menghindar. Terasa tangan si kakek sangat kuat, sekali kena
dipegang tubuh serasa hendak terangkat ke atas. Lekas-lekas
ia mengerahkan tenaga untuk bertahan, menyusul tangan
kanan terus menangkis untuk melepaskan cengkeraman lawan.
Seketika tangan Pek Cu-cay terasa kesemutan tertangkis oleh
tangan Ciok Boh-thian, ia bersuara heran dan merasa tenaga
dalam bocah ini benar-benar sangat hebat. Cepat tangan
kirinya menyambar pula, kembali dada Boh-thian kena
dijambretnya, menyusul terus mengentak ke samping, tapi
tubuh pemuda itu tetap tak bergerak.
Mestinya Boh-thian sudah berjaga-jaga dan ingin berkelit, tapi
toh tetap kena dijambret si kakek, diam-diam ia sangat kagum
dan memuji, “Kepandaian Loyacu memang sangat lihai, hanya
dua jurus ini saja sudah lebih lihai daripada Ting-siya!”
Sebenarnya Pek Cu-cay sudah merasa malu karena dua kali
angkat dan entak tak mampu merobohkan Boh-thian, sekarang
pemuda itu memujinya lebih lihai daripada Ting-Put-si, maka ia
menjadi senang pula. Katanya, “Memangnya Ting Put-si mana
bisa menandingi aku?”
Habis itu kaki kiri Pek Cu-cay terus menjegal. Akan tetapi Bohthian
sempat mengelak pula sehingga tidak jadi jatuh
tersungkur.
Serangan tiga serangkai; menarik, mencengkeram dan
menjegal dari Pek Cu-cay itu selama ini sudah banyak
menjatuhkan jago-jago silat ternama. Siapa duga sekarang dia
ketemu Ciok Boh-thian yang memiliki tenaga dalam yang
mahakuat sehingga satu jurus pun tidak berhasil.
Sebabnya pikiran Pek Cu-cay menjadi kurang waras adalah
karena ucapan Ting Put-si tempo hari tentang Su-popo, dalam
gusar dan cemburunya pikirannya menjadi linglung. Sekarang
melihat sang istri sudah pulang dan diketahui pula kepergian
Su-popo ke Pik-lwe-to sebagaimana dikatakan Ting Put-si itu
cuma omong kosong belaka, saking girangnya penyakit gilanya
sudah sembuh sebagian besar. Tapi tentang gila hormat “Jago
nomor satu di dunia”, ini masih tetap menjadi keyakinannya.
Tak tersangka sekarang tiga jurus andalannya itu ternyata
tidak mampu mengapa-apakan seorang pemuda sebagai Ciok
Boh-thian, keruan ia menjadi murka sehingga pikirannya
menjadi linglung lagi. Tanpa bicara lagi segera ia menghantam
ke dada Ciok Boh-thian dengan tenaga sepenuhnya, sama
sekali ia sudah lupa tentang pesan Su-popo agar memberi
kelonggaran kepada Boh-thian.
Melihat pukulan dahsyat itu, cepat Boh-thian menangkis, tapi
menyusul kepalan kiri Pek Cu-cay lantas memukul pula. Segera
Boh-thian bermaksud mengegos, namun pukulan susulan Pek
Cu-cay ini sangat lihai, “plak”, tanpa ampun lagi bahu kanan
Boh-thian kena digenjot.
Saking khawatir dan kagetnya A Siu sampai menjerit. Tapi
Boh-thian ternyata tidak bergerak, bahkan ia menghibur si
nona, “Jangan khawatir, aku tidak sakit!”
“Anak kurang ajar! Kau tidak sakit? Ini, rasakan lagi bogem
mentahku!” teriak Pek Cu-cay dengan gusar sambil
melontarkan hantaman pula. Tapi kena ditangkis oleh Ciok
Boh-thian.
Melihat pertarungan kedua orang itu makin lama makin cepat
dan berulang-ulang Boh-thian kena pukulan dan tendangan,
semula A Siu sangat khawatir. Tapi demi melihat pemuda itu
seperti tidak merasakan apa-apa, akhirnya ia pun merasa lega.
Beruntun-runtun Pek Cu-cay telah hantam belasan kali di tubuh
Ciok Boh-thian, semula dia memang cuma menggunakan duatiga
bagian tenaganya menurut pesan sang istri agar Boh-thian
tidak terluka. Tapi pemuda itu ternyata tidak kelihatan kalah,
keruan Cu-cay terkejut dan gusar pula. Maka pukulan-pukulan
selanjutnya juga semakin keras. Namun aneh juga, biarpun
tenaga pukulannya sudah tambah kuat, pemuda itu tetap sukar
dirobohkan.
Sambil mengerang murka Pek Cu-cay telah mengerahkan
segenap tenaganya untuk menyerang sehingga antero kamar
penuh angin pukulan yang keras, sampai-sampai rantai besi
yang bergantungan di tiang batu ikut gemerencing terguncang.
A Siu merasa napasnya menjadi sesak, terpaksa ia membuka
pintu kamar penjara itu dan berjalan keluar. Ia merasa tidak
sampai hati menyaksikan tubuh Ciok Boh-thian dihujani
pukulan sang kakek, segera ia merapatkan pintu dan diamdiam
berdoa di luar semoga pertarungan kedua orang itu
berakhir dengan seri dan keduanya tidak terkena cedera apaapa.
Ia mendengar suara daun pintu terguncang dan
gemerencingnya rantai makin lama makin keras, sungguh ia
menjadi cemas dan sangat khawatir. Entah berapa lamanya
ketika mendadak keadaan menjadi sunyi, tak terdengar lagi
suara gemerencingnya rantai dan terguncangnya daun pintu. Ia
coba mendengarkan dengan cermat, ternyata di dalam kamar
penjara itu sunyi senyap. Keadaan demikian membuatnya
semakin cemas daripada tadi. Pikirnya, “Wah, celaka! Entah
kakek atau dia yang menang? Kalau kakek yang menanti tentu
sudah terbahak-bahak, sebaliknya kalau dia yang menang,
tentu pula dia sudah keluar.”
Dengan gemetar kemudian A Siu mendorong pintu dengan
perlahan-lahan, hatinya kebat-kebit khawatir kalau-kalau yang
dilihatnya adalah mayat salah seorang yang menggeletak. Tapi
ia lantas menghela napas lega ketika tertampak Pek Cu-cay
sedang duduk bersila dengan kedua mata terpejam, sedangkan
Ciok Boh-thian dengan tersenyum simpul memandang
padanya, sebelah tangan pemuda itu menahan di punggung
sang kakek, rupanya sedang bantu menyalurkan tenaga dalam
untuk menyembuhkan luka sang kakek.
“Apakah... apakah Yaya terluka?” tanya A Siu dengan khawatir.
“Tidak, hanya napasnya sesak seketika, sebentar saja sudah
baik,” sahut Boh-thian.
Mendadak Pek Cu-cay melompat bangun sambil membentak,
“Napas sesak apa? Bukankah aku sudah... sudah sembuh?”
Berbareng sebelah tangannya terus menghantam pula ke batok
kepala Ciok Boh-thian.
Tapi mendadak kedua telapak tangannya terasa bengkak dan
kesakitan, waktu diperiksa, ternyata kedua tangannya sudah
merah biru dan melepuh, kalau hantaman itu mengenai Ciok
Boh-thian, bukan mustahil tangannya sendiri yang akan pecah
lebih dulu.
Dalam pada itu kedua kakinya lantas terasa pula kesakitan
seperti ditusuk jarum. Maka tahulah Pek Cu-cay bahwa tenaga
dalam bocah yang disepelekannya itu ternyata mahakuat,
berpuluh kali pukulannya tadi telah terpental kembali karena
terbentur tenaga dalam pemuda itu sehingga tangan dan
kakinya sendiri yang luka tergetar.
Bab 43. Mo-thian-kisu Cia Yan-khek Muncul di Leng-siausia
Untuk sejenak Pek Cu-cay termangu-mangu, akhirnya ia
berkata, “Ya, sudahlah, habislah segalanya!”
Seketika ia menjadi putus asa, segala bualan tentang “jago
nomor satu di dunia ini” barulah diinsafinya terlalu menggelikan
orang lain. Segera ia ambil borgol dan membelenggu pula kaki
dan tangannya sendiri dan dikunci pula padu pilar. “Cring”, ia
banting kunci borgol ke dinding batu sehingga kunci-kunci itu
rusak melengkung, maka untuk membuka borgolnya menjadi
susah pula.
“He, Yaya, mengapakah kau?” seru A Siu kaget.
Tapi Pek Cu-cay lantas berpaling menghadap tembok, katanya,
“Aku... aku Pek Cu-cay sudah terlalu berdosa, biarlah sekarang
tirakat di sini untuk menginsafkan diri. Lekas kalian keluar dari
sini, sejak kini siapa pun takkan kutemui. Boleh suruh
nenekmu pergi ke Pik-lwe-to saja dan selanjutnya jangan
pulang ke Leng-siau-sia lagi.”
A Siu dan Boh-thian saling pandang dengan bingung. Selang
sejenak barulah A Siu mengomeli Boh-thian, “Semuanya garagaramu,
mengapa kau mentang-mentang mesti mencari
menang?”
“Aku... aku toh tidak menyerang sekalipun pada kakekmu?”
sahut Boh-thian dengan melengak.
“Apakah dia hanya kakekku saja? Apakah kau merasa terhina
jika memanggil ‘kakek’ juga kepada beliau?” semprot A Siu
dengan melotot.
“O, ya. Kakek!” cepat Boh-thian memanggil dengan rasa syur.
Tapi Pek Cu-cay telah menggoyang-goyang tangannya dan
berseru, “Lekas pergi, lekas pergi! Kau lebih kuat daripadaku,
aku adalah cucumu, kaulah kakekku!”
“Wah, kakek telah marah, lekas kita beri tahukan pada nenek!”
kata A Siu sambil menjulur lidah.
Segera kedua orang keluar dari penjara itu dan menuju ke
ruang pendopo. Kata Boh-thian kepada si nona, “A Siu, setiap
orang menyangka aku sebagai pemuda Ciok Tiong-giok itu,
sampai-sampai Ciok-cengcu dan Ciok-hujin juga tidak dapat
membedakan. Tapi mengapa kau tidak sampai salah mengenal
diriku?”
Mendadak air muka A Siu berubah merah, lalu pucat pula dan
jalannya menjadi agak sempoyongan. Cepat ia tenangkan diri,
kemudian berkata, “Ciok Tiong-giok itu pernah hendak menodai
diriku sehingga aku terjun ke jurang untuk membunuh diri.
Toako, apakah kau suka membalaskan sakit hatiku dan
membunuh dia?”
Boh-thian menjadi ragu-ragu, jawabnya, “Dia adalah putra
tunggal kesayangan Ciok-cengcu dan Ciok-hujin, Ciok-cengcu
berdua juga sangat baik padaku, sungguh aku... aku tidak
boleh membunuh putranya, A Siu.”
Tiba-tiba A Siu menangis terguguk-guguk, katanya, “Untuk
pertama kalinya aku memohon padamu dan sudah lantas kau
tolak, maka untuk selanjutnya tentu kau pun akan... akan
selalu main garang padaku seperti kakek terhadap nenek.
Biar... biarlah kuberi tahukan pada nenek dan ibu saja.”
Habis berkata ia terus putar tubuh dan berlari pergi.
“A Siu, A Siu! Dengarkanlah penjelasanku,” seru Boh-thian.
“Jika kau tidak membunuh dia, selamanya aku takkan
menggubris kau lagi!” sahut A Siu sambil menutupi mukanya
dan terus berlari ke depan, hanya sekejap saja ia sudah sampai
di ruang pendopo.
Ketika Boh-thian juga menyusul tiba, tertampaklah di ruangan
situ sinar pedang berkilat-kilat, empat orang sedang bertempur
dengan sengit. Mereka adalah Pek Ban-kiam, Seng Cu-hak, dan
Ce Cu-bian bertiga sedang mengerubut seorang tua berewok
dan berjubah hijau.
Melihat orang tua itu, tanpa merasa Boh-thian terus berseru,
“He, Paman Cia, baik-baikkah kau? Sudah lama sekali kita tak
bertemu!”
Kiranya orang tua itu tak-lain-tak-bukan adalah Mo-thian-kisu
Cia Yan-khek.
Dikeroyok tiga tokoh terkemuka Swat-san-pay ternyata Cia
Yan-khek masih tetap sangat tangkas, dengan bertangan
kosong ia melawan tiga batang pedang sedikit pun tidak
kelihatan asor, sebaliknya dia malah di atas angin, lebih
banyak menyerang daripada diserang. Ketika tiba-tiba
mendengar suara seruan Ciok Boh-thian ia terperanjat, waktu
memandang ke arah pemuda itu, tanpa terasa ia berseru, “He,
mengapa muncul satu pula?”
Pertandingan tokoh-tokoh terkemuka biasanya tidak boleh
lengah sedikit pun. Karena terkejutnya itu, sekaligus pedangpedang
Pek Ban-kiam, Seng Cu-hak, dan Ce Cu-bian lantas
menusuk ke perutnya.
Serangan cepat lagi ganas itu tampaknya pasti akan
menembus perut Cia Yan-khek, Boh-thian menjadi khawatir.
Teriaknya, “Awas!”
Cepat ia melompat maju, sekali jambret ia pegang punggung
Pek Ban-kiam dan ditarik ke atas. Menyusul terdengarlah suara
“krek-krek” dua kali, dalam keadaan berbahaya Cia Yan-khek
telah keluarkan kepandaian andalannya “Pik-ciam-jing-ciang”,
tangan kiri mematahkan pedang Ce Cu-bian dan tangan kanan
mematahkan pedang Seng Cu-hak. Walaupun demikian tidak
urung jubahnya juga sudah tergores robek dua jalur panjang.
Bahkan menyusul kedua tangannya terus menyodok pula ke
depan, di mana tenaga dalamnya memancar, kontan Seng Cuhak
dan Ce Cu-bian terus mencelat dan menumbuk dinding.
Dalam pada itu terdengar pula suara “plok” satu kali, kiranya
Pek Ban-kiam telah putar tubuh dan persen Ciok Boh-thian
dengan sekali tamparan.
Cia Yan-khek memandang sekejap pula kepada Ciok Boh-thian,
kemudian sorot matanya beralih kepada si pemuda Ciok Tionggiok
yang duduk di pojok sana. Dengan terheran-heran dan
bingung ia bertanya, “Mengapa ka... kalian berdua sedemikian
miripnya?”
Sementara itu Boh-thian telah melepaskan Ban-kiam, dengan
muka berseri-seri ia menjawab, “Paman Cia, apakah kau
datang buat menolong aku? Aku baik-baik saja, terima kasih
atas maksud baikmu. Eh, Ting-ting Tong-tong dan Ciok-toako,
kalian juga datang semua? Ciok-cengcu dan Ciok-hujin,
syukurlah kalian tidak tercedera apa-apa. Suhu, Yaya telah
memborgol dirinya sendiri pula dan tak mau keluar, katanya
kau boleh pergi ke Pik-lwe-to saja.”
Begitulah sekaligus ia telah bicara terhadap Cia Yan-khek, Ting
Tong, Ciok Tiong-giok, Ciok Jing suami-istri, dan Su-popo. Dia
bicara dengan gembira ria, sebaliknya orang-orang yang
mendengar ucapannya itu sama terkejut.
Dahulu waktu di atas Mo-thian-kay, karena ingin
mempermainkan Ciok Boh-thian, maka Cia Yan-khek telah
mengerahkan tenaga dalamnya dari Pik-ciam-jing-ciang yang
dilatihnya itu. Kebetulan pada saat itulah Pwe Hay-ciok muncul
bersama jago-jago Tiang-lok-pang, katanya hendak mencari
pangcu mereka yang tinggal di atas Mo-thian-kay yaitu Ciok
Boh-thian.
Walaupun sekali gebrak saja Cia Yan-khek sudah berhasil
membekuk Bi Heng-ya dari Tiang-lok-pang, tapi dikerubut Pwe
Hay-ciok dan kawan-kawannya, kebetulan Yan-khek sendiri lagi
kehabisan tenaga dalam, ia pikir kalau terus bertahan tentu
akan celaka. Daripada dikalahkan ada lebih baik kabur saja
sebelum terlambat.
Sebagai pemilik Hian-tiat-leng, medali wasiat yang
diperebutkan setiap orang Bu-lim sudah tentu Cia Yan-khek
bukanlah tokoh sembarangan. Walaupun dia tidak dikalahkan,
tapi ia pun merasa terhina dengan peristiwa itu. Ia pikir
sebabnya dirinya sampai kabur adalah lantaran kehabisan
tenaga sebelum musuh tiba, jika dalam keadaan normal Pwe
Hay-ciok sekali-kali bukanlah tandingannya biarpun ditambah
dengan beberapa orang begundalnya.
Segera ia mencari suatu tempat terpencil untuk
mengembalikan lwekangnya dan meyakinkan Pik-ciam-jingciang
sehingga sempurna benar-benar, beberapa bulan
kemudian barulah ia mendatangi Tiang-lok-pang di Yangciu
untuk menuntut balas. Begitu masuk pintu kontan enam orang
hiangcu sudah lantas dibinasakan olehnya. Keruan Tiang-lokpang
menjadi geger.
Tatkala itu Ciok Boh-thian sudah ditipu oleh si Ting Tong untuk
menggantikan Ciok Tiong-giok menuju ke Leng-siau-sia dan
nona itu diam-diam sedang mencari kesempatan untuk kabur
bersama Tiong-giok. Tak tersangka penjagaan Tiang-lok-pang
sangat kuat, di mana-mana terdapat pos penjaga, betapa pun
mereka hendak melarikan diri selalu kepergok. Tiada jalan lain
terpaksa Ciok Tiong-giok juga lantas memalsukan Ciok Bohthian
untuk sementara.
Sebaliknya Pwe Hay-ciok sesudah menyambut kembali Ciok
Boh-thian dari Mo-thian-kay, diam-diam ia pun merasa telah
mengikat permusuhan dengan seorang tokoh yang kelak tentu
akan mendatangkan kesukaran. Kemudian diketahui bahwa
Ciok Boh-thian ternyata bukan Ciok Tiong-giok yang dicari
mereka itu. Namun jarak waktu datangnya medali undangan
dari Liong-bok-to sudah mendesak, terpaksa ia memalsukan
tanda-tanda atau ciri-ciri yang berada di badan Ciok Boh-thian
sebagai gantinya Ciok Tiong-giok.
Kiranya dahulu setelah Ciok Tiong-giok disanjung-sanjung oleh
Pwe Hay-ciok dan lain-lain dan diangkat sebagai pangcu, tapi
beberapa hari kemudian pemuda yang bangor itu lantas
hendak melarikan diri. Namun ia kena ditangkap kembali oleh
Pwe Hay-ciok dan dibelejeti hingga telanjang bulat serta
ditahan selama beberapa hari. Lantaran itulah ciri-ciri yang
terdapat di badan Ciok Tiong-giok dapat dilihat oleh Pwe Hayciok.
Siapa sangka kedua sucia dari Liong-bok-to ternyata lain
daripada yang lain, rahasia pemalsuan Pwe Hay-ciok itu dengan
mudah telah dibongkar oleh mereka, Ciok Tiong-giok yang asli
telah mereka seret keluar. Walaupun kemudian Ciok Boh-thian
dengan sukarela mau menjabat pangcu mereka untuk
menghadiri pertemuan di Liong-bok-to kelak, tapi Pwe Hay-ciok
merasa malu juga, sedapat mungkin ia menjauhi Boh-thian
sehingga tentang pertukaran Boh-thian dan Tiong-giok yang
mestinya tidak gampang mengelabui matanya sebegitu jauh
belum diketahui.
Hari itu Cia Yan-khek telah datang dan sekaligus
membinasakan enam orang hiangcu mereka, terpaksa Pwe
Hay-ciok tampil ke muka. Tapi ia pun insaf bukan tandingan
Cia Yan-khek. Sambil melayani lawan segera ia memberi
perintah agar sang pangcu dipanggil supaya lekas keluar.
Sudah tentu Ciok Tiong-giok menjadi ketakutan, dengan
macam-macam alasan ia menolak untuk keluar sehingga
suruhan Pwe Hay-ciok berturut-turut datang pula dan
memenuhi kamar sang pangcu. Karena sudah tak bisa
mengelakkan diri pula, terpaksa Tiong-giok ikut keluar ke
ruang pendopo dengan tekad bukanlah melawan, tapi akan
menyerah dan minta maaf kepada Cia Yan-khek.
Di luar dugaan ketika Cia Yan-khek melihat dia, seketika ia
berseru terkejut, “He, Kau-cap-ceng, kiranya kau!”
Dalam pada itu tertampak Pwe Hay-ciok sudah menggeletak di
samping dalam keadaan payah, pakaiannya berlumuran darah.
Kalau Pwe-tayhu saja kena dirobohkan Cia Yan-khek, apalagi
dirinya sendiri, bahkan rahasia pemalsuannya tentu akan
terbongkar pula, demikian pikir Tiong-giok. Maka ketika ditegur
oleh Cia Yan-khek, terpaksa ia menjawab dengan tergagapgagap,
“Ya, ki... kiranya Cia-siansing.”
Ia tidak tahu bahwa “Kau-cap-ceng” adalah namanya Ciok Bohthian
dan begitu melihat Cia Yan-khek lantas mengira dia
sebagai Ciok Boh-thian.
“Hm, bagus, bagus! Ternyata kau ini adalah Pangcu Tiang-lokpang!”
jengek Cia Yan-khek pula.
Tapi demi teringat kejadian-kejadian dahulu, mau tak mau ia
menjadi mengkeret.
Seperti diketahui dia telah menerima kembali medali wasiat
dari Ciok Boh-thian yang dikenalnya sebagai pengemis cilik
bernama Kau-cap-ceng. Dahulu Yan-khek sendiri telah
bersumpah siapa-siapa yang menemukan medali wasiatnya
boleh mengajukan sesuatu permintaan atau perintah dan tentu
akan dilaksanakan olehnya.
Maka sekarang ia menjadi khawatir, “Wah, celaka! Kiranya
demikian licinnya Pwe-tayhu ini. Dia mengetahui aku telah
menerima kembali Hian-tiat-leng dari Kau-cap-ceng, maka
dengan segala usahanya dia sengaja datang ke Mo-thian-kay
untuk membawa bocah itu ke sini dan diangkat menjadi pangcu
boneka, sudah terang maksud tujuannya adalah supaya aku
tunduk kepada perintah pangcu mereka. Wahai Cia Yan-khek,
selamanya kau sangat pintar, mengapa hari ini kau masuk
perangkap sendiri ke sini. Sejak kini kau tentu akan selalu
dijadikan alat oleh mereka dan celakalah kau!”
Begitulah, kalau seseorang sudah terikat kepada sesuatu hal,
maka segala apa yang dialaminya tentu selalu dihubunghubungkan
dengan hal itu. Seorang pesakitan yang melarikan
diri dari penjara tentu akan selalu menyangka semua opas di
dunia ini sedang menguber-ubernya. Seorang penjahat tentu
pula akan selalu menganggap setiap orang menaruh curiga
padanya. Begitu pula dalam hubungan asmara muda-mudi,
setiap gerak-gerik atau tutur kata sang kekasih tentu disangka
sebagai ditujukan kepadanya.
Dan demikian pula dengan perasaan Cia Yan-khek sekarang.
Semakin dipikir semakin khawatir dia. Ia mengira Pwe Hay-ciok
sudah merancangkan sesuatu tipu muslihat untuk
menjebaknya. Dengan tak berkedip ia pandang Ciok Tiong-giok
untuk menantikan perintah apa yang harus dilakukan olehnya.
Ia pikir celakalah jika pemuda itu suruh dia mengutungi kedua
tangannya sendiri sehingga cacat untuk selamanya.
Mestinya ia dapat tinggal pergi saja dan untuk seterusnya tak
perlu bertemu dengan Kau-cap-ceng, dengan demikian
terhindarlah kesukarannya. Tapi dengan demikian di dunia
Kangouw tentu akan lenyap pula nama seorang tokoh sebagai
dia. Hal ini masih bukan soal, yang penting adalah sumpahnya
itu, kalau sampai ketulah atau kualat atas sumpahnya sendiri
kan bisa konyol.
Begitulah ia terus pandang Ciok Tiong-giok untuk menantikan
perintahnya. Tak tersangka Ciok Tiong-giok juga sangat takut
padanya. Jadi kedua orang terus saling pandang sampai sekian
lamanya.
Akhirnya Cia Yan-khek membuka suara juga dengan bengis,
“Baiklah, memang kau telah mengembalikan Hian-tiat-leng
padaku, sekali orang she Cia sudah bicara tentu akan pegang
janji, Sekarang silakan omong saja, apa yang kau minta
kukerjakan segera akan kulaksanakan. Selamanya orang she
Cia sudah malang melintang di Kangouw, biarpun menghadapi
urusan sukar setinggi langit juga takkan mengerut kening.”
Mendengar itu, seketika Ciok Tiong-giok tertegun. Tentang
sumpah Cia Yan-khek mengenai Hian-tiat-leng yang dia
sebarkan pernah juga didengar olehnya. Sebagai pemuda yang
cerdik segera ia paham duduknya perkara. Ia duga Cia Yankhek
tentu telah salah sangka dia sebagai Ciok Boh-thian,
bahkan tokoh itu minta dia mengemukakan sesuatu soal dan
tentu akan dilakukan olehnya biar betapa pun sukarnya soal
itu. Keruan Ciok Tiong-giok kegirangan melebihi orang
ketomplok rezeki dari langit.
Ia pikir ilmu silat orang ini sangat tinggi, boleh dikata tiada
sesuatu yang sukar baginya. Lantas soal apa yang paling tepat
agar dapat dilaksanakan olehnya? Maka untuk sejenak Tionggiok
menjadi ragu-ragu dan termenung-menung.
Rupanya Cia Yan-khek dapat melihat rasa kejut dan girang dan
takut pula atas diri Ciok Tiong-giok, segera ia berkata, “Orang
she Cia sudah pernah mengatakan, siapa saja yang
mendapatkan medali wasiatku, tidak nanti aku mengganggu
seujung rambutnya. Dan sebab apa kau merasa takut-takut?
Kau-cap-ceng, pandai benar lagakmu ya waktu berada di Mothian-
kay tempo hari. Ilmu ‘Yam-yam-kang’ itu sudah berhasil
kau latih belum?”
Ciok Tiong-giok tidak tahu apa itu ilmu Yam-yam-kang yang
ditanyakan, maka secara tak acuh ia hanya tersenyum saja.
Diam-diam ia pun sudah ambil keputusan, “Bahaya yang
sedang kuhadapi adalah dari Swat-san-pay. Sesudah si tolol itu
(maksudnya Ciok Boh-thian) itu sampai di Leng-siau-sia tentu
rahasia penyamarannya akan terbongkar dan jago-jago Swatsan-
pay tentu akan mencari perkara padaku lagi. Sungguh sial,
aku belum makan nangkanya sudah kena getahnya. Kalau
urusan ini tidak beres-beres tentu hidupku akan selalu tak
tenteram. Sekarang ada kesempatan baik, mengapa aku tidak
minta dia menyelesaikan persoalan ini. Kalau seorang diri Cia
Yan-khek ini mampu mengubrak-abrik Tiang-lok-pang, tentu
pula dia sanggup menghancurkan Leng-siau-sia.”
Maka katanya kemudian, “Cia-siansing adalah seorang yang
pegang janji, sungguh harus dipuji dan mengagumkan.
Tentang urusan yang Cayhe minta dikerjakan Cia-siansing ini
mungkin bagi orang lain akan terasa luar biasa dan sukar
dilaksanakan, tapi dengan ilmu silat Cia-siansing yang tiada
bandingannya di dunia ini rasanya hanya soal sepele saja.”
Mendengar ucapan pemuda itu rasanya bukan meminta dia
membikin cacat dirinya sendiri, maka Cia Yan-khek menjadi
girang. Segera ia bertanya, “Soal apa yang kau minta
kukerjakan?”
“Dengan sembrono Cayhe mohon Cia-siansing suka pergi ke
Leng-siau-sia, tumpas dan habiskan segenap anggota Swatsan-
pay di sana,” sahut Tiong-giok.
Cia Yan-khek terkesiap. Ia pikir Swat-san-pay adalah suatu
aliran besar dunia persilatan yang terkemuka, ketuanya Wi-tek
Siansing Pek Cu-cay juga seorang tokoh ternama yang
disegani, sekarang orang-orang Swat-san-pay itu disuruh
menumpas habis, sudah tentu bukanlah soal mudah.
Tapi dasarnya Cia Yan-khek memang seorang iblis yang
membunuh orang seperti membunuh ayam, orang jahat
biasanya dibunuh olehnya, orang baik juga tidak kurang yang
menjadi korban keganasannya, maka tanpa pikir lagi segera ia
mengangguk dan mengiakan. Lalu putar tubuh hendak terus
berangkat.
“Eh, nanti dulu, Cia-siansing!” seru Ciok Tiong-giok.
“Ada apa lagi?” tanya Yan-khek sambil berpaling. Menurut
dugaannya sebabnya “Kau-cap-ceng” itu minta dia pergi
membunuh habis orang-orang Swat-san-pay tentu adalah atas
usul Pwe Hay-ciok dan jago-jago Tiang-lok-pang sehingga aku
diminta menumpas lawannya itu.
Dalam pada itu terdengar Ciok Tiong-giok telah berkata, “Ciasiansing,
aku ingin pergi bersama engkau untuk menyaksikan
soal yang akan kau laksanakan itu!”
Kiranya selama dalam pengawasan orang-orang Tiang-lokpang,
diam-diam Ciok Tiong-giok menjadi sedih. Dia telah
berunding beberapa kali dengan si Ting Tong, kedua orang
sudah ambil keputusan betapa pun takkan berangkat ke Liongbok-
to. Tapi untuk kabur dari markas Tiang-lok-pang yang
diawasi secara ketat itu juga tidak gampang, kesempatan
melarikan diri hanya ada pada waktu di tengah perjalanan ke
Liong-bok-to nanti.
Orang-orang Tiang-lok-pang sendiri walaupun mengadakan
pengawasan keras kepada Ciok Tiong-giok, tapi lahirnya
mereka sangat menurut dan tunduk kepada segala
perintahnya. Malahan keluar-masuk si Ting Tong di markas
Tiang-lok-pang itu pun dapat dilakukan dengan bebas tanpa
rintangan.
Dasar otak Ciok Tiong-giok memang encer, begitu mendengar
Cia Yan-khek sudah mengiakan permintaannya dan akan terus
berangkat ke Leng-siau-sia untuk menumpas orang-orang
Swat-san-pay, segera Tiong-giok menganggap kesempatan ini
dapat pula digunakan untuk kabur dari markas Tiang-lok-pang,
sebab itulah ia lantas menyatakan ingin ikut serta berangkat
bersama Cia Yan-khek.
Meski dahulu Cia Yan-khek bersumpah cuma akan melakukan
suatu permintaan bagi orang yang menemukan medali
wasiatnya, tapi permintaan Ciok Tiong-giok akan ikut ke Lengsiau-
sia ini ada hubungannya dengan soal yang harus
dilakukannya itu, maka terpaksa ia meluluskan permintaan
pemuda itu.
Keruan orang-orang Tiang-lok-pang menjadi gelisah, mereka
sama memandang Pwe Hay-ciok yang terluka parah itu dan
mengharapkan suaranya.
Tapi Ciok Tiong-giok lantas berseru, “Sekali aku sudah berjanji
akan menghadiri pertemuan di Liong-bok-to, biarpun apa yang
akan terjadi tentu juga akan kutanggung sendiri. Jika tiba
waktunya tidak nanti aku membikin kapiran kepada kalian.”
Dalam keadaan terluka parah sama sekali Pwe Hay-ciok tidak
menduga bahwa Cia Yan-khek yang sudah menang itu berbalik
mau tunduk kepada perintah Ciok Tiong-giok. Ia pikir toh
dirinya dalam keadaan payah dan tak mampu merintangi,
terpaksa ia pun menurutkan arah angin saja dan berkata
dengan lemah, “sel... selamat jalan Pangcu, maafkan Siokhe
ti... tidak dapat mengantar lagi!”
Tiong-giok juga tidak banyak bicara, segera ia ikuti Cia Yankhek
keluar dari sarang Tiang-lok-pang itu.
“Hm, Kau-cap-ceng, selama ini pintar benar kau berpura-pura
ya?” jengek Cia Yan-khek di tengah jalan. “Mataku benar-benar
sudah buta, kukira kau sengaja disuruh Ting Put-si untuk
memata-matai diriku, tak terduga kau adalah Pangcu Tianglok-
pang.”
Karena Ciok Tiong-giok sudah memberi suatu perintah untuk
dilakukan Cia Yan-khek sesuai sumpahnya, maka sekarang
Yan-khek tidak perlu sungkan-sungkan lagi padanya, kecuali
membunuhnya, dalam hal ucapan ia tidak perlu merendah diri
lagi kepada pemuda itu.
Tiong-giok juga cukup tahu diri, ia tidak berani banyak bicara,
ia hanya mengiakan dengan menyengir saja.
Memangnya si Ting Tong selalu menunggu di sekitar Ciok
Tiong-giok, dengan sendirinya ia lantas menggabungkan diri
dengan mereka dan ikut ke Leng-siau-sia.
Setiba di tempat tujuan walaupun Tiong-giok mendapat
pelindung jago wahid sebagai Cia Yan-khek, tapi betapa pun ia
jeri juga terhadap Pek Cu-cay. Maka diam-diam ia lantas
mengusulkan kepada Cia Yan-khek agar melakukan
penyergapan saja daripada menyerang secara terang-terangan.
Yan-khek merasa cocok atas usul pemuda itu. Maka mereka
bertiga lantas menyusup ke Leng-siau-sia secara diam-diam.
Memangnya Tiong-giok sangat hafal keadaan setempat, maka
dengan mudah saja mereka dapat mencapai tempat yang
dicari.
Ketika sampai di ruang tengah mereka lantas mendengar
bisak-bisik orang-orang Swat-san-pay tentang percekcokan di
dalam Leng-siau-sia sendiri. Didengar pula oleh mereka bahwa
Ciok Jing dan istrinya sudah tertawan.
Betapa pun buruk perbuatan Ciok Tiong-giok, kasih sayang
ayah dan anak tidaklah sampai lenyap. Maka diam-diam ia
pancing Cia Yan-khek menuju ke tempat tahanan, di situ Cia
Yan-khek membunuh penjaga-penjaganya, Ciok Jing dan Bin Ju
ditolong keluar, lalu sama-sama datang ke ruang pendopo.
Tatkala itu Su-popo. Pek Ban-kiam dan Ciok Boh-thian sedang
bicara dengan Pek Cu-cay. Kalau menuruti jalan pikiran Cia
Yan-khek, ia lebih suka membunuh siapa saja yang
dipergokinya, ketemu satu bunuh satu, melihat dua bunuh
sepasang, dengan demikian orang-orang Swat-san-pay akan
ditumpas habis olehnya. Namun maksudnya ini dicegah oleh
Ciok Jing dan Bin Ju.
Ciok Jing telah berkata padanya, “Kalau memang seorang
gagah, seorang kesatria sejati, hendaklah bertanding dahulu
dengan ketua mereka, Wi-tek Siansing. Sekarang tokoh
utamanya belum lagi muncul, kalau cuma pandai membunuh
anak muridnya yang merupakan kaum keroco saja, bila tersiar
di dunia Kangouw bukankah orang akan mengatakan Mo-thiankisu
hanya berani kepada kaum kecil dan takut kepada yang
keras.”
“Huh, apa yang kutakuti,” jengek Cia Yan-khek, “Baiklah,
kubunuh dulu yang tua baru nanti kuhabisi yang kecil.”
Begitulah, maka tidak lama kemudian Su-popo dan Pek Bankiam
lantas keluar. Karena ucapan Cia Yan-khek yang
mentang-mentang itu segera terjadilah pertarungan sengit.
Biar ilmu silat Ban-kiam cukup tinggi toh dia bukan tandingan
pemilik medali wasiat itu, maka hanya beberapa gebrakan saja
ia sudah terdesak dan terancam bahaya.
Karena mendengar Cia Yan-khek sumbar-sumbar akan
menumpas habis seluruh orang Swat-san-pay, biarpun sedang
cekcok dengan Ban-kiam juga Seng Cu-hak dan Ce Cu-bian
serentak lantas menerjang maju untuk mengerubut. Namun
dengan tiga lawan satu tetap tak mampu menahan tenaga
pukulan “Pik-ciam-jing-ciang” yang dahsyat dari Cia Yan-khek.
Pada waktu Ciok Boh-thian muncul, saat itu Su-popo dan Nio
Cu-cin lagi bermaksud ikut mengerubut maju. Tak terduga Cia
Yan-khek menjadi kaget ketika melihat Boh-thian sehingga
keadaan mengalami perubahan mendadak.
Munculnya Ciok Boh-thian juga sangat mengejutkan Ciok
Tiong-giok dan si Ting Tong. Menurut perhitungan mereka
semula, asalkan Ciok Boh-thian sampai di Leng-siau-sia, begitu
dilihat Pek Cu-cay yang berwatak keras itu tentu Boh-thian
akan terus dihantam mampus tanpa diberi kesempatan bicara
lagi. Siapa duga sekarang pemuda itu malah tetap segar bugar,
keruan mereka sangat kaget. Tapi Tiong-giok rada lega juga
ketika diketahui bahwa A Siu ternyata juga berada di situ
dalam keadaan baik-baik saja.
Ting Tong sendiri walaupun jatuh hati kepada Ciok Tiong-giok
yang pintar gelembuk dan pandai merayu, sebaliknya tidak
suka kepada Ciok Boh-thian yang kaku dan tidak romantis.
Namun betapa pun juga dia pernah hidup berdampingan sekian
lamanya dengan pemuda polos itu. Demi melihat Boh-thian
masih tetap sehat walafiat, mau tak mau ia merasa syukur
juga.
Dan baru sekarang juga Ciok Jing dan Bin Ju mengetahui
bahwa pemuda yang ikut mereka ke Leng-siau-sia ini ternyata
bukan putranya sendiri, tapi adalah si pemuda yang bernama
Ciok Boh-thian itu. Di samping merasa rikuh mereka merasa
geli pula. Kalau pertama kalinya mereka salah mengenali
putranya sendiri masih dapat dimengerti, siapa sangka untuk
kedua kalinya mereka tetap tak bisa membedakannya.
Dalam pada itu demi mendengar bahwa suaminya tidak mau
keluar dari kamar penjara, sebaliknya menyuruh dirinya ke Piklwe-
san, cepat Su-popo tanya kepada Boh-thian, “Pertandingan
kalian itu dimenangkan oleh siapa? Mengapa aku disuruh pergi
ke Pik-lwe-san?”
Sedangkan Cia Yan-khek juga lantas tanya, “He, kalian berdua
ini mengapa mirip satu sama lain, sesungguhnya yang mana
adalah Kau-cap-ceng?”
“Boh-thian, mengapa kau pura-pura sakit gondok dan
menggantikan anak Giok sehingga kami tertipu?” demikian
Ciok Jing dan Bin Ju juga bertanya.
“Kau tidak menurut pesanku sehingga penyamaranmu telah
diketahui bukan?” tanya si Ting Tong.
Begitulah beramai-ramai Boh-thian diberondong dengan
pertanyaan-pertanyaan sehingga dia bingung yang mana harus
dijawabnya lebih dulu.
Pada saat itu dari ruang belakang tampak muncul pula seorang
wanita setengah umur, begitu tiba lantas tanya si A Siu, “Anak
Siu, kedua pemuda yang serupa ini yang mana adalah yang
baik dan mana yang berhati jahat?”
Kiranya wanita ini adalah istrinya Pek Ban-kiam, yakni ibunya A
Siu.
Sejak terjadi Ciok Tiong-giok hendak perkosa A Siu sehingga si
nona terjun ke dalam jurang, saking dukanya nyonya Pek Bankiam
itu sampai menjadi gila, Waktu Liau Cu-le, Seng Cu-hak,
dan lain-lain mengadakan pengkhianatan, karena menganggap
nyonya Ban-kiam itu sudah gila, maka tidak memerhatikannya.
Tapi sesudah A Siu pulang bersama neneknya, orang yang
pertama dijenguk adalah ibunya itu. Melihat putri
kesayangannya ternyata tidak mati dan sudah pulang dalam
keadaan baik-baik, seketika pikiran nyonya Ban-kiam lantas
sadar sebagian besar. Maka sekarang ia pun keluar dan ikutikut
mengajukan pertanyaan.
Namun Su-popo menjadi aseran, segera ia membentak, “Diam,
diam semua! Kalau ribut-ribut begini, cara bagaimana orang
bisa bicara dengan jelas?”
Terpaksa semua orang terdiam. Hanya Cia Yan-khek saja yang
mendengus satu kali, tapi ia pun tidak membuka suara lagi.
“Coba kau jawab dulu pertanyaanku, siapa yang telah menang
antara kau dan Yaya?” Su-popo mendesak pula.
Serentak perhatian semua orang Swat-san-pay dicurahkan
kepada Ciok Boh-thian dengan rasa khawatir. Maklumlah,
meski sangat tidak puas terhadap kesombongan dan
keganasan Pek Cu-cay, tapi apa pun juga masih terhitung
ciangbunjin mereka, kalau sampai dikalahkan oleh seorang
pemuda yang masih pelonco tentu nama baik Swat-san-pay
akan runtuh habis-habisan.
Maka terdengar Boh-thian telah menjawab, “Sudah tentu Yaya
yang menang, aku mana mampu menandingi beliau? Aku telah
dihantam dan ditendang berpuluh-puluh kali, sebaliknya satu
kali pun aku tidak mampu memukul beliau.”
Mendengar demikian barulah Pek Ban-kiam dan lain-lain
menghela napas lega. Dengan melirik lalu Su-popo bertanya
pula, “Dan mengapa sedikit pun kau tidak terluka apa-apa?”
“Ya, mungkin Yaya sengaja mengampuni diriku,” sahut Bohthian.
“Akhirnya dia menjadi lelah dan duduk di atas tanah.
Kulihat napasnya agak sesak, segera kubantu beliau
menyalurkan napas dan sekarang sudah baik.”
“Hehe, kiranya demikian!” tiba-tiba Cia Yan-khek menjengek.
Su-popo tak menggubrisnya, ia tanya pula, “Lalu apa yang
dikatakan Yaya?”
“Beliau mengatakan tentang... tentang dosa apa dan ingin
tetap tinggal di... di dalam kamar batu itu, aku dibentak
supaya pergi, katanya nenek boleh pergi ke... ke Pik-lwe-to
saja dan jangan pulang ke Leng-siau-sia lagi.”
“Tua bangka itu anggap aku ini manusia apa? Mengapa aku
mesti pergi ke Pik-lwe-to sana?” teriak Su-popo dengan gusar.
Kiranya Su-popo ini nama kecilnya adalah Siau-jui, di waktu
mudanya kecantikannya telah menjatuhkan hati banyak
pemuda-pemuda kalangan persilatan, di antaranya Pek Cu-cay
dan Ting Put-si adalah tokoh-tokoh angkatan muda yang
terkemuka pada zaman itu.
Karena watak Pek Cu-cay memang sombong dan tinggi hati,
mestinya Su Siau-jui tidak suka padanya. Tapi ayah-bundanya
telah penujui ilmu silat dan nama kebesaran Swat-san-pay,
maka pilihan akhirnya jatuh atas diri Pek Cu-cay.
Pada permulaan sesudah mereka menikah Su Siau-jui sering
bertengkar mulut dengan sang suami. Kalau bertengkar dia
tentu menyesali kedua orang tua yang telat memilihkan suami
yang tidak cocok baginya. Coba kalau jadi istri Ting Put-si tentu
hidupnya akan bahagia.
Padahal Ting Put-si itu juga sangat aneh wataknya, bahkan
lebih buruk daripada Pek Cu-cay, namun pemandangan di
seberang sungai memang tampaknya lebih indah daripada
pemandangan di depan matanya. Apalagi Su Siau-jui sengaja
hendak membikin marah sang suami, ia sengaja menambahi
tentang rasa cintanya kepada Ting Put-si, sebenarnya cuma
sepuluh persen, tapi sengaja bilang seratus persen.
Sudah tentu Pek Cu-cay berjingkrak-jingkrak murka, tapi juga
tak bisa berbuat apa-apa. Baiknya setahun kemudian mereka
lantas mendapatkan anak laki-laki yaitu Pek Ban-kiam. Sejak
perhatian Su Siau-jui dicurahkan dalam perawatan putranya,
selama berpuluh tahun tidak pernah keluar dari Leng-siau-sia
dan tak pernah berjumpa pula dengan Ting Put-si.
Siapa duga sesudah sekian lamanya hidup tenteram, akhirnya
terjadilah peristiwa Ciok Tiong-giok dan A Siu. Su Siau-jui telah
ditampar oleh Pek Cu-cay, dengan marah dan dendam ia terus
minggat dari rumah, di bawah jurang yang penuh salju
beruntung dapat ditemukan A Siu yang belum lagi tewas.
Dengan membawa cucu perempuannya itu Su-popo lantas
berkelana ke daerah Tionggoan.
Tapi dasar memang sudah suratan nasib, setiba di Kota Bujiang
kembali Su-popo bertemu dengan Ting Put-si. Pertemuan
ini sudah tentu sangat menggembirakan. Dalam pembicaraan
mereka barulah diketahui bahwa Ting Put-si ternyata sangat
setia, selama itu ternyata tidak menikah dengan gadis lain.
Sebab itulah Ting Put-si dengan sangat minta Su-popo suka
ikut padanya ke Pik-lwe-to untuk tinggal beberapa hari di sana.
Usia mereka berdua sudah lebih dari 60 tahun, sudah tentu
tiada persoalan hubungan kasih muda-mudi lagi. Sebabnya
Ting Put-si berkeras mengundang Su-popo ke tempat
tinggalnya adalah karena dia pernah mengeluarkan nazar
apabila kaki sang kekasih mau menginjak tanah Pik-lwe-to
saja, maka mati pun dia akan merasa puas.
Undangan itu telah ditolak Su-popo dengan tegas. Tapi Ting
Put-si masih terus memohon dan mendesak, sampai akhirnya
terjadilah uber-uberan. Karena tidak tahan atas desakan dan
usikan Ting Put-si itu, Su-popo menjadi marah, dan sekali
sudah bertengkar mulut, segera terjadi juga pertarungan.
Dalam pertempuran beberapa kali ternyata ilmu silat Su-popo
tidak mampu menandingi Ting Put-si, untungnya Put-si tidak
bermaksud mencelakainya sehingga pada saat-saat berbahaya
selalu memberi kelonggaran.
Su-popo menjadi gelisah dan gemas pula. Ketika di atas perahu
di Sungai Tiangkang secara tergesa-gesa ia telah melatih
lwekang dengan sistem cepat dengan maksud untuk
menandingi Ting Put-si. Tapi saluran tenaga dalamnya telah
sesat sehingga lumpuh. Dalam keadaan hampir disusul Ting
Put-si itulah secara kebetulan Ciok Boh-thian dilempar ke
dalam perahu Su-popo oleh si Ting Tong dan pemuda itu
berhasil menyelamatkannya. Kemudian Su-popo lantas kabur
pula ketika mengetahui Ting Put-sam dan Ting Put-si juga
menyusul ke Ci-yan-to.
Tak tersangka watak Ting Put-si itu memang aneh, sekali
sudah melihat Su Siau-jui lagi lantas timbul pula pikirannya
akan memaksa bekas kekasih itu ke Pik-lwe-san. Ia insaf
bukan tandingan orang-orang Swat-san-pay, maka dengan
rendah hati ia rela memohon bantuan kepada kedua
saudaranya yang biasanya tidak akur satu sama lain, yaitu Ting
Put-ji dan Ting Put-sam, bertiga mereka lantas datang ke Lengsiau-
sia dengan tujuan hendak menculik Su-popo ke Pik-lwe-to,
asalkan nenek itu sudah menginjak pulau itu, maka puaslah
Ting Put-si dan akan membebaskannya pulang ke Leng-siau-sia
lagi.
Ketika Ting Put-si dan kedua saudaranya sampai di Leng-siausia,
waktu itu Su-popo belum lagi pulang. Maka Put-si lantas
membohong, katanya Su-popo telah berkunjung ke Pik-lwe-san
dan bercengkerama dengan dia. Semula Pek Cu-cay tidak mau
percaya, tapi Put-si lantas menguraikan tentang tingkatan ilmu
silat Su-popo sekarang, yaitu menurut pengalaman dari
pertarungan yang telah terjadi beberapa kali, karena uraiannya
cukup tepat, mau tak mau Pek Cu-cay menjadi sangsi. Dari
cekcok mulut akhirnya mereka lantas bergebrak. Akhirnya Ting
Put-si kena dihantam sekali oleh Pek Cu-cay sehingga terluka
dalam, untung kedua saudaranya lantas melindunginya dan
meninggalkan Leng-siau-sia.
Tapi dengan peristiwa itu Pek Cu-cay menjadi khawatir dan
gusar tak terlampiaskan, akhirnya pikirannya menjadi sinting
dan mengganas dengan membunuh secara semena-mena
sehingga terjadilah huru-hara di dalam Leng-siau-sia sendiri.
Setiba kembalinya Su-popo menjadi menyesal juga melihat
keadaan sang suami itu. Maka setelah mendengar uraian Ciok
Boh-thian ia sudah ambil keputusan untuk mendampingi sang
suami sampai saat terakhir. Tapi lantas terpikir pula olehnya,
“Aku telah minta cucu menantuku menyerahkan kedudukan
ciangbun padaku, maksudku ialah untuk mewakilkan dia pergi
ke Liong-bok-to agar A Siu tidak sampai menjadi janda muda.
Kalau aku jadi mendampingi tua bangka itu, kedua urusan ini
dengan sendirinya tak bisa dilaksanakan sekaligus dan harus
pilih satu di antara dua. Ai, biarlah, persoalan ini sementara tak
perlu dipikirkan, yang penting si tua gila itu harus kujenguk
lebih dulu.”
Bab 44. Ciok Tiong-giok Dibawa Pergi Cia Yan-khek, Ciok
Boh-thian Berangkat ke Liong-bok-to
Karena itu tanpa bicara lagi segera ia meninggalkan orang
banyak dan masuk ke dalam.
Mestinya Ban-kiam juga mengkhawatirkan keadaan sang ayah
dan ingin ikut masuk ke dalam, tapi demi teringat sedang
menghadapi musuh tangguh yang menyangkut mati atau hidup
Swat-san-pay sendiri, betapa pun Cia Yan-khek harus dilayani
lebih dulu.
Dalam pada itu Cia Yan-khek telah memandang Ciok Tionggiok,
lalu pandang pula Ciok Boh-thian. Ia merasa ragu-ragu
dan susah membedakan. Ditilik dari tutur kata dan tingkah
lakunya terang Ciok Boh-thian lebih mirip Kau-cap-ceng, tapi
betapa tinggi ilmu silatnya tadi jelas bukanlah pemuda dungu
yang pernah tinggal bersamanya di Mo-thian-kay itu. Apalagi
berpisah hanya beberapa bulan saja, masakah dalam waktu
sesingkat itu kepandaiannya bisa maju sedemikian pesatnya?
Mendadak air mukanya berubah bengis dan membentak, “Di
antara kalian berdua ini, sebenarnya yang mana adalah Kaucap-
ceng?”
Suara bentakan yang menggeledek itu membikin hati semua
orang berdebar-debar, melihat gelagatnya agaknya gembong
iblis itu akan segera membunuh orang.
Ciok Tiong-giok tidak tahu bahwa “Kau-cap-ceng” atau anak
campuran anjing adalah namanya Ciok Boh-thian semula,
disangkanya saking gusarnya Cia Yan-khek telah memaki. Ia
pikir toh tipu muslihatnya sudah ketahuan, terpaksa harus
main akal bulus, sedapat mungkin harus mengulur tempo,
kalau ada kesempatan lantas melarikan diri. Maka ia lantas
menjawab, “Bukan aku, tapi dia, dialah Kau-cap-ceng!”
Dengan mata melotot Cia Yan-khek tertawa dingin beberapa
kali, katanya pula, “Jadi kau memang bukan Kau-cap-ceng?”
“Ya, bukan, bukan!” sahut Tiong-giok dengan mengirik karena
sorot mata Cia Yan-khek yang tajam itu.
“Jadi kau inilah Kau-cap-ceng?” tanya Yan-khek kepada Ciok
Boh-thian.
Boh-thian mengangguk, jawabnya, “Ya, Paman Cia. Tempo hari
kau telah mengajarkan aku melatih sesuatu, mendadak sekujur
badanku terasa demam, sebentar dingin sebentar panas,
sakitnya tidak kepalang dan akhirnya aku tidak sadarkan diri.
Waktu mendusin ternyata telah banyak terjadi hal-hal yang
aneh susul-menyusul.”
Maka Yan-khek tidak sangsi lagi, segera ia berpaling kembali
kepada Ciok Tiong-giok, katanya dengan menyeringai, “Hehe,
kau berani menyamar sebagai dia untuk mempermainkan
diriku, sungguh tidak kecil nyalimu, ya?”
Melihat muka Cia Yan-khek dari merah padam berubah menjadi
beringas, Ciok Jing dan Bin Ju tahu iblis itu sudah memuncak
murkanya karena telah dibohongi oleh putra mereka. Asal
sekali serang tentu putra mereka akan menggeletak dan jiwa
melayang. Cepat mereka melompat maju dan mengadang di
depan Tiong-giok.
“Cia-siansing,” kata Bin Ju dengan suara keder, “engkau adalah
orang besar, sudilah kau memaafkan kecerobohan anak kecil
yang kurang ajar ini, biarlah kami menjura dan minta ampun
padamu!”
“Huh, orang she Cia kena dibohongi anak kecil, apakah
persoalan ini hanya diselesaikan dengan menjura dan minta
ampun saja? Minggir!” begitu ucapan terakhir itu tercetus dari
mulutnya, kontan kedua lengan baju Cia Yan-khek terus
mengebas ke depan dengan membawa tenaga yang
mahadahsyat.
Walaupun tenaga dalam Ciok Jing dan Bin Ju juga bukan kaum
lemah, tapi mereka tak mampu bertahan, mereka sama
tergetar sempoyongan ke belakang dan hampir-hampir jatuh
terjungkal.
Melihat Bin Ju sedemikian cemasnya, air matanya sudah
berlinang-linang hampir menetes, cepat Boh-thian berseru,
“Jangan, Paman Cia, jangan membunuh dia!”
Mestinya sebelah tangan Cia Yan-khek sudah disiapkan untuk
menghantam ke arah Ciok Tiong-giok, jika pukulannya sudah
dilontarkan, biarpun belasan orang serentak maju untuk
merintanginya juga belum tentu dapat menyelamatkan Ciok
Tiong-giok. Tapi karena seruan Ciok Boh-thian itu, bagi Cia
Yan-khek seakan-akan merupakan suatu perintah yang tak
terbantahkan.
Untuk sejenak Yan-khek tertegun, ia menoleh dan menegas,
“Kau minta aku jangan membunuh dia?”
Ia pikir kalau pemuda berjiwa kotor ini diberi ampun, maka ini
berarti telah memenuhi permintaan Ciok Boh-thian dan telah
menepati sumpahnya tentang medali wasiat itu. Karena
permintaan yang terlalu mudah ini, tanpa merasa mukanya
menampilkan rasa senang.
Maka Boh-thian lantas menjawab, “Ya, sebab orang ini adalah
putra kesayangan Ciok-cengcu dan Ciok-hujin, si Ting-ting
Tong-tong juga sangat suka padanya. Cuma... cuma
kelakuannya memang tidak senonoh, dia pernah membikin
susah A Siu, sering menipu orang pula, di waktu menjabat
Pangcu Tiang-lok-pang juga banyak melakukan hal yang jelek.”
“Jadi tegasnya kau minta aku jangan membunuh dia?” Yankhek
menandaskan pula, ia khawatir kalau-kalau Boh-thian
menarik kembali permintaannya itu.
“Benar,” jawab Boh-thian. “Aku minta janganlah engkau
membunuh dia. Cuma orang ini selalu membikin celaka orang
lain, paling baik kalau kau selalu mendampingi dia, ajarkan dia
berbuat yang baik, nanti kalau dia sudah betul-betul menjadi
orang baik barulah kau meninggalkan dia. Paman Cia, aku tahu
hatimu sangat baik, kau telah mendidik aku selama beberapa
tahun, mengajarkan kepandaian juga padaku. Sejak aku
kehilangan ibu, engkaulah yang telah membesarkan aku. Kalau
sekarang Ciok-toako ini ikut padamu tentu engkau akan
mendidik dia pula dengan baik-baik dan dia tentu akan berubah
menjadi orang baik.”
“Berhati sangat baik”, istilah ini ditujukan kepada Cia Yan-khek
hakikatnya lebih mendekati sindiran daripada pujian, keruan
iblis itu menjadi murka sehingga mukanya kembali berubah
menjadi beringas.
Tapi bila dipikir pula, ia menjadi serbarunyam. Ia lihat cara
mengucapkan kata-kata itu tadi dilakukan oleh Ciok Boh-thian
dengan hati yang tulus. Padahal selama beberapa tahun
mereka tinggal bersama di atas Mo-thian-kay dirinya selalu
mencari akal dan berusaha menyiksa pemuda itu, sebaliknya
dia malah merasa berterima kasih, rupanya karena sudah
kehilangan ibu, maka pemuda itu menganggapnya sebagai
orang tua sendiri. Bahwasanya dirinya mengajarkan pemuda
itu melatih “Yam-yam-kang” adalah untuk menjerumuskan dia
ke jurang neraka, sebaliknya pemuda itu malah merasa utang
budi dan sekarang bahkan minta dirinya “mendidik” pula
seorang pemuda lain yang bernama Ciok Tiong-giok. Padahal
dirinya sudah biasa hidup sendirian secara bebas, mana sudi
dibebani lagi dengan seorang pemuda berengsek demikian ini?
Maka Yan-khek lantas menjawab, “Tidak, aku hanya berjanji
untuk melakukan sesuatu menurut permintaanmu. Kau telah
minta aku jangan membunuh dia, maka aku pun sudah
menurut. Sekarang biarlah kita berpisah saja dan tidak perlu
bertemu pula untuk selanjutnya.”
“Tidak, tidak!” cepat Boh-thian mencegah. “Paman Cia, jika kau
tidak mendidiknya dengan baik-baik, kalau dia menipu dan
mencelakai orang lain lagi, akhirnya pasti akan dibunuh juga
oleh orang lain dan hal ini tentu akan membikin Ciok-hujin
serta si Ting-tong Tong-tong sangat berduka. Paman Cia, aku
mohon padamu agar sudilah mengawasi dia dan mendidik dia,
sebelum dia berubah menjadi manusia baik-baik janganlah kau
melepaskan dia.”
Yan-khek mengerut kening, ia merasa serbasulit untuk
memenuhi permintaan itu. Dia sendiri memangnya bukan
orang baik-baik, cara bagaimana dia dapat mengajarkan orang
lain supaya berbuat baik? Apalagi pemuda Ciok Tiong-giok ini
terang sangat licin dan bangor, biarpun nabi juga susah
mendidiknya menjadi orang baik. Jika dia terima permintaan
Boh-thian itu tentu selama hidupnya akan dibebani oleh suatu
persoalan yang susah diselesaikan. Maka bergelenglah dia dan
menjawab, “Tidak, urusan ini aku tidak sanggup
melakukannya. Boleh kau memberi soal lain saja, betapa pun
sulitnya tentu ikan kulakukan.”
“Hahahaha!” mendadak Ciok Jing bergelak tertawa. “Mo-thiankisu
dikenal sebagai seorang yang dapat pegang janji, sebab
itulah medali wasiatnya sangat terkenal di dunia Kangouw. Jika
tahu sekarang perintah medali wasiat itu takkan ditepati, maka
kematian beberapa orang di Hau-kam-cip itu benar-benar
korban yang tersia-sia.”
Seketika alis Cia Yan-khek menegak, dengan suara bengis ia
tanya, “Apa arti ucapan Ciok-cengcu ini?”
Ciok Jing menjawab, “Tentang permintaan saudara ini agar
engkau suka memberi bimbingan kepada anakku yang tak
becus itu, hal ini memang terlalu dipaksakan. Cuma mengenai
Hian-tiat-leng tempo hari itu memang benar-benar saudara
cilik ini yang menemukannya dan dia sendiri yang telah
menyerahkan kepada Cia-siansing, waktu itu kami suami-istri
juga telah ikut menyaksikan. Begitu pula saudara-saudara
Kheng, Ong, Kwa, dan Nona Hoa juga dapat menjadi saksi.
Sudah lama Mo-thian-kisu terkenal paling memegang janji,
mengapa hari ini Cia-siansing justru menolak dan mengelakkan
permintaan saudara cilik itu?”
“Kau yang punya anak, mengapa kau sendiri tidak bisa
mendidiknya?” sahut Cia Yan-khek dengan gusar. “Anak
durhaka yang membikin malu orang tua saja kenapa tidak
sekali digaplok biar mampus saja?”
“Ya, anak yang terlalu nakal itu, kalau tidak mendapatkan guru
ahli tentu susah mengasuhnya menjadi barang baik!” kata Ciok
Jing.
“Mengasuh kentut!” semprot Yan-khek. “Jika bocah ini ikut
padaku, tidak perlu lebih dari tiga hari tentu dia akan kuasuh
menjadi tengkorak hidup!”
Dalam pada itu berulang-ulang Bin Ju memberi isyarat kepada
sang suami, maksudnya mencegah Ciok Jing jangan
memaksakan keinginannya, sebab kalau putranya sampai
dibawa pergi oleh Cia Yan-khek tentu akan lebih banyak
celakanya daripada untungnya.
Siapa duga Ciok Jing sengaja pura-pura tidak tahu, bahkan ia
berkata pula dengan tertawa, “Tapi aku percaya Mo-thian-kisu
yang termasyhur itu tentulah bukan manusia yang mau ingkar
janji, apalagi mengingkari sumpahnya sendiri.”
Cia Yan-khek menjadi serbarunyam. Ia tahu adalah mudah
untuk mengelakkan usikan Ciok Boh-thian yang hijau pelonco
itu, tapi sukarlah untuk mengelakkan diri dari debatan Ciok
Jing yang berpengalaman itu, terang jeratan itu sudah masuk
ke dalam lehernya sendiri, mau-tak mau harus terima nasib
saja. Maka jawabnya kemudian, “Ya, sudahlah, hidup orang
she Cia selanjutnya terpaksa mesti dikorbankan untuk anak
anjing ini!”
Kedengarannya dia seperti memaki Ciok Boh-thian, tapi
sebenarnya dia maksudkan Ciok Tiong-giok sehingga secara
tidak langsung Ciok Jing suami-istri juga ikut terkena
makiannya. Keruan muka Bin Ju menjadi merah seketika, lalu
berubah menjadi pucat pula lantaran menahan gusar.
Lalu Yan-khek berkata kepada Ciok Tiong-giok, “Ayolah, cah,
ikutlah padaku! Jika kau tidak mau berubah menjadi orang
baik-baik, biarlah setiap hari kau merasakan kepalanku, bila
perlu akan kubeset sekalian kulitmu!”
Keruan Tiong-giok sangat takut, ia pandang sang ayah, lalu
pandang pula ibunya, kemudian memandang lagi kepada Ciok
Boh-thian dengan harapan dia akan mengubah permintaannya
kepada Cia Yan-khek.
Tapi Boh-thian malah berkata, “Ciok-toako, kau jangan takut,
tampaknya saja Paman Cia memang galak, tapi sebenarnya dia
adalah orang paling baik. Asal setiap hari kau menanak nasi
dan membuatkan daharan baginya, mencucikan pakaian,
tanam sayur dan menyiram bunga, tentu beliau takkan
mengganggu apa-apa padamu. Aku sudah pernah ikut
beberapa tahun padanya, dia memperlakukan aku lebih baik
daripada ibuku, bahkan mengajarkan kepandaian padaku.”
Mendengar dirinya dibanding-bandingkan dengan ibunya, Cia
Yan-khek semakin merasa konyol. Pikirnya, “Ibumu adalah
orang gila, masakah memberi nama pada anaknya sendiri
sebagai anak anjing. Bocah ini pun makin lama makin tidak
genah, masakah Mo-thian-kisu yang namanya
mengguncangkan dunia Kangouw dipersamakan dengan
seorang gila!”
Dalam pada itu Ciok Tiong-giok diam-diam mengeluh,
“Sungguh celaka. Biasanya aku yang dilayani, masakah
sekarang aku disuruh mencucikan pakaian, memasak, dan
menanam sayur segala. Rasanya aku perlu kursus masuk
dahulu untuk melayani iblis ini.”
Sebaliknya Ciok Boh-thian malah memberi pesan lagi, “Cioktoako,
jika baju Paman Cia menjadi robek maka kau harus
lekas-lekas menambal dan menjahitkan baginya. Pula Paman
Cia adalah orang yang bosanan, sebaiknya setiap hari kau ganti
masakan yang berbeda-beda.”
Cia Yan-khek hanya tertawa dingin saja sambil melirik Ciok
Tiong-giok, Katanya kemudian, “Ciok-cengcu, waktu di Haukam-
cip tempo hari kalian juga telah menyaksikan medali
wasiatku, apakah barangkali maksud tujuan kalian waktu itu
bilamana dapat menemukan medali itu, lalu kalian akan
mengundang aku sebagai guru untuk mendidik putra kalian
yang bagus ini?”
Karena dilirik oleh sorot mata Cia Yan-khek yang tajam itu,
seketika Ciok Tiong-giok yang biasanya cerdik pandai itu
menjadi lemas ketakutan seperti tikus ketemu kucing.
Maka terdengar Ciok Jing telah menjawab, “Cia-siansing, untuk
bicara secara terus terang, sesungguhnya kami suami-istri
mempunyai seorang musuh besar yang pernah membunuh
seorang putraku yang lain. Tapi musuh itu tidak pernah
menampakkan diri lagi, selama belasan tahun kami telah
mencarinya, namun tidak ketemu.”
“Jadi kalian ikut berusaha menemukan medali wasiatku dengan
maksud akan minta aku membalaskan sakit hati kematian
putra kalian itu?” tanya Yan-khek.
“Menyuruh membalaskan sakit hati sih tidak berani, cuma kami
mengetahui kepandaian Cia-siansing mahasakti dan tentu
mengetahui di mana beradanya musuh kami itu,” kata Ciok
Jing.
“Ya, bilamana medaliku dahulu jatuh di tanganmu, tentu aku
berbalik merasa terima kasih tak terhingga,” ujar Yan-khek.
Ciok Jing memberi hormat. Katanya, “Tapi sekarang Ciasiansing
sudi membimbing putraku ini, sungguh kami suamiistri
merasa utang budi dan takkan melupakannya.”
Yan-khek hanya mendengus satu kali. Mendadak ia
membanting sebuah bungkusan yang tadinya menggandul di
punggungnya ke lantai sehingga mengeluarkan suara nyaring
berat. Menyusul sebelah tangannya terus meraih sehingga
tangan Ciok Tiong-giok terpegang, segera ia menyeret pemuda
itu dan melompat keluar ruang pendopo itu. Di tengah suara
jerit takut Ciok Tiong-giok itu hanya sekejap saja mereka
sudah berada beberapa puluh meter jauhnya untuk selanjutnya
lantas menghilang.
Selagi semua orang tercengang dan kagum atas kecepatan Cia
Yan-khek, mendadak terdengar suara, “plok” satu kali, tahutahu
Boh-thian telah ditampar oleh si Ting Tong. Sambil
berteriak-teriak memanggil Tiong-giok nona itu lantas berlari
menyusul sang kekasih itu.
Keruan Boh-thian menjadi kaget dan bingung. Sambil meraba
pipinya yang tertampar itu ia menggumam sendiri, “Ting-ting
Tong-tong, mengapa kau memukul aku?!”
Ciok Jing lantas periksa bungkusan yang ditinggalkan Cia Yankhek
tadi, begitu pegang ia lantas tahu apa isi bungkusan itu.
Kiranya adalah sepasang pedang hitam-putih milik mereka
yang dahulu dirampas Cia Yan-khek itu. Namun Bin Ju tidak
menjadi girang karena pedang kesayangannya itu telah pulang
kandang, dengan air mata bercucuran ia berkata, “Engkoh Jing,
mengapa... mengapa kau tega membiarkan anak Giok ikut
pergi padanya?”
“Adik Ju,” sahut Ciok Jing sambil menghela napas, “apakah kau
belum sadar mengapa anak Giok bisa berubah menjadi
demikian?”
“Kau... kau menyalahkan aku terlalu memanjakan dia?” tanya
Bin Ju dengan menangis.
“Kau memang terlalu sayang kepada anak Giok, sesudah Anak
Kian dibinasakan orang kau menjadi lebih-lebih memanjakan
anak Giok,” kata Ciok Jing. “Sebabnya aku tega mengirim dia
ke Leng-siau-sia sini adalah karena melihat semuda dia itu
sudah sedemikian buruk kelakuannya, siapa duga selama di
sini dia tambah tidak genah sehingga membikin malu orang tua
terhadap saudara-saudara dari Swat-san-pay. Kita cukup kenal
kecerdikan Cia-siansing yang pasti melebihi anak Giok,
kepandaiannya juga jauh di atas anak itu, sekarang kita
sengaja mengobati dia dengan cerdik lawan cerdik, licin lawan
licin, jahat dilawan dengan lebih jahat, dengan demikian besar
kemungkinan dia akan menjadi baik malah, untuk ini kau boleh
jangan khawatir. Biarpun tingkah laku Mo-thian-kisu agak
aneh, tapi dia adalah orang yang paling bisa dipercaya. Kalau
saudara cilik ini minta dia mendidik anak Giok, tentu dia akan
dapat melaksanakannya dengan baik.”
“Akan tetapi anak Giok sejak... sejak kecil sudah biasa hidup
diladeni, cara bagaimana ia bisa mencuci dan memasak
segala?” ujar Bin Ju sambil terguguk-guguk.
“Justru semua penyakitnya yang buruk itu adalah lantaran
hidupnya terlalu dimanjakan,” kata Ciok Jing. Ketika dilihatnya
Pek Ban-kiam dan lain-lain beramai-ramai lari ke ruangan
belakang, segera ia membisiki sang istri pula, “Jika Anak Giok
tidak dibawa pergi Cia-siansing, apakah kau kira orang-orang
Swat-san-pay mau mengampuni anak Giok mengingat perkaraKang
Zusi http://cerita-silat.co.cc/
perkara yang telah diperbuatnya itu?”
Bin Ju pikir benar juga alasan sang suami, maka perlahanlahan
ia berhenti menangis. Katanya kepada Ciok Boh-thian,
“Wajahmu benar-benar sangat mirip anak Giok, justru kau
sedemikian baik dan dia begitu buruknya. Kalau aku
mempunyai... mempunyai....”
Mestinya ia ingin mengatakan “kalau aku mempunyai anak
seperti kau tentu bahagialah-aku,” tapi urung diucapkannya.
Sebenarnya Ciok Boh-thian juga sangat iri karena melihat Ciok
Tiong-giok sedemikian dikasihi oleh ayah-bundanya, malahan
dirinya juga pernah menerima kasih sayang Bin Ju itu ketika
dua kali dia salah mengira Boh-thian sebagai putranya. Diamdiam
Boh-thian menghela napas mengingat kasih ibunya
sendiri ternyata jauh berbeda daripada Bin Ju.
“Adik cilik, cara bagaimana kau dapat menyamar sebagai anak
Giok, sampai sepanjang jalan kami sama sekali tidak tahu?”
demikian Bin Ju bertanya pula.
Muka Boh-thian menjadi merah, sahutnya, “Itulah gara-gara
Ting-ting Tong-tong....”
Baru sekian ucapannya, sekonyong-konyong tertampak Ong
Ban-jim berlari masuk sambil berseru, “Ce... celaka! Suhu telah
menghilang!”
Semua orang terkejut dan cepat minta penjelasan.
“Sunio telah ditutuk roboh oleh orang dan Suhu juga tak
berada di tempatnya lagi,” tutur Ban-jim.
“Marilah kita lekas ke sana!” segera A Siu menarik Boh-thian
dan cepat mereka lantas berlari ke tempat tahanan. Sampai di
sana ternyata keadaan agak panik dan anak murid Swat-sanpay
penuh berkerumun. Waktu melihat kedatangan A Siu
mereka lantas menyingkir untuk memberi jalan lewat.
Setiba di dalam kamar tahanan, tertampak Pek Ban-kiam dan
istrinya sedang memayang Su-popo dan berduduk di atas
lantai.
“Ayah, ibu, bagaimana keadaan nenek? Apakah... apakah
terluka?” tanya A Siu khawatir.
“Ada pengkhianat, pasti ada pengkhianat,” kata Ban-kiam
dengan muka beringas. “Ibu telah ditutuk oleh cara tiam-hiat
perguruan kita sendiri. Ayah telah diculik orang, coba kau
menjaga nenek, biar kupergi menolong kakek.”
Habis berkata terus saja Ban-kiam berlari keluar, saking tak
sabarnya sampai dua orang murid cabang tiga yang berdiri di
sebelah ditumbuk saja hingga terjungkal.
“Toako, harap kau bantu menyalurkan tenagamu untuk
membuka hiat-to nenek,” pinta A Siu kepada Boh-thian.
Cepat Boh-thian mengiakan. Segera ia melakukan cara
pertolongan cepat sebagaimana ia pernah melakukannya
terhadap Su-popo dan A Siu di atas perahu dahulu. Maka tidak
antara lama hiat-to si nenek yang tertutuk sudah lantas lancar
kembali.
“Semua orang jangan ribut, Ciangbunjin sendiri yang telah
menutuk roboh diriku, dia sendiri sudah pergi!” seru Su-popo
segera.
Melengaklah semua orang atas keterangan itu. Kata mereka,
“Kiranya Wi-tek Siansing sendiri yang menutuk istrinya, pantas
sampai Pek-suko juga tidak mampu menolong ibunya.”
Semula semua orang mengira telah terjadi pertengkaran dalam
pula dan bukan mustahil akan terjadi bunuh-membunuh lagi,
tapi demi mendengar urusan hanya menyangkut suami-istri
Pek Cu-cay saja, perasaan semua orang menjadi lega dan
berita itu segera diteruskan kepada anak murid Swat-san-pay
yang lain.
Waktu menerima berita itu, segera Ban-kiam berlari kembali.
Katanya kepada Su-popo, “Bu, sebenarnya apa yang telah
terjadi?”
Dari nadanya nyata ia merasa mendongkol. Maklumlah
kejadian-kejadian paling akhir ini benar-benar telah membuat
tokoh muda Swat-san-pay yang biasanya terkenal cerdik dan
pandai itu menjadi bingung, sekarang urusan ini adalah garagara
ayah-bundanya pula, cara bagaimana ia dapat
melampiaskan rasa dongkolnya itu?
“Kau sendiri tidak mencari keterangan lebih dulu, apakah kau
menyalahkan orang tua?” Su-popo menjadi gusar.
“Anak tidak berani,” cepat Ban-kiam menjawab.
“Sesungguhnya ayahmu juga ingin berbuat demi kebaikan
semua orang,” tutur Su-popo. “Dia... dia sekarang sedang
menuju ke Liong-bok-to.”
“Hah, ayah berangkat ke Liong-bok-to? Sebab apa?” Ban-kiam
menegas dengan terkejut.
“Sebab apa? Bukankah ayahmu adalah ketua Swat-san-pay
yang sesungguhnya? Kalau dia tidak pergi, habis siapa yang
pergi?” sahut Su-popo. “Waktu aku sampai di sini, kukatakan
pada ayahmu bahwa selama dia mengurung diri di dalam
penjara sini, selama itu pula aku akan mendampingi dia. Cuma
tentang undangan ke Liong-bok-to itu entah siapa yang harus
pergi. Dia telah minta keterangan padaku tantang apa-apa
yang sudah terjadi, akhirnya ia berkata, ‘Aku adalah
ciangbunjin, sudah tentu akulah yang pergi ke sana.’ — Aku
minta dia pertimbangkan niatnya itu untuk mencari suatu jalan
yang sempurna, Tapi dia menjawab, ‘Aku telah berdosa kepada
Swat-san-pay, aku harus mati demi kehormatan Swat-san-pay,
dengan demikian barulah anak-istriku, cucu perempuan dan
cucu menantuku tidak ikut malu terhadap orang luar.’ — Habis
itu dia lantas menutuk roboh diriku, dua potong medali
tembaga undangan Liong-bok-to itu telah diambil olehnya, saat
ini tentu sudah jauh perginya.”
“Ayah sudah lanjut usianya, kesehatannya juga belum pulih,
mana boleh beliau pergi ke tempat sejauh itu, mestinya anak
yang harus berangkat,” ujar Ban-kiam.
“Hm, sampai saat ini kau masih belum kenal perangai ayahmu
sendiri?” jengek Su-popo sambil melangkah keluar.
“Ibu... ibu hendak ke mana?” tanya Ban-kiam.
“Aku adalah ketua Kim-oh-pay, dengan sendirinya aku pun
memenuhi syarat untuk pergi ke Liong-bok-to,” sahut si nenek.
Pikiran Ban-kiam menjadi kacau. Akhirnya ia ambil keputusan,
“Ya, urusan sudah kadung begini, biarlah beramai-ramai pergi
semua untuk mengadu jiwa saja.”
Pada tanggal 5 bulan 12 rombongan Su-popo, Pek Ban-kiam,
Ciok Jing, Bin Ju, Ciok Boh-thian, A Siu, Seng Cu-hak, dan lainlain
sudah sampai di suatu kampung nelayan di pantai selatan.
Kiranya di balik medali tembaga yang diterima itu terukir
tanggal dan tempat yang harus mereka datangi, di sanalah
mereka harus menunggu penjemputan.
Boleh jadi tempat dan waktunya bagi orang-orang yang
menerima medali undangan itu berbeda-beda. Sebab itulah
rombongan Su-popo tidak menemukan seorang pun di
kampung yang ditunjuk itu, dengan sendirinya bayangan Pek
Cu-cay juga kelihatan. Bahkan sebuah perahu pun tidak
tampak di tepi pantai situ.
Ketika meninggalkan Leng-siau-sia, Su-popo telah
memerintahkan kepada Kheng Ban-ciong untuk bertindak
sebagai pemimpin sementara dibantu oleh Ang Ban-ek dan
Houyan Ban-siau untuk mengurus segala sesuatu di dalam
benteng. Adapun dibawa sertanya Seng Cu-hak, Ce Cu-bian,
dan Nio Cu-cin adalah untuk menjaga kalau-kalau anak murid
mereka saling bermusuhan dan terjadi pengkhianatan lagi. Liau
Cu-le yang sudah cacat itu tentunya tidak menjadi soal lagi
untuk ditinggalkan di Leng-siau-sia.
Begitulah rombongan mereka lantas mengaso di dalam sebuah
gubuk. Petangnya tiba-tiba datanglah seorang laki-laki berbaju
kuning dengan membawa pengayuh. Sesampai di depan gubuk
orang itu lantas berseru, “Utusan penyambut tamu dari Liongbok-
to atas perintah Tocu (pemilik pulau) dengan hormat
menyilakan Ciok-pangcu dari Tiang-lok-pang untuk berangkat!”
Mendengar suara itu Su-popo dan lain-lain lantas keluar. Tapi
laki-laki itu langsung mendekati Ciok Boh-thian, sesudah
memberi hormat lantas bertanya, “Tuan inilah tentunya Ciokpangcu
yang dimaksud?”
“Benar, siapakah saudara?” Boh-thian balas tanya.
“Hamba she Liong,” sahut orang itu. “Atas perintah Tocu, Ciokpangcu
disilakan berangkat!”
“Ada beberapa orang tua dan kawan Cayhe juga ingin ikut
berkunjung ke pulau kalian, tentunya tidak menjadi soal,
bukan?” kata Boh-thian.
“Wah, ini adalah soal sulit,” sahut orang itu. “Pertama,
perahunya terlalu kecil. Pula Tocu telah memberi perintah
tegas hanya untuk menyambut Ciok-pangcu seorang saja. Jika
lebih dari seorang, andaikan perahunya tidak sampai terbalik,
tentu juga hamba tak terhindar dari hukuman Tocu.”
“Hm, urusan sudah begini, mungkin kau tidak berkuasa lagi,”
jengek Su-popo sambil menggeser ke belakang orang itu untuk
menjaga kalau-kalau orang melarikan diri.
Namun orang itu ternyata tidak gentar, ia hanya tersenyum
saja dan tidak ambil pusing kepada kelakuan si nenek. Katanya
kepada Ciok Boh-thian, “Marilah silakan Ciok-pangcu ikut pada
hamba.”
Habis berkata ia lantas putar tubuh terus melangkah pergi.
Terpaksa Ciok Boh-thian, Su-popo, Ciok Jing, dan lain-lain
mengikut dari belakang.
Mereka lantas jalan ke depan menyusur pantai. Sesudah
mengitari dua lekukan karang akhirnya tertampak di pesisir
sana berlabuh sebuah perahu kecil.
Perahu itu benar-benar sangat kecil, lebarnya tidak lebih dari
setengah meter, panjangnya paling-paling cuma dua meter,
untuk memuat dua penumpang saja sudah menjadi
pertanyaan, jangankan ditambah penumpang lain lagi.
Sesudah mendekati perahu, orang itu berkata, “Memangnya
tidaklah sukar bila kalian hendak membunuh diriku. Asalkan di
antara kalian ada yang tahu jalan ke Liong-bok-to, maka boleh
silakan mengiringi Ciok-pangcu ke sana.”
Su-popo saling pandang dengan Ciok Jing dan lain-lain.
Sungguh tak terduga bahwa cara mengatur pihak Liong-bok-to
ternyata sedemikian rapi, sampai-sampai orang yang diundang
ke Liong-bok-to seorang pun tidak boleh lebih.
Mereka hanya pernah mendengar nama Liong-bok-to, tapi di
mana letaknya, di tengah samudra raya seluas itu cara
bagaimana mereka dapat mencarinya? Apalagi sepanjang mata
memandang lautan yang luas itu juga tidak tampak sebuah
kapal atau perahu, sehingga tidak dapat mengikutnya dari
belakang.
Su-popo menjadi gusar. Mendadak sebelah tangannya
terangkat dan segera hendak menghantam ke batok kepala
laki-laki baju kuning itu. Tapi sampai di tengah jalan tiba-tiba
pukulannya tak jadi diteruskan. Katanya kepada Ciok Bohthian,
“Muridku, harap kau memberikan medali undangan itu
kepadaku, biarlah aku mewakilkan kau ke sana. Betapa pun
juga biar perempuan tua ini mati bersama dengan si tua gila
(maksudnya Pek Cu-cay) itu.”
Namun laki-laki baju kuning lantas menanggapi, “Menurut
perintah Tocu, jika sampai salah menyambut tamu yang
diundang, bukan saja hamba akan celaka, bahkan segenap
anggota keluargaku juga akan menjadi korban.”
Tiba-tiba Su-popo mendapat akal, katanya pula kepada Bohthian,
“Muridku, jika demikian boleh kau serahkan kedudukan
Pangcu Tiang-lok-pang padaku saja, sebagai pangcu dengan
sendirinya aku dapat hadir ke sana.”
“Ini... ini agak....” Boh-thian menjadi ragu-ragu.
Sedangkan laki-laki baju kuning juga lantas berkata, “Siangsian
dan Hwat-ok Sucia juga telah memberi petunjuk dengan
jelas bahwa Tiang-lok-pang Pangcu adalah seorang kesatria
muda dan bukan seorang nenek bijaksana yang berusia lanjut.”
“Kentutmu, dari mana kau tahu aku bijaksana,” semprot Supopo.
Orang itu hanya tersenyum saja, ia menuju ke tepi laut sendiri
untuk melepaskan tali tambatan perahu.
Akhirnya Su-popo menghela napas, katanya, “Baiklah, kau
boleh berangkatlah, muridku. Hendaklah kau ingat suatu
pesanku saja.”
“Silakan Suhu mengatakan,” sahut Boh-thian dengan hormat.
“Setiba di sana, asalkan ada kesempatan hendaklah kau
berusaha meloloskan diri saja dari sana, janganlah karena ingin
menolong Yaya sehingga kau sendiri terjeblos di sana. Hanya
inilah pesan gurumu, harap kau ingat betul-betul dan taati.”
Boh-thian menjadi bingung malah. Pikirnya, “Mengapa, Suhu
melarang aku menolong suaminya? Apa barangkali dalam hati
dia masih benci padanya?”
Dalam pada itu terdengar Su-popo berkata pula, “Boleh kau
katakan juga kepada si tua gila itu bahwa aku akan
menunggunya sebulan di sini, sampai tanggal 8 bulan satu
tahun depan, jika dia tidak kembali ke sini untuk menemui aku,
maka aku akan segera membunuh diri terjun ke laut. Jika dia
omong tentang Pik-lwe-san apa segala, jadi setan pun aku
takkan mengampuni dia.”
Boh-thian mengiakan sambil mengangguk.
A Siu juga lantas berkata, “Toako, aku... aku pun begitu, aku
akan menanti engkau di sini sampai tanggal 8 bulan satu tahun
depan.”
Bahagia sekali rasa hati Boh-thian tercampur pilu. Sahutnya,
“Tidak perlu kau berbuat demikian.”
“Aku justru akan berbuat demikian,” kata A Siu dengan tegas.
Suaranya perlahan, tapi penuh mengandung ketekadan yang
tak tertahankan.
“Nak, semoga, kau akan kembali dengan selamat, semua orang
yang berada di sini akan berdoa bagimu,” demikian Bin Ju ikut
bicara.
“Kedudukanku sebagai Pangcu Tiang-lok-pang adalah palsu
belaka, boleh jadi mereka akan membebaskan aku pulang ke
sini,” kata Boh-thian. “Pula Thio Sam dan Li Si juga saudara
angkatku, andaikan ada bahaya juga mereka takkan berpeluk
tangan tanpa menolong padaku.”
“Ya, semoga demikian adanya,” ujar Bin Ju. Tapi diam-diam ia
pikir pemuda yang hijau ini belum lagi kenal betapa keji dan
palsunya hati manusia. Persaudaraan orang Bu-lim demikian
itu mana boleh dipercaya dan dibuat sandaran?
Dalam pada itu Ban-kiam juga lantas memegang tangan Ciok
Boh-thian dan berkata, “Hiansay (menantuku yang baik),
selanjutnya kita adalah orang sekeluarga, usia ayahku sudah
lanjut, sedapat mungkin hendaklah kau menjaga beliau.”
Muka Boh-thian menjadi merah karena panggilan itu. Jawabnya
cepat, “Ya, akan kulakukan sedapat mungkin.”
Hanya Ce Cu-bian, Seng Cu-hak, dan Nio Cu-cin bertiga yang
anggap kepergian Ciok Boh-thian itu akan menguntungkan
mereka malah, mereka yakin pemuda itu pasti bisa pergi tapi
tak bisa kembali. Selama 30-an tahun ini sudah ada tiga
rombongan tokoh-tokoh Bu-lim yang pergi ke Liong-bok-to,
selama itu belum terdengar ada seorang pun di antara tokohtokoh
persilatan itu yang pulang dengan selamat. Apalagi
sekarang Ciok Boh-thian hanya seorang pemuda pelonco,
apakah dia dapat terkecuali dari kematian?
Begitulah Boh-thian lantas berpisah dengan semua orang dan
menuju ke tepi laut. Semua orang ikut mengantar dari
belakang, A Siu dan Bin Ju tampak sangat sedih. Sesudah
memberi salam pula kepada semua orang, lalu Boh-thian
melompat ke atas perahu kecil yang telah disiapkan orang tadi.
Hanya beberapa kali dayung saja laki-laki itu sudah
meluncurkan perahu kecil itu beberapa meter dari pantai.
Sesudah arah perahu dibetulkan, lalu dia memasang layar,
dengan mendapatkan angin sorong buritan, maka perahu itu
lantas laju dengan pesatnya menuju ke arah selatan.
Waktu Boh-thian menoleh ke belakang, tertampak Su-popo, A
Siu dan lain-lain makin lama makin kecil, akhirnya hanya
kelihatan sebagai titik-titik hitam saja untuk kemudian lantas
tidak jelas lagi.
Malamnya perahu itu berganti haluan menuju ke arah
tenggara. Tiga hari lamanya perahu kecil itu berlayar, sampai
tengah hari, hari keempat, hari itu tepat tanggal 8 bulan 12.
Tiba-tiba laki-laki itu menuding ke depan dan berkata, “Di
situlah Liong-bok-to!”
Boh-thian melihat di depan sana hanya ada satu garis hitam
saja, lebih dari itu tidak tampak apa-apa. Tapi hatinya lantas
mulai berdebar-debar.
Kira-kira satu jam kemudian, tertampaklah sebuah pulau
terbentang di depan, sebuah gunung menjulang tinggi di
tengah pulau dengan pepohonan yang rindang menghijau.
Perahu itu menepi pada pantai selatan pulau, di situlah laki-laki
itu menyilakan Boh-thian mendarat.
Tertampak di selatan pulau itu adalah pesisir yang cukup luas,
di ujung timur sana, di bawah tebing karang berlabuh beberapa
puluh perahu besar dan kecil. Hati Boh-thian tergerak. Diamdiam
ia merancang bilamana dapat menyelamatkan jiwa,
rasanya tidak sulit untuk merebut sebuah perahu ini untuk
melarikan diri.
Bab 45. Bubur Lap-pat-cok = Racun Serbakomplet
Sesudah Boh-thian melompat ke daratan, laki-laki itu
menambat perahunya pada sebuah batu karang. Kemudian ia
mengeluarkan sebuah kulit keong, “Tut, tut, tuuuut!” ia meniup
kulit keong itu beberapa kali. Tidak lama terlihatlah dari balik
bukit sana berlari mendatangi empat orang laki-laki
berseragam kuning. Sesudah berhadapan dengan Boh-thian
mereka lantas memberi hormat dan menyapa, “Tocu sedang
menantikan kedatangan para tamu agung, silakan Ciok-pangcu
ikut kepada hamba!”
Mestinya Boh-thian ingin mencari tahu keadaan Pek Cu-cay,
tapi orang-orang itu ternyata tidak dapat memberi keterangan
apa-apa. Terpaksa Boh-thian mengikuti seorang laki-laki baju
kuning itu ke depan, laki-laki yang lain lantas mengiringi dari
belakang.
Setelah mendaki bukit, ternyata kedua samping adalah hutan
belukar, hanya sebuah jalanan yang menyusur rimba
menembus ke sebelah sana. Diam-diam Boh-thian
memerhatikan keadaan sekitarnya agar bila perlu melarikan
diri tidak sampai tersesat jalan.
Beberapa li kemudian, akhirnya mereka membelok ke suatu
jalan pegunungan yang penuh batu-batu karang, di sebelah
lain adalah sebuah kali kecil dengan arus air yang keras.
Dengan menyusur tepi sungai kecil yang semakin menanjak ke
atas, akhirnya tertampaklah sebuah air terjun yang berpuluh
meter tingginya, air mencurah dari atas bagai dituang.
Rupanya air terjun inilah mata air daripada sungai kecil itu.
Laki-laki penunjuk jalan itu tiba-tiba mengambilkan sebuah jas
hujan yang tergantung di atas pohon di tepi jalan situ, ia
berikan jas hujan itu kepada Boh-thian dan berkata, “Gedung
tamu agung yang merupakan tempat yang paling nyaman di
pulau kami ini dibangun di dalam gua sini, silakan Ciok-pangcu
memakai jas hujan ini supaya tidak terciprat air.”
Boh-thian juga tidak menolak, ia pakai jas hujan itu. Ia lihat
laki-laki itu mendekati air terjun, sekali lompat terus
menembus ke balik tirai air itu. Segera Boh-thian ikut
melompat ke sebelah sana.
Ternyata di balik tirai air terjun itu adalah sebuah gua, di
dalamnya merupakan sebuah jalan lorong yang amat panjang,
kedua tepi jalan terpasang pelita-pelita minyak, walaupun
cahaya pelita agak guram, tapi cukup menerangi jalanan.
Jalanan lorong itu adalah perubahan dari gua alam yang
terdapat di perut gunung itu, tempat-tempat yang dibuat oleh
manusia itu agak sempit, tapi terkadang sangat lebar. Makin
lama jalanan itu makin menurun dan terdengar pula suara
gemerciknya air sehingga menimbulkan suara nyaring merdu di
dalam gua. Jalan-jalan cabang di dalam gua juga sangat
banyak, tapi diam-diam Boh-thian telah mengingatnya dengan
baik.
Kira-kira lebih dari satu li jalan lorong di dalam gua itu,
akhirnya pandangan Boh-thian terbeliak, di depannya terdapat
sebuah pintu terbuat dari batu pualam. Di atas pintu terukir
tiga huruf besar. Ia lantas tanya, “Apakah di sini inilah gedung
tamu agung yang kalian maksudkan?”
Laki-laki baju kuning itu mengiakan. Diam-diam ia pun heran,
bukankah huruf-huruf di atas pintu itu sudah cukup
menerangkan, mengapa masih tanya, apakah kau buta huruf?
Ia tidak tahu bahwa Ciok Boh-thian justru memang buta huruf.
Setelah memasuki pintu batu pualam itu, lantai jalan di dalam
situ ternyata juga terbuat dari papan batu yang sangat rajin.
Laki-laki itu membawa Boh-thian ke dalam sebuah kamar di
sebelah kiri, katanya, “Silakan Ciok-pangcu mengaso dulu di
sini, sebentar lagi barulah Tocu akan menemui engkau dalam
perjamuan nanti.”
Di dalam gua itu ternyata dilengkapi dengan meja kursi, tiga
batang lilin besar cukup menerangi seluruh ruangan. Seorang
kacung lantas mengaturkan teh dan empat macam penganan.
Melihat makanan dan minuman itu, tiba-tiba Boh-thian teringat
kepada cerita Ciok Jing tempo hari. Menurut pengiraan Ciok
Jing, berbagai tokoh persilatan yang telah diundang ke Liongbok-
to dan tak pernah kembali itu rasanya tidak mudah
dijaring sekaligus begitu saja, besar kemungkinan orang-orang
Liong-bok-to telah menggunakan akal-akal licik misalnya
memakai perangkap atau menaruh racun di dalam makanan.
Secara terang-terangan pihak Liong-bok-to mengundang
tamunya menghadiri perjamuan Lap-pat-cok, maka bubur atau
jenang yang dimaksudkan ini boleh jadi malah tidak ada
sesuatu yang luar biasa, sebaliknya makanan atau minuman
biasa yang tampaknya sepele justru jangan sembarangan
dimakan. Namun demikian tokoh-tokoh Bu-lim yang
menghilang di Liong-bok-to itu toh bukan orang bodoh semua,
masakan mereka kalah cerdik daripada kita, maka
sesungguhnya masih merupakan suatu teka-teki besar keadaan
di Liong-bok-to. Sebagai pemuda yang jujur dan polos mungkin
akan mendapat berkah dan takkan mengalami cedera apa-apa,
yang penting segala apa hendaklah waspada dan hati-hati.
Begitulah dalam benak Boh-thian teringat kepada pesan Ciok
Jing, tapi hidungnya tetap mengendus bau sedap pengananpenganan
yang disuguhkan itu. Pikirnya, “Perutku sudah
sangat lapar, masakah aku datang ke sini hanya untuk
menderita lapar? Jika mereka ingin meracun diriku, di manamana
juga mereka dapat melakukannya. Padahal kedua kakak
angkat, Thio Sam dan Li Si, sudah pernah bersumpah setia
dengan aku kalau ada rezeki dirasakan bersama, ada
kesukaran di tanggung bersama. Bila mereka membikin celaka
diriku bukankah berarti mencelakai mereka sendiri pula?”
Karena pikiran demikian, ia tidak ambil pusing lagi,
memangnya perutnya juga sudah keroncongan, segera ia
comot lumpia, siobe, kue bolu, dan siopia yang disuguhkan itu.
Dalam sekejap saja empat macam penganan itu sudah disapu
bersih ke dalam perutnya. Bahkan satu kan air teh juga
dihabiskan setengah.
Kira-kira lebih satu jam ia menunggu di dalam gua itu. Tibatiba
terdengar suara petasan mercon yang riuh ramai, si
penunjuk jalan itu telah datang dan memberi tahu, “Tocu
menyilakan Ciok-pangcu hadir ke dalam perjamuan.”
Boh-thian lantas berbangkit dan mengikutnya keluar.
Terdengarlah bunyi petasan semakin ramai diseling dengan
suara genderang dan genta. Setelah menembus beberapa
tempat gua lagi, mendadak keadaan terang benderang.
Tertampaklah sebuah gua besar penuh nyala lilin-lilin raksasa,
di dalam gua sudah terpasang ratusan buah meja.
Gua itu sangat luas, walaupun sudah dipasang ratusan buah
meja toh masih ada tempat luang, Beberapa ratus orang lakilaki
berseragam kuning kian-kemari mengantar tamu ke
tempat duduk yang telah disediakan.
Setiap tamu masing-masing menduduki sebuah meja, juga
tidak diiringi orang dari pihak tuan rumah.
Waktu Boh-thian memandang sekitarnya, sekali pandang saja
lantas terlihat Pek Cu-cay berduduk dengan gagah dan kereng
di sebelah sana. Karena badan Cu-cay memang tinggi besar,
maka tampaknya menjadi mencolok sekali.
Ketika berada di penjara Leng-siau-sia tempo hari, karena
keadaan suram, maka Boh-thian belum jelas mengenali maka
Pak Cu-cay, sekarang di bawah cahaya lilin yang terang dapat
dilihatnya Wi-tek Siansing itu benar-benar angker seperti
Toapekong yang dipuja di dalam kelenteng.
Segera Boh-thian mendekati orang tua itu dan menyapa,
“Yaya, aku sudah datang!”
Suasana di dalam ruangan itu mestinya sunyi senyap sebab
semua orang sedang merenungkan nasib masing-masing. Maka
demi mendengar suara Ciok Boh-thian itu, tanpa merasa
semua orang sama memandang ke arahnya.
Terdengar Pek Cu-cay telah mendengus, “Hm, setan cilik yang
tidak becus, kau telah membikin celaka padaku, sampaisampai
buyut luar juga hilang harapan sama sekali bagiku.”
Boh-thian melengak karena tidak paham apa maksud
dampratan kakek itu. Selang sejenak baru dia mengerti.
Rupanya Pek Cu-cay mengatakan dia juga mengantarkan
nyawa ke Liong-bok-to, ini berarti tak jadi kawin dengan A Siu
dan tentu takkan melahirkan keturunan.
Maka Boh-thian berkata pula, “Yaya, nenek sedang menunggu
kau di kampung nelayan di pantai laut sana, kata beliau, jika
sebulan kemudian, yakni sampai tanggal 8 bulan satu, bila
engkau masih belum kembali, maka nenek akan... akan terjun
ke laut untuk bunuh diri.”
“Hah! Dia tidak pergi ke Pik-lwe-to?” seru Pek Cu-cay dengan
alis menegak.
“Nenek sangat gusar bila mendengar ucapanmu ini,” sahut
Boh-thian. “Beliau memaki engkau sebagai... sebagai....”
“Sebagai apa?” Pek Cu-cay menegas.
“Beliau memaki engkau sebagai si tua gila,” sahut Boh-thian.
“Bila bertemu dengan Ting Put-si yang bermulut usil dan
bergajul itu, tentu beliau akan mengorek-ngorek badannya
dengan belati sehingga berlubang-lubang.”
“Haha, betul, betul, tepat itu! Hahaha!” seru Cu-cay sambil
bergelak tertawa.
Pada saat itulah sekonyong-konyong di pojok ruangan sana ada
seorang telah berkata sambil menangis terguguk-guguk, “O,
mengapa dia memaki aku secara demikian? Bilakah aku pernah
berbuat bergajul? Selama ini aku selalu setia padanya, tidak
menikah sampai hari tua, tapi dia... dia sedemikian tega,
sampai satu kali saja dia tidak mau menginjak Pik-lwe-to.”
Waktu Boh-thian memandang ke arah suara itu, terlihatlah
Ting Put-si duduk di sebelah sana, kedua tangannya
berpegangan meja, badannya rada gemetar dan air mata
bercucuran.
“Eh, kiranya dia juga datang. Sudah tua masih juga menangis
di depan umum, masakah tidak malu?” demikian pikir Bohthian.
Ia tidak tahu bahwa sifat Ting Put-si itu memang aneh,
kelakuannya angin-anginan, apa pun dapat dilakukannya tanpa
rasa sirik atau malu. Apalagi kedatangannya ke Liong-bok-to ini
baginya berarti akan tamatlah segala angan-angannya.
Sekarang mendengar pula uraian Ciok Boh-thian tentang apa
yang diucapkan Su-popo atas dirinya, keruan ia lantas
menangis putus asa.
Jika dalam keadaan biasa tentu para kesatria akan
menertawakan kelakuan Ting Put-si itu. Tapi sekarang setiap
orang sama-sama menghadapi petaka, bahkan kalau bisa
mereka pun ingin menangis. Sebab itulah tiada seorang pun
yang sempat menertawai Ting Put-si.
Sekonyong-konyong, di pojok ruangan sebelah lain suara
seorang wanita yang agak serak telah mengejek, “Hm, hm!
Selalu setia, tidak menikah sampai tua! Huh, Ting Put-si,
sungguh kau tidak tahu malu! Jika betul kau setia kepada Su
Siau-jui, mengapa kau main cinta pula dengan Taciku sehingga
melahirkan seorang anak perempuan?”
Seketika air muka Ting Put-si merah jengah, sikapnya menjadi
serbarunyam, malu tercampur heran. Ia berbangkit dan
bertanya, “Da... dari mana kau mengetahui?”
“Aku adalah adiknya, sudah tentu aku tahu!” sahut wanita itu.
“Di manakah anak perempuan itu? Sudah mati atau masih
hidup?”
Seketika Ting Put-si lemas terduduk pula di atas kursinya,
“prak”, keempat kaki kursinya sampai tertindih patah semua.
“Di mana anak perempuan itu? Sudah mati atau masih hidup?
Lekas katakan!” desak pula wanita itu dengan suara bengis.
“Da... dari mana aku bisa tahu?” sahut Ting Put-si setengah
menggumam.
“Sebelum mengembuskan napasnya yang penghabisan, Cici
telah pesan padaku agar mencari kau untuk menanyakan di
mana beradanya anak perempuan itu, aku diminta merawat
anaknya,” kata wanita itu. “Dasar kau ini memang... memang
bangsat keparat, kau telah membikin kapiran Ciciku, sekarang
kau masih merecoki bini orang lain.”
Kedua kaki Ting Put-si tambah lemas, kursi yang dia duduki
mestinya sudah patah kakinya, hanya tergantung pada kakinya
saja yang menyangga, kini kursi itu lantas saja roboh ke
bawah. Syukurlah kepandaian Ting Put-si cukup hebat, sedikit
kakinya memancal sudah berdiri tegak lagi. Kalau orang lain
bukan mustahil sudah jatuh terjengkang.
“Sebenarnya anak perempuan itu masih hidup atau sudah
mati?” kembali si wanita tadi bertanya dengan suara bengis.
“Dua puluh tahun yang lalu dia masih... masih hidup, kemudian
aku tidak tahu lagi,” sahut Put-si.
“Mengapa kau tidak mencarinya?” desak si wanita.
“Ini... ini memang su... sukar untuk mencarinya,” sahut Ting
Put-si dengan gelagapan.
Boh-thian melihat perawakan wanita yang bicara itu pendek
dan kecil, berbaju sutra ungu tua, mukanya tertutup oleh
sehelai sutra hitam tipis, di bawah cahaya lilin wajahnya
kelihatannya tiada sesuatu yang luar biasa. Tapi Ting Put-si
ternyata sangat jeri padanya.
Pada saat itulah mendadak suara tambur dan genta
bergemuruh lagi, seorang laki-laki baju kuning telah berseru,
“Liong-tocu dan Bok-tocu, kedua pemilik Liong-bok-to akan
menjumpai para tamu agung!”
Seketika tergetar hati semua orang. Baru sekarang mereka
mengetahui bahwa Liong-bok-to ternyata ada dua orang
penguasa she Liong dan she Bok. Jadi nama pulau itu adalah
diambil dari she kedua penguasanya.
Ketika pintu tengah terbuka, maka keluarlah dua baris pria dan
wanita, yang sebelah kiri berseragam hijau, sedangkan sebelah
kanan berseragam kuning. Pembawa acara tadi lantas berseru
pula, “Para anak murid Liong-tocu dan Bok-tocu
menyampaikan salam hormat kepada para tamu agung!”
Kedua baris anak murid Liong-bok-to itu lantas berdiri di
kanan-kiri, lalu bersama-sama memberi hormat kepada para
hadirin.
Tertampak Thio Sam dan Li Si, kedua Sucia pengganjar dan
penghukum itu juga berada di antara kedua baris itu, Thio Sam
memakai seragam kuning dan menduduki tempat ke-11 di
sebelah kanan menurut urut-urutan dari depan. Li Si memakai
seragam hijau dan berbaris nomor 13 di sebelah kiri. Di
belakang mereka itu masih terdapat belasan orang lagi.
Padahal ilmu silat Thio Sam dan Li Si itu telah diketahui sangat
lihai, siapa duga mereka masih mempunyai saudara
seperguruan sebanyak itu dan tentu tidak rendah pula ilmu
silatnya, paling tidak juga sembabat dengan kedua Sucia itu.
Pantas selama ini setiap tokoh Bu-lim yang datang ke Liongbok-
to sini tiada satu pun yang mampu pulang dengan
selamat, sebab di pulau ini ternyata ada sebanyak ini orangorang
pandai, belum lagi kedua tocu mereka yang pasti jauh
lebih lihai pula daripada anak buahnya, demikian pikir semua
orang dengan kebat-kebit.
Jika di waktu mengantar medali undangan ke Tionggoan itu
Thio Sam dan Li Si bersikap sangat angkuh dan keras, sedikit
tidak cocok lantas membunuh orang. Tapi sekarang sesudah di
kandang sendiri, sikapnya ternyata sangat prihatin,
pandangannya lurus, melirik sedikit saja tidak berani. Maka di
tengah suara alunan musik yang perlahan muncullah dua orang
tua yang berbaju kuning dan hijau.
“Kedua Tocu kami mengucapkan selamat datang kepada para
tamu agung!” seru pula si pembawa acara. Serentak semua
orang dan kedua tocu itu saling memberi hormat.
Maka Liong-tocu yang berjubah kuning itu lantas tertawa,
katanya, “Cayhe dan Bok-hiante sudah lama hidup terasing di
pulau sunyi ini, hari ini dapat berjumpa dengan saudarasaudara,
sungguh kami merasa sangat bahagia. Cuma saja di
pulau terpencil ini tentu akan kurang sempurna dalam hal
pelayanan, untuk ini diharap kalian suka memaafkan.”
“Silakan duduk, saudara-saudara?” Segera Bok-tocu
menyambung.
Dari logat mereka, agaknya kedua tocu ini pun berasal dari
daratan Tionggoan, kalau bukan Hokkian, tentunya orang
Kwitang.
Sesudah para tamu berduduk kembali, kedua tocu itu lantas
menempati meja-kursi yang telah disediakan sebagai tuan
rumah. Sedangkan anak muridnya tetap berdiri semua.
Melihat sikap tuan rumah yang cukup ramah itu, diam-diam
para kesatria berpikir, “Cara Liong-bok-to mengundang tamu
sangatlah kasar, jika yang diundang tidak mau, tentu
orangnya, bahkan segenap keluarganya akan dibunuh habis.
Tapi sesudah berada di pulau mereka ternyata disambut
dengan segala kehormatan, sedikit pun tidak tampak
kekurangan adat. Entah apa langkah selanjutnya yang akan
mereka ambil?”
Waktu mereka memerhatikan kedua tocu itu, tertampak
jenggot alis Liong-tocu itu sudah putih semua, tapi mukanya
merah licin laksana anak kecil. Sebaliknya Bok-tocu itu
berjenggot jarang-jarang, baru sedikit yang ubanan, tapi
mukanya malah penuh keriput. Sebenarnya berapa usia kedua
kakek itu menjadi sukar ditaksir. Cuma dapat diduga antara
60-90 tahun, tapi bukan mustahil juga sudah lebih dari 100
tahun.
Setelah masing-masing mengambil tempat duduk kembali,
segera petugas-petugas mendekati setiap orang untuk
menuangkan arak, menyusul lantas disuguhkan masakanmasakan
enak, setiap meja delapan macam, ada ayam, itik,
ikan dan udang, semuanya menguarkan bau sedap dan tiada
sesuatu yang mencurigakan.
Di antara hadirin itu Boh-thian melihat pula keempat tokoh dari
Kwantang, yaitu Hoan It-hui dan kawan-kawannya, ketua
Siang-jing-koan dan lain-lain juga datang. Bila mereka bertemu
pandang, maka hanya saling mengangguk saja. Rupanya
perasaan mereka rada tegang.
“Silakan minum!” segera Liong dan Bok-tocu mengangkat
gelas, kedua orang lantas mendahului minum habis arak
mereka.
Melihat warna arak yang disuguhkan itu putih kehijau-hijauan,
banyak di antara hadirin itu tidak berani minum, mereka hanya
menempelkan cawan arak ke bibir saja dan tidak menghirup
isinya. Sebaliknya ada sebagian hadirin yang merasa nasib
mereka sudah berada di genggaman orang, biarpun mati juga
harus bersikap kesatria, maka tanpa ragu-ragu mereka lantas
ikut menenggak arak masing-masing. Segera pelayan
menuangkan lagi cawan mereka.
Setelah tiga kali mengangkat gelas, kemudian Liong-tocu
mengangkat tangannya memberi tanda, segera serombongan
pelayan keluar dari ruangan belakang, masing-masing
membawa sebuah nampan dengan semangkuk besar bubur
atau jenang dan diletakkan di depan setiap tamu.
“Inilah tentunya Lap-pat-cok yang ditakuti orang Kangouw itu,”
demikian pikir semua orang.
Bubur atau jenang itu berwarna hijau gelap, masih panas
mengepul. Anehnya jenang ini bukan dibuat dari campuran
angco (kurma merah), lianci (biji teratai), lengkeng, dan
bahan-bahan lain, sebaliknya entah dicampur dengan pepesan
apa, seperti sayur dan seperti rumput, mirip pula potongan
akar-akaran, menusuk hidung pula bau obat-obatan.
Pada umumnya kalau barang berbisa kebanyakan bersemu
hijau, sekarang warna jenang ini sedemikian aneh, keruan
semua orang menjadi jeri. Apalagi Ko Sam-niocu, mengirik
demi mengendus bau obat-obatan itu. Ia pikir di dalam jenang
itu entah dicampur betapa banyak ular, kelabang, kalajengking
dan makhluk-makhluk berbisa lain, sungguh ia merasa muak
dan ingin muntah-muntah. Cepat ia mendorong jenang itu ke
tepi meja sambil menutupi hidungnya.
Maka terdengar Liong-tocu berkata pula, “Sebagai
penghormatan kepada para hadirin yang datang dari tempat
jauh, maka sengaja kami suguhkan semangkuk Lap-pat-cok
yang sukar dicari di luaran ini. Yang paling utama adalah
sejenis bahan jenang ini, yaitu ‘Toan-jong-sit-kut-hu-sim-khau’
(rumput perantas usus, pelapuk tulang dan pembusuk hati),
rumput ini setiap delapan tahun baru berbunga satu kali,
terkadang harus sebelas tahun baru berbunga satu kali.
Biasanya sesudah rumput ini berbunga barulah kami
mengundang para kawan Kangouw untuk datang ke sini
bersama-sama menikmati ramuan obat mukjizat ini. Kalau
dihitung, pertemuan kali ini adalah pertemuan yang keempat.
Nah, silakan mulai! Silakan, jangan sungkan-sungkan!”
Habis berkata segera ia mendahului memegang sumpit,
tangannya mengacung sekeliling sebagai tanda menyilakan
para tamunya, lalu kedua tocu itu mendahului makan jenang
yang tersedia bagi mereka itu.
Demi mendengar nama rumput yang menyeramkan itu,
seketika hati semua orang memukul keras. Sebenarnya mereka
pun sudah insaf takkan bisa pulang dengan hidup, tapi secara
blakblakan Liong-tocu itu memberitahukan racun apa yang
tercampur di dalam jenang itu, hal ini benar-benar di luar
dugaan dan membuat mereka melenggong seketika. Ketika
melihat kedua tocu itu sudah mulai menikmati jenang sendiri
dengan enaknya, diam-diam para kesatria membatin, “Di
dalam jenang kalian itu sudah tentu tidak dicampuri racun,
sebaliknya pasti ditaruh obat-obat kuat sebangsa sarang
burung, jinsom dan lain-lain.”
Selagi semua orang ragu-ragu apa mesti makan jenang yang
disuguhkan itu atau tidak, sekonyong-konyong di sebelah
kanan sana seorang laki-laki tegap telah berbangkit, sambil
menuding kedua tocu, orang itu membentak, “Dengarkanlah
orang she Liong dan she Bok, aku Kay Thian-pa dari Kwansay
adalah seorang laki-laki tak takut mati, sebelum berangkat
memangnya aku sudah mengatur pesan terakhir di rumah,
sekarang jika mau bunuh boleh lekas silakan, tidak nanti orang
she Kay mundur setapak pun. Tapi kalau aku disuruh makan
barang kotor semacam ini, hm, tidak mau!”
Liong-tocu tampak melengak sejenak, segera ia menjawab
dengan tertawa, “O, jika Kay-enghiong tidak sudi makan
jenang kami, masakah kami berani memaksa? Buat apa mesti
marah lagi? Silakan duduk, silakan duduk!”
Namun Kay Thian-pa itu masih marah-marah dan membentak
pula, “Orang she Kay sudah tidak pikirkan jiwanya lagi, apakah
akan mati sekarang atau mati nanti juga sama saja, tapi aku
justru ingin mencari perkara kepada kalian kawanan anjing
yang zalim dan membikin celaka manusia ini!”
Sembari berkata, segera semangkuk jenang di depannya itu
terus dilemparkan ke arah Liong-tocu.
“Jangan kurang ajar, Kay-hiante!” cepat seorang tua di meja
sebelahnya berbangkit dan membentak padanya sambil
mengebaskan lengan bajunya, serangkum angin lantas
menyambar ke depan sehingga mangkuk jenang itu tertahan di
udara.
Karena tidak dapat melayang ke depan, dengan sendirinya
mangkuk itu lantas anjlok ke bawah. Tampaknya mangkuk
besar berkembang warna-warni itu segera akan jatuh dan
pecah berantakan, tiba-tiba seorang pelayan yang sedang
menuangkan arak di meja sebelah lantas melompat maju,
sekali sambar, dengan tepat mangkuk itu kena diraih oleh
tangannya. Saat itu mangkuk itu tinggal beberapa senti saja di
atas permukaan tanah, kalau telat sedetik saja tentu sudah
hancur.
Tanpa merasa para hadirin bersorak memuji kepandaian
pelayan itu. Tapi segera mereka tambah sedih. Pikir mereka,
“Seorang pelayan saja berkepandaian setinggi ini, terang kami
tiada harapan buat pulang dengan hidup lagi.”
Dalam pada itu tertampak seorang Susing (terpelajar)
setengah umur dan bertubuh kurus telah berdiri dan berseru
dengan suara lantang, “Hanya para pesuruh Liong-bok-to saja
sudah cukup menjagoi dunia persilatan Tionggoan, apalagi
kalau kedua Tocu sendiri ingin diagungkan di dunia persilatan,
tentu semudah membalikkan telapak tangan sendiri dan buat
apa mesti membuang pikiran dan tenaga untuk mengundang
kami ke pulau sini? Kematian Cayhe sih tidak perlu
disayangkan, yang membikin penasaran adalah suatu
pertanyaan besar di dalam hati kami yang masih belum
terjawab, untuk mana sangat diharapkan kedua Tocu suka
memberi penjelasan, habis itu Cayhe rela menerima kematian
tanpa penasaran sedikit pun.”
Apa yang ditanyakan Susing setengah umur ini memang juga
menjadi pertanyaan yang terkandung di dalam hati para
hadirin, maka seketika perhatian lantas terpusat kepada Liong
dan Bok-tocu untuk mengetahui bagaimana jawabnya.
Maka Liong-tocu telah tertawa, jawabnya, “Ah, Sebun-siansing
terlalu merendah hati, silakan duduk dulu! Dahulu Sebunsiansing
terkenal seorang diri merobohkan Siampak-khit-pa
(tujuh benggolan daerah utara Siamsay) dan menghancurkan
Hopak-pek-ceh (delapan sarang bandit di Hopak), sudah
selama 30 tahun ini Cayhe dan Bok-hiante sangat mengagumi
nama Sebun-siansing, hari ini dapat berkenalan, masakah kami
berani main kasar kepada Sebun-siansing?”
Mendengar disebutnya nama keluarga Susing setengah umur
itu, seketika pandangan para hadirin beralih kepadanya.
Sungguh tak terduga oleh mereka bahwa Sebun Put-kun, itu
pelajar yang namanya mengguncangkan Kangouw pada masa
30 tahun yang lalu karena seorang diri telah merobohkan
Siampak-khit-pa dan menghancurkan Hopak-pek-ceh ternyata
masih berusia begini muda, tampaknya baru 40-an tahun saja.
Padahal waktu namanya tersohor kabarnya usianya sudah lebih
30 tahun, sejak itu orangnya lantas menghilang. Kalau dihitung
usianya sekarang tentu juga sudah 60-an tahun, siapa nyana
orangnya ternyata awet muda.
Dalam pada itu terdengar Sebun Put-kun telah menjawab, “Ah,
Liong-tocu terlalu memuji. Sedikit kepandaianku ini hanya
boleh dibuat main gertak di daerah Tionggoan, tapi dalam
pandangan kedua Tocu adalah mirip permainan anak kecil yang
menertawakan saja.”
“Ah, Sebun-siansing terlalu rendah hati,” ujar Liong-tocu.
“Tentang pertanyaan Sebun-siansing tadi, memangnya kami
berdua juga akan memberi penjelasan kepada para hadirin.
Cuma saja Lap-pat-cok ini harus dimakan selagi hangat-hangat
supaya khasiatnya bisa bekerja dengan baik, sesudah para
hadirin makan jenang ini barulah Cayhe memberi penjelasan.”
Karena kurang berpengalaman, maka Ciok Boh-thian boleh
dikata setengah paham setengah tidak atas pembicaraan
orang-orang itu. Sebaliknya perutnya sejak tadi sudah
kelaparan. Maka demi mendengar ucapan Liong-tocu itu, terus
saja ia angkat mangkuk terus diseruput hingga setengah
mangkuk jenang itu masuk ke dalam perutnya. Terasa bau
obat sangat menusuk hidung, tapi rasanya manis-manis asin,
toh cukup enak. Maka sekaligus ia terus bikin bersih isi
mangkuk itu.
Melihat Ciok Boh-thian menghabiskan jenang itu dengan
lahapnya, para hadirin sama membatin, “Bocah ini benar-benar
tidak tahu tingginya langit dan tebalnya bumi, andaikan ingin
lekas mampus juga tidak perlu berlomba duluan!”
Tapi ada juga yang berpikir, “Ya, akhirnya toh mesti mati, cara
pemuda ini memang lebih tegas dan lebih terhormat.”
Sedangkan Pek Cu-cay lantas menanggapi, “Bagus! Memang
cucu menantu Swat-san-pay kami adalah lain daripada yang
lain!”
Nyata, dalam keadaan demikian dia masih anggap Swat-sanpay
tetap lebih unggul setingkat daripada golongan dan aliran
lain, Ciok Boh-thian dianggapnya telah menaikkan derajatnya.
Sejak pertandingan di Leng-siau-sia tempo hari, sifat sombong
Pek Cu-cay sudah banyak berkurang. Ia tidak berani berlagak
lagi sebagai jago nomor satu, kesatria nomor wahid apa segala.
Sekarang dilihatnya pula betapa tangkasnya kaum hamba
Liong-bok-to seperti si pelayan menyambar mangkuk jenang
tadi, mau tak mau ia harus mengakui dunia ini masih sangat
luas, orang pandai benar-benar sukar dihitung betapa
banyaknya.
Ketika dilihatnya pula Ciok Boh-thian telah menyeruput jenang
beracun secara tak ambil pusing apakah akan mati keracunan
atau tidak, segera ia merasa bangga atas diri pemuda itu
sebagai cucu menantu ketua Swat-san-pay. Tanpa pikir ia pun
lantas mengangkat mangkuk dan menyeruput jenangnya
sambil mengerling hina kepada para hadirin, pikirnya, “Lihatlah
ini, hanya aku dan cucu menantuku saja yang berani makan
jenang ini, orang lain adakah sedemikian gagah berani?”
Tapi lantas terpikir pula olehnya, “Namun aku adalah orang
kedua yang makan jenang ini, andaikan dianggap gagah berani
dan kesatria sejati toh juga sudah nomor dua. Tahu begini, toh
akhirnya mesti mati, mengapa tadi aku tidak minum jenang ini
sebagai orang pertama? Sekarang aku hanya dapat dianggap
‘nomor dua’ saja, sungguh sangat mengecewakan.”
Begitulah selagi dia merenung dan menyesalkan diri sendiri,
dengan sendirinya ucapan Liong-tocu selanjutnya tidak
diperhatikan olehnya.
Liong-tocu itu telah berkata, “Empat puluh tahun yang lalu aku
telah bersaudara dengan Bok-hiante, kami sangat cocok satu
dan lain, baik ilmu silat maupun cita-cita boleh dikata
sepaham. Mestinya kami hendak mengembara bersama di
dunia Kangouw untuk melakukan segala sesuatu yang
bermanfaat bagi sesamanya, tak terduga baru saja kami mulai
berkelana lantas menemukan sebuah peta pusaka, setelah
mempelajari catatan-catatan yang terdapat di pinggir peta itu
kami mengetahui peta itu melukiskan sebuah pulau karang
yang tak bernama, di pulau itu tersimpan semacam bu-kangpit-
koat (rumus rahasia ilmu silat) yang mahahebat....”
“Sudah terang pulau itu adalah Liong-bok-to, mengapa bilang
pulau karang tak bernama?” sela Kay Thian-pa.
“Jangan memotong cerita Liong-tocu, Kay-hiante!” bentak si
kakek yang mengebas mangkuk jenang tadi.
“Hm, biarpun kau berusaha mengambil hatinya juga belum
tentu jiwamu akan diampuni,” sahut Kay Thian-pa dengan
kurang puas.
Si kakek menjadi gusar, kontan ia angkat mangkuk di
depannya dan sekaligus menghirup habis jenang bagiannya itu,
lalu katanya, “Kita sudah mengangkat saudara sekian lamanya,
memangnya kau anggap aku The Kong-ci ini manusia apa?”
Tiba-tiba Thian-pa merasa sangat menyesal, sahutnya, “Ya,
Toako, akulah yang salah, biarlah Siaute minta maaf padamu!”
Segera ia pun berlutut dan menjura tiga kali. Sekalian ia lantas
angkat mangkuk jenang sendiri terus dihirup habis juga.
Cepat The Kong-ci mendekati Kay Thian-pa, katanya, “O,
saudaraku, dahulu waktu kita mengangkat saudara kita telah
bersumpah setia akan mati-hidup bersama, hari ini cita-cita
kita itu benar-benar terkabul, tidak percumalah persaudaraan
kita itu.”
Begitulah kedua orang lantas saling rangkul dengan rasa girang
dan pedih pula sehingga mencucurkan air mata.
Mendengar kedua orang itu bicara tentang sumpah setia
mengangkat saudara, tentang sehidup dan semati, tanpa
merasa Ciok Boh-thian lantas memandang ke arah Thio Sam
dan Li Si.
Thio Sam dan Li Si tampak saling pandang dengan tersenyum,
pandangan mereka tiba-tiba dialihkan kepada Liong dan Boktocu.
Ketika Bok-tocu mengangguk perlahan, segera Thio Sam
dan Li Si meninggalkan barisannya, masing-masing membawa
semangkuk Lap-pat-cok dan mendekati Boh-thian, kata
mereka, “Makanlah, Samte!”
“Tidak, tidak, jangan!” cepat Boh-thian mencegah. “Kalian
jangan menemani kematianku. Aku hanya memohon sukalah
kalian kelak menjaga A Siu....”
“Samte,” kata Thio Sam dengan tertawa, “pada waktu kiat-pay
(angkat saudara) dahulu kita telah bersumpah baik ada rezeki
maupun ada bencana akan kita rasakan bersama. Sekarang
kau sudah minum semangkuk Lap-pat-cok, masakah kami
boleh ketinggalan?”
Habis berkata, bersama Li Si segera mereka menyeruput habis
Lap-pat-cok yang mereka bawa tadi. Lalu berpaling dan
memberi hormat kepada Liong dan Bok-tocu, “Terima kasih
atas hadiah jenang Suhu!”
Lalu kedua orang kembali ke tempatnya masing-masing.
Sungguh kagum semua orang tak terkatakan melihat
keluhuran budi Thio Sam dan Li Si yang rela mengiringi
kematian Ciok Boh-thian untuk memenuhi janji setia sebagai
saudara angkat. Cara mereka ini jauh lebih gemilang dan lebih
kesatria kalau dibandingkan The Kong-ci dan Kay Thian-pa
tadi.
Bab 46. Buku Ganjaran dan Hukuman
Dalam pada itu terdengar Thio Sam telah berkata pula kepada
Boh-thian, “Samte, tampaknya para tamu agung tidak
menyukai bau jenang Lap-pat-cok ini, jika kau suka boleh
silakan tambah lagi beberapa mangkuk!”
Sesungguhnya Ciok Boh-thian memang sudah kelaparan,
hanya semangkuk jenang encer saja sudah tentu tidak cukup
untuk menyamak perutnya. Ia pikir minum semangkuk atau
dua mangkuk toh tiada bedanya andaikan kalau memang betul
bubur itu beracun. Maka tanpa merasa ia lantas melirik meja di
sebelahnya.
Melihat pemuda itu mengincar jenang bagian mereka, segera
beberapa orang di sebelah Boh-thian mengangkat mangkuk
dan menawarkan padanya, “Ya, bau bubur ini terlalu keras, aku
tidak berani makan. Jika Siauenghiong suka boleh silakan ambil
saja, jangan sungkan-sungkan!”
Bahkan khawatir kalau bagian mereka tidak diambil oleh Ciok
Boh-thian, tanpa diminta lagi mereka terus membawa jenang
mereka dan ditaruh ke atas meja Ciok Boh-thian.
“Terima kasih! Terima kasih!” berulang-ulang Boh-thian
menyambut “kebaikan hati” orang-orang itu dan sekaligus ia
terus menghabiskan dua mangkuk Lap-pat-cok pula.
Kedua tocu tampak tersenyum menyaksikan apa yang terjadi
itu. Lalu Liong-tocu melanjutkan ucapannya tadi, “Apa yang
dikatakan Kay-enghiong memang tidak salah, pulau karang tak
bernama yang terlukis di dalam peta itu memang betul adalah
Liong-bok-to yang dipijak para hadirin sekarang ini. Cuma saja
nama Liong-bok-to baru dipakai setelah kami berdua datang ke
sini. Kami telah mencari sampai belasan hari lamanya menurut
petunjuk dalam peta, akhirnya dapatlah kami menemukan bukang-
pit-koat yang dimaksudkan itu. Kiranya itu cuma sebuah
lukisan bersyair kuno yang mengandung arti yang sangat
dalam dan ruwet. Saking girangnya kami berdua lantas
melatihnya menurut keterangan di dalam lukisan.
“Akan tetapi, ai, untung atau malang sukar diramal! Dengan
giat kami berdua berlatih sampai beberapa tahun, tiba-tiba
timbul perselisihan pendapat kami terhadap ilmu silat menurut
petunjuk lukisan itu. Aku bilang begini seharusnya cara
melatih, tapi Bok-hiante bilang pendapatku itu salah dan harus
cara begitu melatihnya. Sampai beberapa hari kami berdebat
dan tetap tidak diperoleh suatu rumusan yang cocok. Akhirnya
kami berjanji untuk melatih menurut caranya sendiri-sendiri,
sesudah berhasil baru diadakan kompetisi lagi untuk melihat
siapa yang betul melatihnya.
“Dengan tekun kami melatih pula secara sendiri-sendiri. Kirakira
setengah tahun pula, kami berdua coba-coba saling
bergebrak. Tapi hanya beberapa jurus saja kami menjadi
terperanjat, kiranya... kiranya....” sampai di sini wajahnya
menjadi muram dan terdiam. Bok-tocu juga kelihatan rada
kikuk. Selang sejenak barulah Liong-tocu menyambung,
“Kiranya kami berdua telah salah latih semua!”
Mendengar itu, hati para hadirin tergetar semua. Hendaklah
diketahui bahwa kepandaian Liong dan Bok-tocu bukan ilmu
silat pasaran saja, yang dilatihnya tentu adalah lwekang yang
paling tinggi, dan sekali salah melatih lwekang, biasanya kalau
tidak lumpuh dan cacat untuk selamanya, lebih berat lagi
adalah binasa. Soal ini tidak boleh dibuat gegabah.
Maka terdengar Liong-tocu telah menyambung, “Begitu merasa
tidak betul, seketika kami berdua berhenti dan saling berdebat
untuk menganalisis pula di mana letaknya kesalahan. Mungkin
karena bakat kami terlalu rendah, sebaliknya ilmu yang
terdapat di lukisan itu teramat dalam sehingga kami tetap
susah memecahkannya biarpun kami sudah mempelajari pula
beberapa bulan lamanya. Kebetulan pada waktu itu ada sebuah
kapal bajak laut yang terdampar ke pulau ini, kami telah
membunuh gembong-gembong bajak itu serta memeriksa anak
buahnya, yang terlalu banyak melakukan kejahatan lantas
dihukum mati, sisanya yang hanya ikut-ikutan saja sesudah
kami memberi peringatan dan ancaman, lalu ditahan di atas
pulau ini.
“Sesudah berunding pula, kami berdua menganggap sebabnya
tidak dapat memecahkan rahasia lukisan dan syair kuno itu
boleh jadi lantaran kami sudah lebih dulu melatih ilmu silat
lainnya, jadi jalan permulaan sudah menyimpang sehingga
sukar menyelami ilmu di dalam lukisan itu. Kami pikir lebih
baik mengambil beberapa orang murid saja dan suruh mereka
belajar dari permulaan.
“Begitulah kami lantas memilih enam murid yang kami ambil
dari kawanan bajak itu, tidak kami ajarkan dasar lwekang
kepada mereka, hanya kami memberi petunjuk sedikit
pengetahuan umum tentang ilmu pukulan dan ilmu pedang,
lalu kami menyuruh mereka menyelami pelajaran di dalam
lukisan itu. Siapa duga hasilnya ternyata sangat
mengecewakan. Bukan saja ketiga muridku berlainan pendapat
dengan ketiga murid Bok-hiante, bahkan di antara ketiga
muridku sendiri juga mempunyai pikiran yang berbeda. Dan
begitu pula dengan tiga murid Bok-hiante.
“Setelah kami berunding pula, kami anggap lukisan yang
bersyair kuno buah kalam Li Tay-pek itu mungkin terlalu dalam
artinya, kami hanya jago silat kasaran, dalam hal kesusastraan
tentu tidak lebih pandai dari kaum cendekia dan sastrawan,
tampaknya kalau bukan orang yang serbapintar, baik ilmu silat
maupun sastra, tentu sukar memahami rahasia lukisan itu.
Maka aku dan Bok-hiante lantas kembali ke Tionggoan, kami
mengembara dengan perjanjian dalam setahun masing-masing
harus menerima empat orang murid yang pandai, terutama
dalam hal kesusastraan kuno.”
Sampai di sini tiba-tiba ia menunjuk tujuh-delapan murid di
sebelahnya yang berbaju kuning dan hijau, lalu sambungnya
pula, “Terus terang saja beberapa murid ini bukan orang biasa,
kepandaian mereka jika mau digunakan untuk menempuh ujian
cinsu atau hanlim (nama pangkat kesusastraan) boleh dikata
semudah membalik telapak tangan sendiri. Waktu mula-mula
datang ke sini mereka pun ogah-ogahan, tapi sekali sudah
kenal ilmu silat, pula setelah mempelajari lukisan aneh itu,
mereka menjadi lupa daratan dan rela tinggal di sini, mereka
merasa melatih ilmu silat jauh lebih menyenangkan daripada
sekolah dan menjadi amtenar. Mereka benar-benar telah
keranjingan ilmu silat.
“Namun sesudah kedelapan murid cerdik pandai ini
mempelajari isi lukisan kuno itu, akhirnya mereka berbeda
pendapat pula. Bukan saja tidak memberi manfaat dan
pemecahan yang kami harapkan, sebaliknya malah membikin
kami berdua semakin bingung. Karena kehabisan akal, kami
menjadi kesal dan penasaran. Jika dilupakan begitu saja, rasa
kami tidak rela pula.
“Pada suatu hari Bok-hiante telah mengusulkan sebaiknya kami
mengundang Biau-ti Taysu saja dari Siau-lim-si mengingat
padri tersebut boleh dikata adalah guru besar ilmu silat pada
zaman ini. Aku mengatakan Biau-ti Taysu sudah berpuluh
tahun mengasingkan diri, mungkin sukar mengundangnya
turun gunung. Namun Bok-hiante mengusulkan pula agar
lukisan itu diturun dan diperlihatkan kepada Biau-ti Taysu,
tentu beliau akan tertarik dan mau berkunjung kemari.
Bilamana beliau tidak tertarik pada lukisan itu, maka tentu
lukisan ini pun tiada sesuatu yang berguna dan kami pun boleh
tak usah memusingkan soal lukisan ini. Aku menyatakan akur
atas usul Bok-hiante itu, bahkan aku menganjurkan turunan
lukisan itu diperbanyak sehelai lagi untuk diperlihatkan kepada
Gu-teh Totiang dari Bu-tong-pay. Siau-lim-pay dan Bu-tongpay
adalah dua aliran terkemuka di dunia persilatan, kedua
orang kosen itu pasti akan dapat memberi pandangan yang
tajam.
“Begitulah kami lantas berangkat ke Siau-lim-si. Setiba di sana
kami lantas menyampaikan sampul yang berisi turunan lukisan
itu kepada padri penyambut tamu agar diteruskan kepada
Biau-ti Taysu. Akan tetapi padri penyambut tamu itu semula
menolak, katanya Biau-ti Taysu sudah lama mengasingkan diri
dan tiada berhubungan lagi dengan khalayak ramai. Kami juga
tidak memaksa, tapi kami lantas duduk bersila di depan pintu
gerbang Siau-lim-si sehingga merintangi jalan keluar-masuk
mereka. Selama tujuh-hari-tujuh-malam kami duduk di situ.
Akhirnya padri-padri Siau-lim-si itu merasa kewalahan
sehingga mau menerima sampul surat kami untuk disampaikan
kepada ketuanya.”
Diam-diam para hadirin dapat membayangkan walaupun cerita
Liong-tocu itu seperti enteng saja, tapi sebenarnya selama
mereka merintangi pintu gerbang Siau-lim-si sampai tujuhhari-
tujuh-malam, selama itu tentu sudah terjadi pertarungan
sengit dan tentu pula padri-padri Siau-lim-si merasa kewalahan
sehingga akhirnya mau terima sampul suratnya.
Begitulah maka Liong-tocu telah melanjutkan, “Begitu sampul
surat itu diterima padri penyambut tamu, segera juga kami
berbangkit dan meninggalkan Siau-lim-si, kami menunggu di
kaki gunung Siau-sit-san. Tidak sampai setengah jam,
tertampaklah Biau-ti Taysu sudah menyusul tiba dan tanya
kepada kami, ‘Di mana tempatnya?’ — Bok-hiante telah
menjawab, ‘Masih harus mengundang seorang lagi!’ — ‘Benar,
Gu-teh harus diundang sekalian!’ ujar Biau-ti.
“Kami bertiga lantas menuju ke Bu-tong-san. Sebagai ketua
Siau-lim-si yang tersohor, tanpa permisi lagi Biau-ti langsung
terus masuk ke tempat semadi Gu-teh Totiang yang telah
dikenalnya dengan baik, kami mengikutnya dari belakang, anak
murid Bu-tong-pay juga tidak berani merintangi. Setiba di
kamar semadi Gu-teh, tanpa bicara apa-apa lalu Biau-ti terus
pasang kuda-kuda dan memainkan ilmu silat menurut gaya di
dalam lukisan yang kami sampaikan padanya itu. Habis itu
tanpa bicara pula ia terus putar tubuh dan tinggal pergi. Gu-teh
terkejut dan bergirang pula, tanpa bertanya ia lantas
berbangkit dan ikut ke Liong-bok-to sini.
“Bahwasanya Biau-ti adalah tokoh utama Siau-lim-pay dan Guteh
adalah jago nomor satu Bu-tong-pay, mereka telah diakui
sebagai tokoh terkemuka dunia persilatan pada zaman ini.
Begitu sampai di Liong-bok-to sini mereka lantas mulai
menyelami rahasia ilmu silat di dalam lukisan itu. Bulan
pertama pendapat mereka berdua boleh dikata hampir sama,
bulan kedua sudah mulai timbul pendapat yang berbeda.
Sampai bulan ketiga, ternyata dua tokoh yang biasanya sudah
tidak pikirkan soal-soal duniawi juga timbul percekcokan
lantaran ketidakcocokan pandangan masing-masing atas
keterangan lukisan itu. Bahkan... bahkan sampai-sampai kedua
orang saling gebrak.”
Para kesatria menjadi heran dan tertarik, beramai-ramai
mereka menegas, “Lalu bagaimana hasil pertandingan itu,
siapa yang menang dan siapa yang kalah?”
“Kedua orang sama-sama tokoh terkemuka pada zaman ini,
mereka telah saling ukur kepandaian berdasarkan paham yang
mereka dapatkan dari lukisan itu. Sampai dengan jurus kelima
mereka mempunyai persamaan paham, kedua orang samasama
tersenyum puas dan berhenti bertanding. Tapi pada jurus
keenam tiba-tiba timbul lagi perselisihan paham. Dengan
demikian mereka sebentar bertanding dan sebentar berhenti,
selama beberapa bulan keadaan itu terus berlangsung, sampai
akhirnya apa yang dapat mereka selami tetap sama saja, tapi
sebenarnya siapa yang lebih pandai juga sukar dikatakan.
“Dalam perundinganku dengan Bok-hiante, kami merasa isi
yang terkandung di dalam lukisan itu terlalu luas dan dalam
sehingga sukar dijajaki, sampai-sampai tokoh-tokoh terkemuka
sebagai Biau-ti dan Gu-teh juga cuma satu-dua bagian saja
yang dapat dipahami, untuk bisa memperoleh saripati seluruh
lukisan itu rasanya perlu menghimpun orang-orang cerdik
pandai. Untuk ini kita dapat mengundang kaum cendekia di
seluruh jagat untuk datang ke pulau ini dan bersama-sama
mempelajarinya.
“Kebetulan pada waktu itu ‘Toan-jong-sit-kut-hu-sim-khau’ di
pulau ini sedang berbunga, rumput ini bila dicampur dengan
obat-obatan lain dan dibuat bubur, sesudah dimakan akan
sangat bermanfaat bagi kaum kita yang belajar ilmu silat. Maka
kami berdua lantas mengirimkan utusan-utusan untuk
mengundang setiap tokoh yang terkenal di zaman ini, segenap
ketua atau pemimpin dari berbagai golongan dan aliran
persilatan telah kami undang ke pulau ini untuk mencicipi Lappat-
cok, habis itu kami lantas minta mereka ikut mempelajari
rahasia lukisan itu.”
Semua orang merasa setengah percaya dan setengah sangsi
atas cerita Liong-tocu itu. Segera Ting Put-si berseru, “Jika
demikian, jadi maksud kalian mengundang para tamu ke sini
untuk makan Lap-pat-cok adalah karena bermaksud baik?”
“Maksud baik seluruhnya sih tidak,” sahut Liong-tocu. “Sudah
tentu aku dan Bok-tocu juga berkepentingan, yaitu dengan
harapan dengan himpunan orang-orang pandai di sini akan
dapat membantu kami memecahkan rahasia lukisan untuk
selanjutnya mengembangkan ilmu silat pada umumnya.
Sebaliknya jika kami dianggap bermaksud jahat kepada para
tamu, hal ini pun bukan tujuan kami.”
“Hm, ucapanmu ini apa bukan dusta belaka?” jengek Ting Putsi.
“Jika betul kalian tidak bermaksud jelek, mengapa orang
yang tidak mau terima undanganmu, lantas kalian main
membunuh tanpa kenal ampun? Apakah di dunia ini ada cara
mengundang tamu sekasar demikian?”
“Ya, beralasan juga teguranmu ini,” sahut Liong-tocu sambil
manggut-manggut. Mendadak ia tepuk tangan dan berseru,
“Bawakan buku-buku ganjaran dan hukuman!”
Segera delapan muridnya menuju ke belakang, sejenak
kemudian lantas keluar kembali dengan membawa delapan
tumpuk buku-buku, setiap tumpuknya ada belasan senti
tingginya.
“Pertunjukkan buku-buku itu kepada para hadirin,” kata Liongtocu.
Berturut-turut anak muridnya itu lantas memperlihatkan bukubuku
yang mereka bawa itu kepada masing-masing tamu.
Ternyata di setiap jilid buku itu tertulis nama golongan atau
aliran persilatan yang bersangkutan.
Waktu Ting Put-si mendapat gilirannya, segera ia membaca
buku yang diperlihatkan padanya itu. Ternyata kulit buku itu
tertulis “Keluarga Ting di Liok-hap”.
Seketika Ting Put-si terkesiap, “Kami bersaudara memang
betul adalah orang dari Liok-hap, hal ini jarang diketahui orang
luar, sebaliknya Liong-bok-to yang terpencil di luar lautan sini
kok malah tahu? Sungguh tajam benar sumber berita mereka.”
Setelah halaman-halaman buku itu dibalik-balik, terbaca di situ
tercatat tanggal kapan, bulan apa dan berapa, di mana Ting
Put-sam telah berbuat apa, dan begitu pula Ting Put-si dan
saudaranya yang lain, segala gerak-geriknya ternyata tercatat
semua di situ. Walaupun tidak sangat lengkap, tapi pada garis
besarnya apa yang telah diperbuatnya selama 20-an tahun ini
boleh dikata tercatat cukup jelas di dalam buku itu.
Dahi Ting Put-si sampai berkeringat. Waktu ia melirik orang
lain, ternyata semua juga mengunjuk rasa serbakikuk. Hanya
Ciok Boh-thian saja yang masih enak-enak makan jenang
sendiri tanpa peduli buku yang mencatat atas nama “Tiang-lokpang”
itu. Maklum dia memang buta huruf, apa yang tertulis di
dalam buku itu hakikatnya dia tidak tahu.
“Simpan kembali buku-buku ganjaran dan hukuman itu,”
perintah Liong-tocu kemudian. Sesudah itu, dengan tersenyum
lalu ia menyambung, “Kami telah mengirimkan orang-orang
untuk menyelidiki dan mencari berita dunia Kangouw, bukanlah
maksud kami sengaja mencari-cari rahasia pribadi orang lain,
hanya saja bila mendapat berita sesuatu, segera kami
mencatatnya. Setiap golongan dan klik yang pernah ditumpas
oleh Liong-bok-to semuanya adalah manusia-manusia terkutuk
yang kejahatannya sudah tak terampunkan. Untuk mana boleh
silakan para hadirin merenung sendiri, adakah sesuatu
golongan atau aliran yang baik atau pendekar budiman siapa
yang telah dicederai Liong-bok-to lantaran menolak untuk
menerima medali undangan?”
Ternyata tiada seorang pun yang dapat memberi bantahan
pertanyaan itu. Maka sejenak kemudian Liong-tocu lantas
menyambung pula, “Sebab itulah, sesungguhnya orang yang
pernah kami bunuh itu boleh dikata adalah orang yang telah
menerima ganjarannya yang setimpal....”
“Liap-lokunsu dari Thongciu, Hopak, toh tiada mempunyai
sesuatu dosa, mengapa kalian telah membunuh seluruh
keluarganya?” tiba-tiba Pek Cu-cay berseru.
Liong-tocu tidak menjawab, mendadak ia melorot sejilid buku
di antara tumpukan-tumpukan itu dan didorong perlahan ke
depan sambil berkata, “Silakan Wi-tek Siansing membacanya
sendiri.”
Aneh juga, buku itu perlahan-lahan lantas melayang sendiri ke
depan. Segera Pek Cu-cay hendak memegangnya, tak terduga
ketika buku itu sudah dekat mendadak merandek di tengah
udara, lalu anjlok lurus ke bawah, ke atas meja Pek Cu-cay.
Lekas-lekas Cu-cay meraup secepatnya, syukur buku itu masih
keburu dipegang olehnya dan tidak sampai jatuh di atas
mangkuk jenang. Ia merasa buku yang terpegang di tangannya
itu masih membawa tenaga tekanan yang cukup berat, mau
tak mau ia terkejut, “Tenaga dalam orang ini benar-benar luar
biasa, sejilid buku yang enteng saja dapat didorong ke depan
dengan membawa tenaga sekuat ini, apalagi kalau dia
menyambitkan senjata rahasia, rasanya sukar untuk dihindari
oleh siapa pun juga. Agaknya gelarku ‘Jago senjata rahasia
nomor satu’ harus dihapus menghadapi orang ini.”
Dilihatnya di muka buku itu tertulis “Liap-keh-kun, Thongciu,
Hopak”. Waktu ia membuka halaman pertama, baris pertama
saja sudah tercatat hal-hal yang mengejutkan. Di situ tertulis
hari apa, bulan dan tahun apa Liap Cong-tay telah memerkosa
dan membunuh dua jiwa di Congciu, tapi memfitnah kawanan
bandit Hok-hou-khe yang berbuat. Baris kedua juga tercatat
kapan Liap Cong-hiap hanya dengan persoalan kecil telah
melukai putra sulung Lau Bun-cit dari Celamhu, malamnya
segenap keluarga sebanyak 13 jiwa telah dibunuh habis
olehnya.
Liap Cong-tay dan Liap Cong-hiap itu adalah putranya Liaplokunsu
(jago silat tua she Liap), namanya cukup terkenal baik
di dunia Kangouw, siapa duga diam-diam banyak melakukan
kejahatan.
Pek Cu-cay merasa ragu-ragu, katanya, “Kejadian-kejadian ini
tiada bukti dan tanpa saksi, entah betul atau tidak. Walaupun
Cayhe tidak berani menuduh kedua Tocu sengaja membunuh
orang berdosa, tapi kesalahan info yang diterima utusanutusan
Liong-bok-to yang dikirim ke Tionggoan itu bukannya
tidak mungkin terjadi.”
Mendadak Thio Sam menanggapi, “Jika Wi-tek Siansing tidak
percaya, bolehlah coba melihat benda ini.”
Segera ia menuju ke ruangan belakang, waktu keluar kembali,
sedikit tangannya bergerak, sejilid buku tipis perlahan-lahan
melayang ke arah Pek Cu-cay. Setiba di depan Cu-cay buku itu
pun mendadak anjlok ke bawah. Gerakan dan caranya ternyata
serupa dengan Liong-tocu tadi.
Sekali ini Pek Cu-cay sudah siap sedia, sekali sambar buku itu
lantas kena ditangkapnya. Waktu ia membalik halaman buku
itu, kiranya adalah sejilid buku kas keluarga Liap.
Karena sewaktu mudanya Pek Cu-cay pernah bergaul akrab
sekali dengan Liap-lokunsu, maka Cu-cay kenal baik gaya
tulisan jago tua itu. Ia lihat buku kas itu memang benar tulisan
tangan Liap-lokunsu sendiri, seluruhnya berisi tentang masukkeluarnya
keuangan. Satu baris di antaranya tertulis: “Tanggal
delapan, dibeli 83,2 bau sawah dari keluarga Ciu, harga 70
tahil perak”. Lalu di atasnya diberi tanda tulisan tinta merah:
“Patut dibunuh”.
Diam-diam Cu-cay membatin, “83,2 bau sawah dengan harga
70 tahil perak, sawah ini benar-benar teramat murah. Di dalam
perkara ini tentu ada gejala-gejala paksaan.”
Pada rekening lain dilihatnya tertulis pula: “Tanggal 15,
diterima dari paduka tuan bupati Thongciu sebanyak 2.500
tahil perak”. Di atas rekening ini pun diberi catatan: “Patut
dibunuh” dengan tinta merah.
Pek Cu-cay menjadi heran, Liap Lip-jin, Liap-lokunsu itu adalah
seorang pendekar berbudi luhur, mengapa dia terima uang dari
kaum pembesar? Besar kemungkinan dia bersekongkol dengan
pembesar-pembesar korup dan menindas rakyat jelata yang
lemah.
Ia coba membalik-balik terus halaman buku itu, tertampak
rekening-rekening yang diberi catatan “patut dibunuh” itu tidak
kurang dari 60-70 buah. Ia tahu yang memberi catatan itu
tentu adalah Thio Sam dan Li Si. Tanpa merasa ia menghela
napas gegetun, katanya, “Kenal orangnya dan kenal mukanya,
tapi tidak tahu hatinya! Liap Lip-jin memang benar-benar patut
dibunuh. Sesudah melihat catatan buku kas ini, andaikan
Liong-bok-to mau mengampuni dia, orang she Pek juga pasti
akan membunuh segenap keluarganya.”
Sembari berkata ia terus berbangkit dan mendekati Thio Sam,
ia kembalikan buku kas itu dan berkata, “Kagum, kagum
sekali!”
Waktu berpaling, ia pandang Liong dan Bok-tocu dengan rasa
penuh kekaguman yang tak terkatakan. Pikirnya, “Anak murid
Liong-bok-to bukan saja tinggi ilmu silatnya, bahkan caranya
bekerja sangat rapi, penegak keadilan dan kebenaran, aku
tidak tahu cara bagaimana mereka memberi ganjaran pada
yang bajik, tapi betapa adil caranya memberi hukuman kepada
kaum jahat dapat pula mencerminkan tepatnya memberi
ganjaran. Ya, ‘rasul pengganjar dan penghukum’, benar-benar
tidak bernama kosong. Betapa banyaknya anak muridku, tapi
siapakah yang dapat menandingi Thio Sam dan Li Si ini? Ai,
sungguh memalukan saja selama ini aku menganggap diriku
sebagai ‘Jago nomor satu’, ‘guru besar nomor satu’ segala.”
Rupanya Liong-tocu dapat menerka perasaan Pek Cu-cay itu,
dengan tersenyum ia berkata, “Silakan duduk, Wi-tek Siansing.
Sudah lama Wi-tek Siansing hidup terpencil di wilayah barat,
terhadap perbuatan-perbuatan kawanan binatang yang berbaju
manusia di daerah Tionggoan sudah tentu kurang jelas
sehingga tak dapat menyalahkan Wi-tek Siansing.”
Pek Cu-cay hanya geleng-geleng kepala saja, lalu kembali ke
tempat duduknya.
Sekonyong-konyong Ting Put-si berseru, “Jika demikian, jadi
selama ini orang-orang yang dibunuh oleh Liong-bok-to itu
adalah manusia-manusia yang patut menerima hukumannya
yang setimpal? Dan tentang diundangnya para kawan Bu-lim
ke sini adalah bermaksud saling belajar ilmu silat?”
“Benar!” sahut Liong dan Bok-tocu berbareng.
“Jika begitu, mengapa para kawan Bu-lim yang pernah
berkunjung kemari itu kok juga dibunuh semua, sampaisampai
mayat mereka pun tidak pernah pulang kampung?”
seru Ting Put-si pula.
“Ai, salahlah ucapan Ting-siansing ini!” sahut Liong-tocu sambil
menggeleng. “Desas-desus demikian mana boleh dipercaya
sepenuhnya?”
“Habis, kalau menurut Liong-tocu, jadi para kawan Bu-lim itu
semuanya belum mati? Hahaha, menggelikan, sungguh
menggelikan!”
“Haha! Menggelikan, sungguh menggelikan!” Liong-tocu juga
ikut bergelak tawa.
Ting Put-si berbalik melengak. “Apanya yang menggelikan?”
tanyanya.
“Ting-siansing adalah tamu agung kami, jikalau Ting-siansing
bilang menggelikan, terpaksa Cayhe harus mengiringi
menyatakan geli,” sahut Liong-tocu dengan tertawa.
“Selama 30-an tahun ini para kawan Bu-lim yang pernah
diundang ke Liong-bok-to sini sedikitnya ada beberapa ratus
orang andaikan tidak lebih dari seribu orang,” ujar Ting Put-si.
“Tapi Liong-tocu mengatakan mereka masih hidup dalam
keadaan sehat walafiat, hal ini bukankah cukup menggelikan?”
“Usia manusia sudah ditakdirkan Ilahi, jika sudah sampai
ajalnya, siapa yang mampu mengelakkannya?” sahut Liongtocu.
“Asalkan Liong-bok-to kami tidak merasa menewaskan
mereka, rasanya cukuplah bagi hati nurani kami.”
Ting Put-si berpikir sejenak, tiba-tiba ia bertanya, “Jika
demikian, Cayhe ingin mencari kabar seseorang kepada Liongbok-
to. Orang itu adalah wanita, namanya... namanya Hongkoh.
Konon 19 tahun yang lalu telah berkunjung kemari,
apakah orang ini sampai sekarang masih hidup sehat?”
“Siapakah she pendekar wanita itu, berapa umurnya dan
pemimpin dari golongan mana?” tanya Liong-tocu.
“She apa... ini agak kurang jelas, tapi... tapi seharusnya she
Ting....”
Sekonyong-konyong si wanita berkerudung muka tadi berseru
melengking, “Wanita itu adalah putrinya yang diperoleh dari
hubungan gelap. Nona itu tidak ikut she ayahnya, tapi pakai
she ibunya, nama lengkapnya ialah Bwe Hong-koh.”
Muka Ting Put-si tampak berubah merah, katanya, “She Bwe
juga boleh, buat apa mesti geger. Tentang umurnya tahun ini
kurang lebih kurang lebih 40 tahun....”
“Kurang lebih 40 tahun apa? 39 tahun tepat!” teriak pula si
wanita.
“Baik, baik! Umurnya 39 tahun,” sambung Ting Put-si. “Tapi dia
bukan pemimpin dari sesuatu golongan persilatan apa, lebihlebih
bukan pangcu atau kaucu dari sesuatu perkumpulan.
Cuma Bwe-hoa-kun yang dia yakinkan itu di dunia ini cuma
keluarganya yang memiliki, besar kemungkinan dia pun telah
diundang ke Liong-bok-to sini.”
“Bwe-hoa-kun? Belum memenuhi syarat untuk diundang
kemari,” sahut Bok-tocu sambil geleng kepala.
“Mengapa Bwe-hoa-kun belum memenuhi syarat?” teriak si
wanita berkerudung. “Ini dia... bukankah aku juga sudah
menerima medali undangan kalian?”
“Kami mengundang kau bukan lantaran Bwe-hoa-kun,” sahut
Bok-tocu.
“Bwe-lihiap,” cepat Liong-tocu menambahkan, “maksud Bokhiante
sebabnya kami mengundang kau ke sini bukanlah
karena Bwe-hoa-kun dari keluarga Bwe kalian, tapi adalah
karena kiam-hoat (ilmu pedang) yang baru kau ciptakan dalam
dua tahun terakhir ini.”
“He, ilmu pedangku yang baru itu? Selamanya belum pernah
kutunjukkan kepada orang lain, dari mana kalian mengetahui?”
tanya wanita she Bwe itu dengan heran.
Liong-tocu tidak menjawab, dengan tersenyum ia menuding
kepada dua orang muridnya. Segera seorang murid berbaju
kuning dan seorang berbaju hijau tampil ke muka sambil
membungkuk untuk menerima perintah lebih lanjut.
“Coba kalian pertunjukkan ilmu pedang aneh ciptaan Bwe-lihiap
yang baru itu, jika ada bagian-bagian yang kurang sempurna
biarlah nanti minta nasihat kepala Bwe-lihiap,” kata Liong-tocu.
Kedua murid itu mengiakan. Mereka lantas mendekati sebuah
meja di pojok ruangan sana, masing-masing mengambil
sebatang pedang kayu, lalu sama-sama memberi hormat
kepada wanita she Bwe dan berkata, “Harap Bwe-lihiap suka
memberi petunjuk seperlunya.”
Habis berkata, mereka lantas pasang kuda-kuda dan mulai
bertanding sendiri.
Para hadirin termasuk tokoh-tokoh persilatan kelas tinggi,
mereka melihat ilmu pedang yang dimainkan itu memang
benar luar biasa. Bahkan si wanita she Bwe tiada hentinya
menggumam, “Aneh, sungguh aneh! Bilakah kalian telah
mengintip ilmu pedangku ini?”
Sesudah mengikuti beberapa jurus, hati Ciok Boh-thian juga
tergerak, pikirnya, “Ilmu pedang yang dimainkan orang baju
hijau itu bukankah Swat-san-kiam-hoat?”
Beberapa jurus pula, tak tahan lagi Pek Cu-cay juga lantas
berseru, “He, Bwe-lihiap, Swat-san-pay toh tiada permusuhan
apa-apa dengan kau, mengapa kau menciptakan ilmu
pedangmu ini yang khusus dipakai melawan Swat-san-kiamhoat
kami?”
Kiranya ilmu pedang yang dimainkan orang baju hijau itu
memang benar adalah Swat-san-kiam-hoat, tapi setiap
gerakan dan setiap jurus selalu kena diatasi oleh ilmu pedang
yang baru dan aneh yang dimainkan kawannya si baju kuning
itu.
Maka terdengar si wanita she Bwe hanya tertawa dingin saja
tanpa menjawab.
Pek Cu-cay menjadi gusar. Bentaknya, “Hm, hanya ilmu
pedang begini saja hendak digunakan untuk melawan Swatsan-
kiam-hoat kami? Rasanya masih jauh daripada cukup!”
Tapi baru habis ucapannya, sekonyong-konyong serangan si
baju kuning lantas berubah, setiap jurusnya sangat aneh dan
keji, tapi juga kasar dan kurang sopan.
“Gila, gila! Ilmu pedang macam apa itu?” omel Pek Cu-cay,
Tapi diam-diam ia pun terkejut, pikirnya, “Jika benar-benar
melawan dia, sekonyong-konyong aku diserang dengan caracara
aneh dan kasar ini mungkin aku bisa termakan juga.”
Namun diam-diam ia pun merasa syukur telah dapat
menyaksikan tipu-tipu serangan keji dan kotor itu, untuk
selanjutnya tentu tidak sukar melawannya jika ketemukan ilmu
pedang yang hanya cocok digunakan untuk menyergap secara
rendah itu.
Sebelum si murid baju hijau menyelesaikan permainan Swatsan-
kiam-hoat, mendadak ia menegakkan pedang kayu,
lawannya si baju kuning juga lantas berhenti menyerang. Lalu
si baju hijau mengganti pedang kayu dengan sebatang golok
kayu. Kemudian mereka mulai bertanding lagi.
Setelah mengikuti belasan jurus lagi, Pek Cu-cay bertambah
gusar. Teriaknya murka, “He, orang she Bwe, sebenarnya apa
maksud tujuanmu terhadap kami suami-istri? Padahal kita
tidak kenal-mengenal, sungguh aneh?”
Kiranya yang dimainkan si murid baju hijau sekarang justru
adalah ilmu golok keluarga Su-popo alias Su Siau-jui.
Sedangkan si baju kuning tetap menggunakan cara-cara keji
dan kasar untuk menyerang sehingga si baju hijau berulangulang
terancam bahaya. Hanya saja pada detik-detik yang
menentukan selalu si baju kuning menahan serangannya dan
tidak diteruskan.
Sesudah lebih 30 jurus, ketika Liong-tocu memberi tanda
dengan tepukan tangan, kedua murid itu lantas berhenti
bermain, mereka membungkuk tubuh ke arah Pek Cu-cay dan
si wanita she Bwe serta berkata, “Harap Pek-locianpwe dan
Bwe-lihiap membetulkan kesalahan kami.”
Lalu mereka pun memberi hormat kepada kedua tocu, habis itu
barulah mereka kembali ke barisan masing-masing tadi.
Si wanita she Bwe menjerit melengking lagi, “Jadi diam-diam
kau mampu mempelajari tujuh bagian ilmu pedang ciptaanku
itu, hebat juga ya kau!”
“Huh, kepandaian yang kasar dan rendah begitu, apanya yang
sukar dipelajari?” jengek Pek Cu-cay dengan gusar.
“Apanya yang kasar dan rendah?” sela Ting Put-si. “Jika
kebentur dengan ilmu pedang itu, seketika kau tentu kelabakan
dan bukan mustahil tubuhmu sudah ditembus beberapa
lubang.”
“Hayolah boleh kau coba,” teriak Cu-cay dengan gusar.
“Ah, pendek kata kau pasti bukan tandingan Bwe-lihiap,” kata
Put-si.
“Siapa yang sudi disanjung olehmu?” jerit si wanita she Bwe.
“Jika aku bertanding dengan Su Siau-jui, lalu bagaimana?”
“Ini... ini....” Ting Put-si menjadi gelagapan.
“Nyonyaku tiada berada di sini, tapi muridnya sebaliknya
berada di sini,” kata Cu-cay. “Nah, cucu menantuku, boleh
coba kau bertandingan dengan dia.”
“Kukira tak perlu bertanding lagi,” sahut Boh-thian.
“Kau ini muridnya Su Siau-jui?” si wanita she Bwe menegas.
“Benar!” sahut Boh-thian.
“Tapi mengapa kau adalah cucu menantunya pula? Huh,
jungkir balik tak keruan, dasar sekeluarga adalah turunan
anjing (Kau-cap-ceng) semua!” jengek si wanita she Bwe.
“Ya, aku memang Kau-cap-ceng?” kata Boh-thian.
Wanita itu sampai melengak. Ia menjadi geli dan tertawa
terpingkal-pingkal dengan suaranya yang tajam melengking.
“Sudahlah, cukup!” kata Bok-tocu.
Meski singkat saja ucapannya, tapi suaranya keras berwibawa,
si wanita she Bwe tertegun dan bungkam seketika.
“Ilmu pedang ciptaan Bwe-lihiap secara jujur memang harus
diakui masih kalah bagus daripada Swat-san-kiam-hoat,” kata
Liong-tocu kemudian. “Cuma Bwe-lihiap dapat menciptakan
ilmu pedang baru, bakat dan kecerdasan Bwe-lihiap tentunya
lain daripada yang lain pula. Sebab itulah kami telah
mengundangnya datang kemari untuk ikut menyelami rahasia
lukisan aneh itu.”
“Jika demikian, jadi Bwe Hong-koh tidak pernah datang ke
Liong-bok-to sini?” tanya pula si wanita she Bwe.
“Ya, tidak,” sahut Liong-tocu.
Seketika Bwe-lihiap menjadi lesu, ia duduk kembali dengan
lemas dan menggumam sendiri, “Cici... ciciku telah
meninggalkan pesan agar... mencarikan putrinya itu.”
“Coba kau selidiki untuknya,” tiba-tiba Liong-tocu berkata
kepada murid baju kuning nomor satu yang berdiri di barisan
kanan.
Murid itu mengiakan dan segera menuju ke belakang. Sebentar
saja ia sudah keluar kembali dengan membawa beberapa jilid
buku. Setelah membalik-balik beberapa halaman, tiba-tiba ia
menunjuk suatu catatan dan membacanya, “Bwe Hong-koh,
ciangbunjin dari Bwe-hoa-kun. Ayah she Ting, sejak kecil ikut
ibu belajar ilmu silat akhirnya tinggal mengasingkan diri di
bukit Koh-chau-nia, di Him-ni-san wilayah Provinsi Holam....”
“Hah! Jadi dia tinggal di Him-ni-san? Dari mana kau mendapat
tahu?” tanya Ting Put-si dan si wanita she Bwe berbareng.
“Aku sih tidak tahu, tapi beginilah apa yang tercatat di dalam
buku ini,” sahut murid baju kuning itu.
“Sampai aku sendiri pun tidak tahu, mengapa buku ini dapat
mencatat seluk-beluknya?” ujar Put-si dengan sangsi.
“Liong-bok-to selamanya membela keadilan dan menegakkan
kebenaran, menghukum dan mengganjar secara adil dan
bijaksana,” kata Liong-tocu, “Untuk mana setiap gerak-gerik
kawan Bu-lim dengan sendirinya harus kami catat seperlunya
dengan sejelas-jelasnya untuk diperiksa dan dibuat bukti
bilamana perlu.”
“O, kiranya demikian,” ujar Bwe-lihiap. “Jadi sudah terang Bwe
Hong-koh berdiam di... di bukit Koh-chau-nia di lereng Him-nisan?”
“Ya, jika di antara para hadirin masih ada pertanyaanpertanyaan
boleh silakan lagi,” sahut Liong-tocu.
“Bicara ke sana kemari, tegasnya maksud undangan Liong-tocu
kepada kami adalah untuk mempelajari lukisan bersyair kuno
itu. Sebenarnya barang apakah itu? Bolehkah kita melihatnya?”
kata Pek Cu-cay.
Serentak Liong dan Bok-tocu berbangkit, sahut mereka, “Ya,
justru kami ingin minta bagian para hadirin yang cerdik
pandai.”
Segera empat murid Liong-bok-to menuju ke samping, mereka
memegang tepi pintu angin dari kanan dan kiri, ketika mereka
tarik perlahan, mendadak di belakang ruangan gua itu terlihat
ada sebuah jalan lorong yang panjang.
“Silakan semua!” kata Liong-tocu. Segera bersama Bok-tocu
mereka mendahului jalan ke depan dengan diikuti oleh para
kesatria.
Setelah belasan meter jauhnya, sampailah mereka di depan
sebuah pintu batu. Seorang murid baju kuning lantas
mendorong buka pintu batu itu. Lalu Liong-tocu berkata, “Di
dalam gua ini ada 24 kamar batu, para hadirin boleh
mengunjungi dan menelitinya secara bebas, jika merasa jemu
boleh silakan jalan-jalan keluar gua. Tentang makanan dan
minuman seluruhnya sudah tersedia lengkap di dalam kamarkamar
itu. Bila perlu silakan makan-minum sesukanya dan
jangan sungkan?”
“Hm, segala apa boleh sesukanya dan bebas, sungguh sangat
ramah sekali. Tapi hanya ‘tidak bebas untuk meninggalkan
pulau ini’ saja, bukan?” jengek Ting Put-si.
“Hahahaha! Mengapa Ting-siansing bicara demikian?” sahut
Liong-tocu dengan terbahak-bahak. “Kunjungan kalian ke sini
adalah sukarela, jika mau pergi, siapa lagi yang berani
menahan kalian? Di pantai sudah siap perahu kecil dan kapal
besar, setiap saat bila dikehendaki kalian boleh berangkat
dengan bebas.”
Bab 47. Rahasia Lukisan Dinding di Liong-bok-to
Para kesatria melengak, sama sekali mereka tidak menduga
pihak Liong-bok-to ternyata sedemikian baik hati. Segera ada
beberapa orang mengajukan pertanyaan, “Dan kalau saat ini
juga kami hendak berangkat, boleh atau tidak?”
“Tentu saja boleh!” sahut Liong-tocu. “Memangnya kalian
anggap aku dan Bok-hiante orang macam apa? Pelayanan kami
yang kurang sempurna ini sudah membikin kami malu,
masakan sekarang kami berani menahan para tamu?”
Perasaan semua orang menjadi lega. “Jika pihak Liong-bok-to
sudah menyatakan demikian, rasanya tidak mungkin mereka
menjilat ludahnya sendiri. Macam apakah lukisan kuno yang
dimaksudkan itu agaknya tiada halangannya ikut melihatnya.”
Begitulah beramai-ramai mereka lantas memasuki ruangan gua
itu. Pada kamar pertama mereka melihat dinding batu di
sebelah timur tergosok dengan halus dan licin, di atas dinding
itu ada ukiran lukisan dan tulisan. Di dalam kamar itu sudah
ada belasan orang, ada yang sedang merenung, ada yang lagi
semadi, ada pula yang memejamkan mata sambil komat-kamit
entah apa yang sedang digumamkan sendiri. Malahan ada tigaempat
orang lagi yang sedang berdebat.
Tiba-tiba Pek Cu-cay mengenali seorang di antaranya, serunya
terkejut, “Un-samko, kiranya kau... kau berada di sini?”
Yang ditegur itu adalah seorang kakek berbaju hitam yang
sedang mondar-mandir di depan lukisan dinding itu. Namanya
Un Jin-ho, Ketua Pat-sian-kiam di Soatang. Dia adalah sahabat
karib Pek Cu-cay. Dengan tersenyum ia hanya menjawab, “Ya,
mengapa baru sekarang kau ia datang?”
“Belasan tahun yang lalu kudengar engkau telah diundang ke
Liong-bok-to sini, kukira engkau sudah... sudah wafat, siapa
duga....”
“Aku tetap sehat walafiat dan sedang meyakinkan ilmu silat
tertinggi di sini, siapa bilang aku sudah mati?” sahut Un Jin-ho.
“Sungguh sayang kau datang terlambat. Coba lihat, lukisan ini
menurut keterangan yang tercatat di sini mengatakan....”
Begitulah sambil bicara ia terus menunjukkan huruf-huruf kecil
yang terukir di atas dinding itu kepada Pek Cu-cay.
Namun Pek Cu-cay buru-buru ingin tanya keadaan sang
sahabat yang berpisah sekian lamanya itu, maka kembali ia
tanya, “Un-samko, bagaimana hidupmu di sini selama sepuluh
tahun ini? Mengapa sama sekali kau tidak mengirim kabar ke
rumah? Eh, Un-samko, ini adalah cucu menantuku. Coba lihat,
lumayan bukan orangnya? Hayo, cah, lekas memberi hormat
kepada Un-samyaya.”
Ciok Boh-thian lantas melangkah maju dan menjura kepada Un
Jin-ho sambil menyapa.
Un Jin-ho hanya menjawab acuh tak acuh saja, memandang
saja sungkan, dia masih terus sibuk merenungkan arti lukisan
dinding sambil bergaya dengan tangannya. Mendadak ia
memukul ke depan sambil berseru, “Pek-heng, mungkin
beginilah caranya menurut lukisan ini....”
Pek Cu-cay menjadi ikut-ikut memerhatikan lukisan dinding itu
dengan catatan-catatan di pinggirnya. Setelah komat-kamit
membaca sendiri, ia merenung sejenak, kemudian berkata,
“Un-samko, menurut pendapatku seharusnya begini....”
“Tidak bisa,” mendadak Un Jin-ho membantah, “di situ
tertulis....”
Begitulah Ciok Boh-thian menjadi kesal karena tidak paham
apa yang didebatkan kedua orang tua itu, memangnya ia pun
buta huruf sehingga tidak dapat membaca apa yang tertulis di
dinding. Saking isengnya ia coba mendatangi kamar batu
kedua. Begitu masuk segera terasalah sambaran angin senjata
yang tajam, ternyata ada tujuh pasang orang sedang
bertanding pedang. Semuanya belum dikenalnya, terang bukan
orang-orang yang ikut dalam perjamuan tadi, ia menduga
tentu tokoh-tokoh persilatan yang diundang datang pada
perjamuan yang lebih dahulu. Ilmu pedang yang dimainkan
orang-orang itu tiada yang sama, tapi semuanya sangat bagus
dan aneka macam perubahannya.
Tertampak dua orang di antaranya telah bergebrak beberapa
jurus pula, lalu berhenti. Seorang tua berjenggot putih lantas
berkata, “Laute, jurus pemikiranmu tadi apa tidak keliru?
Hendaklah ingat inti kekuatan ilmu pedang terletak pada....”
“Ah, rupanya Toako terlalu berat sebelah dan melupakan titik
lain yang lebih penting,” demikian bantah kakek lain yang
berjenggot hitam. “Bukankah di situ tertulis....”
Begitulah kembali Boh-thian mendengar perdebatan sengit
karena selisih paham tentang arti lukisan di dinding. Ia coba
mendekati dua orang yang lain. Tertampak kedua orang ini
bertarung dengan cepat sekali, tapi sejenak kemudian mereka
pun lantas berhenti dan mulai berbantahan seperti pasanganpasangan
tadi.
Sesudah dekat dinding, Boh-thian melihat di atas dinding itu
penuh terukir huruf-huruf kecil. Memangnya dia buta huruf,
maka ia pun tidak ambil pusing huruf apakah itu. Hanya di
antara huruf-huruf itu terukir pula beberapa puluh pedang.
Bentuk pedang-pedang itu ada yang panjang, ada yang
pendek, ada yang ujungnya mengacung ke atas dan ada yang
mengarah ke bawah, ada yang miring seakan-akan sedang
melayang, ada yang melintang seperti jatuh ke bawah.
Untuk membaca dia tidak dapat, tapi melihat gambar tidaklah
sukar bagi Ciok Boh-thian. Ia coba melihat terus sampai
pedang ke-12, sekonyong-konyong “ki-kut-hiat” di bahu kanan
terasa “nyos” panas, suatu arus hawa panas seakan-akan
bergolak. Waktu ia memerhatikan pedang ke-13, arus hawa
panas itu lantas menyalur ke “ngo-li-hiat”, ketika memandang
pedang ke-14, arus panas itu terus menyusur ke “kiok-ti-hiat”.
Begitulah hawa panas itu makin lama makin bergolak dan terus
membanjir dari dalam perut.
Diam-diam Boh-thian merasa heran, “Sejak aku berlatih
menurut garis urat nadi yang terlukis di boneka kayu itu,
tenaga dalamku lantas tambah kuat, tapi selamanya tidak
pernah bergolak seperti sekarang ini, entah apakah sebabnya?
Rasa perutku panas seperti dibakar, besar kemungkinan racun
di dalam Lap-pat-cok itu telah mulai bekerja.”
Teringat akan racun di dalam jenang itu, mau tak mau ia
menjadi khawatir. Tapi waktu dia pandang ukiran pedang di
atas dinding pula, segera tenaga dalamnya lantas berjalan
menurut urat nadinya, hawa panas dalam perutnya lambat laun
tersebar merata di seluruh hiat-to tubuhnya. Segera ia
mengulangi lagi mulai dari ukiran pedang yang pertama dan
ternyata tenaga dalam itu lantas berjalan dengan lancar
menurutkan garis hiat-to secara teratur dan berakhir sampai di
siang-yang-hiat di bagian tangan.
Ia pikir ukiran pedang itu kiranya ada hubungannya dengan
cara menyalurkan tenaga dalam, cuma sayang aku tidak bisa
baca, kalau tidak tentu aku akan dapat meyakinkan semacam
ilmu pedang menurut keterangan di atas dinding ini. Ah, benar,
Pek-yaya sedang berlatih di kamar pertama sana, biarlah
kuminta penjelasan padanya.
Berpikir begitu ia lantas datang kembali ke kamar batu
pertama. Dilihatnya Pek Cu-cay dan Un Jin-ho masih asyik
bergebrak dengan menggunakan pedang kayu, setiap berapa
jurus lalu berhenti dan saling berdebat menurut pendapat
masing-masing.
Pada suatu kesempatan Ciok Boh-thian coba menarik-narik
lengan baju Pek Cu-cay dan bertanya, “Yaya, apakah arti
tulisan-tulisan itu?”
Dengan acuh tak acuh Pek Cu-cay memberi penjelasan
beberapa kalimat. Tapi Un Jin-ho lantas menyela, “Salah,
salah! Pek-heng, meski ilmu silatmu cukup tinggi, tapi aku
sudah tinggal belasan tahun di sini, masakah sia-sia saja
latihanku selama ini? Beberapa bagian di antaranya pastilah
kau belum bisa memahaminya. Coba lihat ini....”
Boh-thian menjadi kesal lagi melihat mereka berdebat terusmenerus.
Pikirnya, “Rupanya tulisan yang terukir di dinding ini
sedemikian sukarnya untuk dipahami sehingga selama
berpuluh tahun orang-orang kosen dan kaum cerdik pandai
yang telah diundang kemari oleh Liong dan Bok-tocu toh masih
belum dapat memecahkan arti yang sebenarnya. Aku sendiri
buta huruf, buat apa aku mesti ikut pusing-pusing memikirkan
seperti mereka?”
Ia coba mengelilingi ruangan itu, dilihatnya orang-orang yang
berada di situ semuanya lagi berbantahan dan saling
mempertahankan pandangannya sendiri-sendiri. Karena iseng,
ia coba melihat gambar yang terukir di atas dinding. Ternyata
lukisan di kamar pertama ini bukan dalam bentuk pedang, tapi
adalah seorang pelajar muda, lain tidak. Ia merasa gambar itu
sangat indah sehingga tanpa merasa ia memandangnya
beberapa kali. Tapi mendadak “yan-ek-hiat” di lambung kanan
mendadak berdenyut, suatu arus hawa panas lantas timbul dari
siau-yang-keng, urat nadi di bagian kaki, terus menyalur ke
atas tubuh.
Boh-thian menjadi girang. Ia coba meneliti pula lukisan dinding
itu, ternyata setiap garis dan setiap gores lukisan itu satu sama
lain berhubungan. Ia pikir goresan lukisan ini kiranya sesuai
dengan jalan nadi di dalam tubuh manusia, biarlah aku
melatihnya menurut garis-garis yang pernah aku hafalkan dari
boneka kayu dahulu. Nanti kalau Pek-yaya sudah berhasil
meyakinkan ilmu silat yang tinggi segera kami dapat pulang
bersama.
Begitulah ia lantas mengikuti goresan-goresan gambar itu,
yang seluruhnya meliputi 9x9=81 garis. Tapi baru 30-an gores
saja Boh-thian sudah merasa lapar. Ia istirahat sejenak,
dilihatnya di atas meja di pojok kamar situ ada disediakan
penganan dan minuman, segera ia menggasaknya hingga
kenyang. Kemudian meneruskan latihannya pula menurut
garis-garis lukisan. Bila lelah ia lantas mengaso, kalau
mengantuk lantas tidur, jika lapar sudah ada makanan, ia tidak
tahu sudah lewat beberapa hari, namun akhirnya 81 garis
lukisan itu benar-benar telah dilatihnya dengan masak. Waktu
ia pergi mencari Pek Cu-cay, ternyata kakek itu sudah tiada di
dalam kamar.
Ia berlari ke kamar kedua, ternyata Pek Cu-cay sedang
bertanding pedang di situ dengan seorang tosu tua.
Tampaknya ilmu pedang mereka sangat lamban dan jelek, tapi
membawa suara angin yang mendesis-desis, nyata mereka
telah mencurahkan lwekang ke batang pedang. Suatu ketika,
terdengar suara “krek”, pedang kayu di tangan Pek Cu-cay
telah patah menjadi dua.
“Bagaimana?” ujar si tosu tua dengan tersenyum.
Namun Pek Cu-cay masih penasaran, jawabnya, “Gu-teh
Totiang, ilmu pedangmu memang lebih mahir daripadaku,
sungguh aku merasa kagum. Cuma jurus ini adalah ajaran asli
Bu-tong-pay kalian dan bukan ilmu pedang yang dimaksudkan
lukisan dinding ini.”
“Habis bagaimana menurut pendapatmu?” tanya Gu-teh
Totiang.
“Menurut kalimat syair itu....” begitulah Pek Cu-cay mulai
membantah pula sehingga kembali terjadi perdebatan yang
bertele-tele.
Ciok Boh-thian merasa lega karena dapat menemukan sang
kakek, ia coba menyela, “Yaya, marilah kita pulang saja?”
“Apa katamu?” tanya Pek Cu-cay dengan aseran.
“Menurut Liong-tocu, katanya setiap saat bila mau kita boleh
pergi dari sini,” kata Boh-thian. “Di pantai sana sudah tersedia
kapal, marilah kita berangkat saja.”
“Ngaco-belo! Kenapa mesti buru-buru?” bentak Cu-cay dengan
gusar.
Boh-thian menjadi takut melihat sang kakek marah-marah.
Tapi ia berkata pula, “Nenek sedang menunggu engkau,
katanya akan menunggu sampai tanggal 8 bulan satu nanti.
Jika sampai harinya Yaya belum pulang juga segera beliau
akan membunuh diri dengan terjun ke dalam laut.”
“Hah, tanggal delapan bulan satu?” Pek Cu-cay menegas
dengan melenggong. Tapi ia lantas menyambung, “Ah, kita
baru beberapa hari berada di sini, kita mempunyai waktu satu
bulan lamanya, biarlah kita tinggal lagi beberapa hari, kenapa
mesti khawatir?”
Mestinya Boh-thian sudah rindu kepada A Siu, kalau bisa
sungguh ia ingin terbang kembali ke tepi pantai sana. Tapi
rupanya Pek Cu-cay benar-benar sudah tenggelam dalam ilmu
silat dan ingin menyelami rahasia lukisan dinding itu, sebelum
berhasil rasanya sukar disuruh berhenti. Terpaksa Boh-thian
tidak berani bicara lagi, ia coba menuju ke kamar batu ketiga.
Ternyata di situ sudah ada tiga orang tua dengan dandanan
yang ringkas kencang dan lagi berlari-lari dengan
menggunakan ginkang yang tinggi. Sambil berlari ketiga orang
tiada hentinya berbicara pula, yang dibicarakan rupanya adalah
pendapat masing-masing tentang lukisan dinding di situ. Tapi
rupanya ketiga orang itu pun tiada mendapatkan kesatuan
paham.
Boh-thian coba melihat lukisan apa di dinding kamar itu.
Kiranya adalah gambar seekor kuda bagus dengan gayanya
yang gagah dan tangkas sedang berlari, di bawah telapak kaki
terlukis pula garis-garis yang menandakan mega sehingga
binatang itu seakan-akan sedang melayang di angkasa. Waktu
dia mengamat-amati lebih lanjut goresan-goresan gambar
kuda itu, sekonyong-konyong tenaga dalamnya bergolak lagi,
tanpa kuasa ia lantas angkat kaki dan ikut berlari-lari.
Begitulah berturut-turut Ciok Boh-thian lantas mendatangi
kamar batu keempat, kelima, keenam dan seterusnya sehingga
semua lukisan di dinding kamar-kamar itu dapat diselaminya
semua.
Kiranya lukisan-lukisan dinding dari 24 kamar batu itu masingmasing
diberi penjelasan dengan 24 bait syair kuno. Tapi
semuanya sebenarnya merupakan rumus-rumus ilmu pedang,
ginkang, lwekang dan sebagainya yang sangat tinggi.
Terkadang Ciok Boh-thian dapat memahami dengan sangat
cepat, tapi sering juga macet dan makan waktu. Namun
demikian tanpa merasa akhirnya lukisan dari 23 kamar batu itu
sudah dapat dilatihnya dengan baik. Ia sendiri tidak ingat
sudah lewat berapa hari, cuma setiap dua-tiga hari sekali tentu
dia pergi mendesak Pek Cu-cay untuk pulang. Akan tetapi Pek
Cu-cay merasa makin besar hasil pelajarannya terhadap rumus
ilmu silat di dinding itu, maka makin lama makin keranjingan.
Bila Ciok Boh-thian mengganggunya, sering kali ia lantas
mendamprat, sampai akhirnya ia menjadi gemas, bila pemuda
itu mendekat terus dihantam dan ditendangnya supaya enyah.
Terpaksa Ciok Boh-thian pergi mencari Hoan It-hui, Ko Samniocu,
dan lain-lain untuk berunding. Tak terduga orang-orang
itu pun sudah keranjingan semua asyik menyelami ilmu silat
menurut ukiran di dinding batu, bahkan mereka lantas minta
penjelasan dan petunjuk kepada Ciok Boh-thian tentang di
mana letak rahasia pelajaran yang belum juga diketemukan
itu.
Diam-diam Boh-thian terkesiap, pikirnya, “Meski Liong dan
Bok-tocu telah mengundang tokoh-tokoh persilatan ke sini
untuk menyelami ilmu silat lukisan dinding ini, ternyata selama
puluhan tahun ini tiada seorang pun yang meninggalkan pulau
ini dan pulang ke Tionggoan, hal ini menandakan ilmu silat di
atas lukisan dinding ini benar-benar membikin setiap orang
menjadi keranjingan dan lupa daratan. Untunglah
kepandaianku rendah, pula buta huruf, tentu aku takkan
keranjingan seperti mereka sehingga lupa untuk pulang.”
Maka ketika ia, hendak diajak tukar pikiran oleh Hoan It-hui
dan lain-lain, cepat saja ia meninggalkan mereka. Ia pikir
sedikitnya sudah lebih 20 hari tinggal di Liong-bok-to, lewat
beberapa hari lagi tidak boleh tidak harus lekas-lekas
berangkat pulang. Dari 24 kamar batu itu sudah dikunjungi 23
kamar, hanya tinggal satu kamar terakhir saja belum didatangi,
bila ukiran dinding kamar terakhir itu pun sudah dilihatnya dan
jika Pek Cu-cay masih tetap tidak mau pulang, terpaksa ia
sendiri akan berangkat lebih dulu supaya Su-popo dan lain-lain
mendapat tahu apa yang terjadi di atas pulau.
Begitulah ia lantas menuju ke kamar ke-24. Begitu masuk ke
situ lantas tertampak Liong-tocu dan Bok-tocu sedang duduk
bersila di atas kasuran kecil dengan menghadap dinding dan
lagi merenung dengan segenap pikiran.
Boh-thian sangat menghormat kepada kedua tocu itu, ia berdiri
saja dari jauh. Waktu ia pandang dinding kamar itu, ia menjadi
kecewa. Jika dinding kamar-kamar yang lain di samping
tulisan-tulisan tentu ada lukisan pula, ternyata dinding kamar
terakhir ini tiada sesuatu lukisan apa-apa melainkan tulisan
melulu.
“Jika tiada sesuatu lukisan yang dapat dilihat, biarlah sekarang
juga aku permisi kepada Pek-yaya dan segera berangkat
pulang saja,” demikian pikirnya. Teringat beberapa hari lagi
sudah dapat bertemu kembali dengan Su-popo, Ciok Jing dan
istrinya, terutama A Siu yang sudah dirindukannya itu, maka ia
menjadi sangat senang. Segera ia memberi hormat kepada
Liong dan Bok-tocu dan mohon diri, “Banyak terima kasih atas
pelayanan kedua Tocu selama ini, biarlah hari ini juga hamba
ingin permisi untuk pulang.”
Namun Liong dan Bok-tocu tetap memusatkan perhatian
mereka ke arah dinding dan seperti tidak mendengar
ucapannya.
Waktu Boh-thian ikut memandang ke arah dinding, sekonyongkonyong
ia merasa huruf-huruf di atas dinding itu seperti
berputar-putar sehingga kepalanya merasa pusing. Ia coba
pejamkan mata dan tenangkan pikiran, lalu memandang lagi,
tapi kembali kepala terasa pusing. Ia merasa heran, aneh
benar huruf-huruf ini, bila dipandang lantas kepala terasa
puyeng.
Karena rasa ingin tahu, ia tidak kapok, kembali ia memandang
pula. Ia lihat setiap garis, setiap gerakan huruf itu seakan-akan
berubah semua menjadi beradu atau cebong dan sedang
bergerak di atas dinding. Tapi bila cuma diperhatikan satu garis
saja, maka cebong itu lantas tidak bergerak lagi.
Di waktu kecilnya Ciok Boh-thian tinggal di atas gunung yang
sunyi, di musim semi ia suka menangkap cebong di sungai
pegunungan, lalu dipiara di empang kecil yang dibuatnya
sendiri untuk melihat cara bagaimana cebong itu berubah
menjadi katak. Sekarang dapat melihat lagi barang mainan di
waktu kanak-kanak dulu, saking senangnya ia lantas
memerhatikan setiap gerak-gerik cebong itu.
Setelah memerhatikan sejenak, mendadak “ci-yang-hiat” di
bagian punggung terasa berdenyut. Ia sampai terkejut, “Eh,
kiranya cebong-cebong di atas dinding ini sebenarnya ada
hubungannya dengan saluran tenaga dalam.”
Waktu ia memandang cebong yang kedua, kembali “koan-kihiat”
di bagian punggung berdenyut pula. Cuma saja tenaga
dalam antara ci-yang-hiat dan koan-ki-hiat itu sukar
dihubungkan. Ketika ia memerhatikan cebong ketiga, tapi
sampai sekian lamanya hawa murni di dalam tubuh sama sekali
tiada bergerak.
“Ciok-pangcu memerhatikan ‘Thay-hian-keng’ ini, kiranya
adalah seorang ahli huruf cebong,” demikian tiba-tiba tegur
seorang dengan nada dingin.
Waktu Boh-thian menoleh, kiranya adalah Bok-tocu yang
sedang memandangnya dengan sorot mata yang tajam. Muka
Boh-thian menjadi merah, jawabnya dengan tergagap, “O, ti...
tidak, hamba sama sekali tidak bisa membaca. Cuma gambar
cebong-cebong kecil ini tampaknya sangat menyenangkan,
maka aku telah memandanginya.”
“Ya, memangnya aku pun merasa heran masakah Ciok-pangcu
yang masih begini muda dapat memahami huruf kuno yang
amat sukar dipelajari ini,” kata Bok-tocu.
“Jika demikian biarlah aku takkan memandangnya lagi, supaya
tidak mengganggu kedua Tocu,” sahut Boh-thian.
“Tidak, kau tidak perlu pergi, boleh kau melihat sesukamu di
sini dan juga takkan mengganggu kami,” ujar Bok-tocu. Lalu
matanya terpejam pula.
Mestinya Boh-thian hendak meninggalkan kamar batu itu, tapi
khawatir Bok-tocu merasa kurang senang. Ia pikir biarlah
kupandang sebentar lagi baru keluar dari sini.
Tak terduga waktu dia memandang ukiran cebong lagi,
mendadak “tiong-cu-hiat” di bagian perut berdenyut dengan
keras seperti ada kodok melompat di dalam perut, Pikirnya,
“Aneh, cebong-cebong kecil ini benar-benar aneh, belum
menjadi katak sudah lantas melompat-lompat.”
Karena tertarik, ia lantas memerhatikan lagi setiap cebong itu,
berulang-ulang hiat-to di tubuhnya juga lantas bergerak-gerak
dan melonjak-lonjak aneh, terkadang dua-tiga tempat hiat-to
bisa bertembusan dan hawa murni lantas berjalan dengan
lancar, rasa badan menjadi segar sekali. Saking kesengsemnya
ia sampai lupa daratan, tak kenal lelah dan waktu. Asal merasa
lapar ia lantas makan penganan yang tersedia di situ, habis itu
lantas berlatih pula. Makin berlatih makin banyak hiat-to di
dalam tubuhnya yang dapat dihubungkan. Ia merasa cebongcebong
kecil itu telah berpindah semua ke dalam urat nadinya
dan seperti sudah berubah menjadi katak dan melompatlompat
di dalam tubuhnya.
Untuk selanjutnya ia benar-benar seperti kesurupan setan, dia
hanya memandangi huruf-huruf cebong di atas dinding. Jika
lelah ia mengaso sebentar, lalu berlatih lagi. Ia benar-benar
sudah keranjingan terhadap beribu-ribu dan berlaksa-laksa
cebong kecil di atas dinding itu.
Entah sudah lewat berapa hari lagi, sekonyong-konyong hawa
murni di dalam tubuh terasa bergolak hebat dan berturut-turut
telah menembus beberapa bagian yang tadinya macet. Habis
itu lantas bergerak dengan dahsyatnya laksana air bah
melanda, dari perut hawa murni itu lantas menerjang ke ubunubun
kepala, lalu dari ubun-ubun turun kembali ke perut,
makin mengalir makin cepat.
Terkejut dan girang pula Ciok Boh-thian, seketika ia menjadi
bingung pula cara bagaimana harus diperbuatnya. Ia merasa
sekujur badannya penuh tenaga yang tak tersalurkan. Tanpa
merasa kaki dan tangannya lantas bergerak-gerak, ia mainkan
ilmu pukulan dari garis-garis lukisan yang dilihatnya di kamar
batu pertama itu, lalu memainkan ilmu pedang menurut
goresan gambar di kamar kedua dan begitu seterusnya,
sekaligus ia telah keluarkan segenap ilmu yang telah
dilihatnya, baik ilmu pedang, ilmu pukulan, ginkang, lwekang
dan sebagainya.
Habis itu bahkan tenaga dalamnya masih terus bergolak, tanpa
merasa ia terus mainkan segenap kepandaian yang
dipelajarinya sebelumnya, baik ilmu pukulan jahat ajaran
ibunya, Yam-yam-kang ajaran Cia Yan-khek, lwekang yang
diperolehnya dari boneka kayu, kim-na-jiu-hoat ajaran si Ting
Tong, Swat-san-kiam-hoat, Kim-oh-to-hoat dan ilmu golok
campur pedang ciptaannya sendiri, semuanya dikeluarkan. Di
mana dia ingat, di situ juga lantas dimainkan, semuanya timbul
sendiri tanpa banyak pikir dan dapat dilakukannya dengan
bebas sesukanya.
Makin main makin senang, sampai akhirnya Ciok Boh-thian
terbahak-bahak sendiri dan berteriak, “Hahahaha! Bagus!”
“Ya, memang bagus!” tiba-tiba ada orang ikut menanggapi.
Boh-thian terkejut dan cepat berhenti main. Dilihatnya Liongtocu
dan Bok-tocu masing-masing sudah berdiri di pojok
ruangan dan sedang memandangnya dengan rasa kejut dan
girang.
Cepat Boh-thian minta maaf, “Hamba telah berlaku sembrono,
harap kedua Tocu jangan marah.”
Ternyata kedua tocu itu penuh air keringat, bajunya basah
kuyup, tempat di mana mereka berdiri juga penuh tetesan air.
Maka Liong-tocu telah berkata, “Bakat Ciok-pangcu yang aneh,
sungguh harus dipuji. Terimalah ucapan selamat kami!”
Habis berkata dia lantas menjura. Cepat Bok-tocu ikut memberi
hormat.
Keruan Ciok Boh-thian terkejut, lekas-lekas ia pun berlutut dan
balas menjura. Katanya, “Mengapa kedua Tocu menjalankan
penghormatan se... setinggi ini, mana hamba berani terima!”
“Ciok-pangcu sil... silakan bangun!” kata Liong-tocu.
Boh-thian menurut dan merangkak bangun. Dilihatnya Liongtocu
juga hendak berbangkit kembali, tapi mendadak tergeliat
dan jatuh terduduk di atas lantai. Begitu pula kedua tangan
Bok-tocu tampak menahan tanah dan juga tidak kuat
berbangkit.
“He, kenapakah kalian?” seru Boh-thian dengan khawatir.
Cepat ia memayang bangun Liong-tocu. Lalu membangunkan
Bok-tocu pula.
Liong-tocu tampak goyang-goyang kepala dan tersenyum. Lalu
pejamkan mata dan mengumpulkan tenaga. Bok-tocu juga
lantas semadi mengumpulkan semangat.
Boh-thian tak berani mengganggunya. Selang agak lama
barulah terdengar Bok-tocu menghela napas lega terus
melompat bangun dan mendekati Liong-tocu serta
merangkulnya.
Liong-tocu juga lantas membuka mata, kedua orang lantas
saling berpelukan sambil bergelak tertawa, tampaknya girang
tak terhingga.
Sudah tentu Boh-thian tidak tahu apa sebabnya kedua orang
itu sedemikian riang gembira, dia hanya ikut menyengir saja.
Perlahan-lahan Liong-tocu lalu berdiri, katanya, “Ciok-pangcu,
sudah berpuluh tahun kami berdua dirundung oleh suatu
pertanyaan besar, tapi hari ini engkau telah dapat
memecahkannya, sungguh kami merasa sangat berterima
kasih.”
“Aku... aku memecahkan apa?” tanya Boh-thian dengan
bingung.
“Buat apa Ciok-pangcu mesti merendah hati?” ujar Liong-tocu
dengan tersenyum. “Engkau sudah berhasil menyelami lukisan
bersyair Hiap-khek-heng yang terukir di dinding batu ini, bukan
saja engkau adalah orang pertama di dunia persilatan dewasa
ini, bahkan selain orang kosen angkatan tua yang mengukirkan
lukisan ini sendiri, mungkin sejak dulu kala hingga sekarang
jarang ada orang lain yang mampu memadai Ciok-pangcu.”
“Ah, mana hamba berani menerima pujian setinggi itu?” sahut
Boh-thian dengan gugup. “Ucapan Liong-tocu ini bila didengar
oleh Pek-yaya, tentu beliau akan sangat marah.”
“Apakah sebabnya?” tanya Liong-tocu dengan tertawa.
“Sebab Pek-yaya ingin disebut sebagai ‘jago pedang nomor
satu, jago lwekang nomor satu, pendek kata serbanomor satu’,
sebaliknya hamba sedikit pun tidak becus apa-apa, mana dapat
dibandingkan dengan Pek-yaya?”
“Haha, jadi ‘tokoh nomor satu’ dunia persilatan selama ini
adalah Pek Cu-cay dari Swat-san-pay? Hahahaha!” tukas Liongtocu
dengan tertawa. Dan sesudah saling pandang sekejap
dengan Bok-tocu, lalu ia tanya kepada Boh-thian, “Tapi
bagaimana menurut anggapan Ciok-pangcu sendiri?”
Boh-thian merenung sejenak, kemudian menjawab, “Ilmu silat
Pek-yaya sudah tentu sangat tinggi, tapi kalau mengaku
sebagai jago nomor satu rasa rasanya sih belum dapat.”
“Ya, memang,” kata Liong-tocu. “Melulu bicara tentang ilmu
pedang, ilmu pukulan dan lwekang saja Ciok-pangcu sendiri
sudah sepuluh kali lebih tinggi daripada Pek-yayamu. Tentang
huruf cebong di atas dinding ini, apa yang kami ketahui boleh
dikata belum ada satu bagian daripada seluruhnya, entah Ciokpangcu
sudi memberi petunjuk atau tidak?”
Untuk sejenak Ciok Boh-thian memandangi Liong-tocu, lalu
memandang Bok-tocu pula. Wajah kedua orang itu tampak
sangat serius, sangat sungguh-sungguh, tapi mengandung rasa
khawatir-khawatir cemas pula seakan-akan takut kalau dirinya
tak mau menerangkan rahasia rumusan lukisan itu. Maka ia
lantas menjawab, “Tentu saja akan kuterangkan seluruhnya
kepada kalian. Mula-mula aku memerhatikan cebong ini,
seketika ‘tiong-cu-hiat’ lantas berdenyut, waktu kupandang
pula cebong yang itu, kontan ‘ci-yang-hiat’ lantas melonjak....”
Begitulah ia terus memberi penjelasan sambil menunjuk
gambar-gambar berudu itu.
Keruan Liong dan Bok-tocu merasa bingung dan tidak
mengerti.
Melihat kedua orang tua itu mengunjuk rasa heran, segera
Boh-thian bertanya, “Bagaimana, apakah uraianku salah?”
“Kiranya apa yang dilihat oleh Ciok-pangcu adalah... adalah
gambar-gambar cebong belaka, jadi engkau tidak membaca
tulisannya? Tapi mengapa Ciok-pangcu dapat pula
mengerjakan seluruh ‘Thay-hian-keng’ ini?” tanya Liong-tocu.
“Tidak, hamba tidak membacanya, sejak kecil hamba tidak
sekolah, sampai sekarang masih buta huruf, sungguh sangat
memalukan,” sahut Boh-thian dengan wajah merah jengah.
“Hahh, kau... kau buta huruf?” tanya Liong-tocu dan Bok-tocu
sambil melonjak berbareng.
“Ya, aku tidak dapat membaca,” jawab Boh-thian. “Tapi
sesudah pulang nanti tentu aku akan... akan minta A Siu
mengajar membaca padaku. Kalau tidak tentu aku akan selalu
ditertawai orang.”
Melihat sikap pemuda itu sangat jujur dan tulus, sedikit pun
tiada tanda-tanda membohong mau tak mau kedua tocu itu
harus percaya juga. Sungguh mereka tidak habis mengerti
mengapa bisa terjadi demikian. Segera Liong-tocu bertanya
pula, “Jika kau buta huruf, mengapa kau dapat menyelami
catatan-catatan di dalam ke-23 kamar batu sana, siapakah
yang menjelaskan artinya kepadamu?”
“Tiada orang yang menjelaskan padaku,” sahut Boh-thian.
“Kudengar Pek-yaya membaca beberapa kalimat dan Hoantoaya
dari Kwantang itu pun mengucapkan beberapa kalimat,
begitu pula paman-paman dan mamak-mamak yang lain, tapi
semuanya aku tidak paham, maka aku tidak menaruh
perhatian. Aku... aku hanya melihat gambarnya saja, dalam
keadaan ruwet mendadak hawa murni dalam tubuhku lantas
bergolak dan berjalan menurut setiap goresan gambar yang
kuperhatikan.”
“Kau buta huruf, tapi dapat membaca rumusan dalam lukisan
itu, ini mana... mana bisa?” ujar Bok-tocu.
“Ya, jangan-jangan sudah suratan takdir atau Ciok-pangcu ini
memiliki pembawaan yang genius?” kata Liong-tocu.
Sejenak kemudian mendadak Bok-tocu membanting kaki
sambil berseru, “Aha, tahulah aku, pahamlah aku! Toako,
kiranya demikianlah halnya!”
Untuk sejenak Liong-tocu tertegun. Tapi segera ia pun paham
duduknya perkara. Seketika mereka berdua saling rangkul lagi,
air muka mereka tampak cemas-cemas girang tercampur
gegetun.
Liong-tocu lantas menoleh dan tanya Ciok Boh-thian pula,
“Ciok-pangcu, untunglah engkau tidak bisa membaca, maka
dapatlah memecahkan persoalan yang penuh teka-teki ini.
Sekarang mati pun kami dapat tenteram dan takkan menyesal
di alam baka.”
“Mati pun dapat ten... tenteram apa maksud kedua Tocu?”
tanya Boh-thian dengan bingung.
Liong-tocu menghela napas perlahan, katanya, “Kiranya
tulisan-tulisan yang begitu banyak sesungguhnya tiada
gunanya semua, setiap kalimatnya sengaja menyesatkan bagi
siapa pun yang membacanya. Akan tetapi setiap orang yang
ingin memahami arti lukisan-lukisan itu sudah tentu ingin
mempelajari arti daripada keterangan-keterangan yang
tercatat di situ.”
“Jadi engkau maksudkan tulisan-tulisan itu sebenarnya tiada
gunanya?” Boh-thian menegas dengan heran.
“Ya, bukan saja tak berguna, bahkan bisa bikin celaka,” sahut
Liong-tocu. “Jika tidak demikian, tentu tidak percumalah jerih
payah selama ini.”
“Ternyata tulisan yang kita anggap sebagai kitab ‘Thay-hiankeng’
ini sebenarnya bukan huruf cebong, tapi hanya... hanya
garis-garis yang menunjukkan tempat hiat-to yang
bersangkutan,” kata Bok-tocu. “Ai, empat puluh tahun, empat
puluh tahun telah lalu dengan percuma.”
Begitulah kedua tocu itu saling pandang dengan penuh
penyesalan, lesu sekali semangat mereka, sedikit pun tiada
sikap kereng dan berwibawa seperti waktu perjamuan Lap-patcok
tempo hari.
Sebaliknya Ciok Boh-thian masih merasa bingung, ia tanya
pula, “Orang itu sengaja menulis sebanyak ini di atas dinding
untuk menyesatkan orang, entah apa tujuannya?”
“Apa maksud tujuannya memang sukar dikatakan,” ujar Liongtocu.
“Boleh jadi Locianpwe itu tidak ingin angkatan muda
dapat mempelajari ilmu tinggalannya secara mudah, atau
catatan-catatan itu sengaja ditambahkan lagi oleh seorang lain,
mungkin juga Locianpwe itu tidak suka orang sekolahan, maka
sengaja memasang perangkap demikian supaya orang yang
jujur dan polos sebagai Ciok-pangcu mendapatkan pusaka
tinggalannya ini.”
“Ya, maksud tujuan Locianpwe itu benar-benar sangat
mendalam dan sukar diterka,” tukas Bok-tocu.
Melihat kedua tocu itu sangat lesu dan gegetun, Boh-thian
menjadi rikuh, katanya segera, “Kedua Tocu, jika ilmu yang
kuperoleh ini memang berguna, biarlah seluruhnya akan aku
uraikan kepada kalian. Marilah kita kembali ke kamar batu
pertama, tentu akan kujelaskan tanpa merahasiakannya sedikit
pun.”
“Maksud baik Ciok-pangcu kami terima di dalam hati saja,”
sahut Liong-tocu dengan tersenyum getir. “Seorang muda yang
berjiwa tulus sebagai saudara cilik memang sudah sepantasnya
mendapatkan ganjaran baik pula, perkembangan dunia
persilatan di kemudian hari tentu pula akan banyak diharapkan
tenagamu. Dengan demikian jerih payah kami selama ini
tidaklah menjadi sia-sia.”
“Benar, teka-teki rumusan lukisan dinding ini sekarang sudah
terpecahkan, cita-cita kami sudah terkabul. Baik saudara cilik
yang berhasil meyakinkan atau kami adalah sama saja,”
demikian Bok-tocu menambahkan.
“Jika begitu, apakah seluk-beluk gambar-gambar cebong ini
saja yang kuterangkan pada kalian?” kata Boh-thian dengan
sungguh-sungguh.
“Ilmu sakti ini toh sudah mendapatkan ahli warisnya yang
sejati, gambar-gambar itu sudah waktunya untuk berakhir,”
kata Liong-tocu dengan tersenyum haru. “Saudara cilik,
cobalah lihat lagi.”
Waktu Boh-thian berpaling dan memandang ke dinding,
seketika ia terperanjat. Ternyata bubuk batu tampak rontok
sedikit demi sedikit dari dinding batu itu, huruf-huruf cebong
yang memenuhi dinding itu sekarang sudah tak keruan jadinya
dan hanya tinggal sebagian kecil saja yang masih jelas.
“He, meng... mengapa bisa demikian?” serunya kaget.
“Soal ini biarlah kita bicarakan nanti,” ujar Bok-tocu. “Sekarang
marilah kita menemui dulu para kesatria untuk mengumumkan
kejadian ini.”
Segera mereka bertiga keluar dari kamar batu itu dan menuju
ke ruangan depan. Liong-tocu lantas memerintahkan para
muridnya berkumpul dan mengundang para kesatria yang
tersebar di berbagai kamar batu itu.
Kiranya tadi sesudah Ciok Boh-thian berhasil memecahkan
rumus ilmu sakti menurut lukisan dinding, tanpa merasa ia
lantas mulai main. Liong dan Bok-tocu menjadi terkejut dan
heran, segera Liong-tocu maju mencobanya. Tapi saat itu Bohthian
sudah seperti keranjingan setan, begitu merasa diserang
orang secara otomatis ia lantas melayani. Hanya beberapa
jurus saja Liong-tocu sudah merasa kewalahan, cepat Bok-tocu
ikut maju mengerubut. Namun dengan ilmu silat kedua orang
yang sudah tiada bandingannya di dunia persilatan itu ternyata
masih tidak mampu melawan ilmu sakti yang baru saja
dipahami Ciok Boh-thian. Semakin dahsyat mereka menyerang,
semakin hebat pula perlawanan Ciok Boh-thian. Angin dan
tenaga pukulan mereka bertiga semuanya tersampuk ke atas
dinding kamar sehingga permukaan dinding yang berukiran itu
tergetar sehingga ambrol.
Begitulah sesudah mereka bertiga sampai di ruangan depan
dan ambil tempat duduk masing-masing, para tamu dan
muridnya berturut-turut juga sudah kumpul, Sekarang di
ruangan besar itu telah berjubel-jubel dengan tokoh-tokoh Bulim
yang pernah mengunjungi Liong-bok-to selama 30-an
tahun ini, selain sebagian kecil yang telah wafat karena usia
lanjut, sisanya kini sudah ikut hadir di situ.
Bab 48. Ciok Boh-thian Anak Anjing atau Anak Manusia?
[TAMAT]
Setelah para hadirin sudah datang semua, Liong-tocu lantas
bisik-bisik memberi pesan kepada murid pertamanya, begitu
pula Bok-tocu. Kedua murid pertama mereka tampak
tercengang sambil mendengarkan perintah sang guru. Dan
sesudah minta penjelasan pula seperlunya, kemudian kedua
murid pertama itu lantas menuju ke belakang bersama belasan
orang sute mereka.
Liong-tocu lantas mendekati Ciok Boh-thian, katanya dengan
suara tertahan, “Adik cilik, tentang kejadian di kamar batu
terakhir tadi janganlah sekali-kali kau katakan kepada orang
lain. Kalau tidak, sepanjang hidupmu tentu akan timbul
macam-macam kesukaran dan macam-macam bahaya.”
Ciok Boh-thian mengiakan saja walaupun tidak mengerti sebab
musababnya.
Namun Liong-tocu lantas menerangkan, “Kau telah memiliki
ilmu sakti yang tiada taranya di dunia ini, orang Bu-lim tentu
ada yang kagum dan ada yang iri, dari iri menjadi benci, atau
ada pula yang datang minta belajar padamu, mungkin pula
dengan macam-macam akal kau akan dipaksa mengaku
rahasia kepandaianmu, pendek kata macam-macam kesukaran
akan menimpa dirimu. Sebab itulah pengalamanmu tadi jangan
sekali-kali diketahui oleh orang luar.”
“Ya, banyak terima kasih atas petunjuk Tocu ini,” sahut Bohthian.
Selesai memberi pesan seperlunya, kemudian Liong-tocu
kembali ke tempat duduknya semula. Lalu berkata kepada para
kesatria, “Sobat-obat sekalian, kita dapat berkumpul di pulau
ini, betapa pun dapatlah dianggap kita ini ada jodoh. Tapi
sampai sekarang masa berkumpul kita sudah berakhir dan
terpaksalah kita harus berpisah.”
Para kesatria tercengang heran, beramai-ramai mereka
bertanya, “He, ada apakah?” — “Telah terjadi apakah, Tocu?”
Di tengah suara berisik itu, sekonyong-konyong dari ruangan
belakang sana terdengarlah suara letusan yang gemuruh.
Seketika para kesatria terdiam, mereka melenggong karena
tidak tahu apa yang terjadi.
“Para sobat, kalian berkumpul di sini adalah dengan harapan
dapat memecahkan rahasia ilmu sakti lukisan dinding itu,
namun sayang waktunya sudah tidak mengizinkan lagi, Liongbok-
to ini dalam waktu singkat sudah akan tenggelam,” kata
Liong-tocu pula.
“Hah, sebab apa? Apakah gempa bumi? Atau ada gunung
berapi akan meletus? Dari mana Tocu mendapat tahu?”
demikian beramai-ramai para kesatria menjadi ribut.
“Ya, tadi aku dan Bok-hiante telah melihat pusar pulau ini
mulai bergolak dan segera akan terjadi letusan gunung berapi,
bila meletus tentulah pulau ini akan menjadi lautan api.
Sekarang suara gemuruh sudah mulai dahsyat, para sobat
silakan lekas pergi dari sini.”
Namun para kesatria itu masih ragu-ragu. Ada yang sudah
terlalu keranjingan ilmu silat yang terukir di dinding itu, maka
mereka lebih suka menghadapi bahaya daripada tinggal pergi
begitu saja.
“Jika kalian tidak percaya, boleh silakan kalian periksa lagi
kamar-kamar batu yang sudah retak dan runtuh itu, andaikan
gunung berapi tidak jadi meletus juga tiada gunanya lagi kalian
tinggal di sini,” ujar Liong-tocu.
Mendengar itu, para kesatria benar-benar terkejut, beramairamai
mereka berlari ke kamar batu masing-masing, begitu
pula Boh-thian ikut lari ke belakang. Benar juga kamar-kamar
batu itu sudah retak, ukiran di dinding itu sudah ambrol semua.
Boh-thian tahu ukiran dinding itu tentu dirusak atas perintah
kedua tocu, diam-diam ia merasa dirinya yang bersalah
sehingga menimbulkan gara-gara ini.
Para kesatria itu pun menganggap rusaknya kamar-kamar batu
itu tidak wajar, terang dilakukan oleh manusia dan bukan
lantaran gempa bumi. Beramai-ramai mereka lantas berlari
kembali ke ruangan depan dengan maksud menegur kedua
tocu. Tapi baru saja sampai di ambang pintu lantas terdengar
suara tangis orang yang ramai dan sedih. Keruan para kesatria
tambah kaget, Tertampak Liong-tocu dan Bok-tocu berduduk di
tempatnya dengan mata terkatup. Para muridnya berlutut di
sekelilingnya sambil menangis.
Seketika jantung Ciok Boh-thian seakan-akan terbetot keluar.
Cepat ia menyusup maju di antara orang banyak sambil
berseru, “Liong-tocu, Bok-tocu, ken... kenapakah kalian?”
Tapi air muka kedua orang tua itu tampak sudah pucat kaku,
nyata sudah meninggal dunia. Boh-thian menoleh dan coba
tanya Thio Sam dan Li Si, “Kedua Tocu baru saja masih baikKang
Zusi http://cerita-silat.co.cc/
baik, mengapa dalam sekejap saja sudah wafat?”
“Waktu wafat, kedua Suhu menyatakan cita-cita beliau sudah
terkabul, walaupun meninggalkan dunia fana ini, namun
tenanglah ha... hati beliau-beliau itu,” sahut Thio Sam sambil
terguguk-guguk.
Karena terharu, Boh-thian sampai ikut menangis. Ia tidak tahu
bahwa sesudah pertarungan di dalam kamar batu tadi kedua
tocu itu sudah kehabisan tenaga seperti pelita kehabisan
minyak. Ditambah lagi usia mereka memang sudah lanjut,
sekarang cita-cita sudah terkabul, maka mereka lantas
mangkat dengan tenang.
Si murid utama baju kuning segera berseru, “Para tamu yang
mulia, menurut pesan Suhu, kalian disilakan lekas
meninggalkan pulau ini. Tentang medali wasiat yang pernah
diterima kalian itu boleh disimpan baik-baik, boleh jadi kelak
masih ada gunanya. Bila di kemudian hari kalian ada sesuatu
kesukaran, silakan datang ke kampung nelayan di pantai
selatan itu dengan membawa medali wasiat, mungkin kami
akan dapat memberi bantuan seperlunya. Sekarang kapalkapal
sudah siap di tepi pantai, silakan kalian lantas berangkat
saja.”
Mendengar itu para kesatria yang merasa kecewa itu menjadi
terhibur. Beramai-ramai mereka lantas memberi penghormatan
terakhir kepada jenazah Liong dan Bok-tocu.
“Selamat jalan, Samte,” kata Thio Sam dan Li Si kepada Bohthian.
“Semoga kita akan berjumpa pula.”
Setelah mengucapkan selamat tinggal, dengan rasa berat Bohthian
lantas mohon diri dan beramai-ramai ikut Pek Cu-cay,
Hoan It-hui, dan lain-lain menuju ke pantai.
Pulangnya sekarang mereka menggunakan kapal layar yang
besar, sebuah kapal dapat memuat ratusan orang. Maka hanya
lima-enam buah kapal saja para kesatria itu sudah terangkut
semua. Segera mereka mengangkat sauh dan berlayar
meninggalkan Liong-bok-to.
Makin lama pulau itu makin kecil kelihatannya. Sekonyongkonyong
Ciok Boh-thian teringat sesuatu sehingga berkeringat
dingin. Teriaknya sambil membanting-banting kaki, “Wah,
celaka, celaka! He, Yaya, hari ini tang... tanggal berapakah?”
Pek Cu-cay juga lantas terkejut. Ia pun berteriak, “Wah,
celaka! Aku ti... tidak tahu hari ini tanggal be... berapa?”
Sekilas Ciok Boh-thian melihat Ting Put-si lagi tertawa
mengejek di sebelah sana, cepat ia tanya, “Ting-siyaya, apakah
engkau ingat sudah berapa lama kita datang ke Liong-bok-to
sini?”
“Mungkin 70 hari, mungkin 99 hari, siapa ambil pusing?” sahut
Put-si.
Boh-thian menjadi kelabakan dan hampir-hampir menangis. Ia
coba tanya Ko Sam-niocu, “Kita sampai di sini pada tanggal 8
bulan 12, hari ini tentunya baru tanggal muda bulan satu
bukan!”
Ko Sam-niocu lantas menekuk jari dan berhitung, “Kita sudah
tinggal 57 hari di pulau ini. Hari ini kalau bukan tanggal 6
tentulah tanggal 7 bulan dua.”
“Hahhhh, bulan dua?” jerit Pek Cu-cay dan Ciok Boh-thian
berbareng.
“Ya, terang sudah bulan dua,” sahut Ko Sam-niocu.
“Wah, celaka, celaka!” teriak Pek Cu-cay sambil memukulmukul
dadanya sendiri.
“Wah, untung, untung!” timbrung Ting Put-si dengan bergelak
tertawa malah.
“Ting-siyaya, mengapa engkau malah tertawa,” omel Bohthian.
“Kata nenek, jika sampai tanggal 8 bulan satu Yaya
belum pulang, maka beliau akan bunuh diri dengan terjun ke
laut. Ya, malahan A Siu… A Siu juga akan terjun ke laut.”
“Dia akan terjun ke laut?” Ting Put-si melengak. “Dia akan
tunggu sampai tinggal 8 bulan satu? Tapi... tapi sekarang
sudah bulan dua....”
“Ya, makanya... bagaimana baiknya ini?” kata Boh-thian sambil
menangis.
“Watak Siau-jui sangat keras, jika dia bilang menunggu sampai
tinggal 8 bulan satu, maka pasti dilakukannya pada hari itu,
padahal sekarang sudah lewat lebih 20 hari, tentu sudah lama
dia membunuh diri,” kata Put-si dengan gusar. “Dasar kau, Pek
Cu-cay, kau bangsat keparat piaraan biang anjing kau... kau
kenapa tidak pulang sejak dulu-dulu? Bangsat!”
“Ya, benar, aku memang bangsat keparat!” teriak Pek Cu-cay
sambil tiada hentinya menghantam dada sendiri.
“Su Siau-jui adalah istri orang, apakah dia masih hidup atau
sudah mampus peduli apa dengan kau, mengapa kau ikut ribut
dan memaki orang?” tiba-tiba suara seorang wanita yang tajam
melengking mendamprat Ting Put-si. Itulah suara si wanita she
Bwe.
Mendengar itu seketika Ting Put-si menjadi bungkam.
Sebaliknya Pek Cu-cay lantas menyalahkan Ciok Boh-thian,
“Jika sudah tahu nenekmu akan terjun ke laut pada tanggal 8
bulan satu, mengapa tidak kau beri tahukan padaku sejak
dulu?”
Karena hatinya sedih, Boh-thian tidak ingin membantahnya, ia
biarkan orang tua itu mengomel sesukanya.
Dalam pada itu kapal mereka telah laju dengan pesatnya
karena mendapat angin buritan, Pek Cu-cay masih terus
mencaci maki Ciok Boh-thian, sedangkan Ting Put-si suka
mengolok-oloknya, beberapa kali mereka hampir-hampir
berkelahi, tapi dapatlah dilerai oleh kawan-kawan sekapal.
Sampai petang hari ketiga, dari jauh tertampaklah daratan
pantai selatan, seketika bersoraklah semua orang. Namun Pek
Cu-cay masih terus melotot memandangi ombak laut yang
mendebur-debur seakan-akan mencari jenazah Su-popo dan A
Siu.
Makin lama makin dekatlah, Boh-thian melihat pemandangan
pantai itu masih tetap sama seperti waktu dia berangkat. Di
tepi pantai berderet-deret pohon nyiur. Pada puncak tebing
karang yang menonjol di sebelah kiri sana tumbuh tiga batang
pohon kenapa.
Ia masih ingat waktu itu Su-popo, A Siu dan lain-lain
mengantar kepergiannya dengan berdiri di tepi pantai,
sekarang dirinya pulang dengan selamat, namun gurunya dan
A Siu itu sudah menjadi isi perut ikan laut, sampai jenazah pun
tak tertinggal lagi. Teringat demikian, tanpa merasa air
matanya lantas meleleh.
Kapal mereka masih terus laju menuju ke tepi pantai. Pada
waktu sudah dekat, sekonyong-konyong terdengar suara
jeritan orang, dari atas tebing karang itu tampak melayang ke
dalam laut dua sosok tubuh orang. Mata Ciok Boh-thian cukup
jeli, sekilas dikenalnya orang-orang yang terjun ke laut itu taklain-
tak-bukan adalah Su-popo dan A Siu.
Kecut dan girang Ciok Boh-thian sungguh tak terhingga. Pada
saat demikian sudah tentu tak terpikir olehnya mengapa kedua
orang itu belum mati. Segera ia angkat sepotong papan terus
dilemparkan sekuatnya ke arah tempat jatuhnya kedua orang,
menyusul ia kumpulkan segenap tenaga ke ujung kaki, sekali
loncat, seketika tubuhnya melayang ke depan secepat anak
panah.
Di sinilah dia telah perlihatkan manfaat ilmu sakti yang
diperolehnya dari lukisan dinding batu di Liong-bok-to itu.
Ketika melayang turun, sebelah kakinya tepat menginjak di
atas papan yang terapung di permukaan air sehingga meluncur
ke depan dengan lebih cepat. Pada saat itu dengan cepat sekali
tubuh A Siu sedang terjun ke bawah dan tepat berada di
sampingnya.
Tanpa pikir lagi tangan kiri Ciok Boh-thian lantas menjulur,
pinggang nona itu tepat kena dirangkul olehnya. Karena bobot
kedua orang ditambah daya terjun si A Siu, seketika papan
yang diinjak Boh-thian itu tertekan ke bawah. Pada waktu itu
juga Su-popo tampak jatuh ke bawah tepat di sebelah
kanannya, untuk menyambar tubuh nenek itu terang tidak
dapat, terpaksa tangan kanan Boh-thian meraih punggung Supopo
dan sekalian didorong ke atas, kembali ia keluarkan ilmu
sakti lukisan dinding Liong-bok-to, segera tubuh Su-popo
melayang ke arah kapal.
Orang-orang di atas kapal sama berteriak-teriak. Pek Cu-cay
dan Ting Put-si lantas memburu ke haluan kapal, melihat Supopo
melayang tiba, berbareng kedua orang menjulurkan
tangan hendak menangkapnya.
“Enyah kau!” bentak Pek Cu-cay sambil memukulkan sebelah
tangan kepada Ting Put-si.
Mestinya Ting Put-si hendak menangkis, tak terduga si wanita
she Bwe mendadak mendorongnya dari belakang, tanpa ampun
lagi ia lantas kecebur ke dalam laut.
Pada saat itu juga Pek Cu-cay sudah dapat menangkap badan
Su-popo. Namun melayang datangnya itu membawa tenaga
dorongan Ciok Boh-thian yang mahakuat, Cu-cay tidak dapat
berdiri tegak, ia terhuyung-huyung ke belakang dan jatuh
terduduk dengan masih tetap memeluk Su-popo sekencangkencangnya.
Dalam pada itu Ciok Boh-thian sambil memondong A Siu
dengan pinjam daya luncur papan juga sudah mendekati kapal,
sekali lompat ia sudah berada kembali di atas kapal.
Untung juga Ting Put-si mahir berenang sehingga tidak sampai
mati tenggelam. Segera kelasi-kelasi kapal melemparkan
tambang ke bawah untuk mengereknya naik ke atas. Di
sebelah sana orang ribut membicarakan kejadian-kejadian
yang mendadak itu, di sebelah sini dengan basah kuyup Ting
Put-si sedang memandangi si wanita berkerudung she Bwe
dengan kesima, tiba-tiba ia berseru, “Kau... kau bukan adik
perempuannya, tapi kau adalah dia, adalah dia sendiri!”
Wanita itu tertawa dingin dan menjawab, “Hm, asal kau tahu
saja. Sungguh besar amat nyalimu, di hadapanku kau masih
berani memeluk Su Siau-jui?”
Ketika mendadak ia menyingkap kerudungnya, maka
tertampaklah mukanya yang penuh keriput dan amat pucat,
mungkin lantaran terlalu lama diberi kurudung dan tidak
pernah terkena cahaya matahari.
“O, Bun-sing, ternyata memang betul adalah kau,” kata Ting
Put-si dengan terharu. “Mengapa kau mem... membohongi aku
bahwa kau sudah meninggal dunia?”
Kiranya wanita berkerudung muka itu bernama Bwe Bun-sing,
bekas kekasih Ting Put-si di masa mudanya. Namun Ting Put-si
tergila-gila kepada Su Siau-jui dan meninggalkan dia, tak
terduga sesudah beberapa puluh tahun kemudian bisa
berjumpa pula.
Sekonyong-konyong tangan kiri Bwe Bun-sing menyambar ke
depan, seketika telinga Ting Put-si kena dijewer olehnya,
jeritnya melengking, “Kurang ajar! Jadi kau berharap-harap
agar aku lekas mati saja supaya kau bisa bebas dan senang,
ya?”
Karena merasa berdosa, Ting Put-si tidak berani melawan,
jawabnya dengan meringis kesakitan, “E-e-eh, lekas lepas
tangan! Kan malu dilihat para kesatria itu!?”
“Biarkan kau tahu rasa!” sahut Bun-sing dengan menjewer
semakin keras. “Di manakah Hong-koh, hayo kembalikan dia!”
“Lekas, lekas lepaskan tanganmu!” seru Ting Put-si.
“Liong-tocu mengatakan dia tinggal di Koh-chau-nia di lereng
Him-ni-san, marilah sekarang juga kita pergi mencarinya.”
“Ya, marilah kita pergi mencarinya, jika tidak ketemu biar
kujewer putus kedua kupingmu!” omel Bwe Bun-sing.
Di tengah ribut-ribut itu kapal pun sudah menepi. Ciok Jing dan
istrinya, Pek Ban-kiam dan orang-orang Swat-san-pay sama
menyambut kedatangan mereka dengan girang. Hanya Seng
Cu-hak, Ce Cu-le, dan Nio Cu-cin bertiga yang merasa kecewa,
tapi terpaksa mereka harus mengucapkan selamat juga atas
pulangnya ciangbunjin.
“Ayah, seperti sudah dinyatakan oleh ibu, hari ini adalah Ciagwe
Je-pek (bulan satu tanggal , karena ayah belum
kelihatan pulang, pada waktu anak sedikit lena, kesempatan itu
lantas digunakan oleh ibu dan A Siu untuk terjun ke laut. Tapi
syukurlah akhirnya mereka telah dapat diselamatkan, coba
kalau ayah datang terlambat sedikit saja tentu takkan
berjumpa lagi dengan ibu untuk selamanya,” demikian tutur
Pek Ban-kiam.
“Apa katamu? Kau bilang hari ini adalah Cia-gwe Je-pek?” Cucay
menegas.
“Benar, hari ini memang Je-pek,” sahut Ban-kiam.
Cu-cay menggaruk-garuk kepala dengan bingung. Ia
menggumam sendiri, “Pada Cap-ji-gwe Je-pek (bulan 12
tanggal kami sampai di Liong-bok-to. Kami tinggal lebih 50
hari di sana, mengapa hari ini baru Cia-gwe Je-pek?”
“Aha, agaknya ayah sudah lupa bahwa tahun yang lalu adalah
Lun-cap-ji-gwe, bulan panjang, bulan kabisat ke-12,” kata Bankiam.
Mendengar itu barulah Pek Cu-cay sadar. Segera ia rangkul
Ciok Boh-thian dan berseru, “Hahaha, mengapa tidak kau
katakan sejak dulu-dulu, cah? Hahahaha, Lun-cap-ji-gwe ini
benar-benar sangat bagus!”
“Apakah Lun-cap-ji-gwe itu?” tanya Boh-thian.
“Lun-cap-ji-gwe artinya dalam setahun ada dua bulan ke-12,”
sahut Pek Cu-cay dengan tertawa. “Tapi peduli apa dengan lun
segala, asal bini tidak mati sudahlah cukup!”
Maka bergelak tertawalah semua orang.
Waktu Cu-cay menoleh, mendadak ia berseru pula, “He, di
manakah tua bangka Ting Put-si itu, mengapa menghilang?”
“Kau peduli apa dengan dia?” semprot Su-popo. “Dia telah
dijewer Bwe Bun-sing dan diajak pergi mencari putrinya yang
bernama Bwe Hong-koh!”
“Hahhh, kau bilang Bwe Hong-koh?” demikian Ciok Jing Bin Ju
menegas berbareng dengan terkejut. “Ke manakah mereka
hendak mencarinya?”
“Waktu di atas kapal tadi kudengar wanita she Bwe itu bilang
akan mencari putri mereka ke Koh-chau-nia di lereng Him-nisan,”
jawab Su-popo.
“O, Thian, akhirnya dapatlah kami mengetahui jejak orang itu,
Engkoh Jing,” kata Bin Ju dengan suara gemetar. “Ma...
marilah sekarang juga kita susul ke sana.”
“Baik,” sahut Ciok Jing dan segera mereka berdua mohon diri
kepada Pek Cu-cay dan lain-lain.
“Kita sedang ramai-ramai bergembira ria, sedikitnya kita harus
merayakannya barang beberapa hari, kalian jangan pergi
dulu,” ujar Pek Cu-cay.
“Agaknya Pek-supek tidak tahu bahwa Bwe Hong-koh itu
adalah musuh pembunuh anak kami yang telah lama kami cari
itu,” tutur Ciok Jing. “Syukurlah sekarang kami telah
mengetahui tempat sembunyinya, kami harus lekas-lekas
menyusul ke sana. Jika terlambat bukan mustahil dia akan
melarikan diri dan sembunyi pula di lain tempat.”
“Kau bilang wanita itu telah membunuh putramu?” Cu-cay
menegas. “Hah, kurang ajar! Ya, dia harus dicincang untuk
menebus dosanya. Urusanmu adalah urusanku, hayo
berangkat, kita semua ikut berangkat. Tentu tua bangka Ting-
Put-si dan Bwe Bun-sing itu akan membantu putri mereka,
kalian juga harus membawa bala bantuan supaya dapat
menuntut balas.”
Karena dapat bertemu dan kumpul kembali dengan Su-popo
dan A Siu sesudah mengalami macam-macam rintangan, maka
perasaannya menjadi amat gembira. Dalam keadaan demikian
apa pun yang orang minta padanya tentu akan diluluskan
olehnya. Maka tanpa diminta juga secara sukarela dia
menyatakan ingin membantu Ciok Jing.
Mengingat Bwe Hong-koh tentu akan dibela oleh Ting Put-si,
sakit hatinya memang sukar dibalas, maka Ciok Jing dan Bin Ju
merasa kebetulan juga jika Pek Cu-cay suka membantunya.
Segera mereka mengucapkan terima kasih.
Ketua Siang-jing-koan sebenarnya belum tiba karena
rombongan mereka berada di kapal yang lain, namun Ciok Jing
dan istrinya buru-buru ingin menuntut balas, maka tanpa
menunggu lagi segera mereka berangkat lebih dulu. Ciok Bohthian
dengan sendirinya juga ikut bersama mereka.
Sepanjang jalan tiada mengalami aral rintangan, akhirnya
sampailah mereka di lereng Him-ni-san. Pegunungan itu seluas
beberapa ratus li sehingga sukar dicari di manakah letak Kohchau-
nia, bukit rumput kering.
Sampai beberapa hari lamanya mereka mencari kian-kemari di
lereng-gunung itu, lama-lama Pek Cu-cay menjadi kesal, ia
mengomeli Ciok Jing, “Ciok-laute, kalian Hian-soh-siang-kiam
kan bukan kaum keroco biarpun bukan tandinganku, masakah
putranya sendiri juga tidak mampu menjaga sehingga kena
dibunuh oleh bangsat perempuan itu? Ada permusuhan apakah
antara bangsat wanita itu dengan kau, sampai-sampai anakmu
juga dibunuh olehnya?”
“Ai, urusan ini mungkin sudah suratan nasib sehingga sukar
diterangkan,” sahut Ciok Jing sambil menghela napas.
“Engkoh Jing, jangan-jangan kau seng... sengaja menyesatkan
kita supaya tidak menemukan dia untuk membalas sakit hati
Anak Kian?” tiba-tiba Bin Ju berkata dengan air mata
berlinang-linang.
“Aneh, mengapa suamimu sengaja menyesatkan kita supaya
tidak menemukan musuh kalian?” Cu-cay menegas dengan
heran. Tapi ia lantas berseru, “Ah, tahulah aku! He, Ciok-laute,
tentunya bangsat wanita itu sangat cantik dan dahulu pernah...
pernah main gila dengan kau, betul tidak?”
Ciok Jing menjadi kemalu-maluan, sahutnya, “Pek-supek suka
berkelakar ini!”
“Tapi tentu begitulah halnya,” kata Cu-cay pula sambil
menatap Ciok Jing. “Tentu disebabkan bangsat wanita itu
cemburu padamu, maka sengaja membunuh putra dari
perkawinanmu dengan Bin-lihiap.”
Jika mengenai urusannya sendiri Pek Cu-cay suka anginKang
Zusi http://cerita-silat.co.cc/
anginan dan linglung, tapi kalau mengulas urusan orang lain
ternyata sangat jitu, sekali tebak lantas kena.
Maka Ciok Jing menjadi bungkam. Namun Bin Ju lantas
menyela, “Pek-supek, bukanlah Engkoh Jing mempunyai
hubungan gelap dengan dia, tapi... tapi perempuan she Bwe
itulah yang rindu sepihak dan tergila-gila kepada Engkoh Jing,
dari cinta timbul cemburu dan menjadi dendam pula, akhirnya
putra kami menjadi korban keganasannya.”
“Hehhh!” pada saat itulah mendadak Ciok Boh-thian berteriak
heran. Lalu katanya, “Aneh, mengapa... mengapa kita bisa
sampai di sini?”
Habis berkata ia terus angkat kaki dan berlari-lari ke atas bukit
yang berada di sebelah kiri sana.
Kiranya mendadak dia merasa pemandangan di sekitar bukit
situ sudah sangat hafal baginya, ternyata bukan lain adalah
tempat kediamannya sejak kecil. Cuma dahulu dia turun dari
balik bukit sebelah sana, maka dia tidak bisa lantas mengenal
keadaan bukit itu.
Dengan ginkangnya yang mahahebat sekarang, dalam sekejap
saja ia sudah sampai di atas bukit itu. Sesudah memutar ke
sebelah hutan sana, sampailah dia di depan sebuah rumah
gubuk. Segera terdengar suara anjing menyalak, seekor anjing
kuning telah berlari keluar dari rumah gubuk itu terus
menubruk padanya.
Cepat Boh-thian merangkul anjing itu sambil berteriak girang,
“Kuning, si Kuning! Kiranya kau sudah pulang lebih dulu! Di
manakah ibuku? He, ibu, ibu!”
Maka tertampaklah dari dalam rumah gubuk itu muncul tiga
orang. Seorang yang berdiri di tengah itu berwajah sangat
buruk dan aneh, siapa lagi dia kalau bukan ibunya Ciok Bohthian.
Sedangkan kedua orang yang berdiri di kanan-kirinya
adalah Ting Put-si serta Bwe Bun-sing.
“Ibu!” sapa Boh-thian dengan girang sambil mendekatinya
dengan memondong si Kuning.
“Ke mana perginya kau, sampai sekarang baru pulang?”
semprot wanita jelek itu.
Baru saja Boh-thian hendak menjawab, sekonyong-konyong
suara Bin Ju telah menyela di belakangnya, “Bwe Hong-koh,
biarpun kau menyamar dan ganti rupa juga takkan dapat
mengelabui mataku! Sekalipun kau lari sampai di ujung langit
juga akan... akan....”
Boh-thian terperanjat, cepat ia berpaling dan berseru, “He,
Ciok-hujin, ke... kelirulah kau! Dia adalah ibuku dan bukan
musuh pembunuh putramu itu.”
Ciok Jing dan Bin Ju juga terperanjat sekali demi mendengar
Ciok Boh-thian mengatakan wanita jelek itu adalah ibunya,
“Wanita ini benar-benar ibumu?” Ciok Jing menegas.
“Ya,” sahut Boh-thian tegas, “Sejak kecil aku hidup bersama
ibu. Mendadak pada hari itu ibu telah hilang, aku lantas pergi
mencarinya bersama si Kuning, tapi akhirnya aku kesasar dan
si Kuning juga hilang. Coba lihat, bukankah si Kuning itu
berada di sini!”
Segera ia angkat anjing kuning itu ke atas dengan gembira.
Namun Ciok Jing lantas berkata kepada wanita bermuka jelek
itu, “Hong-koh, jika kau sendiri juga punya anak, mengapa
dahulu kau tega membunuh putraku?”
Wanita bermuka jelek itu memang betul Bwe Hong-koh
adanya. Dia tertawa-tawa dingin. Sebelum menjawab, tiba-tiba
Boh-thian menyela, “Ibu, apakah betul putranya Ciok-cengcu
dan Ciok-hujin telah... telah kau bunuh? Apa... apa sih
sebabnya?”
“Hm, aku suka membunuh siapa segera kubunuh, peduli sebab
apa segala?” jawab Hong-koh dengan mendengus.
Perlahan-lahan Bin Ju lantas melolos pedang, katanya kepada
sang suami, “Engkoh Jing, aku tidak ingin mempersulit dirimu,
silakan kau berdiri di samping saja. Jika aku tidak mampu
membunuh dia, hendaklah kau pun tidak perlu membantu
padaku.”
Ciok Jing mengerut kening, ia merasa serbasusah dan runyam.
“Ting-losi,” tiba-tiba Pek Cu-cay menimbrung, “biarlah kita
bicara di muka dulu. Jika kalian suami-istri diam-diam
menonton saja di samping, maka kita semua pun akan
menonton saja. Tapi kalau kalian akan membantu putri
mestikamu itu, maka biarlah kalian mengetahui bahwa
kedatangan kami ke sini ini tidak cuma untuk melancong saja.”
Melihat jumlah pihak lawan sangat banyak, mendadak Ting
Put-si mendapat akal, jawabnya, “Baik, kita boleh berjanji
untuk tidak saling membantu. Biarlah kedua pihak sama-sama
terdiri dari satu lelaki dan satu perempuan untuk menentukan
kalah atau menang. Di pihak kalian adalah suami-istri Ciokcengcu,
di sebelah sini biar mereka ibu dan anak yang maju.”
Sudah beberapa kali ia bergebrak dengar Ciok Boh-thian, ia
tahu ilmu silat pemuda ini jauh lebih tinggi daripada Ciok Jing
berdua, dengan bantuan Ciok Boh-thian pastilah Bwe Hong-koh
akan dapat mengalahkan lawannya.
Bin Ju memandang sekejap kepada Boh-thian, tanyanya, “Adik
cilik, apakah kau tidak mengizinkan aku menuntut balas?”
“Ciok-hujin, aku... aku....” kata Boh-thian dengan tergagapgagap.
Mendadak ia berlutut dan menjura kepada nyonya Ciok
sambil berkata, “Biarlah aku meminta maaf padamu, hendaklah
kau jangan mencelakai ibuku.”
“Berdiri, Kau-cap-ceng! Siapa yang suruh kau mintakan ampun
kepada perempuan hina itu?” bentak Bwe Hong-koh dengan
bengis.
Mendadak hati Bin Ju tergerak. Ia tanya, “Mengapa kau
memanggil demikian kepadanya? Kan dia adalah putra
kandungmu? Jangan-jangan... jangan-jangan....” Ia menoleh
kepada sang suami dan berkata, “Engkoh Jing, adik cilik ini
mirip benar dengan anak Giok, jangan-jangan dia adalah
putramu dari hubungan gelap dengan Bwe-siocia?”
Dasarnya dia memang ramah tamah dan halus budi, walaupun
menghadapi perkara besar demikian bicaranya tetap sopan
santun.
Maka cepat Ciok Jing menjawab, “Tidak, tidak! Mana bisa
terjadi demikian?”
Namun Pek Cu-cay sudah lantas terbahak-bahak, katanya,
“Hahaha, kau tidak perlu mungkir lagi. Sudah tentu dia adalah
putra haram kalian berdua ini, kalau tidak masakah ada
seorang ibu tega menyebut putranya sendiri sebagai ‘Kau-capceng’?
Rupanya Nona Bwe ini teramat benci padamu!”
Mendadak Bin Ju menaruh pedangnya ke atas tanah, lalu
berkata, “Baiklah, silakan kalian bertiga berkumpul kembali.
Aku... aku akan pergi saja.”
Habis berkata ia terus putar tubuh hendak berangkat.
Cepat Ciok Jing menarik tangannya, serunya cemas, “Adik Ju,
jika kau juga menyangsikan diriku, biarlah kubunuh dulu
perempuan hina ini untuk membuktikan kemurnian hatiku.”
“Tapi... tapi anak ini memang sangat mirip dengan anak Giok,
bahkan juga sangat mirip engkau,” sahut Bin Ju dengan suara
lembut.
Tanpa bicara lagi pedang Ciok Jing terus menusuk ke arah Bwe
Hong-koh. Tak tersangka Bwe Hong-koh itu sama sekali tidak
berkelit, bahkan membusungkan dada menerima ajal.
Tampaknya tusukan itu segera akan menembus dadanya,
mendadak jari Ciok Boh-thian menyelentik, “cring”, pedang
Ciok Jing tergetar patah menjadi dua.
“Bagus, Ciok Jing, kau sengaja hendak membunuh aku, ya?”
tanya Bwe Hong-koh dengan tersenyum pedih.
“Benar, Hong-koh,” kata Ciok Jing tegas. “Biarlah kukatakan
sekali lagi secara blakblakan bahwa di dunia ini hatiku hanya
terisi Bin Ju seorang. Selama hidupku ini tiada pernah
mempunyai perempuan yang kedua. Jika kau suka padaku, itu
berarti pula kau membikin susah diriku. Ucapanku ini sudah
kukatakan pada 22 tahun yang lalu, hari ini tetap demikian
ucapanku.”
Sampai di sini mendadak suaranya berubah menjadi ramah,
katanya, “Hong-koh, putramu sendiri pun sudah begini
besarnya. Adik cilik ini adalah seorang baik, seorang jujur, ilmu
silatnya tiada bandingannya, dalam waktu beberapa tahun
namanya tentu akan mengguncangkan Kangouw dan menjagoi
Bu-lim. Sebenarnya siapakah ayahnya, mengapa tidak kau
terangkan padanya?”
“Ya, ibu, sebenarnya siapakah ayahku?” segera Boh-thian
menyela. “Aku she apa? Ka... katakanlah padaku. Mengapa
engkau selalu memanggil aku sebagai ‘Kau-cap-ceng’?”
“Siapakah ayahmu, di dunia ini hanya akulah yang tahu,” sahut
Hong-koh dengan tersenyum pilu. Lalu ia berpaling kepada
Ciok Jing, “Ya, sudah lama aku pun tahu bahwa di dalam
hatimu hanya terdapat Bin Ju seorang. Maka dari itu dahulu
aku telah merusak wajahku sendiri.”
“Kau... kau merusak wajah sendiri, buat apa sih?” Ciok Jing
menggumam haru.
“Buat apa? Buat apa? Wajahku dahulu dengan wajah Bin Ju
sebenarnya siapa lebih cantik?” tanya Bwe Hong-koh.
Untuk sejenak Ciok Jing menjadi ragu-ragu sambil memegangi
tangan sang istri, akhirnya ia menjawab, “Pada 20 tahun yang
lalu engkau adalah wanita cantik yang termasyhur di dunia
persilatan. Meski wajah istriku tidaklah jelek, tapi tak dapat
menandingi kau.”
Bwe Hong-koh tersenyum dan mendengus satu kali.
Sebaliknya Ting Put-si lantas berteriak, “Itu dia, dasar kau Ciok
Jing ini memang anak bergajul, sudah tahu wajah Hong-koh
kami sangat cantik dan jarang ada bandingannya, mengapa
kau tidak suka padanya?”
Ciok Jing tidak menjawab, ia pegang tangan Bin Ju dengan
lebih kencang seakan-akan khawatir sang istri menjadi marah
dan hendak tinggal pergi lagi.
“Lalu tentang ilmu silatku dahulu kalau dibandingkan Bin Ju
siapa yang lebih tinggi?” tanya Hong-koh pula.
“Bwe-hoa-kun keluargamu ditambah dengan macam-macam
ilmu silat aneh dari keluarga Ting sudah tentu kepandaian
istriku yang belum sempurna waktu itu tak dapat menandingi
engkau,” sahut Ciok Jing.
“Dan tentang ilmu kesusastraan siapa lagi yang lebih pandai?”
tanya Hong-koh lagi.
“Engkau pandai mengarang dan mahir bersyair, kami suamiistri
mana dapat menandingi kau,” sahut Ciok Jing.
Diam-diam Boh-thian sangat heran. Jika sang ibu sedemikian
serbapandai, mengapa sedikit pun tidak pernah mengajarkan
padanya?
Dalam pada itu dengan tertawa dingin Bwe Hong-koh telah
berkata, “Jika begitu, mungkin pekerjaan tangan dan
kepandaian di dapur adik Bin ini lebih mahir daripada diriku.”
“Tidak, memegang jarum saja istriku tak bisa, menggoreng
telur saja dia juga tidak mahir, mana dia dapat menandingi
keterampilanmu,” sahut Ciok Jing sambil menggeleng.
“Habis apa sebabnya bila bertemu dengan aku sedikit pun kau
tidak memperlihatkan sikap yang ramah, sebaliknya jika
berada bersama Bin-sumoaymu lantas banyak omong banyak
tertawa? Sebab apa... sebab apa...?” sampai di sini suara
Hong-koh sampai gemetar.
“Aku sendiri pun tidak tahu, Nona Bwe,” sahut Ciok Jing
perlahan. “Segala apa engkau melebihi Bin-sumoay, bahkan
melebihi aku. Bila berada bersama kau aku merasa rendah dan
merasa tidak sesuai mempersunting dikau.”
Untuk sekian lamanya Bwe Hong-koh termangu-mangu,
mendadak ia menjerit terus berlari ke dalam rumah gubuk.
Cepat Bwe Bun-sing dan Ting Put-si menyusul ke dalam.
“Engkoh Jing,” kata Bin Ju sambil menggelendot di tubuh sang
suami. “Nona Bwe seorang yang bernasib malang, biar dia
sudah membunuh anakku, namun aku masih lebih bahagia
daripada dia. Aku tahu di dalam hatimu selalu hanya terisi
diriku seorang. Marilah kita pergi saja, sakit hati ini tak perlu
dibalas lagi.”
“Kita tidak menuntut balas?” Ciok Jing menegas.
“Ya, sekalipun kita membunuh dia juga Anak Kian tak dapat
hidup kembali,” kata Bin Ju.
Pada saat itulah sekonyong-konyong terdengar teriakan Ting
Put-si, “Anak Hong, mengapa kau membunuh diri? Biar
kulabrak keparat she Ciok itu!”
Ciok Jing dan lain-lain sama terkejut. Tertampaklah Bwe Bunsing
berjalan keluar dengan memondong tubuh Bwe Hong-koh.
Lengan baju kiri Hong-koh tampak tersingsing tinggi sehingga
kelihatan kulit badannya yang putih halus. Di atas lengan
terdapat setitik andeng-andeng merah. Itulah “siu-kiong-seh”
(merah cecak) pertanda masih perawan (menurut cerita kuno,
cecak diberi makan obat-obat tertentu sehingga sekujur badan
berubah menjadi merah, diambil darahnya dan dicocokkan di
atas badan anak gadis dan jadilah setitik andeng-andeng
merah. Jika hilang kesucian perawannya, lenyap pula andengandeng
merah itu).
“Ini bukti Hong-koh masih suci bersih, sampai sekarang masih
tetap perawan, dengan sendirinya Kau-cap-ceng ini bukanlah
anaknya,” demikian Bwe Bun-sing berteriak.
Serentak sorot mata semua orang beralih ke arah Ciok Bohthian,
pikir mereka, “Ya, jika Bwe Hong-koh masih perawan
suci, dengan sendirinya bukan ibu pemuda ini. Lalu siapakah
ibunya dan siapa pula ayahnya? Mengapa Bwe Hong-koh mau
mengaku sebagai ibunya?”
Ciok Jing dan Bin Ju sama berpikir, “Jangan-jangan mayat Anak
Kian yang dikirim kepada kami oleh Hong-koh itu bukanlah
Anak Kian yang sesungguhnya, tapi adalah mayat anak orang
lain, sebaliknya Anak Kian telah dibesarkan oleh Hong-koh dan
jadilah pemuda ini? Kalau tidak, buat apa Hong-koh
memanggilnya sebagai ‘Kau-cap-ceng’, apalagi mukanya juga
sangat mirip sekali dengan anak Giok?”
Ciok Boh-thian sendiri pun merasa bingung dan penuh
pertanyaan, “Siapakah ayahku? Siapakah ibuku? Siapa pula
diriku sendiri?”
Tapi karena Bwe Hong-koh sudah mati membunuh diri, dengan
sendirinya pertanyaan-pertanyaan itu tiada seorang pun dapat
memberi jawaban. Hanya para pembaca yang cerdik kami
yakin telah dapat menduga dan memberi jawaban yang
tepat.....
.: TAMAT :.
ALWAYS Link cerita silat : Cerita silat Terbaru , cersil terbaru, Cerita Dewasa, cerita mandarin,Cerita Dewasa terbaru,Cerita Dewasa Terbaru, Cerita Dewasa Pemerkosaan Terbaru
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar