Naga Kemala Putih [Lanjutan Harimau Kumala Putih]

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Selasa, 13 September 2011

Karya: Gu Long
Judul : Naga Kemala Putih
Judul Asli : Bai Yu Diao Long
Judul Barat : White-Jade Carved Dragon
Tahun Terbit : 1981
Saduran: Tjan I.D
Lanjutan dari HARIMAU KEMALA PUTIH
Bab 1. Kebetulan atau Penyelidikan?
Bulan lima tanggal satu.
Malam yang sangat gelap, malam tanpa rembulan. Ketika
angin berhembus lewat, awan mulai bergerak menuju ke sudut
langit, pelan-pelan cahaya bintang mulai tampak di angkasa,
menyebar meliputi seluruh langit. Siapa pun tahu, malam seperti ini
adalah tanda akan turunnya hujan yang lebat. Siapa yang mau

berada di luar rumah? Siapa yang tak mau berkumpul dengan anak
isteri dan keluarga dalam rumah?
Ada! Di cuaca seperti ini ternyata masih ada orang yang
tidak berada dalam rumah, bukan saja tidak di dalam rumah, bahkan
sedang mendekam di wuwungan rumah. Orang ini berpakaian hitam
ketat, kepalanya dibungkus kain hitam, mulutnya juga tertutup kain
hitam. Yang tampak hanya sepasang lubang hidung serta sepasang
mata yang lebih tajam dari mata kucing.
Mata yang sangat tajam itu sedang mengawasi sesuatu,
mengawasi seseorang yang sedang duduk termangu-mangu di
dalam kamar. Walaupun orang yang duduk itu memandang ke luar
jendela, bahkan pandangan matanya tepat terarah ke tempat
sembunyi si baju hitam itu, nampaknya ia sama sekali tidak
merasakan atau menyadarinya.
Karena dia sedang termenung, karena segenap pikiran dan
perasaannya sedang tenggelam dalam lamunannya. Mengingat
suatu kejadian yang amat menggetarkan hati. Peristiwa yang amat
menggetarkan hati itu terjadi pada malam itu juga, kira-kira tiga jam
sebelumnya. Perubahan yang terjadi secara tiba-tiba ini membuat
dia terpana, mimpi pun dia tak pernah menyangka akan mengalami
kejadian seperti itu.
Sasaran yang diburu dan dicarinya dengan susah payah
selama ini, tiba-tiba saja menguap dan lenyap tanpa bekas setelah
terjadinya perubahan itu! Bahkan kenyataan yang didapatnya justru
memutarbalikkan segala sesuatu yang telah didapatnya selama ini.
Segala sesuatu terjadi begitu mendadak, tak heran kalau sedari
senja sampai sekarang dia masih duduk termangu di situ. Begitu
terpananya ia hingga ketika orang datang menyalakan lampu
baginya saja tak terasakan olehnya.
Kini ia sedang berada dalam sebuah kamar, kamar itu ada di
dalam Benteng Keluarga Tong. Dengan susah payah ia mendatangi
Benteng Keluarga Tong, tujuannya adalah untuk membunuh musuh
besar yang telah membinasakan ayahnya. Tapi perubahan di luar
dugaan yang terjadi tiga jam sebelumnya membuat ia menemukan
satu rahasia kecil, sehingga bukan saja ia tidak bisa membunuh
musuh besar yang telah membantai ayahnya itu, malah sebaliknya ia
harus menggunakan semua kekuatan dan pikiran yang dimilikinya
untuk melindungi orangku!

Kejadian ini benar-benar membuat hatinya tergoncang.
Sejak mengetahui rahasia itu sampai ia kembali ke kamar itu, ia
hanya duduk tercenung di situ. Siapakah yang telah menyalakan
lampu baginya? Ia tak tahu. Ia hanya duduk termangu-mangu
sambil memandang keluar, ke taman. Segenap pikiran dan
perasaannya tenggelam dalam perenungan yang menekan,
menyedihkan dan sangat menyakitkan.
Kenapa urusan bisa berubah sampai jadi seperti ini? Ia terus
merenung, ia mulai menulah rangkaian peristiwa, membayangkan
kembali semua kejadian itu satu bagian demi satu bagian....
Tak seorang pun di dunia peralatan yang tidak mengenal
Tayhong-tong, Perkumpulan Angin Topan. Tayhong-tong bukan
partai atau perkumpulan biasa, kelompok ini adalah sangat besar
dan sangat rahasia. Pengaruhnya meliputi wilayah yang sangat luas.
Tujuan dan semboyan Tayhong-tong sangat sederhana, “Menolong
Kaum Lemah, Menentang Golongan Kuat”
Karena itu tidak saja Tayhong-tong amat disegani orang,
kaum persilatan pun menaruh hormat kepada mereka. Ada tiga
orang yang bertanggung jawab atas segala sepak terjang Tayhongtong,
yaitu Tio Kian, Sugong Siau-hong serta Sangkoan Jin.
Dan pemuda ini, Tio Bu-ki, tak lain adalah putera tunggal Tio
Kian. Hari itu, hari terjadinya peristiwa itu, adalah tepat hari
pernikahannya. Dia akan menikah dengan seorang gadis yang
cantik, jadi hari itu adalah hari kegembiraan keluarga besar Tio.
Hampir semua anggota keluarga Tio, dari tertua sampai
termuda, tampil dengan wajah berseri-seri dan senyum riang. Wajah
Tio Bu-ki juga dipenuhi senyum riang karena ia segera akan
menikah, mengawini Wi Hong-nio, seorang gadis rupawan yang
termasyhur akan kecerdasan serta kecantikan wajahnya. Sayang,
senyum yang menghiasi wajah Tio Bu-ki tidak dapat bertahan hingga
saat upacara pernikahan akan dilangsungkan.
Ketika itu, di gedung utama tempat akan berlangsungnya
upacara pernikahan, ketika ia melihat ayahnya belum hadir, dengan
senyum masih menghias wajahnya, ia menyusul ke kamar baca.
Ketika di situ ayahnya tak ditemukan, senyumnya masih menghias
wajahnya, sebab hari Itu dia benar-benar sangat gembira.
Ketika lemari buku di dinding sebelah kiri mulai bergeser ke
samping, ketika ia masuk ke dalam ruang rahasia dan menemukan
tubuh ayahnya, senyum di wajahnya baru lenyap tak berbekas.

Karena tubuh yang ditemukannya adalah tubuh tanpa
kepala. Hanya empat orang yang mengetahui ruang rahasia ini.
Selain Tio Bu-ki, mereka adalah Tio Kian, Sugong Siau-hong serta
Sangkoan Jin. Ruang rahasia ini adalah ruang yang paling rahasia
dalam gedung Tayhong-tong, tempat diadakannya rapat-rapat
penting.
Itu berarti pembunuhnya hanya mungkin dua orang. Kalau
bukan Sangkoan Jin, pasti Sugong Siau-hong. Tapi mungkinkah Itu?
Sangkoan Jin, Sugong Siau-hong dan Tio Kian adalah tiga saudara
angkat yang sangat erat hubungannya. Mungkinkah mereka berbuat
sekejam ini terhadap saudara angkat sendiri?
Tapi kecuali Sangkoan Jin dan Sugong Siau-hong, siapa lagi
yang bisa melakukun pembunuhan itu? Dari dua orang ini, Sangkoan
Jin lebih mencurigakan, sebab sore itu hanya Sangkoan Jin yang
berada bersama Tio Kian.
Yang lebih mencurigakan lagi, sejak itu Sangkoan Jin ikut
lenyap tak berbekas. Setelah dilakukan penyelidikan, ternyata
memang Sangkoan Jin yang telah membunuh Tio Kian. Bahkan
dengan menggunakan batok kepala yang dipenggalnya sebagai
hadiah, ia telah bergabung dengan Keluarga Tong di Sucoan.
Keluarga Tong dan Sucoan adalah musuh besar Tayhongtong.
Maka tanpa berpikir panjang, Tio Bu-ki segera berangkat
meninggalkan Gedung Tio dan pergi menuju Benteng Keluarga Tong
di Sucoan untuk membalas dendam atas kematian ayahnya. Ia
tinggalkan isterinya yang belum resmi dikawini, meninggalkan juga
adik kesayangannya Tio Cian-cian, tanpa mengindahkan tentangan
anggota-anggota yang lain. Ketika ia pergi meninggalkan rumah,
yang terpikir olehnya saat itu hanya dua kata, “Balas Dendam!”
Tapi ada satu hal yang ia pahami benar-benar. Jika ilmu
silatmu tak mampu menandingi lawan, tak usah berharap dendam
itu bisa terbalas! Maka dengan menggunakan segenap kemampuan
yang dimilikinya, ia pergi belajar ilmu pedang tanpa mengenal lelah.
Siang malam ia belajar dan belajar terus, sampai Wi Hong-nio yang
pergi mencarinya pun tak mengenalinya sewaktu berjumpa dengan
pemuda ini, karena dari pemuda tampan yang gagah dan kekar, kini
ia telah berubah menjadi lelaki kurus kering yang wajahnya dipenuhi
cambang.
Ia berhasil menguasai ilmu pedang maha sakti dan dengan
menyamar sebagai seorang pembunuh bayaran pengembara, ia

berhasil menyusup masuk ke dalam Benteng Keluarga Tong.
Menyusup masuk ke dalam Benteng Keluarga Tong bukanlah suatu
pekerjaan yang mudah. Mula-mula ia harus membunuh Tong Giok
lebih dulu, kemudian dengan menggunakan berbagai taktik, siasat
dan akal muslihat, dengan susah payah ia mendekati Tong Koat,
sebelum akhirnya diterima oleh Tong Koat sebagai anggota
perkumpulannya.
Dia mengaku bernama Li Giok-t ong, berasal dari Cisi Satu
hal yang membuatnya tak habis mengerti adalah walaupun hasil
penyelidikan yang dilakukan orang-orang Benteng Keluarga Tong
memastikan bahwa Li Giok-tong dari Cisi jelas seorang gadungan,
kenapa orang semacam itu tetap bisa ada di situ?
Ia tidak berusaha untuk meneliti urusan ini sampai leta,
sebab ia beranggapan bahwa sekalipun pihak Benteng Keluarga
Tong sengaja ingin rnembohoginya atau malah mungkin sejak awal
sudah mengetahui identitas dirinya yang sebenarnya, dia
beranggapan semua itu tidak penting. Yang terpenting baginya saat
ini adalah menemukan Sangkoan Jin. Bukan saja ia berhasil
berjumpa dengan Sangkoan Jin, bahkan dia pun memperoleh
kesempatan untuk membunuh orangku.
Pada saat yang paling menentukan itu, entah disengaja atau
tidak, putri Sangkoan Jin, Siangkoan Ling-ling, menggunakan
tubuhnya untuk menahan datangnya tusukan pedang yang ia
lancarkan untuk menembus jantung musuhnya itu.
Saat itulah tiba-tiba Tio Bu-ki teringat sesuatu, suatu
masalah penting yang seharusnya sudah diingatnya sejak awal.
Sugong Siau-hong pernah menyerahkan Harimau Kemala Putih
kepadanya dan berpesan, “Sebelum kau bunuh Sangkoan Jin,
rahasia Harimau Kemala Putih harus sudah berhasil kau pecahkan
dan kau pahami dulu.”
Ternyata ia telah melupakan pesan ini, rasa benci dan
dendam telah mengaburkan pikirannya, melupakan masalah yang
sangat penting itu.
Seandainya Siangkoan Ling-ling tidak menghalangi tusukan
mautnya, mungkin ia sudah membunuh Sangkoan Jin dan
membalaskan dendam atas kematian ayahnya. Tapi seandainya ia
benar-benar berbuat demikian, lalu bagaimana pertanggungjawabannya
nanti kepada almarhum ayahnya?

Ternyata rahasia Harimau Kemala Putih adalah bahwa Tio
Kian sebenarnya mengidap suatu penyakit yang tak mungkin bisa
disembuhkan. Sekalipun diobati, paling banyak ia hanya bisa hidup
setengah tahun lagi. Maka mereka bertiga, Tio Kian, Sangkoan Jin
dan Sugong Siau-hong merencanakan sebuah siasat, suatu siasat
yang sangat hebat untuk memusnahkan musuh-musuhnya.
Musuh besar paling tangguh perkumpulan Tayhong-tong
adalah Keluarga Tong. Keluarga Tong tak mungkin bisa
dimusnahkan memakai kekerasan, keluarga itu hanya bisa diatasi
dengan akal muslihat. Kalau saja mereka bisa mengirim seseorang
masuk ke dalam Keluarga Tong sebagai musuh dalam selimut dan
berhasil mempengaruhi anggota-anggota Keluarga Tong hingga
menerimanya dalam kedudukan yang penting, maka semua rahasia
pasti akan terkuasai. Untuk menemukan orang seperti ini harus
dicari seorang pengkhianat, seseorang yang punya peran dan
kedudukan sangat penting dalam Tayhong-tong sehingga ketika
orang itu mengkhianati Tay-hong-tong lalu bergabung dengan
Keluarga Tong, orang-orang
Benteng Keluarga Tong pasti akan memandang tinggi orang
itu, sebab orang itu banyak mengetahui rahasia Tayhong-tong.
Seandainya orang itu datang bergabung sambil membawa batok
kepala Tio Kian sebagai persembahan, pihak Benteng Keluarga Tong
tak mungkin akan menaruh curiga pada orang itu.
Kalau pada akhirnya Tio Kian harus mati dan kematian itu
sudah diketahui akan terjadi paling lama setengah tahun kemudian,
mengapa ia tidak mati dengan lebih bermakna? Mati sebagai
pembela kaumnya? Seorang pahlawan? Jadi mereka lalu
memutuskan akan menjalankan rencana besar itu tepat saat
keluarga itu sedang menyelenggarakan pesta perkawinan puteranya.
Rencana ini mereka namakan Harimau Kemala Putih.
Rencana ini mereka laksanakan di luar sepengetahuan Tio
Bu-ki, satu keputusan yang sangat cerdas. Ketika Tio Bu-ki
mengetahui bahwa ayahnya dibunuh Sangkoan Jin, ia pasti
tergoncang kesadarannya, pikiran dan perasaannya pasti akan
terbakar oleh rasa dendam, ia pasti akan berusaha mencari
Sangkoan Jin dan berusaha mati-matian untuk menuntut balas. Asal
saja Tio Bu-ki memperlihatkan reaksi tersebut, berita itu dengan
cepat akan diketahui oleh orang-orang Benteng Keluarga Tong, dan
pihak Keluarga Tong tentu akan semakin mempercayai Sangkoan

Jin. Memang ini akan menyengsarakan Tio Bu-ki. Tapi demi kejayaan
Tayhong-tong, pengorbanan ini rasanya masih cukup berharga untuk
dilaksanakan.
Ternyata terjadi sesuatu yang sama sekali di luar dugaan
Sangkoan Jin bertiga. Mereka selalu menganggap bahwa Benteng
Keluarga Tong adalah perkumpulan yang amat ketat dan kuat
penjagaannya. Sekalipun Tio Bu-ki ingin membalas dendam,
mustahil bagi pemuda itu akan bisa masuk Benteng Keluarga Tong
dengan gampang. Di luar dugaan, ternyata Tio Bu-ki berhasil
menyusup ke dalam Benteng Keluarga Tong, malahan ia berhasil jadi
congkoan (kepala pengurus rumah tangga), congkoan dari Keluarga
Tong!
Dengan adanya perubahan di luar dugaan ini, seluruh
rencana Harimau Kemala Putih terancam gagal total. Sejak berhasil
masuk Benteng Keluarga Tong, meskipun Sangkoan Jin telah
berhasil mendapat kepercayaan besar Keluarga Tong, ia belum
berhasil menyelidiki dengan jelas semua rahasia Benteng Keluarga
Tong. Sampai saat itu, Sangkoan Jin belum pernah bertemu dengan
tokoh utama Keluarga Tong, tokoh yang menjadi otak semua sepakterjang
Keluarga Tong selama ini, Tong Ou.
Bukan karena Tong Ou segan bertemu dengannya, namun
ketika Sangkoan Jin datang untuk bergabung sambil membawa
batok kepala Tio Kian, Tong Ou sudah pergi dari situ. Kabarnya ia
sedang berke¬liling ke pelbagai wilayah untuk menghimpun
dukungan serta menyempurnakan rencana besarnya untuk
menggempur markas Tayhong-tong!
Kini Tio Bu-ki sudah berhasil menyusup masuk. Sekalipun
pihak Keluarga Tong telah berulang kali melakukan penyelidikan dan
pemeriksaan, Sangkoan Jin selalu berhasil mengelabui orang-orang
Keluarga Tong. Hanya saja kenyataan sebenarnya tetap saja belum
jelas. Apakah orang-orang Keluarga Tong sesungguhnya sudah
mengetahui identitas asli Bu-ki dan pura-pura tidak tahu, atau
memang benar-benar tidak tahu?
Mengapa Tong Koat mengangkat Bu-ki menjadi congkoan?
Mungkinkah di balik pengangkatan itu terselip suatu rencana keji
lain?
Jika Keluarga Tong memang sengaja mengatur demikian,
sudah tentu secara rahasia mereka akan menugaskan orang untuk
mengawasinya secara diam-diam Apabila memang Bu-ki mencari

Sangkoan Jin untuk membalas dendam, maka mereka akan segera
tahu bahwa orang yang mengaku bernama Li Giok-tong ini
sebenarnya adalah Tio Bu-ki dari Tayhong-tong.
Sebaliknya jika setelah Bu-ki melakukan pembalasan
dendamnya terhadap Sangkoan Jin lalu Tio Bu-ki menemukan bahwa
tak ada orang dari pihak Keluarga Tong yang mengawasi mereka,
maka ini menunjukkan bahwa pihak Keluarga Tong sama sekali tidak
tahu bahwa kedatangan pemuda itu sebenarnya adalah untuk
membalas dendam pada Sangkoan Jin. Tapi kalau pihak Keluarga
Tong memang sudah tahu pasti identitas Bu-ki yang sesungguhnya
dan kini apakah mereka sengaja menggunakannya untuk menguji
Sangkoan Jin?
Sekarang apa yang harus dilakukan Bu-ki? Tindakan apa
yang sebaiknya harus ia lakukan agar tidak melakukan kesalahan
fatal? Seandainya keselamatan jiwa Sangkoan Jin terancam, apakah
ia harus berusaha melindunginya dengan mati-matian ataukah lebih
baik ia berpeluk-tangan saja?
Setelah urusan berkembang sejauh ini, apakah dia masih
perlu membunuh Sangkoan Jin? Bagaimanapun juga, sudah jelas
bahwa Sangkoan Jin memang orang yang telah membunuh ayahnya.
Apabila dilihat bahwa hubungan mereka bertiga begitu akrab,
sekalipun gagasan siasat Harimau Kemala Putih muncul dari benak
ayahnya, tetap saja tidak seharusnya Sangkoan Jin bertindak begitu
tega terhadap saudara angkat sendiri.
Mana yang lebih penting, urusan Tayhong-tong atau
hubungan persaudaraan? Urusan perkumpulan menyangkut jangka
waktu yang panjang sedangkan tali persaudaraan hanya
berlangsung dalam waktu singkat. Juga jika ditinjau dari sudut
pandang lain lagi, sebenarnya apakah tujuan Sangkoan Jin hingga
dia rela memikul dosa sebagai seorang pengkhianat yang dicaci
orang banyak karena begitu tega membunuh saudara angkat
sendiri?
Apakah ia harus memuji tindakan Sangkoan Jin itu, ataukah
mencerca dan mengutuknya? Dia tak tahu. Setelah menghela napas
panjang ia bangkit berdiri lalu menengadahkan kepalanya
memandang kegelapan malam yang mencekam jagad.
Ketika Bu-ki menengadahkan kepalanya, semestinya orang
berbaju hitam yang bersembunyi di atas wuwungan rumah itu
berusaha menyembunyikan diri dari pandangannya. Tapi ternyata

orang itu tidak berbuat demikian, mungkinkah dia punya andalan
yang kuat sehingga tak perlu merasa takut? Atau dia beranggapan
suasana terlalu gelap sehingga gerak-geriknya tak akan terlihat oleh
Bu-ki? Atau mungkin dia memang sengaja berbuat begitu agar
ketahuan oleh Bu-ki?
Bu-ki tidak menyadari kehadirannya, karena meskipun ia
mendongakkan kepalanya, namun sorot matanya kosong. Entah apa
yang sedang direnungkan olehnya waktu itu?
Tepat saat itulah tiba-tiba orang berbaju hitam itu melesat
ke depan lalu melayang turun ke serumpun bunga di sisi kanan Buki,
kembali sebuah tindakan yang amat mengherankan! Mengapa ia
justru melompat turun pada saat itu, sewaktu Bu-ki sedang
menengadahkan kepalanya memandang ke atas?
Sisi kanan dan rumpun bunga itu adalah jalan menuju ke
kamar tidur Sangkoan Jin. Bukan saja orang berbaju hitam itu
muncul di saat itu, bahkan dia seperti sengaja mematahkan
sebatang ranting pohon sehingga menimbulkan suara keras.
Saat itu, bila Tio Bu-ki masih belum mendengar juga, dia
bukanlah Tio Bu-ki yang masih hidup tapi seseorang yang entah
sudah mati berapa kali. Dengan cepat pemuda itu bereaksi,
mencabut pedang, memadamkan lampu lalu berdiri di tepi dinding
dan memeriksa keadaan di luar jendela.
Tampaknya sasaran orang berbaju hitam itu adalah
Sangkoan Jin, bukan Tio Bu-ki. Begitu sampai di muka tanah,
kembali ia melejit dan langsung menerobos ke dalam kamar tidur
Sangkoan Jin melalui jendela sebelah kanan.
Selincah seekor kelinci Tio Bu-ki meluncur ke belakang orang
berbaju hitam itu, jarak mereka berdua sebenarnya tidak terlalu
dekat, tapi gerakan tubuh orang berbaju hitam itu jauh lebih lambat
dibandingkan dengan gerak tubuh Bu-ki Karenanya sewaktu orang
berbaju hitam itu bersiap melompat ke dalam kamar, tusukan
pedang Bu-ki telah mengancam punggungnya.
Kembali satu peristiwa aneh terjadi...
Orang berbaju hitam itu dengan cepat membalikkan
pedangnya menangkis tusukan itu dan dengan meminjam tenaga
tusukan Bu-ki, ia melesat ke sisi kiri kemudian dengan sekali
menjejak pagar taman, tubuhnya sudah naik lagi ke atas wuwungan
rumah. Tanpa menunggu Bu-ki berhasil berdiri tegak, bayangan
tubuh orang berbaju hitam itu sudah lenyap tak berbekas.

Pada saat itulah mendadak terdengar Sangkoan Jin
membentak gusar sambil menerobos keluar dari kamarnya.
“Siapa di situ?”
Menyusul kemudian tubuhnya menerobos keluar dari dalam
kamar lewat daun jendela sebelah kiri. Diam-diam Tio Bu-ki merasa
kagum dan memuji dalam hati, sebab kalau dilihat dari rambut serta
pakaiannya yang acak-acakan, jelas Sangkoan Jin sudah tertidur
tadi.
Setelah mengalami peristiwa yang luar biasa tegangnya
beberapa jam yang lalu, kemudian juga harus merawat luka yang
diderita puterinya, mestinya Sangkoan Jin tentu sudah sangat lelah.
Tapi dalam keadaan seperti itu pun ternyata ia masih mampu
bereaksi begitu cepat, bahkan bisa memperhitungkan secara tepat
dari mana dia harus keluar. Ini membuktikan bahwa pengalaman
serta nama besarnya memang bukan nama kosong belaka.
Begitu keluar dari kamar dan bertemu Bu-ki, Sangkoan Jin
segera bertanya.
“Siapa?”
“Entah!” Bu-ki menggeleng, “seseorang berbaju hitam yang
mengenakan kerudung hitam, lihay sekali ilmu meringankan
tubuhnya!”
“Ayo, masuk dulu baru bicara,” ajak Sangkoan Jin. Setelah
menyalakan lampu dan mengenakan mantel luarnya.
Sangkoan Jin duduk di hadapan Bu-ki.
“Hebat sekali ilmu meringankan tubuh orang itu!” kata Bu-ki
setelah termenung sebentar.
Sangkoan Jin tidak menjawab.
“Dia tidak seharusnya mengeluarkan suara begitu berisik,”
kembali Bu-ki berkata.
“Suara berisik apa?”
“Sewaktu melayang turun ke tanah, tidak seharusnya ia
menyentuh ranting pohon hingga mengeluarkan suara berisik.
Tampaknya dia sengaja berbuat begitu untuk memancing
perhatianku.”
“Kenapa? Bukankah dia hendak membokongku?”
“Keliru, walaupun dia melakukan gerakan seolah-olah
hendak menerobos masuk ke dalam kamarmu, tapi ketika
kulancarkan tusukan tadi, ia justru menangkisnya dengan cepat lalu
dengan meminjam daya pantul seranganku, ia kabur dari sini.

Memang betul tujuannya seolah-olah hendak membokongmu, tapi
aku merasa, tampaknya ia sedang menyelidiki reaksiku.”
“Siapa yang melakukan hal itu?” kata Sangkoan Jin,
“Jangan-jangan masih ada orang dari Keluarga Tong yang menaruh
curiga kepada kita berdua?”
“Aku memang berpendapat begitu.”
“Apa alasanmu?”
“Aku masih ingat perkataan Tong Koat, dia bilang bahwa
masuk ke Benteng Keluarga Tong tidak susah, tapi kalau ingin ke
dalam 'taman bunga', barulah susah sekali!”
“Di sinilah taman bunga!”
“Benar! Hanya tamu terhormat yang bisa sampai di sini Aku
sendiri pun harus melalui pemeriksaan yang amat ketat, kemudian
setelah mendapat ijin dari nenek Tong Koat, yaitu Lo-cocong, Si
Nenek Moyang dan diangkat menjadi congkoan, baru aku diijinkan
masuk kemari. Dari sini bisa disimpulkan bahwa orang yang baru
datang itu pasti berasal dari Keluarga Tong!”
“Seharusnya pihak Keluarga Tong tak mungkin menaruh
curiga lagi kepadamu maupun aku, sebab segala sesuatu yang
menyangkut asal-usulmu sudah kututupi dengan menyuap orang
yang diutus ke Cisi untuk menyelidiki asal-usulmu. Mestinya
sekarang mereka sudah tidak mencurigai lagi asal-usulmu!”
“Tapi orang yang tadi menyusup itu jelas bertujuan untuk
melakukan penyelidikan, tapi apa yang sedang dia selidiki? Bila
mereka mencurigai aku sebagai Tio Bu-ki, maka seharusnya mereka
juga tahu kalau tujuan kedatanganku kemari adalah untuk
membunuhmu.”
“Jika orang yang datang tadi adalah utusan yang dikirim
pihak Keluarga Tong untuk melakukan penyelidikan, mungkin dia
ingin tahu, seandainya ia membokong aku apakah kau akan turun
tangan menolongku, jika kau berpangku tangan saja berarti kau
adalah Bu-ki, sebaliknya bila kau datang menolong, berarti kau tak
ingin melihat aku mati, maka...”
“Berarti aku benar-benar adalah Li Giok-tong, bukan Tip Buki!”
potong Bu-ki cepat.
Sangkoan Jin tertawa, tapi di balik senyuman itu masih
tersembunyi sedikit rasa kuatir. Sayang Tio Bu-ki tidak melihatnya.
Apa yang masih dikuatirkan Sangkoan Jin?

Bab 2. Pembicaraan antara Tong Koat dan
Neneknya
“Lapor Lo-cocong!” kata Tong Koat, “aku menemukan dua
persoalan!”
“Dua persoalan?” tanya si nenek.
“Pertama, sejak masuk ke dalam kebun bunga, tiba-tiba Li
Giok-tong nampak banyak pikiran, dia melamun terus.”
“Kemudian?”
“Dia benar-benar telah turun tangan menolong Sangkoan
Jin!”
“Oh ya?”
“Jadi sekarang asal-usulnya tak perlu dicurigai lagi bukan?”
“Kau yakin?”
“Tentu saja, kalau dia tak ingin Sangkoan Jin mati, berarti
dia bukan Tio Bu-ki!”
“Hanya karena dia tak ingin Sangkoan Jin mati, lalu kau
menyim¬pulkan dia pasti bukan Tio Bu-ki?” tanya Lo-cocong.
“Masa masih ada dugaan lain?”
“Tentu saja masih ada!”
“Aku tidak mengerti,” seru Tong Koat.
“Siapa tahu dia memang tak ingin melihat Sangkoan Jin mati
di tangan orang lain?”
“Selain itu?”
“Mungkin dia tak ingin Sangkoan Jin mati begitu cepat dan
begitu gampang.”
“Nenek Moyang, kau memang hebat!” puji Tong Koat cepat.
“Kau tak perlu jilat pantat, aku lihat kau masih belum terlalu percaya
dengan perkataanku!”
“Aku... Nenek Moyang, bukankah kita telah mengutus orang
untuk melakukan penyelidikan di Cisi? Bukankah sudah terbukti
bahwa Li Giok-tong memang dia?”
“Siapa yang mengatakan begitu?” tanya si nenek.
“Kami telah mengutus Wan Sam untuk membuktikan hal
ini.”

“Kau tahu berapa banyak anggota Tayhong-tong yang telah
kita beli?”
“Empatpuluh tujuh orang!”
“Kita bisa membeli anggota Tayhong-tong, memangnya
pihak Tayhong-tong tidak bisa membeli orang-orang kita?”
“Maksud nenek, Wan Sam telah menerima suap dan
memberikan keterangan palsu?”
“Aku tidak berkata begitu!”
“Lalu...”
“Aku hanya mengatakan kemungkinan seperti ini bukannya
tidak mungkin terjadi,” si nenek menjelaskan.
“Tapi tak ada orang yang tahu kalaukita mengutus Wan
Sam!”
“Ada!”
“Siapa?”
“Sangkoan Jin!”
“Dia? Mana mungkin dia? Mana mungkin dia membantu Tio
Bu-ki untuk merahasiakan identitasnya?”
“Jalan pikiran kita terlalu sederhana dan hanya tertuju satu
hal, bagaimana kalau seandainya dia bukan Tio Bu-ki?”
“Lo-cocong, kau membuat aku makin lama semakin
bingung,” keluh Tong Koat dengan perasaan tak habis mengerti.
“Menurut laporan yang kita terima dari mata-mata, Tio Bu-ki
benar-benar hendak membunuh Sangkoan Jin untuk membalaskan
dendam sakit hati ayahnya, bukan begitu?”
“Benar!”
“Mengapa Sangkoan Jin bergabung dengan kita?”
“Karena dia beranggapan perkumpulan Tayhong-tong cepat
atau lambat akhirnya akan dimusnahkan oleh kita, maka dia
membunuh Tio Kian untuk menunjukkan kesetiaannya bergabung
dengan kita!”
“Moga-moga saja dia memang bermaksud begitu...” kata si
nenek pelan.
“Masa dia hanya berpura-pura?”
“Dalam menghadapi persoalan apa pun, tak ada salahnya
kalau kita bertindak lebih hati-hati.”
“Lantas baru saja kau mengatakan...”

“Aku kuatir Sangkoan Jin punya rencana dan tujuan lain,
siapa tahu Li Giok-tong memang khusus menyusup kemari untuk
bisa bergabung dengannya?”
“Mana mungkin bisa begitu? Kita sendiri yang mengangkat Li
Giok-tong menjadi congkoannya Sangkoan Jin.”
“Itulah yang aku katakan tadi.” sela si nenek cepat, “jalan
pikiran kita selalu tertuju ke satu arah saja. Selama ini kita hanya
menduga dia adalah Tio Bu-ki, maka dari itu kita sengaja mengirim
dia untuk melayani Sangkoan Jin sambil mengawasi reaksinya, jika
seandainya dia bukan Tio Bu-ki dan tujuannya kemari hanya ingin
menyusup jadi mata-mata, bukankah perkiraan kita jadi keliru
besar?”
“Aku tidak percaya kalau kedatangan Sangkoan Jin hanya
untuk menjadi mata-mata,” seru Tong Koat.
“Sebetulnya aku sendiri juga tidak percaya,” si nenek
menyambung, “tapi yang baru saja terjadi itu menimbulkan kembali
rasa curigaku!”
“Kejadian apa?”
“Wan Sam telah hilang, suratnya dikirim balik melaku burung
merpati, tapi orangnya hingga hari ini belum juga kembali.”
“Oh ya?”
“Oleh sebab itu aku mulai menaruh curiga lagi terhadap
Sangkoan Jin dan Li Giok-tong.”
“Betul, jika Wan Sam sampai terbunuh maka orang yang
paling dicurigai adalah Sangkoan Jin.”
Lo-cocong mengangguk.
“Tidak salah, cuma... Wan Sam adalah seorang penjudi, bisa
saja dia sedang kecanduan main judi hingga pulangnya tertunda.”
“Terus...”
“Oleh sebab itu aku putuskan untuk menunggu satu hari
lagi. Besok pasti ada berita tentang dia, entah berita itu dibawa cha
sendiri atau berita tentang kematiannya karena dibunuh orang!”
“Berarti nenek sudah mengutus orang untuk melakukan
penyelidikan?”
“Besok, besok baru akan kukirim!”
“Lantas apa yang harus kita lakukan terhadap Li Giok-t
ong?”
“Apa pun tidak kita lakukan, tunggu.”
“Tunggu? Menunggu apa?”

“Tunggu seseorang!”
“Seseorang? Siapa?” tanya Tong Koat keheranan.
“Tong Ou!”
“Kenapa harus menunggu toako?”
“Sebab selama ini perhitungannya tak pernah meleset!”
“Perhitunganku juga tak pernah meleset, kenapa kau lebih
membela dia? Apakah nenek menganggap aku tak mampu bekerja?”
“Sudah, pergilah tidur...” tukas si nenek.
Bab 3. Catatan Harian Wi Hong-nio
Perjalanan hidup manusia memang aneh, Wi Hong-nio
adalah seorang gadis berhati luhur dan rupawan. Ia tak pernah
mengharapkan kekayaan, tak pernah mengharapkan kemuliaan, ia
hanya berharap bisa mpnikah dengan seorang pemuda yang
mencintainya, walaupun harus hidup sederhana dan jauh dan
keramaian dunia ia akan merasa sangat puas.
Tapi justru gadis polos seperti ini harus mengalami kejadian
hebat yang amat memilukan hati, belum sempat upacara pernikahan
dilangsungkan ayah Bu-ki sudah ditemukan mati terbantai.
Walaupun Bu-ki telah pergi meninggalkan rumah untuk mencari
balas, bahkan sewaktu pergi meninggalkan dirinya, jangan lagi
mengucap sepatah kata, memandang ke arahnya sekejap pun tidak,
tapi Wi Hong-nio tahu, Bu-ki sangat mencintainya karena hanya
orang yang benar-benar mencintainya yang mampu melakukan
tindakan seperti itu.
Ia tahu mengapa Bu-ki tidak mau memandang ke arahnya,
jaga tahu mengapa ia tidak mengucapkan sepatah kata pun, Bu-ki
pasti khawatir ia akan mengucapkan kata-kata yang bernada
menahan kepergian pemuda itu dan jika dia memohonnya, Bu-ki
pasti tak tega dan akhirnya urung pergi membalas dendam.
Sebenarnya dugaan Bu-ki keliru besar, apa pun yang akan
dilakukan pemuda itu Wi Hong-nio pasti akan mendukungnya. Tapi
ia sama sekali tak menyalahkan Bu-ki, bahkan ia juga tak punya
pikiran untuk mengeluh kepada Thian atas ketidak-adilan yang
menimpanya, sebab dia tahu kebahagiaan hanya bisa diperoleh bila
ia mau memperjuangkannya. Menyalahkan orang lain tak ada

gunanya, kebahagiaan tak mungkin diperoleh hanya dengan
menyalahkan orang lain.
Karena itu, dia bersama Cian-cian, adik perempuan Bu-ki,
berangkat untuk mencarinya. Biarpun kebahagiaan hanya bisa
diperoleh melalui suatu perjuangan, bukan berarti bahwa dengan
melakukan suatu perjuangan lalu kebahagiaan akan didapat. Begitu
juga dengan Wi Hong-nio. Mimpi pun dia tak mengira bahwa
perjalanan hidupnya harus mengalami banyak siksaan dan
penderitaan.
Mengikuti petunjuk-petunjuk yang diperolehnya, bersamasama
Cian-cian ia berhasil mencapaj bukit Kiu-hoa-san. Ketika tiba di
bukit Kiu-hoa-san, ia berpisah dari Tio Cian-cian tapi bertemu
dengan Siau Tang-lo.
Siau Tang-lo boleh dibilang seorang cacad, karena tubuhnya
harus ditopang sebatang tongkat untuk bisa berdiri tegak, biarpun
begitu, dia masih nampak gagah dan penuh wibawa sehingga orang
tidak berani memandang enteng dirinya.
Ketika Wi Hong-nio bertemu dengannya, pada waktu itu Buki
telah belajar ilmu pedang. Tapi ia tidak memberitahukan hal ini
kepada Hong-nio, ia hanya berpesan kepada gadis ini bahwa asal dia
mau menunggu di situ, cepat atau lambat pasti dapat berjumpa
dengan Bu-ki.
Mungkin penampilan serta cara berbicara Siau Tang-lo
sangat meyakinkan sehingga Hong-nio sangat mempercayai katakatanya
itu, maka tinggallah nona itu di bukit Kiu-hoa-san. Hong-nio
memangg seorang perempuan seperti ini, dengan tenang dan tabah
ia tinggal di bukit Kiu-hoa-san, tak ada apa-apa lagi yang ia
pertanyakan.
Kadang-kadang ia sangat merindukan masakan dari desanya
dan asal ia membuka suara menyatakan keinginannya itu, pada
makan malam berikutnya masakanyang ia inginkan itu sudah
terhidang. Ia tahu Siau Tang-lo pasti bukan orang sembarangan,
sebab ia tinggal dalam sebuah gua tapi kelengkapannya tak kalah
dibandingkan istana kaisar. Semua arak simpanannya adalah arak
pilihan semua pembantunya rata-rata memiliki ilmu silat tinggi,
terutama yang bernama Toat-beng-keng-hu (Pemukul Kentongan
Pencabut Nyawa) Liu Sam keng, biarpun matanya buta tapi
kelihayannya beberapa ratus kali lipat daripada orang biasa.

Di dasar hatinya ia punya banyak pertanyaan dan prasangka
atas penghuni serta keadaan gua itu, tapi ia tak pernah bertanya,
urusan ini hanya dipendamnya di hati, dicatat di buku hariannya.
Menulis catatan harian adalah pekerjaan yang dilakukan
olehnya setiap hari.
Bulan lima tanggal satu.
Sudah banyak hari tinggal bersama Siau Tang-lo di bukit
Kiu-hoa-san. Selama ini perasaanku belum juga tenang. Hari itu,
Siau Tang-lo mengajakku masuk kebagian gua paling dalam untuk
menengok seseorang. Orang itu kurus kering, rambutnya kusut tidak
karuan, ia begitu mabuk dengan ilmu pedangnya sehingga tak
menyadari kehadiranku disana. Dia adalah Bu-ki yang kuimpikan
siang dan malam.
Selama banyak hari hatiku selalu terusik pemandangan itu,
hanya saja hari ini, setelah pindah kerumab penginapan ini, tiba-tiba
saja muncul perasaan menyesalku. Mengapa saat itu aku tidak
memanggilnya, “Bu-Ki!” Aku ingin tahu bagaimana
tangsppansertaperasaannya.
Ai! Bu-ki, seandainya orang itu benar kau, aku benar-benar
telah melewatkan kesempatan yang sangat untuk berkumpul
kembali dengan dirimu!
Satu-satunya yang bisa menghibur hatiku hanyalah katakata
Siau Tang-lo bahwa asal Bu-ki berhasil mempelajari ilmu
pedangnya, dia pasti akan menjumpaiku lagi. Kalau memang kegitu,
apakah orang ituBu-ki atau bukan, kemunculanku bisa-bisa hanya
akan mengacaukan pikiran serta konsentrasinya
Ai! Kenapa ingatan yang selalu muncul di dalam benakku
belakangan ini selalu hanyalah rasa kangenku kepada Bu-ki?
Mengapa rasa kangenku teihadapnya kian hari kian mendalam?
Aku tahu sikap Siau Tang-lo sangat baik terhadapku, tapi
seharusnya dia juga tahu kalau hati dan perasaanku hanya milik Buki
seorang. Beberapa hari belakangan aku selalu berada di samping
Siau Tang-lo, apa yang akan dipikir Bu-ki seandainya ia menyaksikan
hal ini? Aku tidak tahu, aku hanya merasa hatiku sangat tenteram
sekarang
Lebih baik aku menulis apa yang terjadikan ini! Tempat yang
kukunjungi hari ini sangat menarik, kami menaiki semacam
Kendaraan yang disebut “bambu luncur', yaitu dua batang bambu
yang diikatkan melintang pada sebuah bangku sehingga orang dapat

duduk di situ sementara dua pemikul menyangga bambu itu dari sisi
kiri dan kanannya.
Jalanan perbukitan sangat sulit dilalui tapi pemikul “bambu
luncur' dapat berjalan seperti ditempat yang rata saja, sungguh luar
biasa!
Aku tahu 'bambu luncur' adalah kendaraan yang biasa
digunakan orang Sucoan untuk bepergian. Ini berarti kami telah
memasuki wilayah Sucoan selatan, namun mau apa kami masuk ke
wilayah ini?Aku tidak tahu. Yang kuketabui hanya bahwa Keluarga
Tong tinggal di Sucoan, paman Siangkoan berada disitu dan aku
juga tahu, bila Bu-ki telah berhasil mempelajari ilmu pedangnya, ia
pasti akan mendatangi Keluarga Tong untuk rnembuat perhitungan.
Mungkinkah Siau Tang-lo sedang menuju ke Benteng
Keluarga Tong?
Kalau ditmjau dari cara hidupnya yang mewah bagai hidup
dalam istana, tidak seharusnya ia mendatangi Keluarga Tong.
Tapi ketika tiba disebuah losmen, aku mendenga rLiu Samkeng
berbicara dengan seseorang yang amat sangat gemuk.
“Kami telah datang lagi!” kata Liu Sam-keng. “Apa yang
kalian bawa kali ini?” tanya sigemuk.
“Seseorang!”
“Orang? Kami tidak mau!”
“Kami tidak mungkin memberikan orang ini kepadamu, kami
hanya ingin menunjukkan orang ini kepada kalian!''
“Ohya?”
“Bukankah kalian sedang menyelidiki asal-usul seseorang?
Orang yang kami bawa sangat cocok untuk membantu penyelidikan
ini, asalkan ia muncul, maka asal-usul yang kalian selidiki segera
akan ketahuan.”
“Siapa orang itu?”
“Dia she Wi.”
“Bagus sekali, barang kami akan segera dihantar malam
nanti!”
'Tidak usah, Tee-Ciang Pouwsat bilang barang baru diambil
setelah urusan selesai.”
“Bagus, bagus sekali, ha ha ha...”
Siapakah yang dimakud Liu Sam-keng sebagai orang she
Wi? Mungkinkah aku yang dimaksud? Aah, mustahil, aku bisa bantu
penyelidikan apa?

Tentu saja Wi Hong-nio tak tahu kalau orang yang gemuk
sekali itu adalah Tong Koat. Kedatangan Siau Tang-lo ke sana adalah
untuk mengambil obat pemunah racun karena sejak ia terbokong
musuh, setiap tahun ia harus datang ke sana untuk mengambil obat.
Obat pemunah racun dari Keluarga Tong itu bukan untuk dirinya
tetapi diberikan kepada si 'Mayat Hidup'.
'Mayat Hidup' sebenarnya juga orang, seseorang yang
terkena bokongan senjata rahasia beracun, hanya saja berhubung
tenaga dalam yang ia miliki sangat tinggi dan hebat, racun yang
bersarang di tubuhnya berhasil dihimpun jadi satu. Tapi setiap tahun
dia masih perlu menelan obat pemunah racun dari Keluarga Tong.
'Mayat Hidup' memiliki kepandaian istimewa, ia mampu
menotok setiap jalan darah besar maupun kecil di tubuh seseorang
dalam waktu yang amat singkat.
Kebetulan tiap tahun Siau Tang-lo perlu melancarkan
seluruh jalan darahnya satu kali, maka setiap tahun dia harus pergi
ke Sucoan untuk mengambil obat penawar racun dari Keluarga Tong
lalu mene¬mui si 'Mayat Hidup' dan bertukar barang.
Tiap kali mendatangi Keluarga Tong, Siau Tang-lo selalu
membawa aneka macam mestika dan barang langka untuk
ditukarkan dengan obat pemunah. Tapi kali ini, karena ia mendengar
Keluarga Tong sedang menyelidiki asal-usul seseorang dan orang itu
dicurigai sebagai Tio Bu-ki, maka ia pun mengajak Wi Hong-nio
berkunjung ke situ. Siapa lagi selain Wi Hong-nio yang bisa lebih
jelas untuk memastikan identitas Tio Bu-ki yang sebenarnya? Tentu
saja Wi Hong-nio sendiri pun tahu dengan jelas sekali.
Karenanya ia meneruskan pekerjaannya mencatat semua
kejadian itu dalam buku hariannya...
Malam ini makan malam dirundung suasana murung dan
menekan, entah mengapa, Siau Tang-lo selalu menampilkan
wajahnya yang murung dan banyak pikiran. Setelah menelan suapan
nasi yang terakhir dengan susah payah, Siau Tang-lo baru
meletakkan kembali sumpitnya dan memandang wajahku dengan
pandangan yang sangat aneh.
Sampai lama sekali ia termenung kemudian baru ujarnya,
“Bu-ki telah berhasil mempelajari ilmu pedang!”
Begitu mendengarnama Bu-ki', jantungku berdebar makin
cepat, aku merasa darah yang mengalir dalam tubuhku bergolak
keras, aku ingin sekali bertanya kepadanya dari mana ia bisa tahu

Bu-ki saat ini berada? Tapi aku juga tahu, bila aku bertanya,
mungkin dia malah tak akan menjawab, sebab dia orang yang suka
jual mahal tapi juga suka jual tampang maka aku berusaha
mengendalikan perasaanku, aku tak bertanya apa-apa, aku hanya
memandangnya tanpa berkedip.
Kurasa mungkin dia telah melihat harapanku yang tak
sengaja terbersit dari balik sorot mataku. Aku dapat menangkap rasa
tak senang yang muncul dalam hatinya, tapi perasaan tak senang itu
hanya berlangsung sekejap, karena perasaan tadi segera
disembunyikannya lagi.
Sesudah itu ia barulah bertanya lagi kepadaku, “Kenapa kau
tidak bertanya kepadaku, dari mana aku bisa tahu?”
Untuk menjawab pertanyaan ini, aku sempat termerumg dan
memutar otak sejenak, sejenak baru kujawab, “Aku bertanya atau
tidak, kau toh tetap akan memberitahukannya kepadaku!”
“Bagus sekali bila kau bisamemahamiperasaankul,” kata Siau
Tang-lo kemudian sambil tertawa.
Aku tak berani mengucapkan sepatok kata pun, aku hanya
memandangnya lekat-leka.
Dengan cepat ia segera menyambung, “Sebab dia sudah
lama meninggalkan bukit Kiu-hoa-san!”
Baru aku membuka mulutku setengah, dia sudah tahu apa
yang ingin kutanyakan, maka lanjutnya, “Betul, orang yang kau
jumpai ketika berada di gua waktu itu memang dia! Ia datang ke
Kiu-hoa-san mencari aku untuk belajar ilmu pedang karena dia tahu
hanya dengan menguasai ilmu pedang yang maha sakti, ia baru bisa
membalaskan dendam sakit hati atas kematimayahnya, maka dia
berlatih terus tanpa memikirkan makan, minum maupun istirahat .
Kau sudah melakukan tindakan yang benar ketika tidak
menyapanya, kalau tidak ia sudah runtuh sejak itu, atau bahkan bisa
mengalami cau-hwee-jip-mo (jalan api menuju neraka) dan akan
cacad seumur hidup!”
Aku benar-benar sangat kaget, untung saja aku berhasil
menahan gejolak perasaanku waktu itu dan tidak memanggil Bu-ki,
kalau tidak, sungguh tak terbayang akibat yang harus dideritanya.
Sekarang aku baru sadar, ternyata Siau Tang-lo adalah
seseorang yang sangat lihay dan luar biasa.
Dia menyukai aku, tapi sengaja bersikap seakan-akan tak
akan menggunakan paksaan untuk membuat aku menyukainya. Ia

tahu bahwa dalam hati aku hanya mencintai Tio Bu-ki seorang,
karena itu dia mencoba menggunakan cara itu untuk mencelakai Buki
Aku mulai membencinya!
Tampaknya kembali ia berhasil menebak jalan pikiranku,
katanya kemudian, “Untuk mendapatkan cinta seseorang, untuk
mendapatkan seseorang, kadang-kadang kita harus menggunakan
sedikit siasat dan langkah. Apalagi waktu itu Bu-ki begitu tergila-gila
pada ilmu pedangnya, dalam pandanganku ketika itu, dia tak ada
bedanya dengan seorang cacad!”
Apayang dia katakan memang benar, tapi... menggunakan
cara selicik itu untuk menyingkirkan orang yang sangat kucintai?
Bagaimanapun juga, aku tak bisa memaafkan dirinya! Tentu saja aku
tidak mengutarakan jalan pikiranku, aku hanya memandangnya
dengan termangu-mangu dan mulut bungkam.
Sebentar kemudian dia berkata lagi kepadaku, “Aku benarbenar
tak mengira kalau Bu-ki memiliki bakat setinggi itu, tak lama
setelah kita tinggalkan bukit Kiu-hoa-san, dia ikut meninggalkan
bukit itu. Dia berbasil dua bulan lebih awal dari perkiraanku semula!''
Mendengar sampai di sini aku tak bisa menahan diri lagi,
semua kecurigaan dan keraguan yang membelit hatiku selama ini
kulontarkan keluar, aku bertanya kepadanya, “Jadi kau sengaja
mengajakku pergi meninggalkan bukit Kiu-hoa-san? Jadi kau takut
kami saling bertemu setelah ia berhasil mempelajari pedangnya?”
Siau Tanglo segera tertawa.
“Kau jangan memandangku kelewat rendah. Mana mungkin
aku manusia serendah itu? Sebelum berangkat pun aku sudah
berkata kepadamu bahwa aku tak ingin memaksamu untuk pergi
bersamaku!”
Setelah tertawa getir, kembali ia melanjutkan, “Kau juga
tahu, semua urat-uratku harus dilancarkan kembali peredaran
darahnya setahun satu kali, kalau tidak berbuat demikian, aku bisa
mati karena peredaran darah yang tersumbat”
Aku menjawab bahwa aku tidak tahu.
Dia berkata lagi, “Dalam dunia persilatan saat ini hanya
orang yang bernama Mayat Hidup yang mempunyai kemampuan
untuk melancarkan peredaran darah di sekujur badanku dalam
waktu singkat. Kebetulan sekali tiap tahun diapun butuh sebutir pil
pemunah racun untuk membebaskan pengaruh racun dalam

tubuhnya dan penawar racun itu hanya dimiliki Keluarga Tongdi
Sucoan!”
“Tapi kita toh tidak perlu meninggalkan bukit Kiu-hoa-san
sedini itu!” tak tahan aku berseru.
“Kenapa kita mesti berputar sejauh itu sebelum balik
kembali ke sini?”
“Kau kira aku memang ingin berputar dulu sejauh itu? Kau
kira setelah tiba disini lalu tanpa syarat apapun pibak Benteng
Keluarga Tong akan menyerahkan obat penawar racun itu
kepadaku? Aku berputar sejauh itu tak lain karena aku harus
mencari beberapa jenis barang berharga atau barang langka untuk
ditukar dengan obat itu.”
Aku bertanya, apakah barang yang dicarinya sudah
ditemukan?
Ia menjawah bahwa ia sudah mencari lama sekali tapi tak
berhasil menemukan barang yangcocok, akhirnya ia mendengar
Benteng Keluarga Tong kedatangan seorang asing dan pihak
Keluarga Tong sedang kesulitan untuk mengetahui asal-usul orang
asing itu, sebab mereka curiga apakah orang ini Tio Bu-ki atau
bukan.
Ia berkata kepadaku, “Tahukah kau, dengan cara apa
mereka dapat segera membuktikan orang itu Bu-ki atau bukan?”
Akupun menjawab, “Suruh paman Siangkoan mengenali
orang itu, bukankah dia segera akan memberikan jawaban yang
pasti?'
Katanya cara ini memang merupakan cara yang sangat baik,
tapi seandainya karena sesuatu alasan, Sangkoan Jin enggan
memberikan keterangan yang sejujumya?
Dalam hal ini aku tidak paham,apa alasan paman Siangkoan
tak mau memberi keterangm yang sejujurnya. Mungkinkah dia masih
teringat hubungan persaudaraan mereka di masa lalu? Tapi aku
tidak bertanya soal ini, aku hanya bertanya, “Cara apalagi yang bisa
digunakan?”
“Kau!”
Aku yang dia tunjuk!
Aku benar-benar sangat terkejut, tapi setelah kupikir sejenak
aku langsung paham dengan tujuannya. Betul, sekalipun Bu-ki bisa
berlagak pilon setelah berjumpa denganku, tapi bila aku dapat

bertemu dengannya, wajahku pasti, terkejut dan perasaanku pasti,
tak terbendung lagi.
Berpikir akan bal tersebut, aku semakin merasa betapa licik
dan munafiknya SiauTang-lo, sungguh tak nyana dia bisa
menemukan akal seperti ini Tapi dengan cepat aku berpikir lagi,
seandainya dia memang seorang licik yang munafik, semestinya dia
tak perlu mengungkap rahasia ini dihadapanku, dia bisa langsung
mengajak aku ke sana dan menjalankan rencananya. Mengapa dia
harus menjelaskannya dulu kepadaku?
Aku tak tahan, segera tegurku, “Mengapa kau beritahukan
masalah ini padaku?”
Kembali Siau Tang-lo tertawa getir, tampaknya ia memang
gemar tertawa getir, sahutnya, “Aku kuatir kau akan sangat
membenciku!”
Setelah menatapku sampai lama sekali, kembali dia berkata,
“Ketika pertama kali aku berpikir menggunakan cara ini untuk
ditukar dengan obat, aku hanya rnemikirkan keselamatan jiwaku
sendiri. Tapi semakin dekat dengan Benteng Keluarga Tong
perasaanku semakin tak tenang...”
“Kenapa?” aku bertanya.
“Karena ini sama saja dengan memperalat dirimu! Mana bisa
aku memperalat kau?Bagairnana mungkin aku, Siau Tang-lo, bisa
memperalat seorang wanita untuk kepentingan pribadi?”
“Apa kau sudah tak membutuhkan obat itu?” tanyaku.
“Tentu saja aku sangat butuh”
“Berarti kau tetap akan memperalat aku?”
“Karena itu aku harus menjelaskan dulu masalah ini
kepadamu agar kau bisa bersiap-siap. Tentu saja aku tak berani
memastikan orang itu pasti Tio Bu-ki, kalau memang benar tentu
saja paling baik, seandainya memang dia, kuharap kau bisa
rnengendalikan gejolak perasaan dan emosimu di dalam hati saja.”
Apa mungkin aku bisa mengendalikan gejolak perasaan itu?
Sudah begitu lama kami tak bertemu, pikiran dan perasaanku kini
sudah bergolak bagai gulungan ombak di samudera luas bagaimana
caranya rnengendalikannya?
Tampaknya dia dapat melihat pikiran dan perasaanku waktu
itu, maka katanya lagi, “Kau boleh menolak untuk pergi kesana!”
“Bila aku tidak pergi, bukankah kau akan gagal
mendapatkan obat itu?”

Ternyata dia cukup jujur, sahutnya, “Tentu saja aku paling
berharap kau bisa pergi, bahkan sangat berharap kau dapat
mengendalikan gejolak perasaan hatimu, kau bisa bersandiwara di
hadapan mereka. “
Aku bertanya kepadanya, bukankah hal ini sama artinya
dengan membohongi orang orang Keluarga Tong?
Ia menjawab, “Tak mungkin kita mengharapkan segalas
esuatu bisa berhasil dengan sempurna, kadangkala urusan bisa
gagal bila kita tidak mau menggunakan sedikit akal dan pikiran. Tapi
demi ketenteraman hatiku, untuk memastikan agar setelah kejadian
ini kau tidak membenciku, aku harus mengulangisekali lagi
perkataanku ini, kau boleh menolak untuk pergi!”
“Tidak, aku tetap pergi!”jawabku bersikukuh.
Aku tak tahu kenapa pada waktu itu aku begitu bersikukuh
untuk pergi, apakah hal ini disebabkan ia terlalu baik kepadaku?
Mungkinkah aku berbuat begini karena ingin membalas budi
kebaikannya? Atau mungkin karena alasan lain? Aku tak tahu, aku
benar-benar tak tahu.
Mungkin inilah yang disebut takdir kehidupan! Mungkinkah
garis takdirku menyuruh aku untuk mengenali orang itu betul Bu-ki
atau bukan? Dan garis takdir orang itu segera akan diputuskan oleh
keputusan yang kuambil?
Ohh, takdir! Kenapa kau tak adil? Kenapa kau harus
mengaturku untuk berbuat seperti ini?
Hari mulai terang sekarang aku baru teringat, aku lupa
bertanya kepada Siau Tang-lo, kapan kami akan pergi bertemu
dengan orang itu. Seandainya orang itu betul-betul adalah Bu-ki, apa
yang harus kuperbuat? Aku sendiri pun tak tahu, biarlah takdir yang
mengaturkan bagiku!
Bab 4. Pilihan Tong Ou yang Tepat
Bulan lima tanggal dua.
Sejak fajar tadi, suasana di dalam Benteng Keluarga Tong
sudah sangat ramai, sebelum hari menjadi terang, Lo-cocong si
nenek moyang telah berpesan kepada bawahannya untuk tetap
menghangat¬kan sarapan, karena dia ingin sarapan bersama Tong
Ou.

Lo-cocong tidak menyangka secepat itu Tong Ou tiba di
rumah, dia mengira paling cepat orang itu baru tiba di Benteng
Keluarga Tong pagi harinya. Ternyata masih ada satu hal yang tidak
disangka olehnya, dia tidak mengira sebelum sarapan siap
dihidangkan, Tong Ou sudah tiba di rumah.
Yang dimaksud tiba di rumah adalah sampai di pintu
gerbang Benteng Keluarga Tong. Selama ini Keluarga Tong bisa
menancapkan kakinya dengan kokoh dalam percaturan dunia
persilatan tentu saja mereka memiliki kelebihan yang tak dipunyai
orang lain, contohnya urusan kecil ini saja sudah bisa disaksikan
betapa hebatnya Keluarga Tong.
Ketika Tong Ou baru saja melangkah masuk ke pintu
gerbang Benteng Keluarga Tong, berita ini sudah tiba di telinga Lococong,
sebab Lo-cocong membuat satu peraturan yang sangat
ketat, yaitu peristiwa apa pun yang terjadi di dalam benteng, apa
pun yang dilakukan orang itu, harus segera dilaporkan kepadanya.
Lo-cocong adalah orang pertama yang dibangunkan dari tidurnya.
Begitu Lo-cocong bangun dari tidurnya, petugas dapur langsung
menjadi amat sibuk, buru-buru mereka siapkan hidangan sarapan
pagi.
Ketika Tong Ou melangkah masuk ke taman bunga Keluarga
Tong, sarapan telah disiapkan, sewaktu memasuki gardu Bo-tanteng
(Gardu Bunga Botan), ia sudah melihat senyuman Lo-cocong
yang menunggu kedatangannya. Sesudah mengucapkan selamat
pagi ia duduk di hadapan Lo-cocong, waktu itu bubur dengan
cakwee panas telah dihidangkan di atas meja.
Setelah memperhatikan sejenak wajah Tong Ou, Lo-cocong
hanya mengucapkan dua patah kata, “Makan dulu!”
Tong Ou tidak banyak bicara, ia cukup memahami watak Lococong,
kalau dia ingin kau sarapan dulu lebih baik kau kenyangkan
dulu perutmu sebelum berbicara lagi, kalau tidak nenek itu akan tak
suka hati.
Maka dia pun mulai menyumpit cakwee yang dicelupkan ke
dalam buburnya dan mulai bersantap, dalam waktu singkat dia
habiskan delapan biji cakwee ditambah daging masak angsio hingga
peluh jatuh bercucuran karena kepanasan, tapi dengan begitu
semua rasa letihnya lenyap, yang tertinggal hanya sinar tajam yang
memancar dari wajahnya.

Saat itu barulah Lo-cocong berkata, “Bila semangat orang
mulai luntur, jalan pikirannya tentu gampang kacau!”
“Aku tahu!” Tong Ou manggut-manggut.
“Tentunya kau sudah tahu masalah tentang Sangkoan Jin
bukan?”
“Benar, karena itu siang malam aku melakukan perjalanan
untuk segera pulang ke rumah.”
“Oh! Kau menemukan suatu rahasia besar?”
“Benar, secara garis besar aku telah mengetahui keadaan
perkumpulan Tayhong-tong, di luar sana aku telah mempersiapkan
segala sesuatunya dengan sempurna, rencananya pada perayaan
Peh-cun nanti serangan gelombang pertama dilakukan.”
“Apa hubungannya dengan perjalananmu siang malam
menuju ke rumah? Sampai di rumah besok pun sama saja...”
“Hari ini sudah tanggal dua, bila dapat pulang lebih awal
berarti aku bisa lebih awal melakukan penyelidikan melalui Sangkoan
Jin. Aku ingin tahu apakah masih ada hal lain dalam perkumpulan
Tayhong-tong yang belum kita ketahui.”
“Lebih awal melakukan persiapan memang benar, tapi
sewaktu mencari keterangan dari Sangkoan Jin, kau mesti lebih
berhati-hati.”
“Oh ya? Kenapa? Apakah Lo-cocong masih belum percaya
kepadanya?”
“Sebenarnya aku sudah menaruh kepercayaan kepadanya,
sebab dia datang dengan membawa batok kepala Tio Kian, ini
membuktikan kesungguhan hatinya untuk bergabung dengan kita,
tapi dalam berapa hari terakhir ini telah terjadi sedikit masalah.”
“Masalah apa?”
Lo-cocong segera menceritakan dengan jelas semua ikhwal
keda¬tangan Tio Bu-ki dalam Benteng Keluarga Tong hingga apa
yang telah dilakukannya.
Selesai mendengar penuturan itu, Tong Ou segera bertanya,
“Apakah sudah ada kabar dari Wan Sam?”
“Hingga kini belum ada, tapi orang yang kutugaskan
melakukan penyelidikan paling lambat tengah hari nanti sudah
pulang kemari.”
“Kalau begitu aku baru akan menemui Sangkoan Jin nanti
malam!”

“Benar, makin hati-hati makin baik, kali ini kita harus
berhasil menumpas seluruh kekuatan yang dimiliki Tayhong-tong,
dengan demikian Keluarga Tong kita baru bisa merajai seluruh dunia
persi¬latan!”
“Kau tak usah kuatir Lo-cocong,” hibur Tong Ou, “aku pasti
dapat menyelesaikan tugas ini dengan baik.”
“Aku percaya kemampuanmu. Oh ya, kebetulan kemarin
Tong Koat melaporkan kedatangan Siau Tang-lo.”
“Dia datang untuk mengambil obat? Aku rasa lebih baik kali
ini kita serahkan semua obat penawar racun itu kepadanya, buat apa
kita mesti kemaruk dengan barang-barang langka miliknya?”
“Sebenarnya tujuan utamaku bukan lantaran kemaruk
dengan barang-barang langka miliknya, kau toh tahu juga, awalnya
kita minta barang-barang langka darinya hanya karena ingin obat
kita bisa dijual dengan harga tinggi karena dengan memperoleh
banyak uang berarti kita bisa memelihara lebih banyak orang dan
menambah kekuatan kita. Tapi kemudian tiba-tiba aku punya satu
pikiran aneh, dan sekarang telah menjadi kenyataan.”
“Pikiran apa?”
“Siau Tang-lo itu manusia aneh, tentunya kau masih ingat
kedudukan serta asal-usulnya yang begitu tinggi bagai seorang
kaisar, orang aneh semacam dia seringkali bisa membawa barangbarang
yang aneh juga.”
“Kali ini dia membawa barang aneh juga?”
“Benar!”
“Barang apa itu?”
“Satu orang!”
“Orang? Siapa dia?”
“Wi Hong-nio!”
“Bakal istri Tio Bu-ki yang belum sempat dikawini secara
resmi itu?”
“Betul!”
“Apa tujuannya membawa Wi Hong-nio datang kemari?”
“Ia mendengar kita sedang menyelidiki seseorang apa benar
Tio Bu-ki atau bukan, lalu ia mengajak Wi Hong-nio datang kemari.”
“Ehmm, cara ini memang jitu!”
“Tepat sekali! Kau mau bertemu Siau Tang-lo?”
“Baik, tengah hari nanti akan kuundang dia makan siang di
loteng Ie-hiang-lo, dia sendiri saja.”

“Hanya dia sendiri? Tidak mengundang Wi Hong-nio?” tanya
Lo-cocong dengan heran.
“Ya, hanya dia sendiri. Aku punya rencana lain.”
“Baiklah, kalau begitu segala sesuatu kuserahkan padamu.
Masih ada urusan lain yang harus dikerjakan? Kalau tak ada, lebih
baik pergilah beristirahat dulu.”
“Aku ingin mengundang Cu-sianseng untuk membuat lukisan
wajah Li Giok-tong, suruh dia selesaikan lukisan itu sebelum tengah
hari!”
Cu-sianseng adalah Cu Cu-tan, seorang pelukis dari Benteng
Keluarga Tong, dia sangat mahir dalam melukis wajah orang. Semua
orang penting di Benteng Keluarga Tong dibuatkan sebuah lukisan
wajah olehnya dan lukisan itu digantung di sebuah ruangan dalam
Benteng Keluarga Tong yang dinamakan 'Ruang Lukisan'.
Hanya orang penting yang dilukis wajahnya oleh Cusianseng.
Lo-cocong semakin tercengang setelah mendengar
permintaan itu, tak tahan lagi tanyanya, “Kenapa kau ingin membuat
lukisan wajahnya? Kenapa tidak menunggu setelah dia bertemu
dengan Wi Hong-nio saja nanti?”
“Lo-cocong!” ujar Tong Ou sambil tersenyum, “bolehkah aku
sedikit jual mahal dengan melaporkan urusan ini malam nanti?”
Lo-cocong seperti juga nenek-nenek lain di kolong langit,
walaupun sedikit bernada menegur tapi sahutnya juga dengan
gembira, “Menghadapi urusan sepenting ini masih jual mahal? Tapi...
baiklah, aku percaya kau pasti sudah punya rencana yang matang,
akan kutunggu laporanmu malam nanti!”
“Nenek, kau memang sangat memahami perasaanku!” Tong
Ou tertawa.
“Tak usah merayuku lagi, sana, pergi istirahat!”
Ketika terjaga dari tidurnya, tengah hari sudah hampir tiba,
dengan semangat dan tubuh yang segar Tong Ou berangkat menuju
ke loteng Ie-hiang-lo. Belum lama dia duduk, Siau Tang-lo dengan
dipapah dua orang telah tiba juga di situ.
Selesai bertukar kata sopan-santun biasanya, mereka mulai
bersantap. Selama makan siang itu mereka hanya membicarakan
masalah-masalah yang berhubungan dengan dunia persilatan.
Ketika air teh mulai dihidangkan, Tong Ou baru
mengeluarkan sebuah botol yang diserahkannya kepada Siau TangKANG
ZUSI website http://cerita-silat.co.cc/
lo sambil berkata, “Obat yang ada dalam botol ini cukup untuk
digunakan selama enampuluh enam tahuni.”
Siau Tang-lo tahu, isi botol itu adalah obat pemunah racun
yang akan dia berikan kepada si “Mayat Hidup”. Mendengar bahwa
obat yang diberikan Tong Ou kepadanya kali ini cukup untuk
digunakan selama enampuluh enam tahun, ia jadi sangat girang, dia
percaya inilah berkah yang diperolehnya lantaran mengajak Wi
Hong-nio ke sini.
Karena itu segera bertanya, “Kapan kau akan bertemu
dengan Wi Hong-nio?”
“Aku tidak berencana untuk menjumpainya.”
“Tidak menjumpainya? Lalu siapa yang akan menemuinya?”
tanya Siau Tang-lo tercengang.
“Tak ada seorang pun dari Benteng Keluarga Tong kami
akan bertemu dengannya.”
Siau Tang-lo semakin melengak, dia betul-betul tak habis
mengerti.
“Siapa pun tak akan menemuinya? Mengapa?”
“Aku rasa itu tidak perlu.”
“Apakah kalian telah berhasil membuktikan orang itu bukan
Tio Bu-Ki?”
“Belum!”
“Lantas...”
“Aku hanya tak ingin membuktikan sesuatu dengan
mempercayai omongan seorang wanita.”
Begitu mendengar perkataan tersebut, Siau Tang-lo segera
menyentilkan jari tengahnya ke depan, botol berisi obat penawar
racun itu segera bergeser kembali ke hadapan Tong Ou, kemudian ia
baru berkata, “Kalau begitu, aku pun tidak bisa menerima
pemberianmu ini.”
Tong Ou tertegun, ia mengawasi Siau Tang-lo tanpa bicara.
Setelah tertawa, kembali Siau Tang-lo berkata, “Aku sangat
berterima kasih atas niat baikmu itu, tapi selama hidup aku tak
pernah mau menerima pemberian orang secara cuma-cuma.”
Tong Ou agak gelagapan juga menghadapi sikap lawannya,
untung dia adalah seorang tokoh utama yang mengatur seluruh
sepak-terjang Benteng Keluarga Tong dan dalam bingungnya, dia
masih sempat memutar otak mencari jalan lain. Suatu rencana
segera diperolehnya.

Ia segera berkata kepada Siau Tang-lo, “Aku sangat
berharap kau mau menerimanya!”
Kemudian ia dorong kembali botol berisi obat itu ke hadapan
Siau Tang-lo. Kali ini Siau Tang-lo tidak bicara lagi, hanya sepasang
matanya menatap lekat Tong Ou.
“Baiklah!” kata Tong Ou kemudian, “kalau toh kau baru mau
menerima niat baikku jika kami pun mau menerima niat baikmu,
begini saja, malam nanti aku akan mengatur agar orang itu bertemu
dengan Wi Hong-nio!”
Siau Tang-lo segera tersenyum, ia menerima botol berisi
obat itu dan berkata, “Kalau begitu kuucapkan banyak terima kasih!”
“Seharusnya akulah yang berterima kasih kepadamu,” balas
Tong Ou sambil tersenyum.
Bab 5. Teka-Teki di Balik Lukisan Wajah
Sewaktu Bu-ki melihat Tong Koat dan Cu Cu-tan masuk ke
dalam ruangan menghampirinya, ia melihat paras muka Tong Koat
sangat jelek dan tak enak dipandang, seolah-olah ada orang yang
baru saja merampas pengantin perempuannya.
Hal ini bisa dimaklumi karena ketika bangun pagi tadi, Tong
Koat mengira Lo-cocong pasti akan mengundangnya untuk sarapan
bersama sekalian mendengarkan penuturan kakaknya tentang hasil
yang diperoleh sepanjang perjalanan, paling tidak saat itu dia pun
bisa memberikan sedikit saran dan tanggapan.
Siapa tahu Lo-cocong sama sekali tidak mengundangnya,
memanggil pun tidak.
Sepagian Tong Koat sudah dibuat sangat marah bercampur
dongkol hingga sarapan pun segan dimakan, yang lebih bikin jengkel
hatinya adalah ketika menjelang tengah hari, dia melihat koki
kembali sibuk menyiapkan hidangan dan ia tak tahan untuk bertanya
buat siapa hidangan itu disiapkan. Ketika tahu orang yang dijamu
adalah Siau Tang-lo dan hidangan cuma disiapkan untuk dua orang,
ini membuktikan bahwa kakaknya, Tong Ou, sama sekali tak berniat
mengundangnya untuk turut serta dalam perjamuan ini, ia jadi
makin jengkel dan marah hingga paras mukanya berubah jadi merah
padam seperti hati babi.

Rasa dongkolnya semakin menjadi-jadi ketika Lo-cocong
memerintahkan ia bersama Cu Cu-tan untuk pergi membuat lukisan
wajah Li Giok-tong, apa artinya ini? Ini membuktikan bahwa
kakaknya, Tong Ou, telah berhasil membuktikan Li Giok-tong bukan
Tio Bu-ki, karena dengan terlukisnya wajah orang itu, berarti secara
resmi orang itu telah diterima menjadi anggota Keluarga Tong.
Mengapa Tong Ou tidak mengajaknya berunding dulu sebelum
menerima Li Giok-tong menjadi anggota Keluarga Tong?
Oleh sebab itu ketika Bu-ki dengan perasaan ingin tahu
bertanya kepada Tong Koat, mengapa ia harus dibuat lukisan
wajahnya, Tong Koat sama sekali tidak mempedulikan pertanyaan
itu, dia hanya berteriak dengan penuh kejengkelan, “Pokoknya biar
dia lukis wajahmu, titik. Orang Keluarga Tong paling benci kalau
ditanya ke sana kemari.
Melihat sikap dan nada suaranya, Bu-ki tahu kalau orang itu
sedang dongkol dan marah karena sesuatu, tapi jawaban tersebut
tidak membuat Bu-ki jadi marah, pikirnya, “Mau dilukis atau
diapakan, terserah, cepat atau lambat toh jawab¬nya segera akan
kuketahui.”
Selesai dilukis, ia segera pergi mencari Sangkoan Jin dan
menceritakan kejadian itu kepadanya. Mendengar penuturan
tersebut, Sangkoan Jin sangat gembira, ia berseru sambil menepuknepuk
bahu pemuda itu, “Selamat! Selamat! Kionghi, kionghi!”
“Kenapa mesti kionghi kepadaku? Memangnya Benteng
Keluarga Tong hendak menggunakan lukisan wajahku untuk
mencarikan jodoh bagiku?”
“Tentu saja bukan begitu!”
“Lantas, apa yang mesti dibikin gembira?”
“Dalam Keluarga Tong ada satu kebiasaan, mereka akan
membuat lukisan wajah bagi setiap orang yang dianggap penting
dalam kelompoknya, lukisan itu akan digantung dalam sebuah
ruangan agar setiap orang bisa melihat serta mengenali wajahnya.”
“Oh, jadi paman Siangkoan juga telah dilukis wajahnya?”
“Betul, ini menandakan mereka telah mempercayai identitas
palsumu, bahkan sangat menghargai kemampuanmu!”
Bu-ki betul-betul sangat gembira, dari penuturan Sangkoan
Jin tadi, dia menjadi tahu bahwa pihak Keluarga Tong sangat
menghargai kemampuannya dan akan memandang penting

peranannya, bahkan dia semakin gembira lagi ketika Tong Ou
ternyata mengundangnya untuk bertemu.
Sekalipun dalam hati kecilnya ia merasa amat gembira,
namun perasaan tersebut tidak sampai kelewat ditampilkan ke
wajahnya, sebab selama berapa waktu belakangan ini ia sudah
belajar bagaimana mengendalikan emosi serta tidak menampilkan
setiap perubahan perasaan hatinya, apalagi ketika sedang
berhadapan dengan musuh, ia harus bisa mempertahankan
ketenangan serta kesigapannya untuk menghadapi setiap
perubahan.
Maka sewaktu dia berjalan masuk ke ruangan tempat Tong
Ou ingin berjumpa dengannya, pemuda itu telah berhasil
menenangkan perasaan hatinya, dia telah mengubah dirinya bagai
anak panah yang sudah dipentang di busurnya, setiap waktu dan
setiap saat dia bisa menggunakan seluruh tenaga dan
kemampuannya untuk melindungi diri.
Ketika melangkah masuk ke dalam ruangan, ia segera dapat
melihat wajah Tong Ou, diam-diam ia bersorak memuji dalam
hatinya. Ditilik dari penampilannya, Tong Ou berusia sekitar
tigapuluh tahunan, wajahnya nampak gagah dan tampan, sorot
mata yang terpancar keluar seakan-akan mengandung rasa percaya
diri yang sangat kuat.
Begitu melihat kehadiran Bu-ki, Tong Ou segera menegur,
“LiGiok-tong?”
“Betul!” sahut Bu-ki sambil bersojah, “aku adalah Li Gioktong
dariCisi!”
“Selamat datang di Benteng Keluarga Tong!”
“Aku merasa amat bangga dan gembira atas sambutan ini.”
“Mari, kita bicara di dalam saja,” ajak Tong Ou kemudian.
“Di dalam?”
“Benar, di kamar sebelah sana.”
Tong Ou menggerakkan tangannya memberi tanda
mempersi-lahkan, Tio Bu-ki pun tanpa berpikir panjang segera
melangkah masuk ke dalam ruangan. Tong Ou menunggu sampai
Bu-ki sudah melangkah dua tindak, baru bertepuk tangan memberi
isyarat, seseorang segera muncul di tengah ruangan.
Kepada orang itu Tong Ou berkata, “Segera undang Cusianseng
untuk masuk!”

Bu-ki berhenti di depan pintu, menanti Tong Ou sudah
membukakan pintu, baru dia melangkah masuk. Ternyata ruangan
itu penuh dengan lukisan wajah yang tergantung di seluruh dinding.
Sambil menuding ke atas lukisan lukisan wajah itu, Tong Ou
berkata, “Semua wajah yang terlukis dalam ruangan ini adalah jagojago
pilihan dari Benteng Keluarga Tong kami.”
Bu-ki melihat wajah Sangkoan Jin ikut terpampang di situ,
lukisan wajahnya tergantung pada dinding sebelah kiri.
“Lukisan wajahmu ada di meja!” kembali Tong Ou berkata.
Bu-ki sudah melihat lukisan itu ketika Cu Cu-tan selesai
melukis tadi, karena itu walaupun ia melihat di atas meja ada sebuah
lukisan, namun ia tidak berniat untuk menghampiri dan melihatnya
lagi.
“Silahkan duduk!” kembali Tong Ou berkata sambil
menunjuk bangku di sisi meja.
Bu-ki pun duduk, karena berada di tepi meja, maka tanpa
sadar ia pun melirik sekejap ke lukisan wajah yang berada di sisinya.
Wajah dalam lukisan itu nampak sangat kurus dan penuh cambang,
ketam¬panan wajahnya di masa lampau sudah sama sekali tak
terlihat.
“Bagaimana hasil lukisan Cu-sianseng, hebat bukan?” ucap
Tong Ou kemudian setelah ikut duduk di hadapannya.
“Betul, hebat dan kelas satu!”
“Sesuai dengan peraturan Keluarga Tong kami, asalkan dia
orang yang pandai, hebat dan bisa diandalkan, kami pasti akan
buatkan lukisan wajahnya dan digantungkan dalam ruangan ini.”
Bu-ki hanya memandang lukisan wajahnya tanpa menjawab.
“Hanya saja,” kembali Tong Ou berkata, “tujuan kami untuk
membuat lukisan wajahmu kali ini, belum tentu dimaksudkan untuk
digantung di sini.”
“Oh ya?” dalam hati kecilnya Bu-ki mulai merasa kecewa
bercampur curiga. Kenapa belum tentu digantung dalam ruangan
ini? Sekalipun begitu, dia sama sekali tidak menampilkan perasaan
heran bercampur curiganya di wajahnya.
“Inilah untuk pertama kalinya kami Benteng Keluarga Tong
membuatkan lukisan wajah orang luar.”
“Berarti merupakan satu kehormatan dan kebanggaan
tersendiri bagiku?”
“Mungkin, kau ingin tahu kenapa?”

“Kau bersedia memberitahukan kepadaku?”
“Tentu saja bersedia.”
Sementara itu, Cu Cu-tan sudah berjalan ke dalam ruangan,
di tangannya ia masih membawa beberapa gulung lukisan wajah.
“Mari kita ke sana sambil melihat-lihat dan beromongomong,”
ajak Tong Ou sambil menuding ke arah sebuah meja besar
dekat dinding ruangan.
Tiba di depan meja besar itu, Cu Cu-tan mulai
membentangkan semua lukisan yang dibawanya, selembar demi
selembar dipaparkan di atas meja, semuanya berjumlah lima lembar
lukisan. Lembaran lukisan yang paling ujung adalah seseorang
berwajah kurus, semakin ke kanan wajah itu kelihatan semakin
bertambah gemuk.
Bu-ki segera kenali dua lembar lukisan yang paling kanan
adalah lukisan wajah dari Tong Koat, orang paling gemuk di dalam
Benteng Keluarga Tong, sedang tiga lembar lukisan di sisi kirinya
memiliki raut muka yang mirip dengan Tong Koat, namun Bu-ki tak
berani memastikan kalau lukisan tersebut adalah lukisan wajahnya.
“Kelima lembar lukisan ini semuanya adalah lukisan wajah
adikku, Tong Koat, yang berada di paling kiri adalah lukisan
wajahnya kira-kira sepuluh tahun yang lalu waktu dia masih sangat
kurus, sedang luk isan yang berada di paling kanan adalah lukisan
wajahnya pada setahun silam, dia sudah berubah jadi begitu
gemuk!”
Bu-ki tidak tahu apa sebab serta tujuan Tong Ou
memperlihatkan lukisan-lukisan itu padanya, tapi dia yakin, pada
akhirnya Tong Ou pasti akan memberikan penjelasan atas semua
teka teki tersebut, oleh sebab itu dia sama sekali tidak gelisah
bahkan mulutnya tetap membungkam seribu bahasa.
Menanti Cu Cu-tan selesai menggulung kembali kelima
lembar lukisan itu, Tong Ou baru berjalan balik ke meja pertama dan
mengambil lukisan wajah Bu-ki yang lalu dibentangkannya di atas
meja besar, sementara Cu Cu-tan sudah mempersiapkan alat tulis
serta selembar kertas baru.
Setelah meletakkan peralatan gambarnya di atas meja, Cu
Cu-tan mulai mengambil selembar kertas kosong dari tumpukan
kertas yang dibawanya, kemudian membentangkan kertas baru itu
tepat di atas lukisan wajah Tio Bu-ki.

“Kertas ini sangat tipis,” Tong Ou menjelaskan, “sedemikian
tipisnya sehingga lukisan yang berada di bawahnya dapat terlihat
dengan jelas.”
Kembali Cu Cu-tan mengambil dua lembar kertas kosong
dan diletakkan di atas serta di bawah kertas kosong pertama, lalu
setelah mengambil alat gambarnya, ia memandang ke arah Tong Ou
menunggu perintah.
Terdengar Tong Ou berkata lagi kepada Bu-ki, “Cu-sianseng
sangat mahir dalam melukis wajah manusia, maka pengamatannya
terhadap raut wajah seseorang sangat teliti dan cermat, dan
sekarang, berdasarkan pengalaman yang dimilikinya selama ini, dia
akan melukis raut wajahmu ketika kau bertambah gemuk nanti.”
Bu-ki sangat kaget, pikirnya, “Mau melukis wajahku ketika
gemuk? Jika lukisannya tepat, bukankah Tong Ou segera akan tahu
kalau aku adalah Tio Bu-ki? Tapi... mungkinkah dia dapat melukis
wajahku yang sebenarnya dengan tepat?”
Tampak Cu Cu-tan mulai menggerakkan alat tulisnya
membuat coretan-coretan pada kertas baru itu, tak selang berapa
saat kemudian, raut wajah seorang pemuda yang tampan dan gagah
segera tampil di atas lembaran kertas lukisan itu. Kali ini Bu-ki betulbetul
sangat terperanjat, sebab raut wajah yang tertera pada lukisan
itu mirip sekali dengan wajahnya setahun lalu, sekalipun tidak tepat
secara keseluruhan, paling tidak kemiripannya mencapai tujuhdelapan
bagian.
“Mirip bukan?” tegur Tong Ou kemudian, sambil memandang
wajah Bu-ki.
“Dari mana aku bisa tahu?” jawab Bu-ki.
“Kenapa kau tidak tahu?”
“Sejak kecil aku sudah sekurus ini, dari mana aku bisa tahu
bagaimana raut wajahku bila menjadi gemuk?”
“Sungguh?”
“Menurut kau, setampan itukah wajahku?”
“Ehmm, aku rasa mirip sekali.”
“Oh ya?”
“Coba ikut aku.”
Tong Ou mengambil kertas tambahan itu dan membawa
lukisan yang baru selesai dilukis itu ke ruang tamu. Mereka tiba di
sisi kiri ruang tamu, di situ ia mendorong sebuah pintu dan masuk ke

dalam sebuah ruangan yang di dalamnya penuh dengan rak yang
dipenuhi lukisan wajah manusia.
Sambil melangkah masuk, kembali Tong Ou menjelaskan,
“Isi rak yang ada di dalam ruangan ini juga lukisan wajah manusia,
hanya bedanya lukisan yang berada di sini adalah lukisan wajahwajah
musuh besar Benteng Keluarga Tong.”
Bu-ki tidak berbicara lagi, dalam hatinya ia sudah paham apa
yang bakal terjadi, lukisan wajah Tio Bu-ki dari Perkumpulan
Tayhong-tong pasti berada di situ juga. Ketika melangkah ke dalam
ruangan, ia segera dapat melihat tulisan-tulisan yang ditempelkan
pada rak-rak lukisan itu, ada lukisan dari Hui-hong-pang, Sin-liongpang...
dan tentu saja dari Tayhong-tong.
Benar juga, Tong Ou langsung menuju ke rak lukisan yang
dicantumi label Tayhong-tong, ia membuka laci keempat dari rak
tersebut dan mengeluarkan segulung lukisan wajah, kemudian
katanya kepada Bu-ki, “Inilah lukisan wajah Tio Bu-ki dari
perkumpulan Tayhong-tong.”
Bu-ki masih tetap menjaga ketenangan hati dan
penampilannya, padahal di hati kecilnya ia sudah merasakan
ketegangan yang luar biasa hingga tanpa sadar peluh dingin
membasahi telapak tangannya. Sementara itu Tong Ou sudah
melepaskan tali merah yang mengikat gulungan lukisan itu,
kemudian dengan tangan kiri memegang lukisan tersebut, tangan
kanannya memegang lukisan hasil karya Cu Cu-tan. Dia mengamati
kedua lukisan itu bergantian, lalu memandang juga ke wajah Bu-ki,
seakan-akan dia ingin melihat bagaimana perubahan wajah pemuda
itu.
Paras muka Bu-ki sama sekali tidak berubah, dia bersikap
seakan-akan sedang ikut menikmati dua lukisan wajah yang sama
sekali tak ada hubungan dan sangkut pautnya dengan dirinya.
Tiba-tiba terdengar Cu Cu-tan yang berdiri di belakang Bu-ki
menjerit kaget, “Aaah, mirip, mirip sekali, kau adalah Tio Bu-ki!”
Tio Bu-ki segera tertawa keras.
“Kau masih bisa tertawa?” seru Tong Ou.
“Apa kau tidak merasa kejadian ini sungguh menggelikan?
Kau tidak menganggap peristiwa ini sebagai sesuatu yang konyol
dan ngawur?”

“Tidak, aku sama sekali tidak merasakan.” Sambil menuding
ke arah Cu Cu-tan, kembali Bu-ki berkata, “Bukankah lukisan wajah
Tio Bu-ki dari Tayhong-tong dilukis juga olehnya?”
“Benar!”
“Itulah dia,” kata Bu-ki, “selama ini kalian menaruh curiga
bahwa aku adalah Tio Bu-ki, maka sewaktu dia menambah lukisan
tadi, pikirannya sudah terpengaruh oleh bayangan wajah Tio Bu-ki,
tidak aneh jika hasil lukisannya mirip sekali dengan Tio Bu-ki. Coba
kalau kalian mencurigai aku sebagi Oh Tun dari Hui-hong-pang, aku
yakin hasil lukisan yang dibuatnya pasti sangat mirip dengan Oh
Tun, percaya tidak?”
“Aku percaya, cuma dalam satu hal kau keliru.”
“Dalam hal apa?”
“Cu-sianseng sama sekali tidak tahu urusan tentang Tio Buki,
kami hanya beritahu kepadanya bahwa kau adalah Li Giok-tong,
kemudian menyuruhnya berdasarkan pengalaman yang dimilikinya,
untuk melukiskan wajah Li Giok-tong seandainya menjadi gemuk
nanti.”
Bu-ki tidak bicara lagi, kalau urusan telah berkembang jadi
begini, apa lagi yang bisa dia katakan?
“Sekarang kau sudah mengaku bukan bahwa dirimu adalah
Tio Bu-Ki?” tegas Tong Ou.
Bu-ki tidak menjawab pertanyaannya itu, ia balik bertanya,
“Kalau toh sedari awal kau sudah menduga seperti itu mengapa
tidak kau bunuh saja diriku sekarang?”
“Ada dua alasan aku tidak membunuhmu, pertama karena
sejak kau masuk kemari, aku sudah merasakan hawa pembunuhan
yang sangat tebal memancar dari tubuhmu, aku tak yakin bisa
mengalahkan dirimu dalam satu kali serangan, sekalipun pada
akhirnya aku berhasil mengalahkan kau, jika kau merasa tak
mungkin bisa mundur dari sini dengan selamat, aku yakin kau akan
mengajakku untuk mengadu jiwa, jelas aku Tong Ou tak sudi
berbuat demikian.”
“Oh? Lantas apa alasanmu yang kedua?”
“Alasan kedua inilah yang merupakan alasan yang
sesungguhnya.”
Setelah berhenti sejenak, ia kembali meneruskan, “Aku
paling tak suka melakukan serangan bokongan, bila ingin membunuh
seseorang, aku akan menantangnya bertempur secara jantan.”

“Kalau begitu kau ingin menantangku untuk berduel?”
“Benar!”
“Kau sudah sangat yakin kalau aku adalah Tio Bu-ki?”
“Aku tak ambil peduli kau Tio Bu-ki atau bukan, aku tetap
akan menantangmu untuk bertarung!”
“Kenapa?”
“Kesenanganku yang paling utama adalah mengadu pedang
dengan semua jago yang ada di kolong langit.”
“Apakah aku pantas untuk menerima tantanganmu itu?”
“Tentu saja sangat pantas, cukup melihat keberanianmu,
aku rasa sudah lebih dari pantas.”
“Kau terlalu memandang tinggi kemampuanku,” seru Bu-ki.
“Jadi kau sudah menerima tantanganku untuk berduel?”
“Masih mungkin bagiku untuk menolak?”
“Baiklah, kalau begitu kita putuskan begini saja. Tengah hari
tanggal tujuh bulan tujuh di puncak gunung Thay-san!”
“Baik, aku akan menepati janji!”
“Jika kau sudah berjanji akan menepati janji kita, lebih baik
jagalah dirimu baik-baik!”
“Aku tak mengerti dengan perkataanmu itu!”
“Kenapa tidak mengerti?”
“Kenapa kau suruh aku baik-baik menjaga diri? Kalau tak
terjadi suatu peristiwa yang mendadak, siapa pun pasti akan
berusaha untuk menjaga diri.”
“Tepat sekali perkataanmu itu,” Tong Ou manggut-manggut,
“Justru karena aku tahu kalau kau bakal menghadapi suatu peristiwa
yang hebat, maka sengaja kuingatkan agar kau bisa menjaga diri
baik-baik.”
“Peristiwa hebat apa?” tanya Bu-ki tak habis mengerti.
“Ada beberapa kejadian yang akan kau alami secara
beruntun, kejadian pertama adalah malam nanti. Aku akan
mengajakmu men¬jumpai seseorang.”
“Menjumpai seseorang? Haruskah aku menjumpai orang
itu?”
“Aku telah berjanji kepada orang itu agar kau pergi
menjumpainya.”
“Bila aku menolak untuk bertemu?”

“Menolak juga tak apa apa, paling-paling aku akan membuat
kecewa orang itu dan tidak menepati janjinya. Tapi aku percaya kau
pasti ingin sekali bertemu dengan orang itu.”
Bu-ki tidak bertanya siapakah orang itu, sebab dia tahu
bertanya pun tak ada gunanya, Tong Ou pasti akan jual mahal
dengan tidak menyebut siapa orang itu, maka katanya kemudian,
“Baik, aku akan menjumpai orang itu!”
“Terima kasih banyak. Kejadian kedua adalah setelah
bertemu orang itu, maka kau harus segera meninggalkan Benteng
Keluarga Tong, pergi seorang diri.”
“Maksudmu Benteng Keluarga Tong sudah tak suka
menerima kehadiranku di tempat ini?”
“Tidak, kami sangat gembira bisa menerima kau sebagai
tamu kami, justru aku yang kuatir kau tak ingin tinggal lebih lama
lagi di sini.”
“Kenapa?”
“Sebab aku masih akan memberitahukan satu kejadian lagi
kepadamu dan aku yakin, setelah kau mendengar kata-kataku nanti,
kau pasti akan gelisah seperti semut di atas kuali panas!”
“Gelisah juga tak ada gunanya, toh aku telah berjanji
kepadamu akan menjumpai orang itu nanti malam dan aku akan
pergi setelah bertemu dengannya, pergi dari sini seorang diri.”
Tong Ou tertawa tergelak.
“Kau memang sangat cerdas, satu kejadian yang sangat
menyenangkan bila aku dapat berduel melawan orang semacam
kau.”
“Kini, segala sesuatunya sudah berada dalam
cengkeramanmu, aku tidak gembira.”
“Maka dari itu aku harus membuat segala sesuatunya
nampak sangat adil, dengan begitu pertarungan kita baru sah di
mata orang banyak.”
Bu-ki tidak berkata apa-apa lagi, dalam hatinya ia mulai
berpikir, “Selama ini Benteng Keluarga Tong tersohor dalam dunia
persilatan karena kemahirannya menggunakan senjata rahasia, obat
racun serta rencana licik, mana mungkin bisa muncul seorang yang
gagah dan sangat adil seperti Tong Ou? Jangan-jangan di balik
semua ini masih tersimpan rencana busuk lainnya?”
Sementara dia masih memikirkan persoalan ini, kata-kata
yang diucapkan Tong Ou berikutnya membuatnya selain lebih

terkejut, juga penuh rasa curiga, sebenarnya Tong Ou ini tokoh
utama Benteng Keluarga Tong atau bukan?
“Dalam berapa hari ini, kemungkinan besar kami akan
menyerang markas besar Tayhong-tong secara besar-besaran,
apakah kau tak ingin buru-buru pulang ke rumah untuk membuat
persiapan?” kata Tong Ou sambil tertawa.
Mengapa Tong Ou harus membeberkan rahasia besar ini
kepadanya, bahkan rahasia itu baru disampaikan setelah dia yakin
kalau dirinya adalah Tio Bu-ki? Mungkinkah dia memang
menginginkan suatu pertarungan yang adil? Bu-ki tidak tahu, untuk
membuktikan hal ini memang dibutuhkan waktu yang cukup lama.
Setelah keadaan berkembang menjadi begini, Bu-ki sadar
sudah tak ada gunanya lagi merahasiakan identitas dirinya sebab
seperti yang dikatakan Tong Au, setelah mengetahui Benteng
Keluarga Tong akan menyerang Tayhong-tong secara besar-besaran,
dia memang harus segera berangkat pulang, dia harus pulang untuk
mendampingi saudara-saudara seperguruannya untuk bersamasama
menyambut serangan musuh dan bertarung hingga titik darah
penghabisan.
Bila hal ini sampai terjadi, siapa pun tentu akan tahu kalau
dia adalah Tio Bu-ki. Lagipula benar atau tidaknya dia sebagai Tio
Bu-ki sudah menjadi urusan yang tak penting bagi Tong Ou, karena
Tong Ou sudah menyuruhnya pergi dari Benteng Keluarga Tong. Jika
seseorang sudah tidak tinggal di dalam Benteng Keluarga Tong,
maka tidak peduli siapa pun orang itu, dia tak akan mendatangkan
ancaman lagi bagi Keluarga Tong.
Itulah sebabnya Bu-ki telah bersiap-siap untuk pergi dari
situ.
“Nanti dulu, nanti dulu, jangan terburu-buru,” cegah Tong
Ou sambil merentangkan tangannya menghalangi kepergian pemuda
itu, “agar adil, setelah aku memberitahukan banyak persoalan
kepadamu, sudah sepantasnya bila kau pun menjawab satu
pertanyaanku.”
“Tanya saja!”
“Kenapa kau belum juga turun tangan membunuh Sangkoan
Jin?”
“Tampaknya kau sudah tahu tentang semua kejadian di sini
walaupun kau tidak ada di Benteng Keluarga Tong!”

“Kau kira nama besar Benteng Keluarga Tong yang selama
ini tersohor dalam dunia persilatan sekedar nama kosong belaka?”
“Baik, kalau begitu akan kujawab pertanyaanmu itu. Aku
belum menemukan kesempatan yang baik untuk turun tangan,
percaya tidak?”
“Tentu saja aku percaya, Sangkoan Jin bukan manusia
sembarangan, tentu saja dia tak akan semudah itu membuka
peluang padamu untuk turun tangan.”
“Karena itu aku pun perlu memberitahumu bahwa aku masih
akan terus mencari kesempatan untuk datang kemari dan membalas
dendam.”
“Aku harap kau bisa menyatukan dulu seluruh pikiran dan
perhatianmu untuk menghadapi pertarungan besar yang akan
segera berlangsung. Aku tidak berharap seranganku untuk
menghancurkan markas besar Tayhong-tong bisa berlangsung
dengan gampang dan empuk seperti memotong tahu.”
“Kenapa?”
“Bila sesuatu bisa diperoleh dengan mudah, permainan jadi
tidak menarik, urusan yang terlalu gampang hanya menandakan
ketidakmampuan mu untuk mengolah pasukan yang kau miliki. Bila
aku mesti membunuh ayam menggunakan golok penjagal sapi,
bukankah perbuatanku jadi terlalu bodoh dan tak bermutu?”
“Karena itu kau sengaja melepaskan aku pulang ke markas
besar Tayhong-tong?”
“Benar!”
“Tampaknya kau sangat yakin bisa memenangkan
pertarungan ini!”
“Bertindak setelah membuat perencanaan matang, meraih
pahala setelah melakukan tindakan, itulah prinsip kerjaku, orang she
Tong!”
“Bagus sekali! Aku suka sekali manusia macam dirimu!”
“Yaa, sayang sekali kita tak bisa jadi teman.”
“Banyak sekali urusan di dunia ini berjalan jauh dari
keinginan orang. Bisa berhadapan denganmu sebagai musuh sudah
merupakan kejadian yang luar biasa!”
“Betul, seringkah ingin menjadi musuh seseorang pun bukan
pekerjaan yang mudah!”
“Tapi aku pasti akan selalu mengingat dan merindukan
musuh semacam kau!”

“Apa maksudmu berkata begitu?” tanya Tong Ou cepat.
“Itu menandakan bahwa aku pun sama seperti kau,
mempunyai keyakinan yang besar untuk memenangkan
pertempuran ini. Bila aku berhasil mengalahkan mu, yang tersisa
hanyalah kenangan serta rinduku kepadamu.”
Tong Ou segera mendongakkan kepalanya dan tertawa
terbahak-bahak.
“Ha ha ha... bagus, bagus sekali!” serunya, “sekarang,
bersediakah kau ikut aku pergi ke suatu tempat?”
“Ke mana?”
“Sebenarnya aku berencana akan mengajakmu menjumpai
dia pada malam nanti, tapi sekarang tiba-tiba aku berubah pikiran,
kuharap kau bisa berangkat sekarang juga.”
“Kau ingin aku pergi menjumpai orang yang kau maksudkan
itu sekarang juga?”
“Tidak, lebih baik bertemu malam nanti saja.”
“Lalu, kenapa harus berangkat sekarang juga?”
“Sebab aku ingin kau menunggunya di sana.”
“Ooh, jadi kau ingin menahan dan mengurungku lebih dulu?”
“Kau tidak berani?”
“Kenapa tak berani? Aku hanya menduga, rupanya kau takut
aku akan melakukan suatu perbuatan selama waktu penantian ini?”
“Benar, aku kuatir kau secara tiba-tiba mendapatkan
kesempatan yang baik untuk membunuh Sangkoan Jin dan bila
peristiwa seperti itu sampai terjadi, bukankah hal ini akan menjadi
kerugian yang teramat besar bagi Benteng Keluarga Tong?”
“Kalau begitu mari kita berangkat sekarang juga!”
Bab 6. Tong Ou dan Sangkoan Jin
Perasaan Tong Ou saat ini gembira sekali, ya, urusan apa
yang lebih menggembirakan daripada keberhasilannya
mem¬bongkar identitas orang. Dia sama sekali tidak kuatir bahwa
tindakannya melepaskan Tio Bu-ki akan mempengaruhi pertempuran
yang akan dilakukannya, dia sangat percaya dengan perhitungan
serta pengamatannya, dia lebih yakin lagi dengan kemampuan yang
dimilikinya.

Sampai hari ini sudah ada empatpuluh tujuh orang anggota
Tayhong-tong yang telah berhasil dibeli olehnya, bila terjadi serbuan
besar nanti, dia yakin mereka semua akan melakukan kerjasama
yang erat dengan melakukan serangan dari dalam. Selain ku,
ditambah pula dengan pengetahuan Sangkoan Jin tentang seluk
beluk Tayhong-tong yang sempurna, dia yakin pertempuran kali ini
sudah dimenangkan olehnya sejak awal.
Yang dilakukannya sekarang seperti kucing yang
mempermainkan seekor tikus, membebaskan Bu-ki tak lebih
daripada hanya ingin menambah keasyikan serta unsur hiburan
dalam pertempuran yang akan dilakukannya nanti. Selain itu, dia
pun berjanji di dalam hatinya untuk tidak membunuh Tio Bu-ki
dalam pertempuran nanti, sebab Tio Bu-ki telah mempelajari ilmu
pedang dan Siau Tang-lo, bagaimana pun juga dia ingin Tio Bu-ki
tetap hidup agar bisa diajak bertarung satu lawan satu dengan dia
sendiri.
Tong Ou bisa membayangkan betapa kalut dan gugupnya
pikiran serta perasaan Bu-ki saat ini, terutama setelah berjumpa
dengan orang itu nanti malam. Pikiran maupun perasaannya pasti
akan semakin kalut dan gelagapan, apalagi jika Tong Ou sengaja
menahan orang itu di Benteng Keluarga Tong, dia yakin pikiran dan
perasaan Tio Bu-ki pasti sedemikian bingung dan kacaunya hingga
tak akan tahu apa yang harus dilakukannya.
Perhatian yang terpecah merupakan pantangan paling besar
dalam ilmu kemiliteran. Dengan berbekal perasaan riang gembira
seperti inilah Tong Ou berjalan menuju ke tempat yang ia janjikan
untuk bertemu dengan Sangkoan Jin. Satu belokan lagi ia akan tiba
di tempat tujuan, tiba-tiba ia menghentikan langkahnya.
Satu masalah tiba-tiba melintas dalam benaknya. Sekarang
terbukti sudah kalau Li Giok-tong adalah Tio Bu-ki, tetapi mengapa
Sangkoan Jin tidak melaporkan penemuan tersebut sejak dulu-dulu?
Dia tak percaya Sangkoan Jin tak berhasil mengetahui kalau Li Gioktong
adalah penyamaran dari Tio Bu-ki.
Dengan munculnya masalah ini, masalah lain segera muncul
pula di dalam benaknya. Siapa yang telah menyuap Wan Sam? Atau
siapa yang telah membunuh Wan Sam kemudian membawa berita
palsu itu kembali ke Benteng Keluarga Tong?
Menurut penuturan Lo-cocong, hanya tiga orang yang tahu
kalau mereka mengutus Wan Sam pergi melakukan penyelidikan,

ketiga orang itu adalah Lo-cocong, Tong Koat serta Sangkoan Jin.
Mungkinkah Sangkoan Jin yang melakukan? Mengapa dia harus
berbuat begitu? Tong Ou memutuskan akan menyelidiki persoalan ini
hingga tuntas dan jelas.
Ia pun berdiam sejenak untuk mengatur kembali semua
jalan pikiran serta rencananya, kemudian sambil mengulum
senyumnya kembali di wajahnya, ia melanjutkan ayunan kakinya
berbelok pada tikungan terakhir menuju ke tempat yang dijanjikan.
Sangkoan Jin sudah duduk menanti di situ, setelah berbasabasi
sebentar, Tong Ou langsung mengajukan masalah yang
dicurigainya secara terang-terangan.
“Aku telah berhasil mengetahui identitas Li Giok-tong yang
sesungguhnya,” kata Tong Ou kemudian.
“Oh ya?” seru Sangkoan Jin dengan perasaan terkejut.
“Ya, ternyata dia adalah Tio Bu-ki dari Tayhong-tong!”
Hanya sekejap rasa terkejut melintas di wajah Sangkoan Jin,
dengan cepat ia berhasil menguasai gejolak hatinya dan dengan
sikap yang sangat tenang balik bertanya, “Dia sudah mengaku?”
“Sudah, dia sudah mengaku!”
“Berarti kau pasti ingin bertanya kepadaku, kenapa aku tidak
mengenalinya sejak awal?” sambung Sangkoan Jin cepat.
“Ya, masalah itu adalah salah satu pertanyaan yang
mengganjal di hatiku.”
“Sebenarnya alasannya sederhana sekali. Ada dua alasan,
pertama aku ingin membuktikan sejauh mana kemampuan dan
kehebatan orang-orang Benteng Keluarga Tong dalam menyelidiki
identitas seseorang, aku ingin tahu apakah kalian betul-betul mampu
membongkar identitas dia yang sebenarnya.”
“Terima kasih kau telah memberikan kesempatan itu kepada
kami!”
“Kedua adalah alasan pribadiku sendiri, aku ingin tahu
sejauh mana kemampuan yang dimiliki Tio Bu-ki, sehingga dia
berani menyerempet bahaya dengan jauh memasuki sarang
harimau.”
“Hasilnya bagaimana? Kau berhasil menemukan sesuatu?”
tanya Tong Ou.
“Yaa, aku menjumpai banyak perubahan telah terjadi pada
diri Tio Bu-ki, dia sudah bertindak lebih hati-hati, serius dan tidak
cero¬boh, dia lebih pandai mengendalikan emosi bahkan sewaktu

bertemu dengan aku pun dia bisa berlagak pura-pura tidak kenal,
aku tahu, ia sedang mencari kesempatan untuk turun tangan, ia
selalu mengincarku untuk balas dendam. Tentu saja aku tak sudi
memberikan kesempatan ini kepadanya.”
“Aku telah berjanji untuk membiarkan dia pergi dari sini,
menurut pendapatmu, betul tidak tindakanku ini?”
“Kau pasti sudah mempunyai keyakinan untuk bisa
memenangkan pertempuran kali ini, hingga berani melepaskan dia
pergi dari sini.”
“Tentu saja, aku selalu percaya diri dan yakin dengan
kemampuan yang kumiliki!”
“Sekalipun punya keyakinan dan percaya diri, yang lebih
penting lagi adalah perencanaan yang lebih teliti dan matang.”
“Itulah sebabnya aku datang mencarimu, aku ingin
mengajakmu untuk berunding dan meneliti kembali semua rencana
yang telah kubuat dalam serbuan besar kita untuk menghancurkan
markas besar Tayhong-tong.”
“Meskipun markas besar Tayhong-tong sangat banyak,
namun kekuatan utama yang sesungguhnya cuma ada empat, selain
benteng-benteng milikku, Tio Kian dan Sugong Siau-hong, yang
keempat adalah lembah Boanliong-kok (lembah naga melingkar).
Sasaran pertamamu akan menyerang yang mana?”
“Lembah Boanliong-kok!”
“Kenapa kau pilih lembah Boanliong-kok?”
“Pertama, letak lembah Boanliong-kok paling dekat dengan
lingkaran pengaruh Benteng Keluarga Tong kita, kemungkinan
terjadinya bentrokan besar juga sangat besar, maka bila kita berhasil
memusna¬kan Boanliong-kok lebih dahulu, berarti radius duaratus li
di seputarnya akan menjadi milik kita sehingga bagi pihak kita
keadaan itu akan sangat menguntungkan. Jika harus maju terus, kita
akan lang¬sung mencapai titik pusat markas besar Tayhong-tong,
jika mesti mundur kita langsung tiba di wilayah kekuasaan sendiri,
dengan begitu selain punya daya serbu yang besar, kita juga bisa
menekan angka pengorbanan serendah mungkin.”
“Ehm, sangat masuk di akal, lalu rencanamu kapan kita
mulai bergerak?”
“Bulan lima tanggal lima, tepat hari peh-cun, ketika orangorang
dalam lembah Boanliong-kok sedang merayakannya, kita
serang mereka secara tiba-tiba!”

“Bagus sekali!” teriak Sangkoan Jin memuji.
Tong Ou tertawa bangga, katanya kemudian, “Untuk itulah
aku ingin mengetahui lebih jelas seluk-beluk lembah Boanliong-kok!”
Maka Sangkoan Jin pun segera menjelaskan semua keadaan
dan keletakan tentang Boanliong-kok secara terperinci.
Tong Ou manggut-manggut berulang-ulang dengan
perasaan puas, sebab ia telah berhasil menyuap tujuh orang dari
Boanliong-kok dan laporan yang diberikan ketujuh orang itu ternyata
sesuai dengan uraian yang diberikan Sangkoan Jin. Lebih dari itu,
uraian yang diberikan Sangkoan Jin jauh lebih luas dan lebih
terperinci.
Kini Tong Ou semakin percaya bahwa Sangkoan Jin memang
sungguh-sungguh ingin bergabung dengan perkumpulannya, karena
itu persoalan tentang Wan Sam yang semestinya hendak ia
utarakan, akhirnya ia batalkan sebab kecurigaannya telah lenyap.
Sangkoan Jin sendiri juga sangat paham dengan situasi yang
sedang dihadapinya, dia tahu Tong Ou sengaja menggunakan
urusan ini untuk mencoba sejauh mana kesetiaannya terhadap
mereka. Tentu saja ia harus memberikan uraian panjang lebar
serinci dan selengkap mungkin.
Selain itu, sekarang ia sudah memegang sebuah kartu as,
dia tahu Benteng Keluarga Tong akan menyerang lembah Boanliongkok
pada bulan lima tanggal lima nanti. Asalkan sebelum serangan
dilancarkan ia bisa menyampaikan berita ini ke Boanliong-kok hingga
mereka bisa mempersiapkan diri sebaik-baiknya, belum tentu
Keluarga Tong bisa meraih kemenangan secara mudah. Yang
menjadi masalah sekarang adalah bagaimana caranya ia
menyampaikan berita ini ke Boanliong-kok?
Pemimpin Boanliong-kok adalah Si Kiong, dia sahabat karib
Sangkoan Jin selama banyak tahun, hanya saja Si Kiong tidak tahu
tentang rencana Harimau Kemala Putih. Kalau Si Kiong tahu bahwa
berita tentang serangan ini berasal dari Sangkoan Jin, dia pasti tak
akan percaya, bahkan mungkin akan mengira pemberitahuan itu
sebagai bagian dari suatu rencana kejinya.
Selain itu Si Kiong terkenal karena tabiatnya yang
berangasan dan gampang naik darah, bila ia memberitahukan
rahasia tentang rencana penyerbuan Keluarga Tong kepadanya, Si
Kiong pasti tak bisa mengendalikan diri dan pasti akan memberitahu
semua orang tentang berita ini. Bila hal ini sampai terjadi, maka

orang-orang yang telah disuap Keluarga Tong pasti akan ikut
mendengar dan melaporkan kejadian ini ke pihak Keluarga Tong,
akibatnya Tong Ou pasti akan mencurigainya. Jelas soal ini sangat
sulit dan tak gampang diselesaikan.
Namun sesulit apa pun masalahnya, Sangkoan Jin merasa
perlu untuk menyampaikan berita ini ke tangan pihak Boanliong-kok,
dia percaya bahwa dengan kekuatan serta kemampuan yang ada di
Boan¬liong-kok, asalkan ada persiapan yang matang sebelumnya,
pihak Benteng Keluarga Tong tak akan berhasil meruntuhkan
mereka dengan mudah. Malah andaikan mereka punya rencana
untuk melancarkan serangan balik pun rasanya tak sulit untuk
dilakukan.
Tapi... bagaimana peringatan dini ini harus disampaikan ke
pihak Boanliong-kok tanpa diketahui oleh orang-orang yang telah
disuap Keluarga Tong bahwa si penyampai berita adalah dirinya?
Berpikir sampai di situ, tak dapat tidak Sangkoan Jin mengerutkan
dahinya sambil termenung.
Walaupun perubahan sikap itu hanya berlangsung amat
singkat, rupanya Tong Ou telah mengetahuinya. Ia segera menegur,
“Tuan Siangkoan, ada masalah apa yang membuatmu risau? Apa
kau masih menganggap perencanaan kita kali ini masih kurang
sempurna atau kurang meyakinkan?''
Reaksi yang ditunjukkan Sangkoan Jin pun tak kalah
cepatnya, “Oh tidak, aku hanya sedikit berkuatir tentang Tio Bu-ki!”
“Kenapa harus menguatirkan dia?”
“Kau telah memberitahunya tentang rencana penyerbuan
kita ke markas besar Tayhong-tong, padahal kau pun membiarkan
dia pergi dari sini, jika kemudian secara kebetulan dia menuju ke
Boanliong-kok lebih dulu, bukankah pihak lembah Boanliong-kok
akan melakukan persiapan lebih dini?”
“Kekuatiran tuan Siangkoan memang sangat tepat dan
beralasan, hanya saja...”
Berbicara sampai di sini, di ujung bibir Tong Ou segera
tersungging senyuman bangga.
Melihat senyum di wajah Tong Ou, Sangkoan Jin kembali
menyela, “Atau mungkin kau sudah mempunyai cara yang jitu untuk
menga¬tasi soal ini?”

“Tepat sekali, malam nanti aku akan memberi sedikit
permainan untuk Tio Bu-ki, agar sekeluarnya dari sini, tak mungkin
ia akan langsung menuju Boanliong-kok.”
“Oh ya? Begitu yakin kau dengan rencanamu?”
“Bila kita tahu kekuatan musuh dan tahu kekuatan sendiri,
maka tiap pertempuran pasti akan kita menangkan. Aku mempunyai
keyakinan seratus persen akan rencana yang akan kulaksanakan.”
“Kalau begitu, tak ada salahnya kalau kita minum dulu
secawan arak kegembiraan!” kata Sangkoan Jin.
“Tepat sekali! Aku percaya kau pasti belum pernah
berkunjung ke loteng Pek-hoa-lo (Loteng Seratus Bunga) dari
Benteng Keluarga Tong bukan?”
“Ya, belum pernah!”
“Kalau begitu, malam nanti aku akan mengundang tuan
Siangkoan untuk minum secawan arak di loteng Pek-hoa-lo”
“Baik!”
Tong Ou segera berpamitan, sewaktu pergi dari situ, tibatiba
sekilas senyum amat licik terlintas di wajahnya. Senyuman itu
kebetulan diperlihatkan ketika ia berdiri membelakangi Sangkoan Jin
sehingga Sangkoan Jin sama sekali tidak mengetahuinya.
Saat ini pikiran dan perhatian Sangkoan Jin sedang tertumpu
pada satu persoalan, yaitu bagaimana caranya menyampaikan
peringatan dini ke Boanliong-kok.
Baru saja dia menjawab pertanyaan Tong Ou dengan
mengatakan kekuatirannya atas Bu-ki, dia pun segera berpikir,
mengapa tidak menggunakan Bu-ki sebagai tamengnya dengan
memberitahukan berita tentang penyerbuan Keluarga Tong ke
Boanliong-kok sebagai ulah Bu-ki?
Tapi kata-kata selanjutnya dari Tong Ou segera
memadamkan niatnya itu. Dia percaya sebelum Bu-ki pergi
meninggalkan tempat itu, tak mungkin dia punya kesempatan untuk
bertemu sekali lagi dengannya. Lalu, apa yang harus dilakukannya
sekarang?
Ia berjalan mendekati jendela lalu melemparkan pandangan
matanya ke tengah aneka warna bunga yang tumbuh subur di
taman, pikiran dan perasaannya saat ini betul-betul sangat kalut.

Bab 7. Penantian
Menanti adalah pekerjaan yang paling membosankan, waktu
selalu terasa begitu lambat berlalu, apalagi tempat Bu-ki menanti
adalah ruang batu yang keempat penjurunya tertutup rapat.
Ketika Tong Ou mengajak Bu-ki ke tempat itu, sesaat
setelah berada dalam sebuah lorong yang panjang, sempit dan
gelap, ia berkata kepada pemuda itu, “Tempat ini mirip sekali
dengan kamar tahanan, kau berani menanti di tempat semacam ini?”
Bagi Tio Bu-ki tak ada urusan yang tak berani dia lakukan,
dengan pertaruhkan nyawa menyelinap masuk ke dalam Benteng
Keluarga Tong saja sudah merupakan satu perbuatan yang sangat
berani, kenapa dia mesti takut untuk memasuki sebuah ruang batu
yang kecil?
Tio Bu-ki segera mendengus, sahutnya sambil tertawa,
“Rasanya tak ada yang perlu kutakuti!”
“Kau tidak kuatir aku akan mengurungmu di sini?” kembali
Tong Ou bertanya.
“Sekarang kau sudah berhasil mengetahui identitasku yang
sebenarnya, aku rasa bukan satu perkara yang gampang bila aku
ingin meninggalkan Benteng Keluarga Tong, sedang kau pun sudah
berjanji akan membiarkan aku pergi dari sini, jika sekarang kau
benar-benar akan mengurungku di tempat ini, tampaknya aku pun
harus menerima kenyataan ini!”
“Bagus sekali! Kalau begitu aku perlu memberitahumu
bahwa tempat ini adalah tempat rahasia yang biasa dipakai Keluarga
Tong untuk merundingkan masalah-masalah penting atau urusanurusan
sangat rahasia, dinding kelilingnya terbuat dari bebatuan
cadas yang tebal lagi kuat, tak akan ada orang yang bisa mencuri
dengar semua pembicaraan yang sedang berlangsung di tempat ini.”
Tong Ou mengajak Bu-ki masuk ke dalam ruang batu itu, di
dalamnya terdapat sebuah meja batu dengan enam buah bangku
yang juga terbuat dari batu, di atasnya tersedia sebuah teko berisi
air teh panas.
“Nanti ada orang yang akan mengantar makan malam,” kata
Tong Ou lagi, “kira-kira selepas makan malam, orang itu akan
muncul di sini untuk bertemu dengan kau. Asal pintu ini kau tutup
maka tak ada orang lain yang bisa mengganggu kalian lagi, setelah

berjumpa nanti, berapa lama pun kalian ingin berbicara silahkan.
Hanya ada satu hal yang harus kau ingat, ketika pergi dari sini, kau
hanya boleh pergi seorang diri.”
“Bagaimana kalau kami pergi berdua?”
“Aku telah menurunkan perintah ke seluruh penjuru Benteng
Keluarga Tong, selama kau pergi seorang diri, tak seorang pun dari
Keluarga Tong akan menghalangi kepergianmu, tapi jika kau pergi
berdua maka mereka akan berusaha membunuh kalian berdua
dengan cara apa pun.”
“Sebetulnya kau ingin menahan siapa?”
“Segera kau akan tahu sendiri!”
Sekarang, air teh telah habis diminum, sayur, nasi dan arak
baru saja dihidangkan, namun Bu-ki merasa seolah-olah telah
berada di situ selama tiga hari tiga malam. Dalam penantian itu ia
terus berusaha mengendalikan diri untuk tidak menduga-duga siapa
yang akan dijumpainya nanti, dia berusaha menyatukan pikiran serta
perhatiannya untuk mencari jalan menghadapi rencana keji Tong
Ou.
Tong Ou sudah berkata terang-terangan kalau mereka akan
menyerbu markas besar Tayhong-tong, tapi markas mana yang akan
mereka serang duluan? Dengan cara apa mereka akan melancarkan
serangannya?
Bu-ki sudah memikirkan berbagai cara untuk melakukan
perlawanan atas datangnya serbuan, dia juga membayangkan
berbagai cara berbeda-beda di tempat yang berbeda-beda pula
untuk menghadapi serbuan, tapi kemudian ia menyadari bahwa hal
terpenting yang harus dia pikirkan bukanlah cara menanggulangi
datangnya serbuan, melainkan markas mana yang akan diserang
Tong Ou lebih dahulu?
Besok sekeluarnya dari Benteng Keluarga Tong, Bu-ki bisa
langsung tiba di lembah Boanliong-kok yang jaraknya paling dekat,
tapi dia juga bisa berputar sedikit dan dalam setengah hari ia akan
tiba di benteng yang dulu dijaga Sangkoan Jin.
Ia sadar, waktu setengah hari itu bisa menjadi waktu kunci
yang bisa mengubah sejarah. Jika ia pergi ke Boanliong-kok lebih
dulu, sedangkan Tong Ou ternyata menyerang benteng Sangkoan
Jin, sedangkan pemimpin benteng Sangkoan Jin itu saat ini adalah
Kwik Koan-kun, yang jelas tak akan punya persiapan apa-apa, maka
datangnya serangan tiba-tiba itu bisa membuat mereka gelagapan

dan kalang kabut. Akibatnya benteng Sangkoan Jin kemungkinan
besar akan terjatuh ke tangan musuh dengan mudah.
Sebaliknya bila Bu-ki pergi ke benteng Sangkoan Jin dulu,
sedang Tong Ou ternyata menyerang lembah Boanliong-kok lebih
dulu, bukankah akibatnya sama runyamnya?
Selain soal itu, masih ada satu hal lagi yang tak kalah
pentingnya, yaitu adakah kesempatan bagi Sangkoan Jin untuk
mengirimkan peringatan dini ke tempat yang bakal diserang Tong
Ou lebih dulu itu?
Bukan hanya itu, masih ada satu soal lagi yang
menguatirkan Bu-ki saat ini. Ia takut jika orang yang akan
dijumpainya malam ini adalah Sangkoan Jin!
Dia kuatir Tong Ou telah berhasil mengetahui tujuan
sesungguhnya Sangkoan Jin bergabung dengan Benteng Keluarga
Tong dan karena itu dia sengaja menyuruh Sangkoan Jin bertemu
dengannya di sini. Sesudah itu Tong Ou membiarkan hanya dia pergi
seorang diri, sedang Sangkoan Jin tetap ditahan di sini. Kecuali dia,
Bu-ki tidak berhasil menemukan orang lain yang cukup berharga
bagi Tong Ou untuk tetap ditahan dalam Benteng Keluarga Tong.
Pikiran dan perasaan Bu-ki sangat kalut, dia curiga,
mungkinkah dia sedang dijadikan permainan Tong Ou, mungkinkah
ia cuma salah satu pion permainan orang itu dalam menjalankan
rencana besarnya?
Mendadak timbul perasaan menyesal dalam hatinya, ia
menyesal kenapa dulu terlalu suka bermain hingga tidak rajin
berlatih, dia pun menyesal kenapa tidak sejak dulu mempelajari ilmu
siasat perang yang ternyata amat berguna di saat-saat seperti ini.
Seperti saat ini, Tong Ou membiarkan ia pergi dari situ
dengan bebas padahal sudah memberitahunya bahwa mereka akan
menyerbu markas besar Tayhong-tong, sikap percaya diri seperti ini
menunjuk¬kan bahwa tahu atau tidaknya Bu-ki dalam rencana ini
seperti tak ada pengaruhnya. Ini saja sudah cukup membuktikan
bahwa ilmu siasat perang Tong Ou jauh di atas kemampuannya.
Benteng Keluarga Tong betul-betul merupakan sebuah
tempat yang sangat menakutkan, tidak gampang-gampang dihadapi
seperti yang disangkanya semula, saat itu barulah ia merasakan
betapa hebat dan luar biasa rencana ayahnya yang rela mati demi
siasat Harimau Kemala Putih untuk menyusupkan orang ke tubuh
lawan.

Di lain pihak dia pun merasa bahwa pengorbanan ayahnya
tidak cukup berharga, sebab Tong Ou terbukti seorang tokoh
persilatan yang benar-benar luar biasa, seandainya ia berhasil
membongkar tujuan Sangkoan Jin yang sesungguhnya, atau pun jika
dia mulai curiga dan tidak mempercayai Sangkoan Jin, bukankah
semua pengorbanan serta perencanaan yang cermat itu j adi sia-sia
belaka? Daripada berkorban dalam keadaan yang terjepit, bukankah
jauh lebih berharga mati dalam pertempuran yang gagah berani
hingga titik darah penghabisan?
Berpikir sampai di situ, tiba-tiba saja timbul rasa duka yang
mendalam di dasar hati Bu-ki. Pada saat itulah ia mendengar ada
suara langkah kaki manusia yang sangat ringan berjalan mendekat,
dia tahu, orang yang harus dijumpainya akhirnya muncul juga.
Walaupun dia hanya menunggu tidak sampai dua jam, namun bagi
Bu-ki dua jam itu adalah waktu yang amat panjang.
Sepanjang apapun penantian Bu-ki tidak sepanjang yang
dirasakan Wi Hong-nio, perempuan itu merasa seakan-akan dunia
berhenti berputar, waktu seakan akan merangkak lambat-lambat...
Perasaan kalut dan gelisah yang dirasakan Wi Hong-nio
tercatat semua dalam buku hariannya.
Bulan lima tanggal dua.
Kemarin, meskipun aku baru tertidur menjelang datangnya
fajar, namun anehnya hingga sekarang aku tidak merasa
mengantuk, ketika kupaksakan untuk tidur sejenak, itupun hanya
tidur-tidur ayam.
Dari kejauhan suara kokok ayam jago mulai terdengar,
dalam pendengaranku suara itu sangat memuakkan karena kokok
ayam merupakan tanda dimulainya satu hari yang baru, padahal
hatiku amat gelisah, aku gelisah dan ingin segera bertemu dengan
orang itu. Aku tahu, kemungkinan besar orang itu adalah Bu-ki.
Setelah ayam jago berkokok berulang kali, kuputuskan untuk
tidak melanjutkan tidurku, aku bangkit dari pembaringan, menuju ke
depan meja rias dan mulai bercermin.
Aku mulai mencoba berlagak, seandainya orang yang akan
kujumpai itu benar-benar Tio Bu-ki, apakah reaksi yang tampil pada
wajahku saat itu, aku ingin mengetahui ekspresi mukaku dari balik
cermin.
Aku berusaha mengendalikan gejolak perasaanku, wajah
yang tampil dari balik cermin itu ternyata biasa saja, tidak terlihat

ada perubahan apapun. Aku berlatih dan berlatih terus sampai
kuanggap ekspresi wajahku tak akan berubah walaupun orang yang
kujumpai nanti benar-benar adalah Bu-ki, aku baru berhenti berlatih
setelah penampilanku benar-benar memperlihatkan ekspresi wajah
yang sangat tenang seakan-akan baru saja bertemu dengan orang
asing.
Ketika Siau Tang-lo mengutus orang untuk mengundangku
sarapan, aku tidak menyahut, aku pura-pura masih tidur karena aku
masih merasa segan untuk keluar dari kamarku. Tapi sesaat
kemudian hatiku mulai menyesal, bagaimana seandainya orang itu
muncul disaat sarapan tadi?
Buru-buru aku keluar dari kamar dan berlari-lari menuju ke
tempat tinggal Siau Tang-lo. Baru saja pintu kuketuk, Siau Tang-lo
sudah tahu aku yang datang dan segera menyuruhku masuk.
Aku segera bertanya kepadanya, kapan akan mengajakku
bertemu dengan orangku?”
Dengan nada mengejek Siau Tang-lo segera menjawab,
“Coba kau lihat wajahmu, sepertinya kau yakin kalau orang yang
akan kau jumpai betul-betul Tio Bu-ki “
Aku tidak menggubris ejekan itu, aku mendesaknya terus,
aku ingin tahu kapan aku akan bertemu dengan orangku.
JawabSiau Tang-lo, “Barusan Tong Ou telah mengutus
orang memberi kabar, dia mengundangku makan siang, tapi hanya
mengundangaku seorang.”
Aku segera bertanya kenapa begitu, tapi dia sendiripun tidak
tahu. Aku meminta dia membuat janji dengan Tong Ou nanti di
waktu bertemu makan siang dan dia berkata pasti akan membuat
janjiku. Kemudian ia bertanya apakah semalam aku tidur nyenyak,
aku menjawabya, dia minta aku tidur cukup agar kesehatan badan
terjaga.
Terus terang, mana mungkin aku bisa tidur nyenyak dalam
suasana seperti ini? Satu siang itu aku hanya duduk di muka jendela,
mengenang kembali saat-saat manis ketika masih berkumpul dengan
Bu-ki, kadang aku melatih kembali raut wajahku, agar nanti aku
tidak menunjukkan perasaan kaget dan terharu.
Aku dapat merasakan debaran jantungku yang begitu
kencang, aku sadar ternyata aku diliputi ketegangan luar biasa, aku
mulai kuatir tak mampu mengendalikan diri kuatir aku tak bisa
menahan rasa haruku ketika berjumpa dengannya nanti.

Aku tak berselera untuk makan siang. Dengan penuh
kegelisahan aku menunggu berita dari Siau Tang-lo.
Waktu berjalan begku lambat, sepertisiput merangkak,
untung saja sepanjang apapun penantian, akhirnya akan tiba juga
ujungnya. Siau Tang-lo mengutus orang untuk memberi kabar
bahwa Tong Ou menyuruh aku bertemu dengan orang itu malam
nanti.
Mengapa harus menunggu sampai jam tujuh malam nanti?
Kenapa aku harus menunggu lagi?
Penantian benar-benar pengalaman yang menyiksa batin.
Menunggu tibanya sore hari ternyata jauh lebih lambat
daripada menunggu datangnya tengah hari tadi Mulai terbayang
kembali sore hari disaat aku akan melakukan upacara pernikahan
dengan Bu-ki, sore yang sangat panjang dan amat menakutkan.
Mengenang kembali kisah tragis disaat akan melakukan upacara
pemikahan dulu, aku mulai kuatir, mulai cemas lagi, apakah
penantian yang kulakukan hari ini akan berakhir lagi dengan kisah
tragis seperti dulu?
Aku betul-betul sangat gelisah, gelisah setengah mati.
Dengan susah payah akhirnya senja menjelang juga. Ketika
Keluarga Tong mengutus orang untuk mengundangku, hatiku mulai
terasa tegang dan berdebar-debar.
Pelayanku mengantarku ke sebuah kamar dan menyuruh
aku menunggu disitu.
Lagi-lagi menunggu!
Ada orang datang! Semula kukira orang yang ingin kujumpai
telah datang, ternyata orang yang tadi muncul kembali, dia masuk
sambil membawa nasi dan hidangan.
Ketika kuperiksa, ternyata hanya sebuah mangkok dengan
sepasang sumpit. Kenapa hanya satu mangkok? Segera kutanyakan
hal ini kepada pelayan itu, tapi dia menjawab tidak tahu, majikannya
hanya seperti itu dan menyuruhaku bersantap dalam ruangan.
Apa yang akan dilakukan setelah bersantap nanti?Apakah
akan mengajakku menjumpai orangitu? Kembali pelayan menjawab
tidak tahu.
Hatiku jengkel sekali, mendongkol bercampur perasaan
cemas, bayangkan saja, mana aku punya selera untuk bersantap
dalam keadaan begini? Tapi aku tidak menyuruh pelayan itu
membawa pergi nasi dan hidangan, bagaimanapun orang itu hanya

seorang pelayan, seorang petugas yang menjalankan perintah
majikannya, aku tahu tak ada gunanya marah-marah terhadap orang
seperti itu, karenanya aku hanya mengucapkan terimakasih dengan
nada selembut mungkin.
Sayur yang dihidangkan bercorak Sucoan yang harum
baunya, saying selera makanku benar-benar telah habis. Dalam
ruangan aku hanya bisa berjalan bolak-balik dengan gelisah. Tibatiba
aku mendengar suara orang bertengkar dari ruangan sebelah.
Suara ribut itu mengundang perhatianku, akupun bangku berdiri dan
keluar dari ruangan, mendekati ruang sebelah.
Tiba didepan jendela, aku mendengar dua orang sedang
bertengkar, yang satu, suara yang belum pernah kudengar
sebelumnya, sedangkan yang lain pernah kudengar. Mula-mula tak
terpikir olehku suara siapakah dia, tapi sejenak kemudian aku mulai
ingat, itu suaranya sigendut yang mengaku bernama Tong Koat.
Akupun dengan jelas menangkap inti masalah yang sedang
diributkan kedua orang itu.
Terdengar Tong Koat berkata, “Aku usul, kita serang
perkampungan keluarga Tio lebih dulu!”
“Kenapa?” tanya orang kedua.
“Sebab Tio Kian sudah mampus sedang Tio Bu-ki juga tak
ketahuan kabar beritanya, saat ini suasana didalam perkampungan
keluarga Tio pasti sangat kalut, jika kita serang perkampungan itu
lebih dulu, sudah pasti serangan kita akan berhasil. Jika
pertempuran pertama berhasil kita menangi secara gampang, hal ini
akan meningkatkan semangat tempur rekan-rekan yang lain.”
“Kau anggap kita tak sanggup meraih kemenangan jika
menyerang tempat lain? Kau terlalu memandang enteng kekuatan
kita.”
“Tidak, aku tidak bermaksud begitu, “sahut Tong Koat.
“Kalau begitu, aku perlu beritahukan satu hal padamu, tak
ada gunanya kita serang perkampungan keluarga Tio!”
“Kenapa tidak berguna?”
“Perkampungan keluarga Tio merupakan kekuatan yang
berada pada garis belakang Tayhong-tong, jika kita serang garis
belakang mereka dulu maka akan memberi peluang bagi pos-pos
penjagaan mereka yang berada lebih depan untuk membuat
persiapan, apalagi perjaknan kita akan semakin jauh, pasukan kita
bakal kelelahan sebelum melancarkan serangan.”

“Lalu kau akan menyerang mana dulu?”
“Kita serang dulu pos jaga yang dipimpin Sugong Siau-hong,
pertama karena jaraknya dekat, kedua kita paling banyak menyuap
orang-orang di sana. Dengan bantuan orang dalam, kita semakin
mudah mengalahkan mereka ketimbang harus menyeran
gperkampungan keluarga Tio.”
Tanya jawab mereka selanjutnya tidak kucatat lagi karena
apa yang mereka ributkan hanya tempat mana yang akan diserang
dulu. Kemanapun mereka akan menyerang, bagiku merupakan
masalah yang penting karena semua tempat yang mereka sebut
berada di bawah kekuasaan Tayhong-tong.
Ketika pertikaian itu mencapai puncaknya, dengan suara
jengkel bercampur dongkol Tong Koat berseru, “Baik, baiklah, kau
adalah kakak, aku akan menuruti perkataanmu!”
Saat itulah aku baru tahu, ternyata orang yang diajak
bertikai itu adalah Tong Ou.
Sasaran yang hendak diserbu Tong Ou adalah benteng yang
dijaga Sugong Siau-hong, waktunya adalah bulan lima tanggal lima.
Sekarang aku sudah mengetahui rahasia mereka, buru-buru aku
balik ke kamarku dan Mengambil sumpit pura-pura sedang makan,
padahal hatiku berdebaran sangat keras. Untung saja tak ada yang
muncul, kalau tidak, wajahku saat itu pasti akan membongkar
rahasia bahwa aku mencuri dengar perdebatan mereka.
Secara garis besar aku mulai membuat perhitungan, hari ini
baru tanggal dua, untuk mencapai wilayah Tayhong-tong dibutuhkan
dua hari perjalanan, berarti kalau besok pagi mereka sudah
berangkat maka malam tanggal empat sudah tiba di tujuan, berarti
tanggal lima sudah dapat mulai melancarkan serangan.
Dengan cara apa aku harus menyampaikan peringatan ini
kepada paman Sugong? Aku jadi teringat dengan Siau Tang-lo,hanya
dia yang bisa dimintai tolong, aku harus segera mencarinya
dipenginapan, aku akan minta tolong dia untuk menyampaikan
pesan ini kepada paman Sugong.
Tapi, maukah Siau Tang-lo mengabulkan permintaanku?Aku
rasa pasti mau, asal aku memintanya secara halus dan lembut, dia
pasti akan menurut. Buru-buru kuletakkan kembali sumpitku dan
siap keluar dari ruangan, tapi sebelum kubuka pintu kamar itu,
seseorang telah membuka pintu itu lebih dulu. Aku benar-benar
sangat terperanjat, saking kagetnya aku sampai berseru tertahan.

Orang yang membuka pintu itu segera minta maaf padaku,
dia mengatakan seharusnya ia mengetuk pintu lebih dulu sebelum
masuk Kucoba mengamati wajahnya, dia adalah seorang lelaki kekar
dan tinggi besar, wajahnya amat tampan, garis-gark kegagahan
tampak diantara kerutan matanya.
Ia memperkenalkan diri sebagai Tong Ou. Sebelum aku
membuka suara untuk memperkenalkan diriku, ia sudah berkata
dulu, dia tahu bahwa aku adalah istri Tio Bu-ki yang belum dinikahi
resmi, WiHong-nio. Dia juga menjelaskan bahwa ia mengundangku
kemari bukan karena keinginannya sendiri, tapi atas permintaan Siau
Tang-lo.
Aku benar-benar berterimakasih kepada Siau Tang-lo, tapi
perkataan Tong Ou selanjutnya membuat aku tertegun dan untuk
beberapa saat tak tahu apa yang mesti kuucapkan. Dia bilang,
sebenarnya Siau Tang-lo ingin memintaku untuk mengenali
seseorang, ada seseorang yang tidak jelas identitasnya. Tidak
diketahui apakah dia TioBu-ki atau bukan, tapi dia mengatakan
bahwa sekarang sudah tak perlu, sebab orang itu sudah mengaku
kalau dia adalah Tio Bu-ki.
Dengan perasaan gelisah akupun bertanya kepadanya, apa
yang telah dia lakukan terhadap Bu-ki? Sambil tertawa ia menjawab
bahwa ia tidak berbuat apa-apa, malah akan mengijinkan aku untuk
bertemu dengannya.
Ai, ucapan itu sungguh mengharukan hatiku, hanya
selanjutnya aku berpikir lagi, kenapa ia memberi kesempatan
kepadaku untuk bertemu dengan Bu-ki? Apakah ada rencana busuk
di balik semua itu?
Tong Ou bertanya kepadaku apakah aku mau bertemu
dengan Bu-ki? Tentu saja kujawab mau, kemudian aku bertanya
kepadanya, apakah dia mempunyai maksud tertentu dengan
membiarkan aku berjumpa Bu-ki?
Ternyata ia sangat jujur, dia jawab memang ada tujuannya,
dia punya syarat
Aku tanya, apa syaratnya? Dia jawab selesai pertemuan
nanti, dia hanya membiarkan satu diantara kami berdua yang boleh
pergi meninggalkan Benteng Keluarga Tong, mengenai siapa yang
tinggal dan siapa yang pergi, kami bisa memutuskan sendiri.
Aku segera memahami maksudnya, ia sedang mencari
alasan untuk membunuh Bu-ki. Dia tentu mengirasetiap orang pasti

akan menyayangi nyawa sendiri, kalau satu diantara kami berdua
boleh pergi dan keputusan boleh kuputuskan sendiri, siapapun pasti
akan memilih diri sendiri.
Tapi aku... aku justru tidak!
Bila Bu-ki mati dan Tayhong-tong berhasil dibasmi Benteng
Keluarga Tong, apa lagi makna kehidupanku selanjutnya? Aku rela
mati asal Bu-ki bisa hidup bahagia, melihat Bu-ki senang, akupun
akan tenteram, apalagi baru saja aku telah mencuri dengar rencana
penyerbuan mereka.
Asal aku dapat bertemu dengan Bu-ki rahasia yang kudengar
pasti akan kusampaikan kepadanya, kalau dia segera pulang ke
Tayhong-tong dan berdampingan dengan paman Sugong melakukan
perlawanan, serbuan dari Keluarga Tong pasti bias mereka
patahkan. Kalau terbukti bahwa kepergian Bu-ki bisa menuai banyak
keuntungan dan kebaikan, kenapa aku tidak memilih dia saja yang
pergi dari sini?
Maka kepada Tong Ou aku menjawab. Aku yang tetap
tinggal di sini!
Tong Ou masih mengulang kembali pertanyaan itu beberapa
kali apakah aku rela tetap tinggal di sini?Apakah aku rela dengan
keputusan itu? Aku jawab, ya, aku rela!
Selanjutnya dia berkata akan mengajakku berjumpa dengan
Bu-ki.
Dia mengajakku keluar dari kamar, belok ke kanan, berjalan
duapuluh lima langkah menyusuri lorong, lalu belok ke kiri dan
berjalan lagi tujuh belas langkah untuk akhirnya berhenti di depan
sebuah gardu peristirahatan ditengah taman bunga. Ia mendekati
gardu itu lalu memutar sebuah bangku batu ke kanan dan dari
bawah meja batu pelan-pelan muncul sebuah lorong bawah tanah.
Dia masuk ke lubang bawah tanah itu lebih dulu, aku
mengikutinya di belakang, kami menuruni enam belas buah anak
tangga sebelum belok ke kanan, kemudian menyusuri sebuah lorong
batu yang panjang sekali, dua belas batang obor menerangi lorong
panjangitu.
Aku bertanya kepadanya, apakah dia mengurung Bu-ki di
tempat ini? Sambil tertawa dia menjawab tidak. Bu-ki sendiri yang
rela menunggu di situ, dia menambahkan bahwa tempat ini bukan
penjara, melainkan tempat rahasia yang biasa digunakan Keluarga
Tong untuk mengadakan rapat rahasia, iapun menjelaskan, ia

sengaja memilih tempat semacam ini sebagai tempat pertemuan
kami lantaran dia tak ingin pembicaraan mesra kami berdua
didengar orang lain.
Pembicaraan mesra? Kata-kata yang sangat memalukan!
Pipiku merona jengah mendengar kata-kata itu. Tong Ou
mengajakku berjalan sampai ke ujung lorong itu kemudian belok lagi
ke kiri, kembali dua belas batang obor menerangi lorong yang
panjang itu, hanya kali ini di ujung lorong terlihat pintu yang sedikit
terbuka.
Sambil menunjuk ke ruangan di balik pintu itu Tong Ou
berkata, “Bu-ki ada di dalam, aku tak enak mengganggu kalian lagi.”
Selesai berkata ia memandangku sambil tertawa, kemudian
membalik badan dan berlalu dari situ. Aku berdiri mematung
memandang pintu ruangan itu, jantungku terasa berdebar semakin
kencang, setiap kuayun langkahku, jantungku berdebar makin keras.
Ooh Bu-ki! Sebentar lagi aku akan bertemu denganmu!
Akhirnya sampai juga aku di muka pintu batu, kudorong
pintu itu kuat-kuat, ketika mendorong pintu, tiba-tiba suatu ingatan
melintas di benakku, setelah aku masuk nanti, apakahTong Ou akan
segera menutup rapat pintu ruangan dan mengurungku bersama Buki
untuk selama-lamanya di situ?
Pikiran itu hanya sekilas melintas, sebab aku segera
memberitahu diriku sendiri, alangkah bahagianya bila aku bersama
Bu-ki terkurung untuk selamanya di tempat ini. Akhirya pintu terbuka
lebar, semula aku pikir aku akan pingsan karena terkejut, tapi
kenyataannya aku masiht etap tenang, tenang sekali perasaanku.
Aku telah melihat Bu-ki, mula-mula aku melihat sepasang
matanya, aku pun dapat menangkap ia tampak tertegun sewaktu
pandangan pertama melihat kemunculanku, menyusul kemudian
sinar kegembiraan memancar dari wajahnya, ini menandakan kalau
dia tak tahu kalau akulah yang akan muncul disitu.
Mengapa Tong Ou tidak memberitahunya? Apakah dia ingin
membuat kejutan baginya? Aku tidak berpikir lebih lanjut, sebab
kulihat Bu-ki telah bangkit dari tempat duduknya dan berjalan
menghampiriku, dia menjulurkan tangannya, akupun mengulurkan
tanganku. Ketika akhirnya tangan kami saling bersentuhan, aku
merasakan tubuhku menggigil keras, menggigil saking gembiranya.
Ooh, aku merasa betapa bahagia saat itu! Bu-ki
menggenggam tanganku erat-erat, ia menarikku hingga menempel

dengan tubuhnya, lalu mengawasi wajahku tanpa berkedip, tatapan
itu membuat wajahku semakin merah jengah. Setelah itu dia baru
berkata, “Kau tambah kurus!”
“Kau juga,” kataku.
Ia tertawa ringan dan menggandengku untuk duduk di
bangku, kemudian ia duduk di hadapanku dan menuangkan secawan
arak untukku. Sambil mengangkat cawan, dia memandangi terus
wajahku tanpa berkedip. Akupun mengangkat cawan itu dan
mereguknya dalam satu tegukan, andai saja arak ini arak pertukaran
dalam upacara perkawinan, oh, alangkah senangnya hatiku!
Bu-ki masih mengawasi terus wajahku seperti orang bodoh,
sampai lama kemudian ia baru bertanya kepadaku, “Mengapa kau
datang ke Benteng Keluarga Tong?”
Dengan ringkas aku menceritakan perjalananku, kemudian ia
juga mengisahkan apa yang di alaminya selama ini. Saat itulah aku
baru teringat akan urusan yang lebih penting, aku segera
menceritakan kalau aku telah mencuri dengar pertikaian antara Tong
Koat dengan Tong Ou, aku juga bercerita bahwa Tong Ou berpesan
kepadaku, hanya satu di antara kita berdua yang boleh
meninggalkan BentengKeluarga Tong.
Bu-ki tampak termenung dan berpikir cukup lama setelah
mendengar penuturanku itu, aku tahu sedang terjadi perang batin
dalam hatinya, ia pasti amat sedih dan menderita. Aku mencoba
menghiburnya, kubilang aku tak akan apa-apa dalam Benteng
Keluarga Tong, dengan nama besar serta reputasi Keluarga Tong
dalam dunia persilatan selama ini, mustahil mereka akan
menganiaya seorang gadis lemah macam aku.
Bu-ki berkata bahwa apa yang kuucapkan memang masuk di
akal, tapi ia tetap berkuatir. Kutanya, apa yang dia kuatirkan?
Dia berkata ia takut pihak Keluarga Tong akan
menggunakan aku sebagai sandera, seandainyapihak Tayhongtongberhasil
mengalahkan Keluarga Tong, mereka bisa
menggunakan kau untuk menekan mereka agar menyerah.
Dengan tegas aku berjanji kepada Bu-ki, “Kau tidak usah
kuatir, bila mereka benar-benar memakai aku sebagai sandera untuk
memaksakan kehendaknya, mintalah kepada mereka untuk bertemu
lebih dulu denganku, kemudian aku baru akan mengambil
keputusan.”
Bu-ki bertanya, mengapa begitu?

Jawabku, “Bila tiba saatnya, demi Tayhong-tong dan demi
kau, aku rela mengorbankan diriku sendiri, aku tak akan
membiarkan orang Keluarga Tong meraih keuntungan dariku
sehingga dengan begitu, kau bisa memusatkan seluruh pikiran dan
perhatianmu untuk menang dalam pertempuran. Kau tak perlu
menguatirkan diriku lagi!”
Bu-ki tidak berbicara lagi, tapi aku dapat menangkap sinar
kepedihan dan kedukaan yang terpancar dari matanya, i meneguk
araknya secawan demi secawan....
Aku tidak berusaha menghalanginya, hanya ketika ia
menghabiskan cawan arak yang ketiga, barulah aku berkata,
“Jangan lupa, kau masih perlu menyampaikan peringatan dini
kepada paman Sugong!”
Dia segera meletakkan kembali cawan araknya dan sinar
mata penuh rasa terima kasih. Aku tertawa kepadanya, aku percaya
tertawaku saat itu pasti mengandung kegetiran yang mendalam. Tak
tertahan, akupun menyambar cawan arakku dan meneguk habis
isinya, tiba-tiba aku ingat, mungkin malam ini akan menjadi malam
terakhirku berkumpul bersama Bu-ki. Tampaknya Bu-ki juga terbawa
perasaanku, kembali dia meraih teko arak dan memenuhi cawannya.
Aku sadar, aku tak boleh terus memperlihatkan duka dan
penderitaanku, aku harus menggunakan sikap tegar dan teguh
menghadapi Bu-ki, agar ia tenang, agar dia tak usah menguatirkan
aku. Baru dengan begitu ia bisa memusatkan seluruh pikiran dan
perhatiannya untuk melawan serbuan Benteng Keluarga Tong.
Maka aku segera tertawa, aku berusaha mengingatkan
kenangan lama saat kita sedang bergembira dahulu untuk
mengajaknya bicara. Mula-mula dia agak tertegun, tapi tak lama
kemudian diapun seperti aku, hanyut dalam kenangan lama yang
penuh keceriaan dan kegembiraan. Sayang, betapapun riang dan
gembiranya suasana, pada akhirnya harus disudahi juga. Apalagi
saat itu, ketika selesai membicarakan kenangan gembira, duka dan
sedih muncul kembali.
Sungguh, begitu kami berhenti berbicara, suasana diruangan
itu langsung tenggelam kembali dalam suasana duka yang
mendalam. Aku sudah tak tahu lagi yang harus kuperbuat, aku juga
tak tahu bagaimana harus bersikap agar Bu-ki tetap gembira dan
bersemangat. Aku mencoba mengamati wajah Bu-ki, tampaknya
diapun punya pikiran dan perasaan yang sama seperti aku, dia

seperti ingin mencari bahan pembicaraan yang menggembirakan
untuk menghibur hatiku.
Pada saat itulah api yang menerangi ruangan tiba-tiba
padam, suasana dalam ruangan jadi gelap-gulita, padamnya api
obor melipatgandakan sendu dan duka dalam hati kami berdua.
Aku berbisik pada Bu-ki, “Api telah padam, berarti fajar
segera akan menyingsing, hari yang baru segera akan muncul”
Bu-ki tidak berkata-kata, dia hanya mengangguk,
mengiakan.
Aku tak tahan untuk tidak meninggikan nada suaraku,
kataku kepada Bu-ki, “Apa kau tak menyadari ini menandakan apa?”
Bu-ki memandangku bingung agaknya dia belum memahami
maksudku.
“Artinya kau harus mempercepat langkahmu untuk segera
kembali ke Tayhong-tong, mengerti?”
Bu-ki segera bangkit berdiri, tapi sesaat kemudian ia duduk
kembali, bisiknya, “Ini berarti kita harus berpisah!”
A irmataku nyaris meleleh keluar, tapi aku berusaha
sekuatnya agar tidak menetes, dengan nada menghibur aku berkata,
“Asal ada jodoh, aku percaya kita pasti akan berkumpul kembali “
Aku tahu, nada suaraku saat itu pasti tak lancar, aku tak
tahu bagaimana perasaan Bu-ki saat itu, sebab dia sudah bangkit
berdiri dan berkata kepadaku sambil membelakangi tubuhku, “Kau
harus baik-baik menjaga diri.”
Tanpa berpaling lagi ia melangkah mendekati pintu ruangan,
langkah kakinya begitu kuat dan mantap. Begitulah, dengan langkah
tegap dan tak pemah menoleh lagi dia berjalan keluar, keluar dari
pandanganku.
Dalam hati aku menjerit, hampir-hampir saja keluar dari
tenggorokanku, tapi aku tahu aku tak boleh berteriak, sekali aku
bersuara dia pasti akan berpaling dan bila ia berpaling raut wajahku
yang teramats edih tentu akan terlihat olehnya, akibat selanjutnya
aku tak berani membayangkannya....
Tapi... apakah dia akan pergi begitu saja?
Apakah dia akan berjalan keluar dari hidupku untuk
seterusnya? Sesuatu yang panas tiba-tiba menggumpal dalam
hatiku, sesuatu yang menyakitkan. Air mataku tak terbendung lagi,
kucuran air mata segera membasahi seluruh wajahku.

Aku tengkurap di atas meja dan menangis tersedu-sedu...
entah berapa lama aku menangis, sewaktu membuka kembali
mataku, aku melihat ada sepasang kaki berdiri tak jauh dari
hadapanku. Mula-mula aku merasa kegirangan, ooh, Bu-ki, ternyata
kau tak rela meninggalkan aku, tapi hanyas ebentar, rasa girang itu
segera lenyap kembali, sebab aku berpendapat Bu-ki tak mungkin
balik lagi, tak mungkin ia mengorbankan kepentingan Tayhong-tong
hanya karena urusan cinta.
Sewaktu aku menengadah, untunglah... ternyata dia bukan
Bu-ki, dia TongOu!
Tong Ou berdiri dengan wajah kikuk, dia seperti ingin
tertawa padaku, tapi melihat raut mukaku saat itu, mana mungkin ia
bisa tertawa? Kalau tidak tertawapun rasanya salah, karena kurang
menunjukkans antun, maka raut mukanya waktu itu lucu sekali.
Akhirnya dengan nada rikuh dia berkata, “Ayoh, kuantarkau
pulang.”
Aku mengerti, yang dimaksud pulang adalah balik ke rumah
penginapan, bukan meninggalkan Benteng Keluarga Tong, dia
memang merasa perlu untuk menahanku, agar di kemudian hari ia
bisa memperalat aku untuk kepentingannya. Aku mengikut di
belakangnya keluar dari ruang batu itu, ketika muncul di atas gardu
taman, aku barut ahu, ternyata hari sudah terang.
Ketika hampir tiba di rumah penginapan, tiba-tiba aku
teringat pada Siau Tang-lo. Dengan ilmu silat yang dimiliki Siau
Tang-lo, mungkinkah baginya untuk mengungguli Tong Ou?Aku
percaya seandainya Siau Tang-lo tidak mengandalkan tongkat
penyangga untuk berdiri, ia pasti dapat mengalahkan Tong Ou. Tapi
sekarang ia butuh tongkat penyangga untuk menopang tubuhnya,
aku tak yakin dia bisa menang.
Bagiku, menang atau kalah bukan persoalan, yang
kubutuhkan hanya membawaku keluar dari sini dengan selamat.
Berpikir sampai di situ, tanpa terasa muncul harapan baru di hatiku,
rasa sedihku segera banyak berkurang, bahkan sedikit rasa gembira
mulai muncul dalam hatiku.
Tong Ou berhenti didepan pintu setelah membukakan pintu
kamar, katanya kemudian, “Cepat kau benahi semua barangbarangmu.”
Aku bertanya buat apa?

Dia menjawab, “Siau Tang-lo sudah pergi, kami akan
menyediakan kamar yang lebih besar dan lebih nyaman untuk kau
tinggali “
Aku berdiri termangu-mangu seperti orang bodoh, lama
sekali aku diam, ternyata Siau Tang-lo telah pergi. Kini semua
harapanku musnah sudah,tak ada setitikpun harapan lagi bagiku
untuk pergi meninggalkant empat ini.
Dengan perasaan tertahan aku bertanya kepada Tong Ou,
kapankah Siau Tang-lo pergi?
Kata Tong Ou, dia sudah pergi sebelum fajar menyingsing,
katanya mau mencari siMayat Hidup untuk membantunya
melancarkan peredaran jalan darahnya.
Mengapa ia pergi tanpa pamit? Menurut Tong Ou karena ia
tak berhasil menemukan aku. Kenapa bisa tak berhasil menemukan
aku?
Kata Tong Ou, “Sebab aku memberitahunya, kau sudah
pergi meninggalkan BentengKeluarga Tong bersama Bu-ki “
Dengan murka aku menegurnya, “Kenapa kau
membohonginya?”
Jawab Tong Ou, “Bukankah lebih bagus begini? Agar dia
bisa mematikan perasaannya. Memangnya kau rela mengikut dia?”
Aku tidak berkata-kata lagi, semua yang dikatakan Tong Ou
memang benar, buat apa aku harus menyiksa perasaan Siau Tanglo?
Perasaan dan tubuhku hanya kuberikan untuk Bu-ki seorang,
kenapa aku harus terus memperrnainkan perasaan Siau Tang-lo?
Tiba-tiba saja perasaan tersinggung, dengan nada garang
aku berkata, “Aku suka ada orang mendampingiku, apa tidak boleh?”
Tong Ou segera tertawa bergelak mendengar ucapanku itu,
sahutannya ternyata sama sekali di luar dugaanku, dia bilang,
“Bagus sekali kalau begitu, aku malah kuatir kau tak senang bila ada
yang mendampingimu!”
Dengan bingung dan tak habis mengerti aku menengok ke
arahnya, kembali dia berkata, “Sejujumya, bukan aku yang meminta
kau pindah ke dalam taman.”
Lalu keinginan siapa?
Keinginan Lo-cocong si Nenek Moyang?
Kata TongOu, “Bukan sepenuhnya keinginan Lo-cocong,
Tong Hoa yang memohon kepada Lo-cocong untuk ini “
Tong Hoa? Siapa Tong Hoa?

“Tong Hoa adalah adik misanku,” kata Tong Ou, “karena dia
suka main perempuan di sana-sini maka ia jarang sekali berkelana di
dunia persilatan, jadi kau pasti belum pernah mendengar namanya.
Beberapa hari yang lalu secara tak sengaja, ia melihat lukisan
wajahmu. Ia terpesona kecantikanmu dan sejak itu dia selalu
merecoki kami untuk menemukanmu. Kebetulan kau berkunjung
kemari sehingga begitu tahu, ia segera memohon kepada Lo-oocong
untuk menahanmu.”
Sekarang aku baru tahu mengapa mereka memaksa
menahanku disini. Aku paham, aku betul-betul sangat paham,
kenapa aku selalu sial?
Tanpa banyak bicara aku segera mengemasi seluruh barang
bawaanku dan ikut Tong Ou menuju ke taman bunga, kali ini dia
mengajak aku masuk ke dalam sebuah kamar tidur yang sangat
indah dengan perabot yang mewah.
Dia menyuruh aku beristirahat, katanya sebentar lagi Tong
Hoa akan datang menjumpaiku. Menggunakan kesempatan ini buruburu
kucatat semua kejadian yang kualami ke dalam buku harian,
siapa tahu sebentar lagi akan terjadi banyak peristiwa lagi?
Bab 8. Menentukan Pilihan
Tiap manusia pada suatu saat akan menghadapi perasaan
bimbang. Sebenarnya bimbang bukan sesuatu yang
menakutkan, yang paling menakutkan justru tidak menentukan
pilihan di saat bimbang, sebab sekali kau telah mengambil
keputusan, perasaan bimbang akan lenyap dengan sendirinya,
tinggal kau laksanakan apa yang telah kau putuskan itu
Bu-ki juga manusia, tentu ada saat baginya untuk merasa
bimbang, apalagi berada di depan simpang tiga, perasaan bimbang
semakin mencekam perasaan hatinya. Jalan mana yang harus ia
pilih? Kalau belok ke kiri, dia akan tiba di Benteng Sangkoan Jin yang
saat ini dijaga oleh Kwik Koan-kun.
Jika belok ke kanan, dia akan sampai di lembah Boanliongkok
yang dijaga oleh Si Kiong. Sebaliknya jika ia berjalan lurus akan
tiba di benteng yang dijaga Sugong Siau-hong. Kalau menurut
aturan, seharusnya Bu-ki berjalan lurus, tapi yang dimaksud menurut
aturan itu aturan siapa? Apakah aturan yang dibuat lantaran Wi

Hong-nio sempat mencuri dengar perdebatan dua bersaudara Tong?
Tepatkah berita hasil mencuri dengar itu? Tidak mungkinkah hanya
sebuah jebakan?
Yang harus ditebak Bu-ki saat itu sebenarnya adalah
masalah Tong Ou mau menyerang mana? Kalau berdasarkan jarak,
maka lembah Boanliong-kok adalah tempat terdekat, menurut aturan
mestinya Tong Ou menyerang lembah itu lebih dulu, apalagi Bu-ki
sudah meninggalkan Benteng Keluarga Tong dan Keluarga Tong
tampaknya sama sekali belum melakukan persiapan untuk
melancarkan serangan. Jika Tong Ou ingin menyerang tempat yang
lebih jauh mestinya mereka sudah berangkat jauh sebelum
keberangkatan Bu-ki.
Tentu saja bisa jadi Tong Ou sudah melakukan persiapan
jauh hari sebelumnya atau mungkin Keluarga Tong tak usah
mengirim pasukannya karena di luar sudah ada banyak pasukan
yang siap melakukan penyerangan. Sebenarnya Bu-ki sama sekali
tidak percaya pada Tong Ou. Mustahil ada orang yang mau
melepaskan musuhnya baru kemudian melancarkan serangan,
apalagi ada kejadian yang begitu kebetulan ketika Wi Hong-nio
sempat mencuri dengar berita penyerangan terhadap Tayhong-tong.
Mana mungkin merundingkan masalah serahasia itu secara
begitu gegabah hingga kedengaran orang luar?
Kemungkinan besar berita penyerangan itu hanya berita
palsu, berita itu hanya umpan agar Bu-ki masuk perangkap. Bu-ki
mengambil keputusan untuk tidak pergi ke benteng Tayhong-tong.
Haruskah dia pergi ke lembah Boanliong-kok? Ia merasa tempat ini
yang paling mungkin diserang lebih dulu.
Bu-ki sudah menarik tali kudanya untuk belok ke kanan, tapi
baru berjalan berapa langkah tiba-tiba ia berhenti, ia ingat akan
Sangkoan Jin. Ke arah mana pun Tong Ou melancarkan serangan,
Sangkoan Jin pasti akan mendampinginya, dia pasti berusaha untuk
mengirim kabar tempat yang akan diserang supaya pihak Tayhongtong
bersiap-siap, betapapun sulitnya, dia percaya Sangkoan Jin
pasti akan berusaha mengirim peringatan.
Selain itu masih ada satu hal yang perlu mendapat
perhatian, yaitu seandainya Sangkoan Jin berhasil mengirim
peringatan dini hingga serangan yang dilancarkan Tong Ou
mendapat perlawanan sengit atau bahkan gagal total, sudah pasti
Tong Ou akan mencurigai Sangkoan Jin sebagai pembocor berita

karena tidak ada orang lain lagi yang tahu sasaran penyerangannya.
Atau seandainya berita itu diketahui orang-orang Tayhong-tong yang
telah disuap Tong Ou, mereka pasti akan melaporkan kejadian itu
sehingga Tong Ou tahu bahwa Sangkoan Jin yang membocorkan
rahasia.
Sesudah dipikir pikir lagi, akhirnya Bu-ki memutuskan untuk
tidak pergi ke mana pun, dia memilih untuk melenyapkan diri saja
agar orang-orang Keluarga Tong tidak tahu ke mana perginya,
dengan demikian seandainya berita serbuan itu bocor, Tong Ou akan
mencurigai dia sebagai pembocor rahasia itu. Tong Ou pasti akan
menduga dialah yang menyampaikan peringatan dini itu hingga
pihak Tayhong-tong sempat melakukan persiapan.
Jika dirinya yang dicurigai, dengan sendirinya Sangkoan Jin
akan terhindar dari kecurigaan. Tapi... bagaimana seandainya
Sangkoan Jin tidak mengirim peringatan dini?
Bu-ki tidak menguatirkan hal ini, sebab dia tahu
pertempuran ini adalah pertempuran besar yang akan menentukan
mati hidupnya Tayhong-tong dan Keluarga Tong, tak mungkin
Sangkoan Jin hanya berpeluk tangan belaka.
Diputuskannya untuk tidak pergi ke mana pun, ia memeriksa
bekalnya dan tahu ia masih bisa bertahan lima hari, maka ia pun
turun dari kudanya, lalu sambil menuntun kudanya ia menuju ke
atas bukit.
Ooo)))(((ooo
Bagi Sangkoan Jin, ada saatnya juga ia merasa bimbang
bercampur kuatir, tapi perasaan itu hanya sebentar saja, dengan
kecerdasan serta pengalamannya selama ini, dengan cepat ia dapat
mengendalikan diri serta segera mengambil keputusan. Tadinya ia
merasa bimbang, haruskah ia mengirim peringatan dini kepada Si
Kiong yang berada di Boanliong-kok? Hanya sejenak dan ia
mengambil keputusan.
Sewaktu berbicara dengan Tong Ou tadi, waktu sudah
menunjukkan menjelang sore hari dan pembicaraan baru selesai
setelah jatuhnya senja. Waktu itu matahari sudah condong ke langit
barat ketika ia meninggalkan tempat tinggalnya menuju ke tengah
kota. Tiba di sebuah warung makan, ia pun segera mengambil
tempat duduk. Di warung itu ada enam buah meja dan saat itu tepat

waktu makan malam, tak heran kalau semua meja sudah ditempati
orang.
Tempat duduknya pun baru saja dipakai orang. Ia memesan
semangkok mie dan daging sapi, angsio daging sapi yang pedas
sekali hingga saking pedasnya, sambil makan tak hentinya ia
mengusap keringat yang jatuh bercucuran. Dia makan dengan
sangat lambat, setiap utas mie seakan-akan harus dikunyah sampai
lumat baru ditelan, oleh karena itu sewaktu ia selesai menghabiskan
mienya, tamu-tamu lain sudah bubar. Di antara tamu yang baru
datang, hanya satu yang kebetulan duduk semeja dengannya.
Tamu yang baru datang itu memakai baju berwarna abuabu,
wajahnya penuh cambang, tampang yang kasar. Cara
makannya pun kasar sekali, mie semangkok besar dilahapnya sambil
mengeluarkan suara berkecipak yang keras. Sangkoan Jin sudah
bangkit berdiri siap membayar rekeningnya ketika melihat cara
makan orang berbaju abu-abu itu. Dia memandang sekejap ke arah
tauke warung lalu sambil tertawa menggeleng kepalanya berulangulang
baru kemudian ia mengeluarkan uang dan dibayarkan ke
pemilik warung.
Tiba-tiba terdengar orang berbaju abu-abu itu berteriak
keras, “Aduh, celaka!”
Tanpa sadar Sangkoan Jin dan pemilik warung berpaling ke
arahnya.
Tampak orang berbaju abu-abu itu sedang meraba-raba
sekujur tubuhnya berulang kali, lalu teriaknya lagi, “Aduh celaka, aku
lupa membawa uang!”
“Tampaknya kau datang dari tempat jauh ya?” tegur
Sangkoan Jin sambil tertawa.
“Benar!” sahut orang berbaju abu-abu itu, “aku pedagang
kain baru datang kemari dan tinggal di penginapan Ya-lay. Tauke,
bagaimana kalau aku balik dulu ke rumah penginapan untuk
mengambil uang?”
Sebelum pemilik warung bakmi itu menjawab, Sangkoan Jin
telah berkata duluan, “Tidak usah, biar aku saja yang bayarkan!”
Kembali ia mengeluarkan sekeping uang dan diserahkan
kepada pemilik warung itu.
Kemudian sambil menghampiri orang berbaju abu-abu itu,
katanya, “Aku rasa kau tak usah buru-buru kembali ke rumah
penginapan, hari Peh-cun hampir tiba, suasana di kota ramai sekali,

ini ambillah uangku untuk digunakan dulu, besok baru kau
kembalikan kepadaku, atau kau bisa serahkan uangnya kepada
tauke ini, aku sering datang kemari!”
Kembali dia mengambil sekeping goanpo dan dilemparkan
ke tangan orang berbaju abu-abu itu, lalu setelah tersenyum kepada
pemilik warung, ia pergi meninggalkan tempat itu.
“Orang itu baik sekali,” puji orang berbaju abu-abu itu
sambil memegang goanpo pemberiannya, “'tauke, apa dia adalah
orang paling kaya di kota ini?”
“Oh bukan,” jawab pemilik warung mie, “dia adalah tamu
kehormatan dari Benteng Keluarga Tong, dia punya nama besar
yang amat tersohor, lebih baik tak usah kusebutkan daripada nanti
setelah mendengar kau jatuh pingsan.”
“Baiklah,” kata orang berbaju abu-abu itu sambil
mengangguk, “tidak tahu namanya juga tak mengapa, paling banter
besok aku ganti mentraktirnya makan.”
“Besok belum tentu dia datang kemari.”
“Tidak apa-apa, aku akan meninggalkan uang lebih di
tempatmu.”
“Terserah...”
Sambil menyimpan goanpo pemberian itu, kembali orang
berbaju abu-abu itu berkata, “Tauke, sekarang aku mau mencari pipi
licin dulu, sampai ketemu besok, melihat nasibmu yang lagi mujur,
besok aku pasti akan kemari lagi untuk makan sampai kenyang.”
Habis berkata ia segera meninggalkan warung makan
menuju ke keramaian kota. Ia berjalan lurus ke depan tanpa
berpaling, padahal ia tahu ada orang sedang membuntutinya. Sejak
ia duduk di warung sambil makan mie tadi ia sudah merasa ada
seseorang mengawasi gerak-geriknya.
Orang-orang Keluarga Tong memang selalu menaruh
perhatian khusus terhadap setiap orang asing yang muncul di kota
itu. Sejak awal orang berbaju abu-abu itu sudah mengetahui hal ini,
ia justru merasa kuatir jika tidak ada yang mengikuti.
Ia sengaja menuju ke rumah pelacuran yang paling ternama
di kota itu, Li-cun-wan, lalu memanggil beberapa orang nona untuk
menemaninya minum arak. Setelah lewat satu jam ia baru balik ke
rumah penginapan. Setelah berada di kamarnya, barulah ia
mengeluarkan beberapa keping perak hancur serta berapa biji
goanpoo.

Ternyata ia membawa uang!
Dia keluarkan goanpo pemberian Sangkoan Jin tadi, lalu
mematahkan goanpo itu pada kedua ujungnya. Ketika goanpo itu
patah menjadi dua bagian, dari dalam patahan itu muncul selembar
kertas yang tipis sekali.
Setelah mengeluarkan kertas tipis itu, tanpa diperiksa lagi
isinya dia mengeluarkan sebuah peti dari dalam buntalannya dan
ketika peti selebar satu kaki itu dibuka, tampaklah sebuah kurungan
bambu kecil, kurungan bambu itu berisi tiga ekor burung merpati.
Saat itulah kertas tadi dibukanya, ternyata gulungan kertas itu
terbagi jadi tiga bagian yang dilipat jadi satu.
Orang berbaju abu-abu itu tidak melihat isi surat itu, ia
membagi surat itu jadi tiga kemudian mengikatkan pada kaki ketiga
ekor burung merpati itu. Itulah tugas orang itu, ia sangat ahli dalam
melatih burung merpati yang bisa terbang di waktu malam. Sejak
rencana Harimau Kemala Putih dilaksanakan, ia selalu muncul
dengan identitas yang berbeda-beda, sepuluh hari sekali dia muncul
di situ. Tiap kali pasti makan mie disitu sambil menunggu berita dan
sekarang ini adalah pertama kali ia menerima berita.
Orang ini she Gi bernama Pek-bin (Seratus Wajah) dan
sangat mahir berganti wajah, dia sahabat sehidup semati Sangkoan
Jin, sejak awal tahun ia mendapat pesan dari sahabat karibnya itu
untuk membawa burung-burung merpati yang bisa terbang langsung
ke Boanliong-kok, benteng Hong-po serta benteng Sangkoan Jin ke
dalam Benteng Keluarga Tong.
Selesai mengikat ketiga helai kertas itu di kaki masingmasing
burung merpati, Gi Pek-bin memasukkan burung-burung itu
ke dalam sakunya lalu berjalan keluar dari dalam kamar langsung
menuju ke warung mie.
Begitu bertemu dengan pemilik warung mie, Gi Pek-bin
menyerahkan uangnya dan kemudian berkata, “Tolong sampaikan
uang ini kepada tuan yang telah membayari aku kemarin.”
“Dikembalikan besok juga tidak apa-apa,” sahut si penjual
mie sambil tertawa lebar, “kenapa mesti repot-repot kemari
sekarang? Besok saja datang lagi!”
“Besok tidak bisa, karena pagi-pagi aku sudah pergi.”
“Oh, tidak tinggal beberapa hari lagi?”
Setelah memeriksa uang yang diterimanya, ia berkata lagi,
“Uangmu ini terlalu banyak...”

“Sisanya untukmu, anggap saja sebagai uang lelah!” Pemilik
warung itu gembira setengah mati, serunya, “Terima kasih banyak
atas pemberianmu, bagaimana kalau kau cicipi dulu nasi gorengku?
Tanggung kau akan ketagihan!”
“Baiklah!”
Selesai menghabiskan sepiring nasi goreng, Gi Pek-bin
meninggalkan warung bakmi itu dengan riang, dia gembira karena
ternyata orang yang menguntitnya sudah tidak kelihatan lagi dan ia
tahu sebabnya. Pemilik warung makan itu adalah mata-mata
Keluarga Tong yang khusus ditugaskan untuk mengawasi tamu-tamu
asing. Yang tidak diketahuinya adalah dengan cara apa tauke bakmi
itu menyampaikan beritanya kepada si penguntit hingga orang itu
tidak mengikutinya lagi.
Kalau seorang tamu sudah memutuskan akan pergi dari kota
itu esok pagi, memang tak ada alasan untuk menguntitnya lagi.
Apalagi penampilan Gi Pek-bin begitu sempurna, tak ada gerak-gerik
yang patut dicurigai.
Dengan langkah santai ia berjalan kembali ke rumah
penginapan, sepanjang jalan dia mencoba memeriksa sekelilingnya,
apakah masih ada yang menguntitnya atau tidak. Ketika yakin di
sekelilingnya tidak ada orang, dari dalam sakunya segera ia
keluarkan ketiga ekor burung merpati itu.
Merpati-merpati itu memang sudah dilatih secara khusus
sehingga selama berada dalam sakunya, burung-burung itu sama
sekali tak bersuara, bergerak pun tidak. Tanpa menimbulkan suara
sedikit pun ia melepas ketiga ekor burung merpati itu, burungburung
itu tak bersuara karena mereka dilemparkan ke tengah
udara.
Untuk meyakinkan bahwa burung-burungnya telah pergi, Gi
Pek-bin memasang telinga untuk mendengarkan dengan cermat.
Setelah yakin burung-burung itu terbang tinggi, dengan senyuman
puas ia meneruskan langkahnya kembali ke rumah penginapan.
Ooo)))(((ooo
Tong Ou biasanya selalu berpenampilan tenang, tapi saat ini
mulai nampak gelisah, ia berjalan bolak-balik dalam kamarnya tanpa
mengerti apa yang harus diperbuatnya, ia benar-benar sangat

gelisah. Dia patut gelisah, karena secara tiba-tiba rencana besarnya
mengalami perubahan yang sama sekali di luar dugaan.
Perubahan di luar dugaan ini ditimbulkan oleh Tio Bu-ki.
Sore tadi, menurut laporan mata-mata yang sampai di
tangannya, mereka tidak berhasil menemukan jejak Tio Bu-ki di
sepanjang perjalanan menuju ke lembah Boanliong-kok. Waktu
menerima laporan itu Tong Ou masih berbesar hati, karena dia
beranggapan bahwa kemungkinan besar Tio Bu-ki akan masuk
perangkap dengan langsung menuju ke benteng Hong-po. Tapi
sesaat kemudian, laporan dari mata-mata yang lain diterimanya,
ternyata sepanjang jalan menuju ke benteng Hong-po pun tidak
ditemukan jejak Tio Bu-ki.
Menurut perkiraan Tong Ou, dengan menggunakan Wi
Hong-nio sebagai umpan, kemungkinan besar Tio Bu-ki akan
terjebak, sebab berita yang disampaikan oleh Wi Hong-nio pada
mulanya pasti sulit dipercayai pemuda itu. Tapi setelah dia
mengembangkan perhitungannya, pemuda itu pasti menduga bahwa
berdasarkan keli¬cikan Keluarga Tong, maka jika mereka berkata
tak akan menyerang benteng Hong-po, justru sangat mungkin
benteng Hong-po lah yang akan diserang paling dulu. Dengan
begitu, pada akhirnya Tio Bu-ki akan berangkat menuju ke benteng
Hong-po.
Tapi setelah datangnya laporan dari kedua mata-matanya
yang menyampaikan bahwa selain jalan yang menuju benteng Hongpo,
di kedua jalan lain mereka tidak menjumpai jejak Bu-ki, dia pun
berpendapat bahwa Bu-ki pasti sudah termakan oleh kecerdasannya
sendiri hingga dia memilih datang ke benteng Hong-po.
Cara kerja Tong Ou selalu amat berhati-hati dan jauh dari
sembrono, ia baru mau melakukan tindakan apabila sudah yakin
seratus persen, maka saat ini dia masih harus menunggu lagi,
menunggu datangnya laporan dari mata-mata yang dikirim ke
benteng Hong. Akhirnya laporan itu diterimanya, tapi isi laporan itu
membuat Tong Ou terkejut dan tidak habis mengerti.
Sepanjang jalan menuju ke benteng Hong-po, ternyata tidak
juga dijumpai jejak dari Tio Bu-ki! Ke mana perginya Bu-ki?
Tong Ou memutar otaknya memikirkan persoalan ini, namun
sampai akhirnya pun ia tak berhasil menemukan jawabnya.
Sejak awal ia sudah membuat banyak pengandaian, kalau
Tio Bu-ki tidak masuk perangkap dan pindah ke tujuan yang lain, dia

percaya dengan bantuan mata-matanya, ia bisa segera mengubah
rencananya. Tapi sekarang semua berita menyatakan Tio Bu-ki tibatiba
lenyap tak berbekas. Ini benar-benar membuatnya pusing tujuh
keliling.
Sebenarnya Tong Ou tidak begitu peduli Tio Bu-ki pergi ke
arah mana, sebenarnya ia hanya hendak mengetahui tujuan yang
dipilih
Tio Bu-ki untuk mengukur sejauh mana kesetiaan Sangkoan
Jin padanya. Tong Ou sudah tahu, kalau dia hendak menyerang
lembah Boanliong-kok, seandainya Tio Bu-ki langsung menuju ke
benteng Hong-po maka dia akan pura-pura menyerang lembah
Boanliong-kok, padahal tujuan serangan yang sesungguhnya adalah
benteng Sangkoan Jin. Ia pura-pura menyerang lembah Boanliongkok
sekedar ingin tahu sampai di mana kesiapan orang-orang di
lembah itu menghadapi serangannya.
Jika persiapan orang-orang Boanliong-kok ternyata sangat
kuat, maka Sangkoan Jin tak bisa terlepas dari kecurigaan sebagai
orang yang telah membocorkan rencana itu. Sebaliknya jika lembah
itu tak ada persiapan, dia akan langsung merebut Boanliong-kok,
sedangkan Sangkoan Jin semakin bisa dipercaya. Semua itu tentu
saja menurut perhitungan Tong Ou!
Di luar dugaan, mimpi pun dia tak menyangka bakal
kehilangan jejak Tio Bu-ki secara tiba-tiba. Tentu saja peran Tio Buki
dalam rencana ini sesungguhnya tidak terlalu penting, ia sengaja
melepas pemuda itu hanya untuk menambah keasyikannya saja.
Tapi sekarang mereka telah kehilangan jejak Tio Bu-ki, dan
urusan ini dirasakan mulai mempengaruhi situasi keseluruhan, paling
tidak akan mempengaruhi penilaiannya atas Sangkoan Jin, padahal
kesetiaan Sangkoan Jin pada Keluarga Tong suatu masalah yang
amat penting.
“Hanya sejenak Tong Ou bimbang, ia segera mengambil
keputusan untuk tetap melaksanakan rencananya sesuai semula.
Maka ia memerintahkan orang untuk menyiapkan kuda dan
menyampaikan kabar kepada orang-orang yang telah disuapnya dari
markas Tayhong-tong agar melaksanakan perintah sesuai dengan
rencana semula.
Tong Ou memang tetap Tong Ou yang ulung, sekalipun ia
memutuskan untuk tetap melaksanakan rencana semulanya, namun
dia juga melakukan satu tindakan persiapan lainnya, dia ingin sedia

payung sebelum hujan. Payung ini disediakan bukan untuk
menghadapi perubahan di luar dugaan dalam serangannya terhadap
Tayhong-tong, tapi khusus ditujukan untuk menghadapi Sangkoan
Jin.
Ia segera mengundang datang Tong Hoa dan
memerintahkan kepadanya untuk mulai melancarkan aksinya
terhadap Wi Hong-nio. Semua kejadian ini berlangsung pada senja
hari tanggal dua bulan lima.
Bulan lima tanggal tiga, hari sudah senja, matahari tampak
surut di langit barat sementara gelap malam turun dari angkasa.
Ketika terjaga dari tidurnya Wi Hong-nio menyaksikan
pantulan cahaya keemas-emasan yang memancar masuk melalui
daun jendela dan rasa riang serta segar timbul menyelimuti hatinya.
Begitulah sifat gadis ini, asal bisa tidur dan tidurnya nyenyak, ketika
terjaga dari tidurnya dan bisa menyaksikan pemandangan alam yang
begitu indah terpampang di luar jendela, ia lalu merasa begitu
bahagia dan gembira.
Sambil duduk di tepi pembaringan, ia mulai berpikir,
“Suasana senja hari begitu indah, aku seharusnya keluar dari kamar
dan menikmatinya!”
Maka ia pun turun dari ranjang dan membuka pintu kamar.
Dengan mendadak Wi Hong-nio tertegun. Ia menyaksikan
munculnya seseorang tepat di hadapannya, orang yang tampaknya
sudah dari tadi menunggu di situ dengan senyuman menghias
wajahnya.
Orang itu mempunyai mata dan hidung sempurna, wajah
yang tampan, hanya sayang ketampanannya cenderung kebancibancian.
Begitu nampak orang ini, Wi Hong-nio segera teringat pada
kata-kata Tong Ou, dia segera tahu orang ini.
Dia memang Tong Hoa, tuan muda hidung belang yang
gemar menguber pipi licin.
Senyum yang menghias wajah Tong Hoa seakan senyuman
yang alami, seakan sejak lahir ia sudah membawa senyum itu. Ia
mengawasi wajah Wi Hong-nio sambil tertawa, katanya, “Namaku
Tong Hoa!”
“Aku tahu!” jawab Wi Hong-nio cepat.
Perempuan itu hanya memandangnya sekejap dan hanya
menjawab sekecap, kemudian sorot matanya segera dialihkan ke
luar, meman¬dang kegelapan senja yang mulai muncul di langit.

Tong Hoa segera menggerakkan kepalanya menghalangi
pandangan mata Wi Hong-nio, dia seperti hendak memaksa gadis itu
untuk melihat wajahnya saja dan menikmati senyumnya.
“Kegelapan malam tak bagus dilihat!” serunya.
Wi Hong-nio melengak.
“Suasana senja hari begini indah, kenapa kau bilang tak
bagus?”
“Seindah-indahnya senja tak akan seindah wajahmu,
wajahmu jauh lebih enak dipandang,” sahut Tong Hoa.
Merah jengah Wi Hong-nio mendengar pujian itu, pipinya
bersemu merah seperti tomat yang segar.
“Coba lihat!” kembali Tong Hoa berseru setelah mengawasi
pipinya yang merah dengan pandangan tolol, “kau nampak begitu
cantik... begitu menawan hati!”
Paras muka Wi Hong-nio semakin merah, merah padam
karena jengah. Sementara Tong Hoa berdiri mematung, senyum
tololnya semakin melebar, ia berdiri termangu-mangu seperti orang
yang kehilangan sukma.
Sementara itu warna senja mulai memudar, kegelapan
malam pun menyelimuti seluruh jagad. Tong Hoa bertepuk tangan
dua kali, dua orang dayang dengan membawa lampu lampion
muncul dari sudut lorong di ujung hala¬man.
Dengan nada seperti opera, kembali Tong Hoa berkata,
“Malam sudah menjelang, jalan mulai guram dan tak nampak jelas,
aku takut kau kurang hati-hati hingga jatuh, maka kusuruh dua
orang dayang untuk menuntunmu berjalan.”
Wi Hong-nio ingin tertawa, ia merasa orang itu lucu sekali,
tapi ia tak sampai tertawa terbuka, katanya, “Buat apa kau suruh
dayang menuntunku berjalan? Siapa bilang aku mau pergi dari sini?”
“Oh, kalau memang tak mau keluar, mari kita masuk ke
dalam kamar saja!” sahut Tong Hoa sambil berganti gaya.
Ia segera berpaling dan serunya kepada salah satu dayang
itu, “Siau-tiap, cepat masuk dan pasang lampu!”
Siau-tiap menyahut dan segera masuk ke dalam kamar.
“Aku paling benci dilayani orang!” sentak Wi Hong-nio cepat.
“Waaah tidak bisa!” sahut Tong Hoa masih tertawa nyengir.
“Di samping nona cantik kalau tak ada dayangnya, sama seperti
jenderal tanpa serdadu, pasti kurang sedap dipandang. Mari
kuperkenalkan kepada dua orang dayang itu, yang ini bernama SiauKANG
ZUSI website http://cerita-silat.co.cc/
tiap sedang yang satu lagi bernama Siau-oh, Oh-tiap kupu-kupu.
Mereka ditugaskan di sini untuk melayani segala keperluanmu,
walaupun tidak terbiasa, kau harus mulai belajar membiasakan diri!”
Tiba-tiba Wi Hong-nio merasa bahwa Tong Hoa ternyata
seorang pemuda yang kelewat cerewet, suka banyak bicara seperti
yang diucapkannya barusan. Sebenarnya ia ingin menarik muka dan
menunjukkan rasa tak senangnya, tapi tiba-tiba ia teringat sesuatu,
senyum manis segera menghiasi wajahnya.
Dalam pikirannya ia ingin memperalat Tong Hoa, bila ia bias
membuat Tong Hoa tergila-gila kepadanya, ia bisa memanfaatkan
posisinya di Benteng Keluarga Tong untuk kelak membantunya pergi
meninggalkan tempat itu.
Berpikir begini, ia pun menyahut sambil tertawa, “Baiklah,
bagaimanapun satu kebiasaan harus dilakukan secara pelan-pelan...”
“Nah, begitu baru benar!” teriak Tong Hoa kegirangan,
sambil berteriak ia bertepuk tangan berulang kali.
Sementara itu lampu dalam kamar telah disulut, Siau-tiap
sudah keluar dari dalam ruangan dan berdiri di samping Siau-oh.
Kepada kedua orang dayang itu, Tong Hoa segera
memerintahkan, “Sekarang siapkan hidangan malam di dalam
kamar!” Kemudian sambil berpaling ke arah Wi Hong-nio, terusnya,
“Apakah aku bisa mendapat kehormatan untuk makan malam
bersamamu?”
“Mungkinkah bagiku untuk menolak?” sahut Wi Hong-nio.
Tong Hoa segera tertawa, tertawa lebar dan penuh rasa
gembira. Sambil tertawa ia pun memberi tanda mempersilahkan Wi
Hong-nio untuk masuk kembali ke dalam kamar tidurnya. Malam
semakin menyelimuti seluruh jagad, beberapa titik cahaya bintang
mulai memancarkan sinar kebiru-biruan dari balik kegelapan awan.
Hidangan malam telah disiapkan, sayurnya terdiri dari
beberapa macam masakan Sucoan dengan warna dan rasanya yang
khas, serba merah dan serba pedas.
“Kau sudah terbiasa dengan masakan yang pedas?” tanya
Tong Hoa kemudian.
“Ya, aku memang senang dengan hidangan yang pedas.”
“Kalau kebanyakan makan hidangan yang pedas,
tenggorokan dan lidah kita gampang mengering, kau tahu arak apa
yang paling tepat untuk menemani hidangan-hidangan pedas itu?”
“Arak apa?” tanya Hong-nio.

“Arak anggur salju dari Persia! Kau pernah mencicipi?”
“Belum pernah,” Wi Hong-nio menggeleng, “malah
mendengar pun baru pertama kali ini.”
“Kalau begitu segera kau akan mencicipinya!”
Baru selesai dia berkata, Siau-tiap sudah berjalan masuk
sambil membawa sebuah baki kayu yang di atasnya ada botol
porselen dengan mulut sangat besar, sementara di dalam botol
porselen itu masih ada sebuah botol porselen lain yang lebih kecil
dan ramping bentuknya.
Tong Hoa segera menjelaskan, “Botol besar itu berisi butiran
es batu, sementara isi dari botol kecil itu adalah arak anggur yang
khusus didatangkan dari negeri Persia.”
Siau-tiap menuang penuh dua cawan arak di hadapannya.
“Mari, aku menghormati secawan arak untukmu!” kata Tong
Hoa kemudian sambil mengangkat cawannya.
Wi Hong-nio mencoba mencicipi arak itu satu tegukan.
“Bagaimana? Enak bukan?” tanya Tong Hoa kemudian.
“Tidak, tidak enak, rasanya manis agak masam, persis
seperti manisan kiam-bwee.”
“Rasa dingin es tepat untuk menghilangkan rasa pedas dan
kering yang kita rasakan di mulut. Kau tahu, minuman ini adalah
simpanan Keluarga Tong kami!”
“Oh, artinya satu penghormatan untukku!” kata Wi Hong-nio
sambil tertawa.
“Asal kau senang, Keluarga Tong kami masih menyimpan
banyak sekali barang mestika serta barang langka lainnya, kau boleh
menikmatinya setiap saat.”
“Sungguh?”
“Tentu saja sungguh! Kau tahu, sudah lama aku kagum dan
terpesona padamu!”
Wi Hong-nio tidak menjawab, ia meneruskan santapannya
dengan kepala tertunduk, arak membuat pipinya semakin bersemu
merah. Dengan termangu Tong Hoa mengawasi wajahnya, seakan
dia sudah dibuat tolol oleh kecantikan wajah gadis itu.
Tidak mendengar pemuda itu melanjutkan perkataannya, Wi
Hong-nio kembali angkat wajahnya sambil menengok ke arah
pemuda itu.
“Ooh.... kau memang amat cantik,” puji Tong Hoa semakin
termangu.

Wi Hong-nio segera tertawa, wajahnya berbunga-bunga
karena gembira.
Kembali Tong Hoa berkata, “Setengah tahun lalu, aku
pernah melihatmu secara tidak sengaja di tempat kira-kira tiga li dari
Benteng Keluarga Tong. Saat itu aku sudah merasa bahwa
kecantikanmu melebihi bidadari dari kahyangan, dalam hati aku
selalu berpikir bila suatu ketika aku bisa bertemu lagi dengan kau....
Dan aah, tak kusangka... setelah bertemu sekarang, terbukti
kecantikanmu beribu kali lebih memikat ketimbang bayanganku
semula!”
Wi Hong-nio agak muak mendengar rayuan gombal seperti
itu, namun perasaan ini tidak diungkapkannya karena ia masih
punya tujuan lain. Karena itu dengan senyum masih menghias
bibirnya ia berbisik, “Terima kasih banyak atas pujianmu!”
“Aku bukan sedang memuji, aku hanya mengatakan apa
yang memang kulihat.”
Wi Hong-nio tidak bicara lagi, rasa muak dalam hatinya
pelan-pelan ikut lenyap. Dia belum pernah mendengar ada lelaki
yang memuji kecantikan wajahnya dengan cara begini, Tio Bu-ki pun
tidak, pujaan hatinya itu hanya mengungkap perasaan hatinya
melalui pancaran sinar mata.
Tapi Tong Hoa, lelaki yang berada di hadapannya kini justru
berani mengungkap perasaan hatinya secara blak-blakan, katakatanya
begitu mendayu-dayu dan sedap didengar, ini membuat Wi
Hong-nio mulai terharu dibuatnya, ia mulai menaruh kesan baik
pada lelaki ini.
Kembali Tong Hoa berkata, “Selama setengah tahun lebih,
berarti ada duaratusan siang dan malam, aku selalu membayangkan
dan merindukan pujaan hatiku itu, sekarang ternyata nasibku baik,
aku bahkan bisa bersantap satu meja dengannya, coba bayangkan,
betapa gembiranya perasaan hatiku kini! Mari, kita bersulang
secawan arak lagi!”
Wi Hong-nio tak dapat mengendalikan perasaan hatinya,
tanpa sadar dia angkat cawan dan menghabiskan isinya.
“Sekarang, tentunya kau sudah paham akan perasaan hatiku
bukan?” tanya Tong Hoa sambil meletakkan kembali cawan araknya.
Wi Hong-nio tidak menjawab, tentu saja dia sangat paham.
Tapi paham kembali paham, jangan lagi perasaan hatinya kini hanya
ada Tio Bu-ki, sekalipun tak ada pemuda tersebut, mana mungkin ia

bisa menanggapi cinta yang diucapkan seorang lelaki macam Tong
Hoa? Bagaimana pula dia bisa menjawab pertanyaan semacam itu?
Kembali Tong Hoa berjanji, “Aku bersedia melakukan apa
saja demi kau!”
Wi Hong Nio merasa amat gembira, janji tersebut membuat
perasaan hatinya lega, sebab dia memang berharap Tong Hoa
tersulut emosinya karena luapan rasa cintanya, begitu emosi
sehingga tanpa memikirkan apa akibatnya ia bersedia membawanya
pergi meninggalkan Benteng Keluarga Tong.
“Melakukan pekerjaan apa pun?” Wi Hong-nio menegaskan.
“Benar, perbuatan apa pun!” jawaban Tong Hoa begitu
tegas dan tandas.
“Bagaimana misalnya kusuruh kau pergi mati?” tanya Wi
Hong-nio dengan nada bergurau.
Tong Hoa agak melengak, tapi cepat jawabnya, “Tentu saja
aku tak boleh berbuat begitu!”
“Kenapa? Bukankah kau berjanji akan melakukan perbuatan
dan pekerjaan apa pun demi aku?”
“Tentu saja terkecuali pergi mati, karena jika aku mati maka
aku tak bisa bertemu kau lagi, aku tak akan melakukan perbuatan
yang membuatku tak bisa berjumpa lagi denganmu.”
“Berarti janjimu hanya janji gombal, hanya ingin menipuku,
membuatku senang?”
“Tidak... bukan begitu, aku harus memperbaiki kata-kataku
tadi, aku berjanji akan melakukan pekerjaan dan perbuatan apa pun
demi kau, asal aku bisa selalu berkumpul dan bersamamu.”
“Sungguh?” desak Hong-nio sekali lagi.
“Yaa, sungguh!”
“Seandainya ada orang berusaha menghalangimu untuk
bertemu aku atau berusaha mengekang kebebasanku, apa yang
akan kau lakukan?”
“Aku akan mengusirnya!”
“Kalau dia ngotot tak mau pergi?”
“Akan kuhabisi nyawanya!”
“Bagaimana kalau orang itu anggota Keluarga Tong?”
Tong Hoa tidak menjawab, dia hanya mengawasi wajah Wi
Hong-nio dengan termangu-mangu.
“Jadi kau tidak berani?” ejek Wi Hong-nio.
“Tidak ada perbuatan yang tak berani kulakukan!”

“Lalu mengapa kau tidak berani menjawab pertanyaanku?”
“Mengapa aku harus membunuh sanak keluargaku sendiri?”
Tong Hoa balik bertanya.
“Kau sendiri yang berkata akan membunuhnya!”
“Masa ada anggota Keluarga Tong kami yang menghalangi
kebebasanmu?”
“Ada.”
“Siapa?”
“Tong Ou!”
“Toa-piauko? Mana mungkin?”
“Bukankah dia yang menahanku di Benteng Keluarga Tong?”
“Betul, tapi ia berbuat demikian demi aku!”
“Demi kau?”
“Benar, dia tahu aku sangat menyukaimu maka sengaja
menahanmu di sini.”
Wi Hong-nio tidak berbicara lagi, sebab dia tahu
kenyataannya bukanlah seperti itu. Bukankah Tong Ou berkata
kepadanya bahwa sehabis berjumpa Bu-ki, dia akan mengijinkan
satu orang di antara mereka berdua untuk meninggalkan Benteng
Keluarga Tong?
Seandainya nanti dia memutuskan dia yang pergi dan bukan
Bu-ki, maka kata-kata Tong Hoa jelas bohong besar. Tetapi ia
segera sadar, pasti ada siasat busuk lain di balik semua ini. Kalau
bukan Tong Ou telah membohongi Tong Hoa, berarti Tong Hoa-lah
yang sedang berusaha membohongi dirinya.
Walaupun ia berpikir demikian, namun kecurigaannya tak
diungkap, malah tanyanya kemudian, “Sekalipun tujuan Tong Ou
menahanku memang demi kau, tapi bagaimana jika aku tetap
menganggapnya berusaha menghalangi kebebasanku?”
“Dari sudut mana kau merasa tidak bebas?”
“Bahwa aku tidak boleh meninggalkan Benteng Keluarga
Tong!”
“Siapa bilang?”
“Tong Ou!”
“Aaah, tidak mungkin! Begini saja, nanti malam kutanyakan
lagi kepadanya.”
“Bagaimana kalau dia membohongimu?”
“Tidak mungkin, ke mana pun kau hendak pergi, aku pasti
akan mengantarmu!”

“Kalau Tong Ou tidak mengijinkan?”
“Kalau dia benar-benar tidak mengijinkan, kita pergi dari sini
secara diam-diam.”
“Sungguh?”
“Asal kau ijinkan aku selalu mendampingimu, aku bersedia
mengantarmu pergi ke mana saja yang kau suka!”
“Termasuk pergi ke Tayhong-tong?”
“Kau ingin pulang ke Tayhong-tong?”
“Tentu saja! Siapa yang tidak ingin pulang ketempat
tinggalnya sejak kecil?”
“Aku tidak berharap kau pergi ke situ...”
“Kenapa? Kau takut?”
“Tidak, aku tidak takut, Tayhong-tong tak pernah
kupandang sebelah mata pun!”
“Lalu mengapa kau tidak berharap aku pulang ke sana?”
“Karena di Tayhong-tong ada seseorang.”
“Bu-ki yang kau maksud?”
Tong Hoa segera menunjukkan sikap cemburunya dan
sambil tertawa getir menyahut, “Benar, aku tidak berharap kau bisa
bertemu lagi dengannya.”
“Tapi kalaupun aku pulang belum tentu aku akan bertemu
dengannya!”
“Bagaimana seandainya bertemu?”
“Masa kau tak berani bertaruh?”
“Aku tidak pernah mau melakukan tindakan yang aku tidak
yakin!”
“Baiklah, kalau begitu kita tak perlu bicara lagi.”
Tong Hoa tidak bicara lagi, dia minum arak seorang diri.
Sekaligus dia habiskan lima cawan arak anggur sebelum bangkit
berdiri dan mohon pamit dari tempat itu.
“Tidurlah, aku akan mohon diri dulu,” katanya.
Habis berkata, ia memberi tanda kepada Siau-Ou dan Siautiap,
kemudian mereka bertiga meninggalkan tempat itu.
Ooo)))(((ooo
Wi Hong-nio amat gelisah, ia duduk seorang diri di depan
jendela, memandang kegelapan malam sambil termangu-mangu. Ia

sadar bahwa penampilannya tadi sangat buruk, tidak seharusnya dia
mendesak Tong Hoa dengan kata-kata seperti itu.
Seharusnya dia menggunakan bujukan yang lemah-lembut
untuk mempengaruhi hatinya dulu, sesudah terpikat dan mabuk
cinta, barulah permintaan diajukan sedikit demi sedikit. Cara
semacam itulah yang seharusnya ia lakukan!
Dalam pandangannya, Tong Hoa tak lebih hanya seorang
pemuda romantis yang jatuh cinta kepadanya sejak pandangan
pertama dan baginya sekedar cinta sepihak. Wi Hong-nio tidak
punya perasaan apa pun padanya bahkan ia tidak menunjukkan
perhatian sedikit pun. Berhadapan dengan gadis yang belum tentu
membalas cintanya, mana mungkin pemuda itu mau mengabulkan
semua permintaannya dengan begitu saja?
Setelah lama merenung, akhirnya pelan-pelan Wi Hong-nio
dapat mengendalikan hatinya. Ia mulai menemukan jalan yang harus
ditempuhnya dan ia lalu memutuskan sikap selanjutnya.
Dia menganggap malam ini akan tidur lebih awal hingga
besok bisa tampil dengan wajah yang lebih segar, kemudian dengan
mengenakan topeng, pura-pura membalas cinta pemuda itu, dia
akan balas merayu Tong Hoa dan menarik simpatinya. Setelah
membuat keputusan ia merasa hatinya lebih lega, maka ia pun bisa
tidur dengan nyenyak.
Ooo)))(((ooo
Pada malam yang sama, Tio Bu-ki sedang merasa sulit untuk
memejamkan matanya. Dia ingin segera tidur, tapi berbagai pikiran
berkecamuk dalam benaknya, membuat dia gelisah dan tak tenang.
Dia tidak tahu apakah Sangkoan Jin telah mengirim kabar ke
semua cabang Tayhong-tong agar mereka dapat mempersiapkan diri
untuk menghadapi serangan besar-besaran pihak Benteng Keluarga
Tong. Ia sadar bahwa hal ini merupakan pertaruhan besar,
pertaruhan besar yang menyangkut masa depan serta hidup-matinya
Tayhong-tong.
Dalam pertaruhan ini, Bu-ki sadar kalau dia harus segera
memasang taruhannya. Sampai sekarang, Tio Bu-ki tetap belum
memahami sikap paman Siangkoannya itu, bahkan sikapnya
terhadap rencana Harimau Kema¬la Putih. Bagaimana mungkin dia
bisa memahami tokoh-tokoh lain di Tayhong-tong?

Karena tidak bisa memahami semua itu, pemuda ini merasa
amat risau, bingung dan gelisah. Semula dia mengira bahwa
Sangkoan Jin pasti akan berupaya untuk menyampaikan berita itu ke
semua cabang Tayhong-tong. Tapi sekarang, tiba-tiba saja, ia mulai
ragu dan bimbang, apa jadinya kalau Sangkoan Jin lebih
mementingkan keselamatan dirinya sendiri, atau gagal menemukan
orang yang bisa membawa berita tersebut ke semua cabang
Tayhong-tong?
Andaikata gara-gara hal ini anggota Tayhong-tong sampai
dibuat kalang-kabut oleh datangnya serangan dari Keluarga Tong,
atau bahkan banyak yang mati atau tcrluka parah, apakah dia yang
harus memikul tanggung-jawab ini?
Ia merasa sudah waktunya untuk mengambil keputusan, dia
harus menyampaikan kabar tersebut ke salah satu pos jaga
Tayhong-tong, sekalipun jika akhirnya terbukti bukan tempat itu
yang diserang Keluarga Tong, paling tidak dia tak akan merasa
menyesal karena hanya berpeluk tangan belaka.
Ia sadar, terus bersembunyi di atas bukit adalah keputusan
yang salah, tidak seharusnya ia mempertaruhkan keselamatan jiwa
para anggota Tayhong-tong dengan menggantungkan diri pada
Sangkoan Jin seorang. Tio Bu-ki menengadah, memandang sejenak
kegelapan malam yang telah menyelimuti angkasa, dia sadar,
seandainya keputusan yang diambilnya keliru, tak akan ada harapan
lagi untuk merubahnya, sebab sudah tidak ada waktu lagi untuk itu.
Pada saat itulah mendadak ia mendengar suara gemersik
seperti suara burung yang terbang rendah bergerak menuju ke
arahnya. Dengan satu gerakan cepat ia mematahkan ranting pohon,
kemu¬dian langsung ditimpukkan ke arah datangnya suara
sambaran itu.
Serangan itu amat cepat dan tepat, sekejap lalu terdengar
suara benturan bergema di udara, disusul suara seperti sesuatu
menumbuk batang pohon dan jatuh ke tanah. Bu-ki tidak langsung
menghampiri tempat itu, ia memasang telinga dan mencoba
mendengarkan keadaan di sekelilingnya. Ia harus yakin di situ tidak
ada orang lain sebelum memunculkan diri dari tempat
persembunyiannya.
Suasana amat hening, kecuali hembusan angin malam yang
lembut, tak terdengar suara apa pun. Lama sekali ia berdiri

mematung, ia kuatir benda yang menyambar ke arahnya tadi adalah
suara sambitan senjata rahasia yang sengaja dilepas seseorang.
Sepeminuman teh lewat tanpa terlihat suatu gerakan apa
pun, suasana tetap hening, sepi dan senyap. Bu-ki mulai menduga,
jangan-jangan benda yang ditimpuknya tadi benar-benar hanya
seekor burung yang sedang terbang rendah. Pelan-pelan ia mulai
bergerak mendekati tempat itu, kemudian mencoba memungutnya
dari tanah.
Di tengah kegelapan malam, ia merasa benda yang
dipungutnya benar-benar seekor burung dan ketika diperiksa lebih
teliti, ternyata burung itu seekor merpati. Burung merpati?
Pemuda itu segera teringat pada merpati pos. Mungkinkah
merpati ini adalah merpati pos yang dilepas orang-orang Keluarga
Tong untuk menyampaikan berita?
Cepat-cepat diperiksanya kaki burung merpati itu dan benar
saja, segulung kertas kecil terikat erat pada kaki burung merpati itu.
Buru-buru dia merogoh ke dalam saku dan mengeluarkan
korek api, lalu di bawah terang cahayanya dia membuka lipatan
kertas itu dan memeriksa isinya. Yang kemudian dilihatnya membuat
anak muda itu terkesiap seketika.
“Aduh celaka!” pekiknya di hati.
Dia segera mengenali isi surat itu, yaitu tanda rahasia yang
sering dipakai Tayhong-tong untuk menyampaikan berita.
Di balik lembaran kertas itu tidak ada tulisan apa pun, tapi
kertas tersebut dilipat dengan suatu lipatan khusus, yaitu selembar
kertas yang ditempeli kertas kecil lain berbentuk hati. Tanda rahasia
ini berarti bahwa seluruh anggota Tayhong-tong harus waspada dan
lebih hati-hati. Lipatan yang kecil menandakan bahwa jangka waktu
untuk berhati-hati adalah satu-dua hari kemudian. Bila delapan
sampai sepuluh hari lagi, lipatan kertas itu akan lebih besar lagi.
Dia tahu, merpati ini pasti dilepaskan oleh Sangkoan Jin
untuk memperingatkan anggota-anggota Tayhong-tong. Namun
sekarang merpati itu sudah mati tersambit. Apa yang harus
dilakukannya sekarang? Mungkinkah Sangkoan Jin hanya
melepaskan seekor merpati? Merpati itu sebenarnya dikirim ke
mana?
Tio Bu-ki menyesal, mengapa ia tidak lebih berhati-hati?
Mengapa ia tidak menduga kalau burung itu adalah seekor burung

merpati pos? Mengapa dia mengira sebagai sambitan senjata
rahasia?
Nasi sudah menjadi bubur, menyesal pun tak ada gunanya,
yang penting sekarang adalah bagaimana mengatasi kesalahan ini.
Tapi... apa yang harus diperbuatnya untuk memperbaiki kesalahan
itu?
Ooo)))(((ooo
Pada malam yang sama, Sangkoan Jin bisa tidur sangat
nyenyak. Sebelum berangkat tidur, ia pergi menengok sebentar putri
tunggalnya.
Dia tidak tahu bahwa sejak terluka karena harus
menyelamatkan jiwa ayahnya, gadis itu lalu berubah menjadi lebih
pendiam, kelincahan dan keriangannya di masa lalu sama sekali
sudah lenyap. Meskipun luka luar yang dideritanya berangsur
sembuh, namun rasa risau dan murung yang menyelimuti
perasaannya kian hari kian bertambah dalam.
Sangkoan Jin sama sekali tidak mempertimbangkan hal ini,
saat itu pikiran dan perhatiannya, kecuali pada luka-luka putrinya,
hampir semuanya terpusat pada penyelidikan atas Benteng Keluarga
Tong serta mengawasi segala tindakan yang akan dilakukan oleh
Keluarga Tong pada Tayhong-tong.
Jangankan perasaan putrinya, ia bahkan tidak bertanya
kepada Tong Ou apakah Tio Bu-ki jadi dibebaskan atau tidak.
Bukannya ia tak mau tahu tentang nasib putra tunggal saudara
angkatnya ini tentu saja ia menguatirkan keselamatan jiwanya tapi
bila dibandingkan dengan mati-hidupnya Tayhong-tong, ia merasa
urusan itu tidak seberapa penting.
Ia harus berusaha sebaik mungkin merahasiakan
identitasnya, hanya dengan demikian ia bisa dikatakan berjuang
demi Tayhong-tong. Asal berita berita penting bisa dikirim ke luar, ia
sudah merasa tenteram. Ia percaya bahkan yakin, berita yang
dikirimnya pasti dapat diterima anggota Tayhong-tong.
Ooo)))(((ooo

Malam bertambah larut, kegelapan semakin dalam
menyelimuti angkasa.
Ketika Sangkoan Jin dan Wi Hong-nio sudah tertidur
nyenyak, ketika Tio Bu-ki yang berada dalam hutan sedang ragu dan
menyesal atas kecerobohan sendiri, saat itu Tong Hoa sedang
berunding dengan TongOu.
“Ternyata Wi Hong-nio betul-betul ingin meninggalkan
Benteng Keluarga Tong,” lapor Tong Hoa.
“Kau yakin bisa mendampinginya ke mana pun dia pergi?”
“Sangat yakin, semalam aku telah menggunakan siasat
rayuan maut, aku percaya mulai besok dia pasti akan bersikap lebih
baik kepadaku!”
“Kau mesti lebih hati-hati,” pesan Tong Ou kemudian,
“sebab langkah berikut kita kemungkinan besar sangat tergantung
pada keberhasilanmu.”
“Aku tahu.”
Tong Ou bangkit dan berjalan ke lemari, mengeluarkan
sebuah kotak dari dalamnya. Kotak itu lalu diletakkan di atas meja
dan katanya lagi, “Kuserahkan kotak ini kepadamu, bawalah selalu
ke mana pun kau pergi, karena setiap saat kau bakal
membutuhkannya.”
“Apa isi kotak ini?”
“Bukalah sendiri!”
Tong Hoa membuka penutup kotak itu lalu dengan sangat
hati-hati mengeluarkan sebuah benda dari dalamnya. Benda itu
adalah sebuah patung berukir terbuat dari batu kemala putih,
sebuah patung berukiran naga sedang mementang cakar tajamnya,
Naga Kemala Putih.
“Ukiran naga yang sangat indah!” puji Tong Hoa.
“Ya, naga itu diukir di batu kemala, patung itu bernama
Naga Kemala Putih!” jelas Tong Ou.
Ukiran Naga Kemala Putih itu tidak terlalu besar, ukurannya
hanya sedikit lebih besar dari telapak tangan, tapi ukirannya sangat
bagus dan sempurna, seperti seekor naga yang siap terbang ke
angkasa.
Tong Ou mengambil kembali patung naga itu dari tangan
Tong Hoa, lalu sambil menuding ke arah mulut naga itu ia berkata
lagi, “Mulut naga ini memang sengaja dibuat terbuka lebar, di balik

mulut ini ada ruang kosong, kau bisa memasukkan kertas ke
dalamnya.”
“Maksudmu, semua rencana kita akan menggunakan mulut
ukiran naga itu?”
“Yang benar kita menggunakan perut naga yang kosong.”
“Kenapa kita harus menggunakan Naga Kemala Putih ini?”
“Sebab benda ini hadiah dari Sangkoan Jin, menurut
Sangkoan Jin benda ini adalah benda kuno yang paling disayang Tio
Kian semasa hidupnya dulu.”
“Akan kusimpan dengan sangat hati-hati,” janji Tong Hoa.
Tong Ou manggut-manggut, lalu katanya lagi, “Sebelum
digunakan, kau harus mendatangi dusun tempat tinggal Tio Kian, di
dusun itu ada toko yang menjual alat tulis, pemilik toko itu bernama
Pek Giok-ki.”
“Aku tahu, taukenya bernama Pek Giok-ki.”
“Betul, Pek Giok-ki paling mahir tulis menulis, bukan saja
tulisannya sangat indah, dia pun sangat pandai meniru gaya tulisan
orang.”
“Ya, bagaimanapun juga aku mesti menunggu kabarmu,
biarlah sampai waktunya baru kucari dia dan minta dia menulis
sesuai dengan rencanamu.”
“Benar. Kepadanya kau boleh membeberkan indentitas
aslimu.”
“Jadi dia termasuk salah seorang yang kita suap untuk
mendukung kita?”
“Yaa, tiap tahun kita membayarnya limaribu tahil perak.”
“Waah, dengan uang sebanyak itu, berarti dia tidak perlu
buka toko lagi!”
“Jika rencana Naga Kemala Putih kita berhasil dijalankan,
selanjutnya memang dia tak perlu buka toko lagi.”
“Kenapa? Masa kita harus terus membayarnya lagi setelah
dia menuliskannya buat kita?”
“Tidak. Ketika ia selesai menulis, kau harus membunuhnya!”
“Membunuhnya untuk melenyapkan bukti?”
“Benar, orang yang bisa kita suap berarti bisa juga disuap
pihak lain, untuk ini kita harus waspada dan lebih baik sedia payung
sebelum hujan.”
“Sangat masuk di akal!” puji Tong Hoa. Tong Ou tertawa
tergelak.

“Jika tidak masuk di akal, masa Keluarga Tong kita bisa
menancapkan kaki begitu lama di dalam dunia persilatan?”
Tong Hoa ikut tertawa, suara tertawanya penuh rasa bangga
dan puas. Pada saat itulah tiba-tiba terdengar seseorang mengetuk
pintu. Siapa yang berani mengetuk pintu di tengah malam buta
begini? Mungkinkah sudah terjadi sesuatu yang gawat dan penting?
Buru-buru Tong Ou memerintah Tong Hoa untuk
menyimpan Naga Kemala Putih itu ke dalam sakunya, kemudian
baru membuka pintu. Orang yang berada di luar pintu adalah Tong
Koat, di tangan TongKoat-terlihat seekor burung merpati. Setelah
menutup kembali pintu ruangan, Tong Koat menyerahkan merpati
itu ke tangan Tong Ou.
Merpati itu masih hidup, ia meronta-ronta hendak
melepaskan diri dari genggaman Tong Ou.
Dengan sangat teliti Tong Ou membentangkan sayap
merpati itu dan memeriksanya satu per satu, kemudian berkata,
“Merpati ini bukan burung merpati pos milik kita!”
“Betul,” Tong Koat mengiakan, “merpati ini dirontokkan oleh
penjaga kita yang bertugas tujuh belas li di luar kota, mereka
mengirim balik dengan menggunakan kuda cepat.”
“Jadi milik siapa?” tanya Tong Ou.
“Belum terlacak, sampai sekarang belum pernah dijumpai
burung merpati semacam ini.”
“Apa mungkin merpati pos milik Tayhong-tong?”
“Tayhong-tong tidak pernah menggunakan merpati pos
semacam ini.”
“Apakah sudah diselidiki merpati ini terbang dari mana dan
kira-kira akan terbang ke mana?”
“Menurut laporan, merpati ini kemungkinan besar terbang
dari Benteng Keluarga Tong, hanya tidak jelas akan terbang ke arah
mana.”
“Merpati pos yang mampu terbang malam? Suatu cara
pengiriman berita yang sangat hebat!” puji Tong Ou tanpa terasa.
“Kira-kira jagoan mana dalam dunia persilatan yang mampu melatih
burung merpati semacam ini?”
“Belum pernah ada yang tahu,” jawab Tong Koat, “aku
sudah mengirim orang untuk minta pendapat Pek Siau-seng,
mungkin besok pagi sudah ada beritanya.”

“Apakah belakangan ada orang asing yang berkunjung ke
Benteng Keluarga Tong?”
“Hari ini tidak ada, tapi tiga hari berselang ada.”
“Tiga hari berselang? Berarti orang itu sudah tiga hari
tinggal di sini?”
“Dia seorang pedagang kain, waktu mendaftar di losmen
menggunakan nama Go Yong, tinggal di penginapan Ya-lay. Baru
saja aku mengirim petugas untuk menanyai orang itu.”
Sementara pembicaraan masih berlangsung, Tong Ou telah
melepaskan kertas yang terikat di kaki burung merpati itu dan
meme¬riksa isinya. Ia melihat isi surat itu hanya sebuah tanda yang
berbentuk hati.
Tong Koat kembali menjelaskan, “Toako, kertas itu sudah
diperiksa, itu adalah kertas tulis yang umum dipakai semua orang,
bahan kertas semacam ini bisa didapat di semua tempat.”
“Apa arti tanda hati di dalam surat ini? Masa surat
pernyataan cinta?” tanya Tong Ou.
“Aaah tidak mungkin, mana ada orang yang mau bersusahpayah
melatih merpati pos yang bisa terbang malam hanya untuk
menyampaikan perasaan cinta?”
“Waah, itu ide yang sangat bagus!” timbrung Tong Hoa
pula, “lain kali aku mesti meniru cara ini, rasanya perempuan yang
kuburu pasti akan terharu bila dirayu dengan cara begini...”
“Aku yakin tanda hati ini pasti bukan berarti cinta, tentu
punya makna lain yang lebih dalam,” tandas Tong Ou.
Tong Hoa mulai memperhatikan lambang hati itu dengan
lebih seksama, tiba-tiba katanya, “Hati ini tidak terlalu besar dan
tidak besar berarti kecil, hati yang kecil melambangkan kehatihatian.
Mungkinkah surat itu peringatan agar orang lebih berhatihati?”
“Ehmm, mungkin sekali begitu!”
Selanjutnya, ketiga orang itu pun diam dalam keheningan,
yang ada dalam pikiran mereka sekarang sama. Semua sedang
berpikir siapa yang telah melepaskan burung merpati itu dari dalam
Benteng Keluarga Tong? Mungkinkah merpati itu hendak memberi
kabar kepada Tayhong-tong agar siap sedia dan lebih berhati-hati?
Mung¬kinkah merpati itu membawa berita kalau Keluarga Tong
akan menye¬rang mereka?

“Apa mungkin hasil perbuatan Tio Bu-ki?” tiba-tiba Tong
Koat bertanya.
“Masa dia membawa burung merpati?” Tong Ou balik
bertanya. “Kalau bukan dia, lantas siapa?”
“Lebih baik kita bicarakan lagi setelah berita dari penginapan
Ya-lay kita terima.”
Lentera yang menerangi rumah penginapan Ya-lay sudah
mulai redup, kecuali sebuah lentera yang masih bersinar di ruang
tengah, suasana di sekelilingnya gelap gulita. Tauke rumah
penginapan itu duduk di belakang meja, tampaknya ia sudah tertidur
sangat nyenyak.
Dua orang utusan Tong Ou itu sama sekali tidak
membangunkan sang tauke, mereka langsung naik ke lantai dua,
belok ke kanan dan tiba di muka kamar nomor tiga. Tanpa
mengetuk pintu atau berbasa-basi lagi, salah seorang di antaranya
menendang roboh pintu kamar, sementara rekannya menyerbu ke
dalam kamar.
Tampaknya'orang itu sangat hapal dengan isi ruangan itu,
begitu menyerbu ke dalam, ia langsung menghampiri pembaringan
dan menotok. Kecuali ketika menendang pintu kamar tadi, mereka
tidak mengeluarkan suara apa-apa lagi, orang yang sedang tertidur
itu pun berhasil ditotok jalan darahnya. Begitu berhasil menotok
jalan darah orang itu, dia langsung mendukung badannya dan
diangkut keluar.
Gerakan tubuh kedua orang itu cepat sekali, tak selang
berapa saat, mereka telah sampai di Benteng Keluarga Tong.
Tong Koat segera membuka pintu dan begitu masuk, kedua
orang itu membaringkan orang yang telah ditotok jalan darahnya itu
ke atas meja. Salah seorang di antara mereka berkata, “Go Yong
telah tertangkap!”
Belum sempat Tong Koat memuji kecepatan kerja kedua
orang anak buahnya itu, ia mendadak berdiri tertegun. Sesaat
kemudian Tong Ou, Tong Hoa serta kedua orang itu pun ikut
termangu-mangu.
Rupanya mereka menjumpai Go Yong yang baru ditangkap
itu telah berubah jadi mayat. Orang itu sudah mati!
“Apa yang terjadi?” teriak Tong Koat dengan tiba-tiba.

Orang yang tadi menotok jalan darah Go Yong jadi
melengak, untuk sesaat dia hanya berdiri tergugu dan tak sanggup
mengucapkan sepatah kata pun.
“Jangan-jangan sudah mampus dari tadi?” orang yang
menendang pintu itu menimpali.
Tong Ou tidak berbicara apa-apa, dia menghampiri mayat
Go Yong dan meraba sejenak kening mayat itu, kemudian katanya,
“Benar, paling tidak ia sudah mati satu jam berselang!”
Pada saat itu barulah semua yang hadir melihat adanya
warna hitam lebam yang di tubuh mayat itu, warna khas mayat yang
sudah mati lebih dari satu jam.
Tong Hoa merentangkan mulut mayat itu dan memeriksa
giginya, setelah itu katanya lagi, “Benar, giginya juga telah
menghitam”
“Berarti dia mampus terkena jarum beracun Tawon Harimau
kita?” seru Tong Koat terkejut.
“Siapa saja dari Keluarga Tong kita yang menggunakan
jarum beracun Hau-hong-ciam?”
Dengan suara lirih Tong Koat segera menyebutkan sejumlah
nama, tapi Tong Ou gelengkan kepalanya berulang-ulang sambil
berkata tak mungkin, karena orang-orang yang disebut namanya itu
sedang tidak berada di Benteng Keluarga Tong, mereka sedang
bertugas di luar. Yang tersisa tinggal mereka tiga bersaudara.
Beberapa saat lamanya Tong Ou termangu, bingung dan
tidak tahu menemukan jawabnya.
Lama sekali Tong Ou membungkam diri, akhirnya dia baru
berkata kepada dua orang anak buahnya, “Coba kalian pergi lagi ke
rumah penginapan Ya-lay dan bawa kemari taukenya!”
Sepeninggal dua orang itu, Tong Ou baru berkata lagi
kepada Tong Koat, “Coba periksa sekali lagi, apakah kita pernah
kehilangan jarum Tawon Harimau?”
Dengan cepat Tong Koat sudah muncul kembali sambil
membawa beberapa jilid buku, setelah membalik beberapa halaman
dan meneliti catatan yang tertulis, ia berseru, “Aaah, pernah!”
“Siapa yang kehilangan jarum beracun?”
“Li Bun-ting!”
“Kapan? Di mana?” kembali Tong Ou bertanya. “Bulan satu
tahun ini di Hoolam!”
“Kenapa bisa hilang?”

“Dia melepaskan dua batang jarum Hou-hong-ciam ketika
hendak membunuh Gi Pek-bin, tapi serangan tersebut berhasil
dipatahkan Gi Pek-bin dengan menggunakan sebuah kantung kain.”
“Gi Pek-bin? Raja berganti wajah Gi Pek-bin?” Tong Ou
menegaskan.
“Benar, menurut laporan, ilmu merubah wajah yang dia
miliki sangat hebat dan sempurna, tampaknya setiap saat dia selalu
membawa ratusan lembar kulit wajah yang bisa digunakannya kapan
pun.”
“Kenapa kita mesti berusaha membunuh orang itu?”
“Kami mendapat laporan, konon Gi Pek-bin telah disuap
pihak Tayhong-tong untuk berpihak kepada mereka. Oleh karena
orang ini sangat berbahaya dan menakutkan, kami putuskan lebih
baik dibi¬kin mampus saja daripada membiarkannya bekerja untuk
Tayhong-tong!”
“Yaa, betul sekali ucapan itu,” Tong Hoa mengangguk, “coba
bayangkan saja, kalau satu orang memiliki ratusan lembar topeng
muka yang bisa digunakan untuk berganti rupa setiap saat, siapa
yang bisa menyelidiki identitasnya? Hal semacam ini memang sangat
menakutkan.”
“Siapa yang mengambil keputusan untuk membunuhnya?”
kembali Tong Ou bertanya.
“Waktu itu kau tidak ada di tempat, tentu saja aku yang
memutuskan,” jawab Tong Koat cepat.
“Apa Lo- cocong tahu?”
“Tidak! Bagaimana? Jadi aku salah mengambil keputusan?”
“Betul, seandainya waktu itu kau minta persetujuan dari Lococong,
aku yakin dia pasti akan melarang!”
“Kenapa melarang?” seru Tong Koat tidak puas.
“Untuk menghadapi manusia macam ini, seharusnya kita
justru membujuk atau merajainya agar dia mau berbalik memihak
kita. Membunuh adalah pilihan yang salah, sebab bila kau gagal
membunuhnya, dia akan semakin berbakti untuk lawan. Aku yakin
saat ini dia pasti akan mati-matian bekerja untuk kepentingan
Tayhong-tong.”
Tong Koat bungkam seribu bahasa, sebab dia merasa
ucapan toakonya sangat beralasan dan masuk akal, dia mulai
menyadari kekeliruan yang telah dilakukannya. Sementara itu Tong

Ou tidak memedulikan lagi sikap Tong Koat, ia berjalan menghampiri
jenasah itu lalu dengan tangan kirinya mengangkat kepala mayat
tadi dan tangan kanannya mulai meraba sekeliling wajah, tengkuk
dan belakang kepala mayat itu.
Beberapa saat kemudian, tiba-tiba dia mencengkeram
tengkuk sebelah kiri mayat tadi, lalu dengan sangat perlahan tapi
penuh tenaga dia merobek sesuatu dari wajah mayat itu. Sementara
itu Tong Koat berdua juga sudah melihat bahwa wajah orang mati
itu mengenakan selembar topeng kulit manusia.
Satu ingatan segera melintas dalam benaknya, dia teringat
akan sebuah nama yang punya hubungan erat dengan mayat itu. Gi
Pek-bin, Gi berwajah seratus.
Tampaknya orang itu dibunuh oleh Gi Pek-bin dan selesai
membunuh, ia mengenakan selembar topeng kulit manusia di wajah
mayat itu.
Sementara itu Tong Ou sudah melepaskan seluruh topeng
kulit manusia yang dikenakan mayat itu, sekarang terlihatlah paras
muka orang itu berwarna hitam gelap, tak heran kalau Tong Ou
sekalian tidak tahu kalau orang ini sebenarnya telah mati keracunan.
Rupanya wajah orang itu tertutup selembar kulit manusia sehingga
warna hitam yang muncul di wajah asli mayat itu sama sekali tak
kelihatan.
Di saat Tong Ou bertiga masih berdiri tertegun sambil
mengawasi mayat yang telah menghitam itu, dua orang yang diutus
menjemput tauke rumah penginapan Ya-lay telah tiba di situ. Begitu
melihat wajah mayat yang membujur kaku itu, paras muka si tauke
rumah penginapan segera berubah hebat, dia berdiri mema¬tung
tanpa sanggup mengucapkan sepatah kata pun.
“Siapakah orang itu?” Tong Ou segera menegur.
“Dia... dia... adalah Li Jin-tiong, tapi...” jawab tauke itu
gelagapan dan gemetar keras.
“Tapi kau melihat dia sudah meninggalkan rumah
penginapan sejak tadi, bukan begitu?” Tong Ou menimpali.
“Dari... dari mana kau bisa tahu?” tanya si tauke keheranan.
Tong Ou mendengus dingin.
“Hmm, masih belum jelaskah kau? Ketika orang yang
mengaku bernama Go Yong itu mendaftar di rumah penginapanmu
itu, bukankah dia muncul dengan mengenakan topeng ini?”

Sambil menggoyangkan topeng kulit manusia tersebut
kembali Tong Ou berkata, “Dia adalah Gi Pek-bin, ketika dia selesai
bertugas di tempat ini maka dibunuhnya Li Jin-tiong yang menginap
di kamar sebelah, kemudian topeng kulit manusia yang semula
dipakainya sengaja dia lepaskan dan dikenakan pada wajah orang
itu. Dengan begitu semua orang mengira Go Yong telah mati,
padahal secara diam-diam dia telah mengenakan topeng wajah yang
mirip dengan Li Jin-tiong untuk meninggalkan rumah penginapan Yalay
dan kabur dari Benteng Keluarga Tong!”
Pucat pias wajah si tauke sehabis mendengar penjelasan itu,
gumamnya dengan nada bergetar, “Orang ini... orang ini benarbenar
menakutkan...”
Tong Ou berpaling ke arah Tong Koat, mendadak tanyanya,
“Go Yong pergi ke mana saja?”
Secara ringkas Tong Koat melaporkan semua yang
diketahuinya.
Lama sekali Tong Ou berpikir, dia mencoba mengupas
masalah demi masalah dengan seksama, kemudian katanya, “Aku
rasa masalahnya timbul kalau bukan di warung bakmi tentu ketika
keluar dari rumah pelacuran Li-cun-wan. Aku curiga merpati yang
berhasil kita tangkap ini adalah burung merpati yang dilepas
olehnya.”
Sambil berkata dia menuding bangkai burung merpati yang
tergeletak di meja.
Waktu itu Tong Koat sedang membolak-balik buku catatan,
tiba-tiba teriaknya lantang, “Aaah, betul, catatan mengenai Gi Pekbin
mengatakan bahwa dia sangat suka memelihara burung
merpati!”
Tong Ou manggut-manggut, ujarnya, “Ketika berada di
warung bakmi, orang yang pernah berhubungan dengan Gi Pek-bin
adalah Sangkoan Jin, sementara ketika berada di rumah pelacuran
Li-cun-wan, dia berhubungan dengan...”
“Dia bernama Siau-ping,” sela Tong Koat.
“Siau-ping dibesarkan dalam kalangan kita, rasanya tidak
cocok untuk dicurigai.”
“Jangan-jangan Sangkoan Jin?”
“Mana-mungkin?” seru Tong Koat, “waktu itu dia hanya
menyerahkan sekeping goanpo!”

“Siapa tahu di balik goanpo itu terdapat sesuatu yang
aneh?” kata Tong Hoa.
“Mungkin saja, coba kau panggil...”
Mendadak Tong Ou berhenti berbicara, kemudian menoleh
dan memandang sekejap ke arah tauke rumah penginapan Ya-lay
serta ke kedua pembunuh gelap itu.
Tong Koat segera mengerti maksud kakaknya, cepat dia
berseru, “Di sini sudah tidak ada urusanmu lagi, kalian boleh pergi!”
Tiga orang itu segera berpamitan dan meninggalkan tempat
itu.
Setelah ketiga orang itu lenyap dari pandangan, Tong Ou
baru berkata lagi, “Segera panggil Cing-cing kemari.”
“Panggil Cing-cing? Buat apa?*
“Aku akan menggunakan kecantikan wajahnya untuk
menyelidiki Sangkoan Jin, aku ingin tahu masih ada rahasia apa lagi
yang tidak kita ketahui.”
Setelah berpisah dengan kedua orang pembunuh gelap itu,
si tauke rumah penginapan Ya-lay kembali ke ruang kerjanya
seorang diri, dia berjalan menuju ke meja tempat tadi ia tidur lalu
duduk dan mengeluarkan buku tamu. Di situ ia menandai dengan
lingkaran kecil pada nama Go Yong. Segera sesudahnya ia keluar
meninggalkan rumah penginapan lagi. Ia bergerak cepat
meninggalkan Benteng Keluarga Tong, rupanya ingin pergi dari situ
sebelum fajar menyingsing.
Ketika sudah berada di luar wilayah Benteng Keluarga Tong,
si tauke baru melakukan hal yang sama seperti yang tadi dilakukan
Tong Ou, ia melepas selembar topeng kulit manusia dari wajahnya.
Ia tertawa, tertawa sangat dingin. Ternyata si tauke ini adalah Gi
Pek-bin!
Fajar belum menyingsing, kegelapan malam masih
memenuhi langit ketika terlihat sesosok manusia berkerudung
menyelinap masuk ke dalam rumah penginapan Ya-lay. Langsung ia
menuju ke meja kasir dan mengeluarkan buku catatan tamu. Setelah
memeriksa sekejap nama Go Yong yang diberi tanda lingkaran itu,
kemudian dengan sama cepatnya ia pergi meninggalkan tempat itu.
Ilmu meringankan tubuh orang berkerudung ini amat hebat,
dia pun nampaknya hapal betul dengan seluk-beluk kebun bunga
Keluarga Tong. Menyusuri sudut-sudut halaman yang gelap, dengan

satu gerakan lincah orang itu sudah menyelinap masuk ke dalam
sebuah kamar.
Ketika sudah di dalam kamar dan sedang melepaskan kain
keru¬dung hitam yang menutupi wajahnya, baru kelihatan bahwa
orang itu adalah Sangkoan Jin. Baru saja Sangkoan Jin melepaskan
kain kerudung dan meletak¬kannya di meja, tiba-tiba terdengar
pintu kamar diketuk orang.
Mula-mula ia nampak terperanjat sebab saat itu masih
tengah malam buta, lagipula baru saja dia kembali dari rumah
penginapan Ya-lay. Mungkinkah jejak serta gerak geriknya sudah
ketahuan orang-orang Keluarga Tong?
Dengan gerakan refleks dia mengambil kembali kain
kerudung hitamnya. Belum sempat ia berpikir mau disembunyikan di
mana, tiba-tiba satu ingatan melintas di dalam benaknya, janganjangan
orang yang mengetuk pintu adalah Cing-cing? “Siapa?” ia
segera menegur.
“Aku!”
Ternyata dugaannya tidak salah, itu suara Cing-cing. Cingcing
adalah gadis yang dikenal Sangkoan Jin sejak ia bergabung
dalam Benteng Keluarga Tong. Selama ini hubungan mereka sangat
mesra dan Cing-cing sering melayani hasrat syahwatnya, maka
kehadirannya di tengah malam buta seperti ini bukan kejadian yang
aneh dalam pikirannya.
Sesudah tahu bahwa yang datang adalah Cing-cing,
Sangkoan Jin merasa lega. Ia masukkan kain kerudung hitam itu ke
dalam sakunya kemudian membuka pintu. Baru saja pintu dibuka,
Cing-cing sudah menubruk ke dalam pelukannya, kemudian sambil
mendesis lirih ia menempelkan wajahnya ke wajah Sangkoaan Jin.
Menghadapi perlakuan seperti ini Sangkoan Jin tertawa, dia
balas memeluk erat gadis itu dan kemudian membopongnya ke atas
ranjang. Tak lama kemudian dua tubuh yang telanjang bulat telah
saling menempel satu sama lain seperti permen karet...
Ooo)))(((ooo
Fajar sudah menyingsing, cahaya terang benderang telah
memenuhi langit, namun Tio Bu-ki masih berdiri termangu sambil
mengawasi batang pohon di hadapannya. Dia masih bimbang, masih
resah. Dia menyesal mengapa tindakannya kurang berhati-hati

hingga membunuh burung merpati yang justru membawa surat
peringatan untuk para anggota Tayhong-tong.
Ia tidak tahu bagaimana caranya memperbaiki kesalahan
yang telah diperbuatnya itu. Lama sekali dia berpikir, memutar otak
dan mencari akal... Akhirnya dia mengambil satu keputusan. Untuk
mencapai lembah Boanliong-kok dibutuhkan perjalanan satu hari
penuh. Artinya jika berangkat sekarang juga, dia baru akan sampai
keesokan harinya dan saat itu sudah tiba hari Peh-cun. Dapat diduga
semua orang tentu sedang mabuk-mabukan atau dengan perkataan
lain, penjagaan pasti sangat kendor.
Berpikir sampai di sini Tio Bu-ki terkesiap dan buru-buru
melompat turun dari atas pohon, melompat naik ke atas pelana kuda
dan melarikannya langsung ke lembah Boanliong-kok.
Pada fajar yang sama. Tong Ou, Tong Koat maupun Tong
Hoa belum tidur barang sekejap pun, mereka bertiga masih di dalam
kamar sambil membicarakan masalah merpati pos serta urusan Gi
Pek-bin.
Melihat fajar mulai menyingsing di ufuk timur, tiba-tiba Tong
Ou berkata kepada Tong Koat, “Aku bermaksud untuk mengubah
rencana penyerbuan.”
“Kenapa?”
“Terlalu banyak kejadian di luar dugaan, aku takut terjadi
perubahan yang tidak menguntungkan.”
“Lalu apa rencanamu?”
“Segera kirim surat perintah lewat merpati pos, perintahkan
mereka segera melancarkan serangan dari tiga jurusan!”
Tampaknya dia telah menyiapkan tiga kelompok pasukan
yang bersembunyi di sekeliling markas besar Tayhong-tong sambil
menunggu perintah dari Keluarga Tong untuk melancarkan
serangan. Semula ia berniat datang bersama Tong Koat ke medan
pertempuran dan memimpin sendiri penyerbuan itu. Tapi sekarang
tiba-tiba saja dia berubah pikiran, bukan saja batal ikut serta, ia
bahkan mempercepat waktu penyerangan.
Dia memang sengaja membocorkan rahasia penyerbuannya
dan waktu penyerangan yang katanya akan dilakukan tepat di hari
Peh-cun. Sebenarnya dia bergerak sangat lambat, ia berniat
melancarkan serangan baru dua hari setelah lewat Peh-cun. Dalam
pikirannya, sekalipun ada yang menyampaikan berita sehingga
penjagaan diperketat, tetapi jika musuh sudah melakukan penjagaan

terus-menerus selama dua hari dua malam dan tidak ada serangan
datang, orang akan beranggapan bahwa berita itu salah. Dengan
sendirinya penjagaan akan kendor kembali dan keadaan seperti ini
adalah kesempatan terbaik baginya untuk menyerang.
Tapi sekarang ia memutuskan untuk mengubah rencana
penyerangannya. Tiba-tiba saja ia merasakan datangnya satu
tekanan yang besar, yaitu lenyapnya Tio Bu-ki dan masih ditambah
munculnya Gi Pek-bin. Itulah sebabnya ia memerintahkan Tong Koat
untuk mengirim perintah penyerbuan, agar ketiga pasukan yang
telah disiapkan selama ini melancarkan serangan besar.
Ooo)))(((ooo
Hubungan yang dilakukan penuh napsu dan penuh luapan
cinta membuat Sangkoan Lian letih sekali. Ia segera jatuh tertidur,
tidur sangat nyenyak dan semua kewaspadaannya lenyap. Tidurnya
yang begitu nyenyak membuat Cing-cing mengawasinya berapa
kejap. Dia memang datang dengan tugas, dia khusus melayani
Sangkoan Lian atas perintah Tong Koat, dia pun ditugasi untuk
mengawasi semua gerak-gerik orang itu, termasuk igauannya
sewaktu tidur.
Dia turun dari ranjang dan memungut pakaiannya dari
lantai, juga pakaian Sangkoan Jin. Kemudian dengan hati-hati sekali
dia memeriksa saku baju itu. Dikeluarkannya secarik kain hitam, dia
tahu kain itu dipakai untuk menutup wajah. Sebentar kemudian dia
juga mengeluarkan sebuah kantung kain yang sangat kecil. Kantung
itu boleh dibilang terjahit rapi dan menjadi satu dengan pakaian
dalamnya, dulu ia tak pernah melihat benda ini, tak disangka hari ini
dia menemukannya.
Ketika kantung itu dibuka, tampak isinya adalah selembar
kertas yang sangat tipis. Di atas kertas itu tak ada tulisan apa-apa,
yang tampak hanya sebuah lipatan berbentuk hati kecil. Tentu saja
Cing-cing tak tahu apa gunanya lipatan kertas itu, tapi dia yakin
benda ini pasti sangat penting. Mengapa Sangkoan Jin harus
menyimpannya di dalam kantung kecil yang dijahit pada pakaian
dalamnya?
Buru-buru ia memasukkan kembali kertas itu ke dalam
kantung lalu dikembalikan pada asalnya, setelah itu dia baru menuju
ke depan cermin dan mulai berdandan. Selesai berdandan ia tak

kuasa untuk tidak balik lagi ke tepi ranjang dan mengawasi wajah
Sangkoan Jin dengan termangu.
Mendadak ia menjatuhkan diri ke dada Sangkoan Jin dengan
penuh nafsu, lalu dibelainya wajah orang itu dengan penuh kasih
sayang. Sangkoan Jin masih tertidur lelap, biarpun matanya masih
terpejam namun tangan kanannya telah bergerak menggenggam
tangan kecil Cing-cing yang sedang membelai wajahnya.
Gerakan itu sebenarnya sangat biasa, tetapi sekarang
membuat Cing-cing terharu, perasaannya bergejolak keras. Ia tidak
bisa membantah bahwa Sangkoan Jin adalah orang yang bisa
mendatangkan kegembiraan baginya. Dulu, ia sudah sering
melakukan tugas semacam ini, tapi tak sekali pun merasakan
kegembiraan dan kebahagiaan seperti saat bersama Sangkoan Jin
sekarang.
Tampaknya Sangkoan Jin dapat merasakan tubuh Cing-cing
yang gemetar keras, mendadak ia membuka sedikit matanya dan
menepuk tangannya sambil menegur, “Ada apa denganmu?”
Cing-cing segera sadar akan kesalahannya, buru-buru ia
menarik kembali badannya, berdiri dan menyahut, “Ah tidak apaapa,
aku harus pergi!”
Sangkoan Jin seperti tidak merasakan ada yang tak biasa, ia
hanya mengiakan lirih. Tiap kali Cing-cing datang berkunjung, ia
selalu pergi sebelum fajar menyingsing, kali ini pun tak jauh
berbeda. Itu sebabnya ia kembali tidur nyenyak.
Sekali lagi Cing-cing mengawasi wajah Sangkoan Jin,
kemudian baru pergi meninggalkan tempat itu. Sepeninggal dari
kamar tidur Sangkoan Jin, dia berjalan sangat lambat karena tempat
yang ditujunya sekarang adalah tempat di mana
Tong Ou dan Tong Koat sedang menunggu. Sambil berjalan
tiada hentinya ia berpikir, haruskah dia laporkan semua yang telah
dilihatnya tadi kepada Tong Ou sekalian? Haruskah dia melaporkan
lipatan kertas yang ia temukan di balik pakaian dalam itu?
Ketika menemukan kain hitam penutup wajah itu
sesungguhnya dia sudah tahu apa yang terjadi. Semalam ia sudah
mendatangi kamar Sangkoan Jin sebelumnya, tapi ia tak
menemukannya di kamar. Belum sempat ia mengambil keputusan
haruskah melaporkan semua kejadian tersebut kepada Tong Ou,
dirinya telah sampai di depan pintu.

Sekarang ia tak bisa berpikir lagi sebab sudah tak ada waktu
untuk bersangsi lagi. Ketika tiba di depan pintu, pasti ada orang
yang akan muncul dari dalam kamar. Dalam keadaan begini, jika dia
ragu dan tidak mengetuk pintu, orang yang ada di dalam kamar
pasti akan curiga. Maka tanpa menghentikan langkahnya dia menuju
ke kamar dan segera mengetuk pintu.
“Masuk!” terdengar Tong Koat berseru.
Cing-cing mendorong pintu berjalan masuk, pertentangan
batin masih berkecamuk dalam hatinya. Terlepas apa pun keputusan
yang bakal diambil, dia tak pernah menghentikan langkahnya, ia
tahu begitu masuk ke dalam kamar, Tong Ou pasti akan mengajukan
banyak pertanyaan.
Bab 9. Wajah Asli Gi Pek-bin
Kabut tebal menyelimuti bumi di fajar yang baru
menyingsing. Begitu tebal kabut yang melayang di atas permukaan
itu, mem¬buat segala sesuatu yang berjarak lima kaki sudah tak
terlihat jelas. Tidak mudah melakukan perjalanan dalam cuaca
seperti ini dan pasti akan banyak makan tenaga serta sangat
berbahaya. Apalagi berjalan di bukit yang curam.
Tapi Gi Pek-bin tak sependapat, dia justeru merasa jauh
lebih ringan dan aman melakukan perjalanan dalam cuaca seperti
ini. Ia memang berniat meninggalkan wilayah kekuasaan Benteng
Keluarga Tong secara diam-diam dan penuh rahasia, semakin sedikit
orang yang melihatnya semakin baik bagi dirinya. Apalagi dengan
mengandalkan kungfu yang dimilikinya, berjalan dalam suasana
begini merupakan perjalanan yang paling aman.
Dengan santai dia menelusuri jalanan bukit dan menuruni
tebing perbukitan, sampai-sampai dia tak peduli langkah kakinya
meninggalkan suara yang jelas. Dia malah sama sekali tak tahu
kalau ada delapan buah mata sedang mengawasi gerak-geriknya
lima kaki jauhnya dari tempat ia berada.
Delapan mata milik empat orang yang semuanya
mengenakan pakaian ketat berwarna hitam dan siap melancarkan
serangan maut. Hampir setiap malam hingga pagi, mereka berempat
selalu berjaga-jaga di situ dengan penuh kewaspadaan. Selama lima
tahun belum pernah mereka berempat mangkir satu hari pun.

Mereka adalah pasukan inti Keluarga Tong, usianya rata-rata
di atas Tong Ou. Mereka sudah banyak mendirikan jasa sejak masih
menjadi bawahan ayah Tong Ou, oleh karena itu mereka tidak perlu
mendengar perintah dari Tong Ou, semua perintah langsung
diperoleh dari Lo-cocong.
Selama lima tahun terakhir, secara sukarela mereka
mengajukan diri untuk berjaga di situ, karena pada saat itu, keempat
penjaga yang bertugas di situ mati dibunuh orang dan tak ada
seorang pun yang mau ditugaskan di tempat itu.
Tempat itu merupakan jalan gunung yang amat penting, tiap
orang yang meninggalkan Benteng Keluarga Tong harus melalui
jalan tersebut. Inilah jurus ampuh yang diusulkan ayah Tong Ou
untuk menjaga keamanan bentengnya. Tempat ini tak perlu dijaga di
siang hari, tapi perlu diwaspadai dari tengah malam hingga
menjelang fajar, karena orang-orang yang meninggalkan Benteng
Keluarga Tong di tengah malam, akan tiba di situ pagi harinya.
Kecuali petugas yang mengemban tugas penting atau tugas
rahasia, biasanya hanya orang-orang yang ingin kabur secara diamdiam
yang meninggalkan Benteng Keluarga Tong di tengah malam
buta. Siapa saja yang ingin meninggalkan Benteng Keluarga Tong di
tengah malam buta? Kalau bukan pengkhianat, tentulah para agen
rahasia atau mata-mata yang menyamar sebagai pedagang untuk
mencari berita di situ.
Dan orang semacam itu pantas dilenyapkan untuk selamalamanya
dari Benteng Keluarga Tong.
Oleh karena itulah harus ada jago tangguh yang bertugas
menjaga di jalan ini. Bila ada orang meninggalkan Benteng Keluarga
Tong secara diam-diam atau orang yang patut dicurigai, pihak
benteng akan melepaskan mercon berwarna merah. Bila para
penjaga melihat mercon merah dilepaskan, itulah tanda bahwa
mereka harus meningkatkan kewas¬padaan. Semalam Tong Koat
telah melepaskan sebuah mercon dengan cahaya merah.
Begitu melihat pancaran mercon merah itu, keempat jago
tangguh itu segera meningkatkan kewaspadaannya dan bersiap-siap
melakukan penghadangan. Keempat orang ini adalah anak yatim
piatu yang dibawa ayah Tong Ou dari daerah Sucoan dan sejak kecil
sudah belajar silat di bawah bimbingan ayah Tong Ou. Mereka diberi
nama Tong Hong, Tong Bwee, Tong Bian dan Tong Sang.

Usia Tong Hong paling tua, senjata yang digunakannya
adalah sebilah pedang. Senjata rahasianya Hong-ko (Buah Waru),
yaitu buah waru yang bentuknya bulat dan berduri, bila menghajar
tubuh orang maka durinya akan menancap tembus hingga ke tulang.
Sebaliknya bila ditangkis dengan senjata, buah itu akan meledak dan
menyemburkan cairan beracun.
Senjata Tong Bwee adalah sebilah golok bweehoa-to, di atas
golok ini terdapat lima buah gelang baja yang apabila ditekan kuatkuat
kelima gelang itu akan melesat ke empat penjuru. Dari balik
tiap gelang akan menyembur keluar lima buah senjata rahasia
beracun yang berbentuk bunga bwee, keampuhannya luar biasa.
Senjata andalan Tong Bian adalah sepasang telapak tangan
kosong, tapi dia juga secara khusus membuat sepasang sarung
tangan yang terbuat dari kapas. Jika berhadapan dengan orang
biasa, dia bertarung dengan mengandalkan tangan kosong, tapi bila
berhadapan dengan musuh tangguh, dia akan mengenakan sarung
tangan kapasnya, di balik setiap jari sarungnya tersembunyi jarum
beracun yang amat berbahaya. Dengan menggunakan tenaga
dalamnya ia bisa memancarkan jarum itu untuk melukai lawannya.
Senjata yang digunakan Tong Sang adalah tongkat Longgeepang
(Tongkat Gigi Srigala) tapi di balik tiap giginya disisipkan jarum
beracun. Orang yang tak berpengalaman, bukan saja akan terluka
oleh gigi senjatanya, tetapi juga terhajar jarum beracun rahasia itu.
Sudah lima tahun Tong Hong berempat bertugas di situ, entah
sudah berapa banyak orang yang tewas di tangan mereka.
Pengeta¬huan mereka tentang daerah ini sudah amat dalam,
mereka pun sudah terbiasa untuk mengamati sasarannya dari jarak
sepuluh kaki jauhnya.
Tak heran kalau kemunculan Gi Pek-bin sudah sejak awal
segera mereka ketahui. Dengan cepat mereka berempat serentak
bersembunyi di kedua belah sisi jalan, Tong Hong dan Tong Bian
bersembunyi di sebelah kiri sementara Tong Bwee dan Tong Sang
bersembunyi di sebelah kanan.
Tong Hong dan Tong Bwee berada di depan sedang Tong
Bian dan Tong Sang berada di belakangnya. Dalam pada itu Gi Pekbin
masih mengikuti jalan setapak dengan santai, sama sekali dia tak
menyangka kalau dari balik belukar ada empat pasang mata sedang
mengawasi gerak-geriknya. Menanti sampai Gi Pek-bin sudah berada

satu kaki melewati tempat persembunyian Tong Hong berdua, saat
itulah Tong Bian dan Tong Sang melompat keluar secara tiba-tiba.
Dengan sangat terkcjult Gi Pck-bin bcrbalik ke belakang dan
terus maju, tapi dengan cepat dia menghentikan gerakan tubuhnya,
karena ternyata Tong Hong berdua sudah muncul pula dari balik
persem¬bunyian, menghadang jalan mundurnya. Tanpa banyak
bicara dia mencabut keluar goloknya, lalu tanpa mengucapkan
sepatah kata pun melancarkan serangan kilat ke sisi kiri jalan.
Dia memang sengaja menyerang ke sebelah kiri karena
dilihatnya Tong Sang hanya bersenjata sebuah tongkat Longgeepang,
sementara Tong Bian hanya bertangan kosong. Begitu tiba di
sisi Tong Bian, golok lemasnya langsung diayunkan menyambar
pinggang lawan. Tong Bian tidak melayani serangan itu, dia
mengegos ke samping lalu mundur dua langkah.
Tepat di saat Tong Bian bergerak mundur, Tong Sang
mendesak dua langkah ke depan, senjata Longgee-pangnya
bergerak dari kiri menuju ke kanan menghadang jalan pergi Gi Pekbin.
Menghadapi ancaman tersebut, buru-buru Gi Pek-bin melompat
mundur. Tong Hong masih belum bergerak, dia hanya berjaga-jaga
tepat di tengah jalan.
Memang beginilah perjanjian mereka, bila keadaan tidak
mendesak mereka tak akan main kerubut, bila musuh menggunakan
golok maka yang memakai senjata golok yang bertugas
menghadapi.
Ooo)))(((ooo
Setiap orang yang menguasai ilmu silat, hampir semuanya
memiliki keyakinan yang besar atas kemampuan kungfu sendiri.
Tentu saja Tong Bwee tidak terkecuali, malah ia memberikan sebuah
nama yang istimewa bagi ilmu golok andalannya.
Tong Bwee memang tidak suka alat musik, tapi ia memberi
nama ilmu goloknya mirip dengan sebuah lagu kenamaan, hanya
saja lantaran di balik golok bweehoa-to nya tersimpan senjata
rahasia beracun maka ia sebut ilmunya adalah Bwee-hoa-sam-ping
(Tiga Petikan Bunga Bwee).
Bacokan golok yang dilancarkan Tong Bwee tadi tak lain
adalah jurus kedua dari Bwee-hoa-sam-ping yang disebut Bwee-kayji-
tok (Bunga Bwee Mekar Kedua Kalinya), mata golok membabat

pinggang Gi Pek-bin dengan sangat cepat. Jika musuh belum
terpengaruh akan disusul dengan bacokan kedua yang jauh lebih
cepat, sebelum sambaran pertama selesai.
Gi Pek-bin memiliki ilmu menyamarkan wajah nomor wahid
di kolong langit, itu bukan berarti ilmu goloknya lemah. Ketika
melihat datangnya ancaman itu, dengan cepat dia menggeser golok
lemasnya ke bawah, lalu dengan kecepatan tinggi membendung
datangnya serangan gelombang pertama. Tong Bwee mencabut
mundur goloknya dengan segera, kembali dia membabat pinggang
lawan.
Gi Pek-bin tertawa dingin, dengan gerakan yang sama-sekali
tak berubah, sekali lagi ia membendung bacokan itu.
“Tranggg!” percikan bunga api memancar ke empat penjuru,
kedua belah pihak sama-sama mundur satu langkah.
Biarpun baru bentrok satu gebrakan, siapa menang siapa
kalah segera sudah ketahuan. Tong Bwee mengerti, dia masih kalah
cepat dari musuhnya, maka untuk kedua kalinya kembali ia
menyerang dengan jurus “Dat-soat-Sim-bwee” (Menginjak Salju
Mencari Bunga Bwee).
Menginjak salju adalah satu perbuatan yang memerlukan
perhitungan matang, bila menginjakkan kaki terlalu berat, bisa jadi
kaki akan terperosok. Sebaliknya bila diinjak terlalu ringan, kita bisa
tergelincir dan jatuh terpelanting, maka kapan harus memakai
tenaga dan kapan tidak merupakan kunci keberhasilan melangkah.
Setengah jurus pertama dari Tong Bwee adalah Dat-soat
atau Menginjak Salju, itu berarti gerak serangan goloknya harus
digunakan dengan tenaga yang tepat dan ringan. Bukan saja setiap
saat harus mengintai kelemahan musuh, begitu ada kesempatan
bacokannya harus mematikan. Sedangkan setengah jurus terakhir
adalah Mencari Bunga Bwee atau Sim-bwee, bunga bwee sama
artinya dengan senjata rahasia, itu berarti begitu ada peluang maka
dia akan merobohkan musuh dengan jarum beracunnya.
Jurus serangan dari Tong Bwee ini sangat hebat dan belum
pernah gagal. Sayang kali ini dia tak berhasil mewujudkan
impiannya. Walaupun ia telah berupaya mengurung musuhnya
dengan ketat, namun golok lemas dari Gi Pek-bin seolah-olah telah
menyelubungi sekujur badannya hingga tak setitik kelemahan pun
yang tampak. Dalam keadaan begini, mau tak mau Tong Bwee harus
menggunakan senjata rahasianya.

Ia menyalurkan tenaga dalamnya dan dua buah gelang di
atas goloknya segera terbang, disusul dengan semburan senjata
rahasia beracun bweehoa-ciam ikut menyembur ke seluruh angkasa.
Dalam perkiraannya, dengan serangan yang begitu dekat dan rapat,
akan sulit bagi musuhnya untuk meloloskan diri.
Siapa tahu, entah sejak kapan, tahu-tahu dalam genggaman
Gi Pek-bin telah bertambah dengan sebuah kain karung goni.
Dengan sekali ayunan tangan kirinya yang cepat, seluruh jarum
beracun yang menyembur itu tiba-tiba telah tergulung ke dalam
karungnya. Sadar keadaan tidak menguntungkan, Tong Hong segera
memben¬tak nyaring sambil mengayunkan tangan kirinya. Sebutir
senjata rahasia hong-ko (buah waru) melesat ke udara, langsung
mengancam dada kanan Gi Pek-bin.
Dia memang sengaja menyerang dada kanan Gi Pek-bin,
sebab dia tahu tangan kiri lawannya mencekal karung goni,
sementara tangan kanannya memegang golok. Orang dalam
keadaan seperti ini, tanpa sadar ia akan menggunakan goloknya
untuk menghadang kedatangan serangan senjata rahasia itu. Inilah
yang ditunggu-tunggu Tong Hong, sebab bila senjata rahasianya
ditangkis, benda itu segera akan meledak dan menyemburkan cairan
beracun.
Ternyata perhitungan Tong Hong sangat tepat, Gi Pek-bin
menggunakan goloknya untuk menangkis datangnya serangan
senjata rahasia itu. Melihat ujung golok musuh segera akan
membentur senjata rahasianya, tanpa sadar Tong Hong berempat
kegirangan, bahkan sekulum senyuman girang sempat terlintas di
wajah Tong Bwee.
Begitu melihat senyuman itu, Gi Pek-bin segera sadar bahwa
keadaan tidak menguntungkan baginya, buru-buru dia getarkan
goloknya ke samping lalu ditariknya dengan mendadak. Setelah itu
sambil mengerahkan hawa murninya ia membuat satu gerakan
setengah busur, dia memaksa senjata rahasia itu memperlambat
gerak luncurnya dan kemudian rontok ke tanah.
Pada saat itulah Gi Pek-bin mengayunkan karung goninya
dan menyambar senjata rahasia hong-ko itu. Paras Tong Bwee dan
Tong Hong berubah hebat, sementara Tong Bian dan Tong Siang
yang berdiri di belakang Gi Pek-bin segera sadar kalau serangan
saudaranya gagal total. Dengan segera mereka menerjang ke depan
sambil mengancam.

Tong Bian secara beruntun melepaskan empat buah pukulan
berantai, angin serangan yang menderu-deru memekakkan telinga
dan perbawanya benar-benar luar biasa. Sementara Tong Siang
dengan senjata tongkat gigi srigalanya membacok tengkuk lawan.
Pedang Tong Hong dan golok Tong Bwee tidak tinggal diam,
mereka ikut meluruk ke depan sambil menyerang tubuh Gi Pek-bin.
Dalam keadaan begini mereka berempat sudah tidak peduli dengan
aturan dunia persilatan, yang terpikir hanya bagaimana merobohkan
musuh secepat mungkin. Bila satu orang tak sanggup maka dua
orang akan maju, bila dua orang tak sanggup, mereka berempat
akan maju bersama.
Bisa dibayangkan betapa dahsyat dan gencarnya serangan
keempat orang itu. Dalam keadaan seperti ini, Gi Pek-bin hanya
mampu menangkis sambil mempertahankan diri.
Lebih kurang seminuman teh kemudian, tiba-tiba Gi Pek-bin
membentak nyaring, “Berhenti!”
Keempat orang jago itu segera menghentikan serangan, tapi
mereka tetap mengawasi Gi Pek-bin dengan penuh kewaspadaan.
Gi Pek-bin sadar, kemampuannya belum sanggup untuk
mengalahkan mereka berempat, maka sambil menurunkan goloknya
dia menegur ke arah Tong Hong, “Sebenarnya apa maumu?”
“Kami minta kau segera balik ke Benteng Keluarga Tong!”
“Kenapa?”
“Tidak ada apa-apa, kami hanya ditugaskan untuk menahan
siapa saja yang meninggalkan Benteng Keluarga Tong di tengah
malam buta dan membawanya balik ke markas.”
“Untuk diinterogasi?”
“Kalau soal itu sih tergantung tingkat kerjasamamu!” Tong
Hong tertawa.
Gi Pek-bin tidak bicara lagi, dia selipkan kembali goloknya di
pinggang lalu sambil memberi tanda dengan tangan kirinya dia
bergegas meninggalkan tempat itu. Tong Hong berempat segera
menyingkir ke samping memberi jalan, tapi begitu Gi Pek-bin berlalu,
mereka berempat pun segera mengintil dari belakang.
Ooo)))(((ooo

Ketika Gi Pek-bin digelandang balik ke Benteng Keluarga T(
>ng, waktu itu Cing-cing sedang membuka pintu sambil berjalan
masuk ke dalam ruangan.
Begitu melihat kemunculan perempuan itu, Tong Koat
segera menegur, “Kau berhasil menemukan sesuatu?”
“Tidak!” Cing-cing menggeleng.
“Apakah kemampuan Sangkoan Jin memang hebat?” sela
Tong Hoa tiba-tiba.
“Yaa, dia kuat sekali, tak beda dengan anak muda...”
Sekulum senyuman sesat segera tersungging di ujung bibir
Tong Hoa dan Tong Koat, sebaliknya paras muka Tong Ou sama
sekali tak berubah.
“Kalau begitu pergilah beristirahat,” perintah Tong Koat
sambil mengulapkan tangannya, “bila menemukan sesuatu segera
lapor kemari.”
Cing-cing mengiakan sambil berlalu. Dia berjalan sangat
lamban, ketika membuka pintu ia nampak agak sangsi sejenak tapi
kemudian berlalu tanpa berpaling lagi. Dia memang tak tega
mengkhianati Sangkoan Jin, sebab ia sadar bila apa yang ia temukan
dilaporkan kepada Tong Koat, Sangkoan Jin bakal mengalami nasib
yang mengerikan. Bagi ia sendiri, ini sama artinya dengan
kehilangan kesempatan untuk bertemu, bergaul dan menikmati
kegembiraan bersama Sangkoan Jin.
Bagaimanapun dia masih merasa berat untuk kehilangan
kenikmatan hidup seperti ini, maka ia terpaksa harus membohongi
Tong Koat. Tapi ada satu hal yang dia tak ketahui, ia tidak tahu
kalau Gi Pek-bin telah tertangkap dan sedang digelandang ke
markas. Seandainya Gi Pek-bin sampai buka suara dan mengakui
semua tujuan kedatangannya ke Benteng Keluarga Tong, maka
Cing-cing pun akan terancam hukuman mati karena kebohongannya.
Tentu saja semua itu baru akan terjadi bila Gi Pek-bin mengambil
keputusan yang salah sewaktu bertemu dengan Tong Ou nanti.
Ooo)))(((ooo
Cing-cing memang tidak mengetahui rahasia ini, namun
Tong Ou sekalian sedang merasa amat gembira karena orang yang
berada di hadapan mereka sekarang tak lain adalah Gi Pek-bin yang
berhasil digelandang balik.

Paras muka Gi Pek-bin sangat hambar nyaris tanpa
perasaan, sikap hambar semacam ini segera menimbulkan
kecurigaan Tong Ou, jangan-jangan wajah yang berada di
hadapannya kini juga wajah palsu? Tapi ia merasa persoalan itu
tidak penting, yang paling penting saat ini adalah mencari tahu apa
maksud dan tujuan kedatangannya ke Benteng Keluarga Tong.
Belum sempat Tong Ou buka suara, Gi Pek-bin sudah bicara
lebih duluan, ujarnya, “Tentunya kalian ingin tahu kenapa aku
datang ke Benteng Keluarga Tong bukan?”
“Pintar amat orang ini,” batin Tong Ou, “kelihatannya aku
tak perlu membuang banyak waktu untuk menanyainya, hanya saja
yang menjadi masalah sekarang adalah jujurkah setiap
jawabannya?”
Melihat orang-orang itu mengangguk, Gi Pek-bin bicara lebih
lanjut, “Bila kujawab kedatanganku hanya untuk berniaga, tentunya
kalian tak bakal percaya bukan?”
Tentu saja! Semua orang kembali manggut-manggut.
“Lantas apa yang kalian harapkan? Kalian berharap apa yang
sedang kulakukan di sini?” kembali Gi Pek-bin bertanya.
“Lihay amat orang ini,” pikir Tong Ou. Dia tidak menjawab,
sinar matanya dialihkan ke wajah Tong Koat.
Begitu bertemu dengan sinar mata toakonya, Tong Koat
segera mengerti maksud Tong Ou, maka ujarnya, “Tentu saja kami
berharap kedatanganmu benar-benar untuk berniaga, tapi kau tidak
bukan?”
“Tepat sekali!”
“Jadi kau datang mencari seseorang?”
“Benar!”
“Siapa?”
“Sangkoan Jin!”
Seketika suasana berubah jadi serius dan berat. Memang
inilah jawaban yang diharapkan Tong Ou sekalian, tapi mereka tak
menyangka diutarakan secepat itu dari mulut Gi Pek-bin, kenyataan
ini mengagetkan mereka. Tong Koat mulai merangkum semua
keterangan yang telah diperolehnya hingga kini. Kalau memang
kedatangan Gi Pek-bin untuk mencari Sangkoan Jin, kenapa tidak
berusaha untuk berbohong? Kenapa Cihg-cing bisa tak mengetahui
persoalan ini? Apakah karena kelihayan Sangkoan Jin
menyembunyikan semua jalan pikiran dan tingkah-lakunya? Atau

justru Cing-cing yang telah mengelabuhi mereka? Kalau benar
perempuan itu berbohong, kenapa ia mesti membohongi mereka?
Tong Koat tidak berpikir lebih lanjut, karena Tong Ou telah
menegur lebih dulu, “Kenapa kau datang mencarinya?”
“Karena ada urusan.”
“Urusan apa?”
“Urusan pribadi.”
“Urusan pribadi?”
“Benar!”
“Aku rasa belum tentu begitu,” tukas Tong Koat tiba-tiba,
“menurut hasil penyelidikanku, sejak datang kemari kau tak pernah
berbicara sepatahkata pun dengan Sangkoan Jin.”
“Tanpa bicara pun kami dapat berhubungan.”
“Ooh, tentu saja bisa,” Tong Koat mengangguk, “tapi
biasanya, hubungan itu dilakukan secara sembunyi-sembunyi!”
“Benar, memang itulah rahasia kami. Masa kalian ingin tahu
rahasia itu?
“Benar, kami ingin tahu,”kata Tong Ou. “Kalau aku tak ingin
bicara?”
“Terserah,” kata Tong Koat, “cuma aku perlu
memperingatkan lebih dulu, kami dari Keluarga Tong memiliki
sejumlah obat beracun yang dapat membuat orang lemas, kegatalan
dan kehilangan kekuatan.”
Gi Pek-bin hanya mengawasi Tong Koat tanpa bicara,
tampaknya ia sedang memikirkan sesuatu, namun pada wajahnya
sama sekali tak nampak ada perubahan. Kini Tong Ou sudah yakin,
Gi Pek-bin pasti telah mengenakan selembar kulit manusia untuk
menutupi wajah aslinya. Seperti apakah wajah aslinya? Tong Ou
tidak ingin tahu, yang ingin diketahui olehnya saat ini hanya tujuan
sebenarnya atas keda¬tangannya mencari Sangkoan Jin.
Lama sekali Gi Pek-bin mengawasi wajah Tong Koat tanpa
berkedip, sepeminuman teh kemudian barulah ia membuka suara,
katanya, “Padahal... bicara terus-terang pun tak masalah, aku hanya
merasa bersalah kepada Sangkoan Jin.”
“Merasa bersalah kepada seseorang? Itu sih cuma
perasaan!” jengek Tong Koat sambil tertawa dingin, “kalau sampai
kena dicekoki racun hingga sekujur badan kesemutan dan gatalgatal,
itu baru siksaan yang sesungguhnya. Apalagi kalau sampai

nyawa berada di ujung tanduk, salah kepada orang jadi masalah
yang sama sekali tak berarti!”
Ancaman itu jelas disampaikan untuk menakut-nakutinya,
tapi tak seorang pun dapat melihat apakah Gi Pek-bin berhasil
dibikin ketakutan atau tidak. Wajahnya tetap dingin, hambar dan
tidak menunjukkan perubahan sedikit pun.
“Manusia punya nama, pohon punya bayangan, aku
memang tahu senjata rahasia beracun dari Benteng Keluarga Tong
merupakan kepandaian nomor wahid di kolong langit,” kata Gi Pekbin
kemudian.
Tong Koat mendengus.
“Hmm, kalau sudah tahu, aku pun tak usah menjabarkan
lebih jauh...”
“Ya, aku bukan hanya pernah mendengar, aku bahkan
pernah menyaksikan dengan mata kepala sendiri.”
“Oh ya?”
Paras muka Gi Pek-bin berkerut kencang, mungkin dia
sedang tertawa. Lalu dia mengulurkan tangannya ke belakang
tengkuk, kemudian menariknya kuat-kuat, selembar kulit manusia
segera terlepas dari wajahnya. Tong Ou, Tong Koat maupun Tong
Hoa segera berseru tertahan, mereka kaget sekali, mereka menatap
wajah asli Gi Pek-bin dengan mata melotot dan mulut melongo.
Wajah yang tampil di hadapan mereka sekarang adalah
selembar wajah penuh bekas luka bakar, nyaris tak ada daging yang
tersisa di situ. Semuanya bergumpal menjadi kulit yang penuh
kerutan. Begitu buruk dan jeleknya muka itu, tak heran kalau
membuat siapa saja yang melihatnya jadi terperanjat.
Tapi bukan wajah jelek itu yang membuat mereka
terperanjat, walaupun muka itu penuh bekas luka bakar, penuh
kerutan dan parutan yang memuakkan, namun dalam sekilas
pandang saja mereka segera mengenali orang itu. Dia adalah Tong
Sip-jit. Ya, dia adalah Tong Sip-jit dari Benteng Keluarga Tong yang
dikabarkan telah tewas secara mengenaskan. Tewas dalam sebuah
kebakaran hebat yang terjadi pada tujuh tahun berselang.
Dalam kebakaran dahsyat itu, entah pihak Tayhong po
berhasil menyuap siapa, nyatanya mereka berhasil mendapat tahu
bahwa orang-orang benteng Tayhong-po yang berhasil disuap
Benteng Keluarga Tong sedang berpesta-pora malam itu. Arak yang

dihidangkan mereka campuri obat pemabuk, kemudian melepaskan
api untuk membakar semua yang ada di situ...
Walapun tujuh tahun telah berlalu, namun luka yang sangat
mendalam ini masih membekas dalam hati setiap tokoh, setiap
pentolan Benteng Keluarga Tong. Dalam peristiwa itu pihak Keluarga
Tong telah kehilangan tigapuluh delapan orang. Bahkan hingga kini
mereka masih belum tahu, dengan cara apa pihak Tayhong-po bisa
tahu kalau mereka sedang berpesta-pora malam itu. Mereka juga
tidak tahu siapa yang berhasil disuap benteng Tayhong-po dan
membocorkan rahasia itu.
Dan sekarang, Tong Sip-jit yang dikira sudah tewas pada
tujuh tahun berselang ternyata muncul kembali dalam keadaan
hidup, bagaimana mungkin Tong Ou tidak terbelalak dibuatnya?
Lama sekali Tong Koat mengawasi wajah orang itu,
kemudian dengan nada setengah percaya ia menegur, “Tong Sipjit?”
Orang itu mengangguk.
“Kau belum mati?” kembali tegurnya.
Mana ada orang mati bisa berdiri di situ? Tentu saja
mustahil. Tapi kemunculan Tong Sip-jit sama sekali di luar dugaan,
sedemikian di luar dugaannya sehingga Tong Koat sekalian tak
berani mempercayai dengan begitu saja. Akan tetapi, kenyataan
tetap kenyataan.
Tong Ou tidak berkata apa-apa, dia menghampiri Tong Sipjit
lalu mulai meraba seluruh muka yang penuh keriput itu. Ternyata
kerutan itu asli, kulit wajah asli, bukan topeng kulit manusia. Setiap
guratan, setiap kerutan, semuanya asli.
Dari perubahan mimik muka Tong Ou, Tong Hoa segera
tahu kalau orang yang berada di hadapannya memang Tong Sip-jit
yang sesungguhnya, maka tak tahan ia bertanya, “Sebenarnya apa
yang telah terjadi?”
Dengan pedih Tong Sip-jit tertawa dingin, “Panjang
ceritanya...”
Dia mulai mengisahkan pengalaman hebat yang dialaminya
tujuh tahun berselang itu. Karena minum arak yang telah dicampuri
obat pemabuk, begitu kebakaran terjadi dia tersentak hingga jatuh
tak sadarkan diri. Sebelum j atuh pingsan, ia sempat melihat
keadaan rekan-rekannya yang hampir serupa, sama sekali tak

mampu berkutik. Ia sadar bahwa rekan-rekan yang lain pun
mengalami nasib yang sama.
Ketika ia sadar kembali dari pingsannya, ia mengira dirinya
telah berada dalam neraka. Tapi begitu membuka mata, ia
mendapatkan bahwa di sekelilingnya ada bangku yang terbuat dari
bambu, jendela bambu dan pintu bambu. Baru ia sadar, dirinya
masih hidup di alam nyata.
Kemudian dia pun mulai merasakan kulit wajahnya yang
sakit sekali, sedemikian sakitnya sampai ia merintih kesakitan. Tibatiba
dia mendengar pintu bambu didorong orang dan tampak
seorang nenek berjalan menghampirinya.
Sebelum nenek itu berjalan mendekat, ia sudah jatuh tak
sadarkan diri kembali saking kesakitannya. Seingatnya, ia kadang
pingsan kadang sadar berkali-kali. Setiap sadar kembali dia akan
merintih penuh penderitaan, tiap kali dia merintih pasti ada orang
yang muncul di ruangan itu untuk menje¬nguknya. Anehnya, orang
yang muncul ke dalam ruangan itu selalu orang yang berbeda, dari
si bongkok sampai si bisulan, dari pemuda ganteng sampai nenek
peyot, dari gadis cantik yang menawan bagai bidadari hingga kakek
tua yang penuh keriput.
Ia tidak ingat jelas sudah berapa kali dirinya jatuh pingsan,
dia pun tak tahu sudah berapa banyak orang yang dijumpainya.
Tatkala kesadarannya benar-benar telah pulih kembali, orang yang
dijumpai adalah seorang lelaki setengah umur.
Ketika melihat ia sadar kembali, sambil tersenyum pria
setengah umur itu berkata, “Jangan kuatir, kondisimu saat ini sudah
tidak berbeda dengan orang waras lainnya!”
Ia tahu lelaki setengah umur inilah yang telah menolong dia,
atau paling tidak, keluarga orang inilah yang telah menyelamatkan
jiwanya. Ingin sekali ia bangkit berdiri untuk menyatakan rasa terima
kasihnya, sayang tak sedikit pun tenaga dimilikinya. Biarpun
mulutnya terbuka, namun tak sepotong suara yang keluar.
Lelaki setengah umur itu segera menahan bahunya agar dia
tidak bangkit, kemudian meneruskan, “Kau perlu beristirahat tiga
hari lagi sebelum punya tenaga untuk berbicara. Sekarang
berbaringlah dulu untuk istirahat, dalam tiga hari ini kau tetap akan
sadar sepenuhnya, namun badanmu belum dapat bergerak. Ya,
memang akan terasa sedikit menyiksa!”

Habis berkata, lelaki setengah umur itu pun berlalu dari situ.
Tiga hari berikut, kecuali sedang tertidur, benar saja ia sadar seratus
persen. Ia dapat melihat, mendengar dan merasakan segala
sesuatu, namun tak sedikit pun tenaga bisa digunakan. Ia sempat
menjumpai seorang gadis yang cantik jelita bak bidadari dari
kahyangan datang merawatnya, menyuapi bubur untuknya.
Ia pun melihat ada seorang lelaki setengah umur yang
berdandan pelayan datang menggantikan pakaiannya dan
membersihkan seluruh tubuhnya dengan kain basah. Ia berjumpa
dengan setiap orang yang pernah dijumpainya sewaktu masih
setengah sadar tempo hari. Anehnya orang-orang itu selalu muncul
seorang diri, tidak pernah mereka muncul berduaan. Bahkan
munculnya juga selalu bergiliran.
Pada pagi hari ketiga, ketika ia membuka matanya kembali,
sadarlah dia bahwa selembar nyawanya berhasil diselamatkan dari
pintu neraka. Ia dapat merasakan seluruh kekuatan tubuhnya telah
pulih kembali dan ia mencoba bangkit untuk memeriksa tangan dan
kakinya. Seketika perasaan heran menyelimuti hatinya. Aneh,
kenapa tak setitik luka pun yang dijumpai baik di lengan maupun di
kakinya?
Ia mencoba untuk meraba wajahnya sendiri, sebab sesaat
sebelum pingsan sewaktu terjadi kebakaran itu, yang sempat
dirasakannya adalah wajah yang terbakar kobaran api. Begitu
meraba, dia amat terperanjat, ternyata tangannya tidak menyentuh
kulit yang tebal dan kasar, melainkan selembar kulit muka yang
halus sekali. Ia duduk terkesima dan menjerit tertahan saking kaget
dan ngeri¬nya.
Saat itulah pintu kembali terbuka, lelaki setengah umur yang
dijumpai tiga hari berselang muncul kembali sambil menghibur, “Kau
tak usah takut, biarpun wajahmu terluka bakar, namun setelah
bertemu dengan aku, Jian-jiu-sin-ih (Tabib Sakti Bertangan Seribu),
kulit wajahmu yang terbakar itu pasti akan sembuh seperti sedia
kala. Tentu saja setelah kulit yang baru tumbuh kembali, akan ada
bekas-bekas kerutan yang membuat permukaan kulitmu tidak rata.
Memang sedikit jelek, tapi apa salahnya? Bukankah selembar
nyawamu jauh lebih penting daripada tampang yang jelek?”
Tong Sip-jit segera melompat turun dari pembaringan dan
menjatuhkan diri berlutut serta menyembah berulangkali sambil
berseru, “Terima kasih atas pertolongan ini...”

“Bagus, bagus sekali.” Tabib Sakti Bertangan Seribu
tersenyum sambil manggut-manggut, kemudian tak berbicara apaapa
lagi.
“Bolehkah aku tahu nama In-jin (tuan penolong)?” kembali
Tong Sip-jit bertanya.
“Tabib Sakti Bertangan Seribu Yo Si-heng!”
“Ooh, rupanya Yo-injin!” seru Tong Sip-jit, sementara dalam
hatinya ia berpikir, “Aneh benar, ilmu tabib yang dimiliki Tabib Sakti
Bertangan Seribu ini sangat tinggi, kenapa aku tidak pernah
mendengar nama besar-nya?
“Kenapa?” tegur tabib sakti tiba-tiba, “kau heran bukan?
Mengapa sebelumnya tak pernah mendengar nama julukanku ini?”
“Tidak berani, tidak berani...”
“Bangun dan duduk kembali di ranjangmu,” kembali Yo Siheng
berkata sambil tertawa, “sekarang kondisi tubuhmu belum
pulih kembali, masih butuh banyak istirahat!”
Setelah mengucapkan terima kasih, Tong Sip-jit kembali ke
atas pembaringannya.
Setelah termenung sesaat dan menatap wajah Tong Sip-jit
berapa saat, Yo Si-heng baru berkata lagi, “Selama ini aku hidup
mengasingkan diri, jauh dari keramaian dunia, jauh dari nama dan
keuntungan pribadi. Aku selalu berusaha menyelamatkan mereka
yang nyaris terbunuh di tangan musuh besarnya. Tahukah kau
kenapa aku berbuat begini?”
Tong Sip-jit tidak menjawab, dia hanya mengawasi tabib
sakti itu sambil menggeleng.
“Karena ayahku telah memilihkan nama yang sangat baik
untukku, yakni 'Si-heng'. Tinggalkan segala kebencian di dalam
dunia. Ketika aku berhasil menyelamatkan orang dari kematian,
tahukah kau apa yang tersisa dalam hati dan pikiran orang-orang
itu? Dalam hati mereka pasti timbul 'si-heng', sisa-sisa kebencian.
Mereka pasti ingin mencari musuh besarnya dan berusaha membalas
dendam...”
Tong Sip-jit tidak berkata apa-apa, rasa heran makin
mencekam hatinya.
“Aneh, mana ada orang yang bertujuan menyisakan rasa
kebencian di saat selamatkan orang lain?” demikian ia berpikir.
Menyaksikan perubahan mimik muka Tong Sip-jit, sambil
tertawa Yo Si -heng kembali berkata, “Kau jangan salah mengartikan

maksudku, bukankah sudah kukatakan: Tinggalkan sisa kebencian di
dunia ini?”
Tong Sip-jit manggut-manggut.
Kembali Yo Si-heng berkata, “Setelah kuselamatkan dirimu
dari amukan api di gedung Tayhong-tong, tentu saja kau masih
menaruh perasaan dendam terhadap orang-orang Tayhong-tong
bukan?”
Sekali lagi Tong Sip-jit mengangguk.
“Kau tahu apa artinya tinggalkan segala kebencian di alam
dunia?” desak Yo Si-heng lebih jauh sambil tertawa.
“Tidak terlalu jelas, karena aku memang tak banyak
membaca buku.”
“Kalau begitu kujelaskan sekarang, aku meminta kau untuk
meninggalkan semua kebencianmu di alam dunia ini saja. Lepaskan
niatmu untuk membalas dendam.”
Kali ini Tong Sip-jit bukan tercengang, tetapi amat
terperanjat, dia masih agak bingung oleh perkataan Yo Si-heng.
“Setiap kali berhasil menyelamatkan seseorang,” kembali Yo
Si-heng berkata, “kecuali kuselamatkan nyawanya, aku pun akan
berusaha menyelamatkan jiwanya. Aku ingin menghilangkan semua
benci dan dendam yang berkecamuk dalam perasaannya.”
Kata-kata terakhir Yo Si-heng ini diucapkan amat lambat,
sepatah demi sepatah. Kemudian dia menambahkan, “Termasuk
juga dirimu!”
Sekarang Tong Sip-jit baru memahami maksud orang itu.
Rupanya selain menyelamatkan nyawanya, Yo Si-heng juga ingin
memusnahkan segala perasaan benci, sakit hati dan dendamnya
terhadap pihak Tayhong-tong.
Tapi mungkinkah? Orang-orang Tayhong-tong telah
membakarnya hingga begitu rupa, membuat tubuhnya menderita,
membuat wajahnya jelek. Bisakah dia menghilangkan semua rasa
benci dan dendamnya?
Dalam pada itu Yo Si-heng masih mengawasi terus wajahnya
tanpa berkedip, agaknya ia dapat memahami apa yang sedang
dipikirkannya. Belum sempat Tong Sip-jit mengucapkan sesuatu, si
Tabib Sakti sudah melanjutkan, “Jika aku tidak menolongmu
sekarang kau sudah mati, mungkinkah masih ada rasa benci dan
dendam di hatimu? Sebab itu kau seharusnya menganggap dirimu
sebagai seorang bayi yang baru lahir, mulai belajar segala

sesuatunya dari awal. Apalagi jika kau hidup di tengah gunung yang
berkawan pepohonan dan mega, tidak ada tempat bagi dendam atau
benci di tempat ini. Maka cobalah belajar menjadi seorang manusia
baru, manusia baru yang tak punya rasa benci, sakit hati serta
dendam kesumat!”
Dengan mata terbelalak lebar Tong Sip-jit mengawasi orang
aneh itu, untuk sesaat dia tak tahu apa yang mesti dikatakannya.
Selesai mengucapkan pesannya, Yo Si-heng segera bangkit
berdiri dan tambahnya kepada Tong Sip-jit, “Coba kau
pertimbangkan baik-baik kata-kataku itu.”
Lalu ia pergi meninggalkan tempat itu. Tong Sip-jit berdiri
terbelalak sampai setengah harian lamanya sebelum pulih kembali
kesadarannya. Sesudah sadar ia buru-buru lari ke pintu bambu,
membukanya dan melongok ke luar. Namun di luar sana tak nampak
sesosok bayangan manusia pun, yang terlihat hanya pohon bambu
yang berjajar rapi. Di antara goyangan daun bambu yang gemulai
tampak sebuah jalan kecil yang meliuk-liuk menembus kaki langit.
Tong Sip-jit ragu sesaat sebelum akhirnya dia menelusuri
jalan kecil itu. Tapi baru dua langkah, seorang gadis telah muncul
menyong¬song kedatangannya. Tong Sip-jit mengenali gadis itu
sebagai nona cantik yang merawat dirinya.
Buru-buru dia maju menghampiri. Belum lagi kata terima
kasih meluncur keluar, nona cantik itu dengan wajah cemberut telah
menukas lebih dulu, “Kembalilah ke kamarmu dan pertimbangkan
kembali nasehat tadi!”
Habis berkata dia membalikkan badan dan berlalu. Sekali
lagi Tong Sip-jit berdiri terbelalak dengan wajah bingung, dia tak
tahu apa yang harus diperbuat. Yo Si-heng memintanya untuk
mempertimbangkan, jelas yang dia maksud adalah melupakan
semua dendam dan sakit hati. Tapi apa pula yang diminta si nona ini
sekarang? Apakah dia pun memintanya untuk mempertimbangkan
agar melupakan semua dendam dan sakit hatinya?
Mengapa mereka semua mendesaknya agar
mempertimbangkan kembali masalah tersebut? Padahal semuanya
sudah jelas, apa lagi yang perlu dipertimbangkan? Masalah dendam
dan sakit hati adalah masalah besar, mungkinkah dihapus dengan
begitu saja? Setelah berdiri termangu berapa saat lamanya, kembali
Tong Sip jit melanjutkan perjalanannya ke depan. Baru berapa

langkah, lagi-lagi muncul seorang nenek berambut putih yang
menghadang jalannya.
Kejadian aneh kembali berlangsung. Sementara dia
menyongsong kedatangan si nenek dengan berbagai pertanyaan,
seperti halnya dengan gadis cantik itu, si nenek pun berkata
kepadanya dengan wajah tanpa perasaan, “Baliklah ke kamarmu dan
pertimbangkan dulu masak-masak sebelum pergi dari sini.”
Kali ini Tong Sip-jit termangu lebih lama lagi. Dia betul-betul
dibikin kebingungan, dia tak tahu permainan apa yang sebenarnya
yang sedang dipersiapkan Tabib Sakti Bertangan Seribu ini. Ia
memutuskan untuk tidak berjalan lebih jauh dan balik ke dalam
kamarnya.
Sekembalinya ke ruangan, dia duduk termenung di jendela
sambil mengawasi hembusan angin yang menggoyang ranting
bambu. Pikirnya, “Bila kondisi badanku betul-betul sudah sehat,
benarkah aku mesti melupakan semua dendam dan sakit hati?
Perlukah aku datang ke Tayhong-tong untuk membuat
perhitungan?”
Hari makin larut malam, dia masih duduk mematung di
depan jendela sambil masih memikirkan persoalan yang sama.
Ketika seorang pembantu setengah umur datang menghantar
hidangan malam, orang itu sama sekali tidak menyapanya. Setelah
meletakkan hidangan di meja, ia berlalu begitu saja. Selesai
bersantap, dia merasa sangat lelah maka tak lama kemudian sudah
jatuh tidur sangat nyenyak.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, si Tabib Sakti Bertangan
Seribu telah muncul di kamarnya dan menegurnya sambil tertawa,
“Apakah kau sudah mulai memikirkan masalah balas dendam?”
Tong Sip-jit membenarkan.
“Bagus sekali,” kata si tabib, “daripada duduk melamun
sementara lukamu butuh waktu berapa bulan lagi untuk sembuh
sepenuhnya, lebih baik kau belajar sedikit kepandaian dariku.”
Tawaran ini tentu saja disambut Tong Sip-jit dengan suka
cita. Dia mengira Yo Si-heng akan mengajarkan ilmu ketabiban
kepadanya. Di luar dugaannya, ternyata yang diajarkan adalah ilmu
merubah wajah.
“Kau tidak menyangka bukan?” kata Yo Si-heng kemudian
setelah melihat Sip jit tercengang. “Selama ini kau pasti tak habis
mengerti mengapa dengan ilmu ketabibanku yang begitu hebat, tak

seorang pun di dunia persilatan yang mengenal aku? Ha ha ha...
sebenarnya hal ini bukan hal yang aneh, aku tidak dikenal orang
karena aku mengandalkan ilmu merubah wajah. Tiap kali
menyelamatkan jiwa seseorang, aku selalu tampil berbeda, wajah
dan penampilan yang berbeda. Selain itu semua harus menjanjikan
satu hal padaku, yaitu tidak akan membuka rahasiaku dalam dunia
persilatan. Tidak terkecuali kau! Tentunya kau tidak keberatan
bukan?”
Tong Sip-jit tak punya alasan untuk menampik permintaan
itu. Sejak itu dia mempelajari ilmu menyaru wajah dari Yo Si-heng.
Kadang dia berjalan menelusuri jalan setapak untuk menghirup
udara segar, tapi setiap kali tak pernah bisa melampaui tiga ratus
langkah. Setiap kali mendekati tempat itu ia pasti akan bertemu
seseorang, entah seorang gadis atau nenek dan pertanyaan yang
diajukan tak pernah berbeda: 'Apakah pikiranmu sudah terbuka?'
Setiap kali mendapat pertanyaan itu, ia selalu kembali
berbalik ke dalam rumah karena pikirannya memang belum terbuka.
Tetap saja tidak ada alasan baginya untuk memaafkan perbuatan
biadab orang-orang Tayhong-tong itu. Hari berlalu tanpa terasa,
sudah seratus hari lebih ia berdiam di daerah perbukitan itu. Tibatiba
saja, pada suatu hari, pikirannya benar-benar terbuka.
Yang membuat jalan pikirannya terbuka bukanlah urusan
balas dendam atau sakit hati. Dia sadar bahwa andaikan dirinya
masih berada di Tayhong-tong, mungkinkah baginya untuk lolos dari
situ dengan selamat?
Maka ketika ia berjalan santai sepanjang jalan setapak dan
bertemu dengan gadis yang bertanya kepadanya, “Apakah pikiranmu
sudah terbuka?” dia pun segera menjawab, “Ya, pikiranku sudah
terbuka!”
Untuk pertama kalinya ia menyaksikan sekulum senyuman
manis menghiasi ujung bibir gadis itu, sebuah senyum yang sangat
indah.
Ketika gadis itu memberi tanda padanya agar ia segera balik
ke dalam rumah, dengan sangat penurut dia berjalan balik. Tidak
seperti biasanya, kali ini si nona mengikuti di belakangnya. Sampai
ke kamar, si nona kembali bertanya, “Pernahkah kau merasa heran
atas semua kejadian di sini?”
“Tentu saja,” jawab Tong Sip-jit, “kenapa kau selalu
menghalangi perjalananku setiap kali aku tiba di jalan setapak itu?”

“Hanya masalah itu saja?” si nona balik bertanya sambil
tertawa.
“Memangnya masih ada yang lain?” Tong Sip-jit balik
bertanya. “Tentu saja masih ada.”
“Oh ya?” Tong Sip-jit mencoba untuk mengingat. Tapi
kembali dia menggeleng, “Tak terpikir olehku masalah apa lagi yang
aneh di tempat ini...”
“Benar-benar tak terpikir? Kau tidak merasa bahwa orang
yang kau jumpai selama ini kecuali Yo sianseng, tidak ada orang lain
yang pernah menjengukmu? Benarkah kau tidak merasa aneh?”
“Ah benar, benar, benar sekali!” seakan baru sadar Tong
Sip-jit berseru. “Hal ini memang aneh sekali. Seperti si nenek,
misalnya, dia hanya pernah mengunjungi aku satu kali yaitu ketika
aku setengah sadar. Setelah itu dia tidak pernah menampilkan diri
lagi, kenapa bisa begitu?”
“Tidak ada apa-apa. Tiap kali kami datang menjengukmu,
kau tak pernah merasakan kehadiran kami.”
Jawaban ini langsung membuat sekujur badan Tong Sip-jit
merinding. Ilmu silat yang dia miliki cukup tangguh, kenapa sewaktu
tertidur dia sama sekali tidak sadar akan kehadiran orang lain?
Apalagi dari nada bicara gadis itu, tampaknya mereka sering datang
menje¬nguk. Kejadian seperti ini jelas merupakan sesuatu yang
sangat menakutkan!
“Kau merasa takut?” Pertanyaan si nona ini terdengar
menyeramkan meski disampaikan dengan nada yang lembut dan
halus.
Tak bisa ditahan, sekali lagi Tong Sip-jit merasakan bulu
kuduknya pada tegak. Melihat wajahnya itu, si nona tak kuasa lagi
menahan diri. Ia mendongakkan kepalanya dan tertawa tergelak,
suaranya keras, nyaring dan penuh tenaga, sama sekali tidak mirip
suara seorang nona, bahkan jauh lebih mirip suara kasar seorang
lelaki.
“Sama sekali tidak ada yang aneh atau menakutkan,”
kembali si nona berkata setelah tergelak berapa saat. “Semua
memang tidak kau rasakan, tapi sebenarnya semua kau saksikan
jelas-jelas!”
Tong Sip-jit menjadi tertegun. Apa maksud kata-kata nona
itu?

Tapi tak lama kemudian ia segera menyadari yang
dimaksudkan, ia sadar dan berteriak keras-keras, “Aku tahu, satu
saat pikiranmu pasti akan terbuka,” kata si nona sambil menarik
sesuatu dari belakang kepalanya. Selembar kulit manusia segera
terlepas dari wajahnya. Kini yang muncul di hadapan Tong Sip-jit
adalah seorang nenek tua.
Ketika si nenek kembali melakukan hal yang sama, melepas
selembar kulit manusia dari wajahnya,ia berubah menjadi seorang
pelayan setengah umur. Ketika selembar lagi kulit manusia
dikelupas, barulah tampil wajah Yo Si-heng yang sebenarnya.
Dengan sendirinya timbul rasa hormat Tong Sip-jit terhadap
Yo Si-heng, sebab ketika ia menyaru sebagai seorang nona, orang
itu pernah merawat dan mengurus seluruh keperluan sehari-harinya,
terlebih ketika ia sedang dalam keadaan tak sadar. Selain rasa
hormat, dia pun merasa amat kagum, sebab tidak setiap orang bisa
mengenakan tiga lembar topeng kulit manusia sekaligus tanpa
ketahuan ada celanya.
Namun di luar semua itu, dia pun merasa amat bersyukur
karena mendapat kesempatan untuk mempelajari ilmu maha sakti
ini.
Setelah menatap Tong Sip-jit sejenak, ujar Yo Si-heng, “Aku
sangat gembira karena kau bisa berpikir lebih terbuka, memahami
bahwa balas dendam tak ada gunanya. Dengan saling membenci,
kapan urusan baru bisa selesai? Andaikan kau bisa membalas sakit
hatimu, apakah orang lain tidak bisa mencarimu untuk membalas?
Saling balas bisa berlangsung turun temurun tak ada habisnya,
daripada urusan berlarut-larut sampai entah berapa keturunan,
kenapa tidak diputus saja mata rantainya sekarang?”
Tong Sip-jit tidak mengucap apa pun, dia hanya
mendengarkan nasehat itu dengan seksama.
Kembali Yo Si-heng berkata, “Kini pikiranmu sudah terbuka,
aku merasa bersyukur berbareng gembira!”
Ia meletakkan semua kulit manusia yang dilepas dari
wajahnya tadi ke atas meja, lalu dari sakunya mengeluarkan lagi
setumpuk kulit manusia yang jumlahnya puluhan. Kemudian sambil
mendorong semua itu ke hadapan Tong Sip-jit, ia berkata lebih jauh,
“Kuserahkan semua ini padamu, pelajarilah pelan-pelan, asal teliti
dan rajin belajar, tak akan sulit bagimu untuk menguasai semua
rahasianya. Aku menguasai duapuluh tujuh macam ilmu dan kau

adalah orang ke tigapuluh tujuh yang kutolong, setelah ini aku tak
bakal lagi turun gunung untuk menolong orang. Aku juga tak akan
menurunkan ilmuku kepada siapa pun lagi.”
Setelah berhenti sejenak, ia melanjutkan, “Setelah keluar
dari tempat ini, kuharap kau bisa membuang jauh-jauh ingatan
untuk membenci umat manusia. Jauhkan dirimu dari segala
pertikaian dunia. Bila semuanya aman dan damai, bukankah
semuanya akan hidup tenteram?”
Setelah menghela napas panjang, ia bangkit berdiri dan
keluar meninggalkan kamar itu. Tong Sip-jit segera mengejar keluar
tapi bayangan tubuhnya saja sudah tidak dapat ditemukan lagi.
Karena penasaran, kembali Tong Sip-jit mencoba menelusuri keliling
bukit itu. Bukan saja ia tak berhasil menemukan bayangan tubuh Yo
Si-heng, bahkan bangunan rumah lain pun tak dijumpainya. Suasana
di sekitar perbukitan itu hening dan sepi, kecuali hembusan angin
semilir tidak ada apa-apa lagi. Tong Sip-jit merasa bahwa hidupnya
selama berapa hari ini seperti mimpi saja.
Sekarang ia sudah terjaga dari alam mimpi, namun tuan
penolong dalam impiannya itu tak diketahui lagi ke mana perginya.
Ia seakan lenyap begitu saja bagai segumpal asap. Yang lebih
mengharukan Tong Sip-jit adalah kenyataan bahwa ia sudah
terlanjur merasa dekat sekali pada Yo Si-heng. Setelah mencari-cari
sampai sepuluh hari lamanya tanpa hasil, akhirnya Tong Sip-jit
memutuskan untuk turun gunung dan pergi ke tempat terjadinya
kebakaran dahulu hari.
Setiba di situ dia hanya menjumpai reruntuhan bangunan
yang telah hitam hangus dan berantakan tak karuan, di sinilah
berpuluh orang saudaranya kehilangan nyawa. Lama sekali Tong
Sip-jit berdiri termenung sambil mengingat kembali wajah dan suara
rekan-rekannya. Walaupun ia sudah berusaha keras melupakan
kejadian itu, dendam masih tetap membekas di hatinya. Ia tidak bisa
menghapus seluruh dendamnya.
Maka dia lalu menyamar sebagai seorang lelaki setengah
umur yang mengaku bernama Gi Pek-bin untuk sekali lagi menyusup
ke Tayhong-tong. Kali ini ia tidak melaporkan perbuatannya ke pihak
Benteng Keluarga Tong karena dia menganggap dengan begitu akan
jauh lebih aman baginya, di samping lebih mudah baginya untuk
mempersiapkan tugas melancarkan pukulan telak nanti.

Setelah berusaha hampir lima tahun, akhirnya dia berhasil
mendekati tokoh utama Tayhong-tong, ia ditugasi mengikuti
Sangkoan Jin. Kembali satu tahun lewat, akhirnya ia memperoleh
kepercayaan dari Sangkoan Jin untuk ikut dalam banyak gerakan
rahasia serta perencanaan besar. Dia sudah menjadi orang
kepercayaan Sangkoan Jin.
Di suatu malam yang sepi dan gelap, Sangkoan Jin
mengundangnya ke kamar rahasia untuk berunding. Sangkoan Jin
dengan menggunakan berbagai cara masih berusaha menyelidiki
kesetiaannya. Akhirnya Sangkoan Jin menyampaikan bahwa dia
punya rencana untuk berkhianat dan bertanya kepadanya apakah
bersedia ikut bersamanya.
Tentu saja Tong Sip-jit tidak menolak tawaran tersebut.
Pertama karena dia memang sebenarnya bekerja untuk Keluarga
Tong, dan kedua, bila tidak ikut, bukankah dia segera akan dibantai?
Bukan saja Sangkoan Jin membeberkan seluruh rencananya,
bahkan ia pun memintanya untuk tetap tinggal di Tayhong-tong agar
setelah ia menyeberang ke pihak Keluarga Tong, ia masih bisa
mengi¬rim berita-berita tentang perkembangan di markas Tayhongtong.
Selain itu Sangkoan Jin juga berjanji, bila saatnya telah tiba,
dia pasti akan mengajaknya untuk menyeberang ke Benteng
Keluarga Tong.
Begitulah, selama ini dengan identitas sebagai Gi Pek-bin, ia
bolak-balik antara Benteng Keluarga Tong dan Tayhong-tong. Sudah
banyak berita dari Tayhong-tong yang dibawa masuk dan
disampaikan kepada Sangkoan Jin.
Ooo)))(((ooo
Selesai mendengarkan pengalaman Tong Sip-jit, Tong Koat
lalu mengajukan pertanyaan dengan nada curiga, “Kalau memang
selama ini kau mengirim banyak berita kepada Sangkoan Jin, kenapa
selama ini tak sepatah kata pun pernah kau sampaikan kepadaku?”
Ternyata jawaban dari Tong Sip-jit sangat diplomatis,
“Seringkah tidak banyak bicara justru jauh lebih baik ketimbang
banyak bicara.”
“Begitu hebatkah kesepakatan kalian berdua?”
“Sebetulnya tidak juga, misalnya kedatanganku kali ini,
karena tak ada berita baru yang perlu kusampaikan maka aku hanya

menyapa sekedarnya di kedai. Memang cara-cara seperti ini sudah
kami sepakati sejak awal.”
“Apakah kedatanganmu kali ini adalah kali pertama?” tanya
Tong Koat.
“Tidak! Sudah berulang kali. Hanya kali ini jejakku berhasil
kalian kuntit dengan ketat.”
“Lalu kenapa kau melepaskan merpati pos untuk mengirim
berita?” kembali Tong Koat bertanya.
“Tentu saja aku harus berbuat begitu! Jangan lupa bahwa
aku adalah anggota Tayhong-tong yang sedang menyusup untuk
mencari berita, tentu saja aku harus mengirim balik berita yang
kuperoleh di sini.”
“Berapa ekor merpati pos yang kau lepas?”
“Tiga ekor.”
“Semuanya diikat dengan kertas yang sama?”
“Ya.”
“Apa maksud lipatan berbentuk hati yang ada dalam ikatan
kaki merpati-merpati itu?”
“Masa kau tidak mengerti?” mendadak Tong Sip-jit balik
bertanya.
Tong Koat melengak, ditatapnya orang itu seketika,
kemudian baru menggeleng. “Kalau aku tahu artinya, buat apa mesti
ditanyakan lagi kepadamu?” serunya.
“Itu berarti punya niat tapi tak ada tenaga, pasti selalu gagal
menemukan apa pun.”
Jawaban Tong Sip-jit ini amat tepat karena kertas dengan
lipatan hati memang tidak bisa diartikan apa-apa. Rupanya Tong
Koat percaya dengan penjelasan itu, sekali lagi dia melirik ke arah
kakaknya.
Tong Ou pelan-pelan berjalan menghampiri Tong Sip-jit,
kemudian tanyanya, “Mengapa selama ini kau tidak langsung
menghubungi kami? Bukankah akan jauh lebih leluasa?”
“Aku kuatir ada mata-mata yang menyusup di sini, jika
penyamaranku sampai bocor, bukankah aku mesti mengalami sekali
lagi peristiwa yang terjadi tujuh tahun berselang?”
Alasan ini pun sangat tepat dan akurat.
Kembali Tong Ou bertanya, “Kalau memang begitu,
mengapa kau buka rahasia penyamaranmu sekarang?”

“Kalau aku tidak buka kartu saat ini, mungkin kalian tak
akan memberi kesempatan bicara lagi kepadaku!”
Waktu itu Tong Ou berdiri, sementara Tong Sip-jit duduk.
Sewaktu pembicaraan berlangsung, Tong Ou mengawasi terus
sekitar tengkuk Tong Sip-jit, khususnya ketika orang itu sedang
menjawab perta¬nyaannya.
Saat itulah mendadak ia tertawa mengejek, “Kau kira kami
akan percaya begitu saja dengan semua perka¬taanmu?”
“Aku toh sudah bicara sejujurnya, kenapa kalian tidak
percaya?”
Tong Ou tidak menanggapi ucapan tersebut, ia berpaling ke
arah Tong Koat dan Tong Hoa, “Kalian percaya pada ucapannya?”
“Percaya!” sahut Tong Koat berdua serentak.
“Kalau begitu dugaan kalian keliru besar!” sambil berkata,
tiba-tiba Tong Ou melancarkan serangan kilat ke tubuh Tong Sip-jit.
Begitu mendengar kata-kata Tong Ou, paras Tong Sip-jit
berubah hebat. Baru saja ia akan melompat dari bangkunya, tangan
Tong Ou secepat sambaran kilat telah disodokkan ke pinggangnya.
Tong Sip-jit merasakan pinggangnya kesemutan dan kaku, seluruh
kekuatan badannya lenyap tak berbekas. Sebenarnya Tong Sip-jit
sedang bersiap melompat bangun untuk melarikan diri, sayang
pinggangnya sudah tersodok serangan Tong Ou sehingga kaku tak
mampu bergerak. Dia pun lalu menggunakan tangannya untuk
menyerang.
Baru saja ia menggerakkan tangan kanannya, secepat kilat
Tong Ou sudah melepaskan berapa serangan untuk menotok berapa
jalan darahnya. Tanpa ampun lagi Tong Sip-jit diam tak mampu
berkutik. Saat itu tangan kanan Tong Sip-jit yang sedang dipentang
seperti cakar garuda terhenti di tengah jalan maka nampak lucu
sekali. Sayang dalam keadaan seperti ini tak seorang pun ingin
tertawa.
Biarpun badannya tidak bisa bergerak, jalan darah bisu Tong
Sip-jit tidak tertotok, maka dengan penuh amarah ia berteriak, “Hei!
Kalian ini mau apa?”
“Tidak apa-apa, kami hanya ingin tahu wajahmu yang
sebenarnya,” jawab Tong Ou dengan tenang.
“Aku sudah bilang, akulah Tong Sip-jit, masa kalian tidak
percaya?”
“Jangankan percaya penuh, sedikit pun tidak!”

“Kenapa?”
“Sebab dalam ceritamu tadi, kau banyak melakukan
kesalahan.”
“Oh ya?”
“Kau bilang, sewaktu Yo Si-heng menyamar menjadi nenek
tua, gadis cantik maupun pelayan setengah umur, kau tidak mampu
mengenalinya sama sekali. Ini membuktikan bahwa ilmu menyalin
muka yang kau pelajari benar-benar hebat...”
Tong Sip-jit tidak berkata apa-apa, dia hanya mengawasi
Tong Ou tanpa berkedip.
“Ketika datang kemari, wajahmu kaku tanpa perubahan
ekspresi dan ternyata kau mengenakan topeng kulit manusia.
Topeng semacam ini terlalu kasar dan jauh dari sempurna, sama
sekali ti dak mirip ajaran seorang jago sehebat Yo Si-heng.”
“Lalu kenapa?”
“Artinya topeng yang kau kenakan sekarang bukanlah
topeng kulit manusia yang sesungguhnya!” Begitu selesai berkata,
Tong Ou menyambar ke tengkuk Tong Sip-jit lalu menariknya kuatkuat.
Betul juga, selembar kulit manusia segera terlepas dari
wajah Tong Sip-jit. Menyaksikan semua ini, Tong Koat dan Tong Hoa
jadi terlongong-longong seperti orang tolol. Yang membuat mereka
kaget bukan hanya tindakan Tong Ou yang luar biasa itu, mereka
pun dibuat tercengang karena di balik topeng kulit manusia yang
berwajah Tong Sip-jit ternyata terdapat lagi wajah Tong Sip-jit yang
lain.
Hanya bedanya wajah Tong Sip-jit yang tampil sekarang ini
halus, mulus dan sama sekali tidak terlihat bekas luka bakar yang
menjijikkan. Kejadian ini membuat Tong Ou turut tertegun. Agak
lama kemu¬dian baru sekali lagi ia memeriksa tengkuk Tong Sip-jit.
Ia baru berhenti setelah yakin bahwa wajah yang tampil di
hadapannya adalah wajah yang asli.
“Benar-benar kau sangat hebat!” puji Tong Sip-jit kemudian.
“Tidak terlalu hebat. Aku cuma punya mata yang tajam dan
kemampuan perhitungan yang jauh melebihi orang lain...”
“Bagaimana mungkin kau bisa mengetahui samaranku?
Bukankah kau sudah meraba wajahku tadi?”
“Sewaktu meraba wajahmu aku tidak terlalu menaruh
perhatian, tapi setelah mendengarkan ceritamu aku mulai berpikir.

Sebagai murid Yo Si-heng yang hebat, tak mungkin penyamaranmu
begitu kasar dan penuh cacat. Maka aku mulai memperhatikan
tengkukmu dan kutemukan bahwa ketika kau bicara, dagu dan
tenggorokanmu sama sekali tidak bergerak, beda sekali dengan
orang biasa, jadi aku menyimpulkan masih ada selembar topeng lagi
yang kau kenakan!”
Setelah tertawa lebar dan berhenti sejenak, ia
menambahkan, “Ternyata dugaanku tidak salah!”
“Tapi... bagaimanapun aku tetap Tong Sip-jit!” bisiknya lirih.
“Jelas beda sekali! Tong Sip-jit yang wajahnya terbakar
hingga rusak tentu beda sekali dengan Tong Sip-jit yang wajahnya
sama sekali tak pernah terbakar.”
“Seberapa besar?”
“Sedemikian besar hingga aku bisa memecahkan rahasia
yang menyelimuti peristiwa tujuh tahun berselang!”
Berubah hebat paras Tong Sip-jit begitu mendengar katakata
ini.
Kembali Tong Ou berkata sambil tertawa, “Hingga kini kami
masih belum bisa mengungkap siapa yang membocorkan rahasia
tujuh tahun yang lalu itu, tapi dengan kemunculanmu, ditambah lagi
wajahmu yang sama sekali bersih tanpa bekas luka bakar, bukankah
semua jawaban muncul dengan sendirinya, jelas dan gamblang?”
Wajah Tong Sip-jit berubah hebat, tapi ia tetap
membungkam.
Sesudah tertawa bangga, kembali Tong Ou melanjutkan,
“Sungguh tidak dinyana, dari tubuhmu seorang, aku berhasil
membongkar dua kasus yang amat misterius. Yang pertama tidak
begitu mengherankan, tapi kasus yang kedua inilah yang kuanggap
peristiwa luar biasa!”
Dalam keadaan seperti ini Tong Sip-jit hanya bisa tertawa
getir, dia memang sudah tak bisa berbuat apa-apa lagi. Kembali
Tong Ou melancarkan beberapa tepukan ke tubuh Tong Sip-jit,
semua jalan darah yang semula tertotok telah dibebaskan kembali.
“Nah, apa maumu sekarang?” tanya Tong Ou kemudian,
“akan kau selesaikan sendiri dirimu atau kami yang harus
melakukannya untukmu?”
Tong Sip-jit memandang Tong Ou sekejap lalu tertawa
pedih. Semua rahasianya sudah terbongkar, ia sadar bahwa ia tidak
mungkin hidup lagi. Mendadak ia menggertak sesuatu di balik

giginya dan tak lama kemudian terlihat darah segar meleleh keluar
dari ujung bibirnya lalu mulutnya berubah jadi hitam pekat.
Perlahan-lahan tubuhnya roboh terjungkal ke tanah.
Tong Ou segera memerintah orang untuk menyeret keluar
mayat Tong Sip-jit dan menguburkannya. Ia berpesan wanti-wanti
agar semuanya dilakukan sangat hati-hati, jangan sampai Sangkoan
Jin tahu.
Sesudah itu berkata kepada Tong Koat dan Tong Hoa,
“Sungguh tak disangka kita memperoleh hasil yang luar biasa!”
“Ya, semuanya bagaikan orang bermain catur, setiap
perubahan sukar diramalkan sebelumnya,” sahut Tong Koat.
“Aku kuatir bakal terjadi perubahan lain,” kata Tong Hoa.
“Perubahan apa?”
“Seandainya Tong Sip-jit benar-benar orang kepercayaan
Sangkoan Jin dan Sangkoan Jin belum tahu kalau dia menghadapi
kejadian di luar dugaan, padahal dia sedang menggunakan
kesempatan ini untuk membuat kita percaya bahwa dia dan
Sangkoan Jin satu komplotan, bukankah kita malah termakan oleh
siasat adu dombanya?”
“Ehm, masuk di akal juga kata-kata itu,” Tong Ou manggutmanggut,
“lalu menurutmu apa yang harus kita lakukan?”
“Soal ini memang agak susah diputuskan,” kata Tong Koat
pula, “aku rasa ada baiknya kita menunggu dulu sampai hasil
penyerbuan kita ke markas Tayhong-tong ketahuan hasilnya, baru
kita mengambil keputusan jika menemui hal-hal yang
mencurigakan.”
“Aku usulkan lebih baik segera kita laksanakan rencana Naga
Kemala Putih!” ucap Tong Hoa.
“Kenapa?”
“Sebab pertama, jika Sangkoan Jin benar-benar seorang
pengkhianat, kita bisa menggunakan rencana Naga Kemala Putih
untuk menyingkirkannya.”
“Kalau dia bukan pengkhianat?”
“Kalau bukan, kita gunakan rencana kedua. Kita bisa
melenyapkan dia setelah habis memperalatnya, kita bunuh saja dia
daripada meninggalkan bibit bencana di kemudian hari.”
“Jika kita benar-benar bertindak seperti itu, siapa lagi orang
persilatan yang mau dan bersedia bekerja untuk kita Keluarga Tong?

Orang akan menuduh kita tidak bisa dipercaya, habis manis sepah
dibuang!”
“Tidak mungkin orang lain punya pandangan begitu
terhadap kita. Sebab orang yang membunuh Sangkoan Jin bukan
kita!”
“Eeh, masuk akal,” Tong Ou manggut-manggut, “Kalau
begitu kita putuskan begitu saja, kau segera laksanakan rencana itu
dan tak usah ikut memikirkan hal lain!”
“Baik,” Tong Hoa mengangguk.
Tong Ou segera berpaling ke arah Tong Koat dan bertanya,
“Apakah kau punya usul atau pendapat lain?”
“Tidak ada.”
“Kalau begitu mari kita undang Sangkoan Jin untuk sarapan
bersama, sekalian kita lihat bagaimana pandangannya terhadap
keputusan yang kita ambil dalam perubahan rencana penyerbuan ke
markas Tayhong-tong.”
“Aku percaya ini pasti akan menjadi menarik sekali.”
“Kalau permainan yang begini asyik pun tidak menarik,
permainan apa lagi yang menarik hati?”
Kedua orang itu mendongakkan kepalanya dan tertawa
terbahak-bahak.
Bab 10. Sedih
Terharu memang suatu perasaan yang aneh dan menarik.
Ada orang yang terharu karena menyaksikan keindahan musim semi,
ada orang terharu mengawasi daun berguguran di musim gugur.
Bahkan ada orang terharu melihat air hujan turun rintik-rintik.
Perasaan terharu seperti ini belum pernah singgah dalam
kehi¬dupan Bu-ki, sepanjang hidupnya ia tak pernah merasa
terharu, apalagi sedih hati.
Ketika menikah dengan Hong-nio dan dia harus segera pergi
meninggalkannya, ketika berpisah, dia sama sekali tidak merasa
terharu atau duka, sebaliknya dia merasa begitu ringan, begitu
lepas. Ini bukan karena rasa cinta terhadap istrinya terlalu tipis, dia
menganggap semua kejadian itu hanya bagian dari perjalanan hidup
seseorang, jadi tak berguna untuk terharu, apalagi sedih.

Ketika ayahnya terbunuh, dia pun tidak merasa sedih, yang
ada hanya sakit hati. Semua pekerjaan atau peristiwa pasti ada
pertama kalinya, begitu juga soal sedih dan terharu, Tio Bu-ki pun
tak bisa menghindar dari hal ini
Dihadapkan dengan mayat bergelimpangan di mana-mana,
menyaksikan dinding benteng yang hancur berantakan, melihat
ceceran darah kering yang menodai setiap sudut ruangan, mau tak
mau Tio Bu-ki harus merasa terharu, merasa amat sedih, sebab
mayat yang bergelimpangan di mana-mana itu tak lain adalah mayat
saudara-saudaranya, anggota Tayhong-tong.
Siapa yang tidak sedih menyaksikan rumahnya, markasnya,
negerinya, hancur berantakan karena perbuatan musuh besarnya?
Mungkin ada manusia yang tak mudah sedih, seorang pertapa yang
telah meninggalkan urusan duniawi.
Sayang Tio Bu-ki bukan pertapa, bukan pendeta. Boanliongkok
adalah rumahnya, negerinya, semua yang ada di situ adalah
sahabatnya, saudaranya. Ya. Siapa yang tidak terharu? Siapa yang
tidak duka menyaksikan semua itu?
Ooo)))(((ooo
Bulan lima tanggal empat, besok adalah hari Peh-cun, saat
menikmati bakcang. Sayang saudara-saudara dari lembah Boanliongkok
tak sempat lagi mencicipi lezatnya hidangan itu.
Melangkah masuk ke dalam benteng, rasa sedih Tio Bu-ki
bertam¬bah tebal dan berat. Ia dapat menyaksikan rumput hijau di
depan rumah telah berubah menjadi merah darah, daun-daun
bambu yang tergantung di sisi rumah, daun yang telah disiapkan
untuk membuat bakcang, kini ternoda pula oleh percikan darah.
Tio Bu-ki nyaris tak bisa menahan diri untuk muntah, tapi ia
berusaha mengendalikan diri. Dia memaksa isi perutnya yang sudah
hampir keluar dari tenggorokan untuk ditelan kembali. Ia tak
sanggup lagi menyaksikan pemandangan menyedihkan yang
terbentang di depan matanya. Sambil memutar badan ia lari
secepat-cepatnya, lari meninggalkan tempat itu. Dia berlari, lari
terus hingga napasnya tersengal-sengal, hingga napasnya sesak dan
hampir tak mampu bernapas.
Sambil berpegangan pada sebuah pohon besar, ia berdiri
dengan napas tersengal-sengal, isi perutnya terasa bergolak makin

keras. Kali ini ia tak sanggup lagi menahan diri, seluruh isi perutnya
tumpah keluar.
Kemudian dia berlari lagi, lari di bawah sinar matahari senja
yang berwarna merah, semerah darah yang berceceran di seluruh
permukaan bumi.
Rasa sedih yang luar biasa berubah menjadi sakit hati dan
marah. Dia ingin sekali berteriak sekeras-kerasnya, namun tak
sepatah pun suara yang keluar.
“Tong Ou, wahai Tong Ou.... mengapa kau membohongiku?
Mengapa kau bilang penyerbuan baru dilakukan di hari Peh-cun?”
Hawa amarah yang menggelora dalam dadanya membuat
dia hampir tak bisa mengendalikan diri, dia ingin sekali kembali ke
Benteng Keluarga Tong, mencari Tong Ou dan membuat
perhitungan berdarah dengannya. Tapi ia tidak berbuat begitu, dia
tahu tindakan gegabah semacam ini bisa berakhir fatal. Dia mencoba
menenangkan diri, mencoba berpikir lebih jernih.
Akhirnya setelah termenung beberapa waktu lamanya, ia
berjalan kembali ke lembah Boanliong-kok, masuk ke rumah dan
mengambil pacul serta sekop.
Di bawah sinar rembulan ia mulai menggali liang kubur di
atas bukit, satu paculan demi satu paculan...
Entah berapa lama waktu sudah berjalan, entah seberapa
dalam dia sudah menggali, seluruh tubuhnya telah basah kuyup,
sepasang tangannya mulai linu dan sakit, otot-ototnya terasa
mengejang keras. Tapi ia tidak memperdulikan itu semua, ia seakan
tak tahu waktu, tak tahu lelah, galian demi galian dikerjakan terus
tanpa henti.
Kemudian sesosok demi sesosok semua mayat itu
diturunkan ke dalam liang, lalu dia menimbunnya dengan tanah
hingga rata.
Ketika semua pekerjaan telah selesai, baru ia memotong
sebatang pohon, menjadikannya selembar papan dan dengan
menggunakan sebilah pisau diukirnya beberapa huruf sebagai nisan:
“Di sinilah saudara-saudaraku dari Tayhong-tong
beristirahat.”
Setelah lama mengamati kuburan itu, dia baru membalikkan
badan, melompat naik ke atas kuda dan melarikannya kencangkencang
meninggalkan tempat itu.

Tio Bu-ki tak ingin beristirahat, yang berkecamuk dalam
benaknya kini hanya bagaimana caranya tiba di markas besar
Tayhong-po secepat mungkin.
Dia boleh saja melupakan lelah, namun kuda ada saatnya
untuk lelah juga. Mau tak mau Tio Bu-ki harus beristirahat mengikuti
kuda tunggangannya, ketika sang kuda minum, dia ikut minum,
ketika sang kuda merumput, dia juga menangsal perut dengan
rangsum keringnya.
Tengah hari kedua, akhirnya dengan wajah penuh debu
tibalah dia di markas besar Tayhong-po.
Untuk kedua kalinya perasaan sedih harus bergolak kembali
dalam dadanya. Pemandangan menyedihkan yang serupa sekali lagi
terpampang di depan matanya. Mengawasi semua ini dia hanya bisa
duduk terpaku di atas pelana, sama sekali tak bergerak.
Lama kemudian ia baru melompat turun dari kudanya, tanpa
sadar tangannya meraih cangkul dan sekop yang ada di atas pelana.
Dia tak mengira bahwa alat yang dibawa tanpa sengaja itu
sekarang harus digunakan lagi untuk membereskan kejadian yang
sama.
Dia tak mengira kehadirannya kali ini hanya menjadi tukang
kubur, khusus untuk mengubur mayat saudara-saudaranya.
Tak terasa pikirannya mulai melayang ke Benteng
Siangkoan, benteng tempat tinggal Sangkoan Jin.
Apakah keadaan di sana juga tidak berbeda dengan
pemandangan di sini?
Tong Ou berkata akan menyerang satu di antara ketiga
tempat itu, nyatanya sekarang dia telah menyerang ketiga tempat
itu sekaligus.
“Hebat betul bangsat ini,” Tio Bu-ki mulai berpikir dengan
kepala lebih dingin, “Entah apa lagi langkah berikut Tong Ou?
Sebelum melaksanakan pertarungan melawanku, mungkinkah dia
akan menyerang markas-markas lain Tayhong-tong?”
Sambil masih berpikir, dia sudah masuk pintu gerbang
benteng Tayhong-po. Setelah mengambil cangkul dan sekop dia
kembali mulai menggali untuk mempersiapkan liang kubur bersama.
Sambil menggali, dia mulai berpikir, apa yang harus
dilakukan selanjutnya? Menuju ke benteng Siangkoan atau langsung
pulang ke rumahnya?

Membayangkan rumahnya sendiri, rasa sedih dan pedih
segera berkecamuk dalam hatinya.
Selesai mengubur mayat rekan-rekannya, ia menuju ke
gudang arak, mengambil satu guci dan meneguknya dengan lahap.
Habis satu guci, dia membuka guci yang lain dan meneguk
lagi dengan lahap, dia menenggak terus arak dalam guci hingga
kelopak matanya terasa berat, tak mampu dipentang lagi dan
akhirnya roboh tertidur.
Hidangan lezat, arak wangi, perjamuan pesta yang
diselenggarakan dalam Benteng Keluarga Tong malam itu sangat
meriah dan penuh kegembiraan.
Di sekeliling meja hanya duduk empat orang: Tong Ou, Tong
Koat, Lo-cocong dan Sangkoan Jin.
Wajah keempat orang itu penuh dengan senyum, mereka
saling memberi selamat, saling mengangkat cawan dan menenggak
habis isinya.
Tentu saja ada alasan kuat bagi mereka untuk bergembira.
Sebab sekarang adalah malam tanggal empat bulan lima, merpati
pos pertama telah kembali dari lembah Boanliong-kok membawa
kabar gembira.
Dengan pandangan mata yang sangat teliti Tong Ou
memperhatikan senyuman yang menghiasi wajah Sangkoan Jin. Dia
berharap bisa membedakan senyuman itu adalah senyum
kegembiraan yang benar-benar muncul dari lubuk hatinya atau
senyum kegembiraan yang dibuat-buat.
Sayang ia tak berhasil menemukan perbedaan itu. Dengan
sendirinya dia pun tak yakin apakah Tong Sip-jit memang satu
komplotan dengan Sangkoan Jin, atau dia memang sengaja
memfitnah menjelang kematiannya.
Sangkoan Jin sendiri meski belum tahu kalau Tong Sip-jit
telah mati, tetapi dia mempertaruhkan rasa percaya dirinya yang
besar dan bakat serta kemampuannya bersandiwara. Dia percaya
semua orang yang hadir tertipu oleh senyumannya, mengira dia
benar-benar merasa sangat gembira.
Padahal di hati kecilnya yang paling dalam ia merasa amat
sedih, amat sakit hati.
Latihannya selama bertahun-tahun, pergaulannya yang
panjang dengan berbagai jenis manusia membuat dia mahir

bersandiwara. Dia bisa menampilkan sisi yang berbeda, antara
tampilan wajah dengan apa yang sedang dipikirkannya.
Maka ketika merpati pos kedua datang memberitakan
tentang hancurnya markas besar Tayhong-tong, Sangkoan Jin justru
tertawa makin keras, tertawa makin gembira. Dia seolah-olah sudah
menjadi bagian dari Benteng Keluarga Tong, ikut bergembira karena
keberhasilannya menghancurkan Tayhong-tong.
Bukan cuma tertawa gembira, dia bahkan bisa menjilat
pantat dengan berkata kepada Tong Ou.
“Tong toa-kongcu memang hebat mengatur strategi perang,
bisa memilih saat menjelang Pehcun untuk melan carkan
serangannya. Mana mungkin orang-orang Tayhong-tong bisa
menduga sampai ke situ? Ha ha ha ha... aku percaya berita gembira
tentang runtuhnya benteng Siangkoan segera akan kita terima!”
Tong Ou tertawa terbahak-bahak.
“Ha ha ha ha... Siangkoan-sianseng kelewat memuji.
Padahal dalam satu hal aku merasa bersalah kepadamu.”
“Mengenai apa?”
“Bukankah aku sempat berunding denganmu tentang akan
melancarkan serangan pada hari Peh-cun?”
“Ah, itu bukanlah langkah yang keliru, aku percaya Tong
toa-kongcu punya pandangan yang jauh ke depan. Siapa tahu bila
penyerangan dilakukan besok, kerugian pihak kita akan lebih
banyak!”
“Ya, aku pun berpendapat begitu, maka serangan
kulancarkan lebih awal. Maaf kalau tidak kurundingkan dahulu
dengan Siangkoan-sianseng!”
“Kau terlalu memujiku, dalam hal semacam ini aku justru
harus banyak mendengar petunjuk dan perintahmu.”
Kedua orang itu saling bertukar pandangan sekejap,
kemudian mendongakkan kepala dan tertawa tergelak-gelak.
Di hati kecilnya Tong Ou merasa amat bangga, merasa
sangat puas dengan apa yang telah dilakukannya. Setelah
menenggak satu cawan arak, ia kembali melanjutkan, “Bila berita
tentang runtuhnya Benteng Siangkoan tiba nanti, tahukah
Siangkoan-sianseng, apa yang akan kulakukan?”
“Apakah itu?”
“Akan kuhadiahkan Benteng Siangkoan untukmu!”
“Aaah? Sungguh?”

“Tentu saja sungguh-sungguh!”
“Mengapa?” Sangkoan Jin kelihatan sedikit keras, bukan
merasa gembira tetapi karena luapan amarah, “Aku baru keluar dari
tempat itu, mengapa sekarang harus balik lagi ke sana?”
“Siangkoan-sianseng jangan salah paham, kedudukanmu di
Benteng Siangkoan-po pada masa Tayhong-tong sudah pasti amat
berbeda Siangkoan-po di masa Keluarga Tong yang berkuasa...”
Sangkoan Jin tidak bertanya apa-apa lagi, dia hanya
mengawasi wajah Tong Ou tanpa berkedip, menunggu ia
menyelesaikan perkataannya.
“Aku menitikberatkan pertarungan di Benteng Siangkoan-po,
karena itu aku mohon Siangkoan-sianseng mau ke sana untuk
memegang komando sambil mengatur semua persiapan dan strategi
dalam menghadapi pertarungan akbar ini!”
Sangkoan Jin tertawa, tertawa begitu riang, begitu gembira.
Sambil mengangkat cawan katanya kepada Tong Ou, “Mari aku
menghaturkan secawan arak untukmu! Sejak bergabung dengan
Benteng Keluarga Tong, hari seperti inilah yang selalu aku nantikan,
aku memang berharap bisa langsung terlibat dalam kegiatan
pembasmian Tayhong-tong!”
“Mengapa kau begitu membenci Tayhong-tong?” sela Lococong
tiba-tiba, “Sejak bergabung dengan kami aku belum pernah
menanyakan hal ini padamu.”
“Mengapa?” Sangkoan Jin mendengus keras-keras,
“Bayangkan saja, ketika membangun Tayhong-tong, jasa siapakah
yang paling besar? Kau tahu itu?”
Sorot matanya dialihkan ke wajah Tong Koat. “Tentu saja
jasa Siangkoan-sianseng!” jawab Tong Koat cepat. “Betul,” ujar
Sangkoan Jin lebih jauh, “tapi kenyataannya, kenapa kedudukanku
hanya seimbang dengan posisi Tio Kian dan Sugong Siau-hong?
Dalam berbagai pertempuran besar maupun kecil, hanya aku dan
para tongcu yang melakukannya, sementara Tio Kian dan Sugong
Siau-hong hanya duduk-duduk di benteng menjaga keamanan. Atas
dasar apa mereka justru duduk berimbang denganku?”
“Ya, itu tidak adil namanya!” seru Tong Koat menimpali.
“Sudah terlalu lama aku harus menahan diri, menerima semua
ketidakadilan ini!” semakin berbicara Sangkoan Jin semakin
bersemangat dan nada suaranya makin keras.

Kembali seorang pengawal masuk membawa selembar
kertas yang dibawa pulang merpati pos, surat itu lalu diserahkan
kepada Tong Ou. Selesai membaca surat itu Tong Ou,
menyerahkannya kepada Lo-cocong.
Sambil tertawa Lo-cocong membaca isi surat itu, kemudian
ia menyerahkan surat tadi ke tangan Sangkoan Jin sembari berkata,
“Kuucapkan selamat untukmu, akhirnya apa yang kau impikan
terwujud juga!”
Sangkoan Jin ikut tertawa, ia tidak membaca isi surat
tersebut karena sudah menduga kalau isinya hanya pemberitahuan
bahwa Benteng Siangkoan-po telah jatuh. Dia tertawa dengan penuh
kegembiraan, namun di hati kecilnya ia amat menderita, amat
tersiksa, merasa teramat sedih.
Dari sekian banyak orang yang berada dalam Benteng
Keluarga Tong, hanya satu orang yang secara terang-terangan
mengutarakan perasaan sedihnya atas berita gembira itu. Dia tak
lain adalah Wi Hong-nio.
Ooo)))(((ooo
Tong Hoa adalah orang yang mendapat perintah untuk
melaksanakan rencana Naga Kemala Putih. Langkah pertama yang
harus dijalankan dalam rencana besar itu adalah memperoleh
kepercayaan Wi Hong-nio.
Oleh karena itu sejak sore hari dia sudah berada bersama Wi
Hong-nio dan tentu saja menemaninya juga makan malam.
Berita tentang keberhasilan mereka menghancurkan semua
benteng pertahanan Tayhong-tong tersiar keluar setelah
disampaikan ke tangan Lo-cocong. Hampir semua anggota Benteng
Keluarga Tong mendengar dan mengetahui kabar itu.
Sewaktu berada di dapur itulah Siau-tiap mendengar kabar
berita itu, tak heran kalau dia pun menyampaikan kabar itu sewaktu
menghidangkan makan malam.
Tong Hoa yang mendengar berita itu tentu merasa gembira
sekali, namun ketika dilihatnya paras muka Wi Hong-nio
menampakkan perasaan sedih yang mendalam, dia serta merta ikut
menampilkan perasaan sedih dan duka juga.
“Kau seharusnya gembira mendengar berita ini,” tegur Wi
Hong-nio tanpa sadar.

“Aku tahu.”
“Lalu, kenapa kau ikut bermuram durja?”
“Karena melihat wajahmu, aku dapat merasakan pula
perasaan hatimu.”
Wi Hong-nio jadi sangat terharu setelah mendengar
perkataan itu, untuk sesaat dia tak tahu apa yang harus
diucapkannya.
“Hei, kenapa kau?” kembali Tong Hoa menegur.
Setelah termenung beberapa saat barulah Wi Hong-nio
menyahut, “Ternyata kau seorang yang sangat baik...”
Tong Hoa tersenyum. “Aku memang orang baik, bahkan aku
punya kabar yang lebih baik lagi untukmu...”
“Apakah itu?”
“Mengajakmu pergi meninggalkan tempat ini!”
“Sungguh?”
“Sungguh!”
“Kau tidak takut menyerempet bahaya?”
“Apa pun tidak kutakuti!”
Wi Hong-nio benar-benar terharu, ditatapnya wajah Tong
Hoa sesaat dengan penuh arti.
“Malam ini juga akan kuajak kau pergi meninggalkan tempat
ini,” ujar Tong Hoa lagi sambil tersenyum.
“Malam ini juga? Apa tidak terlalu tergesa-gesa?”
“Tidak, tidak mungkin.”
“Kenapa?”
“Sebab aku telah mempersiapkan rencana ini seharian
penuh.”
“Oh ya?”
“Sejak tadi malam sampai sekarang, aku terus menerus
memikirkan persoalanmu. Kupikir, untuk menyatakan kedalaman
cintaku kepadamu, aku mesti melakukan sesuatu dan kuambil satu
keputusan yang cepat.”
Saking terharunya hampir saja air mata jatuh bercucuran
membasahi wajah Wi Hong-nio.
Melihat sikap gadis itu, Tong Hoa sadar kalau perkataannya
telah membuat perempuan itu terharu. Dia semakin sadar, dengan
watak Wi Hong-nio seperti itu, tidak sulit baginya untuk
melaksanakan rencana Naga Kemala Putih.

Maka katanya lebih jauh, “Oleh sebab itu telah kuputuskan
untuk membawamu kabur dari sini. Kau mesti tahu, membawamu
kabur dari sini adalah kesalahan dengan dosa yang amat besar
bagiku.”
“Aku mengerti.”
“Seandainya usaha kita untuk kabur mengalami kegagalan,
itu artinya aku harus menghadapi kematian.”
“Aku mengerti, seandainya mereka tidak membunuhku, aku
pasti akan mengingatmu sepanjang hidupku.”
“Sebaliknya jika usaha kita melarikan diri berhasil, selama
hidup pun aku akan hidup dalam penderitaan, karena orang-orang
Keluarga Tong akan mencap diriku sebagai pengkhianat, sebagai
buronan yang wajib ditangkap dan dibunuh.”
“Kau sudah berpikir sampai ke sana?”
“Sudah. Seluruh anggota Keluarga Tong dari atas hingga ke
bawah hampir semuanya tahu bahwa aku tergila-gila kepadamu. Jika
kau pergi dari sini, mana mungkin aku tidak tahu?”
“Jadi kau lelap akan mengajakku pergi dari sini?”
“Benar!”
“Tapi aku tidak bisa menjamin di kemudian hari akan tetap
bersikap baik kepadamu.”
“Aku tahu. Aku memang orang yang gampang puas bila
diberi sedikit kebaikan. Selama aku diberi kesempatan untuk selalu
bisa melihat wajahmu, aku tidak mengharapkan yang lain.”
Kini perasaan terharu sudah lenyap dari hati Wi Hong-nio,
sebagai gantinya ia merasa kasihan, iba pada pemuda itu.
Tiba-tiba dari hati kecilnya muncul pula perasaan sedih,
bukan sedih karena kehancuran Tayhong-tong, tapi sedih karena
mendadak ia teringat pada Tio Bu-ki. Perasaannya saat itu tepat
sama seperti perasaan Tong Hoa, asal bisa bersama Bu-ki setiap
saat, dia pun tidak mempunyai permintaan lainnya.
Tapi, banyak kejadian di dunia ini memang sukar terpenuhi
sesuai dengan kehendak hati. Jangankan selalu bisa bersama, mau
bertemu saja susahnya setengah mati!
Melihat perasaan pedih yang menyelimuti wajah Wi Hongnio,
tanpa terasa Tong Hoa menegur lagi, “Kau kenapa?”
Wi Hong-nio tertawa getir, jawabnya terus terang, “Tiba-tiba
saja aku teringat pada Bu-ki!”

Tong Hoa tak berkata apa-apa, namun dalam hati kecilnya
timbul rasa hormat yang tinggi kepada perempuan ini. Diam-diam
muncul perasaan sedih dan menyesal yang tak terhingga karena dia
harus menipu seorang wanita polos yang baik hati dan berbudi luhur
seperti ini.
Namun perasaan menyesal itu hanya melintas sekilas,
dengan cepat ia tampil kembali dengan wajah dinginnya, wajah kaku
ciri khas orang-orang Keluarga Tong.
“Huss, jangan sembarangan bicara!” serunya, “Cepat
bersantap dan istirahat secukupnya, karena malam nanti kita akan
berangkat,”
“Berangkat jam berapa?”
“Lewat tengah malam.”
“Kenapa harus waktu itu?”
“Karena saat itu adalah waktu orang tertidur nyenyak, waktu
orang merasa paling mengantuk. Selewatnya orang akan merasa
segar kembali dan dengan sendirinya kewaspadaan mereka pun
meningkat kembali.”
“Apakah orang-orang Benteng Keluarga Tong selalu seperti
itu?”
“Benar.”
Maka Wi Hong-nio segera menghabiskan nasinya dengan
lahap, malah dia makan agak banyak karena dia tahu ia harus
makan cukup kenyang agar ia mendapatkan kondisi tubuh yang
segar dan tenaga yang kuat untuk melarikan diri.
Selesai bersantap, sebelum meninggalkan tempat itu Tong
Hoa berpesan lagi, “Tengah malam nanti aku akan datang
membangunkanmu.”
“Baik.”
Bab 11. Melarikan Diri
Tengah malam. Awan gelap menyelimuti sepenuh angkasa,
tampaknya hujan deras akan turun setiap saat. Tong Hoa
mengenakan pakaian ketat berwarna hitam dengan sebilah pedang
tersoren di punggungnya. Dia membawakan satu perangkat baju
hitam juga untuk Wi Hong-nio agar dikenakannya. Dengan

berpakaian seperti itu akan lebih mudah untuk menyelinap keluar
dari tempat itu.
Wi Hong-nio menurut dan mengenakan baju hitam itu,
kemudian dia pun menyandang sebilah pedang di punggungnya.
“Bukankah kau tidak mengerti ilmu silat?” tegur Tong Hoa
ketika melihat dandanannya itu.
“Dulu memang tidak bisa, tapi belakangan aku mulai belajar
sedikit ilmu pedang.”
Mendengar jawaban tersebut, tanpa terasa Tong Hoa
berpikir, “Belajar golok butuh lima tahun, belajar pedang butuh
sepuluh tahun, kalau baru belajar sebentar sudah berani memanggul
pedang, apa tidak merasa sedikit tak tahu diri?”
Tentu saja ingatan tersebut tidak sampai diutarakan keluar,
hanya ucapnya, “Tapi membawa pedang akan sangat melelahkan...”
“Tidak apa-apa,” sahut Wi Hong-nio, “dengan membawa
pedang, aku merasa sedikit lebih tenang dan aman.”
Kembali Tong Hoa berpikir, “Ah... sudahlah, toh yang
disebut melarikan diri hanya sandiwara belaka, mau berjalan lebih
lambat juga tidak jadi masalah...”
Maka dia tidak membujuk lebih jauh, hanya pesannya,
“Andaikata nanti terjadi sesuatu, cepatlah menyingkir ke samping
dan jangan mengeluarkan suara.”
“Aku tahu.”
“Baik, mari kita segera berangkat.”
Mereka berjalan sangat lambat, berjalan sangat hati-hati,
setiap kali tiba di sebuah tikungan jalan, Tong Hoa selalu menyelinap
maju lebih dulu untuk mengintai apakah ada penjaga yang berjaga
di situ. Tingkah lakunya sangat sungguh-sungguh, seolah-olah dia
memang sedang melarikan diri.
Setelah meninggalkan jantung wilayah Keluarga Tong...
kebun tempat tinggal, mereka berdua bergerak menuju ke kebun
luas di luar tempat tinggal. Tempat itu merupakan hutan yang luas,
di hutan itu pula Tio Bu-ki nyaris menemui ajalnya andaikata tidak
diselamatkan orang-orang Bilek-tong tempo hari.
Wi Hong-nio tidak tahu akan hal ini, juga dia tidak tahu
bahwa di balik hutan itu penuh dengan penjaga dan jebakan.
Jangankan berilmu cetek, biarpun memiliki ilmu silat yang lebih
hebat pun jangan harap bisa melewati tempat itu dengan mudah.

Dia hanya merasa hutan itu menyeramkan, mendatangkan
perasaan bergidik, apalagi di tengah malam buta dengan angin yang
berhembus kencang, suasana terasa lebih mengerikan dan
mencekam perasaan.
Saat ini Wi Hong-nio merasakan satu-satunya perasaan
aman datang dari genggaman tangan Tong Hoa, genggaman yang
hangat dan kencang.
Sepanjang perjalanan Tong Hoa selalu mengajaknya
menelusuri jalan yang gelap sambil menggandeng tangannya.
Tangan Tong Hoa bukannya menjadi dingin dan kaku lantaran
tegang, sebaliknya justru terasa hangat yang luar biasa, kehangatan
yang membuat Wi Hong-nio memperoleh kembali rasa percaya
dirinya.
Mereka berjalan dengan menyusur di sepanjang tepi
pepohonan. Kurang lebih tigapuluh kaki kemudian, ketika mereka
baru saja meninggalkan sisi sebatang pohon, mendadak dari atas
pohon meloncat turun dua sosok manusia berbaju hitam.
“Siapa di situ?” hardik orang berbaju hitam itu lantang.
Buru-buru Tong Hoa menarik tangan Wi Hong-nio agar
menempel tubuhnya lebih dekat, lalu sambil memeluk bahu kiri
perempuan itu sahutnya, “Aku, Tong Hoa!”
“Sudah larut malam, mau apa kalian kemari?”
“Malam ini sangat indah dan tenang, bukankah saat paling
tepat untuk berjalan santai sambil berbincang-bincang?” sahut Tong
Hoa sambil menggerakkan tangan kanannya yang mendadak
dihantamkan ke dada kanan orang itu.
Bersamaan dengan dilepaskannya pukulan, dia dorong tubuh
Wi Hong-nio ke samping sambil bentaknya nyaring, “Menyingkir!”
Dengan cepat pukulan itu meluncur ke depan dan
menghajar dada orang itu dengan telak. Tanpa sempat menjerit
kesakitan, orang itu memuntahkan darah segar kemudian roboh
terkapar ke belakang.
Melihat itu, orang berbaju hitam yang ada di sebelah kiri
segera menggetarkan pedangnya, langsung menusuk tubuh Tong
Hoa. Meminjam sisa tenaga pantulan dari pukulan yang dilepaskan
tadi Tong Hoa mundur selangkah, tusukan pedang yang datang dari
sisi kiri pun mengenai tempat kosong.
Begitu mundur Tong Hoa segera menjejakkan sepasang
kakinya dan melambung ke udara, dia terkam orang berpedang itu

sambil melepaskan sebuah pukulan lagi, langsung dihantamkan ke
dada kiri orangku.
Orang itu segera menggeser tubuhnya dua langkah ke
kanan, sesudah lolos dari serangan, pedangnya secepat kilat
membentuk garis lingkaran kecil untuk mengurung serangan Tong
Hoa, lalu dengan mengubah babatan jadi tusukan, dia mengancam
kening.
Dengan gesit Tong Hoa menghindar ke samping, berkelit
dari tusukan itu. Tapi gerak serangan itu mendadak berubah dari
tusukan menjadi bacokan, “wesss” langsung membabat baju bagian
kiri yang dia kenakan.
Tong Hoa mendengus dingin, di saat pedang lawan
membabat ujung bajunya, secepat kilat telapak tangan kanannya
membabat keluar, “ploook!” sebuah bacokan telak menghajar dada
kiri orang itu.
Tak ampun lelaki berbaju hitam itu muntah darah segar
dan... “blaaam!” tubuhnya roboh terkapar ke belakang.
Buru-buru Wi Hong-nio memburu ke depan sambil menegur
penuh rasa kuatir, “Kau terluka?”
Tong Hoa tidak menjawab pertanyaan itu, sebaliknya segera
berseru, “Ayo cepat, kita segera tinggalkan tempat ini!”
Ia menarik tangan perempuan itu dan kabur dengan
menelusuri tepi pepohonan yang lebat.
Setelah tiba di ujung hutan, Tong Hoa baru menghentikan
larinya sambil menarik napas panjang.
“Kau terluka?” kembali Wi Hong-nio bertanya dengan nada
kuatir.
Saat itulah Tong Hoa baru menundukkan kepalanya untuk
memeriksa. Wi Hong-nio turut mendekat sambil memeriksa, tapi ia
segera menjerit kaget.
Ternyata baju sebelah kiri Tong Hoa telah basah oleh noda
darah, bahkan darah masih mengalir keluar dengan derasnya, jelas
luka yang dideritanya tidak ringan.
“Ah, tidak apa-apa, kau tak perlu kuatir,” sahut Tong Hoa
kemudian sambil tertawa.
“Tidak apa-apa?” seru Wi Hong-nio, “Begitu banyak darah
yang mengalir keluar, mana mungkin tidak apa-apa?”

“Tidak sakit, sama sekali tidak sakit, paling hanya sedikit
luka lecet,” ujar Tong Hoa lagi sambil berusaha menekan mulut
lukanya yang berdarah.
Tentu saja dia tidak merasa sakit karena segala sesuatunya
hanya pura-pura, semuanya palsu, termasuk darah yang berceceran
pun bukan darah asli. Satu-satunya yang benar dan asli hanya
pakaiannya yang robek karena sambaran pedang tadi.
Sudah barang tentu Wi Hong-nio tidak tahu rahasia di balik
sandiwara itu, dia beranggapan semua kejadian tadi sungguhsungguh,
maka dengan nada sangat cemas kembali ia berseru,
“Bagaimana sekarang? Ayoh kita cari tempat untuk merawat dulu
lukamu itu!”
Tong Hoa merobek bajunya yang tersayat itu kemudian
dililitkan ke atas lengannya yang terluka, setelah membuat ikatan,
dia baru menjawab, “Tidak apa-apa, yang penting kita harus segera
pergi meninggalkan tempat ini!”
“Benar tidak apa-apa?”
“Benar!” sahut Tong Hoa, setelah berhenti sejenak
tambahnya, “andaikata lukaku amat parah, bagaimana dengan kau?”
“Kita pun tak usah pergi meninggalkan tempat ini, kita rawat
dulu lukamu baru kemudian membuat rencana lain.”
Mendengar jawaban tersebut Tong Hoa tertawa, tertawa
penuh kepuasan. Dia merasa telah berhasil memancing rasa simpati
Wi Hong-nio terhadap dirinya.
“Ai... sejujurnya aku pun merasa kasihan menipu perempuan
polos seperti ini,” demikian Tong Hoa berpikir sambil menghela
napas. Tapi dalam hati kecilnya, “Apa mau dikata, ia justru jatuh ke
tangan kami orang-orang Keluarga Tong!”
Walau berpikir begitu, di luarnya kembali ia bertanya,
“Seandainya kita balik dan ketahuan?”
“Lemparkan saja semua tanggung jawab kepadaku!” jawab
Wi Hong-nio tanpa berpikir panjang.
“Kau anggap orang-orang Keluarga Tong percaya pada
pengakuanmu?” seru Tong Hoa tertawa.
Seketika itu juga Wi Hong-nio bungkam. Sebab dia hanya
tahu berpikir menuruti suara hati sendiri, tentu saja dia tak bisa
membayangkan apa yang dipikirkan orang lain.
Menyaksikan hal ini, Tong Hoa kembali berkata, “Sudah,
jangan bodoh, aku sudah berjanji akan membawamu pergi, apa pun

yang terjadi aku akan tetap berusaha hingga berhasil, mari kita
segera lanjutkan perjalanan kita!”
Habis berkata, dia menarik tangan perempuan itu dan
melanjutkan kembali perjalanannya.
Tiba di ujung hutan tampaklah pintu gerbang Benteng
Keluarga Tong terpampang di depan mata, saat itu pintu dalam
keadaan tertutup rapat, dua orang penjaga sedang berjaga di depan
benteng.
Dengan suara lirih Tong Hoa berbisik, “Waktu aku
meledakkan Peklek-tong dengan bahan peledak nanti, harap kau
bersembunyi agak jauh. Begitu meledak, kau segera lari
menghampiri aku karena waktu itu aku akan membukakan pintu
untukmu. Ingat! Segala sesuatunya harus dilakukan dengan cepat!”
Wi Hong-nio manggut-manggut tanda mengerti, maka
dengan berlagak amat tegang perlahan-lahan Tong Hoa berjalan
mendekati pintu gerbang.
Melihat ada orang berjalan mendekat, dua orang penjaga
pintu itu segera menghardik, “Siapa di situ?”
“Aku, Tong Hoa!”
Sambil menjawab Tong Hoa mempercepat langkahnya
menerobos lewat dari pintu.
Tampaknya kedua orang penjaga itu seperti ingin
menanyakan sesuatu, baru saja mereka membuka mulutnya, obat
peledak di tangan Tong Hoa sudah dilemparkan ke depan.
“Blaaam!” ledakan keras menggelegar di angkasa, debu dan
pasir segera memenuhi pandangan, membuat Wi Hong-nio tak bisa
melihat apa-apa.
Biar begitu, dia menuruti pesan Tong Hoa tadi, begitu pintu
gerbang terbuka, dia segera berlari menerobos pintu gerbang.
Di tengah gulungan asap yang tebal, dalam waktu singkat ia
sudah tiba di depan pintu gerbang, ia melihat Tong Hoa sedang
menggapai ke arahnya. Mempercepat larinya, ia lari ke samping
Tong Hoa untuk kemudian bersama-sama kabur keluar dari pintu
benteng.
Menanti Tong Hoa menutup kembali pintu gerbang benteng,
dengan napas tersengal, barulah ia berkata lagi kepada Wi Hong-nio,
“Kembali kita berhasil meloloskan diri dari satu pos rintangan!”
Sebetulnya Wi Hong-nio mengira setelah berhasil kabur dari
pintu kota, berarti mereka sudah selamat. Tetapi begitu mendengar

Tong Hoa berkata kalau mereka kembali lolos dari satu pos penting,
artinya masih ada rintangan berikut yang mesti dilewati, tak kuasa
lagi ia bertanya, “Jadi kita belum aman?”
“Kita baru aman setelah melewati sebuah rintangan lagi!”
“Apakah lebih gampang untuk melewati rintangan itu?”
“Lebih gampang? Lebih susah malah!”
Bagai diguyur sebaskom air dingin di kepalanya, untuk
sesaat Wi Hong-nio berdiri tertegun. Baginya, pengalaman yang baru
saja ia alami sudah sangat menyeramkan, seperti mengalami mimpi
buruk. Ketika mendengar harus menghadapi rintangan lain yang
lebih berat, jantungnya berdetak keras, ototnya pada mengejang
lantaran tegang.
Dengan susah payah baru saja ia berhasil kabur dari pintu
benteng dan sebentar lagi harus bersiap menghadapi ancaman baru,
tak heran jika ia merasa amat gugup.
Menyaksikan perubahan wajah perempuan itu, Tong Hoa
segera menghibur, “Kau tak perlu gugup, siapa tahu rintangan
berikut dapat kita lewati dengan lebih mudah.”
“Kenapa?” tanya Wi Hong-nio keheranan.
“Sampai di tempat ini, boleh dibilang aku hapal sekali
dengan keadaan dan lingkungannya. Tapi pada rintangan berikut
kita mesti menghadapi empat orang, untunglah keempat orang
penjaga itu sahabat karibku, siapa tahu dengan bujuk rayu dan
sedikit berbohong, mereka mau percaya alasanku dan membiarkan
kita lewat tanpa susah payah!”
“Kau yakin kita akan bertemu dengan mereka berempat?”
“Sangat yakin!”
“Kenapa? Memangnya tak ada jalan lain kecuali jalan itu?”
“Tidak ada, untuk meninggalkan Benteng Keluarga Tong,
siapa pun harus melewati jalan ini. Kecuali jalan ini, tempat ini
dikelilingi tebing curam dan jurang yang sangat dalam.”
Tak terasa kembali Wi Hong-nio memperlihatkan perasaan
waswas dan kuatirnya yang sangat mendalam.
Buru-buru Tong Hoa menghibur, “Kau tak perlu kuatir,
kelihatannya perubahan cuaca yang akan terjadi hari ini akan
menguntungkan kita!”
“Apa hubungannya dengan perubahan cuaca?”

“Besar sekali,” Tong Hoa menerangkan, “keempat orang itu
bukan atas kemauan sendiri berjaga di jalan tembus itu, mereka
sedang menjalankan perintah.”
“Menjalankan perintah? Perintah siapa?”
“Tentu saja perintah dari Keluarga Tong. Menurut peraturan
yang berlaku di sini, bila mereka menemukan ada orang yang patut
dicurigai meninggalkan benteng, maka mereka segera akan
melepaskan kembang api sebagai tanda bahaya, warna kembang api
balasan yang dilepas dari dalam benteng merupakan jawaban yang
harus mereka lakukan, warna tertentu pertanda orang itu hanya
cukup dihalau dan warna lain menandakan orang itu harus dibunuh!”
“Kungfu mereka sangat tangguh?”
“Tangguh sekali!”
“Kau sanggup mengalahkan mereka?”
“Tidak!”
“Kalau begitu lebih baik kita balik saja, buat apa mesti
menyerempet bahaya?”
“Tidak, kita harus mencoba untuk mengadu untung.”
“Mengadu untung?”
“Benar, cuaca hari ini amat jelek, tidak cocok untuk
melepaskan kembang api. Bahkan kalau mereka paksakan untuk
meluncurkan kembang api pun belum tentu bunga apinya terlihat
dari dalam benteng dan selama pihak Keluarga Tong tidak melihat
ada tanda kembang api, berarti besar kesempatan kita untuk
berhasil!”
“Sungguh?”
“Sungguh! Coba lihat,” Tong Hoa segera merentangkan
telapak tangannya, “Coba lihat, apa yang ada di telapak tanganku
ini?” Wi Hong-nio bukan hanya dapat menyaksikan, dia malah ikut
merasakan.
Air hujan. Ternyata hujan mulai turun.
Dalam keadaan demikian, sebodoh apa pun Wi Hong-nio
juga mengerti apa yang akan terjadi. Begitu hujan turun, apalagi
hujan lebat, mustahillah kembang api bisa meledak di udara. Jelas
saat ini merupakan kesempatan yang sangat baik bagi mereka.
Tiba-tiba ia saksikan wajah murung dan sedih menyelimuti
wajah Tong Hoa.

Melihat itu Wi Hong-nio segera menegur, “Ada apa lagi?
Kenapa kau mendadak sedih dan murung? Bukankah kesempatan
telah tiba?”
“Aku kuatir, kalau hujan turun semakin deras, kita mau
berteduh di mana?”
Tak kuasa lagi Wi Hong-nio tertawa cekikikan. “Apa perlunya
berteduh dari air hujan? Bukankah melarikan diri jauh lebih
penting?”
“Tidak, berteduh dari hujan lebih penting!”
“Kenapa? Biar kehujanan pun belum tentu kita akan jatuh
sakit.”
“Aku bukannya takut sakit.”
“Lalu apa yang kau takuti?”
“Aku kuatir keempat penjaga di depan curiga pada tingkah
laku kita berdua!
“Apa yang mereka curigai?”
“Adakah orang keluar kota di tengah malam yang sedang
hujan lebat?”
“Rasanya memang tidak ada!”
Wi Hong-nio tahu, tubuh mereka tidak boleh berbekas
hujan, akibatnya tidak jauh berbeda dengan melepaskan kembang
api di tengah malam buta.
Itulah sebabnya ia segera bertanya, “Lalu apa yang harus
kita lakukan sekarang?”
Tetesan air huj an sudah makin membesar, kalau dilihat
keadaannya, kemungkinan besar hujan akan turun semakin deras.
Pembicaraan ini mereka lakukan sambil tetap menelusuri
jalan perbukitan, kini permukaan jalan mulai berlumpur dan semakin
licin, untuk berjalan orang harus berjalan sangat hati-hati.
Tiba-tiba Tong Hoa berhenti, bisiknya, “Mari kita berjalan
menuju ke atas sana!”
Ia menuding ke arah jalan setapak yang tidak terlalu kentara
di sisi kiri jalan. Jalan itu dipenuhi rumput ilalang dan semak berduri,
walau begitu, jelas pernah ada orang yang melewati tempat itu.
“Apakah di atas sana ada tempat untuk berteduh?”
“Mestinya ada. Kalau aku tidak salah ingat, di atas itu
terdapat sebuah kuil Dewa Gunung yang sudah bobrok.”
“Berarti kau pernah datang kemari?” tanya Wi Hong-nio
lebih jauh sambil berpegangan pada bahu Tong Hoa.

“Belum, belum pernah!”
Setelah berjalan kira-kira sepembakaran sebatang hio, air
hujan yang sangat deras telah membuat mereka berdua basah
kuyup.
“Ah, ternyata benar, lihat ke sana!” mendadak Tong Hoa
berseru.
Tanpa berteriak pun Wi Hong-nio juga telah melihat sebuah
bangunan kayu yang gelap gulita berdiri lebih kurang sepuluh
tombak di depan.
Mereka mempercepat langkahnya ke sana, ketika Tong Hoa
mendorong pintu dengan sekuat tenaga, pintu kuil pun segera
terbuka. Kedua orang itu langsung masuk ke dalam ruangan dan
Tong Hoa membuat api unggun.
Ruangan kuil luas tapi kering, biarpun sudah bobrok, tapi
tidak nampak ada bagian ruangan yang bocor. Bukan saja tidak
basah, di sudut ruangan ada setumpuk kayu bakar. Tong Hoa
berteriak kegirangan, ia segera memburu ke sana, memindahkan
papan kayu ke tengah, lalu dengan pedangnya dia memotongmotong
kayu itu menjadi kecil-kecil, setelah itu baru menyulut api
untuk membuat api unggun.
Tak lama kemudian api unggun telah menyala. Mereka
duduk di sisi api, menggunakan tangannya untuk membesut air dan
mengeringkan pakaian mereka yang basah kuyup.
Lebih kurang setengah jam kemudian, pakaian yang mereka
kenakan mulai mengering, Tong Hoa segera bangkit lagi untuk
mengambil kayu, membelahnya jadi kecil-kecil dan menambahkan ke
dalam onggokan api unggun.
“Kemarilah, duduklah dekat dinding,” katanya kepada Wi
Hong-nio.
“Kenapa?”
“Kau bisa duduk lebih dekat di sini.”
Wi Hong-nio sangat terharu menyaksikan perhatian yang
ditunjukkan pemuda itu, ia tersenyum dan segera bergeser duduk di
sisi dinding.
Sementara itu hujan semakin deras diikuti suara guntur yang
menggelegar, hembusan angin yang kencang dan kilatan petir
membuat suasana amat menakutkan. Tiba tiba Wi Hong-nio bangkit
berdiri.

“Kenapa kau? Takut dengan guntur?” Tong Hoa segera
menegur.
“Tidak, tiba-tiba saja aku ingat sesuatu,” sahut perempuan
itu.
“Urusan apa?”
“Kita harus segera meninggalkan tempat ini!”
“Kenapa?”
“Saat ini hujan turun sangat deras disertai guntur dan petir,
bukankah keadaan ini merupakan kesempatan yang paling baik
untuk melarikan diri?”
“Dari mana kau bisa berpendapat begitu?”
“Bukankah kau pernah berkata bahwa ada empat orang
yang menjaga jalan tembus ini? Dalam cuaca seperti ini, masa
mereka tidak mencari tempat untuk berteduh dari hujan?”
“Tidak mungkin.” Jawaban Tong Hoa tegas dan meyakinkan.
“Kenapa?”
“Sebab tugas ini adalah tanggung jawab mereka berempat.”
“Tanggung jawab bisa dimengerti, tetapi dalam cuaca
seperti ini, masa mereka akan bertahan basah kuyup dan
membiarkan badannya tertimpa air hujan serta resiko disambar
petir?”
“Kalau sampai tersambar petir, itu sudah resiko mereka!”
“Benarkah begitu?”
“Kalau orang lain mungkin aku tidak berani menjamin, tapi
aku tahu pasti mengenai mereka berempat, dugaanku tak bakal
salah!”
“Jadi menurutmu, mereka tetap akan berdiri di alam terbuka
meski dalam keadaan hujan badai?”
“Ya!”
“Dari mana kau bisa tahu?”
“Tak usah dipikir lebih jauh pun segalanya sudah jelas.
Cuaca seperti ini merupakan kesempatan emas bagi mereka yang
ingin melarikan diri, siapa pun orangnya, mereka pasti akan
memanfaatkan kesempatan ini dengan sebaik-baiknya. Keempat
penjaga itu bukan orang bodoh, sudah tentu makin buruk cuacanya,
makin tinggi mereka tingkatkan kewaspadaan dan penjagaannya!”
“Oh ya?”
“Semua ini adalah aturan rumah tangga yang ditetapkan
Keluarga Tong. Tentu saja tidak semua anggota Keluarga Tong pada

generasi sekarang akan taat pada peraturan itu, tapi bagi mereka
dari generasi lalu akan tetap berpegang teguh pada peraturan.”
“Jadi keempat orang itu termasuk orang dari generasi
lampau?”
“Betul, mereka adalah pengikut ayah Tong Ou, kesetiaannya
pada Keluarga Tong tak perlu diragukan lagi. Mereka amat taat dan
setia kepada tugas dan tanggung jawabnya.”
“Siapakah mereka itu?”
“Mereka adalah anak yatim piatu yang dibesarkan oleh
Keluarga Tong, sejak kecil mereka sudah dididik ilmu silat oleh ayah
Tong Ou. Mereka diberi nama Tong Hong, Tong Bwee, Tong Sang
dan Tong Bian.”
Secara ringkas dia menceritakan asal-usul keempat orang itu
beserta kehebatan ilmu silatnya. Ia juga menceritakan bahwa pada
malam sebelumnya mereka berhasil menangkap Tong Sip-jit.
Selesai mendengar penuturan itu, sambil menjulurkan
lidahnya, Wi Hong-nio bergumam, “Wah, tak kusangka mereka
sehebat itu! Apakah kita sanggup menghindari mereka berempat?”
“Sulit, sulit sekali!” rasa sedih melintas di wajah Tong Hoa,
“Biarpun begitu, kita harus tetap mencobanya.”
“Kurasa kita tak punya harapan,” bisik Wi Hong-nio sambil
menggeleng.
“Apa dasarnya kau berpendapat begitu?”
“Bukankah kita sudah membunuh beberapa orang sewaktu
keluar dari benteng? Bayangkan saja, peristiwa itu pasti sudah
membuat geger seisi Benteng Keluarga Tong! Mereka pasti sudah
mengirim peringatan kepada Tong Hong sekalian.”
“Perkataanmu memang benar. Hanya saja tak seorang pun
tahu bahwa mereka dibunuh kita berdua!”
“Artinya kita masih punya harapan?”
Ingin sekali Tong Hoa memberitahunya bahwa harapan
terbuka lebar. Untung saja ucapan tersebut segera ditelannya
kembali karena mendadak ia teringat bahwa Wi Hong-nio cerdas dan
perasa. Ia tak ingin membongkar rahasia sendiri melalui kata-kata
yang tak terkendali.
Kalau saja perempuan itu sampai menaruh curiga,
pelaksanaan rencana Naga Kemala Putih akan mengalami banyak
hambatan dan kesulitan.

Saat itu segulung angin kencang berhembus masuk melalui
celah dinding yang berlubang, hembusan angin membuat daun
jendela bergoncang keras dan menimbulkan suara nyaring.
Tong Hoa bangkit menghampiri jendela untuk menutup
jendela itu lebih kencang, tapi hasilnya sebaliknya, daun jendela
malah terlepas dan jatuh ke lantai.
Dengan perasaan jengah bercampur malu dia melemparkan
sekulum senyuman ke arah perempuan itu. Kini jendela sudah
terlepas, angin dan hujan yang berhembus masuk pun makin
kencang, ini menandakan di luar badai sedang mengamuk.
Di seberang jendela adalah meja altar, di atas dinding
belakang meja altar tergantung selembar lukisan dewa.
Angin kencang tiba-tiba menghempaskan lukisan di dinding
itu, membuatnya menghantam dinding berulang kali dengan
menimbulkan suara nyaring. Menyusul kemudian hembusan angin
yang lebih kencang membuat lukisan itu rontok ke lantai.
Waktu itu Tong Hoa baru saja berhasil menutup kembali
daun jendela yang rusak, hembusan angin pun seketika terbendung.
Ketika ia berpaling ke arah lukisan yang jatuh ke lantai itu,
mendadak dia berseru tertahan.
Sebetulnya Wi Hong-nio pun sudah menaruh perhatian pada
dinding bekas tempat lukisan itu tergantung. Seruan tertahan Tong
Hoa membuat perempuan ini memperhatikan dengan lebih seksama.
Ia segera bangkit berdiri dan menghampiri kawannya.
Rupanya di dinding bekas menggantung lukisan itu ada tempelan
tanah liat yang jelas kelihatan belum lama ditempelkan ke situ.
Dengan pedangnya Tong Hoa mencoba mengetuk dinding
itu, seketika bergema suara pantulan yang nyaring.
Tong Hoa melirik Wi Hong-nio sekejap, lalu dengan sekuat
tenaga digempurnya tempelan tanah liat itu, segera saja tempelan
tanah itu berguguran dan muncul sebuah lubang. Ketika ia menggali
lebih ke dalam maka tampaklah sebuah lubang besar yang cukup
untuk dilalui oleh tubuh orang dewasa.
Cepat-cepat dia mengambil sebatang kayu dari onggokan
api unggun sebagai penerangan, kemudian sekali lagi menengok ke
balik gua itu. Seketika mereka berdua dibuat tertegun, kaget
bercampur keheranan.
Lubang gua itu jelas buatan orang, selain rata dan teratur,
permukaan tanahnya menjorok jauh ke bawah sana.

“Apakah kita perlu memeriksanya?” tanya Tong Hoa
kemudian.
“Tentu saja,” Wi Hong-nio mengangguk, “siapa tahu Thian
memberi petunjuk kepada kita dan lorong ini merupakan jalan
rahasia yang berhubungan dengan dunia luar.”
Padahal sejak awal Tong Hoa sudah tahu bahwa lorong
rahasia itu menuju ke mana. Dia langsung menerobos masuk
terlebih dulu, disusul Wi Hong-nio di belakangnya.
Setelah merangkak kira-kira tigapuluh kaki, tibalah mereka
di dasar lorong. Ternyata ruangan itu jauh lebih lebar, cukup
digunakan seseorang untuk berdiri, maka mereka berdua pun
bangkit berdiri sambil memeriksa sekelilingnya.
Menyaksikan gua itu merupakan sebuah gua alam yang
besar, Wi Hong-nio sangat girang, serunya lagi, “Entah lorong gua
ini tembus sampai ke mana?”
“Aku tahu,” sahut Tong Hoa seakan baru teringat akan
sesuatu.
“Apa yang kau ketahui?”
“Aku tahu gua ini menembus ke mana. Sewaktu masih kecil
dulu pernah kudengar orang bercerita bahwa dalam Benteng
Keluarga Tong ada sebuah lorong rahasia, tapi kemudian demi
keamanan, lorong rahasia itu ditutup.”
“Kenapa harus ditutup?”
“Sebab bila semakin banyak yang tahu, suatu ketika rahasia
ini pasti akan bocor. Jika kemudian dimanfaatkan musuh, bukankah
urusan jadi berabe?”
“Kenapa tidak mengirim saja berapa orang jago untuk
menjaganya?”
“Menggunakan penjaga banyak kelemahannya, pertama kau
harus mempunyai jagoan yang bisa dipercaya. Kedua, kungfu yang
orang itu harus tinggi, tapi yang paling menakutkan justru bila orang
itu berkhianat atau dibeli pihak lawan, akibatnya bisa sangat
mengerikan!”
Mereka berbicara sambil menelusuri lorong rahasia itu.
Setelah berbelok beberapa tikungan, lorong itu berubah menjadi
lurus dan menjorok ke bawah. Dengan sangat hati-hati mereka
menuruni lorong itu, sekitar setengah jam kemudian terlihat cahaya
terang muncul di ujung sana.

Mereka segera mempercepat langkahnya menuju ke arah
sumber cahaya itu, dan benar saja, cahaya fajar lamat-lamat tampak
memancar masuk ke dalam lorong rahasia itu.
Tak lama kemudian mereka menemui semak belukar yang
sangat rapat dan tebal. Jelas di balik semak itu adalah jalan keluar
dari lorong.
Tong Hoa segera meloloskan pedangnya, sembari menyibak
semak yang tebal, dia berjalan di depan.
Waktu itu hujan telah berhenti, suasana remang keabuabuan
meliputi seluruh langit. Setelah keluar dari gua rahasia itu, Wi
Hong-nio baru menyadari bahwa mereka sudah berada di belakang
bukit. Ketika berpaling ke belakang, ia mendapatkan tebing yang
tegak lurus dan amat curam menjulang.
“Tebing ini adalah tebing penghalang yang kumaksudkan
tadi,” Tong Hoa menjelaskan.
“Berarti kita sudah turun gunung?” seru Wi Hong-nio
kegirangan.
“Betul,” pemuda itu mengangguk, “kita sudah berada di
bawah gunung, bahkan tak usah melalui penjagaan keempat jago
itu!”
“Bagus sekali!” pekik Wi Hong-nio sambil bertepuk tangan.
Tong Hoa ikut tertawa. Dia tertawa bukan karena berhasil
lolos dari Benteng Keluarga Tong, ia mentertawakan kebodohan Wi
Hong-nio, tertawa karena berhasil membohongi perempuan itu.
Sayang Wi Hong-nio sama sekali tidak menyadarinya.
Sementara itu Tong Hoa telah berkata lagi setelah
memeriksa sekeliling tempat itu sebentar, “Aku rasa tidak sulit untuk
menuruni bukit ini. Setibanya di kaki bukit dan berjalan satu-dua jam
lagi, kita akan tiba di sebuah kota kecil, kita bisa beristirahat di
sana.”
Wi Hong-nio sama sekali tidak memperhatikan perkataan itu,
sebab dia sedang sibuk menghapalkan keadaan daerah sekitarnya.
Ia berencana, bila bertemu lagi dengan Bu-ki nanti, rahasia lorong
ini akan diberitahukan kepadanya...
Berpikir sampai di situ, tanpa terasa perasaan sedih kembali
menyelimuti hatinya. Sebagian lantaran dia teringat akan Bu-ki,
sebagian lagi karena dia harus memperalat Tong Hoa untuk
melarikan diri dari Benteng Keluarga Tong. Hal yang dulu-dulu tak
nanti dia sudi perbuat!

Tapi sekarang, dia telah melakukannya bahkan tanpa
sengaja mendapat tahu tentang rahasia besar di balik lorong itu, dia
merasa sedih karena rahasia tersebut terpaksa akan diberitahukan
ke pihak Tayhong-tong agar bisa dipergunakan untuk kepentingan
mereka. Kenyataan memang selalu kejam, tak heran jika dia merasa
amat sedih.
Begitulah, dengan membawa rasa sedih dia mengintil di
belakang Tong Hoa menuruni bukit itu. Tong Hoa tampaknya
menangkap perasaan sedih perempuan itu, namun tak sepatah kata
pun yang dia ucapkan. Ketika tiba di kota kecil, waktu sudah
menunjukkan tengah hari, mereka pun segera menangsal perutnya
yang lapar.
“Sekarang, pergilah tidur sebentar,” ujar Tong Hoa, “kita
lanjutkan perjalanan kita menjelang malam nanti.” Wi Hong-nio
manggut-manggut.
“Tapi kita harus kabur ke mana? Sampai di mana kita baru
aman dari pengejaran?”
“Kini, Benteng Keluarga Tong telah berhasil merampas tiga
markas besar Tayhong-tong, pengaruh serta kekuatan mereka kian
kuat dan kian bertambah luas, aku rasa kita butuh menempuh
perjalanan selama empat-lima hari lagi sebelum benar-benar
mencapai tempat yang aman.”
“Maksudmu lolos dari lingkaran pengaruh Tayhong-tong?”
“Betul, kalau tidak, setiap saat kemungkinan besar kita bisa
tertangkap lagi!”
Wi Hong-nio tidak berbicara lagi, dia tahu cemas atau panik
tak akan menyelesaikan masalah, dalam keadaan seperti ini, apa
yang bisa dilakukan adalah menjalaninya setapak demi setapak.
Bab 12. Tayhong-tong yang Tenggelam
Tio Bu-ki telah mengambil keputusan. Dia akan mencari
Sugong Siau-hong untuk merundingkan persiapan serangan balik
dengan tujuan merebut kembali markas besar mereka yang sudah
jatuh ke tangan lawan.
Dia pun mengambil keputusan, tiap hari harus menempuh
perjalanan berbekal tenaga yang paling segar dan pikiran yang
paling jernih. Perjalanan kali ini harus melewati banyak sekali

wilayah di bawah pengaruh Benteng Keluarga Tong, wilayah yang
sebelumnya milik Tayhong-tong.
Ia tidak tahu perubahan yang telah terjadi di bekas wilayah
kekuasaannya itu, ia tidak ingin terjebak karena kurang waspada.
Semua pergerakannya harus dilakukan dengan sangat berhati-hati.
Untung saja perjalanan yang ditempuhnya dengan susah
payah beberapa hari terakhir ini membuat janggutnya tumbuh lebat
dan liar. Tampangnya menjadi agak berubah, tidak gampang bagi
orang lain untuk mengenalinya lagi sebagai Tio Bu-ki.
Kota kecil itu mempunyai nama yang enak didengar, Gin-sin,
karena dulu di tengah-tengah kota itu tumbuh sebatang pohon yang
amat besar.
Ketika masuk kota itu Tio Bu-ki mulai berpikir, kota ini hanya
berjarak dua puluh li dari markas besar Tayhong-po, dulu termasuk
wilayah kekuasaannya. Tapi sekarang? Bu-ki tidak tahu, tapi bila
dilihat suasananya yang begitu tenang, sepertinya tak pernah terjadi
perubahan apa pun di situ.
Sinar matahari tengah hari terasa begitu terik, sedikit sekali
orang yang berlalu lalang, mungkin kebanyakan sedang bersantap
siang di rumah masing-masing. Seumumnya suasana kota terasa
tenang dan damai.
Tio Bu-ki menuju sebuah warung penjual mie dan seorang
pelayan segera menyambut kedatangannya sambil menyapa,
“Silahkan masuk tuan!”
Setelah duduk, pelayan menghidangkan sepoci air teh
sambil bertanya lagi, “Tuan ingin memesan hidangan apa?”
“Terserah,” jawab Bu-ki sambil menghirup air teh.
“Terserah yang besar, atau terserah yang kecil?”
Bu-ki tertegun sambil duduk seperti orang tolol. Sepanjang
hidup baru pertama kali ini ia mendengar orang bertanya seperti itu.
Ditatapnya pelayan itu sebentar, kemudian bertanya, “Apa
maksudmu dengan terserah besar dan terserah kecil?”
“Terserah besar berarti akan kusediakan satu mangkuk mie
babi kecap, kalau terserah kecil akan kusediakan semangkuk bubur
sambal tahu...”
“Sejak kapan kalian menjual bubur sambal tahu?”
“Baru kemarin mulai menjualnya.”
“Kemarin?”

“Benar, biasanya kami tidak sedia hidangan semacam itu,
tapi sejak kemarin banyak tamu yang datang minta bubur sambal
tahu, jadi mau tak mau kami harus menyediakan hidangan istimewa
itu.”
“Dengan mendadakan begitu, apa kalian bisa membuatnya?”
“Tidak bisa. Tapi ada orang yang datang membantu kami.”
“Orang-orang Benteng Keluarga Tong?”
“Tuan, dari mana kau bisa tahu? Benar, orang-orang
Benteng Keluarga Tong memang pandai sekali mencari duit!”
Mendengar jawaban itu, diam-diam si anak muda mengeluh.
Dia tahu rumah makan ini dulu di bawah kekuasaan Tayhong-tong,
tapi sekarang? Tampaknya dengan ringan saja mereka rela bekerja
untuk pihak musuh.
Dia ingin sekali menggunakan kesempatan ini untuk
mengumpulkan berita, namun untuk sesaat dia tidak tahu harus
mulai dari mana. Melihat tamunya bungkam, kembali pelayan itu
menegur, “Tuan, bagaimana kalau kau coba semangkuk dulu?”
“Baiklah!”
Tak lama kemudian pelayan itu muncul lagi dengan
membawa semangkuk bubur, lalu ia menyingkir ke samping
menyaksikan tamunya dahar.
Baru dua tiga suapan, kembali pelayan itu bertanya,
“Bagaimana? Enak bukan?”
“Ehm!”
“Tuan suka?” kembali pelayan itu bertanya.
Untuk sesaat Bu-ki tidak menjawab, sebab dari balik
pertanyaan itu ia menangkap sesuatu yang tidak beres. Setelah
berpikir sejenak ia balik tanyanya, “Bagaimana menurutmu?”
“Aku amat suka, dan kau?”
“Kurasa hidangan ini memang enak, tapi aku tidak suka.”
“Kenapa?”
“Sebab aku tidak terbiasa makan hidangan yang pedas.”
“Tidak biasa?” mendadak pelayan itu menarik wajahnya,
“Tidak biasa pun harus dibiasakan!”
Selesai bicara, tiba-tiba dia menggerakkan tangannya
mencengkeram dada lawan.
Untung Tio Bu-ki sudah membuat persiapan sejak tadi, dari
perubahan matanya yang aneh dia sudah tahu kalau gelagat tidak

beres. Oleh karena itu sejak awal sudak mempersiapkan diri sebaikbaiknya.
Begitu melihat wajahnya berubah menjadi gelap, dia segera
menghimpun tenaga dalamnya sambil bersedia menghadapi segala
kemungkinan.
Melihat serangan lawan datang menyambar, Bu-ki segera
menjejakkan sepasang kakinya untuk melompat mundur dua
langkah, kemudian sambil menyilangkan tangan kanannya dia siap
melancarkan serangan balasan.
“Kenapa kau membokongku?” tegurnya.
“Karena kau bukan anggota Benteng Keluarga Tong!”
“Dari mana kau bisa tahu?”
“Dari mana bisa tahu? Hm, siapa pun tahu, tak ada anggota
Benteng Keluarga Tong yang makan bubur pedas selambat caramu
bersantap!”
“Sekalipun aku bukan anggota Benteng Keluarga Tong, tidak
seharusnya kau membunuhku!”
“Tetap harus dibunuh!”
“Kenapa?”
“Penguasa kota berpesan agar kami membasmi semua sisa
kekuatan lama yang masih ada. Dulu tempat ini termasuk wilayah
kekuasaan Tayhong-tong.”
Kembali Tio Bu-ki merasakan hatinya amat sakit, menurut
penuturan pelayan itu, nampaknya sebagian besar anggota
Tayhong-tong telah mati dibantai bahkan kemungkinan besar
seluruh penghuni kota sudah habis dimusnahkan. Sungguh sebuah
tindakan yang amat keji!
“Jadi kalian telah membunuh seluruh penghuni kota?” tak
tahan lagi dia bertanya.
“Asal bersedia takluk tentu saja tidak, tapi kalau berani
membangkang, bantai!”
“Hm, sungguh keji perbuatan Benteng Keluarga Tong,
apakah Tong Ou yang suruh kalian melakukannya?”
“Tong Ou? Tak nanti Tong Ou menitahkan kami untuk
melakukan perbuatan ini, dia kelewat baik hatinya!”
“Lalu atas perintah siapa?”
“Tentu saja orang yang jauh lebih berkuasa daripada Tong
Ou! Kalau tidak, mana mungkin kami berani menyebut nama Tong
Ou secara terbuka?”

Bayangan seorang nenek yang angkuh segera terlintas
dalam benak Tio Bu-ki, serunya tanpa terasa, “Berarti Lo-cocong
yang suruh?”
“Kau juga tahu tentang nenek moyang?” tanya pelayan itu
kaget. “Bukan cuma tahu, bahkan pernah bertemu!”
“Oh... jadi kau anggota Benteng Keluarga Tong?”
“Bukan, aku anggota Tayhong-tong!”
Begitu perkataan itu berkumandang, Tio Bu-ki telah
mengayunkan telapak tangannya melancarkan sebuah pukulan kuat
ke depan, berbarengan dengan itu tubuhnya melejit ke udara dan
menerjang maju.
“Plak!” hantaman itu bersarang telak di dada si pelayan.
Tak ampun orang itu memuntahkan darah segar, dengan
mata terbelalak lebar dia mengawasi pemuda itu dengan ketakutan.
Setelah mendengus dingin, kembali Tio Bu-ki berkata, “Kau
bisa membokong aku, tentu saja aku pun bisa melakukan hal yang
sama, bahkan baru pertama kali ini kubokong orang lain. Aku benarbenar
tidak tahan melihat ulah kalian, kau anggap nama Tong Ou
boleh disebut seenaknya?”
Pelayan itu hanya bisa terbelalak dengan mulut melongo, tak
sepatah suara pun yang bisa diucapkan, sebentar kemudian
tubuhnya roboh terjungkal ke lantai.
Bersamaan dengan robohnya tubuh pelayan itu, Tio Bu-ki
segera membungkukkan badannya untuk menyusup ke bawah
kolong meja.
Saat itu terdengar suara desingan angin tajam bergema dari
arah delapan penjuru, berpuluh-puluh batang senjata rahasia
berhamburan tiba. Begitu cepat serangan itu menyambar tiba,
sehingga sebagian dari senjata rahasia itu menghajar tubuh pelayan
tadi.
Tio Bu-ki yang bersembunyi di kolong meja tidak tinggal
diam, dia mengangkat sepasang kaki meja itu, kemudian diobatabitkan
ke kiri dan kanan. Rupanya serangan senjata rahasia
gelombang kedua kembali mengarah tubuhnya.
“Tring, trang, tring, trang!” seluruh senjata rahasia itu
menghajar permukaan meja.
Di saat memutar meja untuk melindungi dirinya, sekilas Tio
Bu-ki dapat melihat kalau ada sekitar delapan orang berdiri di sekitar
dirinya.

Dengan sekuat tenaga dia melemparkan meja itu ke arah
salah satu di antara kawanan jago itu, kemudian dia menerjang ke
arah yang berlawanan. Sementara tubuhnya masih melayang di
udara, pedangnya sudah diloloskan dari sarung.
Tanpa membuang waktu lagi, pedangnya diayun berulangulang,
“Sreet, sreeet!” dua bacokan kilat membuat pakaian dua
orang pengepungnya robek panjang.
Menyusul kemudian ia menerjang ke sisi kalangan, lagi-lagi
dua bacokan yang dilontarkannya memaksa dua orang
pengepungnya yang lain mundur ketakutan. Sungguh cepat semua
gerak serangan yang dia jalankan. Ketika dia selesai membereskan
keempat orang lawannya, meja yang dilempar ke depan tadi baru
saja menghantam tubuh lawannya!
Dengan gerakan secepat kilat pemuda ini berbalik
menerjang ke arah meja itu meluncur. Sekali lagi pedangnya
bergerak cepat menusuk dada orang yang berada di samping meja.
Sisanya yang dua orang jadi ketakutan setengah mati setelah
melihat kejadian ini. Sadar kalau gelagat tidak menguntungkan,
buru-buru mereka balik badan lari terbirit-birit.
Saat itu hawa amarah dan rasa dendam yang menyelimuti
hati Tio Bu-ki sudah mencapai puncaknya. Tentu saja dia tak ingin
membiarkan musuhnya kabur dengan begitu saja.
Sambil menjejakkan kaki kanannya ke tanah, bagaikan
seekor burung rajawali raksasa dia menyambar ke depan,
pedangnya menusuk berulang kali, tahu-tahu punggung kedua orang
musuhnya yang sedang kabur itu sudah tersambar telak.
“Blaaam, blaaam!” diiringi dua kali benturan keras, kedua
orang itu roboh terkapar bermandikan darah.
Robohnya kedua orang musuh tidak membuat amarah
pemuda ini mereda, justru sebaliknya rasa benci dan dendamnya
semakin memuncak.
Ia menilai tindakan dan perbuatan orang-orang Benteng
Keluarga Tong sudak melewati batas, dia merasa sangat tersinggung
dan tidak bisa menerima perlakuan mereka. Khususnya tindakan keji
yang mereka lakukan terhadap para pengikut setia Tayhong-tong.
Semakin diingat semakin makan kati, tiba-tiba pemuda itu
berjalan menuju ke samping sebuah tiang penyangga rumah. Sambil
menghimpun tenaga dalam dihajarnya tiang penyangga itu, sesudah
itu ia menghampiri lagi ketiga tiang penyangga lainnya masingKANG
ZUSI website http://cerita-silat.co.cc/
masing dihajarnya sepenuh tenaga. Ketika tiang terakhir sudah
dihajar hingga patah, ia baru beranjak keluar dari rumah makan itu.
Baru saja tiba di tepi jalan, rumah makan itu sudah ambruk
ke tanah, suara gemuruh yang ditimbulkan memancing kedatangan
orang banyak ke sana.
Tio Bu-ki menunggu sampai suara gemuruh itu mereda baru
kemudian berseru di hadapan mereka, “Apakah kalian anggota
Benteng Keluarga Tong?”
Tak seorang pun menyahut, banyak di antaranya bahkan
buru-buru mundur dengan wajah ketakutan, tampaknya bersiap
untuk melarikan diri.
Menyaksikan hal ini, Bu-ki segera melintangkan pedangnya
sambil menghardik, “Siapa berani kabur dari sini?”
Seketika semua orang menghentikan langkahnya dan tak
berani berkutik.
“Aku Tio Bu-ki dari Tayhong-tong! Aku tidak senang ada
yang berani menghina dan memandang rendah Tayhong-tong! Huh,
suatu ketika nanti, nasib Benteng Keluarga Tong akan sama dengan
nasib bangunan itu!”
Ia menuding rumah makan yang sudah roboh berantakan
itu. Suasana di sekeliling tempat itu sekali lagi dicekam keheningan
yang luar biasa, tak ada seorang manusia pun berani berbicara
apalagi bercakap keras-keras.
Malahan ada di antaranya yang menundukkan kepala
rendah-rendah, ada pula yang menunjukkan harapan agar Tio Bu-ki
melanjutkan perbuatannya lebih jauh. Tapi ada juga yang
menampilkan wajah sinis dan menghina, seolah sedang berkata,
“Tayhong-tong dengan anggota yang begitu banyak pun sudah
dibikin keok oleh Benteng Keluarga Tong, hanya mengandalkan kau
Tio Bu-ki seorang, apa yang bisa kau perbuat?”
Ketika amarah mulai mereda, Tio Bu-ki juga mulai berpikir
dengan kepala dingin. Menyaksikan berbagai wajah yang
diperlihatkan orang-orang itu, mendadak perasaan sedih dan kecewa
muncul dari dasar hatinya.
Bicara sejujurnya, kawanan manusia itu hanya kaum
saudagar, orang yang mencari duit dengan mengandalkan
terjaminnya keamanan. Kalau mereka lalu lebih condong pada
kekuatan yang berkuasa, ini kejadian yang lumrah, sebab jika
keamanan tidak terjamin, siapa yang berani berdagang?

Selain itu saat ini dia hanya seorang diri, dengan kekuatan
begini kecil, apa yang bisa dia perbuat? Bisa saja dia mengusir
orang-orang Benteng Keluarga Tong yang ada saat ini, tapi apa yang
akan terjadi setelah ia meninggalkan kota itu? Lalu apa yang bisa dia
perbuat jika pihak Benteng Keluarga Tong mengirim bala bantuan?
Untuk mewujudkan cita-cita dibutuhkan kekuatan nyata,
tidak ada kecuali untuk itu. Dalam keadaan seperti ini satu-satunya
yang bisa dia lakukan adalah secepatnya bertemu Sugong Siauhong,
menyusun strategi, menghimpun kembali kekuatan baru
kemudian merebut kembali satu per satu wilayah itu dari tangan
Benteng Keluarga Tong.
Begitu sadar akan kecerobohannya, sambil tertawa getir
pemuda itu berkata lagi, “Kalian tak usah kuatir, Tayhong-tong pasti
akan bangkit kembali dan membebaskan wilayah ini dari penjajahan,
aku berharap kalian bisa menjaga diri baik-baik!”
Selesai bicara dia menyimpan kembali pedangnya dan
perlahan-lahan beranjak pergi dari situ.
Berjalan hingga menjelang senja, tibalah anak muda itu di
sebuah kota kecil lain, dia tak taku nama kota itu karena tiada ciri
khas di kota tersebut, juga tak ditemukan papan petunjuk. Dia
hanya mengetahui satu hal, satu persoalan yang tak ingin dia selidiki
bagaimana akibatnya.
Kota ini terlihat cukup besar, mungkin lebih dari duaratus
orang penduduknya, namun sekilas pandang suasana terasa lengang
dan sepi. Biasanya senja merupakan saat yang pakng ramai orang
berlalu lalang. Tapi kini? Kota itu sepi dicekam ketakutan.
Ia mencoba menyusuri jalan di tengah kota, semua pintu
tertutup rapat. Ia mencoba menelusuri lebih jauh sampai akhirnya
menemukan satu bangunan rumah yang retak hampir roboh.
Padahal bangunan yang tampak hampir roboh itu masih kelihatan
baru, kayu-kayunya kuat dan kokoh, tidak seharusnya dengan bahan
yang begitu kokoh bisa roboh.
Tapi apa yang terjadi? Kenapa bangunan rumah itu seakan
hendak roboh?
Ia menghampiri bangunan itu dan segera menemukan
bahwa retaknya bangunan itu akibat ulah manusia. Ada seseorang
yang sengaja merobohkan rumah itu.
Dalam bangunan tak ada lentera dan tentu saja tidak ada
penghuninya. Dia tak ingin mengamati lebih jauh, maka kembali ia

mengikuti jalan yang berbelok ke kanan lalu belok lagi ke kiri sampai
di depan sebuah warung di tepi jalan.
Warung itu menjual bakmi, sebuah lentera kecil tergantung
di sisi warung, seorang kakek duduk di belakang tungku, tak nampak
ada tamu yang bersantap.
Ketika melihat kemunculan Tio Bu-ki, dengan ramah kakek
itu segera menyapa. Tio Bu-ki mengambil tempat duduk dan
memesan semangkuk bakmi daging sapi. Bakmi itu sangat pedas
namun sedap rasanya, sangat berbeda dengan bubur tahu pedas
yang ia makan siang tadi.
“Bakmi daging sapi yang kau jual ini dulu tentu tidak pedas
bukan?” tak tahan tanya anak muda itu.
“Tuan pernah makan di sini?” tanya kakek itu sambil duduk
di sisi pemuda itu.
“Tidak pernah, baru pertama kali ini aku datang kemari.”
“Oh, hebat sekali, baru dicicipi segera sudah tahu!”
“Warungmu nampak sudah lama, tandanya kau sudah lama
sekali berjualan di sini, tapi rasa pedasmu tidak harum, jika kau
tetap masak dengan bumbu seperti ini, aku yakin tak sampai tiga
bulan kau harus menutup usahamu!”
“Ucapan tuan memang tepat sekali, tapi, haaai...” kakek itu
menghela napas panjang dan tidak melanjutkan kata-katanya.
“Apa kesulitanmu, kenapa tak kau teruskan?”
“Sebetulnya bukan suatu rahasia yang tak boleh diungkap,
kalau memang kau datang dari luar daerah, biarlah kuceritakan
padamu.”
Bu-ki segera meletakkan sumpitnya dan mendengarkan
cerita kakek itu dengan seksama.
“Begini ceritanya,” kata kakek itu kemudian, “Dulu kota ini
adalah wilayah kekuasaan Tayhong-tong, selama itu semuanya
aman dan tenteram, dagangan ramai dan gampang cari duit. Tapi
sejak beberapa hari yang lalu, Tayhong-tong dikalahkan Benteng
Keluarga Tong sehingga daerah ini jatuh ke tangan mereka. Sejak
itulah usahaku menjadi sepi, susah cari duit dan hidup pun jadi tidak
tenteram.”
Setelah berhenti sejenak untuk menarik napas, kakek itu
melanjutkan, “Kau lihat bangunan rumah di ujung jalan sana?” Tio
Bu-ki mengangguk.

“Dengan terang-terangan mereka menentang dan melawan
Benteng Keluarga Tong, akibatnya rumah mereka dijebol orang,
sementara penghuninya ditangkap semua. Akibat peristiwa ini,
banyak orang yang pura-pura tunduk pada Benteng Keluarga Tong,
tapi ada juga sebagian yang lain melarikan diri dari sini.”
Selesai mendengar penuturan itu, Tio Bu-ki semakin yakin
kalau dugaannya tidak salah, segala sesuatu terjadi karena kekuatan
Tay-kong-tong semakin mundur sementara pengaruh Benteng
Keluarga Tong semakin berjaya.
“Masa orang-orang Benteng Keluarga Tong begitu galak?”
tanya pemudaku.
“Malah ada yang lebih galak lagi!”
“Ook, apa yang terjadi?”
“Di ujung jalan sana ada seorang kakek penjual kelontong,
dia she Thio dan mempunyai seorang anak gadis, tahun ini baru
berusia tujuh belas tahun, wajahnya cantik dan menawan. Sudah
banyak anak muda yang berminat dan mengajukan lamaran, tapi
semuanya ditolak bapaknya.”
“Kenapa?”
“Menurut kakek Thio, putrinya sejak kecil sudah dijodohkan
dengan putra seorang Tongcu Tayhong-tong, namanya...”
Kakek itu berpikir sejenak sambil menggaruk-garuk
kepalanya, sesaat kemudian baru berseru, “Ah, betul, dia bernama Li
Hong-hui!”
“Li Hong-hui?”
“Tuan kenal dengannya?”
“Tidak, tapi pernah mendengar nama itu!”
Padahal Bu-ki kenal Li Hong-hui, hanya saja dia tak ingin
mengungkap dirinya. Kembali tanyanya, “Bagaimana selanjutnya?”
“Kemudian semua orang mengurungkan niatnya untuk
meminang. Tapi belakangan, setelah orang-orang Benteng Keluarga
Tong muncul di sini, satu di antara mereka, konon seorang Tancu
yang bernama Si Po-yong tertarik pada gadis itu, dia memaksa
hendak meminangnya.”
“Lalu apa yang dilakukan kakek Thio?”
“Apa lagi? Dia bisa berbuat apa? Aaai...” dia menghela napas
panjang dan menggelengkan kepalanya berulang-ulang.
Tio Bu-ki tidak bertanya lebih lanjut, sebab dia tahu di kala
seseorang sedang bersedih, lebih baik jangan mengusik atau

mengganggunya, beri kesempatan lebik dulu kepadanya untuk
melampiaskan kesedihannya.
Setelah menghela napas panjang, kakek penjual mie itu
meneruskan, “Besok pagi, Si Po-yong akan datang memboyong pergi
gadis itu!”
“Kenapa keluarga Thio tidak berusaha untuk melarikan diri?”
“Melarikan diri? Bagaimana mungkin?”
“Kaki toh tumbuh di badan mereka, apa susahnya kabur dari
sini?”
“Kalau ada delapan orang lelaki bengis yang siang malam
menjaga di depan dan belakang pintu rumah mereka, bagaimana
caranya untuk kabur?”
Tio Bu-ki tidak bicara lagi sebab dia cukup paham dengan
keadaan di lingkungan itu.
“Padahal pengaruh Tayhong-tong sudah runtuh dan lenyap,
apa salahnya kakek Thio menjodohkan putrinya dengan penguasa
baru? Bukankah kejadian ini malah menguntungkannya?”
“Ucapan tuan benar, tapi tiap orang punya pendapat yang
berbeda-beda, ada sementara orang berjiwa tempe dan berpikiran
bunglon, tapi ada pula yang berjiwa ksatria, setia dengan Tayhongtong
dan tidak mau takluk pada orang lain!”
Mendengar sampai di situ, diam-diam Tio Bu-ki mengambil
keputusan akan membantu keluarga Tkio. Dia lalu bertanya letak
rumah keluargaku.
Selesai membayar, dia berangkat menuju ke arah yang
ditunjuk.
Waktu itu kegelapan malam sudah menyelimuti seluruh kota
kecil itu. Lentera yang menerangi warung itu sangat redup,
membuat Bu-ki susah untuk melihat perubahan wajah kakek penjual
mie itu.
Seraut wajah yang menyeramkan, wajah pembunuh yang
membuat bulu kuduk berdiri!
Ooo)))(((ooo
Tio Bu-ki berjalan lambat-lambat, dandanannya tetap sama
seperti penampilannya tadi, menggantungkan pedangnya di
belakang baku.

Kini cahaya lampu telah menyinari seluruh jalan, walaupun
tidak terlalu ramai namun sudah menyerupai keramaian di sebuah
kota kecil. Tengah berjalan, mendadak ia berubah pikiran, ia
memutuskan untuk menunda dulu kunjungannya ke kakek Thio. Ia
ingin mencari tempat untuk beristirahat dulu.
Keputusan ini menjadi keputusan yang mematikan.
Keputusan yang jauh lebih menakutkan ketimbang senyuman si
kakek penjual mie yang menakutkan tadi. Keputusan ini telah
memberi waktu yang cukup bagi kakek penjual mie itu untuk
menjalankan rencana busuknya yang mengerikan dan mematikan.
Ooo)))(((ooo
Pembaringan kayu keras dan dingin, sama sekali tidak
nyaman untuk ditiduri. Tapi Tio Bu-ki justru suka tidur di
pembaringan semacam ini, karena pembaringan kayu membuat
pinggangnya lebih lurus, keadaan yang dibutuhkan seorang pesilat.
Berbaring di pembaringan kayu itu, pikirannya melayang
kembali ke suasana dalam gedung keluarga Tio di Tayhong-tong.
Terbayang kembali pembaringan kayu yang biasa ditidurinya hampir
belasan tahun.
Membayangkan pembaringan kayu, tentu saja dia lalu
teringat pembaringan yang lain, sebuah pembaringan baru,
pembaringan yang nyaman dan merangsang.
Ranjang pengantin!
Ranjang pengantinnya bersama Wi Hong-nio. Karena
terdorong rasa ingin tahu, dia pernah pergi menengoknya. Sayang
tak ada kesempatan untuk menggunakannya, walau hanya
semalam!
Bila dalam dunia persilatan tak ada perkumpulan yang
bernama Benteng Keluarga Tong, ayaknya tak akan mengorbankan
jiwa dengan percuma. Upacara perkawinannya pasti akan
berlangsung meriah dan malam harinya dia pasti akan menikmati
empuknya ranjang pengantin!
Ya, andaikata dalam dunia persilatan tak ada perkumpulan
yang bernama Benteng Keluarga Tong!
Ia tak menghela napas, karena tiba-tiba ia berpikir, mungkin
saja orang-orang dari Benteng Keluarga Tong juga ada yang sedang

berpikir, andaikata dalam dunia persilatan tidak ada perkumpulan
yang bernama Tayhong-tong...
Jadi pada dasarnya masalah bukanlak ada atau tidaknya
Benteng Keluarga Tong. Mungkin saja Keluarga Tong tidak ada,
namun tidak menutup kemungkinan akan muncul Benteng Keluarga
Tan atau Benteng Keluarga Li.
Jadi pokok persoalan adalah kekuatan dan daya pengaruh.
Dia harus memperbesar pengaruh dan kekuatan yang dimilikinya,
dengan begitu semua persoalan baru bisa diatasi.
Itu sebabnya ia memutuskan untuk pergi menolong kakek
Thio dan putrinya, ia ingin tetap menanamkan pengaruh Tayhongtong
di tempat itu, bahkan ingin semua orang taku bahwa Tayhongtong
tidak selemah seperti yang dibayangkan orang!
Ia berencana pada kentongan pertama nanti, dengan purapura
sebagai keluarga kakek Thio, ia akan menyusup masuk ke
dalam rumah. Kemudian bersama kakek Thio menghabisi para
penjaga dan membawanya kabur, dia ingin mengajak keluarga itu
untuk mengungsi ke tempat Sugong Siau-hong, baru kemudian
mencari Li Hong-hui agar bisa menikahi kekasihnya.
Bagaimanapun juga dia harus berusaha sekuat mungkin,
sebab tidak gampang menemukan orang yang begitu setia terkadap
Tayhong-tong!
Kentongan pertama.
Setelah mempersiapkan diri, dengan penuh semangat Tio
Bu-ki berangkat menuju ke rumah kakek Thio. Dari jauk ia sudah
melihat dua lentera gantung di depan pintu rumah, lentera berwarna
merah yang memancarkan cahaya terang.
Betul juga, di depan rumah tampak ada dua orang lelaki
kekar bersenjata golok sedang melakukan penjagaan.
Ketika ia berjalan mendekat, salak seorang dari dua lelaki itu
segera menghadang jalannya seraya menegur dengan suara garang,
“Mau cari siapa?”
“Tuan rumah,” sahut pemuda itu sambil menuding ke dalam
gedung.
“Mau apa mencarinya?”
“Memberi ucapan selamat, katanya besok putrinya akan
menikah. Aku keluarga jauhnya yang datang untuk memberi
selamat.”

Dengan sorot mata tajam lelaki itu mengamati Tio Bu-ki
beberapa saat, baru katanya, “Masuk!”
Pintu dalam keadaan terbuka. Tio Bu-ki segera mengetuk
pintu gerbang kuat-kuat, tiga kali ketukan keras ditambak dua kali
ketukan perlahan.
Itulak ketukan rahasia Tayhong-tong, tanda bahwa yang
datang satu aliran dengan mereka. Pintu segera dibuka. Seorang
lelaki setengah umur yang berperawakan tinggi besar melongokkan
kepalanya memperhatikan pemuda itu sekejap.
Lelaki itu mengenakan topi dari kulit yang dipasang amat
rendah sampai menutup hampir seluruh telinganya, menutupi juga
keningnya yang menonjol tinggi.
Setelah mengamati Bu-ki beberapa saat, lelaki setengah
umur itu baru bertanya, “Kau...”
“Aku datang mencari kakek Thio!”
“Kakek Thio?”
“Benar!”
“Aku she Thio, tapi bukan kakek Thio.”
“Apakah kau punya anak perempuan yang akan dinikahkan
besok?”
“Benar!”
“Kalau begitu kaulah yang sedang kucari, sebab ada orang
memanggilmu kakek Thio maka aku...”
“Tahun ini aku berusia limapulub tahun, mungkin lantaran
belajar silat maka tampangku nampak jauh lebih muda!” orang itu
berkata sambil tertawa, “Ayoh silahkan masuk!”
Dia mengajak Bu-ki melewati kalaman depan yang luas dan
masuk ke ruang tengah. Suasana di situ amat sepi, tak nampak
sesosok bayangan manusia pun.
“Kenapa tak nampak satu orang pun?” tanya Bu-ki
kemudian.
“Sudah pada kabur!”
“Kenapa?”
“Pada takut mati!”
Bu-ki tidak bicara lagi. Siapa sih yang tidak takut mati?
Takut mati memang kelemahan orang, apalagi menghadapi keadaan
seperti ini, kabur karena takut adalah sebuah urusan yang biasa.

Mendadak satu ingatan melintas dalam benaknya, dengan
keheranan kembali ia bertanya, “Apakah penjaga di luar mengijinkan
mereka untuk pergi?”
Kakek Thio sedikit melengak, tapi cepat-cepat sahutnya,
“Tentu saja!”
“Kenapa kau tidak menyamar jadi pelayan untuk kabur juga
dari sini?”
“Mungkinkah bagiku?” kakek Thio tertawa getir, sambil
menuding perawakan tubuhnya, “Aku tinggi besar, siapa saja bisa
mengenalku dalam sekilas pandang, apa mungkin aku bisa kabur?”
“Berarti kau membiarkan putrimu dikawin orang?”
“Mau apa lagi? Mau melawan juga tak mungkin bisa
mengalahkan mereka!”
“Bertarung saja belum, bagaimana kau bisa tahu kalau tidak
sanggup mengalahkan mereka?”
Sekali lagi kakek Thio melengak, “Apa perlu kita melakukan
perlawanan?”
“Tentu saja!”
“Kenapa?”
“Sewaktu masuk, aku sempat memperhatikan dua penjaga
di luar itu, kelihatannya kungfu mereka tak seberapa tinggi.”
“Sungguk?” tak nampak rasa girang di wajah orang itu.
Sayang Bu-ki tidak memperhatikan perubahan itu, kembali ia
bertanya, “Mana putrimu?”
“Di dalam kamar.”
“Suruh dia kemari, akan kuajak kalian pergi meninggalkan
tempat ini.”
“Kau? Siapa kau?”
“Aku Tio Bu-ki.”
“Kau Tio Bu-ki?”
“Kenapa? Tidak mirip?”
“Oh tidak, tidak, aku terlalu gembira,” sahut kakek Thio itu
lagi. Meskipun dia mengatakan gembira namun paras mukanya sama
sekali tidak memperlihatkan perasaan gembira.
Berbicara sampai di situ, kakek Thio lalu masuk ke ruangan
dalam. Sambil berjalan, katanya lagi, “Aku akan segera memanggil
putriku!”
“Tunggu dulu!” cegah Bu-ki.
Kakek Thio menghentikan langkahnya dan berpaling.

“Lebik baik sekalian berbenah, kita segera pergi
meninggalkan tempat ini.”
Kakek Thio manggut dan berjalan masuk.
Tak lama kemudian kakek Thio sudah muncul bersama
seorang gadis, di tangan mereka tampak bungkusan kain. Sepertinya
itulak bekal yang akan mereka bawa. Bu-ki tampak agak kaget, dia
tak menyangka secepat itu mereka berdua telah muncul kembak.
Seolah-olah buntalan itu sudah mereka persiapkan dari tadi.
Gadis itu berusia kira-kira tujuk atau delapanbelas takun,
wajahnya cantik tapi kelihatan jauk lebih matang dan dewasa dari
usianya. Ini sekali lagi membuat anak muda itu keren.
“Cepat panggil Tio kongcu!” kata kakek Thio sambil
menepuk bahu gadis.
“Tio kongcu!” seru si nona dengan suara yang merdu,
sementara sepasang matanya yang besar menatap wajak anak
muda itu tanpa berkedip, membuat Bu-ki menjadi risih sendiri.
“Mari kita segera berangkat!” ajaknya kemudian.
“Baik,” sahut kakek Tkio sambil menarik putrinya mengikut
di belakang pemuda itu.
Baru saja Bu-ki membuka pintu, dua orang lelaki bergolok
itu sudah menghadang jalan perginya. Tanpa bicara lagi pemuda itu
melolos pedangnya dan beruntun melancarkan tiga buah serangan.
Belum sempat kedua orang lelaki itu menggerakkan
goloknya untuk menangkis, tahu-tahu dada mereka sudah terbabat
hingga robek tiga buah garis panjang. Kedua lelaki itu menunduk,
memeriksa dada mereka. Melihat pakaian mereka terbabat robek,
mereka berdua lalu saling bertukar pandang. Sekejap kemudian
keduanya lari terbirit-birit.
Suara tepuk tangan bergema dari belakang tubuhnya,
ternyata gadis itu bertepuk tangan sambil bersorak memuji.
“Tenang amat gadis ini,” pikir Bu-ki. Dia tidak curiga
mengapa gadis yang lemah lembut bisa bersikap begitu tenang
menyaksikan suatu pertarungan.
Setelah menyarungkan kembali pedangnya, ia berpaling
kepada kakek Thio berdua seraya serunya, “Ayo segera berangkat!”
Gadis itu tersenyum manis, sambil menyusul ke samping Buki,
pujinya, “Hebat betul ilmu silatmu, aku ingin jalan bersamamu!”
Sambil bicara ia sudah menggenggam tangan pemuda itu erat-erat.

Jari tangannya terasa lembut dan halus, Bu-ki dapat
merasakan kehangatan yang terpancar keluar dari tangan itu. Ini
membuatnya sangat tak leluasa dan ingin melepaskannya. Sayang
apa yang dipikirkannya sudah terlambat.
Jari-jari tangan yang semula halus dan lembut itu tiba-tiba
berubah menjadi kaku dan keras bagaikan baja. Bukan hanya itu,
kelima jari tangannya segera mencengkeram tangan pemuda itu dan
menekan jalan darah di pergelangannya.
Tanpa ampun separuh badan Bu-ki sebelah kanan lemas
seketika, seluruh kekuatannya hilang lenyap tak berbekas.
Dengan kaget bercampur heran ia berpaling. Sambil tertawa
gadis itu berseru, “Kau sudah masuk perangkap!”
Buru-buru anak muda itu mengebaskan tangannya berusaha
melepaskan diri dari cengkeraman, sayang langkah ini pun sudah
terlambat.
Ketika ia menggerakkan badannya hendak meronta, kakek
Thio yang ada di sampingnya turun tangan. Tangan kanannya
secepat kilat menangkap bahu Bu-ki dan mencengkeramnya kuatkuat.
Sungguh dahsyat cengkeraman itu. Bagai dijepit sebuah
cakar baja, bahunya sama sekali tak mampu bergerak lagi, membuat
separuh badan Bu-ki yang sebelah kiri ikut lemas tak bertenaga.
Senyum si nona yang semula lembut tiba-tiba saja berubah
jadi senyuman licik dan jahat.
“Siapa kalian berdua?” tegurnya tanpa terasa.
“Kami?” senyum gadis itu semakin jalang, “Tentu saja kami
adalah orang yang khusus kemari untuk menangkap dirimu!”
“Jadi anggota Benteng Keluarga Tong selalu hanya mampu
menangkap orang dengan cara yang licik dan tak tahu malu?”
“Belum tentu!” kembali gadis itu tertawa jalang, “Untuk
menghadapi kau, kami masih punya cara lain yang jauh lebih hebat!”
Tio Bu-ki tidak bersuara lagi. Tiba-tiba ia sadar kalau
perbuatannya selama ini kurang hati-hati. Sejak pintu gerbang
keluarga Thio hingga masuk ke dalam gedung, ia sudah menjumpai
banyak kejadian yang mencurigakan, tapi ia mengabaikan semua itu,
yang dipikirkan hanya bagaimana secepatnya menolong mereka
berdua.
Ia memang kelewat bodoh, sedemikian bodoh hingga tidak
membayangkan bagaimana mungkin Benteng Keluarga Tong hanya

mengirim dua orang untuk menjaga pintu gerbang rumah seorang
pengikut setia Tayhong-tong.
Selain itu, jika mereka memang berasal dari keluarga baikbaik,
mengapa si gadis bisa menampilkan senyuman cabul? Di
samping itu, malam sudah demikian gelap, mengapa kakek Thio
masih mengenakan topinya, bahkan sengaja merendahkan topinya
hingga menutupi kedua tay-yang-hiatnya? Bukankah tujuannya jelas
untuk mengelabui penampilannya, agar dia tak melihat kalau
kungfunya sangat hebat.
Kini segalanya sudah menjadi jelas. Tapi apa gunanya?
Semuanya sudah terlambat!
Bu-ki amat sakit hati, benci kepada diri sendiri, benci pula
kepada Tong Ou. Mengapa dia sengaja membebaskan dirinya untuk
kemudian mengirim orang untuk menangkapnya kembali?
“Apakah Tong Ou yang memerintah kau untuk
membekukku?”
“Aku tidak tahu,” jawab gadis itu sambil tersenyum,
“tanyakan saja kepada suamiku.”
“Suamimu?”
“Benar, akulah suaminya!” sahut kakek Thio.
“Kau?” dengan terperangah Bu-ki berpaling dan mengawasi
wajah kakek Thio.
Kakek Thio membuka mulutnya lebar-lebar, tertawa dan
manggut-manggut.
Mendadak Bu-ki seperti teringat sesuatu, segera serunya,
“Aku tahu sekarang, kau adalah Thio Toa-cui, Si Mulut Besar!”
Sekali lagi Thio Toa-cui Si Mulut Besar tertawa terkekehkekeh,
mulutnya dipentang semakin lebar, sahutnya, “Tepat sekali!
Akulah Si Mulut Besar Thio Toa-cui, dia adalah biniku, Li Bu-yan!”
Sambil berkata, ia menunjuk gadis di depannya.
“Berarti kakek penjual mie di sana adalah Oh Pan?”
“Tepat sekali! Sayang baru sekarang kau menyadarinya,
semuanya sudah terlambat!”
Cerita yang tersiar di dunia persilatan, Oh Pan, Thio Toa-cui
dan Li Bu-yan adalah tiga orang tokoh perkumpulan pembunuh
gelap. Asal kau bersedia mengeluarkan uang, mereka bersedia
melakukan pekerjaan apa pun bagimu. Mereka hanya kenal uang,
tidak kenal sanak saudara.

Konon istri Oh Pan dan Thio Toa-cui adalah orang yang
sama, yaitu Li Bu-yan.
“Tak kusangka Benteng Keluarga Tong telah menyewa
kalian untuk menghadapiku!” kata Bu-ki kemudian.
“Ha ha ha... kau keliru besar!” Tkio Toa-cui kembali
membuka mulutnya lebar-lebar dan tertawa tergelak. “Yang
mengeluarkan uang untuk menghadapi dirimu bukanlah Benteng
Keluarga Tong!”
“Benar!” sambung Li Bu-yan, “Kami sedang mencari jalan
rejeki buat diri sendiri. Bila berhasil membekukmu berarti kami akan
mendapat banyak uang dari Benteng Keluarga Tong.”
“Kenapa?”
“Kenapa?” kembak Li Bu-yan tertawa cekikikan. “Saat ini
Benteng Keluarga Tong sedang menabuh genderang peperangan
pada Tayhong-tong. Sedang kau adalah tokoh penting dari
perkumpulan itu, dengan membekukmu berarti kami telah membuat
jasa besar. Coba kau bayangkan sendiri, berapa banyak uang yang
bakal kami terima dari Benteng Keluarga Tong?”
Setiap kali menyinggung soal duit, Li Bu-yan dan Thio Toaciu
saling berpandangan sambil tertawa tergelak, seakan-akan sudah
ada setumpuk uang yang disodorkan ke hadapan mereka.
“Kalau mau menyalahkan, salahkan dirimu sendiri!” ujar Thio
Toa-cui lagi. “Siapa suruh kau berlagak sok jagoan dengan mengundurkan
dirimu di depan umum? Kalau tidak, kami pun tak bakal
mengatur siasat untuk menjebakmu!”
“Hanya saja,” sambung Li Bu-yan cepat, “hanya orang
segoblok kau yang bisa tertipu oleh siasat kami!”
Bu-ki tidak bicara lagi, dia hanya mengawasi mereka berdua
dengan pandangan dingin, sikapnya menghina dan sama sekali tidak
menghargai orang-orang itu.
“Bagaimana?” kembali Li Bu-yan bertanya, “Kau pandang
hina cara kerja kami?”
“Bukan begitu, siapa pun yang berhasil membekuk
lawannya, dia pasti akan menggunakan cara yang paling hebat,
hanya saja...”
“Hanya saja kenapa?” tanya Si Mulut Besar Thio Toa-cui.
“Kalian bakal bekerja sia-sia!”
“Kerja sia-sia? Kenapa?”
“Sebab kalian tak bakal mendapat uang sekeping pun!”

“Oh ya?” seseorang berseru dari kejauhan. Menyusul seruan
itu Oh Pan si tukang bakmi sudah muncul.
Dia langsung berjalan menuju ke depan Bu-ki, lalu katanya
lebih jauh, “Tentu saja kami tak akan perolek sekeping uang, sebab
uang yang akan kami terima banyak sekali jumlahnya!”
“Tak mungkin, kalian tak bakal memperolek apa-apa!”
“Kenapa?” Li Bu-yan bertanya agak penasaran, “Memangnya
sekarang kau masih bisa kabur dari cengkeraman kami?”
“Aku tak perlu kabur, bawa saja aku ke Benteng Keluarga
Tong. Kujamin kalian hanya akan membuang tenaga percuma,
membuang pikiran percuma, membuang waktu percuma, membuang
ransum percuma. Kecuak menelan angin kosong, kalian tak bakal
mendapat apa-apa!”
“Kau kira kami akan percaya kata-katamu?”
“Mau percaya atau tidak terserah, sampai waktunya jangan
bilang aku tidak memberitahumu!”
“Apa alasanmu sehingga dapat membuat kami percaya?”
tanya Li Bu-yan kemudian.
“Aku baru saja keluar dari Benteng Keluarga Tong!”
“Sungguh?” teriak Li Bu-yan, “Bagaimana kau bisa keluar
dari sana.!”
Sebelum Bu-ki sempat menjawab pertanyaan itu, Ok Pan
sudak berebut untuk bicara duluan, “Tidak, kau seharusnya
menjelaskan dulu bagaimana bisa memasuki Benteng Keluarga
Tong!”
“Bagaimana caraku bisa masuk ke sana sesungguhnya tidak
penting bagi kalian,” sakut Bu-ki tenang, “Yang penting buat kalian
justru bagaimana aku bisa keluar dari sana!”
“Baik, coba katakan, dengan cara apa kau bisa keluar dari
sana?” potong Thio Toa-cui cepat.
“Tong Ou yang membebaskan diriku!”
Ketiga orang itu saling bertukar pandang dengan mata
terbelalak lebar. Dengan wajah tak percaya mereka mengawasi
wajah anak muda itu.
“Kini kalian menangkap aku dan mengkantar balik ke situ,
bukankah perbuatan kalian percuma saja?” ujar Bu-ki lebik jauh.
Lama sekali tiga pasang mata itu terbelalak lebar, akhirnya
Thio Toa-cui tertawa terbahak-bahak, katanya, “Ha ha ha... kau

anggap ceritamu dapat membohongi kami semua? Ha ha ha...
sungguh bikin orang mati geli!”
“Bikin orang mati geli? Kenapa kau tidak segera mati saja?”
Thio Toa-cui kontan menghentikan tawanya setelah
mendengar perkataan itu. Amarah mulai menyelimuti wajaknya,
cengkeraman tangan kanannya di tulang bahu Bu-ki segera
diperkuat.
“Justru kau yang bakal mampus!” teriaknya.
Paras muka Bu-ki sama sekali tak berubah, penampilannya
saat ini sangat wajar, seakan cengkeraman dari Thio Toa-cui itu
sama sekali tidak membuatnya kesakitan.
“Bila kalian tidak percaya pada perkataanku,” kembali Bu-ki
berkata, “Yang bakal mampus bukan aku, sebab kalian masih butuh
aku dalam keadaan hidup.”
“Sudahlah,” tukas Ok Pan kemudian, “kita tak usah
membuang banyak waktu hanya beradu mulut dengan bocah ini.
Hei, bocah monyet, kami tak bakal percaya omonganmu, jadi tak
usah banyak bicara lagi!”
Habis berkata ia menghampri anak muda itu dan menotok
beberapa jalan darahnya, kemudian katanya lagi, “Sekarang, kecuali
sepasang kakimu yang bisa dipakai untuk berjalan, tenagamu tak
akan bisa kau gunakan lagi. Ayoh jalan, ikuti kami!”
Li Bu-yan dan Thio Toa-cui melepaskan genggamannya,
mereka segera pergi meninggalkan tempat itu.
Diam-diam Bu-ki mencoba untuk menghimpun tenaga
dalamnya. Betul juga, tenaga murninya hilang lenyap sama sekali.
Dalam keadaan begini, terpaksa dia harus mengikut di
belakang tiga orang itu untuk berjalan. Dia tahu, jika tidak menuruti
kemauan mereka, dia bakal menderita siksaan hidup-hidup!
Bab 13. Naga Kemala Putih
Tong Hoa dan Wi Hong-nio melakukan perjalanan setiap
malam menjelang tiba dan sesudah melewati sepuluh hari, tibalah
mereka di tempat tujuan.
Tempat tinggal Wi Hong-nio sesungguhnya adalah gedung
keluarga Tio, meskipun ia belum resmi menikah dengan Tio Bu-ki,

namun ia beranggapan sudah menjadi menantu keluarga Tio, maka
rumahnya adalah gedung keluarga Tio.
Sejak Tio Kian ditemukan tewas, kemudian Tio Bu-ki dan
adiknya hilang tanpa kabar, semua pembantu yang bekerja di
keluarga Tio boleh dibilang sudah bubar dan pulang ke rumah
masing-masing.
Tio Cian-cian memang pernah pulang, tetapi setelah
menyaksikan bangunan rumahnya dipenuhi sarang laba-laba dan
debu, tanpa berhenti sejenak pun ia langsung berlalu.
Tak heran ketika Tong Hoa dan Wi Hong-nio tiba di sana,
gedung keluarga Tio sudah berubah menjadi sebuah bangunan yang
terbengkalai.
Tong Hoa bekerja keras membersikkan debu dan sarang
laba-laba dari setiap sudut rumah, sementara Wi Hong-nio
membenahi kamar tidur.
Ketika gedung keluarga Tio sudah bersih dan pulih
kemegahannya, senja sudah menjelang tiba.
Tong Hoa bertanya kepada Wi Hong-nio apakah akan keluar
rumah untuk mencari makan dan ketika perempuan itu menjawab
belum lapar, Tong Hoa berkata, “Kalau begitu aku akan keluar
sebentar, nanti kubelikan beberapa macam hidangan untuk mengisi
perut.”
“Baiklah, kau tak perlu terburu-buru,” sahut Hong-nio sambil
mengawasi cahaya senja yang menyinari halaman rumah dengan
termangu-mangu, tampaknya ia sedang membayangkan kembali
saat-saat gembira di masa lalu.
Tanpa mengucapkan sepatah kata, Tong Hoa berlalu.
Dengan cepat ia berhasil menemukan Pesanggrahan Kemala
Putih dan menemui pemiliknya, Pek Giok-khi.
Tong Hoa mengeluarkan selembar kertas yang dibawanya
dari Benteng Keluarga Tong lalu menyerahkannya kepada Pek Giokkhi.
Kertas itu adalah surat yang ditulis Tio Kian. Kepada orang itu ia
berkata, “Kau bisa meniru gaya tulisan orang ini?” Pek Giok-khi
memperhatikan tulisan itu beberapa saat, kemudian mengangguk.
“Kecuali aku, rasanya di kolong langit dewasa ini tak akan
ada orang ketiga yang bisa mengenali gaya tulisan itu sebagai gaya
tulisanku!”
“Tidak mungkin! Aku tahu ada orang ketiga yang bisa
mengenalinya.”

Pek Giok-khi membelalakkan matanya lebar-lebar, dengan
agak sangsi ia berkata, “Menulis saja belum, dari mana kau bisa
begitu yakin kalau pasti ada orang yang mengenalinya?”
“Sebab ada orang yang menyuruh aku datang kemari,
memangnya orang yang menyuruh aku kemari tidak tahu?”
Pek Giok-khi tertawa, hatinya langsung jadi lega.
“Siapa orang itu?”
“Tong Ou!”
“Oh, kalau begitu kau adalah...”
“Aku Tong Hoa.”
“Ah, maaf, maaf...”
“Tak usah sungkan, aku datang melaksanakan perintah
Tong Ou. Dia tidak meminta kau menyalin isi surat ini, tapi membuat
sebuah buku harian dengan meniru gaya tulisan itu.”
“Buku harian?”
“Benar, karenanya kau harus mencari kertas yang sudah
agak menguning, agar jangan mendatangkan curiga orang. Jangan
sampai orang tahu bahwa kertas itu baru, semakin tua semakin
baik.”
“Aku mengerti, apa yang harus kutulis?”
Tong Hoa menjelaskan maksudnya panjang lebar, baru ia
bertanya, “Kapan kau bisa menyelesaikan tugas ini?”
“Buru-buru?”
“Makin cepat makin baik!”
“Besok pagi!”
“Besok pagi? Secepat itu?”
“Masa kau belum tahu julukanku?”
“Apa julukanmu?”
“Si Tangan Kilat Sepanjang Malam.”
“Baik! Besok pagi aku akan datang mengambilnya, ukuran
kertasnya jangan terlalu besar, lebih baik lagi jika dapat disisipkan
dalam tabung.”
Ia menerangkan ukuran lubang rahasia yang terpasang di
patung Naga Kemala Putih itu.
“Baik, segalanya akan kukerjakan. Datang saja besok pagi,
kujamin semuanya pasti sesuai dengan keinginanmu!”
Keesokan harinya Tong Hoa mengambil buku harian palsu
itu dan kembali ke gedung keluarga Tio dengan riang gembira.

Baru setengah jalan, tiba-tiba dari arah belakang terdengar
derap kaki kuda yang dilarikan kencang. Ia merasa agak heran
bercampur curiga, tanpa berpaling lagi, tubuhnya segera menyingkir
ke sisi jalan.
Tapi kuda itu nampaknya memang diarahkan kepadanya,
sebab suara kaki kuda ikut bergeser tetap di belakang tubuhnya.
Dengan satu gerakan cepat ia membalik badan, memasang
kuda-kuda dan mengawasi datangnya kuda itu dengan sorot mata
tajam.
Tampaknya si penunggang kuda itu mahir menunggang
kuda jempolan, ketika kuda sudah berada tiga kaki di depan Tong
Hoa, mendadak ia menarik tali les kudanya yang seketika berhenti
bergerak. Si penunggang langsung melompat turun.
Tong Hoa mengira orang itu akan menyergapnya, dengan
satu gerakan sigap dia merentangkan telapak tangan kanannya ke
depan, sementara tangan yang lain siap melancarkan serangan
susulan.
Begitu tiba di hadapan Tong Hoa, tiba-tiba orang itu
menjatuhkan diri berlutut dan memberi hormat. Dari caranya
memberi hormat, Tong Hoa tahu kalau orang sendiri yang datang,
maka tegurnya, “Ada urusan penting?”
“Benar.”
“Katakan!”
“Tong Kongcu minta rencana pelaksanaan Naga Kemala
Putih diundur dua hari.”
“Kenapa?”
“Sebab ada beberapa orang yang tak tahu diri telah
menangkap Tio Bu-ki dan menggelandangnya balik ke Benteng
Keluarga Tong. Mereka ingin minta uang jasa.”
“Lantas?”
“Tong Kongcu menganggap ketiga orang itu telah
menyebabkan tertundanya rencana kita, maka ia membunuh mereka
semua dan sekali lagi membebaskan Tio Bu-ki!”
“Lalu mengapa pelaksanaan rencana harus ditunda?”
“Hamba menyusul kemari berjalan siang malam, sebaliknya
Tio Bu-ki melakukan perjalanan sangat lambat. Tong Kongcu kuatir
bila pelaksanaan rencana terlalu awal, bisa jadi perempuan she Wi
itu tak sabar menunggu kedatangan Tio Bu-ki dan menceritakannya

kepada anggota Tayhong-tong yang lain. Jika sampai begitu, urusan
bisa berabe.”
“Aku mengerti. Menurut perhitungan, kira-kira kapan Tio Buki
baru sampai di sini?”
“Seharusnya pada senja hari kedua ia sudah sampai di sini.”
“Baik, kalau begitu akan kulaksanakan rencana itu dua hari
kemudian! Sampaikan kepada mereka semua, tak usah kuatir!”
“Baik!”
Setibanya di gedung keluarga Tio, pertama-tama Tong Hoa
memasukkan dulu catatan harian palsu itu ke dalam lubang rahasia
di patung Naga Kemala Putih, kemudian diam-diam ia masuk ke
kamar baca Tio Kian dan membuka kamar rahasia.
Tentu saja dia bisa tahu ruang rahasia itu karena Sangkoan
Jin telah memberitahukannya kepada Tong Koat.
Sangkoan Jin berpendapat, tak ada salahnya membiarkan
mereka tahu bahwa dia membunuh Tio Kian di tempat itu, agar
mereka lebih percaya kalau dia telah melaksanakan tugasnya
dengan sempurna.
Apalagi sesudah kematian Tio Kian, ruang rahasia itu pun
tidak perlu dirahasiakan lagi.
Tentu saja mimpi pun dia tak menyangka kalau Benteng
Keluarga Tong ternyata memanfaatkan ruang rahasia itu untuk
melaksanakan rencana besar lain, yang bakal mendatangkan
pukulan mematikan bagi Tayhong-tong.
Sewaktu semuanya sudah siap, Tong Hoa tinggal menunggu
saat yang paling tepat untuk melaksanakan rencana besar itu.
Ia menggunakan waktu dua hari itu untuk dengan sengaja
mengajak Wi Hong-nio berjalan-jalan menelusuri semua ruangan
dalam gedung keluarga Tio. Di sore hari yang diperkirakan Tio Bu-ki
sudah akan tiba, selesai bersantap siang ia mengajak Wi Hong-nio
berjalan-jalan ke ruang baca Tio Kian.
Di situ dia dengan sengaja meraba dan menyentuh setiap
benda yang ditemuinya, lagaknya seakan terdorong rasa ingin tahu.
Tiba-tiba tangannya menyentuh tombol rahasia pembuka
ruangan rahasia. Begitu tombol tersentuh, pintu rahasia pun pelanpelan
terbuka.
Sesudah itu ia sengaja menjerit pelan, seperti merasa kaget
sekali.
Wi Hong-nio yang segera berpaling, ikut berseru tertahan.

Sebenarnya tempat itu berupa rak buku, begitu tombol
rahasia tersentuh, rak buku itu perlahan-lahan bergeser ke samping
dan muncullah dinding kecil yang agak cekung ke bawah.
Di dinding yang cekung ke bawah itulah tampak sebuah
patung berukir yang sangat indah, sebuah patung naga yang terbuat
dari batu kemala putih.
Tong Hoa mengambil patung itu untuk kemudian diserahkan
kepada Wi Hong-nio.
Dengan penuh rasa kagum Wi Hong-nio mengamat-amati
ukiran patung itu, katanya kemudian, “Ukiran Naga Kemala Putih ini
sungguh indah, tak heran kalau tersimpan di dalam bilik rahasia!”
“Benar,” kata Tong Hoa, “Patung ini memang sangat indah.
Tetapi anehnya kenapa hanya patung naga itu yang disembunyikan
di ruang rahasia? Padahal di sini banyak terdapat benda-benda indah
lainnya.
“Ya, mengapa begitu? Jangan-jangan ada rahasianya?”
“Mungkin saja,” sambung Tong Hoa, “Coba kuperiksa.”
Dia sengaja meraba sekujur badan patung naga itu, sesaat
kemudian ia baru menyentuh tombol rahasia di patung itu.
“Plak!” diiringi suara lirih, sebuah batu kemala kecil meloncat
keluar dari balik perut patung naga itu.
Ia segera merogoh ke lubang rahasia itu dan menarik keluar
buku harian palsu yang terselip di situ. Sengaja ia membuka lipatan
buku itu, baru kemudian diserahkan kepada Wi Hong-nio.
“Aku tak mau melihatnya,” seru Wi Hong-nio sambil
menggeleng, ia mendorong balik buku harian itu ke Tong Hoa.
“Kenapa?”
“Lebih baik aku tidak membaca barang-barang yang
disimpan dalam ruang rahasia ini.”
“Kurasa lebih baik diperiksa dulu apa isinya, siapa tahu
benda yang tersimpan secara rahasia itu juga menyimpan hal-hal
yang rahasia. Mana bisa tak dilihat?”
Wi Hong-nio kelihatan agak sangsi, setelah berpikir sejenak
katanya, “Kau saja yang melihatnya.”
“Aku?”
“Benar, kau yang lihat atau aku yang lihat kan sama saja?”
“Baiklah kalau begitu,” sahut Tong Hoa kemudian sambil
tertawa.

Ia mulai membuka buku harian itu, tapi karena kertas itu
bekas dilipat-lipat maka agak susah juga untuk membuka halamanhalamannya.
Untuk membuka halaman buku itu, setiap kali Tong Hoa
mesti membasahi jari tangannya, dengan demikian ia baru bisa
membuka halaman buku harian itu dengan lancar.
Ia sudah tahu jelas isi buku harian itu, tapi ia sengaja
berlagak amat tegang, membaca dengan amat hati-hati...
Dengan susah payah, akhirnya ia selesai juga membaca isi
buku harian itu. Wajahnya sungguh-sungguh bercampur tegang
ketika ia kemudian menatap wajah Wi Hong-nio.
“Kenapa kau?” tegur perempuan itu keheranan.
“Sungguh menakutkan, sungguh mengerikan. Lebih baik kau
baca sendiri saja,” ujar Tong Hoa setengah berbisik.
Wi Hong-nio membaca isi buku harian itu, paras mukanya
seketika berubah sangat hebat.
Ternyata isi buku harian itu adalah catatan harian Tio Kian
sejak sebulan terakhir sebelum terjadinya peristiwa berdarah. Yang
paling penting adalah catatannya selama berapa hari terakhir.
Bab 14. Buku Harian Palsu Tio Kian
Makin lama aku merasa badanku semakin lemah.
Kuputuskan untuk mengorbankan diriku guna terwujudnya kejayaan
Tayhong-tong. Tapi pengorbanan bagaimana baru berharga? Nekad
menyerbu ke Benteng Keluarga Tong dan membantai mereka
sekeluarga? Atau masih ada cara yang lain?
Aku mengundang Sugong dan Siangkoan dan setelah
berunding cukup lama akhirnya Sangkoan Jin mengusulkan rencana
penyusupan. Menurutnya, kalau toh aku bakal mati, lebih baik kita
mencari seorang jago dari Taybong-tong untuk dengan membawa
batok kepalaku pergi bergabung ke Benteng Keluarga Tong. Katakan
saja bahwa dia bergabung karena telah membunuh aku, pihak
Benteng Keluarga Tong pasti akan percaya alasan ini.
Kami bertiga setuju sekali dengan rencana ini Tapi siapa
yang akan diutus menjadi pengkhianat dan melaksanakan tugasi ini?
Bukan pekerjaan yang gampang untuk mengbabisi nyawaku, kecuali

orang itu sangat dekat dan sangat akrab hubungannya denganku.
Hanya orang kepercayaanku yang mempunyai kesempatan itu.
Kami berunding setengah harian lamanya, akhirnya aku
berkata kepada mereka bahwa hanya salah satu diantara kalian
berdua yang bisa melaksanakan tugas ini.
Sugong segera menggeleng sambil menolak keras, ia bilang
tak bakal mau melaksanakan tugas ini. Dalam keadaan terdesak,
akhirnya Siangkoan menerima tugas ini kendati dengan perasaan
berat.
Ooo)))(((ooo
Kesehatanku makin lama makin buruk. Berulang kali
kudesak Siangkoan untuk segera melaksanakan rencana ini.
Kami menamakan rencana besar ini Rencana Harimau
Kemala Putih dan
menjelaskan segala sesuatunya diselembar kertas yang
tersimpan dalam patung Hanmau Kemala Putih itu. Tujuannya
adalah untuk mengembalikan nama baik Siangkoan di kemudian hari
Segala sesuatunya sudah siap, namun Siangkoan belum juga
turun tangan. Aku benar-benar kuatir, aku takut orang lain
mengetahui penyakitku, bila hal ini sampai tersiar ke pihak Benteng
Keluarga Tong, jelas akan berpengaruh besar pada kelancaran
Rencana Harimau Kemala Putih.
Tapi Siangkoan berdalih, lebih baik rencana itu dilaksanakan
setelah terselenggaranya pesta perkawinan Bu-ki. Tentu saja aku
sangat setuju dengan usul ini, dapat melihat Bu-ki naik pelaminan,
merupakan harapankuyangterakhir.
Dalam berapa hari terakhir ini aku selalu memikirkan
bagaimana caranya agar pelaksanaan Rencana HarimauKemala Putih
bisa berlangsung sehebat dan segempar mungkin. Setiap orang
didunia persilatan harus mengetahui kejadian ini, karena hal ini akan
semakin menguatkan kepercayaan Benteng Keluarga Tong sewaktu
menerima penggabungan Siangkoan.
Tiba-tiba terpikir olehku, mengapa tidak kulaksanakan
rencana ini tepat dihari perkawinan Bu-ki? Bila di saat seperti itu aku
terbunuh, beritanya pasti akan menggemparkan seluruh dunia
persilatan!

Aku merasa cara ini sangat bagus, namun tindakanku ini
akan membuat Bu-ki menderita. Aku juga tak akan menyaksikan
keramaian di rumahku saat berlangsungnya perkawinan itu.
Bagaimanapun Bu-ki akhimya telah berkeluarga, meski aku
harus mati pun rasanya tak perlu disesali lagi.
Satu-satunya yang membuat aku amat tersiksa adalah tak
dapat menceritakan rencana ini kepada Bu-ki, agar dia mempunyai
persiapan batin jauh sebelumnya. Tapi, apa boleh buat.
Kuputuskan pembunuhan akan terjadi pada hari itu.
Siangkoan menyetujuinya.
Besok adalah hari pernikahan Bu-ki, juga saat kematianku.
Menghadapi kematian yang menjelang tiba, aku sama sekali tidak
merasa takut atau sedih. Aku hanya mengeluh kepada Thian, kalau
memang meimberi kehidupan kepadaku, mengapa pula harus
memberi siksaan penyakit kepadaku?
Membayangkan semua ini, tanpa terasa aku berjalan sampai
ke kamar Siangkoan. Kudorong pintu dan masuk ke dalam, tapi tak
kujumpai Siangkoan disitu.
Ketika aku akan meninggalkan kamar itu, tiba-tiba
kutemukan sebungkus obat terletak diatas meja. Kuambil bungkusan
itu dan memeriksanya, benar saja, isinya memang bubuk obat.
Aku mencoba untuk membauinya. Aneh sekali, bau obat itu
sudah sangat kukenal. Segera kuambil secawan teh dan
mencampurkan sedikit bubuk obat itu ke dalamnya. Bubuk obat itu
seketika larut dan menyatu dengan air.
Kucoba untuk mencicipinya. Tak salah lagi, bau ini memang
sudah sangat kukenal, bau yang kukenal setiap hari.
Mendadak perasaan ngeri bercampur takut menyergap
hatiku Kuambil lagi
sedikit bubuk obat itu dan membawanya ke seorang tabib
kenamaan di kota.
Hasil pemeriksaan tabib itu menyatakan bahwa bubuk obat
itu adalah racun yang bekerjanya sangat lambat. Racun itu
menyebabkan orang merasakan tubuhnya lemas tak
bertenaga,panas tinggi...
Aku tak sanggup untuk mendengarkan lebih jauh, sebab
semuanya sangat mirip dengan gejala penyakitku. Penyakit yang
membuatku putus asa karena beranggapan tak mungkin bisa
disembuhkan lagi.

Berbagai pikiran dan kecurigaan segera berkecamuk dalam
benakku. Mengapa Siangkoan memiliki racun ini? Mengapa setelah
minum obat itu aku merasakan gejala penyakit seperti yang
kualami? Jangan jangan Siangkoan, dia....
Aku tak berani berpikir lebih jauh. Siangkoan adalah saudara
angkatku, saudara yang sudah banyak tahun berjuang mati hidup
bersamaku, mengapa ia berlaku begitu keji terhadapku?
Mengapa harus terjadi? Mengapa ia mencelakaiku? Demi
nama? Namanya dalam perkumpulan Tayhong-tong sudah sangat
tinggi. Demi uang? Selama hidup ia tak pernah kekurangan, apapun
yang diinginkan selalu tersedia. Lalu mengapa?
Aku tak berhasil menemukan alasan yang tepat, apa
sebabnya dia ingin mencelakaiaku.
Tapi semua bukti dan kenyataan ada di depan mata. Apalagi
dia yang akan membawa batok kepalaku untuk bergabung dengan
pihak musuh. Rencana inipun pemikiran dan usul yang
diajukannya...
Oh Thian! Mengapa urusan jadi begini?
Aku ingin menemui Sugong untuk membahas persoalan ini,
tapi ia baru besok pagi tiba disini. Aku ingin mencari Bu-ki, tapi ke
manapun tak kutemukan jejaknya.
Apa yang bisa kulakukan sekarang? Apakah aku harus
bertindak lebih hati-hati, besok pagi?Atau harus kutemukan obat
penawar racunnya? Menurut tabib, jika seseorang menelan obat ini
melebihi setengah tahun lamanya, jangankan manusia, dewapun tak
akan mampu menyelamatkan nyawamu!
Mati! Tampaknya aku pasti akan mati Tapi, jika Siangkoan
benar-benar menggunakan batok kepalaku sebagai jaminannya
untuk bergabung dengan Benteng Keluarga Tong, aku sangat tidak
rela.
Sekarang waktu sudah tak banyak lagi, keadaan badanku
juga terasa makin lemah. Jelas aku bukan lagi tandingan Siangkoan.
Apa yang harus kulakukan sekarang?
Semalam suntuk aku memutar otak mencari akal Akhirnya
hanya bisa kusembunyikan buku harianku ini ke dalam patung Naga
Kemala Putih, seandainya aku benar-benar mati, aku berharap suatu
hari nanti Bu-ki datang ke kamar-bacaku, menemukan rahasia ini
dan membalaskan dendam atas kematianku.
Selain ini, apa lagi yang bisa kuperbuat?

Aku tak berani menitipkan buku harian ini kepada orang lain,
apalagi kepada para pelayan. Kalau mereka sudah disuap Siangkoan
dan mengkhianati aku, bukankah rahasia buku harianku bakal
terbongkar?
Satu-satunya yang bisa kuperbuat sekerang adalah berdoa
dan mohon kepada Thian. Semoga Bu-ki bisa secepatnya
menemukan buku harianku ini, jangan sampai tertipu oleh siasat
Harimau KemalaPutih. Dia harus tahu wajah asli Siangkoan, kalau
tidak, Tayhong-tong bakal musnah untuk selamanya!
Tayhong-tong benar-benar sudah musnah! Itulah perasaan
pertama yang dirasa Wi Hong-nio seusai membaca buku harian itu.
Ia merapatkan kembali buku harian itu, perasaan dan
pikirannya amat kalut.
Bagaimana sekarang? Ke mana harus menemukan Bu-ki? Ia
harus menyampaikan kabar ini kepada Bu-ki, makin cepat makin
baik. Kalau tidak, Tayhong-tong benar-benar akan musnah.
Perubahan wajahnya telah mencerminkan seluruh kepanikan
dan kegelisahan dalam hatinya. Tong Hoa dapat melihat semua itu
dan tertawa terbahak-bahak dalam hatinya. Bagaimanapun, rencana
Naga
Kemala Putih sudah menunjukkan hasilnya dan mulai
mendekati puncak keberhasilan.
Tentu saja perasaan girang itu tidak ditampilkan keluar,
sebaliknya dengan lagak murung bercampur kuatir ia berkata kepada
Wi Hong-nio, “Kau pasti sedang berpikir, ke mana harus menemukan
Tio Bu-ki bukan?”
Dengan pandangan penuh rasa terima kasih Wi Hong-nio
menatap wajah pemuda itu, katanya, “Aku tahu, kau pasti punya
akal, kau pasti dapat membantuku bukan?”
“Permintaanmu yang mana yang tak pernah kulaksanakan?”
sahut Tong Hoa tertawa.
Tentu saja tak ada yang tidak dilaksanakan. Balikan dia tahu
kalau Bu-ki sedang dalam perjalanan menuju ke sana. Untuk
menemukan dia, pada dasarnya jauh lebih gampang ketimbang
meraba ujung hidung sendiri!
“Sungguh?” seru Wi Hong-nio kegirangan.
“Tentu saja, asal aku keluar sebentar untuk menyerap
kabar, segera akan kubawakan kabar baik untukmu!”

Bab 15. Masuk Perangkap
Tentu saja Tong Hoa memahami rasa panik dan cemas Wi
Hong-nio, maka setelah berputar satu lingkaran di seputar gedung
itu, ia sudah balik kembali dan berkata, “Nasibmu memang lagi
mujur, menurut berita yang kudapat, katanya Tio Bu-ki sedang
dalam perjalanan menuju kemari, bahkan kemungkinan besar besok
pagi sudah tiba di sini!”
Tentu saja Wi Hong-nio sangat gembira, tapi sebagai wanita
cerdik, satu ingatan segera melintas dalam benaknya, tegurnya tibatiba,
“Dari mana kau bisa tahu?”
“Ah gampang saja, bukankah tempat ini salah satu markas
besar Tayhong-tong? Di mana ada markas besar, di situ pasti ada
anggota Benteng Keluarga Tong yang menyusup. Gampang kan?”
Wi Hong-nio tidak bicara lagi, karena yang dikatakannya
memang tepat sekali.
“Asal aku bertanya kepada seorang penyusup, segala
sesuatunya menjadi jelas. Setiap hari mereka pasti melakukan
kontak dengan Benteng Keluarga Tong. Padahal Tio Bu-ki adalah
target utama kami, mana mungkin pihak Benteng Keluarga Tong
tidak menyebar orang di mana-mana untuk melacak dan mengikuti
gerak-geriknya?”
Kata-katanya pun sangat masuk di akal. Tapi... bukankah
Tong Hoa telah mengkhianati Benteng Keluarga Tong, berkhianat
dengan mengajaknya kabur? Masa para penyusup dari Benteng
Keluarga Tong belum tahu tentang kejadian ini?
Wi Hong-nio segera mengemukakan kecurigaannya itu
kepada Tong Hoa.
Namun jawaban Tong Hoa pun sangat masuk di akal,
ujarnya, “Selama hidup aku belum pernah datang kemari, orang
yang menyusup di sini pun belum pernah bertemu aku. Mereka
hanya kenal dengan kode rahasia untuk berhubungan, tak pernah
mengenali siapa lawannya.”
Sekarang Wi Hong-nio dapat berlega hati. Satu-satunya
yang bisa dia lakukan sekarang adalah menunggu, menunggu
datangnya fajar di esok hari. Lalu menyampaikan berita yang
menggemparkan ini kepada Bu-ki, agar dia mencari Sangkoan Jin
dan membuat perhitungan atas dendam berdarah ini.

Tong Hoa diam-diam mengawasi perubahan raut wajahnya,
dia pun dapat melihat sikap penantian perempuan itu dengan
perasaan gelisah, panik, karena harus menunggu kedatangan Tio
Bu-ki.
Oleh sebab itu ketika Wi Hong-nio dengan sorot mata penuh
rasa terima kasih memandang ke arahnya, tanpa menanti sampai dia
buka suara, ujarnya lebih dulu, “Kau tak usah berterima kasih
kepadaku, aku melakukan semua ini dengan rela dan ikhlas...”
Hampir saja air mata meleleh keluar dari mata Wi Hong-nio
saking terharu dan terima kasihnya.
Kembali Tong Hoa berkata, “Aku tahu, setelah Tio Bu-ki
datang kemari, kehadiranku pasti akan membuat kau kurang leluasa,
maka...”
“Kau hendak pergi?” tanya Wi Hong-nio.
“Benar.”
“Kenapa?”
“Bukankah sudah kukatakan, kehadiranku di sini akan
membuatmu sangat tidak leluasa.”
“Mana mungkin? Kau adalah orang yang menyelamatkan
aku bahkan sudah banyak membantuku, Bu-ki pasti amat berterima
kasih kepadamu!”
Tong Hoa memperlihatkan senyuman yang amat getir,
sahutnya, “Aku tidak berharap rasa terima kasihmu kepadaku, aku
hanya minta...”
“Tak mungkin aku bisa memberikan yang satu itu untukmu,”
tukas Wi Hong-nio cepat, “sebab di hatiku hanya ada Bu-ki seorang.
Bukankah sejak awal sudah kukatakan kepadamu?”
“Aku tak akan memaksakan kehendak, aku pun tidak
mengharapkan hal yang berlebihan, asal di hatimu selalu ingat
padaku, sudah lebih dari cukup!”
“Aku pasti akan selalu ingat dirimu, budi kebaikanmu tak
pernah akan kulupakan!”
“Apakah kau hanya akan teringat dengan budi kebaikanku
saja?” kembali Tong Hoa memperlihatkan senyum getirnya.
Wi Hon g-nio segera terbungkam, dia tak tahu harus berkata
apa, dia tak tahu kata-kata yang cocok untuk menghibur pemuda
itu.
“Sudahlah,” ujar Tong Hoa kemudian, “toh aku harus segera
pergi dari sini, segala sesuatunya sudah tidak berarti lagi...”

Wi Hon g-nio hanya bisa menatapnya tanpa berkedip,
sampai lama, lama sekali dia baru bertanya, “Kapan kau akan
pergi?”
“Sekarang.”
“Sekarang?”
“Kalau mesti menunggu lagi, aku bisa gila...” Sekali lagi Wi
Hong-nio termenung. “Jaga dirimu baik baik.”
Nada suara Tong Hoa terdengar menggetar, seolah dia
sedang menahan agar air matanya tidak mengalir keluar.
Wi Hon g-nio tak kuasa menahan diri lagi, airmatanya jatuh
bercucuran membasahi pipinya.
Tanpa berpaling lagi Tong Hoa pergi dari situ dengan
langkah lebar, keluar dari gedung keluarga Tio.
Kemampuan bersandiwaranya memang hebat, selain hidup,
segala sesuatunya dilakukan dengan sungguh-sungguh.
Buku harian palsu dari Tio Kian pun sangat mirip,
sedemikian miripnya hingga nyaris tak berbeda dari yang asli.
Kemampuan dan kekuatan Benteng Keluarga Tong memang
luar biasa, tak heran kalau Wi Hong-nio masuk perangkap tanpa
disadarinya sama sekali.
Ooo)))(((ooo
Setelah menerima kabar dari Tong Hoa melalui merpati pos,
Tong Ou benar-benar gembira setengah mati. Segala sesuatunya
berjalan sesuai rencana, kelancaran yang di luar dugaan ini
membuatnya kegirangan.
Semenjak berhasil menarik Sangkoan Jin bergabung dengan
kelompoknya, sampai meracuni Tio Kian hingga mati, dan sekarang
menjebak Tio Bu-ki untuk melenyapkan Sangkoan Jin, pada
hakekatnya semua persoalan sudah ada dalam genggamannya,
bagaimana mungkin dia tidak merasa girang?
Sekarang tinggal satu persoalan yang membuatnya kuatir,
mampukah Tio Bu-ki menandingi Sangkoan Jin?
Mengenai persoalan ini, tentu saja dia juga mempunyai
penyelesaian yang hebat, dan sekarang dia mulai menjalankan
langkah berikutnya.

Tidak terlalu sulit baginya untuk menjalankan rencana
berikut, asal ia berhasil menemukan seseorang, maka semuanya
akan beres.
Orang ini adalah seorang wanita, putri Sangkoan Jin,
Siangkoan Ling-ling.
Dia mengenal Siangkoan Ling-ling sewaktu sedang
membicarakan masalah pengkhianatan Sangkoan Jin terhadap
perkumpulan Tay-hong-tong.
Terhadap gadis ini, boleh dibilang ia sudah menyukainya
sejak pertemuan pertama, tapi sikap Siangkoan Ling-ling
terhadapnya justru acuh tak acuh, hal ini membuatnya agak ragu
dan tak bisa meraba apa yang sebenarnya dikehendaki nona itu.
Tapi dalam hal ini dia tak ingin terburu-buru, sebab masalah
perkawinan baginya merupakan masalah yang kesekian. Ia selalu
mengedepankan masalah penting lainnya ketimbang urusan pribadi.
Asal perkumpulan Tayhong-tong bisa dilenyapkan, itulah saatnya ia
menguasai dunia.
Oleh sebab itu terhadap Siangkoan Ling-ling dia selalu
bersikap melindungi dan menyayangi, dia tidak berharap gadis itu
menunjukkan rasa cintanya dalam waktu singkat.
Ia menyukai perasaan cinta yang mengalir bagai arus air,
lembut, tak berisik, ia tak suka cinta yang meledak-ledak, mula-mula
panas membara kemudian menyusut dan dingin kembali.
Yang paling penting lagi adalah Sangkoan Jin pernah
berjanji kepadanya, selesai membangun usaha besar dan menguasai
dunia, dia pasti akan menyerahkan putrinya untuk menjadi istrinya.
Sekalipun tidak terburu-buru, dia pun tidak mengijinkan
Siangkoan Ling-ling jatuh hati kepada orang lain.
Apa mau dikata, ternyata Siangkoan Ling-ling telah jatuh
hati kepada orang lain, dan orang itu justru merupakan musuh
bebuyutannya.
Tentu saja orang itu adalah Tio Bu-ki.
Tak heran jika Tong Ou sangat membenci Tio Bu-ki, rasa
bencinya adalah rasa benci yang sangat menakutkan, bukan
sembarangan rasa benci. Sedemikian besarnya rasa benci itu hingga
memungkinkan dia membunuh lawannya setiap saat.
Tapi Tong Ou tidak berharap Tio Bu-ki mati secara utuh,
mati secara cepat.

Dia ingin menyiksanya perlahan-lahan, agar dia menyesal,
agar dia melewatkan sisa hidupnya dalam kebencian dan
penyesalan. Sebab itulah dia sengaja membebaskan Tio Bu-ki dari
Benteng Keluarga Tong, kemudian sengaja mengatur rencana Naga
Kemala Putih, agar Tio Bu-ki datang untuk membunuh Sangkoan Jin.
Dia punya cara untuk membuat Tio Bu-ki tahu kalau rencana
keji yang mengaturnya membunuh Sangkoan Jin adalah rencana keji
dari Benteng Keluarga Tong, agar dia menyesal sepanjang masa.
Jika seseorang berada dalam kondisi menyesal, kepandaian
silatnya pasti akan merosot tajam, itulah sebabnya dia mengatur
pertarungan satu lawan satu dengan pemuda itu di saat setelah
rencana Naga Kemala Putih terlaksana.
Dalam keadaan sedih dan menyesal, Tio Bu-ki pasti tak
dapat berkonsentrasi secara baik. Saat itulah dia akan mengalahkan
anak muda itu, agar semangat dan cita-citanya hancur berantakan.
Semua ini tentu saja membutuhkan perencanaan.
Tapi, mungkinkah semua yang dirancang akan terlaksana
sesuai dengan harapan? Tak seorang pun yang tahu, tentu saja,
kecuali Thian. Tapi ia tetap percaya diri, ia yakin kemenangan tetap
berpihak kepadanya.
Kini, dengan penuh percaya diri dia berjalan menuju ke
kamar tidur Siangkoan Ling-ling.
Sejak Siangkoan Ling-ling menderita luka tusukan Bu-ki di
tenggorokannya gara-gara ingin menyelamatkan nyawa ayahnya, dia
selalu berbaring di ranjangnya, sedemikian lemah kondisi tubuhnya
membuat ia sama sekali tak mampu bergerak.
Waktu itu Sangkoan Jin sedang pergi untuk menerima serah
terima benteng Siangkoan-po, sebenarnya gadis ini ingin ikut,
namun setelah dibujuk Tong Ou akhirnya dia urung pergi. Tong Ou
berjanji akan mengantarnya sendiri ke sana setelah beristirahat
beberapa hari.
Bila nanti Sangkoan Jin setuju dengan usul ini, tentu saja
Siangkoan Ling-ling tak bisa membangkang lagi.
Padahal keputusan ini yang diharapkan Tong Ou, karena
lagi-lagi mereka sudah terjebak dalam siasatnya.
Tong Ou memang sengaja berharap Siangkoan Ling-ling
tidak turut serta dalam perjalanan itu, agar ia bisa melaksanakan
rencana berikut.

Kendati cintanya terhadap Siangkoan Ling-ling bertepuk
sebelah tangan, namun dia sangat memahami watak serta tabiat
gadis ini. Dalam melaksanakan rencana berikutnya, dia justru
hendak memanfaatkan rasa bakti dan sifat lembut dari Siangkoan
Ling-ling itu.
Setelah mengetuk pintu dua kali, ia membuka pintu dan
berjalan masuk.
Siangkoan Ling-ling bersandar di pembaringan, seorang
dayang sedang menyuapinya makan nasi. Ketika Tong Ou masuk ke
dalam ruangan, baru saja gadis itu menyelesaikan makannya.
Ia berpaling sambil melemparkan sekulum senyuman kepada
Tong Ou. Setiap kali Tong Ou datang berkunjung, dia memang
selalu menampilkan wajah yang sama.
Menanti dayang sudah berlalu sambil membawa sisa
mangkuk dan piring, Siangkoan Ling-ling baru berkata, “Silahkan
duduk!”
Tong Ou mengambil tempat duduk di kursi yang semula
ditempati si dayang. Ia menyodorkan sebuah kotak kepada gadis itu.
“Apa isi kotak ini?” tanya Siangkoan Ling-ling sambil
menerimanya. “Buka saja sendiri!”
Siangkoan Ling-ling segera membuka kotak itu, tapi ia
segera berseru tertahan.
“Jinsom berusia seribu tahun?”
“Benar! Kebetulan ada orang yang membawanya dari
wilayah Timurlaut dan kubeli. Aku tahu kondisi badanmu amat
lemah, perlu jinsom semacam ini untuk memulihkan kembali
kekuatan tubuhmu.”
“Benda ini mahal harganya, aku tak pantas untuk
menerimanya...”
“Kenapa tak boleh? Biar kusuruh orang memasaknya dengan
ayam tim, pasti baik untuk tubuhmu!”
“Jangan!”
“Kenapa jangan? Aku yang menghadiahkan untukmu, aku
berharap kesehatan badanmu bisa segera pulih seperti sedia kala.”
“Sekarang aku sudah sehat sekali, biar kusimpan saja kedua
biji jinsom itu!”
“Menyimpannya?” Tong Ou pura-pura bertanya. Padahal ia
sangat paham, dengan watak seperti gadis ini, dia pasti akan
menyimpan benda yang sangat berharga itu untuk ayahnya.

Dan inilah titik kelemahan yang digunakan Tong Ou, titik
kelemahan yang digunakan untuk melaksanakan rencana berikutnya.
Dalam kedua potong jinsom itu sudah dibubuhi racun yang
sangat ganas, racun yang sangat mematikan.
“Boleh aku menyimpannya?” kembali Siangkoan Ling-ling
bertanya.
“Tentu saja boleh,” jawab Tong Ou, “benda ini sudah
kuberikan kepadamu, terserah apa yang hendak kau perbuat!”
“Terima kasih banyak!” seru Siangkoan Ling-ling kegirangan.
“Antara kita berdua masa masih diperlukan kata terima
kasih?” ujar Tong Ou sambil makin mendekat.
Siangkoan Ling-ling tertawa manis, perlahan kepalanya
digeser sedikit ke samping.
“Padahal seharusnya kau yang makan kedua jinsom itu!”
kembali Tong Ou berkata.
“Kenapa?”
“Agar kau cepat sembuh sehingga dapat secepatnya
mendampingi ayahmu lagi!”
“Aku sudah sehat, coba lihat...” sambil berkata ia bangkit
dari tidurnya.
Buru-buru Tong Ou memayangnya, tapi segera ditampik
gadis itu. Ia turun dari ranjang, berjalan dua langkah ke depan dan
serunya lagi, “Coba lihat, bukankah aku telah sehat kembali?”
“Benar, coba berjalanlah lagi berapa langkah!”
Padahal Tong Ou memang berharap Siangkoan Ling-ling
bisa sehat lebih awal sehingga dapat segera berangkat ke benteng
Siangkoan-po dan membujuk Sangkoan Jin minum jinsom beracun
itu. Bila tenaga dalamnya mengalami pukulan besar, Tio Bu-ki akan
mendapat kesempatan untuk membuat perhitungan dan cukup
tangguh untuk menghajarnya.
Tentu saja Siangkoan Ling-ling tidak menyangka sejauh itu,
kembali ia berjalan berapa langkah sambil ujarnya, “Bukankah aku
dapat berjalan dengan baik? Bagaimana kalau besok juga aku
berangkat mencari ayahku?”
“Jika kau memang ingin sekali, tentu saja aku akan
menemanimu.”
“Sungguh?”
“Kapan aku pernah membohongimu?”

Siangkoan Ling-ling kegirangan setengah mati, saking
gembiranya hampir saja ia jatuh terjerembab. Untung Tong Ou
segera memeluknya dan sekalian menarik gadis itu ke dalam
rangkulannya.
Dengan wajah tersipu-sipu Siangkoan Ling-ling
menyandarkan kepalanya di atas dadanya, tak sepatah kata pun
sanggup diucapkan, sementara jantungnya berdebar keras.
Ooo)))(((ooo
Karena besok akan meninggalkan Benteng Keluarga Tong,
tentu saja Tong Ou harus melaporkan segala lebih dahulu kepada
Lo-cocong, si Nenek Moyang.
Lo-cocong memang amat menyayangi Tong Ou, semua
keputusan yang diambilnya, boleh dibilang tak satu pun yang tidak ia
setujui, biasanya ia malah menunjang segala rencananya.
Tetapi untuk cara Tong Ou menghadapi Tio Bu-ki, Lo-cocong
mengajukan sedikit usul, katanya, “Aku dapat memahami perasaan
hatimu, aku pun tahu betapa benci dan dendammu terhadap Tio Buki,
tapi kau harus ingat, sekarang adalah pertarungan antara dua
perkumpulan besar, jangan sekali-kali karena urusan pribadi, kau
membuat masalah besar jadi terbengkalai!”
“Tak mungkin sampai begitu, Lo-cocong!” jawab Tong Ou.
“Tidak mungkin? Seandainya setelah tiba di Siangkoan-po
ternyata Ling-ling tidak segera menyerahkan jinsom itu kepada
Sangkoan Jin, apa jadinya?”
“Akan kugunakan bujuk rayu untuk mempengaruhi jalan
pikirannya, aku yakin dia pasti akan melakukannya.”
“Kau yakin akan berhasil?”
“Tentu saja, aku sudah sangat memahami tabiatnya, semua
tingkah lakunya sudah kuketahui bagai melihat jari tangan sendiri.”
“Bila Sangkoan Jin menemukan gejala kurang beres hingga
menaruh curiga?.”
“Mana mungkin? Racun buatan Benteng Keluarga Tong
adalah racun yang hebat, siapa yang bisa merasakannya?”
“Seandainya dia mengetahui rahasia ini? Aku bilang
seandainya...”
“Seandainya ketahuan pun aku tidak takut!”
“Kenapa?”

“Sebab racun yang kugunakan kali ini adalah racun hasil
olahan baru, baru pertama kali ini keluarga Tong mencoba
menggunakan resep ini. Jadi seandainya ketahuan, aku dapat
menyangkal kalau racun itu bukan berasal dari keluarga Tong!”
“Dia akan mempercayainya?”
“Pasti percaya. Pertama, dia tak punya alasan untuk
mencurigai kita yang meracuninya. Kedua, aku malah akan
menunjukkan daftar resep racun keluarga Tong kepadanya. Tidak
mungkin dia bakal menemukan kaitan antara resep baru itu dengan
resep lama. Dan yang paling penting, kurasa dia tak nanti akan
merasakannya!”
“Kau tidak kelewat percaya diri?”
“Aku mewarisi tabiat ini dari leluhur, Lo-cocong!”
“Ha ha ha ha... bagus, bagus sekali!” Lo-cocong tertawa
tergelak. “Aku ingin berandai-andai lagi, seandainya racun itu gagal
meracuni Sangkoan Jin, apa yang akan kau lakukan?”
“Maka yang bakal mati adalah Tio Bu-ki! Kita semua tak
bakal rugi apa-apa, kecuali tentu saja aku sendiri yang akan merasa
menyesal sekali.”
“Kau dapat berpikir sejauh itu, hal ini menunjukkan kalau
kau memang sudah matang, dapat memimpin semua persoalan yang
ada,” dengan perasaan gembira Lo-cocong berkata. “Bukan saja kau
telah memimpin Benteng Keluarga Tong, bahkan dapat pula
memimpin dunia yang lebih luas, tentu saja setelah berhasil
memusnahkan Tay-hong-tong!”
“Lo-cocong, aku tak akan membuatmu kecewa, berdasarkan
semua kemungkinan yang bakal terjadi, kau percaya bukan kalau
aku tak akan melupakan kepentingan umum demi kepentingan
pribadi?”
“Aku percaya, tentu saja aku percaya!”
Lo-cocong benar-benar gembira, ia mendongakkan
kepalanya dan tertawa terbahak-bahak.
Tong Ou dapat menangkap rasa gembira yang meliputi
perasaan neneknya, dia ikut tertawa. Selesai tergelak, tanyanya lagi,
“Kapan Tong Hoa tiba di sini?”
“Aku perintahkan dia untuk berdiam sementara waktu di
dekat Gedung Keluarga Tio. Dia harus mengawasi terus gerak-gerik
Wi Hong-nio, dia baru kuijinkan pulang setelah yakin rencana Naga
Kemala Putih telah selesai dilaksanakan.”

“Tepat sekali keputusan ini, cuma dia masih harus
melakukan satu pekerjaan lagi.”
“Oh ya? Pekerjaan apa?”
“Bunuh Pek Giok-khi, pemilik Pesanggrahan Kemala Putih!”
Tong Ou agak tertegun, sesaat kemudian ia baru bertanya,
“Kenapa?”
“Kau anggap Pek Giok-khi masih ada nilainya untuk tetap
dipertahankan?”
Tong Ou tidak segera menjawab, ia berpikir sejenak
kemudian baru berkata, “Siapa tahu di kemudian hari kita masih
butuh kemampuannya.”
“Aku rasa tak akan pernah. Coba bayangkan saja, dia sudah
kita beli semenjak belasan tahun berselang, tapi baru hari ini kita
pakai jasanya satu kali, bahkan sebenarnya dalam urusan kali ini,
kita juga tidak harus menggunakan jasanya, bukan begitu?”
Tentu saja benar. Perkataan Lo-cocong ini segera
menyadarkan Tong Ou bahwa jalan pikiran serta kemampuan Lococong
dalam menganalisa dan mengambil kesimpulan masih sangat
hebat. Kemampuannya sama sekali tidak menunjukkan gejala
mundur hanya karena usia. Maka segera jawabnya, “Segera akan
kukirim surat perintah, agar Tong Hoa segera melaksanakan tugas
ini!”
“Bagus sekali! Dengan tindakan ini maka rencana Naga
Kemala Putihmu dijamin tak bakal meleset, mengerti?”
Tong Ou mengiakan dan segera berpamitan, dengan
menulis sepucuk surat rahasia, ia perintahkan orang untuk
mengirimnya melalui merpati pos.
Ooo)))(((ooo
Matahari tengah hari panasnya bukan kepalang, sedemikian
teriknya, membuat sekujur tubuh Bu-ki bermandikan peluh.
Sepanjang jalan, beberapa kali ia ingin berhenti untuk
beristirahat, menunggu sampai matahari condong ke langit barat,
baru melanjutkan kembali perjalanannya. Tapi setiap kali teringat
kalau tempat itu sudah tak jauh dari rumah kediamannya, dia lalu
tidak memperdulikan betapa teriknya matahari untuk tetap
melanjutkan perjalanan.

Sepanjang perjalanan, dari cerita orang-orang, ia sudah
mengetahui kabar tentang kalahnya Tayhong-tong oleh Benteng
Keluarga Tong. Ia juga tahu kalau Sangkoan Jin telah menguasai
Siangkoan-po dan berada di garis paling depan untuk menghadapi
Tayhong-tong.
Ia sempat berpikir, cara yang akan digunakan Sangkoan Jin
untuk menghadapi serangan Benteng Keluarga Tong yang begitu
hebat serta memunahkan ancaman bahaya terhadap Tayhong-tong.
Dia juga pernah berpikir, dengan hanya mengandalkan kekuatan
Sugong Siau-hong seorang, mampukah dia mempertahankan
keutuhan Tayhong-tong?
Dia tidak tahu dan tidak mampu menjawab. Sekalipun ia
cerdas dan terlatih baik, tetap saja ia gagal mengambil kesimpulan.
Dalam keadaan begini, dia hanya bisa menghadapinya selangkah
demi selangkah.
Rumah sudah muncul di hadapannya. Yang membuatnya
tercengang adalah mengapa bangunan itu tak nampak terbengkalai.
Mengapa semuanya teratur rapi dan bersih? Siapa yang masih
berdiam dalam Gedung Keluarga Tio? Dia percaya tak akan ada
orang di situ, lalu siapa yang telah membenahi bangunan itu?
Dia mendorong pintu dan masuk. Jawaban pun segera
muncul di depan mata.
Wi Hong-nio sedang duduk di gardu, ketika melihat Bu-ki
datang, ia segera melompat bangun dan berlarian menghampiri
pemuda itu.
Sesuatu perasaan aneh yang membuatnya tercengang
sekilas melintas di benak Tio Bu-ki.
Ooo)))(((ooo
Berjumpa dengannya, mengapa Hong-nio tidak
menampakkan rasa girang atau gembira? Bagaimana caranya ia bisa
meninggalkan Benteng Keluarga Tong?
Dia ikut berlari menyongsong kedatangan gadis itu. Ia
menggenggam tangan Hong-nio erat-erat, dengan perasaan girang
yang meluap-luap memanggil namanya, lalu bertanya, “Bagaimana
caranya kau meninggalkan Benteng Keluarga Tong?”

Wi Hong-nio balas menggenggam tangan Bu-ki erat-erat,
sahutnya, “Kita tak usah membicarakan dulu soal itu. Cepat ikut aku,
akan kuperlihatkan sesuatu padamu!”
Ia segera mengajak Bu-ki menuju ke ruang rahasia yang
biasa digunakan ayahnya semasa masih hidup dulu. Mereka masuk,
membuka ruang rahasia, mengeluarkan buku harian dan
menyerahkannya ke tangan si pemuda.
Bu-ki tahu benda ini pasti sesuatu yang sangat penting,
maka ia segera membuka dan membacanya.
Tulisan yang muncul di hadapannya adalah tulisan yang
amat dikenalnya. Tak heran kalau rasa haru dan sedih seketika
menyergap hatinya.
Semakin dibaca, perasaannya semakin bergolak, akhirnya
dia naik pitam, gusar sekali. Dengan wajah penuh amarah dia
mendongakkan kepalanya dan memandang perempuan itu.
Dengan penuh pengertian Wi Hong-nio menganggukkan
kepalanya, ia berkata, “Pergilah untuk menyelesaikan persoalan ini,
aku akan menanti disini, segala sesuatunya kita bicarakan lagi
sekembalimu kemari!”
Bu-ki mengangguk dan segera beranjak pergi dari situ,
perasaannya saat itu ibarat sebaskom api yang sedang membara.
Dengan nafsu meluap dan amarah yang tak terkendali ia segera
berangkat menuju ke benteng Siangkoan-po.
Rasa benci dan dendam telah menutup kesadarannya, dia
seakan sudah melupakan segala sesuatu. Lupa untuk menanyakan
persoalan yang seharusnya ditanyakan dulu.
--Bagaimana caranya Wi Hong-nio bisa keluar dari Benteng
Keluarga Tong?
--Dari mana buku harian itu diperoleh? Bagaimana bisa
ditemukan secara tiba-tiba?
Seandainya ia tetap berkepala dingin dan memikirkan segala
sesuatu dengan lebih cermat, seharusnya tak sulit untuk
menemukan banyak hal yang aneh dan mencurigakan dari kata-kata
Wi Hong-nio. Dia pasti segera akan bersangsi dan menaruh curiga
atas keaslian buku harian itu.
Tampaknya Tong Ou sudah memperhitungkan sampai di
situ. Ia memperkirakan kejiwaan lawannya, setelah membaca buku
harian itu, ia tahu dalam keadaan gusar dan penuh diliputi perasaan
dendam, Bu-ki pasti akan segera meninggalkan tempat itu. Ketika

amarahnya mulai mereda, mungkin dia sudah tiba di benteng
Siangkoan-po dan saat itu, biarpun ingin ditanyakan, segala
sesuatunya sudah terlambat!
Seperti inilah hidup manusia di dunia. Banyak kejadian
memang berlangsung dalam keadaan seperti ini. Dalam kobaran
dendam dan benci, orang gampang terlena, lupa untuk menyelidiki
dulu persoalan yang sebenarnya, lupa untuk menelitinya secara
mendalam. Ketika peristiwa sudah terjadi, menyesal tak ada
gunanya, karena bila nasi sudah jadi bubur, tak mungkin semuanya
dipulihkan kembali seperti sedia kala.
Mungkin inilah yang disebut manusia dipermainkan nasib.
Hanya saja, kadang-kadang cara manusia dipermainkan nasib bukan
hanya itu.
Ooo)))(((ooo
Senja, matahari sore sudah hampir tenggelam di ujung
langit. Seperti di hari-hari biasa, Pek Giok-khi mulai memasang
lampu lentera dan menggantungkannya di depan pintu.
Pesanggrahan 'Pek-giok-tay', tiga huruf yang besar nampak
memantulkan cahaya yang terang ketika tertimpa cahaya lentera.
Dengan bangga dia mengawasi sebentar papan nama sendiri
yang berwarna emas itu. Baru kemudian balik ke dalam rumah,
duduk di depan meja dan mulai mengerjakan pekerjaan malamnya,
menulis huruf indah...
Kepandaiannya menulis adalah yang terhebat di wilayah itu.
Dengan hanya menjual beberapa lembar tulisannya, ia sudah bisa
hidup cukup. Namun ia tak pernah merasa puas akan hasil itu, dia
selalu ingin memperoleh uang lebih banyak lagi.
Dia memang butuh uang banyak, karena ia perlu membiayai
semua kesenangannya, kesenangan yang memerlukan uang seperti
koleksi barang antik, menikmati wanita cantik, membeli pakaian
mewah...
Oleh sebab itu mau tak mau dia harus mengkhianati
Tayhong-tong, diam-diam bekerja sebagai mata-mata Benteng
Keluarga Tong. Membuat buku harian palsu untuk Benteng Keluarga
Tong, Tong Hoa telah menghadiahkan uang sebanyak seratus tahil
perak.

Dia harus pergi merayakannya, pergi menikmatinya. Dan dia
memang berniat begitu, hanya saja karena malam belum menjelang
tiba maka ia belum berangkat. Ia senang akan malam yang sepi
dengan cahaya lentera yang benderang, meneguk secawan arak,
menikmati dua tiga macam hidangan didampingi satu dua orang
gadis cantik. Hal semacam inilah merupakan kesenangannya yang
paling utama dalam hidupnya.
Malam ini, dia pun berencana untuk menikmati hiburan
semacam itu. Untuk menunggu datangnya waktu, ia mulai menulis
berapa huruf. Sedang asyik menulis, mendadak ia menghentikan
pitnya, mendongakkan kepala dan menjerit kaget.
Ternyata Tong Hoa sudah berdiri di hadapannya, mengawasi
wajahnya dengan sekulum senyuman.
Sejak kapan Tong Hoa muncul di situ? Ia sama sekali tidak
merasa apa-apa. Kejadian semacam ini belum pernah dialaminya
sejak dulu.
Biasanya, asal ada langkah kaki mendekat pintu gerbang, ia
pasti akan mendengarnya, sekalipun perhatiannya sedang terpusat
untuk menulis huruf, ia tetap akan menghentikan gerakan pitnya,
bangkit berdiri dan menyambut kedatangan tamunya.
Kunci sukses bagi seorang penjual jasa adalah keramahtamahan
dan sikap yang hormat, dia tak ingin tamunya menunggu
terlalu lama.
Tapi hari ini, ternyata ia tidak mendengar suara langkah kaki
Tong Hoa, mungkinkah lantaran dia kelewat gembira, kelewat
bangga?
Buru-buru dia bangkit berdiri, ujarnya kepada Tong Hoa
sambil tertawa, “Tong-kongcu, ada keperluan?”
“Benar!” Tong Hoa manggut berulang kali.
“Apa yang harus kulakukan?”
“Sederhana sekali, aku percaya setiap orang dapat
melakukannya.”
“Oh ya? Apa maksud Tong-kongcu? Aku tidak paham...”
“Jelasnya, aku hanya ingin kau melakukan tiga kata saja.”
“Tiga kata? Menulis buku harian? Lagi-lagi menulis buku
harian?”
“Bukan!”
“Lalu...”
“Segera pergilah mati!”

“Segera pergilah mati?” Pek Giok-khi seakan tidak paham
dengan kata-kata itu. Dia mengulang sekali lagi kata-kata itu dengan
nada yang lebih berat.
“Aku ingin kau segera pergi mampus!”
Dengan sangat terperanjat, Pek Giok-khi mundur selangkah,
matanya terbelalak lebar, diawasinya wajah Tong Hoa tanpa
berkedip, “Apa kau bilang?”
“Mampus! Aku menyuruh kau segera mampus, belum
mengerti?” Paras muka Pek Giok-khi berubah hebat, badannya
gemetar keras, terbata-bata ia bertanya, “Kenapa?”
“Alasan tua semacam ini pun tidak kau pahami? Tentu saja
untuk melenyapkan saksi dan membungkam mulutmu untuk
selamanya!”
“Melenyapkan saksi dan membungkam mulutku? Sudah
sekian tahun aku bekerja untuk kalian, pernahkah kubocorkan
rahasia penting kalian?”
“Belum pernah.”
“Mengapa mulutku harus dibungkam?”
“Sebab kejadian apa pun pasti ada yang pertama kali, kami
tak bisa menduga atau meramalkan semua persoalan yang ada. Ini
namanya sedia payung sebelum hujan!”
“Aku...”
“Kau tak usah banyak bicara lagi. Aku amat menyukaimu,
tapi aku harus melaksanakan perintah yang kuterima. Sekarang, kau
akan menghabisi nyawamu sendiri, atau...”
Mendadak Pek Giok-khi menyambar pit yang ada di meja
dan melemparkannya ke arah Tong Hoa. Pada waktu yang sama
tubuhnya berputar cepat ke belakang, kemudian kabur secepatcepatnya
meninggalkan tempat itu.
Tampaknya Tong Hoa sudah menduga sampai ke situ, ia
segera bergerak cepat melintangkan tubuhnya ke samping, begitu
lolos dari sambitan pena, secepat anak panah yang terlepas dari
busurnya ia menerkam ke muka, pedangnya disodokkan ke depan
lalu ditarik ke belakang...
Semburan darah segar segera memancar keluar dari
punggung Pek Giok-khi, tanpa bersuara tubuhnya roboh tersungkur
di atas tanah.

Tong Hoa membalikkan badan, mengambil selembar kertas
dari atas meja, membersihkan noda darah yang membasahi ujung
pedangnya, lalu sambil menyarungkan kembali senjatanya, ia
berjalan keluar meninggalkan Pesanggrahan Kemala Putih.
Ooo)))(((ooo
Nasib selalu mempermainkan manusia, kata ini memang
aneh tapi begitulah kenyataannya. Mimpi pun Tong Hoa tidak
menyangka kalau perhitungan dan perkiraannya kali ini meleset
jauh. Dia tak mengira telah melakukan kesalahan besar.
Dalam anggapannya, tusukan maut yang dilancarkannya
pasti telah merenggut nyawa Pek Giok-khi.
Dia keliru besar!
Tapi kalau mesti berbicara jujur, kesalahan ini tak bisa
dibebankan ke pundaknya seorang. Manusia semacam Pek Giok-khi
adalah manusia langka, belum tentu dalam sepuluh ribu orang
terdapat satu orang seperti dia.
Orang biasa jantungnya terletak di sebelah kiri, maka
tusukan yang dilancarkan Tong Hoa tadi, seperti pada umumnya,
dihunjamkan ke dada kiri Pek Giok-khi.
Sayang dia tak menyangka, kalau Pek Giok-khi punya
kelainan, letak jantungnya tidak di sebelah kiri tapi lebih bergeser ke
arah kanan.
Oleh sebab itu tusukan tersebut sama sekali tidak
membuatnya tewas seketika.
Pek Giok-khi pun terhitung manusia cerdik, begitu kena
tusukan pedang, tubuhnya langsung tersungkur ke tanah dan purapura
mati. Menanti berapa saat kemudian, setelah yakin Tong Hoa
telah pergi jauh, dia baru berusaha merangkak bangun.
Dia tahu sudah kehilangan banyak darah, walaupun tusukan
tersebut tidak membuatnya tewas seketika, namun dengan kondisi
luka seperti ini, biarpun tabib Hoa To hidup kembali belum tentu
nyawanya bisa diselamatkan.
Maka dengan langkah sempoyongan dia merangkak masuk
ke dalam kamar tidurnya, membuka peti rahasianya dan mengambil
keluar buku asli yang diserahkan Tong Hoa kepadanya.
Memang begitulah kebiasaan yang dia lakukan selama ini,
setiap kali selesai melaksanakan satu tugas, ia selalu menyimpan

bahan aslinya ke dalam peti rahasia. Baginya, menyimpan sedikit
bukti akan lebih menguntungkan, siapa tahu suatu ketika akan
diperlukan, seperti halnya sekarang, kalau toh pihak Benteng
Keluarga Tong bersikap keji terlebih dulu, tentu saja dia akan
menghadapi pengkhianatan ini dengan tindakan tidak setia kawan.
Setelah mengambil keluar buku asli, tanpa sempat lagi
membalut lukanya, dengan menahan rasa sakit yang merasuk
hingga ke tulang, ia berjalan keluar meninggalkan pesanggrahan
Pek-giok-tay.
Dia berjalan dan berjalan terus hingga tiba di gedung
keluarga Tio, setiap kali jatuh terjerembab, dia merangkak bangun
dan berjalan lagi.
Akhirnya ketika tiba lebih kurang satu kaki dari pintu
gerbang gedung keluarga Tio, dia tak sanggup menahan diri lagi,
“blaaam!” tubuhnya roboh terjengkang ke tanah.
Tapi ia berusaha meronta terus, seinci demi seinci dia
merangkak terus, tangannya sudah meraih ujung pintu gerbang, tapi
sayang tenaganya sudah lenyap tak berbekas, kelima jarinya
mengendor dan akhirnya terjatuh ke tanah bagaikan segenggam
pasir.
Meskipun begitu, tangan kirinya masih tetap menggenggam
kitab asli itu, memegangnya erat-erat.
Tong Hoa telah kembali ke tempat penginapannya,
memesan sayur dan arak dan menikmatinya seorang diri, dia harus
merayakan kemenangan dan keberhasilan yang telah diraihnya.
Selama berada di Benteng Keluarga Tong, dia selalu ingin
untuk meraih posisi yang lebih tinggi. Dia tahu, tidak mungkin
baginya untuk menempati posisi yang diduduki Tong Ou saat ini,
sebab tampaknya Lo-cocong amat menyayangi Tong Ou. Di samping
itu, Tong Ou memang berbakat menjadi seorang pemimpin, memiliki
kecerdasan dan kemampuan yang luar biasa. Tapi bagaimana
dengan Tong Koat? Dia berpendapat, kemampuannya sendiri masih
jauh
melebihi kemampuan orang itu, jadi sepantasnya bila
posisinya berada jauh di atas posisi Tong Koat.
Setelah berhasil menjalankan siasat Naga Kemala Putih ini,
sekembalinya ke benteng nanti ia berencana untuk memamerkan
jasa di hadapan Lo-cocong. Siapa tahu si nenek moyang jadi senang

dan mengutusnya untuk menjalankan tugas penting lainnya. Bila hal
ini terjadi, sudah pasti dia akan semakin terpandang.
Terhadap kemampuannya, ia selalu merasa bangga dan
percaya diri. Maka cawan pun diisinya penuh-penuh, kemudian sekali
teguk dia habiskan seluruh isi cawannya.
Ketika meletakkan kembali cawannya ke meja, mendadak
suatu perasaan tak tenang melintas dalam hatinya.
Mengapa perasaannya tak tenang? Ia tidak tahu pasti,
sambil menggenggam cawan araknya dia mulai berpikir dengan
seksama.
Ia mulai membayangkan kembali semua tingkah lakunya
selama ini, dimulai dari melaksanakan siasat Naga Kemala Putih.
Setiap langkah yang telah diperbuat kembali diingat dan
dibayangkan secara cermat. Dia ingin tahu adakah kesalahan yang
telah dilakukannya. Lebih penting lagi adalah mencari tahu persoalan
apa yang tiba-tiba membuat perasaannya tak tenang.
Tapi, perasaan tak tenang tetap berkecamuk dalam
benaknya.
Mengapa bisa begitu?
Tiba-tiba ia melompat bangun. Ah benar! Dalam hal ini tidak
boleh ada kesalahan yang dia lakukan. Sekarang dia teringat,
ternyata ada satu hal dia telah lakukan secara ceroboh.
Setelah menghabisi nyawa Pek Giok-khi, seharusnya ia
menggeledah tubuh mayat itu serta seluruh bangunan rumahnya. Ia
tak boleh membiarkan naskah asli Rencana Naga Kemala Putih
terjatuh ke tangan orang lain, apalagi kalau sampai jatuh ke tangan
orang Tay-hong-tong.
Kematian Pek Giok-khi pasti akan menimbulkan
kegemparan, orang-orang Tayhong-tong pasti akan menggeledah
seluruh isi rumah, mencari barang-barang peninggalannya untuk
mencari tahu sebab musabab terjadinya pembunuhan ini. Andaikata
Pek Giok-khi belum memusnahkan naskah asli tersebut, bukankah
siasat Naga Kemala Putih terancam gagal dan berantakan?
Benar! Ternyata di sinilah letak kecerobohan yang membuat
perasaannya tidak tenang.
Buru-buru dia keluar dari kamar dan segera berangkat
menuju ke Pesanggrahan Pek-giok-tay dengan langkah cepat.

Ketika hampir tiba, hatinya mulai tenang. Sebab di depan
pintu Pesanggrahan Pek-giok-tay tidak ditemukan sesosok bayangan
manusia pun!
Jika mayat Pek Giok-khi ditemukan orang, kabar berita ini
pasti akan tersebar dalam waktu singkat. Di depan pintu gerbang
Pesanggrahan Kemala Putih pasti akan dikerumuni orang-orang yang
ingin tahu, datang untuk memeriksa apa yang terjadi.
Tapi kini tak seorang pun kelihatan, tandanya kematian Pek
Giok-khi belum diketahui orang. Sungguh kebetulan sekali!
Dengan langkah lebar Tong Hoa masuk ke dalam
Pesanggrahan Kemala Putih, tapi ia tertegun, berdiri terperangah di
depan pintu.
Bukankah mayat Pek Giok-khi roboh tersungkur di tempat
itu? Tapi sekarang, kecuali bercak darah yang masih menggenangi
lantai, mayatnya sudah hilang tak berbekas.
Ia melihat bercak darah itu menggenangi lantai di depan
pintu hingga ke ruang dalam, buru-buru dia ikuti bercak darah itu
hingga masuk ke dalam kamar Pek Giok-khi, kemudian dia pun
menyaksikan sebuah peti yang penuh bercak darah, sebuah peti
rahasia.
“Celaka!” pekiknya di dalam hati.
Buru-buru dia lari keluar dan menelusuri jalan yang penuh
dengan bercak darah, mengikuti terus hingga tiba di depan pintu
gerbang Gedung Keluarga Tio. Sekarang ia sudah tahu apa yang
telah terjadi, tampaknya Pek Giok-khi dengan membawa naskah ask
telah mendatangi gedung keluarga Tio dan bermaksud
menyerahkannya ke tangan Wi Hong-nio.
Tapi perasaan hatinya kini sudah jauh lebih tenang, karena
ia sudah menemukan mayat Pek Giok-khi, mayat itu terkapar di
depan pintu masuk.
Dia menghampiri mayat itu, membolak-balikkan badannya
dan menggeledah seluruh isi saku Pek Giok-khi. Namun tak ada yang
ditemukan.
Ia mulai keheranan, tercengang, kenapa tidak ditemukan
sesuatu apa pun? Sekali lagi digeledahnya seluruh saku mayat itu,
tetap tidak dijumpai sesuatu apa pun.
Dia mencoba memeriksa keadaan di sekelilingnya, sama
sekali tidak ditemukan tanda-tanda kalau ada orang yang pernah
mendatangi tempat itu. Lalu, apakah artinya dia sudah

memusnahkan naskah asli itu sejak awal? Berarti tujuan
kedatangannya adalah untuk mencari
Wi Hong-nio dan menuturkan kejadian yang sebenarnya,
ataukah mungkin naskah asli itu sudah keburu diambil seseorang?
Untuk beberapa saat Tong Hoa berdiri sangsi, dia tak berani
mengambil kesimpulan apa pun.
Menurut perkiraannya, sepertinya Wi Hong-nio belum tahu
kalau di depan rumahnya terkapar sesosok mayat. Bila dia tahu ada
kejadian seperti ini, dengan tabiatnya, sudah pasti jenasah tersebut
akan segera dikuburnya atau menyuruh orang untuk
menggotongnya pergi. Tak nanti dia membiarkan mayat itu tetap
terbaring di sana.
Dalam hal ini dia merasa sangat yakin.
Itu berarti naskah aslinya telah diambil oleh seseorang yang
kebetulan lewat tempat itu. Dia berpendapat perkiraannya paling
mendekati kebenaran. Gedung Keluarga Tio terletak sedikit di luar
kota, jarang orang berlalu-lalang di sana. Selama berapa hari tinggal
di situ, belum pernah ia menyaksikan banyak orang yang lewat di
sekitar sana.
Satu-satunya yang bisa membuat dia agak tenang adalah
hasil perkiraannya. Tampaknya Pek Giok-khi datang ke sana untuk
menuturkan kejadian yang sebenarnya kepada Wi Hong-nio, tapi
ketika tiba di depan pintu dia sudah tak sanggup bertahan lebih jauh
hingga akhirnya tewas di situ.
Lalu, apa yang terjadi dengan peti rahasia itu? Ia tak
berhasil menemukan sebuah benda berharga pun dari saku Pek
Giok-khi, tapi mengapa dia membuka peti rahasianya? Sengaja
mengatur perangkap untuk menipunya? Pek Giok-khi pasti sudah
menduga kalau dirinya bakal balik lagi kesana, dia pun kuatir dirinya
belum tentu bisa mencapai gedung keluarga Tio sehingga
menggunakan jurus tersebut untuk mengacaukan jalan pikirannya?
Tong Hoa sama sekali tak yakin. Dengan perasaan was-was
dia meloncat ke atas atap rumah lalu memeriksa sekeliling bangunan
itu.
Ia menyaksikan cahaya lentera masih bersinar terang di
balik kamar Wi Hong-nio, tanda bahwa dia masih ada di dalam.
Setelah memeriksa keliling sejenak, dia lalu melompat turun,
menyeret mayat Pek Giok-khi ke balik semak belukar kemudian pergi
meninggalkan tempat itu.

Dalam keadaan seperti ini dia hanya bisa pasrah pada nasib.
Kembali ke dalam kamarnya, Tong Hoa menghabiskan sepoci arak.
Bab 16. Kecerobohan
Sepeninggal Bu-ki, Wi Hong-nio hanya duduk sendirian di
dalam gardu kebun, dia tidak kembali ke kamarnya. Sambil duduk ia
membayangkan kembali seluruh kenangannya bersama Bu-ki, dia
merasa nasib telah mempermainkan mereka berdua.
Hari perkawinan yang sebenarnya merupakan hari paling
bahagia tiba-tiba berubah jadi hari kematian ayah Bu-ki, hari
terbunuhnya Tio Kian, kejadian yang membuat perkawinan mereka
batal dilangsungkan.
Kemudian ketika bersua dalam sekilas pandangan di bukit
Kiu-hoa-san, dia nyaris tak bisa mengenali wajah Bu-ki.
Selanjutnya mereka berjumpa di kamar rahasia dalam
Benteng Keluarga Tong, perjumpaan sekejap yang diikuti
perpisahan, perpisahan yang terasa bagaikan perpisahan antara mati
dan hidup.
Dan baru saja, lagi-lagi mereka hanya berjumpa dalam
sekejap, jangan lagi bermesraan, untuk mengucapkan sepatah kata
pun tak sempat.
Nasib macam apakah kehidupan mereka ini?
Wi Hong-nio terbungkam, dengan termangu-mangu
diawasinya langit jauh di atas sana. Walaupun awan putih telah
berlalu, tetap tak ada satu jawaban pun yang bisa menjawab semua
kegundahan di hatinya.
Semakin jauh berpikir, tiba-tiba dari hati kecilnya muncul
satu pemikiran yang aneh.
Ia berpikir, mungkinkah Bu-ki tiba-tiba berbalik kembali ke
sana hanya karena ingin berkumpul lebih lama dengannya, berbagi
kehangatan bersamanya?
Terhadap pemikiran semacam ini dia merasa sedikit agak
geli, mana mungkin Bu-ki akan berbuat demikian? Dia seorang
pemuda berdarah panas yang mementingkan balas dendam, belum
pernah sikap dan pendiriannya berubah hanya karena persoalan
cinta kasih.

Walaupun ia merasa jalan pikiran seperti ini amat
menggelikan, namun ia tetap berpikir terus bahkan berharap jalan
pikirannya itu menjadi kenyataan.
Itulah sebabnya dia duduk terus di gardu, duduk menanti
sambil mendengarkan suasana di luar pintu, memperhatikan semua
gerakan di situ.
Harapan berlalu sangat lambat, tapi lambat atau tidak,
waktu tetap bergulir terus tanpa henti.
Biarpun matahari bergeser sangat lambat, namun akhirnya
sampai juga di langit barat, tenggelam di kaki langit dan akhirnya
lenyap dari pandangan.
Langit dari warna biru berubah jadi merah, lalu dari merah
berubah jadi kelabu, akhirnya dari kelabu berubah jadi hitam,
kemudian bintang-bintang bertaburan di angkasa, berkelap-kelip
tiada henti.
Di saat Tong Hoa berkunjung sekali lagi ke Pesanggrahan
Kemala Putih, tiba-tiba Wi Hong-nio mendengar suara langkah kaki
di luar pintu gerbang rumah.
Dia tidak bergerak, ia hanya mendengarkan dengan hatihati,
sementara pikirannya bergolak. Bu-ki kah yang datang? Apakah
dia benar-benar telah balik?
Dia menunggu, menunggu terus dan akhirnya... “Blaaam!”
sesuatu jatuh di depan pintu.
Dengan amat terperanjat ia memburu ke luar pintu, tapi
begitu pintu gerbang terbuka, lagi-lagi ia dibuat terkesiap.
Ia menjumpai Pek Giok-khi roboh terjerembab di lantai,
dalam tangan kanannya tergenggam setumpuk kertas yang cukup
tebal.
Ia membungkuk sambil memeriksa napas Pek Giok-khi
dengan jari tangannya, namun tak ada tanda-tanda kehidupan,
menunjukkan bahwa orang itu sudah mati.
Mengapa ia datang kemari dalam keadaan luka separah itu?
Mau apa dia datang kemari? Minta pertolongan? Sambil berpikir Wi
Hong-nio mulai membuka jari tangan orang itu dan mengambil
tumpukan kertas yang digenggamnya.
Ia membuka lembaran kertas itu dan mulai membacanya,
tak lama kemudian ia berdiri tertegun, terkejut bercampur ngeri.

Kenapa isinya sama persis seperti isi buku harian yang
dibacanya? Setelah berpikir sejenak, tiba-tiba ia tersadar kembali, ia
tahu apa yang terjadi.
Bersama dengan itu, dia pun paham dan mengerti kejadian
apa yang sebenarnya sedang berlangsung.
Dia segera mengingat-ulang semua kejadian yang telah
dialaminya selama ini, dimulai dari Tong Hoa berusaha
mendekatinya, mengajaknya kabur dari Benteng Keluarga Tong,
kembali ke tempat ini, menemukan ruang rahasia dan akhirnya
menemukan buku harian...
Dengan cepat gadis ini menemukan banyak kecerobohan
yang telah dia lakukan selama ini, kecerobohan yang sama sekali
tidak disadarinya.
Kenapa Tong Hoa bisa begitu tergila-gila kepadanya?
Sedemikian tergila-gilanya hingga tak segan mengkhianati Benteng
Keluarga Tong dan membawanya melarikan diri? Ia kelewat bodoh,
kelewat tolol, atau mungkin inilah penyakit yang sering diderita
kaum gadis muda? Selalu mengira orang lain sudah tergila-gila
kepadanya, menganggap dirinya sangat memukau, sangat
memabukkan, walaupun ia belum tentu menyukai orang tersebut.
Inilah kecerobohan pertama yang dia lakukan.
Ketika Tong Hoa mengajaknya melarikan diri dari Benteng
Keluarga Tong, kendati dia berkata sangat hapal dengan semua jalur
keluarnya, tapi... mungkinkah sedemikian gampangnya mereka
berhasil kabur dari situ? Apalagi sewaktu menggunakan bahan
peledak untuk meledakkan lorong rahasia. Mungkinkah suara
ledakan yang begitu keras tak sampai memancing perhatian para
jago Benteng Keluarga Tong?
Kenapa di tempat itu tiba-tiba bisa muncul sebuah lorong
rahasia? Masa ada kejadian yang begitu kebetulan? Inilah
kecerobohannya yang kedua.
Setibanya di gedung keluarga Tio, ternyata Tong Hoa
berhasil menemukan tombol rahasia yang membuka ruangan
tersembunyi, lalu dia pun berhasil menemukan patung Naga Kemala
Putih. Memangnya pemuda itu luar biasa lihaynya sehingga segala
sesuatu berhasil dia pecahkan seorang diri? Padahal Bu-ki sangat
hapal dengan tempat itu, dia pun tidak menemukan apa-apa
setibanya di situ, kenapa justru Tong Hoa yang datang belakangan
bisa menemukan semua rahasia itu?

Inilah kecerobohannya yang ketiga.
Setelah berhasil menemukan buku harian, dalam waktu
singkat ternyata Tong Hoa berhasil juga mendapat tahu kalau Bu-ki
dalam perjalanan pulang, bahkan berdalih kurang leluasa bila tetap
tinggal di sana, lantas berpamitan. Bukankah dia pernah bilang kalau
dirinya tergila-gila padanya? Bahkan harus terjun ke lautan api pun
dia tak akan menolak? Kenapa sekarang malah berpamitan hanya
untuk alasan kurang leluasa?
Inilah kecerobohannya yang keempat.
Kecerobohan yang luar biasa, kecerobohan yang tak bisa
dimaafkan!
Memang begitulah manusia, harus menyaksikan dulu seluruh
kenyataan yang ada, baru menyaksikan kelemahan-kelemahan yang
telah dilakukannya dulu.
Reaksi pertama yang dilakukan Wi Hong-nio adalah segera
pergi mencari Tio Bu-ki.
Ia memperhatikan mayat itu sebentar, satu ingatan segera
melintas dalam benaknya. Orang itu dengan mempertaruhkan nyawa
telah berusaha datang ke sini, jelas tujuannya adalah untuk
mengungkap kejadian yang sebenarnya, sebagai balas jasa kebaikan
itu, bukankah dia berkewajiban untuk menguburkan mayatnya?
Tapi ingatan lain kembali melintas, orang ini diburu
seseorang untuk dibunuh, berarti ada orang ingin membungkam
mulutnya serta menghilangkan saksi. Seandainya sang pembunuh
menyusul sampai ke sini dan tidak menemukan mayatnya,
pembunuh itu masih akan menghubungkan hilangnya sang mayat
dengan kehadiran dirinya di situ, atau dengan perkataan lain,
pembunuh itu sadar kalau dia telah mengetahui duduk perkara yang
sebenarnya.
Dengan begitu pihak Benteng Keluarga Tong pasti akan
merubah rencananya, bisa jadi mereka akan menggunakan siasat
lain yang lebih keji untuk menghadapi Tio Bu-ki dan paman
Siangkoan.
Mana bisa dia membiarkan orang Keluarga Tong tahu bahwa
dirinya telah mengetahui duduk persoalan yang sebenarnya?
Setelah mengambil tumpukan kertas yang yang ada di
tangan mayat itu, buru-buru dia kembali ke dalam rumah bahkan
sengaja memasang lentera dan duduk di tepi jendela, ia berlagak
seakan tidak tahu ada yang telah terjadi di luar sana.

Dia percaya pembunuh itu segera akan tiba di situ, datang
dengan mengikuti bercak darah yang berceceran sepanjang jalan.
Ternyata dugaannya tepat sekali, sayang dia tak tahu kalau
orang itu adalah Tong Hoa. Lebih-lebih ia tidak tahu sejak kapan
pemuda itu tiba di sana. Berada di dalam kamarnya, dia tak bisa
memperhatikan keadaan di luar, ditambah lagi gerakan tubuh Tong
Hoa memang sangat ringan sehingga tidak menimbulkan sedikit pun
suara.
Maka Wi Hong-nio hanya bisa menunggu dan menunggu,
makin menunggu hatinya makin gelisah bercampur cemas, apakah
orang itu sudah datang?
Dia ingin sekali keluar dari kamar untuk memeriksanya, tapi
kuatir bertemu dengan orang itu. Tapi dia pun ingin secepatnya
pergi mencari Bu-ki dan menyampaikan berita ini kepadanya, dia tak
ingin kekasih hatinya ini termakan oleh rencana busuk Benteng
Keluarga Tong.
Menanti dalam suasana gelisah dan tak tenang memang
amat menyiksa batin, bukan saja pikirannya bertambah kalut, sang
waktu pun seolah berjalan dengan merayap.
ooooOOoooo
Akhirnya kentongan kedua tiba juga, Wi Hong-nio
memutuskan untuk tidak menunggu lagi, sebab menurut
perkiraannya, orang yang seharusnya datang semestinya sudah
datang sejak tadi, bisa jadi orang itu jauh lebih tak sabaran
ketimbang dirinya.
Tergopoh-gopoh dia keluar dari kamar, menuju ke pintu
gerbang dan membukanya.
Kini ia bisa menghembuskan napas lega, ternyata mayat
orang itu sudah lenyap. Hal ini membuktikan kalau dugaannya tepat,
orang yang membunuh Pek Giok-khi telah berkunjung ke sini dan
menyingkirkan mayat itu. Tentu saja ia kuatir kalau sampai diketahui
jati-dirinya.
Sedikit banyak ia berterima kasih juga kepada orang itu,
karena telah membantunya menguburkan mayat orang itu hingga
dirinya tak perlu membuang waktu dan tenaga lagi.
Bila punya uang, setan pun bisa diperintah untuk menggiling
tepung, apalagi hanya menyewa kereta kuda untuk melakukan
perjalanan malam?

Kendati Wi Hong-nio sangat jarang berkelana dalam dunia
persilatan, namun dia masih cukup tahu arah benteng Siangkoan-po.
Si kusir kuda adalah pedagang tulen, setelah menerima uang
sewa tentu saja ia bekerja keras, kereta kudanya dilarikan kencang,
sedemikian kencang membuat gadis itu agak pusing kepalanya. Tapi
demi menyusul Bu-ki, apa artinya pusing kepala?
Dalam hati ia terus menerus berdoa, dia berharap Bu-ki
tidak menempuh perjalanan malam, dia berharap saat itu Bu-ki
sedang beristirahat, dengan begitu ia baru punya kesempatan untuk
menyusulnya, tiba lebih dulu di Benteng Siangkoan-po.
Kentongan ketiga sudah lewat, Tong Hoa masih meneguk
arak seorang diri, setiap kali habis meneguk secawan, dalam
pikirannya terbayang pula wajah seseorang yang tak diketahui
namanya. Wajah itu sangat buram, wajah yang tak mungkin bisa
berubah jadi jernih dan terang, karena yang sedang ia pikirkan
adalah orang yang telah mengambil naskah asli dari tangan Pek
Giok-khi.
Baru setelah ia menghabiskan cawan yang keduapuluh
tujuh, satu ingatan melintas dalam benaknya. Mungkinkah Wi Hongnio
yang telah melarikan naskah asli itu? Mungkinkah dia yang
sedang bermain sandiwara?
Dengan cepat ia melompat bangun, dia menyesal, mengapa
selama ini selalu mengesampingkan pemikiran semacam ini.
Dipukulnya batok kepalanya sendiri keras-keras, kemudian
menerjang keluar dari kamar dan langsung menuju ke gedung
keluarga Tio.
Tiba di depan pintu gerbang dia pun tidak mengetuk pintu,
dengan sekali lompat dia melewati pagar pekarangan langsung turun
di tengah halaman.
Ia menemui kamar Wi Hong-nio masih seperti tadi, cahaya
lentera menerangi seluruh ruangan.
Perlahan-lahan dia menghampiri jendela, dengan jari tangan
yang dibasahi ludah dia membuat sebuah lubang kecil di kertas
jendela kemudian mengintip ke dalam.
Ternyata Wi Hong-nio tidak ada di situ.
Ia menerjang masuk, membuka pintu dan mendekati
pembaringan. Seprei masih dalam keadaan rapi, tanda perempuan
itu tidak pernah membaringkan diri, dia menghampiri lemari dan

membukanya. Ternyata isi lemari kosong, semua pakaian yang
semula ada di situ kini hilang lenyap.
Semua ini menunjukkan apa? Tentu saja tanda kalau Wi
Hong-nio sudah meninggalkan tempat itu!
Goblok! Tolol! Dogol! Tak hentinya dia memaki diri sendiri.
Biarpun dalam hati memaki terus, kakinya sama sekali tak
berhenti berlari. Dia keluar dari gedung keluarga Tio kemudian
mencari tahu apakah ada seorang gadis yang melakukan perjalanan
malam.
Jawaban diterima dalam waktu singkat. Dia pun mencari
seekor kuda lalu melakukan pengejaran dengan cepat.
Ooo)))(((ooo
Benteng Siangkoan-po.
Ketika Tong Ou dan Siangkoan Ling-ling tiba di situ,
kedatangan mereka disambut dengan sangat meriah.
Di Benteng Siangkoan-po, Tong Ou sengaja tiap hari
menemui Sangkoan Jin untuk diajak merundingkan rencana berikut
dalam usahanya menyerbu benteng Tayhong-tong, setiap kali
berunding dia sengaja pulang larut malam.
Setiap kali selesai berunding sampai larut malam, dia pun
sengaja memberitahukan hal ini kepada Siangkoan Ling-ling, agar
gadis itu tahu kalau ayahnya amat penat dan menderita. Tentu saja
dia mendesaknya agar menjalankan kewajibannya sebagai seorang
putri yang berbakti.
Untuk menunjukkan bakti serta cintanya, tentu saja tak ada
cara yang lebih baik daripada membuatkan semangkok jinsom
berusia ribuan tahun.
Tentu saja cara ini merupakan cara yang paling berbakti.
Oleh sebab itu setiap hari, setiap kentongan pertama nona
ini selalu turun tangan sendiri membuatkan semangkuk kaldu ayam
untuk ayahnya.
Menyaksikan cinta dan bakti putrinya, Sangkoan Jin sebagai
seorang ayah tentu saja tak pernah menaruh curiga.
Maka setiap kali disuguhi kaldu ayam, dia selalu
meneguknya hingga habis.

Tong Ou ikut girang. Tapi yang membuatnya sangat gembira
adalah setiap kali melihat mangkuk berisi kaldu itu diteguk Sangkoan
Jin hingga habis, setetes pun tak tersisa.
Dia tahu, rencananya makin lama makin mendekati puncak
keberhasilan yang gemilang.
Racun yang digunakan adalah racun bersifat lambat, bila
tidak mengerahkan tenaga dalam, siapa pun tak akan menemukan
gejala atau tanda-tanda yang mencurigakan. Bahkan sewaktu
mengatur napas pun tak akan dirasakan.
Racun itu baru bekerja bila seseorang sudah mengerahkan
tenaga dalamnya hingga mencapai paling puncak. Saat itulah
seluruh kekuatannya akan runtuh, bahkan untuk mengerahkan tiga
bagian tenaganya pun tak akan mampu.
Tong Ou percaya, dengan kepandaian silat Tio Bu-ki, bukan
masalah bagi pemuda itu untuk bertarung hingga ratusan jurus
melawan Sangkoan Jin.
Sebaliknya bagi Sangkoan Jin, pertarungan sebanyak seratus
jurus akan banyak menguras tenaganya bahkan kekuatannya akan
mengalami goncangan keras.
Keadaan semacam inilah yang dia harapkan karena akan
mencipta-kan kesempatan bagi Bu-ki untuk membunuh Sangkoan
Jin.
Menanti pemuda itu berhasil menghabisi Sangkoan Jin, Tong
Ou baru akan menceritakan kejadian yang sesungguhnya bahwa
rencana Naga Kemala Putih adalah hasil rancangannya, rencana
yang khusus dia ciptakan untuk menandingi siasat Harimau Kemala
Putih.
Dia bisa membayangkan reaksi Tio Bu-ki pada saat itu, dia
pasti akan merasakan pukulan batin yang amat berat, seluruh
jiwanya pasti akan roboh.
Berpikir sampai di situ Tong Ou tak bisa menahan diri lagi, ia
segera tertawa terbahak-bahak.
Jika Tio Bu-ki sudah rontok, jago mana lagi yang bisa
diandalkan Tayhong-tong? Saat itu, bukankah seluruh dunia
persilatan akan jatuh ke dalam cengkeramannya?
Dengan penuh rasa bangga dia menenggak arak seorang
diri. Dia yang biasanya kurang begitu suka minum arak, hari ini telah
menenggak susu macan hingga setengah mabuk, sedemikian

mabuknya hingga dia sendiri pun tak tahu sejak kapan dia sudah
tertidur di atas ranjangnya.
Bu-ki tahu dengan jelas kapan dia naik ke ranjang untuk
tidur, sebab dia sudah menempuh perjalanan siang malam, jangan
lagi makan, air setetes pun belum pernah membasahi
kerongkongannya apalagi memejamkan matanya untuk beristirahat.
Tapi berjalan terlalu lama membuatnya benar-benar penat.
Ia tahu dirinya sudah tak memiliki kekuatan cukup untuk menempuh
perjalanan, jika tidak dipaksakan untuk beristirahat, jangan harap
dia bias mengalahkan Sangkoan Jin.
Maka dia harus mencari tempat untuk beristirahat dan tidur
yang nyenyak. Lebih baik agak terlambat membalas dendam
daripada sama sekali tak berkesempatan melakukan pembalasan.
Itu alasannya mengapa dia mencari sebuah rumah
penginapan dan tidur dengan nyenyaknya.
Ooo)))(((ooo
Tidak demikian dengan pemikiran Wi Hong-nio, yang ia
pikirkan waktu itu adalah melakukan perjalanan secepat-cepatnya.
Pada pendapatnya, kereta boleh berjalan terus sementara dia bisa
menggunakan kesempatan itu untuk beristirahat dalam kereta.
Dia cukup tahu, tidur sangat penting untuk memulihkan
kekuatan, orang yang kurang tidur tubuhnya akan lemah.
Kusir kuda yang dia sewa dua orang, mereka bisa tidur
secara bergiliran, karenanya kereta kuda tetap dilarikan kencangkencang.
Goncangan kereta tidak membuat tidur Wi Hong-nio kurang
lelap, dia justru tertidur sangat nyenyak, saking nyenyaknya sampai
bermimpi.
Entah berapa lama waktu sudah lewat, mendadak ia
terbangun dari tidurnya. Begitu terbangun, hatinya merasa kaget.
Kenapa kereta kuda tidak berlari lagi? Ini alasan pertama
yang membuatnya tercengang.
Buru-buru dia bangkit berdiri, menyingkap tirai kereta dan
melongok keluar. Dua orang kusirnya sudah tak nampak lagi batang
hidungnya, yang tersisa hanya dua ekor kuda penghela kereta yang
sedang makan rumput.

Dia keluar dari kereta dan celingukan ke empat penjuru,
ternyata kereta itu diparkir di bawah sebuah pohon besar yang
rindang, tapi karena hari baru saja terang tanah, suasana di
sekelilingnya tampak hening dan sepi.
Ke mana perginya kedua orang kusir kereta itu? Karena lupa
menanyakan nama mereka, maka dia pun tak tahu bagaimana harus
memanggil orang-orang itu.
Dalam keadaan begini terpaksa dia hanya bisa duduk di luar
kereta, mengawasi kuda-kudanya yang merumput dengan
termenung.
Sementara itu mendadak ia merasa seakan ada seseorang
sedang mengawasinya, dia mengira para kusir kereta telah kembali,
maka dia pun mendongakkan kepalanya.
Hampir saja jantungnya berhenti berdetak, apa yang terlihat
olehnya hampir-hampir membuatnya mati lantaran kaget. Ternyata
orang yang sedang mengawasinya bukan sang kusir kereta,
melainkan Tong Hoa.
Tong Hoa berdiri di bawah pohon dengan senyuman
menghiasi wajahnya. Sambil tersenyum selangkah demi selangkah ia
berjalan mendekat.
Untuk sesaat Wi Hong-nio jadi gelagapan, dia tak tahu harus
membalas senyuman itu atau jangan, sikapnya amat kalut, tapi
akhirnya dia mengulumkan juga senyumannya.
“Nyenyak tidurmu?” sapa Tong Hoa sambil berjalan
mendekat.
Wi Hong-nio tidak menjawab, untuk sesaat dia hanya bisa
mengawasi pemuda itu dengan termangu.
“Aku khusus kemari untuk mencarimu,” kembali Tong Hoa
berkata, “tapi karena melihat tidurmu amat nyenyak, maka aku
menunggu sambil berjalan-jalan di sekitar sini.”
Wi Hong-nio celingukan memandang sekeliling tempat itu
sekejap, tanyanya, “Mana kusir kudaku?”
“Mereka sudah kusuruh pergi. Jangan kuatir, aku tak nanti
membunuh mereka yang tak bersalah!”
“Ada urusan apa kau datang mencariku?” tanya si nona
kemudian setelah berhasil menenangkan pikirannya.
“Tidak ada yang penting, aku hanya rindu padamu!”
“Rindu padaku? Kalau begitu, bagaimana kalau kau temani
aku melanjutkan perjalanan?”

“Bagus, tentu saja bagus. Jelas merupakan satu kehormatan
bagiku!”
Sambil berkata, dia segera naik ke atas kereta dan duduk di
kursi kusir, sekali sentak tali les kuda, kereta pun berputar arah.
“Jangan, jangan, jangan ke sana!” seru Wi Hong-nio lagi,
“aku mau pergi ke arah sana!”
“Kau keliru,” kata Tong Hoa seraya berpaling, “aku hanya
bisa menemanimu untuk balik ke arah sana!”
“Kenapa?”
“Sebab aku tidak berharap kau berjumpa lagi dengan Tio
Bu-ki!”
“Tampaknya cemburumu semakin besar saja?”
“Aku justru melihat kemampuan sandiwaramu makin lama
makin hebat!”
“Aku bersandiwara? Aku sedang bermain sandiwara?
Sandiwara apa?”
Tong Hoa tertawa licik, kembali dia menghentikan lari
kudanya sambil berkata, “Kemarin, kau sudah membohongi aku
semalaman suntuk, apakah sekarang kau masih ingin membohongi
aku lagi?”
Wi Hong-nio tahu, rupanya pemuda itu sudah mengetahui
duduk persoalan yang sebenarnya, maka segera jawabnya, “Siapa
suruh kau menipuku lebih dulu dengan menggunakan siasat
busukmu?”
“Aku hanya melaksanakan perintah,” dengan sikap apa
boleh buat Tong Hoa mengangkat bahunya.
“Bagaimana sekarang? Menghalangi kepergianku juga
merupakan bagian dari perintah itu?”
“Tentu saja bukan, ini kemauanku sendiri.”
“Kalau memang begitu, biarkan aku pergi!”
“Tidak bisa.”
“Kenapa tidak bisa?”
“Jika kau ke sana berarti rencana Naga Kemala Putih akan
terancam gagal total. Itu berarti tugas yang kujalankan telah gagal,
atas kegagalan ini aku akan menerima hukuman. Tentunya kau tidak
berharap aku memperoleh hukuman bukan?”
“Keliru!” teriak Wi Hong-nio lantang, “aku justru berharap
rencana kalian itu bakal gagal total!”

Habis berkata tiba-tiba ia mencabut pedangnya dan
langsung ditusukkan ke tubuh Tong Hoa.
Tentu saja Tong Hoa tak akan memandang sebelah mata
ilmu silat yang dimiliki gadis ini, dalam anggapannya dia adalah
seorang gadis yang memegang pedang pun tak becus. Karenanya
dia menghindar ke samping sekenanya dan sudah lolos dari tusukan
tersebut.
Padahal Wi Hong-nio memang sengaja menusuk sekenanya,
sebagaimana diketahui ia pernah belajar ilmu pedang dari Siau
Tang-lo ketika berada di bukit Kiu-hoa-san, ditambah lagi ia memang
memiliki bakat yang bagus maka kepandaiannya dalam
menggunakan pedang sudah mencapai satu taraf yang cukup hebat.
Hanya saja gadis ini tak ingin bertindak gegabah, dia sadar
kemampuan yang dimilikinya masih bukan tandingan Tong Hoa. Jika
ingin memenangkan orang itu maka dia harus mengunggulinya
dengan menggunakan akal dan kecerdasan.
Dengan pikiran itulah maka dia sengaja berlagak tak tahu
ilmu silat dan menusuk sekenanya.
Benar saja, perbuatannya itu berhasil mengelabui Tong Hoa,
di saat dia berkelit dengan sekenanya itulah mendadak Wi Hong-nio
mempercepat gerak serangannya, pedang yang ada di tangannya
seakan sekuntum bunga yang sedang mekar, tiba-tiba mengebas ke
kiri lalu menyelinap ke kanan, langsung menusuk jalan darah penting
di dada lawan.
Tong Hoa jadi gelagapan dibuatnya, untung ilmu silatnya
terhitung cukup hebat, kalau tidak mungkin dia sudah tewas di
ujung pedang gadis itu.
Kendati begitu, ia keteter juga dibuatnya hingga tersudut
dalam kondisi yang berbahaya. Pakaian yang dikenakan tampak
tertusuk di beberapa tempat hingga robek tak karuan.
Sejak belajar ilmu pedang dari Siau Tang-lo, baru pertama
kali ini Wi Hong-nio menggunakannya untuk menyerang orang, pada
mulanya gerak serangannya masih kelihatan kaku, namun makin
lama gerakannya makin lancar dan cepat, pedangnya digerakkan
sedemikian rupa hingga membentuk selapis jaring pedang yang luar
biasa.
Begitu melepaskan serangannya yang keenam, ujung
pedangnya yang tajam berhasil menyambar pergelangan tangan kiri

Tong Hoa, darah segar segera menyembur keluar dari luka yang
memanjang itu.
Dengan cekatan Tong Hoa menjatuhkan diri ke tanah,
kemudian bagaikan gasing dia menggelinding menjauh dan
menyelinap ke balik kereta kuda.
Menggunakan kesempatan itu buru-buru dia meloloskan
pedangnya dan bersiap-siap menghadapi serangan berikutnya.
Wi Hong-nio memang tak punya pengalaman dalam
bertarung, ketika melihat Tong Hoa kabur ke belakang kereta, dia
pun tidak berusaha untuk mengejar, sebaliknya gadis itu malah
berdiri di atas kereta sambil mengawasi lawannya tanpa berkedip.
Diam-diam gadis itu merasakan jantungnya berdebar keras,
bagaimanapun selama hidupnya baru pertama kali ini dia melukai
tubuh orang hingga berdarah, untuk beberapa saat lamanya dia
hanya berdiri diam tanpa melakukan sesuatu.
Tong Hoa bukan orang dungu, dari perubahan raut muka
gadis itu, dia segera dapat menebak apa yang sedang dipikirkan,
mendadak dia buang pedangnya ke tanah dan berjalan menghampiri
sambil serunya, “Bunuhlah aku bila kau ingin melakukannya!”
Wi Hong-nio malah dibuat tertegun oleh ucapan tersebut,
pedang nya kembali diturunkan, dengan wajah menyesal katanya,
“Biarkan aku pergi!”
“Tidak, jika kau akan pergi, bunuhlah aku lebih dahulu. Toh
sekembaliku ke Benteng Keluarga Tong, aku tetap akan diganjar
mati, daripada mati tersiksa lebih baik mati saja di ujung
pedangmu.”
Untuk beberapa saat lamanya Wi Hong-nio terbungkam, ia
memandang pedang dalam genggamannya sekejap lalu memandang
pula ke arah Tong Hoa, pikiran dan perasaannya amat kalut, untuk
sesaat dia tak tahu apa yang harus diperbuat.
Menggunakan kesempatan itu Tong Hoa berjalan mendekat,
kembali katanya, “Ayoh, cepat turun tangan!”
Ketika Wi Hong-nio masih tetap sangsi, Tong Hoa sudah
maju mendekat dan merebut pedang di tangannya.
Perempuan itu sama sekali tidak menjadi gusar atau
terkesiap, reaksinya tetap tenang, karena baru saja dia mengambil
keputusan, apa pun yang bakal terjadi, dia tak ingin tangannya
ternoda darah.

Setelah merampas pedang itu, dengan wajah menyesal
Tong Hoa berkata lagi, “Aku terpaksa harus bertindak begini, harap
kau jangan marah.” Wi Hong-nio tertawa getir.
“Tidak apa apa, toh aku sudah putuskan, tak akan
membunuh siapa pun.”
Ketika Tong Hoa menyodorkan kembali pedangnya, Wi
Hong-nio segera menggeleng, “Sudahlah, aku tidak membutuhkan
pedang itu lagi, ambil saja buatmu!”
“Apa gunanya aku punya dua bilah pedang? Lebih baik
simpan sebilah untuk menjaga diri,” ujar Tong Hoa sambil tertawa.
“Tidak, ilmu pedang yang kupelajari adalah ilmu untuk
membunuh manusia, bukan untuk melindungi diri, tidak baik bila
kusimpan terus pedang itu.”
“Bila ingin melindungi diri dari ancaman, tentu saja kau
harus berusaha untuk membunuh lawan!”
“Aku tahu, itulah sebabnya kuputuskan tidak akan
menggunakan pedang lagi.”
“Kalau begitu buang saja, aku harus pergi sekarang!”
“Pergi?” paras muka Tong Hoa agak berubah, “hendak ke
mana kau?”
“Pergi mencari Bu-ki!”
Mendadak Tong Hoa mendongakkan kepalanya dan tertawa
terbahak-bahak.
“Hei, apa yang kau tertawakan?” tegur nona itu.
“Aku sedang menertawakan kau!”
“Menertawakan apa?”
“Menertawakan dirimu yang kelewat bodoh.”
“Aku bodoh? Di mana letak kebodohanku?”
“Kau tidak merasa kalau dirimu bodoh? Sekarang kau sudah
tak berpedang, memangnya aku akan membiarkan kau pergi?”
“Kenapa kau melarangku pergi? Bukankah barusan aku telah
berhasil mengunggulimu? Aku hanya tak ingin membunuhmu saja,
kenapa aku tak boleh pergi?”
Sekali lagi Tong Hoa tertawa tergelak, dia tertawa dengan
riangnya.
“Bukankah sudah kukatakan? Jika kau bersikeras akan pergi,
bunuhlah aku terlebih dulu!”
“Aku tetap akan pergi dari sini, namun aku pun tak akan
membunuhmu!”

“Bagaimana caranya?”
“Caranya? Kau pergi ke tempat yang kau suka, aku pun akan
pergi ke tempat yang kupilih, bukankah semua jadi beres?”
“Tidak bisa nona besarku, aku tak akan membiarkan kau
pergi ke sana!”
“Bagaimana sih kamu ini? Mengapa terus-terusan ngotot?
Sudah kalah masih belum mau mengakui kekalahannya? Kau tetap
tidak membiarkan aku pergi?”
“Menang atau kalah bukan persoalan, yang penting dalam
masalah ini, justru adalah mati atau hidup, asal kau bunuh aku, kau
boleh pergi, bila membiarkan aku tetap hidup maka kau tak boleh ke
sana.”
“Baiklah! Kalau begitu kembalikan pedangku, akan kubunuh
dirimu.”
Sekali lagi Tong Hoa tertawa terbahak-bahak, “Ha ha ha
ha... coba lihat, sudah begini masih belum mau mengaku kalau
dirimu bodoh? Dalam keadaan seperti ini, memangnya aku akan
menyerahkan pedang ini kepadamu? Apalagi kemenangan yang
berhasil kau raih tadi hanya kebetulan saja, kau menyerang di saat
aku tak siap. Sekarang, biarpun kau berpedang belum tentu sanggup
mengungguli aku!”
“Jadi kau memang manusia macam begitu?”
“Bukan, aku bukan manusia begitu!”
“Bagus sekali kalau begitu,” seru Wi Hong-nio kemudian,
“aku tahu, kau memang sengaja berkata begitu bukan?”
“Salah besar! Sekalipun aku bukan manusia macam begitu,
namun situasi yang mendesak memaksa aku mau tak mau harus
berbuat begitu.”
“Maksudmu, kau tetap tidak membiarkan aku pergi?”
“Aku terpaksa harus berbuat begitu, maaf.” Wi Hong-nio jadi
sewot setengah mati, dengan napas terengah-engah karena
menahan luapan emosi, serunya, “Ternyata aku telah salah menilai
dirimu!”
“Aku benar-benar minta maaf.”
“Sudahlah, tak usah banyak bicara lagi, aku tetap akan pergi
dari sini, tampaknya kali ini tiba giliranmu yang harus membunuh
aku.”
Selesai berkata, ia segera beranjak pergi dengan langkah
lebar.

Tong Hoa sama sekali tidak menghalangi, dia hanya
mengintil terus di samping Wi Hong-nio, mengikutinya ke mana pun
dia pergi.
“Kenapa kau tidak menghalangi aku?”
“Sebab bila melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki,
kau tak akan mampu menyusul Tio Bu-ki!”
“Lalu kenapa kau masih mengikuti diriku terus?”
“Pertama aku harus melindungi dirimu, kedua, aku harus
menghalangi kau menyewa kereta kuda.”
“Kau....” dengan napas tersengal karena marah, Wi Hongnio
menuding hidung Tong Hoa, makinya, “kau memang manusia
yang payah!”
“Aku telah mengemukakan semua maksud dan tujuanku
secara jelas, kenapa kau bilang aku payah?”
Wi Hong-nio berpaling sekejap ke arah lain, lalu ujarnya,
“Sudahlah, aku tak ingin berdebat denganmu, toh akhirnya aku yang
kalah, Cuma kau harus tahu, apa pun yang terjadi aku tetap akan ke
sana, aku pun pasti akan menemukan kembali kusir keretaku untuk
melanjutkan perjalanan!”
“Baiklah, kalau kau memang bersikeras terus, biar aku yang
menghantar kau menuju ke sana.”
Wi Hong-nio seakan tak percaya dengan pendengaran
sendiri, ia membelalakkan matanya lebar-lebar, diawasinya wajah
Tong Hoa tanpa berkedip.
Sungguh? serunya tertahan.
“Tentu saja sungguh, mari, kita segera balik ke kereta!”
Setelah naik ke atas kereta, Wi Hong-nio baru percaya kalau
apa yang dikatakan Tong Hoa memang benar.
Tong Hoa duduk di tempat kusir, dia menarik tali les kuda
dan kereta pun mulai bergerak meninggalkan tempat itu.
Pada mulanya Wi Hong-nio merasa sangat gembira, karena
ternyata Tong Hoa bersedia membantunya, tapi setelah berjalan
beberapa saat ia baru sadar bahwa ada sesuatu yang tidak beres,
ternyata arah yang ditempuh kereta kuda itu menuju ke tempat
yang berlawanan.
“Berhenti!” ia segera berteriak.
Tong Hoa segera menghentikan keretanya.
“Ada apa?” dia bertanya.
“Kau sedang membohongi aku! Bukankah ini jalan balik?”

“Benar, bukankah aku sudah bilang akan mengantarmu
pulang?”
“Kau tak usah berlagak pilon, seperti tidak tahu ke mana aku
hendak pergi! Apa maumu?”
“Tentu saja aku tahu ke mana kau hendak pergi, tapi
dengan keadaan dan kedudukanku sekarang, mana mungkin aku
bisa mengantarmu ke sana?”
“Lalu kenapa kau mengatakan akan mengantarku?”
“Apa salahnya kalau kuantar kau pulang ke rumah?
Bukankah sejak awal sudah kukatakan, kau hanya bisa melanjutkan
perjalanan dengan kereta jika tujuanmu adalah balik ke Gedung
Keluarga Tio?”
“Segera hentikan keretamu, aku mau turun sekarang juga!”
Melihat gadis itu bersiap-siap melompat keluar dari
keretanya, Tong Hoa menghentakkan tali les kudanya hingga kereta
kembali bergerak. Tindakan sangat mendadak ini menyebabkan Wi
Hong-nio hampir jatuh terjerembab.
“Lepaskan aku!” teriak perempuan itu lagi.
Tong Hoa sama sekali tidak menggubris, dia malah
melarikan kudanya makin kencang.
“Jika kau tidak segera menghentikan keretamu, aku akan
melompat keluar!” kembali Wi Hong-nio mengancam.
Namun Tong Hoa sama sekali tidak menggubris, dia tetap
melarikan keretanya kencang-kencang.
Wi Hong-nio menjadi nekad, ia benar-benar melompat dari
atas kereta lalu bergulingan di tanah. Menyaksikan ini Tong Hoa
terpaksa menghentikan keretanya dan membangunkan perempuan
itu.
“Jangan sentuh aku!” teriak perempuan itu penuh amarah,
“Aku tak ingin bertemu lagi denganmu!”
“Buat apa kau mesti marah-marah? Baiklah, kali ini aku
putuskan untuk benar-benar menghantarmu.”
“Sungguh?”
“Tekadmu sudah begitu bulat, aku tahu tak akan berhasil
mengha-langimu. Mari, segeralah naik ke kereta!”
Kali ini Wi Hong-nio menolak untuk masuk ke dalam kereta,
ia bersikeras duduk di samping Tong Hoa, katanya, “Aku akan
mengawasimu, jika kau berusaha main gila lagi, aku segera akan
lompat turun dari kereta!”

Kali ini Tong Hoa tak berani main gila lagi, ia benar-benar
melarikan kudanya ke arah benteng Siangkoan-po, bahkan kudanya
dilarikan kencang.
Menyaksikan hal itu Wi Hong-nio menjadi sangat girang.
Sayang kegembiraannya hanya berlangsung satu jam lebih sedikit,
setelah itu tiba-tiba Tong Hoa menghentikan keretanya. Dengan
heran Wi Hong-nio segera menegur, “Kenapa kau hentikan
keretamu?”
“Masa kau tidak bisa melihat sendiri?”
“Melihat apa? Wajahmu tetap segar, sama sekali tak nampak
penat atau masuk angin, mengapa kau harus menghentikan kereta?”
“Tentu saja aku tidak penat, masa perjalanan sependek ini
membuatku kelelahan? Tapi coba kau lihat ke depan!”
Kini Wi Hong-nio baru mendongakkan kepalanya
memandang ke depan.
Ternyata mereka tiba di depan sebuah persimpangan, bukan
hanya bercabang dua tapi tiga!
“Oh, jadi kau tidak kenal jalan?” tanya si nona.
“Aku tentu saja kenal, tapi kau sendiri bagaimana? Kenal
jalan ini tidak?”
“Aku tidak tahu...”
“Nah itu dia!”
“Apa ada yang tak beres? Jalan saja seperti yang kau tahu!”
“Tapi, apakah kau percaya padaku?”
Begitu kata-kata itu diucapkan, langsung Wi Hong-nio
terbungkam seribu bahasa. Apakah ia percaya orang ini? Bagaimana
kalau secara sengaja dia memilih jalan yang salah?
Dia tak tahu, benar-benar tak tahu.
Lantas apa daya? Wi Hong-nio merasa pikirannya bertambah
kalut.
Menyaksikan kebingungan si nona, Tong Hoa kembali
tertawa licik, ujarnya, “Itu sebabnya aku sengaja berhenti di sini,
agar kau bisa memilih jalan mana yang harus dilewati. Aku tidak
mau disalahkan karena salah memilih jalan!”
“Aku tak akan menyalahkan dirimu, jalankan saja keretamu
menuju ke arah benteng Siangkoan-po.”
“Lebih baik kau saja yang pilih,” Tong Hoa bersikeras
dengan pendiriannya.

Dengan sorot mata tajam Wi Hong-nio mengawasi Tong Hoa
tanpa berkedip, kemudian serunya, “Jadi kau punya tujuan lain?
Sejak awal kau sudah tahu bahwa di sini terdapat jalan bercabang
tiga kan?”
“Benar,” ternyata Tong Hoa mengakui, “dan aku tak bisa
membantumu untuk memilihkan jalan yang harus diambil, lebih baik
kau pilihlah sendiri, jadi kalau sampai keliru, kau jangan marah
kepadaku!”
Dengan termangu Wi Hong-nio mengawasi tiga
persimpangan jalan yang terhampar di depan matanya. Ia sangsi,
jalan yang mana yang harus dipilih? Akhirnya, setelah berpikir
sebentar, “Baiklah, aku turuti pilihanmu!”
Tong Hoa mengerling ke arahnya, tiba-tiba ia
menghentakkan tali les kudanya dan menjalankan kereta itu menuju
ke cabang jalan yang tengah.
“Berhenti!” tiba-tiba gadis itu berteriak lagi. “Ada apa?”
“Jangan memilih jalan yang itu!”
“Lalu harus lewat yang mana?”
“Kau boleh memilih jalan yang lain kecuali jalan itu!”
Dalam pikiran Wi Hong-nio, jalan yang pertama kali dipilih
Tong Hoa pastilah jalan yang keliru maka dia sengaja menyuruh
pemuda itu memilihnya terlebih dulu, dengan begitu akan tersisa
dua pilihan saja.
Tapi persoalannya sekarang adalah Tong Hoa akan memilih
jalan yang mana? Kini pemuda tersebut sudah tahu kalau dia sedang
mencoba kejujurannya, apakah dia akan memilih jalan yang benar
atau tetap sengaja memilihkan jalan yang salah?
Untuk sesaat Wi Hong-nio jadi sangsi, dia tak tahu
bagaimana mesti memutuskan persoalan ini.
Tentu saja Tong Hoa sama sekali tidak memedulikan apa
yang sedang dipikir Wi Hong-nio, dia segera mencemplak kudanya
dan memilih jalan sebelah kanan.
Sebenarnya Wi Hong-nio ingin menggunakan siasat itu
untuk mencoba kejujuran Tong Hoa, tak disangka siasatnya itu
sekarang justru mempersulit diri sendiri!
Jalan yang sekarang dipilih Tong Hoa benarkah jalan yang
benar?
Dia tahu, sulit sekali baginya untuk membuktikan kejujuran
pemuda itu.

Dia mencoba berpaling, mengawasi wajah Tong Hoa dari
samping, tapi wajah itu sangat tenang, seolah tak pernah terjadi
sesuatu apa. Dia hanya berkonsentrasi mengemudikan keretanya.
Ketenangan pemuda itu membuat Wi Hong-nio semakin
sangsi, dia tak bisa menduga apa yang sedang dipikirkan Tong Hoa
saat itu.
“Berhenti!” mendadak teriaknya lagi.
Tong Hoa sangat penurut, dia benar-benar menghentikan
keretanya.
“Ada apa lagi?”
“Benarkah arah yang kau pilih sekarang?” sengaja gadis itu
bertanya, dia berharap Tong Hoa tanpa sengaja memperlihatkan
jawaban yang sebenarnya.
“Tentu saja benar!”
Baru saja Wi Hong-nio merasa gembira, terdengar Tong Hoa
berkata lebih jauh, “Aku telah menuruti pilihanmu, mana bisa
keliru?”
“Lihay amat orang ini!” pikir Wi Hong-nio yang menjadi amat
jengkel.
“Sekarang kita lewat yang mana?” terdengar Tong Hoa
bertanya lagi.
“Pilih jalan yang sebelah kiri!”
Tong Hoa menurut dan membelokkan keretanya ke kiri.
“Yang ini bukan?” sengaja tanyanya.
Wi Hong-nio hanya bisa melotot, tapi tak sepatah kata
sanggup diucapkannya.
Sambil tertawa, kembali Tong Hoa bertanya, “Kau benarbenar
akan menggunakan jalan yang ini?”
Wi Hong-nio berpikir sebentar, akhirnya dia berteriak keras,
“Sudahlah, tak usah ke mana-mana!”
“Tak usah ke mana-mana? Mau menanti di sini saja?”
“Benar!”
“Aku tak punya usul lain!”
“Aku memang tidak membutuhkan usulmu!”
“Aku tahu, kau membutuhkan usul dan pendapat dari orang
lain bukan?”
Wi Hong-nio tidak menjawab. Kembali Tong Hoa berkata,
“Terus terang, biar kau menanti sampai besok pagi pun jangan
harap bisa bertemu seseorang di tempat ini karena jalan ini sudah

lama dilupakan orang! Atau mau tanya arah pada orang lewat?
Janganlah mimpi di siang hari bolong!”
Mendengar rahasia terbongkar, merah padam selembar
wajah gadis itu. Katanya kemudian, “Kau tak usah mencampuri
urusanku, mau berjumpa dengan orang lewat atau tidak, itu
urusanku sendiri. Kalau memang terjadi seperti itu, aku akan terima
nasib!”
“Baiklah, kalau begitu akan kutemani kau sampai ketemu
orang lewat nanti!”
“Kau tak perlu menemani aku, toh aku tidak butuh dirimu!”
Tong Hoa tidak menggubris sindiran itu, dia hanya tertawa, “Masa
kau tidak merasa, sepanjang perjalanan sampai kemari apakah kau
pernah berjumpa dengan seseorang? Sia-sia saja penantianmu itu.”
“Siapa tahu akan muncul seseorang dari depan sana!” Sekali
lagi Tong Hoa tertawa, kali ini dia hanya tertawa tanpa menanggapi.
“He, apa yang kau tertawakan?” tak tahan Wi Hong-nio
menegur.
“Menertawakan kebodohanmu!”
“Kenapa?”
“Coba bayangkan sendiri, orang yang datang dari arah
depan sana itu datang dari mana? Seandainya berasal dari benteng
Siangkoan-po, berarti dia adalah anggota Keluarga Tong, bila dia
adalah anggota Keluarga Tong, memangnya mereka bersedia
memberi petunjuk jalan kepadamu?”
“Itu kan belum tentu. Asal saja kau tidak bersuara, mereka
pasti akan memberitahu...”
“Apa sangkut-pautnya aku bersuara atau tidak?”
“Tentu saja besar sekali pengaruhnya, jika kau bersuara
maka orang akan tahu tujuanku, tentu saja mereka segan
memberitahu.”
“Baiklah, kalau begitu aku berjanji tak akan membuka suara,
bukan saja tidak bicara, aku akan bersembunyi di dalam kereta agar
tidak diketahui orang lain, puas?”
Tentu saja Wi Hong-nio sangat puas.
Maka Tong Hoa pun masuk ke dalam kereta, memejamkan
matanya dan beristirahat.
Sementara Wi Hong-nio tetap di luar kereta, dengan mata
melotot besar dia mengawasi sekeliling tempat itu sambil berharap
ada seseorang yang muncul.

Bab 17. Bertaruh
Setelah tidur sangat nyenyak, Tio Bu-ki bersiap untuk
mengganjal perutnya yang lapar. Dia memerintah pelayan untuk
mengantar sarapannya ke dalam kamar, sambil makan otaknya
berputar terus mencari akal guna menghadapi Sangkoan Jin.
Tentu saja Sangkoan Jin belum tahu kalau dia sudah
mengetahui sebab musabab kematian ayahnya. Ketika ia
menemuinya, Sangkoan Jin pasti tidak mempunyai persiapan apa
pun.
Berhasil atau tidak mengalahkan Sangkoan Jin, bagi Tio Buki
bukan sesuatu yang terlalu dipikirkan, sebab niatnya untuk
membalas dendam sudah bulat. Buat dirinya paling banyak beradu
jiwa dengan musuhnya dan kehilangan nyawa.
Yang dia kuatirkan justru bagaimana caranya agar bisa
bertemu empat mata dengan Sangkoan Jin, sebab tempat yang akan
didatanginya sekarang sudah termasuk wilayah kekuasaan Benteng
Keluarga Tong. Bertemu berdua saja dengan pamannya itu bukan
pekerjaan yang mudah. Bukan hanya itu, seandainya bisa bertemu
pun dia tidak tahu jago mana saja yang akan mendampinginya.
Andaikan sebelum berhasil bertarung melawan Sangkoan Jin
ia sudah keburu dikepung jago-jago Benteng Keluarga Tong,
kejadian ini pasti akan sangat mengenaskan. Karena itulah dia harus
dapat mengajak Sangkoan Jin untuk bertemu satu lawan satu.
Tapi bagaimana caranya? Sampai selesai bersantap pun Tio
Bu-ki belum berhasil menemukan cara yang tepat. Di akhirnya ia
putuskan untuk melanjutkan perjalanan sambil berpikir.
Ketika hampir tiba di Siangkoan-po, akhirnya ia mendapat
suatu akal.
Dengan menyamar sebagai seorang pedagang, ia menyusup
masuk ke dalam Siangkoan-po dan tinggal rumah penginapan yang
terbaik.
Setelah memesan arak dan sayur, seorang diri ia bersantap
sambil menikmati air kata-kata.
Pelayanan di sana ternyata sangat baik. Penyakit lama para
pelayan penginapan adalah asal melihat orang kaya selalu akan
menunjukkan muka manis.

Ketika Bu-ki memberi kode ke arah mereka, seorang pelayan
segera berlari mendekat sambil bertanya, “Tuan, mau pesan apa
lagi?”
“Tidak, aku hanya ingin bertanya apakah di sekitar tempat
ini ada rumah judi?”
“Ooh, ada, ada... Setelah keluar pintu gerbang, belok ke
kanan, rumah judi itu terletak pada deretan yang ke delapan. Di
depan rumah tergantung papan nama yang bertuliskan 'Hap-hinho'!”
“Itu rumah judi?”
“Benar, tapi rumah judi itu kelas atas, tidak sembarang
orang dapat memasukinya!”
“Bagus!” setelah memberi sekeping perak, dia buru-buru
beranjak pergi meninggalkan rumah makan itu.
Tio Bu-ki merasa mustahil baginya untuk masuk gedung
kediaman Sangkoan Jin dan bertemu muka dengan pamannya itu,
maka dia mengatur rencana lain, dia ingin semua orang yang ada di
benteng itu tahu akan kehadirannya.
Bila semua orang tahu akan kehadirannya, jago-jago
Keluarga Tong pasti akan mengatur rencana untuk menghadapinya.
Sangkoan Jin pasti akan tahu juga akan kehadirannya dan dalam
keadaan begini, dia pasti akan berusaha untuk mengadakan
pertemuan empat mata dengannya. Dan hal inilah yang diharapkan.
Tempat yang paling tepat untuk membuat keributan dan
keonaran adalah rumah judi. Apalagi judi lempar dadu yang menjadi
kepandaian andalannya, siapa yang mampu menandinginya?
Ia tahu tempat ini merupakan pusat keramaian dalam
benteng Siangkoan-po, bila kabar kehadirannya tersiar, dengan
cepat pihak
Keluarga Tong akan mengetahui kehadirannya, dengan
sendirinya Sangkoan Jin juga akan segera tahu atas kehadirannya.
Dengan penuh keyakinan dan rasa percaya diri dia
berangkat ke rumah judi Hap-hin-ho.
Benar seperti yang dikatakan pelayan rumah penginapan
tadi, rumah judi Hap-hin-ho merupakan rumah judi kelas atas,
hampir semua penjudi adalah orang-orang kaya dengan dandanan
yang perlente.
Kalau di rumah judi seumumnya, adalah bandar yang
melempar dadu dan pemain tinggal pasang besar atau kecil. Tetapi

di sini baik bandar maupun pemain sama-sama melempar dadu,
jumlah mata dadu terbesar atau paling kecil yang menjadi
pemenangnya.
Permainan seperti ini yang paling disukai Bu-ki, sebab
permainan dengan cara ini paling gampang menimbulkan keributan
yang disusul dengan keonaran. Memang keributan yang menjadi
tujuan utamanya!
Untung dalam rumah judi Hap-hin-ho tersedia banyak meja
judi, ada meja judi yang banyak dikerumuni orang, ada pula yang
sedikit orangnya.
Meja demi meja diperiksa Tio Bu-ki satu per satu. Tidak
seberapa lama kemudian ia segera paham alasan perbedaan yang
menyolok mata itu.
Ternyata meja taruhan terkecil, antara sepuluh hingga
seratus tahil perak paling banyak dikerumuni orang, seribu tahil
hingga sepuluh ribu tahil agak jarang. Di atas sepuluh ribu tahil
perak paling sedikit petaruhnya, waktu itu termasuk bandar hanya
ada tiga orang.
Di meja judi itu bandar duduk di tengah, dua petaruh ada di
sisi kiri dan kanannya, membiarkan bangku di depan bandar kosong.
Tanpa banyak bicara Bu-ki segera menempatkan diri di situ.
Setelah menganggukkan kepala kepada tiga orang itu, Bu-ki
berkata, “Apa aku boleh melihat dulu cara mainnya?”
“Tentu saja boleh!”
Dalam pertaruhan kali ini petaruh sebelah kiri memasang
duaribu tahil sementara petaruh sebelah kanan memasang seribu
tahil. Setelah tiga putaran, ada yang kalah ada pula yang menang.
Ia lalu mengeluarkan berapa lembar uang kertas dan
diletakkan ke meja sambil serunya, “Kali ini aku ikut bertaruh!”
Bandar menghitung uang taruhan, ternyata limaribu tahil.
Maka sebagaimana peraturan yang berlaku di rumah judi Hap-hin-ho
ini, bandar melemparkan dulu dadunya, kali ini dia mendapat angka
empat.
Petaruh sebelah kiri mendapat angka tiga, berarti kalah. Kini
giliran Bu-ki, pikirnya, “Agar cepat terjadi keributan, biar aku
langsung unjuk kebolehanku!”
Maka dia melemparkan ketiga dadu itu dengan
mengerahkan sedikit tenaganya, begitu berhenti ternyata angka
lima, maka dia yang menang.

Anak muda ini sama sekali tidak mengambil uang
taruhannya, melihat itu sang bandar segera bertanya, “Kau ingin
bertaruh sepuluh ribu tahil?” Tio Bu-ki mengangguk.
Bandar tidak bicara lagi, dia mengambil dadu dan melempar
ke meja. Lagi-lagi Bu-ki memenangkan pertaruhan ini.
Seperti pertama kali tadi, kali ini pun dia tidak menarik
uangnya.
“Mau bertaruh duapuluh ribu tahil?” bandar bertanya sambil
tertawa, diam-diam ia memaki kebodohan orang. “Mana ada penjudi
yang memasang seluruh uangnya dalam sekali taruhan?”
Kegembiraan bandar tidak berlangsung lama, untuk kesekian
kalinya kembali Bu-ki berhasil meraih kemenangan.
Dalam waktu singkat uang taruhan yang dipasang Bu-ki
sudah mencapai delapanpuluh ribu tahil perak.
Sekarang peluh sebesar kacang kedele mulai bercucuran
membasahi jidat bandar, untuk sesaat dia hanya bisa memegang
dadu tanpa berani melemparnya ke meja.
Pada saat itulah mendadak muncul seorang kongcu berbaju
perlente, setelah memandang meja judi dan Bu-ki sekejap, katanya
kepada bandar, “Kau boleh mundur dari sini.”
Bandar itu menyahut dan buru-buru menyingkir dari situ.
“Aku pemilik rumah judi ini,” kongcu itu memperkenalkan
diri, “Bagaimana kalau aku yang melayani permainan tuan sekalian?
Tidak keberatan bukan?”
“Tentu saja tidak,” sahut Bu-ki sambil tertawa.
Dua orang petaruh yang lain buru-buru menarik kembali
uang taruhannya seraya berseru, “Kami akan jadi penonton saja.”
“Baiklah, aku she Chee, boleh tahu nama anda?” tanyanya
kepada Bu-ki.
“Aku she Tio.”
“Bagus sekali, masih tetap dengan pasangannya?”
“Benar, pasanganku delapanpuluh ribu tahil perak!”
Chee Kongcu manggut-manggut, diambilnya ketiga biji dadu
itu dan seperti gerakan yang dilakukan Bu-ki tadi, ia melempar dadudadu
itu ke dalam mangkuk sambil mengerahkan tenaga dalamnya
dan... ia mendapatkan angka enam sebanyak tiga biji.
Sebuah kepandaian melempar dadu yang hebat.
Bu-ki merasa sangat gembira, dia tahu sekaranglah saat
yang tepat untuk menunjukkan kebolehannya.

Dia bersama Chee Kongcu masing-masing melempar satu
kali dadu dan sama-sama menghasilkan angka enam, maka
lemparan dadu kembali diulang.
Sudah enam kali mereka saling melempar dadu, namun
angka yang diperoleh tetap sama-sama angka enam. Kejadian ini
menyulut kehebohan, para penjudi lainnya berbondong-bondong
mengerubungi meja itu dan ikut menyaksikan pertarungan ini.
Sekarang adalah lemparan yang ketujuh, Bu-ki tahu inilah
saatnya untuk beraksi, apalagi ulahnya telah berhasil menarik
perhatian orang banyak, maka ketika dua dadu yang dilempar
kongcu itu mendapat angka enam, diam-diam ia mengerahkan
tenaga dalamnya dan menambahi tenaga pukulan dadu ketiga
secara diam-diam.
Dadu itu berputar lebih kencang, ketika akhirnya terhenti
ternyata angkanya adalah lima.
Berubah hebat paras muka Chee Kongcu, tapi hanya sejenak
kemudian sudah pulih lagi seperti sediakala, hanya saja diam-diam
dia mengawasi lawannya dengan lebih seksama.
Ketika tiba giliran Bu-ki yang melempar dadu, tentu saja
angka yang diperolehnya adalah tiga angka enam.
Uang sebesar delapanpuluh ribu tahil perak pun berubah
jadi seratus enampuluh ribu tahil perak.
Tak lama kemudian uang itu kembali membengkak jadi
tigaratus duapuluh ribu tahil perak.
Dalam keadaan begini Chee Kongcu mulai kehilangan
ketenangan hatinya, peluh mulai bercucuran membasahi dahinya.
Kini uang taruhan sudah meningkat menjadi enamratus
empat-puluh ribu tahil perak. Ini menunjukkan bahwa bandar lagilagi
menderita kekalahan! Bukan saja peluh telah membasahi
jidatnya, bahkan telapak tangannya mulai basah dan gemetar,
meskipun sudah memegang dadu namun sampai lama sekali belum
berani juga melemparnya.
Bukan saja ia tak berani melemparkan dadu itu sebaliknya
malah celingukan ke sana kemari, seperti sedang menunggu
kedatangan seseorang untuk membebaskan dirinya dari kesulitan.
Siapa yang ia tunggu? Dengan cepat jawaban diperoleh
karena seorang kakek berambut putih tampak sedang berjalan
menghampiri mejanya.

Begitu melihat kemunculan kakek itu, Chee Kongcu kelihatan
mulai lega dan segera menghembuskan napas panjang.
Menyaksikan hal ini tanpa terasa Bu-ki turut mengalihkan
perhatiannya ke wajah orang tua itu.
“Ayah!” Chee kongcu segera berseru kegirangan.
Ternyata orang tua ini adalah tauke yang sebenarnya dari
rumah judi Hap-hin-ho.
Dalam hati Bu-ki tertawa dingin. Dia tak bakal takut
menghadapi siapa pun, meski saat itu ada tiga batang jarum yang
dilontarkan ke arah mangkuk di atas meja judi. Sebatang demi
sebatang datang saling susul, semuanya terarah ke dadu-dadu yang
ada dalam mangkuk dan kelihatannya datang dari arah yang
berbeda-beda!
Menyusul kemudian tampak Chee Tauke menyambar
mangkuk itu, tangan kanan menahan dasar mangkuk sementara
tangan kiri disilangkan di depan dada, perlahan ia duduk di
bangkunya.
Tampak ketiga batang jarum itu masing-masing menembusi
dadu dalam mangkuk sampai tembus ke baliknya. Tiga batang jarum
dengan tiga dentingan, semuanya tembus dari dadu sampai tembus
di dasar mangkuk.
Yang lebih mengerikan lagi adalah bahwa ketiga batang
jarum itu mampu menembusi dasar mangkuk porselen itu dan
memantek tepat di tengah-tengahnya.
Serangan yang tepat, ketajaman mata yang hebat dan
tenaga dalam yang sempurna, tak kuasa semua yang hadir
bersorak-sorai memuji.
Bukan hanya penonton yang bersorak, bahkan Bu-ki sendiri
mau tak mau harus memuji kehebatan kakek itu.
“Sekarang giliranmu,” ujar Chee Tauke kemudian sambil
menyodorkan mangkuk itu ke depan Bu-ki.
Kini sorot mata semua orang dialihkan kepada anak muda
itu, semua orang ingin tahu dengan cara apa Bu-ki akan
memenangkan pertaruhan itu.
Sekulum senyuman menghiasi wajah Chee Tauke, memang
dia tak mampu lagi membendung kegirangannya, sebab saat ini dia
sudah
berada dalam posisi tak terkalahkan apalagi dia telah
menggunakan jarum panjang menembusi dadu-dadu itu kemudian

memanteknya menjadi satu, bagaimana mungkin dadu itu bisa
berubah lagi?
Dengan cara apa Bu-ki akan mengatasi tantangan itu?
Semua orang yang hadir di arena mulai menguatirkan
nasibnya.
Di saat Chee Tauke sedang melemparkan dadunya, Wi
Hong-nio pun sedang menanti dengan perasaan gelisah bercampur
cemas.
Sungguh aneh dan mengherankan, sepanjang hari, benar
seperti apa yang dikatakan Tong Hoa, tak nampak seorang pun yang
melewati tempatku.
Tong Hoa benar-benar menepati janjinya, dia hanya duduk
bersemedi di dalam kereta dan sama sekali tidak memedulikan
keadaan di luar.
Wi Hong-nio sudah tak sanggup menahan diri lagi, tiba-tiba
teriaknya keras, “He!”
“Ada apa?” dengan malas-malasan Tong Hoa menggeliat lalu
pelan-pelan bangun duduk.
“Aku tak ingin menunggu lagi!”
“Tidak menunggu lagi? Lantas apa yang akan kau lakukan?”
“Aku mau pergi saja!”
“Pergi? Lewat jalan yang mana?”
“Kau berharap aku lewat jalan yang mana?” Wi Hong-nio
balik bertanya.
“Aku?” untuk sesaat Tong Hoa pun tak tahu bagaimana
harus menjawab, setelah berpikir sejenak baru sahutnya, “kalau aku
sebenarnya berharap kau memilih jalan yang kiri.”
“Kenapa?”
“Kenapa?” Tong Hoa menggaruk-garuk kepalanya yang tak
gatal, “tidak karena apa-apa, aku hanya menyampaikan harapanku
saja.”
“Baiklah! Kalau begitu kita menuju jalan yang menjadi
harapanmu itu!”
Tong Hoa melengak.
Sebenarnya semua ini merupakan satu pertarungan mental,
tujuan Wi Hong-nio adalah ingin menyelidiki niat Tong Hoa.
Andaikata pemuda itu memberikan jawaban sekenanya setelah
ditanya, hal ini menandakan kalau jalan itu sudah pasti tidak tembus
ke Benteng Siangkoan-po.

Tapi nyatanya Tong Hoa baru menjawab setelah
mempertimbangkannya beberapa saat, ini menunjukkan kalau dia
pun sedang menduga-duga bagaimana reaksi dirinya setelah
mendengar jawaban tersebut. Atau dengan kata lain, bisa jadi jalan
tersebut adalah jalan yang benar. Dia sengaja mengatakan kalau
jalan itu adalah jalanan yang dia harapkan, tujuannya jelas untuk
mengalihkan pikirannya agar dia mengambil jalan yang lain.
Sayang Wi Hong-nio kalah pengalaman, sekarang ia masuk
perangkap, justru dia digiring untuk memilih jalan yang memang
menjadi harapan Tong Hoa.
Apakah jalan yang dipilih Tong Hoa adalah jalan yang
benar? Kecuali Tong Hoa sendiri, tak ada yang tahu.
Memandang Tong Hoa yang masih termangu, kembali Wi
Hong-nio menegur, “Bagaimana? Kau batal untuk pergi?”
“Siapa bilang tak mau pergi? Ayoh jalan, kita lanjutkan
perjalanan!”
Jawaban dari Tong Hoa membuat perasaan Wi Hong-nio
semakin tenang, dia mengira pilihannya sudah tepat.
Dengan lagak seolah-olah berat hati Tong Hoa naik kembali
ke posisi kusir dan perlahan-lahan menjalankan lagi kereta kudanya.
“Ada apa? Kenapa begitu lambat?” kembali nona itu
menegur.
“Suasana gelap gulita, berbahaya sekali nona.”
“Berbahaya? Aku lihat kau memang sengaja memperlambat
jalanmu, sengaja mengulur waktu bukan?”
“Kenapa aku mesti mengulur waktu?”
“Sebab kau tahu kalau jalan ini menuju ke benteng
Siangkoan-po!”
Tong Hoa tidak menjawab, ia membungkam diri dalam
seribu bahasa.
“Benar bukan?” desak Wi Hong-nio lebih jauh.
“Kalau kau menganggap benar, ya benar. Tapi terus terang,
aku berbuat demikian hanya karena memikirkan keselamatanmu!”
“Hmm! Hanya setan yang mau percaya!” walaupun di mulut
ia tetap ngotot, namun perempuan itu pun tahu kalau perjalanan
memang tak bisa dilakukan cepat karena permukaan tanah memang
bergelombang.
“Kau merasa gembira sekarang?” tanya Tong Hoa kemudian
ketika didengarnya gadis itu mulai bersenandung kecil.

“Tentu saja gembira, aku berhasil menebak isi hatimu, tentu
saja aku jadi gembira.”
“Aku rasa lebih baik kau pergi tidur saja, esok kau akan
mengetahui dengan jelas apa yang terjadi.”
“Hmm, baiklah, aku akan pergi tidur, tapi ingat, jangan
berputar haluan!”
“Memangnya aku manusia kerdil macam begitu?”
“Moga-moga saja memang bukan.”
Kereta kuda melanjutkan perjalanan sangat lambat, tapi Wi
Hong-nio segera terlelap tidur. Sewaktu ia bangun dari tidurnya,
matahari sudah bersinar terang sementara kereta masih bergerakgerak
tiada hentinya.
Baru saja dia melompat bangun, tiba-tiba kereta itu
berhenti.
Buru-buru dia melongok keluar, tapi yang terlihat
membuatnya kembali tertegun.
Ternyata di hadapannya muncul lagi persimpangan jalan,
satu mengarah ke kiri yang lain menuju ke kanan.
Tong Hoa tahu gadis itu sudah mendusin, maka ujarnya
sambil tertawa, “Coba kau berpalinglah dan tengok ke belakang!”
Ketika gadis itu berpaling, lagi-lagi dia terperangah.
Ternyata di belakang tubuhnya terbentang pula tiga jalan, tempat
mereka berhenti saat itu tepat berada di tengah simpang lima itu.
“Apa yang terjadi?” tak tahan ia bertanya.
“Tadi kita berjalan melalui jalanan yang itu,” ujar Tong Hoa
sambil menuding jalan di belakangnya, “sementara dua jalan yang
lain adalah jalan yang hendak kau pilih kemarin.”
“Maksudmu ketiga jalan itu semuanya tembus balik ke sini?”
“Benar.”
“Bagaimana sih kamu ini? Kau tahu, perbuatanmu telah
membuang banyak waktuku?”
“Tentu saja tahu, sebab memang itu tujuanku!”
“Kau....” Wi Hong-nio hanya mengucapkan sepatah kata dan
segera membungkam diri, dia tahu tak ada gunanya marah-marah
pada Tong Hoa pada saat seperti ini, yang paling penting adalah
bagaimana caranya agar bisa tiba di Siangkoan-po secepatnya.
“Dari sisa dua jalan yang ada, jalan mana yang betul?”
tanyanya kemudian.
“Jalan di sebelah kiri.”

“Kau tidak menipuku?”
“Aku tak akan menipumu.”
“Kenapa?”
“Sebab bila kita menempuh perjalanan tanpa berhenti,
paling tidak malam nanti kita baru bisa tiba di Siangkoan-po!”
“Sungguh?”
“Aku berani bersumpah.”
“Kalau begitu kita lewat jalan sebelah kiri.”
“Aku usulkan lebih baik kita sarapan dulu.”
“Tidak... Aku sangat gelisah, lebih baik segera lanjutkan
perjalanan!”
“Menurut perhitunganku, biar lebih awal tiba di situ pun tak
ada gunanya, paling banyak kau hanya akan mengurus sesosok
mayat, kenapa mesti terburu-buru?”
“Kau...” kali ini Wi Hong-nio hanya mengucapkan sepatah
kata dan tidak dilanjutkan lagi. Ia cukup memahami watak Bu-ki,
setelah tahu kalau Sangkoan Jin adalah pembunuh ayahnya,
pemuda itu pasti tak akan menunda sedikit waktu pun untuk pergi
mencari musuhnya dan berusaha membunuhnya.
Berpikir sampai di situ, dia mulai merasa bahwa apa yang
dikatakan Tong Hoa cukup masuk di akal, buat apa ia terburu-buru
tiba di tujuan kalau hanya untuk mengurusi mayat Sangkoan Jin?
Apalagi meski terburu-buru sampai di sana, nasi toh sudah berubah
jadi bubur, Bu-ki tetap sudah melakukan kesalahan besar, bila dia
mengungkap kejadian yang sebenarnya, bukankah hal ini malah
akan membuat pemuda itu merasa menyesal sepanjang masa?
Tentu saja dia tak ingin kekasihnya menderita.
Kalau memang demikian, lalu apa gunanya terburu-buru
melanjutkan perjalanan?
Berpikir sampai di situ, akhirnya dia pun mengangguk,
“Baiklah, kita sarapan dulu!”
“Jadi pikiranmu sudah terbuka sekarang?” tanya Tong Hoa
sambil tertawa puas.
Wi Hong-nio mengangguk pelan.
“Padahal, tidak seharusnya kau datang ke Siangkoan-po,”
kembali Tong Hoa berkata. “Kenapa?”
“Sebab bila kau bertemu Bu-ki, dia pasti akan bertanya, ada
urusan penting apa hingga kau datang menyusulnya.”
“Lantas bagaimana?”

“Kehadiranmu menunjukkan kalau kau punya urusan penting
yang akan disampaikan kepadanya,” ujar Tong Hoa lebih jauh sambil
menatap tajam perempuan itu, “Apakah kau sanggup membuat
sebuah karangan cerita untuk membohonginya?”
Wi Hong-nio termenung tanpa bicara, sejujurnya,
mampukah dia mengelabui Bu-ki?
“Kalau tak mampu mengelabui dia, berarti kau harus
menceritakan duduk perkara yang sebenarnya,” ujar Tong Hoa lebih
jauh, “padahal ia sudah terlanjur membunuh Sangkoan Jin, apakah
pengakuanmu tidak malah membuat hatinya makin tersiksa dan
menderita?”
Apa yang diucapkan Tong Hoa benar dan sangat masuk di
akal, dia memang tak boleh menjumpai Bu-ki. Yang benar dia harus
balik ke Gedung Keluarga Tio, berlagak seolah-olah tak ada kejadian
apa-apa sambil menunggu kedatangan pemuda itu.
Tapi, andaikata Sangkoan Jin berhasil membunuh Bu-ki?
Perasaan Wi Hong-nio sangat kalut, ia bingung, gelisah dan cemas.
“Kau kuatir yang mati adalah Bu-ki?” tiba-tiba Tong Hoa
bertanya lagi.
Wi Hong-nio tidak menjawab, dia tak ingin mengucapkan
kata-kata yang bisa mendatangkan sial ke alamat kekasihnya.
“Kalau memang itu kekuatiranmu, baiklah, mari kita
berangkat ke sana untuk mengurusi jenasahnya!”
“Tidak! Bu-ki tak bakal mati!” teriakannya mendadak
bertambah keras, saking kerasnya nyaris membuat dia sendiri kaget.
“Bila kau yakin kalau dia tak bakal mati, seharusnya pulang
saja ke rumah dan menunggu kedatangannya di sana.”
Wi Hong-nio bertambah sangsi, untuk sesaat dia tak tahu
bagaimana harus memutuskan hal ini.
Bab 18. Waktu: Mao-si, Tempat: Bukit Singa
Ketika Wi Hong-nio masih sangsi dan tak tahu bagaimana
harus mengambil keputusan, Tio Bu-ki telah menerima sepucuk
surat rahasia.
Kapan surat rahasia itu dikirim. Ia sama sekali tak tahu,
tatkala bangun dari tidurnya, di celah pintu kamarnya terselip
sepucuk surat, surat rahasia itu.

Dia tahu, surat itu tentu diselipkan secara diam-diam di
tengah malam buta.
Sesudah dibuka, ternyata surat dari Sangkoan Jin, isinya
amat singkat, hanya menerangkan kalau esok pada saat Mao-si
(antara pukul 5 s/d 7 pagi) dia ditunggu di Bukit Singa.
Dia mencoba membuka jendela sambil melongok keluar,
saat itu waktu sudah menunjukkan lewat pukul 7 pagi, ini berarti
Sangkoan Jin mengajaknya berjumpa esok pagi, bukan hari ini.
Tapi Bukit Singa di mana letaknya? Ia sama sekali tidak
risau, asal ditanyakan bukankah segera akan diketahui letaknya?
Mengapa Sangkoan Jin mengajaknya bertemu esok pagi dan
bukannya hari ini? Apakah hari ini dia ada urusan? Atau hari ini dia
tak mampu menghindari pengawasan orang-orang Keluarga Tong?
Semua ini tidak penting, yang paling penting saat ini adalah
mencari tahu Bukit Singa itu sebenarnya bukit seperti apa? Cocokkah
digunakan untuk bertempur menggunakan pedang?
Ia memutuskan untuk datang ke Bukit Singa dan memeriksa
keadaannya.
Ia memanggil pelayan, menanyakan letak Bukit Singa,
memesan sekati daging dan delapan biji mantau untuk menangsal
perut.
Dia memang perlu makan agak banyak, sebab semalam ia
sudah menghamburkan banyak tenaga untuk bertarung melawan
Chee Tauke, pemilik rumah judi.
Jurus yang digunakan Chee Tauke memang sangat lihay,
sedemikian hebatnya sampai Bu-ki mau tak mau harus bersorak
memuji.
Sebenarnya dia akan mengaku kalah begitu saja karena
tujuan kedatangannya bukan mencari keuntungan materi tapi untuk
memancing perhatian orang banyak. Asal mulai menarik perhatian
orang, pasti akan ada yang melaporkan kehadirannya kepada
pemimpin mereka, dan pemimpin mereka adalah Sangkoan Jin. Asal
Sangkoan Jin tahu, dia pasti akan berusaha menghubunginya.
Tadi ia sempat melihat kalau Chee Tauke membisikkan
sesuatu ke telinga seseorang dan orang itu segera meninggalkan
rumah judi Hap-hin-ho begitu mendapat kisikan. Ia yakin orang itu
pasti sudah pergi memberi laporan.
Oleh sebab itu menang kalah dalam pertaruhan ini sudah tak
ada artinya lagi.

Tapi jurus yang digunakan Chee Tauke membangkitkan rasa
herannya, ia jadi ingin tahu dan ingin mengalahkannya. Yang
membuat rasa ingin menangnya muncul adalah tantangan dari
lawannya, masa ia tak bisa memenangkan pertaruhan itu?
Dorongan rasa ingin tahu membuat pemuda ini memutar
otak mencari akal, cara dia bisa memenangkan taruhan ini.
Dia menyambut sodoran mangkuk dari tangan Chee Tauke,
mengawasi tiga batang jarum panjang yang menembusi dadu-dadu
itu sambil otaknya mulai berputar. Dia ingin menemukan cara paling
jitu untuk melemparkan tiga angka enam dalam lemparan berikut.
Dengan tangan kiri memegang mangkuk, tangan kanannya
mencabuti ketiga batang jarum itu kemudian diserahkan kembal i ke
tangan Chee Tauke.
Dengan perasaan puas bercampur bangga orang tua itu
mengawasi lawannya. Tiba-tiba Bu-ki merasa senyuman orang itu
amat memuakkan, dia muak melihat tampang lawannya yang seolah
sudah yakin kalau kemenangan berada di pihaknya.
Hanya muak saja tak ada gunanya, dia harus menemukan
cara untuk mengatasi kesulitan itu, ia mencoba perhatikan sekeliling
arena. Ada sebagian orang sedang memandangnya dengan
perasaan simpatik, ada pula yang memandang setengah mengejek,
seakan menertawakan kekalahan yang bakal dialaminya.
Ketika berpaling lagi ke arah Chee Tauke, ia melihat
senyuman kakek itu semakin melebar, terdengar ia sedang berseru,
“Ayoh, silahkan!”
Bu-ki termenung sejenak, tiba-tiba ia menemukan satu
gagasan bagus.
“Kau memang sangat lihay,” katanya kemudian. “Ehmm...”
“Sayang aku mempunyai jurus yang jauh lebih hebat.”
“Oh ya?” Chee Tauke menunjukkan rasa tak percaya, “Orang
muda, tak ada gunanya kalau hanya melulu omong besar, tunjukkan
dulu kebolehanmu!”
“Kau tak percaya?”
“Tentu saja tak percaya!”
“Bagus, kalau begitu bagaimana kalau kita lipat duakan uang
taruhan?”
Chee Tauke agak tertegun, setelah mengamati lawannya
sejenak ia baru menyahut, “Baik!”
“Tapi kita mesti mengganti cara kita berjudi!”

“Ganti cara? Bagaimana gantinya?”
“Kalau aku bisa mendapat tiga angka enam, bukankah
hasilnya seni?”
“Tentu, di sini tak berlaku bandar paling menang!”
“Berati kita tidak bisa menentukan siapa menang siapa
kalah.”
“Kenapa?”
“Sebab aku tak pernah salah perhitungan!”
“Jadi kau sangat yakin?”
“Tentu saja, kendati kau sudah melubangi setiap dadu
sehingga bobotnya berubah, aku tetap punya cara untuk
mendapatkan tiga angka enam!”
“Lantas kau ingin menang kalah ditentukan dengan cara
apa?”
“Setelah kulempar dadu itu, bukan saja kujamin akan
mendapatkan tiga angka enam, bahkan aku pun berani bertaruh jika
kau melemparkan dadu itu lagi, kau pun akan peroleh tiga angka
enam.”
“Omong kosong, memangnya aku mesti pilih angka yang
lain?”
“Maksudku, kecuali mendapatkan tiga angka enam, kau tak
nanti bisa mendapatkan angka yang lain!”
“Oh ya?”
“Jika kau bisa memperoleh angka selain tiga angka enam,
anggap saja aku yang kalah!”
Tampaknya Chee Tauke mulai tertarik, ditatapnya Bu-ki
lekat lekat.
“Bila lemparanmu kembali menghasilkan tiga angka enam,
berarti akulah yang menang,” kembali anak muda itu berkata.
Mendadak Chee Tauke mendongakkan kepalanya dan
tertawa terbahak-bahak.
“Ha ha ha... anak muda, kali ini kau akan kalah dengan
menyedihkan!”
Bu-ki tidak bicara, dia hanya tersenyum.
“Tak ada gunanya kalau cuma tersenyum!” Chee Tauke
segera berpaling ke arah para penonton, kemudian terusnya, “Bukan
begitu saudara sekalian?”
Semua orang segera mengiakan.

“Apakah kalian ingin turut bertaruh?” kembali Chee Tauke
bertanya.
“Bertaruh apa?” ada yang tanya.
“Bertaruh siapa di antara kami berdua yang bakal menang!”
“Tentu saja Chee Tauke yang bakal menang!”
“Ada yang berani pegang aku kalah?” Tak ada yang
menjawab.
“Berarti kalian semua bertaruh kalau Chee Tauke yang bakal
menang?” sela Bu-ki tiba-tiba.
“Tentu saja!” serentak semua orang berseru.
“Kalau begitu kalian boleh pasang taruhan, aku akan
bertaruh melawan kalian!”
“Sungguh?” kembali semua orang berseru.
“Tentu saja sungguh!”
Maka para penonton pun mulai berbisik-bisik, ada yang
mulai mengira-ngira ilmu simpanan apa yang akan digunakan
pemuda itu, ada pula yang menilai tindakan orang ini kelewat
goblok. Sebanyak apa pun pendapat dan pandangan orang tapi
tindakan yang mereka lakukan ternyata sama dan seragam.
Mereka mengeluarkan seluruh uang yang ada di dalam saku
untuk dipertaruhkan.
Meja judi nyaris tak muat untuk menampung semua uang
taruhan itu.
Tiba-tiba Chee Tauke mengulapkan tangannya memberi
tanda agar semua orang tenang, kemudian kepada pemuda yang
ada di hadapannya dia bertanya, “Memangnya kau sanggup
membayar semua taruhan ini?” Bu-ki tertawa, dari sakunya dia
mengeluarkan sekeping goanpo dari emas, sambil diletakkan ke
meja tanyanya, “Cukup tidak emas ini?”
Kembali Chee Tauke menyapu sekejap hancuran uang perak
yang berserakan di meja, tanyanya lebih jauh, “Seandainya tidak
cukup?”
“Kalau tidak cukup, kita bagi rata sama uang emas itu,” ada
yang mengusulkan.
Semua orang berpendapat bahwa pertaruhan ini jelas akan
mereka menangkan, ketimbang tak ada yang dibagi, peroleh sedikit
keuntungan pun tidak apa-apa, maka serentak semua orang
menyatakan setuju.

“Baiklah,” kata Bu-ki lagi sambil tertawa, “kalau toh semua
orang berbesar hati, aku pun akan memberi sedikit keuntungan
untuk kalian semua, seandainya aku yang menang maka aku hanya
akan mengambil sepuluh persen dari uang taruhan kalian!”
Sekali lagi terjadi kegaduhan, malah ada di antaranya yang
sudah mengulurkan tangannya untuk menarik kembali uang
taruhannya.
Mereka agak grogi juga setelah menyaksikan keyakinan
pemuda itu, tak mungkin di dunia ini ada orang yang mau bertaruh
jika yakin pasti akan kalah.
Menyaksikan kegaduhan itu, buru-buru Chee Tauke berseru,
“Kalian tak usah kuatir, seandainya kalian kalah, aku bilang
seandainya, biarlah aku yang membayar sepuluh persen yang
menjadi tanggung jawab kalian semua.”
Begitu perkataan tersebut diutarakan, sekali lagi terjadi
kegaduhan, siapa yang tak ingin ikut dalam pertaruhan yang jelas
tak bakal rugi ini!
“Apakah kami masih boleh menambah uang taruhan?” ada
yang tanya.
Sorot mata semua orang dialihkan ke wajah Bu-ki, sambil
tersenyum sahut anak muda itu, “Lebih baik kalian tanyakan saja
persoalan ini kepada Chee Tauke.”
“Kenapa mesti ditanyakan Chee Tauke?”
“Sebab ketika tiba saatnya untuk membayar, dia yang akan
merogoh koceknya, bukan aku!”
Chee Tauke tak kuasa menahan diri lagi, ia segera tertawa
terbahak-bahak, “Ha ha ha ha... silahkan kalau ada yang ingin
menambah uang taruhannya, cuma aku lihat sekeping uang emas
tak nanti mampu membayar seluruh taruhan yang ada!”
Bu-ki memandang sekejap uang taruhan yang semakin
menggunung itu, katanya kemudian, “Baiklah, akan kutambah lagi
dengan semacam barang.”
Sambil berkata dari sakunya dia mengeluarkan sebilah pisau
yang sangat kecil, di bawah sinar lentera pisau itu memantulkan
cahaya kekuning-kuningan yang amat menyilaukan mata.
Sebilah pisau kecil yang terbuat dari emas murni, selain
amat tipis, tajamnya luar biasa.
“Pisau yang hebat!” tak kuasa Chee Tauke berteriak keras.
“Bernilai?”

“Sangat!”
“Cukup untuk membayar semua taruhan itu?”
“Cukup sekali!”
“Bagus kalau begitu,” seru Bu-ki sambil memasukkan
kembali pisau emasnya ke dalam saku.
“Kenapa tidak kau letakkan pisau kecil itu ke atas meja
taruhan?”
“Aku punya kegunaan lain.”
“Kau bermaksud ingkar janji?”
“Keliru besar, maksudku aku akan memanfaatkan pisau kecil
ini, bukankah kau boleh menggunakan jarum, tentu saja aku pun
boleh memakai pisau bukan?”
“Tentu saja.”
“Bagus, sekarang kalian boleh memasang taruhan.”
“Baik!” serentak para penonton menyahut, mereka ingin
melihat apa benar Bu-ki memiliki kemampuan untuk mengalahkan
Chee Tauke.
Bu-ki segera menggenggam dadu-dadu itu dan diletakkan
dalam genggamannya, kepada semua yang hadir serunya,
“Sekarang aku akan melempar dadu ini!”
Sambil menahan napas semua orang memperhatikan tangan
kanannya.
Bu-ki menarik napas panjang, tiba-tiba ia melemparkan
ketiga dadu itu ke atas udara, menyusul kemudian secepat kilat dia
cabut keluar pisau emasnya dari balik saku.
Dengan gerakan lurus dia melayang ke udara, menerjang ke
arah ketiga dadu itu. Di saat dadu-dadu meluncur ke bawah, pisau
emasnya menyambar ke kiri, kanan, atas dan bawah, secara
beruntun melepaskan lima tusukan.
Para penonton hanya menyaksikan pisau emas itu secepat
sambaran kilat memancarkan limabelas kali kilatan sinar
tajam, tahu-tahu Bu-ki yang sudah melayang turun telah memegang
mangkuk judi itu dan mengangkatnya ke atas.
Ting, ting, ting, tiga kali dentingan nyaring bergema di
angkasa, tahu-tahu ketiga biji dadu itu sudah jatuh kembali di dalam
mangkuk.
Untuk berapa saat suasana dalam ruang judi jadi hening,
perhatian semua orang dialihkan ke atas mangkuk yang berada di
atas kepala Bu-ki.

Anak muda itu sendiri berdiri dengan wajah serius, tiada
senyuman yang menghiasi bibirnya, karena apa yang dia lakukan
sekarang belum pernah ia lakukan sebelumnya, dia tak tahu apakah
berhasil atau tidak.
Perlahan-lahan ia turunkan mangkuk itu dan meletakkannya
ke meja.
Suasana mendadak menjadi riuh rendah, seruan tertahan
bergema memenuhi seluruh ruangan. Tiga biji angka enam!
Bukan saja tiga angka enam bahkan dengan sangat jelas
terlihat kalau Bu-ki telah memapas angka-angka lainnya di
permukaan dadu-dadu itu sehingga ukiran angka-angkanya sama
sekali terhapus.
Sebuah gerak serangan yang cepat, tenaga dalam yang
sempurna!
Setelah berseru tertahan kini perhatian semua penonton
dialihkan ke wajah Chee Tauke, mereka ingin tahu dengan cara apa
bandar judi itu akan menghadapi kesulitannya.
Berubah hebat paras muka Chee Tauke, dengan wajah hijau
membesi dia mengawasi ketiga dadu itu tanpa berkedip.
Apa yang dikatakan Bu-ki sangat tepat, mulai saat ini,
kecuali tiga angka enam, jangan harap Chee Tauke bisa memperoleh
angka lain.
Tak dapat disangkal Chee Tauke sudah kalah!
Semua orang tak berani berkata-kata, mereka memang tak
tahu harus mengucapkan kata apa. Dengan senyum dikulum Bu-ki
duduk kembali di bangkunya.
Tiba-tiba Chee Tauke mengangkat kembali wajahnya yang
hijau membesi, sambil memandang lawannya sekulum senyuman
tipis tersungging di ujung bibirnya.
Kenapa dia malah tersenyum? Bukan hanya Bu-ki yang ingin
tahu, para hadirin yang menonton keramaian pun ingin tahu.
Dengan senyuman menghiasi ujung bibirnya kembali Chee
Tauke berkata, “Kali ini kau pasti kalah!”
Bu-ki tidak berbicara, dia hanya putar otak tiada hentinya,
dalam keadaan apa ia baru bisa dianggap kalah?
“Aku beri tahu, dalam lemparanku berikut aku akan
mendapatkan dua angka enam ditambah satu angka satu, cukup
satu perubahan yang akan mengubah kekalahanku jadi
kemenangan, ha ha ha

Chee Tauke tertawa amat riang seakan kemenangan sudah
pasti akan diraihnya, terdengar ia berkata lagi, “Sekarang letakkan
pisau emasmu ke meja taruhan, karena aku akan membayarkan
kekalahanmu itu!”
“Tak usah terburu napsu,” jengek Bu-ki sambil tertawa
dingin, “hingga detik ini aku belum kalah!”
“Kau segera bakal kalah!”
Sambil berkata ia mengambil ketiga dadu yang tinggal angka
enamnya itu dan diletakkan dalam genggamannya. “Sekarang
perhatikan baik-baik!”
Sambil berkata kakek itu melemparkan ketiga biji dadu itu ke
tengah udara.
Tak ada yang tahu obat apa yang sedang dijual kakek itu,
jelas tinggal angka enam yang tersisa di permukaan dadu itu, mana
mungkin dia bisa mengubahnya jadi angka satu?
Sekalipun berpikir begitu namun tak seorang pun berani
bersuara, mereka hanya mengawasi semua kejadian dengan
seksama.
Ketiga dadu itu sudah mencapai puncak lemparan dan kini
mulai meluncur ke bawah.
Pada saat itulah mendadak Chee Tauke mengambil sebatang
jarum kemudian disambitkan ke atas, menyongsong datangnya
dadu-dadu itu.
Bersamaan dengan tindakan tersebut, Chee Tauke ikut
melejit sambil menyongsong arah meluncur jatuhnya jarum.
Tampaknya Bu-ki segera paham akan apa yang hendak dilakukan
Chee Tauke, dengan cepat dia mempersiapkan pisau emasnya.
Benar saja, begitu memungut jarum tersebut Chee Tauke
membalikkan badan seraya membuat satu tebasan ke permukaan
dadu yang sedang meluncur turun.
Kini semua orang mulai paham obat apa yang sedang dijual
Chee Tauke, ternyata dia ingin menggunakan jarumnya untuk
mengukir angka satu di dadu itu.
Sementara para penonton siap bersorak-sorai, mendadak
Bu-ki menyambitkan pisau emasnya ke depan, langsung menyambar
ke arah jarum kecil yang dilepas Chee Tauke itu.
“Bagus!” mendadak Chee Tauke berseru keras sambil
tertawa terbahak-bahak.

Sambaran pisau emas itu sangat tepat, begitu disambit ke
udara, jarum itu segera terhajar hingga mencelat ke samping.
Situasi semacam ini jelas sangat tidak menguntungkan
kakek itu, mengapa ia justru meneriakkan kata bagus?
Belum habis semua orang tertegun, tangan kiri Chee Tauke
kembali diayun ke depan melepaskan sebatang jarum lagi dan kali
ini jarumnya tepat menancap di salah satu dadu itu.
Rupanya orang tua itu sudah menduga kalau Bu-ki pasti
akan melemparkan pisau emasnya untuk menghalangi. Di saat ia
melambung ke udara tadi, diam-diam tangan kirinya mempersiapkan
lagi sebatang jarum, ketika perhatian semua orang tertuju pada
tangan kanannya, diam-diam ia menggunakan jarum di tangan
kirinya membuat ukiran angka satu di permukaan dadu, kemudian
baru menyambitkannya ke atas. Maka tanpa sempat dicegah oleh
Bu-ki lagi, terwujudlah angka 'satu' di dadu itu.
Dua biji dadu yang jatuh duluan tentu saja berangka enam,
tapi dadu yang jatuh belakangan ternyata berangka satu.
Apa yang dikatakan Chee Tauke memang tidak keliru, angka
satu telah mengubah posisi kalahnya menjadi posisi menang.
Semua orang bersorak-sorai kegirangan, sementara Chee
Tauke pun tertawa terbahak-bahak saking senangnya.
Bu-ki sudah kalah, namun ia tidak sedih atau murung
lantaran kejadian ini, malah sambil bertepuk tangan pujinya, “Hebat,
hebat, sungguh hebat! Sangat mengagumkan, kali ini aku harus
mengakui kekalahan!”
Selesai bicara ia lemparkan pisau emasnya ke meja dan siap
beranjak pergi dari situ.
“Tunggu dulu!” mendadak Chee Tauke menghalangi.
“Ada urusan lain?”
“Kau tak ingin mengembalikan kerugianmu?”
“Lain hari saja! Aku rasa nasibku hari ini kurang mujur, bila
bertaruh terus kekalahanku akan makin besar, bukan begitu?”
“Benar, tampaknya kau sangat memahami kebiasaan orang
berjudi, setiap saat akan kunantikan kedatanganmu!”
“Pasti!”
“Boleh tahu namamu?”
“Dalam perjudian hanya ada kata menang atau kalah, peduli
amat siapa namamu?”
“Ehmm, masuk di akal, boleh bersahabat denganmu?”

“Dalam arena perjudian tak kenal siapa ayah siapa anak, aku
rasa tak perlu,” kemudian sambil menjura kembali Bu-ki
menambahkan, “Selamat tinggal!”
Selesai berkata, tanpa berpaling lagi anak muda itu berjalan
meninggalkan rumah judi Hap-hin-ho.
Suara pujian dan helaan napas terdengar bergema dari
kerumunan orang banyak, mereka kagum atas kebesaran jiwa
pemuda itu, terutama keberaniannya mengakui kekalahan.
Tentu saja mereka tak tahu kalau tujuan kehadiran Bu-ki di
arena perjudian itu bukan untuk mencari kemenangan melainkan
agar Sangkoan Jin tahu akan kehadirannya, sehingga dia sama
sekali tidak mempersoalkan menang kalahnya, tak heran kalau sikap
dan penampilannya begitu santai dan tenang.
Balik kembali ke rumah penginapan, Bu-ki baru menyadari
kalau dia sudah menguras banyak tenaga untuk bertarung di arena
perjudian tadi, karena merasa sangat lelah maka begitu merebahkan
diri di ranjang, dia pun segera tertidur.
Saking nyenyaknya tidur, dia sampai tak tahu kalau ada
orang telah menyisipkan sepucuk surat ke kamarnya.
Untung saja si pendatang tidak bermaksud jahat, coba kalau
ia melepaskan bubuk pemabuk atau obat racun lainnya, niscaya saat
ini dia sudah mati secara mengenaskan.
Dalam perjalanan menuju ke Bukit Singa, Bu-ki terbayang
kembali kejadian yang dialaminya semalam, keteledoran ini
membuatnya termangu, berada di wilayah musuh, kenapa ia bisa
tidak meningkatkan kewaspadaan sendiri, bahkan berlaku begitu
ceroboh?
Tiba di Bukit Singa, ia menjumpai di puncak bukit itu
terdapat sebuah tanah datar yang cukup luas. Dia tahu, di sinilah dia
bakal menantang Sangkoan Jin untuk bertarung.
Ia suka tanah lapang yang luas, karena bila dipakai untuk
bertarung maka dia tak akan merasa tertekan atau terkekang gerakgeriknya.
Dia tak senang memakai perintang untuk memuluskan
serangannya, dia anggap pertarungan semacam ini bukan satu
pertarungan yang jujur, tapi cenderung main akal busuk dan tipu
muslihat. Selama hidup ia paling benci menggunakan akal busuk dan
tipu muslihat.

Dalam pandangannya, bila ingin bertarung, bertarunglah
secara jujur dan terbuka, penggunaan tipu muslihat meninggalkan
kesan curang, dia tak ingin melakukan perbuatan yang memalukan
seperti itu.
Walaupun ia sadar, kepandaian silatnya masih bukan
tandingan Sangkoan Jin!
Bab 19. Kejadian yang Sebenarnya
Ketika Bu-ki sedang melakukan peninjauan di sekitar Bukit
Singa, Wi Hong-nio pun sedang mengambil satu keputusan. Ia
putuskan untuk balik ke gedung keluarga Tio. Dia berpendapat
bahwa menyusul ke Siangkoan-po adalah tindakan bodoh, ia tak
ingin Bu-ki memikul beban berat, tak ingin pemuda itu merasa
menyesal sepanjang hidupnya.
Dia tak tahu, ketidakhadirannya di Siangkoan-po justru
merupakan tindakannya yang paling bodoh, tindakan yang membuat
Bu-ki harus menanggung sesal sepanjang hidupnya.
Tong Hoa sendiri tidak bermaksud membohonginya, dia
berpendapat meski menyusul ke Siangkoan-po pun tak ada gunanya
karena waktu itu Bu-ki pasti sudah selesai bertarung melawan
Sangkoan Jin, jadi bujukan itu sesungguhnya muncul dari niat
baiknya.
Dia sama sekali tidak tahu kalau waktu yang dijanjikan
Sangkoan Jin adalah esok, sebab dia selalu berpendapat, Bu-ki pasti
akan langsung menyerbu ke benteng Siangkoan-po untuk melakukan
pembalasan. Mimpi pun dia tak menyangka bahwa anak muda itu
ternyata lebih memilih beristirahat dulu semalam sebelum bertindak
lebih jauh.
Mungkin takdirlah yang telah mengatur semua ini hingga Wi
Hong-nio memutuskan untuk tidak berangkat ke Siangkoan-po. Bila
takdir telah berbicara begitu, siapa yang bisa merubahnya?
Bu-ki tak pernah kembali ke rumah penginapan, ia terus
berdiam di atas Bukit Singa karena ia telah menemukan sebuah batu
besar di tanah datar itu, batu besar yang cukup dipakai untuk
berbaring sepanjang hari.

Seharian ia berbaring di atas batu sambil mengawasi mega
yang bergerak di angkasa, menikmati waktu senggang sambil
mempersiapkan diri menghadapi pertarungan besok.
Dia suka dengan perasaan seperti ini, setiap kali hendak
melakukan pertarungan ia memang biasa menenangkan dulu
pikirannya, agar dalam pertarungan nanti, dia dapat menggunakan
segenap kekuatan yang dimilikinya.
Dalam suasana dan keadaan seperti inilah, tanpa terasa Buki
mulai tertidur.
Ketika sadar kembali, bintang telah bertaburan di angkasa,
indah sekali.
Agak termangu dia mengamati sejenak bintang di langit,
baru kemudian duduk bersila dan mulai mengatur napas. Ketika
terjaga untuk kedua kalinya, fajar telah menyingsing.
Bu-ki segera bangkit berdiri, mengambil pedangnya,
melompat turun dari batu cadas dan menuju ke jalan masuk menuju
ke Bukit Singa.
Ia berdiri tegak di tengah jalan, mengawasi setiap gerakan
di seputar tempat itu.
Entah berapa saat sudah lewat, akhirnya ia menyaksikan
sesosok bayangan manusia sedang bergerak mendekat. Tak salah
lagi, orang itu adalah Sangkoan Jin.
Ia segera berlalu, berjalan menuju tanah lapang yang telah
dilihatnya kemarin dan memilih posisi bagian tengah sebelah kanan
untuk bersiap sedia.
Sangkoan Jin segera menyusul tiba.
Ia berjalan sampai di hadapan pemuda itu dan baru berhenti
setelah mencapai jarak satu tombak, tanyanya, “Apakah
kedatanganmu untuk mencari aku?” Bu-ki mengangguk.
“Ada urusan penting?”
“Ada!”
“Apa urusanmu?”
“Datang membunuhmu!”
Bu-ki sangat tenang, suaranya juga tenang, membuat dia
mau tak mau harus memuji ketenangan penampilannya sekarang.
Sangkoan Jin sendiri bersikap sangat tenang, dia hanya
menyahut, “Oh ya?”
Kemudian mereka berdua diam, sama-sama membungkam,
sama-sama saling memandang.

Sampai lama kemudian Sangkoan Jin baru bertanya,
“Kenapa?”
“Karena kau telah membunuh ayahku!”
“Bukankah kau sudah tahu tentang siasat Harimau Kemala
Putih?”
“Benar, tapi aku tak tahu kalau di balik rencana tersebut
ternyata masih ada rencana lain, Naga Kemala Putih!”
“Naga Kemala Putih?”
“Benar, kau pasti tercengang bukan? Dari mana aku bisa
mengetahui tentang rencana ini?”
“Betul, aku memang amat tercengang, rencana apa pula
itu?”
“Masa kau tidak tahu?”
“Aku memang tidak tahu.”
“Sangkoan Jin, kau tak perlu berlagak pilon lagi!” nada suara
Bu-ki mulai bergolak, mulai dipengaruhi emosi, “Kau telah
membunuh ayahku secara licik!”
“Aku tidak mengerti apa yang sedang kau bicarakan...”
“Kau telah meracuni ayahku secara perlahan-lahan,
menggunakan racun yang bersifat lambat, itulah sebabnya ayahku
menderita penyakit yang tak bisa disembuhkan. Dengan begitu kau
baru memperoleh kesempatan untuk menjalankan rencana Harimau
Kemala Putih. Padahal sejak awal kau sudah berniat mengkhianati
Tayhong-tong, kau sudah berencana untuk bergabung dengan
Benteng Keluarga Tong, bukan begitu?”
Sangkoan Jin membelalakkan matanya lebar-lebar,
diawasinya wajah pemuda itu sampai lama sekali, kemudian ia baru
bertanya lagi, “Kau punya bukti?”
“Punya!”
“Di mana?”
“Dalam buku harian ayahku!”
“Buku harian ayahmu?” Sangkoan Jin bertanya keheranan,
“Ayahmu pernah menulis buku harian?”
“Rupanya kau pun tidak tahu soal ini? Betul, persoalan ini
merupakan rahasia ayahku, semua kecurigaan dan kesaksiannya
telah dia catat dalam buku harian itu.”
“Dan kau percaya?”
“Tidak ada alasan bagiku untuk tidak percaya!”

“Maka kau datang untuk membunuhku, membalaskan
dendam bagi ayahmu?”
“Benar!” jawaban Bu-ki kali ini diucapkan sangat tenang,
“tapi aku akan memberi kesempatan yang sangat adil untukmu, kita
bisa bertarung di tempat ini.”
Seraya berkata dia mulai menghimpun tenaga dalamnya,
bersiap melancarkan serangan.
Sangkoan Jin tertawa, kesedihan dan perasaan apa boleh
buat terselip di balik senyuman itu, hanya saja Bu-ki tidak melihat
atau merasakannya.
Sangkoan Jin tahu, kejadian ini pasti merupakan rencana
busuk Keluarga Tong. Dia tahu, tak ada gunanya ia menjelaskan
persoalan ini kepada anak muda tersebut, tak mungkin Bu-ki mau
percaya pada semua omongannya.
Lantas apa daya sekarang? Menerima tantangan Bu-ki untuk
bertarung? Bertarung mati-matian? Seandainya dia memperoleh
peluang untuk menang, tegakah dia membunuh Bu-ki?
Kalau tidak melakukan perlawanan, apakah dia mandah
dibunuh? Mati terbunuh di tangan Bu-ki sambil membawa kesalahan
dan dosa yang sesungguhnya tak pernah ia lakukan?
Untuk beberapa saat Sangkoan Jin merasa bingung, dia tak
tahu apa yang mesti dilakukan.
Sewaktu naik ke bukit tadi, dia memang sengaja tidak
membawa senjata, bagaimana pun tujuan kedatangannya memang
bukan untuk bertarung, namun setelah melihat Bu-ki meloloskan
pedangnya, mau tak mau dia mulai mencoba untuk menghimpun
tenaga dan bersiap sedia.
Begitu dia coba mengerahkan tenaga, saat itu juga ia
menemukan sesuatu yang tak beres, ternyata ia tak mampu lagi
menghimpun tenaga dalamnya.
Kenapa bisa begini? Paras mukanya berubah hebat, ia mulai
membayangkan kembali semua kejadian yang dialaminya selama
beberapa hari terakhir.
Dia masih ingat, semenjak kedatangan putrinya di benteng
Siangkoan-po, dia tak pernah menghimpun tenaga dalamnya lagi,
hal ini membuktikan kalau masalah ini muncul pada saat ini, saat
setelah kehadiran putrinya.

Mendadak perasaan hatinya tercekat, hawa sedingin salju
mendadak muncul dari telapak kakinya dan langsung menerjang ke
rongga dada.
Selama ini dia sudah cukup waspada, cukup berhati-hati
menjaga kemungkinan niat keluarga Tong untuk meracuninya, satusatunya
hal yang tak pernah dia risaukan selama ini adalah kuah
jinsom yang dihidangkan putrinya sesaat sebelum ia pergi tidur.
Mungkinkah putrinya yang telah meracuni dia?
Apakah Siangkoan Ling-ling sudah berpihak kepada Keluarga
Tong? Tidak, tidak mungkin, sudah pasti pihak keluarga Tong yang
telah mencampuri kuah jinsom itu dengan racun di saat Siangkoan
Ling-ling tidak ada.
Mendadak dia seperti memahami semua rencana busuk yang
sedang dipersiapkan Benteng Keluarga Tong. Jelas tujuan Keluarga
Tong adalah meminjam tangan Bu-ki untuk menyingkirkan dirinya.
Rencana busuk yang mereka rencanakan merupakan sebuah
rencana berantai, mula-mula mereka merekayasa satu cerita agar
Bu-ki salah paham dan menyangka dialah pembunuh ayahnya,
kemudian meminjam tangan Ling-ling untuk mencampur racun ke
dalam kuah jinsom, agar tenaga dalamnya lenyap, dengan keadaan
seperti ini Bu-ki pasti dapat mengalahkan dirinya tanpa harus
bersusah payah.
Menilik semua tindakan yang dilakukan Keluarga Tong,
semua ini membuktikan bahwa sejak awal mereka berencana untuk
melenyapkan dirinya dan ingin memperalat Bu-ki untuk mencapai
tujuannya. Mereka tak ingin turun tangan sendiri, kuatir
perbuatannya akan berakibat orang lain enggan bergabung dengan
mereka.
Begitu memahami apa yang telah terjadi, perasaannya
malah semakin lega, ia tak takut menghadapi kematian namun dia
tak ingin mati dengan cara begini, dia harus membuat perhitungan
dengan Keluarga Tong, atau dengan perkataan lain dia tak ingin
mati saat ini.
Berpikir sampai di situ, ia pun berkata, “Bagaimana kalau
pertarungan ini sementara kita tunda dulu?”
“Tidak bisa.”
“Biarpun aku meminta sebagai paman Siangkoan?”
“Kau sudah bukan pamanku lagi!”
“Kau tidak takut menyesal?”

“Apa yang perlu kusesalkan?”
“Kau tidak kuaur sudah terjebak rencana keji yang disusun
Benteng Keluarga Tong?”
Bu-ki melengak kemudian memandang wajah Sangkoan Jin
dengan termangu.
“Pernahkah kau bayangkan,” kembali Sangkoan Jin berkata,
“Benteng Keluarga Tong ingin melenyapkan aku tapi tak leluasa
untuk
turun tangan sendiri, mereka kuatir di kemudian hari tak ada
yang mau bergabung lagi, maka mereka merencanakan siasat ini
agar kau yang membunuhku?”
“Kemungkinan semacam ini memang selalu ada, hanya saja
aku tak percaya.”
“Kenapa?”
“Sebab cara ini kelewat bodoh.”
“Apa dasarnya kau berkata begitu?”
“Kepandaian silatmu jauh di atas kemampuanku,
memperalat aku untuk membunuhmu, apakah tindakan ini tidak
kelewat bodoh?”
“Kalau sudah tahu begitu, kenapa kau tetap datang
mencariku?”
“Dendam kematian ayahku tak boleh tak dibalas, biar tahu
aku bukan tandinganmu tapi aku tetap harus mencoba. Bila
seseorang sudah terdesak hingga terpaksa mengadu jiwa, kejadian
apa pun bisa terjadi...”
“Itu berarti kau punya kemungkinan bisa membunuhku
bukan?”
“Benar!”
“Apa yang bisa kau duga memangnya tak bisa diduga pihak
Benteng Keluarga Tong, khususnya oleh Tong Ou?”
“Tentu saja bisa, tapi aku masih belum percaya kalau
kejadian ini merupakan bagian dari rencana keji mereka.”
“Kalau begitu kuberitahukan padamu, aku pun sudah
keracunan, kau percaya?”
“Kau?” dengan mata terbelalak Bu-ki mengawasi wajah
Sangkoan Jin.
“Benar, baru berapa hari ini aku terkena racun yang bersifat
lambat, barusan aku mencoba menghimpun tenaga, tapi segera
kujumpai kalau peredaran hawa murniku tersumbat.”

“Sungguh?”
“Sungguh, kenapa aku mesti membohongimu? Memangnya
kau anggap aku adalah manusia kurcaci yang takut mati?”
“Kenapa bisa begitu kebetulan?”
“Kejadian yang diatur secara teliti dan seksama baru
meninggalkan kesan seolah kejadian tesebut adalah kejadian yang
kebetulan, bukan begitu?”
“Belum tentu, kau pernah mendengar istilah yang
mengatakan: ibarat baju langit yang terjahit rapi?”
“Jadi kau masih belum mempercayai aku?”
“Aku tak punya alasan untuk percaya padamu.”
“Berarti kau tetap besikeras hendak menantangku untuk
bertarung?”
“Benar, kita tak akan berhenti bertarung sebelum ada yang
mati!” jawab Bu-ki tandas.
Dengan pandangan mata tajam Sangkoan Jin mengawasi
anak muda itu, lama kemudian ia baru berkata, “Baiklah! Karena
persoalan sudah berkembang jadi begini rupa, tampaknya sudah
saatnya untuk membuka semua kejadian yang sebenarnya,
kemarilah, aku akan mengisahkan satu cerita dulu, selesai
mendengar kisah itu kau pasti akan percaya kepadaku.”
Berbicara sampai di situ dia mengajak Bu-ki menuju ke batu
besar di tengah tanah datar dan duduk di situ. Setelah duduk,
Sangkoan Jin mempersilahkan Bu-ki ikut duduk.
Dengan melintangkan pedangnya di depan dada, Bu-ki
duduk persis berhadapan dengan pamannya itu.
“Tahukah kau kapan kau dilahirkan?” tanya Sangkoan Jin
tiba-tiba.
Bu-ki agak tertegun, dia tak habis mengerti kenapa
Sangkoan Jin mengajukan pertanyaan yang seaneh itu. “Tentu saja
aku tahu,” sahutnya.
“Bukankah kau dilahirkan pada tanggal lima bulan sebelas
jam Cho-si?”
Tidak aneh jika Sangkoan Jin mengetahui hari kelahirannya,
sudah banyak tahun ia berkumpul dengan ayahnya, tentu saja ia
ketahui hal ini dari ayahnya. Hanya herannya, kenapa ia bisa
mengingatnya sejelas itu?
Dengan perasaan heran bercampur kaget anak muda itu
mengangguk, “Benar!”

“Di kaki kiri dekat sisi kananmu terdapat sebuah tanda
berwarna hijau bukan?”
“Jadi ayahku juga menceritakan soal ini kepadamu?”
Sangkoan Jin tidak menanggapi pertanyaan tersebut,
kembali ujarnya sambil tertawa getir, “Masih ingat ketika terjatuh
dari atas pohon pada usia tiga tahun? Jidat kirimu membengkak
besar sekali, masih ingat terjatuh dari pohon apa?”
Bu-ki menggeleng.
“Kau terjatuh dari sebuah pohon waru,” Sangkoan Jin bicara
lebih jauh, “waktu itu kau diajak ibumu bermain di kebun belakang,
karena teledor kau tak ditemukan meski sudah dicari ke mana-mana.
Ibumu memanggil-manggil namamu tapi tidak kau gubris, ketika ia
mulai cemas hingga nyaris menangis tiba-tiba kau memanggil 'ibu!'
dari atas pohon, ibumu yang gelisah bercampur gusar kontan
mencaci maki, saking kagetnya kau pun terjatuh dari atas dahan.”
Ketika bercerita sampai di situ, wajahnya nampak sangat
murung, seakan sedang membayangkan kembali kejadian di masa
lalu.
Makin didengar Bu-ki semakin tercengang dibuatnya,
kejadian masa dulu yang dia sendiri pun sudah lupa, kenapa paman
Siangkoan nya malah ingat begitu jelas?
“Kemudian sewaktu kau berusia duabelas tahun, hari itu kau
sedang berlatih ilmu pedang dengan ayahmu, karena kurang hatihati,
ayahmu sempat melukai lengan kirimu, apakah hingga
sekarang masih meninggalkan bekas luka yang dalam?”
Tentu saja Bu-ki masih ingat kejadian ini, tanpa terasa dia
lipat bajunya sambil memperhatikan bekas luka yang dimaksud.
“Ini dia, masih membekas sampai sekarang!”
Sekali lagi Sangkoan Jin tertawa getir.
“Sekalipun sudah tertusuk hingga terluka, kau sama sekali
tidak mengaduh atau mengeluh, bahkan masih melanjutkan
latihanmu, darah segar pun berhamburan ke mana-mana mengikuti
gerakan tubuhmu. Menyaksikan kejadian ini, ayahmu merasa sedih
bercampur bangga.”
“Dari mana kau bisa tahu tentang perasaan ayahku?”
Kembali Sangkoan Jin tertawa getir.
“Dari mana aku bisa tahu perasaan ayahmu? Segala sesuatu
mengenai ayahmu, aku mengetahui jauh lebih jelas dari siapa pun!”

“Sudah pasti!” seru Bu-ki setelah terkesiap sejenak, “kau
sudah banyak tahun bergaul dengan ayahku, tentu saja apa yang
kau ketahui jauh lebih banyak dari siapa pun.”
“Tidak, maksudku adalah semua yang kuketahui mungkin
sama banyaknya seperti apa yang ayahmu ketahui.”
“Kenapa bisa begitu? Apakah setiap urusan ayah selalu
bercerita padamu?”
“Mungkinkah begitu?”
“Tentu saja tidak mungkin, tapi... dari mana kau bisa tahu
tentang urusan ayahku bahkan sebanyak apa yang ayahku ketahui?”
“Coba pikirlah sendiri, dalam keadaan seperti apa hal ini
baru mungkin terjadi?”
Bu-ki termenung sambil berpikir lama sekali, ia tetap
menggeleng.
“Tidak terpikir olehku.”
“Mana mungkin? Padahal sederhana sekali masalahnya!”
Bu-ki terkesiap, dipandangnya Sangkoan Jin dengan wajah
tertegun, kemudian dengan mulut ternganga dan mata melotot
besar bisiknya, “Kecuali...”
“Betul!” Sangkoan Jin manggut-manggut, “Kecuali aku
adalah ayahmu bukan?”
Benar, perkataan ini memang yang hendak diucapkan Bu-ki.
Tapi, mungkinkah itu?
Sampai lama sekali Sangkoan Jin saling berpandangan
dengan Bu-ki, kemudian ia baru bertanya lagi, “Kau masih belum
paham?”
“Paham soal apa?”
“Akulah ayahmu!” tiba-tiba nada suara Sangkoan Jin
berubah, sama sekali berbeda dengan logat bicaranya tadi.
Belum selesai mendengar perkataan itu, sekujur badan Bu-ki
sudah gemetar keras, agak tergagap bisiknya, “Kau... kau...”
“Aku adalah ayahmu!” dengan menggunakan logat bicara
yang paling dikenal Bu-ki, Sangkoan Jin berseru.
Seketika itu juga Bu-ki merasakan kepalanya amat pusing,
nyaris dia jatuh tak sadarkan diri. Betul, suara itu memang suara
yang sudah didengar selama banyak tahun, suara yang amat
dikenalnya semenjak dilahirkan, tapi... bukankah orang yang berada
di hadapannya adalah paman Siangkoan? Kenapa bisa berubah jadi
ayahnya?

Tak kuasa lagi dia mengamati wajah Sangkoan Jin dengan
seksama, dia ingin menemukan titik terang dari garis wajah orang
itu. Namun kecuali logat bicaranya, ia tak berhasil menemukan
sesuatu yang mencurigakan.
Wajah Sangkoan Jin tidak mirip dengan wajah seseorang
yang mengenakan topeng kulit manusia, terlebih dia amat dekat
dengan ayahnya, tapi kenapa tidak ditemukan sesuatu pertanda
yang mengarah ke situ?
“Kau tak akan menemukan apa-apa dari wajahku,” ujar
Sangkoan Jin sambil tertawa.
“Tak bisa menemukan apa-apa?”
“Wajahku sudah dirombak, sudah diubah menjadi wajah
lain.”
“Aku tidak percaya!”
“Aku tahu kau tak bakal percaya, sebab waktu itu bahkan
aku sendiri dan paman Siangkoanmu juga tidak percaya, apalagi
kau!”
Logat bicara Sangkoan Jin ternyata logat Tio Kian!
Bu-ki membelalakkan matanya semakin lebar, ia benarbenar
tak percaya pada yang dikatakan orang ini, biar digebuk
sampai mampus pun dia tak akan percaya.
Kembali terdengar Sangkoan Jin berkata, “Kau pernah
mendengar istilah tentang 'wajah suami istri'?”
“Pernah!”
“Dan tahu secara jelas arti dari perkataan itu?”
“Tahu. Jika suami istri sudah hidup bersama terlalu lama
maka lambat laun paras muka mereka berdua akan semakin mirip
satu sama lainnya.”
“Benar. Kecuali suami istri, sahabat yang berkumpul terlalu
lama pun akan mengalami kejadian yang sama, tahu soal itu? Aku
dan paman Siangkoan sudah duapuluhan tahun berjuang bersamasama,
mati hidup bersama, lambat laun paras muka kami berdua
mendekati kemiripan, apa kau tidak merasakannya?”
Setelah berhenti sejenak, katanya lebih jauh, “Tentu saja
kau tak akan merasakannya, sebab termasuk kami berdua pun tidak
merasakannya, namun ada satu orang yang menemukan kemiripan
ini.”
“Oya? Siapa?”
“Biau-jiu, si Tangan Sakti Li Thian-hui!”

“Biau-jiu si Tangan Sakti Li Thian-hui?”
“Pernah tahu tentang orang ini?”
“Aku pernah mendengar, tapi bukankah dia hanya salah satu
tokoh dalam cerita dongeng?”
“Tidak! Benar-benar ada manusia seperti dia.”
“Benar benar ada manusia macam dia? Benarkah dia
sehebat seperti yang didengungkan orang selama ini, bisa
mengubah paras muka seseorang menjadi paras muka orang lain?”
“Bukankah aku adalah salah satu contoh hidupnya?”
Sekali lagi Bu-ki mengamati wajah Sangkoan Jin sampai
lama sekali, tapi akhirnya dia tetap menggeleng.
“Aku masih belum percaya.”
“Kenapa kau masih belum mau percaya?” kata Sangkoan Jin,
“baiklah, akan kuceritakan sebuah kisah lagi, moga-moga saja kau
bersedia mendengarkan.”
Bu-ki tidak menjawab, dia hanya mengawasi lekat-lekat.
“Masih ingat apa yang terjadi di musim gugur tiga tahun
berselang?”
“Masih ingat,” sahut Bu-ki setelah berpikir sejenak, “kau
bersama ayahku lenyap hampir setengah bulan lamanya.”
Bicara sampai di situ mendadak ia terperangah, serunya
gagap, “Jadi kau...”
“Benar, kami telah bertemu Li Thian-hui,” tukas Sangkoan
Jin cepat, “begitu bertemu kami, ia nampak terperangah dan
berulang kali menyatakan aneh.”
“Kenapa?”
“Dia bilang kalau wajah suami istri sudah banyak yang
dilihatnya, tapi wajah sahabat belum pernah dijumpai, waktu itu
kami keheranan dan bertanya apa yang dimaksud wajah sahabat,
dia bilang, sama seperti suami istri, jika sahabat berkumpul terlalu
lama, raut muka mereka lambat laun akan semakin mirip.”
Bicara sampai di sini Sangkoan Jin berhenti sejenak,
kemudian sambungnya lagi, “Maka Li Thian-hui pun mengajukan
satu pertanyaan kepada kami.”
“Pertanyaan apa?”
“Dia bertanya kepada kami, ingin tidak berganti peran. Mulamula
kami kurang begitu paham dengan kemauannya, maka dia pun
berkata lagi, katanya dia mampu memindahkan wajahku menjadi
wajahnya dan wajahnya menjadi wajahku.”

Bu-ki tidak bicara lagi sebab apa yang diungkap Sangkoan
Jin kelewat aneh, kelewat tak masuk di akal, membuatnya setengah
percaya setengah tidak.
Sangkoan Jin sama sekali tidak menggubris perubahan
wajah Bu-ki, secara ringkas dia pun menceritakan apa yang
dialaminya tiga tahun berselang.
Ooo)))(((ooo
Ternyata Sangkoan Jin dan Tio Kian tertarik sekali setelah
mendapat tawaran dari Li Thian-hui, mereka bertekad untuk saling
bertukar wajah, sebab mereka berpendapat, dengan berganti posisi
dan identitas siapa tahu akan memperoleh hasil yang sama sekali di
luar dugaan.
Bagaimanapun juga mereka sudah lama saling mengenal,
kedua belah pihak sama-sama memahami persoalan yang dialami
rekannya sehingga tidak terlalu sulit untuk menyamar sebagai
rekannya.
Maka mereka pun mengajak Li Thian-hui kembali ke
rumahnya dan membiarkan ia melakukan perubahan wajah.
Kepandaian ilmu merubah muka yang dimiliki Li Thian-hui
sangat hebat, ia melakukan operasi besar dan mengubah wajah
kedua orang itu, tentu saja dengan bantuan tusuk jarum hingga
mereka tak perlu merasakan penderitaan dan siksaan.
Tiga hari kemudian, ketika mereka mulai bercermin, kedua
orang itu benar-benar terperanjat bercampur heran. Sewaktu
mereka saling berjumpa dan saling berpandangan, rasa kaget
mereka semakin menjadi.
Untuk meyakinkan kalau perubahan wajah itu tidak
meninggalkan bekas yang bisa menimbulkan kecurigaan orang,
mereka saling mengamati kembali wajah rekannya, ternyata
memang tak ditemukan titik kelemahan sekecil apa pun.
Maka mereka mulai mempelajari dan menirukan kebiasaan
hidup rekannya, setelah lewat tiga tahun lagi, gerak-gerik mereka
baru benar-benar mencapai puncak kesempurnaan, mereka sudah
terbiasa menganggap rekannya sebagai diri sendiri.
Berapa lama kemudian mereka mulai berpikir bahwa
kejadian semacam ini sangat melanggar kebiasaan, timbul perasaan

menyesal, maka mereka pun bertanya kepada Li Thian-hui apakah
ada kemungkinan untuk memulihkan kembali wajah mereka.
Jawaban yang diterima membuat mereka berdua tertegun.
“Hal ini mustahil bisa dilakukan, memangnya kalian anggap
perubahan ini hanya sebuah permainan? Mau dirubah lantas dirubah
sekehendak hati?”
“Mengapa kau bisa mengubah wajah kami tapi tak dapat
memulihkan kembali seperti sedia kala?” tanya Tio Kian.
“Karena kulit kalian sudah terluka, sudah ditarik hingga
berubah bentuk, tentu saja tak dapat dipulihkan seperti wajah
dahulu!”
“Andaikata kami ingin menunjukkan identitas kami yang
sebenarnya, lalu apa caranya?”
“Tak ada caranya.”
Jawaban itu terasa amat kejam, bagai sebilah pisau tajam
yang menghujam ke dada Sangkoan Jin dan Tio Kian, mereka
terkejut bercampur sedih.
“Kalian harus berganti peran, selamanya berganti peran!”
kembali Li Thian-hui berkata.
Tio Kian dan Sangkoan Jin saling berpandangan sampai
lama sekali, kemudian baru menegaskan, “Benar-benar tak ada jalan
keluar?”
“Sebenarnya masih ada satu cara.”
“Bagaimana caranya?”
“Sebuah cara yang amat menderita dan tersiksa.”
“Cara yang menyiksa?”
“Benar!”
“Kenapa?”
“Sebab aku harus menguliti seluruh wajah kamu berdua,
agar wajah yang sekarang musnah. Kemudian membiarkan kulit
wajah kalian tumbuh kembali perlahan-lahan, kulit muka yang
tumbuh kemudian akan berwujud wajah kalian yang dulu!”
Tio Kian maupun Sangkoan Jin merasa teramat gusar,
mereka tidak menyangka kalau Li Thian-hui menggunakan mereka
berdua sebagai kelinci percobaan.
Tanpa banyak bicara lagi serentak mereka berdua
mengayunkan telapak tangannya dan dihantamkan ke dada Li Thianhui.

“Dan Li Thian-hui tewas di tangan kalian berdua?” tanya Buki
setelah selesai mendengarkan kisah tersebut.
“Ilmu merubah wajahnya memang hebat dan tiada
tandingan, tapi kepandaian silatnya teramat cetek, mana mungkin
tidak mampus?”
“Kalau mendengar kisahmu ini, berarti di dunia saat ini tak
akan ditemukan lagi saksi yang bisa membuktikan kebenaran ini?”
“Jadi kau masih tetap tidak percaya kepadaku?” tanya
Sangkoan Jin sambil menatap anak muda itu tajam.
Bu-ki tertawa.
“Bagaimana mungkin aku bisa percaya? Ceritamu terlalu
khayal, kelewat tak masuk di akal!”
“Terlalu khayal? Tapi yang kuceritakan adalah kisah yang
sebenarnya. Tahukah kau, kadang-kadang kejadian sesungguhnya
bisa kedengaran agak khayal?”
“Tapi ceritamu itu...”
“Apa yang mesti kulakukan agar kau percaya kepadaku?”
tukas Sangkoan Jin tiba-tiba.
Bu-ki segera terbungkam, tak mampu menjawab.
Dengan wajah yang sangat serius Sangkoan Jin mengawasi
pemuda itu, sekejap kemudian ia baru berkata, “Coba pinjamkan
pedangmu kepadaku.”
Bu-ki memandang Sangkoan Jin sekejap, dia pun tidak
bertanya apa-apa dan menyodorkan pedangnya.
Setelah menerima pedang itu, paras muka Sangkoan Jin
berubah makin serius, dia mencabut pedang itu, mengawasi
bagiannya yang tajam kemudian perlahan-lahan dia palangkan mata
pedang yang tajam itu ke lehernya sendiri.
“Hey, mau apa kau?” tegur Bu-ki terkesiap.
Sangkoan Jin tertawa sedih.
“Bukankah hanya dengan cara begini kau baru akan
mempercayaiku?”
Berubah hebat paras muka Bu-ki.
“Jadi kau hendak merusak wajahmu sendiri?” ia bertanya.
“Tidak, aku hanya akan memulihkan kembali wajah asliku,”
jawab Sangkoan Jin tenang.
Pikiran dan perasaan Bu-ki bergolak keras, untuk sesaat dia
tak tahu bagaimana harus menghadapi kejadian ini. Memang hanya
cara ini yang bisa membuatnya dapat melihat wajah orang ini yang

sesungguhnya, hanya dengan jalan menyayat kulit wajah yang ada,
dia baru bisa membuktikan apakah orang ini ayahnya atau bukan.
Tapi, andaikata dia benar-benar adalah ayahnya? Bukankah
wajahnya akan hancur musnah? Bukankah wajah itu akan
berlumuran darah? Tapi seandainya bukan? Mungkinkah tindakan
yang ia lakukan hanya bertujuan untuk membohonginya?
Andaikata orang yang berada di hadapannya adalah
Sangkoan Jin? Dia cerdas dan banyak akal, terbukti dia sanggup
mencelakai ayahnya, ini berarti bukan urusan yang sulit baginya
untuk memulihkan wajah aslinya. Dia pasti sengaja berbuat begitu
karena sudah menduga pemuda itu pasti akan mencegahnya.
Pelik, persoalan ini betul-betul teramat pelik.
Apa daya sekarang?
Memandang mata pedang di tangan Sangkoan Jin yang siap
menyayat wajah sendiri, ia bingung dan tak tahu apa yang mesti
diperbuat.
Ooo)))(((ooo
Berita kehadiran Bu-ki di benteng Siangkoan-po dengan
cepat sudah tersiar luas, Tong Ou pun mendengar berita ini.
Dia pun tahu, tujuan Bu-ki mendatangi rumah judi adalah
untuk menarik perhatian Sangkoan Jin, maka sejak awal dia sudah
mengutus orang untuk mengikuti secara diam-diam dan
memperhatikan arah kepergiannya.
Pertarungan antara Sangkoan Jin melawan Tio Bu-ki, tentu
saja dia ingin menjadi penonton saja, maka ia berpesan pada orang
yang mengawasi gerak-gerik Sangkoan Jin agar segera memberi
kabar bila menemui sesuatu yang tidak biasa, dia sudah siap untuk
menyusul.
Tapi yang membuat ia tercengangadalah dalam seharian
penuh hari kedua, Sangkoan Jin sama sekali tidak melakukan
sesuatu.
Kemudian pada hari ketiga, petugas yang mendapat
perintah untuk melakukan pengintaian itu baru muncul dengan
wajah pucat sambil melaporkan lenyapnya Sangkoan Jin.
Sejak kapan Sangkoan Jin meninggalkan tempat tinggalnya?
Tak seorang pun yang melihat. Kejadian ini sungguh membuat Tong
Ou tercengang dan tak habis mengerti.

Kenapa Sangkoan Jin harus pergi secara rahasia di luar tahu
siapa pun? Apakah di antara dia dan Tio Bu-ki benar-benar ada
rahasia yang amat besar?
Dia tidak tahu, tapi ia segera mengutus orang untuk
menyelidiki jejak Sangkoan Jin ke empat penjuru dan hasilnya tetap
tidak ada yang tahu ke mana dia pergi. Sementara menurut laporan
pelayan rumah penginapan yang didiami Bu-ki, sejak kemarin ia naik
ke Bukit Singa, anak muda itu juga tak pernah balik lagi.
Begitu mendapat laporan tersebut, Tong Ou langsung
menyambar pedangnya dan berangkat ke Bukit Singa. Menurut
perhitungannya, Sangkoan Jin pasti sudah mengundang Tio Bu-ki
untuk berjumpa di Bukit Singa.
Ketika Tong Ou berangkat, waktu sudah mendekati tengah
hari.
Perasaan itu timbul karena dia teringat akan satu hal.
Pedangnya!
Sebelum meninggalkan tempat itu Sangkoan Jin sama sekali
tidak mengembalikan pedang itu kepadanya.
Dengan langkah cepat dia menerjang ke muka, sembari
melesat teriaknya keras, “Jangan!”
Sayang semua sudah terlambat, segala sesuatunya sudah
terjadi.
Tatkala Bu-ki berhasil menyusul, Sangkoan Jin telah
menghentikan langkahnya, menanti Bu-ki sepuluh langkah di
belakangnya dan tiba-tiba ia membalik tubuhnya.
Bu-ki segera berhenti di hadapan Sangkoan Jin, kini jarak
mereka tinggal dua-tiga langkah dan Sangkoan Jin sudah
membalikkan seluruh badannya.
Dalam waktu singkat Bu-ki berdiri dengan mata terbelalak
lebar dan mulut melongo, darah bercucuran dalam hatinya, dia
menjerit. Kenapa? Kenapa? Kenapa?
Yang dia saksikan adalah selembar wajah yang penuh
berlepotan darah!
Rupanya setelah beranjak pergi tadi, dalam jarak sepuluh
langkah dia berjalan, secara diam-diam ia mulai menyayati kulit
wajahnya. Ia baru berhenti sambil membalikkan badan ketika
mendengar Bu-ki menjerit kalap.
Ternyata dia adalah Tio Kian!
Ayah kandung Tio Bu-ki!

“Ayah!” jeritan Bu-ki seakan terhenti di tenggorokannya, dia
tak sanggup menjerit, tak mampu berteriak.
Sekulum senyuman pedih tersungging di ujung bibir Tio
Kian.
Sebuah senyuman yang amat mengenaskan, senyuman
yang mengerikan di balik wajahnya yang hancur berantakan.
Sekalipun kelihatan amat menyeramkan, namun pandangannya
nampak begitu lembut, begitu ramah dan penuh kasih sayang. Suatu
pernyataan yang membuktikan bahwa ia sama sekali tidak
menyalahkan putranya.
Airmata mulai jatuh bercucuran membasahi wajah Bu-ki, ia
bertekuk lutut dan menjatuhkan diri menyembah di tanah,
bersembah sujud di hadapan Tio Kian.
“Ayah!” akhirnya dengan suara yang parau tapi
mengenaskan dia memanggil.
Tio Kian tcrt awa sedih, sahutnya, “Kau tak perlu kelewat
sedih, aku berbuat begini bukan hanya
Bab 20. Sekali Lagi Berpisah Mati
Melihat sikap ragu-ragu yang diperlihatkan Tio Bu-ki, tibatiba
Sangkoan Jin menghela napas panjang, katanya, “Aku tahu kau
pasti tak akan percaya, kau kuatir terjadi sesuatu yang di luar
dugaan bukan?” Bu-ki tidak menjawab.
“Kurasa begini saja, besok kita bertemu lagi di sini, aku
jamin sampai waktunya aku pasti dapat memperlihatkan bukti yang
bisa membuat kau percaya, kau percaya kan?”
Bu-ki memandang Sangkoan Jin seketika, kemudian
mengangguk. Memang tak mungkin baginya untuk menolak, sebab
jika dia menolak, dapat dipastikan Sangkoan Jin akan segera
merusak wajahnya sendiri, dan seandainya setelah wajah itu dirusak
dan ternyata wajah ayahnya, apa yang akan dia lakukan?
Tentu saja ia pun berpikir lebih jauh, seandainya besok
Sangkoan Jin tidak datang, apa yang akan dia lakukan? Tampaknya
dia mesti bertaruh dalam urusan ini.
Seandainya besok Sangkoan Jin benar-benar tidak muncul,
dia tetap saja dapat pergi mencarinya, bedanya ia menjadi tambah
repot.

Begitu melihat anak muda itu mengangguk, Sangkoan Jin
segera membalikkan badan dan pergi. Bu-ki hanya berdiri termangumangu,
berdiri diam memandang Sangkoan Jin membalikkan badan
dan pergi. Menunggu pamannya itu sudah berada sejauh duapuluh
langkah dari tempat semula, mendadak satu perasaan tak tenang
muncul di hati kecilnya, dia merasa seperti ada sesuatu yang
mengganjal, kedukaan yang mengenaskan segera akan berlangsung
di depannya.
Perasaan itu timbul karena dia teringat akan satu hal.
Pedangnya!
Sebelum meninggalkan tempat itu Sangkoan Jin sama sekali
tidak mengembalikan pedang itu kepadanya.
Dengan langkah cepat dia menerjang ke muka, sembari
melesat teriaknya keras, “Jangan!"
Sayang semua sudah terlambat, segala sesuatunya sudah
terjadi.
Tatkala Bu-ki berhasil menyusul, Sangkoan Jin telah
menghentikan langkahnya, menanti Bu-ki sepuluh langkah di
belakangnya dan tiba-tiba ia membalik tubuhnya.
Bu-ki segera berhenti di hadapan Sangkoan Jin, kini jarak
mereka tinggal dua-tiga langkah dan Sangkoan Jin sudah
membalikkan seluruh badannya.
Dalam waktu singkat Bu-ki berdiri dengan mata terbelalak
lebar dan mulut melongo, darah bercucuran dalam hatinya, dia
menjerit. Kenapa? Kenapa? Kenapa?
Yang dia saksikan adalah selembar wajah yang penuh
berlepotan darah!
Rupanya setelah beranjak pergi tadi, dalam jarak sepuluh
langkah dia berjalan, secara diam-diam ia mulai menyayati kulit
wajahnya. Ia baru berhenti sambil membalikkan badan ketika
mendengar Bu-ki menjerit kalap.
Ternyata dia adalah Tio Kian!
Ayah kandung Tio Bu-ki!
"Ayah!" jeritan Bu-ki seakan terhenti di tenggorokannya, dia
tak sanggup menjerit, tak mampu berteriak.
Sekulum senyuman pedih tersungging di ujung bibir Tio
Kian.
Sebuah senyuman yang amat mengenaskan, senyuman
yang mengerikan di balik wajahnya yang hancur berantakan.

Sekalipun kelihatan amat menyeramkan, namun pandangannya
nampak begitu lembut, begitu ramah dan penuh kasih sayang. Suatu
pernyataan yang membuktikan bahwa ia sama sekali tidak
menyalahkan putranya.
Airmata mulai jatuh bercucuran membasahi wajah Bu-ki, ia
bertekuk lutut dan menjatuhkan diri menyembah di tanah,
bersembah sujud di hadapan Tio Kian.
"Ayah!" akhirnya dengan suara yang parau tapi
mengenaskan dia memanggil.
Tio Kian tertawa sedih, sahutnya, “Kau tak perlu kelewat
sedih, aku berbuat begini bukan hanya bermaksud agar kau percaya
kepadaku.”
Lantas karena apa? Apakah masih ada rahasia lain?
Demikian Bu-ki berpikir, namun ia tak mengutarakan keraguannya
itu.
“Ayah sengaja berbuat begini, setengahnya karena ingin
menebus dosa,” kembali Tio Kian menerangkan.
Menebus dosa? Menebus dosa apa?
“Aku berharap kau mulai mempersiapkan diri, bersiap-siap
menghadapi segala kemungkinan,” Tio Kian menyodorkan kembali
pedang itu ke tangan putranya.
Dengan sorot mata penuh perasaan ragu dan heran Bu-ki
mengawasi ayahnya, selama banyak tahun dia selalu mengira
ayahnya telah mati, sungguh tak disangka hari ini telah terjadi
perubahan yang sama sekali tak terduga olehnya.
ooooOOOoooo
Ada banyak persoalan yang ingin dia tanyakan, tapi ia tak
pernah bersuara lagi, setelah menyaksikan cara ayahnya merusak
wajah sendiri, dia tahu, ayahnya pasti akan memberikan penjelasan
secara panjang lebar.
“Kau sangka paman Siangkoanmu telah membunuh aku?
Kini kau sudah yakin dengan identitasku, berarti kau pun pasti tahu
bahwa orang yang terbunuh itu sesungguhnya adalah paman
Siangkoan bukan?”
Bu-ki tidak bersuara, dia hanya mendengarkan dengan
seksama.
“Padahal akulah yang merancang siasat Harimau Kemala
Putih, tapi semenjak wajahku dan wajah paman Siangkoan dirubah
oleh Li Thian-hui, tabiatku pun perlahan-lahan mulai berubah.

“Aku sering berpikir, seandainya suatu hari perkumpulan
Tayhong-tong dapat memusnahkan Benteng Keluarga Tong, maka
seluruh dunia persilatan akan jatuh ke tangan kita dan saat itu
kekuasaan tertinggi harus kubagi sama rata dengan paman
Siangkoan serta paman Sugong.
“Tiba-tiba timbul niat serakahku, aku pikir, kenapa
kekuasaan harus kubagi rata dengan mereka? Seharusnya aku
seorang yang menguasainya!”
Berbicara sampai di sini Tio Kian berhenti sejenak, setelah
menghela napas panjang lanjutnya, “Setelah muncul pikiran
semacam ini, aku sering berubah jadi berangasan dan gampang
marah, khususnya setiap kali bertemu dengan paman Siangkoanmu,
aku pasti berpikir, bila ingin mengangkangi sendiri kekuasaan besar
itu, aku harus menyingkirkan dia terlebih dulu.”
“Kau tak mempertimbangkan paman Sugong?” tak tahan Buki
bertanya.
“Paman Sugong-mu bukan orang yang punya ambisi besar,
maka aku tak perlu merisaukan dirinya. Berbeda dengan paman
Siangkoan, dia sama seperti aku, punya ambisi yang besar dan haus
akan kekuasaan, satu-satunya keunggulanku adalah bahwa aku lebih
cerdas dan banyak akal.”
Sambil berkata Tio Kian berjalan menuju ke batu besar dan
duduk di situ, kini darah yang membasahi wajahnya sudah
mengering, dari balik mukanya yang remuk lamat-lamat masih
terpampang wajah aslinya, itulah wajah Tio Kian.
“Suatu hari,” kembali Tio Kian melanjutkan ceritanya,
“akhirnya terpikir olehku untuk menjalankan siasat Harimau Kemala
Putih. Selain bisa melenyapkan Sangkoan Jin dari muka bumi, aku
pun bisa menggunakan kesempatan ini untuk menyusup ke dalam
Benteng Keluarga Tong dan menunggu saat untuk membasminya.
Maka di hari perkawinanmu itulah kupanggil Sangkoan Jin
masuk ke dalam ruang rahasia, mimpi pun dia tak mengira kalau aku
bakal melancarkan serangan untuk membunuhnya, dan cerita
selanjutnya tak perlu kuceritakan lagi, karena kau pasti sudah
mengetahuinya.”
Raut muka Tio Kian menampilkan siksaan batin dan
penderitaan yang luar biasa, sesudah tertawa getir lanjutnya,
“Tahukah kau bahwa sebenarnya orang yang paling jahat adalah
ayahmu?”

Bu-ki tidak berbicara, dalam hati dia pun merasakan siksaan
dan penderitaan yang luar biasa, perasaannya amat kalut. Dia tak
menyangka ayahnya yang paling dihormati dan paling disayang
selama ini ternyata adalah pembunuh yang sesungguhnya, seorang
pembunuh berdarah dingin yang tak segan menghabisi nyawa
sahabat sendiri, seorang sahabat yang telah mendampinginya
puluhan tahun Sedangkan tujuannya tak lebih hanya ingin
mengangkangi kekuasaan, ingin menguasai perkumpulan Tayhongtong
seorang diri, ingin membasmi Benteng Keluarga Tong dan
seorang diri menguasai jagad.
Perbuatan semacam ini jelas merupakan tindakan yang
biadab, perbuatan yang tak bisa dimaafkan Bu-ki, tapi apa yang bisa
dia lakukan? Apa yang bisa dia perbuat jika si pelakunya ternyata tak
lain adalah ayah kandung sendiri!
Bagaimana sekarang?
Dia awasi ayahnya, mengawasi wajah Tio Kian yang telah
hancur berantakan, sama seperti perasaan hatinya sekarang, hancur
lebur tak karuan.
“Kau tak perlu bersedih hati,” terdengar Tio Kian berkata
lagi, “aku sengaja menghancurkan wajahku untuk membuktikan
identitasku yang sebenarnya tak lain karena bertujuan untuk
menebus dosa, aku tidak seharusnya mencelakai Sangkoan Jin.”
“Ayah!” Bu-ki tak mampu berkata-kata, dia hanya bisa
menjerit dengan perasaan hancur lebur.
“Ayah sudah tak berguna.”
“Kenapa?”
“Tong Ou si anak jadah itu telah meracuni aku!”
“Mana mungkin?”
“Tong Ou memang seorang musuh yang lihay, aku yakin dia
pasti telah memperalat Ling-ling untuk meracuni aku,
mencampurkan racun ke dalam kuah jinsom yang tiap pagi dibuat
anak itu untukku.”
“Jadi kau...”
“Barusan aku mencoba mengerahkan tenaga, ternyata
peredaran darahku sudah tak lancar, kekuatan tenaga dalamku
sudah lenyap empatpuluh persen, Tong Ou memang anak jadah!”
“Kenapa dia harus berbuat begitu?”
“Dia ingin memperalat kau untuk melenyapkan aku,
berbareng dengan itu dia pun bisa menggunakan kesempatan ini

untuk memberi pukulan batin yang terberat untukmu. Coba
bayangkan saja, dia merekayasa semua kejadian dengan
menciptakan siasat Naga Kemala Putih, jika kau termakan siasatnya
dan berhasil membunuhku, kemudian dia mengungkap cerita yang
sebenarnya, apakah kau tak akan menerima pukulan batin yang
sangat parah?”
Bu-ki bisa membayangkan, saat itu saban hari dia pasti akan
bermabuk-mabukan, tak punya selera untuk mengurusi persoalan
lain, dengan begitu urusan perkumpulan Tayhong-tong pasti akan
terbengkalai, tak ada yang memimpin dan tak ada yang mengurus.
Jika kemudian Benteng Keluarga Tong memanfaatkan kesempatan
itu untuk melancarkan serangan secara besar-besaran, bagaimana
mungkin Tayhong-tong masih bisa menancapkan kakinya di dunia
persilatan? Bisa jadi perkumpulan itu akan lenyap untuk selamanya
dari muka bumi!
Kejam benar manusia ini! Bu-ki mengumpat dalam hatinya.
“Sekarang, kita harus menghadapi siasatnya dengan siasat!”
“Menghadapi siasatnya dengan siasat?”
“Benar, kau pura-pura berhasil membunuhku agar Tong Ou
menceritakan kejadian yang sebenarnya kepadamu, lalu kau
berpura-pura pikiranmu kalut, batinmu terpukul dan menyerang dia
secara mem-babibuta.”
“Kau anggap aku sanggup menghadapinya?”
“Sulit untuk dikata, tapi kalau dilihat dari siasat yang dia
gunakan terhadapmu, ini membuktikan bahwa dia pun tak yakin bisa
mengungguli kemampuanmu. Kalau tidak, buat apa dia susah-susah
menggunakan berbagai jurus kembangan untuk menghadapimu?”
“Benar!”
“Oleh sebab itu kau harus berlagak sangat marah, sangat
menyesal hingga pikiranmu sangat kalut, agar dia memandang
enteng dirimu. Selain itu, begitu mulai menyerang, kau harus
berlagak seolah seranganmu kacau, banyak titik kelemahan dan
banyak melakukan kesalahan, agar dia beranggapan kau sudah
hampir gila.”
“Seandainya dia memanfaatkan titik kelemahan itu untuk
membekukku, bukankah sama artinya dengan bunuh diri?”
“Tidak mungkin, dengan watak Tong Ou, tak mungkin dia
langsung membekukmu, dia pasti akan mempermainkanmu seperti

kucing menangkap tikus. Setelah membuat kau mati tak bisa hidup
tak dapat, saat itulah dia baru akan membunuhmu.”
“Kau tidak berpikir cara ini terlalu berbahaya?”
“Kalau tidak berani nyerempet bahaya, mana mungkin bisa
diperoleh hasil yang baik?” sahut Tio Kian, “Soal yang tersisa adalah
waktu yang paling cocok untuk pergi mencari Tong Ou.”
Setelah berhenti sejenak untuk menarik napas, kembali ia
meneruskan, “Sayang aku telah melakukan satu kesalahan!”
“Kesalahan apa?”
“Aku kuatir kau mencari aku karena ada urusan penting,
maka sewaktu menuju kemari, aku telah bertindak sangat rahasia
sehingga tak seorang pun anggota Keluarga Tong yang tahu ke
mana aku pergi.”
“Apakah langkahmu itu keliru?”
“Kalau dipikir sekarang, rasanya memang keliru besar.”
“Kenapa?”
“Sebab dengan watak Tong Ou, dia pasti mengutus orang
untuk mengawasiku terus menerus, jika dia tahu bahwa aku datang
kemari, sudah pasti dia akan segera menyusul kemari. Dia pasti ingin
menyaksikan pertarungan kita berdua kemudian mulai mengejek dan
mempermainkan dirimu.”
“Ayah tak usah kuatir, aku telah melakukan satu perbuatan
yang sangat tepat dan benar!”
“Oh ya?”
“Aku sempat bertanya kepada pelayan rumah penginapan,
harus lewat jalan mana untuk tiba di sini.”
“Bagus, kalau Tong Ou gagal menemukan jejakku, dia pasti
akan mengutus orang untuk mencari tahu jejakmu di rumah
penginapan. Saat ini dia pasti sudah tahu ke mana kau pergi.”
“Soalnya adalah aku tidak mengatakan kalau akan kemari,
aku hanya bertanya harus lewat jalan yang mana untuk sampai ke
sini.”
“Itu sudah lebih dari cukup, Tong Ou tali bakal melepaskan
setiap titik terang yang berhasil dia dapatkan.”
“Berarti dia segera akan menyusul kemari?”
“Mungkin saja ia sudah mencari jejak kita di sekitar tempat
ini.”
“Lalu apa yang kita lakukan sekarang?”
“Kita buat pengaturan di tempat ini.”

“Pengaturan?”
“Betul! Kita lakukan pengaturan dan perubahan bentuk di
sekitar sini, seolah baru saja berlangsung pertarungan yang amat
seru, agar Tong Ou menyangka bahwa kita berdua sudah
bertarung!”
“Bagaimana dengan ayah?”
“Aku? Gampang sekali, kini wajahku sudah hancur
berantakan, jika aku berlagak mati, dia pasti dapat dikelabui.”
“Jadi kau akan berlagak mati?”
“Benar, dengan begitu Tong Ou tak akan menyangka kalau
kau sedang bermain sandiwara!”
“Tapi...”
“Kenapa? Kau anggap kurang baik jika aku berlagak mati?”
“Bukan, bukan begitu.”
“Lalu maksudmu...”
“Janji pertarunganku melawan Tong Ou!”
“Peduli amat dengan segala janji, kau harus memanfaatkan
kesempatan yang sangat baik ini untuk menghabisinya, sebab tidak
gampang untuk menemukan kesempatan lain....”
“Kau ingin pegang janji? Terhadap manusia semacam ini
pun kau ingin pegang janji? Hmm, jangan mimpi! Jadi kau anggap
dia pun akan pegang janji?”
“Paling tidak aku ingin menjadi seseorang yang pegang
janji.”
“Baik, jadilah orang yang pegang janji. Hanya saja aku perlu
memberitahumu, setelah bertemu denganmu nanti, dia pasti akan
memanas-manasi hatimu, memancing amarahmu agar kau
menyerangnya.”
“Kalau sampai dia berbuat begitu, artinya bukan aku yang
terlebih dulu ingkar janji!”
“Anakku, dunia persilatan itu penuh dengan kelicikan dan
kemunafikan, kenapa sih kau harus menjadi seorang lelaki yang
pegang janji? Kejujuranmu akan membuat kau kujur!”
“Tapi, bukankah pegang janji merupakan hal yang
diutamakan dalam pergaulan dunia persilatan?”
“Cuh!” dengan gemas Tio Kian meludah, “Sudah banyak
tahun aku hidup dalam dunia persilatan, selama ini belum pernah
kujumpai orang yang pegang janji!”

“Tapi, bukankah ayah selalu mengajariku untuk jadi seorang
lelaki yang pegang janji?”
“Ajaran kembali soal ajaran, kenyataan jauh berbeda dengan
ajaran, kalau kau tak pandai melihat keadaan, tak pandai
menyesuaikan diri dengan keadaan, kaulah yang bakal hancur,
mengerti?”
“Aku tidak tahu...”
“Kenapa kau masih berkeras kepala?” tukas Tio Kian jengkel,
“Bayangkan saja, bila kita berhasil membasmi Benteng Keluarga
Tong maka perkumpulan Tayhong-tong akan menguasai jagad,
bayangkan sendiri, sampai waktu itu siapa yang akan memimpin
seluruh dunia? Seluruh dunia persilatan akan menjadi milik siapa?”
“Tentu saja menjadi milik ayah!”
“Aku?” Tio Kian mendengus dingin, “mungkinkah itu?”
“Kenapa tidak mungkin?”
“Kedokku sudah terbongkar, wajah asliku sudah ketahuan
setiap orang, semua anggota Tayhong-tong tahu kalau aku yang
telah membunuh Sangkoan Jin. Dalam keadaan begini apakah aku
masih pantas, masih berhak untuk memimpin mereka?”
“Lalu...”
Tio Kian tertawa getir.
“Anak selalu menggantikan posisi ayahnya, Tayhong-tong
akan menjadi milikmu, tahukah kau?”
“Aku?” Tio Bu-ki melengak, untuk sesaat dia tak tahu
bagaimana harus menanggapi perkataan itu.
“Benar, aku sengaja merusak wajahku selain bertujuan
untuk menebus dosa, aku masih mempunyai tujuan lain. Aku ingin
mengumumkan bahwa mulai saat ini aku sudah melepaskan segala
urusan Tayhong-tong, akan kuserahkan semua tugas dan tanggung
jawab ini ke tanganmu!”
Melihat pemuda itu tidak bicara, kembali Tio Kian berkata,
“Oleh karena itu, jika kau ingin memimpin Tayhong-tong dengan
baik dan benar, kau mesti paham bahwa menyelesaikan urusan di
depan mata adalah paling utama! Soal pegang janji? Hmm, itu
tergantung dengan siapa kita berhadapan!”
“Apa yang ayah katakan tidak sesuai dengan watakku!”
“Watak? Jika kau ingin mengikuti watak, lebih baik hiduplah
mengasingkan diri di atas gunung atau di dasar jurang! Kalau ingin
bergaul dan hidup dalam dunia persilatan, yang diutamakan adalah

mencapai tujuan dengan menghalalkan segala cara, jangan bicara
soal watak atau segalanya!”
“Ayah, kau sangat berubah, kau berubah sekali...”
“Jika seseorang sudah terlalu lama hidup dalam dunia
persilatan, mungkinkah dia tak berubah?”
“Benarkah kehidupan dalam dunia persilatan itu sangat
berbahaya?”
“Jauh lebih berbahaya daripada apa yang kau bayangkan
selama ini!”
Tiba-tiba Bu-ki menghela napas panjang, kesedihan muncul
dalam hatinya. Mungkinkah baginya untuk hidup terus sebagai
manusia dunia persilatan? Haruskah dia berjuang terus dalam dunia
yang penuh kelicikan dan kemunafikan ini?
Pikiran ini hanya melintas sekejap dalam benaknya, karena
perkataan Tio Kian telah memotongnya.
“Demi perkumpulan Tayhong-tong, demi melanjutkan
perjuangan dan hasil karya yang berhasil kita bentuk selama ini, kau
harus pandai menilai tiap suasana dalam dunia persilatan, pandai
menghadapi kenyataan dan pandai memilah mana yang benar dan
mana yang tidak, dengan begitu kau baru bisa bertahan sekuat batu
karang.”
Aku tidak mau, aku tidak mau, aku tidak mau, dalam hati
Bu-ki menjerit kalap.
Tapi Tio Kian sama sekali tidak mendengar jeritan tersebut,
kembali ia berkata, “Kau harus menyanggupi permintaanku ini,
gunakan kesempatan emas ini dan bunuhlah Tong Ou!”
“Ayah, mengapa kau paksa aku untuk melakukan perbuatan
yang bertentangan dengan sifatku?” tak tahan, akhirnya Bu-ki
berteriak.
“Sifat? Liangsim? Orang mati masih punya sifat? Orang mati
juga masih punya liangsim? Jika kau tidak membunuh Tong Ou,
Tong
Ou yang akan membunuhmu!”
“Aku lebih suka bertarung secara adil!”
“Bertanding secara adil? Hmh!” Tio Kian mendengus dingin,
“Masa kau masih belum tahu jelas maksud Tong Ou menghadapimu
menggunakan cara seperti ini? Kau anggap yang telah dilakukannya
itu tindakan yang adil?”

Bu-ki terbungkam. Tapi raut mukanya masih mencerminkan
kekukuhan hati untuk mempertahankan pendiriannya.
Tentu saja sikapnya tak luput dari pengamatan Tio Kian.
Saking gelisahnya ia jadi geram sendiri, keras kepala amat anaknya
ini, sudah berhadapan dengan maut masih belum juga mau sadar?
Tio Kian merasa sedih sekali.
Tio Kian tahu, Tong Ou adalah orang yang sangat
berbahaya, dari perbuatannya memperalat Siangkoan Ling-ling untuk
meracuni ayahnya sendiri saja sudah memperlihatkan betapa licik
dan busuknya hati orang ini. Yang dilakukannya ibarat 'sekali timpuk
dua ekor burung', sebuah rencana berantai yang menakutkan.
Andaikata Bu-ki benar-benar membunuh dirinya, artinya
sama saja pemuda itu telah membantu Tong Ou untuk melenyapkan
orang yang ingin dia singkirkan. Sebaliknya jika Bu-ki bukan
tandingannya, sementara dirinya sudah keracunan hingga tenaga
dalamnya telah hilang empatpuluh persen, tentu saja Tong Ou jadi
tak perlu mengua-tirkan kemampuannya sehingga setiap saat dia
dapat menghabisi nyawanya
Sebaliknya Tong Ou sendiri sama sekali tidak menyangka
kalau rencana kejinya, siasat Naga Kemala Putih, secara kebetulan
terbentur dengan peristiwa lain yang pernah dilakukan Tio Kian
terhadap Sangkoan Jin.
Mungkinkah takdir telah menentukan lain? Takdir
menentukan kalau Benteng Keluarga Tong harus musnah dari muka
bumi?
Tapi sekarang Bu-ki menunjukkan sikap bahwa dia enggan
memanfaatkan peluang emas ini untuk membasmi Benteng Keluarga
Tong! Bagaimana mungkin Tio Kian tidak panik dan bersedih hati?
Menyaksikan keteguhan hati Bu-ki, mau tak mau Tio Kian
harus memutar otak mencari akal lain agar bisa mengubah pendirian
putranya itu.
Untuk berapa saat lamanya mereka berdua hanya saling
berpandangan dengan mulut terbungkam.
Sesaat kemudian tiba-tiba Tio Kian mendapat akal.
Ia menjerit keras, kemudian sambil memegangi perutnya ia
mengerang kesakitan, wajahnya menunjukkan sakit dan derita yang
luar biasa.
Dengan terperanjat Bu-ki segera berseru, “Ayah, kenapa
kau?”

Sedemikian kesakitan yang diderita Tio Kian membuat orang
tua itu tak sanggup berkata-kata, sesaat kemudian ia baru berbisik
lirih, “Sungguh keji perbuatan Tong Ou!”
Bu-ki merasakan hatinya bagaikan disayat pisau melihat
penderitaan yang dialami ayahnya, ia berbisik, “Tong Ou, dia...”
“Kau harus membalaskan dendam bagi penderitaanku ini!”
tukas Tio Kian cepat. “Balas dendam?”
“Benar!” darah segar mulai meleleh keluar dari ujung
bibirnya. “Ayah!” jerit Bu-ki sambil memegangi bahu ayahnya.
“Sekarang kau tentu sudah tahu bukan betapa kejam dan jahatnya
Tong Ou?”
Sekali lagi Bu-ki berdiri termangu, dia hanya bisa mengawasi
ayahnya tanpa mampu berkata-kata.
“Racun yang dia gunakan paling pantang bertemu darah,
sekali darah bercucuran maka aku pun akan berubah jadi begini.”
“Bagaimana keadaanmu sekarang ayah?”
“Saat ini usus dan isi perutku sakit bagai diiris-iris,
pendarahan sudah terjadi di seluruh bagian dalam tubuhku!”
“Kenapa bisa begitu?”
“Di sinilah letak kekejian Tong Ou!” sekali lagi Tio Kian
menekankan kekejaman lawannya, “Dia jelas tahu kalau aku akan
bertarung melawanmu, karena kuatir aku akan memenangkan
pertarungan ini maka diam-diam ia meracuniku, sedangkan racun itu
pantang bertemu darah, maka begitu terjadi pendarahan maka
aku... maka aku...”
Suara Tio Kian makin lama semakin bertambah lirih,
akhirnya suaranya melemah.
“Ayo kita cari tabib.”
“Percuma! Aku tahu, tak ada obat yang bisa menyelamatkan
jiwaku lagi!”
“Ayah!” jerit Bu-ki sambil berusaha memayang ayahnya, tapi
niat itu segera dicegah Tio Kian.
“Kau tak usah membuang tenaga lagi, setiap orang pasti
bakal mati, jadi kau pun tak usah terlalu bersedih hati.”
Air mata sudah mulai bercucuran membasahi wajah Bu-ki.
“Sebelum ajal datang menjemput, aku punya dua keinginan,
semoga kau bisa memenuhi harapanku ini!”
“Katakanlah ayah,” suara Bu-ki semakin sesenggukan.

“Pertama, kau harus menggunakan kesempatan ini untuk
melenyapkan Tong Ou, sebab saat inilah peluang emas bagimu.”
Dengan airmata bercucuran Bu-ki mengangguk.
“Kedua, kau harus baik-baik memimpin Tayhong-tong,
wujudkan cita-citaku yang belum tercapai!”
Bu-ki tetap membungkam.
“Kau bersedia mengabulkan keinginanku ini?” sorot mata
penuh harapan terpancar dari balik mata Tio Kian. Bu-ki tetap
membungkam.
“Kau harus mengabulkan keinginanku ini,” suara Tio Kian
bertambah lemah dan lirih. Akhirnya Bu-ki mengangguk.
Tio Kian tertawa kemudian tubuhnya roboh terkapar ke
tanah. “Ayah!” jerit Bu-ki sedih.
Orang yang sudah mati tak mungkin bisa hidup kembali
hanya lantaran jerit kesedihan. Yang membuat manusia sama sekali
tak berdaya hanyalah kematian.
Tio Kian mati dengan gembira, sebab segala rencananya
telah berjalan sesuai dengan jadwal dan semuanya lancar.
Sewaktu dia menjajal tenaga dalamnya dan menemukan
bahwa kekuatannya sudah berkurang empatpuluh persen, ia tahu
kalau racun yang digunakan Tong Ou adalah racun yang bersifat
lambat. Biasanya racun semacam ini tak ada pemunahnya, jadi
masalah mati hanya urusan cepat atau lambat, tapi pasti akan
dialaminya.
Siapa pun pasti berusaha untuk hidup lebih lama di dunia ini,
tapi keteguhan hati Bu-ki sudah sangat membahayakan rencananya,
maka untuk mengatasi hal ini Tio Kian segera mengambil keputusan
untuk mengorbankan diri.
Daripada akhirnya mati karena tersiksa, lebih baik dia
gunakan kematian sendiri untuk melunakkan pendirian putranya. Dia
sengaja melimpahkan semua tanggung jawab atas kematiannya itu
ke pundak Tong Ou, agar Bu-ki membenci orang ini, agar ia ingin
segera membunuhnya untuk membalas dendam.
Penyebab kematian Tio Kian yang sesungguhnya bukan
lantaran keracunan, melainkan karena dia telah menghancurkan isi
perutnya sendiri dengan tenaga dalamnya.
Cara mati seperti ini memang amat menyiksa, namun jauh
lebih tersiksa bila melihat Benteng Keluarga Tong berhasil

menguasai dunia. Karenanya kematian semacam ini bagi Tio Kian
tidak dianggap sebagai suatu penderitaan lagi!
Tentu saja Bu-ki tidak tahu kalau sampai akhir hayatnya,
ayahnya masih berusaha untuk menipu dirinya.
Rahasia kematian Tio Kian pun berlalu untuk selamanya,
mengikuti nyawanya yang telah meninggalkan raganya, selamanya
tak seorang pun akan tahu kejadian sebenarnya.
Kesedihan yang dialami Bu-ki saat ini tak terlukiskan dengan
kata-kata.
Selama ini dia selalu menganggap ayahnya telah tewas
ketika menjalankan siasat Harimau Kemala Putih, kemudian secara
tiba-tiba ia menjumpai ayahnya ternyata masih hidup, siapa sangka
baru berkumpul satu jam, kini dia benar-benar telah mati.
Dengan termangu-mangu ditatapnya wajah ayahnya yang
mati sambil menahan penderitaan, ia biarkan air matanya jatuh
bercucuran membasahi pipinya.
Diam-diam ia bersumpah di dalam hati, dia harus
membunuh Tong Ou untuk membalaskan sakit hati ini!
Sambil mendukung jenasah ayahnya, dia berjalan turun dari
atas batu besar kemudian menuju ke satu sudut di Bukit Singa. Di
sebuah tempat dengan latar belakang pemandangan yang indah dia
mengubur jenasah ayahnya.
Setelah itu dia berdiri lama sekali di situ, mengenang
kembali semua perjalanan hidupnya bersama ayahnya di masa lalu.
Entah berapa lama sudah lewat... ia baru tersadar ketika
mendengar suara langkah kaki yang ringan datang dari arah
belakang.
Tong Ou telah muncul.
Bu-ki sama sekali tidak berpaling, sejak tadi airmatanya
sudah mengering, yang tersisa saat ini hanya rasa benci dan
dendam kesumat.
Ia mendengar suara langkah kaki itu makin lama makin
dekat dan akhirnya berhenti kurang lebih tiga tombak di belakang
tubuhnya.
“Ternyata hatimu cukup baik!” suara Tong Ou bergema dari
belakang tubuhnya.
Perlahan-lahan Bu-ki membalikkan badan, mengawasi Tong
Ou tanpa berkedip. Kini ia sudah dapat mengendalikan hatinya, tiada

pancaran dendam dari matanya, juga tak ada raut gusar di
wajahnya, ia berdiri di situ dengan sikap yang amat tenang.
“Ternyata kau masih bersedia menguburkan jenasah musuh
besar yang telah membunuh ayahmu. Kelihatannya hubunganmu
dengan paman Siangkoanmu memang sangat akrab!”
Bu-ki tidak menjawab, dia hanya berpikir bagaimana harus
bersikap di hadapan Tong Ou agar tidak menimbulkan kecurigaan
orang.
Tiba-tiba Tong Ou tertawa, dari senyum berubah menjadi
gelak tertawa.
Menunggu sampai lawannya berhenti tertawa, Bu-ki baru
bertanya, “Apa yang kau tertawakan?”
“Aku sedang menertawakan dirimu!”
“Menertawakan aku?”
“Benar, menertawakan kebodohanmu, kau memang tolol,
sangat tolol, teramat tolol!”
Diam-diam Bu-ki tertawa dingin, sebab siapa yang paling
tolol hanya dia sendiri yang tahu.
“Aku sangat tolol?” dia balik bertanya.
“Tentu saja, kalau tidak goblok, mana mungkin sampai
terjebak oleh siasatku?”
“Terjebak siasatmu? Siasat apa?”
“Tahukah kau bahwa kau telah salah membunuh orang
baik?”
Tentu saja Bu-ki tahu, tapi dia berlagak pilon.
“Aku telah salah membunuh siapa?” tanyanya.
“Sangkoan Jin!”
“Sangkoan Jin?”
“Benar!”
“Salahkah jika kubunuh musuh yang telah membunuh
ayahku?”
“Tidak!”
“Lantas kenapa kau mengatakan aku telah salah
membunuh?”
“Masalahnya, dia bukan musuh besar yang telah membunuh
ayahmu!”
“Oya?”
“Kau tidak percaya?”

“Tentu saja tidak!” Bu-ki melanjutkan sandiwaranya,
“Memangnya buku harian ayahku itu palsu?”
“Siapa bilang tak mungkin?”
“Kenapa mungkin?”
“Karena akulah pengarang buku harian itu!” Mendadak Bu-ki
mendongakkan kepalanya dan tertawa terbahak-bahak.
“Apa yang kau tertawakan?” tegur Tong Ou. “Apakah kau
tidak merasa geli? Mana mungkin kau yang mengarang buku harian
ayahku?” sekali lagi dia tertawa terbahak-bahak.
“Oh, jadi kau tidak percaya?”
“Tentu saja tidak, apa tujuanmu berkata begitu? Sengaja
memancing amarahku?”
“Benar, aku memang sengaja memancing amarahmu, agar
kau sedih dan merasa amat menyesal.”
“Apa gunanya untukmu?”
“Aku bisa menggunakan kesempatan ini untuk
membunuhmu!”
“Kenapa? Bukankah kita berjanji akan bertarung?”
“Duel?” Tong Ou mendengus dingin, “kalau mesti duel
secara adil, belum tentu aku bisa mengungguli kemampuanmu.”
“Kenapa?”
“Sebab ilmu pedang yang kau pelajari dari Siau Tang-lo
adalah ilmu pedang nomor wahid di kolong langit, kelewat hebat!”
“Maka kau sengaja memancing amarahku, agar aku emosi
dan tak mampu berkonsentrasi?”
“Tepat sekali!”
“Sayang karangan ceritamu kelewat jelek, bagaimana
mungkin aku bisa mempercayai perkataanmu?”
“Aku tahu!”
“Jadi kita ubah hari dan tempat bertarung menjadi hari ini
dan di tempat ini?”
“Aku tak akan keberatan.”
“Kau tak akan menyesal?”
“Aku hanya menyesal karena telah salah membunuh paman
Siangkoan.”
“Dalam kejadian ini, kau memang patut merasa menyesal,
padahal aku lihat kau kelewat goblok, kelewat gampang ditipu
orang, manusia macam dirimu tidak pantas untuk menjadi pemimpin
Tayhong-tong!”

Bu-ki tidak menjawab, dia tahu Tong Ou sedang
menggunakan kelebihannya yaitu membuat panas hati orang.
Bu-ki mendengus dingin, dengan berlagak makin lama
semakin bertambah gusar. Ia meraung keras, padahal dalam hati
kecilnya dia jauh lebih tenang dari siapa pun juga.
“Tahukah kau, dalam keadaan seperti ini kau paling pantas
jadi apa?”
“Jadi apa?”
“Jadi setan!” bicara sampai di situ Tong Ou segera tertawa
terbahak-bahak, tertawa penuh kebanggaan.
Paras muka Bu-ki berubah jadi merah padam, dia
menunjukkan sikap yang semakin gusar.
Diam-diam Tong Ou mengamati terus perubahan raut muka
Bu-ki, dia tahu, sekaranglah saat yang paling tepat untuk turun
tangan. Karena itu ujarnya, “Sekarang kita boleh bertarung secara
adil!”
Diam-diam Bu-ki tertawa dingin, duel secara adil? Kau
sengaja memancing emosiku, agar kemampuan silatku terperosok,
inikah yang disebut adil?
Bu-ki semakin berlagak marah, dia memang sengaja
berlagak begitu agar Tong Ou salah menilai dirinya, agar Tong Ou
memandang enteng kemampuannya.
Memandang enteng lawan merupakan titik kelemahan yang
sangat mematikan dalam satu pertarungan.
Maka bila ditinjau dari berbagai sudut, pertarungan ini jelas
bukan sebuah pertarungan yang adil.
Bab 21. Duel
Perubahan alam merupakan hal yang paling sukar
diramalkan, apalagi perubahan cuaca, boleh dibilang jauh lebih rumit
ketimbang perubahan watak manusia.
Matahari yang selama ini bersinar cerah di Bukit Singa, tibatiba
berubah menjadi redup dan gelap, perubahan itu terjadi di saat
Tong Ou dan Bu-ki siap bertarung.
Menyusul kemudian awan gelap menutup seluruh angkasa,
menghalangi cahaya matahari, membuat suasana jadi gelap remangremang.

Angin mulai berhembus kencang, udara pun turut terasa
lembab, pertanda sebentar lagi akan turun hujan angin.
Hembusan angin kencang yang menderu-deru membuat
ujung baju kedua orang yang sudah berdiri berhadapan itu berkibar
kencang.
Yang tidak terpengaruh oleh hembusan angin kencang itu
hanya tubuh mereka berdua, berdiri tegar bagaikan Bukit Singa,
serta pedang yang berada dalam genggaman mereka.
Pedang yang digunakan untuk menentukan mati hidup
lawan, pedang yang saling mengancam dada lawan, keduanya sama
sekali tak bergerak kendati dihembus angin yang lebih keras.
Tangan-tangan yang menggenggam pedang itu nampak begitu
kokoh, nampak begitu siap untuk menghabisi nyawa lawannya.
Tangan kokoh yang menggenggam pedang kokoh, bagi
Tong Ou merupakan lukisan yang sangat tepat dan nyata.
Tapi bagi Bu-ki keadaan ini jauh berbeda, gambaran yang
keliru bagi saat dan tempat seperti ini.
Sebab dia sedang marah, dia sedang dicengkeram nafsu.
Orang yang sedang marah pasti rapuh pertahanannya, orang yang
dipengaruhi nafsu genggaman pedangnya pasti tak kokoh.
Ketika ini terlihat oleh Tong Ou, diam-diam ia merasa
terperanjat. Bukan karena ia telah menemukan rahasia Bu-ki, tapi ia
mempunyai pandangan lain terhadap sikap Bu-ki dalam menghadapi
lawan.
Dia tak menyangka bahwa dalam keadaan marah dan penuh
nafsu, Bu-ki bisa bersikap begitu tenang selagi menghadapi lawan,
kemampuan semacam ini jauh di luar dugaan dirinya.
Bu-ki sendiri tercekat ketika menangkap perasaan kagum
yang melintas di balik mata Tong Ou, dia segera sadar kalau dirinya
telah melakukan kesalahan, dia pun mengerti kenapa Tong Ou
menampilkan perasaan kagum terhadapnya.
Dia tak boleh membiarkan Tong Ou menaruh perasaan
kagum terhadapnya, dia ingin Tong Ou memandang enteng dirinya,
dengan begitu dia baru memperoleh kesempatan untuk menemukan
titik kelemahan Tong Ou dan mengalahkannya.
Maka ia segera berganti sikap.
Tangannya mulai melakukan gerakan gemetar, dia sengaja
menggetarkan perlahan tangannya, ia sadar dengan kemampuan
Tong Ou, tidak sulit baginya untuk melihat gerakan itu.

Benar saja, Tong Ou segera melihatnya, tanpa terasa ia
tertawa dingin. Rupanya Bu-ki tidak setenang seperti yang
dibayangkan semula.
Walaupun Tong Ou sudah menangkap kalau tangan kanan
Bu-ki mulai gemetar, namun dia tidak segera turun tangan. Saat ini
bukan saat yang tepat untuk turun tangan, peluang terbaik masih
harus ditunggu.
Dia harus menunggu lagi.
Bu-ki diam-diam mengagumi sikap Tong Ou, musuhnya
benar-benar pandai mengamati lawan dengan kepala dingin. Tidak
turun tangan secara sembarangan dan hanya menyerang jika
menganggap saatnya telah tiba, manusia semacam ini sangat jarang
dijumpai dalam dunia persilatan!
Tangan Bu-ki bergetar perlahan sementara hatinya bergetar
sangat keras, sebab dia harus segera menemukan cara baru untuk
menghadapi ketenangan Tong Ou, bila bertahan terus dalam posisi
seperti ini, lambat laun dialah yang akan dirugikan.
Ia berencana memancing musuhnya agar melancarkan
serangan dengan melakukan satu gerakan.
Mendadak ia menjerit sekeras-kerasnya, seakan-akan
sedang meluapkan seluruh kekesalan hatinya, kemudian sekaligus
dia melepaskan tigabelas tusukan pedang ke tubuh lawan.
Ilmu pedang yang ia gunakan saat ini adalah jurus pedang
yang ia dapat dari ayahnya.
Sesuai dengan nama Tayhong-tong, ilmu pedang ini dinamai
Tayhong-capsah-si atau Tigabelas Jurus Ilmu Pedang Angin Topan.
Ketigabelas tusukan yang dilontarkan Bu-ki itu merupakan
jurus pertama dari Ilmu Pedang Angin Topan yang disebut Tayhongkihun
(Angin Topan Bermunculan). Dalam ilmu pedang ini, setiap
jurus serangannya terdiri dari tigabelas gerakan, gerakan yang satu
lebih cepat dari gerakan sebelumnya, ibarat disapu angin topan,
serangan saling susul secara bertubi-tubi.
Tong Ou sama sekali tidak melancarkan serangan balasan,
dia mengambil sikap mempertahankan diri. Sambil mengincar
datangnya ancaman, tubuhnya mengegos ke kiri, menghindar ke
kanan, dengan gampang dia lolos dari ketigabelas tusukan itu.
Selesai melancarkan serangan pertama, Bu-ki mundur
selangkah ke belakang disusul kemudian tubuhnya menerjang lagi

ke depan. Kali ini dia melancarkan serangan dengan menggunakan
jurus kedua, Siahong-si-ih (Angin Serong Hujan Gerimis).
Serangan ini pun terdiri dari tigabelas gerakan, kali ini yang
diarah adalah tigabelas jalan darah penting di tubuh lawan.
Sesuai dengan nama jurusnya, Angin Serong Hujan Gerimis,
setiap jurus serangan yang dilancarkan hampir semuanya bergerak
menyerong, dari atas atau dari bawah, dari kiri atau dari kanan
hampir semuanya menusuk jalan darah lawan secara miring.
Kali ini Tong Ou tidak berusaha menghindar lagi, dalam
kenyataan memang tidak mungkin bagi seseorang untuk berkelit
terus-terusan menghadapi datangnya ancaman.
Benturan nyaring bergema silih berganti, dalam waktu
singkat pedang mereka berdua sudah saling bentur dua-tigabelas
kali.
Inilah ciri khas ilmu pedang Keluarga Tong, dalam setiap
gerak serangannya mereka pasti akan berusaha membentur senjata
lawan secara keras melawan keras!
Kepandaian silat yang paling diandalkan Keluarga Tong
memang bukan ilmu pedang, andalan mereka yang paling ampuh
justru senj ata rahasia.
Ilmu pedang Keluarga Tong bukan ilmu pedang yang
bertarung jarak jauh, tapi lebih cocok untuk pertarungan jarak dekat
karena ruang lingkupnya juga sangat kecil.
Ruang lingkup yang kecil ditambah seringnya terjadi
benturan senjata mendatangkan keuntungan yang luar biasa bagi
orang-orang Keluarga Tong.
Sebab mereka bisa memanfaatkan kedekatan dan
keberisikan itu untuk melepaskan senjata rahasia.
Untuk menghindari datangnya serangan senjata rahasia dari
jarak dekat sudah merupakan satu urusan yang sulit, terlebih jika
orang yang melancarkan serangan adalah jago dari Keluarga Tong
yang termashur akan keampuhan ilmu am-ginya!
Tapi Bu-ki sama sekali tidak jeri, dia bahkan menerjang
terus tanpa berhenti, sambil menyerang, tiada hentinya pedang
mereka saling beradu.
Dia tahu, jika Tong Ou hendak melukainya dengan senjata
rahasia, ia sudah melakukannya sejak tadi dan tak perlu menunggu
sampai sekarang.
Dalam hal ini Bu-ki merasa sangat yakin.

Tong Ou sendiri juga tahu kalau lawannya sadar kalau dia
tak akan melukainya dengan senjata rahasia, namun dia memang
tidak takut menghadapi Tio Bu-ki.
Kecuali yakin dengan kemampuan silat sendiri, dia pun
berpendapat bahwa Bu-ki saat ini sedang pada saat yang paling
tidak menguntungkan baginya.
Bagaimana tidak? Baru saja dia telah salah membunuh
pamannya, Sangkoan Jin!
Oleh sebab itu Tong Ou memutuskan untuk menghadapi
lawannya dengan mengandalkan ilmu pedang, dia tak akan
mempergunakan senjata rahasia.
Tentu saja kecuali ilmu pedang Bu-ki membuatnya keteter
sehingga jiwanya terancam! Kalau tidak, ia enggan menggunakan
senjata rahasia.
Ketika Bu-ki selesai melancarkan serangan dengan jurus
keduanya Siahong-si-ih, ia segera sadar kalau dirinya keliru besar.
Dia tidak seharusnya menggunakan dua jurus pertama dari
Ilmu Pedang Angin Topan, sebab kedua jurus serangan ini terlalu
lembut, kelewat lamban, setidaknya jika dibandingkan dengan jurusjurus
berikutnya.
Saat ini pikiran dan emosinya sedang labil, dia butuh
pelampiasan, mana mungkin melancarkan serangan dengan jurus
yang lembut?
Dia perlu jurus serangan yang ganas dan kalap, kalau perlu
jurus-jurus serangan yang mirip orang nekad!
Dengan cepat dia merubah cara bertarungnya, dengan jurus
kesebelas Honghong-ci-ih (Angin Puyuh Hujan Deras) ia mendesak
musuhnya habis-habisan.
Di mana hawa pedangnya menyambar lewat, terdengar
suara deru angin tajam menggelegar, daun dan ranting pohon yang
berada di sekeliling tempat itu ikut beterbangan dan gugur ke tanah.
Semua gerak serangannya mirip serbuan orang kalap,
seakan-akan ada manusia gila yang sedang melampiaskan semua
amarah dan dendamnya, menyerang secara ganas, mengancam
secara brutal.
Angin puyuh membuat ujung baju Tong Ou berkibar
kencang.
Hujan badai menyambar ke sekujur badan Tong Ou,
menusuk jalan darahnya.

Tong Ou memang hebat! Biar diterpa angin puyuh dan
hujan badai, ia sama sekali tak bergerak, tubuhnya tetap berdiri
kokoh bagaikan batu karang.
Pedang yang berada di tangannya bergerak cepat bagai
titiran angin, membendung semua serangan yang datang bagai air
bah itu.
Tigabelas kali benturan nyaring menggelegar di angkasa,
kemudian semuanya selesai.
Angin telah berhenti berhembus, hujan pun sudah mereda.
Peluh sebesar kacang kedele membasahi jidat Bu-ki. Tapi paras
mukanya merah membara, merah bagaikan orang yang sedang
murka.
Penampilan macam ini memang disengaja oleh Bu-ki.
Sewaktu menggunakan jurus serangan tadi, ia sengaja mengerahkan
tenaga dalamnya dan memaksa wajahnya berubah jadi merah
membara, dia ingin musuhnya salah menduga, salah mengira, dia
sedang mencapai puncak kemarahannya.
Menyusul kemudian ia segera mengeluarkan jurus
serangannya yang keduabelas, Pohong-po-ih (Angin Topan Hujan
Dahsyat).
Kecepatan gerak serangannya kali ini jauh di atas
kemampuan jurus kesebelas tadi, sementara arah serangannya pun
sama sekali berbeda.
Kalau dalam serangannya tadi dia hanya merangsek maju
dari sisi depan musuhnya, maka pada jurus serangannya kali ini dia
menyerang masuk dari tigabelas arah yang berbeda, tigabelas arah
yang tak menentu jurusan dan sasarannya.
Terhadap gerak serangan ini tampaknya Tong Ou seperti
sangat mengenal dan hapal, sebab ia bergeser mengikuti gerakan
tubuh Bu-ki, ke mana pun anak muda itu bergerak, dia selalu
bergeser tepat di hadapannya dan “Tringg!” diiringi dentingan
nyaring selalu berhasil membendung datangnya ancaman.
Yang lebih lihay lagi adalah ketika Bu-ki sengaja membuka
sebuah titik kelemahan kecil di saat melancarkan serangannya yang
keduabelas, ternyata secepat sambaran kilat Tong Ou sudah
menerjang masuk sambil menghadiahkan sebuah tusukan ke tubuh
lawan melalui lubang kelemahan itu.
Untung saja Bu-ki memang sengaja berbuat begitu sehingga
jauh sebelumnya dia sudah mempersiapkan cara untuk

mengatasinya. Meski begitu, Bu-ki sendiri tetap belum berhasil
menemukan peluang untuk melancarkan serangan balasan.
Maka sadarlah anak muda ini bahwa dia tak boleh
memancing musuhnya dengan sengaja membuka lubang kelemahan,
untuk mengalahkan lawan dia perlu menggunakan kepandaian
sesungguhnya dan lagi tak boleh bertindak gegabah.
Ketika Bu-ki memperlihatkan lubang kelemahan tadi
sebenarnya Tong Ou sudah kegirangan. Tapi begitu tahu bahwa
musuhnya segera menyadari akan hal itu dan menutup kembali
lubang tersebut, rasa girangnya segera saja sirna.
Mendadak ia jadi sadar, titik kelemahan itu sengaja dibuat
Bu-ki untuk menjebaknya, jelas dia mempunyai maksud untuk
memancingnya masuk, agar dia masuk perangkap.
Di samping itu dia juga mulai curiga, jangan-jangan
kemarahan yang diperlihatkan Bu-ki hanya pura-pura. Mungkin ada
sesuatu yang tidak beres di balik semua ini.
Maka ketika Bu-ki melancarkan serangan dengan
menggunakan jurus yang terakhir dari tigabelas jurus Ilmu Pedang
Angin Topan, dia segera merubah cara bertarungnya.
Dari bertahan, kini dia mengubah dirinya menjadi
menyerang.
Jurus ketigabelas yang digunakan Bu-ki ini disebut Luitianciauka
(Guntur dan Petir Saling Menyambar), pancaran tenaga dalam
yang disalurkan ke dalam pedang menerbitkan suara nyaring bagai
guntur, di samping itu perubahan yang terjadi dalam setiap gerakan
selalu disertai kilatan cahaya bagaikan petir.
Selain itu sambaran pedang yang disertai kilatan cahaya
menimbulkan gelombang tenaga serangan yang mengerikan,
semuanya tertuju ke setiap jalan darah penting di pinggang lawan.
Selama ini Tong Ou selalu bangga dengan kecepatan gerak
yang dimilikinya, sekali ini dia tak menyangka kalau ilmu pedang
yang dimiliki Bu-ki sedemikian lihaynya.
Jika ia tetap mempertahankan cara bertarungnya seperti
tadi, mungkin sekarang dia sudah tak mampu lolos dari ancaman
maut. Paling banter yang bisa dia lakukan hanya mengadu nyawa,
bahkan itu pun harus menggunakan senjata rahasia, baru bisa
menghabisi nyawa lawannya!
Padahal dia sangat tak ingin melakukan tindakan seperti itu.

Kalau tadinya dia masih memandang enteng musuhnya,
sekarang pikiran semacam itu langsung lenyap! Sebagai gantinya ia
meningkatkan kewaspadaannya.
Sambil menghimpun tenaga ia menghindar ke kiri
menerobos ke kanan, pedangnya bagaikan seekor ular berbisa
mematuk tubuh pedang lawan yang berusaha menghampirinya.
Jelas ilmu pedang yang dia gunakan saat ini bukan ilmu
pedang keluarga Tong, itulah ilmu Pedang Ular Berbisa yang
diperolehnya dari Siau Tang-lo ketika ia datang menukar obat
pemunah racun.
Bu-ki pernah juga mempelajari ilmu pedang tersebut, akan
tetapi dia tak sanggup melukai lawannya, menyentuh pun tak
sanggup.
Mengapa bisa begitu?
Rupanya Tong Ou telah menggabungkan ilmu Pedang Ular
Berbisa ini dengan ilmu melepaskan senjata rahasia dari keluarga
Tong dan ini membuat jurus serangan yang digunakannya selalu
mengarah pada sasaran yang jauh berbeda dengan jurus aslinya.
Kejadian ini bukan saja membuat Bu-ki tak mampu melukai
lawannya, dia nyaris jatuh jadi pecundang di tangan lawan!
Menghadapi serangan ilmu pedang ini, boleh dibilang Bu-ki
telah hapal di luar kepala, dia menguasai setiap perubahan dalam
ilmu pedang itu dan tahu sasaran mana yang dituju. Oleh sebab itu
dia seperti tahu semua ancaman yang dilancarkan Tong Ou tertuju
ke mana.
Ini sama artinya dia menguasai titik kelemahan lawan, asal
pedangnya diarahkan ke titik itu, maka ancaman lawan pasti akan
gagal total.
Tapi Bu-ki sama sekali tak menyangka kalau Tong Ou telah
merubah jurus serangan itu, maka ketika dia menusuk titik
kelemahan di tubuh Tong Ou, bukan saja titik kelemahan itu gagal
dijebol, sebaliknya dia malah terperangkap dalam jebakan musuh!
Untung saja jurus Luitian-ciauka ini mengutamakan
kecepatan gerak sehingga di balik kecepatan itu Bu-ki sempat
meloloskan diri dari perangkap! Kalau tidak, mungkin dia sudah
tewas di ujung pedang Tong Ou!
Selesai menggunakan jurus itu, Bu-ki segera melompat
mundur ke belakang, berikutnya dia menyerang dengan
menggunakan jurus

Kuijiu-patsi (Delapan Jurus Tangan Setan).
Tong Ou tak ingin musuhnya memperoleh kesempatan
untuk berganti napas, begitu serangan lawan berhenti, ia segera
menggetarkan senjatanya sambil merangsek ke depan, dengan jurus
Lengcoa-juttong (Ular Lincah Keluar dari Gua) ia menusuk
pergelangan tangan kanan lawan.
Tak sempat mengubah jurus untuk memunahkan ancaman
yang datang, terpaksa Bu-ki melompat mundur lagi satu langkah.
Tong Ou merangsek lebih ke depan, tetap dengan jurus
Lengcoa-juttong ia meneruskan tusukannya ke arah pergelangan
tangan kanan anak muda itu.
Bu-ki terdesak, mau tak mau, sekali lagi dia mundur
selangkah!
Masih menggunakan jurus yang sama Tong Ou menusuk
pergelangan kanan Bu-ki!
Jurus serangan yang sebenarnya sangat sederhana ini
ternyata bisa mendatangkan hasil luar biasa. Baru pertama kali ini
Bu-ki menjumpainya, sayang orang yang menggunakan jurus itu
bukan dia melainkan lawannya, kendati begitu dia berhasil juga
menarik makna di balik semua ini.
Kali ini dia tidak mundur, tangan kirinya menggunakan
sebuah jurus yang sederhana Lohan-tuicha (Orang Tua Mendorong
Kereta), berusaha menabok tubuh lawan.
Mau tak mau Tong Ou harus menangkis datangnya ancaman
itu, dia tak ingin beradu jiwa, tak ingin sama-sama terluka. Meskipun
nanti tusukannya berhasil melukai pergelangan tangan Bu-ki, namun
jika kena tabokan itu, jelas dialah pihak yang lebih rugi!
Karenanya pedang yang semula dipakai untuk mengancam
pergelangan tangan lawan segera berputar arah, kali ini dia
menyerang tangan kiri.
Siapa tahu jurus serangan yang digunakan Bu-ki di tangan
kirinya hanya jurus tipuan. Memanfaatkan peluang di saat Tong Ou
mengubah gerakan pedangnya, pedang yang ada di tangan
kanannya dengan jurus Kuikui-koaykoay (Aneh dan Menyeramkan),
bagai sukma gentayangan tanpa menimbulkan suara sedikit pun,
menusuk delapan jalan darah di dada.
Dengan terperanjat buru-buru Tong Ou mundur satu
langkah, dia menggunakan perubahan dari ilmu Pedang Ular Berbisa
untuk membendung datangnya ancaman itu.

Pertarungan pun berlangsung amat seru, satu jam sudah
lewat namun serangan demi serangan masih dilancarkan kedua
belah pihak, peluh sudah mulai bercucuran dan membasahi tubuh
mereka.
Begitu serius dan rapat mereka berdua bertempur, sampai
tak seorang pun tahu akan kejadian lain di dekat situ, juga tak ada
yang menaruh perhatian pada keadaan di sekitar sana.
Mereka tidak sadar atas kehadiran beberapa orang, ada
penjual kue, ada penjual manisan... Rombongan itu muncul tanpa
bersuara sedikit pun, begitu sampai segera bersembunyi di balik
pepohonan sambil menonton jalannya pertempuran.
Lama kelamaan Tong Ou sadar, jika pertarungan berlanjut
terus, pada akhirnya dia bukanlah tandingan Bu-ki. Jika ingin
menang, satu-satunya jalan adalah menggunakan senjata rahasia,
tindakan yang sebenarnya sangat tak ingin dia lakukan. Tapi jika
nyawa saja sudah mulai terancam, apakah ada waktu baginya untuk
memedulikan nama serta kedudukan?
Tangan kirinya merogoh ke dalam saku, menggenggam
segenggam senjata rahasia.
Tatkala pedang Bu-ki membabat tiba, mendadak ia
menangkis serangan itu keras lawan keras, sehingga tubuh mereka
berdua sama-sama tergetar mundur beberapa langkah.
Menggunakan kesempatan ini, Tong Ou melepaskan senjata
rahasia andalannya!
Dia menyangka serangan itu pasti akan berhasil, semua
senjata rahasia yang dilepaskannya pasti akan terhunjam di tubuh
Bu-ki. Di luar dugaan, hampir semua am-ginya rontok dan
berguguran ke tanah.
Bukan dipukul rontok oleh Bu-ki, tapi dijatuhkan oleh
sambitan berbagai jenis hidangan seperti kue, pia, cakue, saupia dan
lain sebagainya. Makanan-makanan kecil itu melesat datang dengan
membawa desingan angin tajam, menghajar tiap senjata rahasia
yang muncul dan merontokkannya tepat di depan tubuh Bu-ki.
Tak terlukiskan rasa kaget Bu-ki menghadapi kejadian ini,
peluh dingin bercucuran membasahi tubuhnya. Sebelum dia sadar
sepenuhnya akan apa yang terjadi, satu kejadian lain yang sama
sekali di luar dugaan telah berlangsung.
Tong Ou telah tewas, tewas dibantai kawanan penjaja
makanan kecil itu!

“Mengapa kalian membunuhnya?” tanya Bu-ki keheranan.
Dia kenal orang-orang itu, kawanan penjaja makanan kecil ini adalah
jago-jago yang memiliki ilmu silat hebat, mereka semua pernah
mendapat didikan langsung dari Siau Tang-lo.
Sedemikian setianya kawanan penjaja makanan kecil ini
terhadap Siau Tang-lo, sehingga setiap kali diundang datang, berapa
pun jauhnya mereka berada, kawanan itu segera akan menyusul
datang.
“Karena dia telah membunuh majikan kami!” si penjual kue
menerangkan.
“Siapa majikan kalian? Siau Tang-lo?”
“Benar, dia telah membunuh Siau-ongya dengan cara yang
licik dan keji.”
“Raja muda Siau? Majikan kalian itu raja muda?”
“Dulu dia adalah raja muda. Tapi bagi kami, selamanya dia
adalah raja muda kami.”
Tiba-tiba Bu-ki memahami segala sesuatunya, kenapa Siau
Tang-lo bisa memiliki harta dan uang yang tiada habisnya, sampaisampai
di depan guanya, di bukit Kiu-hoa-san pun dibangun istana
yang begitu megah, ternyata dia pernah menjadi seorang raja muda!
“Dengan cara licik apa Tong Ou membunuh Siau-ongya?”
tanya Bu-ki lagi.
“Setiap tahun Ongya pasti menggunakan berbagai jenis
mustika dan barang berharga lainnya untuk ditukar dengan obat
pemunah, ada kalanya dia pun menggunakan ilmu pedang sebagai
barang persembahan. Tentunya kau sudah tahu bukan mengapa dia
sampai berbuat begitu?” kata si penjual kue.
Bu-ki manggut-manggut, dia tahu Siau Tang-lo selalu
mengguna¬kan obat pemunah itu untuk mengobati si Mayat Hidup,
sebagai imbalannya Mayat Hidup dengan menggunakan ilmunya
yang ampuh mengurut jalan darah dan nadi di tubuh Siau Tang-lo.
“Tahun ini Tong Ou menyerahkan obat pemunah lagi untuk
Ongya, tapi yang dia serahkan bukan obat pemunah melainkan
racun!”
Bu-ki sangat kaget. Mengapa Tong Ou melakukan perbuatan
se¬perti ini? Dia tak berani memercayainya!
Tapi dia bisa membayangkan apa yang kemudian terjadi.
Ketika si Mayat Hidup minum obat pemunah yang sebenarnya racun
dan kemudian keracunan, dia pasti menggunakan tangan beracun

pula untuk mengurut nadi penting di tubuh Siau Tang-lo. Akibatnya
kedua tokoh sakti itu mati bersama secara mengenaskan!
“Sudah kami selidiki, ternyata ada orang yang sengaja
menukar obat pemunah itu dengan racun,” kembali si penjual kue
berkata.
“Oh, siapa yang melakukan penukaran itu?”
“Tong Koat!”
“Tong Koat? Kenapa?”
“Karena dia ingin mencelakai kakaknya, agar Benteng
Keluarga Tong jatuh ke tangannya!”
Bu-ki tidak bicara lagi, dia percaya Tong Koat dapat
melakukan perbuatan seperti itu, sebab dia memang manusia
semacam itu.
“Tapi Tong Koat keliru besar!” kata si penjual kue lagi,
“Dengan berbuat begitu, bukan saja dia tak dapat mengangkangi
Benteng Keluarga Tong, malah sebaliknya dia telah menghancurkan
tonggak pondasi yang paling kuat Keluarga Tong!”
“Kenapa?”
“Karena hampir semua tokoh utama Benteng Keluarga Tong
telah kami bantai hingga ludas, Tong'Ou merupakan korban kami
yang terakhir!”
Bu-ki membelalakkan matanya lebar-lebar, ia tak mampu
bicara lagi. Apakah dengan begitu kekuatan Benteng Keluarga Tong
jadi musnah?
“Dunia persilatan di masa mendatang merupakan dunia
persilatan milik Tayhong-tong kalian!” seru si penjual kue.
Berbicara sampai di situ, ia segera berbenah dan siap
beranjak pergi.
“Harap tunggu sebentar,” seru Bu-ki tiba-tiba. “Ada urusan
apa lagi?”
“Aku ingin tahu nama kalian serta bagaimana caranya untuk
mengontak kalian semua di kemudian hari!”
“Aku rasa tidak ada perlunya lagi! Ongya adalah bekas raja
yang kehilangan kekuasaan, selama ini kami mengikutinya dengan
harapan suatu saat dapat membangun kembali kerajaan kami. Tak
dinyana nasibnya sangat jelek, dia harus tewas di tangan orangorang
Keluarga Tong. Bagaimanapun kami sudah terbiasa hidup
mengembara dalam dunia bebas, aku rasa dunia inilah yang akan
menjadi rumah kami sepanjang masa. Nama tak penting untuk kami

semua karena tak bermakna apa-apa. Anak muda, kau harus pandai
menjaga diri!”
Selesai berkata ia segera memberi tanda, kemudian bersama
rekan-rekannya segera berlalu dari situ. Bukit Singa yang luas sekali
lagi tercekam dalam keheningan. Kecuali desiran angin di bukit, tak
kedengaran lagi suara manusia.
Bu-ki mengubur mayat Tong Ou di sisi kuburan ayahnya,
lama sekali dia berdiri termenung di depan dua kuburan baru itu,
pikirannya bergolak keras. Pagi tadi, kedua orang ini masih hidup,
mereka masih merupakan tokoh-tokoh paling tangguh dalam dunia
persilatan. Tapi sorenya mereka berdua telah terkubur sebagai
mayat di tempat ini!
Dunia persilatan benar-benar sangat berbahaya! Jangan lagi
terha¬dap orang lain, terhadap sesama saudara pun ada yang tega
untuk membunuh, contohnya seperti nasib tragis yang dialami Tong
Ou. Kini Bu-ki mulai sadar, pikirannya mulai terbuka, dunia persilatan
memang bukan tempat yang nyaman, bukan tempat yang patut
didiami.
Kini Tayhong-tong memang sudah menguasai seluruh dunia
persilatan, tapi siapa yang berani menjamin tak ada kekuatan besar
lainnya yang bakal muncul? Pertikaian, pertentangan, pertarungan
hanya merupakan peristiwa yang cepat atau lambat pasti akan
terjadi.
Apakah tidak lebih baik menyerahkan semua persoalan ini
kepada orang lain saja? Kenapa tidak ia serahkan saja kepada
paman Sugong, agar dia yang dibikin pusing?
Bu-ki memutuskan akan mengundurkan diri dari dunia
persilatan, mundur dari segala pertikaian yang penuh bau anyir
darah. Dia memutuskan untuk kembali ke bukit Kiu-hoa-san, tempat
yang tenang dan nyaman untuk berpikir, berlatih dan melamun.
Bila ada kesempatan nanti, mungkin saja dia akan turun
gunung, berkelana sambil menolong mereka yang butuh
pertolongan.Tapi, sebelum berangkat ke bukit Kiu-hoa-san, dia harus
pergi menemui seseorang dulu.
Kekasih yang paling dicintainya. Wi Hong-nio!
TAMAT
Anda sedang membaca artikel tentang Naga Kemala Putih [Lanjutan Harimau Kumala Putih] dan anda bisa menemukan artikel Naga Kemala Putih [Lanjutan Harimau Kumala Putih] ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/09/naga-kemala-putih-lanjutan-harimau.html,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Naga Kemala Putih [Lanjutan Harimau Kumala Putih] ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Naga Kemala Putih [Lanjutan Harimau Kumala Putih] sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Naga Kemala Putih [Lanjutan Harimau Kumala Putih] with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/09/naga-kemala-putih-lanjutan-harimau.html. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar