Pukulan Naga Sakti 1

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Senin, 12 September 2011

Pukulan Naga SaktiKarya : Khu Lung (Gu Long)
Saduran : Tjan
Jilid 1
Sebuah sungai yang beberapa kaki lebarnya terbentang dari arah
bukit sampai di sekeliling sebuah bangunan kuno yang besar dan
kokoh, bunyi air yang mengalir mendatangkan suasana yang amat
nyaman di sekitar tempat itu.
Di depan bangunan tadi tergantung sebuah papan nama, ketika
dilihat lebih teliti maka lamat-lamat masih dapat terbaca tulisannya,

2
itulah tulisan yang berbunyi : “Bu-lim-tit-it-keh” (rumah nomor wahid
di seluruh dunia persilatan)
Sebutan Bu-lim-tit-it-keh adalah suatu sebutan yang amat agung
dan terhormat, tapi sayang bangunan rumah itu sudah lapuk
dimakan usia, huruf-huruf yang tertera diatas papan nama itupun
sudah luntur dan buram sehingga mendatangkan suasana yang
menggenaskan di hati orang.
Ketika membaca lagi nama-nama yang menandatangani sebutan
mulia diatas papan nama itu, maka terbacalah nama-nama dari para
Ciangbunjin partai Siau Lim, partai Bu tong serta jago-jago
kenamaan atau tokoh-tokoh tersohor dari dunia persilatan.
Dari sini dapat diketahui betapa anggun dan berwibawanya
keluarga dari rumah tersebut.
Tapi siapakah penghuninya? Mengapa ia bisa memperoleh
penghormatan yang begitu mulia dari seluruh umat persilatan? Dan
sekarang, mengapa pula bisa berubah demikian menggenaskan?
Empat puluh tahun berselang, ketua angkatan ke sembilan dari
partai Thian liong-pay Keng thian giok cu (tangan sakti penyungging
langit) Thi Keng dengan ilmu silatnya yang maha sakti memimpin
para jago dari seluruh dunia untuk menyerbu lembah Kiu im lok aun
kok, dimana dengan sebilah pedang kim-soat-liong-jiau kiam ia
berhasil membunuh empat puluh delapan orang jago paling
tangguh, anak buah gembong iblis waktu itu Kay hui eng (elang
terbang menguasai jagad) Ui It-peng. Kemudian dengan suatu
pertarungan kilat berhasil membunuh Ui It-peng sendiri tak sampai
lima puluh gebrakan, hingga berhasil menolong dunia persilatan dari
ancaman kehancuran.
Setelah peristiwa itu, atas usulan dari ketua partai Siau lim serta
partai Bu tong, bersama-sama tokoh persilatan lainnya ketika itu
menghadiahkan gelar “Bu lim tit it keh” tersebut untuk Keng thian
giok cu Thi keng sebagai pelampiasan rasa terima kasih dan
hormatnya para jago terhadap jasa-jasanya selama ini.

3
Waktu berlalu amat cepat, tanpa terasa dua puluh tahun sudah
lewat.
Suatu ketika, mendadak dari dalam dunia persilatan tersiar kabar
yang memberitakan bahwa Keng thian giok cu Thi keng serta putra
kesayangannya Giok bin Coan cu (Coan cu berwajah kemala) Thi
Tiong giok secara beruntun lenyap dari keramaian dunia persilatan,
kemudian tak lama lagi tersiar pula berita tentang kematian mereka.
Menyusul kemudian, terjadi pula serentetan peristiwa aneh,
hanya dalam semalaman ternyata Thian liong pay telah
membubarkan segenap anggota perguruannya dan mengundurkan
diri dari keramaian dunia persilatan.
Maka nama besar Thian liong pay dalam dunia persilatan pun
kian hari kian bertambah merosot. Pada mulanya orang-orang masih
menaruh perasaan sayang, menaruh perasaan kuatir dan kasihan
atas musibah yang menimpa perguruan itu.
Tapi lambat laun, orang persilatan mulai melupakan perguruan
tersebut dari benak mereka.
Hari itu, ketika senja menjelang tiba dan sang surya mulai
condong kearah barat, seorang pemuda tampan berusia delapansembilan
belas tahun sedang duduk ditepi sungai yang penuh
dengan rindangnya pohon Liu sambil melamun.
Tak hentinya wajah yang tampan itu dihiasi senyuman getir, daun
kering selembar demi selembar dilemparkan ke dalam sungai dan
dibiarkan terbawa arus pergi ke tempat jauh.
Sudah lama dia melamun disitu, berpuluh-puluh lembar sudah
daun kering yang dilemparkan ke dalam sungai.....
Tiba-tiba ia menghela napas panjang, bangkit berdiri dan
berguman seorang diri :
“Thi Eng khi wahai Thi Eng khi! Apakah kau rela hidup kesepian
terus sepanjang masa?”

4
Mendadak suara pekikan panjang yang amat keras
berkumandang memecahkan keheningan, paras mukanya segera
berubah, dengan mata yang tajam dia awasi sekeliling tempat itu,
kemudian dengan langkah cepat memburu dari arah mana
berasalnya suara tadi.
Peristiwa itu terjadi di sebuah jalan raya kurang lebih puluhan
kaki dari gedung Bu lim tit it keh tersebut, ketika Thi Eng Khi
menyusul ke tempat kejadian maka terlihatlah seorang jago
persilatan yang berbaju ringkas telah tergeletak diatas genangan
darah dalam keadaan yang amat kritis.
Pemuda itu menjadi tertegun dan berdiri termangu setelah
menyaksikan kejadian itu, untuk sesaat dia tak tahu apa yang harus
dilakukan.
Seharusnya dia adalah majikan angkatan ketiga dari gedung Bu
lim tit it keh tersebut, berdasarkan asal usul serta sejarah
keluarganya, bagaimanapun tidak sepantasnya kalau ia
menunjukkan sikap seperti itu.
Tapi oleh karena pelbagai alasan, bukan saja ia tak dapat
menikmati kejayaan serta kemuliaan yang diperoleh kakeknya,
malah sebaliknya ia terikat oleh peraturan leluhurnya dan sama
sekali tak mampu untuk mengembangkan sayapnya.
Ketika mendengar suara kaki dari Thi Eng khi tadi, lelaki yang
terluka parah itu segera membuka matanya yang sayu dan
memaksakan diri untuk berbisik :
“Soo... sobat....ber.... bersediakah kau un...untuk menolong....
see.... seorang yang hampir maa.... mati?”
Thi Eng Khi bukan seorang yang bernyali kecil, hatinya juga tidak
dingin dan kaku, sikap gelagapan yang diperlihatkan tadi tak lebih
hanya ungkapan rasa kagetnya menghadapi peristiwa semacam itu.
Tapi setelah lelaki itu memohon dengan suara terbata-bata,
semangat ksatrianya segera berkobar kembali, tanpa ragu-ragu dia

5
memayang bangun lelaki itu, membiarkan tubuh lelaki tersebut
bersandar pada lengan kirinya kemudian ujarnya :
“Sobat! Siauseng….. siauseng bersedia membantumu cuma....
cuma....”
Rupanya lelaki yang terluka parah itu memahami ucapan lawan
diapun tak tahu bukannya dia enggan membantu adalah dia tak tahu
bagaimana harus membantu maka kembali ucapnya :
“Daa ..... dalam sakuku ter.... terdapat obat berwarna kuu....
kuning .... tolong aaam…. ambilkan dan berikan berapa bii.... biji
kepadaku!“
Dengan cepat, Thi Eng khi membuka sakunya dan mengeluarkan
dua buah botol obat, benar juga salah satu diantaranya berwarna
kuning. Tanpa pikir panjang lagi, dia segera mengeluarkan semua
obat itu dan dijejalkan ke dalam mulutnya.
Waktu itu, luka yang diderita lelaki tersebut sangat parah,
tenggorokan serta lidahnya sudah mengering, bagaimana mungkin
ia bisa menelan obat-obat itu? Sayang, ia tak mampu berbicara dan
cuma membalikkan matanya yang sayu saja.
Thi Eng khi bukan anak bodoh, ia lantas memahami keadaan
tersebut, sambil tertawa getir dia lari pulang ke rumah, mengambil
semangkuk air dingin dan dilolohkan ke dalam mulut lelaki itu
berikut obatnya.
Setelah menelan obat, lelaki itu mengatur pernafasan sejenak,
paras mukanya pelan-pelan berubah kembali, akhirnya dengan
payah dia berkata :
“Aku Ban li tui hong (selaksa li pengejar angin) Cu Ngo, terima
kasih banyak atas bantuan tuan kongcu!“
Ia menyebut dahulu namanya karena dalam dunia persilatan
orang ini pun mempunyai sidikit nama, dia berharap Thi Eng khi
jangan sampai memandang rendah dirinya.
Siapa tahu Thi Eng khi sama sekali tidak mengerti soal dunia
persilatan, setelah mendengar nama Ban li tui hong pun wajahnya

6
tidak memperlihatkan sikap menaruh hormat hanya serunya dengan
nada datar :
“Cu tayhiap, rumahku tak jauh letaknya dari sini, bagaimana
kalau kubopong dirimu ke rumah untuk beristirahat dulu.“
Agaknya Ban li tui hong Cu Ngo merasa agak kecewa, ia segera
menggelengkan kepalanya berulang kali.
“Terima kasih, aku tak perlu! Aku tahu lukaku cukup parah dan
tipis harapannya untuk hidup lebih jauh, menggunakan waktu yang
teramat singkat ini, aku ingin menitipkan suatu persoalan besar
kepada kongcu!“
“Katakan Cu tayhiap, asal siauseng sanggup untuk
melaksanakannya, pasti tak akan kutampik!“
Dengan perasaan terima kasih Ban li tui hong Cu Ngo menghela
napas panjang, katanya kemudian :
“Beberapa tahun belakangan ini, dalam dunia persilatan telah
muncul seorang gembong iblis berhati kejam yang memiliki ilmu silat
amat dahsyat, gembong iblis itu khusus memusuhi para partai besar
dan jago-jago golongan lurus dalam dunia persilatan, hingga kini
jago-jago yang sudah terluka ditangannya antara lain adalah Ci kong
taysu dari Siau lim lo han tong, Pek soat cinjin susiok dari Hian to
totiang ketua Bu tong pay, Kim kiam to liong (pedang emas
pembunuh naga) Lu Bong ko dari partai Hoa san, Sam siang siansu
(pelajar dari Sam siang) Tiok It hon, Wu san popo (nenek dari Wu
san) Ban Hi serta puluhan orang jago lihay.“
Setelah berhenti sebentar, kembali dia bertanya :
“Kongcu pernahkah kau dengar nama-nama dari kawanan jago
lihay yang baru kusebut tadi?“
Thi Eng khi segera menggelengkan kepalanya berulang kali.
“Siauseng amat asing terhadap jago-jago lihay dari dunia
persilatan .....,“ sahutnya.
Sekali lagi Ban li tui hong Cu Ngo menghela napas panjang.

7
“Aaaai.... kalau begitu mungkin kongu juga tidak tahu siapakah
tokoh nomor wahid dari dunia persilatan sekarang Cang ciong sin
kiam (pedang sakti seantero jagad) Sangkoan Yong, Sangkoan
tayhiap itu?”
Thi Eng khi cuma tertawa lirih sebagai pertanda rasa sesalnya
atas ketidak mampuannya.
Ban li tui hong Cu Ngo segera berkata lebih jauh :
“Kongcu tidak mengerti soal urusan dunia persilatan, akupun tak
akan menjelaskan lebih jauh, pokoknya Cang cong sian kiam
Sangkoan tayhiap yang merasakan adanya ancaman berbahaya yang
mengancam keutuhan dunia persilatan telah menyebarkan Bu-lim
tiap (surat undangan dunia persilatan) untuk mengundang kehadiran
para ketua partai besar serta tokoh-tokoh ternama dari dunia
persilatan untuk bersama-sama berkumpul di perkampungan Ki hian
san ceng di bukit Hong san untuk bersama-sama merundingkan
siasat guna membasmi iblis tersebut dari muka bumi. Aku mendapat
tugas untuk menyebar surat undangan tersebut, sungguh tak
disangka ketika lewat disini mendapat disergap orang dan surat
undangan dirampas olehnya .....”
Belum habis dia berkata, dengan sinar mata tak berkedip Thi Eng
khi telah menukas:
“Oooh...! Rupanya Cu tayhiap akan mengirim surat undangan
buat Thian liong pay. Siauseng segera akan mengundang
kedatangan dari ketua Thian liong pay, empek Gui untuk menemui
dirimu, harap lo siangseng beristirahat dulu disini, bila nanti ada
persoalan silahkan dibicarakan sendiri kepada empek Gui.”
Thi Eng khi sudah membalikkan badan siap meninggalkan tempat
itu, tapi dengan napas tersengkal Ban li tui hong Cu Ngo kembali
berseru :
“Tunggu dulu kongcu! Aku belum sempat menanyakan namamu!”
“Siauseng she Thi bernama Eng khi!”
Seusai berkata kembali dia beranjak pergi.

8
Agaknya Ban li tui hong Cu Ngo tidak ingin mengganggu
ketenangan ketua Thian liong pay, cepat-cepat serunya kembali :
“Ketua Thian liong pay yang dulu, Keng thian giok cu Thi keng,
Thi locianpwe apakah keluarga kongcu?”
“Yaa, dia adalah mendiang kakekku!” sahut Thi Eng khi sedih.
Dengan agak tercengang Ban li tui hong Cu Ngo berseru kembali
:
“Kalau kudengar dari pembicaraan kongcu, mengapa kau seperti
bukan anggota perguruan Thian liong pay?”
Thi Eng khi segera menghela napas panjang.
“Aaai... dalam pesan wasiatnya, mendiang kakekku telah
menurunkan perintah untuk melarang aku belajar ilmu silat, maka
dari itu aku tidak bisa terhitung sebagai anggota perguruan Thian
liong pay!”
Ban li tui hong termenung sebentar, kemudian katanya lagi :
“Kalau kongcu memang bukan anggota Thian liong pay, lebih
baik tak usah merepotkan ketua Thian liong pay, Gui tayhiap lagi.”
Thi Eng khi berpikir sebentar, kemudian sahutnya :
“Baiklah, soal menghantar undangan untuk Thian liong pay, biar
siauseng saja yang mewakilimu toh sama saja.“
Tiba-tiba dengan wajah rikuh Ban li tui hong Cu Ngo berkata :
“Undangan yang dibagi Sangkoan tayhiap kali ini disebar oleh
sekelompok orang, sedang undangan yang seharusnya kusampaikan
adalah undangan Im-gi-siu (kakek awan) Sang Thong, San
locianpwe dari bukit Mong san. Maaf! Undangan buat Thian liong
pay tidak berada ditanganku ......”
Thi Eng khi memang tiada pengalaman sama sekali soal dunia
persilatan, merasa ucapan tersebut masuk diakal juga, maka diapun
tidak berkata apa-apa lagi.

9
Siapa tahu, pada saat itulah tiba-tiba terdengar seseorang
berkata sambil tertawa dingin :
“Cu tayhiap, ucapanmu itu agak kurang jujur, seandainya Thian
liong pay mendapat undangan, memangnya tak bisa sekalian
dibawakan kepada Cu tayhiap?”
Dengan cepat Thi Eng khi berpaling, tampak seorang kakek
gemuk pendek berusia lima puluh tahunan yang berwajah merah
seperti kepiting rebus, memakai jubah berwarna abu-abu yang
penuh debu, jelas baru saja melakukan perjalanan jauh berdiri
disana.
Setelah mengerdipkan matanya yang besar, dia lantas menjerit
kaget, teriaknya :
“Empek Li, rupanya kau, Eng-ji memberi hormat kepadamu!”
buru-buru ia membungkukkan badannya memberi hormat.
Ketika Ban li tui hong Cu Ngo menyaksikan kemunculan orang itu,
wajahnya makin tersipu-sipu, setelah tertawa getir katanya :
“Li tayhiap, tidak diundangnya partai kalian hanya merupakan
suatu kesilafan saja dari Sangkoan tayhiap, harap engkau jangan
menaruh salah paham karena persoalan ini.”
Sam ciat jiu (si tangan sakti) Li Tin tang atau kakek gemuk
pendek itu sesungguhnya sedang berbicara dengan wajah merah,
akan tetapi setelah menyaksikan seluruh badan Ban li tui hong Cu
Ngo bermandikan darah, ia menjadi tak tega dengan senyuman yang
dikulum segera katanya :
“Cu tayhiap, sudah banyak tahun kita tak pernah bersua, bila ada
persoalan lebih baik bicarakan nanti saja.”
Seraya berkata dia lantas maju ke depan dan secara beruntun
menotok jalan darah Ki bun, Jit kan, Ciang tay, Hian ki dan Jin tiong
hiat lima buah jalan darah penting di tubuh orang itu.
Sambil menggelengkan kepalanya berulang kali, kata Ban li tui
hong Cu Ngo :
“Luka yang siaute derita teramat parah, lebih baik Li tayhiap tak
usah repot-repot lagi!”

10
“Cu tayhiap!” Sam ciat jiu Li Tin tang dengan wajah serius, “Kau
menderita luka di depan pintu gerbang Thian liong pay, itu berarti
Thian liong pay berkewajiban untuk menolong dirimu, sekalipun
dalam dunia persilatan sudah tiada tempat lagi buat Thian liong pay
kami, bukan berarti orang-orang Thian liong pay enggan menolong
orang. Sekalipun harus mengorbankan keempat biji obat mustika
Toh mia kim wan warisan mendiang guru kami, kami pasti akan
tetap berusaha untuk menolong jiwa Cu tayhiap ....!”
Sebenarnya Ban li tui hong Cu Ngo beranggapan bahwa tipis
harapan baginya untuk hidup lebih jauh, akan tetapi setelah
mendengar nama Toh mia kim wan (pil emas perenggut nyawa),
semangatnya kontan saja berkobar kembali, tak tahan tanyanya:
“Apakah partai kalian masih memiliki sisa Toh mia kim wan?
Apakah kalian bersedia untuk mengorbankan sebutir buat siaute?”
Sekaligus dia mengajukan dua pertanyaan secara beruntun, tapi
dalam hatinya tidak berani menaruh harapan yang terlalu besar.
Sam ciat jiu Li Tin tang segera mengangguk sambil tertawa,
sahutnya lantang :
“Cu tayhiap, jelek-jelek Thian liong pay masih memiliki jiwa
seorang ksatria, tanggung kau tak bakal mati. Sekarang hayolah
turut aku untuk berjumpa dulu dengan ciangbun suheng kami.”
Dia lantas melepaskan sebuah totokan lagi untuk menotok jalan
darah tidur di tubuh Ban li tui hong Cu Ngo, setelah itu sambil
membopong badannya, kepada Thi Eng khi katanya :
“Anak Eng, dalam pertemuan hari ini kau juga boleh turut ambil
bagian, hayolah ikut aku!”
Dengan jalan berseok-seok dia lantas melangkah lebih dulu
meninggalkan tempat itu.
Sudah hampir lima tahun lamanya Thi Eng khi tak pernah
berjumpa dengan paman ketiganya ini, maka sewaktu dilihatnya
Sam ciat jiu Li Tin tang berjalan agak terseok seok dia menjadi
terperanjat sekali.

11
“Empek Li!” segera tegurnya, “apakah kakimu terluka?”
Sam ciat jiu Li Tin tang tertawa getir.
“Cuaca berubah-ubah, apalagi nasib manusia, luka kecil di kaki
itu mah tidak terhitung seberapa!”
Thi Eng khi ingin tahu sebab-sebab terlukanya Sam ciat jiu Li Tin
tang, maka dengan keheranan dia bertanya :
“Empek Li, mengapa kau sampai menderita luka?”
“Panjang kalau diceritakan,” sahut Sam ciat jiu Li Tin tang sambil
mengangkat bahunya. “Sekarang lebih baik kau pulang dulu, setelah
menyembuhkan luka dari Cu tayhiap nanti, kami masih ada banyak
persoalan yang musti dibicarakan, nanti saja akan sekalian
kuberitahukan kepadamu ....!”
Dalam waktu singkat, mereka sudah masuk lewat pintu samping
dan menuju ke ruang utama gedung Bu lim tit it keh tersebut.
Waktu itu, seorang kakek berusia enam puluh tahunan yang
memakai juga baju warna abu-abu sedang memandang keluar
ruangan dengan termangu-mangu, seakan-akan ada sesuatu yang
sedang dinantikan olehnya.
Ketika menyaksikan kemunculan Sam ciat jiu Li Tin tang, kulit
wajahnya segera mengejang keras, buru-buru disambutnya
kedatangan orang itu seraya menegur :
“Samte, apa yang telah terjadi denganmu?”
Sam ciat jiu Li Tin tang langsung berjalan masuk kedalam ruang
tengah dan membaringkan tubuh Ban li tui hong Cu Ngo kelantai
setelah itu jawabnya.
“Ciangbun suheng kebetulan siaute baru pulang dari Lak hap dan
melihat Eng ji sedang menolong Ban li tui hong Cu tayhiap yang
sedang terluka maka akupun membopongnya kembali, harap
ciangbun suheng bersedia memberi bantuan pengobatan sehingga
Eng ji bisa melakukan tugas kebajikannya sebagai manusia.”

12
Ternyata kakek berambut putih yang berusia enam puluh
tahunan ini adalah lotoa dari Thian liong ngo siang (lima kebacikan
naga sakti) dan juga merupakan ketua Thian liong pay saat ini, Kay
thian jiu (tangan sakti pembuka langit) Gui Tin tiong.
Sewaktu mendengar ucapan dari Li Tin tang tadi, mula-mula
keningnya berkerut, kemudian sambil menghela napas panjang dia
membungkukkan badan dan memeriksa luka yang diderita oleh Ban
li tui hong Cu Ngo tersebut.
Tampaknya Kay thian jiu Gui Tin tiong memiliki kemampuan yang
lumayan juga dalam soal ilmu pertabiban, baru saja tangan kirinya
ditempelkan diatas urat nadi Ban li tui hong, alis matanya yang putih
segera berkenyit rapat sehingga membentuk satu garis lurus.
Menyusul kemudian dengan gerakan cepat dia membuka pakaian
Ban li tui hong Cu Ngo serta memeriksa dadanya, betul juga diatas
kulit bagian dada itu terlihat sebuah bekas telapak tangan berwarna
hitam pekat.
Sambil gelengkan kepala dan menghela napas, ia lantas berkata :
“Cu tayhiap telah terhajar oleh pukulan Jit sa tui hun ciang, isi
perutnya sudah bergeser dan nadinya ada delapan sampai sembilan
bagian yang telah putus, maaf Ih heng (kakak yang bodoh) tak
mampu memberikan pertolongan!”
Setelah berhenti sejenak, dia melanjutkan :
“Lebih baik kita tanyakan saja kepadanya mungkin ada pesanpesan
terakhir yang hendak disampaikan.”
Sehabis berkata, dia lantas menepuk bebas jalan darah Cu Ngo
yang tertotok itu.
Begitu jalan darahnya dibebaskan, Ban li tui hong Cu Ngo lantas
tersadar kembali dari tidurnya, ia tidak sempat mendengar ucapan
dari Kay thian jiu Gui Tin tiong, tapi sempat mendengar Sam ciat jiu
Li Tin tang sedang berkata :
“Toako, apakah pil mustika Toh mia kim wan tak mampu untuk
menyelamatkan jiwa Cu tayhiap?“

13
“Pil mustika Toh mia kim wan adalah mustika dari perguruan kita,
jangan toh cu tayhiap masih bisa bernapas, sekalipun napasnya
sudah berhenti, asal denyutan nadinya masih berdetak lirih, tidak
sampai dua jam sesudah menelan pil tersebut, dia tentu akan segar
bugar kembali seperti sedia kala.“
“Ban li tui hong mendapat luka tepat di depan pintu gerbang
perguruan kita persoalan ini mempengaruhi soal gengsi dan serta
martabat perguruan kita dimata umum, aku pikir ada baiknya kalau
kita mengorbankan sebutir pil Toh mia kim wan untuk
menyelamatkan jiwa Cu tayhiap ....!“
“Samte!“ kata Kay thian jiu Gui Tin tiong dengan kening berkerut,
“sekalipun ucapanmu masuk diakal, tapi bagaimana dengan Eng ji?
Sisa tiga butir pil Toh mia kim wan tersebut kita siapkan untuk
diberikan kepadanya!“
Menyinggung soal Thi Eng khi, Sam ciat jiu Li Tin tang menjadi
ragu dan tak mampu berbicara lagi.
Thi Eng khi yang kebetulan berada disana, dengan cepat lantas
berseru :
“Empek Gui, Eng ji lebih cuma seorang pelajar yang lemah,
apalah arti Toh mia kim wan bagiku? Lebih baik kita gunakan untuk
menyelamatkan jiwa Cu tayhiap.“
Kay thian jiu Gui Tin tiong termenung dan berpikir beberapa saat
lamany, tiba-tiba terlintas kebulatan tekadnya, sambil menggigit bibir
sahutnya :
“Baik! Demi Eng ji, kita tak bisa mendapat makian dari orang
persilatan sebagai melihat orang yang hampir mati tak mau
menolong.“
Dari sakunya dia mengeluarkan sebuah botol porselen berwarna
biru dan mengambil sebutir pil warna merah dari dalamnya, bau
harum semerbak segera tersiar dalam ruangan itu.

14
Kay thian jiu Gui Tin tiong membuka mulut Ban li tui hong Cu
Ngo dan menjejalkan pil Toh mia kim wan tersebut kedalam
mulutnya.
Pil mestika itu memang lain daripada yang lain, begitu masuk ke
dalam mulut segera mencair dan mengalir masuk ke dalam perut.
Kay thian jiu Gui Tin tiong segera mendudukkan Ban li tui hong
Cu Ngo, setelah itu sambil menempelkan telapak tangan kanannya
diatas pusar orang ujarnya :
“Harap Cu tayhiap segera mengerahkan tenaga dalam begitu
semua hawa murni terhimpun kembali, agar daya kerja obat
tersebut bisa menyebar ke seluruh bagian badan.“
Segulung hawa murni segera disalurkan ke dalam tubuh Ban li tui
hong melalui telapak tangannya.
Pada saat Kay thian jiu Gui Tin tiong sedang memberikan
pertolongan itulah dari luar pintu kembali muncul tiga orang kakek
berbaju abu-abu tua.
Salah seorang diantaranya bermata buta sebelah lalu yang
seorang kehilangan tangan kirinya sedang orang yang ketiga
mempunyai mulut luka yang memerah diatas wajahnya. Dari tiga
orang yang munculkan diri ternyata tak seorangpun yang berada
dalam keadaan utuh.
Thi Eng khi yang menyaksikan kehadiran mereka segera menjerit
kaget, serunya:
“Empek Wong, empek Oh, paman Kwan, mengapa kalian?“
Belum sampai orang itu menjawab, Sam ciat jiu Li Tin tang sudah
menggoyangkan tangannya sambil berbisik :
“Eng ji, bila ada urusan kita bicarakan nanti saja, sekarang empek
Gui sedang memusatkan pikirannya, kita tak boleh memecahkan
perhatiannya ....“
Kemudian kepada tiga orang di depan pintu, dia cuma manggutmanggut,
menandakan betapa kuatirnya dia terhadap mereka.

15
Tiga orang itu hanya berdiri tak berkutik didepan pintu, ketika
melihat Kay thian jiu Gui Tin tiong sedang mengerahkan tenaga
menolong orang , wajah mereka sama-sama menunjukkan keraguraguan.
Tiga orang itu ditambah dengan Kay thian jiu Gui Tin tiong dan
Sam ciat jiu Li Tin tang merupakan sisa anggota Thian liong pay saat
ini yang disebut orang Thian liong ngo siang.
Lotoa, Kay thian jiu Gui Tin tiong adalah ciangbunjin partai Thian
liong pay saat ini.
Loji, Pit tee jiu (pukulan sakti pembuka bumi) Wong Tin pak
adalah kakek bermata buta sebelah yang berdiri didepan pintu itu,
meskipun usianya belum mencapai enam puluh, selisihpun tidak
terlalu banyak.
Losam adalah Sam ciat jiu Li Tin tang.
Losu adalah San tian jiu (pukulan halilintar) Oh Tin lam, yakni
kakek yang kehilangan tangan kirinya disamping kiri Pit tee jiu, kalau
dibilang usianya dia jauh lebih kecil seratus delapan hari
dibandingkan dengan usia Sam ciat jiu, tahun ini genap berusia lima
puluh empat tahun.
Orang yang berdiri disebelah kanan Pit tee jiu Wong Tin pak dan
mempunyai lima buah bekas luka berwarna merah darah diatas
wajahnya itu adalah Lo ngo, Sin lui jiu (tangan geledek) Kwan Tin
see, usianya baru lima puluh dua tahunan.
Menyinggung soal Thian liong ngo siang, tanpa terasa orang akan
teringat kembali dengan ketua Thian liong pay generasi yang lalu,
Keng thian giok cu Thi Keng dihormati dan disegani oleh setiap
manusia didunia ini.
Sesungguhnya dia tak lain adalah gurunya Thian liong ngo siang.

16
Thi Keng bukan saja merupakan ketua yang paling kosen dan
paling hebat diantara sembilan orang ketua lainnya semenjak Thian
liong pay didirikan, selain itu diapun merupakan seorang jago paling
tangguh dalam dunia persilatan selama seabad belakangan ini.
Terlepas dari ilmu silatnya yang luar biasa, kebajikan, kesosialan
dan kemuliaan hatinya sukar ditandingi oleh setiap orang.
Pada empat puluh tahun berselang, andaikata Thi Keng tidak
menampilkan diri untuk melenyapkan kaum iblis, dunia persilatan
dewasa ini pasti sudah kacau balau tak karuan, sudah barang tentu
kawanan jago dari pelbagai partai dan perguruan yang ada dalam
dunia persilatan pun akan menjadi santapan empuk dari gembong
iblis yang tersohor waktu itu, Kay ih hui eng (elang terbang
menyelimuti jagad) Ui It peng.
Thian liong pay pada waktu itu sungguh perkasa, sungguh luar
biasa dan mengagumkan.
Tapi apa sebenarnya secara tiba-tiba Thian liong pay bisa jatuh
dalam keadaan yang begini mengenaskan?
Kalau dibicarakan kembali, sebenarnya peristiwa ini terjadi pada
dua puluh tahun berselang, ketika setahun setelah putra Thi Keng
yaitu Thi Tiong giok menikah, tiba-tiba lenyap tak berbekas.
Lenyapnya putra yang amat dicintai ini sungguh merupakan
suatu pukulan yang berat bagi jago tua yang berilmu tinggi dan
berjiwa social ini, sehingga semua semangatnya hampir rontok
dibuatnya.
Dia bukan merasa kelewat sayang pada putranya, melainkan
merasa kecewa bagi kejayaan Thian liong pay, sebab Thi Tiong giok
mempunyai tulang yang bagus untuk berlatih silat, dialah satusatunya
tumpuan harapan dari Thi Keng untuk melanjutkan
kariernya mengangkat nama baik Thian liong pay di mata umum.

17
Lenyapnya pemuda itu bukan saja merupakan suatu berita duka
bagi Thian liong pay, juga boleh dibilang merupakan suatu kerugian
yang besar bagi seluruh umat persilatan.
Maka semenjak peristiwa itu, Thi Keng pun turut lenyap dari
peredaran dunia persilatan.
Musibah yang menimpa partai Thian liong pay ini dengan cepat
mempengaruhi ketenangan seluruh dunia persilatan, hampir
setengah tahun lamanya dunia persilatan menjadi kalut dan tidak
tenang. Tapi akhirnya siapapun tidak berhasil menemukan jejaknya.
Sampai lebih kurang satu bulan lebih yaitu disaat Thi Eng khi
dilahirkan, persoalannya baru mendapat sedikit titik terang, seorang
pendekar dari luar perbatasan Tiang pek lojin telah muncul dengan
membawa tiga macam benda milik Keng thian giok cu Thi Keng yang
dititipkan kepadanya.
Benda tersebut adalah satu stel baju yang penuh berpelepotan
darah, sebuah lencana Thian liong leng pay dan sepucuk surat
wasiat.
Pakaian berdarah itu adalah pakaian milik Keng thian giok cu Thi
Keng, lencana Thian liong leng pay adalah tanda kekuasaan dari
seorang ketua Thian liong pay. Setelah dua macam benda itu
dihantar pulang maka terbuktilah sudah kalau Thi Keng benar-benar
sudah menemui musibah.
Apalagi surat wasiat tersebut, boleh dibilang merupakan berita
buruk diantara berita buruk, bukan saja menerangkan bahwa Keng
thian giok cu Thi Keng telah tewas di luar perbatasan, bahkan
menerangkan bahwa Thi Tiong giok juga telah tiada lagi didunia ini.
Ada satu hal yang paling tidak bisa dimengerti adalah pesan Thi
Keng dalam surat wasiatnya yang melarang anak Thi Tiong giok
yang masih berada dalam kandungan, baik dia lelaki atau
perempuan, semuanya dilarang belajar ilmu silat lagi. Selain itu, juga
mengangkat Kay thian jiu Gui Tin tiong sebagai ketua baru serta

18
menitahkan kepandaiannya untuk menbuyarkan perguruan serta
mengasingkan diri dari keramaian dunia persilatan.
Mengapa Thi Keng sampai berpesan demikian, sekalipun tak bisa
diduga secara pasti tapi ada sebagian alasan yang dapat diduga ia
tahu merasa sedih yang luar biasa dan kecewa yang luar biasa
sehingga mengambil keputusan untuk berbuat demikian.
Ketua yang baru Kay thian jiu Gui Tin tiong segera
mengumpulkan Thian liong ngo siang dan berunding di balik pintu
tertutup selama tiga hari tiga malam, akhirnya dipuaskan untuk
mengambilkan semua anak muridnya pulang kedesa, tidak mengajar
ilmu silat lagi dan menutup pintu perguruan.
Murid-murid Thian liong pay yang kebanyakan belum tamat
belajar itu sudah barang tentu hanya bisa dianggap sebagai jago
kelas dua dalam dunia persilatan, itulah sebabnya mengapa nama
dan martabat Thian liong pay kian hari kian bertambah merosot.
Akhirnya ada diantara murid-murid itu yang pindah ke perguruan
lain, ada pula yang terlantar dalam dunia persilatan dan menjadi
bahan cemoohan umat persilatan lainnya.
Sementara itu, Thian liong ngo siang sendiri tetap tinggal dalam
gedung Bu lim tit it keh, hingga Thi Eng khi berusia lima tahun.
Mereka secara diam-diam mengadakan lagi suatu rapat rahasia, hasil
dari rapat itu kemudian, Kay thian jiu Gui Tin tiong tetap tinggal
dalam gedung Bu lim tit it keh untuk mengurusi Thi Eng khi dan
ibunya, sedangkan empat orang lainnnya pergi berkelana dalam
dunia persilatan.
Cuma mereka telah menentukan bahwa setiap lima tahun sekali
diadakan pertemuan dengan demikian kekuatan Thian liong pay
berhasil juga tetap dipertahankan dan tak sampai musnah sama
sekali.
Hari ini adalah untuk kedua kalinya Thian liong ngo siang
berkumpul kembali setelah berpisah selama lima tahun, maka dari
pelbagai tempat mereka berbondong-bondong pulang ke rumah.

19
Siapa tahu dalam perpisahan selama lima tahun ini, tinggal Kay
thian jiu Gui Tin tiong seorang yang masih tetap berada dalam
keadaan utuh.
Suasana hening mencekam seluruh ruangan, Kay thian jiu Gui Tin
tiong masih memusatkan perhatiannya untuk menyembuhkan luka
yang diderita Ban li tui hong Cu Ngo.
Sekalipun Thian liong ngo siang dalam pandangan Keng thian
giok cu Thi Keng bukan merupakan bakat yang bagus dan tak bisa
menerima ilmu silat yang paling top dari Thian liong pay, akan tetapi
keberhasilan yang berhasil mereka capai sekarang sama sekali tidak
berada di bawah kemampuan jago kelas satu manapun dalam dunia
persilatan.
Hanya saja oleh karena musibah yang telah menimpa perguruan
mereka, kemudian masing-masing orang pun sibuk melaksanakan
tugasnya masing-masing dengan perasaan berat sehingga lama
sekali terputus hubungannya dengan dunia persilatan, maka dunia
persilatan menaruh suatu prasangka yang keliru terhadap
kemampuan ilmu silat yang mereka miliki.
Dalam pada itu tenaga dalam yang dimiliki Kay thian jiu Gui Tin
tiong telah menyusup ke tubuh Cu Ngo, tak sampai sepertanak nasi
kemudian luka dalam yang diderita Ban li tui hong Cu Ngo telah
sembuh kembali seperti sedia kala.
Diam-diam Ban li tui hong Cu Ngo lantas mencoba untuk
mengerahkan tenaga dalamnya, alhasil bukan saja luka yang
dideritanya telah sembuh, bahkan tenaga dalamnya telah
memperoleh kemajuan yang pesat, lantaran mendapat bencana dia
malah berhasil mendapat untung.
Dengan cepat dia melompat bangun, semua kata-kata terima
kasih yang mencekam dalam hatinya ingin diutarakan semua, akan
tetapi setelah menyaksikan keadaan Thian liong pay yang begitu
menggenaskan, ia menjadi tak terlukiskan harunya, sambil
menetaskan air mata, katanya seraya menghela napas :

20
“Aaaai ….. tak seorang jago silat pun dalam dunia persilatan saat
ini yang tidak berbuat salah terhadap Thian liong pay.”
Keadaan Thian liong ngo siang yang mengenaskan itu sudah
cukup menimbulkan rasa sedih di dalam hatinya, tapi setelah
menyaksikan ruang tengah yang dulunya megah dan mentereng itu
sekarang berubah menjadi begitu seram, selain sebuah meja bobrok
dan tiga buah bangku, tiada benda lainnya lagi yang tampak disana.
Kesemuanya itu menambah rasa haru dalam hatinya, sehingga
tanpa disadari titik air mata jatuh berlinang.
Berbicara yang sesungguhnya berada dalam keadaan yang
demikian mengenaskan ternyata pihak Thian liong pay masih
bersedia untuk mengorbankan sebutir pil mustika Toh mia kim wan
yang dianggap benda mestika dari perguruan itu untuk menolong
seorang jago silat yang sama sekali tiada hubungannya dengan
mereka, kebesaran jiwa dari mereka ini sungguh membuat Ban li tui
hong Cu Ngo merasa terharu sekali.
Setelah menenangkan pikirannya sebentar, Ban li tui hong Cu
Ngo segera menjura dalam-dalam seraya berkata dengan serius :
“Sebenarnya aku sedang ditugaskan oleh Cang ciong sin kiam
Sangkoan tayhiap untuk menyebarkan undangan bagi Hong im gi siu
Sang locianpwe di bukit Mong san, kini undangan tersebut sudah
dirampas orang, aai…… untuk mencegah jangan sampai terjadi halhal
diluar dugaan yang akan merugikan dunia persilatan, aku harus
buru-buru kembali ke perkampungan Ki hian san ceng di bukit Hong
san untuk memberi laporan kepada Sangkoan tayhiap. Aku
bersumpah akan balik lagi kemari dan menyumbangkan tenagaku
bagi perguruan anda, sekalipun harus terjun ke lautan api, aku juga
tak akan menolak!”
Dengan diutarakannya perkataan itu, maka ucapan yang
sebenarnya hendak diutarakan Kay thian jiu Gui Tin tiong menjadi
tak enak untuk dikatakan lagi, terpaksa sambil menjura ia berkata :
“Cu tayhiap tak perlu bicara demikian, bantuan yang bisa
diberikan perguruan kami tidak terhitung seberapa, tak usah kau
ingat terus dihati, kalau toh Cu tayhiap memang ada urusan, kami

21
bersaudarapun tak akan menahan lagi, silahkan! Maaf kami tidak
menghantar.”
Sekali lagi Ban li tui hong Cu Ngo memberi hormat keempat
penjuru, kemudian baru berkelebat keluar dari ruangan.
Setelah kepergian Ban li tui hong Cu ngo, ketiga orang yang
berdiri dimuka pintu itu baru masuk ke dalam ruangan dan menyapa
Kay thian jiu Gui Tin tiong.
Ketua Thian liong pay Kay thian jiu Gui Tin tiong tak bisa
berbicara apa-apa selain mengucurkan air mata dengan kulit wajah
mengejang, jelas dia merasa sedih sekali setelah menyaksikan cacad
yang menimpa keempat orang sutenya, sampai lama sekali ia masih
belum mampu untuk mengucapkan sepatah katapun.
Sin lui jiu Kwan Tin see berwatak paling berangasan, dia tidak
terbiasa menyaksikan sikap ketuanya yang diliputi emosi itu, bekas
luka berwarna merah yang berada diatas wajahnya itu segera
berubah menjadi merah tua, sambil tertawa keras katanya :
“Ciangbun suheng, kau benar-benar kelewat lemah hatinya,
apalah artinya sedikit luka diatas wajah ini? Siaute toh tidak
bermaksud untuk mencari isteri punya anak, peduli amat!”
Setelah menelan air liur, kembali dia berkata :
“Untung saja siaute tak sampai melalaikan tugas, Gin hu sim tau
hiat (jantung kelelawar perak) telah berhasil kudapatkan, silahkan
ciangbun suheng untuk memeriksanya.”
Sehabis berkata dia lantas mengeluarkan sebuah kotak berwarna
biru dan diangsurkan kepada Kay thian jiu Gui Tin tiong.
Sambil menerima angsuran kotak berwarna biru itu, dengan
penuh perasaan terharu Kay thian jiu Gui Tin tiong berkata :
“Ngo-te, menyusahkan kau saja!“
Menyusul kemudian San tian jiu Oh Tin lam sambil mengayunkan
tangan kanannya ia berkata :

22
“Siaute selalu beranggapan bahwa ilmu pukulan halilintar lebih
indah lagi jika digunakan dengan tunggal, maka lengan yang tak
terpakai itu memang lebih baik kalau disingkirkan saja, Ciangbun
suheng tak usah kuatir, yang lebih mujur lagi, aku pun berhasil
mendapatkan empedu dari Kiu ciok kim can (comberet emas berkaki
sembilan)!“
Dari sakunya, dia mengeluarkan pula sebuah kotak berwarna biru
dan diserahkan ke tangan Kay thian jiu Gui Tin tiong.
Belum lagi ia sempat berbicara, Pat tee jiu Wong Tin pak sambil
terbahak-bahak telah menyambung lebih jauh.
“Ciangbun suheng, siaute pun sungguh beruntung dapat
melaksanakan tugas dengan baik, Jit gwat cay hong tok berhasil
pula kudapatkan, seandainya mataku tidak buta sebelah mungkin
untuk mengincarpun kurang tepat. Maka butanya mata ini memang
paling baik dengan demikian siaute bisa mengincar benda apapun
dengan lebih tepat lagi.“
Sehabis berkata diapun menyerahkan sebuah kotak biru.
Sam ciat jiu Li Tin tang dengan jalan terseok-seok maju pula
kemuka, seraya menyerahkan kotak biru dia berkata :
“Ciangbun suheng, siaute yang mendapatkkan teratai salju
berusia seribu tahun Cian hian soat lian ini paling mujur, aku sama
sekali tidak menderita luka apa-apa, mengenai kakiku ini?
Berhubung cuaca beberapa hari ini kurang baik rhematikku kambuh
maka jalanku menjadi agak terseok-seok.“
“Bagus! Bagus!“ seru Kay thian jiu Gui Tin tiong sambil
memegang keempat buah kotak biru itu. “Sute berempat telah
membuat pahala buat perguruan kita, ih heng merasa sangat
gembira, apalagi bukankah kalian sehat-sehat semua dan bisa
kembali dengan selamat?“
Selesai berkata dia lantas mendongakkan kepalanya dan tertawa
sedih, suaranya amat memedihkan hati membuat orang menjadi
sedih.

23
Menyaksikan Thian liong ngo siang bertanya jawab seperti orang
lagi bermain sandiwara, Thi Eng khi menjadi melongo, sekalipun ia
tidak berpengalaman tapi pemuda itu juga tahu kalau masingmasing
orang telah mengarang suatu cerita bohong, ia benar-benar
tidak mengerti apa sesungguhnya yang telah terjadi.
Padahal, darimana dia bisa tahu kalau Thian liong ngo siang
berbuat demikian tak lain adalah demi dia, cuma saja semua orang
berusaha untuk mengendalikan rasa sedihnya itu sehingga tak
sampai kelihatan dari luaran.
Sementara Thi Eng khi masih berdiri termangu-mangu,
mendadak Kay thian jiu Gui Tin tiong berhenti tertawa lalu sambil
menatap kearahnya, ujarnya dengan serius :
“Eng ji, cepat kembali ke kamar dan kabarkan kepada ibumu
kalau loji, losam, losu dan longo telah pulang, harap ia datang
kemari untuk bercakap-cakap.“
“Baik“ Thi Eng khi segera mengiakan dan membalikkan badan
keluar dari ruangan.
Selama ini, Thi Eng khi bersama ibunya Thi hujin, Yap Siu ling
berdiam di halaman paling belakang dari gedung Bu lim tit it keh
tersebut.
Tak lama kemudian, pemuda itu muncul kembali seorang diri
seraya berkata :
“Hari ini kesehatan ibu sedang terganggu, beliau tak bisa datang
berjumpa dengan para empek dan paman tak menjadi marah!“
Bagaikan tersambar guntur, Thian liong ngo siang saling
berpandangan tanpa mengucapkan sepatah katapun, wajah mereka
kelihatan amat sedih sekali.
Sin lui jiu Kwan Tin see tak bisa menahan diri lagi, dengan suara
keras dia lantas membentak :
“Benarkah enso tak mau datang?“

24
Thi Eng khi menundukkan kepalanya dengan perasaan menyesal.
“Yaa, kesehatan badan ibuku memang sedang terganggu dia tak
bisa datang kemari.“
“Kami berlima belum tentu bisa berkumpul seperti hari ini, bila
kali ini musti dilewatkan maka kami musti menunggu lima tahun lagi,
Eng ji, pulanglah ke kamarmu dan mintalah kepada ibumu sekali
lagi.“
Thi Eng menjadi serba salah sehingga wajahnya kelihatan
tersipu-sipu .....
Kay thian jiu Gui Tin tiong menghela napas panjang, kepada Thi
Eng khi katanya :
“Tak usah mengganggu ibumu lagi, sekarang hari sudah mulai
gelap, Eng ji, kau boleh pulang dulu.“
Thi Eng khi merasa tercengang dan tidak habis mengerti,
tanyanya kemudian :
“Empek Gui, apakah kalian mempunyai urusan penting?“
Kay thian jiu Gui Tin tiong tertawa getir :
“Aaah …….. tidak ada apa-apa, kau boleh pulang saja ke
kamarmu!”
Terpaksa Thi Eng khi memberi hormat dan mengundurkan diri
dari ruangan itu.
Menunggu bayangan tubuh dari Thi Eng khi sudah pergi jauh,
dengan marah Sin lui jiu Kwan Tin see berseru :
“Ciangbun suheng, sebenarnya apa yang terjadi? Sebenarnya
sudah kau katakan belum kepada enso? Bersedia tidak ia
membiarkan Eng ji menjadi anggota perguruan kita?“
Kay thian jiu Gui Tin tiong kelihatan sedih dan murung sahutnya :
“Tee moy (istri adik) Yap Siu ling memegang teguh pesan suhu
dan melarang Eng ji belajar ilmu silat, sekalipun Ih heng telah
berusaha dengan sedapat mungkin, nyatanya juga tidak

25
mendatangkan hasil apa-apa aaai..... ..... aku benar-benar merasa
malu sekali kepada sute berempat.“
“Jika Eng ji tak mau belajar silat, lantas apa gunanya empedu Kiu
ciok kim can? Bukankah lenganku ini hilang dengan percuma?“ teriak
San tian jiu Oh Tin lam dengan suara keras.
Pit tee jiu Wong Tin pak juga berkata dengan kecewa :
“Siaute seringkali memperhatikan anak murid kita yang
berkeliaran diluar, kalau dibicarakan sungguh mengenaskan sekali,
oleh karena suhu telah meninggal dunia, kami berlima pun tak ada
yang mau mengurusi, hakekatnya orang-orang itu bagaikan setan
gentayangan dalam dunia persilatan, yang merasa punya harga diri
tak malu untuk bunuh diri, adapula yang mengundurkan diri dari
dunia persilatan , sebaliknya mereka yang berhati lemah, kalau tidak
numpang kekuatan orang lain, keadaannya juga mengenaskan
sekali. Jika Eng ji sekarang tak dapat masuk kedalam perguruan kita,
tidak berbicara soal perjuangan kita yang sia-sia selama belasan
tahun, bukankah partai kitapun tamat riwayatnya .....?“
“Benar!“ kata Sam ciat jiu Li Tin tang, “Sekarang segala
sesuatunya telah disiapkan, bagaimanapun juga tak bisa ditinggalkan
di tengah jalan, ciangbun suheng, mari kita bersama-sama pergi
memohon kepada Tee moay!“
Setelah mendengar perkataan dari keempat orang sutenya itu,
Kay thian jiu Gui Tin tiong merasakan hatinya sedih sekali bagaikan
digigit oleh beratus ratus ekor semut.
Tapi rupanya ia sudah mempunyai rencana yang matang, dengan
paras muka tidak berubah, katanya :
“Sute berempat, kita tak gampang untuk berkumpul kumpul, bila
ada persoalan lebih baik dibicarakan setelah memberi hormat
kepada arwah Cau su nanti!“
Selesai berkata, dengan membawa empat buah kotak biru itu, dia
berjalan masuk lebih dulu ke dalam ruang sin thong, sementara
empat orang saudaranya mengikuti dari belakang.

26
Ruang Sin tong dari partai Thian liong ini tidak termasuk besar,
luasnya paling cuma enam kaki persegi, tapi keempat belah
dindingnya dilapisi oleh kayu jati.
Di bawah sinar lentera yang berbentuk tujuh bintang sebanyak
tujuh buah, suasana disana tampak amat seram dan berwibawa.
Dibagian utara meja altar, dibelakang tirai berwarna biru dan
dibawah delapan buah meja abu tampak lukisan seorang kakek
berjenggot panjang yang tampak sangat hidup.
Dia tak lain adalah ketua generasi kesembilan dari partai Thian
liong pay, Keng thian giok cu Thi Keng, kakek Thi Eng khi.
Dengan sangat hormat, Kay thian jiu Gui Tin tiong
mempersembahkan keempat buah kotak biru itu ke meja altar,
kemudian ia menjatuhkan diri berlutut dan memberi hormat.
Dari loji ke bawah semuanya berlutut di belakang Kay thian jiu
Gui Tin tiong.
Selesai memberi hormat, paras muka Kay thian jiu Gui Tin tiong
segera berubah sama sekali. Dengan senyum dikulum ia
mengeluarkan sepucuk surat yang rupanya telah dipersiapkan lebih
dulu itu dari sakunya, kemudian sambil menyerahkan ke tangan Pit
tee jiu Wong Tin pak katanya :
“Jite, bawalah ketiga orang sutemu menuju keruang belakang
untuk membujuk Tee moay, seandainya dia belum juga
menyanggupi permintaanmu itu, maka serahkan surat ini
kepadanya, aku rasa setelah dia membaca surat ini permintaan
kalian tak akan ditampik lagi.“
“Suheng .....“ Pit tee jiu Wong Tin pak kelihatan ragu-ragu.
Belum habis dia berkata, Kay thian jiu Gui Tin tiong telah
mengulapkan tangannya seraya berseru :
“kalian cepat kembali kemari, Ih heng akan menunggu di sini!“

27
Terpaksa Pit tee jiu Wong Tin pak mengajak ketiga orang sutenya
berangkat menuju ke halaman belakang dimana Thi Eng khi dan
ibunya berdiam ......
Ketika mereka berempat tiba di halaman belakang, tampak
ruangan dimana Thi Eng khi berdiam lamat lamat masih kelihatan
ada cahaya lampu, dengan tenaga dalam mereka yang sempurna,
dapat didengar pula suara pembicaraan kedua orang itu.
Mereka berempat adalah jago-jago yang berjiwa terbuka, mereka
enggan mencuri dengar pembicaraan orang, maka suara langkah
kakinya sengaja diperberat.
Suara langkah kaki yang berat itu segera terdengar oleh Thi Eng
khi dan ibunya.
Terdengar Thi Eng khi menegur dari dalam ruangan :
“Empek Gui kah yang berada di luar?“
“Eng ji, kami berempat sengaja datang menyambangi ibumu!“
sahut Pit tee jiu Wong Tin pak dengan cepat.
“Empek Wong kah disitu?“ sambung Thi hujin Yap Siu ling,
“merepotkan kalian semua, sungguh membuat aku merasa malu.“
Pit tee jiu Wong Tin pak kuatir Thi hujin Yap Siu ling menampik
kedatangan mereka, buru-buru serunya :
“Tee moay, sudah lima tahun kita tak pernah bersua, bolehkah Ih
heng sekalian masuk kedalam rumah?“
Thi Eng khi keluar membuka pintu, kemudian mempersilahkan Pit
tee jiu Wong Tin pak sekalian berempat masuk ke dalam ruang tamu
yang bersih sekali.
Sebuah lentera tergantung diatas rumah dan menyiarkan sinar
berwarna merah, suasana dalam ruangan itu terasa amat sesak dan
membuat perasaan orang tidak tenang.

28
Beberapa saat kemudian, Thi hujin Yap Siu ling baru keluar dari
dalam kamarnya.
Pit tee jiu Wong Tin pak sekalian menyaksikan sepasang matanya
merah lagi membengkak, agaknya baru saja menangis, mereka
lantas tahu bahwa perempuan itu memaksakan diri menjumpai
mereka.
Thi hujin Yap Siu ling berasal dari keluarga terpelajar, selain
menguasai dalam bidang sastra dan ilmu pengetahuan, diapun amat
cerdik dan halus berbudi, enam belas tahun hidup menjanda
membuatnya cukup memahami watak manusia. Dia sudah menduga
kalau Thian liong ngo siang tak akan melepaskan putra
kesayangannya dengan begitu saja.
Pertama karena dia harus menuruti pesan dari mertuanya, kedua
diapun enggan membiarkan putranya terjerumus dalam dunia
persilatan, sehingga mengalami nasib yang sama dengan ayahnya
maka mau tak mau dia harus mengeraskan hati untuk menampik
permintaan para empek dan putranya itu.
Dengan sinar mata yang was was dia memandang sekejap ke
wajah Thian liong su siang. Kemudian dengan alis mata berkenyit ia
menghela napas panjang.
“Aaaai.... empek Wong, apakah gunanya kau mendesak terus?“
Sesudah menghembuskan napas panjang serunya :
“Maksud hati maupun kesulitan yang kalian alami aku tak ingin
ambil peduli, pokoknya aku tahu bahwa kalian sangat berhasrat
untuk menarik Eng ji ke dalam perguruan Thian liong pay, sayang
sekali keluarga Thi pada saat ini cuma tinggal Eng ji seorang
seandainya kalian tidak mau melepaskan dirinya, dikemudian hari
bagaimana pula kalian bisa mempertanggung jawabkan diri di depan
gurunya yang telah tiada?“
Waktu itu sebenarnya Thi Eng khi sudah diliputi oleh kobaran
semangat yang luar biasa sebesarnya untuk melanjutkan karier dari
mendiang kakeknya, kalau bisa dia ingin sekali ibunya segera
menyanggupi permintaan itu.

29
Dengan waktunya yang suka bergerak, dia paling enggan untuk
hidup dalam kesepian dan sampai tua melewati suatu penghidupan
yang sederhana tanpa sesuatu pekerjaan.
Akan tetapi setelah menyaksikan wajah ibunya yang serius tapi
diliputi rasa sedih itu, hatinya menjadi tercekat dan tak berani lagi
untuk mengemukakan niatnya.
Dia cukup memahami watak dari ibunya itu, maka sekarang mau
tak mau dia harus berusaha keras untuk menekan perasaan yang
bergejolak didalam hatinya.
Begitu datang tadi, Thian liong su siang segera dibuat
membungkam oleh perkataan Thi hujin Yap Siu ling, dengan wajah
sedih mereka tak mampu mengucapkan sepatah katapun.
Dari perubahan paras muka mereka, Yap Siu ling bisa menangkap
kekecewaan di hati Thian liong su siang.
Tanpa terasa lagi sambil menghela napas sedih katanya :
“Sekarang waktu sudah cukup malam .....”
Pelan-pelan ia bangkit berdiri dan berhasrat untuk menghantar
tetamunya.
Paras muka Thian liong su siang berubah hebat, Sin liu jiu Kwan
Tin see tak sanggup mengendalikan perasaannya lagi, dengan penuh
emosi teriaknya :
“Enso, kau mengira pesan dari mendiang suhu tidak ada
kemungkinan untuk diperbaiki?”
Paras muka Thi hujin Yap Siu ling menjadi pucat pasi karena
mendongkol. Dengan cepat, ia duduk kembali di tempat semula.
“Ngo-te, mengapa kau bicara sembarangan?” bentak Pit tee jiu
Wong Tin pak, “tindakanmu ini kurang sopan!”

30
Paras muka Sin lui jiu Kwan Tin see berubah menjadi merah
padam, sekalipun dia adalah seorang kakek yang hampir berusia
lima puluh tahunan, saking malunya dia sampai tak mampu
mendongakkan kembali kepalanya.
“Siaute berbicara tanpa maksud, harap enso jangan marah!”
buru-buru serunya agak tergagap.
Diantara Thian liong ngo siang, Sam ciat jiu Li Tin tang adalah
seorang jago yang paling pintar, meski oleh rentetan ucapan dari Thi
hujin tadi ia merasa agak gelagapan tapi setelah Sin lui jiu Kwan Tin
see berbicara secara berani, satu ingatan tiba-tiba melintas dalam
benaknya, dengan cepat dia berseru :
“Tee moay kau toh bukannya tidak tahu bagaimana watak Ngote,
dia adalah seorang yang berbicara blak-blakan, apa yang dipikirkan
diucapkan tanpa tedeng aling aling, aku harap kaupun bisa baik-baik
mengambil pertimbangan!”
Thi hujin Yap Siu ling bukannya tak tahu kalau Sin lui jiu Kwan
Tin See adalah seorang kasar yang jujur.
Tapi apa yang dipikirkan tak lain adalah keselamatan Thi Eng khi,
maka diapun tak ingin melepaskan keputusannya dengan begitu
saja.
Dengan ucapan yang tajam bagaikan pisau, dia lantas berkata :
“Thian liong pay makin lama semakin besar orangnya, tak tahu
aturan, tak heran kalau nama besar perguruan kian hari kian
merosot dalam dunia persilatan!”
Ucapan tersebut meluncur seperti angin, menanti ia merasa kalau
perkataan itu terlalu berat, untuk ditarik kembali sudah terlambat.
Paras muka Thian liong su siang segera berubah hebat,
kepalanya ditundukkan rendah-rendah.
Melihat itu, Thi hujin Yap Siu ling merasa terperanjat sekali, buruburu
katanya lagi :
“Para empek dan paman, aku telah salah berbicara, aku bukan
berbicara dengan maksud tertentu!”

31
Berbicara sampai disitu, dia lantas menutupi wajah sendiri dan
menangis tersedu-sedu.
“Tee moay, Tee moay!” seru Sam ciat jiu Li Tin tang berulang
kali, “Kau tidak salah berbicara, kami sebagai anggota Thian liong
pay memang pantas mendapat teguran ini. Cuma ... cuma....
perkataan dari Ngote agaknya bisa dipertimbangkan lagi.”
Berbicara sampai disitu, dia lantas berhenti sambil menatap
wajah orang, dia berharap Thi hujin Yap Siu ling bisa memberi
kesempatan kepadanya untuk berbicara lebih lanjut.
Thi hujin Yap Siu ling dengan cepat mengendalikan perasaannya
yang pulih kembali dalam ketenangan, dia manggut manggut.
“Bila empek Li akan mengucapkan sesuatu, silahkan diutarakan!”
“Pesan dari mendiang suhu tidak boleh dilanggar oleh kita
sebagai anggota Thian liong pay,” kata Sam ciat jiu Li Tin tang,
“cuma sebelum melaksanakan pesan dari mendiang suhu, siau heng
beranggapan bahwa kita harus memahami dahulu maksud yang
sebenarnya dari suhu mendiang, kita tak boleh membelenggu diri
dengan pelbagai masalah lain, sebab bila sampai demikian akhirnya
kita akan menjadi orang yang menentang pesan suhu mendiang.”
Thi hujin Yap Siu ling cuma membungkam dan tundukkan
kepalanya sambil mendengarkan dengan seksama.
Terdengar Sam ciat jiu Li Tin tang melanjutkan kembali katakatanya
:
“Dengan dalam dan saktinya ilmu silat perguruan kita, tanpa
memiliki bakat yang sangat bagus seperti yang dimiliki mendiang
suhu dan Tiong giok sute, tak mungkin seseorang bisa mencapai
kesempurnaan. Betul Ih heng berlima adalah murid Thian liong pay,
tapi lantaran bakat yang terbatas, sekalipun sudah melatih diri
secara tekun atas ilmu silat aliran Thian liong pay, hasilnya juga
terbatas sampai sepersatu dua saja, dalam dunia persilatan yang
begitu luas sesungguhnya sulit sekali untuk menampilkan diri.”

32
Suara pembicaraannya makin lama makin keras :
“Semenjak suhu menjadi putus asa karena lenyapnya putra
tercinta, dan lagi tahu kalau api kehidupannya hampir padam,
apalagi menyaksikan partai Thian liong sudah tidak ada ahli warisnya
lagi, daripada membuat malu nama perguruan dimata umum,
akhirnya diputuskan untuk menarik diri dari keramaian dunia
persilatan, kalau berbicara dari keadaan waktu itu, tindakan suhu
memang sangat tepat sekali.”
Setelah menghela napas panjang, dia melanjutkan kembali katakatanya
lebih jauh :
“Tapi keputusan yang diambil In su ketika itu adalah didasarkan
pada tiadanya keturunan dalam perguruan Thian liong pay, maka
diputuskan untuk menarik diri, dia orang tua tidak menyangka kalau
Eng ji memiliki bakat yang bagus dan kecerdikan yang luar biasa,
sesungguhnya dialah seorang berbakat bagus yang sukar dijumpai
dalam seratus tahun ini, coba kalau Eng ji dilahirkan sebelum dia
orang tua pergi, setelah melihat bakatnya yang bagus itu, aku pikir
dia orang tua pasti tak akan mengambil keputusan begitu.”
Kembali ia berhenti sejenak untuk berganti napas lalu terusnya :
“Mengenai persoalan ini, Ih heng berlima telah melakukan
penyelidikan serta pembahasan yang terperinci setelah mendapat
pesan dari Insu, tapi ketika Eng ji berusia lima tahun, kami baru
mendapatkan pandangan yang lain terhadap pesan Insu tersebut,
bersamaan itu pula kamipun telah mengambil keputusan baru yang
lain.”
Thi hujin Yap Siu ling bukannya seorang yang bodoh, perkataan
dari Sam ciat jiu tersebut segera menggerakkan hatinya tapi ketika
teringat kembali kalau suaminya juga seorang lelaki yang dianggap
berbakat bagus, tapi justru karenanya dia kehilangan dia, paras
mukanya dengan cepat berubah kembali.
Sam ciat jiu Li Tin tang memandang sekejap kearah Thi hujin
kemudian melanjutkan
“Ketika Eng ji berusia lima tahun kami berempat mendapat
perintah dari Ciangbun suheng untuk menjelajahi dunia persilatan
guna menemukan empat jenis bahan obat yang bisa dipakai untuk

33
mencuci tulang dan memperkuat otot, ternyata Thian tidak menyia
nyiakan harapan kami, rupanya Thian liong pay memang ditakdirkan
bisa bangkit kembali dari keruntuhan, akhirnya kami berempat
berhasil untuk mewujudkan cita-cita tersebut ....”
Demi merebut simpatik orang dengan suara yang sengaja
diperkeras terusnya :
“Tapi akibat dari keberhasilan itu kami berempatpun telah
berubah menjadi begini rupa, jiko kehilangan sebelah matanya, sute
kehilangan sebuah lengannya, paras muka ngote berubah bentuk,
yang paling beruntung adalah aku, cuma kehilangan sebuah otot
kaki belaka.”
Paras muka Thi hujin kembali berubha hebat, dia berpaling dan
memandang sekejap kearah Thi Eng khi yang sedang berdiri dengan
air mata bercucuran itu, setelah menghela napas diapun tak tega
untuk berkata lebih lanjut.
Waktu itu Sam ciat jiu Li Tin tang yang sudah merasa kehabisan
bahan pembicaraan, dengan memaksa diri katanya lagi :
“Benda itu adalah Cian nian soat lian, empedu combaret emas
berkaki sembilan, darah Gin hok sim tau hiat serta Jit gwe cay hong
lok .....”
Seraya berpaling kearah Thi Eng katanya kemudian :
“Eng ji, beberapa macam obat mestika itu tersimpan didalam
empat kotak biru yang kami bawa pulang tadi, kau tentunya sudah
melihat sendiri bukan?”
Sekalipun Thi Eng khi bukan orang persilatan akan tetapi sebagai
seorang yang berpengetahuan luas, dia tahu bahwa bahan obatobatan
yang dimaksud itu adalah benda mestika yang bisa dijumpai
tak bisa dicari, ternyata keempat empek dan pamannya dengan
mengorbankan waktu hampir sepuluh tahun lamanya untuk
mewujudkan suatu impian menjadi kenyataan, hal ini membuktikan
betapa besarnya semangat serta tekad mereka.

34
Pokoknya diapun terbayang kembali semua kegagahan dan
kehebatan kakek dan ayahnya dimasa lalu, masakah dia harus hidup
sederhana begini sepanjang masa?
Berpikir sampai disitu, darah panas dalam rongga dadanya terasa
bergelora keras tanpa terasa lagi teriaknya :
“Ibu .....!”
Tapi dengan cepat ia terbayang kembali kasih sayang ibunya
yang sudah enam belas tahun hidup menjanda itu, apa yang
menyebabkan dirinya sampai menanggung derita? Bukankah karena
dia?
Sekarang, jika sampai berbuat yang macam-macam, bukankah
hal ini kan menusuk perasaan orang tuanya.
Sebagai seorang anak yang berbakti berpikir sampai disitu, ia
menjadi tak mampu untuk melanjutkan kembali kata-katanya.
Dari perubahan mimik wajah putranya itu, Thi hujin Yap Siu ling
dapat menebak jalan pikirannya. Dengan wajah sedih dia lantas
berkata :
“Eng ji, Ibu bersedia mendengarkan pendapatmu!”
Thi Eng khi yang pintar sudah barang tentu bisa memahami
perasaan ibunya yang menderita, ia merasa dirinya tidak menurut
keinginan ibunya, maka sekalipun akhirnya dia dapat berkelana
dalam dunia persilatan, selamanya hatipun tak pernah akan tenang.
Maka dengan air mata bercucuran katanya :
“Ananda siap mendengarkan perintah ibu!”
“Nak,“ kata Thi hujin dengan air mata bercucuran, ”Ibu dapat
memahami perasaanmu, tapi ..... tapi akupun tak dapat memenuhi
keinginanmu itu!”
Thian liong su siang yang menghadapi kejadian ini segera
merasakan keringat sebesar kacang kedelai bercucuran membasahi
dahinya.

35
Pit tee jiu Wong Tin pak merasa sangat kecewa, pikirnya :
“Sekalipun kukeluarkan surat dari ciangbun suheng pada saat ini
mungkin hal ini pun akan sia-sia belaka .....”
Untuk sesaat lamanya dia menjadi ragu dan tak tahu apa yang
musti dilakukan.
Sin lui jiu Kwan Tin see sama sekali tidak menggubris masalah
itu, karena sedang mangkel dia lupa kalau tadi dirinya sudah salah
berbicara, dengan suara lantang teriaknya :
“Ji suheng, apakah kau sudah lupa dengan pesanan ciangbun
suheng?”
Sinar mata losam dan losu pun bersama-sama dialihkan ke wajah
sang loji.
Dengan perasaan apa boleh buat Pit tee jiu Wong Tin pak segera
mengangsurkan surat Kay thian jiu Gui Tin tiong seraya berkata :
“Disini ada sepucuk surat dari toa suheng silahkan Tee moay
untuk memeriksa!”
Thi hujin Yap Siu ling menerima surat itu dan baca sebentar,
mendadak sekujur badannya gemetar keras dengan wajah berubah
hebat serunya dengan hati yang pilu :
“Aaah..... empek Gui, kau .... kau.... kau....“
Mendadak teringat olehnya bahwa persoalan ini harus cepatcepat
diberitahukan kepada Thian liong su siang, maka dengan
wajah tegang teriaknya keras-keras :
“Cepat! Cepat kembali! Empek Gui telah bunuh diri ....!“
Thian liong su siang bersama-sama berpekik panjang, kemudian
dengan melompat dinding lari meninggalkan tempat itu.
Dengan air mata bercucuran Thi hujin Yap Siu ling berpaling ke
arah Thi Eng khi yang masih berdiri terbelalak itu seraya berseru :
“Nak, mari kita menyusul kesana!“

36
Ketika tiba dipintu gerbang Thian liong pay, ibu dan anak berdua
tiba-tiba berhenti.
Rupanya berhubung Thi hujin dan Thi Eng khi bukan anggota
perguruan Thian liong pay, sekalipun hidup bersama dengan Thian
liong ngo siang, selama ini belum pernah melangkah masuk barang
selangkahpun ke dalam pusat markas dari Thian liong pay itu.
Maka ketika tiba di pintu gerbang, mereka pun ragu-ragu untuk
melangkah masuk kedalam ruangan itu.
Kendatipun demikian, suasana dalam sin thong tersebut dapat
terlihat amat jelas.
Tampak Kay thian jiu Gui Tin tiong terkapar di depan meja altar
dan sama sekali tak berkutik, sementara Thian liong su siang berdiri
dikedua belah sisinya dengan wajah terbelalak dan kehilangan
konsentrasi, rupanya mereka dibuat tertegun oleh musibah yang
terjadi diluar dugaan ini.
Tiba-tiba Thi hujin Yap Siu ling berteriak dari pintu luar :
“Bolehkah siaumoy dan Eng ji masuk kedalam?”
Dengan perasaan terkejut Thian liong su siang tersadar kembali
dari lamunannya.
Tiba-tiba Pit tee jiu Wong Tin pak berguman :
“Kematian toa suheng tidak sia-sia, Thian liong pay kami akhirnya
tertolong juga!”
Thian liong ngo siang adalah anggota-anggota setia dari Thian
liong pay, mereka bersedia mengorbankan jiwa sendiri demi
kepentingan perguruan sekalipun kematian Toa suhengnya
mendatangkan perasaan yang pilu dihati masing-masing, tapi
kemunculan Thi hujin didepan pintu justru mendatangkan harapan
besar bagi mereka.
Jilid 2

37
Thian liong su siang segera memisahkan diri ke samping dan
menyambut kedatangan perempuan itu dengan hormat.
“Tee moay maupun Eng ji adalah keluarga langsung dari Insu,
kalian tidak terhitung orang luar, silahkan masuk!” kata Pit tee jiu
Wong Tin pak mewakili rekan-rekannya.
Thi hujin Yap Siu ling merasakan hatinya menjadi kecut, dengan
sedih ia membimbing Thi Eng khi masuk kedalam ruangan.
Dalam pada itu Thi hujin telah mengambil suatu keputusan yang
paling berat didalam hatinya, tampak perempuan itu dengan tekad
yang besar berjalan ke depan jenazah Kay thian jiu Gui Tin tiong.
Setelah memberi hormat, katanya :
“Empek Gui, buat apa kau mesti berbuat demikian?”
Waktu itu dia melakukan hanya menurut suara hati sendiri, tibatiba
dihadapan patung Keng thian giok cu Thi Keng dia berlutut dan
menyembah sambil menangis, katanya :
“Ooooh ..... kongkong! Anak menantu berharap agar tindakanku
kali ini tidak keliru, bila toh melanggar kehendak hatimu, harap kau
bersedia memandang diatas partai Thian liong untuk memaafkan
anak menantumu beserta Eng ji!”
Selesai berdoa, ia menyembah tiga kali baru bangkit berdiri,
cuma saat ini wajahnya telah berubah menjadi amat serius.
Ia memberi tanda agar Thi Eng khi berlutut pula didepan patung
pemujaan, lalu katanya :
“Nak, mulai sekarang ibu telah menyerahkan dirimu kepada
partai Thian liong. Kau harus baik-baik menuruti ucapan toa supek!”
Setelah itu dia baru membentang surat wasiat dari Kay thian jiu
Gui Tin tiong dan membaca isi surat dengan lantang :
“Surat ini tertuju untuk Siu ling tee moay, Wong, Li, Oh, Kwan
empat orang sute serta keponakan Eng khi ......”

38
Rupanya surat itu bukan khusus ditinggalkan buat Thi hujin Yap
Siu ling seorang, melainkan meliputi segenap orang yang hadir
didalam ruang sin thong tersebut.
Sementara itu, Thi Eng khi telah berlutut dihadapan ibunya,
sementara Thian liong su siang juga bersama-sama menjatuhkan diri
berlutut dibelakang Thi Eng khi.
Berbicara bagi mereka maka pembacaan isi surat tersebut sama
halnya dengan mendengar pesan terakhir dari ciangbunjin angkatan
ke sepuluh dari Thian liong pay, karena itu dengan sikap hormat
mereka siap mendengarkannya.
“Perguruan kita Thian liong pay semenjak pendiriannya sampai
sembilan keturunan berikutnya, semua adalah tokoh-tokoh sakti
yang memiliki kemampuan melebihi orang lain, itulah sebabnya
sejarah partai kita bisa berlangsung empat ratus tahun turun
temurun dengan cemerlangnya.
Keponakan Eng khi merupakan manusia berbakat yang paling
tepat menjadi pilihan kita untuk mendalami ilmu silat partai serta
melanjutkan perjuangan untuk menekan kembali nama baik partai
kita dalam mata masyarakat.
Sayang oleh karena pesan dari Insu, menyebabkan ia tak dapat
memasuki partai kita lagi. Permintaan yang terlalu memaksa selain
akan melanggar pesan Insu juga akan menjerumuskan Siu ling tee
moay ke dalam posisi tidak terbakti, hal ini jelas jangan sampai
terjadi pada anggota Thian liong pay maupun Siu ling tee moay
sendiri.
Orang bilang : Untuk melepaskan keleningan, harus menyuruh
orang yang mengikat keleningan itu sendiri. Maka bila kita inginkan
keponakan Eng khi masuk menjadi anggota perguruan kita, satusatunya
cara adalah memohon mendiang Insu untuk menarik
kembali pesannya itu!
Ih heng sudah banyak menerima budi kebaikan dari perguruan,
apalagi menjabat sebagai seorang ketua, sudah sewajarnya memiliki

39
hal serta kewajiban untuk melaksanakan tugas berat ini. Oleh sebab
itu, kepergianku ini selain mempunyai tujuan, bahkan mempunyai
niat yang dalam sekali untuk melenyapkan rintangan yang amat
berat itu.
Setelah aku pergi, sendainya Siu ling tee moay berubah pikiran
dan mengijinkan keponakan Eng khi untuk menjadi anggota
perguruan kita. Itu pertanda kalau Insu telah mengijinkan
permintaanku untuk mencabut kembali pesannya, maka segala
tindakan lebih lanjut selain tidak melanggar pesan Insu, Siu ling tee
moay juga tidak melakukan perbuatan yang tak berbakti, harap sute
berempat serta Siu ling tee moay dapat memakluminya.
Ketika berbicara sampai disitu, Thi hujin Yap Siu ling tak dapat
mengendalikan rasa sedihnya lagi, ia menangis tersedu-sedu.
Membaca dari surat wasiat tersebut, dapat diketahui bahwa Kay
thian jiu Gui Tin tiong memang berniat untuk mengorbankan jiwanya
untuk menembusi jalan buntu yang selama ini mencekam diri
mereka, dari sini bisa diketahui sampai berapa dalamnya niat yang
terkandung didalam hatinya.
Selang sejenak kemudian, Yap Siu ling melanjutkan kembali
pembacaan surat tersebut.
“Berikut ini adalah peraturan yang harus diperhatikan untuk
membawa keponakan Eng khi masuk ke perguruan.
Pertama, setelah menyembah didepan meja abu dari para sucou
sekalian, dia akan menjadi anggota perguruan angkatan kesebelas
dari perguruan Thian liong pay kita, anak meneruskan karier
ayahnya. Kepandaian diwariskan turun temurun karena itu tak usah
dilangsungkan pengangkatan guru lagi. Segera berikan keempat
macam benda mestika itu untuk diminumnya, daripada malam yang
panjang akan menimbulkan impian yang banyak, sehingga barang
itu diincar orang dan mengakibatkan timbulnya kejadian diluar
dugaan.

40
Kedua, setelah masuk kedalam perguruan, dia diangkat menjadi
ketua partai angkatan kesepuluh serta berhak untuk menyelami ilmu
silat yang tercantum dalam kitab pusaka Thian liong pit kip dan
mengikuti cara Pek hui tiau yang toahoat melakukan semedi selama
tiga bulan agar bisa menyerap kemujaraban keempat macam bahan
obat-obatan tersebut. Meski aku menjabat sebagai ketua perguruan
angkatan ke sepuluh, sayang kemampuanku sangat minim dan tak
mampu berbuat apa-apa, aku tidak pantas menjajarkan namaku
diantara para cousu lainnya, itulah sebabnya sejak menjabat sebagai
ketua, aku tidak berani mempelajari kitab pusaka Thian liong pit kip.
Sesungguhnya belum terhitung resmi sebagai seorang ketua, oleh
karena itu Eng ji secara langsung menempati kedudukan ketua
partai angkatan ke sepuluh agar kedudukan mana tak sampai luang.
Ketiga, tempat penyimpanan kitab pusaka Thian liong pit kip
serta cara membuka tempat itu telah kusampaikan kepada jite,
harap jite menyampaikan langsung kepada Eng ji untuk
dilaksanakan.
Keempat, pil mustika Toh mia kim wan yang merupakan barang
mustika perguruan kita masih ada tiga butir, bilamana perlu berikan
kepada Eng ji untuk dimakan sehingga mempercepat kemajuan yang
akan dicapai dalam tenaga dalamnya.
Kelima, sejak Eng ji berusia lima tahun aku telah mewariskan
ilmu Sian thian bu khek ji gi sin kang kepadanya dengan maksud
untuk memperkuat badannya, dengan bakat yang dimiliki Eng ji
dalam sepuluh tahun latihan sudah pasti telah memberikan hasil
yang baik, karena itu perlu kuberitahukan hal ini kepada sute
sekalian.
Keenam, Eng ji berkewajiban membangun kembali nama
perguruan kita dari puing-puing kehancuran, tugas ini tidak ringan,
maka selama belajar silat, semua perhatiannya harus terpusatkan
menjadi satu, kemudian setelah berkelana dalam dunia persilatan
dilarang sombong dan tekebur, dengan demikian orang baru akan
bersedia memberikan bantuannya.

41
Sayang kertas terlalu pendek dan isi hatiku masih banyak, tapi
singkatnya saja kita tak boleh sampai melupakan “kesetiaan,
bertanggung jawab, kebajikan dan cinta kasih” sebab keempat hal
ini penting sekali bagi kehidupan seorang manusia.
Tertanda..... “Gui Tin tiong, murid angkatan kesepuluh pada
tahun x bulan x tanggal x”
Ketika Thi hujin Yap Sui ling selesai membaca isi surat dari
kepedihan Kay thian jiu Gui Tin tiong ini, seketika itu juga seluruh
ruangan Sin thong diliputi suasana yang amat sedih.
Untung saja, Thian liong su siang adalah jago-jago persilatan
yang cukup berpengalaman sekalipun merasa sedih atas
kepergiannya saudaranya, tapi merekapun tahu akibatnya harapan
bagi perguruannya untuk muncul kembali dalam dunia persilatan
semakin besar.
Hal mana sudah barang tentu merupakan suatu peristiwa besar
yang pantas dirayakan oleh anak murid Thian liong pay.
Oleh sebab itu, Thian liong su siang segera menyeka air mata
dan menghibur Thi hujin dan Thi Eng khi agar berhenti menangis,
kemudian menggotong sebuah kursi kebesaran dan diletakkan di
tengah ruangan, lalu menggotong jenazah dari Kay thian jiu Gui Tin
tiong untuk didudukkan pada kursi tersebut.
Selesai memberi hormat, dengan dipimpin oleh Pit tee jiu Wong
Tin pak maka sebagaimana pesan Kay thian jiu Gui Tin tiong, segera
dilangsungkan upacara pengangkatan Thi Eng khi sebagai
ciangbunjin angkatan ke sepuluh dari perguruan Thian liong pay.
Thi Eng khi sendiri, sekalipun masih muda dan cetek
pengalamannya tapi tidak sedikit buku yang pernah dibaca olehnya,
diapun tidak menampik lagi maksud orang untuk mengangkat dirinya
sebagai ketua perguruan yang baru.
Hanya saja terhadap surat wasiat Kay thian jiu Gui Tin tiong telah
dilakukan beberapa perbaikan, antara lain :

42
Pertama, pengorbanan serta kesetiaan Kay thian jiu Gui Tin tiong
terhadap penguruan sangat agung dan mulia, sepantasnya kalau ia
menjadi ketua angkatan ke sepuluh dari Thian liong pay, sementara
ia sendiri hanya pantas menduduki jabatan sebagai ketua angkatan
kesebelas.
Kedua, usia Kay thian jiu Gui Tin tiong cukup tua, kedudukannya
tinggi dan jasanya besar bagi perguruan, dia ingin mengangkat Gui
Tin tiong sebagai gurunya sebagai rasa terima kasih dan hormatnya
kepada orang tua itu.
Dua hal tersebut semuanya merupakan hal-hal yang sudah
sewajarnya demikian, maka Thian liong su siang juga tidak
menyatakan keberatan. Bukan saja mereka tak mampu
mengucapkan kata-kata keberatan, bahkan dari sini dapat terlihat
betapa bijaksananya Thi Eng khi didalam menganalisa persoalan,
diam-diam mereka bersyukur karena perguruan mereka akhirnya
menemukan juga seorang pemimpin yang cakap.
Maka dari itu, setelah Thi Eng khi menjalankan upacara besar
untuk mengangkat Kay thian jiu Gui Tin tiong sebagai gurunya,
kemudian dipimpin oleh Thian liong su siang diadakan pula upacara
pengangkatan Thi Eng khi sebagai ketua angkatan ke sebelas dari
perguruan Thian liong pay ......
Meski sederhana sekali jalannya upacara namun mendatangkan
suasana yang penuh rasa haru dan serius, semua upacara dipimpin
langsung oleh Pit tee jiu Wong Tin pak.
Sambil berdiri di sebelah kiri meja altar Pit tee jiu Wong Tin pak
segera berseru dengan suara lantang :
“Wujudkan kembali kecemerlangan dan kejayaan perguruan
kita!”
“Nama kita akan terkenal kembali sampai dimana-mana!” sorak
tiga orang lainnya dengan keras.

43
Mereka berempat bersama-sama berkelebat keluar dari ruang Sin
thong, ketika balik kembali mereka semua telah berganti dengan
satu stel jubah panjang berwarna biru.
Jubah berwarna biru sebenarnya adalah baju seragam dari Thian
liong pay, tapi semenjak berita kematian dari Keng thian giok cu Thi
Keng tersiar datang pada dua puluh tahun berselang, anak murid
Thian liong pay telah mengganti seragamnya menjadi warna abuabu
yang gelap, ini sebagai pertanda duka cita segenap anggota
perguruan terhadap musibah yang telah menimpa perguruan
mereka.
Kini ketua baru telah diangkat, Pit tee jiu lantas menitahkan
untuk berganti baju biru hal mana sebagai pertanda bahwa mereka
telah bersiap untuk memasuki kembali arena dunia persilatan serta
memperjuangkan kembali nama perguruan di mata umum.
Tentu saja hal mana merupakan keinginan dan harapan dari
Thian liong ngo siang, sedang mengenai berhasil atau tidaknya, hal
ini tergantung pada perjuangan dari Thi Eng khi dikemudian hari.
Kini Pit tee jiu Wong Tin pak telah - missing page 15 -
Sekarang secara resmi dia telah menjadi ketua baru angkatan ke
sebelas dari perguruan Thian liong pay.
Selesai upacara, Thi Eng khi duduk bersama ibunya, sementara
Thian liong su siang dengan senyum dikulum dan wajah yang ringan
mengiringi duduk di kedua belah sisinya.
Sambil tersenyum Sam ciat jiu Li Tin tang lantas bertanya :
“Ciangbunjin telah berlatih ilmu Sian thian bu khek ji gi sin kang
semenjak sepuluh tahun berselang, entah sampai dimanakah
keberhasilan yang telah dicapai?”
Thi Eng khi tertawa.
“Semenjak siautit mendapat pelajaran ilmu Sian thian bu khek ji
gi sin kang, selama sepuluh tahun terakhir ini tak pernah lupa untuk

44
melatihnya, supek, coba kau lihat, bukankah tubuhku menjadi lebih
kekar dan kuat?”
Belum sempat Sam ciat jiu Li Tin tang menjawab, Pit tee jiu
Wong Tin pak telah melototkan mata tunggalnya sambil menukas :
“Harap di dalam pembicaraan dengan anggota partai, ciangbunjin
musti ingat kalau tingkat kedudukan ciangbunjin lebih tinggi, karena
itu tak boleh menyebut diri sebagai siautit, sepantasnya jika
menyebut diri sebagai Pun coh (aku yang mulia).”
Mula-mula Thi Eng khi agak tertegun, kemudian sahutnya dengan
mengangguk :
“Terima kasih atas peringatan dari supek, pun coh tahu!”
Thi hujin Yap Siu ling merasakan hatinya amat sedih, apalagi
teringat bahwa dengan diangkatnya Thi Eng khi sebagai seorang
ciangbunjin, tanpa terasa telah memberikan bahan pikiran lagi
baginya. Ini membuat hatinya menjadi amat sedih.
Dengan kening berkerut dan gelengkan kepalanya berulang kali,
ujarnya dengan sedih :
“Menurut pendapat siaumoay, kecuali sedang berada dalam tugas
perguruan, dalam kehidupan sehari-hari lebih baik biarlah Eng ji
menggunakan sebutan sebagaimana biasanya saja, dengan begitu
hubungan diantara kita pun tak sampai terlalu kaku ...”
Sin lui jiu Kwan Tin see yang mendengar usul tersebut, tanpa
mempedulikan lagi bagaimana pendapat dari ketiga orang
suhengnya, dengan cepat ia bertepuk tangan seraya berseru :
“Ucapan enso memang tepat sekali, siaute paling benci dengan
segala macam adat yang kaku, Eng ji benar bukan perkataanku ini?”
Thi Eng khi juga merasa gembira sekali, sahutnya :
“Siautit merasa amat setuju, entah bagaimana dengan pendapat
supek lainnya?”
Sam ciat jiu serta San tian jiu hanya tersenyum belaka tanpa
menjawab.

45
Pit tee jiu Wong Tin pak yang merasa usul tersebut berasal
darinya, tentu saja tak dapat berdiam diri belaka, sambil tertawa
sahutnya :
“Jika tee moay memang berpendapat demikian, terpaksa Ih heng
harus menarik kembali perkataanku tadi.”
Sam ciat jiu Li Tin tang segera tertawa terbahak-bahak.
“Haaah .....haaah...... haaahh... tee moay sungguh hebat, hanya
dengan sepatah kata, ia berhasil membuat berubahnya jalan pikiran
loji yang kolot, sungguh susah, sungguh susah.”
Kemudian sambil mengembalikan persoalan ke pokok masalah
semula, katanya lagi:
“Eng ji, tahukah kau bahwa Sian thian bu khek ji gi sin kang
merupakan sim hoat tenaga dalam yang tiada keduanya dalam
perguruan kita? Sejak sepuluh tahun berselang kau telah
mempelajari simhoat tersebut, sesungguhnya sejak saat itu juga kau
telah menjadi anggota dari perguruan kita ini.”
Thi hujin Yap Siu ling agak tertegun lalu katanya :
“Eng ji juga pernah mengajarkan ilmu Sian thian bu khek ji gi sin
kang kepadaku sebagai ilmu untuk menyehatkan badan, apakah aku
juga termasuk anggota Thian liong pay?”
Kiranya ilmu Sian thian bu khek ji gi sin kang adalah suatu
kepandaian yang luar biasa, siapa saja yang melatih kepandaian ini,
entah tenaga dalamnya masih cetek atau sudah sempurna, tiada ciriciri
khas yang bisa dilihat dari luar seandainya tidak dikatakan
sekalipun anggota perguruan sendiri juga tidak mengetahuinya.
Itulah sebabnya setelah Thi hujin Yap Siu ling berkata demikian,
kontan saja Thian liong su siang tertawa terbahak-bahak karena
gembira.
Pit tee jiu Wong Tin pak menghela napas dan manggut-manggut,
katanya kemudian:
“Aaai ..... tidak disangka umpama kamu selain berhasil meraih
Eng ji rupanya juga relah mendapatkan pula seorang sumoay.
Kejadian ini sungguh menggembirakan sekali. Meski Thian liong ngo

46
siang telah kehilangan seorang tapi sekarang telah mendapatkan
gantinya lagi, itu berarti Thian liong ngo siang akan tetap utuh.
Sumoay cepat kemari dan menyembah kepada Cousu untuk masuk
ke dalam perguruan Thian liong pay .... !”
Mendengar perkataan itu, Thi hujin merasa terkejut, setelah
termenung sbentar dia baru berkata :
“Meskipun aku tidak mengerti soal ilmu silat, tapi dapat
kurasakan betapa mulianya tujuan Gui suheng didalam mengatur
segala sesuatunya itu, yaa, aku memang seharusnya turut masuk
kedalam tubuh perguruan Thian liong pay, sekalian bisa mengawasi
Eng ji dalam latihan ilmu.”
Berbicara sampai disitu, dia lantas bangkit berdiri dan memberi
hormat kepada Cousu dimeja abu, dengan begitu secara resmi iapun
telah menjadi anggota perguruan Thian liong pay.
Setelah bergembira sebentar, Sam ciat jiu Li Tin tang baru
memegang nadi Thi Eng khi seraya berkata :
“Eng ji, coba aturlah pernapasanmu, akan kulihat sampai
dimanakah taraf tenaga dalam Sian thian bu khek ji gi sin kang yang
berhasil kau raih ....?”
Thi Eng khi segera menghimpun tenaga dalamnya dan mengatur
pernapasan, tak lama kemudian ia sudah berada dalam keadaan
lupa diri.
Rupanya ilmu tenaga dalam Sian thian bu khek ji gi sin kang dari
Thian liong pay memiliki ciri yang khas, yakni sewaktu mengatur
pernapasan tidak selalu harus duduk bersila, dalam posisi yang
macam apapun juga, latihan bisa dilakukan.
Dengan wajah terkejut bercampur keheranan Sam ciat jiu Li Tin
tang memandang sekejap kearah pemuda itu, kemudian serunya :
“Benar-benar luar biasa, Suheng! Sute! Cepat kemari, coba kalian
lihat diri Eng ji!”

47
Buru-buru tiga orang lainnya datang memeriksa, kemudian
mereka berempat bersama-sama mendongakkan kepalanya dan
tertawa tergelak.
Thi hujin Yap Siu ling menjadi tertegun segera tanyanya :
“Suheng sekalian, apa yang menyebabkan kalian tertawa
seringan itu .....?”
Sambil tertawa sahut Sam ciat jiu Li Tin tang.
“Kesempurnaan tenaga dalam Sian thian bu khek ji gi sin kang
yang dimiliki Eng ji sekarang sudah bukan tandingan dari kami
suheng te lagi, bukankah kejadian ini pantas digirangkan?”
Mendengarkan itu, Thi hujin turut gembira sekali.
Pit tee jiu Wong Tin pak lantas berkata pula :
“Bakat yang dimiliki Eng ji sungguh luar biasa sekali, berbicara
dengan kemampuan yang dimiliki sekarang, boleh dibilang sudah
jauh melampaui apa yang berhasil diraih Tiong giok sute ketika
meninggalkan rumah dulu. Sebenarnya kami bermaksud untuk
memberikan pil mestika Toh mia kim wan untuk menambah daya
kekuatan lebih dulu, kemudian bahan obat tersebut, tapi sekarang
rasanya tak perlu berbuat demikian lagi. Pil mestika Toh mia kim
wan bisa disimpan untuk menolong orang dikemudian hari
sedangkan keempat macam obat mestika ini boleh segera diminum,
kemudian mengeluarkan kitab Thian liong pit kip dan membiarkan ia
melatih diri selama tiga bulan dengan ilmu Pek hui tiau yang toahoat
dalam waktu singkat tenaga dalam yang berhasil dicapainya itu pasti
akan sudah mencapai puncak kesempurnaan.”
Mendengar perkataan itu, semua orang segera bersorak
kegirangan.
Empat macam obat mujarab dibawa oleh keempat orang yang
mendapatkannya dipersembahkan kehadapan Thi Eng khi.
Sedangkan Thi Eng khi pun segera menelan keempat macam
bahan obat tersebut kedalam perut, dia merasa takarannya
terlampau sedikit sehingga bagaimanakah rasanya pun tidak

48
diketahui olehnya. Terutama sekali setelah menelan obat itu sama
sekali tidak memberikan reaksi apa-apa, ia jadi curiga apakah obat
tersebut benar-benar berkasiat atau cuma bernama kosong belaka.
Melihat kecurigaan orang, Pit tee jiu Wong Tin pak hanya
tersenyum, setelah memberitahukan tempat penyimpanan kitab
Thian liong pit kip serta cara untuk mengambilnya dia bersama sute
moaynya mengundurkan diri dari sana agar Thi Eng khi bisa berlatih
seorang diri.
Tapi Thi Eng khi tidak berpendapat demikian, katanya :
“Para supek dan susiok, lebih baik temanilah siautit untuk
mempelajari bersama kitab pusaka Thian liong pit kip itu!”
Mendengar ucapan tersebut, dengan serius Pit tee jiu Wong Tin
pak berkata :
“Sejak partai Thian liong pay didirikan hanya ciangbunjin seorang
yang berhak untuk mempelajari isi kitab Thian liong pit kip,
sementara murid-murid lainnya hanya mendapat pelajaran dari
ciangbunjin, peraturan ini sudah berlangsung turun temurun, jadi
tidak seharusnya kalau ciangbunjin melanggar kebiasaan tersebut.”
Thi Eng khi segera mengerutkan dahinya rapat-rapat, kemudian
dengan wajah yang serius dia menghampiri meja abu Cousunya dan
berdoa dengan wajah bersungguh-sungguh. Setelah itu, dia baru
membalikkan badannya sambil berkata :
“Sekarang perguruan kita sedang berada dalam keadaan yang
lemah, mara bahaya datang mengancam dari mana-mana, dalam
keadaan demikian perguruan membutuhkan orang-orang yang
berilmu tinggi. Itulah sebabnya aku telah berdoa di depan meja abu
Cousu dan meminta perubahan untuk peraturan tersebut. Sejak dari
angkatanku sekarang, setiap murid yang mempunyai kecerdasan
yang baik serta bakat yang bagus diijinkan untuk mempelajari
sendiri kitab tersebut!”
Setelah berhenti sejenak, kembali dia melanjutkan :
“Anggota Thian liong pay Wong Tin pak, Li Tin tang, Oh Tin lam,
Kwan Tin see dan Yap Siu ling berlima sekarang juga kuperintahkan

49
untuk turut serta dalam mempelajari kitab pusaka Thian liong pit kip,
siapapun tak boleh membangkang!”
Perkataan itu diucapkan dengan wajah serius dan suara nyaring,
terpancar jelas kewibawaannya sebagai seorang ciangbunjin, tak
urung Thian liong ngo siang dibikin tertegun juga untuk beberapa
saat lamanya.
Mereka hanya merasakan bayangan tubuh dari Thi Eng khi
seakan-akan makin lama semakin membesar, sedemikian besarnya
sampai menyelimuti seluruh meja altar. Mereka merasa seolah-olah
perkataan itu bagaikan muncul dari mulut cousu mereka sendiri
sehingga kesemuanya ini membuat mereka terkesiap.
Dengan wajah berubah hebat Thian liong ngo siang segera
menjatuhkan diri berlutut.
Kata Pit tee jiu Wong Tin pak dengan lantang :
“Teecu Wong Tin pak berlima menerima perintah ciangbunjin dan
mengucapkan terima kasih banyak atas kemurahan hati cousu!”
Setelah menerima penghormatan itu, dengan senyuman dikulum
Thi Eng khi lantas berkata :
“Silahkan susiok sekalian bangkit berdiri! Asal kalian mau
menunjang maksudku, aku merasa amat gembira sekali.”
Dengan dilepaskannya kedudukan sebagai seorang ciangbunjin,
keseriusan wajahnya pun berangsur melunak kembali.
Sam ciat jiu Li Tin tang terbahak-bahak saking terharunya, ia
lantas berkata :
“Ciangbun sutit, kau benar-benar hebat, dengan mengandalkan
kebesaran jiwamu itu, sudah dapat dipastikan perguruan kita akan
jaya kembali dalam dunia persilatan.”
“Benar!” Pit tee jiu Wong Tin pak melanjutkan, “kebesaran jiwa
dan kebijaksanaan ciangbun sutit dalam mengambil keputusan
sungguh mencerminkan keluhuran budi ciangbunjin, kami sekalian
dapat memahami maksud hati dari ciangbunjin itu.”

50
Mendengar kata-kata tunjangan yang diberikan para supek dan
susioknya ini, sekulum senyuman dengan cepat menghiasi bibir Thi
Eng khi ..................
Mendadak dengan wajah serius Pit tee jiu Wong Tin pak berkata
kembali :
“Silahkan ciangbun sutit untuk segera mengambil kitan pusaka
Thian liong pit kip tersebut!”
“Harap supek bersedia untuk membantu!”
“Baik!” kata Pit tee jiu Wong Tin pak kemudian.
Dengan cepat badannya melambung keudara dan menerjang ke
arah lentera berbintang tujuh nomor tiga dari samping ruangan
kemudian ditariknya lentera itu empat kali dan mengayunnya tiga
kali.
Semua gerakan tersebut dilakukan dengan tubuh melambung
ditengah udara, tanpa tenaga dalam yang sempurna, mustahil bisa
melakukan kesemuanya itu.
Tiba-tiba berkumandang suara gemuruh yang amat keras dari
bawah meja abu tersebut, mendadak seluruh meja itu tenggelam ke
bawah, menyusul kemudian tampaklah sebuah cakar raksasa naga
emas muncul di depan mata.
Baru saja Pit tee jiu Wong Tin pak hendak mengambil kotak biru
untuk dipersembahkan kepada Thi Eng khi, mendadak terdengar
seorang tertawa riang lalu tampak sesosok bayangan manusia
menyambar masuk ke dalam dan menyambar ke ruang tengah.
Tidak nampak bagaimana dia melakukan gerakan tubuhnya,
tahu-tahu kotak biru berisi kitab pusaka Thian liong pit kip tersebut
telah berpindah ke tangannya.
Reaksi yang diberikan Thian liong su siang cukup cepat, sambil
membentak keras empat sosok bayangan manusia dengan

51
menghimpun empat gulung tenaga pukulan yang sangat dahsyat
segera dihantamkan ketubuh pendatang tersebut.
Orang itu tertawa dingin, tangannya dikebaskan dan tahu-tahu
sebelum Pit tee jiu Wong Tin pak berhasil menjawil ujung baju
orang, jalan darah khi hay hiat ditubuh mereka sudah menjadi kaku
kemudian hawa murninya membuyar dan tubuh merekapun
menggeletak ditanah.
Semua peristiwa ini berlangsung dalam waktu singkat, menanti
Thi Eng khi dapat melihat bahwa pendatang itu adalah seorang
kakek botak yang berusia enam puluh tahunan, keadaan sudah
berubah.
Kendatipun Thi Eng khi memiliki tenaga dalam Sian thian bu khek
ji gi sin kang yang amat sempurna, sayang dia belum belajar secara
sempurna, pada hakekatnya dia tak tahu bagaimana caranya untuk
mengerahkan tenaga sambil melancarkan serangan sehingga boleh
dibilang tiada kegunaannya sama sekali untuk menghadapi suatu
pertarungan.
Thi hujin Yap Siu ling semakin tak bisa dibilang lagi, ia tak sampai
dibikin pingsan karena kagetnya sudah termasuk untung.
Bagaimanapun juga, Thi Eng khi terhitung punya keberanian,
sekalipun tidak memiliki kepandaian apa-apa, namun nyalinya tidak
kecil. Dengan wajah tidak berubah, dia maju selangkah kedepan,
lalu menegur dengan suara lantang.
“Lo tiang siapakah kau? Menyerobot mustika orang disaat orang
tidak siap, termasuk perbuatan apakah itu.”
Mencorong sinar tajam dari balik mata kakek botak itu, dia
menatap wajah Thi Eng khi tajam-tajam, kemudian tangan kanannya
diangkat ke muka dan siap melancarkan serangan dahsyat untuk
merobohkan lawannya.

52
Thi Eng khi sedikitpun tidak merasa takut, sambil membusungkan
dada ia maju selangkah ke depan, jaraknya dengan kakek botak itu
tak lebih dari tiga langkah.
Untuk sesaat lamanya kedua orang itu saling berhadapan dengan
mata melotot.
Sinar mata Thi Eng khi sama sekali tidak menunjukkan keanehan
apa-apa, tapi justru dibalik kesederhanaan itu tersimpan kegagahan
yang luar biasa, ini memaksa kakek botak itu menarik kembali sinar
matanya.
Dengan wajah berkerut bercampur keheranan dia lantas tertawa
terbahak-bahak, serunya :
“Haaahhhh............ haaaahhhh ..... haaah..... kalau dilihat dari
usiamu yang begitu muda, aku tahu bahwa kau masih tolol dan tak
tahu keadaan yang sebenarnya. Ketahuilah lohu berhasil merebut
mustika dan melukai orang, yang dipakai adalah ilmu silat murni dan
cara yang jujur, siapa bilang perbuatan ini tidak mencocoki
perbuatan seorang lelaki sejati? Haaahh....... haaaahh............
haahhh........, anak muda, benar bukan?”
Pendapat yang demikian anehnya itu baru pertama kali ini
didengar Thi Eng khi seketika itu juga paras mukanya berubah
menjadi hijau membesi saking marahnya, dia menjadi lupa keadaan
dan segera menerjang ke depan dengan garangnya.
“Pun ciangbunjin akan beradu jiwa denganmu!” bentaknya gusar.
Thi Eng khi belum pernah belajar ilmu silat, tubrukan tersebut
boleh dibilang sama sekali tak pakai aturan.
Hampir copot gigi kakek itu saking gelinya, dia lantas berseru
dengan lantang :
“Anak muda, ilmu gerakan apakah yang kau gunakan ini? Naga
langit masuk sungai atau ikan belut bermain lumpur?
Haaahhhhh........ haaahhh...... haaahhh.....”

53
Bukan saja dia masih tetap berdiri dengan tenang, bahkan
ucapannya juga berubah lebih santai dan lembut.
“Bakat maupun keberanianmu termasuk pilihan yang luar biasa,
baiklah, memandang pada kebagusan bakatmu itu lohu tidak ingin
melukai dirimu, sekarang baliklah ketempat semula dengan baikbaik!”
Thi Eng khi hanya merasakan segulung tenaga kekuatan yang
sangat besar mementalkannya balik ke tempat semula, bahkan
posisinya sama sekali tidak berubah, dari ini pemuda itu semakin
menyadari bahwa tenaga dalam yang dimiliki kakek botak ini sudah
mencapai puncak kesempurnaan yang luar biasa.
Padahal kakek botak itu sama sekali tidak menggerakkan tangan
kakinya, hanya mengandalkan pancaran hawa murni ia telah berhasil
memaksa mundur Thi Eng khi ke posisi semula, peristiwa tersebut
dengan cepat membuat Thi Eng khi semakin kaget dan gelagapan.
Menyaksikan pemuda itu terperana dibuatnya, dengan bangga
sekali kakek botak itu mengangkat tinggi-tinggi kitab pusaka Thian
liong pit kip tersebut, kemudian katanya :
“Kitab pusaka Thian liong pit kip sudah berada di tangan lohu,
jika kau merasa punya kepandaian, silahkan untuk merampasnya
kembali dari tangan lohu!”
Thi Eng khi adalah seorang pemuda cerdik yang pandai melihat
keadaan, diapun tahu sekalipun bernapsu atau nekad menerjang
kakek itu juga tak ada gunanya sebab dengan kemampuan yang
dimilikinya sekarang masih jauh bila ingin merampas kembali kitab
pusaka Thian liong pit kip itu, maka dia cepat menguasai emosi yang
sedang membara dalam hatinya.
Setelah tertawa dingin, ujarnya :
“Kitab pusaka Thian liong pit kip adalah mestika dari partai kami,
tentu saja pun ciangbunjin akan merampasnya kembali dari
tanganmu, Cuma ilmu silat yang pun ciangbunjin miliki masih belum
sempurna, maka dipersilahkan untuk kau simpan lebih dulu, dua
tahun kemudian, dengan kemampuanku seorang diri pun
ciangbunjin pasti akan merampas kembali kitab pusaka Thian liong

54
pit kip tersebut dari tanganmu, nah sekarang, tinggalkan nama dan
alamatmu, kemudian silahkan angkat kaki dari tempat ini!”
Kehadiran kakek botak itu di dalam dunia persilatan
sesungguhnya mempunyai ambisi yang besar, adapun kemunculan
didalam partai Thian liong pay sekarang sebetulnya tidak berniat
untuk merampas kitab pusaka Thian liong pit kip, tujuannya yang
paling utama adalah untuk menyelidiki jejak dari Ban li tui hong Cu
Ngo.
Kiranya orang yang berhasil merampas kartu undangan yang
dibawa Ban li tui hong Cu Ngo tersebut tak lain adalah kakek ini,
setelah berhasil merobohkan lawannya dan merampas kartu
undangan, pada mulanya dia mengira Ban li tui hong Cu Ngo pasti
sudah tiada lagi di dunia ini, cuma kemudian dia teringat akan suatu
persoalan andaikata berita kematian Cu Ngo sampai tersiar luas,
bukankah hal itu akan menerangkan bahwa tugas Cu Ngo belum
terselesaikan, bukankah hal itu justru akan meningkatkan kesiapsiagaan
pihak Ki hian san ceng?
Keadaan tersebut sesungguhnya sangat tidak menguntungkan
bagi kelancaran rencana besarnya karena itu diapun memburu balik
kembali ke tempat semula siap untuk melenyapkan jejak.
Siapa tahu ketika ia tiba kembali ditempat semula, jenazah Cu
Ngo tidak tampak lagi, otomatis perhatiannya lantas dialihkan ke
tubuh partai Thian liong pay yang berada disekitar tempat itu.
Sewaktu dia menyerbu masuk kedalam Thian liong pay, bukan
saja secara jitu berhasil merampas kitab pusaka Thian liong pit kip,
bahkan menemukan pula kalau Thi Eng khi adalah seorang pemuda
yang berbakat baik, timbullah niatnya untuk mendapatkan pemuda
tersebut sebagai muridnya.
Tapi kenyataan sudah terbentang didepan mata, ia tahu tak
mungkin benda dan orangnya bisa didapatkan bersama.
Setelah pikir punya pikir, akhirnya dia merasa bahwa pemuda
yang berbakat bagus itu jauh lebih berharga daripada kitab pusaka

55
Thian ling pit kip itu, sebab dia merasa bagaimanapun mestikanya
kitab pusaka itu, sesungguhnya sama sekali tidak penting bagi
dirinya.
Pada empat puluh tahun berselang, tanpa sengaja dia berhasil
menemukan sejilid kitab Huan im po liok dan sejilid Jit sat hian im
cin keng. Setelah melalui latihan yang tekun selama empat puluh
tahun,dia beranggapan bahwa ilmu yang dimilikinya sekarang sudah
tiada tandingannya lagi di dunia ini.
Selain itu, diapun teringat bahwa usianya kian lama semakin
bertambah tua, sekalipun Thian liong pit kip lebih tangguh dari Jit
sat hian im cin keng, tapi dirinya sudah tiada waktu lagi baginya
untuk berlatih kembali dari permulaan.
Ketika untuk kedua kalinya dia turun kembali, berkobar ambisi
yang sangat besar didalam dadanya, dia bercita-cita untuk
menaklukan segenap jago dari seluruh dunia persilatan agar nama
besarnya bisa dikenang orang terus sepanjang masa.
Oleh karena itu, ketika Thi Eng khi meminta kepadanya untuk
meninggalkan nama sebelum pergi, sudah barang tentu ia enggan
untuk berbuat demikian.
Maka dia lantas mendongakkan kepalanya dan tertawa terbahakbahak
serunya :
“Haaahhh..... haaahhh...... haaahhhh.... mana-mana, kau
mengira lohu benar-benar tertarik dengan kitab pusaka Thian liong
pit kip mu itu ..........?”
Thi Eng khi menjadi tertegun, dia tidak habis mengerti, kenapa
orang ini sama sekali tidak tertarik oleh kitab pusaka Thian liong pit
kip .............
Dengan perasaan heran, ia lantas menegur :
“Lantas ada keperluan apa kau malam-malam mendatangi Sin
thong partai kami?”

56
Kakek botak itu segera menarik kembali senyumnya, kemudian
berkata :
“Lohu ingin mengajukan satu pertanyaan kepadamu, asal kau
bersedia untuk menjawab dengan sejujurnya, lohu akan segera
mengembalikan kitab pusaka Thian liong pit kip tersebut kepadamu!”
“Asal pertanyaan yang kau ajukan adalah persoalan yang benar,
pun ciangbunjin tentu saja bersedia untuk memberi jawaban, tapi
bukan berarti pun ciangbunjin mau berada di bawah perintahmu.”
Kakek botak itu segera tertawa terbahak-bahak.
“Haaahhh....... haaahhh..... haaahh.. sungguh seorang
ciangbunjin Thian liong pay yang hebat, hari ini lohu akan mengikat
tali persahabatan denganmu, nah ambillah kembali kitab pusaka
Thian liong pit kip ini!”
Tangannya didorong kemuka, kotak biru itupun pelan-pelan
melayang kembali ke tangan Thi Eng khi.
Mimpipun Thi Eng khi tidak menyangka kalau pihak lawan
bertindak begitu sosial, maka setelah menerima kembali kotak itu,
diapun tertawa terpaksa, katanya :
“Lotiang ada urusan apa?”
“Apakah Ban li tui hong Cu Ngo telah ditolong oleh orang-orang
Thian liong pay?”
“Benar!” jawab Thi Eng khi berterus terang, “Pun ciangbunjin
yang telah turun tangan menyelamatkan jiwanya!”
“Aaaaah...... masa dengan kemampuan itu sanggup untuk
menyelamatkan jiwanya?” seru si kakek botak tidak percaya.
“Haaahhh......... haaahhh........... haaahh......... kau terlalu
memandang rendah partai kami!”
Kakek botak itu termenung lagi beberapa saat lamanya,
kemudian agaknya dia percaya dengan perkataan dari Thi Eng khi,
tanyanya lebih jauh :

57
“Sekarang dia berada di mana?”
“Aku tahu kalau kau tidak bermaksud baik terhadap dirinya, pun
ciangbunjin tak dapat memberitahukan kepergiannya!”
Kakek botak itu memang cukup licik, serunya dengan cepat :
“Kalau begitu dia sudah pergi meninggalkan Thian liong pay?”
Thi Eng khi beranggapan bahwa soal ini tidak penting untuk
dirahasiakan, maka diapun mengangguk.
“Ya, benar! Lukanya telah sembuh, tentu saja ia pergi
meninggalkan tempat ini.”
Kakek botak itu kembali tertawa licik :
“Heeehhh...... haaahhh..... haaahhh... asal dia belum mampus,
lohu percaya pasti dapat menemukan jejaknya.”
Kemudian sambil menuding kearah Wong Tin pak berempat yang
menggeletak ditanah katanya lebih jauh.
“Keempat orang supekmu itu sudah terkena totokan Jit sat ci
milik lohu, sekalipun lohu bersedia untuk mengikat tali persahabatan
denganmu, akan tetapi tidak bisa melanggar kebiasaan, apalagi
turun tangan sendiri untuk menolong mereka, bila kau berniat untuk
memulihkan kembali tenaga dalam mereka, setengah tahun
kemudain kau boleh menunggu lohu diatas puncak Bong soat hong
di bukit Wu san, saat itu lohu pasti akan mewariskan ilmu
membebaskan totokan itu kepadamu, nah jangan lupa! Heeehhh...
heeehhh.... heeehhh........ “
Setelah tertawa penuh misterius , dia lantas meluncur keluar dari
ruangan itu.
Wong Tin pak berempat yang tertotok oleh Jit sat ci hanya
merasakan sekujur badannya kesemutan, hawa murninya tersumbat
dan sama sekali tak mampu berkutik, sementara pendengarannya
sama sekali tdiak terpengaruh, melihat kakek botak itu sudah pergi,
dengan wajah murung Pit tee jiu Wong Tin pak lantas berkata:

58
“Ciangbunjin sutit, ilmu sakti yang tercantum dalam kitab pusaka
Thian liong pit kip tiada taranya di dunia ini, asal kau bisa
meyakininya, untuk membebaskan totokan Jit sat ci mah bukan
urusan yang susah, kau tak usah kuatir dan tak perlu tergesa-gesa.”
Thi hujin Yap Siu ling juga berhasil menenangkan hatinya, dia
lantas berpesan kepada Thi Eng khi :
“Ilmu Thian liong pit kip bukan bisa diyakini di dalam sehari saja,
Eng ji lebih baik kita urusi dulu diri supek dan susiok beberapa
orang!”
Thi Eng khi manggut-manggut mengiakan dia lantas
menyerahkan kitab pusaka Thian liong pit kip tersebut kepada
ibunya, kemudian menggotong datang empat buah pembaringan
besar dan membopong tubuh Pit tee jiu Wong Tin pak sekalian naik
keatas ranjang.
Kemudian dengan mengikuti petunjuk dari Pit tee jiu Wong Tin
pak , ia membuka sebuah pintu rahasia disebelah kiri ruang Sin
thong dan memasuki sebuah ruang rahasia.
Didalam ruangan itu telah siap lima buah peti mati, diujung peti
mati tersebut telah tercantum nama dari Thian liong ngo siang,
maka mengikuti petunjuk yang telah ada, dia membaringkan jenasah
gurunya Gui Tin tiong ke dalam peti mati, kemudian menyimpan
jenasah tersebut dalam ruang rahasia untuk menunggu saat yang
baik setelah Thian liong pay jaya kembali nanti, dikubur dengan
upacara besar.
Setelah repot seharian penuh, keesokan harinya di hadapan Pit
tee jiu Wong Tin pak berempat serta ibunya, ia membuka kotak biru
yang berisikan kitab pusaka Thian liong pit kip tersebut.
Kotak biru itu sama sekali tidak menyolok atau memiliki sesuatu
keanehan apa-pa, tapi setelah dibuka ternyata isinya adalah sebuah
kotak kumala hijau , di luar kotak kemala itu terikat satuan sabuk
biru, cara menyimpulkan tali itupun aneh sekali, sehingga Thi Eng
khi gagal untuk membuka simpul mati tersebut dengan cara apa
pun.

59
Melihat itu Thian liong ngo siang segera saling berpandangan
sambil tertawa.
Pit tee jiu Wong Tin pak segera berkata :
“Silahkan ciangbunjin mempergunakan kecerdasan otakmu untuk
membebaskan tali simpul tersebut, bila simpul itu dapat dibuka,
kitab Thian liong pit kip bisa diambil.”
Thi Eng khi berusaha keras untuk membuka tali simpul itu
dengan pelbagai cara, tapi sama sekali tiada hasilnya, malahan
semakin dibuka tali itu semakin kencang.
Satu ingatan lantas melintas dalam benaknya, sambil
mendongakkan kepala dia bertanya :
“Tolong tanya supek, apakah pun ciangbunjin harus bisa
membuka tali simpul tersebut baru bisa melatih ilmu yang tercantum
didalam kitab pusaka Thian lion pit kip.”
“Memang demikian tujuannya!” sahut Pit tee jiu Wong Tin pak
dengan kening berkerut.
Thi Eng khi lantas manggut-manggut pikirnya :
“Mungkin yang menjadi tujuannya adalah untuk mencoba
kebesaran jiwa seorang ciangbunjin....”
Berpikir sampai disitu, dia lantas tertawa nyaring.
“Baik!” katanya, “Siautit tak akan membuat kecewa kalian semua
............!”
Ketika mendongakkan kepalanya, tiba-tiba tampak olehnya
didinding sebelah kiri sana tergantung sebilah pedang antik, cepat
dia meloloskan senjata tersebut hingga seluruh ruangan diliputi oleh
cahaya keemas-emasan.
Sekalipun Thi Eng khi tak bisa membedakan mana pedang yang
baik dan mana pedang yang jelek, tapi tidak sulit baginya untuk
menebak bahwa pedang tersebut adalah sebilah pedang mestika.

60
Pelan-pelan dia mengangkat pedangnya dan diayunkan ke atas
tali simpul itu, tampak cahaya pedang berkelebat, tahu-tahu simpul
tersebut sudah putus menjadi beberapa bagian.
Mula-mula Thian liong ngo siang menjerit kaget, menyusul
kemudian mereka segera bersorak gembira.
Rupanya merekapun dapat memahami arti dari simpul mati itu.
Hanya seorang enghiong yang berjiwa besar dan bersemangat
gagah baru akan mengambil tindakan demikian, sebab itulah yang
diperlukan bagi seorang ketua dari Thian liong pay.
Setelah mengembalikan pedang antik itu ke tempat semula, Thi
Eng khi baru membuka kotak kemala tersebut untuk diambil
kitabnya.
Siapa tahu, begitu melongok ke dalam kotak tersebut, kontan
saja ia menjerit kaget:
“Aaaah..... mana kitab pusaka Thian liong pit kipnya?”
Ternyata dalam kotak kemala itu selain secarik kertas, tidak
nampak sesuatu apapun.
Paras muka Thian liong ngo sing segera berubah hebat, mereka
saling berpandangn dengan wajah tertegun.
Sekalipun Thi Eng khi merasa amat kecewa namun dia masih
dapat menenangkan hatinya, diambil surat itu kemudian dibaca
dengan lantang :
“Anggota partai kita tiada manusia berbakat, keturunan pun tak
punya, kitab pusaka Thian liong pit kip telah kubawa pergi
seandainya Thian tidak menakdirkan partai kita musnah, kitab
pusaka ini akan dibawa kembali oleh ciangbunjin angkatan
kesebelas.”
Tertanda : Thi Keng tahun x bulan x tanggal x

61
Waktu yang dicantumkan ternyata adalah saat dimana kakek itu
pergi meninggalkan tempat tersebut.
Pit tee jiu Wong Tin pak segera menghela napas sedih, katanya
kemudian :
“Dari sini bisa diketahui kalau Insu selalu murung karena
memikirkan masa depan partai kita, cuma dia orang tua telah
meninggal di tempat lain, dalam surat wasiatpun tidak menyinggung
soal itu, sudah pasti dia mati dengan membawa sesal, entah kitab
pusaka Thian liong pit kip sekarang telah terjatuh ditangan siapa?”
“Sudah pasti ditelan oleh Tiang pek lojin yang menghantar surat
wasiat itu pulang” seru Sin lui jiu Kwan Tin see dengan marah
bercampur dendam, “Eng ji, kau segera berangkat dan cari Tiang
pek lojin sampai ketemu.”
“Jika urusan ini tidak dilihat dengan mata kepala sendiri, lebih
baik jangan sembarangan menuduh,” cegah Sam ciat jiu Li Tin tang
cepat. “Tiang pek lojin adalah seorang pendekar sejati, andaikata
orangnya tidak bisa dipercaya, bagaimana mungkin Insu menitipkan
surat wasiat itu kepadanya? Tentu saja kitab pusaka itu musti
diselidiki tapi tak usah terburu napsu, yang penting sekarang adalah
melatih ciangbun sutit dengan rangkaian ilmu silat perguruan yang
kita pahami, agar obat mustika yang berada dalam tubuh ciangbun
sutit bisa mulai bercampur baur dengan kekuatan tubuhnya, setelah
itu baru kita bicarakan kembali soal kitab pusaka Thian liong pit kip.”
“Tapi harus menunggu sampai kapan?” seru Sin lui jiu Kwan Tin
see.
“Paling tidak juga harus menunggu sampai lima tahun lagi!”
Pit tee jiu Wong Tin pak segera menghembuskan napas panjang,
serunya dengan kesal :
“Meskipun lima tahun itu panjang tapi kalau dibandingkan
dengan lima belas tahun yang sudah lewat, waktu sepanjang itu
juga tidak terhitung seberapa! Lima belas tahun saja bisa kita
tunggu, masakan menunggu lima tahun lagipun tak bisa?”

62
Paras muka Thian liong ngo siang berubah menjadi amat sedih
dan murung, menanti ........ menanti ........ seakan-akan soal
menanti sudah bukan menjadi suatu masalah lagi bagi mereka.
Sementara Thian liong ngo siang merasa bersedih hati, Thi Eng
khi yang baru semalam menjabat sebagai ketua Thian liong pay juga
sedang berdiri memandang patung cousu nya sambil termangumangu,
entah apa saja yang dipikirkan olehnya.
Terbayang kembali sejarah Thian liong pay di masa lalu yang
begitu jaya dan mentereng, makin dipikir pemuda itu merasa
tanggung jawab yang dibebankan diatas bahunya semakin berat.
Sejarah gemilang dari Thian liong pay diperoleh dari sumbangsih
Thian liong pay terhadap keselamatan dunia persilatan. Atau dengan
perkataan lain, kebangkitan Thian liong pay juga harus ikut
bertanggung jawab pula atas ditegakkannya kebenaran dan keadilan
dalam dunia persilatan.
Kalau ditinjau dari pembicaraan Ban li tui hong Cu Ngo serta
disebarnya undangan Bu lim tiap oleh pihak perkampungan Ki hian
san ceng dibukit Hong san, bisa diduga kalau dunia persilatan
sedang terancam oleh mara bahaya.
Berpikir sampai disitu, Thi Eng khi segera mengambil keputusan
di dalam hatinya, sambil memandang wajah Thian liong ngo siang,
ujarnya dengan suara dalam :
“Lima tahun adalah suatu jangka waktu yang terlalu panjang,
padahal ancaman dunia persilatan telah diambang pintu, untuk
menegakkan keadilan dan kebenaran, Thian liong pay mana boleh
memisahkan diri diluar garis? Oleh karena itu, siautit bermaksud
untuk berangkat besok juga, aku akan berkunjung ke perkampungan
Ki hian san ceng di bukit Hong san serta ikut menyumbangkan
tenaga kita bagi ditegakkannya keadilan dan kebenaran. Siautit rasa,
dengan kemampuan yang kumiliki sekarang, mungkin masih bisa
mengatasi segala kesulitan yang ada.”
Ucapan yang begitu gagah perkasa ini membuat Thian liong ngo
siang tak mampu untuk mengucapkan kata-kata tidak setuju.

63
Semua orang menjadi terbungkam dalam seribu bahasa, akhirnya
Pit tee jiu Wong Tin pak, menghela napas panjang, katanya :
“Bila ciangbun sutit ingin mengubah kekuatan Sian thian bu khek
ji gi sin kang yang berada di tubuhmu dari kekuatan yang tersimpan
menjadi kekuatan sesungguhnya, caranya gampang sekali. Asal kau
mengingat beberapa kata sandi yang penting ini, maka dalam latihan
tiga hari saja semua kehendakmu bisa tercapai, cuma sekalipun
demikian, kamu masih belum bisa beradu kekuatan dengan mereka,
sebab hal ini hanya akan melemahkan kedudukan partai kita saja.”
Rupanya ilmu Sian thian bu khek ji gi sin kang yang diwariskan
Kay thian jiu Gui Tin tiong kepada Thi Eng khi tersebut hanya cara
untuk menghimpun tenaga, untuk menghindari kecurigaan Thi hujin,
sengaja dia tidak mewariskan cara untuk mengerahkan tenaga,
meski demikian hal tersebut sama sekali tidak mempengaruhi
latihannya, asal mendapat pengerahan yang tepat maka keadaan
tersebut masih bisa diatasi.
Demikian, ketika Thi Eng khi mendengar perkataan dari Pit tee jiu
Wong Tin pak tadi, sambil tertawa ia lantas menggelengkan
kepalanya berulang kali, ujarnya :
“Kepergianku ke bukit Hong san kali ini hanya ingin menunjukkan
solidaritas partai kita dengan partai-partai persilatan lainnya, kita
hanya akan menyumbangkan kecerdasan kita, dan bukan beradu
kekuatan, jadi soal ilmu silat masih belum diperlukan, harap supek
tak usah kuatir...!”
Sam ciat jiu Li Tin tang mengangguk berulang kali.
“Bila ingin membangun kembali nama besar Thian liong pay, kita
memang tak bisa melepaskan diri dari persoalan dunia persilatan,
tindakan semacam ini memang sangat diperlukan sekali, cuma
persoalannya sekarang adalah partai kita tidak memperoleh
undangan ....”
“Huuuh....! Sangkoan loji itu manusia macam apa?” teriak Sin lui
jiu Kwan Tin see dengan suara lantang, “empat puluh tahun
berselang, ketika mengikuti di belakang Insu hak untuk turut

64
berteriakpun belum punya, sekarang saja lagaknya luar biasa, malah
berani pandang rendah partai kita, benar-benar keterlaluan!”
San tin jiu Oh Tin lam tertawa.
“Losu tak usah marah-marah,” katanya, “sekalipun Sangkoan loji
tak punya aturan, dengan mengandalkan keadaan kita yang
setengah hidup setengah mati, apa yang bisa kita lakukan?”
Sin liu jiu Kwan Tin see yang dikatai demikian hanya bisa
melototkan matanya lebar-lebar sambil menghela napas panjang.
“Anak Eng, ibu mendukung tindakanmu ini!” seru Thi hujin Yap
Siu ling sambil tertawa.
“Asal tujuan kita tulus, peduli amat dengan sikap orang lain
terhadap kita, “ucap Pit tee jiu Wong Tin pak pula. “Ciangbun sutit
gagah perkasa dan, baiklah! Harap kau suka menunggu lima hari,
dalam lima hari ini kami akan membantumu sebisanya.”
“Terima ksih atas kebaikan para supek dan susiok.”
Perkampungan Ki hian san ceng sesungguhnya bukan terletak
diatas bukit Hong san melainkan berada di kaki bukit sebelah utara
dari bukit tersebut, masuk dari mulut bukit lalu berbelok ke kanan.
Di depan pintu perkampungan terdapat sepasang patung siang
yang tinggi dan besar.
Diatas pintu gerbang terpancang sebuah papan nama yang
bertuliskan empat huruf besar : “Ki hian san ceng”
Empat huruf besar yang berwarna keemas-emasan.
Suasana dalam perkampungan waktu itu sangat hening dan sepi,
tak kedengaran sedikit suarapun.

65
Seorang sastrawan berbaju biru yang berwajah gagah berdiri
ditengah lapangan pintu depan, sebilah pedang antik tersoren di
pinggangnya, meski lemah lembut tapi kelihatan amat gagah.
Lama sekali sastrawan berbaju biru itu berjalan bolak balik di
tengah lapangan akhirnya dia berhenti seraya berguman :
“Tampaknya perkampungan ini sama sekali tiada penjagaan,
jangan-jangan aku telah salah mengingat waktu? Masa waktu
pertemuan bukan hari ini....?”
Mendadak terasa ada segulung angin lembut berhembus lewat
dari sisi tubuhnya ketika dia coba mengamati, ternyata ada seorang
kakek bungkuk sedang berjalan berjalan menuju ke dalam
perkampungan.
Menyusul kemudian, dari balik perkampungan itu terdengar
seseorang berseru lantang :
“Sin lo tuo (unta sakti) locianpwe telah tiba!”
Mendengar suara itu, tersenyumlah pemuda berbaju biru
tersebut, segera gumannya:
“Oooh .... aku kelupaan bahwa pertemuan ini adalah suatu
pertemuan rahasia, tentu saja penyambutnya tidak akan berdiri
diluar perkampungan sambil memasang aksi.”
Berpikir sampai disitu, dia lantas beranjak dan berjalan ke dalam
perkampungan.
Di balik pintu perkampungan juga terbentang sebuah lapangan
luas, dua baris lelaki kekar berdiri di kiri kanan pintu, mereka berdiri
dengan senjata terhunus sehingga suasana tampak amat serius.
Disiplin orang-orang itu sangat tinggi, sekalipun berjumlah
banyak tapi suasana amat hening tak kedengaran sedikit suarapun,
karena itulah kalau yang berada di luar perkampungan sama sekali
tak akan menyangka kalau dibalik perkampungan tersebut terdapat
begitu banyak jago yang sedang berdiri dengan senjata terhunus.

66
Baru saja sastrawan berbaju biru itu melangkah masuk ke dalam
pintu perkampungan, seorang pemuda berjubah panjang segera
menyambut kedatangannya dengan senyum dikulum :
“Harap cianpwe memperlihatkan undangan dari perkampungan
kami, agar bisa diberikan laporan ke dalam guna penyambutan.”
Sebetulnya sastrawan berbaju biru itu akan menyambut dengan
wajah dihiasi senyuman, akan tetapi setelah teringat kalau dirinya
adalah ketua dari suatu perguruan besar, tiba-tiba dengan wajah
serius sahutnya keren :
“Aku adalah ketua Thian liong pay Thi Eng khi, khusus datang
kemari untuk menyambangi Sangkoan lo cengcu!”
Ia tidak mempunyai surat undangan, itulah sebabnya terpaksa
harus mengutarakan identitasnya.
Tampaknya pemuda itu kena digertak oleh kedudukannya
sebagai seorang “ciangbunjin” ia tak berani menanyakan soal
undngan lagi kepada Thi Eng khi, tapi iapun tidak mempersilahkan
tamunya untuk masuk, sahutnya berulang kali :
“Baik! Baik! Harap Thi ciangbunjin menunggu sebentar!”
Dengan cepat dia menyelinap masuk ke dalam pintu ruang kedua
yang membentang di depan mata itu.
Tak lama kemudian, pemuda itu muncul kembali bersama
seorang lelaki kekar berusia tiga puluh tahunan yang berbaju
parlente.
Lelaki berbaju parlente itu memiliki sepasang mata yang tajam
bagaikan sembilu, sekalipun Thi Eng khi tidak cukup berpengalaman,
dia juga tahu kalau tenaga dalam yang dimiliki orang ini tidak lemah.
Lelaki berbaju parlente itu langsung berjalan ke hadapan Thi Eng
khi, kemudian dengan penuh rasa hormat, katanya :
“Aki bernama Sangkoan Gi.”
Lalu sambil menuding pemuda tampan tadi , dia melanjutkan,

67
“Dan dia adalah keponakan kami Sangkoan Beng, tolong tanya
ada urusan apa Thi ciangbunjin berkunjung kemari?”
Thi Eng khi segera berpikir.
“Dengan jelas dia tahu kalau kedatanganku kemari adalah untuk
menjumpai cengcu, mengapa ia musti banyak bertanya lagi?”
Pada mulanya, pemuda ini hanya seorang anak sekolahan, maka
melihat orang berbicara sambil tersenyum , tentu saja dia tak bisa
mencari gara-gara terpaksa dia mengulangi kembali maksud
kedatangannya.
“Aku masih muda dan berpengalaman cetek, entah Sangkoan
tayhiap dan Sangkoan cengcu .....”
Sangkoan su kita terdiri dari Sangkoan Tiong, Sangkoan Siau,
Sangkoan Jin dan Sangkoan Gi, mereka semua bukan manusia atas
bernama dalam dunia persilatan, sekalipun Thi Eng khi mengajukan
pertanyaan tersebut karena dia benar-benar tak pernah mendengar
nama Sangkoan Su kiat, tapi dalam pendengaran Sangkoan Gi justru
ucapan tersebut sangat tak sedap didengar.
Dengan kening berkerut tapi masih bsersikap sopan Sangkoan Go
segera menjawab.
“Dia orang tua adalah ayahku!”
Begitu mengetahui kalau Sangkoan Gi adalah sau cengcu dari
perkampungan Ki hian san ceng, Thi Eng khi menjadi girang sekali,
cepat serunya.
“Harap Sangkoan tayhiap suka memberi laporan ke dalam,
katakan bahwa aku ada persoalan hendak dibicarakan dengan
ayahmu!”
Untuk menjaga nama baik perkampungan Ki hian san ceng
dimata orang, Sangkoan Gi terpaksa menyahut.

68
“Oooh .....! Kedatangan Thi ciangbunjin sungguh sangat tidak
kebetulan, beberapa hari berselang ayahku telah turun gunung dan
sampai sekarang belum pulang, entah Thi ciangbunjin tinggal
dimana? Silahkan meninggalkan alamat, bila ayahku sudah pulang
nanti, pasti akan kusampaikan.”
Ucapan tersebut cukup jelas, yakni perkampungan Ki hian san
ceng tidak berniat untuk menyambut kedatangan ketua dari Thian
liong pay ini.
Manyaksikan maksud baiknya dibalikin orang, Thi Eng khi
mengernyitkan alis mata nya , kemudian dengan menahan diri
serunya kembali :
“Sesungguhnya aku datang untuk mengikuti pertemuan rahasia
yang sedang diselenggarakan disini, harap Sangkoan tayhiap segera
masuk ke dalam untuk memberi laporan.”
Paras muka Sangkoan Gi kontan saja berubah hebat, cepat-cepat
serunya :
“Perkampungan kami sama sekali tidak menyelenggarakan
pertemuan apa-apa, mungkin Thi ciangbunjin telah salah
mendengar!”
Pada ssat itulah, tiba-tiba dari luar pintu berjalan masuk seorang
pendeta tua berjubah abu-abu, bersenjata tongkat baja dan
berwajah ramah dan penuh asih.
Begitu menjumpai kemunculan pendeta itu buru-buru Sangkoan
Gi meninggalkan Thi Eng khi untuk menyambut kedatangannya,
setelah memberi hormat katanya :
“Ayah telah menantikan kedatangan taysu di ruang tengah,
silahkan masuk ke dalam taysu!”
Tanpa memeriksa kartu undangannya lagi, dia mempersilahkan
hwesio itu untuk masuk ke dalam ruangan.
Melihat kesemuanya itu, Thi Eng khi selain merasa mendongkol
juga gusar, baru saja dia bermaksud untuk menerjang masuk

69
kedalam ruangan, tiba-tiba Sangkoan Gi telah melayang kembali di
hadapannya.
Terpaksa sambil menahan sabar dia menegur :
“Siapakah pendeta agung tadi?”
Dengan perasaan tak sabar Sangkoan Gi menyahut :
“Ci kay taysu dari partai Siau lim!”
“Tolong tanya apa kedudukan Ci Kay taysu didalam kuil Siau lim
si?” kembali Thi Eng khi bertanya.
Sangkoan Gi mengira Thi Eng Khi sudah tahu pura-pura bertanya
dengan maksud untuk menggodanya, sebab didalam anggapannya
setiap umat persilatan pasti mengenali siapakah empat Kim kong
dari kuil Siau lim si, maka sambil menarik mukanya sehingga
berubah menjadi dingin bagaikan es, dia berkata :
“Salah satu seorang Kim kong dari kuil Siau lim si, kedudukannya
adalah seorang huhoat!”
Thi Eng khi bertanya lebih jauh :
“Apakah dia adalah murid pertama dari ketua Siau lim pay?”
Makin didengar Sangkoan Gi merasa semakin tak karuan
perasaannya, kontan saja dengan mata melotot sahutnya keraskeras
:
“Empat Toa kim kong dari Siau lim si adalah sute dari ketua
partai Siau lim si, Thi ciangbunjin! Jawabanku ini cukup memuaskan
bukan!”
Menyaksikan jawaban Sangkoan Gi makin lama semakin tak tahu
sopan santun, berkobar hawa amarah dalam hatinya, serunya
kemudian dengan suara lantang :
“Aku sebagai seorang ciangbunjin apakah tidak bisa menandingi
seorang huhoat dari Siau lim si? Mengapa aku tak boleh memasuki
pintu gerbang perkampungan kalian? Harap Sangkoan tayhiap
memberi penjelasan!”

70
Sangkoan Gi tak mau mengalah, serunya pula keras-keras :
“Sekalipun Thi ciangbunjin adalah seorang ketua dari suatu
perguruan, bila tiada surat undangan dari perkampungan kami,
jangan harap bisa memasuki ruangan kami.”
Dengan mata kepala sendiri kusaksikan Ci kay taysu agaknya tak
pernah mengeluarkan surat undangannya, apakah Sangkoan tayhiap
sengaja hendak membuat susah diriku?”
Sangkoan Gi tertawa dingin.
“Nama besar Ci kay taysu sudah tersohor di seluruh dunia
persilatan, setiap orang mengenalinya, bila Thi ciangbunjin ingin
dibandingkan dengan dirinya .......... hmm! Masih kelewat pagi.”
“Sangkoan tayhiap!” bentak Thi Eng khi dengan suara gusar, “jika
kau tetap bersikeras dengan jalan pemikiranmu itu, terpaksa aku
akan melangkah masuk sendiri!”
Untuk sesaat lamanya Sangkoan Gi terpengaruh oleh
kewibawaannya yang amat besar itu tanpa sadar dia menyingkir ke
samping untuk memberi jalan lewat.
Tapi belum sampai dia menyusul ke depan, tampak
keponakannya Sangkoan Beng telah menghadang jalan pergi Thi
Eng khi dengan senyuman cengar-cengir.
Usia Sangkoan Beng selisih tidak terlalu banyak dibandingkan
dengan Thi Eng khi, tapi berhubung dia dibesarkan dalam
lingkungan keluarga persilatan yang berpengaruh, maka sedikit
banyak sikapnya agak angkuh dan tinggi hati.
Diam-diam ia menyesal mengapa tidak bisa menahan diri ketika
digertak lawannya tadi sehingga dia kehilangan muka dan harus
mengundang paman susioknya untuk menyelesaikan persoalan ini,
dia merasa tindakannya itu berakibat dia kehilangan muka.
Maka ketika dilihatnya Sangkoan Gi agak kewalahan untuk
menghalangi masuknya Thi Eng khi kedalam ruangan, cepat-cepat
dia maju kedepan untuk mengatasinya.

71
Dia telah bertekad untuk menghalangi Thi Eng khi masuk ke
dalam perkampungan Ki hian san ceng, karena kalah pengaruh bila
sama-sama serius, maka dia ambil sikap tertawa cengar-cengir untuk
menghadapi lawannya.
Jilid 3
Begitulah, sambil menghalangi jalan pergi Thi Eng khi, ujarnya :
“Perkampungan Ki hian san ceng adalah tempat berkumpulnya
orang-orang kenamaan dalam dunia persilatan, sekalipun Thi
ciangbunjin adalah seorang ketua dari Thian liong pay, namun
perkampungan kami pun tidak ingin merusak kewibawaan kami
sehingga dijadikan bahan gurauan orang dikemudian hari, maaf,
jalan disini tidak tembus, silahkan pulang saja ke rumah!”
Demi menjunjung nama baik perguruan Thian liong pay setelah
berada dalam keadaan begini tiada pilihan lain baginya kecuali
bertahan terus. Dengan wajah serius katanya kemudian :
“Sangkoan sauhiap! Benarkah kau tidak memperkenakan aku
untuk masuk kedalam?”
Sambil berkata dengan langkah lebar dia melanjutkannya maju
ke depan.
Sangkoan Beng segera menarik sikap cengar-cengirnya, dengan
wajah serius katanya pula :
“Kalau toh Thi ciangbunjin begitu tak tahu diri, terpaksa aku
harus membuat dosa kepadamu!”
Seraya berkata, dengan jurus liu soat hong san (awan mengalir
menyelimuti bukit) dia menciptakan selapis bayangan telapak tangan
yang rapat untuk menyerang tubuh bagian atas Thi Eng khi.
Jurusan serangan tersebut merupakan jurus yang sangat tangguh
dari ilmu pukulan kilat Huan im hu yu cap pwe kuay jiu yang paling
diandalkan perkampungan Ki hian san ceng.

72
Sangkoan Beng agak keder oleh nama besar ketua Thian liong
pay, kuatir perbuatannya akan menurunkan gengsi perkampungan Ki
hian san ceng dimata umum, maka begitu turun tangan dia lantas
menyerang dengan menggunakan jurus serangan yang paling
tangguh.
Sungguh kasihan Thi Eng khi yang memiliki tenaga dalam Sian
thian bu khek ji gi sin kang yang sempurna itu, didalam menghadapi
serangan lawan, dia hanya memiliki tiga jurus ilmu pukulan Thian
liong ciang hoat, tiga jurus ilmu jari Thian liong ci hoat, tiga jurus
ilmu pedang Thian liong kiam hoat dan tiga jurus ilmu pukulan Thian
liong kun hoat yang diwariskan Thian liong su siang kepadanya.
Sekalipun tiga kali empat dua belas jurus ilmu sakti dari partai
Thian liong pay, yang dimilikinya itu merupakan inti kekuatan dari
ilmu aliran Thian liong pay akan tetapi dengan kematangan yang
terbatas itu secara otomatis kekuatan yang terpancar keluar dari
serangan itupun sangat terbatas sekali.
Dengan perkataan lain, seandainya dia yang membuka serangan
lebih dulu, baik dalam ilmu telapak tangan, ilmu jari, ilmu pedang
maupun ilmu pukulan dalam waktu singkat dia bisa lepaskan
serangan yang maha dahsyat ibaratnya kehebatan Thia Kau kim.
Tapi jika musuh menyerang duluan maka kedua belas jurus ilmu
sakti yang dimilikinya itu akan berubah menjadi satu jurus, jurus
serangan yang sama sekali tak ada faedahnya.
Sebab jurus–jurus serangan itu dipelajarinya secara mendesak,
apalagi tiada berpengalaman dalam menghadapi pertarungan,
otomatis dia tak bisa melakukannya dengan matang.
Dalam pada itu, Sangkoan Beng telah memandang terlampau
tinggi akan kehebatan musuhnya, begitu turun tangan dia lantas
menyerang dengan jurus perguruannya yang paling hebat,
bagaimana mungkin ia mampu untuk menghadapinya?

73
Terasa bayangan telapak tangan menyelimuti seluruh angkasa
dan menekan ke atas batok kepalanya, dengan gugup dia segera
melompat mundur ke belakang.
Sangkoan Beng tertawa bangga, sambil menarik kembali
serangannya ia tertawa terbahak-bahak.
“Haaahhh ....haaahhh .....haaahhh......ternyata ilmu silat Thian
liong pay tak lebih Cuma begitu-begitu saja! Ciangbunjin mungkin
terlalu awal bagimu untuk berkelana dalam dunia persilatan,
silahkan! Silahkan! Kami tak akan mengantar lebih jauh lagi!”
Ucapan itu penuh dengan nada ejekan sindiran amat tak sedap
untuk ditangkap dengan pendengaran.
Thi Eng khi segera merasakan darah panas dalam tubuhnya
mendidih, tak terlukiskan kemarahan yang berkobar dalam dadanya,
segera membentaknya keras-keras :
“Baik! Aku akan persilahkan kau untuk menyaksikan kelihayan
dari ilmu silat Thian liong pay kami.”
Dengan menghimpun dua belas bagian tenaga dalamnya, dia
mengangkat telapak tangannya keudara, kemudian dengan jurus Lak
leng kay san (Lak teng membuka gunung) suatu jurus tangguh
dalam Thian liong ciang hoat, dia lepaskan sebuah pukulan dahsayt
kemuka.
Jurus pukulan Thian liong ciang hoat yang dilancarkan dalam
keadaan gusar ini sungguh luar biasa hebatnya, mau tak mau
Sangkoan Beng harus berkelit juga tanpa berani menangkis atau
menyambut secara keras lawan keras.
Secara beruntun Thi Eng khi melepaskan kembali seranganserangannya
dengan jurus Jit pay tiong thian (matahari di tengah
angkasa dan Hun im ki gwat (memisah awan meraih
rembulan).........
Sangkoan Beng terdesak hebat, dengan jantung berdebar karena
kaget bercampur terkesiap buru-buru ia gunakan Giok yan sin hoat

74
(ilmu gerakan tubuh burung walet kemala) untuk berkelit sambil
menyelamatkan diri .....
Selewatnya tiga gebrakan, Thi Eng khi segera menghentikan
serangannya dengan wajah serius dia berkata :
“Sauhiap, bagaimanakah pandanganmu terhadapan ilmu pukulan
Thian liong ciang hoat?”
Padahal selewatnya tiga jurus serangan itu, dia tak sanggup
untuk melanjutkan kembali serangannya, terpaksa ia harus
menghentikannya sampai disana.
Tentu saja Sangkoan Beng tak menduga sampai ke situ, setelah
menghindari ketiga jurus serangan berantai dari Thi Eng khi tadi, ia,
sudah bermandi keringat karena kaget bercampur terkesiap,
disangkanya Thi Eng khi benar-benar berilmu tinggi, untuk
sesaatnya lamanya dia menjadi tertegun dan tak sanggup
mengucapkan sepatah katapun.
Sangkoan Gi kuatir keponakannya menderita kerugian, dengan
cepat ia melompat kemuka seraya berseru :
“Thi ciangbunjin tenaga dalammu memang cukup sempurna,
jelas keponakanku bukan tandingan, aku yang tak becus bersedia
untuk memohon beberapa petunjuk darimu!”
Setelah mendapat pengalaman yang cukup pahit tadi, Thi Eng khi
sadar jika musuh sampai menyerang lebih dulu, maka dia pasti akan
dibikin keteter hebat dan kehilangan muka.
Maka dia sengaja tertawa nyaring, kemudian katanya :
“Kalau memang Sangkoan tayhiap punya minat untuk bermainmain,
baiklah akan kupertunjukkan tiga jurus Thian liong ci hoat
kami!”
Begitu selesai berkata dia lantas melepaskan tiga totokan
berantai dengn jurus Ci thian hua tee (menuding langit mendayung
bumi), Kui seng tiam goan (bintang kejora menotok pusat) serta
Tiang cian ji im (panah panjang menembus awan).

75
Sangkoan Gi adalah seorang jago kenamaan dalam dunia
persilatan, pengalamannya luas dan pengetahuannya matang, ia
segera merasakan betapa dahsyatnya ketiga jurus serangan Thian
liong ci hoat tersebut, tentu saja ia merasa kuat untuk
membendungnya.
Untung saja Thi Eng khi belum cukup berpengalaman,
serangannya juga belum bisa digunakan secara matang, maka dari
itu kendatipun ia merasa agak payah, toh masih sanggup
membendungnya.
Ketika tiga jurus serangan jarinya sudah lewat tanpa
menghasilkan apa-apa, terpaksa Thi Eng khi harus menarik kembali
serangannya dengan perasaan kaget.
“Ternyata Sangkoan tayhiap betul-betul berilmu tinggi,” serunya
“sebagaimana yang telah kukatakan lagi tadi, selewatnya tiga
gebrakan, aku tak akan melancarkan serangan kembali.”
“Jika hanya menerima tanpa membalas itu namanya kurang
sopan,” kata Sangkoan Gi, “akupun ingin sekali minta beberapa
petunjuk dari Thi ciangbunjin!”
“Aduh celaka!” pekik Thi Eng khi setelah mendengar perkataan
itu.
Tapi keadaan sudah meruncing ibaratnya anak panah sudah
diatas busur, mau tak mau dengan keraskan kepala dia harus
berkata :
“Aku ingin sekali cepat-cepat menghadiri pertemuan biar dilain
waktu saja, aku akan minta petunjuk lagi dari Sangkoan tayhiap!”
Sangkoan Gi segera tertawa terbahak-bahak.
“Haaahhh ..... haaahhh...... haaahhh..... Thi ciangbunjin tak perlu
tergesa-gesa, partai anda tidak termasuk dalam undangan, jangan
kuatir ketidakhadiranmu tak bakal sampai mempengaruhi situasi
dalam dunia persilatan, menurut pendapatku, kesempatan baik

76
semacam ini sukar ditemukan, kenapa kita musti menyia-nyiakan
denga begitu saja?”
Berbicara sampai disitu, tanpa menunggu persetujuan dari Thi
Eng khi lagi, dia berseru lebih jauh.
“Silahkan! Aku akan melancarkan serangan lebih dulu.”
Telapak tangannya segera diayunkan kemuka melepaskan
sebuah pukulan dahsyat keatas lengan kiri Thi Eng khi.
Ketika dilihatnya suatu pertarungan sudah tak bisa dihindari lagi,
terpaksa Thi Eng khi menyongsong serangan itu dengan jurus Ci
thian hua tee (menunjuk langit mendayung bumi).
Sangkoan Gi tertawa ringan dari serangan pukulan dia merubah
ancamannya menjadi serangan cengkaraman, lengannya diturunkan
ke bawah diimbangi tekukan pinggang, dimana jari tangannya
menyambar .........”Breeeet!” Jubah panjang berwarna biru yang
dipakai Thi Eng khi sudah tersambar sehingga robek sebagian besar,
sementara tubuhnya juga kena didesak mundur sejauh lima langkah
lebih.
Sangkoan Gi tidak membiarkan musuhnya kabur begitu saja,
berhasil dengan serangannya yang pertama dia mendesak lebih
jauh, lagi-lagi sebuah pukulan menghajar diatas paha pemuda itu.
Untung saja Thi Eng khi cukup sadar kalau dalam jurus serangan
ia masih kalah jauh dibandingkan dengan Sangkoan Gi maka hawa
sakti Sian thian bu khek ji gi sin kang yang dimilikinya telah
disalurkan untuk melindungi badan.
Selain itu, bagaimanapun juga Sangkoan Gi terhitung juga
seorang anggota dari suatu perguruan kenamaan, betul ia berhasrat
untuk merobohkan musuhnya tapi bukan berarti hendak melukainya
maka ia tidak menggunakan segenap tenaga yang dia miliki.
Walaupun begitu serangan itu cukup membuat kuda-kuda Thi
Eng khi menjadi tergempur dan secara beruntun mundur sejauh tiga

77
langkah ke belakang dengan sempoyongan, untung saja ia tak
sampai jatuh terduduk di tanah.
Dalam pada itu, Sangkoan Gi sendiripun merasa sangat terkejut
setelah pukulannya mampir diatas paha Thi Eng khi, ia merasakan
munculnya suatu tenaga pantulan maha dahsyat dari paha si anak
muda itu yang membuat telapak tangannya bergetar keras dan
kesemutan.
Sangkoan Gi cukup punya nama didalam dunia persilatan,
kepandaian silat yang dimiliki tentu saja bukan sembarangan dan
otomatis dia cukup mampu untuk menilai kemampuan orang.
Sekalipun serangan yang barusan dilancarkan berhasil mendesak
mundur Thi Eng khi sejauh tiga langkah, sebaliknya dia malah tak
berani memandang enteng si anak muda itu, dianggapnya pemuda
itu masih kurang hapal dengan jurus serangan yang dimilikinya,
maka dia agak rugi bila terjadi pertarungan, namun soal tenaga
dalam sungguh merupakan seorang jagoan yang tangguh.
Segera timbullah keinginannya untuk beradu tenaga dalam
dengan musuhnya itu.
Sambil mengacungkan jempolnya, dia berseru dengan lantang :
“Thi ciangbunjin, sungguh amat sempurna tenaga dalammu,
bagaimana kalau kita saling beradu tenaga sebanyak tiga
gebrakan?”
Ketika jubahnya kena tersambar sampai robek tadi, Thi Eng khi
sudah merasa tak senang hati, apalagi sesudah dipaksa mundur
sejauh tiga langkah, api amarahnya sudah makin berkobar, maka
ketika mendengar tantangan tersebut, tanpa pikir panjang lagi dia
menyahut dengan wajah sedingin es :
“Aku akan melayani keinginamu!”
Dengan cepat tenaga dalam Sian thian bu khek ji gi sin kang
yang dimilikinya dihimpun mencapai dua belas bagian, ia sudah
bertekad untuk beradu kekuatan dengan musuhnya itu.

78
Sangkoan Gi mengawasi terus lawannya itu dengan seksama,
ketika dilihatnya hawa sakti Thi Eng khi sudah terhimpun dan
wajahnya berubah menjadi serius, ia semakin tak berani
memandang enteng lawannya, buru-buru diapun menghimpun
tenaga dalamnya mencapai dua belas bagian pula.
Tampaknya dua ekor harimau segera akan bertarung, sudah
barang tentu akibatnya akan fatal sekali .....
Di saat yang amat kritis inilah, tiba-tiba dari luar pintu
perkampungan berkumandang suara gelak tertawa yang amat
nyaring.
Tjhi Eng khi segera berpaling, tampak tiga orang tosu sedang
berjalan mendekat dengan langkah lebar, seorang berjalan dimuka
sedang dua orang lainnya mengikuti dari belakang.
Tosu yang berjalan dipaling muka merupakan tosu berusia tujuh
puluh tahunan, rambutnya telah beruban tapi wajahnya ramah dan
lembut, dialah yang memperdengarkan gelak tertawa nyaring tadi.
Dua orang tosu yang mengikuti dibelakangnya itu telah berusia
diatas enam puluh pedang antik tersoren dipunggung dengan gaya
yang lembut, cukup memberikan kesan baik bagi siapapun yang
melihatnya.
Thi Eng khi tidak kenal dengan ketiga orang tosu tapi setelah
menjumpai sikap mereka yang anggun tapi ramah itu, serta merta
dia membuyarkan tenaga dalamnya dan berdiri termenung disitu.
Sangkoan Gi tampak sangat terkejut, dengan wajah merah
jengah buru-buru ia maju menyambut, katanya sambil memberi
hormat :
“Boanpwe Sangkoan Gi menyongsong kedatangan dari
locianpwe!”
Tosu tua yang berjalan dimuka itu tertawa ramah, sahutnya :
“Sau sicu tak perlu banyak sungkan, rupanya kedatangan pinto
bukan pada saaatnya sehingga mengganggu kesenangan kalian!”

79
Sementara berbicara, dengan sorot matanya yang tajam dia
awasi wajah Thi Eng khi.
Mula-mula keningnya tampak berkerut, menyusul kemudian
terlintas rasa kaget diwajahnya, dengan perasaan tercengang dia
menegur :
“Sauhiap menggembol pedang sakti Thian liong pay kim kiam,
tolong tanya apa hubunganmu dengan Thian liong pay? Bolehkah
aku mengetahuinya?”
Sekalipun nada ucapannya lembut dan ramah, akan tetapi dibalik
keramahan itu justru terkandung sesuatu kekuatan yang membuat
orang tak dapat menampik permintaannya.
Dengan serius Thi Eng khi menjawab :
“Boan ....”
Sebenarnya dia hendak menbahasai dirinya sebagai “boanpwe”
tapi ketika teringat olehnya bahwa sebagai seorang ciangbunjin dari
partai Thian liong pay, dia seharusnya mempunyai kedudukan pula
dalam dunia persilatan maka segera mengurungkan niatnya itu, dia
tak ingin akibat dari sebutan itu berakibat tercemarnya nama baik
Thian liong pay.
Maka dia segera menjawab.
“Aku Thi Eng khi adalah ciangbunjin angkatan kesebelas dari
Thian liong pay! Entah siapakah nama totiang? Apakah akupun boleh
mengetahuinya ...........?”
Ketika tosu tua itu menyaksikan Thi Eng khi sama sekali tidak
mengetahui gelarnya, meski ia merasa pengetahuan yang dimiliki
ciangbunjin dari Thian liong pay ini terlalu cetek, namun ia tak
sampai merasa gusar, sesudah tertawa hambar sahutnya.
“Pinto adalah Keng hian berasal dari Bu tong pay.”

80
Kemudian sambil menuding kearah dua orang tosu pengiringnya
dia melanjutkan.
“Kedua orang ini adalah sute pinto yang seorang bernama Keng
ik sedangkan yang lain bernama Keng leng.”
Sekalipun Thi Eng khi belum memiliki pengalaman dalam dunia
persilatan, bukan berarti Keng hian totiang itu ciangbunjin dari partai
Bu tong paypun tidak dikenalinya, mendengar ucapan tersebut, dia
menjadi amat terperanjat.
Buru-buru dia menjura, kemudian katanya :
“Aku masih muda dan cetek pengalaman didalam dunia
persilatan, bila tidak mengenali akan kehadiran ciangbunjin dari Bu
tong pay, harap kau suka memaafkan.”
Selain daripada itu dalam hati kecilnya juga segera timbul suatu
perasaan, bagaimanapun juga dia sendiri adalah seorang ciangbunjin
dari suatu perguruan dalam dunia persilatan, bila dibandingkan
maka kedudukan mereka adalah berimbang dan tiada yang lebih
tinggi dan tiada pula yang lebih rendah.
Akan tetapi sesudah menyaksikan sikap hormat pihak Ki hian san
ceng terhadap Keng hian totiang kemudian dibandingkan dengan
sikap sinis pihak lawan terhadap dirinya, segera timbul perasaan
sedih dan malu dihati kecilnya.
Pikir punya pikir tanpa terasa ia menjadi melamun sendiri
sehingga berdiri termangu.
Keng hian totiang sebagai seorang ciangbunjin dari Bu tong pay
tentu saja memiliki pengalaman yang cukup luas, sesudah
menyaksikan sikap-sikap Thi Eng khi macam orang yang kehilangan
sukma itu, dengan cepat dia dapat memahami perasaan orang.
Maka sambil tersenyum segera ujarnya menukas lamunan dari
sianak muda itu :
“Bolehkah aku tahu apa hubungan ciangbunjin dengan Keng
thian giok cu Thi locianpwe?”

81
“Dia adalah mendiang kakekku!” sahut Thi Eng khi dengan sikap
yang hormat kembali.
Mencorong sinar tajam dari balik mata Keng hian totiang,
ciangbunjin dari Bu tong pay itu sambil menggenggam tangan sianak
muda itu, katanya dengan gembira :
“Oooh....! Jadi Thi ciangbunjin adalah keturunannya, tak heran
kalau kegagahanmu jauh berbeda daripada manusia-manusia lainnya
lagipula berbakat dan memiliki kecerdasan yang luar biasa ......
kemunculan ciangbunjin sungguh merupakan suatu keberuntungan
bagi umata persilatannya pada umumnya!”
Oleh perkataan dari Bu tong cainagbunjin itu, Thi Eng khi
merasakan semangat dalam tubuhnya serasa berkobar kembali,
dengan suara lantang dia lantas berseru:
“Thian liong pay sebagai sesama anggota dunia persilatan sudah
merasa berkewajiban untuk bersama-sama dengan anggota dunia
persilatan lainnya untuk menegakkan keadilan dan kebenaran bagi
kita semua!”
Ketua dari Bu tong pay itu segera tertawa terbahak-bahak.
“Haaahh .... haaahhh.... haaahhh.... pinto bisa berkenalan
dengan manusia semacam Thi ciangbunjin tidak sia-sia perjalananku
kali ini.”
Kepada kedua orang sutenya yang berada di belakang sambil
berpaling dia lantas berkata lagi :
“Tampaknya kemurungan serta kekuatiran kita di masa lalu cuma
suatu kekuatiran yang tanpa dasar.”
“Pendapat ciangbunjin suheng memang tepat sekali, sute
berduapun berpendapat demikian, “ dengan serius Keng ik dan Keng
leng totiang menjawab.
Dipuji-puji oleh tiga jago dari Bu tong pay, Thi Eng khi segera
merasakan hatinya menjadi lega dan semangat kembali, tentu saja
diapun tidak terlalu teringat dengan peristiwa kecil yang tidak

82
menyenangkan hati tadi, setelah membenahi pakaiannya yang
dirobek oleh Sangkoan Gi tadi, dengan kepala terangkat dan dada
dibusungkan dia berdiri gagah disitu.
Sekali lagi Keng hian totiang, ketua dari Bu tong pay
memperhatikan Thi Eng khi sekejab, kemudian sambil menepuk
bahu pemuda itu katanya :
“Ciangbunjin, silahkan!”
Thi Eng khi segera mundur selangkah seraya berkata :
“Totiang lebih tua, sudah seharusnya berjalan duluan!”
Ciangbunjin dari Bu tong pay itu kembali tertawa terbahak-bahak
serunya :
“Ciangbunjin terlampau merendah, mari kita masuk bersamasama
....!”
Sambil tersenyum, Thi Eng khi manggut-manggut, kemudian
dengan mendampingi ketua dari Bu tong pay itu mereka masuk
bersama-sama ke dalam perkampungan Ki hian san ceng.
Tiba-tiba terdengar Sangkoan Gi berteriak keras :
“Thi ciangbunjin sebelum mendapat persetujuan dari ayahku
harap kau menunggu dulu sebentar!”
Thi Eng khi segera berkerut kening, dia berpaling dan
memandang sekejap ke arah Sangkoan Gi, bibirnya bergetar seperti
hendak mengucapkan sesuatu, tapi niat tersebut kemudian
diurungkan.
Keng hian totiang, ciangbunjin dari Bu tong pay telah berkata
lebih dulu :
“Apa sebabnya Thian liong pay tidak mendapat undangan?”
Sangkoan Gi agak tertegun, kemudian sahutnya dengan cepat :
“Alasan sederhana sekali, apakah locianpwe tidak
mengetahuinya?”
Keng hian totiang berpikir sejenak kemudian menggangguk :

83
“Baik, kalau begitu anggap saja Thi ciangbunjin sebagai tamu
yang pinto undang, apakah Sangkoan tayhiap bersedia untuk
memberi muka kepadaku?”
Ciangbunjin dari Bu tong pay ini mempunyai kedudukan yang
sangat tinggi di dalam dunia persilatan, setelah dia menampilkan diri
untuk menanggung hal tersebut, sekalipun Sangkoan Gi terhitung Su
Cengcu (kepala kampung keempat) dari perkampungan Ki hian san
ceng, toh dia tak berani juga untuk mengatakan kata “tidak”.
Maka dengan mulut membungkam dia menyaksikan Thi Eng khi
beserta ketua dari Bu tong pay itu berjalan masuk lewat pintu
tengah.
Menanti bayangan tubuh mereka berdua sudah lenyap dari
pandangan mata, dia baru mendesakkan kaikinya dan secepat kilat
meluncur ke dalam ruang dan lenyap di pintu samping.
Dihantar oleh seseorang, Thi Eng khi serta Keng hian totiang
sekalian diantar menerobosi sebuah ruangan tamu yang luas dan
bisa menampung tamu sebanyak ratusan orang untuk menelusuri
sebuah lorong sempit yang sempit dan memanjang, diujung lorong
tersebut terdapat sebuah pintu gerbang yang terbuat dari batu hijau.
Sepasang gelang tembaga yang bercahaya tajam masing-masing
menempel diatas pintu besar yang terbuat dari batu hijau tersebut
......
Penunjuk jalan itu segera mendekati pintu dan membunyikan
gelang tembaga tersebut tiga kali panjang dan sekali pendek,
sejenak kemudian pintu itupun dibuka orang.
Dalam pintu terdapat sebaris undak–undakan batu yang
menembus ke ruang bawah tanah, mereka segera menuruni anak
tangga tersebut menuju ke bawah.
Di ujung tangga batu tadi kembali terdapat sepasang pintu baja
yang besar sekali menghadang jalan pergi mereka.

84
Menyaksikan kesemuanya itu, Thi Eng khi lantas berpikir :
“Tak nyana kalau Sangkoan cengcu adalah seorang yang begini
berhati-hati, cukup dilihat dari penjagaan disini pun boleh dibilang
cukup ketat.”
Sementara dia masih berpikir, pintu baja itu sudah dibuka orang.
Sesudah melewati pintu baja itu sampailah mereka didalam
sebuah ruangan batu yang dua kaki lebarnya.
Didalam ruangan itu terdapat sebuah meja bulat yang terbuat
dari batu hijau, disekelilingnya terjajar dua puluh empat buah kursi
kebesaran, kurang lebih sudah ada lima belas orang jago persilatan
yang hadir disana.
Ketika semua jago yang hadir di dalam ruangan itu menyaksikan
kemunculan Keng hian totiang, ketua dari partai Bu tong berjalan
masuk kedalam ruangan, serentak orang-orang itu bangkit berdiri
dan menyambut kedatangannya dengan sikap yang hormat.
Pada kursi tuan rumah berdiri seorang kakek berwajah merah
ynag memakai jubah lebar berwarna kuning telur, tak usah ditanya
lagi orang itu bukan lain adalah lo cengcu dari perkampungan Ki
hian san ceng, Cang ciong sin kiam Sangkoan Yong adanya.
Yang lebih mengherankan lagi, ternyata Sangkoan Gi sudah
sampai didalam ruangan itu lebih duluan.
Cang ciong sin kiam Sangkoan Yong segera tertawa nyaring
serunya :
“Kehadiran ciangbunjin ditempat kami ini, sungguh merupakan
suatu kebanggaan bagi kami siaute. “
Keng hian totiang tertawa, lalu katanya :
“Sudah lama pinto tidak mencampuri urusan dunia persilatan lagi,
kebetulan hari ini kutemukan seorang pendatang baru dari dunia
persilatan, dia adalah Thian liong ciangbunjin Thi siauhiap adanya,
jika kedatangannya agak lancang, harap kau jangan menjadi
marah!”

85
Dengan sikap yang amat menghormat Thi Eng khi segera
memberi hormat, kemudian katanya :
“Aku Thi Eng khi dari Thian liong pay merasa sangat beruntung
sekali bisa berkenalan dengan Sangkoan cengcu.”
Dibalik senyuman yang menghiasi wajah Cang ciong sin kiam
segera terlintas perasaan marah dan tak senang hati, ia mendengus
dingin dan menunjukan sikap seperti tak senang atas kehadirannya
disitu.
Thi Eng khi yang diperlakukan orang secara dingin terpaksa harus
menahan diri, sebab dia tahu nama perguruannya selama ini
memang tidak menggembirakan.
Sementara dia masih murung, tiba-tiba terdengar Keng hian
totiang berbisik dengan ilmu menyampaikan suara :
“Sebetulnya Sangkoan loji adalah seorang manusia yang
berdarah panas, satu-satunya kelemahan yang dimilikinya adalah
terlalu angkuh dan tinggi hati, dia suka mencari muka dan nama,
kedatangan Thi lote tanpa membawa surat undangn itu sudah pasti
telah dilaporkan orang kepadanya, maka dengan dasar pikirinnya
yang sempit, ia menjadi tak senang hati. Semoga saja lote mau
memikirkan keadaan dunia persilatan dengan tidak mempersoalkan
hal itu.”
Tenaga dalam yang dimiliki Thi Eng khi masih belum cukup
sempurna, ia belum dapat mengemukakan maksud hatinya lewat
ilmu menyampailkan suara, maka dia hanya tersenyum saja
terhadap Keng hian totiang, sementara wajahnya dengan cepat pulih
kembali menjadi tenang.
Cang ciong sin kiam Sangkoan Yong mempersilahkan ciangbunjin
dari Bu tong pay itu untuk menempati kursi utama sedangkan Keng
ik dan Keng leng totiang meski terhitung juga seorang jago
kenamanan didalam dunia persilatan, akan tetapi berhubung
ketuanya sudah menempati kursi utama, otomatis mereka duduk di
kursi berikutnya.

86
Diam-diam Thi Eng khi merasa kagum juga atas kemampuan
Cang ciong sin kiam Sangkoan Yong didalam mengatur tamunya. Ia
memang tak malu disebut seorang pemimpin dunia persilatan yang
berbakat. Ia jadi ingin tahu, bagaimana caranya orang itu akan
mengatur temapat duduk baginya.
Ternyata Cang ciong sin kiam Sangkoan Yong menitahkan
Sangkoan Gi untuk menyiapkan sebuah kursi lagi jauh diluar meja
bundar tersebut, setelah itu sambil tertawa paksa katanya :
“Maaf! Kedatangan Thi ciangbunjin sungguh jauh diluar
dugaanku, kami tak sempat untuk menyiapkan tempat duduk lagi,
maka silahkan kau duduk di situ saja.”
Sekalipun Thi Eng khi merasa gusar setelah mendengar ucapan
itu, apalagi ketika dilihatnya disekeliling meja bundar itu masih bayak
terdapat kursi kosong tapi sebuah pikiran segera melintas didalam
benaknya, pikirnya :
“Tempat duduk yang disediakan di sekeliling meja bundar itu
terbatas sekali, tempat dudukpun diatur menurut tingkatan, mungkin
saja kursi-kursi kosong itu telah dipersiapkan untuk para undangan
yang belum datang, yaaa.... bagaimanapun juga aku memang
seorang tamu yang tak diundang, tidak seharusnya kutunjukkan
kesempitan jiwaku hanya ribut lantaran soal tempat duduk saja.”
Karena berpikir demikian diapun menjadi tenang kembali, malah
sambil tersenyum segera menempati tempat duduknya itu.
Waktu itu para undangan belum datang secara lengkap,
perundingan juga belum dimulai secara resmi kebanyakan tamu
sedang bercakap-cakap membicarakan aneka persoalan.
Thi Eng khi yang tidak kebagian tempat di kursi utama ia merasa
enggan untuk turut menimbrung maka selama ini, dia hanya sebagai
seorang pendengar belaka.
Keng hian totiang kuatir pemuda itu merasa terlalu diasingkan,
maka dengan ilmu menyampaikan suara dia lantas memperkenalkan
semua tamu yang hadir disana.

87
Menurut urutannya maka disamping kiri Cang ciong sin kiam
Sangkoan Yong sebagai tuan rumah adalah Keng ik totiang dan
Keng leng totiang, kemudian orang yang ketiga adalah seorang
kakek ceking berusia lima puluh tahunan yang disebut orang sebagai
Tay pek it khi (manusia aneh dari bukit Tay peng san) Ku Kiam ciu.
Orang keempat adalah seorang nenek berambut putih yang
wajahnya penuh dengan keriput, tapi sepasang matanya
memancarkan cahaya tajam yang mengerikan sekali, dia she Li
bernama Kek ci dengan julukan Giok koay popo (si nenek bertongkat
kemala).
Bangku kelima dan keenam masih berada dalam keadaan
kososng.
Di tempat yang ketujuh adalah seorang sastrawan berusia
pertengahan yang disebut Im tiong hok (bangau ditengah awan)
Teng Siong adanya.
Kursi kedelapan dan kesembilan masih kosong.
Tempat yang kesepuluh adalah si kakek bungkuk yang pernah
dilihat Thi Eng khi ketika masih berada di luar pintu gerbang
perkampungan Ki hian san ceng tadi, dia bernama Sin tua (bungkuk
sakti) Lok It hong.
Tempat kesebelas masih kosong.
Tempat yang kedua belas, persisi di tengah-tengah meja
ditempati oleh ketua Bu tong pay Keng hian totiang.
Tempat yang ketiga belas adalah Ci kay taysu dari Siau lim pay.
Tempat yang kempat belas masih kosong.
Tempat yang kelima belas adalah seoarang nyonya setengah
umur, dia adalah Ciang hong wancu yang berjulukan Hui hong li
(perempuan sakti pelangi terabang) Lu Ciang lian.

88
Tempat yang keenambelas ditempati seorang kakek ceking dan
jangkung dia adalah ketua dari Tiong lam pay Ku tiok siu (kakek
bambu kurus) Yap Han san.
Tempat ketujuh belas adalah seorang nyonya tua berambut putih
yang berwajah cantik, dia adalah Tocu dari pulau Soh sim to yang
berjulukan San hoa siancu (Dewi penyebar bunga) Seng Cay soat
adanya.
Tempat kedelapan belas ditempati olegh seorang kakek yang
bertubuh kekar, dialah Hong im siu (kakek angin mega) Seng Thong
dari bukit Bong san.
Sewaktu Thi Eng khi mendengar Keng hian totiang
memperkenalkan diri Hong im siu Sang thong tersebut, dia merasa
terperanjat sekali, pikirnya :
“Heran, padahal Ban li tui hong Cu Ngo tidak sampai
mengirimkan undangan itu kepadanya, kenapa dia bisa hadir dalam
pertemunan ini tepat pada waktunya? Sudah pasti dibalik
kesemuaannya ini masih ada rahasia lain ....”
Karena berpikir demikian, dia lantas mengambil keputusan untuk
menyelidiki persoalan ini sampai jelas.
Sementara Thi Eng khi masih melamun, Keng hian totiang dari Bu
tong pay telah melanjutkan keterangannya untuk memperkenalkan
orang-orang yang lain.
Tempat yang kesembilan belas ditempati oleh seorang ahli
senjata rahasia dari wilayah Suchwan yang bernama To pit thiang
ong (raja langit berlengan banyak) Tong lian hoat.
Tempat yang kedua puluh adalah Tiang siau mi lek (Mi lek
tertawa panjang) Kongsun Cong.
Tempat yang ke dua puluh satu adalah Pu thian toa tiau (rajawali
raksasa penubruk langit) Kay Poan thian.

89
Tempat ke dua puluh dua adalah Ku bok long tiong (si penjual
obat bermata buta)
Nyoo Cun.
Tempat kedua puluh tiga adalah Tam ciang kay thian (telapak
tangan tunggal pembelah bukit) Coh Eng.
Menyusul kemudian pangcu dari Kay pang Hou bok sin kay
(pengemis sakti bermata harimau) Cu Goan po masuk kedalam
ruangan dan menempati kursi keempat belas, tempat itu hanya
selisih satu kursi dengan tempat duduk Keng hian totiang, ini
menunjukkan bahwa kedudukannya cukup tinggi.
Tak lama kemudian muncul kembali seorang sastrawan yang
lemah lembut menempati bangku kedelapan, dari pembicaraan yang
berlangsung kemudian, Thi Eng khi mendapat tahu kalau orang itu
adalah Tiang cun siusu Li Goan.
Dengan demikian, selain bangku kelima, enam, sembilan dan
sepuluh yang masih kosong tanpa penghuninya, disekeliling meja
bundar itu sudah hadir dua puluh jago perslatan yang paling
tersohor namanya dalam dunia persilatan waktu itu.
Tidak! Harus dikatakan ada duapuluh tiga orang, sebab Ciang
cong sin kiam Sangkoan Yong, sangkoan Gi dan Thi Eng khi belum
masuk hitungan.
Pada saat itulah ada orang bertanya.
“Saudara Sangkoan apakah jumlah undangan sudah hadir
semua?”
Cang ciong sin kiam Sangkoan Yong mengeluarkan selembar
daftar dan mencocokkan sebentar dengan mereka yang hadir,
kemudian sahutnya :
“Tampaknya Ting Kong ai ciangbunjin dari Cing sia pay serta
Beng seng Sutay dari kuil Ci tiok an belum datang.”

90
Karena jumlah yang diundang belum komplit, agaknya mereka
harus menunggu lebih lanjut.
Tapi pada saat itulah tiba-tiba Cang ciong sin kiam Sangkoan
Yong bangkit berdiri, kemudian katanya :
“Siaute mempunyai suatu masalah yang amat mencurigakan
hatiku ingin sekali kuajukan secara terbuka di depan sidang ini.”
Setelah berhenti sejenak dia melanjutkan :
“Sebelum permasalahannya diajukan, terpaksa aku ingin mohon
pengertian lebih dahulu dari Bu tong ciangbunjin Keng hian totiang
....”
Mendengar perkatan itu, Keng hian totiang segera berkerut
kening, dia sudah bisa menebak kalau Sangkoan Yong kembali akan
menyusahkan Thi Eng khi.
Maka sahutnya sambil tertawa terbahak-bahak.
“Haaahhh.... haaahhh..... haaahhh....... Sangkoan tayhiap terlalu
sungkan!”
Setelah memberi hormat kepada ketua dari Bu tong pay,
Sangkoan Yong lantas berpaling ke arah Thi Eng khi seraya berkata :
“Lohu ingin sekali memohon keterangan dari Thi ciangbunjin,
lohu harap kau sudi memberi petunjuk kepada kami semua.”
Sesungguhnya semenjak tadi Thi Eng khi sudah ingin sekali
menerangkan soal dirampasnya surat undangan yang dibawa oleh
Ban li tui hong Cu Ngo, maka ketika dilihatnya Cang ciong sin kiam
Sangkoan Yong mencarinya untuk berbicara, ia merasa hal ini malah
kebetulan sekali baginya.
Sambil tersenyum dia lantas memberi hormat kemudian sahutnya
lembut :
“Lo cengcu ada persoalan apa yang hendak ditanyakan? Silahkan
saja diajukan!”
Cang ciong sin kiam Sangkoan Yong mendehem pelan kemudian
ujarnya:

91
“Berhubung pertemuan yang kami selenggarakan kali ini
menyangkut soal keselamatan seluruh dunia persilatan maka
pertemuan yang diselenggarakan hari ini sengaja kami atur secara
rahasia sekali, tolong tanya darimana Thi ciangbunjin bisa
mengetahui akan hal ini?”
“Aku mengetahui akan pertemuan ini dari mulut Ban li tui hong
Cu Ngo, sebagai salah satu anggota dunia persilataan, partai kami
merasa berkewajiban untuk turut serta menanggulangi mara bahaya
yang sedang mengancam umat persilatan, karena itu aku datang
tanpa diundang, untuk itu harap Sangkoan tayhiap tidak menjadi
marah atau tak senang hati!”
Mendengar perkataan itu, Cang ciong sin kiama Sangkoan Yong
segra mengernyitkan sepasang alis matanya yang tebal, katanya:
“Ban li tui hong Cu Ngo adalah seorang jago kawakan yang cukup
tahu akan pentingnya pertemuan ini, tak nanti dia akan
sembarangan buka mulut membicarakan masalah ini, hingga
sekarang orangnya belum kembali ke sini, sehingga urusan ini susah
diselidiki, apakah Thi ciangbunjin bersedia untuk menerangkan
dengan lebih seksama lagi?”
Secara ringkas Thi Eng khi lantas mengisahkan pengalamannya
ketika menyelamatkan jiwa Ban li tui hong Cu Ngo yang terluka,
kemudian menambahkan :
“Menurut pendapatku, ada baiknya Sang tayhiap yang
seharusnya tak sampai menerima surat undangan tersebut memberi
keterangan tambahan, asal ia bersedia menerangkan rasanya tidak
sulit buat kita untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya.”
Hong im siu Sang Thong dari bukit Bong san segera tertawa licik
dan aneh, serunya cepat :
“Lohu datang kemari lantaran mendapat kartu undangan, aku
sama sekali tidak tahu kalau Cu tayhiap telah mengalami musibah di
tengah jalan, jadi akupun tak bisa berkata apa-apa!”
Dengan ucapannya itu, maka sama halnya dengan menuduh
ucapan Thiu Eng khi bohong.

92
Thi Eng khi menjadi amat gelisah sekali, maka teriaknya keraskeras
:
“Sudah jelas kalau kartu undangan yang dibawa Cu tayhiap telah
dibegal orang dekat markas partai kami, mana mungkin undangan
itu bisa dihantar sampai ke bukit Bong san? Sang tayhiap, kau
jangan bergurau!”
Hong im siu Sang thong menarik muka dan menatapnya dengan
bersunguh-sungguh katanya :
“Lohu tidak pernah kenal dengan Thi Ciangbunjin, mengapa aku
mesti mengarang cerita bohong untuk menfitnah dirimu?”
Pembicaraan yang ramai segera berkumandang di dalam ruang
itu, bahkan beberapa pasang sinar mata yang tajam dan penuh
kecurigaan telah dialihkan ke tubuh Thi Eng khi.
Menyaksikan susana tersebut, Cang ciong sin kiam Sangkoan
Yong segera mendehem pelan kemudian katanya :
“Empat puluh tahun berselang, kakekmu Keng thian giok cu Thi
cianpwe pernah memimpin umat persilatan menanggulangi ancaman
berdarah yang melanda dunia persilatan waktu itu, kegagahan serta
kejantanannya sudah dipuji semua orang , aku minta Thi ciangbunjin
suka menjaga nama baik kakekmu dan jangan memasuki jalan yang
sesat!”
Dengan gelisah bercampur cemas, Thi Eng khi segera berseru :
“Dengan semangat yang tinggi dan keinginan yang tulus aku
khusus datang kemari untuk bersama-sama kalian menanggulangi
ancaman maut yang sedang melanda dunia persilatan, kenapa aku
mesti membohongi kalian?”
Keng hian totiang Bu tong pay segera menimbrung dari samping
:
“Menurut pendapat pinto Thi ciangbunjin bukanlah seorang
manusia jahat! Di balik kesemuanya ini adalah pasti ada rahasia lain,
pinto harap kalian jangan emosi dan harus menghadapi persoalan ini
dengan seksama!”

93
Cepat-cepat Cang ciong sin kiam Sangkoan Yong menyambung
dari samping :
“Lohu pun sudah merasa kalau didalam menyebar surat
undangan kali ini telah melupakan Thi ciangbunjin, itulah sebabnya
aku minta maaf kepada Thi ciangbunjin atas kelalaian ini. Untung
saja Bu tong ciangbunjin telah mengajak Thi ciangbunjin untuk
menghadiri pertemuan ini, semoga saja jangan disebabkan
keteledoran lohu sehingga mengakibatkan masalah keselamatan
dunia persilatan menjadi terlupakan.”
Pu thian toa beng Kay Poan thian segera menyambung pula :
“Menurut pendapatku, tindakan Sangkoan tayhiap yang tidak
mengundang kehadiran Thoi ciangbunjin di dalam pertemuan ini
adalah suatu tindakan yang benar, jadi aku pikir tak perlu masalah
ini dirisaukan.”
Cang ciong sin kiam Sangkoan tayhiap segera tersenyum.
“Mendapat dukungan dari Kay loko, lohu benar-benar merasa tak
tentram.”
Pu thian toa beng Kay Poan thian segera tertawa terbahak-bahak.
“Haaahhh .... haaahhh..... haaahhh..... Sangkoan tayhiap adalah
seorang manusia yang berbudi luhur karena itu dihati kecilmu baru
muncul perasaan demikian, padahal kedudukan yang dimiliki setiap
umat manusia dalam dunia persilatan dinilai dari jaya atau tidaknya
orang itu didunia ini, tiga puluh tahun yang lalu tentu saja berbeda
sekali dengan tiga puluh tahun kemudian, entah siapapun orangnya
dan entah partai dari manapun jika ingin menjagoi dunia persilatan
dia harus memiliki kemampuan untuk mempertahankan diri, mereka
yang mempunyai kemampuan yang lebih baru akan mendapat
penghormatan orang.”
Sesudah berhenti sebentar, kembali dia melanjutkan :
“Lima belas tahun belakangan ini, boleh dibilang perguruan Thian
liong pay sudah kehilangan pamornya dan lenyap dari dunia
persilatan, perguruan tidak mirip perguruan, partai tidak mirip partai,
keadaan yang terbengkalai semacam ini apa gunanya musti

94
diundang datang? Toh kedatangan mereka bukan saja tak
bermanfaat apa-apa, malahan sebaliknya bisa jadi akan
menyusahkan saja.”
Mendengar orang itu mencemooh partai Thian liong pay, Thi Eng
khi segera mengerut dahinya, lalu serunya dengan gusar :
“Kurang ajar, kau berani memandang rendah partai Thia liong
pay kami?”
Pu thian toa beng Kay Poan thian mendesis sinis, katanya sambil
berkerut kening.
“Aku hanya berbicara menurut kenyataan, apakah Thi ciangbunjin
beranggapan bahwa ilmu silat yang dimiliki partai kalian luar biasa
sekali?”
Saking khekinya paras muka Thi Eng khi bahkan menjadi hijau
membesi katanya :
“Ilmu silat dari perguruan kami luas bagaikan samudra, mana
bisa diperbincangkan dengan pengetahuan Kay tayhiap yang cupat
seperti katak dalam sumur itu? Betul, kepandaian yang kumiliki
sekarang belum sempurna, tapi suatu ketika pasti akan kubuat kau
merasa takluk!”
Pu thian toa beng Kay Poan thian segera tertawa terpingkalpingkal
sahutnya :
“Setiap saat lohu akan menantikan petunjuk darimu itu, semoga
saja Thi ciangbunjin bisa jaga diri baik-baik!”
Nada itu sinis dan menghina, jelas dia tak pandang sebelah
matapun terhadap lawannya.
Thi Eng khi meraung gusar, tapi sebelum dia mengucapkan
sesuatu, mendadak terasa bayangan manusia berkelebat lewat,
tahu-tahu Keng hian totiang dari Bu tong pay sudah berdiri di
hadapannya, dengan suara lirih dia berbisik :
“Sebagai lelaki sejati harus pandai melihat gelegat, harap Thi
ciangbunjin suka menahan diri.”

95
Kemudian dengan ilmu menyampaikan suara terusnya :
“Semenjak mendiang kakekmu tiada, dunia persilatan sudah
mengalami perubahan besar, tanpa seorang pemimpin yang cakap,
masing-masing orang berusaha untuk menonjolkan dirinya sendiri,
ini membuat rasa iri hati mereka kian hari kian bertambah besar. Di
masa lampau nama besar partai anda terlalu besar dan tersohor,
padahal orang itu berambisi besar untuk merebut kedudukan
pemimpin dunia persilatan, tenu saja dia enggan membiarkan Thi
ciangbunjin menampilkan diri dalam dunia persilatan, bila Thi
ciangbunjin bisa menitik beratkan pada masalah besar, harap kau
jangan bertikai hanya disebabkan urusan sekecil ini!”
Thi Eng khi memang seorang yang cerdas, begitu pikirannya
terbuka, hawa amarahnya segera ditekan di dalam hati.
Sementara itu, Cang ciong sin kiam Sangkoan Yong telah berkata
pula :
“Harap Kay tayhiap jangan gusar dulu, lebih baik kita kembali ke
pokok pembicaraan sebenarnya, harap Thi ciangbunjin suka
menerangkan kepada kami sehingga kesalah pahaman semua orang
bisa diatasi!”
Sekarang Thi Eng khi baru mengerti, walaupun dimulut Cang
ciong sin kiam Sangkoan Yong mengakui atas kehilafannya karena
tidak mengundang partai Thian liong pay, sesungguhnya dia
bersikap sebaliknya dari pada apa yang dikatakan, tujuan yang
sesungguhnya dari orang itu adalah tetap inigin menyingkirkan Thian
liong pay dari ruang pertemuan sehingga ingin membuktikan kepada
semua orang bahwa tindakannya tidak mengundang pihak Thian
liong pay adalah suatu tindakan yang benar.
Betul ilmu silat yang dimiliki Thi Eng khi waktu itu masih cetek,
pengalaman soal dunia persilatan juga sangat minim, tapi bukan
berarti dia itu tolol, sudah barang tentu diapun bisa memahami
maksud yang sesungguhnya dari Cang ciong sin kiam Sangkoan
Yong dengan kata-katanya itu.
Mencorong sinar tajam dari balik mata anak muda itu segera
serunya :

96
“Sangkoan tayhiap, suruh aku berbuat bagaimana untuk
menjelaskan masalah ini?”
Sesungguhnya Cang ciong sin kiam Sangkoan Yong bukan
termasuk seorang manusia berhati busuk, dia hanya merasa tidak
puas karena kehadiran Thi Eng khi tanpa diundang itu sudah
menodai nama baiknya, selain itu, setelah masalahnya diungkap
diapun banyak menemukan hal-hal yang mencurigakan ditubuh Thi
Eng khi, maka baik demi kepentingan umum maupun demi
kepentingan pribadi ia bertekad untuk mneyelidiki persoalan ini
sampai tuntas.
Maka ketika ia mendengar pertanyaan yang diajukan oleh Thi
Eng khi serta menyaksikan sorot mata orang yang lebih tajam
daripada sembilu itu, hatinya kontan saja bergetar keras, pikirnya :
“Mungkinkah perbuatanku ini sedikit kelewatan?”
Tapi bagaimanapun juga dia adalah seorang jagoan yang
kenamaan didalam dunia persilatan, ia malu untuk menarik
masalahnya ditengah jalan, maka sembari keraskan hatinya dia
berkata lagi dengan suara dalam :
“Ini mah harus dilihat dari ketulusan hati Thi ciangbunjin sendiri!”
Dengan marah, Thi Eng khi segera berseru :
“Jika kalian sudah mempunyai pandangan tertentu kepadaku,
meski aku benar-benar bertulus hati juga percuma!”
“Thi ciangbunjin apakah kau tidak merasa ucapanmu itu sedikit
kelewat kasar? Bayangkan saja, setiap orang yang hadir dalam
ruangan ini rata-rata adalah jago nomor wahid didalam dunia
persilatan, asal kau berbicara jujur, keadilan sudah pasti akan kau
dapatkan.”
“Tadi kalian semua tak ada yang percaya dengan perkataanku
sebaliknya sama sekali tidak menaruh kecurigaan apa-apa terhadap
ucapan Sang tayhiap, hal ini merupakan suatu bukti dari ucapanku
barusan.”

97
Baru selesai dia berkata, sambil menggebrak meja Hong im siu
Sang thong berteriak:
“Thi ciangbunjin menurut pendapatmu apa yang mencurigakan
dengan lohu?”
“Aku merasa curiga sekali akan kebenaran dari identiatasmu!
Mengapa kau tidak mengaku terus terang saja dihadapan orang
banyak ....?” seru Thi Eng khi sambil menatapnya lekat-lekat.
Hong im siu Sang thong segera mendongakkan kepalanya dan
tertawa terbahak-bahak.
“Haaahhh..... haaahhh..... haaahhh..... memangnya lohu bisa
gadungan? Tahun ini lohu sudah berusia enam puluh tiga tahun dari
sekian banyak orang yang hadir sekarang, separuh diantaranya
adalah sobat lamaku, mengapa tidak kau tanyakan kepada mereka,
apakah aku adalah Hong im siu Sang thong atau bukan?”
“Tentu saja dia adalah Sang tayhiap, siapapun tak akan menaruh
curiga lagi kepadanya!“ seru semua orang hampir berbareng.
Tiba-tiba satu ingatan melintas dalam benak Thi Eng khi, pikirnya
:
“Sesungguhnya Hong im siu Sang Thong masih mempunyai cara
lain untuk menjawab perkataanku itu, mengapa ia membawa
masalahnya ke soal asli dan gadungan? Jangan-jangan ia memang
benar-benar Hong im siu Sang Thong gadungan? Siapa yang telah
melakukan kesalahan biasanya akan timbul kecurigaan didalam
hatinya terhadap setiap orang karena kuatir rahasianya ketahuan,
teori kejiwaan semacam ini sudah merupakan suatu teori yang
umum , yaa.... siapa tahu kalau dia memang gadungan?”
Berpikir sampai disitu, dia lantas berkata dengan suara yang
dingin :
“Aku dengar didalam dunia persilatan terdapat sejenis
kepandaian ilmu menyaru muka yang sangat hebat, Sang tayhiap,
kau tak boleh membuat orang merasa curiga.”

98
“Kurang ajar!” teriak Hong im siu dengan teramat gusarnya, “Thi
ciangbunjin, kau harus memberi suatu pertanggungan jawab kepada
lohu!”
Waktu itu Keng hian totiang, ketua dari partai Bu tong sendiripun
merasa tuduhan Thi Eng khi itu kekurangan bukti, bahkan mendekati
suatu fitnahan, baru saja dia akan mengemukakan pendapatnya,
tiba-tiba terdengar olehnya Tam ciang kay san Coh Eng telah
membentak keras :
“Darimana datangnya bocah keparat yang tak tahu diri, ngaco
belo berbicara tak karuan, aku lihat kedudukannya sebagai
ciangbunjin dari Thian liong pay juga amat mencurigakan.”
“Apa susahnya untuk membuktikan hal ini?” seru Giok koay popo
Li Kek ci dengan cepat, “asalkan dia bisa memperlihatkan ilmu sakti
Thian liong pay, bukankah hal ini segera membuktikan
identitasnya?”
Soh sim tocu, San hoa siancu Leng Cay soat yang selama ini
berada dalam keadaan membungkam tanpa emosi, tiba-tiba
memandang kearah Thi Eng khi , kemudian ujarnya :
“Empat puluh tahun berselang, ketika aku mengikuti kakekmu
Keng thian giok cu Thi tayhiap membasmi kaum iblis dari muka bumi
dulu, aku paling mengagumi dengan kelihayan ilmu pedang Thian
liong kiam hoatnya, terutama sekali jurus Jit teng tiong thian
(matahari tepat diatas angkasa) itu, jurus tesebut benar-benar
mengandung kelihayan dan perubahan yang luar biasa sekali, malah
orang menyebutnya sebagai ilmu yang paling lihay dalam dunia
persilatan dewasa ini. Thi ciangbunjin, kau sebagai ahli waris dari
kakekmu itu, sudah pasti menguasai jurus Jit teng tiong thian itu
bukan? Bagaimana kalau kau mendemonstrasikannya sehingga kami
semua bisa turut menikmatinya?”
“Bagus, bagus sekali.” Sambung Tiang siau li lek Kongsun Cong
sambil tertawa tergelak, “silahkan Thi ciangbunjin mendemostrasikan
kelihayannya, agar kami semua bisa menambah pengetahuan dan
pengalaman!”

99
Sampai detik itu Thi Eng khi hanya menguasai tiga jurus pedang
Thian liong kiam hoat, jurus Jit teng tiong thian tersebut justru
merupakan jurus yang paling tangguh dan dalam bahkan San tian jiu
Oh Tin lam yang mengajarkan ilmu pedang kepadanya pun tak
mampu mempergunakannya, mana mungkin ia bisa mengajarkan
jurus itu kepada sang pemuda?
Kontan saja paras muka si anak muda itu berubah murung
bercampur kesal, untuk sesaat lamanya dia tak sanggup
mengucapkan sepatah katapun.
Kay pang pangcu Hou bok sin kay Cu Goan menyeka ingusnya
lebih dulu dengan ujung bajunya kemudian berkata pula :
“Jit teng tiong thian merupakan inti sari dari ilmu pedang Thian
liong kiam hoat, dengan usia Thi ciangbunjin yang masih demikian
muda mana mungkin bisa meleakukannya? Buat apa sih kalian musti
menyusahkan orang? Aku lihat lebih baik kita suruh dia mainkan satu
jurus ilmu pedang Thian liong kiam hoat yang lain saja, toh hal itu
sudah lebih dari cukup.”
Agaknya Pu thian toa beng Kay Poan thian sengaja hendak
menyusahkan Thi Eng khi segera teriaknya keras-keras :
“Siaute rasa bila ingin menyaksikan ilmu sakti dari Thian liong pay
maka kita harus menyaksikan jurus Jit teng tiong thian tersebut,
kalau tidak maka kita tak usah terlalu merepotkan Thi ciangbunjin
lagi!”
Thi Eng khi tak tahan untuk bersabar lagi, segera teriaknya
keras-keras ;
“Jurus Jit teng tiong thian dari Thian liong kiam hoat memang
belum sempat kupelajari akan tetapi aku mempunyai suatu benda
yang dapat membuktikan akan kebenaran dari identitasku ini.”
Berbicara sampai disitu, dia lantas merogoh ke sakunya dan
mengeluarkan sebuah lukisan sambil dibentangkan lebar-lebar
katanya :
“Tentunya kalian semua juga tahu bahwa lukisan semacam ini
hanya dimiliki oleh partai Thian liong pay saja bukan!”

100
Ketika semua orang–orang mengalihkan perhatiannya ke tengah
arena maka perasaan mereka segera bergetar keras.
Ternyata diatas lukisan itu tertera sembilan buah lukisan wajah
orang, kesembilan wajah manusia itu semuanya merupakan wajah
dari kawanan jago lihay yang paling termashur namanya pada emapt
puluh tahun berselang.
Diantara sekian banyak orang, Soh sim tocu San hoa siancu Leng
Cay soat paling emosi, bagaikan sedang mengigau dia berseru
dengan suara gemetar :
“Coba kalian lihat! Coba kalian lihat! Siapakah gadis termuda
yang berada disebelah kiri itu?”
Tidak menunggu orang lain menjawab, ia telah berkata lebih jauh
:
“Dia .... dia adalah diriku pada empat puluh tahun berselang ....”
Sangkoan Yong segera menunjuk kearah seorang kakek kurus
diantara lukisan itu seraya berseru :
“Yang itu adalah mendiang ayahku!”
Ci kay taysu dari Siau lim pay yang selama ini tak pernah
bersuara segera merangkap tangannya kedepan dada sambil memuji
keagungan Buddha :
“Omitohud! Mendiang guruku Tong sian sangjin juga berada satu
diantaranya!”
Tiong lam ciangbunjin Ku tiok siu Yap Han san segera berkata
pula dengan serius :
“Kakek yang berwajah bersih itu adalah mendiang guruku It sim
Kisu.”
Menyusul kemudian, Keng hian totiang dari Bu tong pay juga
menunjukkan ciangbunjin generasi yang lalu Jut tim totiang, lalu
Ciang hong wancu hui hong li Lu Cing lian menunjukkan gurunya
Sam biau hujin Song Ting ting, sedang Kay pang pangcu Hou bok sin
kay Cu Goan menunjukkan lo pangcu Jin Hua.

101
Dua orang yang lain seperti tak ada yang menerangkan, tapi Soh
sim tocu San hoa siancu Leng Cay soat segera menerangkannya
untuk semua orang :
“Sastrawan muda yang berada di samping ini adalah ketua Hoa
san pay saat ini Pek ih siusi Cu Wan mo, sedangkan nikou tua itu
adalah Ci tiok ancu generasi yang lalu Bu wo sutay ....”
Sementara itu puluhan pasang mata yang penuh dengan
pandangan kagum telah tertuju semua diatas lukisan tersebut.
Cang ciong sin kiam Sangkoan Yong segera memberi hormat
kepada lukisan yang berada ditangan Thi Eng khi itu, lalu katanya :
“Silahkan Thi ciangbunjin pindah kebangku utama!”
Keng hian totiang dari Bu tong pay segera menyingkir dari
tempat utama sambil tersenyum.
Thi Eng khi yang dihadapkan dengan tindakan semacam ini
malah dibikin tertegun ia tidak menyangka kalau sebuah lukisan saja
bisa membawa pengaruh yang begitu besar.
Tentu saja perubahan sikap yang diperlihatkan orang–orang itu
bukan karena mereka sudah dapat membuktikan kebenaran dari asal
usul Thi Eng khi , sebaliknya karena lukisan yang dibawa oleh anak
muda itulah yang membuat mereka mau tak mau harus
mempersilahkan Thi Eng khi untuk pindah ke kursi utama.
Bagaimanapun juga, siapa pun tak ingin menyaksikan lukisan dari
leluhurnya berada di bawah orang lain, sebab tindakan itu sama
halnya dengan merendahkan leluhur sendiri.
Bagi orang lain, bisa saja mereka menghina atau mencemooh
orang lain, tapi tak bisa tidak mereka pasti akan menghormati
leluhur sendiri.
Begitulah, disebabkan Thi Eng khi membawa lukisan tersebut,
maka nilai kedudukan nya berapa ratus lipat lebih berharga, diapun
dipersilahkan untuk menempati kursi utama.

102
Setelah berada di kursi utama, pemuda itu merasa kurang leluasa
untuk membentang terus lukisan itu, dia bersiap-siap akan
meyimpannya ke dalam saku.
Tiba-tiba Cang ciong sin kiam Sangkoan Yong berjalan mendekat,
sesudah memberi hormat katanya :
“Thi ciangbunjin, silahkan kau pentangkan lukisan Enghiong tu
tersebut diatas ruangan, agar dihadapan pada leluhurnya setiap
orang bisa merasakan semangatnya semakin berkobar serta
bersama-sama menanggulangi mara bahaya yang mengancam dunia
persilatan dewasa ini!”
“Ucapan Sangkoan cengcu memang tepat sekali,” kata Thi Eng
khi dengan terharu, “sudah sepantasnya kalau kita semua menirukan
cara kerja leluhur kita untuk bekerja sama serta bersama-sama
menanggulangi mara bahaya.”
Sambil mengucapkan perkataan tersebut, dia lantas mengangkat
lukisan itu tinggi-tinggi ke udara lalu tambahnya :
“Merepotkan Sangkoan cnegcu untuk memancangnya sendiri
diatas dinding.”
Dengan kepala tertunduk dan sikap yang munduk-munduk, Cang
ciong sin kiam Sangkoan Yong memberi hormat lebih dahulu kepada
lukisan tersebut, kemudian dia baru menyambut lukisan tadi
membalikkan badan serta memancangkan lukisan tadi di atas
dinding dalam ruangan tersebut.
Menyusul kemudian semua orang lantas bangkit berdiri dan
bersama-sama memberi hormat lagi kepada lukisan itu sebelum
kembali ke tempat duduknya masing-masing.
Sementara itu, suasana didalam ruang pertemuan berubah sepi,
hening dan tak kedengaran sedikit suarapun, agaknya setiap orang
sedang terbuai didalam jalan pemikirannya masing-masing.
Ketika Thi Eng khi menyaksikan ada beberapa orang diantara
mereka yang sudah menunjukkan rasa menyesal terhadap dirinya
sambil membungkukkan badan dan tersenyum diapun berkata :

103
“Sekalipun kedatanganku yang tanpa diundang ini merupakan
suatu keteledoran, namun aku harap kalian mau percaya dengan
kesungguhan hatiku ini, aku benar-benar bersedia untuk
menyumbangkan pikiran maupun tenaga demi keadilan dan
kebenaran didalam dunia persilatan.”
Keng hian totiang dari Bu tong pay segera tertawa, ucapnya
kemudian :
“Thi Ciangbunjin merupakan generasi muda yang menonjol dalam
dunia persilatan, pinto sekalian dengan senang hati akan
menyambut kedatanganmu!”
Selesai berkata, ia lantas bertepuk tangan lebih dulu.
Menyusul kemudian Cikay taysu dari Siau lim pay, Hou bok sin
kay Cu Goan po serta Keng ik totiang dan Keng Leng totiang juga
turut bertepuk tangan memberikan dukungannya.
Sisanya hanya saling berpandang-pandangan muka tanpa
memberikan reaksi apapun juga.
Paling akhir Cang ciong sin kiam Sangkoan Yong juga terpaksa
ikut bertepuk tangan, tapi tepukan tanganya tidak begitu meriah,
agaknya dia hanya melakukannya demi sopan santun seorang tuan
rumah terhadap tamunya belaka.
Sabaliknya Pu thian toa beng Kay Poan thian dengan membawa
nada yang sinis segera berteriak keras :
“Temen-temen semua, hayo tepuk tangan yang keras!”
Seraya berkata, dia lantas bertepuk tangan lebih dulu sekeraskerasnya.
Betul juga dengan cepat suara tepukan tangan yang gegap
gempita berkumandang didalam ruangan tersebut.
Selesai bertepuk tangan, Hong im siu Sang thong dari bukit Bong
san segera berkata:

104
“Sekarang Thi ciangbunjin sudah menjadi rekan kita semua
didalam menanggulangi kesulitan dunia persilatan yang sedang
dialami kita semua, silahkan Thi ciangbunjin secara terbuka memberi
keterangan kepada semua orang atas terjadinya kesalah paham kecil
yang sudah terjadi tadi!”
Thi Eng khi benar-benar tidak habis mengerti, apa sebabnya
orang–orang itu seperti mempunyai watak yang keras sekali, dengan
wajah agak marah serunya kemudian :
“Apa yang harus kukatakan telah kukatakan semua, jika kalian
tidak bisa menerimanya akupun tak akan terlalu memaksa, tapi aku
berani bersumpah kepada langit dan bumi bahwa aku sama sekali
tidak bermaksud bohong atau menfitnah!”
Dari mana dia bisa tahu kalau kawanan jago yang berada dalam
ruangan sekarang, sebagian besar adalah manusia-manusia
berambisi yang enggan tunduk kepada siapapun, siapa saja diantara
mereka tak ada yang berharap orang lain lebih menonjol atau lebih
hebat daripada dirinya, kalau bisa, seluruh dunia persilatan terjatuh
ditangannya.
Oleh sebab itu, perasaan mereka pada waktu itu sangat kalut
sekali.
Seperti misalnya saja dengan Cang ciong sin kiam Sangkoan
Yong, pertama dia merasa gusar karena kehadiran Thi Eng khi yang
tanpa diundang sehingga menodai nama baiknya, kedua diapun
merasa merasa marah kepada Keng hian totiang dari Bu tong pay
karena tanpa persetujuannya telah membawa masuk Thi Eng khi ke
dalam pertemuan tersebut.
Akan tetapi karena dia kuatir atau lebih tepatnya takut untuk
mengusir ketua dari partai Bu tong tersebut, otomatis semua
kemasgulan serta kekesalannya dilampiaskan diatas tubuh Thi Eng
khi seorang.
Jilid 4

105
Sedangkan Pu thian toa beng Kay Poan thian adalah seorang
manusia yang berambisi bsear sekali, dia tidak termasuk salah
seorang dari kawanan jago yang turut serta didalam pertemuan
besar empat puluh tahun berselang, diapun tidak terhitung seorang
jagoan lihay dalam dunia persilatan dewasa ini, apa mau dikata ia
justru merupakan seorang manusia yang tak tahu diri, tak senang
berdiam diri dan suka menonjolkan diri, dimanapun dan dalam
persolan apapun, dia selalu menampilkan dirinya agar diperhatikan
orang.
Disamping itu masih ada pula mereka yang leluhurnya tidak turut
serta dalam deretan lukisan itu, munculnya lukisan tadi tanpa terasa
segera menimbulkan kesan jelek dihati mereka terhadap pemuda itu,
apalagi setelah menyaksikan Thi Eng khi dipersilahkan menempati
kursi utama lantaran mengandalkan lukisan leluhur tersebut, mereka
merasa semakin tidak puas lagi.
Diantara sekian banyak orang, Hong im siu Sang Thong dari Bukit
Bong san tak usah dikatakan lagi, setiap patah kata maupun setiap
tindakan orang ini selalu merupakan bagian-bagian yang penting
didalam rencana busuknya, atau dengan perkataan lain ia memang
berniat menimbulkan kesan jelek Thi Eng khi terhadap umat
persilatan agar niat pribadinya bisa terwujudkan.
Itulah sebabnya dalam keadaan seperti ini, tak mungkin buat Thi
Eng khi untuk merebut simpatik hanya mengandalkan beberapa
patah kata saja.
Baru selesai dia berkata, Pu thian toa beng Kay Poan thian sudah
tertawa terbahak-bahak.
“Haaahhh.... haaahhh.... haaahhh..... Thi ciangbunjin seandainya
kau tak sanggup menghilangkan rasa curiga kami terhadap dirimu
maka sekalipun kami semua menaruh perasaan kagum terhadap
kegagahan dan kehebatan partai Thian liong pay dimasa lalu, bagi
kepentingan umat persilatan mau tak mau terpaksa kita musti
mempersilahkan ciangbunjin untuk menyingkir lebih dulu dari
ruangan ini.”

106
“Pendapat saudara Kay memang tepat sekali, “ seru Hong im siu
Sang Thong dengan cepat “siaute nomor satu yang merasa setuju
lebih dulu.”
Lainnya pasti tidak buka suara namun kalau dilihat dari mimik
wajahnya itu dapat diketahui bhawa mereka semua merasa amat
setuju dengan pendapat dari Kay Poan thian tersebut.
Betapa kecewanya Thi Eng khi ketika menyaksikan maksud
baiknya malah disambut dengan cemoohan serta penghinaan dari
orang lain, dia memandang sekejap kearah Bu tong pay, tapi ketika
dilihatnya Keng hian totiang pun menunjukkan sikap apa boleh buat,
dia menjadi sedih sekali.
Setelah menghela napas panjang, katanya dengan suara gemetar
:
“Kalau toh kalian semua berpendapat demikian, terpaksa aku
harus mohon diri lebih dulu, tapi akupun berharap kalian jangan
melupakan kejadian hari ini.“
Berbicara sampai disitu, dia lantas beranjak dan mendekati
dinding ruangan siap menurunkan lukisan tadi dan dibawa pergi
meninggalkan tempat itu.
Tiba-tiba sesosok bayangan manusia berkelebat lewat, San hoa
siancu Leng Cay soat tahu-tahu sudah melayang turun
dihadapannya.
“Thi ciangbunjin, harap tunggu sebentar!“ cegahnya, “aku masih
ada persoalan yang hendak dibicarakan!“
“Apa lagi yang tdiak benar dengan diriku!“ tegur Thi Eng khi
dengan kening berkerut.
“Aku mempunyai suatu perintah yang tak pantas, harap Thi
ciangbunjin bersedia untuk mengabulkannya!“

107
Thi Eng khi tidak bisa menduga persoalan apakah yang dinggap
begitu penting oleh San hoa siancu Leng Cay soat, terpaksa sambil
mengendalikan hawa amarahnya dia berkata :
”Leng siancu ada urusan apa? Aku bersedia untuk
mendengarkannya!”
“Sauhiap, tolong serahkan lukisan Enghiong to ini kepadaku, agar
akulah yang menyimpankan untukmu.“
Semakin membara sepasang mata Thi Eng khi setelah
mendengar ucapan tersebut, teriaknya :
“Dengan dasar apa kau berkata begitu?“
“Dulu kakekmu Thi tayhiap pernah memimpin segenap jago lihay
yang ada didalam dunia persilatan untuk melenyapkan suatu
bencana dari dunia persilatan, setelah kejadian itu, untuk
memperingatkan kejadian tersebut maka dipilihlah sembilan orang
pentolan dunia persilatan waktu itu, masing-masing telah melukis
wajahnya sendiri sebagai kenangan.“
“Aaah....!“ tiba-tiba seorang berseru, “kalau begitu para
locianpwe yang gambarnya terpampang diatas lukisan itu
merupakan hasil karya mereka sendiri?“
Soh sim tocu San hoa siancu Leng Cay soat mengenang kembali
kejadiannya dimasa lampau, kemudian dengan bangga dia
menyahut :
“Betul, padahal dari sekian banyak jago yang mengikuti
berlangsungnya peristiwa waktu itu, yang bisa dianggap sebagai
seorang enghiong yang memimpin dunia cuma tiga puluhan orang,
tapi yang betul-betul berhak untuk mencantumkan lukisannya diatas
lukisan tersebut cuma delapan sembilan orang saja, orang-orang itu
bisa kalian lihat yang lukisannya terpampang disitu.“
Sekali lagi semua orang menikmati lukisan tersebut beberapa
saat lamanya, akhirnya mereka baru melihat bahwa lukisan tersebut
bukan berasal dari lukisan satu orang.

108
Suara pembicaraan Soh sim tocu San hoa siancu Leng Cay soat
makin lama semakin keras, kembali serunya :
“Waktu itu, Thi locianpwe adalah pemimpin dari seluruh umat
persilatan maka semua orang menyerahkan lukisan itu untuk
disimpan oleh dia orang tua.“
“Sudah sepantasnya kalau kakek kami yang menyimpan lukisan
itu,“ timbrung Thi Eng khi tiba-tiba.
Pelan-pelan San hoa sinacu Leng Cay soat dari pulau Soh sim to
itu manggut-manggut.
“Yaa, kalau berbicara dari kejadian waktu itu, tindakan tersebut
memang paling tepat, tapi keadaan pada hari ini jauh berbeda.“
Berbicara sampai disitu, Thi Eng khi segera memahami kearah
manakah tujuan pembicaraan tersebut, kontan saja matanya melotot
besar.
“Oooh ..... mengerti aku sekarang,“ serunya, “jadi berbicara
sekian lama dan berputar ayun kian kemari, tujuannya tak lain ingin
mengangkangi lukisan tersebut.“
San hoa siancu tertawa dingin.
“Aku adalah salah seorang peserta dari peristiwa dimasa lalu
lukisanku juga tertera dalam lukisan itu, tidak berhak kah bagiku
untuk menyimpan lukisan itu?“
“Ucapan dari siancu itu tepat sekali,“ Hong im siu Sang Thong
dari bukit Bong san segera menyela, “oleh karena Pek ih siusu Cu
ciangbunjin dari partai Hoa san tidak datang, maka dewasa ini
memang cuma Leng siancu seorang yang berhak menyimpan lukisan
tersebut.“
“Aku juga berpendapat demikian,“ sambung Pu thian toa beng
Kay Poan thian pula, “lukisan tersebut memang sepantasnya kalau
disimpan oleh Leng siancu.“

109
Menyusul kemudian, kembali ada beberapa orang yang
menyatakan dukungannya atas keputusan dari Leng siancu tersebut.
Hanya ketua dari partai Bu tong, Keng hian totiang yang tidak
berpendapat demikian, segera serunya :
“Menurut pendapat pinto ....“
Baru saja ucapan itu keluar dari mulutnya, mendadak terdengar
ada seseorang yang mencegahnya dengan ilmu menyampaikan
suara.
“Ciangbunjin ingin turut berbicara demi keadilan, lolap merasa
kagum sekali, tapi menurut pendapat lolap biarkan saja kejadian itu
berlangsung agar menambah pengetahuan dan pengalaman Thi
ciangbunjin terhadap kebusukan hati manusia. Sekarang Thi
ciangbunjin masih muda, bakatnya sangat bagus, masa depannya
cemerlang, bila kita terlalu melindunginya maka hal ini malah akan
mencelakai dirinya, lebih baik biar hatinya mendapat sedikit pukulan
agar merangsang kecerdasannya makin bekerja .....“
Mendengar bisikan tersebut, Keng hian totiang lantas berpaling
kearah Ci kay taysu dan tersenyum kemudian :
“Pinto pikir Thi ciangbunjin memang harus mempertimbangkan
kembali persoalan ini.“
“Tapi lukisan tersebut merupakan warisan dari leluhur kami, aku
bersumpah akan mempertahankannya dengan jiwa dan raga, aku
tak akan membiarkan orang lain menyentuhnya sekehendak hatinya
sendiri.“
Dengan ilmu menyampaikan suara, Keng hian totiang segera
berbisik.
“Jika manusia sudah dipengaruhi oleh sifat kemaruk, maka
memperebutkan bukan suatu tindakan yang menguntungkan, Thi
ciangbunjin kau bersemangat tinggi dan masih muda memangnya
kau kuatir tiada kesempatan lagi dikemudian hari untuk
mendapatkan kembali benda tersebut? Harap kau suka berpikir tiga
kali sebelum bertindak.“

110
Thi Eng khi segera menjadi paham sekali, segera berpikir :
“Buat seorang toa enghiong, seorang toa hau kiat, yang
dipikirkan adalah keberhasilan dimasa mendatang, bukan
keuntungan di depan mata, suatu ketika jika ilmu silatku telah
berhasil, memangnya tak bisa kucuci semua penghinaan ini?”
Berpikir sampai disitu, kemarahannya segera mereda, dengan
nada pedih dia berkata :
“Baik, untuk kali ini aku akan menuruti kehendak kalian! Cuma
akupun hendak berkata dulu, suatu ketika lukisan tersebut pasti
akan kuminta kembali!“
“Siapa yang tahu keadaan, dia adalah orang yang bijaksana, aku
akan selalu menantikan kunjungan dari Thi ciangbunjin!“ sahut San
hoa siancu Leng Cay soat sambil tertawa.
Thi Eng khi segera bangkit berdiri dan mendongakkan kepalanya,
dengan lantang dia berseru :
“Cukup banyak petunjuk yang telah kuperoleh dari kalian semua,
budi ini tak akan kulupakan untuk selamanya, aku akan mohon diri
lebih dulu .... “
Cang ciong sin kiam Sangkoan Yong segera menitahkan
Sangkoan Gi untuk membuka pintu ruangan, serunya :
“Silahkan Thi ciangbunjin, maaf kalau aku tidak akan menghantar
lebih jauh lagi!“
Sewaktu datang tadi, Thi Eng khi membawa semangat yang
tinggi, tapi yang diperoleh cuma kepedihan dan penghinaan,
sekarang dia baru menyadari apa sebabnya kakeknya menutup
perguruan Thian liong pay dulu.
Thi Eng khi telah pergi, menyusul kepergian pemuda itu, Keng
hian totiang dari Bu tong pay menggelengkan kepalanya berulang
kali sambil menghela napas, katanya kemudian :
“Peristiwa yang terjadi hari ini merupakan suatu peristiwa yang
sama sekali mengabaikan keadilan dan kebenaran, pinto merasa
menyesal sekali, lebih baik akupun mohon diri!“

111
Dengan membawa kedua orang sutenya, mereka segera beranjak
dan meninggalkan tempat itu.
Menyusul kemudian, Ci kay taysu dari Siau lim pay, Hou bok sin
kay Cu Goan po dari Kay pang serta Sin tuo Lok It hong juga enggan
tinggal lebih lama disitu, serentak mereka beranjak dan mohon diri.
Cang ciong sin kiam Sangkoan Yong hanya merasa menyesal di
hati, dia menghela napas dan tampak murung sekali.
Sebaliknya Pu thian toa beng Kay Poan thian tampak paling
berseri wajahnya, dengan suara lantang dia segera berseru :
“Partai Siau lim pay dan Bu tong pay selalu menganggap dirinya
sebagai suatu perguruan besar, mereka paling tidak pandang mata
kedada orang lain, kepergiannya justru kebetulan sekali, Cu lo hoacu
si pengemis busuk ini bertulang kere dan pandainya cuma menjilat
pantat orang, memang pantas sekali kalau selalu mengekor, sudah
lama aku ingin mencari gara-gara dengannya, si bungkuk itu .....
Huhh! Lebih tak ada harganya untuk dibicarakan, mana otaknya
bebal, goblok lagi, dia tak perlu diajak untuk berkompromi.“
Semua orang cuma memandang sekejap kearahnya dan tak
seorangpun yang menjawab, jelas orang-orang itu telah merasakan
ketukan suara hati sendiri.
Sayang sekali, ketukan suara hati itu munculnya sangat lemah,
sehingga dengan cepat tersapu kembali oleh ucapan dari Hong im
siu Sang Thong dari bukit Bong san.
Terdengar Hong im siu Sang Thong dari bukit Bong san tertawa
kering, kemudian katanya dengan suara yang aneh :
“Leng siancu, siaute merasa bahwa tekadmu ingin menyimpan
lukisan Enghiong to tentunya dikarenakan sementara alasan yang
tak bisa dikatakan kepada orang lain bukan?“

112
Seakan-akan ucapan tersebut langsung menyentuh rahasia
hatinya, kontan saja paras muka San hoa siancu dari pulau Soh sim
to itu berubah hebat, serunya sambil tertawa dingin :
“Saudara Sang, mungkin kaupun menganggap aku tidak lebih
cuma manusia seperti Thi Eng khi yang tak becus itu? Hmm,
kuanjurkan kepadamu ada baiknya jangan terlalu gunakan akal
busukmu daripada kita harus saling cekcok sendiri!“
Hong im siu Sang Thong segera tertawa seram :
“Heeehhh.... heeehhh.... heeehhh.... Leng tocu apabila
tindakanmu ini ibaratnya menyeberangi sungai merusak jembatan,
maka perbuatanmu itu semakin menyalahi bantuan dari sobat
semua!“
Saking gusarnya, paras muka San hoa siancu Leng Cay soat telah
berubah menjadi hijau membesi, teriaknya :
“Sang Thong, bila sedang berbicara didepan pun siancu, lebih
baik sedikitlah berhati-hati!“
Hong im siu Sang Thong juga berteriak dengan lantang :
“Selamanya siaute selalu berbicara sepatah tetap sepatah, kalau
memang Leng tocu begini tidak sungkan, aku Sang Thong juga
merasa tidak berkewajiban untuk menyimpan rahasia itu!“
“Kurang ajar! Sekali lagi kau berani bicara sembarangan, aku tak
akan berlaku sungkan-sungkan lagi kepadamu!“
Tampak ujung bajunya berkibar terhembus angin bagaikan
segumpal awan hitam tahu-tahu ia sudah melayang melewati meja
bundar dan melayang turun dihadapan Hong im siu Sang Thong,
tangannya langsung diayunkan untuk menampar muka Sang Thong.
Perempuan ini memang tak malu menjadi salah seorang yang
muncul diatas lukisan Enghiong to tersebut, tubuhnya yang
melayang ke depan enteng bagaikan segulung angin, sedemikian
cepatnya sehingga sukar buat orang lain untuk mengikuti bayangan
tubuhnya.

113
Kelihatannya Hong im siu Sang Thong segera akan kena
digampar oleh ayunan tangannya itu.
Tapi kejadiannya kemudian justru tampak aneh sekali, tidak
melihat bagaimana Hong im siu Sang Thong menghindarkan diri
juga tidak melihat bagaimana caranya dia melancarkan serangan
balasan, tahu-tahu San hoa siancu Leng Cay soat telah menarik
kembali tangannya sambil melompat mundur sejauh beberapa depa,
wajahnya diliputi oleh rasa kaget dan tercengang untuk setengah
harian lamanya dia tak sanggup mengucapkan sepatah katapun,
jelas ia sudah terkena sergapan gelap ......
Perlu diketahui, pada empat puluh tahun berselang, dikala San
hoa siancu masih perawan dulu, namanya sudah menggemparkan
dunia persilatan, itulah sebabnya dia baru termasuk juga salah
seorang dari sembilan wajah tyang tercantum dalam lukisan
tersebut.
Kehidupannya selama empat puluh tahun tentu saja bukan suatu
kehidupan yang sia-sia saja tenaga dalamnya selain sempurna, ilmu
silatnya juga luar biasa hebatnya, tak seorangpun diantara kawanan
jago yang hadir disana memikirkan masalah lainnya.
Selain daripada itu, semua orangpun tahu kendatipun Hong im
siu Sang Thong adalah jago kelas satu dalam dunia persilatan, tapi
bila dibandingkan dengan San hoa siancu Leng Cay soat, dia masih
ketinggalan jauh sekali.
Oleh karena itu, reaksi yang diperlihatkan perempuan itu
membuat semua orang merasa terkejut bercampur tercengang,
mereka betul-betul merasa tidak habis mengerti.
Hong im siu Sang Thong segera tertawa dingin, katanya :
“Jika dalam hatimu tak ada setannya, kenapa takut orang lain
berbicara ....?“
San hoa siancu Leng Cay soat mengerang marah, teriaknya :
“Bangsat, kau berani melukai orang dengan senjata rahasia,
kubacok dirimu sampai mampus.”

114
Sekali lagi dia siap menubruk kemuka.
Dengan suara yang keras menggelegar Hong im siu Sang Thong
segera membentak keras :
”Lohu akan memperingatkan dirimu, kau sudah terkena jarum
sakti Hua hiat sin ciam bila tidak segera memusatkan pikiran dan
menutup ketujuh buah jalan utamamu kemudian menelan obat
penawarku, dalam tiga jam mendatang sekujur badanmu akan
berubah menjadi darah dan tewas, bila sampai demikian
keadaannya, jangan salahkan lohu tidak memberi peringatan lebih
dulu.“
Tangannya segera diayunkan kedepan, sekilas cahaya kuning
segera meluncur keluar dari balik pakaiannya dan meluncur ke
tangan San hoa siancu Leng Cay soat.
”Cepat telan obat itu, kemudian sembuhkan sendiri luka yang kau
derita itu!“
Hua hiat sin ciam merupakan sejenis senjata rahasia beracun
yang sudah amat tersohor namanya dalam dunia persilatan, paras
muka semua orang yang berada dalam ruangan itu kontan saja
berubah sangat hebat.
Dengan kemampuan yang dimiliki San hoa siancu Leng Cay soat
pun ternyata tak berani berrtindak gegabah, dengan wajah sedih dia
lantas menelan pil pemberian Hong im siu Sang Thong dan segera
duduk bersila untuk mengobati lukanya.
Pelan-pelan Hong im siu Sang Thong menyapu sekejap sekeliling
ruangan itu, lalu berkata :
”Menurut apa yang lohu ketahui, dilapisan paling dalam lukisan
itu masing-masing tercantum tiga jurus ilmu silat yang paling
sempurna dari orang-orang yang lukisannya terpampang diatas
lukisan tersebut, barang siapa bisa mempelajari semua jurus yang
tercantum disana, maka kepandaiannya tiada tandingan lagi di dunia
ini!“

115
”Haaahh... !“ seruan tertahan menggema di seluruh ruangna,
suasana disana kontan saja berubah menjadi sangat gaduh.
Sekulum senyuman aneh segera menghiasi ujung bibir Hong im
siu Sang Thong, katanya lagi :
”Lukisan tersebut hanya ada selembar, siapakah yang akan
mendapatkannya, ini tergantung pada kepandaian silat siapa yang
paling sempurna diantara kalian semua!“
Seusai berkata dia lantas melayang naik keatas meja bundar itu
dan sambil berpeluk tangan , ia menjadi seorang penonton yang
baik.
”Ilmu silat yang maha sakti“ benar-benar merupakan suatu
pancingan yang besar sekali pengaruhnya, kawanan jago yang
dihari-hari biasa selalu menganggap tinggi dirinya itu segera
menunjukkan sinar kerakusan yang amat besar, serentak mereka
bergerak maju menghampiri lukisan tersebut.
Mendadak ada orang berteriak keras :
”Lebih baik kita jangan saling bertengkar dulu, tanya yang jelas
lebih dahulu apa benar terdapat kejadian seperti ini, kemudian kita
baru mengandalkan kepandaian masing-masing untuk menentukan
siapakah yang lebih berhak untuk mendapatkan lukisan tersebut.“
Dengan cepat, ada yang bertanya kepada San hoa siancu Leng
Cay soat :
“Harap Leng siancu bersedia untuk membuktikan kebenaran dari
itu!”
Dengan wajah yang murung Sna hoa siancu Leng Cay soat
menghela napas dan manggut-manggut.
“Benar,“ sahutnya.
Seketika itu juga seluruh ruangan dipenuhi oleh cahaya golok
bayangan pedang, angin pukulan dan bacokan telapak tangan,
suasana menjadi gaduh dan kalut tidak karuan.

116
Sambil berpeluk tangan, Hong im siu Sang Thong berdiri diatas
meja bundar dan menyaksikan pertarungan massal yang sedang
berlangsung didalam ruangan itu, senyuman bangga yang sangat
aneh, semakin menghiasi wajahnya.
Mendadak terdengar seseorang membentak keras :
“Semuanya tahan!“
Suaranya keras bagaikan geledek yang menyambar disiang
bolong, bentakan tersebut membuat semua merasa terperanjat dan
serentak menghentikan serangannya.
Orang yang berteriak dengan mempergunakan ilmu auman singa
itu tak lain adalah Sangkoan cengcu dari perkampungan Ki hian san
ceng.
Setelah menghentikan serangan, semua orang yang untuk sesaat
terpengaruh oleh ketamakan itu segera menjadi sadar kembali,
dengan cepat mereka tahu kalau sudah tertipu orang, segera meja
bundar itu dikepung kemudian melotot gusar kearah Hong im siu
Sang Thong yang masih berdiri diatas meja sambil berpeluk tangan
dan tersenyum itu.
Tiba-tiba Hong im siu Sang Thong mengusap wajahnya sendiri,
kemudian sambil menekuk pinggang dan menghembuskan napas
panjang dalam waktu singkat telah muncul kembali dengan wajah
aslinya yakni seorang kakek berkepala botak.
Tampaknya kakek botak itu sama sekali tak pandang sebelah
matapun terhadap kawanan kjago yang berada disekeliling tempat
itu, sambil tertawa terbahak serunya:
“Haaahhh.... haaahhh... haaahhh.... lohu adalah Huan im sin ang
(kakek tua bayangan setan) aku juga yang telah melukai puluhan
orang jago yang mengerubuti diriku! Aku juga orang yang hendak
kalian hadapi dalam pertemuan kali ini! Haahhh... haaahhh.... hari ini
memang aku sengaja hendak mengajak kalian bergurau, ingin
kulihat manusia macam apakah yang dikatakan sebagai jago–jago
dari golongan lurus haaahhhh.... haaahhh.... tak tahunya cuma
begitu saja, sungguh membuat hati lohu amat gembira.

117
Sebenarnya aku hendak menghadiahkan kalian sebatang jarum
Hua hiat sin ciam untuk setiap orang, tapi mengingat pertarungan
yang kalian lakukan barusan bersungguh hati dan membuat lohu
puas maka untuk sementara waktu aku akan melepaskan kalian
semua dengan selamat.
Cuma lukisan tersebut untuk sementara waktu akan lohu bawa
pergi, jika kalian merasa punya kepandaian, silahkan datang sendiri
ke bukit Thian tay san pada bulan enam tanggal enam nanti untuk
memintanya kembali, cuma bila waktunya sudah lewat jangan
salahkan jika lohu akan mengambil keputusan lain tentang lukisan
itu.“
Dari sekian banyak jago lihay yang berkumpul dalam ruangan ini,
ternyata tak seorangpun yang berkutik atau mengucapkan sepatah
katapun, mereka membiarkan Huan im sin ang mengucapkan katakatanya
sampai selesai tanpa ada yang mengganggu.
Hal ini mereka lakukan sebab barusan titik kelemahan mereka
semua telah teruar keluar, tanpa sebab mereka harus bertarung
sendiri mati-matian, kejadian itu menimbulkan rasa malu dihati
masing-masing hingga siapapun enggan juga untuk melakukan
sesuatu tindakan.
Menunggu Huan im sin ang telah menyelesaikan kata-katanya,
rasa permusuhan dalam hati mereka semua harus meledak.
Pertama-tama Cang ciong sin kiam Sangkoan Yong yang
berteriak lebih dulu dengan lantang :
“Keteledoran yang kita lakukan hari ini sungguh memalukan
sekali, mari kita bekerja sama untuk menumpas gembong iblis itu,
jangan membiarkan dia pergi dengan begitu saja ......“
Huan im sin ang segera menyeringai dan tertawa seram.
“Heeehhh... heeehhh.... heeehhhh.... lohu justru ingin sekali
melihat kalian ditertawakan orang, kalau tidak, buat jiwa anjing
kalian musti diampuni?“

118
Ujung bajunya segera dikebaskan ke depan melancarkan sebuah
pukulan yang maha dahsyat, sedemikian hebatnya serangan itu
membuat meja bundar disitu bergetar keras dan para jagoan
merasakan kuda-kudanya tergempur, tak kuasa lagi mereka mundur
ke arah dinding ruangan dengan sempoyongan .
Menyusul kemudian tangannya digapai, lukisan yang tergantung
diatas dinding itu segera otomatis melayang sendiri ke tangannya.
Sementara semua orang masih tertegun bercampur kaget, sambil
tertawa terbahak-bahak orang itu sudah membuka pintu baja dan
melangkah keluar dari situ.
Dalam waktu singkat, bayangan tubuhnya sudah lenyap dari
pandangan mata.
Sementara itu, Thi Eng khi dengan membawa rasa gusar
bercampur sedih melangkah keluar dari pintu gerbang
perkampungan Ki hian san ceng, kemudian sambil berpaling dan
melotot beberapa kejap ke arah perkampungan itu dengan gemas
dan menggertak gigi, diam-diam sumpahnya di dalam hati.
“Suatu ketika, sekalipun kalian menggunakan tandu besar yang
digotong delapan orang untuk menjemputku pun, belum tentu aku
mau datang kemari!“
Mendadak ia menyaksikan ada enam sosok manusia keluar dari
perkampungan itu, ternyata mereka adalah ketua Bu tong pay,
beserta Keng leng dan ik totiang, Ci kay taysu dari Siau lim pay, Hou
bok sin kay Cu Goan po serta si bungkuk sakti Lok It hong.
Thi Eng khi merasa cocok sekali dengan Keng hian totiang,
dengan cepat dia membalikkan badan seraya memberi hormat
katanya :
“Terima kasih banyak atas bantuan ciangbunjin selama ini aaai!
Cuma sayang ....“
“Thi ciangbunjin harap kau jangan berkata begitu, “tukas Keng
hian totiang dengan lantang. “Pinto merasa menyesal sekali tak bisa

119
mewujudkan keadilan karena itu kami berkeputusan lebih baik
mengundurkan diri saja.“
“Omitohud!“ Ci kay taysu pula dari Siau lim pay, “agaknya
kepandaian silat Thi ciangbunjin belum memperoleh warisan
langsung dari ilmu sakti Thian liong pay entah apa sebabnya bisa
demikian?“
Thi Eng khi segera menghela napas panjang.
“Aaai.... kitab pusaka Thian liong pit kip telah dibawa pergi oleh
kakekku dan tidak diketahui kabar beritanya, oleh sebab itu aku tak
bisa mempelajari semua kepandaian perguruanku.“
Secara ringkas, ia lantas menceritakan apa yang telah dialaminya
selama ini.
Ci kay taysu segera berkerut kening, setelah berpikir sejenak
katanya kemudian :
“Ketika Thi locianpwe masih hidup dulu, beliau merupakan
sahabat karib mendiang guruku, suatu hari ketika sedang pulang
dari bersiar di bukit Tay san, tanpa sengaja telah menemukan sejilid
kitab Hua tin liok, yang hingga kini masih tersimpan dalam pagoda
penyimpan kitab partai kami, apakah Thi ciangbunjin bersedia untuk
mengunjungi Siau lim si dan mempelajari dulu ilmu silat dalam kitab
Hua tin liok sebelum berkelana dalam dunia persilatan sambil
mencari jejak dari kitab pusaka Thian liong pit kip?“
Jelas, Ci kay taysu bermaksud untuk menariknya ke kuil Siau lim
si dan menghadiahkan semua kitab ilmu silat yang pernah dimilikinya
selama ini untuk Thi Eng khi serta membantunya menjadi lihay.
Tapi berhubung Thi Eng khi adalah seorang ketua dari partai
Thian liong pay maka Ci kay taysu pun menggunakan kata yang
lebih halus dan manis untuk menyampaikan maksud hatinya itu.
Keng hian totiang dari partai Bu tong segera tertawa terbahakbahak.

120
“Haaahhh.... haaahhh..... haaahhh..... perkataan dari Ci kay taysu
ada benarnya juga, sudah sepantasnya kalau Thi ciangbunjin
mempertimbangkan kembali.“
Usul ini meski sangat menggetarkan hati Thi Eng khi tapi setelah
dipikirkan berulang kali dia merasakan enggan untuk menerimanya
sebab dia sebagai seorang ketua dari partai Thian liong sepantasnya
kalau memperkembangkan ilmu silat Thian liong pay, sebelum
kepandaian itu dikuasai sepenuhnya dia tidak berniat meminjam
kepandaian aliran lain untuk menjaga nama baik Thian liong pay.
Itulah sebabnya keinginan dan pemikirannya menjadi saling
bertentangan, alis matanya berkernyit kencang dan lama sekali tak
sanggup mengucapkan sepatah katapun.
Tampaknya Hou bok sin kay Cu Goan po dari Kay pang dapat
menebak isi hatinya sambil tertawa tergelak segera bujuknya :
“Semua ilmu silat yang ada di dunia ini sumbernya adalah sama,
justru karena perkembangan dari setiap orang berbeda, maka jadilah
perbedaan antara satu dengan lainnya, harap Thi siauhiap jangan
terlalu memikirkan soal perbedaan aliran.“
Semua perkataan itu mengandung arti yang benar dan cukup
menimbulkan kesadaran orang yang dalam.
Sejak kecil Thi Eng khi memang sudah banyak membaca,
kebesaran jiwanya pun boleh dipuji, sudah barang tentu dia bukan
seorang yang kolot dan berpikiran pendek.
Tapi hari ini dia mempunyai alasan untuk bersikap kolot, sebab
orang lain terlalu menghina dan mencemooh dirinya, ilmu silat aliran
Thian liong pay juga mendapat pandangan yang sinis dimata orang
lain, kesemuanya ini membuat dia hampir saja sukar untuk menahan
diri.
Oleh sebab itu dia lantas bertekad untuk melaksanakan jalan
pemikirannya kecuali mengalami kegagalan total dikemudian hari,
kalau tidak ia bersumpah akan mengangkat nama partainya dengan
mengandalkan ilmu silat dari aliran Thian liong pay sendiri.

121
Oleh sebab itu, akhirnya ia tetap menggelengkan kepalanya
seraya berkata :
“Terima kasih banyak atas kebaikan taysu, aku sekarang harus
segera berangkat ke puncak Bon soat hong di bukit Wu san untuk
memenuhi janji, bila kesempatan dikemudian hari telah tiba, pasti
akan kukunjungi Siau lim si untuk menambah pengetahuan,
sekarang maaf kalau aku berangkat lebih dulu!“
Sambil mengeraskan hati ia tamapik kesempatan yang sangat
baik ini dan sambil membalikkan badannya berlalu dengan langkah
lebar.
Menyaksikan kepergian dari pemuda itu, tiga orang tousu,
seorang pendeta, seorang pengemis dan si bungkuk menjadi
tertegun sampai lama sekali mereka masih berdiri termangu-mangu.
Lama, lama sekali Hau bok sin kay Cu Goan po baru
mendongakkan kepala dan tertawa terbahak-bahak, serunya :
“Haaahhh.... haaahhh.... haaahhh.... selama ini pihak Siau lim
paling pelit siapa tahu kesupelannya tidak mendatangkan hasil
haaahhh.... haaahhh..... kejadian ini sungguh menggembirakan
sekali, sungguh menyenangkan sekali, aku si pengemis tua tak akan
melepaskan diri dari persoalan ini lagi.“
Tanpa menyapa orang lain lagi dia membalikkan badan dan
segera berlalu dari situ.
Si bungkuk sakti Lok It hong yang selama ini cuma membungkam
tanpa mengucapkan sepatah katapun itu, sekarang juga manggutmanggut
lalu berlalu dari situ.
Keng hian totiang dari Bu tong pay dan Ci kay taysu dari Siau lim
pay saling berpandangan sekejap sambil tertawa, kemudian mereka
segera berangkat untuk pulang ke gunung.
Sepanjang jalan Thi Eng khi melanjutkan perjalanannya, setelah
bertanya sana sini maka beberapa hari kemudian sampai juga ia di
bukit Wu san.....

122
Bukit Wu san terletak di sebelah tenggara keresidenan Wu san
sian yang termasuk dalam bilangan propinsi Suchwan dengan
pengunungan Pa san sebagai bukit yang paling tinggi, sungai Tiang
kang yang lebar membelah bukit tersebut serta menciptakan tiga
buah selat yang sangat berbahaya, salah satu diantaranya selat Wu
sia.
Konon di atas bukit Wu san semuanya terdapat dua belas buah
puncak, masing-masing adalah puncak Bong soat, Cui peng, Tiau im,
Song luan, Ki sian, Ki hok, Keng tam, Sang sin, Ki im, Hui hong dan
Teng liong.
Puncak Bong soat hong terletak disebelah utara bukit Wu san,
tinggi menjulang kjeangkasa dan megah sekali.
Suatu hari, diatas puncak Bong soat hong di bukit Wu san muncul
seorang sastrawan baju biru yang kelihatan sangat letih, orang itu
bukan lain adalah Thi Eng khi dari partai Thian liong pay.
Sejak memangku tugas berat dalam partai Thian liong dan
pengalamannya di dalam perkampungan Ki hian san ceng, membuat
Thi Eng khi banyak mengenali wajah yang sebenarnya dari kawanan
jago persilatan dari dunia persilatan saat ini, cuma dia tidak menjadi
putus asa karena kejadian tersebut, malah sebaliknya makin
menyadari bahwa tugas yang berada di atas bahunya tidak enteng.
Sekarang bukan saja dia harus membangun kembali nama baik
dari Thian liong pay, bersama itu pula dia hendak merubah keadaan
dalam dunia persilatan.
Kedatangannya ke bukit Wu san kali ini adalah demi penyakit
yang diderita oleh keempat orang supek dan susioknya, tapi ia tidak
menaruh harapan yang terlalu besar akan hal itu, terhadap kakek
botak yang mengundang kedatangannya itu dia merasa muak sekali,
dan menganggap orang itu tidak mempunyai maksud baik.
Waktu itu dia sudah berdiri diatas puncak Bong soat hong, untuk
pertama kalinya dia mengerahkan ilmu Sian thian bu khek ji gi sin

123
kang untuk berpekik nyaring dan melampiaskan semua kemurungan
yang mengeram didalam tubuhnya selama ini.
Baru selesai dia berpekik, bagaikan sukma gentangan itu tiba-tiba
kakek botak itu sudah muncul didepan matanya, dia tertawa seram
beberapa kali untuk menarik perhatian, kemudian katanya :
“Thi siauhiap benar-benar seorang yang bisa dipercaya, sungguh
membuat lohu merasa amat gembira.“
Thi Eng khi tertawa terpaksa.
“Aku dipaksa oleh keadaaan jadi mau tak mau aku harus datang
juga untuk memenuhi janji!“
Kakek botak itu kembali tertawa terbahak-bahak :
“Haaahhh.... haaahhh.... haaahhh..... aku lihat siauhiap berwajah
masam dan tak sedap dilihat, rupanya kau telah menaruh salah
paham terhadap maksud hatiku yang sebenarnya?“
“Dari Huay im sampai bukit Wu san bukan perjalanan yang bisa
ditempuh dalam satu hari,“ kata Thi Eng khi dengan kening berkerut,
“seandainya lotiang tidak bermaksud menyusahkan orang, mengapa
kau menggunakan keselamatan dari keempat orang susiok dan
supekku sebagai sandera untuk memaksa kedatanganku kemari?“
Dengan wajah yang ramah dan lembut, kakek botak itu segera
berkata :
“Siapa yang bersedia menderita, dia akan menjadi lebih dewasa,
tindakan yang kuambil ini sesungguhnya bermaksud untuk melatih
semangat siauhiap, apakah siauhiap tak dapat memahaminya?“
Karena memikirkan keadaan dari Supek dan susioknya, terpaksa
Thi Eng khi harus menahan rasa dongkolnya di hati.
“Urusan yang lewat tak usah dibicarakan lagi, tolong tanya
lotiang sudi memberitahukan kepadaku cara pengobatan tersebut.“
Kakek botak itu mengerdipkan matanya :
“Setelah lohu mengundang kedatangan sauhiap tentu saja
akupun dapat memenuhi janjiku, cuma ilmu pengobatanku itu harus
dilakukan dengan tenaga Im kang, padahal tenaga Im kang bukan

124
bisa dipelajari dalam satu dua hari saja, kebetulan lohu tinggal tak
jauh dari sini, bagaimana kalau kupersilahkan siauhiap berkunjung
kesana, tanggung didalam tiga bulan mendatang kau bisa pulang
dengan hati yang puas.“
Thi Eng khi sesungguhnya bercita-cita untuk mengangkat nama
perguruannya dengan mengandalkan kepandaian silat dari Thian
liong pay, sebelum kepandaian dari perguruannya berhasil dipelajari,
dia enggan untuk mempelajari kepandaian lainnya, sungguh tak
disangka dia harus dihadapkan kembali dengan suatu persoalan
yang menyulitkan, hal ini membuat pemuda itu menjadi tertegun.
Sebentar ia teringat kembali akan nasib dari supek dan
susioknya, tapi sebentar kemudian dia memikirkan perjuangannya
serta keinginannya untuk membangun kembali nama besar
perguruan Thian liong pay, ia tahu jika sampai dirinya terpaksa
belajar ilmu kepada lawan untuk mengobati supek dan susioknya,
belum tentu hal ini akan memenuhi keinginan mereka.
Berpikir sampai disini, tanpa terasa ia menjadi menyesal sekali
mengapa harus melakukan perjalanan ini.
Oleh karena pelbagai ingatan berkecamuk didalam benaknya,
lama sekali dia tidak mengucapkan sepatah katapun.
Menyaksikan keadaan dari pemuda itu, dengan wajah serius
kakek botak itu segera berkata :
“Seandainya Thi siauhiap ingin memunahkan pengaruh totokan jit
sat ci ditubuh supek dan susiokmu itu inilah satu-satunya jalan yang
bisa ditempuh dan tiada jalan lain lagi, harap siauhiap jangan
menyia-nyiakan kesempatan baik ini!“
Mencorong sinar tajam dari balik mata Thi Eng khi katanya :
“Siauseng ingin mengajukan suatu pertanyaan harap lotiang sudi
menjawab dengan sejujurnya.“
Kakek botak itu segera tertawa terbahak-bahak :

125
“Haaahhh.... haaahhh..... bukankah kau ingin bertanya apa
tujuanku yang sebenarnya mengundang kedatanganmu diatas
puncak Bong soat hong ini?“
“Benar!“ Thi Eng khi mengangguk “Sebenarnya apa tujuanmu?“
Kakek botak itu memperhatikan Thi Eng khi beberapa saat
lamanya kemudian menjawab :
“Ketika berada dalam perguruanmu tempo hari, aku sudah
mengetahui kalau kau berbakat bagus dan pantas mewarisi ilmu
sakti yang tercantum dalam kitab Jit sat hian im keng itulah
sebabnya kitab pusaka Thian liong pit kip yang sudah jatuh ke
tanganku pun kukembalikan kepadamu. Adapun maksudku
mengundang kedatanganmu adalah bertujuan untuk
menyempurnakan kau, inilah maksud lohu yang sebenarnya, dengan
kecerdasan yang kau miliki apakah tidak bisa kau lihat bahwa
kesempatan ini merupakan kesempatan yang paling baik sekali?
Mengapa kau tidak segera berlutut dan mengangkat diriku sebagai
gurumu? Apalagi yang hendak kau nantikan?“
Thi Eng khi segera melotot besar.
“Siauseng adalah anggota partai Thian liong pay, tidak mungkin
aku disuruh berganti perguruan lagi.“
Kakek botak itu segera tertawa terbahak-bahak :
“Haaahhh... haaahhh..... haaahhh.... selama melakukan
perjalanan dalam dunia persilatan aku mempunyai suatu tujuan yang
besar sekali, maka asal kau bersedia mengangkat diriku menjadi
gurumu, jangan toh baru menjadi ketua Thian liong pay asal kau
bercita-cita besar, lohu pun bisa membantumu untuk menjadi ketua
dari seluruh perguruan dan partai yang berada dalam dunia
persilatan saat ini!“
Selama ini Thi Eng khi terus menerus memperhatikan mimik
wajah lawan, mendadak timbul suatu kecurigaan dalam hatinya
sehingga tanpa terasa ia memandang orang itu semakin lekat-lekat,
seakan-akan pikirannya terurai dalam lamunan.

126
Itulah sebabnya dia tidak mendengar kata si kakek yang didepan,
tapi hanya mendengar kata yang terakhir saja.
Kontan saja paras mukanya berubah menjadi dingin bagaikan es,
katanya lantang :
“Kau hendak menjadi ketua dari semua partai dan perguruan
yang ada di dunia ini? Kalau begitu kau juga pembunuh yang telah
melukai serta membinasakan jago-jago lihay dari pelbagai
perguruan?“
Mula-mula kakek botak itu agak tertegun kemudian sambil
menarik muka sahutnya :
“Lohu tak ingin menjadi orang kedua dikolong langit dewasa ini,
apa pula salahnya bila kugunakan ilmu silatku yang lihay untuk
menakut-nakuti mereka? Hei, sudah tahu begitu, apalagi yang
hendak kau pertimbangkan ....? Bila tahu diri cepat berlutut dan
mengangkat diriku menjadi gurumu, lohu sudah merasa agak tak
sabar!“
Paras muka Thi Eng khi sama sekali berubah, katanya :
“Siauseng tidak bernasib sebaik itu, maaf, selamat tinggal!“
Dia lantas membalikkan badannya dan berlalu dari situ.
Kakek botak itu segera menggapaikan tangannya, segulung
tenaga hisapan tak berwujud yang sangat dahsyat segera
menghisap tubuh Thi Eng khi untuk balik kembali ke tempat semula,
serunya dengan gusar :
“Lohu dengan maksud baik ingin mendidik kau, tak kusangka
kalau kau begitu tak tahu diri!“
“Yaa, tiap orang mempunyai cita-cita yang berbeda, siapa yang
bisa memaksanya?“
Napas kakek botak itu tersengkal-sengkal keras, jelas
kemarahannya sudah memuncak, tapi alis matanya berkenyit dan
akhirnya berhasil menahan diri, dia mendongakkan kepalanya lalu
tertawa terbahak-bahak.

127
“Haaahhh.... haaahhh.... haaahhh..... apakah kau lupa dengan
luka parah yang diderita Thian liong ngo siang akibat totokan dari
ilmu jari Jit sat ci?“
“Thian liong ngo siang berbeda dengan orang biasa, sedangkan
siauseng pun hanya tahu jalan lurus dan berdiri tegak, sekalipun
selama sepuluh tahun tidak mampu menyembuhkan luka mereka,
tak nanti mereka akan menyalahkan diri siauseng.“
“Apakah kau juga lupa dengan penghinaan yang kau derita
sewaktu berada di perkampungan Ki hian san ceng?“ teriak si kakek
botak itu keras-keras, “asal kau bersedia mengangkat diriku menjadi
gurumu, tanggung didalam setahun mereka semua akan berlutut
dihadapanmu sambil minta ampun!“
Menyinggung kembali soal perkampungan Ki hian san ceng,
timbul kembali secara tiba-tiba api kemarahan yang berkobar
didalam dadanya.
Terdengar si kakek botak itu berkata lebih jauh :
“Tidak tahukah kau bahwa mereka semua adalah jago-jago
kenamaan didalam dunia persilatan? Tidak takutkah bagaimana
wajah mereka yang sebenarnya...? Aku rasa kesemuanya itu sudah
kau saksikan sendiri, tentunya kau berpikir sendiri bukan.“
Thi Eng khi semakin emosi, sepasang alis matanya sampai
berkenyit setelah mendengar perkataan itu.
Kakek itu semakin emosi, dengan memperkeras suaranya dia
berkata lebih jauh :
“Dengan mengingkari liang-sim, mereka telah merampas lukisan
Enghiong to milikmu, kemudian demi ilmu silat yang berada di balik
enghiong to tersebut mereka saling membunuh, heeehhh.....
heeehhh.... heeehhh.... itulah tampang-tampang yang sebenarnya
dari kaum lurus dalam dunia persilatan, heeehhh..... heeehhhh....“
Thi Eng khi merasa hatinya makin bergolak keras, mendadak
teriaknya keras-keras :
“Sekarang lukisan Enghiong to ku itu sudah dirampas siapa?“

128
Kakek botak tersebut tertawa terbahak-bahak.
“Haaahhh.... haaahhh.... haaahhh.... lohu selalu hanya
memikirkan dirimu, maka lukisan Enghiong to tersebut pun telah
kurampas kembali. Baik, anggap saja sebagai hadiah pertempuran
dari suhu untukmu, terimalah kembali lukisan itu!“
Dari balik sakunya dia lantas mengeluarkan gulungan lukisan
tersebut....
Lukisan itu bagaikan ada sukmanya saja, setelah berputar satu
lingkaran ditengah udara segera melayang ke tengah Thi Eng khi.
Dengan cepat Thi Eng khi menyambut lukisan itu, lalu katanya
emosi :
“Kalau begitu, Hong im siu Sang Thong adalah penyaruan
darimu!“
Inilah kecurigaan yang selalu tertanam di hati Thi Eng khi,
sekarang dia ingin mendapatkan jawaban yang sebenarnya.
“Lohu bergelar Huam im sing ang, soal ilmu menyamar mah
urusan sepele, asal kau bersedia mengangkat diriku menjadi
gurumu, akupun bisa menghadiahkan kitab pusaka Huan im poo liok
tersebut untukmu.“
“Aku tidak percaya? Aku tidak percaya!“ seru Thi Eng khi sambil
menggeleng, “Hong im siu Sang Thong berperawak tinggi besar,
soal perawakan tak mungkin bisa dilakukan hanya dengan jalan
menyaru saja.“
Huan im sin ang tertawa terbahak-bahak.
“Haaahhh.... haaahhh..... haaahhh..... jika ilmu sakti yang
tercantum di dalam kitab pusaka Jit sat hian im cing keng telah
berhasil dilatih dengan sempurna, maka soal merubah badan bisa
dilakukan sekehendak hati sendiri, jika kau tidak percaya aku akan
membuktikannya di hadapanmu....‘

129
Sambil membungkukkan badannya, tiba-tiba terdengar bunyi
gemerutuknya tulang yang amat keras bergema di angkasa, lalu
tubuhnya tiba-tiba berubah menjadi lebih tinggi beberapa kali lipat.
Senyuman segera menghiasi bibirnya, dia mengira kali ini Thi Eng
khi tak akan menaruh curiga lagi dan murid yang baik inipun pasti
akan diperoleh.
Siapa tahu Thi Eng khi segera tertawa dingin tiada hentinya :
“Semua tingkah laku dan perbuatan lotiang selama menjadi Hong
im siu sudah banyak yang siauseng saksikan, begitu banyak jago
lihay yang berada di dalam perkampungan Ki hian san ceng juga tak
seorangpun yang sanggup mengalahkan dirimu, itu menunjukkan
kalau ilmu silat yang lotiang miliki benar-benar luar biasa sekali,
cuma kau bilang mereka lupa akan keadilan dan kebenaran dengan
berbuat semena-mena, tolong tanya bagaimana pula dengan
perbuatan yang telah kau lakukan sendiri selama ini!“
Huan im sin ang merasa kecewa sekali dia tidak menyangka kalau
Thi Eng khi bakal memutar balikkan pembicaraan hanya bertujuan
untuk memakinya.
Kontan saja timbul ingatan jahat dalam hatinya, sambil
menyeringai seram katanya:
“Keparat cilik baik-baik kuberi arak kehormatan kepadamu, kau
tak mau, arak hukuman malahan yang dipilih, baik! Hari ini aku akan
memaksamu untuk mengangkat diriku menjadi gurumu, kau tidak
mau juga harus mau, kalau tidak maka jangan harap bisa tinggalkan
puncak Bong soat hong dalam keadaan selamat.“
“Hmm! Siauseng tidak takut dengan ancaman sekalipun kau
hendak membacokku sampai mati, aku juga tidak akan mengangkat
dirimu menjadi guruku!“
Tak terlukiskan kemarahan Huan im sin ang sesudah mendengar
perkataan itu, segera bentaknya:
“Bocah keparat, kau pingin mampus!“

130
Sepasang tangannya segera disentilkan bersama kedepan,
sepuluh gulung desingan angin tajam segera mengurung seluruh
jalan darah penting di tubuh Thi Eng khi.
Keadaan Thi Eng khi waktu itu ibaratnya seekor domba yang siap
disembelih, jangankan melarikan diri, bahkan ingatan tersebut belum
lagi melintas dalam benaknya dia sudah roboh terkapar diatas tanah.
Seluruh tubuh Thi Eng khi menjadi terbelenggu dan tak mampu
berkutik lagi, setelah menghela napas panjang, ia pejamkan mata
dan pasrah kepada nasib.
Begitu berhasil menguasai Thi Eng khi, Huan im sin ang masih
tetap berusaha untuk melunakkan hati pemuda itu, katanya dengan
lembut :
“Orang yang sudah mati tak bisa bangkit kembali kalau kau tetap
keras kepala semacam begini maka hasilnya hanya akan menambah
setan penasaran saja di akhirat, sekali lagi lohu memberi
kesempatan yang terakhir kepadamu, jawabanmu akan
mempengaruhi mati hidupmu!“
Thi Eng khi tetap membungkam dalam seribu bahasa, tak
sepatah katapun yang diucapkan.
Dengan suara keras, Huan im sin ang segera membentak :
“Sudah kau dengar belum ucapan dari lohu itu?“
Thi Eng khi masih tetap membungkam dalam seribu bahasa.
Huan im sing ang menjadi gusar sekali, kembali dia
mengayunkan jari tangannya, segulung desingan angin tajam segera
meluncurkan ke depan dan menghajar bahu kanan Thi Eng khi.
Sekujur badan pemuda itu segera menggigil keras, bagaikan
tercebur ke dalam gudang es saja, kontan saja seluruh badannya
menjadi kaku.
Akan tetapi dia masih tetap menggertak gigi menahan diri, tak
sepatah katapun yang diucapkan.

131
Huan im sing ang bertambah gusar lagi sehingga sekujur
badannya gemetar keras, sebuah pukulan kembali dilontarkan
membuat tubuh Thi Eng khi segera terlempar sejauh beberapa kaki
dari tempat semula.
Tubuh Thi Eng khi terkena serangan Jit sat ci dari Huan im sin
ang lebih dulu, kemudian termakan oleh pukulan tersebut, halmana
membuat napasnya menjadi lemah dan tak sanggup untuk merana
kembali.
Melihat kejadian ini, Huam im sin ang tertawa terbahak-bahak,
serunya kembali :
“Barang siapa terkena ilmu jari Jit sat ci dari lohu maka jiwanya
tak akan tertolong lagi, ditambah kalau terkena pukulan Im hong tou
kut ciang sekalipun ada dewa yang turun dari kahyangan juga tak
akan bisa menolong jiwamu, nah , silahkan saja kau rasakan
penderitaan itu!“
Seusai berkata, dia lantas membalikkan badannya dan berlalu
dari tempat itu.
Tak lama setelah bayangan tubuh Huan im sin ang lenyap dari
pandangan mata, dari atas sebatang pohon siong ditepi puncak bukit
itu melayang turun seorang hwesio berusia pertengahan, dengan
gerakan tubuh yang cepat bagaikan sambaran kilat dia sudah tiba
disisi tubuh Thi Eng khi.
Tampak airmata hwesio itu jatuh bercucuran dengan derasnya,
sedang mulutnya berguman tiada hentinya :
“Bocah wahai bocah, seandainya tidak kuturuti jejakmu
sepanjang jalan, mana mungkin kau masih bisa hidup terus?“
Dengan cepat dia membuka baju yang dikenakan Thi Eng khi,
mengeluarkan sebuah botol porselen berwarna biru, mengeluarkan
tiga butir pil dan secara berhati-hati sekali memasukkan sebutir
diantaranya kemulut Thi Eng khi, sedang dua lainnya dimasukkan
kembali kedalam botol porselen itu kemudian dimasukkan kembali ke
saku Thi Eng khi.

132
Kemudian dia membopong pemuda itu menuju kedalam sebuah
gua dibawah bukit dan membaringkannya diatas tanah.
Dengan suatu gerakan yang cepat dan memusatkan segenap
tenaga dalam yang dimilikinya, dia mengayunkan kesepuluh jari
tangannya untuk menotok tiga puluh enam buah jalan darah penting
disekujur badan Thi Eng khi.
Selesai menotok ketiga puluh enam buah jalan darah tersebut,
sinar mata si hwesio setengah umur yang semula bercahaya tajam
kini menjadi amat redup, tampaknya dia sudah banyak
mengorbankan tenaga dalamnya.
Akan tetapi ia tidak berhenti sampai disitu saja, setelah mengatur
sebentar tenaga dalamnya dan kekuatan itu sudah pulih kembali,
dengan cara yang sama kembali dia lancarkan totoknya disekujur
badan pemuda itu.
Keadaan itu secara beruntun dilakukan tujuh kali, mukanya yang
semula segar kini sudah menjadi pucat pias dan sayu, seakan-akan
dalam waktu singkat ia telah menjadi tua beberapa puluh tahun,
sedangkan air mata yang berada di sudut matanya tak pernah
mengering kembali.
Sungguh aneh dan mencurigakan sekali gerak-gerik dari hwesio
tersebut....?
Perhatian serta cinta kasihnya kepada Thi Eng khi sudah jelas
melebihi perhatian dan cinta kasih seorang pendeta terhadap
umatnya.
Apalagi jika dilihat dari tindakannya yang merogoh ke saku Thi
Eng khi serta mengeluarkan pil mestika Toh mia kim wan jelas sekali
terhadap keadaan dari pemuda tersebut.
Hwesio setengah umur yang sebenarnya gagah dan segar,
setelah mengalami banyak pengorbanan tenaga dalam berubah
menjadi lemas dan sayu sekali.

133
Akan tetapi ketika dilihatnya paras muka Thi Eng khi berubah
menjadi segar kembali, airmata sekali lagi berderai membasahi
pipinya, sementara sekulum senyuman lega menghiasi bibirnya.
Ia mendongakkan kepalanya dan memperhatikan sekejap
sekeliling gua itu, kemudian sambil berkerut kening gumamnya :
“Tempat ini bukan suatu tempat yang cocok untuk merawat luka,
tampaknya terpaksa aku harus membopongnya turun gunung.“
Maka diapun membopong Thi Eng khi dan diam-diam menuruni
bukit Bong soat hong.
Di sebuah mulut selat Wu sia, dia mencari sebuah kuil kecil yang
jauh dari keramaian manusia, lalu dibuatkan sebuah pembaringan
kecil dari bambu dan membaringkan Thi Eng khi diatasnya.
Setelah otot tubuhnya dilukai oleh Huan im sin ang dengan ilmu
totokan Jit sat cinya, kemudian termakan sebuah pukulan dahsyat
lagi, sebetulnya Thi Eng khi sudah tidak berharapan untuk
melanjutkan hidupnya, untung saja dia menyimpan obat mestika
Toh mia kim wan dalam sakunya, ditambah lagi tenaga dalam
hwesio setengah umur itu amat sempurna dimana ia berhasil
menembusi otot-otot ditubuh pemuda yang tersumbat mati oleh
totokan Jit sat ci, maka selembar jiwa pemuda itupun berhasil
ditolong dari jurang kematian.
Begitulah, dibawah perawatan yang teliti selama tujuh hari
lamanya pemuda itu baru berhasil memulihkan kembali
kesadarannya.
Akan tetapi si hwesio setengah umur itupun sudah banyak
kehilangan tenaga dalamnya sehingga berubah menjadi kurus kering
bagaikan kulit pembungkus tulang.
Sewaktu Thi Eng khi membuka matanya untuk pertama kalinya,
hwesio setengah umur itu kelihatan emosi sekali sehingga matanya
yang sayu tiba-tiba mencorong kembali sinar tajam.

134
Thi Eng khi segera melompat bangun dan duduk, sapanya
dengan wajah kebingungan :
“Mengapa aku bisa berada disini?”
Hwesio setengah umur itu segera membaringkan kembali
pemuda itu agar tetap tiduran, lalu bisiknya :
“Siau sicu, lukamu terlampau parah, lebih baik berbaringlah dulu
selama tiga hari sebelum boleh turun dari pembaringan!”
Thi Eng khi segera teringat kembali kejadian di bukit Bong soat
hong tersebut, tak kuasa lagi dia segera bertanya :
“Siansu kah yang telah menyelamatkan selembar jiwaku?”
Dengan wajah berseri hwesio setengah umur itu berkata :
“Jasa itu bukan berada di tangan siauceng sebab yang sebetulnya
menolong jiwamu adalah obat mestika yang siau sicu bawa sendiri.”
Thi Eng khi segera tertawa dengan penuh rasa terima kasih,
katanya dengan cepat :
“Sekalipun siauseng membawa obat mestika seandainya bukan
siansu yang membantuku untuk memasukkan pil itu kedalam
mulutku, selembar jiwaku juga akan tetap melayang. Itulah
sebabnya budi kebaikan dari siansu tak akan kulupakan untuk
selama-lamanya.”
Kembali hwesio setengah umur itu tertawa.
“Aaaah... hanya secara kebetulan saja kita bersua dan
membantumu, harap siau sicu jangan terlalu memikirkannya didalam
hati, sekarang cepat atur pernapasanmu satu kali, coba periksalah
seluruh badanmu apakah ada yang masih tidak sehat, kalau ada,
cepat katakan kepada siauceng, agar bisa diusahakan
pengobatannya.”
Baru saja Thi Eng khi hendak berkata lagi dia segera dicegah oleh
hwesio setengah umur itu sambil tersenyum.
Terpaksa dia memejamkan matanya dan mengerahkan Sian thian
bu khek ji gi sin kang untuk mengelilingi seluruh nadi penting dan

135
jalan darah didalam tubuhnya setelah mengitari satu kali seluruh
badannya, dia segera merasa bahwa tenaga dalamnya amat segar
dan malahan bertambah hebat beberapa kali lipat dibandingkan
sebelum terluka dulu.
Kenyataan ini segera menggirangkan hatinya, sambil melompat
bangun dia lantas menjura seraya berseru :
“Siansu benar-benar sangat lihay, bukan saja siauseng
merasakan seluruh tubuhku menjadi segar kembali, bahkan tenaga
dalamku lebih sempurna beberapa kali lipat daripada sebelum
terluka dulu ....”
Sekilas rasa kaget bercamput tercengang melintas diatas wajah
hwesio setengah umur itu, kemudian sambil berseru tertahan dia
pegang urat nadi dari Thi Eng khi dan memeriksanya, dengan suara
lirih dia berbisik :
“Siau sicu, coba aturlah tenaga dalammu mengelilingi seluruh
badan, akan siauceng periksa keadaanmu.”
Thi Eng khi menurut dan segera melakukan seperti apa yang
dikatakan itu.
Dengan cepat hwesio setengah umur itu memegang urat nadinya
dan memeriksa sebentar, tiba-tiba sekulum senyuman menghiasi
bibirnya dia lantas berkata :
“Siau sicu, kau pasti pernah menerima suatu kemukjijatan atau
pernah makan obat aneh yang bisa membantu menambah tenaga
dalammu, oleh pengaruh tenaga dalam yang sianceng salurkan ke
dalam tubuhmu, obat itu sudah mulai menunjukkan reaksinya dan
menyebar ke seluruh badan bila kau melatih lagi tenaga dalammu
selama beberapa hari maka menunggu daya kerja obat itu sudah
mulai menyebar keseluruh badan, tenaga dalam siau sicu akan
memperoleh kemajuan yang luar biasa pesatnya, terlebih dahulu
siau ceng mengucapkan selamat untukmu.”
Berkedip sepasang mata Thi Eng khi setelah mendengar
perkataan itu, setelah menatap hwesio itu beberapa saat lamanya,
diapun manggut-manggut.

136
“Keempat orang supek dan susiokku pernah memberikan empat
macam obat mestika kepadaku, tapi sayang berhubung tenaga
dalamku belum cukup sempurna maka tak sanggup membuyarkan
kerja tenaga obat tersebut, tapi menurut keempat orang supek dan
susiokku, untuk bisa menyebarkan daya kerja keempat macam obat
itu hingga meresap ke seluruh badan, maka harus dipakai ilmu Pek
hui tiau yang tayhoat, apakah kepandaian yang dipergunakan siansu
adalah .....”
“Yaa, betul! Ilmu yang siauceng pergunakan memang ilmu Pek
hui tiau yang tayhoat!”
Thi Eng khi semakin tercengang lagi, serunya :
“Pek hui tiau yang tayhoat adalah sinhoat tenaga dari aliran
Thian liong pay, darimana siancu bisa mempelajarinya ?”
Paras muka hwesio setengah umur itu agak berubah, agaknya ia
sedang merasakan gejolak perasaan yang luar biasa sekali, akhirnya
setelah mengucapkan puji syukur keagungan Sang Buddha.
“Omitohud!” dengan wajah hambar katanya :
“Seorang sahabatku dari Thian liong pay telah mewariskan ilmu
Pek hui tiau yang tayhoat kepada siauceng, sungguh tak disangka
puluhan tahun kemudian siauceng kembali mempergunakan ilmu
Pek hui tiau yang tayhoat untuk menolong siau sicu sebagai
ciangbunjin dari partai Thian liong pay, tampaknya segala sesuatu
telah diatur menurut takdirnya, betul bukan siau sicu?”
Thi Eng khi termenung beberapa saat lamanya, tiba-tiba ia
bertanya :
“Siausu darimana kau bisa tahu kalau siauseng adalah ketua dari
partai Thian liong pay?”
Menghadapi pertanyaan tersebut, hampir saja hwesio setengah
umur itu hendak membeberkan kejadian yang sesungguhnya, tapi
akhirnya ia berhasil menahan diri, katanya sambil menghela napas
panjang.

137
“Thian liong kim kiam adalah pedang dari seorang ketua Thian
liong pay, siau sicu membawa pedang tersebut berarti kau pastilah
seorang ketua dari perguruan itu!”
“Aaah! Betul, siauseng memang goblok sehingga musti
mengajukan pertanyaan tersebut.”
Sementara itu, hwesio setengah umur itu telah bertanya kembali.
“Siau sicu, apakah kau she Thi bernama Eng khi?”
Sekali lagi Thi Eng khi dibikin kebingungan setengah mati,
akhirnya sambil menatap hwesio itu lekat-lekat tanyanya :
“Siansu, sebenarnya siapakah kau?”
Hwesio setengah umur itu mengenyitkan alis matanya dan
menjawab.
“Siauceng bergelar Huang oh!”
“Tolong tanya siansu, kenapa kau bisa mengetahui begitu jelas
tentang diri siau seng?”
Huang ho siansu juga tertawa dan tidak menjawab.
Setelah termenung beberapa saat lamanya, tiba-tiba Huang ho
siansu berkata lagi :
“Siauceng bersedia menghadiahkan ilmu tenaga dalam Pek hui
tiau yang tayhoat dan ilmu pedang Thian liong kiam hoat kepada
siau sicu, apakah siau sicu bersedia untuk mempelajarinya?”
Tekad Thi Eng khi memang sebelum menjayakan nama Thian
liong pay dengan ilmu silat aliran perguruannya, dia tak akan
mempelajari kepandaian aliran yang lain, ketika mendengar kalau
Huang oh siansu bersedia mewariskan ilmu silat aliran Thian liong
pay kepadanya, ia merasakan jantungnya berdebar keras.
Tapi sebelum mengucapkan sesuatu, satu ingatan lain segera
melintas dalam benaknya, ia berpikir :

138
“Siansu yang telah menyelamatkan jiwaku ini berbicara kurang
leluasa dan banyak hal yang mencurigakan sekali, sebelum
mengambil keputusan aku harus menanyakan dulu keadaannya
sampai jelas.”
Berpikir sampai disitu, ia lantas menatap wajah Huang ho siansu
lekat-lekat, kemudian ujarnya dengan serius :
“Walaupun siauseng telah menerima jabatan sebagai ketua dari
partai Thian liong pay tapi berhubung aku masuk perguruan agak
lambat, tidak banyak yang kuketahui tentang kejadian Thian liong
pay dimasa lampau, barusan siansu bilang ada hubungan dengan
cianpwe dari partai kami, apakah kau bersedia memberi penjelasan
lebih dahulu tentang masalah ini?”
Huang oh siansu berkerut kening dan termenung beberapa saat
lamanya, kemudian berkata :
“Kejadian ini sudah berlangsung pada dua puluh tahunan
berselang, untuk sesaat sulit bagiku untuk memulai kisah ceritanya,
begini saja, bagaimana kalau siau ceng menceritakan suatu kisah
cerita saja kepadamu?”
Thi Eng khi segera mengangguk.
“Siauseng siap mendengarkan ceritamu itu.”
Huang oh siansu termenung sebentar seperti membayangkan
kembali kejadian di masa lalu, kemudian dengan suara berat katanya
:
“Dua puluh tahun berselang, dalam dunia persilatan muncul dua
orang yang berbakat bagus, kedua orang itu sama-sama berilmu
tinggi dan sama-sama gagahnya, berhubung antara nama mereka
sama-sama memakai tulisan giok maka mereka disebut sebagai Bu
lim siang giok (sepasang kemala dari dunia persilatan).”
Berbicara sampai disitu, dia melirik sekejap kearah Thi Eng khi
kemudian melanjutkan :
“Yang seorang adalah ayahmu yang bernama Lan ih cu tok
(pangeran berbaju biru) sedangkan yang satunya lagi bernama Gin
san kiam kek (pendekar pedang baju perak) Ciu Cu giok. Kedua

139
orang itu mempunyai cita-cita yang sama serta semangat yang sama
pula, kemana mereka tiba kaum sesat segera terbasmi dan nama
besar mereka makin meningkat, sehingga akhirnya jadilah manusia
yang paling kosen diantara angkatan muda.
Tetapi walaupun kedua orang itu bersahabat akrab, tapi kedua
belah pihak sama-sama tinggi hati, maka dalam hal ilmu silat, kedua
belah pihak sama-sama merasa tidak puas dan tidak takluk.
Rupanya kedua orang itu tahu bahwa hal mana merupakan
penghalang dari persahabatan mereka, maka secara berterus terang
kedua belah pihak sama-sama mengutarakan isi hatinya, bahkan
untuk menghilangkan perintang tersebut, kedua belah pihak secara
terbuka saling bertukar ilmu silatnya masing-masing, Lan ih cu tok
mewariskan ilmu Pek hui tiau yang tay hoat dan ilmu pedang Thian
liong kiam hoat kepada Gin san kiam kek Ciu Cu giok, sedangkan Gin
san kiam kek mewariskan ilmu sakti Ban liu kui tiong serta ilmu
pedang Liu soat kiam hoatnya kepada Lan ih cu tok Thi tiong giok.”
Jilid 5
Thi Eng khi segera merasakan pergolakan emosi yang luar biasa
sekali dengan sorot mata yang tajam dia awasi hwesio itu lekatlekat,
sebab dia tahu orang ini adalah salah satu diantaranya
Ayahnya dan Ciu Cu giok ....
Makin bercerita, Huang oh siansu semakin lancar lagi
sambungnya lebih jauh :
“Secara terbuka mereka saling mewariskan ilmu pedang dan
simhoat tenaga dalamnya kepada yang lain, ternyata akibat dari
perbuatan tersebut, mereka saling menaruh hormat kepada yang
lainnya, tapi siapakah lebih lemah, ingatan tersebut belum pernah
hilang dari benak mereka.
Maka pada dua puluh tahun berselang, mereka berjanji untuk
melakukan pertandingan selama tujuh hari tujuh malam didalam
sebuah hutan yang jauh dari keramaian manusia, dalam pertarungan
selama tujuh hari tujuh malam itu, ternyata terbukti bahwa kekuatan

140
mereka adalah seimbang dan sukar diketahui siapa yang menang
dan siapa yang kalah.”
Dalam benak Thi Eng khi segera terlintas satu bayangan ....
dalam sebuah hutan yang terpencil, dua orang kerabat yang masih
muda melangsungkan pertarungan selama tujuh hari tujuh malam
dalam keadaan letih, mereka masih bertarung terus dengan serunya
.....
Tak tahan lagi dia segera menghela napas panjang, katanya :
“Padahal apa perlunya berbuat begini?”
Huang oh siansu mendesah sedih.
“Aaai .... betul seandainya pada waktu itu kami bisa mempunyai
perasaan seperti siau sicu sekarang, tak akan terjadi peristiwa yang
amat tragis itu”
Thi Eng khi segera merasakan hatinya bergetar keras, apalagi bila
teringat dengan pesan terakhir dari kakeknya, bisa diduga akhir dari
pertarungan itu sudah pasti adalah suatu akhir yang amat tragis,
kemungkinan besar yang menjadi korban adalah ayahnya sendiri.
Meski kejadian ini sudah berlangsung pada belasan tahun
berselang, tapi dalam perasaannya seakan-akan kejadian itu
berlangsung didepan mata, tanpa terasa lagi dengan perasaan
tegang, serunya :
“Ooooh... akhirnya apakah mereka berhasil menentukan siapa
yang menang dan siapa yang kalah?”
Huang oh siansu tertawa getir.
“Betul, akhirnya salah seorang diantaranya berhasil menang
setengah jurus, sedangkan yang lain dikalahkan setengah jurus.”
Thi Eng khi sangat berharap kalau yang kalah bukan ayahnya,
buru-buru ia bertanya:
“Siapa yang dikalahkan setengah jurus?”

141
Huang oh siansu segera mendongakkan kepalanya dan tertawa
tergelak, tapi gelak tertawa itu membawa nada sedih yang luar
biasa, lama, lama sekali dia baru berkata:
“Siauceng menyebut diriku sebagai Huang oh (lupa diri sendiri),
bahkan tentang aku sendiripun sudah lupa, mana mungkin aku
masih ingat siapa yang menang dan siapa yang kalah!”
Seluruh wajah Thi Eng khi telah dibasahi oleh air mata, dengan
suara rendah katanya :
“Apakah cerita tersebut berakhir sampai disini saja?”
“Akhirnya orang yang kena dikalahkan itu berhubung merasa
malu terhadap perguruannya, lagipula pikirannya tak bisa terbuka,
dengan membawa malu dia menggorok leher sendiri bunuh diri,
sedangkan yang lain lagi karena sedih kehilangan teman akrabnya,
segera mencukur kepalanya menjadi hwesio!”
Mendengar sampai disitu, Thi Eng khi segera merasakan
kepalanya pusing tujuh keliling, hampir saja dia tak sanggup untuk
berdiri tegak lagi, sambil memegang ujung jubah dari pendeta itu
serunya :
“Siapakah kau orang tua yang sebenarnya?”
Dia masih berharap orang yang bunuh diri itu bukan ayahnya,
maka dia telah mengubah panggilannya dari siansu menjadi “kau
orang tua”
Setitik cahaya aneh memancar keluar dari balik mata Huang oh
siansu, dengan suara tegas, sahutnya :
“Siauceng adalah Huang oh!”
Thi Eng khi merasakan sekujur badannya gemetar keras, dengan
cepat dia menarik kembali tenaga yang mencengkeram diatas jubah
Huang oh siansu tersebut, kemudian sambil memegangi kepalanya
sendiri dia merasa murung sekali.
Dia berusaha untuk menyakini bahwa Huang oh siansu yang
berada di hadapannya adalah ayahnya sendiri, tapi bagaimanapun

142
dia mencoba untuk membayangkan ternyata sama sekali tidak
menemukan setitik alasanpun sebagai tempat berpijak.
Terutama sekali wajahnya yang kurus dan sayu itu, pada
hakekatnya sama sekali tidak cocok dengan gelarnya sebagai
seorang lelaki yang sangat tampan.
Padahal darimana dia bisa tahu kalau kesayuan wajah Huang oh
siansu itu adalah akibat dari usahanya untuk mengobati luka yang
dideritanya, karena terlalu banyak mengorbankan tenaga dalamnya
maka begitulah jadinya.
Menyusul kemudian diapun mencoba untuk membayangkan
Huang oh siansu sebagai Gin san kiam kek Ciu Cu giok.
Pertama, ia mengetahui Pek hui tiau yang tayhoat yang
dimilikinya berasal dari seorang temannya dari Thian liong pay,
maka itu berarti dia bukanlah ayahnya sendiri, kalau dia bukan
ayahnya itu berarti orang itu adalah Ciu Cu giok.
Kedua, didalam berbincang-bincang sikapnya selalu ragu dan
risau, jelas inilah penampilan dari semacam kejiwaan karena
menyesal kepada keturunan rekannya yang telah tiada.
Ketiga, dia hendak mewariskan ilmu simhoat tenaga dalam Pek
hui tiau yang tayhoat serta Thian liong kiam hoat kepadanya, sudah
pasti hal ini dimaksudkan untuk mengurangi beban perasaannya
yang terlampau menyiksa.
Atas ketiga hal tersebut diatas, Thi Eng khi lantas memutuskan
kalau Huang oh siansu sudah pasti bukan ayahnya melainkan
seorang dari Bu lim siang giok yaitu Gin san kiam kek Ciu Cu giok.
Perasaannya saat itu kalut sekali, pendeta yang berada di
hadapannya sekarang pernah menjadi sahabat karib ayahnya, dan
kini adalah tuan penolong yang telah menyelamatkan jiwanya, tapi
ayahnya justru mati ditangannya, sehingga boleh dibilang dia adalah
musuh besar pembunuh ayahnya.

143
Berpikir demikian, hampir saja dia tak sanggup mempertahankan
diri, perasaannya betul-betul menjadi amat kalut.
Untung saja, pemuda ini sudah kenyang belajar ilmu sastrawan
dan berjiwa amat besar, setelah dipikirkan lebih seksama lagi, dia
merasa Gin san kiam kek Ciu Cu giok sebetulnya juga tidak berdosa,
malah musibah yang dialaminya hampir tidak jauh berbeda dengan
apa yang dialami ayahnya.
Andaikata kedudukan kedua orang itu berbalikan, apakah dia bisa
menuduh ayahnya telah melakukan suatu kesalahan? Sedang arwah
ayahnya di alam baka, tentu tidak mengijinkan pula dirinya untuk
bersikap demikian.
Begitu pendapat tersebut melintas dalam benaknya, dia segera
merasakan dadanya menjadi lapang, rasa sedih menjadi hilang dan
kobaran api dendam yang memancar dari balik matanya banyak
yang luntur .....
Selama ini Huang oh siansu mengawasi terus perubahan wajah
Thi Eng khi dengan perasaan berat, ketika dilihatnya mimik muka
anak muda itu berubah menjadi tenang kembali, diam-diam ia baru
menghembuskan napas lega, diam-diam pujinya:
“Nak, kau berjiwa besar dan pandai menimbang berat ringannya
persoalan, kau lebih hebat daripada ayahmu dulu!”
Pelan-pelan Thi Eng khi mendongakkan kepalanya, dengan sorot
mata yang tajam tapi tulus, ia menatap wajah Huang oh siansu,
kemudian ujarnya pelan :
“Siansu, boanpwe telah tahu siapakah dirimu, meski ayahku telah
kalah setengah jurus sehingga bunuh diri, boanpwe tak berani
membuat keonaran atas dasar kejadian itu apalagi membalas
dendam, tapi kekalahan setengah jurus itu akan kurenggut kembali
disuatu saat. Sekarang ilmu silat yang boanpwe miliki belum jadi,
sulit bagiku untuk bertanding denganmu, maka berilah waktu selama
dua tahun, sampai waktunya boanpwe pasti akan minta petunjukmu
lagi disini!”

144
Sebenarnya Huang oh hwesio sedang bergirang hati karena
kebesaran jiwa pemuda itu tapi keningnya segera berkerut setelah
mendengar perkataan dari Thi Eng khi itu, diam-diam ia menghela
napas dan berpikir :
“Nak, mengapa dalam hal inipun pikiranmu tak bisa dibuka?”
Tapi diluaran ia tetap menjawab :
“Baik, dua tahun kemudian siauceng pasti akan menunggu
kedatanganmu disini!”
Setelah berhenti sebentar, terusnya :
“Sekarang sudah seharusnya siauceng mewariskan ilmu simhoat
Pek hui tiau yang dan Thian liong kiam hoat dari partai Thian liong
pay itu kepada siau sicu.”
Tadi sebenarnya terlintas dalam benak Thi Eng khi untuk
meminta petunjuk kepada Huang oh siansu tentang bagaimana
caranya membebaskan pengaruh totokan dari Jit sat ci, tapi
sekarang bukan saja ingatan tersebut sudah dilupakan, bahkan
ingatan untuk minta belajar ilmu sakti Thian liong pay pun
diurungkan, bahkan ia semakin bertekad untuk tidak pulang ke Huay
im untuk sementara waktu.
Sebab dia hendak menemukan kembali kitab Thian liong pit kip
yang telah hilang bersama lenyapnya kakeknya itu, lalu dengan
mengandalkan kekuatan sendiri untuk menegakkan kembali nama
besar Thian liong pay serta membalaskan sakit hati dari ayahnya.
Iapun bertekad untuk menampik maksud baik dari Huang oh
siansu tersebut, maka dengan sopan dia berkata :
“Budi kebaikan siansu pasti akan kubalas, boanpwe ingin mohon
diri lebih dahulu!”
Setelah menjura, dia lantas membalikkan badan dan beranjak
pergi dari sana.
Tidak menjawab pertanyaan yang diajukan, berarti penawaran itu
telah ditampik, Huang oh siansu segera tertawa paksa katanya :

145
“Siau sicu amat gagah dan perkasa, dikemudian hari pasti akan
berhasil dengan sukses, cuma contoh didepan mata sudah jelas, aku
harap sicu suka berpikir tiga kali lebih dulu sebelum mengambil
keputusan.”
Thi Eng khi merasakan hatinya bergetar keras, dia berhenti
seraya berpaling, serunya :
“Boanpwe menerima nasehat itu!”
Dalam waktu singkat, dia sudah berada hampir satu kaki jauhnya
dari tempat semula.
Tiba-tiba tampak sesosok bayangan manusia berwarna perak
muncul dari belakang sebuah batu, kemudian dengan cepat
menghadang jalan pergi Thi Eng khi.
Thi Eng khi sendiri hanya merasakan ada selapis kabut putih
melayang didepan matanya, tanpa terasa dia mundur selangkah
ketika mendongakkan kembali kepalanya, dia menjadi terbelalak
dengan wajah berubah menjadi merah.
Ternyata orang yang menghadang jalan perginya itu adalah
seorang gadis muda yang cantik jelita, rambutnya yang panjang
terurai sebahu, bajunya perak berkibar terhembus angin,
kecantikannya ibarat bidadari yang baru turun dari kahyangan.
“Thi siauhiap!” terdengar gadis itu berseru sambil berkerut
kening, “harap tunggu sebentar, siau li ingin mengucapkan beberapa
patah kata kepadamu!”
Kemudian sambil melintas dari samping Thi Eng khi, dia
menyelinap ke hadapan Huang oh siansu dan menubruk ke dalam
pelukannya.
“Oooh ayah!” pekiknya sedih, “sungguh rindu anakmu Ting-ting!”
Dengan cepat Huang oh siansu mendorong gadis itu sambil
berseru dengan gugup :

146
“Nona, jangan salah melihat orang, pinceng adalah Huang oh,
sama sekali tidak kenal denganmu!”
Noan berbaju perak itu agak tertegun, kemudian sambil
menubruk kembali ke pelukan pendeta itu, serunya :
“Ooh ayah! Semua percakapanmu dengan Thi siauhiap telah
kudengar, apakah kau benar-benar sudah lupa dengan putrimu
sendiri Ting-ting ....?”
Oleh karena suatu alasan, Huang oh siansu tidak mau mengakui
asal-usulnya dengan Thi Eng khi, sedang terhadap gadis yang
bernama Ting-ting inipun dia merasa amat rikuh, sebab dia sudah
tahu putri siapakah dia, padahal berbicara dari situasi yang sedang
dihadapinya itu, mustahil baginya untuk menyangkal.
Maka dengan perasaan apa boleh buat, pendeta itu cuma
manggut-manggut belaka.
Melihat itu, Ciu Ting ting segera berseru :
“Ibu telah memberitahukan segala sesuatunya kepada Ting ji,
ketika kau orang tua meninggalkan rumah, Ting ji baru dilahirkan
dua bulan, tentu saja kau orang tua tak akan kenal dengan Ting ji.
Tapi sekarang Ting ji telah berhasil mempelajari ilmu pedang Liu
soat kiam hoat milik kau orang tua, bila Ting ji sudah memainkan
ilmu pedang tersebut, kau orang tua pasti akan yakin jika Ting ji
bukan cuma mengaku –ngaku saja .... !”
Dalam keadaan begini ternyata Ciu Ting-ting masih bisa berpikir
secermat itu, dari sini dapat diketahui bahwa dia memang seorang
gadis yang luar biasa.
Begitulah, seusai berkata dia lantas meloloskan pedangnya,
setelah memberi hormat kepada pendeta itu, diapun mainkan ilmu
pedang Liu soat kiam hoat itu satu jurus demi satu jurus.
Selapis cahaya keperak-perakan dengan cepat membungkus
seluruh tubuhnya yang langsing itu.

147
Hawa pedang menderu-deru, angin tajam menyapu keempat
penjuru. Thi Eng khi dipaksa tak kuat berdiri tegak sehingga tanpa
terasa dia mundur beberapa langkah.
Sepasang mata Huang oh siansu berkedip-kedip seakan-akan dari
tubuh Ciu Ting ting, ia terbayang kembali bayangan tubuh dari
sobatnya yang telah tiada itu, sambil menghela napas dia lantas
bergumam :
“Terpaksa aku harus bersikap demikian!”
Dengan cepat, ia mengambil suatu keputusan aneh.
Ketika menyelesaikan ke delapan puluh satu jurus ilmu pedang
Liu saot kiam hoat itu, paras muka Ciu Ting ting masih tetap tenang,
napasnya tidak memburu, mukanya tidak merah, seakan-akan ia tak
pernah melakukan sesuatu apapun.
Huang oh siansu tidak menyangkal, juga tidak mengakui, dia
hanya tersenyum dengan mulut membungkam.
Tapi justru melihat senyuman tersebut, perasaan Ciu Ting ting
menjadi sangat lega, dengan cepat dia membaringkan diri dalam
pelukan pendeta itu.
Dengan lemah lembut, Huang oh siansu membelai rambutnya
yang lembut, kemudian katanya sambil tertawa :
“Pinceng Huang oh, panggillah aku dengan sebutan Huang oh
siansu saja!“
“Baik!“ jawab Ciu Ting ting sambil tersenyum, “pendeta memang
tak boleh punya anak, kemudian hari aku akan memanggil ayah
sebagai Huang oh siansu.“
Thi Eng khi yang menyaksikan adegan pertemuan ayah dan anak
itu kemudian membayangkan nasib yang menimpa dirinya sendiri,
tanpa terasa timbul rasa sedih dalam hatinya, ia merasakan
pandangan matanya menjadi kabur dan setetes air mata jatuh
berlinang.

148
Padahal mana ia sangka kalau Huang oh siansu sesungguhnya
adalah ayahnya sendiri, Ciu Ting ting yang sekarang sedang
mengecap kebahagiaan itulah baru seorang anak yang benar-benar
patut dikasihani.
Dengan senyuman dikulum Ciu Ting ting berjalan ke hadapan Thi
Eng khi, kemudian setelah memberi hormat katanya :
“Siaumoy Ciu Ting ting benar-benar ikut berduka cita atas
kematian empek Thi, selain itu juga memohonkan maaf bagi ayahku
atas perbuatannya di masa lalu!“
Sikapnya supel, ucapannya bersungguh-sungguh dan cukup
membuat orang merasa terharu.
Cepat-cepat Thi Eng khi menyeka air mata yang membasahi
wajahnya, kemudian sambil tertawa paksa, sahutnya :
“Ucapan Ciu lihiap terlampau serius, siaute sama sekali tidak
bermaksud untuk membenci ayahmu.“
“Sungguh?“ seru Ciu Ting ting sambil berkenyit alis.
“Siaute berbicara dengan sejujurnya.”
“Kalau begitu kau akan membatalkan juga perjanjianmu untuk
bertemu pada dua tahun kemudian?”
“Sebagai anak sudah seharusnya menjunjung nama baik orang
tua, pertemuan dua tahun kemudian tak berani siaute lupakan.”
Jawab Thi Eng khi tegas.
Dengan wajah bersungguh, Ciu Ting ting segera berseru :
“Siaute justru ingin minta petunjuk dari Thi siauhiap mengenai
persoalan ini.”
Thi Eng khi agak tertegun.
“Dalam hal apakah siaute telah berbuat tidak sepantasnya?”

149
“Thi siauhiap, tolong tanya apa yang sebenarnya hendak kau
buktikan di dalam pertemuan dua tahun kemudian?”
Thi Eng khi belum pernah berbicara dengan kaum gadis, jangan
dikata mukanya sudah memerah sedari tadi, bahkan kekosenannya
entah mengapa juga turut lenyap tak berbekas, dia hanya bisa
menggerakkan bibirnya tanpa sepotong perkataanpun yang bisa
diucapkan.
Dengan wajah sedih kembali, Ciu Ting ting berkata :
“Ayahmu dan ayahku disebut orang Bu lim siang giok,
sesungguhnya hubungan persahabatan mereka sangat karib.
Buktinya, akibat dari kematian ayahmu, ternyata ayahku juga telah
meninggalkan anak bininya untuk hidup mengasingkan diri sebagai
seorang pendeta, dari sini bisa diketahui betapa dalamnya rasa sedih
yang mencekam perasaannya.”
Setelah berhenti sebentar, kembali dia berkata :
“Hanya dikarenakan ingin menangnya sendiri, kedua orang tua
kita telah menciptakan keadaan yang begini tragis, sedang sekarang
Thi siauhiap ingin melanjutkan kembali tragedi itu dengan kejadian
lain, siaumoy yang bodoh jadi ingin bertanya, sesungguhnya apa
maksud dan tujuan siauhiap yang sebenarnya?”
Thi Eng khi merasakan pikiran maupun perasaannya menjadi
sangat kalut, untuk sesaat lamanya ia menjadi gelagapan dan tak
tahu bagaimana harus menjawab ucapan tersebut.
Terdengar Ciu Ting ting kembali berkata :
“Bila siauhiap bersikeras ingin membuktikan kalau ilmu silat aliran
Thian liong pay melebihi kepandaian ayahku, bagaimana seandainya
siaumoy mewakili ayahku mengaku kalah …..? Kalau tidak, aku
mohon dengan sangat agar kau bersedia memandang pada
hubungan persahabatan kedua orang tua itu untuk menghapuskan
masalah tersebut sampai disini saja!”
Paras muka Thi Eng khi berubah agak memucat, ia merasa setiap
perkataan dari Ciu Ting ting sangat masuk akal sekali, sehingga
pikiran sendiripun terasa menjadi ikut goyah.

150
“Thi siauhiap, apakah kau menganggap ucapan siaumoy itu tidak
bisa diterima dengan akal sehat?” terdengar Ciu Ting ting kembali
berseru dengan lantang.
Thi Eng khi adalah seorang lelaki yang berjiwa besar, bukan saja
ia mau tahu keadaan orang juga berani mengakui kesalahannya
sendiri.
Ia lantas tertawa terbahak-bahak.
“Haaahhh…… haaahhh….. haaahhh……. terima kasih banyak
nona Ciu atas nasehatmu yang telah membebaskan aku dari
kebimbangan, terimalah hormat dari siaute!“
Dengan sungguh-sungguh dia lantas menjura dalam-dalam.
Menyusul kemudian, dia pun memberi hormat kepada Huang oh
siansu sembari berkata :
“Siansu dan ayahku adalah sahabat karib bila boanpwe telah
bertindak kurang sopan tadi, harap siansu pun bersedia untuk
memaafkan.“
Huang oh siansu menjadi girang setengah mati, sebentar dia
memandang kearah Ciu Ting ting, sebentar kemudian memandang
ke arah Thi Eng khi lalu katanya sambil tertawa :
“Pinceng benar-benar merasa banyak berhutang kepada kalian!“
Sekali lagi Thi Eng khi memberi hormat.
“Boanpwe ingin mohon diri lebih dulu!”
Dengan langkah lebar, dia lantas menuruni bukit.
Dengan cepat, Ciu Ting ting memburu ke depan seraya berseru :
“Thi siauhiap, kalau memang kau sudah menyadari, mengapa
tidak mempelajari Pek hui tiau yang dan Thian liong kiam hoat lebih
dahulu sebelum pergi!”

151
Thi Eng khi tidak berbicara apa-apa lagi, tanpa berpaling dia
melanjutkan perjalanannya ke depan, dalam waktu singkat
bayangan tubuhnya sudah lenyap dari pandangan.
Melihat itu, Ciu Ting ting segera bergumam :
“Aaai …. dia ….. dia pergi juga sambil mengeraskan hatinya!”
“Seandainya Thi siauhiap tetap tinggal di sini, pinceng juga tak
akan mewariskan apa-apa kepadanya,” ujar Huang oh siansu,
“kepergiannya ini justru merupakan pilihan yang paling tepat,
pinceng malah merasa kagum sekali kepadanya!”
“Dia bakal ke mana?” tanya Ciu Ting ting dengan perasaan agak
kuatir.
“Bila dugaan pinceng tidak salah, kemungkinan besar dia sedang
pergi mencari kitab pusaka Thian liong pit kip perguruannya.”
Sesungguhnya Huang oh siansu memang menaruh rasa sesal
terhadap keturunan sahabat karibnya ini, maka ketika dilihatnya
gadis itu seperti menaksir putranya, sekulum senyuman riang segera
tersungging diujung bibirnya.
Dengan gerakan yang amat cepat Thi Eng khi menuruni bukit Thi
san dan melanjutkan perjalanannya dengan menelusuri sungai Tiang
kang.
Sepanjang perjalanan, pelbagai pikiran berkecamuk dalam
benaknya, ia merasa bisa jaya atau tidaknya partai Thian liong pay
tergantung pada berhasil atau tidaknya ia menemukan kembali kitab
pusaka Thian liong pit kip tersebut.
Sedang satu-satunya kemungkinan untuk berhasil mendapatkan
kembali kitab pusaka Thian liong pit kip adalah menuju keluar
perbatasan dan mengunjungi Tiang pek lojin yang diminta kakeknya
untuk menyampaikan pesan terakhirnya itu ……
Maka diapun bertekad untuk berangkat keluar perbatasan dan
untuk sementara waktu tidak kembali ke kota Huay im.

152
Pengalaman pahit di perkampungan Ki hian san ceng serta mara
bahaya yang dialaminya di bukit Bong soat hong, membuat
pengetahuan serta pengalamannya semakin bertambah.
Sepanjang jalan dia selau berusaha untuk bertindak hati-hati dan
menghindari segala kejadian yang tak diinginkan, benar juga,
dengan lancar akhirnya tibalah dia di Si hong ko.
Asal dia sudah melampaui tembok besar maka wilayah tersebut
sudah disebut sebagai luar perbatasan.
Pada saat yang bersamaan dengan tibanya Thi Eng khi di kota So
hong ko, seorang pendeta dan seorang tosu yang mencurigakan
gerak-geriknya bermunculan pula di sekitar pemuda itu sambil diamdiam
menguntit perjalanan anak muda tersebut.
Thi Eng khi langsung mencari rumah penginapan untuk
beristirahat, seusai makan malam dia memanggil pelayan untuk
mencari keterangan tentang luar perbatasan serta seseorang yang
bernama Tiang pek lojin.
Ternyata Tiang pek lojin mempunyai nama yang amat tersohor di
luar perbatasan, hampir setiap orang mengetahui namanya dan
setiap orang tahu siapakah dirinya.
Mengetahui akan hal itu, Thi Eng khi menjadi tidak kuatir kalau
tak sampai bertemu dengan Tiang pek lojin, maka saking girangnya
semalaman ia hampir tak bisa tidur.
Keesokan harinya. sebelum fajar menyingsing, ia sudah
melangkahkan kakinya di luar perbatasan.
Perasaannya waktu itu selain agak terpengaruh emosi, juga
merasa agak kuatir.
Emosi karena tujuannya hampir sampai dan kabar berita tentang
kitab pusaka Thian liong pit kip juga segera akan terungkap.

153
Ia kuatir karena tak tahu manusia macam apakah Tiang pek lojin
itu? Apakah dia juga seperti orang kenamaan yang pernah
dijumpainya dalam perkampungan Ki hian san ceng, meski bernama
besar tapi sombongnya bukan kepalang, andaikata memang
demikian, itu berarti tipis harapan baginya untuk bisa mendapatkan
kembali kitab pusaka Thian liong pit kip tersebut.
Begitulah, dengan perasaan yang gundah dan pikiran yang kalut,
entah beberapa jauh ia sudah melanjutkan perjalanannya.
Mendadak terdengar seseorang menegur dengan suara yang
serak tua :
“Siauhiap memakai jubah baju biru dan menyoren pedang Thian
liong kim kiam, apakah kau adalah anak murid Thian liong pay?“
Mendengar teguran itu, Thi Eng khi merasa terperanjat, ia tidak
segera menjawab melainkan mengamati orang tersebut dengan
sinar mata yang tajam.
Tampak olehnya orang yang berbicara itu berperawakan tinggi
besar, berwajah merah bersinar dan berambut memutih semua,
matanya tajam bagai sembilu, jelas merupakan seorang jago silat
yang berilmu tinggi .....
Dengan cepat, Thi Eng khi menjawab :
“Aku adalah ketua Thian liong pay Thi Eng khi, tolong tanya
siapakah nama lotiang?“
Mencorong sinar tajam dari balik mata kakek tersebut setelah
mendengar perkataan itu, dengan kejut bercampur girang, serunya
tertahan :
“Oooh..... rupanya kau adalah Thi ciangbunjin dari partai Thian
liong pay yang namanya menggetarkan daratan Tionggoan, aku si
orang tua adalah Tam ci toa tiau (rajawali besar bersayap tunggal)
Ting Tian yu ......! Maaf bila aku bersikap kurang hormat!“
Sikapnya segera berubah menjadi amat serius.

154
Thi Eng khi menjadi agak curiga, dia merasa tingkah laku dari
Tam ci toa tiau Ting Tian yu terlampau berlebih-lebihan, sebab
menurut pengalamannya, tak mungkin orang akan bersikap begitu
hormat terhadap seorang ketua dari Thian liong pay yang sudah
daluwarsa.
Maka diapun tidak berbicara apa-apa lagi selain mendengus
dingin.
Siapa tahu, wajah Tam ci toa tiau Ting Tian yu segera
menunjukkan sikap yang amat gelisah, buru-buru tanyanya lagi :
“Cianbunjin, persoalan apa yang membuatmu tak senang hati?“
Sikapnya tampak malah semakin menaruh hormat lagi, seakanakan
kuatir kalau sikapnya itu kurang hormat.
“Ting tayhiap, apakah kau sedang bermain sandiwara
dihadapanku?“ tegas Thi Eng khi dengan wajah dingin.
Tam ci toa tiau Ting Tian yu adalah seorang anak buah Tiang pek
lojin yang mempunyai kedudukan yang cukup tinggi. Selain itu, dia
juga memiliki iman yang tebal. Dengan cepat dia sadar bahwa Thi
Eng khi terlalu banyak curiga.
Maka sambil menghela napas katanya :
“Semua jago persilatan yang berada di luar perbatasan hampir
sebagian besar menaruh hormat kepada partai anda, puluhan tahun
bagaikan sehari ..... aaai! Harap siauhiap jangan salah paham, aku
sama sekali tidak mempunyai maksud lain!“
Thi Eng khi menjadi tertegun setelah mendengar perkataan itu,
katanya kemudian :
“Kalau didengar dari perkataan Ting tayhiap, rupanya kalian
sudah mengetahui jelas atas semua musibah yang menimpa partai
kami di wilayah Tionggoan?“
“Tangcu kami sangat menaruh perhatian terhadap situasi dalam
dunia persilatan, oleh sebab itu seringkali kami mengutus orang
untuk mencari tahu situasi dalam dunia persilatan, akulah yang

155
sebenarnya ditugaskan untuk menyambut kedatangan Thi
ciangbunjin.“
Mencorong sinar aneh dari balik mata Thi Eng khi yang terbelalak
besar katanya :
“Siapakah Tangcu kalian? Mengapa dia menaruh perhatian
khusus kepadaku?“
“Tangcu kami adalah orang yang hendak dikunjungi Thi
ciangbunjin dalam perjalanan kali ini.“
Dengan cepat Thi Eng khi berpikir :
“Jangan-jangan Tiang pek lojin sudah mengetahui akan maksud
kedatanganku? Maka dia sengaja menggunakan cara begini untuk
menyumbat dulu mulutku sehingga aku merasa sungkan untuk
meminta kembali kitab pusaka Thian liong pit kip tersebut? Hmmm!
Kali ini aku tak akan mempedulikan soal peraturan dunia persilatan.”
Padahal dia sama sekali tidak memahami peraturan dunia
persilatan, apa yang terpikir olehnya sekarang tak lebih hanya suatu
reaksi belaka .....
Setelah termenung sebentar, katanya kemudian :
“Ooh.....! Rupanya Ting tayhiap adalah orang yang diutus Tiang
pek lojin untuk menyambut kedatanganku, sungguh membuat hatiku
terharu sekali.“
“Tangcu kami lebih dikenal orang luar perbatasan sebagai It tek
ang, sedangkan sebutan Tiang pek lojin sudah jarang sekali
dipergunakan lagi,“ Tam ci toa tiau Ting Tian yu menerangkan.
Terhadap manusia yang bernama It tek ang ini Thi Eng khi boleh
dibilang tidak begitu mengerti, tapi menggunakan julukan “It tek“
(budi luhur) sebagai julukannya sesungguhnya dirasakan sebagai
sesuatu takabur, maka dalam hati kecilnya segera timbul perasaan
antipatik hingga tanpa banyak berbicara lagi, dia melanjutkan
perjalanan dengan langkah lebar.

156
Si rajawali besar bersayap tunggal Ting Tian yu juga tidak
berkata apa-apa lagi, dengan kencang dia mengikuti dibelakangnya.
Kurang lebih sepertanak nasi kemudian, perjalanan sudah
dilakukan cukup jauh, tapi sepatah katapun mereka tidak berbicara.
Mendadak dari kejauhan sana tampak debu membumbung tinggi
ke angkasa, menyusul kemudian tampak seekor kuda dilarikan
kencang melaju ke arah mereka.
Dalam waktu singkat, ia sudah berada di depan Thi Eng khi
berdua, belum lagi kudanya berhenti, sesosok bayangan manusia
sudah melompat meninggalkan pelana, kemudian dari tengah udara
terdengar seseorang berseru dengan nyaring :
“Paman Ting, bocah muda inikah orangnya?“
Ternyata yang muncul adalah seorang nona yang berwajah cantik
tapi binal, wajahnya yang keras menunjukkan bahwa dia seorang
gadis yang tidak takut langit tidak takut bumi.
Mendengar dirinya dipanggil “Siaucu“ Thi Eng khi merasa
mendongkol sekali, dengan kening berkerut dia lantas melengos
kearah lain dan enggan bertemu dengannya.
Tam ci toa tiau Ting Tian Yu membuat muka setan kepada nona
itu, lalu menggerakkan tangan memberi kode, setelah itu dengan
suara berat sengaja serunya :
“Bocah perempuan, makin lama semakin tak tahu adat, Thi
siauhiap adalah seorang ketua dari suatu partai persilatan, berani
betul kau bersikap kurang ajar!“
Karena didengarnya nona itu sudah ditegur, Thi Eng khi merasa
rikuh sendiri, maka buru-buru ia berpaling sambil bersiap-siap
hendak menjumpainya.
Tampak nona binal itu telah berseru sambil menarik muka :
“Di luar perbatasan, sebutan “Siaucu“ masih lebih terhormat dan
hangat daripada sebutan tayhiap. Hei! Menurut kau, lebih baik
kusebut dirimu sebagai siauhiap atau Siaucu?“

157
Agaknya Thi Eng khi tidak menyangka kalau pihak lawan begitu
terbuka dan terang-terangan, untuk sesaat dia menjadi gugup
sendiri dan tak tahu apa yang musti dilakukan.
Setelah tertegun dengan perasaan apa boleh buat, dia baru
berkata :
“Aku ....... aku ..... terserah pada nona sendiri mau menyebut apa
kepadaku ....“
Ketika dilihatnya Thi Eng khi mendapat malu, Tam ci toa tiau Ting
Tian yu segera tertawa terbahak-bahal.
“Thi ciangbunjin, mari kita perkenalkan.”
Sambil menarik nona itu, terusnya :
“Dia adalah cucu kesayangan Tangcu kami, orang menyebutnya
Pek leng siancu So Bwe Leng, nona So!”
Tidak menunggu Tam ci toa tiau Ting Tian yu memperkenalkan
Thi Eng khi, dengan cepat Pek leng siancu So Bwe leng telah berseru
lebih dahulu :
“Kau adalah cucunya Keng thian giok cu Thi yaya dari partai
Thian liong pay, anaknya paman Thi dan ketua partai saat ini Thi
Eng khi Thi siauhiap! Betul bukan?”
Di tengah gelak tertawa merdunya, dia lantas melompat naik
keatas kudanya dan membedalnya kencang-kencang.
“Paman Ting!” terdengar ia berseru keras “Kau tak boleh sampai
kurang hormat terhadap tamu, aku akan berangkat duluan!”
Dalam waktu singkat, bayangan tubuhnya sudah lenyap dari
pandangan mata.
Tam ci toa tiau Ting Tian yu segera menuntun dua ekor kuda
yang dibawa oleh si nona tadi, kemudian sambil menyerahkan
seekor kuda berbulu hitam kepada Thi Eng khi, katanya :

158
“Kuda ini kuda mestika Meh giok poo be milik tangcu kami, mari
kita lanjutkan perjalanan siauhiap!”
Sikapnya terhadap pemuda itu tampak lebih akrab lagi.
Thi Eng khi bukanlah seorang yang mengerti soal kuda, dia
mengira ucapan dari Tam ci toa tiau Ting Tian yu hanya merupakan
suatu penampilan bahwa Tiang pek lojin amat menaruh hormat
kepadanya.
Dasar pemuda itu memang sudah menaruh benih curiga,
sebelum bersua sendiri dengan Tiang pek lojin, dia enggan banyak
bicara, maka tanpa banyak basa basi lagi dia melompat naik keatas
kuda Meh giok poo be yang dibilang mestika itu.
Benar juga, Thi Eng khi segera merasa bahwa kuda itu dapat
bergerak dengan cepat dan enteng sekali, untuk mengimbangi
kecepatan lari kudanya itu, ternyata kuda yang ditunggungi Tam ci
toa tiau Ting Tian yu harus dilarikan sekencang-kencangnya.
Setelah ada bukti tersebut, walaupun Thi Eng khi tidak memiliki
pengetahuan tentang kuda, dia dapat juga mengetahui kalau kuda
itu memang benar-benar bukan kuda sembarangan.
Tanpa terasa segera pujinya :
“Sungguh seekor kuda jempolan yang sangat hebat!”
Sambil tertawa Rajawali besar bersayap tunggal Ting Tian yu
berkata lagi :
“Siauhiap, bila kau ada minat, apa salahnya untuk melarikan kuda
itu secepat-cepatnya untuk mencoba sampai dimanakah kehebatan
kuda mestika ini?”
Thi Eng khi menjadi sangat tertarik, dengan cepat dia
menghempit kakinya kencang-kencang dan mencemplak kudanya,
diiringi suara ringkikan panjang dengan cepat kudanya membedal ke
depan dengan amat cepatnya.
Setelah dicoba, ia baru kaget bercampur kagum, serunya dihati :

159
“Ooooh.... ternyata yang dinamakan kuda mestika yang bisa lari
seribu li dalam sehari bukan cuma kata-kata bualan didalam buku
bacaan saja ......”
Setelah dilarikan sekian waktu, bayangan tubuh Tam ci toa tiau
Ting Tian yu yang berada di belakang ternyata sudah lenyap dari
pandangan mata.
Thi Eng khi segera menarik tali les kudanya dan memperlambat
lari kuda itu, maksudnya hendak menunggu kedatangan Tam ci toa
tiau Ting Tian yu.
Siapa tahu sekalipun sudah ditunggu sekian waktu, yang
ditunggu-tunggu belum nampak juga sementara bayangan kota
sudah kelihatan di depan sana, maka diapun melarikan kudanya
menelusuri jalan raya kota itu.
Waktu itu adalah saat ramai-ramainya orang berlalu lalang dalam
kota tadi, entah kenapa secara tiba-tiba suasana menjadi sangat
hening, semua orang yang berada disekeliling tempat itu
menunjukkan sikap yang amat menghormat sekali, sementara
mereka yang kebetulan berada ditengah jalan segera menyingkir
kesamping sambil membungkukkan badan memberi hormat.
Thi Eng khi mengira dari belakangnya muncul seorang pembesar,
buru-buru dia berpaling, tapi disana tak nampak seorang
manusiapun.
Dengan perasaan bingung, ia lantas berpikir :
“Mungkinkah mereka menunjukkan sikap menghormat karena
aku adalah seorang ketua dari Thian liong pay? Mungkinkah nama
Thian liong pay meskipun dicemooh didaratan, tapi masih dihormati
oleh orang-orang luar perbatasan?“
Ia merasa hal ini mustahil, sehingga tanpa terasa menggelengkan
kepalanya berulang kali.
Mendadak ia seperti menyadari akan sesuatu, segera berpikir
lebih jauh :

160
“Aah! Benar, Meh giok poo be adalah kuda tunggangan It tek
ang! Tampaknya kedudukannya It tek ang di luar perbatasan selain
disanjung dalam dunia persilatan, juga dihormati oleh setiap
penduduk.”
Dia tak ingin membonceng ketenaran orang maka buru-buru dia
melompat turun dari kuda dan berjalan sambil menuntun kuda
tunggangannya itu.
Setelah menembusi sebuah jalan raya, sampailah pemuda itu
didepan sebuah rumah makan, sementara ia sedang
mempertimbangkan apakah akan menunggu kedatangan Tam ci toa
tiau atau tidak, tiba-tiba sesosok bayangan manusia berkelabat
lewat.
Tahu-tahu So Bwe leng sudah muncul di depan matanya, dengan
serius dia lantas berseru :
“Thi ciangbunjin, silahkan masuk ke dalam untuk beristirahat!”
Seorang pemuda baju hijau segera muncul untuk menyambut
kuda Meh giok poo be itu.
Thi Eng khi tak enak untuk menampik, maka dia lantas masuk
kedalam rumah makan itu.
Dalam rumah makan tersebut telah disiapkan hidangan yang
lezat sekali.
Thi Eng khi dipersilahkan untuk duduk di kursi utama, sementara
So Bwe leng menemaninya di samping.
Kali ini So Bwe leng sangat jarang berbicara, bukan saja sopan
santun, sikapnya juga amat menaruh hormat, bagaikan sikap
seorang dayang terhadap majikannya.
Thi Eng khi merasa canggung sekali dalam suasana begini, ia
merasa gerak geriknya menjadi tidak bebas.
Untung saja pada saat itulah Tam ci toa tiau Ting Tian yu
berjalan masuk, terdengar ia tertawa terbahak-bahak.

161
“Haahhh…. Haaahhh…. haahhh…. Hian titli kalau yayamu sampai
tahu kalau kau sedang mempermainkan Thi siauhiap, jangan
salahkan aku jika kau dicaci maki habis-habisan!”
Sambil berkata dia lantas berjalan ke samping meja dan duduk
disitu.
“Aah, dia kan seorang ketua dari suatu perguruan besar,” seru So
Bwe leng dengan cepat, “kalau aku tidak menaruh hormat
kepadanya, apakah ia tidak akan mentertawakan orang persilatan
diluar perbatasan yang pasti dibilangnya tak tahu sopan santun.”
Seraya berkata, dengan sepasang biji matanya yang jeli, dia
awasi Thi Eng khi lekat-lekat.
Menghadapi situasi semacam ini, Thi Eng khi menjadi amat rikuh.
Katanya kemudian smabil tertawa :
“Entah kesalahan apakah yang telah kuperbuat terhadap nona?
Harap nona suka memberi petunjuk, lain kali pasti akan
kuperhatikan secara baik-baik.”
Sambil mengerdipkan sepasang matanya yang besar, So Bwe
leng segera berkata :
“Kecuali kalau dengan tulus iklas kau bersedia dipanggil sebagai
Siaucu (bocah keparat) olehku, kalau tidak, aku akan selalu
menganggap kau bagaikan malaikat!“
Rupanya dia masih dikarenakan rasa dongkolnya di tengah jalan
tadi, atau mungkin saja dia memang mempunyai tujuan lain.
Tampaknya Thi Eng khi benar-benar merasa takut dengan
permainan nona itu, terpaksa katanya sambil tertawa :
“Jika nona So lebih suka memanggil Siaucu kepadaku, panggillah
dengan sebutan Siaucu!“
So Bwe leng menjadi girang sekali ketika dilihatnya pemuda itu
sudah takluk, katanya sambil tertawa :
“Tidak berani, tidak berani ....“

162
Tam ci toa tiau Ting Tian yu kuatir nona itu menggoda lebih jauh,
buru-buru dia mengambil mangkok dan sumpit seraya berkata :
“Hayolah bersantap dulu! Kita masih harus melanjutkan
perjalanan jauh!“
Sambil tertawa terbahak-bahak So Bwe leng segera
menghadiahkan sepotong babi gemuk kepadanya.
“Silahkan! Silahkan!“ serunya .
Selama hidup Thi Eng khi paling tidak doyan babi. Tapi sekarang
mau tak mau dia mesti telan babi itu dengan kening berkerut
sekalipun.
Ia sudah pernah merasakan kelihayan nona cilik itu, dia tak
berani mencari gara-gara lagi dengannya.
Begitulah, sepanjang jalan Thi Eng khi harus selalu bersikap hatihati,
apalagi menghadapi So Bwe leng yang sering menggodanya.
Sepuluh hari perjalanan kemudian, akhirnya sampai juga mereka
di tempat tujuan.
Benteng keluarga So bukan suatu kota yang terlampau besar,
tapi kedudukannya diluar perbatasan hampir setaraf dengan
kedudukan Bu tong pay dan Siau lim pay didaratan Tionggoan.
Sebab disinilah tempat tinggal It tek ang (Tiang pek lojin) So
Seng pak yang merupakan pemimpin umat persilatan di luar
perbatasan.
Benteng keluarga So letaknya di luar kota sebelah barat daya,
waktu itu benteng terbuka lebar, beratus orang anggota benteng
berbaris rapi dikedua belah sisi jalan.
Thi Eng khi sekalian dengan melewati sambutan yang meriah
langsung menuju ke pintu benteng dan turun dari kuda.

163
Seorang kakek berusia lima puluh tahunan dengan senyuman
dikulum segera menyambut kedatangan mereka.
“Ayah!” teriak So Bwe leng sambil memburu ke depan,”aku telah
menyambut kedatangan Thi siauhiap!”
Tak usah disinggung lagi, kakek itu bukan lain adalah ayah So
Bwe leng, Na im siusu (sastrawan penggaet awan) So Ping gwan
adanya.
Thi Eng khi segera memburu ke depan beberapa langkah, setelah
memberi hormat katanya :
“Sikap dari empek sungguh membuat boanpwe merasa malu
sendiri!”
Ternyata di dalam perjalanan sepuluh hari ini, Thi Eng khi telah
mendapat tahu kalau It tek ang So Seng pak adalah sahabat
karibnya Keng thian giok cu selama puluhan tahun, ketika
mengetahui dunia persilatan mencemooh partai Thian liong pay yang
hancur, So Seng pak merasa mendongkol sekali.
Oleh sebab itu, semua kecurigaan yang semula mencekam
perasaannya seketika tersapu lenyap.
Sementara Na im siusu So Ping gwan sambil menggandeng
tangan Thi Eng khi segera berseru dengan senyuman dikulum :
“Silahkan masuk siauhiap, ayahku sedang menantikan
kedatanganmu dalam ruang dalam!”
Sambil berkata dia lantas membalikkan badan dan berjalan
duluan.
Setelah masuk ke dalam ruangan, Thi Eng khi menyaksikan
diatas kursi kebesaran duduk seorang kakek berambut putih yang
berperawakan tinggi besar dan berwajah keren.
Ketika kakek itu menyaksikan kedatangan Thi Eng khi, dengan
perasaan tergetar keras segera bangkit berdiri.

164
Buru-buru Thi Eng khi maju ke depan sambil memberi hormat,
serunya dengan pelan :
“Boanpwe Thi Eng khi menjumpai So yaya!”
It tek ang So Seng pak segera menahan bahu Thi Eng khi dan
tidak membiarkannya menyembah, setelah mempersilahkan duduk
dan mengamati wajahnya beberapa saat, tiba-tiba ia menghela
napas panjang, katanya :
“Meski Thi lo gagah perkasa, sungguh tak nyana pada akhirnya
dia telah melakukan juga suatu kesalahan besar. “
“Kakekku telah melakukan kesalahan apa?” tanya Thi Eng khi
dengan perasaan terkejut.
It tek ang So Seng pak segera tertawa.
“Maksud lohu, bila ia tahu kalau cucunya sehebat ini, maka
seharusnya dia tidak merasa putus asa ....’
Thi Eng khi baru memahami maksud kakek tersebut, setelah
mendengar perkataan itu buru-buru katanya :
“Boanpwe bodoh dan tak becus, tidak pantas mendapat pujian
dari kau orang tua, sesungguhnya ketika kakek meninggalkan
rumah, boanpwe belum dilahirkan ....”
“Aaah.... rupanya begitu!”
Setelah berhenti sebentar, lanjutnya :
“Jauh-jauh siauhiap datang kemari, apakah kau ingin
menyaksikan masalah kakekmu?”
“Benar!” jawab Thi Eng khi sambil mengangguk, “menurut wasiat
kakek, boanpwe tidak seharusnya terjun kembali ke dunia
persilatan.....”
“Itulah kesalahan kakekmu,” sela It tek ang So Seng Pak,
“seandainya waktu itu dia tahu kalau dirinya bakal mempunyai cucu
seperti kau, sudah pasti tindakan yang diambilnya akan berbeda.”

165
Secara ringkas Thi Eng khi lantas menceritakan apa yang
dialaminya bersama Thian liong ngo siang, bagaimana dia diangkat
menjadi ketua, bagaimana menemukan kitab Thian liong pit kip telah
dibawa kakeknya dan lain-lain.
Mendengar cerita tersebut, It tek ang So Seng pak segera
tersenyum, katanya :
“kalau begitu, selain mencari tahu kabar berita kakekmu, kau
juga bermaksud untuk mencari kitab pusaka Thian liong pit kip yang
hilang itu ....?”
“Benar!” Jawab Thi Eng khi berterus terang, “boanpwe memang
datang karena persoalan itu, mohon So yaya suka memberi petunjuk
kepada diri boanpwe....”
It tek ang So Seng pak segera menghela napas panjang, katanya
:
“Thi siauhiap, tahukah kau akan hubungan lohu dengan kakekmu
itu.....”
Ketika Thi Eng khi mendengar It tek ang berulang kali
memanggilnya dengan sebutan siauhiap lama kelamaan ia merasa
canggung juga, tak tahan segera tukasnya :
“So yaya, bila kau tidak memandang asing diriku, harap
memanggil boanpwe dengan sebutan nama saja.”
It tek ang segera tertawa tergelak.
“Haahhh..... haaahhhh.... haaahhh.... kalau kau sendiri selalu
menyebut diri sebagai boanpwe, bagaimana mungkin aku bisa
memanggil dirimu dengan sebutan yang lebih rapat?”
Thi Eng khi merasa perkataan itu ada benarnya juga, maka
dengan wajah memerah buru-buru serunya minta maaf.
“So yaya, Eng ji tahu salah!”
Baru saja dia minta maaf, So Bwe leng tahu-tahu sudah
menyelonong masuk ke dalam ruangan sambil menubruk ke dalam
pangkuan kakeknya dia berseru manja :

166
“Yaya, diapun selalu menganggap diriku sebagai orang luar!”
It tek ang segera tertawa terbahak-bahak.
“Haaahhh.... haaahhh.... haaahhhh.... budak ingusan, kau
pandainya cuma menggoda orang, kenapa kau tidak memanggil
engkoh dulu kepadanya?”
Mendengar perkataan itu, Thi Eng khi tak ingin kurang hormat
lagi, maka buru-buru serunya :
“Adik Leng”
Buru-buru So Bwe leng memberi hormat seraya memanggil pula
dengan merdu :
“Engkoh Eng!”
Sambil memegangi tangannya kakeknya dia mengawasi wajah
pemuda itu, sedang sikapnya juga secara tiba-tiba menjadi alim dan
sopan santun .....
It tek ang segera tertawa kepada Thi Eng khi ujarnya lebih jauh :
“Ketika lohu baru terjun ke dunia persilatan aku telah berkenalan
dengan kakekmu dikota Hang ciu, karena saling mengagumi, kami
melakukan pertandingan ilmu silat selama sepuluh kali dan mengikat
diri menjadi sahabat. Kemudian lantaran lohu mengagumi ilmu silat
kakekmu yang lebih lihay setingkat daripada kepandaian lohu, secara
sukarela aku mengundurkan diri keluar perbatasan dengan harapan
bisa berjuang di sana, puluhan tahun perjuangan akhirnya
menghasilkan seperti apa yang kuperoleh sekarang ...... selama
sepuluh tahun ini hubungan persahabatan kami masih berlangsung
dengan akrab dan hangat .....”
Sesudah menghela napas panjang, terusnya :
“Dua puluh tahun berselang, lohu mendapat kabar kalau
kakekmu tiba-tiba pergi meninggalkan rumah tanpa diketahui sebab
musababnya, baru saja aku akan mengutus orang untuk menyelidiki
peristiwa ini, mendadak datang seorang penduduk disekitar tempat
ini yang menyerahkan sebuah bungkusan, ketika kubuka bungkusan

167
tersebut, ternyata isinya adalah barang peninggalan dari kakekmu
....”
“So yaya, jadi kau sama sekali tidak berjumpa dengan kakekku?”
sela Thi Eng khi.
It tek ang menghela napas panjang, katanya lagi :
“Kakekmu menyuruh penduduk asli tersebut menyampaikan
pesan yang meminta lohu menghantar bungkusan tersebut kembali
ke partai Thian liong pay didaratan Tionggoan, waktu itu aku segera
berangkat bersama penduduk asli itu untuk menuju ke tempat
pertemuan mereka dengan harapan bisa membereskan jenasahnya,
siapa tahu kakekmu tidak nampak ada di situ, lohu menjadi sedih
sekali, aku mengira jenasahnya mungkin sudah dilarikan binatang
buas, maka dengan perasaan sedih akupun berangkat ke daratan
Tionggoan untuk menyerahkan bungkusan itu kepada kalian.
Mengenai apa isi bungkusan tersebut, lohu tidak membukanya
maka juga tidak tahu, masa dia tidak mengembalikan kitab pusaka
Thian liong pit kip tersebut?”
Thi Eng khi telah mengalihkan perhatiannya pada penduduk asli
tersebut, dengan cepat dia berkata :
“Kalau begitu, sekarang kita cuma bisa mendapat keterangan dari
penduduk asli itu!”
It tek ang menghela napas panjang.
“Setelah kejadian, berulang kali lohu sudah menanyai orangorang
itu, tapi dia tak lebih cuma menjalankan pesan orang saja dan
soal lain tidak diketahuinya, lagi pula orang itu sudah meninggal
pada tiga tahun berselang.”
Thi Eng khi segera merasakan kepalanya menjadi pusing tujuh
keliling, segenap harapannya terasa musnah dan lenyap tak
berbekas.
It tek ang cepat-cepat menghibur.

168
“Ing ji, kau tak usah terlalu bersedih hati, terbayang ketika
sepuluh kali aku beradu kepandaian dengan kakekmu meski kalah
sedikit namun selisihpun tidak terlalu banyak, aku yakin pasti dapat
membuatmu menjadi seorang jagoan yang termashur dalam dunia
persilatan dan membangun kembali nama besar Thian liong pay.
Dengan bakatmu itu, aku rasa dalam dua tahun saja seluruh
kepandaian silat yang kumiliki sudah dapat kau pelajari, apakah kau
memiliki kesabaran itu?”
Thi Eng khi tahu kalau It tek ang mempunyai maksud baik
terhadapnya, tentu saja kakek tersebut tidak menduga kalau ia
sudah bertekad untuk mempelajari ilmu silat perguruannya lebih
dulu sebelum mempelajari ilmu silat aliran yang lain.
Maka dengan perasaan minta maaf katanya :
“So yaya berhasrat mendidikku menjadi orang, seharusnya Eng ji
merasa bergembira hati, tapi bagaimanapun juga Eng ji adalah
seorang ketua dari Thian liong pay, orang bisa menertawakan diriku
seandainya dalam bertempur nanti ilmu silat yang kupergunakan
adalah ilmu silat bukan aliran Thian liong pay. Oleh sebab itu,
terpaksa Eng ji harus menampik maksud baik kau orang tua.”
Mendengar perkataan itu, It tek ang segera tertawa terbahakbahak.
“Haaahhh.... haaahhh.... haaahhhh.... bagus! Bagus! Bocah, kau
punya semangat! Besok akan kuajak dirimu untuk melakukan
penyelidikan lagi di sekitar tempat kakekmu mendapat musibah,
coba kita lihat bagaimanakah kemujuranmu.”
Thi Eng khi menjadi girang sekali, buru-buru ia bangkit berdiri
dan mengucapkan terima kasih kepada It tek ang.
Sementara itu, dari luar pintu berjalan masuk seorang centeng
yang segera membisikkan sesuatu ke sisi telinga It tek ang.
Mendengar itu, It tek ang segera berpaling ke arah Thi Eng khi
sembari bertanya :

169
“Eng ji, sepanjang jalan kemari, tahukah kau kalau ada seorang
hwesio dari Siau lim pay dan Tosu dari Bu tong pay yang menguntil
dirimu secara diam-diam?”
Terbayang kembali akan kebaikan dari Keng hian totiang dan Ci
kay taysu, Thi Eng khi lantas mengira kalau hwesio dan tosu itu
adalah dua orang jago yang diutus Siau lim pay serta Bu tong pay
untuk melindungi keselamatan jiwanya, maka sambil tersenyum dia
menjawab.
“Siau lim pay maupun Bu tong pay sangat bersahabat dengan
Eng ji, boleh jadi kedua orang itu memang diutus untuk melindungi
Eng ji secara diam-diam, So yaya! Harap kau jangan menyusahkan
mereka.”
It tek ang manggut-manggut, kepada centeng itu pesannya :
“Hwesio dan tosu itu bukan orang jahat, baik-baik layani
mereka.”
Centeng itu mengiyakan dan segera mengundurkan diri.
Hari itu juga Thi Eng khi dapat merasakan pelayanan paling
ramah yang pernah dialaminya semenjak meninggalkan rumah,
apalagi dilayani So Bwe leng yang binal dan pandai berbicara,
membuat seluruh kemurungan dalam hatinya dapat diusir keluar dari
benaknya.
Malam itu, Thi Eng khi dihantar menuju ke sebuah bangunan
mungil ditengah kebun, menurut orang tua itu, bangunan tersebut
dulunya khusus dipakai untuk menyambut kedatangan kakeknya
Keng thian giok cu.
Dari sini dapat diketahui betapa tulusnya persahabatan It tek ang
dengan kakeknya tanpa terasa Thi Eng khi merasa terharu sekali.
So Bwe leng berbicara terus tanpa hentinya, ada saja bahan
cerita yang muncul dari benaknya hingga larut malam dia baru
berpamit dari kamar Thi Eng khi dengan perasaan berat, sebelum
pergi dia sempat berpesan dengan sungguh-sungguh,

170
“Engkoh Eng, bila besok kau akan pergi bersama yaya, jangan
lupa memanggil aku ya!”
Sepeninggalan So Bwe leng, Thi Eng khi segera naik ke tempat
tidur dan memejamkan matanya, untuk pertama kali dalam hidupnya
dua bayangan tubuh gadis cantik muncul bersama di dalam
benaknya. Dia berusaha untuk membanding-bandingkan kedua gadis
itu tapi kenyataannya makin dibandingkan pikirannya semakin
bingung.
Belum lagi hasilnya diperoleh, tahu-tahu ia sudah mulai terlelap
tidur.
Mendadak dari luar pintu berkumandang suara ketukan lirih, Thi
Eng khi merasa terkejut dan segera sadar kembali dari tidurnya,
buru-buru ia turun dari atas ranjang.
Dari luar jendela terdengar seseorang berbisik dengan suara yang
rendah dan berat:
“Setan tua itu jahat dan licik, ia bermaksud busuk kepadamu Thi
siauhiap! Cepat bangun dan buka pintu, lolap ada rahasia penting
hendak disampaikan kepadamu.”
Untuk sesaat lamanya Thi Eng khi tak bisa membedakan apakah
berita itu benar atau tidak, dia lantas membuka pintu dan berjalan
keluar.
Tampak seorang hwesio berdiri di tengah halaman, ketika melihat
pemuda itu munculkan diri, segera ia menggapenya sambil berseru :
“Cepat kabur!”
Disambarnya tangan Thi Eng khi kemudian dengan melompati
dingin pekarangan kabur menuju ke arah pegunungan di belakang
benteng sana.....
Di satu pihak hwesio itu menyeret Thi Eng khi meninggalkan
kamarnya, di pihak lain muncul seorang tosu dalam ruangan itu, ia
mengeluarkan dua benda dan segera diletakkan diatas meja,

171
kemudian ditekan kuat-kuat sehingga diatas permukaan meja itu
muncul bekas dari dua macam benda tersebut.
Kemudian ia baru melompat keluar dari kamar dan kabur dari
tempat tersebut.
Keesokan harinya, suasana dalam benteng keluarga So menjadi
sangat gempar ketika mengetahui lenyapnya Thi Eng khi.
It tek ang So Seng pak segera memburu kekamar Thi Eng khi,
begitu melihat dua buah bekas di meja baca itu, kontan saja hawa
amarahnya berkobar.
So Bwe leng dengan perasaan ingin tahu segera bertanya :
“Yaya, bekas apakah ini? Apakah engkoh Thi sudah dilarikan oleh
mereka?”
“Kurang ajar benar orang-orang Siau lim pay dan Bu tong pay,”
seru It tek ang So Seng pak dengan marah, “berani betul tidak
pandang sebelah mata kepadaku dan membuat keonaran disini,
kalau tidak kuberi sedikit pelajaran, malu aku menjadi seorang
jagoan dari luar perbatasan!”
Sambil berpaling dan melotot ke arah So Bwe leng, serunya :
“Budak, cepat panggil kemari ayahmu!”
Sambil menjulurkan lidahnya So Bwe leng mengiakan, segera dia
lari keluar dari kamar.
Tak lama kemudian Na im siusu So Peng gwan sudah diajak
menuju kamar itu.
Begitu melihat kedatangan Na im siusu It tek ang segera berseru
dengan nyaring :
“Siau lim pay dan Bu tong pay sungguh terlalu menghina orang,
berani benar mereka menculik orang dari dalam benteng kita.
Segera turunkan tanda perintah Mek yu ciam leng dan kumpulkan
Tiang pek sam nio (tiga burung dari bukit Tiang pek), Hek san cap
pwe khi (delapan belas penunggang kuda dari Hek san), Pek sui su

172
kui (empat setan dari Pek sui) dan Boan san siang koay (sepasang
siluman dari Boan san) untuk mengikuti aku menuju ke daratan
Tionggoan. Kemudian kau kumpulkan lagi segenap jago nomor
wahid di luar perbatasan dan didalam setengah bulan kemudian
menyusul aku didaratan! Hmm! Akan kulihat, dengan mengandalkan
apakah sehingga mereka begitu berani berani berbuat kurang ajar!”
Na im siusu So Peng gwan membuka mulut ingin berbicara, tapi
segera dicegah It tek ang sambil katanya :
“Keputusanku sudah bulat, urusan lain aku masih bisa
menerimanya, tapi kalau ada orang berani menghina dan
menganiayanya Thian liong pay, aku tak bisa berdiam diri saja!”
Sekalipun It tek ang sudah tua usianya, namun wataknya masih
berangasan, apalagi kalau sudah marah, keputusan yang telah
diambil untuk mencoba kekuatan Siau lim pay dan Bu tong pay tak
bisa diurungkan lagi.
So Bwe leng yang berada disampingnya dengan cepat membakar
hati kakeknya, serunya :
“Betul yaya, jika kau tidak bisa membalas dendam buat engkoh
Eng, percuma menjadi jagoan disini!”
“Budak sialan!” Na im siausu So Peng gwan segera membentak,
“siapa yang suruh kau banyak usul disini? Hayo cepat enyah dari
tempat ini!”
So Bwe leng segera menarik wajahnya menunjukkan wajah yang
pantas dikasihani, pelan-pelan dia melangkah keluar dari situ,
sementara sepasang matanya dialihkan kearah kakeknya minta
bantuan.
It tek ang memang paling sayang dengan cucu perempuannya
itu, dia segera mendengus :
“Nak, bereskan juga barangmu, besok ikut yaya berangkat ke
daratan Tionggoan untuk menambah pengalaman!”
So Bwe leng segera membuat muka setan kepada ayahnya,
kemudian cepat-cepat melompat pergi.

173
Na im siusu So Peng gwan yang menyaksikan keadaan ini cuma
bisa menggelengkan kepalanya belaka, diapun segera beranjak pergi
untuk melaksanakan tugasnya.
Thi Eng khi diseret oleh hwesio itu menuju keluar benteng, tak
lama kemudian mereka sudah menelusuri tanah perbukitan, satu
jam sudah mereka melakukan perjalanan, namun hwesio tersebut
belum juga menunjukkan tanda-tanda akan berhenti.
Lama-kelamaan Thi Eng khi menjadi curiga, ia merasa heran
kenapa hwesio itu menyeretnya pergi sejauh itu. Maka sambil
menghentikan larinya dia lantas berseru:
“Siansu, ada urusan apakah kau? Kalau ingin berbicara, lebih baik
di tempat ini saja!”
Mendadak hwesio itu berhenti dan tertawa seram.
“Heeehh.... heeehh.... heeehhh.... begitupun boleh juga, bagus,
bagus, Thi ciangbunjin! Coba kau teliti dulu siapakah lolap?”
Sambil berkata dia membalikkan badan dan maju mendekat si
anak muda itu.
Dengan sinar mata yang tajam, Thi Eng khi mengawasi
wajahnya, kemudian jeritnya kaget :
“Huan im sin ang! Rupanya kau .....”
Huan im sin ang segera tertawa terkekeh-kekeh.
“Heeehhh.... heeehhh.... heeehhh..... jangan kau anggap setelah
lolos dari kematian di puncak Bong soat hong, maka kau sudah
dapat meloloskan diri dari cengkeramanku.”
Pelan-pelan Thi Eng khi dapat menenangkan kembali hatinya,
sambil tertawa dingin, ia berkata :

174
Jilid 6
“Jauh-jauh datang kemari, apa sebenarnya tujuanmu?”
Huan im sin ang memutar sepasang biji matanya, lalu
mendengus :
"Hmm! Masih seperti kata-kataku semula, kau harus belajar ilmu
silat bersama lohu!"
"Kau anggap mungkinkah aku dapat meluluskan permintaanmu
itu?" teriak Thi Eng khi.
"Kalau kau tidak meluluskan, maka kubunuh dirimu!"
"Aku tahu, sudah pasti kau tak akan melepaskan diriku, cuma
selain itu tentunya kau masih ada rencana yang lain bukan?
Terkejut sekali Huan im siu ang setelah mendengar perkataan itu,
bentaknya :
“Darimana kau bisa berkata demikian?''
Thi Eng khi mendengus dingin.
"Hmm, aku tahu kalau kau datang bersama seseorang yang
menyaru sebagai orang tosu, dengan kemampuan yang kau miliki,
apa perlunya membawa seorang pembantu untuk membunuhku?
Dan lagi, kalau ingin turun tangan juga kau tak usah melakukannya
diluar perbatasan! Hmm. Coba pikirlah kalau kau tiada tujuan lain
kenapa berbuat demikian?"
Ketika rahasianya ditebak secara jitu. Huan im sin ang segera
merasa bahwa kecerdasan Thi Eng khi benar benar mengerikan
sekali, hawa napsu membunuh segera menyelimuti wajahnya.
"Bocah keparat, kau memang kelewat pintar, orang pintar
semacam kau tak boleh dibiarkan hidup terus, tapi memandang
diatas kecerdikanmu itu, boleh saja kuterangkan duduk persoalan
sebelum membikin mampus dirimu."

175
Setelah berhenti sebentar, dengan senyuman licik menghiasi
bibirnya, ia melanjutkan :
"Dirumah makan bukit Wu san kutemui kau masih hidup segar
bugar, bahkan tanda terluka pun tak ada, waktu itu timbul rasa
heran dalam hati, sebetulnya ingin kutanyai keadaan yang
sesungguhnya kemudian baru menghadiahkan sebuah pukulan, tapi
kemudian ketika kulihat kau berangkat keluar perbatasan untuk
mencari So lojin, niatku itu segera kuurungkan..."
"Rencana busuk apa yang kau dapatkan?"
"Heeehhh...heeehhh ..heeehhh... sekarang rencanaku telah
dilaksanakan, kau si bocah keparat juga bakal mampus, tentu saja
lohu akan terangkan semuanya kepadamu!"
"Hmm, omongan manusia sesat semacam kau belum tentu
benar, akupun belum tentu akan mendengarkan obrolanmu itu!"
“Heeehhh..... heeehhh.... heehhh….. menggunakan kesempatan
selama kunjunganmu keperbatasan untuk mencari So lojin, aku telah
melepaskan api didalam dunia persilatan… Soal ini, kau bersedia
untuk mendengarkan tidak?"
Thi Eng khi menjadi tertegun, lalu ujarnya :
"Hmmm, apakah ucapanmu itu bukan hanya mengigau belaka?“
"Igauan? Hmmm, apakah kau lupa bahwa lohu masih mempunyai
seorang rekan yang lain?"
"Benar, dia ada dimana sekarang?"
"Hmmm...hmmm... tentu saja dia masih ada urusan yang harus
diselesaikan, lohu bertugas memancingmu datang kemari,
sedangkan dia akan masuk ke dalam kamarmu dan menggunakan
Pek giok pay dari partai Siau lim serta Thi kiam leng dari partai Bu
tong untuk membuat dua buah bekas diatas meja baca!”
Setelah mendengar perkataan itu, Thi Eng khi baru merasa amat
terkejut, segera-teriaknya :

176
"Sungguh?"
“Haaahhh....haaahhh....haaahhh...." Huan im sin ang Cuma
tertawa terbahak-bahak.
Thi Eng khi menjadi naik pitam, teriaknya lagi :
"Iblis keparat, kalau ingin mencari urusan denganku, cari saja
langsung kepadaku, mengapa mesti menfitnah orang lain?”
Sahut Huan im sin ang sambil tertawa bangga :
"Partai Siau lim dan partai Bu tong mentang-mentang
menganggap dirinya partai lurus, dimana saja mereka selalu
unjukkan sikap angkuh, Hmm! Lohu paling benci de¬ngan gaya
semacam itu, maka sengaja kucarikan sedikit keramaian buat
mereka agar bertarung dengan So lo jin! Haaah....haaah ....
haaahhh..... akibat dari pertarungan ini maka suatu pertempuran
sengit antara jago diluar perbatasan dan daratan Tionggoan pasti
akan segera berkobar!“
Mimpipun Thi Eng khi tidak menyangka kalau iblis tua ini
sedemikian kejinya, lama sekali ia berdiri tertegun saking
mendongkolnya, lama sekali akhirnya dia baru berkata dengan
gemas :
"Iblis laknat kalau melihat tampangmu mah tidak mirip orang
edan, sebenarnya apa tujuanmu menerbitkan badai dalam dunia
persilatan?"
Mendengar ucapan itu, mendadak sekujur badan Huan im sin ang
gemetar keras, sahutnya sambil menggertak gigi.
"Lohu bernama Ui Sam ciat, kemunculanku sekarang adalah
untuk membasmi seluruh dunia persilatan guna membalas dendam
bagi kematian toakoku Ui It peng!”
Berbicara sampai disitu, mendadak dengan wajah mengerikan, ia
membentak keras :
“Bocah keparat, sudah puas bukan? Sekarang, serahkan selembar
nyawa anjingmu itu!“

177
Weess.....! Sebuah pukulan dahsyat segera dilontarkan ke atas
tubuh Thi Eng khi.
Dengan latihan yang amat tekun, ilmu Sian thian bu khek ji gi sin
kang yang dimiliki Thi Eng khi sebenarnya sudah mancapai puncak
kesempurnaan, apalagi ketika mendapat pengobatan dari Huang oh
siansu, terpengaruh oleh tenaga Pek hui tiau yang tayhoat yang
digunakan hwesio tersebut, keempat macam obat mustika yang
mengeram dalam tubuhnya telah dibaurkan oleh tenaga itu sehingga
akibatnya tenaga dalam yang dimiliki pemuda itu memperoleh
kemajuan yang makin hebat.
Selain itu, setelah memperoleh dua kali pengalaman di Ki hian
san ceng maupun Bong soat hong, dia tahu bahwa ilmu silat amat
penting bagi seseorang yang berkelana dalam dunia persilatan. Oleh
sebab itu, setiap kali ada kesempatan, dia selalu memperdalam
pelajaran ilmu silat yang diajarkan Thian liong ngo siang kepadanya,
yakni tiga jurus telapak tangna, tiga jurus ilmu jari, tiga jurus ilmu
pedang dan tiga jurus ilmu pukulan.
Selama beberapa bulan ini, boleh dibilang dia memiliki
kematangan yang cukup menyakinkan didalam kedua belas jurus
ilmu silat perguruannya itu, otomatis kedahsyatannya juga luar
biasa.
Sebaliknya Huan im sing ang masih menganggap pemuda itu
seperti dulu, dalam serangan yang pertama ini, dia tak lebih hanya
menggunakan tenaga sebesar tiga bagian.
Dalam perkiraan Thi Eng khi waktu itu dia pasti akan tewas oleh
serangan lawannya yang begitu dahsyat dalam benci dan gusarnya,
sambil menggertak gigi, dia bertekad akan menggunakan segenap
tenaga dalam yang dimilikinya, sekalipun tak bisa mati bersama,
paling tidak dia ingin melukai iblis tua itu.
Maka buru buru dia merendahkan pinggangnya ke bawah, lalu
sepasang telapak tangannya didorong ke depan untuk menyambut
datangnya serangan itu.

178
Iblis tua itu tertawa sinis, baru saja dia hendak mengejek, tiba
tiba diketahui keadaan tidak beres, segera bentaknya :
"Bocah keparat, ternyata kau berani menyembunyikan
kekuatanmu yang sebenarnya"
Untuk menambah kekuatannya ditengah jalan jelas tak sempat
maka tak bisa dihindari lagi, suatu bentrokan kekerasan segera
terjadi ditempat itu.
"Blaaamm............!" ditengah ledakan keras, ternyata Thi Eng-khi
berhasil menang diatas angin.
Berhasil dengan serangannya yang pertama, Thi Eng khi tak
berani berayal lagi, segera bentaknya:
"Iblis tua sambut pula sebuah pukulanku ini!“
Sebuah pukulan yang amat dahsyat segera dilontarkan kedepan,
deruan angin pukulan makin kencang, sudah jelas kekuatannya jauh
diatas serangan yang pertama tadi.
Waktu itu Huan im sin ang masih berdiri tertegun, dalam keadaan
gugup ia tak sem¬pat menghimpun tenaga lagi, untuk ke dua
kalinya dia kena didesak sehingga mundur setengah langkah.
Sekarang Huan im sin ang baru tahu kalau dia sudah salah
menilai kekuatan musuhnya, dalam keadaan gusar yang memuncak,
tak kuasa lagi dia tertawa seram.
Dengan wajah menyeramkan, dia membentak keras:
“Bocah keparat, sudah saatnya bagimu untuk pulang ke rumah
nenekmu ......"
Telapak tangan kirinya segera diayunkan ke depan, bersamaan
waktunya lengan kanan juga diangkat menyentilkan serangan ilmu
jari segulung desingan angin tajam diikuti pukulan gencar langsung
meluncur ke tubuh Thi Eng khi.

179
Si anak muda itu tak menyangka kalau musuhnya sangat lihay,
setelah beberapa kali berhasil lolos dengan selamat, disangkanya
kepandaian yang dimiliki Huan im sin ang tak lebih cuma begitu saja.
Meski dia juga melihat kalau Huan im sin ang melancarkan ilmu
pukulan dan ilmu jari hampir bersamaan waktunya, ia tidak gentar,
sepasang tangannya segera didorong kemuka untuk menyongsong
datangnya ancaman tersebut.
Ternyata keadaannya kali ini jauh berbeda tenaga pukulan lawan
terasa bagaikan gulungan ombak dahsyat ditengah samudra yang
melanda tiba, segenap kekuatan yang dipancarkan olehnya kena
didesak ke kedua belah samping, berbareng itu juga segulung
desingan angin tajam langsung berputar dan meluncur kearahnya.
Menyadari kalau gelagat tidak menguntungkan, si pemuda
bermaksud untuk berkelit, sayang keadaan sudah terlambat dan ia
merasa tidak bertenaga lagi.
Kontan saja sekujur badannya terasa bergetar keras,
tenggorokannya terasa anyir, tubuhnya segera terlempar sejauh dua
kaki lebih dan nyaris terjatuh ke dalam jurang.
Untung saja dalam saat-saat terakhir serangan jari lawan masih
sanggup ditangkis oleh angin pukulannya sehingga kehilangan
sasaran dan tak sampai menghajar jalan darah Ji kan hiat
ditubuhnya.
Tapi sekalipun begitu toh ia terluka parah, darah segar muncrat
keluar dari mulutnya dan untuk sesaat tak sanggup bangkit berdiri.
Berbaring diatas tanah, pemuda itu merasakan kepalanya pusing
dan matanya berkunang-kunang, dia tidak tahu kalau tubuhnya
sudah menempel di tepi jurang.
Dengan suara gelisah Huan im sin ang segera berteriak :
“Hati-hati pinggirmu adalah jurang yang sangat dalam.“

180
Huan im sin ang bisa berteriak demikian, bukan lantaran ia
gelisah karena menguatirkan keselamatan pemuda itu.
Sesungguhnya dia tak ingin kesalahan yang pernah diperbuatnya
itu sampai terulang kembali, ia bertekad untuk membunuh Thi Eng
khi tepat di depan matanya sehingga buktinya ada.
Padahal Thi Eng khi sedang berbaring di tepi jurang, ini
membuatnya tak sanggup turun tangan , sebab sekali bertindak
salah hingga tubuh Thi Eng khi jatuh ke dalam jurang bisa jadi
peristiwa di puncak Bong soat hong di bukit Wu san akan terulang
kembali.
Sesungguhnya tujuan orang ini boleh dibilang sangat keji, siapa
tahu masih mendingan seandainya dia tidak berteriak, akibat dari
teriakan tersebut, keadaan bertambah runyam.
Thi Eng khi sendiripun pada mulanya merasa bingung dan tidak
habis mengerti setelah mendengar teriakan itu, dia merasa tindakan
dari iblis tua itu seakan akan sangat bertentangan sekali dengan
tujuan yang sebenarnya, tapi sejenak kernudian ia lantas memahami
maksud serta tujuan yang sebenarnya dari iblis tua itu.
Kontan saja hawa amarahnya berkobar, dengan dingin dia
berkata:
"Aku sudah mempunyai perhitungan sendiri, tak perlu kau
risaukan!"
Sembari berkata dia malah melejit dan bergeser makin mendekat
sisi tebing jurang tersebut.
Iblis tua itu menjadi sangat rikuh dan serba salah, telapak
tangannya sudah diangkat keatas siap diayunkan, tapi dahinya
segera berkerut dan telapak tangan itu terhenti di tengah jalan.
Selang sesaat kemudian, ia menurunkan kembali lengannya,
kemudian setelah tertawa seram katanya:

181
“Jadi kau anggap setelah berbuat demikian maka kau bisa lolos
dari kematian? Heeehhhh…. Heeehhh…. Heeehhhh….. lohu akan
mencoba untuk saling bertahan dengan dirimu!”
Ketika itu Thi Eng khi berada diatas sebuah batu datar ditepi
tebing jurang, sekalipun tak mungkin menerima sergapan dari
musuhnya,namun berada dalam pengawasan orang terus menerus
memang bukan sesuatu yang aneh dirasakan.
Maka darahnya mendidih setelah mendengar ucapan dari iblis tua
itu, segera katanya dengan marah :
“Iblis laknat! Walaupun aku tak bisa lolos da¬ri tanganmu hari
ini, tapi kaupun jangan harap bisa membalaskan dendam bagi
kematian kakakmu! Kau anggap dengan kekuatanmu seorang
mampu untuk memusuhi seluruh umat persilatan di dunia ini?”
Iblis tua itu tertawa seram, dia mengangkat tangannya keatas
dan berkata dengan santai :
"Dengan mengandalkan cap sa tay poo (tiga belas pangeran)
yang berada di bawah pimpinanku pun seluruh dunia persilatan
dapat kukuasai, buat apa lohu mesti turun tangan sendiri!”
Sekalipun posisinya sudah berada dalam keadaan terancam,
namun Thi Eng khi sama sekali tidak melepaskan kesempatan untuk
menyelidiki keadaan lawan, maka dengan wajah santai sekali tidak
berubah, katanya dengan dingin:
"Siapa yang dimaksudkan dengan Cap sa tay poo itu? Belum
pernah kudengar tentang nama tersebut, hei, jangan mencoba untuk
main gertak sambal!“
Kembali iblis tua itu tertawa seram.
"Heeehhh... heeehh....heeehhh......buat apa kau musti
memancing dengan kata-kata yang memanaskan hati? Sekalipun
lohu tidak becus juga tak akan membohongi manusia yang hampir
mampus seperti kau! Cap sa Tay poo yang berada dibawah pimpinan
lohu terdiri dari pelbagai anggota dalam partai besar dunia
persilatan. mereka adalah Ci nian taysu dari Siau lim pay, It tin
totiang dari Bu tong pay, Put wi sianseng dari Hoa san pay, To kak

182
thi koay (Kaki tunggal bertoya besi) dari Kay pang, Lak bin wangwe
(hartawan berwajah enam dari keluarga Tong, Siau bin kim kong
(malaikat raksasa berwajah senyum) dari Cing sia pay, It ci kiam
(pedang satu huruf) dari Tiong lam pay, Tho hoa soh li (gadis suci
bunga tho) dari pulau Soh sim to, Giok ciang lo sat (iblis wanita
bertoya kemala) dari Ciang hong wan, ditambah lagi dengan Hui
hong kiam (pedang angin berpusing) Lok yap bian hong (hembusan
angin daun berguguran) dan Hek bin bu pah (raja lalim bermuka
hitam) sekalian tiga belas orang"
Selesai mendengar nama-nama tersebut, Thi Eng khi diam diam
merasa terperanjat sekali. Sebab kenyataannya ke tiga belas orang
itu masing-masing tersembunyi didalam setiap partai besar, sebagai
musuh da¬lam selimut sesungguhnya mereka benar benar
menakutkan sekali.
Sebagai seorang pemuda berjiwa ksatria, sekalipun jiwanya
berada diujung tanduk. Dan berbahaya sekali, apalagi soal dunia
persilatan sama sekali tak ada sangkut paut dengan dirinya, tapi ia
tetap merasa murung dan gelisah.
Setelah berpikir keras sekian lama mendadak satu ingatan
melintas didalam benaknya.
la lantas mengawasi iblis tua itu sambil berlagak seakan akan tak
pernah terjadi sesuatu apapun, sementara tangannya yang lain
disembunyikan dibalik punggung dan mengerahkan tenaganya untuk
mengukir nama-nama yang telah didengar tadi diatas batu cadas.
Sebagai pemuda yang cerdas dan cekatan dalam waktu singkat
nama serta asal usul dari ketiga belas pangeran Cap sa tay poo itu
sudah selesai terukir diatas batu.
Mendadak timbul satu persoalan dalam benaknya, maka sambil
melanjutkan tulisannya. dia bertanya lagi :
"Iblis laknat! Kalau memang Cap sa tay poo itu disisipkan ke
dalam partai-partai besar, sekalipun ilmu silat mereka lebih lihaypun
tak akan lebih hebat daripada ciangbunjinnya sendiri, mana mungkin
mereka sanggup untuk melakukan pemberontakan?"

183
Iblis tua itu segera tertawa seram.
"Heeehhh……… heeehhh……… heeehhh……….. tentu saja lohu
telah mewariskan kepandaian lain kepadanya......"
Mendadak ia seperti merasakan sesuatu, matanya yang buas
segera berputar, kemudian bentaknya:
"Bocah keparat, apa yang sedang kau lakukan?"
Ditengah bentakan keras, sebuah pukulan dahsyat segera
dilontarkan kedepan.
Waktu itu Thi Eng khi sedang menulis nama dan asal usulnya,
ketika merasa gelagat tidak beres, dia menjadi terkejut sekali untuk
membalas jelas tak bertenaga lagi, terpaksa dia melejit dan
menggelinding masuk kedalam jurang.
Dengan cepat Iblis tua itu menyusul ketepi jurang, ketika
melongok kebawah dan menyaksikan kabut tebal menyelimuti dasar
jurang tersebut, tanpa terasa dia mendongakkan kepalanya dan
kembali tertawa rerbahak bahak dengan bangganya.
"Haaahh......haaahh. haaahhh.....jurang ini begini dalam,
sekalipun nasibmu sangat mujur pun lohu tidak percaya kalau kau
bisa selamat dari musibah ini!"
Seraya berkata ia membalikkan badannya ketika melihat tulisan
diatas batu paras mukanya agak berubah, tapi sejenak kemudian
timbul rasa sayang diatas wajahnya.
“Aaai..... betul-betul sayang sekali,“ gumannya, “bakat yang
begitu bagus tak bisa lohu pergunakan, jangan salahkan kalau lohu
terpaksa harus mengambil tindakan keji.....“
Dengan uring-uringan dia lantas berlalu dari situ.
Thi Eng khi tak sudi mati ditangan iblis keji tersebut, maka
sewaktu menyaksikan sapuan kilat dari Huan im sin ang menyambar

184
datang, buru-buru dia maju kedepan dan menggelinding masuk
kedalam jurang.
Pemuda itu memang seorang manusia yang berotak cerdas,
sekalipun ia merasa perbuatannya terjun kedalam jurang telah
menyia-nyiakan harapan ibunya, tapi ia sama sekali tidak takut,
sebab dia merasa yakin kalau jiwanya tentu melayang.
Malahan ketika mendengar suara deruan angin dan menyaksikan
pemandangan disekelilingnya
yang meluncur lewat sangat cepat timbul suatu kesan yang
menarik dalam hatinya.
Setelah melewati kabut yang amat tebal pemandangan
disekelilingnya menjadi lebih terbuka, dasar lembahpun tampak jelas
sekali.
Hutan pohon Bwe yang lebat dengan bunga yang harum,
mendatangkan suatu pemandangan yang indah menawan.
Sambil tertawa pikirnya kemudian:
"Tempat ini benar-benar merupakan suatu. tempat yang paling
ideal untuk mengubur jenasahku…. !"
Belum habis ingatan tersebut melintas lewat dalam benaknya,
mendadak dijumpai ada seorang kakek berambut putih sedang
duduk bersila tepat dibawahnya.
Kakek itu duduk tak berkutik sambil menundukkan kepalanya
kalau dilihat dari keadaannya, mungkin ia sedang bersemedi.
Terbayang kembali akan akibat yang ditimbulkan dari tubuhnya
yang terjatuh ke bawab itu, Thi Eng khi merasakan hatinya tergetar
keras, buru-buru dia menggerakkan keempat anggota badannya
menggeserkan badannya lebih kesamping, daripada sebelum
meninggal dia musti menyusahkan pula orang lain
Siapa tahu meski badannya sudah berusaha untuk bergeser ke
samping, tapi kenyataannya entah disebabkan daya luncur tubuhnya

185
terlampau cepat atau karena persoalan lain, usahanya itu sama
sekali tidak mendatangkan hasil apa apa.
Dalam keadaan demikian, ia cuma bisa membenci akan
ketidakbecusan dirinya, terpaksa dengan sekuat tenaga dia berteriak
keras:
"Hei lotiang yang berada dibawah. cepat menyingkir ! Siauseng
terjatuh kebawah cepat minggir! Cepat minggir! Cepat -cepat
minggir!"
Agaknya kakek dibawah itu seorang yang tuli, sekalipun ia sudah
berteriak sampai serak tenggorokan, ternyata sama sekali tiada
reaksi apapun.
Padahal pada waktu Thi Eng khi berada lebih kurang sepuluh kaki
saja dari dasar lembah,
Ia lantas berseru tertahan dan memejamkan matanya rapat-rapat
dalam detik tersebut pelbagai ingatan berkecamuk didalam
benaknya, ia merasa waktu yang amat singkat itu bagaikan beratus
ratus tahun lamanya mungkin inilah pengalamannya menjelang
kematian, cuma sayang ia sudah tak dapat memberitahukan kepada
orang lain lagi.
"Kraaakk………!" ia merasakan tubuhnya seperti menyentuh
sesuatu benda, satu ingatan segera melintas dalam benaknya :
“Aduuuuh………….habis riwayatku!''
Dia mengira jiwanya pasti akan melayang meninggalkan raganya.
Padahal ia sudah dirangkul oleh kakek berambut perak didasar
lembah itu dan sama sekali tidak menderita luka apa-apa.
Hanya mengandalkan sepasang tangannya, ternyata kakek
berambut perak itu sanggup menahan tubuh Thi Eng khi yang
terjatuh dari ketinggian ratusan kaki, dari sini dapat diketahui bahwa
tenaga dalam yang dimilikinya boleh dibilang luar biasa lihaynya.

186
Setelah menyambut tubuh Thi Eng khi ke dalam pelukannya,
kakek itu tertawa terbahak-bahak.
“Haaahhhh……….. haaahhhh……….. haaahhhhh…… mana lohu
bisa berpeluk tangan belaka menyaksikan kau terancam bahaya ? “
Seraya berkata dia lantas menundukkan kepalanya
memperhatikan pemuda yang berada dalam pelukannya itu, tapi
selang sesaat kemudian sekujur badannya bergetar keras, ia agak
tidak percaya kalau di dunia ini terdapat orang dengan bakat yang
begitu bagus.
Dengan cepat dia mengucak matanya dengan tangan kiri,
kemudian dengan sinar mata berkilat ditatapnya wajah Thi Eng khi
lekat-lekat.
Makin dilihat ia merasa hatinya semakin bergetar, perasaannya
juga semakin emosi dengan wajah kalut bercampur girang dia
melemparkan tubuh pemuda itu ke tanah kemudian lompat bangun
dan menari-nari seperti orang kalap.
Setelah mencapai permukaan tanah, Thi Eng khi segera
merasakan hatinya bergetar kera, apalagi teringat kejadian yang
baru dialaminya, buru-buru ia membuka matanya lebar-lebar.
Ketika dilihatnya keadaan si kakek Yang lebih mirip orang gila itu,
dia seperti terkesima kemudian menggigit tangan sendiri keraskeras.
Mungkin karena terlalu keras gigitannya menjadi tak tahan
sehingga menjerit kesakitan.
Sesungguhnya kakek itu tidak gila, cuma karena sudah lama
hidup mengasingkan diri maka perubahan sikapnya menjadi sangat
kentera.
Diapun tersadar kembali ketika mendengar jerit kesakitan dari
anak muda itu ketika mengetahui kalau ia sudah bertindak kelewat
batas dengan wajah memerah karena jengah katanya :

187
"Nak, parahkah luka yang kau derita?"
"Oooh tidak" sahut Thi Eng khi sambil tertawa getir, "aku cuma
menggigit diriku sendiri."
Setelah agak tertegun, kakek itu segera memahami apa yang
terjadi, katanya lagi sambil tertawa : “Oooh.......... jadi kau mengira
dirimu sudah mati?"
Paras muka Thi Eng khi berubah makin memerah terpaksa dia
manggut-manggut.
Kakek itu segera menarik tangan kanan Thi Eng khi dan
menempelkan ketiga jari tangannya diatas nadi pemuda itu,
kemudian katanya :
"Hei pemuda, kalau sedang berjalan masti berhati-hati, untung
kau bertemu dengan aku hari ini, coba kalau tidak. mana mungkin
kau bisa bernyawa lagi? Coba kuperiksa apakah isi perutmu sudah
terluka atau tidak ......?"
Tiba tiba dia berkerut kening, kemudian sambil menarik kembali
tangannya dia berseru :
"Oooh .........rupanya kau dihajar orang!"
“Tidak!" sahut Thi Eng khi sambil menggeleng, "aku sendiri yang
melompat kebawah, cuma.."
Kakek itu segera menghela napas panjang ujarnya :
"Lukamu tidak parah, asal bersemedi sebentar keadaan lukamu
itu akan sembuh kembali seperti sedia kala. Bagi seorang lelaki
sejati, tidak boleh mempunyai ingatan untuk mengambil keputusan
pendek, jika berjumpa lagi dengan urusan dikemudian hari, kau
mesti perkeras hatimu, hati mesti tabah untuk menghadapi
kenyataan, dengan begitu baru tidak menyia-nyiakan pendidikan dan
budi kebaikan orang tuamu. Sesungguhnya persoalan apakah yang
membuat pikiranmu menjadi sempit?“
Sikap si kakek yang sok memberi nasehat itu hanya membuat Thi
Eng khi menyengir pahit. Padahal banyak hal yang berkecamuk

188
dalam benaknya, oleh karena ia tak bisa memberi penjelasan lebih
jauh, terpaksa sambil tertawa getir katanya :
“Terima kasih banyak lotiang atas petunjukmu, cuma, sulit
buatku untuk menjelaskan persoalan ini hanya dengan sepatah kata
saja....“
"Anak muda, jika kau sudah tahu salah dan mau berubah. Hal itu
bagus sekali" kata si kakek dengan wajah lembut, "urusan yang
lewat tak perlu disinggung lagi, sekarang lohu akan membantumu
untuk menyembuhkan luka yang kau derita. Kau sendiri berusahalah
untuk membantu dari dalam!"
Selesai berkata telapak tangannya segera ditempelkan diatas
punggung Thi Eng khi.
Sianak muda itu menurut dan segera menghimpun tenaga
dalamnya dan mengerahkan tenaga Sian thian bu khek ji gi sin kang
untuk mengelilingi seluruh badannya.
Mendadak bagaikan dipagut ular beracun, si kakek itu menarik
kembali tangannya, kemudian dengan wajah sungguh-sungguh
katanya :
“Nak, aku lihat Sian thian bu khek ji gi sin kang yang kau miliki
sudah mencapai puncak kesempurnaan, apakah kau adalah anak
murid perguruan Thian liong pay?“
Menyusul kemudian tertawa terbahak-bahak, sambungnya :
“Haaahhh.... haaahhhh.... haaahhhh..... kau memakai baju
berwarna biru, pinggangmu menyoren pedang Thian liong kim kiam
sudah pasti bukan anggota Thian liong pay saja, lohu sungguh tolol
sekali, aku cuma melihat garis mukamu belaka dengan melupakan
dandananmu, bukankah hal ini lucu sekali.“
Mendengar perkataan itu, Thi Eng khi segera berpikir :
“Thian liong pay benar-benar bukan bernama kosong belaka,
bahkan seorang kakek yang lama mengasingkan diri di luar
perbatasanpun mengetahui nama Thian liong pay ....“
Berpikir demikian, ia lantas menjawab dengan gembira:

189
"Boanpwe adalah ciangbunjin angkatan ke sebelas dari partai
Thian liong pay!"
“Oooh....ooh……."
Sesudah termenung beberapa saat lamanya, kakek itu baru
berkata lebih jauh :
“Tahukah kau tentang manusia yang bernama Keng thian giok cu
Thi keng ….”
"Dia orang tua adalah mendiang kakek boanpwe!"
"Lantas siapa pula namamu?" tanya kakek itu cepat-cepat.
"Boanpwe bernama Thi Eng Khi!"
Selapis rasa kaget dan tercengang melintas diatas wajah kakek
itu, pikirannya terasa sangat kalut dan pelbagai macam perasaan
berkecamuk dalam benaknya, ia sendiri pun tak tahu bagaimana
perasaannya waktu itu………..
Akhirnya dia menghela napas panjang, matanya berkaca-kaca
dan hampir saja air matanya jatuh berlinang.
Ternyata kakek itu tak lain adalah kakek Thi Eng khi sendiri,
orang menyebut sebagai Keng thian giok cu dan merupakan
ciangbunjin angkatan ke sembilan dari Thian liong pay.
Dua puluh tahun berselang, ketika ia menemukan bahwa putra
kesayangannya yang merupakan satu-satunya ahli waris dari Thian
liong pay mencukur rambut menjadi pendeta karena kematian
sahabatnya, meski dihati merasa seribu kali “menolak” tapi untuk
menghormati keinginan putranya, terpaksa dia menghela napas dan
meninggalkan putra kesayangannya itu….
Dalam sedihnya dia menjadi putus asa dan segera berkelana jauh
keluar perbatasan, dan mengunjungi gua Thian liong tong thian
yang merupakan pusat dari tempat berdirinya partai Thian liong pay
di masa lalu.

190
Berhubung gua Thian liong tong thian merupakan tempat
berdirinya partai Thian liong dan merupakan tempat bersemayannya
ciangbunjin-ciangbunjin partai Thian liong pay angkatan
sebelumnya, maka tempat itu sangat dirahasiakan sekali letaknya,
setiap ciangbunjin dari tiap generasi hanya mendapat tahu tempat
tersebut dari ciangbunjin angkatan sebelumnya.
Setelah masuk ke dalam gua Thian liong tong thian, Thi Keng
menuruti peraturan perguruannya bersembahyang didepan cousunya
dan mengembalikan Thian liong pit kip kedalam gua itu, kemudian
menyampaikan pula perintahnya untuk menutup perguruan Thian
liong pay.
Dia sendiripun berdiam di gua Thian liong tong thian untuk
menebus dosanya yang telah memutuskan keturunan dalam partai
Thian liong.
Ketika Thi Keng meninggalkan partai Thian liong pay, Thi Eng khi
belum dilahirkan di dunia ini, sudag barang tentu diapun tidak
mengetahui bagaimanakah bakat serta watak pemuda tersebut,
itulah sebabnya ketika menyampaikan perintah untuk menutup
partai, diapun melarang putra-putri Thi Tiong giok untuk
mempelajari ilmu silat.
Seandainya dimasa itu Thi Keng tidak cepat-cepat menurunkan
perintahnya, tapi menunda setahun lagi, sehingga dia
berkesempatan menyaksikan kelahiran Thi Eng khi, sudah barang
tentu dunia persilatanpun tak akan mengalami keadaan seperti
sekarang ini.
Ketika Thi Keng menyaksikan cucu Kesayangan ternyata bertubuh
tegap berbakat bagus dan berwajah tampan, bahkan jauh melebihi
putranya sendiri Thi Tiong giok apalagi terbayang kembali akan
tindakannya yang gegabah di masa muda dulu, rasa malu dan sesal
segera muncul didalam hatinya.
Oleh sebab itu, dia merasa malu sekali untuk mengakui asalusulnya
sendiri.

191
Thi Eng khi segera mengedipkan matanya menyaksikan sikap
kakek itu seperti sangat tidak tenang, tegurnya kemudian :
“Lotiang, apakah kau kenal dengan kakekku?“
Sekuat tenaga Keng thian giok cu Thi Keng mengendalikan
pergolakan emosi didalam hatinya, lalu menggeleng.
“Lohu dengan kakekmu cuma kenal begitu saja, kami tidak
bersahabat kental!“
Thi Eng khi tak pernah jumpa dengan kakeknya, dia hanya
pernah melihat wajahnya lewat lukisan yang dibuat pada empat
puluh tahun berselang, tentu saja raut wajah dulu dan sekarang
jauh sekali perbedaannya.
Oleh karena itu, Thi Eng khi sama sekali tidak mengetahui kalau
kakek yang berada di hadapannya kakeknya sendiri.
Begitulah, dengan sikap yang amat menghormati ujarnya :
“Locianpwe, apakah kau bersedia untuk memberitahukan
namamu, agar bisa boanpwe ingat terus di dalam hati?“
Keng thian giok cu Thi Keng mengerdipkan matanya lalu tertawa
getir, sahutnya :
“Aaaah..... aku mah orang liar yang sudah lama melupakan
namaku, sebut saja aku sebagai Bu beng kongkong.“
Kemudian tanyanya :
“Usia lohu sudah mendekati seratus tahun, tentunya tidak
menjadi soal bukan kalau kau mesti menyebut kongkong kepadaku?“
Diam-diam Thi Eng khi merasa keheranan, pikirnya :
“Aneh kenapa orang inipun seseorang yang lupa dengan nama
sendiri? Keadaannya tak jauh berbeda dengan hwesio setengah
umur yang pernah kujumpai di bukit Wu san.“
Berpikir sampai disitu, diapun tidak bertanya lagi, dengan hormat
panggilnya :
"Bu Beng kongkong!"

192
Keng thian giok cu Thi Kerg tertawa terkekeh-kekeh, kemudian
duduk ditanah, kepada Thi Eng khi serunya :
"Nak, duduklah kemari Bu beng kongkong ada persoalan hendak
ditanyakan kepadamu"
Thi Eng khi menurut dan duduk didepan kakek tersebut, lalu
ujarnya sambil tertawa :
“Beberapa bulan berselang, boanpwe masih bukan seorang
anggota persilatan karena itu pengetahuanku mengenai urusan
dunia persilatan masih cetek sekali. Mungkin aku akan membuat
kongkong menjadi kecewa.“
Keng thian giok cu Thi Keng tertawa lebar :
“Aaah, tidak menjadi soal apa yang kutanyakan kepadamu pasti
kau ketahui!”
Setelah berhenti sebentar, diapun bertanya lagi :
“Sejak kapan kau menjabat sebagai ketua dari partai Thian liong
pay?“
“Bulan delapan tanggal sembilan belas tahun berselang sampai
sekarang baru sekitar sepuluh bulan.“
Keng thian giok cu Thi Keng manggut-manggut.
“Kalau begitu coba ceritakanlah keadaan partaimu semenjak
ditinggalkan kakekmu!”
Thi Eng khi menjadi sangsi untuk beberapa saat lamanya tapi
setelah termenung dan berpikir beberapa saat, akhirnya diputuskan
untuk menceritakan semua yang diketahui olehnya.
Sebab ia merasa Bu beng kongkong adalah seorang kakek yang
berwajah lembut serta jujur, sudah pasti dia bukan orang jahat,
apalagi dia telah melepaskan budi kepadanya, tidak sepantasnya
kalau dia merahasiakan sesuatu kepadanya.

193
Ketika ia selesai bercerita Keng thian giok cu Thi Keng kembali
mengajukan beberapa pertanyaan sekitar hal-hal yang tidak
dipahami olehnya, dengan cepat pemuda itu merasa bahwa Bu beng
kongkong sesungguhnya adalah seorang kakek yang teliti sekali.
Persoalan apapun dia tanyakan, bila menjumpai hal-hal yang tidak
dimengerti, dia selalu menyelidiki sampai menjadi terang semua
duduknya persoalan.
Ia cuma merasa heran dengan watak Bu beng kongkong yang
aneh dan istimewa itu, tapi tidak menaruh perhatian bahwa berulang
kali secara diam-diam Bu beng kongkong telah membesut air
matanya.
Ketika Keng thian giok cu Thi Keng mendapat tahu keadaan yang
sebenarnya, ia merasa sedih juga menyesal sekali, sambil
memejamkan mata ia termenung sampai lama sekali.
Kemudian sambil mendongakkan kepalanya dan menatap wajah
Thi Eng khi dengan sinar mata yang tajam, serunya dalam-dalam:
"Lohu bertekad untuk mewariskan segenap kepandaian yang
kumiliki kepadamu agar kau bisa mencapai kebahagiaan bagi umat
manusia didunia ini agar bisa mengangkat nama Thian liong pay
hingga jaya diseluruh kolong langit!"
Thi Eng khi pernah menderita kerugian besar karena dipaksa
belajar ilmu silat. maka hatinya menjadi tak senang hati setelah
mendengar perkataan itu, apalagi setelah mendengar ucapan si
kakek yang mengatakan bahwa "agar bisa mengangkat nama Thian
liong pay hingga jaya diseluruh kolong langit" itu dia merasa ucapan
tersebut mencurigakan sekali....
Karenanya, sambil membusungkan dada ia lantas berkata :
“Boanpwe pernah brsumpah, sebelum belajar ilmu sakti yang
tercantum di dalam kitab pusaka Thian liong pit kip, aku tak akan
belajar ilmu silat aliran lain, maksud baik Bu beng kongkong biarlah
boanpwe terima di dalam hati saja!”
Mula-mula Keng thian giok cu Thi Keng agak tertegun, menyusul
kemudian diapun manggut-manggut berulang kali.

194
“Seandainya kau tidak berhasil menemukan kembali kitab pusaka
Thian liong pit kip tersebut apa yang hendak kau lakukan?”
“Andaikata kitab pusaka Thian liong pit kip tersebut tidak berhasil
kutemukan maka sepanjang hidup aku tak akan membicarakan soal
ilmu silat lagi, aku akan menghabisi nyawaku untuk menebusi
dosaku ini terhadap perguruan!”
Mendengar perkataan itu, air mata jatuh bercucuran membasahi
wajah Keng thian giok cu Thi Keng.
“Nak, kau keliru besar," katanya “ketahuilah bahwa ilmu silat
yang ada di dunia ini berasal dari satu sumber, sekalipun terdapat
banyak aliran perguruan di dunia ini tapi sumber dari kepandaian
mereka sesungguhnya adalah satu. Apalagi sebagai seorang
manusia yang bercita-cita luhur, kau harus mempunyai pandangan
yang terbuka serta jiwa yang besar, dengan begitu masalah besar
baru bisa diselesaikan, aku lihat watak keras kepalamu itu perlu
diperbaiki dan bila perlu dilenyapkan sama sekali ….”
Sesungguhnya Thi Eng khi bukan seorang yang keras kepala, dia
bisa mengambil ketetapan begitu lantaran dia mempunyai kesulitan
yang tak dapat dikatakan kepada orang lain, sebagai seorang ketua
yang bertanggung jawab untuk membangun kembali nama baik
partai Thian liong pay didunia ini, sudah barang tentu dia enggan
memperjuangkan cita-citanya tersebut dengan mempergunakan ilmu
silat dari aliran lain.
Dengan cepat dia menggelengkan kepalanya berulang kali, lalu
berkata :
“Nasehat dari Bu beng kongkong pasti akan kuperhatikan dengan
seksama, boanpwe merasa berterima kasih atas perhatiannya ini,
cuma mengenai belajar silat sesungguhnya bukan keras kepala yang
menyebabkan boanpwe berkeputusan demikian adalah karena soal
lain yang menyebabkan boanpwe terpaksa harus berbuat begini,
harap kau sudi untuk memakluminya.”

195
Terdorong oleh pergolakan emosi, Keng thian giok cu Thi Keng
tak bisa mengendalikan diri lagi, dia lantas mendongakkan kepalanya
dan berpekik nyaring.
Tenaga dalam yang dimilikinya memang amat sempurna, begitu
suara pekikannya bergema diudara, tampak pohon bwe disekitar
tempat itu bergoncang keras seperti terhembus angin, kabut tebal di
angkasa pun seakan-akan terhembus buyar kemana-mana.
Diam-diam Thi Eng khi terkejut sekali setelah menyaksikan
kesempurnaan tenaga dalam yang dimiliki Bu beng kongkong, tapi
wajahnya sama sekali tidak berubah, menahan sekulum senyuman
sempat menghiasi wajahnya…..
Tiba-tiba Keng thian giok cu Thi Keng memperlihatkan wajah
gusar, dari sakunya dia mengeluarkan sejilid kitab kecil berwarna
kuning dan diberikan ke tangan Thi Eng khi, kemudian ujarnya
dengan suara yang dingin seperti es :
"Tempat ini merupakan suatu jurang terpencil dengan empat
penjuru dikeliling dinding curam, bila kau tidak mempelajari ilmu silat
dari lohu ini, jangan harap kau bisa keluar dari tempat ini. Hidup
juga kau sendiri, mati juga kau sendiri, setahun kemudian lohu akan
datang lagi untuk menengok dirimu, nah. Baik-baiklah menyesuaikan
diri!"
Seusai berkata. tidak melihat dengan gerakan apakah dia
melompat, tahu-tahu tubuhnya sudah melambung di tengah udara
kemudian lenyap tak berbekas dari pandangan mata.
Thi Eng khi segera mendongakkan kepalanya dan berteriak keras
:
“Aku Thi Eng khi adalah seorang lelaki sejati, aku tak sudi
menerima ancamanmu itu, setahun kemudian silahkan saja datang
kemari, coba kau buktikan sendiri apakah aku akan berusaha
meloloskan diri dengan mengandalkan kepandaian silatmu itu!“
Sementara itu, Keng Thian giok cu Thi Keng telah berada di
dalam sebuah gua kecil di tebing terjal tersebut, dengan air mata
bercucuran dia mengangguk berulang kali, gumamnya :

196
“Nak, kau memang cucu yaya yang paling baik, kau terlalu baik,
yaya merasa gembira sekali.“
Thi Eng khi duduk kembali sejenak ditempat semula, lalu berdiri
dan memasukkan kitab kecil itu kedalam sakunya.
Oleh karena dia sedang mendongkol maka kitab tersebutu sama
sekali tidak diperiksa isinya, bahkan memandang sekejappun tidak.
Menyusul kemudian, diapun melakuka pemeriksaan yang
seksama disekeliling dinding tebing itu dengan harapan bisa
menemukan tempat untuk berteduh, sehingga ia bisa menggunakan
kesempatan yang sangat baik itu untuk berlatih tekun ilmu Sian
thian bu khek ji gi sin kang yang dimilikinya itu.
Tapi sayang usahanya itu sia-sia belaka sekalipun seluruh dasar
jurang sudah diperiksa, ia tidak berhasil menemukan tempat yang
bisa dipakai untuk berteduh, karena itu selama beberapa malam
berikutnya terpaksa ia musti menginap di udara terbuka.
Kemudian ia menemukan pada dinding tebing sebelah timur,
lebih kurang tiga kaki dari permukaan tanah terdapat dua batang
pohon siong yang berdaun lebat, tempat itu bisa dipakai untuk
tempat berteduh.
Sayangnya, kendatipun tenaga dalam yang dimilikinya sudah
teramat sempurna, namun ia tidak mengerti bagaimana caranya
mempergunakan ilmu meringankan tubuh, itulah sebabnya sekalipun
dinding tebing itu cuma tiga kaki, namun sulit baginya untuk
merangkak ke atas.
Untung saja kecerdasannya luar biasa, setelah berpikir sebentar,
ia segera memperoleh suatu ide yang bagus sekali.
Dengan cepat pedang Thian liong kim kiam yang tersoren
dipinggangnya dicabut keluar, setelah itu dengan mempergunakan
pedang Thian liong kim kiam itu sebagai tempat berpegangan,
selangkah-selangkah dia mendaki keatas tebing itu, tak lama
kemudian tibalah pemuda tersebut dibawah pohon siong tadi.

197
Setibanya dibawah pohon siong tersebut, mendadak ia
menemukan sebuah gua batu di belakang pohon tadi, diatas gua
terpancang sebuah papan nama yang bertuliskan empat huruf besar,
tulisan itu berbunyi demikian :
“THIAN-LIONG-TONG-THIAN“
Timbul perasaan heran didalam hatinya, tanpa berpikir panjang
lagi ia lantas berjalan menuju kedalam gua.
Mulut gua itu amat sempit dan cuma bisa dilewati satu orang
saja, akan tetapi setelah berada dalam gua itu maka dijumpainya
ruangan didalam sana luas sekali, lagi pula suasana terang
benderang, tidak diketahui darimanakah datangnya cahaya
penerangan tersebut.
Saat itu Thi Eng khi sudah tidak berminat lagi untuk menyelidiki
persoalan-persoalan yang tidak penting, sebab dia sudah tertarik
perhatiannya oleh dua belah pintu gerbang yang memancarkan
cahaya keemasan-emasan didasar gua tersebut.
Didepan pintu gerbang terdapat sebuah lapisan batu kemala
putih yang tinggi tebal dan memancarkan cahaya berkilauan, orang
harus berdiri diatas lapisan batu kemala putih itu sebelum mencapai
gelang pintu.
Thi Eng khi melompat naik keatas lapis¬an batu kemala putih itu
kemudian menggetarkan gelang pintu itu beberapa kali, akan tetapi
pintu tersebut sama sekali tidak bergeming barang sedikitpun juga,
kenyataan ini membuat hatinya merasa terkejut bercampur
keheranan, ia tidak habis mengerti apa gerangan yang sebenarnya
telah terjadi.
Sekuat tenaga dia berusaha untuk mendorong pintu gerbang itu,
tapi hasilnya nihil sebab pintu gerbang tersebut sama sekali ti¬dak
bergeming barang sedikitpun juga.
Ketika usaha itu dicoba beberapa kali lagi tanpa hasil, akhirnya
pemuda itu menjadi putus asa.

198
Tanpa sengaja tiba-tiba matanya memandang ke lapisan "batu
kemala putih yang diinjaknya itu, lamat-lamat terbaca olehnya
beberapa kalimat yang tertera diatas lapisan batu kemala tersebut.
Tulisan tersebut berbunyi demikian :
“Tempat ini adalah gua Thian liong tong thian, selain anak murid
Thian liong pay dilarang masuk ke dalam gua ini. Untuk masuk
kedalam gua, silahkan mengerahkan ilmu Sian thian bu khek ji gi sin
kang sebanyak tiga kali kelilingan badan pintu ter¬sebut otomatis
akan membuka dengan sendirinya."
Selesai membaca beberapa huruf tulisan tersebut, Thi Eng khi
merasa terperanjat sekali, dengan cepat dua ingatan melintas di
dalam benaknya :
Pertama, gua ini sudah pasti mempunyai hubungan yang erat
sekali dengan partai Thian liong pay.
Kedua Bu beng kongkong mungkin seka¬li adalah anggota Thian
liong pay, tapi siapakah dia?
Teringat akan Bu beng kongkong, diapun teringat pula dengan
kitab kecil berwarna kuning yang berada dalam sakunya, itu dia
beranggapan bahwa kitab kecil tersebut mungkin dapat
mengungkapkan jawaban siapa gerangan kakek yang bernama Bu
beng kongkong tersebut.
Dengan cepat dia mengeluarkan kitab kecil tersebut dari dalam
sakunya dan dilihat dengan seksama.
Yaa, ampun! Apa yang telah terjadi?
Tampak kitab itu sangat mungil dan indah bentuknya, pada
halaman yang terdepan tertera empat huruf besar yang indah
sekali.... tulisan itu berbunyi :
“THIAN LIONG PIT KIP”

199
Sekujur badan Thi Eng khi gemetar keras dengan cepat dia lari
keluar dari dalam gua tersebut, kemudian sambil menggertakkan
giginya menahan pergolakan emosi, gumamnya :
“Yaya! Yaya! Rupanya kau orang tua adalah yaya!”
Dia menerjang keluar dari dalam gua dengan perasaan bimbang
dan tak menentu, dia lupa kalau diluar gua itu terbentang jurang
yang tiga kaki dalamnya.
Karena kurang berhati-hati, kakinya segera menginjak ditempat
kosong, tak ampun tubuhnya terjerumus pula kedasar jurang itu.
Untung saja tenaga dalam yang dimiliki cukup sempurna
sehingga tubuhnya sama sekali tidak terluka, sambil merangkak
bangun, dia mendongakkan kepalanya dan berteriak keras :
"Yaya! Yaya! Kenapa kau tak mau mengenali dirimu dihadapan
Eng ji ....?“
Angin gunung berhembus lewat dari atap, puncak membawa
awan putih bercampur kabut yang tebal, suara teriakan dari Thi Eng
khi tersebut hampir boleh dibilang sama sekali tertelan.
Puluhan tahun menanggung rindu, ternyata tidak mendatangkan
hasil apa-apa, saking sedihnya pemuda itu jatuh tak sadarkan diri.
Entah berapa lama sudah lewat, sambil gemetar keras Thi Eng
khi tersadar kembali dari pingsannya.
Dengan perasaan apa boleh buat, terpaksa pemuda itu mendaki
kembali ke atas bukit dan masuk kembali ke dalam gua Thian liong
tong thian, ia bermaksud untuk mendalami ilmu yang tercantum
dalam kitab pusaka Thian liong pit kip tersebut di dalam gua itu.
Ketika melangkah diatas lapisan batu ke¬mala putih itu dia
mengerahkan tenaga Sian thian bu khek ji gi sin kangnya untuk
mengelilingi seluruh badan, segera terasalah segulung hawa dingin
yang menyebarkan memancar masuk lewat dasar kakinya dan
menyebar keseluruh anggota tubuhnya, tak sampai satu lingkaran

200
tubuh dia sudah merasakan tubuhnya seakan-akan menyatu dengan
lapisan batu kemala putih itu.
Setelah mengitari tubuhnya tiga kali, pintu gerbang berwarna
emas yang semula tertutup rapat mendadak terbuka lebar dengan
menimbulkan suara yang amat nyaring.
Thi Eng khi ragu-ragu sejenak, kemudian diapun melangkah
masuk kedalam ruangan.
Sebuah lorong batu yang lebarnya puluhan kaki terbentang jauh
ke dalam sana, tiada cahaya lentera dalam lorong itu, akan tetapi
suasananya terang benderang bagaikan disiang hari saja.
Dengan langkah lebar Thi Eng khi berjalan masuk kedalam lorong
itu, diujung lo¬rong merupakan sebuah ruang istana yang terbuat
dari batu kemala hijau, didepan ruangan tergantung sebuah papan
nama yang bertuliskan:
"KUI TIN HU"
Setelah memasuki ruangan, ditengah ruangan tersebut terlihatlah
seorang siucay berusia pertengahan yang memakai baju berwarna
biru sedang duduk bersila, sebelah kanan tampak dua belas buah
gundukan tanah beralas batu kemala yang membentuk naga
melingkar, diatasnya duduk empat orang kakek berbaju biru,
disebelah kiri pun tampak dua belas lapisan batu kemala berbentuk
naga melingkar tapi hanya ditempati oleh tiga orang kakek berbaju
biru.
Di tengah ruangan terdapat sebuah meja bundar yang antik
sekali, diatas meja tampak sebuah tempat dupa yang berwarna
hitam pekat, entah terbuat dari bahan apa? Asap tipis mengepul
keluar dari dalam pendupaan itu dan menyebar ke seluruh ruangan
sehingga mendatangkan perasaan segar dan nyaman bagi siapapun.
Thi Eng khi tahu bahwa beberapa orang kakek itu sudah pasti
adalah para angkatan tua dari Thian liong pay, maka sambil
memperingan langkahnya ia maju kedepan, setelah itu sambil
memberi hormat katanya :

201
“Tecu Thi Eng khi ciangbunjin dari angkatan sebelas menghunjuk
hormat buat para Cousu!“
Dengan hidmat, dia memberi hormat sebanyak tiga kali kepada
kakek-kakek itu, tapi sampai lama sekali belum ada juga yang
menjawab ataupun menggubris.
Thi Eng khi tak berani bangkit berdiri, diam-diam ia mencoba
untuk melirik ke depan tampak ke delapan kakek itu tetap duduk
sambil memejamkan mata , mukanya serius agaknya seperti lagi
semedi, maka dengan lantang serunya lagi :
“Tecu Thi Eng khi menghunjuk hormat buat para Cousu!“
Belum juga kedengaran suara jawaban.
Baru saja timbul rasa heran dalam hatinya, tiba-tiba ia
menemukan sebuah tugu peringatan terpancang dibelakang orangorang
itu, diatas batu peringatan tadi tertera beberapa huruf yang
garis besarnya menerangkan bahwa istana Kui tin hu merupakan
tempat bersemayan dari para ciangbunjin partai Thian liong generasi
yang lalu.
Setelah membaca tulisan itu, Thi Eng khi baru mengerti rupanya
beberapa orang cousu itu sudah berpulang ke alam baka.
Ketika dihitung, ternyata jumlah orang yang ada dalam ruangan
itu hanya delapan orang, ini membuktikan kalau kakeknya tak ada
disana, kalau tidak, kakeknya sebagai ciangbunjin angkatan ke
sembilan tentu saja merupakan orang yang ke sembilan dalam
ruangan tersebut.
Dari sini maka terbuktilah sudah bahwa kakek yang
menghadiahkan kitab pusaka Thian liong pit kip kepadanya itu tak
lain adalah kakeknya.
Setelah melakukan pemeriksaan sekejap ia tak berani berdiam
terlalu lama disana, pelan-pelan pemuda itu menuruni ruang tengah,
menelusuri lorong batu dan melangkah keluar dari pintu gerbang.

202
Baru saja kakinya menginjak diatas lapisan batu kemala putih itu,
pintu gerbang di belakangnya menutup sendiri secara otomatis.
Suasana disekeliling tempat itu amat sepi hening dan tak
kedengaran sedikit suarapun tapi ia tidak merasa kesepian, bukan
saja kitab pusaka Thian liong pit kip milik perguruannya telah
ditemukan kembali, selain itu dia pun tahu kalau kakeknya masih
hidup didunia ini.
Dengan tenang diapun duduk diluar gua itu, mengeluarkan kitab
pusaka Thian liong pit kip dan mulai mempelajarinya dengan
seksama.
Disebelah barat kota Teng hong dalam bilangan propinsi Hoo lam
terdapat sebuah bukit yang bernama bukit Siong san, disebelah
utara tanah perbukitan itu berdiri sebuah bangunan kuil yang sangat
besar dan megah, itulah kuil Siau lim si yang termashur namanya
diseluruh dunia persilatan.
Suatu hari, ketiga mendekati waktu senja, dari atas jalan raya
dibawah bukit muncul dua ekor kuda tinggi besar yang dilarikan ke
arah kuil dengan kecepatan tinggi.
Kedua ekor kuda itu merupakan kuda jenis utara yang tinggi
besar, dalam sekejap mata kuda-kuda itu sudah sampai tiba di
depan kuil.
Diiringi suara ringkikan panjang, kedua ekor kuda itu segera
mengangkat kaki depannya ke atas sambil menghentikan larinya.
Seorang gadis cantik segera melenjit keudara, alau dari tengah
udara ia menyambar tali les kuda lain yang ditunggangi seorang
kakek, kemudian melayang turun keatas tanah.
Gerak gerik gadis itu lincah dan gesit sekali, begitu mencapai
permukaan tanah, dia berpaling dan tertawa, seakan-akan tak
pernah mengalami sesuatu hal, ujarnya :
“Paman Ting, kau tunggu saja diatas kudamu!“

203
Tak usah disinggung lagi, kedua orang itu bukan lain adalah cucu
kesayangan Tiang pek lojin (It tek ang) So Seng pak yakni Pek leng
siancu So Bwe leng serta lotoa dari Tiang pek sam nio (tiga burung
dari bukit Tiang pek) Tam co toa beng (rajawali sakti bersayap
tunggal) Ting Tian yu.
Setelah Tiang pek lojin So Seng pak menyaksikan Thi Eng khi
keturunan dari sahabat karibnya yang sedang bertamu dalam
bentengnya diculik orang, dalam gusarnya dia segera memimpin
para jago dari luar perbatasan untuk menyerbu ke daratan
Tionggoan, menurut bukti yang ada, maka pertama-tama dia
mendatangi kuil Siau lim si lebih dahulu.
Dia adalah pemimpin dari luar perbatasan, tentu saja
kegagahannya jauh berbeda dengan orang lain, sebelum melakukan
sesuatu tindakan, dikirimnya kartu pemberitahuan lebih dulu,
kemudian baru mendatangi tempat itu untuk melakukan suatu
penyelesaian.
So Bwe leng yaag manja dan suka keramaian berhasil membujuk
kakeknya untuk mengirim dirinya sebagai utusan, ditemani oleh Tam
ci toa beng berangkatlah mereka menuju ke kuil Siau lim ci.
Dasar masih muda dan lagi binal, begitu melompat turun dari
kudanya, seperti seekor kupu-kupu langsung melompati tujuh belas
buah undak-undakan batu dan menyer¬bu masuk keruang tengah.
Pada saat itulah, dari dalam kuil melompat keluar dua orang
pendeta berusia pertengahan, sambil menghadang dihadapannya,
mereka menegur :
”Omitohud, tempat ini adalah tempat suci sang Buddha, harap
nona berhenti!"
Meski tak senang hati, Pek leng siancu So Bwe leng enggan
menumbuk kedua orang hwesio tersebut, terpaksa dengan kening
berkerut katanya :
“Aku hendak mencari hwesio gede dari kuil ini untuk
membincang-bincang... !"

204
Ucapan tersebut amat tak sedap didengar, kontan saja paras
muka salah seorang pendeta yang kurang tebal imamnya berubah
hebat, sambil memperkeras suaranya, dia berseru :
“Peraturan kuil kami menetapkan bahwa setiap orang perempuan
dilarang masuk ke dalam ruangan, jika li sicu ada urusan sampaikan
saja kepada siauceng!“
Dengn kening berkerut Pek leng siancu So Bwe leng segera
tertawa dingin :
“Heehhh.... heeehhh... heeehhhh.... apa sih hebatnya dengan
suatu kuil kecil di tempat tercokolnya kawanan hwesio cilik?
Andaikata kau tidak berbicara begitu, mungkin nona masih bisa
diajak berunding, tapi sekarang, aku bersikeras hendak melihatnya!“
Sehabis berkata, sepasang telapak tangannya direntangkan dan
melepaskan pukulan.
“Blaaammmm.....!“ dua orang hwesio itu masing-masing mundur
sejauh tiga langkah lebih.
Menggunakan kesempatan itu, dengan cekatan dia menerobos
masuk ke ruang tengan, kemudian sambil bertolak pinggang dan
tertawa tergelak tiada hentinya dia berseru :
"Sekarang aku sudah masuk ke dalam, mau apa kalian?"
Kedua orang hwesio ini adalah murid angkatan kedua dari kuil
Siau lim si, yang seorang bernama Bu ki, yang lain bernama Bu wan,
kepandaian silat yang dimilikinya terhitung tangguh sekali di dalam
dunia persilatan, siapa tahu mereka kena dipecundangi oleh seorang
nona yang masih sangat muda, hal ini segera dianggapnya sebagai
suatu peristiwa yang amat memalukan.
Serentak kedua orang itu membentak keras dan siap menerjang
ke depan untuk melakukan sergapan lagi.
Tapi saat itulah suatu bentakan menggeledek menggema dari
dalam ruangan kuil :
"Bu ki, Bu wan, jangan kurangajar!"

205
Sesosok bayangan manusia berkelebat lewat, dan muncullah
seorang hwesio gemuk pendek yang berusia lima puluh tahunan.
Bu ki hwesio dan Bu wan hwesio segera menghentikan gerakan
tubuhnya, kemudian sambil merangkap tangannya di depan dada ia
berseru :
“Tecu ......“
Pek leng siancu So Bwe leng kembali tertawa cekikikan, serunya
dengan merdu :
“Aaah .... tak menjadi soal, memukul hwesio di dalam kuil
hwesio, itu baru berarti namanya! Tak usah sungkan-sungkan, kalian
bertiga boleh maju bersama-sama.“
Hwesio gemuk pendek inijauh lebih tinggi kedudukannya
daripada Bu ki hwesio dan Bu wan hwesio, sudah barang tentu
imamnya juga jauh lebih tebal, ketika dengar perkataan itu, dia tidak
merasa gusar, malah katanya sambil tertawa :
“Anak murid kalangan Buddha tak akan melukai orang secara
sembarangan, li sicu pandai benar bergurau!"
Pek leng siancu So Bwe leng memutar biji matanya sebentar, lalu
katanya dengan lantang:
"Kalau begitu, kau tak akan menghalangi nonamu masuk ke
dalam kuil bukan?"
Hwesio gemuk pendek itu merupakan mu¬rid angkatan pertama
dari kuil Siau lim si, dia menjabat sebagai kepala penerimaan tamu
dari kuil tersebut, orang persilatan menyebut sebagai Thi ciang ceng
(pendeta toya baja) Go Tong hwesio.
Hwesio ini bukan saja pengalamannya luas, pengetahuannya juga
matang, ia sudah pandai menilai kemampuan orang.
Dari setiap gerakan yang dilakukan oleh Pek leng siancu So Bwe
leng, ia sudah tahu kalau gadis yang masih muda usia ini
sesungguhnya memiliki ilmu silat yang jauh diatas kepandaiannya.

206
Dengan nama besar kuil Siau lim si yang begitu tersohor dalam
dunia persilatanpun tak sampai mengkederkan hatinya, bahkan
dengan begitu beraninya datang mencari gara-gara, dari sini dapat
diketahui kalau di belakang sinona pasti terdapat tulang punggung
lain yang menunjang dirinya.
Diapun sadar, kendatipun dengan kekuatan yang dimiliki mereka
bertiga, menahan gadis itu bukan suatu pekerjaan yang sukar tapi
tindakan semacam itu sudah jelas bukan suatu tindakan yang bisa
menyelesaikan masalahnya, malahan bisa jadi akan mendatangkan
kesulitan yang lebih besar lagi bagi kuilnya.
Apalagi pada detik itu dia masih belum memahami maksud
kedatangan sinona tersebut, maka Go to hwesio mengambil
keputusan untuk menahan diri dan tidak mengambil tindakan secara
gegabah.
Siau lim si bisa mempunyai sejarah yang panjang didalam dunia
persilatan bukan lantaran mereka memperolehnya karena mujur,
tapi dalam ilmu silat mereka memang betul-betul memiliki
kemampuan yang lain daripada yang lain.
Demikianlah dengan senyuman masih menghiasi ujung bibirnya,
Go tong hwesio berkata:
“Seandainya li-sicu datang kemari untuk menyembah kepada
Buddha, sudah barang tentu akan pinceng sambut dengan segala
kehormatan!”
Pek leng siancu So Bwe leng rneski binal orangnya tapi ia masih
polos dan suci bersih, tadi dia sengaja mengacau karena
menganggap Thi Eng khi benar-benar sudah ditawan oleh pihak Siau
lim si, maka sebelum mengutarakan maksud kedatangannya, ia
berniat memberi sedikit pelajaran kepada mereka.
Tapi, setelah dilihatnya hwesio itu sama sekali tidak gusar,
bahkan tenang-tenang saja ia menjadi rikuh sendiri untuk
melanjutkan perbuatannya, maka sambil tertawa katanya:

207
“Kau si hwesio masih terhitung seorang yang jujur, nonamu tak
ingin membuat kekacauan tanpa sebab, maka memandang diatas
wajahmu, nona akan menyampaikan maksud kedatanganku itu!"
Sekalipun sikapnya sudah jauh lebih lembut namun ucapannya
masih tak sedap kedengarannya.
Gotong hwesio cuma bisa tertawa diwajah, mendongkol didalam
hati, katanya kemudian :
“Harap li sicu bersedia memberi petunjuk!”
Pek leng siancu So Bwe leng segera mengebaskan ujung bajunya
kedepan, serentetan cahaya putih dengan kecepatan luar biasa
meluncur ke tengah ruangan.
“Tiga hari kemudian, kakekku akan berkunjung sendiri kemari
untuk menyambangi hwesio tua kuil kalian!” serunya dengan serius.
“Kakek nona adalah ...... “
Sambil menarik, Pek leng siancu SO Bwe leng segera menukas :
"Tanda pengenalnya disitu, buat apa kau musti banyak bertanya
lagi?"
Seusai berkata, dia lantas mambalikkan badannya dan meluncur
keluar dari dalam ruangan.
Bu ki hwesio dan Bu wan hwesio segara membungkukkan
badannya memberi hormat katanya:
"Lapor susiok, perlukan kita menghadang jalan perginya?"
"Biarkanlah ia pergi!" jawab Go tong hwesio sambil mengulapkan
tangannya.
Dia lantas melompat ke atas dan meluncur ke tiang penglari dari
ruangan tersebut sewaktu melayang turun kembali ke atas tanah,
ditangannya telah bertambah dengan sebuah benda persegi enam
berbentuk bunga salju yang terbuat dari perak putih dan besarnya
cuma beberapa inci.

208
Bu ki hwesio maupun Bu wan hwesio tak bisa menebak tanda
pengenal dari siapakah benda berbentuk bunga salju yang terbuat
dari perak putih itu, baru saja akan bertanya, Go tong hwesio
dengan wajah hijau membesi telah berseru :
"Tiang pek lojin, bagus sekali perbuatanmu!”
Dia membalikkan badannya dan melompat masuk keruangan
belakang.
CIANGBUNJIN dari partai Siau lim duduk diruang tengah dalam
kamar semedinya, di sekelilingnya duduk keempat orang Kim kong
dari Siau lim pay yakni Ci kay taysu, Ci hui taysu, Ci leng taysu dan
Ci-nian taysu.
Disamping ruang berdiri Thi ciang ceng (pendeta toya baja) Go
tong hwesio, ia telah melaporkan tentang tantangan dari Tiang pek
lojin dan menantikan perintah dari ketuanya.
Ketua dari Siau lim pay duduk tenang dengan mata terpejam,
setelah termenung beberapa saat lamanya, mendadak ia membuka
matanya lebar-lebar dan menatap wajahnya Ci kay taysu dengan
sinar mata berkilat tajam. Katanya dengan suara dalam :
"Ci kay sute, menurut pendapatmu apa maksud kedatangan
Tiang pek lojin kemari?”
Dengan perasaan tidak habis mengerti Ci kay taysu
menggelengkan kepalanya berulang kali.
"Tecu bodoh dan tak bisa menebaknya!”
Jilid 7
MENYUSUL kemudian, Ci hui taysu, Ci leng taysu dan Ci nian
taysu mengemukakan pula keheranan dan ketidak mengertian
mereka.

209
Ketua Siau lim pay segera menghela napas panjang, tiba-tiba
serunya dengan lantang. "Dimana Go sin?"
"Tecu siap menanti perintah!" seseorang menjawab dari luar
ruangan.
“Pergi kekamar Sian hong dan bawa kemari kotak bambu hijau
tempat tanda pengenal!”
Tak lama kemudian, Go sin hwesio telah muncul sambil
membawa sebuah kotak panjang terbuat dari bambu hijau,
kemudian dengan sepasang tangannya dipersembahkan kehadapan
ketuanya.
Ciangbun Hongtiang segera berpesan :
"Serahkan kepada Ci kay susiok untuk diperiksa!"
Go sin hwesio menurut dan serahkan kotak panjang bambu hitam
itu kepada Ci kay taysu, kemudian mengundurkan diri dari situ.
Ketika Ci kay taysu membuka kotak itu dan diperiksa isinya,
ternyata kotak itu hanya berisikan secarik kertas putih.
Dengan cepat kertas itu diambilnya, kemudian dibaca isinya, apa
yang kemudian terbaca segera membuat paras mukanya berubah
hebat, dengusan napasnya juga memburu.
Ciangbun hongtiang memandang sekejap ke arah Ci hui taysu, Ci
leng taysu dan Ci nian taysu, setelah itu ujarnya:
"Sute bertiga belum mengetahui keadaan yang terjadi, Ci kay
sute! Coba kau bacalah secara lantang isi surat tersebut!"
Ci kay taysu menurut dan segera membaca isi surat itu dengan
suara lantang :
“Dengan alasan ketua partai Thian liong pay angkatan kesebelas
telah ditawan oleh partai kalian dan Bu tong pay.
Tiang pek lojin So Seng pak akan datang ke kuil Siau lim si untuk
menerbitkan keonaran, padahal yang benar mereka berniat

210
menghancurkan partai kalian agar ambisinya untuk menguasahi
daratan Tionggoan bisa tercapai.
Untuk menghindari segala kemungkinan yang tak diinginkan
sengaja kuberi peringatan inl agar kalian bisa membuat persiapan
yang diperlukan.
Tertanda: orang yang ada maksud"
Ketika Ci kay taysu selesai membaca isi surat tersebut, suasana
dalam ruangan segera tercekam dalam keheningan yang luar biasa.
Akhirnya Ci kay taysu menggelengkan kepalanya berulang kali
seraya berkata :
"Tak bisa dipercaya! Tak bisa dipercaya! Menurut apa yang
kuketahui, Tiang pek lojin adalah seseorang yang lurus, jujur dan
bijaksana, mana mungkin ia bisa mempunyai jalan pemikiran yang
demikian latahnya……?”
“Tapi orang toh sudah berada didepan pintu, masa hal ini bisa
suatu ceritera bohong saja!" kata Ci hui taysu.
“Menurut pendapat siaute,” kata Ci nian taysu, “lebih baik kita
percaya dulu daripada tidak percaya, bersiap-siap lebih duluan toh
tidak ada salahnya.”
“Tiang pek lojin memiliki kepandaian yang luar biasa sekali,” ujar
Ci leng taysu serius, “aku kuatir ciangbun suheng sendiripun …..”
Mendadak ia menghentikan kata-katanya, melirik sekejap ke arah
ketuanya dan tidak berbicara lagi.
Ciangbun hongtiang sekali lagi menghela napas panjang.
“Aaai …. Aku masih ingat cerita orang pada puluhan tahun
berselang, dalam sepuluh kali pertarungan antara Tiang pek lojin
melawan Keng thian giok cu Thi locianpwe dari Thian liong pay,
akhirnya dia baru dikalahkan dalam setengah jurus. Kejadian itu
membuatnya mengasingkan diri ke luar perbatasan dan membangun

211
kekuatan baru di situ, kesemuanya itu membuktikan kalau So lo
tidak mempunyai ambisi apa-apa, sungguh bikin orang tidak habis
mengerti.”
“Aaaai.... menurut pendapatku, kejadian ini mencurigakan sekali
dan pantas untuk dicurigai, cuma, puluhan tahun-tahun lamanya So
lo selalu jujur dan bijaksana, siapa tahu kalau kemunculannya kali ini
adalah bertujuan untuk melenyapkan badai pembunuhan yang mulai
mengancam dunia persilatan? Yang paling menguatirkan adalah jika
ada orang bermain dalam air keruh dan menunggangi keadaan
tersebut demi kepentingannya.”
Mendengar perkataan itu, tiba-tiba saja Ci kay taysu teringat
kembali akan perbuatan Huan im sin ang yang bermaksud mengadu
domba para jago ketika berada di perkampungan Ki hian san ceng
tempo hari.
Seperti serentetan hatinya, dia lantas berseru:
“Entah dimana datangnya surat itu? Apakah di ciangbun suheng
bersedia memberi petunjuk?"
Ciangbun hongtiang menunduk sedih, sahutnya :
"Surat ini kutemukan dalam kamarku pagi tadi."
Mendengar perkataan tersebut, ke empat orang kim kong saling
berpandangan muka dan tidak berbicara apa-apa lagi.
Harus diketahui ketua dari partai Siau lim ini memiliki tenaga
dalam yang amat sempurna, tapi kenyataannya orang yang memberi
peringatan tersebut dapat meninggalkan surat peringatan tanpa
diketahui, dari sini dapat diketahui kalau kepandaian silat yang
dimiliki orang itu sangat mengerikan hati.
Tanpa terasa keempat orang pendeta itu saling berpandangan
dengan perasaan terkesiap.
Tiba tiba ketua dari Siau lim pay itu berpaling, kemudian serunya
dengan suara lantang :

212
“Go tong, turunkan perintah untuk mempersiapkan barisan Lo
han toa tin….."
Go tong hwesio mengiakan dan segera mengundurkan diri dari
tempat tersebut, ketika Ci kay taysu menyaksikan ketuanya hendak
mempergunakan barisan Lo han toa tin untuk menghadapi Tiang pek
lojin, dengan kening berkerut segera tegurnya :
"Ciangbun suheng, apakah tindakan ini tidak kurang baik?"
"Jika ada persiapan bencana baru dapat diatasi, So Seng pak
bukan seorang jago yang gampang untuk dihadapi, sampai
waktunya kita mengambil tindakan menurut keadaan saja!”
DALAM suasana tegang dan kesiagaan penuh kuil Siau lim si
dapat melewati dua hari masa yang aman.
Didalam dua hari ini, mereka sendiripun tak dapat menebak gerak
gerik serta kekuatan yang sebenarnya dari Tiang pek lojin.
Puluhan orang jago lihay dari luar perbatasan yang dipimpin
langsung oleh Tiang pek lojin dengan terang-terangan menginap
disebuah rumah penginapan yang terbesar dikota Teng hong, segala
sesuatunya dilakukan secara terang-terangan, sedikitpun tidak
tampak tersembunyi atau melanggar kebiasaan dunia persilatan
tidak malu ia disebut sebagai seorang pemimpin dunia persilatan.
Besok adalah saat perjanjian yang telah ditetapkan.
Untuk menghadapi tantangan yang akan terjadi besok pagi
segenap anggota Siang bun ia memerintahkan untuk beristirahat
semenjak pagi, agar semua orang bisa memiliki tenaga yang segar
untuk menghadapi peristiwa besok pagi.
Waktu sudah melewati kentongan ketiga selain penjagaan yang
dilakukan dengan ketat, suasana dalam kuil itu diliputi oleh
keheningan yang mencekam.
Pada saat itulah, tiba-tiba dari bawah bukit berkumandang suara
pekikan nyaring yang amat memekikkan telinga, pada mulanya suara

213
pekikan tersebut masih berada di tempat yang sangat jauh, tapi
sesaat kemudian tahu-tahu sudah dekat sekali dengan kuil itu,
Meski penjagaan disekitar kuil Siau lim si amat ketat, penjagapun
terdiri dari jagoan yang lihay, akan suara pekikan itu dengan
mudahnya dapat bergerak langsung menuju ketengah ruangan.
Mendengar suara pekikan itu dengan terkejut Ciangbun
hongtiang membuka pintu dan berjalan keluar dari ruangan, pada
saat yang bersamaan pula suara pekikan itupun telah sampai disitu.
Dengan kening berkerut dia mengawasi si kakek berambut putih
yang berada dihadapannya, kemudian sambil tertawa dingin katanya
dengan suara dalam.
"Rupanya So tayhiap yang telah berkunjung datang, tak heran
kalau tiada anggota kuil yang bisa menghalangi kedatanganmu,
tolong tanya ada urasan apa So tayhiap malam-malam berkunjung
kemari? Apakah kau sudah lupa dengan janji kita besok?"
Tiang pek lojin So Seng pak segera tertawa terbahak-bahak.
"Haaahh……. Haaahh…….. haaahh…. lohu bermaksud untuk
berbicara secara baik-baik lebih dulu sebelum menggunakan
kekerasan sebelum pertarungan berlangsung aku ingin berbincangbincang
secara pribadi lebih dulu denganmu apakah tidak boleh?"
"Kalau memang ingin berbicara katakan saja terus terang, lolap
sama saja bisa menerimanya.”
Sementara pembicaraan berlangsung, Sreet! Sreet! Sreet! Diiringi
desingan angin tajam,
Ci kay taysu, Ci hui-taysu, Ci leng taysu dan Ci nian taysu telah
bermunculan disana dan membentuk posisi setengah lingkaran
dibelakang tubuh Tiang pek lojin.
Dengan pandangan dingin, Tiang pek lojin memandang sekejap
sekeliling tempat itu, kemudian dengan sikap acuh tak acuh katanya
:

214
"Lohu datang dari jauh sebagai tamu, masa kalian tidak tahu cara
untuk menerima tamu?"
Sambil tertawa dingin, ia mendongakkan kepalanya dan bersikap
sangat angkuh.
Ciangbun hongtiang memandang sekejap kearah keempat orang
sutenya, kemudian setelah memuji keagungan sang Buddha, ujarnya
dengan serius :
"Lolap kurang hormat, harap So tayhiap jangan menyalahkan,
silahkan……… !"
Dia membuka pintu ruangan dan berjalan masuk lebih dahulu.
Tiang pek lojin berjalan diantara kepungan lima orang dan masuk
kedalam ruangan dengan langkah lebar, tanpa menunggu ucapan
orang, dia langsung mengambil tempat duduk, sikapnya angkuh,
tinggi hati dan sama sekali tidak pandang sebelah matapun terhadap
lawannya.
Menyaksikan perbuatan kakek itu, hawa amarah segera
memancar keluar dari wajah empat orang taysu itu.
Diam-diam ciangbun hongtiang dari partai Siau lim memberi
tanda kepada keempat orang sutenya agar menahan diri, ia kuatir
kalau adik seperguruannya tak kuasa menahan diri sehingga
melakukan perbuatan yang merugikan nama baik partai.
Pelan-pelan ciangbun hontiang dari Siau lim pay duduk dihadapan
Tiang pek lojin.
Keempat orang taysu lainnya berdiri di kedua belah samping,
berada di depan orang luar, mereka tak berani mengambil tempat
duduk sejajar dengan ketuanya.
Pelan-pelan paras muka Tiang pek lojin berubah menjadi lembut
dan tenang, ujarnya kemudian :
“Hwesio tua, dapatkah kau tebak apa maksud kedatangan lohu
pada malam ini?”

215
Dengan wajah serius sahut ketua dari Siau lim pay :
“Lolap tidak habis mengerti dengan keperluan apakah So tayhiap
mengadakan janji dengan kami untuk datang berkunjung kemari?"
Sebagai seorang ketua dari suatu perguruan besar, dia enggan
untuk menebak maksud kedatangan orang secara sembarangan, tapi
dibalik ucapannya itu lamat-lamat mengandung nada tegoran.
Tiba-tiba Tiang pek lojin bergumam sendiri :
"Kedatangan lohu bukan pada waktunya, apakah toa hwesio
merasa agak tidak senang hati?"
Ketua dari Siau lim pay itu mengerutkan dahinya, kemudian
pelan-pelan menjawab :
''Kemampuan So taybiap untuk berjalan di angkasa memang tak
bisa dibandingkan dengan orang, betul kuil kami kecil, tapi
kemampuan untuk menahan diri masih kumiliki, harap So tayhiap
jangan memikirkan yang bukan-bukan."
Tiba-tiba Tiang pek lojin menghela napas panjang, katanya lagi :
"Lohu ada niat untuk membatalkan perjanjian untuk
menyambangi ke atas bukit, maka sengaja aku datang untuk
mengajak toa hwesio merundingkan persoalan ini, harap toa hwesio
jangan menyalahkan diriku yang telah mendatangi kuil malammalam!”
Mendengar perkataan itu, ketua dari Siau lim pay tersebut
tertawa terbahak-bahak.
"Haaah…….. haaahhhh………. Haaahhh….. kenapa So tayhiap
berkata begitu, baiklah, lolap akan mendengarkan perkataanmu itu."
Tiang pek lojin memandang sekejap kearah Ci kay taysu sekalian
berempat, sementara mulutnya tetap membungkam, agaknya ia ada
maksud untuk mempersilahkan orang-orang itu pergi dahulu
meninggalkan tempat tersebut.

216
Siau lim Su toa Kim kong adalah orang-orang yang cukup
berpengalaman dalam masalah dunia persilatan, tentu saja mereka
pun memahami arti kata dari sikap musuhnya.
Ci kay Taysu termenung dan berpikir beberapa saat lamanya,
kemudian dengan mengajak ketiga orang sutenya memberi hormat
kepada Ciangbun suhengnya seraya berkata :
"Tecu sekalian berempat akan mohon diri lebih dulu dari tempat
ini…. !”
Selesai berkata rnereka telah bersiap-siap untuk mengundurkan
diri dari tempat itu.
Tapi dengan cepat ketua dari Siau lim pay itu mengulapkan
tangannya sembari berkata :
“Tak ada halangan buat Sute berempat untuk tetap berada disini,
So tayhiap adalah seseorang yang periang dan berjiwa terbuka
kalian tak usah berlagak sok pintar.”
Sesungguhnya keempat toa kim kong itu pun merasa tidak
berlega hati untuk membiarkan ciangbun suhengnya berbicara
empat mata dengan Tiang pek lojin, mereka kuatir ketuanya
menderita kerugian, permohonan diri yang diucapkan tadi tak lebih
hanya suatu sopan santun belaka dan mereka memang tidak benarbenar
berniat begitu.
Maka setelah mendengar perkataan dari ciangbun suhengnya itu,
merekapun segera membatalkan niatnya untuk mengundurkan diri,
sambil tersenyum mereka balik kembali ke tempatnya semula.
Entah apa sebabnya, ternyata Tiang pek lojin berubah menjadi
bertebal muka dan tak tahu malu, tiba-tiba katanya kembali :
“Lohu bermaksud untuk berbicara empat mata saja dengan lo
hwesio……!"
Ketua dari Siau lim pay itu segera tersenyum, sahutnya :
“Keempat orang suteku bukan orang luar, jika So tayhiap ingin
berbicara, lebih baik katakan saja dengan terang-terangan.”

217
Agak memerah paras muka Tiang pek lojin karena jengah, untuk
menutupi rasa malunya itu sengaja ia mendongakkan kepalanya dan
tertawa terbahak-bahak.
“Haaahh...Haaahhh… Haaahhh… kalau begitu lohu akan
berbicara secara blak-blakan!"
Baik ketua dari Siau lim pay maupun keempat orang Kim kong itu
tetap membungkam dalam seribu bahasa, dengan tenang mereka
menantikan pembicaraannya lebih jauh.
Dengan perasaan apa boleh buat, terpaksa Tiang Pek lojin
berkata dengan serius :
"Asalkan kuil kalian bersedia untuk menyerahkan Si li cu
berwarna merah kepadaku, lohu segera akan mengalihkan pasukan
ke bukit Bu tong dan sejak kini tak akan mengusik kuil kalian lagi.”
Si li cu dari kuil Siau lim si semuanya terdiri dari tiga macam,
yakni putih, merah dan hitam, benda itu dibentuk oleh para
ciangbunjin pada generasi yang lalu.
Selama ratusan tahun belakangan ini, banyak sekali Si li cu warna
putih dan hitam yang berhasil dibentuk, sedangkan Si li cu warna
merah hanya berhasil dibuat oleh ciangbunjin angkatan ke lima,
sebab itu Si li cu warna merah dianggap sebagai benda mustika oleh
pihak Siau lim si.
Sekarang, Tiang pek lojin ternyata menghendaki pihak Siau lim
menyerahkan benda tersebut, bukankah hal ini merupakan suatu
pemaksaan yang sewenang-wenang?
Tak heran kalau kelima orang hwesio dari Siau lim si itu menjadi
tertegun untuk beberapa saat lamanya.
Ketua dari Siau lim si itu segera mendongakkan kepalanya dan
tertawa terbahak-bahak dengan gusarnya, kemudian dengan wajah
berubah serunya lantang :
"So tayhiap, apakah kau beranggapan bahwa pertemuan yang
berlangsung besok pasti dimenangkan oleh pihakmu?

218
“Hmmm….. tak perlu menunggu sampai besok sekarangpun bisa
kubuktikan kenyataanya!" sahut Tiang pek lojin sambil menunjukkan
sikap yang aneh sekali.
Ketua dari Siau lim si itu benar-benar dibikin naik pitam, sambil
tertawa dingin katanya :
“Bagus sekali! Bagus sekali! Ci kay sute, harap kau menuju
kehalaman belakang dan perintahkan orang untuk memasang
lampu, kalau memang So tayhiap ada kegembiraan untuk melakukan
hal ini, lolap bersedia untuk mengiringi kehendakmu!"
Ci kay taysu mengiakan dan siap berlalu dari situ.
Tapi Tiang pek lojin telah goyangkan tangannya berulang kali
sambil tertawa seram katanya :
“Tidak perlu lohu tak ingin terlalu menyusahkan kalian semua,
bagaimana kalau kita mencoba beberapa gebrakan ditempat ini
saja?"
Soal lagaknya yang besar masih bisa ditahan, tapi sindirannya
yang pedas cukup membuat orang merasa tak kuasa menahan diri.
Sebelum ciangbun suhengnya mengucapkan sesuatu Ci nian
taysu sudah tak kuasa menahan diri lagi, dia segera membentak
gusar:
"So Seng pak, kau benar-benar tidak memandang sebelah mata
kepada kami, pertama-tama biar pinto yang meminta petunjukmu
terlebih dulu!”
Tiang pek lojin melototkan matanya sambil mendengus,
“Hmm….! Usiamu belum mencapai enam puluh tahun, masa
latihanmu masih sangat terbatas, tak nanti kau bisa menahan tiga
buah seranganku. Lohu rasa, ada baiknya kalian suheng te berlima
maju bersama-sama saja!”
Ketua Siau lim pay dan ke empat Kim kongnya mempunyai
kedudukan yang amat tinggi didalam dunia persilatan, jangan
dibilang lima orang mengerubuti satu orang, sekalipun secara bergilir

219
mereka turun tanganpun tak akan dilakukan, sebab jika hal ini
sampai tersiar dalam dunia persilatan, bukankah nama besar partai
Siau lim akan tercoreng?
Tiang pek lojin bisa berbicara besar karena dia tahu bahwa
dirinya tidak terjerumus dalam keadaan yang berbahaya, sehingga
ucapan yang diutarakan pun menjadi tak sedap didengar.
Itulah sebabnya perkataan dari Tiong pek lojin dengan cepat
mengorbarkan hawa amarah dari ketua Siau lim beserta ke empat
Kim kongnya.
Ci nian taysu tak kuasa menahan diri lagi sambil membentak
keras ia maju menyerang dengan ilmu pukulan Siau lim sin kun
sambil menuju tubuh Tiang pek lojin bentaknya : "Bisa atau tidak,
kita coba dulu baru berbicara kemudian!"
Tiang-pek lojin tertawa sinis, sambil mengangkat telapak
tangannya keatas dan memdorongnya kemuka dia berkata :
"Jika kau tak tahu diri, jangan salahkan diri lohu lagi."
Ci nian taysu bisa menjadi salah satu dari Su toa kim kong dalam
partai Siau lim karena ilmu pukulan Bu im sin kangnya sudah
mencapai kesempurnaan delapan bagian dalam dunia persilatan
dewasa ini boleh dibilang tidak seberapa orang yang mampu
menghadapi pukulannya itu.
Selihay-lihaynya tenaga dalam yang dimiliki Tiang pek lojin tidak
seharusnya dia berani memandang enteng musuhnya maka ketika
semua orang menjumpai sikap acuh musuhnya itu, diam-diam
mereka menjadi girang, dianggapnya dalam pertarungan pertama ini
paling tidak pihak mereka akan berhasil meraih keuntungan.
Siapa tahu kenyataannya sungguh jauh di luar dugaan,
mendadak sekujur badan Ci nian taysu mengejang keras akhirnya
tak sanggup berdiri tegak, secara beruntun dla mundur empat lima
langkah dan akhirnya muntah darah segar, jelas isi perutnya sudah
mengalami luka yang tidak ringan.

220
Ketika dua gulung angin pukulan saling membentur tadi, dalam
ruangan sama sekali tidak terjadi goncangan apa-apa, dari sini bisa
diketabui kalau kepandaian silat yang dimiliki kedua belah pihak
benar-benar sudah mencapai tingkatan yang luar biasa.
Tampaknya Tiang pek lojin berhasil untuk membuat kejutan
dengan serangannya itu, maka diantara serangan yang
dipergunakan itu, diam-diam ia sertakan pula tenaga serangan Jit
sat ci yang maha lihay itu.
Akhirnya bukan saja Ci nian taysu terkena serangan itu sampai
luka dalam, bersama itu juga jalan Ciang bun hiat ditubuhnya juga
terkena totokan.
Begitu hawa murninya tak bisa dihimpun, kontan darah segar
muntah keluar dan akhirnya ia roboh tak sadarkan diri. Setelah jatuh
pingsan, sudah barang tentu dia pun tak dapat menceritakan bila ia
sudah kena disergap lawan secara licik.
Tiang pek lojin sama sekali tidak memberi kesempatan kepada
lawannya untuk melakukan penyelidikan, sambil tertawa tergelak
serunya kemudian :
"Bagaimana hasilnya? Lohu tidak sengaja omong besar bukan?"
Ci hui taysu segera maju ke depan, kemudian katanya :
"Tak usah banyak berbicara lagi, silahkan kau menerima sebuah
pukulan dari pinto ini!"
Ditengah pembicaraan tersebut, tubuhnya segera merendah ke
bawah, sepasang telapak tangannya dengan disertai tenaga penuh
langsung menyerang jalan darah Siau yau hiat dipinggang Tiang pek
lojin dengan jurus Thian tee kay tay (langit bumi terbuka lebar).
Sesudah berhasil mengalahkan Ci nian taysu dalam satu
gebrakan mengandalkan tenaga dalamnya yang sempurna, kali ini
Tiang pek lojin telah merubah sistim pertarungannya ketika
menghadapi Ci hui taysu, dia hendak menangkan musuhnya dengan
mengandalkan jurus serangan agar musuh bisa mengetahui
kemampuannya yang sebenarnya.

221
Begitulah, sambil tersenyum dia tetap berdiri tegak ditempat
semula, kemudian dengan mengandalkan tangan kirinya
melancarkan serangan balasan, ia cengkeram urat nadi pada
pergelangan tangan kanan Ci hui taysu dengan jurus Ing kan im san
(menggaet kepala memandang bukit).
Ci hui taysu segera merasakan munculnya segulung hawa dingin
yang merasuk tulang langsung menyusup ke dalam nadinya, ia
menjadi bergidik dan bersin beberapa kali, peluh dingin jatuh
bercucuran muka menjadi pucat pias seperti mayat dan segenap
tenaga dalamnya menjadi punah tak berwujud.
Melihat musuhnya telah kena dipecundangi, Tiang pek lojin
tertawa terbahak-bahak katanya :
“Haaahhh…. Haaahhhh….. haaaahhhhh…. ternyata yang
dinamakan Su toa kim kong dari partai Siau lim tidak lebih hanya
begitu saja, hayo enyah kau dari sini!"
Ketika telapak tangannya dikebaskan kemuka, tubuh Ci hui taysu
yang tinggi besar itu sudah terlempar jauh keluar jendela.
Paras muka Ci kay taysu dan Ci leng taysu segera berubah
menjadi hijau membesi, tampaknya mereka sudah berniat untuk
turun tangan.
Hongtiang dari Siau lim pay pun melototkan matanya bulat-bulat,
ujarnya kemudian : “Sebelum partai kita berada didalam posisi
antara hidup dan mati, harap sute berdua tenangkan sedikit hati
kalian, hari ini kita cuma bertujuan untuk mengukur kepandaian
masing-masing, dua orang yang mencobapun sudah lebih dari
cukup!"
Tampaknya tujuan Tiang pek lojin telah tercapai pula, paras
mukanya berubah menjadi jauh lebih lunak, lalu katanya :
"Hari ini memang bermaksud untuk menjajal kepandaian, maka
kita hanya membatasi saling menutul, tapi besok dalam pertemuan
resmi aku tidak akan bertindak sesungkan ini lagi, hui toa hwesio
pikirkan yang matang dan besok beri aku jawaban, sekarang maaf
kalau lohu tak akan menemani lebih lama lagi"

222
Begitu ucapan yang terakhir diutarakan, tubuhnya sudah
melayang keluar lewat jendela dan melompat naik keatas atap
rumah.
Ci kay taysu dan Ci leng taysu berdua segera membentak keras
kemudian bersiap sedia mengejar dari belakang.
"Sute berdua, kembali! Biarkan saja dia pergi!" seru ketua Sim lim
pay dengan cepat.
Ci kay taysu dan Ci leng taysu segera mundur kembali kedalam
ruangan, dengan wajah membesi mereka membungkam dalam
seribu bahasa.
Penghinaan tersebut memberikan pukulan batin yang cukup berat
bagi mereka, didalam hati kecil mereka secara lamat-lamat mulai
tumbuh perasaan dendamnya terhadap Tiang Pek lojin.
Akhirnya ketua dari Siau lim pay itu menghela napas panjang,
kemudian katanya :
"Tenaga dalam yang dimiliki orang itu jauh diluar dugaanku, Ci
kay sute harap kau undang keluar lencana Liok giok leng dan
meminta tiga malaikat untuk tinggalkan pertapaan serta siap
menghadapi pertemuan besok.”
Siau lim sam sian (tiga malaikat dari kuil Siau lim) adalah saudara
seperguruan ciangbunjin angkatan yang lalu, atau merupakan
paman guru dari ketua yang sekarang, mereka merupakang tianglo
yang berkedudukan paling tinggi dalam partai Siau lim.
Oleh karena usianya yang telah lanjut dan kedudukannya yang
tinggi, mereka jarang sekali mencampuri urusan di dalam kuil.
Tapi situasi yang dihadapi partai Siau lim pada saat ini jauh
berbeda, apalagi dihadapkan pada ancaman Tiang pek lojin yang
maha dahsyat, mau tak mau terpaksa mereka memutuskan untuk
mengundang kehadiran ketiga orang malaikat tersebut.

223
Kepergian Ci kay taysu amat cepat, tapi kembalinya juga lebih
cepat begitu melangkah masuk ke dalam kamar hontiang, dengan
napas agak memburu dan suara gemetar, lapornya :
“Lapor ciangbunjin suheng, lencana leng giok leng telah hilang
dicuri orang!"
"Apa?” teriak ketua dari partai Siau lim itu dengan tubuh yang
bergetar keras.
"Lencana Liok giok leng telah hilang dicuri orang!” ulang Ci kay
taysu sekali lagi.
Sinar sang surya yang berwarna kuning emas telah memancar
ditengah lapangan luas di dalam lingkaran dinding pekarangan kuil
Siau lim si. Udara sangat bersih dan cerah, tidak ada angin yang
berhembus dan suasana terasa gerah dan tak tahan di badan.
Sejak tadi perasaan setiap pendeta dalam kuil Siau lim si telah
bergelora dengan hebatnya, mereka serasa mendidih dengan
hebatnya....
Kejadian semalam telah tersebar luas diseluruh kuil setiap
anggota kuil Siau lim telah mengetahui kalau Tiang pek lojin telah
mendatangi kuil mereka semalam dan melukai Ci hui taysu serta Ci
nian taysu.
Peristiwa tersebut dengan cepat mengobarkan semangat dan
rasa dendam segenap pendeta terhadap musuhnya.
Yaa, peristiwa ini boleh dibilang merupakan suatu penghinaan
yang belum pernah dialami Kuil Siau lim si selama beberapa ratus
tahun belakangan ini.
Sekalipun ketua partai Siau lim merupakan seorang pendeta yang
beriman tebal, kali ini diapun sudah tak sanggup untuk
mengendalikan perasaannya lagi.
Mendekati tengah hari, dari luar kuil tiba-tiba berkumandang
suara derap kaki kuda yang ramai, seorang kakek bermuka merah

224
berambut putih dengan memimpin sepasukan jago pelan pelan
berjalan mendekat.
Kuda kuda itu dilarikan masuk kedalam kuil dan berhenti tepat
ditengah lapangan didepan kuil Toa hian tian.
Kuda itu berjumlah dua puluh delapan ekor sedang
penunggangnya hanya dua puluh enam orang, dua ekor kuda yang
terakhir tidak nampak penunggangnya melainkan dipasang dengan
tandu yang hijau dirubah bentuknya.
Tandu itu tidak terlalu tinggi dan tak mungkin bisa diisi orang,
tapi apakah isinya.
Semua orang sudah turun dari kudanya namun dua ekor kuda
bertandu itu tetap berdiri tegak disitu tiada ornag yang
menghampirinya, kecuali ringkikan kuda dan depakan kaki kuda
yang memecahkan keheningan.
Dalam lapangan tersebut tidak Nampak seorang pendetapun, ini
menunjukkan kalau pihak Siau lim si memang sengaja hendak
memandang rendah dan sinis terhadap kehadiran mereka.
Sebenarnya Tiang pek lojin sudah diliputi kemarahn apalgi
setelah menyaksikan kejadian ini, amarahnya kontan saja makin
memuncak, rambutnya pada berdiri semua bagaikan landak,
matanya melotot besar seperti gundu. Setelah mendengus dingin,
sumpahnya :
“Orang Siau lim, laknat semua kalian!”
Baru selesai perkataan itu dilontarkan, dua orang kakek berbaju
hijau yang berusia lima enam puluh tahunan dan berperawakan
tinggi besar telah melompat maju kedepan.
Kedua kakek berbaju hijau itu bersamaan Tam ci toa tiau
(rajawali raksasa bersayap tunggal) Ting Tian yu disebut Tiang pek
sam nio.

225
Ting Tian yu adalah ketua dari ketiga burung tersebut dan
merupakan lotoa sedang mereka berdua adalah loji Meh yu tok tin
(Burung beracun berbulu hitam) Ko Thian lay serta losam Thi cui Wu
ya (burung gagak berparuh baja) Tan Peng.
Tiang pek sam nio adalah keponakan dari Tiang pek lojin sendiri,
mereka merupakan orang-orang yang paling dipercaya oleh kakek
sakti tersebut.
Sementara itu loji si burung beracun berbulu hitam Ko Thian lay
serta siburung gagak berparuh besi Tan Peng telah melompat
kedepan.
Dengan suara keras Si burung gagak berparuh baja Tan Peng
berkata lantang :
"Anjing buas cuma tunduk dengan tongkat besar, berbicara soal
cengli dengan mereka sama sekali tak ada gunanya, harap kau
orang tua memberi ijin kepada kami berdua untuk membalaskan
dendam bagi kematian saudara kita."
Tiang pek lojin mengerutkan dahinya kemudian tanpa
mengucapkan sepatah katapun mengangguk.
Dengan suatu gerakan cepat, burung beracun berbulu hitam Ko
Thian lay dan burung gagak berparuh baja Tan Peng segera
menerjang maju ke depan pintu kuil.
Setelah melewati tanah lapang yang luas, sampailah kedua orang
itu dibawah undak-undakan batu didepan istana Toa hiong po tian.
Burung gagak berparuh baja Tan Peng segera berseru kepada
saudaranya :
"Loji, kau tunggu saja ditempat ini, bila ada hwesio gundul yang
berani kabur dari sini, diberi sedikit pelajaran agar tahu rasa.”
“Beberapa orang yang musti kurobohkan?” tanya Ko Thian lay.

226
Si burung gagak berparuh besi memperlihatkan kedua jari
tangannya, lalu baru melangkah ke atas batu undak-undakan batu
itu.
Burung beracun berbulu hitam Ko Thian lay berhenti sebentar
dibawah undak-undakan batu itu, tidak tampak dia melakukan
gerakan apa-apa, tahu-tahu sambil tertawa dia telah berjalan balik
dari tempat semula.
Sedangkan si burung gagak berparuh baja telah selesai menaiki
undak-undakan batu itu dan menghampiri pintu gerbang ruang Toa
hiong po tian, diam-diam hawa murninya segera dihimpun, baru saja
akan menggempur pintu gerbang tersebut dengan kekerasan,
mendadak pintu besar berlapiskan emas itu telah membuka dengan
sendirinya.
Dibalik pintu penuh dengan kawanan hwesio yang berdiri berjejal
disana... cuma anehnya, para hwesio itu tiada seorangpun yang
berkutik dari tempat semula.
Paras muka burung gagak berparuh baja Tan Peng segera
berubah menjadi merah padam, setelah tertawa serak dengan
tersipu-sipu dia balik kembali dari situ.
Mungkin karena ia tidak memperoleh kesempatan untuk
mendemostrasikan kehebatannya maka jagoan ini merasa rikuh.
Setelah pintu istana terpentang lebar, para hwesio yang
berkumpul didalam ruangan sama sekali tidak berdesakan keluar.
Mula-mula terdengar dulu suara genta kemudian bergema suara
tambur, menunggu suara genta dan tambur berbunyi bersama, dari
ruangan baru muncul sepasang hwesio cilik berbaju kuning.
Dibelakang hwesio cilik itu adalah delapan belas orang hwesio
berlhasa merah, dibelakangnya baru ketua dari Siau lim pay,
sedangkan para pendeta sisanya dengan teratur sekali mengikuti
dibelakang ketuanya.

227
Andaikata persiapan semacam ini dipergunakan untuk
menyambut kedatangan tamu agung, maka boleh dibilang hal ini
merupakan suatu ucapan penyambutan yang besar sekali, tapi kalau
digunakan untuk penyelesaian suatu pertikaian dunia persilatan
maka menjadi berbeda sekali artinya.
Hal mana tak baik mengartikan bahwa ke dua belah pihak tak
perlu membicarakan persoalan ini secara sungkan-sungkan lagi.
Ketika Tiang pek lojin menyaksikan cara Siau lim pay didalam
menyambut kedatangannya itu, kontan saja paras mukanya berubah
menjadi merah padam sambil mendongakkan kepalanya dia tertawa
tergelak tiada hentinya.....
Sementara itu kedua orang hwesio cilik yang berjalan di paling
muka telah menuruni undak-undakan batu, sedangkan ketua Siau
lim pay juga belum jauh meninggalkan pintu ruangan.
Pada saat itulah mendadak dua orang hwesio cilik yang berada
dipaling muka itu berpekik keras, kemudian secara ganas
membalikkan badan dan menyerang ke delapan belas orang hwesio
berbaju merah yang mengikuti dibelakangnya.
Tindakan yang sama sekali diluar dugaan ini sangat mengejutkan
dua orang hwesio yang berada tepat dibelakangnya, sementara
mereka masih tertegun, pukulan keras yang dilancarkan hwesio cilik
itu dengan telak melukai mereka berdua hingga robohlah kedua
orang itu keatas tanah.
Keadaan dari kedua orang hwesio cilik itu ibaratnya anjing yang
sudah gila, begitu bertemu orang serangan segera dilancarkan
dalam waktu singkat kedelapan belas orang hwesio itu menjadi
kacau balau tidak karuan.
Sebenarnya kedelapan belas Lo han itu rata-rata berilmu tinggi,
tapi lantaran peristiwa itu terjadinya sangat mendadak, dalam
tercengangnya pendeta-pendeta itu menjadi lupa untuk membekuk
kedua orang hwesio cilik yang sedang kalap tersebut.

228
Para jago dari luar perbatasan menjadi sangat bergirang hati
setelah menyaksikan kejadian itu, semua rasa mendongkol dan
ketidaksenangan hati segera tersapu lenyap hingga tak berbekas.
Sebaliknya para jago dari Siau lim pay, mulai dari ketuanya
sampai ke anak buahnya sama-sama berubah muka, dengan wajah
hijau membesi mereka melototi musuhnya dengan penuh kegusaran.
Sepasang alis mata ciangbun hongtiang mengerut kencang,
sepasang matanya merah berapi-api, dengan suara dalam bentaknya
:
"Go li, Go hian! Bekuk kedua orang itu gusur pergi dari situ …….."
Diantara delapan belas Lohan segera muncul dua orang hwesio
setengah tua yang berusia lima puluhan tahunan seorang
menghadapi seorang hwesio cilik, dengan cepat pertarungan
berlangsung.
Gerak gerik kedua orang hwesio cilik itu sungguh lincah sekali,
kepandaian sakti aliran Siau lim yang dipahami juga sudah mencapai
beberapa bagian kesempurnaan, apalagi dalam keadaan hilang
kesadarannya kemampuan yang mereka tunjukkan berlipat kali lebih
dahsyat dari keadaan semula.
Akibatnya meski Go li hwesio dan Go hian hwesio sudah
bertarung sebanyak lima gebrakan, mereka belum berhasil
membekuk kedua orang hwesio cilik itu.
Menyaksikan kejadian tersebut para jago dari luar perbatasan
segera tertawa terbahak-bahak.
Go li hwesio dna Go hian hwesio segera merasa kehilangan
muka, lantaran malu mereka jadi naik darah, dengan cepat ilmu Cap
Pwe lohan jiu yang maha dahsyat dipergunakan, tapi pada jurus
yang kesembilan mereka baru berhasil menaklukkan kedua orang
hwesio cilik itu.

229
Begitu kedua orang hwesio tadi terbekuk, mereka segera roboh
tak sadarkan diri diatas tanah, buih putih meleleh keluar tiada
hentinya dari ujung bibir mereka.
Tak usah diterangkan pun semua orang sudah tahu kalau mereka
kena dipecundangi orang dengan obat beracun.
Sementara itu dari dalam ruang kuil telah muncul empat orang
hwesio muda yang segera menggotong ke dua orang hwesio cilik itu
masuk.
Selama ini kuil Siau lim si tersohor karena peraturannya yang
keras serta anggotanya yang disiplin, akan tetapi dengan terjadinya
peristiwa itu, otomatis nama baik partaipun ikut tercemar.
Dengan suara dalam ketua dari Siau lim pay itu berseru :
"Harap semua pendeta mengerahkan tenaga dalam untuk
melindungi badan, delapan belas Lo han berjalan dipaling depan!"
Kedelapan belas orang hwesio itu segera menyusun barisan
kembali dan menuruni anak tangga batu itu dengan wajah serius.
Pada mulanya para pendeta itu masih kuatir terutama mereka
yang merasa tenaga dalamnya agak cetek mereka kuatir bila sampai
keracunan lagi seperti rekannya, tapi sampai segenap anggota
menuruni undak-undakan tersebut ternyata tak seorangpun yang
mengalami musibah lagi.
Dari sini dapat diketahui bahwa si burung beracun berbulu hitam
Ko Thian lay benar-benar memiliki kepandaian yang luar biasa dalam
kepandaian beracun buktinya dia bisa mempergunakannya seperti
apa yang diinginkan hati kecilnya.
Dari dua tiga ratus orang anggota kuil Siau lim si, kecuali
sebagian yang mendapat tugas untuk menjaga ruangan dalam,
hampir seratus lima enam puluh orang anggota Siau lim pay yang
hadir ditengah lapangan saat ini. Berarti hampir separuh lapangan
telah dipenuhi oleh mereka.

230
Padahal para jago dari luar perbatasan hanya berjumlah dua
puluh enam orang, sudah jelas dalam hal jumlah mereka masih
ketinggalan jauh, meski begitu, para jago dari luar perbatasan sama
sekali tidak menunjukkan rasa jeri atau takut bahkan sama sekali
tidak ambil perduli.
Menunggu para pendeta dari kuil Siau lim si telah turun semua
dari undak-undakan batu, Tiang pek lojin baru mengulapkan
tangannya menitahkan para jago dari luar perbatasan untuk tetap
berdiri ditempat, kemudian didampingi dua orang kakek tua mereka
berjalan ke tengah arena dengan langkah lebar.
Ciangbunjin hongtiang dari Siau limpay segera ulapkan
tangannya pula, dengan didampingi Ci kay taysu disebelah kiri, Ci
leng taysi di sebelah kanan, mereka bertiga maju ke depan
menyongsong kedatangan Tiang pek lojin bertiga.
Peristiwa semalam rupanya masih mendendam dalam hati hwesio
tua ini, tiada senyuman ramah yang menghiasi bibirnya, setelah
mengucapkan “Omitohud” katanya kemudian :
“Lo sicu, apakah benar-benar tak mau lepas tangan?”
Sebenarnya ucapan itu merupakan kelanjutan dari
pembicaraannya semalam, tapi justru gampang menimbulkan
kesalahan paham yang seolah-olah mengartikan kedatangan Tiang
pek lojin tersebut.
Betul juga, so Seng pak atau Tiang pek lojin segera tertawa
dingin, kemudian katanya :
“Ci long, sungguh tak kusangka kau sebagai seorang ciangbunjin
dari suatu perguruan besar, namun tindak tandukmu begitu rendah
dan tak tahu malu!”
“Ci long, Ci long, kau anggap nama tersebut pantas kau sebut
sebut!” bentak Ciangbunjin hongtiang dengan amat gusar.
Tiang pek lojin segera tertawa seram.

231
“Heehhh..... heeehhhh.... heehhh..... ketika lohu bersama Tong
sian sang jin berkelana dalam dunia persilatan tempo hari, kau
masih seorang bocah cilik, apa salahnya kusebut kau dengan
sebutan Ci long?”
“Kau benar-benar terlalu menghina orang, lolap sudah tak tahan
dibuatnya!” bentak Ci long siansu dengan amat marahnya.
Sekali lagi Tiang pek lojin tertawa seram.
"Kau mcmpermalui perguruanmu, mencari penyakit buat diri
sendiri, kenapa sekarang malah menyalahkan orang lain.”
Mendadak Ci long siansu tertawa keras pula, kemudian serunya:
"Lolap selalu melangkah menurut peraturan, selamanya tak
pernah melakukan suatu perbuatan yang merugikan orang, atas
dasar apa kau menuduh aku telah mempermalukan nama
perguruan?"
"Kurangajar, kau anggap lohu sembarangan menfitnah!" teriak
Tiang pek lojin dengan teramat gusarnya.
Ci long siansu tak mau kalah, sambil tertawa dingin dia berseru
pula :
"Bagaimanakah watak Suma Ciau, orang jalanpun pada tahu!
Sekalipun kau main fitnah, apapula gunanya!"
"Lohu punya bukti!"
"Hmm.... bukti apa? Jika hatimu sudah mempunyai maksud jahat,
sekalipun ada bukti juga tak akan bisa mengelabuhi bocah berusia
tiga tahun dari daratan Tiorggoan!"
Tiang pek lojin geram sekali, sambil menggigit bibir bentaknya
keras-keras :
"Ketua Thian liong pay angkatan ke sebelas Thi Eng khi telah
dipaksa mengasingkan diri jauh ke luar perbatasan, ternyata kalian
orang-orang Siau lim dan Bu tong tidak rela melepaskannya dengan
begitu saja, bahkan diam-diam menyusup masuk kedalam benteng

232
lohu dan menculiknya pergi. Bayangkan saja tindakan yang pantas
dilakukan oleh kalian manusia-manusia yang menganggap dirinya
manusia dari golongan lurus di daratan Tionggoan!”
Setelah berhenti sebentar, dengan gusar lanjutnya lebih lanjut:
“Sekarang Thi Eng khi berada di mana? Cepat serahkan
kepadaku! Lohu dengan Keng Thian giok cu Thi tayhiap adalah
sahabat sehidup semati aku tak bisa berpeluk tangan belaka
menyaksikan kejadian ini berlangsung di depan mataku.”
"Gara-gara membelai Thi ciangbunjin sewaktu berada di
perkampungan Ki hian san ceng, suteku Ci kay telah menyalahi dia,
Sangkoan loji, peristiwa ini diketahui oleh setiap umat persilatan
didunia ini, kini Thi ciangbunjin lenyap diluas perbatasan, atas dasar
apa kalian menuduh kuil kami?”
Tiang pek lojin tertawa seram, sambil berpaling segera bentaknya
:
“Bawa kemari barang buktinya!"
Tam ci toa tiau Ting Tian yu muncul dengan langkah lebar sambil
membawa sebuah meja besar, kemudian meja itu diangkat tinggitinggi
dan permukaannya diperlihatkan kepada para pendeta
tersebut.
Kemudian dengan sinar mata yang tajam seperti sembilu Tiang
pek lojin mengawasi wajah ciangbun hongtiang tajam-tajam,
katanya :
"Setelah menculik orang lantas meninggalkan tanda, tindakan ini
sebenarnya merupakan suatu tindakan yang berani, kenapa
sekarang tidak berani mengakuinya?"
Begitu menyaksikan bekas cap Liok giok leng diatas meja
tersebut, paras muka Ci long siansu berubah hebat, segera
bentaknya :
"Kau berani mencuri barang orang, kemudian menfitnah orang
semaunya sendiri, hmm! Suatu ketika kau pasti akan memperoleh
ganjaran atas perbuatanmu itu!"

233
Rupanya ia menganggap Tiang pek lojin berambisi untuk merajai
daratan Tionggoan maka sengaja mencuri lencana, meninggalkan
bekasnya di meja dan dipakai sebagai bukti.
Tiang pek lojin tidak menyangka sampai kesitu, dia menganggap
pihak lawan tak tahu malu dan ingin mungkir, maka sambil tertawa
ia bertepuk tangan lagi tiga kali.
Setelah tiga kali tepukan tangan itu lewat, muncul dua orang
sambil menuntun kuda bertandu itu menghampiri tengah arena.
"Sekarang akan kutunjukkan lagi sebuah bukti yang nyata," ujar
Tiang pek lojin kemudian sambil mendongakkan kepalanya, “coba
lihat, apa yang bisa kaukatakan lagi."
Menyusul kemudian, pesannya :
“Hantar mereka kepada ciangbunjin agar bisa dilihat lebih jelas,
coba kita lihat apalagi yang hendak dia ucapakan!”
Dua orang segera maju dan menurunkan tandu tersebut dari
punggung kuda, lalu digotong dan diletakkan didepan ciangbunjin
hongtiang dari kuil Siau lim si.
Rupanya Ciangbunjin dari Siau lim si itu tidak bisa menebak
permainan setan apa yang sedang dipersiapkan Tiang pek lojin, baru
saja dia akan maju untuk melakukan pemeriksaan, Ci kay taysu yang
berada disisinya telah berkata :
"Ciangbun suheng, kau tak boleh menyerempet bahaya, biar tecu
saja yang melakukan pemeriksaan itu!"
Dengan langkah lebar dia lantas maju kedepan.
Ci kay taysu cuma maju beberapa langkah dan tidak berani
terlampau dekat dengan tandu tersebut, lalu dengan
mempergunakan tenaga pukulannya dia menyingkap kain yang
menutupi tandu tersebut.

234
Ternyata dalam tandu tadi tergeletak dua sosok mayat dari lelaki
bertubuh kekar, mata mereka terbelalak lebar dengan mulut
melongo, kematiannya benar-benar mengenaskan.
Sambil tertawa dingin, Tiang pek lojin lantas berkata :
“Coba kalian periksa, ilmu pukulan apakah yang menyebabkan
kematian mereka berdua?”
Maksud dari perkataan itu, tentu saja mempersilahkan Ci kay
taysu untuk melakukan pemeriksaan.
Kali ini Ci kay taysu tidak ragu-ragu lagi, dia lantas membungkuk
dan menyingkap pakaian yang dipakai kedua orang lelaki itu, tapi
diatas dadanya tidak Nampak luka apa-apa.
Baru saja dia hendak bertanya, Tiang pek lojin telah berkata lagi :
“Lukanya berada diatas Pay sim hiat!”
Ci kay taysu segera membalikkan jenasah itu, apa yang kemudian
terlihat segera membuat hatinya menjadi tertegun, hampir saja ia
tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Sementara itu Tiang pek lojin telah berkata lagi :
"Dua orang saudara yang mati secara mengenaskan itu adalah
Kim piau Gin kiam (ruyung emas pedang perak) dari delapan belas
penunggang kuda bukit Hek san, mere¬ka dibunuh oleh pukulan
Toa lip kim kong ciang selama dirumah penginapan Tenghong aku
rasa pukulan semacam ini hanya ada didalam partai Siau lim bukan!”
Tanpa mengucapkan sepatah katapun Ci kay taysu
mengundurkan diri kehadapan ciangbun suhengnya dan manggutmanggut
mengakui kematian Kim pian gin kiam di atas pukulan Toa
lip kim kong ciang dari partai Siau lim.
Pada mulanya ketua dari Siau lim pay itu merasa keheranan, tapi
tak lama kemudian timbul satu ingatan didalam benaknya, dia
menganggap kedua orang ini mungkin tewas ditangan murid-murid
partainya semalam ketika kedua orang itu mengikuti Tiang pek lojin

235
melakukan pengacauan semalam, maka sambil tertawa dingin
katanya :
“Kau sendiri bisa melukai orang, mengapa murid-murid partai
kami tak boleh membunuh untuk membela diri? Hmmm, sekalipun
kau jelajahhi seantaro jagad, teorinya juga tetap sama semua!”
Tiang pek lojin menganggap pihak lawan lagi-lagi hendak
mungkir maka hawa amarahnya kontan saja makin berkobar, dia tak
mau mengalah dengan begitu saja, sambil membentak keras
teriaknya :
“Sekalipun lohu telah melukai hwesio-hwesio kalian mau apa pula
kau? Bila kalian tiudak segera menyerahkan Thi Eng khi kepadaku
jika napsu membawa lohu sudah berkobar, hmmm! Perbuatan yang
lebih kejipun masih sanggup kulakukan!”
Tentu saja orang yang melukai Ci hui taysu dan Ci nian taysu
semalam bukan Tiang pek lojin asli, sedangkan orang yang
membunuh Kim pian gin kiam juga bukan anak murid Siau lim pay.
Tapi siapakah yang telah melakukan kesemuanya ini? Saya rasa
para pembaca pasti dapat menebah sendiri bukan?
Sayangnya kesalahan paham semacam ini justru tidak mudah
untuk diselesaikan, andaikata kedua belah pihak tidak bernama
besar, urusan mungkin diselesaikan lebih gampang, tapi
kenyataannya kedua belah pihak sama-sama orang ternama dalam
dunia persilatan, biasanya orang ternama sok gengsi dan tidak mau
saling mengalah, otomatis dalam setiap perdebatan pun masingmasing
pihak mempertahankan pendapatnya sendiri.
Akibatnya bukan makin beres masalahnya, sebaliknya makin lama
urusan semakin bertambah runyam.
Pembicaraan masing-masing pihak makin kaku dan keras,
kecerdasan mereka tertutup oleh kobaran api amarah terutama
sekali Ci long siansu yang merasa nama baik partainya tercemar,
lencara Liok giok lengnya tercuri, semua pertanggungan jawab yang
harus dipikulnya itu membuat dia tak ingin berpikir lebih jauh lagi.

236
Segera ketika dia mengebaskan ujung jubahnya, para pendeta
yang berada dibelakangnya dengan cepat menyebarkan diri
membentuk sebuah barisan yang terdiri dari tujuh puluh dua orang,
sedangkan pendeta-pendeta lainnya serentak menyebarkan diri dan
berjaga-jaga diruang depan Toa hong po tian.
Ci long siansu gagal meminta bantuan Siau lim sam seng untuk
mengatasi kemelut tersebut, maka diapun cukup memahami
kekuatan sendiri, dia tahu dengan mengandalkan kekuatan dari
mereka beberapa orang, sudah pasti bukan tandingan dari Tiang pek
lojin maka dia tak berani menyerempet bahaya, begitu maju barisan
Lo han toa tin segera dipersiapkan.
Barisan Lo han tin merupakan salah satu kepandaian sakti dalam
kuil Siau lim si, kekuatannya betul-betul luar biasa sekali. Barisan ini
mengambil delapan belas orang sebagai dasar kekuatan yang diamdiam
mengandung unsur cap pwe lo han jadi paling tidak harus ada
delapan belas orang baru bisa berbentuk.
Tapi barisan Lo han tin yang dibentuk kali ini terdiri dari tujuh
puluh dua orang, itu berarti barisan besar itu memang khusus
dipersiapkan untuk menghadapi ke dua puluh enam orang musuh
yang datang dari luar perbatasan, sebab menurut perhitungan Ci
long taysu, kekuatan tersebut sebenarnya sudah lebih dari cukup
untuk menghadapi kekuatan lawan......
Begitulah, setelah barisan dipersiapkan, Ci liong siansu berkata
dengan dingin :
"Siau lim si telah bersiap sedia menerima petunjuk yang lihay dari
kalian semua!"
Selesai berkata dia lantas mengajak Ci kay taysu dan Ci leng
taysu untuk menerobosi barisan Lo han tin dan naik ke atas undakundakan
batu, rupanya mereka bermaksud untuk menonton jalannya
pertempuran itu dari tempat atas.
Tiang pek lojin menjadi semakin naik pitam ketika dilihatnya sikap
Ci long siansu begitu angkuh dan tak sudi turun tangan melawan
dirinya, seraya mendengus ujarnya kemudian:

237
"Hmmm! Kalau cuma barisan Lo han tin mah masih belum lohu
pandang sebelah matapun, jika lohu tak mampu menerobos keluar
dari barisan ini, mulai detik ini aku tidak akan menginjakkan kakiku
lagi didalam daratan Tionggoan!"
"Silahkan!" Ci long siansu cuma mengucapkan sepatah kata yang
amat sederhana itu. Kemudian tidak berbicara lagi. Tampaknya dia
benar-benar telah mambenci Tiang pek lojin hingga merasuk
kedalam tulangnya.
Meskipun perkataan Tiang pek lojin diucapkan dengan sombong
dan tinggi hati, namun gerak geriknya sangat berhati hati sekali, dia
memilih Boan san siang koay (sepasang manusia aneh dari bukit
Boan san) Cia bersaudara, Tiang pek sam nio dan Sui pek su kui
(empat setan dari Pek sui) sekalian berdelapan sebagai
pembantunya.
Dengan demikian sembilan orang masuk bersama kedalam
barisan Lo han tin yang terdiri dari tujuh puluh dua orang, atau
de¬ngan perkataan lain mereka harus satu lawan sembilan.
Ke sembilan orang itu mengambil posisi dengan kedudukan Kiukiong,
begitu posisi sudah diambil, Tiang pek lojin baru berpekik
nyaring sambil katanya :
“Sekarang lohu sekalian telah masuk ke dalam barisan, jika ada
permainan lain silahkan ditunjukkan!”
Dari dalam jubahnya ketua dari Siau lim pay itu mengeluarkan
selembar panji kecil berwarna kuning, setelah diangkat tinggi-tinggi
ke atas kepala, panji itu diputar tiga kali ditengah udara, barisan Lo
han tin pun segera berputar pula mengelilingi Tiang pek lojin
sekalian bersembilan......
Pada mulanya masih tampak gerakan bayangan manusia, tapi
lambat laun gerakan itu dari lambat menjadi cepat, sehingga
akhirnya bayangan manusia sukar dilihat jelas selain segulung
pusaran angin puyuh yang berwarna abu-abu saja yang bergerak
menekan ke tengah arena.

238
Tiang pek lojin segera membentak keras :
“Kiu ciau lian huan!"
Ke sembilan orang itu segera saling bergandengan tanpa antara
yang satu dengan lainnya kemudian membentuk sebuah lingkaran
bulat yang berputar menurut arah kebalikan dari arah perputaran
barisan Lo han tin.
Akibat dari gerakan itu, segera muncul juga segulung tenaga
tekanan dahsyat yang mengembang ke arah luar dari membendung
tenaga tekanan yang terpancar dari barisan Lo han tin ke arah
dalam itu.
Begitulah, kedua belah pihak sama-sama saling beradu tenaga
hampir selama sepertanak nasi lamanya, sekalipun Lo han toa tin
terdiri dari tujuh puluh dua orang, nyatanya mereka tak banyak
berkutik menghadapi sembilan gelang berantai Kiu ciau lian huan
yang dibentuk oleh lojin bersembilan.
Ditinjau dari sini, bisa ditarik kesimpulan bahwa keberangkatan
Tiang pek lojin memasuki daratan Tionggoan ini disertakan pula
dengan suatu persiapan yang matang, jadi tak bisa dibilang kalau
dia datang tanpa maksud tertentu.
Pertarungan kembali berlangsung setengah pertanak nasi lagi,
tapi keadaan tetap seimbang dan saling bertahan, melihat itu
ciangbunjin dari Siau lim pay mengerutkan dahinya rapat-rapat,
kemudian menggerakkan panji kuningnya tiga kali.
Serentak ke tujuh puluh dua orang pendeta dari Siau lim si itu
menghentikan gerakan tubuhnya bagaikan tujuh puluh dua buah
tonggak batu mereka berdiri tak berkutik ditempat semula.
Tiang pek kiu hiong (sembilan jago dari Tiang pek san)
menghentikan pula gerak perputaran mereka ditengah gelak tertawa
Tiang pek lojin yang amat keras.
Setelah tergelak-gelak beberapa saat, Tiang pek lojin berkata :

239
"Gerak pertama dari Siau lim Lo han tin yaitu Kun tun jut kay
(alam semesta bara tercipta) tak lebih cuma begitu saja, lohu telah
merasakan kehebatannya!"
Siau lim ciangbunjin tidak berbicara apa-apa, panji kuningnya
kembali diangkat dan dikibarkan tiga kali ke kiri empat kali ke kanan.
Tujuh puluh dua orang yang berada dalam barisan Lo han tin
sekali lagi melakukan perputaran.
Cuma gerakan perputaran yang mereka lakukan dengan gerakan
yang lamban sekali, didalam perputaran tadi, ketujuh puluh dua
orang dalam barisan tahu-tahu telah memecah diri menjadi sembilan
kuntum barisan kecil yang berbentuk bunga bwe, yakni empat
didalam lima diluar, masing-masing kelompok kecil itu berputar terus
tiada hentinya, sambil berputar mereka melingkari terus Tiang pek
lojin sekalian bersembilan.
Tiang pek lojin memperhatikan sekejab perubahan barisan lawan,
kemudian segera berpekik nyaring, menysul pekikan tersebut
kesembilan orang itu mendadak mempersempit lingkaran posisi
mereka, dengan punggung menempel punggung mereka
Berdesakan menjadi satu hingga sepintas lalu tampak kacau
seperti tiada peraturan, dalam kenyataan mereka telah membentuk
sebuha barisan segi delapan yang mengandung perubahan Im yang
ngo heng.
Tiang pek lojin sebagai puncak pimpinan berada di tengah,
sedangkan delapan orang lainnya menempel disekitarnya, maju
mundur semuanya mengambil posisi bersudut delapan.
Selain itu setiap orang berdiri dengan telapak tangan kanan
dirintangkan ke depan dada, tangan kiri disembunyikan ke belakang
dan saling bergandengan tangan.
Tiang pek lojin memperhatikan sekejap keadaan disekeliling sana,
sepasang tangan terjulur kebawah dengan telapak tangan
menghadap keluar, tiada hentinya dia memperdengarkan suara
pekikan yang amat nyaring .......

240
Kedua kelompok kekuatan kembali saling berputar sambil
menunggu kesempatan untuk melancarkan serangan, waktupun
berlalu di tengah keheningan dan ketenangan.
Sekalipun diarena berkumpul ratusan orang jago, namun selain
langkah kaki para hwesio yang berada dalam barisan Lo han tin tak
kedengaran sedikit suarapun disana seakan-akan napas semua
orang telah terhenti sama sekali.
Sekalipun demikian, semua orang tahu bisa serangan dimulai
niscaya kehebatannya melebihi apapun, dapatkah Tiang pek lojin
bersembilan menahan serangan berantai dari Siau lim lo han tin, hal
ini masih merupakan suatu tanda tanya besar.
Mendadak panji kecil di tangan Siau lim ciangbunjin itu diayunkan
ke bawah, henbusan angin pukulan yang amat dahsyat dengan
cepat meluncur keluar dari tiap barisan kecil berbentuk bunga bwe
itu mengarah tengah arena.
Didalam serangan itu telah terlebur segenap tenaga yang dimiliki
delapan orang jago Siau lim si kedahsyatannya betul- betul
mengerikan sekali.
Menanti angin pukulan itu sudah mendekati tengah arena Tam ci
toa tiau Ting Tian yu yang persis berada di hadapan serangan tadi
baru membalikkan telapak tangannya dan menyongsong datangnya
ancaman tersebut, ternyata kekuatan kedua pihak sama-sama
tangguh dan tak ada yang menang tak ada yang kalah.
Hal ini bukan dibilang tenaga dalam yang dimiliki Tam ci toa tiau
Ting Tian yu sanggup menahan tenaga gabungan dari kedelapan
orang jago Siau lim si, adalah segenap tenaga dalam dari Tiang pek
lojin bersembilan telah digabungkan menjadi satu dan bersamasama
menerima serangan tadi.
Menyusul serangan yang pertama, sera¬ngan-serangan
berikutnya segera bermunculan menghajar pusat barisan secara
bergantian.

241
Tanpa gentar sedikitpun juga, Tiang pek lojin sekalian beruntun
menyambat kesembilan buah serangan itu.
Barisan Lo han tin sekali lagi berputar pukulan demi pukulan
dilontarkan ke tengah arena menghajar kesembilan orang lawannya,
dengan begitu kesembilan orang jago dari luar perbatasan itupun
menjadi sasaran pukulan.
Tiang pek lojin yang berada ditengah arena sudah mulai
mengebulkan asap putih dari kepalanya, sepasang tangan diputar
dibalik berulang kali, tenaga dalamnya telah terhimpun mencapai
dua belas bagian untuk menghadapi ancaman-ancaman yang datang
dari delapan penjuru.
Sesudah menyambut Sembilan kali sembilan, delapan puluh satu
buah pukulan, Tiang pek lojin nampak kehabisan tenaganya
sehingga gerak geriknya juga menjadi lebih lamban.
Sekalipun demikian, Ci long siansu yang memegang pucuk
pimpinan dari atas undak-undakan batu merasa terperanjat sekali.
Sebagaimana diketahui Siau lim Lo han tin sudah lama tersohor
didalam dunia persilatan, sepanjang sejarah belum pernah barisan
itu diturunkan dengan mengerahkan segenap kemampuan yang
dimilikinya seperti sekarang ini.
Atau dengan perkataan lain, bila barisan telah bergerak didalam
Sembilan pukulan yang kemudian dilancarkan itulah pihak musuh
pasti terluka atau tewas.
Tapi kenyataannya sekarang Tiang pek lojin sekalian sanggup
menerima delapan puluh satu buah pukulan tanpa kalah, bayangkan
saja bagaimana mungkin Ci long sian¬su tidak merasa terperanjat.
Begitulah, setelah menyambut delapan puluh satu buah pukulan,
mendadak Tiang pek lojin berpekik nyaring, lalu katanya :
"Kehebatan Pek tian kim kong dan Siau lim lo han tin telah lohu
rasakan kehebatannya, sekarang lihatlah bagaimana kemampuan
lohu untuk menjebolkan barisan ini!"

242
Selesai berkata, kepada delapan anak buahnya dia berseru :
“Air raksa tumpah ditanah!”
Seketika itu juga tampaklah Tiang pek lojin bersembilan bagaikan
letupan bunga api memancar keempat penjuru dan menerobos
masuk lewat celah-celah dalam barisan Lo han tin.
Melihat gerakan musuh itu, Siau lim ciangbunjin segera
menggerakkan panji kuningnya, sekali lagi bentuk barisan Lo han tin
mengalami perubahan dan berhenti bergerak, tujuh puluh dua orang
berdiri kaku di tempat sambil menyalurkan hawa murninya
membentuk selapis dinding hawa yang kuat untuk mencegah
kesembilan orang yang berada dalam barisan melarikan diri dari
kepungan.
Tiang pek lojin segera melambung ketengah udara dan tiba-tiba
menjebolkan pertahanan ketiga dari barisan Lo han tin yang disebut
Thian loo tee wang.
Begitu melayang turun diluar arena, sambil tertawa terbahakbahak
serunya :
“Lohu toh sudah lolos dari barisan!”
“Kau telah mempergunakan ilmu Hun hua sip hong (memecah
belah sepuluh penjuru) untuk melepaskan diri dari kepungan dan
mematahkan pertahanan barisan Lo han tin, tapi toh cuma kamu
seorang yang lolos, kemampuan semacam itu belum bisa terhitung
sebagai suatu kepandaian hebat!”
Sekalipun ia berkata demikian, hatinya benar-benar merasa
terperanjat, sebab sekalipun hanya satu orang yang berhasil lolos,
nama besar Lo han tin tetap tercoreng.
Sikap Tiang pek lojin yang berada diluar barisan ternyata santai
sekali, sambil tertawa terbahak-bahak, katanya :
"Lohu tak lebih hanya keluar lebih duluan, aku ingin
memberitahukan kepadamu bahwa lohu masih sanggup
menjebolkan barisan Lo han tin kalian itu dengan mengandalkan
tenaga murni, sedang mereka berdelapanpun mempunyai cara

243
sendiri untuk meloloskan diri, kau si hwesio tua tak usah merisaukan
keadaan mereka!"
Sehabis berkata kembali dia berpekik nyaring, baru saja pekikan
itu berkumandang, suasana didalam barisan Lo han tin menjadi
kacau balau tidak karuan, ternyata para pendeta itu melepaskan
anak buah Tiang pek lojin dan sebaliknya malah bertarung sendiri.
Menyaksikan kejadian itu paras muka Siau lim ciangbunjin
berubah hebat, dia tahu pihak lawan pasti telah berbuat sesuatu
sehingga menyebabkan keadaan berubah menjadi begitu.
Buru-buru panji kuningnya dikibarkan berulangkali dengan
harapan untuk memenangkan kembali suasana yang serta kalut.
Dalam detik itulah, delapan orang anak buah Tiang pek lojin telah
meloloskan diri dengan selamat dari dalam barisan.
Sementara itu, ketujuh puluh dua orang nwesio yang berada
dalam sebuah barisan seperti pula keadaan dari kedua orang hwesio
cilik tadi, mereka kehilangan kesadarannya dan bertarung sendiri
dengan hebatnya.
Menghadapi keadaan tersebut, Siau lim ciangbunjin baru benarbenar
merasa agak gugup dan kelabakan, disamping harus
menghadapi Tiang pek lojin yang berhasil meloloskan diri dari
barisan, diapun tidak tega hati menyaksikan tujuh puluh dua orang
muridnya menjadi kalap.
Jilid 8
CI KAY TAYSU dan Ci leng taysu demikian cepat terjun ke dalam
barisan Lo han tin dan bekerja keras untuk menotok roboh semua
muridnya yang gila itu satu per satu.
Menanti suasana telah pulih kembali dalam ketenangan, dengan
perasaan lega Ciangbunjin dari Siau lim pay itu baru tertawa sedih
kepada Tiang pek lojin katanya :

244
"Sekarang apa yang hendak kau lakukan?”
“Lohu hendak masuk ke dalam kuil dan mencari jejak Thi Eng
khi"
Seandainya Siau lim si benar-benar digeledah oleh Tiang pek
lojin, maka bukan saja nama besarnya akan musnah dari dunia
persilatan, mungkin keadaannya akan jauh lebih parah daripada
keadaan yang dialami partai Thian liong pay.
Akibat tersebut tentu saja dipahami baik oleh Ci long siansu
maupun Tiang pek lo¬jin, sebab itu suatu pertarungan baru
tampaknya segera akan berlangsung.
Disaat yang amat kritis itulah, mendadak terdengar Pek leng
siancu So Bwe leng menjerit lengking.
Ketika Tiang pek lojin sekalian berpaling, tampaklah sesosok
bayangan manusia sedang melarikan Pek leng siancu So Bwe leng
dari tempat itu ……..
Dengan gusar Boan san siang koay, dua orang anak buah Tiang
pek lojin membentak keras, kemudian segera melakukan pengejaran
dari belakang …..
Tiang pek lojin sebagai seorang jago kawakan dari dunia
persilatan juga cukup mengerti bahwa penculik itu bukan manusia
sembarangan, sekalipun telah dikejar anak buahnya, urusan tak
akan bisa dibereskan.
Maka buru-buru serunya kepada ketua dari Siau lim pay.
"Anggap saja kau lagi beruntung hari ini, kita berjumpa lagi dilain
waktu!"
Kemudian kepada para jago dari luar perbatasan, serunya :
“Kalian kembali dulu ke kota Teng hong untuk menunggu
perintah!”

245
Ketika selesai mengucapkan perkataan itu tubuhnya telah
melayang melewati dinding pekarangan......
Jauh memandang ke sana, ia saksikan Boan san siang koay dan
orang yang di kejarnya itu telah berada dua tiga puluh kaki jauhnya
dari tempat semula.
Tiang pek lojin memang benar benar memiliki kepandaian yang
melampaui orang lain, dalam sekali lompatan tubuhnya telah berada
sepuluh kaki jauhnya dari tempat semula, kemudian dalam beberapa
pula lom¬patan kemudian telah berhasil melampaui Boan san siang
koay.
Akan tetapi jaraknya dengan orang yang menculik Pek leng
siancu masih terpaut empat lima kaki.
Saat itu jalan darah ditubuh Pek leng siancu So Bwe leng telah
tertotok, ketika menyaksikan kakeknya melakukan pengejaran,
kecuali mengucurkan air mata karena girang tak sepatah katapun
bisa diucapkan.
Gerakan tubuh Tiang pek lojin benar-benar sangat cepat
ibaratnya anak panah yang terlepas dari busurnya, dalam waktu
singkat ia telah berhasil mendekati sampai dua kaki.
Tapi dikala Tiang pek lojin hendak menerjang lebih kedepan
itulah mendadak orang yang dikejar tersebut membalikkan
tangannya sambil melepaskan setitik cahaya putih ke belakang.
Dengan cekatan Tiang pek lojin menyambar cahaya putih
tersebut terasa benda itu sangat enteng sewaktu diperhatikan lebih
teliti ternyata isinya adalah selembar kertas.
Tanpa menghentikan gerak tubuhnya, Ti¬ang pek lojin
melanjutkan pengejarannya lebih ke depan.
Tampaknya orang yang berada didepan itu ada maksud untuk
membiarkan musuhnya mendekat, tapi begitu musuh tinggal satu

246
dua kaki dari badannya, selembar kertas segera disambitkan ke
belakang.
Lalu menggunakan gerakan tadi, ia merendahkan badan dan
mempercepat gerak larinya sehingga meninggalkan Tiang pek lojin
jauh dibelakang sana.
Tiang pek lojin menggertak giginya kencang-kencang, dengan
mengerahkan tenaganya sebesar dua belas bagian, dia
mempercepat pula gerakan tubuhnya untuk melesat lebih kedepan.
Gerakan tubuh orang yang berlarian di depan itu kian lama kian
bertambah cepat, bukan saja Tiang pek lojin tidak berhasil
mendekatinya lagi, malahan selisih jarak mereka kian lama kian
bertambah besar.
Dua sosok bayangan manusia bagaikan dua titik bintang
meluncur ditengah pegunungan dengan kecepatan tinggi, puluhan li
kemudian mendadak orang itu membelokkan badannya menuju ke
arah tanah pegunungan Tay si san, tapi baru melewati beberapa
tikungan, bayangan tubuhnya tahu-tahu sudah lenyap tak berbekas.
Sejak terjun di dunia persilatan pada puluhan tahun berselang
kecuali kalah ditangan Keng thian giok cu Thi Keng, belum pernah
Tiang pek lojin kalah ditangan orang lain.
Siapa tahu sekarang dia harus menghadapi seseorang yang lihay
sekali ilmu meringankan tubuhnya, kejadian ini boleh dibilang benarbenar
merupakan suatu pukulan baginya.
Diapun menyadari sekalipun dicari juga tak ada gunanya, sebab
musuh telah hilang tak berbekas, akhirnya dengan mendongkol dia
periksa kertas-kertas ditangannya.
Ternyata diatas kertas itu hanya tercantum dua patah kata yakni:
"Menunggu janji!"
Dilihat dari sini dapat diketahui bahwa tindakannya menculik Pek
leng siancu merupakan suatu tindakan yang diputuskan secara

247
mendadak, dan bukan merupakan tindakan yang terencana, oleh
karena belum dapat menentukan langkah berikutnya, terpaksa dia
mempersilahkan Tiang pek lojin untuk "menunggu janji"
Setelah membaca tulisan itu. Tiang pek lojin menghela napas
panjang, ia mulai bertanya pada diri sendiri :
“Mengapa aku harus mencari penyakit buat diri sendiri?"
Jelas lantaran cucu kesayangannya diculik orang, dia menjadi
menyesal sekali atas tindakannya memasuki daratan Tionggoan.
Tapi ingatan tersebut hanya sebentar melintas didalam benaknya,
menyusul kemudian dengan sinar mata yang mencorong cahaya
tajam serta mengepal sepasang tangannya kencang-kencang dia
berseru :
"Tidak! Aku tak boleh kehilangan orang ini didaratan Tionggoan!"
Selesai berkata, dengan langkah lebar dia lantas berjalan balik
melalui jalan semula.
Sementara itu dengan napas terengah-engah Boan san siang
koay telah menyusul ke sana, ketika menyaksikan Tiang pek lojin
pulang seorang diri, mereka segera memahami perasaan orang tua
itu, maka tak sepatah katapun yang diucapkan.
Dua bersaudara Cia yang berjulukan Boan san siang koay ini
terhitung jago-jago lihay yang nama besarnya hanya sedikit dibawah
Tiang Pek lojin, atau dengan perkataan lain mereka masih terhitung
jagoan ternama diluar perbatasan.
Selama ini sikap Tiang pek lojin terhadap mereka juga teramat
sungkan, maka setelah menyaksikan keadaan mereka itu, sambil
tertawa getir dia lantas berkata lebih dulu :
"Saudaraku, hari ini kita benar-benar jatuh kecundang ditangan
orang lain!”
"Siaute berdua tak ada gunanya, cuma membuat toako risau
saja!" kata Cia Lok cepat-cepat dengan rikuh.

248
Tiang pek lojin segera tertawa nyaring.
"Haaahhh.... haaahhh.... haaahhh.... mana bisa kusalahkan kalian
berdua? Ilmu meringankan tubuh yang dimiliki orang itu memang
luar biasa hebatnya, mari kita pulang dulu untuk membicarakan
persoalan ini lebih lanjut."
Dalam perjalanan pulang, dengan murung bercampur kesal Tiang
pek lojin berkeluh kembali :
"Aaaai tidak kusangka Bwe leng si bocah inilah yang harus
menderita lebih dulu!"
Buru buru Ji koay Cia Leng menghibur :
"Bwe leng sibocah perempuan ini binal tapi cerdik, aku kuatir
bukan dia yang bakal menderita, sebaliknya orang itu sendirilah yang
bakal dibuat pusing kepala!”
Terbayang kembali kebinalan cucu kesayangannya, tanpa terasa
sekulum senyuman menghiasi ujung bibirnya, dia manggutmanggut.
"Yaa, semoga saja bocah ini tidak memalukan kita semua!"
katanya.
Demikianlah, oleh karena keadaan yang dihadapi. untuk
beberapa saat lamanya tak mungkin bagi Tiang pek lojin sekalian
untuk meninggalkan propinsi Hoo-lam, maka merekapun berdiam di
kuil Tiong gak bio dibukit Tay si san.
Dengan cepat kuil Tiong gak bio dirubah menjadi basis
pertahanan para jago dari luar perbatasan untuk melampiaskan
dendamnya terhadap orang-orang Tionggoan.
Sementara itu, pihak Siau lim si juga tidak terima setelah
menderita kekalahan to¬tal itu, kecuali mengutus orang untuk
menghubungi pihak Bu tong pay, merekapun membagi surat
undangan Enghiong tiap kepada segenap umat persilatan untuk
bersiap-siap melangsungkan pertarungan seru melawan Tiang pek
lojin.

249
Para jago luar perbatasan di bawah pimpinan So Ping gwan yang
ada diluar perbatasan, seperti rencana semula serombongan demi
serombongan berdatangan ke kuil Tiong gak-bio dan bergabung
dengan rekan-rekannya, ini membuat kekuatan dari Tiang pek lojin
kian hari kian bertambah besar.....
Selain daripada itu, terdapat pula para jago daratan Tionggoan
yang tidak puas dengan kenyataan, atau simpatik terhadap Tiang
pek lojin tidak sedikit pula diantara mereka yang bergabung dengan
pihak jago-jago dari luar perbatasan.
Maka kuil Tiong gak bio berubah menjadi pusat kekuatan orangorang
persilatan di dunia ini, peristiwa tersebut pun menggemparkan
seluruh kolong langit.
Sebagai pihak lawan, kuil Siau lim si pun berubah menjadi pusat
himpunan para jago dari pelbagai perguruan besar.
Tentu saja, situasi semacam ini bukan sesuatu yang bisa dibentuk
dalam satu dua hari saja, tapi keadaan setelah satu tahun. Tiang pek
lojin berusaha keras untuk mengembangkan kekuatan sendiri,
diapun menyebar orang keempat penjuru dunia untuk mencari jejak
Pek leng siancu So Bwe leng.
Oleh karena pelbagai alasan inilah sekalipun antara pihak Tiong
gak bio dengan kuil siau lim si terjadi perang dingin, pertempuran
berdarah belum pernah sampai terjadi.
Yang lebih aneh lagi adalah surat yang diterima Tiang pek lojin
ketika Pek leng siancu So Bwe leng terculik tempo hari, tulisan
'menunggu janji’ tersebut ternyata tetap merupakan "menunggu
janji", sama sekali tiada kabar berita yang baru.
Tentu saja selama masa tersebut juga merupakan suatu masa
lenyapnya Thi Eng khi dari dunia persilatan.
Padahal kalau dibicarakan sebenarnya, pertikaian antara jagojago
luar perbatasan dengan daratan Tionggoan hanya dibebaskan

250
oleh hilangnya Thi Eng khi, jadi seandainya Thi Eng khi bisa muncul
kembali dalam dunia persilatan siapa benar siapa salahpun segera
akan terbukti.
Sebab itulah baik pihak Siau lim dan Bu tong, maupun pihak
Tiang pek lojin seringkali murung dan kesal karena Thi Eng khi tidak
berhasil ditemukan.
Terutama sekali pihak Siau lim dan Bu tong pay, semua harapan
mereka hampir boleh dibilang tertumpu diatas pundak Thi Eng khi,
mereka beranggapan asal Thi Eng khi sudah munculkan diri, maka
Tiang pek lojin tidak akan mempunyai alasan lagi untuk bercokol
didalam daratan Tionggoan.
Maka kedua partai besar itu segera mengutus orang-orangnya
untuk mencari jejak Thi Eng khi, ketika gagal menemukan jejak
pemuda itu, mereka mengalihkan perhatiannya pada sisa anggota
Thian liong pay dengan harapan bisa menemukah beberapa buah
berita tentang jejak sianak muda itu.
Kejadian aneh memang seringkali bisa dijumpai dikolong langit,
selama hampir dua puluh tahun lamanya, anak murid Thian liong
pay tercerai berai dalam dunia persilatan, dicemooh orang, dihina
dan dipandang hina orang, tak seorangpun yang memperdulikan
nasib mereka.
Tapi sekarang, dikala semua orang mencari mereka, ternyata
seorang manusiapun tidak berhasil ditemukan.
Hal ini bukan berarti anak murid Thian liong pay sudah punah
dari dunia persilatan adalah disebabkan murid Thian liong pay sudah
tak berani muncul kembali didalam dunia persilatan.
Sebab setiap kali ada orang berhasil menemukan seorang
anggota Thian liong pay, secara tiba-tiba saja orang itu lenyap tak
berbekas tak ketahuan rimbanya, bayangkan saja bagaimana
mungkin anak murid Thian liong pay berani munculkan dirinya lagi
didepan dunia persilatan?

251
Maka mereka semakin merasakan kejamnya dunia, meski jagat
itu luas namun sudah tiada tempat berpijak lagi bagi mereka, demi
menyelamatkan diri, mau tak mau terpaksa mereka harus
menyembunyikan diri agar jangan sampai tertimpa bencana.
Dengan punahnya anak murid Thian liong pay, orangpun mulai
mengalihkan perhatiannya pada Thian he tit it keh di kota Huay im,
dalam anggapan mereka su¬dah tentu Thian liong ngo siang ada di
rumah.
Tapi laporan yang kemudian diterima pihak Siau lim pay dan Bu
tong pay adalah kosongnya rumah yang dinamakan rumah nomor
satu dikolong langit itu. Thian liong ngo siang seakan akan ikut
musnah pula da¬ri dunia ini.
Orang menjadi curiga bercampur kecewa semua orang bertanyatanya
kenapa Thian liong pay bisa lenyap dengan begitu saja?
Dalam suasana yang serba kalut inilah, tiba-tiba di puncak Wong
soat hong dibukit Wu san berdirilah sebuah organisasi yang
dinamakan Ban seng kiong, cuma kemunculannya tidak terlalu
diperhatikan orang, sebab segenap perhatian orang telah tertarik
oleh ketegangan yang berlangsung antara pihak Siau lim si dengan
pihak Tiong gak bio.
Maka Ban seng kiong pun muncul dari celah perhatian orang,
dengan cepat kekuasaan mereka membentang dari wilayah Kanglam
sampai ke Kangpak.
Siapakah pemilik dari istana Ban seng kiong? Tak seorangpun
yang tahu dan tak seorangpun yang menyelidiki, sebab sekalipun
ada yang melakukan penyelidikan juga belum tentu bisa
memperoleh kabar berita apa-apa.
Ketegangan antara Siau lim si dan Tiong gak bio tak mungkin
bisa dibiarkan berlangsung terus, akhirnya suatu bentrokan
kekerasan sudah pasti akan terjadi.

252
Maka Tiang pek lojin telah mengirirn sepucuk surat tantangan
kepada pihak Siau lim si untuk melangsungkan penyelesaian atas
pertikaian mereka pada dua bulan mendatang, tepatnya bulan
delapan tanggal lima belas…..
Ketika berita ini tersiar dalam dunia persilatan, seluruh dunia
terasa menjadi gempar.
Para jago persilatan berdatangan dari empat arah delapan
penjuru dan bersama-sama berangkat menuju ke bukit. Tiong san.
Hari itu, di depan loteng penerima tamu yang paling besar dan
paling baik di kota Kho cong, tiba-tiba muncul seorang gadis baju
merah yang menggembol pedang serta seorang lelaki bermuka
merah yang menyelipkan sebuah kampaknya di pinggang.
Gadis berbaju merah itu mempunyai tubuh yang kecil mungil dan
berparas muka cantik jelita.
Sebaliknya lelaki bermuka hitam itu berbadan kekar dan tegap.
Ketika kedua orang itu melakukan perjalanan bersama, terlihat
sesuatu ketidak serasian yang menyolok sekali.
Sepasang kawan yang tak serasi ini berdiri agak lama ditengah
jalan sambil mengawasi loteng Ing peng loo tersebut, kemudian
lelaki bermuka hitam itu menegur :
''Hei, pelayan, dalam kota Kho cong ini, rumah penginapan
manakah yang termasuk rumah penginapan terbaik?”
Suaranya keras bagaikan geledek dan sangat menggetarkan
perasaan setiap orang.
Pelayan itu cepat-cepat lari menghampiri lelaki itu dan sambil
munduk-munduk sahutnya :
“Toaya, tepat sekali bila kau bertanya kepada hamba, siapa lagi
yang tidak tahu kalau rumah penginapan paling besar dan paling
baik di kota Kho cong ini adalah lng peng loo? Apakah kau ingin
kamar kelas satu? Silahkan masuk, silahkan masuk!"

253
Lelaki bermuka hitam itu tidak memperdulikan ucapan pelayan
itu, dengan merendahkan suaranya dia berbisik kepada si nona
berbaju merah yang berada disisinya :
"Nona, bagaimana pendapatmu tentang tempat ini?"
Nona berbaju merah itu tidak menjawab, hanya mengangguk
lirih, gayanya sangat sok.
Saat itulah lelaki bermuka hitam itu baru berseru dengan suara
kasar dan keras :
"Semua penginapan akan toaya borong!"
"Tapi, dalam penginapan kami seluruhnya terdapat tiga puluh
enam buah kamar, kau..."
Maksudnya hanya berdua saja masa memerlukan kamar
sebanyak itu?
Belum lagi pelayan itu menyelesaikan kata-katanya, lelaki
bermuka hitam itu sudah melototkan matanya besar-besar, dengan
sinar mata setajam sembilu dia menatap wajah pelayan itu lekatlekat,
kemudian tukasnya :
“Kau kuatir toaya tak sanggup membayar?”
Dari sakunya dia mengeluarkan sekeping emas yang
memancarkan cahaya kuning yang amat menyilaukan mata.
Seketika itu juga sepasang mata pelayan itu terbelalak lebarlebat,
cepat dia membungkukkan badan dan mengambil emas
tersebut, lalu setelah dijilat teriaknya sambil melompat.
"Emas! Emas! Betul-betul emas murni!"
Menyaksikan sikap serta tingkah laku dari pelayan itu, lelaki
bermuka hitam tadi segera tertawa seram, dengan gaya lebih sok
dan suara yang kasar teriaknya :

254
“Anggap saja emas itu sebagai uang muka, semua kamar di
penginapan ini toaya borong! Setiap orang yang berada di
penginapan ini pun harus diusir keluar!"
Waktu itu sang pelayan sedang memegang emas murni itu sambil
melamun, tapi setelah mendengar ucapan tersebut, dia baru
tersentak bangun dari mimpinya.
Sebagai pedagang tentu saja ada peraturan sebagai pedagang,
tentunya dia tak berani menyalahi tamu yang datang lebih duluan,
maka sambil meringis katanya :
"Toaya……… toaya…. hamba … hamba … akan berusaha untuk
menjaga ketenangan disini, begitu toh boleh bukan?"
Kembali lelaki bermuka hitam itu melototkan matanya bulat-bulat,
serunya :
"Pokoknya toaya hanya tahu akan memborong semua kamar
yang ada dirumah penginapan ini, cepat bawa nona melihat kamar,
siapa tak mau pindah, suruh dia datang mencariku!"
Sesungguhnya ucapan tersebut boleh dibilang terlalu mencari
menangnya sendiri.
Seketika itu juga terdengar ada orang tidak puas, sambil tertawa
dingin serunya :
“Dunia saat ini sudah berubah menjadi dunia apa? Benar-benar
manusia tak tahu diri!”
“Siapa itu?" bentak lelaki bermuka hitam itu dengan seramnya,
“cepat menggelinding keluar!"
Dari dalam rumah penginapan itu segera berjalan keluar seorang
sastrawan berusia pertengahan, sambil tertawa dia menjawab :
"Setan jelek dari mana yang berani berkoak-koak disini……."
Sikapnya jumawa sekali, kepalanya mendongakkan keatas dan
sama sekali tak pandang sebelah matapun kepada orang lain.

255
Setibanya di depan pintu penginapan, dia baru mengalihkan sorot
matanya ke wajah orang itu …..
Kontan saja kata-kata makian selanjutnya tidak mampu dia
lanjutkan lagi, dengan badan gemetar dan kata-kata yang tersendatsendat
serunya :
“Ooh…. Rupanya Hek…. Hek bin bu pah (manusia bengis
bermuka hitam) Cu tayhiap, siau….. siauseng Oh Thian tak tahu
kalau kau …… kau yang datang ….. harap sudi dimaafkan!”
Hek bin bu pah Cu Thi gou segera mengayunkan ujung bajunya
dan melemparkan sastrawan berusia setengah umur itu ketengah
jalan, kemudian bentaknya dengan suara keras :
“Enyah kau dari sini, hari ni aku orang she Cu tidak punya
kegembiraan untuk mengumbar amarah denganmu!”
Cepat-cepat sastrawan setengah umur itu mengiakan berulang
kali, dengan menggelinding sambil merangkak dia segera melarikan
diri dari tempat itu.
Sastrawan setengah umur itu sebenarnya merupakan seorang
jago persilatan yang tersohor dalam dunia persilatan, orang
menyebutnya sebagai Im yang sam (kipas im yang) Oh Thian, kalau
dibandingkan dengan hek bin bu pah meski kalah setingkat, tapi
setelah dia melarikan diri terbirit-birit siapa lagi yang berani
membangkang?
Maka serentak semua orang berseru:
"Dia adalah Hek bin bu pah Cu tayhiap!"
Maka satu demi satu pun mereka pindah dari rumah penginapan
tersebut secara sukarela.
Sudah semenjak sepuluh tahun berselang Hek bin bu pah Cu Thi
gou terjun ke arena persilatan, belum lagi umurnya mencapai tiga
puluh tahun, namanya sudah menggetarkan seluruh dunia
persilatan, siapapun menaruh tiga bagian rasa jeri kepadanya.

256
Tak lama, dari ujung jalan sebelah depan sana terdengarlah
suara roda kereta yang bergema datang.
Dengan cepat Hek bin bu pah Cu Thi gou serta nona berbaju
merah itu membereskan pakaiannya dan berdiri keren disitu sambil
menunjukkan sikap hendak menyambut kedatangan tamu.
Sebuah kereta besar berwarna hijau, didampingi dua puluh
empat orang nona berbaju merah serta dua puluh orang lelaki
berbaju ringkas berhenti didepan pintu penginapan.
Tirai kereta disingkap dan pelan-pelan berjalan keluar seorang
gadis berbaju hijau.
Tiba-tiba saja semua orang merasakan matanya menjadi silau,
lalu seruan tertahan berkumandang dari sekitar sana.
“Oooh..... cantik benar!"
Gadis berbaju hijau itu bukan cuma cantik saja bahkan dari
sekujur badannya seakan-akan memancar semacam daya hidup
yang segar, daya hidup tersebut bisa membuat seorang kakek tua
renta yang loyopun segera merasakan dirinya jauh lebih muda
berapa tahun setelah melihatnya.....
Tapi kalau dilihat dari gayanya sewaktu turun dari kereta, dengan
cepat mendatangkan pula kesan bahwa nona itu masih kecil dan
belum tahu urusan, dengan langkah yang santai dia melompat
masuk kedalam rumah penginapan tersebut.
Seorang nona berbaju merah segera menghampirinya sambil
berbisik :
"Kiongcu, kalau jalan jangan terlalu tergesa-gesa, jangan sampai
dilihat orang lain sebagai suatu lelucon!”
Nona berbaju merah itu hanya bisa menggelengkan kepalanya
berulang kali sambil menghela napas panjang, dengan cepat dia
membawa nona berbaju hijau itu menelusuri serambi dan menuju
kehalaman belakang.

257
Dihalaman belakang sana terdapat tiga buah bangunan yang
mungil, bunga yang indah tumbuh dimana-mana, suasana amat
tenang dan nyaman.
Setelah berada dalam bangunan mungil itu nona berbaju hijau itu
baru buru-buru melepaskan selembar topeng kulit manusia,
kemudian sambil menghembuskan napas panjang keluhnya :
"Benar-benar menyesakkan napas!"
Paras muka si nona berbaju hijau itu setelah melepaskan
topengnya ternyata tiga bagian lebih cantik daripada sewaktu
mengenakan topeng kulit manusia, cuma sayang masih terlampau
bersifat kekanak-kanakan…..
Yaa, siapa yang menyangka kalau seorang gadis secantik itu
justru harus mengenakan selembar topeng kulit manusia, kejadian
ini benar-benar mengherankan sekali.
Ketika dilihatnya nona berbaju hijau itu melepaskan topengnya,
dengan terkejut nona berbaju merah itu berseru :
“Kiongcu, mengapa kau tak mau menuruti pesan dari sancu?”
Nona berbaju hijau itu segera berkerut kening, kemudian sambil
melototkan matanya yang jeli, dia menegur :
“Cun lan, sesungguhnya kau yang menjadi kiongcu atau aku
kiongcunya…..?”
Nona berbaju merah yang bernama Cun lan itu segera tertawa
tersipu-sipu, buru-buru sahutnya dengan hormat :
“Budak tidak berani!”
Ternyata dia tak lebih cuma seorang dayang.
Gadis berbaju hijau itu sedikitpun tidak mengendorkan
desakannya, kembali dia berkata :
“Kalau memang begitu, mengapa kau selalu mengurusi diriku?”

258
“Sebab Lo sancu yang berpesan demikian!” jawab Cun lan sambil
mengeraskan kepala. Nona berbaju hijau itu segera tertawa dingin
tiada hentinya :
“Jangan lupa dengan ucapan Lo sancu yang lain, sekarang kau
adalah seorang kiong li (dayang keraton) dariku.”
“Itu…. itu......”
“Apa ini itu? Sedari kapankah kalian pernah menyaksikan Lo
sancu memaksaku?”
Cun lan si nona berbaju merah ini sudah beberapa lama
mengikuti nona berbaju hijau itu tentu saja diapun cukup
mengetahui akan wataknya yang keras kepala, bila lagi sewot maka
Lo sancu yang ditakuti setiap orang pun akan dibuat pusing
kepalanya, apalagi orang lain.
Yaa, kalau lagi salah melompat, tugas semacam ini benar-benar
salah dibuatnya, kalau salah kepada orang tuan putri, maka sang
tuan putri pasti marah-marah, kalau menurut kehendak sang tuan
putri, maka lo sancu marah hakekatnya serba salah dibuatnya.
Teringat sampai disitu, tak tahan lagi nona berbaju merah itu
menghela napas panjang.
Ketika dilihatnya wajah Cun Lan yang mengenaskan itu nona
berbaju hijau itu menjadi iba sendiri, katanya kemudian dengan
suara yang lebih lembut :
“Cun Lan, tahukah kau bila topeng kulit manusia ini lagi
menempel dimuka, begitu rapatnya dia menempel dimukaku sampai
kulitpun turut menjadi gatal, tahukah kau betapa sengsaranya aku
waktu itu? Tempat ini toh tak ada orang lain, kenapa tidak
kulepaskan sebentar agar mukaku terasa segar? Toh disini tak bakal
terlihat orang? Jangan kuatir ….”
Ketika Cun Lan menyaksikan ucapan nonanya jauh lebih lembut,
buru-buru diapun tertawa seraya berkata :

259
"Budak hanya bermaksud untuk mengingatkan Kiongcu saja,
daripada nantinya sampai dimarahi Lo sancu, asal Kiongcu tahu diri,
budakpun merasa berlega hati......."
Sambil berkata dia lantas berjalan keluar dari ruangan, lalu
kembali gumamnya :
"Sekarang juga budak akan menyuruh mereka memperketat
penjagaannya disini, daripada ada orang luar yang iseng masuk
kemari dan mengganggu ketenangan Kiong¬cu."
Menanti Cun Lan sudah pergi, nona berbaju hijau baru
memasang telinga untuk memperhatikan keadaan disekitarnya,
keti¬ka yakin kalau disitu tiada orang lagi, dengan kening berkerut
dan mendepakkan kakinya berulang kali, dia berseru dengan gemas
:
“Suatu ketika, aku pasti akan menyuruh kau tahu akan
kelihayanku.”
Menyusul kemudian diapun menghela napas pedih.
"Aaai……… tapi sekarang aku benar-benar tak berdaya!"
Sambil berkata mendadak ia kenakan kembali topeng kulit
manusianya sambil membentak:
"Siapa diatas atap?"
Dari atas atap rumah berhembus lewat segulung angin menyusul
kemudian terdengar seseorang berkata sambil tertawa cengar
cengir.
“Siauseng adalah Pek hoa lengcu (lelaki romantis setangkai
bunga) Thio Kian, khusus datang kemari untuk menghibur hati
no¬na yang lagi kesepianl"
Bayangan manusia berkelebat lewat, didepan pintu telah
bertambah dengan seorang sastrawan tampan yang berusia tiga
puluhan tahunan, sikapnya amat santai dan wajahnya tampan
sambil menggoyangkan sebuah kipas putih yang panjangnya

260
delapan jengkal dia mengawasi wajah nona berbaja hijau itu sambil
tertawa nyengir.
Nona berbaju hijau itu sama sekali tidak kaget, bagaikan bersua
dengan teman lama saja, katanya seraya tertawa hambar :
"Tentunya kau datang dari atas atap bukan? Apakah tidak
mengagetkan para penjaga disekitar rumah? Aku lihat, ilmu
meringankan tubuh yang kau miliki hebat juga!"
Pek hoa lengcu Thio Khian adalah seorang raja iblis yang banyak
merusak kehormatan orang, selain hatinya kejam, cara kerjanya
juga sangat brutal. Tapi karena ilmu silat yang dimilikinya sangat
lihay, maka tidak seorangpun yang berani mengapa-apakan dirinya.
Maka ketika didepan pintu tadi ia menyaksikan kecantikan sinona
berbaju hijau didepan pintu penginapan tadi, timbullah niatnya untuk
melalap kehormatan gadis tersebut, meski dia tahu Hek bin bu pah
lihay, namun masih tidak diremehkan olehnya, diam-diam diapun
menyelinap masuk ke ruang belakang.
Ketenangan yang ditunjukkan gadis berbaju hijau itu segera
membuat lelaki ini menjadi sangsi, dia berhenti sebentar didepan
pintu, kemudian baru masuk kedalam ruangan.
Kembali nona berbaju hijau itu tertawa merdu, katanya kemudian
:
“Kau tidak takut terhadap Hek bin bu pah Cu Thi gou?”
“Huuuh….. kalau cuma manusia macam Hek bin bu pah mah
siauseng tak akan memandang sebelah matapun!” jawab Pek hoa
lengcu Thio Kian sambil mengangkat kepala.
Kemudian dengan langkah lebar, dia masuk ke dalam ruangan.
Gadis berbaju hijau itu tertawa cekikikan.
“Berapa sih umurmu tahun ini? Aku lihat kau lebih cocok kalau
kupanggil lo siauseng,” godanya.

261
Selama hidup belum pernah Pek hoa lengcu Thio Kian berjumpa
dengan seorang ga¬dis bernyali besar seperti ini, kontan saja
mukanya berubah menjadi merah padam karena jengah.
Tiba-tiba paras muka nona berbaju hijau itu berubah menjadi
dingin bagaikan es, ka¬tanya lagi :
“Tahukah kau siapakah Kiongcumu ini?”
Mendengar disinggungnya kata “Kiongcu” Pek hoa lengcu Thio
Kian segera meningkatkan kewaspadaannya, dia bertekad untuk
tidak banyak bicara dan bawa kabur lebih dulu baru bicara
kemudian.
Maka sambil tertawa dingin, dia lantas menerjang kearah nona
berbaju hijau itu sambil berseru :
“Peduli amat siapa dirimu!”
Dengan suatu gerakan yang cepat bagaikan sambaran kilat, dia
segera mencengkeram pergelangan tangan kiri nona berbaju hijau
itu.
Serangan itu datangnya amat cepat dan dahsyat, tapi nona
berbaju hijau itu masih tetap tenang saja, sambil tertawa merdu dia
berputar kesamping seraya bertekuk pinggang tahu-tahu serangan
Sui tiong lau gwat (mendayung rembulan dari air) dari Pek hoa
lengcu Thio Kian tersebut telah dihindari.
Ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Pek hoa lengcu Thio Kian
sebenarnya sudah merupakan suatu kepandaian yang hebat dalam
dunia persilata, namun dia tak sempat menyaksikan gerakan apakah
yang digunakan gadis berbaju hijau itu untuk menghindarkan diri
dari jurus maut Sui tiong lau gwat yang selama ini tak pernah
meleset itu.
Setelah tertegun sejenak, jurus serangan keduapun segera siapsiap
dilancarkan.
Mendadak gadis berbaju hiaju itu menggoyangkan tangannya
berulang kali seraya berseru :

262
“Tunggu sebentar! Tunggu sebentar! Kalau ingin turun tangan,
lebih baik dibicarakan dulu sebaik-baiknya.”
“Apa maksudmu?” tegur Pek hoa lengcu Thio Kian dengan suara
berat dan dalam.
Ternyata dia benar-benar mengurungkan niatnya untuk
melancarkan serangan.
Nona berbaju hijau itu segera tertawa cekikikan, ujarnya :
“Mari kita bertaruh! Dalam lima jurus serangan nanti bila kau
berhasil menangkap diriku maka aku tak akan mengusik mereka dan
diam-diam ikut kau pergi.”
“Bagus jika toaya tidak berhasil menangkapmu dalam lima jurus,
tanpa banyak bicara aku akan angkat kaki dari sini dan selanjutnya
tak akan mengganggu dirimu lagi."
“Kalau begitu mah termasuk taruhan apa?" seru nona berbaju
hijau itu sambil menarik kembali senyumannya, “kau tak boleh
angkat kaki dengan begitu saja."
“Memangnya aku harus menyerah kalah dan membiarkan diriku
dibelenggu?" Tanya Pek hoa lengcu Thio Kian sambil memancarkan
sinar buas dari balik matanya.
Senyuman manis segera menghiasi ujung bibir nona berbaju
hijau itu, sahutnya :
“Dalam lima gebrakan nanti, bila kau tidak berhasil menangkap
diriku, cukup bila kau bersedia membantuku untuk memberikan
semacam benda kepada seseorang."
Pek hoa lengcu Thio Kian masih belum memahami permainan
busuk apakah yang sedang dipersiapkan gadis berbaju hijau itu,
karena taruhan tersebut sudah jelas lebih menguntungkan pihaknya.
Dia adalah seorang manusia bengis yang sudah terbiasa
melakukan kejahatan, sudah barang tentu diapun segan untuk

263
mempercayai perkataan orang dengan begitu saja, setelah sangsi
beberapa saat lamanya diapun lantas berkata :
"Kalau cuma menghadiahkan sebuah benda kepada seseorang,
rasanya kau sendiripun sanggup untuk melakukannya, mengapa kau
harus bertaruh denganku?"
"Mau bertaruh atau tidak terserah padamu sendiri, akupun
enggan untuk banyak ribut denganmu," kata si nona berbaju hijau
itu sambil berkerut kening, "asal aku berteriak, sudah pasti ada
orang yang akan menggantikan diriku untuk bertarung denganmu,
silahkan saja mempertimbangkan sendiri untung-ruginya!"
Pek hoa lengcu Thio Kian benar-benar tidak habis mengerti
tentang maksud hati ga¬dis berbaju hijau itu tapi daripada
kehilangan kedua-duanya, maka tak ada salahnya untuk dicoba.
Maka diapun mengangguk berulang-kali.
"Baik, kita tetapkan dengan sepatah kata itu!"' katanya.
“Kalau begitu, kau boleh mulai turun tangan!"
Pek hoa lengcu Thio Kian tidak banyak berbicara lagi, sepasang
tangannya segera diayunkan berulang kali melancarkan serangan
berantai dengan jurus Luan cian bwe hoa (menggunting bunga Bwe
secara ngawur), Hun im ki gwat (memisah awan mengambil
rembulan), Kim cok wan (serat emas membelenggu pergelangan
tangan) Liu seng kan gwat (binatang lewat mengejar rembulan) dan
Sui tiong lau gwat (mendayung rembulan dalam air).
Nona berbaju hijau itupun segera mengembangkan pula gerakan
tubuhnya untuk mengahadapi serangan tersebut, dalam waktu
singkat seluruh ruangan tersebut sudah dipenuhi oleh bayangan
hijau.
Begitulah tanpa menimbulkan sedikit suarapun, kedua orang itu
terlibat dalam suatu pertarungan yang amat sengit.

264
Ruangan itu sesungguhnya tidak terlampau luas, tapi makin
bertarung Pek hoa Lengcu Thio Kian merasakan hatinya semakin
terperanjat sebab walaupun tempat itu sempit, dia tak mampu
menowel seujung rambut nona berbaju hijau itu apalagi
memegangnya.
Dikala lima jurus serangan itu baru habis dilancarkan dan
tubuhnya agak terhenti sejenak, mendadak urat nadi pada
pergelangan tangannya terasa menjadi kaku, ta¬hu-tahu
pergelangan tangannya itu sudah kena dicengkeram oleh sinona
berbaju hijau itu.
Seketika itu juga, Pek hoa lengcu Thio Kian merasakan segenap
tenaga dalamnya punah tak berbekas, dengan gelisah dia lantas
berseru :
“Kau...... kau..,,..."
Agaknya nona berbaju hijau itu tidak berminat untuk melukainya,
terbukti ia segera lepas tangan begitu berhasil mencengkeram
lengan lawannya sambil tertawa katanya kemudian,
"Jangan takut pun kiongcu tak akan melukai dirimu.”
Berbareng itu juga, tangannya yang lain telah menyusupkan
semacam benda ketangan Pek hoa lengcu Thio Kian dengan nada
perintah katanya :
"Cepat serahkan benda itu kepada So loyacu dikuil Tiong gak bio
jangan sampai salah.”
Tampaknya kelihayan ilmu silat yang dimiliki nona berbaju hijau
itu telah menimbulkan perasaan ngeri dalam hati Pek hoa lengcu
Thio Kian, dia tak berani menggoda lagi dengan kata-kata yang
kotor, dengan hormat katanya :
“Tolong tanya siapakah nona? Bila So loyacu menanyakannya
nanti …..”
“Pun Kiongcu datang dari istana Ban seng kiong!”

265
Pek hoa lengcu Thio Kian tak berani banyak bertanya lagi, dia
segera membalikkan badan dan melompat naik keatas atap rumah.
Tapi belum lagi dia sempat pergi jauh, mendadak terdengar
seseorang membentak keras :
“Bocah keparat, kau anggap kedatanganmu itu berhasil
mengelabui ketajaman mata kami?”
Bagaimanapun juga Pek hoa lengcu Thio Kian termasuk seorang
jago kenamaan di dalam dunia persilatan, tentu saja pengalamannya
juga luas sekali, kecerdasannya boleh dibilang jauh melebihi orang
biasa.
Sejak menyaksikan kepandaian silat yang dimiliki nona berbaju
hijau itu, dia sudah menduga sampai dimanakah kelihayan dari pihak
istana Ban seng kiong, maka mendengar suara bentakan itu, tanpa
berpaling lagi dia membalikkan badannya dan melarikan diri kearah
yang lain.
Sayang meski dia cepat, orang lain jauh lebih cepat lagi daripada
dirinya, ketika ia mendengar segulung desingan angin tajam
menyambar tiba, tahu-tahu jalan darah siau yau hiatnya menjadi
kaku, tubuhnya terasa lemas dna tak ampun lagi tenaga dalamnya
buyar dan tubuhnya pun terjatuh dari atas atap rumah.
Menyusul kemudian bayangan merah berkelebat lewat, tahu-tahu
dia sudah dibawa masuk kembali ke dalam ruangan.
Mimpipun Pek hoa lengcu Thio Kian tidak menyangka kalau
dalam dunia persilatan telah muncul begitu banyak jago persilatan
yang berilmu tinggi, hingga dengan mengandalkan kepandaian yang
dimiliki pun dia tak sempat melancarkan serangan balasan.
Setelah terjatuh ke tangan musuh sekarang tentu saja dia tak
dapat berbuat lain kecuali memejamkan matanya dan pasrah kepada
nasib.

266
Tapi dalam hati kecilnya dia mencaci maki nona berbaju hijau itu
habis-habisan, dia merasa tidak seharusnya gadis tersebut
mempermainkan jiwanya dengan mempergunakan cara tersebut.
Meksi matanya terpejam rapat, telinganya dipasang baik-baik, dia
siap menunggu hukuman yang bakal diputuskan oleh Ban seng
kiongcu.
Mendadak dari dalam ruangan itu terdengar seseorang
mendehem pelan, tapi suara itu bukan suara dari Ban seng kiongcu,
maka tanpa terasa dia membuka matanya untuk mengintip.
Tampak di dalam ruangan itu telah bertambah dengan seorang
kakek berkepala botak, nona berbaju hijau tadi berdiri disamping
kakek botak tersebut, sedangkan si nona berbaju merah yang
menentengnya masuk kedalam ruangan itu berdiri di belakangnya.
Terdengar kakek botak itu mendehem beberapa kali, kemudian
setelah menghela napas katanya :
“Bwe leng kembali kau tidak menuruti perkataanku!”
Dari nada pembicaraan tersebut, Pek hoa lengcu Thio Kian dapat
mendengar kalau si kakek botak tersebut sedang menegur si nona
berbaju hijau itu, sekarang dia baru tahu kalau si nona berbaju hijau
itu sama sekali tidak berniat untuk mempermainkan dirinya, rasa
marah dan kesal yang semula mencekam perasaannya pun segera
banyak berkurang.
Ketika si nona berbaju hijau itu mendengar teguran dari kakek
botak, dengan wajah tidak puas dia lantas berseru :
“Coba kau katakan, kesalahan apa yang telah kulakukan? Aku toh
tidak mengingkari janji.”
“Aku sudah banyak mengajarkan ilmu silat kepadamu meski tiada
hubungan antara guru dan murid, tapi dalam kenyataan kita
memang pernah berhubungan sebagai guru dan murid, selain itu
aku adalah Lo sancu dari istana Ban seng kiong, sedang kau tak
lebih cuma seorang kiongcu saja, kenapa kau berani bicara dengan
nada semacam itu kepada diriku….?”

267
Pek hoa lengcu Thio Kian yang mendengarkan pembicaraan
tersebut, diam-diampun merasa geli sekali, dia merasa Lo sancu
tersebut benar-benar terlalu memanjakan nona berbaju hijau
tersebut, sehingga sama sekali tidak memiliki kewibawaan sebagai
seseorang dari angkatan yang lebih tua........
Darimana dia bisa tahu kalau lo sancu ini adalah seorang manusia
berhati keji yang tindak tanduknya busuk dan kejam, pada
hakekatnya sukar untuk mengukur hatinya dari perubahan mimik
wajahnya itu....
Dalam pada itu paras muka si nona ber¬baju hijau itu telah
berubah menjadi sangat tak sedap dipandang mungkin karena malu
menjadi naik pitam, dengan suara keras segera serunya :
"Aku toh tidak meminta kau ajarkan ilmu silat kepadaku, aku pun
tak ingin menjadi seorang kiongcu atau tidak, jika kau keberatan,
lebih baik kita batalkan saja perjanjian tersebut sampai disini saja....
Nada pembicaraannya ketus sekali.
Kakek botak itu sedikitpun tidak menja¬di gusar, cuma katanya
dengan suara pelan :
“Aku sendiripun sudah cukup banyak dibuat kheki olehmu, kalau
ingin membatalkan janji juga boleh, sekarang juga kau boleh
kembali ke tempat yayamu, cuma tentu saja janjiku kepadamu juga
akan segera kubatalkan pula.”
Dibalik perkataan itu terkandung pula nada ancaman.
Tiba-tiba nona berbaju hijau itu tertawa manis, ia berkata :
“Walaupun kau juga tahu kalau kau sedang menggertak serta
memperalat diriku, tapi ucapan seorang kuncu lebih berat daripada
sebuah bukit, setelah kululuskan tentu saja aku tak akan
membatalkan secara sepihak, janji itu hanya bisa batal bila kau yang
membatalkannya lebih dulu!”
Sudah jelas dia merasa rada takut, tapi dalam pembicaraan
sedikitpun ia tak mau mengalah.

268
Kakek botak itupun tidak mempersoalkannya lebih jauh dia
segera mendongakkan kepalanya dan tertawa terbahak-bahak.
“Haahhh…. Haaahhhh….. haaahhhh….. terserah apa saja yang
hendak kau katakan, pokoknya begitulah watak lohu, aku tak ingin
menjadi seorang yang suka ingkar janji, tampaknya kau terpaksa
harus menjadi kiongcu ban seng kiong selama dua tahun, sampai
waktunya lohu baru akan memenuhi kehendak hatimu!”
Pelan-pelan gadis berbaju hijau itu menundukkan kepalanya dan
menghela napas panjang, di balik helaan napas tersebut entah
terdapat berapa banyak penderitaan dan kesedihan.
Kakek botak itu segera memberi tanda kepada Cun Lan atau si
nona berbaju merah itu, lalu katanya:
"Ambil kembali barang milik Kiongcu itu dan kembalikan kepada
Kiongcu!"
Diantara ulapan tangannya tersebut dia membuat sebuah tanda
rahasia…..
Dari tangan Pek hoa lengcu Thio Kian, nona berbaju merah itu
mengambil kembali sebiji bunga mutiara, kemudian diserahkan
kembali kepada nona berbaju hijau itu ke¬mudian sambil tertawa
katanya:
“Thio Kian itu manusia macam apa? Apakah kiongcu tidak kuatir
bunga mutiaramu itu ternoda?"
Nona berbaju hijau itu segera melotot sekejap ke arah Cun Lan,
dengan ketakutan nona berbaju merah itu bersin beberapa kali dan
segera melengos ke arah lain.
Sambil menggertak giginya kencang kencang, nona berbaju hijau
itu segera mengerahkan tenaga dalamnya dan meremas bunga
mutiara itu sampai hancur menjadi bubuk, kemudian tangannya
diayunkan ke depan dan menyebarkan hancuran bubuk itu ke manamana.
Kakek botak itu segera tertawa tergelak katanya :

269
“Besok lohu akan belikan sekuntum bunga mutiara yang lebih
baik lagi untuk diberikan kepadamu.”
“Huuuh, siapa yang kesudian dengan bunga mutiara busuk itu!”
dengus si nona berbaju hijau itu.
Sambil tertawa kakek botak itu segera melangkah keluar dari
dalam ruangan, sambil keluar katanya :
“Pokoknya lohu berhasrat untuk berbuat demikian, mau diterima
atau tidak terserah kepadamu sendiri.”
Kemudian ditengah gelak tertawa yng amat nyaring, suara
langkah kakinya itu makin lama semakin menjauh.
Sepeninggal kakek botak itu, si nona berbaju hijau itu baru
berseru :
“Cun Lan!”
Namun tiada jawaban yang terdengar, ketika dia menoleh, baru
diketahui bahwa Cun Lan maupun Pek hoa lengcu Thio Kian sudah
tidak berada disitu lagi.
Maka sambil tertawa getir, diapun bergumam :
“Bagaimanapun juga Pek hoa lengcu bukan termasuk orang baik
dibiarkan hidup juga hanya mencelakai orang didunia ini saja,
beginipun ada baiknya juga, jadi akupun tak usah bersusah payah
lagi!”
Dia berjalan ke sisi jendela dan memandang aneka bunga yang
berada di luar jendela, kemudian sambil menghela napas sedih
katanya :
“Sungguh mengherankan mengapa kau menaruh perhatian
khusus kepadanya, lagipula bersedia menjadi kiongcu setannya
selama dua tahun? Kalau kejadian ini sampai diketahui yaya, bisa
jadi dia akan mentertawakan diriku sampai giginya pun turut
terlepas!”

270
Tanpa disadari dia telah mencintai orang ini, demi orang ini dia
rela untuk mengorbankan segala sesuatunya, tapi untuk sesaat dia
belum berhasil menemukan apa alasannya.
Sambil menghela napas, dia membalikkan badannya, mendadak
dia menjerit kaget :
“Hei, kenapa kau kembali lagi?”
Ternyata entah sedari kapan tanpa menimbulkan sedikit suarapun
kakek botak tadi telah berdiri di belakangnya.
Sambil mengangkat bahu kakek botak tertawa, sahutnya :
“Lohu lupa untuk memberitahukan satu hal kepadamu, maka aku
telah balik kembali, apakah kau merasa kesal lagi?”
“Ada urusan apa?”
Kakek botak itu tertawa terkekeh-kekeh.
"Lohu dan kakekmu telah mengadakan suatu perjanjian besok
malam, maksudku aku hendak mengajakmu untuk menghadiri
bersama, bagaimana menurut pendapatmu?"
Tentu saja nona berbaju hijau itu merasa kegirangan setengah
mati, sepasang matanya terbelalak lebar-lebar sedangkan mulutnya
memperdengarkan suara haah….haahh yang tiada hentinya, nampak
sekali kalau hatinya merasa hatinya tidak tenang.
Terdengar kakek botak itu berkata lagi :
"Aku telah bertekad untuk membawamu pergi tapi dapatkah kau
mengulangi sekali lagi perjanjian yang telah kita buat?"
Begitu menyinggung kembali soal perjanjian yang mereka
lakukan, semua kegembiraan nona berbaju hijau itu seketika tersapu
lenyap, bibirnya juga terbungkam dalam seribu bahasa.
Kakek botak itu segera tertawa terbahak-bahak katanya :
"Loha akan mewakilimu untuk mengulangi sekali lagi!
Pertama, selama dua tahun ini, kau tak boleh berbicara sepatah
katapun dengan kakekmu.

271
Kedua, dalam dua tahun ini kau tak boleh berjumpa dengan
orang lain dengan raut wajah aslimu (termasuk kakek dan kekasih
hatimu).
Ketiga, selama dua tahun ini, kau tak lebih adalah Ban seng
kiongcu yang harus berjuang demi nama besar istana ban seng
kiong.
Keempat, dalam dua tahun ini kau tak boleh mengutarakan asal
usulmu yang sebenarnya kepada siapapun.
Kelima, dalam dua tahun ini kau harus membunuh lima orang
yang telah lohu tunjuk (lohu jamin kelima orang itu sama sekali tiada
hubungannya dengan dirimu)!"
Mendengar sampai disitu, dengan mendongkol nona berbaju
hijau itu segera berseru :
“Masih ada lagi, dalam dua tahun ini kau jamin dapat
mengembalikan seorang Thi…… seorang manusia she Thi, kenapa
tidak berani kau katakan?"
Kakek botak itu segera tertawa terbahak bahak.
"Haaahhh....haaahh… haaahhh ….sebenarnya hendak kukatakan,
tapi kau telah mendahuluinya, mana bisa kau salahkan kepadaku?"
Menyusul kemudian dengan wajah serius dia berkata lagi :
"Besok lohu hendak mengadakan pertemuan dengan kakekmu,
dan kau turut hadir dengan kedudukanmu sebagai Ban seng
kiongcu. Aku harap kau jangan terlampau emosi sehingga tidak
dapat mengendalikan perasaan, sebab yang bakal celaka adalah
bocah she Thi itu sendiri. Hehehe.... heeehhh..heeehhh…. sekarang
lohu sudah memperingatkan dirimu lebih dulu, sehingga kalau
sampai terjadi sesuatu dikemudian hari, jangan kau katakan lohu
tidak memberi peringatan lebih dulu!"
Selesai mengucapkan kata-kata itu, si kakek botak tersebut
segera membalikkan badannya dan berlalu dari situ, meninggalkan si
nona berbaju hijau itu harus memutar otak untuk
mempertimbangkannya sendiri.
Apa yang sebenarnya telah terjadi?

272
Kiranya ketika Pek leng siancu So Bwe leng sedang menikmati
jalannya pertarungan antara kakeknya Tiang pek lojin melawan
barisan Lo han tin dari Siau lim si, mendadak dia merasakan
datangnya segulung angin tajam yang menyergap tubuhnya, belum
lagi dia menjerit kaget, tahu-tahu tubuhnya sudah dikempit oleh
kakek botak itu dibawa kabur.
Dalam kempitan lawan tersebut, ia dapat menyaksikan Boan san
ji koay melakukan pengejaran yang ketat, lain kakeknya juga
menyusul datang, sebenarnya dia ingin menjerit, tapi kakek botak
tersebut telah menotok jalan darah bisunya, ini membuat gadis itu
hanya bisa menyaksikan kakeknya pulang dengan perasaan yang
murung ketika ia disembunyikan kakek botak diatas pohon.
Ternyata kakek botak itupun bersikap terbuka, begitu kakeknya
pergi, dia lantas membebaskan totokan jalan darahnya serta
mengajaknya berunding.
Pek leng siancu So Bwe leng adaiah seorang gadis yang tidak
takut kepada langit tidak takut kepada bumi, tentu saja dia tak
menggubris perkataan kakek itu, berulang kali dia melakukan
penyerangan yang gencar terhadap kakek botak tersebut.
Sudah belasan kali dia mencoba usahanya itu, sayang tiap kali dia
tak sanggup bertahan sebanyak dua gebrakan.
Kakek botak itu melayani terus serangan-serangan dari So Bwe
leng sampai akhirnya gadis itu kehabisan tenaga dan tergeletak
dengan perasaan tak luka.
Saat itulah tidak perduli gadis itu mau mendengarkan atau tidak,
dia berbicara seorang diri, pokoknya isi pembicaraan itu pa¬da garis
besarnya adalah berkisar karena bakatnya yang baik, dia hendak
menerimanya menjadi murid, memberi pelajaran ilmu silat
kepadanya, membantu dia dan kakeknya untuk mencarikan Thi Eng
khi dan mengalahkan partai Siau lim serta partei Bu tong.
Pek leng siancu So Bwe leng sama sekali tidak menggubris
ocehan kakek botak itu bahkan mendengarpun tak sudi, ini

273
membuat si kakek botak tersebut menjadi mencak karena
mendongkol.
Akhirnya kakek botak itu berhasil menemukan titik kelemahan
dari Pek leng siancu, dia dapat melihat bahwa nona yang keras
kepala ini selalu acuh tak acuh terhadap persoalan apapun, tapi
ketika membicarakan soal Thi Eng khi dari balik sinar matanya yang
jeli itu segera terpancar keluar serentetan cahaya aneh.
Sebagai seorang manusia licik yang banyak tipu muslihatnya
serta memiliki pengalaman yang luas, dengan cepat ia dapat
memahami apa gerangan yang telah terjadi, maka sengaja dia
mengibul dengan kata-kata besarnya .
"Sesungguhnya untuk mencari jejak Thi Eng khi bukanlah suatu
pekerjaan yang terlampau sulit."
Benar juga, So Bwe leng segera bertanya tanpa sadar.
"Dia berada dimana?”
Dengan cepat kakek botak itu menggelengkan kepalanya
berulang kali katanya :
"Aku tak dapat memberitahukan hal ini kepadamul"
Sekarang giliran Pek leng siancu So Bwe leng yang berusaha
memohonnya dengan kata-kata yang lembut.
Setelah jual mahal sekian waktu, akhirnya kakek botak itu baru
menerangkan bahwa Thi Eng khi telah disembunyikan disuatu
tempat yang amat rahasia letaknya.
Tentu saja Pek leng siancu tidak percaya maka diapun lantas
merangkai suatu cerita yang setengahnya kenyataan dan
setengahnya tipuan untuk membohongi gadis tersebut.
Akhirnya gadis itu kena ditipu mentah-mentah dan
mempercayainya seratus persen.

274
Maka Pek leng siancu So Bwe leng pun segera mengeraskan
hatinya untuk mengadakan suatu perjanjian dengan kakek botak itu
serta menjadi kiongcu atau tuan putri dari istana Ban sen kiong.
Cuma, sering kali dia masih mengumbar wataknya hingga kakek
botak itu benar-benar dibikin kehabisan daya.
Siapakah kakek botak itu? Dia bukan lain adalah teman lama kita,
Huan im sin ang adanya.
Sekarang dia telah menjadi lo sancunya istana Ban sen kiong,
dan selangkah demi selangkah dia sedang melaksanakan tipu
muslihatnya menurut rencana yang telah dibuatnya.
Langit yang kelabu dilapisi oleh awan yang hitam, langit amat
gelap dan angin berhembus kencang, pintu gerbang sebuah
bangunan gedung yang setengah terbuka setengah tertutup
bergoyang tiada hentinya menimbulkan suara yang keras.
Sekilas cahaya halilintar membelah angkasa dan menyinari
kegelapan malam.
Dalam keadaan seperti itulah, tampak ada dua sosok bayangan
manusia sedang menerobos masuk ke dalam bangunan itu de¬ngan
kecepatan luar biasa.
Dulu bangunan rumah itu pernah tersohor dan dipuja oleh setiap
umat persilatan tapi kini suasana amat hening, sepi dan
mendatangkan suasana yang mengenaskan.
Selama setengah tahun belakangan ini, seringkali ada jago
persilatan yang rombongan demi rombongan mendatangi gedung
rumah itu diwaktu malam, namun setelah melakukan pemeriksaan
sekejap, akhirnya dengan membawa perasaaa kecewa pergi tak
berbekas.
Sekarang, kembali ada dua sosok bayangan manusia mendatangi
gedung tersebut, tampaknya merekapun tak bakal mendapatkan
hasil apa-apa dari tempat itu.

275
Akan tetapi jika dilihat dari gaya mereka berdua ketika memasuki
bangunan rumah tersebut, tampak seakan-akan kedua orang itu
sudah mempunyai rencana matang tidak seperti orang-orang
lainnya, datang dengan cepat pergipun dengan cepat.
Sesudah masuk ke halaman dalam, kedua orang itu segera
menutup pintu gerbang, memasang lampu dan kemudian baru
melakukan pemeriksaan langsung ke ruang dalam.
Kedua orang itu memperhatikan sekejap dinding tembok yang
berwarna biru beserta tujuh buah lentera kristal yang berbentuk
tujuh bintang itu, kemudian salah seorang diantaranya
menghembuskan napas panjang, katanya lirih :
"Mungkin ruangan inilah yaag dimaksudkan!"
Rekannya itu manggut-manggut.
"Saudara Ong harap kau bersiap sedia, siaute akan segera
mencobanya………"
Orang she Ong itu segera membalikkan tangannya dan mencabut
keluar sepasang gelang Kan kun cu bu cuan yang berwarna bi¬ru,
setelah membuat sebuah lingkaran bunga diatas kepala, kedua
gelang itu lantas dibenturkan satu sama lainnya sehingga
menimbulkan suara bentrokan yang amat nyaring :
"Jangan kuatir saudara Ong,” katanya, "bukan siaute sengaja
omong besar, dengan mengandalkan nama siaute sebagai Hoo lok it
cuan (gelang sakti dari Hoo lok) Ang Ceng, rasanya tak nanti ada
orang yang berani datang mengganggu kita!'
Rekannya segera menyambung :
“Nama besar saudara Ang memang sudah termashur sampai
dimana-mana, hampir semua orang mengetahuinya, memang siaute
yang terlalu banyak curiga.”
Selesai berkata dia lantas melambung di tengah udara dan
meluncur kearah lentera kristal berbentuk segi tujuh yang ketiga itu,
berada di tengah udara, badannya berjumplitan beberapa kali,

276
kemudian lencana tersebut digerakkan tiga kali keatas dan empat
kali kebawah.
Semua gerakan itu dilakukan hanya mengandalkan setarikan
napas saja, ketika melayang turun kembali keatas tanah, wajahnya
tidak merah, napasnya tidak terengah ini menunjukkan kalau ilmu
meringankan tubuh yang dimiliki benar-benar telah mencapai puncak
kesempurnaan.
“Bagus!” seru Hoo lok it cuan Ang Ceng dengan suara lantang,
“saudara Ong, nama besarmu Thian gwa hui hong (pelangi terbang
dari luar langit) memang bukan nama kosong belaka, cukup dilihat
dari ilmu meringankan tubuh yang kau miliki itu, siaute sudah
merasa puas sekali, tak heran kalau lo sancu menyuruh saudara Ong
yang turun tangan.”
Baru selesai dia berkata, terdengar suara gemuruh yang
memekikkan telinga berkumandang dari arah bawah tanah.
Kedua orang itu segera saling berpandangan sekejap, paras
muka mereka berseri dan memperlihatkan luapan rasa girang yang
luar biasa.
Menyusul kemudian, meja altar didepan, sana tenggelam
kebawah disertai suara keras yang memekikkan telinga, ditengah
gemuruh karena itulah dari bawah tanah muncul sebuah patung
naga emas dengan sebuah cakar raksasanya yang dipentangkan
lebar-lebar, ditengah cakar mautnya itu tersisip secarik kertas.
Tanpa terasa Thian gwa hui hong Ong Put khong memuji :
"Sancu benar-benar seorang manusia yang luar biasa, apa yang
diduganya sama sekali tidak meleset, mungkin jejak dari Thian liong
ngo siang bakal diketahui lewat se¬carik kertas ini."
Seraya berkata dia lantas memberi tanda dan siap mengambil
kertas tersebut.
Akan tetapi sewaktu jari tangannya hampir menyentuh ditepi
kertas inilah mendadak kertas itu melayang sendiri tanpa terhembus

277
angin, kemudian setelah berputar satu lingkaran diatas kepala
mereka segera meluncur keluar pintu.
Thian gwa hui hong Ong Put khong maupun Hoo lok it cuan Ang
Ceng semuanya merupakan jago-jago kenamaan didalam dunia
persilatan, setelah menyaksikan kejadian itu dengan cepat mereka
tahu kalau ada seorang jago lihay telah merampas kertas tersebut
dari tangan mereka.
Dengan gaya ular raksasa membalikkan badan Hoo lok it cuan
Ang Ceng segera menggerakkan sepasang gelangnya, yang satu
dipakai untuk membuka jalan sementara yang lain dipakai untuk
melindungi jalan darah penting didepan dada.
Lalu sambil menyerbu ke depan, bentakny keras-keras.
"Siapa?"
Thian gwa hui hong Ong Put khong juga menubruk ke depan
sambil membentak keras :
"Tinggalkan kertas itu, kuampuni selembar jiwamu!"
Reaksi yang dilakukan kedua orang ini sungguh cepat seperti
sambaran kilat, sekalipun demikian, mereka toh masih terlambat
satu langkah, tak sempat mereka saksikan siapa gerangan orang
yang menyerobot kertas tersebut.
Tanpa menghentikan gerakan tubuhnya kedua orang itu
menerjang keluar ruangan tapi baru saja sampai diluar ruangan,
mendadak dari belakang terdengar suara orang tertawa dingin.
“Berhenti kalian berdua!"
Thian gwa hui hong Ong Put khong serta Hoo lok it cuan Ang
Ceng menjadi tertegun mereka tidak habis mengerti apa sebabnya
orang itu bisa berputar ke belakangnya.
Jilid 9

278
BAGAIMANAPUN hati mereka menggerutu, gerakan tubuh mereka
sewaktu berputar dilakukan dengan kecepatan luar biasa, satu dari
kiri yang lain dari kanan, serentak mereka mendekati orang itu,
agaknya kuatir kalau orang itu berhasil melarikan diri lagi.
Serentetan cahaya api melancar keluar dan menyinari orang yang
berbicara itu ternyata itulah wajah yang kotor dan dekil penuh
dengan minyak, itupun seraut wajah jago persilatan yang cukup
dikenal olehnya.
Paras muka Thian gwa hui hong Ong Put khong serta Hoo lok it
cuan Ang Ceng segera berubah menjadi serius, mereka saling
menyinggung lengan masing-masing sebagai tanda.
Dengan cepat Hoo lok it cuan Ang Ceng menggetarkan sepasang
gelangnya lalu dipindahkan ketangan kirinya sedangkan Thian gwa
hui hong Ong Put khong tidak membawa senjata, tapi serentak dia
menjura sambil berseru :
"Rupanya Kay pang pangcu Cu tayhiap yang telah dating, maaf
kalau kami kurang hormat."
Dengan sorot mata yang tajam bagaikan sembilu, Hou bok sin
kay (mata harimau pengemis sakti) Cu Goan po menatap kedua
orang itu lekat-lekat, lalu bertanya dengan suara dalam :
"Rupanya kalian berdua juga tahu tentang rahasianya Thian liong
pay? Sudah pasti kalian mendapat perintah dari seseorang."
Seandainya berada dihari-hari biasa sudah pasti Hoo lok it cuan
Ang Ceng tak akan berani mengusik Hou bok sin kay Cu Goan po
tapi keadaan yang dihadapinya pada hari ini sedikit berbeda.
Pertama, dia merasa dengan tenaga gabungan dari Thian gwa
hui hong Ong Put khong dengan dirinya tidak sulit untuk
mengalahkan sipengemis tua yang memuakkan itu.
Kedua, Kedatangan mereka kali ini disertai dengan suatu
persiapan yang matang, asal tanda rahasia dilepaskan maka bala
bantuan segera akan berdatangan sekalipun tak sampai meraih
kemenangan, paling tidak tak akan menderita kerugian apa-apa.

279
Maka dengan perasaan tak acuh mereka tertawa dingin, lalu
katanya :
"Persoalan ini sama sekali tak ada sangkut paut dengan pihak kay
pang mengingat kita perkenalan dimasa lalu, aku minta serahkan
kembali kertas surat itu kepadaku dan urusan kita bikin selesai
sampai di sini saja, kalau tidak….. Hmm! Itu berarti kau sedang
membakar tubuhmu sendiri!”
Thian gwa hui hong Ong Put khong adalah seorang yang berotak
licik, meski gusar dihati, senyuman terkulum diujung bibirnya, dia
berkata pula :
"Kami berdua berasal dari istana Ban seng kiong, kali ini sedang
bertugas atas perintah atasan kami, tidak banyak pula yang kami
ketahui maka jika Cu tayhiap ada persoalan silahkan bertanya
langsung kepada Sancu kami, daripada terjadi bentrokan kekerasan
diantara kita, lebih baik serahkan saja surat itu kepada kami."
Mendengar perkataan itu, si pengemis sakti bermata harimau Cu
Goau po tertawa terbahak bahak.
" Haaahhh……. Haaahhh…… haaahhh….. terlalu gampang jika
cuma begitu, sejak tadi sampai sekarang kalian belum menjawab
sepatah katapun apa yang kuajukan, sebaliknya malah mau
mengancam diriku. Hmm, kenapa kalian tidak berpaling dan melihat
dulu siapa saja yang berada dibelakangmu?"
Mendengar perkataan itu, Thiang gwa hui hong Ong Put khong
serta Hoo lok it cuan Ang Ceng merasa amat terkejut, dengan cepat
mereka berpaling……….
Tampaklah didepan pintu ruangan tengah telah berdiri tegak lima
orang pengemis tua.
Mereka adalah lima orang jago lihay di bawan pimpinan Kay pang
pangcu yang disebut orang Kay pang ngo heng, yaitu terdiri dari :
Kim kay (pengemis emas) Ui Hui, Bok kay (pangemis kayu) Lim
Gwan, Sui kay (pengemis air) Hay In, Hwee kay (pengemis api) Hee
Tam dan Toh kay (pengemis tanah) Yu Jit.

280
Siapa pun diantaranya ke lima orang itu meksi bertarung satu
lawan satu dalam lima puluh gebrakan sudah mampu untuk
menaklukan mereka berdua, hal ini membuat kedua orang tersebut
merasa terkesiap.
Meski keder dihati, diatas wajahnya ke dua orang itu tidak
menunjukkan perasaan tersebut, tiba tiba mereka mendongakkan
kepala dan berpekik panjang, dibalik pekikan itu terseliplah kode
rahasia untuk memohon bala bantuan.
Begitu pekikan berkumandang, Hoo lok it cuan Ang Ceng segera
berkata dengan lantang :
"Mau berduel atau main kerubut, kami berdua siap untuk
menghadapinya………!”
"Menurut penglihatanku, kalian bukan tandingan kami," kata
pengemis sakti bermata harimau Cu Goan po dengan dingin, "tapi
kalau dilihat dari sikap jumawa kalian, tampaknya disekitar sini
sudah dipersiapkan bala bantuan?"
"Kalau benar mau apa?" tantang kedua orang itu dengan sikap
yang amat jumawa.
"Baik, kalau memang begitu, semoga saja kalian jangan
menyesal!"
Kepada ke lima orang jagoan dia memberi tanda, lalu katanya :
"Kalau toh kedua orang ini bermaksud untuk merebut benda itu
dengan kepandaian rasanya kitapun tak perlu mendapat malu,
segala sesuatunya dilaksanakan menurut rencana.”
Menyaksikan pihak lawan sama sekali tidak memberi kesempatan
kepada mereka berdua untuk mengulur waktu, dengan gugup Thian
gwa hui hong Ong Put khong berseru :
"Kalian hendak mengandalkan jumlah banvak untuk meraih
kemenangan, apakah tidak malu kalau berbuat ini akan ditertawakan
orang?"

281
Secepat sambaran petir kelima orang pengemis ngo heng itu
sudah mengepung orang itu rapat rapat.
Sambil melepaskan sebuah pukulan, si Pengemis tua berseru :
“Perkumpulan kami hanya berbicara soal peraturan dengan umat
persilatan yang berjiwa lurus, untuk menghadapi manusia macam
kalian, cara macam apapun akan kami pergunakan''
"Wees….!" angin pukulan yang maha dahsyat itu dengan cepat
menghantam keatas tubuh Hoo lok it cuan Ang Ceng.
Menyaksaikan datangnya ancaman tersebut, dengan cepat Ang
Ceng menyingkir ke samping menghindarkan diri dari serangan itu,
kemudian dengan tangan kirinya menyambut serangan lawan
dengan jurus Yau cian leng coa (membacok pinggang ular sakti),
tangan kanannya melancarkan sebuah serangan balasan dengan
jurus Beng gwat tang tau (rembulan purnama diatas kepala).
Di tengah suara tertawa dinginnya si pengemis emas Ui Hui,
berganti gaya sambil menggeser badan, lalu dengan jurus Pang seng
tou gwat (memukul bintang menyungging rembulan) dia punahkan
ancaman gelang lawan, menyusul kemudian dengan lima jari yang
dipentangkan bagaikan cakar dia balas mencengkeram urat nadi
pada pergelangan tangan kanan Hoo lok it cuan Ang Ceng.
Jurus serangan ini dipergunakan secara jitu dan lihay, dengan
cepatnya memaksa Hoo lok it cuan Ang Ceng terdesak mundur
berulang kali.
Sementara itu Thian gwa hui hong Ong Put khong telah
melangsungkan pertarungan seru melawan pengemis kayu Lim
Gwan, sudah barang tentu dia bukan tandingan dari pengemis kayu
Lim Gwan itu, ditambah lagi pengemis air, pengemis api dan
pengemis tanah masing-masing berjaga di empat penjuru sambil
bersiap siap melancarkan ancaman, kesemuanya itu mendatangkan
tekanan kejiwaan yang besar baginya.
Tenaga dalam yang seharusnya sudah mencapai sepuluh bagian,
cuma delapan bagian saja yang bisa dipergunakan secara baik,

282
belum lagi sepuluh gebrakan lewat, dia sudah dibikin kalang kabut
tidak karuan.
Sekalipun begitu, pengemis sakti bermata harimau Cu Goan po
tidak sabar pula, tiba-tiba serunya dengan suara lantang :
“Mereka mempunyai bala bantuan yang dipersiapkan di sekitar
tempat ini, kalian segera selesaikan pertarungan ini dengan
secepatnya!”
“Baik!” sahut pengemis air, api dan tanah bersama.
Siapa tahu baru saja mereka menggerakkan tubuhnya, mendadak
dari luar pintu bermunculan beberapa sosok bayangan manusia yang
langsung menyongsong datangnya serangan dari pengemis emas,
kayu, air, api dan tanah, dengan begitu Hoo lok it cuan Ang Ceng
serta Thian gwa hui hong dapat mengundurkan diri.
Menyusul kemudian, dari luar ruangan muncul kembali tiga sosok
bayangan manusia, salah seorang diantaranya yakni seorang kakek
berambut putih dan bermata bengis berseru kepada Ang Ceng serta
Ong Put khong :
“Sudah berhasil?”
“Benda itu sudah dirampas oleh Kay pang pangcu!” jawab kedua
orang itu dengan hormat.
Kakek berambut putih itu segera melototkan matanya bulat bulat,
kepada kedua orang rekannya dia memerintahkan :
"Lote berdua, cepat bekuk!” orang itu se¬gera berjalan
kehadapan pengemis sakti bermata harimau, sambil tertawa
terkekeh-kekeh katanya :
"Pengemis Cu, kau hendak menyerahkan diri dengan begitu saja?
Ataukah menunggu sampai kami dua bersaudara yang turun
tangan?"
Pengemis sakti bermata harimau Cu Goan Po adalah seorang
ketua dari perkumpulan besar, kedudukannya sangat tinggi dan
sejajar dengan ketua perguruan lainnya, tentu saja tenaga dalam
yang dimilikinya tidak termasuk rendah.

283
Akan tetapi, setelah mengetahui siapa yang datang, diam-diam ia
merasa terperanjat sekali.
Rupanya kedua orang itu mempunyai kedudukan yang cukup
tersohor di dalam dunia persilatan, bahkan disegani oleh jago-jago
baik dari golongan lurus maupun sesat.
Orang menyebut mereka sebagai Hek pek Siang bun (sepasang
Siang bun hitam dan putih) yaitu Hek Siang bun Go Thian dan Pek
Siang bun Go Tee.
Kedua orang itu memiliki kepandaian sakti yang tiada taranya
didunia ini, terutama ilmu pukulan Si kut im hong ciang (pukulan
hawa dingin penghancur tulang) yang merupakan kepandaian
andalannya, barang siapa yang terkena pasti akan tewas.
Seandainya dia harus menghadapi mereka dengan satu persatu,
dalam seratus gebrakan mungkin bisa menangkap salah satu
diantaranya, tapi kalau kedua orang itu sampai turun tangan
bersama, sudah pasti dia yang bakal kalah dalam seratus gebrakan
kemudian
Dengan kedudukan pengemis sakti bermata harimau Cu Goan po
dalam dunia persilatan, sekalipun dia sadar bahwa kepandai¬an
yang dimilikinya masih bukan tandingan lawan, akan tetapi, dia pun
tak dapat menunjukkan perasaan tersebut diatas wajahnya.
Maka sambil tertawa terbahak-bahak, dia merogoh ke dalam
sakunya dan mengeluarkan sebuah tongkat besi yang delapan depa
panjangnya. ketika tongkat itu digetarkan maka panjangnya menjadi
dua kali lipat, maka jadilah sebuah tongkat Tah kau pang yang
panjangnya mencapai lima depa empat inci.
“Dua orang loheng,” demikian dia berkata, “sedari kapan kalian
berdua telah menjadi kaki tangannya orang lain? Sungguh suatu
perbuatan yang terpuji dan pantas diberi selamat! Tongkat
penggebuk anjingku ini merupakan tandingan dari anjing-anjing kaki
tangan orang lain, jika kalian tidak kuatir kena digebuk, silahkan saja
untuk maju!"

284
Hek pek siang bun tertawa dingin, kedua orang itu segera
meloloskan sebuah garpu baja yang panjangnya tiga depa lima inci.
Hek siang bun berdiri disebelah kanan dengan senjata garpu
ditangan kanan, sedangkan Pek siang bun berdiri di sebelah kiri
dengan senjata garpu di sebelah kiri, kedua orang itu sama-sama
mengangkat senjatanya tinggi ke udara, lalu sambil membentur
bentaknya :
"Hajar!"
Mendadak tubuh mereka berpisah sambil menerjang ke muka,
kiranya Hek siang bun yang berada disebelah kanan berputar ke
samping kiri, sedangkan Pek siang bun yang berada disebelah kiri
berputar ke sebelah kanan, tubuh mereka bergerak bagaikan
bayangan setan, sepasang garpu ditusukkan bersama ke depan
menyerang jalan darah Ciau cing hiat diatas sepasang bahu lawan.
"Serangan yang bagus," bentak Pengemis sakti bermata harimau
Cu Goan po dengan suara keras.
Tongkat penggebuk anjingnya diangkat sejajar bahu, kemudian
tubuhnya berputar membentuk satu lingkaran, lalu dengan jurus Ji
long tam sam (Ji long memikul bukit) dengan meminjam gaya
perputaran tersebut dia punahkan serangan gabungan dari kedua
buah senjata musuh.
Seketika itu juga Hek siang bun maupun Pek siang bun
merasakan tenaga serangan yang terpancar dari senjata mereka
punah dengan begitu saja, sadar kalau serangannya mengalami
kegagalan, dengan cepat dia merendahkan pinggang, tanpa
merubah posisi senjata garpunya diangkat keatas lalu satu dari kiri
yang lain dari kanan, sekali lagi mereka lancarkan sapuan kedepan.
Didalam melancarkan serangannya kali ini, hampir semua luang
kosong yang berada disekitarnya tercakup didalamnya kecuali
pengemis sakti bermata harimau melompat ke atas untuk
menghindar, rasanya sulit untuk meloloskan diri dari ancaman
tersebut.

285
Akan tetapi, seandainya pengemis sakti bermata harimau Cu
Goan po benar benar melompat keatas maka pukulan Si kut im hong
ciang yang dilancarkan Hek siang bun dan Pek siang bun tentu akan
menyongsong kedatangannya.
Dengan demikian tubuh si pengemis sakti bermata harimau Cu
Goan po pasti akan terjebak di tengah udara sudah pasti sulit
baginya untuk menahan serangan gabungan dari kedua orang itu,
akibatnya dia akan terluka oleh pukulan Si kut im hong ciang
tersebut.
Sebagai seorang jago yang berpengalaman tentu saja ketua dari
Kay pang ini dapat menyaksikan semua perangkap tersebut dengan
amat jelasnya, tapi diapun mempunyai perhitungan sendiri.
Meski badannya sedang melambung ditengah udara, akan tetapi
toya penggebuk anjingnya melesat ke depan dengan membawa
segulung tenaga pukulan yang maha dahsyat, dengan demikian
ancaman dari Hek pek siang bun yang telah dipersiapkan secara
matang itupun segera gagal total.
Bahkan oleh tenaga gabungan yang dipancarkan kedua orang
tersebut, tongkat penggebuk anjing itu tiba-tiba melesat kembali ke
udara.
Di tengah gelak tertawanya yang amat keras, dengan kepala
dibawah kaki diatas pengemis sakti bermata harimau itu
menggunakan gerakan Yan cu keng poo (burung walet terbang
melesat) untuk menyambut datangnya tongkat Ta kun pang itu,
menyusul kemudian badannya turut melayang kembali sejauh
beberapa kaki dari tempat semula.
Mesti cuma terdiri dari tiga jurus dua gebrakan, namun cukup
membuat si kakek berambut putih bermata serigala itu manggutmanggut
dengan perasaan kagum, katanya :
"Nama besar sipengemis Cu memang bukan nama kosong
belaka, Go lote berdua, Lo Sancu sangat mengharapkan kemampuan
kalian, dapatkah kamu berdua menjadi pembantuku, tergantung

286
sampai dimanakah penampilan yang kalian perlihatkan pada hari
ini.”
Pengemis sakti bermata harimau Cu Goan po adalah seseorang
yang berpengalaman luas, tapi dia tidak mengenali siapa gerangan
kakek berambut putih bermata serigala tersebut, tapi kalau didengar
dari nada perkataannya, dapat diketahui bahwa kedudukan maupun
tingkatannya masih dua tingkat diatas Hek pek siang bun.
Tanpa terasa sepasang alis matanya berkenyit dan wajahnya
segera menunjukkan perasaan bimbang dan ragu.
Pada saat itulah Hek pek siang bun telah berkata lagi :
“Oh lo tak usah kuatir, permainan busuk pengemis Cu hanya
sebanyak itu s a j a, sebentar aku pasti akan mempersiapkan suatu
permainan yang lebih baik lagi didirinya.”
Oh lo ditambah dengan ''bermata serigala" dengan cepat
sipengemis sakti bermata harimau Cu Goan po, teringat akan
seseorang sudah tiga puluh tahun lamanya orang itu lenyap dari
dunia parsilatan, kalau dibilang usia seharusnya sudah mencapai
delapan puluh tahunan, dia tak lain adalah seorang gembong iblis
yang amat termashur didalam kalangan golongan hitam, orang
menyebutnya sebagai Hek sim pa long (serigala buas berhati hitam)
Oh tay kiau.
Seandainya benar benar orang itu, besar kemungkinan nasib
dirinya berenam pada hari ini akan musnah ditangannya.
Ingatan tersebut hanya sebentar melintas dalam benaknya, pada
saat itulah sepasang Siang bun hitam putih telah menyerang kembali
kearah bahunya dengan sepasang garpu bajanya.
Pertarungan antara jago lihay seringkali hanya tergantung pada
satu detik, begitu pengemis sakti bermata harimau teledor dengan
cepat dia terjerumus dalam keadaan yang bahaya, tahu-tahu
ancaman sudah berada di depan mata untuk menghindarkan diri
tampaknya akan jauh lebih susah dari pada mendekati bukit.

287
Untunglah disaat yang paling kritis itulah mendadak dari luar
pintu berkelebat datang sesosok bayangan manusia, tampak cahaya
emas berkelebat lewat tahu-tahu sepasang senjata garpu dari Hek
pek siang bun sudah terhisap oleh cahaya emas itu dan tak sanggup
berkutik lagi.
Menyaksikan peristiwa tersebut, sepasang siang bun hitam putih
menjadi amat terperanjat, cepat-cepat mereka mundur ke belakang
sambil berusaha untuk melepaskan senjatanya, namun
bagaimanapun juga ia berusaha untuk menarik senjatanya, usaha
tersebut selalu gagal.
Tiba tiba terdengar serigala buas berhati hitam Oh Tay ciau
membentak keras :
"Bocah keparat, siapa kau?"
Segulung angin pukulan yang maha dahsyat langsung menuju
kedepan dan menumbuk sebilah pedang emas yang sedang
menghisap sepasang senjata garpu itu.
Ketika angin pukulan itu menghantam di antara pedang emas dan
garpu baja tadi, dengan cepat Hek pek siang bun menarik kembali
senjatanya sambil rnengerahkan tenaga, maksud mereka senjata
tersebut akan dibetot kembali mumpung ada yang membantu.
Siapa tahu pada saat itulah dari atas senjata garpu itu memancar
keluar segulung tenaga pantulan maha dahsyat yang menggetarkan
sepasang lengan mereka hingga menjadi linu, senjatanya tak dapat
dipertahankan lagi, dengan sempoyongan mereka mundur sejauh
tiga langkah.
Ketika memandang lagi kearah senjata garpu itu, maka
tampaklah sepasang senjata tadi masih menempel diatas pedang
emas tadi tanpa bergetar barang sedikitpun juga.
Belum lagi wajah musuhnya kelihatan, sedang senjata mereka
sudah dirampas orang, kejadian ini benar benar membuat Hek pek
siang bun merasa terkesiap sekali. Menanti perasaan mereka

288
menjadi tenang kembali, kedua orang itu baru mendongakkan
kepalanya.
Tampak orang yang memegang pedang emas dihadapan
mukanya itu berusia dua puluh tahunan, ia mengenakan baju
berwarna biru, mukanya putih dan sangat tampan.
Akan tetapi, waktu itu dengan wajab sedingin es dia sedang
mendelik kearah Hek sim pa long (Serigala buas berhati hitam) Oh
Tay ciau.
”Aku bernama Thi Eng khi, tuan rumah gedung ini,” kata pemuda
itu memperkenalkan diri "siapakah kalian? Kenapa mendatangi
rumahku ini?"
Thi Eng khi……..! Thi Eng khi……..! Ketua angkatan ke sebelas
partai Thian liong pay ternyata bisa munculkan diri dalam keadaan
seperti ini, kejadian tersebut sungguh merupakan suatu peristiwa
yang sama sekali tidak diduga oleh siapapun juga.
Oleh sebab itu, kelima kelompok manusia yang sedang terlibat
dalam pertarungan sengit disebelah sanapun menghentikan
pertarungan mereka secara otomatis. kemudian kembali
kekelompoknya masing masing.
Hou bok sin kay (Pengemis sakti bermata harimau) Cu Goan po
pernah bersua muka dengan Thi Eng khi sewaktu berada dalam
perkampungan Ki hian san ceng tempo hari meski demikian,
andaikata Thi Eng khi tidak menyebutkan sendiri namanya belum
tentu ia dapat mengenalinya kembali.
Perpisahan selama setahun sesungguhnya tidak terhitung terlalu
panjang, namun perubahan atas diri Thi Eng khi terlampau banyak,
baik soal perawakan maupun dalam hal bersikap, seolah-olah dia
dengan setahun berselang adalah dua orang yang berbeda.
Kejut dan girang Hou bok sin kay CU GOan po menyaksikan
kemunculannya, sambil berseru tertahan dan mengucak matanya
berulang kali, lalu dia berseru :

289
''Thi ciangbunjin, masih ingat dengan aku si pengemis tua?"
Thi Eng khi berpaling dan manggut manggut.
''Sewaktu dalam perkampungan Ki hian san ceng tempo hari, aku
telah banyak menerima budi kebaikanmu, tentu saja tak akan
kulupakan. Biar siauseng menggebah pergi dulu makhluk makhluk
tua tersebut, kemudian baru kuucapkan terima kasih atas kunjungan
pangcu ke rumah siauseng.”
Rupanya dia mengira Cu Goan po datang kesana untuk
melindungi perkampungannya.
Dalam pada itu, Hek sim pa long Oh Tay ciau telah melototkan
matanya bulat-bulat, kemudian tegurnya :
"Jadi engkau yang bernama Thi Eng khi?"
Menyusul kemudian, sambil tertawa terbahak-bahak dia berkata
lebih lanjut :
"Haaahhhh….. haaahhhh…. Haaahhhh……! didalam jagad sudah
tiada manusia yang bernama Thi Eng khi lagi, sekalipun kau dapat
menyaru sebagai Thi Eng khi namun jangan berharap bisa
mengelabui lohu, Sesungguhnya siapakah kau? Hayo cepat mengaku
sejujurnya!"
Pelan pelan Thi Eng khi meloloskan pedang Thian liong kim kiam
yang tersoren dipinggangnya, kemudian berkata :
"Bila kau terhitung seorang tokoh persilatan yang berpengalaman
dalam dunia persilatan, sepantasnya kalau pedang ini akan kau
kenali, benarkah diriku adalah Thi Eng khi atau bukan, buat apa
musti banyak ditanyakan lagi?"
Hek sim pa long Oh Tay ciau segera memperdengarkan lolongan
serigalanya yang menyeramkan.
“Perduli kau adalah Thi Eng khi yang asli atau bukan," pokoknya
kau akan kubawa pulang kegunung untuk diserahkan kepada Sancu
kami."

290
Begita selesai berkata kelima jari tangannya seperti lima buah
kaitan tajam langsung mencengkeram bahu kanan Thi Eng khi.
Dengan gaya yang seenaknya dia melangkah keposisi tiong kiong
kemudian melewati ang bun dan gayanya tersebut bisa diketahui
bahwa ia tak pandang sebelah matapun terhadap Thi Eng khi.
Didalam anggapannya serangan cakar maut pek TOK siau hun
(selaksa bisa pelenyap sukma) tersebut pasti akan berhasil mengenai
sasarannya dengan telak.
Thi Eng khi membalikkan tangannya dan menyarungkan kembali
pedangnya kedalam sarung kemudian badannya maju selangkah
meloloskan diri dari cengkeraman “pek tok siau hun jiuan"
Mimpipun si Hek sim pa long tidak mengira kalau ilmu
cengkeraman selaksa bisa pelenyap sukma yang memiliki perubahan
yang tiada taranya itu bisa gagal mencapai sasaran pada tubuh
lawannya.
Berubah hebat paras muka serigala buas berhati hitam Oh Tay
ciau menyaksikan keadaan tersebut, sambil tertawa dingin segera
serunya :
“Coba sambut sebuah cengkeram lohu ini lagi!"
Sambil bergerak ke depan, sekali lagi dia melancarkan sebuah
cengkeraman kilat ke tubuh Thi Eng khi, cengkeraman maut ini
dilancarkan dengan kecepatan luar biasa dan lagi dari ujung tangan
segera memancar keluar lima gulung hawa aneh yang segera
mengurung sekujur badan Thi Eng khi.
Thi Eng khi yang sekarang bukanlah Thi Eng khi setanun
berselang, ke empat macam obat mujarab yang berada didalam
tubuhnya kini sudah membaur dengan kekuatan tubuhnya, ditambah
pula dia telah melatih kitab pusaka Thian liong pit kip selama
setahun lamanya, nadi penting yang mempengaruhi mati hidupnya
telah tertembusi, selain itu ada pula hawa khikang yang melindungi
badannya, tentu saja serangan cakar maut selaksa bisa pelenyap
sukma itu tak mempan terhadap dirinya.

291
Dengan penuh kegusaran segera bentaknya :
"Aku tidak punya waktu banyak untuk rebut denganmu, cepat
kau enyah dari sini!”
Dengan jurus Kim liong tam jiau (naga emas mementangkan
cakar) telapak tangannya segera bergetar menembusi hawa hitam
yang berlapis lapis dan langsung mencengkeram urat nadi diatas
pergelangan tangan Serigala buas berhati hitam Oh Tay ciau.
Hek sim pa long Oh Tay ciau sama sekali tidak menyangka kalau
serangan yang dilancarkan Thi Eng khi bisa demikian cepatnya,
menanti dia berniat untuk menarik kembali tangannya, sayang
keadaan sudah terlambat.
Terasa ada segulung aliran hawa panas memancar masuk ke
dalam, membuat tenaga dalam hasil latihannya selama tujuh
delapan puluh tahun itu sama sekali tak dapat dihimpun kembali.
Terkesiap hati Hek sim pa long Oh Tay ciau menghadapi keadaan
tersebut, peluh sebesar kacang kedelai segera jatuh bercucuran
membasahi seluruh wajahnya.
Thi Eng khi segera mengebaskan tangannya sambil mengayun ke
depan, dengan cepat tubuhnya dilempar keluar dari ruangan tengah.
Sesungguhnya tenaga dalam yang dimiliki Serigala buas berhati
hitam Oh Tay ciau bukan terhitung sembarangan, akan tetapi
kenyataannya belum sampai satu gebrakan menghadapi Thi Eng khi
dia sudah dilempar ke¬luar dari dalam ruangan.
Betul hal ini sebagian besar disebabkan sikap pandang entengnya
terhadap lawan, namun andaikata tenaga dalam yang dimiliki Thi
Eng khi tidak memperoleh kemajuan yang amat pesat, mustahil dia
bisa melakukan hal tersebut.
Begitu serigala buas kena dikalahkan para gembong iblis lainnya
semakin tak berani berkutik lagi dibawah seruan tertahan dari

292
Serigala buas itu, kontan semua orang mengambil langkah seribu
dan kabur terbirit-birit meninggalkan tempat itu.
Pengemis sakti bermata harimau Cu Goan po tercengang pula
dibuatnya setelah menyaksikan kelihayan Thi Eng khi, untuk sesaat
lamanya dia berdiri tertegun dengan mata terbelalak dan mulut
melongo, tak sepatah katapun yang sanggup diucapkan.
Semenjak berhasil melatih ilmu silat yang tercantum dalam kitab
pusaka Thian liong pit kip, pekerjaan pertama yang hendak
dilakukan ThiEng khi adalah pulang ke rumah untuk menengok
ibunya serta menolong Thian liong su siang yang terluka oleh ilmu
jari Thian sat ci.
Waktu itu dia tidak berhasrat untuk bersapa dan berbincang
bincang dengan pengemis sakti bermata harimau Cu Goan po,
dengan cepat pemuda itu menjura seraya ujarnya :
"Sudah banyak tahun aku berkeliaran diluar, kali ini aku sengaja
datang untuk menyambangi ibuku harap Cu pangcu tunggu
sebentar.”
Seusai berkata, dia lantas melintas masuk ke ruang dalam.
"Thi ciangbunjin, harap tunggu sebentar," Pengemis sakti
bermata harimau Cu Goan po segera berseru keras, “aku si
pengemis tua hendak membicarakan sesuatu denganmu.''
Tapi Thi Eng khi sudah keburu menyelinap masuk ke ruangan
dalam.
Sambil berlarian menuju keruangan belakang. Thi Eng khi
berseru dengan penuh luapan emosi :
"Ibu.... ibu...! anak Eng sudah kembali!”
Hujan turun amat deras, malam itu tak berbintang walaupun Thi
Eng khi telah melatih ilmu melihat dalam kegelapan, namun tidak ia
pergunakan dalam ruang belakang yang gelap gulita itu.

293
Terasa suasana amat sepi, hening dan tak kedengaran sedikit
suarapun, kesemuanya ini membuat hatinya keheranan.
“lbu!" kembali jeritnya, ''anak Eng telah kembali! Kau jangan
takut, cepat keluar…"
Agaknya dia sudah mulai merasakan bahwa gelagat sedikit agak
tidak beres.
Buru buru hawa murninya dikerahkan, dua rentetan sinar mata
yang tajam segera terpancar keluar dari balik matanya, dia
memandang seluruh ruangan itu, namun yang dijumpai hanya debu
serta sarang laba laba yang memenuhi dinding dan lantai, jelas
gedung ini sudah lama tidak dihuni lagi.
SEKUJUR badan Thi Eng khi gemetar keras, hatinya menjadi
sedih sekali hingga air mata terasa meleleh keluar, keluhnya dengan
hati yang pedih :
"Oooh….ibu! Siang malam ananda berangkat pulang dengan
harapan bisa berjumpa kembali denganmu, siapa tahu kalian sudah
ketimpa musibah yang tak diinginkan, sungguh membuat hatiku
amat menyesal!''
Sementara itu ketua Kay pang pengemis sakti bermata harimau
Cu Goan po telah menyusul datang, dengan agak tersipu. Katanya :
"Thi Ciangbunjin, harap kau jangan bersedih hati, menurut
penilaian aku si penge¬mis tua, kemungkinan besar ibumu sekalian
enggan diganggu orang terus menerus, maka mereka telah
berpindah tempat menetap."
Pikiran dan perasaan Thi Eng khi waktu itu sungguh merasa
gundah sekali, tiba tiba dia membalikkan badan dan menatap wajah
pengemis tua itu dengan sorot mata yang tajam, kemudian tegurnya
:
"Siapa yang telah memaksa ibuku sehingga harus menyingkir dari
sini? Cepat katakan kepadaku!"

294
Pengemis sakti bermata harimau Cu Goan po cukup memahami
perasaan anak muda itu, ia tidak tersinggung oleh sikap kasar orang,
setelah menghela napas panjang katanya :
"Panjang sekali ceritanya, mari tenangkan dulu hatimu, kita cari
tempat untuk duduk kemudian baru pelan pelan
memperbincangkannya kembali...."
Dalam pada itu, Ngo heng ngo kay (lima pengemis Ngo heng)
dari Kay pang telah muncul sambil membawa empat batang obor
lain masing masing ditancapkan diatas empat penjuru dinding
ruangan itu.
Kemudian mereka juga membersihkan lapisan debu diatas lantai
dan mempersilahkan Thi Eng khi serta pengemis sakti bermata
harimau Cu Goan po duduk saling berhadapan.
"Ciangbunjin," pengemis sakti bermata harimau Cu Goan po
mulai dengan pembicaraannya, “selama setahun belakangan ini kau
telah pergi ke mana saja? Tahukah kau, Tiang Pek lojin dari luar
perbatasan telah bentrok dan terjadi salah paham dengan umat
persilatan dalam dunia persilatan gara-gara dirimu?''
Thi Eng khi merasa enggan untuk menceritakan kisah sebenarnya
sehingga ia berhasil memperoleh kepandaian silatnya, maka
pertanyaan yang pertama ini tidak ia jawab.
Maka sambil manggut manggut ujarnya :
"Soal Tiang Pek lojin yaya sampai bentrok dengan pihak Siau lim
pay gara gara urusanku telah kudengar sepanjang perjalanan, tapi
berhubung aku sudah amat rindu dengan ibuku serta menguatirkan
keselamatan keempat orang susiokku yang sedang terluka parah,
maka kuputuskan untuk pulang menengok rumah lebih dulu,
kemudian baru berangkat ke bukit Siong san untuk menjelaskan
kesalahan paham ini. Tapi, selama setahun belakangan ini siapakah
yang telah memaksa ibuku sekalian sehingga harus menyingkir dari
sini? Apakah pangcu bersedia memberi penjelasan kepadaku?"
Secara ringkas Pengemis sakti bermata harimau Cu Goan po
mengisahkan apa yang telah terjadi selama ini, kemudian dia

295
menerangkan pula lantaran semua orang tidak berhasil menemukan
jejaknya, maka otomatis sasaran merekapun dialihkan ke gedung Bu
lim tit it keh.
Akan tetapi ketika semua orang sampai di gedung Bu lim tit it
keh, ternyata Thian liong ngo siang sekalian telah lenyap tak
berbekas, tak seorangpun yang tahu kemana mereka telah pergi.
Akhirnya dia menerangkan pula kalau dirinya mendapat pesan
dari umat persilatan untuk menjaga di wilayah Huay im sambil
melanjutkan pencariannya terhadap orang-orang Thian liong pay.
Selain itu juga diterangkan bagaimana terjadinya peristiwa
sehingga pada malam itu mereka sampai bertarung melawan orang
orang dari Ban seng kiong.
Setelah itu, dia mengeluarkan gulungan kertas yang diperoleh
dalam cakar Thian liong jiau itu, sambil diserahkan kepada Thi Eng
khi katanya :
“Kertas ini kudapatkan dari tangan mereka, belum kubaca isinya,
silahkan Thi ciangbunjin untuk memeriksanya."
Sambil mengucapkan terima kasih, Thi Eng khi menerima kertas
itu dan dibaca isinya, tampak diatas kertas itu tertera beberapa
huruf yang kira kira berbunyi demikian :
"Haaahhh....haaaahhh haaahhh...taktik lohu lebih tinggi setingkat
dan berhasil mendahului kalian lebih dulu!”
Membaca tulisan itu, Thi Eng khi segera berkerut kening dan
terjerumus dalam pemikiran yang amat mendalam.
Suatu keheningan yang cukup lama berlangsung dalam ruangan
itu, tiba tiba Thi Eng khi mengangguk.
“Ehmm….. pasti ibuku telah meninggalkan pesan apa apa disitu,
tapi pesan tersebut telah diambil oleh orang yang meninggalkan
surat ini, besar kemungkinan dalam surat itu ibuku menerangkan
arah tujuan mereka….."

296
Kembali ia termenung beberapa saat lamanya, mendadak paras
mukanya berubah hebat, sambil melompat bangun teriaknya keras
keras :
"Aduh celaka! Andaikata orang yang menyabot surat itu
mempunyai maksud dan tujuan yang jelek, atau dia melakukan
pengejaran dengan kemampuan ibuku kaum lemah serta keempat
orang susiokku yang terluka parah, mana mungkin mereka bisa
menandingi kemampuan lawannya?"
Dengan perasaan cemas bercampur gelisah, dia telah bersiapsiap
untuk menyerbu keluar dari pintu.
Buru buru pengemis sakti bermata harimau Cu Goan po
menghalanginya sembari berkata:
"Harap Thi ciangbunjin berpikir tiga kali lebih dulu sebelum
bertindak, jagad begini luas, kau tahu kemana dia telah pergi?"
Thi Eng khi menjadi tertegun, ia segera terbungkam dan untuk
sesaat seperti kehilangan pegangan.
Kim kay (pengemis emas) Ui Hui dari ngo heng ngo koay (lima
pengemis panca unsur) menatap kertas diatas tangan Thi Eng khi
tersebut dengan sorot mata kaku, setelah termenung sejenak tiba
tiba dia menimbrung :
“Kertas ini bukan kertas sembarangan, entah apa yang berhasil
kalian perhatikan?"
Thi Eng khi membolak-balikkan kertas itu dan memperhatikannya
sekejap, kemudian diberikan kepada pengemis emas Ui Hui sambil
katanya :
"Pengetahuanku cetek sekali tolong berilah petunjuk untukku!"
Pengemis emas Ui Hui menerima surat tadi dan diperhatikan
sejenak, setelah itu sambil diserahkan kepada pengemis kayu Lim
Gwan, ia berkata :
"Loji, bagaimana menurut pendapatmu?”
Sambil memeriksa surat itu, sahut pengemis kayu Lim Gwan :

297
"Panjang empat inci lebar dua inci berlapis emas, bergaris pohon
lui di ujung kanan dengan seekor kupu kupu sedang mementang
sayap disudut kiri bawah..."
"Kalau begitu benda ini semestinya berasal dari Sau tee si bun
(Sastrawan penyapu lantai) Lu put ji!" kata pengemis sakti bermata
harimau Cu Goan po sambil manggut manggut dan tertawa.
“Benar, benda ini memang merupakan sampul surat pohon liu
dan kupu kupu milik sastrawan penyapu lantai Lu put ji!”
''Hayo berangkat!" seru pengemis sakti bermata harimau Cu Goan
po kemudian, "aku si pengemis tua akan menemani heng tay
menuju ke perkampungan Tay-ji-ceng untuk mencari si Sastrawan
penyapu lantai Lu Put ji."
"Terima kasih atas kesediaan Cu pangcu!” seru Thi Eng khi
kegirangan.
Maka serombongan bertujuh orang segera berangkat
meninggalkan pintu halaman gedung Bu-lim-tit-it-keh.
Mendadak ketua dari Kay pang ini menghentikan langkahnya,
belum sempat ia memberi petunjuk kepada lima pengemis panca
unsur, tiba tiba terdengar suara teriakan keras berkumandang
datang dari empat arah delapan penjuru, menyusul kemudian dari
sekeliling gedung itu bermunculan sekelompok manusia yang segera
mengurung mereka ditengah arena.
Ternyata orang-orang itu sudah lama bersembunyi disekeliling
tempat itu, ketika serigala buas berhati hitam sekalian
mengundurkan diri dari situ, oleh karena mereka pergi terlalu cepat,
lagipula kabur melalui atas kepala mereka, maka orang orang itu tak
sempat menghalangi kepergiannya.
Berbeda dengan Thi Eng khi sekalian yang berjalan keluar lewat
pintu gerbang secara terang-terangan, tentu saja mereka segera
terkurung di dalam kepungan.

298
Ditengah hujan deras yang membasahi permukaan bumi malam
itu, kilat menyambar-nyambar menambah seramnya suasana,
diantara kilatan sinar yang memancar lamat lamat mereka saksikan
kawanan manusia tersebut berbaju dekil penuh dengan lumpur
sehingga keadaannya tampak mengenaskan sekali…..
Sementara itu posisi dari Thi Eng khi sekalian bertujuh adalah
lima pengemis lima unsur berada didepan, sementara Thi Eng khi
serta Hou bok sin kay berada dibelakang.
Tak lama setelah mereka terkepung rapat dari antara kerumunan
manusia itu berjalan keluar seorang kakek berusia lima puluh
tahunan, kakek ini berwajah gagah dan berwibawa agaknya
merupakan pemimpin dari rombongan manusia tersebut.
Sambil menyeka air hujan yang membasahi wajahnya kakek itu
berkata dengan lantang :
"Sebenarnya apa maksud dan tujuan kali¬an masuk keluar
seenaknya dalam gedung Bu lim tit it keh? Cepat mengaku
sejujurnya kalau tidak, jangan salahkan kalau kami akan bertindak
kurang sopan"
Walaupun nada perkataannya kasar dan sama sekali tidak
bersahabat, namun mereka tidak turun tangan secara sembarangan,
dari sini dapat diketahui bahwa orang orang itu bukan manusia
urakan yang tidak mengerti akan peraturan dunia persilatan.
Ketika emas dari Ngo kay ngo heng menyaksikan pakaian mereka
dekil dan rombeng, pada mulanya mencurigai mereka sebagai
angpota Kay pang, ketika menyaksikan orang orang itu begitu berani
dan tekebur dihadapan pangcunya, kontan dianggapnya hal ini
merupakan suatu kejadian yang memalukan sekali apalagi berada
dihadapan ketua Thian liong pay, Thi Eng khi.
Maka sambil maju kemuka, segera bentaknya :
"Kalian anak murid dari aliran mana? Berada didepan pangcu
juga berani bertin¬dak gegabah?"

299
“Siapa yang kau anggap murid Kay pang?" kata kakek itu dengan
wajah serius.
Segera timbul pula kecurigaan dalam hati pengemis sakti bermata
harimau Cu Goan po, sambil berkelit kesamping segera katanya :
"Bagus sekali rupanya kalian enggan mengaku sebagai anggota
Kay pang! Perbuatan yang menghianati perguruan merupakan
perbuatan yang tak bisa diampuni, Ngo heng ngo kay, bunuh
mereka semua!''
“Baik!” sahut ke lima orang pengemis itu berbareng.
Serentak mereka meloloskan senjata tajam yang dimilikinya dan
bersiap siap untuk membersihkan perguruan dari anasir anasir yang
berusaha menghianati.
Thi Eng khi sendiri, lantaran menganggap kejadian ini merupakan
urusan pribadi perguruan Kay pang sendiri, maka diapun tidak
banyak berbicara, dengan kening berkerut pelan pelan dia
mengundurkan diri dari tempat itu.
Kakek itu makin naik darah ketika menyaksikan ke lima pengemis
panca unsur telah meloloskan senjata tajamnya, dia menengadah
dan segera tertawa seram.
“Haaahhh haaahhh haaahhh orang bilang peraturan dalam tubuh
Kay pang amat ketat dan disiplin cara kerjanya amat menjunjung
tinggi keadilan dan kebenaran dalam dunia persilatan, siapa tahu
tindak tanduk yang kalian lakukan hari ini sungguh membuat lohu
merasa kecewa sekali…..
Mengandalkan kekuatan menindas kaum lemah, bukan cuma
membuat keonaran saja ditempat suci perguruan Thian liong pay,
bahkan berani menuduh orang yang bukan-bukan, perbuatan kalian
sungguh mengenaskan hati, Hmm…! Kau anggap lohu sungguh
sungguh takut terhadap kalian?”
Sambil memberi ulapan tangan, dia melanjutkan :
"Saudara saudara sekalian, hari ini adalah saat yang tepat bagi
kita untuk menunjukkan kebaktian kita terhadap perguruan, kita

300
sudah tak bisa bersabar lagi, mari kita beradu jiwa lebih dulu dengan
kawanan pengemis yang tak tahu akan keadilan dan kebenaran ini!"
Suara teriakan gagap gempita bergema memecahkan
keheningan, kebetulan kilat sedang menyambar-nyambar dengan
angin yang kencang dan hujan yang deras, kesemuanya ini
menambah keseramannya suasana ketika itu.
Teguran kakek tersebut dengan cepat menggetarkan perasaan
pengemis sakti bermata harimau Cu Goan po, ia segera menyadari
bahwa suatu kesalahan paham telah terjadi.
Cepat cepat dia memberi tanda kepeda kelima orang pengemis
panca unsur agar menunda serangan mereka, katanya.
"Ngo heng ngo kay, harap mundur dahulu pun pangcu masih ada
pertanyaan yang hendak ditanyakan."
Ngo heng ngo kay menarik kembali senjata mereka dan
mengundurkan diri ke samping pengemis sakti bermata harimau Cu
Goan Po.
Dalam pada itu, ketua Kay pang itu sudah maju ke depan sambil
berkata dengan suara yang lebih lembut.
“Lohu adalah ketua Kay pang Cu Goan po …..”
Belum habis dia berkata, kakek tersebut sudah menukas sambil
tertawa dingin :
“Siapa yang tidak tahu kalau kau adalah Pengemis sakti bermata
harimau Cu Goan po? Di hari hari biasa kau selalu menjunjung tinggi
nama dan martabatmu, tak tahu hari ini masih mencoba untuk
menipu orang.”
Hou bok sin kay Cu Goan po memang memiliki kelapangan dada
yang besar, ia tidak menjadi marah, sebaliknya malah berkata sambil
tertawa hambar :
“Siapakah lotiang? Mengapa tidak kau sebutkan dulu nama dan
julukanmu agar persoalan lebih jelas?”

301
“Lohu adalah Thian Heng, anak murid Thian liong pay, kami
datang untuk melindungi tempat suci perguruaan kami, tentunya
kalian sama sekali tidak menyangka bukan!”
Bagitu mendengar ucapan tersebut, bukan cuma Hou bok sin kay
Cu Goan po saja yang dibikin tertegun dengan mata terbelalak,
bahkan kelima orang pengemis lima unsur pun dibikin gelagapan.
Terutama sekali Thi Eng khi sendiri, dia merasakan darah panas
dalam dadanya tergolak keras, air mata membasahi wajahnya
membuat pandangan matanya menjadi kabur, saking emosinya dia
sampai tak mampu mengucapkan sepatah katapun.
Untung saja Hou bok sin kay Cu Goan po berhasil menguasai
gejolak perasaannya dengan cepat, teringat kalau saat itu bukan
tempat yang tepat untuk berbicara, lagipula suasana disana amat
gelap sehingga pihak lawan tak dapat melihat jelas dandanan Thi
Eng khi, pun
sulit membuat mereka percaya kalau Thi Eng khi adalah
ciangbunjin angkatan kesebelas dari partai Thian liong pay, maka dia
segera mengambil tindakan cepat.
Kepada kelima orang pengemis lima unsur segera perintahnya :
"Kalian kembalilah dulu ke halaman dalam, persiapan lentera, aku
dan beberapa orang sahabat ini segera akan menyusul tiba."
Lima orang pengemis itu segera mengiakan dan mengundurkan
diri terlebih dulu ke dalam halaman gedung Thian hee tit it keh.
Kemudian pengemis sakti bermata harimau Cu Goan po pun
menjura kepada kakek tersebut sembari berkata :
"Thian tayhiap, bersediakah kau untuk masuk kedalam dan
berbincang bincang sebentar?”
"Mati saja tidak takut, memangnya kau anggap aku tidak berani?
Hayo berangkat!"
"Silahkan!"

302
Sambil menarik tangan Thi Eng khi dia lantas berjalan lebih dulu
didepan.
Sementara itu, suasana didalam ruang tengah gedung Thian hee
tit it keh terang benderang bermandikan cahaya lampu.
Thi Eng khi telah berdiri di tengah ruangan, sinar lentera yang
terang benderang menyoroti wajahnya yang tampan, tampak jubah
birunya sebagai perlambang jubah partai Thian liong pay serta
pedang Thian liong kim kian yang tersoren di pinggang kesemuanya
ini menambah keren dan berwibawanya pemuda itu.
Agak tertegun Thian Heng beserta segenap anggota partai Thian
liong pay lainnya setelah menyaksikan keadaan itu, mula-mula
mereka agak tidak percaya, tapi setelah direnungkan sebentar
akhirnya mereka tidak sangsi lagi.
Dengan tubuh gemetar keras dan air mata bercucuran
membasahi wajahnya, buru buru Thian Heng maju kedepan dan
menjatuhkan diri berlutut diatas tanah, serunya.
“Tecu Thian Heng tidak tahu kalau ciangbunjin telah tiba, bila
tindakan kami terlampau gegabah, silahkan ciangbunjin
menjatuhkan hukuman kepada tecu sekalian."
Menyusul itu, segenap anggota Thian liong pay yang lain berlutut
dibelakang Thian heng turut berseru pula :
“Tecu sekalian menghunjuk hormat kepada ciangbunjin!!”
Sejak peristiwa dalam perkampungan Ki hian san ceng, segenap
umat persilatan telah tahu kalau Thi Eng khi adalah ciangbunjin
angkatan kesebelas dari partai Thian liong pay, sudah barang tentu
anggota Thian liong pay inipun sudah mendengar pula akan
persoalan itu.
Sekarang setelah mereka saksikan dandanan serta potongan
badan Thi Eng khi kemudian tampak pula pedang Thian liong kim

303
kiam sebagai lambing seorang ciangbunjin tersoren pula
dipinggangnya, tentu saja mereka tak akan sangsi lagi.
Thi Eng khi sendiripun sama sekali tidak menyangka kalau dalam
keadaan seperti ini dapat bersua kembali dengan anggota
perguruanya, apaalagi menyaksikan semangat anak buahnya yang
begitu besar, ia merasa terharu sekali, tanpa terasa air matanya
jatuh bercucuran membasahi seluruh wajahnya.
Sambil balas memberi hormat, dia berseru :
"Saudara saudara seperguruan, silahkan bangun! AKU.,..."
Tiba-tiba hidungnya terasa kecut dan tenggorokannya
sesenggukan, ia tak mampu melanjutkan kembali kata katanya.
Thian Heng adalah seorang yang telah lanjut usia, tentu saja dia
dapat memahami perasaan dari ciangbunjinnya, namun dalam
keadaan dan situasi seperti ini, lagipula hadir ketua Kay pang si
pengemis sakti bermata harimau Cu Goan po, tentu saja diapun tak
berani banyak berbicara.
Terpaksa dia berusaha keras untuk mengendalikan dulu
pergolakan perasaan dalam hatinya, setelah itu sambil menunjukkan
sekulum senyuman paksa ia bangkit berdiri.
"Ciangbunjin, baik baikkah kau selama ini?" sapanya kemudian.
Thi Eng khi memang seorang pendekar yang berjiwa besar,
walaupun usianya tidak besar, pengalamannya tidak cukup, namun
dia sangat berlapang dada dan pandai mengendalikan pergolakan
emosi dalam hatinya.
Sekalipun Thian Heng tidak menunjukkan senyuman paksanya,
sejak tadi sekulum senyuman telah menghiasi wajahnya, apalagi
sekarang wajahnya tampak jauh lebih cerah lagi.
"Atas pelindungan dari coasu, aku telah berhasil mendapatkan
kembali kitab pusaka Thian liong pit kip, sejak ini aku akan bersama

304
saudara sekalian untuk bersama sama berjuang demi masa depan
perguruan kita."
Mengetahui kalau kitab pusaka Thian liong pit kip telah berhasil
ditemukan kembali oleh Thi Eng khi, bukan cuma anggota Thian
liong pay saja yang segera bersorak sorai menyambut berita girang
itu, bahkan ketua Kay pang si pengemis sakti bermata harimau Cu
Goan po beserta ke lima orang pengemis panca unsurpun bersama
sama mengucapkan selamat kepada pemuda itu, mereka
menganggap saat Thian liong pay un¬tuk muncul kembali dalam
dunia persilatan sudah sampai, besar kemungkinan bencana
berdarah yang melanda dunia saat ini dapat diatasi.
Kemudian, Thi Eng khipun bertanya ke¬pada Thian Heng sekitar
keadaan anak murid Thian liong pay saat ini. Dengan sejelas
jelasnya Thian Heng memberi keterangan semua yang diketahui
olehnya.
Ternyata dibawah pencarian umat persilatan yaag berada didunia
saat ini serta pembunuhan berantai yang dilakukan orang orang Ban
seng kiong, pada hakekatnya posisi orang orang Thian liong pay
dewasa ini sudah terjepit sekali sehingga tiada jalan untuk melarikan
diri lagi.
Oleh karena mereka tidak tahu kalau tujuan dari pencarian orang
orang golongan lurus hanya ingin mencari jejak Thi Eng khi dari
mulut mereka, maka siapapun tak berani berhubungan dengan
orang orang persilatan, mereka mengira bencana telah diambang
pintu, tiap hari mereka harus hidup dalam kekuatiran dan
kegelisahan.
Dalam keadaan yang tertekan dan terisolir, akhirnya anak murid
Thian liong pay tak dapat menuruti perintah dari Cousunya lagi
untuk mengasingkan diri, diam diam mereka mulai bersua dan
berjuang menentang keadaan nasib.
Merekapun mulai melakukan hubungan dengan pelbagai anggota
perguruan yang tersiar dimana mana guna bersatu dan melakukan
perlawanan terakhir, diantara mereka yang tingkatnya paling tinggi

305
adalah saudara seperguruan Thian liong ngo siang, sedangkan
tingkatan yang paling rendah adalah keponakan murid Thi Eng khi.
Selain daripada itu terdapat juga sementara anggota dunia
persilatan yang merasa tak senang menyaksikan pelbagai jago dari
berbagai aliran dalam dunia persilatan mendatangi gedung Thian
hee tit it keh sekehendak hatinya, maka mereka lantas membakar
semangat juang umat Thian hong pay dengan harapan bisa
menpergunakan darah dari murid-murid Thian liong pay untuk
memberi peringatan kepada umat persilatan didunia ini.
Thian Heng merupakan pemimpin dari rombongan yang terakhir
ini, kali ini dia sengaja memimpin anak murid Thian liong pay
dengan tujuan untuk menggunakan darah segar mereka untuk
memberi peringatan kepada umat persilatan, sungguh tak disangka
justru dalam keadaan seperti inilah dia telah berjumpa dengan
ciangbunjinnya Thi Eng khi.
Berbicara soal hubungan, maka Thian Heng adalah murid
pertama dari pemimpin Thian liong ngo siang yaitu Kay thian jiu
(tangan sakti pembuka langit) Gui Tin tiong, atau masih kakak
seperguruan dari Thi Eng khi.
Sejak perguruan Thian liong pay menutup pintu dan mendapat
perintah untuk meninggalkannya, diapun belum pernah kembali lagi
kesana. Hampir dua puluh tahunan dia berkelana dan hidup
mengembara di dalam dunia persilatan, tentu saja penderitaan
semacam ini betul-betul memilukan hati bila dibicarakan.
Demikianlah, sementara semua saling menuturkan
pengalamannya masing-masing, mendadak Thi Eng khi berkerut
kening.
Pengemis sakti bermata harimau Cu Goan po yang menyaksikan
kejadian itu segera menegur :
“Saudara cilik apa yang telah kau rasakan?”
Thi Eng khi merasa terharu sekali atas kehangatan sikap ketua
Kay pang ini terhadapnya, apalagi sejak di perkampungan Ki hian

306
san ceng tempo hari sudah menaruh kesan baik kepadanya, dalam
gejolak emosi yang meluap, tak tahan lagi dia berseru :
“Engkoh tua …..”
Tiba-tiba dia merasa panggilan itu kurang baik, baru saja akan
menariknya kembali, si pengemis tua itu sudah bertepuk tangan
sambil tertawa terbahak-bahak.
“Haahhhh…. Haahhhh…. Haaahhhh…. saudara cilik, panggilan
tersebut sesuai dengan seleraku, lain kali kau panggil saja dengan
sebutan itu, awas jangan dirubah lagi!”
“Aaah….. jangan, jangan, aku hanya salah bicara sja, harap Cu
pangcu jangan menganggap serius!” seru Thi Eng khi cepat cepat
sambil menggoyangkan tangannya berulang kali.
Pengemis sakti bermata harimau Cu Goan po kontan mendelik
besar, dengan nada marah dia berkata :
“Saudara cilik, kau anggap aku si pengemis tua tidak pantas
menjadi engkoh tuamu? Hmmm, terlalu menghina! Baik, kalau toh
kau menganggap remeh diriku, sekarang juga aku si pengemis tua
akan memohon diri!”
Selesai berkata, buru-buru dia berlagak seperti akan
meninggalkan ruang itu.
Walaupun Thi Eng khi juga tahu kalau pengemis tua itu hanya
berlagak, bagaimanapun juga toh orang bermaksud baik, terpaksa
katanya :
"Engkoh tua, jangan marah, baik, baiklah siaute akan menuruti
permintaanmu itu!"
Mencorong sinar tajam dari balik mata pengemis tua itu, dia
segera menggenggam tangan Thi Eng khi erat erat sembari katanya
:
“Saudara cilik, mulai sekarang, urusan Thian liong pay berarti
urusan dari aku si pengemis tua pula!”

307
Sementara mengucapkan perkataan itu, sepasang tangannya
kelihatan gemetar keras jelas dia merasa terharu sekali.
“Terima kasih banyak atas cinta kasih engkoh tua!” ucap Thi Eng
khi pula sambil menatap saudaranya lekat lekat.
Dengan cepat pengemis sakti bermata ha¬rimau Cu Goan po
memanggil kelima pengemis lima unsurnya, lalu berpesan :
“Mari kalian menjumpai saudara cilik ini mulai sekarang kalian ini
mesti menjual nyawa untuk dirinya.”
Kelima orang pengemis lima unsur itu menjadi girang sekali
katanya hampir berbareng :
“Urusan saudara cilik adalah urusan Kay pang, soal ini tak usah
pangcu pesankan lagi!”
Buru-buru Thi Eng khi menjura dengan perasaan terharu.
“Terima kasih banyak atas cinta kasih engkoh tua sekalian
kepada siaute.”
Mendadak pengemis sakti bermata harimau Cu Goan po menarik
wajahnya lalu dengan serius dia berkata :
“Mulai sekarang Thian liong pay telah mengikat tali persaudaraan
dengan Kay pang, saudara cilik, sekarang kau harus katakan secara
terus terang kepada engkoh tuamu, mengapa kau berkerut kening
tadi?”
“Oooh…. Begitu hangat sikap engkoh tua kepadaku, tampaknya
siaute terpaksa harus berbicara terus terang.”
“Saudara cilik, bila ingin membicarakan sesuatu, katakanlah
dengan cepat, mengapa mesti mencla mencle seperti nona perawan
saja, kalau begini caramu mana bisa mengerjakan suatu urusan
besar?”
Merah padam selembar wajah Thi Eng khi karena jengah,
sahutnya :

308
“Siaute sedang risau karena masalah penempatan saudarasaudara
kami dari partai Thian liong pay, sudah pasti penghidupan
mereka merupakan suatu permasalahan yang cukup gawat, itulah
sebabnya siaute merasa serba salah.”
Setelah berhenti sejenak, dia berkata lebih jauh.
“Dewasa ini, persoalan yang harus siaute kerjakan masih banyak
sekali, untuk sesaat mustahil bagiku untuk membangun partai secara
resmi dan selalu hidup berkumpul dengan mereka, akan tetapi
akupun tak akan membiarkan mereka hidup luntang lantung terus
tanpa tempat tinggal menetap, oleh karenanya ….. Engkoh tua, kau
sudah banyak berpengalaman, dapatkah kau tunjukkan cara yang
paling baik bagiku untuk mengatasi kesulitan ini?”
Pengemis sakti bermata harimau Cu Goan po segera tertawa
terbahak bahak setelah mendengar perkataan itu.
“Haahhh…. Haaahhh…. Haaahhhh….. bukankah ciangbunjin tidak
tahu bagaimana cara untuk mengatasinya?”
Sesudah tertawa tergelak lagi, dia berkata lebih jauh.
“Engkoh tua mah mempunyai cara yang paling baik untuk
mengatasi kesulitan ini, cuma masalahnya sekarang terpaksa musti
merendahkan derajat saudara seperguruanmu itu, hingga ….. ya
sulit bagiku untuk mengucapkan secara terus terang…. “
“Engkoh tua, kau tak usah sungkan-sungkan!” ucap Thi Eng khi
cepat dengan mata berkilat.
“Bila saudara cilik tidak keberatan, biarkan saja saudara-saudara
kalian itu menjadi tamu selama beberapa waktu dalam perkumpulan
kami?”
Walaupun Thi Eng khi merasa cara ini kurang baik, namun diapun
enggan menampik, setelah termenung sebentar, dia lantas berpaling
kearah Thian Heng sambil bertanya :
“Thian suheng, bagaimana menurut pendapatmu?”

309
Thian Heng turut termenung untuk sesaat dia tak sanggup
mengemukakan sesuatu pendapatpun.
Maka Thi Eng khi lantas memutuskan :
“Baiklah, bagaimanapun juga hubungan kita dengan Kay pang
adalah hubungan persaudaraan, sekalipun harus menumpang
sementara waktu rasanya juga bukan sesuatu hal yang keliru.”
Terhadap setiap masalah, rupanya pemuda ini sudah bisa
menyesuaikan diri menurut keadaan, tidak seperti setahun berselang
yang begitu keras kepala dan kukuh pada pendirian.
Dengan serius Thian Heng berkata :
“Perkataan dari ciangbunjin memang benar, tecu sekalian akan
turut perintah.”
Pengemis sakti bermata harimau Cu Goan po menjadi girang
sekali sambil manggut manggut katanya :
“Pandai menyesuaikan diri dengan gelagat merupakan suatu
tindakan yang paling tepat, murid Kay pang merasa berbangga hati
sekali karena bisa menerima saudara saudara dari Thian liong pay
sebagai tamu kehormatan!"
Selesai berkata, ia lantas berpaling kepada kelima orang
pengemis lima unsur sambil pesannya :
"Mulai sekarang, asal berjumpa dengan saudara Thian liong pay,
semuanya diundang untuk berkumpul dalam markas besat dan
layani mereka sebagai tamu agung, jangan sampai keliru! Sekarang,
ajaklah Thian tayhiap sekalian untuk pulang kemarkas lebih dulu,
lohu dan saudara cilik akan berangkat dulu ke perkampungan Tay ji
eng untuk mencari sastrawan penyapu tanah Lu Put ji.”
Sedangkan Thi Eng khi juga lantas berpesan kepada Thian Heng.
"Hubungan persaudaraan Kay pang dengan Thian liong pay
sudah ibaratnya keluarga sendiri, mulai sekarang anak murid
perguruan kita akan menjadi tamunya Kay pang, aku harap

310
suhenglah yang memimpin mereka. Bila aku ada urusan pasti akan
kuhubungi kalian.”
"Terima perintah!” sahut Thian Heng segera sambil
membungkukkan badan memberi hormat.
Menyusul kemudian dia berseru dengan lantang :
"Menghantar dengan hormat keberangkatan ciangbunjin dan Cu
pangcu untuk melakukan perjalanan!"
Serentak anak murid partai Thian liong pay bangkit berdiri dan
menghantar keberangkatan Thi Eng khi dan pengemis sakti bermata
harimau Cu Goan po keluar dari pintu gerbang.
Sekalipun dalam tubuh Kay pang sendiri tiada ucapan semacam
ini, namun terpengaruh oleh perbuatan murid murid Thian liong pay
ini merekapun turut berdiri dengan wajah serius.
Dalam waktu singkat Thi Eng khi dan pengemis sakti bermata
harimau Cu Goan po telah meninggalkan gedung Thian hee tit it keh
di kota Huay im, oleh karena gerakan tubuh mereka sangat cepat,
maka tak sampai dua hari mereka telah sampai di wilayah
perkampungan Tay ji ceng.
Sepanjang jalan, Thi Eng khi baru mendapat tahu tentang siapa
dan bagaimanakah manusia yang bernama Sau tee si bun Lu Put ji
tersebut dari mulut Cu Goan po.
Ternyata sastrawan penyapu lantai Lu Put ji adalah seorang jago
yang berpengetahuan luas sekali, ilmu silatnya tidak jelek, paras
mukanya lebih lebih sekali, mana tampan, gagah perkasa lagi.
Tapi walaupun semua prasyarat yang begitu bagus dia miliki,
namun yang berhasil dia peroleh hanya julukan Sau tee si bun
belaka, terhadap kedudukan maupun tingkatannya sama sekali tidak
bermanfaat apa-apa.
Sebab dia memiliki sebuah watak yang amat jelek, di hari hari
biasa ia gemar se¬kali bergaul dengan kaum manusia rendah diapun

311
suka dengan uang, perbuatan apapun sanggup dia lakukan, hingga
pada hakekatnya dalam benak orang ini sama sekali tidak mengenal
arti kata "harga diri".
Itulah sebabnya, meskipun wajahnya tampan ilmu sastra dan
ilmu silatnya tinggi, namun dia hanya memperoleh julukan sebagai
Sastrawan penyapu lantai.
Yang lebih aneh lagi adalah dia sama sekali tak tahu diri malah
secara khusus dia memesan semacam kertas surat pohon liu dan
kupu kupu untuk berbuat semena mena dimana mana, tak seorang
jago silatpun yang memandang sebelah mata terhadapnya.
Sementara itu, perkampungan Tay ji ceng telah berada didepan
mata, pengemis sakti bermata harimau Cu Goan po segera menarik
tangan Thi Eng khi untuk melingkari sebuah bendungan, menjauhi
jalan raya setelah menelusuri jalan setapak sekian la¬ma,
perkampungan Tay ji ceng kembali, mereka tinggalkan jauh
dibelakang sana.
Tiba tiba pemandangan yang terbentang didepan mata terasa
meluas, didepan situ muncul sebuah bendungan yang penuh tumbuh
pepohonan liu, di ujung bendungan itu berdiri tiga buah bangunan
rumah mungil sebuah sungai melingkari bangunan rumah tadi.
"Ehmm, tempat ini benar benar merupakan sebuah tempat yang
sangat indah"' puji Thi Eng khi sambil manggut manggut.
"Yang lebih bagus lagi masih ada dibelakang!" sahut pengemis
sakti bermata harimau Cu Goan po sambil tertawa.
Thi Eng khi hanya tertawa belaka, dia tidak berusaha untuk
mendalami perkataan dari pengemis tua itu, selangkah demi
selangkah dia lantas berjalan mendekati pintu gerbang bangunan
rumah mungil itu.
Tiba didepan pintu dan menengadah, tanpa terasa Thi Eng khi
berseru tertahan :

312
“Bagus! Benar benar bagus sekali, tempat ini selain tiada adat
kebiasaan alam semesta, hakekatnya merupakan tempat tinggal
para Dewa Dewi, kalau dilihat dari keadaan disini, siaute benar benar
tidak percaya kalau dia adalah seorang manusia seperti apa yang
telah Engkoh tua terangkan kepadaku tadi.”
“Andaikata ia tidak tahu soal seni dan sastra, tak akan orang lain
menyebutnya sebagai Sastrawan penyapu lantai!”
Kemudian dengan suara yang amat keras, dia lantas berteriak :
"Pun pangcu telah datang, mengapa tia¬da orang yang
menyambut kedatanganku?"
Baru selesai dia berteriak, dari dalam pintu telah muncul seorang
kakek berjenggot cabang tiba yang bermuka tampan, sambil
menjura kepada pengemis sakti bermata harimau, ia berkata :
“Lu Put ji tak tahu akan kedatangan pangcu bila tak menyambut
dari kejauhan, harap sudi dimaafkan.”
"Hmm, tak usah berlagak terus!" dengus Cu Goan po cepat.
Menyusul kemudian, dia berkata lebih jauh :
"Lu-Put ji, kau begitu mengumpak diriku tidakkah kuatir kalau hal
ini akan menodai nama baikmu sebagai seorang sastrawan penyapu
lantai?”
Sastrawan penyapu lantai Lu Put ji segera tertawa terkekeh
kekeh.
“Heeehh…… heeehhh… Heeehhh…… nama besar Cu pangcu telah
termashur di seantero jagad, bila Lu Put ji tidak mengumpak dirimu,
lantas musti mengumpak siapa?"
Tak disangka kalau oraag terhormat macam dia, ternyata
sanggup mengucapkan kata kata seperti ini.
“Benarkah kau telah mengucapkan suara hatirnu?” ketua Kay
pang itu menegaskan.
“Bila Put ji tidak jujur, maka aku bukan cucu Cu pangcu!"

313
Jilid: 10
“BILA aku mempunyai cucu macam kau, sudah sedari dulu
kubunuh dirimu....''
“Aaah… benar, benar, memang pantas dibunuh, memang pantas
dibunuh!"
Hampir tertawa geli Thi Eng khi menyaksikan tindak tanduk orang
yang menyebalkan itu, katanya :
"Kalau orang sampai memanggilnya sastrawan penyapu lantai,
rasanya ucapan ini memang tepat sekali."
Dalam pada itu paras muka pengemis sakti bermata harimau
kelihatan amat serius dan sedikitpun tiada senyuman yang
menghiasi bibirnya dengan langkah lebar dia masuk keruang dalam
sembari katanya :
"Lohu haus sekali!”
“Put ji telah menduga akan kedatangan pangcu berdua sejak tadi
air teh wangi telah kupersiapkan.”
Sambil miringkan badannya, dia mempersilahkan pengemis tua
itu masuk lebih dulu keruangan dalam.
Thi Eng khi segera menyusul kebelakang pengemis sakti bermata
harimau tapi baru saja akan melewati pintu ruangan, mendadak
sastrawan penyapu lantai Lu Put ji, menghadang dihadapannya lalu
dengan sikap yang angkuh katanya ketus :
"Liu tiap cay tidak akan menerima manusia yang tidak bernama!"
Sambil membusungkan dadanya Thi Eng khi segera berseru.
"Aku adalah ciangbunjin dari partai Thian liong pay!"
Dalam anggapannya, bila ia telah menyebutkan kedudukannya itu
sudah pasti sastrawan penyapu lantai akan berubah sikap
terhadapnya.

314
Siapa tahu sikap sastrawan penyapu lan¬tai Lu Put ji masih tetap
angkuh dan ketus katanya.
"Tiga puluh tahun sungai timur tiga puluh tahun sungai barat,
dalam dunia persilatan sudah tidak terdapat lagi nama partai Thian
liong pay, liu tiap cai juga tak dapat melanggar kebiasaan dengan
mempersilahkan kau masuk."
Mendengar perkataan itu, Thi Eng khi menjadi naik darah,
dengan kening berkerut segera bentaknya :
"Kurangajar, kalau begitu aku tak akan sungkan sungkan lagi
terhadap dirimu.”
Sastrawan penyapu lantai Lu Put ji sama sekali tidak merubah
sikapnya, sambil menggulung ujung bajunya dia berseru :
"Aku selamanya tidak takut rnenghadap orang yang sedang
lewat, bila kau ingin beradu kepandaian diujung senjata, aku akan
melayanimu dengan senang hati.”
Paras muka Thi Eng khi waktu itu sudah dingin bagaikan salju
agaknya ia telah bersiap siap untuk turun tangan.
Pengemis sakti bermata harimau Cu Goan po yang menyaksikan
kejadian itu buru buru tertawa tergelak.
"Haaahh…….. haaahh…….. haaahhh……. Lu Put ji adalah seorang
manusia yang amat memandang tinggi soal tingkat kedudukan,”
katanya, “saudara cilik, buat apa kau mesti ribut dengannya?"
Tiba tiba dia menarik muka, kemudian ujarnya kepada sastrawan
penyapu lantai Lu Put ji :
"Thi ciangbunjin adalah saudaraku."
Sastrawan penyapu lantai Lu Put ji tak malu disebut sebagai
manusia penjilat nomor wahid didunia ini, setelah mendengar
perkataan itu, sikapnya segera berubah seratus delapan puluh
derajat.

315
Belum lagi pengemis sakti bermata harimau menyelesaikan kata
katanya, ia telah membungkukkan badannya sambil berkata :
"Saudara cilik, silahkan masuk!"
Selama hidup belum pernah Thi Eng khi menjumpai orang yang
begini tak tahu ma¬lu seperti dia, ia benar benar dibikin menangis
tak bisa tertawapun tak dapat.
"Aku tak jadi masuk!" katanya kemudi¬an.
Diam diam sastrawan penyapu lantai Lu Put ji segera
menyumpah :
"Sialan kau, memangnya kau anggap lohu memandang sebelah
mata kepada dirimu?"
Namun diluaran dia tetap menjura sambil berkata :
''Saudara cilik, bila kau masih saja marah, Put ji segera akan
berlutut dihadapanmu, barusan Put ji tidak tahu kalau saudara cilik
mempunyai hubungan yang erat dengan Cu pangcu, bila telah
berbuat kelancangan, harap kau sudi memaafkannya."
"Hmm, siapa yang menjadi saudara cilikmu? Kalau berbicara
sedikitlah berhati hati," seru Thi Eng khi amat gusar.
Sastrawan penyapu lantai Lu Put ji memang betul betul
berkepandaian hebat, begitu ia sudah mengincar sasarannya, maka
sekalipun kau menghajar atau mendamprat dirinya, ia tak akan
ambil perduli, bahkan dia berusaha terus untuk melunakkan hati
lawannya.
Sekarang, walaupun dalam hati kecilnya dia sedang menyumpahi
Thi Eng khi dengan kata kata yang paling kotor dan keji, namun
wajahnya sama sekali tidak menampilkan perasaan tak senangnya,
malah sambil munduk munduk kembali dia berkata :
“Baik, baik, harap Thi ciangbunjin jangan marah, Put Ji tidak
berani, Put ji tidak berani. Thian liong pay memang suatu perguruan
yang amat termashur dalam dunia persilatan, Thi ciangbunjin pasti
mempunyai jiwa yang besar dan tak mempersoalkan kesalahan
seorang siaujin, silahkan, silahkan, Thi ciangbunjin silahkan masuk."

316
Pinggangnya telah dibungkukkan dalam dalam, kepalanya hampir
saja menempel di atas permukaan tanah.
Thi Eng khi sudah terlanjur dibuat sewot, dia sama sekali tidak
menggubris perkataan lawan.
Pengemis sakti bermata harimau Cu Goan po yang menyaksikan
kejadian itu kembali tertawa terbahak bahak.
"Haaahhh...... haaahhh...... haaahhh...... Put ji siauseng adalah
seorang yang terlalu memegang teguh akan sopan santun, saudara
cilik, jangan lupa kalau kita masih mempunyai urusan serius,
terimalah permintaan maaf dari Put Ji siauseng itu.”
Dengan langkah lebar Thi Eng khi masuk ke dalam ruangan,
hanya hidungnya mendengus dingin berulang kali untuk
melampiaskan rasa mendongkol dalam hatinya.
Sastrawan penyapu lantai Lu Put ji mengikuti dibelakangnya,
setelah mempersembahkan air teh, kembali dia menjura dalam
dalam sembari ujarnya :
“Cu pangcu ada petunjuk apa? Lu Put ji sudah siap sedia untuk
mendengarkannya!”
“Lu Put ji, sejak kapan kau telah mendatangi gedung Bu lim tit it
keh....?”
Diam-diam sastrawan penyapu lantai Lu Put ji merasa bangga
sekali, pikirnya :
“Sekarang, lihat saja kehebatanku!”
Sikapnya dengan cepat berubah, mukanya juga tidak dihiasi lagi
dengan senyuman yang licik dan tengik.
Setelah mendehem beberapa kali, pelan pelan dia berkata :
“Yaa, memang ada kejadian demikian, soal ini ..... soal ini …..”

317
Setengah harian lamanya dia mengulangi kata katanya itu tanpa
ada kelanjutannya.
Tentu saja pengemis sakti bermata harimau Cu Goan po cukup
mengenali kebiasaan jeleknya itu, iapun enggan untuk berkata
sopan lagi, secara blak blakan tegurnya :
"Apa syaratmu?"
Meski sederhana kata katanya namun menyudutkan.
Ternyata Sastrawan penyapu lantai tidak kelihatan malu, malah
dia lantas mengacungkan kelima jari tangannya,
“Yang kuning atau yang putih?" tanya pengemis itu lagi.
"Aku tahu kalau perkumpulanmu adalah sebuah perkumpulan
besar, tentunya kau tak akan menganggapnya sebagai yang putih
bukan?"
"Haaahh... haaahh... haaah.... bagus sekali, nah sambutlah apa
yang kau minta ini.“
Lima buah senjata emas dengan membawa desingan angin tajam
langsung meluncur kehadapan Sastrawan penyapu lantai Lu Put ji,
gerakan benda itu hebat sekali.
Rupanya sewaktu menyambit benda tadi pengemis sakti bermata
harimau telah menyertakan tenaganya sebesar delapan bagian.
Sastrawan penyapu lantai Lu Put ji segera tersenyum, dengan
gerakan Puh hong cui im (menangkap angin membekuk bayangan)
dia sambar benda tersebut, tahu tahu lima batang uang emas yang
masing masing sepuluh tahil beratnya itu sudah berada ditangannya.
Dengan diperhatikannya gerakan tersebut maka dapat diketahui
kalau tenaga dalam yang dia miliki sama sekali tidak berada di
bawah kemampuan pengemis sakti bermata harimau Cu Goan po.

318
Sekalipun dia memiliki kepandaian sehebat itu, sayang ia justru
kemaruk harta malahan diapun tak segan-segannya untuk berlutut
dan mengumpak pengemis tua tersebut. Sikap yang tengik dan
memalukan semacam ini tak akan orang sangka bisa dilakukan oleh
manusia macam dia itu.
Sesudah menyambut uang emas tersebut, Sastrawan penyapu
lantai Lu put ji masih menimang nimang dulu bobotnya dan
menggigit emas itu untuk memeriksa asli tidaknya. Sikap tengik
macam begini, lebih lebih memuakkan siapapun yang melihatnya.
Tapi kemudian ia merasa puas sekali, sahutnya kemudian dengan
singkat :
“Bulan enam tanggal tujuh belas!“
Hanya lima patah kata itu saja yang disuarakan, kemudian ia
kembali membungkam.
Kalau dihitung dengan jumlah upah yang didapatkan, berarti
sepatah kata bernilai sepuluh tahil uang emas.
“Apa pula yang berhasil kau temukan?“ desak Thi Eng khi lebih
lanjut.
Sastrawan penyapu lantai Lu Put ji kembali manggut manggut
lalu menggeleng, kembali dia memperlihatkan kelima buah jari
tangannya.
Thi Eng khi menjadi gusar sekali, bentaknya :
“Tak tahu malu .....“
Tapi akhirnya diapun tak mampu melanjutkan caci makinya itu.
Pengemis sakti bermata harimau Cu Goan po segera tertawa,
ujarnya :
''Beginilah kebiasaan dari Lu put ji bila kita tidak menuruti harga
yang dimintanya, sekalipun membunuhnya juga jangan harap bisa
memaksanya mengucapkan sepatah katapun."

319
Thi Eng khi merasa sangat tidak puas, segera ujarnya :
“Siaute yakin masih sanggup untuk memaksanya berbicara!”
Dia segera bangkit berdiri dan siap sedia untuk menggunakan
ilmu sakti dari partai Thian liong pay untuk menaklukkan Lu Put ji
serta memaksanya berbicara.
Buru buru pengemis sakti bermata harimau Cu Goan po
menggoyangkan tangannya mencegah :
“Saudara cilik, cara semacam itu tak ada gunanya buat Lu Put ji,
lebih baik lihat saja cara engkoh tuamu.”
Dengan wajah serius dia lantas berpaling ke arah Lu Put ji sambil
ujarnya :
“Lebih baik kita bicara borongan saja, kau harus menjawab
semua pertanyaan yang kami ajukan, untuk itu berapa banyak yang
kau minta?”
Sastrawan penyapu lantai Lu Put ji segera memperlihatkan sinar
mata rakusnya, dengan perasaan seperti terpaksa, ia berkata :
“Waaah.... kalau ..... kalau main borongan , aku.... akulah yang
bakal rugi besar.“
Tapi kemudian sambil membusungkan dadanya, ia berkata
dengan sikap yang gagah.
“Dihari hari biasa aku tak pernah menunjukkan kebaktianku
untuk Cu pangcu, baiklah, untuk langganan bagaimana kalau aku
minta lima ratus saja?“ Yang dimaksud sebagai lima ratus, sudah
barang tentu lima ratus tahil uang emas.
Mencorong sinar mata berapi api dari balik mata Thi Eng khi,
serunya sambil mendepak depakkan kakinya ke lantai :
“Hatimu terlalu hitam, cara kerjamu terlalu rendah, tengik dan
terkutuk!“
Sebaliknya pengemis sakti bermata harimau Cu Goan po berkata
sambil tertawa :

320
“Tidak banyak, memang tidak banyak, hari ini Lu Put ji memang
cukup bersahabat!“
Selintas rasa bangga segera menghiasi wajah sastrawan penyapu
lantai Lu Put ji katanya:
“Biasanya orang yang berkedudukan tinggi jadi orang lebih sosial,
Cu pangcu memang memiliki kelebihan daripada orang lain, berbeda
dengan Thi ciangbunjin yang terlalu memandang rendah diriku.“
Thi Eng khi hanya berkerut kening belaka, tampaknya ia tak sudi
berbicara lagi dengannya.
Sementara itu, pengemis sakti bermata harimau Cu Goan po
sedang merogoh sakunya kesana kemari, biar miskin diluar ternyata
sakunya tidak miskin, entah berapa banyak barang berharga yang
dibawa olehnya.
Dari dalam salah satu sakunya, akhirnya dia berhasil
mengeluarkan sebuah mutiara yang besar sekali dan memancarkan
sinar kemerah merahan yang tipis.
“Lu Put ji“ serunya kemudian sambil mengangkat tinggi tinggi
benda tersebut, “tentunya kau juga tahu barang. “Coba lihatlah,
apakah mutiara ini laku lima ratus tahil?“
Begitu melihat mutiara tersebut, sepasang mata sastrawan
penyaou lantai itu kontan terbelalak lebar-lebar, dengan cepat dia
mengangguk berulang kali.
“Cukup, cukup!“
Tangannya segera dijulurkan kedepan siap menerima mutiara
tersebut dari tangan pengemis tua itu.
Tapi Cu Goan po segera menarik kembali tangannya, dia berkata
:
“Benda itu sudah menjadi milikmu, namun kau harus
menerangkan dahulu apa yang terjadi dalam gedung Bu lim tit it keh
pada bulan enam tanggal tujuh belas nanti?”

321
Sastrawan penyapu lantai Lu Put ji menelan air liurnya berulang
kali, serunya cepat :
“Lebih baik.... lebih baik mutiara itu kau serahkan dulu kepadaku
.....”
“Memangnya kau tidak percaya dengan diriku?” bentak Cu Goan
po dengan mata melotot.
“Tidak berani, tidak berani,” seru sastrawan penyapu lantai Lu
Put ji sambil menggelengkan kepalanya berulang kali, “memang
begitulah peraturanku selama ini.”
Pengemis sakti bermata harimau Cu Goan po segera tertawa
seram.
“Haahhh.... haahhh.... haahhhh.... lohu justru akan menyaksikan
dirimu untuk merusak peraturan tersebut, tentunya kau juga tahu,
nilai dari mutiara Thian hiang cu ini bukan hanya lima ratus saja,
kalau tidak besok saja kita bicarakan lagi setelah kubawa uang
emasnya kemari.”
Seraya berkata dia lantas masukkan kembali mutiara tersebut
kedalam sakunya.
Sastrawan penyapu lantai Lu Put ji bukan seseorang yang tidak
luas pengetahuannya, dia tentu saja mengetahui nilai dari mutiara
tersebut, sepasang matanya yang kurus sudah sedari tadi
mengawasi benda itu tanpa berkedip, kalau bisa dia ingin sekali
cepat cepat memperoleh mutia¬ra Thian hiang cu itu.
Betul mutiara itu tidak terlampau besar, akan tetapi justru
merupakan benda mestika yang tidak ternilai harganya, tentu saja
dia tak ingin membiarkan benda itu disimpan kembali oleh pengemis
tua itu.
Dengan perasaan gelisah dan cemas, buru buru serunya :
“Berada di hadapan pangcu, apalah artinya benda itu? Jangankan
hanya sebuah peraturan kecil yang tak ada harganya untuk
dibicarakan, sekalipun ada masalah yang amat besar, asal pangcu

322
mengucapkan sepatah kata saja, aku disuruh terjun ke air, aku akan
terjun ke air, suruh terjun ke api, akupun akan terjun ke api,
semuanya akan kulakukan dengan segera tanpa membantah.”
“Tak usah banyak berbicara, bila kau menginginkan mutiara itu,
maka ucapanku musti kau turuti!” tukas Cu Goan po cepat.
Setelah berhenti sejenak, dia melanjutkan :
"Benda apa saja yang berhasil kau dapatkan dalam ruang Sin
tong partai Thian liong pay di gedung Bu lim tit it keh?“
Sastrawan penyapu lantai Lu Put ji tak berani berbohong lagi
dengan berterus terang sahutnya :
''Dalam ruang Sin tong partai Thian li¬ong pay, aku telah
menemukan rahasia besar, maka sewaktu tombol rahasia kutekan,
meja altar Thian liong pay itu mendadak tenggelam kebawah,
kemudian muncul seekor naga emas yang sedang mementangkan
cakarnya, dalam cakar itu tampak secarik kertas, maka kuambil
kertas itu dan mengembalikan alat rahasianya seperti sedia kala."
Thi Eng khi ingin cepat cepat mengetahui isi surat itu, dengan
cepat dia menimbrung : "Surat itu sekarang berada dimana?"
“Thi ciangburjin, lebih baik kau jangan turut bertanya, sebab hal
ini akan kuhitung dengan tarif baru."
Thi Eng khi menjadi betul betul naik darah, bentaknya keras
keras :
"Bangsat, kau benar benar seorang manusia yang tak tahu malu,
lihatlah kubacok dirimu!"
"Saudara cilik....“ pengemis sakti bermata harimau segera
berteriak keras.
Dengan cepat dia memberi kerdipan mata kepadanya agar
mendengarkan dengan tenang, lalu tanyanya pula kepada Lu Put ji :
"Kau sendiri melakukan apa pula ditempat tersebut?"

323
"Oooh...... aku cuma meninggalkan secarik surat pohon liu dan
kupu kupu dibalik cakar naga emas itu.”
“Apa yang kau tulis diatas kertas surat pohon liu dan kupu-kupu
tadi .....“
“Aku hanya menulis begini : Hahahaha.... lohu lebih hebat dan
berhasil mendahului kalian!“
Pengemis sakti bermata harimau Cu Goan po manggut manggut,
dia mengakui bahwa sastrawan penyapu lantai memang tidak
berbohong, maka diapun lantas bertanya lebih jauh :
“Kemana larinya surat yang asli itu sekarang?“
“Telah kujual!“
Saat itu Thi Eng khi benar-benar tidak tahan lagi, mendadak ia
melejit keudara dan menubruk keatas tubuh sastrawan penyapu
lantai Lu Put ji ......
Menghadapi serangan tersebut, Sastrawan penyapu lantai Lu Put
ji tertawa dingin, dengan cepat kakinya bergeser kekiri dan kekanan
diiringi gerakan lengannya kesana kemari secara beruntun dia telah
berganti lima enam tempat dengan arah yang berlainan, didalam
anggapannya semula, tubrukan dari Thi Eng khi tersebut sudah pasti
akan mengenai sasaran yang kosong.
Siapa sangka, gerakan tubuh dari Thi Eng khi sungguh cepat
sekali, tubrukannya ibarat cacing dalam perut, entah kemanapun dia
menghindar atau bergeser, ia tak pernah berhasil melepaskan diri
dari incaran jari tangan Thi Eng khi.
Sekarang sastrawan penyapu lantai Lu Put ji baru tahu kalau ilmu
silat yang dimiliki Thi Eng khi benar-benar lihay sekali.
Baru saja dia akan merubah taktik pertarungannya, tahu-tahu
jalan darah Cian keng hiat diatas bahunya menjadi kaku, sepasang
lengannya bagaikan lumpuh saja, segera kehilangan semua
tenaganya dan terjulur lemas ke bawah.

324
Sambil menekan bahu Sastrawan penyapu lantai, Thi Eng khi
segera membentak keras :
“Hayo jawab, sudah kau jual kepada siapa?“
Kalau tadi sastrawan penyapu lantai Lu Put ji bersikap sungkan
kepada Thi Eng khi, hal ini sebenarnya lantaran pengaruh dari Kay
pang pangcu Cu Goan po.
Tapi sekarang, setelah ia kena ditaklukkan oleh Thi Eng khi
secara gampang, timbul perasaan keder dalam hati kecilnya,
terhadap Thi Eng khi pun ia menjadi ketakutan setengah mati.
Sedemikian takutnya dia kepada pemuda ini, bahkan sampai
sepatah katapun tak sanggup diutarakan, selembar wajahnya yang
tampan kini kelihatan berubah menjadi merah padam seperti babi
panggang.
Hou bok sin kay Cu Goan po buru buru menyelinap datang, lalu
katanya kepada Thi Eng khi :
“Saudara cilik, jangan terburu napsu, pikir yang cermat, tanya
yang seksama, dengan begitu urusan baru tidak terbengkalai.“
Sesungguhnya Thi Eng khi hanya terpengaruh emosi saja
sehingga melakukan tindakan tersebut tapi pada dasarmya dia
cerdas maka tak usah berpikir lebih jauh diapun sadar bahwa dirinya
sudah melanggar pantangan.
Gara-gara urusan sepele hampir terbengkalai urusan sebenarnya
maka dengan cepat dia melepaskan si sastrawan penyapu lantai Lu
Put ji dari cengkeraman.
“Lu Put ji,“ ia berkata sambil tertawa dingin, “kuharap kau
menjawab dengan sejujurnya daripada aku musti memberi pelajaran
lagi kepada dirimu .....“
Pelan-pelan ia mundur kembali ke tempat semula.

325
Sastrawan penyapu lantai Lu Put ji segera menggerakkan
sebentar sepasang bahunya lalu sahutnya dengan ketakutan :
“Baik! Baik! Apa yang kuketahui, pasti akan kujawab dengan
sejujurnya ....“
“Baik, coba kau terangkan kertas tersebut telah kau jual kepada
siapa ....?“ tanya si pengemis sakti bermata harimau kemudian.
Buru-buru sastrawan penyapu lantai Lu Put ji menggelengkan
kepalanya berulang kali, katanya :
“Aku betul-betul tidak tahu siapakah orang yang membeli kertas
tersebut.“
“Lu Put ji!“ tegur pengemis sakti bermata harimau Cu Goan po
sambil melotot, “kau termashur karena pengetahuanmu yang amat
luas, mustahil bila kau tidak kenal dengan orang itu, hayo jawab saja
siapa dia yang sesungguhnya? Daripada merasakan penderitaan
yang sama sekali tak ada gunanya.“
Dengan muka hampir menangis, sastrawan penyapu lantai Lu Put
ji kembali merengek :
“Bila orang itu adalah seorang manusia yang punya nama dalam
dunia persilatan, sudah barang tentu aku akan mengenalnya, tapi
orang itu baru berusia delapan sembilan belas tahunan, aku benar
benar tak tahu dia berasal dari mana.“
Pengemis sakti bermata harimau Cu Goan po berpikir sabentar,
lalu berkata :
"Kalau begitu coba kau lukiskan saja bagaimanakah bentuk raut
wajahnya itu."
Sastrawan penyapu lantai Lu Put ji berpikir sejenak, lalu sahutnya
dengan cepat.
“Dia adalah seorang sastrawan muda yang memakai baju
berwarna putih dengan mantel berwarna perak, perawakan
tubuhnya sedang tidak kelewat tinggi juga tidak kelewat pendek,
seraut wajahnya amat tampan, bahkan tiga bagian lebih ganteng
daripada Thi ciangbunjin. Cuma sayang tidak memiliki sinar
kegagahan. Waktu itu, akupun pernah menanyakan tentang asal

326
usulnya. Tapi lantaran dia tidak menyahut maka akupun jadi segan
untuk bertanya lagi .....”
Tiba-tiba Thi Eng khi bertanya :
“Berapa uang kau jual kertas itu kepadanya?”
Dari dalam sakunya sastrawan penyapu lantai Lu Put ji
mengeluarkan sebuah mainan Giok bei yang satu inci lebih enam
panjangnya, kemudian menyahut :
“Pemuda itu persis seperti Cu pangcu dalam melakukan
perjalanannya tak pernah membawa uang emas dalam jumlah
banyak, maka dia membayar harga dari kertas tersebut dengan
mainan kemala ini!”
“Apa yang tertulis diatas kertas itu?” sastrawan penyapu lantai Lu
Put ji segera berkerut kening.
“Soal ini tak bisa kuberitahukan kepada kalian!” sahutnya dengan
perasaan berat hati.
“Kau hendak menjual mahal lagi?” bentak Thi Eng khi dengan
gusar.
Sastrawan penyapu lantai Lu Put ji segera tertawa getir lagi,
ucapnya pelan :
“Bukannya aku enggan memberitahukan hal itu kepadamu, cuma
aku telah terlanjur meluluskan permintaan pemuda itu untuk tidak
membocorkan isi kertas tadi kepada siapapun juga. Thi ciangbunjin
dan Cu pangcu tentunya tahu bukan bahwa menjadi seorang
manusia harus memegang janji? Tapi bila kalian bersikeras akan
memaksa aku untuk mengingkari janji, tentu saja aku tak akan
berani menolak.”
Ucapan dari sastrawan penyapu lantai Lu Put ji ini diucapkan
dengan amat diplomatis, tentu saja dia dapat mengingkar janji
dalam keadaan terdesak, namun tanggung jawab dari tindakannya
itu harus dipikul sendiri oleh Cu Goan po serta Thi Eng khi dua
orang.

327
Padahal setiap umat persilatan mengutamakan soal pegang janji,
sekalipun Cu Goan po serta Thi Eng Khi sangat ingin mengetahui isi
surat yang sebenarnya, mereka tak ingin melakukan suatu
perbuatan yang bisa memaksa orang lain untuk melakukan suatu
perbuatan yang mengingkari janji.
Seandainya mereka adalah kawanan iblis dari kaum sesat, sudah
barang tentu persoalan semacam ini tak akan diperhatikan sama
sekali.
Pelan-pelan si pengemis sakti bermata harimau Cu Goan po
mengalihkan sorot matanya ke atas wajah Thi Eng khi, setelah itu
sambil menggelengkan kepalanya dan menghela napas, dia berkata :
“Saudara cilik tampaknya perjalanan kita kali ini juga sia-sia
belaka…..!”
Thi Eng khi sendiripun merasa amat sedih, tapi ketika sorot
matanya membentur kembali dengan mainan Giok bei yang berada
di tangan sastrawan penyapu lantai Lu Put ji, tiba-tiba saja
semangatnya berkobar kembali.
“Lu Put ji,” katanya kemudian, “kau jelas mengetahui kalau kami
tak akan melakukan perbuatan yang menjerumuskan orang kedalam
pengingkaran janji maka kau gunakan kata-kata semacam itu untuk
membungkam kami, baik kuakui akan kelihayanmu tersebut dan
kamipun tak akan menanyakan lagi isi surat itu kepadamu tapi kau
harus menyerahkan mainan Giok bei itu kepadaku, sebab hanya
inilah merupakan satu-satunya titik terang dari orang itu yang dapat
kami lacaki.”
"Tidak bisa, tidak bisa," seru Sastrawan penyapu lantai Lu Put ji
sambil menggeleng, “mainan Giok bei merupakan pembayaran dari
orang itu untuk kertas surat tersebut, bila mainan ini harus
kuberikan kepada kalian sekarang, bukankah kertas itu sama artinya
kuberikan kepada orang lain dengan gratis?”
Thi Eng khi sungguh tak tahu harus menggunakan kata apa
untuk memaki orang itu, dia merasa dalam dunia saat ini mungkin
tiada orang kedua yang memiliki watak semacam dia itu.

328
Pengemis sakti bermata harimau Cu Goan po segera mendengus
dingin.
“Hmmm....! Lu Put ji, kau jangan terlalu memberatkan benda
mestika daripada nyawa, ketahuilah mutiara Thian hiang cu milik aku
si pengemis tua masih belum dapat kuserahkan kepadamu!“
Sastrawan penyapu lantai Lu Put ji semakin gugup dibuatnya,
namun perasaan tersebut tak berani dia perlihatkan diatas mukanya,
maka katanya kemudian :
“Cu toa pangcu, apakah kau hendak mengingkari janji?“
“Tindakanku ini belum dapat dianggap mengingkari janji, karena
kau tidak memberitahukan isi surat itu kepada kami, berarti kau pun
tidak memenuhi syarat yang kami ajukan, yakni menjawab setiap
pertanyaan yang kami ajukan kepadamu, andaikata mutiara Thian
hiang cu ini harus diserahkan kepadamu, maka aku hanya bisa
menyerahkan separuh saja dari benda ini.“
Mendadak Sastrawan penyapu lantai Lu Put ji menggigit bibirnya
menahan diri kemudian berkata :
“Baik akan kuberitahukan isi surat itu kepada kalian.“
Pengemis sakti bermata harimau segera tertawa terbahak-bahak.
“Haaahhhh..... haaahhhh..... haaahhh.... sayang sekali kau sudah
terlanjur meluluskan permintaan orang, sekalipun kau dapat
menebalkan muka untuk mengingkari janji namun pun pangcu dan
Thi ciangbunjin bukan manusia semacam itu. Kami tak akan
melakukan perbuatan yang mendorong orang untuk mengingkari
janji. Lebih baik serahkan saja mainan Giok bei itu kepada kami
sebagai alasan bahwa kau tak perlu menepati janji lagi, sedang pun
pangcu akan menyerahkan mutiara Thian hiang cu itu kepadamu,
dengan demikian kaupun tidak terlampau rugi dibuatnya....
bagaimana? Setuju tidak?“
Sastrawan penyapu lantai Lu Put ji benar-benar enggan untuk
mengorbankan mainan Giok bei yang berada ditangannya itu, tapi

329
dia lebih lebih merasa berat hati untuk kehilangan mutiara Thian
hiang cu tersebut, akhirnya dia cuma bisa menghela napas, setelah
menelan air liur, dengan wajah meringis, katanya :
“Setelah kuserahkan mainan Giok bei itu kepada kalian, tentunya
kalian tak akan mencari alasan yang lain?“
“Omong kosong,“ bentak pengemis sakti bermata harimau Cu
Goan po keras-keras, “kalau kau tidak percaya, lebih baik kami minta
diri saja!“
Selesai berkata dia lantas menarik tangan Thi Eng khi untuk
diajak pergi meninggalkan tempat itu.
Buru-buru sastrawan penyapu lantai Lu Put ji menghadang jalan
pergi mereka kemudian sambil menyerahkan main Giok bei tersebut,
ujarnya agak tersipu sipu :
“Aku bersedia menyerahkan mainan Giok bei ini kepada Cu lo,
harap Cu lo bersedia untuk menerimanya.“
Pengemis sakti bermata harimau Cu Goan po sama sekali tidak
memandang kearahnya walaupun hanya sekejap mata setelah
menerima mainan Giok bei dan masukkan kedalam saku, dia
serahkan mutiara Thian hiang cu tersebut kepadanya.
“Ketahuilah, andaikata aku si pengemis tua tidak merasa enggan
untuk turun tangan terhadap manusia semacam kau, aku benarbenar
ingin membacokmu sampai mamapus!“ serunya keras-keras,
“sebelum kuinjak injak tubuhmu, rasanya belum hilang rasa
mendongkol yang menggelora dalam dadaku!“
Begitu selesai berkata, sebuah pukulan lantas diayunkan untuk
mendorong Lu Put ji kesamping, kemudian bersama Thi Eng khi
meninggalkan ruangan Liu tiap cay tersebut.
Tapi belakang sana masih kedengaran Sastrawan penyapu lantai
Lu Put ji masih berseru dengan nada yang memuakkan :
“Benar,benar, kau orang tua memang seorang jago kaum lurus,
memang tidak pantas turun tangan terhadap manusia rendah seperti

330
aku, terima kasih banyak, terima kasih banyak atas kemurahan hati
kau orang tua!“
Setelah berada jauh dari tempat atai, Thi Eng khi baru menghela
napas sambil bergumam.
"Engkoh tua, tak kusangka dalam dunia ini bisa terdapat manusia
yang tak tahu malu semacam itu, betul-betul suatu kejadian yang
luar biasa sekali ....“
“Walaupun sastrawan penyapu lantai Lu Put ji termashur karena
mukanya yang tebal dan tak tahu malu, paling tidak dia masih
mempunyai suatu kebaikan yang jauh lebih hebat daripada
kebanyakan orang lainnya ....“
“Dia masih memiliki kebaikan apa lagi?“ tanya Thi Eng khi dengan
mata terbelalak karena terkejut bercampur keheranan.
“Paling tidak ia tak pernah berbohong!“
Mendengar itu, Thi Eng khi segera menghela napas panjang.
“Aaai.... sekalipun sudah memiliki mainan Giok bei ini,
kemanakah kita harus mencari orang yang bermantel perak itu?“
Pengemis sakti bermata harimau Cu Goan po segera tertawa
terbahak-bahak.
“Haaahhhh..... haaahhhh.... haaaahhhh... soal ini tak usah kau
kuatirkan, anak murid perkumpulanku telah tersebar di seluruh
kolong langit, tidak sulit untuk menemukan jejak orang itu.“
Baru selesai dia berkata mendadak pengemis itu berseru tertahan
lalu serunya sambil menunjuk kedepan :
“Saudara cilik, coba kau lihat itu ....“
Thi Eng khi turut mendongakkan kepalanya, kemudian dengan
girang serunya cepat :

331
“Aaah, dia adalah orang yang mengenakan mantel berwarna
perak!“
Tanpa banyak berbicara lagi, dia lantas melompat kedepan dan
mengejar kearah orang itu.
Agaknya orang bermantel perak itu sedang ada urusan penting
gerakan tubuhnya cepat bagaikan sambaran kilat, dari situ dapat
terlihat bahwa ilmu meringankan tubuh yang dimiliki orang itu benar
benar telah mencapai pada puncak kesempurnaan.
Namun Thi Eng khi juga bukan orang sembarangan setelah
melatih kepandaian sakti dari kitab pusaka Thian liong pit kip selama
hampir setahun lamanya, dia telah berhasil melebur semua obatobatan
yang ada dalam tubuhnya dengan tenaga murni yang dia
latih, begitu ilmu Im liong sin hoat (gerakan tubuh naga diawan)
dikerahkan, kecepatan gerakan tubuhnya ternyata masih setingkat
lebih hebat daripada orang bermantel perak yang berada
dihadapannya itu.
Dalam waktu singkat, pengemis sakti bermata harimau Cu Goan
po sudah tertinggal entah dimana.
Selisih jarak diantara mereka makin lama semakin mendekat,
dalam girangnya Thi Eng khi Eng segera menegur :
“Saudara yang berada di depan, harap tunggu sebentar, aku Thi
Eng khi ada urusan hendak meminta pertunjukmu!”
Entah orang itu tidak mendengar seruan itu atau enggan
menjawab, tiba-tiba berbelok searah sebuah hutan yang lebat dan
menyelinap kedalamnya, dalam beberapa kali lompatan saja,
bayangan tubuh sudah lenyap dari pandangan mata.
Hampir meledak dada Thi Eng khi saking mendongkolnya, dia
mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya semakin hebat, dari kaki
bukit sampai puncak bukit diperiksa dengan seksama, namun
hasilnya tetap nihil.
Sekarang, anak muda itu benar-benar merasa mendongkol bukan
buatan, kalau bisa dia benar benar ingin membacok tubuh orang itu

332
dan mencincangnya menjadi berkeping sehingga rasa
mendongkolnya dapat dilampiaskan.
Namun bayangan tubuh orang itu seakan akan sudah tertelan
dibalik hutan belukar itu, bagaimanapun seksama penggeledahan
yang dilakukan oleh Thi Eng khi, bayangan tubuhnya sama sekali
tidak ditemukan lagi.
Lambat laun Thi Eng khi makin terjerumus ke tengah bukit yang
makin jauh kedalam.
Bukit ini sungguh aneh sekali bentuknya, seluruh bukit penuh
dengan pepohonan yang lebat tapi puncaknya justru gundul dan
tiada sebatang pohon pun yang tumbuh, sekan akan sekeliling
tempat itu sudah dibabat oleh pisau yang tajam.
Thi Eng khi memperhatikan sekeliling tempat itu dengan seksama
, mendadak wajahnya menjadi tertegun, lalu berseru tertahan,
gumamnya kemudian dengan nada tercengang bercampur kaget :
“Bukankah dia adalah So yaya?”
Ternyata di atas puncak bukit yang gundul itu tampak Tiang pek
lojin So Seng pak sedang berjalan kesana kemari sambil
menggendong tangan, dia seperti lagi menantikan sesuatu.
Baru saja Thi Eng khi akan menampakkan diri untuk berjumpa
dengannya, terdengar Tiang pek lojin berteriak sambil tertawa gusar
:
“Lohu sudah dua jam lamanya menantikan kedatanganmu,
mengapa kau belum juga menampakkan diri!”
Baru habis suara bentakan itu berkumandang, dari arah barat
laut sana muncul dua orang manusia, seorang lelaki dan seorang
perempuan.
Begitu Thi Eng khi melihat orang lelaki itu, hawa amarahnya
kontan berkobar dengan hebatnya, tapi setelah berpikir sejenak, dia
lantas melompat naik keatas sebatang pohon besar dan
menyembunyikan diri.

333
Ternyata lelaki dan perempuan yang menampakkan diri itu tak
lain adalah lo sancu dari istana Ban seng kiong, Huan im sin ang
(kakek sakti bayangan semu), sedangkan yang perempuan tentu
saja Pek leng siancu atau yang sekarang menjadi putri Ban seng
kiong, So Bwe leng.
Dengan langkah lebar, Huan im sing ang membawa So Bwe leng
menuju ke hadapan Tiang pek lojin.
Waktu itu Pek leng siancu So Bwe leng mengenakan topeng kulit
manusia, sehingga Tiang pek lojin sama sekali tidak tahu kalau dia
adalah cucu kesayangannya.
Sementara itu, terdengar Tiang pek lojin berkata dengan dingin :
“Engkaukah orang yang telah mengundang kedatangan lohu
kemari?”
Huan im sin ang segera tertawa kering.
“Benar, memang pun sancu!”
Dia takut Tiang pek lojin tidak tahu dia berasal dari bukit mana,
maka sengaja tambahnya :
“Lo sancu dari istana Ban seng kiong!”
Tiang pek lojin memperhatikan beberapa saat perempuan cantik
yang berada disamping Huan im sin ang, kemudian sambil menatap
wajah kakek itu lekat-lekat bentaknya :
“Kemana perginya cucu perempuanku Bwe leng?”
Pek leng siancu So Bwe leng yang mengenakan topeng kulit
manusia itu merasakan sekujur badannya gemetar keras, dengan
cepat ia bergerak kemuka dan menubruk kedalam pelukan Tiang pek
lojin.
Sementara itu mulutnya hanya berbunyi yaya…. Yaya…… belaka,
tak sepatah katapun yang sanggup diucapkan.

334
Rupanya Huan im sing ang cukup memahami perangai dari Pek
leng siancu So Bwe leng, dia tahu kalau gadis itu mudah
terpengaruh oleh emosi, bila selintas pikiran melintas dalam
benaknya, bisa jadi dia akan mengumbar emosinya tanpa
memperdulikan diri, seandainya sampai demikian, sudah pasti
perjanjiannya dengan gadis itu tak akan menimbulkan keuntungan
apa-apa.
Maka sebelum mereka menampilkan diri tadi, secara tiba-tiba dia
telah turun tangan menotok jalan darah bisu dari Pek leng siancu So
Bwe leng, kemudian dia takut gadis itu melepaskan topeng kulit
manusianya, maka sepasang tangannya juga turut ditotok sekalian.
Walaupun demikian, ternyata Pek leng siancu So Bwe leng masih
tetap nekad menubruk ke dalam pelukan Tiang pek lojin.
Tentu saja Tiang pek lojin tidak mengira kalau gadis cantik yang
menerjang ke dalam pelukannya itu adalah cucu kesayangannya.
Dalam keadaan demikian, dengan kedudukannya dalam dunia
persilatan, tentu saja ia tak akan membiarkan seorang gadis yang
tidak diketahui asal usulnya menubruk ke dalam pelukannya.
Dengan cekatan ujung bajunya segera dikebaskan ke depan
melepaskan sebuah angin pukulan yang cukup kuat untuk
melepaskan tubuh Pek leng siancu So Bwe leng sejauh satu kaki dari
tempat semula.
Begitu kena dilempar oleh tenaga sapuan dari Tiang pek lojin
dengan cepat So Bwe leng menjadi sadar kembali dengan keadaan
yang sedang dihadapinya, dengan cepat dia melompat bangun lalu
kakinya memperlihatkan beberapa macam gerakan langkah yang
sakti dan rahasia.
Beberapa macam ilmu langkah tersebut merupakan ajaran
khusus dari Tiang pek lojin untuk cucu perempuan kesayangannya
ini, dengan mempergunakannya pada saat ini maka sebenarnya So
Bwe leng hendak menarik perhatian Tiang pek lojin agar menebak

335
asal usulnya.
Tiang pek lojin adalah seorang jago kawakan dalam dunia
persilatan yang berpengalaman luas, sejak dari gerakan tubuh yang
dilakukan So Bwe leng kemudian menyaksikan bayangan tubuh dari
gadis itu, apalagi setelah menyaksikan sorot mata sinona yang
murung dan sedih, dia telah menaruh curiga akan asal usul gadis
tersebut.
Demikianlah setelah berpikir sebentar, dia lantas maju ke depan
dan mencengkeram bahu Pek leng siancu So Bwe leng sambil
menegurnya :
“Siapakah kau?”
Dengan kemampuan yang dimiliki Tiang pek lojin bukan suatu
pekerjaan yang sulit baginya untuk menangkap gadis itu, meski
jaraknya masih ada satu kaki lebih.
Akan tetapi Huan im sin ang tidak berdiam diri belaka, dengan
cekatan ia melayang kedepan menghadang dihadapan Pek leng
siancu So Bwe leng.
“Tua Bangka So, “katanya sambil tertawa seram, “apa-apaan kau
ini? Jika ingin bertarung lohu akan melayani dirimu!”
Sekalipun Tiang pek lojin ingin bertarung juga tak akan bertarung
dalam keadaan begini, sambil tertawa dingin, dia lantas melayang
mundur kembali ketempat semula.
“Sancu, kau mengundang kedatangan lohu dengan janji akan
mempertemukan lohu dengan cucu perempuanku, sekarang dimana
orangnya?” ia menegur dengan wajah dingin.
Huan im sin ang mengerdipkan matanya berulang kali, kemudian
tertawa licik.

336
“Heeehhh…. Heeehhh… heehh… kita sama-sama adalah orang
yang telah berusia lanjut mengapa tidak tenangkan dulu hati kita
masing-masing baru membincangkan pelan-pelan?”
Tiang pek lojin segera berpikir :
“Asal telah bersua muka, lohu tidak kuatir kau bisa kabur keujung
langit, baiklah akan kulihat dulu permainan busuk apalagi yang akan
dia perlihatkan kepadaku.”
Berpikir demikian, dia lantas menekan hawa amarahnya dan
berkata dengan ketus :
“Sudah lama lohu mendengar nama besarmu, hari ini aku ingin
baik-baik meminta petunjuk darimu!”
“Aaaah, mana, mana, So lo terlalu memuji,“ ucap Huan im sin
ang sinis.
Kemudian setelah mundur selangkah, serunya kepada So Bwe
leng :
“Nak, kemarilah, cepat member hormat kepada kakek dari So
sumoaymu, Tiang pek lojin So locianpwe dari luar perbatasan!”
Sambil menahan rasa mendongkol yang berkobar-kobar dalam
dadanya, terpaksa So Bwe leng harus maju ke depan dan member
hormat.
Kembali Huan im sing ang berkata :
“Sejak dilahirkan bocah ini sudah menderita cacad dan tidak bisa
berbicara, namun dia mempunyai hubungan yang paling baik
dengan cucu perempuanmu Bwe leng.”
Dari pembicaraan Huan im sin ang tersebut, Tiang pek lojin telah
mendengar bahwa cucu kesayangannya telah menjadi murid orang,
hal ini sama artinya bahwa dia dengan Sancu dari Ban seng kiong
telah mempunyai ikatan hubungan yang luar biasa, sebagai seorang
jago kenamaan dalam dunia persilatan, tentu saja dia tahu akan
pentingnya arti seorang guru.

337
Betul, dia tak tahu bagaimana jalannya cerita sampai So Bwe
leng mengangkat orang lain sebagai guru, namun dengan
kedudukannya dalam dunia persilatan, tentu saja kenyataan tersebut
harus diakui, apalagi sebagai pentolan dari suatu wilayah dunia
persilatan, dia tak mau dicemooh orang dikemudian hari.
Demikianlah, setelah berkerut kening dan menghela napas
katanya kemudian :
“Sancu, mengapa tidak kau katakan sendiri bahwa kau adalah
gurunya Bwe leng? Hampir saja lohu kurang hormat kepadamu.”
Buru buru Huan im sing ang memohon maaf, sahutnya :
“Setahun berselang, kebetulan lohu lewat dibukit Siong san dan
tertarik oleh bakat cucumu yang begitu baik maka aku telah
menculiknya secara paksa, untuk itu kumohon maaf yang sebesarbesarnya,
untung saja So lo juga terhitung umat persilatan, tentunya
kau juga memaklumi bukan perasaan seorang umat persilatan bila
menjumpai bakat bagus? Aku harap kau sudi memaklumi kesulitanku
ini!”
Mendengar ucapan yang bergitu menarik hati, Tiang pek lojin tak
dapat menarik muka lagi, dengan senyum tak senyum katanya
kemudian :
“Lohu ucapkan banyak terima kasih atas kesudianmu untuk
mendidik Bwe leng!”
Seraya berkata dia lantas menjura.
Huan im sin ang segera tertawa terbahak-bahak.
“Haaahhh…. Haaahhhh…. Haahhh… kalau dibicarakan kembali,
seharusnya akulah yang berterima kasih kepada lo enghiong!”
Dengan digunakannya kata”enghiong” jelaslah dia berusaha
untuk pelan-pelan menariuk Tiang pek lojin untuk berpihak
kepadanya.
Tiang pek lojin pun dari tersenyum menjadi tertawa tergelak.

338
“Haahhhh…. Haaahhh…. Haahhh…. Sancu, apa maksud
ucapanmu itu ….?”
Sambil memperlihatkan wajah yang riang, Huan im sin ang
berkata :
“Bwe leng berbakat bagus sekali, belum sampai setahun dia telah
menguasai segenap kepandaian silat yang kuwariskan kepadanya,
kini dia sudah menjadi Ban sen kiongcu, bahkan dalam beberapa
bulan saja ia sudah termashur diseluruh dunia dan banyak
melakukan pahala untuk perguruannya, seandainya lo enghiong
tidak memiliki cucu secerdas ini, mustahil perguruanku bisa
termashur seperti sekarang ini, oleh karena itu, sudah sepantasnya
jika kuucapkan banyak terima kasih kepada lo enghiong.”
Selesai berkata, dia benar-benar menjura kepada Tiang pek lojin.
Tiang pek lojin adalah orang yang telah berusia lanjut, biasanya
bagi seorang yang telah lanjut usia seperti dia, lebih rela
mengorbankan nama dan kedudukan sendiri daripada tidak
memperhatikan kemajuan dan kesuksesan yang dihasilkan cucunya.
Seperti So Bwe leng yang telah menjadi Ban seng kiongcu
misalnya, bagi Tiang pek lojin hal mana merupakan suatu kejadian
yang menggembirakan sekali hingga diapun tertawa terbahak-bahak
dengan kerasnya.
Kemunculan Ban seng kiong didalam dunia persilatan baru
berlangsung beberapa bulan, sebab itu kejahatan yang telah
dilakukan pihak perguruan tersebut belum banyak yang terungkap,
sebaliknya Tiang pek lojin juga tidak memikirkannya dengan
bersungguh hati, maka dia hanya merasakan kegembiraannya saja.
Andaikata dia mengetahui Ban seng kiong yang sesungguhnya,
mungkin untuk menangis pun tak akan dapat.
Huan im sin ang sendiripun merasa gembira sekali ketika
dilihatnya hubungan antara Tiang pek lojin dengan Ban seng kiong
selangkah demi selangkah makin mendekat, tanpa terasa dia
tersenyum sendiri,

339
“Kini Ban seng kiong telah dipimpin oleh cucumu,” demikian ia
berkata lagi, “aku dengar, belakangan ini lo enghiong juga bentrok
dengan para hwesio dari bukit Siong san gara-gara urusan Thi
ciangbunjin dari Thian liong pay. Oleh karena itu, aku sengaja telah
mendatangkan jago-jago terbaik dari bukit Wong soat hong di bukit
Wu san guna membantu lo enghiong, cuma sebelumnya lohu ingin
mengadakan kontak dulu denganmu, asal lo enghiong
menganggukkan kepala, cucumu pasti akan segera berangkat untuk
membantu usaha lo enghiong.”
Tergerak juga hati Tiang pek lojin setelah mendengar perkataan
itu, tiba-tiba ia bertanya:
“Mengapa Bwe leng tidak datang sendiri untuk menjumpai
diriku?”
Huan im sin ang segera tersenyum.
“Bwe ji kuatir lo enghiong marah kepadanya lantaran belajar silat
denganku, maka ia tak berani datang kemari.”
Tiang pek lojin termenung beberapa saat lamanya, kemudian
katanya lebih jauh :
“Ehmmm…. begini saja, usul kerja sama antara umat persilatan
diluar perbatasan dengan pihak kalian, lohu harap bisa
diperbincangkan setelah bersua dengan Bwe leng nanti, soal ini
harap Sancu bersedia untuk memakluminya.”
Jelas Tiang pek lojin juga tidak gampang terkecoh, ia telah
mempersiapkan jalan mundur sendiri.
“Dari pihak Ban seng kiong, aku dapat mewakilinya untuk
mengambil keputusan,” kata Huan im sin ang, “jadi Leng ji datang
atau tidak sudah bukan masalah lagi, apalagi lo enghiong sudah
lama berpisah dengan Leng ji, bila berjumpa lagi nanti tentu banyak
masalah yang harus dibicarakan, entah bagaimana menurut
pendapat Lo enghiong?”
Tiang pek lojin segera manggut-manggut.

340
“Masuk diakal juga perkataan Sancu itu.”
Belum habis dia berkata, mendadak sambil berpaling ke sebelah
kiri, bentaknya :
“Siapa disitu?”
“Mungkin anak buahku …..” kata Huan im sin ang.
Tampak sekilas cahaya perak berkelebat lewat, tahu-tahu diatas
puncak bukit itu telah bertambah dengan seorang pemuda
bermantel perak.
Belum habis Huan im sin ang berkata, cahaya perak telah
melintas lewat dan pemuda tampan bermantel perak itu sudah
memunculkan diri di tengah arena.
Pemuda ini baru berusia dua puluh tahunan, wajahnya bersih dan
tampan, sikapnya anggun dan berwibawa, membuat siapapun tak
berani memandang remeh dirinya.
Dengan langkah yang anggun dia maju beberapa langkah ke
depan, kemudian katanya kepada Huan im sin ang sambil tertawa :
“Siauseng dengan Sancu bukan berasal dari satu aliran yang
sama.”
Huan im sin ang sudah rikuh karena salah melihat orang, tak
tahunya pihak lawan malah mengetahui juga bahwa dia adalah
seorang Sancu, dari sini dapat diketahui bahwa orang tersebut
bermaksud jelek malah besar kemungkinannya ia sudah cukup lama
menyadap pembicaraan yang sedang berlangsung.
Maka dengan amarah yang meluap segera tegurnya dengan
dingin.
“Kalau dilihat dari dandananmu, agaknya kau seperti anak
sekolahan yang mengerti sopan santun, hai, tahukah kau bahwa
menyadap pembicaraan orang merupakan suatu perbuatan yang tak
sopan.”

341
Tampaknya pemuda tampan itu seorang yang pemalu, teguran
tersebut seketika membuat paras mukanya menjadi merah karena
jengah.
“Sebenarnya siauseng tidak berniat untuk menyadap
pembicaraan kalian berdua,” katanya, “aku datang kemari karena
ada persoalan yang hendak dibicarakan dengan So locianpwe!”
Tiang pek lojin So Seng pak menjadi tercengang.
“Sauhiap, darimana kau tahu kalau lohu akan munculkan diri di
tempat ini?” tegurnya.
Dengan wajah serius pemuda tampan itu menjawab :
“Sebab sebelum ini siauseng sudah mendapat tahu kalau kalian
berdua ada janji di sini. Oleh sebab itu …..”
“Dari mana kau mendapatkan kabar tersebut?” Tanya Huan im
sin ang sambil tertawa seram.
“Maaf, hal ini tak bisa kuungkap dihadapanmu!”
Mendadak ia menuding kearah Pek leng siancu So Bwe leng, lalu
ujarnya kepada Tiang pek lojin :
“Locianpwe, tahukah kau siapa nona ini?”
Belum sempat Tiang pek lojin menjawab, paras muka Huan im
sin ang telag berubah hebat, bentaknya :
“Sebenarnya siapakah kau? Jika tidak kau terangkan sejelasnya,
jangan salahkan kalau lohu tak akan sungkan-sungkan lagi!”
“Hey, rupanya dalam hatimu ada setannya, sudah merasa takut?”
ejek pemuda tampan itu sambil tertawa nyaring.
Sebetulnya sejak tadi Tiang pek lojin memang sudah menaruh
curiga terhadap gadis yang berada dihadapannya itu, sekarang
kecurigaannya makin meningkat.

342
Bagaimanapun raut wajah So Bwe leng ditutupi oleh topeng kulit
manusia, namun Tiang pek lojin sudah berkumpul dengannya
semenjak kecil dulu, otomatis dia mempunyai kesan yang cukup
dalam terhadap tingkah laku serta potongan badan cucu
perempuannya itu, apalagi setelah menyaksikan gerakan langkah
yang diperlihatkan SO Bwe leng tadi, kesemuanya itu menambah
kecurigaan dalam hati Tiang pek lojin makin menebal …..
Betul selama ini ia menunjukkan sikap yang lebih mengendor,
bahkan berbincang secara bebas dengan Huan im sin ang, padahal
rasa curiga di dalam hatinya sama sekali belum dikendorkan.
Pada mulanya dia merasa kemunculan dari pemuda tampan itu
menjengkelkan, ia menganggap pemuda itu telah merusak rencana
sendiri, tapi setelah mendengar perkataan orang, dengan cepat ia
tertawa tergelak.
“Haaahhh…. Haaahhhh….. haaahhhh… lohu tidak percaya kalau
seorang Sancu dari Ban seng kiong bisa melakukan perbuatan yang
malu diketahui orang!”
Diam-diam ia telah sertakan pula sindiran yang pedas dibalik
perkataan itu.
Huan im sin ang adalah manusia licik yang banyak akal
muslihatnya, menjumpai keadaan tersebut, dengan cepat dia
menemukan siasat bagus untuk mengatasinya.
Dari tertawa seram, ia menjadi tersenyum lembut, katanya
kemudian :
“Oooh… jadi kau menganggap muridku ini adalah Leng ji?”
Bersamaan waktunya, dia memperingatkan pula kepada Pek leng
siancu So Bwe leng dengan ilmu menyampaikan suara :
“Bwe leng, bila kau tak sanggup mengendalikan perasaanmu
sehingga melanggar perjanjian kita, jangan harap kau dapat bersua
kembali dengan Thi Eng khi, setelah kembali dari sini, lohu pasti
akan mencincang tubuhnya menjadi berkeping keping, jika kau tidak
percaya, silahkan saja untuk menjajalnya!”

343
Setelah member peringatan, dengan sikap yang terbuka dia
lantas menggape kearah Pek leng siancu So Bwe leng sambil ujarnya
:
“Anak Tin, mereka telah menganggapmu sebagai Leng ji, cepat
maju kedepan sana agar mereka perhatikan dengan seksama.”
Dia mempunyai keyakinan penuh atas muslihatnya ini, maka
diantara ulapan tangannya telah disertakan pula dengan tenaga
pukulan yang lembut, dengan cepat jalan darah Pek leng siancu So
Bwe leng menjadi bebas sama sekali.
Dalam pada itu, Pek leng siancu So Bwe leng telah berhasil pula
untuk menenangkan hatinya, kesadarannya pulih kembali, sudah
barang tentu diapun mendengar jelas semua peringatan dari Huan
im sin ang tersebut.
Walaupun kini ia sudah bisa berbicara juga dapat membuka
topeng kulit manusia yang menutupi wajahnya, tapi gadis itu justru
tak berani memperkenalkan diri kepada Tiang pek lojin.
Sebab bagaimanapun juga dia tak ingin menyaksikan
keselamatan Thi Eng khi terancam bahaya.
Bukan cuma begitu saja, malah dia memberikan suatu kerja sama
yang amat bagus dengan Huan im sin ang untuk melanjutkan
permainan sandiwaranya itu.
Maka sambil menahan rasa pedih didalam hati dan merendahkan
suaranya untuk menutupi suara lembut dan merdunya itu, dia
berkata :
“Boanpwe Cu Tin tin menjumpai So locianpwe!”
Dari jarak satu kaki dihadapan Tiang pek lojin dia menjura dalamdalam
…..
Kembali Tiang pek lojin merasa kecewa bercampur bimbang,
sambil menggelengkan kepalanya dan menghela napas panjang, ia
berguman :

344
“Aaai…. Jangan jangan mata lohu sudah melamur?”
Pemuda tampan bermantel perak itupun agak tertegun,
mendadak ia melompat kedepan sambil menerjang kehadapannya
Pek leng siancu So Bwe leng, agaknya dia berhasrat untuk
menaklukkan gadis yang berada di hadapannya lebih dulu, kemudian
baru diperbincangkan lagi.
Siapa tahu, baru saja dia menggerakkan tubuhnya, Huan im sin
ang telah datang menghadang, ejeknya sambil tertawa dingin :
“Kau sebenarnya bertujuan apa? Mengapa hendak menerkam Tin
tin?”
Dari nada ucapan tersebut mengandung arti kata sekan akan
pemuda itu mengandung maksud jelek terhadap sang nona ….
Pemuda tampan tu sama sekali tidak marah, malah katanya
sambil tertawa hambar :
"Siauseng mengenali nona ini sebagai nona So, beranikah kau
memberi kesempatan kepada siauseng untuk membuktikannya?"
Huan im sin ang segera mendongakkan kepalanya dan tertawa
terbahak bahak.
“Haaahhh....haaahhh........haaahhhh...... Leng ji adalah cucu
kesayangan dari kakek So, bahkan kakeknya sendiri mengakui telah
salah melihat orang, mana mungkin kau sibocah keparat dapat
mengetahui lebih banyak daripadanya? Bocah keparat! rupanya kau
memang bertujuan jelek, mempunyai niat cabul untuk mendekati Tin
ji ku ini. Hmmm....... dihadapan lohu pun kau berani bertindak
demikian, tampaknya nyalimu terhitung tidak kecil......."
Sembari berkata mendadak pergelangan tangannya diputar dan
melepaskan sebuah pukulan sejajar dengan dada.
Huan im sin ang telah berniat untuk membunuh orang dan
membungkam mulut lawan, dalam melancarkan serangannya kali ini,
dia telah sertakan tenaga dalam sebesar enam bagian, dalam

345
anggapannya tenaga pukulan sebesar itu sudah cukup untuk
membinasakan pemuda tampan itu.
Kedua orang itu memang sedang berdiri saling berhadapan
muka, selisih jarak kedua belah pihak hanya lima langkah saja,
diantara perputaran telapak tangannya, angin pukulan yang maha
dahsyat telah meluncur ke depan dada pemuda tampan itu.
Walaupun pemuda tampan tersebut telah membuat persiapan, ia
tak menyangka kalau Huan im sin ang adalah manusia yang
demikian liciknya, tanpa memperdulikan kedudukkannya, bahkan
dihadapan Tiang pek lojin berani melancarkan serangan untuk
membunuh orang.
Dengan cepat ia melejit ke samping untuk menghindarkan diri,
sayang keadaan sedikit terlambat, meski jalan darah penting diatas
dadanya berhasil dilindungi toh bahunya kena tersapu juga dengan
telak, kontan tubuhnya mencelat ke tengah udara dan menubruk
keatas sebatang pohon besar.....
Tiang pek lojin segera membentak keras dengan cepat dia
melompat ke depan bermaksud untuk menolong pemuda itu.
Namun dia cepat, masih ada orang yang lebih cepat lagi, tampak
bayangan biru berkelebat lewat tahu tahu dari belakang pohon telah
melompat seseorang yang segera menyambut tubuh pemuda
tampan itu ke dalam bopongannya.
Menyusul kemudian, dengan gerakan Cian liong seng thian (Naga
sakti meluncur ke angkasa) dia melompat balik lagi kedalam hutan.
Tentu orang yang berbaju biru itu tak la¬in adalah Thi Eng khi.
Waktu itu dia amat menguatirkan keselamatan ibunya serta
keempat orang susioknya, dia ingin cepat cepat mendapat tahu
kabar berita tersebut dari mulut pemuda bermantel perak ini, tapi
kuatir bila berjumpa dengan Tiang pek lojin nanti akan menunda
waktunya, maka begitu menyambut tubuh pemuda tampan tersebut,
dia segera rnengundurkan diri dari sana.

346
Tiang pek lojin sendiri merasa girang sekali ketika dilihatnya
orang yang munculkan diri adalah Thi Eng khi, dengan cepat dia
menarik gerakan tubuhnya dan melayang kembali keatas tanah.
Baru saja mau menyapa, siapa tahu Thi Eng khi telah
membalikkan badan dan menyelinap kedalam hutan.
Dengan gusar Huan im sin ang membentak keras :
“Bocah keparat, hendak kabur ke mana kau?"
Dia melompat kemuka dan siap menerjang ke dalam hutan.
“Engkoh Eng!” jerit Pek leng siancu So Bwe leng pula, diapun
bersiap menubruk ke depan.
Dalam keadaan demikian, tentu saja Tiang pek lojin tidak
membiarkan Huan im sin ang pergi dengan begitu saja, tanpa
berpikir panjang dia segera menghadang dihadapannya sambil
berseru :
"Sancu, tunggu sebentar! Lohu ada persoalan hendak dibicarakan
dengan dirimu!”
Tiang pek lojin tak ingin Huan irn sin ang berhasil menyusul Thi
Eng khi, sebaliknya Huan im sin ang juga tak ingin pek leng si¬ancu
So Bwe leng berhasil menyusul Thi Eng khi, maka begitu jalan
perginya dihadang, dia pun segera mengambil tindakan yang
cekatan.
Sambil membalikkan badannya menghadang jalan pergi pek leng
siancu So Bwe leng serunya:
“Anak Leng, dia bukan Thi Eng khi yang asli, dia adalah orang
yang mencatut namanya, kau jangan sampai kena tertipu!'
Tatkala pek leng siancu So Bwe leng menyaksikan Thi Eng khi
masih bebas merdeka tanpa memperoleh ancaman apa apa, diapun
menjadi tidak takut lagi terhadap ancaman kakek itu, serunya keras
keras :

347
"Siapa yang percaya lagi dengan obrolan setanmu itu, perjanjian
kita mulai sekarang dibatalkan sama sekali!"
Huan im sin ang memang tak malu di sebut orang sebagai
manusia cerdas, ternyata paras mukanya sama sekali tidak berubah,
katanya dengan ketenangan yang luar biasa :
"Orang itu bukan Thi Eng khi, percaya atau tidak terserah
kepadamu sendiri!”
Sementara itu, Tiang pek lojin telah berhasil membuktikan dari
suara Pek leng siancu So Bwe leng bahwa dia adalah cucu
perempuannya, sambil menyelinap maju untuk menarik tangannya,
dia berseru :
"Nak, kau benar benar merisaukan yaya!”
Pek leng siancu So Bwe leng segera melepaskan topeng kulit
manusia yang menutupi wajahnya dan menjatuhkan diri ke dalam
pelukan Tiang pek lojin sambil menangis tersedu sedu.
Pertemuan antara kakek dan cucu ini telah menenggelamkan
mereka berdua dalam luapan perasaan masing masing, siapapun
tidak mendengar lagi apa yang dikatakan oleh
Huan im sin ang tersebut.
Huan im sin ang menyaksikan semua adegan tersebut dengan
wajah berubah ubah, ada kalanya malah tertawa dingin tiada
hentinya, tapi kemudian dengan suara keras teriaknya :
"Orang itu bukan Thi Eng khi, lohu berani membuktinya!"
Tiang pek lojin segera menepuk bahu So Bwe leng sambil
berbisik dengan suara lembut :
"Nak, bila ada persoalan kita bicarakan lain kali saja!"
Kemudian sambil berpaling ke arah Huan Im sin ang, ujarnya :
“Kau mempunyai alasan apa? Apa bukti kalau dia bukan Thi Eng
khi… ?”
Yang dikuatirkan Huan im sin ang apabila Tiang pek lojin tidak
bersuara, asal orang itu sudah menjawab, maka dia tidak kuatir

348
untuk mengandalkan ketajaman lidahnya guna menaklukan orang itu
sampai terjerumus ke dalam perangkapnya.
Demikianlah sambil mengangkat bahu dia berkata :
“Lohu bukan cuma mempunyai alasan saja, bahkan alasanku
bukan hanya alasan belaka!"
Pek leng siancu So Bwe leng mendongakkan kepalanya, lalu
berteriak lantang :
"Bila ada persoalan katakan saja berterus terang, siapa yang
kesudian banyak ribut denganmu?”
“Anak Leng, kau tak boleh bersikap kurangajar kepada lohu!”
seru Huan im sin ang.
Pek leng siancu So Bwe leng segera mencibirkan bibirnya seraya
mendengus dingin.
"Hmm, mau apa kau?" tantangnya.
Huan im sin ang tertawa seram.
“Anak Leng, jangan kau anggap perjanjian diantara kita sudah
tidak berlaku lagi," katanya.
"Heeehh…. Heehhh…. Heeehhh… kau masih ingin menggunakan
engkoh Eng untuk mengendalikan diriku?” ejek Pek leng siancu So
Bwe leng sambil tertawa dingin, “betul betul sedang bermimpi di
siang hari bolong ….”
Suara tertawa dari Huan im sin ang semakin menyeramkan,
kembali dia berkata :
“Anak Leng, aku enggan bersilat lidah denganmu, sekarang
dengarkan dulu kuutarakan alasan mengapa orang itu bukan Thi Eng
khi kemudian baru ambillah keputusanmu.”
Pek leng siancu So Bwe leng sama sekali tidak terpengaruh oleh
perkataan itu, malah teriaknya lagi dengan gusar :

349
"Sialan kau si tua bangka celaka, memangnya kau anggap
sebutan anak Leng boleh kaugunakan semaunya sendiri. Betul,
betul, tak tahu malu, kau ….. kau……
Belum habis dia berkata, Tiang pek lojin telah membentak keras :
"Nak, jagalah sikapmu sebagai seorang pendekar yang sejati,
bagaimanapun juga Sancu telah memeliharamu selama satu tahun,
terlepas apa maksud dan tujuannya kau tidak pantas bersikap
kurangajar terhadap seorang locianpwe yang lebih tua tingkat usia
nya daripada dirimu.”
"So lo, aku cukup memahami watak anak Leng, lohu tak akan
menjadi marah oleh sikapnya itu!" sela Huan im sin ang segera
sambil tertawa terbahak bahak.
Melihat lawannya berlagak sok berjiwa besar, Tiang Pek lojin
segera mendengus dingin sebegai jawaban.
Huan im sin ang tertawa licik, kembali dia mengemukakan alasan
alasannya :
"Alasan yang pertama, kepandaian silat yang dimiliki orang itu
sangat lihay, pa¬ling tidak kau harus memiliki tenaga latihan selama
tujuh delapan puluh tahun sebelum berhasil mencapai tingkatan
tersebut, bayangkan saja tahun ini Thi Eng khi baru berumur
berapa? Sekalipun dia berbakat bagus, juga mustahil bisa mencapai
tingkatan seperti itu hanya didalam setahun saja."
Kembali Pek Leng siancu So Bwe leng, mendengus dingin :
"Hmm, seandainya engkoh Eng berhasil menemukan suatu
kejadian aneh, tentu saja hal mana merupakan suatu pengecualian.”
Jilid 11
“DALAM dunia ini, tak nanti ada semacam obat mustajab yang
bisa membuat tenaga dalam seseorang bisa mencapai tujuh delapan
puluh tahun hasil latihan di dalam setahun saja!"

350
''Seandainya secara beruntun dia berhasil mendapatkan beberapa
macam obat mustajab?” dengus Pek leng siancu So Bwe leng lagi.
Huan im sin ang segera tertawa terbahak bahak.
"Haaahhhh.... haaahhh..... haaahhh...... anak Leng, kau anggap
obat mustajab yang ada didunia ini segampang mencari nasi saja.
Semacam saja sudah sukarnya bukan buatan apalagi beberapa
macam sekaligus, pada hakekatnya seperti orang yang lagi
mengigau saja.“
Setelah tertawa tergelak, dia melanjutkan.
“Tenaga dalam yang dimiliki orang itu sangat hebat, selisihnya
dengan So lo pun hanya sedikit, padahal jagoan dengan kemampuan
semacam ini jarang sekali dijumpai dalam dunia persilatan dewasa
ini, cukup berdasarkan hal ini saja dapat dibuktikan kalau dia bukan
Thi Eng khi.“
Akan tetapi Pek leng siansu So Bwe leng belum juga mau
percaya, sambil mendongakkan kepalanya dia lantas bertanya :
"Yaya, apakah ucapannya itu beralasan?"
Tiang pek lojin tidak berbicara tapi mengangguk berarti dia telah
mengakui bahwa ucapan dari Huan im sin ang memang masuk
diakal.......
Sekali lagi Huan im sin ang tertawa seram, katanya lebih lanjut :
"Alasan yang kedua, orang itu muncul lantas pergi, jelas tidak
berani bersua muka dengan So lo, berdasarkan alasan ini bukankah
bisa disimpulkan bahwa dia kuatir kalau rahasia penyamarannya
ketahuan orang."
"Hmm, kau selalu menyulitkan dia, mungkin dia takut kepadamu,
maka tak berani munculkan diri untuk bersua muka denganmu," seru
si nona lagi ngotot.
Huan im sin ang segara tertawa terbahak bahak.

351
“Haaahh..... haaahh...... haaahh.... dengan kemampuan yang
dimiliki orang itu, belum tentu lohu bisa menangkan dirinya dalam
lima puluh gebrakan, andaikata dia adalah Thi Eng khi, bila ditambah
kakekmu dan kau, bukankah kemungkinan lohu untuk kalah amat
besar? Mengapa dia musti takut kepada lohu?"
Tiang pek lojin segera menghela napas panjang, katanya :
"Eng ji adalah seorang manusia yang berperasaan dan hangat
dalam pergaulan, sete¬lah berjumpa dengan lohu, mustahil dia
ti¬dak datang menjumpai diriku."
Padahal dia mana tahu kalau Thi Eng khi sedemikian
menguatirkan keselamatan ibu dan keempat orang susioknya
sehingga buru buru dia hendak mengorek keterangan dari mulut
pemuda bermantel perak ini. Selain itu, diapun berusaha untuk
menghindari pertikaiannya dengan Huan im sin ang se¬hingga
akhirnya harus mengeraskan hati untuk pergi tanpa menegur.
Dengan perkataan dari Tiang pek lojin ini, tak bisa disangkal lagi
berarti dia menyetujui pandangan dari Huan im sin ang.
Tapi justru karena peristiwa ini, mengakibatkan terjadinya banyak
kesulitan dikemudian hari.
Pek leng siancu So Bwe leng masih juga merasa tidak terima,
sambil mendepak-depakkan kakinya diatas tanah dengan gemas,
ujarnya :
“Aku tidak percaya, seribu kali juga ti¬dak percaya, selaksa kali
juga tidak percaya, engkoh Eng pasti mempunyai alasan tersendiri
mengapa tak sampai berhenti dan berjumpa dengan kami disini,
mungkin ju¬ga orang bermantel perak itu adalah teman engkoh
Eng, untuk menyembuhkan lukanya mau tak mau harus segera
meninggalkan tempat ini."
Ketika berbicara sampai disitu, mendadak hatinya tergerak,
segera pikirnya :
"Jangan jangan orang itu adalah seorang perempuan? Yaa,
benar, pasti seorang perempuan, demi dia engkoh Eng telah pergi
tanpa menegur kami."

352
Makin dipikir ia merasa hal ini semakin masuk diakal, makin
dipikir semakin mendongkol sehingga dia tak sanggup berbica¬ra
lebih lanjut.
Kecuali Thi Eng khi yang belum berpengalaman dalam dunia
persilatan, sesungguhnya baik Tiang pek lojin maupun Huan im sin
ang telah mengetahui bahwa orang itu adalah seorang perempuan
yang menyamar sebagai seorang lelaki, cuma rahasia tersebut tidak
dibongkar saja.
Sedangkan Pek leng siancu So Bwe leng, ia dapat berpendapat
demikian karena dia sendiripun memang seorang perempuan,
apalagi mempunyai perasaan cinta kepada Thi Eng khi, itulah
sebabnya perasaan halusnya lebih merasakan hal tersebut.
Setelah berpikir sampai disitu, Pek leng siancu So Bwe leng
segera merasakan hati¬nya amat pedih dan susah ditahan, dia tak
berani berkata dan tak berani berpikir lagi, setelah menghela napas
sedih, tiba tiba sikapnya menjadi murung sekali.
Sementara itu, Huan im sin ang kembali memperlihatkan
sikapnya yang serius, lalu berkata dengan suara dalam :
“Alasan yang ketiga ini sebenarnya tak dapat dihitung sebagai
alasan, melainkan merupakan suatu kenyataan, entah alasan yang
kuajukan pertama dan kedua bisa diterima atau tidak tapi yang pasti
alasan ketiga ini dapat membuktikan kalau orang itu bukan Thi Eng
khi!"
Mendadak ia berhenti, seakan akan ada maksud unluk menunggu
sampai Tiang pek lojin dan So Bwe leng bertanya sendiri, namun
setelah ditunggu sekian lama, belum juga ada yang bersuara,
terpaksa dia tertawa rikuh sambil melanjutkan kembali kata katanya
:
"Sebab sejak setahun berselang, Thi Eng khi telah lohu sekap di
suatu tempat rahasia yang jauh dari keramaian manusia!"
Pek leng siancu So Bwe leng tidak menunjukkan sikap kaget atau
terkesiap setelah mendengar perkataan itu, sebab dia memang kena

353
dipaksa Huan im sin ang untuk menutupi perkataannya akibat
ucapan tersebut.
Lain dengan reaksi dari Tiang pek lojin, bukan cuma alis matanya
berkenyit bahkan ia menunjukkan sikap gelisah dan tak tenang,
segera bentaknya keras keras :
"Thi Eng khi telah kau sekap?"
Huan im sin ang segera menunjukan sikap minta maaf, sambil
tertawa palsu ucapnya,
"So lo, aku minta maaf kepadamu, sesungguhnya lenyapnya Thi
Eng khi adalah gara garaku, sedangkan pihak Siau lim dan Bu tong
hanya kena getahnya saja, sebelum ini tentunya kau tak pernah
menyangka bukan?“
Saking gusarnya sekujur badan Tiang pek lojin gemetar keras,
mendadak sambil memancarkan sinar mata yang amat tajam,
bentaknya dengan penuh kegemasan :
"Rupanya kau mengacau dari tengah, lohu tak akan memaafkan
dirimu."
Sambil menggigit bibir dia menerjang ke muka dan mendorong
sepasang telapak tangannya ke depan melancarkan sebuah pukulan
dahsyat.
Angin pukulan yang sangat dahsyat segera menggulung ke muka
dan menerjang ketubuh Huan im sin ang.
Menghadapi ancaman tersebut, Huan im sin ang segera tertawa
terkekeh kekeh de¬ngan seramnya.
"Heeehh ....... heeehhh..... heeehhh ....... bila lohu tidak
menyambut seranganmu itu, kau pasti menganggap tenaga dalamku
masih kalah jauh bila dibandingkan dengan dirimu, baiklah! Lohu
akan memperlihatkan kemampuanku, agar kau bersedia untuk
bekerja sama dengan lohu dengan perasaan yang lebih lega."
Ditengah seruan tersebut, dia telah menghimpun tenaga Jit sat
hian im tin lip ke dalam telapak tangannya, kemudian dilontarkan

354
tangannya ke depan bersama sama, segulung hawa pukulan yang
tak berwujud bagaikan angin puyuh meluncur kedepan.
Ketika angin pukulan berhawa dingin dan panas itu saling
bertemu, gemuruh angin pukulan yang dipancarkan oleh Tiang pek
lojin itu seketika pudar dan lenyap, sementara tubuhnya tergoncang
keras, akhirnya dia tak sanggup berdiri tegak dan mundur selangkah
lebar.
Ketika menengok kembali kearah Huan im sin ang, tampaklah
meski wajah orang itu merah membara, namun tubuhnya masih
tetap berdiri ditempat tanpa bergerak barang sedikit pun juga.
Bagi seorang jago, dalam sekali bentrok kekerasan segera dapat
dl ketahui siapa yang tangguh siapa yang lemah, untuk kedua
kalinya Tiang pek lojin merasa kalau kemampuannya masih kalah
bila dibandingkan dengan musuhnya.
Pertama kalinya terjadi pada enam puluh tahun berselang, dia
dikalahkan oleh kakek Thi Eng khi, Keng thian giok cu (ti¬ang
kemala penyanggah langit) Thi Keng.
Waktu itu dia dikalahkan setelah dilangsungkan sepuluh kali
pertarungan maka dia kalah dengan hati yang puas tapi dalam
kekalahan untuk kedua kalinya, enam puluh tahun kemudian dia
merasa sangat tidak puas.
Maka sambil menghimpun kembali tenaga dalamnya, dia
lancarkan lagi sebuah pukulan dahsyat, bentaknya :
"Lohu akan beradu jiwa denganmu!“
Setelah menyambut sebuah serangan dari Tiang pek lojin dan
berhasil menempati kedudukan diatas angin, Huan ini sin ang tak
ingin bertarung lebih jauh melawan Tiang pekk lojin, dengan cepat
kakinya bergeser dan meloloskan diri dari serangan musuh deng-an
ilmu gerakan tubuh Leng kui huan sin (setan iblis berganti badan).
“So tua, kau juga orang yang telah berusia seratus tahunan,
mengapa mesti ribut terus menerus," cegahnya sambil

355
menggoyangkan tangannya berulang kali," bila kau mendesak terus,
jangan salahkan kalau lohu tak akan berlaku sungkan sungkan lagi
terhadap Thi Eng khi!"
Dalam gusarnya meski Tiang pek lojin berhasrat untuk beradu
jiwa dengan Huan im sin ang, tapi dalam hatinya bukan berarti
tanpa rencana apapun, dia tahu tiada harapan baginya untuk
membereskan Huan im sin ang yang berada dihadapannya, apalagi
mendengar pihak lawan menggunakan nyawa Thi Eng khi untuk
mengancamnya, dia lebih berhati hati lagi.
Sambil menarik kembali serangannya, ia berseru dengan hati
yang gusar :
“Suatu hari, lohu pasti akan menjagal dirimu untuk melampiaskan
rasa dendamku kepadamu!"
"Soal dikemudian hari kita bicarakan dikemudian hari saja," sindir
Huan im sin ang sinis, "paling tidak hari ini kita masih bisa
berbincang dengan cara baik, kalau dibicarakan kembali,
sesungguhnya kau musti berterima kasih kepadaku atas hilangnya
Thi Eng khi kali ini."
"Kau tak usah mengaco belo di hadapan lohu!“ bentak Tiang pek
lojin dengan gusar.
Huan im sia ang tertawa seram.
“Lohu telah menciptakan kesempatan dan alasan yang baik
bagimu untuk memasuki daratan Tionggoan, masa kau tak berterima
kasih kepadaku?“
Dibongkar rahasia hatinya, Tiang pek lojin kelihatan amat
terkejut, untuk sesaat lamanya dia tak sanggup mengucapkan
sepatah katapun.
Kembali Huan im sin ang berkata lebih jauh :
“So tua, pertikaianmu dengan pihak Siau lim dan Bu tong telah
menjadi suatu peristiwa besar yang menggemparkan seluruh kolong
langit, aku rasa tentunya kau tak akan menjual muka para jago dari

356
luar perbatasan dan menghancurkan nama sendiri bukan? Apalagi
kalau mengaku salah dan minta maaf kepada pihak Siau lim dan Bu
tong? Ketahuilah, keadaanmu sekarang ibaratnya orang yang
menunggang diatas punggung harimau….. haaaahhh…..
haahhhhh…… haahhhh….. “
Serentetan suara tertawa keras yang mengerikan berkumandang
memecahkan keheningan, membuat Tiang pek lojin rnerasa
gelagapan dan gugup dengan sendirinya.
Sementara itu entah kapan tiba-tiba Pek leng siancu So Bwe leng
teringat akan sesuatu, dengan cepat dia membawa pokok
pembicaraan kembali kesoal semula, serunya :
"Kau bilang orang yang tadi itu bukan Thi Eng khi? Hmm, hanya
setan yang percaya!”
Untuk sesaat Huan im sin ang masih belum memahami ucapan
dari Pek leng siancu So Bwe leng, mendengar perkataan itu diam
diam ia merasa terkejut, pikirnya kemudian.
“Jangan jangan budak ini berhasil menemukan penyakit dibalik
perkataanku itu?"
Meski berpikir begitu, wajahnya masih tetap memperlihatkan
ketenangan yang luar biasa katanya :
"Thi Eng khi tetap dan hal ini merupakan suatu kenyataan, anak
Leng, kau telah membawa jalan pikiranmu kemana lagi?"
Pek leng siancu So Bwe tidak menggubris perkataan orang,
kembali dia berpikir lebih jauh :
"Apakah engkoh Eng tak dapat melarikan diri?"
Kemudian sambil memejamkan mata, dia bergumam seorang diri
:
"Ya, benar, engkoh Eng pasti berhasil meloloskan diri dari
cengkeraman iblismu!"
Menyusul dengan sorot mata yang tajam dia mengawasi Huan im
sin ang lekat-lekat, katanya dengan nada bersungguh sungguh :

357
"Engkoh Eng pasti telah lolos dari pengejaranmu!"
Begitu menyaksikan sikap Pek leng siancu So Bwe leng yang
gugup macam orang kebingungan itu segera paham bahwa gadis itu
lagi berkhayal belaka, hatinya menjadi lega, kontan saja ia tertawa
tergelak.
"Disekitar tempat penyekapan itu lohu meninggalkan orang untuk
mengawasi gerak geriknya, bayangkan saja, mana mungkin ia bisa
kabur? Apalagi kemarin masih ada orang yang memberi laporan
kepada lohu, kalau dia telah meluluskan syarat yang lohu ajukan,
sekarang dia telah bersiap siap un¬tuk mengangkat diriku menjadi
guru dan belajar ilmu silat dari lohu!"
Sesungguhnya pikiran dan perasaan Pek leng siancu So Bwe leng
pada saat itu amat kalut dan kacau balau tak karuan, ketika
mendengar ucapan dari iblis tua itu, selain melototkan matanya, tak
sepatah kata pun sanggup dia utarakan.
Tiang pek lojin sendiripun tampaknya tak dapat membedakan
mana yang benar dan mana yang tidak, dia hanya menghela napas
belaka.
Melihat siasatnya berhasil mendatangkan hasil Huan im sin ang
merasa girang sekali, dengan wajah berseri katanya lebih jauh :
"Jika kalian masih tidak percaya, lohu dapat segera membawa
kalian menuju ke sana untuk menengoknya, sampai waktunya kalian
tentu akan tahu kalau lohu bukan cuma gertak sambel belaka!"
Dalam hatinya sudah mempunyai rencana sendiri, maka ia berani
mengambil resiko tersebut.
Tanpa berpikir panjang Pek leng siancu So Bwe leng segera
berkata :
"Benarkah kau akan mengajak kami untuk pergi menjumpai
engkoh Eng....?“
"Tentu saja sungguh! Cuma aku harus bertanya kepadamu lebih
dulu janji dua tahun kita masih masuk hitungan tidak?"

358
Tanpa berpikir panjang kembali Pek leng siancu So Bwe leng
menjawab :
"Asal dapat bersua dengan engkoh Eng, tentu saja janji kita
masih tetap masuk hitungan!"
Huan im sin ang lantas berpaling kearah Tiang pek lojin sambil
bertanya :
“So tua, bagaimana pendapatmu?"
Mendadak paras muka Tiang pek lojin berubah menjadi amat
serius, dengan sorot mata tajam terpancar keluar dari balik matanya,
dia menjawab :
“Lohu mempunyai rencana sendiri, permainan busukmu jangan
harap bisa kau laksanakan pada diri lohu!“
Menyusul kemudian sambil berpaling ke arah Pek leng siancu So
Bwe leng, ujarnya :
"Anak leng, yaya tak ingin mempengaruhi jalan pemikiranmu
serta caramu bertindak, semoga saja tindakanmu itu jangan sampai
memalukan keluarga So kami.“
Tidak menunggu Huan im sin ang sempat menimbrung lagi,
sepasang kakinya segera menjejak tanah dan melambung keangkasa
dalam waktu singkat badannva sudah masuk kedalam hutan dan
lenyap dari pandangan mata.
“Yaya, yaya.... “ teriak Pek leng siancu So Bwe leng dengan suara
lantang.
Sambil tertawa licik Huan im sin ang buru baru menghibur gadis
itu, ujarnya :
“Anak Leng yayamu telah meninggalkan kau disini, itu berarti dia
telah mempercayai perkataan lohu, jangan kuatir, dia tak akan
menggubris dirimu lagi, sekarang kita harus pulang …. selain itu,
kitapun harus segera melakukan penyelidikan terhadap orang yang
telah menyaru sebagai Thi Eng khi tersebut agar dia tahu sampai
dimanakah kehebatan dari Ban seng kiong kita!"

359
Pek leng siancu So Bwe leng hanya merasakan pikiran dan
perasaannya sangat kalut dia benar benar kehilangan pegangannya,
dengan kepala tertunduk dan amat sedih, pelan pelan dia berjalan
mengikuti dibelakang Huan im sin ang untuk meninggalkan bukit itu.
Sementara itu, Thi Eng khi yang buru buru ingin mencari jejak
ibunya, terpaksa mengeraskan hati tanpa menyapa Tiang pek lojin,
setelah membopong tubuh pemuda bermantel perak, secepat kilat
dia meluncur ke bawah bukit.
Tiba dibawah bukit sana tampak Pengemis sakti bermata harimau
Cu Goan po sedang berputar kesana kemari didepan sana dengan
keringat membasahi seluruh tubuhnya.
Mungkin dia sedang gelisah bercampur cemas karena tak berhasil
menemukan jejaknya.
Maka sambil memperingan langkah kakinya, dia maju
menyongsong kedatangannya sambil menegur :
"Engkoh tua, aku berada disini! Sungguh beruntung siaute telah
berhasil mendapatkan orang bermantel perak itu, sayang dia terluka
parah dan butuh pengobatan cepat. Apakah disekitar tempat ini ada
tempat yang bisa dipakai untak mengobati lukanya?"
Pengemis sakti bermata harimau Cu Go¬an po memandang
sekejap ke arah pemuda tampan yang berada dalam bopongan Thi
Eng khi, mukanya berkerut seperti hendak mengucapkan sesuatu,
tapi niat tersebut kemudian diurungkan......
Ternyata dalam sekilas pandangan saja dia telah melihat kalau
orang bermantel perak itu adalah seorang perempuan. Sebetulnya
dia hendak memperingatkan Thi Eng khi, tapi entah mengapa
akhirnya niat tersebut diurungkan .........
Katanya kemudian setelah termenung sebentar :
"Bila ingin mencari tempat untuk mengobati lukanya, mari ikutilah
engkoh tua!"

360
Dia lantas membalikkan badan dan menelusuri sebuah jalan kecil,
Thi Eng khi sambil membopong pemuda tampan itu segera
mengikuti dibelakangnya.
Setelah berjalan sekian lama, sampailah mereka disebuah dusun
kecil, pengemis sakti bermata harimau Cu Goan po ternyata tidak
berhenti, dia langsung memasuki sebuah bangunan rumah yang
tinggi besar didepan sana…..
MENYAKSIKAN kelakuan orang, Thi Eng khi merasa agak
kebingungan bercampur bimbang, ia merasa dengan kedudukan
pengemis sakti bermata harimau Cu Goan po sesungguhnya bertolak
belakang dengan bangunan rumah itu apalagi jika masuk tanpa
permisi, hal itu sesungguhnya merupakan sesuatu yang kurang
sopan.
Oleh karena itu, dia menjadi agak sangsi sehingga tanpa terasa
menjadi berhenti.
Pengemis sakti bermata harimau Cu Goan po memandang
sekejap ke arah Thi Eng khi lalu tegurnya :
"Saudara cilik, apakah kau tidak percaya dengan engkoh tuamu?"
Merah padam selembar wajah Thi Eng khi sambil ikut melangkah
masuk sahutnya :
"Aaaah, mana ….mana ……”
Baru saja Thi Eng khi masuk kedalam pintu, dari balik ruangan
telah muncul seorang lelaki berusia pertengahan, sambil
menyongsong kedatangan pengemis sakti bermata harimau Cu Goan
po katanya seraya memberi hormat :
“Cu cianpwe sudah lama kau tak pernah berkunjung kemari,
ayahku sudah amat merindukan dirimu...."
Pengemis sakti bermata harimau Cu Goan po segera tertawa
terbahak bahak.
"Haaahhh... haaahhh.... haaahhh... tanpa urusan aku si pengemis
tua tak akan berkunjung ke ruang Sam poo thian. Keponakan Pek

361
sian, kau juga tak usah banyak bicara lagi, aku ingin tanya, apakah
kamar tamu kalian masih ada yang kosong?"
“Ada!” jawab lelaki setengah umur yang bernama Pek sian
tersebut, “locianpwe masih ada pesan lagi?”
“Asal ada kamar kosong kami dapat pergi kesana sendiri beritahu
saja kepada ayahmu kalau aku si pengemis tua telah datang, suruh
dia persiapkan hidangan dan arak yang paling lezat, sebentar aku
hendak berbincang dengannya."
Sambil tertawa lelaki yang bernama Pek sian itu masuk keruang
dalam, sedangkan pengemis sakti bermata harimau Cu Goan po juga
membawa Thi Eng khi langsung menuju keruang tamu.
Kamar tamu itu diatur sangat rapi dengan dekorasi yang indah,
membuat siapa pun akan mengetahui kalau tuan rumah gedung ini
bukan seorang manusia sembarangan.
Thi Eng khi tak sempat memperhatikan dekorasi didalam ruangan
itu lagi. cepat dia membaringkan pemuda tampan itu keatas
pembaringan, kemudian menghimpun ilmu Sian thian bu khek ji gi
sin kangnya, ia mulai mengobati luka yang diderita pemuda tampan
tersebut.
Walaupun pemuda tampan itu hanya tersapu oleh pukulan Jit sat
hian im ceng lek dari Huan im sin ang namun ilmu pukulan Jit sat
hian Im ceng lek adalah sejenis pu¬kulan yang beracun sekali,
barang siapa terkena oleh pukulan itu, sekujur badannya akan
kedinginan setengah mati, kelihayannya luar biasa sekali.
Waktu itu, semua nadi penting dalam tubuh pemuda tampan itu
sudah membeku, mukanya hijau membesi dan sudah tak berwarna
darah lagi.
Thi Eng khi membutuhkan waktu setengah pertanak nasi lamanya
untuk menolong pemuda tampan itu sebelum paras mukanya
menjadi merah kembali, kemudian setelah lewat setengah jam

362
kemudian ia baru mendusin menghembuskan napas panjang dan
bangun berduduk.
Sewaktu dia melihat jelas paras muka Thi Eng khi, paras
mukanya tiba tiba berubah beberapa kali diantaranya terlintas pula
perasaan diluar dugaan, kaget, gembira dan malu.
Entah mengapa ternyata dia tidak mengucapkan sepatah katapun
ucapan terima kasih, begitu duduk, ia memejamkan matanya dan
mengatur napas sendiri.
Thi Eng khi berpaling kebelakang, ia jumpai dalam ruangan
tersebut selain hadir Si Pengemis sakti bermata harimau Cu Goan po
dan lelaki yang bernama Pek sian tersebut, kini telah bertambah
dengan seorang kakek berwajah merah yang berusia enam puluh
tahunan.
Kakek bermuka merah itu mempunyai perawakan badan yang
tinggi kekar, dia mengenakan jubah berwarna abu abu dan
mempu¬nyai suatu kewibawaan yang mengerikan.
Tatkala pengemis sakti bermata harimau Cu Goan po melihat Thi
Eng khi berpaling sebetulnya dia ingin bertanya dengan suara keras,
tapi setelah dilihatnya pemuda tampan itu sedang duduk bersila,
cepat cepat dia merendahkan suaranya dan menunjuk ke arah kakek
bermuka merah itu sambil katanya :
“Saudara cilik, dia adalah seorang manusia aneh dari dunia
persilatan yang dikenal oleh setiap persilatan didunia ini saat ini, Lim
toa sianseng Lim Biau lim.”
Buru buru Thi Eng khi menjura kepadanya seraya brkata :
"Aku Thi Eng kni menjumpai Lim toa sianseng!”
Lim toa sianseng Lim Biau lim dengan sepasang matanya yang
tajam bagaikan pisau belati mengawasi wajah Thi Eng khi lekat
lekat, mendadak tubahnya gemetar keras seperti merasa kaget
bercampur tertegun, ternyata dia tahu bagaimana harus menjawab
perkataan dari anak muda tersebut

363
Sorot matanya yang tajam pelan pelan bergeser ke bawah tubuh
Thi Eng khi, namun sewaktu menyaksikan pedang Thian liong kim
kiam yang tersoren di pinggang anak muda itu, paras mukanya
tampak semakin emosi.
Dengan cepat dia mundur selangkah ke belakang, lalu tanyanya
dengan wajah serius :
"Tolong tanya apakah Thi sauhiap berasal dari perguruan Thian
liong pay ?"
Paras muka Thi Eng khi turut berubah serius pula, sahutnya
dengan nada bersungguh sungguh :
“Aku adalah ciangbunjin angkatan kesebelas dari perguruan
Thian liong pay."
Selintas cahaya aneh terpancar keluar dari wajah Lim Biau lim,
tiba tiba ia bertanya :
“Lantas siapakah ciangbunjin angkatan ke sepuluh dari Thian
liong pay……..
Seperti diketahui, Kay thian jiu (si tangau sakti pembuka langit)
Gui Tin tiong menjabat sebagai ciangbunjin angkatan ke sepuluh
setelah perguruan Thian liong pay ditutup. Itulah sebabnya banyak
jago persilatan maupun anggota Thian liong pay yang tidak
mengetahuinya.
Dengan suara lantang Thi Eng khi segera menjawab :
"Ciangbunjin angkatan ke sepuluh dari Thian liong pay adalah
mendiang guruku Gui Tin tiong!”
Mendadak sepasang mata Lim Biau lim berkaca kaca, namun air
matanya tak sampai meleleh keluar, tanyanya lagi :
“Tolong tanya apa pula hubungan sauhi¬ap dengan Keng thian
giok cu (tonggak kemala penyanggah langit) Thi Keng?"
“Dia orang tua adalah kakekku!"
Waktu itu Lim Biau lim tak bisa menahan air matanya lagi,
dengan air mata berlinang serunya kepada Lim pek sian :

364
"Pek sian, tak bakal salah lagi, cepat kita memberi hormat kepada
ciangbunjin!"
Seraya berkata dia lantas memberi hormat seraya berseru :
“Murid angkatan kesepuluh Lim Biau lim bersama putra tecu pek
sian menghunjuk hormat untuk ciangbunjin, selain mendoakan
keselamatan buat ciangbunjin!”
Rupanya Kim pek sian sudah menaruh curiga semenjak
menyaksikan dandanan dari Thi Eng khi dalam ruangan tadi maka ia
segera masuk kedalam dan melaporkan kejadian ini kepada
ayahnya.
Lim Biau lim tak berani bertindak gegabah, sebelum membuka
rahasia sendiri terlebih dulu dia menyelidiki Thi Eng khi de¬ngan
beberapa hal, setelah terbukti kalau dugaannya tak salah, ia baru
memberi hormat kepada ciangbunjinnya.
Pengemis sakti bermata harimau Cu Goan po sudah berkenalan
dengan Lim Biau lim semenjak lima belas tabun berselang, dia hanya
tahu kalau Lim Toa sianseng adalah seorang pendekar sejati, tapi
tak menyangka kalau dia adalah anggota perguruan Thian liong pay,
tak heran kalau ia menjadi tertegun saking kaget dan herannya.
Thi Eng khi sendiripun sama sekali tidak menyangka kalau Lim
Biau lim adalah murid Thian liong pay, ketika menyaksikan dia
menjatuhkan diri memberi hormat kepadanya, musti agak rikuh tapi
sebagai seorang pemuda yang luar biasa, rasa rikuh tersebut dengan
cepat dapat ditekan.
Kemudian dengan sikap yang amat tenang dan penuh
kegembiraan dia menerima penghormatan kedua orang itu,
kemudian dengan melancarkan sebuah tenaga tak berwujud dia
bangunkan kedua orang itu seraya berkata :
“Dalam masa kesusahan semacam ini ternyata aku bisa bersua
dengan kalian berdua, kejadian ini betul betul menggembirakan hati,
harap kalian berdua bangkit berdiri dan tak perlu menjalankan
penghormatan besar lagi!"

365
Menurut kebiasaan yang berlaku di dalam Thian liong pay, setiap
murid partai yang pertama kali menjumpai ciangbunjinnya, maka
diwajibkan melaksanakan tiga kali penyembahan.
Tapi sekarang Thi Eng khi hanya menerima sekali
penyembahannya saja, ini boleh dibilang merupakan suatu perlakuan
yang amat istimewa sekali.
Sambil mengucapkan banyak terima kasih Lim Biau lim bangkit
berdiri, kemudian dengan air mata bercucuran dia berkata :
"Tecu dapat menyaksikan partai Thian lioag pay tegak kembali
dalam dunia persilatan, sekalipun harus mati juga rela!"
Sewaktu Thi Eng khi menanyakan sumber dari Lim Biau Lim
dalam perguruan Thian liong pay, baru diketahui bahwa ayah Lim
Biau lim yang bernama Lim Cing ci adalah saudara seperguruan dari
kakeknya, jadi kalau dihitung kembali usia Lim Biau lim sebenarnya
jauh lebih tinggi daripada Kay thian jiu Gui Tin Tiong atau dengan
perkataan lain dia adalah supeknya sendiri.
Sedang Lim Pek sian telah berusia tiga puluh tahunan, dia
terhitung kakak seperguruan sendiri.
Maka terlepas dari kedudukannya sebagai seorang ciangbunjin
sekali lagi dia memberi hormat kepada Lim Biau lim dan putranya
dengan kedudukan sebagai keponakan murid dan adik seperguruan.
Sikap serta tindak tanduknya yang sederhana dan merendah ini
semakin mengundang kekaguman hati Lim Biau lim berdua terhadap
anak muda tersebut.
Menyusul kemudian Thi Eng khi pun menceritakan
pengalamannya sampai berhasil mendapatkan kembali kitab putaka
Thian liong pit kip, bahkan bersedia mewarislan beberapa macam
kepandaian sakti kepada Lim Pek sian guna membangun kembali
nama besar perguruan mereka.

366
Lim Biau lim yang mendengar perkataan itu menjadi girang
sekali, bersama putranya dia segera mengucapkan banyak terima
kasih tiada hentinya.
Dikala pembicaraan tersebut telah selesai, Pengemis sakti
bermata harimau Cu Goan po mencekal lengan Lim Biau lim sambil
menegur :
"Saudara Biau lim rupanya kau adalah anggota Thian liong pay,
sebelum ini aku si pengemis tua benar benar kena terkecoh, untuk
menebus dosa hari ini kau pasti didenda tiga guci arak Pek hoa jian
jit lok kepadaku!”
Lim Biau lim turut tertawa tergelak.
"Haaahhh.... haaahhh.... haaahhh.... hari ini ciangbunjin telah
berkunjung kemari hal mana merupakan suatu kebanggaan bagi
perkampungan kami, jangan toh baru tiga guci arak Pek hoi jian jit
lok, sekali pun hendak menghabiskan semua persediaanku, siaute
juga tak akan merasa sayang.”
Kemudian sambil menghela napas dan tertawa getir, dia
melanjutkan :
"Aaai.... selama ini siaute terpaksa harus merahasiakan asal
usulku yang sebenarnya hal ini disebabkan keadaan yang memaksa,
harap loheng jangan marah!"
Pengemis sakti bermata harimau Cu Goan po tertawa tergelak.
“Haaahhh.... haaahhh..... haaahhh ..... asal ada arak Pek hoa jin
jit lok untuk diminum, biasanya aku si pengemis tua menjadi enggan
untuk mengurusi soal lain, baiklah, kali ini aku boleh saja
mengampuni dirimu....!"
"Hei engkoh tua,” goda Thi Eng khi tiba tiba, "terus terang saja
katakan kalau kau sedang memeras Lim supek, huuh.... kata kata
raja sedap didengar, baik, anggap saja kau memang jauh lebih
hebat setingkat daripada Siaute.”

367
“Saudara cilik aku memeras arak dari anggota Thian liong pay
kalian, apakah kau yang menjadi kekuatan merasa sakit hati?
Haaaahhh.... haaahh...haaahhh.." sekali lagi pengemis sakti bermata
harimau Cu Goan po tertawa tergelak.
Lim Biau lim pun ikut berseri seri, kepada Lim Pek sian segera
perintahnya:
"Cepat perjamuan diruang tengah!”
Lim Pek sian mengiakan dan mengundurkan diri.
Pelan pelan pengemis sakti bermata harimau Cu Goan po
mengalihkan sorot matanya dan memandang sekejad kearah
pemuda tampan yang sedang bersemadi itu, lalu bisiknya kepada Thi
Eng khi.
"Saudara cilik lukanya tidak parah bukan?"
“Tampaknya sudah tidak menguatirkan.”
Baru selesai ucapan tersebut diutarakan mendadak pula tampan
itu membuka matanya lebar lebar sambil bangkit berdiri kemudian
sambil menjura ke arah Thi Eng khi katanya:
"Terima kasih banyak atas bantuan dari Thi ciangbunjin!”
"Aaaah... hanya bantuan sepele, harap saudara jangan
memikirkannya dalam hati," sahut Thi Eng khi tertawa.
Pemuda tampan itu segera tersenyum dan tidak berbicara lagi.
Tiba tiba si Pengemis sakti bermata harimau Cu Goan po tertawa
nyaring lalu katanya :
"Bila kalian masih ada persoalan, lebih baik dibicarakan nanti
saja, yang penting sekarang adalah membuat perhitungan dulu
dengan perut kita.”
Thi Eng khi sangat menguatirkan keselamatan ibunya, sebetulnya
dia bermaksud untuk langsung menanyakan tentang surat itu
kepada pemuda tampan tadi.

368
Tapi setelah Pengemis sakti bermata harimau Cu Goan po
berkata demikian, diapun merasa tak enak untuk banyak berbicara
lagi, terpaksa bersama semua orang menuju ke ruang belakang
untuk bersantap.
Begitu masuk kedalam ruangan, si Pengemis sakti bermata
harimau Cu Goan po segera meneguk tiga cawan arak Pek hoa jian
jit lok, setelah itu sambil menyeka mulutnya dia berseru tiada
hentinya :
“Sungguh memuaskan! Sungguh memuaskan!”
Mendadak ia merasa rikuh sendiri maka katanya kemudian sambil
mengangkat cawan :
“Mari kan pei, kan pei.... kita bersama sama mengeringkan
secawan arak!"
Tapi sebelum orang lain memberikan reaksinya, tiga cawan arak
sudah masuk kembali ke dalam perut.
Akhirnya sambil memejamkan matanya dan menghembuskan
napas panjang, dia berkata :
"Saudara cilik berdua.......“
Belum habis dia berkata, Thi Eng khi telah menggoyangkan
lengannya sambil berbisik :
"Sstt....... diatas atap rumah ada orang!”
Ketika semua orang memasang telinga dan mendengarkan
dengan seksama, betul juga lamban lamban terdengar suara ujung
baju terhembus angin bergema dari atas rumah, menyusul kemudian
tampak seorang kakek berusia lima puluh tahunan melayang turun
ke depan ruangan.
Sambil bertolak pinggang, dia lantas berseru dengan suara
lantang :
"Lim Biau lim, keluar kau! Lohu hendak berbicara denganmu."

369
Lim Biau lim menekan meja siap melompat keluar tapi pengemis
sakti bermata harimau telah menyerobot kedepan, sambil melayang
keluar halaman dia tertawa terbahak bahak
"Haaahhh..... haaahhh....haaahhh..... rupanya Lak bin wangwee
(hartawan berwajah enam) Tong Cu toan, saudara Tong, sungguh
kebetulan sekali kedatanganmu, mari, mari, mari.... silahkan duduk,
silahkan duduk! Sebenarnya perselisihan apakah yang telah terjalin
antara saudara Tong dengan saudara Lim? Harap kau suka
memandang diatas wajahku untuk berunding secara baik baik,
apalah artinya saling hidup dan cekcok?“
Tatkala Thi Eng khi mendengar kalau orang yang datang adalah
Lak bin wangwee, diapun akan tertegun, mendadak teringat olehnya
akan perkataan Huan im sin ang yang pernah membicarakan tentang
tiga belas Tay poo anak buahnya....
Dengan cepat pula dia lantas menduga kalau kedatangan Lak bin
wangwee hari ini adalah atas suruhan dari Huan im sin ang, tanpa
terasa sambil tertawa dingin ia duduk tak berkutik ditempat semula.
Tampaknya si Hartawan berwajah enam Tong Cu toan tidak
menyangka kalau pengemis sakti bermata harimau Cu Goan po juga
hadir disitu, mula mula dia agak tertegun kemudian sambil menarik
muka katanya :
“Apa yang terjadi hari ini sama sekali tak ada hubungannya
dengan Cu pangcu, harap kau menyingkir ke sana, biar Lim Biau lim
yang datang menjawab pertanyaanku!“
Pengemis sakti bermata harimau Cu Goan po sampai
menampilkan dirinya tadi lantaran ia merasa punya hubungan baik
dengan Lak bin wangwee Tong Cu toan, siapa sangka Tong Cu toan
tidak memberi muka kepadanya, malah mendampratnya dihadapan
umum, hal mana kontan saja membangkitkan hawa amarahnya.
Sambil mencak mencak kegusaran dia berseru :
“Orang she Tong, ada urusan apa sih kau datang kemari?
katakan saja kepada aku si pengemis tua!“

370
Ternyata sikap Lak bin wangwee Tong Cu toan semakin tidak
bersahabat, sambil tertawa dingin ia berseru pula :
“Orang she Cu, lebih baik kau jangan tak tahu diri. Hmm.... bila
berkeras kepala terus, jangan salahkan kalau lohu tak akan
mengingat lagi hubungan kita dimasa lalu!“
Sepasang mata pengemis sakti bermata harimau Cu Goan poo
sudah melotot besar bagaikan gundu, sambil menyilangkan telapak
tangannya dia berteriak :
“Tong Cu toan ........"
Belum selesai ucapan tersebut diutarakan, Lim Biau lim telah
menarik tangannya sambil berkata :
“Cu pangcu, lebih baik kembalilah kemeja perjamuan untuk
minum arak, lohu ingin saksikan sahabat Tong yang makan beras
mentah ini hendak berbuat apa kepadaku!"
Tanpa banyak berbicara lagi dia segera mendorong pengemis tua
itu masuk kedalam ruangan, setelah itu dia baru membalikkan
tubuhnya dan berkata kepada Lak Bin wangwee Tong Cu toan :
“Lohu adalah Lim Biau lim! Nah, sahabat Tong, ada persoalan
apa kau datang mencariku?"
Lak Bin wangwpe Tong Cu toan segera mendengus dingin.
“Hmm.... ! Lohu ingin bertanya kepadamu, apakah kau anggota
Thian liong pay?“
“Benar, lohu adalah anggota Thian liong pay, darimana kau bisa
tahu .....“
Belum habis dia berkata, mendadak Lak Bin wangwee Tong Cu
toan mengayunkan sepasang tangannya kedepan.
Beratus ratus titik cahaya emas dengan cepat menyelimuti
angkasa dan menyambar kearah kakek tersebut.

371
“Heehh.... heehh..... heehh.... bedabah dari Thian liong pay
rasakan kelihayan Bu wi kim wong (Cahaya emas tanpa ekor) milik
lohu ini .....!” serunya sambil menyeringai seram.
Begitu bertemu lantas turun tangan, tindakan yang dilakukan
oleh Lak bin wangwee Tong Cu toan ini benar benar keji sekali,
siapapun tak menyangka sampai kesitu.
Lim Biau lim sendiripun sama sekali tak menyangka sampai
kesitu, menyaksikan datangnya ancaman tersebut, dia menjadi
gelagapan dan tak tahu bagaimana harus menghindarkan diri.
“Aduh celaka,” pekiknya, dia segera memejamkan matanya
menunggu saat ajalnya tiba.
Untung saja pada saat itulah bentakan nyaring berkumandang
dari belakang tubuhnya :
“Manusia laknat, kau berani bertingkah di sini!"
Cahaya emas berkelebat lewat, tahu tahu senjata rahasia cahaya
emas tanpa ekor yang digunakan oleh Lak bin wangwee Tong Cu
toan tersebut telah lenyap tak berbekas.
Dengan jubah yang berkibar terhembus angin, Thi Eng khi telah
berdiri didepan Lim Biau lim, dengan kening berkerut dia awasi
wajah Lak bin wangwee Tong Cu to¬an lekat lekat, kemudian
ujarnya kepada kakek she Lim tersebut :
"Lim supek, harap mundur, serahkan urusan ini kepadaku!”
Pada mulanya Lim Biau lim menyangka akan ilmu silat yang
dimiliki ciangbunjin mudanya ini tidak terlalu hebat, sekalipun bakat
pemuda itu sangat baik, dalam perkiraannya walaupun seluruh
kepandaian silat yang tercantum dalam kilab Thian liong pit kip telah
dikuasahi, dengan batas usianya yang masih muda, mustahil tenaga
dalamnya bisa dilatih sampai ke tingkat kesempurnaan.
Tapi setelah menyaksikan gerakan pedang yang dilakukan Thi
Eng khi sekarang ternyata penuh disertai pancaran tenaga dalam,
bahkan jarum beracun Bu wi kiam wong yang dipancarkan oleh Lak
bin wangwee Tong Cu toan berhasil dihisap oleh pedang tersebut,

372
dengan cepat dia sadar bahwa tenaga dalam yang dimiliki ketua
mudanya ini sudah mencapai ke tingkatan yang luar biasa.
Untuk sesaat lamanya dia menjadi tertegun, kejut, girang dan
tercengang, dengan emosi meluap dia mengundurkan dirinya
kesamping.
Dalam pada itu, Thi Eng khi telah berkata kepada Lak bin
wangwee Tong Cu toan dengan wajah serius :
“Sebenarnya ikatan dendam atau sakit hati apakah yang telah
terjalin antara anak murid Thian liong pay dengan Tong tayhiap
sehingga Tong tayhiap tak segan segan menggunakan cara
menyergap yang licik dan tak tahu malu itu untuk mencelakai
orang?"
Perlu diketahui, keluarga Tong yang dari propinsi Szuchuan ini
termashur dalam dunia persilatan karena senjata rahasia
beracunnya, sedang merekapun tidak menggabungkan diri dengan
pihak perguruan sesat atau aliran hitam, maka sesungguhnya
perguruan keluarga Tong boleh dibilang berdiri pada posisi yang
benar.
Bahkan ada pula yang menilai perguruan mereka sebagai suatu
perguruan kaum lurus sebab dalam perguruan itu berlaku suatu
peraturan yang keras dan ketat, yakni :
Setiap anggota perguruan yang hendak menggunakan senjata
rahasia, maka mereka harus menggunakan secara jujur dan terbuka,
kemenangan hanya boleh diraih dengan cara yang jujur, sedang
cara menyergap atau main curang sama sekali tak diperkenankan.
Lak bin wangwee Tong Cu toan merupakan adik dari ketua
perguruan keluarga Tong sekarang yaitu Tan ci hui seng (sentilan
jari bintang melayang) Tong Cu keng dalam perguruan keluarga
Tong mempunyai kedudukan yang terhormat sekali, tak nyana dia
telah melakukan sergapan yang amat memalukan, bila kejadian ini
sampai tersiar di tempat luaran tak bisa disangkal lagi hal mana pasti
akan menodai nama baiknya maupun nama perguruannya.

373
Dari malu si hartawan berwajah enam Tong Cu toan menjadi naik
pitam, katanya setelah tertawa dingin :
"Lohu bermaksud untuk membunuh segenap anggota Thian liong
pay, mau apa kau?”
Sambil berkata, tangan kirinya segera merogoh kedalam saku
dan mengeluarkan dua biji bola bulat yang kecil, sementara tangan
kanannya mencabut keluar sebilah tombak perak yang berdua sisi.
Kemudian sambil berdiri tegak, ia bersiap siap melancarkan serangan
lagi.
Thi Eng khi segera tertawa terbahak bahak.
“Haaahhh.... haaaahh.... haaahhh.... aku adalah ciangbunjin
angkatan ke sebelas dari Thian liong pay, coba katakan, apakah aku
berhak mengurusi atau tidak?”
Mendengar pertanyaan itu, si Hartawan berwajah enam Tong Cu
toan agak tertegun kemudian sambil menyeringai seram dia berseru
:
"Bagus sekali, jadi kau adalah Thi Eng khi si bangsat muda itu,
lohu benar benar lagi mujur tampaknya."
Selesai berkata tangan kirinya segera diayunkan kedepan
melepaskau dua titik cahaya hitam, yang satu menyerang Thi Eng
khi sementara yang lain menyerang si pengemis sakti bermata
harimau Cu Goan po sekalian.
Baru saja Thi Eng khi hendak menyambutnya dengan babatan
pedang, tiba tiba terdengar pemuda tampan yang berada dalam
ruangan itu berseru dengan suara lantang :
"Im yang siang cu (sepasang mutiara Im yang) dari keluarga
Tong tak boleh disentuh dengan kekerasan! Saudara Thi, cepat kau
gunakan ilmu Sian thian bu khek ji gi sin¬ kang dari perguruan
untuk menciptakan dinding dengan hawa khikangmu, kemudian
pentalkan balik benda itu sejauh jauhnya!"
Tenaga dalam Thi Eng khi telah mencapai tingkatan dimana bisa
digunakan sekehendak hati sendiri, begitu peringatan tersebut

374
diterima, hawa sinkang segera dikerahkan keluar untuk menyambut
datangnya ancaman.
Segera tampaklah mutiara hawa im yang memancar kearahnya
itu terhenti ditengah jalan dan melayang layang ditengah udara.
Hartawan berwajah enam Tong Cu toan tertawa dingin, tangan
kirinya segera diayunkan kedepan, setitik cahaya tajam langsung
meluncur kedepan dan menghantam bulatan bola itu.
Walaupun Thi Eng khi tidak tahu sampai dimanakah kelihayan
dari mutiara Im cu tersebut namun dilihat dari keadaan yang
terbentang didepan mata ia tahu kalau tindakan yang dilakukan Lak
bin wangwee Tong Cu toan sekarang adalah menghancurkan
mutiara Im cu tersebut.
Dari sini dapat ditarik kesimpulan kalau didalam Im cu tersebut
pasti tersimpan suatu benda mematikan yang amat berbahaya.
Cepat cepat dia mengerahkan tenaga dalamnya semakin besar
dan memaksa butiran
mutiara Im cu itu sehingga terpental balik ke arah Hartawan
berwajah enam.
Pada saat yang bersamaan, butiran Yang cu yang disambit ke
dalam ruangan itu telah disambut oleh pemuda tampan itu dengan
sambaran angkin putihnya.
Diantara gulungan angkin putih itu, Yang cu tadi kena digulung
dan kemudian dilemparkan kembali ke arah pemiliknya.
Walaupun panjang untuk dikisahkan, sesungguhnya waktu yang
berlangsung hampir bersamaan waktunya, sehingga pada saat yang
hampir bersamaan mutiara Im cu yang dilempar kembali oleh Thi
Eng khi dan mutiara Yang cu yang disambit oleh pemuda tampan itu
bersama sama tiba dihadapan Lak bin wangwee Tong Cu toan pada
saat yang berbarengan.

375
Tak terlukiskan rasa kaget Lak bin wang wee Tong Cu toan
menghadapi ancaman tersebut, buru buru dia melompat ke belakang
berusaha untuk menghindarkan diri, sayang keadaan sudah
terlambat.
Pada saat yang bersamaan Im yang siang cu telah menimbulkan
suatu ledakan keras ditengah udara, kemudian muncullah segulung
asap hijau yang segera mengurung sekujur badan Hartawan
berwajah enam Tong Cu toan.
Mengetahui kalau tak sempat untuk mengelakkan diri dari
ancaman bahaya, Lak bin wangwee Tong Cu toan segera merogoh
kedalam sakunya dan mengambil keluar sebutir pil yang segera
dijejalkan kedalam mulutnya, kemudian sepasang ujung bajunya
disilangkan diatas untuk melindungi dada, sementara badahnya
berbongkok kebawah melingkar menjadi satu.
Sekalipun demikian, kedua gulung asap hijau itu sempat pula
menembusi celah celah tubuhnya dan menyerang wajah serta
tangannya.
Tak ampun lagi dia menjerit keras karena kesakitan, seluruh
tubuhnya gemetaran keras, begitu badannya terkapar ditanah
badannya semakin banyak yang terkena racun hijau itu.
Pada saat itulah, si pemuda tampan tadi telah berseru kembali :
"Im yang siang cu dari keluarga Tong terkenal karena kabut
beracunnya yang bisa menghancurkan tulang, harap kalian
mengerahkan tenaga dalam untuk melancarkan pukulan keempat
penjuru, dan memaksa kabut beracun itu melambung ke atas udara,
kalau tidak, hal ini akan membahayakan bagi kita semua....”
Buru buru Thi Eng khi mengerahkan tenaga dalamnya dan
melepaskan pukulan untuk membuyarkan kabut hijau tadi.
Ketika mereka berpaling lagi ke arah Lak bin wangwee Tong Cu
toan, tampaklah wajah orang itu sudah merekah tak wujud
bentuknya lagi, selain menyeramkan juga berbau busuk.

376
Masih untung dia buru buru menelan pil anti racun sehingga
cuma kulit luarnya saja yang terluka, kalau tidak, niscaya badannya
sudah hancur menjadi segumpal air dan darah, tentu saja dalam
keadaan seperti itu, jangan harap jiwanya bisa tertolong lagi.
Menyaksikan raut wajahnya yang mengerikan itu, tanpa terasa
semua orang merasakan bulu kuduknya pada bangun berdiri, diam
diam mereka berpekik didalam hati :
“Sungguh berbahaya!”
Coba kalau disana tak hadir pemuda tampan itu, niscaya semua
orang tak akan lolos dari serangan maut dari Lak bin wang¬wee
Tong Cu toan tersebut.
Sebagai ketua dari Kay pang, Pengemls sakti bermata harimau Cu
Goan po memiliki pengetahuan maupun pengalaman yang luas
sekali, akan tetapi dia tidak tahu kalau diantara senjata rahasia
beracun yang dimiliki keluarga Tong dari Szuchuan, masih terdapat
semacam benda yang disebut lm yang siang cu, maka sedikit banyak
dia merasa kagum sekali atas luasnya pengetahuan yang dimiliki
pemuda tampan itu.
Tanpa disadari ia lantas menepuk bahu pemuda tampan itu tanda
kagum, dengan wajah memerah buru buru pemuda itu berkelit ke
samping.
Sebenarnya sejak semula si pengemis sakti bermata harimau Cu
Goan po sudah tahu kalau pemuda tampan itu sebenarnya adalah
seorang gadis, ketika mengetahui kalau ia telah berubah sifat, buru
buru dia mundur ke belakang dengan wajah memerah pula.
Sementara itu Lak bin wangwee Tong Cu toan yang terkapar di
tanah sudah sadar kembali dari pingsannya, buru buru dia
mengeluarkan bubuk obat dan dipoleskan diatas mulut lukanya,
setelah itu tanpa mengucapkan sepatah katapun dia berlalu dari
sana.
Tentu saja Si pengemis sakti bermata harimau tidak akan
melepaskan dirinya dengan begitu saja, sambil membentak keras dia

377
menerjang kemuka, lalu sambil menuding ke wajah orang yang
sudah tak karuan bentuknya itu dia memaki :
“Tong Cu toan, hari ini aku si pengemis tua baru benar benar
mengenali dirimu, hayo jawab, kenapa kau begitu lega melancarkan
serangan sedemikian kejinya kepada kami?”
Lantaran wajahnya sudah hangus dan mengelupas semua kulit
wajahnya, maka tidak diketahui bagaimanakah perubahan
wajah¬nya setelah mendengar dampratan dari pengemis tua itu tapi
yang jelas dibibirnya bergerak seperti hendak mengucapkan sesuatu,
tapi akhirnya ia urungkan niatnya itu dan menundukkan kepalanya
rendah rendah.
Melihat hartawan berwajah enam Tong Cu toan hanya
membungkam diri belaka, pengemis sakti bermata harimau Cu Goan
po menjadi semakin marah, sambil mendengus dingin, kembali
katanya :
"Tong CU toan, bila kau tidak memberi keterangan kepadaku
jangan salahkan jika aku si pengemis akan menghajar dirimu pada
hari ini!”
Tiba tiba Thi Eng khi tertawa nyaring, sambil menarik tangan
pengemis sakti Cu Goan po katanya :
“Engkoh tua, biarkan saja dia pergi!"
Kemudian sambil menarik kembali senyumannya, dia berpaling
kearah Lak bin wangwee Tong Cu toan seraya berkata :
"Sekalipun kau tidak berbicara. Aku juga tahu, bukankah kau
adalah salah seorang dari Cap sah tay poo (tiga belas orang
pangeran) yang dibentuk oleh Huan im sin ang? Hmm, setelah
pulang nanti katakan ke Huan im sin ang, aku akan menjadi musuh
bebuyutannya mulai saat ini!”
Tatkala rahasia pribadinya dibongkar oleh pemuda itu, Hartawan
berwajah enam Tong Cu toan menjadi semakin ketakutan, tanpa
mengucapkan sepatah katapun ia membalikkan badan dan
mengambil langkah seribu.

378
Mengawasi bayangan tubuh Tong Cu toan yang kabur, pengemis
sakti bermata harimau Cu Goan po menghela napas panjang,
katanya :
"Aai... sebetulnya Tong Cu toan bukan manusia jahat, heran
kenapa ia bisa berubah pikiran dan watak sehingga menjadi begini
buas dan kejamnya?"
Menyusul kemudian ujarnya pula kepada Thi Eng khi :
“Saudara cilik siapa sih Cap sah tay poo yang kau maksudkan
tadi? Apakah mereka adalah anak buah Huan im sin ang?”
Secara ringkas Thi Eng khi segera menceriterakan pertemuannya
dengan Huan im sin ang diluar perbatasan.
Ketika menyebutkan nama nama dari Cap sah tay poo tersebut,
untuk menghindari rasa sedih dari pengemis sakti bermata harimau
sengaja dia merahasiakan nama dari To kak thi koay (toya baja kaki
tunggal) yang berasal dari Kay pang ini.
Semua orang hanya mendengarkan hal itu sambil lalu, maka
siapapun tidak menaruh perhatian secara khusus.
Ketika si Pengemis sakti bermata harimau Cu Goan po selesai
mendengar nama nama yang disebutkan, dengan perasaan terkesiap
dia menggelengkan kepalanya berulang kali, serunya :
"Saudara cilik, apakah kau tidak salah ingat nama nama
tersebut...?”
"Sedikitpun tidak salah?" jawab pemuda itu tegas.
Tanya terasa pengemis sakil bermata harimau Cu Goan po
menghela napas panjang katanya :
“Orang orang yang tergabung didalam Cap sah tay poo tersebut
rata rata adalah jagoan yang termashur dan punya kedudukan
dalam pelbagai aliran perguruan, dari sini dapat diketahui kalau
rencana Huan im sin ang untuk mencelakai dunia persilatan bukan
disusun dalam sehari belaka , kejadian ini benar-benar menakutkan
sekali.”

379
Menyusul kemudian ia berkata lagi :
"Kini situasi dalam dunia persilatan su¬dah mencapai taraf yang
berbahaya sekali.. dalam keadaan seperti ini umat persilatan yang
berada dalam dunia persilatan tak boleh saling gontok gontokan lagi.
Bagaimanapun juga saudara cilik harus berusaha untuk menghadapi
pertemuan Lun li tayhwee yang diselenggarakan So cianpwe dari
luar perbatasan dengan pihak Siau lim serta Bu tong pay, sebab
salah paham ini terjadi karena saudara cilik, itulah sebabnya hanya
saudara cilik seorang yang dapat menyelesaikan masalah ini."
“Sampai saatnya, siaute pasti akan menghadiri pertemuan itu,
sekarang siaute harus menyelidiki dulu jejak ibuku, maka harap
engkoh tua suka menjelaskan dulu keadaan yang sebenarnya
kepada pihak Siau lim pay dan Bu tong pay, kemudian sampaikan
pula kepada So yaya akan kemunculan siaute dan alasan mengapa
sampai tidak menjumpai dirinya.”
Pengemis sakti bermata harimau manggut manggut, setelah
memandang sekejap ke arah pemuda tampan itu, dia segera
berpamitan untuk mohon diri.
Memandang hingga pengemis itu lenyap dari pandangan mata
Thi Eng khi baru berpaling dan bermaksud untuk menanyakan
tentang surat dari ibunya itu kepada sang pemuda tampan tersebut.
Siapa tahu sebelum dia buka suara, pemuda tampan itu sudah
berkata lebih dulu sambil tertawa :
“Tolong tanya apakah siaute dapat membantu pula diri Thi heng
untuk melakukan sesuatu?"
Dari dalam sakunya Thi Eng khi segera mengeluarkan Giok bei
yang diperolehnya dari Sau tee si bun Lu Put Ji, kemudian sambil
diangsurkan ke hadapan pemuda tampan itu katanya :
"Apakah kau kenal dengan benda ini?"
"Giok bei itu memang milik siaute, sekarang kalau toh sudah
berada ditangan saudara Thi, harap saudara Thi simpan saja baik
baik, anggap saja sebagai kenang kenangan dariku."

380
Tentu saja Thi Eng khi tak berani menerima pemberian yang
sangat berharga itu, dia bersikeras minta pemuda tampan itu untuk
menerimanya kembali, setelah saling mendorong akhimya pemuda
tampan itu berseru dengan wajah marah :
"Kalau memang saudara Thi begitu memandang asing diriku, biar
siaute segera mohon diri!“
Sambil menerima kembali giok bei itu, dia lantas melangkah
keluar dari ruangan itu.
Dalam keadaan begini, Thi Eng khi tak sempat mengucapkan
sesuatu kepada Lim Biau lim lagi, dengan cepat dia mengejar dari
belakangnya.
Dengan mengerahkan segenap tenaga dalamnya, Thi Eng khi
harus mengejar sejauh puluhan kaki sebelum berhasil menyusulnya.
Terpaksa sambil tebalkan muka dia menjura kepada pemuda
tampan itu, katanya :
"Kalau memang saudara bersikeras untuk menghadiahkan benda
itu kepadaku, baiklah siaute terima saja.“
Pemuda tampan itu segera tersenyum, senyuman itu bagaikan
aneka bunga yang sedang mekar, indah menawan hati.
"Terima kasih banyak atas kesediaan saudara Thi," katanya
kemudian, dengan cepat dia angsurkan giok bei itu ke tangannya.
Setelah menerima giok bei itu, Thi Eng khi baru berkata sambil
tertawa :
"Saudara adalah naganya manusia, siaute kuatir tak pantas untuk
menjadi temanmu!"
Pemuda tampan itu memandang sekejap ke arah Thi Eng khi,
kemudian tanyanya :
"Tolong tanya, tahun ini saudara Thi berusia berapa?"
"Tahun ini siaute berusia sembilan belas tahun lebih delapan
bulan."

381
Sambil tertawa pemuda tampan itu berkata:
"Hari ini usiaku tepat mencapai dua puluh tahun, kalau dihitung
aku lebih tua tiga bulan dibandingkan dengan dirimu."
Terpaksa Thi Eng khi harus memberi hormat seraya berkata :
"Siaute menjumpai toako?"
Pemuda tampan itu mengalihkan sorot matanya kewajah Thi Eng
khi setelah itu sambil menghela napas katanya :
“Saudara, apakah kau merasa keberatan untuk menyebutku
dengan panggilan itu?"
"Setiap kataku ibarat gunung karang, mengapa toako berkata
demikian..." ucap Thi Eng khi dengan kening berkerut.
Pemuda tampan itu segera tertawa tukasnya lagi.
"Kalau memang hiante bersungguh hati untuk mengikat
persaudaraan denganku, masa kau tak sudi menanyakan namaku?”
Merah padam selembar wajah Thi Eng khi karena jengah, agak
tergagap dia berseru :
"Toako, terus terang saja kukatakan, berhubung dalam hati
siaute sedang diliputi oleh suatu persoalan yang mencurigakan
hatiku, maka pikiran dan perasaanku menjadi kalut tak karuan bila
aku sampai lupa menanya¬kan nama toako, harap kau sudi
memaafkan.”
Pemuda tampan itu menghela napas sedih ujarnya :
“Padahal sekalipun kau tidak lupa bertanya ih heng juga tak akan
memberitahukan kepadamu!“
Setelah berhenti sejenak, dia balik bertanya :
"Saudaraku, bersediakah kau untuk berkenalan dengan seorang
toako yang merahasiakan nama sendiri?"
Thi Eng khi segera merasakan bahwa tindak tanduk pemuda
tampan itu sangat aneh sekali membuat orarg sukar untuk

382
merabanya dengan pasti tapi sikap tersebut tidak menghilangkan
sifat kejujuran dan kelurusan hatinya, terutama sekali dia memang
sedang membutuhkan sesuatu terhadap orang itu maka dengan
cepat sahutnya :
"Setelah kita mengikat diri sebagai saudara, sekalipun kau
mempunyai kesulitan untuk merahasiakan sesuatu, hal inipun bisa
dimaklumi, kenapa aku musti menampik?“
Tiba tiba pemuda tampan itu mengulurkan tangannya kedepan
kemudian ujarnya :
"Barusan ih heng telah menghadiahkan sebuah giok bei sebagai
kenangan untukmu apakah hiante juga punya sesuatu barang yang
akan diberikan kepadaku sebagai kenangan?"
Thi Eng khi mencoba untuk merogoh ke dalam sakunya dan
mencari sesuatu benda yang rahasia pantas untuk diberikan kepada
pemuda itu, tapi kemudian terbukti kalau dia tak punya apa apa,
terpaksa sambil tertawa malu katanya :
“Siaute tidak mempunyai apa apa, bagaimana baiknya?“
Pemuda itu segera menunjuk ke arah pita pedang yang berada
diujung gagang pedang Thian liong Kim kiam tersebut lalu katanya :
"lh heng suka sekali dengan pita pedang itu!“
Thi Eng khi mengerutkan dahinya rapat-rapat, tapi dilepas juga
pita pedang itu dan diserahkan ketangan pemuda tampan itu.
Setelah menerima pita pedang tadi, pemuda tampan tersebut
baru tertawa terbahak bahak.
“Haaahhh... haaahhh.... haaahh... saudaraku, bila kau hendak
mengajukan suatu pertanyaan, sekarang boleh kau ajukan
kepadaku!"
Thi Eng khi menghembus napas lega, ka¬tanya kemudian :
"Bukankah toako penuh membeli secarik kertas dari sastrawan
penyapu lantai Lu Put ji?”
Pemuda tampan ini mengangguk.

383
"Benar, suara itu adalah tulisan dari Pek bo yang ditujukan buat
hiante, oleh karena ih heng kuatir benda itu terjatuh ke tangan
orang, maka aku telah membelinya dengan harga tinggi dan
selanjutnya kubakar sampai habis.”
Thi Eng khi menjadi terkejut sekali, serunya dengan gelisah :
“Apakah toako masih ingat dengan isi tulisan tersebut?"
“Tentu saja masih ingat, tapi Thi hiante tak dapat
memberitahukan kepadamu!"
Dengan gelisah Thi Eng khi segera menjura berulang kali, lalu
sambil bermuram durja katanya :
“Harap toako jangan menyulitkan siaute, katakanlah berterus
terang kepadaku."
Tapi pemuda tampan itu tetap menggelengkan kepalanya
berulang kali.
"Saudaraku, bukannya ih heng enggan memberitahukan hal ini
kepadamu, adalah disebabkaa pek bo telah menambahkan beberapa
patah kata diantara kertas tadi sehingga aku tak bisa
memberitahukannya ke¬padamu.“
"Tulisan apakah yang ditambahkan ibuku diatas kertas itu?“ tanya
Thi Eng khi gelisah.
"Garis besarnya dia bilang seandainya kertas itu bukan diperoleh
hiante sendiri melainkan terjatuh ditangan seorang kuncu sejati
maka diminta kertas tersebut dibakar sampai habis dan
merahasiakan isi surat tersebut. Nah, saudaraku, coba kau bilang
apakah in heng tak boleh menjadi seorang kuncu sejati?“
Sekalipun dalam surat itu dicantumkan tulisan tersebut tapi Thi
Eng khi adalah putra Yap Siu ling yang membuat surat itu.
Seharusnya dia tidak termasuk dalam hitungan akan tetapi pemuda
tampan itu telah berkata demikian, sudah barang tentu Thi Eng khi
tak bisa berbuat apa apa lagi.

384
Terpaksa sambil menghela napas panjang katanya :
"Tentang soal ini... tentang soal ini......... bagaimana baiknya?
Bagaimana baiknya?"
Tiba tiba pemuda tampan itu tertawa manis, ujarnya :
“Ih heng masih mempunyai suatu cara untuk menolong keadaan
tersebut."
"Sungguh?“ Thi Eng khi segera merasakan semangatnya
berkobar kembali.
“Walaupun didalam surat itu dicantumkan agar menutup mulut
rapat rapat merahasiakan isi surat itu, namun sama sekali tidak
dicantumkan kalau orang yang menerima surat ini tak boleh pergi
mencari mereka, kini kita sudah bersaudara asal hiante turut serta
disamping Ih heng ke mana Ih heng pergi, bukankah apa kau
inginkan bisa terpenuhi segera?”
Sebetulnya kata kata semacam ini lebih tak pakai aturan lagi,
rupanya ia sengaja berbuat kesemuanya itu tak lain hanya ingin
berada bersama sama dengan Thi Eng khi selama berapa waktu.
Thi Eng khi ingin cepat cepat menemui ibunya, diapun tidak
banyak berbicara lagi, dengan girang serunya :
"Toako, Kau baik sekali, siaute ucapkan terima kasih dahulu..."
Sampai disini, tentunya pembaca sekalian dapat menduga bukan
siapa gerangan pemuda tampan ini?
Dia memang tak lain adalah Ciu Tin tin, putri dari Gin san kiam
kek Ciu Cu giok yang pernah dijumpainya dipuncak Bong soat hong
bukit Wusan pada setahun berselang.
Dia telah salah menyangka ayah Thi Eng khi yang telah menjadi
pendeta, Lan Ih cu tok Thi Tiong giok sebagai ayahnya sendiri,
dengan tekad untuk menebus dosa ayah¬nya, dia telah
mencurahkan segenap semangat dan pikirannya untuk melindungi
Thian liong pay, disamping itu lantaran ia mengagumi kegagahan Thi

385
Eng khi, secara diam diam ia telah berencana untuk menyerahkan
tubuhnya kepada pemuda itu.
Dalam setahun ini, dia telah berhasil menyelidiki banyak sekali
rahasia dunia persilatan, juga secara diam diam telah melakukan
banyak pekerjaan untuk Thian liong pay.
Diantara sekian banyak usaha yang dilakukannya, antara lain
adalah usahanya untuk menggagalkan rencana Huan im sin ang
untuk menghasut Tiang pek lojin dan menariknya untuk membantu
pihak iblis tersebut.
Orang bilang siapa punya hati yang mulia dia akan memperoleh
pembalasan yang setimpal, walaupun dalam tugasnya itu hampir
saja jiwanya melayang tapi diluar dugaan iapun berhasil bertemu
kembali dengan Thi Eng khi.
Sejak diobati lukanya oleh Thi Eng khi setelah berpisah sekian
lama, rasa cintanya kepada pemuda itu makin membara, dia te¬lah
bertekad untuk mengikuti terus disamping pemuda pujaan hatinya
ini.
Sebagai gadis yang cerdik, diapun memahami kemungkinan
kemungkinan yang akan menjadi rintangan dalam usaha
menggalang cinta kasih dengan pemuda itu.
Karenanya dia segera menggunakan kecerdasan otaknya untuk
mengajak Thi Eng khi angkat saudara, kemudian saling tertukar
barang kenangan, hal mana akan menjalinkan hubungan yang lebih
akrab lagi diantara mereka berdua.
Kemudian diapun menggunakan alasan isi surat yang
diperolehnya untuk menciptakan suatu kesempatan untuk
melakukan perjalanan bersama dengan pemuda pujaan hatinya.
Setelah segala sesuatunya berlangsung dengan lancar, dia baru
membawa Thi Eng khi untuk pergi mencari ibunya.
Sepanjang jalan menuju kearah timur, dia selalu berusaha untuk
memilih jalan yang lebih jauh, sehingga perjalanan yang seharusnya

386
bisa ditempuh dalam tiga hari telah mereka tempuh selama dua
puluh hari lebih.
Betul juga, dalam dua puluh hari yang amat lama ini, hubungan
antara "kakak" dan adik ini terjalin akrab sekali, bahkan boleh
dibilang sudah mencapai keadaan yang tak bisa dipisahkan lagi.
Thi Eng khi merasa 'toakonya' ini mempunyi pengetahuan serta
kecerdasan yang luar biasa, sifatnya lembut dan cara kerjanya amat
cermat sehingga hubungannya dengan sang ‘toako' inipun terasa
akrab sekali.
Hari itu mereka telah tiba di Kang-im.
Kang im merupakan sebuah kota yang terletak ditepi sungai,
selain merupakan pusat perdagangan juga merupakan bandar yang
penting artinya bagi daerah sepanjang sungai Tiang kang.
Jilid 12
SETELAH bersantap malam, menelusuri cahaya matahari senja,
mereka berjalan ditepi sungai sambil menikmati keindahan alam.
Jalan punya jalan, tiba tiba Thi Eng khi berkerut kening dan
menghela napas tiada hentinya, Ciu Tin tin mengerti apa yang
menjadi beban pikiran Thi Eng khi, maka dengan lembut, katanya :
"Adik Eng, lagi lagi kau tak senang hati?"
Thi Eng khi tidak berbicara apa apa, dia hanya tersenyum belaka.
Tiba tiba Ciu Tin tin berkata lagi :
"Adik Eng, sekarang Ih heng hendak memberitahukan suatu
kabar gembira kepadamu, besok kita sudah akan mencapai ditempat
tujuan.”
"Sungguhkah itu?" jerit Thi Eng khi dengan gembiranya.

387
“Kapan sih toakomu pernah membohongi dirimu?” jawab Ciu Tin
tin sambil tersenyum.
Thi Eng khi segera menggenggam tangan Ciu Tin tin dan berseru
:
''Oooh toako.... toako .... aku tak tahu bagaimana harus
berterima kasih kepadamu?”
Agak merah sepasang mata Ciu Tin tin, ujarnya kemudian :
"Asal kau tidak merasa muak atau bosan kepada toako, toako
sudah merasa puas sekali."
Tentu saja Thi Eng khi tak akan mengerti akan rasa cinta Ciu Tin
tin kepadanya, melihat sepasang matanya menjadi merah, dengan
perasaan tak tenang ia berseru :
“Toako, kau.... kau...."
Ciu Tin tin segera memaksakan diri un tuk tertawa, tukasnya.
“Aku tidak apa apa, cuma mataku kemasukan debu saja...."
Pada saat itulah, dari depan sana muncul seorang lelaki kekar,
ketika berpapasan muka kebetulan Ciu Tin tin mendongakkan
kepalanya dan menengok sekejap ke arahnya.
Mendadak dengan paras muka berubah hebat, dia menjerit
tertahan.
Thi Eng khi tak tahu apa yang telah terjadi, dengan perasaan
kuatir dan ingin tahu dia lantas menegur :
''Toako kenapa kau?"
Ciu Tin tin segera membentur tubuh Thi Eng khi dengan bajunya,
kemudian menjawab :
“Aduuh hiyung..... giginya sakit lagi!"
Dengan cepat Thi Eng khi mengerti pasti ada sesuatu yang tak
beres, tapi dia menahan diri dan membungkam diri dalam seribu
bahasa.

388
Menanti lelaki itu sudah pergi jauh, Ciu Tin tin baru menuding
bayangan tubuh lelaki itu sambil berkata :
"AdiK Eng, tahukah kau siapa gerangan orang tadi?“
“Siaute belum lama terjun kedalam dunia persilatan, orang yang
kukenalpun masih terbatas sekali, toako tak usah mengetes diriku
lagi."
“Dia tak lain adalah Hek bin bu pa (raja lalim bermuka hitam) To
Thi gou, salah seorang diantara Cap sah Tay poo yang per¬nah kau
sebutkan kepada kami."
Berbicara sampai disitu, biji matanya segera diputar, mendadak
dia menjerit tertahan.
"Aduh celaka! Adik Eng, kita tak bisa berdiam lebih lama lagi di
Kang im ini!"
Kemudian sambil menarik tangan Thi Eng khi, dia segera
mengejar ke arah mana Hek bin bu pa To Thi gau melenyapkan diri
tadi.
Dalam waktu singkat kedua orang itu berhasil mengejar si raja
lalim bermuka hitam To Thi gou, tampak orang itu memasuki rumah
suatu keluarga miskin.
Dengan suara lirih Thi Eng khi segera berbisik.
“Toako, mari kita menyelinap kesana, coba kita lihat apa yang
sedang ia lakukan di sana?"
Ciu Tin tin segera menggelengkan kepalanya berulang kali,
sahutnya.
"Tak usan dilihat lagi, Ih heng sudah dapat menebak garis
besarnya.“

389
“Darimana kau bisa menduganya? Coba terangkan kepada
siaute."
Sambil memperketat larinya sehingga tubuhnya meluncur
kedepan secepat sambaran kilat, Ciu Tin tin berkata :
"Sekarang aku tak sempat memberikan keterangan, nanti saja,
setelah berjumpa dengan Pek bo, kau akan tahu dengan sendirinya!"
Mendengar kalau perjalanan itu menuju ke rumah ibunya, Thi
Eng khi menjadi girang sekali, diapun tidak bertanya apa apa lagi,
dengan suatu gerakan cepat dia turut meluncur ke depan.
Setelah melakukan perjalanan sekian waktu akhirnya muncullah
sebuah bukit kecil didepan sana, dikaki bukit terdapat beberapa
buah rumah petani, sambil menuding ke arah salah satu rumah
gubuk berdinding batu yang berdiri sendiri didepan sana, Ciu Tin tin
berkata :
“Pek bo berada didalam rumah gubuk itu."
Ternyata dia hapal sekali dengan jalanan ditempat itu, seakan
akan sedang kembali ke tempat yang dikenal saja, hal mana segera
menimbulkan kecurigaan dalam hati Thi Eng khi, dengan cepat dia
menegur :
“Toako, tampaknya kau sudah pernah datang kemari?"
Ciu Tin tin segera tertawa.
“Kali ini kau berhasil menebaknya de¬ngan jitu, benar, memang
akulah yang menghantar pek bo sekalian datang kemari!"
Tak terlukiskan rasa haru Thi Eng khi menghadapi kenyataan ini,
tiba tiba serunya dengan tercengang :
"Toako, sebenarnya siapakah kau?”
Ciu Tin tin tidak langsung menjawab pertanyaan itu, sebaliknya
hanya bergumam seorang diri :
“Setelah Ing heng menghantar Pek bo sekalian datang kemari,
akupun pergi mencari kabar tentang dirimu, diluar dugaan

390
kutemukan surat yang ditinggalkan Pek bo telah terjatuh ke tangan
Sastrawan penyapu lantai Lu Put ji.”
“Maka toako pun menukar kertas surat itu dengan giok bei
milikku?” sambung Thi Eng khi sambil menghela napas panjang.
Setelah berhenti sejenak, dengan kening berkerut dia
melanjutkan :
"Lantas, mengapa toako tidak memberitahukan hal itu kepada
siaute semenjak dulu?“
Paras muka Ciu Tin tin berubah agak merah, sahutnya dengan
segera :
"Tentu saja dibalik kesemuanya itu masih ada alasan lain yang....
yang tak dapat diberitahukan kepadamu!“
Sementara pembicaraan masih berlangsung kedua orang itu
sudah sampai didepan pintu rumah gubuk.
Ciu Tin tin segera menyingkir ke samping memberi jalan lewat
untuk Thi Eng khi.
Sebelum masuk kedalam rumah, Thi Eng khi telah berteriak
berulang kali.
"Ibu! Ibu! Eng ji telah pulang....... anak Eng telah pulang...."
Dia langsung menyerbu masuk kedalam.
Tiba dalam ruangan tampak ibunya sedang berdiri diruang
tengah dengan wajah termangu, sepasang matanya terbelalak lebar,
sekujur tubuhnya gemetar keras, jelas saking terkejut dan girangnya
ia sampai gelagapan dibuatnya.
Kecuali ibunya, dalam ruangan itu tidak tampak Thian liong ngo
siang lainnya.

391
Berhadapan dengan ibunya, Thi Eng khi belum sampai berpikir ke
soal lain, deng¬an cepat dia memburu ke depan dan menjatuhkan
diri berlutut,katanya de¬ngan air mata bercucuran :
"Ibu.... ananda telah kembali....“
Yap Siu ling segera sadar kembali dari lamunannya dan menahan
air matanya yang hampir meleleh keluar.
Kemudian dengan wajah dingin seperti es katanya :
“Sewaktu pergi dulu, kau nampak gagah dan perkasa, apakah
sekarang kau pulang kembali dengan tiada suatu perubahanpun!"
Oleh karena pada mulanya dia menolak Thi Eng khi berlatih silat
maka akibatnya sekarang dia menginginkan anaknya bisa cepat
cepat menjadi seorang pendekar yang luar biasa.
Dengan ketakutan Thi Eng khi berseru :
"Ananda sama sekali tidak mengecewakan harapan kau orang
tua, ananda telah berhasil menemukan kembali kitab pusaka Thian
liong pit kip."
“Oooh....oohhh...." Yap Siau ling berseru tertahan, ia segera
menarik tubuh Thi Eng khi dan memeluknya erat erat, katanya
sambil melelehkan air mata karena girang.
"Oooh anakku,...oooh anakku! Betul betul aku telah
menyusahkan dirimu...."
Kini Thi Eng khi sudah berusia dua puluh tahun, dia telah menjadi
seorang pemuda tanggung malah tubuhnya jauh lebih tinggi dari
tubuh ibunya, tentu saja ia merasa rikuh dalam pelukan ibunya
terutama sekali berada dihadapan seorang toakonya yang hingga
kini belum diketahui namanya.
Maka setelah menenangkan hatinya, diapun berkata kepada
ibunya dengan suara lembut.
"Ibu, kita masih ada tamu ..."

392
Kemudian sambil berpaling, teriaknya :
“Toako…..”
Siapa tahu bayangan tubuh dari toakonya yang masih belum
diketahui namanya itu sudah lenyap tak berbekas.
Yap Siu ling semenjak tadi berdiri didepan pintu, kecuali Thi Eng
khi, boleh dibilang ia belum menyaksikan ada orang kedua yang
memasuki ruangan itu, maka dengan keheranan tanyanya :
“Toako apa?"
Thi Eng khi sampai kini masih belum mengetahui siapa nama
"toako” nya itu, mendapat pertanyaan tersebut, pipinya berubah
menjadi merah padam, katanya agak tersipu.
"Toako adalah si manusia bermantel perak yang telah mengatur
kau orang tua untuk menetap ditempat ini."
"Oooh…. rupanya dia (perempuan), apakah dia juga turut datang
kemari?”
"Atas petunjuk dari toakolah, ananda baru berhasil sampai disini.”
"Apa toako, toako?'' tegur Yap Siu ling sambil berkerut kening,
“Eng ji, usiamu sudah tidak muda lagi. Kenapa dalam hal sopan
santun makin lama semakin berkurang? Orang lain telah berjuang
mati matian demi keluarga Thi kita, sedang kau...”
Belum habis dia berkata, mendadak dari balik ruangan muncul
seorang nona berbaju putih yang segera menukas pembicaraan itu.
“Pek bo, Tin tin mengucapkan selamat kepadamu atas
keberhasilan kau orang tua berjumpa kembali dengan putramu!”
Yap Siu ling segera meninggalkan Thi Eng khi dan maju ke depan
memeluk Ciu Tin tin, katanya sambil membelai tubuh gadis itu
dengan penuh kasih sayang :

393
“Nak Pek bo tak tahu bagaimana caranya untuk berterima kasih
kepadamu...?"
“Oooh Pek bo, kau…. kau orang tua terlalu baik kepada keluarga
Ciu kami!”
Agaknya Yap Siu ling merasakan pula kepedihan yang dalam
namun diluaran dia bersikap seperti amat riang, katanya :
“Nak, jangan kau pikirkan persoalan yang lain, apalagi siapapun
tidak bersalah, hanya nasib kita semualah yang kurang baik.”
Dia lantas berpaling bermaksud untuk memperkenalkan Thi Eng
khi tapi dijumpainya pemuda itu sedang berdiri tertegun disana
tanpa berkutik sedikitpun juga, seakan akan sedang merasa sedih
dan murung.
"Heran, kenapa dengan bocah ini?“ demikian Yap Siu ling
berpikir.
Dengan cepat dia lantas menegur :
"Anak Eng, kenapa kau hanya termangu mangu saja?"
Dengan cepat Thi Eng khi tersentak bangun dari kagetnya, untuk
sesaat lamanya dia tak tahu bagaimana caranya untuk menghadapi
situasi yang serba rikuh ini.
Ketika ia berjumpa dengan "toako"nya untuk pertama kali dulu
walaupun terasa olehnya kalau wajah orang itu pernah dikenalnya,
namun ia tak mengira orang itu adalah Ciu Tin tin, setelah melihat
Ciu Tin tin mengenakan pakaian perempuan, ia baru menyadari
keadaan yang sesungguhnya.
Ia bukan seorang pemuda yang bodoh, terbayang kembali apa
yang dialaminya di sepanjang jalan sudah barang tentu dapat diduga
olehnya apa gerangan yang dipikirkan Ciu Tin tin.
Dia cukup memahami posisi Ciu Tin tin, lebih lebih menambah
simpatik terhadap sikap gadis itu, tapi ia telah salah menganggap
terhadap perasaan nona yang sebenarnya.

394
Ia menggangap gadis itu membaiki dirinya dan selalu membantu
usahanya karena dia ingin menebus dosa ayahnya, sebagai seorang
lelaki sejati mana mungkin dia dapat menerima pelampiasan cinta
yang bukan timbul dari dasar hati yang jujur ini?
Tentu saja kalau dibilang ia sama sekali tidak menaruh perasaan
tertarik dan kagum terhadap gadis cantik dan pintar seperti Ciu Tin
tin ucapan itu hanya perkataan bohong namun dia mempunyai jalan
pemikirannya sendiri, ia boleh saja tidak mempersoalkan pertikaian
antara Gin san kiam kek dengan keluarganya, akan tetapi dia
enggan untuk menerima pembalasan yang tidak menurut jalan yang
sebenarnya itu.
Oleh karenanya, dia harus mengelabuhi perasaan sendiri, juga
mengesampingkan perasaan Ciu Tin tin kepadanya.
Pelbagai pikiran segera berkecamuk dalam benak pemuda ini,
pikir punya pikir, dia menjadi agak terlena.
Setelah ditegur oleh ibunya, dia baru cepat cepat menyahut :
"Aaah.... tidak apa apa!”
Yap Siu ling sendiripun merasa tidak leluasa untuk mendesak
anaknya dihadapan Ciu Tin tin, maka sambil tersenyum dia lantas
berkata :
"Anak Eng, coba lihat bukankah enci Tin adalah toakomu? Nak,
kau benar benar terlalu gegabah!"
Thi Eng khi tak sempat menghindarkan diri lagi, terpaksa dia
menjura lalu ujarnya dengan nada yang tak leluasa :
''Aku menjumpai nona Ciu!"
Sikapnya semakin menjauh dan seakan akan berusaha untuk
memberikan suatu jarak tertentu.
Ciu Tin tin tampak agak sedih, tapi dia pun membalas hormat
tanpa mengucapkan sepatah katapun.

395
Yap Siu ling yang merasa tidak leluasa menyaksikan keadaan itu,
kepada Thi Eng khi segera tegurnya :
“Kini sang kakak telah berubah menjadi enci, anak Eng, kau
seharusnya menyebut enci Tin kepadanya!“
Thi Eng khi memang seorang anak yang berbakti ia tak berani
membangkang perintah ibunya, terpaksa dengan nada kaku
panggilnya :
"Enci Tin!"
Ciu Tin tin merasakan hatinya amat gundah, getir dan pahit
terasa bercampur aduk dalam hatinya, diapun berseru :
"Adik Eng!"
Dia merasa usahanya selama ini hanya sia sia belaka, tak
terlukiskan rasa sedih yang mencekam hatinya kini.
Tapi dia tetap mempertahankan sikapnya yang terbuka dan supel
sambil memaksakan sebuah senyuman, katanya kepada Yap Siu ling
:
"Pek bo, setelah berjumpa dengan anakmu, sudah pasti banyak
persoalan yang hendak kalian bicarakan, biarlah titli mohon diri lebih
dulu untuk sementara waktu, sekalian menyiapkan hidangan untuk
adik Eng."
Selesai berkata dia lantas mengundurkan diri dari situ.
Yap Siu ling segera menemukan suatu kekakuan dan ketegangan
diantara kedua orang ini tapi berhubung Thi Eng khi baru pulang, dia
merasa kurang leluasa untuk menekannya terlalu hebat, terpaksa
masalah itu disimpan dalam hati sambil mencari kesempatan lain
untuk dibicarakan lebih jauh.
Yap Siu ling mengawasi Thi Eng khi beberapa saat lamanya,
kemudian sambil menghela napas panjang katanya :
“Eng ji, cepat ceritakan kisah pengalamanmu selama setahun
lebih ini kepada ibu.”

396
Thi Eng khi segera manggut manggut, diapun menceritakan apa
yang dialaminya selama ini dengan seksama.
Yap Siu ling mendengarkan dengan serius, adakalanya dia
merasa berdebar dengan perasaan tercekat, kemudian kejut
bercampur girang sampai lama kemudian ia baru menghembuskan
napas panjang, katanya :
“Terima kasih langit, terima kasih bumi, rupanya Kong kong dia
orang tua masih hidup sehat didunia ini.”
Thi Eng khi manggut manggut, katanya :
"Oleh karena ananda berhasil mempelajari kitab pusaka itu lebih
awal dua bulan dari waktu yang ditentukan, maka ananda
bermaksud untuk menunggu saat untuk berjumpa dengan dia orang
tua, tapi kemudian setelah kutemukan pesan dari dia orang tua ada
urusan harus pergi dan bisa menunggu lebih jauh, terpaksa dengan
perasaan kecewa ananda kembali kedaratan Tionggoan."
Menyusul kemudian, Yap Siu ling pun mengisahkan
pengalamannya sampai pindah ketempat itu kepada Thi Eng khi.
Ternyata sejak kepergian Thi Eng khi setiap hari Yap Siu ling dan
Thian liong su siang merasa kuatir dan tak tentram.
Semenjak terluka oleh ilmu jari Jit sat ci dari Huan im sin ang,
makanan sehari hari dari Thian liong su siang harus disediakan oleh
Yap Siu ling, sudah barang tentu tak mungkin bagi mereka untuk
pergi mencari kabar berita diluaran.
Sebaliknya Yap Siu ling sendiripun tak lebih hanya seorang
perempuan yang belum pernah keluar rumah, soal dunia persilatan
sama sekali tidak dipahami olehnya, tentu saja lebih lebih tak
mungkin baginya untuk mengadakan kontak dengan dunia luar.
Maka, semua orangpun terpaksa hanya tinggal di "rumah" sambil
menahan rasa gelisah yang makin hari makin meningkat.
Masa masa selama ini bagi mereka boleh dibilang merupakan
masa masa yang paling berat, ketika ditunggu sampai tujuh delapan

397
bulan lamanya tetap tak nampak Thi Eng khi balik kembali, saking
cemasnya hampir saja mereka menjadi gila.
Suatu hari, ketika malam telah tiba, ruangan Thian liong Tong
hanya diterangi oleh sebuah lentera kecil.
Waktu itu Yap Siu ling sedang menyiapkan hidangan didalam
dapur, sedangkan Thian liong su siang ngobrol diluar.
Pada saat itulah tiba tiba tampak sekilas cahaya perak berkelebat
lewat, tahu tahu seorang yang bermantel perak telah melayang
turun didepan pintu ruang Thian liong tong.
Mantel berwarna kuning perak merupakan ciri khas dari Gin san
kiam kek (jago pedang berbaju perak) Ciu Cu giok, sebagai sahabat
karib ayah Thi Eng khi yakni Thi Tiong giok, tentu saja Thian liong su
siang mengetahui dengan jelas tentang hal ini.
Itulah sebabnya begitu melihat mantel berwarna perak muncul
disana tanpa berpikir panjang lagi mereka lantas mengira Gin san
kiam kek Ciu cu giok telah datang kesana.
Sejak Thian liong pay mengalami musibah, Gin san kiam kek Ciu
Cu giok tak pernah berkunjung lagi ke gedung Bu lim tit it keh ini,
oleh karena itu didalam pandangan Thian liong su siang, ia sudah
bukan sahabat karib partai Thian liong pay lagi.
Sin lui jiu (si tangan geledek) Kwan Tin say yang paling
berangasan kontan saja tertawa dingin tiada hentinya, kemudian
tegurnya :
"Hey orang she Ciu, kau masih ingat kalau dirimu adalah sahabat
Thian liong pay.“
Ciu Tin tin merasa amat terkejut, sama sekali tak disangka
olehnya kalau pihak lawan menegurnya seperti itu.
Untuk sesaat dia menjadi tertegun dan berdiri kaku didepan
pintu, untuk beberapa saat lamanya ia tak berani masuk kedalam
ruang sin tong.

398
Melihat orang itu berhenti dan tidak berani masuk, sekali lagi Sin
liu jiu Kwan Tin say menegur dengan suara dalam :
“Ciu Cu giok, partai kami tidak membutuhkan teman seperti kau,
lebih baik kembali saja!“
Sekarang Ciu Tin tin baru tahu kalau orang telah menganggap dia
sebagai ayahnya maka dia lantas melangkan masuk ke da¬lam
ruangan Sin tong.
Tatkala Thian liong su siang berhasil melihat jelas raut wajahnya,
tanpa terasa mereka menjerit tertahan, kemudian tegurnya :
"Nona, siapakah kau? Ada urusan apa datang kemari?”
Ciu Tin tin berusaha keras berbicara dengan nada seramah dan
selembut mungkin, katanya :
“Boanpwe bernama Ciu Tin tin, ayahku bernama Ciu Cu giok,
sengaja ayah mengutus aku datang kemari untuk menyambangi
locianpwe, sekalian hendak menyampaikan suatu persoalan
penting."
San tian jiu (Si tangan kilat) Oh Tin lam mendengus dingin.
"Hmm, kalau toh ayahmu sudah tak sudi lagi melangkah masuk
ke gedung ini, buat apa dia menyuruh kau datang kemari?"
Ciu Tin tin sama sekali tidak mengubris suasana ditempat itu,
katanya lagi dengan lembut :
“Sejak sembilan belas tahun berselang ayahku telah mencukur
rambut menjadi pendeta, bahkan rumah sendiripun belum pernah
pulang satu kali, mana mungkin ia berkunjung ke tempat lain? Bukan
berarti beliau telah melupakan cianpwe sekalian."
Mendengar perkataan itu, Thian liong su siang menjadi tertegun,
hampir pada saat yang bersamaan mereka berseru :
"Oooh.... rupanya ayahmu telah menjadi pendeta, kalau begitu
kami telah salah menegurnya."

399
Sam ciat jiu (si Tangan sakti) Li Tin tiong segera tertawa getir,
katanya :
“Kami berempat telah terluka parah dan tidak leluasa untuk
berjalan, terpaksa kami mempersilahkan nona Ciu untuk duduk
disembarangan tempat, bila pelayanan kurang baik, harap nona suka
memaafkan."
Ciu Tin tin memandang sekejap sekeliling ruangan, menyaksikan
dinding ruangan yang kotor dan penuh sarang laba laba, kejut juga
perasaannya, ia lantas mencari sebuah kursi dan duduk.
Menanti nona itu sudah duduk, Pit tee jiu (Tangan sakti penutup
tanah) Wong Tin pak baru berkata :
“Boleh aku tanya ada urusan apakah nona Ciu datang kemari hari
ini.....?"
Dengan berterus terang Ciu Tin tin segera membeberkan maksud
kedatangannya.
“Dalam dunia persilatan tersiar kabar yang mengatakan kalau Thi
sauhiap, ciangbunjin angkatan kesebelas dari Thian liong pay telah
dibekuk orang di Benteng keluarga So di luar perbatasan, Tiang pek
lojin So locianpwe telah menuduh perbuatan ini hasil pekerjaan dari
Siau lim dan Bu tong dua partai besar. Kini ia telah membawa jago
jago dari luar perbatasan datang mencari keadilan disini, sekarang
mereka telah saling bersitegang dengan pihak partai Siau lim pay.”
Mendengar kabar tersebut, Thian liong su siang merasa
terperanjat sekali sehingga tak sanggup mengucapkan sepatah
katapun.
Dari luar pintu kedengaran suara mangkuk yang terjatuh ke lantai
dan pecah lalu nampak Yap Siu ling, ibu Thi Eng khi lari masuk
kedalam ruangan dengan wajah pucat pias, dengan suara yang tak
jelas serunya tergagap.
“Apa kau bilang? Kenapa dengan anak Engku?"

400
Begitu gelisah dan cemasnya menguatirkan keselamatan Thi Eng
khi sehingga dia tak sempat memberi hormat kepada Ciu Tin tin.
Mendengar dari ucapan tersebut, Ciu Tin tin segera mengetahui
siapa gerangan perempuan ini, buru buru ia memayang Yap Siu ling
sambil sahutnya :
“Menurut kabar yang tersiar dalam dunia persilatan, konon Thi
sauhiap telah ditawan oleh pihak Siau lim dan Bu tong pay, aku rasa
tak mungkin ada bahaya yang mengancam keselamatan jiwanya,
pek bo, kau harus baik baik menjaga kesehatan tubuhmu, jangan
sampai karena memikirkan yang bukan bukan berakibatkan kau
orang tua menjadi jatuh sakit.“
Yap Siu ling adalah seorang perempuan yang berpengetahuan
luas, sesudah tenang hatinya maka sikappun pulih kembali seperti
sedia kala, kepada Ciu Tin tin ujarnya sambil tersenyum :
“Aku terlampau dipengaruhi emosi, harap kau jangan
menertawakan."
Sesudah berhenti sejenak ditatapnya wajah gadis itu lekat lekat,
kemudian ujarnya lebih lanjut :
“Tadi nona memanggilku sebagai Pek bo entah....”
Buru buru Ciu Tin tin menerangkan :
"Ayahku dan Empek Thi adalah sahabat karib, itulah sebabnya
titli sudah sepantasnya memanggil Pek bo kepadamu!“
“Ayahmu adalah....?" Yap Siu ling kelihatan ragu.
Diam diam Ciu Tin tin menyumpahi dirinya yang berbicara tidak
jelas sehingga tidak menerangkan asal usulnya lebih dulu.
Dengan wajah merah padam lantaran jengah, dia lantas berkata :
“Boanpwe she Ciu bernama Tin tin, ayahku bernama Ciu Cu giok,
dengan empek Thi dibuat orang persilatan sebagai Bu lim siang giok
(sepasang kemala dari dunia persilatan), masih ingatkah Pek bo?"
Sekulum senyuman segera menghiasi wa¬jah Yap Siau ling,
cepat cepat serunya :

401
“Oooh.... rupanya Ciu Hian titli, silahkan duduk! Silahkan
duduk.....!"
Ciu Tin tin segera membimbing Yap Siu ling duduk dikursi yang
lain, sedangkan dia sendiri berdiri disamping perempuan itu, setelah
mengulangi kembali apa yang dikatakan tadi, sambungnya lebih
lanjut :
“Pihak Siau lim dan Bu tong pay tidak mau mengakui kalau pihak
merekalah yang telah menculik Thi sauhiap, maka semua orang
beranggapan hanya setelah Thi sauhiap ditemukan maka kesalahan
paham ini baru dapat terselesaikan, kini akan berdatangan pelbagai
manusia untuk mencari kabar dari para locianpwe sekalian."
“Bagaimanakah keadaan yang sesungguhnya, dari mana kita bisa
tahu?“ kata Yap Siu ling.
Sin lui jiu Kwan Tin say berseru pula dengan suara keras :
"Kami akan menutup pintu dan menolak untuk berjumpa dengan
siapapun….!”
Dengan kening berkerut, Ciu Tin tin segera menambahkan :
“Menurut hasil penyelidikan titli dan ayahku, dapat diketahui
kalau masih ada kelompok manusia yang sebetulnya sedang
menciptakan kekacauan dalam dunia persilatan walaupun mereka
tahu kalau locianpwe sekalian tidak tahu tentang jejak Thi sauhiap
akan tetapi sengaja mereka susun rencana busuk untuk mencelakai
kalian semua agar pihak siau lim dan Bu tong disatu pihak semakin
menaruh kesalahan paham terhadap Tiang pek lojin dilain pihak."
Mendengar perkataan itu Yap Siu ling sekalian menjadi amat
terperanjat, buru buru serunya :
“Aaaah, masa telah terjadi peristiwa semacam ini?"
"Ayahku telah melihat dan mendengar dengan mata kepala
sendiri, sudah barang tentu berita ini dapat
dipertanggungjawabkan!”
Tergerak hati sam ciat Li Tin tiong setelah mendengar ucapan ini,
tiba tiba muncul kewaspadaan dihatinya, dia lantas berseru cepat :

402
“Kalau toh berita ini diperoleh ayahmu, mengapa ia tidak datang
sendiri kemari? Sedang menurut perkataan nona Ciu tadi, semenjak
menjadi pendeta ayahmu belum pernah pulang ke rumah, lantas
darimana nona Ciu bisa mengetahui akan persoalan ini?"
Rasa sedih segera menyelimuti wajah Cui Tin tin, sahutnya :
“Dalam kenyataan sudah dua puluh tahun lamanya ayahku
meninggalkan rumah, setengah tahun berselang, titli mendapat
perintah dari ibuku untuk mencari jejak ayahku, sampai akhirnya
berhasil kujumpai secara tak terduga di bukit Wu san, selama
setengah tahun ini, titli selalu melangsungkan hubungan kontak
dengan ayahku, itulah sebabnya kali ini ayahku telah menitahkan
kepada titli untuk datang menyampaikan kabar, sekalian
mengaturkan tindakan yang harus cianpwe sekalian ambil.”
Yap Siu ling dan Thian liong su siang berpandangan sekejap,
kemudian termenung dan membungkam dalam seribu bahasa, untuk
sesaat lamanya mereka tak dapat mengambil keputusan.
Untuk berlomba dengan waktu, Ciu Tin tin segera mengeluarkan
sebilah pedang pendek dari dalam sakunya, lalu diserahkan kepada
Yap Siu ling, ujarnya :
“Sebelum meninggal dunia dulu, empek Thi telah menyerahkan
pedang pendek ini kepada ayahku sambil berpesan untuk melindungi
keselamatan Pek bo, setelah Pek bo memeriksa pedang ini, tentunya
akan mengetahui kalau perkataan titli bukan kosong belaka."
Pedang pendek itu merupakan tanda pengenal dari Thi Tiong
giok selama berkelana didalam dunia persilatan, menyaksikan benda
tersebut Yap Siu ling menjadi teringat kembali dengan pemiliknya,
tak tahan lagi ia menangis tersedu sedu.
“Apakah ayahmu telah menyaksikan sendiri kematian dari empek
Thimu?“ katanya.
Ciu Tin tin cukup mengerti, seandainya ia membeberkan keadaan
yang sesungguhnya sudah pasti hal mana akan berakibat timbulnya
keadaan yang tidak diinginkan, terpaksa jawabnya :

403
“Persoalan ini panjang sekali kalau dibicarakan, dikemudian hari
pasti akan titli ceritakan, sekarang harap pek bo sekalian percayai
diri titli untuk....."
Dengan menggunakan kerlingan matanya Yap Siu ling minta
pertimbangan dari Thian liong su siang, kemudian katanya dengan
wajah serius :
“Titli jauh jauh datang kemari dengan maksud baik, masa aku
akan menaruh curiga kepadamu!”
Ciu Tin tin segera menghembuskan napas panjang katanya :
“Titli sengaja datang kemari untuk mengajak Pek bo sekalian
mengungsi ke suatu tempat yang aman guna menghindarkan diri
dari bencana besar ini.“
Yap Siu ling segera menggelengkan kepalanya berulang kali.
“Aku rasa kami tak bisa pergi dari sini," katanya, “selain itu,
kamipun tak bisa pergi sebab seandainya Eng ji sampai balik kemari
dia harus pergi kemana untuk mencari kami sekalian."
“Demi Thi sauhiap, Pek bo sekalian sekalian sepantasnya kalau
segera mengungsi sebab andaikata Pek bo sekalian sampai ketimpa
sesuatu musibah, apakah Thi sauhiap bisa hidup dengan hati yang
tentram?“
Setelah perundingan dilakukan akhirnya Yap Siu ling memutuskan
untuk meninggalkan sepucuk surat buat Thi Eng khi dan pada
malam itu juga dipimpin oleh Ciu Tin tin mereka berangkat ke bukit
Hong san dekat kota Kang im untuk menetap.
Kemudian ke empat orang dari Thian liong ngo siang yang terluka
parah, tahu tahu pada suatu tengah malam telah diobati seseorang
sehingga luka dalam yang mereka derita sembuh sama sekali.
Selesai mengobati mereka, orang itu pun telah meninggalkan
catatan tentang beberapa macam kepandaian sakti aliran Thian liong
pay, untuk mempelajari kepandaian tersebut, kini mereka telah
berpindah kesuatu tempat lain yang lebih sepi dan terpencil.

404
Ciu Tin tin sendiri membutuhkan waktu selama hampir satu bulan
lebih untuk menarik kesan baik dari Yap Siu ling, kemudian ia baru
membeberkan kisah sedih yang telah menimpa keluarga Ciu serta
keluarga Thi.
Mendengar kisah sedih itu, sudab barang tentu Yap Siu ling
merasa sedih sekali tapi dia adalah seseorang yang cukup
mengetahui tentang keadaan, lagipula kejadian sudah berlangsung,
bukan saja dia tidak menyalahkan Ciu Tin tin ataupun ayahnya Ciu
Cu giok, malahan dia merasa terharu sekali oleh semangat serta
pengorbanan yang diberikan Ciu Tin tin selama ini, hal mana
membuatnya semakin menyayangi gadis itu dan menganggapnya
sebagai putri kandung sendiri.
Demikianlah, ketika Yap Siu ling dan Thi Eng khi sedang saling
menuturkan pengalaman yang telah mereka alami, mendadak dari
luar pintu sana kedengaran Ciu Tin tin sedang membentak keras :
“Siapa disitu? Berhenti!“
Thi Eng khi sangat terkejut, dengan cepat dia melompat ke
depan pintu pula untuk memeriksa.
Tampaklah seorang pengemis tua yang berpakaian compang
camping dan berwajah dekil, berambut kusut sedang melompat
mendekat dengan kaki tunggalnya.
Pengemis berkaki tunggal itu sudah tua, bila dilihat dari
kemampuannya untuk melompat mendekat, bisa diketahui kalau
tenaga dalam yang dimilikinya amat sempurna sekali.
Dalam sekilas pandangan saja Thi Eng khi dapat mengenalinya
sebagai kakak seperguruan dari ketua Kay pang sekarang, si
pengemis sakti bermata harimau Cu Goan po yang bernama To kak
thi koay (kaki tunggal tongkat baja) Li Goan gwee atau dengan
perkataan lain salah seorang diantara Cap sah tay poo ciptaan Huan
im sin ang.

405
Memandang atas hubungan pengemis berkaki tunggal ini dengan
si pengemis sakti bermata harimau tanpa terasa Thi Eng khi berkerut
kening dan menunjukkan keragu-raguannya.
Sementara Thi Eng khi masih termenung sikaki tunggal bertoya
baja Li Goan gwee telah berhenti dihadapan Ciu Tin tin dan
membuka suara untuk berbicara.
Suaranya keras dan lantang ibarat guntur yang membelah bumi
ditengah hari bolong.
Terdengar ia berkata dengan sikap yang amat menghormat :
“Lohu adalah To kak thi koay (kaki tunggal toya baja) Li Goan
gwee dari Kay pang boleh aku bertanya kepada nona, apakah ketua
Thian liong pay Thi sauhiap, saudara kecil Thi tinggal disini?“
Didalam dunia persilatan si Kaki tunggal tongkat besi Li Goan
gwee mempunyai nama yang amat termashur, tentu saja Ciu Tin tin
juga mengetahui akan hal ini, tapi oleh kerena dalam hatinya masih
ada urusan, maka dia tak berhasil mengenalinya tadi.
Tapi setelah mendengar pihak lawan menyebutkan namanya,
diam diam ia baru berseru dalam hati kecilnya :
"Sungguh memalukan!“
Sambil tersenyum, dia lantas menyahut :
"Ooooh... rupanya Li locianpwe yang telah datang, boanpwe Ciu
Tin tin telah bersikap kurang hormat, harap locianpwe
memakluminya!“
To kak thi koay, Li Goan gwee memperhatikan beberapa kejap ke
arah mantel berwarna perak yang dikenakan Ciu Tin tin itu,
kemudian dengan wajah tercengang serunya lagi :
“Nona mengenakan mantel berwarna perak milik Gin san kiam
keh Ciu lote, entah apa hubungan nona dengannya?“
"Dia orang tua adalah ayah boanpwe," jawab Ciu Tin tin cepat
sambil menundukkan kepalanya.

406
To kak thi koay Li Goan gwee semakin gembira lagi, serunya
dengan cepat :
"Aku sipengemis tua adalah sahabat karib ayahmu dimasa lalu,
sudah sepantasnya bila aku menyebutmu sebagai Hian titli
(keponakan perempuan)!“
“Sudah hampir dua puluh tahun lamanya ayahmu tak pernah
muncul didalam dunia persilatan, apakah belakangan ini dia berada
dalam keadaan baik baik?“
Sikap Ciu Tin tin berubah menjadi amat sopan sekali, dia lantas
memanggil pengemis itu sebagai empek Li.
“Empek Li!“ sahutnya, “ayahku telah merasa jemu dengan
kehidupan keduniawian, maka sekarang beliau sudah menjadi
seorang pendeta semenjak dua puluh tahun berselang!"
Mendengar itu, si kaki tunggal bertongkat besi Li Goan gwee
menghela napas panjang.
“Aaai.... dimasa mudanya dulu ayahmu adalah seorang pendekar
yang sangat lihay sungguh tak disangka dia adalah seorang yang
berjodoh dengan kaum Buddha!"
Menyusul kemudian sambil menepuk kaki tunggal sendiri dan
menunjukkan wajah menyesal, lanjutnya :
“Tempo dulu, seandainya aku si pengemis ini tidak memperoleh
pertolongan dari ayahmu, mungkin kaki tunggalku ini berikut
selembar nyawa tuaku juga turut melayang, aaai... kalau teringat
oleh kegagahan ayahmu dimasa lampau, aku merasa amat sedih
sekali."
Pengemis tua itu hanya ribut dengan perasaan sendiri, ternyata
dia telah melupakan tugasnya datang ke situ.
Thi Eng khi yang menyaksikan kejadian itu diam diam lantas
berpikir :

407
“Entah rencana busuk apakah yang sedang dipersiapkan olehnya?
Aku tak boleh membiarkan dia untuk mengembangkannya lebih
lanjut, bisa amat berbahaya nantinya!“
Berpikir sampai disitu, dia lantas berpekik nyaring dan melangkah
keluar pintu dengan tindakan lebar.
Ciu Tin tin segera menyingkir kesamping sambil memperkenalkan
:
“Empek Li, dialah Thi sauhiap kita!"
Si Kaki tunggal bertongkat besi Li Goan gwee segera
mendongakkan kepalanya dan terbahak bahak.
“Haaaahhh.... haahhh.... haaahhhh.... pangcu pernah
membicarakan tentang kelihayan saudara cilik serta keberanian yang
luar biasa, hal mana sungguh membuat aku si pengemis tua merasa
kagum sekali!”
Sembari berkata dengan sepasang telapak tangannya yang besar
dia siap menepuk bahu anak muda itu.
Dengan cekatan Thi Eng khi mundur selangkah kebelakang dan
menghindarkan diri dari tepukan sepasang tangannya itu, Si Kaki
tunggal bertongkat baja Li Goan gwee agak tercengang tapi
kemudian ia tertawa tergelak kembali :
"Haaahh.... haaahhh..... haahhh.... saudara cilik.....”
Belum lagi ucapan tersebut selesai diucapksn, Thi Eng khi
kembali telah berkata :
"Belum berapa lama aku pulang ke rumah, cepat benar kabar
berita yang kalian peroleh!”
Untuk kesekian kalinya si kaki tunggal bertongkat baja Li Goan
gwee dibuat tertegun kemudian dia merasa rikuh sekali.
Dari pada pembicaraan si anak muda itu, Ciu Tin tin segera
mendapat tahu kalau Thi Eng khi telah menyamakan si kaki tunggal
bertongkat baja Li Goan gwee sebagai satu komplotan dengan Hek

408
bin bu pa To Thi gou sekalian, buru buru dia menjelaskan : “Empek
Li adalah kakak seperguruan dari ketua Kay pang Cu locianpwe .....!”
"Aku tahu, julukannya adalah To kak thi koay!” tukas Thi Eng khi
dengan cepat. Dia memang amat membenci akan segala macam
kejahatan, terutama sekali terhadap tindak tanduk Cap sah tay poo
ciptaan Huan im sin ang, apalagi sejak Lak bin wangwee melepaskan
serangan yang mematikan, timbul perasaan bencinya terhadap
orang orang itu.
Maka dari itu, ucapan yang kemudian diutarakan pun amat ketus
sekali, sedikitpun tidak bersahabat.
Ciu Tin tin tidak tahu kalau Thi Eng khi sudah mempunyai
pandangan jelek terhadap si Kaki tunggal bertongkat baja Li Goan
gwee, disangkanya pemuda itu memang sengaja hendak
menyusahkan dirinya, tanpa terasa dia mundur selangkah dengan
wajah sedih, sementara air matanya jatuh bercucuran membasahi
pipinya.
Si pengemis berkaki tunggal itupun kontan melototkan sepasang
matanya bulat bulat dengan kemarahan yang berkobar ia
mendengus dingin berulang kali.
Kemudian setelah mendengus, dia menggunakan kesabaran yang
paling besar ia mendongakkan kepalanya dan berpekik nyaring
untuk melampiaskan semua kemarahan yang mencekam perasaan
hatinya sekarang.
Setelah hening beberapa saat kemudian, ia berkata pelan :
"Anak murid kay pang tersebar diseluruh kolong langit gerak
gerik sauhiap tak bisa lolos dari pandangan mata anggota
perkumpulan kami, itulah sebabnya aku si penge¬mis tua dapat
segera menemukan dirimu di tempat ini.....”
“Sekarang kau sudah menemukan aku, ada urusan apakah yang
hendak kau sampaikan?”

409
Si pengemis berkaki tunggal Li Goan gwee benar benar merasa
tidak tahan menghadapi keketusan dan keangkuhan Thi Eng khi
tersebut, dengan wajah gusar dia menjawab :
"Aku si pengemis tua mendapat perintah dari pangcu kami untuk
menyampaikan sesuatu!”
“Akan kudengarkan dengan seksama!” jawab Thi Eng khi dengan
nada suara yang jauh lebih lunak.
"Pangcu kami telah bertemu dengan Tiang pek lojin So
locianpwe, atas pesan dari So locianpwe, dipersilahkan Thi
cianbunjin berangkat kebukit Siong san untuk bersama sama
menyusun rencana guna menolong keselamatan nona Bwe leng!"
Thi Eng khi memang senang sekali akan kepolosan serta
kelincahan So Bwe leng, itulah sebabnya diapun sangat
memperhatikan keselamatan jiwanya, mendengar perkataan itu, dia
menjadi tertegun, kemudian serunya :
"Mengapa dengan adik Leng?"
Sikap yang amat menaruh perhatian ini segera menimbulkan
perasaan sedih dalam hati Ciu Tin tin.
“Lohu hanya menyampaikan kabar saja, keadaan yang
sebenarnya kurang begitu jelas!” ucap Li Goan gwee segera.
Tiba tiba tergerak hati Thi Eng khi, se¬gera pikirnya :
“Jangan jangan hal inipun merupakan siasat busuk yang disusun
oleh Huan im sin ang?"
Setelah mempunyai ingatan semacam itu dia tak ingin banyak
berbicara lagi dengan Li Goan gwe, sambil menjura katanya
kemudian :
"Terima kasih banyak atas pemberitahuanmu itu!"
Bukan saja tiada niatnya untuk mempersilahkan tamunya masuk,
bahkan jelas sekali kalau dia sedang mengusir tetamunya.

410
Si pengemis berkaki tunggal bertongkat baja Li Goan gweed
segera menghentakan kaki tunggalnya keatas tanah, sepasang
matanya melotot besar karena gusar, sambil mendengus dingin
serunya :
"Lohu akan mobon diri lebih dahulu!"
Dengan gaya ikan lehi melentik, tubuhnya segera mencelat
sejauh beberapa kaki, kemudian didalam beberapa kali lompatan
saja bayangan tubuhnya sudah lenyap dari pandangan mata.
Memandang bayangan pungungnya itu, Thi Eng khi menghela
napas panjang, gumamnya :
“Aku sih tak akan termakan oleh siasatmu itu!”
Gumamnya itu amat lirih lagipula tidak jelas ucapannya, Ciu Tin
tin tidak sempat mendengarnya dengan jelas, sehingga tak tahan dia
bertanya pula keheranan :
“Nona So cantik jelita dan cerdik sekali, bila dia sampai terjatuh
ketangan Huan am sin ang hal mana benar benar mencemaskan
sekali hati orang, apa rencana adik Eng selanjutnya?”
Dengan ucapannya itu sesungguhnya dia ingin menyelidiki sejauh
manakah perasaan Thi Eng khi terhadap So Bwee leng.
Sebagai seorang pemuda yang cerdas su¬dah barang tentu Thi
Eng khi dapat menangkap maksud Ciu Tin tin yang sesungguhnya,
mendadak satu ingatan melintas didalam benaknya.
“Lebih baik kuutarakan saja beberapa patah kata yang mesra dan
hangat terhadap Leng, agar diapun bisa memadamkani niatnya
untuk menebus dosa ayahnya...."
Berpikir sampai disitu, dia segera berlagak amat menguatirkan
keselamatan gadis tersebut, sahutnya :
“Pikiran dan perasaan siaute sekarang amat kalut, terpaksa akan
kusampaikan kepada ibuku untuk segera melanjutkan perjalanan."
Ciu Tin tin menundukkan kepalanya rendah rendah, dia segera
membalikkan badannya dan lari masuk keruangan dalam.

411
Dari kejauhan Thi Eng khi masih sempat mendengar suara isak
tangisnya, hal mana justru melegakan hati pemuda ini.
“Sekarang tentunya kau akan mengurungkan niatmu itu!“
demikian dia berpikir.
Kemudian dengan kening berkerut, dia rnenghela napas panjang,
gumamnya lagi :
"Aaaai....enci Tin, seandainya diantara kita tidak terdapat
peristiwa yang memedihkan hati itu, hal mana sungguh baik sekali!“
Jelas terhadap Ciu Tin tin, sesungguhnya diapun menaruh
perasaan cintanya....
Dalam keadaan demikian, Thi Eng khi merasa segan untuk
kembali ke ruangan dalam, ia tak ingin menimbulkan kerikuhan pada
diri Ciu Tin tin, maka ia lantas berjalan jalan disekitar rumah gubuk
itu.
Tanpa terasa, dia telah berjalan sejauh puluhan kaki dari tempat
semula.
Mendadak ia teringat kembali akan sebab musabab dia dan Ciu
Tin tin sampai memburu pulang ke rumah, waktu itu adalah
dikarenakan bertemu dengan Hek bin bu pa To Thi gou, itu berarti
Huan im sin ang telah berhasil mengetahui tempat persembunyian
ibunya dan bermaksud untuk mencelakai ibunya itu.
Padahal dia sudah balik ke rumah sekarang, mengapa tidak ia
laporkan hal ini kepada ibunya agar mereka dapat mempersiapkan
diri untuk menyingkir dari tempat tersebut?
Berpikir sampai disitu, diam diam dia lantas memakai diri sendiri :
"Aku benar benar semberono!”
Ia lantas membalikkan badannya siap berjalan balik.

412
Siapa tahu baru saja dia membalikkan badannya, tampaklah
enam orang kakek berwajah menyeringai menyeramkan telah
menghadang jalan perginya.
Dalam kagetnya dia segera berpaling ke aran depan sana,
tampaklah puluhan manusia lainnya telah mengurung rumah gubuk
itu rapat rapat.
Dalam cemasnya pemuda itu segera meloloskan pedang Thian
liong kim kiam dari sarungnya, kemudian sambil menuding ke aran
ke enam orang kakek tadi serunya :
"Harap kalian menyingkir dari sini!”
Bunga pedang menggulung di udara dan langsung menerjang ke
muka.
Ke enam orang kakek itu tetap berdiri tak berkutik ditempat
semula, salah seorang diantaranya berkata sambil tertawa dingin :
“Anak muda, kau membawa pedang Thian liong kim kiam,
rupanya engkaulah yang bernama Tni Eng khi?”
Sembari berkata, dia menggerakkan sepasang senjata kaitannya
untuk menangkis datangnya ancaman tersebut.
Tujuan Thi Eng khi pada saat ini hanyalah berusaha untuk
menerjang pulang ke rumah gubuk itu, dia sama sekali tidak berniat
untuk terlibat dalam pertarungan melawan mereka.
Oleh sebab itu secara beruntun dia lancarkan tiga buah serangan
berantai yang memaksa kakek bersenjata kaitan itu terdesak mundur
sejauh tiga langkah dari tempat semula.
“Tahan!” mendadak seorang kakek lainnya membentak keras.
Thi Eng khi segera menarik kembali serangannya, kemudian
bertanya dengan suara dingin :
"Kalau ingin berbicara, mari kita berbicara didepan rumah gubuk
sana..........”

413
Kakek itu segera tertawa licik, sahutnya :
“Tak usah kuatir Thi sauhiap, sebelum mendapat tanda perintah
lohu, mereka tak akan bertindak kurang sopan terhadap ibumu.”
Setelah berhenti sebentar, dia berkata lagi :
“Thi Sauhiap, tahukah kau siapa lohu sekalian? Ada urusan apa
datang kemari?”
“Hmmm... paling paling juga kaki tangan Huan im sin ang, aku
merasa tak perlu un¬tuk mengetahui nama nama kalian!"
Kakek bersenjata kaitan itu menjadi gusar sekali, segera
bentaknya keras keras :
“Omong kosong! Siapa yang kesudian menjadi kaki tangannya
Huan im sin ang.”
Ketika dilihatnya orang orang itu menyangkal diri mereka sebagai
komplotannya Huan im sin ang, Thi Eng khi tampak agak tertegun
juga, katanya kemudian :
"Lantas siapakah kalian semua?"
Suaranya juga jauh lebih lunak.
“Lohu sekalian adalah Yan san lak kiat (enam orang gagah dari
bukit Yan san)!” jawab kakek kedua.
Setelah berhenti sejenak, dia memperkenalkan dirinya satu
persatu :
“Lohu adalah Sin kou (kaitan sakti) Tio Yan kim!“
Kemudian yang lainpun menyusul :
“ Lohu adalah Pak cui (Palu maut) Tio Yan Im!"
“Lohu adalah Im to (golok dingin) Tio Yan ci!”
“Lohu adalah Yang cay (tombak panas) Tio Yan sang!”
“Lohu adalah Tong tang (borgol tembaga) Tio Yan leng!”

414
“Lohu adalah Tong huan (gelang temba¬ga) Tio Yan siau!"
Thi Eng khi tidak begitu mengetahui tentang asal usul Yan san
lak kiat tersebut terpaksa katanya :
"Selamat berjumpa!"
Dengan menegur, si kaitan sakti Tio Yan kim segera berkata :
"Sauhiap, pandai benar kau mencari kesenangan sendiri dengan
menyusahkan orang lain! Tahukah kau bahwa para jago dari daratan
Tionggoan dan luar perbatasan sudah siap melangsungkan
pertumpahan darah gara gara hilangnya dirimu?"
Dengan nada menyesal Thi Eng khi menyahut :
“Aku merasa menyesal sekali terhadap terjadinya kesalahan
paham diantara sahabat sahabat persilatan atas terjadinya ini,
sekarang aku memang bermaksud untuk berangkat ke bukit Siong
san untuk memberikan penjelasan agar sahabat dari luar maupun
dalam perbatasan bisa bersatu padu untuk bersama sama
menghadapi musuh kita yang sebenarnya.”
Sin kau Tio Yan kim kembali tertawa dingin :
"Kalau memang sauhiap ada maksud un¬tuk memunahkan
kesalah pahaman itu kenapa kau tidak cepat cepat berangkat ke
bukit Siong san untuk melerainya, sebaliknya bersikeras hendak
menunggu sampai diselenggarakannya pertemuan besar itu?"
Thi Eng khi segera dibikin terbungkam dalam seribu bahasa.
Seharusnya ia memang musti berangkat dulu ke bukit Siong san
untuk menjelaskan duduknya persoalan kemudian baru
menyelesaikan persoalan lainnya.
Sayang pengalaman yang dimiliki anak muda ini masih amat
cetek, dia hanya memikirkan keselamatan ibunya serta ke empat
orang susioknya yang terluka oleh pukulan Jit sat ci, oleb karenanya
hal mana telah mengesampingkan persoalan yang sebenarnya maha
penting itu.
Dengan perasaan tidak tenang dia lantas bertanya :

415
“Apakah Tio tayhiap berharap agar aku berangkat ke bukit Siong
san sekarang juga?"
“Benar! Kami mendapat perintah dari ketua Siau lim dan ketua Bu
tong untuk mengundang kehadiranmu."
"Baik!” kata Thi Eng khi kemudian de¬ngan wajah serius,
“sekarang juga aku akan berangkat bersama kalian!”
Sambil berkata dia lantas melangkah maju kedepan dengan
maksud menembusi ke punggung Yan san lak kiat untuk mengajak
ibunya bersama sama berangkat kebukit Siong san.
Siapa tahu.. meskipun dia sudah maju beberapa langkah, namun
Yan san lak kiat masih tetap berdiri ditempat semula tanpa maksud
untuk menyingkir kesamping.
Thi Eng khi mengira mereka tidak memahami maksudnya, maka
segera ujarnya :
“Harap kalian mau menunggu sebentar, setelah urusan
kuselesaikan, kita segera berangkat."
Menanti Yan san lak kiat belum juga menyingkir kesamping, Thi
Eng khi baru curiga pikirnya :
"Engkoh tua pengemis telah berangkat ke bukit Siong san untuk
menyampaikan pesanku kepada ketua Siau lim pay dan Bu tong pay,
agaknya mereka tidak perlu mengirim orang lagi untuk
menjemputku, sekalipun mereka mengirim orang juga tak akan
bersikap seakan akan menghadapi mnsuh besar saja, apalagi
mengirim orang dalam jumlah begini banyak... yaaa, dibalik
kesemuanya ini pasti ada sesuatu yang tak beres, aku tak boleh
bertindak terlalu gegabah.”
Sementara kedua belah pihak masih saling berhadapan dengan
suasana tegang, mendadak dari balik rumah gubuk itu terdengar
seseorang menjerit keras, menyusul seseorang melompat keluar dari
balik rumah gubuk tersebut.

416
Waktu itu malam sudah menjelang tiba, walaupun Thi Eng khi
dapat melihat ada sesosok bayangan manusia melompat keluar dari
balik rumah gubuk itu namun ia tak sempat melihat jelas siapa
gerangan orang tersebut.
Tercekat perasaan hatinya, dia tahu sesuatu kejadian telah
berlangsung dalam rumah tersebut, sambil mengangkat pedang
Thian liong kim kiamnya dia membentak gusar :
“Hampir saja aku tertipu oleh siasat kalian, enyah kalian semua
dari sini!"
Tubuhnya merendah lalu tubuh berikut pedangnya dengan
menciptakan serentetan cahaya tajam langsung menerjang kearah
Yan san lak kim kiam kiat.
Bagaimana keadaan Thi Eng khi selanjutnya yang gagal
mendekati ruangan gubuk tersebut untuk sementara kita tinggalkan
dulu.
Dalam pada itu, Ciu Tin tin telah balik ke dalam ruangan dengan
hati yang hancur luluh semakin dipikirkan dia merasa semakin sedih,
sehingga akhirnya sambil menggertak gigi sambil menulis surat
perpisahan yang ditinggalkan kedalam kamarnya.
Ia merasa lebih baik cepat cepat menyingkir saja dari situ
daripada dirinya makin la¬ma dirinya makin terperosok kedalam
kesalah pahaman yang makin melebar. Bila sampai mengakibatkan
kerugian bagi kedua belah pihak jelas hal ini tak diinginkan.
Ciu memang seorang gadis yang cerdik dan cukup mengerti
duduknya persoalan, dia lebih suka mengorbankan diri daripada
membiarkan Thi Eng khi bersedih hati karena kejadian itu.
Baru saja tubuh melompat keluar dari pintu gerbang mendadak
dilihatnya ada sekelompok lelaki kekar yang berjumlah empat lima
orang sedang berjalan mendekati rumah gu¬buk tersebut.
Dalam pada itu Thi Eng khi juga baru saja berjumpa dengan Yan
san lak kiat, pemuda itu hanya menyaksikan ada puluhan orang jago

417
persilatan mengurung rumah tadi, ia tak tahu kalau sesungguhnya
ada beberapa orang diantaranya yang telah berhasil menyusul
masuk ke dalam.
Ciu Tin tin segera balik kembali kedalam ruangan, ketika
diawasinya orang orang itu, tampak Hek bin bu pa To Thi gou
terdapat diantaranya.
Dengan kehadiran orang itu maka persoalannya menjadi jelas,
dapat diketahui pula siapa yang menjadi dalang dalam pengepungan
ini serta apa maksud kedatangan mereka.
Dengan suatu gerakan cepat, Ciu Tin tin meloloskan pedangnya
sambil menghadang di depan pintu ruangan, dia kuatir pendatang
itu melukai ibu Thi Eng khi, maka sambil mempersiapkan senjata dia
membentak gusar :
“Ada urusan apa kalian menyerbu masuk kemari?”
Tampaknya Hek bin bu pa To Thi gou adalah pemimpin dari
rombongan tersebut, sambil tertawa terbahak bahak sahutnya :
“Haaahhhh… haaahhh…. Haaahhhh….. dihadapan orang yang
jujur tak perlu berbohong, siapakah kami dan apa tujuan kami
datang kemari masa tidak kau ketahui?”
Setelah berhenti sejenak dan mendengus dingin, lanjutnya :
“Kau bukan anggota keluarga Thi, kami pun tidak bermaksud
mengusikmu, asal kau serahkan ibu dari Thi Eng khi si bocah keparat
itu, kami akan mengampuni selembar jiwamu!”
Air muka Ciu Tin tin segera berubah menjadi dingin seperti es,
sahutnya ketus :
“Selama aku Ciu Tin tin masih bisa bernapas, tak akan kubiarkan
kalian membawa pergi Thi pek bo.”
“Nak, menyingkirlah kau, biar kutanyakan kepada mereka,
sebenarnya apa maksud mereka mendesak diriku terus menerus.”
Rupanya dia menampakkan diri setelah mendengar suara ributribut
diluar rumahnya.

418
Jangan dilihat Hek bin bu pa To Thi gou bertubuh kasar seperti
kerbau, sesungguhnya dia berakal licik sekali, dengan wajah
tersenyum simpul segera katanya :
“Hujin, apakah kau adalah ibu Thi ciangbunjin? Aku Hek bin bu
pa To Thi gou memberi hormat untukmu!”
Selesai berkata dia benar-benar merangkap tangannya sambil
memberi hormat.
Yap Siu ling adalah seorang perempuan yang berpendidikan,
ketika dilihatnya orang lain memberi hormat dengan sopan, tentu
saja diapun enggan memperlihatkan sikap kasarnya, maka sambil
memberi hormat dia¬pun menjawab :
"To tayhiap tak usah sungkan sungkan, silahkan duduk dulu
untuk minum teh!"
“Terima kasih banyak harap Thi hujin tak usah repot repot, aku
datang untuk melaksanakan tugas, sedang majikan kami masih
menantikan kabar beritanya!"
Dengan kening berkerut Yap Siu ling segera menukas :
"To tayhiap bila ada persoalan utarakan saja berterus terang dan
blak blakan!“
Paras muka Hek bin bu pa To Thi gou segera berubah menjadi
merah padam seperti kepiting rebus, dia merasa semua perkataan
yang telah disusun menjadi perkataan dan tak mampu digunakan
lagi, terpaksa diapun berkata apa adanya :
“Majikan kami adalah Lo sancu dari istana Ban seng kiong, oleh
karena amat mengagumi Thi sauhiap maka sengaja mengutus kami
untuk mengundang kehadiran hujin untuk berkunjung keistana Ban
sen kiong.“
Diam diam tercekat juga hati Yap Siu ling setelah mendengar
perkataan itu, dia tahu Huan im sin ang hendak menggunakan
dirinya sebagai sandera agar Thi Eng khi bisa diperalat olehnya.

419
Untuk sesaat lamanya dia menjadi tertegun dan tak tahu
bagaimana harus menjawab pertanyaan tadi.
Hek bin bu pa To Thi gou segera tertawa kering, lalu ujarnya :
"Bagaimanakah maksud hujin? Majikan kami sedang menantikan
jawabannya…….."
Pada waktu itu pikiran dan perasaan Yap Siu ling merasa sangat
kalut, ia tahu bila mana dirinya sampai terjatuh ke tangan Hu¬an im
sin ang, maka jangan harap Thi Eng khi bisa melepaskan diri dari
cengkeraman Huan im sin ang untuk selamanya, itu berarti jangan
harap ia bisa membangun kembali kejayaan partai Thian liong pay.
Walaupun selama tahun tahun belakang ini diapun mulai belajar
silat di bawah petunjuk dari keempat orang suhengnya, namun
bagaimanapun juga karena waktu yang terbatas membuat
keberhasilannya tidak memuaskan, sudah barang tentu diapun
bukan tandingan dari musuh musuhnya itu.
Maka walaupun sudah dipikirkan pulang pergi, dia belum berhasil
juga untuk menemukan suatu cara yang baik.
Akhirnya setelah termenung sekian lama dia bertekad untuk
menghabisi nyawa sendiri seandainya tidak berhasil meloloskan diri
dari cengkeraman musuhnya nanti, asal dia mati maka akan
musnahlah harapan Huan im sin ang untuk menyandera dirinya serta
memperalat Thi Eng khi demi kepentingannya.
Begitulah, tatkala Hek bin bu pak To Thi gou mengulangi kembali
perkataan itu untuk kedua kalinya, dia telah mengambil keputusan
dalam hatinya, maka dengan wajah bersungguh sungguh jawabnya :
"Maksud baik Sancu kalian sungguh mengharukan hatiku, sayang
aku tak lebih hanya seorang perempuan lemah, aku rasa kurang
leluasa bagiku untuk berangkat ke istana Ban sen kiong, lebih baik
To tayhiap sampaikan saja rasa terima kasihku!"
Dengan cepat Hek bin bu pa To Thi gou mengerutkan sepasang
alis matanya yang tebal, betul dia adalah salah satu diantara cap sah
tay poo dibawah pimpinan Huan im sin ang, namun berhubung

420
wataknya memang tidak termasuk keji atau kejam, lagipula dia
merasa mencelakai seorang perempuan lemah hanya akan merusak
nama baiknya saja, maka untuk sesaat dia menjadi ragu dan tak
tahu apa yang mesti dilakukan.
Pada saat itulah, tiba tiba kedengaran seorang lelaki yang berada
dibelakangnya menegur sambil tertawa seram :
“Heeehhh... heeehhh... heehhh....To tay¬hiap, jangan lupa
dengan perintan dari Sancu!”
Hek bin bu pa To Thi gou nampak agak terkesiap, kemudian buru
baru serunya :
“Hujin, bila kau menampik untuk berangkat ke istana Ban seng
kiong, terpaksa aku harus bertindak keras kepadamu!"
Mendadak dia mementangkan telapak tangannya yang besar dan
segera mencengkeram urat nadi pada pergelangan tangan Yap Siu
ling.
Ciu Tin tin yang berada disampingnya segera menggerakkan
pedangnya sambil melangkah ke depan, dengan jurus Sia ci im khi
(awan miring menutupi panji) dia menggulung tubuh Hek bin bu pa.
Dari serangan mencengkeram, buru buru Hek bin bu pa merubah
ancamannya menjadi sebuah pukulan telapak tangan yang langsung
menghajar ke tubuh pedang Ciu Tin tin, sementara tangannya yang
lain dengan jurus Kim si cian wan (serat emas membelenggu
tangan) mencengkeram tubuh Yap Siu ling.
Serangan yang dilancarkan tersebut telah disertakan tenaga
dalam yang amat dahsyat, ternyata pedang Ciu Tin tin kena
ditangkis sehingga tergetar keras dan mencelat setinggi beberapa
depa keudara.
Walaupun tangkisan tangan tanan Hek bin bu pa To Thi gou
berhasil menggetarkan pedang Ciu Tin tin, akan tetapi tangan kirinya
yang mencengkeram tubuh Yap Siu ling telah mengenai sasaran
yang kosong

421
Ternyata walaupun Yap Siu ling belum memiliki pengalaman
dalam menghadapi suatu pertarungan, tenaga dalam yang
dimilikinya juga masih jauh bila dibandingkan dengan kemampuan
Hek bin bu pa, namun ilmu silat aliran Thian liong pay merupakan
suatu kepandaian yang maha sakti, dalam pandangan remeh Hek
bin bu pa yang tidak memandang sebelah matapun terhadapnya,
dengan gampangnya dia berhasil menghindarkan diri dari
cengkeraman musuhnya itu.
Begitu Hek bin bu pa To Thi gou gagal mencengkeram
korbannya, Ciu Tin tin telah mengembangkan permainan ilmu
pedang Liu soat kiam hoat perguruannya.
Cahaya perak segera menyelimuti seluruh angkasa, untuk kedua
kalinya dia melancarkan serangan dahsyat kedepan.
Ciu Tin tin adalah seorang gadis yang berbakat bagus, tenaga
dalam yang dimilikinya sekarang jauh melebihi kemampuan Hek bin
bu pa setelah memperoleh tambahan dari Huan im sin ang, apalagi
setelah mengembangkan permainan ilmu pedang liu soat kiam hoat
yang maha dahsyat itu…. kontan saja Hek bin bu pa kena
dikurungnya rapat rapat sehingga tak mampu lagi untuk mengusik
Yap Siu ling.
Mengetahui kalau kemampuannya masih belum cukup untuk
mengalahkam Ciu Tin tin, dengan cepat Hek bin bu pa To Thi gou
memberi perintah kepada ke tiga orang lelaki lainnya dengan kata
kata sandi untuk membekuk Yap Siu ling.
Berbicara yang sebenarnya ketiga orang lelaki itu merupakan
jago jago yang termashur pula didalam dunia persilatan walaupun
tenaga dalamnya masih jauh dibandingkan dengan Hek bin bu pa To
Thi gou, namun dengan kemampuan mereka bertiga untuk
menangkap Yap Siu ling boleh dibilang gampangnya seperti merogoh
barang didalam saku sendiri.
Itulah sebabnya tak sampai dua tiga gebrakan keadaan Yap Siu
ling sudah kritis sekali. Agaknya Yap Siu ling cukup mengerti kalau

422
dia sudah tiada harapan untuk meloloskan diri lagi,dalam repotnya
menghindari serangan lawan segera serunya kepada Ciu Tin tin.
"Nak, aku serahkan anak Eng kepadamu, semoga kau bisa baik
baik menjaga dirinya selain itu, beritahu kepadanya kalau ibunya
minta dia ingat terus untuk menegakkan keadilan dan kebenaran
sebagai tanda kebaktiannya kepadaku!”
Selesai berkata dia lantas membalikkan telapak tangan kanan
menghantamnya keatas ubun ubun sendiri.
Siapapun tidak menyangka kalau perempuan itu akan mengambil
keputusan pendek untuk bunuh diri.
Tentu saja keadaan tersebut bukan keadaan yang diharapkan
oleh anak buah Huan im sin ang, untuk sesaat ketiga orang lela¬ki
yang mengurungnya menjadi gugup dan berubah muka dalam kaget
dan tercengangnya mereka sampai lupa untuk memberi pertolongan.
Ciu Tin tin serta Hek bin bu pa To Thi gou yang sedang bertarung
juga sama sama menerjang kearah Yap Siu ling dengan harapan
bisa mencegah niatnya untuk bunuh diri.
Tapi sayang, secepat cepatnya gerakan tubuh mereka, tak akan
lebih cepat daripada gerakan tangan Yap Siu ling.
Dalam waktu singkat telapak tangannya itu sudah berada
beberapa inci di atas ubun ubun perempuan itu.
Di saat yang amat kritis inilah mendadak terdengar suara
bentakan nyaring berkumandang memecahkan keheningan, lalu
tampak sekilas cahaya perak menyambar jalan darah Ci ti hiat diatas
tubuh Yap Siu ling, kontan saja semua tenaga yang dimiliki Yap Siu
ling punah tak berbekas, walaupun akhirnya telapak tangan itu
menyentuh juga diatas ubun ubun, namun sama sekali tidak
menimbulkan luka apa apa.

423
Jilid : 13
MENYUSUL kemudian tampak sesosok bayangan putih meluncur
masuk ke dalam ruangan ketika tubuhnya masih berada ditengah
udara, tangannya telah menyambar tubuh Yap Siu ling yang
dibawanya mundur beberapa langkah, kemudian dia baru melayang
turun dihadapannya.
Yap Siu ling hanya merasakan pandangan matanya menjadi silau,
tahu tahu sesosok bayangan punggung telah menghalangi
pandangan matanya.
Dia tak sempat melihaf jelas paras muka penolongnya, akan
tetapi kalau dilihat dari bayangan punggungnya tak sulit untuk
diketahui bahwa penolongnya juga seorang perempuan.
“Siapa gerangan orang ini?“ baru saja ingatan tersebut melintas
dalam benaknya tiba tiba terdengar Ciu Tin tin berteriak dengan
penuh kegembiraan :
“Ibu....!“
Tubuhnya segera meluncur kedepan dan melayang turun
disamping kanan perempuan berbaju putih itu, kemudian berdiri
berjajar disisinya.
Ternyata orang yang baru saja rnenampakkan diri itu tak lain
adalah ibunya Ciu Tin tin, istri Gin ih kiam kek Ciu Cu giok, dua puluh
tahun berselang perempuan ini termashur dalam dunia persilaian
sebagai Cay hong sian ci (Dewi cantik burung hong) Liok Sun hoa.
Mengetahui kalau orang yang datang adalah ibu Ciu Tin tin, Yap
Siu ling segera menghembuskan napas panjang, sebab dari mulut
Ciu Tin tin dia sudah mengetahui akan kemampuan dari perempuan
ini.
Hek bin bu pa To Thi gou yang harus bertarung melawan Ciu Tin
tin tadi meski merasa punya kemampuan untuk meraih kemenangan
namun diapun mengerti bahwa hal ini hanya bisa berlangsung
setelah bertarung sebanyak seratus gebrakan kemudian.

424
Maka dikala mengetahui kalau perempuan yang datang ini adalah
ibunya Ciu Tin tin, apalagi menyaksikan kepandaian silatnya begitu
lihay tanpa terasa kewaspadaannya ditingkatkan, ia segera memberi
tanda agar ketiga orang lelaki itu balik kesisi tubuhnya.
Dengan demikian maka posisinya sekarang menjadi tiga melawan
empat.
Sebenarnya Cay hong sian ci Liok Sun hoa adalah seorang
perempuan setengah umur akan tetapi paras mukanya justru mirip
seorang nona yang baru berusia dua puluh lima enam tahunan,
wajahnya yang cantik diliputi oleh hawa dingin yang kaku.
Saat itu dia sedang melotot gusar ke arah Hek bin bu pa To Thi
gou sambil membentak gusar.
“Mengapa kalian belum juga menggelinding pergi dari sini!“
Hek bin bu pa To Thi gou segera tertawa terbahak babak.
“Haaahh…. Haaahh….. haaahh…. Hanya mengandalkan sepatah
kata saja, apakah kau kira sudah dapat membuat kami kabur
ketakutan?”
Ciu Tin tin segera mendekati telinga ibunya sambil berbisik :
“Ilmu silat yang dimiliki Hek bin bu pa paling lihay diantara
beberapa orang ini asal ibu dapat menaklukkan dirinya, niscaya yang
lainpun akan menuruti perkataan kita.”
Cay hong sian ci Liok Sun hoa manggut manggut, dia lantas
mengayunkan pedangnya menotok jalan darah Hian ki hiat ditubuh
Hek bin bu pa, setelah itu bentaknya :
“Lebih baik kau enyah lebih dulu!"
"Aah, belum tentu!" jawab Hek bin bu pa To Thi gou cepat.

425
Sambil berdiri dengan tangan sebelah diangkat ke atas, hawa
murninya segera dihimpun menjadi satu, kemudian dilancarkannya
sebuah pukulan ke arah mana datangnya ancaman tersebut.
Darimana dia bisa tahu kalau ilmu jari Liok hoa ci yang dimiliki
Cay hong sian ci Liok Sun hoa merupakan salah satu kepandaian
andalannya di masa lalu, tentu saja dengan mengandalkan
kemampuan pukulannya mustahil serangan tersebut bisa ditahan.
Tapi dia bersikeras juga untuk menyambut ancaman tersebut
dengan keras lawan keras, kalau tidak dipecundangi boleh dibilang
mujur sekali nasibnya.
Begitulah, tatkala serangannya telah dilancarkan, telapak
tangannya segera bergetar keras, kekuatan jari tangan Cay hong
sian ci ternyata berhasil menembusi pertahanannya itu.
“Aduuuh celaka!" diam diam ia berpekik.
Buru buru badannya berputar kekanan untuk menghindarkan diri,
walaupun begitu toh bahu kirinya termakan juga oleh serangan
dahsyat dari Cay hong sian ci, Liok Sun hoa tersebut.
Kontan saja sekujur badannya menjadi kaku walaupun tak
sampai terluka parah toh tenaga serangannya punah tak berbekas,
untuk sesaat dia tak mampu untuk menghimpun kembali tenaganya.
Cay hong sian ci Liok Sun hoa sama sekali tidak memberi
kesempatan kepada Hek bin bu pak To Thi gou untuk menghimpun
kembali tenaganya, sepasang ujung bajunya segera dikebaskan
kedepan dengan jurus Cay siu hui im (ujung baju menyapu awan).
Gulungan angin pukulan yang maha dahsyat dengan cepat
mementalkan tubuh Hek bin bu pa sehingga mencelat keluar rumah.
Itulah bayangan yang tampak oleh Thi Eng khi mencelat keluar
dari rumah gubuk tersebut.
Sementara Thi Eng khi dengan menggunakan pedang emasnya
secara beruntun melancarkan serangan dengan jurus Cun han cah

426
tian (udara dingin mengembang kejagad) serta Jin yan sia hui
(burung walet terbang miring) untuk mendesak Yan san lak kiat dan
berusaha menjebolkan suatu titik kelemahan.
Menghadapi ancaman mana, Yan san lak kiat segera tertawa
terkekeh kekeh.
"Heeehhh..... heeehhh...... heeehhh.... Thi sauhiap, kau terlalu
memandang remeh kami enam bersaudara.“
Enam sosok bayangan manusia bagaikan gerakan ular lincah,
dengan cepat mengurung tubuh Thi Eng khi rapat rapat.
Walaupun Thi Eng khi telah mempelajari ilmu silat aliran Thian
liong pay yang maha dahsyat serta tenaga dalam yang sempurna
hasil perpaduan empat macam obat mestika, bagaimanapun juga
pengalamannya masih cetek dan kepandaian itu baru dipelajarinya
belum lama, otomatis kekuatan yang dapat dipancarkan juga amat
terbatas sekali.
Alhasil, dia hanya mampu bertarung seimbang melawan Yan san
lak kiat, sedang untuk menembusi kepungan tersebut sulitnya bukan
kepalang.
Walaupun demikian, hal mana sudah cukup menggusarkan Yan
san lak kiat, sebab dengan nama besar enam jagoan dari bukit Yan
san yang begitu termashur dalam dunia persilatan ternyata tak
mampu membereskan seorang bocah muda yang belum ternama,
bagaimanapun juga kejadian ini benar benar merupakan suatu
kejadian yang amat memalukan.
Perlu diketahui, semenjak terjun ke dalam dunia persilatan,
dengan kekuatan hubungan mereka berenam, belum pernah ada
orang yang sanggup bertahan sebanyak dua puluh gerakan ditangan
mereka. Oleh sebab itu, nama besar Yan san lak kiat makin lama
semakin tenar, selama berkelana didalam dunia persilatan, belum
pernah ada yang berani melawan mereka.

427
Tapi kenyataannya sekarang, mereka tak berhasil merobohkan
Thi Eng khi, seorang pemuda ingusan.
Dalam kejut dan gelisahnya, ke enam orang itu segera
menghimpun tenaga dalamnya hingga mencapai tingkatan yang
semaksimal mungkin, serangan kekuatan merekapun makin berlipat
ganda.
Lama kelamaan, akhirnya Thi Eng khi mulai menunjukkan tanda
tanda tak sanggup untuk menahan diri.
Dipihak lain, walaupun Hek bin bu pa To Thi gou berhasil
dilemparkan keluar dari dalam rumah gubuk tadi, namun mereka
tidak berhasil mengusir tiga orang lainnya malah sebaliknya
mengundang lebih banyak jagoan yang menyerbu kedalam rumah
gubuk itu.
Suatu pertarungan sengit yang amat menggetarkan hatipun
segera berlangsung disitu.
Cay hong sian ci Liok Sun hoa dan Ciu Tin tin yang memiliki
kepandaian silat tinggi, berhubung harus melindungi pula
keselamatan Yap Siu ling maka kemampuan mereka tak mampu
dikembangkan sehebat mungkin, keadaanpun menjadi seimbang dan
sama kuat.
Cay hong sian ci Liok Sun hoa sesungguhnya tidak kenal dengan
Yap Siu ling, juga tidak tahu maksud serta tujuan Ciu Tin tin
terhadap keluarga Thi, kali ini dia turun ke dunia persilatan karena
hendak mencari jejak putrinya yang sudah lama pergi men¬cari
ayahnya tanpa kembali.
Mental perak merupakan ciri khas yang mudah dikenal, itulah
sebabnya sepanjang jalan mengejar kemari, secara kebetulan dia
telah menemukan peristiwa tersebut.
Dia cukup mengetahui akan watak putrinya yang amat
memandang serius suatu masalah yang sedang dihadapinya, maka
tatkala dilihatnya anak gadisnya membelai Yap Siu ling mati matian,

428
dia tak sempat bertanya lagi, dia tahu putrinya pasti mempunyai
alasan yang kuat maka sikapnya menjadi menaruh perhatian pula
terhadap Yap Siu ling.
Walaupun tenaga dalamnya tinggi akan tetapi setelah muncul
beban didepan mata, kekuatannya menjadi tak berkembang,
sekalipun kekalahan bisa dihindari, untuk mengundurkan musuh
bukan suatu yang gampang.
Dalam pada itu, Thi Eng khi tampaknya sudah tidak tahan dan
segera akan menderita kekalahan dan dibekuk, mendadak tampak
Sin kou Tio Yan kim terpeleset kesamping dan sepasang senjata
kaitannya tanpa sebab terjatuh ketanah menyusul kemudian sambil
melompat mundur dia menggoncangkan lengannya kencang
kencang sambil membentak keras.
Menyusul kemudian Im to Tio Yan ci turut melompat mundur pula
sambil berkoak-koak.
Melihat kejadian ini, sisa empat orang dari Yan san lak kiat
tersebut menjadi amat terperanjat, mereka lantas tahu kalau ada
orang yang secara diam diam telah membantu Thi Eng khi.
Sebaliknya Thi Eng khi segera merasakan semangatnya berkobar
kembali, sambil berpekik tiada hentinya dia menyerang semakin
menghebat, dalam waktu singkat ke empat orang jago itu sudah
kena didesaknya sehingga kalang kabut tak karuan.
Sin kou Tio Yan kim yang sudah tak mampu untuk melanjutkan
pertarungan itu segera memeriksa sekejap situasi dalam arena,
begitu menyadari kalau kekalahan lebih besar daripada
kemenangan. Dia lantas berpekik nyaring tiada hentinya, enam
sosok bayangan rranusia dengan kecepatan luar biasa segera
mengundurkan diri dari sana.
Berbareng itu juga, kawanan lelaki yang mengurung disekitar
rumah gubuk itu mengundurkan diri dari arena, dalam waktu singkat
bayangan tubuh mereka sudah lenyap tak berbekas.

429
Menanti Thi Eng khi memburu ke depan pintu rumah, waktu itu
Yap Siu ling beserta Cay hong sian ci Liok Sun hoa serta Tin tin
sedang memburu keluar dari dalam ruangan.
Melihat ibunya sehat sehat saja, Thi Eng khi segera berteriak
keras :
“Oooh....ibu!“
Ibu dan anak berdua segera saling berangkulan.
“Nak, kau tidak apa apa bukan?” tanya Yap Siu ling kemudian
dengan suara lirih.
“Ibu, kau juga tidak terluka?” tanya Thi Eng khi pula dengan
perasaan bergolak.
Mereka berdua hanya menanyakan keadaan masing masing
sehingga untuk sesaat menjadi lupa dengan Ciu Tin tin serta ibunya.
Dalam pada itu, Cay hong sian ci Liok Sun hoa telah
memperhatikan sekejap diri Thi Eng khi, lalu memandang pula ke
arah putrinya yang sedang berdiri terpesona, dengan cepat ia
menjadi sadar kembali apa gerangan yang telah terjadi.
Diam diam ia menjadi gembira sekali, sebab sudah diketahui
olehnya mengapa selama setahun lamanya putri kesayangannya ini
tidak pulang ke rumah.....
Tanpa terasa diawasinya pemuda itu, makin teliti makin dilihat
semakin senang sehingga untuk beberapa saat lamanya ia menjadi
termangu mangu belaka.....
Lewat lama kemudian, Ciu Tin tin baru menghembuskan napas
panjang, sambil menarik ujung baju ibunya dia berkata :
“Ibu, mari kita pergi saja!”
“Mengapa?” tanya Cay hong sian ci Liok Sun hoa agak tertegun.

430
Saking sedihnya dua titik air mata jatuh berlinang membasahi
wajah Ciu Tin tin.
“Ibu!” katanya kemudian, “setelah meninggalkan tempat ini nanti
akan keberitahukan kepadamu!”
Cay hong sian ci Liok Sun hoa ingin menyapa Yap Siu ling, tapi
kembali dicegah oleh Ciu Tin tin :
“Ibu lebih baik kita pergi tanpa memberitahukan kepada mereka
lagi....”
Kemudian ditariknya perempuan itu meninggalkan ruangan dan
lenyap dibalik kegelapan sana. Menanti Thi Eng khi berdua teringat
kalau disampingnya masih ada tamu, bayangan kedua orang itu
sudah lenyap tak berbekas.
Yap Siu ling segera mengomel :
“Nak, coba kau lihat, Ciu pek bo telah menyelamatkan jiwa
ibumu,tapi kita hanya ribut untuk berbicara sendiri dan lupa
menyapa tamu, perbuatan semacam ini benar benar merupakan
suatu perbuatan yang kurang sopan!“
“Mereka ibu dan anakpun sudah lama tak bersua muka, siapa
tahu mereka sengaja menyingkir untuk berbincang bincang sendiri?“
“Nak, cepat cari mereka berdua untuk datang, aku akan
persiapkan hidangan malam sekalian menambah dengan beberapa
macam sayur, sebentar kau harus menghormati enci Tin dengan dua
cawan arak sebagai tanda rasa terima kasihmu atas bantuan ibu dan
anak berdua.“
Kemudian sambil tersenyum dia berjalan masuk keruangan
dalam.
Thi Eng khi segera melakukan pencarian disekeliling tempat itu
ketika tidak menjumpai jejak kedua orang tersebut, terpaksa dia
pulang kerumah dengan tangan hampa.

431
Baru saja dia sampai didepan pintu, tiba tiba dari arah jalan bukit
tampak sesosok bayangan manusia berlari mendekat.
Pada saat itu, Thi Eng khi sedang diliputi oleh rasa gusar dan
mendongkol, sambil rnendengus dingin ia lantas menerjang kearah
bayangan manusia itu sambil membentak:
“Anjing sialan, kau anggap apa aku benar be¬nar mudah
dipermainkan? Lihat serangan!“
Tenaga dalamnya segera dihimpun dan melepaskan sebuah
pukulan kearah orang itu dengan tenaga sebesar delapan bagian,
dari sini dapat diketahui kalau dia benar benar sudah diliputi oleh
hawa amarah sehingga kalau bisa ingin membinasakan orang itu
dalam sekali pukulan.
Tak terlukiskan betapa dahsyatnya serangan Thi Eng khi yang
telah disertakan tenaga sebesar delapan bagian itu, dimana
desingan angin tajam menyambar lewat, orang itu tak kuasa
menahan ancaman tersebut.
Kontan saja seluruh tubuhnya mencelat sejauh beberapa kaki dan
muntah darah segar.
Menyusul serangan itu, Thi Eng khi segera melompat ke hadapan
orang itu, sekarang dia baru melihat jelas paras muka pendatang
tadi, kemarahannya makin memuncak.
“Pengemis berkaki tunggal,“ teriaknja, “seandainya aku tidak
memandang diatas wajah Cu loko, tak akan kubiarkan kau pergi dari
sini dengan selamat, apa maksudmu lagi pada saat ini? Andaikata
kau tidak menjelaskan kepadaku, jangan harap bisa pergi lagi dari
sini dalam keadaan hidup“
Orang yang baru saja munculkan diri itu tak lain adalah To kak
thi koay (kaki tunggal bertongkat baja) Li Goan gwee, kakak
seperguruan dari pengemis sakti bermata harimau Cu Goan po.
Walaupun ilmu silat yang dimilikinya termasuk jago kelas satu
didalam dunia persilatan, akan tetapi dia masih bukan tandingan dari

432
Thi Eng khi, apalagi diserang dengan tenaga sebesar delapan bagian
dan dikala badannya melambung diudara, tak heran kalau luka yang
dideritanya amat parah sehingga tak sanggup untuk menjawab.
Sesungguhnya dia bukanlah salah satu di antara Cap sah tay poo
seperti apa yang dikatakan oleh Huan im sin ang. Ketika Huan im sin
ang menyebut nama dari ketiga belas orang Tay poo ketika berada
diluar perbatasan tempo dulu, ada separuh diantara memang benar
benar merupakan anggota dari tiga belas pangerannya tapi ada pula
diantaranya yang cuma bualannya belaka untuk membesar besarkan
kemampuannya.
Sebab pada waktu itu meski dia berhasrat untuk membentuk Cap
sah tay poo namun jumlahnya belum komplit.
Tentu saja, orang orang yang disebutkan oleh Huan im sin ang
tersebut merupakan orang orang yang diincarnya, cuma kemudian
kenyataan tidak sesuai dengan apa yang diharapkan sehingga
tujuannya tidak tercapai.
Kini, To kak thi koay telah dianggap Thi Eng khi sebagai salah
seorang diantara tiga belas pangerannya Huan im sin ang, boleh
dibilang kejadian ini amat mengeneskan pengemis tua itu.
Setelah memperoleh caci maki dari Thi Eng khi pada pagi harinya
tadi, dengan penuh rasa mendongkol dia mengundurkan diri dari
sana, boleh dibilang kesannya terhadap Thi Eng khi jelek sekali,
kalau bisa dia ingin segera berangkat pulang dan menegur adik
seperguruannya yang punya mata tak berbiji sehingga salah memilih
teman.
Siapa tahu justru dia menyaksikan Huan im sin ang menyusun
rencana untuk menculik Yap Siu ling dan menguasai Thi Eng khi.
Sebagai seorang lelaki sejati yang berjiwa pendekar, dengan
cepat ia melupakan semua sikap kasar Thi Eng khi terhadap dirinya
dan balik kesana dengan harapan bisa membantu Thi Eng khi untuk
menghalau musuh tangguh.

433
Siapa tahu dia telah datang terlambat sehingga tindakannya itu
menambah kesalahan paham Thi Eng khi terhadapnya. Itulah
sebabnya pula, dia sampai terhajar terluka parah.
Pada saat itu, rasa sedihnya tak terlukiskan dengan kata kata,
sebab dia sama sekali tidak tanu kalau Thi Eng khi telah menaruh
kesalahan paham atas dirinya. Dia menganggap Thi Eng khi tak lebih
hanyalah seorang manusia kasar yang tak tahu diri.
Tak heran kalau kesannya terhadap pemuda inipun semakin
jelek.
Masih mendingan kalau hanya memukul saja, ternyata Thi Eng
khi mencaci maki pu¬la dirinya, ini semua membuat hatinya
meledak ledak saking mendongkolnya dalam gusarnya dia
membungkam diri dalam seribu bahasa, dia mau melihat apa yang
hendak dilakukan Thi Eng khi terhadap dirinya.
Tatkala Thi Eng khi menyaksikan To kak thi koay Li Goan gwee
memandangnya dengan wajah menghina, bahkan tak rnengucapkan
sepatah katapun, kontan saja hawa amarahnya semakin memuncak
teriaknya :
“Jika kau masih membungkam terus, jangan salahkan kalau aku
tak akan sungkan sungkan lagi.“
Jari tangannya segera ditegangkan seperti tombak, kemudian
siap disodokan ke bawah.
To kak thi koay Li Goan gwee mendengus dingin, jengeknya :
“Apa yang hendak kau lakukan,lakukan saja kepadaku, anggap
saja aku sipengemis tua telah salah melihat orang!"
Thi Eng khi segera mendengus dingin.
“Hmmm... jangan dianggap aku Thi Eng khi masih berusia muda
maka bisa ditipu seenaknya, kau sendirilah baru orang yang tak
bermata.”

434
Jari tangannya segera disodok kedepan, segulung desingan angin
tajam segera menyebar kearah jalan darah Hian ki hiat di tubuh To
kak thi koay Li Goan gwee agaknya dia memang berniat untuk
memberikan sedikit pelajaran kepada pengemis tua tersebut.
To kak thi koay Li Goan hanya melototi wajah Thi Eng khi,
kemudian tertawa pedih. Tampak serangan tersebut segera akan
menerjang ke tubuh To kak thi koay, pada saat itulah tiba tiba Thi
Eng khi menemukan sikap gagah dan pantang menyerah yang
terpancar dari wajah pengemis tersebut.
Tercekat hatinya setelah menyaksikan hal ini, dia kuatir apa yang
dilakukannya sekarang kelewat batas.
Tapi golok sudah keburu diloloskan, apalagi hatinya terpengaruh
oleh emosi walaupun timbul ingatan tersebut, serangannya sama
sekali tidak dibatalkan.
Siapa tahu pada saat itulah dari samping arena meluncur datang
segulung angin pukulan yang menghantam serangan dari Thi Eng
khi tersebut, kemudian dengan cepatnya membawa tubuh To kak thi
koay menyingkir ke samping.
Thi Eng khi segera membalikkan badan sambil menerjang ke arah
sebatang pohon, bentaknya :
“Siapa disitu?”
Pohon itu berada lebih kurang dua kaki jauhnya dihadapan Thi
Eng khi, baru saja pemuda itu melompat kedepan, dari atas po¬hon
telah melayang turun seorang pendeta berkerudung.
“Thi sauhiap, tenaga dalammu telah memperoleh kemajuan yang
amat besar, sekarang boleh dibilang sudah cukup untuk menjagoi
dunia persilatan, entah masih kenali teman lama tidak?” tegurnya.
Didengar dari ucapan itu, bisa diketahui kalau pendeta tersebut
merasa sangat tidak puas.

435
Buru buru Thi Eng khi mengerahkan ilmu bobot seribu untuk
melayang turun ke tempat semula, lalu serunya agak tertegun :
“Kalau memang kau adalah temanku, kenapa....“
Akan tetapi bicara sampai disitu, satu ingatan segera terlintas
kedalam benaknya, dengan cepat dia mengetahui siapa gerangan
pendeta tersebut. Sebab semenjak dia terjun kedalam dunia
persilatan, hanya dua orang pendeta saja yang bisa dianggap
sebagai rekan lamanya.
Yang seorang adalah Ci kay taysu yang dikenalnya dalam
perkampungan Ki hian san ceng, sedangkan yang lain adalah Huang
oh taysu, ayah Ciu Tin tin.
Kalau Ci kay taysu berperawakan tinggi besar maka mustahil dia
adalah pendeta berkerudung dihadapannya sekarang itu berarti satu
satunya kemungkinan adalah Huang oh siansu.
Terhadap Ciu Tin tin dia memang sudah menaruh rasa menyesal,
maka terhadap Huang oh siansupun tak berani bertindak kurang
hormat, setelah mundur selangkah katanya.
“Ternyata siansu yang telah berkunjung kemari, terimalah hormat
dari boanpwe.“
Seraya berkata dia lantas menjura sementara dalam hatinya diam
diam ia berpikir.
“Setelah menjadi pendeta, masa dia ma¬sih memiliki kesulitan
yang tak bisa diketahui orang? Kalau tidak, kenapa dia mengenakan
kain kerudung untuk menutupi wajahnya?”
Sementara itu Huang oh siansu telah mengulapkan tangannya
sembari berkata :
“Kalau memang Thi sauhiap ingat dengan pinceng, apakah kau
pun bersedia memberi muka kepadaku?”
Thi Eng khi memandang sekejap kearah To kak thi koay Li Goan
gwee, kemudian ujarnya:

436
“Apakah Siansu meminta agar boanpwe melepaskan sampan
masyarakat ini…?”
Mendengar dirinya dimaki sebagai “sampah masyarakat”, kontan
saja To kak thi koay mencak mencak kegusaran, bentaknya :
“Sudah puluhan tahun lamanya lohu berkelana dalam dunia
persilatan, belum pernah satu kalipun kulakukan perbuatan yang
biadab atau melanggar kebenaran, kau masih berusia muda, kenapa
sudah menfitnah orang seenaknya sendiri?”
“Kau adalah salah seorang dari cap sah tay poo nya Huan im sin
ang, perbuatan ini sudah merusak nama baik Kay pang, orang lain
memang tak tahu, tapi aku telah mendengar hal ini dari mulut Huan
im sin ang sendiri, memangnya aku sengaja memfitnahmu?”
To kak thi koay Li Goan gwee semakin gusar lagi setelah
mendengar tuduhan tersebut sampai sekujur tubuhnya gemetar
keras, dengan suara yang tak jelas katanya :
“Kau…. Kau…..”
Dia ingin mengucapkan sesuatu, namun tak tahu apa yang musti
diutarakan keluar. Baru saja Thi Eng khi bermaksud untuk
membongkar rencana busuk seperti apa yang diduganya semula,
Huang oh siansu telah menggoyangkan tangannya berulang kali
sambil mencegah.
“Omintohud! Thi sauhiap, kau sudah ditipu oleh Huan im sin ang,
pinceng berani jamin, Li tayhiap bukanlah salah seorang diantara
Cap sa tay poo!"
Thi Eng khi masih belum mau percaya, gumamnya :
“Soal ini…. Soal ini …. “
“Kalau kulihat dari wajah sauhiap, tampaknya kau sudah percaya
penuh dengan apa yang dikatakan Huan im sin ang, aaai ….. “
Helaan napas panjang itu mencakup sisa perkataan yang belum
terungkapkan.

437
Walaupun ucapan tersebut tidak dilanjutkan, akan tetapi peluh
telah jatuh bercucuran membasahi tubuh Thi Eng khi, ia cukup
memahami kekecewaan Huang oh siansu terhadap dirinya.
Tanpa terasa dia lantas berpikir :
“Huang oh siansu adalah seorang manusia yang jujur dan saleh,
kalau tidak kupercayai perkataannya, apakah harus percaya dengan
perkataan Huan im sin ang? Andaikata Huan im sin ang benar benar
berniat jelek, bukankah aku telah diperalat olehnya tanpa sadar?”
Tiba tiba satu ingatan melintas dalam benaknya, diapun berpikir
lebih jauh :
“Andaikata To kak thi koay benar benar adalah salah satu dari
Cap sah tay poo pimpinan Huan im sin ang, masa Huan im sin ang
bisa bertindak bodoh dengan mengutusnya lagi untuk menipu diriku?
Hanya berdasarkar hal ini saja sudah lebih dari cukup yang
membuktikan kalau aku telah terkecoh olehnya.”
Pada dasarnya pemuda itu memang seorang lelaki sejati yang
berjiwa besar, setelah memahami hal itu, paras mukanya berubah
menjadi serius, cepat dia memburu ke hadapan To kak thi koay
sambil berkata seraya menjura :
“Thi Eng khi telah termakan oleh hasutan manusia laknat yang
mengatakan engkoh tua sebagai salah satu dari tiga belas pangeran,
harap engkoh tua suka memandang diatas wajah Cu lo koko untuk
memaafkan kesilapan siaute ini.”
Agaknya To kak thi koay Li Goan gwee sama sekali tidak
menyangka kalau Thi Eng khi adalah seorang yang berani mengakui
kesalahan sendiri, berani berbuat berani pula bertanggung jawab,
sikap gagah semacam ini makin jarang ditemui dalam dunia
persilatan ini.
Maka sambil tertawa terbahak babak dia menarik tangan Thi Eng
khi seraya berkata :
“Aaaah, mana, mana! Kalau tidak saling bertarung mana bisa
saling berkenalan? Harap saudara cilik jangan memikirkan persoalan
ini didalam hati, kalau harus disalahkan maka harus salahkan aku si
pengemis yang sudah berkelana setengah abad ini masih tidak

438
berhasil menyaksikan keanehan pada sikapmu itu, haaahh....
haahhh.... haaahhh.... aduh!”
Karena tak tahan dengan penderitaan yang dialaminya, dia lantas
berteriak kesakitan, peluh sebesar kacang kedelai jatuh bercucuran
dengan amat derasnya.
Dengan cepat Thi Eng khi membimbingnya bangun, kemudian
dengan nada menyesal dia berkata :
“Engkoh tua, parahkah luka yang kau derita?“
“Aaah, tidak menjadi soal,” sahut To kak thi koay sambil
meluruskan pinggangnya, “aku si pengemis tua masih sanggup
untuk mempertahankan diri.“
Walaupun dimulut dia berkata demikian, sekujur badannya masih
tetap bergetar keras.
Buru buru Thi Eng khi menempelkan telapak tangannya diatas
punggung pengemis tua itu lalu katanya :
“Biar siaute membantu engkoh tua untuk menyembuhkan luka!“
Segulung aliran hawa panas dengan cepat menyusup masuk
kedalam tubuh To kak thi koay, lebih kurang setengah pertanak nasi
kemudian, Thi Eng khi baru menarik kembali tangannya.
Sekali lagi pengemis tua itu tertawa terbahak bahak.
“Haaahh....haaahh...haaahh....sungguh amat sempurna tenaga
dalam yang saudara cilik miliki, berkat bantuanmu aku sipengemis
tua telah memperoleh kesembuhan total!“
Setelah saling merendah dari lawan kedua orang itupun menjadi
sahabat karib.
Ketika Huang oh siansu menyaksikan Thi Eng khi dapat membaiki
kesalahannya, dia menjadi gembira sekali, meski demikian katanya
pula dengan wajah bersungguh sungguh :

439
“Hanya suatu kesalahan yang kecil sekali bisa mengakibatkan
dunia persilatan menjadi kacau balau, aku harap kejadian pada hari
ini dianggap sebagai suatu pelajaran untuk sauhiap, semoga saja
mulai sekarang kau bisa berpikir tiga kali lebih dulu sebelum
bertindak, jangan bertindak lantaran emosi, mencelakai orang sama
dengan mencelakai diri sendiri, perlu kau ketahui memberi selangkah
jalan mundur buat orang lain berarti rnelakukan suatu kebaikan.
Thian menghendaki umatnya hidup rukun daripada orang jahat
dibunuh lebih baik nasehatilah agar bertobat, entah bagaimanakah
pendapat Thi sauhiap dengan ucapan pinceng ini?“
“Boanpwe mengucapkan banyak terima kasih atas nasehat dari
siansu, sepanjang hidup akan kucamkan baik baik nasehat itu,“
jawab anak muda itu dengan wajah bersungguh sungguh.
Huang oh siansu segera manggut manggut.
“Kalau begitu lolap akan mohon diri lebih dulu!“ katanya
kemudian.
Tanpa menggerakkan tubuhnya tahu tahu dia sudah berada lebih
kurang beberapa kaki jauhnya dari tempat semula.
Siapa tahu, pada saat itulah mendadak terdengar seseorang
membentak gusar : “Kau...kau.. berhenti kau!"
Huang oh siansu berjalan lagi sejauh beberapa kaki dengan
langkah lamban, kemudian baru berhenti, agaknya dia berniat untuk
balik kembali.
Sementara itu Yap Siu ling telah melangkah keluar dari dalam
rumah, kemudian dengan sorot mata yang amat tajam mengawasi
Huang oh siansu tanpa berkedip. Tiga orang enam buah mata
bersama sama tertuju ke tubuh Huang oh siansu.....
Mendadak Huang oh siansu menggelengkan kepalanya berulang
kali, kemudian sepasang bahunya bergerak, agaknya dia ada
maksud untuk pergi meninggalkan tempat itu.

440
Buru buru Thi Eng khi maju ke depan, lalu setelah memberi
hormat ka¬tanya :
“Ibuku berharap siansu suka berhenti sejenak!“
Huang oh siansu membungkam diri dalam seribu bahasa
walaupun wajahnya berkerudung hitam sehingga tidak nampak
perubahan mimik wajahnya, namun tak sulit untuk diduga kalau ia
merasa amat tak tenang dengan situasi yang terbentang didepan
matanya sekarang.
“Siancu!“ kembali Thi Eng khi berseru, “ibuku adalah seorang
yang dapat membedakan antara jahat dan benar, harap siansu pun
bersedia untuk menjumpainya.“
Huang oh siancu masih tetap membungkam dalam seribu bahasa,
agaknya dia merasa ragu untuk rnengambil keputusan apakah harus
tetap tinggal atau pergi dari situ.
Terdengar suara Yap Siu ling telah berkumandang lagi dari
belakang diiringi helaan napas panjang :
“Aaai... dari nada suaramu dan potongan badanmu, aku sudah
tahu siapakah dirimu itu, kalau kulihat dari keraguanmu, hal mana
menunjukkan kalau rasa cintamu belum putus, aku kini sudah tidak
memikirkan apa apa lagi.“
Mendadak ia berhenti sejenak, kemudian serunya kepada Thi Eng
khi :
“Eng ji! Minggir, beri jalan untuk sian¬su ........“
“Baik!“ jawab Thi Eng khi dengan perasaan bingung. Kemudian
setelah menyingkir dan memberi hormat katanya :
“Boanpwe menghantar kepergian siansu!”
Huang oh siansu rupanya belum dapat melupakan diri sendiri,
tampak sekujur badannya gemetar keras, mendadak kain
kerudungnya terlepas sehingga tampak raut wajahnya yang tampan.
Sambil memandang ke arah Thi Eng khi ia berkata sembari
tertawa getir :

441
“Nak, mari kita kesana!”
Sebutan ’nak’ tersebut membuat Thi Eng khi tertegun, dia
menjadi tidak habis mengerti dan berdiri tertegun.
Mendadak ia merasa pergelangan tangannya menjadi kencang,
tahu tahu ia sudah diseret oleh Huang oh siansu kembali ketempat
semula.
Dengan kebingungan dia memperhatikan sekeliling tempat itu,
tampak ibunya sedang berdiri dengan air mata berlinang, namun
tidak terdengar suara isak tangisnya yang jelas ditahan dengan
sepenuh tenaga.
Huang oh siansu sendiripun menatap ibunya dengan pandangan
tajam, diatas wajahnya yang saleh itu telah memancarkan cahaya
kemerah merahan..
Pelbagai ingatan segera berkecamuk dalam benak Thi Eng khi,
akhirnya dia menjadi sadar dan segera berseru tertahan :
“Aaaah…..!”
Seruan setelah itu dengan cepat menyadarkan kembali Huang oh
siansu dan Yap Siu ling dari lamunannya. Dengan perasaan terkesiap
Huang oh siansu dan Yap Siu ling sama sama berusaha menahan
gejolak perasaan masing masing.
“Omitohud!“ bisik Huang oh siansu kemudian, “lolap adalah orang
yang telah melupakan diri, harap hujin suka memaklumi.“
Yap Siu ling segera menyeka air matanya dengan ujung baju
kemudian ujarnya sambil menahan isak tangisnya :
“Eng ji, cepat kau jumpai ayahmu yang telah menjadi pendeta.“
Thi Eng khi segera menjatuhkan diri berlutut serunya :
“Ooh... ayah, kau benar benar tega!“

442
Huang oh siansu mengebaskan ujung bajunya sambil
membangunkan Thi Eng khi, tanpa terasa dua titik air mata jatuh
berlinang membasahi pipinya, ia berkata :
“Gin ih lan san (baju perak baju biru) telah mati bersama, Tin tin
sudah kehilangan kasih sayang ayahnya, nak, apakah kaupun masih
boleh mempunyai ayah?“
Thi Eng khi merasakan hatinya terkesiap, serunya kemudian :
“Maafkanlah ananda bila telah salah berbicara!”
Huang oh Siansu segera mengalihkan sorot matanya ke wajah To
kak thi koay, kemudian katanya sambil tersenyum :
“Siauseng tak bisa melupakan diri, harap Li tayhiap jangan
mentertawakan....”
To kak thi koay Li Goan gwee adalah seorang yang sama sekali
berada diluar garis, dia tidak tahu akan perselisihan antara Gin ih
kiam kek Ciu Cu giok dengan Lan san cu tok Thi Tiong giok, dia lebih
lebih tidak memahami arti dari pembicaraan ketiga orang itu, namun
ada satu hal yang dipahaminya, yakni Huang oh siansu yang berada
dihadapannya sekarang adalah sahabat karibnya pula, yakni Lan san
cu tok Thi tiong giok yang amat tersohor itu.
To kak thi koay Li Goan gwee adalah seorang yang berjiwa besar,
setelah tertegun sejenak, ia segera tertawa terbabak bahak.
“Haaahh.... haahhh.... haaahh.... aku si pengemis tua bagaikan
baru sadar dari impian saja, sungguh tak kusangka kalau Thi tayhiap
bisa mencukur rambut menjadi pendeta, apakan dibalik berita yang
tersiar pada dua puluh tahun berselang, masih terdapat banyak
rahasia lain yang tersembunyi?”
Huang oh siansu segera manggut manggut.
“Pinceng merasa menyesal sekali, lebih baik tak usah dibicarakan
lagi....” katanya.
Orang lain tidak berbicara, tentu saja To kak thi koay Li Goan
gwee merasa sungkan bertanya, selain itu sebagai seorang

443
kenamaan, bila harus menanyakan rahasia orang lain, hal itu
merupakan suatu perbuatan yang tidak sopan, sudah barang tentu
To kak thi koay tak ingin melakukan perbuatan seperti itu.
Rupanya dia tahu kalau tempat itu tak bisa didiami lebih lama
lagi, maka sambil menjura katanya kemudian.
“Saat bertemunya ayah dan anak merupakan saat paling bahagia,
aku si pengemis tua tak ingin mengganggu lebih lama lagi, maaf
kalau aku hendak mohon diri lebih dulu!”
Dia segera menjejakkan kakinya ke tanah dan melompat pergi
dari situ.
Huang oh siansu memandang sekejap sekeliling tempat itu,
kemudian katanya tiba-tiba:
“Tin tin sekarang berada dimana?”
Thi Eng khi segera merasakan kepalanya menjadi kaku, ia
tertunduk rendah rendah dan tak mampu menjawab barang sepatah
katapun.
Sebenarnya Yap Siu ling munculkan diri dari dalam ruangan
karena berhasil menemukan surat yang ditinggalkan Ciu Tin tin. Dia
keluar karena hendak menegur Thi Eng khi, sungguh tak disangka
secara kebetulan telah bertemu dengan suaminya dan berhasil
menyingkap wajah Huang oh siansu yang sebenarnya, kejut dan
girang segera berkecamuk bersama rasa sedih yang amat tebal.
la merasa terkejut dan girang karena Thi Tiong giok belum mati,
bahkan telah datang kembali. Tapi diapun amat sedih karena Thi
Tiong giok begitu tega menjadi seorang hwesio, itu berarti dia tetap
akan kehilangan dirinya untuk selamanya. Mengenai hal ini, dia
merasa tak dapat menerimanya dengan begitu saja, itulah sebabnya
dia merasa seperti kehilangan semangat.
Menanti Huang oh siansu menyinggung soal Ciu Tin tin, dia baru
teringat dengan kertas yang masih berada dalam genggamannya itu,
kepada Thi Eng khi segera teriaknya :

444
“Nak, kau telah berbuat suatu kesalahan besar, bagaimana
tanggung jawabmu nanti terhadap enci Tin? Coba kau lihat, inilah
surat yang ditinggalkan enci Tin mu!“
Thi Eng khi merasa menyesal sekali dia segera membuka kertas
surat itu dan membacanya :
“Pek bo yang terhormat,
Titli tak dapat berdiri disini lagi, dari pada mempengaruhi
perasaan adik Eng untuk itu aku minta maaf yang sebesar besamya
untuk ayahku dan diriku sendiri.
Keponakan : Ciu Tin tin.
Belum habis Thi Eng khi membaca tulisan itu, air matanya sudah
jatuh bercucuran.
Setelah orangnya tidak ada, dia baru merasakan bahwa Ciu Tin
tin adalah seorang gadis yang menyenangkan dan patut dihormati,
selain itu rasa cinta yang selama ini tertanam dalam hatinya turut
bergolak pula dengan hebatnya.
Huang oh siansu merasa kurang leluasa untuk menegur Thi Eng
khi, dia hanya menggelengkan kepalanya berulang kali sambil
menghela napas panjang.
“Setelah kepergian Tin tin, pinceng semakin merasa malu
terhadap sobat lamaku di alam baka!”
Dengan cepat Thi Eng khi berseru :
“Sekarang juga ananda akan berangkat untuk menyusul enci Tin,
seandainya ia tak dapat memaafkan ananda, anandapun merasa tak
punya muka lagi untuk berjumpa dengan kalian orang tua berdua.”
“Anak Eng, kau harus ingat," kata Yap Siu ling dengan sedih,
"keluarga Thi serta partai Thian liong tak bisa kekurangan dirimu.“
Huang oh siansu dengan sepasang mata yang memancarkar sinar
tajam menatap pula wajah Thi Eng khi tanpa berkedip katanya
dengan wajah serius :

445
"Tugas berat untuk membangun kembali Thian liong pay berada
ditanganmu, aku harap kau jangan melupakan tugasmu. Selain itu,
bulan delapan tanggal limabelas nanti, pertemuan dibukit Siong san
akan diselenggarakan, persoalan ini timbul gara gara kau, itulah
sebabnya kau berkewajiban untuk melerai pertikaian itu, aku ha¬rap
kau suka berpikir tiga kali lebih dulu sebelum bertindak………!''
Untuk sesaat lamanya Thi Eng khi menjadi amat terharu sehingga
menundukkan kepalanya dengan wajah malu dan mulut terbungkam
dalam seribu bahasa....
Setelah menasehati Thi Eng khi, nada suara Huang oh siansu pun
menjadi lebih lunak katanya lembut :
“Besok, kau harus segera melanjutkan perjalanan menuju ke
bukit Siong san… selesaikan kesalahan paham itu sebaik-baiknya!"
Thi Eng khi teringat kembali dengan ibunya, bila dia harus pergi,
bukankan ibunya akan sendirian? dengan perasaan kuatir, katanya
dengan nada sedih :
"Ananda merasa amat kuatir membiarkan ibu berada disini
seorang diri!"
Besok pagi keempat orang susiokmu akan sampai disini dan
bersama ibumu akan kembali ke Huay im untuk mengumpulkan
semua anggota Thian liong pay dan membangun kejayaan partai,
tak usah kuatir, pergilah dengan hati tenang!"
Tiba tiba Thi Eng khi teringat kembali dengan luka Jit sat ci dari
keempat susioknya yang telah disembuhkan orang, timbal
kecurigaan dalam hatinya, dia lantas bertanya :
“Apakah kau orang tua yang telah menyembuhkan luka yang
diderita keempat orang susiok?”
Huang oh siancu menghela napas panjang .
“Aaai... aku sudah menjadi seorang pendeta, namun pikiranku
masih tertinggal dirumah, aku benar benar telah menyia-nyiakan
ajaran Buddha.....”

446
Tak bisa disangkal lagi, memang semuanya itu merupakan hasil
perbuatannya...
Thi Eng khi sendiripun cukup menyadari ayahnya masuk menjadi
pendeta karena dia merasa menyesal terhadap kematian Gin ih kiam
kek. Tapi setelah menjadi pendeta, diapun merasa sedih
karenaThian liong pay menjadi kehilangan pamornya lantaran
kehilangan dia.
Membayangkan semua pengalaman pedih yang dialaminya, tanpa
terasa Thi Eng khi ikut merasa bersedih hati.
Waktu itu rembulan telah berada diawang awang, tiga sosok
bayangan manusia berdiri ditempat masing masing tanpa
mengucapkan sepatah katapun.
Akhirnya Huang oh siansu merangkap tangannya didepan dada
sambil berkata :
“Harap hujin baik baik menjaga diri, sianceng ingin mohon diri
lebih dahulu!"
Yap Siu ling menjadi sedih sekali, bisiknya :
"Kau... kau... kau... kau akan ..“
Mendadak ia merasa amat terperanjat sebab berada dihadapan
suaminya yang telah menjadi pendeta memang tidak sepantasnya
mengucapkan kata semacam itu lagi, teringat sikapnya tersebut, ia
tertunduk dengan wajah memerah karena jengah, tak sepatah
katapun sanggup diutarakan lagi.
“Ayah, kau tak boleh pergi!“ pekik Thi Eng khi sedih.
Sekuat tenaga Huang oh siansu berusaha untuk mengendalikan
perasaannya, lalu dengan dingin dia berkata :
"Anak dungu, ayahmu sudah menjadi seorang pendeta, kalian tak
usah banyak berbicara lagi!"

447
Seusai berkata dia lantas melompat pergi sejauh puluhan kaki
lebih dan lenyap dibalik kegelapan sana.
Yap Siu ling dan Thi Eng khi berdua musti amat sedih atas
kepergian pendeta itu, namun mereka cukup mengetahui akan batas
batas yang ada, maka terhadap kepergian Huang oh siansu sama
sekali tidak menghalanginya....
Keesokan harinya, betul juga, keempat susioknya telah muncul
kembali disana. Perjumpaan ini sangat mengharukan semua orang.
Tengah hari sudah tiba namun Thi Eng khi belum juga ada niat
untuk melanjutkan perjalanan, akhirnya Yap Siu ling yang
mendesaknya berulang kali sehingga akhirnya harus memohon diri
kepada ibu dan keempat orang susioknya untuk berangkat ke bukit
Siong san.
Tujuannya kali ini adalah bukit Siong san, itu berarti dia harus
melewati kembali Kang im, teringat kembali pemandangan sewaktu
dia dan Ciu Tin tin berjalan bersama ditepi sungai kemarin, kembali
hatinya merasa sedih.
Waktu itu mereka berdua saling menyebut saudara dan akrab
sekali hubungannya sungguh tak disangka hanya selisih satu hari
saja, gadis cantik itu entah sudah kemana, karena sedih tanpa
terasa langkahnya sudah semakin lambat.
Ditengah jalan raya tak jauh dari situlah To kak thi koay Li Goan
gwee menyaksikan Thi Eng khi sedang berjalan mendekati
kearahnya.
Waktu itu Thi Eng khi mempunyai urusan, ketajaman mata dan
pendengarannya boleh dibilang tidak berfungsi, sekalipun Tok kak
thi koay Li Goan gwee berdiri dite¬ngah jalan ternyata pemuda itu
sama sekali tidak memperhatikannya.
Menanti Thi Eng khi sudah berada dihadapannya, pengemis tua
berkaki tunggal itu baru tertawa terbahak bahak sambil menegur :

448
''Saudara cilik, karena urusan apa kau seperti kehilangan
semangat?“
Teguran ini membuat Thi Eng khi amat terperanjat dan mundur
tiga kaki kebelakang, menanti dia mendapat tahu kalau orang itu
adalah To kak thi koay Li Goan gwee, sambil tertawa jengah
sahutnya :
“Oooh.... tidak apa, tidak apa apa "
"Haaahhh.... haaahhh.... haaahhh.... aku lihat tentunya
disebabkan kepergian nona Ciu bukan?“ tegur To kak thi koay Li
Go¬an gwee sambil tertawa tergelak.
Thi Eng khi menjadi agak tertegun.
“Darimana kau bisa tahu kalau enci Ciu telah pergi?" dia balik
bertanya dengan keheranan.
“Kemarin sewaktu aku balik kemari, anak murid Kay pang telah
datang melapor dan mengatakan telah melihat nona Ciu serta
seorang perempuan cantik setengah umur sedang berlarian
menelusuri sungai, menurut laporan anggota kami itu nona Ciu
seperti nampak agak sedih, sepanjang jalan dia hanya menghela
napas panjang pendek dan amat tidak senang hati, untung saja
perempuan cantik setengah umur itu menghiburnya terus menerus
sehingga dia tak sampai menangis.”
Thi Eng khi semakin sedih setelah mendengar perkataan itu,
katanya tersipu sipu :
“Tak usah dikatakan lagi, kesemaunya itu adalah gara gara siaute
yang telah membuatnya bersedih hati.”
“Kalau begitu kau datang kemari untuk mengejarnya?”
"Tidak,” Thi Eng khi menggeleng, "siaute mendapat perintah
untuk berangkat kebukit Siong san terpaksa masalah tentang nona
Ciu harus disingkirkan lebih dulu.”

449
Setelah berhenti sebentar, mendadak dia seperti teringat akan
sesuatu, dengan cepat ujarnya :
"Siaute mempunyai suatu permintaan yang tidak pantas, entah
engkoh tua bersedia untuk mengabulkannya atau tidak?"
Berkilat sepasang mata To kak thi koay Li Goan gwee setelah
mendengar perkataan itu.
"Bila ada kesempatan buat aku si pengemis tua menyumbang
tenaga, dengan senang hati engkoh tua akan melaksanakannya," Ia
menyahut cepat.
Jawaban ini hangat dan simpatik sekali. Tanpa terasa Thi Eng khi
jadi teringat kembali dengan sikap kasarnya semalan, bukan cuma
mencemooh saja bahkan menghajarnya pula sampai terluka padahal
orang itu amat ramah sekali sikapnya, rasa malu dan menyesal
menyelimuti pula benaknya.
Setelah menghela napas, katanya :
“Engkoh tua amat gagah dan ringan tangan, siaute benar benar
merasa menyesal sekali.”
“Saudara cilik, lebih baik tak usah membawa pokok persoalan ke
masalah yang lain,” teriak To kak thi koay Li Goan gwee cepat
cepat,"begitu kau membawa pembicaraan
ke soal lain, aku jadi tak jelas mendengarnya. Ada urusan apa
sih? Cepat katakan saja berterus terang!"
Terpaksa sambil tebalkan muka Thi Eng khi berkata :
"Sudah lama aku dengar orang berkata, konon anak buah Kay
pang tersebar sampai di seluruh penjuru langit, ketajaman mata dan
pendengarannya mengagumkan dan tiada tara didunia, karena itu
siaute mohon bantuan engkoh tua untuk memberitahukan kepada
semua anggota untuk setiap saat mengawasi gerak gerik nona Ciu,
kemudian menyampaikannya kepada siaute, atas bantuan ini siaute
akan merasa amat berterima kasih sekali."
“Aaaah.... itu mah soal kecil, serahkan saja kepada engkoh
tuamu," kata To kak thi koay Li goan gwee sambil menepuk dada.

450
Sambil tertawa Thi Eng khi segera menyampaikan rasa terima
kasihnya yang tak terkirakan.
Kembali To kak thi koay Li Goan gwee berkata :
"Saudara cilik hendak pergi ke bukit Siong san, apakah kau tahu
memotong jalan?"
Sambil tertawa getir Thi Eng khi menggeleng.
"Siaute merasa asing sekali dengan daerah disekitar tempat ini,
terpaksa sebagian jalan dilewati aku harus bertanya bagian jalan
yang lain kepada orang."
“Kebetulan sekali aku si pengemis tua juga hendak berangkat ke
bukit Siong san untuk
memberi laporan, bagaimana andaikata saudara cilik melakukan
perjalanan bersama aku si pengemis tua?"
Thi Eng khi menjadi girang setengah mati, sahutnya cepat cepat :
“Itulah yang siaute harapkan, terima kasih banyak atas kebaikan
engkoh tua....."
To kak thi koay Li Goan gwee segera menggape seorang
pengemis cilik dan menyampaikan pesan beberapa patah kata,
kemudian bersama Thi Eng khi menembus kota Kang im dan
langsung berangkat menuju ke bukit Siong san.
Dengan adanya si pengemis tua itu sebagai penunjuk jalan,
perjalanan yang ditempuh kedua orang itu menjadi lebih cepat lagi,
sepanjang jalan mereka jarang sekali berhenti sehingga tak selang
beberapa waktu kemudian mereka sudah memasuki wilayah Hoolam.
Suatu hari sampailah mereka disebuah kota yang tidak terlalu
kecil juga tidak terlalu besar, kota itu bernama Ciu keh ko.
Sebagaimana dihari hari sebelumnya, pengemis tua itu tak
pernah tinggal bersama Thi Eng khi, dia disambut oleh para anggota

451
partainya. Sedangkan Thi Eng khi segera mencari rumah penginapan
untuk beristirahat.
Rumah penginapan itu bisa ditinggali enam orang tamu, tapi hari
ini rupanya agak sepi, sebab dalam rumah penginapan itu, kecuali
Thi Eng khi, hanya ada seorang ka¬kek peramal yang sudah buta
matanya.
Ketika Thi Eng khi masuk kedalam rumah penginapan, kakek buta
itu segera tertawa kepadanya sehingga tampaklah sepasang giginya
yang putih dan bersih. Thi Eng khi tidak memperhatikan gigi dari
kakek buta itu namun dia merasa heran dengan senyuman terhadap
dirinya itu, sebab dia adalah seorang yang buta, kenapa bisa melihat
orang? Kalau tidak melihat, kenapa tertawa?
Sementara dia masih termenung, kakek buta itu telah berkata
lebih dahulu.
"Kek koan, kau hendak meramalkan nasib?"
Kembali Thi Eng khi berpikir :
"Kakek buta ini pasti sudah mendengar suara langkah kakiku,
maka dianggapnya aku datang untuk melihat nasib..."
Setelah berpikir demikian, otomatis rasa curiganya menjadi lebih
tawar banyak sekali.
Maka sahutnya pula dengan cepat :
"Aku datang untuk mencari kamar!"
"Kalau ingin mencari kamar, hal ini lebih baik lagi, kita memang
sama sama menginap ditempat ini, toh tak ada urusan la¬in?
Bagaimana kalau aku si buta mempersembahkan sebuah ramalan
tanpa membayar?"
Ketika Thi Eng khi menyaksikan waktu masih pagi, diapun lantas
duduk disamping mejanya seraya berkata :
"Kalau begitu merepotkan losianseng!”

452
Menyusul kemudian dia menyebutkan tanggal, bulan, hari dan
jam kelahirannya. Kakek buta itu menghitungnya beberapa waktu,
kemudian dengan wajah membesi katanya agak tergagap :
"Soal ini... soal ini..."
“Nasibku memang tidak baik, sudahlah, tak perlu diramalkan
lagi!" kata Thi Eng khi sambil tertawa nyaring.
Seraya berkata dia lantas bangkit berdiri dan siap berlalu dari
tempat itu. Dengan cepat kakek buta itu merentangkan bambu
hitamnya sambil berseru dengan gelisah :
“Harap tunggu sebentar kek koan, walaupun nasib tuan sukar
diduga, namun dari gelak tertawa tadi bisa diketahui kalau kau
memiliki gejala hoki dan terhormat, entah bolehkah kek koan
mengijinkan aku si buta untuk meraba tulangmu?"
Thi Eng khi benar benar dibuat serba rikuh untuk menampik,
terpaksa dia mengabulkan permintaan orang.
Akan tetapi ketika telapak tangan si buta itu menempel diatas
badannya, mendadak timbul kewaspadaan didalam hatinya, diam
diam hawa murni sian thian bu khek ji gi sin kang miliknya
dikerahkan untuk melindungi semua jalan darah penting disekujur
tubuhnya.
Kakek buta itu meraba tubuh Thi Eng khi beberapa saat lamanya,
ketika Thi Eng khi menyaksikan gerakan mana seakan akan tidak
mendekati jalan darah didalam tubuhnya dia menjadi keheranan
bercampur geli, pikirnya cepat :
"Aku benar benar melakukan tindakan yang bodoh, kenapa
badanku musti dibiarkan dia raba? Aku...."
Belum habis ingatan tersebut melintas dalam benaknya,
mendadak dia merasakan telapak tangan kakek buta itu menekan
keatas tubuhnya, menyusul kemudian terasa ada sebuah benda
yang menembusi jalan darah Hong wi hiat dipunggungnya.
Thi Eng khi memiliki tenaga dalam yang sempurna, ditambah lagi
dengan perlindungan hawa sian thian bu khek ji gi sin kang pada

453
waktu itu dia hanya tersenyum belaka ingin diketahui olehnya
apakah sibuta itu benar benar berniat melukai orang. Selain daripada
itu, hawa murninya segera dihimpun bersiap sedia melakukan
gerakan untuk merobohkan lawan.
Benda yang berada dalam telapak tangan kakek buta itu mulai
menyentuh kulit badan Thi Eng khi akan tetapi tidak ditusukkan
kedalam atau menusuknya kuat kuat. Secara beruntun dia hanya
menusuknya sebanyak tiga kali saja.
Thi Eng khi tidak habis mengerti permainan setan apakah yang
sedang dilakukan kakek buta itu terhadap dirinya, sebelum dia
hendak buka suara, kakek buta itu sudah berseru sambil tertawa.
“Kek koan memiliki tulang yang bagus dan tiada duanya didunia
ini, kali ini aku si buta benar benar dibuat kebingungan.”
Belum habis perkataan itu diutarakan, Thi Eng khi segera
merasakan telapak tangan kakek buta itu kembali menekan jalan
darahnya. Tahu tahu benda tersebut sudah menembusi pelindungan
hawa khikang Sian thian bu khek ji gi sin kang disekeliling tubuhnya,
kemudian menusuk masuk ke dalam dan menyusup ke dalam organ
tubuhnya.
Sekarang Thi Eng khi baru menyadari akan datangnya ancaman
bahaya maut, dengan wajah berubah hebat dia segera berpekik
keras didalam hati kecilnya :
"Aduh... celaka!"
Tanpa membuang waktu lagi dia membalikkan tubuhnya sambil
melancarkan sebuah pukulan kencang ke arah tubuh si kakek buta
tersebut. Siapa tahu, tatkala telapak tangannya menghajar diatas
tubuh kakek buta itu, hanya kedengaran suara benturan yang amat
nyaring belaka.
"Plaaaak...!” diiringi suara yang nyaring telapak tangan itu
menghantam tubuh si kakek buta, namun sama sekali tidak
menimbulkan luka atau akibat apapun. Ternyata hawa murni yang
berhasil dihimpunnya tadi kini sudah lenyap tak berbekas, seolah

454
olah sebuah bola yang tahu tahu ditusuk dengan sebuah jarum,
kontan bola itu menjadi kempes.
Sementara si anak muda itu merasa terperanjat, si buta itu sudah
memutar balikkan biji matanya sehingga kelihatan kembali bola
matanya yang hitam, sambil menatap pemuda itu dengan
pandangan tajam, dia tertawa terkekeh dengan seramnya.
"Heeehhh.... heeehhh.... heeehhh... Tong thian si kut ciam
(jarum tajam penebus tulang) merupakan senjata yang khusus
untuk menghancurkan hawa murni orang, bocah keparat, kau tertipu
kali ini!"
Cay hong sian ci Liok Sun hoa ditarik putri kesayangannya
berangkat meninggalkan Yap Siu ling dan Thi Eng khi, ketika
dilihatnya perjalanan dilakukan semakin lama semakin cepat dan
sama sekali tiada maksud untuk berhenti, rasa heran dan tercengang
segera menyelimuti wajahnya.
Kepada putrinya yang amat murung itu dia menegur :
“Nak, kau ada persoalan apa? Sekarang boleh kau sampaikan
kepadaku?“
Ketika itu pikiran maupun perasaan Ciu Tin tin sedang kalut
sekali, pengalamannya selama setahun berkecamuk didalam
benaknya, dia tak tahu harus berkisah dari mana lebih dahulu.
Akhirnya dia merasakan hatinya menjadi kecut dan titik air mata
bagaikan layang layang putus berderai membasahi pipinya, dia
berhenti ditepi jaian dan tidak melanjutkan perjalanannya lagi.
Dengan cepat Cay hong sian ci Liok Sun hoa memeluk putrinya
dengan penuh kasih sayang, kemudian tegurnya dengan gelisah :
“Nak, kejadian apakah yang telah kau alami? Cepat katakan
kepadaku, tak usah disembunyikan didalam hati lagi, apabila
disimpan terus badanmu bisa sakit dan aku akan semakin sedih!"

455
Perasaan Ciu Tin tin pada saat ini ibaratnya kuda yang terlepas
dari talinya, dia tak sanggup mengendalikan diri lagi, sambil
menubruk kedalam pelukan ibunya dia berseru:
"Oooh... ibu!"
Hanya sepatah kata saja yaag dapat dia ucapkan. Sambil
membelai rambut putrinya yang halus dengan penuh kasih sayang,
Cay hong sian ci Liok Sun hoa membiarkan ia menangis sepuasnya
kemudian sambil mengangkat wajahnya dia berkata sambil
menghela napas panjang :
“Nak, apakah kau sedang bercekcok de¬ngan bocah dari
keluarga Thi itu.....?"
Bagaimanapun juga perasaan seorang ibu memang jauh lebih
tajam, ternyata Cay hong san ci Liok Sun hoa berhasil menebaknya
dengan jitu.
Ciu Tin tin segera mengangguk, lalu menggeleng lagi, dengan
suara yang begitu lirih sehingga hanya ibunya saja yang mendengar,
dia berbisik kembali :
"Tidak! Dia sama sekali tidak senang kepadaku....uuuh....uuuh...
." kembali dia menangis tersedu-sedu.
Mendengar perkataan itu, Cay hong sian ci Liok Sun hoa
mengerutkan dahinya rapat-rapat, kemudian serunya dengan gusar :
“Kurangajar, dengan wajah anakku yang begini cantik, sekalipun
belum bisa dikatakan tiada keduanya didunia ini, belum tentu bisa
dijumpai berapa orang lagi, bocah muda itu benar benar punya mata
tak berbiji, tidak bisa dibiarkan terus, ibu harus bertanya kepadanya,
sebenarnya dia mempunyai maksud dan tujuan apa?“
Walaupun berkata demikian, padahal dia sama sekali tidak
berniat untuk benar benar pergi menegur Thi Eng khi, apa yang
diucapkan tak lebih hanya ingin mengurangi rasa kesal yang sedang
mencekam perasaan putrinya belaka.
Menyusul kemudian, Cay hong sian ci Liok Sun hoa menghela
napas panjang dan berkata lagi :

456
“Berbicara tentang bocah dari keluarga Thi itu baik soal wajah
maupun soal ilmu silat semuanya memang bagus sekali bila kau bisa
memperoleh seorang lelaki macam dia sebagai suami, tentu bahagia
hidupmu, dengan begitu ibupun bisa mempertanggung jawabkan diri
kepada ayahmu yang tak berperasaan itu! Cepat katakan kepadaku,
persoalan apakah yang sedang melibatkan kalian berdua, agar ibu
pun bisa turut memikirkan dan berusaha untuk memecahkannya!“
Ciu Tin tin segera menyeka air mati yang membasahi pipinya, lalu
berkata agak lersipu:
“Dia orangnya baik sekali, cuma sedikit agak tidak mengerti soal
kasih sayang.“
Cay hong sian ci Liok Sun hoa segera menghembuskan napas
panjang, katanya sambil tertawa ringan:
"Nak, kau benar benar mengejutkan ibu kalau hanya persoalan
sekecil ini, masa dengan kecerdasan otakmu juga tak dapat
mengatasinya. Nak, bukankah ibu seringkali memberitahukan
kepadamu dalam menghadapi persoalan apapun harus dikerjakan
baik baik, harus punya kesabaran, jangan gampang putus asa, sekali
gagal coba kedua kalinya, gagal lagi coba untuk ketiga kalinya,
dengan begitu lama kelamaan apa yang kau harapkan sudah pasti
akan tercapai...."
Dengan sedih Ciu Tin tin berkata :
“Sesungguhnya antara keluarga Ciu dan keluarga Thi mereka
terdapat suatu persoalan yang sukar untuk dihilangkan dengan
begitu saja. Itulah sebabnya ananda tak tahu apa yang harus
dilakukan!“
Cay hong sian ci Liok Sun hoa sama sekali tidak tahu kalau Ciu
Tin tin telah menganggap Lan in cu tok Thi Tiong giok sebagai
ayahnya, dia mengira anak gadisnya berkenalan dengan Thi Eng khi
sewaktu mencari ayahnya dan mereka saling jatuh cinta.
Itulah sebabnya dia menjadi agak bingung mendengar perkataan
itu, ujarnya :
"Bukankah ayah si bocah dari keluarga Thi adalah Thi Tiong
giok?“

457
Ciu Tin tin mengangguk.
“Yaa benar, memang dia orang tua!"
Kembali Cay hong sian ci Liok Sun hoa tertawa,
"Apa jeleknya? Dahulu ayahmu dan Thi Tiong giok adalah
sahabat yang paling akrab, asal ibu mau menampilkan diri,
persoalan apapun pasti akan beres dengan sendirinya!”
Sampai sekarang, Ciu Tin tin baru ingat kalau dia belum
menceritakan kisahnya di mana berhasil menemukan jejak ayahnya
kepada ibunya, teringat soal ayah, semua kemurungan segera hilang
lenyap tak berbekas, sebagai gantinya sekulum senyuman menghiasi
wajah gadis itu.
“Ibu, ananda akan menyampaikan sebuah kabar gembira
kepadamu!" serunya kemudian
Cai hong sian ci Liok Sun hoa mengira Ciu Tin tin melantur dan
mengalami perubahan sikap sehingga bicaranya semakin tak karuan.
Dengan kening berkenyit serunya :
"Nak, sampai dimana pembicaraanmu itu kau bawa?”
Ciu Tin tin ada maksud untuk membuat ibunya terkejut, dengan
cepat dia berseru :
"Aku berhasil menemukan ayah!“
Betul juga, ucapan tersebut segera membuat Cay hong sian ci
Liok Sun hoa menjadi girang setengah mati, dia segera
mencengkeram bahu Ciu Tin tin sambil menegaskan.
"Nak, apa kau bilang?“
"Ananda telah berhasil menemukan ayah!" ulang Ciu Tin tin lagi
dengan wajah berseri.

458
Agaknya Cay hong sian ci Liok Sun hoa tidak kuat menghadapi
berita gembira ini.. seketika itu juga dia merasakan kepalanya
menjadi pening, badannya menjadi lemas dan gontai tiada hentinya.
“Aaaah..aaahh... ternyata dia masih hidup, ternyata dia masih
hidup..." gumamnya tak henti.
“Ananda memang pantas ditegur, seharusnya berita gembira ini
musti disampaikan cepat cepat kepadamu, tidak membuat ibu
menjadi susah dan harus keluar rumah mencari diriku,“ kata Ciu Tin
tin lagi sambil memayang tubuh ibunya.
Cay hong sian ci Liok Sun hoa menggelengkan kepalanya
berulang kali, dengan pikiran yang jauh lebih jernih dia berkata :
“Benarkah itu nak? Persoalan besar seperti ini kenapa tidak kau
sampaikan dulu kepada ibu?"
Mendadak kemurungan menyelimuti kembali wajah Ciu Tin tin,
katanya lebih jauh :
“Oleh karena persoalan dari ayah mempunyai sangkut paut
dengan keluarga Thi, sedangkan keluarga Thi sedang menghadapi
suatu musibah besar, maka ananda harus menuruti keinginan ayah
untuk secara diam diam melindungi keselamatan keluarga Thi, itulah
sebabnya pula akupun tak punya waktu untuk pulang ke rumah dan
menyampaikan kabar berita ini kepada kau orang tua.“
“Apakah sudah kau tanyakan kepada ayahmu, kenapa selama
dua puluh tahun lamanya dia tak pernah pulang rumah?“ tanya Cay
hong sian ci Liok Sun hoa lagi...
Ciu Tin tin menerangkan lebih dahulu soal pertarungan antara Thi
Tiong giok de¬ngan ayahnya, kemudian dia baru menambahkan :
"Oleh karena ayah merasa menyesal sekali atas terjadinya
peristiwa ini, rnaka beliaupun memutuskan untuk menjadi seorang
hwesio. Ketika ananda berjumpa dengannya waktu itu, dia masih
belum dapat melupakan peristiwa itu.”
Cay hong sian ci Liok Sun hoa termenung dengan sedih,
kemudian katanya pelan :

459
“Apa yang dilakukan ayahmu memang benar, ibu tak dapat
menyalahkan dirinya.”
Benar benar tak disangka kalau Cay hong sian ci Liok Sun hoapun
merupakan seorang perempuan yang berpandangan luas dan
berlapang dada. Menyusul kemudian, dia bertanya lagi :
"Apakah keluarga Thi sudah mengetahui akan persoalan ini?"
Ciu Tin tin mengangguk :
"Ya, mereka sudah mengetahui akan hal ini dan mereka bersedia
untuk memaafkan ayah!”
Cay hong sian ci Liok Sun hoa memuji :
“Ibu dan anak dari keluarga Thi itu memang seorang yang
mengagumkan, kalau memang begitu apakah yang menjadi pangkal
persoalanmu sekarang?”
Jilid : 14
PARAS muka Ciu Tin tin kembali berubah menjadi amat sedih
sekali sahutnya : “Sebenarnya ananda mempunyai maksud untuk
membuat pahala bagi keluarga Thi guna menebuskan dosa ayah,
tapi rupanya adik Eng mengetahui akan hal ini dan ia tidak bersedia
menerima kebaikan ananda!"
Dengan kening berkerut Cay hong sian ci Liok Sun hoa
termenung beberapa saat lamanya, kemudian berkata :
“Nak, kalau begitu hal ini tak bisa disalahkan Thi Eng khi,
seandainya dia menerima pembalasan semacam ini, bukankah hal ini
akan membuatnya menjadi semakin murung?”
Ciu Tin tin menundukkan kepalanya rendah rendah, kemudian
katanya dengan lirih :
“Ananda bukan bermaksud menyalahkan keadaannya, cuma
saja…. cuma saja…. isi hati anda…..”
Tiba tiba pipinya berubah menjadi merah dan tak sanggup untuk
dilanjutkan lagi, Cay hong sian ci Liok Sun hoa segera tertawa.

460
“Tak usah kuatir nak” katanya, “bagaimanapun juga kita harus
mencari sebuah cara yang baik untuk mengulangi persoalan ini,
sekarang mari kita pergi mencari ayahmu, dia berada di mana?”
"Ayah tinggal di pagoda Ci hong kek di bukit Si soat!"
Maka kedua orang itupun segera berangkat menuju ke bukit Si
soat san.
Pagoda Ci hong kek terletak dipungggung bukit sebelah barat,
sepanjang jalan menuju ke kuil itu terdapat undak undakan batu
yang berjumlah ratusan banyaknya. Disebelah barat dan timur
bangunan terdapat serambi, diserambi sebelah timur saling
berhadapan dengan bukit Cian hud nia yang banyak terdapat batuan
cadas. Sedangkan serambi bagian barat menghadap bukit barat,
puluhan kaki didepannya terdapat sumber mata air yang dinamakan
Tin cu swey.
Waktu itu adalah bulan delapan musim gugur yang dingin, daun
merah memenuhi permukaan tanah seperti sinar diwaktu senja
pemandangan indah dan menawan hati. Diatas permukaan tanah
berlapiskan dedaunan merah itu, tampaklah dua sosok bayangan
manusia sedang bergerak dengan kecepatan tinggi.
Yang berjalan didepan adalah Ciu Tin tin, sedangkan
dibelakangnya mengikuti seorang perempuan setengah umur, tentu
saja dia tak lain adalah Cay hong sian ci Liok Sun hoa.
Setelah melakukan perjalanan sekian waktu, akhirnya sampailah
mereka dibawah bukit Ci hong cay. Ciu Tin tin segera membuat
muka setan kepada ibunya sambil berbisik :
“Ibu, tunggulah aku disini, ananda akan rnengundang ayah
datang kemari, agar dia merasa terkejut bercampur gembira.”
“Ciss.... kau lagi lagi menjadi nakal!” desis Cay hong sian ci Liok
Sun hoa.

461
Tapi ia toh menyelinap pula kebelakang setumpukan daun merah
dan menyaksikan Ciu Tin tin melanjutkan perjalanannya menuju ke
kuil. Ia merasa jantungnya berdebar amat keras, wajahnya tanpa
terasa berubah pula menjadi merah padam.
Dengan suatu gerakan yang amat enteng Ciu Tin tin langsung
mendekati jendela kamar sebelah barat, lalu mengintip kedalam.
Ditangannya membawa sebatang ranting kering, dia bermaksud
untuk mengajak ayahnya bergurau.
Siapa tahu, apa yang kemudian terlihat olehnya membuat dia
bergetar keras dan menjadi ragu. Dalam kamar itu bukannya tak ada
orang, yang berada disana tidak mirip ayahnya, orang itu duduk
dengan membelakangi jendela, walaupun kepalanya juga gundul
akan tetapi perawakan tubuhnya jauh lebih kecil daripada Huang oh
siansu.
Ciu Tin tin menjadi keheranan setengah mati, pikirnya kemudian :
“Jangan jangan ayah sudah pindah ke tempat lain?”
Sementara dia masih ragu dan tak tahu apa yang musti
dilakukan, mendadak orang yang berada dalam kamar itu telah
membalikkan badannya berikut kursi yang didudukinya, cepat sekali
gerakan tubuh orang itu, Ciu Tin tin hanya merasakan pandangan
matanya menjadi kabur dan orang itu sudah berdiri dihadapannya.
Ternyata dia adalah seorang nikou kecil berusia tujuh delapan
belas tahunan, sambil manggut manggut ke arah Ciu Tin tin seraya
berkata :
“Apakah nona Ciu yang berdiri diluar jendela? Pinni sudah lama
sekali menantikan kedatanganmu!”
Ciu Tin tin tidak mengira kalau nikou kecil itu kenal dengannya,
dengan wajah tercengang karena keheranan, tegurnya :
“Sau suhu, tolong tanya siapa namamu?”
Tiba tiba nikou kecil itu tertawa tergelak, katanya :
“Pinni Sim ji, apakah nona Ciu juga pernah mendengar namaku
disebut orang... ”

462
Ciu Tin tin harnpir saja tidak percaya dengan apa yang
didengarnya, dengan cepat mengulangi lagi pertanyaannya :
“Oooh.... jadi sau suhu adalah muridnya Sim ji Sinni?“
"Pinni lah Sim ji!“ jawab Sim ji sinni sambil tersenyum.
Melihat wajah yang serius, Ciu Tin tin mengira nikou itu sedang
berlagak hendak menggunakan nama besar dari Sim ji sinni untuk
menggodanya, maka kontan saja dia tertawa terpingkal pingkal.
"Sau suhu, kau jangan menggertak orang walaupun siaumoay
belum pernah bersua dengan Sim ji sinni dia orang tua, namun aku
juga tahu kalau kau telah melanggar pantangan untuk berbohong."
Perlu diketahui, Sim ji sinni adalah seorang nikou saleh yang
sudah termashur hampir seratus tahun lamanya, kepandaian silat
yang dimilikinya amat lihay dan tiada taranya didunia ini, seandainya
belum mati, usianya juga berada diatas seratus tahun, mana
mungkin dia bisa berwujud seorang nikou berumur tujuh delapan
yang berada dihadapan matanya sekarang?
Oleh karena itu, Ciu Tin tin lantas menuduh nikou muda itu telah
melanggar pantangan berbohong. Sim ji sinni yang berada didalam
kamar hanya tersenyum belaka, ia sama sekali tidak membantah
lagi.
Tapi pada saat itulah dari belakang tubuh Ciu Tin tin telah
terdengar suara Cay hong sian ci Liok Sun hoa yang sedang
menegur :
“Anak Tin, mengapa kau tak tahu sopan santun? Setelah
berjumpa dengan Sim ji locianpwe kenapa belum juga memberi
hor¬mat?“
Rupanya Cay hong sian ci Liok Sun hoa tidak sabar untuk
menunggu terlalu lama, maka diapun menyusul ke sana.
Menanti Ciu Tin tin membalikkan kepalanya, dia saksikan ibunya
sudah menyembah dihadapan nikou itu sembari berkata :

463
"Boanpwe Liok Sun hoa beserta putri boanpwe Ciu Tin tin
menghunjuk hormat buat locianpwe."
Setelah menyaksikan ibunya pun turut menyembah, Ciu Tin tin
tak berani banyak berbicara lagi, buru buru dia turut berlutut sambil
berkata dengan ketakutan :
“Boanpwe masih muda dan cetek pengetahuannya, harap Lo
sutay bersedia memaafkan kesalahanku.“
Baru selesai perkataan itu diutarakan, Ciu Tin tin dan Liok Sun
hoa merasakan tubuhnya menjadi enteng, entah kepandaian apakah
yang telah dipergunakan oleh Sim ji nikou, tahu tahu mereka sudah
ditarik masuk ke dalam kamar, bahkan posisi mereka yang sedang
berlutut tadi kinipun menjadi berdiri.
Semua kesangsian yang semula masih menyelimuti benak Ciu Tin
tin dengan cepat berubah menjadi kekaguman yang tak terhitung,
dengan termangu mangu dia hanya bisa mengawasi wajah Sim ji
sinni tanpa berkedip.
Sim ji sinni segera mengalihkan pandangan matanya ke wajah
Cay hong sian ci Liok Sun hoa, kemudian ujarnya sambil tertawa :
''Nona Liok, mungkin sudah ada tiga puluh lima enam tahunan
kita tak pernah saling bersua bukan, aku masih ingat ketika itu kau
masih berumur sepuluh tahun, masih merupakan seorang nona cilik
yarg nakalnya bukan alang kepalang."
Mendengar kalau Sim ji sinni masih teringat dengannya, Cay
hong sian ci Liok Sun hoa menjadi amat gembira sekali, serunya
dengan penuh rasa hormat :
“Tahun ini boanpwe berusia empat puluh delapan tahun, kalau
dihitung me¬mang sudah ada tiga puluh delapan tahun lamanya tak
pernah bersua dengan kau orang tua, sungguh tak nyana wajah kau
orang tua masih seperti sedia kala, bahkan semangatnya masih
nampak segar, benar benar membuat malu kami yang menjadi
boanpwe saja."
"Aaah... hanya tanpa sengaja pinni berhasil makan buah Tiang
kim ko yang bi¬sa membuat orang awet muda, itu mah tidak

464
terhitung seberapa, aku lihat putrimu justru berbakat bagus,
sungguh membuat pinni merasa kagum sekali."
Sambil berkata dengan sepasang matanya yang jeli dan tajam dia
awasi Ciu Tin tin tak berkedip, membuat gadis itu menjadi serba
salah dan rikuh sekali. Cay hong sian ci Liok Sun hoa segera
menyadari apa maksud dari perkataan ni¬kou itu, kejut dan girang
membuatnya menjerit tertahan :
"Kau…kau orang tua .... Apakah kau orang tua menganggap Tin
tin masih bisa dididik?“
Dalam gembiranya, dia sampai lupa memberi tanda kepada Ciu
Tin tin. Sambil menjatuhkan diri berlutut, serunya :
"Terima kasih banyak atas kesediaan locianpwe untuk
menerimanya!”
Sim ji sinni segera tertawa, tukasnya :
“Nona Liok, yang harus memberi hormat bukan kau melainkan
putrimu.”
Segulung tenaga yang amat besar segera membimbing tubuh
Cay hong sian ci untuk bangkit berdiri. Cay hong sian ci Liok Sun hoa
menjadi tersipu sipu, sambil tertawa dan menggelengkan kepalanya
berulang kali, dia berkata :
"Setelah mendengar kabar gembira dari locianpwe, hampir saja
boanpwe menjadi lupa diri."
''Aku lihat putrimu mempunyai pandangan lain, belum tentu dia
bersedia menjadi murid pinni."
Cay hong sian ci Liok Sun hoa segera berpaling kearah putrinya
sambil berseru :
“Tin tin, apa yang sedang kau pikirkan? Kenapa tidak cepat cepat
memberi hormat kepada suhu?”
Betul juga, Ciu tin tin segera menggelengkan kepalanya sambil
menghela napas panjang.

465
“Aaai.... ayah pernah berkata kepada boanpwe, dia hendak
mencarikan seorang suhu yang baik untuk boanpwe dan boanpwe
telah meluluskan permintaan dia orang tua, atas kebaikan hati
locianpwe yang memandang diriku, boanpwe merasa berterima
kasih sekali, tapi boanpwe tak ingin sembarangan mengangkat guru
tanpa persetujuan ayah, karena itu harap locianpwe sudi
memaafkan.“
“Tahukah kau siapakah yang hendak dicarikan oleh Huang oh
siansu untuk dijadikan gurumu?“ tanya Sim ji sinni.
Semestinya, Sim ji sinni harus membasahi 'Huang oh sinni'
sebagai ’ayahmu' cuma hal tersebut sama sekali tidak menarik
perhatian Ciu Tin tin berdua. Dengan wajah yang terang, gadis itu
segera menggeleng.
“Ayahku tidak memberi keterangan apa-apa,“ sahutnya.
Dengan suara yang tegas Sim ji sinni lantas berkata :
''Pinni bertanya andaikata aku adalah orang yang diundang
Huang oh siansu untuk menjadi gurumu, apakah kau mengakuinya?“
Dihadapkan pada pertanyaan yang sangat aneh ini, pelbagai
ingatan segera berkecamuk dalam benak Ciu Tin tin sekalipun dia
merasakan pertanyaan itu kurang wajar namun belum terpikirkan
olehnya kalau Huang oh siansu sebetulnya bukan ayahnya. Maka
sahutnya kemudian :
“Huang oh siansu adalah ayahku, perkataan dari Huang oh siansu
sama dengan ucapan dari ayahku!“
“Andaikata perkataan dari Huang oh siansu tak dapat
melambangkan maksud hati dari ayahmu?“ tanya Sim ji sinni tibatiba
dengan wajah amat serius.
Cay hong sian ci Liok Sun hoa lantas menimbrung :
“Walaupun suamiku telah menjadi seorang pendeta, namun
terhadap istri dan anak sendiri tidak seharusnya memandang asing,
ucapan dari locianpwe itu sungguh membuat boanpwe sekalian
merasa tidak habis mengerti.“

466
Sim ji sinni menggelengkan kepalanya berulang kali dengan
kening berkerut ujarnya :
“Apakah kalian berdua masih menganggap Huang oh siansu
sebagai Gin ih kiam kek (jago pedang baju perak) Ciu Cu giok?“
Mendengar pertanyaan itu, paras muka Ciu Tin tin dan Liok Sun
hoa berubah sangat hebat serunya tergagap :
“Apakah dia .... apakah dia.....“
Untuk sesaat mereka tak berani melanjutkan kembali kata
katanya.
Sambil menghela napas panjang Sim ji sinni mengangguk,
sahutnya pelan :
“Yaa, Huang oh siansu bukan orang la¬in, dia adalah Lan sin cu
tok (pemuda tampan berbaju biru) Thi Tiong giok yang angkat nama
bersama sama Gin ih kiam khek!“ Suara yang berat dan kata kata
yarg mengejutkan betul betul menggetarkan perasaan.
Dalam keadaan sama sekali tidak siap, kabar berita itu cukup
membuat Ciu Tin tin berdua merasakan pukulan batin yang sangat
berat, tanpa bisa membendung gejolak perasaan mereka lagi, kedua
orang itu saling berpelukan sambil menangis tersedu sedu. Sim ji
sinni membiarkan mereka berdua menangis sepuas puasnya sampai
semua kepedihan yang mencekam perasaan mereka terlampiaskan
keluar, kemudian dengan suara lembut, ia baru berkata :
"Dalam peristiwa yang menyangkut soal keluarga Ciu dan
keluarga Thi, berbicara yang sebenarnya, Thi Tiong giok sama sekali
tidak salah, kalian tak boleh terlampau menyalahkan dirinya.“
Ciu Tin tin menjadi teringat kembali dengan nasehat yang
dilontarkan kepada Thi Eng khi ketika pada waktu itu dia mengira
Thi Tiong giok sebagai ayahnya, sungguh tak disangka perkataan itu
sama halnya dengan menasehati diri sendiri.
Kini,dia tak dapat berkata apa apa lagi, dengan suara yang amat
sedih ia lantas berseru:
“Ibu...oooh, ibu..... empek Thi….. dia....”

467
Belum selesai dia berkata, Cay hong sian ci Liok Sun hoa telah
menyeka air matanya dan berkata dengan serius :
“Nak, kau tak usah kuatir, ibu masih bisa memandang persoalan
ini jauh lebih luas. Ketika itu pihak keluarga Thi pun bisa melupakan
soal dendamnya terhadap keluarga Ciu, bahkan menganggap kau
sebagai putri sendiri. Apakah keluarga Ciu kita tak dapat pula
berbuat seperti apa yang dilakukan keluarga Thi? Aku pasti akan
menganggap pu¬la engkoh Engmu itu sebagai anakku sendiri. Kalau
harus disalahkan maka nasib kita yang jeleklah yang harus
disalahkan, akupun tak akan berkata lebih banyak dari sepatah kata
itu saja.”
Sim ji ji Sinni yang mendengar perkataan itu menjadi terharu
sekali, tak tahan dia lantas menghela napas sambil memuji :
“Kalian keluarga Ciu dan keluarga Thi bisa sama sama berjiwa
besar dan bersikap dewasa, hal ini benar benar merupakan suatu
contoh yang patut diikuti oleh umat persilatan lainnya, loni turut
bergembira sekali atas kejadian ini, moga moga saja apa yang telah
kalian lakukan hari ini akan mempengaruhi pula keadaan dalam
dunia persilatan pada umumnya!”
Setelah menghela napas panjang, nikou itu berkata lebih jauh :
“Berbicara kembali tentang peristiwa pada waktu itu pinni boleh
dibilang merupakan satunya satunya orang yang ikut menyaksikan
satu musibah tersebut.”
“Apakah waktu itu locianpwe juga hadir disana?” tanya Ciu Tin tin
dan Liok Sun hoa hampir bersama.
“Pinni telah datang terlambat, waktu itu ayahmu telah meninggal
dunia …..”
Setelah berhenti sebentar, terusnya :
“Sedangkan Lan sin cu tok Thi Tiong giok berlutut disamping
jenasah ayahmu sambil menangis tersedu-sedu, melihat itu pinni
lantas menyembunyikan diri, aku ingin melihat bagaimanakah
sikapnya menghadapi peristiwa tersebut. Setelah menangis sampai
air matanya mengering dan jatuh pingsan beberapa kali, Lan sin cu

468
tok Thi Tiong giok baru menggali sebuah liang dan mengubur
jenasah ayahmu, kemudian dicarinya dua buah batu bongpay, pada
batu bongpay yang pertama diukir nama ayahmu sedangkan pada
batu bongpay yang lain dituliskan kata ‘Tempat bersemayan Thi
giok’, setelah itu dia menggali sebuah liang lagi, memasang batu
nisan itu dan membaringkan diri ke dalam liang, lalu dengan ilmu
tenaga dalamnya dia hisap tanah pasir itu ke atas tubuhnya dengan
tujuan menguburnya hidup hidup agar bisa mengiringi kematian
temannya.”
Mendengar sampai disitu, Liok Sun hoa serta Ciu Tin tin menjadi
terkejut sekali sehingga tanpa terasa berseru tertahan kemudian
mereka memuji bersama :
“Empek Thi memang merupakan seorang lelaki yang luar biasa
didunia ini!”
Sim ji sinni tertawa pelan, katanya lagi :
“Setelah menyaksikan orang yang begitu perkasa dan setia
kawan, tentu saja Pinni tak dapat membiarkan dia mati dengan
begitu saja, maka pinnipun menampakkan diri dan mencegah
keinginannya untuk bunuh diri, setelah menasehatinya selama tiga
hari tiga malam ia baru bersedia mengurungkan niatnya untuk mati
dan masuk menjadi pendeta.”
Setelah mendapat keterangan dari Sim ji sinni ini, Ciu Tin tin dan
ibunya baru mengerti bahwa kebesaran Thi Tiong giok serta kesetia
kawannya jauh melebihi apa yang mereka bayangkan semula.
Terdengar Sim ji sinni berkata lebih lanjut :
“Untuk mendidik anak Tin menjadi seo¬rang pendekar, Huang oh
siansu sengaja meminta kepada pinni untuk menerimamu menjadi
murid, pinni dapat merasakan kebesaran jiwanya itu, maka akupun
tidak menampik keinginannya tersebut. Selain daripada itu, Huang
oh siansu telah menyerahkan kepada pinni beberapa macam obat
obatan mestika yang berhasil dikumpulkan selama banyak tahun ini
untuk digunakan oleh anak Tin!“

469
Makin berbicara Sim ji sinni berkata semakin keras, sehingga
akhirnya karena terharu Ciu Tin tin dan Liok Sun hoa sampai
mengucurkan air matanya.
Pada saat itu dari luar pintu ruangan berkumandang suara pujian
kepada sang Buddha :
“Omimohud!“
Kemudian seseorang berkata :
“Sinni terlalu memuji, siauceng tidak berani menerimanya.”
Seorang hwesio muda pelan pelan berjalan masuk ke ruangan
dan menuju ke hadapan Ciu Tin tin berdua. Pendeta itu tak lain
adalah Huang oh siansu. Setibanya dihadapan kedua orang itu, dia
lantas merangkap tangannya didepan dada sembari berkata :
“Terima kasih banyak atas kesediaan enso dan Hian titli untuk
memaafkan dosa dosaku.”
Paras muka Cay hong sian ci Liok Sun hoa berubah hebat, tapi
sejenak kemudian telah pulih kembali menjadi sedia kala bahkan
sambil balas memberi hormat sahutnya :
“Empek Thi amat setia kawan dan berjiwa besar, kami keluarga
Ciu merasa terima kasih ....”
Diam diam Ciu Tin tin menarik ujung baju Cay hong sian ci Liok
Sun hoa, walaupun ia tidak berkata apa apa, namun hubungan batin
antara ibu dan anak memang biasanya erat sekali. Dengan cepat ia
memahami apa yang dimaksudkan putrinya itu maka sambil
tersenyum dia manggut manggut.
Ciu Tin tin segera maju kehadapan Huang oh siansu, kemudian
ujarnya :
“Ayah, Tin tin menyampaikan rasa terima kasih yang sedalam
dalamnya kepada kau orang tua, dimana kau telah melindung
kami...”
Mendengar Ciu Tin tin masih menyebut ayah kepadanya, Huang
oh siansu nampak agak tertegun menyusul kemudian katanya
setelah menghela napas panjang:

470
“Nak, panggilanmu itu memang tepat sekali dan pinceng
menerima panggilanmu itu padahal aku memang sudan lama
menganggap dirimu sebagai anakku sendiri!”
Dari perkataan itu, tak bisa disangkal lagi kalau dia mengartikan
bahwa Ciu Tin tin telah dianggap sebagai anak menantunya.
Perlu diketahui, perkawinan pada jaman itu tidak sebebas
sekarang, waktu itu perkataan dari orang tua jauh lebih bernilai
daripada hubungan cinta kasih secara pribadi, sedang kaum
pemudanya waktu itu juga tak berani membangkang perintah dari
orang tuanya. Oleh sebab itu, setelah ada janji dari Huang oh
siansu, tak nanti Thi Eng khi bisa lolos dari cengkeraman Ciu Tin tin
lagi.
Tentu saja Ciu Tin tin maupun Liok Sun hoa memahami akan hal
ini, diam diam perasaan merekapun menjadi sangat lega. Walaupun
dalam perkataannya Huang oh siansu telah menyampaikan maksud
hatinya namun didalam sopan santun, dia masih tetap harus
melaksanakan cara meminang yang berlaku pada waktu itu.
Maka sambil menjura lagi kepada Cay hong sian ci Liok Sun hoa,
dia berkata :
“Pinceng atas nama anakku Eng khi hendak meminang putri enso
untuk dijadikan istrinya, apakah enso tidak merasa keberatan?”
Cay hong sian ci Liok Sun hoa segera tertawa.
“Anak Tin tidak cantik, ilmu silatnya cetek lagi bodoh, kuatirnya
tidak cocok untuk mendampingi putra anda.”
Tentu saja itupun hanya kata sopan santun belaka, padahal
sesungguhnya pinangan tersebut telah diterima. Sim ji sinni yang
berada disampingnya segera menimbrung sambil tertawa lebar :
“Siapa yang berani mengatakan kalau murid pinni tak pantas
untuk rnendampingi seorang bocah berandal?”
Kembali Huang oh siansu menjura kepada Sim ji sinni seraya
berkata :

471
“Pinceng memohon kepada Sinni agar bersedia menjadi mak
comblang untuk perkawinan ini.”
“Baik, sampai waktunya pinni pasti akan melaksanakan tugas ini,”
sahut Sim ji sinni sambil tertawa, “nah, anak Tin, mari ikut pinni
pulang ke gunung sekarang juga.”
Ciu Tin tin berdua tidak menyangka kalau Sim ji sinni secepat itu
akan pergi. Mereka sudah lama hidup bersama,kini harus hidup
berpisah beberapa tahun rasa berat hati muncul juga dalam hati
mereka.
Sementara itu Huang oh siansu telah merangkap tangannya
sambil berkata :
“Semoga sinni selamat sepanjang jalan!”
Tak disangkal lagi dia hendak memberitahukan kepada Ciu Tin tin
dan ibunya agar mengeraskan hatinya dan membiarkan Ciu Tin tin
mengikuti Sim ji sinni pergi memperdalam ilmunya.
Ciu Tin tin amat menguatirkan keadaan Thi Eng khi, tak tahan dia
lantas berbisik kepada ibunya :
“Ibu, jika adik Eng datang mencariku, kau harus berpesan
kepadanya agar dia mau bersabar dalam menghadapi setiap
persoalan.”
Penampilan rasa cinta yang amat mendalam segera nampak pada
mimik wajahnya itu. Sim ji sinni yang melihat keadaan itu segera
tertawa geli, katanya dari samping.
“Emas murni tidak takut api, buat apa mesti kau cemaskan?”
Merah padam selembar wajah Ciu Tin tin karena jengah, dia
lantas membalikkan badannya sambil berseru manja :
“Aaah, suhu…. ”
“Hayo berangkat!” tukas Sim ji sinni.

472
Sambil menarik tangan Ciu Tin tin, tanpa menimbulkan sedikit
suarapun tahu tahu kedua orang itu sudah lenyap dari pandangan
mata.
Sekalipun Huang oh siansu dan Cay hong sian ci memilik
kepandaian silat yang sangat lihai, ternyata kedua orang itu tidak
berhasil melihat jelas bagaimana caranya nikou sakti itu berlalu dari
sana.
Dengan perasaan kaget bercampur kagum Cay hong sian ci Liok
Sun hoa menghela napas panjang, gumamnya :
“Tidak kusangka dia orang tua yang telah berusia seratus tahun
lebih masih tetap segar bugar seperti orang muda saja. Aaai...
mungkin nasib anak Tin memang lagi mujur. ”
“Hatinya yang penuh welas kasih bagaikan hati pousat itulah
yang membuat ia bersedia untuk mengabulkan permintaan pinceng.
Yaaa, dia memang seorang yang mengagumkan.”
Berbicara sampai disitu, Huang oh siansu mengambil keluar
sebilah pedang antik bersarung perak dan diserahkan kepada Cay
hong sian ci sambil katanya :
“Inilah pedang Gin kong liu soat kiam milik saudara Cu giok,
harap enso bersedia untuk menerimanya kembali, maaf pinceng
harus mohon diri lebih dahulu.”
Menyebut kembali pedang Gin kong liu soat kiam milik mendiang
suaminya, Cay hong sian ci Liok Sun hoa merasakan hatinya amat
kecut sehingga tanpa terasa air mata jatuh berlinang membasahi
pipinya, tak tahan dia lantas melengos ke arah lain.
Menanti dia berpaling kembali, bayangan tubuh Huang oh siansu
telah lenyap dari pandangan mata. Untuk sesaat dia berdiri tertegun
dengan perasaan sedih yang bercampur aduk dalam hati sampai
lama, lama kemudian dia baru beranjak pergi dan menuruni bukit Si
soat san.
Tatkala Thi Eng khi sadar kembali, dia merasakan dirinya
dimasukkan orang ke dalam sebuah peti mati, suasana gelap gulita,

473
keempat anggota badannya lemah tak bertenaga dan sedikitpun tak
mampu untuk bergerak.
Telinganya sempat mendengar suara bentakan bentakan diluar
serta bunyi roda kereta yang melindungi, dia telah menyadari
sekarang bahwa dirinya sedang diangkut orang menuju kesuatu
tempat tertentu.
Diam diam dia lantas mencoba untuk menghimpun kembali
tenaga Sian thian bu khek ji gi sin kang yang dimilikinya, namun
hasilnya nihil, sekalipun telah berusaha sekian lama, tiada hasil
apapun yang berhasil didapatkan.
Ternyata jarum Tong thian si kut ciam mempunyai keistimewaan
untuk membuyarkan hawa murni jang berada dalam tubuh
seseorang, barang siapa kena tertusuk maka bila tidak berlatih lagi
selama seratus hari dengan tekun, jangan harap tenaga dalamnya
bisa dihimpun kembali seperti sedia kala.
Thi Eng khi baru tertusuk dua tiga hari masih amat lama, sudah
barang tentu dia tak mampu untuk menghimpun kembali tenaga
dalamnya. Sedangkan mengenai tangan dan kaki Thi Eng khi tak
bisa berkutik, lantaran secara beruntun dia telah ditotok jalan darah
tidur dan lemasnya, setelah melewati waktu yang cukup lama,
sekujur tubuhnya menjadi kaku dan hilang rasa.
Thi Eng khi bukan seorang yang rela menyerah dengan begitu
saja, kendatipun hatinya merasa amat kecewa namun semangatnya
tidak luntur, setelah melewati percobaan demi percobaan yang
dilakukan berulang kali untuk menggerakkan kembali ta¬ngan
kakinya lama kelamaan sepasang tangannya dapat digerakkan juga,
hanya bagaimana pun juga dia berusaha untuk menyalurkan tenaga,
tiada sedikit kekuatanpun yang dimilikinya.
Dalam keadaan demikian, terpaksa dia harus memutar otak untuk
mencari akal guna menyelamatkan diri. Banyak sudah akal yang
didapatkan namun semuanya tidak mendatangkan hasil apa apa,
akhirnya dia teringat dengan Pil Toh mia kim wan yang dimiliki Thian
liong pay turun temurun.

474
Konon obat mustika itu memiliki kemampuan untuk menghimpun
kembali tenaga orang yang sudah hampir mati, cuma tidak diketahui
apakah obat itu masih berada dalam sakunya atau tidak?
Setelah diperiksa isi sakunya, entah karena kecerobohan orang
atau memang nasibnya lagi mujur, ternyata sakunya sama sekali
tidak diperiksa, semua benda miliknya masih berada disana. Dengan
tekad untuk mencoba semua kesempatan yang ada, dia segera
mengambil sebutir pil Toh mia kim wan dan ditelan sebutir.
Berbicara tentang Toh mia kim wan milik Thian liong pay, Keng
thian giok cu Thi Keng sebenarnya hanya memiliki tiga butir, Kay
thian jiu Gui Tin tiong telah menggunakan sebutir untuk menolong
jiwa Ban li tui hong Cu Ngo, itu berarti seharusnya ada dua butir
lagi, tapi dalam pesan terakhirnya Kay thian jiu Gui Tin tiong
mengatakan pil mestika Toh mia kim wan masih ada tiga butir, hal
ini berarti menjadi kelebihan satu butir, lalu bagaimana sebenarnya?
Kenyataan yang sebetulnya, Keng thian giok cu Thi Keng
memang hanya meninggalkan tiga butir pil Toh mia kim wan, setelah
digunakan untuk menolong Ban li tui hong Cu Ngo sebutir maka
sisanya tinggal dua butir lantas kenapa dalam pesan terakhirnya Kay
thian jiu Gui Tin tiong mengatakan masih ada tiga butir?
Rupanya jauh sebelum Keng thian giok cu Thi Keng pergi
meninggalkan rumah dulu, ia pemah menghadiahkan sebutir pil
mesti¬ka Toh mia kim wan untuk Kay thian jiu Gui Tin tiong namun
pil tersebut tak pernah digunakannya, hingga menjelang saat
kematiannya, dia hadiahkan pula pil itu untuk Thi Eng Khi, dengan
begitu jumlahnya menjadi tiga butir.
Sampai detik ini Thi Eng khi telah memakai dua butir yakni satu
butir diberikan Huang oh siancu kepadanya ketika berada dibukit
Bong soat hong, dan kini menelan sebutir lagi, berarti sisa yang
berada dalam sakunya kini benar benar tinggal sebutir.
Dalam itu pula ketika Thi Eng khi telah menelan pil Toh mia kim
wan, dia segera merasakan dari pusarnya muncul kekuatan yang

475
melonjak lonjak sewaktu dia tarik napas panjang, ternyata hawa
murninya telah meluncur kembali ke seluruh anggota badannya,
bagaikan gulungan ombak samudera dalam waktu singkat segenap
tenaga dalam yang dimilikinya telah pulih kembali seperti sedia kala.
Dalam girangnya dia menggerakkan telapak tangannya siap
menjebol peti mati dan memberi hajaran kepada si peramal buta
yang mencelakainya itu, namun setelah telapak tangannya
menempel di atas tutup peti mati itu, mendadak satu ingatan lain
melintas dalam benaknya, dia lantas berpikir lebih jauh.
”Kenapa aku tidak menggunakan siasat untuk melawan siasat?
Akan kulihat permainan busuk apakah yang hendak mereka lakukan
terhadap diriku..?”
Setelah ingatan tersebut melintas lewat, dia segera menarik
kembali tenaga serangannya dan mengatur pernapasan dengan
tenang sambil menantikan datangnya kesempatan baik.
Dua hari sudah lewat, dalam dua hari ini ternyata tiada orang
yang menggubris dirinya, tak ada pula yang menggubris soal makan
dan minumnya, untung saja tenaga dalam yang dimiliki pemuda itu
amat sempurna hingga meski kelaparan ia sanggup untuk
mempertahankan diri. Tapi setelah rasa lapar mengusik pikirannya,
dia tak sanggup lagi untuk bersemedi dengan baik.
Akhirnya kereta itu seperti berhenti dalam sebuah halaman besar
menyusul kemudian ada orang yang menggotong turun pe¬ti mati
itu dan dihantar masuk kedalam ruangan dalam. Sebelum penutup
peti mati itu dibuka, terdengar suara dari Pek leng siancu So Bwe
leng sedang berteriak teriak keras :
”Kalian semua terlalu kejam, mengapa ka¬lian sekap dia dalam
peti mati? Mana dia tahan?"
Menyusul kemudian terdengar Huan im sin ang menjawab :
"Bocah muda ini sangat buas dan tak ta¬hu diri, seandainya tidak
diberi pelajaran, darimana dia bisa merasakan penderitaan dan
kesungguhan hatimu kepadanya?"

476
"Cepat kalian buka penutup peti mati itu, dia bisa tak tahan?"
seru Pek leng Siancu lagi gelisah.
Tatkala Thi Eng khi mendengar ucapan dari Pek leng siancu So
Bwe leng tersebut, diam diam ia menghela napas dan merasa
terharu sekali. Menyusul kemudian, ia mendengar ada su¬ara
bisikan selirih suara nyamuk berkumandang disisi telinganya.
"Bocah keparat, sebelum kau keluar, ada beberapa persoalan
hendak lohu pesankan kepadamu :
Pertama, So Bwe leng telah kulukai urat sim kengnya dengan
menggunakan ilmu Jit sat hian im ceng khi, jika ia tidak mempelajari
ilmu silat lohu, tak sampai satu tahun nadinya akan membeku yang
berakibat kematian,itu berarti mati hidupnya hanya tergantung pada
pemikiranmu sendiri sampai waktunya jangan kau salahkan lohu
tidak memberi peringatan.
Kedua, setelah terkena jarum Tong thian ti kut ciam milik lohu
tenaga dalammu telah buyar, dalam seratus hari mustahil bagimu
untuk menghimpun kembali kekuatan yang kau miliki, maka lohu
peringatkan kepadamu, jika kau masih menginginkan selembar
jiwamu, setelah keluar nanti ikuti semua perkataan yang
kusampaikan kalau tidak, lohu akan menyuruh kau merasakan
kelihayanku.
Ketiga, untuk membuat So Bwe leng mendengarkan semua
perkataanku dengan tenang aku pernah mengutus orang untuk
menyaru sebagai kau dan disekap dalam ruang batu dibukit Ci sia
san, bulan berselang lohu pernah mengajaknya ke sana untuk
menengok orang itu, maka dalam pembicaraanmu nanti, kau harus
perhatikan hal ini baik baik, jangan biarkan dia sampai menaruh
curiga.
Pokoknya, bila kau sampai memporak porandakan persoalan lohu
maka lohu tak akan membiarkan kau merasakan kebaikan apapun.
Aku harap kau bisa memahami persoalan ini dengan sebaikbaiknya."
Mendengar semua perkataan itu, Thi Eng khi merasa geli sekali,
tapi untuk berlagak seolah olah tenaga dalamnya memang belum
pulih kembali, terpaksa ia musti berlagak pilon dengan menuruti kata
katanya.

477
Tak selang berapa saat kemudian, penutup peti mati dibuka dan
Thi Eng khi diseret keluar dari dalam peti mati. Ketika memandang
kehadiran Huan im sin ang yang berdiri dihadapannya, timbul juga
perasaan mendongkol didalam hatinya dengan suara mengejek,
sindirnya :
"Terima kasih banyak atas perlayanan yang amat bagus untuk
siauseng selama ini!"
Huan im sin ang tertawa terbahak bahak.
"Haaahhh....haaahhh ..... haaaahhh...... saudara cilik tak usah
sungkan, seandainya Bwe leng si bocah ini tidak rindu kepadamu
tiap hari, jangan harap kau bisa keluar dari dalam ruangan batu
itu.... "
Huan im sin ang segera berkelit ke samping dan memberi jalan
lewat untuk So Bwe leng, segera tampak sesosok bayangan hijau
berkelebat lewat dihadapan orang banyak ternyata gadis itu
memeluk Thi Eng Khi erat-erat sambil menangis terisak.
"Oooh... engkoh Eng, akhirnya kau lolos juga dari kurungan!"
''Adik Leng, aku sungguh merasa berterima kasih sekali
kepadamu!" terpaksa Thi Eng khi harus berlagak dengan
membohongi gadis itu.
Pek leng siancu So Bwe leng bersandar mesra dalam rangkulan
Thi Eng khi sekian lamanya dia bersandar sama sekali tidak berniat
untuk meninggalkan rangkulan itu. Thi Eng khi merasa terharu sekali
oleh cinta kasihnya, diapun merasa enggan un¬tuk mendorongnya,
maka ia biarkan gadis itu bersandar dalam pelukannya sambil
melelehkan air mata.
Lama kelamaan Huan im sin ang tidak tahan juga, dengan kening
berkerut lantas berseru :
"Anak leng, kita harus segera melanjutkan perjalanan!"

478
Setelah mendengar teguran itu So Bwe leng baru mendongakkan
kepalanya dan berkata kepada Huan im sin ang :
"Aku ingin naik kereta bersama engkoh Eng!''
"Boleh saja," jawab Huan im sin ang sambil tertawa seram, "Tapi
kau tak boleh nakal, kau harus tahu, tanpa bantuan da¬ri lohu,
jangan harap tenaga dalam yang dimiliki engkoh Eng mu bisa pulih
kembali seperti sedia kala."
Thi Eng khi tidak tahu cerita bohong apakah yang telah
diciptakan oleh Huan im sin ang untuk membohongi Pek leng siancu,
oleh karena dia sudah mempunyai suatu tujuan tertentu, lagipula
kuatir Pek leng siancu tak bisa memegang rahasia maka pemuda itu
bertekad untuk merahasiakan hal itu dihadapan So Bwe leng,
sebaliknya terhadap Huan im sin ang dia tertawa dingin tiada
hentinya.
Pek leng siancu So Bwe leng segera mengajak Thi Eng khi naik
keatas sebuah kereta besar berwarna hijau, diiringi dua puluh empat
orang lelaki berpakaian ringkas, berangkatlah rombongan itu
menelusuri jalan raya. Ditengah jalan, Thi Eng khi berbisik kepada
Pek leng siancu So Bwe leng :
"Adik Leng, kita akan berangkat ke mana?"
"Menuju ke bukit Siong san untuk menghadiri pertemuan besar.''
"Adik Leng mengapa kau bersedia diperalat olehnya? Apakah kau
tidak kuatir So yaya menjadi marah?"
"Tapi aku toh tak bisa tidak menggubris dirimu!" jawab Pek leng
siancu SO Bwe leng dengan wajah serius. Thi Eng khi makin terharu
sehingga tak sanggup mengucapkan sepatah katapun.
Dinding istana Ci bu ciat berada di sebelah barat loteng istana
Tay si ciat, selisih jaraknya antara tiga li dan disebut Say ciat,
dinding loteng istana itu didirikan oleh Raja Han pada tahun Siang
kong kedua. Bentuk dinding istana ini menyerupai pintu gerbang dan
terbuat dari batu cadas.

479
Pertemuan besar para jago kali ini diselenggarakan diatas sebuah
tanah lapang yang luas. Ci bu ciat menjadi pintu gerbang pertemuan
tersebut....
Di tengah tanah lapang itu dibuat sebuah lingkaran seluas
puluhan kaki dari batu kapur putih, bagian luar lingkaran tersebut
tepatnya menghadap ke arah pintu gerbang telah tersedia puluhan
buah meja, agaknya tempat itu sengaja dipersiapkan bagi kawanan
jago persilatan yang termashur dalam dunia persilatan sebaliknya
tempat yang tidak tersedia meja ditujukan bagi kawanan jago
persilatan lainnya untuk berdiri.
Biasanya mereka yang tidak ternama justru merupakan penonton
yang paling bersemangat, tidak berbeda pula dengan keadaan kali
ini, belum lagi tengah hari tiba tempat berdiri disekeliling arena
pertemuan sudah penuh dengan lautan manusia.
Tengah hari tepat, dengan dipimpin oleh pihak Siau lim pai dan
Bu tong pay, kawanan jago masuki arena pertemuan dan menempati
kursi yang tersedia dibagian kiri.
Tak lama kemudian serombongan jago lagi muncul disana
dibawah pimpinan Tiang pek lojin dan menempati kursi kursi bagian
kanan.
Seketika itu juga suasana dalam arena menjadi tegang, semua
orangpun merasakan napasnya menjadi memburu cepat. Tapi bagi
mereka yang teliti dan lebih tenang, dengan cepat menemukan
beberapa hal yang mencurigakan pada wajah kedua belah pihak
yang bertentangan itu, seakan akan sifat dari pertemuan itu sudah
mengalami perubahan besar.
Dalam kenyataan, sifat dari pertemuan tersebut memang benar
benar telah mengalami perubahan yang besar sekali. Adapun sebab
utama dari perubahan sifat pertemuan itu tentu saja berkat
diplomasi ketua Kay pang si pengemis sakti bermata harimau Cu
Goan po yang mondar mandir kesana kemari membicarakan masalan
yang terjadi itu.

480
Tapi yang menjadi pokok utama dari perubahan suasana tersebut
adalah gagalnya Huan im sin ang di dalam melaksanakan rencana
buruknya. Dia tidak seharusnya mengatur perjanjian yang tidak
mendatangkan hasil ketika itu sehingga hal mana membuat Tiang
pek lojin mulai melakukan pengecekan terhadap semua yang telah
dilakukannya sekarang serta menyadari akan munculnya pihak
ketiga yang berusaha untuk memancing di air keruh.
Setelah mempertimbangkan kembali semua keadaan dan situasi
yang dihadapinya, bukan saja dia segera sadar kalau impian
indahnya sukar terwujud, dan lagi diapun sadar kalau semua
peristiwa ini timbul karena permainan busuk seseorang, Huan im sin
ang lah yang menjadi dalang dari semua kericuhan yang terjadi
sekarang.
Sebagai seorang yang berpengalaman apalagi dengan usianya
yang sudah menanjak tua, kenyataan kenyataan baru ini segera
menyadarkan dia dari impian.
Tujuan Tiang pek lojin memasuki wilayah Tionggoan memang tak
terlepas dari kobaran ambisinya, cuma dia adalah seorang kakek
yang keras dan berpendirian teguh, yang dimaksudkan sebagai
ambisi tak lain adalah ingin menggunakan alasan demi keadilan Thi
Eng khi, dia hendak menanamkan pengaruhnya pada pelbagai partai
yang ada dalam dunia persilatan, jadi sama sekali tidak terlintas
ingatan dalam benaknya untuk merajai kolong langit dan berbuat
semena mena.
Oleh karena itu setelah pengemis sakti bermata harimau Cu Goan
po menyampaikan pesan dari Thi Eng khi, maka diapun merasa tidak
leluasa lagi untuk melanjutkan cita-citanya.
Dengan mengendornya sikap Tiang pek lojin dan melunaknya
desakan itu, sudah barang tentu pihak Siau lim pay dan BU tong pay
tidak banyak berbicara lagi. Maka pemimpin dari kedua belah pihak
mulai memikirkan jalan mundurnya serta menarik kembali sikap
permusuhan antara kedua belah pihak.

481
Sekarang asal Thi Eng khi munculkan diri maka secara resmi
perdamaian bisa diwujudkan kembali dan secara otomatis
penggabungan dari kedua golongan yang semula saling
bertentangan ini akan dialihkan menghadapi Huan im sin ang.
Kedatangan To kak thi koay dan Thi Eng khi menuju ke bukit
Siong san disampaikan oleh murid Kay pang. Kedua belah pihak
dengan kesabaran yang ditekan berharap harap kedatangan Thi Eng
khi secepatnya.
Itulah sebabnya walaupun jago jago dari kedua belah telah
berdatangan semua namun tiada tanda tanda yang menunjukkan
kalau perselisihan akan segera dilangsungkan, tak heran kalau setiap
orang dapat merasakan perubahan sifat dari pertemuan ini.
Sementara semua orang sedang memperbincangkan persoalan
ini, tiba tiba tampak ketua Kay pang, si pengemis sakti bermata
harimau Cu Goan po berjalan mendekat mula mula ia berbisik disisi
telinga Tiang pek lojin, dengan wajah berubah Tiang pek lojin segera
menjawab pula dangan beberapa patah kata, setelah itu ketua Kay
pang itu berpindah lagi ke pihak Siau lim pay dan Bu tong pay untuk
membicarakan sesuatu. Jelas dia sedang menjadi duta damai bagi
kedua belah pihak.
Tapi sebelum hasil perundingan damai itu memberikan hasil,
mendadak terdengar seseorang berseru lantang :
“Ban seng kiong tiba!"
Maka semua orangpun mengalihkan sorot matanya kearah depan
pintu gerbang sebaliknya perundingan perdamaian antara pihak
Tiang pek lojin dengan pihak Siau lim pay dan Bu tong pay pun
terhenti sampai ditengah jalan.....
Tampak puluhan orang manusia dengan rnengiringi seorang
pemuda, seorang gadis dan seorang kakek menerobos Ci bu ciat dan
berjalan mendekat.
Setiap orang yang pernah berkunjung ke perkampungan Ki hian
san ceng segera mengenali kakek itu sebagai Huan im sin ang dan

482
pemuda itu sebagai Thi Eng khi, tentu saja juga ada yang mengenali
gadis itu sebagai cucu kesayangan Tiang Pek lojin, Pek leng siancu
So Bwe leng.
Ternyata kali ini So Bwe leng tidak mengenakan topeng kulit
manusia, sehingga ada orang yang mengenalinya.
Seketika itu terdengar suara berbisik bisik memecahkan
keheningan, beratus pasang mata bersama sama dialihkan ke wajah
Tiang pek lojin, semua orang mengira hal ini merupakan permainan
busuk dari Tiang pek lojin.
Bahkan pihak Siau lim pay dan Bu tong pay pun menaruh pula
perasaan curiganya terhadap Tiang pek lojin.
Seketika itu juga terdengar suara tertawa dingin berkumandang
memecahkan keheningan. Tiang pek lojin yang menyaksikan cucu
kesayangannya dan Thi Eng khi datang bersama Huan im sin ang
pun ikut merasa terkejut bercampur keheranan, sebab dilihat dari
keadaan yang terbentang didepan mata sekarang, jelas apa yang
dikatakan ketua Kay pang Cu Goan po sama sekali tidak sesuai
dengan kenyataan.
Oleh karena itu, timbul juga perasaan mendongkol dalam
hatinya, dia merasa seakan akan sudah tertipu oleh Cu Goan po dan
orang orang Siau lim serta Bu tong pay.
Tiada orang yang menyapa rombongan dari Ban seng kiong
tersebut, merekapun membawa kursi sendiri, begitu tiba, serentak
mereka mengambil tempat duduk dibagian tengah.
Dengan sorot mata membara karena gusar, Tiang pek lojin
segera membentak keras :
“Bwe leng, kemari!”
Pek leng siancu So Bwe leng mengerutkan kulit wajahnya sambil
mengeraskan hati dan tidak menjawab panggilan dari kakeknya itu.
Dengan perasaan amat sedih, sekali lagi Tiang pek lojin memanggil
dengan suara gemetar :

483
“Bwe leng, kemari!”
Pek leng siancu So Bwe leng belum menjawab juga. Huan im sin
ang yang berada di sampingnya segera berkata :
“Sekarang Bwe leng adalah tuan putri Ban seng kiong, aku minta
So lo jangan mencampuri urusan pribadi dengan urusan dinas!”
Jelas kata-kata itu bersifat mengadu domba, seakan akan
menerangkan kepada semua hadirin bahwa Tiang pek lojin dengan
pihak Ban seng kiong sesungguhnya telah melebur diri menjadi satu.
Tiang pek lojin menjadi teramat gusar wajahnya sampai memucat
dan untuk beberapa saat lamanya, dia tak sanggup mengucapkan
sepatah katapun. Na im siusu (pelajar penggaet awan) So Ping gwan
yang berada di sampingnya segera menghibur dengan suara lembut.
“Kau orang tua tak usah marah-marah dulu, siapa tahu anak leng
memang mempunyai kesulitan sendiri? Tidakkah kau lihat sepasang
matanya berkaca kaca?”
Tiang pek lojin sama sekali tidak menggubris hal itu, dia hanya
merasa perbuatan So Bwe leng telah membuatnya kehilangan muka.
Dengan penuh kegusaran, serunya :
"Seandainya dia adalah anak cucu keluarga So, kendatipun
mempunyai kesulitan, sekalipun harus mati ditempat, tidak
seharusnya dia perlihatkan sikap macam begitu hingga membuat
keluarga So kehilangan muka."
Kemudian sambil mendengus kembali dia berkata :
"Thi Eng khi si bocah keparat itupun bukan manusia baik baik,
tak kusangka kalau dia akan bergabung pula dengan pihak Ban seng
kiong, aaai ...... kali ini aku benar benar telah kehilangan muka."
Karena tak bisa menghibur ayahnya, terpaksa Na im siusu So
Ping gwan menghela napas panjang katanya :
''Ayah, Leng ji dan Eng khi bukan manusia macam begitu, mari
kita tenangkan dulu pikiran dan perasaan, kita hadapi semua
perubahan yang kemungkinan akan terjadi."

484
"Tidak bisa!" teriak Tiang pek lojin sambil menggebrak meja,
"nama baik lohu selama puluhan tahun tak bisa dibiarkan hancur
berantakan oleh ketidak baktian budak Leng!"
Sewaktu mengucapkan kata-kata tersebut, wajahnya kelihatan
amat sedih dan menderita sekali. Sebenarnya Na im siusu So Ping
gwan bermaksud untuk menghibur hati ayahnya tapi setelah
menyaksikan keadaan orang tua tersebut, tiba tiba ia mengeraskan
hatinya seraya berseru :
"Kalau begitu, biar ananda membunuhnya sekarang, daripada
kau orang tua merasa sedih."
Dia lantas melangkah maju ke depan siap terjun ke arena.
Tiang pek lojin So Seng berkerut kening, mendadak ia berseru :
"Ping gwan, kemari dulu, aku mempunyai rencana lain!"
"Baik, ayah!" sahut Na im siusu So Ping gwan dengan hormat,
kemudian mengundurkan diri ke belakang tubuh ayahnya. Ketika
melirik ke samping, dilihatnya wajah orang tua itu diliputi oleh tekad
dan rasa sedih yang mendalam. Sikap semacam ini belum pernah
dijumpai sebelumnya, ia tak tahu apa yang sedang dipikirkan
ayahnya sekarang.
Tiang pek lojin menghela napas panjang, pelan pelan ia bangkit
berdiri kemudian sambil menjura ke arah para jago Tionggoan yang
bergabung dipihak Siau lim pay dan Bu tong pay, ia berkata :
"Lohu tak tahu duduk persoalan yang sebenarnya sehingga gara
gara urusan Thi Eng khi telah menyalahkan teman teman sekalian.
Sekarang aku mohon maaf kepada kalian atas kesalahanku ini
semoga teman teman semua bersedia memberi kesempatan kepada
lohu untuk menebus dosa dan menyumbangkan sedikit tenaga bagi
umat persilatan untuk bersama sama menghadapi Huan im sin ang."
Dengan kedudukan Tiang pek lojin dalam dunia persilatan
ternyata mengucapkan kata kata semacam itu, boleh dibilang belum
pernah hal semacam ini terjadi dalam dunia persilatan. Akan tetapi
nyatanya hal itu tidak mengurangi kewibawaannya malahan segera
memperoleh tampik sorak dan pujian yang amat gegap gempita.

485
"Bagus!"
"Benar benar sikap jantan seorang ksatria."
Ci long taysu dari Siau lim pay dan Keng hian totiang dari Bu tong
pay mengagumi juga atas kebesaran jiwa Tiang pek lojin, diam diam
mereka manggut manggut. Tampaknya semua umat persilatan akan
segera memaafkan kesalahan yang telah dilakukan Tiang pek lojin
selama ini.
Mendadak, dari kerumunan orang banyak berkumandang suara
seruan dingin yang bernada sinis :
"Hmm... So Seng pak adalah seorang manusia licik yang berhati
busuk! la pandai bermain sandiwara, semua harus berhati hati,
jangan sampai kena terjebak oleh persekongkolan mereka."
Ucapan yang bernada hasutan ini segera menimbulkan pelbagai
pikiran lagi dalam benak pikiran setiap orang, semakin dipikir mereka
makin curiga, bahkan orang orang yang semula mengagumi Tiang
pek lojin pun membungkam dalam seribu bahasa. Bukan begitu saja,
ketua Siau lim pay dan Bu tong pay pun ikut menjadi sangsi,
merekapun tidak memberikan pernyataan yang bernada menyambut
lagi.
Tiang pek lojin menjadi berdiri kaku di tempat semula, dia benar
benar kehilangan muka dan tak dapat melepaskan diri dari situasi
yang serba runyam itu. Pukulan batin ini membuat kegagahannya
sama sekali rnenjadi runtuh, dengan wajah tersipu akhirnya dia
duduk kembali ke tempat semula.
Para jago dari luar perbatasan serta para jago wilayah Tionggoan
yang setia kepada Tiong pek lojin kontan saja berubah wajah,
dengan muka hijau membesi dan sorot mata berapi api karena
gusar, mereka bersiap sedia melakukan gerakan. Huan im sin ang
memang pandai memanfaatkan kesempatan baik tiba tiba ia tertawa
tergelak, lalu berkata :
"Tua bangka So, sudah kau lihat jelas keadaan disekelilingmu?
Sebaik baiknya hatimu paling banter kau cuma dibuat sebagai

486
umpan untuk anjing, menurut penglihatanku, lebih baik kau
memimpin istana Ban seng kiongku saja."
Tiba tiba Tiang pek lojin rnelompat bangun kemudian sambil
tertawa dingin katanya :
"Hmm.... Ban seng kiong masih belum pantas untuk menarikku!"
Tiba tiba dia mengangkat tangannya ke atas memberi tanda,
dengan airmata bercucuran serunya :
"Anak anak, kita mundur dari sini!"
Dalam keadaan demikian, mau tak mau dia memang harus
mengundurkan diri dari situ. Serentak para jago dari luar perbatasan
serta para jago Tionggoan yang simpatik kepadanya bangun berdiri
dari tempat duduk. Tampaknya mereka sudah menaruh rasa benci
dan dendam terhadap umat persilatan yang mencurigai orang tanpa
memeriksa lebih dulu dan rasa benci itu tampak jelas dibalik sorot
mata mereka.
Sejak masuk ke dalam arena, walaupun paras muka Thi Eng khi
dan Pek leng siancu So Bwe leng telah memperlihatkan perubahan
hebat, namun mereka tidak mengucapkan sepatah katapun, suasana
yang begini hening ini tentu saja merupakan salah satu rencana dari
Huan im sin ang.
Beberapa kali Pek leng siancu So Bwe leng ingin tidak
menggubris peringatan da¬ri Huan im sin ang untuk lari ke hadapan
kakeknya dan mengemukakan kesulitannya, namun dia selalu
memikirkan pula keselamatan Thi Eng khi, hingga untuk sesaat dia
menjadi sangsi dan tak dapat mengambil keputusan apa-apa.
Thi Eng khi sendiri walaupun ilmu silatnya telah pulih kembali
seperti sedia kala namun diapun tak bisa tidak menggubris ancaman
dari Huan im sin ang tersebut, terutama setelah dia tahu kalau Pek
leng siancu bersedia menuruti perkataan Huan im sin ang lantaran
dia, hal tersebut membuatnya menjadi amat terharu. Oleh karena
itu, dia dipaksa untuk melepaskan rencananya semula dan tak berani
turun tangan untuk menghadapi Huan im sin ang.

487
Dalam keadaan serba salah itu, dia mendengar pula pekikan
sedih dari Tiang pek lojin, hal mana menimbulkan suatu bentrokan
batin dalam benaknya antara bertahan dengan pendiriannya semula
atau jangan.
Sementara itu Tiang pek lojin sudah bersiap siap meninggalkan
arena karena malu, kejadian ini membuatnya jadi nekad. Tiba tiba ia
menggenggam tangan Pek leng siancu So Bwe leng sebagai
pernyataan rasa menyesalnya, kemudian sambil bangkit berdiri dia
berkata:
"So yaya, harap tunggu sebentar, Eng khi hendak mengucapkan
sesuatu kepadamu."
Mendengar Thi Eng khi berbicara, pertama tama yang menjadi
terperanjat lebih dulu adalah Pek leng siancu So Bwe leng, segera
jeritnya lengking :
"Engkoh Eng khi, kau.... kau.... kau.... jangan berbicara!"
Pada saat yang bersamaan, Huan im sin ang berseru pula sambil
tertawa dingin :
"Keparat, rupanya kau sudah makan hati beruang nyali macan
sehingga berani membantah perintahku!"
Sebaliknya Tiang pek lojin So Seng pak tertawa seram, serunya
penuh rasa gusar :
"Siapa yang menjadi So yaya mu? Kau masih punya muka untuk
bertemu dengan aku?"
Dengan langkah lebar dia beranjak lebih dulu meninggalkan
tempat duduknya. Setelah buka suara berarti Thi Eng khi sudah
mempunyai keputusan didalam hatinya, dalam keadaan demikian
terpaksa dia harus mengutamakan kepentingan umum lebih dulu
daripada kepentingan pribadi, maka terhadap jeritan Pek leng siancu
So Bwe leng dan peringatan Huan im sin ang sama sekali tidak ambil
peduli, sekali melompat dia sudah tiba di hadapan Tiang pek lojin.
Thi Eng khi dapat melompat ke depan, hal ini membuktikan kalau
ilmu silatnya belum hilang. Seketika itu juga kejadian ini
menggirangkan Pek leng siancu So Bwe leng dan mengejutkan Huan

488
im sin ang. Pek leng siancu So Bwe leng segera melejit ke udara dan
meluncur ke muka, dia tak perduli lagi dengan segala ancaman Huan
im sin ang, sebab dirasakan bahwa dirinya sudah bebas merdeka
sekarang.
Siapa tahu belum sampai berapa kaki, mendadak ia merasakan
punggungnya menjadi kencang, tahu tahu tubuhnya sudah kena
dicengkeram oleh Huan im sin ang, menyusul kemudian jalan darah
siau yau hiatnya menjadi kaku dan ia diseret kembali ke tempat
semula.
Setelah berhasil mencengkeram tubuh Pek leng siancu So Bwe
leng, Huan im sin ang tertawa seram.
"Thi Eng khi! Bila kau sudah tidak perdulikan keselamatan So Bwe
leng lagi, silahkan kau berbicara sekehendak hatimu!"
Sebenarnya Tiang pek lojin tak ingin menggubris ucapan dari Thi
Eng khi lagi, akan tetapi perubahan situasi yang kemudian
berlangsung membuat sadar kembali bagaimanakah posisi Thi Eng
khi dan cucu kesayangannya ketika itu, hal ini membuktikan pula
kalau kedua orang bocah itu sama sekali tidak bersalah.
Setelah tertegun sebentar, diapun segera berhenti. Sorot
matanya yang tajam segera dialihkan kewajah Thi Eng khi kemudian
katanya dengan suara dalam :
"Perkataan apakah yang kau hendak ucapkan? Sekarang boleh
diutarakan keluar, tak usah perdulikan mati hidup Bwe Leng la¬gi,
So yaya tidak doyan dengan ancaman semacam itu!"
Thi Eng khi membalikkan badannya menghadap kearah Huan im
sin ang, kemudian hardiknya:
"Apa yang hendak kau lakukan terhadap dirinya?"
"Heeehhh.... heehhhh...... heeehhh.... tentang soal ini, tak perlu
kau urusi,'' sahut Huan im sin ang sambil tertawa seram.
Pek leng siancu So Bwe leng melompat lompat, berusaha untuk
melepaskan diri, kemudian teriaknya :
Anda sedang membaca artikel tentang Pukulan Naga Sakti 1 dan anda bisa menemukan artikel Pukulan Naga Sakti 1 ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/09/pukulan-naga-sakti-1.html,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Pukulan Naga Sakti 1 ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Pukulan Naga Sakti 1 sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Pukulan Naga Sakti 1 with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/09/pukulan-naga-sakti-1.html. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar