau menjadi istrinya?”
Sejenak Sim Pek Kun tertegun, akhirnya menjawab dengan gugup, “Aku … aku …!”
“Kau tidak mau berdiri di depan orang tanpa pakaian, bukan? Apalagi di tengah malam
seperti ini! Hendaknya kau dapat memahami maksud kata-kataku ini.” Berkata Siao Kongcu
pula. Tapi Sim Pek Kun malah bungkam.
“Angin bertiup begini kencangnya, bisa masuk angin kau nanti.”
Tanpa menghiraukan reaksi Sim Pek Kun yang sudah berhasil dikuasai oleh Siao Kongcu, dia
berpaling kepada Liu Eng Lam, dan berkata padanya,
“Kau tentunya sangat cinta kepadanya. Maukah kau memperistri dia?”
Liu Eng Lam seolah-olah sudah dijanjikan patung hidup, dia juga seperti tidak mempunyai

hak bicara lagi, segala sesuatu sudah diserahkan Siao Kongcu untuk diaturnya, mendengar
pertanyaan ini, dia menjadi semakin gugup, “Sebetulnya, …aku ….” Liu Eng Lam merasa
sulit untuk memberikan jawaban. Apa yang harus dijawabnya?
Sambil tertawa Siao Kongcu berkata, “Mau …mau…tapi bagaimana dengan ….”
“Kau takut dia tidak mau?” memotong Siao Kongcu.
Liu Eng Lam menundukkan kepalanya semakin ke bawah.
Siao Kongcu cepat-cepat berkata lagi,
“Betul-betul kau seorang tolol! Dia sudah mau membalas budimu. Dengan suatu pernyataan
yang halus dia sudah mengatakan bersedia menjadi istrimu, apa lagi dia sudah melakukan
malam pengantin, apa yang bisa diperbuat olehnya?”
Mengawini seorang nyonya yang sangat cantik jelita, itulah sudah merupakan maksud tujuan
Liu Eng Lam. Tapi dalam keadaan seperti ini, atas paksaan-paksaan dan tekanan-tekanan
kekerasan Siao Kongcu, bagaimana dia harus memberikan jawaban?
SIAW CAP-IT-LONG datang kembali
Adapun maksud serta tujuan Liu Eng Lam yang berkhianat kepada Siao Kongcu adalah
mendapat sedikit kesenangan dari si nyonya cantik jelita Sim Pek Kun, kini Siao Kongcu
hendak menikahkannya dengan wanita itu, tentu saja dia kesenangan sekali. Sayang
perasaannya masih tertekan, sedikit banyak rasa takut itu masih ada, sepasang matanya
ditetapkan kepada Sim Pek Kun, nyonya itu tetap cantik, tetap jelita, tetap menarik.
Siao Kongcu berkata lagi,
“Inilah suatu kesempatan bagus, mau kaugunakan atau tidak? Bila kau mau, harus
menganggukkan kepala, dan aku akan segera menjadi wali kalian supaya kalian bisa segera
melangsungkan pernikahan di tempat ini”
“Di tempat seperti ini?” Liu Eng Lam semakin terkejut.
Dengan dingin, Siao kongcu berkata,
“Yah! Apakah kau tidak setuju? Ini suatu yang bagus. Bukan saja sebagai kamar pengantin,
juga boleh dijadikan sebagai tempat kuburan. Coba aku mau tahu bagaimana kau hendak
menjawab pertanyaanku?”
Berulang kali Liu Eng Lam menganggukkan kepala, cepat-cepat dia berkata,
“Aku sih senang saja … aku mau … aku mau. Biarlah segala sesuatunya kuserahkan kepada
Siao kongcu saja.”
Siao kongcu sangat puas sekali, dia berkata dengan sangat girang, “Nah, begitu baru betul.
Begitu baru dapat dinamakan seorang anak baik. Aku akan segera membuat persiapan kalian.
Baik-baiklah kau menjaga mempelai perempuan. Dia hanya mempuyai sebatang lidah,
bilamana lidah itu digigit dan putus, sebentar lagi apa yang dapat kau mainkan?”
Liu Eng Lam mendapat tugas untuk menjaga Sim Pek Kun.
Siao kongcu sudah menyerahkan tugas pengawasannya kepada Liu Eng Lam, dengan tenang
ia lalu memetik dua tangkai dahan pohon. Dua tangkai pohon itu dibuatnya seperti berbentuk
lilin, ditancapkannya di tanah dan berkata kepada Liu Eng Lam dan Sim Pek Kun,

“Inilah lilin pengantin kalian.”
Ditunjukanya lagi kereta yang sudah pecah-pecah itu, dan berkata,
“Itulah kamar pengantin kalian. Nanti kalau kalian berdua sudah memasuki malam pertama,
jangan khawatir, aku akan menjaga kalian di tempat ini. Kuharap saja, setelah menjadi suamiistri
yang sah, kalian tidak akan melupakan aku yang sekarang menjadi mak comblang
kalian.”
Liu Eng Lam memandang ke arah kereta yang sudah rusak itu, lalu menoleh ke arah Sim Pek
Kun. Kini mengertilah dia sudah, bahwa karena tergila-gila oleh paras cantik dia akhirnya
harus menderita begini. Suatu perjodohan yang dipaksakan!
Tiba-tiba saja dia bertekuk lutut di hadapan si Siao kongcu, dengan separuh meratap berkata,
“Siao kongcu …, aku mohon pengampunanmu….”
Tapi si Siao kongcu dengan cepat berkata, “Kau sudah berkhianat kepadaku. Aku tak menarik
panjang urusan ini, sudah terlalu baik, bukan? Buat kau malah sudah kucarikan seorang
perempuan yang cantik, yang akan kujodohkan kepadamu. Apakah kau masih kurang puas
juga? Apa lagi yang kau mau?”
“jadi, sukakah kongcu mengampuniku?”
“Kalau aku tak suka mengampuni kau, sebatang golok tentunya sudah masuk ke dalam
tubuhmu sejak tadi, kau mengerti?”
Rasa girangnya Liu Eng Lam tidak alang kepalang, ia menarik napas lega, lalu berulang kali
mengucapkan terima kasih.
Jilid 6_____________
Liu Eng Lam belum dapat menangkap tujuan si Siao Kongcu yang sebenarnya, karena itu ia
berani buru-buru mengucapkan terima kasih.
“Tapi.....dikemudian....bagaimana...bagaimana aku dapat hidup dikemudian hari...?”
Siao kongcu tertawa girang. Dia memang terlalu banyak akalnya. Juga sangat kejam sekali.
Mendengar itu ia lalu berkata dengan suara perlahan sekali:
“Dikemudian hari ? itu urusanmu, bukan urusanku. Apakah aku harus memberi petunjuk terus
menerus ?”
Siao kongcu lalu tersenyum kecil, kemudian berkata lagi dengan suara lebih perlahan :
“Kukira kau sudah mengerti. Tapi tak apalah, akan kuberitahu caranya "
“Silahkan kongcu omong saja”
sepatah demi sepatah Siao kongcu lalu berkata :
“Kau si Bu yu kiam khek Liu Eng Lam sudah cukup punya nama, dan calon istrimu Sim Pek
Kun lebih terkenal lagi. Kalian berdua adalah merupakan tokoh-tokoh ternama. Bekas
suaminya Sim Pek Kun yaitu Lian Seng Pek, kukira lebih tenar namanya daripada Sim Pek
Kun sendiri. Tapi boleh dibilang, kalian bertiga merupakan tiga tokoh silat atau tokoh-tokoh
jutawan yang cukup mempunyai kedudukan tinggi. Dalam sekejap mata perkawinan yang

sangat mendadak ini dapat tersebarluas kemana-mana. Kalau Lian Seng Pek sampai dapat
tahu istrinya kawin lagi, tahukah kau apa akibatnya ? kalian adalah kawan-kawan karib,
bukan ? kukira kau cukup mengerti, bahwa kehidupanmu masih belum cukup terjamin.”
Wajah Liu Eng Lam berubah pucat pasi,keringat dingin mengucur keluar membasahi sekujur
badannya.
Sementara itu Siao kongcu sudah berkata lagi :
“Karena itulah kuanjurkan kepadamu, setelah kalian melangsungkan upacara perkawinan
ditempat ini, cepat-cepatlah kalian mencari suatu tempat yang terpencil dan tersembunyi.
Lebih baik lagi kalau tak ada orang lain atau hewan sekalipun disana. Ditempat itulah kalian
boleh hidup tenang sedikit, jangan sampai diketahui orang, lebih-lebih jangan sampai kawankawan
atau kaki tangan Lian Seng Pek tahu. Kau tahu sendiri bukan ? apa akibatnya ?
Bagaimana perasaan Lian Seng Pek, kalau dia tahu istrinya sampai direbut orang ?”
Butiran-butiran keringat mulai menetes turun. Liu Eng Lam begitu takut sekali.
Itulah kiranya itikad baik si Siao kongcu dalam menghadapi para anak buahnya yang
berkhianat. Dia tidak merasa perlu harus segera turun tangan, tapi cukup banyak cara-cara
penyiksaan berat dapat dijatuhkan olehnya untuk para pengkhianatnya itu.
Masih dengan tertawa-tawa, Siao kongcu meneruskan bicaranya :
“kau tidak dapat mengabaikan peringatanku tadi. satu macam peringatan lagi yang akan
kuberikan ialah tentang pengantin perempuan ini. Kau harus bisa menjaga dirinya baik-baik.
Jangan sampai dia lari. Apalagi ditengah malam, tidak boleh kau tidur terlalu pulas, sebab,
setiap saat, setiap waktu, setiap menit, setiap detik, bisa saja dia membebaskan dirinya. malah
salah-salah lengah sedikit saja belati tajam bisa bersarang dalam dadamu. Ini peringatanku
yang kedua.”
Liu Eng Lam tertegun ditempat. Apa yang dapat dikerjakannya sekarang ? sampai pada detikdetik
ini, barulah dia mengerti,apa maksudnya Siao kongcu. Ternyata cara-cara nya Siao
kongcu menyiksa orang jauh lebih hebat daripada cara apapun juga.
Sioau kongcu benar-benar seperti bukan manusia, cara-cara penyiksaan seperti itu benarbenar
hebat sekali. rasanya, kecuali dia tidak mungkin ada manusia keduanya yang dapat
menyamai kekejamannya.
memikirkan hari-hari berikutnya, sesudah menempuh hari perkawinan ini, Liu Eng Lam
malah jadi merasa sedih sekali, sukmanya serasa telah terbang meninggalkan raganya.
Penyakit yang dicarinya sendiri.
Siao kongcu menggendong tangan, bertindak bolak-balik dihadapan Liu eng Lam. Dia tidak
perlu lagi merasa takut kepada orang bawahannya yang sudah berani berkhianat ini. Dengan
tenang sekali, seolah-olah mengoceh kepada dirinya sendiri ia berkata :
“Untuk menghadapi kesulitan-kesulitan itu, aku mempunyai cara yang baik buat
mengatasinya. Mau kau dengar apa tidak ?”
Satu pengharapan baru timbul dalam alam pkiran Liu eng lam, dengan cepat ia lalu bertanya :
“kami membutuhkan sekali petunjuk dari Siao kongcu”
Siao kongcu menoleh kepadanya, dia menganggukkan kepalanya seraya katanya "

“Baik, aku akan mulai memberi satu petunjuk baik kepadamu.”
“Untuk menyembunyikan diri disuatu tempat yang sunyi yang tiada manusia sama sekali, itu
mudah. Untuk menghindari kejaran Lian Seng pek dan orang-orangnya, itupun tidak sulit.
Yang masih dikuatirkan ialah bagaimana caranya kau bisa menjaga supaya si perempuan
tidak membocorkan rahasia tempat sembunyi kalian. Tentang ini, sudah juga kupikirkan
masak-masak, kukira boleh saja kau mencoba merusak ilmu silatnya, boleh saja kau totok
pusat jalan darahnya, tanpa memiliki kekuatan dia tidak mungkin lari. Atau, bila kau tidak
percaya lagi dengan sebuah rantai besi kau rantailah kakinya. Lebih baik lagi kalau kau dapat
menelanjanginya. Seorang wanita tanpa pakaian kemanapun dia takkan berani keluar.”
Bukan saja hendak menyiksa Liu Eng Lam kalau begini, Siao kongcu ini ternyata masih
mempunyai cara lain untuk menyakiti Sim pek Kun. Dia hendak menyiksa kedua orang
didepannya ini sekaligus.
Tangan Liu Eng Lam dikepal-kepalkan dari sana mengucur keluar keringat yang bagaikan air
bah, tangan itu menjadi basah sekali.
Kebijaksanaan Siao kongcu lebih luar biasa lagi, hati Siao kongcu benar-benar sangat kejam,
betul-betul dia seorang manusia iblis yang sukar dicari tandingannya.
Siao kongcu benar-benar kejam, Liu Eng Lam digunakannya sebagai senjata untuk menyiksa
diri sim Pek Kun, dan nyonya Lian Seng Pek ini dipakainya buat menghukum Liu Eng Lam
Itu waktu Sim Pek Kun sudah hampir kehilangan ingatan, semua ucapan Siao kongcu dan Liu
Eng Lam tidak sepatahpun yang masuk ketelinganya. Suatu penderitaan lahir batin yang maha
hebat. kawin macam apakan yang akan dilangsungkan ditempat seperti ini ?
Iman Liu Eng Lam masih cukup kuat, toh masih tidak sanggup menanggung derita yang
datangnya secara mendadak ini. tak bedanya sebagai boneka hidup, segala sesuatunya harus
dijalankan menuruti kemauan dalangnya.
Sang dalang dalam urusan ini, adalah Siao kongcu. Dia senang sekali, dengan tertawa-tawa
dan bertepuk tangan berkata pula :
“Ayo mengapa kalian menyia-nyiakan waktu yang amat berharga ini ? kamar pengantin sudah
tersedia, silahkan masuk.”
Sungguh keterlaluan !
Kereta yang sudah bobrok dan rusak itu dikatakan oleh Siao kongcu sebagai kamar pengantin,
Suatu penghinaan yang amat besar !
tapi Liu Eng lam sudah kena pengaruh. Dia menoleh kearah Sim pek Kun. Dan begitu dia
menyaksikan kecantikan si nyonya yang luar biasa, lantas tergiur hatinya.
Tanpa pikir panjang lagi digandengnya lengan wanita itu. begitulah,dua orang tanpa
kesadaran telah meninggalkan tempatnya semula, dengan tujuan kereta yang dikatakan Siao
kongcu sebagai kamar pengantin.
Pikiran Sim Pek Kun kosong melompong, ia membiarkan dirinya diseret orang, kakinya
bergerak jalan, juga menuju kearah kereta yang sudah rusak tersebut.
Liu Eng Lam dan Sim Pek Kun menuju kearah kereta.
Menyaksikan kedua boneka buatannya sudah mulai terpengaruh, Siao kongcu menjadi girang,

denga kerlingan mata yang nakal dia tertawa sendiri.
Walaupun dengan gerakan-gerakan yang lambat, setapak demi setapak, dengan pasti sekali
Sim Pek Kun dan Liu Eng Lam bergandengan tangan, menuju kearah kereta.
Siao kongcu mendongakkan kepala, dan tertawa sendirian.
Sementara itu, langit sudah mulai hitam, awan beriring-iring menandakan hari akan hujan.
Siao kongcu seakan-akan mau melupakan suasana yang buruk seperti itu, mulailah ia menarik
suara dengan membawakan sebuah sair yang kira-kira begini :
Cuaca mulai gelap. Hujan akan segera turun. Dalam suasana seperti itu, Dua mempelai
memasuki peraduannya.......
Mendadak, ya mendadak sekali, wajah Siao kongcu tiba-tiba berubah.
Ia lantas menghentikan sair yang dinyanyikannya, karena pada saat itulah dia sudah dapat
merasakan bahwa seseorang sudah berada dekat sekali dibelakang dirinya.
Adanya orang yang dapat muncul seperti bayangan iblis ini benar-benar sangat mengejutkan
sekali. Gerakan orang ini begitu lincah dan cepat, tahu-tahu sudah berada dibelakang diri si
Siao kongcu. Ini merupakan suatu bukti betapa hebatnya kepandaian orang itu.
Reaksinya Siao kongcu tidak lambat, toh masih kalah hebat sedikit. Dia baru sadar setelah
keburu didatangi dekat sekali oleh orang itu. Waktu orang itu sudah berada tepat di
punggungnya sekali.
Siao kongcu menyedot nafasnya dalam-dalam, sementara sarafnya mengatakan kepadanya,
harus hati-hati, ada orang yang paling kau takuti berada dibelakangmu !.
“Siaw Cap It Long ?”. Dengan begitu saja pertanyaan itu terhambur keluar dari mulut si Siao
kongcu.
“Berdiri ditempat, dan jangan coba-coba bergerak !. Juga jangan coba-coba menoleh
kebelakang !”
Benarlah kiranya suara Siaw Cap It Long itu !, tak salah lagi ! Inilah suara Siaw Cap It Long !
Kejam Siaw Cap It Long, tidak ada orang yang dapat menandingi kecepatan pendengaran
Siao kongcu.
Kecuali ilmu meringankan tubuh Siaw Cap It Long belum ada orang yang dapat berdiri
dibelakang gadis kecil jahat tanpa diketahui olehnya.
Biji mata Siao kongcu yang hitam dan jeli itu berputar, dengan suara yang merdu sekali ia
berkata "
“Aku paling senang mendengar suaramu. Aku paling taat kepada perintahmu. Baik, aku tidak
bergerak. Aku tidak menoleh dan ketawa.”
Terdengar kembali suara Siaw Cap It Long, kali ini ditujukan kepada Liu Eng Lam "
“Hei, kongcu dari keluarga Liu, kau juga turut kemari.”
Didalam mata Liu Eng Lam, sigadis berpakaian pria Siao Kongcu adalah manusia yang
terpandai didalam dunia, rasa takutnya kepada kongcu itu sangat luar biasa sekali, kini orang

yang paling ditakuti ternyata masih takut kepada seseorang, tentu saja dia merasa heran,
hanya sebentar saja, rasa herannya itu lenyap mendadak, setelah itu ia tahu bahwa orang yang
berada dibelakang Siao kongcu itu adalah si jago berandalan Siaw Cap It Long.
Mengetahui bahwa orang yang hendak menyiksa dirinya itu dibuat sudah mati kutu, Liu Eng
lam agak terhibur, dia berbalik, dan mengikuti perintah Siaw Cap It Long, ia berjalan.
Siaw Cap It Long berkata "
“Kau kenal kepadanya?”
Kata-kata ini diarahkan kepada Liu Eng Lam, jari Siaw Cap It Long menunjuk kepada Siao
kongcu.
Liu Eng Lam menundukkan kepala, berkata pada saat itu juga "
“kenal, namanya Siao kongcu.”
Siaw Cap It Long bergoyang kepala, ia berkata dan memberi penjelasan :
“Salah.”
“Orang memanggilnya dengan sebutan Siao kongcu. Entah apa nama yang sebenarnya. Kami
tidak tahu.” cepat-cepat Liu Eng Lam berkata.
“seharusnya kau memanggil dia dengan panggilan nona Siao kongcu.” Berkata Siaw Cap It
Long sungguh.
Hanya Siaw Cap It Long seorang yang telah membuka kedok penyamaran Siao kongcu, itu
adalah seorang anak gadis yang masih perawan.
“Nona Siao kongcu ?” Liu Eng Lam mengerutkan sepasang alisnya.
“Betul”. berkata Siaw Cap It Long lagi.
“Mungkinkah kau tidak dapat membedakannnya ?”
Sepasang sinar mata Liu Eng Lam diarahkan kepada Siao Kongcu dan terpakulah disana.
Siaw Cap It Long berkata lagi :
“Bagaimana penilaianmu, tentang nona Siao kongcu ini ?”
“Penilaian ?” berguman Liu Eng Lam.
“Cukup cantikkah ?” bertanya Siaw Cap It Long.
Liu Eng Lam menganggukkan kepala, seraya berkata :
“Betul, memang cukup cantik.”
Siaw Cap It Long tertawa geli, ia berkata lagi :
“Bagaimana bila dibandingkan dengan kecantikan nyonya Lian ?”
Yang diartikan nyonya Lian ialah Sim Pek Kun, si nyonya cantik jelita dari keluarga Lian
Seng Pek.

Liu Eng Lam menjilat-jilat lidahnya, membasahi kerongkongannya, setelah itu lalu ia berkata
"
” Kukira....kukira....dimisalkan betul, ia masih gadis, kukira...kukira...nona ini lebih cantik
dari nyonya Lian”
lagi-lagi Siaw cap It Long tertawa,dan berkata :
“Biar bagaimana, penilaiannya seorang kongcu tentu lebih tepat.”
Siaw Cap It Long menepuk pundak Siao kongcu, dan berkata kepada gadis itu :
“Bagaimana penilaianmu tentang Liu Eng Lam kongcu ?”
Sepasang biji mata Siao kongcu yang hitam jeli berputar, dengan tersungging senyum manis
ia berkata:
“Seorang kongcu yang tampan dan berkepandaian tinggi, tentu saja sangat cakap sekali.”
Siaw Cap It Long berkata :
“Bersediakah kau kunikahkan dengannya ?”
Siao kongcu menganggukkan kepala, seraya berkata :
“ingin sekali.”
Siaw Cap It Long berkata :
“Baik. Aku hendak menjadi mak comblang kalian, dan hari ini juga menikahkan kalian,
maukah melangsungkan upacara pernikahan dengannya ?”
“Tentu saja mau,” berkata Siao kongcu
Tanya jawab tadi terjadi diantara Siaw Cap It Long dengan Siao kongcu, pokok persoalannya
adalah pernikahan antara Siao kongcu dengan Liu Eng Lam.
Liu Eng Lam turut mengikuti percakapan itu, ia tertegun, matanya terbelalak.Entah mengimpi
menginjak tahi apa, Liu Eng Lam juga tidak mengerti, mengapa rejekinya begitu bagus sekali.
Entah rejeki entah peruntungan, hari ini secara tiba-tiba dan mendadak saja menjadi raja
pujaan dunia, semua orang mengantarkan wanita-wanita dan gadis cantik kepadanya semua
hendak dinikahkan kepadanya.
Siaw Cap It Long memandang kearah Liu Eng Lam, dan berkata kepada kongcu itu :
“Hei, kau toh dari keluarga Liu maukah kau kawin dengan gadis kecil ini ?”
Liu Eng lam menundukkan kepalanya kebawah, ia memandang tanah, entah disengaja entah
tidak kerlingan matanya melirik ketempat Siao kongcu, dengan gugup ia berkata "
“AKu......aku.....”
Siaw Cap It Long berkata "
“Kau tidak perlu takut kepadanya, perempuan ini walaupun sangat galak dan telengas, seperti
apa yang tadi sudah dikatakan kepadamu, bahwa kau bersedia merusak ilmu kepandaiannya

terlebih-lebih menelanjangi dirinya, tanpa selembar benangpun menutupi tubuhnya, tidak
mungkin dia berani berontak kepadamu, gunakanlah cara apa yang telah dikatakannya
kepadamu itu untuk menghadapi dia sendiri.”
Sebelum Lie Eng Lam dapat berbicara sama sekali, Siao Kongcu sudah cepat-cepat
memotong:
“Bilamana aku mempunyai rejeki untuk dikawinkan dengan Lie Eng Lam kongcu itulah suatu
keberuntungan yang besar sekali. Aku tidak berkepandaian, walaupun aku sudah tanpa
pakaian, kukira cukup puas sekali.
Dan reaksi Siao kongcu memang tepat sekali, disaat itu juga tubuhnya sudah menubruk ke
depan, sruk, ia berada di dalam pelukan Liu Eng Lam, tangannya merangkul pundak kongcu
hidung belang itu dengan suara yang sangat manja dan kolokan berkata :
“Oh, darling, mengapa kau diam saja ? Aku sudah tidak sabaran, aku sudah tidak sabaran lagi,
hayo lekas gendong aku ke dalam ranjang pengantin.”
Pikiran Liu Eng Lam masih di ombang-ambingkan keluar biasaan, disaat ini bau harum yang
keluar dari tubuh seorang gadis merangsang hidungnya, dia semakin mabok.
Siaw Cap it long segera memberi peringatan, ia berteriak keras :
“Awas!”
Liu Eng Lam dapat mendengar peringatan itu, tapi suaranya seperti sangat jauh sekali,
sebelum dia mengerti apa yang harus diperhatikan olehnya, tubuhnya sudah tercekik,
tubuhnya terpelanting, dan kini ia menjadi satu tameng yang di hadapi ke arah Siaw Cap it
long, tubuh itu terdorong keras menubruk ke arah si jago berandalan.
Mata Liu Eng Lam berkunang-kunang, bak ..... satu pukulan lagu hadiah pemberian Siao
kongcu, tubuhnya ngusruk ke arah Siaw Cap it long.
Sesudah mengerjai Lie Eng Lam, sepasang kaki Siao kongcu yang keicl mungil meledit
tinggi, wing.... dia mundur lari.
Sedari pertama kejadian itu, Sim Pek Kun telah menjadi butek pikiran, karena itu semua
perubahan-perubahan tidak terlihat olehnya, juga tidak pernah dirasakan olehnya, otaknya
seperti batu.
Siaw Cap it long selalu bersikap siaga, kepandaian dan permainan-permainan Siao Kongcu
terlalu banyak, maka itu di saat Siao Kongcu mengeluarkan jawaban yang menyenangkan Lie
Eng Lam, ia sudah memberi peringatan, toh masih terlambat.
Tubuh Liu Eng Lam menjorok ke arah Siaw Cap it long, si jago berandalan menyingkir
kekiri, maksudnya hendak membikin pengejaran beberapa jarum rahasia menyerang ke arah
Sim Pek Kun.
Sim Pek Kun sudah kenal segala macam bahaya, tidak sadarkan lagi akan datangnya maut
tersebut, dia masih diam.
Siaw Cap it long berganti haluan menolong orang lebih penting dari segala apa karena itu
tangannya di dorong kedepan, memukul senjata rahasia Siao Kongcu, dengan demikian ia
berhasil menolong jiwa Sim Pek Kun.
Karena keterlambatan itulah Siao Kongcu mendapat banyak kebebasan, sebentar saja gadis

kecil yang jahat itu sudah melarikan diri jauh-jauh, lapat-lapat terdengar suaranya yang
garing.
“Siaw Cap it long, aku tidak mau di jadikan kambing hitam, aku tidak perlu mak comblang,
terlebih-lebih lagi mak comblangnya seperti dirimu, setiap saat bilamana aku hendak nikah
dengan orang, tentu memilih dirimu, sudahlah aku hendak memilih dirimu.”
Terdengar suara jatuhnya benda, itulah tubuh Liu Eng Lam yang membentur tanah, dipukul
oleh Siao Kongcu, isi dalam Liu Eng Lam sudah hancur rusak, dia tidak mungkin bisa hidup
lagi.
Sim Pek Kun belum bergerak, rasa kaget dan bingungnya yang berulang kali terjadi,
menjadikan dia sebagai suatu boneka hidup, manusia tanpa pikiran.
Siaw Cap it long mengeluarkan keluhan, betul-betul dia tidak mengerti, mengapa dunia bisa
melahirkan seorang gadis yang seperti Siao Kongcu? kejahatan, kelicikan, kekejaman dan
kecepatannya daya kerja otak gadis tersebut sungguh luar biasa. Betul-betul membuat ia
mengeluarkan pujian. Pujian sesungguh hatinya.
Sesudah berhasil menemukan dan mengejar Siao Kongcu, seharusnya Siaw Cap it long
membunuh gadis tersebut. Yang heran ialah : Sudah jelas diketahui kejahatan Siao Kongcu,
bagaimanapun Siaw Cap it long masih tidak tega membunuhnya segera.
Dia begitu cantik, begitu gesit, begitu lincah, tidak ada sesuatu yang tidak menarik, mengapa
dia mempunyai hati dan kekejaman melebihi orang ?
Betul-betul Siaw Cap it long tidak mengertim dia menggelengkan kepalanya.
TIDAK BOLEH PULANG
DISALAH satu kamar kecil dari sebuah rumah penginapan desa berisikan dua orang, mereka
ada lah Siaw Cap it long dan Sim Pek Kun.
Siaw Cap it long duduk di sebuah bangku panjang. Itulah satunya bangku yang berada di
dalam kamar tersebut.
Sim Pek Kin berbaring di sebuah pembaringan kecil, itulah satu-satunya tempat yang ada di
dalam kamar tersebut.
Siaw Cap it long menguap, sudah tiga hari dia duduk seperti itu, selama tiga hari dia
mengurung dirinya di dalam kamar tersebut, Belum pernah dia melangkah keluar dari pintu
kamar, setapakpun juga.
Sim Pek Kun berbaring di tempat tidur tersebut selama tiga hari, selama hari-hari itu dia tidur
tanpa ingat orang sama sekali.
Pikiran Sim Pek Kun mengalami goncangan keras, satu saat ia berteriak berteriak, dan
berteriak atau menangis, menangis dengan keras sekali, kadang juga dia mengeluarkan jeritan,
jeritan yang melengking-melengking dan panjang, sangat menyeramkan.
Selama tiga hari itu, Sim Pek Kun mengalami penderitaan yang sangat luar biasa, dia berada
di dalam ambang pintu kematian, hidup diantara sadar dan tidak sadar, badan panas sekali,
tapi dirasakan sangat dingin dan menggigil keras.
Kini menjelang hari ketiga.
Sim Pek Kun baru dapat tidur dengan tenangnya.

Siaw Cap it long menoleh ke arah kamar-kamar tersebut, dia berduka atas segala sesuatu yang
sudah terjadi.
Siaw Cap it long belum melepaskan pandangan sinar matanya dari wajah si nyonya cantik
jelita Sim Pek Kun, wajah itu begitu tenang tertidur dengan nyenyaknya. Ini adalah suatu
wajah yanh belum pernah disaksikan oleh orang kedua kecuali suami Sim Pek Kun, si jago
muda kenamaan Lian Seng Pek.
Tetapi Siaw Cap it long dapat menyaksikannya.
Wanita yang terbaring di tempat tidur kecil itu betul-betul sangat cantik, karena itulah dia
mendapat julukan si nyonya cantik jelita Lian Seng Pek dan si nyonya cantik jelita Sim Pek
Kun, dia mempunyai kepintaran yang cukup, tapi tidak licik. Mempunyai kelembutan yang
sederhana, kelembutan yang diimbangi dengan keberanian serta kekuhuan hati, betapa
penderitaan yang diterima olehnya, akan dipikul dan di beri satu pertanggung jawaban.
Inilah wanita idaman Siaw Cap it long.
Siaw Cap it long pernah memimpikan seorang kawan hidup, dengan syarat-syarat tertentu,
yang seperti apa yang sudah tertera di atas tadi. Dan kini dia berhasil menemukan kawan
hidup wanita yang mempunyai syarat-syarat tersebut.
Tapi mungkinkah dia dapat memajukan lamaran kepadanya ? Tidak !
Karena wanita yang terbaring di tempat tidur itu, wanita yang ditongkrongi selama tiga hari
tiga malam itu adalah wanita yang sudah menjadi istri orang lain.
Mau dia segera meninggalkannya, tapi itu tidak mungkin. Keadaan Sim Pek Kun begitu
mengkhawatirkan, bilamana tidak mendapat perawatan yang secukupnya, getaran otak yang
menekan dan mengganggu pikiran orang tersebut, akan membuat akibat panjang, dia akan
menjadi gila, atau sinting karenanya, karena itu Siaw Cap it long memberi perawatan yang
cukup, lebih dari cukup.
Siaw Cap it long menyedot nafasnya dalam-dalam, dihembuskannya kembali ke jalan
pernafasan tadi.
Hari sudah menjadi malam, gelap mengarungi angkasa, dan juga mengarungi suasana kamar
tersebut.
Siaw Cap it long mulai bergerak, ia menyalakan lampu pelita.
Penerangan lampu itu berkelap-kelip membuat bayangan-bayangan yang bergoyang-goyang
menerangi wajah nyonya cantik jelita Sim Pek Kun dan juga wajah Siaw Cap it long yang
kotor tidak terawat itu.
Adanya penerangan yang sekecil apapun sudah cukup menerangi kegelapan, perlahan tapi
pasti sinar lampu mencorong kearah wajah Sim Pek Kun, terlihat matanya mulai berkedip,
perlahan-lahan terbuka lebar.
Sim Pek Kin sudah mulai ingat diri.
Biji mata Sim Pek Kun berputar, akhirnya tertatap terhenti di atas wajah Siaw Cap it long.
Keadaan kamar itu begitu sempit sekali, jarak diantara mereka tidak terlalu jauh. Sim Pek
Kun mulai mengingat-ingat apa yang telah terjadi, mungkinkah dia sedang berada dalam

impian ? Dia mengatupkan sepasang matanya, impian-impian itu terlalu buruk, ia
mengharapkan betul-betul menjadi suatu kenyataan, bahwa apa yang dialami itu bukanlah
suatu kejadian yang sebenarnya, hanya impian hampa belaka.
Beberapa lama Sim Pek Kun membuka kembali sepasang matanya, dan lagi-lagi membentur
wajah Siaw Cap It Long, inilah suatu kenyataan.Bukan impian.
Sim Pek Kun sadar apa yang telah terjadi, orang ini lagi yang menolong dirinya, dengan sinar
pandangan yang penuh rasa syukur berkata :
“Bagaimana aku dapat membalas budi ini, lebih dari satu kali kau menolong diriku.”
Siaw Cap It Long memperlihatkan wajahnya yang masam, dia berkata sedih :
“Bukan aku yang menolong.”
Suara Siaw Cap It Lng agak ketus, tidak berperasaan.
Sim Pek Kun menghela nafas, dengan suara perlahan dan pendek ia berkata :
“Tidak perlu kau berbohong lagi, aku tahu, dahulupun kau yang menolong aku, kini lagi-lagi
kau yang memberi pertolongan.”
Siaw Cap It Long berkata adem :
“Kau sendiri yang menolong dirimu.”
“Hm....” Sim pek Kun menggeram. “Aku tahu, dua kali kau merebut diriku dari tangannya.”
“Tangan siapa ?” Siaw Cap It Long mengangkat pundak. “Aku tidak mengerti”
“Tidak mungkin kau tidak mengerti,” Berkata Sim Pek Kun “Dia sangat jahat sekali, anak
kecil itulah yang terlalu kejam. Kau telah merebut diriku dari tangannya.”
Siaw Cap It Long berkata "
“Terlalu banyak sekali anak kecil, aku tidak mengerti siapa yang kau maksudkan sebagi anak
kecil itu.”
Inilah suatu sangkalan !
Jelas dan gamblang bahwa Siaw Cap It Long mengerti, siapa yang dimaksudkan dengan anak
kecil itu, kecuali Siaw kongcu tidak mungkin ada orang kedua. Tapi dia belagak pilon, tidak
mau mengakui kenyataan.
Sim Pek Kun berkata lagi :
“Tidak perlu kau kenal kepadanya, sudah cukup bila dia kenal kepadamu, bahkan dia sangat
takut kepadamu, maka dikala aku berada didalam kelenteng yang rusak itu, dia tidak berani
pergi sendiri, dia hanya mengutus Liu Eng Lam dan Pang Tiaw Hui.”
Siaw cap It Long berkata dingin "
“Pang Tiaw Hui dan Liu Eng Lam adalah kawan-kawan dari suamimu, mungkin merekalah
yang menolong kau.”
“Mengapa dia harus takut kepadaku ?” Berkata Siaw Cap It Long

“Mungkinkah aku mempunyai wajah yang seram, sehingga orang harus takut kepadaku ?”
Sim Pek Kun menghela nafas, dengan penuh penyesalan dia berkata "
“yang harus ditakuti adalah orang-orang yang mempunyai hati serigala itu, sebangsa Liu Eng
Lam dan Pang Tiaw Hui, diwajah mereka terlukis suatu keramah tamahan dan kebaikan dah
dihati merekalah yang mengandung kejahatan serta kebusukan-kebusukan, aku menyesal
karena tidak mendengar peringatanmu.”
Siaw cap It Long berkata dengan nada suara sangat dingin :
“Pengalaman dunia kang ouw mu masih terlalu cetek, seharusnya tidak boleh kau berkelana
didunia liar.”
“Pengalamanku telah bertambah dengan acara baru,” berkata Sim pek Kun rendah.
“Kini aku mengerti, bagaimana harus memperlakukan sesorang, harus diteliti lebih dahulu apa
yang tersembunyi dibalik kebaikan-kebaikan mereka. Dan apa yang terselip dianyara
kejujuran seseorang.”
Siaw Cap It Long bangkit dari tempat duduknya, dia menuju daun jendela, membuka engsel
dan daun jendela itu, dengan nada suaranya ia berkata :
“Pengetahuan-pengetahuanmu masih terlalu sedikit sekali, tapi, kata-kata dan pembicaraanmu
terlalu banyak sekali.”
Udara diluar jendela sangat sepi dan sunyi, malam gelap gulita, kecuali beberapa butir bintang
dilangit, tidak ada pemandangan lain.
Mereka menempatkan satu kamar didalam rumah penginapan, terlalu sepi sekali, rumah
penginapan itu lebih tepat kalau dikatakan sebagai pondok kecil, tidak cukup persyaratan
untuk dinamakan rumah penginapan. Kotor, jarang sekali orang yang mau menggunakannya.”
Siaw Cap It Long menggunakan pondok itu untuk memelihara penyakit Sim Pek Kun didalam
keadaan terpaksa , apa boleh buat.
Siaw Cap It Long berdiri kedepan jendela, ia membelakangi sang nyonya cantik jelita Sim
Pek Kun.
Tiba-tiba.............................
Beberapa air hujan menetes turun, gerimis.
Keadaan seperti itu sangat mengerikan bagi Siaw Cap It Long, mulutnya dikecilkan
mendengungkan satu lagu tanpa nama, lagu kesepian yang sering mengimbangi kesepian
hatinya.
Siaw Cap It Long lupa mengikuti pembicaraan-pembicaraan Sim Pek Kun, sebagai seorang
wanita, Sim Pek Kun juga memiliki sifat-sifat kebawelannya. Ia mencerocos terus.
Siaw cap It Long masih menyerukan suara lagu tanpa nama.
Sim Pek Kun kewalahan, dia hilang sabar , menggerak-gerakkan tangan dan tubuh, nyonya itu
sudah kuat untuk duduk, memandang kearah sijago berandalan dan berkata kepadanya :

“Apa nama lagu yang kau dengungkan itu.”
Siaw Cap It Long diam, tidak memberi jawaban.
Beberapa waktu berlalu, Sim Pek Kun tertawa mendadak dan dengan suara yang agak tinggi
ia berkata :
“Agak lucu untuk dikatakan, aku kurang percaya, beberapa orang menganggap kau sebagai
Siaw Cap It Long.”
“Ow.........” reaksi Siaw Cap It Long sangat biasa saja.
Sim Pek Kun berkata lagi :
“Aku tahu bahwa kau bukan Siaw Cap It Long, kau tidak memiliki wajah manusia buas itu.”
Siaw Cap It Long masih memandang jauh keluar jendela, dengan nada suara yang sangat
tawar ia berkata :
“Sangat buas sekalikah Siaw Cap It Long ?”
Sim Pek Kun berkata :
“Mungkinkah kau belum mendengar cerita Siaw Cap It Long ?”
Siaw Cap It Long bertanya :
“Kau banyak mendengar cerita-cerita Siaw Cap It Long ? berapa banyak yang kau ketahui
tentangnya ?”
Dengan gemas Sim Pek Kun berkata :
“Terlalu banyak sekali. Terlalu banyak sekali. Manusia buas Siaw Cap It Long adalah kejam
dan telengas. Ada juga yang menyebutkan sebagai anak berandalan. Ada juga yang
menyebutnya sebagai kepala penyamun. Ada juga yang menyebutnya sebagai kepala garong,
dan entah beberapa sebutan lagi.”
“Tentang urusannya ?” berkata Siaw Cap It Long.
“Urusan apa ?” bertanya Sim Pek Kun.
“Segala sesuatu yang mempunyai hubungan dengan Siaw Cap It Long tidak ada yang baik,
segala sesuatu yang dilakukan olehnya cukup untuk memanaskan hati orang, keganasankeganasannya
Siaw cap It Long sungguh keterlaluan, satu perbuatan saja, sudah dapat
membuat ia menerima hukum pancung kepala.”
Siaw cap It Long tidak mendapatnya, juga tidak memberi reaksi lain, seolah-olah ia sedang
berpikir, betulkan fitnah-fitnah itu ? matanya masih memandang lurus kedepan kupingnya
dipanjangkan ini waktu dia dapat menangkap sesuatu persoalan, tapi tidak diutarakannya
sama sekali.
“Hei....” Sim Pek Kun memanggil.
Keadaan hening yang seperti itu berlangsung lama juga.
Terdengar suara Siaw Cap It Long :

“Kau juga hendak memancung kepalanya.”
Sim Pek Kun berkata :
“Bila aku berhasil menemukannya, tidak akan kubiarkan ia merajalela lagi, akupun ingin
memancung kepalanya. setidak-tidaknya membunuh.”
Siaw cap It Long dan sim Pek Kun membicarakan persoalan Siaw Cap it Long. Sang wanita
cantik jelita tidak tahu bahwa orang yang sedang dipercakapkan itu adalah orang berada
didepannya. terdengar suara Siaw Cap It Long yang mengeluarkan suara dengusan dari
hidung :
“Hm......bilamana kau bertemu dengannya, orang yang mati bukannya dia tapi kau sendiri.”
Wajah Sim Pek Kun berubah menjadi merah, dia malu kepada diri sendiri. Dengan ilmu
kepandaian yang dimiliki, mungkin dapat menandingi Siaw Cap It Long yang ternama, ia
maklum karena itu ia menjadi jengah merah.
Disaat ini terdengar suara gerakan dua orang yang mendatangi, dari jauh terlihat pelayan
rumah penginapan yang membawa obor lampu, direndengi oleh seorang tua berbaju hijau
bertudung topi putih, dengan dandanan yang seperti pelayan rumah.
Dua orang itu berjalan kearah kamar Siaw Cap It Long, tepat-tepat menghadap kearah
jendela, terlihat sipelayan rumah penginapan menunjuk dan berkata sesuatu kepada orang tua
berbaju hijau dan bertopi putih, setelah mengangguk-angguk dua kali pelayan rumah
penginapan itupun berjalan pergi membiarkan tamunya langsung menghadap kepada orang
yang bersangkutan.
Orang tua berbaju hijau itu mendekati Siaw Cap It Long, memberi hormat sebentar dan
berkata :
“Bolehkan kami menumpang tanya, nyonya Lian Seng Pek berdiam ditempat inikah ?”
Sebelum Siaw Cap It Long memberikan jawabannya, Sim Pek Kun sudah dapat mengenali
suara orang tersebut, matanya menjadi bersinar terang, itulah suara Sin Jie, orang yang
menjadi pengurus gedung keluarga Lian Seng Pek dan dan suaminya.
“Sin Jie yang didepan ? Aku disini. Lekas masuk.” berkata Sim Pek Kun segera.
Orang tua berbaju hijau bertopi putih adalah pengurus gedung keluarga sim, dia bekerja disitu
sebelum Sim Pek Kun lahir, karena itulah kedudukannya cukup tinggi pengurus gedung.
Mendapat panggilan suara Sim Pek Kun, tanpa menghiraukan Siaw Cap It Long, serta
tergesa-gesa sekali, menerobos kearah pintu, didorong cepat dan memasuki kamar tersebut. A
pa yang terbentang didepan matanya adalah sang nyonya majikan yang sedang terbaring
ditempat tidur, dan tidak jauh darinya berdiri seoarng laki-laki dengan wajah berewok yang
bersender pada ambang jendela.
Sin Jie tidak butuh kepada Siaw Cap It Long, karena itu tidak memberi perlakuan yang
berlebih-lebihan, langsung menjatuhkan dirinya kedepan Sim Pek Kun, setelah memberi
hormat berkata cepat :
“Hamba meminta maaf atas kesalahan hamba yang tidak dapat melakukan perawatan
sebagaimana mestinya, hamba tidak tahu bahwa nyonya berada ditempat ini, karena ini
hamba meminta maaf.”

Rasa girangnya Sim Pek Kun sulit dilukiskan segera ia berkata cepat :

“Sungguh kebetulan, kedatanganmu ini tepat pada waktunya. Hee, dimana nyonya tua ? kau
tahukah tentang apa yang kualami ?”
Sin Jie berkata sambil memberi keterangan “Kecelakaan kereta nona muda sudah tersebar luar
didalam rimba persilatan, nyonya tua sudah tahu. Karena itu segera beliau memberi perintah
kepada semua orang untuk mendapat keterangan yang lebih jela, menyelidiki jejak nyonya,
hamba beruntung tiba ditempat ini, dari keterangan pelayan rumah penginapan, ia
mengabarkan ada seorang nyonya yang menderita sakit keras, cantiknya luar biasa, hamba
segera menduga siapa yang dimaksudkan olehnya, maka itu segera hamba datang dan tiba
disini”
Setelah bercerita panjang lebar, orang berbaju hijau itu menarik napasnya seolah olah
bersedih, ia berkata dengan napas tersendat sendat:
“Beruntung Tuhan masih melindungi kau, hamba berhasil menemukan nyonya muda,
bilamana nyonya tua tahu tentang keselamatan nyonya muda di tempat ini, tentunya girang
sekali... "
Pada suara yang terakhir, kedua kelopak mata Sin jie sudah basah dengan air mata, butiran
putih dan bening jatuh berceceran, ia menangis.
Sim Pek Kun juga mengeluarkan air mata kegirangan, Sin Jie mengucek ucek matanya,
menghilangkan air mata itu dan berkata: “Bagaimana kesehatan nyonya muda?”
Sim Pek Kun menganggukan kepala: “Masih baik” dia berkata cepat.
Keadaan hamba tersebut tidak menjadi sedih lagi. Sin Jie berkata: “Sukur, berterima kasih
besar kepada Tuhan yang Maha Esa. Silahkan nyonya muda berkmeas kemas untuk mebali
agar nyonya tua tidak terlalu menguatirkan diri.”
Sim Pek Kun menoleh kearah Siau Cap It Long, ternyata tampak laki laki tersebut masih
memandang jauh lurus ke depan, keadaan dalam kamar sangat gelap sekali itulah malam hari.
Sim Pek Kun menjadi ragu ragu, dia mengoceh seorang diri: “Sekarang?”
“Betul” Sin Jie menganggukkan kepala. “Sekarang juga kita berangkat”
“Apa tidak terlalu malam?” Sim Pek Kun masih ragu ragu.
Orang tua berbaju hijau bertopi putih Sin Jie tertawa, dan dia berkata memberi keterangan:
“Di musim rontok seperti sekarang agak banyak hujan, tapi malampun pendek,s ebentar
lagipun mnejadi pagi. Hamba sudah mneyediakan kereta di depan, silahkan nyonya berganti
pakaian, kita harus segera kembali pulang”
Lagi lagi Sim Pek Kun melirik kearah Siau Cap It Long, hendak meminta pendapat tahu
musuh laki laki tersebut.
SIau Cap It Long tidak menoleh ke belakang, juga tidak memberikan reaksi. Sampai disaat
ini, Sin Jie tidak bisa berpura pura lagi, seolah olah dia baru tahu bahwa di dalam kamar itu
masih ada seorang lainnya, dengan tertawa dia berkata: “Tuan ini...”
Sim Pek Kun memberi keterangan: “Dia adalah orang yang menolong diriku lekas ucapkan
terimakasih kepadanya!”
Sin Jie maju tiga tapak, di hadapan Siau Cap It Long dia mnejatuhkan dirinya berlutut seraya
berkata: “Hamba Sin Jie atas nama keluarga Sim mengucapkan terima kasih kepada tuan.

Atas bantuan tuan yang sudah menolong nyonya muda kami. Hal ini akan kami beritahukan
kepada seluruh keluarga Sim dan akan dikenal sepanjang masa”
Baru sekarang Siau Cap It Long menoleh memeprhatikan wajah Sin Jie beberapa saat, dari
atas kepala hingga ke ujung kaki, dan dari ujung kaki ditatapnya balik kembali sehingga
sampai ke atas kepala.
“Kau juga orang dari keluarga Sim?” kini Siau Cap It Long membuka mulut.
Sin Jie tertawa, dan cepat cepat berkata: “Hamba sedari kecil telah merawat segala kebutuhan
nyonya tua sehingga kini sudah berselang empat puluh tahunan, Tuan ini tentunya...”
Sebelum Sin Jie mneyelesaikan keterangannya, Siau Cap It Long bergerak, dengan tangan kiri
mengankat bahu orang tua berbaju hijau itu, dan dengan lain tangannya yang digerakkan
cepat Siau Cap It Long menampar hingga beberapa kali, .... pang...pang... pang...
Terdengar jerit Sin Jie yang menggeliat keras, beberapa butir gigi depannya rontok jatuh
berserakkan di lantai kamar.
Sim Pek Kun juga sangat terkejut, segera dia mengajukan pertanyaan: “Hai, mengapa kau
begitu galak ? Dia adalah orangku namanya Sin-Jie, jangan kau memperlakukan keterlaluan
kepadanya”
Sim Pek Kun masih belum tahu nama Siauw Cap it-long, karena itu dia selalu menggunakan
istilah hei, kapada jago berandalan kita.
SIauw Cap it-long tidak menghiraukan ucapan SIm Pek Kun tubuh SIn-jie diangkat dan
dilemparkannya ke luar jendela sehingga meyalang jauh sekali. “Lekas beritahu kepada orang
yang menyuruh kan ketempat ini, harus dia sendiri yang datang tahu ?” Siauw Cap it-long
memberi ancaman ?Beritahukan kepadanya bahwa aku selalu menunggu "
SIn-jie jatuh ngusruk, cepat cepat ia bangun dan bangkit, tangannya menyusut darah yang
berceceran dimulutnya, dengan suara yang hampir tidak dapat keluar ia berteriak :
“Nyonya tua yang memberi perintah padaku untuk mencari jejak nyonya muda, dengan alasan
apa kau boleh sembarang memukul orang ?”
Siauw Cap it-long mempelototkan matanya, membentak keras : “Memukul kau ?
membunuhpun bboleh. Masih kau tidak mau mengerti ? Hendak menunggu aku menurunkan
tangan yang lebih kejam lagi ?”
SIn ji tidak berani memdekati orang yang sedang kalap itu, ia berdiam dan mundur beberapa
langkah kebelakang, membalikkan badan dan cepat cepat lari. Dair jauh terdengar lapat lapat
suara omelan orang tua berbaju hijau itu.
SIm Pek Kun sangan marah sekali, sebentar sebantar wajahnya berubah, dadanya dirasakan
mau meledak, dengan bertahan sedapat mungkin di menghadapi Siauw Cap it-long.
“Hei” sang nyonya jelita mulai membuka suara. “Sin jie bekerja kepada keluarga kami, telah
puluhan tahun, hatinya jujur sekali, pekerjaannyapun baik, mengapa kau curiga kepedanya ?
Jangan kau menduga yang bukan bukan, tidak mungkin SIn jie mau melakukan sesuatu yang
merugikanku”
Siauw Cap it-long mengatup mulut, ia tidak melakukan perdebatan. Sekecap katapun tidak
keluar dari mulutnya.
SIm Pak Kun berteriak lagi :

“Kau telah menolong aku, untuk bantuan ini aku sangat berterima kasih. Tapi bukan berarti
kamu menekan kebebasanku. Dengan alasan apa kau menekan aku di dalam kamar ini? Tidak
memperbolehkan Sin-ji membawa aku pulang?”
Siauw Cap-it-long mengirim satu kerlingan yang tajam sekali, sifatnya sangat dingin, dan ia
berkata:
“Kau salah paham.”
Bagaimanapun pandainya Siauw Cap-it-long menyembunyikan perasaannya, toh tidak dapat
menyembunyikan perasaan yang penuh cinta kasih kepada nyonya tersebut, dengan suaranya
yang bernada sedih, Sim Pek Kun dapat menangkap hal tadi.
Kemarahan sang nyonya itu agak mereda, dia berkata sabar:
“Mengapa kau pukul Sin-jie?”
Siauw Cap-it-long mengangkat pundak. Ia tidak dapat memberi penjelasan yang lebih terang.
“Hei”, Sim Pek Kun berteriak lagi, “Mengapa?”
Siauw Cap-it-long mengepalkan kelima jarinya dan berkata:
“Apakah kau mulai menaruh curiga kepadaku?”
“Aku tidak bercuriga.” berkata Sim Pek Kun, “Tapi kau harus memberi keterangan yang lebih
terang dan jelas, bilamana kau tidak mempunyai maksud jahat, lekas antar aku pulang ke
rumah.”
Siauw Cap-it-long menggelengkan kepala, “Belum waktunya.” ia berkata singkat.
Sim Pek Kun membelalakkan mata.
“Mengapa?” nyonya jelita ini semakin heran.
Siauw Cap-it-long sudah menggerakkan bibirnya hendak memberikan keterangan yang jelas,
tapi suaranya tertelan kembali, ia diam.
Sim Pek Kun menggigit bibir, dan mendesak lagi:
“Hayo, katakan apa alasanmu?”
Dengan secara singkat Siauw Cap-it-long berkata:
“Tidak mungkin hari ini.”
Sim Pek Kun bertanya:
“Bila?”
Siauw Cap-it-long berkata: “Kukira harus menunggu tiga atau lima hari lagi.”
Siaw Cap It Long menggunakan satu kamar dengan Sim Pek Kun, karena kedaan nyonya itu
yang sangat mengkhawatirkan sekali, kini Sim Pek Kun sudah sadar dan pikirannya sudah
menjadi tenang untuk menghindarkan dari kecurigaan orang, dia wajib segera

meninggalkannya, setelah berkata tadi, melalui pintu yang masih terbuka dia meninggalkan
kamar rumah penginapan tersebut.
Sim Pek Kun belum mengerti jelas atas tindakan Siaw Cap It Long yang sudah memukul
orang kepercayaannya Sin Jie, karena itu dia penasaran sekali, teruaknya keras :
“Hei, jangan kau pergi dahulu.”
Siaw Cap It Long tidak menghentikan langkahnya, dia berjalan pergi dan meninggalkan Sim
Pek Kun seorang diri.
Sepasang tangan Sim pek Kun menjadi gemetaran karena panas hatinya. Banyak sekali
kejadian-kejadian yang tidak dapat dimengerti olehnya. Terakhir adalah kejadian yang sudah
diperlakukan oleh Siaw Cap It Long kepada Sin Jie.
Sim Pek Kun menyesal akan tindakannya yang sudah tidak percaya kepada Siaw Cap It Long
tentang peringatan-peringatan yang sudah kepadanya tentang kedatangan Liu Eng Lam dan
Pang Tiaw Hui dan itu sudah menjadi kenyataan, bahwa Lie Eng Lam dan Pang Tiaw Hui
adalah dua pengkhianat, hampir dia celaka karenanya.
Kejadian berikutnya menyusul, kini Sin Jie datang, dan Siaw Cap It Long menaruh
kecurigaan besar kepada orang kepercayaannya itu.
Seharusnya Sim Pek Kun percaya kepada Siaw Cap It Long. Tapi kenyataan tidak, dia lebih
percaya kepada Sin Jie, karena orang yang terakhir adalah orang yang menjadi kepercayaan
dari ibu dan ayahbundanya, sedangkan Siaw Cap It Long adalah laki-laki asing yang belum
lama dikenal, belum diketahui namanya.
Bayangan Siaw Cap It Long sudah lenyap tidak terlihat.
Sim Pek Kun ditinggalkan seorang diri olehnya, mendiami satu kamar itu.
Lampu penerangan dalam kamar masih berkelap-kelip, menerangi meja, disana terdapat
makanan dan minuman keras, itulah arak.
Sim Pek Kun mengulurkan tangannya yang putih dan halus itu mengangkat cawan arak
ditenggaknya cepat.
Sim Pek Kun menenggak arak. Dengan cara ini dia hendak melampiaskan semua kekesalankekesalannya,
dengan cara ini dia hendak meredakan kemarahan dirinya.
Berita buruk
Sim Pek Kun adalah seorang nyonya yang arif bijaksana, sesudah menikah denga Lian Seng
Pek, selalu menurut kemauan suaminya itu, sedari kecil hingga dewasa belum pernah
menghadiri pesta-pesta, karena itu jarang sekali meminum-minuman keras.
Pernah juga Sim Pek Kun menyertai suaminya mengikuti perjamuan-perjamuan makan untuk
menyesuaikan diri atas ajakan toas tuan rumah atau tamu-tamu itu, dia mendapat kehormatan
memegang cawan arak, sebagai penghormatan yang lazim, dia hanya mengecup minuman
keras itu untuk membasahi bibirnya.
Belum pernah Sim Pek Kun menenggak minuman keras seperti apa yang kini telah
dilakukannya.
Minuman keras yang tersedia dimeja adalah arak Siauw Cap-it-long, untuk menungkuli dan

memberi perawatan yang secukupnya selama tiga hari tiga malam kepada si cantik jelita, agar
diri tidak mengantuk sekali, Siauw Cap-it-long menenggak arak yang sudah disediakan oleh
pelayan rumah makan.
Kini arak keras itu sudah diminum oleh Sim Pek Kun.
Mengikuti arus tenggorokannya, rasa hawa panas yang merangsang, seolah-olah ada api yang
mulai membakar dirinya. Sim Pek Kun mulai merasakan betapa hebat dan kerasnya arak
tersebut.
Didalam sekejap mata arak itu sudah buyar dan kandas ke dasar perut, kepala Sim Pek Kun
menjadi berat.
Orang yang belum pernah menenggak minuman keras, tentu tidak tahu pengalaman
pengalaman atau akibat sesudah minum arak tadi, kini Sim Pek Kun dapat merasakan
akibatnya.
Kecuali kepalanya yang agak menjadi berat, pikirannya pun sudah agak menjadi butek,
keadaannya limbung.
Kepintaran, kecantikan si nyonya jelita secara mendadak saja lenyap sama sekali. Dia pandai
menguasai dirinya, itulah disaat yang biasa, disaat normal. Bukan ini waktu. Kini Sim Pek
Kun betul-betul sudah menjadi mabuk.
Untuk menghilangkan rasa berat kepala tadi, Sim Pek Kun membaringkan dirinya di tempat
tidur.
Untuk beberapa waktu nyonya itu dapat menenangkan diri, hanya sebentar, tiba-tiba
terbayang wajah Siauw Cap-it-long.
Sim Pek Kun mulai berpikir, orang ini sangat mengherankan sekali. Tindak tanduknya
misterius, mengapa ia memukul dan mengusir Sin-Jie? Mengapa dia tidak mau mengantarkan
aku kembali? Mungkinkah ada sesuatu yang tidak beres? Selembar wajah muka Sim Pek Kun
menjadi merah.
Mengingat keadaan dirinya, Sim Pek Kun tahu bahwa dia belum lepas dari bahaya. Dia wajib
segera kembali ke rumah. Disana masih ada nyonya besar, disana masih ada suami dan
kawan-kawannya.
Dia berpikir lagi :
Dia tidak mau mengantarkan aku pulang kembali mungkinkah aku sudah tidak mempunyai
kaki ? Tidak bisa jalan sendiri ?
Yang diartikan dengan dia tentu saja Siauw Cap-it-long.
Semakin terasa ketepatan dari putusan ini. Sedetikpun tidak boleh terlambat. Dengan
kepalanya yang masih berat, Sim Pek Kun berusaha bangun dengan sekuat tenaga dia
meninggalkan tempat tidur mulutnya dipentang dan berteriak :
“Hei, pelayan.... pelayan rumah penginapan.... dimana kau ?”
Setelah mengucapkan panggilan itu, baru Sim Pek Kun sadar bahwa suaranya ini terlalu keras
sekali. Belum pernah dia membuka mulut seperti apa yang kini sudah dikoar-koarkan tadi.
Seperti dari dasar tanah saja, mendadak sontak seorang pelayan rumah penginapan sudah
berada di depannya.

“Nyonya ada perintah ?” bertanya pelayan rumah penginapan itu.
“Lekas sediakan aku kereta. Aku hendak kembali, Cepat.” Sim Pek Kun memberi perintah.
Pelayan itu ragu-ragu, memandang kearah malam gelap dan berkata gugup :
“Sekarang ? Di malam gelap yang seperti ini ? Hamba kira tidak mudah mencari kereta.”
Sim Pek Kun membentak :
“Lekas. Mengapa tidak bisa ? Harus kau dayakan berapa mahalpun uang sewa akan kubayar tahu ?”
Sifat sifatnya Sim Pek Kun itu yang halus lenyap mendadak, sebagai gantinya dia
membentak-bentak dengan kasar sekali.
Pelayan rumah penginapan tidak berani membantah, dia menoleh kebelakang, disana berdiri
seorang laki-laki yang berewokan, ini Siauw Cap-it-long. Pelayan rumah penginapan itu
meminta putusan Siauw Cap-it-long.
Mengikuti tolehan kepala si pelayan rumah penginapan, barulah Sim Pek Kun sadar bahwa
disana masih ada orang ketiga, itulah laki-laki asing bermata liar yang berandalan, orang yang
tidak dikenal olehnya orang yang tidak dikenal namanya olehnya.
Adanya Siauw Cap-it-long didepan mata Sim Pek Kun tidak berhasil meredam amarah sang
nyonya, kebalikan dari reaksi itu Sim Pek Kun menjadi marah besar, dadanya dirasakan mau
meledak, ia membentak keras :
“Bukan urusannya. Sudah jalankan perintahku.”
Kata kata ini ditujukan kepada pelayan rumah penginapan. Sim Pek Kun memberi perintah
untuk melayani menyediakan kereta untuknya. Dia hendak keluar, ada atau tanpa kawalan
Siauw Cap-it-long.
Siauw Cap-it-long mengggoyang-goyangkan kepala, menarik nafas dalam-dalam dan berkata
perlahan :
“Kau mabuk!”
Kata-kata itu ditujukan kepada Sim Pek Kun
Sim Pek Kun mendelikkan mata, bentaknya keras:
“Siapa kata aku mabuk? Hanya arak sedikit ini bisa memabukkan aku?”
Kemudian dengan menggoyang goyangkan tangannya Sim Pek Kun memberi perintah kepada
pelayan rumah penginapan untuk segera menjalankan perintahnya disertai juga oleh suara
nyonya cantik jelita itu yang sudah menjadi marah:
“Lekas. Lekas sediakan aku kereta, jangan ladeni dia. Dia sendirilah yang sudah mabuk.”
Yang diartikan dia olehnya adalah Siauw Cap-it-long.
Pelayan rumah penginapan memandang bergiliran, sebentar kearah Sim Pek Kun sebentar ke
arah Siauw Cap-it-long. Entah apa yang harus dilakukan olehnya. Siauw Cap-it-long
bergoyang kepala perlahan.

Dalam malam gelap itu, didaerah pegunungan yang sepi dan sunyi, mana bisa mencari kereta
secara cepat? Karena itulah pelayan rumah penginapan lebih suka mendengar perintah Siauw
Cap-it-long. Dia diam.
Sim Pek Kun membanting-banting kaki teriaknya keras sekali :
“Hei, kau tidak mau mengantarkan aku pulang. Mengapa tidak membiarkan aku pulang
sendiri?”
Kata-kata ini bukan ditujukan kepada pelayan rumah penginapan, tapi ditujukan kepada
Siauw Cap-it-long yang diam dalam seribu bahasa.
“Hai” Sim Pek Kun berteriak-teriak lagi “Kau mempunyai hubungan apa denganku? Kau
pernah apa denganku? Mengapa melarang aku? Dengan alasan apa kau menekan
kebebasanku?”
Siauw Cap-it-long selalu diam. Dibentak dan dimaki demikianpun tetap diam.
Inilah sifat khas Siauw Cap-it-long!
“Aku hendak pulang” Berkata lagi Sim Pek Kun.
“Tidak bisa.” Berkata Siauw Cap-it-long tegas.
“Mengapa?”
“Sudah kukatakan tidak bisa. Tentu saja tidak bisa.”
Sim Pek Kun menjadi sangat marah dia membentak keras :
“Dengan alasan apa, kau hendak mengekang kebebasanku ?”
“Aku tidak mengekang kebebasanmu, kuanjurkan agar kau tidak kembali kerumah di hari
ini.”
“Mengapa ?”
“Seseorang yang percaya tidak perlu mengajukan pertanyaan ‘Mengapa’ itu.”
“Huh, kau kira aku tidak tahu ? Kau mempunyai maksud tujuan tertentu. Sengaja menahan
diriku. Aku dianggap apa ? Hendak memiliki aku ? Mengimpi ! Kau mengimpi ! Jangan kau
mengimpikan sesuatu yang bukan menjadi hak milikmu, aku tidak membutuhkan bantuanmu,
aku tidak membutuhkan pertolonganmu. Pergi ! Lekas pergi ! Atau kau bunuh saja aku.”
Sim Pek Kun berteriak teriak, dan tubuhnya ditubrukkan kepada laki-laki kasar yang berada
didepannya.
Siauw Cap-it-long berkata dengan tenang :
“Kau sudah mabuk.”
Tubuhnya disingkirkan sedikit, maka terjadi tempat hampa, badan sang nyonya hartawan
nubruk tempat kosong, dia bergeliat.
Disaat itu, Siauw Cap-it-long sudah menyosorkan tangannya, dengan maksud tujuan
menyanggah tubuh Sim Pek Kun.

Disaat ini, Sim Pek Kun berteriak :
“Tolong.... Tolong.... Ada rampok...... Rampok....”
Cepat cepat tangan Siauw Cap-it-long ditarik kembali, begitu cepat sekali, dia cepat
menjulurkan tangan dan cepat pula menarik tangan yang bersangkutan.
Seperti seekor anjing betina yang sudah gila, Sim Pek Kun menarik tangan itu,
dilemparkannya ke mulut, dan grogot.... dia menggigit tangan Siauw Cap-it-long.
Seorang wanita agung bisa menggigit tangan seorang laki-laki yang belum dikenal? Inilah
suatu kejadian yang hampir tidak bisa dipercaya orang.
Siauw Cap-it-long juga tidak percaya.
Gigi-gigi Sim Pek Kun mendarahi kulit tangan Siao Cap-it-long, dia menggigit kulit tangan
jago berandalan itu, gigitan ini meresap kedalam tulang, inilah suatu kejadian yang sangat
melukai hatinya.
Terempas-empis Sim Pek Kun memaki lagi:
“Kuanggap kau sebagai orang baik, menolong diriku dari kesusahan. Ternyata kau
mempunyai maksud tertentu, tujuanmu tidak beda dengan apa yang dikandung oleh mereka.”
Siao Cap-it-long mengeluarkan elahan napas panjang.
Sim Pek Kun membentak lagi:
“Pergi! Aku tidak membutuhkanmu.”
Siao Cap-it-long membalikkan badan, dia meninggalkan nyonya agung itu.
Betul-betul Siao Cap-it-long pergi.
Sim Pek Kun mendapat kemenangan. Kini dia menerima hasil dari apa yang sudah
dicetuskan, memaki lebih hebat dari memukul, menggigit lebih hebat dari menusuk, sungguh
suatu hasil yang luar biasa, sungguh suatu hasil yang sangat gemilang sekali.
Hanya mengucapkan beberapa patah kata yang “Luar Biasa”, hanya mengerahkan sedikit
tenaga pada gigi-giginya, dia berhasil mengusir pergi laki-laki asing itu.
Suatu kejadian yang berada diluar dugaan.
Dimisalkan dia tidak menenggak arak, belum tentu Sim Pek Kun mempunyai itu keberanian,
inilah manfaatnya seorang yang menenggak arak.
Putusan Sim Pek Kun adalah:
Dia harus sering-sering dan banyak meminum arak.
Arak itu bisa menambah keberanian seseorang, bisa melakukan sesuatu yang belum tentu dia
berani lakukan, bilamana dia tidak berada didalam keadaan terjepit.
Sebagai seorang nyonya yang teragung dan terhormat, Sim Pek Kun mempunyai pribudi
pekerti yang halus sekali, sedapat mungkin, dia menjaga kewibawaannya.
Kini, dia telah melakukan sesuatu yang seperti perbuatan anak kecil.

Nyonya cantik jelita itu tertawa, dia tertawa seorang diri.
Siao Cap-it-long sudah pergi.
Disana telah bertambah seorang, inilah pelayan rumah penginapan. Adanya teriakan-teriakan
Sim Pek Kun tadi, tentu saja memanggilnya datang.
Apa yang telah dilakukan oleh Sim Pek Kun atas diri Siao Cap-it-long, juga masuk kedalam
matanya.
Pelayan itu tertegun ditempat, dia bingung juga.
Sim Pek Kun dapat menyaksikan hadirnya pelayan rumah makan tersebut.
“Kau tidak percaya?” Tiba-tiba dia membentak kearahnya.
“Per … Percaya …” Pelayan rumah penginapan menjadi gugup. Dia sendiripun tidak tahu,
apa yang harus dipercaya olehnya. Mengingat adanya seorang langganan yang patus
dihormati, dia mengiringi semua kehendak hatinya.
Laki-laki tadi kurang ajar sekali, bukan?” bertanya lagi Sim Pek Kun.
Be … Betul … Ku … Kurang ajar sekali.” Pelayan rumah makan tadi sudah dibiasakan untuk
mem-beo.
Sim Pek Kun mengelah napas, katanya lagi:
“Aku muak bertengkar dengannya.”
“Ng … Ng …” Pelayan rumah penginapan mengiyakan segala kata-kata tamunya.
Pelayan rumah penginapan bukan mendukung kebijaksanaan Sim Pek Kun, kewajiban
seorang pelayan adalah menghormat setiap tamu, karena itu, dia mengiringi semua kemauan
si nyonya.
Sim Pek Kun salah terima, anggapnya pelayan itu mendukung dibelakang dirinya. Inilah
kebenaran. Kebenaran dan keadilan berada dibelakang dirinya.
Hatinya terhibur, langkahnya tepat. Tidak salah.
Biar bagaimana, didalam dunia ini, masih ada orang yang mendukung dirinya.
Hati Sim Pek Kun terhibur.
Tapi, si pelayan rumah penginapan yang menyaksikan kemabukan nyonya cantik itu sudah
mulai memuncak, tentu saja tidak berani terlalu dekat, secara diam-diam, dia hendak
menyingkirkan dirinya, kakinya sudah mulai digeser kebelakang. Siap meninggalkan sang
tamu.
Tiba-tiba Sim Pek Kun membentak:
“Hei, tahukah kau, letak tempat perkampungan Sim-kee-tjhung?”
Cengar-cengir, pelayan itu berkata:
“Untuk daerah ini, siapakh yang tidak tahu letak tempat kampung Sim-kee-tjhung?”

“Kau juga tahu?”
Pelayan itu menganggukkan kepalanya.
“Kau tahu, siapa aku?” bertanya lagi nyonya tersebut.
Kini, pelayan tersebut menggoyangkan kepalanya.
“Baru pertama ini nyonya bermalam dirumah penginapan kami, lain kali, pasti hamba tahu.”
Setiap orang tentu takut kepada orang mabuk. Pelayan rumah penginapan itupun tidak
terkecuali.
Walaupun Sim Pek Kun seorang wanita, karena ada perubahan yang nyata pada wajah nyonya
ini, siapapun tahu, bahwa dia telah menenggak arak.
Sang pelayan hendak menjauhkan diri dari kerewelan-kerewelan, maka dia sudah bergegasgegas
pergi.
Adanya pertanyaan-pertanyaan Sim Pek Kun memaksa dia membatalkan niatan tadi, dia tidak
berani lari begitu saja, lari berarti mencari penyakit, entah perlakuan apa yang diperbuat oleh
tamu mabuknya.
Sim Pek Kun tertawa puas, dia berkata:
“Kuberi tahu kepadamu, aku adalah nona muda dari kampung Sim-kee-tjhung. Bila kau bisa
mengantarkan aku kembali kerumah itu, akan kuberi hadiah yang banyak.”
Pelayan itu tertegun. Dia mulai memperhatikan sang nyonya cantik jelita.
Sim Pek Kun mendelikkan mata. “Kau tidak percaya?” dia mulai membentak.
Pelayan itu menjadi ragu-ragu, dengan bergoyang kepala, dia berkata:
“Nona dari kampung Sim-kee-tjhung? Ach lebih baik, tidak pergi ketempat itu.”
“Mengapa?” bentak Sim Pek Kun keras.
“Kampung Sim-kee-tjhung sudah menjadi rata dengan bumi, sudah terjadi kebakaran yang
melanda Sim-kee-tjhung, terjadi pertempuran-pertempuran berdarah, yang mati dan yang luka
tidak terhitung lagi. Kini, tidak seorangpun yang berada ditempat itu.”
Dunia dirasakan seperti melekah, Sim Pek Kun bungkam untuk beberapa waktu. Setelah itu,
tiba-tiba dia berteriak:
“Bohong! Bohong! Aku tidak percaya. Tentunya kau memberi keterangan palsu. Kau sudah
makan sogokan orang tadi.”
Dengan wajah yang dipaksakan tertawa, pelayan tersebut berkata:
“Hamba tidak berani melakukan kebohongan, apa lagi kepada seorang tamu, lebih-lebih tidak
berani lagi.” “Kalian tentu sudah bersekongkol lebih dahulu. Sudah tentu dia memberi uang
kepadamu. Maka kau tidak berani menentang kemauannya. Tidak seorangpun dari kalian
yang baik. Semua orang jahat! Semua orang berlaku jahat kepadaku.”
Suara Sim Pek Kun sudah hampir menangis.

Pelayan itu berkemak-kemik.
“Nona tidak percaya? Hamba tidak bisa memberi keterangan yang lebih terperinci.”
Sim Pek Kun menelungkupkan kedua tangannya, dia menangis sesenggukan.
Pelayan rumah penginapan itu sudah siap pergi, mendengar isak-tangisnya si cantik jelita, dia
menghentikan langkahnya.
Air mata seorang wanita adalah senjata terampuh bagi kaum lemah itu. Betapa kuatnya
seorang laki-laki, dia akan gugur dibawah tangisan wanita. Sejarah bisa mengajukan seribu
bukti, tentang kebenaran dalil ini.
Pelayan rumah penginapan itu tidak terkecuali, hatinyapun terbawa oleh arus kasihan.
Dengan menghela napas, dia berkata:
“Baiklah. Apabila tidak percaya bahwa kampung Sim-kee-tjhung sudah dilanda oleh api
kekacauan, biarlah hamba antar ketempat tersebut.”
PUTUSAN SIAO CAP-IT-LONG
SIAO CAP-IT-LONG sudah meninggalkan Sim Pek Kun, dia menenggak arak lagi, terusmenerus
menenggak araknya.
Yang heran, sesudah berguci-guci arak ditenggak kering, masih juga dia belum mau mabuk.
Hari itu, Siao Cap-it-long tidak bisa mabuk.
Pada hari-hari terakhir ini, sudah terjadi perubahan-perubahan yang nyata. Sifat-sifat Siao
Cap-it-long sudah banyak berubah.
Siao Cap-it-long adalah laki-laki yang jenaka, periang dan tidak mengenal susah.
Hanya dihari-hari inilah sifatnya berubah, pendiam dan dilingkungan oleh kebingungankebingungan.
Sim-kee-tjhung sudah dibakar orang, seharusnya, dia memberi tahu hal ini.
Tapi, dia tidak memberi tahu kepada Sim Pek Kun, takut menimbulkan kesedihan yang
bertumpuk-tumpuk.
Karena itu, dia dimaki dan digigit.
Sim Pek Kun salah terima, menduga kearah yang buruk.
Siao Cap-it-long diusir pergi.
Dengan adanya pelayan rumah penginapan itu, toh dia akan mengetahui hancurnya Sim-keetjhung.
Siao Cap-it-long sedang membayangkan apa yang menyebabkan perubahan dirinya?
Didalam hati, ia berpikir:

“Mengapa aku tidak berani memberi tahu pembakaran Sim-kee-tjhung kepadanya? Mengapa
harus menutupinya? Bisa atau tidaknya, dia menerima berita2 buruk itu tergantung dari
kekuatan hati orang, mengapa aku harus banyak pusing?”
Siao Cap-it-long tertawa dingin, lagi-lagi mengeringkan cawan araknya.
“Kita tidak mempunyai hubungan keluarga, mengapa harus memikirkan kesulitankesulitanmu?”
demikian pikiran kecil si jago berandalan.
Dia mengusir Sim Gie, karena tidak mungkin orang tua itu datang dengan maksud baik.
Sim-kee-tjhung sudah dibakar orang, dirusak dan dihancurkan, dengan alasan apa, Sim Gie
hendak menjemput majikan mudanya?
Siao Cap-it-long tidak memberi keterangan yang lebih jelas dan lebih terperinci, karena itu,
Sim Pek Kun salah paham.
Tujuannya membekukan berita hancurnya Sim-kee-tjhung adalah menghindari tekanan bathin
yang lebih hebat, derita-derita yang menimpa Sim Pek Kun sudah terlalu banyak, nyonya itu
tidak boleh menerima berita buruk lagi, hal ini bisa membuatnya menjadi gila.
Betulkah Sim Pek Kun bisa gila?
Siao Cap-it-long tidak akan membiarkan terjadi kejadian yang seperti itu, maka dia sulit
memberi keterangan yang bisa memuaskan hati si cantik-jelita.
Demikianlah salah paham diperbesar.
Lagi-lagi Siao Cap-it-long menenggak arak, pikirnya: “Dia tidak percaya kepadaku. Ach,
mengapa aku harus banyak menyusahkan diri? Apa gunanya aku memikirkan
kepentingannya?”
Siao Cap-it-long sudah mengambil putusan untuk meninggalkan nyonya itu. Maka dia bisa
bergerak bebas kembali.
Pelayan rumah penginapan sudah membawa kereta, siap mengajak Sim Pek Kun kekampung
Sim-kee-tjhung.
Tidak lama kemudian …
Dernyitan roda-roda kereta seperti menggelinding dipermukaan hati Siao Cap-it-long.
Timbul rasa khawatirnya, pikirannya lagi:
“Siao-kongcu tidak akan melepaskannya, dia tentu masih berada disekitar daerah ini. Bila dia
tahu bahwa Sim Pek Kun pergi tanpa pengawalanku, tentu jiwanya terancam.”
Siao Cap-it-long sudah siap bangkit dari tempat duduknya, dengan maksud mengawal
keamanan Sim Pek Kun.
Teringat lagi kepada sikap nyonya itu, hatinya menjadi dingin, dia membatalkan maksudnya
tadi. Dia duduk kembali.
Katanya didalam hati:
“Sudah kukatakan tidak mau usil dengan perkaranya. Mengapa harus banyak menyusahkan
diri.”

Terbayang kembali wajah Sim Pek Kun yang merah mabuk itu.
“Aaaaaa … Dia berada didalam keadaan mabuk, bagaimana dia bisa menjaga diri? Ilmu
kepandaian Siao-kongcu begitu hebat, tipu-tipunya terlalu banyak, mana sanggup dia
mempertahankannya?”
Mengetahui bahwa Sim Pek Kun berada didalam keadaan mabuk, Siao Cap-it-long
mengemukakan lain alasan:
“Dia sudah lupa diri. Aku harus bisa memaafkan kesalahan orang. Apa lagi kesalahannya
yang tidak disengaja. Belum tentu dia tidak percaya kepadaku, dia mengusirku, karena
tekanannya air kata-kata.”
“Baiklah. Sekali lagi kutolongnya. Mungkin bisa menghindari kesalah-pahaman. Biar dia
sadar, bahwa aku tidak mempunyai tujuan yang jahat.”
“Tapi … Tapi … Dia tidak tahu, bahwa dia sedang berjalan dengan Siao Cap-it-long, bila saja
dia tahu, tentu terjadi lain perubahan, begitu bencinya kepada nama Siao Cap-it-long, entah
apa yang dilakukan kepadaku?”
“Ach … Jangan memikirkan sampai ketempat itu. Kau sudah menolongnya dua kali, mengapa
tidak mau memberi pertolongan yang ketiga kalinya? Bisakah aku berpeluk tangan,
bila sampai terjadi, dia diringkus oleh Siao-kongcu itu?”
Satu guci arak lagi telah dikeringkan olehnya.
Pikiran Siao Cap-it-long begitu kusut, hatinya bimbang sekali.
Akhirnya, diapun mengambil putusan:
“Biar bagaimana, aku harus menolongnya.”
Dia bangkit, hanya dua kali enjotan badan, dia menyusul kereta yang membawa Sim Pek Kun
kearah kampung Sim-kee-tjhung.
jilid 7_________________
RODA-RODA kereta bergelinding sangat cepat.
Derap langkah kaki Siauw Tjap-it Long lebih cepat lagi, dia membayangi adanya kereta di
depan itu.
Kereta dan bayangan itu meluncur kearah kampung Sim Kee Chung yang sudah hancur
menjadi puing.
Keritannya roda-roda kereta membawakan irama lagu yang mengalun.
Terayun oleh goyangan kereta, terserang oleh daya letih yang terus menerus, Sim Pek Kun
tertidur.
Ia bermimpi, ada sepasang sinar mata yang besar, dengan biji hitamnya yang bersinar
menatap tajam, tiba-tiba wajah itu menangis, kemudian tertawa, ia benci kepada wajah itu, ia
sangat benci kepada tertawa Siauw Cap-it long, seolah-olah pisau belati yang tajam merobekrobek
dadanya.

Dari sakit hati, Sim Pek Kun berubah menjadi marah, ia membacok, orang itu tidak
mengelakkan, mengenai perutnya, isi perut itu terkoyak-koyak.
Tiba-tiba terjadi perobahan, orang itu adalah suaminya sendiri, Lian Seng Pek.
Darah membanjiri tempat itu, mengalir terus-menerus, tidak berhenti, semakin lama semakin
banyak. Kini menganak sungai, menjadi lautan darah, perlahan-lahan memendamkan lututnya
hingga perut, sehingga leher, akhirnya mulai kehidung, terus meningkat kearah mata.
Sim Pek Kun hendak menjerit, tapi tidak bisa mengeluarkan suara.
Tubuhnya gemetaran, mengejang keras.
Sayup-sayup seperti terdengar suara orang berbicara, semakin lama semakin dekat, dan tibatiba
ditelinganya.
Sim Pek Kun sadar dari impian buruk.
Kereta pun sudah terhenti, pintu bisa terbuka, angin dingin bertiup masuk menggigilkan
dirinya.
Sim Pek Kun menggigil dingin karena adanya serangan angin itu.
Si pelayan rumah makan sudah menghentikan kereta, berdiri didepan Sim Pek Kun, dengan
wajah yang penuh iba, ia berkata.
“Nona sudah bangun? Kampung Sim kee Chung sudah berada didepan.”
Sim Pek Kun menatap wajah pelayan rumah yang baik hati itu, ia masih belum bisa
menyelami arti kata-kata darinya, kepalanya dirasakan sangat berat, berat sekali, sulit untuk
didongakkan.
Kampung Sim Kee Chung telah berada didepan mata! Ia telah kembali ke rumahnya.
Sim Pek KUn hampir tidak percaya pada kenyataan.
Dengan mulut berkemak-kemik, sipelayan rumah penginapan itu berkata lagi:
“Inilah Sim Kee Chung. Tapi............. ada lebih baik nona tidak turun dari kereta.”
Sim Pek Kun tertawa.
“Nona tidak mau turun dari kereta?”
Sim Pek Kun memperlihatkan wajah bangga, dengan keras ia berkata:
“Tentu saja aku turun dari kereta. Sudah tiba dirumah. Mengapa tidak turun dari kereta?”
Teringat kepada rumahnya, teringat kepada kampung halamannya, Sim Pek Kun tidak raguragu
lagi, berusaha membebaskan diri dari belengguan sang penyakit, menggerakan kaki,
daging berat itu digusur keluar kereta. Hampir saja ia jatuh terjerembab.
Pelayan penginapan cepat-cepat memegangnya, agar si nona tidak terjatuh, dengan menghela
napas ia berkata:
“Ada lebih baik nona tidak turun dari kereta.”

“Mengapa tidak turun?” Sim Pek Kun tertawa. “Mungkinkah hendak menyeret aku
dikendaraan, membiarkan kereta masuk hingga ke rumah?”
Tiba-tiba, suara tertawa Sim Pek Kun terhenti manakala ia telah menyaksikan kampung Sim
Kee Chung yang telah berada didepan matanya. Aapa yang terbentang didepan mata? Hanya
puing-puing kayu yang menghangus. Seluruh tubuhnya menjadi kejang, seperti patung.
Terkenang kembali kejadian lama, kabut terlalu tebal meliputi telaga Tay Beng Ouw.
Telaga Tay beng ouw adalah telaga indah, air jernih dan bening, tidak peduli disiang hari,
walaupun dimalam hari, apalagi diwaktu ada kabut putih, kecantikan telaga itu tidak pernah
luntur.
Kamar tempat tinggal Sim Pek Kun dibangun ditepian telaga Tay beng ouw, setiap kali ia
membuka jendela, maka pemandangan indah itu meresap dan berdarah daging di dalam
kesannya.
Belum pernah Sim Pek Kun lupa kepada pemandangan yang indah itu, sesudah ia menikah
dengan Lian Seng Pek, masih belum juga Sim Pek Kun kembali ke kampung halamannya. Ia
menempati tempat yang lama, mengenang keindahan-keindahan dimasa mudanya.
Setiap kali Sim Pek Kun membuka jendela, maka dirinya rasa muda kembali. Menjadi anakanak
seperti dulu kala.
Sekarang, apa yang bisa disaksikan oleh Sim Pek Kun.
Bangunan indah dan megah sudah lenyap sama sekali. Hanya kayu-kayu yang sudah menjadi
hitam bersilangan dan saling tumpuk.
Kampung Sim Kee Chung sudah dihancurkan rata dengan bumi.
Pintu depan yang terbuat kokoh dan kekar lambang kejayaan dari keluarga Sim, kini tidak
tampak kembali
Hati Sim Pek Kun seperti tenggelam, seperti tenggelam kedasar telaga maut.
Siapa yang membakarnya? Siapa yang menghancurkan kampung Sim Kee Chung? Kemana
kepergiannya orang-orang Sim kee chung itu?
Sim Pek Kun tidak lagi menangis, tekanan-tekanan batin yang lebih hebat dari inipun telah
pernah dialami. Jiwanya telah membeku.
Terpeta satu bayangan yang penuh kasih sayang, itulah bayangan nenek yang sudah beruban,
nenek Sim Pek Kun yang sangat mencintainya. Wajah iut cukup agung, tapi ramah selalu
tersungging senyum.
“Mungkinkah nenek juga sudah tidak ada?” berpikir Sim Pek Kun.
Teringat kebaikan Sim Tay Kun, melupakan luka dikaki, melupakan kepalanya yang pusing
timbul kekuatan yang tak terkira, Sim Pek kun menerjang masuk kedalam tumpukan puing
itu.
Si pelayan penginapan hendak menariknya, tapi tidak berhasil.
Sim Pek Kun telah membentur kenyataan, kakinya menendang dan bersentuhan dengan kayuKoleksi
Kang Zusi
kayu yang sudah menjadi hitam hangus, itu bukan impian, bukan khayalan. Akhirnya ia
menangis.
Pelayan itu menghampirinya, berdiri disamping sisi si nyonya agung, turut berduka, tapi ia
tidak berdaya, beberapa lama kemudian, dengan suara yang agak gugup, berusaha
menenangkan dirinya, pelayan itu berkata:
“Kenyataan tidak bisa disangkal, lebih baik nona balik saja kerumah penginapan biar
bagaimana, membikin perundingan dengan tuan itu.”
Sim Pek Kun masih menangis.
Si pelayan menghela napas, baru menyambung pembicaraannya:
Kulihat, tuan itu bukan seorang yang jahat. Tidak mungkin jauh-jauh ia menghantar nona
kemari. Manakala mempunyai maksud tujuan buruk. Ia tidak mau mengantar nona kemari,
tentu mempunyai maksud tertentu, mungkin takut sesuatu, mungkin pula untuk menghindari
kesedihan nona.”
Tanpa hiburan si pelayan, rasa sedihnya Sim Pek Kun bisa mereda. Tapi diucapkan kebaikan
Siauw Cap-it-long, Sim Pek Kun semakin bersedih.
Ia hendak menghapus bayangan sepasang mata yang besar dan jeli dari Siauw Cap It long
tidak berhasil.
“Pelayan inipun percaya kepadanya, Mengapa aku tidak bisa percaya ?”
Si pelayan menjadi bengong.
Dengan sedih Sim Pek Kun berpikir, “Bukan sedikit budinya yang ditanam atas diriku,
mengapa masih tidak percaya kepadanya ? Mengapa memakinya, mengapa memukulnya ?”
Sim Pek Kun menyesal atas perbuatan-perbuatan yang sudah dilakukan pada Siauw Cap It
long.
Dimisalkan, dalam keadaan yang seperti ini, Siauw Cap It long muncul mendadak, Sim Pek
Kun bisa merangkul tubuh laki-laki itu, menangis untuk menjelaskan rasa penyesalannya,
meminta maafnya!
Tentu saja Siauw Cap It long tidak muncul di dalam keadaan seperti itu.
Disana mendatangi sesuatu bayangan, tapi bukan Siauw Cap It long. Untuk membangkitkan
rasa tertariknya dari Sim Pek Kun, orang itu berbatuk-batuk.
Si pelayan bukanlah seorang asing, tetapi terdengarnya batuk ditempat itu cukup
membangunkan bulu roma, ia bergidik takut.
Suara batuk itu mengejutkan pelayan, juga mengejutkan Sim Pek Kun, munculnya tiba-tiba
sekali, tanpa suara, tanpa isyarat lagi.
Hampir Sim Pen Kun tidak berani menengok, betul-betul ia takut, bilamana menyaksikan
seseorang yang sudah hangus terbakar muncul di depannya, ia membentak :
“Siapa ?”
Sim Pek Kun telah menghentikan tangisnya. Memperhatikan orang yang datang.

Orang yang datang dengan suaranya yang rendah itu berbicara :
“Nona menangis di tempat ini, mungkinkah mempunyai hubungan baik dengan keluarga Sim ?”
Suara orang itu sangat panjang sekali, sabar, suatu bukti bahwa ia mempunyai perangai yang
cukup dalam.
Sim Pek Kun menganggukkan kepala, ia membenarkan perkataan itu.
“Aku seorang dari keluarga Sim.” ia menjawab.
“Bagaimana hubungan nona dengan Sim Thay Kun ?” bertanya orang itu.
“Sim Thay Kun adalah ..... "
Sim Pek Kun menghentikan jawabannya. Katanya, “nenekku” tertahan di tenggorokan.
Sesudah terjadi pengalaman-pengalaman di dalam beberapa hari terakhir ini, Sim Pek Kun
bisa menyelami, betapa jahatnya masyarakat, ia harus berhati-hati.
Dengan sabar orang itu menunggu jawaban selanjutnya, tapi tidak kunjung datang, maka
dengan perlahan-lahan ia bertanya :
“Mungkinkah aku berhadapan dengan Lian Hujin ?”
Lian Hujin berarti nyonya Lian Seng Pek.
Sim Pek Kun ragu-ragu lalu bertanya :
“Kau belum menjawab pertanyaanku, siapa kau ?”
Dalam anggapan Sim Pek Kun, ia telah memberi jawaban yang paling tepat. Mana diketahui
olehnya, jawaban yang itu yang sangat diharapkan oleh orang yang bersangkutan, ia tertawa
dan berkata :
“Betul-betul nyonya Lian Seng Pek, aku yang kurang layak memberi penyambutan.”
Si Pelayan rumah penginapan sudah melihat jelas, disana sudah bertambah dua orang, yang di
depan adalah orang tinggi, yang di belakang adalah orang pendek. Yang tinggi berbadan
besar, yang pendek berbadan kurus, sepintas selalu, bisa saja dianggap seorang.
Orang yang bicara dengan Sim Pek Kun adalah si tinggi besar, wajahnya hitam seperti pantat
kuali, tangannya memegang sebuah tombak panjang, lebih panjang dari tubuhnya yang tinggi
itu, ujung tombak terurai sawir-sawiran merah, berkilat-kilat, tampak gagah sekali.
Orang yang berdiri dibelakangnya sangat kurus dan kecil, bila tidak diperhatikan, tidak
terlihat. Wajahnya sangat kuning, pucat pasi, ia menggunakan senjata yang luar biasa
anehnya, senjata itu berbentuk seperti pacul, tapi bukan pacul, agak mirip dengan linggis, juga
bukannya linggis.
Senjata ini dinamakan Lui-kong-ciok, senjata yang terbuat dari besi yang hampir berupa
gaetan lancip.
Si tinggi besar dan si kurus kering tadi segera berendeng, memberi hormat kepada Sim Pek
Kun. Sikapnya sangat hormat sekali.
Sim Pek Kun memperhatikan kedua orang itu, tapi tidak bisa menyebut nama mereka, sekali

lagi ia mengulang pertanyaannya :
“Bagaimana sebutan jiwi yang mulia ?”
Si kurus kering yang berwajah pucat pasi segera memberi jawaban :
“Kami Lie Ban Tong, datang dari telaga Tay-ouw.”
Sebelum si kerdil ini membuka mulut, setiap orang yang menyaksikan bentuk tubuhnya
seperti itu, tentu menduga suaranya tidak bisa keras. Tapi di luar dugaannya, suaranya ini
menggeluntur, seolah-olah menganggap sekelilingnya itu pekak semua.
Menyambung pembicaraan sikurus kecil yang mempunyai suara keras seperti guntur itu, si
tinggi besar juga menjawab :
“Kami bernama Liong It San. Juga datang dari telaga Tay ouw.”
Bilamana si kurus kecil sangat memekakan telinga, suara si tinggi besar ini yang bernama
Liong It San ini sangat perlahan sekali. Sikapnya tetap tenang, tetap sabar.
Wajah Sim Pek Kin berubah menjadi riang, ia menjadi girang.
“Ternyata Lie Tayhiap dan Liong tayhiap.......”
Lie Ban Tong dan Liong It San adalah pendekar silat ternama, mereka tidak pernah
memisahkan diri, mereka mendapat julukan sepasang pendekar kilat dan guntur dari telaga
Tay ouw. Pendekar kilat Liong dan Pendekar guntur Lie Ban Tong.
SIAPA PEMBUNUHNYA
PENDEKAR guntur dari telaga Tay ouw Lie Ban Tong menggunakan sepasang senjata Lui
keng ciok, tipu silatnya sangat luar biasa, dengan sepasang senjata aneh itu ia bersilat di
tanah, dan di dalam telaga, sangat lincah, selalu gesit, tenaganya kuat, tidak mudah untuk
menandinginya.
Pendekar kilat dari telaga Tay ouw Liang It San betul-betul mempunyai kecepatan kilat, ilmu
meringankan tubuh kelas satu, Untuk bertanding lari, belum pernah ada yang
memenangkannya.
Kedua jago ini pernah berkelana di rimba persilatan, dan menyebarkan benih-benih kebajikan,
maka mendapat julukan sepasang pendekar dari telaga Tay-ouw.
Yang diartikan pendekar tentu saja mempunyai jiwa yang bersifat ksatria, menolong orang
yang sedang berada didalam kesulitan, menumpas kejahatan. Menegakkan keadilan dan
kebenaran, menghancurkan kebatilan-kebatilan.
Sim Pek Kun belum pernah bertemu muka dengan sepasang pendekar dari telaga Tay Ouw,
tapi nama-nama kependekarannya kedua tokoh tersebut telah mengiang selalu. Kini
mengetahui bahwa kedua orang yang berada di depannya adalah bukan orang jahat, ia
tersenyum riang.
Tapi senyum Sim Pek Kun itu tidak terlalu lama, tiba-tiba terhenti di tengah jalan, ia
menggenggamkan pula wajahnya. Teringat kisah Pang Tiauw Hui dan Liu Eng Lam. Pang
Tiauw Hui dan Liu Eng Lam juga pendekar-pendekar ternama, sifat-sifat ksatria mereka telah
terkenal, tapi apa yang dilakukan atas dirinya? Pang Tiauw Hui dan Lie Eng Lam hanya
berupa serigala-serigala berkulit manusia, dimulut mereka mengaku pendekar, dihati mereka

selalu melakukan perbuatan bajingan-bajingan.
Pengalaman yang di dapat dari Pang Tiauw HUi dan Liu Eng Lam adalah pil [ahit yang
pernah ditelan oleh Sim Pek Kun, perbuatan seorang pendekar yang lebih jahat dari berandal.
Sepasang pendekar telaga Tay-ouw dikisahkan sebagai pahlawan-pahlawan yang mempunyai
prestasi kependekaran-kependekaran, tapi dibalik kisah kependekaran ini, mungkinkah tidak
tersembunyi sesuatu ?
Karena mempunyai pikiran yang seperti inilah, tertawanya Sim Pek Kun tidak bisa di
teruskan.
Dengan membungkukkan setengah badan, Liong It San berkata :
“Kami sangat gembira bisa bertemu dengan nyonya.”
Anda sedang membaca artikel tentang Anak Berandalan 1 dan anda bisa menemukan artikel Anak Berandalan 1 ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/09/anak-berandalan-1.html,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Anak Berandalan 1 ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Anak Berandalan 1 sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Anak Berandalan 1 with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/09/anak-berandalan-1.html. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 1 komentar... read them below or add one }

Putro mengatakan...

Lumaya bete sih gan bacanya, Entah kenapa ga se excited ane ngebaca soal kebenaran teori bumi datar.

Posting Komentar