Rahasia Mo Kauw Kaucu 2 [serial kelima pisau terbang]

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Sabtu, 17 September 2011

Begitu sinar pisau berkelebat, badan Ting Hun-pin segera melejit ke sana, dia tinggalkan
para tamu yang penuh sesak memenuhi ruang perjamuan, meninggalkan Kwe Ting yang
terancam tusukan pedang, meninggalkan segalanya.
Soalnya dia yakin benar bahwa sambaran sinar pisau itu pasti berhasil menolong jiwa Kwe
Ting. Orang baju hitam itu pasti dapat dipukul mundur, kalau tidak pasti binasa, atau terluka.
Itulah pisau lambang pertolongan. Tak terhitung banyaknya jiwa manusia yang tertolong oleh
pisau ini. Dia tahu jelas hanya satu orang dalam dunia ini yang bisa menimpukkan pisau terbang
seperti itu. Hanya satu orang. Dia tidak bisa tinggal diam membiarkan orang ini pergi begitu
saja, umpama dia harus mati, diapun harus melihatnya penghabisan kali.
ooo)O(ooo
Malam sudah larut. Hanya beberapa bintang yang tersebar di cakrawala masih
memancarkan sinarnya yang guram.
Lapat-lapat di kejauhan tampak sesosok bayangan orang berkelebat.
Segera Ting Hun-pin tancap gas mengejar dengan setaker tenaga dan seluruh kecepatan
larinya, namun orang itu lebih cepat lagi. Baru saja dia menerobos keluar jendela, bayangan
orang itu sudah puluhan tombak jauhnya. Tapi dia tidak putus asa, dia tahu dirinya takkan bisa
mengejarnya, namun dia tetap mengudak. Dia sudah kerahkan seluruh tenaganya.
Cepat sekali dia sudah kehilangan jejak orang yang dikejarnya, hanya tabir malam yang
menyambut kedatangannya. Di ujung jalan melintang sana ada sebuah biara pemujaan, di sana
masih kelihatan sebuah pelita menyala. Mendadak dia menghentikan langkah di depan biara
serta berteriak sekeras-kerasnya: "Yap Kay, aku tahu kaulah! Aku tahu kau belum pergi jauh!
Kau pasti mendengar suaraku!"
Malam nan gelap sunyi senyap tak terdengar suara apapun, hanya bunyi daun pohon saja
yang keresekan di hembus angin lalu.
"Perduli kau sudi tidak keluar menemui aku, kau harus mendengar habis apa yang ingin
kulimpahkan."
Dengan gigit bibir, dia menahan air mata.
"Aku tak pernah berbuat salah terhadapmu, jikalau kau tidak sudi menemui aku, akupun
tidak menyalahkan kau, tapi....... tapi boleh mati di hadapanmu."
Mendadak sekuat tenaga dia sobek pakaiannya, terpampanglah dadanya yang montok kenyal
dihembus angin malam nan dingin. Badannya gemetar karena kedinginan dan menahan emosi.
"Aku tahu mungkin kau tidak percaya kepadaku lagi, aku tahu............. tapi kali ini, aku ingin
mati di hadapanmu."
Diulurkannya tangannya yang gemetar, dan dari atas sanggul kepalanya, dia meraih sebuah
tusuk kondai. Dengan mengerahkan seluruh tenaganya, dia tusukkan tusuk kondai ke ulu
hatinya sendiri. Dia benar-benar ingin mati.
Tusuk kondai emas itu sudah menusuk dadanya, darah sudah muncrat keluar.
Pada saat itulah dari kegelapan sana tiba-tiba menubruk keluar sesosok bayangan seenteng
asap secepat kilat menangkap tangannya. 'Ting...' tusuk kondai itu jatuh berkerontangan.
Darah segar nan merah menyolok mengalir membasahi dadanya yang halus putih. Akhirnya dia
berhadapan dengan laki-laki yang selalu dia impi-impikan, sampai matipun takkan bisa dia
lupakan. Akhirnya dia berhadapan dengan Yap Kay.
Sinar bintang yang pudar menyinari muka Yap Kay yang tak banyak berubah, sorot matanya
masih cemerlang, ujung mulutnya masih menyungging senyum manis. Tapi jikalau kau menegasi
lebih lanjut, sorot matanya bersinar karena berkaca-kaca air mata. Walau dia masih
tersenyum, namun senyum nan syahdu, senyuman rawan dan pilu.
"Tak perlu kau berbuat demikian," katanya pelan dan lembut, "kenapa kau harus menyakiti
badanmu sendiri."
Ting Hun-pin mendelong, mengawasinya dengan termangu-mangu, badannya lunglai.
Agaknya Yap Kay pun tengah menekan emosinya, katanya tertekan: "Aku tahu kau tidak
bersalah terhadapku, akulah yang bersalah."
"Aku........."
"Apapun tak perlu kau katakan lagi, apapun yang terjadi aku sudah tahu seluruhnya."
"Kau........kau benar-benar tahu?"
"Kalau aku jadi kau, akupun pasti berbuat demikian. Kwe Ting adalah pemuda yang punya
masa depan, seorang yang baik, sudah tentu kau tidak akan berpeluk tangan melihat dia mati
karena dirimu."
"Tapi aku............"
Ting Hun-pin tak kuasa meneruskan ucapannya, air matanya bercucuran deras.
"Kau adalah gadis bajik, bijaksana, kau tahu hanya berbuat demikian, baru kau bisa
mempertahankan jiwa Kwe Ting." Yap Kay menghela napas, "seseorang bila dia sendiri sudah
tidak ingin hidup, tiada tabib lihay di dunia ini yang bisa menolongnya, demikian pula Kek Pin
takkan bisa mengobatinya."
Dia memang memahami Kwe Ting, lebih menyelami jiwa Ting Hun-pin. Tiada sesuatu dalam
dunia ini yang bernilai lebih tinggi daripada simpati dan memahami jiwa orang lain.
Seperti bocah yang kesedihan mendengar wejangan orang tuanya, saking haru Ting Hun-pin
mendekap dada Yap Kay, pecahlah tangisnya yang tergerung-gerung.
Yap Kay dia saja. Dia tatap orang menangis sepuas hati. Menangis merupakan pelampiasan.
Biarlah rasa haru, sedih dan penasaran hatinya lenyap tak berbekas mengikuti cucuran air
matanya.
Entah berapa lamanya, isak tangis kepedihan akhirnya berakhir, baru pelan-pelan Yap Kay
mendorongnya: "Kau harus segera kembali."
"Kau suruh aku kembali? Kembali kemana?"
"Kembali ke tempat semula," bujuk Yap Kay, "mereka tentu menunggumu dengan gelisah."
Tiba-tiba bergidik dingin badan Ting Hun-pin, katanya: "Kau.........kau ingin aku pulang
menikah dengan Kwe Ting?"
"Kau tidak bisa meninggalkan dia begitu saja." Yap Kay mengeraskan hatinya, "kaupun harus
tahu, jikalau kau tinggal pergi begini saja, dia pasti takkan bertahan hidup lebih lama."
Tidak bisa tidak Ting Hun-pin harus mengakui, bahwa Kwe Ting kuat bertahan hidup sejauh
itu adalah lantaran dirinya.
Jantung Yap Kay seperti mengejang, katanya: "Jikalau Kwe Ting benar-benar mati, bukan
saja aku takkan bisa mengampuni kau, kau sendiri selamanya pasti tidak akan memaafkan
dirimu."
Sampai di sini dia tidak bicara lagi, dia tahu Ting Hun-pin pasti maklum maksud hatinya.
Ting Hun-pin tunduk kepala, lama sekali baru dia bersuara pilu: "Kalau aku kembali, lalu
kau?"
"Aku akan tetap bertahan hidup," Yap Kay tertawa dipaksakan, "kau tahu aku biasanya
cukup tangguh."
"Apakah selanjutnya kita takkan bisa bertemu lagi?"
"Sudah tentu masih bisa bertemu," ujar Yap Kay.
Padahal jantungnya seperti ditusuk pisau. Pertama kali ini dia berbohong kepada orang,
namun terpaksa dia harus berkata demikian.
"Setelah peristiwa ini, kita tetap akan bertemu lagi."
Tiba-tiba Ting Hun-pin angkat kepala menatapnya, katanya: "Baik! Aku terima
permintaanmu. Aku akan pulang, tapi kau harus berjanji satu hal kepadaku."
"Coba katakan!"
"Kalau urusan sudah selesai, aku tetap tak bisa menemukan kau, maka kau harus
memberitahu kepadaku, di mana kau berada!"
Yap Kay menyingkir dari tatapan orang, katanya: "Setelah tahu urusan menjadi lampau, tak
perlu kau mencariku, aku akan menemui kalian."
"Jikalau aku bisa menyelesaikan semua persoalan dengan baik, Kwe Ting bisa hidup sehat
dan tenteram, kau akan mencariku?"
Yap Kay manggut-manggut.
"Apakah yang kau katakan memang benar, kau tidak akan menipu aku?"
"Tidak!"
Hancur hati Yap Kay. Dia bicara tidak jujur, namun Ting Hun-pin percaya kepadanya. Tapi
sebagai laki-laki sejati, jikalau didesak oleh keadaan dan dipandang mana perlu, dia pasti akan
rela mengorbankan diri sendiri demi kebahagiaan hidup orang lain.
Ting Hun-pin berkeputusan: "Baik! Sekarang juga aku pulang. Aku percaya kepadamu."
"Aku......kelak pasti akan mencarimu."
Ting Hun-pin manggut-manggut. Pelan-pelan dia membalik badan, seolah-olah dia tidak
berani memandangnya lagi meski hanya sekali saja. Dia kuatir hatinya bisa berubah, dengan
tekanan perasaan hatinya, dia kerahkan tenaga untuk mengatakan selamat perpisahan: "Kau
pergilah!"
ooo)O(ooo
Yap Kay sudah pergi. Diapun tidak banyak bicara, dengan sisa tenaganya dia baru berhasil
menekan emosinya. Angin dingin laksana pisau menyongsong badannya. Lama sekali dia berlarilari.
Tiba-tiba dia membungkuk badannya terus muntah-muntah tak henti-hentinya.
Dalam pada itu, Ting Hun-pin juga sedang muntah-muntah, seluruh isi perutnyapun tumpah
habis. Tapi dia sudah bertekad jika Yap Kay belum mati, maka diapun takkan menikah dengan
orang lain. Bagaimanapun keadaannya, dia pasti takkan menikah dengan orang lain, umpama dia
harus mati, dia tidak akan kawin dengan laki-laki lain kecuali Yap Kay.
Dia sudah berkeputusan untuk kembali menemui Kwe Ting, menjelaskan duduk persoalan,
akan dia beritahu perasaan hatinya, penderitaan batinnya kepada Kwe Ting. Jikalau Kwe Ting
seorang jantan, dia pasti dapat menyelami hatinya, maka dia harus dan akan berdiri sendiri,
bertahan hidup. Dia yakin Kwe Ting betul-betul jantan, untuk ini dia yakin dan percaya akan
usahanya pasti berhasil.
ooo)O(ooo
Ruang perjamuan di dalam hotel Hong-ping masih terang benderang disinari api lilin, suara
seruling masih kedengaran mengalun halus.
Laki-laki baju hitam pasti sudah lari, Kwe Ting masih hidup, hadirin pasti sudah menunggu
dirinya.
Begitu lompat turun dari wuwungan langsung Ting Hun-pin ke ruang perjamuan. Tapi tibatiba
dia berdiri kaku, terasa sekujur badan menjadi dingin membeku seperti tiba-tiba dia
kejeblos ke jurang yang dalamnya ribuan tombak dan gelap gulita, seperti dirinya tiba-tiba
terjatuh ke dalam neraka.
Keadaan ruang perjamuan yang ramai penuh sesak tadi, kini begitu menakutkan, jauh lebih
mengerikan dari keadaan di neraka. Kalau di neraka api menyala-nyala, asap apipun menyala
merah seperti darah, demikian pula ruang pemujaan ini sekarangpun diliputi warna merah, tapi
bukan lilin yang merah, bukan pakaian orang yang merah, tapi darah segar dan kental yang
merah. Orang-orang yang mengunjungi perkawinannya sudah roboh semua, bergelimpangan di
antara ceceran darah. Dalam ruang besar pemujaan ini tinggal seorang saja yang masih hidup,
seseorang yang sedang meniup seruling.
Muka peniup seruling ini sudah pucat tak berdarah, matanya kaku mendelong, badannyapun
mengejang, namun mulutnya masih meniup seruling. Agaknya dia masih hidup, namun sudah
kehilangan sukma. Tiada orang bisa melukiskan bagaimana perasaan Ting Hun-pin mendengar
irama seruling ini, malah orangpun takkan bisa membayangkannya.
Kwe Ting sudah tak bisa mendengar penjelasannya, mendengar keluhan batinnya, diapun
rebah di antara ceceran darah, roboh berjajar dengan laki-laki baju hitam itu, demikian pula
Ciangkui yang baik hati itu.
Ting Hun-pin tidak tega memandangnya lagi, hanya warna merah melulu yang terpancang di
depan matanya, tiada pandangan lain yang bisa dilihatnya.
Siapakah yang turun tangan sekeji ini? Apa pula tujuannya?
Dia sudah tak mampu memikirkan persoalan ini, tiba-tiba dia meloso jatuh, semaput.
ooo)O(ooo
Di kala Ting Hun-pin membuka mata pula, pertama-tama yang terlihat oleh matanya adalah
peti kayu yang mengkilap dan terukir indah itu, Ban-po-siang (Peti berlaksa pusaka).
Laki-laki tua bertopi tinggi berbaju kasar itu tengah berdiri di pinggir ranjang, menatapnya
tajam, sorot matanya diliputi rasa pilu dan kasihan.
Ting Hun-pin hendak meronta bangun, tapi Kek Pin lekas menekan pundaknya supaya dia
berbaring lagi. Ting Hun-pin tahu orang tua inilah yang menolong dirinya, akan tetapi..............
"Mana Kwe Ting? Kau tidak menolongnya?"
Kek Pin menggeleng dengan sedih katanya setelah menghela napas panjang: "Aku terlambat
datang."
Ting Hun-pin mendadak berteriak: "Kau datang terlambat?..... Kenapa kau harus minggat?"
"Karena aku harus lekas-lekas mencari orang."
"Untuk apa kau mencari orang? Kenapa?", suara Ting Hun-pin memekik kalap. Agaknya dia
tak kuasa menahan emosinya, segalanya berantakan dan dia hampir hancur lebur.
Setelah perasaannya rada tenang, baru Kek Pin berkata dengan nada tertekan: "Karena aku
harus mencari orang untuk menguasai dan mencegah peristiwa ini terjadi."
"Jadi sebelumnya kau sudah tahu bila peristiwa ini akan terjadi?"
"Setelah melihat bungkusan perhiasan permata dan melihat nama ke empat orang itu, aku
segera tahu siapa mereka."
"Kau tahu siapa saja mereka itu?"
Kek Pin manggut-manggut.
"Siapakah mereka sebenarnya?"
"Su-thoa-thian-ong dari Mo Kau."
Ting Hun-pin rebah pula dengan lemas seperti kepalanya di palu godam, bergerakpun tidak.
Berkata Kek Pin pelan-pelan: "Waktu itu tidak ku beber, hal ini lantaran aku kuatir setelah
kalian tahu akan hal ini, bisa takut, gugup dan panik, aku tidak ingin mempengaruhi suasana
gembira dari pernikahan kalian."
Pernikahan-pernikahan apakah jadinya. Ingin Ting Hun-pin berjingkrak pula, ingin
berteriak, namun sedikitpun dia tidak punya tenaga.
"Dan lagi, akupun sudah melihat empat orang jubah kuning emas itu, kukira dengan adanya
Kim-ci-pang yang mencampuri urusan ini, umpama benar Su-thoa-thian-ong dari Mo Kau pun
akan bertindak ragu-ragu dan melihat gelagat."
Namun lekas sekali Kek Pin menambahkan dengan menghela napas: "Tapi tak terpikir olehku
kejadian ini berubah di tengah jalan."
"Apakah kau kira Yap Kay akan melindungi kita secara diam-diam?"
Kek Pin manggut-manggut membenarkan.
"Maka kau tidak menduga bahwa Yap Kay akan lari pergi, tak mengira bahwa aku
mengejarnya," suara Ting Hun-pin amat lemah. Jazatnya seakan-akan sudah kosong
melompong.
Kata Kek Pin: "Seharusnya aku bisa menduga dia akan tinggal pergi, karena dia tidak
melihat lencana batu kemala itu, juga tidak tahu adanya perhiasan-perhiasan itu."
"Apakah kado perhiasan itu mempunyai maksud-maksud tertentu?" tanya Ting Hun-pin.
"Ada saja."
"Apa maksudnya?"
"Perhiasan yang mereka antar itu pertanda untuk membeli jiwa."
"Membeli jiwa?" seru Ting Hun-pin mengkirik.
"Su-thoa-thian-ong dari Mo Kau biasanya jarang turun tangan membunuh orang."
"Kenapa?"
"Karena mereka percaya adanya inkarnasi (penitisan kembali), roh-roh yang sudah berada
di neraka akan menjelma pula ke badan manusia, maka selama hidup mereka tidak mau
berhutang jiwa. Oleh karena itu, sebelum mereka turun tangan membunuh orang, mereka
mengeluarkan imbalannya sebagai pembelian jiwa orang-orang yang hendak dibunuhnya."
"Darimana pula kau tahu, kalau aku pergi, Yap Kay pun pergi?" tanya Ting Hun-pin.
"Ada orang yang memberitahu kepadaku."
"Siapa?"
"Orang yang meniup seruling itu."
"Dia saksikan sendiri peristiwa ini?" tanya Ting Hun-pin bergidik seram.
"Sejak mula sampai berakhir disampaikannya dengan jelas, kalau tidak kebetulan dia
kebentur aku, mungkin seumur hidupnya dia akan menjadi linglung yang tak berguna lagi."
Siapapun menyaksikan tragedi yang menyeramkan ini, orang pasti akan ketakutan dan jatuh
sakit.
"Diapun melihat muka asli dari Su-thoa-thian-ong itu?" tanya Ting Hun-pin.
"Tidak!"
"Kenapa tidak?"
"Karena setiap kali melaksanakan dendam pembunuhnya, Su-thoa-thian-ong selalu
mengenakan topeng malaikat iblis."
"Membalas dendam? Sakit hati siapa yang mereka balas?"
"Giok-siau!", sahut Kek Pin, "bukankah Giok-siau mati di tangan Kwe Ting?"
(Bersambung ke Jilid-13)
Jilid-13
"Giok-siau adalah salah satu dari Su-thoa-thian-ong itu?"
"Dialah yang dijuluki Panjapana, Thian-ong asmara, raja langit yang cabul."
Terkepal kencang jari-jari Ting Hun-pin, namun badannya masih gemetar keras, katanya:
"Kwe Ting membunuh Giok-siau karena hendak menolong aku."
"Aku tahu!"
"Kalau aku tidak mengejar keluar, Yap Kay pun tidak akan pergi." ujar Ting Hun-pin
menangis pula.
"Kalau Yap Kay tidak pergi, tragedi ini mungkin tidak akan terjadi."
Kek Pin geleng-geleng kepala, katanya: "Jangan kau menyalahkan diri sendiri, semua ini
memang sudah dalam rencana mereka."
Ting Hun-pin tidak mengerti.
"Laki-laki baju hitam itu bukan Lamkiong Long, aku kenal Lamkiong Long."
"Lalu siapa dia kalau bukan Lamkiong Long?" tanya Ting Hun-pin kaget.
"Diapun orang dari Mo Kau."
"Dia muncul mendadak, memang bermaksud memancing Yap Kay turun tangan?"
"Mereka memang sudah memperhitungkan dengan cermat, bahwa Yap Kay pasti akan
menolong jiwa Kwe Ting, merekapun sudah menduga begitu jejak Yap Kay kelihatan, kau pasti
akan mengejarnya keluar."
Sudah tentu merekapun sudah memperkirakan, bila Ting Hun-pin keluar, Yap Kay pasti
menyingkir.
"Memang, sebelum Su-thoa-thian-ong menunjukkan aksinya, sebelumnya mereka sudah
mengadakan persiapan dengan rencana yang rapi dan sempurna, oleh karena itu begitu mereka
turun tangan, jarang gagal."
"Kalau demikian orang yang sengaja membongkar kedok muslihat laki-laki baju hitam itu
sengaja mengatakan dia adalah Lamkiong Long, kemungkinan adalah salah satu Su-thoa-thianong."
"Ya, mungkin sekali!", ujar Kek Pin, tiba-tiba dia bertanya: "Kau bisa tidak membedakan
suaranya?"
Ting Hun-pin tidak bisa membedakan.
"Kurasa suara orang itu runcing dan tajam seperti jarum menusuk kuping."
"Masa kau tidak bisa membedakan dia laki-laki atau perempuan?"
"Jelas laki-laki."
"Seseorang bicara mengeluarkan suara dari tenggorokan," demikian kata Kek Pin, "laki-laki
setelah tumbuh dewasa, suaranya akan menjadi kasar dan berat, oleh karena itu suara laki-laki
biasanya lebih rendah, berat dan kasar serak."
Ting Hun-pin tidak tahu akan seluk beluk ini, belum pernah dia mendengar akan hal-hal
seperti ini, tapi dia percaya sepenuhnya. Karena dia tahu Kek Pin adalah seorang tabib sakti
yang tiada bandingannya di kolong langit, mengenai ilmu tubuh manusia sudah tentu dia jauh
lebih tahu dari orang biasa. Apalagi dia pernah dengar, bahwa di dalam Mo Kau ada semacam
ilmu, yang dapat merubah suara tenggorokan orang mengecil dan melengking tajam, berubah
dari suara aslinya.
"Oleh karena itu, laki-laki yang normal, suara pembicaraannya tak menjadi tajam merinding,
kecuali........."
"Kecuali dia bicara menggunakan suara palsu yang ditekan dari tenggorokan."
Kek Pin manggut-manggut, "Coba kau pikirkan lagi, kenapa dia harus bicara dengan suara
palsu?"
"Karena dia kuatir aku mengenali suaranya?"
"Karena aku pasti pernah melihatnya, pernah mendengar suaranya."
"Di antara orang-orang yang hadir memberi selamat pernikahan itu, ada berapa orang yang
pernah kau lihat atau kau kenal sebelumnya?"
Ting Hun-pin tidak tahu.
"Yang terang aku tidak punya kesempatan untuk meneliti mereka." katanya gigit bibir,
"orang-orang yang sempat kulihat sekarang sudah terbunuh semua."
Tak tahan Kek Pin mengepal kedua tinjunya. Setiap langkah kerja Mo Kau yang sudah
direncanakan, bukan saja amat teliti dan cermat, merekapun menggunakan cara yang keji.
"Tapi mereka masih meninggalkan sebuah sumber penyelidikan untuk kita." ujar Kek Pin
setelah termenung sebentar.
"Sumber penyelidikan apa?"
"Orang utama yang pegang peranan di dalam melaksanakan kerja ini pasti hadir juga di
dalam ruang perjamuan itu."
"Ya, pasti ada!", Ting Hun-pin memperkuat keyakinan ini.
"Orang yang waktu itu berada di ruang perjamuan dan kini masih hidup, maka dia itulah
orangnya, atau biang keladi dari pembunuhan besar-besaran ini. Bukan mustahil pembunuhnya
adalah Su-thoa-thian-ong."
Bercahaya biji mata Ting Hun-pin, "Oleh karena itu bila kita bisa menyelidiki siapa saja
orang-orang yang hadir di dalam ruang perjamuan, berhasil menemukan siapa-siapa yang
sekarang masih hidup, maka kita akan segera tahu siapa sebetulnya Su-thoa-thian-ong itu."
Kek Pin manggut-manggut, namun sorot matanya tidak bercahaya, karena dia tahu
persoalan ini bukan urusan yang gampang diselesaikan, untuk melaksanakan sungguh teramat
sukar.
"Sayang sekali kita tidak tahu siapa saja tamu yang hadir di dalam ruang perjamuan dan
tidak tahu siapa kiranya yang sekarang masih hidup."
"Paling tidak sekarang kita bisa mencari tahu lebih dulu, siapa-siapa saja yang pernah
mengirim kado? Lalu siapa saja yang sudah meninggal."
Sekarang berkilat biji mata Kek Pin.
"Nama-nama dan kado yang kita terima ada catatannya di dalam buku daftar tamu."
"Lalu dimanakah buku catatan itu?"
"Tentunya masih berada di dalam hotel Hong-ping."
"Cuaca belum terang, mayat-mayat itu pasti masih berada di ruang perjamuan."
"Tempat apa ini, di mana letaknya?"
"Suatu tempat yang tidak jauh dari hotel Hong-ping."
Ting Hun-pin segera berjingkrak bangun, serunya: "Apa lagi yang kita tunggu?"
Mengawasi orang, sorot mata Kek Pin menunjuk kekuatiran, pukulan batin yang dialami
gadis ini bertubi-tubi dan teramat berat, kalau kini kembali pula ke tempat pembunuhan yang
seram itu, melihat mayat-mayat dan darah yang berceceran, kemungkinan bisa menjadi gila.
Ingin dia membujuknya supaya istirahat, namun belum sempat dia buka bicara, Ting Hun-pin
sudah menerjang keluar. Gadis ini ternyata jauh lebih kuat dan keras dari apa yang dia kira
semula.
ooo)O(ooo
Ruang perjamuan itu sudah kosong melompong, tanpa seorangpun, sesosok mayatpun tiada
lagi.
Kekuatiran Kek Pin atas Ting Hun-pin ternyata berkelebihan, baru saja dia tiba di hotel
Hong-ping, lantas didapatinya seluruh mayat-mayat yang bergelimpangan itu sudah diangkut
bersih. Hotel sebesar itu sudah kosong tanpa dihuni seorangpun, demikian pula kado-kado itu
sudah lenyap seluruhnya, sudah tentu buku catatan itupun sudah lenyap.
Ting Hun-pin menjublek di pinggir pintu. Malam sudah berlarut, mereka belum lama
meninggalkan tempat ini, tindak tanduk pihak Ma Kau sungguh teramat cepat dan menakutkan.
Tiba-tiba Kek Pin bertanya: "Kado pertama yang dikirim Su-thoa-thian-ong itu, bukankah
berada di kamar kasir juga?"
Ting Hun-pin manggut-manggut.
"Kalau demikian yang mengadakan pembersihan ini pasti bukan kawanan Mo Kau."
"Darimana kau bisa berkesimpulan demikian?"
"Karena permata itu mereka kirim kemari untuk membeli jiwa para korban, jiwa-jiwa para
korban sudah mereka beli, tak mungkin permata itu mereka ambil kembali."
"Oleh karena itu mayat-mayat itu pasti bukan mereka yang menyingkirkan."
"Pasti bukan kerja orang-orang Mo Kau."
"Lalu siapa kalau bukan mereka? Kecuali mereka, siapa pula yang punya kecepatan kerja?"
Untuk menguras semua kado dan mayat-mayat itu bukanlah suatu kerja enteng dan
gampang. Apalagi apa gunanya mereka mengangkut mayat-mayat itu? Ting Hun-pin tidak habis
mengerti. Kek Pin pun tidak mengerti.
Angin malam menghembus dari luar jendela, tiba-tiba Ting Hun-pin bergidik kedinginan.
Sayup-sayup didengarnya irama seruling yang mengalun, terbawa angin lalu. Suara seruling
yang merdu menyedihkan.
Seketika teringat oleh Ting Hun-pin akan peniup seruling yang bermuka pucat kaku itu. Tak
tertahan dia bertanya: "Tadi kau tidak membawanya menyingkir?"
Kek Pin geleng-geleng.
"Kenapa dia tetap tinggal di sini?" ujar Ting Hun-pin, "apa pula yang dilihatnya?"
Kek Pin dan Ting Hun-pin serentak menerobos keluar jendela, mereka tahu hanya peniup
seruling ini saja yang mungkin bisa menjawab pertanyaan mereka. Mereka harus menemukan
peniup seruling ini.
ooo)O(ooo
Tiada orang. Orang mati atau orang hidup sudah tiada lagi. Kemanakah peniup seruling itu?
Suara seruling seperti kumandang terbawa hembusan angin, kedengarannya dekat sekali,
namun tahu-tahu seperti berada di tempat jauh. Waktu mereka di dalam rumah, suara seruling
itu sudah terdengar di luar tembok.
Tabir malam di luar tembok amat gelap pekat. Mereka melompati pagar tembok yang penuh
dilumuri salju. Di tengah kegelapan malam yang tak berujung pangkal, tampak hanya setitik
sinar pelita yang kelap-kelip seperti api setan. Di bawah pelita samar-samar seperti ada
sesosok bayangan orang tengah meniup seruling.
Siapa orang itu? Apakah peniup seruling tadi? Kenapa seorang diri meniup seruling di
bawah pelita gantung? Mungkinkah sengaja menunggu mereka? Malam seseram ini, dia masih
seorang diri berada di tempat ini, apa pula tujuannya? Semua pertanyaan ini hanya dia seorang
yang bisa menjawabnya.
Pelita itu tergantung pada sebatang dahan pohon yang kering, kontal-kantil dihembus angin
lalu.
Masih segar dalam ingatan Ting Hun-pin, lampion ini semula tergantung di luar pintu hotel
Hong-ping untuk menyambut kedatangan para tamu. Tapi dia belum melihat jelas orang itu.
Ingin dia memburu ke sana, namun Kek Pin segera menariknya, terasakan olehnya telapak
tangan orang tua ini dingin berkeringat.
Seseorang yang mulai menanjak tua usianya, semakin mendekati kematian, kenapa nyalinya
semakin kecil? Kenapa semakin takut mati?
Dengan kertak gigi Ting Hun-pin berkata menekan suaranya: "Kau pulanglah dulu ke hotel,
biar aku saja yang memeriksanya ke sana."
Kek Pin menghela napas. Dia tahu orang salah paham akan maksudnya, bukan dia
menguatirkan keselamatan dirinya, namun dia menguatirkan keselamatan jiwa Ting Hun-pin
malah.
"Aku sudah berusia lanjut, tiada yang perlu kutakuti, hanya............."
"Aku tahu maksudmu," tukas Ting Hun-pin, "tapi aku harus kesana."
Suara seruling tiba-tiba terputus dan berhenti.
Di kegelapan tiba-tiba terdengar seseorang berkata dingin: "Aku tahu kalian sedang
mencariku, kenapa tidak lekas kalian kemari?"
Suara itu tajam meruncing dari ujung jarum sampai rasanya menusuk kuping.
Basah telapak tangan Ting Hun-pin oleh keringat dingin. Dia pernah mendengar suara ini,
meski hanya sekali, selamanya dia tidak akan melupakannya. Apakah dia ini salah satu dari Suthoa-
thian-ong dari Mo Kau?
Berubah muka Kek Pin, tanyanya dengan suara lirih: "Siapakah kau sebetulnya?"
Seseorang tertawa dingin di bawah lampu, katanya: "Kenapa tidak kau kemari untuk
menyaksikan siapa aku sebenarnya?"
Ting Hun-pin memang hendak maju mendekat, walau tahu bahayanya besar, mungkin jiwa
bisa melayang juga tidak terpikir lagi olehnya, dia tetap akan melihat dengan mata kepalanya
sendiri.
Tapi Kek Pin tetap menggenggam erat tangannya, katanya lebih dulu: "Cepat atau lambat
aku akhirnya akan tahu siapa dia, aku tidak perlu tergesa-gesa."
"Tapi aku perlu segera tahu." sela Ting Hun-pin.
Mendadak dia membalik badan menumbuk ke belakang serta menyodok dengan sikutnya ke
tulang rusuk Kek Pin, dan tahu-tahu dia sudah menubruk ke sana.
Tak nyana lampu itu tiba-tiba padam. Alam semesta menjadi gelap gulita. Tapi Ting-hun-pin
sudah menerjang ke muka orang itu, sudah melihat jelas muka orang itu. Itulah seraut wajah
yang sudah mengkerut, matanya yang melotot keluar menandakan ketakutan dan kaget, seperti
mata ikan mas menatap kepada Ting Hun-pin.
Ting Hun-pin pernah melihat muka ini, pernah berhadapan dengan orang ini.
Dialah laki-laki peniup seruling yang menjadi gila karena ketakutan berdiri di antara mayatmayat
yang bergelimpangan di ruang perjamuan. Satu-satunya orang yang masih hidup di dalam
perjamuan itu. Apakah dia ini pembunuh dari sekian banyak kurban itu?
Terkepal kencang tinju Ting Hun-pin, tiba-tiba dilihatnya setetes darah segar telah
mengalir keluar dari ujung mata orang, mengalir membasahi muka orang yang memutih pucat.
Angin malam nan dingin membuat dia bergidik kedinginan dan seram.
Tiba-tiba didapatinya bahwa orang ini ternyata sudah putus nyawa.
Orang mati mana bisa bicara? Mana mungkin bisa meniup seruling? Kini tangannya tidak
memegang seruling lagi, lalu darimana datangnya suara seruling tadi? Ting Hun-pin menyurut
mundur selangkah. Baru dua langkah mendadak sebuah tangan terulur keluar, secepat kilat
sudah menggenggam tangannya.
Tangan yang dingin seperti es, dingin kaku. Orang mati mana bisa menggerakkan tangan?
Seketika sekujur badan Ting Hun-pin ikut dingin, hampir saja dia kelenger, namun dia tidak
semaput, karena didapatinya tangan yang menangkap pergelangannya ini terulur keluar dari
balik mayat peniup seruling ini. Tapi tangan itu sungguh teramat dingin, lebih dingin dari mayat
manusia. Dingin dan keras, lebih keras dari besi. Ting Hun-pin sudah kerahkan setaker
tenaganya, namun dia tidak berhasil meronta lepas.
Maka kumandang pula suara runcing tajam itu dari balik mayat peniup seruling: "Apakah
kau benar-benar ingin melihat siapa aku sebenarnya?"
Ting Hun-pin gigit bibir, bibirnya sampai pecah dan berdarah.
"Jikalau kau tahu siapa aku, maka kau harus mampus," genggaman orang itu semakin
kencang, "sekarang kau tetap ingin melihat aku?"
Mendadak Ting Hun-pin manggut-manggut dengan sekuat tenaganya. Dalam keadaan
seperti ini matipun sudah tidak dia takuti lagi. Dia awasi tangan itu, meski di malam gelap,
namun tangan itu memancarkan sinar mengkilap seperti logam. Lengan baju orang kelihatan
berwarna hijau tua, bagian atas disulami sebuah puncak gunung yang menghijau. Itulah Putala
Thian-ong, lambang dari puncak tunggal.
Serasa hampir membeku jantung Ting Hun-pin, dia malah mengharap yang dihadapinya ini
adalah setan. Memang, didalam pandangan setiap insan persilatan, Su-thoa-thian-ong dari Mo
Kau dipandangnya sebagai gembong iblis yang lebih menakutkan dari setan jahat.
Dia tidak takut mati, tapi dia insaf, seseorang yang terjatuh ke tangan orang-orang Mo
Kau, maka pengalamannya pasti amat menakutkan, amat mengerikan.
Dari tangan orang, dia melihat lengan bajunya terus naik ke atas, akhirnya dia melihat
mukanya.
Itulah seraut muka orang yang kaku dingin tak ubahnya seperti mayat hidup. Dalam
pandangan Ting Hun-pin, muka ini jauh lebih menakutkan dari muka orang mati biasa. Akhirnya
dia berteriak juga: "Kiranya kau!"
"Kau tidak mengira kalau aku?"
"Kau......kau adalah Putala?"
"Benar! Putala adalah aku, itulah raja puncak tunggal yang tingginya tak bisa dijajaki,
bertengger tinggi menembus mega, siapapun yang melihat muka asliku, hanya ada dua jalan bisa
dia pilih."
"Dua jalan? Kecuali mati, kiranya masih ada jalan lain?"
"Kau tidak perlu harus mati, asal kau mau masuk jadi anggota Mo Kau. Hanya orang kita
sendiri yang selamanya boleh bertahan hidup."
"Bertahan hidup untuk selamanya?" Ting Hun-pin mengejek dingin, "sedikitnya aku pernah
melihat tujuh delapan puluh orang-orang Mo Kau kalian yang mati dipenggal kepalanya seperti
orang menggorok leher anjing liar."
"Umpama benar mereka mati, mereka mati dengan gembira."
"Gembira? Apanya yang dibuat gembira?"
"Karena orang-orang yang membunuh mereka juga sudah mempertaruhkan imbalannya."
Terbayang akan mayat-mayat yang bergelimpangan di perjamuan itu, hampir saja Ting Hunpin
muntah-muntah.
Berkata Putala atau Hu-hong Thian-ong: "Sekarang kau memang hidup, namun hidup tidak
lebih baik daripada mati, namun asal kau mau masuk Mo Kau, perduli kau mati atau hidup,
takkan ada orang berani menganiaya kau."
Ting Hun-pin kertak gigi, bujukan ini agaknya sudah melembekkan hatinya. Belakangan ini
pukulan lahir batin yang menimpa dirinya memang teramat banyak.
Sambil mengawasinya, Hu-hong (Puncak gunung) menampilkan sorot menghina dan
mencemoohkan, katanya dingin: "Aku tahu! Kau bukan ingin mati betul-betul, tiada orang yang
ingin mati."
Ting Hun-pin tunduk kepala. Dia masih muda, belum pernah menikmati kehidupan kaum
remaja yang benar-benar nikmat, kenapa dia harus mati semuda ini?. Seorang gadis yang sudah
kenyang dianiaya, menderita dan disiksa, kalau ada kesempatan untuk menyiksa dan
menganiaya orang lain, bukankah hal ini cukup mengenyangkan?. Bujuk rayu ini sungguh teramat
besar pengaruhnya. Memang tidak banyak gadis yang bisa menolak bujukan halus ini, apalagi
Ting Hun-pin memang gadis yang suka menang dan membawa adatnya sendiri.
Sudah tentu Hu-hong Thian-ong tahu akan dirinya ini, katanya tawar: "Tiada jeleknya kau
mempertimbangkannya, hanya aku memperingatkan dua hal kepadamu."
Ting Hun-pin tengah mendengarkan.
"Untuk masuk Mo Kau, bukan suatu hal yang gampang, kau punya kesempatan sebaik ini,
sungguh merupakan keberuntunganmu." lalu dengan suara kalem Hu-hong Thian-ong
menambahkan, "soalnya Mo Kau kita belakangan ini kembali membuka pintu menegakkan dan
menyebarkan ajaran kita. Kalau kau sia-siakan kesempatan baik ini, kelak kau akan menyesal
seumur hidup."
Tiba-tiba Ting Hun-pin bertanya: "Apakah kau ingin aku mengangkat guru kepadamu?"
Sombong sekali sikap Hu-hong Thian-ong, katanya: "Bisa menjadi muridku, merupakan
keberuntungan yang terbesar bagi dirimu."
"Apakah aku berguna bagi kau?" tanya Ting Hun-pin.
Hu-hong Thian-ong tidak menyangkal.
"Apa gunanya aku ini bagi dirimu?"
"Kelak kau tentu akan tahu sendiri."
"Sekarang......"
Hu-hong Thian-ong menukas: "Kau berguna bagi diriku, aku lebih berguna bagi dirimu. Di
antara sesama manusia, memangnya satu sama lain saling memperalat diri, justru kau
mempunyai harga diri untuk diperalat orang lain, maka kau masih tetap hidup sampai
sekarang."
Ting Hun-pin ragu-ragu, tanyanya: "Katamu kau masih hendak memperingatkan suatu hal
kepadaku?"
"Tak usah kau tunggu Kek Pin untuk menolongmu, dia tidak akan menolongmu, dia tidak akan
berani."
"Kenapa?"
"Karena diapun murid anggota Mo Kau kita. Beberapa tahun yang lalu dia sudah masuk Mo
Kau."
Ting Hun-pin mendelik.
"Kau tidak percaya?"
Memang Ting Hun-pin tidak percaya. Walau lama dia kenal Kek Pin, namun biasanya dia
amat patuh dan hormat kepada orang lain, karena dia tahu Kek Pin adalah teman baik Yap Kay,
seorang cerdik pandai yang serba bisa, namun juga tinggi hati. Sekali-kali dia tidak akan mau
percaya bahwa teman baik Yap Kay, ternyata adalah manusia bermartabat rendah dan hina
dina.
Tapi kenyataan Kek Pin memang maju menghampiri, lurus tangan kepala tunduk, berdiri di
samping Hu-hong, seperti budak berdiri di samping majikannya.
Mencelos dan putus asa hati Ting Hun-pin.
"Sekarang kau percaya tidak?", tanya Hu-hong Thian-ong.
Walau Ting Hun-pin dipaksa untuk percaya kepada kenyataan, tak urung dia masih bertanya
kepada Kek Pin: "Apa benar kau murid anggota Mo Kau?"
Ternyata Kek Pin mengakui.
Terkepal jari-jari Ting Hun-pin, katanya tertawa dingin: "Kukira selama ini kau amat
memperhatikan keselamatanku, membantuku, ku anggap kau adalah teman baik. Tak nyana kau
adalah manusia rendah yang tidak tahu malu."
Muka Kek Pin tidak menunjukkan perubahan apa-apa, seperti orang tuli saja.
"Tahukah kau biasanya aku amat menghormati dan menyeganimu, bukan saja mengagumi
ilmu pengobatanmu, akupun menghormatimu sebagai seorang kuncu. Kenapa kau rela
menjebloskan diri ke dalam dunia nista ini?"
"Masuk anggota Mo Kau bukan masuk ke dunia nista." sentak Hu-hong Thian-ong.
"Baiklah!," ujar Ting Hun-pin menghela napas panjang, "baik sekali, lekaslah kau bunuh aku."
"Kau sudah berkeputusan dan rela mati?"
Ting Hun-pin mengiyakan.
"Kenapa?" kelihatannya Hu-hong Thian-ong amat heran.
Ting Hun-pin beringas, teriaknya: "Karena sekarang aku sudah tahu, siapapun asal dia
masuk Mo Kau, maka dia akan menjadi manusia kerdil yang rendah martabat, hina dina dan
malu dilihat orang."
Mengkeret kelopak mata Hu-hong Thian-ong, katanya kalem: "Kau tidak ingin
mempertimbangkan?"
"Tiada yang perlu kupertimbangkan."
Hu-hong Thian-ong menghela napas, tiba-tiba dia berseru heran: "Kek Pin?"
"Apa?", Kek Pin segera menyahut.
"Agaknya baru saja kau yang menolong jiwanya?" ujar Hu-hong Thian-ong.
"Benar!", jawab Kek Pin.
"Maka kau tidak perlu membeli jiwanya lagi."
Kek Pin mengiyakan.
"Sekarang boleh kau merenggut jiwanya pula."
Sambil mengiyakan, kek Pin menurunkan Ban-po-siang dan Kan-kun-san. Pelan-pelan dia
tudingkan ke tengah alis Ting Hun-pin.
Kalau Ban-po-siang itu piranti menolong jiwa orang, sebaliknya Kan-kun-san khusus untuk
membunuh orang, cepat dan telak.
Kek Pin sedikitpun tidak mirip seorang tua yang ayal-ayalan. Dia jauh lebih mengerti dari
kebanyakan orang di mana tempat berbahaya yang benar-benar merupakan titik mematikan di
tubuh manusia. Titik di tengah-tengah alis orang adalah salah satu tempat penting yang
mematikan jiwa orang. Tiada orang yang kuat menahan pukulan atau serangan. Tapi Ting Hunpin
bukan saja tidak berusaha meluputkan diri malah menyongsong maju dengan tertawa dingin.
Dia tahu dirinya tidak akan bisa lolos.
Pergelangan tangannya masih digenggam erat oleh Hu-hong Thian-ong yang mempunyai jarijari
seperti jepitan besi. Sementara itu ujung payung sengkala itu sudah menutuk ke jidatnya.
Dilihatnya sinar dingin berkelebat, tiba-tiba 'Trap...' suaranya lirih, seolah-olah ada dua
batang jarum saling bentur. Begitu cepat kejadian selanjutnya sampai dia tidak melihat jelas.
Dia hanya merasakan pegangan tangan Hu-hong Thian-ong yang keras laksana jepitan besi
itu tiba-tiba terlepas, mendadak orangnya melambung tinggi bersalto di udara. Kelihatannya
diapun seperti melihat di kala badan Hu-hong Thian-ong mencelat naik itu, tangannya yang lain
terulur menepuk ke punggung Kek Pin. Tepukan ini cepat laksana samberan kilat. Dia sendiripun
tidak melihatnya jelas. Yang menjadi kenyataan baginya bahwa Hu-hong Thian-ong tahu-tahu
sudah menghilang pergi, sementara Kek Pin sudah roboh menggelepar di tanah. Sedangkan
dirinya masih tetap berdiri tak kurang suatu apa. Sungguh dia tidak mengerti, apakah yang
terjadi barusan?
Malam semakin larut, angin menghembus semakin kencang nan dingin, lampion yang sudah
luntur warnanya itu masih kontal-kantil di atas dahan. Demikian pula mayat peniup seruling itu
masih bergoyang gontai tertiup angin di atas dahan pula.
Kek Pin rebah tengkurap dengan dengus napas tersengal-sengal berat seperti dengus sapi,
terus batuk tak berhenti. Setiap kali batuk darah menyembur dari mulutnya. Waktu angin
menghembus punggungnya, baju di bagian punggungnya tiba-tiba tertiup beterbangan seperti
kupu-kupu terbang, tampak bekas tapak tangan membekas tepat di tengah punggungnya. Tapak
tangan warna merah darah.
Selamanya belum pernah Ting Hun-pin saksikan ilmu pukulan telapak tangan sehebat dan
begini menakutkan, tapi akhirnya dia menyadari juga apa yang telah terjadi. Dia masih hidup,
masih berdiri segar bugar, karena Kek Pin bukan saja tidak membunuhnya, malah menolong
jiwanya. Menolong dirinya dengan menyerempet bahaya, dan sekarang orang malah tengah
empas-empis meregang jiwa. Budi besar pertolongan ini laksana jarum tajam menusuk ulu
hatinya.
Perduli sedih atau haru dan terima kasih, sesuatu perasaan kalau terlampau panas, terlalu
emosi, bisa juga berubah laksana tajamnya jarum mencocok jantung hati.
Lekas dia berjongkok memeluk Kek Pin, tak tertahan air matanya bercucuran, dia
kehabisan akal dan tak tahu bagaimana dia harus memberi pertolongan kepada orang yang
telah menyelamatkan jiwanya.
Dengan napas memburu, Kek Pin menahan batuknya, tiba-tiba berkata: "Lekas...........buka
peti itu."
Cepat Ting Hun-pin menarik petinya itu serta membukanya.
"Di dalam bukankah ada sebuah botol kayu warna hitam?".
Memang ada.
Baru saja Ting Hun-pin menjemputnya, lekas-lekas Kek Pin merebutnya, langsung dia gigit
putus leher botol itu, seluruh isi obat dalam botol itu dia tuang seluruhnya ke dalam mulut.
Lambat-laun baru napasnya yang memburu mulai reda.
Ting Hun-pin baru bisa menghela napas lega juga.
Ban-po-siang, Kan-kun-san, raja akhiratpun kewalahan.
Jikalau orang yang tak kuasa dikendalikan oleh raja akhirat tentunya takkan bisa mati.
Kalau dia bisa menolong jiwa orang lain, sudah tentu bisa juga menolong jiwa sendiri. Akan
tetapi rona muka Kek Pin kelihatan masih begitu mengerikan, sorot matanya yang cemerlang
tadi sudah pudar, raut mukanya sekarang tidak akan lebih elok dari muka peniup seruling itu.
Ting Hun-pin menjadi kuatir dan was-was, katanya: "Bagaimana kalau ku papah kembali ke
hotel?"
Kek Pin manggut-manggut. Baru saja hendak berdiri, tahu-tahu meloso jatuh pula, darah
kembali menyembur dari mulutnya.
Ting Hun-pin kertak gigi, katanya penuh kebencian: "Kenapa dia begitu keji menurunkan
tangan jahat?"
Tiba-tiba kek Pin tertawa-tawa, katanya: "Karena akupun turun tangan jahat kepadanya."
Ting Hun-pin tidak tahu, bahwasanya dia tidak melihat kapan Kek Pin pernah turun tangan
kepada Hu-hong Thian-ong.
"Cobalah kau periksa payungku," kata Kek Pin, "bagian garannya."
Baru sekarang ditemui oleh Ting Hun-pin, kiranya garan payung itu bolong bagian
tengahnya. Tepat pada ujungnya yang lancip masih terdapat sebuah lubang sebesar ujung
jarum. Akhirnya dia mengerti, tanyanya: "Di dalam garan payung ini ada menyimpan senjata
rahasia."
Kek Pin tengah tertawa, derita membuat tawanya kelihatan menyedihkan dari isak tangis.
"Bukan saja ada senjata gelap, malah senjata rahasia yang paling jahat di seluruh jagat."
Kan-kun-san atau Payung sengkala miliknya ini memang senjata piranti menghabisi jiwa
orang.
"Waktu aku mengincar kau dengan ujung payungku, garan payung kebetulan tertuju
kepadanya pula." demikian Kek Pin menerangkan.
Ting Hun-pin sudah paham seluruhnya.
"Waktu kau menusukku dengan ujung payungmu, senjata rahasia yang berada di garannya
lantas melesat keluar."
Kek Pin manggut-manggut, agaknya dia ingin tawa gelak-gelak.
"Mimpipun dia tidak akan mengira bahwa aku bakal turun tangan kepadanya, betapapun dia
sudah kena tipuku."
Bercahaya sorot mata Ting Hun-pin, tanyanya: "Dia terkena senjata rahasiamu?"
Kek Pin manggut-manggut, katanya: "Oleh karena itu, walau pukulannya amat menakutkan,
kitapun tidak perlu gentar terhadapnya."
ooo)O(ooo
Dalam ruang perjamuan masih terdapat sebuah pelita yang memancarkan sinar remangremang.
Memang seluruh hotel Hong-ping gelap pekat, hanya di sini saja yang masih ada
penerangan, maka Ting Hun-pin terpaksa membawa Kek Pin kemari, di sini tiada ranjang, tapi
banyak meja. Ceceran darah sudah dibersihkan, dari kamar sebelah dia mendapatkan kemul
tebal untuk mengemuli Kek Pin.
Muka Kek Pin masih pucat menakutkan, setiap kali batuk, darah lantas merembes dari
ujung mulutnya. Untung dia mempunyai Ban-po-siang, peti wasiat piranti menolong jiwa orang.
Melihat mimik orang yang menahan sakit, tak tega Ting Hun-pin, tanyanya: "Adakah obat
lain dalam peti untuk mengurangi rasa sakitmu?"
Kek Pin geleng-geleng, katanya tertawa getir: "Obat untuk merenggut jiwa ada banyak
macam, tapi obat yang benar-benar bisa menolong jiwa orang, biasanya hanya ada satu macam."
Ting Hun-pin tertawa dipaksakan: "Apapun yang terjadi kau sudah berusaha menolong
jiwaku."
Sekilas Kek Pin mengawasinya, pelan-pelan dia pejamkan mata, seperti hendak bicara,
namun tidak jadi dia utarakan.
"Aku tahu kau akan lekas sembuh, karena kau memang orang baik.", kata Ting Hun-pin.
Kek Pin tertawa. Namun Ting Hun-pin malah mengharap dia tidak tertawa, orang lain akan
ikut merasakan penderitaannya bila melihat dia tertawa.
Angin dingin terlalu keras di luar, lekas Ting Hun-pin tutup rapat semua jendela, namun
angin dingin setajam pisau itu masih meniup masuk dari sela-sela pintu atau jendela. Tiba-tiba
dia berkata: "Kau tahu apa yang kupikirkan?"
"Kau ingin minum arak?", Kek Pin balas bertanya.
Ting Hun-pin tertawa, kali ini dia tertawa benar-benar, karena dia melihat di pojok ruangan
masih menggeletak sebuah guci arak. Segera dia menjinjingnya sebuah lalu menepuk pecah
sumbatnya. Bau arak amat wangi. Begitu mencium bau arak, seketika hati Ting Hun-pin seperti
disayat-sayat.
Arak ini sebenarnya disediakan untuk perjamuan pernikahannya. Dan sekarang? Apakah dia
tega minum arak wangi ini? Terbayang Kwe Ting, teringat kepada Yap Kay dan ingat akan Han
Tin yang pergi mencarikan arak buat Yap Kay. Sudah tentu diapun tidak tahu kalau Han Tin
hakikatnya belum mati. Dia hanya tahu kalau dia tidak menusuk Yap Kay, maka Han Tin tidak
akan mati. Diapun tahu jikalau bukan karena ilmu sihir dari Mo Kau, matipun dia tidak akan sudi
menusuk Yap Kay.
"Mo Kau....." tiba-tiba tercetus pertanyaan dari mulutnya, "kenapa orang-orang macam
kalian juga sampai masuk Mo Kau?"
Sesaat Kek Pin menepekur, akhirnya dia menghela napas panjang, katanya tertawa getir:
"Justru karena aku ini orang macam beginian, maka aku bisa masuk Mo Kau."
"Jadi kau masuk secara sukarela?"
"Ya." sahut kek Pin.
"Aku tak habis mengerti," ujar Ting Hun-pin, "sungguh aku tidak mengerti."
"Mungkin karena kau belum tahu orang macam apa sebetulnya aku ini."
"Tapi aku tahu kau pasti bukan manusia jahat seperti mereka itu."
Lama sekali Kek Pin termenung-menung, katanya pelan-pelan: "Aku belajar ilmu pengobatan,
tujuanku hanya untuk menolong diriku, karena kutemui semua tabib-tabib kenamaan di dalam
dunia ini, sembilan diantara sepuluh adalah orang-orang goblok."
"Aku tahu," ujar Ting Hun-pin.
"Tapi belakangan aku belajar ilmu bukan untuk mengobati diriku sendiri, juga bukan untuk
menolong orang lain."
"Jadi apa tujuanmu?"
"Belakangan aku terus memperdalam ilmu pengobatan karena aku boleh dikata sudah
kesetanan."
Memang di dalam mempelajari atau mengerjakan sesuatu, kalau terlalu tekun dan tumplek
seluruh perhatian, akhirnya orang jadi gila, orang akan kesetanan oleh pekerjaan atau ilmu
yang dia pelajari.
"Oleh karena itu, maka kau lantas masuk jadi orang Mo Kau?"
"Di dalam Mo Kau memang banyak sekali ilmu-ilmu setan yang menakutkan untuk membunuh
orang, namun banyak juga cara-cara rahasia yang serba aneh untuk menolong orang,
umpamanya ilmu Sip-hun-tay-hoat (sebangsa ilmu sihir) mereka, jikalau digunakan secara halal,
di waktu memberikan penyembuhan kepada pasien dapat menimbulkan hasil yang luar biasa
yang tak pernah terduga sebelumnya."
"Tapi apa manfaatnya Sip-hun-tay-hoat mereka untuk penyembuhan sakit?" Ting Hun-pin
tetap tidak mengerti.
"Mengobati orang harus mengobati hatinya, kau paham maksudnya?" tanya Kek Pin,
"maksudnya tekad seseorang apakah teguh, kadang kala merupakan titik tolak untuk
menentukan mati hidupnya."
Penjelasan ini bukan saja amat mendalam, juga masih terlalu baru bagi Ting Hun-pin yang
tetap belum mengerti. Maka dia memberi penjelasan lebih lanjut: "Itu berarti seseorang yang
sakit keras, apakah dia kuat bertahan hidup lebih lanjut sedikitnya tergantung pada dia
sendiri, apakah masih mempunyai tekad untuk hidup."
Ting Hun-pin baru mengerti, karena dia teringat akan cara yang pernah dia praktekkan
sendiri. Jikalau bukan dia yang membakar tekad hidup Kwe Ting, tak perlu dia dibunuh orangorang
Mo Kau, sejak lama dia sudah meninggal. Hatinya seperti diiris-iris, tak tertahan dia
angkat guci arak itu terus tuang ke dalam mulutnya.
"Berikan aku seteguk." pinta Kek Pin.
Tahu-tahu mukanya yang semula pucat kini berubah merah membara, seperti kepiting yang
direbus.
Agaknya obat di dalam botol tadi bukan untuk menolong jiwanya, paling hanya
mempertahankan napasnya sementara.
Mengawasi muka orang yang semakin menakutkan, saking gelisah ingin Ting Hun-pin
menangis tersedu-sedu.
"Kau bagaimana perasaanmu?"
"Aku baik sekali." ujar Kek Pin memejam mata, "aku pernah bilang, aku sudah tua, tiada
yang perlu ditakuti untuk mati.". Sedikitpun dia tidak takut mati.
Baru sekarang Ting Hun-pin sadar, tadi orang merasa kuatir bukan lantaran jiwanya
sendiri, namun orang menguatirkan keselamatan dirinya. Hal ini laksana jarum menusuk ulu
hatinya pula, tak tahu dia apa yang harus dia katakan, tak tahu dengan cara apa baru dia bisa
membalas budi dan kebaikan orang.
"Tadi akupun bilang," ujar Kek Pin lebih lanjut, "aku sudah kesetanan mempelajari ilmu
pengobatan, oleh karena itu bukan saja aku tidak punya teman, akupun tidak punya sanak
kadang, karena terhadap siapapun aku tidak ambil perduli."
Tapi dia amat prihatin akan keselamatan Ting Hun-pin.
Ting Hun-pin sendiri merasakan hal ini, tapi dia sendiri tidak tahu kenapa hal ini terjadi?
Betapapun orang sudah berusia lanjut, usia mereka terpaut terlalu jauh, sudah tentu tak
mungkin terjadi hubungan antara laki-laki dan perempuan yang tak pernah berani dia pikirkan.
Orang memperhatikan dirinya, mungkin sebagai orang tua yang mengasihi putrinya. Tapi mata
Kek Pin sudah terbuka, tengah menatapnya lekat-lekat. Mukanya semakin merah, biji matanya
seperti menyala, sehingga dia kehilangan kontrol atas dirinya yang biasa tenang, dingin dan
tabah. Lambat laun dia sudah kehilangan kesadarannya.
Tanpa sadar Ting Hun-pin melengos menghindari tatapan mata orang.
Tiba-tiba Kek Pin tertawa, tawa yang pilu, katanya: "Aku sudah tua bangka, usia kita
terpaut terlalu banyak, kalau tidak............."
Kalau tidak kenapa? Dia tidak melanjutkan, juga tak perlu menanyakan lebih lanjut.
Ting Hun-pin sudah mengerti maksudnya, juga sudah menangkap limpahan isi hatinya.
Setiap manusia mempunyai hal dan kewajiban untuk mencintai dan dicintai orang lain.
Orang tua tak ubahnya seperti anak-anak muda, dia juga mempunyai perasaan, dia bisa
jatuh cinta, malah bukan mustahil cinta orang tua jauh lebih murni dan lebih mendalam.
Maka setelah menghela napas, Kek Pin berkata tawar: "Apapun yang terjadi, kau tidak usah
menguatirkan diriku, barusan sudah kukatakan, aku tiada teman dan tak punya sanak
kadang...... mati hakikatnya tiada sangkut pautnya dengan orang lain."
'Tapi ada sangkut pautnya dengan aku', demikian batin Ting Hun-pin, hatinya seperti
ditusuk-tusuk pula. Jikalau bukan lantaran dia, Kek Pin tidak akan segera mati. Jikalau bukan
lantaran dia, sekarang dirinyalah yang mampus.
Mana bisa dikatakan mati hidup tiada sangkut pautnya dengan dirinya? Masakah dia harus
berpeluk tangan melihat orang mangkat begitu saja? Tapi dengan cara apa baru dia bisa
menolongnya?
Terpejam pula mata Kek Pin, katanya lirih: "Kau pergilah..............lekas pergi!"
"Kenapa kau suruh aku pergi?"
"Karena aku tidak suka melihat orang bagaimana keadaan kematianku."
Badan Kek Pin mulai mengejang, berkelejetan, agaknya dia tengah mempertahankan diri
mati-matian.
"Maka kau harus pergi!"
Dengan kencang tangan Tin Hun-pin saling genggam, seolah-olah kuatir bila tekadnya
berubah.
"Aku tak mau pergi!", tiba-tiba dia berteriak keras, "tidak mau pergi!"
"Kenapa?"
"Karena aku ingin kawin dengan kau."
Mendadak Kek Pin membelalakkan matanya, mengawasinya dengan rasa kaget.
"Apa katamu?"
"Kataku aku ingin kawin dengan kau, aku harus kawin dengan kau."
Dia betul-betul sudah berkeputusan. Dalam waktu yang singkat ini, dia sudah lupa kepada
Kwe Ting, lupa kepada Yap Kay, melupakan semua orang, melupakan segala urusan. Dalam waktu
dekat ini hanya satu hal yang terpikir olehnya, 'Dia tidak bisa berpeluk tangan mengawasi Kek
Pin mati dihadapannya", asal bisa menolong jiwanya, umpama dia harus kawin dengan babi,
dengan anjing sekalipun, sedikitpun dia tidak perlu memikirkannya untuk menerima nasibnya.
Memang Ting Hun-pin adalah seorang gadis yang mempunyai perasaan subur, kalau dia mau
melakukan sesuatu boleh tidak usah memikirkan segala sebab dan akibatnya. Orang lain boleh
memaki, menganiaya dan menyakiti hatinya, lekas sekali sudah dia lupakan, namun dia meski
hanya sedikit kau pernah menanam kebaikan kepadanya, dia tidak akan melupakannya, akan
diukir kebaikanmu di dalam relung hatinya. Mungkin apa yang dia kerjakan terlalu ceroboh,
kalau tidak mau dikatakan terlalu brutal, tapi dia pasti adalah seorang gadis yang suci, lincah
dan periang, karena dia dikaruniai hati nan bajik.
ooo)O(ooo
"Kau ingin kawin dengan aku?"
Kek Pin tengah tertawa, tawa yang getir, haru, terima kasih dan entah apalagi? Dia tidak
bisa membedakan, keadaannya belum sadar seratus persen.
Ting Hun-pin sudah berjingkrak berdiri. Mendadak disadarinya bahwa lampu yang masih
menyala di dalam ruang ini adalah sepasang lilin besar. Bukankah sepasang lilin ini dipersiapkan
untuk dirinya dan Kwe Ting bersembahyang langit dan bumi? Di hadapan sepasang lilin inilah
Kwe Ting roboh terkapar. Kini kedua batang lilin ini belum terbakar habis, namun dia kembali
sudah akan kawin dengan orang lain.
Kalau orang lain yang melakukan perbuatan ini, siapapun pasti menganggap perbuatan orang
brutal, perbuatan orang gila. Tapi Ting Hun-pin lain, siapapun akan merasa simpati, kasihan dan
haru kepada nasibnya. Karena apa yang dia lakukan ini bukannya tidak mengenal kasih, namun
justru demi cinta kasih terhadap sesamanya. Bukan pembalasan, namun sebaliknya sebagai
pengorbanan. Tak segan-segannya dia mengorbankan masa remajanya, tak lain hanya untuk
membalas kebaikan orang terhadapnya. Kecuali itu sungguh dia tidak tahu dengan cara apa
baru dia bisa menolong Kek Pin.
Sudah tentu cara yang dia tempuh ini belum tentu berhasil, akan tetapi bila seseorang rela
berkorban untuk menolong orang lain, walaupun perbuatannya itu terlalu brutal, teramat
bodoh, sikapnya ini tetap patut dihormati, patut dipuji dan dikagumi.
Karena pengorbanan ini betul-betul pengorbanan, pengorbanan yang mungkin tak mau
dilakukan orang lain, orang lainpun takkan bisa melakukannya.
Lilin merah itu sudah hampir habis, dan lilin itu akan menjadi kering bila sumbunya sudah
terbakar habis. Sumbu lilin itu rela dirinya terbakar menyala, hanya untuk menerangi orang
lain. Bukankah perbuatan ini terlalu bodoh? Tapi jikalau manusia umumnya sudi melakukan
perbuatan bodoh semacam ini, bukankah dunia ini akan selalu cemerlang, akan lebih semarak?
Pelan-pelan Ting Hun-pin papah Kek Pin berdiri di depan sepasang lilin itu, katanya lembut:
"Sekarang juga aku menikah dengan kau, menjadi istrimu, selama hidup mengikuti dan
bersandarkan dirimu, maka kau harus tetap hidup."
Kek Pin mengawasinya, bola matanya yang sudah pudar tiba-tiba bercahaya terang,
senyuman wajahnya kelihatan berubah tenang dan tentram.
Muka Ting Hun-pin yang masih berlepotan air matapun mengunjuk senyuman manis mesra.
Dia tahu orang akan bisa bertahan hidup, kini dia sudah punya keluarga, punya sanak famili, dia
sudah takkan mati.
Dengan berlinang air mata Ting Hun-pin berkata: "Di sini memang tiada mak comblang,
tiada protokol upacara, namun kita tetap masih bisa bersembahyang kepada bumi dan langit,
asal kita bersama-sama mau, ada atau tanpa saksipun tidak menjadi soal.".
Ini bukanlah main-main, dan bukan suatu perbuatan brutal, karena dia memang jujur dan
bermaksud baik dengan hati tulus lagi.
Kek Pin manggut-manggut pelan, sorot matanya memancarkan cahaya aneh, mengawasinya
lalu mengawasi sepasang lilin di hadapan mereka. Dapat mempersunting gadis yang dia idamkan,
sungguh merupakan kesenangan hidup bagi seorang laki-laki yang sudah terlaksana citacitanya.
Katanya dengan tersenyum: "Selama hidup ini, selalu kuharapkan detik-detik seperti
ini, supaya lekas terlaksana........ Semula aku tak mengira selama hayat masih dikandung badan,
takkan terjadi hari bahagia seperti ini, tapi sekarang........".
Akhirnya tercapailah cita-citanya. Suaranya menjadi tenang mantap dan tentram, namun
dia tidak habis mengutarakan isi hatinya, mendadak dia roboh. Elmaut merenggut jiwanya
begitu cepat, sekonyong-konyong menyerangnya sehingga dia tidak kuasa melawan dan
bertahan. Tiada orang yang bisa melawan kodrat.
Ting Hun-pin berlutut di samping jenazah Kek Pin, air matanya bercucuran. Di dalam
tempat yang sama, di hadapan sepasang lilin yang sama pula, di dalam satu malam yang sama
juga, dua orang laki-laki yang siap menjadi laki-lakinya roboh dihadapannya. Betapa besar
pukulan ini.
Mungkin mereka memang akan mati, tanpa dia mereka memang sudah suratan takdir untuk
mati, malah mungkin ajal lebih cepat, tapi Ting Hun-pin sendiri tidak pernah berpikir demikian.
Tiba-tiba dia merasakan bahwa dirinya adalah perempuan yang membawa sial, selalu
membawa bencana dan kematian bagi orang lain. Kwe Ting sudah ajal, Kek Pin kinipun sudah tak
bernyawa, demikian pula Yap Kay hampir saja terbunuh olehnya. Dia sendiri malah masih segar
bugar. Kenapa aku harus hidup? Buat apa hidup dalam dunia ini? Dunia macam apakah ini?
Setiap orang yang dia kenal, kemungkinan adalah orang-orang Mo Kau, sejak kenal dengan
Thi Koh sampai Giok-siau dan terakhir Kek Pin. Demikian pula Hu-hong Thian-ong yang dingin
kaku dan jahat laksana iblis itu, semuanya orang-orang yang tak pernah dia duga. Masih adakah
seseorang yang bisa dia percaya dan menjadi sandaran hidupnya? Hanya Yap Kay. Tapi di mana
Yap Kay sekarang berada?
Guci arak masih berada disampingnya, arak keras, begitu masuk tenggorokan lantas
dadanya dan tenggorokannya seperti dibakar. Tapi seteguk demi seteguk dia terus minum tak
kenal puas.
"Yap Kay, kau pernah bilang, setelah segala urusan selesai, kau akan mencariku, kini semua
urusan sudah berakhir, kenapa kau belum kunjung tiba..........kenapa?".
Dia lepas suaranya berteriak-teriak, mendadak dia angkat guci arak itu terus
membantingnya sekuat tenaga. Guci hancur berkeping-keping, arak keras itu berceceran di
atas lantai. Lilin yang kebetulan habis dan masih menyala itu tergetar jatuh dari atas meja,
arak yang mengandung alkohol itu seketika berkobar.
"Blup" api berkobar-kobar memenuhi seluruh ruangan, meja dan kain gordyn serta gambargambar
di atas meja sembahyang terjilat api lebih dulu.
Api tidak kenal kasihan, lebih berbahaya dan lebih cepat datangnya dari kematian.
Memangnya siapa yang kuat menahan kobaran api yang sudah menyala-nyala itu?
Tapi Ting Hun-pin masih berlutut terbengong, tanpa bergerak sedikitpun. Melihat kobaran
api, dalam lubuk hatinya yang paling dalam tiba-tiba timbul rasa senang yang memilukan dan
sadis. Dia ingin menyaksikan kobaran api ini membakar hangus semuanya. Tiada sesuatu yang
harus dia kenang dan berat ditinggalkan. Kehancuran memangnya berat ditinggalkan?
Kehancuran memangnya suatu pelampiasan juga? Dia harus melampiaskan, maka dia harus
menghancurkan.
Cepat sekali api sudah menjilat seluruh benda-benda yang ada di dalam ruangan, menjalar
ke dinding naik ke atap rumah, cepat sekali rumah ini akan segera menjadi puing-puing,
semuanya akan berakhir. Tapi mana Yap kay? Kenapa Yap Kay belum juga datang?
Waktu kobaran api menghiasi udara nan gelap, sang fajarpun telah menyingsing, tapi Yap
Kay tetap belum kelihatan.
ooo)O(ooo
Yap Kay telah mabuk. Biasanya dia tidak pernah mabuk, tiada orang yang bisa melolohnya
sampai mabuk, hanya dia sendiri yang bisa meloloh dirinya sampai mabuk. Tapi diapun jarang
meloloh dirinya sampai mabuk.
Orang minum sampai mabuk bukan suatu hal yang menggembirakan, terutama besok paginya
setelah kau siuman dari pulasmu rasanya jauh lebih tidak menyenangkan, hal ini dia jauh lebih
jelas dari orang lain. Tapi semalam dia sengaja meloloh dirinya sampai mabuk dan tak sadarkan
diri. Betapapun dia orang biasa, bukan orang sakti, bukan dewa.
Tahu kekasihnya sedang bersembahyang bumi dan langit sementara pengantin lakinya
bukan dirinya, memangnya siapa yang bisa tetap sadar dan pikiran jernih? Keluyuran di jalan
raya dengan gembira? Oleh karena itu dia memasuki sebuah warung arak, di mana dia berdiam
satu jam lamanya, tapi waktu dia keluar masih belum mabuk, karena arak yang dijual di sini
terlalu tawar, terlalu banyak tercampur air.
Maka dia menuju ke warung arak yang ke dua. Dengan langkah sempoyongan dia memasuki
warung arak ini. Kali ini apakah dia bisa keluar pula? Sudah tak teringat lagi olehnya. Apakah
selanjutnya dia pergi ke tempat ketiga? Diapun tidak tahu. Yang masih segar dalam ingatannya
hanya waktu dia memukul kepala seorang bajingan tengik yang membawa lonte ke warung itu.
Berapa besar lubang di kepala bajingan karena pukulannya? Diapun sudah tidak ingat lagi.
Waktu dia siuman dan terjaga dari tidurnya, didapatinya dirinya rebah di dalam tumpukan
sampah di dalam sebuah gang buntu. Sampah yang kotor dan berbau busuk, anjing liarpun
takkan mau tidur di tempat sekotor ini.
Pastilah bajingan yang bocor kepalanya itu mengundang temannya menuntut balas kepada
dirinya, setelah badannya dipermak dan digasak pergi datang, lalu membuang dirinya ke tempat
ini. Lekas sekali dia lantas membuktikan dugaannya ini, karena waktu dia merangkak bangun,
bukan hanya kepala terasa pening dan sakit seperti merekah, seluruh badanpun terasa sakit
linu.
Entah berapa banyak dan berapa kali kepalan dan tinju orang yang telah menghajar
badannya. Hal ini sudah pernah dia rasakan dulu, karena sebelum dia belajar memukul orang,
dia sudah biasa latihan dihajar orang.
Memang siapapun bila menyadari dirinya dilempar di atas tumpukan sampah, dipermak dan
digasak begitu rupa, pasti akan naik pitam, sedih dan penasaran. Tapi Yap Kay malah tertawa.
Adakalanya bila dirinya juga dihajar orang, bukankah suatu hal yang lucu dan menyenangkan?
Apalagi dia yakin tangan orang-orang yang pernah menghajarnya itu, pasti tangannya sedang
kesakitan.
ooo)O(ooo
Keluar dari gang buntu itu, dia tiba di sebuah jalan raya, seperti pula jalan-jalan atau ganggang
yang terdapat di kota Tiang-an lainnya, jalan ini teramat kotor, tua dan kuno.
Di seberang jalan dilihatnya ada sebuah warung arak kecil, sebuah holou besar yang
terbuat dari besi tergantung di depan pintu.
Tiba-tiba Yap Kay teringat, semalam waktu dia minum arak dan berkelahi, adalah di dalam
warung ini. Di belakang warung itulah, ada terdapat sebuah pintu gelap, pintu belakang yang
rahasia. Lonte yang dibawa bajingan tengik itu masuk lewat pintu belakang itu. Dari sana
membelok ke kiri, lalu membelok pula ke jalan raya, orang akan segera tiba di hotel Hong-ping.
Selama hidupnya mungkin Yap Kay tidak akan mau ke hotel Hong-ping. Urusan yang membuat
hati duka, di sana memang terlalu banyak.
Lalu kemana dia sekarang harus pergi? Apa pula yang harus dia lakukan? Yap Kay tidak
berpikir. Dia ingin sementara tak usah memikirkan apa-apa, otaknya sedang bebal, sedang
kalut. Dia hanya tahu langkahnya jangan menuju ke arah kiri.
Hari ini cuaca amat cerah, sinar matahari menyinari badan manusia terasa hangat dan
menyegarkan. Orang-orang yang berlalu lalang di jalan raya semuanya berpakaian bagus, dan
baru, semuanya mengunjuk riang gembira, setiap orang yang kesamplok pasti tak hentihentinya
memberi hormat, soja dan mengucapkan selamat atau Kiong-hi.
Baru sekarang Yap Kay sadar, hari itu tanggal dua. Apa kerja orang lain pada tanggal dua
ini? Tak lain membawa putra-putrinya pergi ke tetangga, ke rumah familinya, memberi dan
menyampaikan selamat tahun baru, terutama anak-anak paling senang menerima angpao. Pada
hari-hari baik ini, siapapun dilarang mengeluarkan kata-kata kotor, tidak boleh berkelahi atau
marah. Tapi bagi kaum gelandangan yang tak punya rumah, tiada sanak kadang di tempat
rantau ini, apa pula yang mereka kerjakan?
Yap Kay putar kayun di jalan raya, celingukan kian kemari, yang benar matanya seperti
tertutup, tiada sesuatu yang dia lihat, tiada sesuatu yang terpikir dalam benaknya. Mungkin
hanya satu. Apa kerja Ting Hun-pin sekarang?
Sebetulnya dia sudah berkeputusan tidak memikirkannya untuk selamanya, tapi entah
kenapa, otaknya yang bebal dan berat, justru memikirkan dirinya saja. Kalau tadi dia bertekad
untuk tidak menuju ke hotel Hong-ping, tapi waktu dia angkat kepala, tahu-tahu dia menyadari
dirinya tengah melangkah di jalan raya itu, dan anehnya dia sudah tidak melihat lagi papan
merk hotel Hong-ping yang tergantung tinggi itu, hanya sekelompok orang yang berkerumun.
Ada yang bisik-bisik, ada yang geleng-geleng dan menghela napas, ada pula orang yang memeluk
kepala tengah menangis terisak-isak. Apakah yang terjadi di sini?
Tak tahan Yap Kay menuju ke sana, dia mendesak maju di antara gerombolan orang banyak.
Seketika sekujur badannya seperti diguyur air dingin, berdiri mematung kaku seperti tonggak
kayu. Hotel Hong-ping yang merupakan hotel terbesar dan termewah di seluruh kota Tiang-an
ini, kiranya sudah menjadi tumpukan puing.
ooo)O(ooo
Peristiwa yang terjadi di hotel Hong-ping semalam, baru diketahui khalayak ramai setelah
hari terang tanah. Maklumlah kemarin adalah tahun baru. Setiap malam tahun baru, setiap
keluarga pasti makan bersama, semuanya menyekap diri di rumah, tiada yang keluyuran di
jalanan. Umpama ada orang lewat, mereka paling adalah kawanan judi atau bajingan tengik,
tiada orang yang mau mengeduk kantong jajan di restoran atau keluyuran di hotel.
Bagi orang-orang yang berada di rumahpun tengah sibuk, kalau tidak main kartu, minum
arak dan lain kesibukan, apapun yang terjadi di luar rumah takkan menjadi perhatian mereka.
Karena hari itu adalah hari luar biasa, maka terjadi pula kejadian yang luar biasa ini. Hal ini
pasti bukan kebetulan, karena setiap peristiwa pasti ada sebab musababnya.
ooo)O(ooo
Hotel Hong-ping sudah terbakar habis, namun tidak diketemukan tulang belulang satu
orangpun.
"Dimanakah Ciangkui pemilik hotel ini?"
Tiada yang tahu. Semalam apa yang terjadi di sini, boleh dikata tiada orang tahu.
"Hal lain tidak perlu kubuat heran, hanya sepasang mempelai yang katanya mengadakan
pesta di hotel ini semalam, tidak berada di kamarnya lagi, demikian juga Ciangkui telah
menghilang."
Semua yang hadir sama menebak-nebak dan satu sama lain berdebat. Semakin dibicarakan
semakin ribut dan urusanpun semakin kalut.
"Apakah semalam hotel ini kedatangan Dewi Rase? Atau kedatangan setan jahat?"
Jikalau bukan kedatangan setan, masakah hotel ini terbakar, sedikitnya Ciangkui tua itu
pasti akan kembali.
Yap Kay tahu dunia ini tiada setan, selamanya dia tidak percaya akan dongeng-dongeng
tentang setan. Tapi peristiwa ini memang seperti dipermainkan setan, umpama dia harus
memukul lubang batok kepalanya, persoalan ini tetap menjadi teka-teki.
Terasa dia berdiri seperti kayu, kayu yang dingin dan keras. Sebetulnya bagaimana hotel
ini sampai terbakar? Kemana Ting Hun-pin dan Kwe Ting yang baru jadi pengantin itu? Dia
harus menyelidiki dan menemukan jejak mereka. Namun dia tidak tahu kepada siapa dia harus
bertanya.
Pada saat itulah, di tengah orang banyak yang berdesakan itu, tiba-tiba ada orang menarik
ujung bajunya. Waktu dia menunduk, maka dilihatnya sebuah jari-jari tangan nan indah putih
halus meruncing, tangan seorang perempuan. Siapakah yang menariknya? Apakah Ting Hun-pin?
Waktu Yap Kay angkat kepala, orang yang menariknya sudah memutar badan, menuju ke
tengah-tengah gerombolan orang banyak. Orang ini mengenakan kerudung mantel berbulu
burung, rambut panjangnya terurai mayang, tergelung oleh sebuah gelang batu giok. Apakah
dia ini Ting Hun-pin? Yap Kay tidak bisa mengenalinya.
Terpaksa dia ikuti langkah orang, langkah orang gemulai dan enteng. Tiba-tiba timbul
perasaan yang tak bisa terlukiskan dalam benak Yap Kay, sebentar mengharap perempuan ini
adalah Ting Hun-pin, namun juga mengharap bukan.
Jikalau dia benar Ting Hun-pin, setelah mereka bertemu, bagaimana perasaan hatinya? Apa
pula yang harus diperbincangkan? Kalau dia bukan Ting Hun-pin, memangnya siapa dia?
Kali ini Yap Kay tidak mundur, juga tidak menyingkir. Dia tahu perduli orang ini Ting Hunpin
atau bukan, pasti banyak omongan yang hendak dibicarakan dengan dirinya.
Pelan-pelan orang itu melangkah ke depan, tanpa berhenti juga tidak berpaling. Setelah
menyusuri sebuah jalan panjang, membelok ke jalan lain yang panjang pula. Tiba-tiba dia
membelok ke sebuah gang sempit di pinggir sana. Gang kecil yang sempit.
(Bersambung ke Jilid-14)
Jilid-14
Waktu Yap Kay memburu ke sana, hanya melihat bayangannya berkelebat, terus memasuki
sebuah pintu sempit pula, daun pintu hanya setengah dirapatkan. Di lihat dari luar, rumah ini
hanya tempat tinggal orang awam biasa saja, pintu itu penuh ditaburi debu dan gelagasi
(sawang laba-laba), jelas sudah lama tidak dibersihkan.
Begitu tiba di depan pintu, jantung Yap Kay mulai berdetak. Tiba-tiba teringat olehnya
bahwa dia pernah datang ke tempat ini, sekarang tak usah dia menerobos masuk, dia sudah
tahu siapa orang yang membawanya kemari.
Cui Giok-tin. Di tempat inilah orang tempo hari membawa Yap Kay merawat luka-lukanya di
sini. Terbayang akan kejadian hari itu, kembali timbul suatu perasaan yang tak bisa dilukiskan
dalam benak Yap Kay. Entah hatinya senang? Hambar? Atau kecewa? Yang menggembirakan
adalah bahwa Cui Giok-tin ternyata masih hidup. Hambar karena kejadian manis itu sudah lama
berselang, impian manis sudah tak bisa dikejar. Lalu apakah yang dia kecewakan? Apakah
relung hatinya yang paling dalam masih mengharapkan dia, yang adalah Ting Hun-pin?
ooo)O(ooo
Impian lama bukannya tak mungkin di kenang kembali, sedikitnya di dalam hawa sedingin ini
dia masih bisa sedikit membayangkannya.
Hembusan angin datang dari pekarangan belakang lewat dapur terus ke depan, di tengah
angin lalu ini, lapat-lapat tercium bau masakan bubur ayam harum. Tak urung teringat oleh Yap
Kay akan kejadian pagi itu, waktu itu diapun mencium bubur ayam, lamunannya tengah
membayangkan suguhan semangkok bubur ayam yang masih panas dengan asap kemepul
menimbulkan seleranya, diangsurkan ke hadapannya oleh sepasang tangan yang halus elok.
Siapa tahu bubur ayam itu tahu-tahu terbang masuk dari luar pintu. Bukan tangan halus nan
lembut yang dia lihat, tapi adalah tangan berlepotan darah yang piranti untuk membunuh
orang, Jik-mo-jiu, tangannya Ih-me-gao. Sejak hari itu, dia lantas menghilang tak keruan
paran, sungguh tak nyana hari ini dia bisa bertemu lagi.
Dengan menghela napas Yap Kay mendorong pintu, melangkah masuk ke dalam rumah.
Almari kecil pendek itu masih tetap berada di tempatnya, sampaipun cahaya matahari yang
menyorot masuk dari pojok rumahpun tiada ubahnya dengan tempo hari. Entah kondisi badan
Yap Kay masih lemah sehabis dihajar orang, atau memang hatinya lemas, setelah masuk
langsung dia merebahkan diri ke atas ranjang. Bantal yang dia tiduri masih berbau wangi dari
rambutnya. Betapapun kehidupan dua hari yang tentram itu takkan terlupakan selama
hidupnya. Dia jadi berpikir-pikir, jikalau hari itu Cui Giok-tin tidak mengalami sesuatu, apakah
sampai sekarang dia masih akan menemani dirinya di sini?
Terdengar derap langkah lirih di luar pintu, tampak dia melangkah masuk dengan membawa
sebuah mangkok berisi bubur yang panas kemepul. Dengan senyuman manis mekar dia
melangkah mendekati dengan gemulai. Inilah keadaan yang dihadapi Yap Kay pada pagi hari itu,
Cuma sekarang entah sudah berapa lama berselang sejak kejadian hari itu? Peristiwa apa pula
yang telah dialaminya?
Kalau keadaan sekarang masih tetap seperti tempo hari, namun perasaan masing-masing
sudah jauh berbeda. Memangnya siapa dalam dunia ini yang mampu menarik kembali sang waktu
yang telah lewat?
Yap Kay unjuk senyum dipaksakan, sapanya: "Selamat pagi?"
"Selamat pagi!", sahut Cui Giok-tin tersenyum lembut, "buburnya sudah matang, apa kau
makan sambil tiduran saja?"
Yap Kay manggut-manggut.
Maka bubur panas yang hangat dan wangi itu, sesendok demi sesendok dilolohkan ke dalam
mulutnya oleh sebuah jari-jari tangan yang halus elok.
Yap Kay memang amat memerlukan makanan, perutnya sudah berontak, sehingga badannya
lunglai. Bubur itu tak ubahnya dengan bubur ayam yang pernah dilalapnya habis tiga mangkok
tempo hari, namun sekarang dia hanya mencicipi beberapa sendok lantas dia tidak kuasa
menelannya lagi.
Cui Giok-tin menatapnya, katanya lirih: "Semalam tentu kau mabuk tak sadarkan diri.........."
Yap Kay tertawa ewa, sahutnya: "Memang, aku mabuk seperti anjing sekarat!"
Lama Cui Giok-tin mengawasinya, akhirnya menghela napas, ujarnya: "Jikalau kau mabuk,
akupun akan mabuk."
"Kau tahu akan peristiwa semalam?"
"Sebetulnya belum tahu," ujarnya.
Sorot matanya yang indah cemerlang tiba-tiba berubah menunjukkan kepedihan dan duka,
pelan-pelan dia mulai menceritakan pengalamannya.
"Pagi hari itu, aku ditangkap Ih-me-gao dan dipaksa pulang ke tempat Giok-siau, dia
lantas..... aku dilarang keluar lagi. Kukira hidupku ini pasti akan berakhir. Sungguh tak terpikir
olehku, gembong iblis itu akhirnya mampus juga di tangan orang lain."
"Begitu Giok-siau mati, kau lantas kemana?" tanya Yap Kay.
"Begitu mendengar kabar kematiannya, para saudara seperti burung-burung yang terlepas
dari kurungan, siapapun ingin terbang bebas ke tempat jauh, setiap orang membagi harta dan
uang peninggalan Giok-siau. Dalam jangka satu jam, mereka sudah bubar dan terpencar, hanya
aku...."
Sampai di sini Cui Giok-tin menunduk kepala tidak melanjutkan ceritanya.
Hanya dia yang tidak pergi, karena dia masih tak bisa melupakan Yap Kay, maka dia kembali
pulang ke tempat ini. Ingin dia menemukan kembali impian lamanya yang semanis madu. Sudah
tentu dia tidak utarakan isi hatinya, namun Yap Kay sudah mengetahuinya.
"Seorang diri aku mengeram di dalam rumah ini sehari penuh, bukan saja tidak ingin keluar,
juga tidak mau tidur," dia tertawa, tertawa getir, "sebetulnya aku sudah tahu kau tidak akan
kembali ke tempat ini."
Betapa hati Yap Kay takkan mendelu mendengar ucapannya ini, tiba-tiba disadarinya bahwa
dirinya memang seorang laki-laki yang tak mengenal kasih. Memang tidak pernah terpercik
pikirannya untuk kembali ke tempat ini.
"Sampai kemarin pagi, aku mendengar suara petasan yang ramai di luar, baru aku ingat hari
itu tanggal satu tahun baru." demikian dia melanjutkan ceritanya, "sudah tentu aku tidak ingin
kelaparan di dalam rumah, akhirnya aku keluar juga keluyuran di jalan raya, tapi tak terpikir
olehku, begitu aku keluar, lantas aku mendapat kabar yang menakutkan."
"Kabar apa?"
"Kudengar kabar bahwa nona Ting Hun-pin hendak menikah."
"Kabar ini tidak perlu dibuat takut." ujar Yap Kay tertawa dipaksakan.
"Tapi...." Cui Giok-tin menunduk, "waktu itu aku kira dia... dia hendak menikah dengan kau."
Bila seorang gadis mendengar laki-laki idamannya hendak menikah, sudah tentu berita ini
dianggapnya amat menakutkan.
Yap Kay dapat memaklumi perasaan orang, dia sendiri dulu pernah mengalami kejadian ini,
maka dia menghela napas rawan.
"Kudengar pula bahwa nona Ting hendak menikah dengan seorang laki-laki yang terluka,
maka aku lebih yakin bahwa pengantin laki-lakinya pasti kau. Waktu itu meski hatiku mendelu,
namun aku mengharap bisa melihatmu sekali lagi di perjamuan, maka aku membawa kado, ku
antara ke hotel Hong-ping."
Yap Kay tertawa getir, diapun mengirim kado, kado yang luar biasa. Setelah tahu akan
kabar pernikahan Ting Hun-pin, maka dia lantas berkeputusan untuk berusaha berdaya
mengobati luka-luka Kwe Ting. Sayang dia sendiri tidak punya kemampuan dalam bidang ini,
maka di dalam waktu semalam itu, dia berlari tujuh ratus li pulang pergi, mengundang Kek Pin
datang.
Cui Giok-tin menggigit bibir, katanya pula: "Tapi setelah malam tiba, aku tak berani hadir
dalam perjamuan itu."
"Kau tidak berani?" Yap Kay menegas, "apa yang kau takuti?"
"Aku.......mendadak aku takut menemuimu."
"Jadi waktu itu kau belum tahu bahwa pengantin laki-laki bukan aku?"
"Belum tahu! Maka aku lantas mengeram diri di dalam rumah. Ku beli sedikit arak, kuminum
sendiri di sini, kupikir, bolehlah anggap akupun sedang minum arak perjamuan perkawinan
kalian."
Seperti ditusuk hati Yap Kay, katanya: "Jikalau aku tahu kau berada di sini, aku pasti
kemari menemani kau."
Cui Giok-tin akhirnya tertawa manis. Lama sekali baru dia menambahkan: "Setelah minum
arak, tak tertahan besar keinginanku untuk menengokmu."
"Kau pergi tidak?"
"Lama aku bimbang, pulang pergi tak bisa ambil keputusan, bukan saja aku kuatir aku
takkan bisa menahan emosi setelah melihat kalian, namun jikalau untuk selamanya aku takkan
melihatmu lagi, akupun tidak rela. Akhirnya aku berkeputusan juga."
"Keputusan apa?"
"Umpama tidak hadir dalam perjamuan pernikahan itu, cukup asal aku mengintip dari luar
saja."
"Dan kau pergi juga kesana?"
"Kemarin adalah tanggal satu tahun baru. Setelah hari menjadi gelap, jalan raya menjadi
sepi tiada orang lewat, lama aku keluyuran di jalan-jalan raya, baru memberanikan diri,
menyusup masuk dari belakang hotel. Tapi begitu aku berada di dalam, aku lantas mendapat
firasat jelek karena keadaan teramat ganjil."
"Apanya yang ganjil?"
"Hotel sebesar itu dalam suasana perjamuan lagi, kenapa sunyi senyap tak terdengar suara
apa-apa? Bukan saja tidak mirip adanya perjamuan pernikahan, umpama keluarga yang sedang
berkabungpun tidak sesunyi itu."
Yap Kay merasakan keganjilan ini, tanyanya: "Aku tahu yang hadir dalam perjamuan itu
tidak sedikit jumlahnya, bagaimana mungkin tidak terdengar suara apapun?"
"Akhirnya aku sampai ruangan perjamuan di mana upacara sembahyang bagi kedua
mempelai diadakan. Waktu aku melongok ke dalam dari luar jendela....." tiba-tiba terunjuk
mimik ketakutan yang mengerikan, seperti melihat pemandangan yang seram, ngeri dan
menakutkan sekali.
"Apakah yang kau saksikan?" tanya Yap Kay dengan tegang.
"Aku......aku...." suaranya gemetar, lama sekali baru dia kuat melanjutkan, "kulihat ruang
perjamuan itu penuh ditaburi darah segar yang muncrat kemana-mana, mayat-mayat
bergelimpangan, tiada seorangpun yang ketinggalan hidup."
Yap Kay melongo. Seolah-olah badannya mendadak kejeblos ke dalam jurang neraka yang
gelap-gulita.
"Waktu itu aku kira kaupun berada di dalam, maka tanpa hiraukan apa akibatnya, segera
aku menerjang masuk," sampai di sini dia menghela napas lirih, katanya menyambung : "Sampai
pada waktu itu, baru aku tahu, nona Ting bukan hendak menikah dengan kau."
"Kau.....kau melihat pengantin prianya?, suara Yap Kay gemetar, "dia sudah mati?"
Cui Giok-tin manggut-manggut, sahutnya: "Kematiannya amat mengenaskan."
"Lalu Ting Hun-pin?", walau tidak bertanya, tak tertahan Yap Kay bertanya juga, "apakah
dia juga......."
"Dia tidak mati, waktu itu hakikatnya dia tiada dalam ruang perjamuan itu."
Yap Kay menghela napas panjang, sedikitnya lega hatinya, namun dia keheranan dibuatnya.
Setelah dia berpisah dengan Ting Hun-pin, apakah dia langsung pulang? Kwe Ting dan lain-lain
bagaimana bisa mati seluruhnya? Siapakah pembunuh kejam ini? Orang yang hadir dalam
perjamuan itu tidak sedikit jumlahnya, tidak banyak orang yang mampu menurunkan tangan
sekeji itu terhadap sekian banyak orang.
"Walau waktu itu aku amat kaget dan mengkirik ketakutan, tapi setelah melihat kau tidak
di antara mayat-mayat itu, legalah hatiku."
Tiba-tiba Yap Kay bertanya: "Adakah kau melihat empat orang yang berpakaian kuning
emas?"
"Aku tidak memperhatikan orang lain, juga tidak berani menelitinya satu persatu," namun
sebentar dia berpikir, lalu berkata pula: "Tapi di antara mayat-mayat yang bergelimpangan itu,
memang seperti ada beberapa orang yang mengenakan jubah kuning."
Bertaut alis Yap Kay, katanya: "Kalau merekapun mati, lalu siapakah pembunuhnya?"
"Akupun tidak habis mengerti, dalam dunia ternyata ada manusia seganas ini, yang terpikir
olehku hanya lekas-lekas meninggalkan tempat yang mengerikan itu. Tak nyana baru saja aku
hendak berlalu, tiba-tiba kudengar suara lambaian pakaian dari orang-orang yang berjalan
malam. Karena tempat itu memang terlalu sunyi, maka aku bisa mendengarnya dengan jelas,
bukan saja gerak-gerik para pendatang itu cepat dan tangkas, malah bukan hanya seorang
saja."
Terbeliak mata Yap Kay, katanya: "Mungkinkah para pembunuh itu putar balik kembali?"
"Waktu itu akupun menduga demikian, saking ketakutan sampai kakiku terasa lemas lunglai,
maka aku tidak berani tinggal lama-lama di sana, jikalau diriku dilihat mereka, celakalah
jiwaku, untung aku ada sedikit belajar silat. Dalam gugupku, ilmu silatku naga-naganya jauh
lebih maju dari biasanya, sekali lompat, ah, begitu tinggi."
'Apakah kau melompat naik ke atas belandar di tengah ruang perjamuan itu?"
"Aku sembunyi di atas, napaspun kutahan-tahan, namun tak tertahan aku melongok ke
bawah."
"Apa yang kau lihat?"
"Kulihat beberapa orang yang berpakaian serba kuning begitu menerjang masuk dari luar,
mereka bekerja cepat dan cekatan. Satu-persatu mayat-mayat itu mereka lempar keluar lewat
jendela, kelihatannya ada orang yang menampani di luar jendela. Dalam waktu sekejap, mayatmayat
yang memenuhi rumah itu sudah diangkut mereka seluruhnya."
Membesi hijau muka Yap Kay, tanyanya: "Kau melihat jelas bila mereka benar-benar
mengenakan seragam kuning?"
"Aku melihat dengan jelas, karena warna kuning mereka teramat menyolok di bawah
pancaran sinar api, kelihatan kemilau seperti sinar emas murni."
Terkepal tinju Yap Kay, desisnya: "Ternyata memang merekalah yang turun tangan sekeji
ini."
"Tapi aku tidak melihat mereka membunuh orang."
"Kalau bukan mereka yang membunuh, buat apa mereka wakili pembunuh mengangkuti
mayat-mayat itu?"
"Setelah mereka membunuh orang, apakah hendak melenyapkan mayat-mayat itu?"
"Membunuh orang menutup mulutnya, menghilangkan mayat-mayat melenyapkan jejak,
memang merupakan sepak terjang Kim-ci-pang yang paling menonjol."
"Kim-ci-pang?" tanya Cui Giok-tin tidak mengerti, "orang macam apakah Kim-ci-pang itu?"
"Mereka bukan manusia."
Melihat muka orang yang murka, Cui Giok-tin tidak berani bertanya pula. Sesaat dia raguragu,
lalu katanya: "Belakangan aku melihat nona Ting pula."
"Dimana kau melihatnya?" hampir berteriak pertanyaan Yap Kay.
"Di sana juga!"
"Dia kembali pula?"
"Setelah orang-orang jubah kuning membersihkan mayat-mayat itu, dia kembali pula."
"Waktu itu kau belum menyingkir?"
"Aku sudah ketakutan sampai lemas di atas belandar, setengah harian aku menyembunyikan
diri di sana, baru saja aku sempat ganti napas, mereka lantas datang."
"Mereka? Jadi dia tidak seorang diri?"
"Masih ada seorang lain."
"Siapa orang itu?"
"Seorang tua yang aneh dandanannya, tengah malam kok membawa payung."
"O, kiranya Kek Pin." Yap Kay mengerti.
"Kau mengenalnya?"
"Bukan saja kenal, malah dia teman lamaku."
Cui Giok-tin menghela napas, katanya: "Kalau begitu sekarang temanmu berkurang satu
lagi."
Berubah muka Yap Kay, serunya: "Diapun mati?"
"Kematiannya amat mengenaskan."
"Siapa yang membunuhnya?"
"Merekapun amat heran waktu mendapatkan mayat-mayat itu sudah dipindah bersih, namun
mereka tidak berhenti lama, juga tidak menemukan aku yang berada di atas belandar."
"Belakangan bagaimana?"
"Begitu mereka pergi, aku lantas melorot turun. Tiba-tiba kudengar ada orang meniup
seruling di luar, merekapun mendengar suara seruling ini, segera berlari balik, setelah ubekubekan
di pekarangan, meraka lantas mengejar ke luar tembok."
"Dan kau?"
"Kulihat sikap mereka amat prihatin dan tegang, timbul juga rasa ketarikku."
"Maka kaupun mengintil di belakang mereka?"
"Aku tidak menguntit mereka, hanya sembunyi di atas tembok mengawasi keluar."
"Apa pula yang kau saksikan?"
"Di luar terdapat sepucuk pohon, kelihatan ada lampion yang tergantung di sana, di
bawahnya berdiri satu orang."
"Siapa dia?"
"Jarakku terlalu jauh, tidak melihat jelas, untung waktu itu hening lelap, maka percakapan
mereka dapat kudengar jelas sekali."
"Apa saja yang mereka bicarakan?"
"Setelah nona Ting mendekati, kelihatannya dia menjerit kaget, lalu tanya apakah orang itu
adalah Pu............."
"Putala?" teriak Yap Kay.
Cui Giok-tin manggut-manggut, "Benar Putala, kudengar nona Ting menyebut nama ini."
"Bagaimana jawaban orang itu?"
"Dia mengakui, dikatakan pula bahwa dirinya ibarat sebuah puncak tunggal yang amat
tinggi."
"Hu-hong Thian-ong?"
"Belakangan baru aku tahu orang itu ternyata adalah salah satu dari Su-thoa-thian-ong
dari Mo Kau."
"Apakah Kek Pin mati di tangannya?"
"Demi menolong nona Ting, baru Kek-lo-sian-sing terkena sekali pukulan telapak tangannya,
tapi orang itupun terkena senjata rahasia Kek-lo-sian-sing. Ku dengar Kek-lo-sian-sing ada
memberitahu kepada nona Ting, bahwa senjata rahasianya itu teramat lihay." sampai di sini Cui
Giok-tin menghela napas lalu menyambung, "tapi pukulan telapak tangannya itu lebih
menakutkan, Kek-lo-sian-sing hanya kena sedikit tepukannya, jiwanya sudah tidak tertolong
lagi."
Yap Kay terbeliak lagi. Dia cukup mengerti di mana tingkat kepandaian ilmu silat Kek Pin,
juga tahu sampai dimana kelihayan ilmu pengobatan Kek Pin. Dengan bekal ilmu silat dan ilmu
pengobatannya, umpama benar ada orang melukai dia, tentunya dia cukup mampu untuk
menolong jiwanya sendiri.
Sungguh Yap Kay tidak mau percaya bahwa dalam dunia ini betul-betul ada pukulan telapak
tangan selihay itu. Masakah hanya sekali tepuk, jiwa dan sukma Kek Pin terpaksa berpisah.
"Tapi dengan mata kepalaku sendiri aku menyaksikan Kek-lo-sian-sing terjungkal roboh,
tepat roboh di tempat di mana pengantin pria roboh juga."
Ceritanya ini agaknya masih terdapat sisipan yang dipersingkat. Kecuali pengantin pria
pertama, apakah masih ada pengantin pria kedua?
Hal ini orang lain mimpipun takkan mengiranya, tapi Yap Kay justru dapat merabanya. Dia
cukup memahami hati dan jiwa Ting Hun-pin, seperti pula dia memahami dirinya sendiri. Maka
Yap Kay tidak merasa heran atau di luar dugaan setelah mendengar cerita Cui Giok-tin. Malah
Cui Giok-tin sendiri merasa di luar dugaan. Dia kira siapapun bila mendengar kejadian ini,
sedikit banyak pasti keheranan dan menunjukkan reaksinya.
Tapi Yap Kay hanya menghela napas, katanya: "Aku tahu dia pasti akan berbuat demikian?"
"Kau tidak menyalahkan dia?" tanya Cui Giok-tin.
"Jikalau kau adalah dia, aku percaya kaupun akan berbuat demikian, karena kalian adalah
gadis bajik dan bijaksana yang mempunyai ketulusan luhur. Kalian sama-sama rela
mengorbankan diri sendiri demi orang lain, betapapun kalian tidak akan tega melihat orang lain
menderita."
Suara Yap Kay menjadi lembut dan hangat, karena di dalam hatinya hanya ada cinta kasih
dan rasa prihatin, tiada terkandung rasa cemburu dan asal menyalahkan.
Sudah tentu Cui Giok-tin tahu, terhadap siapa rasa prihatin dan cinta kasih itu ditujukan.
Tak tertahan dia menghela napas, katanya menunduk: "Sayang sekali aku bukan dia, aku..........."
Yap Kay tidak biarkan orang bicara lebih lanjut, tanyanya tegas-tegas: "Waktu kau pergi,
dia masih berada di tengah kobaran api itu?"
Cui Giok-tin manggut-manggut, katanya dengan tertawa dipaksakan: "Tapi kau boleh tidak
usah kuatir, sekarang dia pasti masih hidup segar bugar."
"Karena di dalam puing-puing itu tidak ditemukan mayatnya." ujar Yap Kay.
"Dan karena dia memang gadis bajik yang bijaksana, orang baik pasti dilindungi Yang Kuasa.
Aku percaya lekas sekali kalian pasti akan bertemu."
Yap Kay berpaling, dia tidak tega melihat mimik muka orang.
Cahaya surya cemerlang di luar jendela, musim semi kelihatannya sudah akan kunjung tiba.
Tiba-tiba dia berdiri melangkah kesana mendorong daun jendela, gumamnya: "Apapun yang
terjadi sekarang aku sudah mendapatkan dua kepastian."
Cui Giok-tin diam saja, dia sedang mendengarkan.
"Perduli Putala itu siapa, sekarang pasti sudah terluka, tidak sukar untuk menemukan dia."
"Kau ingin mencarinya?"
"Tapi aku akan mencari seseorang yang lain."
"Mencari siapa?"
"Pembunuh kejam itu."
"Kau......sekarang juga kau hendak pergi?"
"Sekarang juga aku harus pergi," ujar Yap Kay mengeraskan hati, "kau......kau boleh
menungguku di sini, aku pasti kembali."
Sebenarnya hatinya tidak tega, suaranyapun sudah serak.
Cui Giok-tin menunduk mengawasi kakinya, lama sekali baru dia bersuara: "Kau tidak usah
kembali kemari."
"Kenapa?"
"Karena aku..... tidak akan menunggumu di sini."
Suaranyapun mulai gemetar serak.
Tak tahan Yap Kay berpaling, tanyanya: "Kenapa?"
Semakin dalam kepala Cui Giok-tin, katanya sepatah demi sepatah: "Karena aku bukan dia,
aku...."
Dia tidak melanjutkan kata-katanya, kata-katanya menghancurkan sanubarinya sendiri.
Hati Yap Kay seperti ditusuk sembilu.
"Kau hendak kemana?", tanyanya kemudian.
"Banyak tempat bisa kudatangi. Memang aku sudah ada minat untuk pergi kemana-mana,
kelak......." dia tahan air matanya, mengunjuk senyuman dipaksakan, "mungkin aku bisa bertemu
dengan laki-laki jujur, pandai dan rajin bekerja, menikah sama dia, akan kulahirkan putra-putri
yang banyak, mungkin juga aku akan membuka sebuah warung arak. Biarlah aku jadi nyonya
majikan yang selalu menunggu tungku menghangatkan arak......"
"Di kala itu pasti aku akan berkunjung ke warung arakmu dan minum sampai mabuk," ujar
Yap Kay tertawa.
Tawanyapun dipaksakan, karena dia kuatir bila dia tidak tertawa, air mata sendiripun
mungkin sudah bercucuran.
Cui Giok-tin tersenyum gembira, katanya: "Tatkala itu aku pasti akan masak semangkok
bubur ayam dengan kuah kolesom, atau bubur ayam sarang burung."
Diapun tertawa, tapi air mata sudah meleleh membasahi pipi.
ooo)O(ooo
Cahaya matahari terang benderang.
Yap Kay tengah melangkahkan kakinya di bawah terik matahari ini.
Walau mukanya sudah tiada bekas-bekas air mata, namun dia tahu air mata dan darah
segar lekas sekali akan menjadi kering di tingkah terik matahari.
Kalau air mata tidak berbekas, sebaliknya darah tetap meninggalkan noktah-noktah hitam
dan noktah-noktah hitam ini akan bisa tercuci bersih kecuali dengan air mata darah pula.
Hutang darah di bayar darah hutang jiwa dibayar jiwa.
Selamanya Yap Kay mengutamakan 'pengampunan' untuk menghadapi dendam kesumat,
pisaunya selama ini tak pernah membunuh orang yang tidak perlu di bunuh. Tapi kini
sanubarinya dibakar oleh dendam, diliputi amarah sakit hati yang menyala-nyala.
Mendadak dia menyadari bahwa dirinya tak ubahnya seperti boneka kayu yang lucu dan
menggelikan, selalu diikat seutas benang yang tidak kelihatan oleh seseorang, dijinjing di
tangannya.
Sudah tentu dia tidak sudi dipermainkan begitu rupa, sudah tentu lebih tidak sudi
diperalat oleh orang lain. Tiada manusia dalam dunia ini yang sudi dijadikan boneka. Siapapun
dan betapapun besar kesabarannya pasti ada batasnya juga, demikian pula Yap Kay adanya.
ooo)O(ooo
Bumi nan luas yang semula ditaburi bunga salju, kini mulai menunjukkan muka aslinya yang
gundul gersang oleh teriknya matahari.
Jalan besar yang becek di luar kota Tiang-an kini sudah kering, namun tetap tidak
kelihatan ada orang lewat di jalan raya untuk menempuh perjalanan. Memangnya siapa yang
mau tanpa keperluan penting menempuh perjalanan jauh di jalan raya yang kering kerontang di
bawah terik matahari?.
Hanya Yap Kay. Dia sudah mendapatkan sebuah kereta, namun tiada orang yang pegang
sais. Tapi dia tidak perduli. Dia merebahkan diri di dalam bagasi kereta arang yang terbuat
dari kayu keras dan kotor itu.
Keledai dibiarkan jalan sesukanya menuju arah menyusuri jalan raya ke luar kota. Arang
yang keras terasa menusuk kulit punggungnya, namun dia tidak memperdulikan juga.
Keledai penarik kereta ternyata jalannya tidak pelan, tanpa sais dan tidak ada orang yang
menggebahnya lari dengan cemeti, namun di bawah teriknya matahari ini, dia malah menarik
kereta lebih cepat, lebih semangat dan mengerahkan setaker tenaganya.
Keledai memang begitulah sifatnya. Anehnya kebanyakan manusia di dalam dunia ini
memiliki watak dan karakter yang mirip keledai.
Sebelum berangkat tadi, Yap Kay ada mampir ke sebuah warung membeli sebungkus kacang
kulit. Sambil rebah di dalam kereta, satu persatu dia menguliti kacang, setiap butir kacang dia
lempar ke atas terus mulutnya terbuka mencaplok kacang yang meluncur jatuh lalu pelan-pelan
mengunyahnya. Dia sendiri tidak tahu sejak kapan dia mempunyai kebiasaan seperti ini,
mungkin memang benaknya belum melupakan Liok Siau-ka si ahli pedang yang selalu mengunyah
beberapa butir kacang lebih dulu sebelum membunuh orang. Sayang sekali tiada arak, tadi dia
lupa membeli arak.
Di waktu dia teringat akan arak itulah, di kejauhan depan sana dilihatnya selarik ujung kain
hijau, melambai tertiup angin di dedaunan lebat di pinggir hutan. Walau hari itu tanggal dua
masih dalam suasana tahun baru, namun masih ada juga yang buka toko atau warung untuk cari
untung.
Segera terkulum senyuman puas pada muka Yap Kay, gumamnya seorang diri: "Agaknya
nasibku mulai baik kembali."
Bila ingin minum arak segera keinginannya bisa terlaksana, bukankah itu merupakan suatu
rejeki dan nasib yang baik?
Bergegas dia lompat bangun dan menghentikan kereta di pinggir jalan. Pelan-pelan dia
melangkah ke dalam hutan kurma yang masih ditaburi kembang salju.
Betul juga tak jauh dari jalan raya, di tengah hutan kurma itu terdapat sebuah warung
arak kecil. Tampak tujuh delapan orang berdiri di luar warung kecil itu tanpa bergerak, mata
mendelong mulut melongo, seolah-olah manusia-manusia lempung layaknya. Satu diantaranya
ada yang menggubat batok kepalanya dengan selarik kain putih yang terembes darah. Begitu
melihat Yap Kay mendatangi, raut mukanya seketika menampilkan rasa ketakutan.
Yap Kay malah tersenyum senang. Dia kenal betul siapa laki-laki yang dibalut kepalanya ini,
karena dia inilah bajingan setempat yang semalam mengajak dirinya duel dan akhirnya
mengeroyoknya setelah dirinya mabuk.
"To-pau-cu, To-toako," begitu dekat Yap Kay segera menyapa.
Tiba-tiba Yap Kay ingat panggilan temannya kepada laki-laki ini. Dengan tertawa segera dia
menghampiri, katanya: "To-toako (engkoh gundul) kau sudah tidak mabuk lagi?"
Menghijau muka To-pau-cu (harimau gundul), ingin dia manggut, namun lehernya seperti
mengejang, seluruh badannya seakan-akan sudah keras seperti kayu yang dijemur kering.
Bukan saja dia, tujuh temannya yang lainpun sama keadaannya.
Yap Kay semakin lebar senyumannya, katanya: "Orang yang dihajar tidak takut, kenapa
orang yang menghajar malah ketakutan? Apakah tulang-tulangku terlalu keras sehingga tangan
kalian kesakitan? Kalau demikian, wah, maaf ya!"
Memang benar rekaan Yap Kay, jari-jari tangan dan punggung tangan orang-orang itu
memang melepuh bengkak menghijau, rasa sakitnya bukan buatan. Memang, jikalau seseorang
sudah berhasil meyakinkan ilmu silat setingkat Yap Kay, walaupun di dalam keadaan mabuk
seperti anjing geladak yang tak ingat diri, dia tetap memiliki kepandaian lain untuk melindungi
badan.
"Tapi kalian tak usah takut," demikian ujar Yap Kay, "aku kemari bukan mencari perkara
dengan kalian, bisa tidur semalam di atas tumpukan sampah, memang rada lucu dan
menggelikan juga, seumur hidup baru pertama kali ini. Aku memang ingin mengucapkan terima
kasih kepadamu."
Dia tepuk-tepuk pundak To-pau-cu, katanya pula: "Marilah, biar aku traktir kalian minum
sepuasnya."
Mimik muka To-pau-cu justru semakin pucat dan lebih menakutkan.
"Apa lagi yang masih kau takuti?" tanya Yap Kay.
"Lotoa," ujar To-pau-cu gemetar dengan suara dipaksakan, "kami sudah tahu kau memang
berisi, namun bukan kau yang kami takuti."
Yap Kay melenggong. Baru sekarang dia menyadari, bahwa orang takut kiranya bukan
menakuti dirinya. Katanya tertawa getir: "Lalu apa yang kalian takuti?"
To-pau-cu tertawa menyengir, katanya: "Kami hanya takut kau menyentuh barang yang ada
di atas kepala kami, kalau sampai barang ini jatuh, kematianlah bagian kami."
Baru sekarang Yap Kay melihat di atas kepala orang-orang ini semuanya ditaruh sekeping
uang logam. Uang tembaga ini kelihatan ditingkah sinar matahari, mirip benar dengan uang
emas.
"Kim-ci-pang?"
To-pau-cu menghela napas lega, katanya:" Kiranya kaupun sudah tahu aturan dari Kim-cipang,
legalah hatiku."
Yap Kay mengedip-ngedipkan mata, tanyanya: "Aturan apa sih?"
Sebetulnya dia tahu aturan Kim-ci-pang. Uang tembaga di atas kepala mereka ini
merupakan lambang mati hidup jiwa mereka, jikalau orang-orang Kim-ci-pang menaruh sekeping
uang tembaga ini di atas kepalamu, maka bergerakpun orang tidak akan berani, karena kalau
bergerak sampai uang ini jatuh, maka jiwa orang itupun pasti direnggut elmaut.
"Apakah kau tidak tahu, bila kau sentuh uang tembaga di atas kepala kami sampai jatuh,
maka matilah kami, demikian pula kaupun harus mati, kita semua harus mati bersama."
Yap Kay tertawa lebar, katanya geleng-geleng: "Ah! Ada-ada saja peraturan ini. Aku tidak
percaya!"
Tiba-tiba dia ulur tangan menjemput uang tembaga di atas kepala To-pau-cu, mulutnya
mengguman: "Uang seketip ini, entah laku tidak untuk membeli secangkir arak."
Saking ketakutan pucat dan mendelik kaku mata To-pau-cu, seperti badannya tiba-tiba
dihajar dengan cambuk, tiba-tiba lemas lunglai kedua kakinya, tanpa kuasa dia lutut
menyembah di depan Yap Kay.
Yap Kay seperti tidak melihatnya, katanya pula: "Uang seketip tentunya tidak cukup untuk
beli arak, untung di sini masih ada yang lain."
Badannya tiba-tiba melambung ke atas, waktu dia meluncur turun pula, uang tembaga di
atas kepala ke tujuh orang itu sudah berada di tangannya.
Sudah tentu orang-orang itu ikut ketakutan dan melongo, selama hidup mereka kapan
pernah melihat kepandaian silat orang yang begini lihay dan hebat.
Mendadak To-pau-cu yang berlutut di tanah berteriak keras: "Kehendaknya sendiri
melakukan pembangkangan ini, sedikitpun tiada sangkut-pautnya dengan kami."
Yap Kay tersenyum, katanya: "Memang, hal ini tiada sangkut pautnya dengan kalian." lalu
dijemputnya beberapa butir kacang, diletakkan di telapak tangan To-pau-cu, katanya:
"Tahukah kau apakah maksudnya ini?"
Sudah tentu To-pau-cu tidak tahu.
Yap Kay berkata pula: "Itu berarti sekarang kalian boleh berdiri dan masuk ke warung
minum arak, atau kemanapun kalian mau pergi terserah. Jikalau orang-orang Kim-ci-pang
berani mencari perkara terhadap kalian, suruh mereka kemari memenuhi Pangcu dari Hoaseng-
pang. Katakan saja bahwa Pangcu dari Hoa-seng-pang telah menangani persoalan ini."
Tak mengerti maka To-pau-cu bertanya gugup: "Si......siapakah Pangcu dari Hoa-sengpang?"
Yap Kay tuding hidungnya sendiri, katanya: "Aku inilah!"
To-pau-cu mendelong melongo.
Tiba-tiba terdengar seseorang berkata dingin: "Baik sekali! Kalau begitu biar sekarang
juga kami mencari perkara kepadamu."
Suara yang dingin, nada yang rendah menggiriskan. Pembicarapun seorang yang memiliki
muka kuning dingin, matanya jalang seperti serigala buas, hidung bengkok seperti paruh elang,
mukanya dihiasi beberapa baris bekas luka-luka bacokan senjata yang melintang, sehingga
kelihatan mukanya yang seram itu lebih menakutkan lagi.
Yap Kay memperhatikan tampang orang. Yap Kay hanya memperhatikan pakaian yang
dikenakan orang itu. Pakaian serba kuning yang menyolok pandangan, di bawah terik matahari
kelihatan seperti emas yang kemilau. Pembicara ini berdiri di undakan batu di depan warung,
masih ada tiga orang yang berseragam sama berdiri di sampingnya.
Yap Kay tertawa pula, katanya: "Pakaian yang kalian pakai ini memang baik, entah boleh
tidak ditanggalkan dan diberikan kepadaku. Kebetulan untuk dipakai keledaiku yang
kepanasan."
Laki-laki baju kuning menatapnya lekat-lekat, pelan-pelan kelopak matanya memicing,
ternyata dia cukup tabah dan sabar, katanya kalem: "Apakah kau belum tahu akan aturan Pang
kita?"
"Barusan sudah kudengar."
"Selama empat puluhan tahun, tiada orang Kang-ouw yang berani memandang rendah tata
tertib dan aturan Pang kita. Tahukah kau kenapa demikian?"
"Coba kau katakan, kenapa?"
"Karena siapapun yang berani melanggar aturan Pang kita, maka dia harus mampus."
Seorang baju kuning yang lain menyambung dingin: "Perduli kau ini Pangcu Hoa-seng-pang
atau Kwa-cu-pang, Pangcu lain sama saja, kau harus mampus."
Yap Kay menghela napas, katanya: "Tapi aturan apapun, cepat atau lambat pasti akan
dilanggar orang juga, seperti pula seorang gadis pingitan yang perawan ting-ting, akhirnya dia
toh harus kawin juga dengan seorang laki-laki."
Orang baju kuning saling pandang, dengan menarik muka, serempak mereka beranjak maju
menaiki undakan batu. Langkah ke empat orang sama-sama berat dan tenang mantap, terutama
laki-laki yang mukanya penuh codet luka-luka, kedua Thay-yang-hiat di pelipisnya keluar, otototot
hijau di kedua tangannya merongkol keluar, agaknya dia ini seorang tokoh kosen dari Bulim.
Yap Kay mengawasi tangan orang, tiba-tiba dia bertanya: "Apakah tuan ini pernah
meyakinkan Tay-lik-eng-jiau-kang?"
Laki-laki yang ditanya hanya menyeringai dingin.
"Kulihat codet di mukamu ini, apakah kau ini Thi-bin-eng (Elang muka besi) dari Hoay-se?"
Laki-laki itu tertawa dingin, katanya: "Ternyata tajam juga matamu."
Tiba-tiba Yap Kay menarik muka, katanya: "Tahukah kau orang macam apa sebenarnya Kwe
Ting itu?"
"Agaknya pernah kudengar namanya."
"Dia adalah teman baikku."
"Memangnya kenapa kalau temanmu?" tanya Thi-bin-eng.
"Tahukah kau apa aturan Hoa-seng-pang?"
"Ada aturan apa?"
"Aturan Hoa-seng-pang mengatakan, siapapun dilarang membunuh temanku, kalau tidak....."
"Kenapa?"
"Begini." seru Yap Kay. Mendadak dia turun tangan, tinjunya terkepal keras dan terayun
menghajar muka Thi-bin-eng.
Thi-bin-eng bukan kaum keroco, dia cukup mempunyai kepandaian sejati, bukan saja
namanya amat tenar dan disegani di daerah Hoay-se, di kalangan Kang-ouw diapun terhitung
tokoh kelas satu, karena dia memang memiliki kepandaian asli.
Eng-jiau-kang yang dia yakinkan memang benar-benar sudah mendapat warisan dari Engjiau-
ong yang tulen. Hoay-se-toa-to yang dulu pernah tercantum di dalam buku daftar alat
senjata Pek Hiau-seng, walau berhasil membacok luka-luka mukanya, namun dia tidak terbacok
mati, malah Hoay-se-toa-to sendiri akhirnya mati oleh kekuatan Eng-jiau-kang yang hebat.
Maka julukan Thi-bin-eng dia peroleh karena kemenangannya yang gemilang itu.
Umumnya, Eng-jiau (Cakar elang) amat cepat, demikian pula matanya amat jeli, tapi begitu
dia melihat Yap Kay mengayun tangan, tahu-tahu tinju orang sudah menghajar hidungnya
dengan keras.
Dia tidak merasakan sakit. Untuk benar-benar merasakan sakit yang luar biasa adalah
kejadian selanjutnya. Kini yang dia rasakan hanyalah pandangannya tiba-tiba menjadi gelap,
mendadak kunang-kunang bertebaran di depan matanya, pelan-pelan menyebar. Dia tidak
segera terjungkal roboh. Setelah badannya melayang setombak lebih menerjang saka salah
satu tiang warung kecil itu, baru badannya terpental balik dan roboh terbanting dengan keras.
Sampaipun suara remukan dari tulang hidungnya yang terpukulpun dia tidak mendengar, malah
orang lain yang mendengar dengan jelas sekali.
Yap Kay awasi muka orang yang hancur, katanya tertawa: "Ternyata bukan muka besi yang
asli, kiranya mukamupun bisa ku pukul hancur."
Ketiga temannya sama kertak gigi, melirikpun tidak kepada teman yang dihajar itu.
Sekonyong-konyong sinar gemerlap kemilau saling samber, tahu-tahu tiga orang serempak
mengeluarkan senjata. Sebilah golok, sebatang pedang, dan sepasang Boan-koan-pit. Dua jurus
kemudian Yap Kay sudah tahu, bukan si muka besi yang berkepandaian paling tinggi di antara
empat orang lawannya ini, bukan pula si orang tua yang bersenjata sepasang potlot baja, namun
justru pemuda yang bersenjatakan pedang.
Ilmu pedang pemuda ini cepat dan ganas, banyak perubahan dan variasinya. Pedang yang
dipakaipun terbuat dari baja pilihan. Tiga belas jurus kemudian Yap Kay tetap belum turun
tangan, atau balas menyerang sejuruspun kepada lawan. Bila dia mau turun tangan, pasti
musuhnya tidak akan luput dari hajarannya yang parah.
Saat itulah ia sudah mulai bergerak. Sekonyong-konyong terdengar teriakan kaget disusul
tulang rusuk yang remuk, terus suara gebukan yang keras dari jatuhnya sesuatu yang berat.
Tahu-tahu si orang tua yang bergaman sepasang potlot telah tertutuk Hiat-tonya, sedangkan
laki-laki yang bersenjata golok memeluk dada meringkel rebah di tanah berkelejetan, goloknya
patah jadi dua. Hanya pemuda bersenjata pedang yang tidak roboh, namun mukanya sudah
pucat pias saking kaget dan ketakutan.
Seenaknya saja Yap Kay lemparkan kutungan golok di tangannya. Mendadak dia bertanya
kepada si pemuda: "Tahukah kau kenapa aku harus mengutungi goloknya?"
Pemuda itu geleng-geleng.
Yap Kay berkata tawar: "Karena serangannya terlalu telengas, maksud serangannya amat
jahat pula, manusia seperti dia hakikatnya tidak setimpal bersenjatakan golok."
Pemuda itu menggenggam kencang pedangnya, tiba-tiba bertanya: "Kaupun pakai golok?"
Yap Kay manggut-manggut. Mungkin tiada manusia lain dalam dunia yang benar-benar
paham cara bagaimana harus menggunakan golok, tiada orang lain yang lebih mengerti dan
menyelami betapa besar nilai dari mutu sebuah golok daripada Yap Kay.
"Biasanya aku paling menghargai golok." kata Yap Kay, "jikalau kau sendiri tidak menghargai
golokmu, maka tidak setimpal kau pakai golok. Jikalau kau menghargai golokmu, maka dikala kau
memanfaatkan nilai-nilainya, maka kau harus hati-hati dan bertindak sesuai dengan
penghargaanmu."
Pemuda itu menatapnya, sorot matanya berganti dari rasa ketakutan menjadi rasa heran
dan tak mengerti. Dia sudah tahu bahwa Yap Kay seorang yang luar biasa, orang biasa tak
mungkin bisa mengatakan pengertian sedemikian tinggi dan luas.
Maka tak tahan dia bertanya: "Siapa kau sebetulnya?"
"Aku she Yap, bernama Kay."
Seketika berubah pula roman muka si pemuda.
"Yap Kay!", jeritnya.
"Benar," ujar Yap Kay, "Yap artinya daun-daun pohon, Kay berarti terbuka, hati riang
gembira."
Mendadak si pemuda gunakan gerakan setangkas kera jumpalitan ke belakang dengan badan
berputar seperti kitiran terus melambung tinggi melesat ke dalam hutan. Badannya meluncur
seperti kera ketakutan dikejar pemburu.
Akan tetapi baru saja kakinya menutul bumi, mendadak dirasakannya sekujur angin kencang
menerjang tiba. Tahu-tahu selarik sinar berkelebat laksana kilat menyambar melesat lewat
dari batok kepalanya, terbang sejauh 5-6 tombak, begitu hebat dan keras kekuatannya.
'Trap...' pisau itu menancap amblas ke dalam pohon, tinggal gagangnya saja yang masih
menongol di luar.
Sudah tentu serasa terbang arwah si pemuda saking kaget, segera dia hentikan aksinya.
Tahu-tahu rambutnya sudah terurai awut-awutan, gelang mas yang menggelung rambut
panjangnya ternyata sudah terpapas putus jadi dua. Sekujur badan serasa dingin mengejang.
Selamanya belum pernah dia melihat sambaran pisau secepat ini. Pisau terbang.
Garan pisau masih bergoyang-goyang, Yap Kay lantas mendekati, mencabutnya. Sekali
tangannya terbalik, tahu-tahu pisau itu sudah lenyap.
Baru sekarang pemuda itu menarik napas panjang, rasa tegang hatinya mereda.
"Apa benar kau ini Yap Kay?" tanyanya meyakinkan.
"Memangnya siapa lagi kalau aku bukan Yap Kay?
Pemuda itu tertawa getir, katanya: "Kenapa tidak sejak tadi kau katakan?"
Yap Kay tertawa-tawa. Mendadak dia balas bertanya: "Apakah kau murid Kim-tam Toansian-
sing?"
"Darimana kau bisa tahu?" tanya pemuda itu kaget.
"Bukankah Thi-bin-eng tadi sudah bilang, pandanganku selamanya tidak pernah meleset?"
Pemuda itu manggut-manggut, ujarnya: "Memang tajam pandanganmu."
"Kau murid ke berapa dari Kim-tam Toan-sian-sing?", tanya Yap Kay.
"Murid ke tiga!"
"Kau she apa?"
"She sip, bernama Bin."
"Pernahkah kau jadi sais kereta?"
"Tidak!"
"Aku tahu kau tidak pernah," ujar Yap Kay tertawa-tawa, "tapi kerja apapun memang harus
ada permulaannya.", lalu lanjutnya: "Bawa aku menemui Siangkwan Pangcu kalian, perduli di
manapun dia berada, kau harus membawaku menemukan dia." Itulah permintaan Yap Kay.
Kembali Yap Kay rebah di dalam tumpukan arang, matanyapun sudah terpejam. Dia tahu
pemuda ini pasti tiada pikiran untuk melarikan diri, orang pasti patuh mendengar petunjuknya.
Memangnya siapapun setelah melihat pisau terbangnya, pasti tidak akan berani melakukan
sesuatu yang bodoh, apalagi membahayakan jiwa sendiri.
Ternyata Sip Bin benar-benar pegang sais mengendarai kereta itu menempuh perjalanan.
Kerja ini baru pertama kali ini dia lakukan seumur hidup. Kini setelah ada orang pegang kendali
dan mengayunkan cambuknya, keledai itu malah menjadi malas dan perlahan-lahan jalannya.
Entah sejak kapan Yap Kay mulai kebiasaannya pula menguliti kacang, biji kacang dia lempar
lalu di caplok oleh mulutnya. Mendadak dia bersuara: "Khabarnya Kim-tam Toan-sian-sing
adalah seorang yang mengutamakan makanan dan pakaian, apa benar?"
"Ehm," Sip Bin menjawab dengan suara dalam tenggorokan.
"Kabarnya murid-murid yang dia terima, semuanya adalah anak atau putra-putra hartawan
yang mempunyai kedudukan tinggi dan disegani."
"Ehm" kembali Sip Bin hanya mengiyakan saja.
"Dan kau juga?"
"Ehm", agaknya Sip Bin ogah membicarakan riwayat hidupnya sendiri. Yap Kay justru
mempersoalkan hal ini.
"Kau tidak senang akan menyinggung persoalan ini, apakah kaupun merasa segan bicara?"
Akhirnya Sip Bin terpaksa bicara: "Kenapa harus segan bicara?"
"Karena kaupun tahu, mengandal perguruan dan keluarga besarmu, tidak pantas kau terima
menjadi budak di dalam Kim-ci-pang."
Merah muka Sip Bin, katanya membantah: "Aku bukan budak."
"Akupun tahu bahwa kau masuk ke Kim-ci-pang maksudmu adalah untuk melepaskan diri
dari belenggu keluarga, kau ingin berjuang dan mengangkat nama demi kehidupan masa
depanmu sendiri, memang setiap pemuda harus mempunyai pambek dan cita-cita." Dengan
tertawa-tawa Yap Kay menambahkan dengan tawar: "Tapi apa yang kau lakukan sekarang tak
ubahnya seperti budak."
"Ini lantaran kau............." Sip Bin ingin membantah dengan muka merah.
"Benar, akulah yang suruh kau melakukan." ujar Yap Kay, "tapi menaruh uang tembaga di
atas kepala orang lain, apakah itu bukan kerja seorang budak?"
Terkancing mulut Sip Bin, dia tak bisa menjawab.
"Apalagi aku suruh kau mengerjakan tugasmu sekarang, karena kau memangnya sudah jadi
budak Kim-ci-pang, kalau tidak kau lebih suka jadi kedelai, biar aku menunggangi di
punggungmu saja."
Semakin merah padam muka Sip Bin, sorot matanyapun menampilkan rasa duka dan derita.
Tiba-tiba Yap Kay bertanya pula: "Tahukah kau kenapa tadi aku menimpukkan pisau
terbangku?"
Sip Bin ragu-ragu, katanya pelan-pelan: "Akupun pernah mendengar pisaumu jarang
membunuh orang, namun untuk menolong sesama umat manusia."
"Benar! Timpukan pisauku tadi adalah supaya kau tahu, di dalam Kim-ci-pang, kau tetap
tidak akan bisa melakukan kerja besar."
Sip Bin kertak gigi, katanya: "Mungkin lantaran ilmu silatku......."
Yap Kay segera menukas: "Seseorang apakah dia mendapat kehormatan dari orang lain,
bukan tergantung ilmu silatnya. Kedua hal ini hakikatnya tiada sangkut pautnya. Jikalau kau
melakukan suatu kerja besar yang terang gamblang, pasti takkan ada yang memandang rendah
dirimu. Demikian pula pisauku, tidak akan terbang di atas kepalamu." setelah menghela napas
dia menyambung: "Kalau tidak umpama aku tidak membunuhmu, cepat atau lambat kau tetap
akan terbunuh oleh orang lain."
Kembali mulut Sip Bin terkancing rapat. Kini dia sudah memaklumi apa maksud Yap Kay
dengan uraiannya. Yap Kay pun tahu, dia bukan pemuda yang goblok.
"Aku percaya kau pasti tidak akan bikin aku kecewa." Yap Kay menambahkan. Lalu dia
menguliti sebutir kacang dilempar ke atas, menunggunya melayang jatuh. Dia tahu kalau biji
kacang itu dia lempar ke atas, akhirnya pasti akan melayang jatuh.
Kereta kedelai itu sudah beranjak di jalan raya yang mirip dengan jalan yang berada di
kota Tiang-an. Cuma hotel Hong-ping yang ada di jalan raya ini tidak terbakar seperti yang ada
di kota Tiang-an, yang tinggal tumpukan puing.
Sambil mengawasi hotel Hong-ping yang kemilau ditingkah sinar matahari, kembali timbul
perasaan aneh dalam benak Yap Kay, seperti melihat seseorang yang sudah ajal tiba-tiba hidup
kembali. Kenyataannya dia memang pernah melihat seseorang yang hidup kembali sesudah mati.
Ada kalanya segala kejadian di dalam kehidupan manusia bermasyarakat ini memang mirip
sebuah impian, entah tulen atau palsu, memang jarang orang bisa membedakannya.
Kalau hati Yap Kay tengah berkeluh-kesah, namun mukanya tengah tersenyum. Dia tahu
orang-orang di pinggir jalan tengah mengawasi dirinya. Waktu itu kebetulan tengah hari, jadi
orang-orang yang ada di jalan raya tidak banyak, seperti pula keadaan di kota Tiang-an,
kebanyakan orang banyak menyekap diri di dalam rumahnya untuk makan dan istirahat.
Tapi orang-orang yang mondar-mandir di jalan raya ini, semua bersikap serius, kelihatannya
semua tegang hati, seolah-olah sudah tahu bahwa sesuatu kejadian besar akan terjadi,
sehingga sanubari mereka dirundung firasat jelek.
Yap Kay tahu, memang di sini sudah terjadi sesuatu peristiwa besar, malah diapun tahu
jelas peristiwa ini terjadi gara-gara dirinya. Kini dia berada di sini, kini dia sudah tidak akan
bersikap seperti tempo hari, keluar dari tempat ini dengan selamat dan sehat.
ooo)O(ooo
Kereta keledai berhenti di depan hotel Hong-ping. Begitu Yap Kay melangkah masuk, lantas
dilihatnya Siangkwan Siau-sian tengah duduk di meja kasir, sedang membalik-balik buku
daftar. Kelihatannya dia memang mirip kasir atau istri pemilik hotel, cuma usianya terlalu
muda dan jauh lebih cantik dari istri para pemilik hotel umumnya.
Mendengar langkah Yap Kay yang mendekati, segera dia angkat kepala sambil berseri tawa,
katanya: "Aku tahu kau pasti akan datang, memang aku sedang menunggu kedatanganmu."
Yap Kay tidak ingin berdebat dan ribut dengannya. Memang tiada tempo buat bertengkar.
Mendadak dia bertanya: "Kau sudah menghitung rekening? Apakah kau sedang menghitung
berapa orang yang semalam kau bunuh?"
Siangkwan Siau-sian tertawa, katanya: "Umpama benar aku membunuh orang, selamanya
tidak pernah ku catat di dalam buku."
"Lalu apa yang tercatat di dalam buku daftar ini?"
"Inilah buku catatan kado," ujar Siangkwan Siau-sian, "di sini tercatat banyak nama-nama
yang aneh, memberikan berbagai macam kado yang aneh pula."
"Diberikan kepadamu?"
"Aku sih belum saatnya mendapat keberuntungan sebesar ini," ujar Siangkwan Siau-sian
tertawa, "apa kau ingin ku bacakan satu persatu orang-orang pengirim kado yang tercatat di
dalam daftar ini?"
Yap Kay diam saja, namun dia tidak menolak.
Yap Kay berdiri di depan meja, mengawasinya, entah mengapa tiba-tiba hatinya sakit
seperti ditusuk-tusuk sembilu. Perduli dia memang bersikap sungguh-sungguh atau pura-pura,
yang jelas sikap orang memang tidak jelek terhadap dirinya. Pernah beberapa hari mereka
hidup bersama, hal itu takkan bisa dia lupakan. Sebetulnya dia tidak mengharap mereka
berhadapan sebagai musuh, apalagi musuh besar yang harus menentukan mati hidup dengan
duel. Dari sudut apapun pandangannya, Siangkwan Siau-sian sebetulnya tidak pantas menjadi
musuhnya.
"Aku sudah siapkan beberapa macam hidangan yang kau sukai. Kini bukankah saatnya makan
siang?"
"Aku kemari bukan untuk makan." kata Yap Kay dingin.
Siangkwan Siau-sian tertawa manis, katanya: "Tapi siapapun toh harus makan. Kaupun tidak
terkecuali bukan?"
Siangkwan Siau-sian menghela napas, katanya: "Cui Giok-tin mengirim seekor ayam, sekilo
sarang burung, Lamkiong Long menyumbang sebuah gambar, Yap Kay mengirim seorang hidup."
Berubah air muka Yap Kay. Sudah tentu dia sudah tahu dafatr siapa buku kado itu.
Siangkwan Siau-sian cekikikan, katanya: "Kenapa Cui Giok-tin mengirimkan ayam, apa dia
kira kaulah yang jadi pengantin prianya, supaya kau memasak bubur ayam untuk makan malam
bersama istrimu di kamar pengantin?" tanpa memberi kesempatan Yap Kay bicara segera dia
menyambung sambil tertawa: "Kado yang paling aneh di dalam daftar ini kukira adalah
sumbanganmu, tapi kado yang termahal kukira kau tidak pernah menduga siapakah
pengirimnya."
"Siapa? Dan barang apa sumbangannya?"
"Semuanya ada empat orang," ujar Siangkwan Siau-sian, lalu pelan-pelan dia membaca ke
empat nama orang.
"Sialpu, Tolka, Putala dan Panjapana."
Berubah rona muka Yap Kay.
"Apa saja barang sumbangan mereka?", tanyanya pula.
"Mereka menyumbang sekantong batu permata, di dalamnya ada terdapat pula sebuah
lencana kemala," kata Siangkwan Siau-sian sambil mengacungkan tangan. "Lencana inilah!"
Lalu dari dalam laci meja kasirnya dia mengeluarkan sebuah lencana kemala yang di atasnya
terukir empat iblis langit. Agaknya dia memang sudah siap untuk memperlihatkannya kepada
Yap Kay. Batu kemala ini mengkilap hijau tua dan indah, ukiran iblis-iblis di atasnya sungguh
membuat hati Yap Kay terkejut sekali.
"Tahukah kau apa maksud dari lencana kemala ini?" tanya Siangkwan Siau-sian.
Yap Kay tidak tahu.
"Inilah lencana penuntut balas," ujar Siangkwan Siau-sian, "kalau Su-thoa-thian-ong dari
Mo Kau mau menuntut balas, maka lencana seperti ini selalu muncul."
Terkepal tinju Yap Kay, desisnya: "Apakah mereka menuntut balas bagi kematian Gioksiau?"
Siangkwan Siau-sian manggut-manggut, katanya: "Sekantong permata itu pertanda nilai
pembelian jiwa dari orang-orang yang mereka bunuh itu."
"Uang pembelian jiwa, apa maksudnya?"
"Sebelum melakukan pembunuhan, Su-thoa-thian-ong sebelumnya harus membeli dulu jiwa
sang korban, karena mereka tidak ingin hutang jiwa pada penitisan yang akan datang,"
Siangkwan Siau-sian menghela napas, "memang tidak sedikit permata yang mereka kirimkan,
maka tidak sedikit pula jumlah orang-orang yang telah mereka bunuh."
"Apakah mereka pembunuhnya?"
"Umpama kau ini bukannya orang pikun, tentunya kau sudah tahu siapa pembunuh
sebenarnya."
"Tapi kaulah yang menyingkirkan mayat-mayat itu."
"Membunuh orang dianggap kejahatan, namun membereskan mayat orang adalah kerja
mulia."
"Apa alasanmu membereskan mayat-mayat itu?"
"Karena aku ingin mencari satu hal."
"Hal apa?"
"Aku ingin tahu siapa sebenarnya Tolka dan Putala."
"Sayang sekali, orang-orang mati takkan bisa bicara, apalagi memberikan keterangan, apa
pula gunanya kau membereskan mayat-mayat mereka?"
"Sudah tentu ada gunanya."
"Apa gunanya?"
"Aku sudah memperkirakan dengan tetap bahwa waktu itu merekapun ada hadir dalam
perjamuan itu."
Yap Kay berpendapat demikian, jikalau mereka tidak hadir dalam perjamuan itu, masakah
begitu gampang sekian banyak orang dibunuh.
"Oleh karena itu jikalau orang yang hadir di dalam perjamuan itu ada 100 orang, maka yang
mati pasti ada 98 orang."
"Dua orang yang tidak mati pasti adalah Tolka dan Putala."
"Memang aku tahu kau bukan orang pikun." olok Siangkwan Siau-sian.
"Oleh karena itu maka kau bereskan mayat-mayat itu. Kau ingin tahu siapa saja yang telah
mampus? Berapa banyak jumlah orang yang mati?
"Benar!"
"Tapi kau tetap tidak berhasil, kau belum tahu siapa dua orang yang tidak mati itu?"
(Bersambung ke Jilid-15)
Jilid-15
"Maka sekalian aku bawa pula daftar kado ini, ingin kuperiksa siapa saja orang-orang yang
mengirim kado."
"Orang yang mengirim kado belum tentu hadir di dalam perjamuan itu, demikian pula orang
yang hadir di dalam perjamuan itu belum tentu menyumbang."
"Sedikit banyak dari sini aku akan bisa menyimpulkan sesuatu yang tidak mungkin
dimengerti orang lain. Aku toh bukan orang linglung."
"Lalu kau sudah berhasil menyimpulkan apa?"
"Begitu kau tiba, hatiku jadi kusut, masakah ada selera aku memeriksa lebih lanjut?" dia
berdiri dan keluar dari belakang meja kasir, tiba-tiba berkata pula: "Ada sepatah pertanyaan
ingin kuajukan kepadamu."
Terpaksa Yap Kay biarkan orang bertanya.
"Apakah manusia itu harus makan?"
Yap Kay diam saja, dia mengakui.
"Dan kau ini manusia bukan?"
Kembali Yap Kay diam saja, dia harus mengakui juga.
Siangkwan Siau-sian sudah menarik tangannya, katanya berseri tawa: "Kalau begitu,
hayolah kita mengisi perut."
ooo)O(ooo
Yap Kay sedang makan. Tiba-tiba disadarinya setiap kali berada di depan Siangkwan Siausian,
dirinya lantas menjadi laki-laki pikun yang terima dituntun hidungnya saja. Tapi perutnya
memang kosong, sudah keroncongan sejak tadi. Setelah menempuh perjalanan setengah hari,
selera makannya tentu amat besar. Begitu duduk menyanding meja, sepasang sumpitnya
bekerja dengan gesit, sulit dia bisa menenteramkan diri menghadapi hidangan serba lezat ini.
Apalagi semua masakan justru menempati seleranya, terutama kuah tahu kacang yang terasa
pedas kecut, bukan saja mencocoki perutnya, juga bisa menyadarkan pikirannya dari mabuk
arak.
Siangkwan Siau-sian berkata lembut: "Aku tidak menyediakan arak bagi kau karena aku
tahu perutmu sedang kosong. Setelah makan, boleh kuiringi kau minum sepuasmu."
Siapapun yang menghadapi, melihat serta dilayani perempuan selembut dan secantik ini,
kesannya adalah dia gadis periang yang halus, prihatin dan pintar meladeni.
Bila seorang laki-laki berhadapan dengan perempuan macam ini, apa pula yang dapat dia
lakukan? Sebetulnya Yap Kay sudah berkeputusan dalam hati tidak perdulikan orang. Umpama
orang bisa bicara semanis madu dan kata-katanya bisa menciptakan sekuntum bunga, dia tetap
tidak mau percaya dan tidak mau perduli.
Siangkwan Siau-sian menghela napas, katanya: "Aku tahu dalam hatimu tentu membenci
aku, tidak seharusnya aku menahanmu di sini tempo hari, kalau tidak, nona Ting pasti tidak
akan menikah dengan Kwe Ting, jikalau dia tidak menikah dengan Kwe Ting, maka peristiwa
malam itupun tidak akan terjadi."
Memang itulah unek-unek hati Yap Kay yang ingin dia utarakan. Kalau dia belum sempat
mengutarakan, kini Siangkwan Siau-sian sudah membebernya secara gamblang.
"Tapi kau harus memikirkan diriku. Aku inipun seorang perempuan, aku bukan siluman,"
dengan suara lembut, aleman dan rawan dia menyambung, "bila seorang perempuan betul-betul
jatuh hati kepada seorang laki-laki, pasti takkan bisa menahan diri untuk tidak menahannya.
Perduli perempuan macam apa dia, keinginan seperti itu sama saja."
Yap Kay tertawa dingin, tapi dalam lubuk hatinya dia tidak bisa tidak mengakui, bahwa apa
yang dikatakan Siangkwan Siau-sian memang beralasan.
Cinta itu sendiri tidak salah, cinta itu pula adalah murni suci, bukan kejahatan. Adalah
jamak dan sudah menjadi suratan takdir bahwa seorang perempuan mencintai seorang laki-laki,
sedikitpun tidak akan salah. Bila hatinya benar-benar kepincut, cinta kepati-pati, sudah tentu
dia tidak akan mengharap dirinya ditinggal pergi pujaan hatinya seorang diri. Untuk ini tiada
orang yang berani mengatakan bahwa apa yang dia lakukan salah.
Tiba-tiba Yap Kay menyadari bahwa tekadnya mulai goyah, perasaannya tergerak dan
terketuk sanubarinya. Segera dia bangkit, katanya: "Sudah selesai belum perkataanmu?"
"Belum! Masih banyak lagi," sahut Siangkwan Siau-sian.
"Nasi sudah ku gares habis."
"Kau tidak ingin minum arak?"
"Tiada selera lagi."
"Kau tidak ingin mencari tahu siapa sebetulnya Tolka dan Putala?"
"Aku bisa mencarinya sendiri."
"Umpama kau bisa menemukan dia, memangnya apa yang dapat kau lakukan? Memangnya
seorang diri kau mampu menghadapi seluruh Mo Kau?" setelah menghela napas Siangkwan Siausian
menambahkan, "tahukah kau berapa banyak anak murid Mo Kau? Tahukah kau berapa
besar kekuatan yang mereka milik?"
Yap Kay tahu. Betapa menakutkan Mo Kau, tidak seorangpun di dalam dunia ini yang lebih
jelas daripada dirinya.
"Oleh karena itu kaupun harus tahu, untuk menghadapi Mo Kau hanya ada satu cara."
"Cara apa?" tanya Yap Kay.
Senyuman lembut dan manis yang menghiasi muka Siangkwan Siau-sian sudah sirna, sorot
matanya yang bening jeli tiba-tiba memancarkan cahaya terang yang menekan perasaan orang.
Kini dia bukan lagi nyonya pemilik hotel yang telaten dan prihatin meladeni tamunya, namun dia
adalah Kim-ci-pang Pangcu yang ditakuti seluruh dunia.
Katanya dengan menatap Yap Kay bulat-bulat: "Di seluruh kolong langit ini yang bisa
bertanding dan adu kekuatan dengan Mo Kau hanya Kim-ci-pang kita."
Yap Kay bersuara dalam tenggorokan.
"Setelah mengalami persiapan dan perencanaan yang bertahun-tahun dengan pengerahan
segala kekuatan, sekarang perduli di dalam tenaga manusia atau kekuatan keuangan, Kim-cipang
sudah betul-betul mencapai to[p, mencapai tingkat tertinggi," ujar Siangkwan Siau-sian
lebih lanjut, "Siau-lim, Bu-tong, Kun-lun, Go-bi, Hoa-san, Tiam-jong, Kay-pang, Khong-tong dan
banyak lagi perguruan silat besar dan kecil di seluruh dunia, sekarang sudah ada orang-orang
kita yang menyusup ke dalamnya......"
Yap Kay tiba-tiba menukas perkataannya: "Oleh karena itu sekarang kaupun hendak
menghasut aku."
"Bukan menghasut," kata Siangkwan Siau-sian tegas, "hanya untuk menghadapi Mo Kau, kau
harus kerja sama dengan Kim-ci-pang kita."
Yap Kay tertawa dingin, katanya: "Apakah kau masih ingin mengangkatku menjadi Hu-hoat
dari Kim-ci-pang mu?"
"Asal kau suka, malah aku boleh memberikan kedudukan Pangcu Kim-ci-pang kepadamu."
Siangkwan Siau-sian menghela napas. Kerlingan matanya selembut riak air tenang, lembut
hening, katanya pelan: "Seorang perempuan demi laki-laki yang dia cintai, memang tidak segansegannya
mengorbankan segala miliknya, apalagi........"
"Apalagi Mo Kau memangnya musuh tangguh Kim-ci-pang kalian."
"Bukan saja musuh bebuyutan kita, malah dua musuh yang takkan bisa hidup berdampingan,
terutama belakangan ini......"
"Kenapa belakangan ini?"
"Belakangan ini umpama aku tidak mencari perkara dengan mereka, merekapun akan
meluruk mencari aku."
Yap Kay tahu orang bukan membual. Kim-ci-pang dan Mo Kau kedua-duanya belakangan ini
sama-sama mau menegakkan wibawa dan mengerahkan kekuatan serta mengumpulkan tenaga
serta mengisi keuangan, tujuannya adalah berkuasa dan bersimaharajalela di Kang-ouw.
Bentrokan ke dua belah pihak demi kepentingan masing-masing tentu semakin besar dan
meruncing. Kerang dan bangau saling berebutan, akhirnya nelayanlah yang memungut
keuntungan.
Sebetulnya situasi ini merupakan kesempatan baik bagi Yap Kay, walau dia tidak ingin jadi
nelayan yang memungut keuntungan tanpa membuang tenaga, namun sedikitnya dia bisa
menggunakan kesempatan ini untuk melakukan banyak pekerjaan yang ingin dia lakukan,
pekerjaan yang sebetulnya sudah dia selesaikan sejak dulu.
Siangkwan Siau-sian berkata pula: "Keadaanmu sekarangpun sama, 2 diantara Su-thoathian-
ong kini sudah berada di Tiang-an, maksudnya terang bukan selalu menghadapi Kim-cipang
kami, sekaligus merekapun hendak hadapi kau."
"Oleh karena itu umpama aku tidak mencari mereka, merekapun tetap tidak akan berpeluk
tangan terhadapku."
"Mereka adalah musuhmu, sedikitnya aku ini masih temanmu, perduli untuk pribadi atau
untuk kepentingan umum, adalah pantas kalau kau kerja sama dengan kita."
Yap Kay sudah duduk kembali di kursinya.
"Mungkin dalam hatimu kini masih mengira aku hendak memperalat kau."
"Apa tidak?"
"Umpama aku ingin bantuan tenagamu, bukankah kaupun bisa memperalat diriku? Inilah
kesempatan terbaik untuk kerja sama melenyapkan Mo Kau."
Yap Kay tiba-tiba menghela napas, katanya: "Kau memang perempuan yang pandai bicara."
"Apakah aku sudah berhasil membujukmu?"
"Agaknya memang demikian."
Berseri muka Siangkwan Siau-sian, senyuman yang berubah lembut aleman dan genit,
katanya: "Lalu, apakah sekarang kita perlu minum secangkir arak?"
"Kini aku masih merasakan heran akan satu hal."
"Hal apa yang kau herankan?" tanya Siangkwan Siau-sian, matanya berkedip-kedip.
"Kerja apapun yang kau suruh aku lakukan, kenapa selalu aku tak bisa menolaknya?"
Arak sudah siap di atas meja. Arak itu sendiri tidak memabukkan, malah Siangkwan Siausian
yang membuatnya kasmaran. Kelembutannya, telaten meladeni, kerlingan matanya serta
senyumannya yang menggiurkan, setiap laki-laki pasti akan kepincut kepadanya.
Apakah Yap Kay sudah jatuh mabuk? Betapapun dia adalah laki-laki sejati, malah bukan
laki-laki yang tidak mengenal kasih seperti yang pernah dia bayangkan sendiri. Kini dia mulai
curiga terhadap dirinya malah, apakah dia sudah kelelap dan terbuai oleh kehalusan dan
kehangatan orang?
Siangkwan Siau-sian memang perempuan tulen. Tiada laki-laki yang bisa menolak diajak
kencan oleh perempuan seperti ini. Mungkin Siangkwan Siau-sian tidak seelok rupawan seperti
Ting Hun-pin, tidak aleman dan lemah seperti Cui Giok-tin, tapi gadis yang satu ini jauh lebih
unggul di dalam menyelami hati laki-laki. Dia lebih tahu cara bagaimana untuk menangkap dan
menambat lubuk hati seorang laki-laki. Apakah Yap Kay sudah tertambat olehnya? Entahlah!
"Kau sudah mabuk belum?" tanya Siangkwan Siau-sian.
"Sekarang memang belum, namun cepat atau lambat, aku akan mabuk juga."
"Jadi kau sudah siap untuk mabuk?"
"Asal mulai minum, memang harus siap untuk mabuk."
"Oleh karena itu bila aku ingin bicara, lebih baik lekas kukemukakan sebelum kau mabuk."
"Sedikitpun tidak salah."
"Kau sudah memeriksa buku daftar kado ini?"
"Sudah kuperiksa."
"Apa yang dapat kau lihat?"
"Kudapati setiap Kim-ci-pang turun tangan, tidak seroyal pihak Mo Kau."
Siangkwan Siau-sian tertawa, katanya kalem: "Kim-ci-pang tidak ingin membeli jiwa orang
lain, oleh karena itu tidak perlu mengantar kado yang begitu tinggi nilai harganya."
Yap Kay menatap arak di cangkirnya, katanya pelan-pelan: "Mungkin kau sendiri sudah
melihatnya, kado yang betapa tinggi harganya, mereka tidak akan bisa menerimanya."
"Jikalau aku bisa melihat jelas, mungkin aku bisa memberikan lebih banyak."
"Kenapa?"
"Karena perduli berapapun yang kuberikan, sekarang sudah kurampas seluruhnya."
"Lalu, apa pula yang kau temukan?"
"Aku hanya menemukan kau, seorang laki-laki yang benar-benar romantis," ujar Siangkwan
Siau-sian, "oleh karena itu kau jelas bukan satu di antara Su-thoa-thian-ong Mo Kau. Orangorang
Mo Kau semuanya tidak kenal cinta kasih."
"Masa, baru sekarang kau menyadari hal ini?"
"Sekarang juga belum terlambat."
"Jadi dulu kau pernah mencurigai aku?"
"Karena hanya sedikit jumlah orang yang setimpal menjadi Mo Kau Thian-ong."
"Kecuali aku, berapa banyak pula orang di dalam kota Tiang-an ini yang setimpal?"
"Paling hanya empat atau lima saja."
"Pertama sudah tentu adalah Lu Di."
"Tidak salah!"
"Kedua adalah Han Tin."
"Sudah tentu!"
"Dan siapa lagi?"
"Masa kau sudah lupa akan temanmu itu?"
"Nyo Thian?"
"Rase yang tak bisa terbang sudah cukup menakutkan, apalagi rase yang pandai terbang."
"Bukankah dia salah seorang kepercayaanmu?"
"Aku tidak punya orang kepercayaan." ujar Siangkwan Siau-sian, lalu angkat kepala
menatap Yap Kay, katanya: "Orang satu-satunya yang dapat kupercaya hanya kau, sayang
sekali......"
"Sayang sekali sebaliknya aku tidak percaya kepadamu, mungkin orang yang tidak bisa
kupercaya hanya kau seorang."
"Tapi aku tidak akan menyalahkan kau, akan datang suatu ketika, kau akan tahu bahwa
sikapmu salah betul."
Yap Kay tidak membantah, dengan tersenyum dia alihkan pembicaraan: "Lu Di, Han Tin dan
Nyo Thian, jumlahnya baru tiga orang."
"Masih ada satu, diapun kemungkinan sekali."
"Siapa?"
"Seseorang yang baru kemarin tiba di Tiang-an."
"Kau mengenalnya?"
"Tidak kenal!"
"Kau tahu siapa?"
"Tidak tahu."
Yap Kay tertawa pula.
Sikap Siangkwan Siau-sian sebaliknya serius, katanya: "Tapi aku tahu jelas, dia cukup
setimpal untuk menjadi salah satu Thian-ong (Raja langit) dari Mo Kau."
"Kenapa kau berkesimpulan demikian?"
"Karena orang-orang yang kuutus untuk menyelidiki jejak dan asal-usulnya tiada satupun
yang pulang memberikan laporan. Semuanya menghilang."
"Apa maksudnya menghilang."
"Maksudnya menghilang adalah setiap orang yang kuutus keluar, tidak pernah lagi kembali,
malah kabar yang seharusnya dia sampaikan ke cabang-cabang tertentu pun tidak diperoleh,
lalu kuutus orang untuk mencarinya, orang-orang yang mencarinya inipun tidak kembali."
"Berapa banyak orang yang telah kau utus untuk tugas ini?"
"Seluruhnya tiga kali, pertama dua orang, kedua empat orang dan ketiga enam orang."
"Jadi jumlah total adalah 12 orang?"
"12 orang jago-jago pilihanku semua, enam yang terakhir itu malah jago-jago top."
"Jago-jagomu semuanya lenyap?"
"Setelah mereka berangkat, lantas lenyap tanpa meninggalkan bekas, seolah-olah mereka
ditelan bumi."
"Umpama mereka itu adalah manusia kayu, mencari tempat untuk menyembunyikan diri
kedua orang itupun bukan suatu kerja gampang."
"Oleh karena itu, aku berpendapat kemungkinan orang ini jauh lebih menakutkan dari Lu Di
dan lain-lain."
Kini sikap Yap Kay pun sungguh-sungguh.
"Sampai detik ini kau masih belum tahu siapa dia sebenarnya?"
"Aku tahu dia kemari, di dalam cuaca sedingin ini, dia hanya mengenakan pakaian yang tipis,
kepalanya malah ditutupi topi rumput yang lebar besar."
"Masih ada lagi?"
"Sudah habis bahan-bahan yang kuperoleh."
"Masakah darimana dia datang, kaupun tidak tahu?"
"Tidak tahu!", ujar Siangkwan Siau-sian, "justru karena aku tidak tahu, maka
kuperintahkan orang mencari tahu."
Yap Kay menghela napas, katanya: "Agaknya ada juga persoalan yang belum kau ketahui."
"Memangnya apa yang kau ketahui bisa lebih banyak dari apa yang ku tahu?"
"Hanya lebih sedikit saja."
"Apa pula yang kau ketahui?"
"Sedikitnya aku sudah punya sumber untuk menyelidiki, aku pasti bisa menemukan Putala."
"Hu-hong-thian-ong maksudmu?"
Yap Kay manggut-manggut.
"Kau sudah tahu orang macam apa dia sebenarnya?"
"Ilmu telapak tangannya teramat lihay, malah diapun sudah terluka."
Cemerlang biji mata Siangkwan Siau-sian, katanya: "Ilmu yang lihay telapak tangannya
adalah Lu Di, namun kurang dimengerti apakah kini dia terluka?"
"Untuk mencari tahu hal ini kurasa tidak sulit."
"Kau ingin mencarinya?"
"Kau menentang?"
Siangkwan Siau-sian geleng-geleng, katanya: "Aku hanya....."
Yap Kay tertawa, katanya mewakili: "Hanya menguatirkan diriku tahu-tahu menghilang
seperti anak buahmu yang tidak becus bekerja itu."
Siangkwan Siau-sian cekikikan manis, katanya: "Kali ini aku pasti tidak akan berpeluk
tangan membiarkan kau menghilang tanpa bekas, aku....."
Kini Yap Kay tidak meneruskan kata-katanya, tiba-tiba dia berdiri, katanya: "Oleh karena
itu aku ingin segera bergerak mumpung aku belum mabuk."
"Sekarang juga kau ingin pergi?"
"Orang yang harus kucari bukan hanya Lu Di saja, ilmu kepandaian Han Tin dan Nyo Thian
pun lihay sekali."
"Jangan lupa laki-laki yang mengenakan topi rumput lebar itu."
"Di mana kira-kira orang ini berada?"
"Tahukah kau di belakang Tay-siang-kok-si masih terdapat Cap-hong-cu-lim-si?"
"Katanya makanan vegetarian di sana lumayan enaknya."
"Kemarin malam dia menetap di sana."
"Nyo Thian tinggal di mana?"
"Kau hendak mencarinya lebih dulu?"
"Jangan lupa dia adalah teman baikku."
"Kau memang teman lamanya, maka kau harus tahu apa yang menjadi hobby-nya."
"Perempuan?"
"Perempuan macam apa?"
"Janda"
ooo)O(ooo
Jalan raya yang di sini mirip sekali dengan jalan di kota Tiang-an.
"Apakah disinipun ada penjual wedang kacang yang diusahakan oleh Ong-koahu (Janda
Ong)?"
"Janda Ong yang jual wedang tahu di sini adalah perempuan genit yang romantis juga."
Yap Kay menghela napas, katanya: "Sayang Nyo Thian sudah berada di sana lebih dulu."
"Oleh karena itu tiada gunanya sekarang kau buru-buru ke sana. Kenapa tidak kau mampir
dulu ke warung wedang di sebelah sini untuk melihat-lihat dulu?"
"Ada tontonan baik apa yang patut dilihat di dalam warung wedang?"
"Ada sebuah gurdi yang elok sekali."
Dengan tersenyum Yap Kay melangkah masuk, katanya: "Aku hanya mengharap gurdi yang
satu ini tidak mengebor badanku sampai berlubang besar."
Betapapun eloknya gurdi, kalau mengebor badanmu, kau pasti tidak akan merasakan
keelokannya.
Han Tin memang gurdi yang baik, diapun bukan laki-laki yang tampan. Memangnya hidung
siapapun kalau sudah dipukul ringsek menjadi pesek, mukanya tidak akan menjadi tampan lagi.
Tapi sikap dan hatinya hari ini kelihatannya cukup senang dan riang. Bukan saja selebar
mukanya mengulum senyum dan air mukanya merah bergairah, semangatnya pun menyala-nyala.
Siapapun akan bisa merasa bahwa Han Tin bukan seorang yang telah terluka berat.
Begitu melihat Yap Kay segera dia bangkit menyambut, sapanya dengan tertawa: "Silahkan
duduk. Bagaimana kalau mencicipi arak di sini dulu?"
Yap Kay geleng-geleng.
"Kau tidak ingin minum arak?"
Yap Kay geleng-geleng kepala pula.
"Jajanan di sinipun lumayan, apa kau tidak ingin mencicipi kue-kue?"
Yap Kay tertawa, katanya: "Sekarang yang ingin kumakan hanya satu, wedang kacang!"
ooo)O(ooo
Ternyata warung wedang janda Ong tidak hanya jual wedang saja, di sini diapun jual
wedang tahu, wedang kacang ijo dan bubur tahu.
Janda Ong adalah seorang perempuan usia semasa, janda Ong ini masih berparas ayu dan
genit. Seorang janda setengah baya yang masih berparas ayu menjual wedang, sudah tentu
usahanya cukup laris.
Hari ini janda Ong mengenakan seperangkat pakaian warna hitam ketat dengan kancing
berderet putih dari leher menurun ke samping kanan terus ke pinggang. Rambutnya yang
mengkilap hitam tersisir rapi, dengan sanggul melambai kendor, menambah kecantikan
potongan mukanya yang bundar telur. Di dalam kulit mukanya yang putih halus kelihatan semua
merah, merah di antara putih.
Dasar wanita pandai bersolek, dalam usia setua ini dia kelihatan belum terlalu tua, malah
kelihatan genit dan sempurna dari gadis-gadis remaja umumnya. Lebih menggiurkan lagi
sepasang biji matanya yang dinaungi sepasang alis lentik melengkung seperti bulan sabit, kalau
tertawa bibirnya nan tipis merekah seperti delima, seakan-akan laki-laki yang memandangnya
pasti bisa tersedot sukmanya.
Kini biji matanya mengerling tajam tengah mengawasi Yap Kay, katanya berseri tawa:
"Wedang tahu tuan ingin dicampuri nyamikan apa?"
"Aku tidak makan wedang tahu."
"Apa wedang tahuku tidak enak?"
"Wedang tahumu enak sekali. Akupun ingin jajal tahu petismu, sayang aku tidak berani."
Semakin genit janda Ong tertawa, katanya: "Laki-laki segede ini kok takut makan tahu,
takut pedas?"
"Tahu orang aku berani makan, tapi tahumu aku tidak berani." kata Yap Kay.
Tiba-tiba janda Ong tidak tertawa lagi, katanya dingin: "Kau kemari mau cari Nyo Thian?"
Jari-jari janda Ong yang runcing dengan kuku panjang dipolesi warna-warni menuding ke
belakang, seolah-olah dia sudah malas melayani Yap Kay.
Memang banyak perempuan yang menyukai laki-laki yang punya maksud tertentu, menaksir
dirinya. Jikalau kau tidak menaksir dirinya, maka diapun tidak akan ketarik kepadamu.
Yap Kay tertawa menghadapi sikap orang, dengan tersenyum dia melangkah masuk. Tibatiba
dia berpaling dan berkata: "Sebetulnya nyaliku tidak sekecil yang kau kira."
Janda Ong melirik kepadanya, katanya gigit bibir: "Kenapa hari ini nyalimu menjadi begitu
kecil?"
"Karena aku tidak ingin digigit oleh rase," ujar Yap Kay dengan suara rendah seperti
berbisik.
ooo)O(ooo
Kelihatannya Nyo Thian tidak mirip rase yang bisa menggigit.
Manusia liar, jahat segalak binatang buaspun, di kala sedang mandi, pasti berubah lebih
ramah dan lunak.
Nyo Thian sedang mandi. Dia merendam diri di dalam sebuah baskom besar terbuat dari
kayu dengan air panas yang masih mengepul. Sedapat mungkin dia lemaskan dan luruskan ke
empat kaki tangannya. Kelihatannya mirip benar dengan lembu yang malas merendam diri di
kubangan. Kulit badannya kelihatan mengkilap merah, seluruh badannya dari atas sampai ke
bawah tidak kelihatan bekas-bekas luka sedikitpun.
Tak tertahan akhirnya Yap Kay menghela napas.
Menyongsong kedatangan orang, Nyo Thian menyambut dengan senyuman, sapanya: "Teman
baik bertemu, kenapa kau menghela napas malah?"
"Karena kau tidak terluka."
"Kalau aku terluka, baru kau senang?"
Tiba-tiba Yap Kay tertawa, katanya: "Karena aku ingin makan tahu."
Nyo Thian tertawa besar, serunya: "Aku sedang mandi, bukankah kesempatan baik bagi
kau?"
"Kesempatan baik apa?"
"Sekarang terserah apapun yang ingin kau lakukan di luar. Memangnya aku harus memburu
keluar dengan telanjang bugil begini?"
"Sayang sekali istri teman sendiri tidak boleh dipermainkan."
"Untuk mempermainkan istri teman, harus tunggu setelah teman itu mampus."
"Sayang sekali kau belum lagi mampus."
"Kalau begitu jadi kita sekarang masih teman?"
"Sebetulnya bukan, sekurangnya bolehlah dianggap teman."
Nyo Thian menatapnya tajam, sorot matanya semakin cemerlang, setajam pisau, katanya
dingin: "Kaupun sudah turun ke air?"
"Kau tidak menduga?"
"Kenapa kaupun turun ke air?"
"Tidak pantas kau bertanya ini kepadaku. Bukankah kau sendiri sedang merendam dalam
air?"
"Lantaran aku sudah tidak bisa keluar?"
"Kalau ada orang mau menarikmu keluar?"
"Siapa sudi menarikku?"
"Aku!"
Betul juga segera Yap Kay ulurkan tangannya.
Tapi Nyo Thian tidak menyambut tangannya, katanya tertawa: "Terlalu dingin hawa di luar,
lebih nyaman aku merendam diri di air hangat ini."
"Betapapun panasnya air itu, akhirnya akan jadi dingin juga."
"Kalau demikian, lebih baik kau lekas lari keluar saja."
"Kau sedang bujuk aku? Atau sedang mengusirku?"
"Menurut pendapatmu?"
"Apa kau rasakan orang yang ada di dalam air terlalu banyak dan berdesakan?"
"Mau pergi tidak, terserah! Kau hanya kita termasuk kawan, ada sepatah kata terpaksa
harus ku utarakan kepadamu," ujar Nyo Thian dingin.
"Boleh kau katakan."
"Jangan kau pergi menemui laki-laki yang mengenakan topi rumput itu."
"Kenapa?"
Nyo Thian sudah memejamkan mata, menutup mulut.
Yap Kay bertanya pula: "Darimana kau tahu bila aku hendak mencari dia?"
Nyo Thian tetap tidak bersuara.
Air itu panas sekali, uapnya kemebul seperti kabut saja.
Tiba-tiba Yap Kay tertawa pula, katanya: "Memang lebih baik kau merendam diri dalam air
saja, keluar dari air sepanas itu, kau pasti kedinginan."
ooo)O(ooo
Yap Kay sudah pergi.
Nyo Thian tetap pejamkan mata, merendam diri. Setelah suhu air panas itu menurun dan
rada dingin, baru terlihat air mukanya lambat laun menjadi pucat pias, seolah-olah dia benarbenar
sudah tidak bertenaga lagi untuk keluar dari tempatnya merendam. Tapi air sudah
dingin, tidak bisa tidak dia harus keluar.
Waktu air mengalir dari pundaknya ternyata air itu berwarna merah, air bercampur darah.
Darimanakah darah itu keluar?
Diam-diam dengan langkah lembut janda Ong berlari masuk, mengawasinya, sorot matanya
penuh diliputi rasa iba dan kasih sayang.
Waktu Nyo Thian berdiri, mukanya yang pucat berkerut-kerut saking menahan kesakitan,
mulutnya menggerung menahan sakit, katanya: "Adakah orang bisa menerjang masuk dari
luar?"
Janda Ong geleng-geleng, tiba-tiba dia bertanya: "Sebetulnya bagaimana luka-lukamu?
Kenapa takut dilihat orang?"
Nyo Thian kertak gigi, dia tidak menjawab pertanyaan orang, namun jarinya menjawab ke
pundaknya, dari sana dia mencomot turun selapis kulit. Kulit tipis yang berwarna mirip dengan
kulit badannya, begitu kulit tipis tercopot, darah dan air nanah segera bercucuran di dadanya.
ooo)O(ooo
Sebuah kereta besar berhenti di ujung jalan.
Siangkwan Siau-sian menggelendot di dinding kereta sambil menunggu. Waktu dia melihat
Yap Kay mendatangi, mukanya yang ditingkah sinar matahari berwarna merah itu kelihatan
mekar laksana sekuntum bunga.
Setiap kali kau melihat wajahnya nan cerah, selalu kau akan merasa musim semi sudah
menjelang.
Yap Kay menghela napas, karena tiba-tiba dia teringat akan ucapan orang banyak waktu
menilai dan menjuluki Lim Sian-ji, ibunya, perempuan secantik bidadari, namun khusus
memancing laki-laki masuk ke neraka. Kalau kata-kata ini sekarang dilukiskan untuk Siangkwan
Siau-sian, apakah tepat dan cocok?
"Kau sudah menemukan mereka?" tanya Siangkwan Siau-sian dengan senyuman manis.
"Ya!," pendek jawaban Yap Kay.
"Mereka sama-sama tidak terluka?"
"Tidak!," ujar Yap Kay menghela napas, "sedikitnya aku tak bisa melihatnya."
"Oleh karena itu, mereka tidak mungkin adalah Hu-hong si puncak tunggal?"
Yap Kay manggut-manggut. Memang dia tidak melihat luka-luka Nyo Thian, kulit tipis yang
melekat di pundak Nyo Thian, terendam di air kelihatannya seperti daging yang dimasak. Tak
pernah pula terpikir olehnya, seorang yang sudah terluka parah kok merendam diri dalam air.
"Namun umpama benar mereka tidak terluka," ujar Siangkwan Siau-sian, "belum
membuktikan bahwa mereka bukan orang-orang Mo Kau."
"Benar!"
"Tapi kau sudah siap untuk menyelidiki lebih lanjut?"
"Mereka adalah orang-orangmu, untuk menyelidiki pula adalah urusanmu."
"Maka kau hendak tinggal pergi?"
"Bukankah kau sudah persiapkan sebuah kereta untukku?"
Siangkwan Siau-sian tertawa, tawa yang syahdu: "Karena aku tahu takkan bisa
menahanmu."
Yap Kay lompat naik ke atas kereta, tiba-tiba dia berkata pula: "Nyo Thian tadi memberi
advis kepadaku."
"Apa yang dia katakan?"
"Dia menganjurkan kepadaku supaya jangan pergi menemui orang bertopi rumput lebar itu."
Siangkwan Siau-sian menghela napas, katanya: "Bujukan orang lain, kenapa selalu tidak kau
turuti?"
Yap Kay menutup pintu kereta, namun dia menongolkan kepalanya keluar dari jendela,
katanya tertawa: "Karena aku ini biasanya dihinggapi penyakit."
"Penyakit apa?"
"Penyakit goblok!"
ooo)O(ooo
Lari kereta itu menimbulkan debu yang tinggi di belakangnya. Cepat sekali laju kereta,
sudah hampir jauh, hampir tidak kelihatan lagi.
Roman muka Siangkwan Siau-sian masih mengulum senyuman mekar yang menggiurkan
karena kepala Yap Kay masih menongol keluar mengawasi dirinya. Dia tertawa riang, tiba-tiba
dia lambaikan sapu tangan yang ada di tangannya.
Di saat dia mengangkat tangan inilah senyumannya tiba-tiba sirna, mukanya yang merah di
tingkah sinar matahari tiba-tiba berubah pucat, mengernyit menahan sakit.
Sayang sekali tatkala itu kereta Yap Kay sudah membelok di pengkolan gunung sana, tidak
kelihatan lagi.
ooo)O(ooo
Di dalam bilangan kelenteng itu, suasana sepi nyaman dan menyegarkan, pekarangan penuh
ditumbuhi pohon bambu. Hutan bambu. Pekarangan yang ditumbuhi hutan bambu biasanya
memang membawakan suasana nyaman, segar dan tentram.
Terutama pada saat magrib, angin lalu menghembus daun-daun bambu, suaranya
kedengarannya mirip deru gelombang ombak lautan yang mengalun kalem.
Yap Kay tengah mondar-mandir di hutan bambu ini.
"Kalau aku tahu di kota Tiang-an ada tempat sesepi dan nyaman tentram seperti ini, aku
pasti akan menetap di sini." demikian dia bicara seorang diri, "sayang sekali orang-orang yang
tahu adanya tempat ini agaknya tidak banyak."
Agaknya dia tidak mengoceh seorang diri, kelihatannya dia tujukan kata-katanya kepada
Goh-cu.
Goh-cu adalah pendeta penerima tamu dari Cap-hong-cu-tim-si ini. Sesuai dengan namanya,
Goh-cu berbadan kurus lencir seperti galah. Walau badannya kurus kering, namun sikapnya
amat ramah. Dia sedang tersenyum dan membantah: "Memang jarang Sicu yang berkunjung
kemari, tapi tidak sedikit juga jumlahnya."
Yap Kay tertawa, sejak dari luar sampai di sini matanya melihat ada orang berkunjung ke
tempat ini, memasang hio, menaikkan dupa. Demikian pula bilangan luar dan dalam ruang
sembahyang kosong.
"Ke tujuh kamar ini semua diperuntukkan kamar tamu, sebetulnya tidak kosong lagi,"
demikian pula kata Goh-cu, "semalam ada beberapa Sicu menetap di sini, mereka adalah orangorang
yang suka keindahan alam dan ketentraman hidup."
"Sekarang di mana mereka?" tanya Yap Kay.
"Kini berada di Tay-siang-kok-si."
"O, jadi mereka semalam baru pergi?"
Goh-cu manggut-manggut, katanya: "Begitu Pek Sicu yang mengenakan topi rumput itu
datang, yang lain-lain segera pergi."
"Apakah dia yang mengusirnya?"
"Dia sih tidak mengusir orang, namun begitu dia datang, orang lain tak betah tinggal di
sini."
"Lho? Kenapa?"
Goh-cu menghela napas, mukanya yang kurus kering tiba-tiba menampilkan mimik yang
aneh. Dia tidak langsung menjawab pertanyaan Yap Kay, namun menepekur.
"Marilah ku ajak kau masuk ke kamar, kau akan segera mengerti."
Kamar tidur itu empat dinding kosong memutih, tiada gambar tiada lukisan. Ternyata tiada
meja kursi, juga tiada ranjang. Kamar tidur (biasanya kamar semedi) sebesar ini hanya
terdapat dua batang paku, satu di paku di dinding kanan, yang lain di paku dinding kiri.
Tak tertahan Yap Kay tertawa pula, sekarang dia mengerti, kenapa orang lain tidak betah
tinggal di sini lama-lama.
"Agaknya akupun takkan betah tinggal di sini." katanya tersenyum, "aku bukan lalat, juga
bukan nyamuk, masakah harus tidur di atas paku?
"Di sini ada dua paku."
"Satu paku atau dua paku apa bedanya?"
"Ada saja bedanya."
"Aku sih tidak bisa membedakan, coba kau katakan di mana bedanya."
"Tapi sebetulnya kau bisa memikirkannya. Dua paku kau bisa untuk mengikat seutas tali."
Yap Kay masih belum mengerti, katanya: "Gunanya tali?"
"Tapi itu bisa untuk gantung pakaian, juga bisa untuk tidur."
"Jadi Pek Sicu yang pakai topi rumput itu kalau malam tidur di atas tali?"
"Malah tali kecil yang lembut sekali."
Yap Kay melongo.
Bila seseorang suka tidur di atas seutas tali, bukan saja watak orang itu aneh, ilmu silatnya
tentu aneh dan tinggi.
"Kamar ini semula tidak kosong melompong seperti ini," kata Giok-cu lebih lanjut, "bukan
saja ada meja kursi dan ranjang, di sinipun banyak cecak."
"Jadi meja kursi dan ranjang dia yang minta di pindah ke lain tempat? Lalu cecak?"
Kembali terunjuk mimik aneh pada muka Goh-cu.
"Cecak itu semuanya dia makan habis."
Kembali Yap Kay melongo.
Memang aneh orang itu, di musim dingin suka pakai topi rumput, suka tidur di atas tali,
suka makan cecak pula.
Belum pernah Yap Kay melihat atau bertemu dengan orang seaneh ini. Tak urung terunjuk
mimik seaneh mimik Goh-cu di muka Yap Kay, katanya kemudian dengan tertawa getir:
"Agaknya selera makannya tidak terlalu besar, hanya makan beberapa ekor cecak, masakah
bisa kenyang?"
"Kecuali cecak, sudah tentu dia masih makan barang-barang lain."
"Makan apa lagi?"
"Para Sicu yang tinggal di sini, begitu makan tiba, biasanya mereka tidak berani keluar
kalau tidak ada keperluan penting, karena disekitar sini banyak ular berbisa."
"O, jadi ular-ular beracun itupun habis dia makan."
"Kecuali ular, masih ada kelabang, ketunggeng (kalajengking) dan lain-lain."
"Agaknya takaran makannya cukup besar."
"Oleh karena itu aku sudah mulai kuatir akan satu hal."
"Apa pula yang kau kuatirkan?"
"Kalau cecak, ular dan binatang-binatang beracun lainnya sudah habis dia makan, makanan
apa pula yang dapat dia makan?"
"Apa kau takut dia bakal makan dirimu?"
Goh-cu menghela napas. Belum sempat dia membuka suara, tiba-tiba seseorang berkata
dingin: "Manusia ada kalanya kumakan juga, namun jarang aku makan Hwesio."
ooo)O(ooo
Entah kapan seseorang yang bertopi rumput lebar berdiri di luar hutan bambu, Di dalam
cuaca sedingin ini, ternyata dia hanya mengenakan kain katun tipis warna putih mangkak,
bentuk topi rumput di kepala rada aneh, kelihatannya mirip kepis tempat ikan yang dibawa
orang mancing. Topi selebar itu dia pakai begitu rendah lagi, hampir seluruh mukanya tertutup
tidak kelihatan, hanya kelihatan mulut dan bibirnya yang tipis kalau tidak bicara tertutup
rapat, seolah-olah rangkapan dari bibir pisau.
Tiba-tiba Yap Kay tertawa. Di saat orang lain tidak bisa tertawa, dia malah ingin tertawa,
katanya: "Kau jarang makan Hwesio atau tak pernah makan?"
"Biasanya aku hanya makan satu macam manusia." ujar laki-laki bertopi rumput lebar.
"Orang macam apa?"
"Orang yang patut mati."
Yap Kay menyengir getir.
Memang dalam dunia ini ada semacam manusia yang mirip ular beracun, jikalau kau tidak
ingin dilalap olehnya, maka kau harus mencaploknya lebih dulu.
"Tapi orang yang benar-benar patut mampus tidak banyak." ujar Yap Kay.
"Benar, memang tidak banyak."
"Kalau demikian kenapa tidak kau tiru orang lain, mengganyang makanan yang lebih gampang
diperoleh?"
"Kau makan apa?" tanya orang bertopi rumput berbaju putih mangkak.
"Aku suka makan daging babi, juga suka daging sapi, terutama daging sapi yang dipanggang
dengan saus tomat, dengan abon sapi juga tidak kurang sedapnya."
Laki-laki baju putih tiba-tiba berkata: "Thio Sam adalah manusia kerdil yang jahat, keji
dan telengas. Li Su sebaliknya seorang Kuncu yang mau kerja giat dan rajin berusaha, berhati
jujur polos. Jikalau kau harus memilih satu di antaranya untuk kau bunuh, siapa yang kau
bunuh?"
"Sudah tentu Thio Sam."
"Tapi yang kau bunuh sekarang justru Li Su."
"Aku sudah membunuh Li Su?"
Laki-laki baju putih manggut-manggut.
Yap Kay tertawa getir, katanya: "Sayang sekali, dimanakah dia orang toh aku tidak tahu."
"Seharusnya kau sudah tahu, karena dia sudah berada di dalam perutmu."
Yap Kay tidak mengerti. Ucapan laki-laki baju putih putar balik tiada juntrungannya,
sungguh mengherankan.
Kata laki-laki baju putih sambil tertawa dingin: "Ularlah yang beracun, bukan sapi, tapi kau
membunuh sapi, setelah kau membunuhnya, malah kau simpan mayatnya ke dalam perutmu."
Kontan terasa kecut dan mual perut Yap Kay, seakan-akan dia ingin muntah-muntah.
Memang dalam perutnya masih terdapat daging sapi, daging yang dia makan tadi siang,
tentunya belum hancur oleh karena pencernaan dalam perutnya.
Lain kali bila ada orang menyuguhkan masakan daging sapi lagi, pasti dia sukar untuk
menelannya.
Mata laki-laki baju putih menatapnya dari bawah topi: "Sekarang apa kau sudah paham
akan maksudku?"
Yap Kay menghela napas, katanya tertawa getir: "Kedengarannya ucapanmu memang
beralasan dan masuk diakal."
"Memangnya kau belum pernah mendengar pengertian tentang semua ini?"
"Jangan kata mendengar, berpikirpun belum pernah." ujar Yap Kay menghela napas.
Menyimpan daging sapi di dalam perut sungguh jenaka dan ganjil juga kedengaran kata-katanya
ini.
"Agaknya walau kau bukan seorang Kuncu yang giat dan rajin bekerja, lugu dan jujur, namun
kaupun bukan manusia rendah yang jahat dan telengas."
"Apa kau bisa meramalkan diriku?"
"Justru aku bisa meramalkan keadaan dirimu, maka sekarang kau masih tetap hidup."
"Dan kau? Kau orang macam apa?"
"Kau tidak bisa meramal diriku!"
Yap Kay tertawa, katanya: "Yang terang kau bukan she Pek. Kau datang dari Cheng-shia."
Dengan tatapan tajam Yap Kay menambahkan: "Khabarnya di dalam Ceng-shia-san ada seorang
tokoh kosen, namanya Bak Kiu-sing."
"Agaknya tidak sedikit urusan yang kau ketahui." sela laki-laki baju putih dingin.
"Walau tidak terlalu banyak, tapi juga tidak sedikit."
"Sayang sekali, apa yang harus kau ketahui sekarang, kau justru tidak tahu."
"Ah, apa iya?"
"Tahukah kau siapakah Tolka sebenarnya?"
"Ya, memang aku belum tahu."
"Tahukah kau siapakah Putala?"
"Agaknya memang tidak banyak urusan yang kuketahui."
"Kau ingin tidak bertemu dengan mereka?"
"Apa aku bisa bertemu dengan mereka?"
"Asal kau menunggu di sini, kau akan bisa menemuinya."
Bersinar biji mata Yap Kay. Sudah tentu dia rela menunggunya di sini.
"Umpama aku harus menunggu tiga hari tiga malam, akupun akan menunggunya dengan
senang hati."
"Tidak perlu kau menunggu tiga hari tiga malam, kedatanganmu amat kebetulan."
Terbangkit semangat Yap Kay, katanya: "Apakah hari ini mereka akan datang ke sini?"
"Kalau kau sudah mau menunggu, tak usah banyak tanya, kalau tidak mau menunggu, akupun
tidak menahanmu."
Yap Kay segera tutup mulut, tapi matanya malah dipentang lebar. Memang dia bukan lakilaki
cerewet.
Laki-laki baju putih tiba-tiba berkata pula: "Hwesio seharusnya tidak cerewet."
Goh-cu lantas menundukkan kepala.
"Hwesio seperti kau ini sudah terlalu banyak kau pentang bacot."
Maka Goh-cu tutup mulut kencang-kencang, sepatah katapun dia tidak berani bercuit lagi.
"Seorang Hwesio bukan saja harus tahu kapan dia harus tutup mulut, diapun harus tahu
kapan menutup matanya."
Goh-cu segera pejamkan matanya juga, dengan menggeremet dan tangan menggapai-gapai,
dia beranjak pergi.
Tak tahan Yap Kay tertawa, katanya: "Kelihatannya dia memang Hwesio yang tahu diri."
"Hwesio yang benar-benar tidak tahu diri hanya satu."
"Hwesio macam apa itu?"
"Hwesio yang harus mampus."
"Dalam pandanganmu, manusia dalam kolong langit ini agaknya hanya ada dua macam saja."
"Memang hanya ada dua macam, yang harus hidup dan yang harus mati."
"Lalu orang macam apa yang akan datang kemari nanti malam?"
"Mereka termasuk orang yang harus mati."
ooo)O(ooo
Tabir malam sudah menyelimuti jagat raya.
Laki-laki baju putih mengeluarkan sebuah botol kecil yang terbuat dari kayu, lalu menuang
sedikit bubuk warna putih mengkilap seperti perak di atas tanah. Kelihatannya seperti kapur,
tapi begitu sinar bintang di langit mulai kelap-kelip, bubuk putih seperti kapur di tanah itupun
mulai memancarkan sinar kemilau.
Kata Yap Kay: "Malam nanti apakah kau sudah siap hendak menelan pekarangan ini, sampai
perlu kau membubuhi merica lebih dulu?"
Laki-laki baju putih menjengek, sentaknya: "Mulutmu terlalu cerewet."
Yap Kay melongo dan bersuara dalam mulut.
"Kaupun terlalu banyak tawa."
"Ya, soalnya aku ada melihat suatu hal."
"Hal apa?"
"Aku bisa merasakan kau bukan manusia yang dingin kejam, ada kalanya kaupun ingin
tertawa, namun selalu kau berusaha untuk menahannya."
"Kenapa aku harus menahannya secara paksa?"
"Karena kau ingin supaya orang lain takut kepadamu."
Laki-laki baju putih memutar badan, dia dorong jendela. Lama sekali baru dia bersuara
pula: "Apa pula yang dapat kau lihat?"
"Jikalau kau mengijinkan aku melihat mukamu, aku pasti bisa melihat banyak persoalan."
Laki-laki baju putih tiba-tiba berpaling seraya mengangkat topi rumputnya.
Sebetulnya muka orang ini tak ubahnya seperti muka orang lain, namun dia hanya kelebihan
sembilan buah bintang di atas jidatnya.
Sembilan bintang warna hitam mengkilap.
ooo)O(ooo
Pada malam musim dingin seperti saat itu, sinar bintang yang menyendiri di atas angkasa
raya, biasanya kelihatan lebih menyolok, kelihatannya lebih cemerlang. Tapi bintang-bintang di
muka laki-laki baju putih ini rasanya malah lebih dingin, lebih terang.
Ke sembilan bintang ini berderet menggambarkan sebuah bentuk aneh yang sukar diraba
juntrungannya, setiap bintang-bintang itu seperti melekat kencang di dalam kulit dagingnya.
Yap Kay menghela napas, ujarnya: "Apakah kau sedang menghukum dan menyiksa dirimu
sendiri?"
Ternyata laki-laki baju putih manggut-manggut, katanya: "Setiap orang kan punya dosa."
"Dan kaupun tidak terkecuali?"
"Akupun manusia."
"Apa dosamu?"
"Aku hanya gegetun kenapa aku tidak mampu memberantas manusia-manusia kerdil, jahat
dan kejam."
"Itu belum bisa dianggap berdosa, siksaan yang kau alami kurasa terlalu berat."
"Tapi bila aku berhadapan dengan manusia yang berdosa besar, maka bintang ini merupakan
alat senjata yang ampuh untuk merenggut jiwanya."
"Senjata untuk membunuh?"
"Masa kau tidak bisa melihatnya?"
Yap Kay geleng-geleng, katanya tertawa getir: "Memikirkanpun aku tidak pernah."
Kembali laki-laki baju putih turunkan topinya, katanya dingin: "Tidak banyak orang yang
bisa melihat muka asliku ini, terutama yang hidup hanya beberapa gelintir saja."
"Bukankah di atas mukamu semula hanya ada lima buah bintang?", tanya Yap Kay.
Laki-laki baju putih manggut-manggut membenarkan.
"5 buah bintang kenapa sekarang berubah menjadi 9 bintang?"
"Karena manusia yang berdosa dalam jagat ini semakin banyak, maka dosaku pun semakin
bertumpuk."
"Oleh karena itu Bak Ngo-sing menjadi Bak Kiu-sing."
"Sekarang tiada Bak Ngo-sing, yang ada adalah Bak Kiu-sing."
"Kalau begitu tak heran kalau dia bisa salah duga."
"Dia siapa yang kau maksudkan?"
"Masa kau tidak tahu?"
"Apakah Siangkwan Siau-sian?"
"Kau tahu tentang dirinya?"
Bak Kiu-sing tertawa dingin.
"Kau tahu orang macam apa dia sebenarnya?"
"Orang yang akan kubunuh kali ini semuanya ada tiga."
"Salah satu adalah dia?"
"Semula memang dia satu di antaranya."
"Sekarang?"
"Baru sekarang ku sadari, bahwa manusia yang lebih jahat dan harus diganyang melebihi dia
tidak sedikit jumlahnya."
"Yang harus mati ada berapa orang?"
"Tolka dan Putala."
"Untuk membunuh ke dua orang ini, kukira bukan soal gampang."
"Memangnya aku sudah siap untuk tidak kembali dengan jiwa segar." kata Bak Kiu-sing
tegas dan mantap. Lalu pelan-pelan dia melanjutkan: "Bila masih ada satu di antara Su-thoathian-
ong dari Mo Kau hidup dalam dunia ini, maka aku pasti tidak akan kembali ke Ceng-shia."
"Tapi umpama kau berhasil membunuh yang dua ini, toh masih ada dua yang lain."
"Sudah tiada lagi!"
"Lho, kenapa tiada lagi?"
"Panjapana sudah mampus di tangan Kwe Ting."
"Masih ada Sialpu, bukan?"
Tiba-tiba Bak Kiu-sing merogoh keluar sebuah lencana kemala terus dilempar kepada Yap
Kay.
Di atas lencana batu kemala yang mengkilap bening itu terukir malaikat - iblis yang
menjunjung sebuah tongkat batu pertanda kepintaran.
"Itulah tanda pengenal milik Sialpu, di kala dia masih hidup, barang itu pasti digembol di
badannya."
"Sekarang kenapa berada di tanganmu?"
"Karena dia sekarang sudah menjadi mayat."
"Kaukah yang membunuhnya?", berjingkat kaget Yap Kay.
Bak Kiu-sing manggut-manggut.
"Di mana kau kesamplok dengan dia?"
"Di luar kota Tiang-an."
"Jadi diapun sudah turun dari gunung iblis?"
"Gunung iblis mereka memangnya berada di dalam pengembaraan yang tidak menentu
tempatnya, di mana orang-orang mereka berada di situlah letak gunung iblis mereka."
"Oleh karena itu gunung iblis mereka sekarang berada di kota Tiang-an."
"Jikalau mereka belum mampus, di dalam jangka waktu 8x8 sama dengan 9 hari, kota
Tiang-an ini akan menjadi kota iblis."
"Hah, kota iblis?"
"Di dalam Mo Kau juga hanya ada dua kelas manusia."
"Apa saja kedua kelas mereka?"
"Kelas pertama adalah murid-murid Mo Kau, kelas ke dua adalah orang-orang yang sudah
mampus."
"Untung rahasia mereka sudah kau bongkar dan kau ketahui."
"Bagi aku, hakekatnya tiada sesuatu yang terahasia di dalam dunia ini."
"Agaknya memang tidak sedikit yang kau ketahui?", ujar Yap Kay.
Bak Kiu-sing tidak menyangkal.
"Aku hanya heran, dari mana kau bisa tahu begini banyak, bukankah kau seorang yang lama
mengasingkan diri?"
"Kau salah!. Semangat keluarga Bak kita bukan keluar dunia, namun masuk dunia, demi
menolong kepentingan orang banyak, murid-murid keturunan keluarga Bak kita takkan segansegan
mengorbankan jiwa raga sendiri untuk menegakkan kebenaran dengan keberanian nan
suci, bijaksana dan tahu cinta kasih."
Yap Kay mengawasi orang, sorot matanya menampilkan perasaan hormat. Kelihatannya
orang ini dingin kaku dan aneh, yang benar hatinya suci, luhur budi dan bajik. Tiada banyak
manusia yang benar-benar sudi berkorban demi kepentingan orang lain, selamanya Yap Kay
paling hormat dan salut terhadap orang-orang macam ini.
Gelap gulita. Kamar itu dipasang pelita.
Biji mata Bak Kiu-sing tetap memancarkan sinar kemilau dari bawah topi rumputnya, namun
sulit ditentukan apakah itu sinar matanya atau cahaya bintang-bintang di mukanya.
Dengan menatap Yap Kay tiba-tiba ia berkata: "Sejak lama akupun sudah tahu akan dirimu."
"Tahu apa tentang diriku?"
"Kau she Yap, bernama Kay."
"Benar! Yap daun dan Kay riang."
"Kau selalu periang?"
"Karena aku jarang memikirkan urusan yang membuat hati duka-lara."
"Khabarnya pisau terbangmu sudah boleh diagulkan nomor satu di seluruh jagat raya"
"Akupun pernah dengar orang bilang demikian, oleh karena itu kesulitan yang selalu melilit
diriku juga nomor satu di seluruh dunia."
Memang tiada orang yang bisa menandingi Yap Kay di dalam menghadapi setiap kesulitan
yang selalu merecoki dirinya.
Bak Kiu-sing diam saja. Lama sekali baru dia bersuara kalem: "Akan datang suatu hari
akupun pasti tahu."
"Tahu apa?"
"Apakah benar pisau terbangmu nomor satu di seluruh jagat?"
"Jikalau kau benar-benar ingin tahu, itu berarti kesulitan bertambah satu lagi."
"Apa kau tidak ingin tahu, benarkah bintangku ini bisa membunuh orang?"
"Aku tidak ingin tahu."
"Kenapa?"
"Karena sekarang kita sudah boleh dianggap teman."
"Mungkin kawanmu sudah terlalu banyak."
"Banyak kawan kurasa lebih baik daripada tidak punya teman sama sekali."
"Mungkin lantaran kawan yang kau kenal terlalu banyak, maka kesulitanpun lebih banyak
dari orang lain. Karena orang yang benar-benar tidak mempunyai kesulitan pun hanya ada satu
saja."
"Orang mati?" tanya Bak Kiu-sing.
Yap Kay manggut-manggut dengan tersenyum.
Sekonyong-konyong 'Blang....' tembok rendah di pekarangan diterjang jebol berlubang
besar, seseorang dengan menggendong ke dua tangan di punggung beranjak masuk pelan-pelan.
(Bersambung ke Jilid-16)
Jilid-16
Bintang masih bercokol di angkasa raya. Sinar bintang yang pudar menyinari muka
orang ini. Muka orang kelihatan memancarkan cahaya hijau. Tiada manusia yang
mukanya bisa memancarkan sinar hijau seperti ini, kecuali dia mengenakan kedok muka
yang terbuat dari tembaga hijau.
Memang orang ini menggunakan topeng tembaga hijau, di bawah pancaran sinar
bintang, kelihatan menyeringai seram dan aneh, menakutkan. Tapi pakaian yang dia
kenakan justru jubah sutra panjang yang tersulam indah. Di pinggangnya terselip tiga
batang golok melengkung, golok sabit pendek. Sarung goloknya yang berwarna putih
pucat penuh ditaburi mutiara dan berlian.
"Nah, sudah datang, akhirnya datang juga." Yap Kay menghela napas, "dia Tolka
atau Putala?"
"Masa kau tidak bisa membedakan?"
Kini Yap Kay sudah melihat jelas, sulaman di atas jubah sutra orang ini
melambangkan gada iblis yang berkuasa.
"Dia Tolka?"
"Mungkin dia bukan Tolka."
"Lho, masih bukan?"
"Duplikat Tolka seluruhnya ada tiga."
Apakah yang dimaksud dengan duplikat? Yap Kay tidak bertanya, kini dia sudah
melihat satu.
Begitu angin lalu menghembus datang, sesosok bayangan orang tampak melayang
masuk dari luar tembok, jubah panjangnya yang tersulam indah itu, dengan topeng yang
menyeramkan pula, demikian pula diikat pinggang terselip tiga batang golok sabit yang
penuh ditaburi batu-batu permata.
Hampir dalam waktu yang sama, dari belakang hutan bambu dan dari bawah payon
rumah di sebelah samping sana muncul lagi dua orang. Dua orang yang mirip satu sama
lain.
Baru sekarang Yap Kay betul-betul melongo. Dia menjublek sekian lama. Sungguh
dia tidak bisa membedakan yang mana satu di antara empat orang ini adalah Tolka yang
tulen.
"Umpama kau dapat membunuh tiga duplikatnya, satu yang tulen itu tetap akan bisa
melarikan diri." kata Yap Kay.
Bak Kiu-sing tertawa dingin, jengeknya: "Setelah kemari jangan harap mereka bisa
pergi."
"Darimana kau tahu bila dia benar-benar datang? Kau bisa membedakannya?"
"Aku tidak bisa membedakannya." Bak Kiu-sing tetap menyeringai dingin, "aku
hanya tahu bahwa dia pasti dan tidak bisa tidak harus datang."
"Kenapa?
"Karena aku di sini."
Yap Kay tidak bertanya lebih lanjut, juga tidak bisa mengajukan pertanyaan lagi.
Dia melihat seorang tengah melangkah dengan menginjak sinar bintang.
Bubuk perak toh juga memancarkan sinar. Setiap langkah kakinya, tanah segera
meninggalkan bekas telapak kakinya yang cetek.
Hanya mengandal tapak kaki ini apakah bisa membedakan betulkah dia ini Tolka
yang tulen?
Akhirnya Yap Kay menghela napas, betapapun dia tidak bisa membedakan.
ooo)O(ooo
Tiga orang mondar-mandir dengan menggendong tangan di pekarangan.
Seorang maju mendekat, juga menggendong tangan. Bukan saja dandanan mereka
sama, sampaipun perawakan badan, gaya dan langkah kaki mereka sama.
Mengandal apa Bak Kiu-sing bisa membedakan mereka?
Tolka akhirnya bersuara: "Ceng-shia Bak Kiu-sing?"
Bak Kiu-sing manggut-manggut.
"Kaukah yang ingin aku kemari?"
Bak Kiu-sing manggut-manggut.
"Sekarang aku sudah datang."
"Menggelindinglah pergi."
"Aku sudah kemari, masakah begitu gampang di suruh pergi."
"Jadi kau ingin mampus di sini?" ancam Bak Kiu-sing.
Jari-jari Tolka sudah menjamah garan sebuah golok sabitnya.
"Sebetulnya tidak setimpal aku turun tangan kepadamu, tapi sekarang............"
"Sekarang kalau kau tidak turun tangan, maka kau akan mati....." kata Tolka.
Di mana sinar golok berkelebat, tahu-tahu goloknya sudah terlolos dari sarungnya.
Golok sabitnya yang putih kemilau itu tahu-tahu sudah bergerak membacok tiga kali
dalam waktu secepat kilat.
Bak Kiu-sing tidak bergerak, ujung jarinya tidak bergeming. Dia sudah melihat
bahwa tiga kali bacokan orang ini hanya gertakan belaka. Tahu-tahu pergelangan
tangan Tolka terbalik, jurus ke empat, tahu-tahu sudah membacok lagi. Sudah tentu
kali ini bukan serangan gertak sambel.
Ujung goloknya memapas sobek ujung topi rumput Bak Kiu-sing yang lebar,
menyerempet turun hanya setengah dim di depan ujung hidung Bak Kiu-sing.
Kelihatannya muka Bak Kiu-sing bakal terbelah oleh bacokan ini. Sayang sekali
samberan ujung goloknya masih terpaut setengah dim.
Ternyata Bak Kiu-sing tetap tidak turun tangan, tanpa bergeming, namun dia
mengerut alis. Sekonyong-konyong sebintik sinar bintang melesat terbang memukul ke
pundak Tolka. Bukannya Tolka tidak berkelit, namun sinar bintang ini datangnya luar
biasa cepat, di luar dugaan lagi.
Begitu dia melihat bintang itu melesat datang, untuk berkelitpun sudah terlambat.
Mendadak dia kertak gigi, tahu-tahu goloknya berputar balik terus menghunjam ke
perutnya sendiri. Darah muncrat bagai air ledeng, pelan-pelan badannyapun roboh
terkapar.
Bak Kiu-sing tetap tidak bergerak, ujung jarinyapun tidak bergeming, namun
sebuah bintang di tengah ke dua alisnya ternyata sudah lenyap. Ternyata tanpa
bergerak, senjata rahasia ini sudah bisa ditimpukkan, cukup asal dia mengerut kening,
orang yang diincar bakal melayang jiwanya.
Yap Kay menghela napas, katanya: "Ternyata benar senjata piranti membunuh jiwa
manusia."
"Tolka yang satu ini palsu." ujar Bak Kiu-sing.
"Kau bisa membedakan?"
Bak Kiu-sing manggut-manggut, katanya dingin: "Kematian orang inipun hanya purapura
saja."
"Ya, aku sendiripun bisa melihatnya," ujar Yap Kay, "golok iblis yang bisa menyurut
mundur sendiri, bukan hanya sekali ini aku melihatnya, namun setiap kali tiada yang
pernah menipuku."
Tawar kata Bak Kiu-sing: "Untuk menipu kau memang tidak gampang."
Tolka yang rebah dengan bercucuran darah ternyata benar-benar hidup kembali.
Mendadak dia melompat bangun seraya mencabut golok yang lain terus menubruk maju.
Tapi goloknya yang sudah terayun ke atas kepala itu sempat dia bacokkan, tahu-tahu
sebintik bintang melesat terbang pula, telah menancap di tenggorokannya. Kembali dia
terpelanting untuk tidak bangun lagi.
Yap Kay tertawa, katanya: "Agaknya kali ini tidak pura-pura lagi."
"Sebetulnya dia tidak perlu mengantar kematian." ujar Bak Kiu-sing.
"Memang tidak setimpal kau turun tangan membunuhnya."
"Tapi aku memang tidak turun tangan."
Memang, ujung jarinyapun tak pernah bergoyang, siapapun takkan bisa melihat jelas
kapan dan cara bagaimana senjata rahasia bintang ini dia lepaskan, oleh karena itu
sudah tentu si korban tak mampu meluputkan diri.
Yap Kay tertawa pula, katanya: "Agaknya yang dikatakan Siangkwan Siau-sian
memang tidak salah."
"Apa yang dia katakan?"
"Katanya, kau adalah salah satu dari tiga orang yang paling menakutkan di dunia ini.
Malah kau adalah orang yang paling ditakutinya."
Dingin suara Bak Kiu-sing: "Memang, tidak salah omongannya."
Di pekarangan sana ada tiga orang tertawa dingin, entah siapa. Tiga orang yang
sama, semuanya menggendong tangan, berdiri di bawah pancaran sinar bintang.
Sorot mata Bak Kiu-sing setajam golok itu menyapu pandang ke arah kaki mereka,
tiba-tiba tatapnya berhenti pada salah satu di antaranya, katanya dingin: "Tidak usah
kau suruh orang lain menjual jiwa bagi dirimu."
"Aku maksudmu?" kata orang itu.
"Ya, kaulah!", jengek Bak Kiu-sing.
Biji matanya bercahaya di bawah topi rumputnya, demikian pula sorot mata orang
itupun bercahaya di balik topeng tembaga hijaunya. Sorot mata ke dua orang bentrok
dan beradu sekeras golok dan pedang.
Orang ini tiba-tiba gelak-gelak, nada tawanya lebih dingin dari ujung golok, lebih
tajam.
"Bagus! Tajam benar pandangan matamu. Cara bagaimana kau bisa membedakan
diriku?"
"Bentuk badan kalian bisa dipalsukan, namun kepandaian di telapak kaki kalian
takkan bisa ditiru."
Berapa tinggi kepandaian silatmu dan meninggalkan bekas telapak kaki sesuai
dengan tingkat kepandaianmu. Semakin tinggi kepandaiannya, semakin cetek dan
samar-samar bekas telapak kakinya. Dan kenyataan ini tak bisa dipalsukan lagi.
Baru sekarang Yap Kay paham kenapa tadi Bak Kiu-sing menaburkan bubuk perak di
pekarangan.
Tolka pun menghembuskan napas dari mulutnya, katanya: "Tak nyana terhadap
kepandaian ilmu perguruan kita, kaupun begitu hapal."
"Thian-mo-cap-sha-tay-hoat di dalam pandanganku, hakikatnya tidak berharga
sepeserpun." jengek Bak Kiu-sing.
"Baik, baik sekali." ejek Tolka tertawa dingin.
Dia ulapkan tangan, dua orang yang lain segera mengundurkan diri.
Tiba-tiba terlihat oleh Yap Kay tangan orang laksana tajamnya golok yang
mengkilap di bawah sinar bintang. Jelas bahwa tangannya itu merupakan senjata ampuh
yang piranti membunuh orang. Memang sesuatu alat yang bisa untuk membunuh. Itulah
senjata tajam. Senjata tajam yang menamatkan jiwa.
Setiap orang Mo Kau pasti membedakan senjata tajam seperti itu yang mampu
menamatkan jiwa musuhnya, karena senjata itu sudah bersatu padu dengan jiwa
raganya. Paling kau hanya bisa merenggut jiwanya, dan di situlah justru letak yang
paling mengerikan dari mereka. Kekuatan jiwa itu, bukankah merupakan kekuatan yang
paling menakutkan di dalam dunia ini?
Yap Kay menghela napas. Dia tahu duel akan terjadi ini akhirnya akan merubah
nasib banyak insan persilatan di kalangan Kang-ouw menghadapi situasi duel sengit
bakal terjadi ini diapun menaruh perhatian besar.
Tapi dia hampir tidak tega untuk menyaksikan lagi, karena diapun tahu untuk
membuat senjata tajam seperti itu, entah berapa keringat, darah dan air mata harus
dikucurkan. Sungguh dia tidak tega menyaksikan kehancuran ini, karena akhir dari duel
seru ini jelas adalah suatu kehancuran, antara hidup dan mati.
Sebelum kehancuran terjadi, suasana biasanya memang tenang tentram. Demikian
pula keadaan pekarangan ini amat hening.
Memang hawa membunuh tidak kelihatan, tak bisa diraba dan tak bisa didengar.
Orang yang bisa merasakan adanya hawa membunuh ini, maka indra dari orang itu
sendiri pasti sudah terlalu tajam.
Mendadak Yap Kay rasakan sekujur badannya menjadi dingin. Rasa dingin yang
meresap ke tulang sumsum, laksana pisau kecil meresap ke dalam tubuhnya. Nah, itulah
hawa membunuh.
Topi rumput itu sudah koyak, namun tetap bercokol di atas kepala Bak Kiu-sing. Yap
Kay tak bisa melihat mimik muka Bak Kiu-sing, tapi dia bisa melihat jelas sorot mata
Tolka.
Kelopak mata Tolka mulai mengerut kecil memicing. Mendadak dia bersuara: "Kini
tinggal aku seorang saja."
Dua orang yang lain memang sudah mengundurkan diri keluar dari pekarangan ini.
"Tapi pihakmu masih ada dua orang."
"Yang berduel hanya ada satu." Yap Kay mendahului menjawab.
"Walau kau tidak turun tangan, kehadiranmu tetap merupakan ancaman juga."
"Kenapa?"
"Karena pisaumu!"
"Pisauku tidak untuk membokong orang."
"Namun asal pisau itu ada, itu sudah merupakan ancaman bagi diriku."
"Jadi kau ingin supaya aku menyingkir?"
"Kau tidak boleh menyingkir."
"Kenapa?"
"Kita bertiga sudah kumpul di sini, sedikitnya harus ada dua orang yang mampus di
sini."
"Setelah kau membunuh dia lalu hendak membunuh aku?"
"Maka kau tidak boleh menyingkir."
"Memangnya kau ingin aku menyerahkan pisauku dulu lalu menunggu ajal di sini?"
"Aku hanya minta kau menerima dua syaratku."
"Boleh kau sebutkan syaratmu."
"Tadi kau katakan kalian pasti tidak akan turun tangan bersama."
"Benar, tadi kukatakan demikian."
"Apa yang kau katakan, aku percaya, kau memang bukan manusia rendah yang
menjilat ludahnya sendiri."
"Terima kasih!"
"Maka jikalau dia masih hidup, pisaumu tidak boleh kau keluarkan."
"Kalau dia mati?"
"Begitu kau melihat sejurus aku berhasil menamatkan jiwanya, kau boleh segera
mengeluarkan pisaumu menyerang aku."
"Bagaimana baru boleh dinamakan sejurus berhasil menamatkan jiwa orang?"
"Asal tanganku berhasil mengenai badannya, itu namanya sejurus berhasil
menamatkan dia."
"Asal tanganmu mengenai badannya, maka dia pasti mampus?"
"Tanganku ini adalah senjata ampuh, alat yang bisa membunuh orang dalam satu
jurus serangan, baru boleh dinamakan senjata tajam."
"Sekarang aku mengerti."
"Kau mau terima syarat ini?"
Yap Kay menatapnya lekat-lekat, sorot matanya menampilkan perasaan aneh, lama
sekali baru dia menarik napas dan berkata pelan-pelan: "Baik, kuterima, karena aku
pernah hutang budi terhadapmu."
Tolka menatapnya juga, lama kemudian diapun bersuara kalem: "Kaupun pernah
hutang budi terhadapku?"
"Kalau aku, tidak melupakan peristiwa tempo hari itu, tentu kaupun takkan
melupakannya."
"Apakah akupun berhutang kepadamu?"
Yap Kay geleng-geleng, katanya: "Oleh karena itu, bila kali ini kau bisa
membunuhku, akupun tidak akan menyalahkan kau."
"Baik sekali, beberapa patah kata-katamu ini aku memang tidak akan melupakan."
seru Tolka. Tiba-tiba dia putar badan menghadapi Bak Kiu-sing, katanya dingin: "Hanya
orang yang harus mampus pertama kali tetap kau!"
Bak Kiu-sing menyeringai, katanya: "Agaknya kau masih melupakan satu hal. Jikalau
aku tidak yakin untuk bisa membunuhmu, masakah aku berani wakilkan dia
mengundangmu kemari."
"Mungkin kau memang ada sedikit keyakinan." ujar Tolka, "sayang kaupun melupakan
satu hal."
"Hal apa yang kulupakan?"
"Tidak seharusnya kau membocorkan rahasiamu sendiri."
"Rahasia apa?"
"Rahasiamu untuk membunuh manusia."
Bak Kiu-sing tertawa dingin, namun tanpa sadar matanya tertuju ke arah mayat
yang menggeletak di tanah.
"Seharusnya tidak perlu kau membunuhnya dengan caramu ini, seharusnya kau
gunakan jurus serangan simpananmu ini menghadapiku."
Tolka gelak-gelak. Siapapun di kala gelak-gelak, semangatnya tempur pasti
mengendor, pertahanan dirinya rada lemah, maka sedikit banyak dia pasti lena. Begitu
dia mulai tertawa, Yap Kay lantas merasakan orang menemukan titik kelemahannya, dan
kelemahan atau kekosongan ini berarti kematian.
Di dalam waktu sekejap itu, tiba-tiba Bak Kiu-sing menubruk maju. Gerak tubuhnya
enteng gesit dan lincah sekali laksana burung walet saja tangkasnya, namun
serangannya justru ganas dan keras laksana paruh burung elang yang tajam dan keras
laksana kilat menyambar. Dia sudah mengincar tepat titik kelemahan Tolka.
Tolka masih tertawa, tapi begitu Bak Kiu-sing menubruk maju, titik kelemahannya
itu tiba-tiba lenyap pada saat-saat segawat itu, lubang kelemahannya itu secara ajaib
sekali tiba-tiba tak kelihatan.
Tahu-tahu tangannya sudah menunggu di sana. Tangan orang lain adalah tangan
biasa, namun tangannya ini adalah senjata ampuh yang mampu membunuh orang.
Begitu menyerang, baru Bak Kiu-sing menyadari sasaran yang diincarnya bukan lagi
titik kelemahan musuh, namun adalah tangan orang yang ampuh.
Tangan Bak Kiu-sing adalah tangan biasa, tiada orang yang mampu mengadu
tangannya secara kekerasan dengan senjata ampuh lawannya. Ingin Bak Kiu-sing
menarik balik jurus serangannya ini, namun sudah tidak keburu lagi, karena
serangannya ini sudah dilandasi seluruh kekuatannya.
Bagitu tangannya mendekati tangan Tolka, seketika terasa adanya hawa membunuh
dingin yang merangsang. Mirip dengan hawa pedang yang teruar keluar dari ujung
pedang.
Tolka tertawa dingin.
Yap Kay malah menghela napas. Diapun tahu, tangan siapapun bila diadu dengan
tangan Tolka, akibatnya pasti suatu tragedi yang mengenaskan. Hampir dia
membayangkan betapa mengenaskan keadaan tangan Bak Kiu-sing yang hancur dan
remuk itu.
Maka terdengarlah 'Plok....' telapak tangan ke dua pihak saling bentrok.
Ternyata tangan Bak Kiu-sing tidak hancur.
Di dalam waktu sesingkat itu, kiranya dia berhasil menarik balik seluruh kekuatan
yang dia salurkan ke ujung tangannya. Agaknya latihannya sudah mencapai tingkat yang
paling sempurna. Dalam saat genting dengan mudah dia bisa meritul balik seluruh
tenaga yang sudah dia kerahkan menurut jalan pikirannya, sehingga serangan derasnya
itu berubah menjadi tepukan ringan belaka, begitu ringannya hampir mirip telapak
tangan orang yang meraba sesuatu. Rabaan tangan sudah tentu tidak akan bisa melukai
orang lain, juga tidak bisa melukai diri sendiri.
Asalkan tenaga yang kau gunakan teramat lemah, umpama kau mengelus atau
meraba pedang yang tajam luar biasapun tidak akan terluka.
Tolka tertegun. Tepukan ringan enteng ini ternyata betul-betul membuatnya
terkejut bukan main seperti dipukul oleh kekuatan gugur gunung. Selamanya belum
pernah dia menerima pukulan orang seringan ini.
Duel antara dua jago kosen, sering kali ditentukan dalam satu gebrakan saja untuk
menentukan siapa menang atau kalah, karena segebrakan ini mengandung ribuan
perubahan, perubahan yang tidak menentu dan aneh.
Letak keanehan dari tepukan tangan Bak Kiu-sing bukan pada gerak perubahannya
yang cepat atau pukulannya terlalu berat. Hanya sejurus dia mampu menundukkan
lawan hanya karena dia turun tangan dengan tepukan ringan.
Yap Kay lagi-lagi menghela napas. Dia anggap apa yang dia saksikan merupakan
peristiwa besar dan pengalaman yang takkan terlupakan seumur hidupnya. Baru
sekarang dia benar-benar mengerti perubahan, keanehan, dan intisari suatu ilmu silat.
Memang luar biasa sekali, sulit dijajaki dan selamanya takkan ada batasnya.
Di saat-saat Tolka tertegun, meski hanya sekilas saja, tahu-tahu telapak tangan
Bak Kiu-sing sudah menyisir naik menggesek punggung tangannya, tahu-tahu
mencengkeram pergelangan tangannya, kembali hatinya tercekat, namun ia tidak
menjadi gugup, sebelah tangannya yang lain tahu-tahu menyelinap balik dari bawah ke
atas, dengan keras menabas ke sikut Bak Kiu-sing. Tapi kembali dia melupakan satu hal,
bila pergelangan tangan orang, di mana Hiat-to penting badannya tercengkeram oleh
musuh, walau kau membekal tenaga raksasapun takkan mampu dikerahkan lagi.
Yap Kay sudah mendengar suara tulang berkeretekan remuk, bukan tulang tangan
Bak Kiu-sing, tapi tulang tangan Tolka.
Tolka menjerit kaget: "Kau........"
Hanya sepatah kata. 'Kau' itulah kata-kata terakhir dari hidupnya, karena tahutahu
sebuah bintang sudah berada di tenggorokannya. Sebuah bintang yang dapat
merenggut jiwa manusia.
Tiada suara, hening lelap, suara lirihpun tak terdengar, sampai anginpun seperti
berhenti.
Tolka roboh di antara genangan darah sendiri, begitu badannya terkapar di tanah,
badannya seketika lantas seperti mengkeret kering, tak ubahnya karet yang
kepanasan.
Peduli dia seorang Eng-hiong, pahlawan gagah perkasa di masa hidupnya ataukah
gembong iblis, kini tidak lebih dia hanya mayat yang bergelimang di antara ceceran
darahnya belaka.
Orang mati tetap orang mati. Andaikata ada manusia yang paling ditakuti di jagat
ini, setelah dia mati keadaannya tidak akan berbeda dengan manusia mati umumnya.
Hanya satu yang tidak, yaitu tangannya. Di bawah sinar bintang yang guram,
tangannya masih kelihatan mengkilap, seakan-akan sedang menantang dan unjuk
kegarangan terhadap Bak Kiu-sing.
'Walau kau membunuhku, menghancurkan aku, tetap kau tidak bisa menghancurkan
tanganku ini. Sepasang tanganku tetap merupakan senjata terampuh yang tiada
tandingannya di seluruh jagat.'
ooo)O(ooo
Tetap tidak menyalakan lampu.
Bak Kiu-sing berdiri di bawah bintang-bintang, berdiri tanpa bergeming. Setelah
berduel, walau dia sebagai pihak pemenang, tetap dia akan merasakan kehampaan yang
tak bisa dilimpahkan dengan perasaan atau kata-kata. Demikianlah keadaannya. Lama
sekali baru dia berpaling.
Yap Kay tengah menghampiri.
Bak Kiu-sing mengawasinya, tiba-tiba bertanya: "Kau tidak ingin membuka
topengnya?"
"Kukira tak perlulah." ujar Yap Kay menghela napas.
"Kau sudah tahu siapa dia sebenarnya?"
"Aku kenal tangannya itu." ujar Yap Kay.
Tangan yang memancarkan cahaya.
Mengawasi sepasang tangan itu, tak urung Yap Kay menghela napas pula: "Memang
tangannya ini merupakan senjata ampuh yang tiada bandingannya di kolong langit."
Selamanya takkan ada tangan seampuh itu dalam dunia ini.
Bak Kiu-sing berkata tawar: "Sayang sekali betapapun sesuatu alat senjata itu
menakutkan, dia sendiri toh tidak mampu membunuh manusia."
Yap Kay mengerti kemana juntrungan kata-kata ini.
Yang membunuh orang memang senjata, tapi yang membunuh adalah manusia.
"Apakah senjata itu menakutkan?" ujar Bak Kiu-sing, "yang penting harus dipandang
dulu di tangan siapa senjata ampuh itu."
Sudah tentu Yap Kay pun maklum akan lika-liku hal ini.
"Jikalau jurus seranganku tadi sedikit menggunakan tenaga lagi, kemungkinan sekali
tanganku sudah dia hancurkan."
Yap Kay manggut-manggut, katanya: "Ya, mungkin sekali!"
"Tapi seranganku itu terlalu enteng, dan di situlah letak kunci kemenanganku."
"Permainanmu tadi memang hebat dan menakjubkan." puji Yap Kay sambil tertawa
getir.
"Kunci kalah menang bagi seorang tokoh kosen dalam menghadapi musuh tangguh
ada kalanya justru terletak pada jurus-jurus permulaannya itu."
Yap Kay diam menepekur, tiba-tiba dia membongkok badan merenggut topeng yang
dipakai di muka Tolka.
"Katanya kau sudah tahu siapa dia, kenapa masih ingin melihat mukanya juga?"
tanya Bak Kiu-sing, "orang mati masakah elok dipandang?"
"Tapi aku memang ingin melihatnya. Sebelum dia ajal, apakah diapun tahu akan likaliku
ini?"
Topeng tembaga hijau, kelihatan memancarkan sinar mengkilap di bawah cahaya
bintang nan guram.
Muka Lu Di pun kelihatan membesi hijau, namun sudah mengkeret berkeriput. Pada
sorot matanya yang melotot keluar, penuh diliputi rasa kaget, takut dan tidak percaya.
Kiranya sampai mati dia tetap tidak percaya akan satu hal. Suatu hal apa?
Yap Kay berkata sambil menghela napas: "Sampai mati agaknya dia tetap tidak
percaya bila kau mampu membunuhnya."
Bak Kiu-sing menyeringai lebar, katanya dingin: "Justru karena dia tidak percaya,
maka dia bisa mati."
"Ada kalanya seseorang memang sulit untuk memahami sesuatu hal sampai dia
ajal......."
Masih ada sebuah hal yang masih belum dimengerti oleh Yap Kay.
"Kalau Tolka ternyata adalah Lu Di, lalu siapakah sebenarnya Putala alias Hu-hongthian-
ong itu?
ooo)O(ooo
Mayat sudah digotong pergi, tapi kamar itu masih belum dipasangi lampu.
"Setiap malam, kaupun tidak pernah memasang lampu?" tanya Yap Kay.
"Kenapa harus pasang lampu?" Bak Kiu-sing balas bertanya.
Lucu benar pertanyaan ini sampai Yap Kay melongo dibuatnya. Katanya kemudian
menyengir: "Setiap orang setelah malam tiba, pasti pasang lampu, setelah ada
penerangan baru bisa jelas melihat banyak yang dapat kita lihat."
"Tanpa pasang lampu, aku tetap juga bisa melihat jelas." jawab Bak Kiu-sing,
lanjutnya: "Sembarang waktu kau boleh pergi, aku tidak menahanmu.
Yap Kay tertawa, katanya: "Tapi kau kan juga tidak mengusirku?"
"Aku tidak perlu mengusirmu."
"Tidak perlu?"
"Bila saatnya tiba kau harus pergi, masakah kau akan tinggal di sini?"
"Kira-kira kapan baru tiba saatnya aku harus pergi?"
"Setelah kau menemukan Hu-hong?"
Bercahaya mata Yap Kay, tanyanya: "Kau juga tahu siapa sebenarnya Hu-hong?"
Bak Kiu-sing tidak menjawab, dia malah balas bertanya: "Selama ini kau mengira Lu
Di adalah Hu-hong-thian-ong?"
"Karena dia memang laki-laki yang tinggi hati, congkak dan sombong!"
"Sekarang kau sudah berani memastikan bahwa dia bukan Hu-hong?"
"Hu-hong sudah terluka, sebaliknya Lu Di tidak."
Tadi Yap Kay sudah memeriksa mayat Lu Di dengan seksama, satu-satunya luka
yang mematikan di badan Lu Di adalah serangan telak yang ditinggalkan oleh Bak Kiusing.
"Kau yakin benar bahwa Hu-hong sudah terluka?"
"Ada orang dengan mata kepalanya sendiri menyaksikan."
"Siapa yang menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri?"
"Seseorang yang pasti boleh dipercaya."
"Agaknya tidak sedikit orang-orang yang kau percayai."
"Aku tahu, memang itulah ciri khasku, sayang sekali, aku selalu tidak bisa
merubahnya."
Bak Kiu-sing tidak bicara lagi. Walau topinya sudah koyak, namun tetap masih bisa
menutupi selebar mukanya, siapapun tetap tidak bisa melihat mimik mukanya, atau
mungkin memang mukanya tidak menunjukkan perubahan perasaan hatinya?
Tak tahan Yap Kay bertanya: "Kenapa kau masih kenakan juga topimu yang robek?"
"Karena di luar masih ada anjing menyalak."
Yap Kay melengak, ujarnya: "Anjing menyalak di luar, apa sangkut pautnya dengan
topi yang kau pakai?"
"Aku pakai tidak topiku, apa pula sangkut pautnya dengan kau?"
Yap Kay tertawa geli. Tiba-tiba dia merasakan kelihatannya orang ini pendiam atau
tidak suka bicara, yang benar dia adalah orang yang pandai bicara, kalau mau bicara,
kadang-kadang malah bisa menyumbat mulut orang, sehingga bukan saja orang tidak
mampu mendebat, orangpun segan mengajukan pertanyaan lebih lanjut.
Tapi Yap Kay justru masih punya banyak persoalan yang perlu dia utarakan, maka
dia terpaksa harus bertanya pula. Sementara Bak Kiu-sing sedang mengikat tali di atas
paku. Betul juga dia lompat di atas tali dan merebahkan diri. Dia benar-benar tidur
enak dan nyaman di atas seutas tali. Di kala tidur, dia tetap menggunakan topinya itu.
Karena kamar itu memang kosong melompong, terpaksa Yap Kay berdiri saja. Sambil
lalu dia buka suara ajak mengobrol: "Khabarnya, Ceng-shia adalah salah satu dari 36
gua dari To-keh (Taoisme). 'Gua langit, bumi bahagia'. Pemandangannya indah permai
luar biasa."
Bak Kiu-sing diam saja.
"Tempat di mana kalian mengasingkan diri, tentu merupakan taman Firdaus di dalam
bilangan dunia lain, entah kapan aku punya rejeki besar bisa berkunjung dan tamasya
ke sana."
Bak Kiu-sing tetap tidak perdulikan ocehannya.
"Kabarnya belum pernah dia ada orang luar pernah masuk ke sana, kalianpun
selamanya tak pernah berhubungan dengan dunia luar, namun sekali kau muncul di dunia
ramai ini, langsung kau bisa menemukan Tolka. Kepandaianmu memang luar biasa."
Bak Kiu-sing pejamkan mata, napasnya menggeros, seakan-akan sudah pulas.
Namun Yap Kay belum putus asa, tanyanya: "Darimana kau bisa tahu bahwa Tolka
adalah Lu Di? Cara bagaimana pula kau bisa menemukan dia?"
Tiba-tiba Bak Kiu-sing membalikkan badan, lompat turun terus beranjak keluar
dengan langkah lebar.
Sudah tentu Yap Kay ikut keluar di belakangnya, tanyanya: "Kau hendak kemana?"
"Mencari sesuatu."
"Apa yang kau cari? Apakah mencari Putala? Kau bisa temukan dia?"
"Barang yang kucari, bila kau mau, boleh aku bagi separo untuk kau."
"Kemana kau hendak mencarinya?"
"Di tempat ini saja."
"Barang apa yang dapat kau temukan di sini?"
Bak Kiu-sing tidak banyak mulut lagi, namun dia merogoh keluar sebuah botol kayu
kecil lainnya. Botol itu berisi bubuk atau puyer juga, namun berwarna kuning gelap.
Puyer kuning itu dia taburkan di atas tanah dengan sebuah lingkaran, namun ada
sebagian garis lingkaran yang dia kosongkan. Lalu dia menyingkir ke samping menunggu
sambil berpeluk dada.
Yap Kay tidak mengerti, tanyanya: "Apa sih yang kau kerjakan?"
"Aku sedang bikin makanan."
"Bikin makanan?"
"Setiap orang kan harus makan, aku inipun manusia biasa."
Yap Kay ingin bertanya lagi, tapi tiba-tiba dilihatnya di pekarangan luar ada cahaya
lampu.
Tampak seorang Hweshio tinggi kurus, tangan kiri menenteng lampion, tangan kanan
menyanggah nampan kayu, dari luar dia melangkah masuk ke pekarangan. Mukanya
masih menunjuk rasa takut, ragu-ragu, ingin maju namun tidak berani. Hwesio ini
ternyata Goh-cu.
"Untuk apa kau kemari?" Bak Kiu-sing menegur.
"Aku mengantar barang-barang ini."
"Barang apa?"
Goh-cu acungkan nampan kayu di tangan kanan, katanya: "Mayatnya sudah
kumandikan dan masukkan ke dalam peti. Inilah barang-barang yang ku keluarkan dari
kantong bajunya, semuanya ada di sini."
"Kau Hweshio ini kiranya jujur juga." jengek Bak Kiu-sing.
Goh-cu tertawa dingin, katanya: "Ada kalanya Hwesio memang ada yang tamak,
namun dia tetap tidak akan berani melalap barang-barang milik orang yang sudah mati."
Pelan-pelan dia maju mendekat. Setelah meletakkan nampan kayu, tersipu-sipu dia
berlari keluar.
Hweshio memang selalu takut kesulitan, namun dia tidak suka mencampuri urusan
orang lain.
Yap Kay berkata: "Agaknya seseorang, asal sudah menjadi Hwesio, ingin tidak
jujurpun tidak bisa lagi."
"Oleh karena itu, lekaslah kau cukur rambutmu menjadi Hwesio, setelah jadi
Hwesio, sedikitnya kau bisa hidup berusia lebih tua."
ooo)O(ooo
Di dalam nampan itu terdapat lima golok sabit, sebuah lencana kemala, delapan
butir mutiara dan sepucuk surat yang sudah terbuka sampulnya.
Di atas lencana itu ada diukir sebuah tongkat kebesaran pertanda kekuasaan.
Setiap Su-toa-thian-ong dari Mo Kau pasti membawa sebuah lencana tanda pengenal
kedudukan dan simbol kebesarannya.
Semua itu tidak perlu dibuat heran, yang aneh adalah sampul suratnya. Surat itu
ditulis dengan darah, hanya ada puluhan huruf saja yang kira-kira berbunyi demikian:
TENGAH HARI TANGGAL 3 MASUK TIANG-AN. BERTEMU DI WAN-PING-BUN.
HARAP DITUNGGU.
Dibawah surat tidak ada tanda tangan penulisnya, hanya dilukis sebuah gambar
puncak gunung. Puncak tunggal alias Hu-hong.
Yap Kay pelan-pelan menghela napas, katanya: "Pastilah surat-surat Hu-hong yang
ditujukan kepada Tolka, dia minta supaya Tolka menunggunya di Wan-ping-bun."
"Besok adalah tanggal 3."
"Apa besok dia betul-betul datang?"
Yap Kay ragu-ragu.
"Sudah tentu datang, dia kan belum tahu bahwa Tolka sekarang sudah ajal."
"Sekarang di mana dia? Apakah di sana tiada tinta bak atau alat lainnya? Kenapa
dia menulis surat dengan air darah?"
"Surat darah biasanya mempunyai dua arti." ujar Bak Kiu-sing.
"Dua arti bagaimana?"
"Surat terakhir yang merupakan pesannya sebelum ajal, atau menandakan bahwa
keadaannya teramat gawat dan perlu segera ditolong."
Tiba-tiba Yak Kay tertawa, katanya: "Mungkin lantaran dia terluka, bukankah ada
darah yang mengalir dari luka-lukanya?"
"Orang-orang Mo Kau bila menulis surat darah, biasanya tidak pernah pakai darah
sendiri."
"Kau kira surat ini tulen?"
"Pasti tidak salah."
"Darimana kau begitu yakin?"
Bak Kiu-sing tutup mulut.
Pada saat itulah dari luar hutan bambu sana tiba-tiba terdengar suara berisik yang
aneh kedengarannya. Suatu suara yang tidak bisa dilukiskan dan tidak enak
didengarkan. Luar biasa. Siapapun yang mendengar suara ini pasti berdiri bulu
romanya, seram dan giris, malah mungkin ada yang muntah-muntah pula.
Apa yang dilihat oleh Yap Kay justeru lebih menakutkan lagi dari suara itu.
Mendadak dilihatnya entah berapa banyaknya ular-ular beracun, cecak, kelabang dan
binatang-binatang beracun lainnya yang besar kecil tidak merata, ogat-oget merayap
masuk dari luar hutan, langsung memasuki lingkaran bubuk kuning yang dibuat Bak Kiusing.
Serasa mual dan mengkeret perut Yap Kay, namun sedapat mungkin dia bertahan
diri, tanyanya: "Inilah makanan yang kau buat?"
Bak Kiu-sing manggut-manggut, gumamnya: "Untuk makanku seorang sudah cukup,
kalau untuk dua orang, jadi kurang banyak."
"Untuk dua orang?" teriak Yap Kay, "siapa lagi yang akan kemari?"
"Tiada orang lagi, biasanya aku jarang mentraktir orang."
"Sekarang hanya kau seorang saja."
"Apa kau bukan manusia?"
Bergidik Yap Kay dibuatnya, katanya menyengir kecut: "Makanan seenak ini biarlah
kau makan sendiri saja. Maaf, aku tidak mengiringi kau."
"Kau tidak sudi ikut menikmati makananku?"
"Aku.....aku masih ada janji, aku akan makan di luar saja. Setelah kenyang nanti, aku
kembali."
Selama hidupnya belum pernah dia digebah lari oleh orang dengan ketakutan
seperti itu, namun sekarang dia lari tidak kalah cepatnya dengan kelinci yang
ketakutan.
Bak Kiu-sing tertawa gelak-gelak, katanya:" Kalau di luar kau kurang kenyang, boleh
kau kembali makan nyamikan. Aku sediakan dua ekor kelabang yang gemuk-gemuk untuk
kau."
Yap Kay sudah lompat keluar dari pagar tembok, tanpa menoleh lagi dia pergi.
Pertama kali inilah dia mendengar gelak tawa Bak Kiu-sing dari kejauhan, namun
juga yang terakhir.
ooo)O(ooo
Warung nasi itu kecil, namun bersih.
Hari sudah gelap gulita, saat makan sudah lewat sejak tadi, maka kecuali Yap Kay,
warung nasi itu tiada orang lain.
Yap Kay memesan dua macam sayuran dan sepoci arak. Sebetulnya dia tidak ingin
minum arak. Mungkin secangkir arak masuk ke perutnya bisa menimbulkan kenangan
pahitnya dan arak itu akan bercucuran berubah air mata. Sekarang bukan saatnya
berduka, umpama ingin sedih hati, asalkan persoalan yang dihadapi sudah lalu.
Sayang sekali seseorang bila dia berusaha menekan perasaannya dengan paksa, di
kala kau tidak minum arak, kau malah semakin besar hasratmu untuk minum dua tiga
cangkir.
"Aku hanya minum dua cangkir saja," demikian dalam batin dia memperingatkan
dirinya, tak boleh lebih banyak, malam masih cukup panjang, besok mungkin merupakan
hari-hari yang paling sulit bagi dirinya.
Tapi setelah dua cangkir arak masuk perutnya, lantas dia merasakan banyak
persoalan dalam dunia ini hakikatnya tidak segenting seperti apa yang barusan dia
bayangkan. Oleh karena itu dia menambah dua cangkir lagi.
Mendadak teringat olehnya akan Ting Hun-pin, kalau Ting Hun-pin berada di sini,
pasti akan mengiringi dia minum arak juga. Sering mereka berada di warung kecil
seperti ini, minum dua cangkir dengan beberapa butir kacang goreng, menikmati malam
nan tenang dan damai. Waktu itu dia selalu merasa kehidupan seperti terlalu tawar dan
basi, terlalu tenang, namun baru sekarang dia menyadari akan kesalahan dirinya. Baru
sekarang dia benar-benar merasakan menyadari ketenangan itu berarti kebahagiaan.
Kenapa setelah manusia kehilangan kebahagiaan baru menyadari, apakah
kebahagiaan itu sebenarnya?
Angin dingin. Malam semakin larut. Di malam musim dingin nan dingin membeku ini
seorang gelandangan yang kesepian, mungkinkah tidak akan mabuk?
Sunyi senyap. Bagi seseorang yang benar-benar sudah mengecap kebahagiaan, sunyi
sepi tidak perlu ditakuti, malah kadang-kadang dianggapnya merupakan suatu
kenikmatan. Tapi setelah kebahagiaan itu lenyap, dia akan mengerti kesepian itu adalah
suatu yang amat menakutkan.
Yap Kay tengah merasakan kesakitan seperti ulu hatinya disayat-sayat. Jikalau
mendadak dia mendengar jeritan keras yang mengerikan dari luar, dia pasti bisa
mabuk, karena dia sudah tidak bisa mengendalikan diri lagi. Namun di saat cangkir ke
tujuh sudah dia angkat, di tengah hembusan angin dingin itulah, tiba-tiba kumandang
jeritan yang menyayat hati.
Jeritan itu kumandang dari arah Cap-hong-cu-lim-si. Warung nasi ini terletak di
belakang Cap-hong-cu-lim-si. Begitu jeritan itu kumandang, laksana anak panah segera
Yap Kay melesat keluar.
Maka dia melihat dua orang. Dua orang mati, seperti karung kosong yang
dicantelkan di atas pagar, jubah sutra bersulam, dengan topeng tembaga menutup
muka. Kedua mayat itu adalah duplikat Tolka.
Yap Kay menghela napas lega. Bukan dia tidak simpati dan kasihan, tapi terhadap
kedua orang ini, memang dia tidak perlu merasa iba.
Mereka sudah pergi? Untuk apa pula kembali? Kalau mereka kembali, sudah tentu
Bak Kiu-sing tidak akan biarkan mereka hidup. Hal ini tidak perlu dibuat heran dan
kaget.
Yap Kay hanya menghela napas saja, namun setelah dia melihat seorang lagi adalah
Bak Kiu-sing, baru dia benar-benar terkejut luar biasa. Sungguh tidak pernah terpikir
olehnya, bahwa Bak Kiu-sing kinipun adalah seorang yang sudah melayang jiwanya.
ooo)O(ooo
Tetap tiada penerangan di dalam pekarangan ini.
Bak Kiu-sing rebah di pekarangan yang gelap, badannya meringkel, menyusut
mengecil seperti trenggiling.
Yap Kay benar-benar melongo dan menjublek.
Dia tahu dua orang yang mati di atas tembok itu karena termakan oleh serangan
Bak Kiu-sing, namun dia tidak habis mengerti bagaimana Bak Kiu-sing sendiripun bisa
mati. Dia pernah saksikan ilmu silat Bak Kiu-sing.
Seorang tokoh silat kalau dia sudah mampu mengerahkan Lwekang-nya sesuai
dengan jalan pikirannya, tidaklah mudah orang bisa membunuhnya. Apalagi Bak Kiu-sing
cukup tabah, tenang dan berani, jarang ada orang yang bisa menandingi dia.
Siapakah yang membunuhnya? Siapa pula yang mampu membunuhnya?
Yap Kay berjongkok memeriksa. Topi rumput masih di atas kepalanya, namun
sekarang dia sudah tidak bisa merintangi orang menanggalkannya.
Begitu topi orang terangkat, Yap Kay lantas melihat seraut muka coklat gelap. Kulit
mukanya sudah mengkeret berkeriput, berubah dari bentuk asalnya, jelas dia mati
lantaran keracunan. Lalu siapakah yang meracuni dia?
Tanpa bergeming Yap Kay berdiri di tempatnya. Angin dingin setajam pisau
menyampok mukanya. Akhirnya dia mengerti kenapa jiwa Bak Kiu-sing melayang, namun
dia tetap tidak mengerti, kenapa Bak Kiu-sing selalu mengenakan topi rumputnya ini.
Topi rumput ini tiada keistimewaannya. Demikian pula muka Bak Kiu-sing, tiada
sesuatu yang perlu dirahasiakan dan pantang dilihat oleh Yap Kay, kecuali beberapa
buah bintang-bintang di mukanya, diapun seperti manusia awam lainnya, bersahaja.
Cuma kerut mukanya jauh lebih tua dari apa yang dibayangkan Yap Kay.
Seorang biasa dan topi yang biasa pula. Tapi apakah diantara yang biasa ini ada
terselip sesuatu rahasia yang luar biasa?
Pelan-pelan Yap Kay teruskan topi rumput itu menutupi muka Bak Kiu-sing, katanya
seorang diri: "Kenapa kau tidak meniru orang lain yang suka makan daging sapi?
Sedikitnya daging sapi tidak akan meracunmu sampai mampus."
ooo)O(ooo
Jenazah Bak Kiu-sing pun sudah diangkut ke belakang dan dibereskan.
Goh-cu merangkap kedua telapak tangannya di depan dada, katanya menghela
napas: "Cuaca silih berganti tak menentu, manusia selalu dipermainkan rejeki dan
elmaut, semogalah sang Buddha maha pengasih melindungi umatnya. Omitohud."
Mulutnya komat-kamit memanjatkan doa, namun mukanya sedikitpun tidak
menunjukkan duka cita. Agaknya sedikitpun dia tidak simpati akan kematian Bak Kiusing.
Yap Kay tertawa, katanya: "Orang beribadah kok mengutuk orang malah?"
"Siapa yang mengutuk orang?" tanya Goh-cu.
"Siapa lagi, kau!"
"Orang beribadah harus berhati bajik dan ikut berduka bagi kematian umatnya,
tapi aku memang tidak merasa duka untuknya."
"Kau Hwesio ini memang cerewet, namun apa yang kau katakan agaknya jujur juga."
"Bicara terus terang, jikalau karena aku ini sudak cerewet, sekarang aku sudah
diangkat menjadi ketua di dalam Tay-siang-kok-si ini."
Yap Kay tertawa. Rasanya bukan saja Hwesio ini tidak mirip orang beribadah,
diapun rada lucu.
Goh-cu tengah membaca mantram pula, mungkin mendoakan arwah Bak Kiu-sing
mendapat tempat di sisi Thian.
Tak tahan akhirnya Yap Kay mengganggu mantramnya: "Hanya kau seorang saja
yang mengurusi sembahyangan?"
"Hwesio yang lain sudah tidur. Tempat ini memang biara pemujaan, tapi orang yang
sembahyangan di sini terlalu sedikit. Para Sicu yang sudi kemari, kebanyakan hanya
untuk membayar kaul dan makan masakan tidak berjiwa, lihat-lihat pemandangan
belaka."
Dengan menghela napas dia menambahkan, "Terus terang, biara di sini tidak
ubahnya dengan sebuah rumah penginapan belaka."
Yap Kay tertawa pula, tiba-tiba dia bertanya: "Tahukah kau kenapa dia mati?"
Goh-cu geleng-geleng kepala.
"Lantaran kau cerewet, maka dia mati!"
Berubah muka Goh-cu, katanya menyengir: "Sicu tentu sedang menggoda aku."
"Aku tak pernah berkelakar di hadapan orang mati."
"Apakah Sicu tidak bisa melihatnya, dia mati keracunan."
"Jadi kau bisa melihatnya?"
"Ular-ular yang ada di sini kebanyakan beracun, apalagi masih ada kelabang,
kalajengking."
"Ada sementara orang sejak dilahirkan memang sudah berani makan Ngo-tok (Lima
racun), betapapun beracunnya ular itu takkan bisa membuatnya mati keracunan."
"Tapi kecuali binatang-binatang beracun yang dia tangkap sendiri, dia tidak pernah
makan barang lain."
"Kalau binatang-binatang berbisa itu hasil tangkapannya sendiri, kenapa setelah
dimakan membuatnya mati keracunan malah?"
Goh-cu melongo, gumamnya: "Agaknya kejadian ini memang rada ganjil."
"Sebetulnya hal ini tidak perlu di buat heran."
Goh-cu tidak mengerti.
"Dia memang mati keracunan oleh binatang-binatang beracun itu, namun lantaran
badan binatang beracun itu dilumuri racun lain yang tak kuat ditahannya."
"Lalu siapa yang meracun dia?"
"Dua orang yang mampus di atas tembok itu."
"Lalu apa sangkut pautnya dengan cerewetku?"
"Sudah tentu ada sangkut pautnya. Bila kau tidak cerewet, orang lain takkan tahu
kalau dia biasa makan Ngo-tok."
Memang, jikalau orang lain tidak tahu yang dia makan hanya Ngo-tok, bagaimana
mungkin mereka melumuri jenis racun lain di atas binatang-binatang beracun itu.
Goh-cu kelakep.
"Kedua orang yang menaruh racun ingin membuktikan apakah dia betul-betul
keracunan, tak kira sebelum dia ajal, dia masih mampu turun tangan menuntut balas
kematiannya sendiri".
Penjelasan ini memang masuk akal.
"Orang seperti dia ini," ujar Yap Kay lebih lanjut, "siapapun bila bersalah
terhadapnya, perduli dia hidup atau sudah mati, tetap tidak akan membiarkan orang
hidup."
Goh-cu mengguman: "Di kala hidup adalah manusia galak, setelah mati tentu jadi
setan jahat."
"Oleh karena itu kau harus selalu hati-hati," Yap Kay memperingatkan.
Berubah muka Goh-cu, katanya tergagap: "Aku........apa yang harus ku jaga?"
Yap Kay menatapnya, katanya pelan-pelan: "Hati-hatilah bila mendadak dia
melompat keluar dari layonnya, memotong lidahmu, supaya selanjutnya kau tidak
cerewet lagi."
Semakin buruk muka Goh-cu, tiba-tiba dia putar badan seraya berkata: "Kepalaku
pusing sekali, aku ingin segera tidur saja."
"E, eh, jangan kau pergi!" Yap Kay menahannya.
Kelihatannya Goh-cu amat kaget, tanyanya: "Kenapa?"
"Kalau kau pergi, siapa yang akan menyembahyangkan arwahnya ke alam baka?"
"Dia tidak memerlukan sembahyangan, orang seperti dia terang akan masuk ke
neraka."
Sinar lampu minyak kelap-kelip. Ruang sembahyangan itu diliputi suasana seram nan
dingin dan menggiriskan. Di tengah keremangan malam di dalam biara itu, seolah-olah
ada setan-setan jahat yang gentayangan, tengah menunggu orang untuk memotong
lidahnya.
Sekejappun Goh-cu sudah tak berani menunggu lagi, sampai kayu pemukul Bokhi di
tangannyapun lupa diletakkan, cepat-cepat dia putar badan terus lari keluar, waktu
tiba di ambang pintu, hampir saja terjerembab jatuh kesandung palang pintu.
Yap Kay mengawasi orang berlari keluar. Sorot matanya tiba-tiba menunjukkan
perasaan aneh. Orang beribadah lazimnya tidak takut setan, kecuali dia pernah
melakukan perbuatan yang menakutkan hatinya sendiri.
Memangnya perbuatan tercela apa yang pernah dia lakukan? Apa benar dia takut
setan? Atau takut lainnya?
ooo)O(ooo
Lima peti mati diplitur baru berderet di tengah ruang sembahyang.
Yap Kay masih belum pergi. Dia tidak takut setan, dia tidak pernah melakukan
perbuatan tercela.
Dia berdiri di tengah hembusan angin lalu, mengawasi ke lima peti, mulutnya
mengguman: "Biara ini jarang mengadakan upacara bagi arwah-arwah yang meninggal,
namun peti-peti mati yang disimpan di sini tidak sedikit jumlahnya. Apakah para
Hwesio di sini sebelumnya sudah meramalkan bahwa malam ini akan banyak orang mati
di sini?"
Suaranya amat lirih, karena dia tahu semua persoalan ini tiada orang yang bisa
mencari jawaban. Memang dia bicara untuk di dengar sendiri.
Pada saat itulah tiba-tiba Goh-cu berlari masuk pula dari luar. Mulutnya terpentang
lebar, menjulurkan lidah seakan-akan ingin berteriak, namun suaranya tidak keluar.
Tiba-tiba didapati oleh Yap Kay bukan saja roman mukanya sudah berubah, warna
lidah dan bentuknyapun sudah berubah, menjadi hitam legam. Jarinya menuding
lidahnya sendiri, seperti mau bicara dengan Yap Kay,. Namun tidak kuasa bicara.
Yap Kay segera memburu maju, setelah dekat baru dilihatnya di atas lidahnya itu
ada bekas gigitan ular beracun.
Lidahnya berada di dalam mulut, lalu bagaimana cara ular bisa menggigit lidahnya?
Apakah di sini benar-benar ada setan jahat yang ingin menyumpal mulutnya?
Tiba-tiba Goh-cu mengeluarkan sepatah kata: "Pisau......pisau...."
"Kau ingin supaya aku mengiris lidahmu dengan pisauku?" tanpa merasa Yap Kay
merinding sendiri waktu bicara.
Dilihatnya lidah Goh-cu semakin membengkak besar, napasnyapun semakin
memburu, mendadak dia kerahkan seluruh tenaganya menggigit sekeras-kerasnya.
Sepotong lidahnya seketika tergigit putus dan darahpun muncrat. Darahnyapun sudah
berwarna hitam.
Akhirnya Goh-cu mampu menjerit ngeri, tapi tiba-tiba jeritannya terputus. Pelanpelan
dia tersungkur jatuh. Sebelum ajal, ternyata dia menggigit putus lidahnya
sendiri.
Hweshio yang cerewet ini entah mati atau masih hidup, selanjutnya tidak akan
cerewet lagi.
ooo)O(ooo
Angin semakin dingin.
Yap Kay malah melangkah menyongsong hembusan angin. Keringat dingin yang
membasahi badannya lekas sekali menjadi butiran es.
Sungguh diapun tak berani lama-lama tinggal di biara itu. Bukan dia takut kepada
setan, tapi biara itu seperti menyembunyikan sesuatu yang menakutkan.
Sayup-sayup terdengar suara kentongan dari kejauhan. Kentongan ketiga.
Sudah tidak kelihatan lampu menyala di dalam kota tua yang sudah kelelap di
selimuti tabir malam. Di manapun kau sampai, kegelapan melulu yang menyambut
kedatanganmu.
Kalau di musim panas, mungkin di malam selarut ini masih gampang orang mencari
tempat untuk mengisi perut dan memanaskan badan dengan arak keras. Sayang sekali
saat itu musim dingin. Mungkin karena kesulitan mencari minuman, selera Yap Kay
bertambah besar. Ingin benar dia minum dua cangkir.
Dengan menghela napas dia keluar dari jalanan itu, dia jadi kebingungan sendiri,
entah ke arah mana dia harus pergi, sampaipun tempat untuk tidurpun tiada lagi bagi
dirinya.
Pada saat itulah tiba-tiba didengarnya seseorang berkata sambil tertawa: "Aku
tahu suatu tempat di mana kau bisa memperoleh arak. Kau mau ikut tidak?"
Walau ada sinar bintang, namun jalanan tetap gelap. Orang itu melambaikan lengan
bajunya yang tertiup angin beranjak ke depan.
Yap Kay mengintil di belakangnya. Orang di depan itu tidak pernah berpaling. Yap
Kay pun tidak bertanya, diapun tidak memburu dekat. Langkah orang di depan tidak
terlalu lebar atau cepat, namun dia cukup hapal akan seluk-beluk jalanan di sini.
Yap Kay mengikuti langkah orang, putar sana, belok sini beberapa kali, arahnya
sampai sudah tidak tertentu lagi. Akhirnya dilihatnya di depan sana dihadang pagar
tembok tinggi. Agaknya pekarangan rumah di balik tembok itu amat luas panjang.
Sekali mengebaskan lengan baju, dengan ringan orang itu melayang naik ke pagar
tembok.
Bukan saja Ginkang orang ini tinggi, gerak langkah dan gaya badannyapun lincah,
indah dan menakjubkan, sampaipun Yap Kay jarang melihat orang yang punya Ginkang
setinggi itu.
Keadaan dibalik tembokpun gelap gulita, hembusan angin nan dingin membawa bau
wangi yang menyegarkan badan. Tampak bayangan pohon berjajar, luas dan banyak, di
mana-mana tumbuh pohon Bwe melulu.
Setelah Yap Kay melompat ke dalam tembok, baru dia sadar bahwa tempat itu
adalah Leng-hiang-wan yang pernah dia datangi, tempat kenamaan di kota Tiang-an.
Setelah mengalami pertempuran besar yang acak-acakan serta misterius tempo
hari, taman nomer satu di kota Tiang-an yang biasanya ramai, kini menjadi sepi, tiada
jejak manusia. Sinar lampupun tak kelihatan lagi. Hanya hembusan angin lalu saja yang
membawa bau wangi. Daun-daun yang gemerisik laksana suara helaan napas.
Siapakah yang menghela napas? Apakah setan-setan gentayangan yang menjadi
korban di dalam taman ini?
Leng-hiang-wan terkenal luas, rumit, dengan jalan-jalan yang simpang siur. Orang
yang tak mengenal jalan bisa tersesat dan tak bisa keluar. Tapi orang di depan itu
seperti hapal betul keadaan di sini. Yap Kay dipaksa ikut putar kayun sekian lamanya.
Setelah melewati sebuah pintu sabit, mereka tiba di sebuah pekarangan kecil. Di
sinipun tiada orang, tiada lampu dan tiada suara.
(Bersambung ke Jilid-17)
Jilid-17
Pintu terpentang lebar.
Orang itu terus maju membuka daun pintu lebih lebar, terus menyingkir ke
samping, katanya: "Silahkan masuk."
Tapi Yap Kay tidak masuk.
"Kau tidak mau masuk?" tanya orang itu.
"Kenapa aku harus masuk?"
"Ada orang menunggumu di dalam."
"Siapa?"
"Setelah kau masuk, kau akan melihatnya sendiri."
"Aku tidak mau masuk." ujar Yap Kay.
"Yang ditunggu adalah kau, bukan aku lho!"
Suaranya kedengaran aneh, mukanya ditutupi kain sewarna pakaian yang dipakainya.
Yap Kay menatapnya, tiba-tiba dia tertawa, katanya: "Kau tahu, bahwa aku
mengenalmu, kenapa kau justru main kucing-kucingan?
Kelihatannya orang itu terkejut, teriaknya tertahan: "Kau.......kau mengenali aku?"
"Kalau aku tidak mengenalmu, bukan saja aku ini orang picak, mungkin orang
linglung!"
"Kenapa?" tanya orang itu.
"Kau tidak tahu?"
Makin lirih suara orang itu: "Apakah dalam hatimu sudah ada diriku?"
Yap Kay tidak menjawab. Mimik sorot matanya mendadak berubah aneh. Perduli apa
maksud dari mimiknya ini, paling tidak menyangkal akan kebenaran ini.
Akhirnya orang itu angkat kepala serta menanggalkan kedoknya. Sinar bintang
seketika meningkah roman mukanya. Di alam setenang itu, di bawah sinar bintangbintang
yang guram, wajahnya kelihatan secerah dan secantik kembang Bwe yang
sedang mekar, laksana bidadari dari kahyangan.
Terutama sorot matanya lebih jeli dan elok, namun seperti menampilkan rasa duka
lara, muram dan rawan yang tak bisa dilimpahkan.
Dengan nanar dia menatap Yap Kay, katanya pelan: "Memang aku harus tahu, kau
pasti bisa mengenaliku, karena umpama kau menjadi abu, akupun tetap bisa
mengenalimu."
Suaranya ternyata lebih merdu, semerdu kicauan burung di musim semi, laksana
bunyi hembusan angin lalu yang meniup padang ilalang. Mata nan indah jeli, suara nan
merdu mempesonakan, siapa lagi kecuali Siangkwan Siau-sian?
Yap Kay tengah menatapnya, katanya: "Tapi kau justru mengharap aku tidak
mengenalimu?"
Siangkwan Siau-sian manggut-manggut.
"Kenapa?" tanya Yap Kay.
Siangkwan Siau-sian ragu-ragu, katanya kemudian: "Masuklah dulu, kau akan tahu
apa sebabnya."
"Kau tidak mau masuk?"
"Aku boleh menunggumu di luar."
"Kenapa harus menunggu di luar?"
"Karena setelah aku masuk, pasti kau mengharap aku menunggu di luar."
Bukan saja tawanya pilu dan sedu, malah rada misterius juga.
Memang Siangkwan Siau-sian adalah gais misterius, selalu dia melakukan sesuatu
yang tak pernah terpikir oleh orang lain.
Yap Kay tidak bertanya pula, karena dia cukup memahaminya, sesuatu yang tidak
mau dia jelaskan, siapapun takkan bisa memaksa dia menerangkan.
Daun pintu terbuka lebar, hembusan angin berkeriyat-keriyut. Akhirnya dengan
langkah pelan-pelan Yap Kay melangkah ke dalam kegelapan. Kalau di luar ada sinar
bintang, sebaliknya di dalam rumah lebih gelap pekat. Apapun tak terlihat oleh Yap
Kay, sampaipun ke lima jarinya sendiri yang dia dekatkan di depan mata. Namun,
kupingnya menangkap dengus pernapasan orang yang lirih sekali. Kiranya memang di
dalam rumah ada orang.
"Siapa?"
Tiada reaksi tak ada jawaban. Malah dengus napas lirih itu seakan-akan berhenti.
Kalau orang itu menunggu Yap Kay di dalam rumah, kenapa tidak mau menjawab
pertanyaannya? Apakah ini muslihat Siangkwan Siau-sian, ataukah di tempat ini ada
perangkap pula? Kalau tidak, waktu orang membawa Yap Kay kemari, kenapa dia tidak
menunjukkan muka aslinya? Kenapa menyaru orang lain?
Kalau orang lain mungkin sudah mengundurkan diri, tapi Yap Kay tidak, karena dalam
hatinya tiba-tiba dilempar suatu perasaan aneh yang dia sendiripun tidak bisa
menjelaskan. 'Blang' hembusan angin kencang menyebabkan daun pintu berdentam
menutup, kini ingin keluarpun dia tidak bisa lagi.
Sudah tentu keadaan dalam rumah menjadi lebih gelap lagi, namun dengus napas itu
kembali terdengar jelas. Tadi dengus napas ini terdengar di sebelah depan, kini
berganti tempat di pojok rumah.
Kenapa dia main mundur dan sembunyi atau menyingkir? Apakah karena dia merasa
takut?
Yap Kay telah menabahkan diri, katanya: "Perduli kau siapa, bahwa kau sudah
menungguku di sini, tentunya kau sudah tahu siapa aku ini?"
Hening lelap, tetap tiada jawaban.
"Aku bukan manusia jahat yang kejam, oleh karena itu kau boleh tidak usah takut
terhadapku."
Sembari bicara kakinya melangkah maju, langkahnya amat pelan.
Sekonyong-konyong sejalur angin dingin menyampuk datang ke arah mukanya.
Matanya seakan-akan tertutup rapat oleh kain tebal karena saking gelapnya, namun dia
tetap bisa merasakan. Hanya samberan angin golok baru terasa begini dingin. Tapi
diapun tidak melihat adanya samberan golok.
Golok yang tidak kelihatan, justru merupakan golok mematikan bagi jiwa manusia.
Siapakah dia? Kenapa mau membunuh dirinya?
Deru angin golok ini bukan saja dingin, juga kencang.
Sebat sekali Yap Kay berkelit, mendadak secepat kilat tangannya bergerak
mencengkeram pergelangan tangan orang. Tangan yang dingin.
Sudah tentu diapun tidak melihat tangan itu, namun diapun bisa merasakannya,
maka sekali sambar dia bisa menangkapnya.
Bagi seorang tokoh kosen yang tulen, memang dilandasi suatu nalar atau perasaan
aneh yang sukar dijelaskan, mirip juga dengan reaksi binatang di saat dia menghadapi
mara bahaya secara mendadak.
Tangan orang itu terasa gemetar, namun dia tetap tidak mau bersuara.
Tiba-tiba tangan Yap Kay ikut gemetar juga, karena lapat-lapat dia sudah
merasakan siapakah orang yang tangannya dia pegang, sekaligus dia sudah mencium
dengus dan bau badan orang.
Setiap manusia mempunyai bau badannya sendiri yang khas, demikian pula bau
badan orang yang satu ini, selama hidupnya takkan pernah dia lupakan. Matipun tidak
akan dia lupakan.
Sekonyong-konyong orang itu meronta sekuat-kuatnya melepaskan diri terus
menyurut mundur ke pojok dinding pula.
Kali ini Yap Kay tidak memburunya, sebetulnya sekujur badan tengah bergetar
seakan-akan badannya mengejang kaku seperti kayu. Sungguh tak pernah terpikir
olehnya bahwa orang ini berada di sini, tak terpikir pula olehnya bahwa dia bakal
membunuhnya. Keringat dingin sudah bercucuran dari atas jidatnya.
"Aku adalah Siau Yap", sedapat mungkin dia menguasai emosinya, "apakah kau tidak
mengenal suaraku?"
Tetap tiada jawaban. Suara pernapasan semakin memburu, seolah-olah dia mulai
ketakutan.
Yap Kay kertak gigi, bukan melangkah ke depan, dia malah menyurut mundur ke
arah pintu. Tiba-tiba dia putar badan serta menarik daun pintu sekuatnya. Ternyata
sekali tarik, pintu lantas terbuka. Waktu dia menerjang keluar, Siangkwan Siau-sian
ternyata masih menunggunya di pekarangan.
Melihat mimik mukanya, sorot matanya menampilkan rasa kasihan dan prihatin.
Lekas dia menyongsong maju seraya bertanya: "Kau sudah tahu siapa yang ada di dalam
rumah?"
Yap Kay manggut-manggut. Kedua tangannya terkepal kencang, katanya: "Kenapa
tidak kau sulut pelita?"
"Aku kan tidak berada di dalam rumah."
"Kau bawa ketikan api?"
"Ada"
"Kenapa tidak kau berikan kepadaku sejak tadi?"
Siangkwan Siau-sian tidak menjawab tegurannya, diam-diam dia angsurkan batu
ketikan api kepada Yap Kay.
Yap kay segera berlari masuk pula, batu ketikan api segera dia kerjakan.
Seseorang berdiri melongo di pojok kamar sana. Dia bukan lain adalah Ting Hun-pin.
Akhirnya Yap Kay berhasil melihatnya, akhirnya menemukan dia di sini. Tiada orang
yang bisa menggambarkan bagaimana perasaan hatinya saat itu dengan kata-kata,
orangpun takkan pernah membayangkan.
Tapi tiba-tiba Ting Hun-pin berjingkrak dan berteriak-teriak seperti orang gila,
terus membelakangi cahaya api di tangan Yap Kay: "Api......api......."
Setelah melihat api, mendadak dia berubah laksana binatang liar yang terluka dan
ketakutan. Sekujur badannya gemetar keras mengkeret. Saking takutnya sampai
wajahnya yang cantik molek itu kini berubah bentuk dan pucat berkeringat. Mulutnya
tak henti-hentinya berteriak: "Api.......kebakaran......."
Dia sudah melihat api, namun tidak melihat Yap Kay, seakan-akan dia memang sudah
tidak kenal Yap Kay lagi.
Api segera padam, kamar kembali menjadi gelap.
Hati Yap Kay pun seketika terselubung di dalam kegelapan nan tak berujung
pangkal.
Entah berapa lama kemudian, secara diam-diam dia mengundurkan diri pula. Tanpa
bersuara dia kembalikan ketikan api itu kepada Siangkwan Siau-sian.
Siangkwan Siau-sian tertawa getir, katanya: "Apakah sekarang kau sudah mengerti,
kenapa tadi aku tidak memberi ketikan api ini kepadamu?"
Yap Kay diam.
"Dia lari keluar dari kobaran api besar itu. Terlalu besar pukulan batin yang
menimpa dirinya, namun.....sungguh aku tidak habis pikir, sampai kaupun dia sudah tidak
kenal lagi."
Lama Yap Kay diam, akhirnya dia bertanya: "Dimana kau bisa menemukan dia?"
"Di tempat ini juga."
"Kapan kau temukan dia?"
"Begitu lolos dari kobaran api, kukira dia langsung lari kemari, tapi baru malam tadi
aku menemukan dia." ujar Siangkwan Siau-sian menunduk, "aku tahu melihat
keadaannya pasti hatimu amat sedih, tapi tidak bisa tidak aku harus membawamu
kemari."
"Kau......"
"Semula aku tidak ingin kau tahu, bahwa akulah yang membawamu kemari,
karena......karena....."
"Karena apa?"
"Akupun tidak tahu kenapa, mungkin karena aku tidak suka kau merasa haru, terima
kasih karena hal ini, atau mungkin karena aku takut."
"Takut? Takut apa?"
Semakin sedih sikap Siangkwan Siau-sian.
"Dia berubah begitu rupa, sedikit banyak akupun punya tanggung jawab, aku takut
kau membenciku, membenciku........ aku lebih takut setelah kau melihatnya, selanjutnya
tidak akan menghiraukan aku lagi."
"Tapi kau toh membawaku kemari."
"Oleh karena itulah aku sendiripun tidak tahu, apakah sebetulnya yang kulakukan?"
Di bawah pancaran sinar bintang-bintang, tampak pipinya sudah basah oleh air
mata. Siapapun akan dapat merasakan betapa kontras dan derita hatinya.
Yap Kay malah seperti tidak melihat, mendadak dia melangkah ke tengah
pekarangan, beruntun dia lompat bersalto tiga kali, lalu berdiri tegak laksana tombak,
menghirup napas panjang serta membetulkan pakaiannya.
Salju yang bertumpuk di tanah belum cair, entah siapa yang memetik sekuntum
kembang Bwe, jatuh di atas tumpukan salju. Yap Kay memungutnya serta menancapkan
di atas bajunya, lalu dia beranjak kembali.
Mendadak dia tertawa kepada Siangkwan Siau-sian, katanya: "Coba terka, apa yang
sekarang akan kulakukan?"
Siangkwan Siau-sian mengawasinya sambil melongo kaget.
"Aku ingin cari tempat untuk tidur." ujar Yap Kay tertawa.
"Sekarang kau masih ingin tidur?" tanya Siangkwan Siau-sian semakin terkejut.
Yap Kay manggut-manggut, katanya: "Besok siang masih ada urusan, aku harus
memelihara kesehatan, memulihkan tenaga dan semangatku."
"Kau......masih bisa tidur?"
"Kenapa aku tidak bisa tidur?"
"Tapi Ting Hun-pin......?"
"Apapun yang terjadi, sekarang aku sudah menemukan dia. Soal lain boleh
diselesaikan belakangan saja."
"Dia begitu rupa, kau tega meninggalkannya?"
"Ada Kim-ci-pang Pangcu yang melindunginya di sini, apa pula yang tidak kulegakan?"
Siangkwan Siau-sian mengawasinya, seolah-olah belum pernah dia melihat laki-laki
macam ini.
Memang jarang ada orang berwatak begini. Siapapun menghadapi persoalan ini,
hatinya pasti berduka dan kuatir, tapi dia cukup jumpalitan tiga kali, mendadak segala
kekuatiran, kerisauan hatinya lenyap tak berbekas lagi.
Siangkwan Siau-sian menghela napas, katanya: "Agaknya walau ada kerisauan hati
sebesar gunung, akupun tetap bisa melemparkannya dalam waktu sekejap."
"Memang tiada sesuatu persoalan dalam dunia ini yang perlu dirisaukan."
"Kau memang orang yang punya rejeki."
Yap Kay tidak menyangkal.
"Besok siang, kau ada urusan apa yang perlu diselesaikan?"
"Aku punya janji."
"Janji apa?"
"Hu-hong dan Tolka sudah berjanji besok akan bertemu di Wan-ping-bun."
"Itukan janji mereka, kau......"
"Sekarang Tolka sudah mampus," tukas Yap Kay, "maka janji ini menjadi aku yang
menepatinya."
"Kau ingin gunakan kesempatan ini untuk menemukan Hu-hong?"
Yap Kay manggut-manggut seraya mengiyakan.
"Besok tengah hari, entah berapa banyak orang yang keluar masuk di Wan-pingbun,
darimana kau bisa tahu siapa Hu-hong sebenarnya?"
"Tentu aku punya akal untuk menemukan dia."
"Akal apa?"
"Sekarang aku sendiri belum tahu, tapi tiba saatnya aku pasti bisa menemukan
akalku." Yap Kay tersenyum lalu menambahkan, "memangnya tiada sesuatu persoalan
dalam dunia ini yang tak bisa diselesaikan, benar tidak?"
Siangkwan Siau-sian mandah tertawa getir.
Sudah tentu banyak tempat di dalam Leng-hiang-wan ini untuk tidur. Yap Kay
ternyata benar-benar melaksanakan kata-katanya, bilang tidur, dia tetap pergi tidur.
Mengawasi orang beranjak pergi, tiba-tiba Siangkwan Siau-sian berseru lantang:
"Kau sendiri tidur, masakah aku harus wakili kau melindungi dia di sini."
Tak tertahan Siangkwan Siau-sian menghela napas pula, ujarnya seorang diri: "Baru
sekarang aku tahu kenapa dia selamanya tidak pernah risau, karena selalu bisa
memberikan kerisauan hatinya kepada orang lain."
Memang itulah kemahiran Yap Kay yang tidak dipunyai orang lain. Jikalau dia tidak
punya kemahiran ini, mungkin sekarang dia sudah menumbukkan kepalanya ke dinding
dan mampuslah jiwanya dengan kepala pecah.
ooo)O(ooo
Tanggal 3. Hari masih pagi.
Dengan langkah lebar Yap Kay memasuki pekarangan.
Baju yang dipakainya masih kumal, kotor dan berbau apek. Sedikitnya sudah
beberapa hari tidak ganti pakaian dan tidak dicuci.
Rambutnya awut-awutan, kembang Bwe yang dia cantelkan di atas bajunyapun sudah
layu.
Urusan yang dia hadapi belakangan ini jikalau orang lain yang mengalami pasti
takkan hidup lagi.
Akan tetapi waktu dia melangkah ke dalam pekarangan, kelihatan air mukanya
cerah, bersemangat dan semu merah, gairahnya berkobar, seperti orang yang baru
saja mendapat anugerah dan pangkat. Tak akan ada orang yang bisa dibanding sikapnya
seperti dia sekarang.
Siangkwan Siau-sian tengah bersandar di jendela, mengawasi kedatangan orang.
Mimik mukanya seperti geli, ingin tertawa atau ingin menangis.
Yap Kay langsung mendekati dengan langkah lebar, sapanya dengan senyum simpul:
"Selamat pagi."
Siangkwan Siau-sian gigit bibir, katanya: "Sekarang sudah tidak pagi lagi."
"Walau tidak pagi, namun masih belum terlambat."
"Agaknya kau bisa tidur dengan nyenyak."
"Wah! Seperti mayat saja dengkurku."
"Sungguh aku tidak habis pikir, kau benar-benar bisa tidur pulas."
"Jikalau aku ingin tidur, umpama langit ambrukpun aku tetap bisa tidur dengan
nyenyak."
Ting Hun-pin juga sedang tidur. Diapun tidur nyenyak sekali, tangannya masih
menggenggam golok.
"Kapan dia tidur?" tanya Yap Kay.
"Setelah terang tanah baru dia tidur."
Di atas meja ada sebuah mangkok kuah yang sudah kosong.
"Agaknya barusan dia sudah makan sesuatu makanan."
"Sudah makan semangkok penuh mie ayam. Setelah kenyang baru dia tidur." ujar
Siangkwan Siau-sian, lalu dengan tertawa meringis dia menyambung, "untunglah
akhirnya dia mau tidur, kalau tidak aku tidak bisa masuk ke pintu ini."
"Kenapa?"
"Siapapun yang melangkah masuk, goloknya itu lantas menyerang hendak membunuh
orang."
"Apapun yang terjadi atas dirinya, setelah dia mau makan, bisa tidur lagi,
melegakan juga."
"Sayang sekali aku sendiri malah tidak doyan makan, tidurpun tidak terpejam
mataku, sungguh aku tidak beruntung seperti kalian."
Biji mata Siangkwan Siau-sian berputar, tiba-tiba dia bertanya: "Kau sudah
memikirkan caranya belum?"
"Belum! Aku lagi mulai memikir."
"Kapan kau baru akan memikirkannya?"
"Setelah tiba di pintu kota, baru akan kupikir."
"Agaknya sedikitpun kau tidak merasa gugup?"
"Setelah perahu sampai di dermaga, akan berhenti juga. Kata-kata ini selalu
kupercayai."
"Sekarang apa yang ingin kau lakukan?"
"Ingin makan semangkok mie ayam."
ooo)O(ooo
Cuaca cerah, mentari memancarkan sinarnya semarak merah bercahaya.
Dengan langkah lebar Yap Kay keluar dari Leng-hiang-wan. Kelihatan semangatnya
menyala, tekadnya bergairah, tenaganya penuh, karena semangkok besar mie ayam
telah masuk ke perutnya. Dia gegares habis semangkok mie itu di dalam Leng-hiangwan.
Hari ini pagi-pagi benar Siangkwan Siau-sian sudah suruhan koki bekerja di dapur
memasakkan apa saja yang diminta.
Ada uang setanpun bisa diperintah. Kerja apapun yang dilakukan Kim-ci-pang, selalu
pasti lebih cepat dari kerja orang lain. Demikian pula rasa mie ayam berkaldu itu,
rasanya jauh lebih lezat dan enak daripada mie ayam yang pernah dimakan Yap Kay
selama hidupnya.
Bukan lantaran perutnya sudah keroncongan, yang benar karena koki yang memasak
mie ayam itu ternyata dia koki asal dari rumah makan Wa-goan-koan di Hang-ciu yang
sengaja didatangkan oleh Siangkwan Siau-sian,
Perduli tukang kerja apapun di dalam Kim-ci-pang selalu orang-orang pilihan yang
paling top dan kelas wahid. Untuk ini pihak Kim-ci-pang tidak perlu mengagulkan diri.
Setelah menghabiskan semangkok mie ayam kaldu itu, hati Yap Kay malah kurang
enak. Semakin dipikir semakin bingung dan tidak habis mengerti, betapa besar
kekuatan Kim-ci-pang sebetulnya. Hal ini sulit dia bayangkan dan dia pikirkan.
Setelah berputar kayun dari jalan satu ke jalan lain, akhirnya Yap Kay tiba di Thayping-
pui yang ramai. Yap Kay merogoh kantong menghabiskan tiga puluh ketip untuk
membeli sebungkus besar kacang kulit, dan kembali dia habiskan lima puluh ketip untuk
membeli dua batang joran panjang.
Dia sudah belajar dan terbiasa, di saat hatinya tegang, dia menguliti kacang untuk
menekan perasaannya. Kalau tangan punya kerja, betapapun pikiran dan perhatian
seseorang selalu mengendor.
Tapi untuk apa dia membeli joran? Mau mancing?
ooo)O(ooo
Wan-ping-bun terletak di selatan kota.
Setelah melewati Hong-pau-pui dan Thay-hian-pui, maju tak jauh lagi akan tiba di
Wan-ping-bun. Setelah hari menjelang lohor, entah ada berapa banyak orang yang
mondar-mandir keluar masuk lewat Wan-ping-bun.
Kenyataan apa yang pernah didengarnya memang tidak akan salah. Di ujung jalan
raya Thay-hian-pui selayang mata memandang luar dalam kota, manusia berjubel-jubel
lalu lalang simpang siur, berbagai macam manusia ada.
Kau tetap tidak akan bisa membedakan siapa sebenarnya Hu-hong itu.
Yap Kay juga tidak akan bisa membedakan.
Sebelum bekerja dia masuk ke warung teh dulu menghabiskan dua poci air teh.
Kepada pelayan dia minta seutas tali, lalu minta pula selembar kertas merah. Lalu
pinjam alat tulis di meja kasir warung teh itu. Di atas kertas merah itu dia menulis
delapan huruf-huruf besar yang berbunyi:
'Dijual dengan harga tinggi, barang dijual kepada pembeli yang mengenal kwalitet
barang.'
Walau sudah lama Yap Kay tidak pernah menulis, namun ke delapan huruf yang
ditulisnya kelihatan indah dan bergaya gagah.
Dengan ke dua batang joran panjang yang dibelinya, Yap Kay membentang kertas
merah panjang yang dia tulisi, lalu digantung di atas pintu kota. Beruntun dua kali dia
mengawasi hasil karyanya, akhirnya dia manggut-manggut puas.
Tapi barang apakah yang hendak dijual dengan harga tinggi? Apakah dirinya
sendiri?
Sudah tentu Yap Kay tidak akan menjual dirinya sendiri.
Sang surya semakin memuncak tinggi ke tengah cakrawala.
Hari sudah hampir tengah hari.
Tiba-tiba dari dalam kantong bajunya dia keluarkan sebuah topeng tembaga dengan
sekeping lencana batu kemala. Lalu diikatnya bersama pada seutas tali, serta dia
gantung di pucuk joran.
Itulah barang-barang peninggalan Tolka.
Topeng tembaga hijau yang menyeringai seram kelihatan kemilau di tingkah sinar
matahari, demikian pula lencana batu kemala itu, bening mengkilap, elok menyenangkan.
Semua orang yang masuk ke dalam kota tiada yang tidak mendongak membaca
tulisan itu dan melihat ke dua benda aneh itu, namun tiada seorangpun yang maju
menanyakan soal jual beli kedua barang antik ini.
Topeng itu memang terlalu menakutkan, tiada orang yang sudi membeli topeng
seseram itu untuk di bawa pulang.
Sudah tentu Yap Kay sendiripun tidak perlu tergesa-gesa. Topeng ini hanya
umpannya saja, dia ingin mengail seekor ikan besar, ikan besar yang bisa mencaplok
manusia.
Tiba-tiba sebuah kereta besar bercat hitam berhenti di sebelah depan. Kereta ini
datang dari luar kota. Sebetulnya sudah berlari lewat, maka berhentinya terlalu
mendadak.
Seorang laki-laki setengah baya dengan pakaian perlente bermuka putih dengan
jenggot pendek menongolkan kepalanya menatap ke atas membaca huruf-huruf itu
serta mengawasi topeng dan batu kemala itu. Lekas sekali dia sudah mendorong pintu
kereta dan melangkah turun.
Akhirnya ada juga orang yang mau menawar barang-barang yang akan dijual ini.
Tapi Yap Kay masih tetap tenang dan bisa menekan sabar.
Dengan menggendong ke dua tangannya, laki-laki setengah baya itu maju
menghampiri. Sepasang matanya yang jeli, tajam dan bercahaya terus menatap ke atas
kertas galah, tiba-tiba dia bertanya: "Apakah mau dijual?"
Yap Kay manggut-manggut sambil menuding huruf-huruf di atas kertas merah itu.
Berkata laki-laki setengah baya tawar: "Lencana ini memang terbuat dari Han-giok,
sayang sekali ukirannya kurang halus."
Yap Kay menambahkan, katanya: "Memang, tukang ukirnya kurang ahli, kwalitet
batu kemala inipun kurang baik."
Laki-laki itu seketika mengunjuk senyum lebar, katanya: "Kau ini ternyata terlalu
jujur di dalam dagang."
"Memang, aku ini orang jujur." ujar Yap Kay.
"Entah berapa harganya?"
"Harganya terlalu tinggi."
"Harga tinggi berapa?"
"Tiada halangannya kau ajukan dulu tawaranmu." kata Yap Kay.
Dari atas ke bawah, laki-laki ini mengamati Yap Kay beberapa kali, lalu dia berpaling
memandang batu kemala di atas joran itu, katanya: "Bagaimana kalau tiga puluh tail?"
Yap Kay tertawa.
Laki-laki itu juga tertawa, katanya: "Tawaranku memang sedikit tinggi, namun
seorang Kuncu selalu menepati apa yang diucapkan, akupun tidak akan main gorok soal
harga."
"Tiga puluh tail saja?"
Laki-laki itu manggut-manggut, "Ya tepat tiga puluh tail."
"Barang yang mana yang kau pilih?"
"Sudah tentu batu kemala ini."
"Tapi tiga puluh tail hanya cukup untuk beli jorannya saja."
Seketika lenyap senyuman yang menghias muka laki-laki setengah baya, katanya
menarik muka: "Berapa yang kau inginkan?"
"Tiga laksa (puluh ribu) tail."
Hampir berteriak laki-laki setengah baya itu, "Hah, tiga laksa tail?"
"Tepat tiga laksa tail, harga pas tidak boleh kurang."
Dengan melongo kaget laki-laki ini mengawasinya, seperti dia berhadapan dengan
orang gila.
Tiba-tiba Yap Kay berkata: "Walau batu kemala ini kurang baik, ukirannya jelek,
tapi kalau kau ingin memilikinya, keluarkan dulu tiga laksa tail perak, sesenpun tidak
boleh kurang."
Tanpa mengucap sepatah katapun, laki-laki setengah baya melengos terus tinggal
pergi dengan uring-uringan.
Yap Kay tertawa lagi. Orang-orang yang berkerumun melihat tontonan inipun ikut
tertawa riuh.
"Sekeping batu kemala, kok minta tiga laksa tail, memangnya bocah ini sudah gila."
"Harga setinggi itu, memang hanya orang gila yang menjual."
Sementara itu kereta hitam itu sudah melaju ke depan dan belok di pengkolan jalan
sana, tak bisa kelihatan lagi.
Karena tiada tontonan yang bisa dilihat, orang-orang yang berkerumun itupun mulai
bubar.
Tak kira dari jalan belakang sana tiba-tiba berderap pula langkah kaki kuda yang
menyeret kereta, tahu-tahu kereta hitam itu sudah putar balik, datangnya malah lebih
cepat dari perginya tadi.
Kusir kereta mengayun cambuknya tinggi-tinggi, seraya membentak-bentak, cepat
sekali kereta itu sudah dilarikan datang dan berhenti pula di depan pintu kota.
Laki-laki setengah umur itu mendorong pintu dan melompat turun pula. Mukanya
yang putih tampan kini menampilkan mimik yang aneh. Dengan langkah lebar dia
menghampiri Yap Kay, katanya: "Tadi kau minta tiga laksa tail perak?"
Yap Kay manggut-manggut.
Tiba-tiba laki-laki tengahan umur merogoh kantong mengeluarkan setumpuk uang
kertas. Setelah dihitung, genap tiga puluh lembar terus diangsurkan ke depan Yap Kay.
"Nah, ambillah."
Tapi Yap Kay tidak menyambuti, dia malah mengerut kening, tanyanya: "Apakah
ini?"
"Inilah uang kertas, hanya bank Toa-hin di kota raja saja yang bisa mengeluarkan
uang kertas ini, jumlahnya tepat tiga laksa tail."
"Apakah berani ditanggung uang ini bisa laku?" tanya Yap Kay pura-pura bodoh.
Berkata laki-laki itu dengan suara berat: "Aku orang she Song, toko Cap-po-cay
yang menjual barang-barang antik di sebelah barat kota itu adalah milikku, orangorang
di daerah sinipun tidak sedikit yang mengenalku."
Cap-po-cay adalah merk yang terkenal sejak puluhan tahun yang lalu. Song Lopan
adalah salah satu hartawan besar yang paling kaya di kota ini. Di antara orang-orang
yang berkerumun itu ada yang mengenalnya juga.
Akan tetapi, Song Lopan yang biasanya cerdik dan teliti di dalam berdagang
barang-barang antik ini, kenapa sudi merogoh kantong mengeluarkan tiga laksa tail
untuk membayar batu kemala sekecil ini. Memangnya diapun sudah gila?
Tapi Yap Kay tetap tidak mau menerima uang itu, tanyanya: "Berapa jumlah uangmu
ini?"
"Tentunya tiga laksa tail, inilah lembaran ribuan uang kertas, seluruhnya berjumlah
30 lembar, boleh kau menghitungnya dulu."
"Tak usah dihitung, aku percaya kepadamu."
"Nah, bolehkah aku membawa batu kemala ini?"
"Tidak boleh!"
Song Lopan tertegun, tanyanya dengan suara meninggi: "Mengapa masih belum
boleh?"
"Karena harganya belum cocok."
Muka tampan Song Lopan yang putih berubah menguning, teriaknya tertahan:
"Bukankah tadi kau bilang tiga laksa tail?"
"Itu harga tadi."
"Dan sekarang?"
"Sekarang harganya adalah 30 laksa tail"
"Hah! 30 laksa tail?" Akhirnya Song Lopan berteriak. Mimik mukanya mirip seekor
kucing yang tiba-tiba ekornya diinjak orang.
Orang-orang yang berkerumun di sekelilingnya pun menunjukkan mimik yang sama.
Yap Kay malah tidak menunjukkan perubahan hatinya. Tiba-tiba dia berkata: "Batu
kemala ini memang kurang baik, tukang ukirnyapun bukan ahli, tapi sekarang ini
siapapun kalau ingin memilikinya, dia harus bayar 30 laksa tail, sesenpun tidak boleh
kurang."
Song Lopan membanting kaki kembali dia melengos terus tinggal pergi, langkahnya
tergopoh-gopoh, namun setiba dia di depan kereta langkahnya merandek, mukanya
mengunjuk mimik yang aneh seperti tadi. Kelihatannya amat takut.
Apa sih yang dia takuti? Apakah di dalam keretanya itu ada sesuatu yang patut dia
takuti? Dan yang paling mengherankan adalah dengan harga tiga laksa tail saja jelas
sudah membuatnya pergi dengan marah-marah, kenapa setelah pergi malah putar balik
lagi?
Mata Yap Kay bersinar terang, dengan tajam dia menatap ke arah jendela kereta.
Sayang sekali keadaan terlalu gelap di dalam kereta. Dari luar yang bercahaya terang
oleh sinar matahari, tetapi tetap tidak bisa melihat apa-apa.
Song Lopan sudah siap menarik pintu kereta, tapi entah kenapa, tangan yang sudah
dia ulur, tiba-tiba dia tarik kembali. Namun dari dalam kereta seakan-akan ada
seseorang, entah mengucapkan perkataan apa, tiada orang yang mendengar apa yang
diucapkan orang di dalam kereta. Tapi Song Lopan yang mendengar, seketika berobah
pula mimik mukanya, seperti orang yang kena tendang di mukanya.
Siapakah yang berada di dalam kereta? Kenapa dia menyembunyikan diri di dalam
kereta tidak mau keluar? Apa pula yang dia katakan kepada Song Lopan? Kenapa
setelah mendengar perkataannya, Song Lopan kelihatan begitu takut?
Berkilat biji mata Yap Kay, seolah-olah dia sudah memperoleh jawaban dari tekateki
yang tak terpecahkan selama ini.
Orang yang ingin membeli batu kemala ini sekarang, bukan keinginan Song Lopan
sendiri, namun kehendak orang yang sembunyi di dalam kereta itu. Karena dia sendiri
tidak mau unjuk muka di hadapan orang banyak, maka dia paksa Song Lopan untuk
membelinya. Naga-naganya Song Lopan sudah tunduk dan diancamnya, sehingga
terpaksa dia harus membelinya.
Dengan cara atau kekerasan apakah yang digunakan orang itu untuk menekan dan
mengancam Song Lopan? Kenapa dia begitu getol untuk memperoleh lencana kemala
itu?
Kecuali orang-orang Mo Kau, siapa pula yang sudi mengeluarkan uang setinggi itu
untuk membeli batu kemala ini?
Apakah orang ini adalah Hu-hong alias si Puncak Tunggal?
ooo)O(ooo
Sinar surya di musim semi sudah tentu tidak begitu terik, hembusan angin lalu
masih terasa dingin.
Tapi Song Lopan justru gemerobyos keringat.
Sekian lamanya dia berdiri melongo dan menjublek di depan pintu kereta, kedua
tangannya gemetar keras, mendadak dia menghela napas panjang, kembali dia putar
badan.
Mimik mukanya sekarang mirip benar dengan pesakitan yang dijatuhi hukuman mati
dan digusur ke tengah lapangan untuk dipenggal kepalanya.
Melihat orang mendatangi lagi, Yap Kay mendahului bersuara: "Sekarang kau berani
bayar 30 laksa tail?"
Terkepal kedua tinju Song Lopan, ternyata dia manggut-manggut. Keringat
dinginnya berketes-ketes, katanya kertak gigi: "Baiklah! 30 tail ya 30 tail kubayar!"
Yap Kay hanya tertawa lebar saja.
Song Lopan seperti disengat kala kagetnya, katanya terbelalak: "Apa yang kau
tertawakan?"
"Aku tertawai kau."
"Menertawai aku?"
"Aku sedang tertawa, kenapa tidak sejak tadi kau membelinya saja?"
"Sekarang......"
"Harganya sekarang sudah tidak sama lagi. Sekarang aku minta 300 laksa tail, tidak
boleh kurang sesenpun juga."
Sudah tentu Song Lopan berjingkrak mencak-mencak.
"300 laksa tail?
Taoke besar yang biasanya congkak dan terlalu tinggi hati, sekarang ini seperti
anak kecil layaknya mencak-mencak.
"Kau......kau......memang kau ini perampok! Kau........ tamak benar kau ini."
Yap Kay berkata tawar: "Jikalau kau anggap harganya terlalu tinggi, kau boleh tidak
hendak membelinya, aku toh tidak memaksa kau."
Song Lopan melotot gusar, seperti ingin mengerumusnya. Mulutnya sudah terbuka
lebar seperti ingin bicara, namun tahu-tahu napasnya menjadi sesak. Mendadak dia
tersungkur roboh, saking gusar ternyata dia jatuh semaput.
Orang-orang berkerumun itupun sama-sama melotot kepada Yap Kay, semua
orangpun merasa Yap Kay tak ubahnya seperti perampok yang memeras mangsanya,
malah lebih tamak lagi.
Tapi Yap Kay acuh tak acuh, dia tetap tidak perdulikan orang lain. Tiba-tiba dia
berkata ke arah kereta hitam itu: "Tuan ingin benar memiliki barang ini, kenapa tidak
kau sendiri yang membelinya?"
Tidak ada reaksi dari dalam kereta.
Yap Kay berkata pula: "Kalau tuan sendiri mau unjuk muka, mungkin tanpa
membayar sesenpun aku haturkan batu kemala ini kepadamu."
Dari dalam kereta yang sejak tadi tenang-tenang sepi, mendadak berkumandang
suara tawa dingin setajam golok.
"Apa betul?"
"Aku ini orang jujur," Yap Kay berkata tersenyum, "selamanya aku tidak membual."
"Bagus!"
Lenyap seruannya mendadak 'Brak...' seperti ledakan kerasnya, tahu-tahu kereta
kuda yang besar itu seperti disambar geledek, pecah dan hancur berantakan.
Kusir kereta sampai terpental sungsang-sumbel. Kedua kuda kekar yang menarik
keretapun berjingkrak berdiri dengan kedua kaki belakangnya.
Tahu-tahu dari dalam kereta hancur itu muncul seorang laki-laki. Seorang laki-laki
raksasa yang telanjang bagian badan atasnya, hanya mengenakan celana pendek ketat
warna merah. Pinggangnya mengenakan sabuk kuningan selebar telapak tangan orang
biasa. Sepasang matanya yang melotot besar seperti kelintingan menatap tajam penuh
kebencian kepada Yap Kay, tak ubahnya seperti siluman iblis jahat yang baru terlepas
dari dalam kerangkeng.
Orang-orang yang berkerumun melihat keramaian seketika bubar dan kalut, lari
lintang-pukang.
Raksasa itu sudah mengepal kedua tinjunya kencang-kencang, selangkah demi
selangkah menghampiri Yap Kay.
Perduli manusia atau kuda, setelah mendadak dibuat kaget, reaksi pertama yang
diperlihatkan adalah sama yaitu lari. Semakin cepat lari semakin baik dan selamat,
semakin jauh semakin beruntung.
Tapi ke dua ekor kuda yang berjingkrak-jingkrak itu tak mampu melarikan diri,
namun masih terus mencak-mencak berdiri turun naik, karena raksasa itu menekan
pinggir kereta yang sudah hancur, namun kedua kuda itu sudah tidak mampu melarikan
diri.
Walau orang-orang yang ada di sekitarnya menjadi ribut, namun mereka tidak lari
sembunyi. Maklumlah, siapa yang tidak ingin melihat akhir dari keramaian ini. Apapun
yang terjadi atas diri mereka nanti, tontonan aneh yang belum pernah terjadi selama
ratusan tahun ini adalah setimpal untuk disaksikan.
Semua orang celingukan kian-kemari, mengawasi raksasa yang mampu menekan
sebelah tangan ke atas kereta sehingga kedua kuda tidak bergeming, lalu memandang
kepada Yap Kay pula. Semua hadirin sudah yakin dan sepakat pendapat, pasti Yap Kay
yang akhirnya akan dirugikan dan dihajar konyol. Mungkin cukup menggunakan sebuah
jarinya saja, raksasa ini sudah mampu memites gepeng batok kepala Yap Kay.
Tapi Yap Kay malah tertawa, sikapnya tenang-tenang saja seperti tidak terjadi
apa-apa. Tiba-tiba dia malah bertanya: "Berapa tinggimu?"
"Sembilan kaki setengah."
Dalam situasi segenting ini, walau pertanyaan ini kedengaran aneh dan lucu, tapi si
raksasa memberi jawaban juga.
"Sembilan kaki setengah, kau memang tidak terhitung pendek." ujar Yap Kay.
Berkata si raksasa dengan sombong sambil angkat dada: "Mungkin hanya beberapa
gelintir saja manusia dalam dunia ini yang lebih tinggi dari aku."
"Alat senjata biasanya mengutamakan satu dim lebih panjang, lebih berguna dan
lebih kuat. Jikalau kau ini sebatang tombak, pasti kau adalah tombak sakti."
"Aku bukan tombak." seru si raksasa.
"Masih banyak lagi barang-barang lain, biasanya tinggi rendah dari nilai barang itu
juga ditentukan dari panjang pendek bentuknya, umpamanya galah yang lebih panjang,
sudah tentu harganya lebih mahal, oleh karena itu kalau kau ini sebatang galah, tentu
kau inipun cukup berharga," setelah menghela napas Yap Kay menambahkan, "sayang
sekali kaupun bukan galah."
"Aku adalah manusia."
"Justru karena kau ini manusia, maka harus dibuat sayang."
"Kenapa harus dibuat sayang?" tanya si raksasa mendelik.
Tawar suara jawaban Yap Kay: "Hanya manusia saja yang tidak ditentukan dari
panjang pendeknya. Orang cebolpun kadang-kadang bisa jadi raja. Seseorang bilamana
kaki, tangan dan badannya terlalu subur dan tumbuh keliwat batas, biasanya otaknya
terlalu sederhana, oleh karena itu manusia yang semakin panjang, ada kalanya malah
dipandang rendah dan tidak berharga lagi."
Si raksasa menggerung murka, bagai seekor gajah mengamuk dia menerjang maju.
Kelihatannya tidak perlu dia turun tangan kalau Yap Kay keterjang tentu badannya
remuk dan mampus. Umpama sebatang pohon besarpun takkan kuat ditumbuk raksasa
ini.
Sayang sekali Yap Kay bukan pohon. Sudah tentu raksasa ini tidak akan mampu
menerjangnya sampai roboh, tiada orang yang bisa sekali tumbuk menerjangnya sampai
jatuh.
Akan tetapi di saat raksasa menerjang tiba, Song Lopan yang tadi kelengar
semaput di tanah mencelat bangun segesit tupai dan secepat anak panah melesat maju.
Bukan saja gerakannya secepat kilat, cara menyerangnya juga teramat ganas dan lebih
menakutkan.
Sekali lagi sayang, dia tidak berhasil merenggut jiwa Yap Kay. Kalau si raksasa
menerjang dari depan, sebaliknya Song Lopan menggempur dari belakang dengan
pukulan mematikan. Hebat memang kepandaian Yap Kay, di saat-saat gawat itu entah
bagaimana tahu-tahu badan Yap Kay sudah mencelat naik ke atas joran.
Takkan ada orang menduga bahwa Song Lopan akan turun tangan, tapi orang lebih
tidak menduga lagi bahwa Yap Kay bisa meluputkan diri dari bokongannya. Seperti
dihembus angin lesus saja tahu-tahu badannya terangkat naik ke pucuk joran, laksana
segulung mega terbang, seperti daun melayang jatuh.
Keruan Song Lopan terkejut. Dia yakin benar bahwa serangan bokongannya tadi
pasti dengan telak mengenai sasarannya. Entah bagaimana tahu-tahu tangannya
mengenai tempat kosong. Tapi dia cukup cekatan dan tegas bertindak. Sebat sekali
dengan sikut menutul tanah, berbarengan itu tangan kanannya sudah melolos golok.
Sekali sinar golok berkelebat, dia babat putus joran panjang itu.
Sementara si raksasa sudah pentang ke dua tangannya, siap menunggu di sebelah
bawah. Begitu joran putus, orang dipucuk joran pasti akan jatuh terjungkal.
Begitu Yap Kay melayang turun, maka pasti dia terjatuh kecengkeraman tangan si
raksasa. Siapapun jikalau terjatuh ke tangan si raksasa, jelas nasibnya tentu amat
mengenaskan. Untuk meremas remuk batok kepala orang, hakikatnya lebih gampang
dari anak-anak meremas kepala boneka tanah liat.
'Krak...' tahu-tahu joran itu putus dua. Orang-orang yang menonton di kejauhan
malah sudah menjerit kaget dan ngeri. Betul juga tampak badan Yap Kay sudah
melayang jatuh ke tengah-tengah kedua tangan si raksasa yang terbuka lebar.
Maka terdengarlah suara 'Blang...', seseorang terbanting jatuh dengan keras, dan
terpental terbang dua sosok badan orang. Yang berdentam jatuh adalah si raksasa,
sementara Yap Kay dan Song Lopan sama-sama melambung ke atas.
Ternyata begitu badannya melayang turun, lekas Yap Kay gunakan sikut dan sebelah
dengkulnya menyodok dengan telak ke dada si raksasa. Begitu si raksasa terpental
roboh, dia meminjam tenaga daya pental sodokannya mencelat terbang lagi.
Tapi ternyata Song Lopan tidak tinggal diam, diapun jejakkan kakinya ikut melesat
mengejar. Sinar golok bagaikan bianglala membabat ke pinggang Yap Kay.
Tak nyana pinggang Yap Kay bagai ular air, sekali meliuk dan mengegos, tahu-tahu
tangan kirinya sudah mencengkeram pergelangan tangan kanan Song Lopan.
Golok melayang jatuh menancap miring di atas kereta. Mereka berduapun jatuh ke
atas kereta. Bagasi kereta memang sudah diterjang hancur oleh si raksasa, namun alas
dasarnya masih utuh tidak kurang suatu apa, demikian pula tempat duduknya.
Dua orang sama-sama jatuh di atas tempat duduk, kedua kuda yang menarik kereta
menjadi kaget, serempak keduanya meringkik panjang dan angkat langkah membedal
pergi.
Kali ini tiada orang yang menarik dan menahan mereka. Memang tiada orang mampu
menahan mereka pula. Kusir kereta sudah ketakutan dan sembunyi entah di mana. Dua
ekor kuda yang ketakutan seketika mencongklang menarik kereta gundul tanpa kusir.
Jalan raya penuh sesak, namun ke dua ekor kuda itu seperti kesetanan terus
menerjang maju tanpa hiraukan orang-orang yang ada di tengah jalan, terus
diterjangnya.
Kecuali orang gila, siapa lagi yang masih mampu menghadang larinya kuda yang
sudah kesetanan.
Di atas kereta Song Lopan menjatuhkan diri terus menggelinding. Pikirnya hendak
mencelat bangun, namun sebuah tinju sudah menunggu di depan hidungnya. Baru saja
dia meronta berduduk, matanya lantas ketumbuk tinju ini, selanjutnya hanya kunangkunang
di kegelapan saja yang dilihatnya. Kali ini dia benar-benar jatuh semaput.
Pelan-pelan Yap Kay menghela napas,. Perduli orang macam apa sebenarnya Song
Lopan ini, jelas dia bukan orang sembarangan. Bisa menyuruhnya rebah tak berkutik
saja, juga bukannya kerja gampang.
Ke dua kuda itu masih membedal kencang, tiada maksud Yap Kay untuk menahannya.
Tapi tiba-tiba dia malah melompat ke tempat duduk kusir, tali kendali dipegangnya
seraya menggebah kuda supaya lari lebih cepat lagi.
Dia harus mengejar seseorang.
Waktu itu sudah lewat tengah hari.
Yap Kay masih belum menemukan Putala.
Apakah Putala yang hendak dia kejar?
ooo)O(ooo
Kota kuno sudah tentu mempunyai bentuk jalanan yang kuno pula.
Jalan raya di sini dilandasi oleh papan batu hijau, sempit dan miring.
Di sebelah depan ada sebuah kereta barang ditarik keledai. Di atas kereta penuh
bertumpuk kurungan ayam, di dalam kurungan penuh ayam pula, agaknya ayam yang
baru dibeli dari luar kota.
Yang pegang kendali adalah seorang kakek tua, sementara yang memberi makanan
ayam adalah seorang nenek tua, kedua orang sudah sama-sama beruban.
Si nenek berjongkok di atas kereta, sedang memberi umpan kepada ayam yang baru
dibelinya, pinggangnya sudah bungkuk dan tak bisa tegak lagi, demikian pula si kakek
duduk di depan pegang kendali, mengayun cambukpun sudah tidak kuat lagi.
Setiap kota pasti ada penduduk yang makan ayam, malah setiap hari entah berapa
ayam yang menjadi kurban untuk mengenyangkan perut manusia. Kalau penduduk kota
banyak yang makan ayam, sudah tentu ada penjual dan pembeli ayam, kehidupan
seperti ini adalah jamak.
Demikian pula kakek dan nenek ini kelihatannya tiada menunjukkan sesuatu yang
luar biasa. Tapi yang dikejar oleh Yap Kay kelihatannya justru mereka.
Melihat kereta mereka di sebelah depan, Yap Kay bedal keretanya semakin
kencang.
Si kakek berpaling ke belakang, sepasang matanya yang semula guram seperti
lamur, tiba-tiba bersinar terang.
Demikian pula si nenek yang kelihatan lemah, tiba-tiba menjinjing sebuah keranjang
ayam seraya membentak, tahu-tahu dia tuang ayam-ayam yang berada di dalam
kurungan.
Besar kecil ayam jantan betina seketika beterbangan seraya berkotek riuh rendah,
anjing-anjing liar di sepanjang jalanpun ikut memburu seraya menggonggong dengan
ramainya. Ayam terbang, anjing berlompatan, jalan raya yang biasanya ramai tenang itu
mendadak gempar dan kacau balau.
Kedua kuda yang menarik kereta Yap Kay menjadi kaget dan meringkik panjang
sambil berjingkrak berdiri. Setelah Yap Kay berhasil mengendalikan serta memburu ke
depan pula, kereta keledai di depan itu sudah belok ke jalan lain dan menghilang.
Yap Kay tertawa dingin, mendadak dia jejak kaki, badannya melambung naik ke atas
rumah. Dia bertekat betapapun kakek tua itu jangan sampai lolos dari kejarannya.
Kenapa dia mengejar kakek dan nenek?
Kenapa pula kedua orang ini melarikan diri?
ooo)O(ooo
Kereta keledai itu masih terus mencongklang dengan kencang, ayam masih berkotek
dengan ributnya, namun bayangan kedua orang yang ada di atas kereta tahu-tahu
sudah lenyap entah kemana.
Waktu itu kereta keledai lari di jalan samping yang sempit, kereta kuda yang lebih
besar pasti tidak akan bisa masuk kemari.
Jalan sempit ini sepi, tidak kelihatan bayangan seorang manusiapun, pintu-pintu
rumah sepanjang jalan sempit ini semuanya tertutup rapat, pekarangan rumah-rumah
itu kosong tak kelihatan ada orang.
Lalu kemana dan cara bagaimana kakek dan nenek itu mendadak bisa lenyap?
Mereka sembunyi ke rumah siapa?
Sudah tentu Yap Kay tidak mungkin menggeledah setiap rumah. Dia tetap mengejar
kereta keledai yang masih lari kencang itu.
Setelah tiba di ujung jalan sempit ini, kereta tiba di sebuah tanah miring.
Kereta keledai itu tanpa ada orang yang mengendalikan, tapi keledai yang membawa
lari kereta itu ternyata cukup cerdik membawanya lari setengah lingkaran dulu baru
menyusuri tanah miring itu menerjang ke bawah.
Mendadak Yap Kay kembangkan Ginkang-nya, sekali lompat sejauh empat tombak, di
tengah udara badannya terapung meluncur lempang, sebelum badannya mencapai
kereta, di tengah udara dia bersalto. Sekali meluncur turun dan hinggap tepat di
punggung keledai.
Setiba di tanah miring itu, lari keledai menjadi sedikit lambat, tapi Yap Kay duduk
seenaknya di punggung keledai yang menarik kereta itu.
Mendadak dia tertawa, katanya: "Sebetulnya aku tidak mengenalmu, sayang sekali
waktu kau datang amat kebetulan sekali."
Dengan siapa dia bicara? Tiada lain di atas kereta, kecuali ayam dan keledai.
Seorang laki-laki yang normal jelas takkan ajak keledai bicara.
Tapi Yap Kay melanjutkan kata-katanya: "Waktu kalian masuk kota, adalah saatsaat
yang paling ribut tadi. Sebetulnya aku tidak akan bisa melihat kalian."
"Sayang, waktu itu kebetulan aku lompat berdiri di atas joran."
"Tatkala itu, orang-orang yang memasuki pintu kota, bukan hanya kalian berdua
saja. Sebetulnya umpama aku melihat kalian, aku tetap tidak akan menaruh curiga."
"Sayang sekali keadaan kalian waktu itu justru berbeda sekali dengan orang lain."
Sampai di sini Yap Kay mengoceh, baru terdengar seseorang menghela napas dari
bawah kereta keledai.
"Dalam hal apa keadaan kami berbeda dengan orang lain?"
"Masa kau sendiri tidak tahu?" Yap Kay balas bertanya.
"Sedikitpun tidak tahu," orang di bawah kereta berkata, "kurasa keadaan kita
sedikitpun tidak menunjukkan keistimewaan atau keganjilan apa-apa."
"Mungkin! Tapi justru karena keadaan kalian tiada sesuatu yang menonjol dan
berbeda dengan yang lain, maka kalian menjadi luar biasa."
Orang di bawah kereta tidak mengerti apa maksud perkataan Yap Kay. Kecuali Yap
Kay sendiri, mungkin orang lainpun takkan mengerti akan maksud perkataannya.
Oleh karena itu Yap Kay segera menambahkan: "Karena keadaan orang lain waktu
itu luar biasa."
Waktu semua orang yang menyaksikan perkelahian itu sama kaget dan terpesona,
suasananya tegang, haru dan bersemangat, umpama orang-orang yang baru datang dan
mau masuk kotapun takkan urung menoleh dengan mata terbelalak mengawasi Yap Kay
dan si raksasa berkelahi, dengan kaget dan takut-takut.
Akan tetapi kedua kakek dan nenek ini sebaliknya seperti tidak melihat apa-apa,
acuh tak acuh seolah-olah tiada kejadian apa-apa, malah berpaling mukapun tidak.
Yap Kay berkata: "Kalian melirikpun tidak, karena sebelumnya kalian sudah tahu di
tempat itu akan terjadi keonaran, lantaran keonaran itu pula sudah kalian rencanakan
sebelumnya untuk menutupi dan mengelabui pandangan mata orang sehingga kalian bisa
leluasa masuk kota."
Tak terdengar suara apapun dari bawah kereta.
Yap Kay pun tidak bersuara pula. Dengan pegang kendali dia perlambat lari kereta
keledai itu.
Entah berapa lamanya kereta itu berjalan lambat-lambat, tiba-tiba orang di bawah
itu berkata dengan tertawa dingin: "Aku memang salah menilaimu, sungguh tak terduga
olehku bahwa kau adalah orang demikian."
"Aku orang apa?" tanya Yap Kay.
"Orang yang harus mampus!"
Belum habis perkataan ini, keledai penarik kereta tiba-tiba meringkik kaget dan
berjingkrak-jingkrak.
Yap Kay pun ikut melompat.
Di dalam waktu yang sama, dua orang menerobos keluar dari bawah kereta.
Yang satu ke timur dan yang lain lari ke barat.
Gerak-gerik kedua orang sama cepat dan tangkas, jelas kedua orang ini adalah si
kakek dan si nenek yang tadi terbungkuk-bungkuk lemah seperti tak kuat berdiri.
(Bersambung ke Jilid-18)
Jilid-18
Yang dikejar Yap Kay adalah si kakek.
Ginkang kakek ini teramat tinggi, sampaipun Yap Kay, sebetulnya belum tentu bisa
mengejarnya.
Tapi gerak-gerik orang kelihatan sedikit kurang leluasa.
Mungkinkah karena sebelumnya sudah mengendap luka-luka yang amat parah?.
Apakah si kakek ini adalah penyamaran Hu-hong alias Puncak Tunggal yang terluka
oleh Payung Sengkala Kek Pin?
Kali ini Yap Kay tidak menggunakan pisaunya. Bila tidak saking terpaksa dia tidak
akan mau menggunakan pisaunya karena pisaunya tidak khusus untuk membunuh.
Namun Yap Kay sendiripun tidak kalah cepat dan tajamnya dari pisaunya itu. Pisau
terbang.
Berurutan tiga kali lompatan turun naik berjarak, dia sudah berhasil mengejar
kakek tua itu. Sekali jejak kaki dan badan meluncur tinggi ke depan, terus bersalto
sekali, waktu turun lagi dia sudah menghadang di depan si kakek.
Si kakek masih ingin menerjang ke jurusan lain, namun entah kenapa badannya tibatiba
seperti mengejang dan bergemetaran, seakan-akan ada seutas cambuk yang tidak
kelihatan melecut ke pundaknya dengan keras sekali.
Roman mukanya sudah dipoles dengan samaran bentuk lain, sudah tentu tidak
kelihatan bagaimana mimik perasaannya saat itu. Tapi sorot matanya penuh diliputi
derita dan kesakitan, amarah serta kebencian, laksana tajam golok matanya menatap
Yap Kay.
Ternyata kali ini Yap Kay tidak tertawa, diapun prihatin. Mungkin dia ingin tertawa,
namun tak bisa keluar tawanya. Karena dia sudah kenal siapa orang yang menyamar jadi
kaek tua ini.
"Jikalau kau belum terluka, aku terang takkan bisa menyandakmu," kata Yap Kay
menghela napas, "memang kenyataan Ginkang-mu tiada bandingannya di seluruh dunia."
Terkepal kencang tinju si kakek, tanyanya: "Kau sudah mengenaliku?"
Yap Kay manggut-manggut, katanya muram: "Jangan lupa, sebetulnya kita kan
kawan baik, teman kental."
Kakek tua menyeringai dingin, ejeknya: "Aku tidak punya teman seperti
tampangmu."
Dia masih ingin mengepal tinjunya kencang-kencang, membusungkan dada, sayang
sekali badannya sudah mengkeret dan lunglai saking menahan kesakitan. Sampai sorot
matanya yang tajam tadipun mulai pudar. Umpama kedua matanya itu memang seperti
sebatang pisau, namun pisau yang sudah karatan.
"Luka-lukamu amat berat," kata Yap Kay.
Kakek itu kertak gigi, tidak bersuara.
Yap Kay menghela napas, katanya pula: "Setelah terluka parah, seharusnya tidak
perlu kau merendam diri di dalam air panas."
Memang benar, dia sudah mengenali siapa kakek tua ini sebenarnya. Kecuali Hwihou
si Rase Terbang Nyo Thian, siapa pula yang memiliki Ginkang sehebat itu dan
betul-betul membuat Yap Kay takluk?
Seseorang hendak menyembunyikan luka-luka di badannya sendiri, ada tempat mana
lagi yang lebih baik daripada berendam di dalam air panas?
Yap Kay berkata pula: "Tapi orang-orang Kang-ouw, siapapun takkan terhindar dari
luka-luka, dan luka-luka itu bukannya sesuatu hal yang harus dibuat malu dan takut
diketahui orang lain. Kenapa kau mengelabui aku?"
"Karena.............." Nyo Thian tidak kuasa meneruskan kata-katanya.
Apakah karena dia tidak mampu memberi penjelasan? Hakikatnya mulutnya tak
kuasa membeber kedok aslinya sendiri?
"Kau mengelabui aku karena kau tentu mengira aku sudah tahu bila Hu-hong sudah
terluka dan kau harus mengelabui aku lantaran kau adalah Putala Thian-ong alias Huhong
si Puncak Tunggal dari Mo Kau."
Badan Nyo Thian mulai gemetar, namun sepatah katapun tak kuasa dia katakan.
Apakah karena dia tahu hal yang dituduhkan atas dirinya tak mungkin di sangkal
lagi?
Yap Kay menghela napas panjang, ujarnya: "Kepintaranmu selalu kukagumi. Oleh
karena itu sungguh aku tidak habis mengerti, orang sepintar kau, kenapa justru sudi
masuk anggota Mo Kau?"
Nyo Thian akhirnya mengeluarkan suara. Gelak tawa yang aneh dan tak bisa
dilukiskan dengan rangkaian kata-kata.
Kekeh tawanya semakin keras, suaranya berkumandang dan bergema di udara,
anehnya badannya malah semakin menyurut kecil, mengkeret menjadi kecil.
Di dalam waktu sekejap itu, seolah-olah dia sudah berubah menjadi seorang kakek
tua yang sebenarnya. Begitu gelak tawa itu terputus dan berhenti, maka badannyapun
tersungkur roboh.
ooo)O(ooo
Sinar surya tetap cemerlang, namun Yap Kay sudah tidak merasakan kehangatan
sinar surya lagi.
Sudah tentu Nyo Thian lebih tidak merasakan lagi. Dia mati dengan gelak tawanya.
Seseorang bila menjelang ajal masih bisa tertawa, sungguh bukan suatu hal yang
gampang dilakukan. Akan tetapi sebetulnya dia tiada alasan untuk tertawa.
Bila rahasia seseorang terbongkar dan ditelanjangi secara terbuka, perduli dia
masih hidup atau mau mati, jelas tidak akan bisa tertawa.
Lalu kenapa dia tertawa? Kenapa bisa tertawa?
Jari-jari Yap Kay terasa dingin, jidatnya basah oleh keringat, keringat dingin.
Terasakan olehnya di sela-sela gelak tawa Nyo Thian tadi, seolah-olah mengandung
nada mengejek dan menghina yang aneh. Tapi dia tidak bisa menyelaminya, apa maksud
gelak tawanya?
Perduli apa maksudnya, sekarang sudah tiada makna dan sudah tak berarti lagi,
setelah orang mati, segala hak miliknyapun ikut lenyap, ikut kematiannya. Dan hanya
satu hal saja yang dapat di bawa oleh orang mati, yaitu rahasia.
Apakah Nyo Thian pun membawa rahasia?
Orang mati kadang-kadang juga bisa bicara, cuma cara bicaranya saja yang
berlainan.
Apakah diapun bisa mengutarakan rahasianya ini?
Orang hidup bicara dengan mulut, lalu dengan apa orang mati harus bicara?
Menggunakan luka-lukanya.
Luka-luka itu sudah membusuk, yang mengalir keluar dari luka-lukanya adalah darah
yang berbau dan berwarna hitam, namun luka-lukanya ini tidak besar.
Jikalau Yap Kay tidak menyaksikan sendiri, sungguh takkan pernah dia mau percaya,
luka-luka sebesar lubang jarum ini, ternyata bisa dan mampu merenggut jiwa si Rase
Terbang Nyo Thian.
Angin menghembus dingin setajam pisau, namun suasana sepi lengang.
Pisau piranti membunuh bukankah juga tidak pernah mengeluarkan suara?
Tapi suara yang didengar Yap Kay adalah langkah kaki yang berlari-lari mendatangi
tergopoh-gopoh. Dia tidak berpaling, karena dia tahu siapa yang tengah mendatangi.
Yang mendatangi adalah si nenek yang lari ke jurusan lain tadi.
Pakaian yang dipakainya sekarang sudah tentu bukan baju lengan panjang dan gaun
ketat warna hitam itu. Roman mukanya yang putih halus berbentuk bulat telur itu,
sekarang sudah berganti corak lain. Hanya sepasang matanya saja yang tetap tidak
berubah, sepasang mata nan sipit dinaungi alis lentik. Bila tertawa laksana gantolan
yang mampu menggantol hati laki-laki.
Nyo Thian berada di depannya, di bawah kakinya, namun melirikpun dia tidak
kepadanya. Dia menatap kepada Yap Kay, seolah-olah dengan tatapan mata tua ini
hendak menggantol sukma Yap Kay.
Yap Kay menyingkap lengan baju sang korban lalu berdiri. Lama sekali baru dia
bersuara: "Dia sudah mati!"
"Aku dapat melihatnya."
"Apakah dia laki-lakimu?"
"Waktu dia masih hidup."
"Laki-lakimu sudah mati, perduli perempuan macam apapun, sedikit banyak pasti
sedih hati." Yap Kay kini balas menatapnya. "Tapi kulihat kau sedikit sedihpun tidak."
"Memang aku ini seorang janda. Dia bukan laki-lakiku yang pertama, bukan hanya
dia seorang saja orang mati yang pernah kulihat." demikian ujar janda Ong, "peduli
kejadian apa, asal sudah biasa, maka hatipun takkan merasa duka lagi."
Walau dia menghela napas, namun siapapun yang mendengar akan tahu di dalam
helaan napasnya itu sedikitpun tidak menandakan perasaan dukanya.
Yap Kay tidak bisa bicara apa-apa pula. Sedikitnya apa yang diucapkan memang
benar, dan kata-kata yang benar itu biasanya sulit orang untuk mendebatnya.
Tiba-tiba janda Ong balik bertanya: "Kaukah yang membunuhnya?"
"Tentunya kau sudah tahu bahwa dia sudah terluka."
"Tapi barusan dia masih segar bugar, kenapa sekarang tahu-tahu sudah mati?"
"Karena luka-lukanya tidak berat, namun racun yang mengendap di badannya terasa
amat parah."
"Oh..", Janda Ong bersuara dalam mulut.
"Walau dia gunakan obat-obatan menekan dan kendalikan kadar racun itu sehingga
tidak melebar, tapi karena dia lari tadi, dia harus gunakan tenaga, maka kadar
racunnya lantas bekerja dan kumat."
Tiba-tiba janda Ong tertawa dingin, katanya: "Tahukah kau siapa dia sebenarnya?"
Sudah tentu Yap Kay tahu.
"Tahukah kau bukan saja si Rase Terbang Nyo Thian memiliki Ginkang tinggi, malah
diapun memiliki kepandaian serba bisa."
"Mengobati luka-luka memunahkan racun adalah salah satu keahliannya."
"Tapi sekarang kau justru mengatakan dia mati keracunan?"
"Dalam dunia ini masih ada semacam racun yang tak mungkin dia punahkan, maka
kemungkinan saja dia mati keracunan."
"Jadi bukan kau yang membunuhnya?"
"Selamanya aku tidak membunuh temanku sendiri."
"Apa benar dia temanmu?"
Yap Kay menghela napas, katanya muram: "Asal dia sehari pernah menjadi temanku,
selamanya adalah temanku."
Berputar mata janda Ong, tiba-tiba dia merubah sikap, katanya tertawa genit:
"Akupun pernah dengar bahwa kau adalah temannya."
"Memang dia temanku." ujar Yap Kay.
"Tapi akupun ada pernah dengar orang bilang sepatah kata."
"Perkataan apa?"
"Istri teman tak boleh dipermainkan untuk main-main setelah teman mati."
Tawanya genit dan matanyapun jeli, bercahaya laksana rembulan. Katanya pula: "Kalau
tidak salah, kaupun pernah mengatakan perkataan ini."
Yap Kay tertawa getir.
"Sekarang dia sudah meninggal, dan aku masih hidup segar bugar, kau........" Janda
Ong tidak melanjutkan perkataannya.
Yap Kay tahu apa maksud perkataannya. Asal laki-laki tentu mengerti apa yang
dimaksud.
Lama dia mengawasinya, tiba-tiba berkata: "Pernahkah kau melihat Han Tin?"
Sudah tentu janda Ong pernah melihatnya, katanya dengan tertawa: "Bocah itu
sebetulnya juga ada naksir kepadaku, sayang begitu melihat dia, aku lantas muak."
"Kenapa?"
"Karena hidungnya."
Yap Kay tertawa geli.
"Kelihatannya hidungnya itu mirip benar dengan terong yang busuk." kata janda
Ong.
Yap Kay tersenyum, tanyanya: "Tahukah kau kenapa hidungnya itu berubah begitu
jelek?"
"Apakah dipukul orang?"
"Betul!"
"Kau tahu siapa yang memukulnya?"
"Bukan saja tahu, malah aku tahu jauh lebih jelas dari orang lain."
Janda Ong sudah mengerti, katanya tersenyum manis: "Tentu kaulah yang
memukulnya sampai pesek, benar tidak?"
"Benar!," ujar Yap Kay, "oleh karena itu, lebih baik kau lekas menyingkir, bawa
jenazah laki-lakimu ini, kebumikan secara baik-baik."
Janda Ong merasa amat di luar dugaan, katanya: "Kau mengusirku? Kenapa?"
"Karena tanganku sedang gatal, kalau kau tidak lekas menyingkir, aku berani
tanggung, cepat sekali hidungmu akan bisa ku rubah menjadi penyok seperti hidungnya
Han Tin itu."
Seperti dikemplang muka janda Ong. Sesaat dia kemekmek melongo, tanpa bicara
lagi. Agaknya dia cukup tahu diri, tersipu-sipu dia angkat badan Nyo Thian terus
menyingkir.
Setelah orang memasukkan jenazah Nyo Thian ke dalam kereta dan
mencongklangnya pergi, baru Yap Kay putar balik ke arah datangnya semula.
Langkahnya amat lambat. Di kala otaknya berpikir, biasanya dia berjalan pelanpelan.
Keluar dari gang sempit itu, akhirnya dia tiba di jalan besar, di depan masih
berkerumun banyak orang, mengerumuni sebuah kereta bobrok.
Song Lopan sudah mati di atas kereta, badannya hanya dilubangi oleh luka-luka
sebesar jarum. Luka-lukanya tepat di tengah-tengah kedua alisnya.
Yap Kay mendesak ke tengah kerumunan orang, sebentar saja dia memeriksa, lalu
mendesak keluar pula. Ternyata sedikitpun tidak terunjuk rasa kejut di mukanya,
seakan-akan kejadia ini memang sudah berada dalam dugaannya.
Akhirnya dia melangkah balik ke Wan-ping-bun.
Raksasa itupun sudah mati, sama-sama hanya terluka kecil sebesar jarum di
tengah-tengah jidatnya. Luka-luka hanya sebesar jarum, namun si raksasa laksana
menara ini mampu dibikinnya tak berkutik dan melayang jiwanya.
Orang-orang yang berkerumun menyaksikan kematian si raksasa ini lebih banyak.
Baru saja Yap Kay hendak menyingkir diam-diam, mendadak seseorang merenggut
bajunya, katanya menyeringai dingin: "Kau tidak lolos lagi."
ooo)O(ooo
Seseorang perduli pernah tidak melakukan perbuatan tercela atau melanggar
hukum, kalau mendadak dia direnggut bajunya oleh seorang petugas hukum, seorang
opas, siapapun pasti akan terkejut.
Orang yang merenggut baju Yap Kay ini adalah seorang opas yang memegang
pentung pendek dengan topi beledru yang diberi kuncir merah.
Dari samping ada orang yang berteriak: "Yang berkelahi dengan Song Lopan tadi
memang dia........."
"Aku sudah tahu memang dia........."
Opas itu ganti memegang pergelangan tangan Yap Kay, cara pegangnya
menggunakan Siau-kim-na-jiu-hoat.
Kata opas tertawa dingin: "Kau menamatkan dua jiwa manusia, masih berani muncul
lagi, tidak kecil ya nyalimu!"
Sudah tentu kalau mau Yap Kay gampang saja membebaskan diri dari pegangan
tangan orang. Menghadapi ilmu Siau-kim-na-jiu-hoat yang ada 72 jalan itu, sedikitnya
dia punya 144 macam cara untuk memecahkannya. Tapi dia tidak berbuat demikian. Dia
mandah saja tangannya dipegang. Bukan dia takut menghadapi opas ini, namun dia
patuh dan menghormati petugas hukum ini.
Peduli opas ini manusia macam apa, dia tetap sama patuh dan menghormatinya,
karena yang dia hormati bukan pribadi opas, namun adalah undang-undang hukum yang
diwakili oleh si opas untuk ditegakkan pada jalan yang lurus dan benar. Malah membela
diri atau mungkir serta mendebatpun tidak.
Peristiwa serumit ini memang si opas takkan bisa memberi pengertian. Tak mungkin
orang paham meski kau menjelaskan sampai ludahmu kering. Hakekatnya Yap Kay
memang tidak bisa memberi sangkalan atau penjelasan. Di tempat seramai inipun bukan
letaknya untuk dia bicara.
Lekas sekali opas itu sudah mengurusnya naik ke sebuah kereta, bentaknya
beringas: "Jiwa manusia menyangkut firman Thian, undang-undang kerajaan harus
ditegakkan, umpama kau punya nyali setinggi langit, akupun tak usah kuatir kau takkan
mengaku."
Yap Kay menurut saja digusur naik kereta. Setelah kereta bergerak meluncur ke
depan, tak tahan baru dia bertanya: "Sebetulnya apa keinginanmu atas diriku?"
"Peduli apa, ku sekap kau lebih dulu."
"Lalu bagaimana?"
"Lalu kugunakan ayam muda membikin kaldu dicampur kolesom yang paling baik
mutunya. Kubikinkan empat lima macam hidangan untuk teman arak Cu-yap-ceng yang
kupanasi. Silahkan kau makan sekenyangmu."
Seketika bersinar kedua biji mata si opas, sorot mata yang senang dan geli,
suaranyapun berubah lembut dan halus laksana hembusan angin sepoi-sepoi di musim
semi.
Yap Kay menghela napas, katanya getir: "Sekarang terhitung aku sudah mengerti,
kiranya kau hendak melolohku sampai mati."
ooo)O(ooo
Tim ayam yang disedu dengan kolesom masih mengepulkan uap hangat. Enam
masakan mengiring makan adalah sepiring daging kepala babi goreng, sepiring saos
udang, sepiring ayam Pauhi, sepiring rebung goreng masak Haysom, semangkok sop
telur burung dan sepiring sosis babi dicampur tiram goreng. Di samping itu ada pula
sebungkus kacang kulit. Cu-yap-ceng ternyata sudah dihangatkan pula.
Bagi orang-orang daerah utara minum arak memang ada seninya. Bukan saja arak
kuning harus diseduh baru diminum, demikian pula Cu-yap-ceng yang disuguhkan inipun
menirukan cara yang berseni itu.
Tiga cangkir arak masuk perut, seketika pertempuran sengit di malam hari, lukaluka
kecil yang mengeluarkan darah kental hitam, seakan-akan sudah terlupakan sama
sekali oleh Yap Kay.
Siangkwan Siau-sian mengawasinya sambil bertopang dagu di seberang meja,
katanya tertawa lebar: "Untuk meloloh kau sampai mati, agaknya bukan soal gampang."
Yap Kay tidak bersuara, mulutnya tidak sempat menjawab.
"Walau cepat sekali kau melalap hidangan ini, namun arak sedikit yang kau minum."
Dengan ujung matanya Yap Kay melirik orang, katanya: "Sebetulnya kau hendak
melolohku mati dengan arak ini atau ingin aku menghabiskan hidanganmu sampai
perutku pecah?"
"Sebetulnya aku ingin membuatmu kaget sampai mati," kata Siangkwan Siau-sian,
"jelas kau tahu bahwa orang-orang di sekitar kejadian itu sama tahu bahwa barusan
kau bertengkar dan berkelahi dengan Song Lopan dan si raksasa, ternyata kau masih
berani putar kayun di tempat itu. Kiranya nyalimu memang keliwat besar."
"Kau kuatir aku dikenali orang dan ditangkap serta diserahkan kepada opas?"
"Bagaimana juga daripada terlibat banyak urusan lebih baik kau menghindarinya,
kenapa harus mencari kesulitan?"
"Oleh karena itu kau lantas menyibukkan diri menyamar jadi opas pura-pura
membekukku?"
"Sebetulnya aku sendiripun rada takut."
"Apa yang kau takutkan?"
"Aku takut bila kesamplok dengan opas yang sungguhan."
Yap Kay menghela napas, katanya: "Tak kukira, ada juga sesuatu dalam dunia ini
yang masih ditakuti Siangkwan Pangcu."
"Memangnya kau kira hanya satu hal itu belaka yang selalu kutakuti?" ujar
Siangkwan Siau-sian menghela napas.
"Apa lagi yang kau takuti?"
"Yang jelas akupun takut kepada Yap Pangcu."
"Yap Pangcu?"
"Siapakah Yap Pangcu dari Hoa-seng-pang, masakah kau sudah melupakannya?"
Yap Kay tertawa besar, segera dia angkat cangkirnya terus tenggak secangkir
penuh. Tiba-tiba dia bertanya: "Menurut pendapatmu, Hoa-seng (kacang) lebih baik
atau Kim-ci (uang emas) lebih baik?"
"Aku tidak tahu," sahut Siangkwan Siau-sian, "yang jelas uang seketip cukup untuk
membeli banyak kacang."
"Tapi sifat kacang itu sendiri sedikitnya ada yang lebih baik dari uang emas."
"Dalam hal apa kacang lebih baik dari uang emas?"
"Kacang boleh dimakan."
Yap Kay menguliti sebutir kacang, terus dilempar ke atas dan dicaplok mulutnya
waktu melayang jatuh. Pelan-pelan dikunyahnya, lalu meneguk araknya pula. Katanya:
"Jikalau kau bisa mengiring arak dengan uang emasmu, baru aku betul-betul tunduk
dan mengakui kau memang hebat."
"Apa yang kau katakan selalu rasanya memang masuk di akal."
"Sudah tentu, memangnya harus disangsikan?"
"Sayang kau melupakan satu hal," ujar Siangkwan Siau-sian, "tanpa uang, tiada arak,
tak bisa makan kacang."
Sekilas Yap Kay berpikir, akhirnya dia mengakui: "Apa yang kau katakan
kedengarannya juga bukannya tidak beralasan."
"Sudah tentu," ujar Siangkwan Siau-sian senang.
"Tapi kaupun melupakan satu hal." ujar Yap Kay, "belum cukup kalau punya uang
saja, uang emas itu sendiri belum tentu bisa membikin hidup manusia gembira."
Tanpa pikir Siangkwan Siau-sian lantas mengakui: "Oleh karena itu selama ini aku
sedang berusaha mencarinya."
"Mencari apa?"
Siangkwan Siau-sian menatapnya, matanya nan indah selembut alunan air, katanya:
"Mencari sesuatu yang benar-benar bisa membuat hatiku gembira."
Dingin suara Yap Kay: "Kecuali uang emas, apa pula yang ada dalam dunia ini bisa
membuatmu gembira?"
"Hanya satu saja."
"Apakah itu?"
"Kacang!"
Yap Kay terloroh-loroh. Kembali dia membuka sebutir kacang, serta berkata
tertawa: "Kau kembali melupakan satu hal, bahwa uang emas dan kacang hakikatnya
bukan pasangan yang setimpal."
"Bukankah paku dan palu juga bukannya pasangan setimpal?"
Yap Kay mengakui dan sepandangan.
"Tapi bilamana mereka berada bersama, semuanya sama-sama senang."
"Sama-sama senang?"
Siangkwan Siau-sian manggut-manggut.
"Karena tanpa palu, paku itu tidak akan berguna, tiada paku, palu itu sendiripun
tidak bisa menunjukkan manfaatnya." dengan tersenyum dia menambahkan: "Jikalau
seorang tidak bisa mengembangkan bakat dan manfaat dirinya bagi orang banyak, itu
berarti barang rongsokan yang tak berguna lagi. Bukankah barang buangan takkan bisa
senang?"
Yap Kay setuju dan dapat menerima perumpamaan ini.
"Oleh karena itu mereka hanya bersatu padu baru bisa sama-sama senang."
Sorot matanya memandang tajam, meneliti mimik muka Yap Kay.
Yap Kay malah melengos menghindari tatapan orang. Dia menyingkir dari
kenyataan?
Siangkwan Siau-sian meneruskan: "Aku tahu dalam hatimu pasti juga sudah
mengerti, bahwa apa yang ku utarakan seratus persen memang beralasan."
Yap Kay tidak bisa menyangkal.
"Sekarang Tolka, Putala dan Panjapana sudah mati, tiga di antara Su-toa-thian-ong
sudah mati. Walaupun rongsokan-rongsokan itu belum seluruhnya dihancurkan, tetap
takkan berguna lagi."
Kerlingan matanya selembut alunan ombak, kembali berubah setajam paku yang
menancap di ulu hati orang. Tapi dia bukannya paku, dia hanyalah sebuah palu.
"Kalau Mo Kau sudah runtuh, di seluruh jagat raya ini, aliran atau golongan mana
yang bisa berdiri menandingi kebesaran kita?"
"Kita?" seru Yap Kay melengak.
"Ya, kita!" ujar Siangkwan Siau-sian. Diapun tidak tertawa.
"Sekarang Kim-ci ditambah Hoa-seng, yang dilambangkan di dalam simbol persatuan
ini bukan hanya kesenangannya saja."
Yap Kay tengah mengunyah kacang. Kacang biasanya dikunyah orang, sebaliknya
kalau paku selalu di palu. Akan tetapi bilamana tiada manusia mengunyah, tetap kacang
itu akan membusuk juga, kalau tiada orang yang memalu, paku itu sendiripun akhirnya
bisa karatan.
Lalu apakah nilai kehidupan itu? Bukankah kacang memang harus dikunyah oleh
orang? Demikian pula bukankah paku pasti harus di palu bila dimanfaatkan manusia?
Lalu kehidupan atau manfaat mereka baru bisa berguna secara nyata.
Agaknya hati Yap Kay sudah tergerak dan mulai terbujuk.
Halus lembut suara Siangkwan Siau-sian: "Aku tahu di dalam benakmu pasi
beranggapan bahwa aku menginginkan kau menjadi paku."
"Memangnya kau tidak berpikir demikian?" tanya Yap Kay.
"Kau tentu bisa melihatnya, bahwa aku bukan sebuah palu yang menakutkan." kata
Siangkwan Siau-sian seraya mengulur tangan mengenggam tangan Yap Kay.
Tangannya halus lembut laksana sutra.
Yap Kay menghela napas, katanya: "Kau memang bukan, sayang sekali........."
"Sayang sekali, di antara kacang dan uang emas itu, masih ada sebuah kelintingan?"
Yap Kay hanya menyengir kecut.
"Ting Hun-pin memang seorang gadis yang baik sekali, jikalau aku ini laki-laki,
akupun akan mencintainya."
"Tapi kau bukan laki-laki."
"Sedikitnya aku tidak membenci dia."
"Apa benar?"
Siangkwan Siau-sian tertawa-tawa, katanya tawar: "Jikalau aku membenci dia,
kenapa aku membawa kau untuk menemui dia?"
"Lalu kenapa?" tanya Yap Kay menatap muka orang.
"Karena aku sekarang sudah mengerti, laki-laki seperti dirimu, bukan hanya seorang
perempuan saja yang boleh memilikinya, kau tidak bisa di monopoli seorang perempuan,
aku sendiri sudah tiada pengharapan seperti itu."
Tatapannya lebih manis, aleman, katanya pula merdu: "Uang emas bisa digembleng
jadi sebuah kelinting, kelinting itupun bisa dipukul gepeng menjadi besi, lalu kenapa aku
tidak bisa berubah menjadi satu orang sama dia?"
Yap Kay tetap menyingkir dari tatapan mata orang.
"Umpama kata, kau dapat memandangku sama dia menjadi satu orang, kita pasti
bisa memperoleh kesenangan, kalau tidak.....?"
"Kalau tidak bagaimana?" tanya Yap Kay tak tertahan.
"Kalau tidak Kim-ci (Uang emas), Hoa-seng (Kacang) dan Ling-tang (Kelinting) bukan
mustahil akhirnya akan sama-sama menderita dan hidup merana sepanjang umurnya."
Akhirnya Yap Kay berpaling mengawasinya.
ooo)O(ooo
Hari sudah mendekati magrib.
Matahari sudah sampai di garis cakrawala, pelan-pelan tapi pasti, sinarnya sudah
tidak lagi dapat menembus tabir gelapnya malam yang turun pelahan-lahan, tetapi pasti
akan menelan bumi. Dan sinar surya terakhir kali masih menyinari daun jendela itu,
memancarkan cahaya kuning nan guram mirip sinar lampu yang terpasang di dalam
rumah, hangat laksana di musim semi.
Kerlingan mata Siangkwan Siau-sian justru lebih hangat dan cemerlang dari cahaya
surya terakhir menjelang senja ini. Mungkin musim semi adalah dia yang membawanya
dtang.
Seorang perempuan yang bisa membawa datangnya musim semi, bukankah
merupakan impian bagi setiap laki-laki yang merindukannya?
Siangkwan Siau-sian menggigit bibir, katanya: "Gelagatnya belum pernah kau
memandangku seperti kali ini."
"Aku....."
"Kau jarang mengawasi aku, maka kau belum jelas mengetahui hakikatnya
perempuan macam apa aku ini, dan justru karena kau belum tahu perempuan macam apa
sebetulnya aku ini, maka kau jarang mau melihati diriku."
Yap Kay mengakui kebenaran ini.
Kerlingan lembut mata Siangkwan Siau-sian kelihatan muram dan syahdu, katanya:
"Aku tahu kau pasti beranggapan bahwa aku ini perempuan yang paling sembarangan,
punya dan sering bergaul dengan banyak laki-laki, yang benar.....yang benar, kelak kau
akan tahu sendiri....."
"Tahu apa?", tanya Yap Kay
Tertunduk kepala Siangkwan Siau-sian, katanya lirih: "Kelak kau akan tahu, kau
bukan saja adalah laki-lakiku yang pertama, juga laki-lakiku yang terakhir."
Ini jelas bukan membual, seorang perempuan yang pintar, jelas tidak akan sudi
membual karena bualannya itu sembarangan waktu mungkin saja terbongkar. Hal ini
sekaligus membuktikan bahwa dia memang betul-betul seorang gadis yang cerdik.
Hati Yap Kay yang kukuh keras itu seakan-akan sudah luluh, tanpa sadar dia
menggenggam kencang tangannya, katanya halus: "Tak perlu menunggu sampai kelam,
sekarang juga aku sudah percaya."
Bercahaya mata Siangkwan Siau-sian, segera dia berjingkrak berdiri serunya:
"Hayolah, kita cari kelintingan."
"Dia..."
"Bahwa dia tahu menyembunyikan diri ke sini, pastilah kesadarannya belum lenyap
seluruhnya, asal kita merawat dan mengasuhnya dengan baik dan hati-hati, dia pasti
akan lekas sembuh."
Terunjuk rasa terima kasih pada pandangan mata Yap Kay, kelihatannya selama ini
dia memang belum menyelami jiwa gadis ini sesungguhnya.
"Tadi, waktu aku keluar, dia sudah tidur lagi, aku suruh Han Tin menunggu dan
melindunginya."
"Si gurdi itu?"
"Asal kau bisa menggunakannya, gurdipun banyak manfaatnya."
"Kau sudah bisa mempercayai dia?"
"Dia bukan laki-laki baik, tapi aku sudah yakin, dia pasti tidak akan berani berbuat
sesuatu yang mendurhakai diriku."
Tempat di mana mereka minum arak, sudah tentu berada di Leng-hiang-wan juga,
maka cepat sekali merekapun bisa sampai ke tempat Ting Hun-pin.
Melewati pintu di pojok tembok sana, mereka memasuki pekarangan di mana Ting
Hun-pin menempati sebuah kamar.
Senjapun menjelang.
Suasana dalam pekarangan tenteram, tenang dan damai. Pintu hanya dirapatkan
saja, lampu belum di sulut di dalam kamar.
Melewati pekarangan kecil yang lengang itu, mereka tiba di depan pintu. Baru
sekarang Siangkwan Siau-sian melepaskan tangan Yap Kay.
Bukan saja dia lembut, diapun prihatin dan telaten meladeni. Lelaki selalu haru dan
bisa tunduk karena perempuan yang telaten meladeni.
"Dia tentu masih tidur nyenyak."
"Bisa tidur adalah keberuntungannya."
Siangkwan Siau-sian tersenyum. Pelan-pelan dia mendorong daun pintu, Yap Kay ikut
masuk di belakangnya, namun belum lagi kakinya melangkah ke kamar, tiba-tiba terasa
olehnya badan Siangkwan Siau-sian berhenti dan kaku mengejang.
ooo)O(ooo
Di dalam rumahpun sunyi lengang, tenang dan tenteram, kehangatan sinar surya
masih terasakan di pojokan rumah sana, namun orang yang sebetulnya ada di rumah
sudah tidak kelihatan lagi.
Ting Hun-pin hilang, demikian pula Han Tin lenyap.
Dengan terbelalak kaget Siangkwan Siau-sian mendelong mengawasi ranjang yang
kosong. Saking gugup air matapun sudah bercucuran membasahi pipinya.
Yap Kay malah lebih tenang dan tabah, dengan kalem dia menyulut lampu, lalu
bertanya: "Kau menyuruh Han Tin menjaga di sini?"
Siangkwan Siau-sian manggut-manggut.
"Mungkinkah dia meninggalkan tempat ini?"
"Tidak mungkin! Aku berpesan wanti-wanti kepadanya, tanpa perintahku, dia tidak
akan berani meninggalkan ini barang satu langkahpun."
"Kau yakin benar?"
"Dia tidak akan berani menentang kehendakku. Dia masih ingin hidup."
"Tapi kenyataan sekarang dia tidak berada di sini."
Pucat muka Siangkwan Siau-sian, ujarnya: "Kukira pasti ada sebabnya, pasti
ada........."
"Menurut pendapatmu, karena apa dia pergi dari sini?"
Siangkwan Siau-sian tidak menjawab, dia tidak bisa memberi jawaban.
"Bukan saja dia pergi, malah diapun menggondol Ting Hun-pin, dia.............."
"Ting Hun-pin pasti bukan dia yang membawa pergi." tukas Siangkwan Siau-sian.
"Kau berani memastikan?"
Siangkwan Siau-sian manggut-manggut.
Dia memang bukan orang yang berani berkeputusan secara serampangan, analisa
dan putusannya biasanya amat tepat.
"Pukulan batin dan rasa kagetnya terlalu berat, oleh karena itu hatinya selalu
diliputi ketegangan, sekali-kali tidak boleh mengalami sedikit pukulan lahir batin lagi."
"Menurut pendapatmu, apa pula yang terjadi si ini, sehingga dia kaget, maka
mendadak dia melarikan diri."
"Tentunya begitulah kejadiannya."
"Kalau dia melarikan diri, sudah tentu Han Tin harus mengejarnya."
"Oleh karena itu mereka berdua tidak berada di sini pula."
"Di kala dia pergi mengejar, kenapa tidak meninggalkan sesuatu tanda, supoaya kita
bisa ikut mengejar menurut petunjuknya."
"Pasti mengejar secara mendadak dan tergopoh-gopoh, di dalam waktu sesingkat
itu tidak sempat lagi untuk meninggalkan sesuatu petunjuk."
Yap Kay hanya menghela napas saja, tidak bertanya lebih lanjut. Biasanya memang
dia bukan orang yang selalu panik dan kebingungan sendiri setiap menghadapi
persoalan, selamanya dia tetap tenang dan tabah menghadapi peristiwa segenting
apapun. Semakin besar tekanan dan peristiwa yang dia hadapi, semakin tabah dan
mantap hatinya.
Kata Siangkwan Siau-sian menggigit bibir: "Kalau dia pergi mengejar, perduli
kucandak atau tidak, akhirnya pasti akan kembali memberi kabar."
"Ya!", kata Yap Kay.
"Sekarang umpama kita mau keluar mencarinya, juga tidak tahu kemana harus
menemukan dia." demikian dia mengoceh sendirian "Oleh karena itu sementara kita
hanya bisa menunggu saja di sini, menanti kabar."
Yap Kay tetap tenang-tenang seraya bersuara dalam mulut.
Siangkwan Siau-sian mengawasinya, akhirnya dia sendiri tidak sabar lagi, tanyanya:
"Kelihatannya kau sendiri malah tidak gugup?"
"Buat apa gugup, apa gunanya gugup?"
"Tidak ada gunanya?"
"Kalau tiada gunanya, kenapa aku harus gugup."
Kedengaran jawaban Yap Kay acuh tak acuh dan wajar, namun air mukanyapun sudah
tidak seperti biasanya. Pelan-pelan dia duduk di pinggir ranjang setelah ada tempat
buat duduk. Kenapa dia tidak merebahkan diri? Dan akhirnya memang dia merebahkan
diri di atas ranjang.
Sebaliknya saking gelisah dan gugup Siangkwan Siau-sian tidak betah lagi duduk di
kursinya, katanya mengerut alis: "Tempat ini terlalu dingin, lebih baik kita........."
Belum habis dia bicara, tiba-tiba Yap Kay berjingkrak bangun, seolah-olah dia
terbacok golok saking kagetnya. Kebetulan dia menghadap ke arah lampu, tampak
mimik mukanya seperti diiris pisau.
Selamanya belum pernah Siangkwan Siau-sian melihat mimik orang yang begitu
kaget dan ketakutan. Sesaat dia melongo dengan jantung berdebar-debar, tanyanya
memberanikan diri: "Ada apa?"
Yap Kay tidak bersuara, seakan-akan tenggorokannya sudah mengejang kaku sampai
mulutnya tak kuasa terpentang lagi, sehingga suaranyapun tak bisa keluar.
Lekas Siangkwan Siau-sian maju menghampiri. Begitu dia tiba di depan ranjang,
wajahnya nan cantik jelita seketika berubah hebat. Berbareng hidungnya mencium
sesuatu bau yang aneh, bau yang memualkan dan bisa bikin orang muntah-muntah. Bau
anyirnya darah.
Mereka tiada yang terluka dan mengeluarkan darah, lalu darimana datangnya bau
amis ini?
Cari punya cari akhirnya ketemu, bau amis itu keluar dari bawah ranjang.
Darimana datangnya bau amis itu, kok bisa berada di bawah ranjang? Memangnya di
bawah ranjang ada orang mati? Lalu siapakah yang mati di bawah ranjang?"
Ranjang dipan itu tidak terlalu besar, sekali angkat dengan gampang segera
tersingkap. Beberapa pertanyaan itu lekas sekali sudah terjawab. Namun Yap Kay
tidak mengulurkan tangan, lengannya kaku, jari-jarinya mengejang, sungguh dia tiada
keberanian untuk mengangkat ranjang ini.
Jikalau benar ada mayat di bawah ranjang, maka yang mati pasti adalah Ting Hunpin.
Sementara itu Siangkwan Siau-sian sudah ulurkan tangan.
Memang benar di bawah ranjang ada sesosok mayat. Belum lama dia mati karena
darah masih mengalir dan belum kering.
Ternyata yang mati bukan Ting Hun-pin, namun Han Tin.
ooo)O(ooo
Yap Kay melongo, Siangkwan Siau-sian terkejut dan menjublek.
Bagaimana mungkin yang mati malah Han Tin?
Yap Kay tidak mengira, Siangkwan Siau-sian tidak habis mengerti.
Bahwa kenyataan Han Tin sudah mati di sini, lalu dimana Ting Hun-pin?
Pelan-pelan Siangkwan Siau-sian menurunkan ranjang, pelan-pelan putar badan
melangkah lambat-lambat ke jendela serta mendorongnya membuka.
Di luar jendela tabir malam hitam pekat, tanpa belas kasihan dia sudah menelan
bumi bulat-bulat.
Menghadapi tabir malam yang tidak kenal kasihan ini, lama Siangkwan Siau-sian
menepekur. Setelah menghirup napas segar, baru dia bersuara pula: "Ternyata dia
membunuh Han Tin lebih dulu, baru melarikan diri."
"Kau kira diakah yang membunuh Han Tin?"
"Kau kira bukan dia yang membunuhnya?"
"Pasti bukan!"
"Kau bisa membuktikannya?"
"Ilmu silat banyak ragamnya, yang paling menakutkan dan paling manjur justru
hanya satu."
"Satu yang mana?"
"Hanya ilmu silat piranti membunuh baru betul-betul kepandaian silat yang paling
manjur."
Siangkwan Siau-sian manggut-manggut, dia dapat menerima pendapat ini. Diapun
tahu banyak orang memiliki sifat tinggi hati, namun dia tidak bisa membunuh dan takut
berani membunuh orang.
"Di dalam ilmu kepandaian untuk membunuh orang, jelas sekali Ting Hun-pin terpaut
jauh dibanding Han Tin, dia bukan tandingan Han Tin."
"Oleh karena itu kau berani memastikan bahwa kematian Han Tin bukan karena
Ting Hun-pin yang membunuhnya."
"Ya, pasti bukan!"
"Tapi sekarang Ting Hun-pin sudah pergi, Han Tin kenyataan sudah mati di sini."
Inilah kenyataan, siapapun takkan bisa mendebat dan menumbangkan kenyataan.
"Jikalau bukan Ting Hun-pin yang membunuhnya? Lalu siapakah yang
membunuhnya?"
Memang tidak banyak tokoh-tokoh silat yang mampu membunuh Han Tin, apalagi
kecuali Ting Hun-pin, tiada orang lain di dalam rumah ini.
"Jikalau dia tidak mati, pasti tidak akan membiarkan Ting Hun-pin pergi,
memangnya ada orang membunuhnya lebih dahulu baru menggondol pergi Ting Hunpin?",
Siangkwan Siau-sian mengutarakan pikirannya.
Siapa yang mampu menjawab pertanyaan ini?
Yap Kay bergerak ke arah jendela yang lain, diapun mendorong daun jendela. Lain
jendelanya, namun tabir malam di luar jendela sama-sama gelap pekat, sama-sama
dingin dan sama-sama tidak kenal kasihan.
Lama dia berdiri menjublek tanpa bergeming sedikitpun, sorot matanya segelap
tabir malam yang menelan bumi di luar jendela.
Siangkwan Siau-sian tertunduk dan termangu-mangu, akhirnya dia menghela napas,
katanya: "Tadi seharusnya tidak pantas kuajukan pertanyaanku."
Yap Kay diam saja.
"Satu hal yang paling penting sekarang adalah selekasnya berusaha menemukan
Ting Hun-pin, dia.........."
"Tidak perlu mencarinya," tiba-tiba Yap Kay menukas kata-katanya.
Siangkwan Siau-sian melengak keheranan, selamanya tak pernah terpikir olehnya
bahwa Yap Kay bakal mengeluarkan perkataan ini. Tak tahan dia berpaling serta
mengawasinya dengan kaget.
"Maksudmu, kita tidak perlu mencarinya?"
"Ya, tidak perlu."
"Kenapa tidak mencarinya?"
"Kalau sudah ada orang yang tahu di mana dia sekarang berada, kenapa susah-susah
mencarinya?"
"Siapa yang tahu dimana sekarang dia berada?"
"Kau!"
Siangkwan Siau-sian semakin kaget, serunya: "Maksudmu, bahwa aku tahu di mana
dia berada?"
"Sudah kukatakan dengan jelas, kau sendiripun mendengar dengan terang."
Terbeliak mata Siangkwan Siau-sian mengawasi Yap Kay, tidak bergerak, tidak
bersuara, seperti terlongong.
Yap Kay berkata: "Tiga dari Su-toa-thian-ong Mo Kau memang sudah mati, namun
Hu-hong si Puncak Tunggal sendiri belum mati."
"Nyo Thian belum mati maksudmu?"
"Nyo Thian bukan Hu-hong, juga bukan Lu Di."
"Apakah Nyo Thian tidak terluka?"
"Dia memang terluka, cukup parah malah, tapi orang yang terluka belum tentu pasti
Hu-hong."
Memang, bola itu bundar, tapi belum tentu setiap benda bundar pasti bola.
"Jikalau dia bukan Hu-hong karena tidak berani memberitahu kepadamu kalau dia
terluka, kenapa dia mengelabui kau?"
"Karena diapun menyangka aku adalah budakmu, dikiranya aku sudah masuk Kim-cipang."
Siangkwan Siau-sian tiba-tiba menghela napas, ujarnya: "Apa yang kau katakan,
sepatah katapun aku tidak mengerti."
"Kau harus mengerti, dan hanya kau saja yang mengerti."
"Kenapa?"
"Karena orang yang turun tangan melukai dia adalah kau."
"Jikalau aku tidak memahami dirimu, pasti mengira kau sedang mabuk."
"Selamanya belum pernah aku berpikiran sejernih dan sesadar sekarang."
"Nyo Thian sebetulnya adalah pembantuku, kenapa aku turun tangan melukai dia?"
"Karena dia hendak membunuhmu lebih dulu."
Siangkwan Siau-sian tertawa, tawanya mirip sekali dengan senyuman Yap Kay dikala
dia kehabisan akal bersikap apa boleh buat.
Namun kali ini justru Yap Kay tidak tertawa. Sikap dan mukanya kini selamanya tak
pernah seserius seperti sekarang ini. Dengan muka sungguh-sungguh, dia berkata:
"Sudah lama dia punya niat hendak membunuhmu, namun tiada kesempatan, terpaksa
dia mencoba membunuhmu dengan menyerempet bahaya."
"Membunuh secara gelap?"
Yap Kay manggut-manggut, katanya: "Mungkin dia menilai rendah ilmu silatmu,
mungkin secara tidak sengaja dia menemukan dirimu terluka, maka dia berkeputusan
menggunakan kesempatan ini untuk mencoba menyerempet bahaya."
Siangkwan Siau-sian diam saja, dia sedang pasang kuping. Dia tidak mendebat,
seakan-akan dia anggap persoalan ini tidak perlu dia debat meski secara langsung
menyangkut dirinya.
"Di kala dia berkeputusan turun tangan, tentunya terjadi pada malam tanggal satu
yaitu malam tahun baru."
Siangkwan Siau-sian tertawa, katanya: "Jikalau hendak membunuh seseorang
secara diam-diam, malam tahun baru memang waktu yang tepat dan paling baik."
"Waktu dia pergi membunuh, sudah tentu mengenakan kedok muka."
"Sudah tentu!" ujar Siangkwan Siau-sian.
Memang siapapun yang hendak jadi pembunuh secara diam-diam, pasti menutupi
mukanya dengan secarik kain atau sapu tangan. Memangnya siapa yang sudi kebongkar
kedok aslinya?
"Semula dia kira rencananya sudah matang, maka keyakinannya terlalu besar. Tak
tahunya kepandaian ilmu silatmu jauh lebih tinggi dari apa yang dia bayangkan, oleh
karena itu bukan saja dia tidak berhasil, malah dia kena kau lukai."
"Untuk membunuh aku, memang bukan suatu hal yang gampang."
"Tapi, kaupun agak menilai rendah dia."
"Apanya yang kunilai rendah?"
"Ginkangnya teramat tinggi, walau tidak tercapai keinginannya membunuhmu, dia
tetap masih bisa melarikan diri."
"Hendak menangkap seekor rase yang bisa terbang, sudah tentu bukan kerja yang
mudah."
"Kau kira dia sudah tersambit jarummu yang beracun, umpama bisa melarikan diri,
pasti takkan bisa lari jauh. Siapa tahu dia ada memiliki obat mujarab yang khusus
untuk mengobati macam-macam racun, ternyata obatnya itu sementara dapat
mempertahankan jiwanya."
"Tapi asal aku bisa mencari tahu siapa-siapa yang terluka, aku akan segera tahu
siapakah pembunuh gelap itu."
"Oleh karena itulah dia mengelabui aku, tidak berani memperlihatkan luka-lukanya
kepadaku."
"Pasti dia menyangka akulah yang mengutusmu untuk menyelidiki siapakah
pembunuh itu."
"Sudah tentu dia tidak pernah menyangka bahwa kau sudah tahu bahwa
pembunuhnya adalah dia."
"Darimana aku tahu?"
"Dia kira janda Ong itu sudah tunduk lahir batin dan patuh kepadanya, dia kira
janda Ong bisa menyimpan rahasianya, tak nyana......"
"Tak nyana janda Ong justru memberitahu rahasia ini kepadaku."
"Betapapun cerdik pandainya laki-laki, bukan mustahil bila akhirnya dia jatuh
karena dijual dan dikhianati oleh perempuan."
"Mungkin lantaran kaum laki-laki umumnya selalu menyangka perempuan adalah
kaum lemah, perempuan semuanya bodoh."
Yap Kay manggut dan sependapat.
"Kalau aku sudah tahu bahwa dia itulah pembunuhnya, kenapa tidak kubunuh dia?"
"Karena untuk membunuh orang yang kau incar, biasanya kau suka meminjam tangan
orang lain."
"Bisa meminjam senjata orang lain untuk membunuh seseorang yang diincarnya,
memang suatu hal yang menggembirakan."
"Kalau kau gembira, sebaliknya aku tidak senang."
"Kenapa?"
"Karena kali ini yang ingin kau pinjam adalah pisauku."
"Aku ingin meminjam pisaumu untuk membunuh Nyo Thian?"
"Hu-hong terluka, aku sedang mencari Hu-hong, kebetulan Nyo Thian pun terluka,
malah dia tidak berani memberitahu tentang luka-lukanya itu kepadaku, soal lain tak
ubahnya seperti satu tambah satu ditambah lagi satu, sudah tentu menjadi tiga."
"Oleh karena itu aku berpendapat bilamana kau bisa menemukan Nyo Thian, pasti
bisa mengira bahwa dia itulah Hu-hong."
"Semula aku sendiripun hampir menyangka bahwa dia itulah Hu-hong."
"Penjelasanmu yang panjang lebar ini kedengarannya masuk di akal, sayang kau
melupakan satu hal."
"Satu hal apa?"
"Untuk membunuh orang pasti ada sebab musababnya. Untuk membunuhku, sudah
tentu harus mempunyai alasan yang baik, karena siapapun harus tahu bahwa apa yang
harus dia kerjakan bukanlah suatu kerja yang mudah."
Yap Kay membenarkan.
Memang bukan soal gampang untuk membunuh Siangkwan Siau-sian.
"Nyo Thian cukup tahu akan keadaan diriku, terhadapnya akupun cukup baik, kenapa
dia berani menyerempet bahaya hendak membunuhku?"
"Akupun cukup mengenal watak dan karakternya, dia memiliki ambisi yang terlalu
besar, karena ambisinya itulah maka dia mau masuk ke Kim-ci-pang."
Untuk pendapat Yap Kay ini, Siangkwan Siau-sian dapat menerimanya.
"Semakin mendalam dan tinggi kedudukannya, semakin jelas mengetahui betapa
besar kekuatan Kim-ci-pang, maka semakin besar pula ambisinya."
"Sayang sekali sehari aku masih hidup, untuk selamanya ambisinya itu tidak akan
terlaksana."
"Oleh karena itu, betapapun besar bahaya yang harus dia hadapi, akhirnya dia
nekad untuk membunuh juga."
Ambisi memang tak ubahnya seperti air bah, begitu melanda, pasti takkan ada
orang yang mampu mengendalikannya, sampaipun diri sendiri, takkan bisa menekan
keinginan hati sendiri.
(Bersambung ke Jilid-19)
Jilid-19 TAMAT
Oleh karena itu bukan saja ambisi ini bisa menghancurkan orang lain, sekaligus ambisi
itupun bisa menghancurkan diri sendiri.
Malah sering terjadi sebelum kau bisa menghancurkan orang lain, kau sendiri sudah hancur
lebur.
Akan tetapi bila seseorang sedikitpun tidak mempunyai ambisi, bukankah hidupnya akan
tawar, tiada artinya lagi? Bukankah ini merupakan salah satu tragedi yang mengenaskan pada
kehidupan manusia?
Siangkwan Siau-sian menghela napas, katanya: "Sekarang analisamu seakan-akan sudah
mendekati kesempurnaannya."
"Tapi belum sempurna seluruhnya."
"O, jadi kau sendiripun tahu?"
"Apa yang ku tahu, mungkin jauh lebih banyak dari apa yang kau duga."
"Sampai sejauh mana kau sudah mengetahuinya?"
"Sekarang analisaku masih terdapat beberapa kekurangan."
"Coba kau katakan."
"Sejak lama Nyo Thian ragu-ragu untuk turun tangan membunuhmu, kenapa mendadak dia
mempunyai keberanian?"
"Itulah yang pertama."
"Yang kutunggu sebetulnya adalah Hu-hong si Puncak Tunggal, kenapa kebetulan diapun
masuk ke kota pada waktu yang sama?"
"Itulah yang ke dua."
"Jikalau Nyo Thian bukan Hu-hong? Lalu siapakah Hu-hong sebenarnya?"
"Inilah yang ke tiga."
"Jikalau Hu-hong tidak berjanji lebih dulu dengan Tolka untuk bertemu di Wan-ping-bun,
darimana mungkin surat berdarah itu bisa berada di badan Tolka?"
"Itulah yang ke empat."
"Bak Kiu-sing sebenarnya adalah seorang pengasingan, kenapa begitu tiba di Tiang-an
lantas bisa menemukan jejak Tolka?"
"Inilah yang ke lima."
"Kalau Bak Kiu-sing setiap hari biasa makan Ngo-tok, bagaimana mungkin segampang itu
mati keracunan?"
"Inilah yang ke enam."
"Goh-cu sebenarnya orang di luar kalangan dalam persoalan ini, kenapa mendadak diapun
menjadi korban secara konyol?"
"Sekarang analisamu agaknya terdapat tujuh kekurangan."
"Ya, hanya tujuh kekurangan saja."
"Analisa siapapun andaikata dia seorang kritikus, bila terdapat tujuh titik kekurangan,
maka analisanya itu hakikatnya tidak boleh diterima."
"Tapi lain lagi dengan analisaku, analisaku justru bisa diterima secara logis."
"Apanya yang logis?"
"Karena aku bisa menjelaskan satu persatu ke tujuh kekuranganku itu."
"Nah, sekarang coba kau jelaskan satu persatu."
"Kalau kekurangannya ada tujuh titik persoalan, namun jawabannya justru hanya ada satu,
cukup asal kuterangkan dengan dua buah kalimat saja."
"Aku sedang mendengarkan."
"Hu-hong adalah kau, demikian pula Bak Kiu-sing adalah duplikatmu."
Siangkwan Siau-sian tertawa lebar.
Jikalau kau menyukai seseorang, dan sering menemuinya, ciri-ciri kekurangannya pasti akan
menular kepadamu.
Naga-naganya Siangkwan Siau-sian sudah ketularan akan kebiasaan Yap Kay, di kala dia
kepepet dan tak bisa berbuat apa-apa, maka setiap menghadapi persoalan yang rumit dan
bahaya yang mengancam, diapun bisa tertawa, cuma tawanya sudah tentu lebih manis dibanding
Yap Kay.
Berkata Yap Kay lebih lanjut: "Justru kau ini adalah Hu-hong, maka Nyo Thian berani turun
tangan, karena belakangan dia tahu bila kau sudah terluka."
"Inilah penjelasan pertama, kedengarannya memang masuk akal."
"Dan karena kau adalah Hu-hong, maka kau jadikan Nyo Thian sebagai kambing hitammu."
"Inipun bisa diterima dengan pikiran sehat."
"Hanya kau yang tahu bahwa Lu Di adalah Tolka, dan hanya kau saja yang bisa
mengundangnya bertemu di Cu-lim-si."
"Oleh karena itu, Bak Kiu-sing pun adalah aku?"
"Sengaja kau tempatkan sembilan bintang di mukamu, sejak mula tidak mau menurunkan
topi rumputmu, karena betapapun lihay tata riasmu, kau tetap kuatir kukenali."
"Akan tetapi kenapa aku harus menyaru menjadi Bak Kiu-sing?"
"Karena kau ingin membunuh Tolka."
"Aku ingin membunuhnya? Kenapa mengundangmu juga ke sana?"
"Karena kau ingin supaya aku melihat dengan mata kepalaku sendiri akan kematian Tolka
yang mati di tangan Bak Kiu-sing." sampai di sini Yap Kay merandek menelan ludah, lanjutnya:
"Kemungkinan sekali Tolka memang sudah tahu bahwa yang menyaru menjadi Bak Kiu-sing
adalah kau. Oleh karena itu jurus serangan yang mematikan terakhir itu tidak dia lancarkan
sesungguh hati, tak nyana kau justru memanfaatkan kesempatan ini untuk membunuhnya."
Siangkwan Siau-sian diam, dia pasang kuping mendengarkan.
"Yang benar, kalian memang sengaja bermain sandiwara untuk ku tonton, sebelumnya Tolka
sudah berintrik dengan kau untuk memerankan lakonnya itu, sampaipun dialog kalian waktu
itupun sebelumnya sudah dirangkai sedemikian rupa olehmu sebagai sutradaranya."
"Kenapa dia harus ikut memerankan lakon dalam sandiwara ini?"
"Karena tujuan dari permainan sandiwara ini adalah untuk membunuhku, oleh karena itu
sengaja dia wanti-wanti janji kepadaku, melarang aku turun tangan dengan pisau terbangku,
supaya kau mempunyai kesempatan membunuhku."
"Tapi aku tidak membunuhmu."
"Kau tidak membunuhku, karena benar-benar yang harus dibunuh bukan aku, tapi adalah
Tolka, sampai matipun dia tidak pernah sangka bahwa akhir dari permainan sandiwara itu
berubah seratus delapan puluh derajat, lebih celaka lagi karena dia sendiri yang menjadi
korban malah."
Membayangkan mimik muka Tolka yang kelihatan kaget, heran, menderita serta mendelik
penasaran itu, tak urung Yap Kay menghela napas, katanya: "Kematiannya sungguh penasaran."
"Kau kasihan kepadanya?"
"Aku hanya kasihan akan kematiannya."
"Setiap orang akhirnya kan harus mati, matinyapun penasaran, lantaran dia memang
seorang yang bodoh."
"Dia bodoh?"
"Bodoh banyak ragamnya, congkak dan sombong, bukankah merupakan salah satu
penyebabnya?"
Yap Kay tak kuasa mendebat.
Congkak dan sombong merupakan suatu kebodohan, malah kemungkinan merupakan salah
satu penyebab yang paling berat akibatnya.
"Tapi aku tidak bodoh, sekarang aku akhirnya mengerti juga akan maksudmu."
"Memang kau harus mengerti."
"Maksudmu bahwa setelah aku menyaru jadi Bak Kiu-sing lalu menemui Tolka dan
mengundangnya untuk bertemu di Cu-lim-si serta membuat rencana untuk membunuhmu,
belakangan malah dia sendiri yang menjadi korban."
"Kedengarannya memang terlalu mustahil, namun rencana itu amat berhasil."
"Mungkin lantaran terlalu luar biasa, maka hasilnyapun memuaskan sekali."
"Surat berdarah sudah tentu juga merupakan salah satu dari rencana itu."
"Bagaimana bisa?"
"Sudah tentu Nyo Thian sendiri sudah tahu cepat atau lambat rahasia dirinya pasti bisa
diketahui orang, maka dia berkeputusan untuk melarikan diri."
"kekuatan Kim-ci-pang dengan kaki tangannya tersebar di seluruh pelosok dunia, kemana
dia bisa melarikan diri?"
"Dia sudah pernah mengalami sekali pelajaran, maka langkah geraknya kali ini sudah tentu
harus amat hati-hati, oleh karena itu setelah pilih pergi datang, akhirnya dia memilih suatu
tepat yang terang tidak pernah kau duga."
"Tempat apa?"
"Kota Tiang-an."
"Di sini adalah kota Tiang-an."
"Dia sudah memperhitungkan dengan tepat bahwa kau pasti mengira dia sudah lari ke
tempat jauh, oleh karena itu dia justru mencari tempat yang paling dekat."
Siangkwan Siau-sian manggut-manggut bahwa pilihan tempat untuk menyembunyikan diri ini
memang tepat.
Yap Kay berkata: "Sayang sekali dia tuturkan rencananya ini kepada janda Ong."
"Tidak mungkin dia tidak memberi tahu kepada janda Ong. Seorang yang telah terluka
parah ingin melarikan diri, dia harus dan memerlukan bantuan orang lain."
"Dia memberitahu kepada janda Ong, secara tidak langsung berarti memberitahu
kepadamu."
"Setelah aku tahu rencananya untuk melarikan diri, lalu aku memalsu surat berdarah itu."
"Kaupun sudah perhitungkan dengan tepat, begitu aku membaca surat berdarah itu, pasti
akan menunggu di Wan-ping-bun."
"Lalu bagaimana surat berdarah itu bisa berada di badan Lu Di?"
"Surat berdarah memangnya tidak berada di tangan Lu Di, Goh-cu lah yang sengaja
mengantarnya."
"Jadi Goh-cu juga ikut sekongkol di dalam peristiwa ini?"
"Oleh karena itu pula maka kau membunuh dia untuk menutup mulutnya. Semua orang yang
tersangkut paut dengan peristiwa ini semuanya kau bunuh supaya tidak membocorkan rahasia
ini."
"Bagaimana dengan Song Lopan dan si raksasa itu?"
"Mereka adalah teman baik Nyo Thian, melihat aku ada di Wan-ping-bun, sengaja
merekapun bermain sandiwara, maksudnya untuk melindungi Nyo Thian masuk kota. Bagaimana
Nyo Thian bisa terluka, sudah tentu merekapun tahu jelas."
"Sudah tentu kau tidak boleh tahu akan rahasia ini, maka akupun membunuh mereka untuk
menutup mulutnya."
"Aku sudah menduga kau akan bertindak demikian, maka sedikitpun aku tidak jadi heran
akan kematian mereka."
"Kalau demikian tidak sedikit orang yang telah kubunuh."
"Memang tidak sedikit!"
"Malahan mungkin aku bisa membunuh diriku sendiri." ujar Siangkwan Siau-sian menghela
napas, "jikalau aku adalah Bak Kiu-sing, bukankah aku sudah membunuhku sendiri?"
"Bak Kiu-sing yang mati bukan dirimu."
"Hah, bukan aku?"
"Kau tahu tentunya aku takkan ada selera menemani kau makan hidangan semacam itu,
maka sebelumnya kau sudah mempersiapkan orang lain untuk kau jadikan kambing hitam. Begitu
aku pergi, kau lantas membunuhnya dengan racun."
"Karena begitu Bak Kiu-sing mati, peristiwa ini takkan terbongkar oleh siapapun yang bisa
jadi saksi."
"Memang, rencana itu teramat teliti dan baik sekali."
"Juga merupakan suatu cerita yang menarik."
"Akupun mengharap ini hanya sebuah cerita saja."
Siangkwan Siau-sian seperti kaget, serunya: "Apakah ini bukan cerita?"
"Kejadian yang kebetulan di dalam peristiwa ini terlalu banyak, dan hanya kejadian yang
sesungguhnya saja baru bisa terjadi 'kebetulan' seperti itu."
"Apakah kejadian yang sesungguhnya jauh lebih aneh dan ceritanya menakjubkan?"
"Biasanya memang demikian."
"Mendengar ceritamu, aku sendiri sampai percaya bahwa kejadian itu memang peristiwa
sesungguhnya." Tawa Siangkwan Siau-sian masih manis dan murni, bukan tawa palsu yang
dibuat-buat, "tapi kalau rencanaku itu sempurna dan terperinci ketat sekali, cara bagaimana
dapat kau ketahui?"
"Betapapun sempurna sesuatu, pasti ada lubang kelemahannya."
"Demikian pula rencana itu?"
"Tujuh kekurangan yang terdapat di dalam analisaku itu, justru merupakan kelemahan pula
di dalam rencanamu itu."
"O," Siangkwan Siau-sian manggut-manggut.
"Karena jikalau kau bukan Hu-hong si Puncak Tunggal, jelas tidak akan terjadi semua
kebetulan itu."
"Sekarang kau yakin semua itu pasti benar?"
"Setelah aku memeriksa semua luka-luka mereka, baru aku berani memastikan seluruhnya."
"Mereka? Siapa yang kau maksud dengan mereka?"
"Nyo Thian, Song Lopan, si raksasa dan Goh-cu. Sebenarnya mereka adalah orang-orang
yang tiada sangkut pautnya satu sama lain, sebetulnya tidak mungkin mereka mati di tangan
seorang dalam keadaan yang sama, luka-luka yang mematikan di badan mereka satu sama lain
tidak berbeda."
"Ya, sungguh kebetulan sekali."
"Kebetulan itu juga merupakan lubang kelemahan."
"Oleh karena itu, bukan saja aku ini Kim-ci-pang Pangcu, aku pula salah satu dari Su-toathian-
ong dari Mo Kau."
"Kau adalah Hu-hong?"
"Jangan lupa Mo Kau dan Kim-ci-pang merupakan musuh yang tidak mau hidup
berdampingan."
"Aku tidak melupakannya."
"Kalau demikian mana mungkin Kim-ci-pang Pangcu sudi menjadi anggota Mo Kau?"
"Karena Kim-ci-pang Pangcu ini seorang pandai, maka dia tahu menghancurkan dan
memberantas habis musuh, secara kekerasan dengan kekuatan bukanlah suatu cara yang baik."
"Lalu cara apa yang boleh dikata paling baik?"
"Menundukkan nya serta merangkulnya dan memperalat dia. Gunakan kekuatan musuh
menjadi alat kepentingan diri sendiri."
"Cara ini memang baik sekali."
"Akan tetapi struktur pengurusan Mo Kau yang besar lingkupnya terlalu rahasia,
kekuatannya terlalu besar dan luas, sudah berakar lagi. Untuk menundukkan dan merangkulnya
hanya ada satu cara."
"Cara apa?"
"Menjadi Mo Kau Kaucu."
"Untuk menjadi Mo Kau Kaucu, maka harus menjadi anggota Mo Kau lebih dulu."
"Oleh karena itu maka kau sudah menjadi orang Mo Kau."
"Sejak Kaucu tua dari Mo Kau meninggal, kekuasaan di dalam Mo Kau lantas tersebar
berada di tangan Su-toa-thian-ong yang saling membagi rata, siapapun tiada yang sudi memilih
Kaucu baru, karena itu berarti menyerahkan kembali kekuasaan yang berada di tangannya
sendiri."
"Tapi jikalau tiga di antara Su-toa-thian-ong itu sudah mati?"
"Kalau demikian sisa satu yang ketinggalan hidup. Umpama tidak mau jadi Kaucu pun tak
mungkin lagi."
"Sayang sekali orang-orang seperti Tolka itu sebetulnya mereka tidak seharusnya mati
begitu cepat."
"Sudah tentu."
"Sudah tentu kau sendiri tidak mungkin turun tangan menghadapi mereka secara terangterangan."
"Di dalam setiap melaksanakan pekerjaan, biasanya aku tidak suka menyerempet bahaya."
"Kemungkinan sekali sampai mereka mati, masih belum tahu bahwa Pangcu dari Kim-ci-pang
adalah kau."
"Mimpipun mereka tidak pernah menduga."
"Oleh karena itu hanya dengan satu cara saja kau dapat membunuh mereka."
"Coba kau katakan pakai cara apa yang paling baik?"
"Meminjam senjata orang lain."
"Betul!", seru Siangkwan Siau-sian tepuk tangan, "untuk membunuh orang-orang seperti
mereka harus tangan orang lain, malah harus pinjam pisau orang yang luar biasa."
"Tapi kau juga tahu, walau pisauku cepat, namun jarang membunuh orang."
"Oleh karena itu aku terpaksa memeras keringat mengatur tipu daya menggunakan akal
yang putar-putar."
"Tentunya mimpipun kau sendiri tidak pernah menyangka, akhirnya ada seseorang yang
berhasil membongkar rahasia dan menelanjangi kedokmu."
"Aku.......terhadapmu aku benar-benar suci atau palsu? Memangnya sedikitpun kau tidak
bisa merasakannya?"
Sorot matanya yang jeli bening kembali menampilkan perasaan sedih pilu dan rawan.
Sebetulnya tulen atau palsukah perasaannya?
Kembali Yap Kay melengos, menghindari bentrokan tatapan mata.
Perduli tulen atau palsu, sekarang sudah tidak penting lagi.
Akhirnya Yap Kay pun menghela napas panjang, katanya: "Waktu aku datang, sebetulnya
aku masih belum ingin menelanjangi kedokmu."
"Kenapa?"
"Karena......."
"Apakah karena kau kurang tega?"
Yap Kay menyengir tawa.
Dia tidak bisa menyangkal. Bukannya dia tidak tahu dan tidak bisa merasakan cinta orang
terhadap dirinya.
"Bukan saja kau tidak tega, kaupun tidak berani." ujar Siangkwan Siau-sian.
"Tidak berani? Kenapa?"
"Karena sedikitpun kau tidak punya bukti-bukti yang nyata, hanya mengandalkan analisa dan
rekaan saja belum bisa menjatuhkan hukuman dosa kepada seseorang."
Yap Kay tidak bisa menyangkal.
"Tapi begitu Ting Hun-pin mengalami sesuatu, kau lantas panik dan nekad." sorot matanya
yang sedih kini berubah jadi jelas, "sebetulnya apakah yang pernah dia lakukan untukmu
sehingga kau sudi rela bersikap setia terhadapnya begitu rupa? Dalam hal apa pula aku bukan
bandingannya?"
Yap Kay tidak memberi tanggapan.
Siangkwan Siau-sian menyeringai sinis, katanya mencibir bibir: "Di mana-mana dia
menimbulkan keonaran, membuat banyak kesulitan, malah menusuk pisau ke dadamu sehingga
kau hampir mati, di waktu tak bersama kau, seharipun dia tidak sabar menunggu, terus
tergesa-gesa ingin kawin dengan orang lain, belum cukup sekali, dalam satu malam sudi
merelakan diri kawin dengan dua orang laki-laki, perempuan seperti ini di dalam hal apa
kebaikannya sehingga kau patut dan sudi berkorban demi dirinya?"
"Aku sendiripun tidak habis pikir."
"Lalu kau........"
"Aku hanya tahu," tukas Yap Kay, "umpama dia hendak membunuhku pula sepuluh kali, lalu
menikah sekaligus dengan 10 laki-laki, aku akan tetap bersikap demikian terhadapnya."
"Kenapa?"
"Karena aku tahu, terhadapku cintanya suci dan murni. Aku percaya kepadanya."
Siangkwan Siau-sian sudah berjingkrak berdiri, namun pelan-pelan dia duduk pula. Waktu
dia duduk tidak lagi sebagai perempuan yang terlalu hanyut oleh emosinya yang lemah. Waktu
dia berdiri perasaannya seolah-olah sudah remuk redam, namun begitu dia terduduk kembali,
dia sudah berubah sedingin puncak gunung es, tajam dan runcing, laksana sebatang golok dari
Pangcu Kim-ci-pang.
Mungkin perempuan itu memang sering berubah, hanya perubahan yang terjadi pada gadis
yang satu ini mungkin jauh lebih cepat dari orang lain, atau mungkin pula dia tidak berubah,
yang berubah hanyalah kedok samarannya belaka.
"Sekarang masih ada omongan apa lagi yang ingin kau katakan?", kata Yap Kay.
"Tiada lagi!"
"Tapi aku masih ada satu hal yang belum ku mengerti."
"Boleh kau tanyakan."
"Memang sedikit buktipun aku tidak punya, semua hal yang ku tuduhkan tadi sebenarnya
boleh saja kau sangkal atau tolak."
"Akupun tidak perlu menyangkal."
"Kenapa?"
"Karena bukan saja aku ini Pangcu dari Kim-ci-pang, aku pula Mo Kau Kaucu. Bukan saja aku
sudah menguasai dan menggenggam dua pang dan aliran agama yang terbesar di seluruh jagat
ini, akupun menggenggam jiwa Ting Hun-pin. Perduli aku mengakui atau menyangkal, kau tetap
harus tunduk kepada setiap perintahku."
Yap Kay benar-benar terlongong. Dia mendadak sadar bahwa dirinya memang tidak punya
akal sehat dan cara apapun untuk melawan atau menghadapi gadis jelita yang satu ini,
sedikitpun tidak mampu berbuat apa-apa.
"Masih ada omongan apa pula yang ingin kau katakan?", Siangkwan Siau-sian balas bertanya.
Memang Yap Kay sudah tidak habis pikir dan tiada omongan yang perlu dibicarakan lagi.
"Ting Hun-pin sekarang masih hidup, kau pingin dia tetap hidup?"
"Sudah tentu pingin."
"Kalau begitu apa yang kukatakan kau harus mematuhi dan menurut, setiap patah kataku
harus kau perhatikan dengan baik."
Tapi Yap Kay tak perlu mendengar dan tidak usah memperhatikan, karena mendadak dia
sudah mendengar suara orang lain.
"Apa yang dia katakan, sepatah katapun tak usah kau dengar, karena dia sebenarnya
sedang mengentut!"
Suara ini keluar dari bawah ranjang. Jelas di bawah ranjang tadi hanya ada satu mayat
orang.
Orang mati masakah bisa bicara?
Siangkwan Siau-sian adalah gadis yang teramat cerdik pandai, demikian pula Yap Kay,
namun merekapun tidak tahu menahu apa sebenarnya yang sedang terjadi.
Bilamana sesuatu hal tidak sampai mereka ketahui, memangnya orang mana yang bisa
memecahkan teka-teki ini?
Jelas hanya ada satu mayat di bawah ranjang, hal ini sudah mereka buktikan waktu mereka
mengangkat ranjang itu memeriksanya, kini ranjang ini kembali terangkat naik dan dipindah ke
samping, tapi bukan Siangkwan Siau-sian atau Yap Kay yang mengangkat. Ranjang itu diangkat
dan dipindah oleh seseorang dari bawah.
Seketika hati Siangkwan Siau-sian tersirap, jantungnya seketika dingin seperti tenggelam
dalam air.
Orang yang barusan bicara jelas adalah suaranya Ting Hun-pin. Dia kena betul suara Ting
Hun-pin. Tapi bagaimana mungkin Ting Hun-pin bisa muncul dari bawah ranjang? Han Tin yang
sudah mati dan mayatnya sudah dingin, kenapa kok tiba-tiba berubah menjadi Ting Hun-pin
yang hidup segar?
Siangkwan Siau-sian geleng-geleng kepala, otaknya serasa tumpul, namun tetap dia tidak
bisa memberi jawaban.
Yap Kay juga tidak mengerti.
Jikalau mereka berdua tidak bisa memecahkan teka-teki suatu persoalan, memangnya siapa
orang di dunia ini yang bisa menyimpulkan jawabannya.
Hanya ada satu orang saja, yaitu Ting Hun-pin sendiri.
Hakekatnya Ting Hun-pin tidak gila benar-benar. Orang yang pandai bersandiwara dan
pura-pura menjadi gila, pikun atau linglung bukan hanya Siangkwan Siau-sian saja, kini Ting
Hun-pin membuktikan bahwa diapun bisa.
"Apa yang kau bisa, akupun bisa," kata Ting Hun-pin setelah keluar dari bawah ranjang.
Mengawasi Siangkwan Siau-sian, sorot matanya menyala terang bergairah.
"Kau bisa menipu orang, akupun bisa. Kau pandai membunuh orang, akupun tidak kalah
pintarnya."
"Kau suruh Han Tin kemari untuk membunuhku, lalu berdaya supaya Siau Yap menyangka
aku mati karena gila."
"Kau pasti tidak menduga bahwa aku yang membunuh dia."
"Kau bisa menaruh obat bius di dalam bubur ayamku, akupun bisa menaruh racun di dalam
arak yang dia minum."
"Sudah tentu dia tidak akan berjaga-jaga dan waspada terhadap perempuan yang sudah
gila, seperti juga kita waktu menghadapi dulu tanpa pernah berpikir untuk hati-hati dan
mengawasimu."
"Jadi cara ini aku mempelajari dari kau."
"Han Tin yang asli kini masih rebah di bawah kolong ranjangku, kali ini tak perlu diragukan
akan kematiannya."
"Di waktu aku menyembunyikan mayatnya ke bawah ranjang, baru aku temukan pintu
rahasia dari lubang kamar di bawah tanah, kamar bawah tanah untuk menyimpan arak."
"Ternyata seluruh simpanan arak di Leng-hiang-wan ada disimpan di dalam kamar bawah
tanah ini, oleh karena itu, hari itu kami mencari sebotol arakpun tidak bisa mendapatkannya."
"Aku tahu kalian pasti akan kembali, maka aku lantas sembunyi di kamar bawah tanah,
namun mayat Han Tin ku letakkan di luar."
"Sudah kuperhitungkan dengan tepat begitu kau melihat mayat Han Tin pasti amat
terkejut, pasti tidak akan memperhatikan bahwa di sebelahnya ada pintu rahasia yang
menembus ke kamar di bawah tanah. Aku masih ingin mendengar apa yang kalian percakapkan
di sebelah atas, ingin aku melihat apakah dia betul-betul dapat kau tipu dan memincutnya
pergi."
Mengawasi Yap Kay, biji matanya penuh diliputi rasa bahagia dan kemenangan yang
cemerlang, katanya lembut: "Sebetulnya akupun sudah tahu, kali ini kau pasti tidak akan kena
ditipunya lagi, ternyata kau tidak membikin aku kecewa."
Kata-katanya sederhana.
Betapapun berbelitnya suatu persoalan, setelah dijelaskan dan tertembus segala rintangan,
kau pasti akan mendapatkan persoalan itu hakikatnya tidak serumit dan sesukar yang kau
pikirkan sebelumnya.
Memang banyak persoalan dalam dunia ini terjadi seperti itu.
Siangkwan Siau-sian terus mendengarkan tanpa memberi komentar, mukanya yang pucat
pasi sedikitpun tidak menunjukkan perasaan hatinya.
Setelah Ting Hun-pin mengoceh panjang lebar, baru pelan-pelan dia angkat kedua
tangannya, diletakkan di atas meja.
Tangan putih yang semula berjari-jari runcing halus lembut itu, kini tiba-tiba berubah
sekeras logam. Lampu berada di atas meja di depannya.
Tampak kedua tangannya itu mengkilap mengkilau ditingkah sinar lampu. Bukan tangannya
bercahaya, namun sebuah tangan yang putih bening laksana es batu berkaca yang keras tajam
terbuat dari logam.
Malam hari itu, waktu berada di belakang tembok rendah di hotel Hong-ping, yang terlihat
oleh Ting Hun-pin adalah tangan ini.
Yang pernah dilihat oleh Cui Giok-tin yang sembunyi di belakang tembokpun adalah kedua
tangan ini.
"Inilah Kim-kong-put-hoay Toa-siu-sin-jiu yang didongengkan orang secara luas."
Yap Kay manggut-manggut.
"Semula aku mempersiapkan diri untuk menghadapi Lu Di dan Kwe Ting."
"Aku bisa menebaknya."
"Sayang mereka bikin aku kecewa."
Bahwasanya kedua orang ini tidak memberi kesempatan kepadanya untuk menjajal dengan
senjatanya ini yang ampuh.
Terbuka lebar dan teracung kedua telapak tangannya itu. Tampak di telapak tangannya ada
beberapa batang jarum hitam legam yang lebih kecil dari jarum jahit biasa.
"Inilah Toa-siu-hun-ciam yang bisa naik ke langit menembus bumi."
Yap Kay manggut-manggut pula dengan melongo.
"Nyo Thian dan empat orang lainnya semua mampus oleh jarum ini."
"Aku sudah memeriksanya."
"Bwe-hoa-ciam milik Bwe-hoa-to dulu sudah cukup menggetarkan nyali setiap insan
persilatan."
"Aku pernah mendengarnya."
"Tapi aku berani tanggung, jarumku yang ini pasti jauh lebih lihay, hebat dan menakutkan
dari Bwe-hoa-ciam itu."
Yap Kay menghela napas, ujarnya: "Jarum yang kau latih dan kau persiapkan ini tentunya
khusus akan kau gunakan di waktu menghadapi aku."
Siangkwan Siau-sian mengakui.
"Mana pisaumu?" tanyanya dengan menatap Yap Kay.
"Ada di sini," sahut Yap Kay.
"Di mana?"
Yap Kay tidak menjawab.
Di langit dan di bumi tiada seorangpun yang tahu di mana pisau terbangnya di simpan, juga
tiada orang pernah tahu cara bagaimana dia menyambitkan pisaunya itu.
Sebelum ditimpukkan, siapapun tiada yang pernah membayangkan betapa cepat dan besar
kekuatannya. Khalayak ramai hanya tahu satu hal, pisau itu pasti berada di mana dia harus
berada.
Siangkwan Siau-sian berkata pelan-pelan: "Aku tahu di manapun pisaumu bisa berada dan
tiada sesuatu yang tidak mungkin dicapai olehnya."
Untuk ini Yap Kay tidak perlu merendahkan diri. Hal itu memang kenyataan, karena meski
pisau itu miliknya, walau berada di badannya, namun kehebatan, kemurnian serta kebesaran
dari pisau itu tergantung dan berada pada diri orang lain.
Seseorang yang digdaya, perkasa dan sakti mandraguna.
Entah di langit atau di bumi, jelas takkan ada orang lain yang bisa menempati kedudukannya
ini sama tinggi dan jaya. Apalagi jikalau tidak bisa menyelami dan memahami kebesaran
kekuatan dan semangatnya, jelas takkan mungkin bisa cukup diri untuk melepaskan pisau sakti
yang bisa mengejutkan dan menggetarkan bumi.
Pisau Terbang Li kecil.
ooo)O(ooo
Pisau terbang itu belum dikeluarkan, namun semangat kebesaran pisau itu sudah terasa.
Ini bukan hawa membunuh, namun jauh lebih menakutkan dan menciutkan nyali orang
daripada hawa yang menggetarkan sanubarinya setiap insan persilatan.
Pelan-pelan tapi pasti kelopak mata Siangkwan Siau-sian mulai mengkeret memicing,
katanya: "Pisaumu dapat berada di manapun dan bisa mencapai ke sasaran mana juga, demikian
pula jarumku."
"Jarummu bagaimana?"
"Selamanya kaupun takkan bisa membayangkan darimana arah datangnya jarumku,
terutama tidak bisa kau jajaki cara bagaimana jarum-jarumku itu dilepaskan."
"Aku tidak akan berpikir dan tidak perlu kupikir."
Siangkwan Siau-sian tertawa dingin, jengeknya: "Jikalau kau beranggapan kau bisa
menyetop aku turun tangan, kau salah besar!"
Yap Kay diam saja, entah termakan oleh provokasi?
"Jarumku laksana pasir di sungai yang tak terhitung banyaknya, sebaliknya jumlah pisaumu
terbatas."
"Aku hanya sebatang saja sudah cukup."
Ujung mata Siangkwan Siau-sian berkerut-kerut. Lama sekali akhirnya dia menghela napas:
"Mungkin inilah dinamakan nasib."
"Nasib?"
"Mungkin hidupku sudah ditakdirkan cepat atau lambat harus berduel melawanmu."
Bola matanya menyorotkan kedukaan yang sangat.
"Seperti juga Siangkwan Pangcu yang dahulu, sudah ditakdirkan untuk berduel melawan
Siau-li Tham-hoa Li Sin-hoan".
Tak urung Yap Kay menghela napas juga, katanya: "Siangkwan Pangcu dahulu memang tidak
malu diagungkan sebagai gembong persilatan yang tiada taranya. Dia cukup kuat dan mampu
bersimaha-rajalela di seantero dunia ini, sayang sekali sekarang............."
Siangkwan Siau-sian tidak biarkan orang bicara lebih lanjut.
"Walau Siangkwan Pangcu yang dahulu sudah tiada, namun Siangkwan Pangcu generasi muda
masih digdaya."
"Pisau terbangku masih ada."
"Duel kedua tokoh besar pada waktu itu, walau cukup menggetarkan bumi mengejutkan
langit, setanpun kaget ketakutan dan menangis, namun tiada seorangpun yang menyaksikan
dengan mata kepalanya sendiri."
Tak tahan Ting Hun-pin menyeletuk: "Duel kalian hari ini pasti ada orang lain yang
menyaksikan."
"Takkan ada!" sentak Siangkwan Siau-sian.
"Ada saja!" sahut Ting Hun-pin ketus.
Tiba-tiba Siangkwan Siau-sian berpaling menatapnya, katanya dingin: "Kau ingin
menyaksikan?"
"Aku pasti bisa menyaksikan"
"Kalau begitu kau hanya akan menunggu Yap Kay mampus di depanmu."
Ting Hun-pin membalas dengan seringai hina dan merendahkan.
"Jikalau kau berada di sini, begitu jarumku kusambitkan, sasaran pertama yang ku arah
adalah kau. Jikalau dia harus memencarkan perhatiannya demi keselamatanmu, maka diapun
pasti mampus."
Ting Hun-pin tertegun, mulutnya melongo, matanya terbeliak.
Siangkwan Siau-sian tidak berkata sepatah katapun lagi, diapun tidak meliriknya lagi,
namun Ting Hun-pin dipaksa untuk beranjak keluar.
Waktu kaki Ting Hun-pin melangkah keluar, sekujur badannya dingin dan basah oleh
keringat dingin yang gemerobyos.
ooo)O(ooo
Pintu tertutup dan dipalang serta terkunci dari dalam. Segala sesuatu yang tercakup di
dalam kehidupan manusia seluruhnya terkunci di dalam pintu. Hanya kematian yang masih
tersisa di dalam pintu.
Tapi siapakah yang akan mati?
Ting Hun-pin sudah terbungkuk-bungkuk, rasanya ingin muntah dan tak tertahankan lagi.
Kembali rasa apa boleh buat menjalari sanubarinya dan perasaan yang menjalari sanubarinya
inilah yang dahulu pernah menyebabkan dia hampir gila.
Tapi menjadi gilapun tiada gunanya.
Duel kedua tokoh besar pada masa silam dia tidak menyaksikan, namun dia dengar dari
cerita orang yang dapat dipercaya.
Sampai Siau-li Tham-hoa Li Sin-hoan sendiri mengakui, Siangkwan Kim-hong memang
memiliki banyak kesempatan menamatkan jiwanya, malah dirinya dipojokkan sedemikian rupa
sampai tak mampu balas menyerang lagi. Tapi Siangkwan Kim-hong memang sengaja menyianyiakan
semua kesempatan baik itu, karena sudah lama dalam sanubarinya ingin bertaruh
dengan jiwanya sendiri melawan keyakinannya akan kepandaian silatnya sendiri yang tinggi
tiada taranya, apakah dia mampu meluputkan diri atau menghindarkan sambitan atau serangan
pisau terbang Li Sin-hoan yang sudah disohorkan tak pernah meleset setiap kali mengincar
sasarannya.
Sudah tentu untuk kali ini Siangkwan Siau-sian tidak akan sudi melakukan kesalahan yang
sama seperti ayahnya dulu.
ooo)O(ooo
Perut Ting Hun-pin seperti dipelintir dan air asam sudah bergolak di tenggorokkannya.
Mungkin Yap Kay tengah berada di balik pintu ini sedang mengalami siksaan batin di dalam
menghadapi elmaut yang bakal merenggut jiwanya, dan dia dipaksa untuk menunggunya di luar
pintu.Tak ubahnya seperti Sun Siau-hong dan Ah Hwi waktu menunggu Li Sin-hoan dulu. Tapi
mereka masih dua orang, berteman di luar kamar rahasia Siangkwan Kim-hong yang pintunya
terbuat dari papan besar baja. Diterjang dan ditumbukpun tidak akan bobol.
Lain halnya keadaan yang dia hadapi sekarang, di depannya ini kalau mau sembarang waktu
dia mampu menendangnya roboh, namun dia justru tidak berani berbuat demikian. Sekali-kali
dia tidak berani bergerak secara gegabah sehingga memencarkan perhatian dan mengganggu
konsentrasi Yap Kay.
Sungguh besar harapannya pintu di depannya inipun terbuat juga dari papan baja yang
sudah kokoh kuat. Hal itu sedikit banyak akan mengurangi tekanan hatinya yang harus ditekan
dan ditahan oleh kesadaran dan derita.
Orang yang tidak pernah mengalaminya sendiri, pasti tidak akan bisa membayangkan
betapa menakutkannya derita dan tekanan batin yang berat ini. Sungguh ingin sekali bila bisa
dia memaku ke dua kakinya di atas tanah supaya tidak bisa bergerak.
ooo)O(ooo
Malam semakin larut.
Ting Hun-pin masih menunggu terus, karena menunggu ini sekujur badannya sudah luluh
sama sekali dan yang harus dibuat sedih adalah dia sendiri tidak tahu sebetulnya apa yang
sedang dia nantikan? Mungkin hanya kematian Yap Kay saja yang sedang dia tunggu.
Teringat betapa cerdik pandai dan tinggi ilmu silat Siangkwan Siau-sian, sungguh dia tidak
tahu betapa persen keyakinan Yap Kay bisa mengalahkan musuh dan bertahan hidup serta
keluar dengan selamat dan segar bugar.
Oleh karena itu di kala daun pintu itu tampak terbuka perlahan-lahan, detik-detik yang dia
nanti-nantikan itu seakan-akan menyetop denyut jantungnya sama sekali.
Sampai matanya melihat Yap Kay pula, baru jantungnya berdetak secara normal kembali
seperti kereta api selesai memburu waktu.
Kelihatannya Yap Kay amat lelah, namun lebih penting bahwa dia masih hidup.
Hidup dan selamat tak kurang suatu apa. Itulah yang terpenting bagi Ting Hun-pin.
Menyongsong kedatangan orang, Ting Hun-pin mematung di tempatnya, tak tertahan air
mata pelan-pelan meleleh membasahi mukanya, tentunya air mata kegirangan yang keliwat
batas.
Saking kegirangan dan terlalu berduka sama-sama mendatangkan air mata, kecuali
menangis, orangpun tak bisa mengeluarkan suara karena tenggorokan tersumbat oleh rasa
haru, segala persoalan sudah tidak diperdulikan lagi, sampaipun untuk bergerak kadang-kadang
sulit.
Lama sekali baru Ting Hun-pin kuasa bertanya dengan lirih.
"Di manakah Siangkwan Siau-sian?"
Jawaban Yap Kay hanya tiga huruf: "Dia sudah kalah."
Dia sudah kalah? Betapa gampangnya jawaban tiga huruf ini.
Penentuan kalah menang memang hanya terjadi dalam kilasan waktu belaka.
Tapi siapakah yang bisa membayangkan di dalam waktu sekilas itu betapa tegang dan
tertusuk perasaan orang?
Betapa besar dan mendalamnya akibat dari penentuan waktu yang sekilas itu bagi dunia
persilatan. Sekejap mata atau sepercikan api.
Sebatang pisau.
Sekilas dari samberan cahaya pisau, betapa pula besar akibatnya.
Begitu mengejutkan dan amat gagah perkasa.
Boleh dikata tidak usah melihat dengan matamu sendiri, cukup asal kau bisa
membayangkan, maka jantungmu takkan terasa akan berhenti berdenyut.
Akan tetapi Ting Hun-pin tidak berpikir demikian. Segala persoalan sudah tidak penting
bagi dia, yang penting sekarang ini bahwa Yap Kay masih hidup.
Asal Yap Kay masih hidup, maka hatinya sudah cukup daripada puas yang paling puas.
ooo)O(ooo
Di belakang pintu terdengar isak tangis sesenggukan.
Orang mati jelas takkan bisa menangis.
Apakah Siangkwan Siau-sian belum mati?
Pisau Yap Kay memang bukan senjata pembunuh. Dia beri kesempatan orang bertahan
hidup.
Apakah lantaran dia sudah tahu bahwa selanjutnya dia sudah tidak lagi sama seperti
Siangkwan Siau-sian yang satu dulu itu?
Pengampunan itu jauh lebih suci dan agung daripada dendam kesumat.
Hutang darah bayar darah, hutang jiwa bayar jiwa.
Pameo ini sudah tidak berlaku bagi Yap Kay, karena dia menggunakan Siau-li si Pisau
Terbang. Kekuatan pisau seperti ini adalah cinta kasih, bukan kebencian.
Ting Hun-pin tidak mengajukan pertanyaan, karena di dalam sanubarinya hanya ada cinta
kasih, tiada kebencian.
Dia sedang mengawasi bola mata Yap Kay.
Kehidupan begini indah.
Cinta itu adalah sedemikian elok, begitu harmonis.
Jikalau seseorang tidak bisa melupakan dendam sakit hati, bukankah dia itu manusia
bodoh?
- TAMAT
Anda sedang membaca artikel tentang Rahasia Mo Kauw Kaucu 2 [serial kelima pisau terbang] dan anda bisa menemukan artikel Rahasia Mo Kauw Kaucu 2 [serial kelima pisau terbang] ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/09/rahasia-mo-kauw-kaucu-2-serial-kelima.html,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Rahasia Mo Kauw Kaucu 2 [serial kelima pisau terbang] ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Rahasia Mo Kauw Kaucu 2 [serial kelima pisau terbang] sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Rahasia Mo Kauw Kaucu 2 [serial kelima pisau terbang] with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/09/rahasia-mo-kauw-kaucu-2-serial-kelima.html. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...