Bemtrok Para Pendekar 1 [Lanjutan Anak Berandalan]

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Selasa, 13 September 2011

03 BentrokParaPendekar
Huo Bing Xiao Shi Yi Lang
Karya Gu Long - Gan K.H.
Lanjutan Anak Berandalan
Jilid 1 : Tujuh Orang Buta
Awal musim rontok, cuaca panas.
Sinar matahari menembus lubang-lubang kertas jendela, menyorot masuk menyinari kulit badan nan putih
halus bagai sutra. Suhu air sedikit lebih hangat dari sinar matahari. Ia sedang rebah santai dalam bak air,
dua kaki yang jenjang mulus diangkat tinggi-tinggi sambil menikmati hangatnya sinar matahari yang tepat
menyorot telapak kakinya. Cahaya nan lembut ibarat tangan kekasih yang mengelus badan.
Hong Si-nio sedang dirundung susah, hatinya gundah.
Setengah bulan ia harus pontang-panting, hari ini sempat mandi air panas, boleh dikata sebagai hari yang
paling bahagia, namun seseorang bila hatinya sedang gundah, banyak pikiran seperti Hong Si-nio saat itu,
rasanya tiada sesuatu persoalan apapun yang dapat menggembirakan hatinya.
Hong Si-nio bukan perempuan yang mau dikendalikan pera-saannya, kelihatannya hari ini ia benar-benar
risau, bimbang dan cemas.
Angin sepoi-sepoi di luar jendela, semilir membawa bau kembang. Di luar sana adalah perbukitan berbatu,
batu-batu berse-rakan.
Dua tahun lalu ia pernah berada di tempat ini.
Dua tahun lalu, seperti sekarang dalam rumah papan yang reyot ini sedang mandi, masih segar dalam
ingatannya, wak.tu itu hatinya amat gembira. Jauh lebih gembira dibanding sekarang.
Keadaannya sekarang rasanya tidak banyak beda dengan keadaan dirinya dua tahun lalu. Dadanya masih
kencang montok, pinggangnya masih ramping, perutnya masih rata mulus, sepasang paha kakinya tetap
mulus, kencang lagi mengkilap. Bola matanya juga masih terang menarik, bila tertawa tetap menawan,
begitu menggiurkan.
Dua tahun ia tetap merawat tubuhnya dengan baik, tidak menyia-nyiakan keindahan tubuhnya, menikmati
kehidupan ini. Ia masih senang menunggang kuda yang dilarikan kencang, memanjat gunung yang tinggi,

makan hidangan yang amat pedas, minum arak yang paling keras, memainkan golok yang tercepat,
membunuh orang yang paling dibenci. Pokoknya menikmati hidup, sepuas-puasnya menikmati kehidupan.
Namun sayang, ia sudah hidup sesuai hasrat hatinya, memburu kesenangan apa saja yang bisa ia lakukan,
namun ia tidak mampu mengusir rasa ‘sepi’ hatinya, rasa sepi yang meresap sumsum, ibarat kayu yang
keropos digerogoti rayap, raga ini seperti menjadi kosong.
Kecuali sepi, lebih parah lagi ia dijangkiti penyakit ‘rindu’. Rindu masa remaja, rindu masa lalu, dari segala
rindu nan rindu, semua bertumpu pada seseorang.
Walau ia tidak ingin mengakui, namun tiada orang lain di dunia ini yang dapat mengisi posisi orang itu di
relung hatinya.
Termasuk Nyo Khay-thay, tiada kesan sama sekali.
Ia sudah menikah dengan Nyo Khay-thay. Tapi malam itu juga ia minggat dari kamar pengantin.
Terbayang muka Nyo Khay-thay yang berbentuk kotak, sikap-nya yang sopan penuh aturan, cinta kasihnya
yang tulus, Hong Si-nio merasa bersalah, tidak semestinya ia mengingkari suami yang baik hati lagi jujur itu,
namun ia sendiri bingung kenapa semua itu ia lakukan.
Satu hal yang ia akui, ia tidak bisa melupakan Siau Cap-it Long.
Tak peduli ia berada di ujung langit, masih hidup atau sudah mati, ia tidak bisa melupakan perjaka itu,
selamanya takkan terlu-pakan.
Seorang perempuan kalau pujaan hatinya tidak berada di sampingnya, umpama tiap hari ia hidup berbaur di
tengah ribuan orang, ia masih akan tetap merasa kesepian.
Apalagi Hong Si-nio sudah berusia tiga puluh lima tahun, rasanya tiada rasa ‘sepi’ dan ‘rindu’ di dunia ini
yang bisa menyiksa hatinya, siksa yang tak tertahankan lagi.
Dengan terlongong ia mengawasi pahanya nan indah mulus, kulit badannya yang halus lembut, tanpa terasa
air mata berkaca-kaca di pelupuk matanya ... “Blang”.
Dalam waktu yang sama, jendela, pintu dan dinding papan jebol diterjang dari luar, berlubang tujuh delapan
bagian.
Bukannya kaget, Hong Si-nio malah tertawa.
Dua tahun lalu, juga saat ia sedang mandi, terjadi peristiwa yang sama.
Seperti dua tahun lalu, ia sedang rebah menikmati air hangat dalam baskom besar, dengan handuk sedang
menggosok lengan.
Mendadak air mukanya berubah, sungguh hatinya merasa aneh dan bingung. Karena orang-orang yang
mengintip dirinya mandi tenyata semuanya buta.
Dari tujuh lubang besar itu, tujuh orang melangkah masuk. Rambut panjang menghitam gilap, pakaian serba
hitam pula, kelo-pak matanya juga berlubang gelap, tangan kiri mereka memegang sebatang tongkat putih,
tangan kanan memegang kipas.
Begitu melangkah masuk tujuh orang buta berdiri mengelilingi Hong Si-nio yang sedang mandi dalam
baskom besar, wajah mereka tarnpak pucat, memutih tanpa perubahan air muka.
Hong Si-nio cekikikan geli, “Wah, si buta juga menonton aku mandi, memangnya gaya mandiku ini menarik?”
Tujuh orang itu pasti buta, mulut mereka juga bungkam, entah bisu atau tidak. Agak lama kemudian, barulah
seorang di antaranya buka suara, “Kau tidak berpakaian?”
Hong Si-nio masih cekikikan, “Waktu kalian mandi apakah berpakaian?”
“Baik,” ujar si buta tadi, “kami tunggu kau berpakaian!”

“Kalian buta, kan tidak bisa melihat aku,” jengek Hong Si-nio, “buat apa aku berpakaian.” Matanya
mengerling, lalu menyambung, “Terus terang aku merasa sayang bagi kalian, wanita cantik yang sedang
mandi seperti diriku, kalian tidak bisa menyaksikan, sungguh sayang, sungguh kasihan.”
“Tidak perlu dibuat sayang,” dengus si buta.
“Tidak merasa sayang?” Hong Si-nio menegas.
“Si buta juga orang,” kata si buta. “Tidak bisa melihat, tapi bisa meraba, bisa berbuat macam-macam.” Si
buta bicara kotor, jelasnya porno, tapi wajahnya kaku, nadanya serius. Sebab dia bicara jujur.
Mendadak Hong Si-nio menggigil meski tidak kedinginan, ia tahu orang macam apa mereka, berani bicara
berani melakukan.
Si buta berkata lagi, “Makanya jangan banyak bertingkah, kusuruh pakai baju, lekas kenakan pakaianmu.”
“Kalian mencari aku untuk apa?” tanya Hong Si-nio.
“Kami datang menjemputmu.”
“Lho, mataku melek, memangnya ikut orang buta malah?”
“Ya, benar.”
“Kemana pun kalian pergi, aku harus ikut?”
“Betul.”
“Kalau kalian jatuh ke dalam jumbleng (septic tank), aku juga harus ikut.”
“Betul.”
Melihat sikap si buta serius, Hong Si-nio tertawa geli malah.
“Omonganku bukan untuk ditertawakan,” nada si buta mulai mengancam.
“Tapi aku merasa geli.”
“Amat geli?”
“Berdasar apa kalian mengira aku pasti patuh pada omongan-mu.”
“Tidak perlu dasar apa-apa.”
“Kalian buta tapi tidak tuli. Memangnya kalian tidak pernah mendengar, bila Hong Si-nio sedang mandi,
senjata tajam selalu tersedia dan siap membunuh orang.”
“Kami memang pernah mendengar.”
“Sepertinya kalian tidak takut?”
“Bagi kami bertujuh, tiada sesuatu di dunia ini yang menakut-kan.”
“Mati juga tidak takut?”
“Kami tidak takut mati.”
“Kenapa?”
Muka si buta menampilkan mimik yang aneh, suaranya dingin, “Sebab kami pernah mati sekali.”

Tidak ada manusia mati dua kali.
Omongan brutaldan ngawur. Tapi kalau yang bicara si buta, pasti tiada orang bilang omongannya brutal,
karena dia bicara jujur, omongan nyata.
Kembali Hong Si-nio menggigil, seperti kedinginan saat rebah dalam air es yang hampir membeku.
Tapi perasaannya berontak, kalau takut digertak dan menurut perintah mengenakan pakaian, cewek ini
bukan Hong Si-nio.
Hong Si-nio menghela napas, “Orang yang mengintip aku mandi, pasti kubuat buta matanya, sayang kalian
sudah buta.”
“Ya, sungguh sayang,” jengek si buta.
“Untungnya aku tidak bisa membuat kalian buta sekali lagi, tapi aku bisa mernbuat kalian mampus sekali
lagi.”
Entah bagaimana, jari-jari tangannya menepuk air, di antara air yang muncrat, dari tengah jemari yang lentik,
beterbangan belasan sinar perak gemerdep.
Biasanya Hong Si-nio tidak suka membunuh orang, kalau kepepet dan harus bertindak tegas, tidak segan ia
membunuh lawan.
Jarum peraknya memang tidak selihai dan terkenal seperti jarum emas keluarga Sim, namun jarang gagal
menyerang musuh,
Sekali sambit empat belas batang jarum perak menyebar ke tenggorokan tujuh orang buta yang
mengelilinginya.
Kipas lempit di tangan para orang buta serempak dikem-bangkan, empat belas jarum perak mendadak
lenyap tak keruan parannya.
Di tengah kipas lempit ketujuh buta itu semua bertulis “Siau Cap-it Long harus mampus”. Warna merah,
merah darah yang menjijikkan.
“Sungguh kasihan Siau Cap-it Long,” kata Hong Si-nio, “kenapa banyak orang ingin kematianmu?”
“Memang dia pantas mati.”
“Kalian ada dendam dengannya?”
Muka si buta menampilkan rasa benci dan dendam. Tidak perlu dijawab, di antara mereka jelas ada
permusuhan mendalam.
“Jadi kalian buta lantaran perbuatannya?”
“Sudah kujelaskan, kami pernah mati sekali.”
“Begitukah?”
“Sekarang kami sudah bukan orang-orang yang dahulu, sekarang kami hanya orang-orang cacad yang
buta.”
“Dahulu kalian siapa?”
“Paling tidak kami punya nama yang disegani, sekarang orang-orang buta yang tidak berguna.”
“Jadi kalian berusaha membunuhnya.”
“Harus mampus!”
Hong Si-nio masih bisa tertawa, “Kalau begitu carilah dia, kenapa melurukku? Aku kan bukan bininya?”

“Kedatanganmu di sini untuk apa?”
“Bukit berbatu di sini adalah sarang penyamun. Kebetulan seorang temanku adalah berandal.”
“Kwi-to Hoa Ping maksudmu?”
“Kalian mengenalnya?”
“Pentolan utama dari kawanan berandal di Kwan-tiong, tokoh mana di Kangouw yang tidak mengenalnya?”
Hong Si-nio menghela napas lega, “Kalian tahu seluk-beluknya, nah, pergilah cari dia!”
“Tidak perlu!”
“Tidak perlu? Apa artinya tidak perlu?”
“Maksudnya, kalau kau ingin bertemu dengan dia, kapan saja aku bisa memanggilnya kemari.”
Hong Si-nio tertawa lebar, “Apa dia patuh kepada kalian?”
“Sebab dia tahu si buta juga bisa membunuh orang,” men-dadak ia mengulap tangan, suaranya kereng,
“Antar Hoa Ping masuk!”
Baru lenyap suaranya, dari luar pintu terbang masuk satu benda, Hong Si-nio mengulur tangan, ternyata
sebuah kotak kayu.
“Kelihatannya hanya sebuah kotak kayu?”
“Ya, sebuah kotak!”
“Kurasa Hoa Ping bukan sebuah kotak?”
“Kenapa tidak kau buka kotak itu!”
“Oh, Hoa Ping bersembunyi dalam kotak ini?” suara Hong Si-nio berubah kecut, ia sudah membuka kotak
kayu itu, isinya bukan orang, tapi sebuah tangan, tangan kanan yang berlepotan darah. Tangan Hoa Ping.
Tangan Hoa Ping buntung.
Gagang golok harus digenggam oleh jari-jari tangan. Seorang yang terkenal karena ilmu goloknya, kalau
tangannya buntung, bagaimana ia mampu mempertahankan hidup.
“Selama hidup aku takkan bisa bertemu orang ini lagi.”
“Sekarang kau harus mengerti,” tukas si buta, “kalau kau sendiri ingin mati, tidak harus kupenggal
kepalamu.”
Hong Si-nio manggut-manggut, ia mengerti, cukup paham.
“Maka kalau kurusak wajahmu, berarti kau juga sudah mati.”
“Maka aku harus patuh dan lekas berpakaian, lalu ikut kalian.”
“Ya, memang demikian.”
Hong Si-nio tertawa, “Kalian kawanan buta bajingan, apa tak salah lihat, kenapa tidak cari tahu dulu, Hong
Si-nio sudah hidup tiga puluh lima tahun, kapan pernah diperintah orang?”
Waktu memaki orang, wajahnya masih tertawa, kawanan buta itu sepertinya tertegun kaku.
“Kalau kalian ingin mengundangku ke suatu tempat, sedikit-nya harus tepuk-tepuk dan menjilat-jilat pantat,
lalu siapkan sebuah tandu, mungkin aku masih mau pikir-pikir.” Sampai di sini ia tidak melanjutkan
omongannya.

Karena pada saat itu, dari lembah bukit arah selatan berkumandang suara sempritan bambu yang aneh.
Disusul suara “Ting” yang berkumandang di luar pintu.
Kawanan buta mengerut alis, empat orang di antaranya mendadak menggerakkan tongkat putihnya, “Trap”,
empat tongkat itu menusuk amblas ke baskom yang terbikin dari kayu, secara silang menyilang mereka
mengangkat baskom gede itu.
Seperti memikul tandu layaknya, empat orang buta ini me-mikul Hong Si-nio yang masih rebah dalam
baskom dan bertindak keluar. Gerak-gerik mereka serempak, kaki tangan berbareng ter-ayun, mendadak
mereka sudah berada di luar pintu.
Di luar pintu ada seorang berdiri menghadap ke bukit dengan batu-batu yang berserakan, tangannya juga
memegang sebatang tongkat pendek. Tapi orang ini tidak buta, namun pincang karena kakinya yang satu
buntung. Tongkat pendek di tangan mengetuk sekali di tanah berbatu, “Ting”, dibarengi lelatu api. Tongkat
pendek itu terbuat dari besi. Begitu tongkat menutul tanah., badannya melejit jauh ke sana delapan kaki, dia
tetap menghadap ke sana, seperti malu melihat Hong Si-nio.
Hong Si-nio menghela napas, suaranya seperti mengigau, “Sungguh tak disangka, di sini aku bertemu
seorang Kuncu. Lelaki tulen yang tidak pernah melihat perempuan mandi.”
Di tengah semilir angin lalu, pakaian si pincang tampak melambai-lambai. Hanya sekejap bayangannya
sudah meluncur jauh. Seorang cacad yang pincang dengan kaki satu, ternyata dapat berjalan begitu cepat
melebihi orang normal.
Dua orang buta di kanan, dua yang lain di kiri memikul Hong Si-nio yang rebah dalam baskom kayu,
mengikuti si pincang dengan kecepatan tinggi, jalan pegunungan yang tidak rata tidak menjadi halangan, air
dalam baskom sedikit pun tiada yang muncrat keluar.
Tiap kali si pincang menutul tongkat besi di tanah, “Ting”, sigap sekali empat orang buta melejit ke sana
tanpa halangan.
Akhirnya Hong Si-nio paham. “Ternyata si pincang sebagai penunjuk jalan!”
Padahal ia tahu cewek cantik yang berendam di air hangat dalam baskom dalam keadaan bugil, jangankan
menoleh dan memandang dirinya, melirik saja tidak. Lelaki macam ini boleh diagulkan sebagai Kuncu yang
susah dicari dalam mayapada. Atau mungkin demi gengsi, tidak sudi melakukan perbuatan yang bisa
mengundang celoteh orang banyak.
Memangnya si pincang tokoh yang punya kedudukan? Mungkin juga dia pernah mati sekali?
Angin pegunungan di pertengahan musim rontok mulai terasa dingin.
Hong Si-nio mulai menyesal mestinya tadi ia berpakaian lebih dulu. Sekarang ia benar-benar kedinginan,
dalam kondisi seperti sekarang memangnya ia harus melompat keluar dari baskom dalam keadaan bugil.
Apalagi ia mulai tertarik dan ingin tahu orang-orang buta yang aneh ini sebetulnya hendak membawa dirinya
kemana? Apa yang akan dilakukan di sana? Minat ingin tahu bergolak dalam sanubarinya. Memangnya
Hong Si-nio suka kejutan, senang me-nempuh mara bahaya.
Orang-orang buta itu berjalan cepat cekatan tanpa bersuara.
Setelah hening sekian lama, Hong Si-nio buka suara pula, “Hei, tuan kaki satu di depan itu, kalau kau
seorang Kuncu tulen, copotlah baju luarmu untuk kupakai!”
Si pincang tetap tidak berpaling, bukan saja pincang, seperti-nya juga tuli. Umpama kepandaian Hong Si-nio
setinggi langit, menghadapi orang-orang buta lagi bisu, pincang lagi tuli, apa boleh buat, tak bisa apa-apa.
Jalan yang ditempuh menjurus turun ke bawah, setelah membelok di tikungan tajam, jalan mulai berputar
naik. Puluhan langkah kemudian mereka tiba di depan sebuah hutan bambu.
Memangnya kewalahan menghadapi orang-orang ini, Hong Si-nio malah tarik suara bersenandung,
“Menghentikan kereta di waktu malam, senang sekali duduk di luar hutan. Daun merah berguguran, bulan
mekar di bulan dua ....”
Mendadak terdengar berkumandang suara tawa merdu dari dalam hutan, suara runcing semerdu kelintingan

berkata, “Hong Si-nio adalah Hong Si-nio, dalam kondisi seperti ini, ternyata masih punya selera
bersenandung segala.” Ditilik dari suaranya, yang bicara pasti seorang gadis muda belia.
Si pincang sudah melangkah ke dalam hutan, mendadak tu-buhnya melejit ke atas lalu bersalto balik. “Siapa
di sana?” suaranya berat.
Waktu kakinya menginjak bumi, tubuhnya masih menghadap ke sana membelakangi Hong Si-nio. Entah
tidak berani melihat Hong Si-nio yang bugil atau takut Hong Si-nio mengenali dirinya.
Langkah para orang buta pun ikut berhenti, sikap mereka se-perti tegang.
Diiringi cekikik tawa merdu, dari dalam hutan muncul seorang gadis muda dengan dua kuncir rambut
panjang, langkahnya ringan.
Cahaya mentari menjelang magrib menyoroti wajahnya, wajah putih bulat telur yang rupawan mirip bunga
mekar di musim semi.
“Halo nona cilik yang manis ....” seru Hong Si-nio.
Gadis cilik itu pandai bicara, “Sayangnya dibanding Hong Si-nio, gadis cilik macamku ini menjadi jelek mirip
babi.”
Mekar senyuman Hong Si-nio, “Gadis cilik yang ayu lagi pintar seperti kamu pasti tidak satu golongan
dengan makhluk-makhluk aneh ini bukan?”
Gadis itu maju ke depan memberi hormat, “Aku bernama Sim-sim, sengaja mengantar pakaian untuk Hong
Si-nio.”
“Sim-sim, nama yang bagus, seperti orangnya.”
Entah kenapa Hong Si-nio mendadak menjadi senang. Sebab tak jauh di belakang Sim-sim muncul pula dua
gadis bersanggul, masing-masing membawa nampan emas, di atas nampan itulah pakaian sutra dengan
warna dan corak yang serba baru.
Sambil mendekat Sim-sim tertawa pula, “Kami tidak tahu ukuran badan Hong Si-nio, namun dilihat potongan
yang semampai, pakaian model apapun rasanya tetap cocok dan pas.”
Makin mekar senyuman Hong Si-nio, “Gadis cilik yang baik hati, kelak pasti dapat jodoh orang gagah lagi
ganteng.”
Merah jengah selebar muka Sim-sim, katanya dengan meng-geleng kepala, “Yang baik hati bukan aku, tapi
Hoa-kongcu dari keluarga ....”
“Hoa-kongcu?” tukas Hong Si-nio.
“Hoa-kongcu tahu, Hong Si-nio datang tergesa-gesa, tidak sempat berpakaian, apalagi angin pegunungan
kencang lagi dingin, kuatir Si-nio masuk angin, aku sengaja disuruh mengantar pakaian.”
“Kelihatannya Hoa-kongcumu itu pemuda yang pengertian.”
“Memang pengertian, lemah lembut lagi.”
“Rasanya aku belum pernah kenal Hoa-kongcumu itu.”
“Sekarang memang belum kenal, sebentar lagi juga akan ber-tatap muka.”
Hong Si-nio menepuk paha, “Betul, memangnya siapa bisa kenal kalau belum pernah bertemu. Bisa kenal
pemuda romantis seperti dia, perempuan macam apapun akan merasa senang.”
Tawa Sim-sim makin manis, “Memang Hoa-kongcu berharap Si-nio tidak lupa di dunia ini ada pemuda
seromantis dia.”
“Pasti tidak akan kulupakan.”

Dua gadis pembawa nampan sudah mendekat.
“Berhenti!” mendadak si pincang membentak.
Dua gadis itu berhenti tanpa bersuara, Hong Si-nio melotot ke arahnya, “Berdasar apa kau suruh mereka
berhenti?”
Si pincang tidak menghiraukan ocehan Hong Si-nio, matanya mengawasi Sim-sim, “Hoa-kongcu yang kau
sebut tadi, apakah Hoa Ji-giok?” Suaranya serak lagi rendah, nadanya tidak enak didengar .
“Kecuali Hoa Ji-giok Hoa-kongcu kita, di dunia ini mana ada lagi Hoa-kongcu yang lemah lembut lagi
pengertian?”
“Dia ada dimana?” tanya si pincang.
“Untuk apa kau tanya? Memangnya ingin mencarinya?”
Si pincang seperti kaget, tanpa sadar menyurut mundur dua langkah.
“Cis, mana berani kau mencarinya, buat apa aku memberitahu dimana beliau berada.”
Si pincang menarik napas panjang, suaranya beringas, “Baju ini bawa pulang. Barang yang pernah disentuh
Hoa Ji-giok pasti beracun, kami tidak mau.”
“Kau tidak mau, aku mau,” teriak Hong Si-nio.
“Nah, Si-nio sendiri mau, tidak lekas kalian serahkan baju itu?”
Awalnya bimbang, akhirnya kedua gadis itu tampak takut.
“Takut apa?” tawar suara Sim-sim, “tampangnya saja galak, mereka takkan berani menghalangi ....”
Mendadak si pincang tertawa dingin, tongkat pendek di tangannya mendadak menyodok ke leher Sim-sim.
Jurus serangan ini ganas lagi kencang, yang digunakan seperti jurus pedang yang galak lagi telengas,
kelihatan ilmu pedangnya tinggi, serangan ganas yang mematikan.
Bahwa si pincang menyerang gadis cilik dengan jurus ganas mematikan, menimbulkan amarah Hong Si-nio,
maka si pincang pasti akan menerima akibatnya.
Saat itu si pincang tengah menyodok dengan tongkat pen-deknya, entah bagaimana tahu-tahu Sim-sim
menyelinap turun, se-licin belut menerobos dari bawah ketiak orang, gerak-geriknya gesit lagi lincah.
Hong Si-nio terkejut, sungguh tak pernah terbayang olehnya, gadis belia ini ternyata mampu bergerak
tangkas. Tapi reaksi si pincang juga cepat, badan tidak bergeming, dengan jurus Ta-bak-kim-ciong
(memukul balik lonceng emas), tongkat pendek menyelinap ke belakang lewat ketiak.
“Kau menyerang lebih dulu,” jengek Sim-sim, “kalau celaka jangan salahkan aku.”
Selama gadis belia bicara, si pincang sudah menyerang lima belas jurus, permainan tongkat berubah
menjadi jurus-jurus pedang, jurus pedang yang telengas, pasti si pincang termasuk jago kelas wahid.
Dengan gaya enteng, mudah sekali Sim-sim meluputkan diri dari serangan ganas lawan, mendadak
tubuhnya berputar-putar, en-tah kapan dan darimana, tahu-tahu tangannya memegang golok pendek yang
gemerdep.
Saat si pincang menyerang jurus keenam belas, Sim-sim membalik tangan menangkis, “Tring”, tongkat
pendek terbuat dari baja itu tahu-tahu tertabas putus sebagian.
“Bukankah sudah kubilang kau bakal celaka. Sekarang mau percaya tidak.”
Tawanya nyaring, gerak goloknya ternyata menakutkan, tu-buhnya seperti dibungkus kilauan sinar golok
yang menari turun naik.
Secepat kilat Hong Si-nio mengenakan jubah baru yang ber-sulam indah. Sementara tongkat si pincang

yang semula panjang tiga kaki, terpapas putus tinggal satu kaki lebih sedikit. Kini sinar golok juga
membungkus dirinya, tiap tusukan atau bacokan golok tajam merupakan serangan mematikan
Awalnya Hong Si-nio menguatirkan keselamatan Sim-sim, sekarang berbalik menguatirkan keselamatan jiwa
si pincang malah. Hong Si-nio tidak suka membunuh orang, juga tidak senang melihat orang lain membunuh
di depannya. Setelah diperhatikan ia merasa ilmu pedang yang dimainkan si pincang seperti amat hapal, ia
yakin dirinya pasti kenal orang ini. Bahwa nona cilik berbaik hati meng-antar pakaian buat dirinya,
memangnya pantas sekarang ia membela si pincang?
Yang aneh, tujuh orang buta itu kelihatan tidak gugup juga tidak tegang. Mereka berdiri mematung saja.
“Cret”, suaranya tidak keras dibarengi hamburan darah, tahu-tahu pundak si pincang luka berdarah.
Sim-sim cekikikan, “Berlutut dan panggil aku bibi tiga kali, kuampuni jiwamu!”
Serentak si pincang menyerang tujuh jurus, “Trak”, tongkat pendeknya terpapas lagi. Padahal tingkat
kepandaiannya terhitung kelas satu di Kangouw, namun berhadapan dengan gadis belia ini, permainan ilmu
pedangnya jadi merosot turun ke kelas delapan.
Permainan golok pendek di tangan Sim-sim cepat lagi keras, jurus permainannya juga aneh, tiap jurus
serangan membuat lawan merasa ngeri.
Hong Si-nio tidak habis pikir, gadis ini masih semuda itu, ilmu golok itu entah sejak kapan dipelajari, begitu
mahir dan lihai.
“Kutanya lagi sekali, mau tidak memanggilku bibi?” Sim-sim menegas.
Mendadak si pincang meraung keras bagai hewan liar yang terluka, sekuat tenaga sisa tongkat di tangan ia
lontarkan ke depan, menyusul jari-jari tangan yang kurus panjang bagai cakar garuda mencengkeram ke
tenggorokan Sim-sim.
Sim-sim kaget dan tertegun mematung, raung si pincang memang menakutkan, golok di tangan juga lupa
dibuat menusuk ke depan. Cepat sekali cakar tangan yang mengerikan sudah berada di depan mukanya.
Perubahan justru terjadi dalam sekilas itu, di saat jiwa terancam elmaut, Sim-sim malah tertawa manis,
katanya aleman, “Kau tega membunuhku?”
Si pincang terpesona oleh mimik tawa Sim-sim, gerak ta-ngannya sedikit merendek. Pada saat itulah mimik
tawa Sim-sim yang menarik berubah dingin bengis, golok kemilau di tangannya tahu-tahu sudah
mengancam tenggorokan lawan juga.
Bahwa si pincang tidak tega membunuh gadis belia, tapi nona cilik ini tega membunuh dirinya, membunuh
tanpa berkedip.
Pada detik yang hampir menentukan mati hidup, dari arah hutan tiba-tiba timbul angin kencang, sebatang
cambuk panjang lima tombak bagai ular ganasnya mendadak menggulung turun, ujung cambuk tepat
menahan pergelangan tangan Sim-sim, golok pendek di tangan Sim-sim langsung terbang ke angkasa.
Menyusul badannya juga digulung mumbul lalu berjumpalitan lima kali baru meluncur turun di tanah, dengan
bergulingan baru bisa lompat ba-ngun, gerak-geriknya jelas amat susah, pergelangan tangan tampak
bengkak memerah.
Untuk permainan cambuk, Hong Si-nio adalah ahlinya. Ia maklum, makin panjang cambuk makin sulit
dimainkan, makin sulit dipelajari. Selama ini belum pernah ia melihat cambuk sepanjang ini, apalagi
permainan cambuk panjang yang lincah, hidup lagi ganas.
Siapa pun orangnya, bahwa ilmu cambuknya dapat dimainkan selihai itu, pasti ia seorang kosen yang
menakutkan.
Mendadak Hong Si-nio mendapat firasat jelek, segala urusan dan persoalan yang dihadapi hari ini seperti
serba konyol, orang-orang yang dihadapi satu lebih lihai lebih aneh dari yang lain, semua menakutkan.
Setelah pemegang cambuk panjang muncul, baru ia benar-benar tahu makhluk aneh lagi kosen itu
bagaimana tampangnya. Orang ini boleh dianggap makhluk aneh, makhluk aneh di antara yang teraneh.
Bagi Sim-sim hari ini jelas adalah hari yang menyebalkan. Dengan jari tangan yang lain ia menopang

pergelangan tangan yang membengkak besar, karena menahan sakit, wajahnya sudah mewek-mewek
hampir menangis. Begitu melihat orang ini, saking ngerinya ia lupa untuk menangis.
Makhluk aneh ini muncul bukan berjalan sendiri, bukan naik kereta atau menunggang kuda, jelas dan pasti
bukan merangkak keluar. Tapi duduk di atas kepala seorang, duduk di atas kepala raksasa. Raksasa ini
tinggi sembilan kaki, bertelanjang dada, me-ngenakan topi besar lagi lebar, topi besar ini juga adalah sebuah
meja, ia duduk anteng di topi besar itu dengan jubah warna-warni yang disulam berbagai bentuk hewan
terbang, lengan kiri melambai turun dan ternyata kosong.
Tampang orang ini sebetulnya tidak aneh, kulitnya yang putih pucat, menampilkan mimik yang berwibawa,
sepasang matanya me-nyorot terang, rambutnya yang gilap digelung ke atas diikat mah-kota mutiara.
Kalau hanya menilai wajah, sebetulnya orang ini terhitung cakap, laki-laki ganteng. Tapi sekilas pandang,
orang akan merasa dari tubuh orang ini seperti mengeluarkan hawa atau bau yang menggidikkan, apalagi
setelah diamati dari dekat, ternyata ia bukan duduk tapi berdiri, sebab kedua kakinya buntung pas di pangkal
pahanya. Jadi kaki tangan orang ini tinggal satu, tangan kanan saja, cambuk lima tombak itu berada di
tangan kanan.
Hong Si-nio menarik napas panjang, perasaannya makin ter-tekan bahwa hari ini memang hari yang jelek,
menyebalkan.
Wajah Sim-sim putih bagai salju, seperti ingin membela diri, ia berteriak, “Dia menyerangku lebih dulu, boleh
kau tanya pada-nya!”
Dengan dingin orang itu menoleh sekejap, pandangan beralih ke depan, agak lama kemudian baru
mengangguk, suaranya parau, “Aku tahu.” Suara keras jelas mengandung daya tarik. Sebelum cacad, orang
ini pasti lelaki yang pandai memikat perempuan.
“Sesuai perintah Hoa-kongcu, aku kemari hanya mengantar pakaian untuk Hong Si-nio,” Sim-sim coba
membela diri.
“Ya, aku tahu,” kata orang itu.
Sim-sim menghela napas lega, sambil menahan sakit ia ter-tawa kecut, “Syukur kau mengerti, apa aku boleh
pergi.”
“Sudah tentu kau boleh pergi!” sahut orang itu.
Tanpa bicara lagi Sim-sim hengkang dari tempat itu.
Ternyata orang itu diam saja. Hong Si-nio menarik kesim-pulan bahwa orang ini tidak begitu menakutkan
seperti dugaan semula.
Tak nyana baru belasan langkah berlari, Sim-sim putar balik dengan wajah memelas, pergelangan yang
bengkak tadi kini men-jalar naik ke lengan, lengan kanan itu sebesar paha kaki sendiri, selebar mukanya
ditaburi keringat sebesar kacang, suaranya serak, “Cambukmu itu juga beracun?”
“Ya, ada sedikit,” sahut orang itu.
“Lalu ... lalu bagaimana?”
“Kau tahu bagaimana kedua paha dan tangan kiriku menjadi buntung?”
Sim-sim menggeleng kepala.
“Aku sendiri membacoknya buntung.”
“Hah, kenapa kau membacok buntung kaki tangan sendiri?”
“Karena kaki tanganku terkena racun orang lain.”
Seperti kena lecut tajam badan Sim-sim berjingkat di tempat, badannya menjadi lemas, teriaknya terisak,
“Kau ... kau juga ingin aku menjadi cacad?”

“Memangnya kenapa kalau cacad?” dingin suaranya, “bukan-kah orang-orang yang ada di sini banyak yang
cacad?”
Sim-sim menuding si raksasa, “Dia tinggi besar kan tidak cacad.”
Mendadak si raksasa tertawa lebar sambil membuka lebar mulutnya.
Kembali Sim-sim tertegun.
Raksasa ini memang lengkap kaki tangan, tidak buta bukan tuli, tapi mulutnya tanpa lidah.
Dengan menengadah Sim-sim mengawasi orang itu, air mata bercucuran, katanya, “Kau ingin aku sendiri
memotong lenganku?”
“Tangan keracunan ya tangan dipotong, kaki keracunan ya dikutungi saja.”
“Tapi ... tapi aku tidak tega.”
“Kalau aku tidak tega, sekarang aku sudah mati tiga kali.”
Hong Si-nio jadi simpati akan nasib si gadis, mendadak ia menyeletuk, “Gadis cilik ini mana bisa dibanding
kau, dia gadis muda lagi cantik.”
“Memangnya kenapa kalau perempuan, perempuan juga ma-nusia.”
Hong Si-nio naik pitam, tangannya menuding, “Dia juga manusia, berdasar apa kau berduduk di kepala
orang?”
“Karena aku inilah Jin-siang-jin.”
“Apa itu Jin-siang-jin?”
“Yang mampu hidup menderita dalam derita, dialah Jin-siang-jin.”
“Kau pernah menderita?”
“Kalau kau potong dua kaki dan satu lenganmu, akan kau rasakan apakah aku pernah menderita dalam
penderitaan.”
Hong Si-nio tidak bisa membantah, orang ini memang men-derita dalam penderitaan.
TERANEH DI ANTARA MAKHLUK
Maka sekarang dia adalah Jin-siang-jin. Orang di atas orang.
Golok pendek yang kemilau tapi kini tergeletak di tanah, persis di bawa kaki Sim-sim. Perlahan Sim-sim
membungkuk badan mengambil golok dengan air mata bercucuran. ia pandang Hong Si-nio sambil berkata
memelas, “Kini kau sudah jelas orang macam apa dia sebenarnya.”
Hong Si-nio gemas, “Ya, aku jadi curiga, apakah dia itu ma-nusia?”
“Karena dia cacad,” kata Sim-sim, “maka dia ingin orang lain juga cacad seperti dia, tapi aku … umpama
harus kutabas lenganku, tidak akan kulakukan di depannya.” Mendadak ia putar badan terus lari sipat
kuping.
Hong Si-nio membanting kaki, teriaknya, “Gadis belia secan-tik kau, umpama buntung sebelah lenganmu,
orang masih tetap akan menyukaimu, tidak perlu sedih.” Orang lain disuruh tidak sedih, padahal mata sendiri
sudah berkaca-kaca.
Jin-siang-jin mengawasinya, suaranya dingin, “Sungguh tak nyana, Hong Si-nio adalah perempuan berhati
lemah.”

Hong Si-nio menengadah, matanya melotot, “Umpama sisa tanganmu itu kau bacok buntung, aku tidak akan
sedih bagimu.”
“O, kau kasihan padanya?”
“Ya.”
“Kau tahu siapa dia?”
“Yang pasti dia gadis cantik, aku juga perempuan.”
“Baju yang kau pakai sekarang adalah pemberiannya?”
“Betul.”
“Lebih baik lekas kau lepas.”
“Lepas apanya?”
“Lepas pakaianmu.”
“Kau ingin melihat aku melepas pakaian?” Hong Si-nio terse-nyum menggoda.
“Ya, sampai telanjang bulat.”
Mendadak Hong Si-nio berjingkrak, “Kau bermimpi?” Suara-nya keras.
Jin-siang-jin menghela napas, “Tidak mau lepas, memangnya perlu kubantu?”
“Coba saja kalau berani.”
Jin-siang-jin menarik napas sambil menggeleng kepala, “Ka-lau hanya pakaian perempuan aku tidak berani
melepas, kerja apa yang berani kulakukan?”
Hanya sedikit mengangkat pergelangan tangan, cambuk pan-jang itu mendadak melintir berputar ke arah
Hong Si-nio.
Sejak berkecimpung di Kangouw, belum pernah Hong Si-nio melihat permainan cambuk yang begitu
menakutkan, seperti ber-mata saja, ujung cambuk tahu-tahu melilit bajunya. Bagai tangan jahil saja, cambuk
itu bisa melepas pakaian orang. Begitu pakaian Hong Si-nio terlilit ujung cambuk, hanya sekali sendal dan
tarik, jubah panjang bersulam indah yang masih baru itu seketika koyak menjadi dua.
Umpama harus ganti pakaian, selamanya Hong Si-nio melepas pakaiannya sendiri, sepanjang hidupnya
belum pernah ada lelaki di dunia ini yang pernah melepas pakaiannya. Kali ini mungkin ter-kecuali. Untuk
menangkap cambuk itu jelas tidak berani, berkelit juga sudah terlambat.
Pengalaman Sim-sim membuatnya takut melawan cambuk beracun itu. Walau tidak rela orang lain melepas
bajunya, ia pun tak ingin menabas lengan sendiri, “Bret”, ujung bajunya mulai koyak.
“Nanti dulu,” mendadak Hong Si-nio berteriak, “biar aku sendiri yang melepas.”
“Kau mau melepas pakaian sendiri?”
“Pakaian sebagus ini, sayang kan kalau disobek.”
“Hong Si-nio juga menyayangi sepotong baju?”
“Hong Si-nio kan juga perempuan, pakaian seindah ini, pe-rempuan mana yang tidak merasa sayang?”
“Baik, sekarang lepas.”
Cambuk di tangannya seperti ular yang hidup saja, mau ber-henti ya berhenti, ingin ditarik segera melingkar
balik ke tangan.

Hong Si-nio menghela napas, “Aku ini sudah nenek-nenek, bila telanjang pasti tak enak dipandang, tapi kau
paksa aku, terpaksa aku melepas baju, salahku sendiri tak mampu melawanmu.” Sambil bicara ia maju
mendekat, sementara jari-jarinya seperti melepas kancing baju. Mendadak kakinya menendang perut
raksasa yang bertelanjang dada.
Merobohkan lawan, panah dulu kudanya, bila raksasa ini ter-tendang roboh, Jin-siang-jin pasti terjungkal dari
kepalanya, um-pama kepala tidak bocor, paling tidak orang tak punya waktu me-lepas pakaian orang lain.
Ilmu silat Hong Si-nio memang tidak tinggi, tidak menakut-kan, kemampuannya yang menakutkan memang
bukan ilmu silat-nya. Selama ini ia malang melintang seorang diri, puluhan tahun berkecimpung di Kangouw,
kalau hanya mengandalkan ilmu silat, entah berapa kali pakaiannya sudah disobek orang.
Kakinya memang mulus jenjang, tapi kaki ini pernah mengin-jak mati tiga ekor serigala yang kelaparan,
seekor macan tutul. Begal besar Boan Thian-hun yang bercokol di Ki-lian-san juga ditendangnya roboh
terjungkal ke dalam jurang.
Dapat dibayangkan betapa besar kekuatan tendangan ini, “Buk”, suaranya mirip tambur pecah, kakinya
cepat menendang perut orang, tapi si raksasa seperti tidak merasa apa-apa, bergeming pun tidak.
Kaki Hong Si-nio justru kesakitan. Meski terkejut, meminjam daya tolak tendangannya, ia melompat jungkir
balik ke belakang.
“Bukan tandingan ya lari”, bagi insan persilatan yang sudah puluhan tahun berkecimpung di Bulim,
pengertian dangkal ini jelas dipahami. Tapi Hong Si-nio maklum, kali ini belum tentu dirinya bisa lolos dari
elmaut. Betapa cepat Ginkangnya pasti takkan sece-pat cambuk lawan.
Pada saat genting itulah, didengarnya suara gendewa men-jepret nyaring, dua lajur sinar kemilau meluncur
datang, tepat me-nerjang ujung cambuk. Bagai ular yang terpukul lehernya, cambuk itu melambai lemas ke
bawah.
Dari dalam hutan berkumandang suara dingin, “Siang hari bo-long berani menelanjangi perempuan di depan
umum, memangnya kaum persilatan di Koan-tiong tidak kau pandang sebelah mata?”
Sementara itu Hong Si-nio sudah bercokol di pucuk pohon, duduk berayun mengikuti dahan pohon yang
bergontai. Dari atas pohon ia melihat orang yang barusan menolong dirinya.
Orang ini tinggi kekar, berwajah merah, rambut panjang yang memutih perak menjuntai di punggung,
mengenakan mantel merah, tangan menjinjing gendewa panjang warna kuning emas, gemerdep ditingkah
sinar matahari. Sekujur badan orang inipun seperti kemi-lau bercahaya.
Waktu orang itu mengangkat kepala, Hong Si-nio baru melihat jelas wajahnya penuh keriput, ternyata lelaki
ini sudah berusia lanjut. Tapi bila bicara, suaranya masih lantang bergema bagai lonceng, badannya masih
kekar tegap, sekujur badan penuh tenaga, semangat menyala-nyala.
Seumur-umur Hong Si-nio belum pernah melihat lelaki tua yang masih begini perkasa penuh gairah lagi. Dua
larik sinar perak tadi kini masih menggelinding di tanah, ternyata bola perak sebesar kelengkeng.
Jin-siang-jin mengawasi bola perak itu, alisnya berkerut, kata-nya, “Kim-kiong-gin-hoan-jan-hou-to, gendewa
emas pelor perak golok penabas macan.”
Lelaki tua berambut perak meneruskan, “Cui-hun-sui-gwat-cui-siang-biau, mengejar nyawa mengusir
rembulan melayang di atas air.”
“Le Jing-hong!” seru Jin-siang-jin.
Lelaki tua rambut perak bergelak tawa, “Tiga puluh tahun aku tidak berkelana di Kangouw, tak nyana masih
ada orang mengenal diriku.” Gema tawanya bertalu-talu, daun berguguran di tengah hutan.
Hong Si-nio hampir terjungkal dari pucuk pohon. Belum pernah bertemu, namun nama besarnya pernah
mendengar.
Kim-kiong-gin-hoan-jan-hou-to, Cui-hun-sui-gwat-cui-siang-biau, waktu Le Jing-hong malang melintang di
Kangouw, Hong Si-nio masih anak kecil.

Ketika ia berkecimpung di Bulim, sudah lama Le Hing-hong mengundurkan diri, hampir tiga puluh tahun
jejaknya tidak diketa-hui, jarang orang bertemu dengarnya.
Hong Si-nio tahu adanya tokoh yang satu ini. Juga tahu begal besar tunggal yang bersih dan paling disegani
kejujurannya di Bulim masa kini.
Belakangan muncul Siau Cap-it Long, namun dalam jangka seratus tahun ke belakang, Le Jing-hong
terhitung begal tunggal yang amat disegani.
Konon pernah ia berada di kotaraja, putra-putri para bangsa-wan di kota itu begitu getol ingin melihat
wajahnya, tak segan mereka menunggu semalam suntuk duduk di ambang jendela menunggu
kedatangannya.
Mungkin hanya kabar angin, Hong Si-nio juga tidak percaya akan berita ini. Sekarang ia menjadi percaya.
Lelaki yang sudah berusia kepala enam, masih bersemangat dan gagah tegap, kalau usianya tiga puluh
tahun lebih muda, mungkin Hong Si-nio rela menunggu semalam suntuk di jendela loteng menunggu
kedatang-annya. Seperti yang sering ia lakukan menunggu Siau Cap-it Long di jendela.
Le Jing-hong mendongak, “Kau inikah Hong Si-nio?”
“Tiga puluh tahun tidak berkecimpung di Kongouw, kau tahu adanya Hong Si-nio di Kangouw.”
“Bagus,” puji Le Jing-hong, “Hong Si-nio memang jempol, kalau sejak dulu aku tahu di Kangouw ada Hong
Si-nio, mungkin sepuluh tahun lebih pagi aku keluar kandang.”
“Kalau tahu kau orang tua masih segar bugar, mungkin sepuluh tahun lalu aku sudah mencarimu.”
Le Jing-hong tergelak-gelak, “Sayang aku terlambat sepuluh tahun.”
“Siapa bilang kau datang terlambat,” ucap Hong Si-nio tertawa, “kedatanganmu justru tepat pada waktunya.”
Berkilat bola mata Le Jing-hong, “Makhluk ini tadi meng-godamu, sekarang aku sudah ada di sini,
menurutmu apa yang harus kulakukan padanya, jelaskan saja.”
Berputar bola mata Hong Si-nio, “Tadi dia suruh aku melepas baju, aku juga ingin melihat dia telanjang.”
“Bagus,” Le Jing-hong kembali tergelak. “Kau tunggu saja di atas pohon.”
Di tengah gelak tawanya, mendadak ia melolos golok penabas macan yang beratnya lima puluh tujuh kati,
sekali ayun ia bacok pohon di depannya. “Clap”, dahan pohon sebesar paha dibacoknya roboh.
Untung jarak Hong Si-nio masih jauh, tak tahan ia berseru, “Pohon ini tidak bersalah padamu kenapa kau
tabas sampai roboh?”
“Pohon ini menghadang di depanku.”
“Benda apa saja yang menghadang di depanmu, kau babat dengan golok?”
“Betul.”
Hong Si-nio menghela napas, “Lelaki sepertimu ini kenapa sudah tiada sekarang ini. Kalau ada aku pasti
sudah menikah sejak sepuluh tahun lalu.” Suaranya tidak keras, tapi pasti untuk didengar oleh Le Jing-hong.
Le Jing-hong menyengir aneh, ia menarik napas panjang, sedikitnya seperti merasa sepuluh. tahun lebih
muda, selangkah ia maju ke depan.
Sejak kehadirannya Jin-siang-jin hanya mengawasi saja, kini ia menyindir, “Lelaki setua ini masih suka
berlagak di depan wanita, dunia ini seperti bakal terbalik.”
“Kau cemburu?” bentak Le Jing-hong.
“Aku sedang heran, lelaki macammu ini kok masih bisa hidup sampai sekarang.”
“Untung baru hari ini kau bertemu aku,” semprot Le Jing-hong murka. “Kalau terjadi tiga puluh tahun lalu, kau

sudah mampus di bawah golokku.”
“Sekarang kau ingin aku melepas pakaian, lalu pergi bersama Hong Si-nio begitu bukan?”
“Mestinya ingin kutabas buntung tanganmu, sayang tanganmu sudah buntung satu.”
“Ya, tangan yang satu ini bukan untuk melepas baju.”
“Memangnya tanganmu itu bisa membunuh orang,”
“Tidak banyak yang kubunuh, tiap kali satu nyawa.” Begitu tangan menyendal, cambuk panjang itu
menggulung kencang ke arah Le Jing-hong.
Le Ji-hong menyambut serangan orang dengan bacokan keras golok besarnya. Dua jenis senjata yang
berbeda, satu lemas yang lain keras. Begitu goloknya membacok, Le Jing-hong sudah tahu bahwa pihaknya
akan rugi. Cepat sekali ujung cambuk sudah mem-belit golok dengan tujuh delapan lilitan, serempak lelaki
raksasa telanjang dada ikut mendesak maju, tinjunya menggenjot dada Le Jing-hong.
Kelihatannya lelaki gede ini gerak-geriknya lamban, namun jotosan tangannya keras lagi kencang, jurus
serangannya sederhana tanpa pola kembangan, namun kuat dan amat berguna.
Karena golok dibelit cambuk, Le Jing-hong menggunakan gendewa di tangan kiri untuk menahan jotosan si
raksasa. “Tang”, keras sekali, telapak tangan si raksasa sobek berdarah. Gendewa emas itu ternyata tajam
bagai pisau.
Sambil menggerung si raksasa mengulur tangan merebut gen-dewa lawan, tak nyana Le Jing-hong memutar
pergelangan tangan-nya, pucuk gendewa menutul dada si raksasa.
Tubuh besar si raksasa yang kekar tak kuat menahan tutulan ringan, kakinya sempoyongan mundur dan
ambruk ke belakang, sudah tentu Jin-siang-jin ikut ambruk, sigap sekali Jin-siang-jin me-lejit tinggi
berjumpalitan di udara melewati kepala Le Jing-hong.
Awalnya Le Jing-hong mengira lawannya hanya satu, ke-nyataan ia harus melayani dua serangan bersama,
yang satu di depan yang lain di belakang. Di saat ia mengerut alis, ujung cambuk sudah melilit lehernya.
Sebagai jago kawakan ia tidak menjadi gugup meski ancaman ini serius, goloknya malah diayun ke atas,
cambuk panjang seketika tertarik tegang seperti tali gendewa. Mestinya ujung cambuk membelit golok, kini
berbalik golok menarik cam-buk. Serang menyerang berlangsung cepat, permainan mereka keli-hatannya
tanpa kembangan, namun perubahannya amat ganjil, cepat lagi ganas, tanggap menghadapi serangan. Bila
tidak menyaksikan dari pinggir, pasti susah membayangkan adu kekuatan dua lawan yang berbeda senjata
ini.
Sayang yang hadir hanyalah tujuh orang buta yang berdiri kaku, si pincang berdiri di sana membelakangi
arena. Agaknya takut dilihat atau dikenali Hong Si-nio.
Bagaimana dengan Hong Si-nio?
Bentrok Para Pendekar 02
Karya Gu Long - Gan K.H.
Bagian 2
Wanita yang satu ini memang mirip angin, sepak terjangnya sukar diraba, bayangannya ternyata lenyap tak
keruan peran.
Sumber air bagai rantai perak mengalir deras dari pucuk gunung.
Cahaya senja memancar benderang menguning emas.
Hong Si-nio duduk di atas batu besar, sepasang kakinya direndam dalam kubangan air sumber nan bening
dingin. Sepasang kakinya dirawat baik, putih mulus tanpa cacad sedikit pun. Bila mengawasi sepasang kaki

sendiri, Hong Si-nio sering merasa bangga, apalagi para lelaki, betapa senang hati mereka mengawasi kaki
ini.
Waktu menyingkir tadi, tanpa sengaja kakinya tergores batu-batu runcing dan ranting pohon berduri. Begitu
menyentuh air, luka-luka itu terasa perih, hati ikut terasa mendelu.
Le Jing-hong bukan lelaki yang menyebalkan, tidak bermaksud jahat terhadap dirinya, malah menolong
jiwanya. Tapi juga tidak bermaksud baik. Gelagat menjelaskan bahwa kedatangannya jelas karena dirinya,
mungkin akan membawanya pula. Umpama dia mampu memukul jatuh Jin-siang-jin menjadi Jin-he-jin
(orang di-bawah orang), apa faedahnya bagi dirinya?
Yang pasti Hong Si-nio tidak ingin melihat si cacad itu bertelanjang.
"Bahwa dua orang berhantam itu bukan manusia baik, kenapa tidak kubiarkan mereka cakar-cakaran, gigit
menggigit," demikian batin Hong Si-nio, begitu ada kesempatan diam-diam ia ngacir pergi.
Siapa yang kenal Hong Si-nio pasti yakin bahwa dia adalah perempuan pintar. Belum pernah salah
menganalisa persoalan yang dihadapi, maka sampai usia setua itu, belum pernah ada pria yang mampu
melepas pakaiannya.
Bagi Hong Si-nio hari ini memang serba salah, persoalan yang dihadapi hari ini sungguh menyebalkan,
terasa semua persoalan itu amat aneh.
Dingin air sumber merembes naik lewat telapak kaki, membuat hati ikut menjadi dingin.
Kehadirannya di bukit batu jelas bukan kebetulan, dia juga belum pernah bercerita pada siapa pun bahwa
dirinya akan ke tempat ini. Sepak terjangnya seperti angin lalu, tiada seorang pun dapat menerka pikirannya.
Kenyataan ada tiga pihak, katakan tiga orang yang datang mencari dirinya di sini. Seperti Hoa Ji-giok, Jinsiang-
jin dan Le Jing-hong.
Darimana mereka tahu bahwa dirinya berada di tempat itu? Bagaimana bisa tahu kalau dirinya akan ke sini?
Selama ini Hong Si-nio pintar menikmati hidup, barang apa saja ia makan, hanya tidak kuat makan derita.
Orang yang tidak tahan derita, ilmu silatnya pasti tidak tinggi. Untung dia cerdik pandai, ada kalanya amat
buas, namun sepanjang jalan hidupnya belum pernah menanam permusuhan besar dengan siapa pun.
Di situlah letak kemahirannya, di samping pintar ia cantik, maka ia banyak bersahabat dengan teman yang
punya kekuatan. Bila sedang mengumbar marah, galaknya bukan main, mirip induk anjing beranak. Saat
lembut, sejinak merpati. Kadang jenaka bagai si upik, lain kejap ia bisa selicin rase. Kalau tidak benar-benar
perlu, siapa mau cari perkara kepadanya. Kenyataan ada tiga orang serempak mencari dirinya, tiga orang
berbeda, namun ketiga orang ini amat kosen dan susah dilayani. Dia tahu seorang yang tega membuntungi
kaki dan tangan, bila perlu mencari cewek, pasti bukan hanya ingin menelanjanginya saja.
Begal besar yang sudah tiga puluh tahun menyembunyikan diri, bersikap sontoloyo di hadapan cewek, pasti
bukan lantaran perempuan itu berparas cantik.
Lalu untuk apa mereka serempak mencari dirinya? Setelah dipikir-pikir, Hong Si-nio menarik satu
kesimpulan. Lantaran Siau Cap-it Long.
Ya Siau Cap-it Long yang romantis itu, kenapa selalu mencari gara-gara, mengundang banyak permusuhan?
Melibatkan banyak tokoh persilatan, berseru bukan demi kepentingan pribadi, tidak jarang justru untuk
membela kebenaran. Seolah-olah perjaka ini memang dilahirkan untuk mengundang setori bukan hanya
orang lain mencari setori padanya, kadang ia sengaja mencari setori untuk dirinya sendiri.
Waktu pertama kali Hong Si-nio melihatnya, Siau Cap-it Long justru sedang mencari setori yang melibatkan
diri sendiri. Waktu itu dia masih bocah yang baru tumbuh dewasa, ternyata berani melawan arus kencang,
ingin naik ke atas air terjun, ia coba dan mencoba berulang kali tanpa kenal lelah, gagal berulang bukan
masalah, kepala bocor tulang patah tidak jadi soal, yang pasti ia harus berhasil berenang melawan arus
mencapai puncak. Apa sih yang ingin ia buktikan? Kecuali si dogol, siapa berani melakukan dan melakukan.
Datang ketika Hong Si-nio menarik kesimpulan bahwa pemuda ini goblok, namun kenyataan ia tidak bodoh,
malah pintar luar biasa. Hanya saja sering kali ia melakukan perbuatan yang orang bodoh tidak berani dan
tidak mau melakukan. Jadi ia pintar atau bodoh, penuh kasih sayang atau kebencian. Hong Si-nio sendiri

tidak bisa membedakan, tidak tahu. Ia hanya tahu selama hidup dirinya pasti takkan bisa melupakan pemuda
yang satu ini.
Bila datang rasa rindu tak tertahankan, seakan hampir gila, pernah pula ia merasa sebal dan jenuh tak
berani bertemu.
Sudah dua tahun ia tidak pernah melihat apalagi bertemu dengan Siau Cap it Long.
Sejak bersama Siau-yau-hou menempuh perjalanan kematian, hingga kini ia tidak pernah mendengar kabar
beritanya. Putus asa membuat ia berkesimpulan, untuk selanjutnya ia tidak akan pernah bertemu lagi
dengan Siau Cap-it Long.
Sebab banyak tokoh persilatan yang sekarang masih hidup, tiada satu pun yang pernah mengalahkan Siauyau-
hou. Tiada orang yang licin, telengas dan menakutkan dibanding tokoh yang satu ini. Siau Cap-it Long
justru mencarinya dan ditantangnya duel.
Bagaimana akhir duel itu, tiada orang tahu. Orang hanya berkesimpulan Siau Cap-It Long takkan muncul
kembali di Kang-ouw dalam keadaan hidup, Hong Si-nio sendiri juga sudah putus asa.
Di saat sudah pesimis itu, ia justru mendengar berita tentang Siau Cap-it Long. Maka hari itu ia berada di
bukit berbatu itu, hingga kakinya sekarang tergores luka, maka ia mengalami kejadian yang menyebalkan
tadi. Sekarang ia duduk termenung merindukan si perjaka sambil mengelus kaki yang terluka, seperti ingin
mengobati sakit rindunya.
Kini Hong Si-nio terasa amat lapar. Bila sedang merindukan Siau Ca-it Long, biasanya ia tidak merasa lapar.
Maka sekarang ia berkeputusan untuk tidak memikirkan hal ini.
Tempat apakah ini? Berapa jauh dari sarang penyamun? Sama sekali ia tidak tahu. Pakaian, perbekalan dan
senjatanya masih tertinggal di losmen itu, dirinya justru sedang tersesat di hutan pegunungan ini.
Magrib telah datang, saatnya makan malam, sepertinya tempat ini jauh dari kota atau pemukiman penduduk
desa. Umpama tahu jalan, Hong Si-nio tidak akan tolak balik, bukan takut orang-orang itu menggeruduk
dirinya, buat apa mencari kesulitan, yang pasti ia lebih mementingkan sepasang kakinya yang mulus ini,
menahan lapar juga bukan persoalan baginya. Tapi perut ini memang sudah keroncongan, berkerutukan
seperti memprotes saja. Bagaimana cara menenteramkan pemberontakan perut lapar ini?
Hong Si-nio menghela napas, baru saja hendak berbangkit untuk mencari ayam hutan atau kelinci yang bisa
dipanggang. Bukan kelinci yang ditemukan, tapi ia melihat enam orang.
Empat lelaki yang tegap dengan baju terbuka bagian dada memikul sebuah tandu, dua pemuda yang lebih
muda dengan pakaian lebih mentereng mengikut di belakang, dari lereng gunung sana beranjak turun. Jalan
pegunungan tidak rata dan berkelak-kelok, tapi enam orang ini berjalan lewat pegunungan memikul tandu
lagi, sungguh luar biasa.
Siapa yang duduk di dalam tandu? Apakah dia juga gagah? Di tempat seperti ini, masih berani duduk dalam
tandu?
Hong Si-nio jarang naik tandu, rasanya sumpek, ia lebih suka naik kuda, ngebut dengan kuda yang berlari
kencang. Tapi ia pernah naik dan duduk dalam tandu pengantin.
Sekilas terbayang kejadian hari itu, saat duduk dalam tandu dengan pakaian pengantin, ia dijemput
mempelai lelaki untuk melakukan upacara sembahyang, di tengah jalan mendadak melihat Siau Cap-it Long
dan Sim Bik-kun, dengan pakaian dan topi pengantin yang serba lengkap melompat keluar dari tandu.
Seluruh petugas dari keluarga Nyo yang ikut menyambut mempelai perempuan hampir mati lemas saking
kagetnya. Sejak peristiwa itu julukannya bertambah satu. 'Mempelai perempuan yang bikin orang semaput'.
Bayangan Siau Cap-it Long terlintas dalam benaknya, teringat pula akan Sim Bik-kun yang cantik manis dan
harus dikasihani, teringat pengalaman mereka yang serba pahit dan menyedihkan. Kalau bukan karena Sim
Bik-kun, Siau Cap-it Long takkan bermusuhan dengan Siau-yau-hou, tidak akan terjadi duel tanding. Kalau
bukan Siau Cap-it Long, Sim Bik-kun tidak akan punya pengalaman menyedihkan.
Seorang perempuan yang paling, dihormati, menjadi panutan kaum persilatan, ternyata mencintai seorang
begal besar yang namanya sudah bejat. Sim Bik-kun lahir dari keluarga besar berpangkat dan punya
kedudukan terhormat di kalangan pemerintah, hampir segala persoalan di dunia ini yang menjadi

kebanggaan orang banyak sudah dimilikinya, apalagi bersanding di samping seorang suami yang gagah
ganteng, serba bisa sastra maupun ilmu silat, sebentar lagi malah akan melahirkan.
Karena Siau Cap-it Long, ia tinggalkan segala dan segalanya, akibatnya banyak orang ikut menderita
karenanya.
Siapa yang harus disalahkan?
Yang pasti Hong Si-nio tidak menyalahkan dia. Karena Hong Si-nio adalah juga jenis perempuan yang
sama. Demi hubungan asmara ini, entah betapa pengorbanan mereka, melepas semua dan meninggalkan
segalanya. Kalau bukan lantaran Siau Cap-it Long, apakah dirinya sekarang akan berubah begini?
Mestinya saat ini ia duduk dalam rumah keluarga Nyo berpakaian serba indah, makan serba kenyang dan
puas, duduk di ruang besar keluarga Nyo, serta dilayani babu dan kacung waktu makan malam.
Hong Si-nio menarik napas panjang, dalam hati ia mengambil keputusan untuk tidak memikirkan persoalan
masa lalu. Waktu mengangkat kepala baru ia lihat tandu itu sudah berhenti tak jauh di sebelahnya. Dua
pemuda ganteng di kanan kiri sudah menyingkap kerai. Tandu itu ternyata kosong. Dari dalam tandu kedua
orang itu menarik keluar segulung permadani terus dilemparkan di tanah pegunungan, dikembangkan ke
arah Hong Si-nio.
Mata Hong Si-nio melebar, dengan kaget ia mengawasi kedua orang itu, tak tahan ia bertanya, "Kalian
datang menjemputku?"
Dua pemuda manggut-manggut, tawanya jenaka.
Hong Si-nio bertanya lagi, "Siapa suruh kalian menjemputku?"
"Kim-pou-sat."
Hong Si-nio mengikik geli, mestinya ia dapat menduga hanya Kim-pou-sat seorang yang bisa menyuruh
orang menjemput dirinya. Kecuali Kim-pou-sat siapa punya gaya yang sok begini. Setelah menghela napas,
katanya dengan senang, "Kelihatannya nasibku lagi baik, hari ini aku betul-betul bertemu manusia."
Memangnya orang-orang yang bertempur dan bertengkar tadi bukan manusia?
Hari ini ia merasa seperti berhadapan dengan kawanan setan saja.
Lalu siapa dan macam apa pula Kim-pou-sat itu?
Orang ini gemuk pendek, sehari-hari selalu tersenyum dan tersenyum, mata yang sipit, mulut yang mungil
mirip boneka. Maka orang memanggilnya 'Pou-sat'.
Tiada orang tahu berapa kekayaannya, harta apa saja miliknya, konon dia punya gunung emas, tergantung
hatinya senang atau duka, bila ia mau, bergerobak emas bisa segera dikirim ke rumahmu. Maka orang
memanggilnya pula 'Kim-pou-sat'.
Demi membantu keperluan orang lain, umpama seketika harus membuang ribuan laksa emas juga rela dan
tidak pernah mengerut alis. Tapi di saat minatnya timbul, sekaligus membantai belasan orang juga tidak
pernah berkedip mata.
Kim-pou-sat punya gundik jelita yang amat disayang, bernama Ang-ang, karena suka berpakaian serba
merah. Pernah sekali saat menjamu kehadiran Pok-hay-liong-ong, waktu Ang-ang mengisi cawan arak sang
tamu, entah kenapa, tanpa sebab ia tertawa, tawa yang genit lagi menantang, tawa yang tidak homat.
Dengan tawa yang lucu Kim-pou-sat segera menyuruhnya mundur. Satu jam kemudian, di saat Ang-ang
kembali, pakaiannya masih serba merah, wajahnya masih cantik, tapi kali ini bercokol di atas baki perak
yang amat besar dan dibanting, disuguhkan di atas meja. Ternyata cewek ini sudah matang direbus.
Masih dengan senyum lucu menawan Kim-pou-sat mengangkat pisau dan garpu, dari bagian yang empuk
kenyal ia potong daging Ang-ang serta disuguhkan kepada Pok-hay-liong-ong.

Kedatangan Pok-hay-liong-ong sebetulnya ingin mengajaknya adu kekuatan, adu kekayaan, wibawa dan
pamor. Setelah pesta makan ini berakhir, Pok-hay-liong-ong segera mohon diri, malam itu juga pulang ke
laut timur. Begitulah sepak terjang Kim-pou-sat.
Sudah lama Hong Si-nio kenal Kim-pou-sat, kesannya lumayan, tidak jelek. Sebab selama ini Kim-pou-sat
juga baik terhadapnya. "Kau baik padaku, aku lebih baik padamu". Itulah prinsip hidup Hong Si-nio.
Sebagai perempuan, umumnya punya prinsip yang menunjang kepentingan pribadi, prinsip yang kadang
tidak bisa dimengerti oleh lelaki.
Lalu darimana Kim-pou-sat tahu kehadirannya di sini? Untuk apa pula mendadak ia datang ke tempat ini?
Persoalan ini tidak dipikir Hong Si-nio. Yang dipikir sekarang adalah sepiring Hi-sit yang dimasak dengan
kaldu ayam dengan paha babi.
* * * * *
Mata Kim-pou-sat memang sipit, waktu melihat Hong Si-nio turun dari tandu, ia menyambut dengan tawa
lebar, matanya tinggal satu garis. Dengan mimik aneh ia mengawasi Hong Si-nio dari kepala turun ke kaki,
akhirnya menghela napas, "Kelihatannya tidak pantas kuundang kau kemari."
"Kenapa?" tanya Hong Si-nio.
"Tiap kali bertemu, hatiku jadi mendelu."
"Wanita secantik aku juga bisa membuatmu mendelu?"
"Nah, itu sebabnya, karena kau terlalu cantik, makin memandang hatiku makin mendelu."
"Aku tidak mengerti."
"Kau harus mengerti... bukankah kau kelaparan?"
"Hampir gila aku karena lapar."
"Kalau sepiring babi panggang ada di depanmu, tapi tak bisa memakannya, apa kau tidak mendelu?"
Hong Si-nio tertawa. Di saat berhadapan dengan lelaki yang tidak menyebalkan, kala tertawa gayanya
sungguh amat menawan, cekikik tawanya juga terdengar merdu.
Mendadak Kim-pou-sat bertanya, "Kau belum menikah?"
"Belum."
"Kenapa kau selalu menolak lamaranku?"
Berkedip mata Hong Si-nio, "Karena uangmu terlalu banyak."
"Apa salahnya aku beruang banyak?"
"Lelaki yang banyak uang, lelaki yang amat cakap, aku tidak mau menikah dengannya."
"Kenapa?"
"Karena lelaki jenis ini paling disukai kaum perempuan, aku takut suamiku direbut orang."
"Kalau kau tidak merebut suami orang saja mending, memangnya siapa bisa merebut suamimu?"
"Umpama tiada yang merebut, hidupku akan selalu tegang."
"Ah, aneh. Kenapa?"
"Kalau sedang menikmati sepiring babi panggang, duduk diantara kawanan setan kelaparan, kau tegang
tidak?"

Kim-pou-sat terpingkal-pingkal, matanya menyipit.
Sambil berkedip-kedip Hong Si-nio melanjutkan, "Sebetulnya aku amat menyukaimu. Asal gunung emasmu
rela kau berikan padaku, aku segera jadi binimu."
"Setelah punya gunung emas, aku tak bisa mengawinimu. Kalau gunung emas kuberikan pada orang lain,
apakah aku tidak membuatnya celaka?" dengan keras ia menggeleng kepala, lalu menyambung, "Urusan
yang merugikan orang lain, selamanya tidak pernah kulakukan."
Hong Si-nio terawa lebar, "Berapa tahun tidak bertemu, kau tetap jenaka seperti dulu, tak heran aku selalu
ingin bertemu."
"Sayang uangku terlalu banyak."
"Ya, sungguh sayang."
"Baiklah , terpaksa kami jadi kawan saja."
"Bukankah selama ini kita jadi kawan baik?"
"Mendengar perkataanmu, hatiku puas dibanding makan sepiring babi panggang."
Berbutar biji mata Hong Si-nio, "Kita kawan lama bukan?, maka ada sebuah hal ingin kutanyakan
kepadamu."
"Memang sedang kutunggu pertanyaanmu itu," sahut Kim-pou-sat.
"Kau sengaja mencari aku? Darimana kau tahu aku berada di sini?"
Kim-pou-sat memicingkan mata, "Kau ingin aku jujur atau berbohong?"
"Mestinya aku senang mendengar lelaki berbohong, sebab berbohong lebih enak didengar daripada
omongan jujur."
Rona mata Kim-pou-sat seperti memuji, katanya menganggukkan kepala, "Kau ini memang wanita pintar,
hanya perempuan paling goblok yang memaksa lelaki bicara jujur."
"Tapi kali ini aku ingin mendengar omongan jujur."
"Hanya saja untuk mendengar omongan jujur, biasanya harus memberi imbalan."
"O, aku tahu."
"Kau masih ingin mendengar?”
"Ya."
Kim-pou-sat menepekur sesaat, kali ini suaranya kalem, "Aku mencarimu lantaran seseorang."
"Lantaran siapa?"
"Siau Cap-it Long."
Lagi-lagi Siau Cap-it Long. Tiap kali mendengar nama yang satu ini, Hong Si-nio susah menjelaskan
bagaimana perasaan hatinya, entah manis? Kecut? Atau getir? Namun rona mukanya malah menampilkan
sikap dingin, suaranya juga dingin, "Jadi karena Siau Cap-it Long kau mencari aku?"
"Kan kau minta aku bicara jujur."
"Memangnya apa hubungannya dengan aku? Aku kan bukan ibunya."
"Kalian teman akrab bukan?"

Hong Si-nio tidak menyangkal, juga tidak bisa menyangkal. Musuh Siau Cap-it Long jauh lebih banyak
dibanding temannya, insan persilatan pasti tahu hubungannya dengan Siau Cap-it Long.
"Dua tahun lalu, waktu dia mengajak Siau-yau-hou berduel, kau juga hadir di sana."
"Dia bukan berduel, tapi mengantar jiwa, mengantar kematian."
"Jadi sejak kejadian itu, orang-orang Kangouw menyangka dia sudah mati."
"Entah berapa banyak kaum persilatan yang menginginkan kematiannya?"
"Tapi justru dia tidak mati."
"Bagaimana kau tahu dia tidak mati? Kau pemah melihatnya?"
"Aku beium melihatnya, aku hanya mendengar beritanya saja."
"Berita apa?"
"Bukan saja belum mati, malah mendapat rezeki."
"Orang sesial dia kapan bisa mendapat rezeki?"
"Bila nasib lagi mujur, tembok kota pun takkan bisa menghalanginya."
"Dia mendapat rezeki apa? Mendapat cewek baru?"
”Teman ceweknya sudah terlalu banyak, maka sering dirundung sial, untung kali ini bukan mujur di bidang
itu."
"O, bidang apa?"
"Yang pasti sekarang tidak mudah kau ingin menikah dengan dia."
Hong Si-nio menarik muka, "Biar lelaki di dunia mampus seluruhnya, aku tidak akan menikah dengan dia."
Lahirnya bilang begitu, padahal hatinya seperti ditusuk jarum.
"Aku ngeri kau tidak akan kawin dengan lelaki seperti itu. Dia masih muda belia, cakap ganteng, konon
belakangan ini mendadak dia menjadi orang paling punya duit di dunia ini."
"Lebih kaya darimu?"
"Ya, uangnya lebih banyak dari uangku."
"Memangnya uangnya dapat jatuh dari langit?"
"Uang tak mungkin jatuh dari langit, tapi bisa tumbuh dari bumi."
"Wah, komentar aneh."
"Kaum persilatan tahu, ada tiga harta karun yang amat besar jumlahnya di dunia ini, namun belum ada orang
bisa menemukan."
"Maksudmu dia menemukan harta karun?"
"Kan sudah kubilang, kalau rezeki mau datang, tembok kota juga tidak bisa menghalangi."
"Beberapa tahun lalu, pernah orang bilang dia kaya raya, tapi uang untuk membayar semangkok bakmi saja
tidak punya."
"Aku tahu berita yang menjelek-jelekkan dia memang banyak, tapi yakin berita kali ini memang benar."
"Darimana kau tahu kalau berita itu benar?"

"Seorang pernah menyaksikannya di Kay-hong, sekali bertaruh kalah puluhan laksa perak. Lantakan perak
bercap bank terkenal, katanya dikirim ke sana berpeti-peti banyaknya."
"Memangnya dia setan judi."
"Ada pula yang menyaksikan dia membeli pelacur terkenal di Hangciu, dengan untaian mutiara seharga lima
puluh laksa perak, membeli gedung besar untuk perempuan itu."
Hong Si-nio menggigit bibir, suaranya dingin tawar, "Dia juga mata keranjang."
"Tapi hanya tiga hari ia tinggal di gedung itu, perempuan itu juga dibuangnya."
Berubah pula rona muka Hong Si-nio, suaranya tetap dingin, "Bukan hal aneh, lelaki itu memang tidak
berbudi dan tidak kenal kasihan."
"Orang yang menyaksikan kejadian ini, sebelum ini pernah kenal dia. Yakin tidak salah lihat, umpama salah
lihat, orang lain kan tidak mungkin salah lihat."
"Orang lain, siapa mereka?"
Kim-pou-sat tidak menjawab, malah bertanya, "Bukankah tadi kau bertemu tujuh orang buta?"
Hong Si-nio memanggut.
"Kau tahu siapa mereka sebenarnya?" Hong Si-nio geleng kepala.
"Yang lain aku tidak kenal, aku hanya tahu dua di antaranya adalah orang nomor satu dan tiga dari Kun-lunsu-
kiam. Satu lagi adalah Ciangbunjin baru dari Tiam-jong-pay, pa Thian-ciok."
Kembali Hong Si-nio mengerut alis.
Kemampuan Siau Cap-it Long mencari gara-gara kelihatannya bertambah lihai, urusannya juga makin
gawat.
Kim-pou-sat berkata enteng, "Yang pasti, beberapa orang itu tidak salah mengenali orang, apalagi mereka
adalah orang-orang yang dipaksa Siau Cap-it Long untuk menusuk buta mata sendiri, apalagi ...." Sampai di
sini bola matanya seperti mendadak membesar dua kali lipat, suaranya makin lirih lagi lambat, "Umpama
mereka salah mengenali orang, tak mungkin salah mengenali golok di tangannya. Siapa pun takkan salah
mengenali golok itu. "
"Keh-lo-to maksudmu?"
Bercahaya bola mata Kim-pou-sat, "Benar, itulah Keh-lo-to."
"Sebelum ini mereka pernah melihat Keh-lo-to?"
"Belum pernah."
Insan persilatan yang betul-betul pernah melihat Keh-lo-to memang belum banyak.
"Tidak pernah melihat, bagaimana bisa mengenali," tanya Hong Si-nio heran.
"Bentuk Keh-lo-to tidak mirip dengan kebanyakan golok. Apalagi Siong-bun-kiam yang dipakai Cia Thianciok
putus menjadi dua hanya dalam satu gebrakan."
Di kalangan Kangouw, golok yang mampu menabas kutung Siong-bun-kiam memang tidak banyak.
Giliran bola mata Hong Si-nio berputar, "Tapi Keh-lo-to bisa digunakan oleh siapa saja, kalau ada orang
terbunuh dengan Keh-lo-to, apakah pelakunya pasti Siau Cap-it Long?"
"Kalau tampang Siau Cap-it Long sejelek rupaku, wanita tercantik di Bulim pasti tidak jatuh cinta padanya,
berarti kesulitan yang melibatkan dirinya akan banyak berkurang."
Menyinggung Sim Bik-kun membuat perasaan Hong Si-nio sakit seperti ditusuk jarum.

"Apalagi Cia Thian-ciok dahulu pernah melihat Siau Cap-it Long, sebagai pimpinan suatu perguruan, aku
yakin dia tidak membual."
"Karena apa Siau Cap-it Long memaksa dia membutakan mata sendiri?"
"Kabarnya tanpa sengaja Cia Thian-ciok melirik beberapa kali kepada Sim Bik-kun."
"Hanya karena melirik kepada Sim Bik-kun, Siau Cap-it Long lantas mengorek kedua biji matanya?"
"Ya, begitulah."
"Salah, pasti salah. Siau Cap-it Long bukan orang demikian."
"Begitu kenyataannya."
"Pasti bukan."
"Pasti benar."
Mata Hong Si-nio melotot besar, mimik mukanya juga berubah aneh, dengan kencang mengertak gigi,
seperti memaksakan diri menahan rasa sakit, seperti sesak napas hingga tak mampu bicara.
"Duel antara Siau Cap-it Long dengan Siau-yau-hou, siapa menang siapa kalah, sampai sekarang orang
Kangouw tiada yang tahu, tapi kenyataan Siau Cap-it Long tidak mati, hal itu tidak bisa diperdebatkan lagi”.
Hong Si-nio masih melotot, bola matanya yang biasa benderang lincah, kini kelihatan buram kaku seperti
mata bangkai ikan.
"Sekarang dia masih hidup, akan datang saatnya dia pasti mampus."
Bibir Hong Si-nio bergerak, mulut terpentang seperti ingin bicara tapi suara tidak keluar dari tenggorokannya.
"Sebab di tubuhnya membawa rahasia tiga harta karun yang diincar setiap insan persilatan, kemana pun ia
pergi, bahaya akan selalu mengancam jiwa."
Jari jemari Hong Si-nio mulai gemetar.
"Kalau aku jadi dia, kemana aku hendak pergi, jejakku tentu kurahasiakan, sungguh aku tidak mengerti,
kenapa dia mengontak kau untuk bertemu di tempat ini? Kenapa berita pertemuan ini ia beritahukan kepada
orang lain? Aku ...."
Belum habis Kim-pou-sat bicara, mendadak Hong Si-nio berjingkrak berdiri, kursi di depannya ia sambar
terus dilempar keluar, lalu menjambak rambut sendiri dan berguling-guling di lantai.
Kim-pou-sat tertegun, sungguh di luar pikirannya bahwa Hong Si-nio bisa berbuat demikian.
Apakah Hong Si-nio menjadi gila?
Mendadak Hong Si-nio berjingkrak bangun, berdiri berkacak pinggang di depan Kim-pou-sat, lalu tertawa
tergelak.
Kim-pou-sat ikut tertawa, "Kita kan kawan lama, sahabat baik, urusan apa saja boleh dibicarakan, kenapa
harus marah begitu?" Ia yakin tak mungkin Hong Si-nio bisa mendadak gila, mungkin hanya pura-pura gila.
Tak nyana Hong Si-nio berteriak aneh, mendadak tangannya terulur mencengkeram lehernya, kini Kim-pousat
benar-benar terkejut.
Meski belakangan ini badannya makin tambun, syukur reaksinya masih cepat dan cekatan, sekali
berkelebat, tahu-tahu badannya bergeser tujuh kaki. Tidak berhasil mencengkeram leher orang, Hong Si-nio
malah mencengkeram leher sendiri, cengkeramannya kelihatan amat kuat, otot hijau menonjol di jidatnya,
lidah juga melelet keluar, sungguh mirip setan hidup.
Kim-pou-sat mengawasi dengan kaget, baru sekarang ia sadar Hong Si-nio ternyata memang benar sudah
gila. Wanita secantik Hong Si-nio yang suka kebersihan, senang menjaga gengsi, kalau bukan karena benar

gila, mana mungkin mau bertingkah seburuk itu di depan orang lain. Kini muka sendiri ikut memucat ngeri,
timbul hasrat ingin membujuk atau menghibur. Tak nyana mendadak Hong Si-nio mengejang kaku lalu roboh
telentang tak bergerak lagi.
Tak tahan Kim-pou-sat berseru gugup, "Si-nio, Si-nio ...."
Hong Si-nio tetap rebah kaku tak bergerak, selebar mukanya berubah kelabu, bola matanya juga melotot
keluar.
Kini Kim-pou-sat betul-betul kaget, perlahan ia mendekat, tangan diulur meraba hidung, ingin memastikan
apakah masih bernapas atau sudah putus jiwa.
Hong Si-nio sudah gila, malah mati di tempat ini.
Kim-pou-sat melenggong sekian lama, sungguh tak percaya bahwa ini kejadian nyata, ia hanya mematung
tak mampu bicara.
Pada saat itulah didengarnya suara pakaian melambai, tiba-tiba di depannya muncul seorang, rambut
kepalanya terurai panjang memutih perak memegang gendewa emas, siapa lagi kalau bukan Kim-kiong-ginhoan
Le Jing-hong. Menyusul suara derap kaki yang berat, Jin-siang-jin juga tiba.
Begitu Hong Si-nio minggat, tiada alasan mereka terus berkelahi. Mereka bukan lagi pemuda yang berdarah
panas, sedikit-sedikit berhantam serta mengadu jiwa, dalam usia mereka sekarang hal itu jelas takkan
dilakukan.
Tujuan mereka mencari dan mengejar Hong Si-nio.
Kini mereka juga muncul di sini, bersama-sama mengawasi Hong Si-nio yang rebah telentang di lantai. "Apa
yang terjadi?" tanya mereka.
Kim-pou-sat menjelaskan, "Tidak terjadi apa-apa, hanya mati seorang."
"Benar dia sudah mati?" Le Jing-hong menegas.
Kim-pou-sat menjawab, "Kelihatannya bukan pura-pura."
"Kau membunuhnya?" mendelik mata Le Jing-hong.
Kim-pou-sat menghela napas, "Apakah aku tega membunuhnya?"
Le Jing-hong mengerti, sebab ucapan orang memang benar. Hong Si-nio yang hidup jelas lebih berguna
daripada mati.
"Baru sekarang aku tahu," ujar Kim-pou-sat, "seorang ternyata bisa mati lantaran amarahnya."
"Mati lantaran amarahnya?" Le Jing-hong menegas.
"Kecuali alasan itu, sukar kutemukan bukti lain."
"Kalau kau lepas pakaiannya, tentu dapat kau temukan buktinya," Jin-siang-jin menimbrung.
Le Jing-hong melotot, "Orangnya sudah mampus, kau masih mau menelanjanginya?"
"Kalau sejak awal kau biarkan aku melepas pakaiannya, mungkin dia tidak mati."
Le Jing-hong mengerut kening. Sementara Kim-pou-sat membungkuk menyingkap ujung baju Hong Si-nio,
lalu menarik napas dalam, wajahnya seketika berubah, "Bajunya beracun."
"Baju itu memang bukan miliknya," kata Jin-siang-jin.
"Milik siapa?" tanya Le Jing-hong.
"Seorang yang bernama Hoa Ji-giok. Kau pernah mendengar namanya?" tanya Jin-siang-jin.

"Maksudmu baju ini pemberian Hoa Ji-giok?" tanya Le Jinghong.
Jin-siang-jin memanggut, suaranya dingin, "Sejak awal aku sudah tahu, setiap benda yang pernah disentuh
Hoa Ji-giok pasti beracun."
"Tapi aku maklum, kalau tiada manfaatnya, Hoa Ji-giok takkan kerja percuma."
"Betul."
"Dia membunuh Hong Si-nio, apa pula manfaatnya?"
"Aku tidak tahu," Jin-siang-jin menggeleng kepala.
Le Jing-hong uring-uringan, "Kalau Hong Si-nio hidup pasti berguna bagi dia, apa alasannya turun tangan
sekeji ini?"
"Ada Hong Si-nio pasti ada Siau Cap-it Long," Kim-pou-sat menimbrung, manfaatnya jelas tidak kecil."
Kembali matanya memicing, "Untuk persoalan ini kalian datang kemari, sekarang silakan bawa dia pergi."
"Yang kuinginkan adalah Hong Si-nio hidup, bukan mayatnya," seru Jin-siang-jin.
"Bahwa Si-nio mati di tempatmu ini, selayaknya kau mengurus jenazahnya," Le Jing-hong menambahkan.
Kim-pou-sat menarik muka, "Waktu datang ia sudah keracunan, kalian juga mengikuti jejaknya, sekarang
kalian melimpahkan tanggung jawab padaku, apa begini yang dibilang cengli?"
Mendadak seorang berkata lirih lembut, "Waktu masih hidup kalian memperebutkan dia, jenazahnya belum
dingin, kalian lempar tanggung jawab, perbuatan dan sikap yang tidak kenal budi tidak tahu aturan begini, di
alam baka kalau Hong Si-nio tahu, pasti tidak akan mengampuni kalian."
* * * * *
III. BELAS KASIH HOA JI-GIOK
Tabir malam mendatang.
Seorang muncul dari kegelapan di luar dengan langkah gontai, di kepalanya mengenakan mahkota bertahta
jamrut manikam, mengenakan jubah kembang warna-warni, bagian luar ditutup mantel sutra jingga bersulam
emas, pinggangnya dililit sabuk bertahta batu pualam, dihiasai dua puluh empat butir mutiara sebesar
kelengkeng, bundar gemerdep. Wajah nan bulat memutih gilap mirip warna mutiara di sabuknya, hidung
mancung, bola mata bening hitam, bibirnya merah merekah bagai delima matang, tidak tertawa tapi
kelihatan selalu tersenyum. Ditingkah cahaya lampu, gadis cantik muda belia sungguh sangat anggun.
Melihat orang muncul dari kegelapan, semua yang hadir berubah air muka. Hoa Ji-giok biar belum pernah
bertemu atau melihatnya, melihat dandanannya, orang akan lekas mengerti bahwa dialah Hoa Ji-giok. Orang
ini memang bagai batu pualam mirip bunga berkembang, tapi dia bukan perempuan, tapi laki-laki tulen.
Hoa Ji-giok sendiri maklum, tiada lelaki macam dirinya di dunia ini, kalau ada ya cuma satu dua saja.
Sikapnya kelihatan lemah lembut, tapi sorot mata dengan kerut keningnya seperti membayangkan
keangkuhan hatinya.
Sambil tersenyum ia melangkah masuk, melirik pun tidak kepada Kim-pou-sat bertiga, perhatian ditujukan
pada Hong Si-nio yang rebah di lantai, katanya lirih, "Sungguh kasihan, waktu hidup kau jadi rebutan,
setelah mati tiada orang mau mengurus jenazahmu. Semoga dalam perjajanan ke nirwana selamat sampai
tujuan. Mereka tidak kenal budi tidak tahu kasihan, aku Hoa Ji-giok akan mengurus jenazahmu."
"Kau akan mengurusnya?" tiba-tiba Jin-siang-jin menjengek.
"Aku bukan anak bukan kadangnya," kata Hoa Ji-giok, "tapi tak tega melihat jenazahnya telantar di sini."
"Sejak kapan berubah jadi baik hati?" jengek Jin-siang-jin.
"Aku kan menaruh belas kasih terhadap perempuan."

"Ocehanmu enak didengar," sindir Jin-sian-jin, "bukankah dia mati di tanganmu?"
Baru sekarang Hoa Ji-giok mengangkat kepala, tawanya mekar, "Kalau benar dia mati di tanganku,
memangnya kau ingin menuntut balas baginya?"
Terkancing mulut Jin-siang-jin, jelas dia tidak akan bentrok apalagi mengadu jiwa dengan Hoa Ji-giok bagi
orang yang sudah mati.
Hoa Ji-giok tertawa lebar, "Kim-pou-sat seyogianya berhati welas asih, apakah sudi mengurus jenazahnya?"
Kim-pou-sat diam saja.
Hoa Ji-giok menghela napas, "Kelihatannya kalian ogah mengurus jenazahnya, baiklah, biar aku yang
menyelesaikan." Dia hanya mengulap sebelah tangan, dua orang gadis muda tahu-tahu berkelebat masuk,
mengangkat jenazah Hong Si-nio, lekas sekali diangkat keluar dan lenyap ditelan kegelapan, Hoa Ji-giok
menggumam perlahan, "Panas dingin perasaan manusia, sikap duniawi sungguh merana. Hari ini aku
menyempurnakan janazahnya, kelak kalau giliran aku mati, entah siapa mau mengurus mayatku." Perlahan
ia berjalan keluar, langkahnya kelihatan ringan, tapi kakinya bergerak di lantai meninggalkan tapak kaki yang
dalam.
Le-jing-hong siap mengejar keluar, namun demi melihat tapak kaki orang, segera ia batalkan niatnya.
Kim-pou-sat menggeleng kepala, gumamnya pula, "Tampang orang ini secantik kembang semurni pualam,
hatinya ternyata kejam melebihi binatang, sungguh aku tidak mengerti, kenapa dia mau datang mengambil
jenazah Hong Si-nio?"
Jin-sian-jin menanggapi dingin, "Mungkin ingin ganti selera, gegares daging orang mati."
Betulkah Hoa Ji-giok makan daging orang yang sudah mati?
Sudah tentu Hong Si-nio tidak mati, waktu ia membuka mata, dilihatnya Sim-sim berdiri di depannya.
Tangannya tidak putus, dua-duanya masih utuh, bekas luka juga tidak kelihatan. Hong Si-nio melotot kaget,
"Tanganmu ...."
"Tanganku tidak secantik tangan Si-nio," kata Sim-sim dengan tersenyum.
"Tanganmu tetap dua?"
"Sejak lahir tanganku memang dua."
"Kukira kau punya tiga tangan."
"Manusia mana yang punya tiga tangan?"
"Lalu tanganmu yang keracunan tadi yang mana?"
"Kalau racun seringan itu aku tidak tahan, umpama aku punya tiga puluh tangan juga percuma, semua pasti
buntung."
"Maksudmu hanya terkena sedikit racun?"
"Ya, sedikit sekali."
"Tapi kau tadi.... "
"Maksudku supaya Si-nio tahu, makhluk apa dia sebenarnya."
Si-nio mengawasi sekian lama, "Tadi sudah kubilang, kelak kau pasti akan mendapat jodoh yang sesuai
sebagai pasanganmu."
"Ehm," Sim-sim bersuara dalam mulut.

Hong Si-nio menghela napas, "Tapi aku malah kuatir bagi pasanganmu kelak bila punya bini sepertimu,
suamimu mana tahan?"
Rumah ini dipajang amat megah lagi mewah. Hong Si-nio menyapu pandang ke sekelilingnya, tak tahan ia
bertanya, "Bagai-mana aku bisa berada di sini?"
"Kami yang menggotongmu ke sini," sahut Sim-sim.
"Menggotongku kemari?"
"Tadi kau sudah mati sekali."
Gemerdep mata Hong Si-nio, "Mati bagaimana?"
"Baju yang kuberikan kepadamu itu beracun."
"Hah, baju itu beracun?"
"Hoa-kongcu menaruh racun di baju itu."
"Kenapa dia meracunku mati?"
"Karena kuatir kau dibeset mampus jadi beberapa bagian."
"Ya, mereka memperebutkan diriku."
”Tapi begitu kau mati, jangan kan mengurus jenazahmu menyentuhmu saja tidak sudi."
"Lalu kalian menggotongku ke sini."
"Kau mati atau hidup, kami tetap akan merawatmu."
"Kalian bisa menolong orang mati kembali hidup?"
"Orang lain tidak bisa, Hoa-kongcu mampu."
"Sepertinya Hoa-kongcu kalian itu orang yang luar biasa."
”Terus terang saja," ujar Sim-sim gegetun, "belum pernah aku melihat seorang yang luar biasa seperti dia."
"Kenapa tidak biarkan aku melihatnya."
"Umpama kularang kau melihatnya, dia pasti tidak setuju."
Dari luar kerai seorang mendadak berkata, "Perintah dari Kongcu, bila Si-nio sudah siuman, dipersilakan ke
ruang depan minum arak."
Ruang depan ini lebih luas, tinggi dan besar, pajangannya jauh lebih mempesona, persisnya seperti dunia
sutra dan mutiara. Di meja penuh bertumpuk belasan macam hidangan.
Sim-sim berkata, "Hidangan hari ini semua aku yang menyiapkan, ada ayam dan angsa panggang, ayam tim
sarang burung, dan lima belas hidangan lain yang dibikin berbahan dari gunung, laut dan tanah perkebunan
yang susah dibeli di pasaran."
Hong Si-nio melenggong mengawasi bermacam hidangan sebanyak itu.
Sim-sim berkata lebih jauh, "Hidangan semeja ini kuatur menurut daftar menu yang diajukan koki istana,
entah cukup tidak untuk disantap."
"Kau tahu hidangan ini cukup dimakan tidak?"
"Ya."
"Memangnya kau kira aku ini siapa? Kau anggap aku ini Bik-lik-hud yang gendut perutnya itu?"

"Yang pasti aku tahu sekarang kau sedang kelaparan."
"Aku memang kelaparan, tapi hidangan sebanyak ini, jangan kata makan, melihat saja perutku sudah
kenyang."
Baru saja Hong Si-nio menaruh pantatnya di kursi, dilihatnya seorang menyingkap kerai dan berjalan masuk.
Hong Si-nio sudah malang melintang sekian tahun di Kang-ouw, pemuda-pemuda yang pernah dilihatnya
tidak terhitung jumlahnya, tapi belum pernah melihat lelaki sebagus, seganteng ini.
Hoa-kongcu tersenyum sambil mengangguk, sekilas ia mengerut alis, lalu berkata, "Hidangan hari ini siapa
yang menyiapkan?"
"Akulah," sahut Sim-sim.
"Kau memang terlalu, hidangan ayam, itik, udang dan ikan setumpuk, jangan kata makan, melihat saja
sudah kenyang perut Si-nio."
Hong Si-nio menahan rasa geli, ”Ternyata Hoa-kongcu mengerti seleraku."
Hoa Ji-giok berkata, "Bisa berkenalan dengan Si-nio yang perkasa, tidak sia-sia hidup Hoa Ji-giok."
"Hidupmu takkan sia-sia. Orang mati dapat kau hidupkan kembali, mana mungkin kau hidup sia-sia."
"Kukira Sim-sim banyak mulut tadi."
"Tidak, dia tidak memberitahu apa-apa, aku juga tidak tahu sekarang aku di tempat apa."
"Bukankah tujuan Si-nio di tempat ini?"
"Bukit berbatu maksudmu?"
"Ya, di sinilah Loan-ciok-san."
Berputar bola mata Hong Si-nio, "Ada tempat sebagus ini di Loan-ciok-san?"
"Awalnya tidak seindah ini," sela Sim-sim tersenyum, "setelah Kongcu ada di sini, keadaan semua berubah."
"Aku ini tidak suka menyiksa diri sendiri."
"Kurasa Kongcu sudah kenal selera dan kegemaranku juga."
"Bila Si-nio tidak menganggap aku sekomplotan dengan Kim-pou-sat, aku senang bergaul dengan Si-nio."
Lama Hong Si-nio menatapnya, "Betul kau bukan komplotan mereka?"
Hoa Ji-giok tertawa manis, "Sepanjang hidupnya, Kim-pou-sat hanya memikirkan bagaimana memperkaya
diri, Jin-sing-jin dan Le Jing-hong hanya ingin mencelakai jiwa orang. Menurut Si-nio apakah aku ini mirip
orang yang suka merampok dan membunuh orang?"
"Tampangmu tidak mirip penjahat. Lalu mereka ingin merampok harta siapa? Membunuh jiwa siapa pula?"
"Siau Cap-it Long. Pasti Siau Cap-it Long."
"Bukankah kehadiranmu di sini juga ingin bertemu Siau Cap-it Long?"
"Bukan."
"Betul bukan?"
"Jangan kata hanya seorang Siau Cap-it Long, andai ada 10 Siau Cap-it Long, takkan menggerakkan hatiku,
buat apa aku berada di pegunungan yang serba kurang ini?"

"Hasrat apa yang memaksamu ke sini?"
"Ya, memang karena seseorang."
"Siapa?"
"Kau."
Hong Si-nio mengikik tawa, "Aku senang mendengar lelaki berbohong, kalau bicara bisa membuat orang
merasa nikmat."
"Sayang sekali apa yang kuucapkan kali ini bukan bohong."
"O, yang benar saja."
"Kecuali Si-nio, manusia mana di dunia ini yang dapat mendesakku datang ke tempat ini."
"Aku sendiri belum pernah menyuruh kau datang ke tempat seperti ini."
"Ya betul, tapi aku memang terpaksa harus ke sini."
"Datang terpaksa? Kenapa?"
"Seorang suami kalau tahu bininya menghadapi bahaya, pasti dipaksa menyusul dan menolong bininya itu."
"O, Hoa-toako kita ini menyusul ke tempat ini menyusul Hoa-toaso?"
"Ya, begitulah."
"Hoa-toaso kita tentu seorang wanita yang cantik rupawan,"
Hoa Ji-giok manggut-manggut, sepasang matanya mengawasinya tanpa berkedip, akhirnya menghela
napas, "Hoa-toaso memang wanita cantik bagai kembang mekar, aku sendiri tidak tahu betapa besar
rezekiku dapat memperisteri dia."
"Makanya kau harus berhati-hati."
"Hati-hati dalam hal apa?"
"Jagalah sepasang matamu, kalau melihat begitu cara kau menatapku, pasti dia akan cemburu padaku."
"Aku yakin dia tidak akan cemburu."
"Memangnya Hoa-toaso selamanya tidak pernah cemburu?"
"Yakin tidak."
"Betulkan selama hidupnya Hoa-toaso tak pernah cemburu?"
"Cemburu sih jelas, tapi tidak akan cemburu padamu."
"Kok bisa?"
"Karena Hoa-toaso adalah engkau dan engkau adalah Hoa-toaso."
Hong Si-nio tertegun.
"Sebenarnya sejak menikah dengan kau, aku tidak pernah melihat apalagi menyentuh wanita lain. Lelaki
manapun kalau sudah punya bini secantik dan sebaik engkau, pasti dan yakin tidak akan memperhatikan
wanita lain."
Akhirnya Hong Si-nio menarik napas panjang, "Jadi aku sendirilah Hoa-toaso itu."
"Memangnya siapa lagi kalau bukan engkau."

"Memangnya sejak kapan aku menjadi binimu?"
"Lho, masa engkau lupa?"
"Ya, aku lupa."
Hoa Ji-giok menghela napas gegetun, "Mestinya engkau tidak lupa, sebab hari pernikahan kita tepat pada
tanggal lima bulan lima."
"Toan-ngo-coat?"
"Betul," sahut Hoa Ji-giok, "di hari Toan-ngo-coat itulah kita menikah."
Bagai dibenamkan dalam lumpur perasaan Hong Si-nio. Beberapa hari sebelum dan sesudah Toan-ngo-coat
kondisinya sedang gundah, bingung lagi cemas.
Setiap datang hari Toan-ngo-coat, entah kenapa perasaannya selalu begitu, seperti tahun-tahun yang
sudah, ia mencari tempat, menyembunyikan diri.
Beberapa hari itu jelas ia tidak bertemu dengan orang, juga pasti tiada orang pernah melihat dirinya. Hong
Si-nio tahu bahwa dirinya pasti tidak pernah menikah dengan Hoa Ji-giok, tapi selain diri sendiri susah ia
mencari orang lain untuk menjadi saksi dan membuktikan keberadaan dirinya.
Mengawasi kebingungan Hong Si-nio, Hoa Ji-giok tampak gembira, katanya pula, "Pernikahan kita diadakan
tergesa-gesa, namun pestanya cukup meriah, ada bukti mak comblang, umpama kau ingkar tak mungkin
bisa ingkar."
Mendadak Hong Si-nio tertawa lebar malah, "Dapat menikah dengan pemuda pujaan adalah idamanku,
kenapa aku harus ingkar?"
"Kalau benar kau menyukai aku, kenapa di malam pertama yang semestinya penuh bahagia justru minggat
dari kamar pengantin?"
"Sudah biasa, tiap kali kualami malam pertama pernikahan, selalu aku minggat."
”Tapi sekarang sudah kutemukan kau kembali, kuharap engkau tidak minggat lagi."
"Ya, aku tahu," Hong Si-nio menghela napas dengan tertawa getir.
Si-nio maklum, kali ini dirinya susah meloloskan diri. Tahu-tahu hari ini dirinya menjadi bini Hoa Ji-giok,
betapa aneh dan ganjil kejadian ini.
Hoa Ji-giok memang pemuda bagus, ganteng dan enak dipandang, bukan saja muda banyak duit, lemah
lembut sayang istri, perempuan mana yang bisa menikah dengan pemuda seperti ini, pasti akan merasa
senang lagi bahagia. Tapi sekarang Hong Si-nio amat gundah, ingin menangis saja air mata tak bisa
meleleh.
Pandangan Hoa Ji-giok manis mesra, rasanya seperti ingin membopong mempelai perempuan masuk ke
kamar. Sebaliknya gemas Hong Si-nio bukan main, rasanya ingin mencekik lehernya biar mampus, tapi ia
tahu untuk mencekik pemuda ini bukan urusan mudah.
Suara Hoa Ji-giok lembut namun penuh gairah, "Ayolah, kamar pengantin sudah kusiapkan."
"O?"
"Kalau hidangan ini tidak ingin kau makan, biarlah kita masuk kamar dulu."
Hong Si-nio lihat sana pandang sini sambil berkata, "Hidangan sebanyak dan seenak ini, kalau tidak
dimakan apa tidak sayang?" Tanpa sungkan ia mengambil daging, mencomot udang, lalu dimakan dengan
lahap, makannya lebih banyak dari biasanya. Ia insaf setelah makan kenyang kali ini, entah kapan baru ada
kesempatan makan lagi.
Dengan senyum lebar Hoa Ji-giok menyaksikan dari seberang meja, menunggu dengan sabar.

Hong Si-nio mengerling mata, lalu katanya, "Kawin dengan bini yang suka gegares seperti aku, kau masih
bisa tertawa?"
"Kenapa tidak bisa tertawa?"
"Kau tidak takut menjadi kere (jembel)?"
"Menikah dengan bini seperti engkau yang selalu mengundang rezeki, mana mungkin aku bisa kere?"
Gatal gigi Hong Si-nio, saking gemas, rasanya ingin ia menggigit sekerat daging di badannya. Kini ia sudah
tak kuasa menelan makanan lagi.
"Sudah selesai kau makan?"
"Seleraku hari ini kurang baik, biarlah makan sedikit saja."
"Asyik, sekarang...."
"Sekarang aku ingin minum arak, ayo temani aku minum tiga cawan."
”Tentu kutemani kau minum."
"Berapa cawan aku minum, kau juga minum sebanyak itu?"
"Orang lain tiada yang mencekok aku minum, mempelai sendiri malah yang menganjurkan aku banyak
minum?"
Hong Si-nio tersenyum lembut, "Malam pertama di kamar pengantin, bukankah sudah biasa kalau mempelai
pria mabuk?"
Di luar tahunya, pemuda ini kelihatan lemah lembut, bila minum arak perutnya ternyata mirip gentong.
Wanita seperti Hong Si-nio kalau ingin membuat mabuk para lelaki, entah berapa kali mudah dilakukannya,
ukuran minumnya juga cukup luar biasa, kalau tidak, entah sudah berapa kali ia ditelanjangi lelaki. Dalam hal
minum ada kemampuan Hong Si-nio yang luar biasa, orang lain makin banyak minum pandangan bisa makin
kabur, sebaliknya makin banyak minum, bola matanya malah cemerlang, orang jadi susah menebak apakah
dia sudah mabuk atau belum, maka jarang ada orang berani mengadu kekuatan minum padanya.
Ternyata Hoa Ji-giok juga demikian, makin banyak minum makin sadar saja, bola mata Hong Si-nio sudah
benderang mirip lampu, dengan melotot ia mengawasi lalu bertanya, "Kau pernah mabuk tidak?"
"Orang yang minum arak, siapa yang tidak mabuk?"
"Jadi kau pernah mabuk?"
"Aku sering mabuk."
"Kulihat sekarang tiada tanda-tanda kau akan mabuk."
"Siapa bilang. Tahun lalu aku pernah jatuh mabuk."
"Tahun lalu?"
"Lima tahun lalu juga pernah mabuk sekali."
"Selama hidupmu kau hanya pernah mabuk dua kali?"
"Dua kali sudah luar biasa bagiku."
"Ada juga orang yang sehari mabuk dua kali, toh merasa kurang banyak dan tidak pernah kapok."
"Aku sendiri ingin bisa mabuk beberapa kali, sayang araknya yang kurang."

"Berapa banyak yang kau butuhkan?"
"Aku sendiri tidak jelas, yang kuingat tahun lalu aku hanya menghabiskan dua belas guci Tiok-yap-cing, lalu
roboh tak sadarkan diri."
Hong Si-nio melenggong. Dua belas guci Tiok-yap-cing, kalau harus dituang dalam baskom, mungkin harus
dikerjakan selama setengah hari."
Bentrok Para Pendekar 03
Karya Gu Long - Gan K.H.
Bagian 3
"Aku datang tergesa-gesa, arak yang kubawa mungkin hanya dua belas guci, kalau merasa kurang,
sekarang boleh kusuruh orang turun gunung beli di kota."
"Dua belas guci mana mampu kuminum habis, umpama untuk berendam saja mungkin aku bisa mampus
tenggelam."
"Lalu berapa yang ingin kau minum?"
"Sudah cukup, berhenti."
Mata Hoa Ji-giok memicing sipit, suaranya lembut, "Kalau begitu ...."
Mendadak Hong Si-nio berjingkrak berdiri, "Sekarang kita masuk kamar pengantin."
Bersama laki-laki yang masih asing baginya Hong Si-nio masuk kamar pengantin. Untuk kedua kalinya ia
masuk kamar pengantin, waktu berjalan masuk lagaknya seperti pahlawan sedang maju ke medan perang.
Kamar pengantin yang satu ini tidak banyak beda dengan kamar pengantin umumnya, sepasang lilin besar
warna merah menyala benderang, selimut sutra bertumpuk di pinggir ranjang bersulam burung mandarin,
untuk segala keperluan pengantin, dari kepala sampai ujung kaki tersedia di kamar ini. Yang berbeda hanya
mempelai perempuan tidak mirip mempelai.
Di samping Sim-sim cekikikan geli, sambil bertepuk tangan ia bernyanyi, "Hari ini waktu baik suasana
gembira, kembang merah daun rimbun, tahun depan lahirlah si upik nan gemuk lucu, digendong disayang
pergi bertemu ayah bunda."
Mendadak Hong Si-nio juga bertepuk riang, serunya, "Bagus sekali nyanyianmu, ada persen dari mempelai."
"Persen apa?" tanya Sim-sim gembira.
"Persen satu tamparan," tangannya benar-benar menampar ke muka Sim-sim, gadis cilik ini ternyata cukup
cerdik, selicin rase tiba-tiba ia menyelinap ke pinggir terus berlari keluar sambil menutup pintu.
Hoa Ji-giok tertawa lebar, "Tak usah kau mengusirnya, toh dia harus pergi."
"Siapa bilang tidak usah diusir, aku justru sudah tidak sabar lagi."
"Sudah tidak sabar?"
"Memangnya?" mata Hong Si-nio merem melek, seperti mulai mabuk, badan berputar tubuhnya roboh di
ranjang, dengan mata terpicing ia mengawasi Hoa Ji-giok, lalu bertanya, "Berapa umurmu sekarang?"
"Genap dua puluh satu," sahut Hoa Ji-giok.
"Kalau aku menikah muda, anakku mungkin sudah sebesar engkau."

"Aku memang suka perempuan yang usianya lebih tua, wanita tua makin matang, lebih romantis." Sambil
bicara ia melangkah menghampiri Hong Si-nio.
"Dan kau? Kau romantis tidak?"
"Sebentar lagi kau juga akan tahu."
Wajah Hong Si-nio seperti jengah, perlahan ia memejam mata.
Dengus napas Hoa Ji-giok terasa juga makin mendekat.
Hong Si-nio mengerang perlahan, suaranya lembut, "Adik cilik, kau adalah adik cilik, aku menyayangimu.
Hoa Ji-giok juga seperti terpesona, tawanya seperti mabuk, "Kau sayang apaku?"
"Sayang kau harus mati." bentak Hong Si-nio. Mendadak tubuhnya melejit dari ranjang, hanya sekejap kaki
tangan menyerang berbareng, tujuh pukulan dibarengi tiga tendangan.
Lelaki kalau di mabuk asmara, umumnya lupa daratan, dicecar serangan ganas secepat itu, lumrahnya tak
mungkin menghindar. Tak nyana Hoa Ji-giok berubah tidak mabuk kepayang, sekali sambar ia tangkap kaki
Hong Si-nio, gerakannya begitu cepat. Tahu-tahu Hong Si-nio merasa tubuhnya kaku, tenaga seketika
terkuras habis di ujung kaki.
Dengan kalem Hoa Ji-giok mencopot sepatunya, lalu mengelus telapak kakinya, katanya dengan tersenyum,
"Bagus sekali sepasang kaki ini."
Luluh badan Hong Si-nio, perempuan mana yang tidak takut geli bila telapak kaki digelitik.
Maka terbayang oleh Hong Si-nio waktu memperebutkan Keh-lo-to dulu, waktu dirinya jatuh di tangan
Sugong Siok, makhluk cacad itu pun mencopot sepatunya, malah menggelitik telapak kaki dengan
jenggotnya.
Hoa Ji-giok tidak berjenggot, tapi jari-jari tangannya bermain lebih lincah, rasanya lebih mengerikan.
Untung waktu itu ia ditolong Siau Cap-it Long. Untuk kali ini? Hanya Tuhan yang tahu dimana Siau Cap-it
Long sekarang berada?
Saking jengkelnya Hong Si-nio ingin menangis, namun rasa geli juga membuatnya ingin tertawa mengikik,
karena ditahan-tahan akhirnya ia berteriak.
Senyum Hoa Ji-giok makin mekar, "Kau berteriak-teriak, didengar orang di luar, coba bayangkan bagaimana
pikiran mereka?"
Hong Si-nio tidak berani berteriak lagi, dengan menggigit bibir ia berkata, "Anggaplah aku menyerah, lekas
lepaskan aku saja."
"Tidak boleh."
"Kau ... apa maumu?"
"Coba terka!"
Hong Si-nio tidak berani menerka, membayangkan saja tidak berani.
Hoa Ji-giok berkata, "Sebetulnya aku tahu kau akan menyerangku, memangnya aku sudah menunggu, tak
kira kau begitu tahan uji, sampai detik terakhir baru bereaksi." Setelah menghela napas ia menambahkan,
"Sayang sekali, reaksimu juga kuanggap tergesa-gesa."
"Menurutmu harus kutunggu sampai kapan?" Harapannya hanya mengulur waktu saja.
"Sampai aku naik ke ranjang.”
Hong Si-nio menghembus napas dari mulut, semula ia sudah berencana demikian, ia tahu kesempatan
waktu itu pasti lebih besar keberhasilannya, sayang ia terlalu takut lagi ngeri, takut diperkosa, maklum

selama ini ia memang belum pernah dipegang-pegang lelaki.
"Dari kejadian ini dapat kusimpulkan," demikian kata Hoa Ji-giok, "Kau ini belum terhitung perempuan yang
lihai."
"Kau justru laki-laki yang lihai."
"Memangnya aku bukan lelaki lemah."
"Untuk kejadian ini, sudah lama kau rencanakan."
"Ya, sudah dua tiga bulan."
"Ketahuilah setiap orang merayakan hari-hari raya, hari besar, aku selalu menyembunyikan diri, menyepi
sendiri, maka kau gunakan alasan sudah menikah denganku pada hari raya Toan-ngo."
"Makanya kau tidak boleh ingkar, ingkar juga percuma."
"Kau juga tahu aku minggat dari kamar pengantin."
"Banyak orang tahu kejadian itu, maka kali ini sudah kuduga dan siaga, kepada orang aku bisa bilang kau
melakukan kesalahan lama." Dengan senyum memikat ia melanjutkan, "Aku malah bilang, sejak awal kau
memang ingin kawin dengan aku, tapi begitu mendengar berita Siau Cap-it Long, kau minggat tak keruan
peran."
"Ya, betapapun aku menyesal, orang lain pasti tidak percaya."
"Sudah nasib dan takdirmu bakal menjadi biniku."
”Tapi ... kenapa kau mau melakukan perbuatan kotor ini?"
"Karena aku suka padamu."
"Kalau benar menyukaiku, pantasnya tidak kau lakukan cara begini."
"Justru untuk membuktikan aku benar-benar menyukaimu perlu kulakukan cara ini."
"Kau... betulkah kau mau ... mau ...." tak kuasa Hong Si-nio melanjutkan.
Jari-jari Hoa Ji-giok sudah mulai membuka kancing bajunya.
Tak tahan Hong Si-nio menjerit keras.
"Tak heran orang pernah bilang kamar pengantin persis dengan tempat jagal, jeritanmu sungguh mirip orang
menyembelih babi.”
"Kau ... benar ingin melucuti pakaianku?"
"Bukan hanya melucuti pakaianmu, akan kubuatkan kau telanjang."
Hong Si-nio sudah tidak mampu menjerit lagi, tiba-tiba ia merasa sekujur badan dari atas sampai bawah
sudah bugil total, saking tegangnya sekujur badan terus merinding.
Hoa Ji-giok tertawa iblis, matanya sungguh kurang ajar, menjelajah seluruh lekuk tubuhnya, desis suaranya
memburu, "Buat apa tegang?"
Hong Si-nio mengertak gigi, tubuhnya gemetar keras.
"Aku tahu dulu ada lelaki mengintip kau mandi, katanya sedikitpun kau tidak setegang ini."
Kondisi waktu itu jelas berbeda, ia juga tahu para lelaki itu hanya mengintip dari lubang kecil, sekarang ia ....
Kata Hong Si-nio geram, "Sekarang kau sudah cukup memandangku, apalagi yang akan kau lakukan?"
"Kau ini pengantin perempuan di kamar pengantin lagi, aku mempelai pria tentu tahu apa tugasku

selanjutnya."
"Benar kau ingin mengawiniku?"
"Memangnya aku main-main?"
"Kau ... bukankah kau melihat aku ini sudah nenek-nenek?"
”Tidak kulihat nenek di sini, kondisimu persis dengan gadis muda belasan tahun."
Mendadak terasa oleh Hong Si-nio tangan orang sudah meraba pahanya, malah terus merambat naik,
ternyata tangan orang halus empuk.
Hong Si-nio merasa sekujur badan menjadi lemas lunglai, Betapapun ia adalah perempuan normal, perawan
ting-ting meski sudah berusia tiga puluh lima.
"Kurasakan kau amat tegang, apa benar selama ini kau belum pernah disentuh lelaki?"
Hong Si-nio mengertak gigi, air mata meleleh di pipi.
Hoa Ji-giok seperti amat terhibur, "Kelihatannya memang belum pernah disentuh lelaki, dapat mengawini
perempuan seperti engkau, rezekiku sungguh amat besar ...." Perlahan ia mulai naik ke ranjang.
Hong Si-nio memejamkan mata, air matanya mengalir makin deras, katanya memelas, "Akan datang
saatnya kau menyesal, ya, datang satu hari ...." Itu ancaman juga peringatan, sayang nada bicaranya sudah
lemah, sekeras apapun watak wanita, dalam posisi seperti itu, akhirnya pasti menjadi lemah dan menyerah.
Betapapun Hoa Ji-giok adalah lelaki ganteng.
* * * * *
IV. SEJENGKAL PUN TIDAK PERNAH BERPISAH
Dalam keadaan apa boleh buat, perempuan akan menerima nasibnya yang jelek, demikian keadaannya
sekarang, ia sudah siap menerima nasib itu.
Tak nyana mendadak Hoa Ji-giok menghela napas, "Kenapa harus menunggu kelak. Sekarang aku sudah
mulai menyesal."
Terpentang lebar mata Hong Si-nio, "Soal apa yang kau sesalkan?"
"Menyesal kenapa aku bukan laki-laki."
Hong Si-nio melenggong.
Perlahan Hoa Ji-giok menarik napas, meraba dengan lembut, "Kalau aku lelaki, dalam kondisi seperti ini
bukankah aku riang nikmat."
"Kau ..." Hong Si-nio berteriak, "kau juga perempuan?"
"Apa perlu aku juga bertelanjang untuk kau periksa?"
Merah muka Hong Si-nio, "Kau ... kau ... jangan gila."
Hoa Ji-giok cekikikan geli, "Aku juga perempuan, kenapa kau marah malah. Apa kau kecewa?" Jari-jarinya
masih menggelitik.
Merah padam muka Hong Si-nio, "Singkirkan tanganmu."
Hoa Ji-giok terkekeh, "Kalau aku lelaki tulen, apa kau juga akan berteriak menyuruhku menyingkirkan
tangan?"
"Kau ... apa sudah kesetanan."
Hoa Ji-giok tertawa besar.

"Ingin kutanya kalau betul kau perempuan, kenapa kau lakukan semua ini?"
”Tadi sudah kujelaskan. Aku menyukaimu." Jari-jarinya tetap meraba-raba, "Perempuan sepertimu yang
penuh daya tarik, peduli lelaki atau perempuan, pasti suka."
"Singkirkan tanganmu!" bentak Hong Si-nio.
"Justru tidak, jangan lupa kau ini biniku, takdir sudah menentukan kau adalah biniku, mau ingkar juga
percuma."
Hong Si-nio menghela napas, mendadak ia sadar akan satu hal. Perempuan peduli kawin dengan lelaki
macam apapun, akan jauh lebih baik daripada menikah dengan sesama perempuan. Perempuan kawin
dengan wanita akan tersiksa selama hidup.
Mendadak Hong Si-nio bertanya, "Apa benar kau ingin mengawini aku."
"Sudan tentu benar."
"Yang benar saja, apa maksudmu?"
"Mau kau mendengar penjelasanku?"
"Sudan tentu mau."
"Sekarang kau sudah menjadi biniku, maka tak boleh kawin dengan orang lain lagi."
"Orang lain, siapa maksudmu?"
"Siau Cap-it Long. Siapa lagi kalau bukan Siau Cap-it Long."
Hong Si-nio menarik muka, "Kau tidak setuju aku menikah dengan Siau Cap-it Long?"
"Ya, begitu."
"Jadi kau sendiri yang ingin kawin dengan dia?"
"Aku ini suamimu, jelas takkan menikah dengan dia."
"Semua ini kau lakukan demi orang lain?"
"Ya, betul."
"Orang lain siapa?"
"Sudah tahu main tanya lagi."
"Sim Bik-kun maksudmu?"
"Aku simpati padanya, kalau Siau Cap-it Long menikah dengan kau, Sim Bik-kun pasti gila."
Dingin suara Hong Si-nio, "Kekuatiranmu berlebihan. Umpama lelaki di dunia mati seluruhnya, aku pasti
tidak akan kawin dengannya."
"Ah, jujur saja?"
Hong Si-nio tak mau bicara lagi. Ia tahu kalau perempuan membual, hanya dapat membohongi lelaki. Di
depan perempuan seperti Hoa Ji-giok, penjelasan apapun takkan berguna.
Hoa Ji-giok menghela napas, "Satu hal terbukti, begitu tahu Siau Cap-it Long ingin bertemu, kau lantas
berada di sini."
"Bukankah kau kemari juga lantaran dia?"
"Bukit berbatu ini daerah gersang, sepi lagi belukar. Memang di sini markas pusat kawanan berandal di

Kwan-tiong, sarang para penyamun. Saat ini di tempat ini berdatangan tokoh-tokoh kosen dari berbagai
golongan."
"Makhluk aneh yang duduk di atas topi itu, apakah dia termasuk tokoh besar?"
"Siapa pun dia kalau tega mengutungi dua kaki dan satu tangan sendiri, dia boleh terhitung tokoh yang luar
biasa."
Mau tidak mau Hong Si-nio harus mengakui, Jin-siang-jin betul lelaki tulen, lelaki tulen yang tegas pasti
adalah orang kuat.
"Demikian juga Le Jing-hong, datang ke sini karena ingin memenggal kepala Siau Cap-it Long."
"Le Jing-hong dan Siau Cap-it Long juga bermusuhan?"
"Le Jing-hong adalah bapak Le Kong. Bukankah Le Kong mampus di tangan Siau Cap-it Long?"
"Pantas Le Kong tidak pernah mau menjelaskan asal-usulnya, ternyata bapaknya penyamun tunggal."
"Sang bapak jelas jauh lebih kuat dan lihai dari anaknya."
"Ya, paling tidak Le Jing-hong bukan laki-laki palsu."
"Kedatangan Kim-pou-sat ke tempat ini jelas tidak bermaksud baik.”
"Kecuali mereka, masih banyak yang bermaksud jahat. Hanya aku yang berbeda dengan mereka."
"Memangnya kau ini orang baik?"
"Memang aku orang baik."
"Untuk apa orang baik sepertimu ke tempat ini?"
"Orang baik tentu akan berbuat baik."
"Berbuat baik apa?"
Tidak langsung menjawab, Hoa Ji-giok balas bertanya, "Kau sendiri untuk apa datang ke sini."
"Kau sudah tahu kalau Siau Cap-it Long yang mengundangku kemari."
"Dia sendiri yang mengundangmu?"
"Bukan."
Sejak berpisah dahulu, hingga sekarang dia belum pernah bertemu dengan Siau Cap-it Long.
"Jadi kau hanya mendengar omongan orang lain, di Kangouw dia menyiarkan berita supaya kau ke tempat
ini untuk bertemu dengannya."
"Karena dia juga tak bisa mencariku, Selama dua tahun ini kami kehilangan kontak sama sekali."
"Kalau demikian, bagaimana kau tahu berita itu bisa dipercaya?"
Hong Si-nio menghela napas geleng-geleng kepala, dia memang tidak tahu. Kedatangannya kali ini hanya
mengadu nasib.
"Bukan mustahil berita itu sengaja disiarkan orang lain, memancingmu ke tempat ini lalu menjebakmu untuk
memancing kedatangan Siau Cap-it Long."
"Sekarang setelah kupikir-pikir, memang betul seperti ditipu orang."
"Siapa pun bisa tertipu, maka yang tertipu bukan hanya engkau."

"Kecuali aku, siapa lagi yang tertipu?"
"Sim Bik-kun."
"Mungkinkah dia juga kemari?"
"Dia pasti datang."
"Jadi selama ini dia tidak bersama Siau Cap-it Long?"
"Tidak. Selama dua tahun, seperti juga engkau, terus mencari jejak Siau Cap-it Long."
Hong Si-nio mengerut alis, "Bukankah hanya karena melirik Sim Bik-kun dua kali, maka mata Cia Thian-ciok
menjadi buta?"
"Yang dilirik Cia Thian-ciok bukan Sim Bik-kun."
"Bukan dia?"
"Wanita cantik di dunia ini bukan hanya Sim Bik-kun seorang. Perempuan cantik yang mendampingi Siau
Cap-it Long bukan hanya Sim Bik-kun saja."
Hong Si-nio menggigit bibir, "Bajingan itu kenapa selalu mendapat rezeki."
"Maka kubilang akan datang saatnya dia tertimpa musibah."
"Kurasa sepanjang hidupnya, dia akan selalu tertimpa sial."
"Kali ini Sim Bik-kun malah lebih sial dibanding dia."
"Lho?"
"Untuk memancing ikan besar, menjadikan Sim Bik-kun sebagai umpan, hasilnya mungkin lebih manjur."
"Umpan pancing memang lebih sial dibanding ikannya sendiri."
"Betul sekali, saat ikan belum terpancing, umpan kan sudah terkait di kail."
"Apalagi bukan hanya satu kail, dia malah terkait dua kail."
"Dua kail."
"Benar dua kail besar."
"Kail besar untuk memancing ikan besar."
"Demikianlah Sim Bik-kun sudah terkail kencang oleh mereka, dia sendiri malah tidak tahu."
Mata Hong Si-nio melirik, "Sepertinya kau amat memperhatikan dia?"
"Aku kan orang baik."
"Kadang orang baik juga bermaksud jahat."
"Agaknya kau cemburu."
"Aku hanya sedikit heran."
"Yang benar bukan hanya Sim Bik-kun yang kukuatirkan, juga prihatin terhadap Siau Cap-it Long.”
"0,ya?"
"Maka aku harap kau mau membantuku, menurunkan Sim Bik-kun dari kail itu. Kalau kail tanpa umpan, ikan
pasti takkan terpancing."

"Kenapa aku harus membantumu? Siapa tahu kau inilah kailnya?"
"Kau harus percaya padaku."
"Apa dasarnya?"
"Aku kan suamimu. Perempuan kalau suami sendiri tidak dipercaya, siapa lagi yang dia percaya?"
"Untung kau perempuan. Jika tidak, aku bisa mati kau pincut."
Hoa Ji-giok tertawa lebar, "Biar sekarang aku memincutmu sampai mati."
Jari-jarinya mulai bergerak lagi, bergerak di tempat-tempat vital yang membuat sekujur tulang Hong Si-nio
menjadi lunglai, saking tak tahan ia berteriak, "Kalau tidak segera kau singkirkan jari-jari tanganmu, aku ...
akan ... aku akan..”
"Kau akan apa?" goda Hoa Ji-giok.
Dengan kencang Hong Si-nio menggigit bibir, "Akan kuberikan topi hijau untuk kau pakai."
* * * * *
Hoa Ji-giok mengenakan pakaian baru mirip pakaian kebesaran para pejabat istana, kelihatan tampangnya
lebih cerah, bercahaya mirip burung Hong yang mengembangkan sayap dan bulu-bulunya yang enak
dipandang. Berdiri di depan kaca tembaga berlenggang-lenggok mirip peragawan yang lagi beraksi di depan
penonton, sorot mata dan mimiknya menunjukkan bahwa dia amat puas dengan keadaannya sekarang.
"Tak heran banyak orang bilang perempuan paling senang berkaca, apalagi saat perempuan mengenakan
pakaian model terbaru."
Hoa Ji-giok juga tertawa, "Betul, memang itulah ciriku, perut boleh lapar, pakaian baru tidak boleh tidak
dipakai." Lalu ia menjelaskan lebih jauh, "Sebab kebanyakan orang melihat bajumu dulu, baru mengawasi
siapa pemakainya."
"Waktu orang mengawasi pakaianmu, sering kali lupa membedakan kau ini sebetulnya lelaki atau
perempuan."
"Sedikitpun tidak salah. Walau banyak orang merasa aku ini lebih mirip perempuan, pasti tiada orang
mengira, kalau aku ini perempuan tulen."
"Lalu kenapa kau sering dan lebih suka berdandan pria?"
"Karena aku suka perempuan, bukankah perempuan justru menyukai pria."
"Biasa kalau tidur, apa kau juga berdandan seperti itu?"
"Kalau tidur aku lebih suka telanjang, tapi saat ini aku belum ingin tidur."
"Bukankah sekarang saatnya orang tidur?"
"Bukan."
"Apalagi yang akan kau lakukan?" tanya Hong Si-nio. ”Aku akan bertamu," sahut Hoa Ji-giok.
"Tengah malam buta rata, masih ada yang menjamu orang?"
"Di tempat seperti ini, siang hari adalah waktu orang tidur."
"O, jadi penduduk daerah ini semua kucing malam?"
"Soalnya kalau siang mereka pantang bertemu orang."
Berputar biji mata Hong Si-nio, "Kurasa kau perlu seorang pendamping."

"Pengantin baru selangkah pun tak boleh berpisah. Apalagi orang yang punya kerja, kali ini juga adalah
sahabat lamamu."
”Sahabat lamaku? Kim-pou-sat?"
"Bukan."
"Lalu siapa?"
"Daerah ini termasuk kekuasaan tiga belas markas Kwan-tiong, yang jadi tuan rumah tentu yang berkuasa di
sini."
"Kwi-to Hoa Ping?"
"Betul sekali."
"Bukankah dua tangannya sudah buntung?"
"Tanpa tangan orang masih masih bisa mengundang tamu dan mengadakan pesta bukan?"
"Masih ada selera dia menjamu para undangan?"
"Apapun alasannya, kartu undangan sudah disebar luas atas namanya"
"Kurasa hanya namanya saja yang dicantumkan dalam undangan, semua rencana ini tentu dikendalikan
seseorang dari belakang layar."
"Kau ini memang setan cerdik."
"Siapa orang di belakang layar itu?"
"Ya aku ini."
"Sudah kuduga, kalau bukan engkau yang mengadakan pesta, memangnya siapa setimpal
mengundangmu."
"Perempuan kalau ingin disukai lelaki, ia harus pura-pura pintar."
"Selain engkau, masih ada tamu lain?"
"Orang-orang di daerah ini, kurasa semua dia undang."
"Jin-siang-jin, Le Jing-hong, Kim-pou-sat apakah juga diundang?"
"Mereka pasti hadir."
"Kenapa?"
"Sebab yang datang malam ini ada undangan khusus."
"Siapa?"
"Sim Bik-kun."
Hong Si-nio melongo, akhirnya menghembuskan napas dari mulut, "Perjamuan malam ini kelihatannya bakal
ramai."
Senyum Hoa Ji-giok penuh arti, "Ya, pasti ramai...."
* * * * *
Kwi-kik-tong, aula-besar tempat perjamuan terang benderang. Kwi-to, si golok cepat, Hoa Ping sudah
nongkrong di kursi kebesaran berlapis kulit harimau, mantel merah menutupi badannya, tapi muka lebar itu

kelihatan pucat pias. Seperti patung ia duduk di singgasana tanpa gerak, tanpa sikap tanpa perasaan, orang
mondar-mandir di depannya seperti tidak terlihat olehnya. Sungguh tidak mirip tuan rumah, sementara tamu
yang sudah hadir juga tidak kelihatan gembira.
Selain Kim-pou-sat, air muka hadirin yang lain kelihatan jelek, Jin-siang jin tetap bercokol di kepala si
raksasa, Le Jing-hong tetap memegang gendewa emas seperti siaga siap turun tangan bila perlu.
Tiada orang buka mulut, tanpa sapa tiada pembicaraan. Kehadiran mereka memang bukan untuk tuan
rumah, dalam hal ini mereka tidak perlu pura-pura.
Namanya ruang pesta, mestinya riuh rendah, kenyataan sepi senyap.
Menyusul Hoa Ji-giok muncul bersama Hong Si-nio, ibarat di tengah-tengah ayam mendadak muncul dua
ekor burung merak.
Dalam perjamuan macam apa saja, Hong Si-nio pasti selalu diagulkan sebagai tamu agung. Demikian pula
malam ini, sekujur badannya seperti memancarkan cahaya, siapa pun takkan mengira perempuan yang satu
ini sudah berusia tiga puluh lima tahun, malah baru saja mati sekali.
Begitu Hong Si-nio muncul, mata hadirin semua terbelalak, alis mata berkerut. Melihat seorang yang baru
saja mati tiba-tiba muncul dalam keadaan segar bugar, berdandan begitu ayu rupawan, sungguh merupakan
pengalaman yang luar biasa.
Hong Si-nio mengerling tajam kepada tiap hadirin, senyum lebar mengawali pembukaan katanya, "Baru
setengah hari tidak bertemu kalian sudah tak mengenalku lagi?"
Mendadak Kim-pou-sat terbatuk-batuk, seperti mendadak diserang demam.
"Kau sakit ya?" tanya Hong Si-nio.
Tawa Kim-Pou-sat dipaksakan, "Jika aku sakit pasti sakit rindu. Setiap kali bertemu kau, pasti terjangkit
penyakit yang sama."
"Untuk selanjutnya jangan lagi sakit rindu, awas Iho, lakiku bisa cemburu."
"Lakimu?" Kim-pou-sat melongo. "Lakiku ya suamiku, masa tidak tahu?"
"Jadi kau ... sudah menikah?" tanya Kim-pou-sat.
"Wanita mana saja, cepat atau lambat kan harus menikah."
"Menikah dengan siapa?" tanya Kim-pou-sat.
"Dengan aku," seru Hoa Ji-giok.
Kim-pou-sat tertegun, semua hadirin juga melenggong.
Hong Si-nio berpaling ke arah Jin-siang-jin, "Persoalanku dengan kau kini sudah seri."
"Urusan apa seri?" tanya Jin-siang-jin.
"Tadi aku sudah mati satu kali."
Jin-siang-jin sudah mendekap mulut seperti mau batuk, batuk dan batuk.
"Mati dan kawin, antara kedua peristiwa itu memang pengalaman yang rumit dan jarang dialami manusia,
dalam satu hari aku malah mengalami keduanya. Coba kalian bilang, aneh tidak pengalamanku ini?"
Hong Si-nio berjalan di depan Hoa Ping, dengan senyum manis ia menyapa, "Sudah dua tahun kita tidak
bertemu."
"Dua tahun," sahut Hoa Ping manggut, "tepat dua tahun."
"Hitung-hitung kau dan aku seperti sudah akrab belasan tahun, sahabat lama bukan."

Dingin suara Hoa Ping, "Aku bukan sahabatmu. Aku tidak punya sahabat."
"Kau sudah tidak punya tangan, tetap boleh punya sahabat, tanpa tangan orang masih bisa bertahan hidup,
orang yang tidak punya teman, hidupnya akan susah."
Berkerut kulit daging di wajah Hoa Ping, mendadak ia berdiri terus menerjang keluar tanpa menoleh lagi.
Hong Si-nio menghela napas gegetun, ia berpaling mencari si pincang, tadi dilihatnya orang ini duduk di
belakang Jin-siang-jin, sejauh ini Hong Si-nio ingin sekali tahu siapa gerangan dia, tapi bayangannya sudah
tidak kelihatan.
"Kenapa dia selalu menghindar, kenapa tidak berani berhadapan dengan aku?" demikian batinnya.
Hong Si-nio tidak ingin memikirkan hal itu. Baru saja ia duduk bersama Hoa Ji-giok, Sim Bik-kun kelihatan
muncul. Pertama kali melihat Sim Bik-kun, Si-nio sudah merasa selama hidupnya Sim Bik-kun adalah wanita
yang paling lembut, paling cantik lagi angkuh. Sampai detik ini ia masih punya parasaan yang sama.
Tapi Sim Bik-kun sudah agak berubah, berubah diam, kelihatan risau juga agak kurus. Anehnya perubahan
itu justru membuatnya kelihatan lebih cantik, cantik yang bisa membikin orang mabuk kepayang.
Kerlingan matanya tetap bening lagi lembut, ibarat air mengalir di musim semi beriak ditiup angin, rambutnya
hitam mengkilap, pinggang yang ramping terlihat gemulai, seperti untaian dahan pohon yang menari di
musim semi.
Sim Bik-kun bukan tipe wanita yang menimbulkan gairah bagi lelaki yang mengawasinya. Karena pria
macam apa saja begitu melihat dia, sengaja atau tidak, tanpa sadar akan melupakan segalanya. Saat ini ia
sedang berjalan masuk pelan-pelan. Tidak dibuat-buat, gerak-geriknya tetap memperlihatkan keagungan
dan suci.
Pakaian yang melekat di badannya bukan dari bahan mahal, potongannya juga umum saja, tanpa pupur
tiada hiasan melekat di wajahnya, bagi wanita secantik dia, barang-barang itu justru berlebihan.
Betapapun mahal perhiasan yang dipakai, takkan mengurangi cahaya kepribadiannya. Betapapun anggun ia
berdandan, takkan menambah sedikit jua. kecantikannya. Perempuan yang serba sempurna seperti dia
kenapa nasibnya begitu nelangsa?
Mendadak seluruh orang yang hadir dalam ruang besar itu napasnya seperti serentak berhenti. Inilah Sim
Bik-kun, wanita tercantik di seluruh Bulim.
Akhirnya orang banyak melihat dan kini berhadapan langsung dengan Sim Bik-kun.
Berita tentang hubungannya dengan Siau Cap-it Long, kisah yang mengharukan tapi indah itu, entah mereka
pernah mendengarnya berapa kali?
Kini sang primadona sudah berdiri di hadapan mereka. Niatnya ingin mengawasi dan mengawasi, tapi tidak
berani. Bukan karena takut dianggap kurang ajar, tapi lantaran dua pasang mata di belakang Sim Bik-kun.
Sim Bik-kun bukan datang sendiri, dua orang mengintil di belakangnya. Dua orang lelaki tinggi kurus, mirip
dua batang bambu saja.
Jubah panjang yang membungkus tubuh lencir itu ternyata terbuat dari bahan halus lagi mahal, satu merah
yang lain hijau pupus, merah mirip apel, hijau seperti daun pisang.
Sikap dan tindak-tanduk mereka kelihatan amat lelah, rambut dan jenggot sudah memutih semua, tapi begitu
mereka memasuki ruang besar, semua yang hadir langsung merasakan adanya hawa membunuh dan
desakan arus yang menyesakkan napas.
Tokoh kosen Bulim memandang jiwa bagai barang taruhan, maka dari tubuh mereka pasti memiliki hawa
yang mengundang ancaman bagi lawan. Siapa pun insan persilatan bisa merasakan bahwa kedua orang tua
ini, entah sudah berapa banyak orang yang pernah mereka bunuh.
Begitu dua orang ini masuk. Muka Le Jing-hong berubah lebih dulu. Mereka termasuk tokoh seangkatan, Le
Jing-hong tentu tahu asal-usul kedua orang tua ini.

Hong Si-nio juga tahu, tak tahan ia menghela napas, "Itulah kailnya."
"Ya, dua kail," ujar Hoa Ji-giok.
"Aku pernah melihat mereka."
"Di Hoan-ou-san-ceng kediaman Siau-yau-hou?"
Hong Si-nio memanggut.
Hari dimana Siau Cap-it Liong menentukan waktu dan tempat duel. Dua orang tua ini bersua di tengah
perjalanan.
"Tentu sekarang kau sudah tahu," kata Hoa Ji-giok, "omonganku tidak salah bukan?"
Hong Si-nio memanggut lagi. Ia tak tahu apa hubungan orang ini dengan Siau-you-hou, ia hanya pernah
melihat mereka di tempat kediaman Siu-yau-hou. Kalau mereka orang dari perguruan Siau-yau-hou, jelas
tidak menaruh simpati terhadap Siau Cap-it Long.
"Cobalah kau berusaha supaya Sim Bik-kun tahu."
"Sukar kutemukan caranya."
"Di belakang kita ada sebuah pintu, sudah kau lihat?"
Hong Si-nio melihat sebuah pintu, kecil lagi sempit.
"Keluar dari pintu itu kau akan melihat sebuah rumah kayu yang kecil."
Hong Si-nio mendengar penuh perhatian.
"Tempat itu khusus untuk keperluan kaum hawa, kalau kau dapat membawa Sim-Bik-kun ke sana, kau akan
bebas bicara dengannya."
Laki-laki yang hadir di ruang ini selalu jaga gengsi, yakin tidak akan ikut ke sana mencuri dengar
pembicaraan mereka.
"Baik, akan ku usahakan."
Mereka berbisik-bisik, maklum pengantin baru kalau asyik-masyuk kan lumrah. Tapi dua orang lelaki
beruban itu menatap dengan tajam tidak berkedip.
Hong Si-nio tahu mereka pasti tak mungkin mendengar bisik-bisiknya, namun wibawa pandangan itu yang
mengejutkan.
Syukurlah ia lihat Sim Bik-kun tengah menoleh ke sini dengan senyum manis lembut. Sim-Bik-kun juga kenal
'Pengantin yang mengejutkan' itu sedang tertawa sambil memberi tanda isyarat.
Kakek baju merah mendadak berkata, "Sungguh tak nyana, Kim-kiong-gin-hoan-jan-hou-to, Cui-hun-tui-gwat
Cui-siang-biau, kalian juga ada di sini."
Kakek baju hijau menambahkan, "Dia pasti tidak menduga di sini bertemu kita."
Membesi muka Le Jing-hong, suaranya ketus, "Kalian belum mampus, sungguh tak terduga."
"Ya, sebentar lagi kau pasti mampus," jengek kakek baju merah.
"Kalau bukan kami menaruh belas kasihan, tiga puluh tahun lalu kau sudah jadi bangkai," demikian jengek
kakek baju hijau.
"Betul, sejak lama mestinya aku sudah mampus, memangnya aku biasa malang melintang seorang diri,
seorang pembantu juga tidak punya."
"Waktu aku melabrakmu dulu, dia tidak ikut turun tangan?" bentak kakek baju merah.

"Kapan saja," jengek kakek baju hijau, "seorang diri aku akan membuatmu takluk."
"Ya, kalau aku punya pembantu, tidak akan kusuruh dia ikut mengeroyok satu lawan, cukup berdiri di pinggir
memberi dukungan saja."
"Bagus sekali," seru kakek baju merah.
"Patut dipuji," kata kakek baju hijau.
"Kau dulu yang maju atau biar aku yang menyikatnya?" tanya kakek baju merah.
"Kali ini biar giliranmu saja," ujar kakek baju hijau.
Le Jing-hong bergelak tawa, "Bagus, bagus sekali, hutang piutang tiga puluh tahun lalu memang sudah
saatnya diperhituhgkan."
Tiga orang ini sudah sama-sama tua bangkotan, tapi watak keras mereka tetap tidak berubah, berangasan
lagi suka berkelahi. Permusuhan tak berarti tiga puluh tahun lalu sampai sekarang belum juga dilupakan.
Le Jing-hong sudah berjingkrak berdiri, kakek baju hijau juga sudah membalikkan badan.
Sim Bik-kun yang sejak tadi berdiam diri mendadak menghela napas, katanya perlahan, "Kalau para
Cianpwe ingin membunuh orang di sini, kuanjurkan bunuh dulu tuan rumahnya." Suaranya masih halus
merdu, namun ucapannya cukup tajam. Hidup mondar-mandir di luar selama dua tahun belakangan ini
sepertinya banyak yang ia serap, pengalaman pun tambah banyak.
Kakek baju hijau menatap Le Jing-hong, jengeknya dingin, "Baiklah, kita tunda dulu persoalan kita."
Le Jing-hong balas menjengek, perlahan ia duduk kembali di tempatnya.
Hong Si-nio tertawa lega. Ia menghampiri Sim Bik-kun, menarik tangannya sambil tersertyum lebar. "Tak
kunyana kau pun datang, tentu kau tak menduga aku juga ada di sini bukan?"
Dengan tawa manis Sim Bik-kun mengangguk.
"Untung antara kau dan aku tiada perhitungan ruwet yang perlu diselesaikan di sini," ujar Hong Si-nio.
"Kau masih tidak berubah," kata Sim Bik-kun.
"Kau justru agak berubah."
Bertambah rona jengah Sim Bik-kun, perlahan ia menunduk tanpa bersuara.
"Aku tetap adalah pengantin yang mengejutkan orang sampai mati. Tiap kali aku bertemu dengan kau, selalu
aku sedang jadi pengantin."
Pandangan Sim Bik-kun penuh selidik dan heran, tapi ia tidak bertanya kenapa hari ini mendadak bisa jadi
pengantin lagi. Maklum sebagai gadis kelahiran keluarga bangsawan yang ketat adat istiadatnya, sejak kecil
Sim Bik-kun sudah diagulkan sebagai gadis suci yang selalu dapat menjaga diri, tak pernah ia bertanya atau
mencampuri urusan pribadi orang lain.
Berkedip-kedip mata Hong Si-nio, sesaat ia mengawasi muka orang, lalu berkata, "Kau tentu telah
menempuh perjalanan jauh dan baru sampai di sini."
"Ya," sahut Sim Bik-kun pendek.
"Jadi kau sudah...." mendadak ia berbisik di telinga Sim Bik-kun.
Merah jengah selebar muka Sim Bik-kun, dengan malu-malu ia mengangguk.
Hong Si-nio malah tertawa lebar, "Hal ini tidak perlu dibuat malu, hayo, kuantar kau." Lalu ia pegang tangan
Sim Bik-kun serta ditariknya ke sana, lewat pintu sempit.

Dua kakek itu saling pandang sekejap, rona muka mereka dilembari rasa lega, mereka maklum untuk
keperluan apa Hong Si-nio mengajak Sim Bik-kun keluar lewat pintu kecil lagi sempit itu, Malah dalam hati
mereka menganggap Hong Si-nio adalah perempuan baik hati, perempuan luar biasa, tidak peduli tata
krama. Sebagai pengantin yang harus melayani tamu di ruang perjamuan, dia rela mengantar tamu pergi ke
belakang. Kecuali Hong Si-nio yakin tak ada perempuan lain yang mau melakukan.
Di luar pintu sempit itu ternyata ada sebuah rumah papan kecil. Di luar rumah papan ada sebuah tangga
kecil, dengan menarik Sim Bik-kun, Hong Si-nio mengajak Sim Bik-kun menaiki tangga, masuk lewat pintu
kecil yang juga sempit, pas untuk lewat satu orang dengan badan miring.
Rumah ini kecil, tapi serba bersih. Setelah menutup pintu serta dipalang dari dalam, Hong Si-nio baru
menarik napas lega, kini ia sadar tempat ini memang bagus untuk sesama perempuan berbincang tentang
urusan pribadi, lelaki bernyali besar juga takkan berani datang ke sini mencuri dengar pembicaraan mereka.
"Sekarang kita boleh ngobrol tentang apa saja di sini, jangan kuatir didengar orang lain."
”Kau ... kau mau bicara dengan aku?" tanya Sim Bik-kun.
"Ada urusan pribadi yang ingin kubicarakan denganmu, tapi kalau kau sudah tidak tahan, aku boleh
menunggu ...."
Di ujung rumah ada sebuah kayu kotak, bagian atas ditutup kain bersulam dengan pelipir garis emas. Sim
Bik-kun tampak makin jengah, kepalanya menunduk lebih rendah, matanya terlongong mengawasi kotak
kayu dengan tutup kain yang indah itu.
"Hayo lekas," Hong Si-nio mendesak, "tempat ini takkan bau, tapi lama-lama bisa sumpek."
Dengan memberanikan diri, Sim Bik-kun masih ragu, ”Tapi kau ... kau ...."
Hong Si-nio tertawa, akhirnya ia mengerti, "Maksudmu aku harus keluar?"
Dengan jengah Sim Bik-kun mengangguk.
"Aku kan perempuan, tidak usah malu apalagi takut? Bagaimana kalau aku berpaling muka saja?"
”Ti ... tidak," Sim Bik-kun tetap malu. Mimpi pun tak pernah terpikir olehnya, harus buang hajat sekamar
dengan orang lain.
Mengawasi muka orang, hampir saja Hong Si-nio tertawa geli, syukur masih bisa ditahan, ia berkata
perlahan, "Baiklah, biar aku keluar saja, tapi cepat ya, masih ada yang ingin kubicarakan."
Sembari bicara dia mengangkat palang pintu lalu mendorong daun pintu.
Seketika ia tertegun, daun pintu ternyata tidak bergeming, tidak bisa dibuka. Memangnya digembok orang
dari luar, maunya mengurung mereka bersama. Awalnya Hong Si-nio menganggap dirinya dipermainkan
tangan jahil, namun sebelum ia bertindak lebih lanjut, ia rasakan rumah kecil ini bergoyang lalu bergerak,
makin lama bergerak maju lebih cepat.
Rumah kecil ini ternyata bisa berjalan. Daun pintu tetap tak bisa dibuka, didorong ditarik juga percuma.
Telapak tangan Hong Si-nio mulai berkeringat, ia sadar kejadian ini bukan main-main.
Kecuali pintu sempit itu, rumah ini tiada jendela, tempat buang hajat jelas tiada jendela, apalagi tempat ini
khusus untuk wanita. Dengan mengertak gigi Hong Si-nio menerjang pintu, biasanya kalau pintu terbuat dari
papan dengan mudah bisa ditendangnya jebol. Tak nyana ditendang, dipukul dan ditumbuk, badan sendiri
malah terpental mundur.
Muka Sim Bik-kun mulai memucat, "Apa yang terjadi?"
Hong Si-nio menarik napas dalam, "Kelihatannya aku ditipu."
"Ditipu siapa?"
"Yang pasti ditipu perempuan. Laki-laki yang mampu menipu aku saat ini mungkin belum lahir."

"Siapa perempuan itu?" desak Sim Bik-kun.
"Hoa Ji-giok."
"Siapa pula Hoa Ji-giok?"
"Dialah suamiku."
Sim Bik-kun melotot. Ia jarang mengunjuk rasa kaget di depan orang lain, kini ia mengawasi Hong Si-nio
dengan mata terbelalak, seperti mengawasi seorang yang tiba-tiba menjadi gila.
"Aku ditipu suamiku, suamiku adalah juga perempuan ..." Sampai di sini ia menarik napas lagi, "Kulihat kau
menyangka aku sudah gila."
Sim Bik-kun tidak menyangkal.
"Dia menyuruhku memancingmu masuk ke rumah kecil ini, aku harus kasih tahu bahwa dua kakek itu bukan
orang baik."
"Mereka bukan orang baik?"
"Sebab engkau dimanfaatkan sebagai umpan untuk memancing ikan besar, yaitu Siau Cap-it Long." Dengan
gemas ia melanjutkan, "Sekarang baru aku tahu, aku adalah ikan kakap yang lebih goblok dibanding babi,
begitu mudah aku terpancing olehnya."
"Dua orang Cianpwe itu pasti bukan orang jahat," Sim Bi-kun meyakinkan, "selama dua tahun ini, kalau
bukan mereka melindungi aku, aku ... aku tidak akan bertahan hidup sampai sekarang."
"Tapi terhadap Siau Cap-it Long, mereka ...."
“Terhadap Siau Cap-it Long mereka juga tidak bermusuhan. Waktu di Hoan-ou-san-ceng, secara diam-diam
mereka membantunya, sebab mereka juga pernah dirugikan oleh Siau-yau-hou."
Ia berusaha mengendalikan diri, waktu mengucap nama Siau Cap-it Long tadi, mimik matanya menampilkan
rasa sedih yang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Bayangan masa lalu nan indah, manis mesra tapi juga
pahit getir, jelas tak terlupakan. Dua tahun sudah ia tidak pernah tidak merindukan dirinya? Hati ini hampir
hancur tersayat-sayat. Entah darah atau keringatnya, keperkasaan dan kemesraannya, terbayang betapa
bening sepasang bola matanya.
"Siau Cap-it Long, dimanakah dikau?" Waktu ia memejam mata, air mata meleleh dipipi.
Dengan terlongong Hong Si-nio mengawasinya, ia maklum apa yang sedang dipikir orang, sebab hatinya
juga sedang merindukan orang yang sama.
"Jadi selama ini kau juga tidak pernah melihat atau mendengar beritanya?" Ia ingin bertanya, namun tidak
sampai hati membuat Sim Bik-kun sedih.
"Walau hari itu aku ikut dia pergi, namun tak pernah menemukan dia lagi." Sim Bik-kun juga tidak
melontarkan isi hatinya ini, sebab lidahnya kelu, tenggorokan juga terasa gatal.
Rumah itu terus bergerak, pindah tempat dengan cepat.
Hong Si-nio malah tertawa, "Biasanya tempat ini dipakai orang untuk buang hajat, kita malah bercucuran air
mata, coba katakan lucu tidak?"
Suaranya cukup keras, seperti selama hidup ini tidak pernah melihat kejadian yang lucu sekali. Tapi siapa
dapat merasakan di antara alun tawanya itu tersembunyi perasaan getir, duka lara.
Seorang di kala benar-benar berduka, mestinya berusaha mengunjuk tawa, namun berapa banyak orang di
dunia ini yang bisa tertawa dalam kedukaan.
Tak tahan Sim Bik-kun mengawasinya nanar. Kini sikapnya sudah berubah, ia maklum orang yang dia awasi
ini adalah wanita tersayang, perempuan yang harus dihormati.

Hong Si-nio juga sedang menatapnya, "Kejadian ini sungguh menggelikan, kenapa tidak tertawa saja?"
"Aku ... aku ingin tertawa, tapi tidak bisa tertawa."
Hong Si-nio mengulur tangan mengelus rambut Sim Bik-kun, suaranya halus lembut, ”Tak usah sedih, aku
yakin lekas sekali kita akan bertemu dengan dia."
"Apa benar?" Sim Bik-kun kurang percaya.
"Hoa Ji-giok memanfaatkan kau dan aku untuk mengancam Siau Cap-it Long. Maka dia akan membuat Siau
Cap-it Long tahu kau dan aku jatuh di tangannya."
"Menurutmu dia akan datang mencari kita?"
"Dia pasti datang."
"Tapi Hoa Ji-giok itu ...."
"Jangan kau menguatirkan dia, memangnya apa yang bisa dia lakukan terhadap kita? ... Apapun yang akan
terjadi, dia tidak akan lupa bahwa dirinya juga seorang perempuan." Wajahnya tampak tersenyum simpul,
padahal perasaannya makin tenggelam. Sebab ia cukup paham kalau perempuan lawan perempuan,
kadang jauh lebih berbahaya, jauh lebih menakutkan dibanding perbuatan lelaki.
Sungguh sukar terpikir olehnya, Hoa Ji-giok akan menggunakan cara ini untuk menghadapi dirinya dan Sim
Bik-kun, tak berani ia membayangkan.
Pada saat itulah, rumah yang berjalan ini mendadak berhenti. Rumah ini tidak bergeming lagi. Di luar tetap
sunyi tanpa ada suara. Hawa dalam rumah makin pengap, lampu yang semula digantung di dinding juga
mendadak padam.
Keadaan berubah gelap gulita, berhadapan muka pun tak dapat melihat wajah orang.
Terasa oleh Hong Si-nio seperti dirinya mendadak terjeblos ke dalam sebuah kuburan, saking pengapnya,
bernapas pun mulai terasa berat. Kini ia malah mengharap rumah itu bergerak lagi. Sayang sekali di saat
tidak bergerak, rumah ini malah berjalan, saat diharapkan berjalan justru bercokol di tempat tak mau
bergerak.
Saking jengkelnya, Hong Si-nio tertawa sendiri, saat orang lain ingin menangis tapi tak bisa menangis,
dirinya malah bisa tertawa tergelak, "Sekarang aku sudah tak bisa melihatmu, kau sudah bisa berlega hati
bukan?"
Sim Bik-kun diam tidak bersuara.
Saat Hong Si-nio menarik napas, mendadak didengarnya seorang cekikikan geli, "Inilah yang dinamakan
raja tidak gugup, menteri malah mampus gelisah. Dia saja begitu sabar, kenapa kau gugup malah?”
Suaranya berkumandang di sebelah atas, saat suaranya berkumandang ke dalam rumah, hawa segar terasa
menyampuk muka.
Bagian atas rumah pelan-pelan terbuka sebuah lubang jendela,
di luar jendela mengintip ke dalam sepasang mata jeli bening.
"Sim-sim," seru Hong Si-nio.
Sim-sim cekikikan.
Gemas Hong Si-nio, rasanya ingin menjewer kuping atau mencolok kedua biji matanya.
"Angin di atas sini amat besar, di bawah situ tentu amat hangat," Sim-sim berkata dengan nada menggoda.
"Apa kau tidak ingin turun menghangatkan badanmu?" pancing Hong Si-nio.
"Sayang aku tidak bisa turun," sahut Sim-sim.
"Apa kau tidak bisa membuka pintu?"

"Kunci ada di tangan Kongcu, kecuali dirinya siapa pun tak bisa membuka pintu!"
"Dimana dia?"
"Dia belum pulang,"
"Kok, belum pulang?"
"Karena menemani orang-orang itu mencari kalian. Tidak mungkin dia memberi tahu mereka bahwa dia yang
menyuruh engkau masuk ke rumah ini."
"Sebetulnya apa maunya dia?"
"Dia suruh aku mengantar kalian pulang dulu."
"Pulang? Pulang ke rumah siapa?"
"Tentu rumah kita," sahut Sim-sim cekikikan geli.
"Rumah kita?"
"Rumah Kongcu bukankah juga adalah rumah Hujin?"
"Cara bagaimana kita pulang?"
"Ya, naik kereta."
"Kau tak membuka pintu, cara bagaimana bisa naik kereta?"
"Lho, kita sekarang sudah di atas kereta."
"Jadi rumah ini sudah diangkat ke atas kereta?"
"Kereta besar yang ditarik delapan ekor kuda, cepat lagi kilat, dalam waktu tiga hari, kita akan tiba di rumah."
"Harus tiga hari naik kereta?"
"Paling tiga hari."
Mendadak Sim Bi-kun mengeluh lirih, tubuhnya mendadak melorot jatuh. Kalau orang sudah kebelet, mana
mungkin ditahan tiga hari, tapi apapun kalau dirinya harus buang air besar kecil bersama orang lain dalam
satu ruang, berarti ingin menyiksa atau membunuhnya.
Saking tak tahan Hong Si-nio berteriak, "Jadi kau akan mengurung kami berdua tiga hari lamanya?"
"Kurungan ini memang sempit tapi tidak jelek, kalau lapar akan kubuatkan makanan dan kuantar masuk,
kalau dahaga juga kuantar minuman, di kereta ini kecuali air juga ada arak."
Bercahaya mata Hong Si-nio, serunya "Ada berapa banyak araknya?"
"Berapa yang kau minta?"
"Arak macam apa saja?"
"Arak apa yang kau minta?"
"Baik, berikan dua puluh kati Hoa-tiau."
Mabuk menghilangkan resah. Ada kalanya mabuk malah lebih baik daripada sadar tapi runyam.
Dua puluh kati Hoa-tiau dimuat dalam enam bumbung bambu, diturunkan dari jendela kecil di bagian atas,
diturunkan pula delapan jenis masakan.

Bentrok Para Pendekar 04
Karya Gu Long - Gan K.H.
Bagian 4
Bumbung bambu cukup besar, berisi tiga kati arak wangi.
Hong Si-nio mengangsurkan satu bumbung ke Sim Bik-kun, "Mabuk menghilangkan resah, kalau tidak
mabuk, entah bagaimana gejolak perasanmu selama tiga hari mendatang."
Sejenak bimbang, akhirnya Sim Bi-kun menerima bumbung arak itu.
"Habis satu bumbung arak ini, kau sudah mabuk belum."
"Ya, belum tahu," sahut Sim Bik-kun.
"Kiranya kau juga biasa minum arak, sungguh tak kusangka."
"Sejak kecil nenek sering menyuruh aku menemaninya minum arak."
"Pernah mabuk?"
Sim Bik-kun memanggut.
"Aku yakin kau pernah mabuk, kalau sering bergaul dengan setan arak, tidak mabuk baru aneh."
Sim Bik-kun menunduk, hatinya seperti ditusuk jarum. Dia pernah mabuk dua kali, karena kasmaran
terhadap Siau Cap-it Long.
Lapat-lapat ia seperti mendengar dendang lagu yang penuh nada kepedihan, seperti mendengar denting
suara cawan dipukul sumpit mengiringi dendang lagu itu.
"Siau Cap-it Long, di kala kau tak berada di sampingku, siapa di dunia ini yang dapat memahami derita dan
kesepianmu?"
Mendadak Sim Bik-kun mengangkat bumbung, tiga kati arak sekaligus ditenggaknya habis.
Perempuan yang semula diagulkan sebagai gadis suci, mestinya tidak minum arak dengan cara demikian,
tapi sekarang ... peduli amat, peduli gadis suci? Sepanjang hidupnya kini bukankah dirinya dibuat sengsara
dan menderita gara-gara 'gadis suci', karena sebagai gadis suci yang harus menjadi contoh, sampai ia tidak
berani mencintai atau membenci, dalam dua hal perasaan yang bertolak belakang inilah dirinya menjadi
korban penasaran, kepada siapa ia harus membela diri?
Mengawasi Hong Si-nio, mendadak ia tertawa cekikikan, "Eh, kau bukan gadis suci."
"Aku bukan, selama hidup aku tak sudi jadi gadis suci."
"Makanya hidupmu lebih riang dibanding aku."
"Hidupku memang jauh lebih riang dibanding kebanyakan orang." Mulut bicara pikiran justru bertanya pada
diri sendiri, "Benarkah hidupku lebih riang dari orang lain?" Ia tenggak habis arak satu bumbung.
Seorang bisa tidak hidup riang gembira, bukan ditentukan oleh apakah ia adalah 'gadis suci'.
"Seorang kalau bisa hidup riang, pandangan terbuka, pasti hidupnya lebih ringan."
"Jika kau adalah aku," demikian kata Sim Bik-kun, "pikiranmu bisa terbuka?”
"Aku ...." Hong Si-nio tak mampu menjawab.

Sim Bik-kun cekikikan geli, tawa yang rawan, tawa kecut, tawa pahit, lebih kecut daripada air mata. Tapi dia
masih terus tertawa dan tertawa.
Tiba-tiba Hong Si-nio bertanya, "Kalau kali ini kau bisa bertemu Siau Cap-it Long, bisa tidak kau tinggalkan
seluruhnya dan menikah dengan dia?"
Dalam keadaan biasa yakin Hong Si-nio tak berani bertanya, tapi sekarang, entah hasrat apa yang
mendorong ia mengajukan pertanyaan itu.
Sim Bik-kun masih tertawa, tawa cekikikan, "Tentu aku akan menikah dengannya, kenapa aku tidak bisa
menikah dengan dia? Dia mencintai aku, aku juga mencintai dia, kenapa kami tidak boleh hidup
berdampingan sepanjang hidup?"
Mendadak tawanya berubah menjadi isak tangis yang memilukan, akhirnya sulit dibedakan ia menangis atau
tertawa.
Kalau kali ini bertemu Siau Cap-it Long, apa benar dia bakal menikah dengannya? Kalau tidak bakal
menikah, buat apa mencarinya? Kalau sudah bertemu memangnya kenapa? Bukankah bakal menambah
derita? Sim Bik-kun menarik napas panjang, sepanjang hidup manusia sering kali terjadi apa boleh buat, tapi
kalau kau ingin terus memikirkan persoalan itu, gundah gulana akan selalu menjadi beban kehidupanmu.
Daripada bertemu lebih baik tidak bertemu, memangnya mau apa setelah bertemu? Bagaimana kalau tidak
bertemu?
"Hihi, kau mabuk," Hong Si-nio menertawainya.
"Ya, aku mabuk," lirih suara Sim Bik-kun.
Betul mabuk, malah cepat mabuk. Seorang kalau ingin mabuk, begitu minum arak, tidak perlu banyak, lekas
ia akan mabuk, sebab kalau tidak mabuk, tak mungkin berpura-pura mabuk.
Lucunya, seorang kalau selalu ingin mabuk setelah banyak minum, ia sendiri sukar membedakan apakah
dirinya betul mabuk apa pura-pura mabuk.
Hong Si-nio menggeliat, lalu duduk di lantai, "Aku tidak mencintai Nyo Khay-thay. Sebab dia terlalu jujur,
pikirannya lapang tidak punya inisiatip."
"Aku tahu."
"Hoa Ji-giok justru tidak jujur, akalnya banyak dan licik."
"Kalau dia lelaki tulen, mau kau menikah dengan dia?"
"Tidak akan."
Kini seperti mendadak sadar, kalau benar dia mencintai seorang lelaki, umpama lelaki lain jauh lebih unggul,
ia berjanji akan sepenuh hati mencintai pujaan hatinya itu.
Cinta memang sesuatu yang aneh, tidak bisa dipaksa juga tidak bisa pura-pura.
Mendadak Sim Bik-kun bertanya, "Bukankah engkau juga ingin menikah dengan Siau Cap-it Long?"
"Kau keliru," sahut Hong Si-nio, "umpama seluruh lelaki di dunia ini mampus seluruhnya, aku tidak akan
kawin dengan dia."
"Ah, kenapa?"
"Sebab yang dia cintai engkau bukan aku." Mimiknya seperti tertawa, tapi tawa pilu, "Maka kau terhitung
tandinganku, lawan yang harus kubunuh."
Sim Bik-kun tertawa berderai. Mereka cekakak-cekikik sambil terus minum, akhirnya mereka sendiri tidak
tahu apa saja yang telah mereka lakukan, isi hati apa saja yang telah dilimpahkan.

Samar-samar mereka seperti melihai Siau Cap-it Long menampakkan diri, kejap lain berubah menjadi Lian
Shia-pik, terakhir malah berubah jadi Nyo Khay-thay.
Dari ribuan Siau Cap-it Long berganti ribuan Lian Shia-pik, lalu berubah jadi Nyo Khay-thay. Paling akhir
berubah lagi menjadi Hoa Ji-giok.
Dengan tersenyum lebar Hoa Ji-giok berdiri di hadapan mereka, tawa nan manis lembut lagi mempesona.
Hong Si-nio meronta ingin berdiri, tapi kepala pusing dan sakit sekali, mulut juga kering getir.
"Hari ini kalian betul-betul mabuk," kata Hoa Ji-giok kalem. "sudah tiga hari tiga malam."
Hong Si-nio sungguh tidak tahu bagaimana keadaan mereka berdua selama tiga hari tiga malam ini. Tapi
tidak tahu lebih baik daripada tahu?
"Untung kalian sudah berada di rumah dengan selamat," kata Hoa Ji-giok.
Tak tahan Hong Si-nio bertanya, "Rumah siapa?"
“Tentu rumah kita?" senyumnya makin manis, "jangan lupa di hadapan orang banyak kau sudah menyatakan
bahwa kau adalah biniku, menyangkal juga percuma."
"Aku hanya ingin bertanya, kenapa kau suruh aku menipu Sim Bik-kun dan menculiknya kemari?"
"Sebab dua tua bangkotan itu sukar dilayani. Dengan cara itu baru bisa kuundang dia kemari."
"Apa yang akan kau lakukan padanya?"
"Coba kau terka."
"Kau juga ingin mengambilnya jadi istrimu."
"Kau sendiri perempuan, buat apa punya bini banyak?"
"Aku perempuan?" Hoa Ji-giok tertawa dengan mata terbelalak, "siapa bilang aku perempuan?"
Hong Si-nio berjingkat, "Memangnya bukan?"
"Jelas bukan, kalau ada orang bilang aku ini perempuan, pasti orang gila?"
Memang hampir gila Hong Si-nio dibuatnya, tak tahan ia berteriak, "Memangnya kau ini laki atau
perempuan?"
Dengan senyum di kulum mendadak Hoa Ji-giok membuka baju, "Kau bisa membedakan bukan."
Hoa Ji-giok adalah laki-laki tulen, anak kecil juga pasti bilang dia adalah laki-laki.
Hati Hong Si-nio seperti dibenamkan dalam lumpur.
"Tempo hari pada detik-detik yang menentukan itu aku surut dan mundur teratur, tujuanku adalah supaya
kau percaya bahwa aku adalah perempuan. Kalau kau beranggapan aku bukan perempuan, dalam kondisi
seperti itu, pasti kesempatan tidak kau abaikan."
Gemeratak gigi Hong Si-nio, "Kau bukan perempuan, juga bukan manusia."
Tawa Hoa Ji-giok makin riang, "Karena kau percaya aku ini wanita, maka kau mau membantu aku membawa
Sim Bik-kun ke tempatku ini."
Sim Bik-kun tidak memberi reaksi, kondisinya memang sudah kaku.
"Tapi kali ini pasti takkan kubuang percuma kesempatanku."
"Aku sudah menyerah menjadi binimu, apalagi yang akan kau lakukan padaku?"

"Usiamu memang sedikit tua, tapi ada bagian-bagian tertentu punyamu masih lebih menyenangkan
dibanding nona cilik." Mata-nya menjelajah tempat-tempat tertentu di badan Hong Si-nio, sorot matanya
seperti menikmati tubuh Hong Si-nio yang sudah telanjang.
Hoa Ji-giok tertawa lebar, "Kini aku sudah punya bini secantik bunga seputih batu giok, ditambah lagi nona
cantik nomor satu di Bulim jadi gundikku, sungguh besar rezekiku." Sorot matanya beralih ke tubuh Sim Bikkun.
Mimik Sim Bik-kun kaku dingin, tanpa perubahan, "Huh, jangan harap."
"Jangan harap maksudmu?"
"Berani kau menyentuh tubuhku, biar aku mati di depanmu."
"Di hadapanku kau tidak mungkin mati."
"Kalau begitu biar kau saja yang mampus." Begitu ucapannya berakhir, dibarengi ulapan tangan, segenggam
jarum emas melesat terbang.
Jarum emas keluarga Sim pernah menggetarkan kaum persilatan, diakui sebagai salah satu dari delapan
senjata rahasia paling lihai di Bulim.
Bukan saja gaya serangan jarum ini berbeda, gerakan serangan dan hasilnya berakibat fatal bagi sang
korban, begitu menyusup dalam tubuh, langsung mengalir mengikuti peredaran darah. Hanya setengah jam,
jarum menusuk jantung, malaikat atau dewa juga takkan bisa menolong.
Sayang sebagai gadis suci, cara turun tangan Sim Bik-kun tidak boleh keji, kepandaian menyambit jarum
warisan keluarga paling hanya terhitung 'lempar' saja, tidak ganas juga kurang cepat.
Menyerang dengan senjata rahasia kalau tidak tega, apalagi lambat, betapapun hebat rahasia senjata itu, di
tanganmu menjadi barang mainan belaka.
Sambil tertawa lebar, Hoa Ji-giok hanya membalik badan seenaknya, taburan jarum yang lebat itu lenyap
seketika, jelas dia juga adalah tokoh lihai dalam permainan senjata rahasia, dibanding kemampuan Sim Bikkun
tadi bedanya jauh sekali.
Hong Si-nio menggereget gemas, "Dia bukan manusia, kita takkan mampu menghadapinya."
"Aku menyukaimu, bukan lantaran kau pintar, tapi juga karena tahu diri, sebab tidak banyak perempuan tahu
diri yang bisa kumiliki."
"Apa benar kau menyukai aku?"
"Tentu betul."
"Kenapa masih mencari perempuan lain lagi? Kau tidak kuatir aku cemburu?"
"Perempuan cemburuan aku tidak suka."
"Umpama sekarang kau tidak menyukai aku juga sudah terlambat."
"Lho?"
"Baru saja menikah, kau sudah serong dengan perempuan lain, kelak apa tidak lebih ganas?"
"Maksudmu aku harus membebaskan dia?"
Hong Si-nio memanggut, "Asal kau tidak menyentuh perempuan lain, aku rela menjadi binimu, atau ...."
"Atau bagaimana?"
"Atau ... akan kuberikan hajaran setimpal, kau takut?"
"Tidak takut."

"Tidak takut aku melabrakmu?"
"Aku sudah biasa dilabrak orang, dilabrak bini sendiri kan malah mesra." Bicara sampai di sini, air mukanya
mendadak berubah amat aneh, seperti murka juga amat menderita.
Mengawasi perubahan aneh itu, Hong Si-nio jadi tidak tega, "Siapa orang terakhir yang melabrakmu?"
Hoa Ji-giok menggenggam jari-jarinya, "Siapa lagi, Siau Cap-it Long."
V. DIMANA SIAU CAP-IT LONG?
Siau Cap-it Long, lagi-lagi Siau Cap-it Long. Semua persoalan buruk di dunia, sepertinya diborong olehnya.
Hoa Ji-giok mendesis penuh dendam, "Karena dia merebut pujaanku, maka aku juga merebut pujaannya."
"Dia merebut pujaanmu? Siapa?"
"Dia merebut Pin-pinku."
"Siapa Pin-pin itu?"
"Pin-pin adalah adik misanku, juga adalah calon istriku." Kelihatan betapa gusar hatinya, "Mentang-mentang
ilmu silatnya lebih tinggi dibanding aku, Siau Cap-it Long merebut dan membawa adik misanku, orang lain
melirik saja juga dilarang olehnya."
"O, jadi karena melirik padanya, dua biji mata Cia Thian-ciok dibikin buta, begitu?"
Hoa Ji-giok mengangguk, suaranya dingin, "Kalau kalian menganggap dia baik, kalian bisa menyesal.
Terhadap Pin-pin dia benar-benar baik, demi Pin-pin perbuatan apa saja bisa dia lakukan, Pin-pin menyuruh
dia mencolok buta mata orang, tidak pernah ia membangkang."
"Aku tidak percaya," teriak Hong Si-nio. "Sepatah kata pun aku tidak percaya."
"Tidak percaya? Atau tidak berani percaya?"
"Mampus pun aku tidak percaya," seru Hong Si-nio.
Hoa Ji-giok menghela napas, "Sepertinya kau ini tergiia-gila terus padanya."
"Dahulu aku juga pernah memfitnah, tapi sekarang aku sudah tahu, Siau Cap-it Long pasti dan yakin bukan
orang macam itu, pasti takkan melakukan perbuatan seperti itu."
"Dahulu mungkin dia bukan orang macam itu, tiap orang bisa berubah kapan saja."
"Apapun yang kau katakan, apapun alasannya, aku tetap tidak percaya."
Berkilat bola mata Hoa Ji-giok, "Kalau aku bisa membuktikan, bagaimana?"
Sim Bik-kun mengertak gigi, "Kalau ada bukti dan nyata, apa pun kehendakmu terserah."
"Kalau aku bisa membuktikan, kau mau menikah denganku?" desak Hoa Ji-giok.
"Sudah kubilang, apapun kehendakmu, terserah."
"Janjimu bisa ditepati tidak?"
"Aku memang wanita, namun tidak pernah bohong tidak pernah ingkar janji."
"Bagus, aku percaya padamu." Kata Hoa Ji-giok sambil bertepuk tangan.
"Cara bagaimana kau akan memberi bukti kepadanya," desak Hong Si-nio.

"Akan kubawa dia pergi melihat Siau Cap-it Long dan Pin-pin.”
"Melihat dimana?"
"Tay-hing-lau."
"Tay-hing-lau dimana?"
"Tempat untuk menghamburkan uang."
"Siau Cap-it Long ada di sana?"
"Beberapa hari ini aku yakin dia ada di sekitar Koh-soh, kalau sudah berada di sekitar sana, pasti pergi ke
Tay-hing-lau."
"Masa begitu?"
"Sebab sekarang dia seorang kaya. Kalau tidak mengajak cewek pujaannya ke Tay-hing-lau mencari
hiburan, sia-sia dia berada di wilayah Soh-ciu ini."
"Maksudmu kau juga akan membawa kami ke tempat itu?"
"Tapi kalian harus berjanji satu hal kepadaku."
"Coba jelaskan."
"Mata kalian boleh melotot mengawasi, tapi mulut tidak boleh bicara. Harus tutup mulut."
"Kenapa?"
"Sebab sekali kalian membuka mulut, segala pemandangan akan lenyap."
"Baik, aku terima syaratmu."
"Kau bisa terus tutup mulut tanpa bersuara?"
"Kau anggap aku ini wanita macam apa? Wanita cerewet?" Hong Si-nio menjengek.
Hoa Ji-giok tertawa geli, "Kau bukan perempuan cerewet, tapi aku tidak percaya saat itu kau bisa menepati
janji."
Hong Si-nio berjingkrak berdiri, "Kalau bini sendiri tidak dipercaya, siapa yang kau percaya?"
Hoa Ji-giok menyeringai, "Seorang lelaki kalau terlalu percaya bini, maka dia lelaki goblok. Nyo Khay-thay
adalah bukti lelaki goblok itu. Kalau dia cerdik, mana bisa kau minggat dari kamar pengantinnya?"
Hong Si-nio menghela napas, "Dia bukan orang goblok, dialah laki-laki sejati."
"Tapi aku bukan laki-laki goblok juga bukan laki-laki sejati."
"Jadi kau sudah memutuskan untuk tidak percaya padaku?"
Hoa Ji-giok berpaling ke arah Sim Bik-kun, "Aku malah mempercayai dia, aku tahu dialah perempuan jujur
tidak suka bertingkah."
"Maksudmu aku tidak jujur lagi suka bertingkah?”
"Dalam rumah ini orang jujur kurasa hanya dia seorang."
"Lalu apa keputusanmu, mau menjahit bibirku?"
"Menjahit bibirmu juga tak berguna, siapa tahu kau bakal bandel."
"Kau... apa langkahmu?"

"Akan kupikir caranya," ujar Hoa Ji-giok dengan tersenyum penuh arti.
Kalau ingin perempuan seperti Hong Si-nio duduk diam, tidak banyak tingkah, memang harus diatasi dengan
suatu cara yang luar biasa.
Dan sekarang Hong Si-nio sudah duduk diam, tidak banyak tingkah, sebab dia tidak bisa bergerak. Hiat-to di
sekujur badannya pada titik kontrol gerak-gerik kaki tangan sudah ditutuk, dikendalikan. Mukanya ditutup
kain merah, bentuk sanggul kepalanya juga diubah, malah mulutnya dijejal buah apel. Cara ini bukan yang
paling pintar, tapi paling berhasil.
Muka Sim Bik-kun juga ditutupi kain hitam.
Koh-soh terhitung kota yang masih mengukuhi adat lama, gadis atau nona-nona muda yang beraktivitas di
luar rumah, semua pasti menutup muka dengan sari hitam atau jenis lain yang dirasa pantas.
Maka kehadiran mereka yang luar biasa itupun tidak menarik perhatian khalayak sekitarnya.
Dandanan mereka cukup perlente, pakaian dari bahan mahal, hiasan menghias sanggul kepala. Sebab
tempat ini memang sering dikunjungi para cukong yang berkantong tebal.
Awalnya tempat ini dinamakan Bok-tan-lau, namun sudah menjadi kebiasaan di sini, tiada Bok-tan, cari Tayhing
pasti banyak. Maka Bok-tan-lau berubah menjadi Tay-hing-lau.
Kini saatnya magrib. Magrib umumnya adalah waktu yang tepat untuk menghamburkan uang, waktu yang
paling pas untuk mengadu nasib dengan uang. Mau menghamburkan uang di sinilah tempatnya, minum
secangkir teh, kau harus merogoh kocek delapan tahil perak.
Benda atau barang apa saja yang dijual di sini, harganya sepuluh kali lebih mahal, celakanya tiada sesuatu
yang istimewa di tempat ini.
Bunga Bok-tan sudah layu, di antara pot-pot bunga di luar loteng tertata rapi beberapa pot kembang seruni.
Bunga seruni sedang mekar semarak, warna-warni berbeda pula, tiap kuntum kembang yang enak
dipandang.
Belasan meja di atas loteng, hampir penuh.
Tiap lelaki yang keluyuran di sini tentu bermuka riang, cerah, pakaian juga serba mewah dan mahal, ratarata
naik kuda, ada juga yang naik kereta, menyoreng pedang di pinggang, sarung pedang dihiasi mutiara
dan jamrud, beberapa di antaranya datang dengan menggoyang kipas bergambar, lukisan kipas digambar
oleh tangan ahli, pelukis terkenal.
Para wanita yang berbaur di sini semua berdandan ayu, ke tempat ini bukan untuk makan, tapi untuk pamer
kecantikan dan perhiasan.
Hong Si-nio bersama Sim Bik-kun duduk di pojok dekat jendela. Hoa-ji-giok berpakaian hijau dengan topi
kecil menutup kepala, dengan laku sopan berdiri di belakang mereka, menyamar jadi pelayan yang melayani
sang nyonya dan gadisnya yang lagi pesiar.
Wanita yang datang ke tempat ini tidak wajib ditemani suami, gendak atau lelaki siapa saja. Di Kangouw
tidak sedikit orang kaya dari jenis wanita, di antaranya malah ada yang ingin memancing ikan. Lelaki yang
ada di Tay-hing-lau, semua adalah ikan kakap, ikan besar.
Ikan yang paling besar sekarang sedang duduk di depan mereka. Umur lelaki ini sekitar empat-lima puluhan,
memelihara jenggot kambing, mukanya bundar, kulitnya putih, putih susu, sepasang tangannya terawat amat
baik, lebih baik dibanding jari-jari tangan gadis pingitan, jari tengah kanan kiri mengenakan cincin bermata
kucing sebesar kelengkeng.
Perempuan yang mendampingi jelas adalah perempuan cantik, cantik menggiurkan, usianya paling enam
belas, sepasang bola matanya indah, jelalatan mirip mata anak kecil yang rakus melihat banyak hidangan,
mulutnya mungil bersungut, sebelum tertawa sering hidungnya bersungut-sungut, begitu aleman lagi genit.
Memang perempuan jenis inilah yang paling disukai lelaki setengah umur itu.
Semua lelaki yang ada di sekitar situ pasti melirik diam-diam, melirik sepasang anting yang menghias

kupingnya, anting jade hijau pupus berbentuk amat indah. Di wilayah Koh-soh sukar didapat anting yang
sama.
Di belakang mereka selain gadis cilik pelayan dan kacung muda, dua lelaki menyoreng pedang berpakaian
hitam bersiaga.
Kemana pun Liu-soh-ciu pergi pasti diikuti dua pengawal. Empat pengawal Liu-soh-ciu jelas bukan tokoh
silat kelas kambing.
Lelaki yang menyoreng pedang di sebelah kanan bernama Ko Kang dijuluki Tui-hong-kiam. Tidak sedikit
tokoh silat di Kangouw dijuluki Tui-hong-kiam. Orang yang punya julukan, kepandaiannya tentu bukan mainmain.
Tapi tiap kali memandang dua orang yang duduk di meja seberang sana, sikap mereka kelihatan
hormat. Ilmu silat Ko Kang lihai dan cepat, terhitung tokoh Kangouw kawakan, ia kenal kedua orang itu.
'Pek-tiong-siang-hiap', murid terkenal dari perguruan ternama, beberapa peristiwa besar pernah mereka
lakukan, mendapat acungan jempol dan pujian dari kaum persilatan.
Terutama Ji-hiap Auyang Bun-tiong, dia memperoleh warisan keluarga yang telah lama putus turunan,
senjatanya adalah Cu-bo-le-hun-thoh. Seperti diketahui, keluarga Auyang turun temurun adalah keluarga
persilatan yang kaya raya, salah satu dari tiga keluarga persilatan yang disegani kaum persilatan. Kedua
saudara kakak beradik itu jelas juga adalah termasuk kaum Tay-hing.
Bagaimana dengan Siau Cap-it Long? Siau Cap-it Long tidak terlihat bayangannya. Sudah dua hari mereka
nenunggu di sini, tiada berita juga bayangan Siau Cap-it Long muncul.
"Bila dia berada di sekitar Koh-soh, pasti datang."
"Bagaimana tahu kalau dia berada di sekitar Koh-soh?"
Hong Si-nio sudah malas menduga-duga, apalagi menunggu lebih lama, sungguh tak tahan lagi.
Tapi pada waktu itulah tiba-tiba Siau Cap-it Long menampakkan diri. Begitulah kalau menunggu orang,
makin ditunggu makin gelisah, makin lama setelah tidak betah dan ingin pergi, tahu-tahu orangnya datang.
Sebuah kereta serba baru warna hitam gelap ditarik delapan ekor kuda tahu-tahu berhenti di luar pintu.
Hong Si-nio yang sudah malang melintang di Kangouw, belum pernah melihat kereta segede semegah dan
angker seperti kereta hitam ini.
Siau Cap-it Long datang naik kereta itu, malah bukan sendirian. Selain dua anak laki-Iaki, empat genduk cilik
dan kusir kereta yang semua berdandan rapi, ditemani pula seorang gadis rupawan yang berpakaian serba
putih, rambutnya tampak hitam mengkilap.
"Dia inilah Pin-pin."
Dipandang dari loteng, wajah Pin-pin tidak terlihat jelas, yang terlihat hanya gelung rambutnya yang indah
serta taburan mutiara yang besar sebagai hiasan sanggulnya.
Siau Cap-it Long melangkah dulu di depan, dengan sebelah tangannya sang nona memeluk lengan Siau
Cap-it Long dan beranjak perlahan. Mereka sudah turun dari kereta, melangkah ke pintu, dilihat dari atas
wajahnya tidak terlihat jelas.
Betulkah dia itu Siau Cap-it Long? Hong Si-nio dan Sim Bik-kun seperti berlomba membelalakkan bola mata,
terasa detak jantung tiga kali lipat lebih kencang, dengus napas yang ditahan seperti akan putus saja.
Betapa besar keinginan mereka melihat Siau Cap-it Long, sekarang mereka malah berharap laki-Iaki itu
bukan Siau Cap-it Long.
Derap kaki sudah berkumandang menaiki tangga loteng, jantung terasa berdegup lebih keras. Mendadak
mereka menahan napas, kini mereka sudah melihat sepasang matanya, benderang seperti cahaya bintang
kejora yang memancar terang di malam musim rontok.
Ternyata orang itu betul adalah Siau Cap-it Long. Siau Cap-it Long sudah datang.
Dalam hidup Siau Cap-it Long tidak mengutamakan pakaian, ada kalanya kaos saja tidak dipakai. Tapi baju
yang dipakai hari ini, seluruhnya dari bahan paling mahal, buatan tailor terkenal dengan mode terbaru, cocok

pas dengan potongan badan, bajunya serba hitam, sehitam biji matanya yang bersinar terang.
Baju sutra yang lembut mengencang di tubuh, dengan perawakan tubuh yang gagah, tinggi tegap,
pundaknya tidak begitu lebar, kaki juga tidak lencir panjang, di pinggang melilit sabuk kulit warna hitam pula,
menyoreng miring sebatang golok. Golok pendek yang bentuknya ganjil lagi aneh, sarung pedang mengkilap
seperti terbuat dari emas, di tengahnya dihiasi tiga butir mutiara hitam, mutiara yang jarang dimiliki manusia
umumnya. Betapa tidak menyolok pandang orang-orang yang melihatnya.
Kecuali sebilah golok, tubuhnya tiada mengenakan perhiasan apa-apa, namun makin dipandang, orang
merasa keagungan sikapnya yang menonjol.
Ternyata Siau Cap-it Long sekarang pandai memilih baju. Sebetulnya Siau Cap-it Long adalah seorang laki-
Iaki yang tidak suka berdandan, apalagi berhias, pernah beberapa hari ia tidak mandi, tidak mencukur
jenggot dan kumis, tapi hari ini mukanya kelihatan kelimis, kuku jari juga digunting rapi, rambut juga disisir
rapi, baju dan celananya halus rapi.
Hong Si-nio mengawasi dengan rasa kejut, kalau mulutnya tidak disumbat, dan Hiatonya tidak ditutuk, pasti
tak tahan sudah berteriak keras, sungguh sukar dipercaya bahwa lelaki ini adalah orang yang dikenalnya
sejak lama yaitu Siau Cap-it Long, kenapa kelihatannya lebih tua.
Kecuali golok di pinggang, Pin-pin merupakan hiasan tambahan yang menyolok juga, cewek ini masih
sangat muda, sayang kulit badannya memutih pucat. Sorot matanya mirip pandangan bocah jenaka yang
masih murni dan polos, terbayang juga rona memelas.
Gadis belia di samping Liu-soh-ciu boleh terhitung nona cantik yang jarang ada bandingan, kalau dibanding
dengan Pin-pin, bedanya amat menyolok.
Terasa oleh Hong Si-nio jenis kecantikan nona belia ini rada mirip kecantikan Sim Bik-kun, kalau Sim Bikkun
lebih matang, nona ini lebih muda, lebih lemah. Tidak setenang, lemah lembut seperti Sim Bik-kun.
Begitu nona belia berada dalam rumah, hadirin merasa nona muda ini amat angkuh dan congkak, kecuali
Siau Cap-it Long, tiada manusia lain yang pantas dilirik, apalagi dipandang olehnya, umpama ada orang
mampus di hadapannya, ia juga enggan melihatnya.
"Inilah Pin-pin."
Perasaan Sim Bik-kun seperti makin tenggelam "Demi Pin-pin, dia rela melakukan apa saja keinginannya,
kalau Pin-pin ingin dia mengorek bola mata sendiri, tanpa sangsi akan ia lakukan."
Kaki tangan dingin, badan Sim Bik-kun juga basah oleh keringat dingin. Kini ia harus mengakui, Pin-pin
adalah wanita yang membuat laki-laki mana pun rela berkorban baginya.
"Pin-pin setimpal jadi pasangan Siau Cap-it Long, dia masih muda belia, belum pernah menikah, pasangan
yang tidak akan membuat Siau Cap-it Long kesal, risau dan salah."
Sim Bik-kun merasa sekujur badan dingin, tapi tidak kedinginan, mendadak ia sadar, mestinya ia tidak
berada di tempat ini.
Siau Cap-it Long tidak boleh melihat dan tahu ia berada disini, ia tidak ingin membawa petaka, membuatnya
ragu, membuatnya serba salah.
"Tanpa aku, mungkin hidupnya akan lebih bahagia," demikian batinnya, dengan kencang ia menggigit bibir,
tanpa terasa air mata membasahi pipi.
Siau Cap-it Long tahu orang banyak sedang mengawasi dirinya, mengawasi pakaiannya, goloknya dan
cewek yang menggelendot di badannya.
Dia tidak peduli, biasanya ia segan diawasi orang, sekarang ia telah berubah, kelihatan ia puas malah, Siau
Cap-it Long sudah berubah menjadi laki-laki yang suka pamer kekayaan seperti Liu-soh-ciu.
Dengan memeluk lengan Siau Cap-it Long, dengan badan ia menggelendot di tubuh orang, sedikitpun Pinpin
tidak merasa ragu, malu atau sebaliknya memperlihatkan kemesraan. Senyum manis khusus untuk Siau
Cap-it Long saja, senyum mekar dan bangga. Sebab seluruh perhatian hadirin di Bok-tan-lau kini sudah
menjadi miliknya.

Mereka naik ke atas loteng, di belakang mengikut serombongan orang, mirip raja yang menggandeng
permaisuri memasuki istana.
Pemilik rumah makan membuka jalan, sikapnya munduk-munduk dan tutur katanya menjilat, "Di sana ada
meja di pinggir jendela, tuan-tuan silakan duduk, segera kami suruh menyuguhkan teh panas."
Siau Cap-it Long mengangguk, hakikatnya ia tidak memperhatikan omongan orang, juga tak peduli semua
orang yang hadir di loteng. Seolah-olah ia hadir di dunia lain, dunia yang tidak perlu memperhatikan
kepentingan orang lain.
Waktu lewat depan meja Liu-soh-ciu, mendadak Pin-pin berhenti, matanya mengawasi anting batu jade.
Gadis yang mengenakan anting itu tersenyum, syukur ia masih memiliki benda yang harus dibanggakan di
depan nona lain.
Masih memeluk lengan Siau Cap-it Long, mendadak Pin-pin berkata, "Menurutmu, bagaimana sepasang
anting ini?"
Pandangan Siau Cap-it Long tetap ke depan, kepala juga tidak menoleh, tapi ia mengangguk, "Kelihatannya
bagus juga."
"Aku suka warnanya," kata Pin-pin.
"Kau suka?" Siau Cap-it Long menegas.
"Sangat suka, entah Cici ini sudi mengalah padaku tidak?"
"Pasti boleh," ujar Siau Cap-it Long kalem.
Muka Liu-soh-ciu berubah. "Aku tahu dia tidak rela," sanggahnya.
Siau Cap-it Long tertawa, tawa yang sama, sikapnya masih bermalas-malasan, nadanya menyindir, "Kau
tahu kemauannya?"
"Sudah tentu tahu, sebab sepasang anting ini milikku."
"Kan sudah kau berikan padanya."
"Dia juga sudah jadi milikku."
"Omonganmu tidak kuatir membuatnya sedih?"
Liu-soh-ciu menarik muka, suaranya dingin, "Sudah kubilang, dirinya juga milikku."
Nona itu menundukkan kepala, sorot matanya mulai mengunjuk rasa kuatir dan takut.
Baru sekarang Siau Cap-it Long mengawasinya sekilas, tawanya tawar, "Kau istrinya?"
Nona itu menggeleng.
"Putrinya?"
Nona itu menggeleng pula.
"Lalu kenapa dia bilang kau miliknya?"
Liu-soh-ciu berjingkrak, suaranya keras, "Sebab aku sudah membelinya."
"Berapa duit kau membelinya?"
"Kau tidak perlu tahu!"
"Kalau aku ingin tahu?"

Liu-soh-ciu menggebrak meja, dampratnya gusar, "Kau ini barang apa? Berani kurang ajar di depanku."
"Aku bukan barang, aku manusia."
Saking gusarnya, Liu-soh-ciu membesi kaku. "Ko Kang," serunya keras.
Tangan Ko Kang menggenggam gagang pedang, hanya sedikit bergerak, mendadak menghadang di depan
Siau Cap-it Long.
"Aku sebal melihat orang ini, suruh dia pergi!"
Dingin sorot mata Ko Kang, "Dia bilang sebal melihatmu, kau sudah dengar?"
"Mendengar dengan jelas," sahut Siau Cap-it Long.
"Tidak lekas kau menyingkir?"
"Aku suka di sini."
Ko Kang menyeringai, "Jadi kau senang rebah di sini?"
"Kau ingin membuatku rebah di sini?"
"Betul." Mendadak pedang tercabut, sinar gemerdep menusuk dada Siau Cap-it Long.
Sinar pedang bagai kilat, kecepatan Tui-hong-kiam memang hebat. Yang hadir sudah ada yang menjerit,
tusukan itu jelas akan amblas di dada Siau Cap-it Long. Yang diserang tetap diam saja, hanya mengulur
sebelah tangan menjentik di ujung pedang orang.
"Ting", pedang itu mendadak patah sepanjang delapan senti. "Tring", suara potongan pedang jatuh di lantai.
Berubah air muka Ko Kang, teriaknya, "Kau ... kau siapa?"
"Aku she Siau," sahut Siau Cap-it Long.
"Siau... Siau apa?"
"Siau Cap-it Long."
Nama besar itu bagai sebuah palu godam menghantam kepala Ko Kang. Dengan mata terbelalak ia
mengawasi orang di depannya, dari kepala turun mengawasi golok di pinggang orang, "Kaukah Siau Cap-it
Long?"
"Ya, tulen bukan palsu."
Selebar muka Ko Kang basah oleh keringat, mendadak ia membalik, "Dia bilang dia suka tinggal di sini."
Muka Liu-soh-ciu juga pucat pias, "Aku sudah mendengar."
"Dialah Siau Cap-it Long."
"Aku tahu," sahut Liu-soh-ciu. Tentu ia pernah mendengar nama kebesaran Siau Cap-it Long.
Ko Kang berkata, "Siau Cap-it Long berkata kalau dia ingin tetap di sini, maka tiada seorang pun berani
menyuruhnya pergi."
Tangan Liu-soh-ciu saling genggam, wajahnya membesi, "Kalau dia tidak mau pergi, kau saja yang pergi!"
Bilang pergi ya pergi, tanpa menoleh ia hengkang dari tempat itu. Umpama nilai harga yang dijanjikan Liusoh-
ciu cukup tinggi, jelas takkan lebih berharga dibanding kepala sendiri. Apalagi disuruh pergi oleh Siau
Cap-it Long, rasanya juga tidak terlalu memalukan.
Mengawasi orang turun dari tangga, Liu-soh-ciu menghela napas, tawanya dipaksakan, "Sungguh aku tidak
tahu tuan adalah Siau Cap-it Long."

"Sekarang kau sudah tahu?" tawar suara Siau Cap-it Long.
"Kau benar menyukai sepasang anting ini?"
"Apa yang dia sukai, serahkan kepadanya!"
"Jadi segala sesuatu yang dia sukai, kau berikan padanya?"
Perlahan Siau Cap-it Long mengangguk, mengulang ucapan orang dengan nada tegas, "Semua benda yang
disukai, aku serahkan kepadanya."
Liu-soh-ciu mengertak gigi, "Baiklah, akan kuberikan kepadamu, selanjutnya kita bisa jadi sahabat."
"Aku tidak mau terima gratis, juga tak mau bersahabat."
Berubah air muka Liu-soh-ciu, "Apa maumu?"
"Sepasang anting ini kau beli dengan uang?"
"Ya, dengan harga mahal."
"Berapa kau beli?"
"Delapan ribu tahil."
"Aku beli enam belas ribu tahil," kata Siau Cap-it Long, hanya sekedar mengulap tangan, seorang
kacungnya yang cerdik pandai segera maju menyodorkan cek.
"Inilah cek Goan-ki dari bank keluarga Nyo yang terkenal, tunai dan kapan saja boleh diambil."
Melotot mata Liu-soh-ciu, mendadak ia berpaling sambil berseru, "Serahkan padanya!"
Merah mata gadis belia itu, perlahan ia mencopot anting dari kupingnya, lalu ditaruh di atas meja.
"Sekarang anting ini milikmu," kata Liu-soh-ciu, "kalau tiada urusan boleh silakan ambil."
Mendadak Siau Cap-it Long tertawa, "Masih ada urusan lain."
Berubah pucat muka Liu-soh-ciu, "Urusan apa?"
"Tadi kubilang, aku suka tempat ini."
"Kau ... aku harus menyingkir dari tempat ini?"
"Betul."
"Aku ... kalau tidak menyingkir?"
"Harus menyingkir," tawar suara Siau Cap-it Long, tapi nadanya mulai mengancam.
Liu-soh-ciu menyingkir pergi, berhadapan dengan Siau Cap-it Long, bagaimana ia tidak mengalah?
Setelah duduk Siau Cap-it Long mengambil sepasang anting itu, "Warna sepasang anting ini memang
bagus."
Pin-pin tertawa, "Tapi sekarang aku sudah bosan."
Siau Cap-it Long melenggong, "Maksudmu kau tidak suka?"
"Barang ini membikin kau repot, aku tak mau menerimanya."
Sikap Siau Cap-it Long berubah manis, tawanya juga lembut dan gembira, "Setelah kau merasa bosan, aku
pun ikut bosan." Sembari bicara mendadak ia mengayun tangan, anting seharga enam belas ribu tahil ia
buang keluar jendela.

Pin-pin bersorak lirih sambil bertepuk tangan, tawanya riang.
Hong Si-nio justru hampir meledak dadanya saking jengkel, sungguh tak pernah terbayang olehnya
sekarang Siau Cap-it Long sudah berubah sewenang-wenang, menindas yang lebih rendah. Syukur ia tidak
mampu bergerak, dalam keadaan biasa mungkin ia sudah memburu ke sana menampar mukanya.
Saking gemasnya ingin ia menuding hidungnya serta mencaci, memangnya sudah lupa kala hidupnya
terlunta-lunta, makan semangkok mi bakso saja harus bon dulu dan lima minggu baru mampu membayar.
Akan ditudingnya pula apa dia sudah melupakan Sim Bik-kun, melupakan para wanita sahabatnya yang
pernah rela berkorban bagi dirinya. Sayang ia tidak mampu bersuara, terpaksa menyaksikan saja dengan
pandangan melotot.
Dahulu Siau Cap-it Long selalu diomeli, kenapa tidak mau mandi? Tidak mencukur kumis dan jenggot?
Kenapa suka memakai kaos kaki berlubang dan sepatu butut yang sudah pecah alasnya?
Kondisi Siau Cap-it Long sekarang jauh berubah, seperti telur rebus yang sudah dikuliti, kelihatan halus dan
mengkilap. Tapi perasaan yang terbenam dalam relung hatinya mengatakan bahwa Siau Cap-it Long yang
dahulu tampak lebih gagah dibanding keadaannya sekarang.
Sim Bik-kun duduk tanpa bergeming, bagaimana perasaan hatinya? Hong Si-nio tidak berani
memikirkannya, melirik pun tidak tega. Kalau dirinya menjadi Sim Bik-kun, mungkin sekarang sudah
mampus karena sesak napas.
Awalnya Siau Cap-it Long seorang pemuda yang kenal kasih tebal budi, kenapa berubah sedemikian
drastis?
Liu-soh-ciu sudah pergi, Pek-tiong-siang-hiap yang sudah duduk dan mulai minum arak mendadak
menghentikan minumnya, setelah saling pandang, tanpa bersuara mereka berdiri.
Sekilas Pin-pin melirik ke arah mereka, lalu berseru, "Apa kalian mau pergi?"
Kembali Auyang bersaudara beradu pandang, yang muda mengangguk dan menjawab, "Nona berbicara
dengan kami?"
"Ya," sahut Pin-pin.
"Kami tidak kenal nona, entah ada petunjuk apa?" tanya Auyang Bun-tiong.
"Kalian tidak kenal aku, aku kenal kalian malah."
"O, ...."
"Kau bernama Auyang Bun-tiong, kakakmu bernama Auyang Bun-pek, dua saudara bukan barang baik."
Berubah air muka Auyang Bun-tiong. Sikap Auyang Bun-pek jadi beringas, "Kami bersaudara dalam hal apa
berbuat salah kepada nona?"
"Memangnya kalian tidak tahu?"
"Aku tidak tahu," sahut Bun-tiong.
Mendadak Pin-pin berpaling ke arah Siau Cap-it Long, "Kau kenal mereka?"
"Tidak kenal," sahut Siau Cap-it Long.
”Tapi mereka terus melotot kepadaku."
"Oya?"
"Aku tidak suka orang menatapku begitu."
"Kau tidak suka?"

"Malah menjijikkan."
Siau Cap-it Long menarik napas panjang, sedikit menoleh matanya melirik, "Kalian dengar apa yang dia
katakan?"
Membesi selebar muka kedua saudara Auyang, sekuat mungkin mengendalikan diri.
"Apa katanya?"
"Dia bilang benci mata kalian berdua."
"Mata ini tumbuh di kepalaku, peduli orang lain suka atau tidak."
"Orang lain membenci mata kalian, apa gunanya sepasang mata kalian?"
"Apa maksudmu?"
"Maksudku sudah jelas, kau belum paham?"
"Maksudmu kami harus mengorek keluar mata ini."
"Memang begitu maksudku."
"Kalau begitu silakan ambil sendiri!"
"Tadi kau bilang mata milikmu sendiri, kenapa harus aku yang mengambil?"
Auyang Bun-tiong tertawa keras, "Orang ini menyuruh kita mengorek biji mata sendiri."
"Mengorek mata sendiri lebih enteng daripada dipenggal kepalanya bukan?"
Suasana Bok-tan-lau mendadak sunyi senyap, jantung hadirin berdegup kencang, semua berkeringat dingin.
Bahwa orang hanya sekilas memandangnya, lalu menyuruh mengorek biji mata sendiri. Masih ada
perbuatan sekejam ini di dunia? Orang ini malah Siau Cap-it Long.
Hong Si-nio hampir tidak percaya kalau kejadian ini nyata, tapi kejadian ini memang nyata. Dahulu bertaruh
jiwa pun ia berani menentang omongan orang, kini kenyataan seperti betul; sesuai yang dibicarakan orang.
Hong Si-nio memejamkan mata, ia tidak mau melihat dan tak tega melihat, air mata meleleh membasahi pipi.
Sebetulnya Auyang-hengte sudah menyandang buntalannya, kini mereka letakkan di atas meja. Entah apa
isi buntalan itu, kelihatan cukup berat.
Mengawasi mereka lalu mengawasi buntalan di atas meja, Siau Cap-it Long tertawa, "Thi-ping-yan-yen-kuai
dan Cu-bo-le-hun-thoh?"
"Betul," sahut Auyang Bun-tiong.
"Sejak kematian Kim-lojit si bangsat dari Cap-ji-lian-hoan-ou, sudah puluhan tahun tiada insan persilatan di
Kangouw yang menggunakan senjata Cu-bo-le-hun-thoh lagi."
"Tidak salah," Auyang Bun-tiong menjawab.
"Konon senjata jenis ini banyak menyembunyikan tipu-tipu aneh luar biasa, jauh berbeda dengan senjata
lemas jenis lain."
"Betul."
"Sebab jenis senjata ini tidak panjang, tidak pendek, tidak lemas juga tidak keras, untuk latihan saja perlu
waktu lima belas tahun, setelah itu baru boleh dikata mahir memainkan senjata ini."
"Betul."

"Maka kaum persilatan yang mau memakai senjata jenis ini bisa dihitung dengan jari. Bila dia mahir
menggunakan senjata ini boleh terhitung jago kosen."
Auyang Bun-tiong menyeringai, "Pengetahuanmu ternyata tidak cetek."
”Thi-ping-yan-yen-kuai panjang pendek, termasuk senjata yang sukar dipelajari, di tengah permainan senjata
ini masih bisa diselingi hamburan senjata rahasia. Konon Thay-ou-sam-kiat yang terkenal itu dulu juga
mampus oleh sepasang senjata ini."
"Memangnya hanya Thay-ou-sam-kiat saja lawan yang mati di bawah Thi-ping-yan-yen-kuai," jengek
Auyang Bun-tiong.
"Kalian lahir dari keluarga ternama, senjata yang digunakan juga jarang serta ahli, aku yakin kepandaian
kalian berdua tentu terhitung kelas wahid."
"Rasanya cukup berbobot."
"Baik sekali," kata Siau Cap-it Long, perlahan ia bangkit serta menghampiri mereka, senyum tetap menghias
wajahnya, "Sekarang silakan kalian turun tangan bersama, bila kalian bisa melawan tiga jurus seranganku,
aku akan ...."
"Kau mau apa?" desak Auyang Bun-tiong.
"Aku akan mengorek bola mataku sendiri untuk kalian."
"Bagus," Auyang Bun-tiong bergelak tertawa, "gagah betul Siau Cap-it Long."
Siau Cap-it Long menegaskan, "Baik buruk nama Siau Cap-it Long, apa yang diucapkan, belum pernah
menjilat ludah sendiri."
"Kalau hanya tiga jurus kami bersaudara tidak mampu melayanimu, selanjutnya kami malu bertemu orang.
Apa susahnya membikin buta mata sendiri, beres bukan?"
"Kalau demikian, apa pula yang kalian tunggu?" tantang Siau Cap-it Long.
"Betul kami hanya melayani tiga jurus seranganmu?"
"Betul, tiga jurus...."
Selama ini belum pernah ada orang yang mampu mengalahkan Pek-tiong-siang-hiap hanya dalam tiga jurus.
Yang pasti Auyang-hengte jago yang tidak mudah dilayani.
Kini Hong Si-nio yakin bahwa Siau Cap-it Long betul-betul sudah berubah, lebih pantas kalau dikata mirip si
gila yang takabur.
Hadirin di loteng semburat ke pinggir. Bukan didorong ke pinggir, tapi didesak semacam hawa membunuh
yang tak terlihat, tiada orang rela menjadi korban sambaran senjata nyasar, namun keinginan menonton
pertempuran hebat membatalkan niat mereka untuk berlari turun ke bawah. Apa betul Siau Cap-it Long
mampu mengalahkan Pek-tiong-siang-hiap yang menggetarkan dunia persilatan? Siapa saja asal tidak buta,
pasti ingin menyaksikan pertempuran hebat ini. Auyang-hengte pelan-pelan membalikkan badan, membuka
buntalan mereka. Tiap gerak tangan mereka pelan dan penuh perhitungan, jelas menggunakan waktu yang
pendek ini untuk berusaha menenangkan pikiran, meneguhkan hati, mempertimbangkan jurus dan tipu apa
untuk melayani serangan musuh, kini mereka sadar lahir batin, sudah memperoleh ketenangan.
Duel tokoh kosen yang diutamakan hanya ketenangan, sekali gugup dan teledor, kematian akibatnya.
Memang tidak malu dua bersaudara ini memperoleh julukan jago kosen yang sudah ratusan kali bertempur
tak pernah kalah.
Angin berhembus lewat jendela, semilir angin berubah dingin.
"Tring, ting, ting", di tengah gemerincing bunyi besi beradu, Auyang Bun-tiong menggentak tangan, bunyi
nyaring beradunya dua senjata cukup menciutkan nyali orang.
"Membunuh orang dengan senjata jenis ini kelihatannya jauh lebih mudah."

"Memang tidak sukar."
"Kalau hari ini kalian mampu melawan tiga jurus seranganku, bukan hanya menggetarkan dunia, dua
keuntungan sekaligus diraih, rasanya tidak akan ada kesukaran."
Auyang Bun-tiong hanya menyeringai dingin.
Siau Cap-it Long berkata pula, "Cuma tiada persoalan semudah dan segampang itu di dunia ini. Bahwa aku
berani menantang engkau, jelas aku yakin mampu mengatasimu."
"Kalau dengan obrolanmu kau bermaksud mengganggu ketenangan kami, apa tidak salah?"
"Aku hanya ingin memperingatkan satu hal padamu," enteng suara Siau Cap-it Long.
"Satu hal apa?"
"Kuharap kalian tidak lupa golok apa yang kupakai."
"Keh-lo-to?" terangkat alis dua bersaudara ini.
"Betul, Keh-lo-to."
Mengawasi golok di pinggang orang, sikap angkuh dua bersaudara ini tampak menurun tiga bagian.
"Kuyakin kalian tahu golokku ini amat tajam, besi bisa diiris seperti tahu. Biarpun Thi-ping-yan-yen-kuai
enam puluh tiga kati beratnya, sekali tabas pasti putus."
Otot hijau tampak menonjol pada kedua lengan Auyang Bun-pek yang menggenggam senjata panjang
pendek itu, ujung matanya juga kelihatan kedutan. Hati yang mulai tenang kembali bergolak, perasaan
berubah gundah.
Seperti tidak memperhatikan perubahan sikap mereka, Siau Cap-it Long berkata lebih lanjut, "Maka
kuanjurkan supaya tidak menangkis golokku dengan senjata kalian." Jari-jarinya sudah menggenggam
gagang golok, apakah goloknya sudah akan dicabut?
Mendadak Auyang-hengte menggeser kedudukan, tubuh mereka bergerak melintang, hanya dalam sekilas
gerak mereka sambil mengucap dua patah kalimat, "Hanya bertahan tanpa menyerang. Bergerak mundur
untuk maju." Lahir batin dua bersaudara ini terjalin rapat, gerak mereka juga serasi dan berpadu. Melawan
musuh bersama jelas bukan hanya sekali saja.
Asal dapat menghindar tiga jurus, berarti sudah menang. Biar golokmu tajam luar biasa, bila tidak menangkis
golokmu, memangnya tiga jurus saja tidak mampu menghindar atau menyingkir? Begitu mengembangkan
gerak tubuh, mereka bersiaga dalam jarak tujuh langkah di sekeliling Siau Cap-it Long. Kalau tangan diulur
panjang golok paling enam kaki, kalau ingin merobohkan mereka, Siau Cap-it Long harus bergerak
menyerang. Begitu golok bergerak berarti sudah satu jurus serangan dilancarkan.
Mengawasi aksi dua bersaudara ini, Siau Cap-it Long tertawa. Auyang-hengte tidak melihat senyum di
wajahnya, mata mereka hanya memperhatikan tangan yang memegang golok.
Perlahan-lahan Siau Cap-it Long menghunus goloknya, gerakannya amat lamban, goloknya memancarkan
kemilau hijau, tiada gemerlap cahaya yang menyilaukan. Tapi begitu golok itu terlolos, seolah-olah
memancarkan hawa membunuh yang tidak terlihat, tapi terasa mendesak pernapasan.
Auyang-hengte saling tukar pandang, mereka terus berputar mengelilingi gelanggang.
Pelan-pelan Siau Cap-it Long mulai mengayun golok, lambat-lambat....
Pandangan Auyang-hengte ikut beralih mengikuti gerak golok, dengan sendirinya gerak langkah mereka ikut
menjadi lambat.
Golok sudah gerak, satu gerakan berarti satu jurus, jadi masih ada sisa dua jurus.
Seperti sedang menikmati keindahan golok sendiri, Siau Cap-it Long berkata lirih, "Inilah jurus pertama."
Gerak jurus demikian jelas dan pasti takkan bisa melukai lawan. Padahal hanya tiga jurus, berarti satu jurus

disia-siakan. Apa betul orang ini sudah gila?
Sekonyong-konyong cahaya golok yang kemilau hijau itu melambung ke atas, bagai kilat menyambar ke
arah Auyang Bun-pek. Serangan golok ini hebat bagai geledek, perbawanya seperti tak tertahankan, jelas
berbeda dengan jurus pertama tadi.
Air muka Auyang Bun-pek seperti mengkeret disinari cahaya golok. Tongkat besi di tangan memang berat,
namun ia tidak berani menangkis, terpaksa ia berkelit. Auyang Bun-tiong kuatir sang kakak terancam
jiwanya, melihat pertahanan bagian belakang Siau Cap-it Long terbuka, sepasang senjata panjang pendek
langsung menggebuk ke punggung lawan.
Di luar tahunya gerak golok Siau Cap-it Long hanya gertak sambal belaka, ia sudah memperhitungkan bakal
mengundang serangan dari belakang, mendadak pinggang menggeliat, dengan sigap tangan kiri bergerak
menangkap Cu-bo-le-hun-thoh, lalu ditarik serta didorong ke depan. Betapa kuat tenaga betotan dan
dorongan itu, sungguh amat mengejutkan.
Terasa oleh Auyang Bun-tiong telapak tangannya pecah. Pergelangan tangan juga terkilir, Cu-bo-le-hunthoh
terlepas, tubuhnya ikut menyeruduk ke depan menumbuk sikut Siau Cap-it Long. Seperti dipalu godam
rasanya, mendadak pandangan menjadi gelap, darah segar menyembur dari mulutnya.
Tidak berhenti sampai di situ, senjata rampasan di tangan Siau Cap-it Long, dengan menggunakan tenaga
serudukan lawan, ia lempar ke belakang. Kebetulan gerak langkah Auyang Bun-pek persis ke arah sini, yang
diperhatikan hanya menghindari golok di tangan kanan lawan, mimpi pun tak menduga tangan lawan sudah
memegang senjata rampasan. "Tring", dimana kilat menyambar disusul hamburan darah segar menyemprot
ke mukanya. Menyusul Cu-bo-ie-hun-thoh juga menghantam dada.
Bentrok Para Pendekar 05
Karya Gu Long - Gan K.H.
Bagian 5
Tadi pandangan matanya sudah teraling oleh hamburan darah segar, jadi tidak melihat datangnya senjata
berat adiknya yang menyerang dada, tapi telinganya sempat mendengar tulang dadanya yang patah. Yang
menutup pandangan mata adalah darah sang adik, yang menghajar dadanya juga adalah gaman adiknya
pula.
Hanya tiga jurus, Siau Gap-it Long hanya menyerang tiga jurus.
Semua penonton membuka mata lebar-lebar, menahan napas, dengan rasa terkejut mengawasi Auyanghengte
roboh di tanah.
Waktu mereka berpaling lagi, Siau Cap-it Long sudah duduk kembali di tempatnya, golok juga sudah kembali
ke sarungnya.
Dengan rasa bangga dan angkuh Pin-pin mengawasinya dengan bola matanya nan indah, "Kulihat hanya
satu jurus kau merobohkan mereka."
"Tiga jurus aku kalahkan mereka."
"Jurus pertama juga masuk hitungan?"
"Harus dihitung, tiap jurus harus dihitung." Dengan tertawa ia menjelaskan, "Jurus pertama untuk menarik
perhatian, supaya seluruh perhatian ditujukan kepada golokku ini, dengan sendirinya gerakan mereka ikut
mengendor."
"Lalu jurus kedua?"
"Jurus kedua untuk memaksa mereka bergerak menyatu, dengan dipaksa demikian, mereka tidak pernah

membayangkan dan takkan menduga sodokan tangan kiriku."
"Jurus ketiga itulah serangan telak yang fatal akibatnya."
"Mereka masih hidup karena aku tidak ingin merenggut jiwa mereka."
"Jadi tiga jurus semua berguna, ucapanmu tadi pun patut diperhatikan."
“Tapi omongan orang tak mungkin merobohkan orang, juga bukan jurus yang bisa melukai lawan."
"Maka kau hanya menggunakan tiga jurus?"
Siau Cap-it Long memanggut, "Ya, hanya tiga jurus."
"Sekarang mereka sudah kalah."
Sementara itu Auyang-hengte sedang merangkak berdiri dengan susah payah. Noda darah di muka Bun-pek
belum kering, sementara muka Bun-tiong pucat pasi.
Mendadak Pin-pin berpaling mengawasi mereka, "Kalau kalian bersaudara tak mampu melawan tiga
jurusnya, selanjutnya malu bertemu orang, biarlah kami korek saja biji mata itu, kalah ya kalah secara
jantan," jengek Pin-pin. "Masih ingat siapa yang bilang?"
Auyang Bun-pek mengertak gigi manggut-manggut.
"Sekarang kalian mengaku kalah?" desak Pin-pin.
Auyang Bun-pek tidak bisa menyangkal.
"Mengaku kalah, apa pula yang kalian tunggu?"
Tiba-tiba Auyang Bun-pek menengadah sambil tertawa sedih, suaranya beringas, "Anggaplah kami
bersaudara belajar silat tidak tamat, tapi kami bukan orang yang sudi menjilat ludah sendiri."
"Bagus, aku percaya kalian bukan orang yang tidak bisa dipercaya."
Sambil mengertak gigi, Auyang Bun-pek mengulur dua jari tangannya, bagai cakar elang saja mendadak
mengorek biji mata sendiri, tapi lelaki mana pun kalau harus membikin buta mata sendiri, tangan akan
menjadi lemas.
Dari samping Auyang Bun-tiong berkata lantang, "Begini saja, kau mengorek mataku, aku mengorek
matamu!"
Dua saudara kakak beradik ini siap saling membutakan mata mereka, yang tidak tega sudah berpaling
muka, di ujung loteng sana seorang malah membungkuk badan muntah-muntah.
Tanpa bergeming Siau Cap-it Long tetap duduk di kursinya, sikapnya tidak berubah.
Mendadak seorang berteriak keras, "Kalau kau ingin mereka mengorek matanya, harus kau korek dulu
mataku!"
VI. CINTA ADALAH PERSEMBAHAN
Suaranya gemetar, nadanya sedih dan gusar, didengar telinga masih terasa merdu bagai hembusan angin
sepoi musim semi.
Berubah air muka Siau Cap-it Long, detak jantung hampir berhenti, darah sekujur badan juga seperti
membeku. Ia mengenal suara itu, sampai mati takkan dilupakan suara itu. Sim Bik-kun! Itulah suara Sim Bikkun.
Sim Bik-kun yang tak mungkin terlupakan oleh Siau Cap-it Long, umpama mati seribu kali, selaksa kali
sekalipun takkan pernah dilupakan.

Dia tidak melihat Sim Bik-kun, tadi di pojok sana seorang perempuan bercadar hitam tampak gemetar
sekujur tubuhnya. Apakah dia Sim Bik-kun, wanita pujaan yang ia rindukan, mimpi juga selalu bertemu,
selama hidup takkan dilupakan.
Darah sekujur badan yang hampir membeku mandadak bergolak, jantungnya seperti hampir melonjak
keluar. Tapi ia tidak menghampiri, dia takut kecewa, putus harapan, sudah sering kali putus harapan.
Bola mata Pin-pin yang jeli juga sedang mengawasi perempuan bercadar hitam di sana, katanya dengan
nada dingin, "Jadi kau tidak ingin mengorek bola mata mereka? Pernah apa engkau dengan mereka?"
"Bukan sanak bukan kadang," kata Sim Bik-kun, "tapi aku rela mati, peristiwa ini akan kutentang."
"Kalau tiada hubungan apa-apa, kenapa kau harus pakai cadar, malu dilihat orang?"
"Sudah tentu aku punya alasan sendiri."
Siau Cap-it Long tetap duduk tak bergeming. Mungkin dia sudah melupakan semuanya.
Hancur luluh hati Sim Bik-kun, raga ini seperti hancur lebur, berkeping-keping. Tapi ia masih berusaha
mengendalikan diri, memang dia adalah wanita kelahiran keluarga yang selalu menegakkan aturan dan tata
krama.
"Kau tidak ingin menjelaskan alasanmu padaku?"
"Tidak!" sahut Sim Bik-kun.
Pin-pin tertawa lebar, "Aku justru ingin melihatmu!" Perlahan ia berdiri kemudian menghampiri dan berkata
dengan senyum manis, "Kuduga kau juga seorang wanita cantik, sebab suaramu begitu merdu."
Senyum tawa Pin-pin memang begitu manis menggiurkan, begitu cantik rupawan, terhitung nona cantik yang
tiada bandingan di seluruh negeri. Memang setimpal menjadi pasangan Siau Cap-it Long. Tapi kenapa hati
dan pikirannya begitu jahat dan kejam? Kenapa Siau Cap-it Long justru mau mendengar dan patuh
padanya? Gadis ini menghampiri, kenapa Siau Cap-it Long tetap duduk di tempat? Memangnya kecuali
gadis yang satu ini, tiada wanita lain lagi dalam hatinya?
Perasaan Sim Bik-kun seperti ditusuk-tusuk jarum, hatinya hancur berkeping, seperti tertusuk-tusuk jarum.
Pin-pin sudah berada di depannya, tawanya begitu manis, suaranya juga lembut, "Boleh kau singkap
cadarmu supaya aku bisa melihat wajahmu?"
"Ternyata dia tidak mengenal suaraku lagi, kenapa kubiarkan dia melihat aku?" demikian batin Sim Bik-kun.
”Kalau di hatinya sudah tiada diriku, buat apa kita bertemu lagi?"
"Masa kulihat sekilas saja tidak boleh?" tanya Pin-pin sedikit memaksa.
"Tidak boleh!" pendek tegas jawaban Sim Bik-kun.
"Kenapa?"
"Tidak ya tidak," hampir Sim Bik-kun tak kuasa mengendalikan diri.
Pin-pin menghela napas, "Kau tidak mau menanggalkan cadarmu sendiri, biar kubantu kau menyingkapnya."
Benar-benar ia mengulur tangan. Tangan yang indah, seindah batu pualam.
Sim Bik-kun mengawasi tangan itu terulur ke mukanya, hampir tak tahan hendak turun tangan. "Jangan,
jangan aku bertindak kasar," demikian batinnya, "jangan aku melukai perempuan pujaan hatinya. Selama ini
dia sudah banyak berkorban bagiku, besar kasih sayangnya selama ini, kenapa aku harus membuatnya
sedih?"
Dengan kencang Sim Bik-kun menggenggam tangan, terasa kuku jari sudah menusuk kulit daging.
Tangan Pin-pin sudah menyentuh cadar di mukanya, mendadak ia urungkan niatnya, "Sebetulnya tak perlu
aku melihat wajahmu, dapat aku bayangkan bagaimana tampangmu."

"Kau tahu?"
"Entah berapa kali seorang bercerita padaku tentang bentuk rupamu."
"Siapa yang bilang padamu?"
”Tentu kau tahu siapa yang kumaksud."
"Kau ... kau juga tahu siapa aku?"
"Siapa lagi kalau bukan Sim Bik-kun, wanita tercantik dalam kalangan persilatan."
Seperti teriris hati Sim Bik-kun. Kenapa dia membicarakan diriku dengan cewek ini? Memangnya mau
pamer, supaya orang tahu, dulu ada seorang wanita yang begitu mencintainya?
Genggaman tangan Sim Bik-kun makin kencang, tak tahan ia bertanya, "Darimana kau tahu siapa diriku?"
"Kalau kau bukan Sim Bik-kun, mana mungkin dia berubah seperti itu." Sambil bicara tangannya menuding
ke belakang, menuding Siau Cap-it Long.
Perlahan Siau Cap-it Long mendatangi, dengan tajam ia mengawasi cadar muka Sim Bik-kun. Tatapannya
lurus seperti orang pikun.
Mendadak Sim Bik-kun berkata keras, "Kau salah, aku bukan Sim Bik-kun."
"Kau bukan?"
"Siapa kenal Sim Bik-kun? Perempuan dogol, perempuan bodoh itu?"
Berkedip mata Pin-pin, dengan tertawa lebar ia berkata, "Apa perlu aku menyingkap cadar mukamu?"
Kembali ia mengulur tangan hendak menyingkap cadar Sim Bik-kun.
Kini semua hadirin benar-benar mengharap dia betul-betul menyingkap cadar itu, siapa tidak ingin melihat
betapa cantik perempuan nomor satu di Bu-lim.
Tak disangka Pin-pin kembali mengurungkan niatnya, ia berpaling ke arah Siau Cap-it Long, "Kurasa lebih
baik kau saja yang menanggalkan cadarnya, yakin kau ingin sekali melihatnya?"
Dengan kaku Siau Cap-it Long mengangguk, tentu ia ingin melihatnya, mimpi pun ia selalu berharap dapat
melihat, apalagi bertemu. Tangan pun diulur.
"Singkirkan tanganmu!" mendadak Sim Bik-kun berteriak.
Siau Cap-it Long tergagap linglung, "Kau ... kau ...."
"Berani menyentuhku, biar aku mati di hadapanmu."
"Kau ...." Siau Cap-it Long lebih kaget, "kau tidak mengenalku lagi?"
Makin hancur hati Sim Bik-kun. Aku tidak mengenalmu? Demi kau, aku meninggalkan segalanya,
mengorbankan nama baik, kekayaan, keluarga dan semua yang kumiliki. Demi kau, aku menderita dan
sengsara, entah berapa kali dicemooh, dinista, dipermalukan. Sekarang kau tega mengatakan aku tidak
mengenalmu? Dengan keras ia menggigit bibir, terasa anyir darah merembes ke tenggorokan, dengan
mengerahkan seluruh tenaga ia berteriak, "Aku tidak mengenalmu, bahwasanya aku tak pernah
mengenalmu."
Siau Cap-it Long mundur sempoyongan, seperti mendadak dadanya ditendang orang. Benarkah Sim Bik-kun
berubah?
Hoa Ji-giok berdiri diam menonton, mendadak Sim Bik-kun memeluk lengannya, "Ayo kita pergi!"
Jadi pria ini yang membuatnya berubah? Pria ini masih muda, cakap ganteng malah, penurut lagi, sejak tadi
ia berdiri mematung di belakang. Tak heran dua tahun sudah aku mencarinya dan tidak pernah ketemu,
ternyata ia sudah tidak mau bertemu denganku. Hati Siau Cap-it Long juga luluh.

Mereka sama-sama diracun kesan jahat, curiga dan cemburu. Jari-jari Siau Cap-it Long mengepal kencang,
mata melotot mengawasi Hoa Ji-giok.
Tanpa melirik sekali pun Sim Bik-kun bertanya pada Hoa Ji-giok, "Kenapa tidak segera kita pergi?"
Perlahan Hoa Ji-giok menganggukkan kepala, dari belakang maju dua orang memapah Hong Si-nio.
Air mata Hong Si-nio terus mengalir, dengan mata berkaca-kaca ia mengawasi Siau Cap-it Long. Ia harap
Siau Cap-it Long bisa mengenali dirinya, bisa menjelaskan kepadanya bahwa semua kejadian itu hanya
salah paham, salah pengertian. Tapi melirik pun Siau Cap-it Long tidak memperhatikan dirinya, sebab mimpi
pun tak pernah ia duga, perempuan yang digotong-gotong ini adalah Hong Si-nio, teman lama yang kini
tertutuk bungkam tak mampu berbuat apa-apa.
Siau Cap-it Long hanya terlongong mengawasi luar jendela, seperti tidak melihat sinar bintang, juga tidak
melihat cahaya lilin, hanya kegelapan terbentang di depan matanya.
Kalau bisa, ingin rasanya Hong Si-nio meratap, menangis tergerung-gerung, air mata membasahi hampir
seluruh cadar penutup mukanya.
Pin-pin justru sempat memperhatikan cadar yang basah oleh air mata itu, serunya "Kau juga menangis?
Kenapa kau menangis?"
Demi Siau Cap-it Long, memangnya aku tidak sengsara? Tidak menderita? Pengorbananku mungkin adalah
yang terbesar. Gadis cilik ini malah bilang aku menangis bagi orang lain. Ingin Hong Si-nio berontak dan
berteriak histeris, sayang hanya kelopak matanya saja yang bisa bergerak, sekujur badan kaku lemas tak
bisa bergerak.
Dua orang yang memapah dirinya mempercepat langkah. Pin-pin hendak maju merintangi, sekilas dia ragu,
lalu membiarkan mereka berlalu.
Hong Si-nio maklum akan kondisi Siau Cap-it Long saat itu, ia tidak ingin memperpanjang urusan. Maka
tanpa daya Hong Si-nio dibawa pergi lewat di depan Siau Cap-it Long. Perlahan rombongan ini turun dari
loteng, naik kereta. Kereta bergerak cepat sekali, meninggalkan kepulan debu di belakang.
Mendadak Siau Cap-it Long berseru, "Bawakan arak dua puluh kati, arak yang paling bagus!"
Pasti arak yang paling bagus. Arak paling bagus umumnya malah tidak bisa membuat orang mudah mabuk?
Pin-pin mengawasinya, katanya lembut, "Mungkin orang itu bukan Sim Bik-kun."
Setelah menenggak beberapa cawan arak, Siau Cap-it Long tergelak-gelak, "Tak usah kau membujukku,
aku tidak sedih."
"Betulkah?"
"Aku hanya ingin minum sepuas-puasnya, sudah lama aku tidak mabuk."
"Tapi Auyang-hengte diam-diam sudah ngacir."
"Aku tahu."
"Mungkin mereka akan balik kembali."
"Kau kuatir mereka datang membawa bantuan?"
"Aku sih tidak takut, Siau Cap-it Long yang mabuk, cukup mampu mengatasi Auyang-hengte dan kamratkamratnya."
"Omongan bagus, harus dihukum tiga cawan." Tiga cawan besar arak ditenggaknya habis.
Pin-pin ikut mencicipi seteguk, katanya kemudian, "Aku sedang heran, siapakah perempuan lain yang
ditutup cadar mukanya itu? Kenapa cadarnya basah oleh air mata?"
"Apa kau melihat dia menangis?"

"Dari cadar penutup mukanya yang basah, membuktikan kalau dia menangis."
"Mungkin dia sakit, seorang kalau diserang demam bisa saja menangis, apalagi seorang perempuan."
"Tapi aku tahu dia tidak sakit."
"Jalan saja tidak bisa, kau masih bilang dia tidak sakit?"
"Benar tidak bisa jalan, tapi bukan lantaran sakit."
"Orang yang sakit keras, kaki tangan bisa lumpuh, jadi tak bisa jalan, tapi tulang-tulang orang itu bisa
ditekuk, sekujur badan justru kelihatan kaku."
”Ternyata kau lebih teliti dari aku."
"Jangan lupa, aku ini kan gadis jenius," ujar Pin-pin dengan tawa mekar.
Waktu memandang rona mata Siau Cap-it Long, seperti membayangkan rasa kuatir dan kasihan. Syukur
Pin-pin tak memperhatikan sikapnya, katanya lebih jauh, "Maka kuyakin dia tidak sakit."
"Maksudmu dia ditutuk jalan darahnya?"
"Mungkin sekali."
"Menurutmu karena apa dia melelehkan air mata?"
"Mungkin karena persoalan kalian, karena Sim Bik-kun."
"Siapa sudi melelehkan air mata lantaran urusan kami? Untuk bersyukur saja mending bagiku, umpama aku
mati di jalan, takkan ada orang melelehkan air mata bagiku."
"Paling tidak aku ...." sebetulnya Pin-pin mau bilang "aku akan menangis". Entah karena apa ia beralih ke
persoalan lain, bola mata nan indah menampilkan makna kesedihan. Memang hatinya rawan karena
merasakan nasibnya yang jelek?
"Tapi dia meneteskan air mata, maka aku berkesimpulan, bukan saja dia kenal kalian, juga prihatin akan
nasib Sim Bik-kun."
"Mungkin karena persoalan lain."
”Tadi di sini tiada persoalan lain yang bisa menimbulkan rasa sedih hingga orang mencucurkan air mata."
"Dari kesimpulanmu itu, kau berpendapat bahwa dia adalah teman Sim Bik-kun?"
"Pasti begitu."
Bola mata Siau Cap-it Long berbinar, "Kalau dia ditutuk jalan darahnya, bukan mustahil Sim Bik-kun juga
diancam orang itu."
"Maka sikapnya berubah drastis terhadapmu."
Memerah selebar muka Siau Cap-it Long, mulutnya menggumam, "Mungkin bukan maksudnya menampilkan
sikap sekasar itu kepadaku, kenapa tadi tidak kupikir hal ini?"
"Karena dalam hatimu ada seekor ular jahat?"
"Ular jahat?"
"Curiga dan cemburu adalah ular jahat itu," ujar Pin-pin sendu, "dari sini dapat disimpulkan, engkau masih
belum bisa melupakan dia, kalau tidak, kenapa kau mencurigainya, kenapa kau cemburu terhadap lelaki
tadi?"

Siau Cap-it Long diam saja, tidak bisa menyangkal.
"Bahwa kau tidak bisa melupakan dia, kenapa tidak kau cari dia saja? Jika sekarang kau menyusulnya,
mungkin masih bisa tersusul!"
Siau Cap-it Long sudah berjingkrak berdiri, tapi pelan-pelan duduk kembali, tawanya kecut, "Bagaimana aku
harus mencarinya?" Dalam kondisi seperti sekarang, ia tak punya akal lagi.
"Mereka tadi naik kereta."
"Kereta yang bagaimana?"
"Kereta hitam yang masih baru, kuda penarik kereta juga berbulu hitam legam, pemilik kereta pasti seorang
yang punya kedudukan, kaya dan berpengaruh. Kereta seperti itu yakin tidak sukar mencarinya."
Siau Cap-it Long segera berdiri.
"Tapi kusarankan bertanya dulu pada Siau-song kusir kereta kita!"
"Kenapa?"
"Sesama kusir kereta pasti gampang bergaul, waktu menunggu sang majikan di luar, mereka tentu banyak
mengobrol, mungkin yang diketahui Siau-song bisa lebih banyak dan komplit."
Gadis ini memang teliti lagi pintar. Gadis secerdik ini, pantas kalau orang merasa bangga baginya. Tapi tiap
kali mengawasi nona jelita ini, kenapa sikap Siau Cap-it Long kelihatan seperti amat sayang dan sedih?
* * * * *
Siau-song bercerita, "Kusir kereta itu orang aneh, waktu kuajak mengobrol, dia selalu bersungut, disapa
diam saja diajak bicara tak menjawab, seperti hutang tiga ratus tahil perak pada bapaknya."
Itulah penjelasan Siau-song tentang kusir kereta yang dinaiki Hoa Ji-giok. Apa yang dijelaskan tak lebih
banyak dari yang diketahui Pin-pin.
Siau Cap-it Long terlihat rada kecewa, mendadak Siau-song menambahkan, "Selama tiga hari ini, pagi-pagi
mereka sudah datang ke sini, malam baru pulang, seperti menunggu seseorang."
"Beruntun tiga hari mereka datang?"
"Ya, pelayan restoran menceritakan padaku."
"Kondisi mereka sudah menarik perhatian orang, beruntun datang tiga hari. Pemilik retoran mungkin tahu
asal-usul mereka."
VII. TRAGEDI BOK-TAN-LAU
Pemilik Bok-tan-lau she Lu.
Lu-ciangkui bertutur, "Dua nona bercadar hitam itu memang tiga hari beruntun telah datang, minta hidangan
semeja penuh, tapi tiada yang mau makan, setelah restoran kami nyatakan mau tutup mereka baru pulang."
"Uang yang mereka bayarkan cukup banyak, maka semua pelayanku senang melayani mereka."
"Yang bayar rekening siapa?" tanya Pin-pin.
"Lelaki muda yang ikut datang itu," sahut Lu-ciangkui.
"Kau tahu selama tiga malam ini mereka bermalam dimana?"
"Konon mereka menyewa villa di hotel Lian-hun, malah sudah bayar tunai untuk sepuluh malam"
"Keteranganmu dapat dipercaya?"

"Pasti dapat dipercaya, pemilik hotel Lian-hun adalah kakak isteriku."
Pemilik hotel Lian-hun she Gu.
Gu-ciangkui bertutur, "Dua nona yang mengenakan cadar itu memang aneh, siang hari terus berada di
kamar, makan minum harus diantar ke kamar. Begitu magrib sudah siap-siap berangkat ke Bok-tan-lau. Tiga
hari berada di sini, orang-orang yang berada di sini tiada seorang pun pernah mendengar mereka bicara."
"Mereka menempati kamar yang mana?"
"Di pojok timur sana, villa itu khusus untuk tamu-tamu kelas tinggi, seluruh komplek villa itu disewa
semuanya."
"Malam ini mereka sudah pulang?"
"Baru saja tiba," ujar Gu-ciangkui sambil menggeleng kepala, "seharian mereka berada di Bok-tan-lau,
restauran besar, tentu makan minum serba kenyang. Begitu tiba di kamar kembali pesan satu meja penuh
hidangan dan arak."
"Hidangan semeja yang dipesan itu mungkin diperuntukkan bagi kita," ujar Pin-pin tertawa riang.
"Mereka tahu kalian akan datang?"
"Tidak tahu."
Gu-ciangkui mengawasinya dengan pandangan kaget, seperti mendadak merasa tamu-tamu yang datang
dan menginap di hotelnya adalah orang-orang aneh misterius.
Dalam kamar terang benderang, meja bundar dilembari taplak meja serba merah darah, dipenuhi hidangan
dan botol arak.
Pemuda ganteng yang tadi di belakang seperti kacung itu, kini sudah berganti pakaian, baju ramping serba
baru dan mahal, duduk memandang meja penuh hidangan itu, ia sedang menuang arak, beruntun mengisi
tiga cawan, tiba-tiba menoleh ke jendela dan berkata sambil tertawa, "Kalian sudah datang, kenapa tidak
silakan masuk untuk minum dan makan bersama?"
Siau Cap-it Long memang berada di luar jendela, "Ada yang mentraktir minum arak, tidak pernah aku
menolaknya."
Jendela tidak dipalang, tiga kursi masih kosong.
"Silakan duduk!" sambut Hoa Ji-giok membungkuk badan.
Dengan tajam Siau Cap-it Long mengawasi muka orang, "Nona Sim datang ikut kau, apa kau tidak pernah
mengundangnya untuk makan bersama?"
"Aku tidak mempersiapkan kursi untuk mereka, sebab mereka kini sudah tiada di sini."
Berubah muka Siau Cap-it Long. Biasanya tidak semudah itu air mukanya berubah, tapi mukanya kini
tampak menakutkan, "Apa mereka sudah pergi?"
"Ya, baru saja berangkat."
"Kau biarkan mereka pergi?"
Hoa Ji-giok tertawa ewa, "Cayhe bukan berandal, bukan polisi, mereka mau pergi, mana bisa aku menahan
mereka."
Siau Cap-it Long menyeringai dingin.
Hoa Ji-giok berkata, "Agaknya Siau-tayhiap tidak percaya?"
"Agaknya kau memang bukan berandal, tapi menilai orang bukan dari mukanya, kukira kau paham akan hal

ini?"
"Berdasar apa Cayhe harus berbohong pada Siau-tayhiap?"
"Karena kau tidak senang aku bertemu mereka."
"Kalau aku tidak senang Siau-tayhiap bertemu mereka, kenapa aku kembali ke hotel ini lagi? Buat apa
kupesan hidangan sebanyak ini untuk menyambut kehadiran Siau-tayhiap?"
Mulut Siau Cap-it Long terkunci.
"Sengaja Cayhe menunggu di sini, maksudku akan kujelaskan salah paham tadi."
"Apa ada salah paham?"
"Belakang ini nona Sim selalu dikawal oleh Ing dan Liu ber-dua cianpwe."
Terangkat kepala Siau Cap-it Long, "Ang-ing-lok-liu?"
Hoa Ji-giok memanggut, "Kalau Siau-tayhiap tidak percaya, kapan saja silakan tanya mereka, kedua
Cianpwe itu pasti tidak berbohong!"
"Lalu kenapa bisa ikut engkau ke tempat ini?" tanya Siau Cap-it Long.
Hoa Ji-giok bimbang, seperti serba salah untuk menjelaskan.
"Kau tidak mau menjelaskan?" desak Siau Cap-it Long.
"Bukan Cayhe tidak mau menjelaskan, hanya saja ...."
"Hanya saja apa?"
"Cayhe hanya takut setelah mendengar penjelasanku, Siau-tayhiap tidak senang hati."
"Kalau tidak kau jelaskan aku justru marah. Ketahuilah, kalau marah aku ini orang yang tidak kenal
kompromi."
Agak lama Hoa Ji-giok kelihatan ragu, katanya kemudian, "Berita yang tersiar di Kangouw mengatakan
bahwa Lian Shia-pik juga berada di daerah ini, nona Sim mendengar berita ini, lalu mendesak Cayhe
membawanya kemari."
Berubah air muka Siau Cap-it Long, penjelasan Hoa Ji-giok ibarat sebilah pisau tajam menusuk sanubarinya.
Mendadak ia merasa sekujur badan menjadi dingin. Kalau Sim Bik-kun berubah karena orang lain, ia masih
bisa menerima, tapi Lian Shia-pik....
Hoa Ji-giok menghela napas gegetun, seperti merasa simpati, "Biar orangnya sudah pergi, arak masih
banyak, silakan Siau-tayhiap menikmati beberapa cawan sambil menghabiskan waktu malam ini!"
"Baik, mari habiskan tiga cawan!"
"Silakan."
"Cawan ini tidak bisa dipakai," kata Siau Cap-it Long.
"Kenapa tidak bisa dipakai?" tanya Hoa Ji-giok.
"Cawan ini terlalu kecil," mendadak ia raih satu mangkuk besar berisi bakso kakap, semangkuk kaldu sirip
ikan hiu, dan semangkuk sup sarang burung, semua dia tuang di lantai, tiga mangkuk yang sudah kosong ia
tuangi arak yang tersedia, "Kusuguh untukmu, silakan minum!"
Dengan sikap apa boleh buat Hoa Ji-giok menggeleng kepala. "Baiklah," katanya kemudian, "aku minum."
Meski lambat, tiga mangkuk besar arak itu dia tenggak habis seluruhnya.
Siau Cap-it Long juga menghabiskan tiga mangkuk besar arak, "Kini giliranmu menyuguh padaku. Sebagai

tuan rumah, kau minum dahulu."
"Minum tiga mangkuk lagi?" seru Hoa Ji-giok, "Cayhe mungkin tidak mampu lagi."
Melotot mata Siau Cap-it Long, "Aku menghormatimu, kau tidak menghargaiku, kau meremehkan aku?"
"Baiklah, aku balas suguhkan tiga mangkuk," dengan menyengir ia habiskan tiga mangkuk arak itu. Anehnya
setelah menghabiskan mangkuk kedua, cara minumnya malah lebih cepat dan tuntas, mangkuk ketiga
dlminum seperti minum teh saja.
Setelah Siau Cap-it Long menghabiskan tiga mangkuk lagi, Hoa Ji-giok tertawa, "Hayo habiskan tiga
mangkuk lagi, Siau-tayhiap silakan!"
Siau Cap-it Long melotot, katanya dengan suara mendesis, "Ada dua hal perlu kuberitahu padamu."
"Cayhe siap mendengarkan."
"Pertama aku ini bukan Tayhiap, selamanya belum pernah jadi Tayhiap. Kedua, kalau kutemukan
omonganmu ternyata bohong, akan kupotong lidahmu, mengerti?"
Hoa Ji-giok manggut-manggut, "Aku mengerti, tapi kurasa ada yang tidak ku mengerti?"
"Soal apa yang kau tidak mengerti?"
"Bahwa dia datang karena Lian Shia-pik, kurasa dia pergi lagi juga lantaran Lian Shia-pik, kenapa tidak kau
cari mereka, malah menumpahkan kekesalanmu kepadaku?" Habis bicara tubuhnya melorot jatuh
mendengkurdi lantai.
Wajah Siau Cap-it Long membesi hijau, dengan taplak meja yang lebar warna merah, dia bungkus seluruh
hidangan yang ada di atas meja, "Sengaja kau ingin menjamu aku, hidangan tidak habis ini biar aku bawa
pulang saja."
Hoa Ji-giok diam saja, karena begitu rebah di lantai langsung tidur pulas karena mabuk berat.
Siau Cap-it Long mengakak tiga kali sambil menengadah, buntalan besar itu ia panggul di punggung, tangan
Pin-pin ditarik terus turun loteng.
Setelah bayangan mereka pergi jauh, dari balik kerai bambu seorang menyingkap masuk sambil mengomel,
"Tamu segarang itu sungguh jarang aku melihatnya." Yang keluar ternyata adalah Sim-sim, mengawasi Hoa
Ji-giok yang rebah di lantai, lanjutnya, "Tamu jahat itu sudah pergi, hayo lekas bangun!"
Hoa Ji-giok segera membuka mata terus berdiri, katanya sambil menggeleng kepala, "Orang itu lihai betul,
hampir saja aku dibuatnya mabuk sungguhan."
Sim-sim tertawa manis, "Sayang dia tidak tahu ukuran minummu ternyata jauh lebih banyak dari dugaannya
semula."
"Satu hal yang nyata adalah pribadiku ini yakin jauh lebih bejat dibanding perkiraannya."
Sim-sim berkata, "Kalau di Kangouw muncul lagi Cap-toa-ok-jin, satu di antaranya pasti engkau."
"Lalu engkau?"
"Jelas aku juga masuk hitungan."
"Apakah Sim Bik-kun betul sudah pergi?"
"Sudah kusuruh Pek-losam membawanya pergi, pesanmu juga sudah kusampaikan kepadanya."
"Perempuan gila itu?"
"Kuatir lelaki garang itu mencarinya ke belakang, maka kupersilakan dia istirahat di kolong ranjang."
"Sekarang boleh kau persilakan dia keluar!"

"Lalu akan kau suruh apa dia?"
"Kupersilakan dia mandi, lalu tugasmu mendandani dia!"
"Pernah kudengar bahwa seorang yang akan dimasukkan peti mati harus dirias dan didandani."
"Siapa bilang akan memasukkan dia ke dalam peti mati?"
"Kenapa tidak?"
"Sebab dia amat berharga."
"Memangnya engkau ingin menjualnya?"
"Ya."
"Dijual kepada siapa?" berbinar bola mata Sim-sim. Hoa Ji-giok tersenyum lebar, "Tentu kujual kepada
bangkotan tua yang kepincut paras cantik, sudah lama bangkotan tua ini amat merindukan dia."
Sim-sim cekikikan, katanya mengawasi, "Memang pantas kalau kau jadi penjahat besar."
"Memangnya siapa bilang bukan?"
"Muslihat apa yang engkau rancang, yakin mimpi pun Siau Cap-it Long takkan menduga ...."
* * * * *
Siau Cap-it Long tidak pernah mau berpikir, yang dirasakan hanya kepalanya seperti kosong, hati hampa
pikiran melompong, berjalan di jalan raya, rasanya seperti berjalan di tengah gumpalan mega.
Ia berkukuh tidak mau naik kereta, ingin berjalan kaki saja, maka kereta disuruh pulang lebih dulu, terpaksa
Pin-pin menemaninya berjalan. Setelah melewati simpang jalan di depan, mendadak ia bertanya, "Perutmu
lapar tidak?"
Pin-pin geleng kepala.
Menggoyang buntalan besar di tangan, Siau Cap-it Long berkata, "Aku hanya mengingatkan kau, dalam
buntalan ini ada masakan enak dan mahal. Kalau perutmu lapar, silakan pilih bermacam masakan yang ada
di sini."
Mengawasi buntalan besar yang basah oleh kuah dan sebagainya, Pin-pin ingin tertawa, tapi tak bisa
tertawa.
Pin-pin bisa merasakan perasaan Siau Cap-it Long saat itu, begitu sedih, pilu dan rawan hatinya, tapi tak
bisa menangis. Mendadak Siau Cap-it Long mendeprok duduk di pinggir jalan, kepala mendongak
mengawasi taburan bintang di langit dengan termangu-mangu, sesaat kemudian mulutnya mendesis,
"Mestinya tadi kucomot seguci arak, minum arak di tempat ini sungguh menyenangkan."
Pin-pin hanya mendengarkan saja, kembali Siau Cap-it Long berkata sambil menyengir, "Tak apalah,
dimana saja pasti ada arak dan bisa minum sepuasnya."
Tawanya tidak mirip tawa, orang yang melihat tawanya malah terharu ingin ikut menangis.
Kalau dia datang demi Lian Shia-pik, sekarang tentu pergi mencari Lian Shia-pik.
Lian Shia-pik diagulkan sebagai Kuncu, lelaki sejati yang welas asih dan bajik, mestinya mereka berdua
memang pasangan suami isteri yang setimpal, saling cinta, umpama salah langkah dan ada salah paham,
setelah dipikir dan dijelaskan, urusan tidak perlu ditarik panjang. Akhirnya tentu disadari oleh Sim Bik-kun,
hanya Lian Shia-pik seorang yang patut, kepada siapa ia bersandar hidup selanjutnya.
Dari buntalan kain kembali Siau Cap-it Long mencomot keluar paha ayam, setelah diamati mendadak
dilempar ke pinggir.
Kini Pin-pin ikut duduk, mengawasinya dengan pandangan serba salah, tak tahan ia bertanya, "Kau percaya

apa yang dikatakan orang itu?"
"Satu patah kata saja aku tidak percaya," sahut Siau Cap-it Long.
"Kalau tidak percaya, kenapa harus menyingkir dari sana?"
"Memangnya aku harus ikut dia tidur di lantai?"
"Kenapa tidak kau cari dia di belakang?"
"Dicari juga belum tentu ketemu."
"Belum dicari bagaimana tahu tidak ketemu?"
"Orang macam itu, kalau tidak mau bertemu, apa gampang ditemukan, bagaimana aku harus mencarinya?"
"Kau tahu dia seorang yang licik lagi licin?"
Siau Cap-it Long manggut-mangut, "Pertama aku melihatnya, aku lantas ingat seseorang."
"Siapa?"
"Siau-kongcu, Siau-kongcu yang seratus kali lebih beracun dibanding ular beracun." Tiap kali menyinggung
nama Siau-kongcu, tampak kengerian di matanya, tanpa sadar ia bergidik ngeri.
"Orang itu jelas bukan Siau-kongcu."
Siau Cap-it Long mengangguk, "Dia seorang lelaki."
Siau-kongcu adalah samaran gadis, seorang perempuan, mirip merpati jinak, tapi juga mirip elang ganas
yang siap menerkam mangsanya. Sampai sekarang Sim Bik-kun masih merasa ngeri, dalam mimpi sering
bertemu, walau gadis ini sudah meninggal, mati di bawah pedang Lian Shia-pik.
Siau Cap-it Long berkata, "Lelaki yang satu ini memang bertingkah mirip cewek, tapi pasti dia seorang lelaki
tulen."
"Kau yakin?"
"Peduli dia perempuan menyamar lelaki, atau lelaki menyamar perempuan, aku punya cara menentukan dia
lelaki atau perempuan."
"0, bagaimana caranya?"
"Caraku ini resep tunggal perguruan, tiap kali praktek tiap kali berhasil, seratus persen betul, belum pernah
meleset sekalipun."
"Caranya bagaimana?"
"Merabanya sekali."
Merah jengah selebar muka Pin-pin.
"Tadi waktu kau tidak perhatian, aku sudah merabanya."
Dengan muka jengah Pin-pin berkata, "Kulihat kau mabuk."
"Siapa bilang aku mabuk." Melotot mata Siau Cap-it Long, "aku sadar sesadar-sadarnya."
"Kalau tidak mabuk, ucapanmu tidak pernah sekotor itu."
Sejenak Siau Cap-it Long mengawasinya mendelong, akhirnya tertawa sambil memperlihatkan barisan
giginya, "Apa benar kau kira aku ini orang baik?"
Pin-pin menghela napas, suaranya lembut, "Aku tidak peduli bagaimana orang menilaimu, hanya aku yang

tahu, kau adalah ...."
Belum habis ia bicara, dari sana berkumandang derap lari kuda menarik kereta. Sebuah kereta besar warna
hitam cepat sekali melesat di jalan raya di depan mereka.
Pin-pin berteriak, "He, itulah kereta yang dinaiki orang tadi."
"O, apa iya?"
”Tengah malam buta rata, mereka menempuh perjalanan sekencang itu, untuk keperluan apa?"
"Mungkin kereta itu kosong."
"Pasti ada penumpangnya."
"Kau melihat penumpangnya?”
"Ada banyak kepulan debu di belakang kereta, aku tahu apakah kereta itu berpenumpang."
"O, ternyata sepasang matamu jauh lebih lihai dari begal besar Siau Cap-it Long."
Pin-pin tertawa geli, "Ya, sedikit lihai dibanding begal besar Siau Cap-it Long yang mabuk."
"Bagaimana kalau kita menyusulnya?" kata Siau Cap-it Long. "Ingin aku tahu bocah itu sedang memerankan
tokoh apa?"
Padahal kereta itu dilarikan kencang dan telah lenyap ditelan kegelapan, di tengah malam hening suaranya
pun tidak terdengar lagi. Siau Cap-it Long sudah melompat berdiri, tapi pelan-pelan duduk kembali.
Kalau sudah menyusul memangnya mau apa? Bukankah dengan tegas dia telah menolak uluranku?
Dari buntalan taplak meja, Siau Cap-it Long merogoh keluar sepotong daging bebek, dengan rakus ia
gerogoti daging itu seperti orang kelaparan. Makan kadang memang bisa mengendalikan emosi seseorang,
menenangkan pikiran menenteramkan gejolak hati.
Dengan merenung Pin-pin berkata, "Aku yakin mereka tidak melihat kita, pasti menyangka kita sudah pergi
naik kereta."
Siau Cap-it Long sedang sibuk mengunyah daging bebek. Biasanya dia memang makan bebek panggang,
tapi daging yang dikunyah dalam mulut terasa seperti arang kayu layaknya.
"Kusir yang mengendaikan kereta, kulihat bukan lagi kusir kereta yang tadi," kata Pin-pin lebih jauh, urusan
sekecil ini ternyata juga masuk perhatiannya. "Kereta itu jelas berpenumpang, tapi hanya satu orang saja."
Siau Cap-it long mulai merasa aneh, "Kenapa hanya seorang?"
Pin-pin juga sedang keheranan. Mendadak ia berkata, "Bagaimana kalau kita kembali ke hotel Lian-hun?"
Sudah tentu setuju. Apa yang disarankan Pin-pin, Siau Cap-it Long jarang menolak apalagi menentangnya.
* * * * *
Lampu-lampu masih menyala, tapi orangnya sudah pergi. Rumah itu kosong, di ruangan tiada orang, di
kamar juga senyap. Bukan saja tiada penghuni, barang-barang bawaan juga tiada.
"Mereka sudah pergi semua," ujar Siau Cap-it Long.
"Tapi kereta itu jelas hanya ada satu orang."
"Mungkin mereka berpencar?"
"Kalau datang bersama, kenapa tidak pulang berbareng?"
Berputar bola mata Siau Cap-it Long, dengan tertawa ia berkata, "Mungkin mereka tahu kita bakal balik,

diam-diam bersembunyi di bawah ranjang."
Mendadak ia melompat ke sana, dengan sebelah tangan ia angkat pinggir ranjang hingga tersingkap miring.
Kosong melompong, kecuali debu tiada benda lain, rasanya seperti mengumbar tenaga belaka.
Pin-pin malah melihat sebuah benda, benda yang warnanya mirip debu. Pin-pin maju mendekat memungut
benda itu, ternyata sebuah tusuk kondai kayu warna hitam mengkilap. Mendadak diserobot Siau Cap-it Long,
Sekali lihat berubah air mukanya. Tiada persoalan genting apapun yang bisa merubah air mukanya.
"Kau pernah melihat tusuk kondai ini?" tanya Pin-pin.
"Hm, ya."
"Di tempat mana kau pernah melihatnya?"
"Di sanggul seseorang."
"Sanggul siapa? Nona Sim?"
Sambil geleng kepala Siau Cap-it Long menghela napas, "Selamanya kau takkan bisa menebak siapa dia."
Berputar biji mata Pin-pin, "Apa bukan Hong Si-nio?"
Siau Cap-it Long menarik napas, "Tebakanmu benar."
"Wanita tak mampu berjalan itu, apa mungkin Hong Si-nio?"
Baru sekarang menyadari persoalan ini, langsung ia berjingkrak gugup, "Ya, benar pasti dia, dia tadi ada di
sini."
Warna tusuk kondai sudah kusam, sudah lama tak dipakai, tapi Hong Si-nio amat menyayangi benda itu,
sebab benda itu adalah kenang-kenangan hadiah Siau Cap-it Long.
"Harta benda seperti mutiara atau perhiasan mahal lain miliknya malah lebih banyak tapi tusuk kondai kayu
ini tak pernah tanggal dari sanggul kepalanya selama bertahun-tahun, kalau bukan karena dia ditawan,
mungkin ditutuk jalan darahnya hingga tidak mampu bergerak, tak mungkin membiarkan benda kesayangan
ini jatuh di bawah ranjang."
"Tusuk kondai ini ada di bawah ranjang, berarti badannya juga disembuyikan di situ."
"Betul, waktu kami meluruk datang tadi, Hong Si-nio pasti disembunyikan di bawah tempat tidur."
"Tapi bawah ranjang hanya cukup untuk bersembunyi satu orang saja."
"Di kereta itu juga hanya ada satu penumpang."
"Lalu mereka berada di mana?"
Siau Cap-it Long menjadi gemas, "Apapun yang akan terjadi, yang penting sekarang kita temukan dulu
bocah itu."
"Bila bisa menemukan kereta itu, pasti dapat menemukan dia."
"Sekarang juga kita cari," ucap Siau Cap-it Long, mendadak ia buang buntalan taplak meja. Waktu
mengangkat kepala ia melihat seorang berdiri melongo di ambang pintu.
Gu-ciangkui baru saja beranjak masuk, ia mengawasi sisa hidangan yang berserakan di lantai, matanya
mendelong.
Terpaksa Siau Cap-it Long tertawa menyengir, "Kami orang kikir, suka berhemat, hidangan yang tidak habis
dimakan biasanya kami bungkus dan bawa pulang."
Teipaksa Gu-ciangkui tertawa sambil manggut-manggut. Sebetulnya dia sedang mengerahkan anak
buahnya untuk bersih-bersih, sekaligus mencari keuntungan dari sisa hidangan yang dipesan para tamu.

Sungguh tak pernah terpikir olehnya rombongan ini pergi, rombongan lain balik lagi.
Siau Cap-it Long jadi sungkan sendiri, ia tarik tangan Pin-pin terus diajak pergi. Mendadak Gu-ciangkui
berkata, "Apa kalian tidak ingin membungkus kembali sisa makanan di lantai ini untuk diantar ke seberang?"
Berhenti langkah Siau Cap-it Long, Pin-Pin malah menoleh, "Seberang? Seberang itu tempat apa?”
"Lho kalian belum tahu? Dua nona tadi sudah dipindah di halaman belakang di seberang situ."
Bersinar mata Siau Cap-it Long, ia tepuk pundak Gu-ciangkui, "Kau orang baik, aku senang mengenalmu.
Hidangan ini semua kuserahkan padamu untuk makan tengah malam, tak usah sungkan."
Mengawasi hidangan yang sudah campur aduk di lantai, Gu-ciangkui melenggong sekian lama, mimiknya
menjadi aneh, mau tertawa seperti juga ingin menangis, waktu ia mengangkat kepala, dua orang itu sudah
lenyap entah kemana. Kebetulan seorang pelayannya masuk, siap membersihkan ruang ini, Gu-ciangkui
tepuk-tepuk pundaknya dan berkata padanya, "Sisa hidangan ini kuberikan padamu untuk makan malam di
rumah, semuanya ambil, jangan sungkan."
VIII. GOLOK JAGAL RUSA
Suasana di pekarangan barat sunyi senyap, gelap gulita, betulkah di sini tiada orang? Pohon waru yang
besar itu berdiri kokoh di tengah pekarangan, ditimpa sinar rembulan yang redup, bayang-bayang daunnya
bergerak gemulai di daun jendela yang ditutup kertas. Jendela ditutup rapat, demikian pula pintu kamarnya.
Sambil menarik tangan Siau Cap-it Long, Pin-pin berbisik, "Dalam kamar begitu gelap, awas ada
perangkap."
Siau Cap-it Long memanggut.
"Apa kita akan menerjang masuk begitu saja?" tanya Pin-pin.
Siau Cap-it Long kipatkan tangan orang, dengan gerakan lincah ia melompat ke depan, di mana tinjunya
bergerak, "blang", pintu di jotosnya jebol.
Di tengah kegelapan sana seorang berkata dingin, "Berdirilah di situ jangan bergerak, atau kubunuh dia."
Siau Cap-it Long malah tertawa, katanya, "Kau berani membunuhnya? Memangnya kau sendiri ingin
mampus?"
Dalam situasi yang makin berbahaya, Siau Cap-it Long malah suka tertawa, sebab ia tahu, tertawa bukan
saja bisa menenteramkan hati, bisa mengendalikan diri, lawan juga sukar menebak keadaannya. Yang pasti
orang di tengah kegelapan itu tidak berani bereaksi, jelas nada tawanya yang wajar justru memberi tekanan
batin baginya. Tapi ia sendiri juga tidak berani gegabah, diam di tempat tak berani bertindak sembarangan.
Mendadak kamar itu menjadi terang oleh cahaya dian. Seorang muncul sambil mengangkat sebuah dian,
cahaya dian menyinari wajahnya.
Sebuah wajah yang molek penuh senyum nakal, rambut gilap dikuncir dua, tawanya mekar seperti bunga di
musim semi.
Hong Si-nio duduk di sebelahnya, berdandan mirip seorang pengantin, tapi duduk mematung seperti
golekan.
Awalnya Sim-sim ingin membawanya pergi, sayang ia tidak mampu membuka tutukan jalan darahnya,
menggendongnya pergi juga tidak kuat. Umpana kuat juga takkan mampu lari jauh, akhirnya toh terkejar,
berarti sia-sia usahanya.
Akhirnya Hong Si-nio melihat Siau Cap-it Long, Siau Cap-it Ling juga melihat Hong Si-nio.
Hong Si-nio tidak kelihatan tua, kelihatannya malah lebih muda dibanding dua tahun lalu. Bola matanya
masih cemerlang, dengan tajam ia mengawasi Siau Cap-it Long, sorot matanya menampilkan rona yang
berbeda dan berubah-ubah, entah senang, duka atau lega? Entah terharu atau mungkin gegetun?

Siau Cap-it Long tersenyum lebar, cukup lama mengawasi, mulutnya menggumam, "Orang ini kenapa justru
makin muda saja? Memangnya dia siluman perempuan?"
Siau Cap-it Long kembali menampilkan gayanya yang lama. Penampilannya lebih ganteng cakap, pakaian
yang membungkus tubuhnya jelas dari bahan pilihan, harganya tidak kurang seratus tahil perak, sikapnya
yang kemalas-malasan, senyum nan mempesona, sepertinya langit ambruk juga tidak peduli.
Darah di sekujur badan Hong Si-nio justru sedang bergolak, rasa hati ingin berontak berdiri, lalu berlari
menubruk ke dalam pelukannya, saking gemas ingin rasanya ia menggigit pundak orang serta
menempeleng mukanya dengan keras. Entah, ia sendiri tidak bisa menjelaskan, kenapa tiap kali berhadapan
dengan perjaka yang satu ini, ia hampir sukar mengendalikan diri, apakah itu gejolak cinta? Atau benci?
Hong Si-nio tidak bisa membedakan.
Bola mata Sim-sim juga membulat besar, dengan tajam mengawasi Siau Cap-it Long, setelah menghela
napas ia berkata, "Siau Cap-it Long eh Siau Cap-it Long, tak heran banyak cewek kepincut kepadamu, tapi
tidak sedikit pula yang membencimu? Aku sendiri pun gemas."
Sekilas tadi Siau Cap-it Long sudah mengawasi orang ini, hanya sekilas pandang, tapi ia sudah melihat jelas
dari kepala hingga kaki.
Sim-sim berkata lagi, "Bola matamu itu sungguh membuatku gemas sekali. Saat kau mengawasi orang,
sepertinya orang yang kau pandang itu telanjang bulat di depanmu."
Siau Cap-it Long menghela napas, "Sayang kau masih anak-anak, atau...."
Sim-sim membusungkan dada malah, katanya sambil melirik, "Atau apa?"
Siau Cap-it Long menarik muka, suaranya kereng, "Sebetulnya kau sudah mampus tiga kali."
Berubah muka Sim-sim, kejap lain sudah tertawa lebar, "Sayang sekali, sebelum kau maju ke depan. Hong
Si-nio juga sudah mampus tiga kali."
Siau Cap-it Long menyeringai, "Kau juga berani membunuh orang?"
"Aku tidak berani," ujar Sim-sim, "aku takut gemuk, daging saja aku tidak berani makan, tapi kondisi
sekarang memaksa aku tiap hari harus makan daging."
"O, jadi kau pernah membunuh orang?"
"Belum banyak orang yang kubunuh, sampai hari ini belum genap delapan puluh."
Siau Cap-it Long malah tertawa, "Aku suka orang yang pernah membunuh."
"Kau suka?" tanya Sim-sim melengong.
"Ya, hanya orang yang pernah membunuh orang, baru bisa merasakan bagaimana deritanya dibunuh
orang."
"Ya, memang menderita, sering kulihat mereka yang terbunuh celananya basah kuyup."
"Syukur kau mengerti, maka jangan kau paksa aku membunuhmu."
Senyum Sim-sim makin lebar malah, "Siapa pun yang ingin membunuhku, pasti menimbulkan duka dalam
hatiku. Terhadapmu pun demikian."
"Kalau begitu coba kita berunding."
"Berunding bagaimana?" tanya Sim-sim.
"Kalau sekarang kau mau menyingkir, aku tidak akan menahanmu. Siapa tahu kau bisa hidup lama sampai
umur delapan puluh."
"Sepertinya anjuranmu cukup adil."

"Adil seadil-adiinya."
”Tapi aku juga ingin berunding dengan kau."
"O, coba jelaskan."
"Kalau sekarang kau ingin minggat, aku juga tidak akan merintangimu. Siapa tahu Hong Si-nio juga bisa
berumur panjang, hidup sampai sembilan puluh tahun."
Siau Cap-it Long bergelak tawa, "Agaknya usulmu ini juga amat adil."
"Jelas adil seadil-adilnya."
Siau Cap-it Long bergelak tawa panjang, seperti ingin bicara lagi, tapi gelak tawanya mendadak sirna. Kejap
lain dari luar jendela seseorang berkata dengar kalem, "Agaknya di sini sedang ada barter, setiap barter
akan kuberi potongan tiga puluh persen." Suaranya tidak keras, di alam nan sunyi, umpama dia hersuara
dengan nada rendah juga bisa didengar orang sekelilingnya, apalagi tawarannya cukup menarik perhatian.
Diam-diam Siau Cap-it Long menarik napas panjang, hatinya maklum, kini ia harus berhadapan dengan
orang yang sukar dihadapi.
Dandanan dan tindak-tanduk orang ini kelihatannya bukan orang yang sukar dihadapi, usianya belum tua,
jelas juga tidak muda, pakaiannya tidak begitu mewah, tapi jelas dia bukan orang rudin, badannya tidak
gemuk tapi bukan lelaki yang kurang makan, kalau bicara penuh sopan santun, sikapnya ramah lagi sabar.
Di setiap kota besar yang banyak penduduknya, tidak sukar kau berhadapan dengan orang seperti ini, ya,
orang biasa yang tiada beda dengan manusia umumnya. Pedagang yang biasa mondar-mandir dalam
kalangannya, setelah punya kedudukan, setelah punya tabungan, punya bini yang bijak dan arif, ada tigaempat
anak, di rumah dibantu dua-tiga babu, bukan mustahil dia adalah juragan kain yang buka toko di kota,
mungkin juga juragan pemilik hotel terkenal.
Yang pasti tampang dan penampilan orang ini lebih juragan dibanding juragan Lu pemilik Bok-tan-lou atau
juragan Gu pemilik hotel di tempat ini.
Awal bicara orang ini masih berada di luar jendela kecil di bilik belakang sana, tapi begitu selesai bicara,
tahu-tahu orangnya sudah melangkah masuk. Langkahnya tidak teramat cepat, tapi juga tidak lambat,
setelah berada di samping Siau Cap-it Long, lalu berhenti.
Dengan senyum lebar ia bersoja, "Aku she Ong, Ong Ban-seng."
Ong Ban-seng, nama yang sering dan biasa terdengar dimana saja, nama yang juga mudah dilupakan
orang.
Dengan senyum lebar Ong Ban-seng berkata, "Yakin anda semua tidak pernah mendengar nama yang satu
ini di kalangan Kangouw."
Siau Cap-it Long mengangguk.
"Tapi aku justru sudah kenal kalian," ujar Ong Ban-seng, "kalian tokoh-tokoh terkenal. Terutama Siau Cap-it
Long dan Hong Si-nio."
Mendadak Sim-sim menyeletuk, "Kau tahu berhadapan dengan Siau Cap-it Long, kini sedang bicara hitung
dagang, berani kau hendak mengambil keuntungan tiga puluh persen."
Makin lebar senyum Ong Ban-seng, "Umpama baginda raja sedang jual beli di sini, aku juga akan memungut
pajak tiga puluh persen."
Berkedip bola mata Sim-sim, "Tempat ini daerah kekuasaanmu?"
"Bukan."
"Lha kenapa kau harus menarik pajak tiga puluh persen?"
"Tiada alasan apa pun, yang pasti aku memungut tiga puluh persen."

"Awalnya kukira kau ini lelaki yang tahu tata krama, ternyata bertindak seperti perampok."
Bentrok Para Pendekar 06
Karya Gu Long - Gan K.H.
Bagian 6
"Yang pasti aku bukan perampok, kalau perampok merampas seluruhnya, aku hanya menarik tiga puluh
persen."
"Kau tahu jual beli apa yang sedang kami bicarakan?" tanya Sim-sim.
Ong Ban-seng memanggut, "Tentang Hong Si-nio bukan?"
"Persoalan begini juga kau tarik pajak tiga puluh persen?"
"Ya, tiga puluh persen yang kumaksud adalah salah satu pahanya, setengah dada dan sebuah mata."
Sim-sim cekikikan, "Kau anggap Hong Si-nio seekor ayam?"
"Kalau betul dia seekor ayam, aku tidak mau mata, aku senang lehernya."
Bola mata Sim-sim berputar, mendadak ia berseru, "Baiklah, apa yang kau inginkan silakan ambil saja."
"Nah, kan begitu, yang kuminta tidak banyak."
"Eh, aku ingin bertanya," seru Sim-sim, "yang kau minta paha kiri atau paha kanan?"
"Kiri kanan tidak jadi soal."
"Umumnya daging paha kiri lebih kencang, kalau paha kiri yang kau pilih, aku boleh memheri bonus telinga
kiri juga."
"Tidak, terima kasih."
"Kau membawa pisau," tanya Sim-sim
"Tidak."
"Siau Cap-it Long pasti bawa, boleh kau pinjam pisaunya."
Ong Ban-seng berpaling ke arah Siau Cap-it Long, dengan tertawa ia berkata, "Setelah kupakai pasti
kukembalikan."
Siuw Cap-it Long diam mendengarkan, rona mukanya membeku sejak tadi, baru sekarang ia berkata tawar,
"Siapa pun yang ingin pinjam golokku, harus ada anggunannya."
"Anggunan apa yang kau minta?" tanya Ong Ban-seng.
"Hanya sepasang tangan dan setengah kepalamu," jawab Siau Cap-it Long.
Ong Ban-seng tetap tenang, katanya tersenyum, "Kau juga harus menggunakan golok untuk memotongnya."
"Yang pasti golok milikku."
"Kenapa tidak kau potong saja,"
"Bagus," tangan Siau Cap-it Long sudah menggenggam gagang golok.

Pada saat itulah mendadak juragan Gu menorobos masuk seraya berteriak, "Nanti dulu tuan-tuan, kalau
ingin potong memotong, jangan di hotelku ini, pindahlah ke tempat lain, kalau terjadi pembunuhan di sini,
memangnya siapa mau datang dan menginap di hotelku?" Sembari bicara ia menghadang di depan Siau
Cap-it Long sambil membungkuk badan seperti ingin menyembah layaknya, "Mohon tuan-tuan berbuatlah
baik, jangan bentrok dengan senjata di tempatku ini."
Belum habis bicara, di saat badannya membungkuk ke depan, dari balik baju di punggungnya mendadak
melesat tiga batang panah pendek, dari lengan baju kanan kiri juga meluncur tiga papah berbulu, menyusul
pergelangan tangan membalik, tangan kiri manimpukkan tiga mata uang, tangan kanan meluncurkan tiga
batang Hwi-hong-ciok.
Lima belas batang senjata rahasia serempak menyerang berbareng, yang diincar lima belas Hiat-to di tubuh
Siau Cap-it Long.
Jarak mereka tidak lebih tiga kaki, serangan senjata rahasia yang telak dan kencang, untuk menghindari
sergapan mematikan ini, rasanya sesukar memanjat ke langit.
Siau Cap-it Long tidak berusaha berkelit atau menghindar, hakikatnya memang tidak mungkin berkelit.
Dimana sinar golok berkelebat, tiga batang panah, tiga Kim-ci-piau, tiga Hwi-hong-ciok, enam batang panah
berbulu, sakaligus ditabasnya putus berhamburan. Dimana sinar golok menukik turun ke bawah, tahu-tahu
tenggorokan juragan Gu sudah terancam di ujung goloknya, mukanya seketika membesi hijau ketakutan.
Terdengar seorang berkata dingin, "Golokku ini memang tidak sebanding Keh-lo-to, kalau hanya menggorok
leher orang, gampangnya seperti membalik tangan."
Itulah suara juragan Lu, juragan Lu pemilik hotel Bok-tan-lau. Sebilah golok berada di tangannya,
mengancam leher Pin-pin.
Pin-pin mematung pucat, berdiri kaku tak berani bergerak.
Sementara itu Ong Ban-seng sudah berada di belakang Hong Si-nio, katanya tersenyum lebar, "Tanpa pakai
golok aku juga bisa membunuh orang, membunuh orang aku tidak biasa pakai golok."
Kelihatannya Siau Cap-it Long juga mematung kaku, badannya berkerut dingin, Sim-sim mengawasinya,
katanya gegetun, "Kali ini kurasa kau benar-benar terjungkal."
"Dan kau?" tanya Siau Cap-it Long.
"Aku juga kalah, tapi aku kalah dengan rela."
"O?" dengus Siau Cap-it Long.
Sim-sim menghela napas, "Sudan lima hari aku berada di sini, sedikitpun tidak tahu kalau dua juragan ini
ternyata orang kosen, biarpun terjungkal, aku mengaku kalah dengan tulus, ya, apa boleh buat."
Ong Ban-seng berkata, "Sekarang pihakku yang menang, hanya pemenang saja yang berhak bicara."
"Aku sedang mendengarkan," sahut Siau Cap-it Long.
"Kau ingin mereka hidup?" tanya Ong Ban-seng.
"Ya, ingin sekali," sahut Siau Cap-it Long.
"Nah, lepaskan dulu juragan Gu."
"Boleh”, hanya sepatah kata, kejap lain goloknya sudah kembali ke dalam sarung.
"Serahkan pula golokmu."
"Boleh," tanpa sangsi Siau Cap-it Long menanggalkan golok jagal rusanya terus diangsurkan ke depan,
lekas sekali juragan Gu menerima golok itu, matanya bersinar membundar.
Golok inilah yang pernah membuat banyak orang gagah kabat-kebit, entah berapa banyak pula darah

manusia pernah diisap golok itu.
Menggenggam golok sakti itu, perasaan juragan Gu bergolak, badan gemetar karena emosi, hampir tidak
percaya akan kenyataan ini. Sorot matanya menampilkan perasaan rakus, setelah menelan ludah, dengan
gemetar ia berkata, "Kalau ada orang demi diriku rela berkorban untuk golok sakti ini, umpama aku harus
mati untuknya juga rela."
Ong Ban-seng bergelak tertawa, serunya, "Siapa nyana Siau Cap-it Long adalah orang yang banyak
menanam cinta dan mengagungkan kebenaran." Sembari bicara, matanya menatap ke arah golok di tangan
juragan Gu.
Sejenak ragu-ragu juragan Gu baru beringsut sambil memegang golok.
"Eh, tunggu sebentar," mendadak Siau Cap-it Long berseru.
Juragan Gu mana mau menunggu, gerak tubuhnya dipercepat melompat ke belakang, pada saat itulah
sebuah tangan mendadak diulur datang, dengan enteng menyentil di siku tangannya. Tanpa kuasa
badannya mencelat mumbul ke atas, waktu ia berjumpalitan turun dan berdiri kembali, golok di tangannya
sudah lenyap.
Golok sakti itu ternyata sudah bergda di tangan Siau Cap-it Long kembali.
Seenaknya ia menyerahkan golok, seenteng capung terbang, serta dengan gerakan apa, tahu-tahu goloknya
telah direbut kembali, seperti orang main sulap saja.
Ong Ban-seng mengerut kening, jengeknya, "Rasanya kau tidak rela?"
Siau Cap-it Long tertawa lebar, "Golok ini bukan milikku, kenapa tidak rela?"
"Kalau rela, kenapa direbut kembali?"
"Aku bisa memberi juga bisa merebut kembali, setelah kurebut kembali bisa kuserahkan kembali."
"Baiklah," seru Ong Ban-seng.
"Nanti dulu, ingin kutanya satu hal," ujar Siau Cap-it Long.
"Kau boleh bertanya."
"Konon belakangan ini di Kangouw muncul seorang yang menakutkan, bernama Hamwan Sam-seng."
Ong Ban-song diam mendengarkan.
"Jual beli dari golongan hitam atau putih, peduli siapa saja, bila ia mendengar kabar dan tahu tempatnya, dia
pasti datang dan menarik keuntungan tiga puluh persen. Siapa berani menentang kehendaknya, dalam tiga
hari, jiwa melayang jenazah pun lenyap tidak keruan parannya."
"Wah, hebat benar orang itu!" seru Ong Ban-seng.
"Konon bukan saja lihai, kepandaiannya banyak ragamnya, jejaknya sukar dilacak, hanya sedikit orang yang
pernah tahu siapa dia sebenarnya."
"Jadi kau ingin bertemu dengan dia?"
"Konon dia paling senang bertamasya di Koh-soh, apalagi di musim rontok di waktu perayaan Tiong-ciu, tiap
tahun dia pasti berada di tempat ini."
"Maka engkau juga berada di sini."
"Aku juga ingin kontrak dagang dengan dia."
"Kontrak dagang apa?"
"Betapa banyak kontrak dagang diteken di kalangan Kang-ouw, kalau setiap kontrak dagang ditarik pajak

tiga puluh persen, hanya sehari saja, hasilnya bisa menjadi jaminan hidup sepanjang abad. Yang kutahu, dia
sudah menarik pajak selama dua tahun."
"Maksudmu kau akan memaksanya memberimu tiga puiuh persen, begitu?"
"Bukan tiga puluh," tawa suara Siuw Cap-it Long, "aku minta tujuh puluh persen."
"Hah, tujuh puluh persen?"
"Kalau dia hanya minta tiga puluh persen, akan kusisakan tiga puluh persen untuknya."
"Apa dia setuju?"
"Kalau tidak setuju, aku juga akan membuatnya mampus tanpa bekas dalam waktu tiga hari."
Ong Ban-seng tertawa besar, "Untung aku bukan Ham wan Sam-seng, aku adalah Ong Ban-seng."
"Tapi aku yakin kau adalah orang kepercayaannya."
"Apa kau tidak keliru?”
"Tidak, karena kau juga hanya menarik tiga puluh persen."
Akhirnya Ong Ban-seng menghela napas, "Dalam segala hal rasanya sukar mengelabui dirimu."
"Ya, jangan harap."
"Maksudmu minta aku mengajakmu bertemu dengan dia?" tanya Ong Ban-seng.
Siau Cap-it Long manggut-manggut.
"Kau pikir aku akan mengajakmu ke sana?"
"Kalau menolak, sekarang juga aku bisa membuatmu mampus tanpa bekas."
Ong Ban-seng tertawa lebar, "Kau tidak kuatir aku membunuh mereka lebih dulu?"
"Aku tidak kuatir."
Ong Ban-seng menarik muka, "Potong dulu sebelah kuping nona Pin-pin. Coba dia bisa berbuat apa?"
Juragan Gu tertawa lebar, "Golokku ini memang tidak setajam jagal rusanya, tapi untuk mengiris kuping
rasanya mudah sekali." Sembari bicara ia membalik golok terus mengiris kuping kiri Pin-pin.
Sejak tadi Pin-pin berdiri kaku tak bergerak, mirip itik yang sudah ditelikung akan disembelih. Pada saat yang
menentukan itulah mendadak sebelah kakinya beringsut ke samping berbareng tangan kiri menyanggah siku
juragan Gu. Tanpa kuasa mendadak juragan Lu terangkat badannya ke udara, tahu-tahu golok di tangannya
sudah direbut Pin-pin. Dimana sinar golok berkelebat, sebuah kuping berdarah jatuh di lantai. Di kala badan
juragan Lu melorot turun berdiri kembali di tempatnya, golok kembali diangsurkan Pin-pin ke tangannya,
darah tampak berlepotan di ujung golok.
Kuping yang jatuh bukan kuping Pin-pin, tapi kuping juragan Lu. Baru sekarang ia merasa kepalanya perih,
sementara darah segar meleleh membasahi pakaiannya sambil mengeluh kesakitan, mendadak ia jatuh
pingsan.
Di sebelah sana muka juragan Gu mulai membesi hijau. Seorang kalau ketakutan, bukan lagi pucat pias, tapi
menghijau kelam.
Muka Sim-sim juga berubah, "Sungguh tak nyana, gadis jelita yang kelihatan lemah lembut ternyata seorang
kosen yang lihai, rasanya bola mataku harus dikorek."
Pin-pin mengawasinya, suaranya lembut, "Kau pun mau kukorek matamu?"
"Tidak," seru Sim-sim menggeleng kepala.

Pin-pin menarik muka, "Aku tidak suka mendengar orang berbohong."
Tanpa bicara mendadak Sim-sim berlari sipat kuping, seperti kelinci yang kena panah menerjang keluar.
Ong Ban-seng menggeleng kepala, "Selama ini aku beranggapan hanya Hong Si-nio seorang perempuan
yang paling ganas di Kangouw, ternyata kau tidak kalah dibanding dia."
"Kau masih ingin menyuruh orang memotong telingaku?"
"Tidak, batal saja."
"Kau mau mengajak kami bertemu dengan Hamwan Sam-seng tidak?"
"Tidak mau."
"Lalu apa kehendakmu?"
"Masih ada satu taruhan, aku ingin bertaruh dengan kalian."
"Apa taruhanmu?"
"Hong Si-nio," kata Ong Ban-seng tertawa, "kalau kubunuh Hong Si-nio, kau tidak akan sedih, tapi Siau Capit
Long ... kau kan tahu Siau Cap-it Long adalah perjaka yang romantis."
Pin-pin tidak menyangkal.
"Kalau kau membunuh Hong Si-nio, kau pun akan mampus di sini."
"Nah, itulah. Tidak akan kubunuh dia, tapi dia akan kupertaruhkan dengan kau."
"Baik, taruhan apa?"
”Taruhan golokmu."
"Bertaruh cara apa?"
"Dalam tiga jurus dia mampu mengalahkan Pek-tiong-siang-hiap, mestinya dalam tiga jurus bisa
mengalahkan aku, aku kan hanya seorang keroco."
Seorang kalau mengaku dirinya keroco, pasti bukan orang sembarangan, Siau Cap-it Long maklum akan hal
ini, tapi keadaan menyudutkan dirinya tiada pilihan lain.
"Kalau aku menang," demikian seru Ong Ban-seng. "Hong Si-nio dan golokmu itu akan kubawa pergi."
"Kalau kalah?"
"Hong Si-nio kubebaskan, lalu membawamu mencari Ham-wan Sam-seng."
"Omonganmu boleh dipercaya?"
Ong Ban-seng menghela napas, "Kalau aku kau kalahkan, memangnya ucapanku tidak kau percaya?" Lalu
dengan senyum lebar menambahkan, "yang pasti aku percaya kau adalah orang yang dapat dipercaya."
"Tiga jurus?"
"Golok masih di tanganmu, kau boleh memakai golok."
"Kau pakai senjata apa?"
"Senjata apa di dunia ini yang mampu menandingi golok jagalmu itu, kenapa aku harus pakai senjata?"
"Bagus, sepatah kata, akur."

"Sepatah kata, akur"
"Siau Cap-it Long," mendadak sebuah suara menyeletuk, "kali ini kau pasti kalah." Yang bicara ternyata Hoa
Ji-giok adanya.
Sambil menggendong tangan, dengan helaan napas panjang ia beranjak masuk, sikap dan mimiknya seperti
amat yakin, Siau Cap-it Long pasti kalah dalam duel nanti.
"Berdasar apa kau bilang dia pasti kalah?" seru Pin-pin.
"Hanya satu," ujar Hoa Ji-giok.
"Satu apa?" seru Pin-pin.
"Belakangan ini di Kangouw beruntun muncul empat-lima tokoh yang sukar dilayani. Hamwan Sam-seng
adalah satu di antaranya."
"Aku tahu" jengek Pin-pin.
Hoa Ji-giok mendelik, "Tahukah kau bahwa orang ini adalah Hamwan Sam-seng."
Orang yang dimaksud adalah Ong Ban-seng, Ong Ban-seng adalah Hamwan Sam-seng.
Pin-pin menghela napas, "Sebetulnya sudah kuduga hal ini."
"Sayang sekali, kelihatannya dia bukan tokoh yang menakutkan itu."
"Karena tidak mirip itulah, yakin dia betul adalah Hamwan Sam-seng."
Hoa Ji-giok bertepuk tangan, "Ya, masuk akal." Mendadak ia bertanya, "tahukah kau tadi aku berada
dimana?
Pin-pin geleng-geleng.
”Tadi aku pergi mencarinya," ujar Hoa Ji-giok.
"Mencari Hamwan Sam-seng maksudmu?"
Hoa Ji-giok memanggut, "Dia mengundangku, sebab ada rezeki ingin dibicarakan denganku ."
"Rezeki apa?"
"Dia minta supaya Hong Si-nio dijual kepadanya."
"Dia mengundangmu membicarakan rezeki, tapi dia berada di sini, setelah kau kembali ke sini, Hong Si-nio
sudah jatuh di tangannya, bukan mustahil nona cantikmu itu juga jatuh di tangannya, kau justru harus keluar
uang untuk membelinya."
Hoa Ji-giok menghela napas, "Ya, baru sekarang aku paham, orang inilah manusia paling licik dan licin di
dunia."
"Ya, wajah kelihatan jujur, padahal hati sejahat ular berbisa, wajah malaikat, tapi hati bangsat, sungguh
orang yang paling menakutkan di dunia."
"Pernah kau dengar dahulu di Kangouw ada orang yang di-juluki Cap-toa-ok-jin?"
Pin-pin tahu, insan persilatan pasti tahu.
“Tahukah kau di antara sepuluh orang jahat itu, ada seorang bergelar Ok-to-kui Hamwan Sam-kong."
Pin-pin tahu. Dia juga tahu masih ada Put-ciak-jin-thau Li Toa-jui, Jio-li-cang-to Ha-ha-ji, Poan-jin-poan-kui
Im Kiu-yu dan Put-lam-put-li To Kiau, kecuali itu masih ada Kian-jin-put-le-ki Pek Khay-sim, Bit-si-lang Siau
Mi-mi, Hiat-jiu To Sat dan kakak beradik Ting-tong yang selamanya tidak mau dirugikan. Setiap insan
parsilatan yang punya mata pasti pernah mendengar nama julukan mereka.

"Syukur mereka sudah mati semua. Aku tidak perlu kuatir bakal bertemu dengan mereka."
"Tapi kali ini kau akan bertemu dengan Hamwan Sam-seng."
"Apa hubungan Hamwan Sam-seng dengan Hamwan Sam kong?"
"Tiada hubungan apa-apa," sahut Hoa Ji-giok. "Dalam hal berjudi Hamwan Sam-seng jelas lebih ganas,
lebih berani dibanding Hamwan Sam-kong."
"0, begitu?"
"Hamwan Sam-kong memang adalah Ok-tu-kui, tapi setiap kali berjudi pasti harus habis, orangnya habis dan
uangnya habis. Maka setiap kali berjudi setelah kalah total baru berhenti."
"Benar," ucap Pin-pin, "kabarnya dia memang suka berjudi, padahal dia seorang yang lapang dada berjiwa
terbuka."
"Tapi Hamwan Sam-seng bukan orang yang terbuka apalagi lapang dada, kalau tidak yakin sukses dia tidak
akan sembarang berjudi."
Pin-pin tahu apa yang diucapkan Hoa Ji-giok bukan bualan belaka. Kalau Hamwan Sam-seng tidak memiliki
kepandaian hebat, mana mungkin orang rela memberinya rabat tiga puluh persen.
Lebih jauh Hoa Ji-giok berkata, "Kalau dua orang ini berduel satu lawan satu, kepandaian Hamwan Samseng
mungkin bukan tandingan Siau Cap-it ong. Tapi kalau hanya tiga jurus Siau Cap-it Long hendak
mengalahkan dia ...."
"Maksudmu sesukar memanjat ke langit?" sindir Pin-pin.
"Sepuluh lipat lebih sukar dari memanjat ke langit," tegas jawaban Hoa Ji-giok.
"Bagus sekali," mendadak Siau Cap-it Long berseru lantang.
"Bagus sekali?" tanya Hoa Ji-giok.
"Selama hidup," demikian jawab Siau Cap-it Long tegas, "yang paling senang kukerjakan adalah perkara
yang sepuluh lipat lebih sukar dari memanjat ke langit itu."
IX. BERSUA KEMBALI
Malam telah larut, pertengahan musim rontok.
Angin malam berhembus lembut, daun-daun pohon bergontai seperti seorang yang sedang meresapi hidup
yang mengesankan.
Siau Cap-it Long berdiri tegak di bawah pohon. Perlahan-lahan akhirnya Hamwan Sam-seng muncul dan
beranjak ke depan.
Orang awam yang paling biasa ini, dalam pandangan mata orang lain mendadak menjadi orang yang luar
biasa, bukan sembarang orang. Karena, dia adalah Hamwan Sam-seng.
Dari dalam rumah ia memindahkan sebuah kursi, bergegas juragan Gu membimbing Hong Si-nio duduk di
kursi itu.
Pandangan Hong Si-nio menampilkan rasa kuatir, prihatin dan takut.
Selama kenal Siau Cap-it Long, entah berapa kali dia membenci Siuw Cap-it Long, kenapa keadaannya
sekarang berubah begitu rupa. Membencinya kenapa bersikap baik dan menurut terhadap Pin-pin? Kenapa
ingkar terhadap Sim Bik-kun? Tapi di kala ia tahu Siau Cap-it Long menghadapi bahaya, entah kenapa
sikapnya berubah menjadi kuatir dan prihatin.
Sejenak Hoa Ji-giok mengawasinya, lalu barpaling mengawasi Siau Cap-it Long, katanya setelah menghela

napas, "Siau Cap-it Long oh Siau Cap-it Long. Kalau duel kali ini kau kalah, selama hidup Hong Si-nio akan
membencimu sampai mati. Maka kau tidak boleh kalah, tapi keadaan jelas memutuskan kau bakal kalah
total."
Malam nan gelap masih ada cahaya bintang, muka Hamwan Sam-seng nan biasa sepertinya mulai berubah
menjadi luar biasa, nampak sekali perubahan rona mukanya. Terutama sorot matanya, pandangannya
begitu tenang kukuh seperti batu cadas di pucuk gunung.
Siau Cap-it Long mengawasinya, "Kau dulu yang turun tangan? Atau aku dulu yang menyerang."
"Silakan kau dulu," sahut Hamwan Sam-seng.
"Berarti kau menunggu seranganku?" tanya Siau Cap-it Long.
"Aku tidak akan meniru pengalaman Auyang-hengte yang konyol itu."
"Kelihatannya kau lebih tabah dibanding mereka."
"Sebetulnya aku ingin menggunakan caraku sendiri untuk menghadapi mereka, mengobral omongan untuk
mengganggu konsentrasimu."
"Kenapa tidak, silakan kau putar bacot."
Hamwan Sam-seng tertawa lebar, "Omongan yang ingin kubicarakan tadi sudah diucapkan Hoa Ji-giok."
Sambil menggendong tangan ia berputar, "Yakin kau juga mengerti bahwasanya dia tidak prihatin akan
dirimu, maksudnya jelas supaya hatimu gundah dan akulah yang menang."
"Aku mengharap kau menang?" tanya Hoa Ji-giok.
"Sebab untuk menghadapiku lebih gampang daripada kau manghadapi Siau Cap-it Long. Kalau aku menang
kau masih ada kesempatan membawa Hong Si-nio dan golok jagal itu, namun sayang..."
"Sayang apa?" tanya Hoa Ji-giok
"Sayang keadaan Siau Cap-it Long sekarang hakikatnya tidak Seperti orang gundah, maka ku anjurkan
lekaslah kau minggat saja," demikian ejek Hamwan Sam-seng.
"Kenapa aku harus minggat?" desak Hoa Ji-giok.
"Sebab kalau dia yang menang, seumur hidupmu jangan harap kau bisa keluar dari pekarangan ini."
"Yang pasti aku yakin dia tidak akan menang," jengek Hoa Ji-giok.
"Berdasar apa kau bilang begitu?"
"Jadi kau sendiri tidak yakin?"
"Ada, hanya tiga puluh persen."
Hoa Ji-giok berjingkat kaget, matanya terbelalak, mendadak berkata keras, "Ya, aku sudah mengerti, aku
sudah mengerti, kau ...." Belum habis ia bicara, Hamwan Sam-seng yang tadi mempersilakan Siau Cap-it
Long turun tangan lebih dulu justru mendahului menyerang dengan jurus yang amat ganas.
Hoa Ji-giok mengerti soal apa? Bahwasanya Hamwan Sam-seng akan bisa menghindari tiga jurus serangan
Siau Cap-it Long dengan tipu daya tenang mengatasi gerakan. Kenapa sekarang justru menyerang lebih
dulu?
Bahwasanya Hamwan Sam-seng adalah orang biasa yang bertabiat kalem, tapi sergapannya kali ini betulbetul
ganas, dahsyat dan telengas, gerak tangannya mengandung banyak perubahan yang susah ditebak,
bagitu bergerak, beruntun ia melancarkan empat jurus serangan. Sayang dia melupakan satu hal.
Serangan ganas lagi dahsyat kadang malah melupakan pertahanan, demikian halnya dalam serangan jurus
tipu yang banyak mengandung perubahan, sering kali justru sukar menghindari kecerobohan, berarti
memberi peluang lawan melihat sisi lubang pertahanan yang lemah itu. Apalagi kali ini ia menyerang hanya

dengan sepasang tangan kosong, sementara Siau Cap-it Long memakai gaman golok sakti yang tajam luar
biasa.
Hanya satu jurus, satu bacokan.
Hamwan Sam-seng menyurut mundur sambil memegang pundak, badannya gemetar menempel dinding,
napasnya tersengal, desisnya lirih, "Bagus, golok kilat yang bagus."
Golok kembali ke sarung. Dengan tenang, tegar Siau Cap-it Long berdiri di tempatnya, mengawasinya, rona
matanya membayangkan rasa heran.
Hamwan Sam-seng tertawa getir, "Aku mengaku kalah. Silakan kau bawa Hong Si-nio."
Wajah Hoa Ji-giok lebih pucat dibanding orang yang kalah dan terluka itu, mendadak ia berseru keras, "Kau
sengaja dikalahkan olehnya. Sejak awal aku sudah mengerti, jangan harap kau bisa menipuku."
"Kenapa aku harus mengalah kepadanya? Memangnya aku ini edan? Sudah pikun?" jengek Hamwan Samseng.
"Sebab kau ingin Siau Cap-it Long menghadapiku, sebab kau takut aku membuat perhitungan terhadapmu."
"O, masakah begitu?"
"Obrolanmu tadi sengaja mengagulkan kemampuan Siau Cap-it Long, sengaja menyerang lebih dulu supaya
kau dikalahkan. Sebab kau paham, jika dia kalah, kau malah akan menghadapi banyak perkara."
"Kau kira aku tidak menginginkan Hong Si-nio, tidak mau golok jagal itu," semprot Hamwan Sam-seng.
"Aku tahu kau ingin sekali. Tapi kau juga sadar setelah kau memiliki keduanya, mereka pasti tidak akan
memberi peluang kepadamu, apalagi Hong Si-nio kan bukan milikmu. Walau duel kali ini kau dikalahkan, kau
tidak menderita rugi sedikitpun."
Hamwan Sam-seng tertawa, "Bagaimanapun urusan sudah terjadi, yang pasti aku dikalahkannya."
Hal ini memang kenyataan, siapa pun tak bisa menyangkal. Hamwan Sam-seng berkata, "Hong Si-nio sudah
kukembalikan, sekarang kalian juga sudah melihat dan berhadapan langsung dengan Hamwan Sam-seng."
Lalu ia mengawasi Siau Cap-it Long dan menambahkan, "Setiap patah kata yang pernah kuucapkan pasti
kutepati."
Siau Cap-it Long manggut-manggut.
"Sekarang aku sudah kalah dan terluka," kata Hamwan Sam-seng, "kau takkan mencari perkara lagi
terhadapku, umpama ada persoalan penting, kau bisa bersabar menunggu lukaku ini sembuh. Aku yakin kau
lelaki jantan yang boleh dipercaya, bukan orang yang biasa mengambil keuntungan." Setelah menarik napas
panjang ia melanjutkan, "Maka sekarang lekas kalian memapahku pulang untuk istirahat." Kalian yang
dimaksud jelas adalah juragan Gu dan juragan Lu. Bergegas kedua orang ini memapah Hamwan Sam-seng
meninggalkan tempat itu.
Hoa Ji-giok hanya mendelong membiarkan mereka pergi. Tidak mengejar juga tidak merintangi, sebab ia
maklum Siau Cap-it Long takkan membiarkan dirinya pergi. Sepasang bola mata nan tajam memang sedang
menatap dirinya.
Hoa Ji-giok menghela napas, katanya dengan seringai kecut, "Hamwan Sam-seng yang lihai, hari ini kau
membiarkan dia pergi. Akan datang satu hari kau pasti menyesal."
Siau Cap-it Long tetap diam tak memberi reaksi.
"Pernah aku menyaksikan kiprahnya menghadapi orang lain," demikian oceh Hoa Ji-giok.
"Ehm," Siau Cap-it Long bersuara dalam mulut.
"Dia adalah penggemar barang antik, terutama karamik kuno. Suatu hari Oh-samya yang tinggal di Po-khing
tanpa sengaja mendapatkan botol kembang yang dinamakan 'Hi-kwe-thian-jing', botol ini termasuk salah
satu barang antik buatan dinasti Tang yang mahal harganya. Dia minta Oh-samya menjual kepadanya, tapi

Oh-samya menolak, sampai mati pun takkan menjual barang itu."
"Akhirnya Oh-samya mampus," kata Siau Cap-it Long. Hoa Ji-giok manggut-manggut, "Padahal Oh-samya
adalah teman lamanya, karena keinginannya ditolak lima puluh tujuh anggota keluarga Oh-samya
seluruhnya dibabat bersih, tiada satu pun yang ketinggalan hidup, semuanya dibakar jadi abu termasuk
harta bendanya."
"Pernah aku mendengar cerita itu, tiap kali membunuh musuh, Hamwan tidak pernah segan, seluruh
keluarga dibantai habis."
"Kecuali benda-benda antik, dia juga senang perempuan yang romantis, perempuan seksi," demikian tutur
Hoa Ji-giok lebih jauh, "menurut apa yang aku tahu, Hong Si-nio adalah jenis perempuan yang paling
disukainya."
"Kelihatnya dia ahli di bidang ini."
"Barang yang dia incar, dengan akal apa saja secara halal atau dengan kekerasan, harus menjadi miliknya,"
kata Hoa Ji-giok gegetun, "seperti halnya dia menginginkan Hong Si-nio." Siau Cap-it Long hanya
menyeringai getir. "Maka ingat peringatanku ini. Hari ini kau melepasnya pergi, akan datang saatnya hari itu
dia pasti tidak memberi ampun kepadamu."
Siau Cap-it Long menggeram dengan melotot.
"Kalau aku jadi kau, tadi sudah kubabat mampus dia." Siau Cap-it Long berkata dingin, "Kalau kau menjadi
aku, mungkin tidak kubabat mampus Hoa Ji-giok?"
Hoa Ji-giok ternyata cukup tabah, tanpa bereaksi, sikapnya tetap tawar, katanya tersenyum, "Tidak pantas
kau membunuh Hoa Ji-giok."
"Kenapa?"
"Karena Hong Si-nio adalah sahabat karibmu. Memangnya kau tega membuat temanmu menjadi janda?”
Siau Cap-it Long tidak mengerti, "Kalau aku membunuhmu, dia bakal jadi janda?"
Maka Hoa Ji-giok mengoceh lebih jauh, "Memangnya kau belum tahu bahwa dia sudah menjadi biniku?”
"Lelaki di dunia ini belum mampus seluruhnya, kenapa dia harus kawin dengan banci?"
Dengan tetap tersenyum lebar Hoa Ji-giok terus mengoceh, "Aku maklum kau tidak percaya, padahal
pernikahanku dengan dia memang kenyataan."
"Kenyataan bagaimana?" desak Siau Cap-it Long.
"Orang-orang Kangouw sudah banyak yang tahu tentang perjodohan ini. Kau tidak percaya, boleh tanya
lansung kepadanya, dia pasti tidak menyangkal."
Mau tidak mau Siau Cap-it Long harus percaya. Orang sepintar Hoa Ji-giok pasti tidak akan mengobral cerita
bohong yang justru akan membongkar kedok sendiri. Tapi hal ini harus dibuktikan. Maka dia membebaskan
tutukan Hiat-to di badan Hong Si-nio. Sekarang tiada orang yang bisa mencegah dia bicara.
"Apa benar kau sudah menikah dengan orang ini," tanyanya. Hong Si-nio tetap tidak bergerak, hanya
menatapnya lekat, sorot matanya yang semula prihatin, kuatir dan takut kini berubah resah dan murka.
Demi dirimu entah betapa aku menderita, disalahkan dan dicerca, dianggap seongok barang dijejalkan ke
kolong ranjang, kini aku disiksa begini, bertanya saja tidak, sepatah kata perhatian pun tiada.
Demi kepentinganmu, Sim Bik-kun banyak menderita dan sengsara, jejaknya pun sekarang tidak diketahui,
kau pun tidak bertanya kepadaku, sepatah kata perhatian pun tidak kau ucapkan.
Dua tahun kita tidak bertemu, yang kau tanyakan hanya kentut belaka.
Memangnya kau tidak tahu isi hatiku? Kau percaya kalau aku telah menikah dengan dia?

Hong Si-nio mengertak gigi, sekuat tenaga berusaha mengendalikan emosi, menahan air mata.
Siau Cap-it Long malah bertanya lagi, "Betulkah kau sudah menikah dengan orang ini? Kenapa kau menikah
dengannya?"
Hong Si-nio masih menatapnya, tak bersuara.
Kalau kau percaya padaku, seperti aku percaya kepadamu, kalau aku harus menikah dengan orang ini jelas
karena terpaksa atau dipaksa.
Pantasnya kau merasa simpati pada nasibku, membelaku dan melampiaskan sakit hatiku.
Ternyata semua itu kau abaikan, malah mengobral pertanyaan menyebalkan.
Mendadak Hong Si-nio menggerakkan tangan, "Plang", dengan keras ia gampar muka Siau Cap-it Long.
Siau Cap-it Long melenggong. Sungguh tak pernah terpikjr olehnya, setelah dua tahun tak bertemu,
perbuatan pertama yang dilakukan Hong Si-nio adalah menggampar mukanya.
Hong Si-nio berjingkrak berdiri, pekiknya keras, "Kenapa aku tidak boleh kawin dengannya? Senang kawin
dengan siapa, aku kawin dengan dia, peduli amat dengan dirimu? Kau tidak perlu mengurus diriku."
Kembali Siau Cap-it Long dibuat menjublek di tempatnya.
"Aku kawin dengan dia, memangnya kau tidak terima?" damprat Hong Si-nio, "memangnya kau kira seumur
hidupku ini tidak laku kawin?"
Siau Cap-it Long tertawa getir.
"Hoa Ji-giok," teriak Hong Si-nio pula, "beri tahu padanya ...." Suaranya tiba-tiba berhenti, baru sekarang ia
sadar, secara diam-diam Hoa Ji-giok telah minggat.
Memangnya Hoa Ji-giok adalah manusia usil yang suka memanfaatkan setiap kesempatan.
Hong Si-nio berjingkrak pula, dengan sengit ia renggut baju dada Siau Cap-it Long.
"Kau ... kau ... kenapa kau biarkan dia pergi?"
"Bukan aku membiarkan dia pergi. Dia sendiri yang melarikan diri," sahut Siau Cap-it Long.
"Kenapa tidak kau bekuk dia? Kenapa tidak kau bunuh dia?" pekik Hong Si-nio.
"Membunuhnya? Bukankah dia suamimu, kau ingin aku membunuhnya?"
"Siapa bilang dia suamiku?"
”Barusan kau sendiri yang bilang."
Hong Si-nio berjingkrak pula, "Kapan aku pernah bilang demikian?"
"Barusan."
"Aku hanya bilang terserah aku senang menikah dengan siapa, lalu siapa yang pernah menikah dengan dia,
itu pertanyaan kepadamu, kenapa aku tidak boleh menikah dengannya? Aku tidak bilang kalau dia
suamiku?"
"Dua macam pertanyaanmu tadi apa ada bedanya?"
"Jelas berbeda, malah jauh bedanya."
Siau Cap-it Long bungkam dibuatnya, sungguh tak habis mengerti dan sukar membedakan dimana
perbedaannya. Syukur lekas ia sudah paham tentang satu hal.
Kalau Hong Si-nio bilang antara dua persoalan itu ada bedanya, tentu dan pasti berbeda, kalau Hong Si-nio

bilang mentari itu persegi, maka matahari itu betul adalah persegi.
Kalau kau terus berbantah dengan dia, ibaratnya kau menumbukkan batok kepala sendiri ke tembok.
Hong Si-nio masih melotot sekian lama, akhirnya bertanya, "Kenapa kau tidak bicara?"
Siau Cap-it Long menghela napas sambil mengelus pipi, "Aku hanya menutup mulut saja, bukan tidak
bicara."
"Tutup mulut dan tidak mau bicara apa ada bedanya?"
”Tentu saja berbeda, malah besar bedanya."
Dengan gemas Hong Si-nio masih melotot sekian lama, akhirnya cekikikan geli malah.
Kecuali betul-betul keki, dongkol dan penasaran, Hong Si-nio bukan perempuan yang tidak tahu aturan. Bila
dia marah juga tidak bertahan lama, hal ini sering terbentur dengan Siau Cap-it Long.
Siau Cap-it Long juga sedang mengawasinya dengan tertawa, lalu tanyanya, "Tadi pernah aku bilang
sepatah kata, entah kau mendengar tidak?"
"Kau bilang apa?" tanya Hong Si-nio.
"Aku bilang bukan saja kau tidak kelihatan lebih tua, malah kelihatan makin cantik dan lebih muda."
Hong Si-nio menahan geli, katanya, "Aku tidak mendengar, aku hanya mendengar kau bilang aku ini siluman
perempuan."
"Dua tahun kita tidak bertemu, tahu-tahu kau persen aku satu gamparan, ditambah satu tendangan, lima
patah kata aku bilang kepadamu, sepatah kata pun kau tidak mendengar, memakimu sepatah kau
mendengar jelas sekali." Sampai di sini ia menggeleng kepala sambil menarik napas panjang, "Hong Si-nio
oh Hong Si-nio, ku-lihat kau memang tidak berubah."
Mendadak Hong Si-nio menarik muka, "Tapi kau justru berubah."
"O, dalam hal apa aku berubah."
"Kau memang seorang bergajul, bergajulnya bergajul."
"Itu dulu, sekarang bagaimana?"
"Sekarang kau malah terhitung bergajul bangkotan," amarahnya seperti berkobar pula, suaranya juga makin
keras, "Kutanya kau, kenapa kau paksa Cia Thian-ciok mencukil mata sendiri. Begitu pula kau paksa Auyang
bersaudara mencolok mata mereka?"
Siau Cap-it Long menghela napas, "Sudah kuduga, kau akan membela mereka."
"Sudah tentu aku harus membela mereka, kau sendiri pernah bilang lelaki punya mata, memangnya untuk
memandang perempuan cantik, bahwa seorang perempuan cantik molek, apa salahnya buat tontonan kaum
lelaki?"
Siau Cap-it Long mengangguk, dia memang pernah bilang begitu, dengan ujung mata Hong Si-nio
mengerling kepada Pin-pin, jengeknya dingin, "Lha kenapa dia justru tidak boleh dipandang? Kenapa orang
memandangnya lebih lama, lalu bola matanya harus dibikin buta?”
"Itu kan hanya alasan belaka."
"Alasan katamu?"
"Umpama mereka tidak mengawasinya, aku tetap akan paksa mereka mencukil bola mata sendiri."
"O, apa alasanmu?"
Mendadak sikap Siau Cap-it Long berubah serius, "Bahwa aku hanya menyuruh mereka mencukil bola

matanya, terhitung hukuman ringan bagi mereka, karena hukuman yang setimpal adalah mati."
"Kenapa mereka harus mati?" tanya Hong Si-nio.
"Sudah tentu aku punya alasan."
"Alasan apa?"
"Apa alasannya, panjang ceritanya, kalau ingin mendengar penjelasanku, tenteramkan dulu hatimu, jangan
marah-marah saja."
Mata Hong Si-nio melirik ke arah Pin-pin lagi, "Amarahku justru akan terus berkobar."
Siau Cap-it Long menarik napas, "Jika kau tahu sebab musababnya, kutanggung kau tidak akan marah."
Hong Si-nio menjengek dingin.
"Bukan saja kau tidak marah, malah akan membantuku mencukil mata mereka."
"Ah yang benar."
"Kapan aku pernah berbohong kepadamu?"
Sesaat Hong Si-nio menatapnya tajam, akhirnya berkata lembut, "Apa yang kau ucapkan hakikatnya aku
tidak percaya, tapi entah kenapa begitu berhadapan dengan kau, tiap patah katamu aku percaya sekali."
"Maka legakan dulu hatimu, dengarkan penjelasanku."
"Betapapun hatiku tidak akan lega."
"Kenapa?"
"Perutku lapar sekali."
"Kau ingin makan apa?"
Sorot matanya makin lembut, dengan gayanya Hong Si-nio berkata, "Mi bakso atau mi pangsit, makanan
yang paling mudah didapat."
* * * * *
Di kota-kota besar atau kecil, dimana saja bisa kita cari penjual bakmi, umumnya penjual bakmi tidak kenal
waktu, tengah malam pun masih bisa menghidangkan keinginan pembeli. Maklum di kota mana pun pasti
ada penduduk yang suka keluyuran malam, seperti kucing kelaparan yang memburu makanan.
Para penjual bakmi yang menjajakan dagangannya di pinggir jalan, kebanyakan orang-orang tua yang
berwatak aneh, lagi kolot.
Penjual bakmi di pinggir jalan inipun adalah lelaki tua pincang, sayur asin yang dijual mirip penjualnya, kaku
dingin lagi keras. Tapi semangkuk bakmi pangsit yang disuguhkan masih panas.
Mengawasi bakmi di atas mejanya, mengawasi Siau Cap-it Long yang sedang menuang arak, timbul
perasaan hangat dalam relung hati Hong Si-nio, sehangat kepulan asap bakmi dalam mangkuk. Tapi di
samping Siau Cap-it Long masih ada cewek lain. Pin-pin, gadis ini kelihatan lembut cantik lagi anggun.
Tiap kali memandang gadis ini, perasaan Hong Si-nio selalu keki, katanya menyindir sambil menarik muka,
"Makanan yang dijual seperti ini, memangnya nona ini juga bisa makan."
"Sudah biasa dia makanan seperti ini," yang menjawab malah Siau Cap-it Long.
"Darimana kau tahu dia biasa makan? Memangnya kau cacing dalam perutnya."
Siau Cap-it Long tidak berani berbantah lagi.

Pin-pin hanya menundukkan kepala, tidak berani bersuara. Jelas ia merasakan Hong Si-nio tidak simpati
terhadap dirinya. Yang pasti dia masih bisa tertawa, tiada alasan Hong Si-nio meneruskan sindirannya.
Duduk bertiga mereka sibuk melalap bakmi, tiada pembicaraan, tanpa basa basi. Hong Si-nio menjadi sebal
rasanya. Untung ada, arak, sekaligus Hong Si-nio menghabiskan dua cawan arak, sindirnya lagi, "Arak
macam ini, nona juga biasa minum?"
"Bukannya tidak doyan arak, selama ini dia tidak pernah minum arak," Siau Cap-it Long pula yang
menjawab.
"Ya, seorang nona yang agung cantik, mana mau minum arak murahan. Apalagi minum bersama perempuan
liar macamku ini."
Tanpa bicara Pin-pin menuang secawan arak, diangkatnya baru berkata, "Sebetulnya aku tidak biasa
minum, malam ini boleh kulanggar kebiasaan itu."
"Kenapa harus melanggar kebiasaan?"
"Sebab sejak lama kudenggar nama besar Toaci, dalam hati aku selalu berpikir, akan datang suatu hari aku
bisa duduk bersama minum arak dengan Su-toaci yang gagah berani, betapa riang hatiku." Langsung ia
tenggak habis secawan arak itu.
Hong Si-nio mengawasinya, entah kenapa perasaannya menjadi tawar, tidak segemas tadi. Berbeda dengan
sorot mata Siau Cap-it Long, menampilkan rona aneh, seperti kasihan dan mengandung rasa pilu.
Setelah menghabiskan tiga cawan arak dan semangkuk bakmi, perasaan Hong Si-nio sudah wajar kembali,
perlahan ia kunyah kuping babi di mulutnya sambil berkata, "Sekarang aku tidak marah lagi, kenapa tidak
lekas kau bicara."
Siau Cap-it Long menghela napas, "Persoalan ini rumit dan ruwet, entah darimana aku harus mulai?"
Berputar bola mata Hong Si-nio, "Tentu dari duel kali itu."
"Duel yang mana?"
"Duel antara kau dengan Siau-yau-hou."
Duel itu sendiri sudah menggemparkan Kangouw, sayang tiada orang menyaksikan, tiada orang tahu
bagaimana akhir duel itu.
Sejak zaman dahulu, duel antara dua tokoh Bulim tiada yang lebih seru, misterius, lebih aneh dari duel Siau
Cap-it Long melawan Siau-yau-hou.
Siau Cap-it Long menghabiskan dua cawan arak lagi baru menarik napas panjang, katanya, "Hari itu aku
sudah siap menerima kematian. Aku insaf, di dunia sekarang ini tiada tokoh besar mana pun yang mampu
menghadapi lawan setangguh Siau-yau-hou."
”Tapi sekarang kau bisa hidup, tetap segar bugar."
"Ya, aku sendiri tidak tahu dan tidak menyangka."
"Bagaimana Siau-yau-hou?"
"Mungkin sudah mampus."
Bersinar bola mata Hong Si-nio, dengan keras ia menggebrak meja, "Memangnya sudah kuduga kau pasti
bisa mengalahkan dia. Ilmu silatmu mungkin bukan tandingannya, tapi kau memiliki tekad dan keyakinan
yang tidak dimiliki orang lain."
"Sayang sekali, umpama aku punya seribu tekad dan seribu keyakinan, tetapi aku bukan tandingannya."
"Benar kau bukan tandingannya?"
"Pasti bukan," ujar Siau Cap-it Long, "paling banyak aku hanya mampu melawan dua ratus jurus, dua ratus

jurus kemudian aku sudah kehabisan tenaga, napasku sudah senin kamis, kalau dia tidak sengaja mau
mempermainkan aku, aku sudah mampus."
"Tapi sekarang kau masih hidup dan dia telah mati."
"Itu karena di saat aku hampir mati, seseorang mendadak menolongku."
"Siapa penolongmu?" tanya Hong Si-nio mendelik.
"Dia," sahut Siau Cap-it Long. 'Dia' yang dimaksud jelas adalah Pin-pin.
Hong Si-nio terperangah, "Cara bagaimana dia menolongmu?"
"Ujung jalan di pinggir gunung itu adalah ngarai terjal, aku bertarung dengannya di atas ngarai itu."
Hong Si-nio diam, mendengar dengan penuh perhatian.
"Dua sisi ngarai itu tegak lurus, di bawahnya adalah jurang yang tak terukur dalamnya.
"Dia sudah menyiapkan kuburan buatmu."
"Ya, dia juga bilang begitu, dia bilang ngarai itu dinamakan Sat-jin-gai. Ngarai membunuh manusia sungguh
menggiriskan namanya."
"Ngarai itu memang tempat dimana ia sering membunuh orang."
"Ya, setelah membunuh orang dia tidak perlu repot mengubur jenazahnya."
"Entah berapa banyak orang yang telah ia bunuh di sana, di bawah ngarai itu betapa banyak sukma
gentayangan, arwah yang penasaran, maka begitu mendengar suara panggilan dari bawah ngarai, meski
besar nyalinya membunuh orang, mengkirik juga dia."
"Panggilan? Panggilan apa?"
"Di saat ia hendak membunuhku, mendadak mendengar kumandang suara panggilan namanya dari bawah
ngarai."
"Dia juga punya nama?”
"Dia bukan she Thian, tapi she Koso, namanya Koso Thian, asalnya keturunan Anso Koso. Dia bukan orang
Han."
"Tak heran tiada orang di Kangouw yang tahu nama dan asal-usulnya. Tentunya dia sendiri malu kalau
orang tahu dirinya adalah keturunan suku kerdil yang terbelakang."
Siau Cap-it Long berkata, "Karena selama ini tiada orang tahu nama dan asal-usulnya, saat mendengar
suara panggilan namanya dari bawah ngarai, baru dia benar-benar kaget dan mengkeret nyalinya."
"Arwah-arwah penasaran di bawah ngarai itulah yang menuntut keadilan kepadanya."
"Begitu suara panggilan namanya berkumandang dari bawah ngarai, seketika ia berdiri kaku ketakutan."
"Jelas kau tidak menyia-nyiakan kesempatan baik itu."
"Waktu itu aku sudah kehabisan tenaga, umpama ada kesempatan juga tak mampu aku membunuhnya.
Tapi waktu golokku membacok punggungnya, mendadak dia menjadi gila, sambil meraung kalap melompat
ke dalam jurang."
"Seorang kalau tangannya penuh melakukan kejahatan, akan datang saatnya menjadi gila dan menerima
nasibnya yang tragis," ujar Hong Si-nio dengan gemas, "lalu siapa yang memanggil namanya dari bawah
ngarai?"
"Aku," sahut Pin-pin.

Hong Si-nio sudah menduga akan dirinya, "Bagaimana kau bisa berada di bawah ngarai? Darimana kau
tahu nama aslinya?"
"Sudah tentu aku tahu, karena...." wajahnya nan ayu memutih mendadak menampilkan perasaan duka,
perlahan lalu melanjutkan, "karena aku adalah adiknya."
X. SAUDARA KANDUNG
Ternyata Pin-pin adalah adik kandung Siau-yau-hou.
"Saudara kandung?" Hong Si-nio terbelalak.
"Ya, aku adik kandungnya," sahut Pin-pin.
"Lha, kenapa kau berada di bawah ngarai?"
Sikap Pin-pin tampak menderita, "Kakak kandungku itulah yang mendorongku jatuh."
Hong Si-nio terbelalak kaget, ia sudah menduga di balik peristiwa ini tentu ada rahasianya, rahasia yang
memilukan, peristiwa yang menakutkan. Maka ia tidak ingin bertanya lagi, ia tidak ingin membuat orang
sedih.
Tapi Pin-pin balas bertanya malah, "Kau tentu heran, kenapa dia mendorongku ke dalam jurang?"
Hong Si-nio mengangguk.
Maka Pin-pin mulai bercerita tentang rahasia yang menyedihkan lagi misterius itu.
"Aku adalah adiknya yang paling kecil. Waktu aku lahir dia sudah dewasa, sejak aku dilahirkan dia sudah
mulai membenciku.”
"Sebab semua engkoh dan ciciku semuanya manusia cebol, kecuali dia seorang, seluruhnya sudah
meninggal dunia.”
"Aku terkecil justru tumbuh dengan nornal seperti manusia umumnya, maka dia amat membenciku, iri dan
cemburu, tentu kalian bisa membayangkan bagaimana perasaannya terhadapku.”
"Untungnya waktu itu ibuku masih hidup, hingga aku bisa bertahan hidup hingga dewasa.”
"Menjelang ajal, wanti-wanti ibuku berpesan kepadanya untuk menjaga dan melindungi aku. Ibu malah
memberitahu dia kalau dia berani menganiaya atau menyakiti aku, di alam baka dia tidak akan memberi
ampun kepadanya.
"Walau membenciku, hakikatnya dia memang tidak menyia-nyiakan hidupku, sebab terhadap siapa pun dia
tidak takut, hanya setan yang amat ditakuti, sejak kecil dia percaya bahwa orang yang sudah mati bisa jadi
setan iblis, ada arwah atau roh gentayangan.”
"Hal ini merupakan rahasia, kecuali aku, mungkin tiada orang kedua yang tahu."
Manusia siapa pun dia, bila sering melakukan perbuatan yang melanggar aturan, perbuatan yang merugikan
orang lain, pasti dia seorang yang takut setan. Hong Si-nio mengerti betul akan hal ini.
Setelah menghabiskan dua cawan arak, Pin-pin melanjutkan ceritanya, "Hidupku serba berkecukupan,
sandang pangan tidak pernah kekurangan, tapi dia melarang aku mencampuri atau mencari tahu urusannya.
Biar aku ini adiknya, tentu aku tidak berani bertanya kepadanya.”
"Tapi aku tahu, setiap hari raya Toan-ngo, beberapa hari sebelum dan sesudah perayaan, selalu datang
banyak orang mencari dia.”
"Tiap orang yang datang semuanya mengenakan tutup muka, gerak-geriknya mencurigakan dan serba
tersembunyi, melihat diriku mereka acuh saja, mungkin disangka aku pelayan engkohku.”
"Engkohku sendiri juga tidak ingin orang lain tahu siapa diriku, apalagi punya adik perempuan ayu seperti

diriku."
Sampai hari inipun Hong Si-nio juga belum pernah tahu.
Lebih jauh Pin-pin bercerita, "Engkohku juga tidak pernah menjelaskan siapa saja mereka, apalagi
menjelaskan untuk keperluan apa mereka berkumpul di sini.”
"Tapi setelah sering melihat mereka berkumpul, lapat-lapat aku rasakan adanya intrik dan gerakan rahasia
mereka. Orang-orang yang datang bertopeng itu tentu adalah kamrat-kamratnya yang sudah dia sogok
menjadi kaki tangannya.”
"Aku tahu, selama ini ambisinya teramat besar, tujuannya jelas menguasai jago-jago silat di Kangouw.”
"Aku berpendapat gerakannya itu hanya angan-angan yang menggelikan. Tiada tokoh besar mana pun di
Kangouw yang mampu berkuasa di Bulim, para Bengcu yang dahulu pernah terpilih, juga hanya memperoleh
nama kosong belaka.”
”Tapi engkohku sangat serius dalam usahanya, malah seperti punya cara khusus yang lain daripada yang
lain. Kanyataan orang-orang yang datang menghadiri pertemuan rahasia itu dari tahun ke tahun jumlahnya
terus bertambah.”
"Dua tahun lalu waktu perayaan Toan-ngo, yang datang sungguh luar biasa banyaknya, sikap dan tindaktanduknya
kelihatan amat semangat, gairahnya memuncak, tanpa sengaja pernah kudengar dia
menggumam, katanya sudah setengah orang-orang gagah di kolong langit ini yang sudah masuk dalam
genggamannya.”
"Ketika malam tiba, mereka berkumpul di gua yang berada di belakang gunung, letak gua itu amat strategis
dan tersembunyi, sudah menjadi ketentuan mereka, setalah masuk dan berada dalam gua, mereka pasti
tinggal dua tiga hari di sana.”
"Mereka adalah manusia, tentu harus makan minum, maka setiap hari pada jam-jam tertentu akan datang
orang-orang yang bertugas mengantar makanan dan minuman, para petugas kasar ini adalah orang-orang
yang dibikin bisu dan tuli.”
"Tahun itu, tak tertahan rasa ingin tahuku, ingin aku masuk melihat keadaan di dalam, ingin tahu siapa saja
kamrat-kamratnya yang sudah dibeli olehnya.”
"Di kala barisan pengantar makanan masuk ke dalam, aku mengenakan seragam mereka untuk berbaur dan
ikut menyelundup masuk. Aku pernah belajar ilmu tata rias, tak nyana penyamaranku diketahui juga
olehnya.”
"Syukur aku sempat melihat wajah orang-orang itu, sebab setelah berada dalam gua, mereka menanggalkan
tutup kepala. Aku keluar masuk hanya sebentar, sekilas banyak wajah mereka yang kuingat betul, sejak kecil
aku memang punya bakat yang tidak dimiliki orang lain. Bahwasanya Siau-yau-hou adalah orang yang
cerdik pandai, sekali pandang takkan pernah dilupakan.”
Bentrok Para Pendekar 07
Karya Gu Long - Gan K.H.
Bagian 7
Pin-pin bertutur lebih jauh, "Semula aku takut setelah tahu aku mengintip gerak-geriknya, dia akan marah
besar dan memberi hukuman padaku, ternyata dia tidak banyak bicara dan tidak bertindak apa-apa
terhadapku, malah hari kedua dia mengajakku jalan-jalan ke belakang gunung.
"Hatiku gembira, sebab dalam hati kecilku, betul mengharap seperti saudara tua yang lain, dia kasih dan
sayang kepada adiknya yang terkecil, bersikap baik kepadaku.”

"Maka hari itu aku berdandan rapi dan bersolek, dengan riang dan langkah ringan ikut dia tamasya ke
belakang gunung. Yaitu ngarai yang dinamakan Sat-jin-gai dimana ia sering membunuh orang-orang yang
tidak dia sukai.”
"Setelah berada di sana, mendadak sikapnya berubah, mencaci aku, katanya aku banyak mengetahui
rahasianya, katanya aku usil.”
"Kukira dia hanya memarahiku, sebab apa sebenarnya rahasia mereka, aku tidak tahu, umpama mengingat
wajah beberapa orang itu kurasa hanya persoalan kecil saja.”
”Terakhir ia memberitahu padaku bahwa orang-orang itu adalah tokoh-tokoh yang punya nama dan
kedudukan di Bulim, kalau bukan pendekar besar yang menggetarkan daerahnya, tentu Ciang-bunjin suatu
partai persilatan yang disegani. Hal ini jelas pantang diketahui orang luar bahwa mereka sudah menjadi
kamratnya, tapi di kala ... di kala aku sedikit lena, tahu-tahu aku didorongnya dengan keras, padahal di
bawah adalah jurang lebar yang dalamnya tak terukur, siapa pun yang terjatuh ke jurang, badannya pasti
hancur lebur. Mimpi pun aku tidak pernah menduga kakak kandungku sendiri tega membunuh adik
kandungnya sendiri." Bercerita sampai di sini, tak kuasa Pin-pin menahan isak tangis.
”Tapi kenyataan kau tidak mati," kata Hong Si-nio setelah menghela napas.
"Karena aku bernasib mujur," kata Pin-pin, "hari itu aku sengaja berdandan, baju yang kupakai adalah gaun
berlengan panjang yang terbuat dari sutra tebal kwalitas terbaik, lingkaran gaun bagian bawah lebar
membundar. Waktu aku melayang turun, gaun panjang itu sedikit menahan angin, hingga tubuhku meluncur
seperti menggunakan parasut, dengan sendirinya daya luncurnya menjadi lamban, hal itu memberi padaku
kesempatan untuk meraih dahan pohon yang tumbuh di dinding gunung.”
"Pohon kecil itu tak kuat manahan daya luncur berat badanku, dan akhirnya patah, tapi aku punya
kasempatan berganti napas, dengan sendirinya luncuran ke bawah lebih enteng dan lambat.”
"Untung di dinding gunung yang terjal itu tumbuh beberapa pucuk pohon, akhirnya aku berhasil menangkap
dahan pohon lagi. Jarak ketinggianku sudah tidak seberapa lagi dari dalam jurang, kecuali terluka oleh duri
semak belukar, aku jatuh di antara tumpukan tulang belulang manusia yang tak terhitung banyaknya.”
"Jurang itu dikelilingi dinding curam dan tinggi, di antara celah-celah batu banyak tumbuh pohon rotan,
umpama kera juga sukar dapat memanjat ke atas untuk menyelamatkan diri.”
"Untung di antara tulang belulang para korban itu banyak yang membawa senjata, dengan senjata mereka
aku berusaha menggali lubang sebagai tempat memanjat ke atas.”
"Dinding gunung begitu keras, sekeras besi, setiap hari aku hanya mampu membuat buat 20-30 lubang saja,
makin hari daya kekuatanku makin lemah, hasilnya juga semakin sedikit.”
"Tiap malam aku harus merambat turun ke dasar jurang yang lembab dan dingin, esok harinya baru
memanjat lagi ke atas membuat lubang, makin tinggi waktu yang dibutuhkan naik turun jelas semakin lama.
Celakanya di dasar jurang tiada barang makanan yang mudah kuperoleh untuk isi perut, air juga kudapat
dari lekuk gunung untuk kuminum, padahal airnya keruh, kondisi yang serba kekurangan makin membuat
tenagaku berkurang.”
"Aku kuat bertahan selama dua bulan, lubang yang kugali juga makin banyak lagi tinggi, tapi hasilnya baru
mencapai lamping gunung, masih jauh untuk bisa mencapai pucuk jurang. Kondisiku betul-betul sudah amat
lelah, tak nyana dari tempat kerjaku di lamping gunung, hari itu aku mendengar suara percakapannya, aku
harap dia mau mengingat hubungan saudara, mau menolong aku naik ke atas. Maka sekuat sisa tenagaku,
aku berteriak memanggil namanya ...."
Kejadian selanjutnya tidak ia lanjutkan, tapi Hong Si-nio sudah mengikuti alur ceritanya dan maklum adanya.
Mimpi pun Siau-yau-hou tidak pernah menduga, adik perempuan yang didorong jatuh ke dalam jurang masih
hidup, waktu ia mendengar panggilan adiknya dari bawah jurang, ia mengira arwah adiknya itu yang
menuntut balas padanya.
Setelah Siau-yau-hou terjun ke jurang, dengan kaget dan ingin tahu duduk persoalannya, Siau Cap-it Long
mencari tahu suara panggilan itu datang dari mana, setelah melihat di lamping gunung ada bayangan orang,
segera ia berusaha menolong dan menarik orang itu ke atas.

Dengan nada sendu Siau Cap-it Long berkata, "Waktu aku menolongnya, keadaannya sungguh tidak
menyerupai manusia normal, kondisi tersiksa membuatnya kurus kering tidak mirip manusia, laki atau
perempuan, tua atau muda pun sukar aku bedakan.”
Pin-pin menggigit bibir, tak kuasa badannya gemetar seperti orang kedinginan.
"Waktu itu aku hanya tahu satu hal. Jiwaku ditolong oleh suara panggilannya, maka dengan segala daya
upaya aku harus menolong dan mempertahankan hidupnya.”
Kondisi Pin-pin saat itu amat mengenaskan, kempas-kempis, tinggal kulit pembungkus tulang, untuk
mempertahankan jiwanya jelas bukan urusan gampang.
"Untuk menolong jiwanya, aku harus mencari seorang tabib, maka aku tidak pulang lewat jalan semula, di
belakang gunung aku mencari jalan simpang untuk turun gunung."
Hong Si-nio menghela napas gegetun, "Maka waktu Sim Bik-kun mencari kau lewat jalan yang kau tempuh,
pantas dia tidak menemukanmu."
Begitukah yang dinamakan nasib? Nasib selalu berakibat aneh, sukar ditebak, sulit diramal, akibatnya sering
terasa kejam.
Pin-pin menahan tangis, tiba-tiba ia tersenyum lebar, "Apapun yang telah terjadi, sekarang aku masih hidup,
kau pun masih segar bugar."
Mengawasi nona jelita ini sorot mata Siau Cap-it Long kembali menampilkan rona duka dan simpati, tawanya
dipaksakan, "Orang baik biasanya berumur pendek. Orang macam diriku, ingin mati, eh, tak mati juga."
"Kalau betul orang baik berumur pendek, mungkin kau sudah mati lama," demikian ujar Pin-pin. "Selama
hidupku ini belum pernah aku berjumpa dengan orang sebaik engkau."
Akhirnya Hong Si-nio mengakui, "Kalau demikian, dia memang tidak terlalu jelek."
"Ciangbunjin Tiam-jong-pay yang bernama Cia Thian-ciok adalah salah satu dari orang yang berada di gua
belakang itu."
"Jadi dia juga dibeli oleh Siau-yau-hou?" tanya Hong Si-nio.
"Kutanggung mataku tidak lamur dan tidak salah lihat," Pin-pin menegas.
"Jadi Auyang-hengte juga menjadi anak buah Siau-yau-hou?" tanya Hong Si-nio.
Pin-pin memanggut, "Baru sekarang aku tahu, orang-orang yang kulihat dalam gua adalah para tokoh
Kangouw yang di unggulkan sebagai pendekar, orang baik, orang bijak."
"Ya, tahu orang, tahu muka, tidak tahu hatinya, tidak mudah membedakan seorang baik atau jahat dari
wajah seseorang."
"Engkohku memang sudah mati, tapi organisasi rahasia itu belum bubar."
"Wah, betul begitu?" seru Hong Si-nio
“Tak lama setelah kejadian itu, dari seorang yang menjelang ajal aku memperoleh berita lain."
"Berita apa?"
"Setelah engkohku meninggal, ada seorang menggantikan kedudukannya."
"Siapa dia?"
"Tidak berhasil kutanya dia?"
"Orang mereka sendiri juga tiada yang tahu asal-usulnya."
"Mereka adalah orang-orang yang punya kedudukan dan disegani dalam kelompok masing-masing, kenapa

rela tunduk dan patuh pada perintahnya?"
"Sebab orang ini berilmu tinggi, betapa lihai kungfunya susah diukur, yang penting kunci kelemahan mereka
sudah tergenggam di tangannya."
"Kunci kelemahan apa maksudmu?"
"Yaitu rahasia pribadi mereka diketahui oleh engkohku. Mereka sendiri heran dan tak habis mengerti,
mengapa rahasia pribadinya bisa jatuh ke tangannya."
"Mereka sendiri tidak tahu?"
"Pasti tidak tahu."
"Apa orang ini punya hubungan luar biasa dengan Siau-yau-hou? Apakah sebelum ajal Siau-yau-hou telah
membocorkan rahasia mereka kepadanya?"
Semua pertanyaan itu jelas tidak terjawab, dan tiada orang yang bisa menjawab.
"Aku hanya tahu muslihat yang direncanakan engkohku sampai sekarang masih terus dikembangkan.
Agaknya seperti juga engkohku, orang ini juga punya ambisi mengekang dan menguasai tokoh-tokoh Bulim
itu, seperti malaikat menggenggam nasib hidup mati mereka."
"Maka kau suruh Siau Cap-it Long mencolok mata orang-orang yang pernah kau lihat keberadaan mereka di
dalam gua itu?"
Pin-pin memanggut pula, "Aku berpendapat orang-orang itu pantas mati, kalau komplotan orang jahat ini
semua mampus, orang lain baru bisa hidup tenteram dan damai."
Hong Si-nio mengawasi Siau Cap-it Long, "Maka kau bilang kau tidak salah membunuh mereka."
Siau Cap-it Long mengangguk, "Sekarang kau sudah mengerti duduk perkaranya bukan?"
"Tapi orang lain tidak tahu dan tidak mau tahu, maka mereka menuduhmu sebagai bangsat pembunuh yang
kejam."
"Toa-to Siau Cap-it Long memangnya bangsat. Insan persilatan mana yang tidak tahu akan kebenaran
namaku itu?"
"Kenapa tidak kau bongkar rahasia mereka di depan umum, biar orang banyak tahu mereka memang pantas
mampus."
"Mereka adalah pendekar besar, aku adalah bangsat durjana, ucapan seorang bangsat siapa mau dengar,
siapa mau percaya?" Lalu dengan tertawa Siau Cap-it Long menambahkan, "Apalagi selama hidup malang
melintang aku tidak butuh pengertian mereka, tidak butuh simpati mereka, Siau Cap-it Long dikenal punya
sepak terjang brutal, tidak peduli pendapat umum, aku bekerja sesuai isi hati dan keinginanku sendiri."
Walau sedang tertawa, namun mimiknya menampilkan betapa sedih dan pilu perasaannya. Mengawasi
wajah orang, Hong Si-nio seperti sedang berhadapan dengan seekor serigala, sebatangkara, kesepian,
kedinginan, kelaparan yang berbuat serigala menjadi ganas, serigala yang berjuang mempertahankan hidup
di tengah hujan salju lebat.
Tiap kali melihat rona muka orang, hati Hong Si-nio ikut sedih seperti ditusuk jarum. Karena ia tahu tiada
seorang pun di dunia ini yang mau mengulur tangan membantunya, yang ada hanyalah mereka yang ingin
menendangnya pergi, menendang sampai ia mati.
Siau Cap it Long tidak pernah berubah, Siau Cap-it Long tetap adalah Siau Cap-it Long.
Serigala sama dengan kambing, sama-sama hidup dan berjiwa, sama-sama punya hak untuk hidup, punya
hak berjuang dan mempertahankan diri untuk bergulat dengan nasib.
Serigala tidak selembut kambing terhadap sesama kelompoknya, serigala lebih loyal dibanding kambing,
malah lebih setia dibanding manusia. Namum dunia seluas ini, mengapa tiada tempat yang layak untuk
mereka mengembang daya hidup dalam habitatnya?

Hong Si-nio meletakkan cawan arak, tiba-tiba ia bertanya, "Masih kau ingat, lagu gembala yang sering kau
dendangkan dulu?"
Sudah tentu Siau Cap-it Long masih ingat, masih hapal.
"Setelah aku menyelami makna lagu itu, baru aku sadar kenapa kau suka lagu itu."
"O.ya?"
"Sebab kau sendiri merasa dirimu mirip seekor serigala," demikian ucap Hong Si-nio, "sebab di dunia ini
tiada orang yang lebih tahu, lebih mengerti akan kehidupan serigala yang kesepian dan terasing."
Siau Cap-it Long tidak bersuara, dia menghirup arak, arak nan getir.
Mendadak Hong Si-nio tertawa, "Umpama benar kau ini seekor serigala tulen, aku yakin bukan serigala
sembarang serigala."
"Serigala macam apa menurut pendapatmu?" tanya Siau Cap-it Long getir.
"Pek-ban-hok-long," seru Hong Si-nio.
"Pek-ban-hok-long?" teriak Siau Cap-it Long tertawa lebar. Nama ini ia rasa lucu dan menggelikan.
Tapi Hong Si-nio tidak tertawa, "Pek-ban-hok-long mungkin punya perbedaan yang amat besar dengan
serigala umumnya."
"Perbedaan apa?" tanya Siau Cap-it Long.
"Pek-ban-hok-long tidak setia terhadap rekannya sendiri," dingin suara Hong Si-nio.
Siau Cap it Long tutup mulut, jelas ia tahu apa yang dimaksud Hong Si-nio.
Mendadak Pin-pin berdiri, katanya dengan tersenyum, "Aku jarang minum arak, kepalaku terasa pusing."
Tawanya seperti dipaksakan, "Kalian teman lama, tentu ingin bercakap-cakap lebih lama, biar aku pulang
istirahat dulu."
"Baiklah," sahut Hong Si-nio. Dia bukan orang yang suka bermuka-muka, memang inilah kesempatan ia
menumpahkan isi hati dan perasaannya kepada Siau Cap-it Long.
Siau Cap-it Long juga manggut-manggut. Mengawasi Pin-pin beranjak pergi ditelan kegelapan, sorot
matanya menampilkan rasa prihatin dan kasihan.
Dingin suara Hong Si-nio, "Tak usah kau kuatir akan dirinya. Adik Siau-yau-hou memangnya tidak bisa
merawat diri sendiri?"
Pin-pin jelas bisa menjaga diri sendiri. Seorang yang telah hidup dua bulan di bawah jurang dengan kondisi
yang serba kekurangan, dimana saja kini ia berada pasti bisa beradaptasi dengan lingkungan. Apalagi di
kota besar ini mereka punya gedung megah, rumah mewah.
Entah kenapa kelihatannya Siau Cap-it Long masih kuatir saja.
Menatap orang dengan muka cemberut, Hong Si-nio berkata, "Dia menolongmu, jelas kau harus membalas
budi baiknya, tapi tidak perlu berlebihan."
"Berlebihan kau bilang?" getir suara Siau Cap-it Long.
"Paling tidak, jangan karena sepatah katanya lantas kau paksa orang menarik antingnya."
"Rasanya memang agak keterlaluan," ujar Siau Cap-it Long, "aku bersikap demikian terhadapnya bukan
tanpa alasan."
"Alasan apa?"

Siau Cap-it Long ingin bicara, tapi ditelannya kembali. Bukan dia tidak mau bicara, tapi lebih baik menahan
diri.
"Peduii apapun alasanmu, jangan lantaran dia kau melupakan Sim Bik-kun."
Begitu mendengar nama Sim Bik-kun, hati Siau Cap-it Long seperti ditusuk jarum, "Aku ... tak pernah
melupakan dia."
"Tapi sampai detik ini kau tidak pernah menyapa dirinya."
Siau Cap-it Long menggenggam kencang cawan araknya, mukanya makin pias, agak lama baru bersuara,
"Ada persoalan yang tidak ingin kubicarakan."
"Di hadapanku, masih ada persoalan apa yang tidak bisa kau bicarakan?"
"Tiada, terhadapmu tiada persoalan yang pantang kubicarakan, maka ingin kutanya kepadamu, perbuatan
salah apa yang pernah kulakukan, dia ... kenapa dia bersikap begitu terhadapku?"
"Bersikap bagaimana maksudmu?"
"Memangnya kau tidak tahu? Tidak melihat? Di atas Bok-tan-lau itu, bagaimana sikapnya terhadapku?
Sepertinya aku ini dianggap seekor ular berbisa."
"Prak", cawan arak digenggamnya pecah, pecahan cawan menusuk jari-jari tangannya, menusuk perasaan
hatinya, darah bercucuran. Namun dia seperti tidak merasa sakit, sebab sakit relung hatinya lebih tidak
tertahankan.
Mengawasi orang, sorot mata Hong Si-nio menampilkan rasa kejut dan heran, seperti tidak menyangka Siau
Cap-it Long bisa begitu menderita lantaran Sim Bik-kun.
Lama kemudian baru Siau Cap-it Long melanjutkan, "Karena sikapnya itu, bagaimana aku harus memberi
penjelasan?"
"Jadi kau tidak tahu kenapa dia bersikap begitu terhadapmu."
"Aku hanya tahu tiada orang memaksa dia untuk bersikap demikian."
"Memang tiada orang memaksa dia. Tapi kalau kau melihat dia bergandeng tangan dengan seorang pria,
melihat dia melakukan sesuatu demi lelaki itu, seperti apa yang kau lakukan untuk Pin-pin, bagaimana kau
akan bersikap terhadapnya?"
"Tapi sikapku terhadap Pin-pin hanya lantaran ...." Siau Cap-it Long seperti kuatir menyelesaikan katakatanya.
Hong Si-nio justru mendesaknya bicara, "Lantaran apa, coba jelaskan."
Muka Siau Cap-it Long kelihatan sedih, "Dalam segala hal aku mengalah demi dia, apa yang dia suka, aku
berusaha memenuhi keinginannya, karena aku tahu dia tidak akan bisa hidup lama lagi."
Hong Si-nio terperangah.
"Di lembah itu dia mengalami derita yang luar biasa, malah keracunan lagi, sudah kuupayakan dengan
segala akal, belum berhasil memunahkan racun itu, untung masih dapat kuusahakan mendesak racun agar
tidak bekerja lebih cepat, tapi ...." Sepoci arak dia habiskan, lalu sambungnya, "Paling lama ia hanya bisa
bertahan tiga tahun, sekarang sudah lewat dua tahun, usianya paling tinggal tujuh delapan bulan, bila
mendadak gawat, mungkin hanya tinggal tujuh delapan hari...."
"Maksudmu racun di badannya bisa kumat mendadak?" tanya Hong Si-nio.
Siau Cap-it Long memanggut.
Hong Si-nio menjublek sekian lama, hatinya mendelu, entah kenapa timbul simpatinya terhadap cewek yang
satu ini. Gadis cantik jelita yang cerdik pandai, ibarat bunga yang baru mekar, namun tiap waktu harus
menunggu saat layu yang tidak diketahui kapan datangnya.

"Aku tidak peduli bagaimana pandangan kalian, bagaimana keadaan dan jalan pikiran orang lain, yang pasti
hubunganku dengan dia masih putih bersih. Sebab aku tidak ingin melakukan perbuatan yang menyakiti hati
Sim Bik-kun, yakin dia juga ingin aku melakukan."
Hati Hong Si-nio juga seperti ditusuk jarum, kini ia menyesal, tiba-tiba ia insaf tadi tidak semestinya ia
menyindir Pin-pin hingga gadis itu menyingkir.
Kini baru dia betul-betul paham, benar-benar mengerti seluruh perasaan Siau Cap-it Long, meresapi
penderitaan lahir batinnya.
Tiba-tiba ia sadar hanya perempuan macam Sim Bik-kun yang pantas merasa senang bahagia, betapapun
tersiksa jalan hidupnya, ada seorang laki-laki macam Siau Cap-it Long yang mencintainya. Lalu bagaimana
diriku? Hong Si-nio bertanya kepada diri sendiri.
"Kalau aku adalah kau, aku juga akan berbuat demikian," kata Hong Si-nio, "tapi kalau tidak kau jelaskan,
orang lain mana tahu. Bagaimana Bik-kun bisa mengerti?"
"Kalau betul ia mengerti perasaan murniku terhadapnya, tidak pantas dia mencurigai aku, apalagi ..." Jarijarinya
saling genggam, lalu katanya, "Dia kemari kan juga ingin mencari Lian Shia-pik, hanya Lian Shia-pik
saja orang ... orang yang dia kuatirkan, aku ini terhitung apa?"
"Darimana kau tahu dia datang mencari Lian Shia-pik?"
"Aku tahu, ada orang memberitahu aku."
"Siapa? Siapa yang memberitahu kepadamu?"
"Hoa Ji-giok."
Mendadak Hong Si-nio menjengek dingin, "Kau percaya obrolannya? Kalau kau meresapi perasaan Sim Bikkun
terhadapmu, kenapa kau percaya ocehan orang lain, lalu mencurigai dia?"
Giliran Siau Cap-it Long yang melenggong.
"Aku heran kenapa kalian justru memikirkan derita pribadi sendiri, melupakan bahwa dia punya kesulitan
sendiri, kenapa kalian berpikir ke arah yang salah, memikirkan kejelekan orang?"
Mulut Siau Cap-it Long bungkam.
Apakah itu yang dinamakan cinta? Apakah di antara cinta itu salalu ada perasaan yang tak mungkin
dihindarkan antara curiga dan cemburu?
"Aku tidak peduli bagaimana kau berpikir, bagaimana kau memandang persoalan ini, sekarang kuberitahu
kepadamu, dia datang bukan lantaran orang lain, tapi demi engkau, orang yang Benar-benar diperhatikan,
yang dikuatirkan juga adalah engkau."
Bukankah Hong Si-nio datang juga lantaran dia? Kenapa dia memberi penjelasan untuk orang lain.
Kenapa ia tidak limpahkan saja isi hatinya yang selama ini mengeram dalam sanubarinya? Bukankah hal ini
akan membawa derita hidup sepanjang masa?
Hong Si-nio sendiri bingung kenapa ia berbuat demikian, padahal ia maklum dirinya bukan orang yang
diagungkan, bukan orang suci. Tapi ia tahu perasaan murni yang keluar dari hati yang tulus, bukan saja suci
dan agung, ajaran para nabi pun telah ia praktekkan dalam kehidupan ini.
Mendadak Siau Cap-it Long menarik tangannya, tanyanya kuatir, "Tahukah kau dimana dia?"
Hong Si-nio menggeleng kepala, "Aku hanya tahu dia ditolong orang."
"Ditolong siapa?"
"Awalnya orang itu adalah kusir kereta Hoa Ji-giok, kalau tidak salah bernama Pek-losam"

"Kusir kereta Hoa Ji-giok, kenapa menyerempet bahaya menolongnya?”
"Aku tidak tahu. Hanya dengan menemukan dia, segala persoalan akan dapat diselesaikan."
Siau Cap-it Long berjingkrak berdiri, "Hayo, sekarang kita cari dia."
Hong Si-nio menyeringai kecut, "Ya, tapi biar aku habiskan dulu semangkuk bakmi ini."
XI. JIT-SAT-TIN
Bakmi itu sudah dingin, Hong Si-nio tidak peduli, dengan lahap ia gares sampai habis.
Siau Cap-it Long menunggu dengan sabar, mengawasi orang makan ternyata juga membuatnya lega.
Pada saat itulah mendadak berkumandang suara "Trap", yang keras, menyusul tujuh bayangan orang
berpakaian hitam bagai setan gentayangan muncul bersama. Tujuh orang berpakaian hitam yang rambut
kepalanya panjang menyentuh pundak, ternyata mata mereka berlubang kosong. Tujuh orang buta.
Tangan kiri mereka memegang tongkat yang mengkilap putih, tangan kanan memegang kipas. Orang
pertama berwajah hijau membesi, tulang pipinya menonjol, dia bukan lain adalah Cia Thian-ciok yang dahulu
menjadi Ciangbunjin Tiam-jong-pay.
Hong Si-nio tetap menikmati bakminya. Tujuh orang buta mendadak muncul di tempat itu, ternyata ia berlaku
tenang, meski kaget tapi tidak gugup apalagi takut.
Dia tahu siapa ketujuh orang buta ini, juga tahu siapa pimpinannya, yaitu Jin-siang-jin. Ia dapat mengukur
tingkat kepandaian mereka. Siau Cap-it Long seorang cukup mampu menghadapinya.
Selama dua tahun belakangan ini kepandaian Siau Cap-it Long ternyata maju berlipat ganda.
Ilmu silat tak beda dengan ilmu pengetahuan, siapa rajin belajar, dia akan memperoleh kemajuan yang luar
biasa.
Ketujuh orang buta itu sudah bergerak mengurung, wajah mereka beringas.
Mendadak Cia Thian-ciok berkata, "Umpama kau tidak bersuara, aku pun tahu kau berada di sini."
"Sejak tadi aku memang berada di sini," ujar Siau Cap-it Long kalem.
"Bagus, bagus sekali," seru Cia Thian-ciok. Serempak ketujuh orang buta membuka kipas. Di atas kipas lipat
itu tampak huruf merah darah, "Bunuh Siau Cap-it Long".
Si Pincang penjual bakmi tampak ketakutan, dengan badan gemetar menyurut mundur ke pojok dinding
sebelah sana.
"Kau lihat huruf-huruf ini?" jengek Cia Thian-ciok.
Siau Cap-it Long tidak bersuara.
Hong Si-nio menjengek dingin, "Sudah tentu lihat, dia bukan orang buta."
"Bagus," desis Cia Thian-ciok penuh kebencian, "ternyata kau juga di sini."
Ternyata ia kenal suara Hong Si-nio.
"Siapa memberitahumu bahwa kami berada di sini?" tanya Hong Si-nio.
Cia Thian-ciok tidak menjawab.
"Hoa Ji-giok atau Hamwan Sam-seng?" desak Hong Si-nio.
Cia Thian-ciok tetap membungkam.

"Peduli siapa memberitahu kalian, kami tahu apa maksudnya."
"Kau tahu?" seru Cia Thian-ciok.
"Dia ingin kalian mengantar kematian," semprot Hong Si-nio, "Tapi hari ini aku tidak selera membunuh
orang, lebih baik kalian pergi saja."
Mendadak Cia Thian-ciok menyeringai lebar, mimik mukanya tampak seram dan menggiriskan. Seringai
yang penuh keyakinan, seolah-olah mereka punya rencana dan yakin dapat membunuh Siau Cap-it Long.
Cahaya lampu tampak guram, mendadak Cia Thian-ciok menggerakkan tongkat putihnya, "Cret", lampu
seketika padam. Walau matanya buta, sepertinya ia mengetahui dimana letak lampu berada, dalam tongkat
putihnya ternyata dipasang senjata rahasia, dengan mudah ia padamkan lentera ruang besar itu hingga
seketika gelap gulita.
Tiba-tiba Siau Cap-it Long berseloroh, "Banyak orang menjelang membunuh orang suka minum arak, nah
kusuguh dua cawan untuk kalian."
Cia Thian-ciok menjengek, "Yang ingin kami minum sekarang bukan arak, tapi darah."
Tepat dengan lenyap suaranya, dari kegelapan sana mendadak terdengar suara "Creng", menyusul suara
kecapi berkumandang. Irama kecapi yang bernada tinggi dengan ritme aneh dan janggal.
Mengikuti ritme kecapi, ketujuh orang buta serempak bergerak, formasinya tetap mengurung Siau Cap-it
Long, tongkat mereka ikut bergerak menari. Sinar putih tongkat mereka tampak berkelebatan di tengah
gelap, gerak kaki mereka dengan rapi mengikuti alunan kecapi yang kalem.
Pelan tapi pasti Siau Cap-it Long dan Hong Si-nio mulai merasa adanya suatu tekanan kuat. Terutama Hong
Si-nio yang sedang makan, ia tidak kuasa menghabiskan bakminya.
Irama kecapi makin cepat, langkah ketujuh orang buta makin gesit, demikian pula ayunan tongkat putih
mereka ikut kencang. Sementara lingkar pengepungan mereka juga makin mengecil, tekanan yang menindih
dan menghimpit juga terasa lebih besar.
Tongkat putih yang dimainkan di tengah udara makin rapat mirip sebuah jala, makin menyempit dan
mengkeret.
Mendadak Hong Si-nio merasa dirinya seperti ikan yang terkurung dalam jaring nelayan. Ilmu silatnya belum
termasuk taraf tinggi, tapi pengalamannya luas dan serba tahu.
Tapi ia tidak tahu ketujuh orang buta ini merangsek kencang dengan ilmu aliran mana, mereka bergerak
mengikuti dendang kecapi yang bersuara kencang dan keras, seolah mengandung, kekuatan aneh yang
menguasai pikiran mereka, bagi orang luar justru terasa gejolak yang mengganggu konsentrasi hingga hati
merasa tidak enak.
Kini perasaan Hong Si-nio berubah, dirinya seperti semut dalam wajan. Sebaliknya Siau Cap-it Long duduk
anteng di tempatnya, tidak bergerak, tanpa reaksi. Ingin rasanya gejolak perasaan yang tak tertahan ini
disiram air dingin. Untung Siau Cap-it Long keburu turun tangan dengan menggengam pergelangan
tangannya. Tangan yang kering tapi hangat. Di tengah gelap tampak bola matanya memancarkan keyakinan
dan ketenangan luar biasa.
Ditopang genggaman tangan Siau Cap-it Long, perasaan Hong Si-nio tidak sampai bergolak, hampir saja ia
terjerumus oleh pikatan irama dan belenggu kekuatan yang terus menghimpit makin keras. Piring, mangkuk
dan cawan di atas meja mulai pecah berantakan seperti diremas jari-jari iblis yang tidak kelihatan, kejap lain
meja kursi juga mulai patah dan hancur.
Menghadapi ketenangan Siau Cap-it Long, rona muka ketujuh orang buta yang semula penuh keyakinan
tampak mulai goyah, gerak-gerik mereka tampak mulai ragu, menandakan hati mulai gundah. Karena sudah
setaker kekuatan mereka menekan, ternyata tiada reaksi apapun dari kedua lawan itu, tenaga yang
digunakan jelas berlawanan, makin besar menekan musuh, tenaga yang digunakan juga makin besar. Muka
Cia Thian-ciok dan kawan-kawan sudah mandi keringat, mendadak ia membalik gerak tongkatnya terus
menyodok ke arah Siau Cap-it Long.
Pada saat yang sama, mendadak Siau Cap-it Long bersuit panjang, tahu-tahu goloknya bergerak bagai kilat,

serempak tongkat putih seluruhnya tertabas kutung menjadi dua.
Padahal tongkat putih musuh semua terbuat dari baja pilihan. Hakikatnya tiada senjata tajam macam apapun
yang mampu menebas putus besi tongkat itu, namun dilandasi kekuatan tenaga Siau Cap-it Long yang luar
biasa, perbawa tabasan goloknya itu sungguh sukar dibayangkan, tiada orang yang mampu melawan.
Golok berkelebat, tujuh tongkat patah semua. Dari kutungan tongkat yang berlubang bagian tengahnya
mendadak menyembur gulungan asap kuning, syukur saat itu Siau Cap-it Long sudah menarik Hong Si-nio
menerjang keluar dari kepungan.
Lincah sekali Siau Cap-it Long merangkul pinggang Hong Si-nio, kejap lain mereka sudah berpijak di atas
tembok. Di ujung tembok seorang duduk sambil memeluk kecapi, siapa lagi kalau bukan si timpang kurus
penjual bakmi.
“Ternyata kau," seru Siau Cap-it Long. Orang tua bermata tunggal yang timpang menggetar lima jarinya,
"Jreng", dawai kecapi putus seluruhnya, bola matanya yang tunggal berkilauan mengawasi Siau Cap-it Long.
"Kau tahu siapa aku?" tegasnya dingin.
"Hamwan Sam-coat?"
Si mata tunggal bergelak tertawa, "Sungguh tak nyana, bukan saja kau mampu mematahkan barisan tujuh
pembunuh, bahkan kau mengenali diriku juga."
Siau Cap-it Long menghela napas, "Kalau tadi aku tidak bertemu Hamwan Sam-seng, tidak terpikir olehku
adanya engkau."
"Bagus Siau Cap-it Long, kau memang cerdik pandai. Berdasar penilaianku, hari ini aku memberi
kelonggaran padamu, lekas pergi berusaha menolong cewekmu itu, terlambat sekejap lagi jiwanya takkan
tertolong."
Hong Si-nio memang tidak sadarkan diri, mulutnya terkancing kencang, buih kental mulai meleleh di ujung
mulutnya.
Mendadak Hamwan Sam-coat menjengek dingin, "Satu hal kau harus tahu, selama hidup bila Lohu turun
tangan, belum pernah pulang percuma, umpama kuberi kelonggaran padamu, kau masih harus memberi
tanda kenangan padaku."
Mendadak Siau Cap-it Long bergelak tertawa keras, "Toa-jat Siau Cap-it Long, selama hidup malang
melintang selalu menuntut barang orang lain, belum pernah aku meninggalkan kenangan untuk orang lain."
"Hari ini jelas kau harus melanggar kebiasaanmu itu," ejek Hamwan Sam-coat.
"Bagus," bentak Siau Cap-it Long, "kutinggalkan golokku."
Mendadak goloknya membacok lurus ke depan, dengan kedua tangan memegang kecapi, Hamwan Samcoat
mengangkat kedua tangannya menyongsong ke atas. "Trang", benda keras beradu, suaranya sungguh
keras memekakkan telinga. Golok yang tajam luar biasa itu ternyata tidak mampu membelah kecapi, malah
mental balik dengan getaran yang keras luar biasa.
Meminjam getaran keras beradunya dua senjata itu, tubuh Siau Cap-it Long justru membal ke atas, di udara
ia berjumpalitan meluncur sejauh empat tombak.
Didengarnya Hamwan Sam-soat bergelak tertawa, "Siau Cap-it Long, akhirnya kau meningalkan setitik
darahmu di sini."
Hanya sekejap Siau Cap-it Long sudah meluncur belasan tombak, serunya, "Darahku itu akan kubalas
dengan darahmu juga."
Cepat sakali darah membeku. Entah bagaimana dan darimana di bawah ketiak kiri Siau Cap-it Long tergores
luka sepanjang tujuh delapan senti.
Lukanya tidak sakit, tidak terasa apa-apa. Namun hati Siau Cap-it Long mencelos, perasaannya menjadi
dingin. Luka yang tidak sakit adalah luka yang berbahaya. Tanpa sangsi goloknya bekerja, segumpal kulit

daging di ketiak kirinya ia iris dengan golok, darah berhambur keluar dengan deras. Sekarang baru luka
terasa sakit lagi perih. Tanpa melihat atau memeriksa, juga tidak dibalut, ia biarkan darah terus mengalir
keluar.
Sebab Hong Si-nio perlu segera diberi pertolongan. Waktu tongkat-tongkat patah itu menyemburkan asap,
Hong Si-nio sempat menghirup sedikit hawa beracun. Siau Cap-it Long sempat menutup jalan napasnya,
meski cepat reaksinya, Hong Si-nio tetap keracunan.
Waktu Siau Cap-it Long menariknya tadi ia sudah merasakan badan orang yang lunglai, maka tanpa sangsi
ia mengempitnya untuk menyingkir dari tempat itu. Kini terasa badannya sudah mulai mengejang, mulai
dingin. Selebar mukanya sudah membeku kelabu. Hong Si-nio tidak boleh mati. Dengan cara apapun Siau
Cap-it Long harus berusaha menolong jiwanya.
* * * * *
Gedung yang besar lagi megah itu sepi lengang, api menyala benderang, namun tiada suara orang, sebab
rumah ini kosong, tiada penghuninya.
Gedung ini sudah ia beli, umpama ia tidak berada di rumah, biasanya ditunggu dan dijaga belasan laki
perempuan yang menjadi pembantunya.
Bukankah tadi Pin-pin bilang mau pulang dulu. Dimana dia sekarang, satu orang pun tidak kelihatan, lalu
dimana Pin-pin?
Pin-pin pasti menunggunya di sini, tak mungkin dia pergi sendiri. Kembali perasaan Siau Cap-it Long
tenggelam.
Untunglah untuk menyembuhkan racun di badan Pin-pin. ia melanglang buana mencari tabib sakti, walau ia
tidak tahu racun jenis apa yang digunakan dalam asap beracun musuh, namun sifat racun asap ini rasanya
tidak jauh berbeda dengan racun yang mengeram di tubuh Pin-pin.
Di gedung dimana ia merawat Pin-pin selama ini banyak disimpan berbagai jenis obat. Lekas sekali ia
bopong Hong Si-nio ke kamar dan membaringkannya di ranjang. Lekas ia membuka laci di almari bawah
ranjang Pin-pin, seketika ia berdiri melongo dan menjublek mematung, badannya seketika berkeringat dingin
seperti terjeblos dalam gudang es.
Seluruh racikan obat yang tersimpan dalam laci-laci obat di sini seluruhnya kosong. Rencana yang rapi, akal
yang licik dan langkah yang tegas.
Selama ini Siau Cap-it Long adalah pemuda yang gagah, kukuh dan tabah, menghadapi bahaya dan
kesulitan apapun tak pernah mengeluh, ia yakin dapat mengatasi dan pasti beres.
Kini ia menjublek seperti orang pikun, melenggong di pinggir ranjang, dengan nanar ia mengawasi Hong Sinio.
Membawanya lari mencari tabib untuk menyembuhkan? Atau meluruk Hamwan Sam-coat minta obat
pemunahnya? Mencari tabib untuk mengobati tidak yakin dapat berhasil, karena tabib itu belum tentu punya
obat pemunah racun dari jenis ini? Umpama ketemu tabib pandai, apa masih sempat menolongnya?
Mencari Hamwan Sam-coat, apa dia masih di tempat itu? Apakah mau memberikan obat pemunahnya?
Kalau orang menolak memberi, apakah Siau Cap-it Long yakin dapat memaksanya menyerahkan obatnya?
Tidak tahu.
Samua tidak tahu, pikiran Siau Cap-it Long kalut, gundah perasaan, salah langkah berarti jiwa Hong Si-nio
taruhahnya, betapapun ia tidak berani menyerempet bahaya. Lalu apakah ia harus berdiri mematung di sini
menunggu ajalnya tiba?
Mendadak Siau Cap-it Long sadar, keringat dingin telah membuat sekujur badannya basah kuyup, ia sadar
kini saatnya harus segera mengambil keputusan, bukan saja harus tegas mengambil keputusan, keputusan
yang cepat lagi tepat.
Tapi Siau Cap-it Long tidak yakin, tidak punya keyakinan sedikitpun. Mungkin karena ia amat
memperhatikan keadaan Hong Si-nio. Kalau di samping ada seorang yang bisa memberi saran dan usul
yang baik, mungkin bisa membantunya mengambil keputusan.
Pada saat itulah di luar ia dengar seorang mengetuk pintu. Apakah Pin-pin? Mungkinkah Pin-pin pulang?

Dengan beringas Siau Cap-it Long memburu keluar, dengan keras ia buka pintu, kembali ia melenggong.
Seseorang berdiri di luar pintu, berdiri dengan sopan dan hormat. Siapa lagi kalau bukan Hamwan Samseng.
Hamwan Sam-seng mengulum senyum, senyum lebar, senyum ramah dan hormat, senyum tulus, mirip
pedagang yang siap datang memborong dagangan.
Membesi muka Siau Cap-it Long, desisnya dingin, "Tak nyana berani kau datang kemari?"
Jari-jarinya tergenggam kencang, sedikit lagi siap menghajar dengan tinjunya.
Hamwan Sam-seng mundur dua langkah, katanya dengan tertawa lebar, "Aku datang bukan untuk berkelahi,
Maksud kedatanganku baik, ingin membantu."
"Bermaksud baik? Manusia macammu punya itikad baik?" damprat Siau Cap-it Long.
"Terhadap orang lain mungkin tidak, terhadap kalian berdua ...." dari pundak Siau Cap-it Long ia melongok
ke dalam mengawasi Hong Si-nio yang rebah di ranjang, sikapnya prihatin dan menguatirkan keadaannya,
katanya setelah menghela napas, "Terus terang aku tidak menyangka, engkohku yang tidak kenal kasihan
tega turun tangan sekejam ini padamu."
Mencorong bola mata Siau Cap it Long, "Jadi Hamwan Sam-coat adalah saudara kandungmu?"
Hamwan Sam-seng memanggut, tawanya getir, "Tapi aku bukan orang yang telengas seperti dia."
Siau Cap-it Long amat gemas, sungguh ingin menggenjotnya remuk, terhadap manusia munafik yang
durjana ini, sungguh ia kehabisan akal. Tapi ia sadar dan mengerti, dalam kondisi sekarang untuk menolong
jiwa Hong Si-nio, segalanya harus pasrah kepada orang ini.
"Kedatanganmu hendak menolong orang?" tanya Siau Cap-it Long.
Hamwan Sam-seng manggut-manggut. "Kau mampu menolongnya?" desak Siau Cap-it Long. Hamwan
Sam-seng tertawa lebar, "Kami bersaudara jarang bertemu, umpama kumpul juga tidak pernah bicara,
maklum tabiat kami berbeda, kegemaran tidak sama."
"Dalam hal apa saja kalian tidak sama?”
"Dia suka membunuh orang, sebaliknya aku suka menolong orang. Siapa yang ingin dia bunuh, aku
berusaha menolongnya."
Mendadak Siau Cap-it Long tertawa, tertawa lebar dan riang, "Kelihatannya kau lebih pintar dari dia.
Membunuh orang jelas tidak menguntungkan bagi diri sendiri, tapi menolong orang banyak manfaatnya."
Hamwan Sam-seng bertepuk tangan, serunya, "Ucapan tuan sungguh tepat, tuan mengerti hatiku."
Siau Cap-it Long menarik muka, desisnya kereng, "Untuk kali ini, keuntungan apa yang kau minta?"
"Manfaat apapun aku tidak mau, hanya saja...."
"Hanya saja apa?"
"Kalau kau menanam pohon, kalau pohon itu berbuah, milik siapa buahnya itu?"
"Jelas milikku."
"Betul, jelas menjadi milikmu. Sebab kalau kau tidak menanam pohon, bahwasanya memang tiada buah."
Berubah pula air muka Siau Cap-it Long, tapi ia mengerti apa yang dimaksud Hamwan Sam-seng.
Maka Hamwan Sam-seng melanjutkan, "Kondisinya sekarang sudah mirip orang mati, kalau aku dapat
menolongnya, berarti akulah ayah-bunda yang menghidupkannya kembali, maka mati hidupnya jelas akan
menjadi urusanku."

"Kentutmu busuk!" damprat Siau Cap-it Long murka.
"Eeh, jangan marah. Jual beli batal hubungan tetap baik, umpama tidak setuju, tak perlu kau marah besar
kepadaku." Sampai di sini ia menyurut dua langkah sambil bersoja, "Baiklah Cayhe mohon diri." Habis bicara
ia putar badan terus melangkah pergi.
Sudah tentu Siau Cap-it Long tidak membiarkannya pergi. Sekali lompat ia cegat jalan mundur orang.
Tawar suara Hamwan Sam-seng, "Tuan tidak mengizinkan aku menolong dia, terpaksa aku mohon diri,
kenapa tuan menghalangi aku?"
"Kau harus menolongnya," bentak Siau Cap-it Long.
"Aku tahu tuan punya kemampuan luar biasa," demikian ujar Hamwan Sam-seng, "kalau aku dipaksa
menolong dia, aku tidak mampu melawan, hanya saja menolong orang berbada dengan membunuh orang."
"Dalam hal apa berbeda?"
"Membunuh orang cukup sekali tabas atau satu kali jotos, jiwa orang pasti melayang. Menolong orang harus
teliti dan bekerja dengan seksama, membuang banyak tenaga dan pikiran, bila hati gelisah pikiran gundah,
sedikit ceroboh akibatnya bisa fatal, lalu siapa yang harus bertanggung jawab?."
Siau Cap-it Long tidak bisa bicara.
Hong Si-nio bisa ditolong atau bakal mati, kuncinya berada di tangan Hamwan Sam-seng, bila orang ini pergi
dan tidak mau menolong, jiwa Hong Si-nio jelas tak bisa ditolong lagi.
"Pepatah ada bilang, anggaplah kuda mati sebagai praktek percobaan penyembuhan. Kondisi Hong Si-nio
sekarang tidak beda dengan orang yang sudah mati, kenapa tidak tuan serahkan saja dia kepadaku?"
"Baiklah," teriak Siau Cap-it Long sambil membanting kaki, "kuserahkan dia kepadamu."
"Nah, begitu sudah gamblang, yang satu menyerahkan dengan tulus, yang menerima juga senang hati, satu
dengan yang lain tiada ganjalan, tiada paksa memaksa."
Siau Cap-it Long bungkam.
Hamwan Sam-seng berkata, "Maka bila nanti kubawa dia pergi, kuharap tuan jangan menyesal, juga jangan
menguntit di belakang. Kalau kau melanggar, jangan menyesal kalau aku biarkan dia mati saja."
"Lekas kau bawa dia pergi, untuk selanjutnya jangan sampai kau kepergok lagi di tanganku."
"Lewat hari ini aku akan lebih hati-hati," ujar Hamwan Sam-seng tertawa, "daripada bertemu lebih baik tidak
bersua, apalagi orang segarang kau, tidak bertemu lebih baik." Dengan tersenyum lebar penuh kemenangan
ia bopong Hong Si-nio, terus dibawa lari keluar sipat kuping.
Siau Cap-it Long hanya mengawasi dengan mata melotot, tiada akal untuk berbuat apa-apa. Jelas hatinya
tidak rela, pantang menyerahkan Hong Si-nio ke tangan Hamwan Sam-seng. Tapi Hamwan Sam-seng
sudah membawa Hong Si-nio, bayangannya sudah tidak kelihatan lagi.
Siapa kiranya yang menculik Pin-pin, siapa pula yang menguras semua racikan obat? Pasti Hamwan Samseng,
tadi lukanya tidak parah, setelah pergi ia tidak berlari jauh. Dalam pertemuan yang tidak terduga, Siau
Cap-it Long dan Hong Si-nio diliputi rasa senang dan kaget, maka mereka tidak memperhatikan keadaan di
luar, apalagi hubungan mereka selama ini blak-blakan, tiada rahasia yang takut diketahui orang lain. Mereka
hanya ingih makan bakmi, lain tidak, kenyataan agak lama kemudian baru menemukan orang tua pincang
yang berjualan bakmi. Waktu sepanjang itu cukup lama bagi Hamwan Sam-seng untuk meringkus penjual
bakmi tulen, lalu menyuruh Hamwan Sam-coat menyaru jadi penjualnya.
Siau Cap-it Long belum hapal seluk-beluk kota ini, jelas tidak kenal siapa sebenarnya penjual bakmi di
pinggir jalan yang asli, apalagi hakikatnya ia tidak kanal dan belum pernah bertemu Hamwan Sam-coat.
Di Kangouw banyak perserikatan atau komplotan orang-orang cacad, setelah menjadi orang buta, Cia Thianciok
masuk menjadi anggota komplotan cacad itu. Hamwan Sam-coat kebetulan adalah pentolan dari
kawanan orang cacad itu.

Bukan mustahil Jin-siang-jin juga adalah salah satu dari pentolan cabang mereka.
Dengan Jit-sat-tin atau barisan tujuh pembunuh yang mereka ciptakan, mereka pikir cukup mampu
mengurung dan membunuh Siau Cap-it Long. Ternyata lawan yang satu ini memang musuh bangkotan
berkepandaian tinggi, rencana yang diatur rapi hanya berhasil setengah jalan, yaitu Hong Si-nio keracunan.
Waktu Pin-pin meninggalkan hotel dan pulang ke rumah, mungkin Hamwan Sam-seng menguntit di
belakangnya, ilmu silatnya walau aneh dan lihai, tetapi kondisinya teramat lemah, maka dengan mudah ia
dibekuk Hamwan Sam-seng.
Kepandaian Hamwan Sam-seng hakikatnya jauh lebih tinggi dari nilai lahirnya, setelah Hong Si-nio
keracunan, dia yakin Siau Cap-it Long pasti akan membawanya pulang dan menolongnya di rumah. Setelah
pikiran tenang dan gejolak hatinya tenteram, Siau Cap-it Long bisa manduga dan meraba semua tipu daya
yang diatur Hamwan Sam-seng, sekarang ia harus berusaha bagaimana menolong Hong Si-nio dari tangan
Hamwan Sam-seng. Persoalannya adalah bagaimana ia bisa menemukan tempat tinggalnya?
Hamwan Sam-seng adalah orang yang cermat dan teliti, dalam hal berpakaian dan penyamaran cukup ahli,
penampilannya tidak banyak beda dengan kebanyakan orang. Rumah di kota ini ada ribuan, rumah
sebanyak itu, mungkin ia tinggal di hotel, rumah atau toko kelontong, kedai nasi atau di loteng sebuah rumah
plesiran.
Hamwan Sam-seng mungkin membuka toko kain sutra yang juga membuka tailor, atau rumah hiburan
tingkat tinggi, mungkin juga tinggal di bungalau di pinggir kota yang dikelilingi hutan atau danau nan indah.
Penghuni kota mungkin tidak banyak yang kenal Hamwan Sam-seng, siapa Ang Ban-seng juga tiada yang
kenal, kecuali juragan Gu dan Lu. Sebagai orang yang cerdik pandai dan cermat, segala kelemahan dan
kelebihan sudah diperhitungkan dan diatur dengan baik, siapa tahu rahasia mereka, mungkin sudah
dibungkam mulutnya, alias dilenyapkan jiwanya.
Meski otaknya diputar kayun, pusing tujuh keliling, sukar juga bagi Siau Cap-it Long menebak dimana kirakira
tempat tinggal Hamwan Sam-seng yang menyembunyikan Hong Si-nio. Memangnya tiap rumah tiap
keluarga ia geledah satu per satu?
Bulan sabit bergantung di cakrawala, Siau Cap-it Long duduk di undakan batu, hawa terasa dingin, udara
mulai berkabut. Mendadak Siau Cap-it Long berjingkrak berdiri terus menerjang keluar.
Akhirnya terpikir sebuah cara, suatu akal, meski bukan cara yang baik, apa salahnya dicoba.
XII. NASIB MEMPERMAINKAN ORANG
Peduli rumah makan besar kecil, ramai atau sepi, kalau malam setelah tutup pasti ada pelayan atau kacung
yang tidur dan menunggu di sana.
Di antara para kacung itu pasti ada yang tahu dimana tempat tinggal para juragannya. Sebab kalau ada
keperluan penting, mereka harus pergi memberitahu sang juragan.
Bok-tan-lau jelas tidak terkecuali.
Sekali tendang Siau Cap-it Long membikin pintu besar Bok-tan-lau jebol, langsung ia menerjang masuk
terus mencengkeram baju dada sang kacung yang tidur telentang di atas meja.
"Kalau tidak ingin mampus, segera kau bawa aku menemui juragan Lu, atau kau mampus di tanganku."
Siapa pun tak ingin mati. Terutama orang yang sudah tua, Makin lanjut usia makin takut mati.
Apalagi lelaki tua ini kenal Siau Cap-it Long. Seorang yang dengan gampang mengancam Liu-soh-ciu
menjual anting, seorang lelaki yang royal duit dengan melempar laksaan uang ke jalanan, kapan saja
dengan mudah bisa mencabut jiwanya.
Jawaban kakek tua yang ketakutan itu jelas dan pendek, "Kuantar kau ke rumahnya."
"Juragan Lu tinggal di gang itu, rumah ketiga sebelah kiri." Setelah bicara, kakek tua ini jatuh pingsan. Esok

harinya waktu ia siuman di pinggir jalan, ia dapatkan dirinya mengenakan pakaian yang kemarin melekat di
badan Siau Cap-it Long, dalam kantong bajunya berisi uang lima ratus tahil uang kertas.
Setelah berganti baju dengan pakaian kakek itu, Siau Cap-it Long memburu masuk ke dalam gang, terus
menggedor pintu dengan keras di rumah ketiga sebelah kiri.
Cukup lama kemudian baru ada suara orang dari dalam, suara perempuan yang uring-uringan, "Siapa di luar
yang menggedor pintu?"
Sengaja dengan napas memburu Siau Cap-it Long menjawab dengan keras, "Inilah aku, Lau-thang dari
hotel, juragan Lu kena perkara, menyuruh aku pulang memberi kabar orang di rumah."
Dua hal sudah ia perhitungkan dengan cermat.
Juragan Lu pasti tidak ada di rumah. Orang di rumahnya pasti tidak semua mengenal siapa pelayan hotel
atau restoran yang dibuka majikannya, umpama ada satu yang keliru perhitungan, rencananya bakal gagal
total. Ternyata dugaan Siau Cap-it Long betul.
Seorang perempuan tua usia pertengahan dengan rambut kepala awut-awutan memburu keluar dan
bergegas membuka pintu, "Ada urusan apa? Juragan Lu kena perkara apa?"
Siau Cap-it Long pura-pura gugup, "Aku tidak tahu perkara apa, aku sudah tidur, mendadak juragan Lu
masuk dari belakang, menyuruhku jangan bergerak, lalu dia mundur bersembunyi ke bawah meja. Kejap lain
dua orang bermuka beringas memburu masuk, dengan mudah ia menemukan juragan Lu di bawah meja,
mereka bertarung seru, akhirnya juragan Lu kalah, kebetulan roboh di atas badanku, dia berbisik
menyuruhku pulang memberi kabar supaya mencari orang untuk menolongnya."
Perempuan setengah umur itu adalah bini juragan Lu, mendengar cerita sang pelayan, mukanya menjadi
pucat ketakutan, "Dia suruh aku mencari siapa? Menolongnya dimana?"
Siau Cap-it Long menggeleng kepala, "Aku tidak tahu, baru dua patah kata berpesan, dia diseret kedua
orang itu. Lebih baik sekarang aku pergi ke kantor opas saja."
Dalam hal ini ia memperhitungkan tiga hal. Karena mendesak dan gelisah, keluarga atau bini juragan Lu tak
mungkin mengecek kebenaran beriia itu. Sebagai bini yang sudah sekian tahun menjalin keluarga, kalau
sang suami melakukan perbuatan melanggar hukum di luar, umpama benar keluarganya tidak diberitahu,
sedikit banyak sang bini tentu tahu liku-liku perbuatan sang suami. Dalam keadaan segenting ini, mana
berani melapor kepada pihak keamanan kota.
Bentrok Para Pendekar 08
Karya Gu Long - Gan K.H.
Bagian 8
Sebagai orang yang berlaku teliti, mungkin biasanya juragan Lu memberitahu sang isteri, bila suatu ketika
dirinya tersangkut perkara yang gawat, dia harus menghubungi seseorang untuk menolong dirinya.
Siau Cap-it Long sadar, kedua perhitungannya tidak meleset. Baru saja da bilang akan melapor kepada
opas, perempuan itu segera mencegah dirinya, lalu bersikap tenang, katanya dengan muka kaku, "Aku
sudah tahu urusannya, akan kuurus sendiri, kau tak usah ikut campur, lekas pulang dan jaga hotel."
"Blang", tanpa menunggu reaksi dan komentar Siau Cap-it Long, ia menutup pintu.
Siau Cap-it Long pura-pura pamit. Jelas tidak pergi, tapi bersembunyi di ujung gang yang gelap, lalu melejit
tinggi hinggap di wuwungan rumah tetangga.
Hanya menunggu sebentar, bini juragan Lu tadi membuka pintu rumah, dengan langkah gopoh keluar dari
gang. Jelas akan pergi memberi kabar entah siapa. Apakah Hamwan Sam-seng?

Mendadak Siau Cap-it Long merasakan jantungnya berdebar kencang, jalur penyelidikannya ini adalah satusatunya
yang dapat dipercaya, satu-satunya yang ada harapan.
Setelah keluar dari gang tempat tinggalnya, nyonya Lu masuk ke gang lain di ujung jalan sana. Waktu Siau
Cap-it Long membuntutinya ke sana, tampak dia sedang mengetuk pintu.
Dari dalam pintu berkumandang suara seorang perempuan dengan nada tinggi, "Siapa di luar, tengah
malam buta menggedor rumah orang? Mau cari setan?"
"Eh, cepat buka, inilah aku, adik misanmu kena perkara, cepat buka pintu."
Rumah ini tempat tinggal keluarga juragan Gu, karena suaminya terlibat perkara, siapa lagi kalau tidak
mencari bantuan kepada adik misannya?
Seorang perempuan tengah baya kurus tinggi bergegas membuka pintu, suaranya ikut kuatir, "Kena perkara
apa? Bangkotanku juga tiada di rumah, wah bagaimana baiknya?"
Bahwa juragan Gu tidak di rumah, sudah dalam dugaan Siau Cap-it Long. Entah apa yang dibicarakan dua
perempuan tengah baya itu, mereka kasak-kusuk sekian lama entah persoalan apa yang dibicarakan,
akhirnya mereka menyuruh seorang kacung menyiapkan gerobak, mereka segera pergi naik gerobak.
Karena terpaksa, akhirnya mereka seperti ingin mencari seseorang yang dipercaya dapat menyelesaikan
persoalan ini.
Gerobak kuda itu cepat sekali dibedal ke arah timur, tujuannya jelas ke arah luar kota, saat itu tepat
menjelang subuh, saat paling gelap waktu menjelang fajar, jalan sepi sekeliling senyap. Dengan enteng Siau
Cap-it Long melompat tinggi, lalu hinggap di belakang gerobak yang bergontai.
Dua wanita dalam gerobak ternyata tiada yang bersuara, suami kena perkara jelas hati mereka gundah,
mana ada minat berbincang, tapi Siau Cap-it Long makin heran dibuatnya karena keadaan yang sunyi lagi
terasa aneh. Tengah ia pasang kuping, telinganya mendengar suara aneh, suara orang sedang makan
sesuatu.
Perempuan Soh-ciu umumnya suka makanan serba manis, dari celah-celah jendela Siau Cap-it Long
mengintip ke dalam, dilihatnya kedua perempuan tua ini lagi asyik menikmati permen jahe. Kalau minat
bicara saja tiada, kenapa malah mengunyah permen jahe begitu lahap?
Jari jemari Siau Cap-it Long mendadak menjadi dingin. Sekilas ia memikirkan beberapa hal yang tidak
masuk akal.
Tengah ia menggedor pintu orang, yang membuka bagaimana mungkin istri pemilik rumah?
Bukankah di rumah ada kacung atau pelayan, memangnya pergi kemana para pembantunya itu?
Seorang perempuan baya di hadapan adik misan sendiri, mengapa menyebut suami sendiri sebagai
bangkotan tua? Dalam kondisi seperti ini rela mengayun langkah mencari orang, mana mungkin membawa
permen segala?
Mendadak Siau Cap-it Long sadar, lima enam hal yang diperhitungkan tadi hakikatnya salah besar, jelas
satu dengan yang lain tidak cocok dan pantas diragukan kebenarannya. Tujuan mereka memancing dirinya
ke tempat ini jelas adalah memancing harimau meninggalkan sarang, sengaja membawa dirinya keluar kota.
Bukan mustahil mereka sudah tahu siapa dirinya.
Jika demikian Hamwan Sam-seng pasti masih berada di kota, di suatu tempat yang tak terpikir dan diduga
Siau Cap-it Long.
Hamwan Sam-seng sepertinya tahu benar titik kelemahan jiwa manusia umumnya.
Tiba-tiba Siau Cap-it Long melambung tinggi berjumpalitan mundur ke belakang, dengan kecepatan kilat
memburu balik ke rumah juragan Lu. Rumah ini terang benderang, terdengar percakapan orang. "Entah
juragan ada perkara apa, semoga sang junjungan melindungi dia pulang dengan selamat."
Perasaan Siau Cap-it Long kembali mengendap, hatinya mencelos, apakah dia salah perhitungan pula.

Dari dalam rumah berkumandang suara perempuan tua berkata, "Toanio keluar kota mencari orang, entah
bisa ketemu tidak."
Apa benar mereka keluar pintu mencari orang?
Saking gemas dan gegetun, ingin rasanya Siau Cap-it Long menggampar pipi sendiri, titik terang kembali
bercahaya dalam sanubarinya. Lu-toanio berdua naik gerobak langsung berangkat dari gang sebelah,
menjelang berangkat juga tidak berpesan mau pergi kemana, dua orang perempuan di rumah ini darimana
tahu mereka keluar kota?
Mungkinkah jebakan yang mengaburkan, supaya orang salah menduga bila seseorang datang kembali,
sehingga bingung dan sukar mengambil keputusan. Hamwan Sam-seng memang seorang yang cermat lagi
banyak tipu daya.
Di dapur ada dian menyala, saat seperti ini jelas takkan ada orang menyulut api untuk masak nasi. Apalagi
keluarga yang memperhatikan keselamatan tak mungkin menyulut dian semalam suntuk mengingat bahaya
kebakaran. Tanpa banyak pikir Siau Cap-it Long menerjang masuk.
Di dapur hanya ada dian, tiada orang. Di pojok sana ada seonggok kayu bakar yang siap digunakan untuk
memasak. Tapi setelah diteliti, dalam tungku sudah penuh disiapkan batu bara. Kalau biasa memasak nasi
pakai batu bara, lalu untuk apa seonggok kayu bakar? Siau Cap-it Long menarik napas panjang, hatinya
lega dan bersyukur, akhirnya ia menemukan tempat yang dicarinya.
Setelah ia pindahkan onggokan kayu bakar itu, di bawahnya ternyata adalah lubang yang menjurus ke
lorong bawah tanah. Terlebih dulu ia angkat sebuah ubin dan dipindahkan ke pinggir, baru kemudian
beranjak turun menapak undakan batu. Dalam lorong ada dua pintu, pintu terdepan terbuka lebar.
Belasan langkah kemudian Siau Cap-it Long dihadang sebuah pintu kayu, tebal dan berat, jelas amat kokoh,
pintu tertutup dan dikunci dari dalam.
Perlahan Siau Cap-it Long mencabut golok, sekali bacok disusul tendangan dahsyat, segera dilihatnya
Hamwan Sam-seng berada di situ.
Di dunia ini yakin takkan ada orang pernah melihat Hamwan Sam-seng terkejut, amat kaget, malah dengan
terbeliak ia mengawasi Siau Cap-it Long, lama sekali baru menarik napas panjang, "Akhirnya kau datang
juga."
Kamar di bawah tanah ini dipajang mewah, indah lagi berseni, di ujung kanan masih ada sebuah ranjang
besar yang empuk dengan seprei dan bantal guling yang bersulam indah. Hong Si-nio tampak lelap di dalam
selimut tebal, wajahnya masih kelihatan kelabu, pipinya sudah bersemi merah.
Siau Cap-it Long menarik napas panjang, "Kau tidak menduga bukan?"
Akhirnya Hamwan Sam-seng menjadi tenang juga, katanya dengan tersenyum lebar, "Sungguh tak pernah
kuduga. Sebab sepantasnya kau tidak datang kemari."
"O?" Siau Cap-it Long bersuara di hidung.
"Kau sudah berjanji padaku, pasti tidak ingkar dan tidak menguntitku."
"Aku tidak ingkar, juga tidak menguntitmu. Aku datang karena urusan lain."
"Urusan lain? Apa itu?"
"Akan kubunuh kau," desis Siau Cap-it Long. Jawabannya jelas tegas dan terus terang. Golok sudah berada
di tangan.
Sorot mata Hamwan Sam-seng beralih dari mata ke goloknya.
Mendadak ia merasa dirinya sudah terkurung dalam cahaya kemilau golok sakti dan tatapan mata orang
yang berkilat.
Dingin suara Siau Cap-it Long, "Kali ini jangan kau mengancam dengan jiwa dan raga Hong Si-nio. Sebab
jika jarimu bergerak, golokku tidak akan memberi ampun kepadamu."

Hamwan Sam-seng tertawa, "Sekarang Hong Si-nio sudah menjadi milikku, buat apa kugunakan dia untuk
mengancammu?"
"Kalau kau sudah mampus, dia sudah bukan milikmu lagi."
Hamwan Sam-seng manggut-manggut, ia mengerti, "Kalau demikian, kenapa tidak kau bunuh aku saja. Apa
kau masih ingin keterangan Pin-pin?"
"Benar."
"Aku sudah akan mati, kenapa jejak Pin-pin harus kuberitahu kepadamu?"
"Waktu pertama aku melihat dirimu, aku tahu bahwa kau adalah musuh yang tidak mudah dihadapi,
penglihatanku ternyata tidak salah."
"Aku toh pedagang, siapa saja kalau bicara jual beli dengan aku, urusan gampang diselesaikan."
"Maksudmu aku harus membebaskanmu baru kau akan menjelaskan jejak Pin-pin?"
"Kau tidak rugi dalam jual beli ini. Kan kau sendiri yang bilang, membunuh orang tidak menguntungkan untuk
diri pribadi."
"Mana aku tahu kalau kau bicara jujur?"
"Modal utama seorang pedagang adalah kepercayaan, kalau aku tidak bisa dipercaya, siapa mau berdagang
dengan aku?"
Memangnya Siau Cap-it Long tidak ingin membunuhnya. "Baik," katanya kemudian, "Barter ini jadilah,"
"Nah, betul kan? Tidak sukar bukan berdagang dengan aku?"
"Pin-pin dimana?"
"Aku sudah menjualnya kepada orang lain."
Berubah air muka Siau Cap-it Long.
"Aku ini pedagang, pedagang harus berdagang, apalagi kulihat dia keracunan cukup parah, kalau
kupertahankan, salah-salah aku malah sibuk mengurus jenazahnya."
"Kau jual kepada siapa?"
"Kemarilah, kau pindah kemari, biar aku berdiri di ambang pintu, nanti kujelaskan."
Terpaksa Siau Cap-it Long harus mengendalikan diri, dalam posisinya sekarang memang tiada pilihan lain,
terpaksa ia menyingkir.
Setelah beranjak ke pinggir pintu, barulah Hamwan Sam-seng berkata, "Aku menjualnya kepada Hoa Jigiok."
Bergetar badan Siau Cap-it Long, "Hoa Ji-giok berada dimana?"
"Aku tidak tahu," sahut Hamwan Sam-seng, "tapi aku tahu dia juga seorang pedagang, barang yang dia tarik
kembali dengan harga tinggi pasti takkan dikangkangi sendiri, bila harga penawaranmu benar, mungkin dia
mau mengembalikan Pin-pin kepadamu dalam keadaan sempurna alias segelnya belum terbuka."
"Tadi dia berada dimana aku tidak tahu, cara bagaimana harus mencarinya?"
"Jangan kuatir, nanti akan datang kesempatan untukmu, karena dia juga tahu kau ini pembeli yang berani
menawar dengan harga tinggi." Dia sudah berada di luar pintu, mendadak putar balik lalu berkata dengan
tertawa lebar. "Ada satu hal perlu kuberitahu kepadamu."
"Hal apa?"

Tawa Hamwan Sam-seng penuh misteri, katanya serius, "Meski kau berhasi! merebut kembali Hong Si-nio,
tapi kau akan menyesal sekali."
Siau Cap-it Long sudah menyingkap selimut, akhirnya ia turunkan kembali, dengan selimut tebal itulah ia
membungkus badan Hong Si-nio dengan kecepatan tinggi. Dia takut Hamwan Sam-seng menutup pintu
lorong bawah tanah.
Ternyata Hamwan Sam-seng tiada niat seperti dugaannya, sebab ia sadar perbuatannya itu akan sia-sia,
mengingat Siau Cap-it Long membekal golok sakti yang tajam luar biasa.
Siau Cap-it Long malah tidak mengerti dan menjadi bingung dibuatnya.
Ia tidak habis mengerti dalam hal apa ia bisa dibuat menyesal sekali. Hong Si-nio yang dibungkus dalam
selimut tebal itu mirip orok kecil yang telanjang bulat. Sejauh ini dia masih pingsan.
Siau Cap-it Long tidak ingin kembali ke tempat semula, tidak akan kembali ke Lian-hun-lau, tempat itu tidak
aman lagi. Maklum kalau membawa seorang telanjang yang dibungkus selimut tebal, kemana saja pasti
serba salah, apalagi saat akan mendekati fajar, memangnya dia harus membawa Hong Si-nio keluyuran di
jalan raya? Maka terpaksa ia harus memilih tempat.
* * * * *
Hotel kecil itu berada di daerah sepi di pinggiran kota, rumah petak yang rendah, gelap dan lembab, jendela
ditutup kertas yang sudah buram menguning.
Duduk di pinggir ranjang, Siau Cap-it Long mengawasi Hong Si-nio, terasa kelopak matanya makin berat
seperti diganduli benda berat. Malam ini sungguh terasa amat panjang, hampir sepanjang malam dia tidak
sempat bernapas lega, pengaruh arak juga sudah menjadi tawar.
Saat seperti ini memang waktu datangnya rasa penat dan kantuk.
Di rumah dan di kamar ini justru hanya terdapat sebuah ranjang, tidak besar, kotor dan lusuh, di pinggir
ranjang ada bangku panjang, dia tidak mungkin tidur berdiri, tak bisa tidur di bangku panjang. Hong Si-nio
tak mungkin dibiarkan sendiri dalam kamar. Entah kenapa rasa kantuk kali ini betul-betul susah ditahan,
selama malang melintang di Kangouw, belum pernah ia merasa badan seletih kali ini, hal ini sungguh
membuatnya tidak mengerti, kenapa dalam kondisi seperti ini dirinya justru berubah lemah tak berdaya,
mungkin pengaruh luka di bawah ketiak yang banyak mengeluarkan banyak darah itu? Atau sisa racun di
lukanya belum tuntas? Hal ini sudah tak dipikir lagi, akhirnya ia roboh, telentang di atas ranjang. Ia yakin
Hong Si-nio kawan lama yang berjiwa besar dan luhur, bila siuman nanti, dirinya tentu tidak disalahkan,
apalagi saat itu dia masih tidur nyenyak.
Begitu jatuh di ranjang, begitu mata terpejam, Siau Cap-it Long langsung tertidur, sayup-sayup ia seperti
mendengar rintihan Hong Si-nio, keluhan aneh yang merangsang, sayang ia sudah tidak bisa membedakan
suara apakah itu.
Waktu merebahkan Hong Si-nio di ranjang tadi, melihat muka Hong Si-nio tampak merah, semu merah yang
aneh, sayang ia tidak sempat memperhatikan. Dalam kegelapan nan tenteram, asyik-masyuk, dirinya seperti
jatuh dalam pelukan kekasih, dengan kencang mereka bergumul.
Mendadak suasana berubah menjadi dingin, di saat terasa dingin itulah, mendadak terasa adanya gumpalan
halus yang membara jatuh dalam pelukannya, begitu halus, hangat berubah membara, bara yang tidak akan
menghanguskan badan orang, hangat yang mengantar dirinya masuk surga dunia. Sekuatnya ia berusaha
membuka mata, lapat-lapat ia melihat bola mata Hong Si-nio.
Bola mata Hong Si-nio juga memancarkan bara yang menyala, dengan kencang dia memeluk dan
menggeluti dirinya, sekujur badan bergetar saking bernafsunya, getaran yang tak bisa dibayangkan dengan
nyata. Badan yang telanjang nan montok serta seksi begitu membara bagai segumpal lahar yang berkobar.
Mendadak ia dapati dirinya juga sudah telanjang bulat.
Dengus napas Hong Si-nio yang merangsang seperti memohon, meminta, mencurahkan isi dan keinginan
hatinya. Selama ini belum pernah ia curahkan isi hatinya, belum pernah berani dinyatakan secara gamblang.
Memangnya sekarang dia sedang mabuk?

Bukan mabuk, tapi lebih menakutkan daripada mabuk, Bahwasanya perawan yang sudah kelewat umur ini
seperti tak mampu mengendalikan diri, kehilangan kesadaran, begitu ingin, perlu dan harus, membuatnya
tak kuasa mengendalikan diri. Badannya halus, harum mirip gadis belasan yang masih ingusan, tapi gerakgeriknya,
dengus napas dan rintihannya mirip perempuan jalang yang dirasuk nafsu birahi.
Obat penawar racun yang diberikan Hamwan Sam-seng pasti dicampur obat lain yang membangkitkan nafsu
yang selama ini tertekan.
Hamwan Sam-seng pasti tidak menyangka bahwa Siau Cap-it Long menolongnya. Jelas semua persiapan
ini diperuntukan kebutuhan Hamwan Sam-seng sendiri.
* * * * *
Tapi nasib memang mempermainkan orang. Takdir memang mempertemukan Hong Si-nio dengan Siau
Cap-it Long.
Bahwasanya hubungan baik mereka selama ini terbatas dalam norma-norma santun, tak mungkin terjadi
peristiwa tragis ini. Kejadian kali ini memang tak pernah diduga sebelumnya. Siau Cap-it Long bukan lagi
mabuk arak, yang benar adalah mabuk asmara, bisakah mabuk asmara ia tolak, tidak bisa dan tidak ingin
menolak, karena nafsu juga telah membakar birahinya, apakah ini dalam mimpi? Anggaplah benar dalam
mimpi, memangnya kenapa kalau mimpi? Sayang sekali, seindah apapun mimpi akhirnya akan sadar, bila
sudah tiba saatnya orang akan siuman.
Waktu Siau Cap-it Long terjaga dari tidurnya, sadar sesadar-sadarnya. Dalam kamar tinggal dia seorang diri.
Apakah mimpi semalam memang kenyataan? Bau harum masih melekat di ranjang. Napas Siau Cap-it Long
masih merasakan bau harum di selimut, tak bisa dibayangkan bagaimana perasaan Siau Cap-it Long kala
itu.
Sampai detik ini, dia masih belum memahami Hong Si-nio. Ternyata ia orang pertama yang meniduri Hong
Si-nio. Apakah selama ini Hong Si-nio memang menanti dirinya?
Kejadian yang tidak pantas terjadi, kenapa mendadak terjadi?
"Kalau kau membawanya pergi, kau akan menyesal sekali."
Ucapan Hamwan Sam-seng terngiang di telinganya. Baru sekarang ia paham arti perkataan ini, apa betul ia
merasa menyesal?
Perempuan seperti Hong Si-nio, berkorban karena dirinya; menelantarkan masa remajanya, mengabaikan
hidup bahagia, akhirnya dia serahkan juga segalanya kepada dirinya. Memangnya pantas dirinya menyesal?
Kejap lain terbayang olehnya Sim Bik-kun, wajah Pin-pin nan molek dan harus dikasihani, bukankah kedua
nona itu juga telah berkorban banyak bagi dirinya? Apakah mereka harus dilupakan, dicampakkan, lalu
berumah tangga dengan Hong Si-nio? Atau sebaliknya meninggalkan Hong Si-nio? Seperti diiris-iris
perasaan Siao Cap-it Long. Persoalan ini jelas tak mungkin diselesaikan seadirian.
Kini dimanakah Hong Si-nio? Karena malu diam-diam dia minggat? Umpama benar minggat, ia tidak boleh
mengabaikannya begitu saja, kejadian itu telah menjadi kenyataan, selama hidup akan selalu menjadi
kenangan, kalau kenyataan ini ada, maka persoalan ini harus diselesaikan. Siau Cap-it Long berkeputusan
untuk menghadapi persoalan ini secara jantan, ia tidak akan lari dari tanggung jawab.
Pada saat itulah pintu kamar mendadak didorong terbuka dari luar, sebuah benda melayang masuk dari luar
pintu. Sebungkus pakaian. Pakaian lengkap untuk seorang lelaki, maksudnya lengkap jelas termasuk
pakaian dalam, kaos kaki, sepatu rumput, celana dan baju, semua serba baru, dari kain sutra yang bermutu
tinggi.
Baru sekarang Siau Cap-it Long sadar, pakaian yang dipakainya waktu kemari, yaitu pakaian pelayan hotel
yang ia lucuti sudah tidak kelihatan, hilang, tentu dipakai Hong Si-nio untuk keluar. Sebungkus pakaian jelas
tak mungkin melayang masuk sendiri, di luar jelas masih ada seseorang.
Dengan kecepatan yang paling cepat, Siau Cap-it Long mengenakan pakaian lengkap dengan kaos kaki dan
sepatu, baru saja ia berdiri, Hong Si-nio sudah muncul di ambang pintu.
Cewek ini juga mengenakan pakaian serba baru, dengan bersolek, rambut disanggul serba rapi dan elok,

mirip benar dengan seorang mempelai perempuan yang akan ke pelaminan. Mempelai perempuan!
Berdetak keras jantung Siau Cap-it Long, sikapnya menjadi kikuk, serba salah dan blingsatan, duduk salah
berdiri juga tidak benar. Biasanya ia seorang lugas, lelaki bertemperamen keras dan tegas, tak malu-malu,
sekarang mendadak berubah menjadi serba salah, seperti kehabisan akal bagaimana ia harus bersikap
menghadapi cewek yang satu ini.
Tapi Hong Si-nio seperti tidak berubah, bukan abadi, tapi dia lebih bebas dan wajar, masih ada sebungkus
besar barang dijinjing di tangannya, entah apa isinya, begitu masuk kamar ia tuang bungkusan itu ke atas
ranjang, katanya dengan tersenyum lebar, "Sekarang aku baru mengerti, kenapa perempuan suka pergi
belanja, ternyata berbelanja punya seni dan makna tersendiri, peduli barang yang kau beli berguna atau
tidak, waktu kau membelinya, tindakanmu itu sudah merupakan kenikmatan, kepuasan tersendiri."
Siau Cap-it Long manggut-manggut.
Menghamburkan uang memang sebuah kepuasan, kenikmatan, hal ini sudah menjadi kebiasaan dan
diresapi benar-benar oleh Siau Cap-it Long.
"Coba kau terka, aku beli apa saja? Kalau kau bisa menebak, terhitung kau memang jenius."
Siau Cap-it Long geleng-geleng, ia tak bisa menebak.
"Aku membeli sebuah cermin yang dipasang di atas pigura dengan ukiran kembang dan sepasang burung
Hong, kubeli seperangkat kotak khusus untuk bahan-bahan kosmetik, kubeli sepasang patung orok kecil laki
perempuan yang terbuat dari tanah liat buatan kota Bu-sik. Sebuah swan-lo yang biasa digunakan nenek
untuk membakar kayu cendana, sebuah pipa cangklong yang biasa digunakan kakek untuk mengisap
tembakau, kubeli juga lima pasang gambar hiasan kamar, sebuah topi bulu musang." Sampai di sini ia
menghela napas panjang, lalu melanjutkan, "Padahal aku mengerti, barang-barang ini. semua tidak berguna
buatku atau untukmu, tapi melihat barang-barang ini, tak tahan untuk tidak membelinya. Aku senang para
pelayan waktu menjilat pantat membujukku untuk membelinya."
Siau Cap it Long hanya mendengarkan saja. Mendadak Hong Si-nio mengangkat kepala, melotot dan
bertanya, "Sejak kapan kau berubah menjadi gagu?"
"Aku ...." Siau Cap-it Long menyengir tawa, "aku tidak ...."
Hong Si-nio tertawa geli, "Ternyata kau belum jadi gagu, tapi kulihat kau lebih mirip seorang pikun."
Sikapnya terhadap Siau Cap-it Long tidak berubah, lagak dan tindak-tanduknya tidak berubah. Kejadian
semalam hakikatnya seperti tidak dirasakan, tidak disinggung sama sekali.
"Kau ...." sudah tak tahan Siau Cap-it Long ingin bicara.
Seperti tahu apa yang hendak diucapkan orang, Hong Si-nio segera menyeletuk dengan mata mendelik,
"Aku kenapa, memangnya kau mau bilang aku juga pikun? Kau tak takut kepalamu kubuat berlubang?"
Melihat keadaannya, kejadian semalam seperti tidak pernah terjadi. Hong Si-nio masih Hong Si-nio yang
dulu. Waktu ia mengawasi, melirik ke arah Siau Cap-it Long, juga adalah Siau Cap-it Long yang dahulu.
Asyik masyuk di atas ranjang semalam, sepertinya merupakan sebuah mimpi belaka. Sepertinya ia
berkeputusan untuk tidak mengungkap peristiwa yang memabukkan itu. Sebab dia amat memahami jiwa
Siau Cap-it Long, ia mengerti watak dan perangai Siau Cap-it Long, tahu orang macam apa pemuda yang
dipuja banyak wanita dan dianggap berandal oleh sementara pihak yang membencinya. Ia mengerti
hubungan baik selama ini, dua pihak tidak menjadi kikuk, canggung dan merasa berdosa, kejadian itu harus
dilupakan supaya tidak menambah risau, gundah dan menderita.
Mengawasinya, tak terperikan perasaan Siau Cap-it Long, ia kagum, memuji dan berterima kasih. Umpama
kejadian itu bisa dilupakan, rasa terima kasih dan hutang itu jelas selama hidup tak mungkin dilupakannya.
Hong Si-nio membalik badan, mendorong jendela.
Seperti ingin menyembunyikan rona mukanya di depan Siau Cap-it Long, ia tidak ingin orang lain tahu
bagaimana gejolak perasaannya saat itu. Ia rela menyembunyikan perasaan, mengendapkan gejolak hatinya
ke tempat yang paling dalam, seperti para kolektor menyembunyikan benda antiknya yang paling berharga
di tempat paling tersembunyi. Di kala malam sepi tiada orang lain, baru ditampilkan untuk dinikmatinya

sendiri.
Ia tidak mau peduli apakah itu derita, sengsara atau manis mesra, hal yang menyedihkan, yang melegakan
umpamanya, biarlah dirasakan dan hanya ia sendiri yang tahu.
Waktu ia membalik badan lagi, sorot matanya sudah memancarkan cahaya, wajahnya dihiasi senyum khas
yang khusuk, katanya sambil mengawasi Siau Cap-it Long, "Apa kau masih ingin terus tinggal di tempat ini?"
"Tidak," sahut Siau Cap-it Long tertawa, "umpama sudah pikun, yang pasti aku bukan babi."
"Lalu kenapa kita tidak berangkat saja?"
Mengawasi barang-barang di atas ranjang, Siau Cap-it Long bertanya, "Barang-barang ini kau tidak ingin
membawanya ?"
"Tadi sudah kubilang, waktu membeli barang, aku merasa senang dan puas, kuanggap aku sudah menarik
balik nilai yang kugunakan untuk membeli, untuk apa aku membawa barang-barang ini?"
Cahaya mentari cemerlang menguning emas, senja telah menjelang.
Menyambut hembusan angin senja di awal musim rontok, Siau Cap-it Long menarik napas dalam, "Sekarang
kemana kita akan pergi?"
"Makan dulu, baru mencari orang," sahut Hong Si-nio.
"Mencari siapa?"
"Yang pasti mencari Sim Bik-kun," kata Hong Si-nio tanpa menoleh, "memangnya kau lupa?"
Jelas Siau Cap-it Long tidak lupa, sahutnya, "Kau ingin mencarinya bersamaku?"
Hong Si-nio melotot, suaranya keras, "Kenapa tidak kutemani kau mencarinya? Aku sudah berjanji
kepadamu, kenapa aku harus ingkar janji? Memangnya kau kira aku ini pembohong?"
Siau Cap-it Long hanya menyengir mengawasinya. Tawa yang tulus dari relung hati yang paling dalam. Tapi
bukan tawa riang, tawa senang, kecuali gembira, di sana terselip rasa simpati, terima kasih, dimana
terkandung pengertian yang mendalam, meski terasa kecut, ia tak berani banyak bicara lagi.
Bilamana kau seorang pria, bila kau menjadi Siau Cap-it Long, kalau kau berhadapan dengan cewek seperti
Hong Si-nio, apa yang bisa kau katakan?
Tay-hong-lau.
Siau Cap-it Long kembali ke Tay-hong-lau.
Dari lantai satu, lantai dua, atas bawah, puluhan orang, tua muda, laki perempuan, semua mengawasinya
dengan terbelalak kaget. Untunglah yang kaget tidak lupa tugas, dengan munduk-munduk mereka maju
menyapa dan melayani.
Terutama pemilik restoran yang sedang berendam di bak air panas, bergegas ia merangkak berdiri seperti
kedatangan kakek moyangnya yang ingin berpesta di rumah makannya.
Jantung Hong Si-nio juga berdebar-debar, setelah memilih tempat duduk ia berbisik tanya, "Kenapa kau ajak
aku ke Tay-hong-Iau?"
Siau Cap-it Long tertawa, "Karena aku seorang Tay-heng (jutawan), malah jutawannya jutawan."
Suara Hong Si-nio lebih lirih, "Kau tahu barang-barang itu kubeli dengan apa?"
"Tahu, kau gunakan buah kancing batu Giok yang ada di kantong bajuku itu."
”Tapi sekarang aku tidak punya duit."
"Aku tahu."

"Kau akan berhutang dulu di sini?"
"Tidak."
Hong Si-nio tertawa getir, "Urusan apa tidak pernah kukerjakan, tapi suruh aku gegares makanan gratis,
terus terang sukar kulakukan."
"Aku sendiri juga rikuh."
"Memangnya kita tidak perlu makan?"
"Lho, ya makan. Makan sepuasnya."
"Setelah makan?"
"Setelah makan, ya bayar."
"Mana uangnya?"
"Uang? Nanti ada orang mengantar kemari."
"Siapa yang akan mengantar kemari?"
"Aku sendiri tidak tahu."
Hong Si-nio hampir berteriak, "Kau tidak tahu? Kau sendiri tidak tahu?"
"Hm, ya, tidak tahu."
"Memangnya uang itu bakal jatuh dari langit?"
"Uang yang jatuh dari langit, aku harus membungkuk memungutnya, bisa berabe."
Dengan terbelalak Hong Si-nio mengawasinya, "Memangnya ada urusan segampang itu untuk mendapat
uang?"
"Ya, ada."
"Kulihat kau ini belum bangun dari mimpi...."
Belum habis ia bicara, dari bawah loteng memburu datang seorang lelaki pendek gemuk, dengan wajah
bundar, jenggot kambing pendek, berpakaian serba lengkap dengan topi bundar di atas kepalanya, dengan
munduk-munduk memberi hormat kepada Siau Cap-it Long, katanya dengan tertawa lebar, "Apakah tuan
adalah Siau Cap-it Long Siau-toaya?"
"Sudan jelas kalau aku, masih bertanya lagi," tawar suara Siau Cap-it Long.
Orang itu munduk-munduk dengan tawa lebar, katanya ramah, "Soalnya nominal rekening ini teramat besar
jumlahnya, terpaksa Cayhe harus berlaku hati-hati."
"Apa kemarin kau sudah di sini?" tanya Siau Cap-it Long.
Orang itu memanggut, "Beberapa hari lalu sudah ada orang memberitahu ke bank kami, katanya dalam
beberapa hari ini Siau-toaya membutuhkan uang, aku disuruh ke sini menunggu."
"Kau dari bank mana?"
"Kami dari bank Goan-po, dari kelompok Li-thong. Mohon petunjuk Siau-toaya."
"Bagaimana rekening koranku di bank kalian?"
"Mulai bulan dua tahun lalu, seluruhnya ada enam rekening koran Siau-toaya di bank kami, dari jumlah
seluruhnya ada 66 laksa tiga ribu enam ratus tahil." Dari lengan bajunya ia keluarkan sebuah buku catatan,

lalu diangsurkan dengan dua tangan, "Jumlah seluruhnya dicatat jelas di buku ini, mohon Siau-toaya
memeriksa."
"Tak usah aku periksa," ujar Siau Cap-it Long, "tapi dua tiga hari ini aku memang perlu uang kontan."
"Sudah kami sediakan di bank, Siau-toaya butuh uang tunai atau cek kontan?"
"Cek kontan saja. Tentunya cek bank kalian bisa dipercaya bukan?"
"Mohon periksa Siau-toaya, bank kami banyak mendirikan cabang di berbagai kota, laporan yang diterima
kantor pusat semua menyatakan selama seratus tahun lebih sejak bank kami berusaha, rekening koran
Siau-toaya yang paling besar, langganan paling terpercaya."
Laki-laki ini seperti mengerti, lelaki senang diumpak di hadapan sang nyonya, dengan laku dibuat-buat ia
membalik ke arah Hong Si-nio untuk menjelaskan, "Waktu Siau-toaya setor uang ke bank kami tidak
memerlukan tanda terima, rabatnya juga paling kecil, selama tiga puluh tahun bekerja di bank, baru sekali ini
aku bertemu dengan pelanggan sebaik Siau-toaya, belum pernah ada orang kedua."
Hong Si-nio hanya tersenyum saja, "Ya, dia memang jutawan, jutawannya jutawan."
"Ya, betul, memang tidak salah," kata lelaki itu, "entah Siau-toaya kali ini perlu pakai berapa duit?"
"Buatkan cek lima ratus tahil sebanyak dua ratus lembar."
"Jumlahnya tepat 10 laksa tahil."
"Buatkan pula lima laksa tahil 10 lembar."
Lelaki itu menarik napas, katanya gugup, "Cek kontan bank kami tak beda dengan uang tunai, di cabang
mana saja bisa diuangkan segera. Untuk membawa uang sebanyak ini apakah Siau-toaya tidak berabe?"
"Tak perlu kau pikirkan cara bagaimana aku membawa uang. Yang pasti dengan cepat aku bisa
menggunakan uang itu."
Laki-laki itu merinding dibuatnya, belum pernah ia bertemu dengan orang seroyal ini memakai uang, bukan
saja tidak pernah melihat, mimpi pun tak pernah terbayang olehnya.
Siapa tahu persoalan yang tak pernah diimpikan masih terus berkembang.
"Sisanya yang enam laksa lebih itu," demikian ucap Siau Capit Long sambil lalu, "tak perlu dibukukan lagi,
anggap saja kuberikan kepadamu."
Enam laksa tahil uang perak, secara umum uang sebanyak itu bisa digunakan keluarga biasa untuk biaya
selama hidup, Siau Cap-it Long menganggap uang sebanyak itu sebagai persen diberikan dengan cumacuma
kepada seorang pegawai bank. Tangan lelaki itu kelihatan gemetar, jantungnya seperti hampir
melonjak keluar dari rongga dada, segera ia membungkuk badan seraya berseru, "Siaujin segera bukakan
cek yang diperlukan dan segera mengantar kemari."
Bukan saja merubah panggilan, badannya yang buntak mirip bola waktu membungkuk hormat, selangkah
demi selangkah mundur hingga anak tangga, hampir saja ia terpeleset di anak tangga saking gemetar
lututnya.
"Nah, sudah kau lihat, lebih gampang bukan uang itu jatuh dari langit," seru Siau Cap-it Long tertawa.
Hong Si-nio mengawasinya tajam, "Ada pertanyaan yang belum pernah kutanyakan kepadamu, sebab aku
tak ingin kau anggap kemaruk harta, tapi hal ini perlu kutanyakan kepadamu."
"Boleh, silakan tanya."
"Tiga tempat harta terpendam itu, berapa yang sudah kau dapatkan?"
"Harta terpendam apa maksudmu?"
"Kau tidak tahu harta terpendam apa?" pekik Hong Si-nio.

"Kecuali di waktu mimpi, harta terpendam macam apa yang kau maksud? Hakikatnya aku tidak pernah tahu
dan tidak perlu tahu."
Kecuali dalam dongeng atau cerita dalam mimpi, apa benar di dunia ini ada harta terpendam, hal ini masih
merupakan tanda tanya besar.
"Jadi uang sebanyak itu hasil curian?" damprat Hong Si-nio.
"Bukan," jawab Siau Cap-it Long.
"Merampok atau hasil rampasan?"
"Juga bukan."
Padahal Hong Si-nio maklum, umpama merampok atau merampas uang milik orang, jumlahnya pasti tidak
akan sebanyak itu. Tak tahan ia bertanya lagi, "Lalu darimana saja uang sebanyak itu?"
"Tidak tahu."
Hong Si-nio berjingkrak berdiri, teriaknya, "Tidak tahu? Kau sendiri tidak tahu?"
Siau Cap-it Long menghela napas, "Bukan saja aku tidak tahu, sebetulnya apa yang telah terjadi ada
kalanya aku sendiri tidak percaya bahwa urusan ini adalah kenyataan."
"Lalu bagaimana duduk perkara sebenarnya? Kau ...." mendadak ia tutup mulut, rona mukanya juga
berubah.
Sebab mendadak ia melihat seorang beranjak naik ke loteng, orang yang bisa membuat muka Hong Si-nio
berubah, bahwasanya bisa dihitung dengan jari tangan, bukan saja berubah mukanya, Hong Si-nio kontan
menutup mulut, tiada orang kedua kecuali satu. Ya, hanya satu di kolong langit, orang ini sudah beranjak ke
loteng dan langsung menghampiri mereka.
Dari pucat berubah merah, dari merah berubah pucat muka Hong Si-nio, sepertinya kalau bisa dia ingin
bersembunyi ke bawah meja, seperti takut atau malu melihat orang ini. Ternyata Siau Cap-it Long juga
berubah aneh mimik mukanya waktu melihat laki-laki ini menghampiri dirinya, sikapnya menjadi serba salah,
apalagi saat itu ia berada bersama Hong Si-nio. Siapakah dia sebenarnya?
XIII. MUNCULNYA SANG PENAGIH HUTANG
Orang ini berwajah persegi, berpakaian hijau bersih dan rapi serta rajin, serba baru dan perlente mirip
sebuah roti kering yang baru saja keluar dari panggangan. Nyo Khay-thay.
Orang ini ternyata adalah Nyo Khay-thay. Waktu berjalan, Nyo Khay-thay amat hati-hati seperti kuatir
menginjak semut. Mata tidak pernah melirik ke kanan atau kiri, ia datang langsung menghampiri meja,
seperti di tempat itu ia tidak pernah melihat Hong Si-nio atau Siau Cap-it Long.
Tapi dia langsung berhenti di depan Siau Cap-it Long. Hong Si-nio duduk mematung, sekujur badan seperti
kaku dan kejang, sepatah kata pun tak mampu diucapkan.
Padahal cewek yang satu ini biasa malang melintang sendiri, semua serba aku dan sesuai dengan
kemauanku. Bagaimana pandangan atau pendapat orang lain terhadap dirinya, persetan ia tidak peduli. Tapi
terhadap lelaki yang satu ini, dari relung hatinya yang paling dalam, ia merasa menyesal, malu dan
berhutang. Berhadapan dengan orang ini, dirinya ibarat berhadapan dengan seorang yang menagih hutang
kepada dirinya. Dia memang hutang dan tak terbayar selama hidup.
Jangan kata melihat, melirik pun Nyo Khay-thay tidak melihatnya, seperti lupa bahwa di dunia ini ada cewek
ayu jelita yang sekarang lagi bersikap lucu melihat dirinya.
Terpaksa Siau Cap-it Long berdiri menyambut. "Silakan duduk," sapanya.
Nyo Khay-thay tidak duduk, terpaksa Siau Cap-it Long tetap berdiri. Dari jarak dekat mendadak ia melihat
lelaki berwajah persegi, bersih dan serba perlente ini mukanya mulai berkeriput tanda ketuaan, kelihatan

lebih kurus dan pucat.
Umpama dia masih mirip roti kering yang baru dikeluarkan dari panggangan, kondisinya sudah bukan
segagah, seganteng dan sesegar dahulu lagi.
Selama dua tahun ini, entah bagaimana ia melewatkan hari-hari kehidupannya.
Siau Cap-it Long sendiri amat mendelu, sukar dilukiskan bagaimana perasaannya sekarang. Terutama
setelah adegan manis mesra semalam.
Mendadak Siau Cap-it Long menyadari dirinya sungguh mirip maling cilik yang kotor dan hina di hadapan
orang ini, dirinya seperti tak mampu mengangkat kepala, hatinya merasa amat bersalah.
Nyo Khay-thay menatapnya sesaat, sorot matanya mirip ia mengawasi maling cilik, tiba-tiba ia berkata,
"Apakah tuan Siau Cap-it Long Siau-toaya?"
Jelas dia mengenal Siau Cap-it Long, selama hidup takkan ia lupakan laki-laki yang satu ini, tapi sekarang
pura-pura tidak kenal. Siau Cap-it Long hanya mengangguk. Dia maklum, mengerti kenapa Nyo Khay-thay
berbuat demikian, dia merasakan getar perasaan Nyo Khay-thay saat itu.
Dengan wajah membesi Nyo Khay-thay berkata, "Cayhe she Nyo, sengaja datang mengantar cek kontan
yang diperlukan Siau-toaya." Dari balik kantong bajunya ia keluarkan setumpuk lembaran cek yang utuh dan
masih baru, dengan dua tangan ia angsurkan ke depan, "Di sini ada dua ratus lembar senilai lima ratusan
tahil, sepuluh lembar senilai lima laksa tahil, seluruhnya berjumlah enam laksa tahil, mohon Siau-toaya
menghitungnya."
Tak mungkin Siau Cap-it Long menghitungnya satu per satu, bahwasanya ia rikuh untuk mengulur tangan
menerima cek itu, namun mulutnya saja yang menggumam, "Tak usah dihitung, yakin benar jumlahnya."
Nyo Khay-thay menarik muka, "Jumlah ini tidak kecil, Siau-toaya harus menghitung dan periksa." Sikapnya
kukuh dan bertahan, menunggu reaksi Siau Cap-it Long.
Dengan tertawa getir Siau Cap-it Long terpaksa mengulur tangan menerima, lalu dibalik-balik sekenanya,
bahwasanya ia tidak ingin bentrok atau cari perkara dengan orang yang satu ini.
"Ada yang kurang," tanya Nyo Khay-thay.
“Tidak," sahut Siau Cap-it Long.
"Setelah kau ambil dana sebesar ini," kata Nyo Khay-thay lebih jauh, "uang simpananmu yang masih ada di
Li-thong dan Li-goan kedua bank itu masih ada seratus tujuh puluh dua laksa tahil." Dia keluarkan pula sejilid
buku rekening dan satu buku cek blanko, "Inilah catatan jumlahnya dan cek yang masih kosong, bisa
digunakan sewaktu-waktu. Silakan terima."
"Aku tidak ingin mengambil seluruhnya," kata Siau Cap it Long.
Membesi muka Nyo Khay-thay, "Kau tidak ingin mengambilnya, aku justru ingin mengeluarkan."
"Kau?" tanya Siau Cap-it Long.
Dingin sikap Nyo Khay-thay, "Kedua bank tadi adalah milikku, mulai detik ini, aku tidak sudi berhubungan
dengan orang macam dirimu."
Siau Cap-it Long mematung.
Tak terpikir olehnya rangkaian kata apa yang harus diucapkan. Kalau Nyo Khay-thay mau segera pergi, ia
tidak akan menahannya.
Tapi Nyo Khay-thay seperti belum mau pergi, dengan muka kaku, mata melotot, katanya dengan suara
dingin, "Sejak duelmu dengan Siau-yau-hou, banyak orang bilang kau adalah jago paling kosen di kolong
langit."
Siau Cap-it Long terpaksa tertawa getir, "Aku sendiri tidak pernah berpikir demikian."

"Tapi aku memikirkannya, aku tahu bukan tandinganmu." Muka persegi yang kaku itu mendadak
menampilkan mimik yang aneh, perlahan ia melanjutkan ucapannya, "Sejak awal aku sudah tahu, dalam
segala hal aku memang bukan tandinganmu."
Ibarat sebatang jarum, kata-katanya menusuk hulu hati Siau Cap-it Long, juga menusuk sanubari Hong Sinio.
Dan yang paling fatal adalah juga melukai dirinya sendiri.
Sejak tadi Hong Si-nio hanya menggigit bibir, mendadak ia mengangkat poci arak terus menuang arak ke
dalam mulutnya.
Nyo Khay-thay tetap tidak meliriknya, suaranya lebih dingin, "Kabarnya kemarin di tempat ini hanya dalam
tiga jurus kau mengalahkan Auyang-hengte, betapa gagah kau ini tiada jago manapun di dunia ini yang
sebanding denganmu. Orang macamku yang bernama Nyo Khay-thay bila ingin bertanding denganmu,
orang pasti bilang aku ini tidak tahu diri." Jari-jari tangannya terkepal, sepatah demi sepatah diucapkan
dengan jelas, "Sayangnya, aku orang yang tidak tahu diri, maka aku ...."
Maka aku mencintai Hong Si-nio.
Ucapannya tidak ia lontarkan, tapi Siau Cap-it Long dan Hong Si-nio mengerti maksudnya.
"Kau ...." Siau Cap-it Long tertawa getir.
"Maka hari ini aku datang," Nyo Khay-thay mendahului bicara, "kecuali membuat perhitungan uang
simpananmu, juga ingin bertanding melawan ilmu silatmu yang tiada taranya itu." Setiap patah kata
diucapkan perlahan, tapi jelas. Padahal selama ini dia punya kebiasaan gagap kalau gugup atau bicara
cepat. Hari ini ia tidak perlu terburu-buru, sepertinya sudah berkeputusan, berkeputusan membuat
perhitungan menyeluruh dengan Siau Cap-it Long.
Siau Cap-it Long mengerti perasaannya, tapi hatinya lebih perih.
"Kita bertanding di luar atau di tempat ini saja," tantang Nyo Khay-thay.
Siau Cap-it Long menghela napas, "Aku tidak akan keluar, dan tidak akan melayanimu di sini."
"Apa maksudmu?" damprat Nyo Khay-thay murka.
"Maksudku adalah aku takkan bergebrak dangan kau."
Memang tak mungkin dia berkelahi dengan lelaki ini, sebab tak boleh menang tapi pantang kalah. Dia
maklum karena murka, waktu menyerang Nyo Khay-thay pasti nekad dan mengeluarkan, jurus-jurus
mematikan, kalau ia mengalah dan sampai terluka, tak lama pasti ada orang yang meluruk datang menuntut
jiwanya. Dalam kondisi seperti sekarang, ia pun pantang kalah apalagi mati.
Mengawasinya dengan muka merah padam, Nyo Khay-thay berkata, "Kau tidak sudi berhantam dengan
aku? Karena aku tidak setimpal?"
"Bukan begitu maksudku."
"Peduli apa maksudmu, sekarang aku serang kau, kalau tidak membalas, kubunuh kau."
Biasanya Nyo Khay-thay orang yang suka mengalah, pengampun dan berbelas kasihan, orang yang tidak
suka atau tidak bisa memaksa orang lain. Tapi sekarang ia pojokkan posisi Siau Cap-it Long ke sudut yang
tak mungkin menyingkir.
Hong Si-nio mengangkat kepala, selebar mukanya juga merah menyala, arak merangsang sifat garangnya,
mendadak ia berjingkrak berdiri, pekiknya, "Nyo Khay-thay, kutanya kau, apa sih maksud tingkahmu ini?"
Nyo Khay-thay tidak peduli padanya, tapi mukanya pucat.
"Memangnya kau kira dia takut padamu? Umpama takut juga jangan kau mengancamnya," damprat Hong
Si-nio.
Nyo Khay-thay tetap tidak mempedulikan dia.

"Kau ingin membunuhnya?" seru Hong Si-nio beranjak maju, "baik, bunuh aku lebih dulu."
Muka pucat Nyo Khay-thay berubah merah padam lagi, ia pun tak tahan lagi, serunya keras, "Dia ... dia ...
dia ini apamu? Kau ingin mati karena dia."
"Peduli siapa dia dan apa hubungannya denganku, kau tak berhak mencampuri urusanku."
"Aku ... aku ... aku tak boleh mencampuri? Memangnya siapa ... siapa yang harus ikut campur?" Tampak
otot besar menghijau menonjol di jidatnya. Saking murka sampai sukar bicara.
Hong Si-nio juga amat murka, air mata hampir bercucuran. Semua ini karena apa? Demi siapa? Sebetulnya
mereka adalah sepasang suami isteri yang dapat menimbulkan iri orang lain, ya, mirip pasangan Lian Shiapik
dengan Sim Bik-kun. Tapi sekarang ....
Siau Cap-it Long tak kuasa menahan diri, tak tega melihat, tak tahan mendengar, posisinya memang
mengharuskan mengambil satu jalan keluar.
"Baiklah, hayo kita keluar."
Tabir malam sudah menyelimuti alam semesta. Toko-toko atau rumah-rumah di sepanjang jalan sudah
memasang lentera.
Perlahan Siau Cap-it Long menuruni anak tangga, perlahan menuju ke tengah jalan, langkahnya berat,
perasaannya lebih berat, dia tidak menyalahkan Nyo Khay-thay. Bukan Nyo Khay-thay menyudutkan dirinya,
Nyo Khay-thay sendiri juga disudutkan untuk menempuh jalan yang harus ditempuhnya ini. Tekanan yang
menakutkan memaksa mereka menjurus ke tapak yang harus ditempuh bersama. Tekanan yang timbul
akibat perang batin mereka sendiri. Itukah yang dinamakan cinta? Atau benci? Suatu tragedi? Atau angkara
murka?
Siau Cap-it Long tak mau berpikir lagi, ia tahu, dipikir juga takkan menghasilkan penyelesaian. Yang pasti ia
sadar dirinya sudah berada di tengah jalan raya, ia berhenti.
Mendadak ia sadar dan tahu seluruh suara dan kegiatan di sekelilingnya semua berhenti.
Nyo Khay-thay juga sedang keluar dari Bok-tan-lau.
Sepi lengang.
Semua orang yang berada di jalan raya menyingkir jauh, semua melotot mengawasi mereka, semua berdiri
mematung seperti orang pikun. Siau Cap-it Long sadar, orang yang benar-benar pikun bukan para penonton
itu, tapi adalah dia dan Nyo Khay-thay.
Dari atas loteng mendadak berkumandang suara barang-barang pecah berantakan, entah piring mangkuk
atau poci cawan, semua dibanting luluh. Setelah habis barung-barang dibanting menyusul berkumandang
lolong tangis yang menyedihkan seperti anak kecil yang kehilangan barang mainannya.
Biasanya Hong Si-nio suka tertawa dan tertawa keras, kalau sedih menangis sesenggukan. Dia tidak ikut
turun, tak berani turun, tak berani menonton, tapi ia tak kuasa mencegah peristiwa ini.
Dengan kencang Nyo Khay-thay menggenggam tangan, mukanya yang persegi berkerut menahan gejolak
perasaan.
Siau Cap-it Long menarik napas panjang, katanya mendelu, "Kau ... kenapa semua ini kau lakukan."
Nyo Khay-thay melotot, raungnya keras, "Kenapa tidak kau tanya pada dirimu sendiri." Belum habis bicara,
orangnya sudah menyerbu ke depan, serentak menyerang tiga jurus, seperti cara ia berjalan, tiap jurus
dilakukan dengan rajin dan sungguh-sungguh.
Siau Cap-it Long berkeputusan, duel ini dirinya tidak boleh kalah juga tidak boleh menang. Dia pikir bila Nyo
Khay-thay sudah kehabisan tenaga dan tak mampu bergerak lagi, perkelahian ini harus segera dihentikan.
Tapi begitu menyerang Nyo Khay-thay sudah kesetanan, hal ini membuatnya mengerti urusan tidak
semudah yang ia bayangkan semula, walau hatinya gundah, pikiran kalut, tapi jurus permainan Nyo Khaythay
amat rajin, tidak kacau, gerak-gerik dan gayanya memang tidak enak dipandang, tapi tiap jurus

serangannya sangat bermanfaat, berguna untuk pertahanan dan lancarnya perubahan, yang pasti tiap jurus
serangannya dilandasi kekuatan yang luar biasa, kekuatan yang menjadi landasan jurus permainannya
banyak perubahan dan tidak boleh diremehkan.
Selama ini belum pernah Siau Cap-it Long berhadapan dengan lawan yang berlatih silat sedemikian kokoh
dengan landasan kuat dan berakar.
Dua puluh jurus kemudian, permainannya makin lancar, tenaga yang dikembangkan sungguh amat dahsyat
perbawanya, tiap langkah kakinya pasti meninggalkan bekas tapak dilantai jalan raya yang dilembari
lempengan batu hijau.
Tapak kaki yang tidak banyak. karena tiap gerak, tiap jurus yang dilancarkan amat rajin menurut aturan
permainan, tiap langkah kakinya dari awal hingga jurus berikutnya tidak banyak perubahan. Bekas tapak
kaki tidak bertambah, tapi bekas tapak kaki itu makin dalam. Banyak papan nama toko-toko di pinggir jalan
berdetak dengan bunyi yang ramai oleh damparan tenaga pukulan hingga bergoyang gontai hampir jatuh.
Jidat Siau Cap-it Long sudah bermandi keringat. Dengan jurus permainan ilmu silatnya, tidak sukar bagi Siau
Cap-it Long untuk merobohkan atau mengalahkan lawannya ini, sebab gerak-gerik ilmu silat Nyo Khay-thay
kalau mau dinilai ibarat permainan badut belaka. Tapi ia tidak boleh menang.
Sementara jotosan demi jotosan Nyo Khay-thay terus menyerbu dengan gencar, tanpa tipu daya juga tiada
variasi, tiada muslihat, maka ia sendiri juga tidak perlu berkelit segala.
Betapapun runcing sebuah paku akhirnya akan dipukul tumpul juga. Demikianlah perasaan Siau Cap-it
Long, dirinya seperti paku yang terus dipukul dan dipukul. Yang menakutkan, tiba-tiba ia menyadari pahanya
mulai kaku kejang, gerak-geriknya juga menjadi terhambat dan lambat.
Selama bertempur dengan musuh, belum pernah kalah karena ia yakin dirinya pasti menang. Hari ini ia tidak
punya tekad, karena ia tidak berniat menang, tapi ia juga tidak mau kalah. Satu hal yang ia lupakan, dua
orang bila sedang bertempur, kalau tidak menang ya harus kalah. Menang atau kalah tidak bisa pilih-pilih
lagi. Umpama ingin menang, dalam kondisinya sekarang juga sudah terlambat.
Permainan pukulan Nyo Khay-thay, tenaga yang dikerahkan dan kayakinannya mencapai puncak paling
tinggi, waktu menyerang boleh dikata ia sudah mengerahkan setaker tenaganya, meski tahu bukan
tandingan lawan, tapi ia yakin dapat mengalahkan musuh, maka waktu menyerang tidak memikirkan
keselamatan sendiri, yang penting nekad. Bahwasanya ia sendiri tidak menyadari bahwa kemampuannya
sudah mencapai tingkat yang sukar dicapai tokoh silat manapun. Dalam kondisi sekarang, mungkin sedikit
saja tokoh silat yang mampu mengalahkan dia.
Siau Cap it Long tahu jika dirinya akan kalah. Ibarat sebatang paku yang dipukul amblas ke dalam tanah,
ilmu silatnya sudah tidak mampu dikembangkan lagi. Apalagi lukanya mulai kambuh. Tapi faktor yang
menentukan justru jalan pikirannya sendiri, hal yang tidak pernah terpikir olehnya sekarang bakal menjadi
kenyataan. Sebab selama hayat dikandung badan, ratusan pertarungan besar kecil melawan tokoh lihai
sekalipun, belum pernah ia dikalahkan.
Kalau jalan pikirannya benar dan merasuk jiwa, berarti kekalahan itu sendiri bakal menjadi kunci dasar
tenaga dan kekuatannya yang makin luluh dan lumpuh.
BENTROK PARA PENDEKAR
Karya Gu Long - Gan K.H.
Bagian 9
Mendadak kaki kanan Nyo Khay-thay maju setapak, tepat menginjak di bekas tapak kakinya yang terdahulu,
kepalan yang meninju malah tangan kiri dengan jurus Hek-hou-to-sim atau harimau hitam merogoh hati,
yang diincar dada Siau Cap-it Long.
Hek-hou-to-sim adalah jurus umum yang sering dimainkan setiap pesilat, dilakukan dengan serius dan lurus,

tanpa kembangan, tiada variasi, namun daya kekuatannya sungguh dahsyat.
Jago-jago silat zaman ini yakin takkan ada yang punya jurus pukulan sedahsyat yang dilancarkan Nyo Khaythay
sekarang. Umpama Siau Cap-it Long sendiri yang melancarkan pukulan jurus ini, pasti takkan punya
perbawa sehebat ini.
Siau Cap-it Long tahu akan hal ini, terpikir olehnya akan kedahsyatannya, tapi kondisinya hampir tak mampu
mengatasinya, berkelit apalagi menangkis serangan ini.
Pada detik yang menentukan itulah dari tengah udara meluncur seutas tambang panjang menggulung
datang, melingkar dan menjerat kaki kiri Nyo Khay-thay.
Tali yang melingkar-lingkar itu ternyata bukan tambang, tetapi cambuk panjang, belum pernah orang melihat
cambuk sepanjang itu, apalagi cambuk yang lincah dan enteng seperti hidup itu.
Seorang lelaki berlengan tunggal serta mahkota menghias di kepalanya, sepasang kakinya buntung sebatas
lutut, tapi bercokol di atas kepala seorang lelaki gede yang bertelanjang dada, berada sejauh dua tombak,
dengan lincah dan enteng memainkan cambuk panjang itu. Begitu cambuk disendal dan dibalik, ia
membentak, "Roboh!"
Anda sedang membaca artikel tentang Bemtrok Para Pendekar 1 [Lanjutan Anak Berandalan] dan anda bisa menemukan artikel Bemtrok Para Pendekar 1 [Lanjutan Anak Berandalan] ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/09/bemtrok-para-pendekar-1-lanjutan-anak.html,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Bemtrok Para Pendekar 1 [Lanjutan Anak Berandalan] ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Bemtrok Para Pendekar 1 [Lanjutan Anak Berandalan] sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Bemtrok Para Pendekar 1 [Lanjutan Anak Berandalan] with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/09/bemtrok-para-pendekar-1-lanjutan-anak.html. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar