Cerita Silat : Iblis Sungai Telaga 4

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Selasa, 20 September 2011

sampai empat
puluh tombak persegi.
Tepat berdiri diujung jurang, terlihat dua orang yang
membaliki belakang. Mereka itu berdiri berendeng. Yang
seorang terang seorang tua, bajunya panjang dan
gerombongan dan yang lainnya dandanannya ringkas. Dia ini
mungkin baru berusia lebih kurang empat puluh tahun. Dilihat
dari gerak geriknya yang satu seperti lagi mengajari sesuatu
ilmu, yang lain lagi menerimanya.....


"Harrr !" tiba-tiba si tua berseru dan tangannya
diluncurkan, dihajarkan ke arah laut. Ketika ia menarik pulang
tangannya dengan cepat ada air yang seperti tersedot naik,
besarnya sebesar tiang, dan naiknya sepuluh tombak lebih.
Hajaran pun membuat air menerbitkan suara keras. Kemudian
air bagaikan tiang itu terombang ambing karena si orang tua
menggoyang tangannya ke kiri dan ke kanan.....
Orang yang satunya tertawa, dia memuji sambil bertepuk
tangan !
It Beng berdua berjalan mendekati dua orang itu, mereka
berhenti sedikit jauh untuk menonton terus. Mereka bahwa
tangannya orang tua itu lihai luar biasa. Tengah mereka
mengawasi mendadak mereka merasa haa dingin menyambar
ke arah mereka, sehingga mereka terkejut. Apa pula kapan
segera terlihat si orang tua membalik tubuh sasmbil berseru
serta kedua tangannya diluncurkan ke sekitarnya !
Yang paling mengherankan ialah orang kedua, selagi si
orang tua menarik air naik, air naik saban-saban dia
menjemput ikan yang terbawa air itu, setiap ikan dimasukkan
ke dalam korang di punggungnya !
Seberhentinya air meluncur, karunya si orang setengah tua
sudah berisikan banyak ikan. Kedua orang itu lantas tertawa
berkakakan pertanda girang hatinya. Kemudia si orang
setengah tua bertindak pergi, atau mendadak kawannya yang
tua berseru tertahan sebab dia melihat Hong Kun berdua !
Baru sekarang It beng berdua melihat muka si orang tua,
keduanya terkejut.
Muka itu kurus kering, potongannya mirip muka kuda,
kulitnya merah sekali, matanya bersinar kebiruan. Ada kumis


dan janggutnya tipis. Yang menyolok ialah hidunya yang
bengkung dan panjang mirip paruh burung elang. Sedang
kawannya bermata besar, alisnya gomplok dan berewokan,
kelihatannya bengis....
Hanya sebentar dua orang itu mengawasi Hong Kun dan It
Beng, lantas mereka berjalan pergi. Tingkahnya seperti
mereka tak melihat dua orang asing itu. Mereka berjalan
dengan perlahan, sembari berbicara dan tertawa-tawa.
"Hmm !" It Beng memberi dengar suara mendongkol sambil
dia mengawasi punggung orang.
Hong Kun sebaliknya bersenyum dan kata : "Perut kita tak
tahu diri, dan bolehnya minta makan! Toh pantas kalau kita
lebih dahulu menyapa orang......"
It Beng mendongkol, dia tak menjawab.
Tanpa perdulikan lagi kawannya, Hong Kun lari menyusul
dua orang itu. Ia menyandak dan mendahului lalu di depan
orang. Ia memutar tubuhnya seraya memberi hormat dan
menyapa : "Maaf lotiang berdua ! Kami korban-korban dari
perahu kami yang karam di tengah laut, kami hanyut sampai
disini.... kami amat lapar karena itu. Bagaimana kalau kami
memohon bantuan lotiang."
Mendahului si orang tua, orang setengah tua itu
membentak : "Kolong ta mempunyai aturannya sendiri yang
melarang orang asing lancang mendatangi pulau ini ! Atau
kalau toh orang dapat masuk, dia dilarang keluar lagi dari sini
dengan masih hidup !"
Hong Kun melengak. Hanya sejenak. Dia lantas tertawa.


"Kami kemari karena terdampar gelombang, tak ada
maksud jahat dari kami !" ia berkata pula. "Kalau dapat kami
ingin minta sebuah perahu kecil serta sedikit rangsum supaya
kami bisa segera berlalu dari sini.... Buat semua itu kami
sangat bersyukur, terlebih dahulu kami menghaturkan banyak
terima kasih !"
Orang setengah tua itu tertawa dan sekaligus dia
mengejek, terus dia meletakkan korang ikannya, buat segera
menyerang dengan satu sampokan, ia membentak : "Jangan
rewel ! Serahkan jiwamu !"
Hong Kun berkelit. Hendak ia membuka mulutnya atau
serangan yang kedua telah tiba. Terpaksa ia menghindari diri
pula. Habis itu tak ada kesempatan buat ia membuka mulut.
Terus terusan ia diserang pergi datang sampai tujuh jurus
hingga ia mesti berputaran.
Setelah tujuh jurus itu, si orang setengah tua masih tidak
mau berhenti bahkan sebaliknya dia menjadi gusar sekali,
maka juga serangannya menjadi bertubi-tubi, makin hebat.
Hong Kun heran dan mendongkol.
"Kalau aku tak melawan dia, tentu makin gila." pikirnya.
"Baik aku bekuk dia barang kali aku bisa memakai dia sebagai
orang tanggungan guna memaksa si kakek melayani aku
bicara...."
Cepat sekali muridnya It Yap Tojin berpikir, segera ia
mewujudkan itu. Selekasnya serangan tiba, dia menyambut
dengan satu tebasan tangan kanan.
Habis tangkisan itu, kedua tangan beradu keras hingga
terdengar suaranya. SI orang setengah tua terkejut sebab dia
mesti tertolak mundur sampai tiga tindak.


Melihat demikian Hong Kun tidak mau sudah, ia lantas
membalas menyerang. Ia maju sambil berlompat dan tangan
kirinya diluncurkan ke dada orang. Tetapi itulah gerakan
belaka, selekasnya lawan bergerak untuk menangkis ia
mengulur tangan kanannya untuk menangkap pergelangan
tangan lawan itu, ia mencekal keras dengan jurus silat kim na
cia, " Tangan Menawan."
Si orang setengah tua kaget untuk sia-sia belaka.
Lengannya kena terpegang tanpa ia berdaya bahkan waktu
Hong Kun mengerahkan tenaganya, dia justru kehabisan
tenaga ! Tubuhnya menjadi lemas, mukanya meringis
kesakitan.
Si orang tua hidung bengkun mendapat dengar suara itu,
dia menoleh. Maka dia menyaksikan lawannya itu. Dia
menggertak gigi, daging di mukanya bermain berkerutan.
Hong Kun mengawasi orang tua itu dan berkata dingin :
"Kiranya segini saja kepandaian orang lihai dari Kolong ta !"
Matanya si orang tua bersinar bengis.
"Bagaimana kalau kau menyambut beberapa jurus Peng
Thian Ciang dari aku si orang tua ?" tanyanya dingin.
Hong Kun tertawa. Dia berkata tak lagi dingin seperti tadi,
"Kita baru bertemu satu dengan lain, kita tidak bermusuhan.
Aku pun telah dipaksa turun tangan, karena itu aku minta
lotiang suka maklum."
Tapi si muka merah gusar.
"Kau murid siapa ?' tegurnya. "Apa she dan namamu ?"


Hong Kun melepaskan cekalannya membuat si orang
setengah tua bebas, tetapi dia menggerakkan tangannya,
dipulir sedikit hingga orang terhuyung roboh ke tanah. Setelah
itu dia mengawasi pula si orang tua.
"Aku yang muda she Gak...." katanya atau mendadak dia
merandak.
"Apa ?" si orang tua pun sudah lantas menegasi.
It Beng telah bertindak menghampiri, belum dia datang
dekat, dia telah menggoyangkan kepala dan mengedipi mata
mencegah menyebut namanya yang sebenarnya. Maka si anak
muda batal. Tetapi ia lekas menyambuti, "Aku yang rendah
she Tio bernama It Hiong. Aku mohon bertanya she dan nama
mulia dari lotiang...?"
Hong Kun menyebut namanya tanpa nama perguruannya
sebab tak berani dia lancang menyebut namanya Tek Cio
Tojin.
"Oh !" bersuara si hidung bengkung, yang terus mengawasi
tajam pada si anak muda. Kemudian dengan dingin ia kata :
"Baiklah aku si orang tua hendak mencoba-coba ilmu silatmu
kaum Pay In Nia, untuk mengetahui namanya nama kosong
belaka atau benar berisi ! Orang she Tio, kau hunuslah
pedangmu !"
Hong Kun telah menyaksikan kepandaian orang, tak berani
ia sembarang turun tangan. Ia kuatir si orang tua nanti
menjadi mendongkol dan gusar maka ia memberi hormat dan
berkata : "Aku yang renah, pelajaranku belum berarti apa-apa
! Mana berani aku berlaku kurang ajar di depan cianpwe ?
Laginya habis perahu karean aku letih sekali tak ada tenagaku.


Aku sangat berterimakasih jika cianpwe suka mengijinkan aku
duduk untuk beristirahat...."
Mendengar suara orang, si orang tua berubah menjadi
sabar seketika, dia bicara pula, suaranya tetapi masih tetap
dingin. Kata ia : "Hari ini Hay Thian It Siauw dari Kolong ta
suka berbuat baik dengan tidak melaksanakan peraturan
pulaunya ini. Melulu karena aku memandang kepada mukanya
Tek Cio Siangjin. Lagakmu pun menyukai aku si orang tua,
maka suka aku memberi ampun pada jiwamu ! nah, mari ikut
aku ke guaku !"
Tanpa menanti jawaban dari It Hiong, si orang tua
mengawasi pada orang setengah tua itu untuk membentak :
"Makhluk yang memalukan ! Masih kau tidak mau lantas
pulang ?"
Orang itu lekas bangkit bangun terus dia pungut korang
ikannya kemudian dengan mata melotot mengawasi Hong
Kun, dia bertindak dengan cepat mendahului lari pulang.
Hong Kin berdua It Beng mengikuti si orang tua, yang
sekarang ia tahu bergelar si "Kokok belok Tunggal dari Lautan
langit." Hay Thian It Siauw, suatu julukan yang tepat
mengingat muka orang memang berwajah seperti burung
bajingan.
Jalanan kecil dan banyak tikungannya. Entah disengaja
atau bukan si orang tua berjalan dengan tubuh separuh
terhuyung-huyung tetapi makin lama makin cepat umpama
kata seperti asap ditiup angin hingga dia seperti lenyap
disetiap tikungan. Hingga kedua orang yang mengikutinya
heran dan mesti mengeluarkan kepandaiannya untuk
menyusul atau mereka bakal ketinggalan dan kehilangan.


Meski begitu selama kira setengah jam, mereka ketinggalan
belasan tombak.
Jalanan lebih juah makin sempit dan juga makin turun
hingga mereka tiba disebuah lembah yang berada di tengahtengah
pulau. Di sini barulah Hong Kun berdua mendapat
sebuah tempat yang luas kira tiga puluh tombak persegi,
tanahnya bukan dipasangi batu hanya pelbagai macam batok
binatang laut hingga berjalan di atas itu, orang mendengar
suara tindakan kaki, sedangkan warnanya rupa-rupa.
Diseputar halaman itu tampak hanya dinding gunung yang
penuh dengan beraneka batu dan batu karang yang telah
lumutan hingga semua tampak hijau.
Si orang tua menghampiri sebuah gua yang ada pintunya.
Dia lantas memandang daun pintu yang tadi cuma dirapatkan.
Hong Kun lihat daun pintu terbuat dari kulit kerang raksasa. Di
dalam terdapat cahaya terang yang kemudian ternyata adalah
cahaya dari serenceng ya beng ca, mutiara-mutiara yang mirip
bunga bwe.
Bagian dalam gua itu dibikin seperti semacam kamar.
Semua perabotan seperti kursi, meja dan lainnya terbuat dari
batok dari macam-macam binatang juga. Jadi semua itulah
barang-barang yang langka.
Si orang tua tertawa dan berkata : "Aku si orang tua, aku
tinggal di luar lautan ini sudah beberapa puluh kali musim
panas dan musim dingin. Sudah biasa aku tinggal di dalam
batu karang yang aku gali dan ku korek ini. Kalian juga jangan
sungkan-sungkan, dapat kalian duduk atau tidur sesukanya
dengan bebas !"
Hong Kun berdua mengucap terima kasih lalu berduduk.
Mereka heran yang si orang tua yang berwajah bengis dan tak


mengasih ini, sekarang telah berubah menjadi begini ramah
tamah. Lagak benarkah ini atau palsu belaka ?
Segera setelah itu, orang tua itu jalan mundar mandir atau
mengambil ini, meraba itu. Agaknya dia repot sendirinya.
Sampai kemudian si orang setengah tua muncul dengan
sebuah nampan yang ada isinya yang masih mengepul yang
dia letaki di aas meja, sambil dia berkata : "Suhu, ikan sudah
matang !"
Hong Kun dan It Beng melihat itu memang sepiring besar
masakan ikan, jumlahnya ikan dua sampai tiga puluh ekor.
Bau sedap lantas menyerang hidung mereka, hingga mereka
mengilar. Memangnya mereka sudah sangat lapar !
Si orang tua menghampiri dengan tangannya membawa
sebuah batok kerang, yang dijadikan tempat arak. Kata dia :
"Tuan-tuan berdua, silahkan mencoba ikan dari Kolong ta !"
Hong Kun berdua It Beng menghaturkan terima kasih,
mereka menerima undangan tanpa sungkan-sungkan, maka
berempat mereka duduk mengitari meja untuk mengisi perut.
Mereka berjumlah berempat sebab si orang setengah tua turut
serta.
Hong Kun berdua It Beng dapat bermakan dengan puas,
walaupun makan cuma ikan satu macam, bahkan ikan menjadi
seperti nasi. Mereka pun minum banyak. Arak itu mirip arak
bek hoa. Cuma berbau sedikit amis. Habis bersantap,
keduanya merebahkan diri dan tidur pulas tanpa merasa. Dan
mereka terus tidur beberapa hari dan malam tanpa merasa.
Sebab araknya si orang tua dicampuri semacam obat pulas.
Hay Thian It Siauw tidak berniat membinasaka dua orang
asing itu tetapi kalau dia sudah membuat orang lupa daratan,


itulah sebab dia hendak menghanyutkan orang di atas perahu
kecil. Sebab ialah ia tak ingin orang ketahui tentang
berdiamnya ia di pulau karang itu. Tapi sebelum dia sempat
mewujudkan niatnya itu, kebetulan dia telah kedatangan tiga
orang sahabat "Hek Hay Sim Kang" Tiga si Kejam dari Hek
Hay, Laut Hitam. Mereka datang guna menyampaikan kabar
perihal pemilihan Bu Lim Cit Cun.
Dari tiga si kejam dari Hek Hay itu yang tertua ialah Lo Toa
Sun Wan. Dialah seorang perampok yang ganas kejam,
kegemarannya ialah membakar rumah atau perahu orang,
merampas jiwa. Dalam halnya ilmu silat dia tak lihai, tetapi dia
tersohor sebab kekejamannya itu, karean tabiatnya yang
mudah berubah-ubah hingga sukar kawan-kawannya yang
menemaninya kecuali dua saudara angkatnya, ialah Loe Jie
Moo Sian, si nomor dua dan Lao Sam Leng Seng, si nomor
tiga.
Sebagai perampok licik, ada maunya kenapa Sun Wan
membaiki Hay Thian It Siauw. Ialah dia ingin diajari ilmu Thian
Peng Ciang, Tangan Es itu, serta agar ia dapat mengatasi
nama Kolong ta guna menakut-nakuti orang. Ia mau
menyampaikan kabar tentang Bu Lim Cit Cun juga sekalian
guan membujuknya muncul dalam dunia Kang Ouw.
Demikian selekasnya dia menemui si kokok belok Tunggal
dari Laut Langit, Sun Wan lantas menuturkan hal pemilihan Bu
Lim Cit Cun itu, menuturkan secara menarik hati, kemudian
dia berdiam, mengawasi muka orang, untuk menanti jawaban.
Hay Thian It Siauw tertawa lebar.
"Kalian tak tahu tingginya langit tebalnya bumi !" katanya
nyaring. "Rupanya kalian mau memaksakan kesulitan bagiku !"


“Tetapi to cu, " kata Lo Toa yang memanggil "to co" pemilik
pulau. "To cu tersohor gagah perkasa dan Thian Peng Ciang
menjagoi dunia rimba persilatan, lau to ca tidak mau
menggunakan ketika baik ini buat memegang pimpinan dunia
persilatan, tocu mau tungu sampai kapan ? Apakah tidak siasia
kepandaian to cu kalau itu tidak dipertunjuki kepada umum
?"
"Kedudukan ketua Bu Lim Cit Cun itu, " Lo Jie dan Lo Sam
turut membujuk, "tak tepat kalau diduduki lain orang kecuali
tocu. Kalau nama tocu sudah terangkat naik, nama kita pasti
akan turut naik pula."
Hay Thian It Siauw senang mendengar pujianitu, hingga dia
tertawa bergelak.
"Baiklah kalian bersabar, nanti aku pikir-pikir saran kalian
ini !" katanya.
Hay Thia Sam Kong tahu selatan, mereak tidak mendesak.
Mereka pun tahu sang waktu masih banyak. Tapi mereka toh
tanya, bagaimana kalau mereka bertiga pergi lebih dahulu
guna mendengar-dengar berita terlebih jauh.
"Itulah boleh !" Hay Thian It Siauw memberikan
persetujuan.
"Tetapi suhu," berkata si orang setengah tua, si murid,
"bagaimana kalau kita habisi saja kedua makhluk itu, supaya
mereka tak merepotkan ?"
Dia menunjuk pada Hong Kun berdua yang masih rebah tak
sadarkan diri.
"Siapakah mereka itu ?" tanya Hek Hay Sam Kong.


Hay Thian It Siauw menerangkan tentang dua orang itu,
lalu dia menambahkan, "Jika aku si tua memikir buat muncul
pula dalam dunia Kang Ouw, dua orang ini ada faedahnya
untukku. Mereka mempunyai kepandaian silat yang baik yang
bisa dipakai membantuku. Nah, Lo Sam pergilah kau bergaul
dengan mereka itu, sekalian kau mencari tahu tentang asal
usul mereka !"
Sun Wan menurut, Hong Kun dan It Beng dinaiki ke dalam
sebuah perahu lantas mereka dibawa berlayar. Ketika akhirnya
mereka berdua mendusin dari "tidurnya", mereka sudah
sampai di sebuah pesisir dimana mereka lantas mendarat.
Lantas kedua pihak berbicara ternyata mereka mendapat
kecocokan, lantas mereka bergaul erat, mereka hidup
bersama. Dari jazirat Liauw tong, mereka pergi ke selatan
tempat yang mereka kehendaki. Di ceelam mereka singgah
beberapa hari lantas mereka menuju ke propinsi Kangsay.
Dalam persahabatan ini, Hong Kun dan It Beng memang
cerdik. Hek Hay Sam Kong dapat dilagui. Bertiga mereka itu
tersohor kejam tetapi dalam hal kejujuran, dalam hal
mempercayai kawan, mereka lebih menang. Mereka diangkatangkat,
mereka merasa diri mereka sebagai orang-orang
gagah.
Ada maksudnya yang mendalam, kenapa Hong Kun
mengajak ketiga sahabat itu menuju ke Kangsay. Dia ingat
Lek Tiok Po dimana dia berniat melakukan sesuatu yang
menumpahkan darah guna melampiaskan dendamnya. Dia
Hek Hay Sam Kong bagaikan "tak tahu diri", mereka hendak
mengangkat nama di wilayah Tionggoan, di depan Hong Kun
berduan, mereka hendak mempertontonkan kegagahan
mereka itu ! Inilah sebab mereka sudah pandai ilmu Thian
Peng Ciang, pukulan Tangan Es Langit.


Kesudahannya mereka hendak menjual lagak itu masgul !
Di luar dugaan mereka semula, mereka roboh di Lek Tiok Po
sebab Tio It Hiong muncul secara mendadak. Bahkan Lo Sam
Leng Seng kehilangan lengan kirinya. Baru mereka mendengar
penjelasannya It Hiong, pertempuran dihentikan dan mereka
bersama pergi, menyusul Hong Kun si It Hiong palsu.
Hek Hay Sam Kong berlari-lari sampai diluar Lek Tiok Po,
mereka tidak melihat Hong Kun yang dimata mereka It Hiong
adanya, sia-sia mereka mencoba mencari di sekitarnya sampai
It Hiong yang keluar belakangan dari Lek Tiok Po dapat
menyusul mereka.
Sun Wan sedang bercuriga keras ketika ia melihat It Hiong
menyusulnya. Mendadak dia menerka It Hiong ini tentulah
Hong Kun yang menyamar. Ia juga ingat hilangnya tangannya
Leng Seng.
"Bocah itu bukan orang baik-baik." serunya kepada kedua
saudara angkatnya, "Mari kita bunuh padanya."
Leng Seng dan Mo Sian menyetujui anjuran saudara tuanya
itu. Lantas mereka maju bersama-sama tanpa memberi ketika
lagi pada It Hiong. Mereka maju mengurung dan menyerang.
Si anak muda bingung. Ia justru hendak menyusul Hong
Kun. Ia memikir keselamatannya Giok Peng. Ia pula tidak niat
mencelakai tiga oang ini. Tapi mereka menyerang dengan
lantas, mereka tidak suak memperhatikan keterangannya.
Kepandaiannya Sun Wan dalam ilmu Thian Peng Ciang,
enam puluh bagian sempurna, dia keluarkan semua
kepandaiannya sebab dia sangat ingin merobohkan dna
membinasakan si anak muda.


Tiga puluh jurus lewat dengan cepat, sampai disitu hatinya
It Hiong panas juga. Itulah sebab waktunya yang berharga
jadi diganggu Hek Hay Sam Kong, dia pun ingat karean orang
datang bersama-sama Hong Kun dan It Beng, mereka bertiga
ini pasti bukan orang baik-baik.
"Kenapa aku mesti berlaku murah terhadap mereka ?"
pikirnya kemudian. Karena ini segera ia menghunus
pedangnya, sedangkan tadi ia melayani dengan tangan
kosong. Ia lebih banyak menghindari diri dari pelbagai
serangan.
"Awas !" teriak Lo Hie Ni Sie selekasnya ia melihat sinar
luar biasa pedang mustika.
"Awas, jangan sentuh pedang bocah ini !"
Meski ia berkata demikian, jago Teluk Hitam itu toh maju
dengan golongnya ten To, goloknya sebatang.
Lo Sam Leng Seng bersenjatakan sepasang boan koan-pit.
Karena lengannya kutung sebelah, terpaksa dia menggunakan
tangan kiri saja. Walaupun demikian dapat dia menggunakan
senjatanya dengan baik, sebab dia memiliki ilmu silat yang
istimewa. Diapun lebih berlompatan ke kiri dan kanan, tak sudi
dia menempur depan berdepan. Dia pula ditolong tubuhnya
yang ringan.
Karena habis sabarnya, It Hiong lantas menggunakan Khie
bun Pat Kwa kiam dengan jurus silat "Ban Thian hoa Ie" Hujan
bunga seluruh langit. Ia lekas juga membalas mengurung
musuh dengan sinar pedangnya.


Sekonyong-konyong terdengar suara beradunya senjata
tajam serta benda logam yang terbabat putus segera itu
disusul dengan jeritan kesakitan yang tertahan lalau sesosok
tubuh tampak roboh dengan bermandikan darah !
Sebab itulah Lo Jie Mo Sian yang lancang maju telah
menerima bagiannya hingga tibalah ajalnya. Dia yang
menganjurkan kawan-kawannya berhati-hati tetapi dia juga
yang mendahului berangkat ke dunia lain......
Lo Sam Leng Seng menjadi sangat gusar, justru It Hiong
belum sempat menarik pedangnya pulang. Dia lompat
menerjang, menusuk dengan senjatanya yang mirip kuas itu,
pit besi yang ujungnya lancip dan tajam.
It Hiong dapat melihat majunya musuh, ia mempercepat
menarik pulang pedangnya, ia meneruskan mendahului
membabat ke belakang sembari menyerang itu, ia mendadak
berjongko.
Hanya satu kali terdengar suara tertahan lantas tubuhnya
Lo Sam roboh terkulai karena Keng Hong Kiam mengenai
tepat pinggangnya hingga jiwanya terampas seketika itu juga.
Sun Wan bersuit luar biasa, dia bukannya menjadi takut
dan pergi mengangkat kaki, dia itu justru menjadi sangat
gusar, nekad dan keras niatnya menuntut balas. Maka dia
menyerang It Hiong berulang-ulang, dia mengeluarkan seluruh
kepandaiannya, hingga si anak muda terserang hawa dingin
bertubi-tubi.
It Hiong menjadi kewalahan, sedang sebenarnya tak ada
niatnya untuk membunuh orang. Ia justru bingung
memikirkan Giok Peng. Sekarang Sun Wan membuatnya tak
sabaran. Orang sangat menganggu padanya., waktunya pun


seperti terampas. Terpaksa ia melayani dengan sama
kerasnya.
"Kau bandel !" teriaknya. "Kau terlalu !"
Itulah kata-katanya si anak muda yang menyerbu hawa
dingin, pedangnya ditebaskan ke kepala orang !"
Baru sekarang Sun Wan kaget. Ia berkelit ke samping, dan
tangannya dipakai menyampok pedang. Ia ingin supaya
pedang lawan terasampok terpental. Akan tetapi It Hiong lihai.
Selagi pedangnya disampok itu, ia memutar balik pedangnya,
kakinya turut maju untuk menyusuli sebuah tebasan "Bianglala
menutupi langit."
Sun Wan terkejut, tetapi buatnya percuma saja. Susulannya
lawan terlalu cepat baginya, sebelum ia sempat berdaya
tangannya sudah terbabat kutung sebatas bahu, maka
robohlah dia dengan menjerit kesakitan, merintih tidak
hentinya.
It Hiong mengawasi tajam. Melihat orang tersiksa itu, ia
maju untuk menendang, membikin orang tak menderita
terlebih lama pula. Hingga sampai disitu habis sudah
kejahatan puluhan tahun dari Hek Hay Sam Kong yang ganas
itu. Setelah itu ia berlari pergi guna menyusul Gak Hong Kun.
Muridnya It Yap Tojin mengeraskan hati meninggalkan
pergi pada Teng It Beng, si sahabat karib dan saudara angkat
yang sangat setia padanya, ia lebih memerlukan memondong
Giok Peng buat dibawa kabur. Ia berkuatir, ia pun bergirang
karena kekasihnya itu berada dalam rangkulannya. Tinggal ia
mencari tempat dan ketika buat mempuaskan nafsu
binatangnya. Ia berlari-lari sambil kadang-kadang bersenyumsenyum.


Setelah enam atau tujuh puluh lie, Hong Kun lari terus
menerus. Ia takut orang mengejar dan menyandaknya. Sering
pula ia menoleh ke belakang buat melihat kalau-kalau ada
musuh yang mengejarnya. Hatinya lega sesudah mendapat
kenyataan tak ada orang yang menyusul.
Di siu saat pemuda she Gak ini sudah berada di dalam
kamar dari sebuah hotel, dimana ia singgah. Ia meletakkan
Giok Peng diatas pembaringan. Ia menyuruh pelayan lekas
menyediakan barang makanan dan arak !
Selama itu nona Pek rebah tak berkutik. Ia masih tidur
nyenyak sebab totokannya pada jalan darahnya, jalan darah
hek lian.
Sembari menenggak araknya, perlahan Hong Kun mengasi
muka dan tubuh orang. Puas hatinya. Tanpa merasa ia telah
mengeringi tiga poci arak. Ketika itupun sudah jam tiga.
Pengaruh air arak, mempengaruhkan anak muda itu. Ia
tujuh atau delapan bagian sinting. Begitulah ketika ia
berbangkit akan bertindak ke pembaringan, tubuhnya
terhuyung-huyung, perlahan-lahan ia membuka bajunya. Ia
hendak mempuaskan hatinya.
"Tio It Hiong bocah !" pikirnya di dalam hati. "Tio It Hiong,
apa kau bisa bikin atas diriku ? Ha ha ha !"
Hong Kun meloloskan pedang dari pinggangnya, ia letaki
itu diatas meja. Ia lantas kembali ke pembaringan untuk
mengawasi Giok Peng. Atau ia melihat satu tubuh yang
ramping berdiri di depannya. Ia mengucek matanya yang
sudah rada kabur, sebagaimana kabur juga pikirannya yang


sadar, sebab ia telah terjatuh di bawah pengaruh arak serta
nafsu birahinya.
"Adik Peng !" ia menegur sambil ia mementang kedua
belah tangannya untuk merangkul tubuh yang langsing itu.
Ia menyangka Giok Peng sudah bebas dari pengaruh
totokannya dan telah mendusin.
Tubuh ramping itu berkelit, maka si anak muda merangkul
angin. Hampir dia roboh terkusruk. Lekas-lekas dia
mempertahankan diri, otaknya pun dikerjakan untuk berpikir.
Dia memutar tubuh buat mengawasi tubuh ramping itu, yang
bergerak mirip bayangan. Dia melihat orang berada disisi
meja, tubuhnya membaliki belakang.
Dengan langkahnya yang terhuyung Hong Kun
menghampiri meja. Selekasnya dia datang dekat, dia
mementang pula kedua tangannya untuk menubruk
merangkul angin.
"Adik Peng !" katanya. "Adik Peng kenapa kau diam saja ?
Kenapa tak mau bicara ? Apakah masih marah padaku ?"
Tubuh ramping itu berdiri diam diambang pintu, kemana
berusaha ia berkelit.
Hong Kun mengawasi tajam, ia tetap melihat si nona, Giok
Peng adanya. Ia menjadi penasaran. Kali ini ia menubruk
sambil berlompat. Lagi-lagi ia gagal. Tak berhasil ia merangkul
tubuh ramping itu yang menggiurkan. Dalam penasaran ia
menubruk pula dengan berat. Kembali ia gagal. Ketika ia
menubruk kembali, maka berdua mereka seperti saling
berkejaran bagai orang main petak dalam kamar mengitari
meja.


Hong Kun memang sedang sinting, berputaran seperti itu
membuat kepalanya bertambah pusing. Matanya pun dari
melihat samar-samar menjadi kabur. Maka itu setelah
berputaran lagi beberapa kali, robohlah ia sendirinya. Tapi ia
masih memanggil-manggil "Adik Peng" berulang-ulang. Baru
dia berhenti setelah dia tumpah-tumpah. Atau diakhirnya dia
berdiam, tubuh dan mulutnya sebab dia telah jatuh pulas
sendirinya......
Wanita dengan tubuh ramping itu bertindak menghampiri
perlahan. Ia memanggil-manggil : Hong Kun ! Hong Kun !" Ia
pula memegang bahu orang, untuk dikoyak-koyak beberapa
kali.
Hong Kun tetap berdiam bagai mayat !
Sampai disitu si nona barulah tertawa, terus ia memutar
tubuhnya akan menghampiri pembaringan.
Pek Giok Peng masih tetap rebah, sekarang dia sudah
bebas dari pengaruh totokan Hong Kun. Lewatnya banyak
waktu membuat totokan berkurang sendirinya, sedangkan dia
mempunyai tubuh yang kuat. Cuma karena sudah berdiam
terlalu lama, jalan darahnya belum pulih.
Orang dengan tubuh ramping itu mengawasi nona Pek,
agaknya dia heran. Selekasnya ia melihat wajah merah dari si
nona. Ia sampai mengeluarkan seruan perlahan. Tahulah ia
yang nona itu menjadi korban totokan. Maka lekas ia
mengulur tangannya guna memeriksa dibagian mana dari
tubuhnya yang telah tertotok.
Dengan tubuhnya dikasihh bangun itu, bergeraklah darah
Giok Peng. Bagaikan kontak, sadar pula ingatannya. Ia lantas


membuka kedua matanya hingga ia bisa melihat orang di
depannya. Ia mengawasi dengan tajam.
"Teng Hiang !" serunya kemudian dengan heran.
Wanita itu yang benar Teng Hiang adanya, tertawa.
"Nona !" katanya. "Nona, kenapa kau berada di dalam
penginapan ini bersama-sama Tuan Gak?"
Giok Peng kaget bukan main. Kembali ia sadar-ingat akan
hal ikhwalnya ketika ia dirumahnya diserbu It Hiong palsu dan
dibokong. Sendirinya mukanya menjadi merah sebab ia
merasa sangat malu.
"Mana adik Hiong ?" tanyanya. It Hiong adalah yang ia
paling dahulu ingat. Ia pun lantas berlompat turun dari
pembaringan.
Teng Hiang menunjuk pada sosok tubuh yang rebah
dilantai.
Jilid 38
Giok Peng mengawasi tubuhnya pemuda itu. Lantas ia ingat
peristiwa hebat di Lek Tiok Po. Kemudian ia mendekati, untuk
mengawasi si anak muda. Air matanya tergenang. Sambil
mengawasi ia terbenam dalam keheranan. Ia tanya dalam hati
: "Bukankah adik Hiong telah melihat peristiwa di rumah itu ?
Kenapa sekarang ia sempat makan minum sampai lupa
daratan ? Mungkinkah dia ini bukannya adik Hiong ?"


Pek Giok Peng tidak tahu yang ia telah dilarikan Gak Hong
Kun sebab sebelumnya ia dibawa kabur, Hong Kun sudah
mendahului menotoknya hingga ia tidak sadarkan diri. Lebih
dulu dari pada itu ia pun telah ditotok hingga habis tenaganya.
Untuk mendapatkan kepastian, nona Pek mengambil lilin
diatas meja, ia bawa itu untuk dipakai menyuluhi mukanya
Hong Kun guna diawasi dengan teliti.
Teng Hiang tertawa geli menyaksikan lagak si nona.
"Nona," katanya. "Kau biasanya teliti.... kenapa
menghadapi suami sendiri kau jadi bingung begini ? Benarkah
nona tidak bisa lantas mengenali dia siapa ?"
Dari berjongkok, Giok Peng bangkit berdiri.
"Dia ini bukannya adik Hiong !" katanya.
"Nona, apakah nona telah tidur bersamanya dalam sebuah
pembaringan ?" si bekas budak pelayan tanya. Dia tertawa
pula.
Muka Giok Peng menjadi merah dan pucat pasi, kagetnya
bukan main. Ia telah dibawa-bawa dan dibawa juga ke
penginapan ! Apakah yang orang perbuat atas dirinya ? Ia tak
tahu sama sekali !
"Teng Hiang !" tanyanya kemudian, jantungnya memukul.
"Sudah berapa lama kau berada disini ? Ataukah kau baru
datang dan melihat dia baru saja roboh mabuk dan tertidur ?"
Teng Hiang sangat cerdik dan jahil, hendak ia menggoda
nona bekas majikannya itu.


"Budakmu baru saja sampai nona." demikian sahutnya.
"Dia berada diatas pembaringan ketika dia melihat budakmu
ini, dia turun dan mengejarku, untuk membekuk aku. Selagi
lari berputaran dia roboh hingga terus dia ketiduran....."
Giok Peng menutupi mukanya, ia menangis. Katanya, "Aku
Siauw Yan Jie, mana aku ada muka akan melihat orang lagi.
aku malu terhadap adik Hiong !'
Teng Hiang mengawasi, diam-diam dia bersenyum.
Katanya di dalam hati, "Siauw Yan Jie biasanya
membanggakan kecerdikannya, kali ini kena aku jual....."
Kemudian ia menghela nafas dan berkata perlahan, "Nona,
buat apa nona bingung dan menangis ? Bukankah sudah
seharusnya yang satu istri tidur bersama-sama suaminya ?"
Giok Peng berhenti menangis, ia menyusut air matanya.
Terus ia menuding orang yang lagi tidur nyenyak itu. "Masih
kau bicara seenakmu ini ? Lihat dia, dia adik Hiong atau bukan
?"
Teng Hiang memperlihatkan tampang sungguh-sungguh.
"Apakah dia bukannya adik Hiong ?" dia balas bertanya.
Giok Peng berdiri menjublak. Benar dia bingung, mendadak
dia lompat ke meja, menyambar pedang Kie Koat kepunyaan
Hong Kun, buat ditarik untuk dihunus.
Teng Hiang terkejut. Hebat cara jahilnya ini. Tapi ia masih
sempat berfikir dan bertindak. Ia pun loncat kepada si nona,
guna mencekal pergelangan tangan orang.


"Jangan sembrono, nona !" katanya, ia tidak menjadi
bingung, sebaliknya ia tertawa. "Mari duduk, dengarkan apa
kata budakmu. Nona tetap putih bersih."
Berkata begitu, bekas budak ini menarik tangan nonanya
buat disilahkan duduk.
Sebagaimana kita ketahui, Teng Hiang ada dalam
perjalanan mencari Hong Kun alias It Hiong palsu. Ia telah
ketahui hubungan diantara It Hiong dan Touw Hwe Jie, maka
itu, habis bertemu dengan Kwie Tiok Giam Po, ia
membutuhkan bantuannya It Hiong palsu itu. Ia mau
menggunakan It Hiong palsu itu buat mengakali dan
membujuki Touw Hwe Jie muncul, turut dalam pemilihan Bu
Lim Cit Cun. Dari Ay Lao San, ia kembali ke Tionggoan,
disepanjang jalan ia menyelidiki tentang It Hiong palsu.
Sampai sebegitu jauh ia masih belum berhasil. Paling belakang
ini ia bertemu Gouw Ceng Tokouw keluar dari kota Gakyang,
ia heran mendapatkan mukanya si rahib wanita rusak bekas
goresan pedang. Atas pertanyaannya, Gouw Ceng menuturkan
tentang peristiwanya sampai It Hiong merusak mukanya itu.
Mendengar demikian, Teng Hiang lantas meminta keterangan
terlebih jauh setelah mana ia mencoba menyusul It Hiong.
Sungguh kebetulan ia melihat It Hiong tengah berlari-lari
sambil memondong seorang wanita. Ia bersembunyi dan
mengintai lalu mengintil, menguntitnya. Ia melihat tegas It
Hiong bagaikan orang ketakutan ada yang kejar. Ia mengikuti
terus sampai dihotel, dimana ia senantiasa mengintai hingga
ia mengenali wanita itu ialah Pek Giok Peng, bekas nona
majikannya. Karena ini selagi mula-mula ia ragu-ragu
sekarang ia merasa pasti pria itu adalah Gak Hong Kun
adanya.
"Bagus !" pikirannya.


Teng Hiang girang, ia tetap hendak mendapati Hong Kun.
Ia pula mau membantu Giok Peng. Hong Kun mau dipakai
buat memancing Touw Hwe Jie dan Giok Pek supaya si nona
membantu merakoki jodohnya dengan Cukat Tan. Selama itu
ia mengintai dari luar jendela, hingga ia dapat menyaksikan
tingkahnya Hong Kun dengan gerak gerik Giok Peng. Dengan
kecerdikannya ia berhasil menyampuri obat pulas hong hau
yeh dalam araknya si anak muda hingga kejadianlah Hong Kun
lakon sinting. Tiba saatnya ia masuk ke dalam kamar. Ia
membuka jendela tanpa diketahui Hong Kun. Demikian ia
telah mempermainkan si anak muda, hingga anak muda itu
roboh dan tidur nyenyak.
"Nona, budakmu sudah tahu pasti dia bukanlah Tuan Tio !"
katanya si bekas budak kemudian. "Aku mencari dia sejak di
tengah jalan, maka juga disini aku berhasil membantu nona."
Ia mengambil pedang orang dan melepaskan juga cekalannya
sambil menambahkan, "Nona dialah Gak Hong Kun !'
Giok Peng kaget mukanya pucat.
"Tenang nona," Teng Hiang menghibur. "Hong Kun berniat
jahat tetapi dia belum berhasil menganggu nona ! Inilah
budakmu berani bertanggung jawab ! Hanya nona mengenai
urusanku sendiri aku minta nona jangan melupakannya !"
Hatinya Giok Peng tenang sedikit. Toh ia masih meragukan
kejujuran bekas budak itu. Ia takut si budak sekongkol dengan
Hong Kun. Ia lantas mengawasi tubuhnya sendiri, terutama ia
memeriksa pakaian dan kanCing bajunya. Baru hatinya lega
setelah ia tidak mendapat sesuatu yang mencurigakan. Toh ia
tak puas sebab ia telah orang pondong-pondong.
"Teng Hiang, mari kau bicara terus terang padaku !"
katanya pula. "Apakah kau benar telah menguntitnya selama


disepanjang jalan dan sampai disini pun kau belum pernah
berpisah atau meninggalkannya walaupun setengah tindak ?"
Teng Hiang tertawa.
"Siauw Yan Jie sangat tersohor !" katanya. "Sekarang
kemana perginya kejujurannya ? Pula, mustahil seorang nona
tak merasa kalau tubuhnya ada yang ganggu. Kenapa nona
bercuriga sampai begini ?"
Pek Giok Peng menarik nafas dalam-dalam.
"Karena pengalaman hebat di Lek Tiok Po, pikiranku
menjadi kacau !" ia mengakui. "Eh, Teng Hiang, kau toh gadis
putih bersih, mengapa kau ketahui segala hal wanita ini ?"
Si bekas budak bersenyum, bibirnya dia buat main.
"Itulah buktinya nona bagaimana budakmu prihatin
terhadapmu."
"Kita berdua bergaul sejak masih kecil." berkata Giok Peng.
"Walaupun kitalah nona majikan dan budak pelayan, kita
hidup seperti kakak beradik. Hal kau ketahui sendiri.Teng
Hiang, sekarang ini kau menolong aku, aku sangat bersyukur
padamu, hendak aku menghaturkan terima kasih."
"Jangan mengucap begini, nona." berkata Teng Hiang
sungguh-sungguh. "Kata-kata nona ini menandakan nona
menganggapku sebagai orang luar. Nona bilang terus terang
aku memohon supaya kau lekas-lekas berangkat ke Ngo Bie
San supaya kau bisa lekas-lekas menyelesaikan urusan
jodohku !"


"Akan aku lakukan itu, Teng Hiang !" berkata Giok Peng
yang baru ingat bahwa ia pernah berjanji kepada bekas budak
ini yang ia mau merokoki jodohnya dengan Cukat Tan. "Kau
tunggu saja kabar baik dari aku !"
Teng Hiang mengangguk, girangnya bukan main kemudian
dia tertawa dan tunduk, biar bagaimana dia toh likat juga.....
Selama itu dengan lewatnya sang waktu, terlihat tubuhnya
Hong Kun bergulik.
"Adik Peng....adik Peng..... adik......" demikian suaranya
berulang-ulang. Ia memanggil dalam mengigaunya.
Teng Hiang tertawa.
"Nona," tanyanya kemudian, "bagaimana duduknya maka
dia telah membawa nona kemari ?"
Pek Giok Peng melirik si pemuda, mulanya melengak, terus
mukanya menjadi merah, matanya terbuka lebar, giginya
dikertak. Mendadak ia berlompat bangun.
"Teng Hiang, mari pedang itu !" serunya. "Jahanam ini
harus dimampuskan !"
Si nona berkata demikian sambil tangannya menyambar
pedang ditangannya Teng Hiang.
"Sabar, nona." berkata si bekas budak, yang menarik
tangannya. "Coba nona tuturkan dahulu duduknya hal. Masih
ada waktu buat nona membinasakan dia....."
Teng Hiang masih hendak melanjuti usahanya memakai
Hong Kun sebagai umpan guna memancing Touw Hwe Jie.


Karena itu tak dapat ia membiarkan anak muda itu dibunuh si
nona. Sedapat-dapatnya ia mencari alasan untuk
mencegahnya.......
Ditanya Teng Hiang itu, maka Giok Peng lantas ingat
peristiwa di Lek Tiok Po. Tiba-tiba saja "It Hiong" datang
menyerbu, ayahnya dilukai, Tong Wie lam dihajar. Hauw Yan
dirampas, ia sendiri ditotok tak berdaya dan akhirnya dibawa
lari. Semua itu membuat darahnya bergolak. Ia bersedih
berbareng gemas dan gusar sekali.
"Kalau jahanam ini tidak dibinasakan, rumahku bakal tak
aman seterus-terusnya !" serunya. Tapi, habis berkata itu, ia
menangis, air matanya meleleh keluar......
Teng Hiang telah memikir masak-masak akalnya.......
"Nona," katanya sungguh-sungguh, "kalau nona bermusuh
dengannya tak berani aku menanya jelas sebab musababnya,
cuma di dalam hal ini, aku minta suka apalah nona dapat
membedakan dengan jelas dahulu, orang ini benar-benar
Tuan Tio atau bukan. Setelah itu, baru nona turun tangan !
Kalau nona berlaku sembrono, apabila nona berbuat keliru,
pasti kelak nanti nona bakal menyesal seumur hidup nona....."
Pek Giok Peng berdiam, lenyap tampang gusarnya.
Sekarang ia beragu-ragu. Teng Hiang benar. Celaka kalau ia
keliru turun tangan. Ia menghampiri Hong Kun, akan menatap
mukanya. Ia makin heran. Ia terganggu keraguraguannya.......
Sebenarnya asal si nona dapat menenangi hatinya, dapat ia
mengambil ketetapan. Tetapi peristiwa sedemikian rupa, ia
telah mendapat goncangan hingga kecerdasannya


terpengaruhkan. Tak sadar ia yang Teng Hiang telah bicara
putar balik.
Teng Hiang tertawa didalam hati, mengawasi nonanya
bersangsi itu. Inilah justru hal yang dikehendakinya. ia harus
dapat mengekang hatinya si nona.
"Baik, kita sadarkan dia." katanya kemudian. "Lalu kita
tanya padanya, dengan begitu kita bakal mendapat
kepastian."
Lalu tanpa menanti persetujuannya Giok Peng, Teng Hiang
menghampiri Hong Kun guna menggoyang-goyang dan
menepuk-nepuk tubuh orang buat menyadarkannya.
Perlahan-lahan Hong Kun membuka matanya, mengawasi
kedua nona itu terus dia meram pula, kelihatannya dia masih
ingin tidur. Ketika dia bergerak untuk berduduk di lantai
nampak dia masih seperti kantuk. Dia tunduk dan diam saja.
Teng Hiang menggertak gigi. Ia menyesal yang ia
memberikan hong hau yeh terlalu banyak hingga si anak
muda sukar disadarkan lekas-lekas. Tapi ia tidak kekurangan
akal. Lantas juga ia menotok jalan darah jintiong dari anak
muda itu.
Hong Kun melengak, lantas ia berjingkrak bangun, tetapi
tubuhnya terhuyung, maka ia lekas-lekas berdaya berdiri
tetap. Kemudian dia mengawasi kedua nona itu, bergantian
dari yang satu kepada yang lain."
"Oh !" serunya kemudian. "Kalian lagi bikin apa, heh ?"
"Tuan Tio, kau sudah sadar ?" berkata Teng Hiang, yang
sengaja bukannya memanggil Hong Kun atau Tuan Gak.


Hong Kun mengawasi Teng Hiang, yang ia lantas kenali. Ia
heran, hingga ia berdiam saja, matanya mendelong.
"Tuan Tio." kata pula Teng Hiang. "Malam tadi kau dengan
nona Pek...."
Sampai disitu, sadar sudah Hong Kun. Ia ingat segala
sesuatu. Ia menjadi girang.
"Oh, adik Peng !" katanya, nyaring dan terus tertawa.
"Teng Hiang, kau lihat atau tidak ? Hubunganku dengan nona
Pek telah dipulihkan !"
Teng Hiang melirik. Ia dapat mengerti maksudnya pemuda
itu.
"Hm, aku tahu akal bulusmu !" pikirnya. Tapi ia berpurapura.
Ia kata : "Ya, aku tahu tentang kalian berdua. Jodoh
kalian kuat sekali ! Kalian membuatku si Teng Hiang mengiri !"
Mendadak budak ini berhenti. ia merasa bahwa ia salah
bicara. Maka lekas-lekas pula ia memperbaikinya. Katanya
pula : "Tuan Tio, kalian adalah pasangan yang telah
mempunyai anak. Jangan kau bergura. Kau bicara di depan si
nona. Apak kau tak takut nona nanti merasa malu dan jengah
?"
Berkata begitu, budak ini mengawasi tajam pemuda itu.
Sebaliknya, mendadak Hong Kun memperlihatkan tampang
muram. Ia ingat semuanya dan kali ini ia telah dipergoki Teng
Hiang. Biar bagaimana, Teng Hiang telah ketahui rahasianya.
Itulah ia tidak inginkan. Maka itu mendadak ia mendapat
pikiran untuk membinasakan budak itu.


Dengan satu gerakan cepat, Hong Kun mencelat ke meja,
niatnya menyambar pedangnya. Tapi segera ia kecewa sebab
pedangnya itu tidak berada ditempatnya. Tapi dia tidak
berhenti sampai disiut. Ia merasa tangannya cukup lihai untuk
menggantikan Kie Koat Kiam, pedangnya. Maka juga waktu ia
memutar tubuhnya, sebelah tangannya membabat dengan
keras ke arah Teng Hiang !"
"Budak, serahkan jiwamu !" diapun membentak.
Teng Hiang kaget sekali, di dalam gugup dia berkelit. Tak
urung bahunya kena terserempet hingga ia merasa nyeri
sampai ke ulu hatinya. Tentu sekali ia menjadi gusar.
"Jahanam tak tahu selatan !" bentaknya. "Kau sangka Teng
Hiang takut padamu ?"
Berkata begitu, si nona sudah lantas menghunus Kie Koat
Kiam yang berada ditangannya.
Kejadian itu sangat mendadak dan cepat sekali. Hong Kun
kurang berpikir, ia tidak dapat menangkap maksudnya Teng
Hiang. Karenanya tindakkannya itu menyerang nona Teng
membuat dia membuka rahasianya sendiri.
Pek Giok Peng heran, ia berdiam mengawasi dua orang itu.
Sekarang ia tahu pasti It Hiong itu palsu, ialah Gak Hong Kun,
tetapi kalau ia toh bersangsi bertindak itulah karena ia masih
ragu-ragu selagi ia tak sadar, Hong Kun telah mengganggu
kesucian dirinya atau tidak.......
Hong Kun tak menyerang pula selekasnya ia melihat Teng
Hiang menghunus pedangnya.


"Teng Hiang !" tegurnya. "Teng Hiang, kau telah
mempergoki rahasiaku, kau juga mencuri pedangku, mana
dapat kau melepaskan padamu ?"
"Tolol !" bentak Teng Hiang yang terus tertawa. Karena
sekarang ia mengerti si anak muda salah paham.
Hong Kun terkejut. Ia cerdas, teguran tolol itu membuatnya
segera berpikir. Cepat ia merubah haluan. Ia melirik Giok
Peng, terus ia tegur si bekas budak pelayan. "Teng Hiang !
Kau gadis putih bersih, kenapa kau mengintip kami suami
isteri ? Tidak malukan ?"
"ciss !" si nona berludah tetapi ia mengedip mata. "Siapa
mau bergurau denganmu ? Kau tahu, aku mencari kau sebab
ada suatu urusan yang aku hendak bicarakan denganmu !"
Hong Kun dapat menerka hati orang. Ia pun tertawa.
"Kau mencari aku buat satu urusan ?" tanyanya
mengulangi. "Kalau kau mau bicara, kau pulangkan dahulu
pedangku !'
Teng Hiang tertawa.
"Siapa menghendaki pedangmu ini ?" katanya. "Ini aku
kembalikan !"
Berkata begitu, nona itu mengangkat pedangnya. Ia pun
bertindak menghampiri si anak muda, lalu sembari
mengangsurkan pedang ia kata perlahan, "Jika kau ingin aku
menyimpan rahasiamu, kau mesti menolong aku melakukan
sesuatu !"


Hong Kun mendengar pada suara orang. Orang rupanya
hendak memaksa ia. Ia ingat halnya ia minum dan cepat
sinting. Ia memikirkan, tadi ia telah ganggu kehormatan Giok
Peng atau belum. Karena ini, di waktu ia menyambuti
pedangnya, untuk digembloki di punggungnya, diam-diam ia
sekalian memeriksa pakaiannya masih rapi atau tidak. Ia tidak
melihat sesuatu tanda. Maka pikirnya, "Hm, budak setan ini !
Dia sangat cerdik dan licik dan rupanya mau memaksa kau !
Dalam hal apakah ? Baiklah aku gunakan dia buat menyebar
urusanku dengan Giok Peng supaya umum
mengetahuinya......"
Tak lama anak muda ini berpikir lantas ia tertawa dan kata
pada Teng Hiang, "Urusan jodohku dengan Nona Giok Peng
bukan lagi satu rahasia, inilah sudah diketahui umum !
Karenanya aku tak tahu yang kau nanti membuka rahasia !
Sebenarnya kau hendak bicara urusan apa ? Kau katakanlah !"
Matanya Teng Hiang berputar, bibirnya pun memain. Tibatiba
ia berbisik di telinga anak muda itu, "Jangan kau banyak
lagak ! Jangan kau main gila terhadapku ! Telah kulihat
dengan mataku sendiri, kau belum berhasil mengganggu
kesuciannya Pek Giok Peng ! Tapi kalau kau ingin
menyampaikan hasratmu itu, kau harus memohon bantuanku
!"
Hong Kun melengak.
"Benarkah ?" tanyanya.
Teng Hiang mengangguk. Lantas ia melirik pada Giok Peng.
Nona Pek memperhatikan gerak geriknya dua orang itu. Ia
menerka jelek. Ia merasa pemuda di depannya itu bukannya
It Hiong. Bahkan sebaliknya, ia lantas menerka kepada Gak


Hong Kun. Mendadak saja timbullah kemurkaannya. Hampir ia
mengambil tindakan kepada pemuda itu atau mendadak ia
ingat Lek Tiok Po, rumahnya. Di sana ayahnya terluka parah
dan Hauw Yan anaknya, entah terjatuh di tangan siapa. Maka
ia memikir baiklah lekas-lekas ia meninggalkan dua orang itu.
Demikan selagi muda mudi itu lagi berdaya akan mengakali
satu pada lain, mendadak ia lompat ke jendela untuk lari
keluar. Hong Kun terperanjat, hendak ia lari mengejar.
"Sabar !" Teng Hiang mencegah sambil menarik tangan
orang. "Apa kau tak takut nanti berpapasan dengan Tio It
Hiong ?"
Hong Kun tertawa.
"Siapakah berani memalsukan namaku ?" katanya. Ia tetap
mengakui diri sebagai Tio It Hiong.
Teng Hiang tertawa terkekeh.
"Gak Hong Kun !" katanya. "Di depan Teng Hiang tidak
dapat kau main gila ! Baik kau ketahui, aku bermaksud baik,
hendak aku mewujudkan cita-citamu."
"Hai budak setan yang licin !" bentak Hong Kun. "Macammu
hendak membantu aku ? Hm ! Lepaskan tanganmu, kalau
tidak aku tak akan memberi ampun lagi padamu !"
Hong Kun mengibaskan tangannya hingga terlepas dari
cekalannya Teng Hiang, dia terus bertindak ke jendela.
"Gak Hong Kun !" berkata Teng Hiang. "Gak Hong Kun !
Apakah kau tak sudi Teng Hiang menyimpan lebih lama
rahasiamu ?"


Hong Kun terkejut, ia melengak, hingga ia menghentikan
langkahnya. Kemudian ia menoleh.
"Aku mempunyai rahasia apakah ?" tanyanya. "Rahasia apa
yang kau tahu ?"
"Rahasia apa ? Hm !" si nona memperdengarkan suaranya.
"Itulah........ rahasia....... kau.......... menyamar.........
sebagai.......... Tio....... It Hiong......."
Sengaja Teng Hiang mengucapkan kata-kata sepatah
dengan sepatah.
Hong Kun kaget. Itulah hebat. Itulah rahasia mati hidupnya
! Tiba-tiba timbullah hati jahatnya. Nona ini jahat, dia harus
disingkirkan ! Maka diam-diam dia memegang gagang
pedangnya, dan sambil memutar tubuhnya, dia menghunus
pedangnya itu dan menebas pedangnya ke arah si nona !
Teng Hiang sementara itu selalu bercuriga dan bersiap
sedia. Dialah seorang nona yang cerdik, tak mudah ia
mempercayai orang sebagai Hong Kun yang pikirannya mudah
berubah. Demikian, dengan matanya yang celi ia dapat
melihat gerakannya pemuda itu. Selekasnya sinar pedang
berkelebat, ia berlompat mundur.
"Kau hendak membunuh orang ?" bentaknya. "Kau hendak
membinasakan aku buat menutup mulutku ? Kalau benar, kau
jangan memandang aku si Teng Hiang terlalu rendah !'
Hong Kun melengak. Tak dapat dia mengulangi
serangannya.
"Teng Hiang !" katanya habis dia melengak sejenak. Lantas
dia mengasih lihat senyuman manisnya, "Teng Hiang,


bagaimana kalau kita berbicara dengan memantang jendela
lebar-lebar ?"
Si nona tertawa.
"Kau tak lagi berlaku galak ?" tanyanya. "Bicara terus
terang, aku tidak bersakit hati terhadapmu. Aku tidak
menyembunyikan apa juga. Buatku sudah cukup asal kau
melakukan sesuatu untukku !"
"Apakah itu ?" tanya Hong Kun cepat. "Kau sebutkanlah !'
"Inilah mudah !" berkata Teng Hiang yang lantas mengasi
tahu bahwa dia ingin Hong Kun ikut padanya ke Cenglo Ciang,
di sana dengan menyamar sebagai Tio It Hiong, anak muda
itu harus membujuki supaya Touw Hwe Jie suka muncul buat
turut dalam gerakan Bu Lim Cit Cun.
"Aku menerima baik permintaan kau ini !" kata Hong Kun
mengangguk. "Cuma kau, kau harus dapat buat selamalamanya
menyimpan rahasiaku !'
"Aku berjanji !' Teng Hiang berikan perkataannya.
Sampai disitu, matang sudah pembicaraannya dua orang
licik itu.
"Mari kita berangkat !" kemudian Teng Hiang mengajak.
Tapi Hong Kun tak mudah melupakan Giok Peng. Dia ingin
lekas-lekas mendapatkan nona itu, sesudah itu barulah dia
puas. Begitulah sekeluarnya dari kamar hotel, dia kata : "Kau
hendak membantu aku mendapatkan adik Peng !
Bagaimanakah caranya itu ?"


"Kau sabar !" kata si Nona. "Jangan kau tergesa-gesa tidak
karuan. Nanti kita bicarakannya pula !"
Asyik dua orang ini berbicara hingga mereka tidak melihat
sesosok tubuh berkelebat masuk dalam hotel itu, hingga
keadaan mereka mirip dengan lakon si "cang coreng hendak
menangkap tonggeret tetapi si burung gereja mengintai di
belakangnya". Maka juga pembicaraan dan lagak mereka
malam itu telah ada yang ketahui tanpa mereka
mengetahuinya. Ini juga yang menyebabkan kemudian
diantara Teng Hiang dan Cukat Tan timbul gelombang.....
Sementara itu, mari kita melihat Pek Giok Peng yang lolos
dari jendela hotel dari mana ia kabur terus. Ketika itu sudah
fajar. Pikirannya kusut sekali. Maka ia cuma lari sekeraskerasnya
menuju pulang ke Lek Tiok Po.
Kapan nona itu sudah lari sampai di Siang Cui pu, selagi ia
menoleh ke belakang ia melihat seorang lagi berlari-lari
mendatangi. Terang orang itu lari menyusulnya. Bahkan lekas
sekali, orang telah menyandak ia. Tinggal lagi tiga atau empat
tombak, hingga ia bisa melihat tegas yang orang itu ialah Tio
It Hiong !
Bagaikan burung yang takut akan anak panah, demikian
Giok Peng. Mendadak ia perkeras larinya. Dalam kacau pikiran
seperti itu, ia tak sempat berpikir. Ia lari dengan ilmu lari
cepat Tangga Mega.
"Kakak !" berteriak orang yang menyusul itu, suaranya
nyaring, "Kakak, tunggu !"
Bagaikan orang yang tak mendengar panggilan, Giok Peng
kabur terus.


Mulanya orang itu melengak, tetapi hanya sedetik, lantas ia
menjual pula. Ia juga lari mengguani ilmu Tangga Mega itu.
Bahkan ia dapat lari denan pesat. Maka belum lama ia sudah
menyandak. Ia lari melewati, baru ia memutar tubuh, guna
menghadang si nona.
"Kakak !" katanya. "Kakak, kau kenapakah ?"
Pek Giok Peng berhenti berlari untuk dengan segera
mundur dua tindak.
"Gak Hong Kun !" bentaknya. "Gak Hong Kun, kau terlalu
memaksa aku, akan aku adu jiwaku !" Terus dengan kedua
tangannya, dengan satu jurus dari hang Liong Hoa Houw
Ciang, Menakluk Naga, Menundukkan Harimau, ia maju
menyerang.
Orang itu berkelit, melejit ke sisi orang lalu dengan mudah
ia memegang kedua tangan si nona sambil ia berkata perlahan
:
"Kakak ! Akulah Tio It Hiong, kakak ! Kau lihatlah aku biar
terang !"
Giok Pek terkejut, ia lihai. Ia pula menggunakan Hang
Liong Hok Houw Ciang, maka aneh demikian mudah orang
berkelit bahkan terus menangkap tangannya. Maka juga ia
melengak. Ia mengawasi orang itu. Tio It Hiong yang ia
sangka Gak Hong Kun adanya. Di saat itu pikirannya masih
kacau, masih ia belum sempat berpikir tenang.
Tio It Hiong demikianlah orang yang menyusul itu terharu,
kapan ia menyaksikan keadaan istrinya itu yang begitu
kebingungan.


"Oh, kakak !" katanya perlahan. "Kakak, semua ini telah
terjadi karena kesalahanku. Kakak, aku membuat kau
menderita. Kakak, kau lihatlah aku !"
Pek Giok Peng menatap perlahan-lahan, ia menenangkan
hatinya. Karena ini, lekas juga ia mengenali adik Hiongnya itu.
Tanpa merasa ia melompat menubruk dan merangkul terus ia
menangis tersedu-sedu.
"Adik ..... !" katanya tertahan.
Tio It Hiong membalas merangkul. Tapi ia tidak
mengatakan sesuatu, ia membiarkan orang menangis.
Menangis akan melegakan hati yang penat. Ia cuma
menjumpai si nona dengan sebutir obat pulung "Leng Sian
Poa Hiat", obat penenang syaraf dan penyalur darah.
"Tenang kakak" katanya kemudian. "Anak kita Hauw Yan
telah aku rampas pulang dan telah aku berikan kepada kakak
Kiauw In. Diantara orang-orang jahat yang menyerbu Lek Tiok
Po cuma Hong Kun seorang yang dapat lolos. Nah, mari kita
pulang."
Mendengar anaknya selamat, hatinya Giok Peng lega bukan
main hingga sejenak itu ia cepat bersenyum. Ia mendongak
mengawasi si adik Hiong, air matanya tergenang.
"Adik Hiong mari !" katanya kemudian. "Adik, mari kita
lekas pulang. Aku mau melihat Hauw Yan."
It Hiong mengangguk.
Demikian mereka berdua berlari-lari pulang. Tatkala
mereka sampai di rumah Pek Kiu Jie justru lagi menderita
cepat sekali sebab lukanya yang sangat parah.


Ban Kim Hong menangis ketika ia melihat puterinya pulang.
"Anak Peng, ayahmu....." katanya terus ia berdiam.
Keadaannya membuat ia tak dapat melanjutkan kata-katanya.
Giok Peng pun sangat kaget. Dengan air mata bercucuran
deras, ia lari menghampiri pembaringan ayahnya, mendekati
ayah itu.
"Ayah .... ! Ayah... !" panggilnya, sedangkan tangannya
dielus ke pipi ayahnya itu.
Mukanya Kiu Jie sangat pucat. Ia mendengar suara orang
memanggil, ia membuka matanya yang sekian lama meram
saja. Ia mengenali puterinya maka ia bersenyum.
"Anak Peng...." katanya sangat perlahan. "Kau sudah
pulang, anak, hatiku lega....."
Kata-kata itu berhenti sebab nafasnya si jago tua
mendadak memburu.
Melihat keadaan mertuanya itu tanpa ayal lagi It Hiong
mengeluarkan hosin ouw untuk terus disuapinya sedangkan
dilain pihak ia lantas membantu dengan tenaga Hian Bun Sian
Thian Khie kang pada jalan darah hoy kay di dadanya si orang
tua.
Giok Peng mundur untuk menyandar kepada ibunya.
Bersama ibu dan lainnya, ia menyaksikan bagaimana It Hiong
tengah menggunakan kepandaiannya membantu ayahnya
supaya darah si ayah dapat disalurkan dengan baik supaya
pernafasannya menjadi lurus pula. Diam-diam ia pun
melelehkan air matanya........


Semua orang berdiam, semua kamar menjadi sangat sunyi.
Semua mata diarahkan kepada tuan rumah dan menantunya
itu, semua berkuatir, tapi semua pun mengharap-harap......
Lewat sekian lama perubahan telah nampak. Orang melihat
muka pucat dari Kie Jie perlahan-lahan berubah menjadi
merah, menyusul mana matanya bersinar pula seperti biasa,
tak sesuaram seperti tadi.
Legalah hatinya semua orang. Mereka percaya pocu
mereka yang tua telah tertolong. Dengan sendirinya, tampang
semua orang pun menjadi tenang bahkan terus bergirang.
Itulah khasiatnya hosin ouw dan lihainya kepandaian It
Hiong, Hian Bun Sian Thian Khie kang !
Kapan akhirnya It Hiong menarik pulang tangannya, ia
menarik nafas dalam-dalam sebab ia telah menggunakan
banyak sekali tenaga dan semangatnya yang dipusatkan pada
cara pengobatannya itu, kemudian ia menyusuti peluh yang
membasahi dahinya. Akhirnya ia bersenyum dan kata : "Ayah
sudah bebas dari segala ancaman....."
Begitu habis si anak muda berkata, maka seorang nampak
menjatuhkan diri berlutut di depannya buat memberi hormat
sambil mengangguk-angguk dan berkata : Adik Tio, kau telah
menolong jiwa ayahku, maka kau terimalah hormatnya Pek
Thian Liong ! Adik, aku sangat bersyukur dan berterima kasih
padamu !"
Memang orang itu ialah Thian Liong, kakaknya Giok Peng,
yang sejak tadi berdiam saja dengan jantungnya memukul
keras sebab dia menguatirkan sangat keselamatan ayahnya.


Tadinya dia, begitupun yang lainnya sudah putus asa. Sebab
keadaannya Kiu Jie makin lama makin berat.
It Hiong buru-buru membungkuk akan membalas hormat
buat memimpin bangun iparnya itu.
"Jangan banyak menggunakan adat peradatan saudara."
katanya.
Sementara itu Kiu Jiterus tidur, maka orang tak dapat
mendatangkan suara berisik di dalam kamarnya itu.
Ban Kim Hong lega hati dan bergirang sangat. Puas ia
memandang menantunya yang muda, tampan, gagah dan lihai
itu.
"Anak Hiong." katanya kemudian, "Jika kau tidak datang
tepat pada waktunya, entah bagaimana nasibnya Lek Tiok Po
ini ! Musuh demikian tangguh dan datangnya pun secara
sangat mendadak, hingga kena diserbu. Ketika itu anak Peng
dan Kiauw In baru pulang. Mereka mengatakan halnya kau
masih berada di Ay Lao San dimana kau menghadapi sesuatu
bencana. Aku justru mengharap-harapmu !"
It Hiong menjura pada ibu mertuanya itu.
"Dengan berkah ibu, syukur anakmu tidak kurang suatu
apa." katanya hormat. "Di dalam ancaman bahaya, aku telah
memperoleh keselamatan dan juga keberutungan sebab
secara kebetulan aku mendapat kepandaian ilmu pedang Gie
Kiam Sut serta juga ilmu gaib Hoan Kak Bie Cia."
Lantas si anak muda menggunakan ketika itu menuturkan
halnya ia membantu Beng Kee Eng dan seorang diri
menempur Kwie Tiok Giam Po yang mempunyai Barisan


pedang yang istimewa hingga ia kecemplung ke dalam jurang,
hingga justru di dalam gua tak dikenal ia mendapat pelajaran
ilmu pedang itu sedangkan di Cenglo Ciang, ia bertemu
dengan Kip Hiat Hong Mo Touw Hwe Jie, yang dengan
sukarela bahkan secara memaksa, mengajarinya ilmu gaib itu.
Diakhirnya ia menutur segala sesuatu selama ia dalam
perjalanan pulang.
Pek Giok Peng prihatin sekali mendengar ceritanya It Hiong
tentang tergila-gilanya Siauw Wan Goat dan Gouw Ceng
Tokouw terhadap suaminya itu, lalu dia kata sengit : "Cis !
Segala perempuan itu ! Mereka tentu akan menjadi edan
karena tergila-gilanya itu."
Kiauw In sebaliknya, ia tertawa manis..
"Semua itu adalah akibat kejahatannya Gak Hong Kun
adanya. Dia telah memindahkan bencana kepada adik Hiong !"
Mendengar disebutnya nama Hong Kun alisnya Giok Peng
bangun sendiri. Ia memang sangat aseran, hawa amarahnya
mudah timbul.
"Jahanam itu harus dibekuk !" katanya sengit. "Dia harus
diCincang menjadi berlaksa potong ! Dengan begitu saja,
barulah hatiku puas !"
Ban Kim Hong, sang ibu menghela nafas. "Itulah alamat
dari bakal maju atau mundurnya dunia rimba persilatan." kata
ibu yang berpikiran panjang itu. "Itu pula karena takdir
asmaranya anak Hiong. Selanjutnya baiklah kalian berhatihati,
sebab sekaranglah tiba saatnya ancaman malapetaka
umum itu !"
Thian Liong juga gusar sekali.


"Sayang kepandaianku tidak berarti." katanya sengit.
"Kalau tidak pasti akan aku cari jahanam Gak Hong Kun itu
guna membinasakannya !"
Ketika itu, It Hiong ingat sesuatu.
"Mana iparku Soaw Hoaw ?" tanyanya. "Aku tidak
melihatnya...."
"Dia telah terluka dan sekarang lagi berobat." sahut Giok
Peng. "Ketika dia membantu Hauw Yan diCiat Yan Lauw, dia
dilukai Teng It Beng. Syukurlah lukanya tidak berbahaya."
It Hiong menghela nafas., ia nampak berduka.
"Kakak" katanya kemudian kepada Thian Liong, iparnya itu,
"guna melindungi Lek Tiok Po buat mencegah serbuan pula
dari orang-orang jahat, bagaimana kalau aku memberi sedikit
dari apa yang aku bisa kepada kakak ? Apakah kakak tidak
keberatan ?"
Mendengar tawaran itu, bukan main girangnya Thian Liong
hingga wajahnya lantas menjadi ramai dengan senyuman. Ia
segera berkata : "Saudaraku, kau baik sekali. Sungguh aku
beruntung! Saudaraku, terima kasih !"
Dan ia memberi hormat pada iparnya itu sambil menjura
dalam tanpa memperdulikan bahwa dalam tingkat derajat
sang ipar berada jauh terlebih rendah. Dialah kakak ipar tertua
dan It Hiong moay hu suami adiknya.
Repot It Hiong membalas hormat Toako nya itu. Ia tertawa
dan kata : "Sebenarnya adalah aturan di dalam kalangan
rimba persilatan, di dalam partai mana juga sebelum orang


mendapat perkenan dari gurunya tak dapat dia mewariskan
atau mengajari ilmu kepandaian partainya, kepada orang dari
partai lainnya. Akan tetapi dengan aku menerima pelajaran
dari Kip Hiat Hong Mo Touw Hwe Jie diantara dia dan aku
tidak ada hubungan resmi sebagai guru dengan muridnya.
Karena itu kakak, kebetulan sekarang aku mewariskan
kepandaianku itu kepada kakak buat kau nanti gunakan
melindungi tempat dan keluarga kita ini..."
Thian Liong dan lainnya mengangguk-angguk. It Hiong
bicara dari hal yang benar.
Setelah itu It Hiong lantas mengajari Toakonya itu
rahasianya itu, rahasia pelajaran Hoan Kak Bie Cia, setelah
Thian Liong dapat mengapalinya, dia diminta mengundurkan
diri buat terus mempelajari sendiri dengan tekun.
Demikianlah satu malam telah berlalu. Setibanya sang
fajar, It Hiong lantas berkemas dan berangkat. Ia mau pergi
ke Siauw Lim Sie guna melihat ayah angkatnya yang katanya
terluka parah. Ia memesan untuk Kiauw In dan Giok Peng
nanti pergi menyusul.
Sementara itu selagi peristiwa di Lek Tiok Po baru reda,
maka di Siauw Lim Sie pertempuran telah terjadi !
Itulah gara-garanya Siauw Wan Goat dan Kang Teng Thian,
kakak seperguruannya yang hendak membelainya, sebab
mereka itu telah pergi ke Siauw Lim Siw buat mencari It Hiong
juga Pat Pin Kit In Gwa Sian guna mereka minta keadilan bagi
tingkah polahnya It Hiong......
Ketika itu pihak Siauw Lim Sie selalu melakukan penjagaan
bergiliran. Itulah akibatnya pertempuran besar di puncak
gunung Tay San. Mereka menganggap ancaman bencana


belum reda dan bersiaga siang dan malam adalah baik sekali.
Maka juga semua murid Siauw Lim Sie telah diberi pesan
wanti-wanti untuk berjaga-jaga. Diantara aturan yang
dikeluarkan Pek Cut Taysu ketika Siauw Lim Pay
mempersiapkan semua ialah tamu-tamu siapapun, sebelum
ada perkenan dari ketua itu, dilarang diijinkan masuk ke kuil
Siauw Lim Sie.
Demikian Kang Teng Thian dan Siauw Wan Goat, ketika
mereka baru sampai di jalan gunung yang sempit diselat Ceng
Siong kiap, meterak sudah dapat dilihat empat orang peronda
dari Siauw Lim Sie dan mereka pun dicegah melangkah
terlebih jauh.
Pendeta yang menjadi kepala rombongan peronda itu
memberi hormat sambil menanyakan nama dan gelaran
terhormat, dari kedua tamu itu serta juga maksud
kedatangannya ke Siauw Lim Sie.
"Akulah tocu dari To Liong To, namaku Kang Teng Thian."
Teng Thian memberitahukan. "Kami datang mencari Tio It
Hiong buat membicarakan satu urusan !"
Pendeta kepala peronda itu bernama Gouw Beng. Dialah
murid Siauw Lim Sie, angkatan ketiga. Kawan-kawannya ialah
ketiga adik seperguruannya. Kapan ia mendengar nama Kang
Teng Thian, tahulah ia bahwa tamunya itu seorang bajingan
luar lautan. Karenanya ia sampai melengak, hingga menatap
Teng Thian dan kawannya itu. Lekas ia menjawab dengan
singkat : "Tio It Hiong tidak berada di kuil kami, silahkan Kang
Sicu kembali saja."
"Hmm !" jago dari To Liong To itu memberi dengar suara
dinginnya. "Pek Cut Hweshio tentu berada di dalam kuilnya !


Pergi kau bilang dia bahwa kau si orang tua datang mencari
padanya !"
Gaow Beng menjadi tidak senang. Orang takabur dan juga
kurang ajar. Namanya ketua Siauw Lim Sie disebut seenaknya
saja.
"Ciangbun Sucouw kami tidak biasanya menemui orang
kalangan sesat !" katanya. "Kang Sicu, harap kau tahu sesuatu
dan... pergilah !"
Sepasang alis gomplok dari Teng Thian bangkit berdiri,
matanya yang besar berputar-putar. Memangnya dia telah
tidak puas hatinya.
"Beginilah caranya kamu, kaum Siauw Lim Sie menyambut
tamunya ?" tanyanya keras.
Siauw Wan Goat melihat suasana buruk, ia maju di depan
kakaknya itu dan berkata sabar kepada Gouw Beng, "Kami
datang kemari hendak mencari Tio It Hiong sebab kami
mempunyai urusan dengannya. Karena itu Tay hweshio, tidak
usah kau bersikap keras begini !"
Gouw Beng tak sabaran.
"Diantara kaum lurus dan kaum sesat tak ada pergaulan !"
katanya keras. "Kalian datang kemari, mana ada maksud baik
? Siauw Lim Sie pun tidak mempunyai tempat untuk menerima
kunjungan kaum sesat ! Baik kau jangan rewel lagi."
Kang Teng Thian menjadi gusar sekali.
"Keledia gundul, kau sangat tidak tahu aturan" bentaknya.
"Apakah kau hendak mencoba aku si orang tua ?"


Gouw Beng mundur satu tindak, tongkat panjangnya
sianthung segera dilintangi.
"Tugasku si pendeta tua ialah istimewa, membekuk
kawanan tikus yang berani lancang menyerbu gunung kami !"
katanya, "dan tongkat ditanganku ini tak mengenal siapa juga
!"
Aksinya pendeta ini diteladani ketiga kawan-kawannya,
maka juga berempat mereka itu sudah lantas mengambil
kedudukannya, bersiap menghadang penyerbu.
Kang Teng Thian tertawa nyaring. Dia tak takut sama
sekali. Dia pun mendongkol.
"Lihat tanganku !" dia berseru, terus tangan kanannya
dikibaskan. Nampaknya dia cuma mengancam tetapi itulah
satu jurus dari Bu Eng Sin Kun, pukulan silat Tanpa Bayangan.
Gouw Beng memperdengarkan suara tertahan, tubuhnya
terhuyung mundur tiga tindak, terus dia roboh !
Ketiga pendeta kaget sekali. Orang toh cuma mengancam,
sedangkan jarak diantara kedua belah pihak kira-kira satu
tombak/. Toh Gouw Beng toboh tak karuan.
Dalam kagetnya dua orang pendeta berlompat maju akan
membantu kawannya dan yang satu segera kabur pulang
guna mengasi laporan.
Kang Teng Thian menoleh kepada adiknya.
"Sumoay, mari ikut aku !" katanya. Dan dia bertindak maju
mendekati gunung.


Siauw Wan Goat bertindak mengikuti, hatinya tak tentram.
Sebab dia tak ingin, tak memikir buat bentrok dengan pihak
Siauw Lim Sie. Walaupun dia tergila-gila terhadap It Hiong, dia
masih sadar.....
Jago dari To Liong To itu mendaki terus di jalan apa yang
dijuluki jalan batu ceng siong tao. Dengan cepat mereka
sudah melalui lima puluh tombak, dari lantas tampak samarsamar
bangunan dari Siauw Lim Sie yang besar dan megah.
Sebuah batu hijau yang besar di palang tegak, di sana terukir
empat huruf yang besar sekali, bunyinya, "Tong Teng Pie Ae"
artinya "sama-sama menaiki gili gili sana". Maksudnya :
mencapai kesempurnaan. Dibawah pintu gerbang itu, terlihat
lima orang pendeta diantara siapa pemimpinnya mengenakan
jubah kuning, kumis dan alisnya telah putih semua, mukanya
keras tetapi sedikit bersemu dadu, sedangkan sepasang
matanya hidup bersinar.
Di belakang pendeta itu berdiri kawannya yang jubahnya
warna putih rembulan, usinya kira lima puluh tahun, mukanya
bundar dan montok tapi yang paling menyolok adalah alisnya
yang berdiri, suatu tanda bahwa dia berkepandaian silat
sempurna. Senjatanya adalah sepasang hongpiansan mirip
sekop.
Tiga pendeta yang lainnya ialah ketiga peronda yang tadi,
yang sudah mendahului lari pulang dengan membawa
pemimpinnya yang kena dirobohkan itu.
Melihat tibanya tamu tak diundang itu, si pendeta berjubah
kuning sudah lantas menyapa : "Kang sicu dari To Liong To
secara tiba-tiba saja sicu mendatangi gunung ini dan juga
telah melukai murid kami, apakah maksudmu ?"


Pertanyaan itu bernada kegusaran.
Teng Thian menghentikan langkahnya. Dia mengawasi
pendeta penegurnya itu.
"Aku si tua datang kemari buat mencari Tio It Hiong guna
membuat perhitungan dengannya !" sahutnya keras. "Tadi
murid-murid kalian sudah mencegah kami tetapi syukur aku si
tua masih berbelas kasihan terhadap mereka !"
Pendeta berjubah kuning itu tertawa-tawa. "Pinlap bernama
Gouw To, usiaku sudah tujuh puluh tahun lebih." katanya.
"Tetapi selama hidupku, belum pernah aku melihat orang yang
tak tahu aturan seperti kau ! Kalau kau memikir mencari Sicu
Tio It Hiong, silahkan pergi mencarinya di Pay In Nia."
"Tetapi Tio It Hiong berada di kuil Siauw Lim Sie kamu ini !"
bentak Kang Teng Thian. "Kedelai gundul, beranikah kau
menghalang-halangiku ?"
Lantas si pendeta berjubah putih rembulan maju melewati
Gouw To, ia memberi hormat pada pendeta tua itu sambil
berkata : "Susiok, tecu Bu Tim memohon perkenan susiok
untuk melemparkan orang jahat ini turun gunung ! Dapatkah
?"
"Susiok" adalah paman guru, dan "tecu" ialah murid. Yang
pertama dipakai sebagai panggilan, dan yang belakangan
sebagai sebutan pengganti "aku".
Kang Teng Thian tertawa dingin berulang-ulang.
"Kau hendak melemparkan aku si orang tua turun gunung
?" katanya, suaranya menantang atau mengejek. "Baik, kau
coba-cobalah kepandaianku !"


Bu Tim menjadi gusar sekali.
"Jangan mencoba tidak karuan !" bentaknya. "Lihat
senjataku !"
Pendeta ini lantas memutar hongpiansan hingga anginnya
menderu-deru, sebab tongkatnya itu, tongkat panjang mirip
toya terbuat dari besi, berat dan kuat. Dan pula sudah lantas
menyerang menggunakan jurus silat "Tam Ie San Iliat" atau
"Awan gelap muncul tiga kali."
Kang Teng Thian berlompatan mundur tiga tindak,
menyingkir dari serangan itu yang diulangi secara berantai
sampai tiga kali. Segera setelah itu, ia menggerakkan tangan
kanannya sambil membentak, "Keledia gundul, berhati-hatilah
kau menyambut tanganku ini !"
Dengan digerakinya tangan itu makahebatlah angin
mendesak ke arah lawan, mendadak dan tanpa bentuk atau
wujudnya !
Bu Tim menjadi pendeta angkatan kedua, ilmu silatnya tak
lemah lagi, kepandaian ilmu luarnya, ilmu keras, yaitu gwa
kang telah mencapai kesempurnaan, maka itu segera
menginsyafi lihainya pukulan lawan itu.
Dengan cepat ia berkelit. Tapi begitu berkelit, begitu ia
mengulangi serangannya, menyerang dari samping. Kali ini
dengan jurus silat "Gwan Sek Tian Tiouw" atau "Si batu boncel
mengurung kepala". Dengan begitu hongpiansan menghajar
ke arah kepala.
Kali ini Teng Thian tidak lari berkelit. Sebaliknya, tangannya
diluncurkan ke atas, dipakai menyambut hajaran lawan itu.


Maka bentroklah tongkat si pendeta dengan tangan si
bajingan dari To Liong To, dengan kesudahannya Bu Tim
kaget sekali disamping hongpiansan terlepas dan terpental, si
pemilik sendiri tertolak mundur delapan tindak dengan tubuh
terhuyung-huyung ! Hampir dia roboh !
Mukanya Gouw To berubah kapan ia menyaksikan
kesudahannya pertempuran itu, alisnya sampai terbangun.
Sekarang ia insaf akan lihai lawan. Ia mau turun tangan atau
mendadak empat pendeta dengan jubah putih rembulan
muncul secara tiba-tiba dan mereka itu lantas mengambil
sikap mengurung, yang dua memegang tongkat besi, yang
dua lagi golok keyTo.
Kang Teng Thian tak puas melihat sikap para pendeta itu,
tanpa berkata apa-apa, ia maju melakuka penyerangan, hanya
kali ini tak dapat ia dalam satu gebrakan saja membuat musuh
roboh atau mundur.
Kiranya ke empat pendeta Siauw Lim Sie itu bertempur
dengan menggunakan Barisan rahasia Su Ciang Tiu. Mereka
menyerang berputaran. Saking cepatnya, mereka tak dapat
terhajar Bu Eng Kun musuhnya. Sebaliknya, Teng Thian
nampak repot. Semua serangannya selalu gagal sebab
cepatnya setiap lawan menghindari diri. Baru sekarang ia
insyaf yang Siauw Lim Pay besar, tak dapat dipandang ringan.
Terpaksa ia menyabarkan diri, guna menenangkan hatinya.
Siauw Wan Goat sendiri menonton, hatinya tidak karuan
rasa. Ia datang buat mencari Tio It Hiong, bukannya buat
berkelahi. Siapa tahu kakaknya tak sabaran dan terus saja
bersikap keras. Ia pun menjadi bersusah hati. Tapi ia bisa
berpikir. Maka ia lantas maju menghampiri Gouw To Tayasu
untuk memberi hormat seraya berkata : "LoSiansu,


mengapakah kalian tak mengijinkan aku menemui kakak It
Hiong ?'
Gouw To mengawasi si nona. Dia membalas hormat.
"Siapa itu kakak Hiong mu ?" tanyanya.
"Dialah Tio It Hiong, murid dari Pay In Nia." Wan Goat
menerangkan.
"Tio It Hiong sudah lama pergi meninggalkan kuil kami."
Gouw To memberitahukan.
Wan Goat melengak. Inilah ia tidak sangka. Selagi ia
hendak menanya pula, mendadak ia mendengar seruannya
Kang Teng Thian sambil si kakak itu menyerang dengan satu
jurus dari "Kwie Hian Tong Hiang" tubuhnya masuk ke dalam
kalangan tongkat terus kedua tangannya bergerak. Maka
terpentallah dua batang tongkat besi serta si pendetanya pun
roboh terguling !
Gouw To terperanjat mendapatkan Su Ciang Tiu kena
dipecahkan jago dari To Liong To dan dua orang Siauw Lim
Sie dirobohkan. Sinar matanya sampai menjeltiat tanda bahwa
ia telah menjadi murka.
"Amidha Buddha !" pujinya. "Kang sicu sungguh lihai, kau
telah melukai bebeapa anggauta Siauw Lim Sie. Apakah itu
artinya kau masih memandang mata kepada partai kami ?"
Sebenarnya Teng Thian membebaskan diri dari kurungan
dengan ilmunya itu, Kwie Hiau Tong Hian baru setelah itu ia
menghajar roboh dua orang musuhnya. Kapan ia mendengar
suaranya si pendeta kata : "Lohweshio cuma memuji saja


padaku ! Kalau Lohweshio mau memberi pengajaran silahkan
sebutkan caranya !"
Itulah sambutan atau tantangan terhadap Gouw To. Maka
juga si pendeta menjadi tidak senang sedangkan sebenarnya
masih menahan sabar sebisa-bisa. Sepasang alisnya sampai
bangkit berdiri.
"Kang sicu." katanya keras. "Segala-galanya terserah
kepada sicu ! Sebutkan saja lolap selalu bersedia untuk
menemanimu !"
Lalu dengan satu kibasan tangan pendeta ini menyuruh
murid-muridnya mundur. Si pendeta berbaju putih rembulan
sudah lantas maju untuk membantu kedua orang kawannya
yang roboh itu, habis menjemput goloknya mereka itu, ia
terus berdiri dipinggiran akan mengawasi kedua orang yang
sudah berhadap-hadapan itu.
"Sebenarnya tidak ada niatku si orang tua lancang mendaki
gunung ini." kata Teng Thian kemudian. "Kalau aku toh sudah
datang juga kemari, itu melulu buat mengurus jodohnya adik
seperguruanku ini dengan Tio It Hiong ! Aku mencari bocah
itu yang telah menyia-nyiakan kekasihnya buat berhitungan
dengannya supaya nama adik seperguruanku ini tidak cemar
karenanya supaya ia mendapati nama baik dan haknya
sebagaimana selayaknya."
"Oh, begitu !" berkata Gouw To. "Tapi Tio Sicu tidak ada
disini ! Kami murid-murid Sang Buddha. Kami tidak biasanya
mendusta."
Kang Teng Thian melengak.


"Kalau benar Tio It Hiong tidak ada disini, baiklah."katanya
kemudian. "Aku percaya kalian lohweshio ! Hanya sekarang
aku ingin bertemu dengan In Gwa SIan si pengemis
bangkotan ! Anak pungutnya sudah menghina adik angkatku,
aku mau minta keadilan dari dianya !"
Jilid 39
"Oh, sicu, mengapakah sicu begini berkukuh ?" katanya
kemudian. "Soal asmara pria dan wanita, perubahannya
banyak sekali, setiap waktu bisa didapatkan. Di detik ini
mereka berselisih, di lain detik mereka akur pula malah lebih
akrab dari yang sudah-sudah..... Pinlap lihat baiklah urusan ini
diserahkan kepada sicu yang mengurusnya sendiri...."
"Hm, pendeta tua !" berkata Teng Thian dingin. "Soal jodoh
adikku ini ada soal yang lain sifatnya ! Perlu aku campur tahu
guna membereskannya !"
"Maaf, sicu !" kata si pendeta. "Pinlap adalah kaum
beragama, harap sicu maklum yang dalam urusan asmara itu,
tak dapat pinlap bicara banyak !"
Mendadak darahnya Teng Thian meluap. "Kelihatannya, tak
dapat tidak, aku si tua mesti menerjang masuk !" teriaknya.
Kedua matanya Gouw To dipentang lebar, janggutnya yang
panjang pun bergerak bangun.
"Maaf, sicu" katanya, "pinlap mesti menghormati tugas
kami karena itu tidak dapat pinlap mengijinkan sicu berbuat
semau maunya disini !"


Tepat disaat kedua jago itu hendak bertempur, di jalanan
Ceng Siong To itu tampak sesosok tubuh kecil ramping berlarilari
mendatangi, lekas sekali orang itu sudah tiba. Maka
terlihat nyata dialah Tan Hong dari Hek Keng To. Dia lantas
berdiri diam mengawasi semua orang terutama Gouw To dan
Teng Thian.
Siauw Wan Goat mengenali nona itu, dia menghampiri.
"Kakak Tan Hong, kau telah bertempur dengan kakak
Hiong atau tidak ?" tanyanya.
Nona Tan menggeleng kepala.
"Selama dua bulan ini aku terus mencari dia dengan siasia."
sahutnya.
"Kakak, apakah kakak sudah lupa ?" Wan Goat tanya.
"Bukankah pada bulan yang baru lalu kau bersama dia telah
pergi ke gubuk ke tempat menyepi dari kakak seperguruanmu
?"
Ditanya begitu, Tan Hong dapat menerka duduknya
pertanyaan itu, maka mendadak saja ia tertawa. Orang bicara
diri It Hiong palsu !
"Kakak mau mencari dia itu ?" tanyanya. "Kalau begitu,
buat apa kakak datang mencari ke Siauw Lim Sie ini ?"
Mukanya Wan Goat menjadi merah, tetapi ia toh kata
pelan, "Kemudian setelah itu aku pun telah menemui Kakak
Hiong di rumah penginapan di kecamatan Kwieteng. Selama
satu malam kami telah beromong-omong....."


"Oh, begitu..." kata Tan Hong, perlahan. Di dalam hati, ia
menerka-nerka It Hiong atau Hong Kun yang Wan Goat
ketemui di Kwieteng itu.
"Malam itu kakak Hiong telah mengatakan...." kata pula
Wan Goat, kembali mukanya merah saking likatnya, "dia....."
Tan Hong melirik nona itu. Ia menerka orang salah paham.
Tapi ia tertawa dan berkata : "Pastilah malam itu kakak
merasai kenikmatan pula ...."
"Cis..." Wan Goat meludah. "Ah, kakak, kau masih dapat
menggodia aku. Kau tahu aku sekarang lagi sangat penasaran,
aku seperti mau mati saja...."
Nona Siauw lantas menangis sesegukan, air matanya
meleleh keluar.
Tan Hong menghampiri, ia menepuk bahu orang.
"Ah, anak tolol, "katanya. "Kakak bergurau saja ! Kenapa
kau begini bersusah hati ? " Ia pun menggunakan
saputangannya membantu menepas air mata nona itu, "Aku
cuma main-main..."
Siauw Wan Goat mau percaya bahwa ia telah digodia.
"Kau tahu kakak, apakah katanya kakak Hiong malam itu ?"
kata ia.
Tan Hong mengawasi.
"Kakak Hiong bicara banyak." kata pula Wan Goat yang
terus memberitahukan pembicaraan itu, lebih benar
pembicaraannya It Hiong dengan Teng Thian.


Tan Hong segera berpikir, "Kalau begitu, dia bukanlah Tio
It Hiong palsu !". Maka lantas ia berkata, "Habis itu kakak
Hiong mu itu lantas pergi, bukan ?"
Tapi kakak Hiong gusar sekali karena aku terlalu melit."
Wan Goat berkata.
"Dia mencabut pedangnya dan membacok ujung meja !
Kata kakak Hiong bahwa dia tak nanti sembarang menyianyiakan
orang, bahwa dalam urusan jodoh kita harus menikah
dengan sah dan terang ! Kata dia pula, kalau sampai terjadi
demikian, lebih dahulu dia harus bicara dengan kedua kakak
Pek Giok Peng dan Cio Kiauw In. Akhirnya dia kata, urusan
kami itu harus dicari tahu dahulu sampai jelas, sebab dia
menyangkal perhubungan diantara kami berdua....."
Mendengar sampai disitu, Kang Teng Thian campur bicara.
"Kami tengah menyusul dia sampai di jalan umum diluar
kecamatan Kwie teng." katanya. "Disitu si bocah she Tio main
gila, selalunya dia menyangkal, dia pun kurang ajar. Dia
berani melawan aku si orang tua ! Sealgi bertempur, dia
mengangkat kaki dan kabur !"
Mendengar keterangannya Teng Thian itu, Tan Hong
bingung juga. Pemuda itu It Hiong atau Hong Kun ?
Wan Goat mengawasi kakak seperguruannya lalu dia
menangis pula. Kata dia, "Justru buat urusanku ini, kami
datang menyusul kakak Hiong ke Siauw Lim Sie ini. Di luar
dugaan, kami telah bertempur dengan para taysu itu....."
Berkata demikian, si nona menunjuk ke arah Gouw To
sekalian, atau mendadak ia melengak.


Disitu tak ada seorang pun pendeta ! Mereka telah pergi
secara diam-diam setelah sebentaran mereka mendengari
pembicaraannya kedua nona itu.
Tan Hong pun melengak tetapi dia lantas berkata : "Kakak
berdua, kalian tunggu ! Nanti aku pergi ke Siawu Lim Sie
untuk meminta keterangan !" lantas dia lari ke arah kuil.
Siauw Wan Goat lompat untuk menahan.
"Kakak !" tanyanya. "Kakak hendak menanyakan
bagaimana ?'
Tan Hong berdiam sejenak.
"Aku hendak menanyakan kakak Kiauw In dan Giok Peng
berdua sudah kembali atau belum." sahutnya, "Mereka itu
menjanjikan aku datang kemari."
Begitu berkata, Nona Tan lari pula. Wan Goat melongo.
Kang Teng Thian lompat kepada adiknya itu yang ia tarik
bahunya.
"Tio It Hiong belum pulang ke Siong San !" katanya. "Mari
kita pergi !"
Sekarang Teng Thian percaya keterangannya Gouw To,
maka ia tidak mau menarik panjang urusan pertempurannya
barusan.
Wan Goat bersangsi.


"Aku hendak menantikan kembalinya kakak Tan Hong."
katanya. "Aku akan mendengar apa katanya...."
Teng Thian berpikir keras hingga wajahnya menjadi
suaram.
"Budak Tan Hong dan Hek Keng To datang ke Siong San."
katanya, "bukankah dia pun hendak mencari Tio It Hiong ?"
“Mungkin benar, mungkin bukan...." kata Wan Goat yang
pikirannya kacau.
"Kenapa begitu ?" sang kakak tanya heran. Kakak ini
melengak.
"Memang kakak Tan Hong lagi mencari kakak Hiong."
menjawab si adik seperguruan. "Tetapi datangnya ke Siong
San ini guna mencari kakak Kiauw In...'
Teng Thian tertawa.
"Tidak mungkin budak setan itu merepotkan dirinya sendiri
!" katanya. "Mungkin dia pun mencintai bocah she Tio itu !"
Wan Goat berdiam, hatinya memukul. Kakak itu mungkin
benar. Kalau benar, tambah lagi satu soal baginya. Ia mulai
merasa cemburu. Kedua kakak beradik itu berdiri sekian lama
dengan masing-masing berdiam saja. Wan Goat tunduk.
Sekian lama itu tak nampak Tan Hong kembali.
"Hmm !" bersuara Theng Thian. "Keledia-keledia gundul itu
mencegah kita mencegah kita mendatangi kuilnya, sebaliknya
mereka menerima kedatangannya Tan Hong. Bagaimana itu
?.... Bukankah itu disebabkan mereka sengaja hendak


mempersulit kita ? Hmm, apakah begitu perbuatannya orangorang
suci?"
Wan Goat mengangkat kepalanya, memandang kakaknya
itu. Si kakak masih lagi uring-uringan, maka juga dia merasa
demikian terhadap pendeta-pendeta dari Siauw Lim Sie. Ia
pun lihat wajah muram dari kakaknya itu, yang terang sedang
sakit hati.
"Sudah kakak, jangan kakak sesalkan mereka." kata ia
menghibur. "Mereka itu mempunyai aturannya sendiri yang
harus ditaatinya."
"Tetapi setiap kuil adalah tempat umum, tempat terbuka !"
kata Teng Thian masih mendongkol. "Mestinya setiap kuil
terbuka pintunya buat orang-orang dari empat penjuru dunia !
Kenapa aneh tingkahnya sekalian keledia gundul dari Siauw
Lim Sie ini ? Bukankah terang-terang mereka jahil dan mau
main gila terhadap kita ?"
Wan Goat bingung, ia kuatir kakak ini gusar dan nanti
menyerbu Siauw Lim Sie. Itulah berbahaya dan makin
mempersulit juga usahanya mencari si kakak Hiong.
"Kakak, mari kita tunggu sebentar lagi," katanya kemudian.
"Kita tunggu kembalinya kakak Tan Hong. Nanti kita ketahui
pasti kakak Hiong ada di dalam kuil atau tidak...."
Teng Thian sangat menyayangi adiknya itu. Ia berkasihan
sekali maka dia menungkuli hatinya, menahan sabar. Lewat
pula sekian lama, Tan Hong tetap belum muncul.
Teng Thian mengangkat kepalanya melihat langit. Ia
mendapat kenyataan sang magrib telah tiba. Di pohon-pohon
suara burung sudah mulai terdengar.


"Hm !" katanya, seraya tangannya menjambret lengan
adiknya. "Mari !"
Wan Goat lagi berdiam, ia terkejut, tetapi ia toh turut
ditarik kakaknya itu.
Kang Teng Thian mengajak saudaranya itu ke kuil Siauw
Lim Sie karena mereka berlari tidak lama sampailah mereka di
depan pintu dari Hoe In rareja bagian bawah, dari Siauw Lim
Sie. Justru mereka sampai lantas mereka mendengar
berisiknya senjata-senjata beradu bercampur dengan suara
bentakan hinga meeka menjadi heran. Sebaliknya di bagian
luar itu suasana sangat sunyi, satu orang pun tak nampak.
Tanpa membuka mulut, Teng Thiang menuntun adiknya
memasuki pintu gerbang kuil yang tak tertutup dan tak
terkunci. Mereka berlari-lari. Mereka lari dari bagian dalam
sampai di pendopo dalam ke pendopo Wie To Tian. Masih
mereka maju terus hingga melintasi sederet kamar yang pasti
adalah kamarnya para pendeta. Sekarang mereka berada di
lorong yang menjadi halaman muka dari Toa tian pendopo
utama.
Adalah disini kedua sisi halaman terlihat banyak sekali
pendeta berbaris. Semua bersenjatakan golok kayoo dan
tongkat panjang sianthung. Mereka itu tengah menyaksikan
dua orang yang tengah bertempur di tengah-tengah halaman.
Kecuali suara berisik senjata, sekarang keadaannya sunyi
sekali.
Walaupun demikian kedatangannya Teng Thian berdua ada
juga yang melihatnya. Empat orang pendeta segera muncul
untuk menghadang.


Wan Goat sementara itu sedang melihat tegas siapa yang
lagi bertempur itu. Tan Hong dengan seorang pendeta tua.
Tanpa merasa, ia berseru : "Kakak Tan Hong !"
Seorang pendeta yang menghadang menegur : "Sicu
berdua kenapa sicu masih tidak mau turun gunung ? Sicu mau
apakah ?"
Kang Teng Thian habis sabar, mendadak dia menyerang
dengan pukulan Bu Eng Sin Kun atas mana ke empat pendeta
itu menjerit tertahan, tubuhnya terhuyung-huyung lalu terus
roboh terguling.
Semua pendeta di kiri dan kanan menjadi kaget, mereka
menjadi gusar lantas mereka maju mengurung. Beberapa
pendeta lainnya lekas-lekas membantu ke empat kawannya
yang roboh itu yang terus dibawa menyingkir.
Kang Teng Thian tidak takut, dia menghadapi sekalian
pendeta itu.
"Para suhu, apakah kalian hendak mencoba merasai Bu Eng
Sin Kun ?" tanyanya.
Belum berhenti suaranya si jago tua, seorang pendeta usia
lima puluh lebih maju menghadapinya untuk segera menanyai
: "Tanpa sebab sicu lancang datang kemari dan melukai
orang, sebenarnya sicuorang tangguh dari mana ? Harap sicu
menjelaskan dahulu supaya aku si pendeta kecil dapat
melayanimu !"
"Kedudukan apa kau punyai maka kau mau bicara
denganku ?" Teng Thian membalas. "Mana pimpinanmu ? Aku
hendak bicara dengannya !"


Ketika itu pendeta yang menempur Tan Hong ialah Gouw
To Taysu, telah menangkis sanhopang dari Nona Tan terus dia
mencelat memisahkan diri, untuk menghampiri Teng Thian,
setelah mengawasi Teng Thian berdua Wan Goat, dia
memberi hormat dan berkata : "Lolap Gouw To adalah ketua
dari kuil Hau Ih dari Siauw Lim Sie ! Kang Sicu ada apakah
pengajaran sicu ?"
Kang Teng Thian mengawasi pendeta tua itu, sendirinya ia
menjadi kagum dan menaruh hormat. Si pendeta sangat
tenang, sikapnya sabar dan menghormat. Orang pun berwajah
welas asih.
"Toahweshio, buat apa Toahweshio masih menanyakan lagi
?" sahutnya dengan balik bertanya. "Bukankah tadi diluar
telah aku menjelaskannya ?"
"Dengan sebenar-benarnya Sicu Tio It Hiong belum kembali
ke kuil kami ini." sahut Gouw To dengan sabar, "maka itu aku
mohon Kang Sicu mempercayai perkataanku ini. Lolap harap
sudi apalah sicu lekas turun gunung."
Teng Thian memperdengarkan suara dingin. Kata dia :
"Pintu Buddha terbentang lebar terbuka untuk umum. Karena
itu bagaimana kalau aku si orang she Kang masuk ke dalam
untuk memeriksanya ?"
Alisnya si pendeta terbangun.
"Maaf, sicu." katanya. "maaf yang lolap tidak berani
sembarang melanggar aturan kami sendiri hanya untuk
menerima tamu-tamu agung !"
"Hm ! Hm !" Teng Thian kembali memperdengarkan suara
dinginnya. "Aku si orang she Kang ingin bertemu dengan Tio


It Hiong si bocah tetapi taysu berkokoh mencegahnya, apakah
dengan begitu taysu menghendaki aku terpaksa menggunakan
kekerasan ?"
Gouw To Taysu melengak. Orang tak sabaran sekali !
"Kang sicu, kau telah menjadi sangat bergusar !" katanya.
"Kang sicu, sebenarnya buat urusan apakah kau mencari Tio
Sicu ? Maka lolap menanya melit padamu."
"Aku yang rendah datang mencari Tio It Hiong buat
mengurus urusan jodoh yang ruwet diantara dia dan adik
seperguruanku ini." sahut Teng Thian. Terpaksa dia harus
memberikan keterangannya. "Aku mesti bertemu sendiri
dengannya guan dia mengasihkan keputusannya !"
Ketika itu Tan Hong yang ditinggalkan Gouw To, datang
menghampiri. Dia telah menyimpan senjatanya dan
tindakannya tenang. Terus dia berkata : "Bapak pendeta
mengatakan adik Hiong belum kembali, itulah mungkin benar,
akan tetapi kedua kakak Kiauw In dan Giok Peng yang telah
menjanjikan datang kemari, benar-benarkah mereka tidak ada
diatas gunung ? Inilah sulit buat orang mempercayainya !"
Gouw To memuji Sang Buddha.
"Tio Sicu serta keluarganya itu benar-benar belum kembali
kemari !" kata dia sungguh-sungguh. "Lolap belum pernah
omong dusta !"
Siauw Wn Goat lantas campur bicara. Dia mencari It Hiong,
dia memikiri anak muda itu tetapi dia pun tak menghendaki
kakak seperguruannya yang aseran itu bentrok dengan Siauw
Lim Sie. Maka dia berkata : "Baiklah, kalau Toahweshio
melarang kami memasuki kuilmu untuk memeriksa, tetapi


sekaran aku minta dapatkah kami pergi ke kamarnya kakak
Hiong itu, buat melihat sebentar saja ?"
Gouw To bersangsi.
"Itulah..." katanya, tetapi segera dia disela Tan Hong, yang
berkata sambil tertawa : "Apakah benar-benar taysu, aturan
kuil kalian ini tak dapat memberi keleluasaan kapada umum ?"
Gouw To mengasi lihat sikap sungguh-sungguh hingga
tampangnya menjadi keren.
"Sicu, kaulah seorang wanita muda sekali tetapi kenapa kau
bicara begini lancang ?" tegurnya. "Ada sebabnya kenapa kami
tidak dapat kami menerima kalian memasuki kuil kami ini...."
Ia terus menoleh pada sekalian murid Siauw Lim Sie yang lagi
mengurung itu, ia mengibaskan tangannya, memberi tanda
supaya mereka itu mundur. Setelah itu ia menambahkan :
"Baiklah dengan bersedia nanti ditegur kakakku yang menjadi
ketua kami, suka aku membiarkan sicu semua ke kamar suci
di belakang puncak gunung kami ini, ke tempat yang
diperuntukkan Tio Sicu supaya sicu puas dan tak lagi
mengatakan lolap mendusta ! Nah, silahkan !"
Menutup kata-katanya itu yang merupakan undangan, si
pendeta merapatkan kedua tangannya selaku tanda hormat.
Setelah itu dia mendahului bertindak maju guna memimpin
ketiga tamu-tamunya itu.
Dengan memperdengarkan suara dingin, Kang Teng Thian
mengikuti berjalan bersama Siauw Wan Goat dan Tan Hong
mengintil di belakang mereka. Mereka berjalan di jalan Ceng
Siong To itu dengan tenang dan tanpa bicara. Jarak Hau Ih
kuil Bagian bawah dari Siauw Lim Sie dengan Ceng Thian
pendopo utama, ada tiga atau empat lie jauhnya. Selama itu


mereka merasai shiliran angin diantara dahan-dahan dan
daun-daun cemara (siong), sedangkan suasana magrib makin
nyata.
Tepat ketika rombongan ini mendekat Ceng Thian, Siauw
Lim Sie pusat, maka dari arah kuil itu tampak tiga orang
berlari-lari mendatangi hingga lekas juga mereka itu sudah
sampai di depannya Gouw To berempat itu. Di katakan
berempar si pendeta tua pergi seorang diri, semua murid atau
bawahannya di tinggal di Hau Ih.
Dari tiga orang pendeta itu yang berjalan di muka adalah
seorang pendeta tua berjubah kuning, yang tangannya
memegang tongkat sianthung. Selekasnya dia menghentikan
tindakannya, dia melintangi tongkatnya itu sambil dia
memperdengarkan suaranya yang keren : "Sute Gouw To,
sungguh besar nyalimu ! Kenapa kau berani melanggar aturan
kuil ? Kenapa kau lancang mengajak orang luar memasuki
daerah terlarang ini ?"
Gouw To menjura, memberi hormat pada orang yang
menegurnya itu, wajahnya menunjuki yang ia jeri sekali.
"Ciangbun suheng maaf," berkata ia. "Beberapa sicu datang
kemari mereka memaksa hendak menemui Sicu Tio It Hiong.
Telah siauwte memberikan keterangan bahwa Tio Sicu belum
kembali, mereka tidak mau mengerti, mereka mendesak dan
memaksa juga. Karena itu buat menghindari pertempuran
yang tak dikehendaki, siauwte terpaksa memimpin mereka
datang kemari guna melihat tempatnya Tio Sicu. Demikianlah
maka siauwte telah terpaksa berani melanggar aturan kuil
kita. Buat itu, siauwte bersedia menerima hukuman....."
Sepasang alisnya pendeta berjubah kuning itu terbangun.


"Telah kami menerima perintah dari Ciang bun suheng
yang melarang siapa pun mendatangi tempat terlarang !"
berkata ia keras. "Sekarang sute, lekas kau kembali ke Hau Ih
! Keadaan disini, akan kakakmu yang urus !"
"Ciangbun suheng" ialah kakak seperguruan yang menjadi
ketua dan "siauwte" berarti "adik kecil" sebagai gantinya
"aku".
"Siauwte menurut perintah !" berkata Gouw To yang sambil
memberi hormat, setelah mana ia membalik tubuhnya buat
lari kembali ke Hau Ih.
Hatinya Kang Teng Thian panas menyaksikan kejadian di
depan matanya itu. Maka berulang kali ia memperdengarkan
suara dingin "Hm !". Kemudian sambil tertawa, dia kata :
"Kiranya pendeta-pendeta agung dari Siauw Lim Sie pandai
sekali menipu orang ! Baiklah, aku yang rendah, hendak aku
paksa memasuki daerah terlarang dari kalian. Hendak melihat
apakah aturan itu !" Dan lantas ia bertindak maju.
"Tahan !" berseru si pendeta berjubah kuning. "Tuan,
apakah tuan ialah Tocu Kang Teng Thian dari To Liong To ?
Kenapa tocu mendesak begini rupa ? Kenapakah buat urusan
yang kecil, tocu pasti hendak merusak aturan kuil kami ?"
Teng Thian menghentikan tindakannya. Ia merasa
anginnya tongkat yang dipakai menghadangnya. Pendeta itu
telah lantas melintangi tongkatnya itu. Ia pun tidak senang.
"Biasanya Bu Eng Sin Kun ku tidak mengenali orang !"
katanya keras. "Rupa-rupanya taysu ingin belajar kenal
dengan ilmu silatku itu !"


"Amidha Buddha !" pendeta tua itu memuji junjungannya.
"Kang Tocu tidak suka mendengar kata-kataku si pendeta tua,
kau memaksa hendak melanggar daerah kami. Baiklah, lolap
Ang Sian, ingin lolap mencoba-coba kepandaian Tocu itu....!"
Begitu berhenti kata-katanya si pendeta tua, maka dua
orang yang datang bersamanya, dua pendeta dari angkata
kedua dengan memutar goloknya masing-masing sudah lantas
memajukan diri ke sisi kanan dan kiri pendeta tua itu.
Sampai itu waktu Tan Hong pun bertindak maju. Dia
berkata dingin : "Aku Tan Hong, aku datang kemari karena
aku menyambuti janji ! Jadi kami bukan datang sengaja untuk
kalian kaum Siauw Lim Sie ! Taysu, kalau kau tetap melarang
kami masuk, itulah artinya kau sudah berkeras tak bicara soal
keadilan ! Dengan merintangi kami, kalian pastilah telah
menghina kami sebab kalian mengandalkan pengaruh kalian !"
Ang Sian melirik kepada nona itu.
"Lolap cuma menerima perintah untuk melindungi daerah
terlarang kuil kami !" kata ia. "Nona dapat menggunakan lidah
nona yang tajam tetapi aku tidak menghiraukan itu !"
Kang Teng Thian tidak memperdulikan pembicaraan orang
itu. Ia hanya menoleh kepada Tan Hong.
"Apakah kau tahu tempat mondoknya Tio It Hiong ?"
tanyanya pada si nona.
Nona itu menggeleng kepala.
"Aku tidak tahu." sahutnya.


"Sicu Tio It Hiong tidak berada di kuil kami ini !" berkata
Ang Sian. "Aku minta sicu sekalian jangan salah mengerti,
supaya kita jangan menjadi berselisih karenanya ! Kini sudah
tiba jam pertama, silahkan sicu sekalian pergi turun gunung !"
Mendengar dan menyaksikan semua itu, kembali Siauw
Wan Goat menjadi bingung. Ia ingin mencari Tio It Hiong
tetapi ia juga tak menghendaki kakaknya bertempur melawan
pihak Siauw Lim Sie. Saking bingung, ia berdiam mengawasi
sang rembulan, tetapi otaknya terus bekerja. Mendadak ia
mendapat satu pikiran.
"Taysu !" katanya pada Ang Sian. "Sebagai mana taysu
pikir kalau aku sendiri yang masuk untuk menemui kakak
Hiong ?"
Ang Sian menjawab cepat : "Maaf, nona. Tak dapat aku
menerima baik permintaanmu ini !"
Sampai disitu, habis sudah kesabarannya Kang Teng Thian.
"Aku si orang she Kang, tak sempat aku melayani kau
bicara lebih jauh !" teriaknya. "Lihat kepalanku !" dan ia
menyerang dengan Bu Eng Sin Kun.
Ang Sian Siangjin bertindak ke samping buat berkelit. Ia
tahu lihainya ilmu silat jago dari To Liong To itu. Tak mau ia
menyampoknya. Habis itu ia putar tongkatnya dengan ilmu
silat Lohan thung, ia hanya menutup diri.
Teng Thian sedang murka, ia tidak memperdulikan segala
apa. Ia menyerang dengan hebat, dengan kedua tangannya
silih berganti, maka itu dapat dimengerti dahsyatnya Bu Eng
Sin Kun. Tetapi Lohan thungnya si pendeta juga mempunyai


latihan puluhan tahun, dapat dia menutup dirinya dengan
baik.
Siauw Wan Goat bingung sekali. Tak berdaya buat ia maju
disama tengah. Ia sangat menguatirkan kakaknya nanti salah
tangan hingga onar menjadi hebat dan tak ada jalan untuk
menghindarkannya.....
Tan Hong menonton dengan mulut terbuka. Dia kagum
sekali menyaksikan lihainya dua orang yang lagi mengadu ilmu
kepandaian itu.
Kedua kawannya Ang Sian pun menonton dengan pikiran
mereka tak tenang, mereka kagum berbareng berkuatir buat
keselamatan pemimpin mereka itu.
Ang Sian melakukan tugasnya. Pula sungguh jelek kalau
Kang Teng Thian, bajingan dari luar lautan diberi kesempatan
memasuki kuil Siauw Lim Sie. Apa kata orang luar kalau
mengetahuinya? Pula, suasana tak mengijinkan.
Harus diketahui ketika itu Siauw Lim Sie tengah mengalami
kedukaan. Itulah sebab ketua mereka, Pek Cut Taysu telah
tiba saatnya untuk berkumpul. Mengenai hal itu belum
diumumkan sampai Gouw To dari Hau Ih, belum mendapat
tahu.....
Pertempuran diantara jago tua itu berlangsung terus.
Mereka sama lihainya. Seratus jurus telah dilalui, mereka tetap
sama tangguhnya. Masing-masing sudah menggunakan
kepandaiannya, tiada juga hasilnya Bu Eng Sin Kun, ilmu silat
tanpa bayangan tak mempan terhadap si pendeta tua.
Kemudian tiba saatnya Ang Sian Siangjin menggunakan
tipu tongkat Tiam Hoa Sek Koan, "Membuyarkan Warna


kosong". Dengan begitu ia paksa Kang Teng Thian mundur
tiga tindak. Kesempatan itu ia gunakan untuk berkata : "Kang
Tocu, ilmu silatmu benar luar biasa lihai. Lolap sekarang
menginsafinya ! Tocu harap kau mengenal selatan dan lekaslekas
turun gunung ! Lolap berjanji kalau nanti Tio Sicu datang
kemari, akan lolap menyampaikan kepadanya tentang
minatmu ini !"
Tetapi Kang Teng Thian gusar.
"Aku si tua datang kemari, aku suka datang kapan saja !"
katanya bengis. "Dan aku tidak perdulikan tempat itu kadung
naga atau gua harimau ! Pendeta tua, apakah kau sangka
dengan sebatang tongkatmu ini kau dapat menghina aku ?
Hm !"
Kata-kata itu berarti jago tua dari To Liong To tak sudi di
suruh pergi karena pengaruhnya tongkat, atau dengan lain
arti, Ang Sian dapat bertahan sebab dia mengandal
tongkatnya yang lihai itu.
Ang Sian Siangjin dapat menerka hati orang, ia menjadi
tidak puas. Hingga wajahnya yang tenang menjadi suaram,
alisnya pun terbangun. Ia lantas kata sungguh-sungguh,
"Kang Tocu, apakah ini artinya kau mau bertempur terus
dengan lolap dan kita tak akan berpisah sebelum ada
kepastian siapa hidup, siapa mati ?"
Teng Thian tertawa dingin secara menghina.
"Aku si tua sudah biasa mengembara dan biasa melihat
darah berhamburan !" katanya keras. "Mana aku takuti hanya
sebatang tongkat. Kau benar pendeta tua ! Mari kita jangan
berpisah sebelum kita melihat siapa mati siapa hidup !
Setujukah kau ?"


Ang Sian mengawasi senjata ditangannya, mulutnya
berkelamik, otaknya bekerja. Kemudian ia menyerukan Sang
Buddha untuk akhirnya berkata : "Kita berdua bertempur lolap
menggunakan tongkatku ini, tocu dengan bertangan kosong.
Kalau hal itu didengar dunia Kang Ouw, rasanya kurang bagus
atau mungkin orang akan mentertawakannya karena dianggap
jenaka ! Laginya kalau umpama kata lolap menang, terang
itulah bukan menang kegagahan !" Ia lantas menancapkan
tongkatnya di lantai, dalamnya dua kaki, setelahh mana ia
menggulung lengan bajunya. Ia berkata pula : "Kang Tocu,
kau tidak mau mendengar nasehatku si pendeta tua supaya
kau turun gunung, tetapi lolap pun telah menerima perintah
ketuaku untuk melarang orang-orang asing lancang memasuki
kuil kami. Maka itu sekarang baik kita atur begini saja. Tocu
mari kita putuskan urusan kita ini dengan kepandaian kita !"
"Kau benar pendeta tua." kata Teng Thian. Dan dengan
sengaja dia tambahkan : "Silahkan lohweshio mencabut
tongkatmu ini !"
Tapi Ang Sian berkata dengan sungguh-sungguh. "Tidak
tocu ! Akan aku si pendeta tua menggunakan tangan kosong !
Dengan ilmu silat Lohan Kun, akan aku layani Bu Eng Sin Kun
!"
"Bagus !" berseru para jago tua dari To Liong To itu. "Nah,
kau lihatlah tanganku !" Dan ia lantas menyerang dengan
jurus silat "Guntur mengguratkan langit", sebelum kepalannya
meluncur anginnya sudah mendahului.
"Tunggu dahulu !" berseru Ang Sian sambil ia berkelit. "Aku
masih ada bicara lagi."
Kang Teng Thian tertawa.


"Apakah itu ?" tanyanya. "Apakah itu pesan terakhir ?
Silahkan ucapkan !"
Ang Sian menatap muka orang.
"Kalau kita tetap bertempur seperti tadi, entah itu kapan
habisnya." katanya. "Aku mempunyai satu jalan dengan apa
urusan mudah disudahi......"
"Apa juga adanya itu, aku si tua bersedia menerimanya !"
kata Teng Thian cepat. "Kau sebutkanlah ! Hendak aku lihat,
apakah jalanmu itu pendeta !"
Ang Sian tertawa. Selagi orang tak sabaran, ia bergembira.
"Jangan kuatir tocu" berkata ia. "Lolap menjadi muridnya
Sang Buddha, tak nanti lolap mengandung maksud jahat ! Aku
nanti melayani tocu selama beberapa jurus guna mencari
beberapa anak tangga untuk memudahkan kita turun ke
bawahnya !"
"Sudah, jangan bicara saja !" jago To Liong To memutus.
"Bilanglah apa adanya itu !"
Ang Sian melirik kepada Tan Hong semua lalu ia
menghadapi pula Teng Thian untuk berkata dengan nyaring,
"Kalau kita hanya bertempur, kita akan menemui pula jalan
buntu. Maka itu aku ingin membataskan sampai hanya tiga
puluh jurus ! Di dalam tiga puluh jurus itu, asal tocu dapat
mengalahkan lolap, akan lolap beri kebebasan buat Tocu
memasuki kuil kami ini. Sebaliknya jika Tocu gagal, maka aku
minta Tocu beramai segera pergi berangkat meninggalkan
tempat ini! Nah, bagaimana Tocu pikir caraku ini ?"


"Bagus !" berseru Kang Teng Thian dengan cepat. "Baiklah
bagiku !"
Hatinya Siauw Wan Goat lega mendengar perjanjiannya
Ang Sian Siangjin itu, sedangkan mulanya ia berkuatir takut
nanti Teng Thian kena terpedayakan. Celaka kalau saudaranya
itu roboh. Di lain pihak ia bersyukur kepada pendeta itu yang
hatinya mulia.
Tan Hong sebaliknya, ia berdiam sampai tunduk saja,
alisnya pun dikernyitkan. Nona ini ragu-ragu dengan
kesudahannya pertempuran itu.
Wan Goat melihat sikapnya Nona Tan, ia menghampiri
nona itu.
"Kakak, kau pikirkan apa ?" tanyanya.
Tan Hong menggeleng kepala, kemudian ia menghela
nafas.
"Aku melihat bahwa akhirnya pertempuran ini bakal hebat
sekali." katanya. "Aku berkuatir yang dua-duanya bakal celaka
bersama !"
Nona Siauw terkejut.
"Apa kata kakak ?" tanyanya.
Tan Hong menunjuk kepada Ang Sian dan Teng Thian.
"Dua ekor harimau berkelahi, mana dapat mereka berhenti
dengan bersahaja ?" sahutnya. "Kau lihat saja !"


Wan Goat menoleh ke arah yang ditunjuk. Kiranya Teng
Thian dan Ang Sian sudah mulai bertarung dan pertarungan
sudah lantas menjadi hebat. Sebab Kang Teng Thian tidak
memikir lain daripada cepat menang supaya ia bisa segera
mencari Tio It Hiong.
Dengan mendelong Wan Goat menonton terus, pikirannya
kacau. Maka ia mencekal keras tangannya Tan Hong guna
menungkuli tegang hatinya.
Kedua pengikutinya Ang Siang pun menonton dengan
mendelong, sedangkan dengan menyiapkan goloknya, mereka
harus memasang mata dan bersiap sedia.
Hebatnya pertempuran membuat kedua pihak yang
menonton pada mengundurkan diri. Anginnya pelbagai
serangan hebat sekali, salah-salah orang bisa celaka
karenanya.
Pertarungan berlangsung dengan cepat, terus dengan
hebat. Karena itu walaupun mereka hanya bertaruh,
kenyataan mereka menjadi mengadu jiwa. Pihak yang satu
bertahan, pihak yang lain hendak merobohkanya. Tak heran
kalau pihak yang ini mesti mengeluarkan kepandaiannya.
Sebagai seorang pendeta, orang beribadat pelajarannya
Ang Sian Siangjin berpokok pada "Liok Bie Cia bhie", Enam
kesempurnaan dan sebagai orang sesat, Kan Teng Thian
berdasarkan "Hek Khie Sia kang", ilmu hawa hitam. Sebagai
pokok dasar silatnya, Ang Sian menggunakan Lohanthung,
tongkat arhat, sebaliknya Teng Thian memperkuat diri dengan
Bu Eng Sin Kun, silat tanpa bayangan. Ang Sian sekarang
melepaskan tongkatnya, karena bertangan kosong ia
mengandalkan Lohan Kun, silat Tangan Arhat. Beda daripada


pertempuran yang umumu, mereka biasa memisahkan diri
sejauh tiga atau empat tombak.
Hebatnya pelbagai pukulan membuat Tan Hong dan Siauw
Wan Goat mundur lebih jauh lagi, sedangkan kedua murid
Siauw Lim Sie, pengiringnya Ang Sian Siangjin entah telah
pergi kemana.
Siauw Wan Goat berkuatir bukan main. Kedua lawan itu
sudah bertempur lama, sampai mereka lupa pada janji tiga
puluh jurus. Diantara mereka pun tidak ada juru pemisah.
"Kenapakah kakakku jadi begini sukar !" kata Wan Goat
pada Tan Hong. "Aku berkuatir......"
"Ya, akupun berkuatir." kata Nona Tan.
Boleh dibilang baru saja suaranya Nona Tan berhenti atau
mereka berdua sudah mendengar seruan tertahan yang hebat,
terus mereka melihat kedua orang yang bertempur itu samasama
mencelat mundur. Tubuh mereka terhuyung-huyung,
terus keduanya sama roboh !
Menyaksikan demikian mulanya kaget Tan Hong, lantas
menarik tangannya Wan Goat buat diajak lari memburu.
Wan Goat kaget bukan main.
"Suheng !" teriaknya sambil dia lari tertarik Tan Hong.
Selekasnya sampai pada kakak seperguruannya, ia lompat
untuk menubruk dan memegang bahunya kakak itu niat untuk
digoyang-goyang atau ia menjadi kaget bukan kepalang. Ia
mendapati kepalanya Kang Teng Thian sudah pecah, polonya
hancur, mukanya penuh darah, nyawanya pun sudah terbang
!


"Suheng !" teriak si nona yang terus menangis karena dia
habis daya. Justru itu di belakangnya, dia mendengar suara
pendeta yang memuji Sang Buddha sembari terus ia berkata
dengan suara dalam : "Suheng telah menegakkan aturan kita,
ia mentaati perintah Ciangbun suheng, karenanya dia telah
berpulang ke nirwana......Siancay ! Siancay !" Kesudahannya
suara itu menjadi serak dan tangisan tertahan......
Tan Hong menoleh dengan lantas, maka di sisinya
tubuhnya Ang Sian Siangjin ia melihat seorang pendeta tua
berjubah kuning tengah menjura memberi hormat pada
pendeta yang lagi rebah tidak berkutik itu.
Tadi itu Kang Teng Thian kalah sabar dengan Ang Sian
Siangjin. Dia ingin merebut kemenangan supaya dia bisa
mencari It Hiong, maka sesudah bertempur sekian lama tanpa
hasil, dia mencari saat terakhirnya. Selekasnya ia memperoleh
kesempatan yang paling baik, dia lompat menerjang dengan
satu hajaran maut ke dadanya Ang Sian.
Pendeta dari Siauw Lim Sie itu kena terdesak, tak dapat ia
menangkis atau berkelit. Maka itu terpaksa ia pun
menggunakan hajaran mautnya guna membalas menyerang.
Dan ia menyambut musuh pada kepalanya. Maka juga
akibatnya mereka saling terhajar, dua-duanya roboh. Yang
satu kepalanya pecah, yang lain dadanya ringsak. Jiwanya
melayang dengan berbareng......
Tan Hong mengenali pendeta itu ialah Gouw Ceng Taysu,
salah satu dari lima ketua Ngo Lo dari bahagian Kam Ih dari
Siauw Lim Sie. Pendeta mana datang selekasnya dia
menerima laporannya kedua pengikut dari Ang Sian tetapi dia
tiba terlambat hingga dia cuma bisa menyesal dan berduka.


Tengah Nona Tan diam saja karena dia tidak tahu harus
berbuat apa, tiba-tiba ia melihat cahaya terang yang lagi
mendatangi dengan cepat hingga dilain saat ia mendapati tiga
atau empat puluh pendeta menghampiri ke arahnya. Mereka
itu pada membawa lentera hingga terang sekali tampak
mereka berlerot.
Tepat itu waktu, satu sinar tampak berkelebat dari bawah
melesat ke atas gunung sampai di tempat mereka berkumpul.
Hanya sedetik segera ternyata sinar itu sinarnya sebuah
pedang yang tajam yang dibawa oleh seorang pemuda.
Setibanya pemuda itu bertindak perlahan menghampiri Gouw
Ceng Taysu.
"Orang pandai dari manakah yang telah datang kemari ?"
Gouw Ceng menyapa sebelum ia melihat tegas. "Pinceng
minta suka apalah sicu memberitahukan nama atau gelaran
sicu yang mulia......"
Anak muda itu berjalan terus hingga ia berada di depan si
pendeta terus ia mengangkat kedua tangannya buat memberi
hormat sambil dia berkata : "Aku yang rendah ialah Tio It
Hiong ! LoSiansu, selamat bertemu pula !'
Kata-kata Tio It Hiong menyadarkan Siauw Wan Goat yang
sekian lama itu masih menangis sesegukan perlahan. Dengan
cepat dia berpaling maka diantara terangnya banyak lentera
dari para pendeta Siauw Lim Sie, ia dapat melihat wajah
tampan dan sikap gagah dari kakak Hiongnya.....
Sementara itu It Hiong heran sekali. Ia melihat rebahnya
Ang Sian yang lagi diangkat oleh beberapa pendeta.
"Apakah ada terjadi sesuatu, loSiansu ?" ia tanya Gouw
Ceng.


Pendeta itu menoleh air matanya. Dia tak lantas menjawab
si anak muda hanya sambil mengawasi muridnya Ang Sian, ia
berkata : "Kalian bawa Ang Suheng ke Tatmo Ih dan semua
orang lainnya lekas pulang !"
Perintah itu dilakukan dengan cepat.
Setelah semua muridnya pergi, Gouw Ceng menghela nafas
dan berkata, "Tidak disangka-sangka Ang Suheng karena.....
karena urusan ini telah mesti kehilangan jiwanya bersamasama
Kang Teng Thian.
Hampir pendeta ini menyebutkan hal Ang Sian menempur
Teng Thian sebab Teng Thian memaksa mencari si anak
muda.
It Hiong heran. Ia melihat si pendeta seperti beragu-ragu.
Ia lantas menoleh ke sekitarnya, maka sekarang ia melihat
rombongannya Kang Teng Thian yang terpisahnya dari ia
berdua Gouw Ceng kira-kira tiga tombak. Tan Hong lagi berdiri
diam bersama Siauw Wan Goat, di depan mereka rebah mayat
satu orang, yaitu ketua partai To Liong To, sesosok mayat
yang berlumuran darah. Ia mengerutkan alis, otaknya bekerja.
Lantas ia dapat menerka sebab musababnya peristiwa hebat
ini.
"Kakak Tan Hong !" ia segera memanggil nona dari Hek
Keng To itu, "Nona, apakah...."
Ketika itu Tan Hong tengah berdiri melongo. Ia girang
bukan main melihat anak muda itu, yang ia cari semenjak
mereka berpisah di Ay Lao San. Ia heran atas datangnya si
anak muda yang menggunakan ilmu ringan tubuh yang luar
biasa itu. Ia memang tak tahu halnya It Hiong pandai Gie


Kiam Sut. Sekarang ia melihatnya untuk pertama kali. Pula
untuk sesaat, meskipun ia bergirang ia kuatir nanati bertemu
pula dengan Tio It Hiong palsu. Ia bagaikan baru mendusin
dari mimpinya tatkala ia mendengar panggilan anak muda itu.
Tidak ayal lagi, ia menarik tangannya Siauw Wan Goat untuk
diajak menghampiri. Ia berjalan perlahan-lahan sembari
menghampiri itu, ia mengawasi muka orang.....
It Hiong pun mengawasi, malah segera menyapa, "Kakak,
kakak mencurigai aku bukan ? Kakak, akulah Tio It Hiong !
Kakak, bagaimana dengan Paman Beng dan saudara Hoay
Giok ?"
Kata-katanya ini melenyapkan kesangsian Tan Hong. Itulah
tanda rahasia dari mereka memisahkan diri di gunung Ay Lao
San. Dengan pertanyaan itu, maka teranglah It Hiong ini It
Hiong tulen.
Bukan main girangnya Tan Hong. Sekarang dia girang
tanpa kesangsian sedikit juga. Maka dia lompat maju akan
menyambar tangannya si anak muda sembari tertawa
gembira, dia berkata riang : "Oh, kau benar benarlah adik
Hiong ? Oh, adik, kau membuat kakakmu bersengsara
mencarimu berputar-putaran !"
Saking girangnya nona ini tak malu-malu lagi mencekal
lengannya si anak muda dan berbicara secara terbuka itu, ia
sampai tak menghiraukan Wan Goat disisinya.
Nona Siauw pun menghampiri, ia menjambret ujung baju si
anak muda.
"Kakak Hiong... !" katanya. Suaranya sedih setelah mana ia
terus menangis sedu sedan dan air matanya bercucuran
deras.


It Hiong heran hingga ia melongo.
"Eh, eh, kalian lagi berpepasan apakah ini ?" tanyanya.
Sampai disitu, Gouw Ceng Taysu lantas memperdengarkan
suara dinginnya : "Hm !" ia mengawasi bengis pada Tan Hong
dan Wan Goat setelah mana dia berkata : "Tio Sicu, ketika
Sicu tiba disini barusan, apakah sicu tidak bertemu dengan
ketua Hau Ih dari Siauw Sit San, sute Gouw To ? Kenapa sicu
masih belum ketahui halnya ketua dari To Liong To sudah
lancang memasuki daerah terlarang kami ?"
Kembali It Hiong melengak, tapi hanya sedetik, ia lantas
merangkap kedua tangannya buat memberi hormat pada
pendeta itu.
"Maafkan aku yang muda, loSiansu." katanya. "It Hiong
datang kemari secara sangat tergesa-gesa, maksudku ialah
untuk segera cepat menemui ayah angkatku yang katanya
telah terluka parah ! Begitulah malam-malam juga aku datang
kemari, karena aku tidak mau mengagetkan Hau Ih langsung
datang kemari, bahkan aku menggunakan ilmu ringan tubuh
Gie Kiam Sut. Demikianlah aku jadi tidak ketahui hal yang
dikatakan loSiansu barusan."
Wan Goat sementara itu ketahui kesalahannya, sembari
menangis ia campur bicara, katanya : "Kakak Hiong, semua ini
adalah salahku ! Akulah yang membujuki kakak
seperguruanku datang ke Siauw Lim Sie ini hingga
kesudahannya terjadi ini peristiwa hebat sekali dan sangat
menyedihkan..... Kakak, kau bunuhlah aku supaya dapat aku
menebus dosaku...."


Muka cantik dari si nona menjadi pucat sekali, kedua belah
pipinya penuh teralirkan air matanya yang bercucuran deras.
Ia menangis sesegukan. Tapi ia mencoba menguasai dirinya,
maka juga kemudian, walaupun sambil terputus-putus dapat
ia menjelaskan tindak tanduknya bersama Kang Teng Thian
kakaknya seperguruannya itu, bagaimana mereka itu sudah
mendaki Siauw Lim Sie sampai akhirnya terjadi peristiwa
sangat hebat dan menyedihkan itu, sebab Teng Thian dan Ang
Sian Siangjin mesti membuang jiwanya secara kecewa.
Mendengar penuturan itu, It Hiong menarik nafas dalamdalam,
matanya mengawasi Gouw Ceng Taysu, pendeta mana
berdiam sejak tadi. Kemudian barulah dia berkata : "Tio Sicu,
kaulah tuan penolong kami, dengan memandang muka Sang
Buddha yang maha suci, dapatlah buat sementara itu lolap
menyudahi urusan ini sampai disini, buatku tak campur tahu
pula. Sicu, segala sesuatu lolap serahkan kepada sicu untuk
memutuskannya. Sekarang tinggal soalnya In LoSiansu yang
lukanya sangat parah, jiwanya terancam bahaya setiap detik,
maka itu perlu sicu lekas pergi menjenguknya di dalam kuil
kami, supaya sicu dapat kesempatan menemuinya ! Nah,
perkenankanlah lolap pergi dahulu ! Maaf !'
Begitu dia berkata, begitu pendeta itu memberi hormat dan
berlalu dengan cepat.
Sejenak It Hiong melengak, lalu lekas-lekas ia membalas
hormatnya si pendeta. Kemudian ia berdiri menjublak pula
karena pikirannya kacau sekali. Ia menengadah langit,
mengawasi si puteri malam. Ia terus berdiam saja.
Selama itu, Tan Hong berdiam saja. Ia melihat dan
mendengar. Mulanya beragu-ragu It Hiong ini It Hiong tulen
atau It Hiong palsu. Ia lalu dapat mengambil ketetapan bahwa
orang adalah It Hiong tulen. Bukan main girangnya. Inilah


pemuda dengan siapa ia bersama-sama mendatangi gunung
Ay Lao San, dimana mereka bekerja sama menempuh bahaya.
Inilah si pemuda yang sekian lama ia cari-cari dan baru
menemukannya pula. Sekarang ia melihat kekasihnya itu,
walaupun baru sepihak sebab ia yang tergila-gila sendiri pada
It Hiong "digembrengi" Siauw Wan Goat. Biar bagaimana ia
adalah seorang wanita, dan sebagai wanita tak dapat ia
membiarkan lain wanita mencoba "merampas" kekasihnya itu.
Maka juga tanpa ia merasa timbul rasa cemburunya. Tapi ia
sabar dan dapat berlaku tenang. Maka ia tidak menyela guna
menegur Wan Goat. Hanya sambil tertawa ia menyapa, "Adik
Hiong ! Adik, kau sedang pikirkan apa ? Kenapa kau tidak
lekas-lekas pergi melihat In Locianpwe ?"
It Hiong terkejut. Sapaan si nona membuatnya sadar.
"Kakak, harap tunggu aku di Hau Ih dari Siauw Lim Sie !"
katanya. Lalu tanpa menghiraukan Wan Goat lagi, ia memutar
tubuhnya buat berlari pergi.
Tiba-tiba sesosok tubuh berkelebat dan seorang
menghadang di depannya si anak muda. Dialah Siauw Wan
Goat, nona dari To Liong To. Nona ini memiliki Kwei Siam
Tong Hian, ilmu ringan tubuh yang mengagumkan.
"Kakak Hiong, benarkah kau begini tega ?" kata nona itu,
tampang dan suaranya sedih. "Kenapa kau pergi tanpa
mengucapkan sepatah kata padaku ? Kakak...."
It Hiong melengak. Terpaksa, ia menunda langkahnya.
"Tak dapatkah urusan kita ini kita bicarakan lain kali saja ?"
tanyanya. "Sekarang ayah angkatku yang tengah terluka
parah...."


"Kakak, aku tidak berani merintangi kau menjenguk In
Locianpwe." sahut Wan Goat. "Hanya aku ingat pada kakak
Kang Teng Thian. Kakak Kang datang kemari dan
mengantarkan jiwanya cuma disebabkan dia mau cari kau
buat mendengar kabar baik dari kau...."
Tak senang It Hiong dengan kata-kata nona itu. Ia merasa
seperti dibangkit. Maka juga sepasang alisnya bangun berdiri.
Tapi dia menahan hawa amarahnya.
"Nona, aku minta kau jangan bagaikan melihat aku."
katanya. "Soal cinta bukannya soal yang dapat dipaksakan !"
Mendadak Wan Goat menghentikan mengucurnya air
matanya, ia pula menggertak gigi.
"Kau begini tipis perasaan, kau menyangkal cintamu sendiri
!" katanya keras. "Kalau begitu kau kembalikanlah kesucian
tubuhku !"
It Hiong melengak, lalu mukanya padam.
"Jangan kau mengaco belo !" bentaknya.
"Jangan kau menyembur orang dengan darah. Kau
memfitnah aku. Kau membuatku penasaran!"
Wan Goat juga gusar, sampai tubuhnya bergemetar.
"Kata-katamu masih mendengung dalam telingaku !"
katanya keras. "Apakah yang kau telah janjikan padaku ?"
Suara si nona keras tetapi tajam dan menggetar. It Hiong
melengak. Ia mengawasi nona itu, tampang siapa
mendatangkan rasa kasihan. Nona itu sangat bergusar dan


bersedih sekali. Dia menyintai dan berpepasan. Dia korban
cintanya, cinta yang ditumpahkan ditempat yang keliru. Dia
telah tersesat. Kesudahannya dia harus dikasihhani. Biar
bagaimana It Hiong berkasihan terhadapnya. Tapi baginya
urusan adalah lain.
"Orang dengan siapa kau bercinta-cintaan bukannya aku !"
katanya kemudian dengan keras. Ia berkata dengan
menguatkan hatinya. "Apa yang kalian bicarakan itu tidak ada
hubungannya denganku !"
Tubuhnya Wan Goat bergemetar pula. Kali ini ia seperti
dihajar guntur. Mendadak ia berlompat atau menubruk It
Hiong dengan kedua tangannya ia memegangi kedua bahunya
si anak muda terus mengerung-gerung....
Hampir It Hiong menolakkan kedua belah tangannya, sebab
hatinya pun panas. Syukur di detik itu juga dapat ia
menguasai diri. ia dapat mengerti si nona kalap, sebab orang
telah mengakalinya dan merusak kehormatan tubuhnya yang
paling suci. Sebab nona tertipu karena dia sangat
mencintainya. Ia boleh tak menyukai nona itu tetapi si nona
sebenarnya harus dikasihhani.
Tak dapat berbuat sesuatu, It Hiong menjadi berdiri diam
saja.
Wan Goat menangis sampai ia berhenti sendirinya, karena
It Hiong berdiam saja. Ia pun tak dapat berkata apa-apa.
It Hiong berdiam walaupun pikirannya kacau, ia mencoba
berpikir. Ia harus dapat lolos dari urusannya nona ini.


Ketika itu sudah jam empat, rembulan indah juga sunyi. Si
puteri malam yang sudah menggeser ke barat membuat tubuh
orang menciptakan bayangannya.
Selagi muda mudi ini sedang menjublak tiba-tiba mereka
dikejutkan bunyinya genta jam lima yang datangnya dari
dalam kuil.
It Hiong menghela nafas, ia melepaskan diri dari Wan Goat.
Ia bertindak perlahan, mulutnya memperdengarkan suara
perlahan hampir tak terdengar, "Kalau gunting tak
memutuskan benang masih tetap kusut dan itulah hebat...."
Wan Goat pun berkata :"Kakak Hiong malam ini aku dapat
berada bersama-sama kau inilah saat paling berbahagi bagiku.
Kakak, biarnya kau menyuruh aku mati, aku tak penasaran
atau menyesal ! Kakak...."
It Hiong mengawasi nona itu yang mukanya penuh bekas
air mata. Sedih hatinya mukanya si nona toh bersenyum
redup. Dia cantik, biar bagaimana dia tetap manis. Sinar
matanya nona itu juga mendatangkan rasa haru.
Wan Goat merapikan rambutnya yang kusut !
"Ya, kakak, aku mengatur sekarang" katanya perlahan,
"tidak selayaknya aku menggembrengi kau...."
Mendengar suara nona itu, sejenak It Hiong berdiam. Ia
heran berbareng berlega hati, tapi cuma sejenak lantas ia
mengasi lihat tampang sungguh-sungguh.
"Nampaknya sekarang kau dapat menenangi dirimu."
katanya.


"Ya." sahut nona itu. "Sekarang aku insyaf bahwa sampai
sebegitu jauh tindak tandukku kejam. Memang tak dapat aku
memaksakan kau supaya kau menganggap aku sebagai
istrimu ! Laginya apa gunanya nama belaka. Sekarang aku
cuma ingin kau memikir menyintai aku supaya aku pun
menyerahkan ketika padamu supaya kedua hati menjadi satu,
menjadi saling menyinta buat selama-lamanya sampai laut
kering dan batu bonyok, supaya hati kita kuat bagaikan
kokohnya emas murni. Kakak Hiong ! Dapatkah kau menerima
baik keinginanku semacam itu. Kakak, kau terimalah !'
It Hiong mesti berpikir keras. Lagi satu kesulitan !
Menerima tetapi ia telah mempunyai beberapa istri ! Tidak
menerima, bagaimana si nona harus dikasihhani ? Bagaimana
kalau nona itu nekad berpikiran pendek ? Bukankah secara
tidak langsung ia juga yang membinasakannya ?
Beberapa detik lamanya anak muda ini mengawasi langit.
Sang fajar indah dan nyaman. Di waktu demikian, seharusnya
orang tenang dan berpikiran terbuka.
"Baiklah, aku terima permintaanmu ini." akhirnya ia kata.
"Cuma dengan begini aku menjadi menyia-nyiakan kau buat
seumur hidupmu ! Sebenarnya buat apakah itu ?"
Hatinya Wan Goat lega.
"Kakak, aku tahu kesulitanmu." katanya. "Tetapi aku tak
akan mendatangkan kesulitan untukmu. Di dalam segala hal
akan aku dengar dan turut kata-katamu. Buatku sudah cukup,
sudah mempuaskan hatiku, asal kau menyerahkan hatimu...."


Jilid 40
"Kakak Hiong, apakah kau ragu-ragu ?" tanya Wan Goat.
"Kalau begitu baiklah, akan aku terima nasibku...." Lalu ia
menangis pula.
It Hiong melengak.
"Aku terima kau tanpa ragu-ragu !" katanya kemudian.
"Oh, kakak Hiong, akhir-akhirnya !" seru si nona yang
menjadi tertawa. "Kakak !"
It Hiong mengangguk.
Wan Goat menghampiri anak muda itu buat mencekal
kedua tangannya erat-erat.
"Kakak, tak berani aku mengganggu kau lebih lama pula."
katanya. "Kakak, kau pergilah ke kuil! Aku pun mau lantas
pergi !"
It Hiong menghela nafas.
"Adik, kau pergilah !" katanya. "Sampai kita jumpa pula !"
Dengan perlahan Wan Goat melepaskan cekalannya, ia
mundur satu tindak. Ia menatap wajah si anak muda, sekian
lama ia berdiam saja. Kemudian ia menggigit giginya dan
bertindak kepada mayatnya Kang Teng Thian untuk memberi
hormat pada mayat itu akan akhirnya untuk dipondong.
"Kakak Hiong, aku pergi !" katanya sambil menoleh pada si
anak muda.


It Hiong mengawasi, ia mengangguk.
Wan Goat lantas berjalan, baru kira lima tombak mendadak
It Hiong memanggil, "Adik Wan Goat tunggu !" Dan dia lari
menghampiri.
Wan Goat menghentikan langkahnya.
"Bagaimana kakak ?" tanyanya heran.
"Apakah kau mau pulang langsung ke To Liong To ?" It
Hiong tanya.
Si nona mengangguk.
"Ya." sahutnya. "Sekarang hendak aku mengubur jenazah
kakakku ini di kaki gunung, habis itu hendak aku pulang
langsung ke To Liong To. Di sana nanti hendak aku menuruti
kata-katamu kakak, hendak aku merubah cara hidupku dari
sesat menjadi lurus, hendak aku meninggalkan "kalangan
kaum Hek To."
"Itu bagus adik ! Sekarang aku mau tanya kau, sudikah kau
melakukan sesuatu untukku ?"
Wan Goat mengawasi tajam.
"Apakah itu kakak ? Bilanglah ! Biarnya menyerbu api,
senang aku melakukannya !"
It Hiong berkata perlahan, "Aku minta adik tolong mencari
tahu tentang kepandaiannya mereka yang turut dalam Bu Lim
Cit Cun. Lebih baik lagi kalau mereka itu dapat diadu domba
hingga mereka bentrok diantara kawan sendiri."


Wan Goat berpikir.
"Buat mencari tahu tentang kepandaian mereka, mungkin
dapat." sahutnya kemudian. "Hanya membuat mereka bentrok
satu dengan yang lain, ini sulit juga. Tapi baiklah, akan aku
coba sebisaku ! Dapat, bukan ?"
It Hiong mengangguk.
"Nah, kau berhatilah !" pesannya. "Nanti kita bertemu pula
di In Bu San !"
Wan Goat mengiyakan perlahan, ia berdiri diam saja.
It Hiong sebaliknya.
"Nah, aku pergi !" katanya, terus ia memutar tubuh dan
berlari pergi.
Sesampainya di kuil Siauw Lim Sie, It Hiong tidak berani
mendatangkan banyak berisik. Di sana orang repot
menyembanyangi Ang Sian Siangjin. Maka ia minta seorang
kacung mengantarkannya kepada Liauw In Taysu, setelah
keduanya bicara sebentar lantas mereka pergi ke kamar
tempat In Gwa Sian berobat.
Pat Pie Sin Kit terluka parah sekali. Kalau ia toh masih
dapat bertahan itu terutama disebabkan kekuatan tubuhnya,
yang dibantu pula obat dari Siauw Lim Sie yaitu pil Bun Biauw
Leng Tan yang Pek Cut Taysu berikan padanya. Di lain pihak
ia dapat menguatkan hati karena ia ingin sekali dapat
menemani It Hiong, anak angkat yang ia sangat sayang dan
cintai.


Di sepanjang jalan It Hiong dan Liauw In tidak omong
barang sepatah kata. Keduanya pun mendukai Pek Cut Taysu
dan Ang Sian Siangjin. Tiba di pintu model rembulan, Liauw In
menghentikan langkahnya, dengan perlahan ia kata pada It
Hiong, "Sicu, sudah sampai ! Silahkan kau masuk seorang diri
!"
"Terima kasih." sahut si anak muda, yang terus melambai si
pendeta, untuk melangkah maju terus. Ia memasuki taman
menuju ke kamar tempat beradanya In Gwa Sian. Dari luar,
sudah terdengar suara rintihan perlahan. Mendengar mana ia
merasa hatinya sakit. Maka ia mempercepat langkahnya.
Tiba di muka pintu, meski hatinya mendesak, It Hiong tidak
melupai aturan dari Siauw Lim Sie. Ia mengetuh pintu yang
tidak dikunci, hanya dirapatkan.
Seorang kacung membuka pintu, dia menatap si anak
muda, hendak ia bertanya atau Liauw In dari kejauhan
memperdengarkan suaranya, "Anak Ceng, kau sambut dan
pimpinlah Tio Sicu masuk !"
Mendengar itu si kacung memberi hormat. "Silahkan !" ia
mengundang.
It Hiong bertindak masuk, terus kedalam kamar. Ia tidak
menanti sampai ditunjuki lagi oleh kacung itu. In Gwa Sian
rebah diatas pembaringan. Rintihannya tak hentinya. It Hiong
melihat muka si ayah sangat pucat, rambutnya kusut,
matanya dirapatkan. Kecuali rintihannya, dadanya pun
bergerak turun naik. Itulah tampang dari "pelita kekurangan
minyak."
Dengan lantas air matanya si anak muda bercucuran deras.
Ia lompat ke depan pembaringan untuk berlutut, dengan


suara sedih dan serak ia memanggil-manggil : "Ayah ! Ayah !
anak Hiong pulang !"
In Gwa Sian berdiam saja. Dia tak menyahuti dan tubuhnya
pun tak bergerak.
Bukan main kuatirnya It Hiong, hatinya terasa hancur. Ia
lantas memeluki kedua kakinya ayah angkat itu.
"Ayah !" ia memanggil pula. "Ayah, anak Hiong pulang !
Lihatlah !"
Dengan air mata tergenang, hingga ia menjadi bagaikan
lamur, anak muda itu mengawasi ayah angkatnya itu. Baru
sekarang In Gwa Sian membuka matanya perlahan-lahan.
Sekian lama ia mengawasi si anak angkat. Rupanya ia telah
mendengar dan mengenali, maka tampaklah senyumnya.
"Hiong... anak Hiong.... kau telah pulang ?" katanya
perlahan dan putus-putus. Setelah itu nafasnya memburu.
Meski begitu ia dapat menggerakkan tangannya menyuruh
anaknya duduk.
It Hiong berbangkit untuk memeluki tubuh ayah itu, buat
dikasih duduk menyender.
"Ayah, ayah terluka dibagian apa ?" tanyanya. "Kenapa
lukanya begini parah ?"
"Tak... usah aku menjelaskan lagi tentang itu...." kata si
ayah sangat perlahan dan sukar. "Kau juga jangan
menangis.... Kau dengar kata-kataku yang terakhir....."


Airmatanya si anak muda bercucuran pula dengan deras,
hatinya sakit. Ia melihat ayah angkat itu tak dapat bertahan
lebih lama.
"Ayah mau memesan apa...." katanya kemudian. "Bicaralah
ayah, anak Hiong mendengari...."
Terpaksa, anak ini menangis menggerung.
"Sicu, sekarang bukan saatnya untuk menangis..." demikian
satu suara di belakangnya si anak muda. Itulah suaranya
Liauw In Taysu yang telah menyusul dan terus mendampingi
si anak muda. "Baiklah sicu coba membantu tenaga pada
ayahmu supaya ia dapat bicara dengan rapi....."
It Hiong bagaikan disadarkan. Sejak tadi, saking berduka,
ia lupa pada daya pertolongan. Maka tak ayal lagi, ia segera
memberi pertolongannya. Ia meletakkan tangannya di jalan
darah hoa kay dari ayah angkat itu, terus ia menyalurkan
hawa dari dalam tubuhnya. Ia menggunakan dua-dua
pelajaran dari Hian-bun Sian THian Khie kang serta Gie Kiam
Sut. Di lain pihak dengan tangan kirinya, ia mengeluarkan
hosin ouw, untuk menyerahkan itu pada Liauw In supaya si
pendeta yang menyuapi pada ayahnya.
Di dalam waktu sehirupan teh, bekerja sudah pengaruh
bantuan tenaga dalam serta obat hosin ouw yang mujarab itu.
Rasa nyeri telah dapat ditekan dan ditindih. Maka dilain detik,
mukanya In Gwa Sian tampak bersemu merah dadu, kedua
matanya yang melek tenang seperti sedia kala. Selekasnya dia
dapat mengeluarkan nafas untuk melegakan hatinya yang
sesak dengan bantuan tenaga sendiri, dengan menggerakkan
kedua tangannya dapat ia bangun untuk berduduk, untuk
terus mencoba meluruskan lebih jauh pernafasannya.


Ilmu tenaga dalam dari In Gwa Sian ialah Tong Cu Kang,
"Tong Cu" ialah anak kecil, anak yang belum melepaskan
nafsu birahinya. Jadi tenaga dalamnya lebih kokoh dari pada
kebanyakan orang lain. Dalam usia yang sudah lanjut itu -
sembilan puluh tujuh tahun- In Gwa Sian masih kuat dan
gagah, kesehatannya sempurna. Kalau bukan terluka hebat
sekali, ia tak akan sepayah ini. Bantuan tenaga dalamnya itu
serta obat dari kaum Siauw Lim Sie membuatnya kuat
bertahan sampai pulangnya It Hiong ini. Ia berkeras hati
karena ingin ia sekali lagi melihat wajah anak pungutnya yang
ia sangat kasihi itu.
Selama itu, kamar itu menjadi sangat sepi.
Dengan tangan kanannya, It Hiong masih menekan ayah
angkat itu. Tangannya itu bergemetaran. Sebab ia telah
menggunakan semua tenaga dalamnya. Kepalanya telah
mengeluarkan hawa seperti asap, dahinya bermandikan peluh
yang menetes berbutir-butir.
Sewaktu In Gwa Sian baru terluka, Liauw In telah melihat
keadaannya yang sangat berbahaya itu, maka bersama-sama
Pek Cut, sang kakak seperguruan merangkap ketua, ia telah
membantu dengan tenaga dalam Tay Poan jiak Sian Kang,
juga obat Ban Hiauw Leng Tan, tetapi pertolongan itu cuma
berupa bantuan sejenak buat menjaga orang tak segera putus
jiwa. Sekarang pendeta itu melihat kesungguhannya It Hiong.
Ia menjadi menguatirkan keselamatan anak muda yang gagah
yang menjadi penolong Siauw Lim Sie. Kalau tenaga dalamnya
habis, pemuda itu bisa mati sendirinya, atau sedikitnya ia
bakal bercacat seumur hidupnya. Maka ia menganggap anak
muda itu perlu ditolong. Sebagai orang yang cerdas ia
mengerti bagaimana ia harus menolongnya. Tiba-tiba ia
berkata dengan suara cukup keras : "In Sicu, lolap memohon
diri ! Silahkan sicu berdua berbicara !"


Dengan suara keras itu, Liauw In hendak menyadarkan
dua-dua In Gwa Sian dan It Hiong, yang seperti tengah kalap
dengan masing-masing keadaan dirinya, terutama supaya In
Gwa Sian melihat anak angkatnya itu dan mencegahinya.
Setelah berkata itu, ia lantas bertindak pergi, tetapi bukannya
berlalu terus hanya bersembunyi di pojok kamar, guna
mengintai.
Nyerinya In Gwa Sian sudah berkurang, dia mulai sadar,
selekasnya dia membuka matanya, dia melihat keadaan anak
angkatnya, ia mengerti bahwa anak itu sudah menolongnya
dengan melakukan pengobatan besar. Segera ia mengerahkan
tenaganya dan menutup jalan darah hoa kay di dadanya.
Dengan demikian ia menolak balik tenaga dalamnya si anak,
yang disalurkan masuk kembali kedalam tubuhnya. Dan
dengan demikian It Hiong menjadi mendapat bantuan tenaga,
walaupun itulah tenaganya sendiri yang pulang asal.
Lewat lagi sekian lama, In Gwa Sian mengangkat
tangannya It Hiong yang ditempel dan ditekankan kepada
dadanya, lalu dengan suara dalam ia kata, "Anak Hiong, lekas
kau kerahkan tenaga dalam dan salurkan nafasmu kemudian
kau istirahat. Mesti kau ingat, besar sekali tanggung jawabmu
kelak ! Tak dapat kau merusak dirimu secara berlebihan. Itu
bukannya kebaktian !"
It Hiong sangat terharu. Ayah angkatnya sangat baik hati.
Ia menyahut perlahan, terus ia duduk bersila, untuk
menyalurkan nafasnya guna mengumpuli tenaga dalamnya.
Selekasnya ia melihat si anak muda beristirahat lega, hatinya
Liauw In. Meski begitu terus ia mengintai, tak mau ia segera
munculkan diri. Tak mau ia mengganggu ayah dan anaknya
itu.


Sesudah satu jam It Hiong berbangkit, wajahnya tak
bercahaya. Itulah bukti dari halnya dia telah mengobral tenaga
dalamnya. ia mengawasi ayahnya sekian lama baru ia
menanya : "Ayah, ayah hendak bicara apa ? Bicaralah ayah !"
In Gwa Sian membuka matanya, ia batuk satu kali.
"Ayahmu telah berpuluh tahun menjelajahi dunia Sungai
Telaga, semua perbuatannya adalah melit." katanya. "Anakku,
kau adalah ahli waris Hang Liong Hok Houw Cian..... kau pula
anakku, maka itu ingatlah, janganlah kau turun namaku !" Ia
berdiam sedetik terus menambahkan, "Tentang gurumu si
imam hidung kerbau, dia sudah tawar hati terhadap harta
dunia, dia sudah mengundurkan diri, sekarang dia tengah
merantau, entah kemana, tapi dia tetap ahli pedang yang
namanya tersohor diempat penjuru lautan, kaulah ahli
warisnya. Dari itu kau harus menggunakan ilmu pedang
gurumu itu untuk menggetarkan dunia Sungai Telaga, agar
kau tak menyiakan ajarannya gurumu itu yang telah
memelihara dan mendidikmu !"
"Akan aku ingat, ayah" berkata si anak muda yang
memberikan janjinya. Dia berdiri tegak dan hormat.
In Gwa Sian menghela nafas, melegakan dadanya. Setelah
itu dia menambahkan, katanya, "Dalam pertemuan besar di
gunung Tay San itu, pertempuran luar biasa hebat. Di sana
jago pihak lawan ada si siluman Thia Cie Lojin, dia benar
sudah mati, kawannya masih banyak, setiap waktu bisa
mengacau dan mengganggu pula dunia rimba persilatan,
maka itu dengan Keng Hong Kiam, kau harus dapat menyapu
ia yang jahat ! Kau harus membuat jasa dengan membela
keadilan dengan jalan membasmi kelaliman !"


Orang tua ini bicara dengan bersungguh-sungguh,
nafasnya sampai memburu, wajahnya menjadi merah, selagi
sinar matanya mencorong, kumis janggutnya pun bergerak
mana lagi sekali ia mengeluarkan nafasnya, lalu ia melanjuti
kata-katanya, "Mungkin sudah takdirnya habis pertemuan di
gunung Tay San itu Pek Cut Taysu bakal pulang ke tanah
barat dan Bu Teng Sin ong, ialah ketua dari Bu Tong Pay-
Gauw Han bersama dua adik seperguruannya telah hilang
jiwanya di Sam Goan Kiong. Di sanalah itu Leng In Totiang
ketua dari Ngo Bie Pay, Bo Sim Totiang ketua dari Kun Lun
Pay serta adik seperguruannya yang wanita, Beng Sin Suthay,
mereka mengalami nasib seperti Gauw Han bertiga. Mereka
menutup mata secara mendadak. Merekalah orang-orang
ternama, tak pantasnya mereka kena serang secara
menggelap ! Aneh, tapi mereka tak dilukai dan juga tak
terkena racun ! Tidakkah itu aneh ? Maka aku mau percaya,
bukankah itu namanya kutukan ? Selama tiga bulan ini anak,
kau selalu berada diluar, kau tentu telah mendengar tentang
semua peristiwa hebat menyedihkan itu, pernahkah kau
memikirkannya ? Apakah sebabnya ?"
Berkata begitu, nafasnya si jago tua memburu. Di dalam
keadaan segenting itu, dia masih ingat urusan dunia Sungai
Telaga, tentang bencana rimba persilatan. Hingga ia jadi
bicara banyak.
It Hiong berdiam. Justru selama saat-saat yang disebutkan
ayah angkatnya itu ia lagi berada di dalam gua di Bu Lian Sha,
dan ditengah perjalanan pulang, ia menghadapi beberapa
peristiwa yang disebutkan si ayah ia tidak tahu menahu. Maka,
mendengar kata-kata sang ayah, hendak ia meminta
keterangan, atau ayah itu sudah melanjuti perkataannya.
"Hebat cara pembunuhan pihak yang bekerja didalam gelap
itu." kata si ayah. "Mereka bisa membinasakan musuh tanpa


suara apa-apa, tanpa meninggalkan bekas atau tapaknya.
Menurut setahuku, cuma In Tok Sinshe yang dapat berbuat
demikian, hanya dia itu, pada empat puluh tahun yang lalu,
sudah dikeroyok kaum sadar hingga dia terluka dan
tercemplung kedalam jurang Mustahil dia tertolong dan
sekarang masih hidup."
Disebutnya nama In Tok Sinshe membuat It Hiong heran.
"Sebenarnya dia orang macam apakah ?" tanya anak ini.
Nafasnya In Gwa Sian memburu keras, mukanya menjadi
pucat. Rupanya dia telah bicara terlalu banyak. Maka dia
sudah lantas memejamkan mata dan duduk diam saja. Tapi
tak lama dia sudah melanjuti pula : "Tak ada waktu lagi buat
aku menjelaskan asal usulnya In Tok Sinshe serta cabang
persilatannya. Hanya dia telah mempelajari semacam ilmu
racun atau racun yang jahat sekali, andiakata dia sudah
melatih sempurna ilmunya itu di dalam kalangan sepuluh
tombak sekitarnya, dia dapat meniup atau menyemburkan
racunnya untuk membunuh oang tanpa ada tanda luka atau
bekas lainnya. Pada empat puluh tahun lampau itu saja, dia
sudah lihai hingga dia mesti dikeroyok sampai dia terjungkal
ke dalam jurang. Mungkinkah sekarang....."
Makin lama suaranya si jago tua makin perlahan.
"Ah, ayahmu telah bicara terlalu jauh....." kata ia kemudian,
habis ia beristirahat beberapa menit. "Baik, aku tak usah
bicara lebih banyak tentang In Tok Sinshe itu. Hanya anak
Hiong hendak aku pesan kau, kalau kelak kemudian kau
bertemu lawan pandai meniup atau menyemburkan racun tak
peduli ia In Tok atau bukan, jalan yang paling mudah
mengusirnya ialah kau gunakan api. Racun itu asal bertemu
api bakal musnah sendirinya. Kau ingat ini baik-baik !"


"Ya, anak Hiong ingat, ayah..." sahut si anak angkat.
Habis bicara itu dan mendengar janji anaknya, nafasnya In
Gwa Sian tampak lurus dan wajahnya pun bercahaya lalu dia
tertawa kemudian lagi dia berkata dengan suaranya terang
dan jelas, "Aku sudah berusia sembilan puluh tahun, taruh
kata aku menutup mata sudah tidak ada yang kau berati lagi.
Kau anak, kau pun jangan berduka karena aku meninggal
dunia. Kau ingat saja membuat satu perbuatan baik. Kau pun
harus cari tahu kematiannya ketua-ketua Bu Tong, Ngo Bie
dan Kun Lun Pay itu supaya si penjahat dapat dibinasakan !"
"Anak Hiong akan ingat ayah." sahut si anak. Airmatanya
meleleh.
In Gwa Sian sebaliknya tertawa terbahak. Kata dia gembira,
"Gurumu si hidung kerbau itu pernah meramalkan aku katanya
aku selewatnya delapan tahun lagi tak akan luput dari
takdirku, karenanya lantas dia menyuruh aku menyendiri dan
menyepi supaya aku lolos dari takdir itu. Ha ha ha ! Sekarang
tepat sudah delapan tahun dan ternyata ramalannya cocok,
tepat sekali ! Sejak jaman dulu, manusia siapakah yang tak
pernah mati ? Karena itu masih kau hendak menolak orang
perempuan menangis tidak karu-karuan ?"
It Hiong tunduk, tak berani ia mengangkat kepalanya.
Biarnya ia gagah, ia toh tak tega mengawasi ayah angkat itu.
Biar bagaimana ia merasa berat kalau ayah itu sampai mesti
meninggalkannya.......
Liauw In melihat wajah si pengemis serta kegembiraannya
itu, diam-diam ia mengerti. Itulah sinar terang terakhir dari
seorang yang telah tiba saatnya harus kembali ke dunia dari


mana dia datang. Ia percaya tinggal lagi sesaat maka si
pengemis jago itu bakal meninggalkan mereka semua.....
Tepat pendeta itu akan menghampiri It Hiong buat
memberi kisikan, maka seorang kacung pendeta datang
padanya dengan laporannya bahwa Nona Cio serta dua orang
sicu lainnya mohon bertemu."
Sejenak si pendeta heran atau segera ia menjadi girang.
"Lekas undang masuk !" perintahnya.
Kacung itu mengundurkan diri untuk di detik yang lain
kembali bersama tiga orang tamunya, Cio Kiauw In, Pek Giok
Peng dan Tan Hong.
Matanya Kiauw In segera tergenang air selekasnya ia
melihat keadaan In Gwa Sian, pengemis yang ia paling
hormati itu. Ia jamu untuk memeluk sambil ia kata duka,
"Paman In bagaimana ?"
In Gwa Sian girang melihat nona itu yang rambutnya sudah
lantas ia usap-usap.
"Pamanmu tidak kurang suatu apa, anak In." katanya
manis. "Buat apa kau menangis ?"
"Katanya paman terluka, apa sekarang paman banyak
baikan ?" Giok Peng tanya. Nona ini menahan terharu hatinya.
In Gwa Sian mengawasi nona itu.
"Oh, anak Peng, kau juga sudah kembali !" katanya. "Bagus
! Bagus ! Aku sudah baik anak !"


Pengemis itu mengawasi nona yang ketiga, terus ia
menatap. Ia tampak mau membuka mulutnya tetapi batal.
Tan Hong heran sehingga ia melengak. Lantas ia
menghampiri sampai dekat.
"In Locianpwe, terimalah hormatnya Tan Hong !" katanya
sambil ia memberi hormat.
"Tak usah." kata In Gwa Sian yang terus menanya Kiauw
In. "Anak In, apakah nona ini datang bersama-sama kalian ?"
Nona Cio mengangguk.
"Ya, Paman."sahutnya. "Inilah adik Tan yang telah
membantu adik Hiong mendaki gunung Ay Lao San dimana ia
membantu menyerbu kaum Losat Bun hingga akhirnya Paman
Beng telah dapat ditolong dibawa pulang."
In Gwa Sian mengangguk dengan perlahan. Ia hendak
membuka mulutnya atau mendadak wajah terangnya si tua
perlahan-lahan mukanya menjadi pucat lalu daging pipinya
berkedotan, alis dan kumisnya pun bergerak-gerak. Yang
paling nyata ialah nafasnya segera memburu. Habis itu
terdengarlah suara seraknya terputus-putus, "Anak
Hiong.....anak..... jagalah dirimu.... menyingkirlah dari
bencana asmara. Ingatlah huruf paras itu dimulai dari.....
huruf.... golok dan cinta itu adalah penyesalan. Ingatlah anak
!"
Belum lagi jago tua itu menutup kata-katanya atau tampak
matanya terbalik terus kepalanya teklok lantas tubuhnya
roboh dari duduknya itu, rebah diatas pembaringan sebab
rohnya telah berangkat meninggalkan dunia yang fana ini.


Dengan demikian maka berlalulah seorang jago tua yang
namanya kelak dibuat sebutan. It Hiong menjerit, menubruk
tubuh ayah angkat itu terus ia pingsan. Ketiga nona itu pun
lantas menangis menggerung-gerung, semuanya berlutut di
depan pembaringan. Liauw In si pendeta tua pun terharu
sekali. Walaupun ia telah menjadi seorang suci yang bebas
dari segala apa keduniawian, ia toh merasa sangat terharu
hingga air mata tergenang.....
Lewat sesaat It Hiong lantas bekerja. Dibantu sejumlah
pendeta ia merawat jenasah ayah angkat itu, untuk
menguburnya di gunung Siong San itu selesai mana ia
menjadi sangat pendiam hingga ia seperti tidak melihat dan
tidak mendengar.
Ketika itu musim dingin, daun-daun berjatuhan, salju
beterbangan. Malam itu hawa dingin meresap ke tulangtulang.
Seluruh kuil Siauw Lim Sie terbenam dalam kesunyian.
Dimana-mana api telah dipadamkan.
Justru di dalam kesunyian tiu maka tiba-tiba diatas puncak
tampak suatu titik hitam bergerak-gerak dengan gesit,
bagaikan terbang naik ke atas wuwungan kuil tanpa
menerbitkan suara barang sedikit juga. Titik itu bayangan
sesosok tubuh lantas mondar mandir di atas genting, akan
kemudian terlihat dia berlompat naik ke puncak. Ketika itu
terdengar siulan yang panjang, suara seperti suara burung
malam, lalu bayangan itu tampak berlari-lari turun gunung......
Besoknya pagi-pagi, tengah para pendeta berdoa
menjalankan agamanya tiba-tiba lonceng besar berbunyi.
Maka berhentilah mereka semua secara mendadak. Semua
lantas lari ke pendopo besar Tay Hiong Poo tian, tampang
mereka menandakan mereka bergelisah atau ketakutan


seperti juga bencana besar tengah mengancam mereka
semua.
Itulah sebab Siauw Lim Sie telah mengalami kejadian yang
hebat sekali.
Tadi malam itu, empat diantara lima pendeta tua dan
beribadat Ngo Lo dari Siauw Lim Sie ialah Gouw Ceng, Gouw
Hoat, Gouw Leng dan Gouw Gie telah kedapatan mati tanpa
sebab musabab, mati tak karuan seperti Bu Tong Sam Kiam,
tiga jago pedang dari Bu Tong Pay. Tubuh mereka tak terluka
atau lainnya. Setelah itu tiba berita yang Gouw To Taysu yang
kelima dari Ngo Lo yang berdiam di Siauw Lim Hen In, ruang
bawah, malam itu pun mati secara tiba-tiba dan tanpa terluka!
Liauw In menjadi kaget dan bingung dan repot selekasnya
dia menerima laporan. Tetapi dia masih ingat akan paling
dahulu mengirim beberapa rombongan muridnya pergi
menjelajahi dan menggeledah seluruh gunung buat mencari si
penjahat.
It Hiong juga dikejutkan dan diherankan suara genta itu.
Segera ia lari mencari Liauw In, tanpa perkenan lagi ia
lancang memasuki pendopo besar.
"Kebetulan sicu datang !" menyambut Liauw In sambil
memberi hormat. "Justru ada urusan besar dalam hal mana
lolap ingin memohon pendapat sicu....."
Pendeta itu lantas menyuruh semua muridnya
mengundurkan diri buat melakukan tugasnya masing-masing,
setelah itu ia mengawasi It Hiong seraya berkata, "Sicu mari
kita bicara di dalam ! Bersediakah sicu ?"


It Hiong mengangguk dan mengikuti pendeta itu, sampai di
Ceng-sit kamar peristirahatan dimana ia paling dahulu
diundang duduk dan dipersilakan duduk. Kemudian dengan
tampang sungguh-sungguh sang pendeta berkata padanya,
"Sicu pasti telah mengetahui perihal keapesan Siauw Lim Sie
kami, semua itu disebabkan keganasan musuh, keganasan
yang sebelumnya belum pernah terdengar. Mala petaka yang
menimpa kami sama sepert yang diterima ketika partai Bu
Tong, Kun Lun dan Ngo Bie Pay. Kalau pembunuhan gelap itu
dilanjuti, entah bagaimana nasibnya kaum rimba persilatan
golongan lurus dan sadar."
"Harap jangan berduka, taysu." It Hiong menghibur. "Yang
sudah tinggal sudah, yang penting ialah daya pencegahan
untuk yang akan datang. Baiklah taysu berlaku tenang supaya
dapat kita berpikir dan berunding....."
"Amida Buddha." Liauw In memuji sambil merapatkan
tangannya. "Semoga sang Buddha kami berkasihan dan dapat
membantu menyingkirkan ancaman bagi kaum rimba
persilatan itu ! Hanya sicu, lolap sudah tua dan
pengetahuanku cetek. Pula sekarang pikiranku sedang kacau,
tak dapat lolap memikirkan sesuatu. Maka itu kebetulan sicu
datang kepada kami ini, lolap ingin minta pikiran dan
pengajaran dari sicu."
It Hiong membalas hormat.
"Jangan terlalu sungkan, taysu." katanya. "It Hiong muda
dan kurang pengetahuan. Akan tetapi demi keadilan dan
kebaikan kaum rimba persilatan, pasti dia akan berbuat
semampunya dan dengan sungguh-sungguh !"
Liauw In tunduk. Nampak ia sedang berpikir keras.


Melihat demikian, si anak muda pun turut berdiam dan
berpikir. Ia belum tahu, bahkan belum pernah mendengar
tentang bajingan dari empat puluh tahun yang lampau itu.
Karena mengasah otak, tiba-tiba ia ingat kata-kata terakhir
dari ayah angkatnya hal In Tok Sinshe, jago ahli racun empat
puluh tahun yang lalu.
"Taysu," lantas ia tanya Liauw In. "Taysu telah berusia
lanjut dan banyak merantau, apakah taysu ingat halnya
seorang ahli racun tukang membunuh sesama manusia dari
beberapa puluh tahun yang silam yang disebut In Tok Sinshe
?"
Ditanya begitu, mendadak Liauw In mengangkat kepalanya,
mengawasi tetamunya. Ia nampak heran.
"Sicu, apakah sicu pernah bertemu dia ?" ia balas bertanya
sebelum menjawab. It Hiong melihat orang terkejut dan heran
itu.
"Belum pernah aku yang rendah bertemu dengan orang itu.
Tentangnya aku cuma pernah mendengar dari ayah
angkatku." sahutnya.
Liauw In mencoba menenangkan dirinya.
"Semoga janganlah orang itu muncul pula !" katanya habis
memuji sang Buddha.
"In To Sinshe pada empat puluh tahu dahulu telah
dikeroyok oleh banya orang kaum lurus dan telah terjatuh ke
dalam jurang lembah."
"Kecuali In Tok Sinshe apakah ada orang kedua yang
kejam seperti dia ?" It Hiong tanya.


Sang pendeta menggelengkan kepala.
"Tidak." sahutnya. "Mengenai In Tok Sinshe itu lolap juga
belum pernah menemuinya, hanya lolap mendengar dari guru
kami yang ketika itu turut di dalam rombongan yang
mengeroyoknya."
Alisnya It Hiong terbangun.
"Menurut aku yang rendah, taysu." katanya bersungguhsungguh.
"Mengenai semua pembunuhan ini, aku tak perduli
itu dilakukan oleh In Tok Sinshe atau bukan, karena kejahatan
dan keganasan itu si pembunuh tidak seharusnya dibiarkan
lebih lama pula dalam dunia ini, kalau tidak pasti akan roboh
lebih banyak lagi orang rimba persilatan golongan lurus."
Liauw In tertarik dengan kata-kaanya anak muda ini.
"Sicu muda dan gagah, sudah sepantasnya kalau sicu suka
bertanggung jawab melenyapkan manusia sejahat itu."
katanya. "Tetapi dia datang dan pergi tak berbekas, gerak
geriknya dalam rahasia, untuk mencari dia itulah bukan
Pekerjaan mudah."
"Taysu benar." It Hiong membenarkan. "Tetapi apakah kiat
harus berdiam saja ?"
Kembali si pendeta memuji sang Buddha.
"Lolap bebal, sicu, sekarang ini lolap tak dapat memikir
sesuatu." kata ia kemudian. "Hanya dapat lolap jelaskan, di
dalam dunia sungai telaga, orang tak lepas dari kungkungan
nafsu dan nama....."


It Hiong heran. Pikirnya, "Aneh, pendeta ini. Dia agaknya
tak prihatin mengenai pembunuhan hebat ini dan sekarang dia
bicara tentang filsafat......"
Liauw In memandang si anak muda, yang berdiam saja.
Lalu ia meneruskan kata-katanya, "Dari huruf nafsu itu muncul
budi dan penasaran, orang saling bermusuhan dan saling
membunuh, dan darimana itu orang bersedia menyingkir dia
atau mereka yang tak sepaham dengannya, orang mudah
sembarang melakukan pembunuhan cuma buat mengangkat
dirinya, untuk menjadi jago rimba persilatan !"
It Hiong berdiam. Ia cuma mengawasi si pendeta.
Liauw In menambahkan, "Lolap tidak tahu orang yang
melakukan pembunuhan hebat itu, perbuatannya disebabkan
oleh nafsunya atau keinginannya memperoleh nama besat itu,
hanya dapat lolap menerka walaupun sekarang dia masih
dalam rahasia, tak lama lagi namanya bakal muncul juga !
Asal sudah dapat diketahui siapa dia, dan bagaimana asal
usulnya, dapat kita berdaya menghadapinya."
It Hiong beranggapan pendeta ini terlalu lemah atau
mungkin ia rada jeri. Itulah sikap yang ia tak setujui. Maka ia
berkata, "Taysu, beberapa kata-kata yang ingin aku ucapkan
di depan taysu, hanya aku kuatir aku nanti dikatakan lancang
!"
"Sicu menjadi penolong kami, kami sangat bersyukur."
berkata si pendeta. "Karena itu, kalau ada pengajaran dari
sicu, silahkan utarakan saja ! Lolap mohon supaya kami
janganlah dipandang sebagai orang luar......"
"Maksudku begini, taysu." berkata It Hiong mengeluarkan
pikirannya. "Aku memikir akan mencari dan menyingkirkan


dahulu si jahat itu, setelah itu baru akan mau menghadapi
urusan Bu Lim Cit Cun dari kawanan bajingan dari luar lautan
itu. Mulai besok, aku akan membuat penyelidikan. Di samping
itu aku pun mohon lekas-lekas memilih dan mengangkat ketua
serta kepala-kepala dari Ngo Ih, supaya Siauw Lim Sie dapat
berdiri tegak seperti sedia kala. Setelah itu supaya taysu
beramai turut bekerja guna dapat menghentikan bencana
rimba persilatan. Dengan begini kita jadi dapat bekerja
berbareng dan bersama."
"Amida Buddha !" Liauw In memuji. "Sungguh sicu gagah
dan bermurah hati. Lolap sangat kagum. Hanya, sicu, dengan
usaha kita ini, entah akan roboh lagi beberapa orang kita
kaum rimba persilatan lurus....."
"Harap taysu tidak demikian murah hati, taysu." berkata si
anak muda. "Dengan jalan ini aku justru mengenai siasat
membunuh untuk menghentikan pembunuhan."
Pendeta Siauw Lim Sie itu mengawasi tuan penolong
partainya, parasnya berubah, alis dan kumisnya bergerak.
"Baiklah !" katanya selang sesaat. "Akan lolap ambil ini
jalan membunuh ! Hanya sicu, walaupun sicu gagah sekali,
kau harus jangan melupakan pepatah yang berkata satu
tangan tidak dapat melawan empat tangan. Bagaimana kalau
lolap menugaskan dua orang kami yang ilmu silatnya terpilih
untuk mereka mengikuti sicu ?"
"Itulah tidak usah, taysu." It Hiong menampik. "Untuk
melayani si jahat itu, apapun sekarang baru bersifat
penyelidikan, tak usah aku merepotkan murid-murid taysu.
Lagi pula aku ingin pergi ke In Bu Sam supaya kalau bisa,
dapat aku menghalang-halangi usaha Bu Lim Cit Cun itu,
supaya mereka gagal dan runtuh sebelum waktunya."


"Sicu, apa sebenarnya Bu Lim Cit Cun itu ?" tanya Liauw In,
yang belum jelas sebab ia belum pernah mendengarnya.
"Itulah suatu nama baru kamu sesat." kata It Hiong, yang
lantas menuturkan apa yang ia lihat dan dengar tentang
usahanya It Yap Tojin dari Heng San Pay.
Liauw In menghela nafas.
"Inilah yang dinamakan nafsu dan nama." katanya masgul.
"Orang mau menuruti suara hatinya, orang mau menjadi
tersohor, sampai pun satu diantara tiga kiamkek, jago pedang
terbesar seperti It Yap Tojin telah melangkah ke jalan yang
sesat....."
Demikian kedua orang itu bicara sampai merasa tiba sang
sore, waktunya menyalakan api penerang. It Hiong lantas
berpamitan. Di saat ia mau berlalu, mendadak seorang kacung
pendeta lari datang dengan tergesa-gesa, untuk segera
berkata keras tetapi tidak lantas, "Di pendopo...... Tay Hong
Po tian.... di sana..... terjadi........ perkelahian...... !"
"Siapakah orang yang datang itu ?" Liauw In tanya,
terkejut.
Kacung itu menggeleng kepala, masih tersengal-sengal, tak
dapat dia lantas berbicara pula.
"Nanti aku yang lihat !" kata It Hiong yang segera lompat
keluar dari kamar untuk lari ke pendopo yang disebutkan itu.
Tiba diluar pendopo Tay Hong Po tian, It Hiong melihat
beberapa orang pendeta sudah roboh dilantai, sejumlah yang
lain lagi berada dengan tampang jeri, sebab walaupun mereka


bersenjata, mereka tak lantas menyerang lawan. Mereka itu
cuma mengurung sejauh empat lima tombak.
Lantas juga si anak muda meliha tamu-tamunya Siauw Lim
Sie itu, yang berdiri berkumpul di dalam pendopo. Merekalah
empat orang, yang satu berdandan sebagai pendeta, yang tiga
seperti orang biasa saja. Mereka itu justru lagi berkaok-kaok
menitahkan para pendeta Siauw Lim Sie itu menyerahkan Lok
Giok Hud Thung, tongkat gemala hijau dari Sang Buddha,
tanda kebesaran ketua Siauw Lim Sie atau Siauw Lim Pay.
Setelah mengawasi sebentar, It Hiong lantas lompat maju
ke depan empat penyerbu itu, untuk bertanya dengan keras.
"Para sahabat, ada urusan apa kalian datang ke Siauw Lim Sie
ini ?"
Si pendeta yang usianya sudah lima puluh lebih, berkata
nyaring, "Urusan kami, kaum Siauw Lim Sie, tidak usah ada
orang luar yang mencampuri !"
Selagi orang bicara, It Hiong sempat mengawasi pendeta
itu, yang mengenakan jubah merah, mukanya potongan muka
kuda, matanya berjelalatan dan senjatanya bukan golok kayTo
su seperti umumnya senjata para pendeta, hanya sebuah
golok besar. Hingga goloknya saja sudah menyatakan dia
bukanlah orang Buddha.
Habis mengawasi si pendeta, It Hiong memandang ketiga
kawannya dia itu. Orang yang satu berdandan sebagai pelajar,
tubuhnya kecil dan kurus, kulit mukanya pada berkerut, alis
dan kumisnya ubanan semua, sepasang matanya tajam sekali.
Orang yang kedua, usia pertengahan, menggendol sebatang
golok, dia berdandan sebagai orang rimba persilatan. Yang
ketiga adalah seorang wanita yang berwajah centil atau genit,


mukanya tembam, pupurnya tebal, bercat bibir atau pipi, dan
usianya lebih kurang empat puluh tahun.
It Hiong merasa si pendeta yang ia rasa kenal tetapi ia lupa
dimana pernah menemuinya. Tiga yang lain, semuanya asing.
Ia tak senang dengan kata-kata dan sikapnya pendeta, tetapi
ia berlaku sabar.
"Bapak pendeta, kalau kaulah orang Siauw Lim Sie, kenapa
kau tidak mentaati aturan partaimu?" tanyanya. "Kalau kau
mempunyai urusan untuk bertemu dengan ketuamu, apakah
dapat dibenarkan, sekarang kau melukai banyak murid Siauw
Lim Sie yang menjadi sesama orang beragamamu ?"
Pendeta berjubah merah itu tertawa bergelak.
"Pek Cut ketua Siauw Lim Sie sudah wafat, sekarang mana
ada ketua lainnya lagi ?" katanya jumawa. "Aku si pendeta tua
adalah Pek Cian, aku menjadi adik seperguruan dari Pek Cut,
karenanya sekarang aku pulang ke kuil ini buat menyambut
kedudukan sebagai ketua itu !"
Si pendeta terus mengawasi si anak muda, sambil dia
bersenyum. Terang yang dia memandang sebelah mata pada
anak muda itu.
It Hiong bersuara dingin ketika ia berkata pula, "Bapak
pendeta, kau mempunyai bukti apa yang memastikan kaulah
adik seperguruan dari Pek Cut Taysu ?"
Si pendeta gusar, kata dia bengis, "Kau orang luar,
berhakkah kau untuk menanyakan sesuatu tentang diriku ?"
It Hiong bersenyum, alisnya terbangun.


"Setiap murid Buddha dilarang berbicara dusta !" katanya.
"Belum pernah aku mendengar yang Siauw Lim Sie
mempunyai murid bernama Pek Cian."
Pendeta itu bukan marah, hanya tertawa.
"Eh, Tio It Hiong bocah, hak apa kau miliki untuk menanya
aku si pendeta tua ?" tegurnya. "Kalau kau tahu selatan,
lantas kau menggelinding pergi dari sini, dengan demikian
dapat aku mengampuni jiwamu buat banyak hari !"
Heran It Hiong yang orang mengenalinya dan dapat
menyebut namanya seenaknya saja hingga ia melengak
sejenak. Ia menatap pendeta itu sambil kata di hatinya,
"Heran pendeta ini ! Darimana dia tahu she dan namaku ?"
Pendeta itu menjadi marah, maka selagi orang berdiam, dia
kata keras : " Kau biasa mengandalkan In Gwa Sian, si
pengemis bangkotan. Kau berani melakukan segala macam
perbuatanmu secara bebas, kau berani menyampuri segala
urusan orang lain ! Sekarang si pengemis tua sudah mampus,
kenapa kau masih tidak tahu diri ? Kenapa kau justru
mencampur tahu urusan Siauw Lim Sie ? Apakah kau sudah
bosan hidup ?"
Belum lagi It Hiong menjawab kata-kata menghina itu tibatiba
dari belakangnya terdengar suara keras, "Kan Tie Uh !
Masihkah ada mukamu pulang kemari menemui aku ?"
Si anak muda menoleh, maka ia melihat munculnya Liauw
In.
Ketika itu Liauw In sudah melihat murid-muridnya yang
pada rebah binasa dan terluka, hatinya panas.


"Adakah ini perbuatanmu ?" dia menegur pendeta itu yang
dia menyebutnya Kan Tie Uh, sedang si pendeta sendiri
mengaku bernama Pek Cian.
Pendeta berjubah merah itu kata takabur, "Liauw In, aku si
pendeta adalah Pek Cian. Kau jangan berlagak pilon.
Bagaimana kau berani menyebutku Kan Tie Uh ? Ha ha ha !"
Ketika itu kawannya Pek Cian yang berdandan sebagai
pelajar itu memperdengarkan suara "Hm!" yang dingin dan
kepalanya terus diangkat, dipakai menengadah langit,
sedangkan kedua belah tangannya digendongkan ke
punggungnya. Dengan sikap jumawa itu dia seperti tak
memperhatikan dan tak memperdulikan Liauw In semua.
Pek Cian terkejut mendengar suara dingin "Hm !" itu
hingga dia berpaling dan mukanya pun tampak pucat, hanya
sebentar dia mendapat pulang ketabahannya, hingga sikapnya
menjadi tenang seperti semula.
"Liauw In" katanya dingin. "Jangan kau bicara tidak karuan
! Aku datang kemari kau ketahui atau tidak, dengan maksud
baik sebab aku tidak mau bertindak secara selingkuh ! Hendak
aku menjelaskannya supaya kau ketahui !"
"Amida Buddha !" Liauw In memuji. "Silahkan kau jelaskan
itu !"
Pek Cian mengawasi dengan mata merah karena gusarnya.
Kata dia dingin, "Dengan telah meninggalnya Pek Cut, kakak
seperguruanku itu, maka kedudukannya harus kau yang
mewakilkan kedudukannya. Itulah menurut pantas ! Maka itu
Liauw In, kau harus menyerahkan padaku tongkat kebesaran
Siauw Lim Sie ! Aku maksudkan Pek Giok Hud Thung ! Kau
mengerti atau tidak?"


Liauw In gusar sekali, hingga dia tertawa. Hanya nadanya
menandakan dia sangat menyesal dan mendongkol, dia
penasaran sekali. Selekasnya dia berhenti tertawa, dia kata
dingin, "Kan Tie Uh, pantaskah kau menyebut dirimu Pek Cian
? Pada dua puluh tahun lebih yang lampau kau telah diusir
dari kuil dan partai, bagaimana sekarang kau berani pulang
dan juga menangih kedudukan ketua ? Ha ! Sungguh tidak
tahu malu !"
Mendengar sampai disitu, maka tahulah It Hiong bahwa si
pendeta ialah Kan Tie Uh, si pendeta murtad dari Siauw Lim
Sie, Lagi sekali ia mengawasi muka orang sampai tiba-tiba ia
ingat pendeta ini ialah pendeta yang telah kabur dan lolos dari
ujung pedangnya di gunung Ay Lao San, baru-baru ini. Maka
ia menyesal sekali yang dulu hari itu, ia telah berlaku murah,
membiarkan orang hidup terus......
Memang Kan Tie Uh telah lolos dari bahaya di Ay Lao San
itu tetapi bukannya dia menyesal dan bertobat, dia bahkan
penasaran hingga dia tak mau merubah kekeliruannya, dia
mau hidup terus sebagai jago. Tapi dia tahu diri. Setelah
kematiannya Kee Liong, ia insaf tentang ilmu silatnya belum
sempurna. Jadi tak dapat baginya kalau dia mau bekerja
terus. Dia tidak mau pergi ke pertemuan di Tay San sebab dia
tahu di sana dia tidak akan bisa berbuat apa-apa. Tetapi juga
dia tidak mau kembali ke sarangnya kaum Bwe Hoa Bun.
Sebaliknya dengan satu keputusan tetap, dia pergi ke Cenglo
Ciang, maksudnya mencari Couw Kong Put Lo. Dia berhasil
dalam perjalanannya menemui orang yang dicari itu tetapi dia
tidak kesampaian maksudnya. Mereka berdua tidak
bersahabat. Couw Kong Put Lo tidak mau membantu bahkan
menjahilinya. Dia dianjurkan pergi ke Peng Kok, lembah di
gunung Thian San untuk menemui Ie Tok Sinshe. Couw Kong
Put Lo percaya Ie Tok sudah mati pada empat puluh tahun


dahulu, jadi kalau Kan Tie Uh pergi ke Thian San, dia bakal
capik lagak.
Di luar dugaan Couw Kong Put Lo, Ie Tok masih hidup dan
dilembah es justru dia mempelajari ilmu pukulan es beracun.
Selama dia belum berhasil, dia menyiksa dan menyekap diri
sampai dia merasa cukup dan berniat muncul pula di
Tionggoan guna menuntut balas terhadap setiap orang yang
dahulu mengeroyoknya.
Sungguh kebetulan bagi Tie Uh, justru Ie Tok Sinshe keluar
dari tempat menyekap dirinya. Di tengah jalan mereka
bertemu satu dengan lain, lantas dia menggabung diri buat
bekerja sama walaupun tujuannya ialah masing-masing.
Demikian sedang terjadi, beberapa orang ketua partai telah
terbinasakan secara aneh, secara rahasia dan tak berbekas
juga.
Kan Tie Uh mengandal betul pada Ie Tok, dia lantas
berdandan kembali sebagai pendeta, lantas dia mengajak
rombongannya pergi ke Siauw Lim Sie. Bahkan dia pakai pula
nama suCinya yang dulu ialah Pek Cian, bukan main besar
maksudnya pendeta murtad ini yakni guna memperoleh
jabatan ketua Siauw Lim Sie dan Siauw Lim Pay.
Tak terkirakan gusarnya Tie Uh yang Liauw In
mendampratnya sebagai murid murtad atau pemberontak.
Setelah dia melihat wajah suaram dari Ie Tok Sinshe, lantas
hatinya menjadi semakin besar. Demikian dia kata bengis, "In,
kalau kau tidak nyebur ke sungai Hong Ho, hatimu tidak
mampus, maka itu baiklah akan aku menyempurnakanmu !"
Begitu dia menutup kata-katanya begitu Kan Tie Uh
menghunus goloknya atau kawannya yang setengah tua itu


mendahului maju sambil berkata nyaring, "Suhu, kasihlah
muridmu yang bekuk jahanam ini !"
Selekasnya ia menghunus goloknya, orang yang mengaku
murid ini sudah lantas membacok Liauw In.
Pendeta ini berkelit setengah tindak, ia tidak menangkis
atau membalas menyerang, ia hanya berkata nyaring, "Kan
Tie Uh, baiklah kau turun gunung untuk meninggalkan tempat
ini ! Masih ada ketika buat kau menyesal dan merubah
kelakuanmu. Dengan begitu leluhur kita dapat berlaku murah
hati dengan memberi ampun padamu !"
"Hm !" Kan Tie Uh mengasih dengar suara dinginnya. Dia
tak mau menjawab sama sekali.
Si orang setengah tua menjadi murid Bwa Hoa Bun, ilmu
goloknya adalah penyaluran dari ilmu tongkat Siauw Lim Sie
yang terdiri dari seratus jurus, dan dia telah berhasil
melatihnya. Maka ilmu goloknya ini menjadi lihai. Setiap
gerakannya mendatangkan hembusan angin keras. Karena
Liauw In masih terus main berkelit, lima kali terus dia
menyerang tak hentinya.
Para murid Siauw Lim Sie panas hati, ingin mereka
mewakilkan Liauw In menghajar musuh jumawa itu, tetapi
kapan mereka melihat si pelajar, mereka jadi sangsi. Pelajar
itulah musuh yang paling berbahaya.
Kawan wanita dari Kan Tie Uh adalah Hiat Ciu Jie Nio si
nyonya Tangan Berdarah. Dia berasal dari kaum Jalan Hitam
di Kwan gwa. Di sana dia terkenal telengas, maka juga dia
mendapat julukan itu. Dia juga cepat pikirannya, mudah dia
mengiringi rasa hatinya. Sudah begitu dia juga paling
menggemari kepelesiran dengan bangsa pria, hingga dia


banyak sahabat dan kekasihnya. Sebaliknya, setiap pria yang
menantangnya, pasti dia membunuhnya.
Biasanya si sesat suka bergaul erat dengan si sesat.
Demikian juga dengan Ie Tok dan Jie Nio. Kebetulan sekali
mereka bertemu di tengah jalan di Pek liong twie, lantas
mereka menjadi sahabat satu dengan lain. Lantas dengan
sukanya sendiri Jie Nio mengaku menjadi murid. Demikian
mereka berdua selalu bersama-sama memasuki wilayah
Tionggoan sampai bertemu dengan Kan Tie Uh, hingga kedua
pihak lantas bekerja sama. Ie Tok bersedia membantu si
kawan merebut kedudukan ketua Siauw Lim Sie.
Hian Ciu Jie Nio tidak puas menyaksikan kawannya tak
dapat merobohkan Liauw In walaupun pendeta itu sudah
dirangsek hebat, lantas ia berlompat maju sambil berteriak.
Senjataya yang beracun pun sudah lantas dikeluarkan.
Segera dia menyerang Liauw In tiga kali. Senjatanya itu
semacam gaitan Cui tok Bwe hon Toat, digerakinya ke arah
kepala terus ke dada. Gerakannya luar biasa, sedangkan
cahayanya bersinar menyilaukan mata.
Liauw In Taysu sabar sekali. Terus ia main mundur, sampai
tiga kali. Baru setelah itu, dua kali ia membalas dengan tangan
kosong buat menghindarkan celaka.
It Hiong terus menonton. Ia tidak mau segera membantu
Liauw In, hanya diam-diam ia memasang mata kepada si
orang pelajar yang gerak geriknya menarik perhatian. Ia mau
percaya orang lihai. Ia melihat pertempuran menjadi hebat.
Terang Kan Tie Uh tak mudah mundur, sedangkan kawannya
si nyonya galak sekali.


"Mereka pasti tak akan mundur, apabila tidak diberi rasa."
pikir si anak muda kemudian. Maka juga ia lompat kepada
Liauw In untuk membisik, "Taysu, silahkan mundur sebentar,
tetapi lekas-lekas taysu menitahkan sekalian muridmu
menyediakan banyak obor dengan api. Mereka mesti bersiap
sedia mengurung musuh yang mirip pelajar itu. Tentang ini
dua orang jalanan pria dan wanita, biarlah aku yang
membereskannya."
Setelah berkata begitu, dari sisi si pendeta It Hiong maju ke
depannya, terus ia menghunus Keng Hong Kiam hingga
pedangnya itu memberi cahaya berkilauan.
Hiat Ciu Jie Nio terkejut melihat si anak muda dengan
pedang yang tajam itu, dia mundur dua tindak, tetapi dia
berkata nyaring, "Eh bocah, apakah kau tepat untuk
bertempur denganku Hiat Ciu Jie Nio ? Nah, kau sebutkanlah
she dan namamu !"
It Hiong mengawasi tajam.
"Aku yang rendah ialah Tio It Hiong dari Pay In Nia."
sahutnya hormat.
Justru anak muda kita melayani si nyonya berbicara,
kawannya si nyonya, si orang setengah tua yang berpakaian
hitam itu, tiba-tiba datang membacok pinggangnya. Ia melihat
itu, wajar saja ia menangkis.
Selekasnya kedua senjata bentrok nyaring, golok si
penyerang buntung seketika dan terpental hingga dia menjadi
kaget. Lalu bergusar maka juga dia berseru, "Eh, bocah, kau
menggunakan pedang mustika. Itu bukan berarti
kepandaianmu !" Ia menimpukkan gagang goloknya sambil


berkata pula, "Kalau kau benar gagah, kau sambut senjata
rahasiaku !"
Hebat golok buntung itu menyambar tetapi It Hiong dengan
mudah saja menyambutnya dengan menjepit dengan dua jari
tangan kirinya !
Jie Nio turun tangan secara mendadak setelah dia melihat
kawannya gagal, dia menyerang dengan senjatanya yang
beracun itu. Ujung senjata mencari mukanya si anak muda
yang lagi mengawasi si baju hitam.
It Hiong terancam bahaya, syukur ia tidak menjadi gugup.
Dengan cepat ia berkelit dan sambil berkelit itu, golok musuh
dipakai menimpuk balik pada si musuh. Ia mengelit dari
senjatanya si nyonya sebab sudah tak keburu buat dia
menangkis. Habis berkelit barulah dia maju dua tindak akan
membalas menebas lawan wanita itu.
Muridnya Kan Tie Uh berani. Dia berhasil menyambuti
goloknya yang ditimpukkan balik kepadanya itu. Dia maju pula
sambil menggunakan golok buntungnya membacok si anak
muda.
Berbareng dengan itu, Jie Nio pun menyerang karena dia
tahu pedang lawan tajam luar biasa, dia tak mau membuat
senjatanya bentrok. Maka itu ia berkelahi secara lincah, dia
banyak berlompatan ke sana kemari.
Menghadapi kepungan ini, It Hiong bertempur dengan
menggunakan gerakan dari Khie bun Patkwa Kiam.
Hanya sebentar mereka sudah bertempur dua puluh jurus
lebih.


Jilid 41
Si pelajar menonton dengan perhatian, kemudian dia
menggerakkan tangannya memberi isyarat kepada Kan Tie Uh
atas mana pendeta murtad itu lantas berlompat maju, buat
mengepung si anak muda. Sebenarnya dia jeri tetapi terpaksa
dia maju juga, sebab dia malu terhadap Ie Tok. Goloknya
sudah lantas menjurus ke bahunya musuh lamanya itu.
It Hiong melihat orang maju, ia berkelit. Lantas ia memikir
walaupun ia tak usah takut tetapi cara berkelahi itu bukannya
cara yang sempurna, ia pun pasti bakal menyia-nyiakan
banyak waktu yang berharga. Maka ia mengambil keputusan
akan menghajar Kan Tie Uh, membekuk atau membunuhnya !
Kan Tie Uh berlaku cerdik walaupun mengepung ia tidak
mau merapatkan diri. Tapi It Hiong justru mengarah padanya,
ia yang selalu di awasi. Selekasnya kesempatan tiba, secara
sekonyong-konyong tubuhnya si anak muda lompat melesat
kepada pendeta itu. Ilmu ringan tubuh Tangga Mega
dipersatukan dengan ilmu Gie Kam Sut, Pedang
Terkendalikan, maka pesat sekali ia sudah berada di depan si
pendeta dan menikam dadanya dengan tikaman "Burung Air
Mematuk Ikan."
Kan Tie Uh kaget sekali, dia berlompat mundur beberapa
tindak. Tidak demikian dengan si orang berbaju putih, ia
menyangka dengan baru menaruh kaki, si anak muda pasti
hilang dayanya, maka dia berlompat terus membacok anak
muda itu.
It Hiong melihat datangnya lawan itu, ia menyambutnya
dengan cepat. Selekasnya kedua kakinya menginjak tanah, ia
berkelit meringankan tubuh sambil berdiri dengan kaki kiri,


selagi golok lewat, kaki kanannya diangkat dilayangkan ke
tubuh penyerangnya itu sedang pedangnya disabetkan dengan
sama cepatnya !
Hanya satu kali si baju hitam menjerit, lantas tubuhnya
roboh mandi darah, sedang Keng Hong Kiam telah membabat
lengannya dan kaki si anak muda nyasar ke dadanya, hingga
tubuhnya terpental setombak dan jatuh terbanting sampai dia
tak berkutik pula. Hiat Ciu Jie Nio kaget, hingga ia sudah
lantas mencari mundur. Hebat apa yang ia saksikan itu. Si
pelajar pun heran dan kaget, beberapa kali ia mengasih
dengar suara dinginnya, "Hm !"
Kan Tie Uh pun terkejut hingga dia jadi berdiam saja.
Sementara itu, cahaya terangnya api jelas tampak. Itulah
disebabkan datang perkumpulannya para pendeta, yang
semua membawa obor. Makin lama jumlah mereka itu makin
banyak. Lebih dari seratus orang. Lekas sekali medan
pertempuran berikut si pelajar telah kena terkurung.
Si pelajar kelihatan tidak tentram. Dia ngeri terhadap api.
Dengan menggertak gigi dan mata melotot, ia mengawasi
para pendeta yang membawa obor itu.
It Hiong tidak memperhatikan Barisan api itu, justru Jie Nio
mundur justru ia melompat kepada Kan Tie Uh. Ia berniat
membekuk atau merobohkan si murtad itu, si biang keladi.
Pedangnya sudah meluncur ke dada orang ! Itulah salah
sebuah tipu dari ilmu pedang Sam Cay Kiam dari Tek Cio
Siangjin.
Kan Tie Uh sedang gugup ketika sertang tiba. Ia melihat
sinar pedang berkelebat. Ia kaget dan mencoba berkelit tetapi
kalah cepat, baju didadanya pecah robek dan kulitnya


mengeluarkan darah sebab ujung pedang telah
menggoresnya.
Setelah tikaman pertama itu memberi hasil walaupun tak
telak, It Hiong mengulangi dengan tikaman susulannya atau
"Traaang !" pedangnya kena ditangkis oleh senjatanya Hiat
Ciu Jie Nio dengan kesudahannya bentrokan itu
mengakibatkan berkelebat sinar api warna biru terus ujung
senjatanya si nona terkutung dan jatuh ke tanah !
Itulah sebab Jie Nio menyaksikan terlukanya Tie Uh sudah
lantas menangkis tikaman susulan dari si anak muda. Tie Uh
sendiri yang ketolongan sudah lompat melejit. It Hiong
mengawasi wanita yang merintanginya itu, siapa terkejut di
dalam hati sebab terkutungnya ujung senjatanya
mengingatkan ia bahwa lawan menggunakan pedang mustika.
Si orang tua yang berdandan sebagai pelajar itu selalu
berdiam saja, tetapi sekarang melihat suasana buruk bagi
pihaknya mendadak dia berkata nyaring, "Mari kita pergi !"
dan dia mendahului mengangkat kakinya. Dia menggapai
kepada dua kawannya supaya mereka segera menyusulnya.
It Hiong melihat orang kabur, dia lompat untuk menyusul.
Para pendeta melihat si pelajar tua sudah pergi, mereka lantas
bergerak, berniat mengurung dan menyerbu Kan Tie Uh
bertiga.
Jie Nio jeri melihat kaburnya si pelajar, ia segera
merapatkan diri bersama Kan Tie Uh dan si pria berbaju
hitam. Tie Uh masih berlepotan darah di dadanya. Bagus
untuknya lukanya tidak parah.
Dengan tangan kanannya, Jie Nio melintangi senjatanya di
depan dadanya sendiri. Dengan tangan kirinya dia merogoh


sakunya buat mengeluarkan serupa barang mirip seruling
bukannya seruling, warnanya hijau, panjangnya satu kaki.
Selekasnya dia mengibaskan tangan kirinya, dari dalam benda
itu meluncur keluar satu gulung asap yang tajam menyerang
hidungnya, siapa kena menciup asap itu lantas dia berbangkis
tak hentinya dan matanya mengeluarkan air.
Dengan beberapa orang pendeta yang pertama terkena
asap itu, mereka berbangkis terus-terusan, mata mereka
mengeluarkan air, tanganpun menekan dada masing-masing,
lalu dilain detik semua menjadi lemas dan roboh tak berdaya.
Para pendeta yang lainnya kaget, mereka gusar, maka lupa
pada ancaman bahaya, mereka lantas menyerang dua orang
itu dengan menimpukkan masing-masing senjatanya.
Jie Nio berlaku cerdik, dia mendahului lari disusul oleh Tie
Uh. Sebentar saja mereka berdua sudah lenyap. Setelah kuil
menjadi sunyi pula, ternyata ketika itu sudah jam empat.
Liauw In repot mengobati para muridnya yang terluka serta
mengurus yang terbinasa. Justru itu ia melihat satu sosok
tubuh putih bagaikan sinar melompat turun dari atas genteng,
ketika ia mengawasi dia mengenali It Hiong yang kembali
dengan mengempit tubuhnya seseorang.....
Sambil melemparkan tubuhnya orang yang dikempit itu ke
lantai, It Hiong berkata pada si pendeta, "Taysu, inilah si
murid murtad dan pendurhaka dari Siauw Lim Sie ! Silahkan
Taysu menghukumnya."
Liauw In sudah lantas mengenali Kan Tie Uh, segera ia
merapatkan kedua belah tangannya seraya memuji, "Berkat
Sang Buddha.... dan untung bagusnya kuil kami ! Siancay !
Siancay !" Kemudian ia memberi hormat pada si anak muda
sambil mengucap, "Terima kasih Sicu !"


It Hiong membalas hormat, terus dia kata, "Orang ini telah
terhajar tanganku, dia tidak akan bertahan lama lagi, karena
itu kalau taysu ingin mendengar keterangannya, baik taysu
lekas-lekas memeriksanya !"
Liauw In menggeleng kepala.
"Dia seorang jahanam, mana dapat dia bicara jujur !" sahut
si pendeta. "Paling benar ialah membuat dia tak usah
menderita terlebih lama pula....."
"Aku yang muda hanya menyaksikan kawannya si pelajar
tua itu," kata It Hiong. "Entah dia orang dari golongan mana.
Nampak dia licik sekali....."
Liauw In diingatkan kepada orang tua yagn lihai itu, maka
dia lantas balik bertanya, "Sicu telah mengejarnya, apakah
yang sicu dapatkan ?"
"Sungguh malu buat menyebutnya taysu." sahut si anak
muda. "Setibanya aku di Hea Ih, dia telah tak nampak lagi.
Justru aku berjalan pulang, aku bersamplokan dengan Kan Tie
Uh ini, maka segera aku menghajarnya roboh dan
membawanya pulang......."
Berbareng dengan kata-katanya si anak muda, tubuhnya
Tie Uh yang rebah di lantai itu mendadak berkelejit terus
berdiam sedangkan dari mulutnya terlebih dulu menyembur
keluar darah hidup. Dengan demikian dia menarik nafas yang
penghabisan.
Liauw In menghela nafas.


"Beginilah nasibnya seorang murid murtad dan pendurhaka
!" katanya. "Pek Cian, semoga di lain penitisan kau nanti dapat
berbuat baik !"
Menyusul kata-katanya si pendeta mendadak ada angin
menghembus masuk hingga semua lilin di dalam pendopo
tertiup padam ! It Hiong terkejut, tangannya menyambar
lengannya Liauw In buat diajak berlompat keluar dari pendopo
itu ! Dia menggunakan ilmu ringan tubuh Tangga Mega. Dia
pun menegur, "Sahabat dari mana datang kemari ? Silahkan
kau perlihatkan diri !"
Teguran itu tidak mendapat jawaban walaupun telah
diulangi. Maka itu lewat beberapa detik, It Hiong mengajak si
pendeta kembali ke dalam pendopo yang lilinnya telah
dipasang pula.
Dengan terangnya api lilin, kedua orang itu menjadi
terperanjat. Itulah sebelah mayat Kan Tie Uh telah lenyap dan
sebagai gantinya di lantai tertancap sebatang pisau belati
yang berwarna hijau tertusuk sehelai kertas seperti sutera.
Yang hebat ialah beberapa pendeta yang terluka, sekarang
sudah mati semuanya !
It Hiong maju satu tindak kepada surat itu, yang ia pegang
dan angkat, niatnya buat diserahkan kepada Liauw In atau
tiba-tiba ia menjadi kaget sekali sebab mendadak saja tangan
kanannya itu menjadi kaku, terasakan hawa dingin
bersalurkan naik dari lengannya itu.
"Hawa beracun !" serunya dan terus ia terhuyung dan
roboh !
Liauw In kaget sekali. Ia menoleh dengan cepat hingga ia
melihat orang roboh terbanting. Ketika itu ia sedang bingun


mengawasi mayat-mayat para muridnya yang baru mati disaat
api lilin padam. Lekas-lekas ia memondong tubuh si anak
muda buat memeriksanya.
Parasnya It Hiong seperti biasa saja, tetapi matanya
dipejamkan. Yang menguatirkan itulah tubuhnya sangat lemas
dan nafasnya berjalan dengan perlahan sekali, seperti juga
itulah tarikan nafasnya yang terakhir........
Pendeta itu segera meletakkan tubuh orang diatas kursi,
dengan dimiringkan, terus dia membantu dengan menyalurkan
hawa tubuhnya kepada anak muda itu. Ia menggunakan ilmu
Tay Poan jiak Sian Kang, tangan kanannya ditekankan pada
bagian jalan darah hoa kay si anak muda. Itulah cara buat
menguatkan tubuh bagian dalam buat mencegah menjalarnya
racun. Dengan tangan kiri, ia pun mengeluarkan obat Kay Tok
Ban Leng Tan, pil buat melawan racun yang ia terus masuki ke
dalam mulut orang yang pingsan itu.
Lewat setengah jam Liauw In mengangkat tangannya. Ia
mendapatkan nafasnya si anak muda lebih teratur, tinggal
tubuhnya tetap lemas dan tak dapat bergerak. Ia mengawasi,
bingungnya tak terkirakan. Hebat racun yang menyerang anak
muda itu. Dulu belum pernah ia melihatnya. Setelah berdiam
sekian lama dan otaknya bekerja, lantas pendeta ini ingat
bahwa keadaan It Hiong ini sama dengan keadaan matinya
para Tianglo dari Kam Ih, adik-adik seperguruannya itu.
Suasana di dalam pendopo itu sungguh-sungguh membuat
hati orang ciut. Di situ Liauw In berada sendiri saja, berdua
dengan It Hiong yang masih hidup tetapi tidak berdaya. Yang
lain-lainnya ialah para muridnya yang telah menjadi mayat.
Api lilin berkelik-keliik suaram.


Di dalam keadaan yang menegang hati itu, pendeta dari
Siauw Lim Sie itu dikejutkan dengan tiba-tibanya terdengar
tindakan dari banyak kaki. Ia sudah lantas menoleh sambil
bersedia menyambut musuh. Maka legalah hatinya kapan ia
sudah melihat tegas siapa yang datang itu ialah Kiauw In
bersama-sama Pek Giok Peng dan Tan Hong.
Dua nona yang pertama hendak memberi hormat pada
Liauw In atau Tan Hong yang melihat It Hiong rebah diatas
kursi tanpa berkutik menjadi kaget hingga dia sudah lantas
menjerit keras sekali. Hingga mereka menoleh dan menjadi
kaget juga karenanya.
Nona Cio yang paling dahulu berlompat pada kekasihnya itu
untuk meraba muka orang lalu dada dan kaki tangannya, atau
tiba-tiba ia melihat kertas di tangan kanannya It Hiong.
"Apa ini ?" tanyanya heran, lalu tangannya diulur.
"Jangan !" teriak Liauw In. "Jangan pegang !"
Nona itu menjadi terlebih heran pula.
"Kenapakah taysu ?" tanyanya.
"Apakah adik Hiong terkena racun ?" Giok Peng tanya
sambil dia menyambar kertas ditangannya si anak muda.
Liauw In kaget hendak ia mencegah tetapi sudah kasip.
Justru itu mendadak Giok Peng menjerit lantas tubuhnya
roboh ke lantai berdiam seperti It Hiong !
Kiauw In dan Tan Hong kaget sekali. Tahulah mereka
sekarang bahwa kertas atau surat itu ada racunnya. Tapi Tan
Hong telah banyak pengalamannya, maka ia mengeluarkan


sarung tangan kulit dan dengan memakai itu, ia mengambil
kertas beracun itu dari tangan Giok Peng, sembari berbuat
begitu, ia tanya Kiauw In, "Kakak Kiauw In, kau mempunyai
obat pemunah racun atau tidak ?"
Nona Cio berdiri menjublak. Dia tak punya obat yang
diminta itu.
Liauw In menggeleng kepala, sembari menghela nafas, ia
kata : "Tak ada gunanya lagi.... Telah lolap membantu Tio
Sicu dengan obat kami tetapi tidak ada hasilnya. Racun itu
terlalu hebat dan tak aku kenal......."
Kiauw In bingung tetapi oraknya bekerja. Biar bagaimana ia
adalah seorang yang sabar dan pendiam, otaknya cerdas.
Tiba-tiba ia ingat sesuatu, terus ia meraba ke sakunya It
Hiong hingga ia menarik keluar sebuah peles hijau kecil, ialah
obat Wan In Jie bekal dari si pendeta tua dari kuil Bie Lek Sie !
Dengan cepat nona ini mengeluarkan enam butir, paling
dahulu ia masuki itu ke dalam mulutnya Giok Peng, kemudian
enam butir lagi ia suapi pada It Hiong.
Selama itu, sudah lama It Hiong tak sadarkan diri
disebabkan serangan racun jahat itu. Seharusnya dia sudah
mati tetapi dia dapat bertahan berkat kekuatan tubuhnya
terutama karena pertolongan belut emas. Selama di Ay Lao
San, karena khasiatnya darah belut itu dia dapat bertahan dari
serangan racunnya Kwie Tiok Giam Po.
Giok Peng tidak pernah makan darah belut emas tetapi ia
terkena racun baru saja dan segera mendapat pertolongan,
racun tak sampai bekerja secara hebat di dalam tubuhnya itu.


Sekira sehirupan teh, saling susul Giok Peng dan It Hiong
siuman, bahkan segera mereka dapat bangun berdiri.
Keduanya heran melihat Liauw In bertiga tengah menjublak
mengawasi mereka berdua, hingga mereka pun mendelong.
Segera juga terdengar pujinya Liauw In, lantas ia mencekal
keras tangannya It Hiong. "Tio Sicu, kau toh tak kurang suatu
apa bukan ?"
It Hiong mengangguk, ia lantas ingat apa yang terjadi.
"Tidak apa-apa, taysu jangan kuatir !" sahutnya. Kemudian
ia menoleh kepada Giok Peng yang lagi dipayang oleh Tan
Hong. Nona itu nampaknya masih letih.
"Apakah kakak Peng....?" tanyanya.
"Ya, ia terkena racun." Kiauw In menerangkan sambil ia
mengembalikan obat orang. "Dia keracunan seperti kau, adik.
Dia pun baru siuman. Inilah obat bapak pendeta dari Bie Lek
Sie yang menolong kalian, maka itu simpanlah obat ini baikbaik
!"
It Hiong menyambuti obatnya dan menyimpannya, terus ia
ingat peristiwa tadi. Ia menghela nafas dan menanya, "Mana
dia surat beracun itu ? Apakah bunyinya ?"
Tan Hong melepaskan Giok Peng, ia terus membeber surat
yang ia pegang dengan sarung tangannya. Diantara sinar lilin,
kertas itu tampak sebagai kertas istimewa, lunak dan ringan
mirip kertas sutera, warnanya kuning muda. Dan suratnya
terdiri dari hanya empat buat huruf : "Giok Lauw Kip Ciauw".
Ia membacakan itu dengan keras, lalu menunjuki juga pada It
Hiong semua.


Biarpun ia membacakan surat itu, Nona Tan toh bingung, ia
tidak dapat artikan bunyinya surat, yang arti seadanya ialah
"Loteng gemala segera memanggil". (Lauteng gemala adalah
Giok Lauw dan segera memanggil, Kip Ciauw).
It Hiong berdiri di belakang nona itu, Ia melihat surat itu
dan membacanya, lalu kata, "Sungguh manusia jahat dan
beracun. Di atas kertas maut ini pun ia melukiskan kata-kata
yang begini indah! Dengan begini maka ia sudah menghina
para sastrawan !"
"Aku tidak mengerti bunyinya GIok Lauw Kip Ciauw, tetapi
aku tahu pasti itulah tentu suatu tanda peringatan dari si
orang jahat." berkata Tan Hong. "Apakah yang indah di dalam
empat huruf ini ?"
"Bicara dari halnya empat huruf itu," berkata Kiauw In
bersenyum, "soal hanya berkisar kepada lakon Lie Ho di jaman
kerajaan Tong. Arti ringkas dari itu ialah mati tanpa sakit lagi."
Giok Peng sudah sadar seluruhnya, dia heran.
"Kakak." tanyanya pada Kiauw In. "Apakah kakak tahu
orang macam bagaimana yang menggunakan racun jahat ini
?"
Kiauw In menggeleng kepala.
"Aku tidak tahu." sahutnya. "Pertanda dan caranya ini pun
belum pernah aku melihat atau menemuinya. Bahkan juga aku
belum pernah mendengar ada orang atau orang-orang
angkatan lebih tua yang menceritakannya...."


Ia hening sejenak, lalu berpaling pada Liauw In dan
menambahkan, "Dalam hal ini aku yang muda mohon
keterangan dari Taysu."
Dengan matanya yang jeli ia terus mengawasi pendeta itu.
Liauw In sebaliknya, dengan mata mendelong mengawasi
surat ditangannya Tan Hong. Ia memperdengarkan suara
yang tak tegas hingga mirip orang tengah menggerutu,
sedangkan tangannya membuat main kumis janggutnya.
Mendengar suaranya si nona, ia berpaling kepada nona itu, ia
menghela nafas ketika ia menjawab, "Pengetahuan lolap
sangat sedikit, tetapi menurut terkaanku kalau surat itu bukan
dari Ie Tok Sinshe sendirinya, tentunya dari seorang
muridnya....."
"Taysu," It Hiong turut bicara, "coba taysu tolong
menjelaskan terlebih jauh. Diantara kami ini tidak ada yang
mengenal ahli racun itu......"
Si pendeta mengangguk. Terus ia menoleh kepada Tan
Hong.
"Sicu, coba tolong bakar kertas itu." pintanya. "Kita akan
dapat melihat tulen atau palsunya...."
Tan Hong mengiakan, ia bertindak ke api lilin, untuk
menyodorkan kertas itu ke api atau mendadak api membesar
membakar huruf-huruf hijau itu sambil memperdengarkan
suara meretek dan mengeluarkan asap hijau.
Menyaksikan itu, semua orang terperanjat.
"Tidak salah ! Tidak salah !" berkata Liauw In berulangulang
sambil dia mengangguk-angguk, ia terus memandang


semua orang itu untuk kemudian menghadapi It Hiong dan
berkata, "Benar-benar dialah Ie Tok Sinshe dari empat puluh
tahun lampau yang telah tercemplung di lembah es ! Pernah
guruku bicara tentang dia, tetapi yang lolap ingat hanya
sedikit sekali. Hanya mengenai empat huruf itu lantaran luar
biasa itu kesanku rada mendalam......"
Pendeta dari Siauw Lim Sie itu mengangkat kepalanya
memandang ke langit. Ia bagaika lagi mengingat-ingat.
Setelah itu ia melanjuti keterangannya. "Di masa mudanya, Ie
Tok Sinshe itu pernah hidup merantau berbuat kebaikan,
hanya kemudian entah kenapa setahu dia mendapat pukulan
apa lantas dia menyembunyikan diri. Lewat dua puluh tahun
lebih baru ada sahabat-sahabat rimba persilatan yang
mengetahui bahwa dia hidup menyendiri di tepi kali Lie Hoa
Kan di Kiam Kok, Secoan Selatan. Kiranya di sana dia gemar
berlayar sambil menghadapi bunga-bunga indah atau bersilat
pedang diantara sumber-sumber air dan rimba guna melewati
hari-hari yang tenang dan senggang."
"Kelihatannya dia selain pandai silat juga ilmu surat." kata
Kiauw In.
Liauw In membuka matanya terus ia menghela nafas.
"Memang asalnya dialah orang kaum lurus !" bilangnya.
"Ilmu silatnya ialah ilmu pedang Thian Tan Kiam, Lari ke langit
dan ilmu tangan kosong Jie Lay Hud Ciang, Tangan sang
Buddha Mendatang. Dia telah sampai ke tingkat sempurna
terutama ilmu ringan tubuhnya hingga karenanya orang
memberikan dia julukan Kwee Wie Hui yaitu Bintang Terbang.
Dalam ilmu surat, dia paham pelbagai syair jaman Han dan
Tong dan Song dan Goan, lebih-lebih kitab pelbagai rasul......"


Selagi si pendeta bercerita sampai disitu, Giok Peng
menunjukkan tampang herannya.
"Kalau ilmu silatnya demikian lihai, kenapa dia tak terus
menjadi orang Kangouw sejati ?" tanyanya. "Kenapa dia justru
hidup menyendiri di Kiam Kok hingga dia tak dapat melakukan
sesuatu guna kebaikan umum ? Bukankah sia-sia belaka dia
memiliki kepandaian itu ?"
"Orang-orang yang suka hidup menyendiri kebanyakan
orang-orang luar biasa." kata Kiauw In. "Memang biasa orangorang
lihai suka hidup menyepi di gunung-gunung atau dalam
rimba. Hanya mengenai dia yang aneh itu, sesudah menyepi
puluhan tahun kenapa dia muncul buat menjadi orang jahat ?"
"Tentang perubahan sikapnya orang itu dari lurus menjadi
sesat lolap tidak tahu." berkata pula Liauw In, "tetapi yang
membuatnya dimusuhkan orang banyak ialah dikarenakan dia
sangat gemar mencelakai atau membunuh orang dengan
racunnya itu. Sejak dia hidup menyendiri di Kiam kok selama
beberapa puluh tahun dunia Kang Ouw aman sejahatera.
Kemudian entah bagaimana jalannya dia berhasil
mendapatkan kitab Tok Kang, sejilid kitab ilmu racun. Dia rajin
belajar dan tekun, kitab itu telah berhasil dipahamkan sesudah
itu timbullah niatnya menjadi jago dunia Kang Ouw untuk itu
dia main membunuh setiap orang ternama, tak peduli orang
kaum sesat atau lurus, maka juga diselatan atau utara tak
kurang dari beberapa puluh orang yang sudah roboh sebagai
korbannya.
Itulah yang menyebabkan orang bersatu padu mencari dan
menyerbunya. Tan Hong tanya ketika itu diwaktu dia
membunuh orang dan melakukannya bukan secara menggelap
tetapi selalu dengan meninggalkan suratnya semacam ini.


"Tidak salah !" sahut pendeta itu. "Menurut keterangan
guruku, setiap korbannya tentu ada mencekal suratnya itu !
Maka juga menurut sangkaan, dia bukan meninggalkan surat
habis dia membunuh orang yang memegang surat ini. Jadi
inilah kertas yang menjadi alat pembunuhan."
Tan Hong menoleh pada Giok Peng dan It Hiong, dia
merasa bersyukur mereka itu tak kurang suatu apa.
"Karena dia membunuh orang dengan racunnya, habis
kenapa dia dipanggil Ie Tok Sinshe ?" tanyanya pula. Ie Tok
Sinshe berarti Tuan yang menghembuskan racun.
"Itulah keanehannya !" sahut Liauw In. "Kalau lain orang
menggunakan racun pada senjatanya, dia hanya
menggunakan kertas."
"Tapi apa benar-benar dapat hembuskan racun ?" tanya
Kiauw In.
"Benar ! Itulah keistimewaannya !" sahut Liauw In. "Sayang
dia nyatanya masih hidup dan sekarang muncul pula dengan
keganasannya."
"Aneh ! dia dapat hembuskan racun." kata Tan Hong.
"Taruh kata dia punyai kay yoh, obat pemunahnya, dia tidak
mungkin dapat gunakan racun dan obatnya berbarengan !
Dapatkan itu diramu sama-sama ?"
"Dapat, sicu !" kata Liauw In. "Caranya ialah tubuhnya lebih
dulu dibuat kebal sehingga tubuhnya itu tempatnya daya tolak
bekerjanya racun. Orang semacam dia, peluh dan hawanya
sudah racun semua, asal dia bernafas, hembusan nafasnya itu
bisa menyebabkan kematian orang. Jadinya dia tidak
membutuhkan lagi obat pemunah racun."


Giok Peng heran mendengar halnya tubuh orang kebal dari
racun.
"Kalau begitu bagaimana dia dapat dibunuh untuk
disingkirkan ?" tanyanya.
"Jangan heran, kakak." berkata Tan Hong tertawa. "Siapa
jahat dia bakal mati sendirinya ! Itulah sudah takdir Maha
Kuasa. Tentang ini baik kita bicarakan belakangan saja.
Sekarang aku ingin tanya pada taysu, apakah artinya empat
huruf itu ? Adakah itu pertanda atau ancaman untuk siapa
yang bakal dibinasakan ?"
Liauw In suka bicara. Mulanya dia menyerukan Sang
Buddha, lalu ia terus menjawab si nona. Katanya, "Memang
ada orang-orang jahat yang menggunakan sesuatu pertanda
guna menggertak atau mengancam musuhnya yang hendak
dibinasakannya. Ada yang memakai surat gertakan Mencekak
Nyawa atau ancaman Merampas Jiwa atau tanda Tangan
Berdarah atau pula gambar kepala bajingan, tapi Ie Tok
Sinshe ini rupanya mau mengaguli kepandaiannya dalam ilmu
surat, maka telah dia pakai empat hurunya itu. Caranya ini
memang baru dan luar biasa.
Menyusul kata-katanya si pendeta, Tan Hong mengucap
seorang diri, "Dongeng tentang Lie Ko Giok Lauw Kip Ciauw !"
Melihat lagak orang jenaka, Kiauw In bersenyum.
"Adik Tan Hong, agaknya kau sangat tertarik dengan empat
huruf itu." katanya. "Ingat adik, itu justru surat ancaman
kematian dari Ie Tok Sinshe !" ia berhenti sejenak untuk
menghela nafas, akan akhirnya menambahkan perlahan,


"Entah berapa banyak korban lagi bakal terjatuh ke dalam
tangannya jago racun itu....."
Mendengar suara si nona, Liauw In terkejut. Dia bagaikan
disadarkan oleh kata-kata itu, kemudian dia kata masgul,
"Tidak disangka-sangka dia muncul pula dan kembali
mengancam secara hebat dan ganas ini."
Sebaliknya It Hiong menjadi sangat gusar. Kalau tadi ia
diam saja, sekarang tiba-tiba ia kata keras, "Aku Tio It Hiong,
jika aku tidak menumpas si jahat itu, pasti sia-sia belaka aku
telah menerima pendidikan dan warisan dari guruku dan
pesan ayah angkatku !"
Ia pun mencekal gagang pedangnya untuk menambahkan,
"Pula aku bakal menyia-nyiakan Keng Hong Kiam pedangku ini
!"
Kiauw In tertawa menyaksikan orang demikian gusar.
"Ah, adik !" katanya. "Darimana kau memperoleh adat
kerasmu ini ? Inilah berupa kesemboronona ! Mari kita
berunding dengan loSiansu, waktunya masih banyak buat
kita...."
It Hiong mengawasi nona itu, ia bersenyum. Diam-diam ia
bersyukur terhadap si nona yang tenang itu. Giok Peng
menghampiri adik Hiongnya untuk berkata, "Adik, racun di
dalam tubuhmu mungkin belum bersih seluruhnya. Karena itu
baiklah kau pergi beristirahat ! Baru kita berunding pula."
Liauw In mengawasi bergantian pada para tetamunya itu.
Sekarang hatinya mulai tentram.


"Sicu berdua benar." katanya pada nona Cio dan nona Pek.
"Tio Sicu, silahkan kau beristirahat. Besok baru kita berbicara
pula."
Tan Hong sementara itu dengan menggunakan sarung
tangan kulit menjemput dan memeriksa pisau belati yang
dipakai menancapnya surat ancamannya itu Ie Tok Sinshe itu
kemudian ia masuki ke dalam sakunya. Tak mudah ia
melupakan "Giok Lauw Kip Ciauw" yang berarti panggilan kilat
ke dunia baka."
Tiba-tiba It Hiong mengingat sesuatu.
"Kakak," tanyanya pada Kiauw In. "kakak beramai
mendengar berita apa maka kalian datang malam-malam
kesini ?"
"Sebenarnya kami sendang mengejar seorang perempuan
jahat." Giok Peng mendahului menjawab. "Hampir kakak Tan
Hong hilang jiwa karena dia itu !"
Belum lagi It Hiong sempat menanya tegas siapa wanita
jahat itu, Kiauw In sudah mendahului menanya, "Adik,
bagaimana caranya maka kau mendapati surat ancaman ini ?"
It Hiong pun tikda dapat menjawab kecuali halnya ia telah
mendapati surat itu tanpa menyangka ada racunnya yang
demikian ganas.
Karena itu marilah kita kembali sebentar pada saat Hiat Ciu
Jie Nio dan Kan Tie Uh berdua kabur dari dalam kuil.
Selolosnya dari pendopo besar dari Siauw Lim Sie, mereka
tidak kabur terus-terusan. Inilah sebab mereka penasaran,
hati mereka belum puas.


Mereka hanya berdiam sembunyi di tempat gelap. Mereka
memikir sebentar, sesudah Siauw Lim Sie sepi, hendak mereka
menyatroninya pula, guna membinasakan sejumlah pendeta
guna melampiaskan hati mereka.
Tempat dua orang in mengumpat adalah sebuah tempat
yang di depan pintu gerbang Siauw Lim Sie yang jaraknya dari
pintu beberapa puluh tombak. Belum lama mereka mendekam
disitu sambil mengawasi ke arah luar, mereka melihat sesosok
tubuh manusia yang hitam seperti bayangan lari mendatangi.
"Entah siapa orang itu ?" kata Kun Tie Uh.
Jie Nio mengawasi tajam.
"Mungkin dialah guruku." sahutnya kemudian. "Mungkin
guruku datang buat menyambut kita !"
Keduanya mengawasi terus, selekasnya bayangan itu
mendatangi dekat, mereka lantas keluar dari persembunyian
mereka buat menyambut atau segera keduanya menjadi
kaget. Setelah datang dekat, bayangan itu kiranya Tio It Hiong
yang menjadi musuh mereka !
It Hiong pun segera mendapat lihat dua orang itu, hingga
ia menjadi gusar sekali.
Hiat Ciu Jie Nio sudah lantas menyerang dia dengan tidak
membuka suara lagi. Dia menikam dengan Bwe hoa-Toat,
senjatanya yang berujung tajam. Sampai disitu, Kan Tie Uh
pun menebali muka, dia maju membantui kawannya, hingga
dengan demikian si anak muda menjadi dikerubuti.
Tak sempat It Hiong menghunus senjatanya, terpaksa ia
melayani dengan tangan kosong, dengan kelincahannya ilmu


ringan tubuh Tangga Mega, sedangkan ilmu silatnya ialah
"Hang Liong Hok Houw Ciang", Menaklukan Naga,
Menundukkan Harimau. Dengan ilmunya ini, ia membuat
kedua musuh repot. Lewat sepuluh jurus, habis sudah
sabarnya. Mendadak ia bersiul nyaring sambil teus melakukan
dua gerakan saling susul. Pertama-tama ia menggertak Jie Nio
hingga wanita itu kaget, menyusul mana, ia menghajar Kan
Tie Uh !
"Langsung Menyerbu Istana Naga Kuning" adalah jurus
yang digunakan si anak muda. Jurus itu satu tetapi terpecah
tiga, maka juga Tie Uh kaget, repot dia menangkis. Saking
repotnya dia tak dapat membela diri lebih jauh, dadanya kena
terhajar hingga tubuhnya terpental jauh setombak lebih dan
roboh terjungkal tak sadarkan diri !
Hiat Ciu Jie Nio menjadi orang Kang Ouw golongan jalan
hitam dari Kwan Gwa, dia sangat licik. Melihat kawannya
roboh, bukannya maju untuk membantu, dia justru mengambil
langkah seribu, guna menyelamatkan dirinya. Dia kabur ke
belakang kuil, mendaki puncak.
It Hiong tidak mau mengejar, setelah melihat sudah pergi
jauh, ia lantas menghampiri Kan Tie Uh buat mengangkat
tubuhnya guna dikempit dan dibawa pulang ke Siauw Lim
Sie.Jie Nio kabur terus. Dia melintasi sebuah rimba hingga ia
mendapati di depannya sebuah rumah dengan beberapa
ruangan yang seluruhnya terkurung pagar. Itulah justru Ceng
sit, rumah peristirahatan yang digunakan Kiauw In beramai,
yang ketika itu jendelanya cuma dirapati dan apinya tidak ada.
"Baik aku bersembunyi di dalam situ." pikir Jie Nio. Ia
berhati-hati, sebelum memasukinya, ia menimpuk dahulu
dengan sebutir batu, setelah tidak mendapat sambutan apaapa
kecuali suara batu membentur kursi dan lantas sunyi,


hendak ia menghampiri, buat berjalan masuk ke dalamnya. Di
saat dia mau bertindak masuk ke pintu, mendadak ia melihat
sinar golok berkelebat dan angin bersiur dari sampingnya. Ia
kaget sekali.
Ia tahu itulah serangan gelap. Maka dengan cepat ia
berkelit, terus ia memutar tubuh hingga ia melihat
penyerangnya ialah seorang wanita dengan baju warna abuabu
serta senjatanya berupa ruyung sanhopang. Sebab itu
ialah Tan Hong dari Hek Keng To, pulau ikan Lodan Hitam.
"Siapa kau ?" Nona Tan sudah lantas menegur.
Jie Nio tidak takut, bahkan ia tertawa tawar.
"Bocah, kau berdiri biar tegak, jangan kaget !" katanya
takabur. "Akulah Hiat Ciu Jie Nio dari Giok Long Twee di Kwan
Gwa !"
Tepat itu waktu Kiauw In dan Giok Peng berlompat keluar
dari dalam rumah dimana mereka sengaja berdiam saja ketika
mereka mendengar suara batu menghajar kursi.
"Jangan pedulikan dia Jie Nio atau Sam Nio !" teriak Giok
Peng. "Mari kita bekuk dia !" Dan dia mendahului menerjang.
Jie Nio berkelit. Tak berani dia sembarang buat menangkis.
Karena dia berkelit itu, dia lantas diserang pula dengan
bertubi-tubi. Sebab penyerangnya justru menggunakan ilmu
silat Khie Bun Patkwa Kiam.
Repot jago dari Kwan Gwa itu. Dengan maju mundur dia
didesak terus. Hingga dia mundur dua tombak lebih. Karena
itu dia akhirnya dia terpaksa melakukan satu penangkisan
yang keras, yang tepat mengenai senjata lawan, hingga kedua


senjata mereka bentrok nyaring sekali. Percikan apinya sampai
muncrat, bahkan sendirinya, mereka sama-sama mundur
setengah tindak !
Jie Nio terkejut. Ia merasai tenaga lawan besar sekali.
Justru dia berdiam, justru Tan Hong menyerang. Terpaksa, ia
mesti melayani penyerangannya itu. Karena ini kembali
senjata mereka beradu. Malah kali ini, ia pun mundur sampai
satu tindak. Baru sekarang ia merasa jeri. Ia melayani yang
dua kalau ia dikepung bertiga, pasti ia akan bercelaka. Tapi ia
tidak takut, bahkan muncul hati kejamnya. Diam-diam ia
menyiapkan Toa wan-tong, pipa racunnya yang berupa mirip
seruling kecil dan pendek.
Tan Hong maju pula selekasnya senjatanya kena sampok.
Ia mengerahkan tenaga lunak Mo Teng Ka, yang disalurkan
kepada senjatanya itu terus ia menyerang dengan tiga jurus
berantai.
Jie Nio tertawa tawar.
"Budak bau !" katanya. "Jangan kau takabur ! Hendak aku
lihat, betapa lihainya kepandaianmu!" Dan kembali ia
menyerang dengan tenaga yang dikerahkan !
Kedua senjata beradu pula dengan keras sekali, atau Jie
Nio menjadi kaget. DI luar dugaannya senjatanya kalah dan
patah, hingga ujungnya terpental jauh dua tombak lebih !
Dalam kaget dan jeri Hiat Ciu segera lompat ke samping,
dari situ ia terus mengayun sebelah tangannya menyerang
dengan pipanya yang mirip seruling itu. Hingga lekas tampak
mengepulnya asap seperti halimun ! Tan Hong girang, hendak
dia mendesak lawan atau mendadak ia melihat lawannya
lenyap dari pandangan matanya hingga ia melengak.


"Adik Tan Hong, lekas mendak berkelit !" terdengar
suaranya Kiauw In.
Tan Hong pun asal kalangan hitam, ia pula cerdik sekali.
Suaranya nona Cio menyadarkan padanya. Tidak ayal pula ia
berlompat sambil terus menjatuhkan diri sejauh dua tombak
lebih. Dengan demikian, loloslah ia dari asap yang berbahaya
itu ! Ketika ia berlompat bangun dan menoleh, ia melihat
Kiauw In dan Giok Peng tengah menyerang sesosok bayangan
tubuh manusia. Bayangan itu sangat gesit, dia mencelat pergi
dengan terus menghilang ke dalam rimba !
"Kita jangan kejar dia !" kata Kiauw In. "Mungkin ada
terjadi sesuatu di dalam Siauw Lim Sie ! Mari kita pergi ke
sana !" Dan dia mendahului pergi.
Tan Hong dan Giok Peng mengerti, mereka menyahuti,
lantas mereka lari menyusul. Demikianlah mereka berhasil
menolong It Hiong yang terkena racun itu. Habis It Hiong
menutur, Kiauw In menggantikan bercerita. Hingga mereka
menjadi ketahui hal ikhwalnya masing-masing.
"Sekarang sudah jam lima." kata Giok Peng. "Baiklah
sebentar setelah terang tanah kita memeriksa puncak
belakang buat mencari wanita jahat itu....."
Liauw In berpikir, lalu ia berkata, "Meski Jie Nio itu jahat
dan berani, lolap percaya sekarang tak akan dia berdiam lebih
lama pula disini. Dia sendirian saja, tak dapat dia berbuat
sesuatu....."
Giok Peng tertawa.
"Jadinya LoSiansu hendak melepaskan dia ?" tanyanya.


Liauw In memuji Sang Buddha, lalu dia kata, "Bagaimana
pendapat sicu kalau kita melepaskan seorang jahat supaya dia
dapat kesempatan berubah kejahatannya ?"
Nona Pek mengangguk, ia tidak mengatakan sesuatu.
Pendeta itu membuat main mutiaranya, nampak ia berduka.
"Sebenarnya lolap tidak memikirkan Jie Nio walaupun dia
jahat." katanya kemudian. "Yang lolap kuatirkan ialah kalaukalau
si bajingan beracun yang tua yaitu Ie Tok Sinshe nanti
muncul pula guna mengacau dunia rimba persilatan....."
Kata-kata si pendeta membuat It Hiong berempat menjadi
berdiam. Memang benar pendeta tua ini. Musuh lihai dan tak
ketahuan juga datang dan perginya......
Ketiga nona dan pemuda itu saling mengawasi, kemudian si
pemuda kata dengan nada suara penuh kemurkaan :
"LoSiansu menguatirkan Ie Tok Sinshe, aku yang muda
sebaliknya mencurigai si pelajar yang datang bersama-sama
Kun Tie Uh dan Hiat Ciu
Jie Nio itu. Aku menerka dia bukan sembarangan orang.
Aku mau percaya kalau kita ketahui asal usul dia, mungkin kita
akan mendapat endusan juga tentang Ie Tok Sinshe sendiri,
dia benar telah muncul pula atau tidak......"
"Lolap memikir sebaliknya." kata Liauw In kemudian. "Lolap
justru mau menerka bahwa pelajar tua itu adalah Ie Tok
Sinshe sendiri......"
It Hiong tertawa.


"Kalau benar dialah Ie Tok Sinshe itulah paling baik !"
katanya. "Kalau dia benar muncul pula dalam dunia Kang Ouw
guna mengacau maka aku si orang muda dengan
mengandalkan warisan pelajaran guruku serta ini pedang
Kang Hong Kiam hendak aku cari dia buat kita mengadu
kepandaian hingga salah satu mati atau hidup. Biar bagaimana
ancaman bencana kaum rimba persilatan harus dihalau !"
"Sicu begini gagah dan mulia hati, lolap kagum sekali !"
berkata Liauw In. "Memang kecuali sicu, ada sangat sukar
mendari orang lain yang dapat melayani Ie Tok Sinshe !
Hanya satu hal hendak lolap minta yaitu supaya sicu
senantiasa waspada."
"Terima kasih loSiansu !" kata It Hiong. "Karena kita tidak
harusnya menyia-nyiakan waktu, aku memikir akan turun
gunung selekasnya terang tanah !"
"Bagaimana kalau aku berjalan bersama-sama kau, adik
Hiong ?" tanya Tan Hong. "Dengan aku turut padamu,
mungkin aku dapat membantu sesuatu....."
Nona Tan sangat mencintai si anak muda maka juga dia
lupa akan bahaya yang dapat mengancam dirinya. Habis
berpisahan di Ay Lao San repot dia mencari anak muda itu
atau disini setelah bertemu si anak muda mau
meninggalkannya pula buat suatu perjalanan yang tak
ketentuan jauh dekatnya dan bahaya mengancamnya atau
tidak.
It Hiong dapat menerka hatinya nona itu, diam-diam dia
bersyukur.Kiauw In dan Giok Peng pun sangat memikirkan
keselamatan si anak muda tetapi di depannya Liauw In tak
dapat mereka mengutarakan rasa hati mereka seperti Tan
Hong itu. Mereka harus membalaskan perasaan itu. Adalah


Giok Peng yang mengawasi Kiauw In dan kemudian berkata
dengan perlahan padanya, "Bagaimana kalau aku bersama
Kakak In turut kau, adik ? Bukankah itu jauh terlebih baik ?
Dengan begini tak usahlah kita nanti saling memikirkan......"
Kiauw In berdiam saja. Ia ada terlalu halus akan dapat
berkata seperti Giok Peng itu. Lebih-lebih ia tak seperti Tan
Hong. Ia pula insyaf, belum tentu It Hiong akan menyambut
baik permintaan mereka. Ada kemungkinan si anak muda akan
beranggapan bahwa turutnya mereka akan merepotkan saja
padanya mengingat lawan yang mau dicari itu lawan luar
biasa lihai. Demikian ia cuma bersenyum.
It Hiong mengawasi Tan Hong dan Giok Peng. Ia
menginsyafi cintanya mereka itu tetapi ia berpikir seperti
terkaannya Kiauw In. Tak ada perlunya buat mereka itu turut
bersamanya. Mereka mungkin lebih banyak menyulitkan dari
pada dapat membantunya.
Kiauw In melihat sinar matanya It Hiong, ia dapat mengerti
maksud kekasihnya itu, maka kemudian ia bersenyum dan
kata, "Menurut aku lebih baik kita biarkan adik Hiong pergi
seorang diri, sebab ia sendiri saja sudah cukup. Mengingat
lawan adalah ahli racun yang luar biasa dengan kita turut
pergi bersama, kita mungkin akan menambah menyulitkan
saja....."
Giok Peng dan Tan Hong mengawasi melongo pada Nona
Cio. Itulah kata-kata diluar dugaan mereka. Tanpa merasa
mereka mengeluarkan suara heran.
"Kita bertiga baiklah berdiam di dalam kuil saja." Kiauw In
menambahkan. "Di sini kita dapat membantu membuat
penjagaan hingga hatinya adik Hiong menjadi lega dan tenang
sebab tak usah lagi ia menguatirkan keselamatan kuil. Dengan


begini kita justru membantu banyak pada adik Hiong ! Benar
bukan ?"
Giok Peng mencibir.
"Kakak bicara enak saja !" katanya. "Sungguh kata-kata
yang sedap di dengarnya ! Kakak tak kupercaya bahwa hatimu
sekeras ini hingga kau tega membiarkan adik Hiong pergi
seorang diri...."
Tan Hong mendengari saja, mulutnya ditutup. Tidak berani
ia campur bicara sebab ia belum mempunyai hak apa-apa atas
dirinya It Hiong. Mengenai urusan itu ia lebih setuju Giok
Peng. Dilain pihak terhadap Kiauw In ia menghormati
berbareng jeri....
"Segala urusan harus ada perbedaannya yang mengenai
umum dan pribadi." kata Kiauw In kemudian. "Urusan pula
ada yang penting, ada yang ringan. Semua itu mesti kita bisa
memisahkannya. Janganlah, karena urusan pribadi, kita
menggagalkan usah adik Hiong, yang hendak bekerja guna
umum. Kedua adikku, harap kalian tak terpengaruh cinta
asmara, kita harus dapat memikir jauh. Adikku, cobalah
pikirkan kata-kataku ini benar atau tidak....."
It Hiong bersyukur sekali kepada nona yang bijaksana itu.
"Kau benar suci" katanya kepada si kakak seperguruan.
"Kau bicara dengan melihat jauh ke depan. Maka itu kakak
Peng dan kakak Hong silahkan kalian berdiam saja di kuil ini
guna membantu loSiansu membuat penjagaan ! Kalian setuju
bukan ?"
Giok Peng tertarik oleh kata-katanya Kiauw In, maka juga
ia lantas mengangguk. "Suka kau mendengar kau, adik."


katanya pada It Hiong. "Tapi kau sendiri, baik-baik kau
menjaga dirimu....."
"Terima kasih kakak aku akan menjaga diri baik-baik."
sahutnya. Kemudian ia menoleh kepada Tan Hong yang terus
berdiam saja. Ia percaya nona ini tentu bersusah hati, maka ia
mengawasi kepadanya.
Nona Tan justru mengangkat kepalanya hingga sinar
matanya bentrok dengan sinar matanya si anak muda.
"Ya." katanya. Tak lebih.
It Hiong merasa lega, bukan malu maka juga ia tertawa.
"Sang fajar akan segera tiba, nah, mari kita pulang ke
kamar peristirahatan !" ia mengajak. "Kakak bertiga, kalian
perlu beristirahat sedangkan kau, aku hendak berkemaskemas
!"
Ketiga nona itu mengangguk, lantas mereka pamitan dari
Liauw In untuk kembali ke Ceng sit.
Dengan sungguh-sungguh Liauw In berkata kepada It
Hiong, "Sicu, semoga kau berhasil dengan perjalananmu, kau
selamat tak kurang suatu apa supaya kaum rimba persilatan
dapat dihindarkan dari ancaman malapetaka besar ! Sicu
berhati-hatilah, jangan lengah barang sedikit juga !"
It Hiong mengangguk.
"Terima kasih loSiansu." katanya. "Akan aku yang muda
mengingat baik-baik pesan ini."


Segera ia memberi hormat pula untuk pamitan setelah
mana ia mengajak ketiga nona meninggalkan kuil Siauw Lim
Sie. Perlahan-lahan mereka menuju ke puncak belokan. Di
saat itu selagi fajar menyingsing angin halus datang bertiup.
Di ufuk timur tampak cahaya memutih. Hawa udara rasanya
nyaman. Mereka itu berjalan sambil berbicara dan tertawatawa.
Kira setengah jam tiba sudah mereka di Ceng sit diluar
pagar bambu.
Giok Peng tertawa dan kata, "Tidak kusangka, setelah
tinggal disini beberapa kali telah datang orang jahat
mengganggu kita !"
"Kecuali penjahat perempuan tadi, siapakah yang pernah
datang kemari ?" tanya Tan Hong.
"Ada, umpama Gak Hong Kun...." sahut nona Pek yang
lantas lenyap tawanya. Mengingat orang she Gak itu, muncul
kemendongkolannya, hingga ia lantas menggertak gigi.
Tadinya masih ada kesan baik terhadap pemuda itu sebab
mereka pernah bersahabat dan berpacaran, kesan itu lenyap
dan berubah menjadi kebencian sehabis Hong Kun menyerbu
secara ganas pada Lek Tiok Po. Karena itu juga lenyap
budinya si anak muda yang pernah mencarikan dan
memberikan hosin ouw, obat mujarab itu. Ia paling sakit hati
ketika ia dibikin tak sadar dan diculik bekas kekasih itu.
Tan Hong tidak tahu hal ikhwalnya Hong itu terhadap Giok
Peng, ia masih menanya, "Kakak, benarkah Gak Hong Kun
bermuka demikian tebal hingga dia berani datang pula
menemui kakak ?"
Giok Peng tidak menjawab hanya matanya tergenang air, ia
mendahului melompat masuk ke dalam Ceng sit, hingga It
Hiong bertiga menyusul.


Rumah masih gelap, lilin sudah lantas dinyalakan. It Hiong
melempangkan tubuhnya dan mengeluarkan nafas lega. Ia
meloloskan pedangnya dan bersenandung, "Sampai kapan
dapat aku membunuh ular naga ?"
Kiauw In melirik anak muda, sembari bersenyum ia kata,
"Ha.. dari manakah dapat pelajari kebiasaan kata bukumu ini
?"
Berkata begitu, si nona menyodorkan pakaian si anak muda
dan It Hiong lantas membuntalnya rapi. Kata anak muda ini,
"Jangan repot-repot, kakak ! Apakah kakak bertiga tak mau
beristirahat dahulu ?"
Ketika itu Tan Hong, yang pergi ke belakang muncul
dengan baskom dan saputangan buat mencuci muka, waktu ia
menoleh kepada Giok Peng, ia terperanjat. Nona Pek sedang
duduk menyender di pembaringan, tampang mukanya muram
dan air matanya tergenang.
"Ah, kakak Peng !" katanya heran. "Kenapakah kakak
berduka ?"
Nona ini lantas menghampiri dan menyusuti air mata
orang. Baru setelah itu Kiauw In dan It Hiong mengetahui
yang Giok Peng berduka. Lantas mereka menghampiri.
"Kau kenapakah kakak ?" tanya It Hiong bingung.
"Mungkinkah kau tak suka aku...."
Tak suka Giok Peng melihat orang datang
mengerumuninya. Ia jengah sendiri.


"Cis !" ia berludah. "Akulah orang Kang Ouw, mana aku
memberatimu hingga urusan besar dapat digagalkan
karenanya ?" Ia lantas menghela nafas, habis mana ia
menambahkan, "Aku hanya berdua dan mendongkol kapan
teringat kejadian malam itu dirumah penginapan sebab
penghinaannya Gak Hong Kun ! Jika tidak Teng Hiang muncul
secara tiba-tiba, pasti aku tidak akan hidup sampai sekarang
ini ! Hanya aneh si Teng Hiang entah dia mempunyai urusan
apa, dia justru berbaikan dengan si busuk itu !"
"Teng Hiang telah jatuh hati terhadap Cukat Tan dari Ngo
Bie Pay, tidak nanti dia main gila dengan Hong Kun." kata
Kiauw In.
"Aku percaya dia tak akan menyintai pemuda itu...."
"Ya, tapinya aneh, mau apa budak itu mencari Hong Kun ?"
kata Tan Hong tertawa.
It Hiong pun heran hingga ia berpikir, hanya sejenak
kemudian ia tertawa dan kata, "Aku percaya itulah urusan
mengenai pertemuan kaum sesat itu di In Bu San nanti !"
"Sebenarnya bagaimanakah sepak terjangnya kawanan itu
dapat dicegah atau dihentikan ?" tanya Kiauw In. "Hong Kun
telah menyamar menjadi kau, adik. Sudah melakukan banyak
kejahatan kalau sekarang dia bekerja sama diengan Ie Tok
Sinshe, itulah berbahaya. Entah bencana apa lagi bakal
mengenakan dunia rimba persilatan....."
Giok Peng gusar sekali hingga dia kata bengis, "Buat apa
juga demi umum, akan aku bunuh Gak Hong Kun !"
Alisnya It Hiong terbangun.


"Aku menyesal yang aku berulang kali telah menaruh belas
kasihan terhadapnya." katanya. "Buktinya sekarang dia
menjadi biang bencana....."
Kiauw In melirik pemuda itu.
"Sudah, jangan kau menyesal. Sekarang marilah kita
bekerja sama untuk menghadapinya nanti, cuma untuk
bertindak janganlah bertindak sembrono, kita harus
memikirkannya dahulu."
It Hiong mengawasi si nona yang cantik ayu itu, yang
cerdas dan tenang.
"Nah, kakak, kakak mempunyai pikiran apakah ?" tanyanya.
Kiauw In berpikir, baru ia menjawab.
"Sekarang ini adik, tugasmu ialah tetap mencari tahu
tentang Ie Tok Sinshe itu. Aku sendiri, aku memikir buat
mencari Gak Hong Kun dan Teng Hiang guna menyelidiki
tindak tanduk mereka berdua...."
“Tetapi aku, aku bersama adik Tan Hong, apakah yang aku
harus kerjakan ?" tanya Giok Peng.
Kiauw In mencekal erat-erat tangannya nona itu.
"Tugas kalian, kedua adikku, besar sekali tanggung
jawabanya." kata ia. "Kalian harus tetap berdiam disini guna
membantu melindungi Siauw Lim Sie !" Ia menatap dalam lalu
menambahkan, "Adik Peng, Hong Kun membencimu dan
mungkin dia masih menyimpan maksud jahat, karenanya
kalau kau bertemu dengannya, ada kemungkinan kau kena


terjebak. Jadi adalah paling tepat kalau kau berdua adik Hong
berdiam disini."
Giok Peng mengangguk. Ia biasanya penurut terhadap
Nona Cio.
"Baik, kakak." katanya. "Harap kakak berhati-hati !"
Niatnya Tan Hong adalah mengikuti It Hiong tetapi karena
Kiauw In telah berkata demikian tak berani ia menentang,
kapan ia melihat Giok Peng akur, ia pun tidak berani
mengatakan sesuatu.
It Hiong berangkat, setibanya sang pagi. Ia meninggalkan
obatnya pendeta dari Bek Lek Sie yang ia bagi kepada ketiga
nona itu.
Kiauw In turun gunung bersama, hanya sesampainya di
kota Tenghong, dimana mereka singgah satu malam terus
mereka berpisahan.
Jilid 42
Sementara ini, kita melihat dulu kepada Gak Hong Kun dan
Teng Hiang bedua. Seberangkatnya dari Sian Cui pa, mereka
menuju ke propinsi Secuan, untuk terus menuju langsung ke
Ay Lao Sa. Ketika mereka baru sampai di dusun Kho Thiam cu
diluar propinsi Ouwpak, mereka bertemu dengan Lam Hong
Hoan dan Bok Cee Lauw, dua bajingan dari To Liong To, pulau
naga melengkung.
Kedua bajingan itu, bajingan-bajingan nomor dua dan
nomor lima, telah mendengar berita tentang lenyapnya Kang
Teng Thian dan Siauw Wan Goat, saudara-saudara mereka


yang sulung dan bungsu, yang tak ada warta beritanya lagi
sejak bubarnya pertemuan di In Bu San, maka mereka lantas
mencari berputaran. Di tengah jalan mereka bertemu dengan
Siauw Tiong Beng dan Cie Seng Ciang, bajingan-bajingan
nomor tiga dan empat. Kemudian lagi, mereka mendengar
kabar halnya Kang Teng Thian telah kehilangan jiwanya di
Siauw Sit San dan Siauw Wan Goat lenyap tak karuan, maka
berempat mreka lantas pergi ke Siauw Lim Sie guna membuat
penyelidikan. Kebetulan mereka bertemu dengan Gak Hong
Kun. Lam Hong Hoan menyangka Hong Kun adalah It Hiong
maka muncullah kemurkaannya disebabkan ia ingat urusannya
Wan Goat, kehilangan kesucian dirinya di dalam rumah
penginapan di Lap kee, hingga ingin dia membalaskan sakit
hati saudaranya itu.
"Eh, Tio It Hiong !" serunya bengis. "Kita benar-benar
musuh satu dengan lain, maka disini kita bertemu pula !" Tapi
kapan dia melihat Teng Hiang berada bersama pemuda itu, ia
tegur nona itu, "Budak busuk ! Lantaran mencari laki, kau
sudah mendurhaka dari rumah perguruanmu !"
Hong Kun kaget karena teguran itu, dia pun jeri melihat
jago-jago dari To Liong To itu berjumlah empat orang. Syukur
ia dapat melegakan hati sebab ia disangka It Hiong adanya.
Maka ia menabahkan hati, sambil tertawa ia kata, "Harap
jangan gusar. Lam Cianpwe ! Kalau ada urusan, mari kita
bicara secara baik-baik."
"Bocah, masih kau berlagak pilon !" bentak Hong Hoan
yang terus meraba senjatanya, cambuk lunak, untuk
diputarkan.
Ketika itu Siauw Tiong Beng pun kata keras, "Dia ini juga
yang menyerbu dan membakar benteng kira serta


membinasakan Lie Tay Kong serta beberapa orang murid
kita."
Teng Hiang bingung. Dia tidak tahu tentang urusan yang
disebut-sebut itu. Dia hanya menyangka orang salah mencari
alamat. Maka hendak ia memberi keterangan, agar
perjalanannya tak usah terganggu.
"Lamcianpwe." tanyanya. "Kalau cianpwe hendak mencari
orang untuk membuat perhitungan dengannya, harap cianpwe
mengenali dulu biar jelas ! Dia ini...."
Gak Hong Kun menerka nona itu hendak membuka rahasia
kepalsuannya, dengan tampang gusar ia membentak, "Akulah
Tio It Hiong, kalau aku bekerja tak pernah aku menyangkal !
Aku juga tidak takut ! Jiwa ketua kamu Kang Teng Thian telah
hilang ditanganku, maka perhitungan itu kamu hitunglah atas
namaku !"
Di saat genting itu, Hong Kun masih hendak menimpakan
kesalahan kepada It Hiong. Sikapnya itu membuat heran
sekali pada Teng Siang, sedangkan Cie Seng Ciang menjadi
gusar, hingga dia sudah lantas berlompat maju menyerang
pada si anak muda itu !
Hong Kun berbicara dengan berwaspada, selekasnya
serangan tiba dia mundur satu tindak, sambil mundur diapun
menghunus pedangnya pedang Kie Koat, untuk dengan itu
lantas membuat penyerangan membalas, ia ada murid Heng
San Pay. Wajar saja ia menggunakan ilmu silat ajaran gurunya
jurus Mega Musim Semi.
Cie Seng Ciang terkejut, segera dia menarik pulang
tangannya. Sebagai seorang Kang Ouw kawakan, tak mudah
ia diselomoti. Dia pun berlompat mundur untuk terus


mengeluarkan senjatanya, kaitan Cohu Wan-yho kauw. Dia
lantas menantang, "Kalau kau benar-benar memiliki
kepandaian, mari layani aku beberapa jurus !"
Kata-kata itu ditutup dengan saru serangan kaitan jurus
"Burung Walet Terbang Sepasang", yang dapat berubah
menjadi tiga pecahan, maka juga sasaran adalah perut, dada
dan bahu !
Hong Kun gagah tetapi dia repot atas serangan luar biasa
itu, hampir pedang mustikanya tak dapat digunakan, sebisabisa
dia melindungi diri. Tak mau, atau tak dapat dia
membalas menyerang. Baru selewatnya dua puluh jurus,
hatinya menjadi tetap pula. Ia telah melihat cara orang
bersilat, ia seperti dapat meraba-raba. Demikian selewatnya
itu, ia juga mulai membalas menyerang. Pedangnya yang
tajam menguntungkan padanya.
Cie Seng Ciang kewalahan melayani pedang mustika lawan,
dengan begitu dengan sendirinya dia terus berbalik kena
diserang terus terdesak.
Bok Cee Lauw menyaksikan perubahan itu, dia lantas
lompat memasuki kalangan, menyerang dengan senjatanya
yang luar biasa itu, Goat Lun. Dengan demikian, Seng Ciang
menjadi mendapat angin pula, hingga pertempuran menjadi
berimbang. hanya, walaupun demikian, pedang mustika lawan
membuat dia dan saudaranya harus waspada.
Hong Kun berkelahi dengan mantap. Setelah menang di
atas angin, dia lantas memikir menggunakan bubuk
beracunnya. Tak ingin dia pertempuran menjadi berlarut-larut
lama. Dia pula hendak menunjuki ketangguhannya !


Cie Seng Ciang dan Bok Cee Lauw berkelahi sama
kerasnya, dengan begitu lima batang senjata mereka jadi
bergerak-gerak dengan sangat cepat, setiap gerakannya
membahayakan lawan masing-masing.
Teng Hiang melihat bahwa pertempuran itu sangat
membahayakan jiwa kedua belah pihak, tak dapat ia
membiarkannya terus.
"Tahan !" demikian serunya.
Suara itu sangat tajam, bagaikan suara genta perak masuk
ke dalam telinga. Dengan sendirinya ketiga orang itu
menghentikan pertempurannya, semua mengawasi si nona.
Teng Hiang sebaliknya, lantas tertawa manis. Kata dia,
"Bukankah kita orang-orang dari satu kaum ? Kalian
bertempur demikian hebat, buat apakah ?"
Bok Cee Lauw mengawasi bengis.
"Budak !" serunya. "Budak, apakah kau hendak menipu aku
?"
"Siapakah yang hendak menipu kamu ?" si nona membaliki.
Hanya kali ini dia bicara dengan tampang dan muka sungguhsungguh.
Sie Seng Ciang heran.
"Murid Pay In Nia ini, apapun hendak dibilang, dia adalah
musuh kami !" katanya nyaring. "Dan kau, jika kau tidak
memandang kepada Thian Cie Lojin, tak nanti aku memberi
ampun padamu!'


Suara itu menyatakan bahwa bajingan-bajingan dari To
Liong To itu menganggap Hong Kun sebagai It Hiong.
Justru Seng Ciang bicara itu, Hong Kun dengan tangan
kirinya meroboh sakunya buat mengeluarkan bubuk
beracunnya, atau mendadak dia menjadi kaget sebab tahutahu
ada serangan menyambar mukanya. Dengan gesit dia
berkelit sambil tubuhnya pun lompat ke samping hingga dia
bebas.
Teng Hiang melihat kawan itu berlompat, ia menyusul.
Ketika Hong Kun lari terus, ia turut lari juga !
"Kita terpedayakan !" kata Hong Hoan menyesal, dialah
yang menyerang Hong Kun barusan.
Seng Ciang menoleh, maka ia mendapati dua orang itu
sudah lari jauh, mereka tengah mendaki puncak. Ia
penasaran, maka bersama ketiga saudaranya, ia lari
mengejar.
Hong Kun dan Teng Hiang tidak lari terus. Mereka
mendekam, bersembunyi di sebuah semak rumput tinggi dan
tebal. Dari dalam situ diam-diam mereka memasang mata.
Selekasnya Hong Hoan berempat sudah lewat, mereka muncul
untuk lari balik, buat mengambil jalan mereka sendiri. Sesudah
lari belasan lie, barulah mereka tidak lari lagi hanya berjalan
perlahan-lahan.
Teng Hiang menyusuti peluhnya.
"Aku terembet-rembet olehmu..." ia sesalkan Hong Kun.
Hong Kun tertawa menyeringai.


"Tapi aku pun, karena hendak membantu kau, aku jadi
bertemu mereka itu !" katanya.
"Hari sudah magrib, mari kita cari pondokan !" Teng Hiang
memutuskan. "Malam ini kita beristirahat."
Selagi berkata begitu, Nona Teng memandang ke depan. Ia
melihat sebuah kereta tengah mendatangi dan si kusir kereta
lagi tak henti-hentinya membentak-bentak binatang penari
kereta itu, sedangkan cambuknya dibunyikan berulang kali.
Kereta itu memakai kerudung dan binatang penariknya
nampak sudah letih sekali.
"Lihat binatang itu !" kata si nona tertawa. "Kasihan, dia
sudah tak kuat menarik keretanya !'
"Eh !" serunya, tiba-tiba. "Jiu Long tengah berbuat apakah
?"
Sementara itu, kuda sudah lantas mendatangi dekat,
sampai tinggal tujuh tombak lagi.
Tiba-tiba Hong Kun lari memapaki kereta itu, untuk dia
lantas menegur, "Eh, sahabat berambut hijau ! Sahabat
rambut hijau !"
Si kusir mengangkat kepalanya selekasnya dia melihat
orang she Gak itu dia tertawa.
"Ha ha ha Gak Laote !" serunya girang.
"Selamat bertemu !"
Seketika itu juga kereta pun dihentikan.


Teng Hiang pun menghampiri, maka ia melihat si kusir
mempunyai rambut hijau seluruhnya, mukanya kira
potongannya mirip muka kuda, sepasang matanya tajam dan
galak seperti mata maling hingga siapa melihatnya pasti akan
merasa jemu terhadapnya.
Lek Hoat Jiu Long demikian kusir itu sudah lompat turun
dari keretanya. Dia menghampiri Hong Kun untuk mencekal
tangan orang sembali tertawa dia kata, "Gak Laote, ada
urusan apa kau berada disini?" Belum lagi si anak muda
menjawab, dia sudah mendahului memandang Teng Hiang
seraya terus menanya pula, "Nona itu, adakah dia berjalan
bersama-samamu ?"
Hong Kun tidak menjawab, dia hanya tertawa. Kemudian
dia kata, "Kami ingin singgah disini, dimanakah ada kampung
atau penginapan ? Berapa jauh kiranya dari sini ?"
"Bagus !" kata Jiu Long tertawa. "Sebenarnya aku hendak
singgah di Pekyang-peng tetapi karena bertemu kau disini,
kita singgah di sini saja. Tempat penginapan tak jauh di sana.
Mari kita berjalan sambil memasang omong supaya kita tak
kesepian...." Ia menunjuk ke keretanya seraya berkata pula,
"Silakan kau dan nona itu naik ke kereta laote !" Dia berkata
kepada Hong Kun tetapi matanya terus melirik Teng Hiang. Ia
memanggil "laote" kepada si anak muda. Itulah panggilan
yang menandakan eratnya hubungan mereka berdua.
Tanpa sungkan Hong Kun lompat naik ke atas kereta,
kemudian ia menggapai pada Teng Hiang sebagai pertanda ia
mengundang nona itu naik bersama.
Teng Hiang tidak menyukai wajah dan tampangnya Lek
Hoat Jiu Long. Ia sebal terhadap mata orang yang galak,
sebenarnya tak ingin dia naik ke kereta orang itu tetapi


mengingat kepada Hong Kun ia naik juga. Ia suka mengalah
sebab ia membutuhkan bantuannya anak muda itu.
Kapan si nona menyingkap tenda kereta, ia mendapatkan
kereta itu gelap sekali. Tak ada jendelanya. Tanpa merasa ia
berseru dan keluar pula.
Hong Kun heran.
"Ada apa ?" tanyanya.
Teng Hiang menunjuk ke dalam kereta, kepalanya
digelengkan.
Ketika itu barulah si kusir kereta kata pada Hong Kung,
"Laote berdiam disini saja, tak usah kalian masuk !"
Hong Kun heran hingga ia lantas menyingkap tenda tetapi
di dalam gelap, ia tidak melihat apa-apa, setelah itu ia tak
menghiraukannya lebih jauh.
Teng Hiang sebaliknya heran, hingga ia menjadi bercuriga.
Pikirnya, "Orang ini bermacam luar biasa, pasti dia bukannya
orang baik-baik. Kenapa Gak Hong Kun bersahabat erat
dengannya ?" Karena ini diam-diam ia menyingkap pula tenda
dan nyelusup masuk ke dalamnya. Kali ini dia menyalakan api
hingga ia melihat ke dalam kereta itu duduk bercokol seorang
tua, matanya dipejamkan, alisnya dirapatkan, mukanya
keriputan.Dandanannya mirip seorang pelajar. Dia duduk tak
bergeming, sebagai orang lagi tidur nyenyak.
Dengan menyuluhi apinya itu, kemudian Teng Hiag
mendapatkan di kakinya si orang tua rebah melingkar seorang
perempuan muda, yang kaki dan tangannya terikat, tetapi
punggungnya menggendol cepatan pedang panjang. Pedang


itu menandakan halnya si nona mestinya orang rimba
persilatan. Mukanya nona itu tak tampak sebab sebagian
mukanya itu tertutup rambutnya yang panjang dan terurai dan
dari muka yang sebelah saja, dia tak terlihat tegas dan tak
dapat dikenali.
Oleh karena si orang tua tetap duduk tak berkutik, Teng
Hiang maju mendekati si nona orang tawanan itu. Ia
berjongkok untuk dapat menyingkap rambutnya. Kali ini ia
berhasil. Wanita itu Siauw Wan Goat adanya.
Tiba-tiba matanya si nona yang tadinya dirapatkan dibuka,
dipakai mengawasi nona Teng. Biji mata itu diputar beberapa
kali, lalu ditutup pula. Sebagai gantinya air matanya lantas
meleleh keluar.
Teng Hiang heran dan terkejut. Air mata itu berarti
permintaan tolong. Karenanya ia menduga pasti Wan Goat tak
berdaya sebab totokan. Tiba-tiba timbul rasa kasihannya,
meskipun mereka berdua tak bersahabat. Mereka sama-sama
orang Kang Ouw dan sama-sama wanita juga. Rasa kasihan
dapat timbul sendirinya.
Diam-diam Teng Hiang meletakkan jari tangannya di
tubuhnya Siauw Wan Goat. Tanpa menerbitkan suara apa-apa,
ia menotok jalan darah si nona itu, "jalan darah hoa kay"
untuk menyalurkan tenaganya ke dalam tubuh orang.
Setelah lewat waktu sehirupan teh, Siauw Wan Goat
menghela nafas. Dia membuka mulutnya hendak bicara tetapi
gagal. Dia pun mencoba menggerakkan pinggangnya.
Teng Hiang terus berdiam. Ia mengerti pertolongannya
telah membawa hasil baik. Ia tidak mau membuka suaranya
supaya ia tak membuat si orang tua mendusin. Karena itu ia


cuma memberi isyarat gerak-gerakan tangan bahwa ia hendak
membantu nona itu.
Wan Goat mengangguk, wajahnya menunjuki bahwa dia
sangat bersyukur.
Tiba-tiba terdengar satu suara batuk kering, Teng Hiang
terkejut hingga ia lantas menoleh kepada si orang tua. Ia
mendapati mata orang terbuka dan sinarnya sangat tajam,
hanya sedetik sinar itu sirna. Dalam kagetnya Teng Hiang
mundur ke mulut tenda, ia bersiap sedia karena ia menyangka
si orang tua telah mendusin dari tidurnya dan telah melihat
padanya !
Orang tua itu terus duduk diam seperti semula, matanya
cuma terbuka selewatan itu lalu dipejamkan pula.
Menyaksikan demikian Teng Hiang mau menerka bahwa orang
tua itu tengah terluka dan lagi menyalurkan pernafasanya
guna mengobati lukanya itu luka di dalam tubuh.
"Kalau dugaanku ini tepat, si orang tua itu lagi menghadapi
saat gentingnya." pikirnya. "Di dalam keadaan seperti itu dia
pasti tidak dapat menggerakkan tangan atau kakinya.
Bukankah ini saat paling baik buat membantu Wan Goat ?"
Teng Hiang cerdas dan pengalamannya pun tidak sedikit,
melihat keadaan itu, hatinya menjadi besar. Dengan berindapindap
ia maju pula. Dengan jeriji tangannya yang kuat ia
mencoba memutuskan tali belenggunya Nona Siauw.
Tepat itu waktu si orang tua keriputan itu membuka pula
kelopak matanya hingga tampak pula sinar matanya yang
tajam dan bengis itu, tajam mengawasi Nona Teng, sedang
dari mulutnya terdengar satu suara dingin.


Teng Hiang kaget hingga tubuhnya bergemetar. Hanya
untung baginya, lagi-lagi orang tua itu kembali berdiam saja.
Dengan berani ia mengangkat bagian tubuhnya Wan Goat.
Karena hatinya tegang, tanpa merasa tangannya bergemetar,
sampai apinya bergetar, cahaya memain.
Kedua nona sama-sama tahu diri, maka itu keduanya
bergerak tanpa membuka suara. Mereka saling memberi
isyarat dengan kedipan mata, buat bersiap melarikan diri
bersama.
Lagi-lagi terdengar satu suara tawar, hanya kali ini suara
itu disusul dengan kata-kata ini, "Kamu sudah terkena racun
yang jahat, apakah kamu masih memikir buat melarikan diri ?"
Itulah suara dingin dan bengis dari si orang tua. Kedua
nona kaget, hingga tubuh mereka menggigil. Kata-kata racun
yang jahat membuat mereka kaget sekali.
Wan Goat kurang pengalaman, lantas meraba-raba
tubuhnya buat mencari tahu anggauta tubuhnya yang mana
yang terkena racun seperti katanya orang tua itu. Ia tidak
mendapatkan sesuatu. Maka ia menjadi gusar dan menegur si
orang tua, "Kaulah seorang yang usianya sudah lanjut,
bagaimana kau masih menggertak menakut-nakuti orang ?"
Teng Hiang sendiri diam-diam mencoba mengerahkan
tenaga dalamnya, tiba-tiba ia merasa pengerahannya itu tak
lurus, jalan darahnya seperti mendapat hambatan, sedangkan
lengannya lantas terasakan dingin. Tidak ayal lagi, tanpa ragu,
ia menghunus pedangnya untuk terus mengancam dadanya si
orang tua sambil membentak. "Lekas keluarkan obat
pemunahmu atau akan aku ambil nyawamu !" Setelah itu ia
mengedipi mata pada Wan Goat menyuruh nona itu turun
tangan.


Nona Siauw segera menghunus pedangnya, dengan lantas
ia menikam ke arah tantian dari si orang tua.
Sejenak orang tua itu kaget atau lantas dia tenang pula,
bahkan dengan dingin dia berkata, "Oo, bocah, darimana kau
dapati pelajaran menjadi galak ini ? Baiklah akan aku si orang
tua memberikan kamu obat pemunahnya !"
Berbareng dengan kata-katanya itu dada dan perut si orang
tua bergerak atau segera juga pedangnya nona-nona itu dapat
disampok ke samping. Menyusul itu tubuhnya nampak
limbung. Hanya kali ini dia terus menyodorkan tangan kirinya
yang mencekal sebuah peles obat pulung !
Dengan cepat Wan Goat menyambut peles obat itu, terus ia
mundur satu tindak, untuk membuka tutup peles. Ia
menyimpan dahulu pedangnya. Atau segera ia mendengar si
orang tua berkata dengan suaranya yang serak, "Sudah cukup
kalau kau makan satu butir saja ! Eh, apakah kalian berani
makan obatku ini ?"
Wan Goat heran hingga ia menjublak. Teng Hiang pun
turut terpengaruhkan, sampai ia juga beragu-ragu. Obat itu
harus dimakan atau tidak ?
Tiba-tiba Teng Hiang ingat sesuatu, maka kembali ia
mengancam dengan pedangnya.
"Siapakah kau ?" tanyanya bengis.
Si orang tuamerem melek, atau ia lantas mementang
matanya itu.


"Aku si orang tua ialah yang dipanggil Ie Tok Sinshe !"
sahutnya tenang.
Dua-dua Teng Hiang dan Siauw Goat tidak kenal Ie Tok
Sinshe. Dengar pun belum pernah halnya jago racun yang
namanya tersohor pada empat puluh tahun dahulu itu.
"Kenapa aku belum pernah mendengar namamu ?" tanya
Wan Goat polos. "Apakah kau kenal kakak seperguruanku ?"
Si orang tua tertawa.
"Siapakah itu kakak seperguruanmu ?" tanyanya.
"Berapakah usianya ?"
"Kakak seperguruanku itu Kang Teng Thian." Nona Siauw
menjawab dengan sebenarnya. "Dia sudah berusia enam
puluh tahun. Dia pun sudah....."
"Jangan ngoceh tidak karuan dengannya adik !" Teng
Hiang kata. Dan ia lantas menyerang, menikam dengan satu
jurus dari ilmu silat pedang yang istimewa dari Thian Cie Lojin.
Orang tua berkeriputan itu menjerit, tubuhnya berputar,
bergerak dari tempatnya duduk, turun ke bawah, berdiri di
dalam kereta ! Teng Hiang mendapatkan serangannya gagal,
ia mengulanginya. Si orang tua mengibaskan lengan tangan
bajunya.
"Apakah kau muridnya Thia Cio si siluman tua ?" tegurnya.
Teng Hiang gusar yang gurunya disebut sebagai si siluman
tua, bukannya ia menjawab ia justru menyerang saja, bahkan
dengan dua tusukan saling susul. Di dalam murkanya itu dapat
dimengerti kalau serangannya hebat sekali.


Hebat si orang tua. Dia sangat gesit dan lincah. Dengan
bergerak ke kiri dan kanan, tubuhnya bebas dari ujung
pedang. Kemudian dia kata tenang-tenang, "Ilmu pedangmu
ini telah mendapati lima bagian dari kepandaian gurumu itu !
Tidak kecewa, tidak kecewa ! Aku justru ingin mengambil kau
sebagai muridku !"
Menutup kata-katanya itu si orang tua lantas menyedot,
membuat padam apinya Teng Hiang, padam disedot ke dalam
mulutnya ! Maka seketika itu juga gelaplah kereta.
Nona Teng dan Wang Goat kaget sekali, tentu saja mereka
bingun dan ingin menyingkir dari dalam kereta itu atau
mereka menjadi terlebih kaget pula. Mendadak api berkelebat
menyambar kain tenda yang terus menyala hingga tampaklah
cahaya terangnya api itu ! Dirintangi api, Teng Hiang dan Wan
Goat tidak dapat lompat keluar. Terpaksa mereka kembali ke
tempat dimana tadi mereka mengambil tempat.
Bertepatan dengan itu berhentilah kereta itu berjalan dan
dari luar kereta lantas terdengar suara nyaring, "Oh budak
perempuan busuk ! Bagaimana kau berani membakar keretaku
?"
Itulah suaranya si tukang kereta. Api sementara itu
berkobar terus, atau mendadak datang hembusan angin yang
keras yang membuat kebakaran itu padam.
Ketika itu si orang tua keriputan sudah lompat turun ke
tanah, dia memutar tubuhnya dan menggapai ke kereta,
"Anak, mari turun !"
Lek Hoat Jiu Long sementara itu kaget melihat dari dalam
keretanya lompat turun orang tua bermuka keriputan itu.


Sejak dia lolos dari bahaya di luar kota Ceelam dimana dia
ditolongi Gak Hong Kun dan Teng It Beng dia terus merantau.
Dia mengerti keganasannya bubuk beracun yang
menyebabkan mati dan lukanya dua orang muridnya pendeta
dari Goan Cie Sie, maka kemudian dia mencari bubuk serupa
itu. Dengan mempunyai benda beracun dia jadi semakin jahat.
Pada suatu hari di dalam kota Gakyang, Lek Hoat Jiu Long
bertemu dengan Siauw Wan Goat. Dia tersengsem oleh
kecantikannya nona itu lantas ia menguntitnya. Malam itu,
kira-kira jam tiga di penginapan, Wan Goat disergap. Dia
memasuki kamar dengan membongkar jendela. Langsung dia
menghampiri pembaringan. Waktu dia menyingkap kelambu,
lantas dia melihat si nona sedang tidur yang tubuhnya sangat
menggiurkan. Tanpa ayal lagi dia melancarkan tangannya
niatnya akan menotok nona tiu agar si nona tak sadarkan diri.
"Plak-plok !" demikian terdengar dua kali suara tamparan.
Itulah tamparan pada mukanya Lek Hoat Jiu Long, yang
membuatnya kaget dan nyeri, kepalanya pusing, telinganya
berbunyi. Tapi dia tak takut, dia justru gusar. Maka sambil
memutar tubuh, dia menyerang ke arah darimana serangan
datang. Itulah jurus "Harimau Galak Menoleh."
Serangan ini mendatangkan satu suara keras tetapi juga
menyebabkan si penyerang merasai tangannya nyeri.
Serangan dia bukan mengenai sasarannya hanya sebuah kursi
hingga kursi itu berantakan ! Dia heran ! Kursi biasa
dipinggiran dinding, kenapa sekarang berada di tempat lain
bahkan di belakangnya.
Dalam bingung Jiu Long menoleh ke kelilingan. Kamar itu
kosong. Kursi di sisi meja jadi tidak ada. Jadi itulah kursi yang
barusan terhajar olehnya.


"Heran !" pikirnya sambil berdiri menjublak.
Tiba-tiba terdengar suara orang bicara, datangnya dari
kelambu. Kata suara itu, "Lek Hoat Jiu Long, kau wakilkan aku
membawa wanita ini ke penginapan di Kho tiam cu. Kau tahu
atau tidak ?"
Jiu Long bukan menjawab ia hanya segera menyerang pula
ke dalam kelambu, hingga kelambunya tersingkap, hingga ia
melihat si nona rebah melingkar dengan tangan dan kakinya
terbelenggu sedangkan rambutnya tubuhnya tak berkutik. Ia
menjadi bertambah heran.
Hanya sebentar datang pula suara dari dalam kelambu itu,
dingin dan mengancam, "Jika kau tahu diri, lekas lakukan apa
yang aku perintahkan ! Lekas ! Awas jangan memikir yang
tidak-tidak terhadap si wanita ! Atau kau bakal mati dengan
terlebih dahulu mengalami siksaan dengan api ! Hm !"
Jiu Lonng tidak puas. Ia tidak melihat orang yang suaranya
pun tidak dikenal.
"Sahabat, jangan membawa lagak bajinganmu." tegurnya.
"Kenapa kau bersembunyi saja hingga kau malu menemui
orang ?"
"Plak-plok !" demikian terdengar pula suara gaplokan pada
telinga, dan kali ini lebih hebat hingga matanya Jiu Long
berkunang-kunang dan pipi bengap, bahkan mulutnya
mengeluarkan darah hidup !
Kali ini runtuhlah semangatnya Lek Hoat Jiu Long. Dengan
menahan nyerinya, ia merangkap kedua belah tangannya
sembari memberi hormat dengan menjura ia kata memohon,


"Cianpwe, tolong aku. Berbelas kasihan padaku. Baiklah aku
yang muda akan aku lakukan apa yang diperintahkan !" Ia
terus menghampiri pembaringan akan mengangkat dan
memondong tubuhnya Wan Goat buat dibawa keluar dari
dalam kamar bahkan malam-malam juga, ia membawanya
keluar dari kota Gakyang. Setelah fajar muncul ia menyewa
kereta, tubuhnya si nona diletaki di dalam kereta itu, yang
tendanya ditutup rapat setelah itu ia sendiri yang bekerja
sebagai kusir melakukan perjalanannya itu.
Kemudian lagi dari dalam kereta muncullah seorang tua
muka keriputan, yang berdandan sebagai pelajar. Melihat
orang tua itu, Lok Hoat Jiu Long kaget dan heran, nyalinya
ciut.
"Apakah kau si penarik kereta ?" tanya orang tua itu sambil
menuding seraya terus dia mengulapkan tangannya, untuk
segera membentak, "Masih kau tidak mau lekas-lekas
menjalankan keretamu ini ?"
Sementara itu Teng Hiang dan Wan Goat tidak
memperdulikan si orang tua keriputan itu, mereka lantas
berlari pergi. Gak Hong Kun melihat perbuatan orang.
"Teng Hiang !" teriaknya. "Teng Hiang, aku ada disini !"
Teng Hiang berlari terus ketika ia menoleh, ia kata, "Masih
kau tidak mau mengangkat kaki ? Dialah Ie Tok Sinshe !"
Hong Kun heran hingga ia melengak.
"Apa itu Ie Tok Sinshe ?" tanyanya.
Lek Hoat Jiu Long bergetar seluruh tubuhnya kapan dia
mendengar disebutnya nama Ie Tok Sinshe itu, diam-diam ia


berlari pergi tetapi baru lari empat tombak dia sudah berhenti,
terus dia berjalan balik langsung menghampiri si orang tua
untuk memberi hormat sambil menjura.
"Cianpwe Ie tok Sinshe." katanya, suaranya menggetar.
"Dapatkah nona yang diikat itu yang berada di dalam kereta
diserahkan kepadaku ?"
"Apa ?" tanya si orang tua keriputan dingin.
Kembali Lek Hoat Jiu Long memberi hormat, ia
membungkuk hampir mengenai tanah.
"Aku menerima perintah orang buat mengantar nona itu ke
Kho tiam cu." ia memberi keterangan. "Kalau cianpwe
menyerahkan dia padaku maka dapat aku menyelesaikan
tugasku....."
Ketika itu Teng Hiang bertiga sudah memisahkan diri
belasan tombak jauhnya.
"Apa ?" tanya si orang tua, acuh tak acuh atau mendadak
tubuhnya mencelat terus dia lari, hingga dilain saat tahu-tahu
dia sudah menyusul ketiga orang itu dan menghadangnya !
"Hai, anak !" dia menegur. "Tubuhmu telah terkena racun
mana dapat kau berlari pergi ? Apakah kau sudah tak
menghendaki lagi nyawamu ?"
Terpaksa, Teng Hiang bertiga berhenti berjalan.
Kata lagi si orang tua, "Jika kamu mau mendapatkan obat
pemunahnya, kau mesti menjadi muridku !"


Gak Hong Kun gusar, tanpa mengatakan sesuatu ia
menghunus pedangnya, terus ia membabat pinggangnya
orang tua itu !
"Hendak aku lihat, Ie Tok Sinshe mempunyai bisa apa !"
demikian dia membentak.
Lincah sekali orang tua bermuka keriputan itu lompat
berkelit. Ia tidak membalas menyerang, ia pula tidak menegur
hanya sambil tertawa ia kata, "Ah anak, apakah kau juga ingin
menjadi muridku ?" Ia bertanya sambil menatap.
Hong Kun tertawa tawar.
"Bagaimana kalau aku menghendaki itu ?" tanyanya.
Mendadak, lagi sekali ia menyerang, tubuhnya mencelat maju,
pedangnya membacok !
Salah satu jurus dari Heng San Pay, namanya "Angin
Menggulung Menjumpalitkan Salju."
Sebelum pedang tiba pada sasarannya, tubuh si orang tua
sudah lenyap dari depan penyerangnya, siapa sebaliknya
lantas merasai tengkuknya tertiup angin shilir yang hawanya
nyaman. Ia tertiup pada bagian jalan darah ouw lian.
"Ha ha ha !" terdengar si orang tua tertawa. "Kamu bertiga,
kamu sudah terkena racunku yang sangat beracun ! Di dalam
waktu satu bulan, lekas-lekas kamu tiba di In Bu San buat
mengangkat aku sebagai gurumu !'
Selekasnya suara orang itu sirap, orangnya pun sudah
lantas pergi berlalu.


Teng Hiang bertiga melihat orang kabur ke arah rimba
dimana dia lenyap. Mereka heran, mereka mengawasi dengan
melongo. Justru mereka berdiam, Lek Hoat Jiu Long lari
kepada mereka. Setibanya mendadak dia berlompat kepada
Siauw Wan Goat yang terus dia totok jalan darahnya di
pempilingannya.
Nona Siauw kaget sekali. Boleh dibilang ia tengah tak
bersiaga. Tak dapat ia berlompat guna menyingkirkan diri. Apa
yang ia bisa lakukan ialah melengos kepalanya tetapi segera ia
merasai nyeri pada dahinya !
Teng Hiang berada di dekatnya Nona Siauw, dia pun
terperanjat. Sebab datangnya serangan tak disangka-sangka,
walaupun demikian dia sempat menyampok kepada penyerang
itu !
Jiu Long tengah menyerang, ia tidak memikirkan lainnya
apa juga. Ia baru kaget setelah diserang itu. Walaupun ia mau
berkeliat masih ia terlambat sedikit, maka lengan kanannya
kena terhajar sampai ia limbung tiga tindak.
Tidak ada maksud mencelakai dari Jiu Long yang
menyerang Wan Goat. Ia hanya hendak merobohkan si nona
buat ditawan, diantarkan ke Kho tiam cu seperti ia
diperintahkan "orang yang ia tidak kenal" itu sekalian ingin ia
mengambil hatinya nona itu. Penyerangannya Teng Hiang itu
membuatnya kaget, bahkan ia lantas menginsyafi nona ini
mestinya kosen, ia sendiri melawan kedua nona itu, ia
bersangsi akan memperoleh kemenangan. Begitulah ia
menoleh kepada Hong Kun dengan maksud meminta bantuan
sahabat itu.
Hong Kun sebaliknya, menggeleng-geleng kepala.


"Mari kita pergi !" dia mengajak. "Sampai di Kho tiam cu
baru kita bicara !'
Wan Goat sementara itu baru melihat tegas, orang yang
bicara belakangan ini mirip dengan It Hiong.
"Kakak, apakah kakak baru datang dari Siong San ?"
tanyanya kepada Teng Hiang.
Ia heran, kalau orang itu It Hiong kenapa si anak muda
dapat mendahuluinya.
"Bukan." sahut Teng Hiang.
Nona Siauw berpikir keras.
"Dimana kakak bertemu kakak Hiong ?" kemudian dia tanya
pula Nona Teng. "Sekarang kalian mau pergi kemana ?"
Baru sekarang Teng Hiang mengerti yang Wan Goat
menerka Hong Kun adalah It Hiong.
"Kasihan dia masih belum sadar....." pikirnya. "Dia tetap
tidak dapat membedakan kepalsuannya Hong Kun...." Maka ia
menghela nafas dan kata menyesal, "Adik, pengalamanmu
dalam kalangan Kang Ouw masih sangat sedikit....."
Heran Wan Goat memperoleh jawaban yang bukan
jawaban itu. Sambil mengawasi nona itu, ia menghampiri
sampai dekat, untuk terus menggenggam tangan orang.
"Apakah katamu kakak ?" tanyanya ia.
Sejenak itu Teng Hiang serba salah. Ia sudah janji kepada
Hong Kun yang ia tidak akan membuka rahasia orang.


Sebaliknya ia berkasihan terhadap si bungsu dari pulau Naga
Melengkung ini yang jujur dan polos hingga menjadi bodoh. Ia
terpaksa menjawab, "Dia ini bukannya Tio It Hiong dari Siong
San, dialah Tio It Hiong dari Heng San."
Wan Goat berdiri menjublak saking bingung. Baru ia tahu
hal adanya It Hiong dari Siong San dan Heng San.....
Hatinya Hong Kun tak wajar kapan ia melihat Wan Goat.
Apa pula nona ini terus memasang omong dengan Teng Hiang
maka juga ia lantas kata keras pada si nona Teng, "Teng
Hiang, kau mau pergi ke Bu Liang San atau tidak ?"
Teng Hiang cerdik. Ia dapat menangkap maksudnya Hong
Kun, maka sambil menarik tangannya Wan Goat ia
menghampiri pemuda itu. Ia pun tertawa.
"Kenapa kau marahi aku ?" tanyanya.
Hong Kun tidak membuka mulut lagi, ia mengibaskan
tangannya terus ia memutar tubuh dan berjalan pergi. Terus
ia berlari-lari. Dengan berlalunya mereka bertiga, berlalu juga
Lek Hoat Jiu Long. Selekasnya mereka itu pergi dari belakang
kereta muncullah seorang pemuda yang terus lari menyusul.
Siapakah pemuda itu ? Dia bukan lain dari Cukat Tan dari
Ngo Bie Pay !
Sudah sekian lama Cukat Tan menguntit Teng Hiang dan
Hong Kun berdua, waktu mereka itu naik kereta ia
bersembunyi di belakang kereta itu, walaupun demikian ia
heran atas munculnya si orang tua keriputan itu. Ia tak tahu
kapan datang dan masuknya orang ke dalam kereta. Hanya
gerak gerik dan segala kata-kata Teng Hiang selama di dalam
kereta ia lihat dan dengar semua.


Balik pada Hong Kun, setibanya di tempat tujuan dan
mengambil hotel, dia sengaja minta empat buah kamar,
dengan begitu mereka masing-masing mendapati sebuah dan
letaknya kamar Teng Hiang dan Wan Goat ia yang pilih juga
supaya sebentar malam dapat ia wujudkan apa yang ia pikir.
Tak ada rasa cintanya Hong Kun sedikit jua terhadap Wan
Goat, kalau dia main asmara dengan nona itu, itu melulu guna
melampiaskan tak kepuasan dan pikiran pepatnya. Bahkan
semenjak kejadian di Lapkee ia menjadi banyak pusing. Di lain
pihak dia kuatir Wan Goat nanti membuka rahasian. Maka itu
diam-diam dia telah berunding dengan Lek Hoat Jiu Long
dalam hal dia hendak turun tangan terhadap Teng Hiang,
sedang Jiu Long ingin mendapatkan Wan Goat !
Adalah diluar dugaannya kedua laki-laki busuk itu, gerak
gerik mereka ada yang awasi tanpa mereka curiga apa-apa. Di
sana ada burung gereja di belakangnya si tonggeret !
Malam itu Lek Hoat Jiu Long sudah di dalam kamarnya
dengan matanya terbuka seluruhnya. Dia lagi menantikan
kesempatan. Di depan matanya terbayang kecantikan Nona
Siauw. Di dalam otaknya, dia juga ingat akan si orang tak
dikenal yang telah menggaploknya, yang menyuruhnya
mengantarkan nona tawanannya itu. Maka sendirinya hatinya
menjadi kurang tentram.
Kapan telah mendengar suara kentongan dua kali, Jiu Long
lompat turun dari pembaringan. Ia lantas menolak daun
jendela, hingga ia melihat gelap petang di luar hotel dan sang
malam sunyi sekali. Rupanya semua penghuni penginapan
lainnya sudah pada berlayar di pulau kapuk atau mereka
tengah bermimpi......


Hanya bersangsi sebentar, Jiu Long dapat menguasai
dirinya. Napsu binatangnya mengalahkan keragu-raguannya.
Segera ia merogoh sakunya dimana ia menyimpan bie hun to
hun, bubuk biusnya. Ia pun memeriksa pisau belari di
pinggangnya. Di akhirnya, sambil menggertak gigi, ia lompat
keluar dari kamarnya. Langsung ia menuju ke kamarnya Siauw
Wan Goat, yang terpisah dengan sebuah halaman, sedangkan
kamarnya Teng Hiang, terpisah dari kamarnya Nona Siauw
dengan sebuah gang. Tegasnya, kedua kamar nona-nona itu
terpisah satu dari lain. Itulah karyanya Gak Hong Kun.
Di bawah jendelanya Wan Goat, Jiu Long mendekam sambil
memasang telinga dan mata, telinga mendengari suara dari
dalam kamar, matanya melihat kelilingnya, terus ia mengintai
ke dalam kamar itu. Selekasnya dia mendapati segala apa
sunyi, lantas dia mengeluarkan pisau belatinya, guna
mencongkel daun jendela, habis membuka itu, segera ia
menghembuskan masuk bubuk jahatnya. Ia meniup dengan
hawa mulutnya ! Setelah itu ia berdiam menantikan selama
beberapa detik. Selekasnya ia mendapatkan kepastian kamar
tetap sunyi, dengan berani ia mementang kedua daun jendela,
untuk berlompat masuk ke dalamnya.
Di dalam kamar, memandang kepada pembaringan Jiu
Long menjadi heran. Pembaringan itu serta seluruh kamar tak
ada penghuninya, entah Siauw Wan Goat telah pergi kemana.
Kemudian ia terkejut sendirinya. Selagi ia mengawasi api lilin
di atas meja, ia merasa seram. Mendadak ia ingat si orang tak
dikenal, yang tak memperlihatkan diri tetapi yang ia takuti......
Karena jerinya itu, Jiu Long lantas merasakan rupa-rupa. Ia
seperti melihat satu wajah yang bengis dimana-mana
diseluruh kamar itu dan telinganya seperti mendengar tawa
dingin dari orang yang ditakutinya itu !


Dalam takutnya itu, walaupun ia telah memikirnya, Jiu Long
juga tidak dapat melompat jendela buat pergi berlari. Ia jalan
mondar mandir dengan pikiran tidak karuan. Dia seperti
pusing kepala dan kabur matanya, tak dapat dia mencari pintu
atau jendela......
Paling akhir tibalah saat yang penghabisan. Mendadak Lek
Hoat Jiu Long menjerit sendiri dan roboh tak berdaya !
Sebenarnya Siauw Wan Goat sudah meninggalkan hotelnya
dan tengah membuat perjalanan ke In Bu San. Malam itu ia
tak dapat lantas tidur pulas, sebab hatinya terus bekerja.
Terutama ia pikirkan Tio It Hiong. Kenapa ada It Hiong dari
Siong San dan dari Heng San ? Karena ia mencintai It Hiong
dari Siong San, ia mengambil ketetapan tak memperdulikan
siapa. Ia hanya memerlukan It Hiong dari Siong San itu !
"Syukur aku bertemu Teng Hiang." pikirnya kemudian.
Tanpa Teng Hiang tak nanti ia lolos dari tangan musuh.
Bukankah ia telah ditawan dan dibelenggu ?
Kemudian ia memikirkan It Hiong dari Heng San ini dan
kawannya itu.
"Yang pasti mereka berdua bukan orang baik-baik. Baiklah
aku menyingkir dari hadapan mereka !" demikian pikirnya
lebih jauh. "Kalau tidak bisa aku roboh ditangan mereka itu !"
Wan Goat tidak secerdik Teng Hiang, tetapi dasar orang
Kang Ouw dapat juga ia memikir sesuatu untuk kebaikannya.
Malam yang sunyi pun membantu menjernihkan otaknya.
"Aku mesti bekerja guna It Hiong!" katanya di dalam hati.
Kapan ia ingat janjinya pada Tio It Hiong. Maka ia mengambil
keputusan batal pulang ke To Liong To, sebaliknya mau ia


pergi ke In Bu San, guna menyelidiki gerak geriknya kaum
sesat di sana guna merusak sepak terjangnya Bu Lim Cit Cun.
Ia pun ingin melihat si orang tua bermuka keriputan itu,
sebenarnya dia orang macam apa !
Segera Wan Goat mengambil keputusannya, lantas dia
bekerja. Dia lompat turun dari pembaringannya dengan
membawa pedangnya. Dia membuka pintu kamar dan
meninggalkan kamar itu secara diam-diam. Hampir ia lantas
pergi atau ia ingat Teng Hiang si nona penolong maka ia pikir
baiklah ia menemui nona itu guna menghaturkan terima kasih
serta berpamitan. Maka menujulah ia ke gang yang akan
membawanya ke kamarnya nona Teng.
Selagi mendekati pintu kamar, Wan Goat heran. Ia
mendengar suara bergbarukan di dalam kamarnya Teng Hiang
seperti terbalik-baliknya kursi dan meja. Ia menjadi bercuriga,
sambil berlompat ia sampai di depan pintu. Ia lantas
mengangkat tangannya guna mengetuk pintu atau segera
ternyata pintu itu cuma dirapatkan. Baru saja terbentur
tangan, daun pintu sudah terbuka. Maka juga di dalam situ
lantas terlihat dua orang sedang bertempur, dan diantara sinar
lilin, cahaya pedang berkilauan.
Wan Goat bertindak masuk terus ia memasang mata. Ia
melihat salah seorang ialah yang berwajah seperti Tio It Hiong
dan yang lainnya seorang muda yang mengenakan topeng.
Pertempuran itulah yang mendatangkan suara berisik kursi
meja tadi.
"Berhenti !" seru Wan Goat sambil dia menghunus
pedangnya.


Si anak muda bertopeng melompat mundur, terus ia
mengawasi nona itu, untuk akhirnya lantas menanya, "Nona,
apakah kau nona Siauw....?"
Wan Goat melintangi pedangnya di dadanya.
"Siapakah kau ?" dia balik bertanya.
Hong Kun sebaliknya menjadi jengah melihat munculnya
nona itu. Ia pun kuatir dengan berbicara, si anak muda bakal
membuka rahasianya hingga Wan Goat mengetahuinya. Dasar
cerdik, ia lantas mendapat akal.
"Adik Wan Goat, buat apa diajak bicara lagi dengannya ?"
katanya. "Dia si bangsat perampas paras elok. Mari kita bekuk
dahulu baru kita bicara lagi !"
Wan Goat merasai kulit mukanya panas mendengar katakata
perampas paras elok itu. Itu artinya si anak muda
bertopeng adalah seorang penjahar tukang memetik bunga,
tukang mengganggu kehormatan atau kesuciannya kaum
wanita. Ia lantas melihat ke pembaringan. Di sana Teng Hiang
rebah tak berkutik dan pakaiannya kusut ! Rupanya dia telah
orang totok pingsan.....
Bukan main gusarnya Nona Siauw, mendadak saja dia
menikam si anak muda.
Anak muda itu terkejut, lantas dia mundur dan pedangnya
dipakai menangkis. Sama sekali dia tidak membalas
menyerang. Cuma dengan suara dingin, dia kata, "Hm, Nona
Siauw ! Kau lihat dia biar tegas, dia orang macam apakah ?"
Dia menunjuk, menuding pada Hong Kun, sambil meneruskan.
"Dialah Tio It Hiong palsu ! Dialah Heng San."


Tak sempat si anak muda melanjuti kata-katanya, Hong
Kun sudah lantas lompat maju menikam padanya, hingga ia
mesti menangkis dan melayani bertempur pula ! Cuma sebab
ia tahu lawan memakai pedang mustika, tak mau ia mengadu
senjata. Terpaksa ia mundur ke jendela.
Siauw Wan Goat bagaikan terasadar selekasnya dia
mendengar keterangan bahwa Tio It Hiong itu adalah Tio It
Hiong palsu. Bukankah Teng Hiang telah berkatai ia bahwa Tio
It Hiong ada yang dari Siong San, ada juga yang dari Heng
San. Tapi dia masih saja bersangsi hendak ia menyapa tegastegas
dulu kepada Teng Hiang. Maka ia masuki pedangnya ke
dalam sarungnya terus ia lompat ke pembaringan untuk
memeluk dan mengangkat tubuhnya kenalan itu.
Teng Hiang lemas, tak ada tanya yang ia telah kena
tertotok. Lantas ia berpaling kepada dua orang di dalam
kamar itu, mengawasi bergantian dengan tajam.
"Apa yang kamu sudah perbuat atas dirinya kakak Teng ini
?" tanyanya.
"Buat apa disebut lagi ?" Hong Kun mendahului menjawab.
"Siapa tukang merampasi wajah elok dia pasti menggunakan
obat pulas !" Berkata begitu mendadak dia lompat menerjang
pula si anak muda sambil dia membentak : "Lekas kau
keluarkan obat pemunah racunmu ! Jangan kau tak tahu diri !"
Si anak muda bertopeng berkuatir melihat keadaannya
Teng Hiang itu. Inilah terbukti dari sinar matanya. Karena
mukanya tertutup kedok, wajahnya tak tampak. Dengan cepat
dia merogoh sakunya, mengeluarkan sebuah kota kemala
terus dia lompat ke arah pembaringan atau Hong Kun segera
menghadangnya !


"Kalau kau berani maju lagi satu tindak," orang she Gak itu
mengancam dengan pedangnya juga, "awas !"
Terpaksa anak muda bertopeng itu mundur pula ! Wan
Goat mengawasi.
"Kalau kau yang membikin kakak Teng tak sadar ini, lekas
kau lemparkan obat pemunahmu itu!" katanya pada si anak
muda.
Anak muda itu nampak bersangsi lalu tingkahnya dia
menjadi gusar sekali. Itulah sebab Hong Kun menghalanginya.
Sinar matanya tampak berkelebat bengis.
"Gak Hong Kun !" teriaknya, pedangnya diangkat. "Jika kau
tidak lekas menyingkir, jangan salahkan aku, jika aku
membeber rahasiamu !"
Hong Kun melengak, tanpa merasa dia mundur setindak.
Tapi hanya sejenak, dia lantas tertawa bergelak.
"Aku Tio It Hiong !" katanya. "Aku mempunyai rahasia
apakah ?"
Justru Hong Kun mundur. Justru si anak muda berlompat
ke pembaringan, pedangnya sekalian ditebaskan kepada jago
dari Heng San Pay itu hingga si jago muda itu kaget dan
mundur pula.
Selekasnya dia datang dekat Teng Hiang, si anak muda
membuka tutup kota gemalanya itu hingga kelihatan satu
cahaya mengkilat sebab isinya adalah sebutir mutiara mustika.
Dengan cepat mutiara itu diajukan ke hidungnya si nona yang
lagi tak sadarkan diri. Hanya sebentar mutiara itu disimpan
pula.


Si anak muda kerja cepat sekali, hingga Wan Goat
melengak.
Hong Kun menjadi bersangsi. Tak berani dia menyerang
pula, kuatir si anak muda membuktikan ancamannya
membeber rahasianya. Pedangnya sudah diangkat tinggi tapi
diturunkan pula. Tapi dia tak dapat berdiam saja, maka ia kata
dingin, "Aku tidak percaya mutiaramu dapat menyadarkan
pingsan yang disebabkan obat bius yang beracun ! Ha ha
ha..."
Begitu dia mengucapkan perkataannya yang terakhir itu,
begitu juga Hong Kun melengak. Ia insaf bahwa ia telah keliru
berkata-kata. Ia lupa hingga ia menyebut tentang obat
biusnya.
Si anak muda sebaliknya, tertawa nyaring.
"Mutiaraku ini ialah Soat Liong Cu !" katanya. "Tak peduli
racun apa juga pasti dapat dipunahkan dan orang akan
siuman karenanya ! Apakah lihainya obat biusmu itu bie hun
Toa hun itu ?'
Justru itu terdengar suaranya Siauw Wan Goat, "Kakak
Teng, kau tidak kenapa-napakah ?"
Memang ketika itu Teng Hiang telah membuka matanya
terus dia menggerakkan tubuhnya berduduk diatas
pembaringan. Lekas juga dia mengawasi si anak muda
bertopeng itu.
Si anak muda melihat orang sudah mendusin, dia memutar
tubuhnya, berniat mundur atau mendadak sebelah tangannya


Teng Hiang menyambar ke mukanya, membuat kedoknya
terlepas hingga lantas tampak wajahnya seluruhnya !
Melihat anak muda itu, Teng Hiang memperdengarkan
seruan perlahan, lantas dengan mendelong mengawasi si anak
muda, air matanya mengucur turun.....
Pemuda itu ialah Cukat Tan !
Muda mudi itu lantas saling mengawasi. Si pemuda sangat
berduka, si pemuda berkasihan berbareng panas hatinya.
Bahkan ia sampai lupa, yang Hong Kun dibiarkan saja.
Wan Goat mengawasi muda mudi itu. Ia lantas dapat
menerka duduknya hal. Ia menjadi kurang leluasa, maka ia
bertindak untuk mengundurkan diri. Karena ini ia menjadi
melihat Hong Kun.
Justru itu It Hiong palsu lagi bergerak menikam Cukat Tan.
"Celaka !" berseru nona Siauw yang segera menebuk
lengan si jahat itu.
Dua-dua Cukat Tan dan Teng Hiang bagaikan terasadar.
Keduanya terkejut tapi sudah kasip bagi Cukat Tan ! Ujung
pedang Hong Kun sudah merobek bajunya, bahu dan
dagingnya tertusuk hingga darahnya mengucur keluar. Tapi
sadar dengan melawan rasa nyerinya, dia lantas membalas
menyerang dengan satu tendangan "Ekor Harimau". Untuk itu
lebih dulu ia mendak dengan gesit.
Hong Kun tengah berpuas hati karena dapat melukakan
pemuda itu, yang menjadi penghadangnya, dia kurang siap
sedia, maka juga dia kena terdepak nyeri, tubuhnya pun
terpelanting.


Teng Hiang kaget melihat Cukat Tan berdarah-darah. Ia
lompat kepada anak muda itu untuk terus membayangnya.
"Bagaimana lukamu, adik ?" tanyanya prihatin sekali.
Cukat Tan berkeras hati walau lukanya tak ringan.
"Tak apa-apa," sahutnya tertawa menyeringai, lalu dengan
cepat sekali, ia menebas kepada Hong Kun.
Sia-sia saja serangan itu, Hong Kun telah tak nampak.
"Dia sudah lari kabur !" berkata Siauw Wan Goat yang
menghampiri.
"Dia lari kemana ?" tanya Cukat Tan gusar sekali. Ia
mengangkat kakinya buat melangkah berniat mengejar.
Teng Hiang menubruk pemuda itu.
"Sabar, dik !" katanya lemah lembut. "Buat menuntut balas,
waktunya masih banyak ! Mari aku balut dahulu lukamu...."
Dan dia membawa si anak muda ke pembaringan untuk
disuruh duduk, ia sendiri lantas mengeluarkan obat lukanya.
Dengan cepat dia mengobati dan membalut lukanya anak
muda itu.
Selama itu sang waktu telah berjalan terus, tahu-tahu
sudah jam lima.
Selama itu Wan Goat pun berdiam saja, otaknya bekerja. Ia
tetap meragukan pemuda yang mirip It Hiong itu. "Siapakah
dia ?" tanyanya dalam hati. Maka terbayanglah lakon di hotel
Lapkee. Di akhirnya ia mau menerka, pemuda tadilah yang


telah merusak kesucian dirinya. Hal ini membuatnya malu dan
gusar sekali. Ya, ia amat penasaran !
Ketiga orang itu tak memperdengarkan suara apa-apa,
maka juga dengan memainnya api lilin, tubuh mereka
merupakan bayangan-bayangan yang bergerak-gerak
sendirinya.
Teng Hiang buat lukanya Cuka Tan. Di sebelah situ, ia
merasa tidak enak hati. Si pemuda terluka justru di tangannya
si anak muda dengan siapa ia berjalan bersama-sama. Maka
juga terhadap Cukat Tan, ia likat, ia merasa jengah sendirinya.
Ia cerdas dan cerdik, tetapi menghadapi soal asmara,
pikirannya menjadi kurang terang. Tak tahu ia apa yang ia
harus ucapkan guna memberikan keterangan kepada
kekasihnya ini. Maka dengan mata tergenang air, ia hanya
dapat mengawasi anak muda itu......
Cukat Tan juga memikirkan nona yang ia gilai itu. Kalau ia
telah tidak menguntit, apa akan terjadi atas diri si nona ?
Bukankah itu sangat berbahaya ?
Tadi itu Hong Kun memasuki kamarnya Teng Hiang
sesudahnya dia menghembuskan masuk bubuk biusnya, disaat
dia memondong tubuh si nona untuk dinaiki ke atas
pembaringan, muncullah Cukat Tan yang telah mengintai dan
terus menghalanginya. Hingga mereka jadi bertempur sampai
datangnya Siauw Wan Goat.
Cukat Tan baru mulai main asmara, ia kurang pengalaman.
Biar bagaimana ia heran yang Teng Hiang bergaul dengang
Gak Hong Kun bahkan bergalang gelung yaitu berjalan
bersama-sama.


Jilid 43
Tidakkah itu mencurigakan ? Tidakkah membangkitkan iri
hati atau cemburu ? Maka itu, habis dibalut si anak muda
lantas mengawasi tajam nona di depannya itu. Ia nampak tak
puas.
Teng Hiang menyaksikan perubahan sikap orang, ia dapat
menerka sebabnya. Itulah salah paham. Maka ia
menggenggam tangan orang, sembari tertawa ia berkata :
"Oh, adik. Kau kenapakah ? Orang yang aku cintai cuma
kau sendiri, tak nanti aku melakukan sesuatu yang
membuatmu kecewa !"
Cukat Tan melepaskan tangannya, dia menghela nafas, lalu
menoleh ke arah lain.
"Kau berduka, kau pun tidak puas nampaknya. Kau
membuatku nyeri dihati." kata Teng Hiang pula. "Kalau benar
kau mengusirku, nah.. kau caci dan hajar aku, aku terima !
Coba kau bicara !"
"Enak saja kau bicara !" kata anak muda itu tawar.
"Aku.... aku....."
Tak sanggup Teng Hiang meneruskan kata-katanya,
kerongkongannya bagaikan terkanCing, air matanya terus
mengucur turun.
Si anak muda mengawasi, pikirannya bimbang. Ia merasa
kasihan, tetapi kecurigaannya tetap belum lenyap. Ia ingat
kata-kata bahwa wanita itu pandai mengeluarkan air mata.
Maka pikirnya, "Dapatkah kau mengalah ?"


Tiba-tiba Cukat Tan tertawa lebar.
"Ya, Cukat Tan tolol !" katanya. "Nah, aku minta jangan
kau menggunakan akal muslihatmu ini."
Teng Hiang melengak. Nyeri hatinya mendengar ucapan
itu. Lantas air matanya mengucur deras.
"Oh, adik. Kau membenci aku ?" katanya sembari
menangis. Ia mencekal keras tangannya si anak muda. "Kalau
benar, bunuhlah aku ! Tak dapat aku bertahan dari
perlakuanmu ini, aku tak sanggup !"
Otaknya si anak muda bekerja keras. Ia berkasihan, ia
terharu, toh hatinya ragu-ragu. Ia mengawasi nona itu. Tanpa
merasa ia menepisi air mata orang.
"Aku Cukat Tan, terhadap siapa pun tak pernah aku berlaku
palsu !" katanya keras. "Kalau aku menyinta, aku menyinta
sesungguh-sungguhnya dan kalau aku membenci, aku
membencinya sangat ! Jika orang main gila padaku, bisa aku
marah....."
Teng Hiang menatap, air matanya masih meleleh keluar.
"Apakah yang pernah aku lakukan, adik ?" tanyanya.
"Kenapa aku mesti mendustai kau ?"
Cukat Tan membuka mulutnya, ia batuk. Hanya sesaat,
kemudia sembari tunduk ia kata juga, "Jika kakak
menganggap aku buruk dan kau ingin mencintai lain orang,
kau bilanglah terus terang padaku. Jika Cukat Tan berhati
palsu, tak nanti malam ini dia muncul di kamar ini merusak
kesenangan kalian berdua !"


Teng Hiang kagum buat kepolosannya si anak muda. Ia
menatap orang, tiba-tiba ia tertawa terus ia kata, "Adik, hatiku
telah diserahkan padamu ! Adik, hatiku tak akan dapat
berubuah, tak perduli lautan kering dan batu membusuk !
Apakah kau menjadi tidak senang sebab aku berjalan bersama
Gak Hong Kun ?"
Di tanya begitu si anak muda melengak.
Nona itu tertawa, terus ia kata pula. "Aku tahu adik, kau
marah padaku sebab kau mencintaiku! Sekarang aku telah
melihat tegas bagaimana kau mencintai aku, adik......"
Teng Hiang menarik tangan, ia mengajak si pemuda duduk
berendeng di tepi pembaringan.
"Adik, kenapa kau dapat berada disini ?" tanyanya
kemudian. "Kenapa kau dapat membantu aku di saat yang
tepat ini ?"
Luar biasa lekas, lenyap rasa tak puasnya anak muda ini. Ia
melihat si nona berlaku jujur terhadapnya.
"Kakak." katanya kemudian. "Aku melihat kau bersama Gak
Hong Kun sejak di penginapan di dalam kota Gakyang, lantas
aku menguntitmu. Itulah sebabnya kenapa aku berada disini
?"
Teng Hiang merasa puas berbareng lega hatinya. Kalau ia
menyeleweng, celakalah ia. Syukur ia tetap berlaku jujur. Tapi
ia toh kata, "Cis ! Katanya wanita bercemburu ternyata
sekarang adik, kau pun jelus....."
Cukat Tan merasai mukanya panas.


"Menyesal kakak." katanya. "Sayang aku menyangka keliru
padamu ! Kakak toh tidak menggusari aku bukan ?"
Teng Hiang melirik terus dia tertawa.
Sikapnya si nona membuat hatinya si anak muda lega
sekali. Ia turut tertawa.
Muda mudi itu tidak cuma duduk berendeng hanya mereka
saling menyender. Mereka saling terbenam didalam lautan
asmara sampai mereka melupakan Siauw Wan Goat yang
sejak tadi berdiam di dekat jendela. Nona itu berpikiran
kosong, dia bagaikan tak melihat dan mendengar....
Tiba-tiba Wan Goat dikejutkan keruyuk ayam jago,
pertanda tibanya sang pagi. Lantas ia melihat ke arah Teng
Hiang dan Cukat Tan. Mereka itu tak tampak, dikasih terus di
depan pembaringan tampak sepatu mereka.
"Ah !" seru nona ini. Mukanya merah. Lantas ia lompat
keluar jendela, untuk bertindak keluar dari rumah penginapan,
untuk berjalan terus-terusan di waktu pagi yang sejuk dan
sepi itu. Hingga tahu-tahu ia telah melalui tujuh atau delapan
belas lie, ia berada ditanah pegunungan, di depannya sebuah
rimba. Di sini ia terkejut dan sadar, sebab lantas dia melihat
berkelebatannya golok-golok dan pedang-pedang !
"Di pagi begini, kenapa ada orang bertempur di atas
gunung ?" pikirnya, heran. "Orang-orang macam apakah
mereka-mereka itu ? Baik aku melihatnya..." Maka lantas ia
mempercepat langkah.


Setelah datang dekat kira enam tombak dari tempat
perkelahian, Wan Goat menyembunyikan diri di balik sebuah
batu karang yang besar, dari situ ia memasang mata.
Yang bertempur itu ialah seorang nona dengan senjatanya
sebatang golok dan seorang pemuda bersenjatakan pedang.
Muka mereka itu tak tampak jelas. Kira dua tombak jauhnya
dari mereka itu berdua, dipinggaran terlihat dua orang lainnya
tengah menonton. Mereka ini adalah seorang pendeta
penganutnya Sang Buddha serta seorang imam atau rahib
pengikutnya Loa Cu Yang Maha Agung.
Sementara itu dengan lewatnya sang waktu, tibalah sang
terang tanah, maka di lain saat dapat sudah Wan Goat
mengenali si pria dang melihat tegas si wanita yang mengadu
jiwa itu. Dialah Gak Hong Kun si It Hiong palsu serta seorang
nikouw setengah tua yang tampangnya centil.
Selekasnya dia melihat Hong Kun, Wan Goat menenangkan
hatinya. Lantas dia mengawasi tajam kepada pemuda itu guna
memastikan ia It Hiong tulen atau palsu.
Nikouw itu lihai, sepasang goloknya bergerak-gerak
memperdengarkan suara anginnya yang keras. Hanya aneh
walaupun ia mendesak, dia seperti tidak mau melukai si anak
muda, goloknya cuma memain di sekitar tubuh orang.....
Gak Hong Kun juga tidak mau mengalah, dia mengeluarkan
kepandaiannya, ilmu silat Heng San Pay, maka juga mereka
jadi bertempur seru.
Pendeta wanita itu berpengalaman, ia tahu si pemuda lihai,
hendak ia mengadu kepandaian.


Kapan pertempuran sudah melalui lima puluh jurus,
perubahan lantas tampak. Gerak geriknya Hong Kun mulai
kendor, nafasnya telah memburu, peluhnya sudah membasahi
dahinya. Justru itu si nikouw kata manis, "Eh, saudara she Tio,
apakah kau masih tak sudi menyerah kalah ? Bukankah kau
sudi mendengar kata-katanya kakakmu ini ?"
Alisnya Hong Kun bangun berdiri, matanya mendelik.
"Aku tidak percaya nikouw siluman, ilmu golokmu dapat
mengalahkan ilmu pedang Heng San Pay !" katanya takabur.
Nikouw itu tertawa geli.
"Jangan kau mendustai aku, anak !" kata dia. "Kau toh
muridnya Tek Cio Totiang dari Pay In Nia, kenapa kau
menyebut dirimu dari Heng San Pay ?'
"Hm !" Hong Kun perdengarkan suara dinginnya. Dia
menyamar sebagai It Hiong, tak dapat dia membuka
rahasianya sendiri. Barusan dia keliru menyebut ilmu pedang
Heng San Pay. Karena itu dia terus menutup mulutnya, terus
saja dia menyerang hebat guna bisa mendesak lawannya itu !
Dari tempat bersembunyi Wan Goat mengagumi ilmu
silatnya pemuda itu. Ia pun dapat melihat orang merah karena
terlalu menguras tenaga serta peluhnya menetes turun tanpa
merasa, ia merasa berkasihan........
Tepat itu waktu maka terdengarlah suara keras dari
beradunya pedang dengan golok. Itulah akibat siasatnya Gak
Hong Kun. Hong Kun sudah letih sekali, terpaksa dia
mengandalkan pedang mustikanya, yang tajam luar biasa.
Disaat golok mengancam, dia sengaja menangkis sambil
menebas dengan sisa tenaganya !


Sepasang goloknya si nikouw bukan senjata mustika tetapi
tangguhnya luar biasa, sebab terbuatnya dari campuran emas
dan besi pilihan, maka juga kena terpapas pedang istimewa
terdengarlah suara nyaring dan berisik itu, goloknya tapinya
tetap utuh !
Hong Kun heran sampai dia mundur satu tindak dan berdiri
mendelong. Tapi cuma sedetik lantas dia sadar akan
keadaannya. Maka juga lekas-lekas dia mengeluarkan bie hun
tok hun, bubuk biusnya yang menjadi seperti benda saktinya.
Dengan mengikuti tiupan angin, ia menyebarkannya.
Melihat asap merah tua terbang ke arahnya, si pendeta
wanita tidak menjadi takut, bahkan dia tertawa dan kata, "Oh,
saudara yang baik, segala bubuk begini mana dapat membuat
kakakmu ? Cuma mukamu yang tampan yang membuat hatiku
goncang !"
Walaupun dia tertawa manis, si pendeta toh menggunakan
golok kirinya akan melakukan penyerangan penangkisan,
membuyarkan asap itu dengan cepat, sedangkan golok
kanannya dipakai membacok ke dada lawan.
Hong Kun terperanjat, mendapati nikouw setengah tua itu
dapat memunahkan bubuknya yang lihai, terus dia menjadi
kaget mendapati golok orang berkelebat ke arahnya. Dengan
kelabakan dia menangkis. Tapi tangkisannya itu tidak
mengenai, cuma menyampok angin. Lantas setelah itu, dia
menjadi kaget sekali sebab jalan darahnya-jalan darah hoa
kay-telah kena tertotok. Sekejap itu juga dia merasai
tubuhnya kaku, lalu kepalanya pusing lantas dia terhuyung
dua kali terus tubuhnya roboh ke tanah dengan dia tak
sadarkan diri lagi !


Nikouw itu tertawa nyaring menandakan dia sangat girang.
Lantas dia lompat kepada Hong Kun guna menyambar tubuh
orang buat diangkat dan dikemoit kemudian dia menoleh
kepada dua orang tua yang menonton tadi--si pendeta dan
imam--dia melirik dengan tampang bangga.
Si pendeta tertawa lebar dan kata, "Su moay, kau
beruntung !"
"Su moay" ialah adik seperguruan wanita.
Justru pendeta itu tertawa, justru mereka mendengar satu
bentakan nyaring lantas tampak berkelebatnya sesosok tubuh
hitam menghadang di depan nikouw sejarak satu tombak.
Segera setelah berdiri diam, bayangan itu ternyata adalah
seorang nona usia tujuh atau delapan belas tahun, disamping
siapa pun berdiri seekor orang utan besar sekali.
Sambil berdiri tegak, ia menunjuk tubuhnya Hong Kun dan
menanya si nikouw : "Bukankah anak muda itu Tuan Tio It
Hiong ?"
Nikouw itu heran hingga dia menatap. Dia mendapati nona
itu memiliki muka bundar seperti bulan purnama, tampangnya
sangat cantik, matanya jeli, cuma sinar matanya itu mirip sinar
mata genit. Dia tidak menjawab, hanya balik bertanya acuh
tak acuh, "Kau siapakah ? Kau murid siapa ? Bagaimana kau
berani mencampur tahu urusannya Sek Mo ?"
"Sek Mo" ialah bajingan paras elok.
Berkata begitu, dia lantas memasuki sepasang goloknya ke
dalam sarangnya.


Nona itu mengawasi secara bersahaja. Ia menjawab, "Aku
ialah Kip Hiat Hong Mo ! Kalian tidak mengenal aku, aku tidak
menggusarimu !" Ia menunjuk pula tubuhnya Hong Kun untuk
berkata lagi, "Kau serahkan Tuan Tio kepadaku !"
Di sebutnya nama Kip Hiat Hong Mo mengagetkan kepada
nikouw itu, juga si pendeta dan si imam. Kemudian si pendeta
maju menghampiri akan mengawasi si nona dari atas ke
bawah dan sebaliknya setelah mana dia membentak dingin,
"Budak bau ! Siapakah kau ? Lekas kau bicara dengan terus
terang. Tangannya Hiat Mo tak ada halangannya buat
membacokkan satu jiwa !"
"Hiat Mo" ialah Bajingan Darah.
Nona itu tidak kaget atau takut, dia tetap tenang-tenang
saja. Lantas dia menuding si pendeta seraya menanya si
nikouw, "Kau bernama Sek Mo dan dia Hiat Mo. Habis apakah
namanya kawanmu itu ? Dialah seorang rahib atau rahib
bajingan apa ?"
Hiat Mo tertawa dingin.
"Dialah Tam Mo !" dia menjawab. "Kalau kau benar Kip Hiat
Hong Mo, kenapa kau tidak mengenali kami Hong Gwa Sam
Mo ?"
"Tam Mo" ialah Bajingan Tamak dan "Hong Gwa Sam Mo"
yaitu Tiga Bajingan dari Dunia Luar.
Si nona meraba ke pinggangnya, meloloskan seekor ular
hijau yang melilit pinggangnya itu, sambil mengibaskan itu ia
kata, "Senjata ini senjata apakah ? Kalian lihat ?"


Ular kecil warna hijau itu mempunyai sepasang mata merah
seperti darah, tajam sinarnya, sedangkan tubuhnya panjang
tiga kaki. Lidahnya yang diulur keluar pun berwarna merah
dadu. Dia mengangkat kepalanya digoyangi ke kiri dan ke
kanan. Tingkahnya seperti hendak memagut orang !
Seluruhnya tampangnya itu, dia membuat orang jeri.
Tiba-tiba saja, Tam Mo si rahib meluncurkan tangannya
menghajar tangan kanannya si nona yang lagi memegangi
ular itu. Dia bergerak tanpa sebut dan tanpa bersuara lagi.
Inilah sebab dia mengenali ular itu sebagai sian-liong, ular
beracun istimewa yang hidup di Siong San yang racunnya
dapat memunahkan seratus macam racun lainnya, bahkan
siapa dapat minum darahnya, tubuhnya bakal menjadi sangat
ringan dan gesit. Jadi ular itu ular sangat langka.
Nona itu tidak kena diserang secara mendadak itu. Selagi
orang menyerangnya, ia berseru, tubuhnya berkelit-kelit ke
belakangnya Tam Mo si Bajingan Tamak. Di lain pihak, orang
utan disisinya mendadak telah berubah sebagai ia sendiri
sebab ia telah menggunakan ilmu Hoan Kak Biu Ciu !
Tam Mo hendak mencekal tangannya si nona guna
merampas ularnya, siapa tahu ketika tangannya mengenai
sasarannya dia menjadi kaget. Dia bukan memegang tangan
yang putih halus, hanya sesuatu yang berbulu dan licin hingga
cengkramannya lolos sendirinya !
Dalam herannya Tam Mo mengawasi si nona. Ia tetap
mendapati nona tadi. Maka lagi sekali ia menggerakkan
tangannya menangkap tangan orang !
Tepat itu waktu si Bajingan Tamak mendengar suara
nyaring ini di belakangnya, "Tam Mo, sian-liong ada disini !"


Nona itu pun menyebut sian-liong, naga sakti pada ularnya
itu.
Selekasnya dia mendengar suaranya si nona, Tam Mo
menjadi sangat kaget. Dia melihat tangan yang dipegang
olehnya bukan tangannya si nona, hanya lengannya si orang
utan, binatang mana yang berwajah bengis, mengawasi dia
dengan membuka lebar-lebar mulut nya serta mementang
matanya yang bersinar galak. Tapi dia tidak takut. Dialah
salah satu dari Hong Gwa Sam Mo yang kesohor kosen dan
kejam. Dari kaget dia menjadi gusar, lantas dia mengerahkan
tenaganya untuk melempar orang utan itu !
Menyusul gerakannya Tam Mo, si nona berseru nyaring lalu
terlihatlah si orang utan jumpalitan di tengah udara dan
jatuhlah justru ke arah nikouw setengah tua.
Melihat demikian pendeta wanita itu bergerak dengan cepat
untuk berkelit tetapi gagal. Dia kurang cepat maka tubuhnya
kena terbentur hingga dia jatuh karena mana Hong Kun pun
terlepas dari kempitannya.
Akan tetapi ia tak kurang suatu apa, dengan gesit dia
berlompat bangun akan menyambar tubuhnya si anak muda
hingga Hong Kun kena dikempit pula. Tentu sekali dia menjadi
gusar tak terkirakan. Maka juga dia terus menyampok
binatang hutan itu.
"Tahan su-moay." teriak Tam Mo.
Sek Mo heran tetapi dia mendengar kata, maka
serangannya itu dikesampingkan. Dia berdiri diam menoleh
kepada saudara seperguruannya yang nomor dua itu. Justru
dia berdiam, tiba-tiba dia merasai tubuh Hong Kun seperti


berbulu tajam yang menusuk-nusuk lengannya. Maka dia
tunduk akan melihatnya. Lantas dia menjadi heran sekali.
Itulah bukan si anak muda, hanya si orang utan ! Selagi
orang heran dan melengak, si nona tertawa dan berkata
nyaring, "Tuan Tio ada ditanganku ! Yang kau kempit ialah So
Hun Cian Li ! Buat apakah kau mengempit dia ?"
Bukan kepalang mendongkolnya si nikouw. Telah orang
permalukannya !
"Kip Hiat Hong Mo !" teriaknya. "Kau telah merampas
orangku, mana dapat aku berdiam saja ? Kamilah Hong Gwa
Sam Mo, tak dapat kami kehilangan muka !" Lantas dia
lemparkan si orang utan ke arah nona itu ! Menyusul itu, dia
pun menghunus sepasang goloknya !
Ketika itu Hiat Mo pun memperdengarkan suara dinginnya !
"Jiete, mari kita turun tangan ! Kita harus membantu Sam
Moay membekuk budak bau itu !'
"Jite" ialah saudara yang nomor dua, dan "Sam Moay" adik
yang ketiga.
Tam Mo si Bajingan Tamak juga gusar. Dia menoleh
kepada si nona, untuk berkata bengis. "Kip Hiat Hong Mo, saat
kematianmu sudah tiba !"
Ketika itu si orang utan, yang telah dilemparkan tidak jatuh
terbanting. Dia dapa turun dengan menaruh kaki dengan baik.
Dia pun tidak gusar terhadap orang yang melemparkannya,
hanya dia bertindak menghampiri si nona, akan berdiri di
sisinya seperti semula.


Nona itu terus bersikap wajar. Sembari tertawa manis, ia
mengawasi ketiga bajingan itu kemudian ia kata, "Buat apa
kalian jadi galak begini ? Taruh kata kalian dapat mengalahkan
aku, tak nanti kalian dapat merobohkan guruku ! Akulah Ya
Bie dan tuan Tio ini jantung hatiku !" Ia hening sejenak, lalu ia
menambahkan, "Aku baru berhasil mewariskan lima bagian
ilmu guruku yang disebut Hoan Kak Bie Cie, ilmu menyalin
rupa. Tetapi dengan ilmuku ini saja sudah kalian berani
membuka mulut besar ? Hm !"
Hong Gwa Sam Mo saling mengawasi, mata mereka
memain. Mereka merasa Hoan Kak Bie Ciu lihai, karena mana
tak berani mereka sembarang bergerak.
Sek Mo mengawasi tajam pada si nona. Dia jelus sekali.
"Sebenarnya kau pernah apakah dengan Kip Hiat Hong Mo
?" tanyanya kemudian. "Kau bicara terus terang, nanti aku
ampunkan selembar jiwamu !"
Nona itu suka menjawab dengan sebenar-benarnya.
"Kip Hiat Hong Mo Touw Hwe Jie adalah guruku !" demikian
jawabnya. "Hayo bilang kalian takut atau tidak dengan guruku
itu ?"
Si nona bicara polos seperti seorang bocah cilik, tingkahnya
jenaka. Dia seperi bukan lagi bicara dengan musuh yang lihai
dan ganas. Sikapnya ini justru membuat ketiga bajingan serba
salah - menangis tak bisa, tertawa tak dapat.
Sek Mo sangat penasaran, ingin ia mendapatkan pulang
Hong Kun tetapi dia jeri. Dia kuatir nanti tak sanggup melayani
si nona. Kapan dia memandang Hong Kun, dia merasa sangat
gatal. Dalam mendongkolnya itu dia mengernyitkan alis. TibaKang
Zusi website http://cerita-silat.co.cc/

tiba dia mendapat sebuah pikiran. Maka tiba-tiba juga dia
tertawa.
"Nona Ya Bie, apakah kau mau mencari jantung hatimu ?"
tanyanya ramah. "Bukankah jantung hatimu itu seorang she
Tio ?"
Ya Bie suka diajak bicara. Dia menunjuk It Hiong palsu di
dalam kempitannya itu.
"Pemuda tampan ini ialah Tuan Tio It Hiong yang menjadi
kekasihku." dia berkata. "Apakah kau mau mengatakan dia
bukannya Tuan Tio ?"
Sek Mo si Bajingan Paras Elok menggeleng kepala.
"Kau keliru....." katanya. Tiba-tiba dia berdiam. Sukar
buatnya mendusta.
Ya Bie heran, dengan melengak ia mengawasi Hong Kun.
Sek Mo berpikir keras, ia mendapat satu pikiran lain.
"Dialah Tuan Tio yang palsu." dia lantas berkata. "Dia
bukan Tuan Tio yang tulen."
Kata-kata itu dapat dipercaya Ya Bie, yang cerdik tetapi
polos yang kurang pengalaman. Ia pun keluar dari Cenglo
Ciang dengan diluar tahu gurunya. Di sebelah itu, kata-kata itu
juga menyadarkan Siauw Wan Goat yang sejak tadi
menyembunyikan diri terus hingga ia bisa melihat dan
mendengar semua itu.
"Kau benar !" berkata Ya Bie. Dia muda dan polos tetapi dia
cerdik.


Sek Mo senang mendengar perkataannya si nona itu.
"Dia bukan Tuan Tio, nona. Dia jadi bukanlah jantung
hatimu." katanya. "Nona yang baik, kau kembalikan dia
padaku !"
Ya Bie bersangsi. Tak mau ia lantas menyerahkan pemuda
ditangannya itu. Ia hanya justru mengawasi wajah orang.
"Nanti, akan kutanya dahulu dia." katanya. "Kalau dia benar
bukan Tuan Tio, akan aku serahkan dia padamu."
Lantas nona ini menekan jalan darah siutong dari Hong
Kun, guna menghidupkan darahnya, guna membebaskan dia
dari totokan.
Tidak lama maka pemuda itu sudah dapat membuka
matanya. Lantas dia mendapat kenyataan yang tubuhnya
rebah dipangkuannya seorang nona yang tubuhnya
menyiarkan bau harum kewanitaan. Dengan sendirinya
timbullah nafsu birahinya. Dia lantas ingat segala apa. Sebagai
seorang licik, lekas-lekas dia memejamkan pula matanya.
Nikmat rasanya dipangku seorang nona manis seperti Ya Bie.
Ya Bie mencintai It Hiong selekasnya dia lihat anak muda
itu, tetapi itulah gadis suci. Ia tak punya pengalaman, maka
itu selekasnya anak muda ini sadar dan membuka matanya, ia
lantas meletakkannya diatas tanah. Kemudian ia menggoyanggoyangkan
kedua bahunya anak muda itu.
"Kau siapa sebenarnya ?" tanyanya. "Kau Tuan Tio It Hiong
atau bukan ?"
Itulah pertanyaan polos sekali, atau tolol.


Hong Kun membuka pula matanya, ia menggerakkan
tubuhnya untuk bangun, duduk di tanah. Lantas ia mengawasi
nona di depannya itu. Kemudian ia berpaling kepada Heng
Gwa Sam Mo. Ia berpikir karena ia tidak tahu si nona
menanya ia dengan maksud baik atau jahat. Dasar ia cerdik,
sebelum memberikan penyahutannya, ia balik bertanya,
"Siapakah kau ? Mau apa kau menanyakan aku ?"
Ya Bie tidak sabaran melihat lagak orang sembarang, dia
menjawab berbareng menanya.
"Akulah Ya Bie dari Cenglo Ciang." sahutnya. "Kau Tio It
Hiong atau bukan ?"
"Oh, saudara yang baik !" tiba-tiba Sek Mo menimbrung.
"Sekarang ini jiwamu sudah berada ditangan kami, kau
bicaralah terus terang !"
Sek Mo belum pernah melihat Tio It Hiong palsu, maka itu
ia takut kalau orang mengaku sebagai It Hiong, dia bakal
dibawa pergi si nona. Itu artinya, ia bakal kehilangan pemuda
itu. Karena itu, ia sengaja mengeluarkan kata-katanya itu akan
mengancam atau menggertak si anak muda.
Hong Kun sebaliknya, belum pernah pergi ke Cenglo Ciang.
Tentu saja dia tidak kenal Ya Bie, cuma dia ingat
perdamaiannya dengan Teng Hiang buat pergi ke Cenglo
Ciang, guna membujuki Kip Hiat Hong Mo membantu usaha
Bu Lit Cit Cun. Ketika itu, Teng Hiang juga tidak menyebut
namanya Ya Bie ini. Ia menjadi bingung : Ya Bie, It Hiong atau
musuhnya ? Ancamannya si nikouw barusan pun menciutkan
hatinya.


Melihat orang berdiam, Ya Bie makin keras ingin
mengetahui tentang dirinya pemuda itu. Ia lantas
mengawasinya tajam dengan ia mengerahkan tenaga ilmu
Hoan Kak Bie Ciu.
Hong Kun menggigil selekasnya sinar matanya beradu
dengan sinar mata si nona. Lantas seperti tak sadarkan diri.
Justru begitu, ia mendengar bentakan si nona, "Kau bernama
apa ? Lekas bilang !'
Tanpa sadar, sendirinya Hong Kun menjawab, "Aku yang
rendah ialah Gak Hong Kun, muridnya It Yap Totiang dari
Heng San Pay, dan aku menyamar menjadi Tio It Hiong itulah
karena aku berniat mencelakai padanya."
Kapan Seng Mo mendengar jawabannya Hong Kun itu,
diam-diam dia bergirang sekali. Si anak muda benar-benar
bukannya It Hiong yang asli. Pikirnya, pasti ia akan dapat
hidup bersama anak muda itu, yang tentunya tak akan dibawa
pergi oleh si nona yang lihai.
Ya Bie sebaliknya menjadi gusar sekali, hingga matanya
mendelik dan mulutnya memperdengarkan suara sengit, "Cis !
Kaulah bukan satu manusia baik-baik ! Kenapa kau menyamar
untuk mencelakai Tuan Tio ?"
Di bawah pengaruh ilmu Hoan Kak Bie Ciu itu, Hong Kun
tak dapat menggunakan kecerdikannya atau mendusta terus,
dia menjadi serta si orang jujur dan polos. Atas kata-kata si
nona itu dia berkata, "Aku berbuat begitu karena aku hendak
membalas sakit hatiku, karena aku penasaran sudah
kehilangan pacarku. Aku bertekad tak akan hidup bersamasama
dalam dunia ini dengan musuhku dalam asmara itu !
Nona, karena urusan ini tidak ada sangkut pautnya dengan
kau, aku minta sukalah kau bebaskan aku...."


Siauw Wan Goat ditempatnya bersembunyi mendengar
jelas pembicaraan itu, maka sekarang ia mendapat bukti
kepastian akan kata-katanya Teng Hiang, hal adanya dua Tio
It Hiong. It Hiong dari Heng San dan It Hiong dari Siong San.
Tentu sekali, karena itu ia menjadi gusar. Ia sangat membenci
Hong Kun hingga ia lantas memikir keluar dari tempat
sembunyinya itu guna membuat perhitungan dengan orang
Heng San Pay yang busuk itu. Tapi belum lagi ia bergerak
atau ia mesti mendelong mengawasi ke arah Ya Bie sekalian.
Mendadak Wan Goat mendengar suara tawa serak, yang
membuat telinganya nyeri, yang membikin hatinya menggetar,
maka lekas-lekas ia menenangkan hatinya itu dan mengawasi
ke arah Ya Bie semua dimana ia melihat di depannya Hong
Gwa Sam Mo dan si nona tambah seorang tua yang mukanya
keriputan yang berdandan sebagai pelajar. Dan itulah si orang
tua lihai yang ia kenali !
Berhenti tertawa, orang tua keriputan itu lantas mengawasi
tajam Ya Bie semua, terus ia berkata, "Pemuda ini telah
menerima baik menjadi muridku, bagaimana kalau aku
membawanya pergi ?"
Ya Bie memberikan jawabannya, sabar. "Orang ini jahat,
dia hendak mencelakai Tua Tio. Karena dia telah bertemu
denganku, dia seharusnya tak dapat hidup lebih lama pula !
Kalau lotiang hendak mengambil dia sebagai murid, lebih
dahulu lotiang harus meninggalkan nama atau gelaranmu !"
"Oh, nona kecil. Kau ingin mengetahui namaku ?"
menjawab orang tua itu. "Aku adalah yang orang juluki Ie Tok
Sinshe atau yang orang-orang Kang Ouw sebut Tok Mo !"
"Tok Mo" ialah Bajingan Racun.


Ya Bie tidak kenal dan tidak tahu Ie Tok Sinshe siapa, dia
kata polos, "Kau diseebut Tok Mo. Mereka bertiga dipanggil
Hong Gwa Sam Mo. Karena itu kau dari satu golongan dengan
guruku....."
Si none menyebut satu golongan sebab mereka sama-sama
"Mo" alias Bajingan !
"Hm !" Tok Mo mengasih dengar suara dinginnya. Tanpa
menoleh lagi kepada Hong Gwa Sam Mo, dia tanya si nona,
"Siapakah itu gurumu ?"
Ya Bie tertawa.
"Namanya guruku tersohor sekali !" sahutnya. "Banyak
orang yang takut mendengarnya ! Baik tak usah aku sebutkan
!"
Matanya Ie Tok mendelik, lalu parasnya menjadi padam.
"Cobalah kau sebutkan buat aku dengar !" katanya dingin.
"Hendak aku si tua mencoba, aku takut atau tidak
mendengarnya !"
Si nona memperlihatkan lagak jenaka.
"Baik, kau dengarlah !" katanya. "Guruku itu Kip Hiat Hong
Mo dari Cenglo Ciang !"
Tanpa merasa si orang tua melengak tapi hanya sekejap,
dia pulih seperti semula. Dia mengasih dengar tawanya, yang
menyakiti telinga. Hendak dia menggunakan suara tawanya itu
untuk menundukkan Ya Bie. Tetapi Ya Bie telah berhasil
menguasai ilmunya Hoan Kak Bie Ciu, ia tak kena


terpengaruhkan. Ia berdiri tenang seperti biasa, wajahnya
tersungging senyumannya yang manis.
Sebaliknya tawanya si orang tua mempengaruhi Hong Gwa
Sam Mo. Ketiga bajingan itu mendadak merasai hatinya ciut,
lalu bergoncang keras saking jerinya, didalam sekejap mereka
sudah lompat untuk berlari pergi !
Si orang tua heran melihat Ya Bie tak kurang suatu apa,
maka tahulah dia bahwa orang telah mahir tenaga dalamnya.
Jadi si nona tak dapat dipandang ringan. Karena itu, dengan
lantas dia merubah sikapnya.
"Bukankah gurumu itu, Kip Hiat Hong Mo telah pergi ke In
Bu San memenuhi undangan Bu Lim Cit Cun ?" demikian
tanyanya mengalihkan persoalan.
Ya Bie menggeleng kepala.
"Sudah beberapa puluh tahun, guruku tak keluar dari
Cenglo Ciang." katanya. "Mana dapat guruku turut dalam
pertemuan di In Bu San itu ?"
"Oh, begitu ?" kata si orang tua. Terus dia berpaling
kepada Hong Kun, untuk berkata, "Nah, anak muda, mari kita
pergi !"
Hong Kun masih terpengaruhkan Hoan Kak Bie Ciu, dia
baru sadar tujuh bagian. Dia berdiri diam saja. Dia cuma
melengak mengawasi si Bajingan Racun.
Dengan tindakan lenggang lenggok, Tok Mo menghampiri
anak muda itu.


"Anak muda." katanya. "Kalau kau ingin mempelajari ilmu
racun dari aku si orang tua, mari kau turut aku pergi ke In Bu
San ! Nona itu tak dapat dibuat permainan, dari itu buat apa
kau berdiri saja disini ? Mari !"
Dia lantas mengulur tangannya buat memegang lengan
orang, guna ditarik atau mendadak saja diantara mereka
terdengar satu suara bersiul yang nyaring luar biasa, yang
seperti menikam telinga, sampai sekalipun Tok Mo yang lihai,
dia kaget juga hingga jantungnya memukul berulang-ulang.
Dengan lantas dia mendapat kenyataan itulah suaranya si
nona !
Habis bersiul secara aneh itu, Ya Bie tertawa gembira terus
dia menggodia Tok Mo dengan ia membuat main tangannya di
depan mukanya.
Tok Mo tahu orang menjailinya tetapi dia menahan sabar,
dia tak sudi melayani. Dia hanya menarik tangannya Hong Kun
buat diajak pergi.
Baru tiga tombak lebih jauhnya dia berjalan, Tok Mo lanas
mendengar pula tawanya si nona, tawa gelak yang dibawa
sang angin. Dari tertawa perlahan, si nona terus tertawa keras
dan nyaring.
Tok Mo heran mendengar perubahan tawanya itu hingga
tanpa merasa dia menoleh untuk melihat si nona. Segera dari
heran dia jadi melengak. Dia melihat nona itu tertawa
terpingkel-pingkel, sampai ia memegangi perutnya.....
Si Bajingan Racun pula heran tak kepalang. Disampingnya
Ya Bie, dia melihat seorang pemuda tampan. Itulah Gak Hong
Kun ! Maka juga, wajar saja kalau dia lantas berpaling ke
sampingnya, akan melihat si anak muda yang dia tuntun itu.


Segera dia berdiri menjublak ! Dia bukan melihat Hong Kun,
hanya seekor orang utan besar !
"Ah.. !" serunya tertahan. Ia lantas mengerahkan tenaga
dalamnya, buat memusatkan perhatiannya. Karena ia dapat
menerka, apa yang ia saksikan itu tentulah ilmu gaib dari Ya
Bie.
Tak lama si orang tua melengak, lantas dia menjadi
mendongkol sekali. Dia bergusar sebab dia merasa orang
tengah mempermainkannya ! Maka lantas saja dia
melemparkan si orang utan hingga binatang itu terpental
setombak lebih !
Orang utan itu telah terdidik sempurna oleh Kip Hiat Hong
Mo. Dia telah memiliki tubuh yang kuat dan lincah seperti
yang biasa dipunyai ahli silat kelas satu, hingga dia dinamakan
So Han Cian Li, si cantik penyedot arwah. Dia tak hiraukan
sambaran atau lemparan semacam itu. Selekasnya tubuhnya
terpental, dia jumpalitan terus dia menjatuhkan diri di tanah
dengan kedua kakinya mendahului. Dia menghadapi Tok Mo,
beberapa kali dia memperdengarkan suaranya, lantas dia
bertindak ke samping nonanya.
Tok Mo menjadi bertambah dongkol sebab satu orang saja
tidak dapat dia robohkan. Lantas hawa amarahnya itu
ditumpahkan terhadap si nona manis, sambil tertawa dengan
mata melotot dia bertindak menghampiri nona itu. Di sampok
sang angin, janggutnya model janggut kambing bergerak
memain.
"Budak bau !" bentaknya setelah datang dekat. "Sungguh
nyalimu besar ! Cara bagaimana kau berani mempermainkan
aku si orang tua ? Nyata kau tahu hidup atau mampus !"


Suaranya itu keras dan serak, didengarnya tak sedap.
"Eh, Tok Mo !" katanya. "Kau sudah begini tua, toh kau
masih beradat keras begini ? Bagaimana dapat kau sembarang
mencaci orang ? Kenapa kau tidak mau mencaci dirimu sendiri
yang tak punya guna ? Nonamu menggunakan ilmu Hoan Kak
Bie Ciu yang diberi nama memindahkan bunga menyambut
pohon, tetapi kau tidak mampu melihatnya ! Ha ha ha !'
Tok Mo bertindak terus. Dia maju pula dua langkah.
"Budak bau !" teriaknya. "Hari ini aku si tua akan
memampuskan dulu padamu ! Habis ini baru aku akan pergi
ke Cenglo Ciang mencari Kip Hiat Hong Mo guna membuat
perhitungan dengannya!"
Kata-kata itu ditutup dengan satu luncuran tangan
menghajar si nona ! Itulah satu jurus lihai dari ilmu silat
ciptaannya sendiri yang dinamakan Sam Hiauw Liok Piauw
Ciang atau pukulan tangan kosong "Tiga Gerakan Enam
Perubahan." Anginnya saja sudah bergemuruh dan bertiup
hebat, lantas tangannya bergerak-gerak seperti juga tangan
itu terdiri dari ratusan, hingga Ya Bie nampaknya bagaikan
ketutupan semua tangannya itu. Anginnya juga mendatangkan
hawa yang dingin.
Nampaknya Ya Bie tak dapat lolos dari serangan dahsyat
itu. Ia kaget sebab di dalam hal pertempuran ia tak punya
pengalaman. Ia menyesal yang barusan sudah berlaku nakal
dengan mempermainkan si orang tua. Di saat berbahaya itu
tapinya ia ingat akan membela diri, pertama dengan menutup
semua jalan darahnya, kemudian guna melompat menyingkir.
Ia memangnya cerdas, selagi terancam bahaya itu tiba-tiba
ingat akan kepandaiannya yang didapat dari Kitab Ie Kien


Kang, itulah ilmu Sin Kut Kang, meringkaskan tulang belulang.
Tak ayal lagi, ia menggunakan kepandaiannya itu.
Hanya di dalam sekejap si nona telah berubah bentuk
tubuhnya. Dari seorang nona berusia tujuh belas tahun, dia
menjadi kecil seperti bocah umur umur tiga atau empat tahun.
Menyusul mana, dia menjatuhkan diri bergulingan di tanah
dengan jurus "CaCing Bergulingan di Pasir." Dia pula
bukannya menggulingkan tubuh buat menyingkir pergi, dia
justru bergulingan ke kakinya Tok Mo sehingga selekasnya dia
datang dekat, dia dapat membalas menyerang !
Tok Mo heran mendapatkan serangannya gagal. Sudah
begitu dia menjadi kaget merasai angin menyambar di
kakinya. Ia tahu itulah suatu serangan terhadapnya. Untuk
membela diri, hendak ia menendang musuh atau ternyata dia
kurang gesit, mendadak ia merasai totokan pada jalan darah
yong goan di kakinya. Kontan kakinya itu kaku dan tenaganya
lenyap, tanpa berdaya ia terhuyung mundur beberapa tindak,
sebab gagal mempertahankan diri tubuhnya roboh seketika,
rebah ditanah !
Selekasnya dia berhasil menyerang Ya Bie berlompat
bangun, tanpa memperdulikan lagi kepada musuh, dia
menarik So Han Cian Li untuk berlari pergi. Dia lari turun
gunung. Tok Mo tidak jadi bercelaka karena totokan itu. Habis
rebah dia bangun untuk berduduk, terus dia lekas-lekas
menguruti kakinya, hingga di lain saat kakinya itu sudah pulih
seperti biasa. Waktu dia lompat bangun, dia tidak melihat si
nona dan orang utannya. Tapi yang membuatnya mendongkol
ialah juga Gak Hong Kun, si anak muda yang ia mau jadikan
muridnya juga terus lenyap dari hadapannya !


"Kurang ajar !" dampratnya. Mukanya merah padam.
Kemudian ia memikirkan juga kenapa si anak muda dapat
lenyap. Mulai dari jatuh sampai ia berduduk dan mengobati
diri waktu yang dilewatkan hanya sejenak, dari itu kemana lari
atau sembunyinya anak muda itu ?
Di sekitarnya, di jalanan kecil, sepi saja. Di situ tak ada
seorang manusia lainnya. Ada juga rumput dan angin yang
bertiup bersiur-siur.
Tengah jago ini berdiri diam dengan pikiran kacau itu tibatiba
ia mendengar suara yang ia kenali sebagai "Gie Gi Toan
Im" yaitu bahasa Semut yang disalurkan secara luar biasa,
suaranya cuma mendengung perlahan di telinga !
Beginilah suara itu, "Ie Tok Sinshe ! Aku si wanita tua
hendak membalas sakit hati dari tamparan sebuah tangan,
maka juga aku telah bawa pergi anak angkatnya Pat Pie Sin
Kit si pengemis pemabokan tua bangkotan itu ! Nanti di dalam
pertemuan Bu Lim Cit Cun di Gunung In Bu San, kita akan
berjumpa lagi !"
Terkejut Tok Mo mendengar suara yang luar biasa itu.
Inilah karena ia ketahui cuma satu orang yang pandai ilmu
Bahasa Semut ialah Im Ciu It Mo, Si Bajingan Tunggal
Bertangan Lihai yang menjadi kok cu pemilik lemah dari Pat
Ban Nia, gunung di Inlam Barat. Ia heran kenapa bajingan itu
mendadak muncul di tempat ini, bahkan dia datang merampas
si anak muda. Karena ia tahu orang adalah seorang wanita
lihai yang tak dapat dibuat permainan, ia berkeok, "Eh,
perempuan tua ! Kenapa kau tidak memperlihatkan dirimu
untuk kita buat pertemuan ?"
Pertanyaan itu tak ada jawaban, maka juga lewat sesaat
tahulah Tok Mo bahwa orang telah pergi jauh, ia menyesal


dan sangat mendongkol, dadanya terasa sesak, sebab tidak
ada jalan buat melampiaskannya. Maka ia menghampri batu
karang besar dibalik mana Siauw Wan Goat lagi
menyembunyikan diri. Sebelum tiba ia sudah meluncurkan
tangannya menghajar dari jarak yang cukup jauh. Ia
menggunakan pukulan Sam Hiauw Liok Piauw Ciang yang
lihai.
Hebat pukulan itu, batu itu pecah berhamburan ! Hanya
setelah itu, adalah hal yang membuat si Bajingan Racun
menjadi heran. Di balik batu terdengar tawa yang nyaring,
disitu tampak Siauw Wan Goat bersama seorang tua yang
segalanya sama dengan dia sendiri. Pakaian, wajah dan tinggi
besar tubuhnya.
Matanya melengak. Tok Mo menjadi gusar.
"Siapakah kau ?" tegurnya bengis. "Kenapa kau menyaru
menjadi aku ?"
Orang tua itu tertawa pula, kali ini sambil melengak. Suara
tawa itu berkumandang ketengah udara. Setelah tawa sirap,
dia lantas mengasi lihat tampang tawar dan berkata
seenaknya saja, "Aku yang rendah ialah Ie Tok Sinshe !
Entahlah, kau yang menyamar menjadi aku atau aku yang
menjadi kau !'
Tok Mo gusar bukan main. Dia memang sedang
mendongkol. Dengan suaranya yang serak dia kata
sengit."Kau telah menyaru mejadi aku si tua, kau juga
memalsukan namanya Ie Tok Sinshe. Karena kaulah manusia
yang tak tahu malu, tak dapat kau dibiarkan hidup di dalam
dunia ini !"


Dan dengan kemarahannya itu si Bajingan Racun maju dan
menyerang.
Orang yang diserang itu tidak berkelit atau berlompat
mundur, dengan berani dia menyambuti serangan, maka
diantara bentrokan tangan mereka, sama-sama mereka
bertolak mundur satu tindak !
Tok Mo terkejut di dalam hati mendapati orang memiliki
tenaga yang sama kuatnya dengan tenaganya sendiri. Ia juga
menjadi dongkol dan penasaran, maka segera tangannya
merogoh sakunya untuk mengeluarkan senjatanya yang
istimewa ialah "Giok Lauw Kip Ciauw" kertas yang empat
hurufnya dapat menyala itu. Selekasnya ia mengibaskan
tangannya dan senjata rahasianya itu berkilau tampaklah asap
bagaikan halimun yang warnanya merah tua !
Melihat asap luar biasa itu, orang yang mengaku Ie Tok
Sinshe itu tertawa lebar. Dia juga merogoh ke sakunya dan
mengeluarkan benda yang serupa, yang juga dapat
memperlihatkan api berkilau !
Dari mendongkol dan penasaran dan bergusar sangat, Tok
Mo menjadi heran, dia beragu-ragu. "Di kolong langit ini
dimana ada orang yang dapat menyamar menjadi dianya
begini sempurna, sama tampang dan senjatanya juga ?"
"Benarkah dia Ie Tok Sinshe sejati ?" ia menduga-duga,
saking kerasnya berpikir ia menjadi bingung, "Kalau bukan,
siapakah dia sebenarnya.....?"
Tok Mo mengeluarkan peluh dingin di dahinya.......
Selekasnya asap lenyap diserbu angin, Tok Mo tidak lagi
melihat orang yang menyamarnya itu. Dia heran hinga dia


berdiri menjublak, tetapi karena sadar itu dia ingat akan
dirinya. Mendadak dia pun lari ke dalam rimba dimana dia
menghilang.
Sekarang marilah kita melihat kepada Cukat Tan dan Teng
Hiang yang ditinggalkan Siauw Wan Goat di dalam rumah
penginapan. Mereka bangun dari tidurnya sesudah matahari
naik tinggi. Cukat Tan bangun dari pembaringan dengan mata
kesap kesip, selekasnya ia mengenakan bajunya, ia melihat di
atas meja tertindih ciaktay, yakni tempat menancapkan lilin
sehelai kertas yang bergerak-gerak tertiup angin yang
menghembus masuk dari jendela.
Melihat surat itu, Cukat Tan bagaikan orang yang baru
siuman dari pingsa ! Maka ingatlah ia yang tadi malam ia telah
menempur Gak Hong Kun, bagaimana Siauw Wan Goa ada
bersamanya di dalam kamarnya itu. Coba malam itu tidak ada
Wan Goat yang membantu, ia yang lagi mengobati Teng
Hiang pasti bakal roboh di tangan jahat dari musuh. Setelah
itu, karena terbenam dalam laut asmara dengan Teng Hiang,
ia atau mereka berdua sampai melupakan Nona Siauw.
Sekarang nona itu entah pergi kemana. Saking likat
sendirinya, ia merasai pipinya panas. Pipinya yang jadi
bersemu merah itu !
"Ah !" ia memperdengarkan suaranya. Karena ia
menyangka surat itu ditinggalkan oleh Wan Goat, ia menoleh
ke pembaringan dan kata nyaring, "Celaka ! Tadi malam kita
melupai Nona Siauw Wan Goat yang berada di dalam kamar
ini ! Dia telah melihat segala apa ! Sungguh malu ! Sekarang
dia telah pergi...."
Agaknya Teng Hiang terkejut, tetapi ia segera tertawa.


"Apakah adik Siauw pergi dengan meninggalkan surat ?"
tanyanya.
"Tertindih dengan tempat lilin, ada sehelai surat." sahut
Cukat Tan. "Mungkin itu surat peninggalannya. Kau bangunlah
!"
Sembari berkata begitu, si anak muda menghampiri meja,
akan mengambil kertas itu dan membaca surat yang tertulis di
atasnya.
"Ah !" serunya tertahan.
"Apakah budak itu mentertawakan kita ?" tanya Teng
Hiang, yang mendengar tawa orang. Ia pun turun dari
pembaringannya.
Cukat Tan berdiri menjublak mengawasi kertas itu.
"Apakah sebenarnya ?' tanya si nona yang menghampiri
untuk berdiri di samping si kekasih hingga ia pun dapat
melihat kertas itu, yang ada suratnya, singkat saja.
"Lekas pergi ke Lu Sian Giam, untuk berrunding."
Pou To Lo sie....
Cukat Tan mengawasi si nona, nampak dia malu sekali.
Kemudian dia menghela nafas dan kata seorang diri, "Cukat
Tan, kau sudah melakukan satu kesalahan besar.... Belum kau
membalaskan sakit hati gurumu, kau sudah kelelap dalam
cinta dan menemani kepelesiran. Apakah masih ada mukamu
untuk menemui arwah gurumu nanti ?"
Habis berkata begitu, dengan tindakan perlahan pemuda ini
menghampiri pembaringan untuk mengambil pedangnya.


Mendadak saja dia menghunus senjatanya itu, terus dia
menebas batang lehernya !
Bukan main kagetnya Teng Hiang, sembari menjerit dia
berlompat untuk menyampok lengan orang hingga pedangnya
si anak muda meleset dan mengenai kulitnya terus pedang itu
terlepas dan jatuh ke lantai. Kulit itu mengeluarkan darah,
yang lantas mengalir membasahi bajunya.
Cukat Tan berdiri melengak, wajahnya sangat muram.
Ketika ia sadar, ia menggertak gigi lalu dengan tangan kirinya
dia menghajar batok kepalanya sendiri !
Kembali Teng Hiang kaget. Sebenarnya dia sedang
memeluki tubuh si anak muda.
"Kau gila ?" serunya seraya menghajar iga orang guna
mencegak turunnya tangan mautnya anak muda itu.
Karena iganya dihajar itu, serangan tangannya Cukat Tan
gagal pula. Tangannya itu cuma mengenai pipinya hingga
pipinya itu menjadi bersemu merah.
Teng Hiang membawa tubuh orang untuk diduduki di kursi,
terus dia mengawasi dengan mata dibuka lebar. Tadi pun dia
memperdengarkan suara dinginnya.
"Ada apakah sebenarnya ?" tanyanya. "Kenapa kau nekad
begini ? Apakah kakakmu membuatmu malu ?"
Dengan "kakak" si nona membahasakan dirinya.
Cukat Tan duduk diam, matanya dipejamkan, nafasnya
memburu. Rupanya dia penasaran dan menyesal berbareng.


Teng Hiang sudah lantas mengobati luka orang.
"Adik" katanya. "Dengan perbuatanmu ini, kau dapat
ditertawai orang. Dengan begitu, apakah kau kira kakakmu
pun bisa hidup lebih lama pula ?"
Sampai disitu Cukat Tan beharu membuka matanya dan
berkata bersungguh-sungguh, "Kau tahu siapa Pou To Lo sie ?
Dialah seorang nikouw tua dari Pou To ! Dan dialah locianpwe
Haw Thian Sin Ni dari biara Pek Liam Am dibukit Pou To
Haylam. Tadi malam locianpwe itu telah datang kemari,
sedangkan dia biasanya tak pernah keluar dari pintu barang
setindak juga. Dia pula tertua dari Ngo Bie pya, partai kami.
Kalau bukan urusan guruku yang menutup mata karena
dicelakai orang, tak mungkin dia datang kemari mencari
aku.... aku sendiri..... aku...."
Lantas si anak muda menangis.
Teng Hiang mengeluarkan saputangannya, akan menepasi
air mata anak muda itu. Dia heran atas datangnya nikouw tua
dari Pou To itu dan merasa malu sendirinya, sebab lakon
asmaranya dengan Cukat Tan telah kena dipergoki, mukanya
pun menjadi merah.
"Apakah kau kenali benar tulisannya locianpwe itu ?"
tanyanya, suaranya menggetar.
"Tidak salah lagi." sahut Cukat Tan. "Kalau locianpwe
menulis surat, pada ketuanya selalu ada tandanya yaitu
lukisan tipis dari sepasang burung jenjang putih. Sering aku
melihatnya dalam surat-suratnya, yang di alamatkan kepada
guruku. Nah, kau lihat, apakah itu ?"
Si anak muda menyerahkan suratnya Hay Thian Sin Ni itu.


Teng Hiang menyambuti dan melihat. Benar ia mendapati
gambar sepasang burung itu. Hanya habis melihat, ia lantas
tertawa.
"Kenapakah kau berduka dan berkuatir tidak karuan ?"
tanyanya. "Bukankah Hay Thian Sin Ni cuma meminta kita
pergi padanya ke Lu Sian Gam ? Aku lihat, dia tentu cuma
akan membicarakan sesuatu yang penting. Nah, mari kita
lekas pergi memenuhi panggilannya itu."
Matanya si anak muda terbuka lebar.
"Mana ada mukaku buat menemui locianpwe itu ?" katanya.
"Tadi malam ia telah mempergoki kita ! Aku menjadi murid
kepala dari Ngo Bie Pay, tetapi selagi guruku mati
tercelakakan orang, aku justru berplesiran......"
Teng Hiang menatap orang.
"Oh, kira begitu !" katanya. Dia tertawa. "Sungguh tolol !"
Cukat Tan berlompat bangun untuk berdiri tegak dan
alisnya pun terbangun.
"Masihkah kau dapat bicara begini ?" tegurnya. "Hm !"
Teng Hiang berhenti bicara. Dia pun lantas memperlihatkan
sikap sungguh-sungguh.
"Sepasang suami isteri saling mencinta, itulah wajar."
bilangnya. "Inilah bukannya sesuatu yang tak dapat dilihat
orang. Adik, kaulah orang Kang Ouw. Kenapa kau membawa
sikapnya si kutu buku ? Takkah itu mengecewakan ? Sudah,


jangan kau banyak pikir, mari kita lekas berangkat untuk
menemui locianpwe itu dan menerima pengajarannya !"
Tanpa menanti jawaban, nona ini menarik pemuda itu.
Dengan membawa pauwhoknya, mereka lantas keluar dari
rumah penginapan.
Cukat Tan menurut tanpa mengatakan sesuatu.
Sembari berberesan dengan pemilik hotel, Teng Hiang
bersenyum dan kata, "Kami mau berangkat sekarang !
Tahukah kau mana jalan ke Lu Sian Giam ?" Ia pun
menyerahkan sepotong perak.
Pemilik hotel itu tertawa.
"Buat pergi ke Lu Sian Giam, nona." katanya, "sekeluarnya
dari dusun ini, silahkan kalian menuju ke tenggara, sesudah
melalui tujuh atau delapan belas lie, kalian akan tiba di bukit
Hek Sek San. Hanya.... kalau tidak ada urusan terlalu penting
lebih baik nona jangan pergi ke gunung itu......"
Berkata begitu tuan rumah itu tapinya tertawa.
Cukat Tan heran hingga dia bertanya. "Kenapakah ?"
demikian tanyanya.
Tuan rumah menggeleng kepala, mendadak parasnya
berubah menjadi pucat. Dia hendak membuka mulutnya tetapi
gagal.
"Cis !" Teng Hiang memperdengarkan suaranya seraya dia
menarik tangannya si anak muda. "Mari kita berangkat ! Buat
apa melayani dia. Menyebalkan saja !"


Cukat Tan menurut, maka berdua mereka meninggalkan
Kho tiam-cu. Mereka berjalan langsung ke arah tenggara. Di
dalam waktu yang pendek, mereka sudah melalui kira delapan
belas lie. Benar saja, mereka telah tiba di kaki bukit Hek Sek
San. Bukit itu panjang tinggi dan rendah tak menentu dan
disitupun banyak batu, antaranya ada batu yang aneh-aneh
bentuknya. Walaupun di waktu pagi, bukit tampak seram.
Jilid 44
Tanpa beristirahat lagi, muda mudi itu berjalan terus. Di
situ mereka tak menemui orang, tak juga tukang kayu. Jadi
tidak ada orang yang keterangannya dapat diminta. Maka
mereka berjalan terus sampai di pinggang gunung dimana ada
jurang yang memutuskan jalan.
"Kakak." kata si anak muda. "Kita salah jalan. Kita bisa
kecemplung !"
Teng bergembira, selagi si anak muda masgul. Dia tertawa.
"Kalau jalanan sudah buntu, mari kita singgah disini !"
katanya. "Kita duduk dahulu, baru kita melanjuti perjalanan
kita. Aku merasa sedikit letih...." Dia pun mendahuui duduk
numprah di atas sebuah batu besar !
Cukat Tan berdiri diam, matanya mengawasi ke jurang. Tak
tampak jalanan. di depannya uap atau sisa halimun menutupi
segala apa. Di atas puncak pun tampak asap atau mega
hitam.
"Lihat, ada orang lagi mendatangi !" begitu si anak muda
mendengar suaranya si nona, selagi ia terus masih mengasi
mengawasi ke depan, guna mencari jalanan. Ia lantas


menoleh. Maka ia dapat melihat orang itu, yang ditunjuk Teng
Hiang.
Orang itu seorang wanita tua, badannya kuning, rambutnya
terlepas, tangan kanannya mencekal tongkat, sedang tangan
kirinya mengempit seseorang. Dia dapat berjalan dengan
cepat. Hanya sebentar, dia sudah sampai di depannya Teng
Hiang.
Cukat Tan lekas-lekas menghampiri.
Teng Hiang sudah lantas menghadapi wanita tua itu.
"Numpang tanya, nenek." katanya. "Dimanakah pernahnya
Lu Sian Giam ?"
Wanita tua itu tidak berhenti berjalan, cuma melirik satu
kali kepada nona yang menyapanya, dia jalan terus.
Cukat Tan menerka orang ada orang rimba persilatan, dia
menyusul cepat hingga dia lantas berdiri berendeng dengan
Teng Hiang, hingga mereka sama-sama seperti menghadang
si nenek tua.
"Hm !" si nenek memperdengarkan suara dingin, lalu
tongkatnya diangkat, agaknya dia hendak menggunakan
kekerasan, tetapi ketika dia telah mengawasi Cukat Tan, dia
tersengsem kegantengan anak muda itu. Dia membatalkan
menggerakkan tongkatnya, dia terus berdiri tegak, matanya
mengawasi tajam pada Cukat Tan !
"Mohon tanya, locianpwe." berkata Cukat Tan sambil
memberi hormat. "Tahukah locianpwe jalan mana yang harus
diambil buat pergi ke Lu Sian Giam ?"


Nenek itu mengawasi orang dengan mata meram melek,
lalu mendadak dia mementang lebar matanya itu, sinarnya
sinar dari kegusaran.
"Bocah !" katanya. "Kau mencari Lu Sian Giam, buat
apakah ?"
Cukat Tan terkejut, juga Teng Hiang. Matanya si nenek
sangat bengis. Telah mereka menemui banyak orang tapi
belum pernah melihat sinar mata seperti sinar matanya si
nenek ini.
"Kami mau pergi ke Lu Sian Giam buat satu urusan." Teng
Hiang mewakilkan kawannya menjawab, sebab si anak muda
tak dapat segera memberikan jawabannya.
Sinar mata bengis si nenek dipindahkan kepada si nona.
"Hm !" dia memperdengarkan suara dinginnya, "Budak bau,
siapa bicara denganmu ?"
Cukat Tan menjadi tidak puas. Nenek itu kasar sekali. Tapi
dia masih menahan sabar.
"Ada umum dalam kalangan Kang Ouw, kalau orang tidak
kenal satu sama lain suka saling bertanya." bilangnya.
"Demikian dengan kami. Buat apa locianpwe bergusar ?"
Parasnya nenek itu berubah. Dia tak sebengis semula. Tapi
dia tertawa dengan suaranya yang tak sedap.
"Kau benar juga, bocah !" katanya.
"Hanya kenapakah kau melintang di depanku ?"


"Itu...." sahut Cukat Tan yang tergugu. Sebagai orang
jujur, tahu ia yang bersalah sebab tidak karu-karuan mereka
datang dengan menentang di tengah jalan. Dia pun lekaslekas
bertindak ke pinggir. Begitu juga kawannya.
Nenek itu lantas saja berjalan melewati muda mudi itu,
sesudah beberapa tindak ia berpaling kepada mereka itu.
"Jika kalian mau pergi ke Lu Sian Giam, mari ikuti aku !"
katanya.
Justru orang lewat disisinya Teng Hiang, justru dapat
melihat mukanya orang yang dikempit si nenek. Kebetulan
saja ada angin menghembus membuat tutup saputangan hijau
di muka orang itu tersingkap.
Dan ia melihat wajahnya It Hiong.
"Eh !" serunya tertahan.
Si nenek mendengar suara si nona, dia menghentikan
jalannya, dia memutar tubuh. "Kau berseru apa ?" tegurnya.
Teng Hiang sudah lantas berbisik dengan Cukat Tan, lalu
keduanya lari menyusul si nenek. "Siapakah itu yang kau
kempit nenek ?" si pemuda tanya.
Nenek itu melihat ke muka orang kempitannya itu, maka ia
melihat tutup muka orang tersingkap. Untuk sejenak dia
melengak.
"Kalian kenalkah orang ini ?" tanyanya pada si muda mudi.


Cukat Tan dan Teng Hiang saling mengawasi, mau mereka
membuka mulut tetapi dua-duanya batal. Si nona bersangsi
sebab ia mau menyangka pada Gak Hong Kun.
Sekarang ia ingat hal maksudnya berjalan bersama Hong
Kun yaitu guna meminta bantuannya Kip Hiat Hong Mo, guna
ia berdaya membalaskan sakit hati gurunya. Sekarang
keadaan telah berubah disebabkan pacarnya ialah Cukat Tan
dan pihaknya Cukat Tan pihak lurus, pihak yang bertentangan
dengan golongannya kaum sesat.
Cukat Tan lain pikirannya. Dia dari pihak lurus dan diapun
sangat menghargai Tio It Hiong. Ia tahu It Hiong ada yang
palsu tetapi kepalsuannya itu sangat sukar dibedakannya buat
itu orang memerlukan waktu dan ketelitian. Demikian kali ini.
It Hiong ini yang tulen atau yang palsu ? Karenanya hendak ia
mencari tahu. Pertanyaan si nenek membuatnya Bingung.
Maka ia jadi berdiri diam saja.
"Kamu berani tak menjawab pertanyaanku ?" tanya si
nenek bengis. Dia rupanya menjadi panas hati. Segera dia
mengancam dengan senjatanya sebatang tongkat.
Dua-dua Cukat Tan dan Teng Hiang terperanjat. Anginnya
tongkat membuat mereka sadar. Sendirinya mereka samasama
mundur satu tindak. Tapi si pemuda menjadi tidak
senang. Orang sangat galak. Maka ia menghunus pedangnya.
"Siapakah itu yang kau kempit ?" ia tanya keras, alisnya
terbangun. Teng Hiang juga menghunus pedangnya. "Lekas
turunkan dan tinggalkan orang itu !" katanya nyaring. "Hm !"
Si wanita tua tertawa berulang kali.
"Kamu berdua mempunyai nyali, kamu berniat menantang
aku !" katanya. "Kalian benar gagah! Jika kalian dapat


melayani aku sebanyak lima jurus, akan aku serahkan orang
ini kepada kamu!"
Berkata begitu si nenek menancapkan tongkatnya ke tanah
untuk dia menurunkan tubuh yang dikempit itu dan diletaki di
tanah. Habis itu dia menggerakkan kedua tangannya buat
terus membentak, "Nah, kalian majulah berbareng !"
Cukat Tan ingin lekas-lekas mendapat kepastian orang
yang pingsan itu Tio It Hiong tulen atau si palsu, dia
mengedipi mata pada Teng Hiang, setelah mana dia putar
pedangnya terus dia mulai menyerang wanita tua itu. Dia
menggunakan jurus "Badai Menggulung Salju" dari "Soat Hoa
Kiam hoat", ilmu silat pedang "Bunga Salju".
Teng Hiang menyambut isyarat dari pacarnya itu, dia pun
maju menyerang. Dia menggunakan jurus "Guntur
Mengagetkan De Dasar Kering".
Si nenek melihat tibanya pedang yang cahayanya berkilau.
Dia mengangkat kedua tangannya untuk menyampok, maka
terpentallah kedua buah pedang itu !
Dua-dua Cukat Tan dan Teng Hiang heran. Aneh ilmu
silatnya si nenek. Nenek itu pun bertangan kosong.
"Tahan !" nenek itu berseru selagi muda mudi itu mau maju
pula. "Hm !"
"Perempuan tua, kau mengaku kalahkah ?" tanya Teng
Hiang.
Nenek itu tertawa.


"Kalian baru bergerak satu kali, tahu sudah aku asal
usulnya ilmu pedang kalian !" katanya. Dia terus mengawasi
muda mudi itu, dia sampai mengemplang. Kemudian seperti
juga dia mengoceh seorang diri, dia berkata pula, "Perguruan
kalian berdua berdiri di tempat yang bertentangan, diantara si
lurus dan si sesat. Tetapi kenapa kalian berdua berjalan
bersama-sama dan kalian pun mau pergi ke Lu Sian Giam ?"
"Jangan banyak omong tak perlunya !" bentak Cukat Tan.
"Lihat pedangku !"
Dan anak muda ini menikam dada orang.
Si nenek tidak menangkis atau menyampok seperti tadi, dia
hanya berkelit dengan lincah sembari dia berkata, "Ilmu silat
Soat Hoa Kiam Hoat dari kau baru mencapai tujuh atau
delapan bagiannya !"
Cukat Tan melengak, dia mundur tiga tindak. Aneh, si
nenek yang dapat menerka dengan tepat.
Teng Hiang penasaran, dia tertawa.
"Nah, bagaimana dengan asal usul ilmu pedangnya nonamu
ini ?" tanyanya. Lantas dia menyerang pula mencari iganya si
nenek. Dan dia menyerang terus menerus dengan tiga jurus
yang berlainan, cepatnya bukan buatan.
Nenek itu tidak mengangkat kedua kakinya, tak pula dia
geser, tetapi dengan kaki nancap itu dia berkelit berulangulang,
tubuhnya bergerak ke kiri dan kanan menyingkir dari
tiap tikaman. Itulah jurus "Angin Menggoyang Bunga Gelaga",
semua tiga tikaman hebat tidak ada yang mengenakan
sasarannya.


"Hai budak bau !" bentaknya. "Masih kau tidak mau
menghentikan tanganmu ! Hatimu telengas ya, tetapi ilmu
silatnya Thian Ciu si tua bangka, baru kau dapati tujuh bagian
!"
Mendengar keterangan itu Teng Hiang pun melongo.
Selama itu sang matahari pagi sudah muncul dan
cahayanya telah membuyarkan halimun maka juga sekarang
di depan mereka melintang diantara kedua tepi jurang,
tampak sebuah jembatan batu berupa seperti panglari. Hanya
sebagian yang lain masih tertutup uap hitam.
Justru jembatan itu tampak, justru tampak juga
mendatanginya seorang dari ujung yang lain itu. Dialah
seorang nikouw tua yang jubahnya gerombongan. Hebat
jalannya si biarawati, sebentar saja sampai sudah dia di
depannya ketiga orang itu. Terus dia mengawasi ketiganya
untuk kemudian menghadapi si nenek buat memberi hormat
sambil menyapa, "Sudah tiga puluh tahun kita tidak bertemu
sicu, adakah kau baik-baik saja ?"
Kapan si nyonya tua melihat nikouw itu dia heran sampai
dia melengak tetapi hanya sejenak. Dia sadar seperti biasa
lagi. Lantas dia berkata, "Oh, Hay Thian Lo yia. Sungguh
beruntung kita dapat berjumpa pula !"
Ketika itu pun Cukat Tan bersama Teng Hiang sudah lantas
lekas-lekas menyimpan pedang mereka masing-masing dan
Cukat Tan segera menghampiri si pendeta wanita buat
memberi hormat sambil berlutut.
Hay Thian Sin Ni, pendeta wanita tua itu menggerakkan
tangan kirinya, maka bangun berdirilah si anak muda.


"Anak Tan, sebentar kita bicara di Lu Sian Giam !" katanya
tertawa.
Cukat Tan menyahuti "Ya", ia terus berdiri tegak. Mulanya
hendak ia memperkenalkan Teng Hiang pada nikouw itu atau
Teng Hiang sudah mendahului merangkapkan kedua
tangannya memberi hormat pada biarawati itu.
Ketika itu, si nenek telah memperdengarkan tawa dingin,
tawanya keras, suaranya menikam telinga. Sengaja di
depannya Hay Thian Sin Ni, hendak dia mempertontonkan
ilmunya "Sun Im Cit Sat Kang" Hawa dingin.
Cukat Tan dan Teng Hiang kaget, lekas-lekas mereka
menenangkan hati mereka.
Berhenti tertawa, si wanita tua berkata dingin, "Tak
kusangka yang Thian Ciu siluman tua telah mengajari seorang
murid yang telah berontak mendurhaka terhadap
perguruannya ! Sungguh memalukan !"
Teng Hiang baru bertenang hati, ketika dia mendengar
almarhum gurunya dicaci wanita tua itu, tak ampun lagi ia
menghunus pedangnya.
"Orang setua ini masih banyak menggunakan mulutnya
melukai orang !" bentaknya. Lantas dia berlompat maju
berniat menyerang si nenek.
"Nona kecil, tahan !" berseru Hay Thian Sin Ni.
Teng Hiang mendengar kata, dia tak maju lebih jauh hanya
berlompat mundur untuk terus berdiri disisinya Cukat Tan.


Si nenek mengawasi tajam pada si pendeta wanita,
matanya bercahaya bengis. Setelah itu ia kata keras, "Nikouw
tua, kitalah musuh-musuh sampai kita mati, maka itu kalau
kau mempunyai nyali besar, lain tahun di malam tanggal lima
belas, beranikah kau pergi ke puncak gunung In Bu San untuk
di sana kita mencari keputusan siapa lebih tinggi, siapa lebih
rendah ?"
Hay Thian Sin Ni memperlihatkan wajah tak puas.
"Mana dapat pinni hadir di dalam sidang Bu Lim Cit Cun
kalian ?" kanyanya sabar. "Walaupun demikian, seperti kau
janjikan akan pinni datang ke sana untuk pinni nanti belajar
kenal dengan ilmu Sun Im Cit Sat Kang dari Im Ciu It Mo !"
Wanita tua itu kembali memperdengarkan suaranya yang
serak itu, dia menyambut tongkatnya dengan tangan kanan,
sedangkan tangan kirinya dia mengangkat mengempit pula si
anak muda yang pingsan itu, terus dia berjalan pergi
menyeberang di jembatan, hingga dia lenyap di lain tepi itu.
Dia memangnya Im Ciu It Mi, si Bajingan Tunggal
Bertangan Kejam dan orang yang dikempitnya Gak Hong Kun,
si Hiong palsu.
"Mari kita pergi !" mengajak Hay Thian Sin Ni setelah Im
Ciu It Mo pergi sekian lama.
Cukat Tan dan Teng Hiang mengangguk, terus mereka
mengikuti nikouw itu.
Lu Sian Giam berada di pinggangnya bukit Hek Sek San.
Itulah sebuah gua diantara dinding batu-batu gunung. Gua itu
tersembunyi. Di depan dan di sekitarnya pun terdapat banyak


batu bermacam-macam bentuknya. Luasnya gua kira sepuluh
tombak persegi.
Nama Lu Sian Giam atau Karang Dewa Lu didapat dari
adanya sebuah batu besar yang muncul sendirian saja yang
berbentuk manusia, tampangnya mirip seorang rahib agama
To ialah dewa Lu Tong.
Di langit-langit gua pada sekitanya terdapat stalaktit yang
putih mengkilat, maka juga diwaktu udara gelap dan
sedangnya hujan angin ribut, warna putih mengkilat itu
berupa seperti ratusan pelita !
Maka itulah dia keanehannya sang gunung.
Tadinya Lu Sian Giam menjadi tempat berpariwisata, ramai
disaat indah dari kedua musim semi dan gugur. Banyak pria
dan wanita yang berpesiar ke situ, tapi semenjak munculnya
Im Ciu It Mo, Hek Sek San lantas juga menjadi tempat yang
ditakuti. Jangan kata datang, mendengar saja orang sudah
jeri.
Ada sebabnya kenapa Hay Thian Sin Ni muncul dari tempat
menyepinya. Itulah karena kematian menyedihkan dari Teng
In Tojin, ketua dari Ngo Bie Pay, sebab dia sendiri berasal dari
partai itu. Dia merantau guna mencari seorang jahat, sampai
dia mencurigai si Bajingan Tunggal itu. Demikian dia
menyelidiki dan lalu menguntit sampai Hek Sek San dimana
dia hidup bersendiri di Lu Sian Giam.
Tiba di dalam gua, Hay Thian Sin Ni lantas menceritakan
pada Cukat Tan perihal munculnya Im Ciu It Mo bahwa itulah
pertanda dari ancaman bencana dunia rimba persilatan,
terutama kaum lurus. Kemudian ia tanya si anak muda,


bagaimana dengan penyelidikannya anak muda itu telah
berhasil memperoleh endusan atau tidak.
Cukat Tan malu sendirinya.
"Menyesal tecu tak berguna." sahut pemuda itu yang
membahasakan dirinya tecu-murid-. "Sampai sebegitu jauh
tecu belum pernah memperoleh hasil apa juga kecuali
mendengar kabar tentang munculnya pula Tok Mo bahwa
halnya empat Tianglo dari Kam Ih dari Siauw Lim Sie serta
ketua dari Bu Tong dan Kun Lun Pay telah terbinasa secara
menyedihkan. Di dalam hal itu, tecu mencurigai Tok Mo..."
"Mengenai kematiannya para Tianglo dan ketua itu rasanya
tak mungkin itulah perbuatannya Tok Mo." Sin Ni
mengutarakan dugaannya. "Aku percaya Tok Mo tidak
mempunyai semacam kepandaian. Di dalam golongan sesat
cuma Im Ciu It Mo yang sanggup melakukan itu."
"Beberapa hari yang lalu," Teng Hiang turut bicara, "tecu
beramai telah bertemu dengan Tok Mo diluar dusun Kho Tiam
cu. Kami belum sampai bertempur tetapi Tok Mo mengatakan
bahwa kami bertiga telah terkena racun jahatnya. Dia
memaksa kami menjadi muridnya kalau kami masih mau
hidup. Melihat sekarang ini, kami masih tak kurang suatu apa,
mungkin dia cuma menggertak kami. Kami dapat membantu
Siauw Wan Goat. Tok Mo tak dapat berbuat apa-apa atas diri
kami. Dia sangat kesohor, mungkin itu cuma kosong
belaka......"
"Di dalam hal itu, mungkin ada terjadi sesuatu yang belum
jelas." berkata Hay Thian Sin Ni. "Tok Mo memang kesohor
kejam tetapi dia tetap seorang angkatan tua, tak nanti dia
mendustai kalian."


Berkata begitu dengan tangan kanannya, nikouw itu
mengambil sebuah peles dari tembok dinding. Dia mengambil
obat pulung yang dia terus berikan kepada kedua muda mudi
itu.
Cukat Tan berdua tak tahu obat itu obat apa tetapi mereka
terus saja makan habis.
"Pada empat puluh tahun dahulu." Hay Thian Sin Ni
bercerita lebih jauh. "Ketika Tok Mo mulai mengganas,
racunnya dia buat dari pelbagai macam racun yang dia cari
dan kumpulkan dari seluruh negara. Racunnya itu tidak ada
obat yang dapat memunahkannya. Kemudian, lewat dua
tahun, barulah ketua dari kuil Bie Lek Sie di gunung Kiu Kiong
San berhasil membuat pil yang dapat mengalahkan itu. Obat
itu diberi nama Wan Ie Jie."
"Aku sendiri menyakinkan soal obat racun pada dua puluh
tahun kemudian, dan inilah obatnya, yang syukur dapat
menandingi obat dari Bie Lek Sie itu."
Baru sekarang Cukat Tan berdua ketahui yang mereka
telah makan kay tok wan, pil pemunah racun.
Teng Hiang sangat bersyukur, dia berlutut di depan si
nikouw memberi hormat sambil menghaturkan terima
kasihnya. Ia kata tak tahu ia bagaimana nanti ia membalas
budi itu.
Sin Ni menerima baik hormat itu, kemudian dia mengawasi
Cukat Tan untuk bertanya, "Anak Tan, gurumu telah menutup
mata. Maka itu kau, apakah kau masih ingat aturan dari Ngo
Bie Pay?"
Anak muda itu buru-buru bertekuk lutut. Dia takut sekali.


"Tecu bersalah, locianpwe." katanya. "Silahkan locianpwe
mewakilkan guruku menjatuhkan hukuman atas diriku....."
Teng Hiang yang masih berlutut melirik si anak muda yang
berada disisinya, maka ia melihat si anak muda mengucurkan
air mata dengan dahinya penuh peluh dan tubuhnya bergetar.
Hal itu membuatnya malu sendiri dan juga berkasihan
terhadap anak muda itu. Dengan memberanikan hati, ia
berbisik pada kekasihnya, "Jodoh kita bersatu disebabkan
perbuatanku, karena itu, kau sampai melanggar aturan adik,
tetapi tidak apa, Teng Hiang bersedia mati
menggantikanmu...."
Ketika itu, Hay Thian Sie Ni duduk tak berkutik dan tak
bersuara juga.
Cukat Tan berdiam terus, juga Teng Hiang. Maka gua
menjadi sunyi sekali.
Lewat sekian lama, terdengarlah nikouw menghela nafas
panjang, terus wajahnya yang keras menjadi lunak. Setelah
itu terdengar suaranya yang terang dan tegas, "Sakit hati guru
hendak dibalaskan, cinta kasih tak merubahnya ! Nah, kalian
dapatkah melakukan itu ?"
Kedua muda mudi itu saling memandang, lantas Cukat Tan
memberikan jawabannya, "Sanggup locianpwe ! Meski
tubuhku hancur lebur pasti akan aku mencari balas buat
almarhum suhu !"
"Suhu" ialah guru, atau panggilan untuk guru.


Dengan menahan rasa malunya, Teng Hiang turut
memberikan janjinya. Kata dia, "Tecu suka berjanji sampai
laut kering batu membusuk, hingga kepala putih !"
Hay Thian Sin Ni memandang tajam muda mudiitu, selang
sekian lama baru dia mengangguk.
"Kalian bangun !" katanya perlahan. Di lain pihak, ia
mengembalikan peles obatnya ke tempatnya. Setelah itu ia
berkata pula, "Pinni memanggil kalian datang kemari ialah
buat mengajari kalian ilmu silat Tay Lo Hian Kang serta Touw
Liong Kiam Hoat sebab itulah yang akan membantu banyak
pada kalian dalam usaha kalian mencari balas terhadap musuh
gurumu, anak Tan."
Bukan main girangnya Cukat Tan dan Teng Hiang. Sudah
mereka diberi ampun mereka pula hendak diwariskan ilmu
istimewa Tay Lo Hian Kang ialah ilmu Langit-langit dan juga
ilmu Touw Liong Kiam Hoat ilmu pedang Membunuh Naga.
Maka lekas-lekas mereka mengucap terima kasih sambil
mengagguk-angguk.
"Barusan kalian sudah menjalankan kehormatan, tak usah
lagi." mencegah si nikouw.
Lagi sekali keduanya mengucap terima kasih, terus mereka
berbangkit. Di saat Cukat Tan hendak menanya, guru itu mau
menitahkan apa, tiba-tiba si nikouw memberi isyarat buat
mereka berdiam. Mereka menurut tetapi mereka heran.
Hay Thian Sin Ni berdiam tetapi matanya mengawasi ke
mulut gua, sesaat kemudian dengan seluruh suara "Toan Im
Jip Nit" ia menanya, "Sahabat baik dari mana telah berkunjung
ke gua Lu Sian Giam ini ?"


Pertanyaan itu diucapkan dengan tenang dan perlahan
tetapi terdengarnya diluar terang dan tegas.
Cukat Tan dan Teng Hiang heran, mereka memasang
telinga dan mata. Samar-samar mereka mendengar suara
seperti berdebur-deburnya ujung baju atau lantas juga tampak
tubuh orang memasuki gua. Mereka terkejut.
Lantas keduanya berlompat ke sisi masing-masing dan
pedangnya segera dihunus. Dengan tajam mereka
mengawasi.
Orang itu mengawasi tindakannya, dia mengawasi ketiga
penghuni gua, sesudah mana barulah dia menghadapi Hay
Thian Sin Ni, sembari memberi hormat dia berkata, "Dengan
ini aku menyampaikan titah guruku supaya nikouw tua
meninggalkan gua Lu Sian Giam ini sebelum matahari turun,
agar dengan demikian kerukunan diantara kita menjadi tidak
terganggu !"
Hay Thian Sin Ni bersenyum.
"Lie sicu, siapakah itu gurumu ?" ia tanya.
Pendatang itu ada seorang wanita muda. Dia menjawab
bahwa gurunya ialah Im Ciu It Mo.
"Oh !" berseru Cukat Tan setelah dia melihat tegas si nona
dan mendengar suaranya itu, tetapi belum lagi ia sempat
berbicara Teng Hiang sudah mendahuluinya, sembari
bertindak maju, nona ini menyapa nona itu, "Nona Cio Kiauw
In ! Nona Cio Kiauw In !"
Memang nona itu Kiauw In adanya hanya terhadap
suaranya Cukat Tan dan Teng Hiang ia bagaikan tak


mendengar apa-apa, cuma mengawasi Teng Hiang untuk
bertanya, "Kau siapakah ? Kenapa kau berkata-kata tidak
karuan ? Kau memanggil siapakah ?"
Teng Hiang melengak saking herannya. Dia segera
menatap. Tak salah, nona itu Nona Cio Kiauw In. Tetapi aneh,
kenapa nona itu tidak mengenalinya ?
Apa yang tak biasanya pada Nona Cio ialah pada rambut
ditepi telinganya ditancapkan setangkai bunga merah darah.
Ia jadi berpikir keras. Tak nanti nona ini bukannya Nona Cio !
Hanya, kenapakah dia menjadi demikian berubah ?
Cukat Tan juga mengawasi dengan tajam. Ia heran seperti
Teng Hiang.
Tiba-tiba si nona, dengan sepasang alisnya terbangun
menegur Hay Thian Sin Ni.
"Eh, nikouw tua bagaimana ? Kau menerima baik
permintaan guruku ini atau tidak ?"
Hay Thian Sin Ni tidak menjawab, hanya dia tertawa.
Kemudian dengan ramah dia tanya, "Sicu, apakah she dan
nama sicu ?"
Nona ini melengak. Agaknya dia berpikir keras, untuk
mengingat-ingat.
"Aku bernama Poan..... Mo....." sahutnya akhirnya.
Sementara itu Cukat Tan lantas melihat bahwa si nona tak
sadar wajar, maka ia menjadi bercuriga. Tiba-tiba ia
memanggil nona itu keras-keras, "Cio Kiauw In ! Cio....
Kiauw....... In.....!"


Suara itu mendengung di dalam gua, kerasnya dapat
memekakkan telinga. Si nona yang ditegur agak terkejut.
Lewat sekian lama baru dia tampak tenang pula. Tapi hanya
sejenak dia pun berubah pula. Wajahnya nampak keras, tanda
dari kegusaran. Alisnya bangun berdiri, sambil menarik
pedangnya dari bahunya dia berseru, "Budak bau ! Bagaimana
kau berani berlaku kurang ajar terhadap nonamu ?" Terus dia
menghunus pedangnya untuk diputar !
Menyaksikan demikian Cukat Tan bertambah heran. Lalau
Teng Hiang melirik padanya dan berkata perlahan, "Dengan
menggunakan pedang akan kita dapati bukti kenyataan dia
bersilat dengan ilmu pedang Pay In Nia atau bukan...."
Cukat Tan mengerti, ia lantas menghunus pedangnya, lalu
sembari tertawa ia kata pada Nona Cio, "Nona Cio hendak
memberi pengajaran padaku, baiklah akan aku menerimanya
dengan segala senang hati."
Walaupun si nona mengancam dengan pedangnya sudah
siap sedia di depan dadanya, tetapi dia tidak maju menyerang,
bahkan anehnya terhadap gerakan dan kata-katanya si anak
muda ia seperti tak melihat dan tak mendengar. Sebaliknya
dia cuma mengawasi tajam pada Hay Thian Sin Ni yang duduk
bersila saja !
Sesudah mengawasi sekian lama, nona itu
memperdengarkan suara tawa yang tidak tegas, lalu
mendadak dia menghunus pedangnya dan menikam kepada si
nikouw tua !
"Tahan !" teriak Cukat Tan yang maju menyampok pedang
si nona. Ia memang selalu waspada. Ia lantas menggunakan
jurus "Badai Menyapu Salju".


Nona itu dapat mengelit pedangnya, setelah itu berbalik dia
menyerang si pemuda. Dia menggunakan jurus "Anak Panah
Mencari Sasarannya", ujung pedangnya menikam dada.
Hebat tikaman itu, Cukat Tan mesti mengelakkan diri
dengan gerakan Tiat Poan Kio atau Jembatan Papan Besi,
tubuhnya ditegakkan rata dari perut sampai ke kepala. Hampir
dia tak lolos.
Sampai disitu maka Teng Hiang sudah lantas mengenali
ilmu silat nona itu, benar ilmu silat Pay In Nia. Dia itu berarti si
nona besar Nona Cio Kiauw In.
Habis berkelit itu, Cukat Tan terus menendang lengan si
nona, supaya ia sempat berdiri pula. Tapi si nona lihai. Dia
cuma mengegosi sedikit pedangnya lantas senjatanya itu
dipakai pula menebas kaki orang !
Masih sempat Cukat Tan menarik pulang kakinya. Kembali
ia menyerang, kali ini ia menebas punggung nona itu, yang
menyebut dirinya Pan Mo, yaitu Setengah Bajingan.
Kali ini aneh si nona. Dia tidak menangkis, hanya dia
berkelit mundur. Justru dia berlompat, Teng Hiang lantas
mengenali cara berlompatannya itu, ialah ilmu ringan tubuh Te
In Coam, atau Tangga Mega.
"Nona Cio Kiauw In !" Teng Hiang segera memanggil.
"Nona, mana dapat kau mendustai aku !"
Mendengar suaranya Teng Hiang itu, si nona melengak
sedikit, selekasnya dia sadar, lantas dia maju pula menyerang
Cukat Tan, kali ini dia terus merangsak dan menyerang
dengan gencar !


Sementara itu Cukat Tan yang sudah dapat menduga
sebabnya kenapa si nona yang ia kenali benar Kiauw In
adanya menjadi seperti orang tak beres ingatan itu. Mestinya
dia terkena pengaruh obat atau ilmu gaib. Ketika diserang itu
dia selalu berkelit.
Si nona menjadi tidak puas.
"Anak bau !" dampratannya. "Kenapa kau selalu berkelit ?
Kenapa kau tidak melayani sungguh-sungguh padaku ?
Apakah kau takut ?"
Cukat Tan hendak menjawab si nona atau Hay Thian Sin Ni
sudah mendahuluinya.
Nikouw itu kata pada si nona, "Sicu Poan Mo, kau telah
menyampaikan pesan gurumu, sekarang silahkan kau pulang
!"
Kali ini si nona mendengar kata. Dia memasuki pedangnya
ke dalam sarungnya.
"Nikouw tua, ingat baik-baik !" berkata dia. "Sebentar,
sebelum matahari turun, kau mesti meninggalkan tempat ini !
Jangan kau membuat guruku gusar !"
Selekasnya suaranya berhenti tubuh si nona sudah
mencelat mundur, keluar dari gua hingga dilain saat dia telah
tak nampak lagi.
Cukat Tan lekas-lekas menyimpan pedangnya, terus ia
berkata kepada gurunya yang baru itu, "Menurut penglihatan
tecu, Nona Poan Mo barusan adalah Nona Cio Kiauw In,
muridnya Tek Cio Siangjin dari Pay In Nia, hanya heran,


kenapa dia seperti orang tak sadarkan diri ? Locianpwe,
kenapa locianpwe tidak mau menangkapnya buat mengobati
dia ?"
"Aneh !" Teng Hiang turut bicara. "Nona Cio lihai luar biasa,
kenapa dia kena orang tawan dan pengaruhkan begini rupa ?
Dia mengaku menjadi muridnya lain orang dan sudi
diperintah-perintah....."
Hay Thian Sin Ni bersenyum.
"Dia sedang menjalankan karmanya." katanya. "Itulah soal
gaib yang kalian tak mudah mengertinya...."
"Hanya locianpwe." kata Cukat Tan pula. "Sekarang ada
jaman kacau, kaum sesat lagi beraksi, habis nona Cio kena
dipengaruhkan, dia berada di pihak sesat. Itulah berbahaya.
Itu pula dapat mencelakai si nona sendiri...."
"Kau benar, anak Tan." berkata Hay Thian Sin Ni. "Ada
sebabnya kenapa aku tidak dapat turun tangan membantu
nona itu...."
Cukat Tan dan Teng Hiang menjadi heran, tetapi sebab si
nikouw tidak sudi memberikan keterangan lebih jauh terpaksa
mereka tidak berani memaksa bertanya.
Hay Thian Sin Ni dapat membaca hatinya muda mudi itu,
maka ia berkata, "Tak usah kalian menjadi heran. Akan aku
jelaskan sedikit. Dari gerak geriknya, aku sudah ketahui dialah
murid dari Pay In Nia. Ada baiknya sekarang dia mengikuti Im
Ciu It Mo, supaya dia dapat mewariskan kepandaiannya si
Bajingan Tunggal itu. Si Bajingan pandai dua macam ilmu
lihai. Ialah ilmu Sun Im Dit Sat Kang itu serta ilmu tangan
kosong Tauwlo Cia, Tangan Halus."


Mendengar keterangan itu Cukat Tan dan Teng Hiang
mengangguk.
Lewat sekian lama, Hay Thian Sin Ni mengambil peles
obatnya dari dalam dinding, untuk disimpan di dalam sakunya,
kemudia setelah mengangkat hudrim, kebutannya ia
merapihkan pakaiannya.
"Kita jangan layani dia itu." katanya. "Mari kita pergi !"
Cukat Tan berdua menurut, mereka mengikut pergi.
Sekarang kita melihat dahulu Cio Kiauw In.
Ketika itu hari Nona Cio berpisah dari It Hiong di kota Tang
hong, ia langsung menuju ke Gakyang. Dan waktu ia tiba di
kota itu, Teng Hiang bersama Gak Hong Kun sudah
meninggalkannya dua hari di muka, tetapi ia sabar dan teliti.
Ia membuat penyelidikan hingga ia mendapat keterangan di
tempat persinggahannya bahwa dua orang itu sudah menuju
ke Kho-tiam-cu, kemana ia segera menyusul.
Hari itu ditengah jalan, Kiauw In tiba di sebuah rimba yang
lebat, yang rindang, yang hawanya adem, maka sekalian
beristirahat, ia berhenti dan duduk dibawahnya sebuah
pohonnya, diatasnya akar yang besar dan menonjol keluar.
Belum lama si nona beristirahat itu, tiba-tiba ia mendengar
suara orang yang nyaring sekali.
"Kita sudah berlari-lari setengah hari, kenapa kakak Tio It
Hiong ku masih tak dapat dicari ?" demikian suara itu, suara
wanita. "Kau tentulah bukan makhluk baik-baik, pastilah kau
sedang menipu aku !"


Lalu terdengar suara serak dari seorang pria, "Siapa itu Tio
It Hiong, aku tidak tahu. Hanya sahabatku itu yang mengaku
sendiri begitu. Saban kali dia ketemu orang, dia mengatakan
dirinya Tio It Hiong, dan beberapa orang yang bertemu
dengannya memanggil dia Tio It Hiong juga. Hanya aku....."
"Jangan kau mengoceh saja !" si wanita menyela. "Dimana
adanya Tio It Hiong yang kau sebut itu ? Hayo kau ajak aku
pergi padanya !"
Selama itu, kedua orang itu mendatangi semakin dekat.
Hatinya Kiauw In tertarik sekali. Orang menyebut-nyebut It
Hiong. Ia duduk terus dibawah pohon itu, tetapi ia membawa
lagak tak perhatian. Diam-diam saja ia memasang mata.
Ketika itu dari jalan dari mana ia datang, Kiauw In
mendengar suara orang berbicara sambil tertawa-tawa. Lekaslekas
ia menoleh. Kiranya itulah dua orang hweshio, atau
pendeta. Setengah tua, jubahnya serupa, jubah kuning
dengan gelang emas ditangan kirinya masing-masing. Suara
mereka itu keras. Dari kejauhan ia merasa wajah orang ia
kenal.
Tak lama tibalah kedua orang suci itu. Mereka berjalan
sambil terus bicara dan tertawa. Sama sekali mereka tak
memperhatikan si nona yang duduk sendirian saja. Sebaliknya
Kiauw In lantas mengenali para Liong Houw Siang Ceng si
pendeta Naga dan Pendeta Harimau dari kuil Gwan Sek Sie
dan Ngo Tay San.
Baru kedua pendeta itu lewat lima tombak lebih, dari jalan
dalam rimba muncullah dua orang yang tadi terdengar dengan
suara nyaring. Merekalah seorang wanita serta seorang pria


yang rambutnya hijau, si wanita berusia tujuh atau delapan
belas tahun, si pria setengah tua dan agaknya licik. Bersama
mereka itu ada seekor orang utan besar.
Setelah mereka lihat pria dan wanita itu, Liong Houw Siang
Ceng menghentikan tindakannya di tengah jalan dan
mengawasi kedua orang itu.
Si nona cantik melihat dua orang suci itu seperti
menghadang di tengah jalan, dia mengawasi, lalu dia
terbangun, kemudian dengan senyuman manis, dia menyapa,
"Kalian berdua pendeta, apakah hati kalian belum bersih dan
otak kalian belum kosong ? Kenapa kalian mengawasi nonamu
begini rupa ? Kenapa kalian juga menghadang di tengah jalan
?"
Bu Siang Hweshion tertawa dan kata, "Sicu adalah seorang
wanita, sudi apalah sicu jangan bicara sembarangan saja !
Sebenarnya pinceng mau mohon bertanya, pria yang berjalan
bersama sicu ini orang macam apakah ?"
Si nona tertawa.
"Bapak pendeta, mari nonamu memberikan keterangan
sebenar-benarnya saja kepada kalian ?" sahutnya polos.
"Dengan begitu maka tak usahlah kalian nanti menanya
banyak-banyak." Dia berhenti sebentar, dia mengawasi kedua
pendeta, baru dia berkata pula, "Bapak pendeta, aku sendiri
adalah Ya Bie, muridnya Kip Hiat Hong Mo Tou Hwe Jie dari
Cenglo ciang ! Dan itu." dia menunjuk kepada si orang utan,
"dialah So Hian Cian Li."
Kedua pendeta terdiam mendengar disebutnya nama Tou
Hwe Jie, mereka saling memandang, paras mereka menjadi
tenang kembali.


"Dan ini sahabat rambut hijau ?" Bu Siang menanya pula,
karena si nona tidak segera melanjuti keterangan. "Dia pernah
apakah dengan sicu ?"
Si nona menggeleng kepalanya.
"Aku tidak tahu namanya dia." sahutnya
"Dialah sahabat yang aku ketemukan di tengah jalan."
Sementara itu, Lek Hoat Jiu Long demikian si pria berambut
hijau berdiam saja. Dia kenal kedua pendeta itu. Dia telah
membinasakan pendeta dari Gwan Sek Sir, pasti itu orang
tentu mencari dia guna menuntut balas. Sekarang dia bertemu
dengan Liong Houw Siang Ceng sendiri, maka dia berlagak
pilon. Di dalam hati dia mengharap orang tidak mengenalinya.
Tapi, sudah dia mendengar suara si nona yang terakhir dia
berpura tertawa dan kata pada nona itu, "Ah, nona Ya Bie
gemar bergurau ! Bagaimana orang sendiri nona
mengatakannya tak kenal ?"
Berkata begitu, dia mengedipi mata pada si nona.
Ya Bie seorang golongan sesat, tetapi dia polos, dia pula
baru mulai muncul, dia tak mengenal terlalu banyak gerak
gerik orang, bahkan melihat tingkahnya Lek Hoat Jiu Lok, dia
menjadi sebal. Maka juga dia membuka lebar matanya,
dengan tampang gusar dia kata pada pria itu, "Apa kau bilang
? Siapakah orang tuamu sendiri ?"
Liong Hauw Siang Ceng terus mengawasi dan mendengari,
lantas timbul kecurigaannya. Terlihat tegas bahwa si wanita
polos dan si pria licik. Maka mereka lantas mengawasi pula si
pria.


"Sahabat rambut hijau," berkata Bu Sek Hweshio
kemudian, "kau ingat tegas, siapakah pinceng?"
Suara itu keras bagaikan guntur. Lek Hoat Jiu Long kaget
sampai tubuhnya bergemetar. Dia mundur dua tindak untuk
menenangkan hatinya yang bergoncang, untuk bersiap sedia,
tangan kirinya mengeluarkan bie hun tok hun, tangan kanan
mencabut sebatang pedang pendek.
"Keledia botak dari Gwan Sek Sie !" kemudian dia
membentak. "Apakah kamu mau mencari mampusmu ? Tuan
besar kamu ialah Lek Hoat Jiu Long !"
Mendengar nama itu, bukan main gusarnya kedua pendeta.
Jadi inilah musuh mereka ! Bagaikan kalap Bu Sek lantas
berteriak berlompat maju dengan tinjunya !
Inilah saat yang ditunggu Lek Hoat Jiu Long yang licik. Dia
tidak menangkis atau menghadang, waktu dia diserang itu dia
lantas bergerak ke samping buat menyelamatkan diri dari
ancaman tinju maut. Tapi dia bukan hanya berkelit, dia pun
membuat pembalasan dengan caranya sendiri. Dia mengayun
tangan kirinya, menyebarkan bubuk mautnya dan
meluncurkan tangan kanannya, menikam dadanya si
penyerang !
Bu Sek terkejut melihat gerakan lawan itu, apa pula
selekasnya dia melihat asap merah tua itu. Dia mundur sambil
lompat berjumpalitan ke belakang terus dia menahan nafas
untuk segera mengerahkan tenaga dalamnya. Walaupun
demikian dia kurang cepat, sebab penyerangan bubuk tepat
sedangkan dia maju. Maka juga dia telah kena menyedot tak
sedikit bubuk bius itu. Bau harum masuk ke dalam hidungnya,
mendesak masuk ke otak, membuat kepalanya pusing dan


matanya berkunang-kunang terus dia terhuyung-huyung dan
roboh ke tanah !
Pedang pendek Lek Hoat Jiu Lon tidak berhasil seperti
bubuknya itu, inilah sebab ketika dia menyerang Bu Sek, Bu
Siang yang memasang mata melihat gerakannya itu dan
pedangnya segera dihajar dengan gelang emasnya si pendeta
hingga gelang itu terpental dan tangannya si penyerang kaku
baal !
Bu Siang menguatirkan keselamatan saudara
seperguruannya itu, maka juga habis menghajar pedang
lawan dia lompat kepada Bu Sek untuk memondongnya
bangun.
Lek Hoat Jiu Long gusar dan penasaran, justru Bu Siang
lompat kepada Bu Sek, dia sendiri menerjang pendeta itu.
Lagi-lagi dia menyebar bubuk beracunnya.
Tiba-tiba terdengarlah seruan yang nyaring halus lalu satu
sinar berkilat berkelebat, menyusul itu Lek Hoat Jiu Long
memperdengarkan jeritan yang menyayatkan hati sebab
tangannya yang menyebar bubuknya terkutung tiba-tiba
sebatas bahunya dan terjatuh ke tanah, tubuhnya pun turut
roboh kebanting. Saking kesakitan, dia berkoresan ditanh.
Menyusul itu satu tubuh langsing berlompat ke depan
beberapa orang itu. Kiranya dialah Nona Cio Kiauw In, yang
membantu tepat pada Bu Siang Hweshio.
Ya Bie lantas mengawasi Nona Cio dan menegur, "Eh, eh,
kenapa tidak karuan kau mengutungkan lengan orang ? Jika
kau mau bertempur, nonamu bersedia melayani kau beberapa
jurus !"


Kiauw In mengawasi nona itu. Ia lantas berkesan baik.
Orang cantik dan polos.
"Adik kecil," katanya tanpa menghiraukan tantangan orang,
"tahukah kau siapa orang yang berambut hijau ini dan benda
apa yang dia sebarkan ?"
"Aku tidak tahu." sahut si polos.
"Inilah semacam bubuk beracun." Kiauw In kasih tahu.
"Asal orang ada Kang Ouw jahat, maka dia menggunakan
racun ini buat mencelakai orang."
Ya Bie heran, dia tertawa.
"Kakak," tanyanya ramah, "kenapa dengan sekali melihat
saja kau ketahui itu ?"
Kiauw In berpaling kepada kedua pendeta.
"Lihat dua orang pendeta itu," katanya. "Mereka telah
terkena racun ini !"
Ya Bie menoleh, maka ia melihat kecuali pendeta yang
pertama, yang kedua pun telah roboh tidak berdaya, tubuh
mereka tak berkutik. Ia menjadi kaget.
"Eh, eh, kenapa kedua pendeta tua itu kehilangan jiwanya
?" tanyanya. Dia menyangka Liong Houw Siang Ceng telah
terbinasakan Lek Hoat Jiu Long, maka dia menjadi gusar
seketika, hingga dia menggertak giginya segera dan
membisikan orang utannya, "Pergi kau, kutungkan tangan
yang satunya dari orang itu !"


So Hua Cian Li lantas berseru terus dia berlompat pergi.
Paling dahulu dia memungut pedang pendeknya Lek Hoat Jiu
Long, sebelum si rambut hijau tahu apa-apa, lengannya yang
sebelah lagi itu sudah lantas ditebas kutung !
Sebagai orang tanpa tangan, Lek Hoat Jiu Long roboh
pingsan bermandikan darah !
Ketika itu Kiauw In sudah lantas menghampiri kedua
pendeta itu. Dia mengeluarkan obatnya pendeta dari Bie Lek
Sie yang It Hiong bagi padanya, obat itu ia masuki ke dalam
mulutnya Bu Sek dan Bu Siang, kemudian tanpa menanti
orang siuman ia bertindak menghampiri Ya Bie untuk
bertanya, "Adik, bukankah tadi kau mengatakan hendak
mencari kakak entah apa Hiong ?"
Ditanya begitu mukanya Ya Bie mendadak bersemu dadu,
walaupun demikian dia menjawab secara polos, "Dialah kakak
Hiong yang aku paling sukai ! Dia bernama Tio It Hiong.
Guruku....."
"Gurumu telah aku ketahui !" tiba-tiba terdengar satu suara
yang nyaring, yang orangnya segera sampai di dekat mereka
itu. Orang berlompat pesat sekali. Kiranya dialah seorang lakilaki
tua berkeriputan yang berdandan sebagai pelajar.
Setibanya itu, si orang tua lantas mengawasi tajam kepada
Kiauwn In, kemudian dia menuding kepada Ya Bie sambil
berkata keras, "Namanya gurumu itu Kip Hiat Hong Mo, ada
apakahnya yang luar biasa ? Nama itu tak usah dipamerekan
!"
Ya Bie lantas mengenali pada Ie Tok Sinshe atau Tok Mo
yang dua hari lalu ia ketemukan di Kho tiam cu, yang ia
permainkan dengan Hoan Kak Bie Ciu, ketika mana ia hampir


bercelaka karena ilmu Sam Hiauw Lo Piang Ciang orang itu,
karenanya ia merasa jeri jgua, tak berani ia mempermainkan
pula. Karena itu dengan mata dipentang lebar-lebar dia
mengawasi saja.
Nampak Tok Mo puas karena si nona tak menjawabnya, dia
tertawa sampai melenggak, kemudian habis tertaaw segera
tampak pula wajahnya yang menakutkan saking bengisnya.
"Kalau kalian tahu diri, lekas kalian kasih tahu padaku !"
katanya bengis. "Siapakah yang mengutungkan kedua
lengannya Lek Hoat Jiu Long ?"
Kiauw In menerka orang tua ini bukan orang lurus,
karenanya ia berhati-hati, tidak mau ia berlaku sembrono.
"Locianpwe." tanyanya, dapatkah aku mengetahui she dan
nama besar dari locianpwe ?"
Tok Mo tertawa terkekeh-kekeh, nadanya dingin.
"Bocah bau ! Apakah namamu ?" dia balik bertanya kasar.
"Siapa gurumu ? Bagaimana sampai namaku si orang tua kau
tidak tahu ?"
Ya Bie lantas menimbrung, "Kakak, dialah Tok Mo yang
juga dipanggil Ie Tok Sinshe ! Kakak awas terhadap ilmu silat
tangannya yang aneh !"
Dengan mata bengis, Tok Mo mengawasi si nona polos.
Terus dia tertawa terkekeh.
"Namaku si orang tua," kata dia, "sudah dikenal sejak
empat puluh tahun lalu ! Didalam dunia rimba persilatan, siapa
yang tak tahu dan tak takut ? Hanya sekarang, setelah aku


baru muncul pula, yang mengetahui aku sangat sedikit ! Hmm
!"
Nyata dari suaranya si tua ini jumawa, hatinya puas tak
puas.
Kiauw In sementara itu sudah lantas menerka Tok Mo atau
Ie Tok Mo atau Ie Tok Sinshe ini tentulah orang yang telah
membunuh mati secara rahasia jago-jago Siauw Lim, Bu Tong
dan lainnya. Hal ini membuatnya girang berbareng berkuatir.
Ia berkuatir sebab ia menerka orang mestinya lihai luar biasa.
Dan ia bergirang karena ia memikir inilah kesempatan ia
mencoba ilmu silatnya Khi-Bun Pat kwa kiam terhadap lawan
yang tangguh. Ia pikir juga, sungguh besar faedahnya bagi It
Hiong kalau jago tua itu dapat dirobohkan atau disingkirkan.
"Hanya kalau dia menggunakan racunnya," pikirnya pula.
Karena ini, ia berdiam terus.
"Eh, budak !" tegur Tok Mo bengis, "aku tanya kau, kenapa
kau diam saja ? Kau mau menjawab atau tidak ?"
Kiauw In melengak. Sangsi buat memberikan jawabannya.
"Kakak, bilangilah !" Ya Bie menganjurkan. Nona ini benarbenar
sangat polos. "Siapakah guru kakak ? Kenapa kakak
tidak berani berkatainya ?"
Justru itu, Nona Cio telah mendapat sebuah pikiran, maka
dia tertawa tawar dan kata, "Akulah Cio Kiauw In muridnya
Tek Cio Siangjin dari Pay In Nia ! Bagaimana ?"
Si muka keriputan itu nampak terbengong, terus dia
mengawasi tajam pada nona di depannya itu, dari atas ke
bawah dan sebaliknya, dia tertawa.


"Bagus !" katanya nyaring. "Nampaknya bakatmu baik
sekali ! Mari kau turut si orang tua pulang ke tempatku, untuk
belajar ilmu ! Sungguh kau berbahagia !"
Kiauw In tetap mengawasi, matanya dibuka lebar, sinar
matanya menandakan kemarahannya. Tetapi dapat dia
menguasai dirinya. Maka ketika dia menjawab suara sabar,
"Locianpwe, tidak ada halangannya yang locianpwe hendak
mengambil murid hanya sebelum itu ingin aku menanya,
apakah locianpwe dapat melawan pedangku ?"
Dengan satu gerakan cepat, Nona Cio menghunus
pedangnya. Terus dia menambahkan kata-kata, "Dalam hal
ilmu kepandaian, locianpwe cuma pandai menggunakan racun,
maka itu dalam halnya ilmu tangan kosong atau bersenjata,
locianpwe tak dapat dibungkam !"
Alisnya Tok Mo bangkit. Dia tak puas sebab telah
mengekangnya. Kata-kata si nona berarti bahwa janganlah dia
menggunakan racunnya. Lalu dia tertawa terkekeh.
"Anak perempuan, kau sangat licik !" katanya. "Kau
menggunakan akal muslihat untuk membuat hatiku panas !
Apakah kau sangka aku tidak tahu itu ? Baiklah ! Karena kau
takut aku si tua menggunakan racun, hendak aku
menggunakan sepasang tanganku guna melayani ilmu
pedangmu Khie bun Pat kwa Kiam. Supaya kalau sebentar kau
kalah, kau kalah dengan puas !"
Berkata begitu, si orang tua menggulung tangan bajunya,
terus dia mengangkat sepasang tangannya.
Ya Bie dipinggiran terus mengawasi saja. Dia jeri terhadap
ilmu silatnya Tok Mo, tetapi dia mendengar Tok Mo mau


melawan pedang, hal itu membuatnya girang. Ingin dia
menyaksikan pertempuran itu. Ia pun kagum terhadap Kiauw
In, yang berhasil membikin si tua suka bertempur tanpa
menggunakan racun. Saking girang, mendadak dia tertawa
sendirinya !
Tok Mo heran, dia menoleh.
"Eh, budak liar, kau tertawakan apa ?" tegurnya.
Ya Bie tidak menghiraukan teguran itu, bahkan dia
mencibirkan mulutnya untuk menggodia si orang tua,
kemudian dia menoleh kepada Kiauw In untuk berkata,
"Kakak, kau tenang-tenang saja melayani dia ! Kalau sampai
kau tak berdaya nanti akan aku bantu kau dengan Hoan Kak
Bie Ciu supaya kau lolos dari bahaya !"
Tok Mo gusar sekali, maka juga dia membentak si nona
polos, "Kalau kau lancang campur tangan, lebih dahulu akan
aku habiskan nyawamu !" Kemudian dia meneruskan pada
Nona Cio, "Kau dengar ! Kau perhatikan. Jika kau kalah, kau
mesti tunduk dan menurut dengan baik-baik menjadi muridku
! Kau tahu !'
Kiauw In berpura pilon, dia melirik lalu tertawa.
"Locianpwe" katanya hormat. "seandianya locianpwe yang
mengalah buat setengah jurus, bagaimana ?"
Tok Mo melengak. Itulah dia tidak sangka. Hanya sejenak
dengan wajah muka padam, dia kata keras, "Kalau aku kalah,
maka di dalam waktu satu tahun akan aku turut segala
perintahmua, aku bersedia menerjang api atau air, tak nanti
aku menampik."


Belum lagi Kiauw In mengatakan sesuatu, Ya Bie sudah
bertepuk tangan dan mendahului berseru. "Bagus ! Bagus !
Bukan cuma satu tahun saja kau mesti turut segala
perintahnya kakak ini, kau juga mesti mengutungkan sebelah
tanganmu !"
"Tutup bacotmu !" membentak si orang tua mendongkol
bukan main.
Ya Bie polos tetapi dia pun jenaka, dan dapat bergurau
bahkan kata-katanya tajam.
Sementara itu Liong Houw Siang Ceng telah siuman dari
gangguan bubuk beracun, maka lantas melihat Kiauw In
hendak bertempur dengan si orang tua keriputan yang
berdandan sebagai pelajar itu, lekas-lekas mereka
menghampiri si nona untuk memberi hormat.
"Sicu, terima kasih buat pertolongan sicu !" mengucap Bu
Siang Hweshio.
Sedangkan Bu Sek berkata, "Buat membereskan orang tua
ini, bagaimana kalau pinceng yang turun tangan ?" Dia pun
lantas menurunkan gelang emas dari lengannya.
"Kepala keledia !" Tok Mo membentak mendongkol. "Dirimu
sendiri masih ditolongi seorang nona, apakah kau rasa kau
sanggup melayani aku si orang tua ? Kau mundurlah !"
Bu Sek heran, tak dapat dia menerima perlakuan itu.
Alisnya bangkit.
"Baiklah pinceng bersedia menerima pengajaranmu, sicu !"
katanya. Dan segera dia mendahului menyerang !


Dia lantas menggunakan ilmu silat tangan kosongnya itu,
Sam Hiauw Liok Piau Ciang, jurus "Sepasang Naga Merampas
Mutiara" untuk menyambuti gelang lawan. dia menyentil Liong
Houw Siang Houw, sepasang gelang Naga dan Harimau.
Dengan satu suara terang nyaring, sepasang gelang itu
kena disentil terpental. Bahkan Bu Sek merasai kedua
lengannya tergetar dan nyeri. Saking kageti dia lompat
mundur sambil berseru dengan pertanyaannya.
Jilid 45
"Siapakah kau ?" Sedangkan sepasang matanya dipentang
lebar.
"Hm !" Tok Mo tertawa dingin, parasnya menunjuki dia
puas sekli. "Telah aku mengenali kaulah murid dari Gwan Sek
Sie ! Si tua yang gundul itu dahulu hari pun mengalah tiga
bagian terhadapku ! Orang dengan kepandaian semacam kau
ini, bagaimana kau berani berlaku kurang ajar terhadap aku si
orang tua ?"
Bu Sek bertambah gusar. Orang telah menghina gurunya.
Dengan berani dia lompat menyerang, gelangnya dilontarkan !
Itulah ilmu silat tersohor dari kuil Gwan Sek Sie namanya
Liong Houw Hong In - Badai Naga dan Harimau-.
Tok Mo tidak berani menyambut serangan itu, dia hanya
berkelit ke sisi, baru dari itu dia menoleh dengan keras. Dia
menjadi gusar, sebab berkelit baginya berarti yang dia telah
didesak.


"Oh, keledia gundul tak tahu selatan !" bentaknya. "Aku si
tua tak dapat mengampuni kau ! Demi muridku yang
dikutungkan dua belah tangannya itu, aku akan menangih
hutang berikut bunganya !"
Menutup kata-kata sengitnya itu, Tok Mo mengeluarkan
Giok Lauw Kio Ciauw, alat mautnya itu tetapi justru dia hendak
menyerang, Kiauw In bersama Ya Bie sudah lompat
menghadang di depannya. Dan nona Cio segera berkata,
"Orang itu jahat sekali, dia suka menyebar bubuk beracun
mencelakai orang ! Akulah yang mengutungkan lengan
kirinya, jika kau hendak membuat perhitungan, kau lakukanlah
itu atas diri nonamu ini !"
Ya Bie pun berkata, "Lengan kanan dia itu akulah yang
menyuruh So Han Cian Li membuntungkannya dan peristiwa
itu tidak ada sangkut pautnya dengan kedua pendeta ini !"
Sementara itu hatinya Bu Sek tak tenang. Kepandaiannya
yang istimewa itu masih tidak dapat berbuat apa terhadap
lawan yang lihai sekali ini. Terpaksa dia mundur.
Bu Siang menarik adik seperguruannya terus dia kata
nyaring kepada Kiauw In, "Nona Cio, sampai jumpa pula !"
Segera dia lompat bersama adiknya pergi melenyapkan diri ke
dalam rimba.
Tok Mo mengawasi kedua nona, parasnya yang muram
perlahan-lahan menjadi reda.
"Lek Hoat Jiu Long muridku ini." demikian tanyanya,
"kenapa kalian jadi bertempur dengannya?" Berkata begitu dia
menunjuk pemuda si rambut hijau yang rebah tak berkutik.


Baru sekarang Kiauw In tahu bahwa orang yang disebut
Lek Hoat Jiu Long dan menjadi muridnya To Mo, pantaslah dia
jahat dan mudah menggunakan bubuk beracunnya. Karena ia
tak dapat lantas menjawab, ia berdiam saja.
Melihat demikian, Ya Bie mendelik kepada Tok Mo terus dia
tertawa dan kata, "Muridmu itu berbuat bagus sekali, pantas
dia mendapat pembalasan setimpal ini !"
Wajahnya Tok Mo menjadi padam pula. Nona ini
membuatnya gusar.
"Budak liar !" bentaknya. "Jangan kau kurang ajar ! Coba
kau bilangi aku, apa yang muridku ini telah lakukan ? Kau
bicaralah dengan terus terang, nanti aku si tua memutuskan
siapa salah siapa benar ! Asal ada setengah patah saja dari
kata-katamu yang dusta, aku si tua tak akan mengampunimu
!"
Ya Bie berlaku tenang, bahkan dia merapikan dulu
rambutnya.
"Sebenarnya panjang buatku menutur," katanya seenaknya
saja. "Apakah kau tak nanti sebal mendengarkannya ?"
Tok Mo menyimpan pula senjata rahasianya itu, dia
bertindak maju dengan kepala diangkat.
"Kau bicaralah !" katanya. "Jangan kalian mencari alasan
untuk kabur !"
Ya Bie suka bercerita, dan ia menuturkan perbuatannya Lek
Hoat Jiu Long. Beginilah keterangannya itu : Hari itu ditanah
berumput diluar Kho tiam cu, ia mengajak orang utannya
menyingkir dari bajingan yang lainnya itu, lewat belasan lie


barulah dia berhenti berlari-lari. Justru disitu ia bertemu
dengan Lek Hoat Jiu Long yang kabur dari rumah penginapan.
Jiu Long kabur seperti orang kurang sadar saking bingungnya,
dia merasa seperti ada orang yang mengejarnya. Dia kena
menubruk si orang utan, yang terus membantingnya roboh,
setelah mana dia dijambak, dibawa ke depannya Ya Bie.
Sambil berbuat itu, si orang utan berPekik tak hentinya, Jiu
Long kaget terus dia pingsan.
Ya Bie mengira Jiu Long itu adalah orang Kang Ouw, dia
menyuruh orang utannya mengangkatnya bangun, lalu dia
menolong menyadarkannya.
Tidak lama Jiu Long siuman. Dia heran mendapati dirinya di
pangku seorang nona yang tubuhnya menyiarkan bau harum
kewanitaan dan tampangnya cantik. Lupa pada keadaan
dirinya, dia tertawa girang.
Ya Bie adalah seorang gadis, ia menjadi tak senang.
"Ha, kau kenapakah ?" tegurnya sambil melemparkan
tubuh orang.
Jiu Long mengasih lihat tampang memohon.
"Nona, kau penuhkanlah keinginanku !" katanya.
Ya Bie tak menghiraukan. Ia belum kenal kata0kata
asmara.
"Eh, tahukah kau kakak Hiongku ?" tanyanya. "Kakak
Hiongku itu adalah seorang muda yang biasa membawa-bawa
pedang pada punggungnya."


Jiu Long senang sekali. Dia merasa si nona polos dan
mudah diakali. Dia mencekal tangan orang dan tertawa.
"Tio It Hiong ?" katanya. "Dialah sahabatku. Ada apa kau
mencari dia ?"
Nona itu tertawa.
"Aku mau mencari kakak Hiong tetapi itu tidak ada
hubungannya dengan kau !" sahutnya. "Karena kaulah
sahabatnya, kau tentu tahu dimana adanya dia sekarang !
Maukah kau mengantarkan aku kepadanya ?"
Jiu Long tertawa, bukan main girangnya.
"Tak sukar hatiku mengajak kau pergi kepada kakak
Hiongmu itu !" katanya. "Hanya sebelumnya kau harus
menerima baik satu syaratku....."
"Apakah syar itu ?" tanya si nona cepat. "Kau sebutkanlah
!"
Jiu Long tertawa bergelak. dia menggerak-geraki kedua
belah tangannya, memperlihatkannya pria dan wanita tengah
bersenang-senang berplesiran.
Si nona mementang matanya. Tak dapat ia menangkap
artinya isyarat itu. Ia berdiri menjublak mengawasi.
Lek Hoat Jiu Long mengulangi gerak gerik tangannya itu.
"Nona yang baik, kau telah mengerti bukan ?" tanyanya.
Ya Bie menggeleng kepala.


"Aku tidak mengerti." sahutnya. "Coba kau bicara biar jelas
!"
Makin senang hatinya Jiu Long. Ia mendapati si nona masih
hijau.
"Benar-benarkah kau tidak mengerti ?" dia menegaskan.
Mendadak dia lompat maju dua tindak, matanya mengawasi
dengan sinar menyala. Terus dia kata pula, perlahan, "Nona
yang baik, kaulah nona yang telah dewasa, masihkah kau tak
mengerti maksudku ? Ni, begini......" Ia memberi petaan pula
dengan kedua belah tangannya.
Ya Bie tetap mengawasi dengan mendelong, kepalanya
digeleng-geleng. Kemudian dia tertawa dan kata, "Asal kau
benar-benar dapat mengantarkan kau kepada kakak Hiongku,
apa juga yang kau kehendaki aku perbuat, akan aku lakukan !'
Lek Hoat Jiu Long tidak kenal It Hiong, dia cuma mengoceh
saja, tak tahu dia dimana si anak muda, tetapi dia cerdik luar
biasa, dia licik mana untuk mewujudkan apa yang dia pikir, dia
tak memilih jalan lain. Mengawasi kecantikan si nona saja, dia
sudah mengiler.......
"Aku menjamin bahwa akan kau ajak kau mencari kakak
Hiongmu itu !" kata dia sambil menepuk-nepuk dada. "Kau
jangan kuatir nona !" Ia tertawa, terus ia menambahkan,
"Nona asal kau suka memenuhi kehendakku, hingga tubuh
kita dapat tergabung menjadi satu, apa juga perintahmu, akan
aku turuti !"
Mendadak menutup kata-katanya itu, Jiu Long berlompat
menubruk si nona !


Ya Bie tidak kaget karena terkaman itu. Sebenarnya dia
tidak setolol seperti diperkirakan Jiu Long. Barusan dia
berlagak saja yang ia tak mengerti gerak gerik orang. Ia
mencintai It Hiong, itu artinya dia sudah kenal asmara. Karena
ia menerka orang adalah satu bajingan paras elok, ia hendak
mencoba hati orang. Demikian ketika ia diterkam itu dengan
cepat ia berkelit terus ia menggunakan ilmunya, Hoan Kak Bie
Ciu si orang utan ia jadikan penggantinya !
Waktu ia ditubruk si nona menjerit nyaring.
Jiu Long lantas merasa bahwa ia telah merangkul tubuh
orang yang hangat, hingga ia bagaikan ditinggalkan rohnya
saking puas hatinya. Dia mengawas muka orang. Si nona
cantik. Tanpa dia ketahui, si nona sendiri sebenarnya sudah
memisahkan diri. Segera ia lari ke dalam rimba sambil
memondong tubuh orang. Dalam tempat yang sunyi itu,
hendak dia melampiaskan nafsu binatangnya.
Ya Bie sementara itu mengintai gerak gerik orang. Dia
mendongkol berbareng merasa lucu. Kemudian dia berduduk
di atas sebuah batu besar, matanya mengawasi langit,
pikirannya sperti melayang-layang. Di saat itu hatinya terasa
kosong.......
Selang tak berapa lama terdengarlah suara Pekik berulangulang
lalu tampak orang utan lari berlompat menghampiri
nonanya. Di depan si nona, kembali dia memperdengarkan
Pekikannya berulang-ulang, kedua kakinya atau tangannya
digeraki demikian rupa, seperti juga dia melukiskan apa yang
terjadi diantara dia dan Lek Hoat Jiu Long.
So Hun Cian Li sudah pandai benar dalam hal menghisap
darah orang dan Lek Hoat Jiu LOng bukanlah lawannya,
karena dia itu telah menjadi letih bukan main, semangatnya


seperti meninggalkannya, si orang utan melepaskan diri dari
rangkulannya tanpa dia ketahui.
Ya Bie mengawasi binatang piaraannya itu dan tak melihat
si rambut hijau keluar bersama, tahulah dia apa yang telah
terjadi pada orang itu. Ia menepuk-nepuk si orang utan dan
bersenyum.
Lewat sekian lama barulah tampak Lek Hoat Jiu Long
muncul dari dalam rimba, tindakannya perlahan, tubuhnya
terhuyung, pakaiannya kusut. Kapan dia melihat si nona
sedang duduk dibatu, dia tertawa dan berkata, "Nona tak
dapat aku melupai cintamu terhadapku, aku telah tidur dan
bermimpi baik sampai aku membuatmu menantikan lama
disini, harap maafkan aku !" Dan dia memberi hormat. Dia
menjura dalam !
Ya Bie tertawa atas lagak orang itu, dia meliriknya lalu
berkata, "Kau telah menjanjikan aku mencari kakak Hiong.
Sekarang hayolah kau antarkan aku ! Mari lekas !"
"Ya" sahut jiu Long. Dan lantas dia bertindak pergi.
Demikianlah maka juga bertiga mereka berjalan bersamasama.
Lewat tiga hari barulah mereka tiba di wilayah Gakyang
itu, di rimba luar kota, hingga mereka bersamplokan dengan
Liong Houw Siang Ceng dan menjadi bertempur karenanya.
Hingga si rambut hijau menerima bagian sebagai pembalasan
kejahatannya sebegitu jauh.
Begitulah penuturannya Ya Bie, yang selalu bergembira,
sampai tahu-tahu dia mendapati nona Cio Kiauw In membaliki
belakang dan telinganya tampak merah. Tok Mo sebaliknya,
dia lantas lari menghampiri muridnya buat memeriksa
nadinya, habis mana dia katanya, "Ah ! Masih dapat ditolong,


cuma mestilah aku menjadi berabe karenanya...." Terus dia
merogoh sakunya mengeluarkan sebutir obat putih, yang dia
jejali ke dalam mulutnya si murid, setelah mana dia diam
mengawasi guna menantikan reaksi dari obatnya itu.
Sesaat itu muka pucat pasi dari Jiu Long tetap tak berubah.
Maka juga Tok Mo kemudian menghembuskan hawa dari
mulutnya ke mukanya si murid. Hawanya itu berupa seperti
halimun. Hanya sebentar habis dihembuskannya hawa itu,
tubuhnya Jiu Long bergeming. Dia siuman terus merintih dan
membuka matanya.
Tok Mo meletakkan tubuh orang ditanah.
"Kau rebahlah !" katanya pada murid itu. "Aku hendak
membereskan dua anak perempuan itu, buat mengambilnya
sebagai murid." Ia berbangkit terus ia menghadapi Kiauw In
dan Ya Bie ke depan siapa ia berlompat pesat.
Ketika itu Kiauw In berada berdekatan dengan Ya Bie sebab
ia ingin minta keterangan lebih jauh tentang It Hiong, sebab
nona itu selalu menyebut It Hiong sebagai "kakak Hiong" nya.
Ya Bie tidak kenal nona Cio, tak tahu dia ada hubungan apa
diantara It Hiong dan nona itu, karena polosnya dia
menjelaskan segala apa dengan terang.
Mendengar keterangannya itu, Kiauw In mengerutkan
alisnya. Ia terharu buat nona polos itu, yang sendirinya
tergila-gila terhadap It Hiong.
Sementara itu Nona Cio tidak mau lantas menyingkir dari
hadapannya Tok Mo. Asal ia mau dapat ia berbuat begitu,
tetapi ia memikir mencari keterangan hal orang tua ini,
Bukankah dia pernah berhubungan rapat dengan Hoat Ciu Jiu


Long dan telah melakukan penyerangan hebat pada pihak
Siauw Lim Sie ? Ia pula tidak takut, ingin ia mencoba Khie bun
Patkwa Kiam dan Ten In Ciong, ilmu ringan tubuh Tangga
Mega buat menjajaki berapa lihainya si Bajingan itu.
Barulah si nona dan Ya Bie berhenti bicara dan menoleh,
setelah mereka mendengar suaranya Tok Mo yang
menghampirinya memperdengarkan suara nyaring. Kiauw In
melirik Bajingan itu.
Berkatalah Tok Mo, "Kalian tak menggunakan ketika kalian
buat lari pergi, benar-benar kalian bernyali besar. Kalianlah
orang yang cocok yang aku cari, kalian berbakat dan pantas
menjadi murid-muridku !"
Kiauw In tidak menjawab, hanya ia menghunus pedangnya
dan memutar itu !
Ya Bie sebaliknya berkata, "Kalau kau hendak merampas
murid orang, kau mesti pertunjuki dahulu kepandaianmu yang
sebenar-benarnya !"
"Hm !" si Bajingan memperdengarkan suara dinginnya.
"Sudah, jangan kita bicara saja dari hal-hal kosong belaka
!" katanya. "Nah, mari kita mulai bertempur !"
Kiauw In tidak menjawab, dia cuma mengangguk, terus dia
maju menyerang. Serangan itu didahului dengan tangan
kirinya diluncurkan lurus.
Kapan Tok Mo melihat caranya si nona menyerang, tak
berani dia menangkis. Dengan kecepatan luar biasa, dia
mundur satu tindak, terus dia menggeser kaki kirinya ke kiri.


Dengan begitu, dengan berada disamping dia membalas
menghajar lengan kanan si nona.
Dengan satu gerakan, "Pelangi Menggaris Langit" Kiauw In
menangkis ke kanan. Dengan jalan ini, ia membikin si
penyerang membatalkan serangannya itu, setelah itu dengan
cepat dan lincah ia mengulangi serangannya.
Kembali Tok Mo menyingkirkan diri dari serangan hebat itu.
Ternyata dia sangat gesit. Setiap kali habis diserang, segera
dia dapat membalas. Dengan demikian dia mengimbangi
kecepatan si nona. Maka juga terliaht mereka berdua
seimbang sekali.
Kedua pihak tidak bermusuhan tetapi karena sama-sama
ingin merebut kemenangan pertempuran menjadi berjalan
hebat. Sama-sama mereka mengeluarkan kepandaian masingmasing.
Kiauw In tidak bermusuh dengan lawannya ini tetapi
demi It Hiong, hendak menyingkirkannya, supaya dari siangsiang
dapat disingkirkan salah satu ancaman bencana rimba
persilatan. Tok Mo sebaliknya sangat ingin menaklukan si
nona, supaya nona itu suka menjadi muridnya. Buat
berhasilnya Bu Lim Cit Cun, ia memerlukan banyak pembantu
dan kawan, dan nona itu, dengan menjadi muridnya, ia
sanggup bakal menjadi bantuan tenaga yang besar sekali.
Maka juga, tak ingin ia melepaskan Kiauw In. Begitulah, ia
terpaksa mengeluarkan kepandaian "Sam Hiauw Lok Piau
Ciang".
Khie bun Patkwa Kiam sudah terkenal sejak puluhan tahun.
Kiauw In telah mempelajari itu dengan sempurna, sekarang ia
dibantu dengan keringan tubuh dari ilmu Tangga Mega. Ia jadi
dapat bersilat dengan baik sekali. Dengan begitu, ia membuat
Tok Mo sulit lekas-lekas merobohkannya. Sekian lama itu,
mereka tetap berimbang saja, mereka sama tangguhnya.


Ya Bie kagum dan heran menonton pertempuran yang
hebat itu, yang ia belum pernah saksikan. Dialah nona yang
baru mulai memunculkan diri di dalam dunia Kang Ouw. Dia
pun merasa tegang sendirinya.
Sedang pertempuran berlalu itu, sekonyong-konyong
terdengar satu bentakan keras, tampak tubuhnya Tok Mo
mencelat tinggi satu tombak leibh, lalu dari atas dengan
mengibasi tangan bajunya, tubuhnya itu turun kebawah
sambil menyerang lawannya, yang diarah batok kepalanya !
Inilah akibatnya Tok Mo heran dan penasaran, sebab tak
sudi dia kena dikalahkan si nona. Maka ia mengeluarkan salah
satu jurus silatnya itu, "Hian Thian Pek Te" "Mengangkat
Langit Membelah Bumi".
Kiauw In mendapat dengar seruan orang dan melihat
tubuhnya orang itu mencelat naik, ia dapat menerka
maksudnya musuh, maka juga ia tetap tenang dan waspada
dan bersiap sedia. Kapan ia telah melihat tegas gerakan lawan
itu, ia tidak mau mundut atau berkelit ke samping, ia justru
menikam ke atas, menyambut serangan hebat itu. Itulah jurus
"Sebatang Tiang Menyangga Langit". Dan itulah pula berarti
keras lawan keras.
Tok Mo terkejut sekali. Belum lagi tangannya mengenai
sasarannya, tangannya itu sudah merasai nyerinya hawa
pedang, maka itu dia kelabakan hendak menarik pula
tangannya itu. Tapi dasar jagi, dia tidak gugup. Dia
menjejakkan kakinya yang satu dengan kaki yang lain, tenaga
dalamnya dikerahkan. Dengan begitu, tubuhnya Bisa
membalik naik terapung pula. Menyusul itu, dia terus bergerak
ke samping, hingga dia dapat turun di tanah tanpa kurang
suatu apa-apa.


"Hebat !" pikirnya. Dia malu sendirinya, parasnya menjadi
suaram.
Kiauw In tidak melanjuti menyerang, ia justru menarik
pulang pedangnya. Sambil bersenyum manis, ia menghadapi
lawan itu.
"Terima kasih locianpwe, kau telah mengalah padaku."
katanya.
"Hm !" Tok Mo memperdengarkan suara dinginnya. Nyata
dia penasaran. "Tangan kosong melawan pedang, kalah
sejurus tak berarti apa-apa. Bagaimana kalau aku si orang tua
hendak mencoba-coba menggunakan ilmu pedangku Thian
Tan Kiam Hoat, guna melayani ilmu pedang kesohor dari Pay
In Nia ? Bersediakah kau melayani aku beberapa jurus ?"
Kiauw In bersikap tawar ketika ia memberikan jawaban,
"Jika locianpwe hendak main-main pula, aku minta biarlah kau
menggariskan beberapa aturan atau syarat !"
Tok Mo melengak.
"Eh, budak bau, ada apakah akal muslihatmu ?" tanyanya
heran. "Kau hendak menggariskan apa lagi ? Coba jelaskan,
buat aku dengar."
Nona Cio melirik.
"Kita mengadu pedang, caranya jalan apa yang dinamakan
sampai batas saling towel, cukuplah sudah !" sahutnya. "Atau
apakah locianpwe menghendaki ada bahaya jiwa ?"
Masih Tok Mo heran, hingga dia berdiam sejenak.


"Terserah pada kau !" ia bilang akhirnya.
Kiauw In mengangguk.
"Baiklah kita tetapkan begini" katanya. "Siapa menang, dia
hidup ! Siapa kalah, dia mati ! Diantara kita tidak ada lagi
berbelas kasihan !"
Tok Mo tertawa terkekeh.
"Baiklah !" sahutnya. "Aku si tua tak takut padamu !"
Kiauw In bukannya jumawa, kalau toh ia menyebut caranya
itu, inilah sebab keinginannya menyingkirkan Tok Mo yang ia
percaya adalah seorang yang mengancam keselamatan dunia
rimba persilatan.
Tok Mo pun telah mengambil keputusannya. Kiauw In dari
pihak lurus, tak nanti dia berlaku curang. Sifat lawan itu
membuatnya berkesan baik. Tapi ia mau menjadi jago, pasti ia
hendak mengambil orang menjadi muridnya, karenanya,
karena gagal dia membujuk, terpaksa hendak ia merampas
jiwa orang....
Tepat disaat kedua orang itu mau mengadu jiwa,
mendadak Ya Bie menyela.
"Tahan !" teriaknya, suaranya nyaring bagaikan
kelenengan.
Kiauw In dan Tok Mo batal bergerak, sama-sama mereka
mengawasi si nona.


"Cara kalian kurang tepat !" berkata Ya Bie. "Umpama kata,
ada bagiannya yang bocor !"
Tok Mo menjadi tidak puas.
"Budak bau !" bentaknya, "apakah yang kau maksudkan itu
?"
Ya Bie mencibirkan mulutnya. Dia kocak sekali.
"Barusan ada dikatakan siapa menang dia hidup, siapa
kalah dia mati !" katanya. "Itulah kurang jelas ! Bagaimana
kalau salah satu pihak gagal tetapi dia tak sampai dilukai ?
Apakah dengan begitu si kalah nanti lantas membunuh dirinya
sendiri ?"
Tok Mo melengak, lantas ia menatap Kiauw In.
"Budak bau, kau bilanglah !" katanya.
Seenaknya saja Tok Mo suka mengucap "budak bau" nya !
"Siapa kalah jurusnya, dia kalah jiwanya !" sahut Kiauw In
tanpa berpikir pula.
"Bagus !" berseru Tok Mo yang lantas menghunus
pedangnya bersiap buat maju.
"Tenang, locianpwe !" Ya Bie berseru pula. "Locianpwe, aku
belum bicara habis ! Buat apa tergesa-gesa tak karuan ?"
"Hmm !" Tok Mo lagi-lagi memperdengarkan suara
dinginnya mengejek. Terpaksa dia menunda menggerakkan
pedangnya. Kata dia sengit, "Eh budak liar, apa lagi tingkah


polahmu ? Jangan kau membuat aku si tua habis sabar, nanti
aku akan lebih dulu membekukmu !"
Kiauw In sebaliknya tertawa, ia menganggap nona itu
jenaka.
"Adik yang baik, aku ingin omong apa lagi ?" tanyanya
manis. "Lekas kau bicara !"
Ya Bie membuka matanya lebar-lebar, ia menatap si
bajingan.
"Aku tanya kau !" katanya tenang. "Bagaimana andiakata
kalian sama tangguhnya, tak ada yang kalah, seri saja ?"
Tok Mo berdiam, Kiauw In pun nampak melongo tetapi ia
dapat menerka maksud yang sebenarnya dari Ya Bie ini. Nona
itu hendak memancing bangkitnya kemendongkolan atau
kemarahannya si Bajingan yang bertabiat keras dan rada
jumawa itu. Maka itu iapun lantas menggunakan akalnya.
"Kau benar adik !" katanya tertawa. Terus dia menoleh
kepada lawannya, untuk berkata, "Di dalam hal ini aku minta
sukalah locianpwe yang memberikan kepastian !"
Tok Mo menunjuk tampang tak sabaran, tetapi ia mesti
membawa sikapnya secara jantan, maka dia tertawa lebar.
"Baiklah aku mengalah, budak bau, agar kaulah yang
membuat keputusan !" katanya. "Tak ingin aku orang nanti
tertawakan dan mengatakan aku si tua menghina dan
menindih si muda !"
Kiauw In lantas tunduk, untuk berpikir. Diam-diam ia saling
melirik dengan Ya Bie. Lewat sesaat ia kata, "Ah, aku juga tak


dapat memikir cara yang baik......" Tetapi lekas ia mengangkat
kepalanya untuk berkata kepada Ya Bie, "Adik yang baik, kau
menyadarkan kami, kau tentu mempunyai jalan
pemecahannya ! Adik, cobalah kau yang bicara !"
Ya Bie menoleh kepada Tok Mo.
"Kalau aku yang bicara, kau suka turut kata-kataku atau
tidak ?" dia tanya.
"Bicaralah !" jawab Tok Mo tak sabaran, tangannya pun
diulapkan, "Lekas bicara !"
Nona itu maju satu tindak. Dengan jari tangannya yang
lancip, dia menunjuk pada si Bajingan.
"Aku lihat ilmu pedang kalian sama-sama ilmu pedang
kenamaan," demikian katanya, "maka itu menurut
pandanganku, pastilah sudah kalian bakal seri, tak ada yang
menang, tak ada yang kalah! Cumalah kau, locianpwe, sebab
kau menang latihan, kau jadi menang diatas angin, jika kalian
bertempur lama, dengan menghamburkan banyak waktu,
akhirnya kakak ini yang tentu bakal kalah ! Nah, apa katamu,
benar atau tidak perkataanku ini ?"
Hebat nona dari Cenglo Ciang ini.
Tok Mo mengangguk.
"Benar benar !" sahutnya. "Lekas bilang, bagaimana
caramu ?"
"Dalam pertempuran mengadu pedang ini, orang harus
berlaku adil." kata pula Ya Bie. "Mengenai ini, aku mempunyai
dua cara....."


"Lekas bilang, apakah itu !" desak Tok Mo.
"Yang pertama ialah," menjelaskan si nona, "kalau harus
bertempur dalam batas lima puluh jurus, kalau kalian sama
tangguhnya maka kaulah yang kalah, locianpwe dan karena
itu kau harus loloskan semua senjata rahasia beracun yang
berada di dalam tubuhmu terpaksa menggoyang ekor
ngeloyor pergi."
Mendadak saja Ya Bie menghentikan kata-katanya, terus
dia mengawasi tajam si Bajingan guna mendengar suara
orang.
Tok Mo menggeleng-geleng kepala.
"Kau bicara guna pihak sana, itulah tak dapat !" bilangnya.
Ya Bie tertawa.
"Tapi cobalah kau pikir !" katanya. "Kau seorang tingkat tua
bertempur dengan seorang tingkat muda, tetapi si tingkat tua
tidak mau mengalah barang sedikit jua, kalau orang
mendengar, apakah si tua tak kuatir dia nanti ditertawakan ?
Laginya kau bukannya diminta untuk sudi mengalah atau
memberi muka sesudahnya satu pertempuran sungguhsungguh
! Andiakata kau merasa tidak unggulan, sudah saja
baik pertempuran ini dibatalkan !"
Tok Mo mesti berpikir keras. Tak dia menyangka Ya Bie
tengah mengocoknya. Dia lalu menimbang-nimbang, mustahil
di dalam waktu dua atau tiga puluh jurus tak dapat dia
mengalahkan nona itu. Bukankah ilmu pedangnya Thian Tan
Kiam Hoat, "Lari ke Langit" lihai luar biasa ! Diakhirnya dia


mengangguk dan kata, "Baiklah, aku terima caramu ini ! Nah,
bagaimana yang kedua itu ?"
Ya Bie tertawa.
"Yang kedua itu" katanya, "kalau kakak ini kalah, dia akan
menjadi muridmu. Sebaliknya, apabila kaulah yang kalah, kau
harus menguntungkan sebelah tanganmu dan buat selamalamanya
kau mesti keluar dari dunia Kang Ouw !"
Tok Mo berpikir keras. Ia heran nona semuda itu tetapi
pikirannya demikian bagus dan pandangannya demikian jauh.
Ia pula merasa si nona lihai sekali, caranya yang diajukan itu
sangat hebat....
Tengah orang berpikir itu, Ya Bie sudah berkata pula,
"Orang ada demikian termashur di dalam dunia Kang Ouw,
tetapi heran, di dalam urusan sekecil ini dia membawa
sikapnya yang beragu-ragu seperti caranya nenek saja..... !"
Parasnya Tok Mo berubah pucat dan merah. Tapi tak dapat
dia bergusar.
"Oh, budak liar yang licin !" katanya memaksa diri tertawa.
"Budak, aku si orang tua telah kena kau jual."
Mendengar suara orang itu, Kiauw In sengaja memasuki
pedangnya ke dalam sarungnya terus ia kata pada Ya Bie,
"Adik, mari kita pergi ! Berbicara dengan orang semacam ini
hanya membuang waktu ! Sungguh tak menggembirakan !"
Dan terus ia memutar tubuhnya buat berjalan pergi.......
"Tahan !" teriak si Bajingan agak bingung. "Kiranya kalian
berdua pandai sekali menggunakan lidah kalian ! Dengan cara
kalian yang licik ini, kalian mau cari alasan buat kabur pergi !"


Kiauw In menoleh.
"Siapa yang mau kabur ?" bentaknya. "Hunuslah senjatamu
!"
Berkata begitu si nona sendiri sudah menghunus pula
pedangnya.
Wajah To Mo menjadi padam.
"Dua dua syaratmu itu aku si tua menerimanya !" katanya
sengit. "Hanya pada itu, pada yang pertama harus
ditambahkan sepatah kata ! Ialah kalau sudah lima puluh
jurus kita masih saja seri, itu harus ditambah menjadi seratus
jurus sampai ada keputusan siapa menang siapa kalah !"
Dengan kata-kata ini, Tok Mo bermaksud mengandalkan
usianya lebih tua atau latihannya terlebih lama. Ia memiliki
latihan beberapa puluh tahun dan ia percaya lama-lama si
nona akan kalah ulet.
"Baik !" Kiauw In berseru selekasnya orang baru menutup
mulutnya. "Jangan kau menyesal nanti !"
Dan si nona dengan membawa pedangnya ke dadanya
segera menikam langsung.
Tok Mo terperanjat. Tak ia sangka si nona begitu bicara
begitu menyerang. Dengan agak repot, dia menggerakkan
pedangnya menangkis tikaman itu.
Nona Cio berlaku cerdik. Tikamannya itu gertakan belaka.
Baru menikam setengah jalan, ia sudah merubahnya. Ia
menunda setengah jalan, untuk terus menikam dari sisi dan


begitu lekas jago tua itu menangkis pedang, kembali ia
memutar gerakannya akan melanjutkan merabu !
Di dalam sekejap, Tok Mo lantas kena terkurung sinar
pedang. Dengan ilmu pedang Khie bun Patkwa Kiam, Kiauw In
mendesak secara berantai. Ia seperti tak hendak memberi
kesempatankepada lawannya itu. Selagi pedangnya bergerak
bagaikan kilat berkeredepan tubuhnya mengikutinya bergerak
dengan lincah sekali.
Tok Mo sudah lantas kena terkurung selama dua puluh
jurus, dia dipaksa menjadi si pembela diri saja. Pernah dia
mencoba memperbaiki dirinya, dia tidak berhasil. Di dalam hati
dia kaget. Maka dia mencoba terus agar dia bisa merubah
keadaannya yang berbahaya itu. Sebegitu jauh dia dapat
menjaga diri, tetapi lama-lama ?
Lima jurus lagi telah lewat, si Bajingan tetap terkurung
sinar pedang.
"Tiga puluh jurus !" Ya Bie berseru di luar kalangan
pertempuran. Dia menonton tetapi dengan sendirinya dia
mengangkat diri menjadi wasit dan selama menonton itu dia
menghitung jurus demi jurus sampai kepada jurus yang ketiga
puluh itu !
Seruan si nona mendatangkan kesan lain di dalam hatinya
kedua orang yang lagi mengadu kepandaian itu. Yang satu
girang, yang lain berkuatir. Dan yang berkuatir adalah si
Bajingan, Celaka kalau dia yang kalah !
Kiauw In bertempur dengan mencampuri Khie bun Patkwa
Kiam dengan ilmu silatnya Pat Pie Sin Kit, ilmu Hung Liong
Hok Houw Ciang. Selagi menikam ia suka menceling itu


dengan pukulan tangan kosongnya. Tak ada kesempatan yang
ia lewatkan secara percuma.
Tok Mo tetap menggunakan hanya Tan Kiam serta Sam
Hauw Liok Piau Ciang yang lihai, kalau tidak, tidak nanti dia
sanggup bertahan sekian lama itu walapun dia sudah sangat
terdesak. Keuletan dan ketabahannya membuatnya berhati
mantap seterusnya dia berlaku sangat waspada, awas dan
gesit.
Tiba-tiba Kiauw In menikam lawan sambil ia membarengi
menghajar bahu lawannya itu. Ia mencari jalan darah thian
coan si lawan.
Tok Mo merasai sambaran angin pada bahunya itu, bahu
kanan. Lekas-lekas dia berkelit tetapi dia sedikit terlambat,
maka kagetlah dia tatkala dia merasai nyeri pada bahunya itu.
Tangannya si nona menowelnya seperti juga tangan itu serupa
senjata tajam. Dasar dia lihai dan telah berpengalaman, selagi
dia terserang itu, mendadak dia melayangkan sebelah kakinya
! Ia membalas pukulan tangan dengan tendangan !
Kiauw In pun kaget. Inilah diluar dugaannya. Celakalah, ia
pun sedang tanggung, mengegos tubuh sukar, menangkis
sulit. Syukur ia tabah, ia tak putus asa. Ia sudah lantas
menyerang, menebas iga lawan !
Inilah siasat terluka atau terbinasa bersama !
"Hm !" Tok Mo memperdengarkan suaranya sambil dia
berlompat mundur, menyingkir dari tebasan itu. Dia mundur
sejauh tiga tindak. Asal dia lambat, pasti tajamnya pedang
menyapanya !


Walaupun demikian, dua-duanya sama-sama mengeluarkan
peluh dingin. Itulah sebabnya si nona insyaf yang barusan ia
telah menghadapi ancaman maut.
Kiauw In baru mundur atau sinar pedang berkelebat ke
arahnya. Itulah serangannya Tok Mo, yang begitu mundur
begitu maju pula guna melakukan penyerangan, sebab dia
hendak merebut kedudukan, supaya selanjutnya dialah yang
menggantikan merabu lawan, untuk didesak dan dirobohkan.
Kiauw In menginsyafi bahaya. Ia pun tahu, tak dapat lawan
diberi ketika mendesak kepadanya. Maka itu bertentangan
dengan cara biasanya, ia bukannya berkelit dari tusukan maut
itu, ia justru menangkis ! Hingga ia melawan kuat dengan kuat
!
"Traaang !" begitu satu suara nyaring dari bentroknya
kedua pedang !
Sebagai kesudahan dari beradunya kedua senjata, Kiauw In
tertolak mundur tiga tindak, lalu dengan susah payah ia
menahan tubuhnya untuk berdiri tetap.
Di pihak Tok Mo pun mundur, hanya cuma satu tindak,
tetapi berbareng dengan itu dia merasai lengannya tergetar
nyeri, hingga dia ketahui bahwa tenaganya si nona besar
sekali.
"Tak kusangka budak ini bertenaga begini besar." kataya di
dalam hati. Terus dia tertawa dingin dan kata, "Bagus ilmu
pedangmu ! Bagaimana, beranikah kau menyambut pula satu
jurusku?" Dan tanpa menanti jawaban lagi, dia maju
menyerang ! Dia membacok !


Tak berani Kiauw In mengadu tenaga pula. Tadi pun ia
melakukannya saking terpaksa. Kalau ia paksa melawan
dengan keras, bisa-bisa ia terluka di dalam hati. Maka itu
gunanya ia menangkis. Ia justru berkelit ke samping, untuk
dari samping itu membalas dengan satu tebasan !
Tok Mo mengerti yang orang tidak mau mengadu tenaga
dengannya, ia pun lekas memutar tubuh, tetapi ia bukannya
berkelit, hanya ia menangkis tebasan itu. Ia menggunakan
tenaganya sebab ia pikir, tangkisannya pun sama hebatnya
seperti bacokannya.
Kiauw In berlaku sangat cerdik. Niatnya ia menebas tetapi
selekasnya ia melihat lawan dapat bersiap menangkisnya,
tebasan itu dijadikan gertakan belaka. Dengan cepat ia
menarik pulang, lalu dengan sama cepatnya ia menikam !
Itulah jurus "Anak Panah mencari Sasarannya".
Tok Mo terkejut, tengah ia menangkis tak dapat ia
menggunakan pedangnya itu menangkis pula. Terpaksa ia
berlompat berkelit dengan cepat sekali, hingga ia bebas dari
ancaman maut !
"Hebat" pikirnya. Maka insyaflah ia akan lihainya ilmu
pedang dari Pay In Nia.
Tentu sekali jago tua ini tidak mau mengalah. Mengalah
berarti ia bakal kehilangan muka. Maka ia menggerakkan pula
pelbagai jurus dari Thian Tan Kiam, ilmu pedangnya itu guna
melayani si nona, buat mencari ketika akan memiliki keadaan
agar ialah yang memegang pimpinan.


"Sudah empat puluh jurus !" Ya Bie berseru pula sambil dia
tertawa nyaring. "Tinggal lagi sepuluh jurus ! Hendak aku lihat
bagaimana lihainya Thian Tan Kiam mu itu !"
Kalau Thian Tan Kiam digunakan oleh si Bajingan dari
empat puluh tahun yang lampau, tak nanti Kiauw In dapat
bertahan lama, tetapi kali ini Tok Mo adalah si Bajingan palsu.
Maka juga, setelah kewalahan itu, dia lantas berkelahi dengan
terus mengandal kekuatan tenaganya. Dia terus-terusan
berlaku keras !
Kiauw In sebaliknya mengandalkan keringanan tubuhnya,
maka itu di sini terlihat kekerasan melayani kelunakan.
Namanya mereka ini pin bu, mengadu kekuatan untuk
memastikan siapa menang, siapa kalah, kenyataannya
sebaliknya. Mereka ini mengadu kekuatan benar-benar bukan
menang atau kalah mati !
Terus-terusan kedua pedang berkelebatan dan sinarnya
berkilauan, dengan begitu lewat sudah lima puluh jurus, tetapi
sebab syaratnya si Bajingan, pertandingan dilanjuti tanpa
beristirahat lagi. Tok Mo toh meminta seratus jurus dan
seterusnya sampai ada keputusan siapa menang dan siapa
kalah. Dan Tok Mo pun terus menggunakan kekuatan tenaga
lahirnya, dia melotot dengan bernoat membuat si nona
akhirnya kehabisan tenaga dan letih karenanya...............
Lama-lama Ya Bie menjadi habis sabar, ia menganggap Tok
Mo tidak memegang janji, dari menggoda saja, ia menjadi
gusar. Tak lagi ia mengeluarkan kata-kata bergurau atau
mengejek, mendadak ia menghunus pedangnya dan lompat
menikam !


Tapi kemarahan si nona justru mendatangkan keuntungan
bagi Tok Mo. Dia gusar dan mendongkol dan penasaran, tetapi
dasar jago ulung, dia pun pandai berfikir. Ada saatnya yang
dia bisa berlaku sabar dan menggunakan otaknya yang jernih.
Diam-diam dia telah memancing pihak lawan, terhitung nona
diluar medan pertempuran itu.
Selekasnya Ya Bie menyerang, Tok Mo berlompat mundur
sejauh dua tindak.
"Hai !" teriaknya, "hai, mengapa kau campur tangan ?
Apakah kau hendak melanggar aturan pertempuran ini ?"
Ya Bie melotot.
"Siapakah yang tak memegang aturan ?" balasnya. "Lima
puluh jurus sudah lewat. Kalian tetap sama tangguhnya !
Apakah kau hendak menyangkal itu ?"
Tok Mo tertawa dingin.
"Budak bau, kau melupakan syarat tambahanku !" katanya.
"Toh telah aku jelaskan, habis lima puluh jurus harus
ditambah lagi lima puluh jurus pula, sampai ada yang menang
dan kalah !"
Kiauw In pun mendongkol.
"Adik yang baik !" ia menyela. "Untuk melayani orang tak
mempunyai kepercayaan ini, tak ada lain jalan daripada
menguat rasa padanya supaya dia tahu diri !" Ia terus
mengawasi lawannya untuk kata : "Kau menghendaki sampai
saatnya menang atau kalah ! Apakah kau sangka nonamu
takut ?"


Dalam mendongkolnya nona Cio segera menikam dengan
jurus pedang "Cun Lui Keng Ciu" atau "Guntur Musim Semi
Mengagetkan Kutu Serangga". Pedangnya itu menikam dada
untuk diteruskan menggores perut !
Tok Mo melihat datangnya serangan, dia menangkis
dengan keras, membuat pedang si nona terpental balik, dilain
pihak tangan kirinya merogoh ke sakunya, mengeluarkan
"Giok Lauw Kip Ciauw", senjata rahasianya yang beracun
hebat itu untuk dipakai menyerang pada saatnya sebentar.
Kiauw In mengulangi serangannya. Ya Bie tidak, ia hanya
berdiri menonton hingga ia menyukai hebatnya pertempuran,
jauh terlebih hebat daripada yang semula tadi.
Ketika itu disaat tengah hari, kedua pedang bersiuran
menyilaukan mata, anginnya juga mender hebat.
Ya Bie mengajak orang utannya mundur karena kuati kena
pedang nyasar.
Sekonyong-konyong terdengar teriak nyaring merdu, "Kena
!" Dan sinar pedang meluncur mirip bianglala ! Itulah
serangan hebat dari Kiauw In yang melihat satu kesempatan !
Itulah jurus silat "Memisahkan Kupu-kupu Menikam Ikan" yang
mengarah dada."
Kembali Tok Mo kaget. Inilah serangan di luar terkaannya.
Sia-sia belaka dia mencoba menghindarkan diri, ujung pedang
telah mengenakan juga bahunya hingga kulitnya pecah dan
darahnya mengucur keluar ! Luka itu tidak berbahaya tetapi
dia toh berdarah-darah.


Kiauw In tidak puas dengan hasilnya itu, ia meneruskan
menikam lebih jauh. Ia ingin menyingkirkan kutu busuk ini
yang berbahaya buat dunia rimba persilatan.
Tok Mo gusar dan penasaran, ia menjadi nekat hingga ia
bersedia buat mati bersama. Demikian satu kali habis
menangkis pedangnya si nona, pedangnya diputar buat
dipakai meneruskan membalas menusuk lawan itu !
Ya Bie melihat ancaman bahaya bagi Kiauw In itu. Ia kaget
hingga tanpa terasa ia berseru.
Kiauw In berlompat mundur, tak urung bajunya kena
telopak ujung pedang yang menggores sedikit kulitnya.
Selekasnya ia dapat berdiri tetap, ingin ia bicara kepada
lawannya itu atau Tok Mo yang tak menghiraukan luka
dibahunya sendiri sudah berlompat menyusul guna
mengulangi serangannya.
Kali ini dia sekalian mengayun tangan kirinya melemparkan
bubuk beracunnya hingga semacam uap tertiup angin terbang
ke arah nona Cio, bubuk itu yang berwarna merah tua, dapat
meluas tiga tombak disekitarnya.
Tak ampun lagi Kiauw In kena menyedot bubuk jahat itu.
Ia kaget dan ketahui yang ia telah terkena racun. Ia masih
ingat akan obatnya It Hiong tetapi di saat dia hendak merogoh
sakunya buat mengeluarkan obat itu kepalanya sudah
mendahului pusing dan matanya kegelapan, tidak waktu lagi
tubuhnya terhuyung dan roboh tak sadarkan pula !
Tok Mo bersiul nyaring, pertanda dari kepuasan hatinya.
Selekasnya dia menyimpan obatnya, dia berjongkok akan
memondong tubuhnya nona Cio, kemudian dengan tangannya
yang lain dia menjemput tubuhnya Lek Hoat Jiu Long, akan


akhirnya membuka tindakan kaki lebar buat berlompat masuk
ke dalam rimba dimana ia mau melenyapkan diri.
Ya Bie kaget sekali ketika dia melihat asap luar biasa itu,
lantas Kiauw In lenyap dari pandangan matanya. Ia pun
bingung sebab ia tidak berani menyerbu uap itu. Meski begitu
selang sesaat ia sempat melihat Tok Mo keluar dari alingan
uap dan berlari pergi dengan tangan kanan dan kirinya
memondong tubuh orang.
"Tua bangka beracun, kemana kau hendak lari ?" ia
membentak sambil terus berlompat menyusul.
Si orang utan dengan berpekik beberapa kali lari menyusul
nonanya itu.
Tok Mo menggunakan ilmu ringan tubuhnya yang lihai buat
menyingkir dari si nona. Dia tidak takut tetap dia segani ilmu
gaib si nona, ilmu Hoan Kak Bie Ciu itu, maka juga ia pikir
mengangkat kaki adalah terlebih baik buat ianya. Ia lari turun
bukit, ia tidak mengambil jalan besar hanya menuju ke arah
rimba di bagian gunung sebelah barat daya.
Kedua pihak berlari-lari dengan keras sekali, yang satu
kabur yang lain mengejar tetapi lama-lama Ya Bie kena
ditinggal di belakang sejauh tiga puluh tombak. Hebat ilmu lari
cepat dari si Bajingan.
Saking kuatirnya Bajingan itu lenyap, Ya Bie kepada si
orang utan sambil menitahkan "Lekas susul !"
Binatang itu sangat cerdas, dia membuka matanya, dia
memekik beberapa kali, lantas dia lari keras buat menyusul
Tok Mo. Dia telah dilatih oleh Kip Hiat Hong Mo, dia pun bisa
menaiki pohon dan gunung, dia ulet dan larinya keras.


Tok Mo licik dan cerdik, dia tidak hanya lari di jalan
pegunungan, tetapi dengan ilmu ringan tubuh "Ciauw Siang
Hai, Terbang di Atas Rumput", dia lari berlompatan diantara
rumput semak dan pepohonan kecil. Ketika itu dia sudah
sampai ditengah puncak dan menoleh ke belakang, tampak
olehnya Ya Bie terpisah jauh tujuh atau delapan puluh tombak
dari ianya. Hal ia membuat pikirannya tenang. Lantas dia
menikung ke suatu jalan kecil untuk berdiam disitu, guna
meluruskan nafasnya. Ia pun masih memikirkan bagaimana
caranya supaya Ya Bie letih hingga tidak berdaya, dengan
begitu barulah dia merasa puas. Maka adalah tidak disangkasangka
tahu-tahu dia telah disusul si orang utan, tetapi
binatang itu sangat cerdik. Si orang utan tidak segera muncul
di depan orang yang disusulnya itu, hanya menyembunyikan
diri di tempat lebat kira dua tombak terpisahnya. Diam-diam
dia memasang mata.
Tok Mo beristirahat sambil terus mengawasi Ya Bie, yang ia
hendak ajar adat. Sengaja ia menantikan sekian lama.
Pikirnya, setelah Ya Bie datang dekat baru dia mau lari pula.
Kalau Ya Bie mengejar terus, nona itu bakal letih luar biasa,
tenaganya akan habis sebab dia tak pernah beristirahat sama
sekali. Ia melihat Ya Bie ketinggalan masih jauh, ia
meletakkan tubuhnya orang yang ia bawa lari itu. Dengan
jailnya, ia perdengarkan tawa dinginnya beberapa kali, supaya
Ya Bie dapat mendengar dan menyusulnya ke situ.
Tepat Tok Mo sedang kegirangan itu sebab dia menerka Ya
Bie bakal dapat dipermainkan, mendadak dia menjadi kaget
sekali. Dari belakangnya orang telah menikam padanya,
walaupun dia lihai, dia toh tidak mendapat tahu sampai orang
telah menyekek belakang lehernya sampai dia sukar bernafas
dan peluhnya lantas saja mengucur keluar !


Dalam kagetnya dan sukar bernafas itu, Tok Mo toh masih
ingat buat membebaskan diri, maka dengan tangan kanannya
dia menghajar ke belakang atau mendadak dia merasa jalan
darah thian-cut dikerongkongannya kena tercekek keras,
tubuhnya terus bergemetar dan menggigil, terus tubuhnya
roboh tak sadarkan diri !
Si orang utan tak berhenti sampai disitu. Setelah berhasil
dengan membokong dan merobohkan si Bajingan, dia pun
maju, guna menjambret dada orang, untuk ditinju dengan
keras, menyusul mana, dia merobek baju orang. Saking girang
dan puas, dia terus berPekik nyaring berulang kali.
Selagi tertawa itu, si orang utan mendapat lihat tubuhnya
Kiauw In yang rebah tak berkutik ditanah. Lantas dia lari
menghampiri, dia angkat tubuh itu lalu dia bawa lari ke arah di
jurusan mana Ya Bie tengah lari mendatangi. Rupanya dia
hendak memapaki nonanya itu.
Ketika Ya Bie lari mendekati binatang piaraannya kira
sepuluh tombak lagi, ia melihat binatangnya itu telah berhasil
merampas Kiauw In. Dia girang sekali. Apa yang membuatnya
kuatir yaitu masih belum dapat diketahui bagaimana dengan
nona Cio, jiwanya telah melayang atau tidak.....
Hanya sesaat kemudian, orang utan dan nonanya sudah
datang dekat satu dengan lain.
Ya Bie girang, dia memberi isyarat kepada So Hua Cian Li,
atas mana si orang utan menyerahkan nona yang dia berhasil
merampas dari Tok Mo itu. Ia berPekik-Pekik pula dan
berjingkrakan, girangnya bukan buatan.
Ya Bie lantas menerima tubuh si nona Cio. Lega hatinya
apabila mendapati nona itu tidak terluka, kecuali dia tetap tak


sadarkan diri. Setelah itu ia bingung juga sebab tak tahu ia
caranya untuk membuat Kiauw In siuman. Ia tidak mempunyai
obat buat menyadarkan orang dari gangguan bubuk beracun.
Maka itu selagi memondong si nona, ia berdiam saja,
mengawasinya itu. Ia berduka hingga sepasang alisnya
berkerenyit.
Sementara itu kira semakanan nasi lamanya, Tok Mo telah
sadar sendiri dari pingsannya itu. Itulah karena tanpa tercekek
lagi, nafasnya perlahan-lahan mulai berjalan pula dan ia lekas
pulih. Nyeri pada kerongkongannya itu pun lenyap seketika.
Setelah siuman dan ingat segala apa, lantas ia mendapati
orang tawanannya Kiauw In telah lenyap. Ia terkejut dan
mendongkol. Ia panas hati kapan ia ingat yang orang telah
membokongnya dan orang tawanannya itu dirampas.
"Aku mesti bekuk binatang jahat itu !" katanya sengit.
"Akan aku besut kulitnya !"
Tiba-tiba jago tua ini mendapat dengar suara Pekikan
orang utan, lantas ia lari ke sebelah depan, untuk melihat.
Maka ia mau dapatkan di kaki puncak, si orang utan lagi
berlompatan dan Ya Bie tengah memondong Kiauw In orang
tawanannya itu.
"Bagus !" katanya dalam hati. Ia girang yang orang tak
pergi menghilang. Maka ia berlompat turun, guna lari kepada
nona itu.
Ya Bie bingung tetapi dia tak kelelap dalam kebingungan,
maka juga ia mendapat lihat ketika Tok Mo tengah lari
mendatangi ke arahnya ! Ia tahu yang ia tidak dapat melawan
si Bajingan. Syukur ia tidak menjadi putus asa. Tiba-tiba ia
ingat satu akal.


Dengan ilmunya, ia membuat sebuah batu didekatnya
berubah menjadi Kiauw In. Ia sendiri lantas kabur bersama
nona yang masih pingsan itu, sedangkan binatangnya lari
menyusul. Ia lari mendakii bukit.
Tok Mo lari turun terus. Beberapa kali ia teraling
pepohonan, maka ia tidak dapat melihat Ya Bie menghilang.
Waktu ia sudah sampai di tempat Ya Bie tadi, nona itu dan
orang utannya tidak ada, ada juga Kiauw In yang lagi rebah
tak bergerak. Hatinya lega juga sedikit. Lekas-lekas ia
menjemput Kiauw In untuk dipondong pula.
"Kau budak" katanya seorang diri, "Sekarang baru kau tahu
lihainya aku si orang tua ! Kau cerdas, kau kabur dengan
meninggalkan kawanmu ini tetapi berhati-hatilah, kau akan
aku tak lepaskan kamu berdua !"
Selagi berkata begitu di depannya si Bajingan berkelebat
dua bayangan orang mendaki bukut, waktu ia mengawasi, ia
mengenali Ya Bie dan orang utannya. Tiba-tiba ia tertawa
dingin, menandakan hatinya mendongkol puas. Mendongkol
sebab orang kabur dan puas karena ia melihat orang sedang
lari itu.
Baru saja si Bajingan mau lari menyusul atau ia merasa
heran sebab tubuhnya Kiauw In terasa dingin dan bentuknya
pun rasanya lain. Ia tunduk akan melihat atau ia kaget dan
tercengang. Itu bukannya Kiauw In, hanya sebuah batu besar
!
"Ah, aku diperdayakan !" seraya menyesal, ia lemparkan
batu itu ke bawah bukit.
Menyesal dan gusar Tok Mo masih dapat mengendalikan
diri. Ia pungut Lek Hoat Jiu Long untuk dipondong buat


dibawa lari ke arah mana Ya Bie menyingkir. Ia hendak
menyusul nona itu, maka ia mesti menahan sabar.
Sayang bagi Ya Bie dalam ilmu ringan tubuh, dia kalah jauh
dari Tok Mo. Ia pun memondong Kiauw In, hingga larinya
bertambah kendor. Tapi ia cerdik, selekasnya ia mendapat
tahu dan masuk masuk ke dalam rimba lebat.
Rimba itu, ditengah-tengahnya ada sebuah kali kecil, yang
lebarnya sepuluh tombak lebih. Ketika Ya Bie tiba ditepi kali, ia
sudah bermandikan keringat dan nafasnya memburu. Ia
melihat air kali bersih sekali.
Si orang utan dapat mengikuti nonanya, di sisi si nona,
berulang kali ia memperdengarkan suaranya, tangannya
menunjuk ke belakang !
Ya Bie tahu ia diberi bisikan bahwa ada orang
mengejarnya. Ketika itu ia mendapati matahari sudah turun
jauh ke barat. Sudah mendekati magrib. Ia bingung juga.
Bagaimana ia harus menyingkir lebih jauh. Kiauw In terus tak
sadar. Itulah berabe dan berbahaya buat nona itu. Ia tidak
tahu tubuhnya si nona ada obat yang mujarab.
Di sana Tok Mo lari mendatangi semakin dekat. So Hun
Cian Li kembali berbunyi tak hentinya dan tangannya terus
menunjuk ke arah Tok Mo.
Jilid 46
Dalam bingungnya, Ya Bie lari di sepanjang kali itu. Tidak
ada jalanan disitu, batu berserakan, rumput dan pohon duri
berimbunan. Hanya syukur rintangan itu tidak berarti bagi si
nona, yang biasa hidup ditanah pegunungan dan sering


berkeliaran. Walau demikian, waktu dia sudah lari lima lie, Tok
Mo menyusul makin dekat.........
Mulanya si nona takut sekali yang ia nanti dikejar tetapi
sekarang rasa takutnya itu lenyap dan sebaliknya diganti rasa
jemunya. Ia membenci orang jahat. Bahkan ia bertekad bulat
akan membantu Kiauw In, walaupun ia harus adu jiwa !
"Pergi kau kabur lebih dulu !" ia kata pada si orang utan
kepada siapa ia menyerahkan Kiauw In untuk dibawa kabur
kemudian ia menghunus pedangnya untuk terus lari balik
guna memapaki Tok Mo !
Kapan Ya Bie telah melihat tegas kepada Tok Mo, ia
mendapati si Bajingan tak lagi membawa-bawa Lek Hoat Jiu
Long. Mungkin si tangan buntung itu telah disembunyikan di
salah sebuah gua supaya si Bajingan leluasa bergerak.
Tok Mo heran menyaksikan Ya Bie datang dengan tampang
mukanya si nona merah karena marah, ia sampai melengak.
Ia pun mendapat kenyataan nona itu tidak lagi memondong
Kiauw In serta orang utannya lenyap bersama. Ia menanti
hingga tinggal tiga timbak dan nona itu berhenti berlari untuk
menghadapi orang seraya terus menegur, "He, budak liar !
Rupanya kau mengendali ilmunya Kip Hiat Hong Mo si siluman
bangkotan maka kau berani berlaku kurang ajar begitu rupa
terhadapku !"
"Kaulah yang kurang ajar !" Ya Bie membentak gusar.
"Kenapa kau mengejar-ngejar aku dan sekarang kau berani
menghina guruku ?"
Begitu suara berhenti, si nona lantas menikam !
Tok Mo berkelit. Dia tak segera membalas menyerang.


"Mana budak piaraanmu itu ?" tanya dia perlahan. "Kau
taruh dia dimanakah ?"
"Di sana !" sahut Ya Bie, suaranya keras dan tajam dan
tangannya pun menunjuk ke tepi kali.
Tok Mo menoleh ke arah yang ditunjuk itu. Dia melihat
sesuatu yang meringkuk seperti rumput di pinggir kali. Muka
atau kepala orang tak tampak sebab tubuh itu menungging. Ia
melihat orang seperti tubuhnya Kiauw In. Maka lantas saja ia
bertindak ke sana. Tapi baru satu langkah, ia sudah
membatalkannya.
Si Bajingan mendadak ingat Ya Bie sedang menggunakan
Hoan kak Bie Ciu, ilmu silumannya itu. Maka itu ia terus
menatap si nona, lalu dengan suara dingin, dia berkata pada
nona itu, "Ilmu gaibmu itu jangan kau pertunjukan pula di
hadapanku, cuma-cuma kau bakal mempertontonkan
keburukanmu !"
Dan dia tertawa terbahak-bahak.
Ya Bie polos, kurang berpengalaman. Dia menunjuki
tampang heran, dia mengawasi si Bajingan itu, siapa
sebaliknya menatap muka orang untuk menerka hatinya.
"Hm ! Hm !" Tok Mo mengasih dengar pula suaranya yang
dingin. "Jangan kau mempermainkan pula padaku ! Awas,
akan aku membuat dan menderita hingga nanti mau mati kau
tak dapat, mau hidup kau tak bisa. Lihat siapa nanti yang akan
menolongmu." Tanpa menanti orang membuka mulutnya, ia
menambahkan pula, "Mana dia bocah she Cio itu ? Kau mau
beritahu aku atau tidak ?"


Di mulut Tok Mo mengatakan demikian, sebaliknya terus
bekerja. Dia memukul ke arah yang lagi rebah melingkar itu.
Itulah pukulan tangan "Udara Kosong."
Walaupun terserang hajaran, tubuh itu tak bergeming.
Cuma rumputnya saja yang rebah bangun. Melihat itu, si
penyerang heran. Dia mengawasi tajam. Dia mau percaya
mungkin itu benar tubuhnya si nona.....
Ya Bie mengawasi saja gerak gerik orang, otaknya pun
bekerja. Selagi si Bajingan itu nampak ragu-ragu, ia tertawa
tawar dan kata dengan nada mengancam, ""Kalau kau
membinasakan kau, apakah kau tidak takut guru nanti
mencari kau buat minta ganti jiwa ?"
Kata-kata itu sederhana tetapi hatinya Tok Mo goncang.
Dia jeri.
Apakah yang sebenarnya dalam hal ini ?
Kiranya To Mo ini si Bajingan adalah si Bajingan yang palsu.
Sebetulnya dialah Couw Kong Put Lo, yang tengah memahami
kitab kewanitaan So Lie Kang yang tinggalnya di dekat Cianglo
ciang. Selama dilembah Goh Cit Kok pernah dia merasai
tangannya Kip Hiat Hong Mo hingga hampir jiwanya
melayang. Sedangkan Tok Mo yang satu lagi yang merampas
Gak Hong Kun di rimba dekat Khotiam cun dari hadapannya
Hong Gwa Sam Mo serta Ya Bie, dia juga Tok Mo palsu. Sebab
dialah Kim Lam It Tok. Hanya Ya Bie sendiri yang tak dapat
membedakan yang mana Tok Mo yang palsu dan asli.
Tak berani Tok Mo palsu ini mencelakai Ya Bie, dia cuma
ingin mendapatkan Kiauw In sebagai muridnya, sedangkan
kecantikannya nona Cio membuat hatinya goncang. Tapi dia
terus membawa aksinya.


"Gurumu berkepandaian apa maka kau gunakan dia buat
menggertak aku ?" demikian katanya sambil tertawa tawar.
"Sudah jangan kau sebutkan gurumu itu ! Baik aku jelaskan
kepada kau tentang tabiatku. Aku lemah menghadapi yang
lunak dan kokoh berhadapan dengan yang keras ! Kau baikbaiklah,
serahkan budak she Cio itu padaku, akan aku
bebaskan sehelai nyawamu !"
Tapi Ya Bie menjadi gusar.
"Siapa takut padamu ?" bentaknya. Ia maju pula dengan
tebasannya.
Tok Mo menangkis. Kembali dia tak membalas.
Ya Bie menjadi berpikir. Ia pun ingat kepada Kiauw In.
Bukankah Tok Mo menggunakan racun ? Pasti dia mempunyai
obat pemunah racunnya ! Maka itu perlu ia mendapatkan obat
guna membantu Nona Cio. Apa jalannya ? Tiba-tiba ia
mendapat akal.
"Kau lihat kakakku yang tidak sadarkan diri itu !" katanya
kemudian pada si Bajingan. "Baik kau berikan obat padaku,
untuk aku menyadarkan dia, nanti sesudah dia siuman akan
aku bujuki dia supaya dia suka menjadi muridmu !"
Tok Mo melihat ke sekitarnya. Sang magrib tengah
mendatangi. Maka pikirnya, tak dapat dia melayani nona ini
yang cuma akan membuang-buang waktu saja. Lantas dia
merogoh sakunya dan mengeluarkan obatnya. Hanya sesaat
dia bersangsi. Bagaimana kalau nona ini mengakalinya ? Maka
dia mengulapkan obatnya itu.


"Inilah obat itu !" katanya. "Bagaimana dengan kau, bicara
benar-benar atau tidak ?'
"Siapa menipu ?" sahut si nona yang justru mau
memperdayai si Bajingan. "Mari serahkan obatmu itu padaku,
lalu kau bawa nona itu kemari !"
"Jika aku si orang tua tak memberikan obat ?" tanya pula si
Bajingan.
"Kau tak dapat menyentuh tubuhnya !" kata Ya Bie keras.
Karena berbareng dengan itu ia menggunakan ilmunya, Hoan
Kak Bie Ciu buat membikin kacau pikirannya Bajingan itu.
Hatinya Tok Mo goncang. Ia berpaling ke arah Kiauw In. Ia
bertindak ke arah Ya Bie. Di saat itu, lenyaplah keraguraguannya.
Ia membuka peles obatnya dan mengeluarkan dua
butir yang ia serahkan pada si nona, habis itu ia simpan pula
pelesnya.
"Jika kau main gila terhadapku," katanya mengancam si
nona, "jangan kau sesalkan bila aku berlaku telengas
terhadapmu !" lantas ia memutar tubuhnya buat lari ke tepi
kali, untuk menghampiri tubuh yang dikatakan tubuhnya
Kiauw In itu. Segera ia mengangkatnya.
Tepat itu waktu Ya Bie menggerakkan tangannya
menyerang ke arah si Bajingan. Dia menggunakan pukulan
Udara Kosong menghajar punggung orang yang dia niat
merobohkannya kecemplung ke dalam kali !
Di saat Tok Mo mengangkat tubuhnya "Kiauw In", Ya Bie
bekerja lebih jauh. Dia menggunakan ilmu Sin Kut Kang
membuat tubuhnya menjadi ringkas, hingga ia mirip seorang
bocah umur lima atau enam tahun sesudah mana dia


mengerahkan tenaga dalamnya untuk lompat tinggi dua
tombak, lompat lurus ke tepi yang lain dari kali itu !
Tok Mo sendiri terkejut, selekasnya dia mengangkat
tubuhnya Kiauw In. Tubuh itu menjadi keras dan berat sekali.
Selekasnya dia mengawasi, dia menjadi kaget berbareng
gusar. Itulah bukan tubuh manusia, hanya sebuah batu besar
! Tentu sekali dia menjadi sangat gusar, sebab ternyata dia
telah diakali pula. Justru dia bergusar itu, tibalah serangan
angin dari si nona. Dia kaget tapi tak berdaya, tubuhnya
segera tertolak keras tercemplung di dalam kali !
Segera terdengarlah satu suaa nyaring dan air
bermuncratan tinggi.
Ya Bie sendiri telah tiba di lain tepi, nafasnya memburu
sebab dia berlompat dengan sekuat tenaganya. Dia
mendengar suaranya air nyaring itu serta melihat air muncrat
naik, dia girang sekali. Itu artinya Tok Mo sudah tercebur.
Lebih girang pula ialah dia telah berhasil mengakali obat
orang. Lantas dia melepaskan Sin Kut Kang, hingga tubuhnya
menjadi besar seperti biasa. Lebih dahulu ia periksa obat, ia
mencium baunya, terus ia membungkus dengan sapu
tangannya, disimpan di dalam sakunya. Akhirnya ia lari ke
tempat kemana si orang utan membawa Kiauw In.
Tok Mo sementara itu tidak mati kelelap di dalam kali. Dia
bisa berenang, maka dia cuma kaget dan pakaiannya kuyup.
Dia menyesal dan gusar dengan berbareng. Dengan berenang
dia menyampaikan tepian, untuk merayap naik. Batu yang dia
peluki, dia telah lepaskan, dibiarkan tenggelam di dalam kali.
Ketika dia memandang ke atas dia melihat satu bayangan
orang. Dia menerka itulah Ya Bie si cerdik. Dia menggertak
gigi dan lalu bersiul nyaring sekali guna melampiaskan
penasarannya !


Sementara itu tadi, So Hun Cian Li sudah berlari-lari ke hulu
sungai. Dia mengikuti tepian. Dia menjalankan perintah
nonanya membawa lari nona Cio. Dengan cepat dia tiba di
hulu sungai, tempat sumbernya. Di situ air dangkal dan batubatu
besar berserabutan. Dia berhenti disitu akan menantikan
nonanya.
Tanpa terasa sang sore telah tiba.
Duduk di tepi jalan, si orang utan menanti tetapi dia telah
terduduk sekian lama, tak juga nonanya muncul. Dia menjadi
heran terus dia berPekik berulang-ulang. Kalau nonanya
mendengar suaranya itu dia tentu akan dihampiri.
Belum lama si orang dikejutkan satu suara perlahan di
depannya, waktu ia mengawasi, kiranya itulah setangkai buah
yang baru jatuh ! Buah itu sebesar jari tangan. Melihat itu ia
mengilar sekali. Tetapi ia lagi bertugas melindungi nona Cio,
tidak berani ia memungut buah itu untuk memakannya.
Tak lama jatuh pula tangkai buah yang lainnya. Buahnya
selipat ganda besar dari buah yang pertama itu.
Orang utan itu mengawasi. Tampaknya dia sangat
mengilar. Dia menoleh ke arah darimana dia datang tadi, tetap
dia tidak melihat Ya Bie, nonanya. Dia heran. Dia menoleh
pula melihat kedua buah, lantas dia tak sanggup bertahan lagi
dari keinginannya memakannya. Maka ia meletakkan Kiauw In
ditanah dan lompat kepada buah itu. Dia menjemput dan
membawa buah itu ke hidungnya, untuk dicium atau dia
melemparkannya pula. Dia pun lompat minggir.
Sunyi suasana disekitar situ. Si orang utan melihat
kelilingan. Tetapi Ya Bie tak kelihatan. Maka ia menoleh ke


arah buah, lalu maju menghampiri, buat menjemputnya. Kali
ini tak sangsi pula, dia makan buah itu. Selekasnya habis buah
itu, dia lompat akan menjemput buah yang kedua. Kali ini dia
tak lompat mundur pula, dia terus makan itu.
Boleh dibilang baru habis buah yang kedua itu, jatuh pula
yang ketiga.
Tanpa sungkan-sungkan, si orang utan pungut buah itu.
Lalu terjadilah lakon buah jatuh dan tak hentinya si orang
utan memungut dan memakannya. Dengan begitu tanpa
merasa, dia telah meninggalkan Nona Kiauw In yang tetap
rebah tak sadarkan diri itu. Dia menghampiri dan menjemput
buah tanpa lompat mundur pula. Itulah sebabnya kenapa dia
jadi terpisah dari nona Cio. Baru kemudian, tanpa merasa dia
telah menyeberangi kali dangkal itu dan tiba di tepi lainnya
terus ke dalam rimba !
Justru di depannya Kiauw In yang tengah rebah pingsan itu
muncul seorang wanita tua, yang tangannya memegang
tongkat. Dengan mata bersinar, nenek itu mengawasi si nona,
terus dia tertawa tawar dan kata seorang diri, "Dasar aku si
tua besar rejeki, aku dapat pula satu bahan yang berbakat
buat dijadikan muridku !"
Terus si nenek membungkuk dan mengulur sebelah
tangannya, yang taruh di depan hidung si nona, untuk merasai
hembusan nafas, setelah mana ia pun meraba nadinya nona
itu. Kemudian ia menatap muka orang, lalu pakaiannya, akan
akhirnya mengawasi pedang di bahu si nona.
Untuk sejenak, nenek ini memperlihatkan wajah seram,
terus dia menengadah langit dan tertawa dingin, lalau dia kata
pula seorang diri, "Rupanya nona ini muridnya si rahib tua she


Cio dari Pay In Nia, baik aku bawa pulang. Inilah kebetulan
sebab beberapa hari yang lalu, aku telah rampas si bocah she
Tio dari tangannya Tok Mo dan dia pun murid Pay In Nia !
Dua-dua anak itu berada ditanganku, dengan begitu aku akan
membuat malu pada si Cio imam tua, guna membalas sakit
hati tusukan pedangnya dahulu hari !"
Nenek itu ialah Im Ciu It Mo, orang yang merampas Gak
Hong Kun si It Hiong palsu. Dia tertawa pula dengan
girangnya. Kemudian dari sakunya dia mengeluarkan sebutir
obat pemunah racun, yang dia masukkan ke dalam mulutnya
Kiauw In sambil dia berkata, "Entah siapa yang dapat
mempelajari ilmu meracuninya Tok Mo dan dia melakukannya
terhadap anak muda. Hm, segala api kunang-kunang !"
Si nenek terus berdiam. Sambil mengawasi nona, ia
menantikan bekerjanya obatnya.
Lewat sekian lama, Kiauw In siuman. Ia bergerak untuk
terus bangun berduduk. Ketika ia membuka mata, ia melihat si
nenek di depannya.
"Kau terkena racun, nona." si nenek lantas berkata. "Sekian
lama kau tinggal tak sadarkan diri. Siapakah yang telah
meracunimu ?"
Kiauw In melegaka hatinya dengan menggerakkan kedua
tanganya, untuk diulurkan diluruskan. Setelah itu ia
mengawasi si nenek. Ia melihat sinar mata orang serta wajah
yang seram, lantas ia menerka yang ia kembali bertemu
dengan orang kaum sesat. Sendirinya, hatinya mengggigil.
Tapi menduga si neneklah yang menolong menyadarkanya, ia
lantas memberi hormat sambil berkata, "Boanpwe bertemu
Tok Mo ditengah jalan, dia merobohkan dengan racunnya.


Terima kasih yang locianpwe berprihatin terhadapku.
Locianpwe, siapakah yang telah membantu aku ?"
Si nenek tertawa dingin.
"Tok Mo !" katanya. "Bajingan tak tahu malu !" Hanya
sedetik, dia menambahkan, "Obat Ceng Liang San buatanku
dapat memunahkan racun apa juga dan dalam waktu yang
singkat sekali !"
Itulah jawaban yang tak langsung terhadap pertanyaan si
nona.
Kiauw In cerdas, dapat ia menerka maksud orang itu.
Kembali ia memberi hormat, kali ini untuk mengucap terima
kasih.
"Nona, kau terkena racun hebat, mungkin racun di dalam
tubuhmu tidak segera musnah seluruhnya." kata si nenek.
"Dan itu berbahaya buat hari depanmu, karena itu, supaya
aku tak menolong kepalang tangggung, maukah kau makan
sebutir lagi ?"
Ia lantas merogoh sakunya dan mengeluarkan sebutir pil
merah dadu yang ia terus angsurkan kepada si nona.
Diam-diam Kiauw In mengatur pernafasannya. Ia merasa
sehat seluruhnya. Karena itu ia mengangsurkan kembali obat
itu sambil ia kata, "Terima kasih locianpwe. Aku merasa
tubuhku sudah sehat seluruhnya, karenanya tak berani aku
makan obat locianpwe ini."
Si nenek mengawasi. Diam-diam dia memuji kecerdasan
orang. Sebenarnya dia memberikan obat guna melemahkan
urat syaraf si nona, agar dia lupa ingatan, supaya dia dapat


dijadikan murid. Dia berbuat begini karena dia tahu pasti, di
dalam keadaan sehat, tak nanti Kiauw In sudi menjadi
muridnya.
"Sebutir obat tak berarti apa-apa !" katanya tertawa. "Kalau
kau makan ini, nona, besar faedahnya untuk kesehatanmu.
Baiklah kau jangan sungkan."
Kiauw In bersangsi. Tak ada alasan buat ia menampik
terus, maka terpaksa ia menyambuti pula obat itu dan terus
menelannya.
"Hahaha !" It Mo tertawa saking riang dan puas hatinya.
"Nah, nona kalau kau tidak menyela tempatku yang buruk,
maukah kau turut aku untuk bermalam di sana ? Setelah
terang tanah kau boleh pergi."
Lantas si nenek mengulur tangannya buat memegang
tangan si nona, guna dituntun. Di dalam waktu yang singkat
itu, Kiauw In tetap sadar. Ia menyingkirkan tangannya sambil
ia mundur dua tindak.
Nenek itu heran yang ia tak dapat mencekal tangan orang.
Ia insyaf itulah disebabkan si nona lihai ilmu silatnya. Tetapi ia
berpura wajar, maka ia kata, "Baiklah nona, kalau kau kuatir
tempatku buruk. Nah, kau pergilah !"
Dengan membawa tongkatnya, nenek itu memutar
tubuhnya dan berjalan dengan perlahan-lahan.
Kiauw In merasa tak enak hati. Ia mengenal budi dan
orang telah menolongnya.


"Tunggu, locianpwe" katanya seraya ia bertindak
menghampiri. "Locianpwe, dapatkah aku yang muda
mengetahui nama atau gelaran mulia dari cianpwe ?"
Im Ciu It Mo berpaling dan berdiri diam, "Tak usah tergesagesa,
sanak." katanya. "Kelak di belakang hari kau akan
ketahui namaku."
"Locianpwe." Kiauw In tanya pula, "ketika tadi Locianpwe
tiba disini apakah Locianpwe melihat seorang nona bersama
seekor orang utan ?"
"Orang utan ?" nenek itu menjawab. "Dia lari ke dalam
rimba sana dimana dia mencari makan. Tentang anak
perempuan, tak aku melihatnya."
Hatinya Kiauw In bercekat. Ia kuatir Ya Bie terbinasa
ditangannya Tok Mo sebab nona itu mau membantunya. Maka
ia kata, "Locianpwe, hendak aku mencari adikku itu. Sampai
jumpa pula !" Terus ia memutar tubuh dan berlalu.
Im Ciu It Mo mengawasi sambil menyeringai.
"Hendak aku lihat, berapa jauh kau dapat pergi." katanya.
Kiauw In baru berjalan sepuluh tombak lebih tatkala ia
merasai panas dalam tubuhnya. Ia terkejut dan heran.
Matanya segera berkunang-kunang, penglihatannya kabur dan
kepalanya pun pusing, bumi bagaikan berputar. Lekas-lekas
dia menjatuhkan diri untuk berduduk buat lantas mengatur
pernafasannya. Selama itu ia masih ingat segala apa, hingga
ia lantas menerka apa mungkin tubuhnya belum bebas dari
sisa racun........ Sama sekali ia tidak menyangka jelek pada si
nenek penolong. Hanya sesaat kemudian, pikirannya mulai
lemah, meskipun ia bisa berpikir tetapi tak dapat ia mengingat


sesuatu yang ia pikir itu. Matanya pun berkunangan semakin
hebat. Diakhirnya habis sudah tenaga berpikirnya. Maka ia
duduk diam bagaikan patung.
Tak lama maka terdengarlah suara bentrokannya tongkat
kepada tanah. Itulah Im Ciu It Mo yang telah tiba. Dia
menghampiri si nona. Dan mengawasinya seketika. Terus ia
tertawa terkekeh. Kemudian lagi dia menarik tangannya si
nona itu sambil berkata, "Mari turut aku !"
Kiauw In tetap berdiam saja, ia jinak bagaikan kambing.
Karena ditarik ia bangun berdiri.
Si nenek tertawa pula dan kata, "Seorang terhormat tak
akan melakukan sesuatu yang gelap, maka itu aku si wanita
tua, setelah aku merampas murid orang, perlu aku
meninggalkan tanda peringatan........"
Menyusul kata-katanya itu, Im Ciu It Mo menekan pesawat
rahasia pada gagang tongkatnya. Lantas melesat sesuatu
tinggi setombak lebih terus jatuh ke tanah hingga menerbitkan
suara. Inilah lambang peringatannya yang dia namakan "Pie
Hoat Kwie Lian Kim Pay" atau pay atau lencana emas "Muka
Bajingan dengan Rambut Riap-riapan".
Demikian Kiauw In dibawa si nenek, lenyap daLam Sang
gelap petang.
Belum lama perginya si nenek, Ya Bie muncul bersama
orang utannya, yang ia berhasil mencarinya. Nona ini sia-sia
saja mencari Nona Cio. Adalah si orang utan yang berPekik tak
hentinya dan kemudian pergi ke tempat dimana Kiauw In
diletakinya. Disini dia menoleh kepada nonanya dan
menggerak-geraki kedua tangannya.


Ya Bie bingung sekali. Kiauw In adalah kenalan baru tetapi
kesannya terhadap nona itu mendalam sekali. Ia berdiri diam
mengawasi gerak gerik binatang piarannya itu. Si orang utan
mencium batu, tanah dan rumput dimana Kiauw rebah dan
duduk, terus dia berjalan mengikuti jalan yang dilalui Im Ciut
It Mo dan Kiauw In. Hanya selang beberapa puluh tombak,
segera dia kembali. Dia mencari terus disekitar situ sampai
mendadak berlompat dan tangannya lantas mencekal kimpay,
lencana emas yang ditinggalkan si Bajingan wanita tua. Dia
lari membawa itu kepada nonanya.
Ya Bie menyambuti lencana itu, yang bersinar di cahayanya
air kali. Ia mendapati ukiran yang merupakan sebuah muka
bengis seperti bajingan yang rambutnya terlepas dan terurai.
Lencana itu tidak ada hurufnya.
Tak dapat Ya Bie menerka benda itu berarti apa atau siapa
pemiliknya, ia membulak baliknya dengan sia-sia belaka.
Karena ia tetap tidak berdaya mencari tahu, kimpay itu ia
memasuiki ke dalam sakunya.
Di saat itu, mendadak si nona mendengar suara apa-apa
yang terbawa angin. Ia kuatir Tok Mo datang menyusul, lekaslekas
ia mengajak orang utannya lari untuk masuk ke dalam
rimba untuk bersembunyi.
Demikianlah Ya Bie karena mencintai It Hiong telah
mengajak binatang piaraannya berputar-putar mencari si anak
muda dan kemudian Kiauw In dan nona Cio sebaliknya dalam
perjalanannya membuat penyelidikan telah terjatuh ke tangan
si nenek Im Ciu It Mo hingga selang satu bulan dia muncul di
Hek Sek San sebagai pesuruh dari Bajingan wanita tua itu
untuk mengusir pergi Hay Thian Sin Ni dari gua Lu Sian Giam !


In Ciu It Mo telah menyembunyikan diri selama tiga puluh
tahun. Setelah berhasil melatih ilmu Sun Im Cit Sat Kang, dia
muncul pula dalam dunia Kang Ouw dan kali ini dengan citacitanya
yang besar guna menjagoi dunia persilatan ! Buat
mencapai cita-citanya itu, dia membutuhkan dan mencari
banyak pembantu yang terdiri dari muda mudi. Demikian dia
mendapati Tio It Hiong palsu dan Cio Kiauw In yang dia beri
obat menghilangi ingatan pribadinya, hingga orang dapat
dititahkan berbuat segala apa menuruti kehendaknya, tanpa
orang sadar akan perbuatannya itu. Obatnya itu yang lihai dia
beri nama Thay Siang Hoan Huo Tan - pil mustajab berubah
roh atau sifat.
Sesudah sadar habis makan Tay Siang Hoang Huo Tan,
Kiauw In cuma kenal Im Ciu It Mo seorang, yang segala
perintahnya ia turuti tak perduli ia dititahkan menyerbu api
atau air.
Sementara itu Im Ciu It Mo jeri terhadap beberapa jago Bu
Lim rimba persilatan seperti Tek Cio Siangjin dari Pay In Nia,
Pat Pie Sin Kit In Gwa Sian, Pie Sie Siansu dari kuil Gwan Sak
Sie di Ngo Tay San dan Kio Hiat Hong Mo di Cenglo Ciang juga
Ie Tok Sinshe si jago racun yang empat puluh tahun dahulu
telah terjatuh kedalam lembah es. Seorang lagi yang dia
segani ialah Hay Thian Sin Ni dari Pouw To Sie di Haylam.
Sekarang hatinya menjadi besar sebab dia dapat kenyataan
separuh dari orang-orang yang disegani itu sudah menutup
mata sedangkan kepandaiannya sendiri bertambah lihai.
Sebenarnya ia menyuruh Kiauw In mengusir Hay Thian Sin Ni
dengan maksud memancing kemarahannya si nikouw supaya
nikouw ini datang mencari padanya, agar mereka bisa
mengadu kepandaian. Tidak ia sangka halnya Sin Ni
berpandangan jauh dan dengan lunak mengajak Cukat Tan
dan Teng Hiang meninggalkan guanya itu........


Setelah itu, Im Ciu It Mo hendak menyeterukan Pie Sie
Siansu dan Kip Hiat Hong Mo buat nanti menjagoi dalam
pertemuan Bu Lim Cit Cun. Ia percaya bahwa ia bakal dapat
mengalahkan kedua musuhnya itu ! Begitulah dengan
mengajak Gak Hong Kun dan Cio Kiauw In ia berangkat ke
Ngo Tay San. Semua muridnya yang lainnya ia tinggalkan di
gunungnya sebab ia mempunyai suatu maksud lain.
Gak Hong Kun dan Cio Kiauw In telah dikenal umum
menjadi murid-muridnya siapa. Kalau mereka melakukan
sesuatu karena diperintah Hant tua ini orang tak akan
menyangka jelek kepadanya. Dengan begitu, ia jadi seperti
memfitnah Pay In Nia sebab Hong Kun tengah menyamar
sebagai It Hiong. Sebaliknya murid-muridnya yang asli, tak
usah mereka itu menjual muka berkeliaran di tempat umum
kecuali nanti dalam pertempuran Bu Lim Cit Cun.
Satu hal lagi ialah It Mo menyerang Gwan Sek Sie secara
menggelap. Dia bersama dua orang muridnya yang mirip
boneka itu sampai di Ngo Tay San setelah perjalanan tak
kurang sepuluh hari.
Gwan Sek Sie menjadi salah satu cabang dari Siauw Lim
Sie, kuilnya besar dan agung. Tiba di depan kuil, It Mo
mengawasi dengan perhatian kiri kanannya. Ia tiba waktu
fajar, maka itu dari dalam kuil masih terdengar suara para
pendeta tengah liam keng membaca ro la seperti biasanya
setiap pagi. Ketika itu hawa nyaman dan burung-burung masih
mengoceh disarangnya.
Dengan senantiasa membawa tongkatnya, Im Ciu It Mo
mendaki tangga. Hong Kun dan Kiauw In mengikutinya. Tiba
di muka pintu gerbang, si Bajingan membisiki sesuatu kepada
kedua pengikutnya terus dia lompat naik ke tembok untuk


masuk ke dalam kuil. Kedua murid itu masih berdiam sekian
lama baru mereka pun turut berlompat masuk.
Selama itu disekitar situ tak ada seorang pendeta jua.
Semua tengah berkumpul di Toa tian pendopo besar, sedikit
yang berdiam di masing-masing ruang atau tempatnya. Itulah
yang menyebabkan tiga orang itu dapat memasuki kuil tanpa
rintangan.
Semasuknya Hong Kun dan Kiauw In ke dalam kuil, mereka
lantas merabu setiap pendeta yang diketemukan. Maka juga
selewatnya beberapa ruang atau pendopo, setiap pendeta
yang bertugas di semua pendopo itu telah mesti menerima
bagiannya terluka atau terbinasa. Dan teriakan-teriakannya
mereka itu sampai terdengar ke Toa-tian, hingga para pendeta
disitu menjadi terkejut.
Segera juga dari dalam Toa tian terdengar suara genta dan
nyaring mengalun sampai di luar pendopo itu. Dengan begitu
maka berhentilah suara membaca doa. Di dalam sekejap
seluruh pendopo menjadi sunyi sekali.
Di kuil Gwan Sek Sie, tak pernah terjadi disaat orang
melakukan ibadah itu orang berhenti serentak, dan semua hati
lantas menjadi tegang sendirinya.
Sebelum mereka mendapat perintah dari ketuanya, mereka
tidak berani sembarang bergerak. Semua berdiam dengan
hormat dan tenang dihadapan Sang Buddha. Semua duduk
dengan kepala tunduk dan mata dipejamkan. Tak ada seorang
juga yang berkisar dari tempatnya.
Segera setelah kesunyian itu, terdengarlah suaranya Pie Te
Siansu, ketua dari Gwan Sek Sie, yang perutnya besar, "Para
petugas, kalian kembali ke tempat masing-masing ! Para


murid, bersiaplah dengan senjatamu masing-masing guna
menghadapi setiap kejadian !"
Semua pendeta itu memperdengarkan penyahutan mereka
bahwa mereka sudah mengerti. Lantas semuanya memberi
hormat dan segera berlalu, pulang ke masing-masing tempat
tugasnya. Sedangkan para murid, habis bubaran, sudah lantas
kembali dengan membawa senjatanya masing-masing. Justru
itu tibalah Hong Kun berdua.
Pie Te Taysu bertindak ke depan dua orang muda-mudi itu
seraya terus memberi hormat.
"Sicu berdua," ia menegur, "kenapa sicu lancang memasuki
kuil kami serta sudah lantas melakukan penyerangan hingga
timbul korban-korban jiwa dan luka ? Apakah sicu tidak
pernah membayangkan pikiran bagaimana menderitanya
orang-orang yang roboh sebagai korban-korban itu ?"
Pendeta ini sudah lantas menerima laporan tentang
penyerbuan tak disangka itu.
Kiauw In berdua Hong Kun melongo saling mengawasi,
mereka tidak menjawab teguran itu.
"Kedua sicu," Pie Te bertanya pula. "siapakah guru sicu dan
dengan kuil kami ada permusuhan apa ?"
Kiauw In tidak menjawab, dia hanya bersenyum. Lantas dia
maju dua tindak dibarengi dengan satu serangan jurus Hang
Liong Hok Houw Ciang. Pie Te terkejut tetapi dapat dia
berkelit ke samping. Terus ia mengawasi tajam nona
penyerangnya itu. Sama sekali ia tidak mau membalas
menyeranga, sebab ia merasa aneh akan serbuan itu. Kiauw


In berlompat maju, ia menyerang pula, bahkan kali ini ia
menghajar terus menerus sampai tujuh kali !
Pie Te Taysu repot mengelakkan dirinya. Di sebelah itu
herannya bertambah-tambah. Ia mengenali ilmu silatnya Pat
Pie Sin Kit, yang didasarkan atas tenaga Tong Cu Kang. In
Gwa Sian manusia aneh, dia tak kenal paras elok dan dia juga
tak pernah mempunyai murid perempuan. Maka itu siapa nona
ini yang justru menggunakan ilmu silatnya si pengemis ?
Menguasai diri sendiri, Pie Te memuji Sang Buddha. Tetap
ia berlaku sabar.
"Sicu," tanyanya pula, "kau pernah apakah dengan sicu In
Gwa Sian ?"
Ditanya begitu dengan disebutnya nama In Gwa Sian,
Kiauw In berhenti menyerang, ia menggeleng kepala. Dengan
sinar mata buram ia mengawasi saja si pendeta. Sebagai
seorang pendeta tua dan banyak pengalamannya, Pie Te
lantas menerka sebabnya si nona berlaku aneh itu :
Menyerbu, menyerang dan berdiam......
Justru Kiauw In berdiam, justru Hong Kun menyerang,
bahkan dia ini menggunakan pedangnya. Dengan berkilauan
menyilaukan mata ujung pedang mencari sasaran pada perut
besar dari si pendeta ! Pie Te Taysu tak mundur atau berkelit,
dia membiarkan pedang mengenai perutnya itu.
Aneh, pedang itu melesat ke sisi dan cuma merobek
jubahnya si pendeta.
"Sicu !" Pie Te tanya penyerang itu, "Sicu, pernah apakah
kau dengan It Yap Totiang dan Heng San ?" Inilah karena dia
mengenali ilmu silatnya kaum Heng San Pay.


Hong Kun tertawa. Dia tidak menyerang pula, sambil
menarik pulang pedangnya, dia terus berdiri diam. Pie Te
Taysu mengawasi tajam anak muda itu, lalu mendadak ia
berseru keras laksana bunyi guntur di siang hari. Ia mau
mencoba menyadarkan muda mudi itu., yang ia terka
sebabnya kenapa mereka menjadi demikian rupa.
Hong Kun dan Kiauw In tampak terkejut, keduanya
melengak. Tapi cuma sebentar, mereka pulang asal seperti
semula. Mereka berdiri bengong tak berbicara, tak bergerak.
Berdua mereka berhadapan. Hanya sebentar matanya Hong
Kun mencilas lalu mendadak dia menyerang pula.
Pie Te Taysu berkelit ke samping terus ia berseru :
"Ringkus mereka ini !"
Segera muncul dua orang pendeta setengah tua, yang
jubahnya abu-abu dan senjatanya golok kaylo dan sebatang
tongkat panjang masing-masing. Dan mereka lantas
menyerang Hong Kun dan Kiauw In. Menyusul itu, tiga puluh
enam pendeta lainnya turut bergerak pula, cuma mereka
bukan membantu menyerang hanya terus mengambil sikap
mengurung. Sebab mereka telah mengatur tiu atau pasukan
istimewa, yang diberi nama Lohan Tiu atau Tiu Arhat !
Pendeta bersenjata tongkat itu menempur Gak Hong Kun.
Dia bersilat dengan Lohan Thung hoat, ilmu silat Tongkat
Arhat. Dengan menderunya anginnya tongkat, terang ternyata
itulah Gwa Kang atau Nge Gung, ilmu silat keras. Tetapi dia
menghadapi ilmu silat pedang Heng San Pay yang
mengutamakan keringanan dan kegesitan tubuh, maka
tongkatnya tak dapat berbuat banyak. Pendeta yang
bersenjata golok menggunakan ilmu silat Golok Arhat,
nampaknya dia bisa bergerak cepat dan tenaga dalamnya


sempurna karena mana sanggup dia melayani Kiauw In hingga
senjata mereka berdua berkelebatan bagaikan kilat, naik dan
turun ke sisi kiri dan kanan.
Pie Te Taysu menonton dengan kekaguman. Lekas juga
tiga puluh jurus telah berlalu tetapi si pendeta bergenggaman
tongkat tak dapat berbuat apa-apa terhadap lawannya. Ia
mencoba mengerahkan tenaga, tetap ia tak memperoleh hasil.
Walaupun otaknya tidak sadar, Hong Kun tak melupai ilmu
silatnya. Apa pula diapun mulai mendapat tambahan ilmu san
Im Cut Kang dari Im Ciu It Mo. Maka itu sesudah banyak jurus
itu, ia lalu mencoba kekerasan. Begitulah ketika satu kali
tongkat meluncur ke tubuhnya, ia menangkis dengan satu
tebasan !
Berisik suara terbenturnya kedua senjata yang percik
apinya berhamburan. Melihat beradunya senjata itu, Pie Te
Taysu terperanjat. Baru sekarang ia mendapat tahu yang
pemuda yang menggunakan Kie Kwat Kiam pedang mustika.
Hingga bisa-bisa tongkat muridnya nanti terbabat kutung.
"Tahan !" ia berseru. Ia berkuatir muridnya nanti bercelaka
dan nama Gwan Sek Sie tercemar.
Pertempuran berhenti lantas. Kedua lawan sama-sama
mundur. Bahkan Kiauw In dan lawannya turut berhenti juga.
Semua lantas mengawasi si pendeta tua !
"Kedua sicu." Pie Te menanya muda mudi itu. "Sicu,
apakah kalian ingat nama atau gelaran guru kalian ? Dapatkah
sicu sekalian menyebutnya buat lolap dengar ?"
Suaranya pendeta ini perlahan dan ramah, suara itu
mendatangkan kesan baik bagi si muda mudi.


Kiauw In mengawasi, sinar matanya memain. Ia nampak
mengingat-ingat.
"Guruku ialah Im Ciu It Mo." sahutnya sejenak kemudian.
Hong Kun mengulapkan tangannya dan tertawa. Katanya,
"Baru aku ingat itu. Tetapi kau telah mendahului
menyebutnya..."
Kata-kata itu lucu, maka semua pendeta bersenyum tak
kecuali dua pendeta yang baru habis bertempur itu.
Pie Te tidak menghiraukan lagak orang, bahkan ia mencoba
menirunya.
"Guru kalian bukannya cuma satu." katanya pula, tetapi
ramah. "Mesti ada guru kalian yang lainnya ! Coba sebutkan !"
Muda mudi itu saling mengawasi, mereka tidak lantas
menjawab, mereka hanya lantas tunduk untuk berpikir. Pie Te
Taysu semua mengawasi. Terus kedua muda mudi itu berpikir.
Mereka seperti lagi mengasah otak, buat mengingat-ingat.
Mereka menggaruk-garuk belakang kepala mereka atau
memegangi dahi. Masih mereka tak dapat ingat.
"Pat Pie Sin Kit In Gwa Sian............." berkata Pie Te Taysu
perlahan. Ia mau membantu mengingati, "It Yap Totiang dari
Heng San !"
Kata-kata itu diucapkan satu demi satu dan dengan
penuturan ilmu Toan im Jip Bie. Maka juga masuknya ke
dalam telinga tajam dan tegas sekali. Muda mudi itu nampak
terkejut, mereka mengangkat kepala mereka mau mereka
membuka mulut atau di detik yang lain mereka batal. Lantas
sinar mata mereka menjadi geram dan kepala mereka


digoyang-goyangi ! Hal itu menunjuki hebatnya obat Toay
Siag Hoang Hun Tan dari Im Ciut It Mo.
Ketika itu mendadak terdengar seruan yang sangat nyaring
dan tajam, entah darimana datangnya. Hanya tahu-tahu telah
masuk ke dalam pendopo besar. Suara itu membuat telinga
ketulian dan hati berdebaran. Sedangnya para pendeta heran,
Hong Kun dan Kiauw In mendadak lompat menyerang
menyerbu Lohan Tiu !
Ketigapuluh enam pendeta terkejut, tetapi mereka sempat
menangkis, buat seterusnya mereka melayani kedua penyerbu
itu, hingga mereka jadi bertarung seru sekali.
Kiauw In lemah lembut tetapi setelah mendengar seruan itu
mendadak dia menjadi beringas, ia selalu menyerang dengan
bengis. Hong Kun bengis juga tetapi dialah tak aneh sebab
sejak gagal dalam urusan asmara, dia berubah sifat, dia jadi
mudah membenci dan tak segan-segan melukai dan
membunuh orang, hanya saja, seruan itu membuatnya
bertambah ganas, dia bagaikan memandang para pendeta
seperti musuh-musuh besarnya !
Sudah seratus tahun lebih Lohan Tiu menjadi Barisan
istimewa dari Siauw Liem Sie. Barisan itu dianggap sebagai
pembela dan pelindung, maka juga setiap pendeta yang
menjadi anggautanya semua telah terlatih baik. Dengan
begitu, mereka dapat bekerja sama dengan sempurna. Cepat
dan lincah mereka mengambil tempatnya masing-masing,
terutama dalam hal mengganti kedudukan atau saling mengisi
kekosongan. Diantaranya ada dua jurus utama yang
dinamakan "It Ceng Jie Hu" atau Satu lurus, dua kiri dan
kanan". Artinya saban habis menikam atau membacok, golok
tentu diteruskan dipakai menebas kedua samping.


Apa yang merugikan Hong Kun dan Kiauw In ialah
walaupun mereka sama-sama lihai, perguruan asal mereka
berlainan, jadi dalam hal bekerja sama mereka tidak
mendapatkan kecocokan. Benar mereka sudah mempelajari
Sun Im Cit Sat Kang tetapi latihannya belum lama dan
karenanya belum sempurna. Demikianlah tidak lama, dari
rapat mereka dapat dipisahkan satu dari lain.
Pie Te Taysu memuji Sang Buddha setelah dia menonton
sekian lama dan mendapatkan muda mudi itu gagah berani
dan ulet sekali. Ia cuma heran yang seperti lupa ingatan.
Justru tengah pertempuran berlangsung dan Pie Te Taysu
lagi beragu-ragu, tiba-tiba ia lihat dari ambang pintu pendopo
munculnya seorang pendeta usia setengah tua, yang jubahnya
kuning, pendeta mana bertindak masuk dengan cepat. Dia
melihat pertempuran itu tetapi dia tidak menghiraukan,
langsung dia menghampiri Pie Te, untuk terus memberi
hormat sambil menjura dan memuji San Buddha.
Pie Te Taysu membalas hormat sambil mengawasi dengan
tajam, hingga ia mengenali bahwa orang adalah pendeta dari
Siauw Lim Sie pusat di Siong San. Maka lekas-lekas ia berkata,
"Ada apakah dengan kunjungan ini ? Silahkan masuk !"
Walaupun pendeta itu ada dari tingkat lebih muda,
terhitung sebagai kemenakan murid, Pie Te toh berlaku
hormat seperti biasa.
Pendeta itu menjura pula sambil mengucap terima kasih.
Kemudian dari punggungnya dia meloloskan satu bungkusan
kuning, dari dalam mana dia mengeluarkan sejilid naskah
hoat-tia sambil mengangsurkan dengan kedua tangannya, ia
berkata, "Tecu diperintahkan Paman guru Liauw In


menyampaikan hoat-tiap ini dengan permintaan supaya
paman menyampaikannya kepada bapak ketua disini."
Pie Te Taysu menyambut. Ia melihat hoat-tiap diikat
dengan tali kain kuning dan dilapis dengan tali sutera merah,
maka tahulah ia artinya kiriman itu.
"Apakah pesannya kakak seperguruan Liauw In ?"
tanyanya.
Pesuruh itu menjawab dengan perlahan, "Paman guru
Liauw In berkatai bahwa hari upacara besar harus
dirahasiakan supaya pihak sesat tak dapat datang mengacau."
Pendeta tua itu mengangguk, terus ia memutar tubuh buat
berjalan dengan cepat ke dalam, tetapi baru beberapa tindak
dia sudah berhenti melangkah, dia memutar tubuh pula
sembari berkata, "Keponakan Bu Kie pergilah kau beristirahat
!" Setelah itu ia melanjuti berjalan masuk.
Pendeta pesuruh itu memang Bu Kie namanya. Dialah
murid tingkat dua dan gurunya ialah Ang Sian Siangjin,
Tianglo dari Kam Ih.
Sejak wafatnya Pek Cut taysu dan matinya Ang Sian
Siangjin disusul dengan matinya ke empat Tianglo, Siauw Lim
Sie selalu berada dalam saat-saat tegang maka juga kuil
dijaga keras. Pendeta tertua tinggal Liauw In seorang, karena
mana pendeta ini harus bekerja keras memegang tampuk
pimpinan sementara sebelum pemilihan atau pengakuan ketua
baru, kemudian dengan persetujuannya semua pendeta
pemilihan ketua dilaksanakan dan diangkat ialah seorang
murid yang usianya masih muda dari Pek Cut Siansu,
sedangkan kelima Kam Ih dipilih dari angkatan kedua. Karena
itu upacara pelantikan harus dilakukan. Biasanya upacara itu


dilakukan secara besar dan agung dan khidmat. Maka juga
undangan harus dikirim secara meluas terhadap semua
cabang Siauw Lim Sie. Hanya kali ini disamping kehidmatan
upacara mau dilakukan secara tertutup supaya jangan ada
pihak luar yang mendapat tahu, agar tak ada pengacauan oleh
pihak luar itu.
Hatinya Bu Kie lega setelah dia selesai menjalankan
tugasnya, maka itu sempat dia menyaksikan bentroknya
Lohan Tiu hanya tahu bahwa itulah pertempuran benar-benar
sedangkan mulanya dia menyangka kepada latihan biasa.
Selama memasuki kuil dia pula tidak melihat para pendeta
yang terbinasa dan terluka, maka dia tak tahu apa-apa. Hanya
apa yang mengherankannya ialah pihak yang diserang itu
cuma dua orang muda, sepasang muda mudi. Sendirinya dia
memasang mata tajam untuk melihat tegas terutama guna
mencari tahu dari ilmu silat mana muda mudi itu, mereka ada
rumah perguruan atau partai mana. Selekasnya dia melihat
tegas, dia heran hingga dia tercengang. Dia mengenali itulah
suami isteri Tio It Hiong dan Cio Kiauw In, dua orang
pelindung atau penolong dari Siauw Lim Sie. Hanya sedetik
itu, dia tak dapat mengenali penyamarannya Gak Hong Kun.
Maka dia hanya mengenali It Hiong.
"Aneh !" pikirnya. "Kenapa kedua penolong dari Siauw Lim
Sie justru bertempur di Gwan Sek Sie ini ?"
Tak lama Bu Kie ragu-ragu itu, sebab ia telah
terpengaruhkan perasaan hatinya sendiri yang tegang. Tibatiba
dia berseru dengan panggilannya, "Sicu Tio It Hiong !"
Sedangnya pertempuran berlangsung hebat itu, karena itu
seperti tidak ada yang dengar sebab orang bertempur terus
dengan serunya. Yang menyahuti ialah berisiknya bentrokan
pelbagai senjata tajam.


Dari heran, Bu Kie menjadi penasaran. Dia memang
bertabiat keras. Dia melihat tegas, kecuali tiga puluh enam
pendeta yang lagi berkelahi itu, yang lainnya yang berkumpul
di pinggiran tidak ada yang tidak menunjuki tampang gusar.
Kenapakah orang agaknya sangat membenci muda mudi itu ?
Segera setelah habis sabarnya, pendeta pesuruh dari Siauw
Lim Sie lantas berseru, "Tahan !" Hebat suaranya itu tetapi dia
tak dapat menghentikan Lohan Tiu. Adalah dua orang pendeta
yang tak turut bertempur yang lantas lari menghampiri
pendeta dari Siong San itu, untuk mengawasinya dengan mata
mendelik. Mereka memberi hormat tetapi keduanya menanya
dengan suara dalam, "Suheng, kalau suheng tidak punya
urusan apa-apa, silahkan istirahat di dalam pendopo samping
sana ! Buat apa suhen berseru ?"
"Su heng" ialah kakak seperguruan.
Bu Kie sedang mengawasi medan pertempuran, waktu ia
melihat dua pendeta muda itu dan mendengar suara orang
yang dalam itu.
"Hm !" ia memperdengarkan suara dingin. "Sute berdua,
apakah kalian kenal atau mengenali sepasang muda mudi
yang sedang dikepung itu ?"
"Sute" ialah adik seperguruan.
Salah seorang pendeta bukannya menjawab hanya
menanya keras, "Suheng pernah apakah dengan mereka itu ?"
Itulah kata-kata yang nadanya mengejek.


Hampir Bu Kie mendamprat pendeta itu, baiknya ia ingat
bahwa mereka adalah dari satu perguruan dan ia sendiri
berkedudukan lebih tinggi.
"Hm !" ia mengasih dengar pula suara dinginnya, sebab
saking hebatnya ia menguasai hatinya yang panas itu, sedang
wajahnya terlihat merah padam. "Kedua muda mudi itu bukan
sanak atau kadang dari kakakmu ini tetapi mereka adalah
kedua penolong dan pembela dari kuil kami !"
Kedua pendeta itu heran sampai mereka mengawasi
dengan mendelong.
"Apakah pria itu adalah Tio It Hiong yang melabrak dan
mengusir kawanan bajingan penyerbu Siauw Lim Sie ?"
mereka tegaskan.
Bu Kie membaliki dengan suara dalamnya, "Sute, apakah
kau tidak kenal tuan penolong kami itu ?"
Belum lagi si pendeta menjawab, atau dari medan
pertempuran terdengar suara bentakan dan berisikanya
beradunya senjata. Kiranya pihak Lohan Tiu telah
memperkeras serangannya. Itulah yang dinamakan perubahan
tingkat dua dan namanya ialah "Bun Had Tiauw Thian,"
Berlaksa Buddha Menghadap Ke Langit kepada Tuhan".
Pendeta yang menjadi pimpinan Barisan sudah lantas lompat
kepada Hong Kun dan Kiauw In buat mulai dengan
seranganya dahsyat. Karena desakan itu, muda mudi itu
melawan dengan sama kerasnya.
Dengan perubahan itu, para pengurung lantas berubah
menjadi dua rombongan dan pengurungan atau penyerangan
menjadi bergantian. Yang kiri dan yang kanan bergantian


maju, serangannya hebat sekali. Itulah yang menyebabkan
suara berisik itu.
Bu Kie terperanjat menyaksikan perubahan itu. Dan melihat
nyata bagaimana muda mudi itu didesak hebat.
Sampai disitu terlihat bedanya diantara Hong Kun dan
Kiauw In. Si anak muda ternyata kalah latihan, dia kalah ulet.
Kerja sama mereka jadi tak teratur dan berat sebelah.
Di pihak Lohan Tiu, orang tetap bersemangat dan ulet.
Kegagahan para pendeta itu tak berkurang bahkan lebih
mantap.
Bu Kie menjadi mandi peluh tanpa merasa. Dia mesti
menyaksikan suasana hebat itu. Di dalam keadaan seperti itu,
lebih-lebih tidak sempat dia meneliti Hong Kun. Dia hanya
menyangkan bahwa It Hiongsudah mulai letih, ia tidak
memikir kenapa tuan penolong dari Siauw Lim Sie itu menjadi
demikian lemah, bahwa ilmu silatnya beda dari ilmu silatnya
Kiauw In. Mereka berdua toh suci dan sute, kakak beradik
seperguruan. Kenapa bukannya mereka menang atau dapat
merobohkan keluar dari tiu tetapi justru terus terkurung.
Di saat itu tampak Hong Kun dikepung empat buah golok,
yang menyerangnya dari atas dan bawah, dari kiri dan kanan.
Dari berkelit sambl menangkis jurus "Dengan Delapan Tangan
Membunuh Naga" sebuah jurus istimewa dari Heng San Pay.
Dengan berkelit itu, dapat dia mundur tiga tindak. Tapi dia tak
luput seluruhnya. Ada golok yang menggores celananya, serta
mengenai betisnya hingga kulitnya berdarah.
"Tahan !" berteriak Bu Kie sambil dia berlompat maju,
niatnya membantu orang yang dia sangka It Hiong itu, tetapi
bukannya dia maju, dia justru tertarik balik sebab mendadak


ada tangan yang kuat yang membetotnya dari belakangnya.
Hingga dia menjadi heran dan lekas-lekas menoleh. Sehingga
dia melihat Pie Te Taysu dihadapannya.
"Susiok !" panggilnya sambil dia lekas-lekas memberi
hormat. Di saat itu mukanya masih merah sebab gusar dan
mendongkol.
Pie Te Taysu mrengulapkan tangan terus ia tertawa.
"Sutit, selesailah tugasmu !" katanya. "Pergilah kau pulang
!"
Bu Kie sang kemenakan murid melengak.
"Susiok," katanya pada paman guru itu, "orang didalam itu
ialah........"
Belum habis ia berkata tubuhnya Bu Kie sudah terpental
keundakan tangga Toa tian. Tapinya dia tak jatuh, dapat dia
berdiri tegak. Lantas dia mendengar suara yang disalurkan
dengan ilmu Toan Im Jip Bit : "Dua orang ini sudah menyerbu
kuil, dia telah membinasakan dan melukai beberapa anggauta
kita, maka itu mereka berdua hendak ditawan untuk diperiksa.
Sutit, baik jangan campur tangan hanya lekas-lekas kau
pulang membawa laporan."
Bu Kie bingung, ia bersangsi. Tetapi ia mempunyai tugas, ia
pun mesti percaya paman gurunya itu. Maka itu dengan hati
tak karuan rasa lantas ia melakukan perjalanan pulang.
Hong Kun sementara itu letih sekali, kecuali luka dibetisnya
itu, ia terluka parah sebab ia masih dapat memaksa bergerak
dengan cepat dan cepat.


Kiauw In tidak terluka, tapi sia-sia saja percobaannya akan
menerobos keluar. Beberapa kali ia mencoba selalu gagal
hingga ia kembali terdesak ke dalam tiu dan terkurung.
"Kedua sicu !" terdengar Pie Te Taysu berkata nyaring,
"jika kalian sudi meletakkan senjata kalian dan manda
ditangkap, pinceng akan memberi ampun kepada kalian !"
Suara itu mendapat jawaban tidak diperhatikan sama
sekali. Sekalipun telah diulang dan diulangi beberapa kali.
Muda-mudi itu berkelahi terus. Mereka tampak seperti tak
mendengar apa-apa.
Pie Te Taysu telah melihat keadaan orang, ia menduga
muda mudi itu menjadi korban racun maka ia merasa kasihan
terhadap mereka dan tak ingin segera membinasakannya.
Tidaklah demikian dengan para pendeta yang bersakit hati
dan membenci hingga memikir menuntu balas bagi sekalian
saudara mereka. Demikianlah, habis seruan Pie Te berseruseru
itu, pemimpin tiu berseru nyaring goloknya diangkat naik
digeraki sebagai aba-bab, maka lagi sekali tiu bergerak secara
luar biasa gesit dan bengis. Bayangan orang dan sinar golok
bergerak makin cepat.
Di dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba dari pojok kiri
pendopo terlihatnya berkelebat satu bayangan terus tampak
munculnya seorang seebie, kacung pendeta. Dia lari
menghampiri Pie Te Taysu untuk memberi hormat dan
berkata, "Di houw tian terdapat musuh, maka itu Ciang bun Su
sun menitahkan Susiok pergi menghadangnya !"
Ciang bun Su Cun ialah ketua kuil dan houw tian pendopo
belakang. Di pendopo belakang itu terdapat banyak kamat,
satu diantaranya menjadi "Ceng sit" kamar istirahat dari Sie


Siansu, ketua dari Gwan Sek Sie. Kamar dipisahkan sendiri
dengan sebuah taman.
Pie Te Taysu kaget sekali.
"Baiklah !" bilangnya sambil memberi isyarat.
Selagi kacung ini mengundurkan diri, Pie Te sudah
berlompat ke gang yang menuju ke belakang.
Semua pendeta di kiri dan kanan heran melihat Pie Te
Taysu berlalu secara demikian tergesa-gesa, tetapi karena
aturan kuil keras sekali, tanpa ijin atau perintah, mereka tidak
berani meninggalkan tempat.
Jilid 47
Mendadak ada terdengar sesuatu suara diatas penglari
Toa-tain disusul dengan terlihatnya beberapa titik hitam
menyambar ke arah
Lohan Tiu. Berbareng juga mendengung siulan keras dan
nyaring, seperti tangisan iblis, sangat menusuk telinga dan
menembusi hati hingga tubuh orang menggigil karenanya.
Bukan itu saja, titik-titik hitam itu telah membentur beberapa
buah golok hingga goloknya tiga orang pendeta terlepas dari
cekalannya dan terpental jatuh, habis mana titik-titik hitam itu
lantas terbang pergi.
Karena itulah beberapa ekor kampret.
Heran bahwa kampret dapat membuat golok terpental,
maka itu pada itu pastilah ada sebabnya dan sebab itu bukan


lain bahwa kampret itu telah ditimpukkan oleh seseorang yang
tenaga dalamnya mahir sekali.
Seterbangnya beberapa ekor kampret itu, lagi ada titik-titik
hitam seperti tadi yang menyambar kedalam tiu. Kembali ada
tiga buah golok yang jatuh ke lantai sedang si pendetanya
berkaok kesakitan dan tangannya yang kiri memegang
lengannya yang kanan yang memegang golok itu !
Kembali tiga ekor kampret terbang pergi.
Kejadian itu hebat bekerjanya, Lohan Tiu menjadi kacau
seketika, apa pula ketika terdengar pula siulan nyaring dan
menyeramkan, mendengar mana sebaliknya, Hong Kun dan
Kiauw In seperti mendapat semangat lantas keduanya
menyerang dengan hebat hingga dilain saat mereka berhasil
menerobos kurungan, tak perduli lowongannya tiu itu sudah
lantas ditambal oleh kawan-kawannya yang diluar kalangan.
Pemimpin Lohan Tiu yang merasa heran segera
memperdengarkan suaranya, "Orang pandai dari mana telah
datang kemari ? Kenapa kau menyembunyikan kepala
menonjolkan ekor ? Kenapa kau menyerang secara menggelap
? Bagaimana andiakata kau memperlihatkan dirimu ?"
Pertanyaan itu tidak mendapat jawaban, hanya setelah
diulangi dengan terlebih keras, barulah terdengar jawabannya
yang berupa tawa dingin berulang-ulang. Kemudian barulah
terdengar kata-katanya, "Muridku, jangan libatkan diri dengan
ini rombongan keledia gundul ! Lekas kalian menyerbu ke
dalam kamar pertapaan, gurumu hendak menempur si keledia
tua Pie Sie !"
Hong Kun dan Kiauw In melengak, tetapi segera mereka
menjawab, lantas mereka berlompat pergi menuju ke


belakang, memasuki gang untuk ke Houw tian. Kawanan
pendeta hendak menghadang, sayang mereka terlambat.
Itulah karyanya Im Ciu It Mo yang mula-mulanya terus
main menyembunyikan diri karena sifatnya ialah
menggunakan tenaga kedua murid istimewa itu, guna
mengacau pendeta-pendeta dari Gwan Sek Sie. Dengan begitu
dia juga main perang urat syaraf. Sebab aneh Kiauw In dan
"Tio It Hiong" menyerbu kuil Gwan Sek Sie yang menjadi
cabang dari Siauw Lim Sie. Dia girang melihat kedua murid itu
bisa mengacau dengan baik, sampai ia mendapatkan mereka
itu terkurung. Maka juga, sampai disitu, ia menolong
meloloskan mereka itu, yang terus diberi tugas lain.
Lebih dahulu daripada itu Im Ciu It Mo telah menghajar
mati beberapa pendeta houw tian. Dengan begitu dia
menggunakan akal mengacaukan kedua belah pihak hingga
saatnya Pie Te Taysu meninggalkan Toa-tian. Ia sengaja
memperdengarkan suara nyaring buat mengejutkan orang.
See bie yaitu kacung pendeta yang menjaga Ceng sit
menjadi murid termuda dari Pie Sie Siansu. Ketika dia
mendengar suara itu, dia keluar untuk melihat. Dia membekal
pedang. Dia muda tetapi cerdas. Dengan mengira-ngira dari
mana suara datang dia menuju ke arah suara itu lalu tiba
ditaman. Di sini dia tidak melihat musuh. Maka dia lantas
mendekam, bersembunyi diantara pepohonan bunga.
Belum lama maka muncullah Im Ciu It Mo di dalam taman
itu. Dia heran yang dia tidak melihat orang. Dia menghentikan
tindakannya sambil berpikir. Lalu dia bersiul pula terus tertawa
dingin.
Dari tempat sembunyinya, si siebie melihat orang itu,
seorang wanita tua dengan pakaian kuning, matanya tajam,


tangannya memegang tongkat panjang. Wanita itu celinguk ke
empat penjuru. Dengan tangan memegang golok kaylo, ia
lantas menyiapkan biji thie-liam-cu, mutiara besi yang
dijadikan senjata rahasia, kemudian dengan berlompatan dia
pergi ke tempat lebat di depan wanita itu, jaraknya lima atau
enam kaki. Ia menanti si wanita justru melihat ke arah lain,
mendadak dengan cepatnya, ia mencelat tinggi melewati
semak, untuk menyerang dengan senjata rahasianya itu
dengan sasarannya ialah tu-tong, jiu-tong dan thian-cut,
ketiga jalan darah yang berbahaya. Ketika tubuhnya turun, dia
terus berjumpalitan menghampiri si wanita, buat melanjuti
menyerang dengan goloknya !
Siebie itu lihai tetapi ia masih terlalu muda bagi si nenek
yang lihai itu.
Nenek itu terkejut tapi dia dapat segera berkelit mundur,
hingga dia bebas dari senjata rahasia, sebab tongkatnya
segera diputar dipakai melindungi tubuhnya sedang serangan
golok ditangkis keras sampai siebie itu kaget sebab tangannya
nyeri sebagai akibat beradunya kedua senjata tongkat kontra
golok, dan goloknya terbang pergi !
Ketika si siebie menginjak tanah, dia memisahkan diri
setombak lebih.
Sebenarnya Im Ciu It Mo masih hendak menyembunyikan
dirinya, sekarang dia terpegok. Dia jadi benci si bocah dan
berniat membinasakannya. Itulah jalan membungkam mulut
orang. Maka juga dengan tak sudi memberi kesempatan
beristirahat kepada bocah itu, dia lompat menghantam dengan
tongkatnya !


Bocah itu kaget, dia lantas menjerit minta tolong, meski
begitu dia tidak diam saja, dengan cepat dia menjatuhkan diri
terus berguling sejauh empat kaki.
Hebat serangan si wanita, tongkatnya sampai nancap tiga
kaki dan tanah muncrat ke empat penjuru !
Im Ciu It Mo melengak sedetik. Adalah diluar dugaannya,
yang serangannya gagal. Hal itu menambah kegusarannya. Ia
mencabut tongkatnya dengan niat menghajar pula. Ia melihat
orang terpisah satu tombak dari ianya.
Siebie itu melihat sinar mata si nenek, ia memutar tubuh
dan lari pergi. Nenek itu penasaran, dia berlompat menyusul
terus dia menyerang !
Bocah itu sangat lincah, dia tersusul dan dihajar, tetapi dia
masih dapat berkelit. Maka dia terus diserang lagi, tetapi
sampai tiga kali, tetap dia selamat.
Si nenek heran hingga ia berdiam sampai ia melihat ujung
tongkatnya tercantelkan sebatang gelang emas.
"Ah !" serunya kemudian.
Itulah gelang, yang merintangi tongkatnya hingga ujung
tongkat gagal mengenakan si bocah. Pantas tadi dia merasa
tongkatnya tertahan sesuatu. Maka ia sekarang berpikir
menerka-nerka, siapa pemiliknya gelang emas itu. Ya,
siapakah ?
"Ah, mestinya ini gelang emasnya Pie Sie Siansu ketua
Gwan Sek Sie....." pikirnya kemudian. Karena ini, tidak
bersangsi pula, dia membentak, "Pie Sie si kepala gundul
bangkotan, kapannya kau pelajari ini kepandaian hina dina,


menyembunyikan kepala menongolkan ekor ? Kenapa kau tak
berani menemui orang ?"
Tepat si nenek membuka suara jumawa itu, mendadak di
depan matanya muncul dua orang pendeta setengah tua,
jubahnya seragam dengan warna kuning, mukanya lebar,
tangannya sama-sama bersenjatakan sepasang Liong Houw
Kim Hoan, gelang emas naga-nagaan dan harimau-harimauan.
Melihat gelang emas itu maka mengertilah It Mo siapa
pelepasnya tadi. Hanya berbareng dengan ini, dia menjadi
heran sekali.
Gelang emas pada tongkatnya lenyap secara tiba-tiba tanpa
dia merasakannya, hingga dia menjadi bingung. Dia juga
heran yang si siebie tadi pun hilang tak karuan. Dia tidak tahu,
justru Liong Houw Sian Ceng muncul justru siebie itu lari
menghilang kedalam semak pohon bunga.
Kedua pendeta lantas memberi hormat kepada wanita itu.
"Sicu," kata yang satu, "Sicu sudah langsung memasuki kuil
dan juga telah membinasakan dan melukai beberapa saudara
kami, sekarang sicu berkaok-kaok mengatai guru kami,
apakah artinya itu ? Apakah sicu sangka Gwan Sek Sie dapat
membiarkan orang berbuat begitu kurang ajar dan kejam,
main membunuh orang ?"
Im Ciu It Mo sedang heran dan gusar, teguran itu
membuatnya naik darah.
"Kamu mempunyai kepandaian apa maka kamu berani
begini kurang ajar terhaap aku si wanita tua ?" demikian
tegurnya.


Bu Sek terbangun sepasang alisnya. Kata dia, "Aku yang
muda memang berkepandaian rendah sekali, itulah aku
ketahui maka itu aku bukanlah lawan sicu, akan tetapi walau
demikian gelang ditangan kami hendak mengajar adat kepada
orang yang tidak tahu aturan sopan santun !"
It Mo mengangkat tongkatnya, dia tertawa.
"Aku si wanita tua tidak memikir menempur segala anak
muda !" katanya menghina. "Maka itu lekas kamu suruh Pie
Sie si gundul bangkotan supaya dia muncul menemui aku,
supaya dia iseng-iseng mencoba kedua rupa kepandaianku,
Sun Im Lu San Kang dan tongkat Tuowlo Thung Hoat !"
Bu Sek tertawa.
"Buat apa kau berjumawa begini rupa, sicu ?" katanya.
"Baiklah, dengan sepasang gelang emas Naga dan Harimau
kami, siauwseng akan mencoba melayani kedua rupa
kepandaian yang istimewa itu ! Tak usahlah sicu menganggu
ketenangan guruku !"
Pendeta ini bukan cuma berkata, dia malah segera
mengeluarkan senjatanya dengan apa dia mendahului
menyerang ! Tanpa bergerak tubuh dan kakinya, Im Ciu It Mo
menyambut serangan itu dengan tongkat. Sengaja ia
membuat ujung tongkat terkutungkan sepasang gelang lawan.
Bu Sek terkejut buat keberaniannya musuh itu, sampai
pucat. Tak ayal lagi dia mengerahkan tenaga Tay Poan liak
Sian Kang, Prajna besar. Dia menggerakkan kedua tangannya
menarik pulang gelangnya itu.
Im Ciu It Mo bersenyum dan kata, "Murid ajarannya Pie Sie
si gundul tua ada juga kepandaiannya !" Dia memuji tetapi dia


pun mengejek. Tiba-tiba dia ingat bahwa datangnya ini ada
guna membantu kedua muridnya lolos dari Lohan Tiu, supaya
Pie Tie Taysu dapat dipancing pergi dari tin-nya itu, maka ia
lantas merubah sikapnya dari takabur menjadi sabar sekali.
Kata dia dengan tenang,
"Akulah si wanita tua sengaja datang kemari buat dengan
ilmuku Sun Im Cit San Kang belajar kenal dengan ilmu silat
lihai Siauw Lim Sie, karena itu kalau ketua Pie Sie sedang
bertapa, baiklah sekarang kau bolah titahkan orang
memanggil Pie Te Taysu datang menemui aku."
Bu Sek dan Bu Siang saling mengawasi. Itulah pertanda
bahwa sekalipun mereka berdua bukannya lawan setimpal
nenek ini, dari itu baiklah permintaan si nenek diterima baik.
Dengan demikian Bu Sek lantas berpaling ke semak pohon
bunga untuk berkata dengan perintahnya, "Sute, lekas
mengundang paman guru datang kemari !'
Dari dalam pepohonan itu terdengar jawaban yang
mengiyakan lalu tampak satu bayangan orang kecil berlompat
lari ke jalan yang menjurus ke depan.
Im Ciu It Mo mendapat lihat kepergiannya bayangan kecil
itu. Ia kuatir sebelum Pie Te datang, Bu Sek dan Bu Siang
juga nanti pergi ke Toa-tian, maka itu ia lantas perdengarkan
siulannya yang nyaring itu guna memberi isyarat kepada Hong
Kun dan Kiauw In, setelah mana ia kata kepada kedua
pendeta di depannya itu, "Aku si wanita tua juga ingin belajar
kenal dengan kepandaian lihai dari Liong Houw Siang Ceng."
Itulah tantangan kepada kedua pendeta itu, supaya mereka
berdua bersama menyerangnya. Tapi dia juga bukan cuma
menantang, dia lantas mulai menyerang supaya si kedua
pendeta tak sempat memikir lainnya.


Kedua pendeta itu tak menyangka orang menantang sambil
terus menyerang. Terpaksa, terpaksa mereka harus
menyambut serangan itu, terutama pertama-tama untuk
mengelakan diri dari hajaran orang. Akan tetapi belum sampai
mereka bergerak lebih dahulu, mendadak Im Ciu It Mo sudah
berlompat pergi terus menghilang ! Sebaliknya yang tampak
ialah Pie Te Taysu, paman guru mereka ! Mereka heran
hingga mereka melengak. Lekas-lekas mereka memberi
hormat kepada paman guru mereka itu kemudian ketika
mereka mau bicara mereka didahului si paman guru !
Pie Te Taysu mengernyitkan alisnya dan berkata : "Sutit,
kita kena diakali si jahat dan licik itu ! Si bajingan tua sungguh
cerdik !"
"Paman, apakah paman tak melihat Im Ciu It Mo ?" Bu
Siang tanya.
"Rupanya dia sudah kembali ke pendopo besar," menyahut
sang paman guru, yang lebih dahulu memuji sang Buddha.
"Mungkin dia hendak membantu sepasang muda mudi yang
terkurung di dalam Barisan rahasia Lohan Tiu itu...."
Liong Houw Siang Ceng melengak.
"Bagaimana kalau kami berdua pergi ke pendopo besar ?"
tanyanya.
Pie Te Taysu menggeleng kepala.
"Sudah, tak usah !" jawabnya.
Memang tepat terkaan Pie Te Taysu. Im Ciu It Mo sudah
menyingkir ke pendopo besar dimana ia membantu kedua


muridnya, sepasang muda mudi itu. Dan justru Pie Te Taysu
itu berbicara, muncullah Cio Kiauw In dan Gak Hong Kun yang
nampak sudah sangat letih sebab mereka masih bersiap
dengan pedangnya masing-masing.
Melihat orang muncul tanpa Im Ciu It Mo, Pie Te Taysu
kata kepada kedua kemenakan muridnya, "Kamu layani
mereka secara main-main, supaya mereka dapat terlibat. Aku
sendiri, hendak mencari si bajingan bangkotan itu !"
Belum berhenti suara pendeta ini, tubuhnya sudah
berlompat pergi, keluar dari taman bunga itu.
Liong Houw Siang Ceng tidak sempat memikir apa-apa.
Kiauw In dan Hong Kun sudah tiba di depan mereka dan
muda mudi itu sudah lantas menyerang pada mereka, yang
diarah dadanya. Mereka menangkis sambil berlompat mundur.
Bu Sek Hweshio heran, kapan ia melihat si pemuda yang ia
kenali sebagai murid dari Pay In Nia ialah Tio It Hiong. Sama
sekali ia tak dapat membedakan It Hiong tulen dari It Hiong
palsu, hingga ia tidak tahu bahwa pemuda ini sebenarnya
Hong Kun adanya.
Lantas ia menjadi memikiri peristiwa baru-baru ini di luar
kota Gakyang, ditengah jalan dimana "Tio It Hiong" ini sudah
menggunakan bubuk beracun membinasakan dua muridnya, ia
pun lantas ingat keterangannya Koiy To Ciok Peng halnya ada
Tio It Hiong palsu. Dan sekarang It Hiong menyerang kemari !
Justru itu Bu Siang membentak si pemuda, "Murid licik dari
Pay In Nia, apakah sekarang kau masih hendak menipu orang
dengan wajah palsumu ?"


Mendengar suara saudaranya itu, Bu Sek menyangka pasti
kepada It Hiong palsu. Maka berdua mereka menyambuti
penyerangannya muda mudi itu, hingga sepasang pedang jadi
bentrok dengan gelang-gelang yang berkilauan hingga
terdengarlah suaranya yang berisik, sedang percikan apinya
pun berpeletikan, suara nyaring memekakkan telinga, percikan
yang menyilaukan mata.
Yang mengagetkan ialah mereka harus mundur satu tindak
saking kerasnya bentrokan itu.
Kiauw In dan Hong Kun mundur juga, dengan sinar mata
lalu berdua mereka saling mengawasi. Jelas dari tampangnya
hal muda mudi itu sudah letih sekali. Toh mereka tetap gagah
!
Sepasang pendeta Naga dan Harimau itu penasaran.
Dengan muka merah mereka maju pula, diwaktu mereka
menyerang mereka menggunakan silat gelang mereka yang
diberi nama Liong Houw Hong In - Angin dan Mega Naga dan
Harimau.
Sebaliknya kedua pendeta yang sedang panas hati, telah
bergerak dengan keras dan lincah. Memangnya merekalah
tenaga-tenaga baru.
Tengah muda mudi itu terdesak demikian hebat, tiba-tiba
dari kejauhan terdengar satu suara nyaring dan tajam. Mudamudi
itu mendapat dengar suara itu, sambil membela diri
mereka memasang telinga.
Segera terdengar suara ulangan dari suara nyaring itu. Kali
ini suara itu sangat berpengaruh bagi si muda mudi.
Mendadak sontak lenyaplah keletihan mereka, secara tiba-tiba


mereka menjadi gagah pula, bahkan mata mereka juga lantas
berubah menjadi bersinar sangat tajam dan bengis.
Habis dua kali suara nyaring itu, tibalah gilirannya kedua
pendeta mendengar seperti suara laler. Itulah bukannya suara
dari orang yang pertama tadi hanya puji Sang Buddha dan
suara itu ialah isyarat dari Pie Sie Siansu yang menggunakan
ilmu saluran suara Thian Liong Sian Ciang "Nyanyian Suci
Naga langit".
Kalau suara nyaring tadi menakuti, suara yang belakang ini
lembut dan membangunkan semangat dan suara ini
menentang suara yang pertama itu. Dengan demikian Thian
Liong Siang Ceng jadi tengah menempur suara iblis Sun Im Cit
Sat Kang dari Im Ciu It Mo.
Aneh pengaruhnya kedua suara itu. Kedua pendeta dan
sepasang muda mudi sudah lantas berhenti bertarung.
Sendirinya mereka pada mengundurkan diri, yang pertama
berwajah keren, yang kedua tampak tenang. Kedua belah
pihak sama-sama bungkam.
Beberapa kali mereka maju pula, untuk bertempur lagi,
terus mereka mundur kembali. Hingga mereka seperti
bermain-main.
Mereka bergerak mengikuti nada atau iramanya kedua rupa
suara keras dan lembut itu.
Secara demikian diam-diam Pie Sie Siansu dan Gwasn Sek
Sie tengah menempur ilmunya Im Ciu It Mo yang dilatih
selama empat puluh tahun. Mereka mengadu tenaga dalam
yang berupa suara, tanpa tangan-tangan mereka bentrok satu
dengan lain. Walaupun demikian, mereka bertempur jauh


terlebih hebat daripada Liong Houw Siang Ceng kontra
sepasang muda mudi itu.
Im Ciu It Mo datang ke Gwan Sek Sie dengan berniat
melakukan penyerangan dan pembunuhan, buat memancing
munculnya Pie Sie Siansu, supaya nanti mereka bertemu dan
bertarung selama pertemuan di Bu Lim Cit Cun. Siapa tahu
disini mereka sudah mengadu kepandaian lebih dahulu. Hanya
kali ini, dia tak dapat sembarang mengundurkan diri. Siapa
mundur secara sepihak, dia bisa celaka sendiri.
Sesudah berlangsung sekian lama, suara keras dari Im Ciu
It Mo terdengar menjadi kendor dan kendor, hingga akhirnya
dia seperti tertindih puji sang Buddha.
Menghadapi Ceng-sit, kamar suci dari pendeta kepala,
terdapat sebuah taman, disitu tumbuh sebuah pohon cemara
yang besar dan tua, banyak dahannya dan lebat daunnya.
Justru selagi pertempuran luar biasa itu berlangsung, di atas
pohon itu terdapat seorang yang rambutnya terlepas terurai,
yang kedua biji matanya bersinar sangat tajam, sinarnya
kebiru-biruan.
Itulah dia Im Ciu It Mo yang lagi menggunakan ilmunya,
San Im Cit Sut Kang. Sinar matanya itu sekarang tampak
kurang tenang.
Sembari menongolkan sedikit kepala, kembali ia
memperdengarkan suaranya yang nyaring itu, yang
menyeramkan lebih hebat daripada yang semula. Terang ia
sudah mengerahkan tenaga dalamnya secara dahsyat sekali.
Tengah kedua gelombang suara yang keras dan lunak
bertempur seru itu, tiba-tiba saja keduanya berhenti di dalam
sekejap, menyusul mana sinar mencorong dari kedua matanya


Im Ciu It Mo pun menjadi suaram dan lenyap disusul dengan
berhentinya juga suara puji Buddha. Hanya berbareng dengan
itu, satu bayangan hitam kecil tujuh atau delapan kaki
panjangnya terlihat berkelebat
ke arah Cengsitu, kamar semedhi dari kuil, akan tetapi
belum lagi bayangan itu dapat masuk, dia sudah berhenti
setengah jalan bagaikan ada yang merintanginya, terus jatuh
ke tanah sambil memperdengarkan suara nyaring. Kiranya
itulah sebatang tongkat panjang.
Dari dalam kamar semadhi segera terdengar suara tawa
disusul kata-kata ini : "Kau berbelas kasihan sicu tua, terima
kasih !
Telah aku menerima pengajaranmu. Sicu, kesesatan itu
datangnya dari diri sendiri maka juga baiklah sicu jangan lupa
memuji."
Apakah yang sebenarnya sudah terjadi ?
Itulah pertanda bahwa pertarungan mengadu tenaga dalam
sudah sampai diakhirnya dan Sun Im Cit Sat Kang diperdalam
empat puluh tahun dari It Mo kalah dari Tay Poanjiak Sin Kang
dari Pie Sie Siansu, tenaga dalam yang diberi nama "Sian
Liong Ciang Im"
Nyanyian Naga Langit itu. It Mo tidak sampai terluka atau
terbinasa, tetapi tenaga dalamnya telah terkuras habis
delapan atau sembilan bagian. Pie Sie Siansu masih berbelas
kasihan, kalau tidak It Mo tentu telah dihajar hingga dia
kehilangan nyawanya. Ia masih mengharap lawannya itu
sadar dan merubah kekuatannya untuk menjadi orang baikbaik.
Tapi It Mo bertabiat keras. Dia selalu mau menang
sendiri, sesudah kalah mengadu suara, dia masih penasaran,


dia menyerang dengan tongkatnya itu, tongkat mana kena
disampok jatuh oleh orang yang dibokongnya.
Menyusul berhentinya pertempuran kedua jago itu,
berhenti juga perkelahian diantara dua rombongan orang di
dalam taman karena herannya, mereka itu jadi saling
mengawasi.
Im Ciu It Mo berlompat turun dari atas pohon, berdiri
ditanah, dia terhuyung-huyung dahulu, nafasnya pun
memburu. Masih dia penasaran, maka juga sambil menuding
ke arah Cengsit dia berkata termoga-moga : "Pie Sie tua
bangka gundul. Jangan kau bergirang dahulu ! Lain tahun di
ini hari, aku si wanita tua, akan aku datang pula guna
membalas dan membayarkan penasaranku ini !"
Ancaman itu diakhiri dengan satu suara seperti bersuit
perlahan, atas mana Cio Kiauw In dan Gak Hong Kun segera
bertindak menghampiri ke depan Bajingan itu.
Liong Houw Siang Ceng tak terbengong terlebih lama pula.
Mereka melihat kedua lawannya bertindak pergi, mereka
berlompat akan menyusul atau mereka terus merandak tubuh,
mereka mendengar ini suara yang halus sekali, "Muridku,
berikanlah mereka satu jalan hidup......"
Maka merekapun segera menyimpan gelang mereka.
Bu Sek Hweshio berpaling ke arah kuil, kata dia, "Suhu,
membinasakan orang jahat berarti berbuat kebaikan untuk
umum, kenapa mereka harus diberi hidup ?"
Dari dalam kamar bersemadhi terdengar pula suara halus
ini : "Amida Buddha ! Kau mengertilah muridku, baik atau


jahat semua itu tak akan lolos dari takdirnya. Karena itu buat
apa kau menambah kejahatan ? Biarkan mereka pergi......"
Selagi si pendeta berkata-kata itu, Im Ciu It Mo telah
mengerahkan sisa tenaganya untuk berlompat keluar dari
taman kuil buat pergi mengangkat kaki dengan diikuti Hong
Kun dan Kiauw In.
Liong Houw Siang Ceng mengawasi ketiga orang itu pergi
berlalu, hati mereka nyeri sekali. Mereka bersakit hati buat
beberapa adik seperguruannya yang berbinasa dan terluka
yang sakit hatinya tak terbalaskan. Tak dapat mereka
menentang guru mereka itu yang hatinya mulia hingga
kemudian mereka hanya dapat berdiam dan bertunduk saja.
Im Ciu It Mo keluar dari tembok tengah dengan terus
menuju ke gunung belakang. Selekasnya dia tiba diatas,
terang di dalam hati dia terkejut tak terkira. Itulah sebab dia
melihat lima tombak di depan dia, Pie Te Taysu lagi berdiri
sambil mengawasinya.
Walaupun dia sudah tidak mempunyai tenaga lagi, dia toh
berlaku tenang, bahkan sembari tertawa dingin dia kata :
"Sungguh diluar dugaanku yang diluar kuil Gwan Sek Sie ini
aku dapat bertemu dengan bapak pendeta yang mulia !
Selamat bertemu !"
Habis mengucap demikian kembali jago wanita ini
memperdengarkan suara perlahan terhadap Kiauw In dan
Hong Kun guna mengisiki kedua muda mudi yang berada
dibawah pengaruhnya itu buat segera menyerang si pendeta
tua.
Sepasang muda mudi itu masih sangat letih akan tetapi
mendengar perintah itu tiba-tiba mereka bersemangat pula,


mendadak saja mereka seraya terus berlompat maju, hendak
menyerang pendeta di depannya itu.
Pie Te Taysu tertawa.
"Sicu, jangan kau salah paham !" katanya sabar. "Datangku
kemari bukannya buat menempur kalian bertiga guru dan
murid."
Kiauw In berpaling pada It Mo, terus dia menyerang Pie Te
Taysu.
Sungguh pendeta menangkis dengan satu kebutan ujung
jubahnya yang gerombongan.
"Sicu," katanya sabar. "Kau telah berkelahi satu malam
suntuk. Kau sudah letih sekali, maka itu jangan mencari
kesengsaraan lebih jauh......"
Justru pendeta itu berbicara dengan si nona, Gak Hong Kun
maju menyerang, menebas ke arah pinggang. Pie Te Taysu
tidak menangkis, karena ia lagi menghadapi Kiauw In.
Tubuhnya jadi berada disampingnya penyerang, maka itu ia
terus memutar tubuhnya itu, bahkan dengan berani ia
memasang perutnya, untuk dibiarkan kena tertebas !
Hebat, pedang mengenai perut tetapi tak mempan, bahkan
setelah satu suara nyaring, pedang itu terpental jatuh ke
tanah sejauh enam kaki sebab cekalannya Hong Kun terlepas
sendirinya !
Im Ciu It Mo terkejut menyaksikan kegagalannya kedua
murid itu. Ia sendiri tak berdaya, sebab ia terluka parah. Tapi
seorang It ciu. Sekarang tidak lagi memperlihatkan tampang
seram atau garang. Sebaliknya dia tertawa.


"Eh, anak-anak, jangan kalian sembrono !" demikian ia
tegur Hong Kun dan Kiauw In. "Baiklah kalian dengari apa
pengajarannya bapak pendeta yang mulia ini."
Pie Te Taysu memuji Sang Buddha.
"Sicu," tanyanya, "bagaimanakah dengan lukamu ?"
Pertanyaan diluar sangkaan itu membuat Im Ciu It Mo
melengak. Tak dapat ia menerka maksudnya si pendeta itu.
"Tak usah taysu merisaukan hati." sahutnya kemudian.
"Aku si wanita tua masih dapat bertahan !"
"Sicu," berkata pula si pendeta, "telah empat puluh tahun
kau bertapa, kau sudah mendapatkan kemajuan yang tak
sedikit. Hanya kau masih belum menyadari apa artinya nama
dan laba !"
Kembali si wanita tua membungkam.
"Hm !" demikian terdengar suaranya paling akhir, suara
tawar.
Dengan sinar mata tajam, Pie Te Taysu menatap wanita
tua itu, terus ia kata dengan kata demi kata yang terang dan
tegas :
"Sicu, aku si pendeta tua menerima perintah dari ketua
kami buat pihak kami menyudahi semua perbuatan pihakmu
membinasakan dan melukai murid-murid kami, supaya kalian
bertiga dibiarkan bebas meninggalkan kuil kami ini !"


Cuma sedetik si pendeta berdiam, segera ia menambahkan
: "Cuma aku si pendeta tua ingin menasehati sicu secara
sungguh-sungguh hati."
Hatinya It Mo menggetar, akan tetapi ia mencoba
menenangi diri, selagi ia ditatap, ia membalas mengawasi.
"Silahkan bicara, taysu !" katanya.
Pie Te Taysu berkata : "Kesesatan itu adalah perbuatan diri
sendiri, maka itu aku si pendeta tua ingin memohon sicu suka
memikirkan dan menyadarinya, supaya kelak di belakang hari
tidaklah sampai sicu menyia-nyiakan kebaikan ketua ini yang
menjadi kakak seperguruanku, yang suka membebaskanmu
supaya sicu memperoleh jalan hidupmu ! "
Selekasnya dia mengucapkan kata-katanya itu, Pie Te
Taysu segera berlalu pergi menuruni lereng itu. Im Ciu It Mo
melongo saja. Coba ia tidak tengah terluka parah, pasti ia tak
mau mengerti. Tak puas ia dengan nasehat itu. Ia telah
dipengaruhi kejumawaannya, keinginannya menjadi orang
pandai dan disegani. Nama termashur dan kedudukan telah
menutupi kesadarannya. Dia telah dibudaki sigarnya suka
menang sendiri dan keunggulan yang melebihkan orang lain.
Demikian, seberlalunya si pendeta, dia tertawa dingin
berulang-ulang untuk mengejek pendeta yang murah hati itu.
Kemudian ia mengulapkan tangannya, menyuruh Hong Kun
menjemput pedangnya, buat mereka terus berjalan turun dari
lereng itu, guna meninggalkan gunung Gwan Sek Sie.
Mereka berjalan baru beberapa tombak atau dari balik
sebuah batu karang yang besar muncul seorang wanita
dengan dandanan jubah kependetaan, usianya setengah tua,
tampangnya genit, pinggangnya tergantungkan sepasang
golok. Dan wanita itu segera menghadang di tengah jalan.


Gak Hong Kun terkejut selekasnya dia melihat wajah wanita
itu. Dia sedang dibawah pengaruh It Mo tetapi dia masih ingat
orang yang menghadang di depan mereka ini. Dia hanya lupa
nama orang. Apa yang dia ingat adalah dia pernah roboh
dibawah pengaruh bubuk biusnya.........
Kapan Im Ciu It Mo sudah melihat orang itu, dia lantas kata
dingin : "Eh, Sek Mo Ceng Ciang Nikouw. Bagaimana kau
berani main gila dihadapan si wanita tua ?"
Wanita setengah tua itu, seorang nikouw ialah Ceng Kiang
Bajingan Paras Elok. Dia tertawa geli dan kepalanya
bergoyang-goyang seumpama bunga yang bertangkai. Ketika
dia membuka mulutnya, terdengarlah sahutnya yang sabar.
"Eh, perempuan tua, kau harus mengenali aku !" demikian
katanya. "Sekarang ini telah aku menukar gelarku ! Aku bukan
lagi Sek Mo hanya Peng Mo, si Bajingan Es ! Dan sekarang aku
berhadapan dengan kau karena aku ingin menguji
kepandaianku terhadap kepandaianmu "San Im Cit Sat Kang !"
It Mo heran hingga ia melengak, ia lagi terluka. Mana dapat
ia berkelahi ? Sebalik kejumawaannya Peng Mo membuat
darahnya bergolak. Hatinya sangat panas. Saking mendongkol
ia lantas tertawa nyaring. Hanya kali ini suaranya tidak
berpengaruh dan menakuti seperti biasanya. Sekarang ini
suaranya lemah dan juga tidak lama. Ia mau menggertak
orang tetapi ia gagal.
Selekasnya ia bersuara itu, lantas nafasnya memburu keras
sekali hingga ia lalu selekasnya memegangi bahunya Kiauw In
supaya tubuhnya tidak terhuyung roboh.


Pada mulanya hati Peng Mo menegang ketika ia mendengar
suaranya It Mo itu tetapi selewatnya itu dengan matanya yang
tajam ia mendapat kenyataan orang seperti lagi terluka parah,
maka berubahlah hatinya dari jeri menjadi berani ! Dan tak
lagi ia menunjuki tampang centilnya. Rupanya menjadi bengis
dan matanya menyorong galak sekali.
"Hai bajingan perempuan tua !" demikian tegurnya.
"Bajingan perempuan mana bisa kau menyembunyikan
kepadaku hal kekalahanmu di Gwan Sek Sie ? Jika kau tahu
selatan, lekas kau serahkan murid orang yang kau rampas itu
kepadaku supaya dapat aku membawanya pergi ! Dengan
begini jadi tak usahlah kerukunan kita menjadi terganggu !"
Berkata begitu Peng Mo menunjuk Hong Kun.
Selama orang bicara It Mo berdiam saja. Diam-diam ia
mencoba meluruskan nafasnya dan mengumpulkan tenaganya
juga. Ia mencoba mencegah agar darahnya tak bergolak
terus. Kemudian ia mengawasi Hong Kun dan terutama Kiauw
In. Dengan mengawasi muda mudi itu, ia bagaikan tak
mendengar kata-kata lanjutan dari si Bajingan Es.
Ceng Ciat Nikouw juga mengawasi tajam pada Hong Kun, si
anak muda yang tampan. Pemuda itu tetap ganteng walaupun
pikirannya tak sadar hingga dia membuatnya si bajingan
wanita menjadi mengiler. Peng Mo ingin segera merangkul
pemuda tampan itu.
Dengan Peng Mo berdiam dan It Mo tidak menjawab,
sejenak itu sunyilah suasana diantara mereka kedua belah
pihak. Hanya It Mo berpikir keras bagaimana harus melayani
bajingan yang menjadi saingannya itu. Ia lagi terluka, tak
dapat ia menggunakan kekerasan. Apa akal ?


Karena Hong Kun kena dirampas Peng Mo itulah suatu
penghinaan dan kehinaan untuknya. Pasti nama besarnya
bakal tercemar. Asal namanya rusak, tak dapat ia berdiri pula
di muka orang banyak, diantara sesama kawannya kaum
sesat.......
Ada satu hal yang dikuatirkan Im Ciu It Mo, Sek Mo atau
Peng Mo biasanya bertiga, sebagaimana julukan mereka ialah
Hong Gwa San Mo, Tiga bajingan dari luar perbatasan, kalau
sekarang muncul Peng Mo, siapa tahu kedua kawannya tak
berada di tempat yang berdekatan ? Satu Peng Mo sudah tak
dapat dilawan, bagaimana lagi apabila datang dua saudaranya
itu ? Hiat Mo Hweshio dan Tam Mo Tojin tidak dapat
dipandang ringan !
It Mo mengawasi wanita di depannya yang lagi tersengsem
oleh ketampanannya Hong Kun. Diam-diam tetapi dengan
disengaja ia batuk untuk perlahan. Peng Mo sadar mendengar
suara batuk itu, kulit mukanya menjadi merah. Lekas sekali
telah muncul nafsu birahinya. Maka lantas dia mengawasi
tajam pada It Mo.
"Bagaimana, eh ?" tegurnya. "Apakah kau tak sudi minum
arak hutangan hanya lebih suka menenggak arak doang? Hari
ini aku, Peng Mo mau mendapat bagianku !"
It Mo tidak menjawab pertanyaan orang, dia hanya
mengalihkan itu.
"Aku heran akan Hong Gwa Sam Mo." demikian katanya.
"Kenapa sekarang cuma muncul Peng Mo, satu nikouw ? Aku
Im Ciu It Mo, walaupun aku tengah terluka ingin aku belajar
kenal dengan kepandaiannya Sam Mo bertiga ! Jadilah perlu
supaya nanti di dalam pertemuan Bu Lim Cit Cun di In Bu San,
dapat kita mengambil keputusan !"


Peng Mo cerdas dan licik, mana ia tak dapat menerka
maksudnya It Mo itu ? Maka ia tertawa dan kata, "Kau mau
maksudkan kedua saudara seperguruanku ? Mereka berdua
berada diatas ! Mereka tengah menikmati kota dan hutan di
sana, disebelah dalam. Bajingan tua, kau tahulah diri sedikit !"
It Mo menahan sabar.
"Oh, kiranya Hiat Mo Hweshio dan Tam Mo Tojin, kedua
orang lihai itu juga takut menemui aku!" demikian katanya.
Peng Mo menjadi panas hati, alisnya terbangun, matanya
mencelak bengis !
"Jika kau bertemu dengan kakakku yang tua, Hiat Mo
Hweshio sukar dijamin yang darahmu tak akan bermuncratan
!" katanya sengit.
Im Ciu It Mo menggerakkan kepalanya hingga rambutnya
turut bergerak juga.
"Aku si orang tua tak memiliki apa juga !" katanya.
"Dengan sesungguhnya ingin sekali aku bertemu dengan Hiat
Mo ! Apakah yang aku takuti ?"
Peng Mo tak puas, ia pun berkata nyaring. "Mungkin
kakakku yang kedua Tam Mo Tojin menyukai jantungmu
untuk dikorek dikeluarkan guna dilihat-lihat warnanya putih
atau hitam !"
Peng Mo tidak tahu bahwa dengan caranya itu It Mo
sedang mengulur waktu. Segera diam-diam wanita tua ini
tengah mengerahkan tenaga dalamnya guna menyembuhkan


lukanya. Dengan perlahan-lahan dia berhasil membuat
lukanya sembuh.
Sebagai seorang licik telah dia memikir semakin lama dia
mengulur waktu, semakin baik untuknya. Asal dia sembuh ! It
Mo pun berlaku cerdik. Apa yang dikatakan Peng Mo tak dia
hiraukan, sedangkan dia biasanya pemarah, mukanya mudah
menjadi merah padam. Bahkan dia dapat bersenyum dan
tertawa.
"Sebenarnya memang ada niatku memberi kau jantungku
kepada kakakmu yang nomor dua itu!" katanya sengaja.
"Hanya itu aku tidak tahu kakakmu menginginkan itu atau
tidak !" Dia hening sebentar untuk meneruskan, "Hari ini aku
si wanita tua sangat beruntung karena aku tidak bertemu
dengan Hiat Mo dan Tam Mo ! Dengan demikian maka
bebaslah aku dari ancaman darahku bermuncratan dan
jantungku dikorek keluar untuk dilihat warnanya ! Aku justru
bertemu kau, wanita tua hingga kita jadi berhadapan wanita
dengan wanita, hingga pertemuan ini tak merugikan siapa
juga ! Ha ha ha !"
Alisnya Peng Mo terbangun.
"Eh, kau dengar tidak ?" tegurnya. "Bukankah barusan
telah kukatakan supaya muridmu kau serahkan padaku,
supaya dengan begitu dapat aku beri jalan hidup padamu ?"
It Mo melengak. Tak ia sangkat bahwa orang menimbulkan
pula hal yang ia telah alihkan itu. Tapi ia lekas bersenyum.
Kata ia,
"Aku si wanita tua bukannya tak ikhlas memberikannya,
cuma aku pikir, aku memberikannya padamu juga tak ada
gunanya !"


Peng Mo heran dengan jawaban itu. Sejenak ia pun
melengak. Lalu dia tersenyum dan kata : "Tak dapat aku
diperdaya kau ! Dia toh seorang pria, kenapa dia boleh tak
ada gunanya ?" Berkata begitu, dia melirik tajam pada Hong
Kun, sinar matanya menunjuki bahwa dia sangat mengiler
terhadap si pemuda.
It Mo tertawa.
"Aku si orang tua, aku juga seorang yang telah
berpengalaman !" katanya. "Dahulu hari lakon asmaraku
melebihi lakon asmaramu sekarang ! Dahulu itu, asal aku
menemui pria yang tampan, hatiku lantas goncang keras dan
semangatku seperti terbang pergi..........."
Bajingan ini berhenti bicara secara tiba-tiba. Terus dia
berdiam saja.
Sebenarnya Peng Mo sangat tertarik hati mendengar katakata
orang itu. Asal ada soal asmara, tak perduli itu
sebenarnya soal nafsu birahi, lantas saja dia menjadi sangat
gembira. Maka juga, dengan tak sabaran dia lantas bertanya,
"Bagaimana, eh ? Murid priamu itu apakah dia telah
kehilangan tenaga laki-lakinya ? Dia pula, benarkah ?"
Dengan sendirinya, Peng Mo nampak kurang gembira.
Puas It Mo melihat rupa orang itu. Ia mengerti yang katakatanya
telah memberi pengaruh. Maka terus ia main komedi.
"Sahabatku, sabar !" demikian katanya. "Buat apa tergesagesa
? Kau tahu, bicaraku si wanita tua belum sampai
diakhirnya........"


Peng Mo menggertak gigi. Dia tak sabaran.
"Perempuan tua !" tegurnya. "Urusan asmara dahulu, hari
itu baiklah ditangguhkan dahulu ! Apa yang aku ingin ketahui
sekarang ialah apa benar dia pelu ? Aku minta kau bicara
secara jujur!"
It Mo berpikir keras. Inilah saat yang mendesak. Kalau ia
menjawab Hong benar pelu, Hong Kun pasti tak akan dibawa
pergi. Kalau ia menjawab, sebaliknya Peng Mo dapat menjadi
gusar dan ia dapat dimarahi. Itulah berbahaya. Bagaimana
kalau mereka bertiga diserang nenek cabul itu ? Ia lagi terluka
parah, tak sanggup ia melawan wanita itu. Kalau Hong Kun
dibawa lari saja, pasti sudah ia bakal mendapat malu. Tapi
dasar cerdas, tiba-tiba ia mendapat pikiran.
"Muridku ini," kata ia sambil mengangkat kepalanya, "dia
sedang muda dan gagahnya. Kalau kau mendapati dia, kau
pasti bakal merasa puas luar biasa, cuma...."
Peng Mo bukan main tertarik ketampanannya Hong Kun,
yang ia kuatir ialah pemuda itu tak memiliki tenaga
kelelakiannya, sekarang ia mendengar It Mo mengatakan si
anak muda gagah sekali, girangnya bukan kepalang. Tapi,
mendengar kata-kata "cuma" dari si bajingan di depannya,
mendadak hatinya menjadi bimbang. Seketika juga ia menjadi
tak sabaran pula, hingga dia maju menghampiri It Mo, untuk
berkata keras, "Bajingan tua, jangan kau jual lagak pula !
Lekas kau bicara !"
Matanya Peng Mo terbuka lebar, sinarnya bengis.
Selama itu Kiauw In dan Hong Kun berdiam saja. Mereka
mendengari pembicaraannya kedua bajingan tua itu tetapi
mereka tak mendengari apa-apa. Inilah sebab keduanya


tengah dipengaruhi Thay Siang Hoan Hun Tan, pil pelupa diri,
yang mereka diberi makan oleh It Mo. Berdua mereka cuma
bengong mengawasi It Mo saja.
Peng Mo mengerutkan alis, matanya mengawasi It Mo. Ia
heran orang tidak menjawabnya.
"Hayo, kau bicaralah !" desaknya. "Apa mungkin muridmu
itu berhati keras seperti Liu Hee Hui dijaman dahulu, yang tak
gentar akan soal asmara ? Aku tak percaya ada pria yang lain
dapat lolos dari genggamanku !"
It Mo tertawa tawar.
"Muridku ini bukannya suhengku Liu Hee Hui !" sahutnya.
"Dia juga bukan telah kehilangan tenaga kelaki-lakiannya. Dia
hanya makan obat Thay Siang Hoang Hun Tan dari si wanita
tua, dengan demikian, hilang sudah kecerdasannya ! Karena
itu, mana dia dapat mengerti urusan asmara ?"
Peng Mo melengak. Mulanya berdiam terus, dia tampak
murka, matanya mendelik pula.
"Aku tak perdulikan muridmu itu ada gunanya atau tidak !"
katanya kemudian sengit. "Hari ini dia bertemu denganku,
hendak aku bawa dia pergi ! Hendak aku mencobanya !"
Kata-katanya ditutup dengan tubuhnya si Bajingan
bergerak, agaknya dia hendak mengajukan diri buat
memegang Hong Kun buat diseret pergi.
It Mo berpikir keras. Selama memperdayai wanita itu, diamdiam
ia sudah mencoba terus mengerahkan tenaga dalamnya.
Lekas sekali ia telah memperoleh kemajuan. Maka itu sampai


disitu ia dapat berpikir, "Aku merasa kesehatanku sudah pulih
banyak.
Bersama kedua muridku, kami ada bertiga ! Mustahil aku
tidak dapat lawan kepadanya ? Sedikitnya kami dapat mundur
teratur......."
Selam itu It Mo pun heran. Ia masih belum juga melihat
munculnya Hiat Mo Hweshio dan Tam Mo Tojin, dua anggota
lainnya itu dari Hong Gwa Sam Mo. Mereka itu biasanya tak
pernah memisahkan diri dan tadipun Peng Mo mengatakan
bahwa kedua saudara angkatnya itu berada berdekatan.
Dimana adanya mereka itu berdua ? Apakah mereka lagi
menyembunyikan diri ?
"Ah, perduli apa mereka itu !" pikir Im Ciu It Mo kemudian.
Sendirnya nyalinya menjadi besar pula.
Peng Mo maju lebih dekat pula. Orang tetap tak
menjawabnya.
"Kau harus tahu diri !" tegurnya pula. "Kau harus tahu
selatan ! Mari dengan baik-baik kau serahkan muridmu supaya
persahabatan diantara kita tetap terjamin !"
It Mo berlaku sabar sekali.
"Orang setolol dia percuma aku serahkan dia padamu !"
sahutnya. "Maka itu aku pikir lebih baik kau memberi muka
kepada aku si perempuan tua supaya kita tetap bersahabat !"
Hatinya Peng Mo tergerak juga mendengar kata-kata orang
itu, ia ingat kalau It Mo tidak tengah terluka, sulit buat ia
menempurnya. Mungkin ia kalah seurat. Sekarang bagaimana
ia harus bertindak ? It Mo agaknya membalas........


"Tak dapat aku sudah saja....." pikirnya lebih jauh. Daging
tinggal dicaplok saja !
Lantas Peng Mo mengawasi tajam kepada Hong Kun,
sekian lama, barulah ia berpaling kepada It Mo. Ia bersenyum,
bersenyum licik. Terus dia kata, "Bajingan tua, kau benar juga
! Memang kita kaum sungai telaga, baik digunung maupun di
air, ada saatnya buat kita saling bertemu ! Baiklah, bajingan
tua. Aku dengar kata-katamu, kita saling mengalah, untuk
melindungi kerukunan kita kelak di belakang hari. Cuma,
bajingan tua, kau harus menerima baik dahulu satu
permintaanku."
Lega juga It Mo mendengar orang berubah sikap.
"Aku kagum yang kau dapat melihat selatan, sahabatku."
katanya. "Sekarang tolong coba beritahukan aku, apakah
permintaanmu itu ?"
"Itulah permintaan yang sangat sederhana." sahut Peng
Mo, si Bajingan Es. "Kau bagi aku sedikit obat pemunah pil
Thay Siang Hoan Hun Tan, supaya aku dapat menyadarkan
muridmu itu, supaya dengan demikian dapat aku pinjam dia
selama satu bulan...."
It Mo melengak. Itulah permintaan yang diluar dugaannya.
Mana dapat ia memberikan obat pemunah itu ? Mana dapat ia
meminjamkan Hong Kun, apa pula buat satu bulan ? Apa
dayanya sekarang ? Agaknya pertempuran tak dapat
disingkirkan........
Selagi berpikir keras, It Mo memandang ke sebelah depan,
sambil mengangkat kepalanya ia mengawasi heran diatas
tanjakan, di lereng di depannya itu. Ia melihat cahaya


matahari. Ketika itu sudah siang, sebab sang pagi telah lewat
sekian lama. Sunyi disekitar mereka. Cuma angin bertiup halus
dan burung-burung kecil beterbangan.
Parasnya si Bajingan Tunggal berubah dengan cepat. Dari
tenang ia menjadi bersungguh-sungguh, menjadi tegang.
Dengan tawar dia berkata kepada si Bajingan Es. "Bagaimana
sahabat andiakata aku si wanita tua tidak suka memberikan
obat pemunah kepadamu ?"
Dengan begitu, It Mo sudah mengambil keputusan akan
apabila perlu mengadu tenaga dan kepandaian ! Lalu terjadi
hal diluar dugaan !
Peng Mo, yang tadinya selalu bersikap keras, mendadak
saja bersenyum dan tertawa !
"Telah aku menerka bahwa tak nanti kau sudi memberikan
obat pemunahmu itu !" katanya. "Tapi tak apalah ! Aku Peng
Mo, aku pun telah membuat obat pemunah yang dapat
memusnahkan obat Thay Siang Hoang Hun Tan buatanmu itu
!"
Berkata begitu, si bajingan mengawasi lawannya.
"Jika kau memberi pinjam muridmu padaku buat lamanya
satu bulan maka di belakang hari pastilah persahabatan kita
dapat dilanjuti seperti sediakala !" ia menambahkan kemudian.
Pergi pulang, Peng Mo tetap menghendaki murid orang itu.
Im Ciu It Mo tertawa nyaring. Tak lagi dia jeri seperti
semula tadi.


"Jika aku tidak sudi memberikan muridku itu, kau akan
berbuat apa ?" tanyanya seperti menantang.
Parasnya Peng Mo menjadi merah padam, matanya
bercahaya jahat.
"Kalau begitu, jangan kau sesalkan Peng Mo telengas !"
sahutnya keras.
Begitu lekas ia berkata, begitu lekas juga Peng Mo
menyerang. Ia menggunakan tangan kirinya dan sasarannya
ialah dada orang.
Tetapi serangan itu gertakan belaka, serangan benar-benar
adalah susulan tangan kanan, yang menuju ke buah pinggang
!
Im Ciu It Mo juga menjadi seorang bajingan yang lihai dan
telengas, dia sudah berpengalaman di dalam pertempuran,
tidak mudah dia kena dijual. Dia tidak menangkis, hanya
dengan gesit sekali dia memutar tubuh sambil berkelit tiga
kali, sebaliknya, menyusuli kesulitan itu, tongkat panjangnya
dikasihh bekerja guna membalas menghajar. Dia
menggunakan jurus silat, "Si Sembrono Menggebuk padi". Dia
tidak menyerang cuma satu kali, hanya dimulai dengan ujung
yang satu diteruskan dengan ujung yang lain. Mengenai atau
tidak mengenai, ia membalas dan serempak !
Peng Mo terperanjat sebab dua-dua serangannya gagal,
lebih-lebih setelah tongkat panjang berkelebat ke arahnya.
Untuk menyelamatkan diri, terpaksa dia menyingkir sambl
berlompat tujuh tindak, kalau tidak tongkat yang panjang ia
pasti bakal menegur juga tubuhnya. Sebab serangan tongkat
dilakukan dengan luar biasa cepatnya.


Selekasnya Peng Mo lolos dari serangannya, baru saja
orang berdiri tatap muka, Im Ciu It Mo sudah mengasih
dengar siulannya yang nyaring yang terkenal itu atas mana
Hong Kun dan Kiauw In yang semenjak tadi berdiri diam saja,
lantas maju sambil menggerakkan senjatanya, menghampiri si
Bajingan Es guna dikepung bersama, pedang mereka berdua
menikam berbareng !
Peng Mo terkejut. Itulah ia tidak sangka. Guna
menyelamatkan diri, dia berkelit dengan jurus silat Tiat Poan
kio, Jembatan Papan
Besi, hingga tubuhnya melengak rata, kedua ujung pedang
lewat diatas perut atau dadanya. Dia kaget berbareng
mendongkol, maka juga selekasnya dia bisa bangkit berdiri,
dia lantas membalas menyerang dengan berjingkrak lompat,
menendang berbareng kepada muda mudi itu. Itulah jurus
silatnya yang diberi nama Wan Yon Twie Kaki, Burung
Mandarin.
Kiauw In dan Hong Kun terkena pengaruh obat tetapi ilmu
silatnya tak terganggu seperti ingatan atas syarafnya, maka
juga ketika didepak itu, keduanya dapat menyingkirkan diri
dengan sama-sama berlompat mundur.
Habis mendepak itu, Peng Mo berlompat untuk berdiri,
karena selama menendang itu, kedua tangannya menekan
tanah, sebab tengah melengak tadi, kedua tangannya itu
diteruskan diturunkan. Sekarang, setelah bangun berdiri
dengan cepat ia menyambut kingato, sepasang goloknya yang
tergantung dipinggangnya. Oleh karena hatinya panas, tanpa
ayal pula ia maju menyerang dalam gerakan Sepasang Walet
Terbang Berbareng. ia menyerang pula kepada dua dua Hong
Kun dan Kiauw In, karena mana, sepasang goloknya
dilancarkan ke kiri dan kanan.


Sepasang anak muda itu berani, keduanya lantas
menangkis untuk seterusnya melakukan perlawanan, hingga
bertiga mereka menjadi bertarung, hingga pedang-pedang
dan golok-golok tak hentinya berkelebatan menikam dan
menebas, menyambar ke bawah.
Di dalam sekejap itu, orang bagaikan berkelahi untuk mati
dan hidup !
Im Ciu It Mo menyaksikan kedua pembantunya turun
tangan. Dia jeri terhadap Peng Mo maka dia mengajukan
muda mudi itu.
Walaupun demikian dia masih memikir menguatirkan kedua
muridnya itu nanti kalah dari bajingan itu. Ia berdiri diam di
dekat mereka, siap sedia dengan tongkatna. Sembari
menonton dia memikirkan bagaimana ia harus turun tangan
guna merebut kemenangan. Ia ingin menyelak maju
selekasnya datang kesempatannya.
Dengan sepasang goloknya, Peng Mo benar-benar lihai,
walaupun demikian untuknya ia melayani dua orang yang urat
syarafnya terganggu, jika tidak, tidak nanti dia dapat melayani
Kiauw In dan Hong Kun, yang mempunyai masing-masing ilmu
pedangnya yang istimewa.
Selainnya cahaya pedang berkilauan, percikan api pun
sering bermuncratan dan suara beradunya pedang dan golok
senantiasa mendatangkan suara berisik. Sekian lama itu,
mereka masih selalu berimbang.
It Mo memasang mata, tidak cuma terhadap medan
pertempuran, kadang-kadang ia melirik ke sekitarnya karena


ia kuatir akan munculnya si Bajingan lainnya, saudarasaudaranya
Peng Mo.
Setelah bertempur sekian lama itu tanpa hasil, Peng Mo
lantas memikir buat menggunakan bubuk biusnya. Ia pula
mengawasi Hong Kun, ketampanannya yang membuat hatinya
goncang, ia suka menggertak gigi sekira gatal sendirinya.
Hong Kun tidak menghiraukan yang orang selalu
menginplangnya. Selagi urat syarafnya terganggu itu, dia tak
kenal akan asmara.
Dia tetap berkelahi dengan keras sampai satu kali
mendadak pedangnya meluncur secara sangat membahayakan
Peng Mo hingga
si Bajingan Es terkejut dan repot membela dirinya.
Hingga Peng Mo penasaran sekali belum juga ia bisa
membekuk anak muda, walaupun ia sudah mencoba pelbagai
macam ilmu silatnya. Diakhirnya likat atau tidak, ia memikir
terpaksa ia mesti minta bantuannya Tam Mo dan Hiat Mo, dua
orang saudaranya.
Maka itu selekasnya ia sudah mengambil keputusan
sembari berkelahi itu, sekonyong-konyong, ia
memperdengarkan siulannya yang nyaring, siulan yang berupa
isyarat. Suaranya itu satu pendek dua panjang, iramanya mirip
"burung jenjang menangis atau bajingan memekik-mekik".
Sebenarnya sejak di Ngo Tay San, ditengah jalan, Hong
Gwa Sam Mo sudah melihat Im Ciu It Mo bersama-sama
Kiauw In dan Hong Kun, selekasnya melihat Hong Kun,
hatinya Sek Mo tergiur bukan main.


Jilid 48
Dimatanya, Hong Kun adalah si anak muda yang ia
ketemukan di kota Gakyang, yang ia telah tawan tetapi yang
kena dirampas oleh Tok Mo. Ia tidak berani lantas turun
tangan setelah ia mengenali Im Ciu It Mo yang ia segani,
walaupun demikian ia minta dengan sangat agar dua
saudaranya suka mengikuti ia menguntit It Mo bertiga.
Selama Im Ciu It Mo menyerbu Gwan Sek Sie dan
bertempur seru itu, Peng Mo bertiga menonton sambil
bersembunyi dalam rimba, diatas pohon hingga mereka dapat
melihat tegas jalannya pertempuran. Peng Mo girang sekali
menyaksikan It Mo terluka di dalam, hingga ia membayangi
Hong Kun si tampan, sudah berada dalam
rangkulannya...........
Dasar jumawa, disamping ingin mendapati si anak muda,
Sek Mo juga mau mempertontonkan kegagahannya. Begitulah
ia menemui Im Ciu It Mo sambil meminta dua saudaranya
tetap menyembunyikan diri dengan dipesan agar mereka itu
jangan muncul kecuali ia memberi isyarat. Ia ingin mereka
menonton bagaimana ia merampas Hong Kun
Tam Mo dan Hiat Mo mengiringi permintaannya san
sumoay adik seperguruan, terhadap siapa mereka suka
mengalah.
Demikianlah sudah terjadi, selama Peng Mo melayani It Mo
berbicara dan bertempur sampai dia dikepung Hong Kun dan
Kiauw In, mereka terus menonton saja dari atas pohon. Hanya
selama paling belakang, hati mereka tegang sendirinya sebab
pertempuran seru dan meminta waktu lama sehingga mereka
kuatir adik itu gagal dan terluka. Begitulah, selekasnya mereka


mendengar isyarat itu, tak ayal lagi mereka berlompatan turun
dari atas pohon dan lari mendatangi kepada sang sumoay.
Bahkan Hiat Mo segera menyerang Kiauw In selagi nona itu
membaliki belakang dan menyerangnya dengan pukulan
tangan kosong Tangan Bajingan Asuara atau Bajingan
Raksasa.
Syukur Kiauw In dapat mendengar hal datangnya bantuan
lawan dan ia keburu berkelit dari serangan berbahaya itu.
Dengan loncatan Tangga Mega, ia menjatuhkan dirinya tiga
tindak.
Dengan si nona mencelat menyingkir, tinggallah Hong Kun
sendiri melayani Peng Mo. Dengan ilmu silat pedang Heng San
Kiam Hoat, tak nanti Hong Kun mudah dikalahkan lawannya
itu, apa lacur, kawan sudah menggunakan senjata rahasianya,
yaitu sebuah peluru yang ditimpukan, meledak pecahlah dia
dan bubuknya terbang berhamburan. Lawan itu bukannya
Peng Mo, hanya Tam Mo, yang menyerang secara diam-diam.
Peng Mo melihat saudaranya menimpuki peluru, ia lompat dan
menghajarnya pecah. Ia sendiri terus lompat maju kepada
Hong Kun.
Bubuk beracun itu berbau harus dan buyarnya pesat,
saking kerasnya Bieus bukan hanya Hong Kun, melainkan
Peng Mo sendiri roboh bersama. Hanya itu Tam Mo berlaku
dengan sangat cepat. Dia segera lompat kepadan Peng Mo,
akan menciumnya dengan sebuah kantong harum, setelah dia
melihat sang adik seperguruan sadar dan membuka matanya,
dia kata sambil tertawa,
"Sumoay, saudaramu telah membantumu. Maka kau
gunakanlah baik-baik kesempatan ini !"


Selekasnya dia siuman dan mendengar suara saudaranya
itu, Peng Mo lantas bergerak, ia lompat bangun. Ia girang
sekali. Terus dia menoleh, mengawasi Hong Kun yang rebah
tak berkutik dengan pedangnya terletak disisinya. Tak ayal
lagi, dia lompat ke sisi anak muda itu, buat memondongnya
bangun. Dia pula menolong memungut pedangnya pemuda
itu. Ketika ia hendak menjemput goloknya sendiri, mendadak
ada bayangan tongkat panjang menyambar dibarengi
anginnya.
Bukan main kagetnya Peng Mo. Kedua tangannya lagi
memegangi Hong Kun, tak sempat ia menangkis, malah
berkelit pun sukar.
Justru itu mendadak ada angin keras yang menolak tongkat
itu. Tahulah ia yang Tam Mo, kakaknya sudah membantunya.
Pasti tongkat telah dihajar dengan Siulo Mo Ciang, pukulan
Tangan Bajingan Raksasa itu. Maka itu tanpa berpikir panjang
pula, ia berlompat pergi sambil mengempit tubuhnya Hong
Kun. Ia memang pandai ilmu loncat "Rusa Menggali Lobang".
Sekali dia melejit, dia lari terus turun gunung !
Kiauw In habis berkelit dan mundur, dia kaget waktu dia
mendapati benda meledak dan asap berhamburan, baunya
membuat kepalanya pusing dan matanya berkunang-kungan.
Mulainya ia memikir maju pula buat membantui Hong Kun,
atau ia terus jatuh duduk disebabkan bubuk bius yang lihai itu.
Ia tidak pikir tetapi ia tak dapat bangun berdiri pula !
It Mo mau membantu Hong Kun karena dihadang Hiat Mo
Hweshio, ia jadi menempur si Bajingan Darah itu. Tetapi baru
bebarapa jurus ia sudah memaksa lawannya lompat mundur.
Justru itu ia menyaksikan Hong Kun dibawa lari oleh Peng Mo.
Bukan main panas hatinya, ia lompat menyusul tetapi kembali
ia dirintangi Hiat Mo, bahkan kali ini selagi ia menghajar si


Bajingan Es, tongkatnya kena terhajar keras sekali oleh Hiat
Mo sampai tongkat itu terlepas dan jatuh dan ia merasai
sangat nyeri di dalam tubuhnya. Maka insyaflah ia akan
kelemahan dirinya. Hanya sebagai seorang yang
berpengalaman yang tak mau hilang muka, ia lantas kata
dingin : "Tak kusangka Hong Gwa Sam Mo juga dapat
bertindak secara begini tak tahu malu !"
Tam Mo yang memungut sepasang goloknya Peng Mo
menjawab dingin : "Siapa beruntung dia dapat, siapa malang
dia gagal.
Semua itu sudah takdir ! Karena itu bajingan tua buat apa
kau menyesal ?" Dia sengaja menyebut orang si Bajingan Tua.
Pula kata-katanya itu mempunyai arti : It Mo menawan murid
orang, pantas kalau murid orang itu dirampasnya. Jadi mereka
saling ganti merampas..........
Hiat Mo pun tertawa dan kata nyaring, "Adik
seperguruanku menyukai muridmu itu, maka dia
meminjamnya untuk dipakai buat sementara waktu.
Maafkanlah dia yang sudah terlalu terburu nafsu hingga dia
berbuat salah terhadapmu, cianpwe. Di sini aku si pendeta
muda menalanginya menghatur maaf, harap dia suka
dimaklumi !" Terus si pendeta menjura dalam.
Bukan main sulitnya It Mo. Marah salah, tidak marah ia
mendongkol sekali. Berkeras pun ia tidak bisa. Hanya dasar
Bajingan ulung pandai pikir. Pengalaman membuatnya pintar
dan cerdik.
"Hong Kun telah dibawa lari. Kini aku tak bisa berbuat apaapa......."
demikian pikirnya. "Baiklah, aku bersabar." Maka
terus dia menjawab si Bajingan Darah : "Adikmu itu tepat


julukannya ! Dia memandang paras elok dan asmara lebih
hebar dari jiwanya !
Cumalah tanpa obat pemusnahnya sia-sia saja dia nanti
menghadapi pemuda yang linglung itu, yang suka berdiam
saja bagai patung ! Mana ada rasa nikmatnya ?"
Hiat Mo berlagak pilon. Jawabnya sabar, "Tentang urusan
diantara pria dan wanita, maafkan aku si pendeta. Aku tak
suka mencampur tahu !"
It Mo berpaling kepada Tam Mo si Tamak. Kata dia,
"Muridku ini telah kena mencium bubuk biusmu, dia duduk
tidak berkutik, apakah dia juga hendak dipinjam oleh kau,
rahib tua ?"
Dengan rahib tua yang dimaksudkan tosu tua, penganut To
Kauw, agama To.
Tam Mo Tojin menggoyang-goyangi tangannya.
"Tidak, tidak !" katanya cepat. "Pinto adalah orang kaum
Sam Ceng, biasanya kami pantang paras elok ! Mana pinto
memikir hal demikian ?"
Hiat Mo sementara itu mengawasi Kiauw In yang lagi
duduk berdiam saja, bersila ditanah, tangannya menunjang
dagu, matanya dipejamkan. Nona itu mirip orang yang lagi
tidur nyenyak. Lantas dia tertawa dan berkata : "Tidak
disangka obat paling beracun It Toan In buatan adik
seperguruanku yang nomer dua begini lihai, asal orang
menciumnya orang lantas tak sadarkan diri ! Budak ini cuma
membaui sedikit, terus dia roboh dan tak ingat apa-apa lagi.


Tam Mo pun tertawa, dia juga berkata : "Kakak, jangan
kakak meniup mengepul keterlaluan ! Inilah kepandaian yang
sangat tak ada artinya ! Kalau ilmu ini dicoba di depan
Cianpwe Im Ciu itu sama saja orang bertingkah di depan ahli
!"
Berkata begitu, kawan ini melirik kepada Hiat Mo Hweshio,
guna memberi isyarat, kemudian ia menoleh pula kepada Im
Ciu It Mo untuk memberi hormat sambil menjura, seraya
berkata : "Cianpwe, kami berdua memohon diri !" lalu terus
mereka memutar tubuhnya jalan menuruni lereng !
Hati It Mo panas sekali. Belum pernah orang menghinanya
secara demikian. "Tahan !" teriaknya, sambil dia berlompat
maju untuk menghadang. Kedua Bajingan menghentikan
langkahnya. Mereka pun berpaling. Hiat Mo mengasi lihat
wajah heran ketolol-tololan, dengan berpura pilon dia
bertanya, "Cianpwe, ada perintah apa lagi ?" Im Ciu It Mo
mengangkat tongkatnya, dipakai menunjuk kepada Kiauw In.
"Obat pingsan kalian membuat pemudi itu menderita !"
katanya. "Apakah dapat kalian pergi dengan begini saja ?"
Tam Mo Tojin tertawa. Dia maju dua tindak.
"Tidak, tidak !" sahutnya. "Ini hanya permainan kecil saja,
locianpwe ! Tak usahlah locianpwe terlalu memperhatikannya !
Kenapa locianpwe tak mau menyadarkannya sendiri ?"
"Kalian boleh main gila !" bentak It Mo. "Jika kalian tak
menyadarkan muridku ini, hati-hatilah tongkatku tidak akan
mengenal persahabatan lagi !"
Dengan satu gerakkan tangan, It Mo membuat tongkatnya
melesat dan nancap pada sebuah pohon kayu sebesar pelukan


manusia, nancapnya dalam dua kaki dan ujungnya yang lain
bergoyang-goyang.
Di waktu melontarkan tongkatnya itu, It Mo menggunakan
seluruh tenaga dalamnya yang mulai pulih kembali. Ia tidak
membuka mulut, hanya menyalurkan nafasnya dengan rapi.
Hiat Mo dan Tam Mo terbengong menyaksikan kepandaian
wanita tua itu. Memangnya mereka jeri. Kalau toh mereka
berani main gila, itu disebabkan It Mo tengah terluka parah.
Tidak disangka yang si Bajingan Tunggal dapat sembuh
demikian cepat.
Habis terguguh sebentar, Hiat Mo lantas tertawa. Dia
memang sangat cerdik dan licik. Lantas dia kata : "Perkara ini
perkara kecil ! Tak usah kau bergusar orang tua ! Nah ! Jie
Sute, lekas kau sadarkan budak perempuan itu ! Memang
siapa yang membelenggu, dialah yang harus melepaskannya
!"
Tam Mo sebaliknya. Dia membawa aksi memandang
ringan. Kata dia sengaja pada It Mo : "Sicu toh seorang ahli.
Apakah artinya bubuk bius It Toat In dari aku ini ? Pasti
bubukku ini tak dilihat mata ! Ha ha !"
Berkata begitu, tanpa menoleh lagi kepada si Bajingan
Tunggal, Bajingan Tamak bertindak ke arah Kiauw In yang
masih berduduk diam bagaikan patung itu.
Sementara itu mukanya It Mo menjadi merah padam dan
pucat pasi bergantian, sebab ia insyaf yang kedua bajingan itu
tengah mengejeknya, walaupun demikian terpaksa dia
berdiam saja sebab memang dia tidak sanggup menyadarkan
Nona Cio.


Selekasnya dibikin siuman oleh Hiat Mo, Kiauw In lantas
bangkit berdiri. Ia menggerakkan tubuhnya dan melonjorkan
tangan dan kakinya untuk melemaskan otot-ototnya, sesudah
itu ia melihat ke sekitarnya. Dengan ayal-ayalan ia memasuki
pedangnya ke dalam sarungnya.
Segera setelah itu, It Mo menatap bengis kepada Tam Mo
dan Hiat Mo yang justru lagi membaliki belakang padanya.
Kemudian ia kata seperti orang mendamai tetapi nadanya
mengancam : "Di saat aku Im Ciu It Mo pu ia seluruh
kegusaranku, maka itulah hari akhir dari kamu bertiga Hong
Gwa Sam Mo".
Terus ia membuka langkahnya akan menghampiri Kiauw In
guna memegang tangan orang.
"Muridku, mari kita pergi !" dia mengajak. Kemudian diapun
menyambar tongkat dipohon untuk ditarik lolos. Sesudah itu
sambil itu, sambil dipayang Nona Cio dia bertindak turun
gunung !
Memang hebat sekali luka di dalam tubuh dari Im Ciu It
Mo. Kalau tadi ia bisa beraksi sebentar menggertak Hong Gwa
Sam Mo itulah karena dia memaksakan diri, dia mencoba
mengerahkan seluruh sisa tenaga dalamnya itu. Sekarang
setelah urusan beres, ia merasai pula nyerinya itu. Hingga
Kiauw In mesti memegangi ia selama mereka berlalu. Untuk
penghinaan yang It Mo tak mudah melupakannya. Di depan
matanya Hong Kun telah dibawa lari oleh Peng Mo, Bajingan
Paras Elok, Tam Mo dan Hiat Mo pun mengoloknya,
menambah sakit hatinya. Maka juga kelak dalam pertempuran
Bu Lim Cit Cun, di sana telah terjadi sesuatu kontrak di sana !


Sementara itu, Pie Te Taysu, habis dia memberi nasihat
kepada Im Ciu It Mo dilereng gunung, terus dia pulang ke
dalam taman.
Biarnya dia seorang pertapa dan suci, dia pun mendongkol
yang tak karu-karuan. It Mo datang mengacau itu artinya
menghina Sang Buddha pujaannya. Hanya saking taatnya
kepada ajarannya nabinya itu, ia menahan perasaan hatinya,
ia menguasai dirinya untuk tetap berlaku sabar. Itulah uji
derita yang harus dimiliki oleh setiap umat beragama.
Tiba ki go gee mai, pintu rembulan dari taman, Pie Te
bertemu dengan Liong Hauw Siang Ceng serta muridnya
bertiga, yang pun baru tiga, ia merunduk dan bertanya kepada
kedua pendeta Naga dan Harimau : "Tahukan kalian berapa
orang murid kita yang terbinasa dan terluka ?"
Liong Hauw Siang Ceng bertiga memberi hormat sambil
menjura. Lantas Bu Sek menjawab : "Diantara para petugas di
pendopo, dua terluka parah, lima terluka ringan. Diantara
murid tingkat dua, telah terluka enam anggauta."
Alisnya sang pendeta terbangun.
"Adakah mereka semua telah diobati ?" tanyanya pula.
Siebie kecil, kacung muridnya Liong Houw Siang Ceng
menjawab : "Semua telah dirawat, cuma kedua pendeta yang
terluka parah itu, sampai sekarang ini masih belum siuman."
Bibirnya Pie Te bergerak, kumis dang janggutnya
terbangun, pertanda bahwa ia gusar sekali, akan tetapi ia
tetap bungkam. Ia dapat mengendalikan kemurkaannya. Ia
berdiri diam sekian lama, lalu ia menatap kedua pendeta di
depannya itu, kemudian ia memutar tubuh, meninggalkan


pintu model rembulan itu. Selekasnya ia melangkah dari
ambang pintu, ia berpaling dan kata : "Bu
Sek dan Bu Siang, kedua kemenakan, pergilah kalian ke
seluruh pendopo guna melakukan penyeledikan !"
Kedua pendeta itu mengangguk, tetapi mereka bertindak
menghampiri, hingga mereka berada di belakangnya si
pendeta tua.
"Paman guru !" katanya.
Pie Te Taysu memutar tubuh.
"Ada apakah ?" tanya dia.
Liong Hauw Siang Ceng saling mengawasi, kemudian Bu
Sek yang membuka mulutnya. Katanya perlahan-lahan sekali,
"Paman, bukankah paman baru dari gunung belakang ?"
Pie Te Taysu bersenyum.
"Sebelumnya kalian membuka mulut, lolap telah ketahui
maksud pertanyaan kalian." katanya. Berkata begitu, dia
menatap tajam sekali.
Bu Sek dan Bu Siang tunduk, mereka menjura sambil
merangkapkan kedua tangannya masing-masing.
Pie Te Taysu mengawasi, terus dia menghela nafas.
"Lolap telah mentaati pesan dari ciangbun suheng, di
lereng gunung belakang sana telah lolap mengasi lolos pada
Im Ciu It Mo bertiga." katanya, memberikan keterangan.


Ciangbun suheng ialah panggilan yang berarti kakak
seperguruan (suheng) yang berbareng pun menjadi ketua
(ciangbun).
Liong Houw Siang Ceng berdiam. Sesaat kemudian, mereka
mengangkat kepala mereka.
"Paman." kaat Bu Siang. "Kami berdua memohon perkenan
paman untuk turun gunung buat melakukan suatu perjalanan !
Dapatkah ?"
Dengan "kami berdua", Liong Houw Siang Ceng
menyebutkan "tua ca" yang berarti "murid" tetapi disisi katakata
itu selain untuk merendahkan diri berbareng juga untuk
menghormati sang susiok, paman guru.
Pie Te Taysu mengawasi kedua kemenakan murid itu. Ia
menghela nafas.
"Kemenakanku," sahutnya kemudian. "Sekarang ini ada
jaman lagi kacau dari dunia Sungai Telaga. Karena itu dengan
tenaga kalian berdua untuk menyusul Im Ciu It Mo, hasilnya
sungguh sukar diterka. Dengan kata lain, mungkin kalian tak
akan berhasil."
"Kami berdua justru hendak mencari tahu sampai dimana
kejahatan dan tenaga Bajingan itu !" Bu Sek turut bicara.
Parasnya si pendeta tua berubah, tetapi dia berkata cepat :
"Baik, kalian boleh pergi ! Cuma haruslah kalian hati-hati !"
Bu Siang dan Bu Sek girang sekali, mereka bersyukur.
Mereka memohon ijinnya sang paman guru disebabkan di saat
itu guru mereka Pie Sie Siansu, sedang menyekap diri, hidup
bersendirian di dalam sebuah kamar suci dan segala tugasnya


diwakilkan pada Pie Te, sang paman guru yang menginap Ing
Ciang Ih, pendopo tempat pendeta kepala, ketua Gwan Sek
Sie.
Sekarang kita melihat dulu pada Sek Mo alias Peng Mo si
Bajingan Es. Dia kabur dengan mengempIt Hong Kun. Jalan
yang diambil yaitu lereng di belakang gunung Gwan Sek San.
Dia lari dan jalan cepat bergantian selama tujuh atau delapan
lie tak henti-hentinya.
Baru setelah itu dia memperlahan langkahnya.
Sebenarnya Sek Mo adalah seorang nikouw, tapi cara
hidupnya mirip separuh siluman. Dengan telah berhasil
mendapatkan Gak Hong Kun girangnya tak kepalang.
Sehingga dia bagaikan tengah bermimpi manis, terus dia
menatap wajah tampan si pemuda, hingga ia seperti juga
hendak mencaplok dan menelan pemuda itu..........
Ketika itu angin gunung meniup, membuat berdeburan
jubarahnya si nikouw, sedangkan sinar layung matahari
memancarkan wajahnya yang cantik tetapi berwajah sangat
centil, bayangannya berpeta di jalan lereng itu. Dia berjalan
perlahan dengan tindakan elok, lemah gemulai..........
Sembari jalan, Sek Mo memikirkan dimana dia harus
singgah atau mondok, maka juga matanya selalu mencari
rumah atau pondokan dimana ia mengharap ia bisa
menumpang bermalam, supaya disitu malam juga dapat ia
mempuaskand irinya, bagaikan bidadari terbang melayanglayang
diangkasa........
Toh didalam keadaan sepertiitu, ia masih sadar akan
keganjilan diri atau perbuatannya. Sebab sebagai seorang
wanita, apa pula wanita yang beribadat, mengapa ia


mengempit dan memeluki seorang pria muda belia ? Tidakkan
itu akan membuat orang heran dan curiga ? Ia telah memikir
dan mencari saja sebuah gua tetapi ia tak setujui itu. Ia pula
kuatir Im Ciu It Mo nanti dapat menyusulnya.
Selagi berpikir itu, Sek Mo berjalan dengan perlahan-lahan.
Kapan ia melihat cuaca ia mulai bingung. Sang lohor sudah
tiba, sang magrib lagi mendatangi, sedang ia belum juga
mendapatkan pondokan.
Terpaksa, si Bajingan Es lantas mempercepat langkahnya.
Di sebelah depan terdapat sebuah tikungan, selewatnya
mana tampak sebuah tanah kosong yang bertumbuhkan
rumput tebal.
Justru ia menikung justru ia melihatnya sesosok tubuh
manusia, cepat bagaikan bayangan berkelebat.
Peng Mo terkejut hingga ia melengak, lantas ia maju dua
tindak.
"Sahabat, siapa disitu ?" tegurnya. "Silahkan sahabat keluar
untuk kita bertemu."
Dari dalam semak terdengar tawa nyaring disusul paling
dahulu dengan munculnya sebuah kepala orang yang gundul,
segera seluruh tubuhnya tampak, nyata dialah seorang
pendeta dengan jubahnya warna kuning. Dia tertawa pula,
terus dia berlompat hingga di detik yang lain dia sudah berdiri
di depannya Sek Mo. Jaraknya lima kaki satu dengan yang
lain.
Dengan mata dibuka lebar, pendeta itu mengawasi Peng
Mo dan Hong Kun bergantian, terutama si anak muda.


Peng Mo melihat pendeta itu berumur kurang lebih tiga
puluh tahun, mukanya montok, matanya bundar. Ia merasa
asing terhadap orang suci itu. Karena orang mengawasi terus
padanya, ia mau menyangka pendeta itu kurang pendidikan,
atau dialah si pendeta cabul sebab dia terus mengawasi
padanya !
Habis mengawasi Hong Kun, pendeta itu mengangkat
kepalanya, akan memandangi si wanita untuk terus menanya
hormat : dari mana didapatnya si anak muda yang yang
dikempitnya..........
Ditanya begitu, Peng Mo justru tertawa. Ia lantas
menjawab tetapi bukannya menyahuti pertanyaan orang, dia
justru balik bertanya : "Suheng, apakah nama suci suheng ?"
Pendeta itu merakopi kedua tangannya.
"Pinceng ialah Bu Kie dari Siauw Lim Sie." jawabnya.
Peng Mo tertawa manis, matanya memain galak.
"Suheng, untuk apalah maksud suheng maka suheng
menguntitku ?" dia tanya. Kembali dia menanya.
Bu Kie tidak puas terhadap pertanyaan itu yang dibarengi
dengan tingkah centil. Maka dia kata keras : "Akulah pendeta
yang mengutamakan aturan-aturan agama, sekalipun si
wanita cantik yang muncul di depanku, tak nanti hatiku
tergiur, maka itu aku minta sukalah kau menghargai dirimu
sendiri !"


Parasnya Sek Mo berubah. Inilah tidak disangkanya. Dia
menjadi tidak senang hingga dia lantas memperlihatkan
tampang bengis.
Kata dia keras : "Air tidak mengganggi air sungai, orang
mengambil jalannya sendiri-sendiri, maka itu, kepala keledia,
kau pikir baik-baik ! Sekarang ini telah tiba saatnya buat kau
memanjat sorga !"
Bu Kie makin gusar. Bentaknya : "Oh, manusia penuh dosa
! Tak dapat kau lolos dari tanganku! Rupanya inilah yang
dinamakan jodoh !"
Diantara waktu Bu Kie keluar dari Gwan Sek Sie dengan
saatnya Peng Mo merampas Hong Kun dan turun dari gunung,
bedanya ialah setengah hari satu malam. Karena itu, mereka
berpapasan dari siang-siang. Tapi itulah bukan soal bagi si
pendeta. Dia hanya tertarik oleh tampangnya Hong Kun yang
mirip It Hiong hingga ia menyangka pemuda itulah murid Pay
In Nia. Orang yang telah melepas budi besar terhadap Siauw
Lim Sie. Maka itu, selagi si anak muda terjatuh dalam
tangannya wanita cabul, hendak ia membantunya. Telah ia
mendengar berita perihal It Hiong lagi menempuh bahaya.
Karena ia tidak sanggup memberikan bantuannya, ia mundar
mandir saja di sekitar gunung Ngo Pay San. Sungguh
kebetulan hari ini, ia bertemu dengan Peng Mo yang lagi
melarikan Hong Kun sebagai It Hiong palsu !
Tempat Hong Gwa Sam Mo bertempur dengan Im Ciu It
Mo, Bu Kie dapat melihat. Ia menonton dari tempat jauh tanpa
ia dapat dilihat mereka itu. Sampai Im Ciu It Mo menghilang,
ia tidak tahu tetapi disini apa mau mereka berselompokan.
Maka ia lantas muncul dan merintanginya.


Peng Mo mendongkol. Kata dia dingin : "Kepala keledia
gundul, kita berjodoh ! Marilah hendak aku lihat, kepandaian
apa yang kau miliki !"
Berkata begitu, dengan berani si wanita menunjukan
dirinya. Masih ia mengempIt Hong Kun. Ia bertindak dengan
langkah elok tetapi ia sengaja mau menabrak pendeta itu !
Bu Kie gusar, dia bersiap sedia. Kedua tangannya digeraki
dengan berbareng ! Tangan kiri diluncurkan ke muka si wanita
dengan jurus : "Arhat Menggoyang Lonceng", tangan
kanannya menyambar Hong Kun buat dirampas.
Inilah jurus "Di dalam Laut Menawan Naga". Dua-dua jurus
itu adalah jurus-jurus dari "Cap jie Na Liong Ciu", "Dua belas
Tangan Menawan Naga", yang semuanya terdiri dari tujuh
puluh dua jurus. Tangan kiri separuh menggertak, tangan
kanan bekerja benar-benar.
Peng Mo terkejut merasai angin menyambar keras. Dengan
cepat ia mencelat mundur dua tindak. Dengan begitu bebaslah
ia dari dua-dua tangannya si pendeta.
Menyaksikan kelincahan si wanita, tahulah Bu Kie yang dia
lagi menghadapi bukan sembarang wanita. Ia lantas maju pula
untuk merangsak. Kembali ia menggerakkan kedua belah
tangannya. Kali ini dengan gerakan "Merogoh Rembulan
Didalam Air". Kedua tangannya bergerak ke kiri dan kanan
tubuh orang. saking cepatnya, tangan kanannya sudah lantas
menyentuh tubuhnya si anak muda.
Peng Mo kaget sekali. Dia tidak menyangka si pendeta
demikian lihai, hingga dia telah kena ditipu. Lekas-lekas dia
menangkis dan merampas pulang tetapi dia gagal. Tubuhnya


Hong Kun sudah pindah tangan. Dan Bu Kie berlaku cerdik,
dengan lantas dia memutar tubuh untuk berlari pergi !
Bukan main panas hatinya Peng Mo. Maka juga ia lantas
lari mengejar. Dulu di dalam rimba diluar kota Gakyang ia
telah dipermainkan Ya Bie, yang menggunakan ilmu silat.
Tetapi sekarang Bu Kie mempermainkannya terang-terang. Ia
pun tidak takut terhadap pendeta itu. Bahkan dia bisa berlari
dengan keras. Dengan dua kali lompat, ia sudah dapat
menyandak dan melewatinya, untuk terus menghadang.
Dengan memondong tubuhnya Hong Kun, Bu Kie tak dapat
lari keras. Ia pun segera menjadi repot selekasnya si wanita
menyerangnya. Tadi Sek Mo melayani ia dengan satu tangan,
sekarang ia membela diri dengan satu tangan juga, sebab
tangan yang lain terus mengempit tubuhnya si anak muda.
Untung baginya, ilmu silatnya yang dinamakan Nu Liong Cu -
Menawan Naga dan Kim kong Ciang Hoat, Tangan Arhat,
sudah sempurna hingga ia dapat melindungi dirinya. Setelah
terdesak ia berdiri tegak, matanya mengawasi tajam pada si
Bajingan Paras Elok.
"Kita tidak bermusuhan, kenapa kau begini mendesak aku
?" tanyanya.
Alisnya Peng Mo bangun, matanya mendelik.
"Kau telah merampas sahabatku, apakah itu bukannya
permusuhan ?" dia balik bertanya sambil membentak.Bu Kie
mengawasi mukanya Hong Kun. Lantas dia memperlihatkan
tampang sabar.
"Mari aku memberikan keteranganku" katanya. "Pemuda ini
adalah orang gagah yang pernah melepas budi terhadap
Siauw Lim Sie. Dialah sicu Tio It Hiong yang budiman. Kita


kaum rimba persilatan toh membedakan budi dari dendam ?
Dia sekarang terancam bahaya, mana dapat aku tidak
menolongnya guna membalas budinya ?"
"Hm !" Peng Mo memperdengarkan ejekannya. "Kiranya
pemuda ini tuan penolong dari Siauw Lim Sie kamu !"
Bu Kie mengangguk.
"Tak salah !" sahutnya.
Dari murka, mendadak Peng Mo tertawa. Dia pandai sekali
memainkan peranan.
"Dia... dia.. Denganku pun bermusuhan !" katanya.
"Bagaimana sekarang ?"
"Bagaimana kalau pinceng yang bertanggung jawab sendiri
?" tanya Bu Kie yang mau percaya keterangan dusta si wanita
licik.
"Pinceng sangat menghargai kau, bapak pendeta, maka
juga pinni suka mengalah.: kata Peng Mo. Ia sekarang
membahasakan dirinya pinni, si nikouw melarat, untuk
merendahkan diri. "Nah, coba kau pikir masak-masak,
kepandaian apa yang lihai yang kau miliki buat kau
melayaniku."
Bu Kie berlaku sabar.
"Paling baik ialah kau mengalah supaya kelak di belakang
hari akan aku membalas kebaikanmu ini." sahutnya.
Mendadak saja Peng Mo gusar.


"Mana dapat !" serunya sambil dia maju untuk menyerang
dengan dua-dua tangannya. Dia pun membentak : "Sudah,
jangan ngaco belo saja !" Terus dua tangannya terluncurkan
hingga si pendeta membuat perlawanan.
Dengan tangan kiri tetap mengempIt Hong Kun, dengan
tangan kanannya si pendeta menangkis serangan dahsyat itu.
Berbareng dengan itu ia pun berkelit dari tangan lawan yang
lainnya.
Setelah beradu tangan itu Peng Mo ketahui tentang
musuhnya ini. Musuh kuat tenaga luarnya tetapi belum
sempurna tenaga dalamnya. Ia sendiri masih lemah tetapi
sebagai seorang yang berpengalaman, ia bisa mengimbangi
diri bagaimana harus melayani lawan yang tangguh itu.
Begitulah ia menyerang gencar dengan dua-dua tangannya,
sebagaimana dia pun dengan lincah sekali berkelit sana dan
berkelit sini atau sewaktu-waktu dia lari berputaran
mengelilingi lawan untuk membikin lawan pusing dan repot,
terutama agar lemas kehabisan tenaganya. Lawan mengempit
si anak muda !
Hong Gwan Sam Mo mempunyai ilmu silat istimewa yang
diberi nama "San Hoa Siauw Cia" atau "Menyebar Bunga".
Maka juga Sek Mo sudah lantas menggunakan ilmunya itu. Ia
berputaran terus, saban-saban ia menyerang dengan ilmu
silatnya itu. Bu Kie menjadi repot, hingga jangan kata
menyerang, membela diri saja sukar. Ia tak dapat bergerak
dengan leluasa. Sedangkan mulanya ia memikir menggunakan
kekerasan akan melumpuhkan lawannya itu. Ia tidak
menyangka bahwa lawan licik sekali dan pula masih
mempunyai kegesitan.


Sesudah menyerang beberapa puluh kali dengan sia-sia
saja pendeta itu menjadi bingung juga. Ia mulai lelah karena
sudah menggunakan tenaga terlalu banyak.
Sebaliknya Peng Mo. Dia lihai, dia mendapat lihat lawan
mulai kehabisan tenaga, lantas dia menggencarkan
serangannya. Dia menyerang sambil lompat berputaran untuk
membikin lawan pusing kepala. Dia pula selamanya
menyingkir dari serangan dahsyat lawannya itu.
Bagus buat Bu Kie, walaupun dia sudah kalah angin tetapi
ia masih dapat bertahan. Terus ia mengempIt Hong Kun yang
ia sangka It Hiong adanya, ia selalu menangkis serangan, atau
kalau ia berkelit selamanya ia berkelit dengan lompat mundur.
Ia selalu mundur di jalan pegunungan itu.
Peng Mo bertempur dengan gembira. Harapannya telah
timbul. Ia melihat lawan sudah terdesak hingga lekas juga si
anak muda yang dijadikan barang perebutan bakal segera
kembali ke dalam rangkulannya. Ia tertawa saking girangnya.
"Bapak pendeta awas !" katanya kemudian yang lantas
menyerang dengan ilmu silat "Boan Thian Hoa In, Hujan
Bunga di Seluruh Langit". Dengan begitu saking gencarnya
serangan kedua belah tangannya bergerak-gerak cepat
bagaikan bayangan berkelebatan.
Bu Kie Hweshio bingung. Matanya telah berkunang-kunang.
Satu kali ia berkelit dari serangannya lawan. Ia bisa
menyelamatkan dirinya tetapi karena lambat, angin
serangannya Peng Mo mengenai Hong Kun yang tak sadarkan
diri.


"Aduh !" mendadak si anak muda menjerit karena serangan
itu membuatnya siuman. Ia tertotok pada jalan darah giok-cim
di belakang batok kepalanya itu.
"Ah, kau sadar Tio sicu !" kata Bu Kie girang sambil dia
mengambil kesempatan mengawasi muka si anak muda.
Justru itu pendeta ini mengeluarkan jeritan tertahan.
Sedangnya dia tunduk, tangannya Peng Mo menghajar bahu
kirinya hingga dia roboh dan hatuh bergulingan dengan Hong
Kun terus terkempit.
Peng Mo lompat menyusul, tangannya pun menyambar
Hong Kun. Apa mau, ia telah kena injak sebuah batu bundar,
maka tidak ampun lagi, ia terpeleset dan jatuh, hingga bertiga
mereka jadi bergumulan. Tubuh mereka bergelindingan.
Karena jalanan disitu turun, mereka jatuh ke bawah sejauh
belasan tombak, baru mereka kena terhalangi batu karang
besar disebuah tikungan !
Dua-dua Peng Mo dan Bu Kie merasakan nyeri sekali,
sebaliknya Hong Kun yang berada ditengah-tengah diantara
mereka berdua tak kurang suatu apa. Selekasnya tubuhnya
tak bergulingan pula, Peng Mo menarik tangan kirinya
melepaskan cekalannya atas Hong Kun, dengan cepat dia
bangun berduduk buat menyerang Bu Kie atau mendadak ia
menjadi kaget dan segera membatalkan serangannya itu,
tidak dapat dihajar atau Hong Kun yang mesti dihajar terlebih
dahulu ! Walaupun demikian ia tidak sempat menarik pulang
tangannya, karena mana dengan disampingkan, ia jadi kena
menyampok batu karang hingga batu karang itu pecah
berserakan !
Justru Peng Mo menyampingkan serangannya, justru Bu
Kie dan Hong Kun berlompatan bangun berbareng. Bu Ki


memangnya tidak pingsan dan Hong Kun siuman sebab
kepalanya - jalan darah giok-cim kena terserempet
sampokannya Peng Mo. Dengan berlompat bangun, keduanya
jadi berdiri terpisah satu dari lain.
Asap bius It Toan In - Segumpal Awan - dari Tam Mo
adalah obat bius yang istimewa. Siapa mencium asap itu
kontan dia pingsan dan tubunya menjadi lemas. Namun
kekuatan obat itu tak lama, cuma enam jam. Selewatnya
waktu itu, dapat orang siuman sendirinya. Selayaknya Hong
Kun harus sudah sadar siang-siang, tetapi diapun terkena obat
Thay Siang Hoan Han Tan dari Im Ciu It Mo, maka juga dia
pingsan lebih lama dari semestinya. Hingga dia menjadi
barang perebutan dan dibawa berlari-lari. Syukur untuknya,
sampokan meleset dari Peng Mo membuatnya terasadar,
hanya sejenak dia merasakan nyeri hingga dia mengeluh
"aduh". Hanya tetap setelah siuman itu dia masih terpengaruhi
obatnya It Mo. Ia berdiri menjublak saja, tak tahu Peng Mo
dan Bu Kie itu lawan atau kawan.........
Si nikouw mengebuti pakaiannya yang berdebu, terus ia
mengawasi Hong Kun sambil ia memperlihatkan senyuman
manisnya.
Memang ia berwajah sangat genit dan sekarang ia beraksi
nampaknya ia menggairahkan.
"Ah, adikku yang baik, bagaimana kau rasa ?" tanyanya
prihatin. Lantas ia bertindak menghampiri akan mencekal dan
menggenggam tangan orang erat-erat, agaknya ia sangat
mengasihi.
Bu Kie merasai bahunya nyeri sekali, tetapi ia tidak
menghiraukan itu.


"Tio sicu !" ia memanggil Hong Kun yang ia tetap sangka It
Hiong adanya, "sicu, siauteng ialah pendeta dari Siauw.........."
"Sie-cu ialah pengamal atau penderma dan oleh kaum
beragama biasa digunakan sebagai panggilan.
Dengan mendadak Peng Mo memutus kata-katanya si biksu
dengan menyampok padanya sedangkan mulutnya
memperdengarkan suara kasar sekali : "Jika kau tahu diri,
lekas kau mengangkat kaki dari sini."
Bu Kie berkelit sambil mundur. Ia tidak mau menangkis
atau melawan. Luka dibahunya hebat sekali, hingga ia insyaf
tak nanti ia sanggup menggempur pendeta wanita itu.
"Sicu Tio It Hiong !" ia memanggil si anak muda, "Tio sicu !
Apakah kau telah melupai Bu Kie dari Siauw Lim Sie ?"
Atas suaranya si biksu, Hong Kun cuma mengawasi
pendeta itu, matanya mendelong, tubuh berdiri bagaikan
terpaku sedangkan kedua tangannya ia biarkan dipegangi si
nikouw atau nikouw. Ia tak bergirang atau bergusar, ia
melongo saja.
Sampai disitu tahulan Bu Kie bahwa It Hiong, penolong dari
Siauw Lim Sie telah orang pengaruhi, entah dengan obat atau
ilmu apa. Sekarang ia menjadi heran kenapa pemuda yang
demikian gagah dan cerdas kena orang celakai. Tak mungkin
pemuda itu kena pengaruh paras elok. Sedangkan selama di
Gwan Sek Sie, It Hiong ada berdua bersama Kiauw In,
pacarnya.
"Aneh !" demikian ia cuma bisa kata dalam hati.


Peng Mo beraksi akan mengambil hatinya si anak muda. Ia
sampai tak merasa likat tingkahnya itu ditonton Bu Kie. Ia
tidak
mendapati hasil, Hong Kun tetap berdiam saja, bungkam dan
tawar, matanya mendelong saja. Karena itu ia jadi berpikir
keras.
Satu kali ia mendongkol karena kekasih tak melayaninya.
Dalam mendongkol dan masgulnya, mendadak ia ingat
perkataannya It Mo tentang pil Thay Siang Hoan Hun Tan,
bahwa tanpa obatnya itu, Hong Kun akan tak ada
faedahnya.......
"Ah !" serunya di dalam hati, mukanya menjadi merah. Dia
likat sendirinya. Diapun merasa malu sudah beraksi
dihadapannya Bu Kie. Tapi ketika dia menoleh kepada pendeta
asal Siauw Lim Sie itu, hatinya lega juga. Bu Kie lagi tunduk
diam, rupanya dia sedang berpikir keras.
"Bagus !" pikirnya pula. Lantas timbul keinginannya akan
mencium Hong Kun. Disitu toh tak ada orang yang melihatnya.
Bu Kie tengah kelelap dalam pikirannya.
Justru ia mau mengangsurkan mukanya, tiba-tiba
telinganya dengar satu suara lapat-lapat : "Ah ....!"
Mulanya melengak, nikouw ini menjadi mendongkol.
"Kurang ajar !" pikirnya. Ia gusar terhadap Bu Kie, yang ia
sangka telah mengeluarkan suara itu guna mengganggunya.
Hendak ia menghajarnya, atau segera ia mendengar tawa
yang nyaring, hingga ia menjadi kaget. Ketika ia menoleh ia
melihat munculnya secara tiba-tiba dari Hiat Mo Hweshio dan
Tam Mo Tojin, kedua saudara seperguruannya yang berdiri
berendeng disampingnya.


Sebaliknya, waktu ia berpaling kepada Bu Kie, pendeta itu
sudah lenyap entah kapan dan kemana perginya !
"Suheng !" kemudian ia memanggil kedua saudara
seperguruannya itu.
Tam Mo Tojing dilain pihak sudah bertindak akan
menjemput sepasang goloknya saudaranya, sembari
menghampiri dan menyodorkan golok itu, dia berkata :
"Bunga indah tak membuat orang lupa daratan, hanya orang
sendiri yang melupai dirinya ! Sumoay kau rupanya telah
terpesonakan pemuda tampan ini hingga kau lupa segala apa !
Benarkah ?"
Hiat Mo Hweshio pun kata tertawa : "Selama satu hari ini
pastilah sumoay telah merasakan kenikmatan yang
memuaskan sekali ! Lihatlah, hati sumoay memain, matanya
bercanda dan pinggangnya lemas ! Ha ha ha ! Kau tahu
sumoay, kau membuat kami berdua mencari kau ubek-ubakan
diempat penjuru angin, sampai kami bermandikan peluh
sampai kita menjadi seperti si hweshio bersengsara dan Tojin
menderita."
Mukanya Sek Mo menjadi merah saking likat tetapi ia tak
gusar cuma ia mendelik kepada kedua saudara seperguruan
itu.
"Cis !" katanya sengit. "Suheng berdua, mulut kalian tak
bersih !"
Meski begitu ia menyambuti sepasang goloknya yang terus
ia masuki ke dalam sarungnya.


Hiat Mo dan Tam Mo saling mengawasi dan tertawa.
Kemudian mereka pun saling memandang dengan sang adik
seperguruan untuk bersenyum juga bersama-sama. Selama itu
mereka tidak perhatikan lagi pada Gak Hong Kun yang sejak
tadi berdiri menjublak saja. Mereka baru sadar ketika melihat
sesosok tubuh berlompat kepada mereka sambil sebatang
pedang dibalingkan, hingga serentak mereka berlompat misah
menjauhkan diri dati tubuh orang itu yang ternyata Gak Hong
Kun adanya !
Ketika itu sang malam telah tiba dengan cepat, maka juga
sinar pedang nampak berkilauan, anginnya pun bersuara
nyaring menyambar kepada Hong Gwa Sam Mo. Habis
serangan yang pertama itu menyusul yang lainnya karena si
anak muca bersilat dengan serupa jurus silat pedang berantai
dari Heng San Pay !
Tam Mo segera memasang mata. Habis menyerang
beberapa kali itu, kembali Hong Kun berdiri menjublak,
matanya mendelong ke satu arah. Ke arah sebuah batu
karang.
"Sute, tahan !" berseru Hiat Mo kepada Tam Mo si Bajingan
Loba, yang tadi beraksi hendak melakukan penyerangan
membalas.
Peng Mo pun sudah lantas memberi isyarat supaya kedua
saudaranya jangan sembarang turunt angan, terus ia
mengawasi Hong Kun yang ia hampiri dengan langkah
perlahan-lahan, niatnya membokong dengan satu totokan,
supaya anak muda itu kembali mati kesadarannya.......
Habis berdiri diam itu sekonyong-konyong Hong Kun
tertawa nyaring, disusul dengan suara gusarnya berulangulang
: "Hm ! Hm !".


Setelah itu dia tertawa terbahak-bahak. Diakhirnya, dia
tampak berdiam dengan tampang sangat berduka, tubuhnya
tak bergerak.
Peng Mo mengawasi kelakuan tidak beres ingatan dari
orang yang dikasihhaninya itu, ia merasa sangat kasihan,
maka setelah orang berdiam, ia menghampirinya. Dengan jari
tangan kanan, ia menotok jalan darah ouwtian dari si anak
muda.
Heran pemuda itu. Dia seperti tidak merasai totokan itu.
Mendadak ia memutar tubunya sambil terus miring sedikit,
dengan pedangnya dia membarengi menebas.
Si Bajingan Es menjadi kaget dan heran sekali. Syukur dia
sempat berlompat berkelit. Hampir lengan kanannya kena
terbabat.
"Bagaimana kalau kakakmu yang muda membantumu ?"
tanya Tam Mo si rahib agama To yang terus mengibaskan
tangan kanannya, maka juga sebutir peluru It Toan In lantas
meluncur ke arah si anak muda.
Cuaca sudah mulai gelap. Hong Kun tak melihat apa-apa,
apa pula peluru bius itu. Ia toh luput dari roboh tak sadarkan
diri. Justru ia tengah berlompat ke samping, pada Peng Mo
yang ia serang pula.
"Kau.... kau..." tegurnya Peng Mo.
Peluru lewat terus, tanpa mengenai sasarannya, jatuh ke
tanah, tak meledak. Dengan begitu bebaslah anak muda itu.
Bahkan dia tetap tidak tahu bahwa orang telah menyerangnya
dengan senjata rahasia.


Peng Mo mengawasi sekian lama lantas menghampiri.
"Adik !" sapanya tertawa. "Apakah kau hendak bilang ?"
Karena orang memegang pedang terhunus dan barusan
baru saja dia menyerang, Sek Mo tidak berani menghampiri
sampai dekat, ia pula siap sedia kuatir nanti diserang lagi.
Hong Kun bicara seorang diri, suaranya sangat perlahan
hingga tak terdengar kata-katanya, dengan tangannya dikasih
turun, ia terus berdiri diam.
"Sumoay" Tam Mo berkata kepada adik seperguruannya
itu, "kalau kita menghadapi musuh, hati kita lemah dan kita
menaruh belas kasihan, itu artinya kita mudah mendapat
celaka. Maka itu, baiklah pemuda ini dibekuk terlebih dahulu,
sesudah itu baru kau baiki dia. Nanti aku yang mewakilkan
kau menawannya...."
Begitu ia berkata, tanpa menanti jawaban lagi dari si adik
seperguruan, Tam Mo lantas bertindak kepada Hong Kun
sambil terus menyerang dengan tangan kosong.
Hong Kun seperti tidak melihat orang menyerangnya,
hanya justru ia lari turun gunung ! Dengan begitu kembali ia
bebas dari serangan itu. Malah ia lari terus hingga ia lenyap di
dalam kegelapan !
Tam Mo heran hingga ia berseru sendirinya. Ia sudah
lantas menarik pulang tangannya. "Ah, jie suheng !" Peng Mo
kaget dan menyesalkan saudaranya yang nomor dua itu, "Kau
lihat, lantaran diserang olehmu dia telah pergi kabur...."


Saking menyesal, si nikouw membanting-banting kaki.
Tanpa berunding lagi ia lari menyusul.
Hiat Mo tertawa menyaksikan adik seperguruan itu
demikian tergila-gila pada si anak muda. Kata dia tertawa :
"Bocah tolol itu lagi tak sadarkan diri, dia dapat lari kemana ?
Mustahil dia bisa naik ke langit ! Ha ha ha !"
"Kau benar, suheng." berkata Tam Mo yang barusan
disesalkan adiknya dan dia menyesal juga. "Sekarang mari kita
pergi membantu mencari pemuda itu, supaya dia tak usah
bersusah hati. Bisa-bisa dia penasaran dan bergusar."
Hiat Mo mengangkat kepalanya, melihat ke langit. Ia
mendapati sudah banyak bintang dan rembulan bermodel
sisir.
"Nah, marilah kita pergi !" sahutnya. "Kita sama-sama si
biksu dan Tojin menderita. Ada baiknya kita berjalan malammalam
guna melemaskan otot-otot kaki kita."
Habis dia mengucap itu, bersama saudaranya, Bajingan
Tamak itu lantas berangkat menyusul.
Malam itu kedua anggauta Hong Gwan Sam Mo ini mesti
berputaran di gunung Ngo Tay San itu, entah berapa puncak
telah didaki dan berapa rimba telah dilewati, emreka tidak
dapat menyusul atau mencari Sek Mo, adik seperguruan yang
paling muda itu !
Karenanya, mereka mencari terus sampai munculnya sang
fajar tetapi sia-sia belaka !
Biar bagaimana, keduanya merasa letih. Maka mereka
berdiri di sebuah puncak, matanya mengawasi sekitarnya.


Dengan begitu mereka sekalian beristirahat. Keduanya
berdiam saja. Mereka itu, yang satu berkepala gundul, yang
lain berjanggut seperti janggutnya kambing gunung.
Keduanya berdiam, mereka cuma dapat bersenyum berduka.
Lewat sekian lama dengan membungkam saja. Kemudian
Hiat Mo si Bajingan Darah yang berkata terlebih dahulu.
"Adikku, mari kita turun gunung !" demikian katanya
kepada sang jie-sute, adik seperguruannya yang nomor dua
itu. "Bagaimana kalau kita pergi ke Biauw Im Am, biaranya
adik kita itu ?"
Tam Mo akur, ia mengangguk. Karena Hiat Mo sudah lantas
berjalan, ia bertindak mengikuti.
Sekarang kita menyusul Sek Mo atau Peng Mo si Bajingan
Paras Elok atau Bajingan Es. Ia menyusul terlambat, sejarak
belasan tombak. Tetapi syukur sinar bintang membantunya
hingga samar-samar ia bisa melihat bayangannya si anak
muda. Ia perkeras larinya untuk dapat menyandak. Yang
membuat masgul dan berkuatir ialah larinya Hong Kun,
sebentar ke kiri, sebentar ke kanan, seperti orang berkelitkelit.
Dalam bingung dan penasaran, Sek Mo lari dengan ilmunya
yang dinamakan "Hon Eng Lie Heng", "Merubuh bayangan,
meninggalkan bentuk". Maka ia bagaikan melesat seperti
sesosok bayangan hitam.
Apa pula adalah Hong Kun. Dia lari cepat dan lama diluar
dugaan, mungkin itu disebabkan lari tanpa tujuan atau karena
pikirannya tidak sadar. Terus terusan dia kabur tiga sampai
empat puluh lie, sampai dua jam lamanya, masih belum ia
mau berhenti. Maka taklah kecewa ia menjadi murid tunggal


dari Heng San Pay karena dia telah berhasil mewariskan
kepandaiannya ilmu ringan tubuh gurunya, It Yap Tojin.
Dalam tak sadara, dia pula seperti dapat tenaga istimewa.
Hingga ia tak kenal lelah. Sudah lari puluhan lie, dia nafasnya
tak memburu. hanya, sebab lari tanpa tujuan itu, beberapa
kali dia terpeleset dan jatuh memegang tanah !
Peng Mo Ni kouw menggunakan ilmu lari seluruhnya tak
berhasil dia menyusul si anak muda yang digilainya itu, sampai
dia bermandikan peluh dan bajunya demek, sedang nafasnya
tersengal. Tetapi dia beradat keras dan penasaarn, makin tak
dapat menyandak, dia lari makin sengit.
Demikian yang seorang lari tanpa tujuan, yang lain dengan
akan maksudnya, lalu dengan sendirinya mereka bagaikan
main kejar-kejaran atau mengadu kepandaian lari. Dan
mereka berlari-lari ditanah pegunungan, diantara rumput
tebal, diantaranya batu besar dan pepohonan.
Lagi tiga puluh lie dilalui, maka terpisah sudah mereka dari
wilayah gunung Ngo Tay San, lewat jauh sekali.
Sebelumnya fajar, Hong Kun sudah melintasi sebuah
tanjakan dan mulai berlari-lari di jalan umum. Dari jauh sekali,
Peng Mo melihat anak muda itu, dalam rupa seperti bayangan
lenyap didalam suatu benda yang gelap. Ia menyusul terus.
Setelah cuaca sedikit terang, benda gelap itu mirip sebuah
gubuk, tapi sesuah dihampiri dekat kiranya kereta bertenda
yang ditarik kuda, yang berhenti di tepi jalan.
"Heran...." pikir si Bajingan Es. "Kenapa kereta ini
diberhentikan di tepi jalan ini tanpa kusir ? Keretanya juga
tanpa sesuatu pertanda hingga tak diketahui pemiliknya
siapa."


Sesudah berdiri mengawasi sekian lama, dengan dia tetap
tak melihat ada orang keluar dari dalam kereta itu, Peng Mo
habis sabar.
"Kereta ini ada penumpang atau tidak ?" demikian dia
tanya. "Pinni hendak menanyakan sesuatu."
Tiada jawaban dari dalam kereta. Tidak sekalipun,
pertanyaan telahh diulang beberapa kali.
Oleh karena ia tak mendapat jawaban, si Bajingan Es
menjadi mendongkol.
"Kurang ajar !" pikirnya. Maka hendak dia menaiki kereta
itu, guna memeriksa dalamnya. Atau disaat itu dari tepi jalan
dimana ada rumput tebal tampak munculnya seorang pria
yang berjalan perlahan sambil dia merapikan pakaiannya,
kemudian dia melompat naik ke atas kereta itu untuk
membuka tambatan tali kudanya, guna memegang juga
cambuknya. Hanya sebelum dia memberangkatkan kereta, dia
tunduk akan melirik ke bawah kereta kepada si nikouw !
Karuan Peng Mo pun memandang muka orang. Empat buah
mata bentrok sinarnya satu sama lain. Lantas Peng Mo merasa
seperti pernah mengenal kusir itu, cuma ia tak ingat nama
atau gelarannya dan lupa juga dimana mereka pernah jumpa.
Yang pasti si kusir pun orang Kang Ouw !
Pria itu tampan, bajunya panjang biru punggungnya
menggendol pedang yang ada rendanya -renda merah. Dia
sudah setengah tua tetapi nampak seperti seorang muda dan
gerak geriknya halus.


Hampir Peng Mo lupa akan dirinya, karena ia mengawasi
saja kusir kereta itu, akhirnya bagai orang baru sadar, ia
memberi hormat dan menanya : "Sicu, pinni mohon bertanya,
kereta ini ada penumpangnya atau tidak ?"
Kusir itu melongo. Ia tersengsem oleh suara merdu dari
biksui, tanpa merasa ia menurunkan tangannya yang
mencekal cambuk dan terus mengawasi muka orang. Ia tidak
lantas menjawab, hanya bersenyum.
Orang pengalaman seperti Peng Mo ketahui baik bahwa
orang telah tertarik oleh dirinya, maka itu ia menjadi girang
sekali.
"Sia-sia belaka aku menyusul si anak muda, ada baiknya
kusir ini menjadi penggantinya." demikian pikirnya. Karena ia
sudah pandai beraksi lantas ia mempertunjuki gerak geriknya
yang menggairahkan.
"Sicu !" katanya tertawa manis, alisnya memain, "sicu,
apakah kau tak dengar ? Pinni menumpang bertanya, di dalam
keretamu ini ada penumpangnya atau tidak ?"
"Oh !" pria itu kaget. Ia seperti baru sadar dari tidur.
"suthay, apakah gelaranmu yang mulia dari suthay ?"
bukannya menjawan, ia malah sebaliknya.
"Ha, kau licik, anak !" kata Peng Mo di dalam hati, sebab ia
bukan dijawab hanya ditanya. "Awas kalau sebentar kau
sudah tergenggam olehku ! Asal saja kau telah
mengundangku naik ke dalam keretamu ! Sampai itu waktu
mana dapat si anak muda lolos dari tanganku."
Dengan tindakan elok, Peng Mo menghampiri kereta dua
tindak, hingga ia jadi berdiri di sisinya. Di situ ia berdiri, sambil


tertawa ia berkata : "Sicu, ketahuilah bahwa pinni adalah Beng
Hiat Nikouw dari Biauw Im Am, salah seorang dari Hong Gwa
Sam Mo. Sicu belum lagi pinni belajar kenal dengan she dan
namamu yang mulia dan tersohor !"
Jilid 49
Pertanyaan itu membuat mukanya si pria berubah sedikit
pucat dan merah, entah dia likat atau terkejut tetapi lekas
juga dia tertawa dan berkata manis : "Saru nama besar yang
telah lama kudengar ! Sungguh berbahagia aku yang sekarang
ini aku dapat bertemu denganmu suthay ! Aku yang rendah
ialah Cek Hong Bu Ciu Tong si Angin Merah ! Suthay terimalah
hormatku !"
Kusir itu sudah lantas memberikan hormatnya sambil ia
berbangkit, sedangkan matanya yang tajam tak mau
menyimpang dari wajahnya si nikouw.
Ceng Ciat Nikouw melirik pula pria setengah tua itu.
"Oh, kiranya seorang gagah dari Heng Keng To !" katanya
tertawa manis. "Sungguh kecewa mataku yang ada bijinya tak
bisa mengenali orang Kang Ouw yang tersohor ! Maaf, maaf !"
Memang juga pria itu Ciu Tong dari Hek Keng To, pulau
ikan Lodan Hitam, adik seperguruan dari Beng Leng Cinjin,
ketua Hek Keng To dan suheng, kakak seperguruan yang
kedua dari Tan Hong. Dialah orang golongan sesat tetapi dia
telah ketahui namanya Hong Gwa Sam Mo yang tidak dapat
dipandang ringan. Maka itu tidak mau dia berlaku sembrono,
hanya itu dia sangat tertarik oleh kecantikanya Peng Mo yang
centil itu, hingga disaat itu juga darahnya bagaikan bergolak.


Maka disaat detik itu, disamping jeri, dia ingin mendapati si
nikouw.
Cia Tong memegang lis dengan tangan kiri. Mestinya ia
menarik mengedutnya, membikin kudanya membuka langkah
untuk menarik keretanya, tetapi sekarang, dia berdiam saja,
seperti juga tangan kirinya kehabisan tenaga.
"Ciu sicu" kemudian ia mendengar suara merdu dari si
nikouw, "pagi-pagi begini sicu berada di tengah jalan ini,
sebenarnya sicu hendak pergi kemanakah ? Nampaknya sicu
agak tergesa-gesa !"
Ciu Tong bingung tapi ia lekas memberikan jawabannya.
"Aku hendak pergi ke Hek Sek San." demikian sahutnya.
Mendadak ia berhenti. Sebab ia ingat tak dapat ia sembarang
bicara Peng Mo tersenyum manis.
"Kita sama-sama orang Kang Ouw, kalau kita kebetulan
bertemu satu dengan lain, tak apa-apa bila kita memasang
omong !" katanya manis. "Bukankah kau tak bakal terbinasa,
Ciu Sicu. Laginya kita..."
Parasnya Ciu Tong merah. Dia jengah sendirinya. Sikapnya
barusan bukan lagi sikap orang Kang Ouw. Sebagai orang
Kang Ouw, tak dapat ia pemaluan. Ia lantas berpura batuk
untuk guna melindungi diri, terus dia tertawa.
"Harap jangan salah mengerti, suthay !" katanya. "Jika
suthay benar suka memandang mukaku, aku senang sekali
yang kita mengikat perkenalan. Itulah suatu kehormatan
bagiku, hingga mukaku bagaikan ditempel emas !"


Senang Peng Mo mendengar orang bicara demikian
hormat. Ia mengangkat kepalanya memandang wanita itu,
wajahnya sendiri tersungging senyum ramai, matanya
mengawasi mata orang.
"Ah !" serunya perlahan.
Tetapi Ciu Tong telah mendengar itu, dia senang sekali.
Suara itu sangat merdu dan membuat hatinya berdebaran.
Hingga ia merasai dirinya seperti lagi terbang melayanglayang.
Peng Mo, orang mengawasi dia dengan sinar mata
menyayangi.
"Su thay." berkata pula jago muda dari Hek Keng To itu.
"Kalau kita sama tujuannya tidak ada halangannya buat su
thay naiki keretaku ini untuk kita jalan bersama-sama. Maukah
su thay diantar oleh buat satu rintangan ?"
Itulah kata-kata yang menggirangkan Peng Mo. Itulah
tawaran yang ia harap-harap semenjak tadi. Saking girangnya,
alisnya bangun berdiri. Tapi ialah seorang licik, ia beraksi
membawa diri agar orang memandang tinggi padanya.
Bukankah ia menang diatas angin ?
"Terima kasih, sicu." katanya. "Meski benar tujuan kita
sama tetapi aku tak berani kalau sicu sampai mesti
mengantarku. Harap sicu tidak berlaku sungkan !"
Ciu Tong berpikir. Tiba-tiba ia sadar. Tak dapat ia
dipengaruhi nikouw ini. Ia pun jeri terhadap Hong Gwa Sam
Mo. Maka itu lekas-lekas ia memberi hormat seraya berkata :
"Kalau su thay mengatakan demikian, baiklah ! Maaf, su thay.
Ijinkanlah aku pamitan ! Sampai kita jumpa lagi !"


Selekasnya suaranya berhenti, jago dari Hek Keng To itu
menggemprak kudanya yang ia sekalian bentak, maka
berbengarlah kuda itu, yang terus membuka langkahnya,
hingga roda-roda kereta tadi berjalan bergelindingan !
Peng Mo melengak. Orang pergi berlalu mendadak. Tak
ada waktu buat ia bicara pula. Bahkan buat lompat naik ke
kereta, kesempatan sudah tidak ada lagi. Ia berdiri diam saja
mengawasi kereta berlalu meninggalkannya.
"Hai !" serunya kemudian saking mendongkol. "Awas, Ciu
Tong ! Hendak aku lihat, berapa kuatnya hatimu ! Mesti
datang saatnya yang kau jatuh kedalam tanganku !"
Dengan satu lompatan, nikouw ini lantas lari untuk
menyusul kereta itu. Ia lari dengan ilmunya "Hoa Eng Lie
Hong".
Ciu Tong sendiri kabur dengan pikirannya pusing kacau, tak
dapat ia melupai si pendeta perempuan. Ia seperti kehilangan
sesuatu. Selagi sadar, ia jeri terhadap Bajingan itu. Selekasnya
pikirannya butek, ia ingin mendekatinya. Pernah ia melihat
seperti si nikouw cantik berada di depannya.
"Sayang aku tidak ajak dia naik keretaku." pikirnya
kemudian, menyesal. Ceng Ciat Nikouw seperti lagi main mata
dengannya !
"Ciu sicu !" tiba-tiba ia mendengar suara merdu
memanggilnya. Lebih dulu ia pun bagaikan mendengar tawa
yang manis sekali. Ia menjadi bingung. Ia lalu berpikir
mungkin ada harganya kalau dia bersahabat dengan Hong
Gwa Sam Mo yang pasti bisa membantu segala usahanya Hek
Keng To.....


Oleh karena pikirannya kacau itu tanpa merasa, Bek Hoan
Siancu membuat keretanya berlari kendor. Bahkan dilain saat
mendadak kudanya menghentikan langkahnya, hingga
keretanya turut berhenti juga. Ia menjadi melengak, matanya
mendelong ke depan, kemudian ia melihat juga ke sekitarnya.
"Ah !" serunya sendiri perlahan. Ia menyesal sudah tidak
mau lantas mengikat persahabatan dengan Peng Mo. Dalam
pikiran sadar seperti itu ia bisa menggunakan otaknya.
"Ciu sicu ! Ciu Sicu !" tiba-tiba ia mendengar panggilan
halus disaat ia hendak menjalankan pula keretanya. "Ciu sicu,
tunggu dahulu......"
Itulah suara Peng Mo, maka giranglah Ciu Tong.
"Ada apa ?" sahutnya sambil ia menoleh ke belakang,
bahkan kudanya pun diputar untuk dikasih balik ke tempat
darimana si nikouw datang..........
Boleh dibilang di dalam sekejap saja disusul dengan
berkelebatnya tubuh bagaikan bayangan. Peng Mo sudah
berlompat naik ke atas kereta, malah dengan tidak malu-malu
lagi dia lantas duduk disampingnya kusir. Bukannya dia likat,
dia justru bersenyum manis.
"Ada beberapa kata-kata yang pinni ingin tanyakan kepada
sicu......." katanya merdu.
"Jangan sungkan, su thay !" berkata Ciu Tong cepat.
"Pengajaran apakah itu ? Katakanlah !"
Roda-roda kereta bergelindingan terus, karenanya kereta
itu berjalan dengan tetap bergoncang seperti biasanya, maka


juga tubuh Ciu Tong dan si nikouw menjadi saling bentur tak
hentinya, memangnya tempa bukannya lega dan mereka
duduk rapat satu sama lain. Di hatinya si kusir saban-saban
berdenyut kapan tubuhnya membentur tubuh yang lunak dari
penumpangnya yang tak diundang itu..........
Masih ada satu hal yang membuat hatinya Ciu Tong sabansaban
bergoncang. Itulah harum kewanitaan dari tubuhnya
Sek Mo.
"Sicu" berkata Ceng Ciang Nikouw yang memecahkan
kesunyian diantara mereka berdua, "Sudikah kau mengijinkan
aku masuk ke dalam keretamu ini ?"
Ciu Tong memegang les mengendalikan kudanya, akan
tetapi diam-diam ia selalu melirik wanita disisinya itu. Ia
seperti tak bosan-bosannya ia bersinggungan demikian rupa
sampai ia tak dapat dengar perkataan orang.
Peng Mo menoleh akan memandang muka orang, maka
juga ia mendapati jago dari Hek Keng To itu lagi medelong
mengawasinya. Di dalam hati ia girang sekali. Tahulah ia yang
ia telah berhasil mempengaruhi pria disisinya ini. Dalam
girangnya ia tertawa garing.
"Ciu sicu !" sapanya kemudian. "Ciu sicu, kau kenapakah ?
Kenapa kau tidak menjawab pertanyaanku ?" Ia melirik dan
tertawa pula.
Ciu Tong bagaikan mendusin dari tidurnya.
"Ah !" katanya. "Apakah katamu ?"
Peng Mo menatap tajam.


"Jangan berlagak pilon, sicu !" katanya aleman. "Bukankan
sicu tak melihat mata padaku ? Bukankah kau tak sudi bicara
denganku ?"
Ciu Tong jengah tetapi ia paksakan diri tertawa.
"Bukan, bukan begitu !" katanya cepat. "Sebenarnya aku
tengah memikirkan sesuatu. Harap suthay tidak menjadi kecil
hati !"
Peng Mo tertawa.
"Oh, kiranya sicu lagi berpikir ! Tidak, aku tidak menjadi
kecil hati !"
Karena berjalan terus, tubuh mereka berduapun sabansaban
saling beradu !
"Haa !" Ciu Tong menggeprak kudanya. Kemudian ia
menoleh kepada orang disampingnya untuk berkata : "Suthay
tolong ulangi apa katamu barusan. Suka sekali aku
mendengarnya !"
Peng Mo bersenyum.
"Pinni ingin masuk ke dalam keretamu, bolehkah ?"
katanya.
Ciu Tong bungkam. Airmukanya pun berubah sedikit.
Peng Mo heran, hingga ia mau menerka apakah Hong Kun
bersembunyi di dalam kereta itu. Walaupun demikian, ia tidak
mengatakan sesuatu lagi, tak mau ia mendesak. Pikirnya,
"Cukup sudah asal aku mendapatkan dia sebagai gantinya....."
Tapi kemudian ia didesak rasa ingin tahunya.


"Tak apalah sicu, tak dapat aku masuk kedalam keretamu."
katanya. "Hanya dapatkah sicu menjelaskan sesuatu padaku
?"
Lega juga hatinya Cek Hong Sian cu yang orang tidak
mendesaknya.
"Apakah itu suthay ?" sahutnya. "Silahkan tanyakan. Asal
apa yang aku tahu, pasti suka aku memberikan keterangan !"
Peng Mo mengawasi dengan sinar mata lunak. Ketika ia
bicara, ia pun bicara dengan sabar.
"Sicu" demikian katanya, "didalam keretamu ini ada atau
tidak murid dari Pay In Nia yang sedang menyembunyikan diri
?"
Peng Mo tidak tahu halnya It Hiong tulen dan It Hiong
palsu, maka itu ia mengira Hong Kun sebagai muridnya Tek
Cio Siangjin. Ia mendengar nama Gak Hong Kun selama
pertempurannya di Ngo Tay San di waktu mana Hong Kun
menyebut dirinya sebagai murid dari Pay In Nia.
Hatinya Ciu Tong tergerak mendapat pertanyaan nikouw
ini. Ia jadi ingat pada Tio It Hiong. Ketika baru-baru ini ia turut
Beng Leng Cinjin menyerbu Siauw Lim Sie, ia pernah
menempur It Hiong dan Kiauw In. Karena perbedaannya
golongan sesat dan lurus, pihak Pay In Nia jadi termasuk
musuhnya. Sekarang ia mendengar disebutnya nama Tio It
Hiong, maka ingatlah dia akan kekalahannya di gunung Siong
San serta lolosnya ia dari ujung pedang di jalan umum di kaki
gunung Heng San. Karena ia menjadi berpikir. Setelah dapat
menentramkan hatinya, ia menggeleng-geleng kepala.
Katanya : "Aku dengan pihak Pay In Nia adalah musuh satu


dengan lain, mana mungkin dia bersembunyi di dalam
keretaku ?"
Peng Mo heran, ia tidak ketahui adanya permusuhan
diantara Pay In Nia adan Heng Keng To.
"Kenapa kalian kedua belah pihak bentrok ?" demikian
tanyanya.
"Hm !" Ciu Tong memperdengarkan suara membenci.
"Pihak sana menganggap diri sebagai pihak lurus !"
"Tetapi sicu" kata Peng Mo tawar, "dahulu Gak Hong Kun
menjadi murid Pay In Nia tetapi sekarang dia telah menjadi
muridnya Im Ciu It Mo !"
Ciu Tong heran sekali. Kenapa Peng Mo menyebut Gak
Hong Kun ? Yang ia tahu, muridnya Pay In Nia cuma dua ialah
Cio Kiauw In dan Tio It Hiong dan belakangan karena ada
hubungannya dengan Tio It Hiong, Pek Giok Peng menjadi
murid yang ketiga. Kenapa sekarang muncul Gak Hong Kun ?
Menurut apa yang ia tahu, Gak Hong Kun adalah muridnya It
Yap Tojin dari Heng San Pay. Bagaimana sebenarnya ?
Saking herannya, jago Heng Keng To ini menggelenggelengkan
kepalanya.
"Suthay" katanya. "Mungkin kau telah kena orang
persilatan ! Atau kau sendiri yang keliru ! Di dalam keretaku ini
tidak ada Gak Hong Kun yang menyembunyikan dirinya !"
Sek Mo pun heran.
"Kau tahu ?" katanya menjelaskan. "Gak Hong Kun itu
adalah seorang pemuda dengan baju panjang dan


menggedong pedang dipunggungnya. Sudah satu malam aku
mengejarnya, ketika tadi dia tiba disini dari kejauhan aku
melihat dia lompat kedalam keretamu ini !"
"Suthay, benarkah orang itu Gak Hong Kun ?" Ciu Tong
tegaskan.
Peng Mo agak bersangsi.
"Dialah seorang pemuda dengan ilmu silat pedangnya
hebat !" sahutnya, "dan ilmu ringan tubuhnya pun mahir
sekali. Hanya waktu aku menemuinya, dia tidak sehat
disebabkan dia telah makan obat Thay Siang Hoang Han Tan
dari Im Ciu It Mo. Nama Gak Hong Kun itu dia sendiri yang
menyebutnya."
Mendengar disebutnya nama Im Ciu It Mo, Ciu Tong mulai
mengerti duduknya hal.
"Ah, apakah dia bukannya............." katanya ragu-ragu,
hingga suaranya terputus sampai disitu.
Peng Mo tidak sabaran menyaksikan tingkahnya pria
tampan ini.
"Ah, buat apa kau menerka sana menduga sini !" tegurnya.
"Cukup asal kau menjawab aku secara terus terang ! Di dalam
tenda keretamu ini ada orang bersembunyi atau tidak ?"
"Tidak !" sahut Ciu Tong cepat. "Tidak."
Sepasang alisnya si nikouw terbangun.
"Benarkah tidak ?" tanyanya. "Baiklah ! Sudah kita jangan
bicarakan pula urusan itu ! Kau akur bukan ?" Lantas ia


berpaling ke kiri dan kanan di mana terdapat banyak
pepohonan, sebab itulah rimba. Ia melihat cuaca.
"Ciu Sicu." tanyanya kemudian. "Sekarang ini kau sedang
menuju kemana ?"
Ciu Tong melengak. Pertanyaan itu menyadarkannya.
Saking asyiknya mereka bicara, keretanya tengah berjalan
menuju Hek Sek San kebalikannya ! Tanpa merasa mereka
sudah berjalan satu jam lebih, mereka sudah melalui lebih
daripada dua puluh lie. Hingga mereka telah berada di luar
wilayah kecamatan Ngo tay koan ! Untuk kembali ke Hek Sek
San, kereta harus diputar balik !
Sesudah melengak sekian lama, Cak Hong Siancu
mengawasi Peng Mo, terus dia tertawa. Dia tanya, "Bukankah
tadi kau bilang bahwa kau mau pergi ke Hek Sek San ?
Dengan demikian, kita jadi ada bersamaan tujuan.”
Nikouw itu tertawa manis.
"Bagiku si orang Kang Ouw, kemana aku pergi, semua itu
sama saja !" sahutnya. "Aku girang bertemu denganmu, sicu,
bahkan kita agaknya cocok sekali satu dengan lain. Sicu, dapat
kita berjalan bersama-sama, bahkan aku merasa, berat buat
berpisah dari kau......"
Selagi bicara itu, lemah lembut nampaknya si nikouw,
hingga dia mendatangkan kesan baik bagi Ciu Tong hingga
jago Hek Keng To yang berpengalaman itu menjadi jatuh hati,
hingga ia tak ingat lagi tugasnya menuju ke Hek Sek San !
"Meskipun aku tak dapat berpisah dari kau," kata Sek Mo
kemudian. "akan tetapi aku tidak memikir buat pergi ke Hek
Sek San...."


Ciu Tong heran.
"Kenapakah ?" tanyanya.
Dengan sinar matanya yang sayup-sayup, Sek Mo menatap
penarik kereta itu.
"Jalanan ke Hek Sek San itu jalan tegal belukar yang sepi
sunyi." sahutnya. "Di sana tidak ada tempat yang indah
menarik hati, tidak juga rumah penginapan atau rumah
makan, dimana kita dapat berplesiran. Sekarang ini dengan
kita duduk berdua saja diatas kereta ini, aku pun merasa
kurang gembira."
Ciu Tong menyela kata orang. "Aku mau pergi ke Hek Sek
San, di sana kana kau tunaikan tugasku, habis itu, akan aku
temani kau pesiar ke tempat-tempat yang indah dan menarik
hati, untuk kita dapati kepuasaan ! Kau setuju, bukan ?"
"Tak sudi aku pergi ke Hek Sek San." kata Peng Mo manja.
"Di sana ada Im Ciu It Mo, orang yang paling menjemukan !
Kalau kau pergi ke sana kau aku tak mau mengikut !"
Tapi Ciu Tong tertawa.
"Habis," katanya, "habis kalau menurut kau, kita harus
pergi kemana ?"
Peng Mo menekan dahi orang, dia bersenyum.
"Nah, beginilah baru kau menjadi saudaraku yang manis !"
katanya girang.


"Kau bilanglah !" kata Ciu Tong, yang ia pun girang sekali.
"Bilang kemana kita harus menuju. Akan kau ikut kau !"
Peng Mo menengadah langit, agaknya dia berpikir.
"Mari kita pergi ke Kang Lam !" bilangnya sejenak
kemudian. "Kang Lam indah segala-galanya ! Kau akur bukan
?"
Dengan matanya yang tajam tetapi jeli, Sek Mo menatap
orang yang disampingnya itu. ia menantikan jawaban.
Perlahan sekali ia menyanyikan syairnay Pek Kie Ek,
"Mengenang Kang Lam":
"Kang Lam indah, sudah semenjak dahulu kala !
Kalau matahari muncul, merahnya melebihi api !
Kalau musim semi datang, air sungainya hijau kebirubiruan
!
Dapatkah Kang Lam tak dikenangkan ?"
Suara itu merdu sekali, puas Ciu Tong mendengarnya.
"Baik, baik !" katanya cepat. "Baik akan kau selalu
mendampingimu ! Kang Lam memang indah, dengan aku
berada bersama, bagaimana aku berbahagia !"
Berkata begitu, jago Hek Keng To ini mengangguk
berulang-ulang.
"Hm, kau bisa saja !" kata Peng Mo yang cahaya mukanya
terang sekali.
"Nah, sudah !" katanya kemudian. "Tengah hari akan
segera tiba, mari kita percepat perjalanan kita !"


Ciu Tong tertawa, dia mencambuk kudanya. Maka dengan
berlarinya Bienatang itu, terdengarlah suara berisiknya rodaroda
keretanya. Sang kuda pun meringkik beberapa kali.
Dua-dua Ciu Tong dan Peng Mo ada pikirannya masingmasing,
tetapi dalam hal asmara untuk berplesiran hati
mereka bersatu. Selagi kuda berlari-lari masih mereka
berbicara tak hentinya, saban-saban sambil tertawa, mereka
terus bergurau........
Tiba disebuah tikungan, disitu terdapat jalan cagak. Ciu
Tong hendak mengambil jalan yang satu untuk memasuki
sebuah dusun atau mendadak Peng Mo menarik dan menahan
kudanya.
"Kita menuju ke kecamatan Kang pou !" kata nikouw itu.
"Di sana ada restoran Kui Hiang Koan yang tersohor. Di sini
tidak menarik !" Ia pun melirik manis pada si sahabat baru.
Ciu Tong tertawa.
"Baik su thay. Akan aku iringi kehendakmu." bilangnya.
"Kita harus berjalan malam-malam ! Bagaimana, apakah kau
dapat makan rangsum kering ? Aku kuatur kau nanti
mengeluh perutmu perih......"
Peng Mo bersenyum. Ia menarik las kuda, membuat
binatang itu mengambil jurusan jalan besar.
"Kita akan jalan siang dan malam !" kata ia. "Jalan malam
pun menarik hati, kita dapat melihat sinarnya si putri malam
yang indah permai. Jangan kau menguatirkan apa-apa, akan
aku membuatmu puas !'


Selagi kedua orang itu berbicara dan bergurau, mereka
tidak tahu bahwa diatas kereta mereka diatas tenda, ada
rebah seorang lain yang tidur nyenyak sekali hingga dia mirip
mayat hidup. Dialah Gak Hong Kun. Dia terganggu urat
syarafnya tetapi dia tak kenal capek, adalah setelah berlompat
naik ke atas keretanya Ciu Tong dan merebahkan diri disitu,
kontan dia tidur pulas demikian nyenyaknya. Dengan demikian
dia telah dibawa terus oleh jago Hek Keng To itu diluar tahu si
jago dan diluar tahunya sendiri.......
Kota kecamatan Kangpou terletak di tengah jalan
hubungan yang ramai dan penting antara utara dan selatan
hingga banyak kereta dan orang mondar mandir di sana,
kotanya pun ramai sekali. Disitu terdapat banyak restoran dan
kedia teh, begitu juga rumah-rumah penginapan. Siapa lewat
disitu pasti dia mampir akan bermalam. Ada pula tempat
keramaiannya, yang terpisah dari pusat kota kira lima lie.
Itulah sebuah rimba ditengah-tengah mana terdapat bagian
yang tumbuh pelbagai macam bungan dan walaupun di musim
gugur, semua pepohonan itu tetap hidup segar hingga
selalunya indah pula sejuk. Sangat menyenangkan dan
nyaman rasanya berdiam disitu. Dan Kui Hiang Koan justru
dibangun dan dibuka ditengah-tengah rimbah itu indah. Dia
bagai dikurung pohon-pohon itu. Dan untuk tiba disitu orang
merasa leluasa dengan dibuatnya sebuah jalan besar yang
berbata putih, tepat sampai di muka hotel sekali.
Hotel kenamaan itu tinggi dan besar, ruang dalam berlapislapis,
ada lauteng dan sanggounya, ada pelbagai paseban
atau pafiliunnya dimana orang dapat duduk berangin atau
main catur. Setiap halamannya ada taman kecilnya.
Sedangkan gentengnya hijau dan temboknya merah,
membuat menarik hati siapa gemar akan syair...........


Oleh karena hotal ternama, para tamunya juga orang-orang
yang tersohor atau berharta seperti pemuda-pemuda
hartawan dan gagah para saudagar besar bahkan tak
terkecuali kaum Lok Lim Rimba hijau kalangan atas. Mereka
itu termasuk golongan orang-orang yang tangannya terlepas
yang biasa dilayani oleh nona-nona manis pelayan biasa atau
tukang-tukang bernyanyi.
Di muka umum pemilik hotel adalah Siang Kang Ba Fung
Theng Liok Cim si Tongkat Tak Berbayang dari Siangkan.
Sedangkan sebenarnya dialah seorang Kang Ouw golongan
sadar yang benci akan segala kejahatan, maka juga sambil
mengusahakan perusahaannya itu, diam-diam ia dapat
mengawasi gerak geriknya setiap orang kaum sesat yang
singgah di hotelnya itu.
Menarik hati adalah seluruh ruang dari Kui Hiang Koan, Kui
Hiang berarti hanya kesatria yang harum. Maka itu disemua
bagian temboknya dipajang gambar-gambar lukisan yang
indah-indah serta syair-syari yang berarti. Diantaranya ada
sebuah lian atau syair berpigura yang penulisnya menyebut
dirinya "Anak nakal !" Sudah tulisan huruf-hurufnya indah dan
"gagah", bunyinya pun mengherankan banyak orang.
Beginilah lian itu.
"Semasa hidupnya tiada lawan.
Berlaksa urusan tak meminta bantuan".
Bersama si penulis syair si Anak Nakal itu tertera juga
namanya pemilik Kui Hiang Koan.
Sudah belasan tahun Kui Hiang Koan diusahakan. Selama
itu belum pernah terjadi peristiwa apa juga di dalam hotel itu.
Kata orang kesejahateraan itu berkatnya syair itu bahwa
sekalipun orang-orang yang bermusuh satu dengan lain


mereka tak berani berselisih atau berkelahi di dalam Kui Hiang
Koan.
Demikian itu satu hari maka Ciu Tong bersama Peng Mo
telah menghentikan keretanya yang berkuda dua di depan
hotel yang tersohor itu. Cek Hong Siancu memimpin Sek Mo
turun dari kereta untuk bertindak masuk ke dalam hotel,
sedangkan seorang pelayan sudah lantas menyambuti tali
kereta itu ke istal buat dijagai dan dirawat kudanya.
Sementara itu diluar tahunya si jongos hotel, Hong Kun
tetap tertidur nyenyak diatas tenda kereta itu.
Untuk dapat mengambil hatinya Peng Mo, Ciu Tong
meminta sebuah kamar yang terkurung taman bunga serta
memesan barang hidangan yang istimewa. Sambil menenggak
arak perlahan-lahan, mereka ngobrol dengan asyiknya.
Sampai jam tiga lewat mereka masih terus bergurau memain
asmara.
Sekonyong-konyong daun pintu kamar terbuka dan satu
bayangan orang menyeplok masuk tanpa diketahui sepasang
merpati yang lupa daratan itu. Merekalah yang dibilang : "Arak
tak memabukkan orang, orang mabuk sendirinya." Ciu Tong
pula merasa sangat puas karena ia selalu membaui bau harum
kewanitaan.....
Bayangan atau orang yang baru masuk itu sudah lantas
mengawasi bergantian kepada si pria dan wanita, juga seluruh
kamar, sesudah itu mendadak ia memperdengarkan suaranya.
"Hm !"
Peng Mo yang mendengar paling dahulu hingga dia
menjadi terkejut. Dengan lantas dia mengangkat kepalanya,
mengawasi orang itu. Dalam kagetnya dia menegur, "Siapakah


kau ? "Hampir berbareng dengan itu, ia berjingkrak bangun
sambil sebelah tangannya menarik lengan Ciu Tong hingga
keduanya jadi berdiri berendeng.
Ciu Tong pun mengawasi orang dengan ia bermata
berkedip-kedip, tetapi ia lekas sadar dari separuh sintingnya
selekasnya ia sudah melihat nyata. Lantas ia menyapa, "Oh, Ie
Tok Sinshe ! Malam begini sinshe datang kemari, ada apakah
pengajaranmu ?"
Orang itu memang Ie Tok Sishe, hanya dialah si Ie Tok
Sinshe palsu, sebab dia adalah Couw Kong Put Lo. Dia
bersenyum atas teguran itu.
"Saudara Ciu, bagus, bagus !" demikian katanya. "Saudara,
datangku si tua kemari ialah guna mengambil pulang sebuah
guci arak !"
Ciu Tong melengak. Tidak mengerti dia akan kata-kata itu.
Peng Mo sebaliknya dapat menerka, maka juga ia lantas
menatap orang itu dengan matanya dibuka lebar-lebar
sehingga sinarnya tampak bengis tetapi ketika ia bicara, ia
tertawa : "Tua tua, kau keliru mengenali orang ! Di sini tidak
ada guci arak yang kau cari itu !"
Couw Kong Put Lo menunjuki tampang heran, nampak ia
mendongkol. Ia mengira Peng Mo tidak mau mengenalnya
sebab si Bajingan Es sudah mendapati pacar baru. Walaupun
sepintas lalau, dahulu hari pernah mereka berdua bercintacintaan.
Ia tidak puas sebab orang seperti tak sudi
mengenalnya !
Setelah melengak sejenak, Couw Kong Put Lo lantas
terasadar. Ia mengerti yang orang tak mengenalnya karena ia


lagi menyamar sebagai Ie Tok Sinshe. Ia mengenakan topeng
yang merupakan wajah lain orang. Biar begitu, ia toh tergiur
hatinya menyaksikan bekas pacar itu demikian
menggairahkan. Hampir ia menyebut dirinya sebagai Couw
Kong Put Lo dan bukannya Ie Tok Sinshe. Syukur ia dapat
mencegahnya. Sebagai gantinya kata-kata, ia berpura batuk.
Walaupun demikian, ia tetap likat.
Ciu Tong jeri terhadap Ie Tok Sinshe, tapi setelah
mengawasi sekian lama dan mendengari pembicaraan orang
dengan Peng Mo, ia bercuriga. Terutama ia merasa cemburu.
Saking tak puas, ia lantas kata keras : "Sahabat, di depan aku
Cek Hong Siansu, jangan kau mendusta ! Jikalah kau tahu
gelagat, baiklah besok kita bicara pula !"
Kata-kata itu tak terlalu keras tetapi itu lah pengusiran.
Couw Kong Put Lo pun merasa tak puas. Sebenarnya ia jelas
melihat Peng Mo ada bersama pria lain. Di sini mereka
bertemu secara kebetulan saja. Ia sengaja muncul dengan
maksud menggertak Ciu Tong. Ia percaya orang bakal
menjadi ketakutan dan pergi menyingkir. Ia tak mengira,
Siansu itu justru tak takut padanya. Mungkin Ciu Tong sudah
mengetahui penyamarannya itu......
Couw Kong Put Lo tertawa dingin. Ia tak puas.
"Eh, saudara Ciu !" katanya. "Apakah kau hendak menguji
kepandaianku si orang tua menggunakan racun maka barulah
kau puas ?'
Sepasang alisnya Ciu Tong terbangun.
"Sret !" dia menghunus pedang di punggungnya. Lantas dia
tertawa tawar dan kata sabar : "Aku yang rendah barulah
takluk jika aku menghadapi Ie Tok Sinshe yang sejati yaitu


Tok Mo Cianpwe yang namanya tersohor di seluruh dunia
sungai telaga, sebaliknya terhadap si palsu, hendak kau mainmain
dengan pedang disaat habis aku minum arak."
Jago dari Heng Keng To ini menjadi bercuriga dan
menyangka orang adalah orang palsu. Ia pula tak senang
sebab ia terganggu kesenangannya. Orang hendak merampas
pacarnya ! Mana ia mau mengerti ? Demikian ia menantang.
Couw Kong Put Lo membawa sikap tenang-tenang saja.
"Saudara Ciu" katanya. "Walaupun ilmu pedang Hek Keng
To sangat tersohor tetapi kau, mana kau sanggup menyambut
aku barang tiga jurus ? Maka itu tak usahlah kau bicara
tentang digunakannya Racun !"
Sebisa-bisa Couw Kong Put Lo tetap hendak membawa
tingkahnya Tok Mo, tenang tapi jumawa. Walaupun ia bicara
dengan Ciu Tong, ia tak lengah akan melirik kepada Peng Mo.
Ciu Tong gusar tak terhingga, maka melesatlah ia ke depan
orang tua itu. Pedangnya segera digeraki dipakai membacok.
Ia menggunakan tipu pedang "Angin Puyuh Menyapu Salju."
Cepat luar biasa, Couw Kong Put Lo berkelit. Ia melihat
ilmu pedang orang telah terlati baik tetapi ia tak takut. Ia
tertawa dingin dan kata : "Dengan ilmu pedang begini macam
kau berani menerbitkan onar di dalam Kui Hiang Koan ? Hmm
!"
Hebat kata-kata itu menusuk hatinya Ciu Tong. Dia terkejut
hingga segera dia menghentikan serangannya terlebih jauh.
Sedangkan menurut panas hatinya ingin dia menikam mampus
pada penggoda ini.


Memang semenjak beberapa puluh tahun untuk di Selatang
dan Utara baik dikalangan Putih maupun golongan Hitam, tak
ada orang yang berani berkelahi di dalam penginapannya Liok
Cim ini. Siapa menjadi orang Kang Ouw yang sudah biasa
bertualang jarang yang tak mendengar namanya pemilik
penginapan Kiu Hiang Koang. Dan Ciu Tong bukannya satu
kecuali. Itulah sebabnya kenapa jago Hek Keng To ini lantas
merubah sikapnya. Tapi ia penasaran, maka tak mau ia
mengalah dan kata : "Kalau kita bicara dari hal peraturan Kui
Hiang Koan, maka kaulah yang paling utama harus mendapat
hukuman !"
Couw Kong Put Lo menyambut dengan tawanya......
"Apakah katamu ?" katanya sengaja.
"Jika peristiwa malam ini aku keluarkan di muka umum"
berkata Ciu Tong, "hendak aku lihat kau masih mempunyai
muka atau tidak untuk melihat orang ! Berbareng
kepalsuanmu sebagai Tok Mo juga pasti akan terbongkar."
Kata-kata itu ditutup dengan tawa yang nyaring.
Di dalam hati Couw Kong Put Lo terkejut juga hingga tanpa
merasa ia berhenti tertawa. Hanya sebentar ia berkata pula :
"Saudara Ciu, jangan kau mencoba memfitnahku ! Kau lihat
disini cuma ada kita orang bertiga ! Pula di saat ini ada tengah
malam buta. Nah, saudara, bagaimana kalau buat urusan dia
kita berbicara dengan mementang jendela."
Tamu tak diundang ini berpaling kepada Peng Mo dan
menunjuknya.
Couw Kong Put Lo tidak tahu halnya Ciu Tong menuduh
dialah Tok Mo palsu tanpa buktinya bahwa jago Hek Keng To


itu cuma menerka dan menggertak saja. Ciu Tong
menggunakan akal biasa yang disebut "Menimpuk rimba
dengan batu secara sembarangan saja". Kapan dia mendengar
suaranya penggoda ini menjadi lunak, dia mendapat hati.
Maka dia tertawa terkekeh dan kata : "Sicu tahu selatan,
dialah si orang gagah ! Kau saudara, kaulah si orang gagah itu
!"
"Hm !" Couw Kong Put Lo memperdengarkan suara
dinginnya. Agaknya dia mencoba menguasai kemarahannya.
Lantas dia bertindak ke meja perjamuan untuk duduk diatas
sebuah kursi, sembari berbuat begitu dia kata : "Jangan
tertawakan aku, si tua hendak mencicipi arak kalian !" Terus
dia mengangkat poci arak, menuang isinya ke dalam sebuah
cawan. Dia pun mengisikan cawan-cawannya CIu Tong dan
Peng Mo. Setelah itu sendirinya dia menengak isi cawannya !
Selama itu Peng Mo berdiam saja. Ia cuma memperhatikan
gerak geriknya kedua orang itu, sekarang menyaksikan
perubahan sikap dari si tetamu tidak diundang, ia lantas
menoleh kepada Ciu Tong. Ia memberi isyarat dengan
menjebikan bibirnya, habis mana ia menghampiri kursi buat
terus berduduk disitu.
Ciu Tong tertawa dingin, dia masuki pedangnya kedalam
sarungnya. Dia pun terus berkata tawar : "Sahabat, kalau kau
ada sesuatu, bicaralah supaya aku dapat mendengarnya."
Couw Kong Put Lo mengangkat cawannya. Dia tertawa.
"Mari kita keringi dulu cawan kita !" katanya dengan
gembira. "Malam yang indah ini pun tak dapat disia-siakan !"
Dan dia mendahului meneguk araknya.


Ciu Tong dan Peng Mo saling mengawasi. Keduanya
bercuriga dan kuatir nanti kena dibokong. Mereka tidak minum
arak mereka dan juga membungkam.
Couw Kong Put Lo membuat main janggutnya yang mirip
janggut kambing, dia tertawa terbahak-bahak.
"Sungguh diluar sangkaku si orang tua yang dua orang
yang gagah kaum Kang Ouw yang tersohor tidak memiliki
nyali besar untuk minum arak yang disuguhkan oleh aku si
orang tua !" demikian katanya. Dan dia tertawa puas.
Peng Mo tertawa dan kata : "Orang Kang Ouw yang licik
dan licik, aku si pendeta telah banyak melihatnya ! Dan kau
tuan, kau orang kalangan apa, sampai nama dan julukanmu
pun kau tak berani memberitahukannya ! Cobalah kau
pikirkan, apakah caramu ini ada caranya laki-laki sejati kaum
kangouw ?"
Couw Kong Put Lo mengawas tajam nikouw itu, kembali dia
tertawa.
"Su thay yang baik, kau cuma ingat sahabat yang baru
hingga kau melupai sahabat yang lama!" katanya. "Ah, aku si
tua walaupun rupaku telah berubah akan tetapi suaraku tetap
suaraku yang lama ! Kau bilang kau tidak kenal aku si tua,
itulah rada keterlaluan !"
Kembali dia mengisikan cawannya terus cawan itu
diangkat.
"Aku minta sukalah saudara Ciu berlaku sedikit polos !"
kata dia. "Saudara mari kita mengeringi cawan kita ! Habis
minum maka aku si tua akan memberitahukan namaku yang
buruk !"


Ciu Tong sebenarnya cerdik dan jumawa, tak biasanya ia
menerima ajakan atau penghinaan, maka itu di dalam
keadaan sesulit itu ia lantas mendapat satu pikiran. Mendadak
sontak ia bangkit berdiri dan mengangkat cawannya terus ia
berkata nyaring : "Aku Ciu Tong di dalam dunia Kang Ouw,
ada juga namaku yang kecil, maka arak ini biar ada
rencananya yang dapat memutuskan haus, akan aku coba
meminumnya !" Ia terus membawa cawan ke mulutnya untuk
ditengak kering ! Tetapi ia tidak telan itu, ia berpura jatuh
membungkuk pada belakang kursi, tangannya dipakai
menekan semua arak itu. lantas dikeluarkan pada tangan
bajunya !
Couw Kong Put Lo heran menyaksikan Ciu Tong "roboh"
demikian cepat hingga ia menerka yang ia telah menggunakan
racunnya terlalu banyak. Ia pula terlalu tergiur terhadap Peng
Mo hingga ia tak ingat akan memperhatikan Ciu Tong benar
terkena racun atau tidak.
Peng Mo tak menyangka Ciu Tong lagi main gila, melihat
kawan itu roboh tak sadarkan diri ia bersyukur yang ia tidak
minum arak dan tidak roboh karenanya. Ia girang yang ia
tidak berlagak menjadi seorang kosen. Di sebelah itu heran
yang tamunya demikian lihai.....
"Aku pun harus mencoba." pikirnya kemudian. Dia tetap
berlaku tenang. lalu dia kata pada tamunya itu : "Orang jaman
dulu kala berkata, 'Sekali sinting lenyap seribu kedukaan',
karena itu pinni juga ingin menemani kau lotiang untuk
mengeringi cawanku supaya kita sama-sama mabok."
Dengan lirikan tajam dan menggiurkan hati, Peng Mo
memandang Couw Kong Put Lo terus ia berbangkit dan


bertindak lembut menghampiri orang tua itu sambil ia
mengangkat cawannya.
Tamu itu girang sekali. Ia cuma memperhatikan Peng Mo.
Pikirnya kalau Peng Mo pun mabuk betapa senangnya dia
nanti.........
Karena ini ia menyambut ajakan si nikouw. Biar bagaimana
ia rada bimbang. Tak puas ia andiakata Peng Mo roboh seperti
Ciu Tong. pasti ia akan kurang merasai kenikmatan.
Karenanya ia tak lantas menengak araknya.
Sek Mo tertawa.
"Bagaimana, eh ?" tegurnya. "Apakah kau tak memandang
mata kepada aku Peng Mo ?"
Couw Kong Put Lo tersengsam. Tapi dia tertawa.
"Minum ?" katanya. "Sebenarnya tak tega aku kalau sampai
kau sinting ! Dengan begitu kita sudah menyia-nyiakan malam
yang indah ini !" Ia menoleh kepada Ciu Tong, akan melihat
jago Hek Keng To itu.
Ciu Tong diam tak berkutik di kursinya.
Peng Mo menghampiri lebih dekat pada si tamu, dia
membawa aksinya.
"Kau mau minum atau tidak ?" tanyanya manja.
"Minum, pasti aku akan minum !" sahut Couw Kong Put Lo,
yang jadi lupa pada dirinya sendiri. "Asalkan tidak takuti
menjadi mabuk, aku si tua akan melayanimu."


Meski ia berkata begitu, ia tapinya tidak lantas minum
araknya.
Kedua orang itu berdiri berhadapan dekat sekali satu
dengan lain, tak ada sekali terpisahnya.
"Kau menyia-nyiakan kebaikan orang, akan aku tidak
hiraukan kau !" kata Peng Mo, yang terus melemparkan
cawannya, hingga cawan itu terus jatuh ke lantai, pecah dan
araknya melelehan.
Couw Kong Put Lo tercengang, hingga ia terdiam saja.
Justru ia tercengang atau lantas ia terkejut sekali. Tahu-tahu
ia sudah tidak memakai topengnya lagi sebab penutup
mukanya itu secara tiba-tiba dijambret Sek Mo tanpa berdaya
!
Segera Pek Mo tertawa geli.
"Oh, kiranya kau, Couw Kong Put Lo. Tidak lagi berkumis
atau berjanggut, bahkan mukanya putih dan segar mirip anak
muda. Dengan telah berhasil memahamkan isinya kitab "So
Lie Kang," dia berhasil mempertahankan kemudaannya. Di
dalam usia lanjut, dia nampak seperti orang setengah tua.
Tak marah Couw Kong Put Lo yang Peng Mo melocotkan
kedoknya itu, bahkan ia lantas tertawa. Katanya gembira,
"Lakon asmara kita dahulu hari itu, aku si tua masih
mengenangkannya setiap siang dan malam, tak dapat aku
melupakannya. Malam ini, siapa sangka, kita telah bertemu
pula. Maka itu sudah selayaknya kalau cinta kasih kita itu kita
lanjuti, kita sambung pula."
Peng Mo tertarik hati. Dalam soal asmara dialah juara. Dia
selalu mengagumi paras tampan, sambil membuat main


topeng orang, ia tertawa dan kata : "Kalau ini dipakai wanita,
entah bagaimana jadi macamnya !" Ia tertawa mengimplang
pria di depannya. Wajahnya tersungging senyuman. Ia benarbenar
menggiurkan.
Couw Kong Put Lo mengawasi nikouw itu, hatinya
melonjak-lonjak, matanya bersinar berapi, sikapnya bagaikan
singa hendak menerkam mangsanya.
Peng Mo berkelit lincah ke sisi meja, ketika orang hendak
merangkulnya !
Karena ia merangkul tempat kosong, Couw Kong Put Lo
menjadi terkusruk ke depan, sampai ia menubruk dinding.
Hampir dia roboh terguling. Dengan cepat ia memutar tubuh
buat maju pula kepada pacarnya.
Sek Mo menghindarkan dari dengan ia berputar di seputar
meja, sembari lari itu ia tertawa manis. Sebab si pria terus
mengejar, mereka lantas bagaikan main petak di seputar meja
itu !
Kedua orang itu demikian asyik bergurau hingga mereka
melupakan Ciu Tong yang masih diam mendekam seperti juga
dia benar-benar tak sadarkan diri sebab terkena obat biusnya
Couw Kong Put Lo itu.
Sesudah merasa puas mempermainkan pria di depannya
itu, Sek Mo menyerah dengan ia berpura terlalu letih dengan
nafas tersengal-sengal ia roboh dilantai sesudah ia membentur
kursinya Ciu Tong !
Couw Kong Put Lo berlompat menubruk sembari tertawa, ia
berkata : "Sudah su thay, sudah cukup kau menunjuki
kenakalanmu ! Mari kita pergi ke sorga !"


Sambil saling berpeluk, keduanya bangkit berdiri. Peng Mo
sempat menjebi ke arah Ciu Tong unguk memberitahukan
Couw Kong Put Lo yang dia kuatir Ciu Tong nanti keburu
siuman.
Couw Kong Put Lo mengulur tangan kirinya kepada Ciu
Tong, niatnya menotok otot suwtian di belakang batok
kepalanya jago Hek Keng To itu. Sembari dia tertawa dan kata
: "Apakah kau kuatir obat biusku kurang cukup kuat ? Nah,
begini sja, kau tentu tak akan berkuatir lagi....."
Belum berhenti kata-katanya si jago tua itu, tau-tau
tubuhnya Ciu Tong sudah bergerak bangun seraya sebelah
tangannya diluncurkan ke pinggang orang buat menotok jalan
darah tay meh.
Couw Kong Put Lo kaget sekali sampai tak sempat dia
berdaya hingga seketika juga tubuhnya roboh terkulai dilantai.
Peng Mo kaget sekali, tetapi dia sangat cerdik. Dia lantas
menuding Put Lo sambil mendamprat: "Oh, bajingan tua
bangka ! Bagaimana kau berani menghina aku si pendeta ?"
Dan terus ia mendepak membuat tubuh orang berbalik !
Setelah itu lantas dia berpaling kepada Ciu Tong sembari
menanya : "Saudara Ciu, kau tak kurang suatu apa bukan ?"
Ciu Tong tertawa puas.
"Aku yang muda mana mudah saja aku kena minum racun
?" katanya. Terus ia mengawasi Couw Kong Put Lo seraya
berkata : "Setan tua ini menganggu kesenangan kita, sudah
selayaknya dia mendapat bagiannya !"


Rupanya panas hatinya jago Hek Keng To ini, dia maju
menghampiri terus dia menendang tubuh yang lagi rebah tak
berkutik itu !
"Aduh !" demikian satu jeritan hebat, jeritan kesakita
dibarengi dengan robohnya satu tubh manusia.
Itu bukannya jeritannya Put Lo hanya Ciu Tong gelar Cek
Hong Siancu !
Peng Mo melengak. Dia kaget dan heran hingga dia terus
mengawasi Ciu Tong yang tubuhnya terhuyung-huyung,
tangannya memegang kaki kanannya. Di lain pihak Couw
Kong Put Lo tampak telah meletik bangun untuk terus
mengawasi bergantian kepada Ciu Tong dan Peng Mo !
Hatinya Peng Mo bercekat menyaksikan kelicikan dua orang
itu, ia pun bingung sekali. Siapakah yang harus ia berati ? Put
Lo si sahabat lama atau Ciu Tong si kawan baru ?
Put Lo lihai sekali. Sudah puluhan tahun dia melatih tenaga
dalamnya. Ketika tadi dia dibokong Ciu Tong dia roboh tak
berdaya, tetapi dia bukannya pingsan hanya tetap sadar,
maka diam-diam dia mencoba mengarahkan tenaga dalamnya
untuk ia dapat pulih tenaganya. Kebetulan sekali untuknya,
selagi ia mencoba menyelamatkan diri itu Peng Mo
menendang padanya terkena otot kehidupannya, maka dia
bebas dengan segera. Maka juga sekalian membalas sakit
hati, dia menghajar kakinya jago Hek Keng To itu yang
mendepak padanya !
Ciu Tong merasai sakit bukan main, terasa hampir kakinya
patah. Maka selekasnya dia dapat berdiri tegak, dia lantas
menghunus pedangnya.


"Setan tua, serahkan jiwamu !" bentaknya sambil terus
menikam ulu hati orang.
Put Lo berkelit, sambil berkelit, dia menyentil belakang
pedangnya penyerang itu hingga pedangnya terpental,
baiknya tak lepas dari tangan pemiliknya.
Dalam hal imu silat atau tenaga dalam, Put Lo menang dari
Ciu Tong, akan tetapi ilmu pedang Hek Keng To juga tidak
dapat dipandang ringan.
Couw Kong Put Lo batuk-batuk, terus dia tertawa.
"Saudara Ciu !" katanya. "kita tidak bermusuhan satu
dengan lain, bahkan kita dari satu kalangan, karena itu kenapa
kau hendak mengadu jiwa denganku ?"
Ciu Tong gusar, dia membentak : "Tapi kau pikirlah baikbaik
! Kenapa kau melintangi golok dan merampas kekasih
orang ? Apakah kau masih menghargai cara-cara kaum Kang
Ouw ?"
Lenyap tawanya Put Lo, lantas dia berwajah tawar.
"Habis, apakah tetap kau hendak mengadu jiwa ?"
tanyanya. "Kau toh tak mampu melawan aku si orang tua ?
Dalam hal asmara kau juga tidak dapat menandingi aku. Maka
itu baiklah kau berlaku tenang, kau menerima baik kalau kita
membagi rasa ! Bagaimana pendapatmu ?"
Mendengar itu merah mukanya Peng Mo.
"Ciis, setan tua !" bentaknya. "Bagaimana kau berani
menghina aku begini rupa ? Siapa yang menghendaki ilmumu
yang didapati dari kitab So Lie Kang itu ?"


Di mulut nikouw berkata keras, demikian matanya tetapi
dibuat main.
Melihat tingkahnya Peng Mo itu, Ciu Tong gusar sekali.
Tetapi ia membungkam. Adalah setelah kakinya tak terasakan
nyeri hebat seperti tadi, ia maju menyerang pula kepada Tok
Mo palsu. Lima kali dia menyerang berulang-ulang hingga
pedangnya berkilauan dan suara anginnya berserabutan,
sampai api lilin pun bergoyang-goyang !
Couw Kong Put Lo benar lihai. Dia tidak membalas. Asal
dibacok, ditikam atau ditebas, dia berkelit secara gesit dan
lincah sekali, senantiasa dia menyingkir dari ujung pedang.
Baru kemudian dia kata secara menantang : "Akan kau
mengalah buat sepuluh jurus seranganmu, supaya dengan
begitu puaslah hatimua, supaya kau dapat berpikir dan
mengerti !"
Ciu Tong menyerang berantai lima kali dengan ilmu pedang
istimewa dari Hek Keng To, biar bagaimana ia cepat dan gesit
selalu ia gagal. Karenanya ia menjadi berpikir.
Lantaran berpikir ini hawa amarahnya berkurang
sendirinya. Begitulah ia menghentikan serangannya lebih jauh
untuk berkata dengan tawar : "Setan tua, kau berjumawa !
Bagaimana kau berani bertahan buat sepuluh jurusku ?
Apakah ini lima jurus yang sudah lewat masuk hitungan atau
tidak ?"
Put Lo mengawasi orang dengan tampangnya sangat
temberang terus dia tertawa !
"Eh, orang she Ciu !" demikian sahutnya. "Jika memangnya
kau mempunyai kegembiraanmu bolehlah kau menyerang pula


kepadaku sepuluh jurus lagi ! Ketahuilah olehmu, aku si orang
tua, aku akan tidak membalas menyerangmu !"
Hatinya Ciu Tong panas tetapi dia tersenyum. Terus dia
mengangkat pedangnya.
"Berhati-hatilah kau !" teriaknya seraya terus memutar
pedangnya itu untuk mulai dengan penyerangannya. Itulah
jurus silat "Angin Puyuh Menggulung Gubuk" yang dimulai
dengan serangan dari bawah sesaat pedangnya berputar.
Put Lo kaget oleh serangan itu. Itulah karena disaat itu ia
kebetulan berdiri membelakangi tembok. Terpisahnya tidak
ada dua kaki. Sangat sulit buat ia berkelit mundur. Pedang
pun terus dibolang balingkan. Maka jalan selamat baginya
cuma berlompat tinggi. Karenanya tidak ada jalan lain, segera
ia mengeluarkan ilmu penolong dirinya yang istimewa. Begitu
dia berkelit, begitu ia bagaikan lenyap dari pandangan mata !
Apakah yang terjadi ?
Di saat serangan tiba, Put Lo mundur menempelkan
tubuhnya pada tembok terus ia menjejak lantai, terus kedua
tangannya ditempelkan juga kepada tembok. Kali ini ia
menggunakan "Pek Houw Yu Cong", ilmu "Cecak merayap
memain di tembok" hingga ia dapat melompat naik lima kaki
tingginya !
Ciu Tong heran dan kagum. Tipunya sangat lihai, sebab dia
menebas dari bawah ke atas, terus ke bawah lagi disebabkan
pedangnya diputar sebab bagaikan angin puyuh yang.
Kecepatannya itu dinamakan "Hung Khong Thian Mo", "Kuda
Langit Jalan Udara". Ia heran dan kagum sebab ia gagal.
Karena menghilang, dengan cepat ia memutar tubuh ! Maka ia
mendapati Put Lo lagi berdiri di belakangnya !


Selekasnya ia tiba diatas, Put Lo menekan tembok dengan
kedua tangan dan kakinya, membuat tubuhnya mencelat
melewati kepala orang, hingga ia dapat menaruh kaki di lantas
tanpa dapat dilihat lawan. Gerakan itu dilakukan dengan
kecepatannya.
Couw Kong Put Lo menyangkal kata-katanya, kalau dia
menyerang, pasti celakalah jago dari Hek Keng To itu, tak
nanti dia sempat menangkis atau berkelit.
Peng Mo bingung, menyaksikan pertempuran itu. Kalau
keduanya sudah bersungguh-sungguh, salah satu pasti bakal
roboh korban, atau ada kemungkinan dua-duanya nanti samasama
mendapat luka.
Kalau sampai terjadi begitu, itulah berabe ! Pemilik Kui
Hiang Koan pastilah bakal jadi gusar sekali atau urusan
mereka bertiga, rahasia asmara mereka bakal tersebar luas.
Pasti ia bakal dapat malu besar karenanya.
"Tahan !" akhirnya dia berseru.
Put Lo tertawa nyaring. Katanya nyaring juga : "Kau takut ?
Apakah yang harus ditakuti ? Walaupun ilmu pedangnya
saudara Ciu sangat lihai dan dia juga telengas, tak nanti dia
dapat berbuat sesuatu atas diriku !"
Mendengar itu, mukanya Ciu Tong menjadi merah. Ia
merasa kulit mukanya sangat panas ! Tapi dialah orang Kang
Ouw yang berpengalaman, dia tahu diri. Dia anggap dimana
dia harus berhenti. Maka dia menguasai dirinya, mengekang
hawa amarahnya. Justru Peng To memperdengarkan
cegahannya itu, walaupun dengan jengah, dia toh tertawa dan
kata : "Couw Kong cianpwe, benar-benar kau lihai ! Baiklah


dengan memandang mukanya Peng Mo Su thay, suka aku
menghentikan pertempuran kita ini !" Dan dia masuki
pedangnya kedalam sarungnya, dia pula bertindak mundur.
Sepasang alisnya Put Lo bangun berdiri.
"Kau baik, Saudara Ciu" katanya. "Senang aku menerima
kebaikanmu ini !"
Berkata begitu, jago tua ini memutar tubuhnya untuk
menghampiri Peng Mo. Ia mau menjambret ujung bajunya si
nikouw, nikouw, buat ditarik diajak masuk kedalam.
Sek Mo tertawa.
"Ah, kau terlalu !" katanya, matanya mengawasi Ciu Tong.
"Mana dapat ?"
Put Lo pun tertawa. Kata dia : "Saudara Ciu laki-laki sejati,
hatinya terbuka ! Dia toh cuma membiarkan aku si tua
berjalan lebih dahulu satu tindak ! Sebentar akan tiba
gilirannya ! Ha ha ha!"
Mukanya Ciu Tong merah padam, bukan main ia
mengekang diri, dadanya sampai naik turun. Ia mengawasi
Peng Mo, wajahnya murah.
"Su thay" katanya, "kau."
Cuma begitu ia dapat membuka mulutnya, terus ia
membungkam.
Peng Mo bingung juga. Ya, ia ingin merasakan segar, siapa
tahu dua orang itu tak sudi saling mengalah. Mana dapat ia
memecah diri. Ia pula tak dapat bicara. Bergantian ia


mengawasi kedua kekasih itu, lalu tiba-tiba setelah
megngertak gigi ia kata sengit : "Kalian berdua boleh
bertempur sampai hidup atau mati ! Aku mau pergi !"
Dengan hanya satu kali menjejak lantai, nikouw ini sudah
lantas lompat keluar jendela !
Dua-dua Couw Kong Put Lo dan Ciu Tong Siancu melengak.
Itulah perubahan sikapnya Biekuni yang mereka tak sangka
sama sekali, hingga tidak ada kesempatan buat mereka
mencegah. Mereka lantas saling mengawasi lantas keduanya
sama-sama lompat juga ke jendela untuk lari menyusul !
Jilid 50
Di luar Peng Mo tak tampak ! Entah dia menyingkir
kemana.......
Sebaliknya, mereka lantas menyaksikan sesuatu yang
membuat mereka heran dan kaget karean mereka tidak
mendapat tahu tak dapat menerka, di dalam Kui Hiang Koan
sudah terjadi perkara apa !
Di jalan umum yang menuju ke penginapan terdengar
suara berisik dan tampak banyak orang berjalan berlari-lari
dalam rombongan-rombongan dari empat atau lima orang,
semua mengenakan pakaian hitam, semua bersenjata, seperti
juga mereka itu lagi menghadapi musuh besar. Lebih-lebih
ialah cahaya sangat terang dari banyak obor dan lentera yang
membuat golok dan pedang bercahaya berkilau-kilau.
Bentakan-bentakan pun terdengar tak putusnya.


Kawanan orang-orang berseragam itu terus menuju ke
sebelah kiri penginapan.
Ciu Tong mengangkat kepalanya, memandang ke arah kiri
itu. Ia melihat sebuah pemandangan dimana terdapat cahaya
terang naik tinggi, umpama kata sampai diudara, seluruhnya
merah. Ketika itu mungkin baru jam empat tetapi langit terang
bagaikan siang hari. Lekas-lekas jago Hek Keng To ini
menoleh ke sisinya, atau dia melengak ! Couw Kong Put Lo
tidak ada disisinya itu, entah kapan perginya dia dan setahu
dia pergi kemana. Maka lekas-lekas ia berlompat naik ke
genteng. Maka sekarang ia bisa melihat diantara cahaya api
itu, didalam sebuah halaman beberapa orang berseragam
hitam tengah mengurung dan menyerang seorang pemuda
yang bergenggaman pedang. Mereka itu bertempur sambil
membentak-bentak. Diantaranya terdengar juga suaranya
ringkik kuda !
"Aneh !" pikir Ciu Tong atau segera dia ingat bahwa di
dalam kereta karungnya justru termuatkan sesuatu yang
penting miliknya Im Ciu It Mo. "Mungkinkah yang terbakar itu
istal dimana mereka dan kudaku ditambatkan ?"
Karena ia mengingat demikian, tanpa ayal sedetik juga,
jago Hek Keng To ini berlari-lari diatas genteng menuju ke
tempat kebakaran dan perkelahian itu. Baru ia melintasi
beberapa wuwungan, mendadak ada sinar pedang yang
berkelebat menyambar pinggangnya sambil ia dibentak :
"Tahan !" Cepat luar biasa, ia berlompat ke samping akan
berkelit buat seterusnya memutar tubuh, mengawasi
penyerangnya itu.
Itulah seorang muda yang goloknya tajam mengkilat.


"Kau siapakah tuan ?" Cui Tong mendahului menyapa.
"Tuan dari golongan mana ? Aku sendiri ialah Ceng Hong
Siancu Ciu Tong......."
Orang itu tidak mau menyebutkan nama dan golongannya,
dia hanya menjawab bengis. "Kami mau membekuk orang
jahat yang melepas api ! Mau apa kau pergi menuju kesana ?"
Ciu Tong mendongkol atas perlakuan itu, maka ia pun kata
tak kalah bengisnya : "Tuan kenapa kau tak sudi
memberitahukan nama atau gelaranmu ? Kenapa kau justru
merintangi aku ? Rupa-rupanya kaulah konco dari pelepas api
itu !"
Pemuda bergegaman golok itu menjadi gusar sekali.
"Di Hek Keng To juga tidak ada orang baik-baik !" katanya
nyaring. "Mana orang ? Mari kepung manusia ini jangan
biarkan dia lolos !"
Atas seruan itu, dari empat penjuru wuwungan lantas
muncul empat orang berseragam hitam yang terus mengurung
jago dari pulau Ikan Lodan Hitam itu.
"Segala manusia tak berguna !" kata Ciu Tong yang tertawa
tawar. "Kalian mau mencari mampus ?" Dan ia menghunus
pedangnya.
"Bekuk dia !" membentak si pemuda bersenjatakan golok
itu yang lalu mendahului maju menyerang.
Ciu Tong berkelit atau mana ia diserang pula beruntun
hingga lima kali. Si anak muda berdarah panas dan telah
mendesak keras. Menyusul dia maju pula empat orang
kawannya itu.


Dengan lantas Ciu Tong mengenali kelima orang itu bersilat
dengan ilmu silat golongannya Koay To Ciok Peng si Golok
Kilat. Ia berlaku lincah akan selalu berkelit sampai satu kali ia
menangkis keras hingga pedang dan golok bentrok nyaring
dan berisik. Dengan begitu ia menghalangi kelima orang itu
dengan ia terus lompat mundur ke sebuah wuwungan dimana
ia berdiri tegak sambil berseru : "Tahan ! Tuan, kau pernah
apakah dengan Koay To Ciok Peng Ciok Cianpwe ?"
Jago Hek Keng To ini menghormati Koay To Ciok Peng juga
maka ia membahasakannya cianpwe, orang tingkat lebih tua
yang terhormat. Ia pun sengaja menanya untuk menegaskan
saja. Namanya Ciok Peng sangat dikenal dan ia
menghargainya.
Memang Ciok Pen, sejak beberapa tahun ini, telah menjadi
pengusaha dari Kui Hiang Koan, maka itu para pelayan atau
pegawai hotel itu mesti murid-muridnya. Sedangkan menurut
orang yang tahu pemilik sah dari Kui Hiang Koan adalah
seorang jago rimba persilatan yang tersohor yang sudah lama
hidup menyembunyikan diri. Terhadap Ciok Peng sendiri Ciu
Tong tidak jeri tetapi ingin dia berhati-hati.
Atas kata-kata Ciu Tong yang terakhir lagi si anak muda
menjawab dingin : "Tuan mudamu ini ialah muridnya keluarga
Ciok dan namaku San Sie ! Kau telah ketahui nama guruku,
sekarang terangkan mau apa kau datang ke tempat kami ini ?"
Ciu Tong dapat menyadari diri. Ia merangkapkan
tangannya memberi hormat.
"Aku baru tadi sore tiba disini dan singgah di
penginapanmu, tuan." ia memberi keterangan. "Tempat


kebakaran itu justru tempat dimana keretaku ditaruh, maka itu
hendak aku melihatnya !"
Begitu dia menutup kata-katanya, orang she Ciu itu lekas
berlompat untuk melanjuti kepergiannya.
" Tahan !" si anak muda membentak pula.
Dan ia mencoba menghadang lagi. "Tuan mudamu masih
hendak menanyakan sesuatu."
Cegahan anak muda itu diikuti oleh ke empat kawannya.
Sikap mereka itu sangat mengancam
Ciu Tong gusar tetapi ia masih menguasai dirinya.
"Ada apakah pengajaranmu tuan ?" tanyanya tetap hormat.
See Sie menatap tajam. Dia melirik.
"Kui Hiang Koan mempunyai aturannya sendiri !" katanya
keras. "Kau telah ketahui itu, tetapi kenapa kau melanggarnya
? Apakah kau sengaja ?"
Ciu Tong melihat ke arah kobaran, ia menjadi bingung
sekali. Api berkobar demikian rupa hingga ia kuatir keretanya
menjadi hangus. Di dalam kereta itu ada termuat "batang
yang sangat berharga", tetapi pemuda garang dan jumawa ini
menghalang-halanginya !
"Aku mau melihat keretaku itu !" katanya mendongkol. "Di
dalam keretaku itu termuat barang yang berharga. Apakah
dengan begitu aku jadi melanggar aturan penginapanmu ?"
See Sie membalingkan goloknya.


"Di dalam kereta bertenda semacam itu juga dimuatkan
barang berharga ?" katanya mengejek. "Ha ha ! Sungguh lihai
tipu dayamu untuk mengelabui orang !" Ia lantas menghadapi
ke empat kawannya untuk memberi isyarat, setelah mana, ia
menyambungi berkata lebih jauh pada tamunya : "Barang
pentingmu itu bukan dibakar oleh orang-orang kami ! Buat
apa kau tergesa-gesa tak karuan ?"
Hebat kata-kata ini. Dengan begitu bukan saja Ciu Tong
tidak dipercaya bahkan tetapi dia dicurigai sebagai konconya si
pembakar !
Pikirannya Ciu Tong bagaikan kacau. Ia gusar dan
berkuatir. Ia menyaksikan menghebatnya api. Ia pula makin
nyata suara bentrokannya pelbagai senjata tajam. Terpaksa ia
menghunus pula pedangnya, sambil ia berkata keras : "Bocah,
kalau kau mampu, kau rintangilah aku !"
Kata-kata bengis itu ditutup dengan satu tikaman kepada si
anak muda, untuk diteruskan ditebas ke kiri dan kanan kepada
ke empat orang berseragam hitam itu.
See Sie berkelit lalu sembari maju pula ia membalas
membabat pinggang orang !
Ciu Tong gusar, hatinya pansa. Ia melawan dengan hebat.
Cuma karena musuh ada berlima ia mesti memecah juga
perhatiannya berbareng ia mesti melayani ke empat orang
lainnya itu, yang juga berkepandaian bukan sembarangan.
Hingga tak mudah untuk merobohkan atau mengundurkannya.
Karena ia adalah seorang yang berpengalaman, ia tahu
caranya melayani banyak lawan, hanya ia tidak menyangka
kelima lawan itu pun lihai, hingga tak dapat ia pandang
ringan.


Jurus demi jurus telah dilewati, lama-lama Ciu Tong
menjadi bingung juga. Tak berhasil ia meloloskand iri. Setelah
sampai pada jurus yang ketiga puluh ia merasakan bagaimana
sukarnya untuk meloloskan diri. Mak ia menyesal sekali yang
mula-mula ia telah tak memandang mata kepada kelima
musuh itu.
Tengah mereka lagi bertempur seru, tiba-tiba Ciu Tong
mendengar teriakan berulang-ulang : "Bekuk dia ! Bekuk dia !"
Teriakan itu datangnya dari bawah genteng. Itu tibanya
orang-orang Kui Hiang Koan berjumlah besar dan mereka itu
telah mendatangi semakin dekat. Itu pula berati yang
perguruan mereka telah diperketat.........
Tengah bertempur itu, Ciu Tong berpikir keras, bagaimana
ia harus meloloskan diri. Tadinya ia memandang soal remeh
sekali. Diam-diam dia memperhatikan ke empat
pengepungnya yang berseragam hitam itu. Ia mencari salah
satu yang terlemah. Selekasnya ia mendapati, lantas ia
menggunakan tipu. Selagi menghadapi lawan itu sengaja ia
bergerak lambat......
Lawan itu girang melihat musuh lamban, tidak waktu lagi
dia membacok hebat kepada perut lawannya !
Ciu Tong bersiaga. Setibanya golok, ia berkelit sambil
memiringkan tubuhnya, dengan begitu mudah saja dia
memutar pedangnya membalas menebas lengan orang
berbareng dengan mana, tangan kirinya pun menyerang
dengan satu bacokan tangan kosong.
Lawan itu kaget sekali, sebab serangannya gagal. Ia
melihat kalau ia tidak melepaskan goloknya, lengannya Bisa
buntung. Tetapi ia berhati keras, tak sudi ia menyerah dengan


begitu saja. Maka ia berkelit, tangannya dikasih turun, sambil
bertindak maju sambil mendekam dia meninju dengan tangan
kirinya pada pinggangnya lawan itu !
Saking gagah si hitam itu bersedia mati bersama. Ciu Tong
kaget. Dia kalah hati. Maka dia lompat mundur.
Mendadak ada suara angin datang dari belakang. Kembali
Ciu Tong terkejut. Tahulah ia yang orang membokongnya dari
belakang itu. Inilah berbahaya, sebab dari depannya musuh
tadi melanjuti menyerangnya !
Justru itu bentakan terdengar dan kilaunya golok tampak
menyambar. Itulah See Sie yang menyerang justru lawan itu
lagi terancam di depan dan belakang. Dia datang dari samping
!
Di dalam saat yang berbahaya itu, Ciu Tong ingat satu jalan
buat menyelamatkan dirinya ialah dengan keras ia menjejak
genteng hingga genteng pecah dan bolong, lantas ia
menceploskan tubuhnya ke dalam lobang genteng itu sambil
pedangnya diputar dipakai menangkis ke sekitarnya!
Maka lenyaplah ia dari atas genteng bagaikan ditelan
rumah !
See Sie berlima tercengang. Mereka tidak sangka lawan
sedemikian cerdik, sudah meloloskan diri dengan cara yang
sangat luar biasa itu.
Anak muda yang dikepung orang-orang Kui Hiang Koan
adalah Gak Hong Kun. Dia tidur sangat nyenyak diatas tenda
kereta sampai lewat satu hari dan satu malam. Dia telah
disadarkan oleh ringkik kuda. Dia heran waktu dia membuka
matanya dia tak tahu bahwa malam itu sudah jam dua kiraKang
Zusi website http://cerita-silat.co.cc/

kira. Dia melihat ke sekitarnya. Dia lantas melihat sinar api
bergoyang-goyang di bawah tenda kereta. Karena seram ingin
ia melihat api itu api apa. Lantas dia berbangkit atau "Duk !",
kepalanya kena membentur genteng hingga dia merasa nyeri.
Justru itulah yang membuatnya sadar. Dia mendak pula,
kembali dia mengawasi ke sekelilingnya. Tak dapat dia melihat
tegas sebab cahaya api lemah dan juga memain saja. Dia
berdiam, matanya dipejamkan. Dia mencoba mengingat-ingat.
"Ah !" serunya tertahan. Lewat sedetik ia ingat bahwa ia
tengah dikepung orang tapi dia berhasil lompat naik ke atas
kereta dimana dia mendekam akan menyembunyikan diri dan
tanpa merasa disitu dia ketiduran hingga pula nyenyak.
"Ah, aku berada dimana sekarang ?" demikian dia tanya
dirinya sendiri.
Kembali terdengar ringkik kuda. Kali ini tahulah Hong Kun
halnya dia tidur diatas kereta di dalam istal, disisi kandang
kuda.
Karena dia tidak dapat berdiri atau duduk tegak diatas
tenda itu, Hong Kun merayap turun akan mendekati sinar
terang itu hingga dia mendapat kenyataan, inilah pelita yang
berada pada dinding istal. Terus dia merayap turun akan
berduduk di tempat kusir. Tengan dia berfikir, tiba-tiba
pikirannya menjadi gelap pula. Maka tanpa disengaja dia
menepuk-nepuk kereta sambil dia tertawa keras !
Di waktu malam begitu, pengurus istal sudah lama tidur
nyenyak. Memangnya mereka tidak tidur di istal, maka juga
tawanya Hong Kun itu dapat penyahutan ringkik kuda. Tak
lama dia berhenti tertawa, ringkik kuda pun lenyap.


Bangkit dari tempat duduknya, Hong Kun pergi ke tenda.
Kali ini otaknya rada terang. DI muka pintu tenda, dia berdiri
mengawasi tetapi dia tak melihat apa-apa. Karena gelapnya
dalam tenda dia menyangka itulah sebuah kereta kosong.
Tetapi dia ingin mausk kedalamnya walaupun tanpa ada
niatnya yang tertentu.
Selekasnya dia menyingkap tenda, Hong Kun bertindak
memasukinya. Sang gelap membuatnya tak melihat apa juga.
Maka tu dia keluar, dia menghampiri pelita di tembok untuk
diambil dan dibawa kembali ke dalam kereta. Kereta itu benar
kosong, cuma terdapat tempat duduknya. Ketika dia
mengangkat tempat duduk yang kosong, dia melihat sebuah
peti atau kotak kecil yang warnanya hitam, rupanya bekas di
cat.
Dia mencekal gelang peti untuk diangkat. Ketika dia
menyentil peti itu dua kali terdengar suara yang menyatakan
peti bukannya kosong. Peti itu tak ada satu kaki persegi. Dia
mengawasi. Dia agaknya heran. Tapi dia tak mengerti. Kenapa
ia ketarik hati. Bahkan dia berniat membukanya walaupun
tanpa maksud.
Muridnya It Yap Tojin mengangkat peti kecil itu, dia
membulak baliknya, dia menyentil-nyentil pula tetapi tak dapat
dia membukanya, tidak ada anak kunCinya atau alat
rahasianya untuk membuka itu. Sementara itu tangan kirinya
yang memegang pelita itu, hingga cahaya apinya bermainmain.
Lewat lagi beberapa saat, dalam keadaan syaraf tak sehat
itu, Hong Kun tampak mendongkol. Belum juga ia bisa
membuka peti itu. Ia mengawasi dengan tajam, sinar matanya
bengis. Tiba-tiba saja naik darahnya, maka peti itu
dilemparkan kedalam kereta, ia sendiri lantas merebahkan diri.


Tangannya masih memegangi pelita tadi. Tubuhnya bergerakgerak,
sebentar meringkuk, sebentar dilempengkan. Hingga
dia mirip seekor caCing. Dia bergerak sekian lama. Karena
bergeraknya sedikit keras, kereta sampai bergoyang-goyang.
Tiba-tiba anak muda ini tertawa sendirinya, terus dia
bangun untuk berduduk. Tangan kanannya menyambar peti
hitam tadi, akan dibulak balik di depan matanya, habis mana
dia meletakkannya diatas kereta di depannya. Tiba-tiba saja
dia menggunakan tangannya menghajarnya !
Tak pecah peti itu, cuma satu kali bersuara keras
disebabkan hajaran itu.
Hong Kun mengangkatnya pula, ia membulak balik lagi
kemudian menaruhnya kembali dengan dibanting. Mendadak
tutup peti itu terbuka dengan sendirinya dengan bersuara
nyaring beberapa kali. Selekasnya peti terbuka, dari dalamnya
menyorot keluar sinar hijau yang membuat mukanya si anak
muda menjadi hijau juga, hingga wajahnya nampak mirip
wajah bajingan.......
Rupanya sinar itu dianggapnya bagus, maka juga Hong Kun
tertawa nyaring, dia terbahak-bahak hingga dia melangsing
sebab perutnya mulas lantaran tertawa itu, yang berisik bukan
cuma didalam kereta hanya jauh jauh keluar. Dia terus
tertawa dengan terlebih keras pula, berbareng dengan mana
pelitanya dilemparkan ke tenda keretanya !
Sebenarnya itulah obat beracun Thay Siang Hoang Hun Tan
buatannya Im Cio It Mo yang It Mo memesan Ciu Tong
membawanya ke Hek Sek San. Obat itu lihai tetapi tidak ada
baunya. Maka juga terkena obat, Hong Kun tidak merasakan
apa-apa. Ia tertawa kalap justru disebabkan pengaruhnya
obat itu. Ia tertawa terus sampai pelitanya telah membakar


tenda, apinya merembet dari kecil menjadi besar, menjadi
membakar seluruh kereta itu.
Pengaruh obat membuat si anak muda makin besar.
Cahaya api tetap hijau. Di dalam waktu yang pendek, peti
lantas berupa mirip bola api. Karena peti itu pun menyala.
Hong Kun baru kaget sesudah dia merasai hawa panas,
sebab api membakar rambutnya juga bajunya. Karena ini, dia
menjadi sedikit sadar. Dia melemparkan peti, dia lompat turun
dari kereta.
Api tidak ada yang padamkan, dari kereta menyambar ke
rumput terus ke lainnya barang di dalam istal itu. Kebetulan
sekali angin malam seperti membantu meniupinya. Maka mulai
dari kereta Hek Tak Seng Kun, Dewa Api terus menyambar
bangunan istal seluruhnya.
Baru setelah itu pihak Kui Hiang Koan mendapat tahu
adanya bahaya api. Maka mereka menjadi kaget, berisik dan
repot. Mereka lantas menerka kepada perbuatan orang jahat !
Disamping membunyikan kentongan, orang repot berdaya
memadamkan api itu.
See Sie adalah orang yang memegang pimpinan, disamping
menitahkan orang memerangi api, ia membawa beberapa
orang untuk mencari si orang jahat. Ia pula memasang jagajaga
di sana sini.
Kui Hiang Koan luas beberapa bun, semuanya dihubungi
dengan jalan yang kecil. Di jalan-jalan itulah yang orang-orang
berseragam hitam lari mondar mandir atau berdiri diam
melakukan penjagaan. Semua mereka itu membekal golok
yang kedua bagian mukanya berkilat berkilauan.


Hong Kun berlari-lari tanpa tujuan. Dia pula tidak tahu
dirinya berada dimana. Dia terus terpengaruhkan obat
pengganggu syaraf itu. Dia kaget waktu dia mendengar ada
yang memegatnya sambil membentak, terus orang
mengurungnya dengan mereka itu memperlihatkan golokgolok
telanjang.
"Berhenti !" demikian teriakan itu.
Hong Kun berhenti berlari. Ia melihat delapan orang
mengurungnya, ia mendelong mengawasi mereka itu,
mulutnya bungkam.
Semua orang mengawasi si anak muda yang rambut dan
bajunya bertanda bekas kebakar. Lalu See Sie menegur dingin
: "Bangsar, apakah kau masih berlagak pilon ?"
Dengan kelakuan orang separuh mengerti separuh tidak, si
anak muda balik bertanya : "Kenapa kalian memegat aku ?"
"Kau bekas terbakar, pastilah kau si penjahat yang melepas
api !" bentak seorang berseragam. "Kawan-kawan, mari kita
ringkus dia !"
Menyusul itu enam buah golok menyerang berbareng
kepada Hong Kun. Anak muda itu segera menyambuti. Dia
terpengaruhkan obat tetapi ilmu silatnya tidak dilupakan
karenanya. Selekasnya pelbagai senjata beradu, nyaring dan
berisik suaranya. Dua barang golok lantas mental terbuang.
"Awas !" beberapa orang berseru, "Hati-hati !"
Mereka itu tidak takut, mereka maju pula. Yang goloknya
terlepas mencari dulu senjatanya itu.


Hong Kun berdiri diam, matanya mengawasi, pedangnya
dilintangi.
"Kalian menyerang aku, kenapakah ?" tanya dia, sikapnya
ketolol-tololan. "Kenapa kalian tidak mengenali aku ?"
Sementara itu tiba pula serombongan lain dari orang-orang
berseragam hitam itu. Mereka pada membawa obor hingga
wajahnya Hong Kun tampak tegas, tidak ada orang yang
mengenali si anak muda. Mereka tidak tahu yang anak muda
ini memakai topeng, sedang menyamar sebagai Tio It Hiong.
Sekarang, yang jadi pemimpin rombongan lantas menanya
: "Tuan, kau berani mengacau di Kui Hiang Koan ini, sudah
selayaknya kau berani memperkenalkan dirimu ! Beritahukan
nama besar tuan, nanti aku pergi melapor kepada majikan
kami !"
Di luar dugaan, orang itu berubah sikapnya menjadi lunak.
"Akulah Gak Hong Kun dari Heng San !" sahutnya si anak
muda seenaknya saja. "Siapa itu majikan kalian ? Suruhlah dia
datang kemari menemui aku !"
Tanpa disengaja, anak muda ini menyebutkan nama
aslinya. Dia tak ingat lagi yang dia lagi memalsukan Tio It
Hiong.
Semua orang berseragam itu berdiam saja, tetap mereka
mengurung. Cuma seorang yang diam-diam lari mencari Ciok
Peng, guna memberi laporan. Maka itu tak lama kemudian
Koay To si Golok Kilat sudah muncul bersama delapan orang
pengiringnya, yang pun hitam seragamnya. Bakan di belakang
dia ada Siang Kun Buan thung Liok Cim.


Ciok Peng sudah lantas mengasi si anak muda, yang
tenang habis kena terbakar dan tampan, bahkan dia
mengenali Tio It Hiong murid dari Pay In Nia ! Maka ia
menjadi heran sekali.
"Tio It Hiong Laote !" akhirnya dia menanya, "apakah
benar-benar kau hendak menyeterukan lohu ?"
Laote atau "adik tua" adalah panggilan hormat terhadap
anak muda yang dihargai. Sedangkan lohu adalah "aku" untuk
orang tua berbicara dengan anak mdua, artinya "aku si orang
tua".
Siang Kun Bu teng sebaliknya tetap tertawa tawar. "Hm !
Sekarang ini orang dan buktinya telah ada, tak usah dikuatir
yang kau nanti menggunakan lidahmu yang tajam untuk
menyangkal perbuatanmu ini !"
Liok Cim telah terluka dan rumah bercelaka, itulah satu
permusuhan yang besar sekali, sekarang dia justru
menghadapi musuh besarnya, maka dapat dia mengenali
musuhnya itu, sudah sepantas saja dia menyatakan
kemurkaannya. Hanya sayang, hutang itu dibebankan atas
dirinya Tio It Hiong karena dia tidak tahu musuhnya ialah Gak
Hong Kun !
Ciok Peng menghalangi sahabatnya itu. Ia takut, saking
gusar si sahabat nanti segera turun tangan. Dia pun maju
lebih jauh.
"Tio It Hiong !" sapanya, sebab pertanyaannya belum
memperoleh jawaban.
Gak Hong Kun mengawasi dengan mendelong. Dia tetap
tidak menjawab.


Salah seorang berseragam hitam menyela : "Ciok Loyacu,
bocah ini barusan menyebukan namanya sendiri ! Menurut
dia, dia she Gak, bukannya she Tio !"
Ciok Peng menjadi terlebih heran pula.
"Apakah dia menyebut juga namanya ?" tanyanya. "Apakah
namanya itu ?"
Orang yang ditanya berpikir keras.
"Ya, dia menyebutkan namanya." sahutnya. Lalu dia raguragu
dan suaranya terputus-putus. "Dia menyebut Gak. Gak,
entah, entah, apa, Jun".
"Hm !" Koay To si Golok Kilat memperdengarkan suara
dinginnya. Matanya mengawasi gusar pada orangnya itu,
hingga orang itu menundukkan kepala saking takut.
"Tio It Hiong !" Liok Cim menegur pula keras. "Tio It Hiong,
apakah kau tetap berpura-pura pilon ?"
Kali ini Hong Kun bagaikan terasadar, maka dia lantas
mengawasi dengan mata dibuka lebar, sinarnya bengis.
Dengan dingin dia berkata nyaring : "Buat apakah kau
pentang bacot keras-keras. Jika kau benar laki-laki, mari
sambut barang beberapa jurus ilmu pedang Heng San Pay ku
!'
Hong Kun menyamar menjadi It Hiong, tetapi disaat
dibawah pengaruh pil Thay Siang Hoang Hun Tan itu, dia ingat
hanya she dan namanya sendiri, partainya sendiri juga.


Mendengar jawaban itu yang berupa tantangan, Liok Cim
menjadi heran.
Dunia Kang Ouw ketahui baik Tio It Hiong murid dari Tek
Cio Siangjin dari Pay In Nia, kenapa dia sekarang ini menyebut
partainya ialah Heng San Pau dan tadi namanya Gak entah
apa Kun ?
Koay To Cio Peng pun heran sekali tetapi karena dia harus
memegang derajat supaya nama Kui Hiang Koan yang
tersohor puluhan tahun tak jadi jatuh mata, dia perlu
membekuk dahulu anak muda ini. Dia pula tahu semua
orangnya bukanlah lawan dari si anak muda, jadi perlu ia
turun tangan sendiri.
"Anak muda !" bentaknya, "tak perduli kau orang macam
apa, karena kau telah mengacau disini, kaulah musuh lohu !
Lihatlah golokku !'
Kata-kata itu dibarengi dengan satu serangan. Karena
golok diputar, Hong Kun seperti juga lantas kena terkurung
atau ketutupan sinar senjata tajam itu.
Melihat kesehatan dan kelincahannya, tak kecewa Ciok
Peng memperoleh gelarannya Koay To si Golok Kilat.
Otaknya Hong Kun bagaikan sadar, selekasnya dia melihat
golok musuh menyambar berulang-ulang. Dia tidak mau
menangkis, dia hanya main berkelit hingga nampak
kelincahannya yang luar biasa. Tujuh kali dia berkelit, lima
tindak dia mundur. Setelah itu mendadak dia berseru-seru :
"Aku Tio It Hiong ! AKu Tio It Hiong ! Kenapa kalian
menyerang aku ?"
Ciok Peng menunda penyerangannya !


"Bukankah kau yang melepas api menerbitkan kebakaran ?"
tegurnya. Dan dengan goloknya dia menunjuk ke tempat
dimana api masih berkobar-kobar.
Hong Kun berpaling ke tempat kebakaran.
"Kamu yang melepas api membakar aku !" katanya nyaring.
"Sekaragn kamu mau menyangkal itu ?"
Pil beracun membuat pikirannya anak muda ini kacau tak
karuan. Sealgi dia memperdengarkan suaranya itu keras, dia
pun lantas menyerbu rombongan orang-orang berseragam
hitam !
Dua orang maju menangkis dengan golok guna
menghadang, tetapi golok mereka kena disampok terbang,
menyusul mana si anak muda berlompat lari nyeplos diantara
dua musuh itu yang tak berani merintanginya. Dia kabur keras
sekali.
"Kejar !" teriak Ciok Peng yang menjadi panas hati. "Jangan
kasih dia lolos !" Dan dia mendahului berlompat lari mengejar.
Liok Cim turut mengejar, hanya ia memencar
rombongannya.
Hong Kun kabur, tanpa tujuan. Dia lagi langsung ke depan,
maka itu dia mesti melewati beberapa pendopo, beberapa
halaman terbukan dan taman-taman bunga kecil. Dia lari dan
berlompatan mirip seekor rubah atau tupai.
Di sepanjang jalan itu, selalu ada orang yang melintang,
yang menghadang, tetapi semua dapat dilewati, baik karena
senjatanya diterbangkan maupun karena mereka dilukai.


Malam itu sunyi tetapi sekarang berubah menjadi sangat
berisik, lonceng Kui Hiang Koan berbunyi nyaring tak hentinya.
Suara kebakaran pun riuh dan teriakan-teriakan serta
bentakan-bentakan menambah ramainya. Di dalam keadaan
berisik dan kacau itu, Hong Kun lari terus-terusan, sering kali
dia berlompatan. Toh disaat tak sadar itu, dia ingat mencari
tempat yang ruyuk dan celah untuk menyembunyikan diri.
Begitulah ketika ia melihat sebuah jendela terbuka, didalam
mana ada cahaya api yang terbayang diantara kain jendela,
sewajarnya saja dia lompat memasuki jendela itu dengan satu
lompatan "Ular Hijau Melintas Pohon".
"Oh !" jerit seorang wanita, menyusul mana suatu
hembusan angin yang keras menjurus ke mulut jendela itu,
kepada orang yang berlompat masuk !
Hong Kun terkejut. Tubuhnay telah tertolak keras hingga
dia terhuyung membentur tembok. Justru itu, api pun padam
secara tiba-tiba. Di dalam gelap dan sunyi, terdengar suara
berkeresekan perlahan dari orang yang tengah mengenakan
pakaian terburu-buru.
Hong Kun merasai kepalanya pening, dia sangat lelah.
Tengah sadar dan tidak, dia jatuh berduduk di lantai,
punggungnya menyender pada tembok. Bahkan dia terus
berdiam. Karena dia memejamkan matanya hendak tidur.....
Tidak antara lama, api di dalam kamar menyala pula.
Bahkan kali ini dengan terlebih terang, maka tegas nyata
tampak kamar itu seluruhnya. Itulah sebuah kamar tamu.
Pembaringan tertutup kelambu yang indah sebanding dengan
kamarnya seorang nona anak pahlawan atau putri bangsawan.


Kamar pula berbau harum, membangkitkan rasa gairah
sukma.
Setelah menyalanya api, tampak di depan pembaringan itu
berdiri seorang wanita yang bukan lain dari pada Sek Mo atau
Peng Mo, si Bajingan Es. Wajahnya ramai dengan senyuman
manis, matanya tajam jeli mengawasi seluruh kamarnya,
sedangkan tangannya masih merapihkan jubahnya.
Diatas pembaringan, yang kelambunya terpentang, rebah
seorang pria setengah tua, matanya dipejamkan, separuh
tubuhnya tertutup selimut. Dia rebah dengan diam saja, entah
lelah atau terlalu kantuk. Dia sampai tak menghiraukan bahwa
barusan ada orang yang lancang masuk ke dalam kamarnya
itu !
Siapakah pria itu ?
Dialah Couw Kong Put Lo si ahli So Lie Kang, kitab ilmu
awet muda. Dia berada bersama Peng Mo di dalam satu
kamar, dapat dimengerti bahwa mereka tengah berplesiran.
Ketika siangnya Ciu Tong dan Couw Kong Put Lo berselisih
disebabkan memperebutkan dia, Peng Mo yang cerdas lantas
memikir jalan guna mencari kepuasan dirinya. Ia berpokok
pada satu soal : Mendapati dua-dua pria itu atau hanya satu
diantaranya. Jalannya ialah ia meninggalkan kamar dengan
lompat keluar dari jendela. Ia tapinya tidak kabur terus hanya
bersembunyi di tempat gelap, matanya mengawasi ke jendela.
Ia melihat Couw Kong Put Lo menyusul keluar. Segera ia
menyampok dengan pukulan angin kepada pria itu, ia sendiri
menyingkir ke semak pohon bunga lainnya.
Couw Kong Put Lo seorang Kang Ouw ulung. Dia tak roboh
karena serangan pukulan angin itu. Dia berkelit dan sempat


melihat satu tubuh langsing berkelebat lewat. Dia lantas
menerka, itulah Peng Mo yang memanggilnya. Sebab
serangan angin itu tidak hebat. Ketika ia menoleh, dia melihat
Ciu Tong lompat keluar dari kamar. Dia tak ingin mengenai
serangan itu, dia menyingkirkan diri dari penglihatan orang.
Ciu Tong sebaliknya cuma mencari Peng Mo. Dia sebal dan
jemu terhadap Couw Kong Put Lo, dia justru hendak
menyingkir dari situ. Langsung dia lompat naik ke atas
genteng karena dia menyangka Peng Mo mengambil jalan itu.
Lacur baginya, dia berpapasan dengan See Sie dan jadi
bertempur karenanya !
Put Lo sebaliknya menyusul ke tempat kemana tubuh
ramping tadi menghilang. Segera ia melihat si nikouw tengah
mengawasinya. Ia lompat kepada wanita itu, terus keduanya
saling bersenyum. Di lain saat, si wanita telah dituntun diajak
jalan berbareng. Mereka melintasi sebuah taman, tiba di
sebuah kamar dimana tampak sinar api. Mereka melongok di
jendela dan menyaksikan sebuah kamar dengan perlengkapan
indah. Dengan berani keduanya memasuki kamar itu !
"Sungguh kamar yang indah, cocok untuk kita !" Put Lo
kata tertawa.
Peng Mo mengiringi tawa itu.
Di saat sepasang merpati ini menikmati lakon asmaranya,
mereka tidak tahu apa yang telah terjadi diluar, mereka tak
mendengarnya. Mimpi sedap mereka baru terganggu loncat
masuknya Hong Kun. Peng Mo yang menyerang, terus dia
menyalakan lilin. Selekasnya dia mengenali orang itu ialah
orang yang lagi ia cari seperti dalam impian, perlahan-lahan
dia menghampirinya.


Luar biasa Hong Kun, cepat sekali dia telah tidur pulas dan
menggeros.
Hatinya Peng Mo berdebaran. Ia sudah mengambil
keputusan, Couw Kong Put Lo mau ditinggal pergi, sebaliknya
Hong Kun mau dibawa lari. Hanya belum lagi ia bekerja,
mendadak ia mendengar daun pintuk diketuk keras dua kali,
terus terdengar suara orang berkata : "Tetamu kami, harap
suka membuka pintu !" Disebelah itu terdengar suara orang
lainnya : "Aku lihat bocah itu lari kemari, lantas dia lenyap !
Mestinya dia berada di dalam kamar ini !"
Peng Mo berdiam, Couw Kong Put Lo sebaliknya.
"Siapa ?" tanyanya lagi. "Siapa yang mengetuk pintu ?"
Tanpa menanti jawaban, Peng Mo menyambar tubuhnya
Hong Kun buat diangkat dan dipondong dibawa lari
bersembunyi ke belakang pembaringan.
"Buka pintu ! Lekas !" demikian terdengar suara.
Terpaksa Put Lo turun dari pembaringannya, dengan
tindakan tak tetap ia menghampiri pintu dan membukakan.
Maka segera ia melihat serombongan orang berseragam
hitam, yang semua membekal senjata tajam.
"Hei, bagaimana ini ?" tanya Put Lo tak puas. "Malam gelap
gulita begini, kenapa kalian mengganggu tidurku ?"
"Maaf, tuan !" berkata seorang sambil memberi hormat. "Di
dalam kamar tuan ini ada siapa lagi? Kami mendapat perintah
akan memeriksa setiap kamar !"


Put Lo tidak melihat Peng Mo, ia menerka orang sudah
pergi menyembunyikan diri, maka itu lantas ia memperlihatkan
sikap tawar.
"Kalian keluarlah !" bentaknya.
Beberapa orang itu saling mengawasi. Nampak mereka
tidak senang.
"Maaf, tuan" kata orang yang tadi, tetap sabar. "Kami
mendapat perintah membekuk seorang penjahat yang
membakar penginapan kami. Maka itu kami minta suka apalah
kau memandang pemilik kami, supaya kau sudi mengijinkian
kami melakukan pemeriksaan !"
Put Lo memperdengarkan tampang gusar.
"Di sini tidak ada si pembakar rumah !" katanya keras.
"Tidak ada orang lainnya ! Kalian mau pergi atau tidak ?" Ia
hendak menggertak rombongan itu.
Si pemimpin rombongan menghunus goloknya. Kata dia
terpaksa : "Tuan, karena tuan tidak sudi memberi muka
kepada kami, maaf !'
Rombongan itu turut menghunus goloknya masing-masing,
lantas mereka mengatur diri, bersiap-siap untuk menggeledah
!
Couw Kong Put Lo menjadi sangat tidak puas.
"Hm, hm !" ia perdengarkan suara dingin berulang-ulang.
"Kalian mencari mati kalian sendiri. Jangan kalian mengatakan
aku si orang tua telengas !"


Rombongan itu tidak menghiraukan ancaman, mereka
lantas menggeledah. Mereka tidak mendapati siapa juga.
Diantaranya tiada ada yang menyangka ke belakang
pembaringan......
Si pemimpin rombongan menjadi bingung. Dia heran dan
bercuriga. Tadi justru dia sendiri yang melihat si pelepas api
lari ke halaman ini. Pelepas api itu tidak ada ! Habis,
kemanakah ia itu menyingkir ?
"Kalian sudah memeriksa seluruhnya ?" tanyanya pada
kawan-kawannya.
"Sudah !" sahut rombongan itu, yang terus berkumpul di
belakang pemimpinnya ini.
Put Lo diam-diam girang dan heran. Girang sebab orang
tidak mendapatkan bukti, heran sebab dia menerka-nerka
kemana menyingkirnya Peng Mo. Tentang datangnya Hong
Kun, dia memangnya tidak tahu sama sekali.
"Cukup sudah kalian menggeledah ?" tanyanya bengis.
"Kalian sudah menghina padaku si orang tua ! Jangan kalian
harap akan dapat keluar pula dari kamar ini !"
Kata-kata itu ditutup dengan satu gebrakan pada meja
hingga meja itu pecah. Dengan bengis dia mengawasi
rombongan itu dan berulang-ulang dia memperdengarkan
suara dingin. "Hm ! Hm! Dia pula berdiri tegak dan keren.
Si pemimpin rombongan penasaran. Sebenarnya dia tak
kenal hati. Sikapnya mengancam dari tetamu membuat
orangnya bersiap sedia melakuka perlawanan.


"Coba periksa disitu !" perintahnya sambil menunjuk ke
belakang pembaringan.
Rombongan itu ragu-ragu.
"Periksa !" perintah si pemimpin. "Dia tentu bersembunyi
disitu !"
Justru itu tiba-tiba angin menghembus kelambu, lilin diatas
meja padam seketika. Maka gelaplah seluruh kamar. Justru itu
terdengar beberapa orang menjerit tertahan, terdengar juga
suara orang dan golok roboh ke lantai !
Lewat sekian lama, lilin telah menyala pula. Tiga orang
tampak berdiri, yang lainnya rebah malang melintang. Si
pemimpin baru saja melayap bangun, mukanya pucat pasi dan
merah padam bergantian sebab malu dan marah. Kamar itu
kosong. Kelambu belakang pembaringan tersingkap. Di situ
ada kamar pakaian. Yang heran, penghuni kamar tadipun
turut lenyap !
Pemimpin rombongan itu heran. Ia mendapatkan tidak ada
orangnya yang luka, walaupun mereka roboh dan rebah, cuma
golok mereka yang terlepas dan berserakan di lantai. Ketika
kawan-kawannya pada bergerak bangun, mereka semua
saling mengawasi dengan muka menyeringai saking likat.
Habis menjemput goloknya, mereka meninggalkan kamar
dengan mulutnya semua bungkam.
Peng Mo telah berlaku lihai sekali. Mendengar orang
hendak menggeledah belakang pembaringan, dia
mengeluarkan pukulan angin yang membuat pelita padam.
Menyusul itu, dia memondong Hong Kun berlompat
meninggalkan kelambu. Dengan sampokan lihai, dia


merobohkan rombongan itu. Maka mudah saja dia lari
meninggalkan kamar. Hong Kun tetap dikempitnya.
Couw Kong Put Lo, orang Kang Ouw berpengalaman. Ia
tahu apa artinya angin itu dan padamnya pelita. Tanpa ragu
sedikit juga, ia lompat keluar dari dalam kamar. Tak sudi dia
menjadi rewel dan pusing.
Peng Mo membawa Hong Kun lari sampai di jalan besar
ditepi rimba. Ia melihat sang fajar bakal segera tiba. Ia heran
mendapati Hong Kun menjublak saja. Dengan prihatin dia
menanya : "Saudaraku yang baik, kau kenapakah ?"
Hong Kun tidak menjawab, dia tetap berdiam saja.
Peng Mo heran dan menerka-nerka, lantas ia merogoh
sakunya mengeluarkan peles obat, mengambil tiga butir pil,
yang ia terus jejalkan ke dalam mulutnya si anak muda.
Itulah obat pemusnah racun dari Hong Gwa Sam Mo. Inilah
obat yang di Ngo Tay San ia banggakan terhadap Im Ciu It Mo
yang katanya dapat memusnahkan racun Thay Siang Hoang
Hun Tan.
Habis mengasi makan obat itu, Peng Mo tarik si anak muda
dibawa masuk kedalam rimba, di tempat yang terkurung. Di
situ ia suruh si anak muda duduk ditanah, terus ia menguruti,
akan mencoba meluruskan jalan darahnya.
Disaat itu Hui Hiang Koan sudah menderita kerugian
kebakaran. Kecuali istal, telah musnah beberapa ruang lainnya
yang berdekatan. Hanya akhirnya api dapat juga dipadamnkan
hingga tampak puing dan abunya saja, asapnya yang masih
mengepul......


Ciok Peng gusar dan mendongkol bukan main. Sia-sia
belaka ia mencari si orang jahat yang melepas api itu. Tetapi
ia memerintahkan orang-orangnya berjaga-jaga, melarang
orang masuk terutama keluar. Kerugian benda ia tak hiraukan,
yang hebat ialah nama baik Kui Hiang Koan akan tercemar.
Akhirnya Koay To beramai berkumpul di Toa tian, ruang
besar. Tetap ia bergusar.
"Setelah fajar, undanglah semua tetamu hadir diruang ini !"
demikian perintahnya. Ia masih hendak terus membuat
penyelidikan.
Ciu Tong sementara itu lolos juga dari kepungannya Dee
Sie sekalian sesudah dia menjebloskan diri ke dalam kamar
yang gelap gulita. Dia menjaga diri supaya tidak roboh keras
dan terluka. Untuk herannya, kakinya menginjak barang yang
lunak yang terus pecah. Kiranya dia jatuh diatas kasur.
"Aduh !" terdengar jeritan tajam tetapi halus.
Menyusul itu orang she Ciu ini terasampok tangan yang
halus yang membuatnya terguling jatuh ke lantai. Ia terkejut.
Ia menerka yang ia sudah jatuh diatas pembaringannya orang
perempuan. Ia merasai nyeri sekali tetapi ia menahannya. Ia
menutup mulut sedang otaknya bekerja memikirkan jalan lolos
! Matanya pun melihat kelilingan, tak perduli kamar gelap
sekali.
Tiba-tiba tampak cahaya terang ! Kiranya lilin diatas meja
telah ada yang menyalakan. Disitu berdiri seorang nona
dengan baju hijau, matanya berkesap kesip mengawasi
tamunya yang tak diundang itu. Terang dia kaget dan heran,
dia pula gusar.


Ciu Tong memandang nona itu, ia menoleh ke
pembaringan. Tampak ia jengah. Di situ tidak orang lainnya.
Si nona tetap berdiam saja, cuma tangannya memegangi
ikat pinggangnya.......
Ciu Tong berbangkit perlahan-lahan. Lega juga hatinya
mengetahui si nona sendirian saja. Lekas sekali timbullah
nafsu birahinya.
"Peng Mo lenyap, sekarang ada gantinya, nona ini !
Bukankah ini jodoh ?" demikian pikirnya. Maka lekas-lekas ia
merangkap tangannya memberi hormat pada nona itu seraya
berkata : "Nona, Kui Hiang Koan terbakar, nona ketahui atau
tidak ?"
"Hm !" si nona memperdengarkan jawabannya.
"Kui Hiang Koan kebakaran tetapi kau jatuh dari atas
genteng ke atas pembaringanku ! Benar bukan ?"
"Maaf, nona. Itulah tidak aku sengaja." kata jago Hek Keng
To itu. Ia merendah sendirinya sebab tak berani ia membuka
rahasianya.
Nona itu mengawasi dengan mata mendelik, lantas dia
tertawa.
"Kau... kau bukannya orang baik-baik !" katanya,
tangannya menuding. "Aku larang kau mengaco belo !"
Ciu Tong mengawasi, hatinya bekerja. Ia lantas duga si
nona siapa dan macam orang apa ? Adalah dia tahu hotel ?
Kalau benar dialah seorang nona ! Kenapa dia bersendirian
saja ? Biar bagaimana hotel adalah sebuah tempat dimana


naga dan ular biasa berdiam bercampuran ! Adakah diantara
dia orang Lang Ouw ? Gerak geriknya tak mirip-miripnya ! Toh
dia tenang, dia tak bingung.
Jago Hek Keng To ini menatap si nona, kata dia sungguhsungguh.
"Nona, aku orang baik atau jahat, nona dapat lihat
sendiri. Nona dapat menetapkannya. Bahkan mungkin ada
saatnya yang nona menyukai aku si orang jahat."
Nona itu balik menatap, ia agaknya kurang mengerti.
"Aku Ya Bie, aku tak menyukai orang jahat !" katanya
kemudian. "Orang yang aku sukai ialah seorang kakak Hiong
!"
Ciu Tong melongo. Tak mengerti ia akan kepolosan nona
tiu, hingga ia mau menerka orang benar-benar polos atau
tengah berlagak polos. Lalu ia bersenyum dan maju satu
tindak, ia memberi hormat pula.
"Nona, kebetulan sekali kita bertemu disini !" katanya. "Di
empat penjuru lautan, manusia itu sebenarnya bersaudara !
Nona, aku mohon bertanya she yang mulia serta nama besar
dari nona ! Bagaimanakah aku harus memanggilnya ?"
Nona itu mengangkat kepalanya. Dia berpikir. Tiba-tiba dia
tertawa.
"Namaku Ya Bie !" katanya pula kemudian. "Pernah kau
dengar atau tidak ?"
Ciu Tong mengernyitkan alisnya, otaknya berfikir keras. Ia
mengingat-ingat namanya orang-orang Kang Ouw yang ia
pernah kenal dan dengar. Mana ada yang bernama Ya Bie.


Nama itu aneh ! Belum pernah ia mendengarnya ! Maka ia
heran sekali.
Si nona mengawasi, tanpa menanti jawaban lagi ia berkata
pula : "Ya Bie dari Ceng Lo Ciang ! Aku datang dari
pegunungan Ceng Lo Ciang itu ! Masihkah kau belum pernah
mendengarnya !"
Ciu Tong terpaksa menggeleng kepala, agaknya dia
bingung.
"Maafkan aku nona yang aku kurang pendengaran dan
penglihatanku kurang luas" demikian katanya. "Menyesal aku
belum pernah mendengar nama nona. Walaupun demikian
kita toh dapat menjadi sahabat bukan ?"
Ya Bie memperlihatkan tampang tidak senang.
"Jika kau tidak tahu ya sudah " katanya. "Memangnya
siapakah yang menginginkan kau ketahui nama nonamu ini ?"
Ciu Tong sebaliknya tertawa. Dia maju lagi dua tindak.
"Aku menyesal nona, aku mohon maaf yang aku tak
mengenal nona !" kata dia hormat. "Aku girang yang sekarang
telah aku mengetahuinya !"
Ya Bie polos, pengalamannya sangat sedikit. Melihat
tingkahnya Ciu Tong, ia tertawa sendirinya.
"Ah, kau benar orang tak punya muka !" katanya.
"Terhadap seorang wanita kau bicara bergula begini manis !"
Senang hatinya Ciu Tong. Ia menyangka si nona
menyukainya. Maka maulah ia bergurau.


"Nona, sabuk hijaumu indah sekali !" demikian pujinya
mengangkat-angkat. "Nona, dari bahan apakah kau
membuatnya ?" Lalu dengan berani dia mengulur tangannya
akan meraba sabuk dipinggangnya nona itu. Tapi dia bukan
meraba atau menoel, mendadak saja dia terus menotok jalan
darah "Yauw hiat" nona itu.
Ya Bie berseru kaget, baru setengahnya ia sudah roboh
lemas.
Tak terkirakan girangnya Ciu Tong. Dia telah berhasil
membokong nona yang polos itu, yang kecantikannya sangat
menggiurkannya. Maka dia tertawa terbahak-bahak. Kemudian
tanpa ayal lagi, dia membungkuk akan memondong,
mengangkat tubuh si nona guna dipindahkan ke atas
pembaringan. Bahkan dengan kecepatan luar biasa, dia pun
meloloskan sabuk hijau nona itu, hingga usahanya tinggal satu
tindak lagi....
Sekonyong-konyong jago Hek Keng To ini menjadi kaget
sekali. Sabuk hijau itu memperlihatkan cahaya berkilau. Saking
kagetnya dia mencelat mundur tiga tindak, matanya
mengawasi mendelong terhadap sabuk itu yang dirabanya
bukan terasa sebagai kain.....
Mengawasi terlebih jauh, Ciu Tong menjadi terlebih kaget
hingga dia bergidik jeri.
Sabuk itu ternyata seekor ular yang sekarang kedua biji
matanya memain bercahaya merah seperti darah. Begitu pun
merah juga lidahnya yang pastinya beracun sebab itulah ular
hijau yang disebut ular bunga laut. Cuma Ciu Tong belum tahu
ular itu ular apa, dia hanya menyangka....


Ular itu melingkar ditubuhnya Ya Bie, kepalanya diangkat,
matanya mengawasi manusia dihadapannya, lidahnya tetapi
diulur keluar masuk.
Walaupun dia jatuh, Ciu Tong bersiap sedia andia kata
binatang itu lompat menyambarnya. Sesudah lewat sekian
lama, ia mendapati sang binatanga hanya diam melingkar,
hatinya menjadi tenang. Dia tak berkuatir lagi seperti semula.
"Ha !" pikirnya, "sekiranya dia mengembara dengan
mengandali ularnya ini...Hm !"
Segera jago Hek Keng To itu menghunus pedangnya, tanpa
ragu pula ia menebas ke arah ular itu, ia tidak membacok
sebab bacokannya dapat mengenai tubuhnya si nona. Ia pula
tidak menikam karena kuatir tikamannya kurang tepat. Ia
telah memikir, asal ular itu sudah mati, akan puaslah ia ! Ia
pun mau membinasakanulat itu sebab ia sangat mengilari si
nona. Bukankah si nona itu bagaikan daging angsa, bayangan
yang sudah disajikan di depannya ? Ia percaya ilmu silatnya
lihai, maka ia merasa pasti dapat ia membunuh binatang
beracun itu.
Baru pedang diluncurkan setengah atau Ciu Tong sudah
merasakan lengannya lengan kanan yang dipakai menebas itu
nyeri sekali, dan rasa sakit itu terus menyelusup ke ulu
hatinya. Karena itu, tidak dapat ia terus menggunakan
tenaganya untuk menebas ular itu.
Masih ada satu hal lagi, yang membuat disebelahnya nyeri
lengannya itu juga tubuhnya tertarik keras ke belakang,
hingga dia menjadi mundur limbung tiga tindak, hampir dia
terguling jatuh. Selekasnya dia sudah dapat menetapkan
tubuhnya, dia lantas menoleh ke belakang. Kembali dia


menjadi kaget sebab dia melihat siapa yang telah menariknya
itu ! Ialah seekor orang utan yang tubuhnya besar dan
berbulu tebal, yang mestinya bertenaga kuat sekali,
sebagaimana dia mudah saja dibetot mundur itu, sedang
matanya Bienatang itu yang bengis dipakai mengawasi
padanya secara menyeramkan !
Orang utan itu membuka lebar mulutnya hingga tampak
giginya atas dan bawah yang tajam, dia pula berPekik
beberapa kali, habis mana dia bukan menerkam manusia itu,
dia hanya lompat ke pembaringan untuk memondong bangun
tubuhnya Ya Bie.
Sebelumnya dia dikasih bangun dan duduk dipembaringan,
nona dari Cenglo ciang itu sebenarnya sudah lantas ingat apa
yang barusan terjadi. Tak ia lemah dan roboh, ia pingsan
sebentar saja, hingga ia menjadi tidak berdaya. Setelah sadar
ia lantas mengerahkan tenaga dalamnya. Ia pula
menggunakan Sin Kut Kang, ilmu memperciut tubuhnya.
Selekasnya sudah dapat menyalurkan seluruh darahnya,
bebaslah ia dari totokan pada jalan darahnya itu.
Ya Bie adalah Cianglo ciang adalah muridnya Kip Hiat Hong
Mo, walaupun dia belum pernah merasai atau menikmati
hubungan pria wanita atau suami istri, dia telah sering
melihatnya. Karena itu dia lantas mengetahui maksudnya Ciu
Tong. Maka dari bersikap tenang, dia menjadi gusar sekali Ciu
Tong hendak membukai pakaiannya. Itulah dia harus balas.
Dia polos tetapi dia cerdas bagaimana harus bertindak. Maka
dia berpura-pura masih lemas meskipun sebenarnya
kesehatannya sudah pulih seluruhnya. Dia merebahkan diri
sambil mengawasinya si pria, matanya mengintai.


Si orang utan tidak tahu niatnya sang majikan, dia muncul
secara tiba-tiba, melihat si nona terancam bahaya, dia
membetot Ciu Tong keras sekali.
Menampak demikian, Ya Bie lantas berlompat turun dari
atas pembaringan degnan sebab ia menjemput ularnya, hanya
waktu ia mengangkat kepalanya menoleh ke arah Ciu Tong,
pria itu lenyap entah kemana. Sementara itu kecuali sinar lilin,
kamar pun mulai diterangi remang-remang sang fajar. Justru
itu terdengar juga suara genta dan berisik dari Kui Hiang Koan
hanya samar-samar.
Ya Bie pergi ke jendela, dia menengadah langit. Katanya
seorang diri, perlahan : "Sekarang sudah terang tanah, dapat
aku cari dia ! Kemana juga kau pergi akan aku cari padamu.
Hendak aku membalas untuk perbuatan ceriwis dan kurang
ajarmu ini !"
Begitu berpikir begitu si nona bekerja. Ia memadamkan
lilin, terus ia lompat keluar jendela.
Si orang utan berlompat menyusul nonanya itu sambil dia
beberapa kali memperdengarkan Pekiknya.
Ciu Tong sementara itu keluar dari jendela dengan
pikirannya kaget. Dia sangat berduka, menyesal dan
mendongkol dengan berbareng. Dialah seorang Kang Ouw
yang berpengalaman, namanya pun cukup terkenal, bahkan
dia pernah menemukan orang segolongannya yang luar biasa
baik di jalan putih maupun di jalan hitam, akan tetapi kali ini
dia dibuat kecele oleh seorang Ya Bie yang dia belum kenal
sama sekali, yang namanya dia belum pernah dengar !
Siapakah nona itu ? Kenapa dia berikat pinggangkan seekor
ular ? Dan kenapa dia membawa-bawa orang utannya yang


bertenaga luar biasa itu ? Lagi pula nona itu dari golongan
manakah ?
Jilid 51
Biar bagaimana jago Hek Keng To ini sangat tertarik
kecantikannya Ya Bie. Sekeluarnya dari jendela, dia kabur
sembari otaknya bekerja keras. Maka itu dia lari tanpa arah.
Dia memasuki rimba. Kapan dia sudah melewati rimba itu dan
berada di jalan umum, baru dia terasadar karena angin pagi
yang halus meniup mukanya. Tapi dia baru sadar separuhnya
! Yang separuhnya lagi sadar setelah telinganya mendengar
suara genta !
Demikianlah bagaikan baru mendusin dari tidur nyenyak,
dia memasang mata melihat ke depan dan sekitarnya. Tibatiba
dia melihat dua orang dibawahnya sebuah pohon yanglie
yang besar. Itulah seorang berjubah pendeta tengah
menguruti seorang muda. Dia cuma melihat jubah, sebab
orang alim tengah membaliki belakang kepadanya. Sesudah
mengawasi sekian lama, dia merasa bahwa dia kenal jubah itu
serta potongan tubuh orang. Dia melengak terus dia
mengingat-ingat. Segera dia ingat kepada Peng Mo si Bajingan
Es. Tiba-tiba timbul rasa cemburunya. Tidak ayal pula dia
berlompat lari kepada nikouw itu.
Peng Mo menoleh kapan ia mendengar suara berisik di
belakangnya. Dengan begitu ia menjadi melihat dan
mengenali jago dari Hek Keng To itu. Lantas saja ia mengasi
suara menghina dari hidungnya. Cuma sebegitu, terus ia tak
menghiraukan orang. Ia terus melanjuti dayanya membantu si
anak muda guna meluruskan saluran jalan darahnya.


Ciu Tong telah datang cukup dekat, maka dia lantas
mengenali si anak muda sebagai Tio It Hiong dari Pay In Nia.
Dia tak tahu yang Hong Kun sudah menyamar sebagai
muridnya Tek Cio Siangjin. Dia kaget hingga dia mundur dua
tindak. Segera dia menghunus pedangnya, sambil menunjuki
si anak muda dia membentak : "Eh, orang she Tio, kau telah
menipu dan membawa kemana Tan Hong adik seperguruanku
?"
Jago Hek Keng To ini tidak cuma menanya, bahkan dia
terus maju pula sambil membabat dengan pedangnya itu !
Peng Mo terkejut. Karena ia melihat gerak gerik orang,
mudah saja ia menyampok pedang orang itu.
"Tahan !" bentaknya dingin.
Ciu Tong tertawa, walaupun pedangnya kena dibikin
terpental tapi syukur tak lepas dari tangannya. Biar bagaimana
dia menyukai nikouw ini. Bukankah diatas kereta kudanya
telah bergurau secara gembira sekali. Bukankah selama itu dia
terus duduk berendeng dengan wanita cantik itu ? Sampai
saat ini kesannya tetap baik. Maka juga suka dia mengalah.
Dia telah disampok pedangnya dan dibentak, tetapi dia masih
dapat bersabar. Demikianlah dia dapat memaksakan dirinya
tertawa.
"Su thay, apakah su thay kenal bocah ini ?" begitu dia
tanya.
Peng Mo melirik sambil mendelik. Sahutnya dingin : "Dialah
muridnya Im Ciu It Mo ! Kau peduli apa padanya ?"
Ciu Tong melengak atas jawaban itu. Dia lantas mengawasi
meneliti jawabannya Peng Mo.


Ketika itu Hong Kun sudah mendusin dan sadar tujuh
bagian. Obatnya Hong Gwa Sam Mo dapat juga melawan obat
Thay Siang Hong Hun Tan. Ia melihat Ciu Tong dan akhirnya
dia itu ia berdiam saja. Ia pun tidak membuka mulutnya. Peng
Mo telah menyampok pedang orang.
Ciu Tong tetap mengawasi tajam, tetap dia tak dapat
membedakan It Hiong palsu dan It Hiong tulen. Maka dia
menganggap inilah pemuda yang menjadi musuh besarnya !
Musuh tak dapat hidup bersama, seperti si sesat dan si lurus,
tak dapat berdiri berdampingan ! Dia pula jelus karena gerak
geriknya Peng Mo menguruti pemuda itu ! Dendam kesumat
dan kejelusan bercampur menjadi satu membuat hatinya
sangat panas, hingga dadanya turun naik, mukanya merah
padam, otot-otot pada mukanya menonjol. Matanya merah
membara ! Timbul pulalah niatnya menyerang dan
membinasakan anak muda itu !
Peng Mo selalu memperhatikan orang sekalipun dia tengah
membantu Hong Kun, sering-sering dia melirik, maka itu dapat
ia melihat sikapnya Ciu Tong itu. Diam-diam ia terkejut.
Segera ia menunda usahanya membantu Hong Kun, terus ia
menoleh seraya bangkit berdiri.
"Kau mau apa ?" tegurnya. "Kenapa kau kelihatan begini
bengis ?"
Ciu Tong tengah dikuasai amarahnya, dia seperti tak
mendengar suaranya Peng Mo itu, justru si Bajingan Es
bangun, justru dia lompat maju dan pedangnya terus dipakai
membacok kepalanya Hong Kun !


Peng Mo kaget luar biasa. Tak sempat dia menyampok
pedangnya jago Hek Keng To itu. Dia kaget sebab bagaimana
kalau si anak muda terbinasakan penyerang itu ?
"Traaang !" demikian satu suara nyaring, suara dari
beradunya senjata-senjata tajam, menyusul mana terlihat
percikan api pada meletik, dua sinar pedang lantas berpisah
serta berpisah juga dua sosok tubuh yang sama-sama
berlompat mundur !
Ciu Tong kaget dan heran ! Peng Mo terlebih heran pula !
Itulah Hong Kun yang menangkis pedangnya jago Hek
Keng To itu. Dia telah memasang mata, dia cepat luar biasa,
maka juga selagi diserang itu dia dapat menghunus
pedangnya dan menangkis serangan lawan sesudah dia
mencelat bangun dalam gerakannya "Lee Hie Ta Teng", Ikan
tamora meletik !
Ciu Tong mundur dengan kaget. Dia telah merasai
tangkisan yang keras sekali. Ini justru membuat dugaannya
makin kuat bahwa si anak muda ialah It Hiong adanya.
"Aku tidak salah mata !" pikirnya.
Peng Mo sebaliknya heran karena anak muda itu sadar
demikian cepat dan dapat mengelak ancaman maut itu. Ia
tahu orang sudah mendusin hanya tidak menyangka
tenaganya pulih demikian rupa.
Habis mundur itu, Ciu Tong segera maju pula. Dia tidak
takut bahkan dia makin penasaran. Maka dia menyerang pula.
Tapi baru pedangnya meluncur atau pedang itu sudah
tertahan, terlilit sesuatu yang berwarna hijau, membarengi


mana telinganya mendengar satu bentakan yang cempreng
merdu !
"Ah !" serunya terkejut. Segera dia menoleh. Lantas dia
menjadi terlebih kaget pula. Yang merintangi dia ternyata Ya
Bie adanya, dan ularnya si nona yang mengganggu
tikamannya itu !
Ya Bie mengasi lihat wajah murka tetapi toh ia terus ia
bersenyum ketika ia berkata sambil menanya : "Di tengah
malam gelap gulita kau telah menghina aku, itu masih belum
cukup. Kenapa sekarang kau masih hendak membinasakan
Kakak Hiong ku ?"
Berkata begitu, si nona melepaskan lilitan ularnya kepada
pedang lawan. Lantas ular hijau itu mengangkat kepalanya,
memperlihatkan lidahnya yang lancip dan tajam !
Ciu Tong menarik pulang pedangnya sambil dia mundur
satu tindak, tetapi dia terus menuding Hong Kun seraya
bertanya : "Pernah apakah kau dengan dia ?"
Ya Bie mendahului menjawab cepat : "Dialah kakak Hiong
ku !" Terus ia menghampiri Hong Kun, untuk berdiri
berendeng dengannya.
Selama itu Hong Kun pun berdiri diam sebab dia juga
merasa heran dengan munculnya secara tiba-tiba dari nona
itu.
Ya Bie melanjuti kata-katanya sebelum Ciu Tong berkata
pula : "Sebenarnya aku lagi mencari kau buat membikin
perhitungan ! Tapi sekarang aku telah bertemu dengan kakak
Hiong kun ini, baiklah, akan kau tidak sudi berurusan lebih
lama pula denganmu, kau maburlah ! Lekas !'


Justru itu, Peng Mo sambil tertawa menghampiri si nona.
Dia berdiri di depan orang.
"Adik Ya Bie, kau salah mengenali orang." katanya dengan
manis. "Dia ini bukannya Tio It Hiong."
Peng Mo lagi menggunakan akal bulusnya. Sebenarnya dia
belum pernah melihat sama sekali wajahnya asli dari It Hiong
maupun Hong Kun. Dia banyak jeri terhadap nona ini. Waktu
diluar kota Gakyang, dia bertemu dengan Ya Bie, disitu dia
mengetahui si nona ialah muridnya Kip Hiat Hong Mo yang
lihai dan dia telah menyaksikan sendiri halnya si nona pandai
ilmu sihir Hoan Kak Bie Ciu, bahkan Kim Lam It Tok yang lihai
yang menyamar sebagai Tok Mo, si Bajingan Racun kena
dipermainkan nona itu. Jadi dia pun tidak berani main gila
terhadap si nona. Maka ia menggunakan cara liciknya ini.
Ya Bie mengawasi Peng Mo, ia menggeleng kepala.
"Tak dapat aku percaya kau !" katanya selang sejenak.
"Sebab aku menemui Kakak Hiong, salalu aku melihat kau
berada bersama, kau berada disampingnya ! Apakah
bukannya kau hendak merampas Kakak Hiong ku ini ?"
"Sabar, adik". Peng Mo membujuki. "Jangan tergesa-gesa !
Apakah kau tak akan mendatangkan tertawaan orang kalau
kau memaksa mengakui orang sebagai Kakak Hiong mu ?"
Ya Bie heran. Ia jadi curiga. Maka ia mengawasi Hong Kun,
mengawasi lagi.
Selama itu Ciu Tong berdiri diam saja. Dia belum mau
mengangkat kaki walaupun si nona dari Cenglo ciang telah
mengusirnya. Ia menyaksikan tingkahnya Peng Mo itu, maka


tahulah ia yang Peng Mo pasti menyintai Hong Kun. Maka ia
menjadi jelus.
"Hm !" ia bersuara di dalam hati. Mau ia merusak usaha si
Bajingan Es. Segera ia membentak Tio It Hiong. "Tio It Hiong,
apakah kau masih berlagak pilon saja ? Jika kau tidak
serahkan adikku Tan Hong padaku, hendak aku mengadu
jiwaku dengan jiwamu !"
Sengaja orang she Ciu ini memutar pedangnya sehingga
terdengar siutan angin yang keras. Selama itu ia mengawasi
Peng Mo dan Ya Bie, menantikan sikapnya mereka itu. Tapi
mendadak ia menjadi kaget sekali. Tahu-tahu tubuhnya telah
terangkat dan terlempar jauh dua tombak ! Syukur dia hanya
jatuh duduk. Ketika terangkat itu, ia cuma merasa tubuhnya
tercekal dua buah tangan yang berbulu ! Sebab itulah si orang
utan yang melontarkannya !
"So Hun Cian Li, jangan ladeni dia !" Ya Bie berseru.
Si orang utan membuka mulutnya, dia mengangguk, terus
dia pergi ke belakang pohon.
Biar bagaimana Ciu Tong merasa nyeri. Tetapi dia tak
menghiraukan itu. Dia melanjuti akalnya memecah belah.
Sembari masih duduk numprah itu, dia berkata nyaring : "Tio
It Hiong, sungguh lihai akalmu menipu kaum wanita !
Perempuan siapa saja menginginimu, mereka seperti juga
seluruh yang menyerbu api !"
Peng Mo mendongkol. Ia tahu maksudnya Ciu Tong
berkaok-kaok itu ialah supaya Ya Bie percaya Hong Kun benar
It Hiong. Itulah bakal merugikannya. Kalau sampai si nona
merampas kekasihnya ? Maka dengan mata mendelik dan
menggertak gigi, ia mengawasi orang asal luar lautan itu !


Ya Bie menarik ujung jubahnya si nikouw.
"Dia itu orang jahat, jangan layani dia !" katanya sambil
menunjuk Ciu Tong.
Peng Mo berpaling. Lantas ia bersenyum.
"Adik Ya Bie, cara bagaimana kau ketahui dia itu orang
busuk ?" tanyanya.
Mukanya si nona menjadi merah, tandanya ia jengah.
"Tadi malam dia mencoba menganggu aku." sahutnya.
Terus ia tunduk sambil membuat main ularnya.
Peng Mo cerdas, ia mengerti kata-katanya si nona itu. Pasti
tadi malam Ciu Tong sudah mencoba main gila terhadap si
nona. Diam-diam, ia melirik pada Hong Kun, memberi isyarat
supaya anak muda itu pergi menyingkir. Ia sendiri lantas kata
pula pada si nona : "Bagaimana adik? Dia itu berani main gila
terhadapmu ? Dia berhasil atau tidak ?"
Ya Bie mengangkat mukanya. Parasnya masih merah. Dia
tetap likat. Sambil menggeleng kepala, ia kata keras : "Tidak !
Dia cuma....."
"Binatang itu sangat tak tahu malu !" berkata Peng Mo
sengit. "Kau harus ajar adat padanya, supaya tahu rasa."
Ya Bie menggeleng kepala.
"Barusan telah aku katakan." sahutnya. "Aku telah dapat
menemukan Kakak Hiong, maka itu biar aku beri ampun
padanya......"


Hong Kun sementara itu tak mengangkat kaki walaupun dia
mengerti isyarat Peng Mo. Dia justru memikir harus dia
mendapati Ya Bie.....
Peng Mo mendongkol melihat si anak muda tak mau pergi
hingga ia menjejak tanah terus sebelah tangannya
menyampok Ya Bie, di lain pihak tangan kirinya menarik Hong
Kun buat diajak lari keluar dari rimba itu !
Tiba-tiba Peng Mo kaget. Mendadak saja di depannya
muncul si orang utan menghadangnya. Tentu ia menjadi
berkuatir apabila ia kena dirintangi. Ketika barusan ia
menyerang Ya Bie, ia gagal, serangannya tidak mengenai
sasarannya, maka ia takut Ya Bie mengejarnya. Maka itu
dengan kedua tangannya terus ia menyerang So Hun Cian Li !
Si orang utan tak kena dihajar. Dia dapat berkelit.
Memangnya dialah seekor binatang yang cerdas dan ringan
tubuh, dia pula muridnya Kip Hiat Kong Mo, dia makin lincah.
Dia tak lari, dia tetap menghalangi dua orang itu, tidak peduli
Sek Mo menyerang terus beruntun beberapa kali.
Selagi Peng Mo menyerang terus pada So Hun Cian Li buat
merobohkannya atau sedikitnya buat membikin dia itu tidak
menghadangnya lebih jauh, tiba-tiba ada benda hijau melesat
kepadanya, ke arah tangannya.
"Aduh......!" dia menjerit seraya memegangi lengan kirinya,
tubuhnya terus roboh ke tanah terus dia merintih tak henti,
sedangkan keringat dingin membasahi dahinya !
Ya Bie bertindak menghampiri si nikouw, mulanya ia
menoleh kepada Hong Kun, terus ia kata kepada nikouw itu :
"Kakak Peng Mo, kenapa kau begitu bermuka tebal ? Kenapa


kau hendak merampas Kakak Hiong ku ini ? Nah, aku mau
lihat sekarang, kau masih berani mencoba merampasnya atau
tidak."
Peng Mo kena dipagut ular, racunnya binatang itu sudah
menyerang terus ke lengan bagian atas. Mulai naik ke sikut
atau pergelangan tangan, menjalar ke sebelah atas lagi
menuju ke paha. Tangan itu pun segera membengkak dan
memerah.
Peng Mo merasa nyeri sekali sampai tubuhnya
bergemetaran seluruhnya, kapan dia mendengar suara si
nona, dia mengangkat kepalanya mengawasi nona itu dengan
sinar mata membenci. Dia pun menggertak gigi. Dengan
tangan kanannya dia mengeluarkan peles obat pemunah
racun istimewa buaTan Hong Gwa Sam Mo, dengan mulutnya
dia membuka peles obat itu, untuk dengan cepat mengunyah
dan menelan beberapa butir diantaranya. Dia memikir obatnya
itu dapat menentang atau memunahkan racun si ular hijau.
Menyaksikan penderitaannya Peng Mo, Ya Bie merasa
kasihan juga.
"Obatmu itu mana dapat menolongmu......." katanya.
"Obatmu itu mana dapat memunahkan racunnya Siang Liong ?
Dengan memandang mukanya kakak Hiong, suka aku
membantu kau !"
Si nona mengeluarkan peles obatnya, buat mengambil
sebutir pil warna hijau yang terus ia jejalkan ke mulutnya si
Bajingan Es.
Ketika itu sudah terang tanah, matahari sudah melancarkan
cahayanya ke seluruh rimbah. Dari kejauhan terdengar
berisiknya suara riuh dari banyak orang. Lekas sekali tibalah


serombongan orang berseragam hitam. Tiba di hutan yangliu
itu mereka itu segera berpencar diri, buat mengurung Ya Bie
bertiga !
Seorang muda dengan pakaian singsat dengan diikuti dua
orang berpakaian hitam bertindak maju. Mereka menghampiri
sampai di depannya Ya Bie bertiga itu. Dia terus mengangkat
tangannya memberi hormat seraya memperkenalkan diri dan
bertanya : "Aku yang muda adalah See Sie ! Aku mohon
bertanya nona bertiga, apakah kalian adalah tamu-tamu dari
penginapan kami ?"
Ya Bie mengawasi orang, dia terus menoleh, tangannya
menunjuk, "Itu di kamar sebelah sana!"
See Sie mengawasi si orang utan di belakangnya nona itu,
dia heran hingga melongo.
"Di dalam kamarmu itu mana muat begini banyak orang
serta hewan itu ?" tanyanya.
Ditanya begitu, si nona tertawa.
"Kau menanya terlalu banyak !" sahutnya. "Kau usilan !"
See Sie heran sekali. Si nona dan kawan-kawannya itu
mengherankan ia, menimbulkan kecurigaannya. Diantara
mereka itu juga ada si orang utan yang tentunya liar.......
"Pemilik penginapan kami memerintahkan aku yang muda
datang kemari buat mengundang nona beramai datang
berkumpul di ruang besarnya" katanya. "Ada sesuatu yang
hendak didamaikan......"


Ketika itu Peng Mo bangkit berdiri ! Habis makan obatnya si
nona, nyerinya lenyap, bengkak lengannya kempes.
"Ada urusan apa pemilik hotel mengundang kami ?" dia
bertanya.
See Sie memperlihatkan tampang sungguh-sungguh.
"Apakah su thay beramai masih belum tahu ?" sahutnya.
Lantas dia menjelaskan. "Tadi malam Kui Hiang Koan telah
terbakar dan pemiliknya lagi mencari orang yang
membakarnya."
Si Bajingan Es tertawa dingin.
"Hotelmu terbakar dan kalian masih belum berhasil mencari
pembakarnya ? Hm !"
See Sie menajadi sabar. Sejak semula ia menguasai dirinya.
"Kalian mau pergi atau tidak ?" tanyanya gusar.
Dengan acuh tak acuh, Peng Mo kata : "Kau datang kemari
buat mengundang atau buat menawannya ?"
Sepasang alisnya See Sie bangkit berdiri.
"Hm !" diapun memperdengarkan suara dingin. "Kau tidak
sudi minum arak undangan hanya arak dendaan. Nah, kalian
lihatlah di sana ! Itu contohnya !
Peng Mo menoleh ke arah yang ditunjuk. Di sana tampak
rombongan orang berseragam hitam tengah menggiring Couw
Kong Put Lo. Ia melihat kekasihnya itu jalan dengan tunduk
saja serta tangannya di belakangkan. Mereka itu tengah


menuju ke ruang besar yang dimaksudkan. Semua pengiring
itu membekal golok. Ia heran.
"Couw Kong Put Lo lihai, kenapa dia kena ditawan
beberapa orang itu ?" demikian pikirnya. Atau mendadak dia
ingat halnya di belakang pemilih Kui Hiang Koan ada seorang
terahasia yang lihai, jago rimba persilatan yang sudah lama
hidup menyendiri.
Tak lama muncul pula satu rombongan lain lagi. Kali ini
orang yang digiring ialah Ciu Tong. Di dalam rombongan itu
terdapat juga beberapa orang dengan pakaian singsat
pertanda bahwa merekalah orang-orang Bu Lim rimba
persilatan. Yang paling menyolok mata adalah seorang
pendeta dengan jubah kuning.
Hanya sedetik itu Peng Mo mengenali siapa si pendeta.
Dialah Bu Kie dari Siauw Lim Sie, yang di dekat gunung Ngo
Tay San sudah pernah memegatnya. Semua mereka itu
berjalan sambil tunduk saja.
Ketika itu pun See Sie mengawasi Gak Hong Kun untuk
terus menanya : "Tuan, aku mengenal baik tampang tuan.
Siapakah guru tuan yang mulia itu ?"
See Sie ingat halnya ia pernah bertemu Tio It Hiong diluar
kota Gakyang. Ketika itu Liong Houw Siang Ceng Pendeta
Naga dan Harimau yang mau membalaskan sakit hati dari adik
seperguruannya yang sebelumnya telah menempur si anak
muda she Tio itu tetapi ketika itu gurunya Koay To Ciok Peng
telah memisahkan mereka kedua pihak dengan memberikan
keterangan bahwa musuhnya Liong Houw Siang Ceng adalah
musuhnya It Hiong yang memfitnah It Hiong bahwa mungkin
ada seseorang yang sudah menyamar menjadi Tio It Hiong.
Sekarang ia melihat Gak Hong Kun mirip dengan Tio It Hiong


yang ia pernah ketemukan di luar kota Gakyang itu cuma
sekarang ini "Tio It Hiong" berdiam saja maka karena ia
merasa heran, ia bukan menanya nama orang hanya nama
dan gelaran gurunya orang itu.
Gak Hong Kun tetap berdiri menjublek bagaikan tidak
mendengar pertanyaan orang, dia berdiam saja.
Melihat demikian Ya Bie tertawa.
"Kakak Hiong !" katanya. "Kakak, orang tanya kau kenapa
kau diam saja ?" Ia pun mengulur tangannya menarik ujung
tangan bajunya si pemuda.
Bagaikan orang baru mendusin, Hong Kun memutar tubuh.
"Apa ?" tanyanya singkat.
"Siapakah gurumu yang mulia itu tuan ?" See Sie
mengulangi pertanyaannya.
Hong Kun berpikir lalu jawabnya ayal-ayalan : "Aku yang
muda ialah Tio..... It Hiong murid dari Heng San...."
Itulah jawaban yang membukan rahasia sendiri. Habis
membelai Siauw Lim Sie, namanya Tio It Hiong menjadi
sangat tersohor hingga semua orang Kang Ouw atau rimba
persilatan tahu baik sekali yang ia adalah murid ahli waris dari
Cio Tek Siangjin dari Pay In Nia. Sekarang Hong Kun
menyebut nama It Hiong tapi dari Heng San.
Ya Bie pun heran.
"Kakak Hiong, jangan kau sembarang bicara !" katanya.
"Kenapa kau menyebut dirimu murid dari Heng San Pay ?"


See Sie sebaliknya tertawa. kata dia : "Nona
pengalamanmu tentang dunia Kang Ouw masih terlalu cetek.
Tuan ini telah membuat pengakuan tanpa disiksa lagi !" Terus
dia mengulapkan tangannya kepada kawan-kawannya seraya
menambahkan : "Aku mengundang kalian suka pergi ke ruang
besar kami !"
Di dalam keadaan seperti itu, Ya Bie dan terutama Peng Mo
tidak dapat menampik lagi, maka bersama-sama mereka
lantas berseragam itu mengiringi mereka.
Di tengah jalan si Bajingan Es atau Bajingan Paras Elok
mengasah otaknya. Dia heran sekali, dia bingung hingga tak
dapat dia memberi keputusan sendiri. Kekasihnya ini siapakah
? Dia benar Tio It Hiong atau hanya murid dari Heng San Pay
? Kalau dia It Hiong dialah murid dari partai kaum lurus,
kenapa dia turut Im Ciu It Mo, bahkan dia pergi ke Gwa Sek
Sie dimana dia melakukan penyerangan dan pembunuhan ?
Taruh kata dia telah makan Thay Siang Hoan Hun Tan tetapi
diapun sudah diberi obatnya yang mujarab, bukankah
kesadarannya telah pulih separuhnya ? Ya mustahil beginilah
Tio It Hiong yang orang sohor itu. Aneh ! Dia menyebut diri
Tio It Hiong, dia pun mengaku murid Heng San Pay !
Hampir meledak otaknya Peng Mo walaupun dialah si
Bajingan cerdik dan licin. Dia baru berhenti berfikir ketika dia
dikejutkan suaranya See Sie : "Sudah sampai !" Dia
mengangkat kepalanya dan melihat pintunya sebuah ruang
besar berada dihadapannya.
Segera juga mereka bertindak memasuki ruang besar itu,
yang benar-benar luas sekali. Di dalam situ telah kedapatan
banyak orang duduk berkumpul, pria dan wanita, tua dan
muda. Dari dandanannya mereka itu semua, terang sekali


mereka ada dari pelbagai golongan, orang-orang Kang Ouw,
saudagar, pemuda tukang berfoya-foya, pembesar negeri dan
nyonya-nyonya hartawan atau berpangkat.
Di tengah ruang tergantung sehelai tirai sulam yang lebar
yang ujungnya nempel dengan lantai. Di empat penjuru
dinding terdapat lentera-lentera berkaca, juga pelbagai pigura
lukian dan tulisan. Suasana ialah kemewahan merangkap
kewibawaan.
Di depan tirai itu terdapat beberapa buah kursi, yang
semua ada orang-orang yang duduki. Diantarany Koay To Ciok
Peng si Golok Kilat, Bu Eng Thung Liok Ciu si Tongkat Tanpa
Bayangan, serta seorang nikouw setengah tua yang berjubah
warna gwee pee, putih rembulan, yang wajahnya cantik.
Ciok Peng lantas memasang mata selekasnya dia melihat
tibanya rombongannya Ya Bie ini, terutama ia mengawasi
Peng Mo, si nona serta orang utannya yang besar itu.
See Sie menghampiri gurunya, buat memberi hormat
seraya memberikan laporannya halnya beberapa orang ini
telah ditemui didalam hutan yangliu. Kemudian dia mundur ke
samping.
Ciok Peng mengangguk.
"Apakah tamu-tamu yang diundang sudah hadir semuanya
?" tanyanya.
"Kira-kira sudah semuanya." sahut seorang yang baru
berbangkit habis dia batuk-batuk dan mengangguk. Dialah
pengurus hotel yang memelihara janggut seperti janggut
kambing dan bajunya thungsha yaitu baju panjang.


Kemudian pengurus hotel ini berpaling akan menghadapi
sekalian tetamunya, tiga kali tangannya ditepuk, hingga
sunyilah ruang yang besar itu. Tadinya ada beberapa orang
yang ramai berbicara. Kembali dia batuk-batuk, baru dia
berkata : "Para hadirin ! Hotel kami telah terbakar, kalian
tentu telah ketahui ! Pastilah tadi malam kalian menjadi kaget
sekali, hingga kalian terganggu dalam impian sedap kalian !
Sudah begitu sekarang ini kami pun membuat capek pada
kalian dengan mengundang kalian hadir disini ! Para hadirin
buat semua itu atas nama pemilik, kami menghaturkan maaf."
Kuasa ini berhenti sejenak, lantas dia menambahkan :
"Kebakaran ini cuma memusnahkan istal serta beberapa
kamar yang berhubungan. Jadi itulah kerugian yang tidak
berarti, hanya disebelah itu ada sesuatu yang penting. Itulah
nama baiknya Kui Hiang Koan selama beberapa puluh tahun.
Dengan sambil mengucap banyak berterima kasih kepada
sekalian orang gagah kaum Kang Ouw dan Bu Lim, belum
pernah kami terganggu. Sekalipun sehelai bulu ayam atau
selembar kulit bawang. Itu artinya belum pernah ada orang
yang berani melanggar aturan kami !"
Kata-kata yang terakhir ini diucapkan secara tandas. Selagi
mengucapkan itu, pengurus hotel itu mengawasi hadirin.
Setelah itu dia melanjuti dengan suaranya yang dibesarkan :
"Sekarang para tamu sudah hadir dalam ruang ini, maka itu
dengan ini jalan kami mohon bantuan berharga dari kalian
untuk mencari orang yang melepas api itu."
Kata-kata itu diakhiri dengan seluruh ruang sunyi senyap.
Ciok Peng menantikan sekian lama, dengan perlahan dia
bangkit dari kursinya. Dia menghadapi para hadirin untuk
memberi hormatnya, kemudian baru dia bicara, suaranya
dalam : "Semenjak dibangun, Kui Hiang Koan bekerja untuk


para tamunya yang datang dari delapan penjuru angin, dan
selama itu, segala aturannya yang dikeluarkan pasti
dilaksanakan sebagaimana layaknya. Apa lacur, tadi malam
toh ada orang yang mengacau, mengganggu kami dengan
orang itu melepas api melakukan pembakaran ! Justru itulah
perbuatan yang melanggar peraturan kami ! Maka itu
sekarang aku minta yang melepas api, sukalah dia jangan
merembet-rember lain orang, sudi apalah dia mengajukan diri,
untuk bertanggung jawab ! Kau minta sahabat itu suka
bangun berdiri, dengan begitu lohu suka sekali bersahabat
dengannya, tetapi jika dia tidak mengenal persahabatan, dia
tetap menyembunyikan kepalanya, dia cuma mampu
menonjolkan ekornya, hm! Lohu tak dapat mengatakan apaapa
lagi..."
Dengan "lohu" aku si orang tua, Ciok Peng bicara dengan
merendah diri. Selagi ia berkata itu, matanya diarahkan tajam
kepada Ciu Tong dan Couw Kong Put Lo.
Kiranya dua orang berdiam saja sebab mereka telah kena
ditawan dengan "Kak Kiong Tiam-hoat", "Dititik di antara
udara". Tegasnya mereka ditotok dari jauh, tanpa tangan
mengenakan tubuhnya. Mereka sangat mendongkol tetapi
mereka tidak dapat membuka suara, cuma air mukanya saja
menunjuki bahwa hati mereka sangat panas.
Semua mata orang lain juga diarahkan kepada dua orang
itu, hingga sikap mereka itu menambah panasnya hati Ciu
Tong dan Couw Kong Put Lo, sampai sinar matanya seperti
berapi !
Hadirin berjumlah seratus orang lebih tapi ruang sunyi
senyap.


Lewat beberapa detik, tiba-tiba terdengar beberapa kali
suara memekik yang keras, terus tampak si orang utan
bertubuh besar itu bagaikan orang habis sabar, dia
menggerakkan tubuhnya, menarik-narik ujung bajunya Ya Bie,
kemudian kedua tangannya itu digerak-geraki memberi isyarat
buat mereka berdua mengangkat kaki !
Si nona juga agaknya hilang sabarnya, dia lantas berkata
dengan suara tinggi : "Kalau tak mempunyai kepandaian
menawan si pelepas api itu, ya sudah saja ! Kenapa kalian
hendak mengganggu kami semua ? Nona kalian mau pergi !"
Benar-benar Ya Bie menarik si orang utan bertindak ke
pintu besar.
Sesosok tubuh berkelebat cepat. Lantas tampak See Sie
menghadang di depan si nona dan orang utannya. Goloknya
dilintangkan !
Segera terdengar suara berat Cio Peng : "Nona, tunggu
dulu ! Nona, lohu ingin menanyakan sesuatu !"
Ya Bie tidak mau membawa tabiatnya yang gemar
bergurau atau jail, ia menarik si orang utannya, untuk
bersama-sama menghampiri Ciok Peng. Ia berdiri tegak untuk
terus berkata : "Kau mau bicara apa dengan nonamu ?
Mustahilkah kau menyangka aku si pelepas api itu ?"
Liok Cim tidak puas mendengar pertanyaan jumawa itu.
"Hm !" dia memperdengarkan suara dinginnya. "Budak liar,
usiamu masih begini muda, kenapa mulutmu sudah belajar
nakal ?"


Ya Bie gusar mendengar teguran itu, alisnya terbangun,
matanya dibuka lebar.
"Si orang tua, dia toh cuma pandai memaki orang !"
katanya tajam. "Segala penjahat membakar rumah saja tak
mampu membekuknya ! Dengan kepandaian semacam itu
bagaimana urusan yang kecil begini hendak dibesar-besarkan
? Cuma itu akan membuat orang tertawa sampai mati
karenanya !"
Ciok Peng lekas mengulapkan tangannya pada Liok Cim. Ia
melihat ular hijau dipinggangnya si nona, ia percaya ular itu
beracun, sedangkan di sini nona itu berdiri si orang utan yang
setinggi dan sebesar orang. Ia menerka orang bukan
sembarang orang, hanya ia tak dapat menerka pasti orang
dari golongan mana. Karenanya sejak tadi ia mengawasi saja
nona itu.
"Harap dimaklumi nona," katanya tertawa. "Lohu sudah ada
umur, mataku sudah kurang terang lagi, maka itu lohu tidak
ketahui nona dari perguruan mana dan apakah nama atau
gelaran nona yang mulia ?"
Di tanya begitu Ya Bie tertawa geli. Ia pun mencibirkan
bibir.
"Jika kau tidak tahu, sudah !" sahutnya. "Kalau kau mau
juga aku menyebut nama guruku, aku kuatir kau kaget dan
takut....."
Ciok Peng tertawa lebar, agaknya dia gembira.
"Tak ada halangannya, tak ada halangannya, nona !"
katanya. "Silahkan nona memberitahukannya !"


Justru itu si nikouw berjubah gweepee itu, yang usianya
setengah tua, campur berbicara, kata pada Ya Bie : "Pinni
mungkin dapat menerka beberapa bagian, nona ! Bukankah
guru nona itu ialah Touw Houw Jie Touw Losicu dari Cenglo
ciang ? Benar bukan ?"
Ya Bie girang pendeta wanita itu dapat menyebut nama
gurunya, dia tertawa.
"Oh, guru benar, kenalkah kau akan guruku ?" tanyanya.
"Sungguhlah kau yang dapat disebut banyak penglihatannya,
luas pendengarannya ! Kau bukannya seperti dua orang tua
bangka itu, mereka sembrono, mereka cuma pandai mencaci
orang !"
Nikouw atau nikouw itu ialah Hay Thian Sin ni dari Hay In
Am, biara Mega Laut di pulau Poau To San, Laut Selatan Lam
Hay. Karena dia telah menyampaikan kesempurnaan, di dalam
usia tujuh puluh lebih, sekarang wajahnya seperti orang
setengah tua saja. Dia hadir di Kui Hiang Koan ini bukannya
kebetulan saja, dia hanya memenuhi suatu undangan, guna
menemui pemilik hotel yang tersohor itu, si pemilik yang hidup
menyendiri, jago rimba persilatan yang terahasia, yang umum
menyebut saja Bu Lim It Hiap. Mereka hendak membicarakan
soal suasana penting dunia rimba persilatan, perihal ancaman
berbahaya bagai kaum lurus. Karena ia kebetulan berada di
hotel, ia jadi menghadiri pertemuan para penghuni hotel itu.
Ia bermata jeli, ia melihat kepolosannya Ya Bie.
"Nona, tahukah kau siapa si pelepas api itu ?" tanyanya
pula kemudian, lembut.
Ciok Peng dan Liok Cim sementara itu berdiam saja. Hati
mereka kurang nyaman. Di luar sangkaan, mereka


menghadapi seorang bocah muridnya si jago kesohor dari
Cenglo ciang.
Ya Bie menggeleng kepala.
"Aku tidak tahu" sahutnya singkat. "Aku hanya tengah
mencari kakak Hiong ku itu !"
Dan ia menunjuk kepada Hong Kun.
Hay Thian Sin Ni mengangguk
"Apakah nama lengkap kakak Hiong mu itu ?" tanyanya
pula.
Mukanya si nona menjadi merah. Dia likat sekali. Tapi
matanya membelalak.
"Dialah Tio It Hiong...." sahutnya.
Hay Thian Sin Ni telah melihat Hong Kon. Pemuda itu masih
meninggalkan bekas-bekas terbakar pada rambut dan
pakaiannya. Lalu dia kata pada si nona : "Kakak Hiong mu itu
telah melepas api, kenapa kau masih membelai dia ? Kau tahu
atau tidak bahwa dengan begini kau telah merusak nama
gurumu ?"
Hong Kun sementara itu sudah sadar separuhnya. Obatnya
Peng Mo membuat pengaruhnya Thay Siang Hoan Hun Tan
punah sebagiannya. Karena tenaga ingatan taknya tak murni
sewaktu dia sehat seluruhnya. Dia seperti mengerti hal yang
lagi diperbincangkan itu itu, lantas dia mengingat-ingat
terutama halnya dia bersembunyi diatas tenda kereta. Justru
berpikir itu, dia menoleh kepada Ciu Tong, mendadak dia


berludah : "Cis ! Dia, dia ! Itulah dia !" Dan ia menunjuk pada
jago Hek Keng To itu, suaranya berhenti secara tiba-tiba.
Tiba-tiba tangan kanannya Hay Thian Sin Ni diangkat, terus
dilancarkan ke arah Ciu Tong dan Couw Kong Put Lo. Dengan
demikian ia melakukan penyerangan dengan ilmu "Kek Kiong
Tiam hoat," terhadap dua orang itu.
Dengan mendadak itu dua-dua Couw Kong Put Lo dan Ciu
Tong pada mengeluarkan nafas lega. Sedetik itu juga, mereka
sadar dan pulih ingatannya. Maka itu mengertilah mereka
akan lihainya si pendeta perempuan hingga di dalam sekejap
lenyaplah penasaran dan dongkolnya.
Ya Bie sebaliknya, menarik ujung bajunya Hong Kun. Dia
tak sabaran.
"Kakak Hiong, bicaralah !" katanya. "Kakak kenapa kau
diam saja ?"
Pikirannya Hong Kun kacar tapi suaranya si nona
membuatnya sadar, hatinya terus goncang. Atas kata-kata si
nona, ia lantas berkata : "Menurut apa yang aku yang muda
ketahui tidak ada orang yang sengaja membakar istal itu,
cuma benda yang ditaruh didalam keretanya saudara itu
menyala sendiri....."
Ciu Tong adalah orang yang ditunjuk Hong Kun. Dia kaget
dan menjadi gusar sekali. Maka dia berteriak : "Apakah kau
bocah yang membakar barang berharga itu ? Jika kau tidak
bicara dengan terus terang awas ! Kau harus mengganti
dengan jiwamu !"
Ciok Peng puas menyaksikan pembicaraan dua orang itu. Ia
mulai dapat menduga-duganya hal! Maka ia tertawa, terus ia


kata manis : "Kita semua ada orang-orang Kang Ouw,
sahabat-sahabat satu dengan lain ! Nah, silahkan duduk
supaya kita dapat bicara secara tenang !"
Dengan satu tepukan tangan Koay To membikin dua
berseragam hitam datang dengan beberapa buah kursi,
dengan begitu dia jadi mengundang Hong Kun beramai
berduduk bersama-sama.
Hong Kun masih berfikir keras, ia belum juga sadar
seluruhnya, tetapi ia ingat ingin membersihkan diri dari
tuduhan membakar istal, ada yang ia lupa waktu ia
memberikan penuturannya terlebih jauh.
Ciu Tong heran mendapat tahu barang penting yang ia
bawa itu dapat menyala sendiri. Ia melongo, memang ia
membawa itu dengan keretanya tetapi itulah barang titipannya
Im Ciu It Mo, tak berani ia membukanya, hingga ia tak tahu
juga rahasianya seperti keterangannya Hong Kun itu.
Kemudian ia ingat halnya ia sudah makan obat beracun dari
Tok Mo, bahwa setiap bula ia mesti makan obat pemunahnya,
atau kalau tidak, katanya ia bisa mati dengan tubuhnya bakal
rusan dan lodoh, darahnya bakal menjadi tanha, akan
akhirnya tinggallah kerangka atau tulang belulangnya. Bahwa
ia telah tiba di Kanglam ini, itulah sebab ia terpikat Peng Mo
hingga ia berniat berfoya-foya beberapa hari dengan nikouw
itu, sesudah itu baru ia melanjuti perjalanannya ke Hek Sek
San, siapa tahu urusan berupa sepeti onar besar ini ! Ia
menjadi bingung. Ia pikir kalau pulang ke Hek Sek San ia
bakal mati juga ! Maka ia duduk menjublak saja.......
Lewat sesaat Couw Kong Put Lo bangkit. Kata dia :
"Sekarang sudah terang sebab musababnya kebakaran,
perkenankanlah aku si orang tua memohon diri !" Ia bicara


terhadap tuan rumah tetapi ia melirik pada Peng Mo habis itu
ia bertindak ke pintu ruang besar itu.
Peng Mo masih memberati Hong Kun, sebenarnya belum
ada niatnya meninggalkan pemuda itu, akan tetapi keadaan
sekarang lain, terpaksa ia melegakan hatinya. Ia memang
harus segera berlalu dari Kui Hiang Koan. Maka itu ia berlalu
dengan mengikuti Couw Kong Put Lo, hanya selagi mau
memutar tubuh, ia melirik dahulu kepada si anak muda yang
ia gilai itu.
Semua hadirin lainnya menganggap urusan sudah beres,
satu demi satu mereka memohon diri meninggalkan ruang
besar itu.
Hay Thian Sin Ni diam-diam berkata dengan Ciok Peng :
"Hong Gwa Sam Mo muncul sendiri, sekarang dia agaknya
bersekongkol dengan orang yang menyamar sebagai Tok Mo
itu, mungkin ada maksudnya yang tertentu mereka datang
kesini........"
Ciok Peng terkejut.
"Su thay menganggap dia Tok Mo sendiri ?" sahutnya.
"Betul !" sahut sang nikouw. "Dialah si palsu !"
Ketika itu Ciu Tong merasakan seluruh tubuhnya kejang.
Lekas sekali keluar darah dari mulut, hidung. mata dan
telinganya. Darah hidup dan mukanya perlahan-lahan berubah
menjadi pucat kebiru-biruan.........
"Lihat ! Lihat !" berseru See Sie yang paling dulu melihat
keadaan tamu hotelnya itu yang dia tunjuk.


Semua orang heran.
Hay Thian Sin Ni segera menghampiri untuk melihat
dengan teliti muka orang serta darahnya yang mengalir keluar
itu, ia lantas menghela nafas dan kata : "Sicu ini mungkin
telah terkena racunnya Tok Mo palsu itu..... Jangan sentuh
padanya !"
Begitu tangannya berkelebat nikouw dari Lam Hay ini telah
mengeluarkan sebuah peles batu gemala dari dalam dimana ia
menuang semacam bubuk dengan jeriji tanganya, ia cipratkan
itu ke tubuhnya jago Hek Keng To itu, kepada tempat-tempat
yang mengeluarkan darah.
Selagi Ciu Tong diobati itu, mendadak dari luar Toa thia
terdengar siulan nyaring dan lama yang suaranya dapat
menggoncangkan hati. Ketika Hong Kun mendengar suara
aneh dan dahsyat itu, bagaikan orang sadar mendadak dia
berlompat sambil mencabut pedangnya, terus dia menyerang
Ciok Peng serta beberapa orang didekatnya Koay To !
Hebat serangan itu, walaupun dia lihai Ciok Peng toh kaget.
Hanya sebelum pinggangnya kena terbabat kutung maka
Trang ! Terdengar suara nyaring, tahu-tahu pedang itu sudah
terlepas dan jatuh di lantai !
Berbareng dengan itu terdengar pula suara aneh dan
dahsyat tadi. Hong Kun bagaikan disihir, dia berlompat dan
lari keluar ruang.
Hay Thian Sin Ni menyaksikan kejadian itu, dia
mengebutkan kebutannya seraya berkata : "Itulah ilmu
gaib......" Tapi belum berhenti suaranya itu, satu bayangan
orang sudah berkelebat dihadapannya, sebatang pedang
terbulang balingkan hingga mendatangkan hawa dingin yang


menggigilkan tubuh. Kilauannya pedang pun membikin
bayangan tak tampak tegas.
Ciok Peng semua kaget dan mundur, Hay Thian Sin Ni tidak
menjadi terkecuali tetapi Sin Ni mundur buat segera maju
pula, tangannya mengebut dengan kebutannya yang halus
dan lembut itu, yang sebaliknya mendadak kaku sebagai
tombak menghadang pedang itu !
Di dalam sekejap, pedang yang menyerang itu telah terlilit
kebutannya Sin Ni. Dengan begitu tampaklah pemiliknya
seorang nona yang cantik, tangan kirinya mengempit Ciu
Tong, tangan kanannya mencoba menarik buat meloloskan
pedangnya itu. Dia menggunakan jurus silat "Lek Poat Tay
San, Mencabut Gunung Tay San".
Hay Thian Sin Ni lantas mengenali Cio Kiauw In yang
matanya terbuka lebar tetapi mulutnya bungkam.
"Ah !" mengeluh pendeta itu terharu. Ia lantas melepaskan
libatan kebutannya pada pedangnya si nona, ia mundur satu
tindak.
Kiauw In tidak melihat siapa juga, dia menarik pedangnya
dan pergi berlalu !
Tiba-tiba terdengar pula satu suara nyaring, suara siulan
mulut. Siulan itu dimulai dengan panjang diakhiri dengan dua
yang pendek. Kapan Kiauw In mendengar itu, dia
menghentikan langkah di ambang pintu besar, dia berdiri
sebentar, dia melihat ke kiri dan kanan lalu terus dia
berlompat kembali !
Itulah Ya Bie yang menggunakan "Hoan Kak Bie Ciu" yang
lihai, membuat matanya Nona Cio bimbang hingga dia melihat


pintu besar itu seperti jurang yang penuh dengan kabut
hingga tak tampak jalanannya. Dia melihat ke sekitarnya, dia
bingung sekali.
Ya Bie tertawa habis ia menggunakan ilmunya itu, setelah
itu ia bersiul, menitahkan So Hua Cian Li maju membentur
pinggang kirinya Kiauw In, setelah mana dia roboh sendirinya.
Nona Cio terhuyung-huyung beberapa tindak, Ciu Tong
lepas dari kempitannya. Dia kaget, dia melihat kepada Ciu
Tong. Kiranya jago Hek Keng To itu lagi rebah disisinya.
Lekas-lekas dia menjemputnya buat dikempit kembali. Hanya
itu dia tidak tahu yang mau dia tolongi itu bukan Ciu Tong
sejati, hanya si orang utan !
Hay Thian Sie Ni menyaksikan peristiwa itu, dia memuji :
"Buddha Maha Pemurah. Nona, ilmu sihirmu lihai sekali tetapi
tak dapat kau membantu Ciu Tong ! Dia telah terkena
racunnya Im Ciu It Mo ! Dia telah membakar Kui Hiang Koan !
Biarkanlah mereka pergi !"
Lagi-lagi terdengar suara aneh dan dahsyat tadi datangnya
ke Toa thia bagaikan kilat cepatnya. Hanya kali ini di dalam
ruang yang besar itu sudah lantas tambah seorang yang
berbaju kuning dan rambutnya kusut awut-awutan, yang
matanya tajam, bengis luar biasa dan tangannya mencekal
sebatang tongkat panjang. Dialah seorang nenek-nenek yang
berdiri tegak.
Kiauw In mendengar siulan itu, mendadak dia lari ke sisinya
si nenek. Nampaknya dia seperti orang baru mendusin dari
tidur nyenyaknya. Si orang utan yang dikempitnya dia
haturkan kepada nenek itu.


Itulah Im Ciu It Mo si nenek lihai, hanya karena di Ngo Tay
San dia kalah bertempur ilmu tenaga dalam dari Pie Sie Siansu
maka perlu dia lekas-lekas pulang ke Hek Sek San untuk
beristirahat sambil mengobati diri, tetapi justru dia lagi
beristirahat ada orangnya yang mengabarkan bahwa kereta
barang yang dikendarai Ciu Tong telah menukar haluan, sudah
menuju ke Kang Lam, maka dia kaget. Terpaksa dengan
masih belum sembuh dia pergi menyusul dengan dia
mengajak Kiauw In. Di sepanjang jalan, dia mencari
keterangan sampai dia mendengar keretanya singgai di Kui
Hiang Koan.
Anda sedang membaca artikel tentang Cerita Silat : Iblis Sungai Telaga 4 dan anda bisa menemukan artikel Cerita Silat : Iblis Sungai Telaga 4 ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/09/cerita-silat-iblis-sungai-telaga-4.html,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Cerita Silat : Iblis Sungai Telaga 4 ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Cerita Silat : Iblis Sungai Telaga 4 sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Cerita Silat : Iblis Sungai Telaga 4 with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/09/cerita-silat-iblis-sungai-telaga-4.html. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar