Cersil : Makam Asmara 1 ; Lanjutan Persekutuan Tusuk Kundai Kemala

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Jumat, 23 September 2011

Karya : - Wo Lung-shen
Diceritakan oleh - S.D Liong
Di upload di http://ecersildejavu.wordpress.com/
(Putra Negara & Edi Saputra)
Ebook by Dewi KZ
http://kangzusi.com/ atau http://dewi.0fees.net/
(Lanjutan Persekutuan Tusuk Konde Kumala)
Jilid 1
Luka hati luka tubuh.
Pada jalan dilereng gunung yang menurun landai, penuh ditumbuhi gerombolan pohon Siong
yang pendek.
Seorang pemuda dengan napas terengah-engah tengah merangkak naik. Rupanya dia sedang
menderita luka parah.
Tangan kirinya mencekal batang pohon siong pendek untuk mengayunkan tubuhnya.
Akhirnya dengan cara menarik batang demi batang, walaupun tampaknya susah payah, namun
akhirnya kerhasil juga pemuda itu mencapai puncak bukit. Dia menghela napas panjang Lalu
duduk melepaskan lelah.
Tangan kanannya memegang sebatang pedang pusaka. Diletakkannya pedang pusaka itu
ketanah.
Rupanya ia sudah kehabisan tenaga. Setelah meletakkan pedang,iapun rubuh dibawah
sebatang pohon siong kecil.
Tiba-tiba dari kaki puncak bukit muncul seorang dara. Ia berteriak memanggil nama pemuda itu
seraya mendaki keatas.
Ketika melihat keadaan pemuda yang rebah menggeletak dibawah pohon siong, air mata dara
itu berderai derai laksana hujan mencurah.
Sekonyong-konyong pula dikaki bukit terdengar suara orang tua tengah memanggil-manggil
nama dara itu.
Dara itu mendengarnya tetapi ia keraskan hati tak mau menyahut.Dara itu ayunkan langkah
menghampiri tempat sipemuda menggeletak, serunya penuh kecemasan, “Tenagamu sudah habis,
jangan keras kepala, ijinkanlah aku memapahmu!”
Tetapi pemuda itu diam saja. Matanya tetap memejam. Dara itu makin cemas. Ia ulurkan
tangan meraba hidung sipemuda.
Ah napas pemuda itu berhembus lemah dan terputus-putus. Tangannyapun membeku kaku.
Ternyata pemuda itu pingsan.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dara itu mengeluarkan sehelai saputangan sutera untuk mengusap airmatanya. Serangkum bau
harum bertebaran menusuk hidung.
Rupanya bau harum itu telah menyadarkan pikirannya “Ah, mengapa aku lupa?” serunya
seorang diri, “Bukankah saputangan pemberian dari dara puteri ketua partai Lam-hay-bun itu
terdapat tulisan resep obat yang manjur?”
Buru-buru ia merentang saputangan itu. Ah…. Ia mengeluh. Ternyata tulisan pada saputangan
itu sudah terhapus terkena airmatanya.
Sejenak meneliti bekas-bekas tulisan itu, si dara pun lalu menyimpan saputangannya pula.
Kemudian ia memeluk pemuda itu, memandang wajahnya lalu berkata seorang diri, “Matilah! Ya,
kematian akan mengurangi penderitaan….”
Tiba-tiba ia rasakan pemuda itu tubuhnya bergeraK, matanya terbuka sebentar lalu menutup
pula.
Dara itu lekatkan telinganya kedada sipemuda. Didengarnya jantung pemuda itu masih
berdetak-detak.
Segera ia mengangkat tubuh pemuda itu, menjemput pedangnya lari meinbawanya lari. Dalam
beberapa saat ia sudah melintasi dua buah puncak bukit dan tiba disebuah tempat yang tenang
tiada berangin. Tempat itu merupakan sebuah cekung gunung, luasnya tiga empat tombak, penuh
ditumbuhi rumput. Ia meletakkan tubuh pemuda itu ditanah, mengusap peluh didahinya lalu
duduk disamping pemuda itu, memandang surya yang tengah menyingsing disebelah timur
dengan terlongong-longong.
Menilik gerak geriknya, jelas dia seorang dara yang manja sehingga canggung menghadapi
keadaan seperti saat itu.
Beberapa saat kemudian tiba-tiba ia bangkit, mengambil pedang yang terselip dipunggungnya
lalu dilemparkan keatas rumput dan menggeram, “Hm, jika sejak kecil aku tak selalu main-main
engkau dan menggunakan waktuku untuk membaca buku obat-obatan sekarang tentu aku sudah
dapat menolongnya.”
Tiba-tiba pula ia teringat bahwa seorang dara baju ungu telah memberinya pil putih penawar
racun Mengapa ia mau mencobakan pil itu kepada pemuda yang ditolongnya ini. Mendapat pikiran
itu ia segera mengambil pil. Pil itu hanya tinggal dua butir. Sesungguhnya untuk mengobati dirinya
yang sedang sakit, Namun ia memberikan juga kepada pemuda itu. Dengan minum pil itu dapatlah
pemuda itu hidup lagi sampai sebulan lamanya. Ia menjemput sebutir lalu disusupkan kemulut
sipemuda. Ternyata pil itu benar-benar berkhasiat sakti.
Beberapa saat kemudian, tiba-tiba pemuda itu sadar dan berbangkit duduk.Ternyata pemuda
itu terluka pada lambungnya. Kemungkinan dia tentu habis melakukan pertempuran dengan
musuh. Setelah duduk ia memandang pada lukanya lalu pelahan lahan beralih pandang kewajah
dara yang menolongnya, kemudian bertanya hambar, “Dimanakah kita sekarang ini?”
Sikap pemuda yang keras kepala dan pantang menyerah itu telah membangkitkan rasa kagum
pada si dara.
Kegelisahan dara itupun mulai menurun. Setelah menata rambutnya yang’ kusut, dara itu
tertawa: Entahlah, aku juga tak tahu.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tempat ini sebuah cekung gunung yang sunyi tetapi entah apa namanya.”Pemuda itu
memandang ke sekeliling lalu berkata, “Aku ingin mati dipuncak gunung, siapa yang membawa
aku kemari?”
“Engkau pingsan dipuncak itu lalu kubawa kemari.
Disana banyak angin….” sahut si dara lalu menghela napas, “aku mengikuti dibelakangmu dan
tahu engkau menderita luka parah sedang mendaki kepuncak gunung. Hendak kubantu…. tetapi
aku kuatir engkau marah.”
Tiba-tiba pemuda itu mencurahkan pandang mata kearah pedangnya yang berada disitu si
dara, serunya, “Berikan pedangku itu.”
Dara itupun memberikannya.Setelah menyambuti pemuda itu memandang pedang itu dengan
mata berkilat kilat.
“Ah, benar-benar sebuah pedang pusaka yang hebat,” seru si dara.Pemuda itupun meletakkan
pedang lalu berkata, “Kaum persilatan mengatakan bahwa pedang ini sebuah pedang yang
membawa malapetaka. Rupanya memang benar.”
Tiba-tiba dara itu tersenyum, “Dara baju ungu itu telah memberikan sehelai saputangan
kepadaku. Pada saputangan itu ia menulis resep obat. la mengatakan racun dalam tubuhmu masih
belum bersih dan suruh engkau makan obat menurut resepnya ini agar racun bisa keluar….”
Pemuda itu menghela napas. Ia memandang pedang pusaka itu lagi, serunya, “Atas bantuanmu
tiada benda berharga yang dapat kupersembahkan kepadamu. Pedang ini pusaka dari kaum Siau-
Hm si.
Karena kuatir mungkin aku tak dapat membawanya daripada hilang di gunung tak berketentuan
rimbanya, baiklah ku berikan kepada nona.”
Dara itu menghela napas kecil, “Dara baju ungu itu mengatakan jika engkau tak makan obat
menurut resep pada saputangan itu. Engkau tak dapat hidup lebih panjang dari sehari
semalam.”Pemuda itu tertawa, “Apakah luka pada lambungku ini, dara itu yang menikamnya?”
Demikian keduanya saling bertukar jawab, tetapi pertanyaan dengan jawaban selalu berlain
arahnya.
“Dipegunungan yang sepi ini tentu sukar membeli resep. Baik kita lekas lanjutkan perjalanan
menuju ke kota….” kata si dara.Tetapi pemuda itu gelengkan kepala, “Terima kasih atas perhatian
nona. Maaf aku hendak pergi!”
Pelahan-lahan ia bangkit dan dengan langkah terhuyung-huyang ia berjalan kemuka. Sudah
tentu dara itu terkejut sekali.
Ia longcat menghadang, “Hai, hendak kemana engkau?”
“Jangan mengurusi aku!” sahut pemuda lalu berlari sekuat sisa tenaganya, Dalam beberapa
kejab saja, ia sudah melintasi dua buah tikungan dan lenyap dari pandang mata.
Dara itu memandang tingkah laku sipemuda dengan terlongoug-longong Setelah sipemuda tak
kelihatan, timbullah rasa hambar dalam hati dara itu. Ia merasa terhina. “Dengan marah ia
gentakkan kakinya ketanah, “Huh. manusia yang tak tahu budi, matilah engkau!”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ia menjemput pedang pusaka lalu mengejar pemuda itu Siapakah gerangan sepasang muda
mudi yang aneh gerak geriknya itu? Ah, ternyata pemuda keras kepala itu bukan lain yalah ji Han
Ping, pahlawan kita dalam kisah Persekutuan Tusuk Kundai Kumala.
Note: cersil Persekutuan Tusuk Kundai Kumala tamat pada jilid ke 29. Silahkan baca.
Setelah melakukan pertempuran dengan orang Lam-hay-bun, dengan menderita luka Han Ping
tinggalkan gelanggang pertempuran.
Dara Siang-kwan Wan-ceng, puteri dari Siangkwan Ko, ketua marga Siangkwan mengikuti jejak
pemuda itu.
Dan terjadilah adegan seperti yang tertera diatas. Han Ping memang keras kepala. Ia tak mau
menerima pertolongan orang.
Maka walaupun masih menderita luka parah, ia tak mau menurut anjuran Siangkwan Wan-ceng
yang mengajaknya ke kota membelikan resep dari dara baju ungu, puteri ketua perguruan Lam-
hay-bun. Ia memilih mati daripada menerima pertolongan orang Lam-hay-bun. Maka larilah ia
meninggalkan Siangkwan Wan-ceng yang terlongong longong Namun setelah lari tiga li jauhnya, ia
kehabisan tenaga. Sepasang kakinya melentuk lunglai dan rubuh. Tetapi pikirannya masih sadar.
Dengan mengerahkan sisa tenaganya ia berusaha untuk merangkak. Beberapa langkah lagi ia
kembali rubuh.
Han Ping menangis dalam hati karena harus mati dalam keadaan begitu. Namun kekerasan
hatinya tetap berontak.
Ia tak ingin menerima pertolongan Siangkwan Wan-ceng. Ia ingin mati dalani keadaan sunyi.
Tiba-tiba ia mendengar derap langkah kaki orang berjalan dari kejauhan. Ah, ia mengeluh. Ia
ingin mati tak diketahui orang. Mengapa lagi-lagi ada orang yang datang ke tempatnya situ.
Langkah kaki orang itu makin lama makin dekat.
Seorang kakek tua tengah dipanggul oleh seorang anak lelaki. Karena jalanan gunung
menanjak, anak itu terengah-engah napasnya seperti kehabisan tenaga. Namun anak itu juga
seorang anak yang keras hati. Ia tetap ayunkan langkah memanggul orangtua yang tampaknya
menderita sakit parah.Tetapi betapapun dikuat-kuatkan, akhirnya anak itu terpaksa harus berhenti
karena kehabisan tenaga. Setelah meletakkan orangtua yang dipanggulnya, ia berteriak,
“Engkong, aku tak kuat berjalan lagi!”
Kakek itu menghela napas berat, ujarnya: Ah, nak, aku banyak membuat engkau letih. Aku
sudah begini tua, seharusnya mati saja.
Tetapi sebelum kusaksikan engkau menikah dan tinggal ditempat kediaman yang telah
kubangun untuk kalian, aku tak dapat mati dengan meram. Aku masih harus hidup berapa tahun
lagi sampai nanti sudah melihat engkau mengambil seorang isteri….”
Percakapan antara engkong atau kakek dengan cucunya itu terdengar juga oleh Han Ping.
Diam-diam ia tergerak hati, pikirnya, “Ah, betapa sederhana keinginan hati orangtua itu. Dia
hanya ingin melihat cucunya menikah baru rela mati. Tetapi aku, ah…. aku masih mempunyai
dendam darah dan hutang budi pada Hui Gong taysu. Akupun sudah berjanji kepada Hui Gong
taysu untuk melaksanakan pesannya. Tetapi kesemuanya itu belum berhasil.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Adakah begitu saja aku harus mati saat ini?”
Benak Han Ping mulai berkabut, pertanyaan dia menimang-nimang, adakah layak kalau saat itu
ia mati…. Manusia hidup siapakah yang terhindar dari kematian. Namun setelah mati harus
meninggalkan nama dan amal yang baik….” diam-diam Han Ping menghafalkan sebuah sajak
kuno.
Lalu bertanya kepada dirinya sendiri, “Kalau aku mati, apakah yang kutinggalkan?”
Diam-diam ia bimbang.
Keputusannya untuk mati itu termasuk sikap seorang ksatrya yang tak takut mati atau seorang
ksatria yang takut menghadapi kenyataan hidup? Soal mati dan hidup mulai lalu lalang di benak
Han Ping. Setiap angin pegunungan berhembus.
Ketika mengangkat muka memandang kedepan, ah, ternyata si dara Siangkwan Wan Ceng
sudah berada disisi orangtua itu.
Entah ia tak tahu, bilakah nona itu muncul kesitu.Tangan kanan nona itu mencekal pedang
pusaka Pemutus Asmara dan punggungnya menyandang kerangka pedang itu. Rambutnya terurai
kusut, semangatnya kuyu.
Sejenak memandang kearah orangtua yang menderita sakit, Siangkwan Wan-ceng berpaling
kepada anak ielaki kecil, “Adik kecil, siapakah kakek ini?”
“Dia adalah engkongku,” sahut anak itu. “Apakah ia menderita luka berat?”
Tiba-tiba anak itu mengucurkan airmata, sahutnya, “Engkongku itu telah menderita sakit
selama tiga bulan. Digunung sana terdapat seorang tabib yang dapat mengobati orang sakit.
Tetapi ketika kubawa engkong kesana, ternyata tabib itu sedang sedang keluar, baru beberapa
hari pulang.”
“Apakah engkau pernah bertemu dengan seorang pemuda yang menderita luka berada
disana?” tanya Siangkwan Wan-ceng girang.
Bocah itu gelengkan kepala, “Tidak, aku pergi ketempat tabib itu dengan mengambil jalan
pendek. Jalan itu sedikit sekali orangnya.”
Tiba-tiba Siang kwan Wan-ceng merogoh keluar sekeping mas, ujarnya, “Keping emas ini
kuberikan kepadamu untuk ongkos pengobatan engkongmu. Lekas beritahukan kepadaku,
dimanakah tempat tinggal tabib itu?”
Seumur hidup bocah itu belum pernah melihat emas sekian banyak.
Dengan gemetar ia ulurkan tangan menyambuti, “Tabib itu tinggal disebelah utara dari puncak
gunung.”
“Apakah nama tempat itu?”
“Memang ada namanya tetapi ah, aku sudah lupa,” sahut sibocah lelaki, “tetapi tempat itu
mudah dicari. Dibawah puncak gunung itu terdapat sebuah rumah batu yang tunggal, tak ada
tetangganya.”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tiba-tiba anak lelaki itu angsurkan tangannya, “Keping emas ini tentu berharga sekali, lebih
baik engkau ambil kembali saja.”
“Simpanlah!” seru Siangkwan Wan-ceng, “aku hendak mencari orang yang menderita luka itu,”
ia terus melesat lari.
Anak Ielaki itu makin heran, serunya, “Hai,apakah nona hendak mencari orang sakit?”
Gerakan Siangkwan Wan-ceng memang gesit sekali. Sekali loncat tadi ia sudah berada tiga
tombak jauhnya.
Mendengar bocah itu berteriak, ia berputar tubuh dan pandang matanya tepat tertumbuk pada
sesosok tubuh orang yang terlentang digerumbul rumput.Astaga! Itulah Han Ping yang duduk
bersandar pada gerumbul rumput dan sepasang matanya terbuka lebar-lebar. Siangkwan Wan-
ceng tertegun. Ia hendak menegur tetapi tak jadi. Sebenarnya ia hendak bertanya kepada Han
Ping adakah pemuda itu tak keberatan kalau ia tolong. Tetapi saat itu juga ia teringat betapa
keras kepala pemuda itu.
Apabila mendapat jawaban yang ketus, tentulah akan menyinggung perasaannya. Itulah
sebabnya maka ia tak jadi membuka mulut.
Diluar dugaan ternyata sikap Han Pin; sejak mendengar pembicaraan antara kedua kakek dan
cucunya tadi, sudah berobah.
Tidak sedingin tadi. Ia memikirkan bahwa masih banyak pekerjaan dan janji yang belum
terpenuhi. In harus memelihara jiwanya.
Jika ia mati, siapakah yang mampu melaksanakan tugas membalas sakit hati orang-tuanya dan
melaksanakan pesan Hui Cong taysu?
Pendirian Han Ping saat itu, ia harus memelihara jiwanya, ia harus hidup. “Bukankah engkau
hendak mencari aku…. ” serunya menegur Siangkwan Wan-ceng.Siangkwan Wan-ceng
menganguk lalu berjongkok, tertawa, “Hm, aku mencarimu perlu mengobati lukamu.”
Nona itu berusaha membuat nada ucapan dan sikapnya seramah mungkin. Entah tenaga gaib
apa yang menyebabkan seorang gadis manja dan angkuh seperti dia, mulai mau bersikap lemah
lembut.Han Ping menghela napas: Terima kasih, nona.
Mungkin aku tak dapat sembuh. Lukaku amat parah.” Sambil ulurkan tangan, Siangkwan Wan-
ceng tertawa riang, “Ada seorang tabib yang tinggal disebelah gunung itu. Maukah engkau
kuantar kesana?”
Han Ping menundukkan kepala, tak menjawab. Wajahnya yang pucat lesi tiba-tiba
memancarkan warna merah.
“Engkau mau?” tanya si dara pula.
Han Ping hanya tertawa menyeringai. Melihat pemuda itu tersipu-sipu malu, tiba-tiba
Siangkwan Wan-ceng merasa kalau dirinya lebih besar. Berkatalah ia dengan sungguh-sungguh,
“Lekas engkau rebah dipunggungku, akan kubawamu kepada tabib itu “
Han Ping menghela napas, “Engkau amat baik sekali kepadaku, entah dengan cara bagaimana
kelak aku dapat membalas budimu.”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Siangkwan Wan-ceng bersikap seperti seorang yang lebih besar umurnya, “AKU sendiri suka
melakukan hal itu, siapa suruh engkau membalas budi?”
Ia terus memanggul Han Ping lalu lari. Setelah melintasi puncak gunung, ia melihat sebuah
rumah batu berdiri diatas sebuah lapangan rumput. Rumah itu hanya tunggal, tak ada
tetangganya. Rumah itu dikelilingi dengan pagar bambu bercat hitam.Cepat sekali Siangkwan
Wan-ceng sudah tiba dimuka pintu pagar yang tertutup rapat. Keadaannya sunyi senyap.
Setelah menunggu beberapa saat tak tampak barang seorang yang muncul. Siangkwan Wan-
ceng berteriak, “Apakah sinshe ada dirumah?”
Dari dalam rumah batu itu terdengar suara seorang tua yang parau menyahut, “Siapa itu?”
“Aku, hendak memeriksakan sakit!”
“Silahkan masuk sendiri!”
Siangkwan Wan-ceng mendorong pintu pagar, lalu menuju kerumah batu.
Sebuah papan hitam tergantung diatas pintu rumah. Papan itu ditulisi dua buah huruf yang
bercat putih “Tempat kematian”.
“Uh. mengapa diberi nama yang tak enak didengar begini,” diam-diam Siangkwan Wan-ceng
memaki dalam hati.
Ia meragu sejenak akhirnya tetap menghampiri juga. Kedua daun pintu yang terbuat dari kayu
pohon siong, tertutup rapat. Rumah itu hanya mempunyai sebuah jendela yang dibungkus dengan
sehelai kain hitam. Diam-diam nona itu menimang dalam hati, “Eh, mengapa tempat ini sama
sekali tak menyerupai tempat orang mengobati? Tampaknya menyerupai sebuah makam yang
menyeramkan. Rumah tungal disebuah lapangan rumput, pintu bercat putih, berpagar bambu dan
jendelanya terbungkus kain hitam …. “
Kembali suara parau dari orangtua dalam rumah itu terdenpar berseru pula, “Kedua daun pintu
rumah tak dikancing, silahkan masuk sendiri Siangkwan Wan-ceng mengangkat kaki kiri,
mendupak pintu. Dan pintu itupun terbuka lebar.
Memandang kemuka. Siangkwan Wan ceng melihat seorang tua berambut;dan berjenggot
putih tengah duduk bersila diatas tanah.
Sepasang alisnya yang putih, menjulai panjang sekali hingga menutupi mata. Oleh karena itu
Siangkwan Wan-ceng tak mengetahui apakah orangtua itu tengah membuka mata atau tengah
meram.
Sejak menerima pelajaran dari Hui Gong taysu, Han Ping selalu mengindahkan kepada orang
tua.
Ia mencegah Siangkwan Wan-ceng jangan sampai mengeluarkan kata-kata yang menyinggung
perasaan orangtua itu, bisiknya, “Orangtua itu aneh sekali, tentu bukan orang sembarangan. Kita
harus menahan kesabaran.”Siangkwan Wan-ceng hanya tersenyum. Setelah ia menyahut kata-
kata orangtua itu, “Paman, apakah engkau tinggal seorang diri saja?”
“Setan tua seperti aku ini sudah tentu tak ada anak perempuan yang mau merawati,” sahut
orangtua itu.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Siangkwan Wan-ceng tak senang mendengar ucapan itu. Ia kerutkan alis dan hendak
mendamprat tetapi tiba-tiba punggungnya digamit orang. Nona itu cukup cerdas Segera ia tahu
yang menggamit itu tentulah Han Ping karena pemuda itu hendak memberi isyarat supaya dia
bersabar. Terpaksa Siangkwan Wan ceng menahan kemarahan dan mendengus, “Paman, apakah
engkau agak tuli?”
Tiba-tiba orangtua itu tertawa gelak-gelak, serunya, “Siapa bilang aku tuli?”
Siangkwan Wan-ceng pelahan-lahan menurunkan tubuh Han Ping lalu berkata, “Kami dengar
katanya paman pandai mengobati segala macara penyakit yang aneh-aneh maka kami perlukan
datang kemari.”
Orangtua itu tertawa tawar, “Pernah apa engkau dengan pemuda itu’ Engkohmu atau
suamimu?”
“Paman tua, dugaanmu salah semua. Dia adalah adikku,” sahut Siangkwan Wan-ceng.
Han Ping memandang Singkwan Wan ceng tetapi tak bicara apa-apa.”Adikku ini terkena racun,
“kata nona itu pula,” dan menderita luka dalam yang berat. Harap paman segera mengobatinya.”
Pelahan-lahan orangtua itu mengangkat tangan dan berseru, “Coba angkat tubuhnya kemari
dan berikan siku lengannya kepadaku.”
Siangkwan Wan-ceng melakukan perintah.
Tangan orangtua itu segera memegang siku lengan Han Ping. Setelah berdiam diri beberapa
saat, ia mengangkat muKa dan berkata, “Dia menderita luka yang parah tetapi luka itu sudah
terhapus oleh daya obat yang mustajab.”
Siangkwan Wan-ceng terkejut. Dengan memeriksa denyut siku lengan Han Ping, orangtua itu
segera tahu kalau pemuda itu sudah minum obat.”Benar, paman” serunya, “dia memang telah
pinum obat yang mujarab.”
“Orangtua itu menghela napas: ,!Sekarang berikan siku lengannya yang kanan
kepadaku.”Siankwan Wanceng menurut.
Begitu tangan orangtua memegang siku lengan Han Ping [yang sebelah kanan, tiba-tiba ia
kerutkan dahinya dan menghela napas.
“Bagaimana paman?” seru Siangkwan Wanceng dengan gelisah.
Orangtua itu membuka mata seraya menggeleng kepala, “Rasanya aku tak dapat menolong.”
Ketika melihat orangtua itu membuka mata, Siangkwan Wan ceng terkejut. Bola mata orangtua
itu luar biasa besarnya.
Pada lain saat ia segera teringat akan kata-kata orangtua itu.”bagaimana lukanya? ada harapan
tertolong?” seru nona semakin cemas. “Kalau aku tak sanggup menggobati, rasanya didunia ini
tiada orang lain lagi yang mampu.
“SUDAHLAH, SEGERA SAJA ENGKAU BERSIAP-SIAP mengatur yg perlu. Mungkin dia tak dapat
hidup lebih dari 7 hari!”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Mendengar itu berderai-derailah airmata Siangkwan Wan Ceng. dengan terisak ia berkata, “
Tolonglah paman mempertimbangkan lagi adakah ia masih dapat ditolong.”
Orang tua itu gelengkan kepala, “Tidak dapat!”HatiSiangkwan Wan Cengseperi ditusuk dengan
pisau.Tiba-tiba meluaplah amarahnya.
Ia bangkit terus hendak memangul Han Ping lagi.Tiba-tiba ia teringat akan saputangan sutera
yang ada tulisannya. Diangsurkannya, saputangan itu kemuka orang tua, “Kalau engkau memang
ahli dalam ilmu pengobatan, cobalah engakau lihat apakah resep obat ini berkasiat atau tidak?”
dengan sikap dingin orang tua itu menyambuti saputangan itu seraya mengomel, “ Aku tak
percaya dalam dunia ini terdapat manusia yang lebih pandai soal pengobatan dariku!” Siangkwan
Wan Ceng etrtawa dingin, “Lihatlah dulu baru nanti engkau bicara lagi”
Orang tua itu menebarkan saputangan, memandangnya dengan penuh perhatian. Selesai
membava ia letakan saputangan dan menghela napas ” Sungguh tak nyana bahwa dewasa ini
dalam dunia masih terdapat manusia yang begitu pandai dalam ilmu pengobatan.”
Mendengar itu Siangkwan Wan Ceng tertawa gembira, “Apakah resep itu berguna?”
Orang tua itu menatap wajah Han Pinh lalu berkata, “Nak kemarilah biar kuperiksamu lagi.”
Han Ping hanya tersenyum. Ia mengisar tubuh menghampiri orang tua itu.
“Bukalah Mulutmu,” kata siorang tua. Setelah Han Ping membuka mulut, orang tua itu
mengulurkan jarinya memijat garis Jin tiong di bawah hidung Han pIng, setelah memeriksa
beberapa saat ia berkata, “Engkau telah terkena racun yg amat berat,”
“Benar, Siangkwan Wan Ceng menyahuti, luka pada lambungnya itu gunanya untuk
menyalurkan racun keluar dari tubuhnya.”
“Dia makan racun itu atau terkena racun dari luka?” Han pIng memandang Siangkwan Wan
Ceng. Ia hendak bicara tapi tak jadi. Siangkwan Wan Ceng menghela napas perlahan, “Adakah
engkau masih mencurigai aku? Ah….”
Han Ping tertawa hambar, “ Kecuali obat yg engkau minumkan kepadaku, aku tak ingat lagi
mengapa dapat terkena racun?” Orang-orang lembah Raja setan, paling pandai menggunakan
racun. Apakah ketika engkau bertempur dengan mereka, apakah kaki dan tanganmu pernah
berbenturan?”Han Ping segera mengangkat lengan kiri dan mengawasinya. Tiba-tiba orangtua itu
berseru, “Benar, memang disitu.”
Siangkwan Wanceng ikut memeriksa. Ternyata pada lengan kiri Han Ping terdapat segurat
bekas luka memanjang.
Warnanya ungu muda.Orangtua itu mengangkat kepala memandang Wan-ceng, “Seumur hidup
aku gemar mempelajari ilmu pengobatan.
Tak terduga setelah begini tua, baru aku melihat resep semacam itu, Dimanakah tempat tinggal
orang itu, lekas bawa aku kepadanya!”
“Ai, pamnan,” seru Siangkwan Wan-ceng cemas, “menolong orang sakit adalah ibarat menolong
kebakaran. Engkau tolong dulu dia baru nanti kubawamu kepada orang yang menulis resep
itu.”Orangtua itu tertawa, “Resep ini memang hebat tetapi sayang sekali nama obat yang ditulis
disebelah atas, terhapus air. Tak dapat dibaca lagi.”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Siangkwan Wan-ceng tertegun. Ketika melOngok ternyata ujung saputangan sutera itu
memang basah dan tulisannya telah terhapus air tak dapat dibaca jelas.
“Resep yang ditulisnya itu setiap huruf memang aneh. Kecuali seorang yang faham akan ilmu
pengobatan seperti aku tentu takkan mengetahui tentang kehebatannya. Sekalipun resep ini
tersiar didunia tetapi tak ada orang yang berani menggunakannya.”Wajah Siangkwan Wan-ceng
pucat, serunya, “Menilik paman begitu ahli dalam ilmu pengobatan tentulah paman dapat menerka
apakah tulisan yang telah terhapus air itu.”Tiba-tiba orangtua itu mengatup mata dan menghela
napas, “Saputangan basah sekali sehingga bekas-bekas tulisan itu sukar diselami. Satu-satunya
jalan hanya menggunakaa kecerdasan untuk menerkanya.”
“Sampai berapa lama paman dapat menerkanya?”
“Paling cepat memerlukan duabelas jam….” tiba-tiba orang tua itu menghela napas panjang,
katanya pula, “mungkin aku dapat menemukan ramuan obat itu tetapi belum tentu tepat seperti
yang ditutis resep itu. Daripada menerka, bukankah lebih baik mencari orang itu dan minta
kepadanya supaya menulis lagi?”
Siangkwan Wan ceng diam-diam mengeluh. Si dara baju ungu tentu sudah pergi dan tak tahu
ia harus mencari kemana.
Tiba-tiba Han Ping tersenyum, “Mati hidup itu sudah suratan takdir. Nona Siangkwan, harap
jangan mencemaskan diriku.”
Dengan nada terbata-bata Siangkwan Wanceng mengatakan bahwa tulisan yang hilang itu ia
yang melakukan karena menggunakan saputangan untuk mengusap airmatanya.
“Apakah resep itu yang menulis si dara baju ungu?” tanya Han Ping.
“Benar,” sahut Siangkwan Wan-ceng, “kemanakah kita mencarinya?”
Han Ping lertawa, “Tak perlu mencari. Orang itu berhati ganas, resep yang ditulisnya tentu lain
kegunaannya.Dia tak mau menolong tetapi hanya menghendaki supaya tenaga-murni dalam tubuh
tak sampai hilang dengan begitu supaya aku menderita.”
“Memang dia mengatakan bahwa obat itu mengandung racun tetapi akan dapat membuat
engkau hidup beberapa tahun lagi.”Tiba-tiba Han Ping berkata kepada orangtua pemilik rumah,
“Lo cianpwe. bolehkah aku melihat saputangan itu?”
Sejenak bersangsi, orangtua itu segera memberikan saputangan seraya berkata, “Ilmu
pengobatan terdiri dari dua macam cara, wajar dan cara yang tidak wajar. Resep obat itu memang
menggunakan bahan beracun tetapi setelah beberapa macam racun itu tercampur jadi satu, akan
menimbulkan daya pengobatan yang bagus….
Han Ping menyambuti saputangan. Ia tertawa dingin lalu tiba-tiba gunakan tenaga meremas
saputangan itu sehingga hancur berkeping-keping.
Siangkwan Wan-ceng menjerit kaget dan lari menghampiri Han Ping berbangkit, menyurut
selangkah kebelakang lalu tebarkan tangan dan saputangan yang sudah hancur berkeping-keping
itupun berhamburan melayang keluar pintu.
“Mengapa engkau melakukan begitu?” tegur Si’angkwan Wan-ceng.
Han Ping tertawa, “Terima kasih atas perhatian nona….”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tiba-tiba orangtua itu menggembor keras dan ayunkan tangan menghantam Han Ping, Tetapi
secepat itu Siangkwan Wan-ceng menangkis dengan tangan kanan, “Hai, paman, apakah engkau
gila?”
Ternyata orangtua itu marah sekali dan memukul dengan sekuat tenaga. Tangan Siangkwan
(Wan-ceng tergetar dan tubuhnya tersurut mundur sampai dua langkah.”Apakah lo-cianpwe
marah karena saputangan itu kuhancurkan?” seru Han Ping dengan hormat.
Teguran Han Ping itu membuat kemarahan orangtua agak reda. Rupanya ia merasa sungkan,
katanya, “Resep itu amat berharga sekali. Seharusnya disiarkan biar untuk menolong manusia.
bukankah amat sayang sekali karena engkau hancurkan?”
Setelah menangkis pukulan orangtua itu, brulah Siangkwan Wanceng tahu bahwa orangtua lu
memiliki ilmu kepandaian yang hebat.
Cepat ia loncat kehadapan Han Ping dan menegur tajam;
Orangtua beralis panjang itu tertegun, sahut-nya, “Walaupun bukan aku yang menulis tetapl
tak kuidzinkan orang menghancurkan resep itu.”
“Ih, resep itu miliku. Biar hancur toh tak merugikan engkau. Mengapa engkau marah-marah
dan memukul orang?” lengking Siangkwan Wan-ceng.
“Sudahlah, jangan berdebat, mari kita pergi,” kata Han Ping.
Siangkwan Wan ceng berpaling dan memberi senyuman kepada pemuda itu, “Baiklah aku toh
juga hanya hidup tak berapa lama. Aku akan selalu menurut katamu.”
“Apa?” Han Ping terkejut. “Akupun juga minum obat beracun dari budak perempuan baju ungu
itu.”
Seketika berobahlah wajah Han Ping. Matanya berapi-api, “Budak hina itu memang benar
berhati ganas seperti ular….”
“Jangan menyalahkan dia. Akcu sendiri yang rela minum. Sebelumnya dia sudah menerangkan
dengan jelas….” Siangkwan Wan ceng tertawa;,” lebih baik engkau kupanggul lagi.” Dengan
mengertak gigi Han Ping menggeram “Sayang aku tak dapat hidup lama….”
“Ih, kalau bisa hidup lama, engkau mau apa?” Siangkwan Wan-ceng tertawa.
“Akan kuhantam dara itu supaya binasa agar jangan menimbulkan bencana pada dunia “Mari
kita jalan,” cepat Siangkwan Wan ceng mengajak,” kita cari tempat yang sunyi untuk menunggu
kematian!”
Han Ping menurut saja ketika dipanggul Siangkwan Wan-ceng. Ia menghela napas panjang.
penuh kepaserahan.
“Hai Tunggu dulu!” tiba-tiba orangtua beralis panjang itu berseru ketika melihat semua
melangkah pergi.
Tetapi Siangkwan Wan-ceng tak menghiraukan. Bahkan berpaling memandang orangtua itupun
ia tak mau.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
“Hm, masih muda belia mengapa hendak menunggu kematian Apakah racun pada tubuhmu itu
benar-benar tiada obatnya lagi?”
Tiba-tiba tergeraklah hati Han Ping. Ia membuka mata dan dengan berbisik menyuruh
Siangkwan Wan ceng berhenti.
Rupanya nona itu menurut, Han Ping menyuruhnya kembali ketempat orangtua itu. Sudah
tentu Siangkwan Wan ceng terkejut, menundukkan kepaladan menghela napas. Namun mau juga
ia menurut perintah Han Ping.
Sambil menghela napas, Han Ping menepuk bahu “si nona, “Cobalah engkau tanya kepada
orangtua itu adakah dia dapat mengobatilukamu?”
Siangkwan Wan-ceng tergetar hatinya. Ia berpaling memandang Han Ping, “Apakah engkau
sungguh-sungguh tak menghendaki aku mati?”
Terdengar jawaban tetapi bukan dari Han Ping melainkan dari orangtua itu. Dia tertawa gelak,
“Kalau tak punya obat penawar, entah sudah berapa kali aku mati.” Siangkwan Wan-ceng hanya
diam saja. Memang saat itu pikirannya hanya ingin mati tidak mengharap hidup. Sesudah tertegun
beberapa saat barulah ia berteriak keras, “Apa pedulimu dengan mati hidupnya seseorang? Perlu
apa engkau hendak mengurusi?”
Dalam pada bicara itu diam-diam ia siapkan Tui-hun-to-beng-ciam jarum beracun perenggut
nyawa. Pada saat ia hendak menaburkan kearah orangtua beralis panjang itu tiba-tiba terlintas
suatu pikiran dan berpalinglah ia kearah Han Ping. Tangannya yaris sudah terangkat keatas itupun
perlan-lahan terkulai kebawah lagi, tring…. beberapa batang jarum maut itu berhamburan jatuh
ketanah.Orangtua alis panjang tertawa hambar, serunya, “Kalau dia takmau apakah engkau juga
begitu kalap hendak mati?”
“Dia siapa?” Siangkwan Wan-ceng menegas. Orangtua itu tertawa lebar, “Dia, yalah yang rebah
diatas punggungmu itu!”
Sebenarnya Siangkwan Wan-ceng harus marah kepada orangtua itu tetapi entah bagaimana,
diluar kesadarannya ia tersentuh hatinya dan berseru menegas lagi, “Benarkah?”Sambil
memandang sejenak kepada Han Ping, orangtua itu bertanya pula, “Engkau ingin mati atau
tidak?”
Han Ping lepaskan cekalannya sehingga tubuhnya meluncur jatuh ketanah. Siangkwan Wan-
ceng berpaling gopoh.
Dilihatnya Han Ping memandang puncak wuwungan rumah dan berkata dengan tegas, “Aku
ingin mati!”
Orangtua alis panjang itu menengadahkan kepala tertawa nyaring Beberapa saat Kemudian
baru ia berhenti tertawa dan berrkata, ‘”Sungguh Asmara itu mempunyai daya kekuatan yang
begitu hebat. Asmara dapat membuat orang tak menghirukan soal jiwanya.”
Ucapan itu amat menusuk hati kedua anak-muda itu. Han Ping memandang sejenak kearah si
nona dan Siangkwan Wan ceng tampak merah pipinya. Memang seorang anak gadis yang dibuka
rahasia hatinya oleh orang tentu akan tersipu-’sipu malu.
“Anak perempuan, kemarilah, aku hendak bertanya kepadamu,” tiba-tiba orangtua alis panjang
itu memanggil Siangkwan Wan ceng.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Siangkwan Wan-ceng berpaling kearah Han Ping. Dilihatnya pemuda itu tersenyum hambar.
Setelah itu ia menghampiri ketempat orangtua alis panjang.Nona itu tertawa aneh, nadanya
berbeda dengan mimik wajahnya. Entah dia tertawa girang, entah berduka. Rambutnya terurai
kusut menuJai cebawah. Sambil mengercasi rant but, ia berhenti iklepan orangtua alis panjang
“Mendekatlah sedikit lagi, aku berunding dengan engkau.”
“Soal apa?”
“Apakah engkau sungguh-sungguh hendak menolong jiwanya?”
“Sudah tentu sungguh!” Siangkwan Wan-ceng mengangguk.
Berkata orangtua beralis panjang itu dengan nada serius, “Anak perempuan, aku hanya dapat
menolong salah satu dari kalian berdua!”
Orangtua itu sejenak memandang kearah Han Ping lalu berkata pula, “Kalian memang tak
adahubungan apa-apa dengan aku.
Dan akupun tak mempunyai rasa sayang atau benci kepada kalian maka sukar bagiku untuk
memutuskan hendak menolong siapa!”
Tolonglah dia!” tanpa ragu-ragu Siangkwan Wan ceng berkata dengan tegas.”Walaupun engkau
memilih mati tetapi sebelum mati engkau tetap harus memberi pengorbanan besar.” kata orangtua
itu.
“Bagaimana?” Kembali orangtua itu sejenak memandang kearah wajah Han Ping lalu menyuruh
Siangkwan Wan ceng merapat kedekat, “Rapatkan telingamu kemari.”
Siangkwan Wan-ceng meragu sejenak tetapi akhirnya ia menurut juga.
Dalam pada itu rupanya Han Ping tak kuat berdiri maka ia segera duduk. “Paman herdak bicara
apa, lekaslah!” bisik Siangkwan Wan-ceng.
“O….” orangtua itu mendengus kaget, tiba-tiba ia gunakan dua buah jari untuk menutuk.
Siangkwan Wan-ceng menjerit dan rubuh ketanah.
Melihat itu Han Ping deliki mata dan melonjak bangun, teriaknya, “Engkau mau apa?”orangtua
beralis panjang itu tertawa seram, “Ho, engkau terluka parah, tak mungkin dapat lolos dari Panti
Kematian ini….”
Dengan kerahkan seluruh sisa tenaganya Han Ping menggembor dan lontarkan sebuah
pukulan.”Hm. budak yang tak tahu mati!” dengar orangtua itu seraya menampar dengan tangan
kanan.
Ketika dua buah tenaga pukulan saling beradu, tiba-tiba Han Ping tersurut mundur sampai tiga
langkah dan jatuh terduduk ditanah.
Walaupun tertutuk jalandarahnya dan tak dapat berkutik tetapi pikiran Siangkwan Wan-ceng
masih sadar. Cepat ia berseru, “Jangan melukainya!”Sambil menekan tanah dengan tangan, dalam
keadaan masih duduk bersila, tubuh orangtua beralis panjang itu melayang kesamping Han Ping,
menutuk tiga buah jalandarahnya. Setelah itu ia menampar pelahan lahan ubun-ubun kepala Han
Ping.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Han Ping menghela napas panjang, “Kuhormati engkau sebagai orangtua tetapi tak
kukira:kalau engkau sejahat….”
Orangtua beralis panjang itu menukas tertawa”Sudah berpuluh tahun aku tak pernah ber-kelahi
dengan orang.
Sungguh tak kira kalau hari ini aku harus menggunakan dua buah jurus terhadap kalian
berdua!”
“Hm, dengan gunakan siasat merebut kemenangan, bukanlah seorang ksatrya utama,” ejek
Han Ping.
Orangtua alis panjang itu hanya tertawa mengekeh, “Ho, sekarang seharusnya engkau
mengakui bahwa jahe yang tua itu lebih pedas dari yang muda.” Han Ping mendengus, “Kalau aku
tak terluka, tentulah hari ini kuberimu hajaran yang setimpal.”
Tiba-tiba wajah orangtua alis panjang itu berobah gelap, serunya, “Seumur hidup aku belum
pernah berjumpa dengan penyakit yang tiada obatnya. Kecuali orang itu memang sudah
meregang jiwanya dan pasti mati. Semua orang yang memeriksakan penyakit kepadaku hanya
mempunyai dua jalan.Sembuh atau mati….”
Ia berhenti sejenak menghela napas, “Walaupun tubuh kalian terkena racun tetapi hawa-murni
dalam tubuh kalian masih penuh, tak kuatir akan mati…..”
“Kalau engkau sudah tak mampu mengobati, mengapa engkau mengatakan hal itu?”
“Hidupku adalah pengalamanku mengobati orang, Apa yang kukatakan tentu dapat dipercaya.
Tetapi kuanggap percuma mengatakan kepadamu kerena engkau toh tak mengerti….” orangtua
itu tersenyum. “kupercaya kalau mempunyai waktu yang cukup tentu mempunyai harapan untuk
menyembuhkan racun dalam tubuhmu…. .”
“Ya, pada saat engkau memperoleh cara pengobatannya, kamipun sudah mati!” lengking
Siangkwan Wan-ceng.
Orangtua alis panjang itu tertawa, “Ho, pada waktu menunggu. aku tentu kuusahakan agar
racun dalam tubuh kalian itu tak bekerja.”
“Kapan kami harus menunggu?”
Orangtua alis panjang itu merenung diam beberapa saat baru menjawab, “Tujuh hari, ya tujuh
hari kalau aku masih tetap tak dapatmenemukan cara pengobatannya, akan kubuka jalan darah
kalian dan silahkan kalian pergi.”
“Hm, Panti Kematianmu ini memang sesuai dengan namanya. Siapa yang masuk kemari, tentu
jarang yang dapat keluar masih hidup,” seru si-nona.
“Aku dapat menjamin agar racun dalam tubuh kalian itu takkan bekerja” kata seorang tua.
“Walaupun racun tak bekerja tetapi aku tentu mati kelaparan,” lengking Siangkwan Wan-ceng.
Orangtua alis panjang tertawa, “Semua mahluk hidup tentu akan mendapat kehidupan dari
alam.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Masakan akan mati kelaparan. Segera akan kubawa kalian kedalam ruang pengobatan. Dalam
tujuh hari tujuh malam akan kuusahakan untuk menghilangkan racun dalam tubuh kalian.”
“Berapa jauhnya tempat itu dari sini?”
Orangtua alis panjang itu berseri riang, “Di-belakang Panti Kematian ini. Akan kuperlihatkan
kepada kalian suatu kumpulan obat-obatan yang jarang terdapat didunia….”
“Cis, ocehan setan,” dengus Siangkwan Wanceng.
Tetapi orangtua alis panjang itu tak marah kebalikannya malah tertawa, “Yang banyak didunia
ini hanyalah tempat-tempat yang indah alam pemandangannya. Tetapi kupilih tempat yang sunyi
ini karena mempunyai sebab lain.”
Siangkwan Wan-ceng pejamkan mata dan mendengus, “Ah, siapa sudi mendengarkan
ocehanmu itu?”
“Kalau tak kubawa kalian kesana. kalian tentu tak percaya….” baru orangtua itu berkata sam-ai
disitu tiba-tiba terdengar suara seorang anak bertanya, “Adakah sinshe dirumah?”Mendengar
suara itu tiba-tiba Siangkwan Wanceng teringat akan anak lelaki bersama kakeknya yang
dijumpainya ditengah jalan itu.
Serentak ia membuka mata dan berseru kepada orangtua alis panjang, “Tuh, ada tetamu
mencari engkau!”
Dengan suara pelahan, orangtua itu menyuruh Siangkwan Wan-ceng dan Han Ping menutup
mata, setelah itu ia berseru nyaring, “Hai, siapakah yang datang itu? Silahkan, masuk!”
Namun Siangkwan Wan-ceng tak menurut. Ia membuka matanya sedikit dan memandang
keluar. Tampak seorang anak lelaki tengah berjalan masuk dengan memanggul seorang
kakek.Ketika melihat Siangkwan Wan-ceng dan Han Ping berada disitu, bocah itu terkejut tetapi
tetap melangkah masuk.Setelah memeriksa uratnadi kakek sakit itu, orangtua alis panjang
berkata, “Penyakitnya berat sekali, hawa murni dalam tubuhnya terluka. Aku hanya dapat
memperpanjang umurnya sampai tiga tahun.”
Habis berkata tiba-tiba orangtua alits panjang itu bertepuk tangan tiga kali. Terdengar suara
berderak keras. Ujung ruang tiba-tiba mereka dan terbukalah sebuah pintu. Seekor kera berbulu
kuning emas muncul membawa sebuah penampan dari kayu siong putih.
Dengan langkah bergoyang gontai ia menghampiri kemuka orangtua alis panjang.
Diatas penampan kayu itu terdapat seperangkat alat tulis dan kertas. Orangtua alis panjang
mengambil pit dan kertas lalu menulis. Selesai menulis, ia menepuk kera bulu emas itu dan
menunjuk kearah pintu batu.
Kera bulu emas itu segera masuk kedalam pintu dan tak berapa lama keluar lagi dengan
membawa dua bungkus obat.
Setelah mengambil bungkusan obat, orangtua alis panjang itu berkata kepada bocah lelaki,
“Obat ini dimasak dengan air dan diminum, selama tiga hari itu. Setelah itu barulah makan pil
dalam bungkusan kecil.
Isinya seribu butir pil. Kalau tiap hari minum sebutir, berarti dapat hidup sampai tiga tahun.
Setelah itu engkau boleh mengurus penyelesaiannya. Apakah engkau ingat?”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
“Ya ingat,” sahut sibocah Ielaki.
Orangtua alis panjang itu segera menyuruh bocah Ielaki membawa kakeknya pulang. Bocah
itupun segera memanggul engkongnya dan pergi. Tiba diambang pintu tiba-tiba ia berhenti,
berpaling dan berseru kepada orangtua alis panjang dan berseru Kepada orang tua beralis
panjang, “Sinshe, berapakah ongkos obatnya?”
“Bawalah saja dulu, setelah engkongmu sembuh, baru engkau bayar kemari,” seru orangtua
alis panjang.
Sambil memandang Siangkwan Wan-ceng, bocah Ielaki itu bertanya pula, “Sinshe, nona itu
seorang baik….” Rupanya ia hendak menasehati siorangtua alis panjang. Tetapi baru berkata
separoh bagian, ia sudah terus melangkah pergi.
Setelah bocah itu lenyap dari pandang mata, Siangkwan Wan-ceng mendengus, “Hm,
bagaimana engkau dapat memastikan kalau kakek itu hanya dapat hiduP selama tiga tahun?”
Tetapi orangtua alis padjang itu tak mau menghiraukan omongan si nona lagi.
Ia berbangkit pelahan lahan lalu menuju keujung ruangan.Siangkwan Wan ceng memandang
Han Ping dan menghela napas, “Ah, orangtua itu memang aneh.gerak geriknya serba misterius,
kukuatir bukan orang baik. Sekarang jalan darah kita telah ditutuknya, mati tidak hiduppun tidak.
Kita tak dapat berbuat suatu apa kecuali harus menerima apa saja yang dia hendak lakukan
kepada diri kita.”
“Kalau aku tak keracunan, aku dapat menyalurkan tenaga dalam untuk membuka jalan darahku
yang tertutuk itu. Tetapi sekarang, ah, percuma saja,” Han Ping mendesah.
Siangkwan Wan ceng meronta untuk mengisar tubuh kesamping Han Ping. Tetapi karena jalan
darahnya tertutuk maka separoh tubuhnya seperti mati tak dapat bergeak. Walaupun ia mencoba
untuk mengerahkan seluruh tenaganya tetap tak dapat.
Dengan putus asa ia menghela napas dan menitikkan dua butir air mata, “Ya, tamatlah riwayat
kita….”
Tiba-tiba terdengar suara berderak keras dan pintu batu kembali terbuka. Dua ekor kera bulu
emas, masuk kedalam ruangan.
Mereka memandang Siangkwan Wan-ceng lalu menghampiri nona itu.
Tampaknya binatang itu kaku gerakannya tetapi ternyata dapat berlari gesit. Selekas tiba
didekat Siangkwan Wan-ceng mereka terus menerkam tubuh si nona.Salah seekor kera itu tampak
mengisar untuk mendesak kawannya lalu cepat-cepat mendahului menyambar tubuh nona itu
terus dibawa lari.Kera yang seekor itu tak berdaya. Terpaksa ia menghampiri ketempat Han Ping
dan memanggul tubuh pemuda itu diangkut keluar.
Walaupun kedua muda mudi itu berkepandaian tinggi tetapi karena jalandarahnya tertutuk,
mereka tak dapat berbuat apa-apa.
Sekonyong-konyong telinga Han Ping dapat menangkap suara orang memanggil namannya
Suara itu berasal dari jauh dan nadanya parau, mungkin karena sudah kehabisan suara Han Ping
cepat mengenali nada suara itu sebagai suara pamanya Kim loji.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tetapi ia tak dapat berbuat apa-apa dan saat itu iapun segera dibawa masuk kedalam pintu
batu diujung ruangan.
Diam-diam Han Ping menghela napas dan berusaha untuk menenangkan diri, menyalurkan
napas. ia harap maiih dapat menyalurkan tenaga untuk membuka jalan darah yang tertutuk itu.
Han Ping masih bingung memikirkan tingkah laku orangtua alis panjang itu.
Apakah maksudnya orang itu menutuk jalandarahnya? Dia sendiri tak takut soal jiwanya, mati
atau hidup ia tak memkirkan.
Yang dicemaskan yalah keselamatan Siangkwan Wan ceng ia kuatir nona itu akan menderita
kecemaran.
Ia menyesali Siangkwan Wan-ceng yang telah membawanya berobat ketempat orangtua alis
panjang.
Tetapi ia juga menyalahkan dirinya sendiri mengapa menyuruh nona itu bersikap menghormat
siorangtua sehingga akibatnya begitu. Kalau Siangkwan Wan-ceng bersikap keras, tak mungkin
orangtua alis panjang itu dapat menutuk jalandarah mereka.
Rasa penyesalan itu mendorong keras hatinya untuk berjuang. Ia berusaha untuk
menghilangkan semua gangguan pikiran dan memupuk hawa murni untuk menjebolkan
jalandarahnya yang tertutuk.Rupanya kera bulu emas itu seekor binatang yang terlatih baik
sehingga dapat mengerjakan perintah tuannya dengan baik. Tetapi betapapun, itu tak dapat
mengetahui usaha Han Ping membuka jalandarahnya yang tertutuk.
Tiba-tiba terdengar suara orangtua beralis panjang, “Entah aku tak tahu apakah hubungan
kalian berdua ini. Apakah kalian tak keberatan kalau kutempatkan didalam sebuah ruangan “
Ketika Han Ping membuka mata, ia tertegun. Keadaan yang berada dihadapannya jauh
berlainan dengan diluar tadi. Hidungnyapun terbaur dengan bau obat yang keras.
Ternyata saat itu dirinya berada dalam sebuah tempat yang mempunyai tiga buah kamar besar
kecil. Dan buah ranjang kayu terbentang diruang itu. Kecuali itupun penuh dengan bermacam-
macam baskom, mangkok, supit dan seikat daun obat.
Ada empat baskom berisi tanaman obat yang belum pernah diketahuinya, terletak diatas
dingklik dekat jendela.
Yang dua baskom berisi tanaman berbunga kecil-kecil warna putih. Sedang yang dua baskom
berisi buah-buah kecil-kecil warna merah.
Han Ping hendak membuka mulut tetapi didahului Siangkwan Wan-ceng, “Kami adik dan taci!”
Orangtua alis panjang itu merenung sejenak lalu berkata, “Kalau adik dan taci tinggal satu
kamar, memang tidak pantas Biarlah kupisahkan kalian dalam dua kamar!”
“Sejak kecil kami berdua selalu tinggal sekamar, mengapa tidak pantas?” Siangkwan Wanceng
berteriak gopoh.
Orangtua itu memandang kedua kera bulu emas lalu menunjuk kearah ranjang kayu. Kera itu
meletakkan Siangkwan Wan-ceng dan Han Ping keatas ranjang lalu beringsut keluar.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dengan riang gembira orangtua alis panjang itu tertawa, “Sejak tinggal dismi, belum pernah
ada orang yang masuk kedalam kamar obat-obatanku. Ketahuilah bahwa kumpulan daun obat
yang berada dalam kamar sekecil ini hampir menghabiskan seluruh umur ku. Aku menjelajah
seluruh wilayah Kanglam-Kangpak, melintasi gunung dan sungai….” ia menunjuk kedua baskom
berisi buah merah dan daun bunga putih, berkata pula, “Buah yang berwarna merah itu kecuali
warnanya yang sedap dipandang pun merupakan salah satu dari tiga jenis tanaman yang paling
beracun. Rasanya manis enak dimakan. Tetapi apabila makan buah itu, amblaslah nyawa kita….”
Berhenti sejenak ia pergunakan untuk memandang kearah kedua anak muda itu lalu dengan
riang gembira ia melanjutkan kata katanya, “Hai anak perempuan yang pintar bicara, coba engkau
tebak apakah rumput berbunga putih itu mengandung racun atau tidak?”
“Kalau buah merah mengandung racun, jelas bunga putih itu tentu tak beracun!” seru
Siangkwan Wan-cang.
Orangtua alis panjang gelengkan kepala, “Salah, rumput merah memang beracun tetapi bunga-
putih itupun beracun juga ….”
Siangkwan Wan-ceng mendengus, “Huh, m-nilik simpananmu begini banyak tanaman beracun,
mungkin engkau juga seorang manusia beracun!” Orangtua itu tertegun, “Ih, kali ini engkau dapat
menebak jitu!”
Siangkwan Wan-ceng terkejut dalam hati. Dia tadi hanya bicara sembarangan tetapi ternyata
benar. Uh, ia pernah mendengar tentang tanaman, dan binatang beracun tetapi seumur htdup
belum pernah mendengar tentang manusia beracun.
“Huh, itu tak mengherankan,” sahut nona itu dengan garang walaupun dalam hati am at
cemas, “dalam dunia persilatin banyak sekali tokoh-tokoh yang mahir menggunakan racun.
Misalnya orang Lembah Seribu-racun, sampai anak Kecilnya saja juga pandai menggunakan racun.
Juga lembah Raja setan itu termasyhur dengan obat racun Bihun-yok dan merekapun mahir
tentang ilmu obat-obatan beracun. Tokoh lembah Raja-setan si Ting Ko itu sekujur badannya juga
beracun….”
Orangtua alis panjang itu gelengkan kepala, “Mereka hanya pandai menggunakan racun, antara
lain bubuk beracun, air beracun dan disembunyikan pada pakaiannya. Pun sebelum itu mereka
sudah minum obat penawaranya. Paling-paling kuku jari atau lengan mereka yang beracun. Tidak
seperti diriku ini. Jantung, darah sampai pada seluruh uratnadi dalam tubuhku semua beracun.
Kuweh yang kumakan beracun, minumankupun racun….”
“Jangan bicara lagi, aku tak sudi mendengar ocehanmu itu!” teriak Siangkwan Wan-ceng.
Tiba-tiba wajah orangtua itu berobah gelap, “Aku seorang tua masakan sudi berbohong dengan
seorang budak perempuan macam engkau.
Apakah engkau menghendaki aku bersumpah baru engkau mau percaya?”
Setelah berdiam diri sesaat, Siangkwan Wanceng berkata, “Kalau jantung dan darahmu
mengandung racun, mengapa engkau tak mati?”Orangtua alis panjang itu tertawa, “Pertanyaan
yang bagus! Kalau aku tak makan racun, mungkin sudah menjadi bangkai dalam kubur!” Melihat
orangtua itu bicara dengan riang gembira, timbullah pikiran Siangkwan Wan ceng, serunya,
“Paman, karena engkau tutuk jalandarahku, kita tak dapat bicara dengan leluasa. Apakah engkau
dapat membuka jalandarahku agar kita dapat bicara dengan enak?”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Orangtua itu merenung sesaat kemudian ia berkata, “Kalau engkau hendak melarikan diri,
berarti engkau cari penyakit sendiri.”
Jawab si nona, “Setelah mendengar pembicaraanmu tadi, aku makin tertarik. Sekalipun engkau
suruh aku pergi, akupun tak mau.”
Orangtua alis panjang itu tertawa riang, “Sebenarnya kalau menurut keadaan, tak mungkin aku
dapat hidup sampai enam lusin tahun….” Melihat orangtua itu sudah mulai tergerak hati dan
tampaknya mau membuka jalandarahnya, buru-buru Siangkwan Wan-ceng bertanya, “Paman,
berapakah usiamu sekarang?”
“Entah, tak ingat dengan tepat, Mungkin sudah lebih dari delapan puluh tahun!” sambil berkata
orangtua alis panjang itu menghampiri ketempat Siangkwan Wan-ceng lalu menampar jalandarah
si nona yang tertutuk.
Setelah melakukan pernapasan dan mengetahui bahwa hawamurni tubuhnya tak menderita
suatu apa, barulah Siangkwan Wan ceng duduk.”Budak perempuan, kulihat biji matamu
berkeliaran kesekelilmg penjuru, apakah engkau merencanakan hendak lolos?”
tegur orangtua itu dengan tertawa,” seumur hidup aku tinggal ditempat sesunyi ini hanya
seorang diri ..,..
Siangkwan Wan-ceng memandang Han Ping.
Melihat pemuda itu telentang dengan mata tertutup rupanya dia sudah tidur. Diam-diam
Siangkwan Wan-ceng merasa lega.
Tiba-tiba ia loncat turun.”Jangan mengganggunya, biarkan dia beristirahat,” seru orangtua alis
panjang.
Nona itu memandang siorangtua alis panjang, berseru melengking, “Engkau menggunakan akal
licik untuk menutuk jalandarahku dan akupun menggunakan tipu muslihat juga untuk menyuruh
engkau membuka jalandarahku yang tertutuk.
Sekarang kita tak saling menderita kerugian.”
“Bukan aku hendak menakuti-nakuti engkau. Tetapi kuharap kalian tinggal disini untuk berobat
Kemungkinan masih ada harapan tertolong. Tetapi kalau kalian pergi, tentu kalian mati,” seru
siorangtua alis panjang.
“Huh, engkau sendiri berlumuran racun bagaimana dapat menolong orang lain yang menderita
keracunan?”
‘Ilmu pengobatan itu memang luar biasa. Dengan racun aku dapat menjaga jiwaku sampai
dapat hidup begini tua.
Adakah itu bukan suatu bukti yang jelas orangtua itu berhenti sejenak, “apa yang kubaca dalam
resep obat yang engkau bawa itu, semuanya merupakan racun….”
“Lebih baik mati daripada sekujur tubuh mengandung racun,” seru Siangkwan Wan ceng.
Tiba-tiba Han Ping membuka mata dan berkata, “Setelah memeriksa penyakitku sudikah
locianpwe dapat sembuh?”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
“Sembuh dan rusak, mempunyai kesempatan yang sama,” sahut siorangtua alis panjang.
Han Ping menghela napas, “Tak peduli locianpwe hendak menggunakan racun apa saja dan
hendak menjadikan aku manusia macam apa saja, aku rela menerima asal yang penting, ilmu
silatku jangan sampai lenyap,” kata Han Ping.
“Pada umumnya orang menganggap racun itu mencelakai orang tetapi jarang yang tahu bahwa
sesungguhnya racun itu mempunyai daya guna yang baik. Air dapat memadamkan api tetapi
apipun dapat mendidihkan air. Itulah rahasia alam yang jarang diketahui orang. Misalnya seperti
diriku, mengapa aku dapat hidup sampai begini tua, pun karena jasa racun. Hanya saja
keadaannya berbeda dengan diri kalian yang terkena racun itu…..”
Tiba-tiba Siangkwan Wan-ceng menukas, “Tok lojin, ternyata engkau memang manusia
beracun segala-galanya. Bukan melainkan tubuh dan kaki tanganmu, pun juga lidahmu beracun.
Tukar bicara dan menutuk jalandarah kami tadi, bukankah engkau telah menyalurkan racunmu
ketubuh kami?”
Han Ping mencegah supaya nona itu jangan memutus pembicaraan orang.Siangkwan Wan-ceng
deliki mata, “Ih, baiklah, rupanya engkau memang sudah terbius kata-kata manis dia orangtua
itu…..
“Tubuh setiap orang mempunyai sumber daya yang hebat. Tergantung dari orang itu dapat
memanfaatkannya atau tidak.
Misalnya karena tubuh kita terkena racun yang membahayakan jiwa tetapi kalau kita dapat
menyalurkan racun itu pada tempat yang sesuai, bukan melainkan umur kita akan bertambah
panjang pun kepandaian tenaga-dalam kita dapat kita kembangkan makin meningkat. “Huh,
ocehan setan ” diam-diam Siangkwan Wanceng mendengus dalam hati.
Setelah merenung beberapa jenak. Han Ping pun berseru, “Benar, memang beralasan juga!”
“Ih, mengapa begitu mudah engkau dapat dikelabuhinya? Sejak kecil aku dilahirkan dikeluarga
persilatan, mau tak mau pengetahuan dan pendengarankupun cukup luas. Tetapi seumur hidup
belum pernah kudengar orang mengatakan bahwa racun itu berguna untuk menielihara umur
panjang. Sudahiah, jangan mendengarkan ocehannya!” seru Siangkwan Wan-ceng.
Dara itu menunjuk pada orangtua alis panjang, serunya! “Lihatlah keadaannya. Tubuhnya kurus
kering, tangannya seperti cakar burung, alisnya panjang seperti setan. Apakah dia mirip dengan
seorang sinshe yang pandai?”
Han Ping tahu bahwa dara itu keras kepala. Kalau dilayani tentu akan melawan dengan reaksi
yang lebih keras.
Maka ia segera memanggil dara itu supaya datang kepadanya.
Dengan tersipu merah dan mengulum senyum nona itupun menghampiri dan berdiri disamping
Han Ping.
Han Ping menerangkan dengan tersenyum, “Locianpwe ini telah menggunakan seluruh hidup-
nya untuk menyelidiki rahasia hidup
manusia dan menggunakan tubuhnya sebagai percobaan. Sama sekali bukan ocehan kosong.
Taruh kata kita tak dapat mempercayai seluruhnya tetapi tiada jeleknya kita mendengarkan.”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Rupanya Siangkwan Wan ceng mau juga menurut nasehat Han Ping, Ia mengangguk dan
memandang kepada orangtua alis panjang, serunya tertawa, “Paman, bicaraiah pelahan-lahan,
aku takkan mengganggumu lagi.”
Rupanya orangtua alis panjang itu kesima melihat sikap kedua tetamunya. Sejenak ia
terlongong heran lalu berkata memuji, “Ah, sungguh sepasang anak yang
menyenangkan,”Siangkwan Wan-ceng diam-diam melirik kearah Han Ping lalu pelahan-lahan
sandarkan kepalanya kebahu kiri anakmuda itu.
Orangtua alis panjang itu memandang keluar jendela kearah bunga pUtih dan bunga merah lalu
melanjutkan pembicaraannya, “Semula aku hendak memaksa kalian harus menerima cara
pengobatanku. Tetapi sekarang kurobah keputusanku.
Aku hendak menjelaskan cara pengobatan itu agar kalian rela menerimanya sendiri.„
Racun beracun.
“Aku tak pernah belajar silat tetapi aku minum racun yang dapat merangsang tenaga. Oleh
karena itu aku memiliki tenaga yang luar biasa dan akupun faham akan jalandarah orang. Orang
yang tak kenal kepadaku tentu mengira aku seorang ahli silat.”
“Karena lo cianpwe menggunakan tubuh lo-cianpwe sendiri untuk percobaan maka aku ingin
sekali mendengarkan penjelasan lo cianpwe,” kata Han Ping.Setelah ‘”merenung beberapa saat,
orangtua alis panjang itu berkata, “Makanan dan minuman beracun yang kumakan itu, dari sedikit
demi sedikit sehingga banyak jumlahnya.
Tetapi kalian belum pernah menggunakan racun itu. Kalau mau makan, tentu takerannya
sedikit. Tetapi menilik racun dalam tubuhmu itu, jika tak makan obat beracun dalam jumlah besar,
tentu takkan berkhasiat. Dan kalau takerannya ditambah
banyak, akupun tak dapat mengatasi. Inilah hal yang perlu kujelaskan kepadamu.”
Han Ping berpaling kepada Siangkwan Wanceng. katanya, “Karena keadaan sudah begini rupa,
biarlah aku mencobanya saja.
Daripada duduk menunggu kematian lebih baik kita berusaha mencari hidup.”
Nona itu kerutkan alis dan berkata kepada orangtua alis panjang, “Paman. cobalah engkau
pikir, apakah tiada lain cara lagi kecuali itu?”
Orangtua alis panjang memanggul kedua tangannya dan berjalan mondar mandir lalu berkata,
“Caranya memang hanya satu tetapi harapan sembuh memang makin besar. Tetapi perlu
kutegaskan, bahwa aku tak dapat menjamin tentu berhasil “
“Apakah itu?” tanya Han Ping Dengan nada sarat orangtua alis panjang menjawab, “Ganti
darah….”
“Ganti darah….?” Siangkwan Wan-ceng menjerit kaget. “Benar, ganti darah.” kata orangtua alis
panjang, “lebih dulu darahku yang mengandung racun ini disalurkan kedalam tubuhnya agar darah
dalam tubuhnya mengandung banyak racun, setelah itu baru minum racun dalam jumlah banyak.
Dengan cara itu kemungkinan hidup, memang lebih besar.” Siangkwan Wan-eeng gelengkan
kepala, “ Cara seaneh itu belum pernah kudengar.”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
“Selain itu memang tiada cara lain lagi,” orangtua alis panjang mengangkat bahu.
“Asal kepandaian silatku tak hilang, aku bersedia mencoba,” kembali Han Ping berseru memberi
penegasan.
Kini orangtua alis panjang itu yang menghela napas, “Bagiku hal itu memang berbahaya.
Apabila salah urus, aku bisa mati karena kehabisan darah.”
“Ah, kalau memang membahayakan, tak perlulah lo-cianpwe mencoba cara itu,” Han Ping
menyusuli kata-kata.
Tetapi orangtua alis panjang itu tetap berkeras, “Daripada menghidupkan seorang tua renta
macam diriku ini, lebih baik kutolong engkau ..
Tiba-tiba ucapannya terputus oleh suara getaran keras dan bunyi bercuit cuit yang aneh.
Seketika berobahlah wajah orangtua alis panjang itu, serunya, “Hai, siapakah yang berani
menyelundup kedalam Panti Kematian dan melukai binatang kera pdiharaanku.”
Siangkwan Wan-ceng cepat berbangkit dan membisiki Han Ping, “Tinggallah disini, jangan
bergerak kemana-mana.
Aku akan menyertainya keluar.” Diantara bunyi bercuit-cuit yang riuh itu tiba-tiba memancar
suara orang meneriakan nama Han Ping.
Suaranya parau nadanya.Mendengar itu Han Ping serentak bangun serunya “Yang datang itu
pamanku sendiri, harap kalian menemuinya keluar.Sedangkan aku akan mempertimbangkan dulu
perlukah aku menemuinya atau tidak.”
Siangkwan Wan-ceng berhenti dan mencegah orangtua alis panjang itu.
Tiba-tiba terdengar pula getaran keras dan teriakan orang memanggil nama Han Ping. Rupanya
karena kalap, Kim loji ngamuk dan menghantam dinding pondok.”Anak perempuan, menyingkirlah,
kemungkinan binatang kera piaranku itu telah diantam mati oleh pendatang itu.” seru orangtua
alis panjang melangkah maju.
Tahu bahwa sekujur badan orangtua itu beracun karena tak berani bersentuhan, Siangkwan
Wan ceng terpaksa menyingkir kepinggir tetapi ia gerakkan kakinya untuk menendang lutut
orang.”Sudahlah, jangan berkelahi sendiri. mari kita sama-sama keluar menemuinya!” akhirnya
Han Ping berseru melerai.
Dan Siangkwan Wan-cwengpun minta maaf kepada orangtua alis panjang itu. Orangtua itu
hanya mendengus seraya melangkah keluar diikuti Han Ping dan Siangkwan Wan-ceng,Tiba
dipintu, orangtua alis panjang menekan alat penutup dan terbukalah dinding pondok itu “Hai,
dimanakah engkau menyembunyikan Ping-ji?” seru seseorang dari luar pondok. Nadanya penuh
dengan kemesraan seorang ayah kepada anaknya Han Ping terharu. Cepat ia melangkah maju
didepan orangtua alis panjang.
Tetapi baru berjalan dua langkah saja napasnya sudah terengah-engah.”Ping-ji, engkau
kenapa? Siapakah yang melukai engkau!” teriak Kim loji seraya lari menghampiri.
Sikap Kim loji yang begitu menyayang itu, benar-benar menusuk perasaan Han Ping. Saking
terharu ia sampai menitikkan dua butir airmata dan menyahut rawan, “Paman: Kim, tak kira….
saat ini aku masih dapat berjumpa dengan paman…”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Juga Kim loji berlinang-linang airmata. Ia menepuk bahu anakmuda itu, “Anak tolol, mengapa
engkau berkata begitu?
Asal engkau minum obat ini tentu segera sembuh!”Han Ping melihat pakaian paman Kim loji itu
koyak dan mukanyapun terdapat gurat-gurat luka. Tentulah pamannya tadi berkelahi dengan kera
peliharaan orangtua alis panjang. Tetapi tangan pamannya itu masih menggenggam obat penawar
racun. Kim loji rela kehilangan jiwa untuk mempertahankan obat itu jangan sampai direbut orang.
Han Ping makin terharu. Ketika menundukkan kepala, dilihatnya disamping kaki Kim loji
terdapat kera bulu merah yang sudah menggeletak ditanah. Orangtua alis panjangpun tengah
memeriksa keadaan luka binatang peliharaannya dengan teliti.
“Ping-ji, betapa bingung aku tadi mencarimu. Setelah melihat engkau tak kurang suatu apa,
barulah hatiku lega.’”
‘”Tetapi bagaimana paman dapat mencari aku kemari tanya Han Ping.
“Dunia ini memang penuh dengan kejadian-kejadian yang tak terduga. Setelah selesai
membuatkan obat untukmu aku cepat kembali kegunung tempat engkau berada. Tetapi ternyata
engkau sudah tak kelihatan. Betapa gelisah dan cemas hatiku, sukar kulukiskan.
Aku mencarimu kemana-mana dan meneriaki namamu tetapi tetap tak bersahut…. “Maafkan
aku, paman….” kata Han Ping.
“Ah bukan salahmu tetapi aku sendiri yang tak cepat-cepat datang ketempatmu, ah….”
Setelah berdiam beberapa saat, tiba-tiba Han Ping berseru, “Paman, bukankah engkao bertemu
dengan seorang kakek sakit bersama cucunya?” Kim loji tertawa.
“Paman, mengapa engkau tertawa?”
“Ping ji, kukira engkau seorang pemuda yang polos hati kosong pikiran. Tetapi ternyata engkau
amat cerdas. Sesungguhnya berani tetapi sikapnya seperti takut, cerdik tetapi tampak seperti
bodoh, ha ha…. ternyata didunia terdapat seorang pemuda seperti engkau….”
“Huh, apa yang engkau tertawakan!” tiba-tiba dari samping terdengar suara seseorang
membentak, Kim loji cepat berpaling.
Dilihatnya orang tua alis panjang yang bertubuh kurus kering itu Entah bagaimana Kim loji yang
penuh pengalaman dalam dunia persilatan, saat itu merasa seram melihat perwujudan orangtua
alis panjang yang tak ubah seperti sesosok mayat hidup.
“Aku menertawakan diriku sendiri, mengapa saudara hendak mengurus aku?” serunya.
Orangtua alis panjang tertawa dingin, “Tahukah engkau sekarang berada dimana?”
Sambil memandang kesekeliling, Kim Loji menyahut tersekat, “Aku…. aku di….”
” Tak peduli siapa saja, asal masuk ke Panti Kematian sini, hasus menurut kepadaku. Bahkan
jiwanyapun berada ditanganku,” seru orangtua alis panjang itu.Kim loji kerutkan alis, menengadah
tertawa, “Hebat. sungguh hebat sekali Seram, sungguh menyeramkan sekali!
Tetapi bagiku seorang she Kim, hal itu sungguh mengelikan.”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
“Benarkah engkau berani menertawakan?” menegas orangtua alis panjang itu.”Benar, sudah
berpuluh tahun aku malangkeutara melintang ke selatan, tetapi….”
Tiba-tiba orangtua alis panjang itu bertepuk tangan dan kera besar yang menggeletak ditanah
itupun loncat bangun lagi.
Han Ping, Siangkwan Wan ceng dan Kim loji terkejut sekali. jelas kera itu terluka parah dan tak
mungkin bisa hidup tetapi dalam sekejab saja setelah diperiksa siorangtua alis panjang ternyata
dapat loncat bangun.
Han Ping memandang kemuka. Dilihatnya orang tua alis panjang itu tengah menuding kearah
Kim loji- Kim loji tergetar hatinya dan menyurut mundur dua langkah. Dilihatnya kera yang
berlumuran darah itu menebarkan kedua tangan, sepasang matanya yang berwarna kuning emas
seperti menonjol keluar dari kelopaknya dan memandang Kepadanya dengan penuh kemarahan.
Kera bulu emas itu pelahan-lahan berjalan menghampiri ketempatnya.Tadi Kim loji sudah
berkelahi dengan binatang itu tetapi entah bagaimana ia merasa ngeri ketika melihat wajah dan
keadaan kera pada saat itu.
Memang sudah berpuluh-puluh tahun Kim loji mengembara dalam dunia persilatan dan selama
itu entah berapa banyak lawan yang pernah dihadapi. Tetapi entah bagaimana pada saat itu ketika
menghadapi kera bulu emas, nyalinya seperti rontok.
Ia mundur lagi selangkah dan kera itu malah makin mempercepat langkahnya.Melihat itu Han
Ping cepat membentak, “Berhenti!” lalu cepat loncat kemuka kera.Teriakan Han Ping itu laksana
halilintar memecah angkasa. Rupanya ia telah mengerahkan seluruh sisa tenaga-dalamnya.
Dan sesaat ia loncat kemuka kera, tahu-tahu kera itupun terlempar beberapa langkah
kebelakang dan rubuh ketanah.
Tiada seoranppun yang menyangka bahwa saat itu Han Ping masih mempunyai tenaga yang
sedemikian hebatnya.
Tampak dia berdiri tegak seperti patung lalu pelahan-lahan terkulai jatuh ketanah.
Kim loji menjerit, loncat dan menubruknya, “Ping ji….Ping ji ….”
Tiba-tiba kera bulu emas tadi meraung pelahan lalu lompat bangun. Melihat itu Siangkwan
Wan-cengpun cepat melesat ketempat binatang itu. Tetapi secepat itu pula si nona buang
tubuhnya berjumpalitan loncat kembali ketempatnya semula.
Ternyata nona itu hanya perlu menjemput pedang pusaka Pemutus-asmara yang terletak
ditanah setelah itu ia kembali lagi dan berkata kepada orangtua alis panjang, “Walaupun kera
bulu-emas itu mempunyai tulang baju kulit besi tetapi jangan harap
dapat bertahan menerima tabasan pedang pusaka ini!”
Orangtua alis panjang itu mengedipkan mata, wajahnya yang dingin tadipun tampak tenang
dan tiba-tiba ia bertepuk tangan tiga kali.
Kera bulu emas itupun berputar tubuh, mmandang tuannya lalu menghampiri pelahan-lahan.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Siangkwan Wan-ceng mendapat kesan bahwa pondok yang bernama Panti Kematian dan oran”
tua alis panjang memang penuh dengan rahasia.tetapi iapun mendapat kesan bahwa orangtua itu
memang berusaha hendak menolong jiwa Han Ping “Paman, lekaslah menyingkir! “Siangkwan
Wanceng berseru seraya loncat kebelakang kera dan mengacungkan ujung pedang kepunggung
kera.
“Jangan melukainya ” orangtua alis panjang itu melengking dan tiba-tiba mengangkat tangan
menampar kepala kera bulu emas.
Siangkwan Wan-ceng hentikan rencananya hendak menusuk tetapi pedang itu tetap diarahkan
kepunggung kera.
Orangtua itu tak mengacuhkan. Matanya tetap memandang kemuka kera. Dari kerut wajahnya
yang tegang itu jelas kalau orangtua alis panjang sedang menggunakan tenaga besar untuk
mengatasi binatang piaraannya.
wajah kera yang menyeramkan itupun pelahan-lahan lenyap, matanya mengatup dan
terkulailah binatang itu rubuh ketanah.
Orangtua alis panjangpun berjongkok lalu menangis keras. Rupanya ia amat berduka sekali
karena kehilangan binatang yang disayanginya itu.Betapapun halnya, Siangkwan Wanceng itu
seorang gadis yang memiliki perasaan halus.
Melihat orangtua alis panjang menangis tersedu sedan, ia segera menghampirt dan berjongkok,
“Sudahlah, paman, jangan menangis…. ” Tetapi orangtua alis panjang itu tak mengacuhkan. Ia
tetap menangis sedih.
Siangkwan Wan-ceng hendak menghiburnya tetapi tak tahu bagaimana harus merangkai kata-
kata.
Ketika sejenak ia berpaling, dilihatnya Kim loji mengangkat tubuh Han Ping dan hendak
dibawanya pergi.
“Berhenti!” seru Siangkwan Wan-ceng.Sejenak Kim loji berpaling memandang si nona lalu tiba-
tiba ia loncat keambang pintu.
Siangkwan Wanceng melonjak bangun dan berteriak, “Kalau engkau hendak mernbawanya
pergi, berarti engkau hendak menghilangkan jiwanya.” Saat itu Kim loji sudah menendang pintu
dan hendak lari keluar. Serta mendengar teriakan si nona, tiba-tiba ia berhenti, “Apakah
omonganmu itu sungguh?”
“Dalam soal yang sepenting ini masakan aku masih ingin bergurau?”
sahut Siangkwan Wan-ceng, Memandang kepala Han Ping, dilihatnya wajah pemuda itu pucat
lesi. napasnya lemah.
Setelah tertegun beberapa jenak, Kim lojipun melangkah masuk kembali. Baginya jiwa Han Ping
itu amat penting sekali Siangkwan Wan ceng segera menyongsong dan bertanya kepada Kim loji,
“Lo-cianpwe apakah dia masih keluargamu?
Mengapa engkau begitu memperhatikan sekali kepadanya?” Jawab Kim loji, “Dia adalah putera
dari saudara-angkatku ….”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kenangan yang lampau kembali terbayang di benak Kim loji. Ia menghela napas, ujarnya,
“Kami tiga pendekar gunung Lam-gak, hanya tinggal aku seorang saja tetapi keadaankupun begini
cacad Untunglah Thian masih kasihan kepadaku.
Aku dapat merawat putera toako. Membalas dendam, mengangkat nama didunia persilatan,
seluruhnya terletak diatas bahu anak ini.
Apabila dia tak dapat tertolong dari Keracunan, akupun tak mau hidup sebatang kara didunia.. .
.”
Siangkwan Wan ceng tertawa rawan, “Aku tak tahu asal usul dirinya tetapi aku amat
mengagumi kepandaiannya.
Thian telah menciptakan seorang tunas dunia persilatan yang begitu cemerlang tentu takkan
begitu saja akan melenyapkannya….”
Tiba-tiba nona itu hentikan kata-katanya karena mendengar orangtua alis panjang itu menangis
makin beriba iba.
Seolah-olah hendak mencurahkan kesedihannya hatinya hidup seorang diri dalam kesepian.
Mau tak mau Siangkwan Wan-ceng ikut tersentuh nuraninya. Dua butir airmata me-nitik keluar.
Setelah menghapus airmata, ia menghampiri ketempat orangtua alis panjang itu lagi, “Paman,
sudahlah, jangan menangis.”
Orangtua alis panjang itu berpaling memandang si nona. Berhenti menangis, beberapa saat
kemudian tiba-tiba ia tertawa keras.
Sudah tentu Siangkwan Wan ceng heran dan bertanya, “Mengapa engkau tertawa?”
Orangtua alis panjang itu tiba-tiba berdiri lalu menari dan menyanyi-nyanyi.
Suaranya tak sedap didengar, bercuit-cuit talk jelas lagunya. Tubuhnya berlenggang lenggok
menurut sekehendak hatinya….
Siangkwan Wan ceng hendak menasehatinya, tetapi karena melihat orangtua itu makin lama
makin menari dan menyanyi dengan gembira, ia tak jadi membuka mulut.Seberapa saat
kemudian, tiba-tiba orangtua alis panjang itu rubuh dan menjerit-jerit bergelimpangan ditanah.
Melihat orangtua itu berguling-guling makin keras sehingga pakaiannya koyak-koyak,
Siangkwan I Wan-ceng tertegun, “Nona, lekas engkau cegah orang itu. Kalau Ia terus menerus
berguling-guling begitu rupa, selain pakaiannya akan hancur, jiwanya tentu melayang juga,” seru
Kim loji.Siangkwan Wan-ceng mengiakan lalu menyambar tubuh orangtua alis panjang itu.
Tetapi karena orangtua itu berguling-guling seperti binatang buas, beberapa saat kemudian
barulah Siangkwan Wan-ceng berhasil mencengkeram bahunya. Orangtua alis panjang itu berhenti
lalu bangun.
“Paman seorang tua, mengapa sebentar sedih sebentar tertawa seperti anak kecil saja?” tegur
Siangkwan Wan-ceng.
Sejenak berdiam diri, orangtua alis panjang itu menyahut, “Seumur hidup aku belum pernah
merasa gembira seperti hari ini….”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Rupanya ketegangan hati orangtua itupun sudah reda. Tapi memandang Kim loji lalu
Siangkwan Wan-ceng, katanya, “Anak-anak, mari ikut aku!”
“Engkau memanggil siapa?” Kim loji terkesiap.
“Engkau!” seru orangtua itu, “kalau dulu aku menikah tentu sudah mempunyai anak sebesar
engkau, mungkin lebih tua lagi!”
Karena melihat rambut oragtua itu memang sudah beruban, Kim loji merasa kalau orang itu
memang jauh lebih tua dari dirinya.
Terpaksa ia mengangkat tubuh Han Ping lalu menghampiri.
Orangtua alis panjang itu mengangkat tubuh kera bulu emas, membuka pintu disudut ruang
lalu melangkah masuk.
Siangkwan Wan-ceng membisiki Kim loji bahwa gerak gerik orangtua alis panjang itu memang
serba aneh.
Oleh karena hendak minta pertolongannya lebih baik nanti menuruti saja kehendaknya.
Kim loji mengiakan, “ Ya, asal dapat menolong Ping-ji, sekalipun suruh aku menjura sampai
beberapa kali dihadapannya, akupun mau.”
Kini mereka menasuki ruang obat-obatan. Setelah meletakkan kera bulu emas, orangtua alis
panjang itu memetik setangkai bunga putih dan sebutir buah merah lalu mengambil beberapa
macam!
obat obatan lahu diramunya. Ia membuka mulut kera lalu memasukkan obat. Setelah itu ia
menepuk kepala kera itu dua kali, serunya, “Makanlah…!” Aneh, mulut kera itupun bergerak-gerak
menelan obat.
“Bawa dia kemari,” seru orangtua alis panjang itu kepada Kim loji. Dengan menghela napas,
Kim loji terpaksa melakukan perintah.
“Letakkan!” kembali orangtua alis panjang itu memberi perintah. Kim loji bersangsi sejenak lalu
meletakkan tubuh Han Ping.
Setelah sejenak memeriksa dada Han Ping, orang tua alis panjang itu menghela napas, “Luka-
nya berat sekali.
Hanya dengan cara ‘racun mengobati racun’, mungkin dapat menolong jiwanya.”
“Adakah yang disebut racun mengobati racun itu?” tanya Kim loji.
“Racun itu telah menyusup kedalam darah dagingnya dan sudah tersebar keseluruh tubuh.
Aku tak dapat menghilangkan racunnya tetapi hanya dapat mengobati dengan cara memberi
lain jenis racun yang dapat menindas racun dalam tubuhnya “
“Apakah ‘tak berbahaya?” Kim loji berkata seorang diri dengan cemas.
“Aku tak mau memaksa, terserah kepadamu,” kata orangtua alis panjang.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
“Lekas kerjakan!” tiba-tiba Siangkwan Wan-ceng berseru,” daripada kalau racun itu bekerja dan
dia mati, lebih baik mencobabahaya itu.”
Melihat kemantapan si nona. Kim loji hanya dapat menghela napas; serunya, “Baiklah, bila Ping
ji sampai mati, kita bertiga pun jangan harap ada yang hidup!”
“Benar,” sa mbut Siangkwan Wan-ceng, “dia mati, kitapun tak perlu harus hidup.”
“Bagus, bagus!” seru orangtua alis panjang, “aku memang sudah lama ingin mati tetapi kalau
mati seorang diri merasa kesepian.
Dengan mendapat kawan kalian bertiga, itu bagus sekali.”
Orangtua alis panjang itu segera memetik sekuntum bunga putih dan buah merah dan memilih
beberapa macam tanaman obat lalu diremas-remas jadi satu.”Hai, apakah obat itu tak perlu
dimasak?” Siangkwan Wan-ceng berseru heran.
“Daun-daun Obat ini sudah matang, tak perlu dimasak lagi.
Setelah setelah meramu obat-obatan itu, ia segera menggelindingi menjadi lima butir pil besar
kecil, katanya, “Pil beracun ini cukup untuk membunuh berpuluh-puluh orang. Racun ganas sekali
Kim loji dan Siangkwan Wan ceng diam saja tak mau memberi rekasi. Sepeminum teh lamanya,
kembali orangtua alis panjang itu berkata seorang diri, “Apa boleh buat, kalau tak menggunakan
racun ini, mungkin dia tak dapat hidup.”
Kim loji dau Siangkwan Wan-ceng tetap diam Orangtua alis panjang itu menjemput sebutir pil
lalu disusupkan kemulut Han Ping.
Kemudian sejenak berpaling memandang Siangkwan Wanceng, kembali orangtua itu
memasukkan pil yang kedua, katanya, “Kalau setelah makan lima butir pil ini dia hidup, berarti dia
takkan mati….” Setelah itu ia memasukkan pil yang ketiga.
“Hai, jangan cepat begitu, biarkan dia mengunyah pelahan-lahan,” seru Siangkwan Wan-ceng.
“Ah, tak ada waktunya. Aku ingin lekas-lekas mengatahui dia hidup atau mati.” sahut orangtua
alis panjang.
Demikian tak berapa lama habislah kelima butir pil itu dimasukkan kemulut Han Ping.
Kini mereka menunggu dengan penuh ketegangan. Detik-detik dirasakan lama sekali oleh
ketiga orang itu.
“Jantungnya masih mendebar,” kata Siangkwan Wan-ceng seraya meraba dada Han Ping.
“Alangkah cepatnya,” seru orangtua alis panjang, “dalam sejam lagi tentu dapat diketahui mati
hidupnya’
“Satu jam? Ah, betapa lamanya!” keluh si dara.
“Jangan kuatir, nanti aku yang mengganti jiwanya,” sahut orangtua itu.
Tiba-tiba Kim loji melonjak dan lekatkan tangannya kepunggung orangtua alis panjang itu,
“Kalau dia mati, engkaulah yang menyusul mati lebih dulu “Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
“Jangan kuatir,” sahut orangtua itu, “aku memang sudah mempersiapkan tempat untuk kita
berempat.”
“Seumur hidup aku tak suka percaya omongan orang,” kata Kim loji.
“Percaya atau tidak terserah,” kata orangtua als panjang,” tetapi engkau harus bersabar
menunggu sampai satu jam.”
“Baik, tetapi tanganku tetap akan melekat dipungungmu. Sampai nanti setelah dia benar-benar
dapat hdup, baru kutarik kembali.”
“Kalau engkau tak repot, silahkan aja” sahut orangtua itu.
Siangkwan Wan cengpun tunjukan ujung pedang Pemutus asmara kedada kera bulu emas,
“Kalau engkau bermaksud hendak menggunakan binatang ini. dia tentu kubunuh dulu.”
Orang tua alis panjang itu tertawa gelak-gelak, “Bagus, bagus, seumur hidup baru pertama kali
ini aku merasa ada orang yang memperhatikan diriku. Entah kalian bermaksud baik atau buruk,
tetapi aku berterima kasihsekali,” habis berkata ia terus pejamkan mata bersamedhi. Mulutnya
mengulum senyum.
Demikian suasana ruang pondok itu sunyi senvap dan tak berapa lama sejampun sudah lewat.
Tetapi Han Ping tetap berbaring tak bergerak.
Siangkwan Wan ceng meraba dada Han Ping lagi, serunya, “Paman, jantungnya masih
berdetak.”
Orangtua itu membuka mata, serunya, “Ada orang datang!”
Siangkwan Wanceng tertegun dan mempertajam telinganya. Segera ia mendengar suara
seseorang yang bernada kasar, “Adakah orang-orang didalam pondok ini sudah mati semua?”
Menyusul terasa getaran keras. Rupanya karena tak ada yang menjawab, orang itu marah dan
entah dengan benda apa, ia menghantamt dinding pondok.
“Iblis laknat, setan keparat!” orang itu memaki-maki, “kalau aku sampai marah, pondok int
tentu kubakar!”
“Hm, bakarlah! Pondok ini terbuat dari batu hijau yang tahan api,” orangtua alis panjang itu
berkata seorang diri dengan pelahan. Karena tak jauh dari tempatnya, Siangkwan Wan-ceng dapat
mendengar kata-kata orangtua itu.
“Hai, orang didalam rumah, lekas saja seorang keluar. Kalau tak mau, jika kuketemukan tempat
persenbunyian kalian, tentu akan kubunuh,” seru orang itu makin keras.
“Rupanya pendatang itu bangsa kaum persilatat sehingga tahu kalau kitu bersembunyi dibilik
rahasia ini,” kata Kim loji.
“Biarlah,” sahut orangtua alis panjang. “kamar rahasia ini terbuat dan batu tebal yang tahan api
dan amat kokoh sekali.
Tak mungkin dia dapat masuk kemari.”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
“Orang itu terlalu liar, biarlah aku keluar untuk memberinya hajaran,” kata Siangkwan
Wanceng.
“Tak perlu.” cegah orangtua alis panjang.” biarkan dia bingung sendiri. Bum, bum, bum….
Terdengar suara letupan dan getaranu makin keras. Rupanya karena tak sabar menunggu
penghuni pondok yang tak mau keluar, pendatang itu marah sekali. Ia mengamuk dan
menghantam kamar rahasia itu sekeras-kerasnya.
Getaran itu makin hebat dan letupanpun makin dahsyat. Jelas pendatang itu tentu
menggunakan senjata untuk menghantam dinding.
Entah berselang berapa lama, suara letup dan getaran itupun tiba-tiba berhenti.
“Ayo, mereka tentu sudah sakit tangannya,” orangtua alis panjang tertawa.
Tiba-tiba Han Ping menghela napas pelahan. Kedua tangannyapun bergerak-gerak……….
JILID 2
“Oh, terima kasih Tuhan, dia sudah siuman,” seru Siangkwan Wan-ceng gembira.
Kim lojipun segera menarik telapak tangannya yang melekat dipunggung orangtua alis panjang
lalu memperhatikan Han Ping.
Tetapi setelah dapat bergerak beberapa saat, tiba-tiba Han Ping kembali tak berkutik lagi.
“Aneh, mengapa dia tak dapat bergerak lagi?” orangtua alis panjang itupun berseru heran.
“Apakah gerakannya tadi bukan karena bekerjanya racun?” seru Kim loji.
Siangkwan Wan-ceng segera lekatkan tangan kedada Han Ping, “Ah, jantungnya masih
berdetak.”
“Biar, mereka taK mungkin dapat membakar kamar rahasia yang kokoh ini”‘, kata orangtua alis
panjang.
Melihat Siangkwan Wan-ceng berdiri lalu duduk lagi. Orangtua alis panjang itu menegur, “Ai,
apakah engkau hendak keluar?”;
“Aku ingin menghajar mereka tetapi tak tega meninggalkan dia,” sahut si dara.
Orangtua alis panjang….berdiam beberapa saat. Setelah itu ia mengambil sebuah guci dan
cawan arak.
Dituangnya arak dalam guci ke cawan lalu minta pinjam pedang kepada Siangkwan Wan-ceng.
Cret, ia menggurat ujung pedang pusaka Pemutus-asmara kelengan kirinya. Darah bercucuran
kedalam cawan arak.
“Paman, engkau mau apa itu?” tegur si nona “Hendak kuminumkan arak yang bercampur
darahku ini kepadanya.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tadi dia telah minum daun obat yang paling beracun didunia. Sekarang hendak kuberinya
darah binatang yang beracun yang telah menghidupkan jiwaku selama berpuluh-puluh tahun.
“Sebenarnya aku merasa sayang kalau memberikan darahku itu kepadanya.”
“Kalau setelah minum dia tetap tak sadar, bagaimana?” tanya Siangkwan Wan-ceng pula.
Orangtua alis panjang mengangkat bahu, “Tidak ada daya lain lagi kecuali kita bertiga harus
menemaninya mati.”
Siang kwan Wan ceng tertawa, “Baik atau buruk akibatnya, harus cepat-cepat selesai. Jangan
berlarut-larut menyiksa hati.”
Kim loji memandang kearah Han Ping dan berkata seorang diri, “ Tidak, dia takkan mati…. “
Setelah membalut lengannya, orangtua alis panjang itu mencampur ramuan obat kedalam
darah lalu diminumkan kemulut Han Ping.
Kembali suasana sunyi senyap penuh ketegang-an. Hastl dan obat darah itu, selain menyangkut
jiwa Han Ping, juga ketiga orang itu. Mereka tak mempedulikan asap dari luar yang makin lama
makin memenuhi bilik rahasia itu.
Setengah jam kemudian kembali orangtua alis panjang meminumkan darah bercampur arak itu
kemulut Han Ping hingga habis.
Karena napas sesak dengan gumpalan asap, Siangkwan Wan-ceng batuk-batuk. Kim loji dan
orangtua alis panjang mengangKat muka memandang si nona. Alangkah kejut mereka ketika
dipintu tampak berdiri dua orang lelaki.
Yang disebelah kiri mencekal sebatang tongkat besi dan yang sebelah kanan, seorang
bertumbuh kurus, memegang sebatang golok kui thauto atau golok yang tangkainya berbentuk
seperti kepala setan.
Entah kapan mereka muncul disitu. “Bagaimana kalian masuk kesini?” tegur orang tua alis
panjang seraya meletakan cawan arak.
Orang yang disebelah kiri tertawa dingin.
lalu mendamprat “Jangan kata hanya bersembunyi disini, sekalianpun kalian bersembunyi
diliang tikus, pun kami tentu dapat mencarinya.”Siangkwan Wan ceng kerutkan alis dan memben
tak, “Hati-hati kalau bicara….
Lelaki bersenjata golok kui-thau-to tertawa dingin, “Selama berpuluh tahun mengembara
diduniapersilatan belum pernah ada orang yang berani bicara begitu kasar kepadaku.
Wut…. sebelum orang itu selesai bicara. si nona sudah taburkan jarum emas, “Bangsat, jangan
bermulut besar!”
Kedua pendatang itu orang-orang persilatan yang banyak pengalaman. Melihat Siangkwan
Wan-ceng ayunkan tangan, merekapun cepat menghindar. Tetapi karena jaraknya amat dekat, tak
urung pakaian mereka tertembus jarum.
Untung tak sampai mengenai daging.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
“Budak setan. engkau berani menggunakan jarum beracun!” lelaki bersenjata tongkat
mendamprat.
Tetapi ia tak berani keluar dari tempat persembunyiannya. Rupanya gentar juga terhadap
jarum emas Siangkwan Wan-ceng.
Karena pintu dapat dibuka kedua orang itu, asappun makin memenuhi kamar.
Bum, tiba-tiba orang itu menghantamkan tongkatnya dan pintu kamar rahasia itupun
berlubang.
Siangkwan Wan ceng menjemput pedang Pemutus-Asmara, serunya, “Harap menjaganya, aku
hendak menyelesaikan kedua orang itu agar mereka jangan sempat menutup jalan keluar dengan
api.”
“Mereka menjaga di kanan kiri pintu, berbahaya kalau nona menerjang keluar, “Kim loji
memberi peringatan.
“Tak apa, aku mempunyai akal untuk mengatasi mereka,” kata Siangkwan Wan ceng terus
melesat kebelakang pintu.
Tiba-tiba ia julurkan pedang Pemutus-asmara keluar.
Wut, wut, dari kanan kiri golok dan tongkat segera menghantam tangan Siangkwan Wan-ceng.
Tetapi nona itu sudah siap. Ia turunkan tangannya kebawah agar senjata lawan ikut mengejar
turun.
Kemudian ia enjot kakinya loncat keluar.
Tetapi belum melayang turun ketanah, sebuah tertawa dingin membentaknya, “Kembali!”
Siangkwan Wan-ceng yang masih melayang diudara itu segera berputar diri sambil
mengayunkan pedang pusaka untuk melindungi tubuh, Ia meluncur turun kesamping kiri.
Karena sejak kecil mendapat didikan dari seorang guru yang sakti, kepandaian nona itu pun
bukan alang kepalang.
Bentakan orang yang disertai dengan dorongan tenaga tadi, hebat sekali. Ia merasa sukar
melawan maka cepat-cepat ia melayang….
Tring, orang yang menjaga disebelah kin menyambut dengan tongkat. Tetapi begitu terbentur
pedang Pemutus-asmara, kutunglah tongkat itu.
Siangkwan Wan ceng malang melintang didunia persilatan Sepak (wilayah barat laut) dan
terkenal ganas.
Ia banyak sekali pengalaman menghadapi musuh pukulan yang menerjangnya, hebat sekali.
Tahulah ia kalau berhadapan dengan musuh yang kuat, Saat itu Han Ping masih pingsan, Kim
loji masih lelah dan orangtua alis panjang tak mengerti ilmu silat.
Ancaman saat itu, hanya tergantung pada dirinya….Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Setelah menetapKan keputusan, Siangkwan Wan-ceng menarik pedang kebelakang dan
menjeritlah orang yang bersenjata tongkat tadi, rubuh terkapar ditanah.
Tenaga hantaman orang yang menyerang Siang kwan Wan-ceng tadi ternyata membobolkan
dinding atas pintu, masih menyusup kedalam kamar rahasia sehingga pakaian Kim loji dan
orangtua alis panjang terdampar keras.
Orangtua alis panjang dan Kim loji terkejut menyaksikan kedahsyatan tenaga orang itu.
Orang tua alis panjang cepat menampar kepala kera bulu emas lalu mengangkat tubuh Han
Ping dibawa pindah ketempat yang lebih dalam.
Sementara Kim loji menjemput kutungan palang pintu lalu menghadang diambang pintu.
Melihat kawannya rubuh, orang yang bersenjata tongkat besi marah.
Dengan jurus Thay-san-ya-ting atau gunung Thay-san menindih puncak. ia loncat menghantam
Siangkwan Wan-ceng.
Serangan dengan senjata berat itu tak dihiraukan Siangkwan Wan-ceng. Yang diperhatikan
hanya orang yang melepaskan pukulan tadi. Cepat ia menghindar kesamping setelah terlepas dari
hantaman tongkat ia cepat songsongkan pedang Pemutus Asmara untuk menahan tongkat besi
dan mebuangkan kesempatan untuk memandang kearah orang yang memukul tadi.
Usahanya itu berhasil. Ditengah asap tebal pada jarak satu tombak lebih jauhnya, tegak
seorang bertubuh pendek kurus dalam pakaian yang kemilau. Samar-samar ia melihat tubuh orang
itu bergerak gerak….
Orang yang bersenjata tongkat besi karena hantamannya luput, segera menggembor keras dan
menarik tongkatnya sekuat tenaga keatas. Ia mengandalkan tongkatnya yang berat dan tak
gentar akan pedang si nona.
Pedang Pemutus Asmara itu sebuah pusaka yg tajamnya bukan kepalang. Justeru karena orang
itu menarik tongkatnya kuat-kuat maka benturan dengan pedang Pemutus Asmarapun makin
keras. Tring. tongkat besi kutung dua jari.
Tongkat besi itu panjangnya tak kurang dari dua meter Maka kutung dua jari saja, tiada
halangan Cepat ia menarik tongkat lalu cepat disapukan ketubuh si nona.
Siangkwan Wan-ceng memperhatikan bahwa tempat itu amat sempit dan ia tak tahu pula siapa
sebenarnya musuh yang melepaskan pukulan itu.Ia harus menyingkir kelain tempat yang lebih
leluasa. Maka dengan gunakan gerak Kiau-yan-hoan-sim atau burung seriti berjungkir tubuh, ia
melayang kedalam ruangan.
Kim loji gunakan kutungan palang pintu untuk menahan serangan tongkat besi yang hendak
mengejar Siangkwan Wan-ceng.
Tring, ketika berbenturan, palang kayu yang dipegang Kim loji itupun hancur menjadi tiga
keping.
Tetapi karena tak menduga duga, tongkat besi orang itupun terlepas jatuh dari tangannya.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Melihat itu cepat Kim loji maju selangkah dengan kerahkan sisa tanganya ia segera
menaburkan kutungan palang pintu kepada orang itu.
“Harap Kim lo cianpwe jangan menempuh bahaya dan lekas mundurlah. Diluar ada seorang
musuh yang sakti!” seru Siangkwan Wan-ceng.
Saat itu terdengar jeritan ngeri dan rubuhlah orang yang bersenjata tongsat besi cadi. Ternyata
pada saat ia berjongkok hendak memungut tongkatnya ditanah, taburan palang kayu Kim loji tadi
tepat mengenai jidatnya sehingga ia menjerit dan rubuh tak ingat orang.
Kim loji segtra menyambar tongkat besi. Belum sempat tangannya menjamah, tiba-tiba
menjulur sebuah kaki, menginjak batang tongkat itu dan serempak disusul dengan bentakan
bengis, “Lepaskan!
Kata-kata itu disertai hamburan bau yang amat anyir menusuk hidung.
Kim loji kaya pengalaman didunia persilatan ia tahu kalau pendatang itu memang hendak
mencelakai dirinya tentu tidak menginjak tongkat tetapi sudah menendang dirinya. Terpaksa ia
batalkan rencananya mengambil tongkat lalu pelahan-lahan berdiri.
Tiba-tiba ia rasakan keningnya dingin seperti ditampar patahan dan serentak terdengarlah
Siang-Lwan Wan-ceng berseru, “Kutu panjang!”
Kim loji menyurut mundur dua langkah lalu mengangkat muka memandang kedepan. Seorang
kakek kurus pendek, berdiri diambang pintu.
Rambut kepala dan jenggotnya yang putih dan jarang-jarang itu, bertebaran. Mengenakan
pakaian warna hitam.
Seekor ular kecil warna merah melilit ditangan kanannya. Sedang lengan kanannyapun dilibat
sekor ular besar yang kulitnya berwarna loreng-loreng.
Karena tubuh dan ekor ular itu menggubat tubuh maka dalam keremangan asap lebat, tampak
tubuh kakek itu seperti berpakaian yang gemilang.
Kim loji terlongong teriaknya, “Ketua lembah Seribu racun….
Kakek pendek itu hanya cebirkan bibir, menyahut ringkas, “Benar…. ” terus melangkah.
Kedua ekor ular yang melilit pada kedua tangan ketua lembah Seribu-racun itu bergeliatan
menjulurkan tubuh dan kepalanya.
Siangkwan Wan-ceng dan Kim loji mundur dua langkah.
Diluar dugaan tiba-tiba kera bulu emas yang menggeletak ditanah itu melonjak bangun.
Sepasang matanya terbuka lebar-lebar memandang kakek pendek berbaju hitam dengan sikap
hendak menyerang.
“Lo cianpwe.” bergegas. Kim loji berkata kepada orangtua alis panjans, “lekas suruh kera itu
berhenti.
Yang datang ini adalah pemilik Lembah seribu-racun.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Rupanya Kim loji menyadari bahwa ketua Lembah seribu racun itu berkepandaian tinggi Jika
kera iiu menyerang tentu akan membangkitkan kemarahannya.
Tiba-tiba orangtua alis panjang tertawa gelak-gelak, “Karena menjadi ketua Lembah seribu-
racun, dia tentu faham akan racun…. “
Kakek pendek baju hitam itu sejenak memandang kera bulu emas yang beringas lalu tanpa
mengacuhkan ancaman si kera, ia menyahut, “Hanya tahu satu dua macam . , . “
Kemudian ketua Lembah-seribu-racun itu memandang Kim loji tegurnya, “Siapakah orang itu?
Karena engkau menyebutnya lo cianpwe, tentu dia bukan orang yang tak bernama. Apakah
sahabat dari Sin ciu-it-kun Ih Thian-heng?”
Sambil melekatkan tangan kedada, Kim Loji memberi hormat, “Lo-cianpwe ini ialah pemilik
Panti Kematian sini.
Sama sekali tak kenal dengan Ih Thian-heng “
Orangtua alis panjang letakkan tubuh Han Ping lalu memandang tawar kearah kakek pendek
kurus itu, “Siapakah engkau ini? Mengapa berani masuk kedalam Panti Kematian milikku ini dan
masih begitu kurang sopan terhadap diriku?”
Mendengar itu buru-buru Kim loji menyeletuk “Yang datang ini adalah pemilik Lembah-seribu-
racun, salah seorang tokoh paling terkemuka dalam dunia persilatan Lembah-seribu-racun
termasyhur dengan kepandaiannya tentang racun dan locianpwe seumur hiduppun mempelajari
racun. Boleh dikata dalam jaman ini kalian berdua ini tokoh utama soal racun. Dua orang tokoh
yang sama kepandaiannya tentu saling bersimpati tiba-tiba ia batuk-batuk dan tak melanjutkan
kata katanya.
Sebenarnya ia bermaksud hendak memperkenalkan kedua orang itu satu sama lain tetapi tiba-
tiba ia teringat kalau belum tahu nama orangtua alis panjang. Maka baru-baru ia batuk-batuk
untuk menghentikan ucapannya.
Ketua Lembah-seribu-racun tertawa kering, “Ah, apakah kepandaianku? Masakan aku layak
disebut tokoh paling terkemuka dalam dunia persilatan?”
Berhenti sejenak ia melanjutkan pula, “Karena engkau berada disini, tuanmu Ih Thian-heng itu
tentulah berada disekitar tempat ini”
Kim loji berdiam sejenak lalu menyahut, “Aku diutus oleh tuanku tetapi tersesat sampai disini
Sama sekali aku tak sengaja masuk Panti Kematian ini.”
Orangtua alis panjang memandang kepada sikakek pendek dan ular yang melihat tubuhnya lalu
berkala, “Kedua ekor ular itu sungguh ular beracun yang jarang terdapat,”
Habis berkata ia terus bertepuk tangan. Kera bulu emas itupun segera kembali kesisi orang tua
alis panjang lagi.
Pemilik lembah seribu-racun tertawa hambar, “Kedua ekor ular beracun hebat ini sudah
kutundukkan.
Tanpa perintahku tak mungkin akan melukai orang.”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
“Menjinakkan dua ekor uLar berbisa, bukan termasuk kepandaian yang hebat” seru orangtua
alis panjang.
Wajah ketua Lembah-seribu-racun berobah seketika, serunya pula, “Kedua ekor ular berbisa ini
hampir menghabiskan seluruh
tenaga dan waktuku untuk mencari keseluruh pelosok dunia. Racunnya luar biasa ganasnya.
Segala mahluk apa saja kalau terkena gigitannya tentu segera mati.
Termasuk orang yang memiliki kepandaian tinggi pun tak kuat bertahan.”
“Tetapi aku tak takut pada ularmu itu,” seru orang tua alis panjang tertawa.
“Apakah engkau berani mencobanya?” ketua Lembah seribu racun murka.
“Coba, coba, cobalah….orangtua alis panjang mendesis seraya melangkah maju.
Melihat itu Kim loji cepat mencegahnya, “Lo-cianpwe seorang tabib, yang penting yalah
menolong orang.
Mengapa harus ngotot untuk urusan yang tak penting?”
Orangtua alis panjang itu berpaling memandang Han Ping. Ia menurut nasehat Kim loji dan
menyurut mundur lagi.
Sementara itu Siangkwan Wan-cengpun menghampiri kesamping Han Ping lalu berjongkok
untuk memeriksa keadaan pemuda itu.
Ketua Lembuh-seribu-racun terbentur pandang pada pedang Pemutus asmara yang dicekal
Siangkwan Wan-ceng.
Ia bertanya kepada Kim loji, “Siapakah budak perempuan itu? Bukankah pedang yang
dicekalnya pedang pusaka Pemutus-asmara yang menggetarkan dunia persilatan?”
“Dara itu adalah puteri tersayang dari ketua marga Siangkwan di Kang lam. Yang dicekalnya
memang pedang pusaka Pemutus-asmara.”
Ketua Lembah-seribu-racun menatap si dara dengan penuh perhatian lalu tertawa, “Wajahnya
tak kalah dengan kedua puteri Lembah Raja-setan, hanya keberaniannya melewati batas….”
Mendengar itu Siangkwan Wan ceng berpaling deliki mata kepada ketua Lembah-seribu-racun
itu, namun ia tahan kemarahanya dan diam.
Ketua Lembah-seribu-racun tertawa gelak-gelak, serunya. “Dengah ayahmu aku kenal baik,
menurut urutannya, seharusnya engkau menyebut aku paman tua.”
Melihat Siangkwan Wan-ceng acuh tak acuh, Kim loji buru-buru menyela, “Nona Siangkwan,
cianpwe ini adalah Leng lo cianpwe ketua Lembah-seribu-racun. Seorang sahabat baik dari
ayahmu, lekaslah engkau kemari menjumpainya.”
Sejenak meragu, akhirnya mau juga nona itu menghampiri, memberi hormat, “Hormatku
kepada Leng lo-cianpwe.”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ketua Lembah-seribu-racun batuk-batuk, tertawa, “Sudah lama kudengar, diwilayah Sepak tak
ada yang menandingi.
Apa yang kulihat hari ini, barulah tahu kalau pendekar wanita yang gagah berani itu ternyata
seorang dara yang cantik juga.
Mempunyai seorang puteri begitu, sungguh dapat menambah umur panjang. Benar-benar aku
mengiri atas kebahagiaan ayahmu.”
Siangkwan Wan-ceng paksakan tertawa, “Silahkan duduk, locianpwe. Aku masih hendak
merawat orang sakit.”
Pelahan-lahan mata ketua Lembah-seribu-racun itu beralih kepada Han Ping, tanyanya, “Orang
yang mendapat perhatianmu tentulah bukan sembarangan. Siapakah dia?”
“Ah, anak keponakanku,” kata Kim loji. Ketua Lembah-seribu-racun pejamkan mata lalu tertawa
dmgin, “Karena menempuh perjanan jauh aku lelah hendak pinjam tempat ini untuk beristirahat.
Kalau kalian ada pekerjaan. silahkan saja!”
Habis berkata ia terus duduk bersandar dinding dan pejamkan mata. Kedua ekor ular itu tetap
bergeliatan melilit lengannya.
Kim loji menghampiri kesisi Han Ping lalu bertanya bisik-bisik kepada orangtua alis panjang,
“Lo-cianpwe, kapankah kiranya dia akan tersadar?”
Orang tua alis panjang meraba dada Han Ping, menjawab, “Menilik keadaannya, tak mungkin
akan terjadi perobahan lagi pada tubuhnya.
Kapan dia akan tersadar, sukar kukatakan.”
Siangkwan Wan ceng; mendekati Kim loji dan bertanya, “Ketua Lembah-seribu-racun itu
termasyhur sekali.
Ilmu Iwekangnya tinggi. Tak mungkin dia letih menempuh perjalanan. Kukira tentu ada
sebabnya dia berada disini.”
Kim loii mengiakan, “Aku juga merasa heran…. .”
“Apakah mungkin ada orang yang menyaru sebagai, dirinya?” tanya Siangkwan Wanceng.
“Sudah dua kali aku berjumpa dengan dia krtika di Lembah-seribu-racun, Sudah berpuluh tahun
dia tak pernah keluar dari lembahnya. Kalau kali ini dia keluar tentulah ada suatu urusan yang
penting sekali…. “
Kim loji berhenti sejenak lalu berkata pula, “Selekas Ping ji siuman, kita segera tinggalkan
tempat ini agar jangan medapat kesulitan.”
Memang SiangKwanceng sudah mendengar dari ayahnya sudah pernah mendengar tentang
nama ketua Lembah-seribu-racun itu.
Seorang tokoh yang ganas dan kejam sekali.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Mendengar pernyataan Kim loji, Siangkwancengpun mengangguk, “Ya, tetapi entah kapan dia
akan sadar diri.”
Tiba-tiba terdengar suara mendengkur. Rupanya ketua Lembah-seribu-racun itu sudah tidur
pulas.
“Dia sudah tidur,” kata orangtua alis panjang, Kim loji gelengkan kepala, “Tampaknya dia
seperti lelah sekali….”
Siangkwan Wan-ceng melengking, “Aku tak percaya dia benar-benar′….”
Kim loji cepat memberi isyarat mencegahnya berkata lebih lanjut. Kemudian ia memandang
kearah Han Ping yang masih tidur tenang seperti orang yang tak menderita luka. Diam-diam Kim
loji menghela napas dan menitikkan airmata.
Airmatanya tepat jatuh dimulut Han Ping.
Tiba-tiba orangtua alis panjang bertepuk tangan, “Ai, aku lupa menggunakan obat
perangsang….”
“Lekas bilang, obat apa itu?”
“Airmata….” baru orangtua alis panjang berkata begitu tiba-tiba terdengar Han Ping menghela
napas panjang dan menggeliat duduk.
Melihat itu orangtua alis panjang serentak melonjak bangun dan bertepuk tangan tertawa
girang, “Manusia racun, manusia racun, ilmu pengobatanku ternyata tepat!”
Dia berteriak makin lama makin keras dan akhirnya menari-nari seperti anak kecil.
“Lo-cianpwe, berhentilah, aku hendak bicara penting,” cepat Siangkwan Wan-ceng
meneriakinya.
Suara dengkuran dari hidung ketua Lembah-seribu-racun seperti sebuah musik yang mengiringi
tarian orangtua alis panjang.
Bermula amat serasi sekali tetapi lama kelamaan dengkur itu seperti menguasai gerak tarian
orangtua alis panjang.
Segera Siangkwan Wan- ceng dan Kim loji merasa bahwa suara dengkuran itu tak wajar.
Keduanyapun merasa seperti Kena pesona dan ingin sekali turut menari. Tetapi setiap kali
hendak bergerak menari, mereka berusaha untuk menekan keinginanya.
Siangkwan Wan-ceng mengangkat pedang Pemutus-Asmara dan seketika itu ia rasakan hatinya
seperti terbaur oleh hawa pedang sehingga kesadarannya pulih kembali.
Serentak ia berbangkit dan berbisik kepada Kim loji, “Harap lo-cianpwe menjaganya aku hendak
membangun kan ketua Lembah-seribu-racun itu….”
Kim loji memperhatikan bahwa cara menari orangtua alis panjang itu seperti tak henti-hentinya
orang bertepuk tangan.
Ketika Siangkwan Wan-ceng berkata kepadanya, iapun hanya mengiakan saja.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Si nona segera menghampiri ketempat ketua Lembah seribu-bunga. Kurang tiga empat langkah
dari tempat kakek pendek itu tiba-tiba ia berhenti.Ular yang melingkar ditubuh ketua Lembah-
seribu-racun itu, bergeliatan menjulur sampai setengah meter, mengangakan mulut dengan buas.
Siangkwan Wan-ceng segera putar pedang pusaka. Hawa dingin dari pedang Pemutus-asmara
itu membuat ular menyurut kembali.
“Leng lo-cianpwe, bangunlah!” seru si nona. Ketua Lembah-seribu-racun itu merekah senyum
menyahut, “Ada apa?”
Waktu berkata, dengkurnya berhenti. Tetapi habis berkata, iapun kembali mendekur lagi.
Siangkwan Wan-ceng marah, “Lo-cianpwe, maukah engkau hentikan dengkuranmu itu?”
Ketua Lembah-seribu-racun tertawa, “Selama hidup aku tak mau diperintah orang.
Kecuali apabila orang itu sanggup memberi imbalan yang menyenangkan hatiku.”
Siangkwan Wan-ceng mencuri kesempatan untuk berpaling. Dilihatnya Kim loji sudah akan
gerakkan tangannya untuk menari.
Jelas kalau dia sudah tak kuat menahan daya sakti dari dengkuran ketua Lembah seribu-racun
itu.
Sedangkan orangtua alis panjang lebih hebat lagi. Orangtua itu menari dan melonjak lonjak
seperti anak kecil.
Kepalanya basah kuyup dengan peluh, rambutnya bertebaran tak keruan.
Tetapi ada suatu hal yang mengejutkan Siang Wan-ceng. Han Ping yang baru sadar dari
pingsan itu, juga mengunjuk tanda-tanda hendak bergerak….
“Katakanlah, apa yang engkau kehendaki?”
Mendengar dengkur ketua Lembah-seribu maka orang tua alis panjang, Kim loji dan Pingpun
serempak menari nan menurutkan dengkuran itu.buru-buru si nona berseru kepada ketua Lembah
seribu racun.
Kakek bertubuh pendek itu membuka mata menatap Siangkwan Wau-ceng, serunya, “Aku tak
mau memaksa tetapi kalau engkau rela sendiri, janganlah menyalahkan aku.”
“Maukah engkau hentikan dengkuranmu dan kita bicara dengan tenang?” seru Siangkwan Wan-
Ceng.
Siangkwan Wan-ceng melirik pula Dilihatnya Kim loji dan Han Ping sudah mulai menari.
Bahkan kera bulu emas itupun juga ikut menari.
Siangkwan Wan ceng makin gugup, serentak ia berseru, “Tak peduli apa saja, aku akan
meluluskan….”
Ketua Lembah-seribu-racun tertawa dingin, ujarnya, “Aku mempunyai seorang putera tetapi
ujutnya aneh.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kalau menurut pandangan umum….”
“Apakah jelek sekali “sehingga malu dilihat orang?” tukas Siangkwan Wan-ceng.
Ketua Lembah-seribu racun batuk-batuk, sahutnya, “Ya, anggaplah begitu! Tetapi dengan
mengandalkan namaku, untuk mencarikan sepuluh nona cantik sebagai isterinya, bukanlah hal
yang sukar….”
Ia berhenti sejenak untuk mendengkur keras sehingga orang-orang yang menari itu tambah
mempercepat gerakannya.
Setelah itu baru berkata dingin, “Tetapi akU tak menyukai puteri-puteri orang biasa. kalau
engkau meluluskan untuk menjadi isteri puteraku, bukan saja engkau akan bahagia pun ayahmu
tentu bertambah cemerlang namanya.”
Siangkwan Wan-ceng terkesiap, serunya “Lalu apakah syarat yang kedua?”
“Serahkan pedang Pemutus-asmara itu sebagai jaminan, baru kuhentikan dengkurku. Tetapi
apakah mereka dapat meninggalkan tempat ini, tergantung dari nasib mereka masing-masing.”
Siangkwan Wan-ceng merenung sejenak lalu berkata, “Kalau aku meluluskan syaratmu yang
pertama untuk menjadi isteri puteramu, apakah engkau tetap hendak menyulitkan mereka?”
Ketua Lembah-seribu-racun tertawa, “Kalau engkau menerima syarat itu, berarti kita sudah
menjadi orang sendiri.
Aku sebagai orangtua tentu harus dan wajib melindungi engkau.”
Dalam pada berkata kata itu tampak wajahnya berobah tenang dan ramah. Sedang matanya
memancarkan sinar mengharap.
Serasa dadanya tertimpa pukulan keras, Siangkwan Wan ceng terhuyung dua langkah
kebelakang. Diam-diam ia berpikir, “Ah, tak kira kalau seorang durjana ganas ternyata begitu
sayang sekali kepada puteranya….”
Sambil memberesi rambutnya yang kusut, Siangkwan Wan-ceng bertanya, “Apakah
keinginanmu untuk menjodohkan aku dengan puteramu karena engkau melihat aku berwajah
cantik?”
“Selain cantikpun cerdik, melebihi dari kedua gadis Lembah Raja-setan itu!”
Siangkwan Wan-ceng tertawa hambar, “Entahlah sampai bagaimana buruknya wajah putramu
itu?”
“Hanya pancainderanya yang luar biasa, sedikit menyeramkan orang. Tetapi kaki tangan dan
semua anggauta tubuhnya lengkap semua.”
Siangkwan Wan-ceng melekatkan tangan ke dahi dan tertawa keras, “Ah, sejak dahulu kala,
seorang jelita itu tentu bernasib malang. Isteri cantik sering mendapat suami jelek.
Ya, baiklah, aku menerima syaratmu!”
“Sungguhkah?” seru ketua Lembah-seribu-racun dengan gembira.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
“Keluar dari mulutku, tertangkap ditelingamu, masakan masih diragukan?” seru Siangkwan
Wan-ceng.
Ketua Lembah-seribu-racun hentikan dengkurnya lalu tertawa terbahak-bahak, “Hendak kuajak
engkau menjumpahi si Raja-setan TingKo agar dia melihat bahwa aku berhasil mendapatkan
menantu yang melebihi kecantikan kedua puterinya . “
Tiba-tiba terdengar Kim loji berseru, “Locianpwe, engkau sudah mandi keringat, harap berhenti
dan beristirahat!”
Siangkwan Wan-ceng cepat berseru kepada ketua Lembah-seribu-racun, “lekas hentikan kalau
terus menerus menari, dia tentu akan mati kehabisan tenaga!”.
Tampak Han Ping menegakkan kepala seperti mengenangkan suatu peristiwa lampau yang
penting.
Mendengar teriakan si nona ia gelagapan terus menyambar tubuh orangtua alis panjang itu.
Walaupun belum lama siuman tetapi tenaganya masih utuh maka gerakannyapun cepat sekali.
Dicekalnya lengan kiri orangtua alis panjang dan berhentilah orangtua itu menari.
Orangtua itu berpaling memandang Han Ping, tiba-tiba tertawa, “Hai, manusia beracun,
manusia beracun….
“Manusia beracun?” Han Ping kerutkan alis. “Ya, aku dan engkau serupa, menjadi manusia
beracun. Darah dalam tubuhmu semua mengandung racun.”
Han Ping tercengang dan lepaskan cekalannya. Sambil mengangkat kedua tangannya orangtua
alis panjang itu bertepuk tangan sekerasnya dan tertawa keras, “Aha, aku hendak menyiarkan
kepada seluruh manusia didunia bahwa sekarang aku bukan satu-satunya manusia beracun!
Habis berkata tiba-tiba ia terus lari keluar. “Lo cianpwe Siangkwan Wan-ceng menjerit dan
menyambarnya tetapi luput.
“Nak, biarlah, dia takkan dapat lari,” kata ketua Lembah seribu racun. Sekali gentakkan
tangannya, ular kembang yang melilit lengannya segera meluncur mengejar orangtua alis panjang.
Bluk, karena tak menduga, orangtua alis panjang tergigit kakinya dan rubuh.
Siangkwan Wan-ceng terkejut. Cepat ia melesat keluar. Ia berjongkok hendak memegang
tubuh orangtua itu, tiba-tiba ia menarik kembali dan mundur dua langkah.
Ternyata nona itu terkejut karena ular yang masih melilit dipaha orangtua itu tiba-tiba
menggangkat kepalanya keatas dan melengking keras.
Ketua Lembah-seribu-racun mengankat tangan dan berkemak kemik mengucap bcberapa patah
kata.
Ular kembang itu tiba-tiba merayap kembali kepada tuannya dan hinggap dilengan.
Orangtua alis panjang itu pelahan-lahan duduk dan memandang terlongong-longong kearah
ular kembang itu, serunya, “Aku sudah merasa bangga karena dapat menjinakkan kera bulu emas.
Tetapi tak kira masih ada lain orang yang mampu menjinakkan ular beracun…. ,”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Rupanya gigitan ular itu telah mengembalikan kesadaran pikirannya.
“Huh, Raja Lembah-seribu-racun masakan hanya bernama kosong saja?” seru ketua Lembah
seribu-racun dengan tertawa.
Siangkwan Wan-ceng menghela napas longgar ujarnya, “Paman, mengapa engkau buru-buru
hendak lari keluar?
Hendak kemanakah tujuanmu?”
Dengan pandangmata hampa, orangtua alis panjang itu menatap Han Ping, katanya, “Dia
serupa dengan aku, menjadi seorang manusia beracun….”
Kemudian ia beralih memandang Siangkwan Wan-ceng, katanya, “Sejak saat ini, dia dapat
menemani aku makan segala macambarang beracun.
Tiba-tiba Han Ping maju memberi hormat, “Atas pertolongan lo cianpwe untuk menghidupkan
jiwaku, apabila kelak setelah melakukan beberapa tugas aku masih hidup aku tentu akan mencari
lo-cianpwe lagi dan akan menemani lo-cianpwe hidup bersama. Takkan lagi aku akan keluar
kedalam dunia persilatan.”
Orangtua alis panjang itu berbangkit pelahan-lahan katanya, “Jika omonganmu itu dapat
dipercaya, aku rela memberikan seluruh ilmu kepandaianku kepadamu…. “
Tiba-tiba kata-katanya terputus oleh suara mengeluduk dari bawah tanah.
“Hai, apakah itu?” teriak Kim loji.
“Sudah tentu dibawah ruangan ini,” seru ketua Lembah-seribu racun tertawa keras.
“Hm, bukan suatu lelucon,” kata orangtua alis panjang dengan nada dingin, “dalam kamar
rahasia itu memang terdapat suatu aliran aneh. Tiap satu bulan, tentu akan mengeluarkan
getaran.”
“O, suatu aliran?” desah Han Ping.
“Benar, suatu aliran yang kuat sekali. Apabila aliran itu dipindah keatas permukaan bumi, tentu
akan merupakan sebuah sungai.
” kata orangtua alis panjang.
“Ada sebuah kuburan tunggal, berapa jauh jaraknya dari sini?” tanya Han Ping gopoh
Orangtua alis panjang merenung sejenak lalu menjawab, “Jika tak teralang gunung ini,
jaraknya kurang lebih sepuluh li.”
Tiba-tiba ketua Lembah-seribu-racun berseru kepada Siangkwan Wan-ceng, “Nak, lekaslah
engkau kemari, aku hendak memberitahu sebuah urusan penting kepadamu.”
Siangkwan Wan-ceng dan Han Ping serempak berpaling memandang ketua Lembah-seribu-
racun.
Siangkwan Wan ceng tersenyum, “Apakah memanggil aku?”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
“Ya, sudah tentu engkau…. kata ketua Lembah-seribu-racun dan ketika nona itu datang, ia pun
membisikinya, “Nak tahukah engkau sebabnya mengapa aku menuju ketempat yang sesunyi ini?”
“Entah.”
Sambil memandang kearah Kim loji dan Han Ping yang berada diluar ruangan, ketua Lembah-
seribu-racun gunakan ilmu menyusup suara kepada si nona.”Saat ini seluruh golongan kaum
persilatan sedang berkumpul di makam tunggal itu untuk mencari rahasianya. Akupun mengetahui
bahwa dirumah ini terdapat suatu aliran rahasia yang menjurus ke makam itu. Apabila bisa masuk
ke makam itu dengan menggunakan aliran dibawah ruang ini, tentulah orang-orang persilatan itu
takkan mmengetahui Begitu pula tentu tak usah melalui berbagai alat rahasia yang terdapat dalam
makam itu….”
Berhenti sejenak ketua Lembah-seribu-racun melanjutkan pula: Tetapi hal itu amat berbahaya.
Oleh karena engkau sudah meluluskan untuk menjadi isteri puteraku maka mulai saat ini
engkau sudah menjadi orang Lembah-seribu-racun. Aku wajib melindungimu. Lembah-seribu-
racun dan marga Siangkwan, harus bekerja-sama untuk menghadapi orang luar….”
Karena menggunakan ilmu menyusup, suara Coan-im-jip-bi, maka lain orang tak dapat
mendengar. Siangkwan Wan-ceng berdiri diam, mendengarkan dengan penuh perhatian.
Rupanya Kim loji melihat gerak gerik ketua Lembah-seribu-racun itu tak wajar maka cepat-
cepat ia mengajak Han Ping keluar.
Tiga tombak jauhnya, Kim loji berhenti dan berbisik kepada Han Ping, “Ping-ji, apakah
tenagamu tak kurang suatu apa?”
“Semangatku penuh, ilmu kepaidaiankupun sudah beberapa bagian pulih,” kata Han Ping.
“Ketua Lembah seribu-racun itu adalah tokoh yang paling ganas dan licik. Selain kepandaiannya
tinggi, pun paham menggunakan ular beracun, Dia bicara dengan nona Siangkwan itu, tentu
bukan mengenai urusan yang baik Sekalipun kepandaianmu sudah pulih, engkau masih belum
dapat menandinginya. Tempat ini kurang baik, mari kita lekas-lekas pergi agar terhindar dari
kesulitan….”
Han Ping gelengkan kepala, “Apakah paman tak mendengar keterangan orangtua alis panjang
tadi?
Walaupun aku masih hidup tetapi aku kini menjadi seorang manusia beracun. Seluruh tubuhku
beracun!”
“Ah, omong kosong!” tukas Kim loji,” orang yang hidup masakan tubuhnya mengandung racun.
Tak ada manusia begitu dalam dunia….”
Han Ping tiba-tiba berlutut dan memberi hormat “Paman, terimalah hormat Han Ping!”
Kim loji tertegun, “Apakah maksudmu?”
Han Ping bangkit tertawa, “Dihadapan paman, sesungguhnya aku tak berani mengatakan.
Tetapi karena keadaan sekarang sudah lain, terpaksa aku harus mengatakan “Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
“Katakanlah!”
Han Ping menghela napas pelahan, “Maka aku rela menjadi manusia beracun asal masih dapat
hidup, adalah karena dendam sakit hati orang tuaku masih belum tertumpas. Setelah hal itu
terlaksana, matipun aku rela….”
Han Ping tertawa garang, katanya pula, “Bermula aku ingin memperdalam ilmusilat sampai
beberapa tahun lagi sehingga tujuan untuk membalas sakit hati itu makin mudah. Tetapi keadaan
sekarang memaksa aku harus merobah rencana.”
Kim loji menghela napas, “Lalu bagaimanakah rencanamu? “
“Sekalipun lo cianpwe itu sudah menyembuhkan lukaku tetapi kini aku menjadi seorang
manusia beracun.
Kemanapun aku pergi, mungkin akan memberi bencana kepada orang. Aku tak mengerti ilmu
pengobatan, apabila obat dalam tubuhku itu hilang dayanya, setiap waktu aku tentu mati.
Oleh karena itu aku harus menggunakan waktu sebaik baiknya umuk melaksanakan
pembalasan itu secepat mungkin….”
Kata-katanya penuh dengan keyakinan dan kebulatan tekad.
Berkata Kim loji, “Kecuali berilmu sakti, Ih Thian-heng juga seorang yang licin sekali. Melakukan
pembalasan, memang mudah diucapkan tetapi mungkin harus menghadapi banyak kesulitan.”
Han Ping tertawa hambar, “Ucapan paman memang benar, tetapi ibarat anakpanah sudah
dipasang pada tali busur, terpaksa harus dibidikkan juga!”
Rupanya Kim loji masih membekas sekali rasa gentarnya terhadap Ih Ihian-heng.
Setelah termenung sejenak ia berkata, “Aku mengagumi keberanian dan tekadmu tetapi
hendak engkau bertindak menurut gelagat. Dia 1cm seperti belut. Kecuah memang hendak
meigunjukdiri, apabila engkau hendak menearinya, bukailah suatu hal yang mudah.”
Han Ping tersenyum, “Soal itu aku sudah memikirkannya….” tiba-tiba ia berbisik, “tadi ketua
Lembah seribu-racun samar-samar sudah mengatakan maksud kedatangannya kemari.
Dan menilik keterangan orangtua alis panjang itu. Aliran raha-Sja dalam kamar ini, kebanyakan
tentulah arus air yang terdapat dibawah makam tua itu.”
Kim loji mengangguk, “Dugaanmu tepat. Hanya saja jelas kalau aliran air itu deras sekali
arusnya.
Kiranya sukar bagi seorang yang mahir berenang untuk melintasinya.
“Memang begitu,” sahut Han Ping, “tetapi karena ketua Lembah-seribu racun itu sudah berani
datang kemari tentulah
dia sudah mempunyai rencana. Mendengar berita tentang penyelundupan melalui jalan
dibawah tanah itu, tentulah Ih Thian-heng tak rela kalau pusaka dalam makam itu akan jatuh
ketangan orang. Dia tentu akan nekad masuk.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Demikian pula dengan dara baju ungu dari perguruan Lam-hay-bun itupun tentu juga tak mau
ketinggalan. Aku akan berusaha untuk ikut menyelundup dari aliran air dibawah tanah itu.
Sudah tentu aku akan bertindak menurut gelagat. Bila Tuhan mengabulkan, tentulah aku akan
berhasil menemukan musuh
itu untuk mengambil batang kepalanya guna kusembahyangkan dimakam orangtuaku.
Sekurang kurangnya aku akan berusaha untuk menggerakkan alat-alat rahasia dalam makam itu
untuk sama-sama mati dengan Ih Thian-heug….„
“Baik,” kata Kim loji. “aku akan ikut engkau masuk kedalam makam itu. Mungkin aku dapat
membantumu….”
“Telah kukatakan semua isi hatiku dan rencanku kepada paman.” kata Han Ping gelengkan
kepala,”
tetapi aku hendak minta agar paman su di meluluskan.”
Kim loji tersanyum, “Apakah engkau suruh aku meluluskan soal diriku….”
“Paman sudah menderita cacad tubuh,” tukas Han Ping, “apabila paman ikut masuk kedalam
makam, belum tentu dapat memberi bantuan yang berarti kepadaku. Peristiwa-peristiwa yang
kualami dalam beberapa waktu terakhir, telah membuat pikiranku menjadi makin masak:….”
Kim loji menghela napas, “Nak, engkau memang tampak besar sekali kedewasaanmu….”
Han Ping tertawa, “Umur dan penga laman datang dengan serempak sehingga aku merasa
sudah jauh lebih tua.
Kurasa aku sudah hampir nendekati hari kematian sehingga pikiranku makin mantap
“Hai. apakah engkau mengalami suatu perobahan dalam lahir dan batinmu?” Kim loji berseru
kaget “Tidak!”
“Lalu mengapa engkau mempunyai perasaan begitu?”
“Saat ini kurasakan semangat dan tenagaku semangat penuh demikian pula semangatku
bertempur menyala-nyala. Dalam keadaan dan tempat dimana saja, aku mempunyai keyakinan
tentu menang.”
“O, orangtua alis panjang itu mengatakan bahwa setelah makan obatnya, engkau tentu akan
merangsang keberaniaumu.
Rupanya memang benar,” kata Kim loji. Han Ping mengangguk, “Mungkin benar begitu.
Aku merasa belum pernah memiliki semangat yang menyala nyala seperti saat ini.”
“Ji siangkong….” tiba-tiba terdengar Siangkwan Wan ceng berseru lembut.
Han Ping berpaling. Dilihatnya nona itu tersenyum. Tetapi wajahnya tampak sayu, senyumnya
senyum baru.
Beberapa hari bersama-sama dengan nona itu dan telah banyak mendapat pertolongannya,
mau tak mau Han Ping merasa iba hati.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ia menghela napas, “Ada urusan apa? ia menghampiri.
“Jangan kemari tiba-tiba Siangkwan Wan-ceng berseru pelahan lalu hendak maju
menyongsong.
Han Ping mempunyai kesan yang mendalam terhadap nona itu. la berhenti dan menatap nona
yang tengah menghampirinya itu.
Tiba-tiba ia terkejut ketika tahu-tahu nona itu merebahkan kepalanya kedadanya.
“Aku hendak memberitahu kepadamu sebuah hal,” kata Siangkwan Wan-ceng dengan rawan.
“Silahkan,” kata Han Ping.”Tampaknya saat ini engkau jauh lebih dewasa dari beberapa hari,”
kata Siangkwan Wan-ceng.
“Derita perebutan jiwa dari tangan Elmaut, menyebabkan orang makin masak pikirannya.
Banyak sekali kesalahan-kesalahan yang kusadari,” kata Han Ping.
Siangkwan Wan-ceng tersenyum rawan lalu berkata dengan penuh nada haru, “Saat ini aku
sudah bukan lagi seorang gadis yang bebas….”
Han Ping terkesiap, “Apakah engkau sudah mengikat janji perkawinan dengan orang ia tertawa
nyaring dan berseru pula, “apabila aku masih dapat hidup samperti hari itu, bagaimanapun jauh
dan sukarnya perjalanan, aku pasti akan datang untuk menghaturkan selamat kepadamu “
“Mungkin sebelum saat itu tiba, aku sudah menjadi badan halus”
Han Ping tertawa menghiburnya, “Ah, nona terlalu ketakutan sendiri.”
Tiba-tiba Siangkwan Wan-ceng menegakkan tubuh dan berkata dengan nada bersungguh,
“Sudah, jangan membicarakan soal itu Saat ini masih ada suatu soal yang hendak kuminta engkau
memberi keputusan.”
“Apa?” tanya Han Ping.
“Tahukah engkau mengapa sebabnya ketua Lembah seribu-racun itu datang kemari?”
“Apakah bukan karena hendak menyelundup kedalam makam tua itu?”‘
Siangkwan Wan ceng mengangguk, “Benar, dibawah kamar ini terdapat aliran air yang dapat
menembus kedalam makam itu….”
Ia cepat mengendapkan suara setengah berbisik, “entah bagaimana dia dapat mengetahui hal
itu, dan diapun sudah mempunyai rencana untuk melintasi arus dibawah tanah itu….tiba-tiba ia
hentikan kata katanya.
Sesungguhnya ingin sekali Han Ping hendak bertanya bagaimana rencana ketua Lembah-
seribu-racun untuk melintasi arus dibawah
tanah itu. Tetapi ia sungkan maka hanya tersenyum saja.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Menatap Han Ping dengan pandang penuh arti berkatalah Siangkwan Wan-ceng pula,
“Sebenarnya aku juga ingin melihat-lihat keadaan dalam makam tua itu tetapi ketua Lembah-
seribu-racun tak mengijinkan. Katanya makam tua itu penuh alat-alat
perkakas rahasia, berbahaya sekali . .”
“Apakah hubungan antara Lembah-seribu-racun dengan marga Siangkwan itu amat erat
sekali?” tanya Han Ping.
Siangkan Wan-ceng gelengkan kepala.
“Kalau begitu mengapa ketua Lembah-seri-beracun begitu memperhatikan sekali kepadamu?”
tanya Han Ping pula.
Memang pertanyaan itulah yang dinantikan si nona akan keluar dari mulut Han Ping.
Dengan tersenyum segera ia menjawab, “Karena aku adalah calon menantunya….!”
Nona itu mempunyai rencana tertentu maka tanpa malu-malu ia mengatakan hal itu kepada
Han Ping.
Entah bagaimana ketika mendengar keterangan itu hati Han Ping serasa seperti diguyur es.
Wajahnya tampak menampilkan kerawanan. Segera ia palingkan muka dan berkata, “Lembah-
seribu-racun dan marga Siangkwan sama-sama ternama, Perkawinan itu memang tepat sekali….”
Setelah mengucap begitu, Han Pingpun merasa tenang kembali.
“Nak engkau harus tinggalkan tempat ini, “tiba-tiba terdengar nada suara yang ramah dan pada
lain saat ketua Lembah-seribu-racunpun sudah berada disamping kedua muda mudi itu. Tubuh
ketua. Lembah-seribu-racun itu membaurkan bau anyir. Buru-buru dia gentarkan lengannya dan
kedua eKor ular yang melilit pada lengannya itupun segera menyusup kepunggungnya. Rupanya ia
kuatir akan mengejutkan calon menantunya.
“Kudengar dalam makam tua itu terdapat harta pusaka tak ternilai jumlahnya, Sesungguhnya
ingin aku kesana untuk menambah pengalaman,” kata Siangkwan Wan-ceng.
Ketua Lembah seribu-racun gelengkan kepala, “Makam tua itu merupakan suatu rahasia yang
telah tersiar hampir seratus tahun dalam dunia persilatan. Tetapi apakah benar dalam makam itu
mengandung harta karun, masih sukar ditentukan. Banyak sekali tokoh-tokoh persilatan yang
telah berusaha untuk masuk kedalam makam kuno itu….”
“Dalam makam kuno itu….” tiba-tiba Han Ping menyeletuk tetapi secepat itu pula ia diam lagi.
“Hmm, dalam makam bagaimana?” ketua Lembah-seribu-racun curahkan pandang mata
kepada Han Ping.
Han Ping yang tak biasa bohong, saat itu terpaksa menyahut, “Kalau dalam dunia persilatan
memang tersiar berita semacam itu rasanya tentu bukan isapan jempol…. .”
“Hm, ocehan tak berguna,” dengus ketua Lembah-seribu-racun.
Siangkwan Wan-ceng tahu perangai Han Ping yang keras demikian pula ketua Lembah-seribu-
racun yang aneh.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ia kuatir kedua orang itu akan bentrok maka cepat-cepat ia menyeletuk, “Memang sudah lama
kudengar tentang rahasia makam kuno itu dan ingin juga aku masuk kesitu. Kalau disuruh pulang
kemanakah aku harus pulang kalau tidak kerumah’
Bukankah dalam Lembah-seribu-racun aku tak kenal seorangpun kecuali hanya paman
seorang?”
Ketua Lembah-seribu-racun tertawa meloroh “Rupanya rumah ini sebelumnya memang sudah
sering didatangi oleh tokoh-tokoh
persilatan. Buktinya sebelum masuk kesini aku harus berhadapan dengan lima orang tokoh
persilatan dulu sebelum mereka berhasil kubunuh. Sekarang diempat penjuru rumah ini telah
kutanam duabelas anak buahku yang berkepandaian tinggi.
Tak mudah bagi orang luar hendak masuk kemari.”
Ketua Lembah seribu-lacun merogoh baju dan mengeluarkan sebuah lencana dari tembaga,
serunya kepada si nona, “Bawalah lencana ini. Setiap orang Lembah-seribu-racun tentu akan
menghormat kepadamu.
Suruh mereka antarkan engkau pulang Lembah-seribu-racun dulu.
Selekas urusan disini selesai aku tentu segera akan pulang dan beramai-ramai akan
mengantarkan engkau pulang untuk melangsungkan peernikahan dengan anaku.”
Siangkwan Wan-ceng keliarkan mata, lalu berseru, “Tetapi aku ingin bersama engkau masuk
kedalam makam itu.”
Ketua Lembah-seribu-racun yang termasyhur sebagai manusia ganas, saat itu dengan lemah
lembut tertawa, “Nak, tiada sesuatu yang berharga dilihat dalam makam itu. Dan lagi disitu penuh
dengan alat-alat perangkap yang berbahaya.
Lebih baik engkau pulang sajalah.”
Siangkwan Wan-ceng gelengkan kepala dan berkata dengan nada mantap, “Tidak, aku tetap
ingin masuk kemakam itu.”
Setelah merenung beberapa saat, akhirnya ketua Lembah-seribu-racun iiu mengalah, “Baiklah,
tetapi dikala masuk kedalam makam engkau harus menurut perintahku tak boleh berbuat
sekehendak hatimu sendiri.”
Siangkwan Wan-ceng mengangguk. Kemudian berpaling kearah Han Ping, katanya, “Dia
bersama locianpwe itu juga hendak masuk kedalam makam, baiklah kita ajak mereka bersama-
sama.”
Seketika mata ketua Lembah seribu racun itu memancarkan hawa pembunuhan, serunya, “Arus
dibawah tanah itu amat keras dan dahsyat sekali pun gelap gulita Apabila tak mempunyai
persiapan, sekalipun jago berenang yang pandai, juga tak nanti mampu melintasinya.”
“Lalu bagaimana?” Siangkwan Wan-ceng kerutkan sepasang alis.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
“Ketua Lembah”seribu-racun tertawa, “Nak karena kedua orang itu anak buah Ih Thian-heng,
mareka tak ada hubungannya dengan marga Siangkwan. Lebih mereka dilenyapkan daripada kelak
akan mendatangkan bahaya….”
Tiba-tiba terdengar orangtua alis panjang itu tertawa dingin, “Tanpa mendapat ijinku, siapakah
yang berani sembarangan membunuh orang, ditempatku ini?”
“Kalau aku hendak membunuh orang, engkau mau apa?” ketua Lembah-seribu-racun tertawa
mendengus.
Orangtua alis panjang itupun tertawa gelak-gelak serunya, “Bagus, bagus….” tetapi walaupun
tertawa, jelas wajahnya menampilkan sinar yang menyeramkan.
Siangkwan Wan-ceng kerutkan dahi lalu tiba-tiba tampil kemuka ketua Lembah seribu-racun,
“Ayah….
“Apa?” ketua Lembah-seribu-racun terbeliak.”Bukankah kita hendak masuk kedalam makam tua
itu?” tanya si nona pula.
Ketua Lembah-seribu-racun mengiakan.”Kalau begitu mengapa kita harus lama-lama berada
disini?”
Ketua Lembah seribu-racun itu tertawa keras, “Benar, benar, perlu apa kita ngotot disini?”
Habis berkata ketua Lembah-seribu-racun itu pun kebutkan lengan baju hendak melangkah
keluar.
Sebenarnya Han Ping sudah mendongkol melihat nada dan sikap ketua Lembah seribu-racun.
Tetapi tiba ia tahankan hati dan berkata, “Akupun hendak masuk kedalam makam tua itu.
Sekiranya kocu (tuan pemilik lembah) suka bersamaku, sekurang-kurangnya aku tentu dapat
membantu.”
Wajah ketua Lembah-seribu racun berobah seketika tetapi sebelum ia berkata, Siangkwan Wan-
ceng sudah mendahului, “Yah, aku merasa heran, bagaimana mungkin engkau dapat melintasi
arus dibawah tanah yang begitu dahsyat itu?”
Ketua Lembah-seribu-racun berkilar-kilat memandang kearah calon menantunya itu dengan
pandang mata tak menentu.
Marah-marah sayang. Beberapa saat kemudian ia menengadahkan kepala dan tertawa nyaring,
“Anakku yang baik, apakah karena dia ia menunjuk pada Han Ping lalu berkata lagi, “maka engkau
minta ayah mengatakan rencana itu?”
Wajah nona itu berhamburan merah warnanya lalu tundukkan kepala dan berkata tersedat-
sedat, “Aku…. aku”
Tiba-tiba ketua Lembah seribu-racun iru tertawa lagi, “Anakku, tak apalah. Karena aku sayang
kepadamu, segala apa tak kupedulikan. Hanya Tiba-tiba wajahnya berobah gelap dan dengan
kata-kata serius ia melarang, “Untuk hal itu, entah berapa banyak tenaga dan harta yang telah
kuhamburkan. Telah kubuat beberapa potong pakaian kulit yang khusus untuk menyeberangi
aliran sungai itu. Dengan pakaian itu jangankan hanya sungai yang deras arusnya, sekalipun) air
banjir mencurah dari langit, dengan mengenakan pakaian istimewa itu tetap kita dapat bergerak
bebas ke-mana-mana….”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
“Apakah ayah hanya memiliki sebuah pakaian istimewa itu?” tanya Siangkwan Wan-ceng
dengan nada manja.
“Kalau hanya sebuah, bagaimana aku meluluskan engkau hendak ikut serta?” balas bertanya
jago tua itu dengan tertawa.
Sejenak melirik kepada Han Ping, Siangkwan Wan ceng berkata pula, “Aliran sungai itu jauh di
dalam tanah.
Sekalipun sudah mempunyai perlengkapan baju kulit tetapi bagaimana kita dapat menyusup
kebawah tanah “
Tiba-tiba ketua Lembah-seribu-racun itu memandang kearah orangtua alis panjang lalu berkata
dingin, “Sebenarnya kedatanganku kemari perlu hendak memaksamu untuk memberitahukan
tentang lubang yang mencapai aliran dibawah tanah itu. Tetapi karena saat ini hatiku sangat
gembira, akupun tak mau membunuh orang.
Kalau engkau mau mengatakan jalan itu, tentu akupun takkan mengganggu jiwamu.” Orang
tua alis panjang tertawa panjang.
Rupanya ketua Lembah- seribu-racun tak sabar menunggu. serunya bengis, “Seumur hidup
belum pernah aku berlaku begini baik hati. Kalau engkau masih tetap tak mau mengatakan,
jangan sesalkan kalau aku terpaksa bertindak ganas!”
Tiba-tiba orangtua alis panjang itu hentikan tertawa dan berkata dengan nada ramah, “Mudah
saja kalau suruh aku membawa kalian masuk kebawah tanah itu. Tetapi lebih dulu kalian harus
menunjukkan pakaian kulit itu kepadaku.”
Ketua Lembah-seribu racun merenung sejenak, lalu berkata, “Seumur hidup belum pernah aku
berjumpa dengan orang yang berani membantah perkataanku….”
“Tujuan ayah yalah hendak mencari aliran dibawah bumi itu. Kalau dapat memaafkan orang,
kita harus memberinya maaf.
Masakan dia akan berani berbuat apa-apa kepada ayah kalau ayah memperlihatkan pakaian itu
kepadanya?” seru Siangkwan Wan-ceng.
Ketua Lembah seribu-racun memandang calon menantunya, menghela napas, “’Ai, engkau anak
ini….”
Ia menyingkap jubahnya dan mengambil sebuah bungkusan kain minyak, lalu berbisik, “Nak,
bukalah bungkusan itu agar mereka dapat melihat.”
Siangkwan Wan ceng segera melakukan perintah. Isi bungkusan itu ternyata dua buah pakaian
dari kulit berbulu hitam yang lemas.
“Membuat dua buah pakaian dari bulu kera laut itu telah memakan waktu beberapa tahun.
Rahasia makam tua
Wan ceng kerutkan alis lalu pelahan lahan memakai pakaian kulit itu. Ketua lembah seribu
racun membantu untuk menutup kancing dan memasangkan leher baju. Dalam sekejab saja
sijelita Siangkwan Wan-ceng menjadi seorang mahluk aneh yang berbulu hitam, Dalam padaTiraikasih Website http://kangzusi.com/
memperhatikan baju kulit yan lainnya, tak lepaslah pikiran Han Ping dari per golakan batin.
Adakah baik kalau ia saat itu segera turun tangan merebutnya?
“Bagus, bagus!” seru orangtua alis panjang seraya tertawa nyaring, “akupun kepingin juga
masuk kedalam makam tua itu.
“Hm, apakah engkau ingin pinjam baju kulit yang satu?” ketua Lembah-seribu-racun
mendengus.
Orang tua alis panjang tertawa, “omong kosong, aku sudah punya pakaian yang lebih baik dari
itu.
Mari, akan kubawa kalian kedalam aliran itu!”
Mendengar itu tergerak hati Han Ping. Ia melangkah maju menghampiri dan berbisik, “Apakah
aku boleh ikut dengan kalian?”
Orangtua alis panjang tertawa, “Boleh, boleh! Selain engkau, akupun hendak membawa juga
kera piaraanku itu!”
Kim lojipun bergegas menghampiri dam memberi hormat, “Lo-cianpwe, akupun ingin juga
masuk kedalam makam itu.”
Sambil ayunkan langkah kemuka, orangtua alis panjang itu berseru, “Boleh, boleh, makin
banyak makin baik.
Sambil berkata ia mulai mengemasi beberapa bbat-obatan dalam kamar itu.
Tak berapa lama nampaklah sebuah dmding batu. Menunjuk pada dinding batu itu ia berkata,
“Apabila dinding itu dibuka, itulah terowongan air yang akan menuju kebawah bumi.”
Ketua Lembah-seribu-racun maju dan menutuk pelahan-lahan dinding itu.
Terdengar suara mengema dari dinding yang kosong. Ia berpaling arah orangtua alis panjang,
“Apakah perlu dengan pukulan untuk membuka dinding ini?”
“Sesungguhnya dulu terdapat sebuah pintu rahasia. Ketika kutempatkan obat-obatanku disini,
tiada sengaja pintu itu tertutup hingga….”
“Bagaimana caranya pintu itu menutup?” tanya ketua Lembah-seribu-racun.
“Aku tak ingat lagi!” jawab orangtua alis panjang, “kalau aku dapat memutarnya tentu tak perlu
kukatakan kepadamu”
Ia berhenti sejenak lalu melanjutkan berkata lagi “Tetapi dibalik dinding batu ini terdapat
sebuah terowongan yang menuju kearah aliran dibawah tanah itu. Walaupun pintunya dibuka, tak
mungkin air akan melanda kemari.”
Ketua Lembah seribu-racun tertawa menyeringai, “Biarlah kalian saksikan pukulanku yang
sekeras baja ini!”
Habis berkata ia mengangkat tangan dan menghantam dinding, duk….Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tampak dinding itu berguguran lubang sampai beberapa jari dalamnya Diam-diam Han Ping
terkejut, “Hebat benar tenaga pukulannya. Tetapi entah berapakah dalamnya dinding itu. Kalau
menggunakan cara memukul itu, entah sampai kapan baru dapat jebol.”
Cepat ia melesat dan berkata kepada jago tua itu, “Lo-cianpwe, harap beristirahat dulu.
Biarlah kugunakan pedang pusaka untuk membobolnya.”
Pedang Pemutus-asmara memang sudah termashur dalam dunia persilatan. Betapapun
angkuhnya namun ketua Lembah-seribu-racun itu terpaksa harus mengalah. la segera menyingkir
kesamping.
Han Ping melolos pedang Pemutus-asmara-setelah kerahkan tenaga lalu mulai menabas.
Ketajaman pedang itu memang tak bernama kosong. Dalam beberapa saat saja, dinding telah
bobol dan terbukalah sebuah lubang yang cukup untuk dimasuki orang.
Kim loji yang memperhatikan bagaimana mata ketua Lembah-seribu-racun selalu menatap
kepada pedang Pemutus-asmara saja, menghela napas dan beseru, “Ping-ji, hati-hatilah dengan
pedang-mu itu!”
Ketua Lembah-seribu-racun sejenak memandang Kim loji lalu berkata kepada Siangkwan Wan-
ceng, “Nak, apakah pedang pusaka itu bukan milikmu? Biarlah ayah yang akan merebutnya
kembali untukmu!”
Habis berkata ia terus melesat kedekat Han Ping. Tetapi Siangkwan Wan ceng cepat
menghadang dan berkata gopoh .
“Pedang itu bukan milikku, harap ayah jangan merebutnya.”
Ketua Lembah-seribu racun tertegun lalu tertawa menyeringai, “Hm, kalau bukan milik kita,
akupun takkan mengambil….”
Kemudian ia bertanya kepada orangtua alis panjang apakah lubang dinding itu benar
terowongan yang menuju kebawah tanah.
“Apakah engkau takut?” seru orangtua alis panjang lalu mendahului melangkah masuk.
Ketua Lembah-seribu-racun gentakkan lengan, kedua ekor ularnya menjulur dan mendesis
untuk menghadang Han Ping dan Kim loji supaya jangan mendahului masuk. Tetapi ketika ia
hendak melangkah menyusul orangtua alis panjang, ternyata Siangkwan Wan-ceng sudah
mendahului melesat masuk.
Tetapi tokoh Lembah seribu-racun yang tersohor kejam dan ganas iiu, selalu bersikap ramah
dan menyayang terhadap
Siangkwan Wan-ceng, “Ih, engkau ini, mengapa begitu terburu-buru?” katanya seraya
menyusul.
Han Ping dan Kim lojipun segera ikut masuk, Ternyata terowongan itu memang cukup tinggi
untuk berjalan orang.
Dan lebarnya cukup untuk dua orang. Gemuruh air tak sehebat seperti terdengar diatas tadi.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Setelah membiluk beberapa tikungan, suara air makin jelas sehingga menimbulkan rasa gigil
dalam hati.
Tiba-tiba orangtua alis panjang berhenti dan berpaling, “Eh, mengapa bunyi air itu tak seperti
biasanya?”
“Apanya yang lain?” tanya Siangkwan Wan-ceng.
“Biasanya suara air bergelora dahsyat tetapi mengapa sekarang hanya mendesir-desir….”
“Benar,” teriak ketua Lembah-seribu-racun, “tentu sudah ada orang yang masuk kedalam
makam itu dan membuka pintu air.”
“Karena air mendapat penyaluran maka tak mengalir kebawah sana.”
“Benar,” sahut Han Ping.
Ketua Lembah-seribu-racun berpaling, “Bagaimana engkau tahu?”
Han Ping terkesiap, “Menilik persoalannya, cepatlah kita dapat menduga. Tak perlu harus
banyak pikir.”
Ketua Lembah-seribu-racun menyeringai, “Huh, tak kira kalau engkau secerdas itu.”
“Pintu besi disebelah muka itu, bila dibuka sudah merupakan terowongan air,” kata orangtua
alis panjang.
Saat itu mereka sudah tiba diujung terakhir dan berhadapan sebuah dinding batu.
Tiba-tiba ketua Lembah-seribu-racun suruh Singkwau Wan-ceng menyisih karena ia hendak
memeriksa dinding itu.
Pada saat ketua Lembah-seribu-racun maju kemuka, Siangkwan Wan-cengpun menyisih
kesamping lalu gunakan ilmu menyusup suara berkata kepada Han Ping, “Aku hendak masuk lebih
dulu dengan dia. Entah apakah orangtua alis panjang yang mengatakan mempunydi daya untuk
mengatasi aliran air, dapat dipercaya atau tidak.”
“Rasanya memang benar mempunyai cara,” sahut Han Ping dengan gunakan ilmu
menyusupsuara juga.
“Baik, aku hendak masuk dulu baru nanti akan kucari akal untuk menyambutmu,” kata si nona.
Berkata Han Ping memberi peringatan kepada si nona agar berhati-hati karena tampak ketua
Lem-bah-senbu-racun itu beringas wajahnya.
“Biarlah,” sahut Siangkwan Wan-ceng,” toh aku juga tak dapat hidup lama Soal mati atau hidup
tak kuhiraukan lagi.”
“Nak, kemarilah engkau. Air begini dahsyat arusnya, baiklah engkau jangan ikut menyebrang
saja!”
tiba-tiba terdengar ketua Lembah-seribu-racun berseru kepada Siangkwan Wanceng.
Siangkwan Wan ceng cepat menghampiri. Han Ping dan Kim lojipun segera mengikuti.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ternyata pintu besi pada dinding itu telah terbuka dan tampaklah air mendampar datang.
Tetapi rupanya orang yang membuat terowongan itu telah mengetahui lebih dulu akan hal itu.
Maka dikedua tepi pintu besi, dipasang dua buah pintu air. sehingga arus tak mungkin
menerobos keluar dari dinding.
Karena lahir didaerah Sepak yang jarang terdapat sungai, maka Siangkwan Wan cengpun tak
pandai berenang.
Ia terkejut melihat kedahsyatan arus air itu.
“Kalau aku mengikuti ayah dibelakang, tentu takkan terjadi suatu apa. Aku tak takut yah,
sahutnya.
Ketua Lembah-seribu-racun menghela napas, “Ah, sungguh seorang anak yang keras kepala.
Sedang aku sendiri saja merasa ngeri mengapa engkau tak takut?”
“Ai, kecuali ayah tak jadi, akupun juga tak jadi….” seru Siankwan Wan-ceng dengan nyaring.
Ketua Lembah-seribu-racun tersenyum, “Apakah ucapanmu itu engkau perdengarkan untukku?
“ia gentarkan kedua lengannya dan kedua ekor ular segera meluncur kebawah kakinya.
“Ai, sudah tentu kuperdengarkan untuk ayah. Kalau tak percaya marilah kita kembali saja,” seru
Siangkwan Wan-ceng.
“Ya, ya, anggap saja kalau engkau bicara kepadaku,” kata ketua Lembah-seribu racun seraya
mulai mengenakan pakaian kulit.
Iapun melepas sehelai sabuk sutera dan diberikan kepada Siangkwan Wan ceng, “Nak. ikatlah
tubuhmu dengan ujung sabuk ini, habis memberikan ujung sabuk. ia sendiripun lalu mengikat
ujung lain pada pinggangnya.
Setelah mengikatkan sabuk pada tubuhnya. Siangkwan Wan-ceng lalu berteriak, “Yah, mari kita
jalan.”
Walaupun nadanya keras tetapi suaranya mengandung getar perasaan yang rawan.
“Jangan menutup pintu besi ini dulu. Apabila dalam sehari semalam kami tak kembali, bolehlah
engkau tutup….” kata ketua Lembah-seribu-racun kepada orangtua alis panjang.
“Tetapi andaikata kalian segera akan menutup pintu itu, akupun tak takut,” ketua Lembah-seri-
bu-racun menambahkan kata-kata lagi.
Dengan mencekal kedua ekor ularnya lalu pelahan-lahan menuju kearah aliran air.
Siangkwan Wan-ceng sejenak berpaling kearah Han Ping lalu cepat melangkah maju
mendahului dimuka ketua Lembah-seribu racun.
Han Pingpun menyelinap dari samping orangtua alis panjang untuk menyusul dibelakang ketua
Lembah-seribu-racun.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Lebih kurang enam langkah, tibalah mereka di tepi alian sungai itu. Serangkum hawa dingin,
menghembus Siangkwan Wan-ceng yang berjalan paling muka mau tak mau menggigil.
Cepat ia berpaling kearah ketua Lembah-seribu-racun, “Yah….”
Tetapi serta melihat Han Ping berada dibelakang ketua Lembah-seribu-racun, entah bagaimana,
ia lupa untuk bicara lebih lanjut.
“Nak, cobalah engkau pikir lagi mumpung belum terlambat. Engkau mau ikut atau tidak sahut
ketua Lembah seribu racun.
Sebagai jawaban nona itu terus loncat kedalam air.
“Hm, benar-benar anak perempuan yang keras kepala,” ketua Lembah seriDu-racun menghela
napas lalu loncat juga kedalam air.
Arus sungai itu ….memang dasyat sekali. Kedua orang itu segera tenggelam kedasar sungai
dan tak kelihatan lagi.
Sambil memangdang kepermukaan sungai, Han Ping berkata seorang diri, “Hm, arus. yang
hebat.”
Orangtua alis panjang itu tertawa gelak-gelak, “Ha, ha, kurasa kedua orang itu tentu mati.”
“Mereka memakai pakaian kulit, mana bisa mati tenggelam?” bantah Han Ping.
“Selain arusnya hebat, pun arus itu berputar-putar seperti roda terus masuk kedalam bumi
Kalau tidak makan tiga hari tiga malam, orang masih kuat bertahan. Tetapi kalau tak bernapas
beberapa waktu saja, mana orang tahan?”
Seorang yang menyakinkan ilmu tenaga-dalam dapat menghentikan pernapasannya sampai
sejam dua jam,” kata Han Ping pula.
Orangtua alis panjang tertegun, serunya, “Oh, hal itu aku tak tahu.”
“Menilik keadaan arus, kemungkinan pintu air dalam makam itu tentu sudah dibuka orang,”
tiba-tiba Kim loji menyelutuk, “kalau mau pergi, kita harus lekas bertindak.”
“Benar….” Han Ping berpaling kepada orangtua alis panjang, katanya, “lo-cianpwe mengatakan
mempunyai cara untuk melintasi aliran air itu, lalu bagaimanakah caranya?”
Orangtua alis panjang tersenyum, “Jauh lebih aman dari cara mereka. Kalian tunggu
sebentar!”ia berputar diri dan lari.
“Hayo, kita kejar, jangan sampai dia menutup pintu besi!” seru Kim loji.
“Tak perlu,” Han Ping gelengkan kepala, “rasanya dia bukan orang yang berbabaya.”
Tak berapa lama, orangtua alis panjang itupun kembali bersama seekor kera bulu emas.
“Apakah engkau hendak membawanya juga?” tanya Kim loji.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
“Apa yang kukatakan tentu kulakukan. Sudah berpuluh tahun dia ikut padaku. Kali ini, kita
entah hidup atau mati.
Biarlah kubawanya sebagai kawan,” jawab orangtua alis panjang.
“Bukankah sudah ada kita berdua sebagai kawan? Apakah masih kurang cukup?”
Orangtua alis panjang tertawa, “Kera ini sejak kecil sudah ikut aku. Dia sudah seolah olah
menjadi kaki tanganku, sewaktu-waktu dapat menolong aku.”
Kim loji tak mau berbantah lagi. Ia mendesak supaya segera orangtua alis panjang itu
mengatakan caranya melintasi arus sungai.
Orangtua itu memandang kesebelah kiri lalu tersenyum, “Ketua Lembah seribu racun itu,
congkak bukan main.
Dia tak mau berpikir, kalau aliran sungai disini bisa tembus kedalam makam, orang yang
mendirikan makam itu tentu akan meningalkan sesuatu barang untuk melintasi aliran air. .
Kim loji memandang kian kemari tetapi tak melihat suatu apa. Ia kerutkan kening.
Orangtua alis panjang tertawa gelak-gelak, “Kalau alat yang ditinggalkan disini oleh pendiri
makam itu mudah dilahat, tentu ketua Lembah-seribu-racun sudah dapat menemukan.”
Ia berputar diri melangkah dua tindak, menarik dinding batu. Bum…. terdengar suara gemuruh
dan dinding itu tiba-tiba terbuka sebuah lubang besar.
Han Ping cepat menghampiri. Dilihatnya didalam lubang itu seperti terdapat sebuah benda yang
bentuknya mirip dengan peti mati.
Orangtua alis panjang mencekal benda mirip peti mati itu lalu ditariknya keluar.
Terdengar pula suara gemuruh ketika benda menyerupai peti mati itu berderak derak keluar.
Ternyata benda itu memang kepalanya mirip peti mati tetapi ekornya ternyata serupa dengan
buritan perahu.
Dibawahnya terdapat enam buah roda kayu masing sebesar setengah meter. Entah terbuat dari
apakah benda yang mirip perahu itu.
Walaupun sudah berselang sekian puluh tahun tetapi tampaknya masih tetap baru.
Sambil membuka penutup perahu, orangtua alis panjang itu tertawa, “Hayo, kita naik kedalam!”
Karena melihat kedalam perahu itu sudah tersedia tempat duduk, Kim lojipun segera
melangkah masuk.
Demikian pula Han Ping. Dikanan kire perahu itu dilengkapi dengan dua buah pintu kaca
sehingga air tak dapat masuk tetapi orang dapat melihat keluar.
Diam-diam Han Ping menimang, “Hm, rupanya perahu ini memang alat untuk melintasi aliran
sunigai.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Pendiri makam tua itu sungguh seorang ajaib. Dengan susah payah ia membangun makam
tetapi rahasia makam itu ia lukis pada kotak pedang Pemutus-asmara. Pula telah menyediakan
peti kayu untuk melintasi arus sungai.
Ketiga peninggalannya itu benar membingungkan orang, seakan-akan ia hendak membuka
kesempatan supaya orang masuk kedalam makam itu ….”
Sambil menggendong kera peliharaannya, orang tua alis panjang juga masuk dan duduk lalu
menutup penutupuya.
Saat itu gelap peti yang menyerupai perahu aneh itu.
“Lo cianpwe, kalau kita masuk semua, lalu cara bagaimana perahu itu akan meluncur kedalam
air?” tanya Han Ping.
“Sudah tentu ada caranya,” kata orangtua alis panjang lalu tiba-tiba ulurkan tangan,
menggerakgerakkan kepala perahu.
Hai…. peti yang menyerupai perahu itu tiba-tiba berjalan. Han Ping, Kim loji dan orangtua alis
panjang itu bergoncang-goncang tubuhnya karena dihempas oleh perahu yang berderak- derak
keras.
Tak berapa lama, goncangan itupun lenyap. Ketika Han Ping membuka jendela kaca dan
memandang keluar ternyata perahu itu sudah meluncur didalam air dan berjalan pesat.
Tiba-tiba mereka melihat dua sosok benda hitam berputar-putar dalam kisaran air.
Dengan matanya yang amat tajam dapatlah Han Ping melihat kedua benda itu terbungkus
dalam pakaian kulit binatang.
Tetapi ia tak dapat membedakan mana ketua Lembah-seribu-racun, mana Siangkwan Wan-
ceng.
Tampak salah seorang berusaha untuk menyambar peti perahu. Tetapi karena arus terlampau
deras dan peti perahu itu tak terdapat bagian yang dapat dibuat pegangan, maka perahupun
meluncur terus, meninggalkan kedua orang itu dibelakang.
Han Ping memekik keras. “Ping ji, kenapa engkau?” tegur Kim loji.
“Mereka tentu mati!” , Kim loji tertawa gembira, “Apa ketua Lembah-seribu-racun itu yang
engkau maksudkan?
Kalau dia mati, bukankah kita berkurang seorang musuh yang tangguh Mengapa engkau
merasa sayang?”
“Tetapi nona Siangkwan….” ia tak melanjutkan kata-katanya tetapi terus berseru sekeras-
kerasnya kepada orangtua alis panjang, ‘Lo-cianpwe, apakah penutup peti ini dapat dibuka, aku
hendak keluar!”
“Aku masih ingin hidup sampai dapat melihat keadaan makam tua itu. Penutup dibuka, kita
pasti mati semua!”
sahut orangtua alis panjang dengan nada dingin.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Han Ping menghela napas, “Ah lo cianpwe benar….”ia tundukkan kepala berdiam diri.
“Ping-ji,” kata Kim loji pelahan, “nona Siangkwan walaupun melepas budi besar kepadamu,
tetapi dia sudah menjadi menantu dari ketua Lembah-seribu-racun, engkau….”
“Paman!” tukas Han Ping agak keras, “janganlah memandang rendah pribadiku.
Seorang lelaki harus membalas setiap budi yang diterimanya. Aku tak menganggap apa-apa
kepadanya kecuali sebagai seorang yang pernah melepas budi kepadaku. Dan budi itu harus
kubalas!”
“Hai, harap kalian jangan ribut2 saja!” tiba-tiba orangtua alis panjang berteriak,” kita segera
akan mencapai makam itu!”
Dan serempak dengan kata-katanya itu tiba-tiba perahu berguncang keras lalu berhenti.
“Hai, mengapa berhenti? Apakah rusak? seru Kim loji.
“Mungkin sudah sampai dimakam itu,” sahut orangtua alis panjang.
Melihat bagaimana dahsyat arus aliran air, Han Ping kerutkan alis, menggumam, “Ah, mungkin
perahu memang rusak….”
Belum habis berkata tiba-tiba perahu itu bergoncang keras dan meluncur kebawah.
Bum….! bergoncang keras lagi lalu perahupun mulai meluncur kemuka pula. Kali ini agak
lambat jalannya.
Han Ping terkejut. Ia duga perahu itu rusak atau aliran air yang berobah makin rendah.
“Lo-cianpwe, apakah engkau dapat menghentikan perahu!” serunya kepada oiangtua alis
panjang.
Orang tua itu mengiakan lalu me mutar alat penggerak roda perahu. Perahu berputar-putar
keras, sepeminum teh lamanya baru berhenti.
Dari kaca jendela dapatlah Han Ping melihat bahwa saat itu perahu berhenti diantara dua buah
dinding batu.
Air disitupun kecil alirannya. Ketika memandang dinding itu dengan seksama, berserulah Han
Ping kaget “Hai, apakah benar-benar sudah tiba di makam itu?”
“Kita buka saja penutup perahu ini!” seru Kim loji.
Tiba-tiba Han Ping tertawa keras, “Benar sudah tiba di makam itu. Tetapi entah siapakah yang
menutup pintu air?
Kalau terlambat sedikit, kita tentu sukar masuk kemari.”
Memang air yang menggenangi tempat itu cepat sekali menyusut. Tak berapa lama sudah
mencapai dasar perahu.
Sekali mendorong keras, orangtua alis panjang membuka penutup perahu. Tetapi aneh sekali.
Penutup perahu itu hanya dapat terbuka separoh.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Entah bagaimana seolah-olah seperti tertindih suatu tenaga kuat. Begitu terbuka, penutup
perahu itupun menutup kebawah lagi.
Kim loji tergerak hatinya, cepat ia berseru, “Diluar ada orang. Ping ji, bersiaplah menghadapi
musuh.
Aku akan membantunya membuka penutup perahu.”
Orangtua alis panjang tertawa nyaring. Ia menepuk bahu kera bulu emas, “Bantulah!”
Kera bulu emas itu segera bantu mendorong penutup perahu. Orangtua alis panjang dan Kim
lojipun segera kerahkan tenaga mendorong.
Han Ping berdiri lebih dulu sambil rangkapkan kedua tangan kedada. Memandang kemuka
tampak ketua Lembah seribu-racun memanggul Siangkwan Wan-ceng, berdiri kira2 dua tiga meter
jauhnya Kedua ekor ularnya tetap melilit ditubuhnya.
Air hanya sampai pada lututnya.
‘ “Dia…. bagaimana?” seru Han Ping cemas.
“Apa pedulimu….sahut ketua Lembah-seribu-racun dengan nada dingin. Matanya berkilat-kilat
memandang orangtua alis panjang, serunya, “Tersedia perahu yang dapat melintasi arus sungai,
mengapa engkau tak memberitahu kepadaku?”
Orangtua alis panjang itu menyahut dengan riang gembira? “Siapa suruh engkau tak
mendengar kata-kataku….”
Tiba-tiba terdengar suara orang berseru, mengatakan kalau air sudah surut.
Ketua Lembah-seribu-racun cepat melesat kedalam perahu dan berseru; “Lekas duduk dan
tutuplah penutupnya.”
Tetapi orangtua alis panjang hanya mendengus, “Hm, perahu ini adalah milikku. Aku mau
duduk atau berdiri. itu sesuka hatiku.
Mengapa engkau berani memerintah aku, hayo, lekas engkau keluar!”
Seumur hidup belum pernah ketua Lembah-seribu racun dimaki orang seperti itu. Sesaat ia
terlongong, serunya, “Apakah engkau memaki aku?”
“Sudah tentu memaki engkau….” tiba-tiba oTang tua alis panjang itu tertawa karena geli
melihat ketua Lembah-seribu-racun tak tabu kalau dimaki.
“Sst, pelahan saja, ada orang datang,” Kim loji cepat menggamit baju orangtua itu.
Han ping tahu kalau orangtua alis panjang itu tak mengerti ilmusilat, Diam-diam ia kerahkan
tenaga untuk melindunginya apabila ketua Lembah-seribu racun turun tangan.
Tetapi diluar dugaan, momok ganas seperti ketua Lembah-seribu racun itu, ternyata tak marah
karena dimaki orangtua alis panjang. Ia letakkan tubuh Siangkwan Wan-ceng, melolosi pakaian
kulit lalu mengurut jalandarahnya.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Setelah nona itu tersadar, baru ia sendiri juga membuka pakaian kulitnya “Kalau tak mencekal
perahumu, mungkin aku tak kuat menahan arus. Ya, kali ini kuampuni jiwamu,” serunya kepada
orangtua alis panjang.
Siangkwan Wan-ceng memandang kepada Han Ping dan berseru, “Apakah aku berada dalam
mimpi? Dimanakah kita sekarang?”
Han Ping tertawa, “Kita masih hidup dan saat ini berada didalam makam tua itu.”
Sambil memberesi rambutnya yang kusut, nona itu mengatakan kalau ia pingsan dilanda arus
air yang hebat.
“Semoga kita terkurung dalam makam ini sampai satu bulan baru dapat keluar lagi,” ia
menghela napas.
Han Ping tak tahu kalau ucapan nona itu mengandung maksud yang dalam, yalah secara halus
hendak memberitahukan bahwa dalam satu bulan itu ia tentu sudah mati. Han Ping menduga
mungkin pikiran nona itu tidak terang akibat pingsan maka dengan sekenanya saja ia menyahut,
“Mudah-mudahan kita dapat melaksanakan cita2 hati kita dan lekas-lekas tinggalkan tempat ini.”
Ketua Lembah-seribu-racun mendengus, “Anak, engkau sudah ada yang punya. Aku dan
ayahmu adalah tokoh-tokoh yang ternama. Kalau bicara supaya yang lurus, jangan omong
sembarangan.”
Pelahan lahan Siangkwan Wan ceng berbangkit lalu berpaling menatap calon mertuanya, “Sejak
kecil aku memang biasa begitu.
Ayahbundaku yang melahirkan aku saja tak dapat mengurusi, masakan engkau hendak meributi
aku!”
Ketua Lembah-seribu-racun batuk-batuk lalu menjawab, “Tetapi sekarang lain keadaannya.
Engkau adalah menantu keluarga Leng.”
Tiba-tiba nona itu tertawa mengikik, “Kalau aku mati?”
“Ucapanku seteguh gunung. Walaupun engkau meninggal tetap akan kubawa jenazahmu ke
Lembah-seribu-racun,” sahut jago tua itu.
Siangkwan Wan ceng tertawa rawan, “Tak perlu kuatir! Waktu masih hidup belum tentu dapat
masuk kedalam keluarga Leng tetapi kalau mati sudah tentu akan menjadi setan dari keluarga
Leng!”
“Nak, apakah engkau menyesal?” berobahlah wajah orang tua Lembah-seribu-racun seketika.
“Tak pernah ada tindakan yang kusesali…. yang sudah kujanjikan, tentu takkan kuingkari lagi,”
sahut si nona.
Orang tua Lembah-seribu-racun tiba-tiba menghela napas, “Bila Siangkwan Ko dapat mengasuh
engkau sampai sekian besar, masakan aku tak dapat? Nak, asal engkau tak lupa bahwa
kehidupanmu sekarang ini sudah menjadi orang keluarga Leng, apapun yang hendak engkau
lakukan aku tentu tetap akan melindungi engkau.”
Dua titik airmata meluncur dari mata Siangkwan Wan-ceng, “Mungkin umurku pendek, tak
dapat memenuhi kecintaan hati ayah.”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
“Hai, siapa itu!” tiba-tiba terdengar suara bentakan keras.
Ketua Lembah-seribu-racun tertawa dingin, “Hm, orang celaka!”
Bentakan ketua Lembah seribu-racun itu bernada kuat sekali sehingga menimbulkan gelombang
kumandang yang bergema lama. Orang yang berseru tadipun serentak diam. Rupanya tak mau
mengunjuk diri lagi.
Ketua Lembah seribu-racunpun segera suruh Siangkwan Wan ceng keluar dari tempat
persembunyiannya kerena sudah diketahui orang.
Han Ping anggap perkataan itu memang benar. Menilik bahwa pintu air terbuka lalu ditutup
lagi, jelas mengunjukkan bahwa didalam makam itu telah didatangi beberapa orang. Demikian
iapun keluar dari perahu aneh itu diikuti Kim loji dan orangtua alis panjang.
“Mengapa perlu membawa binatang yang suka meliar? Bagaimana kalau kulenyapkan saja,”
seru ketua Lembah-seribu-racun kepada orangtua alis panjang.
“Coba saja kalau engkau hendak mengusiknya,” sahut orangtua alis panjang.
“Hm, aku tak percaya pada segala omong besar….” tiba-tiba ketua Lembah-seribu-racun me-
nyambar tangan Siangkwan Wan-ceng dibawa mundur sampai dua tombak jauhnya.
Melihat itu Han Ping sudah mempunyai firasat tak baik. Cepat ia berseru meminta Kim loji
mundur merapat dinding.
Orangtua alis panjang terlongong heran mengapa orang-orang itu berloncatan menyingkir.
Baru ia hendak bertanya tiba-tiba tampak segumpal sinar api meluncur dan menghantam
keatas perahu aneh.
Dar! terdengar letusan dan gumpal sinar itupun meledak menjadi umpalan asap.
“Lo-cianpwe, lekas menyingkirlah!” Han Ping meneriaki orangtua alis panjang.
Rupanya orangtua alis panjang itu menyadari dirinya dalam keadaan bahaya. Cepat ia
menyelinap bersembunyi dibelakang perahu.
Tetapi kera bulu emas itu kalah tajam perasaannya. Melihat tuannya bersembunyi diapun hanya
bercuit-cuit aneh.
Cress…. benda berapi yang meluncur, tepat mengenai kera bulu emas itu. Seketika terbakarlah
badan kera itu.
Melihat itu orangtua alispanjang nekad hendak menghampiri tetapi dicegah Han Ping dengan
mencekal tangan orangtua itu, serunya, “Lo cianpwe, keramu terkena anakpanah berapi yang
terbuat daripada belirang.
Bukan saja sukar dipadamkan pun kita sendiri juga terancam bahaya. Jangan sembarangan
bergerak!”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Walaupun melarang siorangtua bergerak, tetapi ia sendiri tak sampai hati melihat kera itu
terbakar. Sekali loncat ia melayang ketempat kera dan secepat kilat menampar punggung
binatang, lalu menggaet kakinya.
Bluk, kera itupun rubuh. Kemudian dengan cepat ia mengguling-gulingkan kera itu ketanah
sehingga api pada badannya padam.
Wut…. kembali terdengar melayangnya benda berapi dari belirang. Untunglah karena kera itu
sudah diguling gulingkan ketanah, benda berapi itu tak dapat mengenainya.
Panah berapi itu menancap kedalam “dinding. Mirip dengan sebatang tombak.
Ujungnya dilekatiselembar panji segi tiga warna hitam. Dari api yang masih menyala tampak
juga gambar sulaman pada panji itu berupa tengkorak putih.
Han Ping bergerak cepat. Setelah dapat menghindari panah tombak, ia memondong kera itu
dan loncat kebelakang perahu.
Orangtua alis panjang tak putusnya memuji, “Anakmuda, pada masa ini walaupun banyak
orang yang meyakinkan ilmu Racun dan obat-obatan beracun, tetapi yang patut mendapat gelar
sebagai Manusia Racun, mungkin hanya kita berdua….”
Ia mengeluarkan dua butir pil lalu dimasukkan kemulut kera bulu etmas. Setelah menelan pil,
kera itupun pejamkan mata dan tidur.
“Telah kuberinya minum racun yang paling ganas.” katanya, “karena aku tak mempunyai
harapan akan dapat keluar dengan selamat dari makam ini, maka akupun tak rela kalau kera yang
telah kupelihara berpuluh tahun ini akan diambil orang.
Dalam tiga hari setelah dia sadar dari tidurnya, dia akan berobah menjadi kera yang luar biasa
tenaganya. Mampu untuk merobek-robek harimau. Tokoh persilatan yang sakti, pun tak mudah
mengalahkannya. Dia akan merobah liar dan ganas. Sekarang hendak kuajarkan kepadamu cara
untak menguasai kera itu.
“Asal engkau menurut ajaranku, kera itu tentu akan mau mengerjakan apa suja yang engkau
perintahkan….”
Ia berhenti sejenak menghela napas, lalu melanjutkan pula, “Tak usah engkau merasa kasihan
kepadanya. Setelah dalam tiga hari ia mencurahkan seluruh sisa tenaganya, dia tentu akan mati
sendiri. Maka selama dia masih hidup, suruhlah dia mengerjakan apa saja yang engkau inginkan.”
Belum Han Ping hendak membuka mulut, orang tua alis panjang itupun berkata lagi, “Saat ini
kita berada dalam bahaya, setiap waktu setiap detik jiwa kita terancam, Sekarang lekas engkau
dengarkan dan ingat apa yang hendak kuajarkan.”
Han Ping mengiakan. Dan dengan berbisik-bisik orangtua alis panjang itupun segera
menurunkan ilmunya untuk menguasai kera.
Samar-samar seperti terdengar dua buah jeritan ngeri dan rintihan dari orang yang tengah
meregang jiwa.
“Hm, ternyata makam ini memang telah didatangi orang,” pikir Han Ping.
“Eh, apakah engkau sudah ingat apa yang kuajarkan?” tanya orangtua alis panjang.”Sudah.”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
“Bagus, dalam sepeminum teh lamanya, kera itu tentu bangun. Engkau boleh mencoba apakah
dapat menguasainya atau tidak?” kata orangtua alis panjang.
Tiba-tiba terdengar suara gadis melengking, “Ji siangkong, harap suka datang kemari, aku
hendak bicara kepadamu.
Han Ping terkejut. Jelas didengarnya bahwa yang memanggil itu bukan suara Siangkwan Wan-
ceng.
“Siapakah engkau?” serunya bertanya.
“Asal kemari engkau tentu dapat mengetahui sendiri. Apakah engkau takut?”
Han Ping cepat berbangkit dan melangkah kearah suara itu. Tiba-tiba Kim loji memberi
peringatan supaya Han Ping jangan bertindak gegabah.
“Ping-ji, waktu engkau bertempur dihalaman makam, kulihat ilmu kepandaianmu bertambah
maju pesat sekali, Hal itu tentu makin menambah nafsu musuh untuk membunuh engkau,” kata
Kim loji.
“Ji siangkong, Ji siangkong….” kembalisuara itu terdengar pula. Nadanya penuh dengan rintih
kesakitan dan kasihan.
“Harap paman jangan kuatir,” kata Han Ping dan iapun terus menghampiri ketempat suara
itu….
JILID 3
Musuh bermusuh.
“Ping-ji, tunggulah!” teriak Kim loji, “kita sama-sama pergi!” ia terus berbangkit dan mengikuti
dibelakang Han Ping.
Sejenak merenung, Han Ping berkata, “Lo-cianpwe ini tak mengerti ilmusilat, lebih baik paman
tinggal disini untuk melindunginya!”
Kim Ioji tersenyum, “Baik, mungkin kalau aku ikut, tentu merepotkan engkau….”
Kemudian berhenti sejenak, ia meLanjutkan berkata pula, “Kalau menghadapi bahaya, harap
engkau lekas-lekas kembali kemari…. “
Lalu dengan kata bisik-bisik ia memberi pesan agar Han Ping jangan gegabah bertempur dengan
orang apabila tidak perlu.
Han Ping mengiakan.
“Menurut pengamatanku,” kata Kim loji, “nona itu tentu menderita sesuatu sehingga ia terpaksa
menerima menjadi menantu dari ketua Lembah-seribu racun. Tentulah bukan atas kehendaknya
sendiri.”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Han Ping memang mengindahkan pamannya itu. Dia tak mau membantah dan mengatakan akan
melihat bagaimana keadaan yang sesungguhnya, “Yang memangil aku tadi, tentulah seorang
gadis yang tengah menderita luka.”
Kim loji menghela napas, “Ping ji, bukan aku seorang yang banyak curiga tetapi aku memang
sudah melihat banyak makan asam garam dunia persilatan. Pergilah tetapi harus hati-hati.”
Han Ping mengangguk lalu ayunkan langkah menuju kearah suara yang memanggil namanya tadi.
Yang dilaluinya itu sebuah jalan terowongan yang lebarnya hanya beberapa depa. Suara gadis
yang memanggil namanya dan taburan senjata rahasia bukan berasal dari satu arah.
Setelah berjalan tiga empat tombak, Han Ping tetapi belum menemukan suatu apa. Diam-diam ia
heran, pikirnya, “Aneh, apakah dia sudah terbunuh?
“Hai, siapakah yang memanggil aku tadi?” teriaknya dengan keras.
Tetapi yang menjawab hanyalah kumandang suara teriakannya. Gadis yang dipanggil itu sama
sekali tak kedengaran suaranya.
“Aneh,” pikirnya.
Han Ping mendengus dingin. Ia memandang kemuka dengan seksama. Ternyata tiga tombak
disebelah muka pada kedua tepi terowongan, tampak seperti dilintas oleh sebuah simpang jalan.
Dia heran dan makin keras dugaannya bahwa makam itu tentu telah dimasuki orang.
Ketika tiba diujung terowangan, tiba-tiba dari jalan yang melintang itu muncul sesosok tubuh yang
lari menyongsong.
Han Ping cepat berhenti, menghindar kesamping. Bermula ia hendak membiarkan orang itu lewat
tetapi karena dibelakangnya terdapat Kim loji dan orangtua alis panjang, Han Pingpun buru-buru
melintang ditengah jalan lagi.
Cepat sekali orang itu tiba. Melihat ada orang menghadang ditengah jalan, tanpa berkata apa-apa,
dia terus menghantam.
Sambil menangkis Han Ping membetaknya, “Huh, mengapa datang terus memukul?”
Ketika pukulan saling beradu, orang itu tersurut mundur dua langkah. Ketika memperhatikan, Han
Ping melihat pendatang itu seorang bertubuh kecil, mengenakan pakaian pendek dan punggung
menyangul sebuah bungkusan panjang.
Orang itu tertegun. Rupanya dia terkejut melihat kesaktian Han Ping, “Siapa engkau!” bentaknya
marah.
Han Ping tertawa dan balas bertanya, “Dan engkau sendiri siapa “
Diam-diam orang itu kerahkan tenaga dalam, siap hendak menghantam. Namun mulutnya pura2
berkata, “Kita tak kenal, mengapa engkau menghadang jalanku?”
Han Ping terkesiap. Dia tak dapat menjawab pertanyaan orang yang memang tepat.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tiba-tiba terdengar pula jeritan nyaring. Jeritan kematian. Lalu menyusul terdengar suara tertawa
panjang.
Pendatang yang bertubuh kecil itu rupanya gemetar mendengar jeritan itu. Dia berpaling dan
menjerit, “Ular ….,.!”- ia ulurkan tangan menyambar ketanah.
“Heh, hei, ular beracun ganas, jalan kearah kematian….,” tiba-tiba terdengar suara orang tertawa
dingin dan tahu-tahu pendatang yang dihadang Han Ping itupun rubuh ketanah.
Seekor ular kecil melesat dari tubuh orang itu dan meluncur lari. Rupanya orang itu telah berhasil
mencengkeram ular kecil tetapi sebelum sempat meremas, ular itu sudah menggigitnya sehingga
mati.
Walaupun tempat gelap sehingga tak dapat melihat jelas warna ular kecil itu tetapi Han Ping
menduga ular itu tentu ular peliharaan ketua Lembah-seribu-racun. Diam-diam Han Ping terkejut
akan kegesitan ular kecil itu dan racunnya yang luar biasa ganasnya.
Tiba-tiba ia mendapat pikiran lalu berteriak keras, “Leng lo cianpwe, apakah masih belum mulai
bergerak?”
Terdengar penyahutan yang bernada dingin, “Saat ini makam telah diliputi oleh hawa
pembunuhan, Karena memandang anak menantuku, kali ini kuampuni jiwamu. Tetapi kalau lain
kali bertemu lagi, tentu tak kuberi ampun.”
Seketika teringatlah Han Ping akan diri Siangkwan Wan-ceng. Mengapa nona itu tak
menampakkan diri? Sarentak ia berseru, “Harap Leng lo cianpwe tunggu dulu sebentar, aku masih
hendak mohon keterangan.”
SAmbil berkata ia terus lari menuju ketempat yang diduga tentu terdapat ketua Lembah seribu-
racun.
Tetapi tokoh dari Lembah-seribu-racun itu tak kedengaran suaranya.
“Siapa itu?” tiba-tiba dari jalan yang melintang terowongan terdengar suara bentakan bengis dan
meuyusul deru angin pukulah yang dahsyat.
Tetapi Han Ping sudah bersiap Sambil menangkis, iapun berkisar kesamping. dar, terdengar
letupan dari kedua pukulan yang beradu.
“Tua beracun, sudah duapuluh tahun tak muncul, sekarang jauh lebih hebat pukulanmu!” seru
orang itu.
JeJas dia salah sangka, mengira Han Pmg sebagai ketua Lembah-seribu-racun.
Han Ping terkejut, Dia tak tahu siapa orang itu. Tiba-tiba ia mendapat pikiran. Tegak tempelkan
tubuh paka dinding dan berdiam diri.
Beberapa saat kemudian terdengar pula orang itu berseru, “Ho, tua bangka beracun, sekalipun tak
mau menjawab, tetapi jangan harap engkau dapat mengelabuhi aku!”
Han Ping menyadari bahwa setiap orang yang masuk kedalam makam tua itu, kenal atau tak
kenal, tentu mengandung hati bermusuhan. Beberapa kali ia mendengar jeritan ngeri dari setiap
orang yang rubuh binasa.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Bahkan dengan mata kepala sendiri tadi ia menyaksikan ketua Lembah-seribu racun melepas ular
berbisa untuk membunuh orang.
Maka Han Pingpun berlaku hati-hati dan waspada.
Karena tak mendapat penyahutan, rupanya orang itu tak sabar. Terdengar ia ayunkan langkah
menghampiri.
Rupanya ia hendak memberi kesan bahwa ia berjalan pelahan maka langkah-kakinyapun
terdengar berat.
Tak berapa lama, langkah kaki itupun berhenti. Sebagai gantinya sesosok tubuh melayang keluar.
Han Ping cepat hendak ayunkan pukulannya tetapi tiba-tiba ia teringat sesuatu. Orang itu berjalan
dengan langkah berat, tentulah hendak memasang perangkap.
Bluk…. orang itu membentur dinding disebelah depan dan rubuh. Semula Han Ping terkejut tetapi
setelah melihat dengan seksama barulah ia mengetahui bahwa yang melayang dan membentur
dinding itu hanya seperangkat tulang kerangka manusia.
Mayat itu dilemparkan orang dengan tenaga dalam. Apabila tadi Han Ping terus turun tangan
tentulah dia masuk perangkap.
‘Hm, orang-orang persilatan memang licik. Sekali tak hati tentu mati,” diam-diam ia menghela
napas.
Tiba-tiba sebatang korek melayang kesamping tengkorak itu. Apinya menyala terang.
Han Ping cepat menyurut mundur sampai dua tombak untuk menghindari sinar api.
Sesaat kemudian muncullah seorang lelaki tinggi besar. Dia melangkah pelahan-lahan ke
terowongan dan berdiri ditengah simpangan. Walaupun rambut dan jenggotnya sudah putih
namun sikapnya tetap perkasa.
Setelah memandang sekeliling beberapa saat, ia menengadahkan muka dan tertawa keras.
“Tua beracun,” serunya, “apa-apaan engkau main sembunyi seperti tikus begitu?
Apabila aku sudah keluar dari makam ini tentu akan kucopot papan nama Lembah-seribu-racun
disarangmu!”
Sekonyong-konyong dari arah terowongan disebelah muka terdengar suara lengking jeritan dan
derap kaki orang berlari.
Seorang dara baju hitam yang rambutnya terurai memanjang, lari tergopoh-gopoh.
Orang tinggi besar tiba-tiba lintangkan tangannya menghadang dan menyarabar dara itu.
Entah dara itu membiarkan dirinya dicekal atau memang sudah letih maka sampai begitu mudah
dicengkeram oleh orang tinggi besar itu seperti burung rajawali mencengkeram anak ayam.
Dari sinar korek yang memancar terang, dapa lah Han Ping mengetahui bahwa gadis baju hitam
itu tak lain yalah Ting Ling, salah seorang kedua taci-beradik puteri Lembah Setan. TetapiTiraikasih Website http://kangzusi.com/
mengapa Ting Ling, berada dalam makam situ dan mengapa pula tampaknya ia berlari-lari
sedemikian gopoh seperti melihat setan?
Rupanya karena merasa tak dapat meloloskan diri, Ting Lingpun memejamkan mata dan diam.
Orangtua tinggi besar itu menutuk jalandarah Ting Ling lalu ditaruh ditempat yang gelap
Tetapi pada saat orang tinggi besar itu berputar tubuh tiba-tiba meluncur sepercik sinar dan
padamlah api korek tadi.
Terowongan kembali gelap gulita.
Secepat kilat Han Ping mengempos semangat dan melangkah kembali kemulut terowongan yang
ditempatinya tadi.
“Hai, siapakah itu?” kembali terdengar orangtua tinggi besar itu berseru seraya tamparkan tangan
memukul Han Ping.
“Engkau cari mati!” tiba-tiba terdengar suara dengusan dingin dan berhamburan serangkum angin
pukulan menyongsong pukulan orangtua tinggi besar. Yang jelas, bukan Han Ping yang menangkis
pukulan orangtua tinggi besar itu.
Terdengar benturan keras dari dua pukulan dahsyat, kemudian deru angin menyambar-nyambar
keras.
Rupanya kedua orang itu sudah terlibat dalam pertempuran dahsyat. Dan dari deru angin yang
berhamburan keras itu, dapatlah Han Ping menduga bahwa kedua orang itu tentulah jago2 silat
yang berilmu tinggi.
Han Ping cepat menyelinap maju untuk mengangkat tubuh Ting Ling. Tetapi sesaat ia bingung.
Jalan terowongan dalam makam tua itu banyak sekali dan melingkar-lingkar, penuh dengan
persimpangan.
Kalau tak hati-hati, tentu akan tersesat ketempat yang berbahaya.
Akhirnya ia memutuskan untuk kembali ketempat Kim Ioji dan orangtua alis panjang tadi. Namun
apabila kesana ia harus melintasi kedua orang yang sedang bertempur itu. Walaupun dngan
tenaga-dalamnya Han Ping tentu takkan menderita apa-apa, tetapi ia kuatir dirinya tentu akan
ketahuan oleh keadaan orang yang tengah bertempur itu.
Tetapi tak ada lain jalan. Setelah menimbang sejenak, ia memutuskan untuk mencoba menempuh
bahaya.
Ia membuka kain sabuk Ting Ling lalu mengikat tubuh nona itu pada punggungnya.
Dengan memanggul nona itu maka ia segera berjalan merapat pada dinding.
Sejak menyelinapkan pandang mata kemuka, dilihatnya kedua orang yang sedang bertempur itu
amat seru sekali.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kekuatan dan kesaktiannya tampaknya berimbang Karena tengah mencurahkan perhatian dan
semangat untuk menghadapi lawan, maka kedua orang itu tak memperhatikan Han Ping yang
melintasi tempat mereka.
Bergegas-gegas Han Ping lari menuju ketempat perahu lalu meletakkan tubuh Ting Ling dan
membuka jalan darahnya yang tertutuk.
“Aih…. engkau siapa?” sesaat kemudian nona itu membuka mata dan menghela napas panjang.
“Aku Han Ping….”
“Ih….tiba-tiba Ting Ling .merintih dan terus susupkan kepala kedada Han Ping,” dalam beberapa
hari ini mereka telah menyiksa diriku.”
“Siapa?” tanya Han Ping.
“Nyo Bun giau dan Ih Thian heng,”
“Bilakah mereka masuk kedalam makam ini?”
“Lebih kurang empat jam yang lalu.”
“Apakah mereka pernah terkurung dalam genangan air?” tanya Han Ping pula.
Ting Ling gelengkan kepala, “Kudengar suara air mengalir yang bergemuruh keras sekali.”
“Kalau begitu, tak sedikit orang-orang persilatan yang sudah masuk kedalam makam ini?” kata
Han Ping pula.
“Selain memilih delapan jago sakti untuk masuk kedalam makam ini, pun Ih Thian heng telah
memerintahkan jago2 silat yang berilmu tinggi untuk menjaga. Dan mereka sama membuat
senjata rahasia yang beracun.
Sungguh berbahaya sekali keadaan terowongan2 dalam makam itu….
“Selain Ih Thian-heng dan anak buahnya, masih terdapat pula Nyo Bun-giau, Ca Cu-jing dan
puteranya,” kata Ting Ling pula.
Tiba-tiba terdengar sebuah seruan keras, “Hai, tak perlu berkelahi. Budak perempuan itu sudah
digondol pergi oleh si Tua Beracun. Hm, kita yang ngotot. lain orang yang memetik hasilnya.”
“Hm, siapa suruh engkau perintah orangmu menyerang?” sahut sebuah suara lain.
Suara nyaring tadi melantang pula, “Tua Beracun, orang lain takut kepadamu karena engkau
beracun.
Tetapi aku tidak takut. Hayo keluarlah kalau engkau hendak mencoba rasanya kepalan tanganku!”
Han Ping bertanya kepada Kim loji, siapakah kedua orang yang tantang menantang itu.
“Kalau melihat orangnya baru tahu. Hanya mendengar nada suaranya saja, masih belum jelas,”
kata Kim loji.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
“Walaupun dibawah kekuasaan mereka tetapi aku masih sempat untuk memperhatikan gerak gerik
mereka.” kata Ting Ling,”
menurut pengamatanku. masuknya Ih Thian-heng kedalam makam ini hanya sebagai pengaburan
saja.
Dia bukan sungguh-sungguh hendak mencari harta karun tetapi sebenarnya hendak membasmi
seluruh kaum persilatan.
Nyo Bun giau dan Ca Cu-jing ,tokoh-tokoh yang sakti itu, kini sudah didalam cengkeramannya,”
Ia berhenti sejenak menghela napas pelahan, lanjutnya pula, “Makam tua yang sunyi ini, tentu
akan mengalami pertumpahan darah yang hebat.
Entah nanti akan jatuh berapa banyak kaum persilatan yang menjadi korban,”
“Dalam pertempuran ini, menang dan kalah masih belum ketahuan mengapa Ih Thian-heng begitu
yakin akan menang?” kata Han Ping.
“Ih Thian heng seorang yang licik dan licin serta cermat sekali. Pada setiap pos penjagaan dalam
terowongan ini, dia selalu menaruh seorang anak buahnya. Dalam Keadaan perlu. setiap kali ia
dapat menggerakkan alat-alat rahasia dalam makam ini dan anak buahnya. Andaikata dia
menghendaki, dia dapat membuat makam itu runtuh dan menimpah orang-orang persilatan yang
berada didalamnya.” Berkata Han Ping dengan hambar, “Nama dan Keuntungan, benar-benar
penyebab dan segala Kejahatan.
Walaupun sudah tahu bahwa makam ini penuh dengan alat pekakas yang berbahaya tetapikarena
terdapat harta karun serta pusaka Tenggoret Kumala dan Kupu2 Emas, mereka tak tetap berani
menempuh masuk kemari….”
Tiba-tiba kata-katanya itu terputus ,oleh suara jeritan yang ngeri.
Dering senjata beradupun makin lama makin teedengar dekat. Ting Ling melihat pada terowongan
yang gelap itu, tiada henti-hentinya berkiblat sinar senjata yang makin lama makin menghampiri
ketempatnya.
Cepat nona itu dapat menduga bahwa kedua orang yang bertempur tadi, sudah mulai
menampakkan hasil siapa yang kalah dan menang.
Yang kalah didesak mundur kebelakang.
“Celaka, kalau kita tak lekas-lekas tinggalkan tempat ini, kita tentu akan terlibat dengan mereka,”
seru Ting Ling.
Orangtua alis panjang yang sejak tadi tak bicara, saat itu tiba-tiba membuka mulut, “Lihatlah, kera
bulu emas sudah bangun, lekas engkau coba memberi perintah apakah bisa atau tidak?”
Memandang kemuka, memang Han Ping melihat kera bulu emas itu tengah berbangkit pelahan-
lahan.
Walanpun jarak cukup jauh tampak juga betapa menyeramkan wajah kera itu Matanya melotot,
giginya merentang keluar dan sikapnya beringas sekali.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
“Uh, ngeri sekali kera itu,” kata Ting Ling seraya beringsut mundur.
Diantara keempat orang itu, Han Pinglah yang paling tajam pendengarannya. Diantara dering
senjata beradu, ia masih dapat menangkap derap kaki orang berjalan pelahan sekali.
Begitu mendengar ucapan orangtua alis panjang jtu, cepat ia bercuit-cuit seperti yang diajarkan
orangtua alis panjang itu.
Yalah cara untuk memberi perintah kepada kera bulu emas.
Kera itu tiba-tiba melonjak dan secepat kilat terus melesat kemuka.
“Hai, binatang keparat!” tiba-tiba terdengar suara orang memaki marah dan menyusul terasa
suatu goncangan keras.
Kuatir kalau kera bulu emas itu terluka, Han Ping cepat loncat menghampiri.
Semula karena terowongan amat gelap, Han Ping tak dapat melihat apa yang telah terjadi.
Tetapi setelah kerahkan tenaga murni dan semangatnya, barulah ia dapat melihat jelas.
Ternyata kera bulu emas itu tengah mengayun ajunkan kedua tangannya menyerang kemuka.
Lawannya, entah siapa, tak henti-hertinya lepaskan pukulan dahsyat namun tetap tak dapat
menahan serangan kera dan terpaksa harus mundur.
Karena pertempuran itu berlangsung amat seru, dan tempatnya gelap, Han Ping tak dapat melihat
jelas siapa lawan dari kera itu.
Hanya samar-samar ia dapat melihat potongan tubuh orang itu tinggi besar seperti orangtua
berjenggot panjang tadi.
“Ih, orangtua itu hebat sekali pukulannya tetapi mengapa tetap terdesak oleh serangan kera?”
diam-diam Han Ping terkejut dalam hati.
Tiba-tiba ia dikejutkan mendengar suara pamannya Kim Ioji, “Kalau benar, lalu bagaimana. .
Tanpa merghiraukan bagaimana kesudahan bertempuran antara kera dan orang tinggi besar itu.
lalu buru-buru lari kembali kebelakang.
Dilihatnya pada ujung perahu, tegak seorang lelaki dalam pakaian jubah panjang, mencekal
sebatang pedang yang ujungnya menjulai ketanah. Dia bukan lain adalah Nyo Bun-giau. pemimpin
marga Nyo yang sakti.
“Siapapun orangnya apabila telah kudengar suaranya, jangan harap dapat menghampiri
ketempatku,” seru orang itu dengan tertawa dingin.
Secepat kilat ia menyulut korek lalu dilemparkan kemuka. Dari cahaya korek itu, dapatlah Han
Ping melihat bahwa dibelakang Nyo Bun-gau itu terkapar sesosok mayat. Ingat lupa, rasanya ia
pernah kenal orang itu tetapi entah dimana….Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Pun karena penerangan korek itu dapatlah Nyo Bun giau melihat Ting Ling, serunya, “Hai, budak
setan, kutahu engkau memang tak mungkin lolos dari sini Ternyata engkau berada disini.”
Dan alihkan pandang mata, iapun melihat Han Ping tegak berdiri dengan mata berapi-api
memancarkan kemarahan.
Diam-diam ia terkejut dan tercekat dalam hati. Wajahnya yang berseri seketika berobah seperti
kedua menyengir.
Han Ping mencabut pedang Pemutus-asmara, berseru, “Nyo Bun-giau!”
Melihat musuh lama muncul, mau tak mau Nyo Bun-giau seperti kehilangan kegarangannya.
Tetapi cepat-cepat ia menenangkan hatinya dan tertawa dingin. serunya, “Hm, berani benar
engkau bicara begitu tak tahu adat kepadaku!”
Han Ping loncat maju kehadapan Nyo Bun-giau tertawa mengejek, “Dimana Ih Thian-heng saat
ini?”
“Nyo Bun-giau menyurut mundur, serunya, “Ih Thian-heng? Dia berada dibagian tengah makam
ini.”
“Berhenti! Bawalah aku kepadanya….” kata Han Ping seraya berkisar maju mendekati.
Nyo Bun-giau mencongkelkan pedangnya kearah sesosok mayat dan mayat itu segera melayang
ketempat Han Ping. Tetapi dengan tangan kiri Han Ping menyambuti dan letakkan mayat itu
ditanah.
Tiba-tiba terdengar Ting Ling berseru keras2, “Ji siangkong. harap lekas mundur kemari.
“Kalian tunggu disitu, jangan pergi kemana-mana,” sahut Han Ping lalu melesat maju mengejar.
“Dia hendak mencari Ih Thian-heng, hayo kita mengikutinya!” seru Kim Ioji.
“Kalau kita sungguh-sungguh hendak mencari Ih Thian-heng jangan harap kita dapat hidup….Ting
Ling membantah, “dia tak mau mendengar kata-kataku, lekas panggil dia kembali kesini.”
Tetapi ternyata Han Ping sudah tak tampak Dan dari kejauhan, terdengar suara kera bulu emas itu
meraung raung keras.
Rupanya dia bertemu musuh tangguh dan dihalau mundur.
Rupanya orangtua alis panjang menyadari hal itu. Serentak ia berbangkit, serunya, “Hm, rupalnya
kera itu bertemu musuh sakti dan dikuatirkan akan mundur kemari.”
“Aku sudah menderita luka parah, tiada daya untuk melawan mereka lagi,” kata Ting Ling.
“Mati dan bidup sudah ada garisnya. Aku orang she Kim ini sudah banyak kali menghadapi bahaya
maut didunia persilatan, tetapi sampai saat ini tetap masih hidup. Apabila memang sudah garis
hidupku harus mati dimakam ini, aku pun paserah saja.
Tak peduli siapa musuh yang akan datang itu tetapi kita tak dapat berpeluk tangan mengawasi
saja,” kata Kim loji dengan garang.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
“Baiklah, locianpwe,” kata Ting Ling,” karena aku menderita luka nanti aku akan bersembunyi
dibelakang lo cianpwe.
Dengan meminjam kegelapan tempat ini apabila memperoleh kesempatan akan kutabur musuh
dengan bubuk Bi-hun-yok.
Mungkin kita dapat mengatasinya “
“Hai, benar,” seru Kim loji girang, “hampir aku lupa akan obat Bi-hun-yok yang termasyhur dari
lembah Raja-setan!”
Terdengar raung dahsyat. Rupanya kera bulu emas itu telah menderita pukulan dahsyat.
Karena tahu kalau orangtua alis panjang itu tak mengerti ilmusilat maka Kim loji cepat minta
kepadanya supaya masuk kedalam perahu. Dia dan nona Ting Ling yang akan menghadapi musuh.
Sejenak berdiam diri, orangtua alis panjang itu mengiakan, “Baik, kalau kalian tak mampu
menghadapi, lekas kalian pancing musuh itu ke samping perahu. nanti aku yang
membereskannya.”
Kim loji setuju. Ia memadamkan api korek yang masih menyala lalu mengambil golok dari
belakang perahu.
Tiba-tiba raung kerapun sirap.
Ting Ling mengambil sebuah botol kumala lalu bersiap-siap melekatkan diri pada dinding Sambil
menghampiri, Kim loji menghela napas, “Sejak aku ditipu masuk kedalam makam ini oleh Nyo
Bun-giau dan sebelah lenganku ditabasnya, sampai sekarang belum pernah bertempur lagi Entah
apakah aku masih dapat memainkan golok ini.”
“Jangan kuatir,” Ting Ling menghiburnya, “asal locianpwe mampu menahan musuh sampai dua
jurus saja, aku tentu sudah dapat menaburnya dengan bubuk Bi-hun-yok.”
“Tempat kita ini gelap sekali tetapi malah, menguntungkan kita,” kata Ting Ling pula.
tetapi tiba-tiba napasnya terengah-engah sehingga tak dapat melanjutkan bicara, “Nak,
bagaimana keadaanmu?” Kim Ioji kasihan juga. Walaupun ia tak mempunyai kesan baik terhadap
kedua gadis puteri lembah Raja-setan. Tetapi pada saat dan tempat seperti saat itu, mereka sudah
merupakan kawan seperjuangan, bahu membahu menghadapi musuh.
Ting Ling menghampiri, katanya, “Mereka telah melukai aku parah sekali. Asal banyak bicara, luka
itu terasa sakit sekali….”
Kembali ia terengah-engah, “Botol ini berisi obat penawar. Asal engkau lumurkan pada hidung,
tentu tak takut pada bubuk Bi-hun-yok.”
Sambil menyambuti, Kim loji menghela napas, “Dunia persilatan menyatakan kalian berdua puteri
lembah Raja-setan ini ganas, tetapi apa yang kulihat saat ini, ternyata tidak benar.
“Saat ini kita menghadapi musuh dan bahaya bersama, masakan aku berani mencelakai engkau,”
jawab Ting Ling.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Saat itu tampak sesosok bayangan hitam, beringsut2 mundur kearah tempat mereka. Ting Ling
bersembunyi dibelakang Kim loji, serunya, “Harap lo-cianpwe bersikap yang garang.”
Kim loji menamburkan obat pada hidungnya lalu tegak berdiri lintangkan golok. Sosokc hitam
itupun cepat mundur kesamping mereka. Ternyata memang kera bulu emas. Binatang itu sudah
kepayahan, kedua tangannya ditutupkan ke dada.
Dan yang mendesaknya mundur, seorang tua jenggot panjang dan bertubuh tinggi besar.
Rupanya dia juga payah.
“Berhenti!” bentak Kim loji seraya tabaskan golok.
Orang tua tinggi besar itu terkejut. Tetapi ia masih sempat tamparkan tangan kiri untuk menahan
golok Kim loji.
Baru ia hendak membuka mulut, dari belakang Kim loji tiba-tiba menjulur sebuah tangan putih.
Orang tua tinggi besar itu tertegun dan saat itu Ting Lingpun lepaskan bubuk Bi-hun-yok.
Bluk, rubuhlah orangtua tinggi besar itu. Dan Kim lojipun terus ayunkan golok hendak
menabasnya.
“Jangan, lo cianpwe, jangan melukainya,” cegah Ting Ling. Lalu menyiak tangan Kim loji sekuat-
kuatnya.
Huak, walaupun dapat menyiak tangan Kim loji, tetapi luka dalam tubuhnya menumpahkan darah.
Habis muntah darah, nona itupun duduk ditanah. Sambil mendekap dada, nona itu masih
paksakan diri berseru, “Jangan melukainya.”
“Nak, lekas salurkan pernapasanmu, jangan bicara dulu, “Kim loji maju menghampiri.
“Hai, rupanya berat juga lukamu. Biar kuperiksanya,” tiba-tiba orangtua alis panjang keluar dari
perahu dan tanpa menunggu lagi, ia terus mencekal tangan sinoua dan memeriksa denyutan
pergelangan tangannya.
Suasanapun hening Kera bulu emas itupun amat letih dan rebah ditanah.
Beberapa saat kemudian kedengaran orangtua alis panjang itu berkata, “Nak, lukamu berat sekali.
Sayang obat yang kubawa ini mengandung racun keras. Apakah engkau suka minum?”
Kata Ting Ling, “Aku masih ingin hidup untuk beberapa hari lagi. Segala derita kesakitan aku tak
takut.”
Orangtua alis panjang tertawa, “Bagus, berapa lamakah engkau ingin hidup….
Kim loji cepat memberi peringatan agar orangtua alis panjang itu jangan tertawa keras2, agar
jangan diketahui musuh.
“Aku ingin hidup 10 hari lagi….,” jawab Ting Ling.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
“Hai, itu mudah sekali,” sahut orangtua alis panjang seraya mengeluarkan beberapa butir pil,
“simpan dan makanlah sendiri. Kalau engkau dapat menghabiskannya, kita akan tambah anggauta
seorang lagi.”
“Hai, apakah engkau hendak menciptakan seorang manusia beracun lagi?” tegur Kim loji.
“Kalau sejak dulu aku sudah keluar kedunia persilatan, tentu sudah banyak manusia2
beracunnya,” kata orangtua alis panjang.
“Ho, engkau hendak mendirikan partai Manusia Beracun?” seru Kim loji pula.
“Sayang, waktunya sudah tak mengijinkan, sudah terlambat,” sahut orang tua itu.
Sambil menjemput sebutir pil, Ting Ling bertanya kepada Kim Loji apakah pil itu benar-benar
dapat menyembuhkan?”
“Memang dapat menyembuhkan, tetapi obat seperti candu. Sekali minum, racun tentu akan masuk
kedalam tubuh kita,”
menerangkan Kim loji.
Tetapi rupanya nona itu tak menghiraukan. Obat apapun yang penting dapat menyembuhkan dan
menambah hidupnya sampai beberapa waktu. Dan Kim lojipun menyadari bahwa luka nona Ting
itu sudah sedemikian rupa.
Ia tak mau mencegahnya lagi.
Kim Loji berbangkit lalu membopong orangtua alis panjang dibawa ketempat Ting Ling.
Tiba-tiba orang yang pingsan tadi tersadar bangun. Ia kuatir dan cepat-cepat melekatkan pedang
keleher orang itu.
Setelah memberi obat, orangtua alis panjang itu menunggu dengan sabar akan perobahan luka si
nona.
Sepeminum teh lamanya nona itu tersadar dan tertawa kepada orangtua alis panjang, “Ih, obatmu
manjur sekali, sekarang aku merasa sudah banyak sembuh.”
“Kalau benar begitu, kurasa dalam dunia dewasa ini dapatlah aku menganggap diriku sebagai
Dewa Racun…. .”
orangtua alis panjang itu menghela napas dan berkata kepada Kim loji”, kurasa dalam dunia iui
masih terdapat seorang yang mampu menandingi kepandaianku.”
“Siapa?” tanya Kim loji.
Orangtua alis panjang gelengkan kepala, “Entahlah. Rasanya dia seorang wanita….”
“Kalau dia seorang perempuan, jelas tentulah budak perempuan dari perguruan Lam-hay-bun
itu….,” Ting Ling menyelutuk.
Tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara orang tertawa, “Ih, dibelakang orang berani mengatakan
kejelekannya, apakah tak kuatir dipotong lidahnya?”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Nadanya jelas dari seorang wanita. “Siapa?” Ting Ling terperanjat dan cepat memandang kemuka
dan pasang telinga.
Tetapi tak terdengar suatu penyahutan apa, Rupanya orang itu sudah pergi.
“Huh, makam ini benar-benar seperti gedung setan…. ,” kata orangtua alis panjang.
“Ya, memang makam ini dibangun dengan rencana yang hebat, penuh dengan jalan lorong dan
kamar2 yang serba pelik!’“ kata Kim loji.
“Apakah engkau tak melukainya?” tanya Ting Ling kemudian kepada orangtua alis panjang.
“Tidak,” sahutnya, “tetapi apa keperluanmu menahannya disini?”
“Dia berkepandaian tinggi, sayang kalau dibunuh….” jawab Ting Ling.
“Ho, kalau begitu tunggu saja setelah dapat bangun, kita yang akan dibunuhnya,” seru Kim loji.
”Harap lo cianpwe jangan salah mengerti. Bukan kita suruh dia membunuh kita tetapi kita dapat
menggunakan tenaganya untuk melindungi kita,” Ting Ling memberi penjelasan.
“Ah, nungkin tak semudah itu,” gerutu Kim loji.
“Tetapi aku mempunyai siasat yang bagus supaya dia mau taat kepada kita,” kata Ting Ling
seraya berbangkit dan menghampiri ketempat orangtua jenggot panjang dan lalu berjongkok
disampingnya.
Kim lojipun menarik kembali pedangnya dan suruh Ting Ling segera memberi orang itu obat
supaya dia dapat ditundukkan. Setelah itu baru diberi obat penawar. Kalau tunggu sampai orang
itu terjaga, tentu sukar dan berbahaya.
“Harap lo cianpwe jangan kuatir,” kata Ting Ling lalu tiba-tiba menutuk kedua bahu dan kedua
lutut orang itu. Setelah itu baru ia mengeluarkan obat penawar, dilumurkan kehidung orang itu.
Terdengar orang itu menguak lalu membuka mata dan memandang Ting Ling, Kim Loji. Serentak
iapun menggeliat duduk. Tetapi karena kaki dan tangannya sudah tertutuk maka kecuali tubuh, ia
tak dapat bergerak lagi. Bahkan ketika ia mengangkat tangan kanannya, serentak terus melentuk
lunglai lagi.
“Kalau engkau hendak mencoba menyalurkan tenaga dalam untuk membuka jalan-darahmu yang
tertutuk, berarti engkau mencari sakit sendiri,” kata Ting Ling memberi peringatan.
Orang tua jenggot panjang itu diam saja. Walaupun dalam pertempuran maut, ia tetap bersikap
tenang.
Ting Ling menyambar golok dan berseru dingin, “Sekarang engkau boleh pilih satu diantara dua
jalan.”
Dengus orangtua jenggot panjang itu, “Beruang yang jatuh kedalam air tentu akan dibuat
permainan, macan yang tiba disungai datar tentu akan dihina kawanan anjing….
Cret! Ting Ling ayunkan pedang dan jenggot orangtua yang menjulai kedada itupun kutung dan
berhamburan ke tanah….Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
“Tak peduli dengan kata-kata apa engkau hendak memaki aku tetapi yang jelas saat ini engkau
sudah berada dalam kekuasaanku. Sekali tangan kuayun, kepandaianmu setiap saat dapat
menggelinding!” seru Ting Ling.
Orangtua jenggot panjang itu tertegun, “Kedua jalan yang engkau suruh aku pilih itu, coba
katakan dulu baru aku dapat menjawab.”
“Sederhana sekali,” kata Ting Ling, “pertama, engkau meluluskan untuk menerima setiap
perintahku, tak boleh menghianati. Sampai nanti keluar dari makam ini baru kubuka lagi
jalandarahmu. Dan kubebaskan engkau. Jalan kedua, engkau menolak permintaauku dan kutabas
kepalamu.”
“Ho, engkau anggap aku ini orang apa? Apakan aku sudi tunduk pada perintahmu!” orang tua itu
marah, Ting Ling tertawa mengejek, “Kalau begitu, engkau memilih jalam kematian!” Nona itu
perlahan2 mengangkat golok,” sebagai hukuman di-muka, sekarang hendak kutabas sebelah
kakimu kanan.” Habis berkata ia terus ayunkan golok.
“Tunggu!” seru orangtua itu gopoh.
Ting Lingpun hentikan golok dan tertawa, “Apakah engkau masih ingin hidup? Hm, dapat keras
bisa lunak, barulah seorang gagah sejati. Apalagi setelah keluar dari makam ini engkau tentu
masih dapat menebus hinaan yang engkau derita saat ini. Kalau sekarang kutabas kepalamu,
selama-lamanya engkau tentu tak dapat membalas dendam.
“Kelak apabila dapat keluar dari makam ini tentu akan kujadikan engkau budakku, baru aku puas.”
kata orangtua jengot panjang itu.
“Hm, kalau begitu berani sikarang engkai dapat menyetujui, bukan?”
Orangtua jenggot panjang itu mengangguk “Ya, anggaplah saja aku sudati menerima syarat mu!
Tiba-tiba Kim Loji berseru memberi peringatan “Nak, didunia persilatan sukar untuk menanam
kepercayaan pada orang. Bagaimana begitu engkau lepaskan dia terus ingkar janji?”
“Seorang lelaki berani berkata tentu aka pegang janji. Kurasa setelah setuju, lo cianpwe itu tentu
takkan menyesai dan ingkar,” kata Ting Ling.
“Engkau percaya tetapi aku tidak….”gumam Kim Loji.
Ting Ling tak mau berbantah. Ia menampar jalandarah orangtua yang tertutuk lalu mengurutnya,
Melihat itu Kim Loji benar-benar gelisah. Cepat ia menyambar golok yang berada pada Ting Ling
lalu ditujukan pada orangtua jenggot panjang itu dalam sikap setiap saat akan dibacokkan.
Ting Ling mengeluarkan sebutir pil dan menghela napas, ujarnya., “Lo cianpwe, walaupun aku
percaya kepadamu tetapi sukar untuk mendapat kepercayaan dari pamanku ini, harap
maklumlah.”
Sambil memandang kearah golok Kim Loji, orangtua jenggot panjang itu berkata pelahan, “Engkau
menghendaki bagaimana agar engkau percaya?”
“Asal engkau mau menelan pil ini, tentu sudah cukup mendapat kepercayaan kami.”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sambil masih memandang pada golok ditangan Kim Loji, orangtua jenggot panjang itu
menggumam seorang diri, “Aku seorang ksatrya besar, mana harus mati secara tak wajar
begini….?”
“Ilmu kesaktian lo-cianpwe memang layak sejajar dengan tokoh persilatan kelas satu.
Kalau binasa secara begini tak diketahui, mamang harus disayangkan sekali,” kata Ting Ling.
Berpaling kepada nona itu, orangtua jenggot panjang bertanya, “Obat apakah pil itu?
Katakan dulu baru aku nanti mempertimbangkan mau minum atau tidak.”
Ting ling tertawa, “Pil ini disebut Pekpoh-toan-jong-san seratus langkah menghancurkan usus.
Terbuat dari ramuan lima macam racun. Setelah minum, apabila berjalan seratus langkah, racun
tentu akan bekerja dan usus dalam tubuh akan putus semua….”
Ia mengacungkan pil lalu tertawa, “Benar, memang aku membawa obat penawarnya, Setelah
minum obat racun engkau harus cepat minum obat penawarnya. Dalam waktu satu jam, racun itu
takkan bekerja “
Rupanya orangtua jenggot panjang itu amat sayang pada jiwanya, ia bertanya, “Hanya satu jam
saja?”
”Akan kuberimu sebutir pil lagi….” cepat Ting Ling menyusulketerangan.
“Dengan begitu aku harus terus menerus minum obat penawar. Tetapi bukankah pil penawar itu.
bakal habis juga?”
“Jangan kuatir,”setelah makan dua belas biji pil penawar, racun itu akan lenyap semua,” kata Ting
Ling, seraya mengeluarkan botol kumala menuangkan duabelas butir pil warna putih Sedang
sisanya dihancurkan dan dibuang ketanah.
“Sekarang aku hanya tinggal mempunyai dua belas butir pil saja. Asal sebutir pil penawar ini
kuhancurkan, jangan harap enkau dapat hidup “….|
Orangtua jenggot panjang itu kerutkan dahi!
“Apakah maksudmu melakukan tindakan semacam itu kepada diriku?”
“Sederhana sekali, sahut Ting Ling, “asal engkau mengandung maksud hendak menghianati, tentu
segera kuhancurkan sebutir pil penawar itu. Mungkin engkau akan membunuh aku tetapi engkau
sendiripun jangan harap dapat hidup. Dengan begitu kita akan sama-sama mati.”
“Hm, cara yang bagus juga,” kata orangtua jenggot panjang.
“Saat ini engkau sudah berada dalam keadaan mati. Hanya itulah satu-satunya jalan hidup.
Kini meluluskan atau tidak, tergantung padamu sendiri,”
Orangtua jenggot panjang menghela napas, “Dengan jiwa mempertaruhkan kepercayaanmu,
bukankah aku yang menderita kerugian “Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ting Ling tertawa, “SIlahkan engkau mencari daya untuk membatasi jiwanya supaya dapat hidup
duabelas jam saja.
Nanti pada aku menyerahkan pil penawar yang terakhir, engkau harus membebaskan ancaman
mau yang engkau lakukan pada diriku.”
Mengerling kearah Kim Loji, orangtua jenggot panjang itu bertanya, “Apakah dia juga masuk
hitungan?”
Ting Ling kerutkan alis, “Ini, ini….”
“Ho, tak sangka kalau engkau juga menginginkan jiwaku sioraog she Kim ,” seru Kim Loji.
“Benar, kalau satu tukar satu, memang aku merasa rugi sekali,” sahut orangtua jenggot panjang.
“Baiklah, sekarang coba engkau katakan bagaimana caramu hendak membatasi jiwa kami berdua
hanya dapat hidup duabelas jam itu!” seru Kim Loji.
“Akan kututuk tubuh kalian dengan ilmu tutukan perguruanku yang istimewa,” kata orangtua
jenggot panjang,”
dalam duabelas jam apabila tak kutolong, pekakas dalam tubuhmu tentu akan hancur berantakan.
Kim Loji memandang Ting Ling, serunya, “Nak, jangan menerimanya.”
“Menurut hematku, tak ada harapan lagi kita dapat keluar dari makam ini.
Maka kalau kita menerima berarti mungkin kita dapat memberi bantuan kepadanya.”
“Apakah yang engkau maksudkan kepadanya itu anak Han Ping?” Kim Loji menegas.
“Benar, benar,” sahut Ting Ling, “siapa lagi kalau bukan dia?”
“Oh, bagus,” Kim Loji tertawa, “asal dapat memberi bantuan kepada auak, itu matipun kita rela!”
Ting Ling lalu menjemput pil beracun dengan kedua jari tangannya, “Lo cianpwe, perjanjian sudah
kita setujui, sekarang silahkau engkau minum pil ini!”
Ternyata orangtua jenggot panjang itu tak banyak omong lagi terus membuka mulut menerima pil
yang disusupkan jari si nona.
Setelah itu Ting Ling lalu menutuk buka jalandarah orang tua jenggot panjang yang tertutuk tadi.
Tiba-tiba orangtua jenggot panjang itu melonjak bangun terus mencekal siku lengan kanan Ting
Ling.
Tetapi Ting Ling cepat gerakkan tangan kiri menyerahkan sebutir pil kepada Kim Loji, “Paman,
peganglah baik2.
Kalau dia membunuh aku, cepat hancurkan pil itu.”
Kim Loji terpisah jauh dari tempat orangtua jenggot panjang itu. Tak mungkin diraihnya.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Maka orangtua jenggot panjang itupun tak dapat berbuat apa-apa kecuali banting2 kakinya
ketanah.
Secepat pula Ting Lingpun mengangkat tangan kirinya lagi dan berseru, “Sudah, jangan coba
mempunyai pikiran untuk menghianati janji, lekas engkau telah pil penawar ini. Apabila terlambat,
racun dalam tubuhmu tentu akan bekerja “
Orangtua jenggot panjang itu terpaksa menyambuti lalu berseru dingin, “Lekas engkau putar
tubuh aku segera akan menutuk kelima uratnadimu.”
Sambil berputar tubuh. Ting Ling tertawa, “Aku masih menyimpan sepuluh butir pil dan pamanku
itu sebutir.
Apabila engkau tak dapat membunuh kami dengan serempak, jangan harap engkaupun jangan
harap hidup, “
“Hm, jangankan kalian berdua sekalipun sepuluh orangpun tetap tak sembabat ditukar dengan
jiwaku,”
dengus orangtua jengot panjang itu, seraya mulai menutuk jalandarah tubuh nona itu. Setiap kali
menerima tutukan, Ting Ling tentu merasa tubuhnya gemetar. Dan setelah ditutuk beberapa
tempat, ia rasakan dirinya sakit sekali hampir tak kuat ia menderitanya.
Setelah selesai, orangtua jenggot panjang itu lalu menghampiri Kim Loji.
‘Hai, setelah tubuhku merjadi mati separo begini, bagaimana aku masih dapat bergerak?” tanya
Ting l ing.
“Sebentar lagi, rasa sakit itu tentu akan hilang dan dalam duabelas jam kemudian, engkaupun
sudah dapat bergerak dengan leluasa lagi,” sahut orangtua jengot panjang.
Kim Loji segera berputar diri, siap roenerima tutukan siorangtua jenggot panjang. Tetapi rupanya
orangtua itu masih meragu.
Tiba-tiba ia melangkah dua tindak dan menyambar tangan orangtua alis panjang.
“Lepaskan!” cepat Ting Ling berteriak, “dalan perjanjian dia tak termasuk. Apabila engkau berani
mengganggunya, pil penawar tentu akan ku hancurkan semua, agar engkau jangan hidup!”
Walaupun sudah tua tetapi rupanya orangtu jenggot panjang itu masih amat sayang kepada
jiwanya.
Mendengar peringatan Ting Ling, iapun hentikan gerakannya.
Orangtua alis panjang saat itu tengah mengobati kera bulu emas yang terluka.
Sama sekali ia tak menyadari akan ancaman orangtua jenggot panjang tadi.
Sambil menyalurkan tenaga dalam, Ting Ling pun menelan lagi dua butir pil racun.
Dan ternyata semangatnyapun bertambah baik sekali. Katanya sesaat kemudian, “Kalau terus
menerus berada disini kurang baik. Lebih baik kita lanjutkan perjalanan lagi.”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Nona itu meminta orangtua jenggot panjang untuk menunjukkan jalan. walaupuu nona itu paling
muda usianya tetapi dia memang cerdas sekali. Selama dalam pembicaaan makin menonjollah
sifat2 kepemimpinannya.
Demikian mereka segera berjalan lagi. Kurang lebih sepuluh tombak, mereka belum bertemu
dengan simpang jalan.
Sedang orangtua jenggot panjang itu makin lama makin pesat jalannya.
“Berhenti!” tiba-tiba Ting Ling membentak.” jangan lanjutkan perjalanan lagi.”
Orangtua jenggot panjang berpaling, tertawa dingin, “Mengapa?”
“Terowongan ini merupakan jalan saluran air, melintasi terowongan ini tentu kita akan berada
diluar makam.”
Orangtua jenggot panjang itu tertawa keras.
“Hm, karena mendongkol menerima perintahmu, maka aku berjalan asal berjalan saja, tak peduli
melintasi jalanan air atau kering!” sahutnya.
Ting Lingpun balas mendengus, “Hm, apapun yang akan terjadi, tetapi aku sudah berbulat tekad
untuk mati disini….”
“O, rupanya engkau mempunyai kesadaran yang tinggi,” seru orangtua jenggot panjang itu.
“Dalam duabelas jam, sebaiknya janganlah engkau mempunyai hati yang jahat.
Setelah dua belas jam dan makan obat penawar, barulah boleh engkau mengandung pikiran jahat
lagi.”
Ting Ling memberi peringatan.
Orangtua jenggot panjang membuka mulut tetapi tak jadi bicara.
Ting Ling suruh dia mengetuk dinding karang untuk mencari tahu apakah disebelah dinding itu
terdapat ruangannya.
Dan orangtua jenggot panjang itupun menurut Tung…. terdengar bunyi mendengung, ketika
tangannya memukul dinding.
“Ditilik dari kumandang suaranya, disebelah dinding ini tentu terdapat terowongan atau ruang
kosong.
Usahakanlah supaya dapat membobol dinding itu!” kata Ting Ling pula.
Orangtua jenggot panjang kali ini marah, “Dinding karang begini keras, bagaimana dapat
kubobolkan dengan pukulan tangan kosong?”
“Hm, itu urusanmu,”Ting Ling mendengus pula.
Aku hanya hidup sampai duabelas jam saja. Lebih lekas mati dari duabelas jam, bukan apa-apa
bagiku.”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tiba-tiba orangtua jenggot panjang itu mundur dua langkah dan mengeluarKan sebuah palu besi.
Serunya dengan nada dingin, “Hm, untung engkau bertemu dengan seorang tua yang teliti seperti
aku.
Kalau tidak, jangan harap engkau mampu mendapatkan lubang pada dinding karang ini.”
Sebenarnya Ting Ling tak tahu kalau orangtua jenggot panjang itu membekal senjata.
Tetapi karena melihat orangtua itu memiliki tenaga pukulan yang hebat, maka ia menekannya
supaya mengeluarkan senjatanya.
Tertawalah nona itu kegirangan, “Bagus, lo cianpwe benar-benar orang yang cerdas sekali!
Sebelumnya sudah mempersiapkan alat-alat yang penting!”
Bum…. orangtua jenggot panjang itupun mulai menghantam. Segumpal karangpun berhamburan
ketanah.
“Ya, sebagai ganti untuk menumpahkan kemengkalan hatiku karena engkau berani memberi
perintah kepadaku,”
gumam orangtua jenggot panjang.
Sepandai-pandai tupai metompat, sesekali akan terpeleset juga. Soal itu memang lumrah terjadi,
harap jangan dipikirkan,” kata Ting Ling, menghiburnya.
Rupanya gembira juga orangtua itu mendengar kata-kata Ting Ling, Tak henti-hentinya ia
menghantam menghantam dinding terowongan itu.
Tak berapa lama, terbukalah sebuah lubang seluas setengah meter. Secercah sinar terang,
berhamburan memancar dari ruang sebelah.
Ting Ling cepat menghampiri dan melongok. “Ih, bangunan makam ini memang istimewa sekali,”
tiba-tiba ia hentikan kata-katanya, terus menyusup kedalam lubang.
Melihat itu Kim Loji terus cepat-cepat menyusul tetapi baru tiba di mulut lubang, pingangnya
sudah dicengkeram orangtua jenggot panjang, “Hm, kalau sayang jiwamu, lekas berikan obat
penawar itu kepadaku!” serunya pelahan.
Kim Loji batuk-batuk, sahutnya, “Asal aku menjerit, nona itu tentu segera meremas haucur
persediaan pil penawar yang ada padanya.
Engkau memang sakti tetapi tak mungkin engkau dapat merampas persediaan pil penawar itu
dalam waktu sekejab mata.”
Orangtua jenggot panjang mendengus dan lepaskan cengkeramannya.
Kim lojipun menyisih kesamping dan mempersilahkan orangtua itu masuk dulu.
Dengan geram ia memandang Kim Loji, hantamkan palunya sekali lagi pada dinding, kemudian
baru menyusup masuk.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kiranya karena tubuhnya yang tinggi besar, ia perlu harus membesarkan lubang itu baru dapat
masuk.
Kim loji dan orangtua alis panjang serta kera bulu emaspun segera menyusul mereka.
Ternyata ruang disebelah merupakan sebuah kamar rahasia yang amat luas. Cukup dibangun
menjadi lima buah kamar.
Empat keliling dindingnva, terdapat empat buah mutiara sebesar buah klengkeng yang
memancarkan sinar kemilau.
Pada puncak ruangan, digantung sebuah lampu lentera kaca. Lampu kaca itu tetap menyala
sehingga keempat mutiara itupun memantulkan sinarnya yang terang.
Ting Ling berdiri disebuah dinding, sedang mengamat-amati sebuah lukisan yang terdapat pada
dinding itu.
Sedang otangtua jenggot panjang berdiri satu meter dibelakangnya.
Kim Loji terkejut dan gelisah, “Uh. nona itu memang kurang pengalaman. Dalam keadaan yang
diselubungi bahaya maut, ia masih menipunyai selera untuk melihat gambar.”
Lukisan pada dinding itu merupakan sebuah taman makam yang penuh dengan guratan2 malang
melintang.
Lukisan itu mirip dengan peta dari makam disitu.
Tiba-tiba nona itu mengguman seorang diri, “Aneh sungguh aneh…. .”
Rupanya orangtua jenggot panjang tertarik. Ia segera maju menghampiri. Tetapi Kim Loji yang
makin ketakutan segera berteriak, “Nona Ting!”
Ting Ling berpaling dan menghampiri Kim Loji, katanya, “Ruang ini terlalu mewah untuk disebuah
makam .
“Kalau Ko tok lojin pendiri makam ini dapat menyembunyikan mustika Tenggoret Kumala dan
Kupu2 Emas serta harta karun kedalam makam ini, sudah tentu dia mampu juga menghias
ruangan ini sedemikian mewahnya.”
“Apakah minyak dalam lampu kaca itu juga dapat bertahan sampai ratusan tahun?” kata Ting Ling
seraya memandang kearah lampu itu.
Kim Loji terbeliak tak dapat menjawab.
“Tetapi lentera kaca dan semva hiasan mewah dalam ruang ini masih belum lavak dikata aneh.
Yang aneh yalah keadaau ruang ini, Mengapa begini bersih sekali sep^rtiiiya tiap kali ada orang
yang membersihkannya?”
Kembali Kim Loji terbelalak. Ia segera mengeluarkan pandang kesegenap ujung ruang itu.
Ah, memang benar. Dari meja yang terbuat dari batu pualam, piring dan cawan emas sampai pada
alat-alat makain yang terbuat daripada perak, memang tampak amat bersih semua.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
“Ah,” tiba-tiba Ting Ling menghela napas,” mungkin makam tua ini hanya suatu tempat
persembunyian untuk mengangkuti harta karun dan pusaka yaag tak ternilai harganya?”
Kim Loji dan orangtua jenggot panjang terkesiap mendengar ucapan nona itu. Serempak mereka
berseru, “Mengapa?”
Sambil memberesi rambutnya yang kusut, nona itu lalu pelahan-lahan duduk disamping sebuah
dingklik dan memandang kepada kedua orang itu, katanya tertawa, “Rasanya kalian berdua ini
bukan muda lagi….”
“Tahun ini umurku sudah delapan puluh dua,” kata orangtua jenggot panjang.
“Aku limapuluhan tahun,” kata Kim Loji.
“Sudahlah, percuma saja kalian mempunyai umur begitu banyak.” Ting Ling tertawa rawan, “andai
aku dilahirkan lebih pagi tigapuluh tahun, tak mungkin kubiarkan rahasia makam itu tersiar
kedunia persilatan.
“Hm, hampir setengah hari mengomong, aku tak mengerti maksudmu,” dengus orangtua jenggot
panjang.
Ting Ling tertawa mengikik, “Kalau begitu mendengar engkau terus mengerti, tentu tak mungkin
engkau dapat kurubuhkan dengan obat bius.”
“Engkau menertawakan apa?” orangtua jenggot panjang marah,” karena telah menggunakan
banyak tenaga untuk bertempur sehingga mata dan telingaku kabur maka baru aku dapat engkau
rubuhkan.
Merubuhkan orang yang sudah menderita, mengapa engkau masih menepuk dada berbangga
diri?”
“Aku menertawakan kalian beberapa orangtua yang tak berguna. Pikiran limbung, hati kosong
sehingga mudah termakan desas desus beracun didunia persilatan….”
“Setan, engkau berani mengatakan aku goblok,” teriak orangtua jenggot panjang dengan marah.
“Tetapi Ting Ling tetap tertawa hambar, “Kalau aku dapat menerangkan kegoblokanmu, maukah
engkau menampar mukamu sendiri dihadapanku?”
“Kalau memang engkau dapat menunjukkan bukti2 yang tak dapat kubantah, mengapa aku tak
mau melakukan hal itu?”
“Engkau sudah berumur delapanpuluh dua tahun tetapi pernahkah engkau bertemu dangan Ko
Tok lojin pendiri makam ini?”
tanya Ting Ling.
“Setiap orang persilatan tentu tahu hal itu, perlu apa aku harus melihatnya sendiri!”’
‘Tenggoret Kumala dan Kupu2 Emas, sepasang mustika dalam dunia persilatan yang jarang
terdapat didunia.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tetapi siapakah yang pernah melihat kedua benda itu? Rasanya mereka2 itu hanya mendengar
cerita dari mulut ke mulut saja.”
Orangtua jenggot panjang tercengang, ujarnya, “Walaupun tak pernah melihat sendiri, tetapi aku
pernah mendengar sendiri tentang kedua mustika itu.”
“Ho, itulah,” seru Ting Ling, “seorang yang cerdik luar biasa, telah menggubah dongeng tentang
kedua benda mustika Tenggoret Kumala dan Kupu2 Emas itu lalu diceritakan kepada orang. Dan
dalam waktu yang singkat dunia persilatan telah dilanda cerita itu, Dengan menggunakan
pengaruh cerita tentang kedua mustika itu, dia lalu menbangun makam ini.”
Orangtua jenggot panjang tertegun. Tiba-tiba ia mengayunkan tangan kanan dan plak, menampar
mukanya sendiri.
“Tak peduli apakah uraianmu itu benar atau tidak, tetapi apa yang engkau katakan itu memang
baru pertama kali ini aku mendengar,” serunya.
Ting Ling tertawa hambar, “Akupun mendengar juga tentang cerita Tenggoret Kumala dan Kupu2
Emas itu Dua buah mustika yang hebat sekali daya gunanya. Katanya, Tenggoret Kumala itu luar
biasa racunnya, tiada yang dapat menandingi. Sedangkan Kupu2 Emas itu merupakan benda
mustika yang mampu menghidupkan orang mati.
Dirangkainya cerita itu sedemikian rupa sehingga memberi kesan bahwa dengan mendapatkan
Tenggoret Kumala, orang tentu dapat menguasai dunia persilatan Apabila mendapatkan Kupu2
Emas tentu dapat menundukkan Tenggoret Kumala Apabila dipikir dengan teliti, cerita itu
sebenarnya lemah dan terlalu berlebih-lebihan.
Coba siapa yang dapat menjawab pertanyaanku ini. Dikatakan mustika Tenggoret Kumala itu luar
biasa racunnya, tetapi siapakah diantara orang persilatan yang pernah mendengar seorang jago
persilatan yang terbunuh dengan Tenggoret Kumala itu. Lalu dikatakan pula bahwa Kupu2 Emas
mustika mujijad untuk menawarkan racun.
Tetapi siapakah yang pernah ditolong jiwanya?”
“Hal itu aku hanya mendengar dari cerita orang saja,” kata orangtua jenggot panjang.
“Mengatakan bagaimana?” tanya Ting Ling.
“Bahwa dia pernah melihat sendiri kehebatan racun dari Tegggoret Kumala itu, Begitu dimasukkan
dalam air, airpun berobah biru warnanya. Diletakkan di tanah, rumput tentu segera kering dan
segala serangga kecil seperti semut dan lain2 tentu mati seketika.”
“Dan mustika Kupu2 Emas itu? Apakah dapat menghidupkan lagi rumput yang sudah kering dan
semut yang sudah mati itu?”
“Entah, aku tak mendengar bangsa serangga yang sudah mati itu dapat hidup kembali,” kata
orangtua jenggot panjang, “hanya rumput yang kering itu begitu tersentuh Kupu2 Emas, memang
dapat hidup lagi,”
Ting Ling tersenyum, “Sudah berapa tahun lamanya kawannya itu yang meninggal?”
Orangtua jenggot panjang merenung sejenak, menjawab, “Sepuluh tahun lebih tiga bulan….”
“Bukankah setelah memberitahukun tentang kedua benda mustika itu dia terus meninggal?”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
“’Ya, kalau tak salah, lewat sebulan setelah dia bercerita tentang kedua mustika itu, diapun terus
meninggal.”
“Mungkin orang yang pernah melihat kedua semua sudah meninggal dunia.”
Rupanya ada sesualu yang menyadarkan pikiran orangtua jenggot panjang itu. Ia merenung.
Menghela napas, Ting Lingpun melanjutkan pula, “Orang-orang yang melihat kedua benda mustika
itu, dalam waktu yang singkat telah meninggal. Dengan begitu kedua benda itu merupakan suatu
cerita yang misterius.
Tak seorangpun yang dapat membuktikan kebenarannya dan jadilah Tenggoret Kumala dan Kupu2
Emas itu suatu dongengan yang hebat didunia….”
Nona itu alihkan pandang matanya kearah lukisan di dinding dan barkata pula, “Kecuali keadaan
kamar yang begini bersih, pun lukisan di dinding itu memang mencurigaKan sekali.”
Kim Loji dan orangtua jenggot panjang segera berpaling memandang kearah lukisan di dinding.
Tetapi mereka tak tahu rahasianya.
“Apakah kalian melihat sesuatu yang mencurigakan?” tanya Ting Ling.
Lim loji dan orangtua jenggot panjang saling berpandangan dan mengangkat bahu.
“Harap kalian perhatikan, adakah tinta hitam pada lukisan itu benar-benar telah bertus-ratus tahun
umurnya?” tanya Ting Ling pula.
“Hai, benar,” tiba-tiba Kim Loji menepuk pahanya yang tinggal satu.” dunia persilatan
menyohorkan kedua gadis lembah
Raja-setan itu luar biasa cerdiknnya. Hari ini setelah bertemu, memang baru dapat kubuktikan
kebenaranya”
“Ah, janganlah lo cianpwe keliwat menyanjung begitu.” Ting Ling menghela napas. “kita sudah
menjadi seperti ikan yang masuk jaring. Barangsiapa masuk kedalam makam ini jangan menaruh
harap an untuk dapat keluar dengan selamat.”
Sambut Kim Loji, “Walaupun bukan Ko Tok lojin, tetapi karena dapat mengelabuhi seluruh kaum
persilatan, orang itu memang patut kita temui!”
“Soal itu aku belum dapat memecahkan. Sudilah kiranya lo cianpwe memberi petunjuk,” kata Ting
Ling.
“Ah, jangan memuji aku,” kata Kim Loji, “aku tak tahu dengan tujuan apa orang itu telah
menggunakan seluruh pikiran dan seluruh harta bendanya untuk membangun makam ini?”
Jawab Ting Ling, “Untuk memikat perhatian seluruh kaum persilatan masuk kedalam malam ini
maka dia telah menyiarkan cerita tentang Tenggoret Kumala dan Kupu2 Emas. Rupanya tujuannya
telah tercapai.
Kecerdasan orang itu memang hebat sekali.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
“Sttt…. ada orang….” tiba-tiba orangtua jtnggot panjang menukas omongan si nona.
Sesosok tubuh melesat kedalam ruangan dan begitu tegak ditanah, sambil lintangkan kedua
tangan untuk melindungi dada, orang itu berseru, “Nona Ting, Ting Ling mendengus, “Hm, apakah
engkau kira aku sudah mati?”
habis berkara ia berpaling kearah Kim Loji, “Lo cianpwe, sebaiknya didayakan untuk menutup
dinding yang bobol itu agar sinarnya jangan memancar keluar dan menarik perhatian orang.”
Kim Loji mengangkat sebuah dingklik lalu ditutupkan pada benjolan lubang.
“Lo-cianpwe, yang datang ini adalah Ca Giok, putera dari marga Ca di Ik-pak. Keluarga Ca
termasyhur dengan pukulan Pen-poll sin kun. Tentulah lo cianpwe kenal, bukan?” kata Ting Ling
memperkenalkan pendatang itu.
“Anak muda dari angkatan sekarang, banvak yang tak kukenal,” sahut orangtua jenggot panjang.
“Ca sau-pohcu ini telah mendapatkan pelajaran ilmu pukulan sakti itu dari keluarganya.
Silahkan engkau mencobanya sampai sepuluh jurus saja,” tiba-tiba Ting Ling berkata pula.
Melihat orangtua jenggot panjang itu bertubuh tinggi kekar, wajah merah kan kening menonjol
tinggi, tahulah
Ca Gok bahwa orangtua itu tentu seorang jago yang tinggi ilmu lwekangnya.
Buru-buru ia berseru, “Ah, nona Ting, mengapa begitu “
Tetapi belum sempat ia berkata, orangtua jenggot panjang itupun sudah lepaskan hantaman
kepadanya.”
Dalam keadaan terpaksa, Ci Gokpun segera menangkis dengan jurus thian-cut-tho ta atau Tiang-
langit-menyangah pagoda.
Tangannya menyelinap kesamping untuk mencengkeram pergelangan tangan orangtua jenggot
panjang itu.
Orangtua jenggot panjang mendengus Tiba-tiba ia merobah gerakannya. Sepasang tangannya
serempak menghantam, sekaligus masing-masing melancarkan lima buah pukulan.
Gerakannya cepat sekali dan tenagapun sekeras palu besi. Karena dihambur oleh sepasang tangan
besi, terpaksa Ca Giok mundur lima langkah.
Setelah melancarkan lima buah serangan, orangtua jenggot panjang itupun hentikan serangannya
dan menyurut kembali ketempatnya semula seraya berkata, “Dalam seratus jurus, aku tentu dapat
mengambil jiwanya.”
Ting Ling hanya tertawa lalu berpaling kepada orangtua alis panjang, “Lo-cianpwe, kalau suruh
kera peliharaanmu yang menyerangnya. entah harus menggunakan berapa jurus lamanya?”
Sejak masuk kedalam ruang rahasia itu. orangtua alis panjang selalu duduk bersama kera bulu
emas.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ia pejamkan mata menyalurkan tenaga dan tak menghiraukan pembicaraan mereka. Begitu
mendengar pertanyaan Ting Ling, baru ia membuka mata dan memandang Ca Giok, serunya, “O,
orang itu?”
“Walaupun usianya muda tetapi ilmusilatnya amat sakti,” kata Ting Ling.
Orangtua alis panjang tertawa dingin lalu menepuk punggung kera bulu emas.
Saat itu Ca Giok masih terengahengah karena habis menyam but sepuluh buah pukulan orangtua
jenggot panjang.
Mendengar Ting Ling hendak menyuruh orang menyerangnya lagi, buru-buru ia berseru, “Nona
Ting, aku hendak memberitahu suatu hal kepadamu ,. ….”
“Nanti saja kita bicara!” sahut Ting Ling. Ca Giokpun tak dapat bicara karena saat itu kera bulu
emaspun sudah menyerangnya.
Iapun cepat melepaskan sebuah pukulan Pek-poh-sin kun atau Pukulan-sakti-jarak-seratus
langkah, sembari menghindar kesamping dan menyambar sebuah po-ci dari perak.
Menerima pukulan pek-poh-sin-kun, gemetarlah tubuh kera itu tetapi karena kulitnya tebal sekali,
ia tak sampai terluka.
Setelah berhenti sejenak iapun menyerang lagi.
Ca Giok kerahkan tenaga dalam, mengangkat poci perak dan berseru nyaring, “Nona Ting, kalau
engkau tak mau mencegah binatang itu, jangan sesalkan aku kalau kulukainya!”
Ting Ling hanya tertawa dingin, “Kalau engkau membunuhnya masakan yang punya akan tinggal
diam?”
Mendengar itu Ca Giok terbeliak. Tetapi belum sempat ia menjawab, kera bulu emas itupun sudah
menyerangnya lagi.
Cepat ia menghindar lalu hantamkan poci perak itu.
Ca Giok dapat menangkap peringatan Ting Ling. Dia tak mau menggunakan seluruh tenaganya
karena kuatir akan membinasakan kera itu. Suatu hal yang tentu dapat menimbulkan kemarahan
pemiliknya. Dengan pertimbangan itu, ia hanya menggunakan lima bagian tenaganya saja.
Kera menangkis dan poci perak itupun terlempar kesamping, lalu ulurkan tangannya hendak
mencengkeram dada Ca Giok.
Pemuda itu terkejut. Cepat ia mengempos napas dan menyurutkan dada untuk menghindari cakar
kera yang runcing.
Setelah itu ia balas menabas. Dia bergerak cepat sekali sehingga kera itu tak sempat menghindar.
Lengannyapun kena tertabas tangan Ca Giok.
Tetapi langkah kejut pemuda itu ketika tangannya serasa membentur keping baja yang keras
sekali.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Bahkan lengan binatang itupun mempunyai daya membal sehingga membuat Ca Giok terpental
mundur selangkah.
Dan serempak itu, tangan kiri binatang itupun sudah merangsangnya lagi.
Untunglah Ca Giok sudah banyak pengalaman dalam pertempuran. Tahu kulit kera itu kebal, ia
menggunakan tenaga membal dari pukulannya tadi untuk loncat berjumpalitan kebelakang dan
melayang turun keatas meja.
Tetapi kera itu tajam sekali nalurinya.
Segera cakarnya digerak gerakkan untuk menyambar nyambar. Kursi dan mejapun berhamburan
tumpah ruah.
Ca Giok mengambil keuntungan dari alat perabot dalam ruang itu untuk melindungi diri.
Ia melontarkan apa saja yang dapat diraihnya dan setempo iapun mencuri kesempatan untuk
balas menghantam.
Tetapi kera bulu emas itu tebal sekali kulitnya. Walaupun menderita beberapa kali pukulan ia tetap
tak apa-apa.
Sedangkan tangannya, luar biasa kuatnya. Setiap tambarannya tentu menimbulkan desir angin
yang menderu-deru.
Ca Giok yang mengetahui tak berguna adu kekuatan terpaksa harus main menghindar. Dengan
demikian tampaklah
ia terdesak oleh kera itu.
Melihat Ca Giok pontang panting tak keruan. Ting Lingpun tertawa mengikik. Seberapa saat ke
mudiain ia berseru kepada orangtua alis panjang, “Lo-cianpwe, harap hentikan kera itu!”
Sejenak berbatuk-batuk, orangtua alis panjang itu lalu bertepuk tangan dan mulutnya bercuit-cuit,
lalu membentak.
Tiba-tiba kera bulu emas yang tengah menyerang Ca Giok itupun segera berputar tubuh dan
dengan bergoyang gontai menghampiri tuannya.
Dengan napas terengah-engah, Ca Giokpun berseru, “Nona Ting . .
“Mengapa?” tanya Ting Ling hambar, “sekarang engkau boleh bilang.”
Melihat sikap Ting Ling yang seolah olah memberi perintah kepada orang-orang tua itu, diam-diam
Ca Giok heran juga.
Pikirnya, “Bagaimana mungkin orangtua jenggot panjang dan orangtua alis panjang begitu
menurut perintah nona itu….”
Namun ia tak berani menanyakan hal itu dan melainkan tertawa, “Nona Ting, apakah nona
berjumpa dengan ayahku?”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
“Hm, tidak ada omongan engkau cari bahan mengomong, Ya, memang berjumpa tapi mungkin
saat ini dia sudah mati.”
Ca Giok tertegun, “Apakah nona bergurau?”
“Siapa yang akan bergurau dengan engkau? Itu memang sungguh suatu kenyataan.
Dia telah didesak mati2an oleh Han Ping. Nah, coba engkau pikir, apakah dia masih dapat hidup?”
Mendengar ayahnya bertempur dengan Han Ping, hati Ca Giok malah lega, ia tertawa, “Sekalipun
kepandaian Han Ping itu tinggi tetapi jika dapat mengalahkan ayah, itu sungguh tak mungkin “
“Bagaimana kepandaian ayahmu kalau dibanding dengan Ih Thian-heng?” tanya Ting Ling pula.
“Kalau dinilai dari ilmu silatnya, mereka seimbang. Tetapi kecerdikan Ih Thian-heng memang jauh
diatas ayah.”
“Beberapa hari yang lalu, Han Ping telah mengunjukkan ilmu permainan pedang yang luar biasa
mengejutkan seluruh tokoh-tokoh
dalam gelangang pertempuran besar. Rupanya engkau sendiri juga melihatnya, masakan sudah
lupa?
Sedang Ih Thian-heng saja harus tunduk dan kagum masakan ayahmu?”
Ca Giok tertegun diam. Apa yang dikatakan nona itu memang benar. Tetapi ia tahu bahwa tenaga-
dalam ayahnya tinggi sekali.
Sedang ilmu pukulan Pek-pofa-sin-kun dari merga Ca, hebat bukan main. Sekalipun tak dapat
menang dari Ih Thian-heng tetapipun dapat melindungi diri.
Ca Giok seorang pemuda yang licin. Melihat gelagat ia tak mau berbantah lagi dengan nona itu.
“Kutahu hatimu tentu masih belum puas, “Ting Ling tertawa.” tetapi jangan lupa bahwa Han Ping
itupun masih mempunyai pedang pusaka Pemutus-asmara.”
Ca Giok tertawa hambar, “Saat ini dalam makam tua disini penuh dengan alat-alat pekakas yang
berbahaya.
Betapapun erat hubungan orang hingga seperti ayah dan anak, tetapi juga tak dapat saling
memberi bantuan.
Ting Ling tertawa, “Ih, engkau dapat memikir terang juga”
Sejenak mengeliarkau pandang mata, nona itupun melanjutkan pula, “Mengapa engkau hanya
seorang diri saja?
Dimana Ih Thian-heng? Beri tahu terus terang, akupun akan memberitahu kepadamu tentang
keadaan ayahmu yang sebenarnya”
“Sejak engkau melarikan diri, Ih Thian heng marah sekali. Dua orang anak buahnya dihantam mati
lalu menyuruh seluruh orang-orangnya mencarimu kesegenap penjuru. Bermula aku bersama
ayahku tetapi ditengah jalan bertemu dengan ketua Lembah-seribu racun. Ayah dan ketuaTiraikasih Website http://kangzusi.com/
Lembah-seribu-racun saling berhantam. Akupun juga berbaku bantam sampai tiga jurus dengan
pengikut2 ketua Lembah-seribu-racun “Tak perlu kutanya, tentu engkaulah yang kalah,” kata Ting
Ling.
“Tiga jurus, belum ada yang kalah dan menang. Tetapi perkelahian iiu telah menyebabkan aku
terpisah dengan ayah. Aku tersesat jalan dan membelok kemari sehingga tanpa sengaja bertemu
dengan nona.”
Ting Ling mencibirkan bibir, “Mengapa engkau tak mengakui kalau engkau kalah dan dikejar
musuh sehingga menyusup kemari?”
“Silahkan saja nona mengatakan bagamana. Aku tak memasukkan dalam hati. Tetapi kuminta
nona suka memberitahu dimana berad-nya ayahku itu.”
“Ya, baiklah,” kata Ting Ling, “dengan terus terang kuberitahu bahwa aku benar-benar tak pernah
melihatnya.”
“Apakah omongan nona tadi hanya isapan jempol belaka?” Ca Giok menegas.
“Siapa bilang isapan jempol?” kata Ting Ling, “yang jelas Han Ping tidak memburu ayahmu.”
“Lalu siapa?”
“Nyo Bun-giau serupa dengan ayahmu, keduanya golongan macan hitam.”
Ca Giok tertawa, “Harap nona jangan lupa. Ayahmu dan ayahku itu tokoh termasyhur diduma
persilatan.
Nama dari Lembah-raja-setan sesungguhnya tak dibawah marga Ca.”
Tiba-tiba Ting Ling berpaling kearah orangtua jenggot panjang dan berseru, “Maju dan serang dia
sampai tiga jurus!”
Tanpa bicara apa-apa, orangtua jenggot panjang itu terus maju menyerang Ca Giok sampai tiga
jurus.
Hebatnya bukan main sehingga Ca Giok sampai mundur enam langkah. Darah dalam tubuhnya
bergolak keras, mata berkunang kunang.
Untung setelah tiga jurus, orangtua jenggot panjang itupun hentikan serangannya dan mundur
kembali ketempatnya semula.
Ca Giok menghela napas panjang, memandang Ting Ling dan berkata, “Orangtua ini, hebat sekali
pukulannya.”
Ting Ling hanya tertawa hambar, “Kalau engkau bicara tak keruan, tentu akan kusuruh dia
membunuhmu.”
“Ya, dia memang mampu.”
“Nah, kalau engkau sudah tahu, baiklah,” kata Ting Ling, “engkau jawablah beberapa
pertanyaanku tetapi harus mengatakan sejujurnya. Nanti tentu kubebaskan.”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
“Seorang lelaki dapat bersikap keras, pun dapat lunak. Silahkan engkau bertanya.”
“Engkau memang pandai merangkai kata-kata dan mengambil muka orang, “kata Ting Ling,” dan
pandai berbohong.
Tetapi engkau harus mengerti, bahwa justeru aku ini paling dapat meneliti kebohongan orang.
Tiap patah kata engkau berkata bohong, tentu akan kupotong jari tanganmu.
“Jangan kuatir,” kata Ca Giok, “orang’ yang berada dalam makam tua ini memang tipis
harapannya dapat keluar lagi dengan selamat. Disini memang merupakan gelanggang perebutan
jiwa dengan menggunakan ilmu kepandaian.
Kalau aku tak ingin cepat mati lebih dulu, tentu takkan membohongi engkau.”
“Hm. tak kira kalau engkau masih bersikap begitu perwira,” kata Ting Ling.
Tiba-tiba nona itu kerutkan wajah dan melanjutkan berkata, “Ih thian-heng, ayahmu dan Nyo Bun-
giau, dengan tujuan apa menyebarkan surat kepada tokoh-tokoh persilatan, mengundang mereka
datang ke makam tua sini?”
“Bagaimana engkau tahu kalau ayah dan Ih Thian-heng mengundang mereka’! Ca Giok balas
dapat tanya.
Hm, dengan menerka saja tentu sudah dapat menerka tepat.”
“Benar, engkau memang menerka tepat,” kata Ca Giok,” lh Thian heng hendak meminjam alat-alat
rahasia dalam makam ini untuk membinasakan seluruh tokoh persilatan!”
“Ya, hai itu memang aku sudah tahu,” kata Ting Ling, “yang kutanyakan kepadamu yalah tentang
rencananya.”
“Pada setiap pintu terowongan, ia selalu menyuruh seorang anak buah yang mahir menggunakan
senjata rahasia beracun untuk menjaga. Tak peduli siapa saja yang masuk pintu terowongan,
tentu akan dihantam dengan senjata rahasia beracun.
Alat rahasia yang sudah hebat di tangan dengan seorang penjaga yang berilmu tinggi, benar-
benar merupakan pintu maut bagi setiap orang persilatan yang melalui pintu itu. betapapun
tingginya kepandaian orang itu.”
“Rencananya itu memang bagus. Sayang dalam dunia masih banyak orang yang lebih cerdas dari
dia,” dengus Ting Ling.
“Benar,” sahut Ca Giok, “aku sendiri memang tak percaya bahwa di dunia ini terdapat orang yang
paling uomor satu.
Karena setiap orang itu mempunyai bakat dan kecerdasan sendiri2.”
“Pandanganku justeru berlainan dengan engkau,” kata Ting Ling.
“Aku ingin mendengar alasan nona”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
“Ilmu kepandaian yang dicapai orang dengan bakat kecerdasan memang mempunyai hubungan.
Maka sejak dahulu sampai sekarang, belum pernah terdapat orang yang tidak cerdas dapat
memiliki kepandaian yang tinggi.”
Saat itu Ca Giok tak mau adu lidah dengan Ting Ling maka ia hanya tertawa saja, “Mungkin
pendapat ia lebih benar.”
“Hm, memang sehenarnya aku harus dapat melebihi engkau!” dengus Ting Ling.
Tiba-tiba terdengar suara nyaring, “Giok-ji…. Giok ji….”
Ca Giok terkejut. Giok ji artinya anak Giok, yalah panggilan yang biasa dilakukan ayahnya
kepadanya.
Segera ia mengempos semangat dan berseru nyariug, “Yah, apakah engkau?”
Wut, iapun segera lepaskan pukulan Pek-poh-sin-kun kearah Kim Loji.
Baru saja Kim Loji menambal bobolan dinding atau begitu mendengar deru angin pukulan terpaksa
cepat-cepat ia menyingkir kesamping.
Habis memukul, Ca Giokpun segera loncat ketempat bobolan dinding dan terus menghantam
penutupnya.
Brak…. penyumbat dinding itupun berantakan.
“Lekas bunuh dia, makin cepat makin baik!” segera Ting Ling memberi perintah kepada orangtua
jenggot panjang.
Tetapi orangtua ‘jenggot panjang itu kerutkan dahi seolah-olah segan melakukan perintah Ting
Ling. Tetapi sesaat kemudian akhirnya ia melesat mengejar Ca Giok.
Setelah menyingkir kesamping, Kim Loji terus membabat dengan golok tetapi saat itu Ca Giok
yang sudah melayang ditanah, segera berputar tubuh, menghindari tabasan golok lalu
menghantam sekuat-kuatnya kepada orangtua jenggot panjang.
Orangtua jenggot panjang menangkis. Tetapi walaupun dapat menahan pukulan Pek-poh-sin kun
namua tak urung terpental juga di ketanah.
Tiba-tiba sesosok tubuh melesat masuk kedalam lubang itu dan terus menghantam Kim Loji Cepat
sekali orang itu bergerak sehingga tahu-tahu Kim lo ji sudah direbut goloknya. Dan secepat itu
pula pendatang itupun sudah menghadang dimuka Ca Giok, memutar golok menyeraug orangtua
jenggot panjang yang mendesak Ca Giok.
Ting Ling cepat mendekat orangtua alis panjang dan membisikinya, “Lo cianpwe, harap lekas
suruh kera bulu emas turun tangan “
Orangtua alis panjang itu tertawa gelak-gelak, “Jangan kuatir nak, sekalipun pendatang itu sakti
sekali tetapi aku tentu mempunyai daya untuk menghadapinya.”
“Bukankah engkau tak mengerti ilmusilat?” tanya Ting Ling heran.
Jawab orangtua alis panjang, “Apakah membunuh orang itu harus menggunakan ilmu silat saja?Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
asal engkau dapat membuatnya dekat kepadaku dalam jarak tiga langkah, aku tentu dapat
menguasainya.”
Saat itu pendatang tadi hentikan serangannya dan berpaling kepada Ca Giok, “Nak, apakah
engkau terluka?”
“Tidak….,” sahut Ca Giok. Kemudian ia menunjuk pada orangtua jenggot panjang, “Orang itu sakti
sekali,” kalau menghadapinya harap ayah hati-hati.”
Sejenak memandang kepada orangtua jenggot panjang, ayah Ca Giok, berseru, “Hai, apakah
saudara bukan saudara Theng Ban-li si Pukulan besi itu?”
Orangtua jenggot panjang tertawa, “Ah, kiranya saudara Ca masih ingat kepadaku.”
“Ai, jenggot saudara Theng yang indah itu sungguh tiada keduanya dalam dunia.
Karena memandang jenggot itulah maka aku terhindar akan saudara Theng. Teringat ketika
pertemuan digunung Heng-san kita saling menuturkan pengalaman masing-masing.”
Sambil menjuntaikan jenggotnya yang bodol, orang she Theng itu itu tertawa, “Ah, jenggot itu
sekarang sudah habis.”
“Ah. saudara Taeng masih tetap sama dengan dahulu….kata Ca Cu lalu berpaling kearah Ca Giok,
“Inilah Theng supeh, dengan sepasang pukulan besi dia pernah mengaduk daerah Kwan-gwa dan
tokoh-tokoh persilatan berbagai aliran. Hayo, lekas engkau memberi hormat kepadanya.”
Ca Giokpun segera melakukan perintah ayah. Tersipu-sipu ia memberi hormat, “Harap Theng
locianpwe suka memberi maaf.”
Theng Ban-li tertawa, “Harimau pasti takkan beranak anjing. Kepandaian hian-tit, sungguh
membuat aku kagum sekali.”
Ca Giok hanya tersenyum, “Ah, harap Theng supeh jangan keliwat memuji.
Kalau supeh tak bermurah hati aku tentu sudah terluka.”
Ca Cu-jing cepat dapat mengetahui suasana dalam ruang itu. Dihatnya orangtua alis panjang itu
duduk meramkan mata.
Sikapnya membuat orang sukar menduga betapakah ilmu kepandaian orang itu.
Diam-diam Ca Cu-jing heran mengapa Theng Ban-li mau menerima perintah Ting Ling.
Namun sebagai seorang tak mau cepat-cepat membuka rahasia orang sebelum tahu duduk
persoalannya yang jelas.
Sambil memberi salam kepada Ting Ling, ia berseru, “Ah, kepandaian hiat-titli sungguh membuat
kita orang-orang tua ini kagum dan malu hati.”
Selama Ca Cu jing hercakap cakap dengan Theng Ban-li tadi, diam-diam Ting Ling sudah
memperhitungkan kekuatan kedua belah pigak.
Walaupun sakti tetapi Theng Ban-li itu ternyata bersahabat baik dengan Ca Cu-jing.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sedang walaupun orangtua alis panjang itu manhir dalam ilmu racun tetapi dia tak mengerti
ilmusilat.
Kalau sungguh terjadi pertempuran, tentu tak berguna. Sedang ia sendiri bersama Kim Loji tetap
bukan tandingan Ca Cu jing. Dan apabila ia mendesak pada Theng Ban-h untuk bertindak
kemungkinan orangtua jenggot panjang itu tentu akan nekad menentangnya. ….
Sekalipun masih muda tetapi Ting Ling memang luar biasa cerdasnya.
Dalam menghadapi kesulitan yang bagaimanapun sukarnya ia tetapi berlaku tenang.
“Terima kasih paman Ca,” serunya tersenyum Berkata pula Cujing, “Sejak masuk kedalam makam
ini, ih Thian-heng semakin gila.
Bukan saja mempunyai rencana hendak menumpas seluruh kaum persilatan, pun Nyo Bun-giau
dan diriku, juga akan dibunuhnya.
Dia memang berhati ganas dan beracun seperti ular berbisa. Sukar untuk diajak kerja sama….”
“Ting Ling tertawa, “Kalau paman dapat menyadari hai itu, aku sungguh gembira sekali.”
“Ayahmu juga sudah masuk kedalam makam ini, berita itu tentulah engkau sudah tahu,” kata Ca
Cu jing pula.
“O. apakah ayah juga datang? Bilakah paman berjumpa dengan ayah “ tanya Ting Ling.
Ca Cuing tertawa, “Suara suitan aneh dari ayahmu, tiada orang didunia ini yang dapat meniru.
Aku mendengar suara suitannya, apakah hal itu tidak seperti melihatnya wajahnya?”
“Tetapi memang kuharap ayah datang kemari agar aku dapat menceritakan tentang pengalaman
pahit yang kuderita….”
Tiba-tiba angin berkesiur dan seorang yang tubuhnya berlumuran darah menerobos masuk.
Rambutnya kusut masai, pakaian compang camping dan darah yang berhamburan mengotori
mukanya itu, menyebabkan wajahnya yang aseli tak kelihatan.
Walaupun Ca Cu-jing luas pengalaman tetapi untuk sesaat ia tetap tak dapat mengenali orang itu.
Suasana dalam makam itu penuh diselimuti hawa pembunuhan Maka setiap orang selalu siap
siaga menjaga diri.
Munculnya pendatang yang menyeramkan itu, tak disambut dingan tindakan yang bersikap
hendak menolongnya.
Tampak tubuh pendatang itu terhuyung-huyung. Rupanya dia sudah tak kuat untuk berdiri tegak.
Sambil menghampiri, Ca Cu-jing menegurnya, “Siapakah engkau?”
Karena lukanya parah, orang itu Pejamkan mata dan menyahut dengan sisa tenaga yang masih
dipunyai, “Ca Cu-jing”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ca Cu-jing terkejut. Diam-diam ia berpikir, Memang banyak tokoh persilatan yang kenal
kepadanya.
Tetapi yang langsung memanggil namanya begitu saja, sedikit sekali jumlahnya. Kalau orang itu
memanggilnya begitu, tentulah seorang yang hebat. “Siapa saudara ini? Mengapa memanggil
namaku?” tegurnya.
Orang itu menggeliat bangun dan melangkah beberapa tindak, medekap meja dan berpaling,
“Apakah saudara Ca benar-benar tak kenal lagi padaku?”
Ca Giok seperti kenal dengan nada suara orang itu tetapi sesaat ia masih belum ingat sekali.
“Saudara menderita luka parah sekali. Harap jangan banyak bicara. Bolehkah aku membantu
mengobati luka saudara?” serunya.
Dengan susah payah orang itu menjawab, “Tubuhku telah menderita tujuhbelas tusukan pedang.
Sekalipun makan obat dewa, mungkin tak dapat menolong jiwaku.
Walaupun sudah mendekap meja tetapi tubuh orang itu tetap gemetar ketika bicara.
Ca Cu-jing buru-buru menyanggahnya, “Saudara menderita tujuh belas tusukan pedang namun
masih kuat bertahan benar-benar
saudara hebat sekali.”
Setelah mendapat bantuan tangan Ca Cu jing. orang itu dapat berdiri tegak, serunya: Beberapa
nadi dalam tubuhku sudah putus, darah yang masih tersisa dalam tubuhku, segera akan
mengalir….” Bluk, ia tak dapat melanjutkan katanya karena saat itu iapun rubuh.
Ca Cu jing memeriksa luka orang itu dan dapatkan bahwa hampir sekujur tubuhnya berhias luka
berat sehingga pakaiannya merah dengan darah.
Ca Cu jing tak mempedulikan kematian orang itu Karena bagaimanapun dengan menderita
sehebat itu, tak mungkin dapat ditolong jiwanya. Yang menjadi pemikirannya yalah siapakah yang
membunuhnya? Ya, ia ingin tahu.
Segera ia lekatkan telapak tangannya ke punggung orang itu dan menyalurkan tenaga dalam,
serunya, “Luka yang begitu hebat, telah menyebabkan nada suara saudara agak berobah sehingga
aku benar-benar tak dapat mengenali saudara.
Harap saudara suka memberitahu nama saudara agar kelak apabila bertemu dengan putera
saudara, dapat kuberitahukan kepadanya.”
Serangkum hawa hangat segera memancar pada jalan darah di pusar orang itu sehingga dia dapat
siuman lagi.
“Aku Thay ou Ong…. “ belum selesai berkata tiba-tiba orang itu muntah darah.
Ca Cu-jing lerkejut, serunya, “Saudara ini saudara Ong Tay-ki dari telaga Thay-cu?”
“Benar….”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
“Saudara Ong terluka ditangan siapa?”
Baru Ong Tay-ki hendak menjawab tiba-tiba dari lubang bobolan dinding terdengar suara orang
berseru dingin, “Terluka ditanganku “
Cepat Ca Cu-jing berpaling dan tampak seorang lelaki berjubah panjang, berjalan menghampiri.
Tetapi serempak dengan itu ia merasakan tubuh Ong Tay-ki yang disanggah dalam tangannya itu
mengulai kesamping terus terkapar jatuh ke tanah Can putuslah jiwanya.
Pelahan lahan Ca Gu jing mengangkat tangan kanan, dijulurkan jurus kemuka dada. Diam-diam ia
menyalurkan tenaga-dalam Pek poh-sin kun. Asal pendatang itu hendak menyerang iapun hendak
mendahului menghantamnya.
“Kalau sudaura dapat memberi tusukan tujuhbelas buah kepada Ong Tay-ki, jelas saudara tentu
seorang tokoh yang ternama.
Bolehkah aku mendapat tahu nama saudara yang mulia?” serunya. Sebagai seorang yang
pengalaman, cepat ia dapat mengetahui bahwa pendatang itu mengenakan wajah palsu dati
kedok kulit.
Pendatang itu mencekal sebatang pedang di tangan kanan sedang tangan kiri mengusap kedok
mukanya lalu tertawa nyaring, “Saudara Ca, mengapa sama sekali engkau tak dapat mengenali
nada suaraku?”
Demi melihat wajah orang itu, gemetarlah Ca Cu-jing, serunya, “O, saudara Ih?”
Ya, yang muncul itu memang Ih Thian-heng, jago yang menggangap dirinya sebagai tokoh nomor
satu diduma.
Dia memang merencanakan untuk menjaring seluruh orang persilatan kedalam makam itu untuk
dibasmi.
“Benar. memang aku,” Ih Thian-heng tertawa.
Tokoh itu mengeliarkan pandang mata kedalam ruang.
Ca Cujingpun segera menurunkan tangannya yang menjulur kemuka dada itu lalu tertawa,
“Karena saudara Ih menggunakan logat daerah, sudah tentu aku tak dapat menangkap
maksudnya.
Orang persilatan mengatakan bahwa saudara Ih paham semua logat bahasa daerah, ternyata
memang benar.”
“Ah, saudara Ca keliwat memuji….“ kata Ih Thian-heng, “tetapi apakah saudara Ca pernah
berjumpa dengan Nyo Bun-giau “
Ca Cu-jing gelengkan kepala, “Tidak, aku tak pernah kesampokan dengan saudara Nyo.”
“Bilakah saudara Ca menemukan nona Ting itu?” Ih Thian heng tertawa dingin.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
“Aku baru saja tiba disini….” kata Ca Cu jin seraya memandang kearah Theng Ban-li dan berkata,
“Dia adalah Pukulan-besi Theng Ban-li dari Kwan-gwa, seorang tokoh ternama dari gunung Pek-
san.”
Memandang kepada mayat itu, Ih Thian-heng berseru, “Bagus, bagus, saudara Theng ternyata
juga datang kemari mengantar jiwa.
Theng Ban-li mejulaikan jenggotnya, berkata, “Kalau bicara, harap saudara Ih sedikit pakai
kesungkanan”
Tiba-tiba Ih Thian-heng tertawa dan mengangkat, tangan menunjuk Ting Ling, “Makam ini
merupakan sebuah tempat yang melingkar-lingkar bundar tak peduli nona akan bersembunyi
dimana, tentu tak dapat lolos dari tanganku.”
Ting Ling melihat alis Ih Thian-heng mengerut hawa pembunuhan. Sikapnyapun mengunjuk
hendak segera turun tangan.
Tetapi ia tak tahu siapakah yang akan dibunuh. Kemungkinan Theng Ban-h, kemungkin ia sendiri.
Tetapi Ca Cu-jing pun juga bukannya tak mungkin.
“Apakah engkau hendak mencari Nyo Bun-giau?” akhirnya ia bertanya.
“Dimana dia?”
“Aku pernah berjumpa tetapi tak tahu sekarang ini dia masih hidup atau sudah mati?”
“’Apakah dia berjumpa dengan dara baju ungu dari perguruan Lam-hay bun itu?”
“Bukan,” Ting Ling gelengkan kepala.”Ketua Lembah-seribu racun?”
“Juga bukan….”
JILID 3
Musuh bermusuh.
“Ping-ji, tunggulah!” teriak Kim loji, “kita sama-sama pergi!” ia terus berbangkit dan mengikuti
dibelakang Han Ping.
Sejenak merenung, Han Ping berkata, “Lo-cianpwe ini tak mengerti ilmusilat, lebih baik paman
tinggal disini untuk melindunginya!”
Kim Ioji tersenyum, “Baik, mungkin kalau aku ikut, tentu merepotkan engkau….”
Kemudian berhenti sejenak, ia meLanjutkan berkata pula, “Kalau menghadapi bahaya, harap
engkau lekas-lekas kembali kemari…. “
Lalu dengan kata bisik-bisik ia memberi pesan agar Han Ping jangan gegabah bertempur
dengan orang apabila tidak perlu.
Han Ping mengiakan.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
“Menurut pengamatanku,” kata Kim loji, “nona itu tentu menderita sesuatu sehingga ia
terpaksa menerima menjadi menantu dari ketua Lembah-seribu racun. Tentulah bukan atas
kehendaknya sendiri.”
Han Ping memang mengindahkan pamannya itu. Dia tak mau membantah dan mengatakan
akan melihat bagaimana keadaan yang sesungguhnya, “Yang memangil aku tadi, tentulah seorang
gadis yang tengah menderita luka.”
Kim loji menghela napas, “Ping ji, bukan aku seorang yang banyak curiga tetapi aku memang
sudah melihat banyak makan asam garam dunia persilatan. Pergilah tetapi harus hati-hati.”
Han Ping mengangguk lalu ayunkan langkah menuju kearah suara yang memanggil namanya
tadi.
Yang dilaluinya itu sebuah jalan terowongan yang lebarnya hanya beberapa depa. Suara gadis
yang memanggil namanya dan taburan senjata rahasia bukan berasal dari satu arah.
Setelah berjalan tiga empat tombak, Han Ping tetapi belum menemukan suatu apa. Diam-diam
ia heran, pikirnya, “Aneh, apakah dia sudah terbunuh?
“Hai, siapakah yang memanggil aku tadi?” teriaknya dengan keras.
Tetapi yang menjawab hanyalah kumandang suara teriakannya. Gadis yang dipanggil itu sama
sekali tak kedengaran suaranya.
“Aneh,” pikirnya.
Han Ping mendengus dingin. Ia memandang kemuka dengan seksama. Ternyata tiga tombak
disebelah muka pada kedua tepi terowongan, tampak seperti dilintas oleh sebuah simpang jalan.
Dia heran dan makin keras dugaannya bahwa makam itu tentu telah dimasuki orang.
Ketika tiba diujung terowangan, tiba-tiba dari jalan yang melintang itu muncul sesosok tubuh
yang lari menyongsong.
Han Ping cepat berhenti, menghindar kesamping. Bermula ia hendak membiarkan orang itu
lewat tetapi karena dibelakangnya terdapat Kim loji dan orangtua alis panjang, Han Pingpun buru-
buru melintang ditengah jalan lagi.
Cepat sekali orang itu tiba. Melihat ada orang menghadang ditengah jalan, tanpa berkata apa-
apa, dia terus menghantam.
Sambil menangkis Han Ping membetaknya, “Huh, mengapa datang terus memukul?”
Ketika pukulan saling beradu, orang itu tersurut mundur dua langkah. Ketika memperhatikan,
Han Ping melihat pendatang itu seorang bertubuh kecil, mengenakan pakaian pendek dan
punggung menyangul sebuah bungkusan panjang.
Orang itu tertegun. Rupanya dia terkejut melihat kesaktian Han Ping, “Siapa engkau!”
bentaknya marah.
Han Ping tertawa dan balas bertanya, “Dan engkau sendiri siapa “
Diam-diam orang itu kerahkan tenaga dalam, siap hendak menghantam. Namun mulutnya
pura2 berkata, “Kita tak kenal, mengapa engkau menghadang jalanku?”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Han Ping terkesiap. Dia tak dapat menjawab pertanyaan orang yang memang tepat.
Tiba-tiba terdengar pula jeritan nyaring. Jeritan kematian. Lalu menyusul terdengar suara
tertawa panjang.
Pendatang yang bertubuh kecil itu rupanya gemetar mendengar jeritan itu. Dia berpaling dan
menjerit, “Ular ….,.!”- ia ulurkan tangan menyambar ketanah.
“Heh, hei, ular beracun ganas, jalan kearah kematian….,” tiba-tiba terdengar suara orang
tertawa dingin dan tahu-tahu pendatang yang dihadang Han Ping itupun rubuh ketanah.
Seekor ular kecil melesat dari tubuh orang itu dan meluncur lari. Rupanya orang itu telah
berhasil mencengkeram ular kecil tetapi sebelum sempat meremas, ular itu sudah menggigitnya
sehingga mati.
Walaupun tempat gelap sehingga tak dapat melihat jelas warna ular kecil itu tetapi Han Ping
menduga ular itu tentu ular peliharaan ketua Lembah-seribu-racun. Diam-diam Han Ping terkejut
akan kegesitan ular kecil itu dan racunnya yang luar biasa ganasnya.
Tiba-tiba ia mendapat pikiran lalu berteriak keras, “Leng lo cianpwe, apakah masih belum mulai
bergerak?”
Terdengar penyahutan yang bernada dingin, “Saat ini makam telah diliputi oleh hawa
pembunuhan, Karena memandang anak menantuku, kali ini kuampuni jiwamu. Tetapi kalau lain
kali bertemu lagi, tentu tak kuberi ampun.”
Seketika teringatlah Han Ping akan diri Siangkwan Wan-ceng. Mengapa nona itu tak
menampakkan diri? Sarentak ia berseru, “Harap Leng lo cianpwe tunggu dulu sebentar, aku masih
hendak mohon keterangan.”
SAmbil berkata ia terus lari menuju ketempat yang diduga tentu terdapat ketua Lembah seribu-
racun.
Tetapi tokoh dari Lembah-seribu-racun itu tak kedengaran suaranya.
“Siapa itu?” tiba-tiba dari jalan yang melintang terowongan terdengar suara bentakan bengis
dan meuyusul deru angin pukulah yang dahsyat.
Tetapi Han Ping sudah bersiap Sambil menangkis, iapun berkisar kesamping. dar, terdengar
letupan dari kedua pukulan yang beradu.
“Tua beracun, sudah duapuluh tahun tak muncul, sekarang jauh lebih hebat pukulanmu!” seru
orang itu.
JeJas dia salah sangka, mengira Han Pmg sebagai ketua Lembah-seribu-racun.
Han Ping terkejut, Dia tak tahu siapa orang itu. Tiba-tiba ia mendapat pikiran. Tegak tempelkan
tubuh paka dinding dan berdiam diri.
Beberapa saat kemudian terdengar pula orang itu berseru, “Ho, tua bangka beracun, sekalipun
tak mau menjawab, tetapi jangan harap engkau dapat mengelabuhi aku!”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Han Ping menyadari bahwa setiap orang yang masuk kedalam makam tua itu, kenal atau tak
kenal, tentu mengandung hati bermusuhan. Beberapa kali ia mendengar jeritan ngeri dari setiap
orang yang rubuh binasa.
Bahkan dengan mata kepala sendiri tadi ia menyaksikan ketua Lembah-seribu racun melepas
ular berbisa untuk membunuh orang.
Maka Han Pingpun berlaku hati-hati dan waspada.
Karena tak mendapat penyahutan, rupanya orang itu tak sabar. Terdengar ia ayunkan langkah
menghampiri.
Rupanya ia hendak memberi kesan bahwa ia berjalan pelahan maka langkah-kakinyapun
terdengar berat.
Tak berapa lama, langkah kaki itupun berhenti. Sebagai gantinya sesosok tubuh melayang
keluar.
Han Ping cepat hendak ayunkan pukulannya tetapi tiba-tiba ia teringat sesuatu. Orang itu
berjalan dengan langkah berat, tentulah hendak memasang perangkap.
Bluk…. orang itu membentur dinding disebelah depan dan rubuh. Semula Han Ping terkejut
tetapi setelah melihat dengan seksama barulah ia mengetahui bahwa yang melayang dan
membentur dinding itu hanya seperangkat tulang kerangka manusia.
Mayat itu dilemparkan orang dengan tenaga dalam. Apabila tadi Han Ping terus turun tangan
tentulah dia masuk perangkap.
‘Hm, orang-orang persilatan memang licik. Sekali tak hati tentu mati,” diam-diam ia menghela
napas.
Tiba-tiba sebatang korek melayang kesamping tengkorak itu. Apinya menyala terang.
Han Ping cepat menyurut mundur sampai dua tombak untuk menghindari sinar api.
Sesaat kemudian muncullah seorang lelaki tinggi besar. Dia melangkah pelahan-lahan ke
terowongan dan berdiri ditengah simpangan. Walaupun rambut dan jenggotnya sudah putih
namun sikapnya tetap perkasa.
Setelah memandang sekeliling beberapa saat, ia menengadahkan muka dan tertawa keras.
“Tua beracun,” serunya, “apa-apaan engkau main sembunyi seperti tikus begitu?
Apabila aku sudah keluar dari makam ini tentu akan kucopot papan nama Lembah-seribu-racun
disarangmu!”
Sekonyong-konyong dari arah terowongan disebelah muka terdengar suara lengking jeritan dan
derap kaki orang berlari.
Seorang dara baju hitam yang rambutnya terurai memanjang, lari tergopoh-gopoh.
Orang tinggi besar tiba-tiba lintangkan tangannya menghadang dan menyarabar dara itu.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Entah dara itu membiarkan dirinya dicekal atau memang sudah letih maka sampai begitu
mudah dicengkeram oleh orang tinggi besar itu seperti burung rajawali mencengkeram anak
ayam.
Dari sinar korek yang memancar terang, dapa lah Han Ping mengetahui bahwa gadis baju
hitam itu tak lain yalah Ting Ling, salah seorang kedua taci-beradik puteri Lembah Setan. Tetapi
mengapa Ting Ling, berada dalam makam situ dan mengapa pula tampaknya ia berlari-lari
sedemikian gopoh seperti melihat setan?
Rupanya karena merasa tak dapat meloloskan diri, Ting Lingpun memejamkan mata dan diam.
Orangtua tinggi besar itu menutuk jalandarah Ting Ling lalu ditaruh ditempat yang gelap
Tetapi pada saat orang tinggi besar itu berputar tubuh tiba-tiba meluncur sepercik sinar dan
padamlah api korek tadi.
Terowongan kembali gelap gulita.
Secepat kilat Han Ping mengempos semangat dan melangkah kembali kemulut terowongan
yang ditempatinya tadi.
“Hai, siapakah itu?” kembali terdengar orangtua tinggi besar itu berseru seraya tamparkan
tangan memukul Han Ping.
“Engkau cari mati!” tiba-tiba terdengar suara dengusan dingin dan berhamburan serangkum
angin pukulan menyongsong pukulan orangtua tinggi besar. Yang jelas, bukan Han Ping yang
menangkis pukulan orangtua tinggi besar itu.
Terdengar benturan keras dari dua pukulan dahsyat, kemudian deru angin menyambar-
nyambar keras.
Rupanya kedua orang itu sudah terlibat dalam pertempuran dahsyat. Dan dari deru angin yang
berhamburan keras itu, dapatlah Han Ping menduga bahwa kedua orang itu tentulah jago2 silat
yang berilmu tinggi.
Han Ping cepat menyelinap maju untuk mengangkat tubuh Ting Ling. Tetapi sesaat ia bingung.
Jalan terowongan dalam makam tua itu banyak sekali dan melingkar-lingkar, penuh dengan
persimpangan.
Kalau tak hati-hati, tentu akan tersesat ketempat yang berbahaya.
Akhirnya ia memutuskan untuk kembali ketempat Kim Ioji dan orangtua alis panjang tadi.
Namun apabila kesana ia harus melintasi kedua orang yang sedang bertempur itu. Walaupun
dngan tenaga-dalamnya Han Ping tentu takkan menderita apa-apa, tetapi ia kuatir dirinya tentu
akan ketahuan oleh keadaan orang yang tengah bertempur itu.
Tetapi tak ada lain jalan. Setelah menimbang sejenak, ia memutuskan untuk mencoba
menempuh bahaya.
Ia membuka kain sabuk Ting Ling lalu mengikat tubuh nona itu pada punggungnya.
Dengan memanggul nona itu maka ia segera berjalan merapat pada dinding.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sejak menyelinapkan pandang mata kemuka, dilihatnya kedua orang yang sedang bertempur
itu amat seru sekali.
Kekuatan dan kesaktiannya tampaknya berimbang Karena tengah mencurahkan perhatian dan
semangat untuk menghadapi lawan, maka kedua orang itu tak memperhatikan Han Ping yang
melintasi tempat mereka.
Bergegas-gegas Han Ping lari menuju ketempat perahu lalu meletakkan tubuh Ting Ling dan
membuka jalan darahnya yang tertutuk.
“Aih…. engkau siapa?” sesaat kemudian nona itu membuka mata dan menghela napas panjang.
“Aku Han Ping….”
“Ih….tiba-tiba Ting Ling .merintih dan terus susupkan kepala kedada Han Ping,” dalam
beberapa hari ini mereka telah menyiksa diriku.”
“Siapa?” tanya Han Ping.
“Nyo Bun giau dan Ih Thian heng,”
“Bilakah mereka masuk kedalam makam ini?”
“Lebih kurang empat jam yang lalu.”
“Apakah mereka pernah terkurung dalam genangan air?” tanya Han Ping pula.
Ting Ling gelengkan kepala, “Kudengar suara air mengalir yang bergemuruh keras sekali.”
“Kalau begitu, tak sedikit orang-orang persilatan yang sudah masuk kedalam makam ini?” kata
Han Ping pula.
“Selain memilih delapan jago sakti untuk masuk kedalam makam ini, pun Ih Thian heng telah
memerintahkan jago2 silat yang berilmu tinggi untuk menjaga. Dan mereka sama membuat
senjata rahasia yang beracun.
Sungguh berbahaya sekali keadaan terowongan2 dalam makam itu….
“Selain Ih Thian-heng dan anak buahnya, masih terdapat pula Nyo Bun-giau, Ca Cu-jing dan
puteranya,” kata Ting Ling pula.
Tiba-tiba terdengar sebuah seruan keras, “Hai, tak perlu berkelahi. Budak perempuan itu sudah
digondol pergi oleh si Tua Beracun. Hm, kita yang ngotot. lain orang yang memetik hasilnya.”
“Hm, siapa suruh engkau perintah orangmu menyerang?” sahut sebuah suara lain.
Suara nyaring tadi melantang pula, “Tua Beracun, orang lain takut kepadamu karena engkau
beracun.
Tetapi aku tidak takut. Hayo keluarlah kalau engkau hendak mencoba rasanya kepalan
tanganku!”
Han Ping bertanya kepada Kim loji, siapakah kedua orang yang tantang menantang itu.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
“Kalau melihat orangnya baru tahu. Hanya mendengar nada suaranya saja, masih belum jelas,”
kata Kim loji.
“Walaupun dibawah kekuasaan mereka tetapi aku masih sempat untuk memperhatikan gerak
gerik mereka.” kata Ting Ling,”
menurut pengamatanku. masuknya Ih Thian-heng kedalam makam ini hanya sebagai
pengaburan saja.
Dia bukan sungguh-sungguh hendak mencari harta karun tetapi sebenarnya hendak membasmi
seluruh kaum persilatan.
Nyo Bun giau dan Ca Cu-jing ,tokoh-tokoh yang sakti itu, kini sudah didalam cengkeramannya,”
Ia berhenti sejenak menghela napas pelahan, lanjutnya pula, “Makam tua yang sunyi ini, tentu
akan mengalami pertumpahan darah yang hebat.
Entah nanti akan jatuh berapa banyak kaum persilatan yang menjadi korban,”
“Dalam pertempuran ini, menang dan kalah masih belum ketahuan mengapa Ih Thian-heng
begitu yakin akan menang?” kata Han Ping.
“Ih Thian heng seorang yang licik dan licin serta cermat sekali. Pada setiap pos penjagaan
dalam terowongan ini, dia selalu menaruh seorang anak buahnya. Dalam Keadaan perlu. setiap
kali ia dapat menggerakkan alat-alat rahasia dalam makam ini dan anak buahnya. Andaikata dia
menghendaki, dia dapat membuat makam itu runtuh dan menimpah orang-orang persilatan yang
berada didalamnya.” Berkata Han Ping dengan hambar, “Nama dan Keuntungan, benar-benar
penyebab dan segala Kejahatan.
Walaupun sudah tahu bahwa makam ini penuh dengan alat pekakas yang berbahaya
tetapikarena terdapat harta karun serta pusaka Tenggoret Kumala dan Kupu2 Emas, mereka tak
tetap berani menempuh masuk kemari….”
Tiba-tiba kata-katanya itu terputus ,oleh suara jeritan yang ngeri.
Dering senjata beradupun makin lama makin teedengar dekat. Ting Ling melihat pada
terowongan yang gelap itu, tiada henti-hentinya berkiblat sinar senjata yang makin lama makin
menghampiri ketempatnya.
Cepat nona itu dapat menduga bahwa kedua orang yang bertempur tadi, sudah mulai
menampakkan hasil siapa yang kalah dan menang.
Yang kalah didesak mundur kebelakang.
“Celaka, kalau kita tak lekas-lekas tinggalkan tempat ini, kita tentu akan terlibat dengan
mereka,” seru Ting Ling.
Orangtua alis panjang yang sejak tadi tak bicara, saat itu tiba-tiba membuka mulut, “Lihatlah,
kera bulu emas sudah bangun, lekas engkau coba memberi perintah apakah bisa atau tidak?”
Memandang kemuka, memang Han Ping melihat kera bulu emas itu tengah berbangkit pelahan-
lahan.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Walanpun jarak cukup jauh tampak juga betapa menyeramkan wajah kera itu Matanya melotot,
giginya merentang keluar dan sikapnya beringas sekali.
“Uh, ngeri sekali kera itu,” kata Ting Ling seraya beringsut mundur.
Diantara keempat orang itu, Han Pinglah yang paling tajam pendengarannya. Diantara dering
senjata beradu, ia masih dapat menangkap derap kaki orang berjalan pelahan sekali.
Begitu mendengar ucapan orangtua alis panjang jtu, cepat ia bercuit-cuit seperti yang diajarkan
orangtua alis panjang itu.
Yalah cara untuk memberi perintah kepada kera bulu emas.
Kera itu tiba-tiba melonjak dan secepat kilat terus melesat kemuka.
“Hai, binatang keparat!” tiba-tiba terdengar suara orang memaki marah dan menyusul terasa
suatu goncangan keras.
Kuatir kalau kera bulu emas itu terluka, Han Ping cepat loncat menghampiri.
Semula karena terowongan amat gelap, Han Ping tak dapat melihat apa yang telah terjadi.
Tetapi setelah kerahkan tenaga murni dan semangatnya, barulah ia dapat melihat jelas.
Ternyata kera bulu emas itu tengah mengayun ajunkan kedua tangannya menyerang kemuka.
Lawannya, entah siapa, tak henti-hertinya lepaskan pukulan dahsyat namun tetap tak dapat
menahan serangan kera dan terpaksa harus mundur.
Karena pertempuran itu berlangsung amat seru, dan tempatnya gelap, Han Ping tak dapat
melihat jelas siapa lawan dari kera itu.
Hanya samar-samar ia dapat melihat potongan tubuh orang itu tinggi besar seperti orangtua
berjenggot panjang tadi.
“Ih, orangtua itu hebat sekali pukulannya tetapi mengapa tetap terdesak oleh serangan kera?”
diam-diam Han Ping terkejut dalam hati.
Tiba-tiba ia dikejutkan mendengar suara pamannya Kim Ioji, “Kalau benar, lalu bagaimana. .
Tanpa merghiraukan bagaimana kesudahan bertempuran antara kera dan orang tinggi besar
itu.
lalu buru-buru lari kembali kebelakang.
Dilihatnya pada ujung perahu, tegak seorang lelaki dalam pakaian jubah panjang, mencekal
sebatang pedang yang ujungnya menjulai ketanah. Dia bukan lain adalah Nyo Bun-giau. pemimpin
marga Nyo yang sakti.
“Siapapun orangnya apabila telah kudengar suaranya, jangan harap dapat menghampiri
ketempatku,” seru orang itu dengan tertawa dingin.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Secepat kilat ia menyulut korek lalu dilemparkan kemuka. Dari cahaya korek itu, dapatlah Han
Ping melihat bahwa dibelakang Nyo Bun-gau itu terkapar sesosok mayat. Ingat lupa, rasanya ia
pernah kenal orang itu tetapi entah dimana….
Pun karena penerangan korek itu dapatlah Nyo Bun giau melihat Ting Ling, serunya, “Hai,
budak setan, kutahu engkau memang tak mungkin lolos dari sini Ternyata engkau berada disini.”
Dan alihkan pandang mata, iapun melihat Han Ping tegak berdiri dengan mata berapi-api
memancarkan kemarahan.
Diam-diam ia terkejut dan tercekat dalam hati. Wajahnya yang berseri seketika berobah seperti
kedua menyengir.
Han Ping mencabut pedang Pemutus-asmara, berseru, “Nyo Bun-giau!”
Melihat musuh lama muncul, mau tak mau Nyo Bun-giau seperti kehilangan kegarangannya.
Tetapi cepat-cepat ia menenangkan hatinya dan tertawa dingin. serunya, “Hm, berani benar
engkau bicara begitu tak tahu adat kepadaku!”
Han Ping loncat maju kehadapan Nyo Bun-giau tertawa mengejek, “Dimana Ih Thian-heng saat
ini?”
“Nyo Bun-giau menyurut mundur, serunya, “Ih Thian-heng? Dia berada dibagian tengah makam
ini.”
“Berhenti! Bawalah aku kepadanya….” kata Han Ping seraya berkisar maju mendekati.
Nyo Bun-giau mencongkelkan pedangnya kearah sesosok mayat dan mayat itu segera
melayang ketempat Han Ping. Tetapi dengan tangan kiri Han Ping menyambuti dan letakkan
mayat itu ditanah.
Tiba-tiba terdengar Ting Ling berseru keras2, “Ji siangkong. harap lekas mundur kemari.
“Kalian tunggu disitu, jangan pergi kemana-mana,” sahut Han Ping lalu melesat maju mengejar.
“Dia hendak mencari Ih Thian-heng, hayo kita mengikutinya!” seru Kim Ioji.
“Kalau kita sungguh-sungguh hendak mencari Ih Thian-heng jangan harap kita dapat
hidup….Ting Ling membantah, “dia tak mau mendengar kata-kataku, lekas panggil dia kembali
kesini.”
Tetapi ternyata Han Ping sudah tak tampak Dan dari kejauhan, terdengar suara kera bulu emas
itu meraung raung keras.
Rupanya dia bertemu musuh tangguh dan dihalau mundur.
Rupanya orangtua alis panjang menyadari hal itu. Serentak ia berbangkit, serunya, “Hm,
rupalnya kera itu bertemu musuh sakti dan dikuatirkan akan mundur kemari.”
“Aku sudah menderita luka parah, tiada daya untuk melawan mereka lagi,” kata Ting Ling.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
“Mati dan bidup sudah ada garisnya. Aku orang she Kim ini sudah banyak kali menghadapi
bahaya maut didunia persilatan, tetapi sampai saat ini tetap masih hidup. Apabila memang sudah
garis hidupku harus mati dimakam ini, aku pun paserah saja.
Tak peduli siapa musuh yang akan datang itu tetapi kita tak dapat berpeluk tangan mengawasi
saja,” kata Kim loji dengan garang.
“Baiklah, locianpwe,” kata Ting Ling,” karena aku menderita luka nanti aku akan bersembunyi
dibelakang lo cianpwe.
Dengan meminjam kegelapan tempat ini apabila memperoleh kesempatan akan kutabur musuh
dengan bubuk Bi-hun-yok.
Mungkin kita dapat mengatasinya “
“Hai, benar,” seru Kim loji girang, “hampir aku lupa akan obat Bi-hun-yok yang termasyhur dari
lembah Raja-setan!”
Terdengar raung dahsyat. Rupanya kera bulu emas itu telah menderita pukulan dahsyat.
Karena tahu kalau orangtua alis panjang itu tak mengerti ilmusilat maka Kim loji cepat minta
kepadanya supaya masuk kedalam perahu. Dia dan nona Ting Ling yang akan menghadapi musuh.
Sejenak berdiam diri, orangtua alis panjang itu mengiakan, “Baik, kalau kalian tak mampu
menghadapi, lekas kalian pancing musuh itu ke samping perahu. nanti aku yang
membereskannya.”
Kim loji setuju. Ia memadamkan api korek yang masih menyala lalu mengambil golok dari
belakang perahu.
Tiba-tiba raung kerapun sirap.
Ting Ling mengambil sebuah botol kumala lalu bersiap-siap melekatkan diri pada dinding Sambil
menghampiri, Kim loji menghela napas, “Sejak aku ditipu masuk kedalam makam ini oleh Nyo
Bun-giau dan sebelah lenganku ditabasnya, sampai sekarang belum pernah bertempur lagi Entah
apakah aku masih dapat memainkan golok ini.”
“Jangan kuatir,” Ting Ling menghiburnya, “asal locianpwe mampu menahan musuh sampai dua
jurus saja, aku tentu sudah dapat menaburnya dengan bubuk Bi-hun-yok.”
“Tempat kita ini gelap sekali tetapi malah, menguntungkan kita,” kata Ting Ling pula.
tetapi tiba-tiba napasnya terengah-engah sehingga tak dapat melanjutkan bicara, “Nak,
bagaimana keadaanmu?” Kim Ioji kasihan juga. Walaupun ia tak mempunyai kesan baik terhadap
kedua gadis puteri lembah Raja-setan. Tetapi pada saat dan tempat seperti saat itu, mereka sudah
merupakan kawan seperjuangan, bahu membahu menghadapi musuh.
Ting Ling menghampiri, katanya, “Mereka telah melukai aku parah sekali. Asal banyak bicara,
luka itu terasa sakit sekali….”
Kembali ia terengah-engah, “Botol ini berisi obat penawar. Asal engkau lumurkan pada hidung,
tentu tak takut pada bubuk Bi-hun-yok.”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sambil menyambuti, Kim loji menghela napas, “Dunia persilatan menyatakan kalian berdua
puteri lembah Raja-setan ini ganas, tetapi apa yang kulihat saat ini, ternyata tidak benar.
“Saat ini kita menghadapi musuh dan bahaya bersama, masakan aku berani mencelakai
engkau,” jawab Ting Ling.
Saat itu tampak sesosok bayangan hitam, beringsut2 mundur kearah tempat mereka. Ting Ling
bersembunyi dibelakang Kim loji, serunya, “Harap lo-cianpwe bersikap yang garang.”
Kim loji menamburkan obat pada hidungnya lalu tegak berdiri lintangkan golok. Sosokc hitam
itupun cepat mundur kesamping mereka. Ternyata memang kera bulu emas. Binatang itu sudah
kepayahan, kedua tangannya ditutupkan ke dada.
Dan yang mendesaknya mundur, seorang tua jenggot panjang dan bertubuh tinggi besar.
Rupanya dia juga payah.
“Berhenti!” bentak Kim loji seraya tabaskan golok.
Orang tua tinggi besar itu terkejut. Tetapi ia masih sempat tamparkan tangan kiri untuk
menahan golok Kim loji.
Baru ia hendak membuka mulut, dari belakang Kim loji tiba-tiba menjulur sebuah tangan putih.
Orang tua tinggi besar itu tertegun dan saat itu Ting Lingpun lepaskan bubuk Bi-hun-yok.
Bluk, rubuhlah orangtua tinggi besar itu. Dan Kim lojipun terus ayunkan golok hendak
menabasnya.
“Jangan, lo cianpwe, jangan melukainya,” cegah Ting Ling. Lalu menyiak tangan Kim loji
sekuat-kuatnya.
Huak, walaupun dapat menyiak tangan Kim loji, tetapi luka dalam tubuhnya menumpahkan
darah.
Habis muntah darah, nona itupun duduk ditanah. Sambil mendekap dada, nona itu masih
paksakan diri berseru, “Jangan melukainya.”
“Nak, lekas salurkan pernapasanmu, jangan bicara dulu, “Kim loji maju menghampiri.
“Hai, rupanya berat juga lukamu. Biar kuperiksanya,” tiba-tiba orangtua alis panjang keluar dari
perahu dan tanpa menunggu lagi, ia terus mencekal tangan sinoua dan memeriksa denyutan
pergelangan tangannya.
Suasanapun hening Kera bulu emas itupun amat letih dan rebah ditanah.
Beberapa saat kemudian kedengaran orangtua alis panjang itu berkata, “Nak, lukamu berat
sekali. Sayang obat yang kubawa ini mengandung racun keras. Apakah engkau suka minum?”
Kata Ting Ling, “Aku masih ingin hidup untuk beberapa hari lagi. Segala derita kesakitan aku
tak takut.”
Orangtua alis panjang tertawa, “Bagus, berapa lamakah engkau ingin hidup….Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kim loji cepat memberi peringatan agar orangtua alis panjang itu jangan tertawa keras2, agar
jangan diketahui musuh.
“Aku ingin hidup 10 hari lagi….,” jawab Ting Ling.
“Hai, itu mudah sekali,” sahut orangtua alis panjang seraya mengeluarkan beberapa butir pil,
“simpan dan makanlah sendiri. Kalau engkau dapat menghabiskannya, kita akan tambah anggauta
seorang lagi.”
“Hai, apakah engkau hendak menciptakan seorang manusia beracun lagi?” tegur Kim loji.
“Kalau sejak dulu aku sudah keluar kedunia persilatan, tentu sudah banyak manusia2
beracunnya,” kata orangtua alis panjang.
“Ho, engkau hendak mendirikan partai Manusia Beracun?” seru Kim loji pula.
“Sayang, waktunya sudah tak mengijinkan, sudah terlambat,” sahut orang tua itu.
Sambil menjemput sebutir pil, Ting Ling bertanya kepada Kim Loji apakah pil itu benar-benar
dapat menyembuhkan?”
“Memang dapat menyembuhkan, tetapi obat seperti candu. Sekali minum, racun tentu akan
masuk kedalam tubuh kita,”
menerangkan Kim loji.
Tetapi rupanya nona itu tak menghiraukan. Obat apapun yang penting dapat menyembuhkan
dan menambah hidupnya sampai beberapa waktu. Dan Kim lojipun menyadari bahwa luka nona
Ting itu sudah sedemikian rupa.
Ia tak mau mencegahnya lagi.
Kim Loji berbangkit lalu membopong orangtua alis panjang dibawa ketempat Ting Ling.
Tiba-tiba orang yang pingsan tadi tersadar bangun. Ia kuatir dan cepat-cepat melekatkan
pedang keleher orang itu.
Setelah memberi obat, orangtua alis panjang itu menunggu dengan sabar akan perobahan luka
si nona.
Sepeminum teh lamanya nona itu tersadar dan tertawa kepada orangtua alis panjang, “Ih,
obatmu manjur sekali, sekarang aku merasa sudah banyak sembuh.”
“Kalau benar begitu, kurasa dalam dunia dewasa ini dapatlah aku menganggap diriku sebagai
Dewa Racun…. .”
orangtua alis panjang itu menghela napas dan berkata kepada Kim loji”, kurasa dalam dunia iui
masih terdapat seorang yang mampu menandingi kepandaianku.”
“Siapa?” tanya Kim loji.
Orangtua alis panjang gelengkan kepala, “Entahlah. Rasanya dia seorang wanita….”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
“Kalau dia seorang perempuan, jelas tentulah budak perempuan dari perguruan Lam-hay-bun
itu….,” Ting Ling menyelutuk.
Tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara orang tertawa, “Ih, dibelakang orang berani
mengatakan kejelekannya, apakah tak kuatir dipotong lidahnya?”
Nadanya jelas dari seorang wanita. “Siapa?” Ting Ling terperanjat dan cepat memandang
kemuka dan pasang telinga.
Tetapi tak terdengar suatu penyahutan apa, Rupanya orang itu sudah pergi.
“Huh, makam ini benar-benar seperti gedung setan…. ,” kata orangtua alis panjang.
“Ya, memang makam ini dibangun dengan rencana yang hebat, penuh dengan jalan lorong dan
kamar2 yang serba pelik!’“ kata Kim loji.
“Apakah engkau tak melukainya?” tanya Ting Ling kemudian kepada orangtua alis panjang.
“Tidak,” sahutnya, “tetapi apa keperluanmu menahannya disini?”
“Dia berkepandaian tinggi, sayang kalau dibunuh….” jawab Ting Ling.
“Ho, kalau begitu tunggu saja setelah dapat bangun, kita yang akan dibunuhnya,” seru Kim loji.
”Harap lo cianpwe jangan salah mengerti. Bukan kita suruh dia membunuh kita tetapi kita
dapat menggunakan tenaganya untuk melindungi kita,” Ting Ling memberi penjelasan.
“Ah, nungkin tak semudah itu,” gerutu Kim loji.
“Tetapi aku mempunyai siasat yang bagus supaya dia mau taat kepada kita,” kata Ting Ling
seraya berbangkit dan menghampiri ketempat orangtua jenggot panjang dan lalu berjongkok
disampingnya.
Kim lojipun menarik kembali pedangnya dan suruh Ting Ling segera memberi orang itu obat
supaya dia dapat ditundukkan. Setelah itu baru diberi obat penawar. Kalau tunggu sampai orang
itu terjaga, tentu sukar dan berbahaya.
“Harap lo cianpwe jangan kuatir,” kata Ting Ling lalu tiba-tiba menutuk kedua bahu dan kedua
lutut orang itu. Setelah itu baru ia mengeluarkan obat penawar, dilumurkan kehidung orang itu.
Terdengar orang itu menguak lalu membuka mata dan memandang Ting Ling, Kim Loji.
Serentak iapun menggeliat duduk. Tetapi karena kaki dan tangannya sudah tertutuk maka kecuali
tubuh, ia tak dapat bergerak lagi. Bahkan ketika ia mengangkat tangan kanannya, serentak terus
melentuk lunglai lagi.
“Kalau engkau hendak mencoba menyalurkan tenaga dalam untuk membuka jalan-darahmu
yang tertutuk, berarti engkau mencari sakit sendiri,” kata Ting Ling memberi peringatan.
Orang tua jenggot panjang itu diam saja. Walaupun dalam pertempuran maut, ia tetap bersikap
tenang.
Ting Ling menyambar golok dan berseru dingin, “Sekarang engkau boleh pilih satu diantara dua
jalan.”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dengus orangtua jenggot panjang itu, “Beruang yang jatuh kedalam air tentu akan dibuat
permainan, macan yang tiba disungai datar tentu akan dihina kawanan anjing….
Cret! Ting Ling ayunkan pedang dan jenggot orangtua yang menjulai kedada itupun kutung dan
berhamburan ke tanah….
“Tak peduli dengan kata-kata apa engkau hendak memaki aku tetapi yang jelas saat ini engkau
sudah berada dalam kekuasaanku. Sekali tangan kuayun, kepandaianmu setiap saat dapat
menggelinding!” seru Ting Ling.
Orangtua jenggot panjang itu tertegun, “Kedua jalan yang engkau suruh aku pilih itu, coba
katakan dulu baru aku dapat menjawab.”
“Sederhana sekali,” kata Ting Ling, “pertama, engkau meluluskan untuk menerima setiap
perintahku, tak boleh menghianati. Sampai nanti keluar dari makam ini baru kubuka lagi
jalandarahmu. Dan kubebaskan engkau. Jalan kedua, engkau menolak permintaauku dan kutabas
kepalamu.”
“Ho, engkau anggap aku ini orang apa? Apakan aku sudi tunduk pada perintahmu!” orang tua
itu marah, Ting Ling tertawa mengejek, “Kalau begitu, engkau memilih jalam kematian!” Nona itu
perlahan2 mengangkat golok,” sebagai hukuman di-muka, sekarang hendak kutabas sebelah
kakimu kanan.” Habis berkata ia terus ayunkan golok.
“Tunggu!” seru orangtua itu gopoh.
Ting Lingpun hentikan golok dan tertawa, “Apakah engkau masih ingin hidup? Hm, dapat keras
bisa lunak, barulah seorang gagah sejati. Apalagi setelah keluar dari makam ini engkau tentu
masih dapat menebus hinaan yang engkau derita saat ini. Kalau sekarang kutabas kepalamu,
selama-lamanya engkau tentu tak dapat membalas dendam.
“Kelak apabila dapat keluar dari makam ini tentu akan kujadikan engkau budakku, baru aku
puas.” kata orangtua jengot panjang itu.
“Hm, kalau begitu berani sikarang engkai dapat menyetujui, bukan?”
Orangtua jenggot panjang itu mengangguk “Ya, anggaplah saja aku sudati menerima syarat
mu!
Tiba-tiba Kim Loji berseru memberi peringatan “Nak, didunia persilatan sukar untuk menanam
kepercayaan pada orang. Bagaimana begitu engkau lepaskan dia terus ingkar janji?”
“Seorang lelaki berani berkata tentu aka pegang janji. Kurasa setelah setuju, lo cianpwe itu
tentu takkan menyesai dan ingkar,” kata Ting Ling.
“Engkau percaya tetapi aku tidak….”gumam Kim Loji.
Ting Ling tak mau berbantah. Ia menampar jalandarah orangtua yang tertutuk lalu
mengurutnya, Melihat itu Kim Loji benar-benar gelisah. Cepat ia menyambar golok yang berada
pada Ting Ling lalu ditujukan pada orangtua jenggot panjang itu dalam sikap setiap saat akan
dibacokkan.
Ting Ling mengeluarkan sebutir pil dan menghela napas, ujarnya., “Lo cianpwe, walaupun aku
percaya kepadamu tetapi sukar untuk mendapat kepercayaan dari pamanku ini, harap
maklumlah.”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sambil memandang kearah golok Kim Loji, orangtua jenggot panjang itu berkata pelahan,
“Engkau menghendaki bagaimana agar engkau percaya?”
“Asal engkau mau menelan pil ini, tentu sudah cukup mendapat kepercayaan kami.”
Sambil masih memandang pada golok ditangan Kim Loji, orangtua jenggot panjang itu
menggumam seorang diri, “Aku seorang ksatrya besar, mana harus mati secara tak wajar
begini….?”
“Ilmu kesaktian lo-cianpwe memang layak sejajar dengan tokoh persilatan kelas satu.
Kalau binasa secara begini tak diketahui, mamang harus disayangkan sekali,” kata Ting Ling.
Berpaling kepada nona itu, orangtua jenggot panjang bertanya, “Obat apakah pil itu?
Katakan dulu baru aku nanti mempertimbangkan mau minum atau tidak.”
Ting ling tertawa, “Pil ini disebut Pekpoh-toan-jong-san seratus langkah menghancurkan usus.
Terbuat dari ramuan lima macam racun. Setelah minum, apabila berjalan seratus langkah,
racun tentu akan bekerja dan usus dalam tubuh akan putus semua….”
Ia mengacungkan pil lalu tertawa, “Benar, memang aku membawa obat penawarnya, Setelah
minum obat racun engkau harus cepat minum obat penawarnya. Dalam waktu satu jam, racun itu
takkan bekerja “
Rupanya orangtua jenggot panjang itu amat sayang pada jiwanya, ia bertanya, “Hanya satu
jam saja?”
”Akan kuberimu sebutir pil lagi….” cepat Ting Ling menyusulketerangan.
“Dengan begitu aku harus terus menerus minum obat penawar. Tetapi bukankah pil penawar
itu. bakal habis juga?”
“Jangan kuatir,”setelah makan dua belas biji pil penawar, racun itu akan lenyap semua,” kata
Ting Ling, seraya mengeluarkan botol kumala menuangkan duabelas butir pil warna putih Sedang
sisanya dihancurkan dan dibuang ketanah.
“Sekarang aku hanya tinggal mempunyai dua belas butir pil saja. Asal sebutir pil penawar ini
kuhancurkan, jangan harap enkau dapat hidup “….|
Orangtua jenggot panjang itu kerutkan dahi!
“Apakah maksudmu melakukan tindakan semacam itu kepada diriku?”
“Sederhana sekali, sahut Ting Ling, “asal engkau mengandung maksud hendak menghianati,
tentu segera kuhancurkan sebutir pil penawar itu. Mungkin engkau akan membunuh aku tetapi
engkau sendiripun jangan harap dapat hidup. Dengan begitu kita akan sama-sama mati.”
“Hm, cara yang bagus juga,” kata orangtua jenggot panjang.
“Saat ini engkau sudah berada dalam keadaan mati. Hanya itulah satu-satunya jalan hidup.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kini meluluskan atau tidak, tergantung padamu sendiri,”
Orangtua jenggot panjang menghela napas, “Dengan jiwa mempertaruhkan kepercayaanmu,
bukankah aku yang menderita kerugian “
Ting Ling tertawa, “SIlahkan engkau mencari daya untuk membatasi jiwanya supaya dapat
hidup duabelas jam saja.
Nanti pada aku menyerahkan pil penawar yang terakhir, engkau harus membebaskan ancaman
mau yang engkau lakukan pada diriku.”
Mengerling kearah Kim Loji, orangtua jenggot panjang itu bertanya, “Apakah dia juga masuk
hitungan?”
Ting Ling kerutkan alis, “Ini, ini….”
“Ho, tak sangka kalau engkau juga menginginkan jiwaku sioraog she Kim ,” seru Kim Loji.
“Benar, kalau satu tukar satu, memang aku merasa rugi sekali,” sahut orangtua jenggot
panjang.
“Baiklah, sekarang coba engkau katakan bagaimana caramu hendak membatasi jiwa kami
berdua hanya dapat hidup duabelas jam itu!” seru Kim Loji.
“Akan kututuk tubuh kalian dengan ilmu tutukan perguruanku yang istimewa,” kata orangtua
jenggot panjang,”
dalam duabelas jam apabila tak kutolong, pekakas dalam tubuhmu tentu akan hancur
berantakan.
Kim Loji memandang Ting Ling, serunya, “Nak, jangan menerimanya.”
“Menurut hematku, tak ada harapan lagi kita dapat keluar dari makam ini.
Maka kalau kita menerima berarti mungkin kita dapat memberi bantuan kepadanya.”
“Apakah yang engkau maksudkan kepadanya itu anak Han Ping?” Kim Loji menegas.
“Benar, benar,” sahut Ting Ling, “siapa lagi kalau bukan dia?”
“Oh, bagus,” Kim Loji tertawa, “asal dapat memberi bantuan kepada auak, itu matipun kita
rela!”
Ting Ling lalu menjemput pil beracun dengan kedua jari tangannya, “Lo cianpwe, perjanjian
sudah kita setujui, sekarang silahkau engkau minum pil ini!”
Ternyata orangtua jenggot panjang itu tak banyak omong lagi terus membuka mulut menerima
pil yang disusupkan jari si nona.
Setelah itu Ting Ling lalu menutuk buka jalandarah orang tua jenggot panjang yang tertutuk
tadi.
Tiba-tiba orangtua jenggot panjang itu melonjak bangun terus mencekal siku lengan kanan
Ting Ling.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tetapi Ting Ling cepat gerakkan tangan kiri menyerahkan sebutir pil kepada Kim Loji, “Paman,
peganglah baik2.
Kalau dia membunuh aku, cepat hancurkan pil itu.”
Kim Loji terpisah jauh dari tempat orangtua jenggot panjang itu. Tak mungkin diraihnya.
Maka orangtua jenggot panjang itupun tak dapat berbuat apa-apa kecuali banting2 kakinya
ketanah.
Secepat pula Ting Lingpun mengangkat tangan kirinya lagi dan berseru, “Sudah, jangan coba
mempunyai pikiran untuk menghianati janji, lekas engkau telah pil penawar ini. Apabila terlambat,
racun dalam tubuhmu tentu akan bekerja “
Orangtua jenggot panjang itu terpaksa menyambuti lalu berseru dingin, “Lekas engkau putar
tubuh aku segera akan menutuk kelima uratnadimu.”
Sambil berputar tubuh. Ting Ling tertawa, “Aku masih menyimpan sepuluh butir pil dan
pamanku itu sebutir.
Apabila engkau tak dapat membunuh kami dengan serempak, jangan harap engkaupun jangan
harap hidup, “
“Hm, jangankan kalian berdua sekalipun sepuluh orangpun tetap tak sembabat ditukar dengan
jiwaku,”
dengus orangtua jengot panjang itu, seraya mulai menutuk jalandarah tubuh nona itu. Setiap
kali menerima tutukan, Ting Ling tentu merasa tubuhnya gemetar. Dan setelah ditutuk beberapa
tempat, ia rasakan dirinya sakit sekali hampir tak kuat ia menderitanya.
Setelah selesai, orangtua jenggot panjang itu lalu menghampiri Kim Loji.
‘Hai, setelah tubuhku merjadi mati separo begini, bagaimana aku masih dapat bergerak?” tanya
Ting l ing.
“Sebentar lagi, rasa sakit itu tentu akan hilang dan dalam duabelas jam kemudian, engkaupun
sudah dapat bergerak dengan leluasa lagi,” sahut orangtua jengot panjang.
Kim Loji segera berputar diri, siap roenerima tutukan siorangtua jenggot panjang. Tetapi
rupanya orangtua itu masih meragu.
Tiba-tiba ia melangkah dua tindak dan menyambar tangan orangtua alis panjang.
“Lepaskan!” cepat Ting Ling berteriak, “dalan perjanjian dia tak termasuk. Apabila engkau
berani mengganggunya, pil penawar tentu akan ku hancurkan semua, agar engkau jangan hidup!”
Walaupun sudah tua tetapi rupanya orangtu jenggot panjang itu masih amat sayang kepada
jiwanya.
Mendengar peringatan Ting Ling, iapun hentikan gerakannya.
Orangtua alis panjang saat itu tengah mengobati kera bulu emas yang terluka.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sama sekali ia tak menyadari akan ancaman orangtua jenggot panjang tadi.
Sambil menyalurkan tenaga dalam, Ting Ling pun menelan lagi dua butir pil racun.
Dan ternyata semangatnyapun bertambah baik sekali. Katanya sesaat kemudian, “Kalau terus
menerus berada disini kurang baik. Lebih baik kita lanjutkan perjalanan lagi.”
Nona itu meminta orangtua jenggot panjang untuk menunjukkan jalan. walaupuu nona itu
paling muda usianya tetapi dia memang cerdas sekali. Selama dalam pembicaaan makin
menonjollah sifat2 kepemimpinannya.
Demikian mereka segera berjalan lagi. Kurang lebih sepuluh tombak, mereka belum bertemu
dengan simpang jalan.
Sedang orangtua jenggot panjang itu makin lama makin pesat jalannya.
“Berhenti!” tiba-tiba Ting Ling membentak.” jangan lanjutkan perjalanan lagi.”
Orangtua jenggot panjang berpaling, tertawa dingin, “Mengapa?”
“Terowongan ini merupakan jalan saluran air, melintasi terowongan ini tentu kita akan berada
diluar makam.”
Orangtua jenggot panjang itu tertawa keras.
“Hm, karena mendongkol menerima perintahmu, maka aku berjalan asal berjalan saja, tak
peduli melintasi jalanan air atau kering!” sahutnya.
Ting Lingpun balas mendengus, “Hm, apapun yang akan terjadi, tetapi aku sudah berbulat
tekad untuk mati disini….”
“O, rupanya engkau mempunyai kesadaran yang tinggi,” seru orangtua jenggot panjang itu.
“Dalam duabelas jam, sebaiknya janganlah engkau mempunyai hati yang jahat.
Setelah dua belas jam dan makan obat penawar, barulah boleh engkau mengandung pikiran
jahat lagi.”
Ting Ling memberi peringatan.
Orangtua jenggot panjang membuka mulut tetapi tak jadi bicara.
Ting Ling suruh dia mengetuk dinding karang untuk mencari tahu apakah disebelah dinding itu
terdapat ruangannya.
Dan orangtua jenggot panjang itupun menurut Tung…. terdengar bunyi mendengung, ketika
tangannya memukul dinding.
“Ditilik dari kumandang suaranya, disebelah dinding ini tentu terdapat terowongan atau ruang
kosong.
Usahakanlah supaya dapat membobol dinding itu!” kata Ting Ling pula.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Orangtua jenggot panjang kali ini marah, “Dinding karang begini keras, bagaimana dapat
kubobolkan dengan pukulan tangan kosong?”
“Hm, itu urusanmu,”Ting Ling mendengus pula.
Aku hanya hidup sampai duabelas jam saja. Lebih lekas mati dari duabelas jam, bukan apa-apa
bagiku.”
Tiba-tiba orangtua jenggot panjang itu mundur dua langkah dan mengeluarKan sebuah palu
besi.
Serunya dengan nada dingin, “Hm, untung engkau bertemu dengan seorang tua yang teliti
seperti aku.
Kalau tidak, jangan harap engkau mampu mendapatkan lubang pada dinding karang ini.”
Sebenarnya Ting Ling tak tahu kalau orangtua jenggot panjang itu membekal senjata.
Tetapi karena melihat orangtua itu memiliki tenaga pukulan yang hebat, maka ia menekannya
supaya mengeluarkan senjatanya.
Tertawalah nona itu kegirangan, “Bagus, lo cianpwe benar-benar orang yang cerdas sekali!
Sebelumnya sudah mempersiapkan alat-alat yang penting!”
Bum…. orangtua jenggot panjang itupun mulai menghantam. Segumpal karangpun
berhamburan ketanah.
“Ya, sebagai ganti untuk menumpahkan kemengkalan hatiku karena engkau berani memberi
perintah kepadaku,”
gumam orangtua jenggot panjang.
Sepandai-pandai tupai metompat, sesekali akan terpeleset juga. Soal itu memang lumrah
terjadi, harap jangan dipikirkan,” kata Ting Ling, menghiburnya.
Rupanya gembira juga orangtua itu mendengar kata-kata Ting Ling, Tak henti-hentinya ia
menghantam menghantam dinding terowongan itu.
Tak berapa lama, terbukalah sebuah lubang seluas setengah meter. Secercah sinar terang,
berhamburan memancar dari ruang sebelah.
Ting Ling cepat menghampiri dan melongok. “Ih, bangunan makam ini memang istimewa
sekali,” tiba-tiba ia hentikan kata-katanya, terus menyusup kedalam lubang.
Melihat itu Kim Loji terus cepat-cepat menyusul tetapi baru tiba di mulut lubang, pingangnya
sudah dicengkeram orangtua jenggot panjang, “Hm, kalau sayang jiwamu, lekas berikan obat
penawar itu kepadaku!” serunya pelahan.
Kim Loji batuk-batuk, sahutnya, “Asal aku menjerit, nona itu tentu segera meremas haucur
persediaan pil penawar yang ada padanya.
Engkau memang sakti tetapi tak mungkin engkau dapat merampas persediaan pil penawar itu
dalam waktu sekejab mata.”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Orangtua jenggot panjang mendengus dan lepaskan cengkeramannya.
Kim lojipun menyisih kesamping dan mempersilahkan orangtua itu masuk dulu.
Dengan geram ia memandang Kim Loji, hantamkan palunya sekali lagi pada dinding, kemudian
baru menyusup masuk.
Kiranya karena tubuhnya yang tinggi besar, ia perlu harus membesarkan lubang itu baru dapat
masuk.
Kim loji dan orangtua alis panjang serta kera bulu emaspun segera menyusul mereka.
Ternyata ruang disebelah merupakan sebuah kamar rahasia yang amat luas. Cukup dibangun
menjadi lima buah kamar.
Empat keliling dindingnva, terdapat empat buah mutiara sebesar buah klengkeng yang
memancarkan sinar kemilau.
Pada puncak ruangan, digantung sebuah lampu lentera kaca. Lampu kaca itu tetap menyala
sehingga keempat mutiara itupun memantulkan sinarnya yang terang.
Ting Ling berdiri disebuah dinding, sedang mengamat-amati sebuah lukisan yang terdapat pada
dinding itu.
Sedang otangtua jenggot panjang berdiri satu meter dibelakangnya.
Kim Loji terkejut dan gelisah, “Uh. nona itu memang kurang pengalaman. Dalam keadaan yang
diselubungi bahaya maut, ia masih menipunyai selera untuk melihat gambar.”
Lukisan pada dinding itu merupakan sebuah taman makam yang penuh dengan guratan2
malang melintang.
Lukisan itu mirip dengan peta dari makam disitu.
Tiba-tiba nona itu mengguman seorang diri, “Aneh sungguh aneh…. .”
Rupanya orangtua jenggot panjang tertarik. Ia segera maju menghampiri. Tetapi Kim Loji yang
makin ketakutan segera berteriak, “Nona Ting!”
Ting Ling berpaling dan menghampiri Kim Loji, katanya, “Ruang ini terlalu mewah untuk
disebuah makam .
“Kalau Ko tok lojin pendiri makam ini dapat menyembunyikan mustika Tenggoret Kumala dan
Kupu2 Emas serta harta karun kedalam makam ini, sudah tentu dia mampu juga menghias
ruangan ini sedemikian mewahnya.”
“Apakah minyak dalam lampu kaca itu juga dapat bertahan sampai ratusan tahun?” kata Ting
Ling seraya memandang kearah lampu itu.
Kim Loji terbeliak tak dapat menjawab.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
“Tetapi lentera kaca dan semva hiasan mewah dalam ruang ini masih belum lavak dikata aneh.
Yang aneh yalah keadaau ruang ini, Mengapa begini bersih sekali sep^rtiiiya tiap kali ada orang
yang membersihkannya?”
Kembali Kim Loji terbelalak. Ia segera mengeluarkan pandang kesegenap ujung ruang itu.
Ah, memang benar. Dari meja yang terbuat dari batu pualam, piring dan cawan emas sampai
pada alat-alat makain yang terbuat daripada perak, memang tampak amat bersih semua.
“Ah,” tiba-tiba Ting Ling menghela napas,” mungkin makam tua ini hanya suatu tempat
persembunyian untuk mengangkuti harta karun dan pusaka yaag tak ternilai harganya?”
Kim Loji dan orangtua jenggot panjang terkesiap mendengar ucapan nona itu. Serempak
mereka berseru, “Mengapa?”
Sambil memberesi rambutnya yang kusut, nona itu lalu pelahan-lahan duduk disamping sebuah
dingklik dan memandang kepada kedua orang itu, katanya tertawa, “Rasanya kalian berdua ini
bukan muda lagi….”
“Tahun ini umurku sudah delapan puluh dua,” kata orangtua jenggot panjang.
“Aku limapuluhan tahun,” kata Kim Loji.
“Sudahlah, percuma saja kalian mempunyai umur begitu banyak.” Ting Ling tertawa rawan,
“andai aku dilahirkan lebih pagi tigapuluh tahun, tak mungkin kubiarkan rahasia makam itu tersiar
kedunia persilatan.
“Hm, hampir setengah hari mengomong, aku tak mengerti maksudmu,” dengus orangtua
jenggot panjang.
Ting Ling tertawa mengikik, “Kalau begitu mendengar engkau terus mengerti, tentu tak
mungkin engkau dapat kurubuhkan dengan obat bius.”
“Engkau menertawakan apa?” orangtua jenggot panjang marah,” karena telah menggunakan
banyak tenaga untuk bertempur sehingga mata dan telingaku kabur maka baru aku dapat engkau
rubuhkan.
Merubuhkan orang yang sudah menderita, mengapa engkau masih menepuk dada berbangga
diri?”
“Aku menertawakan kalian beberapa orangtua yang tak berguna. Pikiran limbung, hati kosong
sehingga mudah termakan desas desus beracun didunia persilatan….”
“Setan, engkau berani mengatakan aku goblok,” teriak orangtua jenggot panjang dengan
marah.
“Tetapi Ting Ling tetap tertawa hambar, “Kalau aku dapat menerangkan kegoblokanmu,
maukah engkau menampar mukamu sendiri dihadapanku?”
“Kalau memang engkau dapat menunjukkan bukti2 yang tak dapat kubantah, mengapa aku tak
mau melakukan hal itu?”
“Engkau sudah berumur delapanpuluh dua tahun tetapi pernahkah engkau bertemu dangan Ko
Tok lojin pendiri makam ini?”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tanya Ting Ling.
“Setiap orang persilatan tentu tahu hal itu, perlu apa aku harus melihatnya sendiri!”’
‘Tenggoret Kumala dan Kupu2 Emas, sepasang mustika dalam dunia persilatan yang jarang
terdapat didunia.
Tetapi siapakah yang pernah melihat kedua benda itu? Rasanya mereka2 itu hanya mendengar
cerita dari mulut ke mulut saja.”
Orangtua jenggot panjang tercengang, ujarnya, “Walaupun tak pernah melihat sendiri, tetapi
aku pernah mendengar sendiri tentang kedua mustika itu.”
“Ho, itulah,” seru Ting Ling, “seorang yang cerdik luar biasa, telah menggubah dongeng
tentang kedua benda mustika Tenggoret Kumala dan Kupu2 Emas itu lalu diceritakan kepada
orang. Dan dalam waktu yang singkat dunia persilatan telah dilanda cerita itu, Dengan
menggunakan pengaruh cerita tentang kedua mustika itu, dia lalu menbangun makam ini.”
Orangtua jenggot panjang tertegun. Tiba-tiba ia mengayunkan tangan kanan dan plak,
menampar mukanya sendiri.
“Tak peduli apakah uraianmu itu benar atau tidak, tetapi apa yang engkau katakan itu memang
baru pertama kali ini aku mendengar,” serunya.
Ting Ling tertawa hambar, “Akupun mendengar juga tentang cerita Tenggoret Kumala dan
Kupu2 Emas itu Dua buah mustika yang hebat sekali daya gunanya. Katanya, Tenggoret Kumala
itu luar biasa racunnya, tiada yang dapat menandingi. Sedangkan Kupu2 Emas itu merupakan
benda mustika yang mampu menghidupkan orang mati.
Dirangkainya cerita itu sedemikian rupa sehingga memberi kesan bahwa dengan mendapatkan
Tenggoret Kumala, orang tentu dapat menguasai dunia persilatan Apabila mendapatkan Kupu2
Emas tentu dapat menundukkan Tenggoret Kumala Apabila dipikir dengan teliti, cerita itu
sebenarnya lemah dan terlalu berlebih-lebihan.
Coba siapa yang dapat menjawab pertanyaanku ini. Dikatakan mustika Tenggoret Kumala itu
luar biasa racunnya, tetapi siapakah diantara orang persilatan yang pernah mendengar seorang
jago persilatan yang terbunuh dengan Tenggoret Kumala itu. Lalu dikatakan pula bahwa Kupu2
Emas mustika mujijad untuk menawarkan racun.
Tetapi siapakah yang pernah ditolong jiwanya?”
“Hal itu aku hanya mendengar dari cerita orang saja,” kata orangtua jenggot panjang.
“Mengatakan bagaimana?” tanya Ting Ling.
“Bahwa dia pernah melihat sendiri kehebatan racun dari Tegggoret Kumala itu, Begitu
dimasukkan dalam air, airpun berobah biru warnanya. Diletakkan di tanah, rumput tentu segera
kering dan segala serangga kecil seperti semut dan lain2 tentu mati seketika.”
“Dan mustika Kupu2 Emas itu? Apakah dapat menghidupkan lagi rumput yang sudah kering
dan semut yang sudah mati itu?”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
“Entah, aku tak mendengar bangsa serangga yang sudah mati itu dapat hidup kembali,” kata
orangtua jenggot panjang, “hanya rumput yang kering itu begitu tersentuh Kupu2 Emas, memang
dapat hidup lagi,”
Ting Ling tersenyum, “Sudah berapa tahun lamanya kawannya itu yang meninggal?”
Orangtua jenggot panjang merenung sejenak, menjawab, “Sepuluh tahun lebih tiga bulan….”
“Bukankah setelah memberitahukun tentang kedua benda mustika itu dia terus meninggal?”
“’Ya, kalau tak salah, lewat sebulan setelah dia bercerita tentang kedua mustika itu, diapun
terus meninggal.”
“Mungkin orang yang pernah melihat kedua semua sudah meninggal dunia.”
Rupanya ada sesualu yang menyadarkan pikiran orangtua jenggot panjang itu. Ia merenung.
Menghela napas, Ting Lingpun melanjutkan pula, “Orang-orang yang melihat kedua benda
mustika itu, dalam waktu yang singkat telah meninggal. Dengan begitu kedua benda itu
merupakan suatu cerita yang misterius.
Tak seorangpun yang dapat membuktikan kebenarannya dan jadilah Tenggoret Kumala dan
Kupu2 Emas itu suatu dongengan yang hebat didunia….”
Nona itu alihkan pandang matanya kearah lukisan di dinding dan barkata pula, “Kecuali
keadaan kamar yang begini bersih, pun lukisan di dinding itu memang mencurigaKan sekali.”
Kim Loji dan orangtua jenggot panjang segera berpaling memandang kearah lukisan di dinding.
Tetapi mereka tak tahu rahasianya.
“Apakah kalian melihat sesuatu yang mencurigakan?” tanya Ting Ling.
Lim loji dan orangtua jenggot panjang saling berpandangan dan mengangkat bahu.
“Harap kalian perhatikan, adakah tinta hitam pada lukisan itu benar-benar telah bertus-ratus
tahun umurnya?” tanya Ting Ling pula.
“Hai, benar,” tiba-tiba Kim Loji menepuk pahanya yang tinggal satu.” dunia persilatan
menyohorkan kedua gadis lembah
Raja-setan itu luar biasa cerdiknnya. Hari ini setelah bertemu, memang baru dapat kubuktikan
kebenaranya”
“Ah, janganlah lo cianpwe keliwat menyanjung begitu.” Ting Ling menghela napas. “kita sudah
menjadi seperti ikan yang masuk jaring. Barangsiapa masuk kedalam makam ini jangan menaruh
harap an untuk dapat keluar dengan selamat.”
Sambut Kim Loji, “Walaupun bukan Ko Tok lojin, tetapi karena dapat mengelabuhi seluruh
kaum persilatan, orang itu memang patut kita temui!”
“Soal itu aku belum dapat memecahkan. Sudilah kiranya lo cianpwe memberi petunjuk,” kata
Ting Ling.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
“Ah, jangan memuji aku,” kata Kim Loji, “aku tak tahu dengan tujuan apa orang itu telah
menggunakan seluruh pikiran dan seluruh harta bendanya untuk membangun makam ini?”
Jawab Ting Ling, “Untuk memikat perhatian seluruh kaum persilatan masuk kedalam malam ini
maka dia telah menyiarkan cerita tentang Tenggoret Kumala dan Kupu2 Emas. Rupanya tujuannya
telah tercapai.
Kecerdasan orang itu memang hebat sekali.
“Sttt…. ada orang….” tiba-tiba orangtua jtnggot panjang menukas omongan si nona.
Sesosok tubuh melesat kedalam ruangan dan begitu tegak ditanah, sambil lintangkan kedua
tangan untuk melindungi dada, orang itu berseru, “Nona Ting, Ting Ling mendengus, “Hm, apakah
engkau kira aku sudah mati?”
habis berkara ia berpaling kearah Kim Loji, “Lo cianpwe, sebaiknya didayakan untuk menutup
dinding yang bobol itu agar sinarnya jangan memancar keluar dan menarik perhatian orang.”
Kim Loji mengangkat sebuah dingklik lalu ditutupkan pada benjolan lubang.
“Lo-cianpwe, yang datang ini adalah Ca Giok, putera dari marga Ca di Ik-pak. Keluarga Ca
termasyhur dengan pukulan Pen-poll sin kun. Tentulah lo cianpwe kenal, bukan?” kata Ting Ling
memperkenalkan pendatang itu.
“Anak muda dari angkatan sekarang, banvak yang tak kukenal,” sahut orangtua jenggot
panjang.
“Ca sau-pohcu ini telah mendapatkan pelajaran ilmu pukulan sakti itu dari keluarganya.
Silahkan engkau mencobanya sampai sepuluh jurus saja,” tiba-tiba Ting Ling berkata pula.
Melihat orangtua jenggot panjang itu bertubuh tinggi kekar, wajah merah kan kening menonjol
tinggi, tahulah
Ca Gok bahwa orangtua itu tentu seorang jago yang tinggi ilmu lwekangnya.
Buru-buru ia berseru, “Ah, nona Ting, mengapa begitu “
Tetapi belum sempat ia berkata, orangtua jenggot panjang itupun sudah lepaskan hantaman
kepadanya.”
Dalam keadaan terpaksa, Ci Gokpun segera menangkis dengan jurus thian-cut-tho ta atau
Tiang-langit-menyangah pagoda.
Tangannya menyelinap kesamping untuk mencengkeram pergelangan tangan orangtua jenggot
panjang itu.
Orangtua jenggot panjang mendengus Tiba-tiba ia merobah gerakannya. Sepasang tangannya
serempak menghantam, sekaligus masing-masing melancarkan lima buah pukulan.
Gerakannya cepat sekali dan tenagapun sekeras palu besi. Karena dihambur oleh sepasang
tangan besi, terpaksa Ca Giok mundur lima langkah.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Setelah melancarkan lima buah serangan, orangtua jenggot panjang itupun hentikan
serangannya dan menyurut kembali ketempatnya semula seraya berkata, “Dalam seratus jurus,
aku tentu dapat mengambil jiwanya.”
Ting Ling hanya tertawa lalu berpaling kepada orangtua alis panjang, “Lo-cianpwe, kalau suruh
kera peliharaanmu yang menyerangnya. entah harus menggunakan berapa jurus lamanya?”
Sejak masuk kedalam ruang rahasia itu. orangtua alis panjang selalu duduk bersama kera bulu
emas.
Ia pejamkan mata menyalurkan tenaga dan tak menghiraukan pembicaraan mereka. Begitu
mendengar pertanyaan Ting Ling, baru ia membuka mata dan memandang Ca Giok, serunya, “O,
orang itu?”
“Walaupun usianya muda tetapi ilmusilatnya amat sakti,” kata Ting Ling.
Orangtua alis panjang tertawa dingin lalu menepuk punggung kera bulu emas.
Saat itu Ca Giok masih terengahengah karena habis menyam but sepuluh buah pukulan
orangtua jenggot panjang.
Mendengar Ting Ling hendak menyuruh orang menyerangnya lagi, buru-buru ia berseru, “Nona
Ting, aku hendak memberitahu suatu hal kepadamu ,. ….”
“Nanti saja kita bicara!” sahut Ting Ling. Ca Giokpun tak dapat bicara karena saat itu kera bulu
emaspun sudah menyerangnya.
Iapun cepat melepaskan sebuah pukulan Pek-poh-sin kun atau Pukulan-sakti-jarak-seratus
langkah, sembari menghindar kesamping dan menyambar sebuah po-ci dari perak.
Menerima pukulan pek-poh-sin-kun, gemetarlah tubuh kera itu tetapi karena kulitnya tebal
sekali, ia tak sampai terluka.
Setelah berhenti sejenak iapun menyerang lagi.
Ca Giok kerahkan tenaga dalam, mengangkat poci perak dan berseru nyaring, “Nona Ting,
kalau engkau tak mau mencegah binatang itu, jangan sesalkan aku kalau kulukainya!”
Ting Ling hanya tertawa dingin, “Kalau engkau membunuhnya masakan yang punya akan
tinggal diam?”
Mendengar itu Ca Giok terbeliak. Tetapi belum sempat ia menjawab, kera bulu emas itupun
sudah menyerangnya lagi.
Cepat ia menghindar lalu hantamkan poci perak itu.
Ca Giok dapat menangkap peringatan Ting Ling. Dia tak mau menggunakan seluruh tenaganya
karena kuatir akan membinasakan kera itu. Suatu hal yang tentu dapat menimbulkan kemarahan
pemiliknya. Dengan pertimbangan itu, ia hanya menggunakan lima bagian tenaganya saja.
Kera menangkis dan poci perak itupun terlempar kesamping, lalu ulurkan tangannya hendak
mencengkeram dada Ca Giok.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Pemuda itu terkejut. Cepat ia mengempos napas dan menyurutkan dada untuk menghindari
cakar kera yang runcing.
Setelah itu ia balas menabas. Dia bergerak cepat sekali sehingga kera itu tak sempat
menghindar.
Lengannyapun kena tertabas tangan Ca Giok.
Tetapi langkah kejut pemuda itu ketika tangannya serasa membentur keping baja yang keras
sekali.
Bahkan lengan binatang itupun mempunyai daya membal sehingga membuat Ca Giok terpental
mundur selangkah.
Dan serempak itu, tangan kiri binatang itupun sudah merangsangnya lagi.
Untunglah Ca Giok sudah banyak pengalaman dalam pertempuran. Tahu kulit kera itu kebal, ia
menggunakan tenaga membal dari pukulannya tadi untuk loncat berjumpalitan kebelakang dan
melayang turun keatas meja.
Tetapi kera itu tajam sekali nalurinya.
Segera cakarnya digerak gerakkan untuk menyambar nyambar. Kursi dan mejapun
berhamburan tumpah ruah.
Ca Giok mengambil keuntungan dari alat perabot dalam ruang itu untuk melindungi diri.
Ia melontarkan apa saja yang dapat diraihnya dan setempo iapun mencuri kesempatan untuk
balas menghantam.
Tetapi kera bulu emas itu tebal sekali kulitnya. Walaupun menderita beberapa kali pukulan ia
tetap tak apa-apa.
Sedangkan tangannya, luar biasa kuatnya. Setiap tambarannya tentu menimbulkan desir angin
yang menderu-deru.
Ca Giok yang mengetahui tak berguna adu kekuatan terpaksa harus main menghindar. Dengan
demikian tampaklah
ia terdesak oleh kera itu.
Melihat Ca Giok pontang panting tak keruan. Ting Lingpun tertawa mengikik. Seberapa saat ke
mudiain ia berseru kepada orangtua alis panjang, “Lo-cianpwe, harap hentikan kera itu!”
Sejenak berbatuk-batuk, orangtua alis panjang itu lalu bertepuk tangan dan mulutnya bercuit-
cuit, lalu membentak.
Tiba-tiba kera bulu emas yang tengah menyerang Ca Giok itupun segera berputar tubuh dan
dengan bergoyang gontai menghampiri tuannya.
Dengan napas terengah-engah, Ca Giokpun berseru, “Nona Ting . .
“Mengapa?” tanya Ting Ling hambar, “sekarang engkau boleh bilang.”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Melihat sikap Ting Ling yang seolah olah memberi perintah kepada orang-orang tua itu, diam-
diam Ca Giok heran juga.
Pikirnya, “Bagaimana mungkin orangtua jenggot panjang dan orangtua alis panjang begitu
menurut perintah nona itu….”
Namun ia tak berani menanyakan hal itu dan melainkan tertawa, “Nona Ting, apakah nona
berjumpa dengan ayahku?”
“Hm, tidak ada omongan engkau cari bahan mengomong, Ya, memang berjumpa tapi mungkin
saat ini dia sudah mati.”
Ca Giok tertegun, “Apakah nona bergurau?”
“Siapa yang akan bergurau dengan engkau? Itu memang sungguh suatu kenyataan.
Dia telah didesak mati2an oleh Han Ping. Nah, coba engkau pikir, apakah dia masih dapat
hidup?”
Mendengar ayahnya bertempur dengan Han Ping, hati Ca Giok malah lega, ia tertawa,
“Sekalipun kepandaian Han Ping itu tinggi tetapi jika dapat mengalahkan ayah, itu sungguh tak
mungkin “
“Bagaimana kepandaian ayahmu kalau dibanding dengan Ih Thian-heng?” tanya Ting Ling pula.
“Kalau dinilai dari ilmu silatnya, mereka seimbang. Tetapi kecerdikan Ih Thian-heng memang
jauh diatas ayah.”
“Beberapa hari yang lalu, Han Ping telah mengunjukkan ilmu permainan pedang yang luar biasa
mengejutkan seluruh tokoh-tokoh
dalam gelangang pertempuran besar. Rupanya engkau sendiri juga melihatnya, masakan sudah
lupa?
Sedang Ih Thian-heng saja harus tunduk dan kagum masakan ayahmu?”
Ca Giok tertegun diam. Apa yang dikatakan nona itu memang benar. Tetapi ia tahu bahwa
tenaga-dalam ayahnya tinggi sekali.
Sedang ilmu pukulan Pek-pofa-sin-kun dari merga Ca, hebat bukan main. Sekalipun tak dapat
menang dari Ih Thian-heng tetapipun dapat melindungi diri.
Ca Giok seorang pemuda yang licin. Melihat gelagat ia tak mau berbantah lagi dengan nona itu.
“Kutahu hatimu tentu masih belum puas, “Ting Ling tertawa.” tetapi jangan lupa bahwa Han
Ping itupun masih mempunyai pedang pusaka Pemutus-asmara.”
Ca Giok tertawa hambar, “Saat ini dalam makam tua disini penuh dengan alat-alat pekakas
yang berbahaya.
Betapapun erat hubungan orang hingga seperti ayah dan anak, tetapi juga tak dapat saling
memberi bantuan.
Ting Ling tertawa, “Ih, engkau dapat memikir terang juga”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sejenak mengeliarkau pandang mata, nona itupun melanjutkan pula, “Mengapa engkau hanya
seorang diri saja?
Dimana Ih Thian-heng? Beri tahu terus terang, akupun akan memberitahu kepadamu tentang
keadaan ayahmu yang sebenarnya”
“Sejak engkau melarikan diri, Ih Thian heng marah sekali. Dua orang anak buahnya dihantam
mati lalu menyuruh seluruh orang-orangnya mencarimu kesegenap penjuru. Bermula aku bersama
ayahku tetapi ditengah jalan bertemu dengan ketua Lembah-seribu racun. Ayah dan ketua
Lembah-seribu-racun saling berhantam. Akupun juga berbaku bantam sampai tiga jurus dengan
pengikut2 ketua Lembah-seribu-racun “Tak perlu kutanya, tentu engkaulah yang kalah,” kata Ting
Ling.
“Tiga jurus, belum ada yang kalah dan menang. Tetapi perkelahian iiu telah menyebabkan aku
terpisah dengan ayah. Aku tersesat jalan dan membelok kemari sehingga tanpa sengaja bertemu
dengan nona.”
Ting Ling mencibirkan bibir, “Mengapa engkau tak mengakui kalau engkau kalah dan dikejar
musuh sehingga menyusup kemari?”
“Silahkan saja nona mengatakan bagamana. Aku tak memasukkan dalam hati. Tetapi kuminta
nona suka memberitahu dimana berad-nya ayahku itu.”
“Ya, baiklah,” kata Ting Ling, “dengan terus terang kuberitahu bahwa aku benar-benar tak
pernah melihatnya.”
“Apakah omongan nona tadi hanya isapan jempol belaka?” Ca Giok menegas.
“Siapa bilang isapan jempol?” kata Ting Ling, “yang jelas Han Ping tidak memburu ayahmu.”
“Lalu siapa?”
“Nyo Bun-giau serupa dengan ayahmu, keduanya golongan macan hitam.”
Ca Giok tertawa, “Harap nona jangan lupa. Ayahmu dan ayahku itu tokoh termasyhur diduma
persilatan.
Nama dari Lembah-raja-setan sesungguhnya tak dibawah marga Ca.”
Tiba-tiba Ting Ling berpaling kearah orangtua jenggot panjang dan berseru, “Maju dan serang
dia sampai tiga jurus!”
Tanpa bicara apa-apa, orangtua jenggot panjang itu terus maju menyerang Ca Giok sampai tiga
jurus.
Hebatnya bukan main sehingga Ca Giok sampai mundur enam langkah. Darah dalam tubuhnya
bergolak keras, mata berkunang kunang.
Untung setelah tiga jurus, orangtua jenggot panjang itupun hentikan serangannya dan mundur
kembali ketempatnya semula.
Ca Giok menghela napas panjang, memandang Ting Ling dan berkata, “Orangtua ini, hebat
sekali pukulannya.”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ting Ling hanya tertawa hambar, “Kalau engkau bicara tak keruan, tentu akan kusuruh dia
membunuhmu.”
“Ya, dia memang mampu.”
“Nah, kalau engkau sudah tahu, baiklah,” kata Ting Ling, “engkau jawablah beberapa
pertanyaanku tetapi harus mengatakan sejujurnya. Nanti tentu kubebaskan.”
“Seorang lelaki dapat bersikap keras, pun dapat lunak. Silahkan engkau bertanya.”
“Engkau memang pandai merangkai kata-kata dan mengambil muka orang, “kata Ting Ling,”
dan pandai berbohong.
Tetapi engkau harus mengerti, bahwa justeru aku ini paling dapat meneliti kebohongan orang.
Tiap patah kata engkau berkata bohong, tentu akan kupotong jari tanganmu.
“Jangan kuatir,” kata Ca Giok, “orang’ yang berada dalam makam tua ini memang tipis
harapannya dapat keluar lagi dengan selamat. Disini memang merupakan gelanggang perebutan
jiwa dengan menggunakan ilmu kepandaian.
Kalau aku tak ingin cepat mati lebih dulu, tentu takkan membohongi engkau.”
“Hm. tak kira kalau engkau masih bersikap begitu perwira,” kata Ting Ling.
Tiba-tiba nona itu kerutkan wajah dan melanjutkan berkata, “Ih thian-heng, ayahmu dan Nyo
Bun-giau, dengan tujuan apa menyebarkan surat kepada tokoh-tokoh persilatan, mengundang
mereka datang ke makam tua sini?”
“Bagaimana engkau tahu kalau ayah dan Ih Thian-heng mengundang mereka’! Ca Giok balas
dapat tanya.
Hm, dengan menerka saja tentu sudah dapat menerka tepat.”
“Benar, engkau memang menerka tepat,” kata Ca Giok,” lh Thian heng hendak meminjam alat-
alat rahasia dalam makam ini untuk membinasakan seluruh tokoh persilatan!”
“Ya, hai itu memang aku sudah tahu,” kata Ting Ling, “yang kutanyakan kepadamu yalah
tentang rencananya.”
“Pada setiap pintu terowongan, ia selalu menyuruh seorang anak buah yang mahir
menggunakan senjata rahasia beracun untuk menjaga. Tak peduli siapa saja yang masuk pintu
terowongan, tentu akan dihantam dengan senjata rahasia beracun.
Alat rahasia yang sudah hebat di tangan dengan seorang penjaga yang berilmu tinggi, benar-
benar merupakan pintu maut bagi setiap orang persilatan yang melalui pintu itu. betapapun
tingginya kepandaian orang itu.”
“Rencananya itu memang bagus. Sayang dalam dunia masih banyak orang yang lebih cerdas
dari dia,” dengus Ting Ling.
“Benar,” sahut Ca Giok, “aku sendiri memang tak percaya bahwa di dunia ini terdapat orang
yang paling uomor satu.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Karena setiap orang itu mempunyai bakat dan kecerdasan sendiri2.”
“Pandanganku justeru berlainan dengan engkau,” kata Ting Ling.
“Aku ingin mendengar alasan nona”
“Ilmu kepandaian yang dicapai orang dengan bakat kecerdasan memang mempunyai
hubungan. Maka sejak dahulu sampai sekarang, belum pernah terdapat orang yang tidak cerdas
dapat memiliki kepandaian yang tinggi.”
Saat itu Ca Giok tak mau adu lidah dengan Ting Ling maka ia hanya tertawa saja, “Mungkin
pendapat ia lebih benar.”
“Hm, memang sehenarnya aku harus dapat melebihi engkau!” dengus Ting Ling.
Tiba-tiba terdengar suara nyaring, “Giok-ji…. Giok ji….”
Ca Giok terkejut. Giok ji artinya anak Giok, yalah panggilan yang biasa dilakukan ayahnya
kepadanya.
Segera ia mengempos semangat dan berseru nyariug, “Yah, apakah engkau?”
Wut, iapun segera lepaskan pukulan Pek-poh-sin-kun kearah Kim Loji.
Baru saja Kim Loji menambal bobolan dinding atau begitu mendengar deru angin pukulan
terpaksa cepat-cepat ia menyingkir kesamping.
Habis memukul, Ca Giokpun segera loncat ketempat bobolan dinding dan terus menghantam
penutupnya.
Brak…. penyumbat dinding itupun berantakan.
“Lekas bunuh dia, makin cepat makin baik!” segera Ting Ling memberi perintah kepada
orangtua jenggot panjang.
Tetapi orangtua ‘jenggot panjang itu kerutkan dahi seolah-olah segan melakukan perintah Ting
Ling. Tetapi sesaat kemudian akhirnya ia melesat mengejar Ca Giok.
Setelah menyingkir kesamping, Kim Loji terus membabat dengan golok tetapi saat itu Ca Giok
yang sudah melayang ditanah, segera berputar tubuh, menghindari tabasan golok lalu
menghantam sekuat-kuatnya kepada orangtua jenggot panjang.
Orangtua jenggot panjang menangkis. Tetapi walaupun dapat menahan pukulan Pek-poh-sin
kun namua tak urung terpental juga di ketanah.
Tiba-tiba sesosok tubuh melesat masuk kedalam lubang itu dan terus menghantam Kim Loji
Cepat sekali orang itu bergerak sehingga tahu-tahu Kim lo ji sudah direbut goloknya. Dan secepat
itu pula pendatang itupun sudah menghadang dimuka Ca Giok, memutar golok menyeraug
orangtua jenggot panjang yang mendesak Ca Giok.
Ting Ling cepat mendekat orangtua alis panjang dan membisikinya, “Lo cianpwe, harap lekas
suruh kera bulu emas turun tangan “Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Orangtua alis panjang itu tertawa gelak-gelak, “Jangan kuatir nak, sekalipun pendatang itu
sakti sekali tetapi aku tentu mempunyai daya untuk menghadapinya.”
“Bukankah engkau tak mengerti ilmusilat?” tanya Ting Ling heran.
Jawab orangtua alis panjang, “Apakah membunuh orang itu harus menggunakan ilmu silat
saja?
asal engkau dapat membuatnya dekat kepadaku dalam jarak tiga langkah, aku tentu dapat
menguasainya.”
Saat itu pendatang tadi hentikan serangannya dan berpaling kepada Ca Giok, “Nak, apakah
engkau terluka?”
“Tidak….,” sahut Ca Giok. Kemudian ia menunjuk pada orangtua jenggot panjang, “Orang itu
sakti sekali,” kalau menghadapinya harap ayah hati-hati.”
Sejenak memandang kepada orangtua jenggot panjang, ayah Ca Giok, berseru, “Hai, apakah
saudara bukan saudara Theng Ban-li si Pukulan besi itu?”
Orangtua jenggot panjang tertawa, “Ah, kiranya saudara Ca masih ingat kepadaku.”
“Ai, jenggot saudara Theng yang indah itu sungguh tiada keduanya dalam dunia.
Karena memandang jenggot itulah maka aku terhindar akan saudara Theng. Teringat ketika
pertemuan digunung Heng-san kita saling menuturkan pengalaman masing-masing.”
Sambil menjuntaikan jenggotnya yang bodol, orang she Theng itu itu tertawa, “Ah, jenggot itu
sekarang sudah habis.”
“Ah. saudara Taeng masih tetap sama dengan dahulu….kata Ca Cu lalu berpaling kearah Ca
Giok, “Inilah Theng supeh, dengan sepasang pukulan besi dia pernah mengaduk daerah Kwan-
gwa dan tokoh-tokoh persilatan berbagai aliran. Hayo, lekas engkau memberi hormat kepadanya.”
Ca Giokpun segera melakukan perintah ayah. Tersipu-sipu ia memberi hormat, “Harap Theng
locianpwe suka memberi maaf.”
Theng Ban-li tertawa, “Harimau pasti takkan beranak anjing. Kepandaian hian-tit, sungguh
membuat aku kagum sekali.”
Ca Giok hanya tersenyum, “Ah, harap Theng supeh jangan keliwat memuji.
Kalau supeh tak bermurah hati aku tentu sudah terluka.”
Ca Cu-jing cepat dapat mengetahui suasana dalam ruang itu. Dihatnya orangtua alis panjang
itu duduk meramkan mata.
Sikapnya membuat orang sukar menduga betapakah ilmu kepandaian orang itu.
Diam-diam Ca Cu-jing heran mengapa Theng Ban-li mau menerima perintah Ting Ling.
Namun sebagai seorang tak mau cepat-cepat membuka rahasia orang sebelum tahu duduk
persoalannya yang jelas.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sambil memberi salam kepada Ting Ling, ia berseru, “Ah, kepandaian hiat-titli sungguh
membuat kita orang-orang tua ini kagum dan malu hati.”
Selama Ca Cu jing hercakap cakap dengan Theng Ban-li tadi, diam-diam Ting Ling sudah
memperhitungkan kekuatan kedua belah pigak.
Walaupun sakti tetapi Theng Ban-li itu ternyata bersahabat baik dengan Ca Cu-jing.
Sedang walaupun orangtua alis panjang itu manhir dalam ilmu racun tetapi dia tak mengerti
ilmusilat.
Kalau sungguh terjadi pertempuran, tentu tak berguna. Sedang ia sendiri bersama Kim Loji
tetap bukan tandingan Ca Cu jing. Dan apabila ia mendesak pada Theng Ban-h untuk bertindak
kemungkinan orangtua jenggot panjang itu tentu akan nekad menentangnya. ….
Sekalipun masih muda tetapi Ting Ling memang luar biasa cerdasnya.
Dalam menghadapi kesulitan yang bagaimanapun sukarnya ia tetapi berlaku tenang.
“Terima kasih paman Ca,” serunya tersenyum Berkata pula Cujing, “Sejak masuk kedalam
makam ini, ih Thian-heng semakin gila.
Bukan saja mempunyai rencana hendak menumpas seluruh kaum persilatan, pun Nyo Bun-giau
dan diriku, juga akan dibunuhnya.
Dia memang berhati ganas dan beracun seperti ular berbisa. Sukar untuk diajak kerja sama….”
“Ting Ling tertawa, “Kalau paman dapat menyadari hai itu, aku sungguh gembira sekali.”
“Ayahmu juga sudah masuk kedalam makam ini, berita itu tentulah engkau sudah tahu,” kata
Ca Cu jing pula.
“O. apakah ayah juga datang? Bilakah paman berjumpa dengan ayah “ tanya Ting Ling.
Ca Cuing tertawa, “Suara suitan aneh dari ayahmu, tiada orang didunia ini yang dapat meniru.
Aku mendengar suara suitannya, apakah hal itu tidak seperti melihatnya wajahnya?”
“Tetapi memang kuharap ayah datang kemari agar aku dapat menceritakan tentang
pengalaman pahit yang kuderita….”
Tiba-tiba angin berkesiur dan seorang yang tubuhnya berlumuran darah menerobos masuk.
Rambutnya kusut masai, pakaian compang camping dan darah yang berhamburan mengotori
mukanya itu, menyebabkan wajahnya yang aseli tak kelihatan.
Walaupun Ca Cu-jing luas pengalaman tetapi untuk sesaat ia tetap tak dapat mengenali orang
itu.
Suasana dalam makam itu penuh diselimuti hawa pembunuhan Maka setiap orang selalu siap
siaga menjaga diri.
Munculnya pendatang yang menyeramkan itu, tak disambut dingan tindakan yang bersikap
hendak menolongnya.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tampak tubuh pendatang itu terhuyung-huyung. Rupanya dia sudah tak kuat untuk berdiri
tegak.
Sambil menghampiri, Ca Cu-jing menegurnya, “Siapakah engkau?”
Karena lukanya parah, orang itu Pejamkan mata dan menyahut dengan sisa tenaga yang masih
dipunyai, “Ca Cu-jing”
Ca Cu-jing terkejut. Diam-diam ia berpikir, Memang banyak tokoh persilatan yang kenal
kepadanya.
Tetapi yang langsung memanggil namanya begitu saja, sedikit sekali jumlahnya. Kalau orang
itu memanggilnya begitu, tentulah seorang yang hebat. “Siapa saudara ini? Mengapa memanggil
namaku?” tegurnya.
Orang itu menggeliat bangun dan melangkah beberapa tindak, medekap meja dan berpaling,
“Apakah saudara Ca benar-benar tak kenal lagi padaku?”
Ca Giok seperti kenal dengan nada suara orang itu tetapi sesaat ia masih belum ingat sekali.
“Saudara menderita luka parah sekali. Harap jangan banyak bicara. Bolehkah aku membantu
mengobati luka saudara?” serunya.
Dengan susah payah orang itu menjawab, “Tubuhku telah menderita tujuhbelas tusukan
pedang.
Sekalipun makan obat dewa, mungkin tak dapat menolong jiwaku.
Walaupun sudah mendekap meja tetapi tubuh orang itu tetap gemetar ketika bicara.
Ca Cu-jing buru-buru menyanggahnya, “Saudara menderita tujuh belas tusukan pedang namun
masih kuat bertahan benar-benar
saudara hebat sekali.”
Setelah mendapat bantuan tangan Ca Cu jing. orang itu dapat berdiri tegak, serunya: Beberapa
nadi dalam tubuhku sudah putus, darah yang masih tersisa dalam tubuhku, segera akan
mengalir….” Bluk, ia tak dapat melanjutkan katanya karena saat itu iapun rubuh.
Ca Cu jing memeriksa luka orang itu dan dapatkan bahwa hampir sekujur tubuhnya berhias
luka berat sehingga pakaiannya merah dengan darah.
Ca Cu jing tak mempedulikan kematian orang itu Karena bagaimanapun dengan menderita
sehebat itu, tak mungkin dapat ditolong jiwanya. Yang menjadi pemikirannya yalah siapakah yang
membunuhnya? Ya, ia ingin tahu.
Segera ia lekatkan telapak tangannya ke punggung orang itu dan menyalurkan tenaga dalam,
serunya, “Luka yang begitu hebat, telah menyebabkan nada suara saudara agak berobah sehingga
aku benar-benar tak dapat mengenali saudara.
Harap saudara suka memberitahu nama saudara agar kelak apabila bertemu dengan putera
saudara, dapat kuberitahukan kepadanya.”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Serangkum hawa hangat segera memancar pada jalan darah di pusar orang itu sehingga dia
dapat siuman lagi.
“Aku Thay ou Ong…. “ belum selesai berkata tiba-tiba orang itu muntah darah.
Ca Cu-jing lerkejut, serunya, “Saudara ini saudara Ong Tay-ki dari telaga Thay-cu?”
“Benar….”
“Saudara Ong terluka ditangan siapa?”
Baru Ong Tay-ki hendak menjawab tiba-tiba dari lubang bobolan dinding terdengar suara orang
berseru dingin, “Terluka ditanganku “
Cepat Ca Cu-jing berpaling dan tampak seorang lelaki berjubah panjang, berjalan menghampiri.
Tetapi serempak dengan itu ia merasakan tubuh Ong Tay-ki yang disanggah dalam tangannya
itu mengulai kesamping terus terkapar jatuh ke tanah Can putuslah jiwanya.
Pelahan lahan Ca Gu jing mengangkat tangan kanan, dijulurkan jurus kemuka dada. Diam-diam
ia menyalurkan tenaga-dalam Pek poh-sin kun. Asal pendatang itu hendak menyerang iapun
hendak mendahului menghantamnya.
“Kalau sudaura dapat memberi tusukan tujuhbelas buah kepada Ong Tay-ki, jelas saudara tentu
seorang tokoh yang ternama.
Bolehkah aku mendapat tahu nama saudara yang mulia?” serunya. Sebagai seorang yang
pengalaman, cepat ia dapat mengetahui bahwa pendatang itu mengenakan wajah palsu dati
kedok kulit.
Pendatang itu mencekal sebatang pedang di tangan kanan sedang tangan kiri mengusap kedok
mukanya lalu tertawa nyaring, “Saudara Ca, mengapa sama sekali engkau tak dapat mengenali
nada suaraku?”
Demi melihat wajah orang itu, gemetarlah Ca Cu-jing, serunya, “O, saudara Ih?”
Ya, yang muncul itu memang Ih Thian-heng, jago yang menggangap dirinya sebagai tokoh
nomor satu diduma.
Dia memang merencanakan untuk menjaring seluruh orang persilatan kedalam makam itu
untuk dibasmi.
“Benar. memang aku,” Ih Thian-heng tertawa.
Tokoh itu mengeliarkan pandang mata kedalam ruang.
Ca Cujingpun segera menurunkan tangannya yang menjulur kemuka dada itu lalu tertawa,
“Karena saudara Ih menggunakan logat daerah, sudah tentu aku tak dapat menangkap
maksudnya.
Orang persilatan mengatakan bahwa saudara Ih paham semua logat bahasa daerah, ternyata
memang benar.”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
“Ah, saudara Ca keliwat memuji….“ kata Ih Thian-heng, “tetapi apakah saudara Ca pernah
berjumpa dengan Nyo Bun-giau “
Ca Cu-jing gelengkan kepala, “Tidak, aku tak pernah kesampokan dengan saudara Nyo.”
“Bilakah saudara Ca menemukan nona Ting itu?” Ih Thian heng tertawa dingin.
“Aku baru saja tiba disini….” kata Ca Cu jin seraya memandang kearah Theng Ban-li dan
berkata, “Dia adalah Pukulan-besi Theng Ban-li dari Kwan-gwa, seorang tokoh ternama dari
gunung Pek-san.”
Memandang kepada mayat itu, Ih Thian-heng berseru, “Bagus, bagus, saudara Theng ternyata
juga datang kemari mengantar jiwa.
Theng Ban-li mejulaikan jenggotnya, berkata, “Kalau bicara, harap saudara Ih sedikit pakai
kesungkanan”
Tiba-tiba Ih Thian-heng tertawa dan mengangkat, tangan menunjuk Ting Ling, “Makam ini
merupakan sebuah tempat yang melingkar-lingkar bundar tak peduli nona akan bersembunyi
dimana, tentu tak dapat lolos dari tanganku.”
Ting Ling melihat alis Ih Thian-heng mengerut hawa pembunuhan. Sikapnyapun mengunjuk
hendak segera turun tangan.
Tetapi ia tak tahu siapakah yang akan dibunuh. Kemungkinan Theng Ban-h, kemungkin ia
sendiri.
Tetapi Ca Cu-jing pun juga bukannya tak mungkin.
“Apakah engkau hendak mencari Nyo Bun-giau?” akhirnya ia bertanya.
“Dimana dia?”
“Aku pernah berjumpa tetapi tak tahu sekarang ini dia masih hidup atau sudah mati?”
“’Apakah dia berjumpa dengan dara baju ungu dari perguruan Lam-hay bun itu?”
“Bukan,” Ting Ling gelengkan kepala.”Ketua Lembah-seribu racun?”
“Juga bukan….”
JILID 4
Persekutuan serigala.
Ih Thian-heng menyimpan kedok muka kedalam baju lalu tertawa keras, “Aku tak peduli
tentang mati hidupnya Nyo Bun-giau.
Dia bertemu siapa dan mati ditangan siapa, bagiku tiada kepentingannya.
Hanya kalau nona hendak meminjam tempat ini untuk mengulur waktu, akupun hendak
bertanya separah kata kepadamu….”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sejenak berhenti, Ih thian-hengpun berkata pelahan-lahan, “Apakah dia bukan bertemu dengan
Thian Hian totiang?”
Ting Ling tertawa, “Engkau sudah tahu bahwa jiwaku berada dalam genggamanmu maka
berani sja engkau hendak mengulur waktu.
Karena engkau mempunyai anggapan begitu, baiklah, akupun tak mau berbantah lagi dengan
engkau, nanti akhirnya tentu tahu sendiri. Dan karena engkau bertanya, akupun tak keberatan
untuk menjawab Ting Ling tertawa pula.
“Orang yang dijumpahi Nyo Bun giau, walaupun tiada terdapat nama Thian Hian totiang.
Namun dalam ilmu pedang, kiranya tak kalah dengan Thian Hian totiang,” katanya pelahan.
Tiba-tiba wajah Ih Thian-heng membesi, serunya, “Apakah bukan Ji Han ping?”
Sambil mengelus rambut, Ting Ling tertawa ringan, “Benar, memang Han Ping.”
Mata lh Thian-heng berkilat, wajahpun tampak agak berobah. Tiba-tiba ia tertawa, “Bagus,
bagus! Ji Han Ping, Ji Han Ping, akhirnya engkau juga datang kemari!”
Walaupun nada tertawanya melantang keras namun tak dapat disembunyikan bahwa dalam
kilatan matanya itu jelas tak tenang.
Ting Ling dapat memperhatikan hal itu dan diam-diam menarik kesimpulan bahwa nyata Ih
Thian-heng itu sudah menempatkan Ji Han Ping sebagai lawan yang paling berat, satu satunya
orang yang mampu mengimbangi kepandaiannya….
Rupanya sikap Ih Thian-heng itu, tak luput juga dari pengawasan Ca Cu jing dan Theng Uan-li.
Diam-diam kedua tokoh itu heran mengapa seorang tokoh durjana yang paling ditakuti oleh
segenap orang persilatan ternyata begitu memandang berat pada seorang pemuda yang belum
terkenal.
“ji Han Ping?” seru Theng Ban-li,” siapakah dia? Mengapa aku belum pernah mendengar nama
itu?”
Ih Thian-heng tersenyum, “Karena saudara Theng lama tinggal didaerah Kwan-gwa, tentulah
tak begitu faham akan jago2 silat daerah Tiong-goan. Misalnya, Ji Han Ping.”
“Ji Han Ping itu satu-satunya jago muda yang dapat menggetarkan nyali Ih Thian-heng,” tiba-
tiba Kim loji menukas sambil busungkan dada. Walaupun sudah lama Kim loji hidup dalam tekanan
Ih Thian-heng, tetapi pada saat itu samangatnya menggelora, seolah-olah ia turut menikmati
nama Han Ping yang gemilang.
Ih Thian-heng berpaling menyapukan pandang kearah Kim loji, serunya pelahan, “Benarkah
aku gentar terhadap anak itu?”
Kim loji buru-buru hindarkan pandang mata dari sinar mata Ih Thian-heng, sahutnya, “Benar
atau tidak, hanya engkau sendiri yang tahu.”
Ca Gu jing dan Theng Bau- lipun mencurah pandang kepada Ih Thian heng. Tiba-tiba Ih Thian-
heng tertawa gelak-gelak, “Benar, memang aku agak gentar kepadanya….”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Setelah berhenti tertawa, ia berkata pula dengan pelahan, “Oleh karena itu dengan bermacam
siasat, aku hendak membasminya!”
Kim loji tertawa dingin, “Mungkin…. belum tentu…. engkau dapat membunuhnya….”
“Memang ada beberapa orang dalam pandanganku, kalau dia hidup tak membahayakan,
kalaumatipun tak ada kepentingan bagiku.
Orang-orang semacam itu. aku tak peduli mati atau hidup.”
Kemudian ia menatap Kim loji, “Itulah sebabnya mengapa sampai saat ini engkau masih bisa
bernafas “
Seketika wajah Kim loji pucat lesi, tak dapat bicara lagi.
“Tetapi ada beberapa orang, walaupun hanya hidup sehari saja, tetap meresahkan hatiku dan
harus kubasmi.
Aku ingin hidup tenang maka harus lekas-lekas dia kulenyapkan,” kata Ih Thian-heng pula.
“Kalau begitu, engkau tentu akan melenyap kan aku,” seru Ting Ling, “oleh karena aku ini juga
termasuk duri dalam mata.”
“Benar,” sahut Ih Thian-heng.
Ting Ling tertawa ringan: Aku sungguh berbahagia sekali tiba-tiba ia mengangkat tangan dan
segulung asap segera meluncur, tanpa diketahui orang sama sekali.
Ih Thian heng tertawa gelak-gelak, “Hai, budak perempuan yang ganas!” ia terus tamparkan
lengan jubah sehingga bubuk racun itu berhamburan kemana-mana.
Melihat itu pucatlah Ting Ling. Cepat-cepat ia berseru, “Lekas tutup pernapasan!”
Tetapi terlambat. Kini lojipun sudah terjungkal rubuh ditanah.
Ih Thian heng menengadahkan kepala tertawa, “Bubuk Bi-yokhun dari Lembah-raja-setan
memang hebat sekali. Tetapi kalau gagal mencelakai orang, tentu akan mencelakai diri sendiri.
Pengalaman ini harap nona Ting jangan lupa dan ingat baik2”
Habis berkata ia terus melangkah ketempat Ting Ling.
Wajah Ting Ling berobah tegang, “Tok lo-cianpwe, kera bulu emas….”
Serentak terdengar suitan tajam dan kera itupun sudah melesat kesamping Ting Ling, terus
menyerang Ih Thian-heng.
Ih Thian-heng menghindar kesamping. Ting Lingpun cepat-cepat mengambil bubuk obat lagi
dau dilumurkan ke hidung Kim loji.
Terkamannya luput, kera bulu emas itu marah sekali. Bulu sekujur tubuhnya tegak berjuntai,
kedua tangannya yang bercakar runcing, tampak menelungkupi Ih Th-an-heng.
Tetapi Ih Thian-heng hanya ganda tertawa, “Apakah hanya begitu saja kepandaian binatang
ini?” Ia tamparkan tangannya.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kera itu menghindar kesamping tetapi telah disambut dengan tamparan tangan Ih Thian heng
yang tepat mengenai dadanya.
Kera itu meraung keras lalu mencelat sampai setombak tingginya dan tubuh disudut dinding.
Orangtua alis panjang terkesiap. Ca Cu-jing dan Iheng Ban-li menghela napas. Ting Ling
tegang.
Kim Loji menggigil lalu menggeliat berdiri, tegak terlongong longong.
Ih Thian heng berkata tawar, “Kalau nona Ting mempunyai siasat apa lagi, silahkan menge
luarkan semua agar aku dapat melihatnya.”
Tiba-tiba Ting Ling berseru, “Theng Ban-li apa kah engkau lupa perjanjian kita? Lekas serang
dia sampai tigaratus jurus!”
Sebenarnya saat itu Theng Ban-li sudah le paskan tangannya yang mengurut jenggot tadi dan
tegak termangu.
Ih Thian-heng tertawa dingin, “Hm. saudara Theng sudah tua mengapa mau menjadi hamba
yang diperintah nona Ting Kalau hal itu tersiar didunia persilatan, bukankah mereka akan tertawa
geli?”
Wajah Theng Ban-li merah padam, serunya ketus, “Saudara Ih mengatakan begitu, apakah….”
Tiba-tiba kata-katanya terputuskan oleh teriakan Nyo Bun-giau, yang dari jauh makin lama
makin dekat dan akhirnya sudah berada diluar ruang.
Tangan yang sudah diangkat dan hendak di pukulkan oleh ih Thian-heng terpaksa diturunkan
lagi.
Ia berpaling memandang kearah lubang din ding, serunya, “Apakah itu saudara Nyo? Lekas
masuk kemari!”
Sesosok tubuh menyelinap masuk dan muncullah Nyo Bun-giau.
Ting Ling yang licin dan cerdik, pada saat orang ribut2 menunggu kedatangan Nyo Bun giau
cepat sudah menyambar sebuah cawan perak terus ditimpukkan kearah lentera kaca yang
tergantung pada wuwungan guha. Pyur…. lenterapun pecah berhamburan jatuh ketanah.
Karena lentara pecah maka mutiara yang ter pasang diempat dinding ruangan, pun padam
sinarnya. Ruangan gelap.
Dan setelah menimpuk lentera kaca, Ting Ling cepat menyambar tangan orangtua alis panjang
diajak bersembunyi pada sebuah gundukan batu.
Suasana kacau. Ih Thian heng cepat lepaskan hantaman kearah tempat yang diduduki Ting
Ling tadi.
Prang…. alat-alat makan terbuat dari perak dan porselein yang terletak diatas meja,
berhamburan jatuh keseluruh tempat, Mejapun terjungkir balik menghantam dinding dan seketika
ruangan itupun terasa berputar-putar.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Theng Ban-li meraung keras lalu menghantam dua buah cawan perak yang dipukul lh
Thianheng dan melayang kearahnya.
Prangng…. cawan itupun melayang kembali.
Ruangan itu hanya dua tombak luasnya. Yang berada dalam ruangan itu tak kurang dari tujuh
orang.
Sedang suasananya kacau balau. Pada saat Theng Ban-li lepaskan pukulan, justeru Ca Cu-jing
loncat melintas dihadapannya.
Berbareng dengan terhantamnya cawan perak, bahu kanan Ca Cu jingpun kena hantaman
sehingga dia menyingkir mundur dua langkah ke samping.
Ca Cu jing mendengus, berpaling dan lepaskan pukulan Pek-poh-sin-kun.
Tetapi saat itu Theng-Ban-Iipun sudah menyingkir ke samping dan kebetulan Ih Thian-heng-
pun mundur. Dialah yang termakan pukulan Pek-poh-sin-kun.
In Thianheng memang sakti dan memiliki reaksi yang tajam. Begitu merasa serangkum angin
pukulan yang luar biasa tajamnya, ia menyadari kalau tak sempat menangkis.
Maka ia meminjam angin pukulan itu untuk ayunkan tubuhnya loncat kesamping lagi.
Tetapi celaka! Secercah sinar perak berkelebat menyongsong kearahnya. Ih Thianheng cepat
empos semangatnya dan hentikan gerakan tubuhnya, menyalurkan tenaga-dalam ke punggung
untuk menahan pukulan Pek-poh-sin-kun sambil kebutkan lengan baju untuk menghalau tusukan
pedang, “Hm, saudara Nyo….”
Rupanya Nyo Bun giau tak tahu jelas siapa yang dalang itu. Maka cepat-cepat ia menarik
pedang dan berkata, “Harap saudara lh maafkan kehilafanku.”
Ih Thian-heng tertawa dingin, “Ca Cu-jin telah menghantam aku dengan Pek-poh sin-kun.”
Mendengar itu cepat-cepat Ca Cu jing berseru, “Harap saudara Ih jangan salah faham, karena
gelap aku tak sengaja….”
Tiba-tiba ia berhenti berkata, berputar diri dan menghantam, “Hai, siapa itu? Mengapa berani
menyerang secara gelap kepadaku?”
Terdengar suara orang tertawa gelak-gelak, “Aku,si pengemis tua….”
Dan serentak terdengar deru angin bergetargetar. Suatu pertanda bahwa kedua orang itu
sudah bertempur.
“Pengemis budak, engkau juga akan mengantar jiwa kemari!” teriak Ca Cu-jing marah lalu
lepaskan hantaman.
Tiba-tiba terdengar suara sedingin es, “Hm, saudara Ca, kalau menyerang orang, apakah tak
dapat melihat lagi?”
Ca Cu-jing tertegun. Diam-diam ia heran mengapa dalam beberapa waktu saja ruangan itu
sudah penuh dengan pendatang2 baru.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Baru ia menimang-nimang, tiba-tiba serangkum angin pukulan melandanya hingga ia terhuyung
dua langkah kebelakang.
Buru-buru ia empos semangat dan balas mendorongkan kedua tangannya kemuka, seraya
berseru, “Hai, apakah yang datang ini bukan saudara Ting?”
“Ya, memang aku Ting Ko,” sahut pendatang itu.
Ih Thian-heng tertawa gembira, “Bagus, saudara Ting Ko yang sudah berpuluh tahun tak keluar
ke dunia persilatan, ternyata juga mempuyai selera datang ke makam ini!”
Ting Ko tertawa dingin, “Ih Thian-heng, tak perlu jual kebanggaan. Aku hendak bertanya
kepada sebuah hal, engkau harus menjawab dengan terus terang.”
“Aku orang she Ih tak percaya bahwa orang yang masuk kedalam makam ini akan dapat keluar
dengan selamat.
Karena semua bakal mati, maka tak perlu aku harus bicara dengan sembunyi2.”
“Hm, apakah engkau hendak merencanakan untuk membasmi seluruh kaum persilatan?
Ho, kemungkinan angan2 itu sukar terlaksana,” dengus Ting Ko.
Tiba-tiba serangkum angin berkesiur lagi. Jelas seorang pendatang baru, muncul pula kedalam
ruangan situ.
Theng Ban-li tertawa, serunya, “Bagus, tak kira setelah kubuka dinding ruangan ini, akan
mengundang sekian banyak jago2 persilatan.”
Mendengar ayahnyapun datang, semangat Ting Lingpun bertambah besar. Walaupun hubungan
antara ayah dan putrinya itu dingin, tetapi demi menjaga kebesaran nama Lembah-raja setan,
tentulah Ting Ko takkan membiarkan pulennya menderita.
Maka Ting Lingpun memberesi rambutnya lalu berbangku, serunya, “Yang mengundang datang
orang itu yalah sinar lentera kaca. Terowongan makam gelap gulita, karena melihat sepercik sinar,
sudah tentu mereka terkejut dan buru-buru menghampiri tempat ini.”
Tiba-tiba orangtua alis panjang menutupkan sebuah benda mirip lilin ke tangan Ting Ling,
katanya, “Sulutlah lilin ini.”
“Baik.” kata Ting Ling, “dengan menyalakan lilin tentu dapat diketahui calon2 mayat yang
berada dalam ruangan ini.”
Cres, ia nyalakan korek dan menyulut lilin itu. Seketika ruanganpun terang.
Baru nona itu keliarkan pandang mata untuk meneliti orang-orang yang berada dalam ruangan
tiba-tiba Ting Ko berteriak, “Hai, Ling ji, engkau seorang diri masuk juga kedalam makam ini?”
Betapapun Ting Ko itu adalah ayah kandungnya, maka tergetarlah hati Ting Ling mendengar
suara ayahnya.
Tetapi ia tahu akan watak sang ayah yang paling benci terhadap orang yang minta belas
kasihan. Maka dengan sikap garang, ia menjawab, “Yah. engkau juga disini….”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sejenak berhenti, nona itu berkata pula, “Ya,memang aku seorang diri!”
Ting Ling tertawa aneh serunya, “Bagus, tak kecewa menjadi puteri Ting Ko.”
“Ah, yah, engkau terlalu memuji. Aku hanya seorang budak perempuan yang membikin malu
nama ayah saja.”
Kata-kata Ting Ling itu cepat dapat ditanggapi Ih Thian-seng yang mempunyai perasaan tajam.
Segera ia membentak, “Hm, budak setan, lilin apakah yang engkau sulut itu?”
Pertanyaan Ih Thian-heng itu menimbulkan keheranan pada sekalian orang yang berada dalam
ruangan itu.
Memang saat itu merekapun mencium bau yang aneh.
“Huh, rupanya bau ini tidak wajar,” dengus Ca Cu-jing.
Sekalian memang curiga pada lilin di tangan Ting Ling tetapi tiada seorangpun yang turun
tangan merebut lilin itu.
Rupanya orang-orang itupun gentar juga terhadap Ting Ko.
Ting Ling sendiri juga merasakan bau yang tak wajar. Diam-diam ia berpikir, “Eatah apa
maksud orangtua alis panjang ini.
Apakah lilin ini bukan terbuat dari ramuan obat racun untuk merubuhkan orang-orang disini?
Kalau benar begitu, alangkah baiknya….”
Ting Ling sudah tak menghiraukan lagi soal mati hidupnya, Dia tak memperdulikan pandang
mata dari sekalian orang, pelahan diletakkannya lilin itu dialas sebuah meja.
Kemudian ia berseru, “Ih Thian-heng, walaupun engkau telah memasang bermacam alat
pekakas rahasia, namun makam ini merupakan sebuah tempat maut. Sekalipun engkau dapat
melenyapkan tokoh-tokoh persilatan yang berada dalam makam ini, tetapi pada akhirnya engkau
sendiri tentu takkan terluput dan kematian juga!”
Ucapan yang dilantangkan sepatahdemi sepatah oleh Ting Ling itu, mau tak mau
menggerakkan hati sekalian orang.
Ting Ling tertawa mengikik dan mendahului berkata lagi, “Yang dapat masuk kedalam makam
ini kalau bukan seorang gagah tentu seorang pendekar besar. Mereka tentu mempunyai
pengalaman dalam dunia persilatan.
Nah, silahkan kalian membuka mata lebar-lebar. Adakah ruangan ini mirip dengan sebuah
tempat kuno yang tak pernah dibersihkan orang?”
Ih Thian-heng memandang kesekeliling tempat tiba-tiba ia berseru uyaring, “Saudara Cong,
Saudara Cong, yang dipanggil itu yalah Pengemis-sakti Cong To. Dengan cepat mata Ih Thian-
heng dapat mengetahui bahwa pengemis sakti itu sudah tak berada dalam ruangan situ.
Rupanya ketua Lembah-raja-setan Ting Ko menyadari bahwa liln yang disulut puterinya itu
mengeluarkan bau yang tak wajar, maka buru-buru ia membentak, “Ling ji, padamkanlah lilin itu!”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ting Ling tak menjawab perintah ayahnya, sebaliknya berseru nyaring, “Adakah saudara2
sudah memilih lawan saudara masing-masing? Nah, lilin ini segera kupadamkan!”
Kecuali Ih Thian-heng, Ting Ko dan Ting Ling bertiga, lain2 orang tak ada yang bicara. Mereka
tengah menutup pernapasannya.
Kiranya karena mencium bau yang aneh, mereka sama menutup pernapasan dan tak berani
bicara.
Pelahan-lahan Ting Ling mengambil lilin istimewa itu lalu berkata kepada Ting Ko, “Ayah,
diantara orang-orang yang berada dalam ruangan ini, hanya ih Thian henglah yang paling
bernafsu hendak membunuh aku. Dia rupanya masih sungkan turun tangan terhadap seorang
anakmuda seperti diriku. Tetapi begitu lilin padam, kemungkinan sukarlah jiwaku terjamin
keselamatannya.”
“Tak apa. padamlah lilin itu,” kata Ting Ko, “aku tak percaya kalau dia berani membunuh
engkau didepan mataku.”
“Kalau ayah takpercaya omonganku, boleh dicoba saja,” kata Ting Ling, lalu meniup padam lilin
itu.
Ruangan itupun kembali gelap gelita lagi. Terdengar beberapa dengusan dan geram kemarahan
lalu menyusul deru suara pukulan, tinju dan tamparan berhamburan kian kemari.
Rupanya sebelum lilin itu padam, masing-masing sudah mengincar musuh, letak beradanya
musuh itu.
Maka begitu lilin padam, mereka terus melancarkan serangannya.
Dalam pada itu Ting Lingpun sudah kerahkan tenaga dalam bersiap-siap. Begitu angin serangan
melanda kepadanya, cepat ia loncat kesamping.
Antara Ting Ling dengan ayahnya, memang dingin hubungannya. Sejak besar, Ting Ling tak
mendapat kasih sayang ayahnya. Maka pada saat ia mendengar ayahnya menyatakan hendak
melindungi jiwanya, tergeraklah hati nona itu. Ia menurut perintah ayahnya dan memadamkan
lilin. Ingin ia menguji sampai di mana sang ayah akan melaksanakan janjinya.
Ternyata walaupun di ruang itu telah pecah pertempuran seru tetapi Ting Ling aman, tiada
terlanda angin pukulan.
Tiba-tiba terdengar Ting Ko berseru nyaring, “Ling-ji, apakah engkau tak kurang suatu apa?”
Ting Ling gembira sekali, serunya, “Aku tak apa-apa, ayah!
“Ternyata dugaanmu memang tepat. Begitu lilin padam, Ih Thian-heng memang menyerang
engkau.
Tetapi dia lalai bahwa kepandaian ayahmu ini, walaupun lebih jauh dari jarak tempat ini tepat
dapat dapat melindungimu.
Hm. orang mengatakan kepandaian lh Thian-heng itu hebat sekali. Tetapi dimara ayahmu,
tidaklah berapa….”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tiba-tiba saja. kata-kata Ting Ko terhenti. Rupanya Ih Thian-heng telah melancarkan serangan
yang lebih seru kepadanya sehingga dia tak sempat bicara.
Ting Ling menghela napas, “Ah, hari ini baru aku tahu bahwa aku ini memang anak kandung
ayah.”’
Sekonyong-konyong terdengar jeritan ngeri. Dan menyusul terdengar pula suara tubuh rubuh.
Tentulah ada seorang yang terluka.
Diantara suara hiruk pikuk itu tiba-tiba terdengar sebuah seruan melantang, “Saudara2, apakah
didalam ruang ini terdapat Ih Thian heng?”
Suara itu dari arah lubang dinding Rupanya seorang pendatang yang belum masuk kedalam
ruangan situ.
Tetapi Ting Ling cepat mengenali siapa pendatang itu. Entah bagaimana hatinya amat tegang
dan berserulah ia kepadanya, Ji siang-kongkah itu?”
Orang itu tertawa nyaring, “Apakah nona Ting? Ya, memang aku Han Ping. Siapakah orang
yang bertempur disitu?”
“Banyak sekali.” sahut Ting Ling, “Ih Thian-heng, Nyo Bun-giau, Ca Cu jing semua berada
disini….”
Berhenti sejenak ia menyusuli kata-kata pula: Dan ayahku pun juga datang kesini!”
Sejak kecil ia tak mendapat perhatian ayahnya. Maka apa yang diucapkau sang ayah kepanya,
benar-benar menyentuh perasaan hatinya. Ia merasa mesranya kecintaan seorang ayah.
Maka iapun menaruh perhatian pada ayahnya itu.
“Apakah Ting Ko dari Lembah-raja-setan itu?” seru Han Ping.
“Ya, dia ayahku. Mengapa engkau memanggil namanya begitu Saja?”’ tegur Ting Ling.
Han Ping menyulut korek dan orang-orang yang ber tempur itupun segera berhenti.
Ketika berpaling mereka melihat seorang pemuda yang tangan kirinya mencekal sebatang
pedang berkilau-kilauan.
Dia berdiri diambang lubang dinding dan memandang berkilat-kilat kedalam ruangan.
Tiba-tiba ia kiblatkan pedang pandak yang berada ditangan kiri. Dan orang yang berada agak
dekat, terpaksa menyingkir kesamping.
Ting Ling menghela napas dan diam-diam memuji pemuda itu, “Ah, alangkah gagahnya dia!
Alangkah berwibawa sikapnya!”
Nyala korek api itu memancar ke mutiara yang menghiasi dinding ruangan, demikianpun
pedang pusaka yang dibawanya itu.
Mutiara dan pedang pusaka, sama-sama memancarkan sinar yang cukup menerangi keadaan
ruangan itu.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Setelah mengetahui siapa pemuda itu, Ting Ko agak terkesiap lalu mendengus dan memakinya:
Ho, dia sungguh panjang umurnya!’
Namun Han Ping tak mempedulikan semua orang kecuali Ih Thian-heng. Dengan mata berkilat2
ia memandang wajah musuhnya itu dan pelahan-lahan maju menghampirinya.
Sekalian tokoh-tokoh rupanya terpengaruh oleh sikap Han Ping yang penuh wibawa itu. Mereka
diam-diam mengaguminya.
Ih Thian-heiig sendiripun agak gentar. Cepat ilmu Hian-im-gi-kang dari Lembah raja setan,
merupakan aliran ilmu silat yang tersendiri. Tadi telah kucoba ilmu Im-hong-ci dari Ling Ko,
ternyata memang tak bernama kosong!”
Im-hong ci artinya tutukan jari yang memancarkan tenaga dalam Im.
“Ah, jangan memuji begitu,” seru Ting Ko. Tetapi diam-diam dalam hatinya mengeluh: Ah, malu
aku ini….
Kiranya waktu adu pukulan dengan Ih Thian-heng tadi sampai sepuluhan jurus, tiba-tiba ia
merasa ada seseorang yang diam-diam membantunya sehingga ia dapat menghadapi pukulan Ih
thian-heng. Tetapi Ih Thian heng dihadapan sekian banyak orang sengaja memuji. Sudah tentu ia
malu dalam hati.
Entah bagaimana begitu melihat Han Ping muncul, mau lak mau tergetar juga hati Ih Thian-
heng.
Melihat pemuda itu menghampiri, iapun kerutkan alis dan berkata pelahan kepada Ting Ko,
“Saudara Ting, kenalkah engkau kepadanya!’
“Dia sudah terkena racun hebat, entah bagaimana sampai saat ini dia masih hidup.?’ kata Ting
Ko.
Ih Thian heng tertawa “ Dia memang seperti mempunyai tiga lembar jiwa. Aku seudinpuu
pernah menyaksikan dia terluka dan hampir mati.”
Dalam pada itu Nyo Bun-giau segera gunakan ilmu Menyusup Suara, kepada Ih Thian-heng,
“Saudara Ih, tampaknya kepandaian anak itu sekarang lebih hebat lagi. Dan lagi dia membawa
pedang pusaka Pemutus-asmara. Kalau dibiarkan hidup tentu merupakan bahaya dikemudian hari.
Tadi waktu bertempur dengan dia, hampir saja aku terluka.
Maka lebih baik sekarang dia dilenyapkan saja “
Ih Thian-heng alihkan pandang mata kearah Ca Cu-jing lalu gunakan ilmu Menyusup-suara
cenyahut, “Ca Cu jing jelas telah mengingkari perjanjian. Pada saat tadi aku adu pukulan dengan
Ting Ko, beberapa kali dia telah menyerang aku”
Sejenak berhenti ia melanjutkan lagi, “Tetapi ditempat dan saat seperti, memang kurang layak
kalau cari perkara dengan dia.
Baiklah engkau berunding dulu dengan dia!”
Saat itu Han Pingpun sudah tiba di dekat tokoh-tokoh itu. Demi menjaga gengsi, Theng Ban-li
tak mau menyingkir ke samping.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ih Thian-hengpun maju selangkah menjajari Ting Ko, bisiknya, “Saudara Ting, apakah anak itu
hendak mencari engkau T’
“Kemungkinan memang begitu,” sahut Ting Ko.
“Kalau saudara Ting turun tangan, aku sedia memberi bantuan,” kata Ih Thian-heng.
Ting Ko mendengus dingin, “Hm. apakan aku takut kepadanya….” ia berhenti lalu menyambung
lagi, “asal jangan diwaktu aku sedang bertempur lalu diam-diam saudara Ih menyerang aku, tentu
dalam seratus jurus aku dapat membuatnya rebah dalam genangan darah.”
Ih Thian-heng tertawa, “Bukan aku memuji lawan dan meremehkan kekuatan kita. Tetapi
rasanya tokoh-tokoh yang berada ruangan ini, kecuali aku tak mungkin dapat menandingi
kesaktiannya. Kalau saudara Ting tak percaya….”
Dikili oleh Ih Thian-heng, seketika meluaplah kemarahan ting Ko. Ia tertawa dingin, “Aku
memang tak percaya!”
Ia terus mengangkat tangan kanan dan menutuk kearah Han Ping. Serangkum angin dingin
segera melancar keluar dari jarinya.
“Ho, Ih Thian-heng, mengapa engkau suruh orang lain menjual jiwa untukmu!”
rian Ping gerakkan pedang pusaka menabas dari samping. Serangkum angin pedang yang
dinginpun segera melancar.
“Tenaga-dalam dari ahli pedang!” teriak Ting Ko yang cepat-cepat menarik pulang tangannya.
Diam-diam Ih Thian heng menghela napas, “Ah, kepandaian anak itu memang maju pesat
sekali.
Namun walaupun hatinya berkata begitu, mulutnya tersenyum, “Apakah engkau sungguh-
sungguh hendak mengajak aku bertempur?”
“Dari luar aku memburu masuk kedalam makam ini tak lam karena hendak mencarimu untuk
bertempur,” sahut Han Ping.
Ih Thian-heng yang sombong, mau tak mau tampak meragu. Pelauan-lahan ia memandang
kearah Nyo Bun giau, serunya, “Cobalah pinjam pedang pusakamu.”
Nyo Bun giau memberikan pedangnya dan berkata, “Saudara Ih, pedang Pemutus-asmara,
dapat membelah besi seperti mengiris tanah liat saja….”
Sambil menyambuti pedang Ih Thian heng menjawab, “Ya, aku tahu….”
Tiba-tiba dia berseru meminta sekalian orang menyisih ke pinggir, “Walaupun pemuda Ji itu
muda usianya tetapi dalam pandanganku, dia adalah musuhku yang nomor satu. Ilmu kepandaian
dan ilmupedangnya, telah mencapai tataran yang sempurna.
Bukan aku hendak membanggakan diri tetapi pertempuran ini benar-benar merupakan sebuah
pertempuran yang jarang terdapat dalam dunia persilatan….”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Han Ping tengadahkan muka tertawa panjang, “Begitu tinggi engkau memandang diriku, ah,
benar-benar aku menduga sama sekali.”
Ih Thian-heng hanya tersenyum, “Bisa memperoleh seorang lawan yang seimbang seperti
engkau, selama aku berdiri di dunia persilatan, baru saat ini aku benar-benar tercapai
keinginanku.”
Dengan wajah mengerut serius, Han Ping berkata, “Dalam pertempuran ini, aku atau engkau
yang akan mati.
Maka sebelum dimulai, lebih dulu aku hendak bertanya sedikit kepadamu.”
Ih Thian-heng gelengkan kepala, tertawa, “Walaupun aku mengagumi kepandaianmu, tetapi
aku tak bersedia menjawab pertanyaanmu!”
“Mengapa?” wajah Han Ping berobah.
“Dalam hidupku, banyak sekali pekerjaan yang telah kulakukan sehingga banyak bal yang aku
lupa.
Dan aku tak, mau membohongimu dalam jawabanku itu.”
Han Ping berseru dingin, “Kalau engkau tak dapat mengalahkan aku, engkau mau bilang atau
tidak?”
“Ha, ha, sekarang ucapanmu agak tekebur Ih Thian-heng tertawa mengejek.
Han Ping taburkan pedang Pemutus-asmara, menabas dari samping untuk menusuk dada
orang.
“llmupedang yang bagus! “Ih Thian-heng berseru memuji, seraya hamburkan pedangnya untuk
melindungi dada.
Dua buah sinar pedang saling berbentur dan keduanya sama mundur selangkah. Ternyata
pedang mereka tak sampai terbentur, hanya pancaran sinar pedangnya saja.
Tampak wajah Han Ping dan Ih Thiang-heng sama” pucat lesi. Jelas dalam jurus pertama itu
saja mereka telah menumpahkan seluruh semangat dan jiwanya.
Sehabis itu, merekapun tegak berdiri mematung. Hanya korek api yang dicekal tangan kiri Han
Ping masih menyala.
Dengan mata borkilat-kilat, Ih Thian-heng memandang mata Han Ping. Pedangnyapun pelahan
lahan bergerak lagi, dari kiri ke kanan, membentuk setengah lingkaran.
Setiap dim pedangnya-bergerak, hawa pembunuhan dalam ruangan itupun bertambah tinggi.
Sekalian orang menahan napas, memperhatikan dengan seluruh semangat. Karena mereka
menyadari, bahwa nasib duma persilatan bakal tergantung dari hasil pertempuran kedua orang itu.
Tiba-tiba Hi Thiau-heng memekik keras. Pedangnya berhamburan bagai ribuan bintang yang
menimpali dada Han Ping.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Han Pimgpun segera gerakkan pedangnya. Tring, tring, tring…. terdengar beberapa kali dering
senjata beradu.
Korek api di tangan Han Pingpun padam. Cahaya dari mutiara diruaugan itupun ikut padam dan
gelaplah ruang itu.
Melihat pertempuran gebrak pertama dari Han Ping lawan Ih Thian-heng yang mengejutkan itu.
diam-diam Ca Cu jing menimang dalam hati, “Walaupun Ih Thian-hcng itu bukan kawanku tetapi
pemuda Han Ping itu lebih membahayakan….”
Tepat pada saat itu Nyo Bun-giau membisiki kedekat telinganya, “Ji Han Ping itu….”
Tiba-tiba Ca Cu-jing mengepal tangan Nyo Bun-giau. Mereka saling bersentuhan lengan tangan.
Dengan demikian walaupun mulut tak menyatakan apa-apa, tetapi dalam hati keduanya sudah
saling mengerti.
Memang kedua tokoh itu memiliki ke
kecerdasan yang luar biasa. Keduanya saling setuju untuk melenyapkan Han Ping Ca Cu jing
segera merogoh baju dan mempersiapkan jarum beracun. Sedang Nyo Bun-giaupun sudah
mengepal tangan, entah menggenggam senjata rahasia apa.
Tiba-tiba api menyala lagi. Ternyata Ting ling yang menyulut korek api.Ternyata Han Ping dan
lh Thian-heng sudah bertukar tempat.
Ca Cu-jing bertukar pandang dengan Nyo Bun-giau lalu diam-diam keduanya mengisar kaki
ketempat Han Ping.
Karena api menyala maka dapatlah diketahui bahwa ruang itu penuh dengan taburan sinar
pedang, sinar biru dan sinar putih. Setelah sinar pedang masing-masing bergabung maka Han Ping
Dan Ih Thian hengpun menyusup masuk kedalam lingkaran sinar pedang. Begitu cepat dan ketat
keduanya bergerak sehingga orang-orang tak dapat melihat Jelas bagaimana gerakan mereka itu.
Tring…. terdengar bunyi mendering pula. Tetapi kali ini lebih tajam dari yang tadi. Dan kedua
pedang itupun berpencar lagi. Pedang Han Ping condong ke samping dan Ih Thian-heng
menyelinap tiga langkah kesamping.
Pedangnya telah terpapas kutung oleh pedang Han Ping. Tetapi durjana besar dari dunia
persilatan itu, tetap tak berobah kerut wajahnya.
Walaupun sudah siap menaburkan jarumnya,tetapi ia tak berani sembarangan turun tangan.
Dia menyadari bahwa apabila taburannya itu gagal, bukan melainkan akan merosotkan namanya
didunia persilatan, pun tentu akan membangkitkan kemarahan Han Ping. Dan dia tahu bahwa dia
memang tak mampu manghadapi serangan pedang anakmuda itu.
Berpaling kebelakang, dilihatnya Nyo Ban-giaupun sedang memandang kepadanya. Mereka
bertukar isyarat mata.
Tiba-tiba Ting Ling mengoncangkan korek api dan berseru lantang, “Ca lo cianpwe, apabila
jarum beracun dalam tanganmu itu engkau taburkan, yang akan menderita bukan melainkan Ji
Han ping seorang saja.”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Meluaplah amarah Ca Cu jing. Wajahnya merah padam. Tetapi ia tak dapat melampiaskan
kemarahannya.
Maka terpaksa ia hanya tertawa menyeringai lalu berseru, “Ha, ternyata hiantitli juga mau
berolok-olok dengan aku siorang tua ini…. “
Ting Ling hanya tertawa mengikik, serunya, “Nyo lo-cianpwe….”
Setelah mendengar bagaimana nona itu membuka rahasia Ca Cu jing yang hendak siapkan
serangan dengan jarum beracun, Nyo Bun-giau cepat dapat menerka apa yang akan diucapkan
nona itu kepada. Tentu kata-kata yang tak sedap di dengar.
Maka buru-buru ia mendahului menukas dengan tertawa, “Nanti sekeluarnya dari makam ini
aku tentu menyediakan diri sebagai comblang untuk melaksanakan perjodohan nona dengan
putera saudara Ca. Dan saat itu aku tentu akan menagih arak kebahagiaan kepada saudara Ting.”
Ting Ling terlawa dingin, “Apakah lo-cianpwe tak keberatan untuk memperlihatkan kepadaku
senjata rahasia yang tergenggam ditanganmu itu?”
Demikian percakapan dari kedua orang itu, yang satu ngalor yang satu ngidul.
Tiba-tiba terdengar Ih Thian heng menghela napas, “Ah, benar-benar seorang lawan kuat yang
seumur hidup baru kujumpahi ia terus membabatkan pedangnya yang kutung.
Tetapi kali ini gerakannya amat pelahan sekali, seolah-olah dia tumpahkan seluruh tenaganya.
Kepalanya hasah keringat, lengannya gemetar seperti rak kuat mengangkat pedangnya.
Wajah Han Pingpun berobah gelap. Pelahan-lahan ia mengangkat pedang pusaka Pemutus-
asmara. Gerakan kedua seteru itu luar biasa lambatnya. Tetapi ketika kedua pedangnya hampir
berbenturan, tiba-tiba gerakannya berubah cepat.
Pedang kutung dari Ih Thian- heng berhamburan menebarkan sinar perak sehingga saat itu
Han Ping seperti terbungkus dalam gulungan sinar pedang lawan.Sekonyong konyong segulung
sinar pelangi memancar, menerobos keluar dari lingkupan sinar perak. Sosok tubuh merekapun
tampak lagi dan serentak mulut sama mendesuh dan mengerang.
Pada lain saat, kedua sinar pedang itu bergabung rapat lalu tiba-tiba tercerai daa lenyap….
Ih Thian heng mundur liga langkah. Pedang di julaikan ketanah untuk menyanggah tubuhnya.
Kaki Han Pingpun terhuyung, kedua bahunya berguncang-guncang seperti orang mabuk.
Setelah berputar-putar berapa kali, akhirnya ia dapat paksakan berdiri tegak.
Serempak kedua orang itu menghela napas sarat. Keringat bercucuran turun ke tanah. Dan
sekalian tokoh-tokoh silat yang berada dalam ruangan itu sama berdiam diri menahan napas.
Tiba-tiba Ca Cu jing berputar tubuh, melangkah dua tindak ke samping Ting Ling.
Ketua Lembah raja setan Ting Ko membentak, “Aku masih hidup!”
Ca Cu-jing tersenyum, “Harap saudara Ting jangan salah faham. Sama sekali aku tak
bermaksud hendak mencelakai hiantit-li (Ting Ling).”
“Itu bagus,” sahut Ting Ko.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tiba-tiba Ting Ling meletakkan korek lalu bergegas lari kepada ayahnya dan, “Ayah….” ia terus
rebahkan kepalanya kedada sang ayah.
Sejak kecil, belum pernah ia mendapat perhatian yang sedemikian mesra seperti saat itu.
Maka meledaklah perasaan nona itu, sehingga ia lupa keadaan ditempat itu.
Sambil membelai-belai bahu puterinya, Ting Ko berkata, “Belasan tahu aku sebagai ayah
memang tak memperhatikan dirimu sehingga kalian berdua telah banyak menderita ….”
Ketua Lembah-raja-setan itu menghela napas, “Kemanakah si Hong? Kalau dia sampai binasa,
sungguh merupakan suatu pukulan batin yang besar bagiku karena pada saat ini aku sudah
mencairkan hatiku yang dingin terhadap kalian.”
Sambil mengusap airmatanya yang membasahi kedua pipi, Ting Ling menerangkan bahwa
adiknya, Ting Hong, telah dipungut murid oleh Thian Hian totiang Ting Ko deliki mata. Wajahnya
agak menampil rasa tak senang, serunya, “O, benarkah itu?„
“Mana aku berani membohongi ayah!”
Tiba-tiba terdengar angin pukulan menderu dan korek itupun padam. Entah siapa yang
melakukan itu.
Dan selekas ruangan gelap maka berhamburan pula sinar pedang. Dan serempak itu, Han
Pingpun menggembor marah lalu berhamburan melepaskan pukulan.
Ting Ling menghela napas pelahan, “Ah, Ca Cu jing telah melepas senjata rahasia jarum Hong”
wi-iok-ciam….”
Kata-kata Ting”Ling terputus oleh dua buah erang tertahan. Rupanya ada orang yang terkena
taburan jarum beracun dari Ca Cu-jing.
Dalam kekacauan itu tiba-tiba ruangan mulai bergerak berputar putar. Kursi dan meja saling
berbentur, orang?pun hiruk pikuk tak keruan. Ditambah pula dengan pekik auman yang aneh dari
kera bulu emas. Benar-benar telah menjadikan suasana ruang itu seperti kiamat.
Bum…. tiba-tiba pula terdengar bunyi menggemuruh dan goncangan keras dari gunung
meletus. Dan pada ujung ruang itu tiba-tiba terbuka sebuah lubang pintu yang bundar. Lentera
kaca karena diguncang oleh letusan dahsyat, berayun-ayun keras, memancarkan sinar, menimpah
mutiara dan mutiara itupun segera memantulkan cahaya yang menerangi ruangan.
Peristiwa aneh itu telah menyebabkan sekalian orang tertegun.
“Ah, dalam makam tua ini seperti benar-benar ada orangnya, “Ih Thian-heng menghela nupas
panjang.
“Hm, apa engkau baru tahu sekarang?” seru Ting Ling.
Ih Thian heng tak mau meladeni si nona. Pelahah-lahan ia memutar tubuh dan memandang
Han Ping, “Anak muda, apakah engkau terluka?”
“Kalau terluka lalu bagaimana,?” balas Han Ping dengan nada dingin.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ih Thian- heng tertawa hambar, “engkau adalah satu-satunya lawan yang dapat mengimbangi
kepandaianku. Akupun ingin sekali dapat bertempur dengan engkau sampai selesai, agar dapat
diketahui siapa yang lebih unggul.”
Berhenti sejenak. Ih Thian-heng menyusuli, “Tetapi sayang, suasana tempat ini….”
“Tak peduli suasana bagaimana, kita harus mencari penyelesaian kalah menang!” tukas Han
Ping.
Ih Thian-heng kerutkan alis, “Umurmu masih amat muda dan aku sudah tua Apakah engkau
takut kalau aku tiba-tiba akan mati? Dan setiap kali aku bertempur dengan engkau, selalu
kurasakan kepandaianmu bertambah maju. Makin pertempuran kita itu lebih lama
dilaksanakannya, bukankah sangat menguntungkan engkau….”
Ih Thian heng menghela napas, “Entah siapakah orang yang memiliki kecerdasan sedemikian
luar biasa untak menciptakan bangunan makam ini. Ai, sebuah tempat jebakan semacam ini telah
dapat tersiar luas sampai berpuluh-puluh tahun tanpa ada ©rang yang dapat mengetahui. Hebat,
ya, hebat sekali orang itu karena dia dapat mengelabui seluruh kaum persilatan didunia….”
Ting Ling berseru dingin . “Biarlah kujelaskan untukmu! Soal dapat mengelabuhi tokoh-tokoh
persilatan, soal kecil. Tetapi seorang tokoh sehebat engkau pun dapat juga terkena tipu, bukankah
engkau merasa penasaran sekali?”
Ih Thian-heng hanya terseuyum, “Sayang engkau hanya seorang anak perempuan.”
Kalau bukan anak perempuan, lalu bagaimana?” tanya Ting Ling.
“Kalau engkau bukan anak perempuan, engkau tentu akan kuambil sebagai murid dan akan
kuwariskan seluruh ilmu kepandaianku kepadamu.”
“Kalau begitu lebih baik aku tetap menjadi anak perempuan saja,’ sahut Ting Ling.
Mata Ih Thian-heng mengeliar lalu Tertawa, “Ah, sungguh seorang budak perempuan yang
bermulut tajam. Kalau tadi aku sama-sama mati dengan Ji Han Ping, mungkin kalian tentu akan
berkurang harapan untuk hidup….”
Ia pelahan-lahan kisarkan pandang mata menatap Ting Ling, serunya, “Apakah engkau masih
mendendam atas hukuman yang kuberikan kepadamu tadi?”
Ting Ling tertawa hambar, “Apa perlunya aku harus mendendam? Bukankah aku tak dapat
mengalahkan engkau?”
Tiba-tiba Han Ping melangkah maju, serunya, “Ih Thian heng, apakah engkau menghendaki
aku berganti senjata?”
“Apakah engkau yakin tentu dapat mengalahkan aku ‘ tanya Ih Thian- heng.
“Kita masing-masing mempunyai setengah bagian harapan. Kalau aku tak menggunakan
pedang pusaka, kemungkinan aku bisa menang, memang berkurang.”
Ih Thian-heng mengangguk, “Dalam hidupku, setiap langkah yang kuambil tentu kuputuskan
dengan tegas. Tetapi setiap kali berhadapan dengan engkau, aku selalu meragu. Ah, apakah
benar-benar engkau dilahirkan untuk mengalahkan aku? Walaupun ilmu kepandaianku tak kalah
dengan engkau, tetapi belum2 aku sudah kalah moril.”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
“Itu karena engkau banyak melakukan ke dosaan,” sahut Han Ping.
Tiba-tiba wajah Ih Thian-heng berobah, serunya, “Dengan baik2 aku berunding bersama
engkau, sekali2 bukan karena aku takut kepadamu. Kalau engkau selalu mendesak aku saja,
jangan engkau sesalkan kalau aku terpaksa menindak engkau!”
Han Ping tertawa dingin, “Tindakan bagaimana saja, silahkan engkau mengeluarkan semua!”
“Kalau aku bersama ca Cu-jing menyerangmu, engkau yakin dapat menghadapi sampai berapa
jurus seru Ih Thian heng, Han Ping terkesiap, “Ini….”
“Apabila ditambah lagi dengan Nyo Bun-giau, dalam sepuluh jurus saja engkau tentu sudah
tamat riwayatmu 1” kata Ih Thian-heng pula.
Tiba-tiba dari belakang terdengar suara orang tertawa gelak-gelak, “Ah, mungkin tidak
semudah itu Tangan sipengemis tua ini masih belum jompo, ditambah dengan seorang Siangkwan
Ko, jadilah kita tiga pasang lawan yang seimbang.”
Sekalian orang cepat berpaling. Ternyata pada lubang bobolan dinding, dua orang lelaki tegak
berdiri dengan tenang. Yang sebelah kiri, rambutnya terurai kusut, muka kotor dan punggungnya
menyanggul sebuah buli2 arak warna merah. Dialah Pengemis-sakti Cong To.
Sedang yang disebelah kanan seorang lelaki tua baju biru. berjenggot panjang dan menyanggul
sepasang pedang dipunggung.
“Aha, sungguh kebetulan sekali sudara Cong datang,” Ih Thian-heng menyambut dengan
tertawa dingin.
Pengemis-sakti Cong To berpaling kepada lelaki jenggot panjang lalu mengambil buli2 araknya,
meneguk dua kali lalu tertawa . “Begitu ramah sekali nada ucapanmu, tentulah engkau hendak
minta tolong kepada pengemis tua ini.”
“benar,” sahut Ih Thian- heng, “memang aku hendak minta bantuan kepadamu tentang sedikit
urusan.”
“Ai, sungguh sukar dicari Kesempatan seperti saat ini….” seru Cong To, lalu meneguk buli2 arak
sampai dua kali, baru berkata pula, “baik, pengemis tua bersedia mendengarkan.”
“Keadaan saat ini, penuh bahaya,” Ih Thian-heng, mulai bicara, “seluruh kaum persilatan telah
dikelabuhi orang sampai berpuluh-puluh tahun. Oleh karena itu aku memutuskan untuk
menyingkap tubir rahasia makam tua ini.
Kuharap saudara suka kerja-sama dengan aku.”
“Bukankah engkau menghendaki supaya aku menganjurkan Han Ping membatalkan
permusuhan?”
“Ah, tak perlu begitu,” kata Ih Thian-heng, “cukup kupinjam kewibawaan saudara Cong agar
mengatakan kepadanya untuk menunda dendam permusuhannya kepadaku sampai nanti rahasia
makam ini sudah terbongkar, aku tentu akan menyelesaikan hal itu lagi.”
Walaupun Cong To seorang yang terbuka tangan dan lapang dada, tetapi iapun dapat
menempatkan diri pada setiapkeadaan. Sejenak merenung, ia menjawab, “Walaupun pengemisTiraikasih Website http://kangzusi.com/
tua ini tak setuju pada pribadimu tetapi bicaramu tadi cuKup beralasan. Rupanya aku dapat
memberi bantuan.”
Tiba-tiba Ih Phian-hem seperti mendapat semangat. Ia menyapukan pandang mata kearah
tokoh-tokoh yang berada dalam , ruang itu, serunya, “Dapat tidaknya rahasia makam mi kita
bongkar, akan menyangkut kepentingan nasib dunia persilatan. Aku bersedia menjadi pelopor.”
“Pengemis tua juga mempunyai sedikit soal yang hendak minta bantuanmu’ tiba-tiba pengemis
sakti Cong To menyelutuk.
‘“Harap mengatakan.”
“Dalam ruang ini terdapat dua orang yang terkena senjata rahasia. Kalau engkau benar
bermaksud sungguh hendak membongkar rahasia makam ini, harap menlong kedua orang itu
dulu.”
Mata Ih Thian-heug berkisar memandang ca Cu-jing, serunya, “Saudara Ca, apakah engkau
membawa obatnya?”
Dalam keadaan yang terpojok itu, mau tak mau ia harus mempertimbangkan. Kalau tak mau
memberikan obat itu, tentu kemarahan orang akan tertumpah kepadanya. Namun kalau memberi,
obat itu hebat itu sekali khasiatnya. Setelah minum, tak sampai sepenanak nasi lamanya, kedua
korban itu temu sudah siuman.
Cong To pelahan lahan menghampiri ke samping Han Ping, ujarnya, “Engkoh kecil….”
Rupanya Han Ping tahu apa yang akan dikatakan Cong To. Pelahan lahan ia menyimpan
pedang Pemutus asmara, serunya, “Lo-cianpwe adalah orang yang paling kuindahkan. Kalau
hendak memberi perintah, silahkan.”
Cong To tertawa, “MembongKar rahasia makam tua ini, bukan melainkan hanya keinginan lh
Thian-heng seorang tetapi boleh dikata seluruh tokoh-tokoh persilatan yang berada dalam ruang
ini, lentu juga menginginkan. Bahkan pengemis tua ini sendiri juga kepingin mengetahui apakah
rahasia yang sebenarnya dari makam tua ini. Makam ini penuh dengan alat pekakas rahasia yang
ketat dan maut. Sekalipun jago silat yang memiliki ilmu ginkang tinggi, juga sukar untuk
meloloskan diri dari Sini. Begitu rahasia makam ini sudah terbongkar, bolehlah engkau lanjutkan
lagi perhitunganmu dengan ih Thian-heng.”
“Baiklah, lo-cianpwc,” kata Han Ping.
Cong To tertawa, “Sayang diantara pemimpin2 dari fihak It-kiong dan ketiga Marga itu hanya
empat orang yang datang. Masih kurang Thian Hian totiang dan ketua Lembah-seribu-racun. Jika
merekapun datang, maka lengkaplah sudah rapat kematian dalam makam tua ini!’
“Ketua Lembah-seribu-racun sudah bersama aku masuk kemari. Tetapi entah dia berada
dimana,” Han Ping menerangkan.
Tiba-tiba kakek bertubuh kekar yang menyanggul sepasang pedang dipunggungnya itu berseru,
“Ji Han Ping, apakah engkau masih kenal padaku?”
“Siangkwan pohcu yang termasyhur didunia persilatan masakan wanpwe tak kenal ‘ seru Han
Ping.
“Aku hendak tanya kepadamu tentang seseorang “Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
“Apakah bukan puteri lo-cianpwe?” tukas Han Ping.
“Benar, dimanakah anakku itu? Masih hidup atau sudah mati?”
Han Ping menerangkan bahwa Siangkwan Wan-ceng bersama dengan ketua Lembah seribu-
racun.
“Hm, bagaimana tua bangka beracun itu memperlakukan anakku?”
“Sangat memperhatikan dan sayang seperti anaknya sendiri,” kata Han Ping.
“Benarkah itu?” SiangKwan Ko agak heran, ‘“siapakah tokoh persilatan yang tak tahu akan
keganasan tua bangka beracun itu. Mengapa dia bersikap baik kepada puteriku, aku sukar
mempercayai hal itu.”
“Puteri lo-cianpwe telah meluluskan untuk menjadi isteri putera ketua Lembah-seribu-racun
maka ketua Lembah-seribu racun memperlakukannya dengan baik sekali,” kata Han Ping.
“Huh, siapakah puteriku itu? Mana boleh dijodohkan dengan anaK buruk dari tua bangka
beracun itu? Kalau engkau bohong, hati-hatilah jiwamu’ seru Siangkwan Ko.
Teringat akan budi kebaikan Siangkwan wan-ceng kepadanya, mau tak mau Han Ping harus
menghormat ayah gadis itu. Ia tertawa hambar, “Puteri lo cianpwe bersama ketua Lembah-seribu-
racun, saat ini masih berada dalam makam ini. Nanti tentu mudah berjumpa. Kalau lo-cianpwe tak
percaya keterangan wanpwe, silahkan bertanya kepada nona Siangkwan sediri. Sepatah saja
wanpwe bohong, lo-cianpwe boleh menghukum wanpwe.”
Tiba-tiba Kim loji yang sejak beberapa lama diam, menyelutuk, “Memang ketika puteri lo-
cianpwe meluluhkan perjodohan itu kepada ketua Lembah-seribu racun, aku sendiri hadir dan
mendengarkan.”
Tiba-tiba Siangkwan Ko teringat peristiwa puterinya telah makan racun dan menunggu
kematian, mau tak mau ia menghela napas, ujarnya, “Apapun kalian hendak mengatakan, aku
tetap tak percaya!”
Han Ping tahu bahwa dalam hati orangtua itu sebenarnya tujuh bagian sudah percava. Tetapi
hanya tak mau mengakui. Maka Han Ping berpaling kepada Cong To, “Lo-cianpwe dalam makam
ini kecuali banyak dipasang alat-alat pekakas berbahaya, pun pada tiap2 pintu dijaga oleh mahluk2
beracun. Pintu rahasia ruangan ini tiba-tiba telah terbuka dan lenterapun bersinar Jelas pemilik
makam ini memang hendak bertemu dengan kita. Jika terlalu lama. pintunya rahasia tertutup, kita
tentu harus membuang waktu dan jerih payah untuk mencari dia!”
“Benar,” tiba-tiba ih Thian heng menanggapi lalu mendahului ayunkan langkah.
Sekalian orang hendak, mengikuti tetapi tiba-tiba Theng Ban-li berteriak nyaring, “Ca Cu jing!”
“Mengapa? “Ca Cu iing berpaling, “Jarum beracunmu lelah melukai diriku apakah aku dibiarkan
terluka begini saja?” seru jago tua itu.
Sahut Ca Cu-jing, “Tadi waktu bertempur acak-acakan, hampir anakkupun terluka oleh saudara
Theng. Bukankah aku juga menerima saja hal itu?”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ih Thian-heng menyela, “Dalam pertempuran kalang kabut tadi, siapapun yang terluka itu
masih untung karena tak sampai binasa. Saat ini kita ibarat berlayar dalam satu perahu. Harus
kerjasama bahu membahu. Segala dendam peribadi, supaya dihapus dulu agar kita dapat bersatu
untuk membongkar rahasia penipuan besar-besaran, yang telah mencelakai dunia persilatan
selama berpuluh-puluh tahun.
Ca Cuj-ing tertawa gelak-gelak, “Bagus, ucapan saudara Ih memang tepat.”
Theng Ban-li berpaling kearah orangtua alis panjang dan menggerutu, “Kalau begitu aku dan
locianpwe ini, menjadi korban jarum beracun yang sia-sia “
“Engkau mau menyamai aku, hm, sekalipun beberapa batang jarum beracun lagi mengenaiku,
aku masih tak apa-apa,” dengus orangtua alis panjang.
Ca Cu-jing tersenyum.
Karena sekalian tokoh menganggap enteng urusannya, apabila ia berkeras hendak membalas
Ca Cu jing, tentu akan menimbulkan kemarahan orang. Apalagi orang alis panjang itupun
menytakan tak apa-apa. Terpaksa ia diam dan terus menghampiri Ting Ling.
“Berhenti!” bentak ketua Lembah-raja-setan seraya deliki mata.
“Ah, tak apa-apa, ayah,” Ting Ling tertawa! “dia hanya akan minta obat kepadaku.”
Ting Ling; mengambil sebutir pil lalu diberikan kepada theng Ban li yang terus menelannya.
Han Ping menghampiri ketempat orangtua alis panjang, “Lo-cianpwe, apakah perlu ku papah?”
Orangtua alis panjang serentak berbangkit, “Tidak! ia menepuk bahu kera bulu emas,
menyuruhnya bangun.
Kera bulu emas yang tampak tidur pulas, begitu ditepuk orangtua alis panjang, serentak loncat
bangun.
Dalam pada itu berkatalah Ih Thian-heng kepada Pengemis-sakti Cong To, “Saudara Cong,
apabila kita berhasil keluar dari makam ini dengan selamat, kelak aku tentu akan menjadi sahabat
saudara yang baik.”
Pengemis sakti Cong To tertawa: Setiap orang yang hendak mati, bicaranya tentu baik. Apakah
engkau sudah tahu kalau bakal tak dapat keluar dari makam ini?”
Ih Thian heng tersenyum, “Menurut pandanganku, siapa yang masuk kedalam makam ini, tentu
sukar dapat keluar dengan masih selamat.”
Habis berkata ia terus lanjutkan langkah. Sekalian tokoh pun sebera mengikuti dibelakangnya.
Setelah keluar dari pintu rahasia, mereka menyusur terowongan yaag diterangi lentera dan sinar
mutiara.
Pintu rahasia yang tiba-tiba terbuka tadi, seperti ada orang yang membuka. Dan ternvata
begitu anggauta terakhir dari rombongan tokoh-tokoh itu melangkah keluar, pintu rahasia itupun
tiba-tiba metutup lagi.
Ih Thian hens? tertawa dingin, ujarnya, “Ah. memang hebat sekali persiapannya, sebuah
ciptaan yang luar biasa!” Habis berkata ia terus kencangkan langkah berlari kemuka.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Terowongan yang panjangnya 15-16 tombak itu dengan cepat telah dilintasi mereka. Tiba di
ujung terowongan, pecah menjadi dua, ke kanan dan ke kiri. Tetapi dalamnya hanya setombak
lebih. Ujungnya terhadang dinding putih.
Terowongan yang menyimpang kesebelan kiri, dindingnya tertulis, “Jalan ke Kematian.”
Sedang terowongan yang memecah ke kanan, dindingnya bertulis, “Jalan menuju Hidup.”
Hurufnya yang besar ditulis dengan tinta merah sehingga tampak jelas sekali.
Berkata pula Ih Thian heng kepada pengemis tua, “Saudara Cong, Kita jalan ke Jalan Mati atau
ke Jalan Hidup?”
Pengemis-sakti menjawab, “Menilik kita ini mengandung hati penasaran, lebih baik kita menuju
ke Jalan Mati saja.”
“Akupun berpendapat begitu juga,” kata Ih Thian-heng, “kiranya pandangan seorang ksatrya
itu tentu sefaham.”
“Biar kucobanya dulu sampai dimana kerasnya dinding itu!” seru Ca Cu-jing seraya lepskan
pukulan Peh-poh-sin-kun. Wut, angin berhamburan keras sekali.
Theng Ban-lipun segera mengeluarkan palu besinya dan berseru, “Akupun hendak bantu
membukanya!” ia terus maju menghampiri dinding.
Keadaan yang aneh dari makam itu menyebabkan sekalian orang-orang gagah itu melepaskan
perasaan dendam mereka.
Ih Thian heng menumpah pandang kearah Han Ping, “Pedang Pemutus asmara milik saudara
Ji, dapat membelah logam seperti memotong tanah liat. Walaupun dinding itu keras bukan
kepalang tetapi tentu tetap terbelah dengan pedang pusaka saudara itu.”
Han Ping mendengus dingin dan melangkah maju kemuka.
‘Jangan’.” tiba-tiba Ting Ling berseru menengah.
Han Ping tertegun dan hentikan langkah lalu berpaling, “Mengapa?”
“Berikanlah pedang pusakamu kepada Ih Thian-heng, biar dia saja yang memapas dinding!”
seru si nona.
Tiba-tiba Han Ping teringat akan peristiwa Kim loji yang kehilangan sebelah lengannya karena
alat rahasia dalam makam itu. Mau tak mau ia meragu juga.
Ih Thian heng tersenyum, “Saudara Ting, puterimu banyak curiga!”
Lalu ia mengulurkan tangan, “Saudara Ji, apakah engkau mau meminjamkan pedangmu
kepadaku?”
Bum…. terdengar letupan dahsyat dan dindingpun berhamburan rontok. Ternyata Theng Ban-li
sudah mulai menghantam dengan palu besinya.
“Mengapa tak boleh?” kata Han Ping seraya menyerahkan pedang Pemutus asmara.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Seteleh menyambuti pedang berkatalah Ih Thianghtng, “Kalau aku tak mau mengembalikan
pedang ini kepadamu, dalam pertempuran dengan aku, engkau tentu kehilangan sebagian
kesempatan menang.”
“Kalau engkau benar mengandung pikiran seperti itu. sekalian orang gagah dalam dunia
persilitan tentu akan menghancurkan engkau,” seru Ting Ling.
“Budak setan, tak perlu engkau mengucap kata-kata yang membikin panas hatiku. Setelah
rahasia makam ini terbongkar, biarlah engkau terbuka mata akan kesaktian Ih Thian heng.
Siapapun yang akan menantang, aku tetap akan melayani.”
Ih terus maju menghampiri dinding.
Dalam pada itu Theng Ban li tetap masih giat menghantamkan palu besinya. Tulisan Jalan Mati,
sudah separoh bagian yang hancur.
“Harap saudara Theng berhenti, biar aku yang mencoba kekuatan dinding itu.” kata Ih Thian-
heng.
“Huh, dinding ini memang keras sekali. Palu besiku tak mempan.” gumam Theng ban li. iapun
mundur tiga langkah Namun Ih Thian-heng tetap minta dia mundur lebih jauh lagi.
“Mengapa?” Theng Ban-li heran.
“Dia suruh engkau memberi jalan untuk meloloskan diri!” teriak Ting Ling.
Ih Thian-heng tertawa hambar, “Hm. sungguh seorang budak perempuan yang pandai. Dapat
menebak tepat lagi.”
Ting Ling tertawa dingin, “Hm. betapa permainan yang hendak engkau unjukkan, tentu akan
dapat kuketahui!”
Ih Thian-heng tak mau melayani nona itu lagi dan mulai mengangkat pedang pusaka, menusuk
dinding.
Pedang Pemutus asmara memang hebat sekali. Dinding yang sekeras baja dapat ditusuk seperti
menusuk kayu saja.
“Harap saudara2 mundur!” tiba-tiba Ih Thian-heng berseru. Dan serempak ia sendiripun sudah
melesat mundur ke sudut, Sekalian orang menunggu dengan menahan napas. Tetapi sampai
beberapa lama belum juga terjadi suatu perubahan apa-apa. Dinding batu itu tetap tegak dengan
kokohnya.
“Bagaimana dengan tajamnya pedang Pemutus-asmara itu?” Ca Cu jing berpaling kearah Ih
Thian-heng.
‘Silahkan engkau lepaskan sebuah pukulan Peh poh- sin-kun!”
Ca Cu jing melakukan permintaan itu dan lepaskan sebuah pukulan Bum…. terdengar suara
dahsyat dan tembokpun berlubang hampir satu meter luasnya.
Ternyata setelah menusukkan pedang Pemutus-asmara, Ih Thian-heng lalu memutarnya,
membuat sebuah lingkaran bundar. Maka waktu Ca Cu jing menghantam, terbukalah sebuah
lubang.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
melihat itu mau tak mau Ca Cu-jing memuji tenaga Ih Thian-heug yang hebat.
“Hm, apakah tak sungkan mengobral segala pujian?” Ting Ling menyeJutuk.
Merahlah muka Ca Cu iing mendengar dampratan halus itu. Serentak ia berpaling kearah ting
Ko. serunya, “Puteri saudara Ting itu seharusnya diberi ajaran yang tepat.”
“Apakah suruh aku membunuhnya?” Ting Ko tertawa hambar.
Ca Cu-jing marah, serunya, “Kalau engkau taK mau memberi ajaran, akupun dapat mewakili
engkau mengajarnya.”
Tiba-tiba Pengemis-sakti Cong To tertawa gelak-gelak, “Ho, barangsiapa berani menganggu
anak-angkatku, tentu akan kupotong sepuluh jarinya.”
Ca Cu-jing tahu kalau tak mampu menandingi Cong To dan Ting Ko berdua, terpaksa ia
menahan kesabaran, serunya, “Tak perlu saudara Cong unjuk kegarangan. Nanti setelah keluar
dari makam ini, aku tentu akan minta pelajaran dari engkau.”
Pengemis-sakti Cong To tertawa lepas, “Tetapi menurut pandanganku, jangan harap kita dapat
keluar dari makam ini dengan selamat.”
“Saudara Cong, kapankah anakku itu engkau pungut menjadi anak-angkat?’ tiba-tiba Ting Ko
berseru.
Cong To deliki mata, “Bagaimana? Apakah engkau tak senang….”
“Jangan salah faham,” cepat Ting Ko menukas, “bahwa anakku telah mendapat rejeki sebesar
itu, sudah tentu aku merasa gembira sekali.”
Ting Lingpun tertawa, “Ayah-angkatku itu memang suka bergurau, mengapa ayah masukkan
dalam hati….”
Kemudian nona itu beralih pandang kepada Ih Thian-heng, serunya, “Seharusnya engkau
kembalikan pedang Pemutus-asuiara itu kepada yang empunya.”
Ih Thian-heng mengangguk, tertawa, “Ya, benar, nona Ting.” ia terus pelahan-lahan
menyerahkan pedang dan Han Pingpun segera ulurkan tangan menymbuti.
“Jangan bergerak!” tiba-tiba Ting Ling berseru.
Han Ping tertegun dan saat itu Ting Lingpun sudah melangkah maju, menyambuti pedang lalu
diterimakan kepada Han Ping, serunya, “Dia tak dapat menggunakan kesempatan mengembalikan
pedang,untuk membunuh aku.”
Ih Thian-heng tengadahkan kepala, tertawa, “Nona Ting, tahukah engkau, tempat ini
sebenarnya makam milik siapa?”
Ting Ling tertegun, lalu menyahut, “Ko Tok lojin….”
Walaupun ia cerdas tetapi menerima pertanyaan Ih Thian-heng yang begitu mendadak, mau
tak mau ia terkesiap dan tak dapat menyingkap maksud orang yang sesungguhnya.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
“Tahukah engkau apa sebab orangtua itu mengasingkan diri disini?” tanya ih Thian heng
dengan tersenyum. Dan belum si nona menjawab, ia sudah melanjutkan lagi, “Karena dia memang
seorang manusia yang melebihi dan orang biasa. Tak punya kawan dan tak punya lawan. Coba
nona pikirkan, anda kata pada suatu hari dia mendapatkan lawan yang diangap menyamai
kecerdasannya, apakah dia akan membunuh lawan itu atau tidak?”
Ting Ling kerutkan alis lalu menyahut dingin, “Walaupun Ko Tok lojin tidak melakukan hal itu,
tetapi engkau sendiri yang belum dapat dipastikan.”
Ih Thian-heng tertawa gelak-gelak, “Kalau aku ini manusia dibelakang layar seperti yang
engkau bayangkan itu, bukankah sangat berbahaya bagimu dikala menyambuti pedang tadi?”
“Ah, anda keliwat memuji, terima kasih,” kata Ting Ling.
Omongan kedua orang itu bernada sinis dan tajam. Tokoh-tokoh semacam Ca Cu-jing. Nyo
bun-giau dan lain2 yang tajam perasaannya, cepat dapat menarik kesimpulan bahwa Ih Thian-
heng telah menentukan dua orang sebagai musuhnya yang berat. Dalam ilmu kesaktian, dia
menganggap Han Ping sebagai satu-satunya lawan yang berat. Dalam ilmu kecerdikan, Ting
Linglah satu-satunya yang dapat menandinginya.
Dalam pada itu, Han Pingpun segera hendak menerobos masuk melalui lubang dinding. Tetapi
Cong To dan Ki loji cepat mencegahnya: Tunggu dulu ‘ kedua orang itupun serempak loncat
kemuka Han Ping.
Ih Thian-heng tertawa, “’Karena yang membuat lubang dinding itu aku, maka akulah yang akan
masuk lebih dulu.” Ia terus melangkah kelubang itu.
“Walaupun licik dan ganas tetapi tak kecewalah Ih Thian-heng itu sebagai seorang lelaki
ksatrya!” seru Cong To.
Tiba-tiba Ih Thian-heng muncul di lubang dinding itu lagi dan berkata kepada Han Ping,
“Apakah saudara Ji dapat meminjamkan pedang pusaka itu kepadaku lagi?”
Tanpa banyak bicara, Han Ping terus mengangsurkan pedang.
“Ih, apakah didalam masih terdapat dinding batu?” seru Ting Ling.
“Ya” sahut Ih Thian-heng terus menyusul masuk. Cong To dan Han Pingpun cepat menyusul.
Ternyata dibelakang lubang dinding itu hanya terdapat tanah lapang satu meter, lalu teraling
lagi oleh sebuah dinding batu. Ih Thian-heng gunakan pedang pusaka untuk membobol sebuah
lubang lagi. Tetapi ternyata di dalamnya masih terdapat selapis dinding batu.
Sama sekali ih Thian-heng harus menghadapi lima lapis dinding tembok batu. Berkat pedang
pusaka Pemutus-asmara yang tajam, dapatlah ia membobol kelima lapis dinding tembok itu. Pada
dinding tembok lapis Keenam, terdapat tulisan yang berbunyi, “Karena sok pintar, harus
membuang banyak tenaga. Kalau kalian mengambil Jalan Hidap, tentu tak usah harus bersusah
payah membobol dinding!
Memandang tulisan yang indah perkasa itu. hati lh Thian-heng agak menyesal.
“Hai, nyata dalam makam ini memang terdapat orangnya,” seru Cong To.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ih Thian-heng menghela napas, “Bukan manusia biasa tetapi manusia luar biasa. Tetapi
betapapun aku memeras otak tetap tak dapat mengetahui siapa orang itu!”
Habis berkata ih Thian-heng terus menyusup masuk diikuti oleh sekalian orang.
Ternyata dinding keenam itu merupakan….
Tempat itu merupakan sebuah ruang besar, diterangi oleh selusin lentera kaca yang menyala
terang benderang. Tetapi karena empat dindingnya dicat warna hitam, sinar lentera itupun tak
dapat memantul gemilang dan hanya menimbulkan suatu suasana yang agak menyeramkan.
Dan yang lebih menyeramkan yalah terdapatnya duabeias peti mati warna hitam yang
diletakkan berjajar jajar rapi dibelakang keduabelas lampu tersebut. Peti ditutup rapat2, seolah-
olah memberi kesan bahwa peti mati itu sudah terisi mayat dan ditutup sejak lama.
Setelah mengamati keadaan sekeliling kamar, ih Thian-heng berseru memuji, “Suasana ini
benar-benar dapat menimbulkan rasa ngeri sehingga orang merasa seperti mati, seram dan
ketakutan. Sungguh hebat dia dapat mengatur begitu .
Kemudian ia berputar tubuh menyerahkan pedang pusaka Pemutus asmara kepada Han Ping,
“Menilik keadaan tempat ini kita seperti memasuki sebuah tempat yang berbahaya. Setiap saat
tentu akan terjadi perubahan. Pedang ini luar biasa tajamnya, dapat menjadi alat untuk menjaga
diri yang hebat.”
Sambil menyambali pedang Han Ping menyahut, “Mudah-mudahan apa yang engkau kehendaki
itu dapat terlaksana. Dapat berjumpa dengan pemilik makam dan membongkar rahasianya.
Dan yang penting engkau harus dapat menyelamatkan jiwamu, agar kita nanti dapat
melaksanakan pertempuran kita yang terakhir itu”
Ih thian heng tertawa, “Kukira aku tentu takkan mengecewakan harapanmu….” tiba-tiba ia
maju dua langkah menghampiri kemuka sebuah peti mati lalu ulurkan tangan hendak membuka
penutup peti.
Han Ping melirik kearah Nyo Bun giau. Tampak kedua mata orang itu berkilat-kilat menumpah
kearah Ih Thian-heng. Melihat itu Han Ping tak sabar lalu, berteriaknya, “Berhenti!”
Ih Thian-heng berpaling tertawa, “Mengapa?”
“Aku hendak melakukan pembalasan dengan tanganku sendiri dan tak menghendaki engkau
mati di tangan orang lain,” seru Han Ping.
“Kepandaian dan kecerdasanmu, dapat meningkat cepat dengan serempaK. Demi
kepentinganku, seharusnya kuselesaikan pertempuran dengan engkau ini sekarang juga, “kata Ih
Thian-heng.”
Plak…. tiba-tiba ia menampar peti mati. Habis menampar ia terus loncat kebelakang beberapa
langkah. Sekalian orangpun cepat bersiap-siap.
Peti mati yang kokoh itu, begitu ditampar Ih Thian heng, segeia pecah menjadi dua. Terdengar
peti berderak-derak dan dari dalam peti itu menjulur sebuah tangan manusia. Jari2nya begitu
kurus dan pucat seperti salju. Jelas merupakan jari dari seorang wanita.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ih ihian-heng tertawa dingin, “Asal dapat berjumpa dengan manusia hidup, tentu tak sukar
untuk mencari keterangan.”
Tampak lengan yang putih itu bergerak-gerak seperti orang yang tengah bangun tidur. Setelah
ditekuk kebawah seperti orang yang bercekak pinggang, lalu pelahan-lahan rebah kedalam peti
lagi.
Mata sekalian orang mencurah kearah lengan dalam peti mati itu. Mereka bersiap-siap
menghadapi setiap kemungkinan Tetapi sampai beberapa lama, belum juga lengan itu menjulur
keluar lagi. Seolah-olah orangnya tidur lagi.
Ih Thian-heng tak sabar lagi. Ia berseru dingin, “Kalau tetap bertingkah aneh, jangan sesalkan
aku Ih Thian-heng akan bertindak ganas. Sekalipun engkau memiliki ilmusilat yang sakti, pun
tetap sukar menerima seranganku secara tiba-tiba.”
Rupanya orang didalam peti itu tetap tidur pulas dan tak menyahut.
Rupanya Nyo Bun-giau kuatir kalau Ih Thian-heng akan mencurigai kawan2 sendiri, maka buru-
buru ia tampil, “Saudara ih, biarlah aku yang maju,”
Habis berkata ia terus menghampiri peti mati sambil kerahkan tenaga dalam.
Ih Thiang heng berpaling memandang Ca Cu-jing, serunya, “Harap saudara Ca siapakan
pukulan Peh-poh-siu-kun untuk membantu saudara Nyo.”
Sambil berkata Ih Thian -hengpun melangkah kemuka.
Satelah tiba dimuka peti mati, Nyo Bun-giau batuk-batuk sejenak lalu mendorong tutup peti.
Karena tutup peti itu sudah dihancurkan Ih Thian-heng maka sekali dorong saja, tutup itu pun
jatuh ke lantai.
Seketika terdengarlah jerit mdengking dan menyusul sesosok tubuh wanita yang rambutnya
terurai menutup bahu, duduk didalam peti. Wajahnya cantik, sepasang matanya bundar bagai
bintang kejora, bibirnya semerah delima. Pelahan-lahan ia berdiri.
Nyo Bun-giau mundur dua langkah, serunya bengis, “Angkat kedua tanganmu!”
Sambil mengeliarkan sepasang matanya kepada rombongan orang-orang itU Si wanita cantik
pelahan-lahan mengangkat kedua tangannya. Ternyata lengannya telanjang.
“Hai, apakah engkau tak berpakaian?” seru Nyo Bun-giau pula.
Gadis itu kedip-kedipkan sepasang matanya yang i.idah lalu menatap Nyo Buu-giau. Sesaat
kemudiaan ia mengangkat kakinya keluar peti.
“Hai, mengapa telanjang bulat!”’ teriak Siang-kwan Ko.
Ternyata setelah keluar dari peti mati, gadis itu hampir tak mengenakan pakaian. Hanya bagian
dada dan bawan perut yang dibalut dengan sehelai kain cawat.
Dengan tenang ia melangkah keluar dan seolah-olah tak menghiraukan suara Nyo Bun-giau.
Saat itu Ih Thian-hengpun sudah berada di belakang Nyo Bun giau, bisiknya, “Siudara Nyo,
siapkan lima bagian tenaga dan cobalah gadis itu dengan sebuah pukulan.”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Nyo Bun-giau menurut apa yang diperintah Ih Thian-heng. Ia mengangkat tangan kanan lalu
diayunkan kearah gadis itu.
Aduh….terdengar mulut si jelita melengking lalu rubuh kebelakang. Melihat itu Nyo Bun-giau
tertegun kaget.
Tiba-tiba ia mendengar suara alunan musik. Bermula hanya dari suara harpa tetapi lama
kelamaan diserempaki pula dengan beberapa macam bunyi bunyian. Belum dia sempat meneliti,
tiba-tiba irama musik itu berganti dengan irama yang sedih merawankan.
“Dari manakah suara musik itu?” seru Nyo Bun-giau seraya memandang kesekeliling.”
“Dari makam ini” kara Ih Thian-heng.
Pengemis-sakti Cong To mengambil buli2 arak. meneguknya seraya berkata Melihat keanehan
jangan merasa aneh, keanehan itu tentu akan tak aneh. Tak perlu kita hiraukan dia. mari kita
lanjutkan berjalan lagi.”ia terus mendahului ayunkan lagkah menuju kebelakang dinding.
“Saudara Nyo, coba engkau dekati dan periksa keadaan gadis itu, aku tak percaya kalau dia
mati “
Nyo Bun giau maju menghampiri. Pada saat hampir tiba disisi si gadis, tiba-tiba dia menendang
rusuk kanan gadis itu.
Tendangan Nyo Bun-giau itu hebat sekali, jangan kata hanya tubuh manusia, sedang batu
karang yang keraspun tentu hancur.
Melihat itu Han Ping tak sampai hati. Cepat ia berseru, “Nyo Bun-giau, jangan
menendangnya….”ia terus hendak menyergap Nyo Bun-
gian. Tetapi Ih Thian-heng membentak seraya lintangkan tangannya menghandang, “Hai,
engkau mau apa?”
Han Ping empos semangat untuk menghentikan gerakan maju dari tubuhnya. Begitu tegak
ditanah, ia berkata, “Cara yang dilakukannya terhadap seorang wanita, sungguh keterlaluan.”
Ih Thian-heng tertawa, “Tadi aku masih memuji engkau seorang pemuda yang cerdas. Tetapi
mengapa dalam waktu beberapa kejab saja, engkau sudah terpikat kebaikan terhadap seorang
wanita? Ketahuilah, saat ini kita sedang terkurung dalam sebuah tempat yang berbahaya. Setiap
saat, kita dapat terancam maut. Setitik budi Kebaikan, mungkin akan menimbulkan bahaya maut
pada diri kita sendiri.”
“Gadis itu sudah rubuh terpukul Nyo Bun-giau. Apakah masih harus diremukan lagi “
“Apabila dugaanku taksalah,” kata Ih Thian-heng, “dia tentu tak mati, cobalah engkau lihat
kemari.”
Setelah bertempur sekali dengan Han Ping, memang Nyo Bun-giau merasa agak gentar kepada
kesaktian pemuda itu. Waktu mendengar Han Ping berterak mencegahnya jangan menendang,
iapun hentikan kakinya.
Han Ping berpaling dan menyahut kata-kata Ih Thian-heng, “Kemanakah gerangan perginya ke
Keenam bocah pengawalmu dan ke tigapuluh enam pengawal barisan Thtan-kong-si-wi itu?”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
“Dalam waktu dan tempat seperti ini, mengapa engkau ingat akan hal itu?” sahut Ih Thian-
heng dengan tertawa hambar.
“Kalau engkau tak membawa mereka bersamamu, sebelumnya tentulah engkau sudah
mempunyai persiapan?” tanya Han Ping pula.
Ih Thian heng tertawa, “Selamanya aku tak mau mengambil resiko begitu….”
Sejenak kemudian ia berkata pula, “Dalam hidupku hanya ada dua buah persiapan yang
kurencanakan. Pertama ialah masuk kedalam makam tua ini….” tiba-tiba ia berhenti berkata.
“Lalu yang kedua?” tanya Han Ping.
“Yang kedua yalah, dua kali telah melepaskan kesempatan untuk membunuhmu.”
“Tetapi sekarang toh belum terlambat,” seru Han Ping dengan garang.
“Keadaan saat ini telah memaksa kita membagi rata kesempatan kalah menangnya. Aku
menang pengalaman, engkau menang tenaga. Dan pula engkau masih mempunyai sebatang
pedang pusaka yang hebat. Dengan pedang itu engkau dapat menghadapi beberapa jurus
seranganku yang istimewa. Maka dengan begitu kukatakan, kita sama-sama serie, sama-sama
mempunyai kesempatan kalah atau menang.’
“Kalau aku tak menggunakan pedang itu, entah apakah aku mampu mengalahkan engkau atau
tidak?” kata Han Ping seraya maju dua langkah ke hadapan gadis telanjang itu, lalu ulurkan
tangan untuk memeriksa pernapasannya.
Ternyata gadis itu memang masih bernapas.
“Sudah mati atau masih hidup?” seru NyO Bun giau.
“Masih bernapas, tetapi lemah sekali. Entah dapat hidup atau tidak,” sahut Han Ping.
Mengikuti gerak gerik Han Ping, seketika Ting Ling makin yakin bahwa pemuda itu memang
telah dianggap sebagai duri dalam mata Ih thian-heng. Han Ping benar-benar dianggap sebagai
musuh yang paling berat oleh Ih Thian heng. Dan ketika nona itu mengawasi perobahan airmuka
Nyo Ban-giau, cepat ia berseru kepada Han Ping, “Ji Siaug-kong, hati-hati dengan orang yang
hidup!”
Memang Nyo bun giau mengandung rencana untuk menyerang Han Ping secara mendadak.
Bahwa saat itu dia sudah kerahkan seluruh tenaga dalam ke tangan kanan. Ia menunggu pada
saat Han Ping mengangkat tubuh, terus segera akan turun tangan.
Seruan Ting Ling itu benar-benar mengejutkan Nyo Bun-giau yang lalu buru-buru mundur dua
langkah.
Han Pingpun pelahan-lahan bangkit, memandang tajam kepada Nyo Bun-giau, serunya, “Kalau
bukan nona Ting yang membuat engkau kaget, engkau tentu akan merasakan kelihayan dan
ilmupedang Tat-mo-sam-kiam!”
Tat-mo sam-kiam atau Tiga jurus ilmupedang ajaran Tat Mo cousu atau cikal bakal pendiri
gereja Siau lim-si.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
“Tat-mo-sam-kiam!” Ih Thian-heng berseru kaget.
Rupanya Han Ping menyadari kalau kelepasan bicara. Maka iapun cepat menyahut,
“Bagaimana?”
Ih Thtin-heng tertawa, “Tat-mo sam-kiam merupakan ilmupedang yang sudah lama lenyap dan
dunia persilatan. Bagaimana saudara Ji dapat mempelaiari ilmu itu?”
“Sekalipun aku dapat mempelajarinya dengan sempurna, tak nanti kuberi tahu kepadamu,”
sahut Han Ping.
Tiba-tiba terdengar suara Pengemis-sakti Cong To berseru, “Saudara, pinjamkan pedang
pusakamu kepada pengemis tua.”
Saat itu suara musikpun makin terdengar nyaring dan makin rawan menyayat hati. Tetapi
rombongan yang masuk kedalam makam itu terdiri dari tokoh-tokoh yang hebat kepandaiannya.
Mereka tetap dapat bertahan dan tak menderita suatu apa karena hanburan suara musik yang
mengandung tenaga-dalamn aneh itu.
Han Ping mengiakan. Setelah menampar jalan darah dipunggung gadis yang menggeletak di
tanah itu, ia terus melangkah ketempat pengemis tua.
Berseru Ih Thian-heng, “Selagi mereka belum memperhebat serangannya, kalau saudara2 suka
mendengar kata-kata aku siorang she Ih, lebih baik kita mendahului menghancurkan peti mati
itu.”
Habis berkata Ih Thian hengp terus loncat ketempat sigadis dan menginjak dadanya. Gadis itu
membuka kedua mata, tiba-tiba ia deliki mata lulu secepat kilat berguling-guling sampai beberapa
langkah jauhnya, loncat bangun dan mengeluarkan sebuah suitan perak lalu ditiupnya keras2.
Terdengar suara lengking yang dahsyat dan tiba-tiba kesebelas peti mati itupun terbuka
tutupnya.
Setiap peti mati diisi dengan gadis cantik yang tak berpakaian dan mengurai rambut. Dan ketika
tangan mereka menjulur, ternyata mereka membawa bermacam2 alat musik, antara lain seruling,
hapa, tambur dan lain2.
Serentak terdengarlah mereka memetik dan musikpun makin memekakkan telinga sehinga
perasaan para rombongan orang gagah itu mulai terpengaruh, jantungnya berdebar-debar.
Ih Thian-heng empos semangat lalu lepaskan sebuah hantaman yang dahsyat. Kawanan gadis
telanjang dengan rambut terurai itu segera menyisih kesamping. Tetapi alat-alat tetabuhan
ditangan mereka tetap bergetar-getar memancarkan nada suara yang menggetarkan urat2
jantung.
Pukulan yang dilancaikan Ih Thian-heng itu paling sedikit tentu menggunakan tujuh bagian
tenaganya. Angin menderu-deru hebat, menyibak kain cawat melada para gadis itu dan
menyiakkan rambut mereka. Saat itu Han Ping sudah berjalan setombak jauhnya. Melihat
perobahan suasana dalam ruang itu, iapun hentikan langkah. Dan cepat pada saat itu angin
pukulan Ih Tnian heng ilu pun melanda datang. Untuk memberi jalan kepada angin pukulan itu.
terpaksa Han Ping loncat kesamping. Tetapi justeru arahnya bersamaan dengan para gadis yang
juga menyingkir ke samping.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Seketika itu telinga Han Ping tergiang lengking petikan senar harpa sehingga ia pejamkan mata
lalu palingkan muka.
Tepat pada saat ia berbuat begitu, tiba ia rasakan pantatnya yang kiri agak sakit seperti
tertusuk jarum.
Jelas orang telah menyerangnya secara gelap.
Han Ping marah. Dengan mendengus dingin ia balikkan tangan menghantam. Prang…. tiba-tiba
seorang gadis yang memegang tambur kulit, cepat menyodorkan tamburnya untuk menyongsong
pukul an Han Ping.
“Hati-hati, alat tetabuhan mereka itu mengandung senjata rahasia!” tiba-tiba Ting Ling berseru.
Berseru Ih Thian-heng pula, “Dalam saat dan tempat seperti ini, kita sudah berada dalam
perangkap maut. Setitik rasa hati kasihan akan menimbulkan setitik ancaman maut….”
Tiba-tiba dari dalam duabelas peti mati itu lompat keluar duabelas gadis2 cantik lalu menari-
nari menurutkan irama musik.
Ih Thian neng sudah menyala-nyala nafsu membunuhnya. Cepat ia menghantam salah seorang
gadis itu.
Angin pukulan melanda dan terdengarlah lengking jeritan tajam. Sesosok tubuh dan seorang
dara cepat loncat menyambut jeritan itu.
Nyo Bun giaupun segera menyambar lengan kanan seorang gadis lalu ditekannya. Gadis itu
menjerit lalu terkapar rubuh. Rupanya tulang lengannya patah hingga ia pingsan, Dalam saat itu,
pun Ca Cu jing juga lepaskan sebuah pukulan Peh-poh-sin-kun, merubuhkan seorang gadis.
Myo bun giau heran dan berseru, “Saudara Ih,gadis2 itu tak mengerti ilmusilat.”
Sahut Ih Thlan heng, “Ya, akupun merasa begitu juga….”
Tiba-tiba dari dinding batu sebelah muka terdengar suara berderak derak. Dinding merekah,
menyiak ke samping. Sebuah gelombang sinar yang keras segera memancar sehingga keduabelas
lentera kaca itu pudar cahayanya.
Ketika sekalian orang memandang kemuka ternyata dibalik lubang dinding yang merekah itu
terdapat duapuluh tempat batang obor yang menyala terang benderang.
Ih Thian-heng memandang sejenak kearah ruang besar itu. Tiba-tiba ia melangkah maju.
Dalam pada itu Ting Lingpun mengamati keadaan disekelilingnya. Tampak dalam ruangan itu
terkapar tubuh dari keduabelas gadis dengan alat tetabuhannya. Mereka mengerang dan merintih.
Jelas kalau mereka itu hanya gadis biasa, tak mengerti ilmusilat Keadaan mereka sungguh
menyedihkan. Ada yang sudah mati ada pula yang terluka berat dan merintih-rintih memilukan
hati.
Sekalian orang segera mengikuti jejak Ih Thian heng yang melangkah masuk kedalam ruangan
besar. Pada saat dinding merekah tadi, suara musikpun serentak berhenti.
Ternyata ruangan itu amat bersih dan putih, dihias dengan bunga2 kertas dan lilin.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Papan yang tergantung diatas ruang itu tertulis empat huruf yang berbunyi, “Hati temaha
mengundang bahaya.”
“Hm, kata-kata yang sombong,” kata Ih Thian-heng seraya mencabut kertas tulisan itu.
Dibelakang papan itu masih terdapat sebuah kain putih yang bertuliskan, “Hidup tak lebih baik
dari mati.”
“Hm, hendak kulihat, berapa banyak kain bertulisan yang engkau sediakan disini,” Ih Thian-
heng tertawa lalu hendak merobek. Sekonyong-konyong terdengar suara berderak derak.
Pengemis-sakti Cong To tertawa gelak-gelak, “Ho, muncul sebuah permainan baru lagi.”
“Disini!” terdengar suara orangtua yang parau. Dari ujung sudut ruang, tampillah seorang
nenek berambut putih yang berjalan pelahan dengan sebatang tougkat bambu. Ah, nenek itu
bukan lain yalah nenek Bwe atau Bwe Nio inang pengasuh dari dara baju ungu. puteri ketua
perguruan Lam-hay-bun.
“Apakah saudari baru datang?” tegur Ih Thian-heng tertawa.
Sambil gentakkan tongkat bambunya. Bwe Nio menyahut, “Selama engkau belum mati, mana
aku bisa datang terlambat.”
Dari balik jajaran kain bertulisan tadi, muncul pula seorang dara baju ungu yang mukanya
ditutup dengan kain kerudung sutera hitam. Dibelakangnya diiring Ong Kwan-tiong suheng dari
dara itu serta seorang lelaki kaki buntung yang mengenakan baju merah.
Sejenak memandang kearah dara baju ungu. Ih Thian-heng memberi salam, “Nona, terlambat
selangkah, “
Dengan suaranya yang merdu, dara baju ungu itu berkata, “Dari kedua Lembah dan ketiga
marga, entah sudah berapa orang yang datang?”
Jawab Nyo Bun giau, “Nona tak perlu memikirkan hal itu….”
Dara baju ungu tertawa dingin, “’Jangan bicara yang tak betguna. Akan kuberi kalian seorang
pembantu.” Ia segera bertepuk tangan pelahan.
Kain terangkat dan muncullah si Bungkuk dan si Pendek. Keduanya menggandeng seorang
lelaki bertubuh pendek dan seorang gadis baju biru.
Melihat kedua orang itu, Pengemis-sakti Cong To serentak berseru, “Leng lotoa!”
“Ceng ji” teriak Siangkwan Ko pula seraya loncat ketempat gadis itu. Tetapi bwe Nio cepat
lintangkan tongkatnya dan membentak, “Berhenti!”
Siangkwan Ko rasakan gerakan tongkat nenek berambut putih itu selain dahsyat pun juga
aneh. Terpaksa ia mundur dua langkah.
Tiba-tiba dara baju ungu berseru, “Lepaskan!
Biar ayah dan puterinya itu menuturkan pengalamannya masing-masing.”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Si Bungkuk mengiakan. Ia segera menepuk bahu si nona atau Siangkwan Wan-ceng. Nona itu
deliki mata kepada si Bungkuk. Sesaat kemudian ia melengking memanggil ayahnya seraya lari
menghampiri.
Siangkwan Ko menyambut puterinya dengan dekapan yang amat mesra. Airmatanya berderai-
derai membasahi pipi yang kempot.
“Ah, nak, engkau tentu menderita,” katanya.
“Aku sungguh tak mengira kalau masih dapat bertemu dengan ayah….”
Tiba-tiba Ih Thian-heng menghampiri dan berkata dengan bisik-bisik, “Saudara Siangkwan….”
Siangkwan Ko yang masih belum hilang keharuannya itu cepat berpaling, sahutnya,
“Bagaimana, apakah saudara ih menganggap aku….”
JILID 5
Bara Asmara.
Siangkwan Ko hendak marah tetapi tiba-tiba ia teringat bahwa Ih Thian-heng itu pernah menolong
jiwa puterinya. Terpaksa ia menghela napas dan tak lanjutkan kata-katanya.
Ih Thian-heng tersenyum, “Harap saudara Siang-kwan jangan salah faham. Sungguh
menggirangkan sekali kalian ayah dan anak dapat berjumpa kembali. Tentu banyak sekali yang
hendak diceritakan maka silahkan saja. Akupun hendak bicara dengan nona ini….”
Tiba-tiba ia berhenti tetapi menggunakan ilmu Menyusup-suara, melanjutkan bicara kepada kedua
ayah dau puterinya itu, “Kalau bicara disini, kurasa kurang leluasa. Kalau musuh menyerang,
kukuatir kalian tentu sukar menghindar.”
“Terima kasih saudara Ih,” Tiba-tiba Siangkwan Ko menghaturkan terima kasih lalu memimpin
Siangkwan Wan-ceng menuju kesudut.
Pengemis sakti Cong To tertawa dingin. Ia mengambil buli2 araknya dan meneguk dua kali.
Ih Thian-heng berpaling kearah pengemis itu, tertawa, “Apakah saudara Cong mencurigai aku
mengadu domba saudara dengan saudara Siang-kwan?”
“Hm, mulut anjing tentu tak dapat tumbuh gading gajah,” sahut Cong To.
Berobahlah seketika wajah Ih Thian-heng, “Dengan baik2 aku bicara kepada saudara, mengapa
saudara menghina begitu? Apakah saudara kira akan takut kepadamu?”
“Memang bicaraku kasar,” sahut Cong To,” kalau engkau tak suka dengar, jangan bicara lagi
dengan aku.”
“Ih Thian-heng,” tiba-tiba dara baju ungu itu berseru,” apakah perjanjian kita masih berlaku?”
Ih Thian-heng tertawa, “Aku memang hendak bicara penting dengan nona.”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
“Bicaralah!”
“Kecerdasan nona, aku sangat mengagumi,” kata Ih Thian-heng,” tetapi bahwa dalam makam ini
ternyata terdapat penghuninya, adakah nona sudah menduga hal itu?”
“Sebelumnya memang tak tahu,” sahut dara baju ungu.
“Nah. begitulah.” kata Ih Thian-heng, “kepandaian dari pencipta makam ini, bukan saja jauh diatas
kepandaianku, tetapipun juga lebih tinggi dari nona.”
“Kalau dinilai dari bangunan yang diciptakan ini, memang benar begitu,” kata dara baju ungu.
“Kalau nona mempunyai anggapan begitu, itu memang benar,” kata Ih Thiang heng pula.
“Apakah engkau bermaksud hendak menasehati aku supaya bekerja-sama dengan engkau untuk
membuka rahasia makam ini?” tanya si dara.
Ih Thian-heng berpaling memandang kepada rombongan jago2 silat yang berdiri dibelakangnya,
tertawa, “Tokoh-tokoh silat yang berkumpul disini, kebanyakan satu sama lain tentu mempunyai
dendam permusuhan. Tetapi pada saat dan tempat seperti sekarang ini, mereka rela untuk
melepaskan urusan ptribadi masing-masing. Dan mereka mau bersatu padu untuk menbungkar
rahasia makam ini, menghadapi orang gang menciptakan makam ini.
Apabila nona mau bekerja sama dengan aku, aku siorang she Ih ini tentu yakin akan menang.”
“Jika sudah dapat menciptakan bangunan sehebat ini dengan perlengkapan pekakas2 rahasia yang
sedemikian hebat, orang itu tentu sudah mempunyai rencana yang sempurna….” tiba-tiba dara
baju ungu itu berhenti, melangkah dua tindak kemuka lalu menyandarkan diri pada tubuh nenek
Bwe, ujarnya pulA,, “Menilik keadaan saat ini, betapa hebat orang itu menyediakan alat dan orang,
tetapi tentu tak mampu mengadu kekerasan dengan kita. Dalam ilmu kepandaian silat saja,
merekapun tentu tak dapat mengimbangi kita. Tetapi apabila sebelumnya mereka memang sudah
mengatur berbagai alat pekakas rahasia, persoalannya tentu lain lagi. Taruh kata dia kalah,
kitapun tentu tak dapat keluar dari tempat ini atau berarti kita akan mati bersama-sama lawan.”
Ih Thian-heng tertegun, serunya, “Ah, aku tak memikirkan sampai langkah itu.”
“Karena itu,” kata dara baju ungu pula, “apa bila kalian hendak mengharapkan kesempatan hidup,
kalian harus mendengarkan perintahku.”
Kata-kata itu diucapkan dengan nyaring sehingga sekalian orang dapat mendengar jelas.
Ih Thian heng tersenyum, serunya, “Ah, nona terlalu menganggap diri nona kelewat tinggi. Terus
terang saja, dalam rombongan tokoh-tokoh yang berada disini, siapapun tak dapat menguasai lain
orang. Maka siapapun dapat memberi saran dan pendapat bahkan perintah. Tetapi itupun hanya
terbatas pada satu soal yang sedang dihadapi. Pada lain soal dilain saat, sudah tak berlaku lagi.”
“Kalau kalian mau mendengar perintahku, aku bersedia kerjasama. Tetapi kalau tidak mau
mendengar perintahku, lebih baik kita kerja mennurut rencana masing-masing tanpa saling
mengganggu.”
Ih Thian-heng tertawa, “Apa yang kuharap
mengharap agar sebelum rahasia makam ini terbongkar, permusuhan diantara kita dengan kita
supaya dihentikan dulu.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
“Baik, kami akan menjadi penonton saja,” kata dara baju ungu.
Sejenak Ih Thian-heng memandang kearah tokoh yang bertubuh pendek dan berkata pula, “Aku
masih ada sebuah permintaan lagi.”
“Bukankah engkau meminta supaya kubebaskan ketua Lembah-seribu-racun itu?” cepat dara baju
ungu menyambuti.
Ih Thian-heng mengangguk, “Entah rahasia makam ini dapat terbongkar atau tidak, tetapi orang-
orang yang berada dalam makam ini ibarat anak-anak yang menerjang api, tentu akan mengalami
akhir yang menyedihkan. Dan setelah rahasia makam ini terbongkar, sukar kiranya untuk nona
berada di luar garis.”
‘Tak apa,” sahut dara baju ungu, “agar kami dapat melihat kehebatan ilmu silat dari Tionggoan….”
Habis bertata dara itu berpaling dan berkata bisik-bisik kepada si Pendek, “Oh ay-cu, lepaskan
ketua Lembah-seribu-racun itu!”
Oh Ay-cu atau orang she Oh yang pendek, mengiakan lalu mengangkat tangan dan diayunkan ke
punggung ketua Lembah-seribu racun. Bluk …. tubuh ketua Lembahah-seribu-racun yang kate itu
segera terlempar sampai lima enam langkah kemuka.
Ih Thian-heng ulurkan tangan menyambuti lengan kiri ketua Lembah-seribu racun, seraya berkata,
“Saudara Leng….”
Tepat pada saat Ih Thian-heng berbuat begitu, tangan kanan ketua Lembah-seribu-racun pun
berayun menghantam kearah dagu Ih Thian-heng. Pukulan keras, jaraknya dekat. Sekalian orang
terkejut dan menyangka Ih Thian-heng tentu terluka. Tetapi sebagian besar, tokoh-tokoh itu
malah mengharap, agar pukulan itu benar-benar dapat melukai Ih Thian- heng, makin berat
lukanya makin baik.
Ketika melihat si dara baju ungu muncul, tergetarlah hati Han Ping. Tak tahu ia bagaimana
sesungguhnya perasaan hatinya itu.
Tiba-tiba ia melihat ketua Lembah-seribu-racun menyerang Ih Thian-heng secara licik. Cepat ia
melesat dan menutuk siku lengan ketua Lembah-seribu-racun saat itu.
Tetapi tepat pada saat ia bergerak, tangan kiri Ih Thian hengpun sudah menangkis dengan tangan
cepat bum….Tubuh Ih Thian heng agak tergetar, ketua Lembah seribu racunpun tersurut dua
langkah. Tetapi tangan kapannya dapat dicengkeram tangan kiri lh Thian heng keras2 sehingga
tak dapat berkutik. Sekali Ih thian heng kencangkan cengkeramannya, pucatlah wajah ketua
Lembah-seribu racun itu. Namun ketua lembah Seribu-racun itu masih berusaha untuk bersikap
garang agar jangan terlihat orang.
Sejenak memandang kesekeliling, Ih Thian-hengpun tertawa, “Harap saudara2 jangan kuaur.
Sebelum saudara2 mati, tak nanti aku mendahului mati lebih dulu.”
Kata-kata yang bernada sindiran itu membuat sekalian orang merah mukanya. Kemudian Ih Thian-
heng memandang Han Ping dan tertawa, “Sekalipun aku tak dapat menjadi sahabat saudara Ji,
tetapi dengan mendapat lawan seorang pemuda yang perwira seperti saudara, akupun merasa
bahagia ‘
Sahut Han Ping, “Aku tak bermaksud menolongmu. Hanya aku tak senang melihat perbuatan
orang yang menyerang secara gelap.”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ih Thian-heng tertawa, “Oh, begitu….
Ia beralih memandang ketua Lembah seribu-racun dan berkata dengan serius, “Tetapi saudara Ji
salah terka Saudara Leng ini sama sekali bukan hendak menyerang aku dan memang dia bukan
orang yang suka melakukan penyerangan secara begitu licik. Adalah karena dari tiga buah
jalandarahnya yang tertutuk, baru dibuka dua buah oleh si Pendek itu, maka sekalipun kaki dan
tangannya dapat bergerak tetapi kesadaran pikirannya masih belum terang. Sehingga dia
melakukan serangan tadi.”
Dalam pada berkata-kata itu, Ih Thian-heng diam-diam sudah kerahkan tenaga-dalam untuk
membuka jalan darah ketua Lembah-seribu- racun yang masih
tertutuk itu. Kemudian baru pelahan-lahan dilepas.
Ketua Lembah-seribu-racun mundur selangkah berdiri terlongong longong beberapa saat lalu
berpaling memandang nenek Bwe dan si Bungkuk serta si Pendek. Tiba-tiba wajahnya merah
padam.
“Ho, bagus orang Pendek!” serunya seraya merentang kedua lengan sehingga terdengar suara
berkerotekan dari tulang2nya, lalu maju menghampiri Oh Pendek.
Si Pendek hanya tertawa dingin, serunya, “Bagus orang pendek, kemarilah engkau!”
Ternyata ketua Lembah seribu racun itu juga orang pendek, hanya terpaut sedikit dengan si
pendek Oh. Tetapi walaupun keduanya bertubuh kate, mereka memiliki ilmusilat yang keras.
Saat itu keduanya sudah saling berhadapan. Begitu bergerak, tentu akan hebat akibatnya.
Tiba-tiba Ih Thian-heng melangkah ketengah mereka dan mecegah, “Harap saudara Leng, jangan
marah dulu!” Dan ia memandang kearah si dara.
“Oh Ay-cu, mundurlah’“ seru dara baju ungu.
Dalam pada itu lari tumpukan kain bertulisan yang ngelumpruk dlantai, tiba-tiba dihembas angin
dingin sehingga kain2 itu terangkat naik. Dan tampaklah apa yang terdapat dibalik kain2 itu.
Sebuah jajaran lilin, dari kecil hingga makin kebelakang makin besar. Panjang jajaran lilin itu tak
kurang dari berpuluh tombak jauhnya. Pada ujung jajaran lilin, terdapat sebuah peti mati hitam.
Dikedua samping peti mati itu tergantung dua buah lian (kain bertulis kata berdukacita). Tetapi
karena jaraknya amat jauh, sekalian orangpun tak dapat melihat jelas.
Ih Thian-heng memandang kepada dara baju ungu dan berkata, “Sungguh suatu persiapan yang
hebat “
“Seorang yang mati, apabila dikubur ditempat semacam ini tentu akan merasa lebih senang mati
daripada hidup,” sahut si dara baju ungu.
Kemudian Ih Thian-heng memandang kearah sekalian tokoh-tokoh silat lalu tertawa nyaring,
“Rahasia dari makam yang begitu menggemparkan dunia persilatan, segera akan terbongkar. Pada
tempat dan saat ini, kuharap saudara2 sekalian tetap menghapus dendam permusuhan pribadi.
Dan jangan melakukan rencana gelap untuk mencelakai lain orang. Apabila terdapat orang yang
bertindak begitu, dia akan dianggap sebagai musuh kita sekalian. Setiap orang berhak
membunuhnya.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Pletek…. tiba-tiba terdengar letupan kecil dari sebatang lilin yang pecah. Apinya muncrat kemana-
mana lalu padam.
Tetapi menyusul pun lain2 lilin meletus satu demi satu sehingga bunga api berhamburan
mememenuhi ruangan. Pada lain kejab ruangan gelap gulita. Sebagai gantinya, batang lilin2 yang
tinggi pada jajaran dibelakang sendiri, segera menyala makin terang.
Ih thian heng menghela napas, “Diluar langit masih ada langit, dibelakang orang masih ada orang.
Kepandaian orang itu benar membuat aku siorang she Ih harus mengangkat topi.”
Buru-buru dara baju ungu menukas, “Sayang ayahku belum datang kemari. Mungkin dialah yang
dapat mengimbangi kepandaian pencipta makam ini.”
Jawab Ih Thian-heng, “Dahulu dalam rapat besar di Jang-san, ayah nona telah membantah
tentang kehebatan ilmusilat Tiong goan. Kata-katanya yang tajam, sangat menusuk telinga.
Memang aku sangat berharap agar dia dapat datang kemari menyaksikan peristiwa yang ramai
ini.”
Ong Kwan tiong mendengus dingin, “Hm, jangan meremehkan kepandaian suhuku. Apabila dia
mau turun kedunia persilatan, bukan saja pencipta makam ini takkan mampu mengelabuhi orang,
pun kalian yang berada disini mungkin tak mempunyai kesempatan untuk hadir disini.”
Mendengar omongan besar itu, Han Ping tak puas. Ia kerutkan alis hendak membantah. Tiba-tiba
hidungnya terbaur angin wangi. Si dara baju ungu melangkah datang. Han Ping memandang dara
itu dengan gelisah. Ia hendak membuka mulut menegurnya tetapi tak jadi.
Tetapi ia rasakan angin berhembus dan dara baju ungu itupun melangkah kearah Ting Ling. Ong
K-wan-tiong dan nenek bwe ikut dibelakangnya.
Ting Ko cepat melangkah kemuka Ting Ling dan berseru dingin, “Mau apa kalian?”
Ih Thian-heng tertawa gelak-gelak, “Harap saudara Ting jangan salah faham. Kupercaya nona
Siau takkan mengganggu puterimu.”
Terdengar dara baju ungu berkata dengan suara lembut, “Nona Ting, engkau terluka.”
Ting Ling menyelinap keluar dari samping ayahnya lalu menyawab, “Aku memang menderita luka
parah, mungkin tak dapat hidup sampai beberapa hari lagi”
“Tak apa,” kata dara baju ungu, “aku dapat menyembuhkan engkau. Harap kemari agar dapat
kuperiksa bagaimana lukamu itu.”
ting Ling maju menghampiri dan bertanya, “Mengapa engkau mengenakan kain kerudung muka
sutera hitam itu? Apakah takut kalau kulihat kecantikanmu yang dapat menilaikan orang-orang
itu?”
Soal itu, soal wajah si dara baju ungu, memang amat menarik perhatian sekalian orang. Setiap
membayangkan betapa cantik dara itu. Tetapi tiada seorangpun yang pernah melihatnya.
Tampak kain selubung muka dara itu bergetaran. Dan entah dari mana, tiba dari dalam selubung
muka terdengar suara bersenandung.
Makin lama makin tinggi dan lagunyapun makin sedih. Menggambarkan seorang isteri yang lama
sekali-ditinggal pergi oleh suaminya, penuh hamburan pilu, ratapan kalbu.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Suasana sedih itu membuat hati orang seperti disayat-sayat dan airmata turun berderai-derai.
Tak berapa lama nyanyian sedih itupun makin menurun rendah dan akhirnya lenyap. Sekalian
orangpun ikut tersadar dari buaian yang rawan.
Tiba-tiba Han Ping menggembor keras dan muntahkan segumpal darah segar. Tubuhnya
terhuyung-huyung beberapa kali baru kemudian berdiri tegak.
Ih Thian heng batuk-batuk dan menghela napas, “Nyanyian itu bagaikan lagu sorga, tiada terdapat
didunia, Apabila dulu2 aku mendengar lagu semacam itu, dunia persilatan mungkin akan terhindar
dari malapetaka.”
Habis berkata ia terus mengharapiri Han Ping, Melihat itu Pengemis sakti Cong To cepat maju dua
langkah, serunya, “Ih Thian-heng, apakah engkau bermaksud hendak melanggar janji yang
engkau ucapkan sendiri Sahut ih Thian heng dengan serius, “Kalau hatiku gentar, tentulah akan
kugunakan kesempatan saat ini untuk melenyapkannya….” tiba-tiba ia tertawa, “Tetapi aku
bukanlah manusia serendah itu….”
Pengemis sakti menukis dengan helaan napas, “Durjana dan orang budiman, memang orang-
orang yang luar biasa. Aku sipengemis tua harus banyak berpikir.”
Ih Thian-heng ulurkan tangan mencengkeram lengan kanan Han Ping. Dirasakannya darah dalam
nadi pemuda itu mengalir deras sekali. Jelas pemuda itu sedang menderita goncangan hati yang
hebat. Segera Ih Thian-heng memijat keras2 urat nadi Han Ping lalu menepuk punggung pemuda
itu seraya berseru, “Dendam sakithati orangtua belum terhimpas, kalau sampai mati tentu masih
penasaran.”
Han Ping menggigil lalu pelahan-lahan membuka mata, sahutnya, “Terima kasih ia terus
menggeliat, lepaskan tangannya dari cekalan orang dan mundur dua langkah, lalu pejamkan mata
mengatur pernapasan.
Ih Thian-heng berpaling memandang kain bertulisan yang berkibar-kibar menyiak kemudian
meruntuh kebawah lagi Sinar lilin disebelah dalampun teraling pula.
“Apakah budak perempuan itu? ‘ tiba-tiba terdengar suara yang aneh melengking.
Sekalian orang serempak berpaling. Kiranya yang berseru itu siorang tua alis panjang atau tabib
racun. Sambil tangan kiri mencekal kera bulu kuning emas yang matanya meram, orangtua alis
panjang itu memandang lekas-lekas kearah Siangkwan Wan-ceng.
Melihat sikap orangtua alis panjang tampak begitu mendendam kepada putrinya. Siangkwan Ko
marah, bisiknya, “Ceng-ji, jangan takut, akan kuberi hajaran pada si tua itu!”
“Jangan ayah,” seru Siangkwan Wan-ceng gopoh, “lo-cianpwe itu telah melepas budi kepadaku….”
ia memandang kearah sitabib alis panjang, berseru pula, “Apakah engkau hendak menanyakan
orang yang menulis resep obat itu?”
“Ya, apakah dara baju ungu itu?” seru sitabib alis panjang.
“Benar, memang dia!” sahut Siangkwan Wan-ceng.
Tabib alis panjang menengadahkan muka tertawa keras, “Bagus! Akhirnya dapat juga bertemu!”
Ia terus melangkah kearah si dara baju ungu.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
“Berhenti!” cepat nenek Bwe ayunkan tongkat membentak.
“Bwe-ni. biarkan dia,” kata dara baju ungu.
Nenek Bwe menurut lalu mundur kesamping dara baju ungu. Tetapi matanya tetap tak lepas
memandang gerak gerik tabib itu. Sekali tabib itu berani berbuat yang membahayakan diri si dara
baju ungu, nenek Bwe tentu akan menghancurkannya.
Dara baju ungu menghela napas panjang, tanyanya, “Apakah maksudmu hendak mencari aku?”
Sahut tabib alis panjang, “Seumur hidup kuabdikan diri dalam soal pengobatan. Dan aku bangga
kepada diriku, tetapi tak tahu kalau didunia ini masih terdapat orang yang melebihi
kepandaianku.”
“Apakah hanya begitu keperluanmu?” tanya si dara baju ungu.
“Baru-baru ini aku telah melihat secarik resep. Obat yang ditulis pada resep itu benar-benar
membuat aku kagum dan tunduk benar-benar,” kata tabib alis panjang.
Kemudian ia berpaling kearah Han Ping, serunya, “Resep itu sayang telah dihancurkan oleh dia.
Aku ingin sekali bertemu muka dengan pembuat resep itu.”’
Dara baju ungu menghela napas, “Ah, usiamu sudah begitu tua, mengapa masih mengandung
pikiran untuk memburu kebanggaan?”
tetapi tanpa menghiraukan ucapan si dara, tabib alis panjang itu berseru lantang, “Apakah engkau
yang menulis resep itu?’
“Kalau ya, lalu bagaimana?”
“Aku tak percaya!” seru tabib alis panjang, “sepanjang hidupku aku telah mengumpulkan banyak
sekali resep obat tetapi tak pernah kulihat resep seperti itu ….”
“Kalau benar aku yang menulis resep itu, lalu engkau hendak mengapa?”
“Kalau engkau yang menulis engkau tentu masih ingat isi resep itu.”
“Apakah engkau masih ingat ramuan obat pada resep itu?” tanya si dara.
“Walaupun tak dapat mengingat seluruhnya tetapi dapat juga mengingat enam tujuh bagian,” kata
tabib alis panjang.
Tiba-tiba dara baju ungu itu mengucapkan beberapa jenis obat, “I-Long-ong, Pi-he, Hong hoa,
Liong yan-hiang…. seluruhnya dia mengatakan duabelas jenis ramuan obat.
Mendengar itu barulah tabib alis panjang mengangguk, “Tepat semua Kalau begitu tak dapat
diragukan lagi, resep itu memang engkau yang menulis ia berhenti sejenak tersenyum lalu
bertanya pula, “Berapakah usiamu tahun ini?”
“Buat apa engkau tanyakan umurku? Aku berumur 19 tahun,” sahut si dara.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tiba-tiba wajah tabib alis panjang itu berobah pucat, serunya, “Aku sudah hidup sampai berpuluh
puluh tahun tetapi ternyata tak dapat melebihi kepandaianmu seorang anak perempuan yang bara
berumur 19 tahun. Apakah orang semacam aku ini masih ada muka untuk hidup didinia….?”
Habis berkata tiba-tiba tabib alis panjang itu benturkan kepalanya ke tanah.
Saat itu sekalian orang masih termangu dari buaian nyanyian sedih si dara. Dan merekapun tak
menyangka sama sekali bahwa karena selembar resep obat saja, orang tua alis panjang itu telah
nekad membenturkan kepalanya ketanah.
Brak…. darah muncrat keempat penjuru ketika batok kepala tabib alis panjang itu pecah
berhamburan ditanah….
Empat orang tokoh silat hendak menolongnya tetapi sudah tak keburu.
“Ah, kasihan orangtua itu…. “ dara baju ungu menghela napas panjang.
Sambil berjongkok untuk mengangkat mayat tabib itu, Ih Thian-heng berkata seorang diri, “Ah, lo
cianpwe terlalu terburu-buru meninggal dunia. Sebenarnya masih banyak peristiwa ramai yang lo
cianpwe dapat saksikan….”
Sambil memondong mayat ia melangkah kearah jajaran kain lian (bertulis). Kira2 dua tiga langkah
dari kain lian itu, ia meniup untuk menyiak kain2 itu lalu melangkah maju. Setelah melawati meja,
ia berpaling dan berseru kepada sekalian orang, “Aku yang akan menjadi pelopor jalan” berseru
pengemis Cong To, “Baik dan Jahat itu hanya sepercik lintasan pikiran. Harap saudara Ih tunggu
dulu aku si pengemis tua.
Pengemis-sakti itu apungkan tubuh dan pada lain saat ia sudah berada disamping Ih thian-heng,
serunya “Mari kita jalan bersama!”
“Tigapuluh tahun hidup dalam dunia persilatan baru pertama kali ini aku merasakan sikap yang
ramah dari saudara Cong.”
Sahut Cong To dengan nada bersungguh, “Sepanjang hidupku, entah sudah berapa banyak jiwa
manusia yang kubunuh. Tetapi tidak seorang dari mereka yang kukenang. Satu satunya peristiwa
yang tak pernah Kulupakan dalam hidupku ….”
“Bukankah yang ada hubungannya dengan sumoay saudara?” tukas Ih Thian-heng.
“Kata saudara Ih, walaupun tidak tepat tetapipun tak jauh” kata pengemis Cong To, “peristiwa
yang selalu menggandul pada pikiranku yalah karena selama ini aku belum dapat mengambil
lencana emas lambang pimpinan ketua….”
Ih Thian-heng merogoh kedalam baju, katanya, “Aku dapat menyerahkan lencana emas itu
kepada saudara. Sejak ini, saudara Cong tak perlu tunduk pada perintah sumoay saudara.”Ih
menyerahkan sebuah lencana emas kepada Cong To.
Cong To melihat lencana emas itu memang lencana dari suhunya yang hilang. Ia terkesiap.
Peraturan dari perguruan Kim pay bun yalah harus menghormati lencana emas lambang
perguruan. Setiap murid yang melihat lencana emas itu harus berlutut memberi hormat seperti
berhadapan dengan suhunya.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sejenak tertegun, Cong To terus berlutut memberi hormat dengan khidmat seraya menyambuti
dengan kedua tangaanya.
berkata pula Ih Thian-beng, “Kalau aku beruntung dapat keluar dari makam ini dengan masih
hidup, aku bersedia akan membawa saudara ber temu dengan sumoay saudara.
Cong To menghela napas, “Ah. peristiwa lampau seperti impian. Asal sudah mendapatkan lencana-
emas itu kembali, aku tak ingin bertemu muka lagi dengannya.”
Ih Thian heng tertawa meloroh, “Walaupun, aku sendiri tak melakukan kebaikan tetapi anak
buahku kebanyakan gemar melakukan kejahatan. Sumoay saudara telah kupenjarakan dalam
sebuah gua. Apabila aku tak dapat keluar dari makam ini, sumoay saudarapun tentu tak mungkin
dapat keluar dari guha itu. Dan itu memang sudah layak sebagai akibat dari perbuatannya.
Sambil berkata Ih Thian hengpun terus melangkah kemuka Cong To mengikuti dibelakangnya. ia
kerahkan tenaga dalam bersiap siap. Setelah meragu sejenak, sekalian orangpun segera
menyusul. Hanya orang Lam hay-bun yang tetap tinggal ditempatnya. Begitu pula Han Ping yang
masih berada disitu karena sedang melakukan penyaluran napas. Kim loji berdiri didamping
pemuda itu dengan penuh perhatian. Hendak bertanya bagaimana keadaan pemuda itu tetapi
akhirnya tak jadi karena kuatir mengganggunya.
Tampak dada pemuda itu berkembang kempis, wajahnya tetap pucat lesi.
“Heran, sungguh heran sekali. Orang bertanya mengapa dara itu terus menyanyikan lagu sesedih
itu?” gumam Kim loji.
Tiba-tiba nenek Bwe gentakkan tongkat bambunya, berseru, “Hai apa yang engkau sebut
mengherankan itu!”
“Kumaksudkan orang yang bertingkah mengherankan,” seru Kim loji.
Nenek Bwe berseru dingin, “Orang semacam engkau, juga berani…. …. “
Dara baju ungu menghela napas, “Sudahlah Bwe Nio, jangan menghiraukannya.”
Kim loji masih mendengus geram, “Walaupun aku….”
Tiba-tiba Han Ping membuka mata dan menghela napas panjang, “Paman Kim, engkaupun harap
jangan bicara lagi!”
Kim loji dan nenek Bwepun diam. Tetapi mata mereka masih saling berpandang. Yang seorang
setiap saat bersedia berkorban jiwa untuk Han Ping. Dan yang satu seorang inang pengasih yang
amat taat dan sayang kepada si dara baju ungu. Keduanya sama-sama mentaati perintah
momongannya.
Pelahan-lahan dara baju ungu melangkah kemuka Han Ping lalu berputar jalan balik kembali.
Kemudian terlonjong longong memandang pemuda itu. Rupanya hati dara itu tegang sekali. Sinar
matanya bertamburan seperti hendak menumpah keluar dari balik kain kerudungnya. Slnar mata
yang ipenuh dengan ribuan kata.
“Nak, apa yang hendak engkau katakan, bilanglah, tak perlu takut,” kata nenek Bwe dengan
menghela napas.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dara baju ungu mengangguk. Dilihatnya Han Ping memandang dirinya dengan mata merentang
lebar. Dara itu menghela napas, ujarnya, “Mengapa hatimu masih mengenang aku? Apabila
engkau anggap aku sudah mati, alangkah baiknya.”
Han Ping tetap menutup mulut rapat2. Tetapi kerut wajahnya makin tegang.
Kata si dara pula, “Kalau hatimu melupakan aku, tak mungkin tadi engkau sampai begitu tegang
sehingga…. sehingga…. ah!”’
Tiba-tiba dara itu beralih memandang Kim loji. katanya pula, “Nyanyianku tadi sama sekali bukan
hendak melukai hatinya. Hanya dalam hatiku memang penuh dengan hal yang duka tetapi tak
dapat kutumpahkan dengan kata-kata. Maka terpaksa kucurahkan melalui nyanyian itu.”
Kim loji terlongong, katanya, “Nona amat cerdas sekali, mengapa tak dapat menumpahkan
kesedihan yang menghuni dihati nona?”
Dara baju ungu itu tertawa, “Ada kalanya aku mengharap diriku ini seorang tolol saja. Seorang
yang tolol, tentu lebih tenang pikirannya dan lebih sedikit pula kedukaan hatinya.”
Tiba-tiba Han Ping menyelutuk, “Kalau engkau menganggap aku sudah mati, kesedihan hatimu
mungkin tentu banyak berkurang….”
Tampak pemuda itu dengan paksakan diri baru dapat mengucap kata-kata itu.
Kala dara baju ungu, “Ada kalanya aku benar-benar mengharap engkau meninggal dalam makam
yang kubangun dengan tanganku sendiri. Tetapi…. tetapi nasib mempermainkan orang dan
membuat aku sering berjumpa dengan engkau.”
Dalam mengucapkan kata-kata itu, tampaknya si dara mengerahkan ketabahan hatinya.
Sesungguhnya kedua muda mudi itu masing-masing dicengkam oleh getar2 Asmara. Namun
selama itu, mereka hanya menyimpan dalam hati tak mau mengutarakan.
Tetapi kini. karena menyadari bahwa hidup mereka sudah takkan lama lagi, kesempatan untuk
berjumpapun tak banyak, barulah mereka tak tahan dan menumpahkannya.
Nenek Bwe memberi isyarat agar Lam-hay-bun menyingkir. Tiba-tiba nenek itu menegur Kim Loji
yang masih tak pergi, “Hai, mengapa engkau tak mau pergi?”
Kim loji sejenak memandang Han Ping lalu memandang dara baju ungu. Dengan perasaan yang
campur aduk, diapun terus ayunkan langkah, menuju ke sudut ruang. Tetapi beberapa saat
kemudian ia tak tahan keinginan hatinya dan berpaling lagi.
“Hai, lihat apa!” bentak neneK Bwe. Tetapi nenek itu sendiripun tak henti-hentinya memperhatikan
keadaan si dara baju ungu.
Kim lojin berputar tubuh dan menghadap tembok. Tetapi berulang kali ia tak tahan dan berpaling
kebelakang.
Demikianlah besarnya rasa sayang nenek Bwe kepada si dara baju ungu dan rasa sayang Kim loji
kepada Han Ping.
Saat itu tinggallah Han Ping dan si dara baju ungu saling berhadapan dan beradu pandang. Tetapi
kedua hanya tegak seperti patung yang tak dapat bicara.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tiba-tiba nenek Bwe berseru keras, “Hai, tahukah kalian tentang pepatah kuna yang mengatakan”
Sedetik itu berharga seribu mas? Pepatah itu hendak mengajarkan kepada orang betapa
berharganya sang tempo. Walaupun tak seluruhnya tetapi sebagaian besar pepatah itu memang
tepat sekali!”
Sekalian anak buah Lam-hay-bun heran dan saling berpandangan. Mereka tak tahu apa yang
dimaksudkan nenek Bwe. Tetapi mereka terpaksa menyambut, “Ya, tepat, tepat sekali….”
Dara baju ungu menghela napas, ujarnya kepada Han Ping, “Ah, Bwe Nio menganjurkan kita
bicara?”
“Lalu mengapa engkau tak bicara?” sahut Han Ping.
“Bicara apa….?” kata si dara. “Bicara apa….?” kata Han Ping pula.
“Pada hari itu aku bertemu Ih Thian-heng. Dia mengatakan kalau engkau sudah meninggal,” kata
dara baju ungu.
Han Ping menghela napas, “Ah, memang ada orang, walaupun mati tetapi masih seperti hidup.
Tetapipun ada orang yang walaupun masih hidup tetapi seperti mati….”
“Usiamu masih muda.” kata si dara, “tetapi setiap orang persilatan yang mendengar namamu Ji
Han Ping itu, kalau tidak memuji dalam hati, tentu diam-diam mengakui bahwa engkau seorang
tunas muda yang amat cemerlang. Walaupun sampai seratus tahun lagi namamu tetap akan
diucapkan orang. Dengan demikian walaupun engkau sudah meninggal, tetapi masih hidup.
Mengapa engkau mengatakan walaupun masih hidup tetapi sudah seperti mati?”
Han Ping terdiam beberapa jenak, lalu berkata pelahan, “Engkau …. engkau masakan tak tahu
diriku?”
“Aku…. aku bagaimana tak mengetahui engkau,” sahut si dara.
Keduanya lalu menundukkan kepala. Walaupun tidak mengucap apa-apa lagi, tetapi dalam hati
kedua remaja iu sudah saling bersentuhan rasa, saling merasakan suatu pancaran Asmara murni
yang mengalir dalam hati masing-masing.
Saat itu mereka rasakan suatu saat yang paling bahagia dalam hidupnya….
Asmara terpendam.
“Ada orang yang menggunakan kata-kata untuk menguturakan maksud hatinya. Tetapi menurut
yang dilalukan kedua remaja itu, ternyata bahasa yang paling halus dan paling menyentuh
perasaan hati, bahasa yang paling berharga dan paling indah, adalah bahasa hati. bahasa yang
tak diucapkan dengan mulut melainkan dengan pancaran mata. Dan getar2 alunan halus dari
Asmara terpendam….diam-diam Kim loji yang menyaksikan pertemuan Kedua remaja itu,
mendapat kesan yang mendalam.
Tengah dia melamun, tiba-tiba nenek Bwe berseru melengking, “Hilang dan tumbuh, ada dan
tiada, dari manakah datangnya?”
Han Ping si dara baju ungu terkesiap dan serempak berpaling.” Dibawah kain lian, tegak seorang
dara baju biru yakni Siangkwan Wan ceng.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Walaupun dara itu berusaha hendak menenangkan hatinya, tetapi kedua kakinya yang gemetar
keras itu tak dapat menyembunyikan lagi luapan hatinya yang bergoncang keras.
Dara baju ungu menghela napas pelahan lalu menghadap kemuka lagi.
“Huh, anak perempuan yang tak tahu diri,” teriak nenek Bwe. Tetapi Siangkwan Wan-ceng tak
menghiraukannya. Pandang matanya makin kabur dan kabur, seperti terbungkus kabut.
“Nona Siangkwan….” baru Han Ping menegur, tiba-tiba dari belakang tumpukan kain lian itu
terdengar suara bentakan keras. Jelas berasal dari rombongan tokoh-tokoh yang masuk kedalam
tadi. Mereka tentu menghadapi kesulitan.
Tetapi kesemuanya itu tak dihiraukan Siangkwan Wan ceng. Dunia ini bagi Siangkwan Wan-ceng
sudah tak dirasakan apa-apa lagi. Ia tak mengacuhkan segala apa.
Oleh karena nona itu berdiri mengalingi sinar lilin dibelakang deretan kain2 bertulisan itu. maka
orang yang berada diruang muka, tak dapat melihat apa yang terjadi diruang dalam.
Tiba-tiba dara baju ungu menghela napas, serunya kepada Han Ping, “Dia tentu bersikap baik
sekali kepadamu. Selama beberapa hari ini berada bersama-sama, apakah kalian tidak gembira?”
Kata Han Ping, “Ah, dia seorang nona yang baik….”
“Kalau begitu mengapa engkau tak memanggilnya kemari.” kata si dara baju ungu, “dia telah
minum racun buatan perguruan Lam-hay-bun yang bekerjanya pelahan. Dia hanya dapat hidup
selama satu bulan saja…. “
“Apa?” Han Ping terkejut.
“Dia hanya dapat hidup sebulan lagi,” kata dara baju ungu. “Oleh karena itu dia sangat
menghargakan sekali waktu yang tak berapa lama itu….”
“O, kiranya begitu,” seru Han Ping.
Kembali dari ruargan dibelakang jajaran kain lian itu terdengar suara tertawa panjang dan
bentakan keras. Dan lilin yang menerangi tempat itupun tiba-tiba padam.
Seiring dengan suasana gelap, tiba-tiba hidung Han Ping tebaur bau yang harum. Dara baju ungu
menghampirinya dan pada lain saat terdengarlah bisikan lembut ditelingannya. Sedemikian dekat
suara itu sehingga hampir menyentuh pipi Han Ping, “Dalam beberapa waktu terakhir ini, aku
telah membohongi diriku sendiri. Aku telah mengubur engkau ditanah pegunungan itu. Pun telah
kubakar banyak sekali kertas-uang untukmu. Dan kubangun sebuah makam yang indah bagimu
agar engkau dapat hidup bahagia di alam baka…. .”
Han Ping tertawa lawar . “Sayang orang yang engkau kubur itu bukan aku…. tetapi orang itu
benar-benar mempunyai rejeki besar….
“Aku mengharuskan diri untuk mempercayai bahwa yang kukubur itu adalah engkau. Walau pun
kutahu engkau masih hidup tetapi aku harus berusaha mengelabuhi diriku sendiri….”
“Mengapa?” tanya Han Ping.
“Karena selama ini belum pernah ada orang orang yang bersikap begitu dingin kepadaku.”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Han Ping tak menyahut melainkan dalam hati berkata, “Ah, kapankah aku bersikap dingin
kepadamu….”
Kata-kata itu diucapkan dalam hati tetapi entah bagaimana si dara baju ungu rupanya seperti
mengerti. Segera ia berkata pula, “Ah, aku salah omong. Aku hendak mengatakan bahwa selama
ini tiada seorangpun yang tak mengalah kepadaku. Tetapi engkau tak mau mengalah kepadaku….”
Han Ping tertawa, “Mengapa aku harus mengalah kepadamu?”
Tiba-tiba dara baju ungu itu ulurkan tangan dan berbisik, “Aku tak minta engkau mengalah
Seorang anak perempuan memang harus bersikap lemah lembut. Ai, aku memang terlalu manja.”
Pada saat tangan si dara bersentuhan dengan tangan Han Ping, seketika jantung Han Ping
barguncang keras sehingga ia menarik diri kebelakang.
Dara itupun perlahan-lahan menarik kembali tangannya lalu berbisik, “Sekarang aku baru
menyadari bahwa betapa hebat dan luar biasa kecerdasan dan bakat yang dimiliki seseorang,
namun akhirnya sukar juga untuk menentang kodrat alam. Lihatlah, peristiwa-peristiwa pada
waktu lampau, betapapun orang dapat mengerjakan usaha2 besar, namun tiada seorangpun yang
mampu untuk memutar balik jalannya rembulan dan matahari. Dan tak mungkin pula dapat
mengembalikan tempo yang telah lalu. Walaupun perjumpaan kita ini belum terlalu terlambat,
tetapi ruangan ini tak dapat memuat dua orang yang suka membawa kemauannya sendiri. Yang
lampau biarlah berlalu, biarlah seperti sang tempo yang takkan dapat kembali lagi….”
Berkata Han Ping dengan nada bersungguh, “Apa yang nona katakan memang benar. Aku masih
menyandang dendam sakithati orangtuaku yang belum terhimpas. Saat ini musuhku berada disini.
Kami tentu akan menghadapi suatu pertempuran maut. Dan siapa yang akan menang masih sukar
diketahui. Apa yang akan terjadi dihari depan masih belum pasti, kuharap nona suka menjaga diri
baik2. Nah, akupun hendak mohon diri….”
Habis berkata Han Ping terus ayunkan langkah kedepan.
Tunggu,” seru dara baju ungu. Han Ping berhenti lalu berpaling, “Adakah nona masih hendak
memberi pesan lagi?”
“Nasib akan menentukan orang. Dunia ini penuh dengan orang yang ingin mancari nasib dan ingin
melepaskan nasib. Inilah dua butir pil penawar racun. Berikanlah kepada nona Siangkwan itu.
Kuberinya minum racun karena aku cemburu dan iri hati. Hendak kusuruh dia merasakan derita
siksaan yang hebat sebelum mati. Sekarang berikanlah pil itu kepadanya. Agar dia tetap hidup
dengan penderitaan kehidupannya.”
Sambil menyambuti pil, Han Ping berkata, “Ucapan nona penuh dengan ujar2 yang bernilai tinggi
sehingga orang harus mengcamkan benar-benar.”
“Lebih baik engkau jangan terlalu mengerti, lekas pergilah,” kata si dara baju ungu.
Han Pingpun segera lanjutkan langkah.
Siangkwau Wan ceng masih berdiri diam dibelakang jajaran kain lian itu. Ia terlongong-longong
seperti patung. Ketika Hati Ping datang, nona itupun menyonsongnya, “Orangtua alis panjang itu
telah menolong jiwamu, tetapi dia yang mati lebih dulu “
“Hendak kuminta jenazah tabib itu dari Ih Thian-heng,” kata Han Ping, “apabila kelak aku dapat
keluar dari makam ini, tentu akan kubangun sebuah makam untuknya.”Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
“Dia seorang sakti yang menyembunyikan diri dipegunungan sepi,” kata Siangkwan Wan-ceng,
“karena hendak menyertai engkau masuk kedalam kancah pergolakan dendam disini, dan berakhir
dengan kehilangan jiwa “
“Engkau telah memberiku minum racun, kebaikanmu lebih besar dari tabib itu,” kata Han Ping.
“Tetapi aku mempunyai pamrih agar selalu dapat bersama engkau. Sebaliknya tabib itu tak ada
pamrih apa-apa. Bagaimana engkau mengatakan kebaikanku melebihi kebaikannya?” bantah si
nona.
Sesaat Han Ping tak dapat menyelami kata-kata si nona. Perlahan lahan ia mengangsurkan pil,
“Nona Siau pesan kepadaku supaya menyerahkan pil penawar racun ini kepadamu.”
“Apakah dia menghendaki aku supaya mengalami penderitaan hidup selama beberapa tahun lagi?”
“Dia memang mengatakan begitu,” kata Han Ping, “tetapi aku tak mengerti maksudnya.”
Siangkwan Wan-ceng menghela napas, ujarnya, “Tak perlu memikirkan hal itu,” katanya, “engkau
harus menyapu semua keruwetan pikiran dan tumpahkan seluruh perhatian untuk membalas
dendam ayahbundamu. Ih Thian heng bukan seorang tokoh biasa. Dalam pertempuran nanti,
sukar ditentukan siapa yang akan menang….”
Berhenti sejenak ia melanjutkan pula, “lekas pergilah, jangan memikirkan budak setan dari Lam-
hay- bun itu lagi. Karena hal itu akan menyebabkan engkau kesengsam dengan kecantikannya.
Suatu hal yang akan menyebabkan engkau lengah dalam kewaspadaan terhadap musuh.”
Han Ping terdiam sejenak, lalu mengucapkan terima kasih dan terus melangkah ke muka.
Diam-diam ia telah merenungkan ucapan Siangkwan Wan-ceng. Memang sejak berhadapan muka
dengan si dara baju ungu, pikirannya selalu terbayang akan wajahnya yang cantik dan senyumnya
yang mengikat suksma. Kekerasan hati untuk membalas dendam sakithati orangtuanya seolah-
olah terpudar oleh bayangan si dara jelita itu. Beberapa patah kata Siangkwan Wan-ceng itu telah
menyadarkan hatinya.
Jalan terowongan itu gelap sekali dan amat sunyi pula. Seolah olah orang-orang yang masuk
kesitu tadi, hilang lenyap ditelan suatu tenaga gaib.
Han Ping berhenti dan diam-diam menyalurkan tenaga-dalam, Kegelapan suasana yang
mencengkam aneh itu seolah-olah membawa firasat akan sesuatu yang mengejutkan. Dalam
suasana yang seperti orang, indera perasaan orangpun makin bertambah tajam.
Dalam waktu akhir2 ini, bukan saja tenaga-dalam Han Ping telah mencapai kemajuan pesat, pun
pengertiannya tentu ilmu bernapas menurut ajaran kitab Tat-mo ih-kin-keng bertambah maju. Dua
kali bernapas, ia sudah dapat menjernihkan pikiran dan mempertajam kelima inderanya. Secepat
itu pula ia dapat mendegarkan suara napas dari tokoh-tokoh yang berada disitu.
Han Ping melangkah maju lagi, langkah kakinya tangkas sekali, seringan kapas jatuh ketanah,
sama sekali tak mengeluarkan suara apa-apa. Dan indera penglihatannyapun bertambah tajam.
Dilihatnya para tokoh-tokoh tadi tengah tegak berdiri bersiap-siap2, seperti menunggu sesuatu.
Han Ping melintasi mereka terus menuju kesamping Ih Thian-heng. Tiba-tiba Ih Thian heng
ulurkan tangan kiri; Harap saudara Ji, jangan buru-buru masuk.”
“Mengapa?” tanya Han Ping agak kurang puas.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ih Tbian heng tersenyum, “Pemilik makam sudah mengeluarkan pernyataan, suruh kita menunggu
dulu “
Han Ping mendengus, “Biasanya engkau angkuh sekali, heran mengapa sekarang engkau mau
menurut kata orang?”
“Aku benat2 kagum kepada pemilik makam ini,” kata Ih thian-heng, “kupercaya dia tentu takkan
mengelabuhi secara licik….
Dalam pada itu tiba-tiba terdengar ngiang suara yang halus tetapi cukup jelas, “Sepeminum teh
lamanya lagi, pintu Seng si bun akan terbuka dayang2 cantik akan menyambut dan melayani para
tetamu….”
Berhenti sejenak, suara lembut itu berkata pula, “Sungguh tak kusangka kalau tuan2 datang
begitu cepat. Tetapi kaum persilatan Tiong goan tak pernah kehabisan orang sakti. Karena salah
menafsirkan kekuatan saudara sehingga tak sempat mengadakan penyambutan. Harap
dimaafkan.”
Han Ping kerutkan alis, berseru, “Siapakah orang itu?”
“Menilik nada bicaranya, tentulah pemilik makam ini,” kata Ih Thian-heng.
Han Ping tertawa nyaring, “Apakah kita begini banyak orang harus mendengar saja omongannya?”
“Kegagahan saudara Ji, membuat aku kagum,” kata Ih Thian-heng” kalau kita dapat menempur
pemilik makam, hanya tinggal pertempuran kita berdua. Apabila engkau dapat mengalahkan aku.
dengan mudah engkau pasti akan mendapat kehormatan sebagai pemimpin dunia persilatan….”
Terdengar beberapa kali tertawa dingin dan dengus menggeram, “Mungkin tak begitu.”
Ih Thian-heng tertawa tawar, serunya, “Harap saudara jangan percaya omonganku. Tetapi soal itu
memang aku tak dapat berbuat apa-apa. Tetapi aku teringat akan suatu hal yang terpaksa harus
kuberitahukan lebih dulu. Siapa yang dapat menghadapi Pedang-terbang dialah yang mem ilmu
pedang terbang itu.”
Ilmu pedang-terbang itu, bukan saja termasuk ilmu pedang yang paling hebat, pun dalam
kalangan ilmu kepandaian dunia persilatan, jarang sekali orang yang memilikinya.
Sekalian tokoh-tokoh itu terdiam.
Ih Thian-heng tertawa dan berkata pula, “Tetapi pada saat ini diantara kita, terdapat seorang yang
memiliki ilmu kepandaian itu. Dia bukan lain seorang pemuda yang masih muda belia yalah Ji Han
Ping….”
“Perlu kuceritakan lagi,” kata Ih Thian-heng pula, “bahwa pada pertama bertemu dengan saudara
Ji itu bukan aku menyombongkan diri, tetapi memang dia jauh sekali tingkatnya dengan aku.
Tetapi setiap kali bertempur dengan dia, dia tentu memperoleh kemajuan yang pesat sekali.
Belum sampai setengah tahun, dia sudah dapat mengimbangi kepandaianku. Hal yang tak wajar
dalam cara meyakinkan ilmusilat itu, benar-benar membuat orang….”
Tiba-tiba terdengar gelaran keras sehingga ucapan Ih Thian heng terputus. Dua buah lentera
berayun keluar.Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dan sebuah suara yang parau, segera meluncur, “’Pintu Seng-si-bun telah kubuka, silahkan para
tetamu masuk. Sebelum masuk, harap saudara2 tahu akan dua buah larangan. Para jelita yang
menyambut tetamu itu, dara2 yang luar biasa cantiknya. Tetapi mereka tak mengenakan pakaian
yang dapat mencelakai suadara. Apabila saudara2 yakin takkan terpengaruh oleh kecantikan dara2
itu, silahkan masuk, tetapi kalau hati saudara tak kuat dan tersengsam dengan bidadari2 itu,
silahkan pilih saja yang mana dan ajaklah bersenang-senang dalam kamar sampai puas. Ha, ha….
ha, ha, ha”
Setelah tertawa, orang itu berseru pula, “Tetapi janganlah sekali kali saudara mencelakai mereka.
Apabila ada seorang saja yang melanggar pantangan itu, seluruh rombongan akan kuhancurkan.
Dan akupun tak mau lagi bertemu muka dengan saudara2 Segera akan kubuka alat rahasia dan
melepaskan ratusan ribu tawon beracun, tiga ribu ular berbisa, kupadamkan penerangan dalam
ruangan ini agar saudara menderita serangan tawon dan ular beracun. Betapapun kesaktian
saudara, tetapi dalam tempat sepanjang sepuluh tombak ini dan ditempat yang gelap, tak
mungkin saudara dapat menghindarkan diri dari serangan binatang2 itu. Inilah larangan yang
pertama.
Harap saudara suka mematuhi, agar jangan terjadi hal yang tak diinginkan,”
ih Thian-heng berpaling kearah rombongan tokoh-tokoh, katanya, “Ular tanpa Kepala tentu tak
dapat berjalan. Burung tanpa sayap tentu tak dapat terbang. Baiklah kita mengangkat seorang
pemimpin rombongan untuk menjawab tuan rumah. Silahkan saudara menunjuk siapa yang layak
menjadi wakil rombongan ini.”
Sambil mengambil buli2 arak dan meneguknya Pengemis-sakti Coag To berkata, “Menurut
pandangan pengemis tua, engkaulah yang paling tepat menjadi pemimpin rombongan kita.”
“Ah, tetapi aku kuatir tak dapat memenuhi harapan saudara2,” kata Ih Thian-heng.
Han Ping mendengus, “ Ih Thian- heng, jangan lupa bahwa kita masih mempunyai hutang piutang
darah yang belum diselesaikan….
Ih Thian-heng tertawa, “Ditempat langit dan bumi buntu semua seperti ini, masakan engkau takut
aku akan melarikan diri.”
Anda sedang membaca artikel tentang Cersil : Makam Asmara 1 ; Lanjutan Persekutuan Tusuk Kundai Kemala dan anda bisa menemukan artikel Cersil : Makam Asmara 1 ; Lanjutan Persekutuan Tusuk Kundai Kemala ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/09/cersil-makam-asmara-1-lanjutan.html,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Cersil : Makam Asmara 1 ; Lanjutan Persekutuan Tusuk Kundai Kemala ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Cersil : Makam Asmara 1 ; Lanjutan Persekutuan Tusuk Kundai Kemala sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Cersil : Makam Asmara 1 ; Lanjutan Persekutuan Tusuk Kundai Kemala with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/09/cersil-makam-asmara-1-lanjutan.html. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar