hianat, seluruh orang gagah tentu akan menistamu. Dahulu aku sangat mengagumi
pribadi locianpwe, tetapi melihat tindakan locianpwe malam ini, aku amat kecewa sekali !”
Han Ping bicara dengan jujur. Apa yang dikandung dalam hati terus ditumpahkan
keluar semua. Ia tak peduli orang akan tersinggung atau tidak.
Biasanya Cong To amat disegani dan dihormati orang. Baru pertama kali itu ia
berhadapan dengan orang yang berani terus terang memakinya. Ia termangu-mangu tak
tahu apa yang harus dilakukan. . . .
Habis mendamprat, Han Ping berputar tubuh ke arah Ting Ling, tanyanya : “Apakah
engkau masih dapat bertahan ?”
Sesungguhnya Ting Ling sudah payah sekali. Tubuhnya serasa hangus dibakar api.
Tetapi demi melihat sikap Han Ping yang begitu memperhatikan dirinya, tergeraklah hati
nona itu. Ia kerutkan geraham menahan kesakitan lalu menyahut dengan tertawa : “Tak
jadi apa. aku masih dapat bertahan.”
Han Ping meminta Ting Hong supaya memanggul tacinya. Melihat pemuda itu merah
padam karena marah, Ting Hong takut juga sehingga tangannya gemetar. Ia cepat
melakukan perintah Han Ping. Ting Ling dipanggulnya terus dibawa keluar.
“Minta dia supaya ikut bersama kita ! Cong To amat sakti, bukan tandingannya”,
walaupun terluka parah tetapi pikiran Ting Ling masih sadar. Ia suruh adiknya
menyampaikan pada Han Ping.
Ting Hong mengiakan dan menyampaikannya kepada Han Ping. Tetapi Han Ping
kerutkan alis dan minta kedua nona itu berjalan dulu. Setelah ia menyelesaikan urusan,
segera akan menyusul mereka.
“Cici, dia tak mau ikut pergi, bagaimana ?” tanya Ting Hong kepada Ting Ling.
“Kalau begitu, tak perlu kita pergi. Kita tetap disini melihat dia menempur Cong To. Bila
perlu kita dapat memberi bantuan”, kata Ting Ling.
Melihat kedua nona itu berhenti di ambang pintu, tahulah Han Ping maksud mereka.
Sejenak merenung, berserulah ia kepada Cong To dengan lantang : “Tiga hari yang lalu
locianpwe telah memberi hadiah pukulan kepadaku sehingga aku terpaksa merawat luka
dalam selama tiga hari . . . .”
“Untunglah pengemis tua masih belum mati. Jika engkau penasaran, silahkan menagih
hutang kepadaku !” sahut Cong To.
Han Ping tertawa tawar. Sejenak ia sapukan pandang ke ambang pintu, kemudian
berkata : “Dalam sepanjang hidupku, aku paling membenci manusia culas yang pura-pura
berbuat kebaikan. Karena mendengar centa orang tentang sepak terjang locianpwe yang
luhur perwira, aku sangat menghargai sekali kepada locianpwe. Tetapi apa lacur. Peristiwa
yang kusaksikan malam ini, benar-benar mengecewakan hatiku. Rupanya kabar dalam
dunia persilatan itu hanya kosong belaka, tidak sesuai dengan kenyataan !”
Cong To menengadahkan kepala tertawa nyaring : “Bagus, makian yang bagus sekali !
Berpuluh-puluh tahun ini pengemis tua belum pernah dimaki orang !”
Han Ping tertawa dingin. Dengan nada yang gagah ia berseru : “Kutahu kepandaianku
masih belum mampu menandingimu. Tetapi jika tak menempurmu, dendam penasaran
dalam hatiku tak mungkin lenyap. Hanya sebelum bertempur, lebih dulu aku hendak
bicara. Harap engkau memegang janji !”
Berpuluh tahun Pengemis sakti Cong To malang melintang di dunia persilatan. Jagojago
sakti dari golongan Hitam dan Putih, banyak yang dikalahkannya. Selama itu belum
pernah terdapat seorang manusia yang berani menantangnya berkelahi. Kegagahan Han
Ping, benar-benar membuat tokoh yang jarang terdapat tandingannya itu seperti ditusuk
jarum ulu hatinya.
Ia menghela napas : “Mengingat keberanianmu menantang aku, kuterima segala
tuntutanmu !”
“Sebenarnya bukan soal penting,” kata Han Ping, “hanya mengenai pertempuran kita ini
nanti. Kalah atau menang tak boleh menyangkut orang lain. Jika aku kalah, tindaklah
diriku seorang. Tak boleh menyangkut kawan-kawanku itu. Dan jika aku menang, akupun
hanya menindakmu seorang!”
Pengemis sakti Cong To tertawa nyaring . . . .
Jilid 9 Barisan Bambu Batu
Bagian 15
Jelita baju ungu.
“Seumur hidup belum pernah pengemis tua menurut perintah orang. Tetapi malam ini,
akan kuberi kecualian. Bilanglah apa yang hendak engkau katakan semua. Jangan satu
demi satu sehingga membosankan telingaku!” seru pengemis sakti Cong To.
Han Ping berpaling ke arah kedua nona Ting dan berkata dengan sungguh-sungguh,
“Aku akan bertempur dengan Cong locianpwe. Entah mati entah hidup. Tetapi
bagaimanapun kesudahannya, jangan ikut campur. Sekalipun aku mati, jangan kalian
mengangkat mayatku!”
Ting Hong mengeluh keras dan pejamkan mata. Dalam pikirannya, tak mungkin
pemuda itu menang. Sekilas terbayanglah dalam benaknya kematian Han Ping yang
mengenaskan. Ah, tacinyapun terluka parah dan kini menyusul orang yang dicintainya
juga akan mati. Ah, hancurlah hatinya….
Han Ping hanya tertawa hambar, serunya, “Urusanku sudah selesai, silahkan locianpwe
turun tangan!”
Cong To tertawa, “Pengemis tua jauh lebih tua dari umurmu, masakan akan menyerang
dulu!”
“Kalau begitu, terpaksa aku menurut perintah saja!” sahut Han Ping seraya maju tiga
langkah dan menghantam.
Pengemis sakti loncat mundur. Tiba-tiba ia berpaling dan membentak ke arah pintu,
“Hai, siapakah itu! Mengapa plintat plintut bersembunyi diluar pintu seperti setan!”
Han Ping terkejut. Ia hentikan serangan dan loncat mundur.
Dari balik pintu sebelah luar, terdengar suara orang tertawa gelak-gelak, “Aku
kebetulan tersesat kemari. Sama sekali tak sengaja hendak mencuri lihat. Harap kalian
jangan salah paham!”
Seorang pemuda berjubah panjang dan sambil mencekal ujung lengan bajunya,
melangkah masuk. Ah, kiranya jago muda dari marga Ca, ialah Ca Giok si Tangan Geledek.
Pengemis sakti Cong To kerutkan alis. Pada saat ia hendak membuka mulut, Han Ping
sudah mendahului, “Sungguh kebetulan sekali saudara Ca datang. Aku hendak minta
saudara menjadi saksi dari pertandinganku dengan Cong locianpwe, maukah?”
Mendengar kata-kata itu, Cong To tak jadi bicara melainkan memandang dingin kepada
Ca Giok.
Sebagai seorang pemuda yang cerdas, tahulah Ca Giok bahwa pengemis sakti itu tak
puas kepadanya karena dianggap mencuri dengar pembicaraan. Ca Giokpun menyadari
bahwa Cong To itu amat sakti, maka ia tak mau menanggapi dan buru-buru berpaling
muka ke arah Han Ping.
“Cong locianpwe seorang guru besar sebuah partai. Sedang saudara Ji seorang
pendekar yang berilmu tinggi. Aku seorang bodoh, bagaimana berani menerima tugas
seberat itu? Tetapi karena saudara Ji yang meminta, apa boleh buat terpaksa aku tak
berani menolak….,” serunya.
“Terima kasih karena saudara Ca sudi memberi muka kepadaku,” kata Han Ping, “tetapi
aku masih mempunyai sebuah permintaan lagi kepada saudara. Entah apakah saudara
suka meluluskan?”
“Silahkan saudara mengatakan. Asal mampu saja tentu akan kukerjakan!”
Han Ping tertawa rawan, “Aku sungguh merasa berterima kasih sekali bahwa saudara
Ca sudi memandang diriku. Terus terang, aku tentu bukan tandingan Cong locianpwe.
Apabila aku mati, sukalah saudara mengantarkan kedua nona Ting pulang ke lembah Raja
setan. Nona Ting Ling sudah terluka parah, ah, semoga Tuhan melindunginya agar dia
dapat pulang dengan selamat ke lembah Raja setan….”
Ca Giok tertawa, “Hendaknya janganlah saudara mengandung pikiran begitu. Cong
locianpwe adalah seorang tokoh besar pada jaman ini. Sekalipun saudara bukan
tandingannya, diapun pasti tak akan membunuh saudara!”
Pengemis sakti Cong To tidak suka kepada Ji-koh (dua lembah) dan Sam-poh (tiga
marga). Mendengar kata-kata Ca Giok, ia tertawa dingin, “Belum tentu, yang nyata
pengemis tua ini selamanya memang ganas!”
Mendengar itu meluaplah amarah Han Ping, bentaknya, “Saudara Ca harus tahu, belum
tentu kenyataan itu sesuai dengan kabar-kabar yang tersiar. Malam ini aku telah
menyaksikan dengan mata kepala sendiri, beberapa hal yang ganjil. Karena tak tahan
melihat, terpaksa aku bertindak. Dan sekali bertindak, hanya mati atau hidup yang akan
kuperoleh. Saudara boleh menjadi saksi saja. Sekalipun aku terluka parah, jangan sekalisekali
membantu agar jangan ikut tertimpa bencana!”
Habis berkata ia terus melangkah maju setindak. Tangan kiri bergerak dalam jurus
Tangan memetik lima senar. Tangan kanan menghantam dengan gerak Sekop melayang
membentur lonceng. Sekaligus ia gunakan dua macam jurus untuk menyerang. Tangan
kiri bergerak lincah, tangan kanan menyerang dengan tenaga dahsyat.
Sebagai seorang tokoh yang berpengalaman luas tahulah Cong To bahwa pemuda itu
menggunakan ilmu silat dari Siau-lim-si. Diam-diam ia tergetar hatinya. Tangan kiri
menangkis dengan jurus Angin memecah ombak ke arah tangan kanan lawan. Sedang
tangan kanan menangkis gerakan tangan kiri Han Ping dengan jurus Bunga guncang
pohon condong, seraya menegur, “Hai, murid padri Siau-lim-si yang manakah engkau ini?
Lekas bilang, agar jangan sampai aku salah tangan!”
Han Ping tetap memegang pesan mendiang Hui Gong yang melarangnya supaya jangan
mengatakan bahwa ia adalah murid padri itu.
“Rasanya hal itu tak perlu locianpwe tanyakan. Yang di hadapan locianpwe ini adalah
seorang pemuda tak dikenal, Ji Han Ping. Jika locianpwe mau membunuh, silahkan!”
serunya.
Pengemis sakti Cong To marah, “Hm, engkau memang keras kepala. Jangan sesalkan
kalau pengemis tua bertindak kejam kepadamu!”
Keduanya segera bertempur lagi. Pertempuran berikutnya jauh lebih seru dari babak
permulaan tadi. Sepuluh jurus cepat sekali telah berlangsung. Tetapi masih belum dapat
diketahui siapa kalah siapa menang. Bahkan sukar pula dibedakan mana Han Ping dan
mana pengemis sakti Cong To.
Tiba-tiba Pengemis sakti membentak keras, “Cobalah engkau terima sebuah jurus Lima
gunung menindih puncak ini!”
Kata-kata ini ditutup dengan sebuah pukulan dahsyat.
Han Pingpun cepat salurkan tenaga dalam dan menangkis dengan jurus Sebatang tiang
menyanggah langit. Begitu tangan kanan menangkis, secepat kilat tangannya kiri gunakan
jurus Tali emas mengikat naga, salah sebuah jurus dari ilmu mencengkeram Kin-liongchiu,
menyambar siku lengan kiri si pengemis sakti.
Ilmu Kin-liong-chiu atau Menangkap naga, adalah sebuah ilmu sakti yang jarang
tampak di dunia persilatan. Maka walaupun Cong To luas pengalaman, tetap ia tak mampu
mengetahui ilmu aneh itu.
Pada saat ia terkejut, ia sudah tak keburu untuk menghindar lagi. Siku lengan kirinya
tercengkeram lawan. Ciong To tertegun kaget. Tenaga pukulan tangan kanannyapun
menyurut kurang.
Dengan siku tangannya, Han Ping menghalau pukulan si pengemis sakti. Lalu
menggembor keras dan dengan sekuat tenaga ia memelintir siku lengan pengemis itu.
Karena siku lengannya dikuasai lawan, tenaga Cong Topun berkurang dan sekali
didorong Han Ping, tubuh pengemis sakti itupun menjorok ke muka!
Sejak keluar ke dunia persilatan, baru pertama kali itulah Pengemis sakti Cong To jatuh
sedemikian hina. Seketika murkalah ia. Diam-diam ia kerahkan segenap tenaga dalam ke
siku lengan sehingga mengeras seperti besi. Kemudian ia meronta sekuat-kuatnya!
Tetapi pada saat pengemis sakti itu kerahkan tenaga dalam, Han Ping sudah merasa.
Cepat-cepat iapun perkeras tenaga dalamnya ke arah jarinya.
Saat itu terjadilah pertempuran seru antara dua buah tenaga dalam. Hasilnya ternyata
berimbang, sukar diketahui siapa yang kalah siapa yang menang.
Han Ping tak dapat menekan agar darah si pengemis sakti macet dan membalik
jalannya ke dalam tubuh lagi. Tetapi Cong Topun tak mampu membebaskan lengannya
dari cengkeraman pemuda itu….
Karena tak dapat lepas, pengemis sakti mengangkat lututnya kiri dihantamkan ke perut
Han Ping. Dan serempak dengan itu ia benturkan bahunya ke dada pemuda itu.
Pertempuran secara merapat itu benar-benar jarang terjadi. Walaupun sudah mamiliki
ilmu pelajaran Tat-mo-ih-kin-keng yang sakti, tetapi Han Ping masih kurang pengalaman.
Termakan lutut dan benturan bahu Cong To, terpaksa Han Ping lepaskan cengkeramannya
dan menyurut mundur.
Kini bebaslah Cong To. Ia menyadari bahwa pemuda itu memang sakti. Tak berani lagi
ia memandang rendah. Segera ia melakukan serangan segencar hujan mencurah, tak mau
ia memberi kesempatan pada pemuda itu lagi….
Selama beristirahat 3 hari itu, walaupun Han Ping menjalankan ajaran Hui Gone
tentang ilmu menyedot hawa murni dan memancarkan ke seluruh tubuh, tetapi ia masih
belum dapat menguasai seluruhnya. Maka dalam pertempuran itu, tenaga dalamnyapun
hanya berimbang saja dengan Cong To.
Tetapi pengerahan tenaga murni itu tak dapat berlangsung terus. Segera kelihatan
kelemahannya menghadapi seorang tokoh sakti semacam Cong To yang tinggi tenaga
dalamnya itu. Hanya karena mengandalkan gerakan yang aneh dan jurus-jurus yang
istimewalah maka ia dapat bertahan diri.
Betapapun cerdasnya Han Ping tetapi tak mungkin dalam waktu setengah bulan saja ia
sudah dapat menguasai seluruh isi kitab Tat-mo-ih-kin-keng. Yang dimainkan itu adalah
jurus-jurus yang diberikan Hui Gong. Tetapi setelah 100 jurus, mulailah tenaga Han Ping
makin lemah dan jurus permainannyapun makin ricuh.
Bukan suatu nama kosong Cong To diindahkan sebagai seorang guru besar sebuah
partai persilatan itu. Selain sakti, diapun luas sekali pengalamannya. Mengerti akan segala
jenis ilmu silat dari masing-masing partai persilatan.
Tetapi karena yang dimainkan Han Ping itu ilmu silat istimewa yang jarang tampak di
dunia persilatan, maka Cong To yang luas pengalamannya itupun tak dapat mengenalnya.
Dan karana itu, ia tak dapat cepat-cepat merubuhkan pemuda itu. Beberapa kali ia
terpaksa harus mundur karena Han Ping menyerangnya dengan gerak tipu permainan
yang aneh.
Setelah 100 jurus, habislah ilmu yang dipahami Han Ping. Selanjutnya setiap hendak
memainkan jurus baru, ia harus mengingat-ingat dulu sampai beberapa saat. Dengan
demikian permainannya makin lama makin lamban.
Tetapi tiada sebuah juruspun dalam kitab pusaka Tat-mo-ih-kin-keng itu yang tidak
istimewa. Meskipun lamban gerakannya, tetapi setiap kali menyerang, Han Ping tentu
dapat memaksa lawan mundur.
Benar-benar suatu pertempuran yang aneh. Walaupun Cong To sudah menang angin
tetapi tak henti-hentinya ia terkejut. Setiap pukulan yang dilancarkan pemuda lawannya
itu tentu aneh dan belum pernah diketahuinya. Sebagai seorang tokoh silat, diam-diam ia
tersengsam dan memperhatikan permainan pemuda itu. Dengan demikian karena
perhatiannya tertarik untuk mengetahui gerakan lawan, ia malah lupa untuk
memenangkan pertempuran itu.
Han Pingpun kerahkan seluruh perhatiannya untuk mengingat-ingat apa yang tertulis
dalam kitab Tat-mo-ih-kin-keng. Berulang kali ia tampak kerutkan dahi sampai beberapa
jenak baru lancarkan pukulan.
Keadaan yang aneh itu berlangsung sampai 20 jurus lebih. Kelambanan bergerak Han
Ping makin lama makin panjang waktunya tetapi pukulan yang dimainkanpun makin lama
makin aneh sekali. Bagian yang diarahnyapun diluar dugaan orang.
Pertempuran itu benar-benar suatu pertempuran yang aneh. Bukan melainkan Han Ping
dan Cong To yang memperoleh manfaat, bahkan kedua nona Ting dan Ca Giok juga
tersengsam melihatnya.
Dua jurus lagi, tiba-tiba Han Ping menimang, “Dengan cara bertempur semacam ini, tak
mungkin aku dapat memenangkannya. Kan lebih baik kugunakan 12 gerak Menangkap
naga (Kin-liong-chiu) agar dapat selekasnya menyelesaikan pertempuran ini!”
Memang ia tak menyadari bahwa andaikata Cong To tak tersengsam memperhatikan
jurus-jurus permainannya yang aneh itu, tentu sejak tadi ia sudah jatuh di tangan
pengemis sakti itu.
Setelah menentukan rencana, segera Han Ping hendak melaksanakannya. Tetapi
sekonyong-konyong terdengar bunyi menggedebuk seperti tubuh orang terkapar rubuh ke
tanah.
Serempak kedua orang itupun berhenti. Dan ketika berpaling ternyata yang rubuh
menggeletak itu si pengemis kecil. Mulutnya tak henti-hentinya mengucurkan darah….
Ternyata ketika menyaksikan gurunya sedang bertempur dengan Han Ping dan banyak
ilmu silat aneh-aneh yang dimainkan, si pengemis muda sampai lupa akan lukanya. Ia
menggeliat bangun dan memperhatikan jalan pertandingan yang istimewa itu.
Sesungguhnya luka dalam yang diderita pengemis kecil itu parah sekali. Karena
menumpahkan perhatian, tiba-tiba darah dan hawa dalam perutnya melonjak ke atas.
Kepalanya pening mata berkunang-kunang dan bluk, akhirnya jatuhlah ia menggeletak di
tanah.
Cong To mengeluh kaget. Ia teringat bahwa luka yang diderita muridnya perlu harus
segera ditolong. Jika terlambat, tak mungkin murid itu dapat sembuh seperti sediakala.
Tentu akan menjadi orang cacad seumur hidup.
Hati pengemis sakti itu bukan kepalang gelisahnya. Dipandangnya pengsmis kecil
dengan pandang kecemasan.
Melihat keadaan si pengemis kecil, serentak Han Pingpun teringat akan Ting Ling yang
terluka juga. Buru-buru ia berpaling dan kejutnya bukan main. Ting Ling rebah bersandar
tembok dengan mata meram. Tanpa ayal lagi, ia loncat menghampiri dan meraba dahi
nona itu. Hai, panasnya seperti air mendidih.
“Nona Ting, nona Ting!” teriaknya gugup.
Tetapi Ting Ling sudah tak sadarkan diri.
Karena terpikat perhatiannya, Ting Hong lepaskan pelukannya pada tubuh Ting Ling.
Ketika Han Ping meneriaki, barulah ia menyadari dan terkejut ketika mengetahui tacinya
pingsan. Menangislah dara itu tersedu-sedu.
Berkata Han Ping kepada si pengemis tua, “Locianpwe, murid locianpwe dan nona itu
dalam keadaan terluka parah yang harus ditolong lebih dulu. Kita hentikan pertempuran
untuk sementara, begitu mereka sudah sembuh, kita cari lain tempat untuk melanjutkan
pertempuran ini sampai selesai!”
Cong To tertawa dingin, “Setiap waktu pengemis tua siap menunggu kedatanganmu!”-
Nada pengemis tua itu tidak sesombong tadi.
Kemudian Han Ping meminta Ting Hong supaya memanggul tacinya dan diajaknya
pergi dari situ.
Ca Giok loncat ke ambang pintu. Ia berpaling memberi hormat kepada Cong To,
serunya, “Pertempuran Cong locianpwe dengan saudara Ji tadi, benar-benar telah
membuka mata kita semua. Aku merasa beruntung sekali karena dapat menyaksikan
pertempuran bernilai tinggi itu. Kini akupun hendak mohon diri!”
Pemuda itu segera menyusul Han Ping.
“Berhenti!” tiba-tiba Cong To berseru.
Karena mengira pengemis sakti itu telah merobah keputusannya, Han Ping masuk lagi
ke dalam ruang. Tampak pengemis sakti itu tengah mencengkeram lengan kanan Ho Heng
Ciu dan berdiri di ambang pintu. Begitu melihat Han Ping muncul lagi, segera pengemis itu
bertanya kepada Heng Ciu, “Dimanakah susiokmu sekarang ini? Lekas bilang!”
Ternyata Han Ping salah raba. Ia kiranya teriakan pengemis sakti itu ditujukan
kepadanya. Tetapi ternyata kepada Heng Ciu. Pada saat Han Ping bertiga keluar,
pengemis sakti cepat membuka jalan darah Heng Ciu yang tertutuk dan memaksanya
supaya memberitahukan tempat beradanya si wanita baju biru.
Karena kecele, Han Ping malu sendiri. Diam-diam ia mengagumi Cong To sebagai
seorang pendekar besar yang berkepribadian.
Han Ping seorang yang cepat terangsang perasaan. Dalam menghadapi orang atau
persoalan, dia tentu cepat-cepat menarik kesimpulan dari segi baik atau tidaknya.
Misalnya, ketika pengemis sakti menolong Heng Ciu, ia anggap tindakan tokoh itu tidak
pada tempatnya karena tidak dapat membedakan bagaimana tingkah laku Heng Ciu. Ia
mendapat kesan bahwa Cong To itu seorang jahat yang berkedok baik. Seketika turunlah
seratus derajat, kekagumannya terhadap pengemis sakti itu. Dan karena perobahan
pandangan itu maka ia nekad menantang berkelahi tokoh itu.
Dan kini setelah tahu tindakan Cong To terhadap Heng Ciu, berobah lagilah pandangan
Han Ping. Rasa kekagumannya terhadap pengemis itu, timbul kembali.
Kepala Heng Ciu bercucuran keringat dan menyahutlah ia dengan nada gametar,
“Tempat tinggal susiok, kira-kira sepuluh li di sebelah tenggara biara ini!”
Cong To lepaskan cengkeramannya dan mengancam, “Awas, jika sepatah
keteranganmu ada yang bohong, jangan sesalkan pengemis tua akan memberimu
hukuman keras!”
“Murid tak berani berbohong”, sahut Heng Ciu.
Cong To mendengus, “Pengemis tua ini tetap seorang manusia jahat yang berpura-pura
baik….” – habis berkata ia terus berputar tubuh dan melangkah keluar.
Han Ping termangu. Sesaat kemudian iapun segera menyusul kawan-kawannya. Setelah
melintasi lamping gunung dan tiba di bawah karang gunung, Ca Giok tiba-tiba berhenti
dan berkata kepada Han Ping, “Sebaiknya saudara minta nona Ting supaya beristirahat
dalam gua karang itu dan menjaga tacinya. Aku bersedia menemani saudara mencari
wanita baju hijau itu. Tundukkan dia dulu dan paksa supaya mau menyerahkan obat
kepada nona Ting!”
Ca Giok memang seorang yang cerdik dan cermat. Ketika mendaki ke atas ia sudah
mengamati dengan teliti keadaan gunung itu. Ketika Han Ping berpaling, memang ia
melihat sebuah gua di bawah sebatang pohon jati tua. Ia menyetujui saran Ca Giok.
“Silahkan saudara mengajak kedua nona itu kesana, biarlah kutunggu disini”, kata Ca
Giok.
Han Ping segera mengajak Ting Hong ke gua itu. Ia mengatakan agar dara itu menjaga
tacinya sedang ia bersama Ca Giok hendak mencari si wanlta baju hijau untuk
memperoleh obat. Paling lambat sore nanti tentu sudah kembali.
Dengan menghela napas dara itu mengharap agar Han Ping cepat-cepat kembali.
“Jangan kuatir, aku tentu akan berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan obat dari
wanita itu”, Han Ping menghibur lalu melangkah keluar.
Memandang bayangan pemuda itu, beberapa kali Ting Hong hendak berseru
memanggilnya supaya kembali. Tetapi karena teringat akan luka tacinya, setiap kali ia
batalkan keinginannya.
Entah bagaimana setelah pemuda itu lenyap di balik gerumbul, Ting Hong rasakan
seperti kehilangan sesuatu. Ia merasa Han Ping amat penting baginya.
Memang tanpa disadari, dara itu makin tenggelam dalam jaring-jaring asmara yang
erat….
Dara itu cepat mengangkat tubuh tacinya dibawa masuk ke dalam gua. Melihat
keadaan Ting Ling, dara itu seperti disayat hatinya.
Dijamahnya kening Ting Ling. Ah, panasnya seperti api membara. Wajahnyapun merah
padam, napas sesak dan tersendat-sendat. Rupanya luka nona itu sudah mencapai titik
yang berbahaya.
Tiba-tiba Ting Ling mengerang perlahan, “Ah, haus sekali, tenggorokan seperti terbakar
rasanya!”- sejenak menggeliat ia meramkan mata lagi.
Ting Hong tak tega. Buru-buru ia lari keluar mencari sumber air. Kemudian air itu
diminumkan ke mulut tacinya. Tetapi mata nona itu tetap memejam.
Setelah itu, Ting Hong membawa tacinya masuk ke dalam gua lagi. Sekalipun ia ingin
sekali lekas-lekas tinggalkan gua yang sepi itu tetapi ia tetap percaya pada kata-kata Han
Ping. Maka ia tahankan hatinya.
Setelah tinggalkan gua, Han Ping dan Ca Giok mendaki sebuah puncak dan meninjau ke
sekeliling penjuru. Puncak pegunungan itu amat luas sekali sehingga tak tampak ujung
tepinya.
Melihat Han Ping gelisah, Ca Giok menasehatinya supaya tenang, “Ho Heng Ciu itu
tentu tak mungkin berani membohongi gurunya. Kita turutkan keterangannya mencari ke
arah tenggara sampai 10 li. Jika memang tidak ketemu, kita kembali lagi ke gua. Cong To
tentu akan berusaha untuk menolong muridnya si pengemis kecil, tak mungkin dia akan
meninggalkan biara itu!”
Han Ping mengiakan dan segera mengajak Ca Giok menuruni gunung. Demikianlah
keduanya lari menuju ke arah tenggara.
Keduanya memiliki ilmu meringankan tubuh yang hebat. Dalam waktu yang singkat,
mereka sudah melintasi 6-7 buah puncak dan lari sejauh 7-8 li.
Kini mereka tiba di sebuah jalan liku yang menjurus ke sebuah lembah. Lembah itu
penuh ditumbuhi rotan dan macam-macam pohon. Pada musim rontok, lembah penuh
dengan hamburan daun-daun kuning.
Setelah memandang sejenak keadaan tempat ke sekeliling penjuru, Ca Giok tertawa,
“Kalau menurut omongan Heng Ciu tadi, kita sudah berada dirawa daun kuning!”
“Tetapi lembah itu amat sepi tiada tampak sebuah rumahpun juga. Masakan wanita itu
tinggal disitu?”
Ca Giok tertawa, “Memang tampaknya demikian, tetapi siapa tahu di dalam lembah
terdapat suatu tempat yang lain keadaannya. Kita tinjau dulu kesana baru nanti kita bicara
lagi!”
“Benar”, Han Ping mengiakan.
Ca Giok kerutkan dahi, “Apakah hubungan wanita baju hijau itu dengan pengemis sakti
Cong To?”
“Sumoaynya!” sahut Han Ping.
Sejenak Ca Giok merenung, kemudian berkata, “Menilik kesaktian Cong To, tentulah
sumoaynya itu juga sakti. Sekalipun aku tadi tak menyaksikan sendiri bagaimana dia
melukai nona Ting Ling, tetapi menilik luka nona Ting, tentulah wanita itu menggunakan
semacam tenaga dalam yang istimewa!”
Han Ping menghela napas, “Ah, saudara Ca benar-benar luas pengetahuan dan
pengalaman. Memang menurut keterangan Cong locianpwe, nona Ting Ling telah dilukai
dengan pukulan Sam-yang-khi-kang!”
“Sam-yang-khi-kang itu, sekalipun pernah kudengar orang mengatakan tetapi belum
pernah kusaksikan sendiri. Tetapi kuduga tentulah suatu ilmu lwekang yang mengandung
racun. Jika wanita itu memiliki tenaga dalam begitu, tentulah tak boleh dibuat main-main.
Memang kepandaian saudara Ji amat tinggi, tetapi rasanya jika hendak menawan wanita
itu hidup-hidup bukanlah mudah!”
“Memang aku tak yakin dapat menangkap wanita itu,” sahut Han Ping, “Tetapi karena
keadaan sudah begini, aku tak peduli kalah atau menang. Jika aku kalah, harap saudara
suka menyampaikan kepada kedua nona Ting agar mereka kembali pulang ke Lembah
Raja setan….”
Ca Giok tertawa, “Harap saudara Ji jangan kuatir. Sedang Pengemis sakti Cong To saja
tak mampu mengalahkan saudara, jangankan wanita itu yang hanya menjadi sumoay dari
pengemis sakti. Mungkin untuk menawan wanita itu, memang sukar. Tetapi wanita itupun
tak dapat berbuat apa-apa terhadap saudara.
“Ah, saudara Ca tak mengetahui kepandaian wanita itu. Menurut kesanku, dia tak di
bawah kesaktian Pengemis sakti Cong To!”
Ca Giok terkejut. Tetapi dia tetap tenang, katanya, “Jangan saudara Ji lekas berkecil
hati. Jika memerlukan bantuanku, tentu dengan sekuat tenaga akan kubantu saudara.
Dengan kekuatan kita berdua, tentu dapat menangkapnya.”
Han Ping mengangkat muka memandang ke langit. Ia menghela napas panjang lalu
ayunkan langkah-langkah perlahan-lahan kedalam lembah.
Setelah melintasi dua buah tikungan gunung, tiba-tiba keadaan berobah. Lembah yang
bermula sempit, disitu merupakan sebuah padang tanah seluas 4-5 bahu. Empat penjuru
dikelilingi oleh gunung dan 4-5 buah lembah melingkar-lingkar menyusup ke muka.
Han Ping berhenti dan bertanya kepada Ca Giok, “Saudara Ca, menghadapi simpang
jalan yang bercabang sekian banyak, kita akan mengambil jalan yang mana?”
Sejenak Ca Giok memandang ke seluruh penjuru lalu katanya, “Gunung berjajar-jajar,
lembah berlingkar-lingkar. Akupun tak tahu harus mengambil jalan yang mana….”- ia
menunduk dan merenung.
Menurutkan arah pandangan Ca Giok, Han Ping melihat pada jalanan batu disitu
terdapat bekas-bekas telapak kaki.
Kemudian Ca Giok memandang jauh ke gunung sebelah muka, bisiknya, “Tahukah
saudara Ji telapak kaki apakah itu?”
Han Ping mengatakan tak tahu,
“ltulah telapak kaki kuda dan belum berapa lama membekas. Tentulah kuda yang
menuju ke lembah, Apabila kita turutkan telapak kaki kuda itu, kemungkinan kita bisa
menemukan jejak wanita itu”.
“Tetapi wanita itu bersama rombongannya tak menunggang kuda”, kata Han Ping,
“Mungkin telapak kuda itu berasal dari rombongan lain orang. Tetapi masih lebih baik
kita turutkan telapak kuda itu daripada menunggu disini”.
Habis berkata, Ca Giok terus mendahului lari. Terpaksa Han Ping mengikutinya. Kirakira
tiga li, mereka tiba di sebuah tempat yang lebih luas lagi. Beberapa tombak jauhnya
terdapat sebuah hutan. Samar-samar dalam hutan itu penuh dengan berkelebatnya
bayangan orang,
Han Ping yang mencemaskan keadaan Ting Ling, cepat cepat mendahului Ca Giok lari
ke arah hutan. Sebenarnya Ca Giok hendak meninjau keadaan hutan itu lebih dahulu.
Tetapi karena Han Ping sudah menyerbu, terpaksa iapun mengikutinya,
Ketika memandang ke dalam hutan, mereka tertegun. Di tengah padang rumput seluas
beberapa tombak, tegak seorang dara jelita. Berpakaian warna ungu, rambutnya dikuncir.
Sinar matahari yang menerobos dari celah-celah daun, bermanja diri di atas pipi dara itu.
Rupanya dara itu tak menghiraukan taburan sinar matahari. Ia tengah mengalirkan
pandang matanya ke sekeliling penjuru, Empat penjuru penuh dengan rombongan orang
gagah.
Keadaan itulah yang membuat Han Ping dan Ca Giok tercengang. Kemudian merekapun
memandang barisan kaum gagah yang berkerumun memenuhi empat penjuru.
Ca Giok sudah lama berkecimpung dalam dunia persilatan. Banyak orang-orang gagah
baik dari golongan Putih maupun golongan Hitam yang dikenalnya. Setelah selesai
memandang sekeliling penjuru turunlah morilnya,
Kiranya yang hadir mengelilingi si dara ayu itu, sebagian besar adalah tokoh-tokoh
persilatan yang termahsyur. Antara lain si Imam pencabut nyawa Ting Yan San dari
Lembah Raja setan, Leng Kong Siau dari Lembah Seribu racun, Kim-leng Sam-hiap atau
tiga jago dari Kim-leng serta pemimpin golongan Hitam dari wilayah Holam, Shoatang,
Hopak dan Anwi. Juga tampak Ih Seng si Kipas besi pedang perak, para kepala dari ke 36
kubu telaga Thong-ting-oh Gun-hay-sin-liong atau Naga sakti dari laut Gun-hay, Cin An Ki.
Semua berjumlah beberapa puluh orang.
Mereka merupakan tokoh-tokoh yang merajai di daerah masing-masing. Bertemunya
tokoh-tokoh dalam lembah yang terpencil seperti itu, benar-benar merupakan suatu
peristiwa yang jarang terjadi.
Tokoh-tokoh itu menjaga di tempat masing-masing. Melingkari dara jelita itu dalam
kepungan. Tiada seorangpun yang membuka mulut menyatakan apa-apa,
Setelah memandang keadaan sekeliling penjuru, bertanyalah Han Ping dengan bisikbisik,
Apakah tujuan orang-orang itu hendak mendapatkan kitab pusaka dari perguruan
Lam-hay-bun?”
Mendengar sang kawan bicara dengan nada keras, Ca Giok gelisah. Buru-buru ia
memberi peringatan, “Benar tetapi harap saudara jangan bicara keras-keras. Mereka
adalah tokoh-tokoh sakti dalam dunia persilatan. Sekali kita tak hati-hati, mereka tentu
mendengar kata-kata kita dan tentu akan menindak kita.”
“Jika mereka tokoh-tokoh yang ternama, mengapa mereka tak sungkan ramai-ramai
mengepung seorang gadis?” tanya Han Ping pula.
“Memang tampaknya bersikap seperti mengeroyok tetapi sesungguhnya satu sama lain
tiada hubungan. Adalah karena jumlahnya yang besar dan sama tujuan maka sepintas
pandang mereka seperti mempersiapkan pengeroyokan. Yang benar-benar mereka saling
curiga mencurigai satu sama lain….”
“Betapapun juga, sekian banyak tokoh-tokoh mengeroyok seorang dara itu, sungguh
tidak patut. Hayo, kita maju melihat-lihat kesana!” seru Han Ping seraya melangkah maju.
Sebenarnya Ca Giok hendak memberitahu bahwa berkumpulnya sekian banyak tokohtokoh
persilatan ke Lokyang itu adalah karena hendak memperebutkan kitab pusaka dari
Lam-hay-bun. Tetapi setelah melihat Han Ping maju menghampiri rombongan tokoh-tokoh
itu, tiba-tiba tergeraklah pikiran Ca Giok. Pikirnya, “Ah, rupanya dia tak mempunyai citacita
untuk merebut kitab itu. Jika kuberitahukan tentang kitab itu, bukankah malah seperti
‘menjagakan ular tidur’? alias, membangkitkan nafsu keinginannya? Ah, lebih baik lain
kesempatan saja kuberitahu kepadanya dan saat ini kugunakan tenaganya untuk
membantu usahaku merebut kitab itu”.
Densen pemikiran itu, ia tak jadi memberitahu dan hanya mengikuti dari belakang.
Sesungguhnya rombongan tokoh-tokoh itu mendengar juga derap langkah Han Ping
dan Ca Giok, tetapi mereka tak mengacuhkan. Mereka tumpahkan perhatian pada si dara
baju ungu.
Ih Seng si Kipas besi pedang perak, kerutkan dahi ketika melihat jumlah orang yang
menginginkan kitab kian lama kian banyak. Cepat ia mencabut kipas besinya lalu berkipaskipas
seraya berseru, “Ah, tak kira tempat ini mendapat kehormatan besar menjadi tempat
pertemuan sekian banyak tokoh-tokoh termahsyur….”
Kepala dari ke 36 klompok telaga Tong-thing-ou si Naga sakti Gun hay Cin An Ki
tertawa dingin, sambutnya, “Ucapan saudara Ih u keliwat terkebur. Memang aku jarang
bermain-main ke daratan. Tetapi sudah belasan tahun juga aku berkelana di dunia
persilatan. Selama itu tak pernah kudengar orang bicara sebesar itu, Saudara Ih
mengangkat diri sebagai pemimpin dunia persilatan wilayah Holam, Hopak, Anwi dan
Shoatang. Tetapi adakah saudara tak mengizinkan lain orang menginjak daerah ini?
Misalnya, aku sendiripun menetap di telaga Tong-thong-ou. Asal tidak melanggar
pantangan pada daerah terlarang yang ditetapkan oleh ke 36 Kelompok itu saja, akupun
tak berani melarang orang tak boleh datang ke telaga Tong-thing-ou!”
Leng Kong Siau menyambut dengan batuk-batuk, serunya, “Benar, memang aku Leng
loji juga tak percaya bahwa daerah lima gunung empat lautan di wilayah Kanglam-
Kangpak itu tak boleh kukunjungi!”
Seketika berobahlah wajah Ih Seng, serunya, “Dengan mengatakan ucapan itu
kepadaku, rupanya saudara berdua memang benar-benar hendak cari perkara di tanah
ini?”
Ting Yan San tertawa sinis, “Si Bungkuk dan si Kate serta kepala desa gunung Bik-losan
mungkin segera akan menyusul kemari. Jika belum-belum kita sudah gasak-gasakan
dulu, orang lain yang akan memetik keuntungannya. Dan kalau terjadi begitu, sungguh
bodoh sekali!”
“Keadaan saat ini”, kata Leng Kong Siau. “kiranya sukar untuk dijelaskan dengan katakata.
Entah bagaimana saudara Ting hendak menyelesaikan sengketa ini!”
Berpuluh-puluh mata rombongan jago-jago, mencurah ke arah Ting Yan San.
Ting Yang san tersenyum, “Walaupun kedatangan nona itu atas siasat yang dirancang
saudara Ih, tetapi karena menyangkut kepentingan seluruh dunia persilatan maka setiap
orang yang mengetahui tentu turut ambil bagian. Dan rasanya setiap orang yang hadir
disini tentu tak mau mengundurkan diri dari persoalan ini….”
Ih Seng menukas hambar, “Walaupun menyangkut kepentingan luas, tetapi seharusnya
terdapat pembagian antara tetamu dan tuan rumah. Dengan susah payah aku yang
mengundang nona itu tetapi saudara sekalian hendak enak-enak memetik buahnya.
Benar-benar tak memandang mata kepadaku!”
Naga sakti laut Gun-hay Cin An Ki tertawa gelak-gelak. “Kalau begitu tujuan saudara Ih
adalah pada diri nona cantik itu?”
Mendengar kata-kata yang tak senonoh itu, si nona baju ungu merah padam mukanya.
Han Ping berpaling kepada Ca Giok, “Saudara Ca, mengapa tokoh-tokoh persilatan yang
termahsyur itu bermulut kotor? Apakah mereka tak kuatir akan menurunkan martabat?”
Mendengar Han Ping memaki sekalian tokoh-tokoh yang hadir disitu, diam-diam
marahlah Ca Giok. Tetapi ia tak berani tak menyahut pertanyaan pemuda itu, “Ah, mereka
hanya bergurau, tak perlu saudara menganggapnya sungguh-sungguh”.
Cin An Ki acuh tak acuh memandang Han Ping. Ia merasa belum pernah melihat
pemuda itu. Tetapi ia sungkan untuk bertanya. Kemudian ia kerlingkan mata dan ketika
melihat Ca Giok ia tertawa dingin, “Apakah ayahmu tak datang?”
“Aku sedang berkelana. Ketika mendengar berita ini segera ikut datang kemari.
Mungkin ayah tak mengetahui peristiwa ini!”
Menunjuk kepada Han Ping, bertanyalah Cin An Ki, “Saudara ini tentulah seorang kojin
yang datang bersama Ca sau pohcu?”
“Saudara Ji ini adalah sahabatku dan sama sekali bukan orang dari marga Ca”, jawab
Ca Giok.
Mendengar tanya jawab yang tak penting itu Ih Seng tak sabar lagi, tukasnya nyaring,
“Pada saat dan tempat seperti sekarang ini, bukanlah waktunya saudara Cin dan Ca sau
pohcu bicara soal-soal keadaan diri masing-masing, selesaikan dahulu soal besar yang kita
hadapi ini, baru nanti saudara berdua boleh melanjutkan pembicaraan soal pribadi!”
Jawab Cin An Ki, “Silahkan saudara Ih mengusulkan apa saja, tentulah aku menurut!”
Melihat kedua orang itu sudah sama panas dan setiap saat tentu akan meletus
perkelahian, buru-buru Ting Yan San menyelutuk, “Jika saudara berdua hendak saling
memamerkan ilmu kepandaian, memang benar-benar suatu peristiwa yang
menggemparkan sekali. Tetapi rasanya dalam saat dan tempat seperti sekarang, kurang
tepat. Sekalian hadirin tentu tak tertarik untuk menyaksikan pertempuran itu. Tetapi jika
saudara berdua memang tak dapat dicegah lagi, silahkan cari saja ke lain tempat yang
sunyi agar disitu dapat bertempur sepuas-puasnya sampai salah satu ada yang mati!”
“Ah, jangan terlalu menyanjung”, kata Ih Seng, “sekalipun saudara Ih berusaha untuk
menambahi minyak di atas api, tetapi rasanya takkan menarik keuntungan apa-apa dari air
keruh itu!”
Leng Kong Siau batuk-batuk, katanya, “Harap saudara berdua jangan menyibukkan diri
dalam pembicaraan yang tak berguna. Soal mati hidup, jangan dibebankan pada pikiran
orang lain. Sekarang kuminta diam dulu untuk mendengar buah pendapat saudara lh”.
Ting Yan San tertawa menyeringai, “Yang penting pada saat ini ialah harus
memindahkan penahanan gadis itu ke lain tempat yang jauh. Jangan sampai diketahui
oleh anak buah Bik-lo-san. Kemudian kita memilih dua orang yang berilmu sakti menuju ke
gunung Bik-lo-san, membicarakan soal tukar menukar antara orang dengan kitab!”
“Bagus, bagus!” Leng Kong Siau tertawa nyaring, “pendapat saudara Ih memang
mengagumkan sekali”.
Cin An Ki sejenak memandang ke arah si Kipas pedang perak Ih Seng, serunya, “Jika
kitab pusaka Lam-hay-bun itu berada pada gadis itu, bukankah tindakan kita itu berlebih
lebihan?”
Cin An Ki memang licin. Melihat suasana para hadirin yang sangat bernafsu untuk
mendapatkan kitab pusaka itu, ia menyadari bahwa suatu pertempuran dahsyat takkan
dapat dihindari lagi. Diam-diam ia mencari akal.
Cin An Ki hendak menyulut api untuk membakar kemarahan para hadirin agar mereka
lekas-lekas saja bertempur. Setelah mereka kehabisan tenaga, barulah ia nanti turun
gelanggang untuk menyelesaikan mereka. Syukur kitab dari Lam-hay-bun itu berada pada
si gadis baju ungu. Dengan begitu mudahlah ia merampasnya. Andaikata tidak berada
pada nona itu, ia tetap akan menawan dan menahannya di telaga Tong-thing-ou. Setelah
itu baru ia mengutus orang untuk berunding dengan pihak Bik-lo-san, mengadakan barter
kitab dengan tawanan.
Setelah mendengar kata-kata Cin An Ki, cepat Kipas besi pedang perak Ih Seng
menyahut, “Hilang atau didapatkan kitab pusaka dari Lam-hay-bun itu, menyangkut nasib
dunia persilatan. Kira-kira para saudara yang hadir disini tentu menginginkan kitab itu.
Agar jangan dikata seperti memancing di air keruh atau menarik keuntungan dari
pertikaian yang berlangsung disini. Baiklah kunyatakan sekarang. Aku bersedia mengalah
selangkah. Tetapi jika kitab itu berada pada si dara, aku tetap hendak menggunakan
hakku sebagai tuan rumah untuk mengambilnya. Tetapi jika tidak berada pada gadis itu,
aku setuju usul saudara Ih, memindahkan penahanan gadis itu ke tempat lain. Kemudian
kita tetapkan wakil yang kita utus ke Bik-lo-san dan merundingkan penukaran kitab
dengan diri si gadis itu”- Habis berkata ia terus menghampiri si nona baju ungu.
Leng Kong Siau mendengus lalu ayunkan langkah mengikuti. Ting Yan Sanpun
kebutkan hudtim dan menyusul kedua orang itu.
Seketika suasana menjadi tegang sekali. Hanya Cin An Ki kepala dari 36 kelompok
telaga Tong-thing-ou yang masih tegak di tempat semula bersama 5 orang anak buahnya.
Serentak para hadirinpun mulai bergerak maju ke tempat dara baju ungu yang tetap
tegak di tengah gelanggang sambil pejamkan mata.
Sikapnya yang aneh itu malah menimbulkan keheranan para tokoh-tokoh itu. Mereka
terpaksa berhenti. Tetapi sampai beberapa saat, dara itu tetap belum membuka mata. Hal
itu membuat Ih Seng tak dapat bersabar lebih lanjut.
“Budak setan!” teriaknya dengan tertawa dingin, “Jangan main olok-olok!”- ia terus
melangkah maju.
“Berhenti!” sekonyong-konyong terdengar suara bentakan nyaring dan menyusul
sesosok tubuh loncat ke tengah gelanggang, menghadang jalan Ih Seng.
Ketika sekalian hadirin memandang orang itu, ternyata hanya seorang pemuda yang
berumur kira-kira 19 tahun. Pemuda itu tegak berdiri dengan lintangkan tangan ke muka
dada dan mata menghambur sinar kemarahan kepada sekalian tokoh.
Mendengar teriakan itu, si dara baju ungupun membuka mata.
lh Seng memandang pemuda itu dengan tajam. Sebagai seorang tokoh yang
termahsyur sudah tentu ia murka sekali kepada pemuda yang berani mati menghadangnya
itu.
“Budak yang cari mampus!” teriaknya seraya mengangkat kipas besi dan menaburnya.
Pemuda itu miringkan tubuh ke samping untuk menghindar lalu menampar dengan
tangannya kanan.
Ih Seng terlalu memandang rendah pada pemuda itu. Tahu-tahu tubuhnya tersurut
mundur sampai lima langkah….
Melihat sekali pukul, pemuda itu dapat mengundurkan Ih Seng yang terkenal bengis,
dara baju ungu itu menutupi mulutnya yang tertawa dengan lengin baju. Sekalipun begitu,
nadanya tetap terdengar bergemerincing laksana bunga mekar.
Sekalian tokoh-tokoh terlongong.
Kipas besi pedang perak Ih Seng seorang tokoh yang amat congkak. Bahwa dirinya
dilempar oleh seorang anak muda yang tak terkenal di hadapan sekian banyak tokohtokoh
persilatan, bukan kepalang malunya. Walaupun hal itu akibat dari rasa memandang
rendah pada lawan, namun hal itu tetap suatu hinaan besar.
Laksana seekor harimau mencium darah, Ih Seng loncat menerjang. Tetapi pada saat
tinjunya hendak berayun, tiba-tiba nada ketawa dara baju ungu itu berobah seperti
ringkikan setan. Jantung Ih Seng seperti melonjak dan seketika tangannyapun lemas
lunglai….
Sekalian yang hadir adalah tokoh-tokoh persilatan yang sudah termahsyur di dunia
persilatan. Sepanjang hidup, mereka tentu sudah banyak berjumpa dengan gadis-gadis
yang cantik rupawan. Pengalaman merekapun amat luas. Dalam menghadapi kecantikan si
dara baju ungu yang gilang gemilang sekalipun, mereka tetap tak terpengaruh. Tetap
tujuan mereka hendak merebut kitab pusaka dilaksanakan. Tetapi anehnya, gaya si dara
tertawa sambil menutupi mulut itu, telah menggoncangkan kalbu sekalian hadirin.
Semangat mereka serasa terbang dan nafsupun berkobar. Tertawa dara itu mengandung
suatu kekuatan pemikat yang sukar dilawan, bagaikan khasiat arak yang memabukkan
orang….
Hanya Han Ping karena berdiri membelakangi, maka tak melihat gaya yang
menyengsamkan dari dara baju ungu itu. Begitu melihat Ih Seng mengulai tangan, cepat
ia menyambar siku lengan kiri tokoh itu, lalu ditariknya. Tubuh Ih Seng menjorok ke muka.
Han Ping kurang pengalaman. Ia mengira tak mungkin semudah itu tokoh semacam Ih
Seng dapat ditariknya ke muka. Tentulah orang itu sengaja menggunakan tipu muslihat,
membiarkan dirinya ditarik agar begitu dekat dapat melakukan serangan secara tiba-tiba,
Kuatir akan kemungkinan itu, Han Ping cepat menyurut kebelakang sembari mendorong
balik.
Tenaga dorong itu membuat Ih Seng terlempar ke udara. Syukur dia cukup sakti. Di
atas udara ia berjumpalitan dan melayang perlahan ke tanah. Sekalipun begitu, tetap ia
terlempar dua tombak jauhnya.
Mimpipun tidak Han Ping bahwa pemimpin kaum persilatan wilayah Holam, Hopak, Anwi
dan Shoa-tang, ternyata begitu tak berguna. Dengan penuh keheranan ia memandang
ke sekeliling tokoh-tokoh yang mengepungnya. Tampak mereka terlongong-longong
kesima. Dia makin heran dan tanpa merasa, berpalinglah ia kepada si dara di
belakangnya. Dara itu sudah tak tertawa lagi tetapi tenang dan serius sikapnya.
Tepat pada saat Han Ping berpaling ke belakang itu, Kipas besi pedang perak Ih
Sengpun sudah maju menerjang lagi. Sekalipun sudah dua kali menderita pil pahit dari
Han Ping, tetapi ia tetap penasaran. Yang kesatu karena memandang rendah. Dan yang
kedua kalinya, karena perhatiannya terpikat oleh sikap dara baju ungu itu. Dia tak percaya
bahwa seorang anak muda yang baru berumur 18-19 tahun. dapat melawannya. Dan demi
menjaga gengsinya sebagai tokoh yang diindahkan, ia tak mau menggunakan kipas besi
lagi melainkan menyerang dengan tangan kosong. Pula ia tak mau menyerang secara
menggelap. Begitu dekat, ia sudah berseru nyaring, “Budak, terimalah pukulanku ini!”
Tinju kanan menghantam ke arah dada dengan jurus Menjolok naga kuning. Ia
gunakan sepenuh tenaga sehingga pukulannya menimbulkan deru tajam.
Adalah karena dua kali menghantam. Han Ping dapat mengundurkan orang maka iapun
agak memandang rendah. Atas serangan yang ketiga kalinya itu, ia menangkis dengan
tangan kiri saja. Pikirnya, kali inipun ia tentu dapat mengundurkan lawan.
Tetapi ternyata hasilnya tidak seperti yang disangka. Pada saat kedua tenaga saling
berbentur. Han Ping segera rasakan sesuatu yang tak wajar. Buru-buru ia hendak
menyalurkan tenaga murni untuk melawan namun sudah terlambat.
Han Ping terpental ke belakang sampai dua langkah.
Dengan pengalaman itu, masing-masing tak berani memandang rendah lawan lagi. Ih
Seng menyadari bahwa pemuda itu memiliki ketangkasan yang hebat. Sekalipun pemuda
itu dapat dipentalkan ke belakang, tetapi Ih Seng tak berani memburu, melainkan mundur
dua langkah juga.
Jago kipas besi itu tegak terlongong-longong, benar-benar ia tak mengerti mengapa
seorang pemuda yang masih begitu muda belia, memiliki tenaga dalam sedemikian hebat.
Dalam pukulan yang dilancarkan tadi, ia telah menggunakan delapan bagian tenaga
dalamnya. Maksudnya sekali pukul, biarlah pemuda itu hancur. Dengan demikian ia dapat
melampiaskan penasarannya dan sekaligus dapat memulihkan mukanya di hadapan para
tokoh persilatan.
Mimpipun tidak, bahwa peyakinannya selama 30 tahun, ternyata dapat ditangkis oleh
pemuda itu. Ya, sekalipun pemuda itu tersurut mundur dua langkah tetapi jelas tak
menderita luka apa-apa, Dan yang mengejutkan, pemuda itu jelas belum menggunakan
seluruh tenaganya.
Keheranan Ih Seng itu tak terluput dari perhatian Ting Yan San dan Leng Kong Siau.
Ketika di hotel Megah Ria di kota Lokyang, Leng Kong Siau pernah mengadu tenaga
dengan Han Ping. Dan ia sudah mengetahui kesaktian pemuda itu. Diam-diam Leng Kong
Siau sudah membayangkan. Jika lewat beberapa tahun lagi, pemuda itu tentu lebih hebat
kepandaiannya dan bakal merupakan bencana di kemudian hari.
Iblis Leng Kong Siau tak dapat membiarkan hal itu. Timbullah pikirannya untuk
melenyapkan pemuda itu. Maka ketika diluar desa Bik-lo-san berjumpa dengan Han Ping,
ia segera akan turun tangan. Tetapi rencananya itu telah dihalangi oleh Ting Ling dengan
siasat mengulur waktu. Dan karena memakan waktu lama dalam pembicaraan akhirnya
sebelum ia sempat bertindak, muncullah, si orang aneh yang berwajah contrengan itu.
Orang aneh itu selain memiliki ilmu silat yang aneh, pun tenaga dalamnya hebat sekali.
Melihat gelagat, akhirnya Leng Kong Siau terpaksa angkat kaki.
Apa yang dibayangkan Leng Kong Siau ternyata berbukti. Dalam pertempuran dengan
Ih Seng itu tadi, jelas kepandaian Han Ping maju pesat, “Ah, berbahaya”, demikian
pikirnya. Seketika timbullah lagi nafsu membunuh anak muda itu.
Sepasang mata Ting Yan San yang berbentuk segitiga, pun menatap wajah Han Ping
lekat-lekat. Diam-diam ia membatin, “Anak semuda itu mengapa sudah sedemikian
hebatnya. Entah dari perguruan manakah dia?”
Walaupun ia pernah bertemu sekali dengan Han Ping tetapi waktu itu Han Ping
menyaru sebagai kusir kereta dan mengenakan kedok muka. Sehingga saat itu ia tak kenal
lagi siapa Han Ping,
Melihat gerak gerik Leng Kong Siau dan Ting Yan San yang hendak turun tangan
kepada Han Ping itu, diam-diam Ca Giok kejut-kejut girang. Pikirnya, “Jika kedua tokoh itu
sudah merencanakan hendak membunuh, sukar bagi Han Ping untuk lolos….”
Cin An Ki, kepala dari ke 36 kelompok telaga Tong-thing-ou, diam-diam telah
menetapkan rencana sendiri. Segera ia berseru kepada Ih Seng, “Saudara Ih, harap lekas
menggeledah dara itu. Apakah dia benar-benar menyimpan kitab pusaka dari Lam-haybun.
Kalau sampai orang-orang Bik-lo-san tiba kemari, urusan tentu akan runyam!”
“Saudara Cin benar”, Leng Kong Siau tertawa nyaring, “Jika mau menggeledah harap
lekas saja!”
Dia sendiripuu segera melangkah maju ke tengah gelanggang.
“Bagus, bagus!” Ting Yan San tertawa sinis, “akupun ingin menambah ramai-ramai!”-
Iapun segera mengikuti Leng Kong Siau.
Saat itu Han Ping masih berdiri di muka si dara, seolah-olah menjadi pelindung gadis
itu. Leng Kong Siau. Ting Yan San dan ketiga jago dari Kim-leng masing-masing maju dari
arah berbeda-beda. Diam-diam pemuda itu gelisah. Serangan dari berbagai jurusan itu
dikuatirkan tak dapat dibendungnya.
“Hati-hatilah!” sekonyong-konyong dara baju ungu berseru memberi peringatan,
“mereka hendak membunuhmu!”
Haa Ping berpaling. Dilihat sepasang mata dari Leng Kong Siau dan Ting Yan San
masing-masing memancar sinar berapi-api kepadanya.
Tiba-tiba Han Ping mencium angin harum dan pada lain saat telinganya terngiang suara
lembut, “Bawalah aku ke bawah karang di ujung barat gunung. Mereka tentu tak berani
mengganggumu lagi!”
Han Ping berpaling. Ternyata dara itu sudah tak berada di tempat semula tetapi berada
di sampingnya.
“Hm. sombong benar budak perempuan ini”, gerutu Han Ping dalam hati, “Jelas aku
yang melindunginya mengapa ia berbalik hendak melindungi aku?”
Sekalipun begitu Han Ping menyahut juga, “Masih berapa jauh tempat itu?”
“Setelah keluar dari hutan ini tentu sudah kelihatan! Lebih kurang 5 li”, sahut si dara
dengan nada dingin seperti menyesali Han Ping karena berani bertanya ini itu.
Han Ping makin penasaran atas sikap si dara yang tidak simpatik itu. Perlu apa harus
membantu orang yang tak tahu berterima kasih. Pikirnya terus, berputar diri dan
melangkah pergi.
“Saudara Ji, jangan takut, aku datang membantumu!” tiba-tiba Ca Giok berseru dan
loncat di samping dara itu.
Melihat Han Ping berdiri jajar dengan si dara jelita, diam-diam timbul iri hati Ca Giok,
Maka iapun lalu berseru dan loncat menghampiri.
Han Ping sebenarnya hendak pergi. Mendengar seruan Ca Giok, tiba-tiba tergeraklah
hati Han Ping, pikirnya, “Baiklah, karena sudah terlanjur keluar membantu, tak boleh
kepalang tanggung”
Ia batal pergi dan menghadapi lawan. Ia marah sekali melihat Ih Seng yang menyerbu
dengan kipas besi.
“Mundur!” teriaknya seraya lepaskan sebuah hantaman kepada orang itu.
Pukulan itu dilambari dengan tenaga dahsyat. Ia tumpahkan kemarahannya kepada
jago kipas besi itu.
Sesungguhnya setelah mengetahui kelihaian pemuda itu, Ih Seng tak berani
memandang rendah lagi. Maka dalam penyerbuan ke arah si dara itu ia terus
menggunakan kipas besi demi menjaga kemungkinan Han Ping mengganggunya.
Walaupun ia bergerak paling belakang, tetapi ternyata datangnya paling cepat. Begitu
melihat Han Ping hendak tinggalkan si dara, secepat kilat ia terus mendahului menyerbu si
dara. Tetapi tak diduga-duganya bahwa secara tiba-tiba Han Ping akan merobah
keputusan dan berbalik lagi menghantamnya.
lh Seng benar-benar tersirap kaget ketika mengetahui pukulan Han Ping mengandung
tenaga yang dahsyat. Buru-buru ia loncat ke samping. Tetapi ternyata terlambat. Dan
pukulan Han Ping telah menyambar bahunya. Seketika jago she Ih itu terhuyung-huyung
mundur sampai 6-7 langkah….
Peristiwa itu benar-benar mengejutkan sekalian tokoh-tokoh yang berada disitu, yakni
Imam pencabut nyawa Ting Yan San dan Leng Kong Siau. Mereka hentikan serbuannya.
Tiba-tiba terdengar dua buah jeritan ngeri. Ketiga jago dari Kim-leng yang menyerbu ke
dalam hutan, serempak menerobos keluar lagi.
Ketika melihat Han Ping lontarkan pukulan dahsyat yang mengejutkan sekalian tokohtokoh,
hati Ca Giok tak keruan rasanya. Diam-diam ia siap segenggam jarum Hong-wiciam
dan terus ditaburkan ke arah ketiga jago Kim-leng itu.
Jarum Hong-wi-ciam atau Sengat tawon, halus seperti rambut dan sekali ditaburkan
dapat menghambur berpuluh-puluh batang. Di waktu meluncur, jarum-jarum itu sedikitpun
tak mengeluarkan suara apa-apa.
Ketiga jago Kim-leng itu termakan beberapa jaium. Dengan menanggung kesaktian
hebat, mereka menerobos lari keluar dari hutan.
Sebenarnya Ca Giok itu seorang muda yang cerdik dan banyak akal. Setiap kesalahan,
selalu ia berusaha untuk menimpakan pada lain orang. Jika tak terdesak sekali untuk
membela diri, tak nanti ia mau menggunakan jarum yang seganas itu dan yang paling
dibenci oleh kaum persilatan. Tetapi entah bagaimana, saat itu ia kehilangan ketenangan
dan tanpa banyak pikir teius lepaskan jarum Hong-wi-ciam.
Han Ping berpaling ke arah Ca Giok, ujarnya, “Demi membela diriku yang suka usil
campur tangan urusan lain orang, saudara telah menimbulkan keonaran. Sungguh
membuat hatiku tak enak!”
Tiba-tiba terdengar suitan tajam memecah udara dan serangkum hawa keras
melandanya dari belakang. Jelas seseorang telah menyerangnya secara menggelap, Tetapi
Han Ping seorang pemuda yang berdarah panas. Hatinya masih diliputi mau menang
sendiri. Tahu bahwa serangan dari belakang itu dahsyat sekali. namun dia tak mau
menghindar. Dengan mengempos semangat. Ia kokohkan kuda-kuda kakinya dan secepat
kilat berputar tubuh terus menyongsong serangan itu.
Ketika memandang ke muka, tampak Leng Kong Siau dan Ting Yan San tegak berjajar
pada jarak beberapa langkah. Wajah kedua tenang sekali sehingga Han Ping agak bingung
untuk menduga siapa yang menyerangnya tadi.
“Hubungan kita sudah seperti saudara, mengapa engkau masih berlaku begitu
sungkan!” tiba-tiba Ca Giok menyelutuk dengan tertawa nyaring.
Mendengar pernyataan itu timbullah pikiran Han Ping. Kalau memang Ca Giok bersedia
membantunya, bukankah dapat ia ajak untuk bersama sama mengantarkan dara biju ungu
itu ke ujung gunung sebelah barat. Dan jika dara itu menghendaki demikian, ia duga
tentulah di tempat itu telah bersembunyi orang-orang Bik-lo-san.
“Karena saudara bersedia membantuku membawa nona itu lolos dari kepungan, harap
saudara yang melindunginya dan aku yang akan membuka jalan!” serunya kepada Ca Giok
lalu dorongkan kedua tangannya ke muka dalam jurus Mendorong gunung menimbun laut.
Beberapa tokoh yang menghadang jalan itu, terpaksa menyisih ke samping karena
gentar akan kedahsyatan pukulan pemuda itu. Dan begitu jalan terbuka, Han Ping segera
menyusup maju. si darapun tak diperintah, terus mengikuti di belakangnya.
Sambil kedua tangan siapkan jarum Hong-wi-ciam, Ca Giok berteriak nyaring “Barang
siapa berani mengejar, silahkan mencoba jarum Hong-wi-ciam dari marga Ca!”
Jarum Sengat tawon itu memang termahsyur ganas. Selain orang yang berilmu tinggi
dan memiliki lwekang sakti, setiap orang persilatan tentu akan runtuh nyalinya mendengar
jarum beracun itu.
Ting Yan San dan Leng Kong Siau diam-diam geli melihat ketiga anak muda itu menuju
ke sebelah barat, Pikirnya, “Jelas karang gunung di sebelah barat itu buntu. Mereka tentu
terputus jalan dan mudah kita sergap, Sekarang biarlah mereka ke sana, tak perlu
dihalangi!”
Kedua tokoh itu tak mau turun tangan ikut-ikut menghadang. Mereka hanya mengikuti
ketiga pemuda itu menuju ke barat. Karena kedua tokoh itu diam saja, sudah tentu
sekalian orangpun tak berani bertindak lebih dulu. Dengan demikian, diluar
persangkaannya, dapatlah Han Ping mengantar ke tempat tujuan yang dikehendakinya.
Kiranya di antara kawanan jago silat yang mengepung itu, hanya Leng Kong Siau, Ting
Yan San, Ih Seng, Cin An Ki dan beberapa orang saja yang berkepandaian tinggi, Begitu
pula Ih Seng dan Cin An Ki paling banyak sendiri membawa rombongan anak buah. Oleh
karena itu, dengan tidak bergeraknya beberapa tokoh itu, sekalian orangpun tak berani
bertindak sembarangan.
Begitu keluar dari hutan menuju ke barat, Han Ping memang melihat sebuah karang
yang menjulang curam. Ia berpaling ke arah si dara, Baru ia hendak membuka mulut, dara
itu sudah mendahului, “Tak perlu bertanya, memang puncak karang itu!”
Dara itu cerdas dan tangkas sekali. Begitu melihat Han Ping berpaling. Cepat ia sudah
dapat menduga apa yang dikandung hati pemuda itu.
Han Ping terkesiap, ia berpaling ke muka lagi dan lanjutkan langkah. Sedang Ca Giok
tetap mengawal di belakang si dara. Beberapa kali ia lontarkan pandangan ke arah
rombongan jago-jago yang mengikuti pada jarak setombak jauhnya di belakang.
Kira-kira satu li jauhnya, tiba-tiba dara baju ungu itu berseru “Perlahan sedikitlah!”
Ketika berpaling, Han Ping melihat dara itu tertinggal setombak di belakang. Diam-diam
ia kerutkan dahi. Ia tak puas dengan nada si dara yang congkak tetapi entah bagaimana,
ia menurut juga permintaan dara itu, Terpaksa ia lambatkan langkahnya.
Ca Giok hanya terpisah setengah meter dari si dara baju ungu. Dilihatnya dara itu
merah mukanya dan agak terengah-engah, menunjukkan sikap seorang gadis yang lemah.
Serentak timbullah rasa kasihannya.
“Apakah engkau tak dapat berjalan?” tegumya.
Tanpa berpaling kepala, dara itu menyahut, “Karena mereka tak mengejar perlu apa
aku harus terburu-buru?”
Ca Giok tak dapat menjawab lagi. Tetapi diam-diam ia berpikir, “Dahulu dalam
pertemuan besar di gunung Heng-san, di hadapan seluruh tokoh-tokoh persilatan
Tionggoan. Lam-hay Ki-soh telah mendebat ilmu pelajaran silat dari Tionggoan sehingga
tokoh-tokoh persilatan itu menjadi patah hati. Sejak itulah maka ilmu pelajaran dari Lamhay-
bun dan kitab pusakanya menjadi buah bibir dunia persilatan. Sebagai anak murid
perguruan Lam-hay-bun, dara ini tentu memiliki kepandaian yang sakti. Mengapa baru
berjalan beberapa langkah saja, ia sudah tampak begitu payah? Apakah ia memang
sengaja pura-pura bersikap begitu?”
Diam-diam Ca Giok melirik. Dilihatnya dara itu tenang sekali. Sedikitpun tak mengunjuk
ketakutan. Dugaan Ca Giok makin keras.
Para jago-jago yang mengikuti ketiga pemuda itu, pun lambatkan langkahnya. Mereka
tetap menjaga jarak setombak jauhnya dari ketiga anak muda itu.
Perjalanan sedekat itu, jika Han Ping sendiri, hanya memerlukan waktu sebentar saja.
Tetapi karena harus mengawal si dara, lama sekali baru ia dapat mencapai karang gunung
itu.
Memandang ke atas, puncak karang yang menjulang itu terdapat sebuah cekung yang
dalamnya hampir 5 tombak dan lebar setombak. Seperti gua bukan gua, lembah bukan
lembah. Kecuali cekung karang itu, tiada lain tempat lagi yang dapat dibuat meneduh.
Diam-diam Han Ping juga dibuatnya, “Aneh, tempat ini tiada dapat menembus ke lain
tempat. Dan tiada tampak orang-orang Bik-lo-san sama sekali. Tetapi mengapa dia minta
diantar kemari?”
Dara itu melirik sebentar ke arah Han Ping lalu menyuruhnya, “Carikan ranting-ranting
bambu, mereka tentu pergi!”
Han Ping tertegun, ujarnya, “Baiklah! Harap saudara Ca melindunginya, aku hendak
mencari ranting bambu. Setelah itu baru kita lanjutkan perjalanan lagi!”- ia berputar diri
terus melangkah ke arah kiri.
Mata dara itu berkeliaran memandang Ca Giok, ujarnya, “Ambillah batu-batu di sekitar
tempat ini kemari!”
Sejak kecil, Ca Giok seorang anak yang manja. Ia hanya tahu memerintah bujangbujangnya
tak pernah diperintah. Sudah tentu janggal telinganya mendengar perintah
dara itu. Tetapi entah bagaimana, ia menurut juga untuk mengumpulkan batu-batu itu dan
ditaruh di samping si dara.
Oleh karena melihat dara itu tak bergerak kemana-mana, para jago-jago itupun tetap
tinggal menjaga di tempat masing-masing.
Tak berapa lama Han Pingpun muncul membawa seonggok batang bambu. Si dara
menyatakan sudah cukup. Lalu ia menjemput dua batang bambu dan ditancapkan ke
tanah.
Han Ping tak tahu apa maksud dara itu. Ia hanya mengawasi di samping saja. Tetapi
lain dengan Ca Giok. Begitu memperhatikan letak bambu itu, segera ia menyadari bahwa
dara itu tengah membentuk sebuah barisan. Tetapi ia sendiri tak tahu apa nama barisan
itu. Karena susunannya bukan seperti barisan Pat-kwa, bukan pula mirip Kiu-kiong-tin.
Selesai menancapkan bambu, dara itu mengambil batu dan ditancapkan pada sela-sela
bambu satu dengan bambu lain. Selesai itu, ia membawa empat batang ranting,
menghampiri kedua pemuda itu, tanyanya, “Apakah kalian berdua kepingin masuk ke
dalam barisan?”
Sahut Han Ping, “Jajaran batang bambu dan batu-batu itu, masakan dapat merintangi
orang? Karena sudah berjanji hendak melindungimu, tak nanti kita tinggalkan setengah
jalan. Tak kulihat seorangpun orang-orangmu berada disini. Selagi hari masih siang,
marilah kami antarkan engkau pulang ke Bik-lo-san!”
Dara baju ungu itu gelengkan kepala, “Datang memang mudah tetapi perginya sukar.
Asal aku pergi selangkah saja. Tentu akan timbul pertempuran besar. Sekalipun kalian
sakti, tak mungkin dapat memenangkan sekian banyak orang. Kalian tak kenal padaku
tetapi kalian telah membantu diriku. Aku merasa berterima kasih. Jika kalian suka bersama
aku berada dalam barisan, silahkan masuk. Tetapi jika mau pergi, akupun tak dapat
mencegah….”- dalam pada berkata-kata, ia tancapkan dua batang bambu lagi ke tanah.
“Karena nona yakin bambu dan batu itu mampu menolak musuh, akupun terpaksa
minta diri saja”, kata Han Ping terus berputar diri dan melangkah ke muka.
Sesungguhnya Ca Giok ingin menemani dara itu di dalam barisan. Tetapi demi melihat
sinar mata para tokoh-tokoh berapi-api menumpah kepadanya dan Han Pingpun pergi, ia
gentar juga. Jika saja barisan Bambu-batu itu tak dapat menahan serbuan mereka, jelas ia
akan ikut celaka. Ah, lebih baik ia tinggalkan tempat itu saja.
“Karena nona percaya barisan ini dapat menolak musuh, kamipun tiada gunanya lagi
berada disini….” katanya kepada dara itu. Lalu dengan suara nyaring ia berseru kepada
Han Ping, “Saudara Ji, tunggulah, aku juga ikut pergi!”
Han Ping berhenti dan berpaling, “Jika saudara Ca ingin tinggal, silahkanlah, Aku akan
pergi dulu….”
Tiba-tiba ia teringat akan keadaan Ting Ling. Kedua nona itu tentu menunggu dengan
cemas. Karena membantu si dara baju ungu, sampai ia tertahan disitu beberapa lama,
Entah bagaimana dengan Ting Ling yang terluka itu.
Pada saat itu Ca Giokpun sudah loncat ke sampingnya. Melihat Han Ping termenungmenung
seperti merenungkan sesuatu, bertanyalah Ca Giok, “Apakah yang saudara
pikirkan? Jika saudara ingin tinggal dalam barisan menemani si dara baju ungu itu, akupun
bersedia menunggu disini”.
Ca Giok benar-benar tersengsam dengan kecantikan dara baju ungu itu sehingga ia
cemburu pada Han Ping yang dikiranya tentu sayang meninggalkan si jelita itu. Tapi
karena tadi ia sudah menyatakan hendak ikut pergi dengan Han Ping, maka ia terpaksa
gunakan kepandaian lidahnya untuk memutar omongan sedemikian rupa. Mempersilahkan
Han Ping masuk sedang ia akan menunggu diluar saja. Memang licinlah Ca Giok itu….
Han Ping gelengkan kepala tertawa hambar, “Aku tengah mempertimbangkan, apakah
keadaan nona Ting Ling yang terluka itu, perlu kita beritahukan pada pamannya?”
Walaupun kedua pemuda itu bicara dengan perlahan tetapi telinga Ting Yan San tajam
sekali, ia dapat menangkap pembicaraan mereka.
Maju selangkah, berkatalah jago she Ting itu, “Siapakah yang kalian katakan itu?”
Ca Giok terseuyum, sahutnya, “Pada saat bertemu locianpwe, seharusnya kami
memberitahuKan kepada locianpwe tentang nona Ting Ling yang terluka parah karena
diserang senjata beracun oleh orang. Keadaan nona Ting benar-benar berbahaya….”
Ia sengaja berhenti sebentar untuk menyelidiki reaksi Ting Yan San.
Tetapi Ting Yan San si Imam pencabut nyawa itu juga seorang rase yang licin, Ia
sengaja tenang-tenang saja. Beberapa saat kemudian baru ia bertanya dengan nada
hambar, “Siapakah manusia yang bernyali begitu besar, berani melukai putri dari Lembah
Raja setan?”
“Luka nona Ting Ling amat parah sekali, apakah locianpwe tak menjenguknya?” tanya
Han Ping.
Mata jago tua itu berkeliaran memandang sekalian hadirin. Akhirnya menumpah pada
diri si dara baju ungu. Dengan langkah gemulai, dara itu melangkah ke dalam karang
gunung.
Ca Giok tahu Ting Yan San tak dapat melepaskan hasratnya untuk merebut kitab
pusaka Lam-hay-bun. Diam-diam Ca Giok menimang, “Setan tua Ting ini berilmu tinggi,
jika berada disini, menambah bahaya bagi dara itu. Lebih baik kuperolok supaya dia mau
menjenguk anak keponakannya. Dengan demikian dapat mengurangkan bahaya disini”.
Entah bagaimana Ca Giok sudah jatuh hati pada dara cantik itu. Tanpa disadari ia
sudah berusaha untuk kepentingan dara itu.
“Nona itu telah menderita pukulan lwekang sakti dari seseorang”, ia berkata kepada
Ting Yan San, “Badannya panas sekali, jiwanya dalam bahaya. Bersama saudara Ji, aku
telah mencari penyerang itu, tetapi diluar dugaan kami tiba disini….”
Kata-kata pemuda itu benar-benar telah membuat Ting Yan San gugup. Sekalipun dia
seorang yang ganas dan membunuh orang seperti membunuh lalat saja, tetapi dalam hati
kecilnya ia amat menyayangi kedua kemanakannya itu. Terutama terhadap Ting Ling ia
lebih menyayangi. Tetapi karena memang perangainya dingin dan angkuh, ia tak mau
mengunjukkan rasa kesayangannya itu kepada sang keponakan. Dan karena sikapnya
yang dingin itu, Ting Ling maupun Ting Hong menganggap pamannya itu memperlakukan
mereka seperti memperlakukan orang luar saja.
“Dimanakah mereka sekarang ini?” seru Ting Yan San dengan tegang.
“Dalam sebuah gua tak jauh dari sini”, sahut Ca Giok.
Sambil gentakkan kebut hudtim, Ting Yan San segera minta kepada Ca Giok
mengantarkannya ke tempat Ting Ling.
Dengan sikap yang menghormat Ca Giok segera meminta jago she Ting itu berjalan
lebih dulu.
Ting Yan San sejenak memandang ke arah sekalian tokoh-tokoh lalu menatap Han
Ping. Pada saat ia hendak membuka mulut, Ca Giok sudah mendahului, “Locianpwe, waktu
sangat berharga, silahkan mengikuti kami!”- ia memberi isyarat mata kepada Han Ping.
Kedua pemuda itu segera menuju ke gua tempat kedua nona Ting.
Sekalian tokoh memang heran atas sikap Ting Yan San yang mendadak hendak
tinggalkan gelanggang mengikuti kedua pemuda itu. Padahal saat itu, suasana sedang
mencapai puncak ketegangan. Sekalian tokoh sedang bersiap-siap menyerbu si dara….
Ketika berpaling dan melihat Ting Yan San mengikuti, Ca Giok cepatkan langkahnya.
Sebagai seorang yang cermat, ia sudah dapat memahami seluk beluk jalanan di gunung
itu. Dengan berloncatan dalam waktu yang singkat saja ia sudah tiba di gua tempat
persembunyian kedua nona itu. Sambil menunjuk ke gua, ia berseru, “Nona Ting berada
dalam gua ini, silahkan locianpwe masuk!”
Sejenak Ting Yan San memperhatikan keadaan di sekeliling tempat lalu baru kemudian
ia melangkah masuk.
Saat itu Ting Hong gelisah setengah mati. Keadaan tacinya makin payah, napasnya
makin lemah. Sekonyong-konyong ia melihat sesosok tubuh kurus tinggi menyelinap
masuk. Bermula ia terkejut sekali tetapi setelah melihat siapa yang datang, berlinanglinanglah
airmatanya, “Paman….”
Tetapi Ting Yang San tetap bersikap dingin. Ia tak menghiraukan dara itu, melainkan
menjamah dahi Ting Ling. Panasnya tinggi sekali. Kemudian ia memeriksa denyut
pergelangan tangan, pun lemah sekali. Ting Ling dalam keadaan tak sadar.
“Tacimu parah sekali lukanya! Siapakah yang melukainya? Lekas bilang!” serunya
kepada Ting Hong.
Segera Ting Hong menuturkan peristiwa tacinya dilukai oleh si wanita baju hijau.
“Panggul tacimu dan ikutlah aku!” bentak Ting Yan San dengan bengis.
Ting Hong melakukan perintah itu lalu mengikuti pamannya keluar gua.
“Bagaimanakah luka nona Ting? Apakah menurut pendapat locianpwe, nona Ting masih
ada harapan ditolong?” seru Ca Giok demi melihat Ting Yan San keluar dari gua.
“Sau-pohcu paham sekali akan jalanan disini. Maukah sekali lagi engkau menjadi
penunjuk jalan?” tanya Ting Yan San.
Ca Giok terkejut namun pura-pura ia bersikap tenang, sahutnya, “Sesungguhnya baru
pertama kali ini aku datang kemari. Tetapi karena locianpwe yang memberi perintah,
akupun tak berani nolak. Tetapi entah hendak menuju kemanakah locianpwe ini?”
Sepasang mata Ting Yan San memancar api dan hidungnya mendengus. Ia berteriak
keras, “Aku hendak mencari dan membikin perhitungan dengan si tua bangka Cong To!”
Baru Ca Giok hendak berkata, Han Ping sudah mendahului, “Saat ini kurang tepat untuk
mencari Cong locianpwe. Menurut pendapatku yang bodoh, jika locianpwe merasa tak
dapat mengobati luka nona Ting, rasanya lebih baik kita melakukan pengejaran pada
wanita yang telah melukainya itu!”
Gundu mata Ting Yang san membalik, sahutnya bengis, “Apa yang kulakukan, apa
sangkut pautnya dengan engkau? Harap jangan banyak omong!”
Han Pingpun seorang pemuda yang berhati keras. Sudah tentu tak taham mendengar
kata-kata yang begitu angkuh. D engan busungkan dada ia menyahut lantang, “Aku
sendiripun pernah menderita luka dari Cong locianpwe. Dan untuk itu aku harus
beristirahat di dalam gua. Banyaklah kedua nona Ting itu membantu aku. Bahwa sekarang
nona Ting Ling menderita luka parah, sudah tentu aku tak dapat berpangku tangan. Dan
kini setelah locianpwe bertemu dengan nona Ting, tanggung jawabkupun sudah selesai.
Maaf, akupun hendak minta diri,” Han Ping terus berputar diri dan melangkah pergi.
Diam-diam Ca Giok terkejut. Ia sungkan untuk meninggalkan tempat itu, mengingat
hubungan baik Lembah Raja setan dengan marga Ca. Tetapi pada saat itu, ia masih
membutuhkan tenaga Han Ping.
Tengah dia gelisah mencari daya, tiba-tiba Ting Yan San berseru memanggil Han Ping,
“Hai, anak muda, kembalilah, aku hendak bicara!”
Sesungguhnya, hati kecil Han Ping tak tega meninggalkan Ting Ling yang parah itu.
Tetapi karena sudah terlanjur bilang, terpaksa ia harus pergi. Mendengar panggilan Ting
Yan San itu, cepat ia lari menghampiri dan berdiri di atas karang.
“Silahkan locianpwe memberi pesan,” serunya.
Imam pencabut nyawa itu seorang yang keras dan ganas. Terhadap orang, ia tak
pernah berkata merendah. Begitu tak menyukai sikap orang, ia terus turun tangan
menghantamnya. Hanya terhadap Han Ping, karena diam-diam mengagumi kegagahan
dan bakat pemuda itu, ia mau bicara dengan ramah.
“Aku si orang tua ini sudah kenyang berkecimpung dalam dunia persilatan. Bagaimana
watak dan pribadi, mungkin engkau sudah mendengar. Kulihat engkau berbakat bagus
dan cerdas. Tetapi belum mempunyai pengalaman dalam dunia persilatan- Aku sayang
akan bakat kepandaianmu maka dengan kesungguhan hati aku hendak memberi sepatah
dua patah kata nasehat. Engkau mau menerimanya atau tidak, terserah saja.
Kini banyak bermunculan jago-jago muda yang suka menonjolkan diri, memamerkan
kepandaian, suka main jago-jagoan. Tak menghiraukan undang-undang negara dan
peraturan persilatan. Mereka gemar menimbulkan onar, mengikat permusuhan,
mengagungkan diri sehingga akhirnya menemui kebinasaan. Mereka bernafsu besar, tetapi
berkepandaiankecil. Ingin memeluk gunung, tetapi tangan tak sampai dan akhirnya hanya
menemui kesudahannya yang mengenaskan. Jika tidak cacad seumur hidup tentu mati tak
terurus. lnilah yang hendak kuhaturkan kepadamu, anak muda. Engkau mempunyai
harapan besar dan hari depan yang gemilang. Harap engkau suka menjaga diri dan tahu
menempatkan diri. Pepatah mengatakan, “Bahagia dan Celaka itu. orang yang akan
menentukan sendiri. Dalam hal itu perbuatan kitalah yang akan menentukan apa yang kita
terima. Begitulah yang hendak disampaikan kepadamu. Nah, sampai berjumpa lain
waktu!”
Habis berkata jago dari Lembah Raja setan itu berputar tubuh terus lari menyusul Ting
Hong yang memanggul tacinya.
“Nasehat yang berharga dari locianpwe itu akan kuukir dalam sanubariku. Akan
kujadikan pedoman dalam setiap langkahku. Saat ini Cong locianpwe sedang mengobati
muridnya dalam biara. Jika locianpwe kesana hendak membuat perhitungan, bukankah
akan memberi kesan yang tak baik bagi kewibawaan locianpwe? Karena menantang oraag
yang sedang menderita, tentu dikatakan orang, kurang layak!”
Ting Yan San berpaling dan memandang Han Ping dengan marah, “Sudah kukatakan
kepadamu, hal ini tiada sangkut pautnya dengan engkau. Apakah engkau belum
mengetahui watakku!”
Han Ping mendengus, “Pada waktu di hotel Megah Ria tempo hari, aku sudah pernah
menerima pelajaran locianpwe!”
Mendengar kata-kata hotel Megah Ria, seketika tahulah Ting Yan San kemana arah
kata-kata Han Ping itu.
“Jika engkau tak lekas tinggalkan tempat ini aku akan bertindak diluar batas!” serunya
bengis.
“Langit di atas. Bumi di bawah. Orang bebas hendak pergi atau datang. Jika locianpwe
memang bermaksud begitu, terpaksa akupun akan melayani!”
Sepasang Mata Ting Yan San memancar api. Ia hendak maju menghampiri tetapi
sekonyong-konyong Ting Hong menjerit keras. Sekalian orang terkejut dan buru-buru
menghampiri. Ternyata Ting Ling rebah di dada Ting Hong. Wajahnya pucat, tangan
melentuk. Dari mulutnya mengalir darah anyir membasahi dada Ting Hong.
Karena dipanggul keluar oleh adiknya dan terhembus angin segar, Ting Ling tersadar
dari pingsannya. Tetapi saat itu ia mendengar pamannya cekcok dengan Han Ping. Ia
gugup. Seketika darahnya meluap keluar dan pingsan lagi.
Ting Yan San yang sudah naik darah, karena mendengar jeritan Ting Ling, cepat
berputar diri dan menghampiri nona itu. Ditutuknya dua buah jalan darah Ting Ling
kemudian berkata kepada Ting Hong “Tacimu menderita luka begini berat, mengapa tak
engkau bawa pulang tetapi malah engkau bawa keluyuran kemana-mana?”
Selain berangasan, Ting Yan San juga seorang pemarah. Melihat Ting Ling muntah
darah, ia tumpahkan kemarahannya kepada Ting Hong.
Biasanya Ting Hong memang takut kepada pamannya yang bengis itu. Apalagi saat itu
Ting Yan San deliki mata kepadanya. Dia makin takut sehingga menyurut mundur dua
langkah.
“Menilik luka taci yang begitu parah, aku kuatir tak keburu mencapai Lembah kita,
maka….”
Sambil memandang dingin-dingin ke arah Han Ping dan Ca Giok, Ting Yan San cepat
menukas, “Maka engkau lantas menurut kata-kata mereka, menjaga tacimu dalam gua
ini….”
Tiba-tiba ia berteriak sengit sekali, “Tacimu tidak mati di tangan wanita baju hijau itu
tetapi di tanganmu….”
Sekonyong-konyong Han Ping loncat ke muka Ting Hong, serunya kepada Ting Yan
San, “Karena aku sudah berjanji hendak mencari wanita baju hijau itu untuk mencarikan
obat nona Ting Ling. Biar bagaimanapun juga, aku pasti akan menyelesaikan hal itu.
Harap locianpwe jangan mendakwa yang tidak-tidak kepada nona Hong. Kalau benar nona
Ling mati karena keterlambatan nona Hong membawa pulang, aku sanggup mengganti
dengan jiwaku….”
Ting Yan San tertawa dingin, “Ucapan seorang lelaki kokoh kekar seperti gunung. Pada
saatnya, jangan engkau menyesal!”
“Sepatah kata, seribu tail emas harganya. Harap locianpwe jangan kuatir!” sahut Han
Ping.
Melihat sikap melindungi yang ditunjukkan Han Ping, dua tetes airmata menitik dari
kelopak mata Ting Hong. Hatinya besar, nyalinya tumbuh kembali.
“Harap sam siok jangan menumpahkan kemarahan padaku lagi. Jika taci Ling sampai
mati, akupun tak mau hidup lagi. Aku akan bunuh diri di hadapan jenazah taci!” katanya
kepada Ting Yan San.
Ting Yan San tertegun, serunya, “Bagus, bagus!” Ia berputar tubuh terus ayunkan
langkah.
Saat itu Ting Hong merasa hampa. Dia tak menghiraukan segala urusan di dunia lagi.
Berpaling ke arah Han Ping ia tertawa rawan. Airmatanya membanjir turun. Memanggul
tacinya, ia segera berjalan mengikuti pamannya.
Han Pingpun berpaling kepada Ca Giok, lalu ayunkan langkah mengikuti dibelakang
Ting Hong. Ca Giok terpaksa mengikuti.
Walaupun tampaknya tenang, tetapi sesungguhnya Ting Yan San cemas sekali
memikirkan keadaan gadis kemenakannya itu.
Dia berjalan tanpa sadar dan tahu-tahu tiba lagi di tempat barisan Bambu batu dari si
dara baju ungu tadi. Seketika timbullah keinginannya untuk merebut kitab pusaka itu lagi.
Tetapi ketika memandang keadaan barisan itu, tersiraplah darahnya. Dilihatnya dara
baju ungu itu tengah duduk di atas sebuah batu karang besar di tepi barisan, sambil
tertawa hina melihat Leng Kong Siau dan Ih Seng sedang terkurung dalam barisan.
Juga Han Ping merasa aneh. Mengapa tokoh-tokoh macam Leng Kong Siau dan Ih Seng
sampai tak mampu keluar dari barisan semacam itu.
Memang sepintas pandang. Barisan itu hanya seperti anak-anak bermain-main saja.
Batang bambu ditancapkan disana sini dengan diberi gunduk batu-batu. Sama sekali tak
tampak sesuatu yang mencurigakan. Tokoh-tokoh semacam Leng Kong Siau dan Ih Seng
dengan dua tiga kali loneatan saja tentu sudah dapat menerobos keluar.
Tetapi apa yang terjadi pada saat itu, ternyata mengejutkan orang. Kedua tokoh itu
tetap terkurung dalam barisan itu.
Setelah mengawasi barisan beberapa jenak, berkatatah Ting Yan San kepada Ca Giok,
“Ayahmu tersohor mahir dalam ilmu barisan dan ilmu siasat. Rasanya kaupun mewarisi
kepandaian itu bukan?”
Ca Giok tersenyum, ujarnya, “Aku seorang bodoh, sukar menyamai kepandaian ayah.
Sekalipun ayah mengajarkan juga ilmu itu, tetapi yang kumengerti hanya kulit luarnya
saja”.
“Ah, di dunia persilatan siapakah yang tak kenal akan kepandaian ilmu barisan dari
marga Ca? Silahkan mengamat-amati barisan bambu dan batu dari anak perempuan itu.
Apakah terdapat jalan untuk membobolkannya. Jika engkau menemukan jalan itu,
sekarang juga kita boleh menerjangnya dan memaksa anak perempuan itu menyerahkan
kitab pusaka. Leng loji dan Ih Seng sudah terkurung, hanya tinggal Cin An Ki seorang. Tak
nanti dia mampu merintangi maksudku mendapatkan kitab pusaka itu. Walaupun masih
ada lain-lain tokoh yang berjumlah besar, tetapi mereka tak berguna semua. Kesempatan
sebagus ini, sukar untuk kita peroleh lagi”.
Ca Giok mengawasi barisan itu dengan seksama. Ia merasa barisan itu berbentuk
seperti Ngo-heng-tin (barisan Lima Unsur). Tetapi di tengahnya ditambah dengan
beberapa gunduk batu. Tak tahu ia apa kegunaan batu itu.
Melihat pemuda itu terlongong memandang barisan. Diam-diam Ting Yan San
membatin, “Orang menyohorkan pemuda itu mahir dalam ilmu barisan. Ah, jika tak
kujanjikan sesuatu kepadanya, dia tentu tak mau memberitahukan sejujurnya”.
“Bagaimana, apakah sau pohcu sudah mengetahui rahasia barisan itu?” tanyanya
kepada Ca Giok.
Ca Giok gelengkan kepala, “Memang mengetahui sedikit rahasia masuknya. Barisan itu
bentuknya mirip barisan Ngo-heng-tin, tetapi berbeda dengan Ngo-heng-tin yang
kebanyakan. Sampai saat ini, aku belum dapat meneropong keseluruhannya….”
Ting Yan San tertawa hambar, “Sau pohcu, jika engkau dapat menemukan jalan masuk
dari barisan itu, aku tentu takkan melupakan jasamu. Setelah mendapatkan kitab pusaka
itu, kita bagi dua, masing-masing separuh bagian”.
“Ah, locianpwe terlalu sungkan. Mana aku berani mengharapkan hal itu”, kata Ca Giok
merendah.
“Sepanjang hidup, Aku tak pernah bohong dan tak pernah menjilat kata-kataku lagi!”
“Hubungan antara Lembah Raja setan dengan marga Ca, adalah seperti bibir dengan
gigi. Masakan aku berani menyangsikan locianpwe?” sahut Ca Giok.
Ting Yan San mendengus, katanya, “Anak muda, jangan banyak cakap yang tak
berguna. Saat ini waktu berharga sekali. Lekas antarkanlah aku masuk ke dalam barisan
itu!”
Ca Giok tertegun, pikirnya, “benar-benar sampai detik ini aku belum dapat mengetahui
rahasia barisan itu. Jika nekad masuk, dikuatirkan akan menemui nasib seperti Leng Kong
Siau dan Ih Seng. Tentu tak dapat keluar lagi. Tetapi kalau kukatakan kesulitanku ini, dia
tak mau percaya….”
Karena hal itulah maka sampai beberapa jenak Ca Giok diam saja.
Sekonyong-konyong Ting Yan San melesat ke samping Ca Giok terus mencengkeram
siku kanan pemuda itu, katanya dengan tertawa. Mari kita bersama masuk! Dan jangan
pikiranmu terganggu memikirkan diriku….”
Ca Giok tertawa hambar, “Karena locianpwe tak percaya pada omonganku, jika sampai
terkurung tak dapat keluar, harap jangan salahkan aku”.
Tetapi Ting Yan San tetap tak percaya. Ia tahu ayah Ca Giok seorang ahli ilmu barisan.
Masakan putranya tak pandai ilmu itu.
“Asal engkau mau menemani aku, tak apalah kalau nanti sampai terkurung”, katanya
tertawa seraya menyeret pemuda itu diajak masuk ke dalam barisan.
Memang walaupun tidak menyamai ayahnya, tetapi karena sejak kecil telah
mempelajari ilmu itu dengan tekun, Ca Giok memiliki dasar ilmu pengetahuan itu dengan
luas. Sekalipun ia tak tahu apa guna tumpukan batu-batu itu, namun ia sudah mengetahui
bahwa bambu-bambu yang ditancapkan si dara itu merupakan bentuk barisan Ngo-hengtin,
Maka ia tak gugup waktu diseret Ting Yan San ke dalam barisan.
Ting Yan San seorang rase tua yang berpengalaman. Sambil menarik si pemuda, diamdiam
ia memperhatikan perobahan air muka Ca Giok. Ketika melihat wajah pemuda itu
tenang-tenang saja, diam-diam ia puas. Tentulah pemuda itu sudah mengetahui rahasia
barisan. Demikian dugaannya.
Sebenarnya pada saat Ting Yan San mencengkeram lengan Ca Giok, Han Ping sudah
mau bergerak menolong. Tetapi melihat Ca Giok tenang-tenang saja, diapun batalkan
niatnya.
Tiba-tiba Ting Hong menghela napas dan melangkah ke tempat Han Ping. Ujarnya
rawan, “Mungkin taciku sudah tiada harapan lagi….”
Han Ping berpaling memandang ke arah Ting Ling yang berada dalam pelukan Ting
Hong. Tampak wajah nona itu pucat lesi, mata memejam dan napasnya lemah sekali. Han
Ping kerutkan dahi.
“Jika taci meninggal, kami berduapun takkan hidup juga,” Ting Hong tersenyum redup.
“Benar”, desus Han Ping, “aku telah berjanji kepada pamanmu, jika dia sampai
meninggal, akupun akan menebus dengan jiwaku juga”.
“Juga aku begitu, Taci mati, aku tak mau hidup lagi”, sahut Ting Hong
Baru Han Ping hendak bicara, tiba-tiba terdengar Ting Yan San memekik keras. Cepat ia
berpaling. Ternyata saat itu Ting Yan San menyeret Ca Giok masuk ke dalam barisan.
Pada saat hendak masuk, Ting Yan San bersemangat sekali. Tetapi setelah masuk ke
dalam barisan, tiba-tiba ia seperti seorang tawanan yang kebingungan. Tetapi ia masih
tetap mencekal lengan Ca Giok.
Beberapa jenak kemudian, tiba-tiba Ca Giok mengisar tiga langkah ke sebelah kanan.
Sedang Ting Yan San yang mencurahkan seluruh perhatian, begitu melihat Ca Giok
bergerak, diapun segera gerakkan kakinya. Gerak geriknya mirip dengan orang buta yang
mengandalkan ketajaman telinganya.
Sudah tentu Han Ping heran, Pikirnya, “Hanya beberapa batang bambu dan beberapa
butir batu saja, masakan mempunyai pengaruh yang sedemikian dahsyat. Biarlah
kucobanya sendiri….”
Han Pingpun ayunkan langkah menuju barisan itu.
“Engkoh….mau kemana engkau?” Ting Hong berseru cemas.
“Tunggu dan jagalah tacimu diluar sini, aku hendak melihat-lihat barisan itu!” sahut
Han Ping.
“Marga Ca termahsyur pandai dalam ilmu barisan. Pamanku telah mengajak Sau pohcu
masuk ke dalam barisan itu. Mereka tentu tak sampai menderita sesuatu. Mengapa
engkau hendak masuk seorang diri?”
“Karena aku tak percaya barisan bambu dan batu itu mampu mengurung orang.
Apalagi aku tak mau masuk ke bagian yang dalam. Asal sudah beberapa langkah, aku
akan keluar lagi!” sahut Han Ping.
“Tetapi kalau engkau sampai terkurung tak dapat keluar, bagaimana nanti?” Ting Hong
makin cemas.
“Ah, tak perlu kuatir. Kalau lain orang tak takut, masakan aku tak berani!”
Selama bergaul beberapa hari itu, Ting Hong kenal akan perangai Han Ping yang keras
kepala. Dara itu makin gelisah.
“Kalau kalian banyak masuk ke dalam barisan itu, bukankah kalian sudah tak mau
menghiraukan taciku lagi?” serunya.
Tergerak hati Han Ping mendengar pernyataan dara itu. Berpaling ke sekeliling,
dilihatnya Naga sakti Gun-hay Cin An Ki, kepala dari ke 36 kelompok telaga Tong-thing-ou,
dengan diiring oleh anak buahnya, perlahan-lahan maju menghampiri. Diam-diam Han
Ping menimang dalam hati, “Ah, jika aku benar-benar terkurung dalam barisan itu, tak
mungkin Ting Hong mampu menghadapi sekian banyak orang-orang persilatan. Apalagi
dia harus menjaga tacinya yang sedang terluka parah itu.”
Mengingat kemungkinan itu. Han Ping mundur kembali. Memandang ke arah barisan,
dilihatnya Ca Giok sedang membawa Ting Yan San berbelok ke kanan kiri dan menyusup
ke dalam barisan. Mereka berhasil menyusup sampai setombak lebih.
Melihat itu, si dara yang semula enak-enak duduk di atas batu menikmati Leng Kong
Siau dan Ih Seng terkurung dalam barisan, terkejut lalu buru-buru turun dan menyambar
sebatang bambu, terus masuk ke dalam barisan.
Pada saat mulai memasuki barisan, memang Ca Giok tak menemui kesulitan. Dengan
langkah tepat ia membelok ke kanan dan menikung ke kiri. Tetapi setelah menyusup
setombak jauhnya tiba-tiba ia bingung. Ia menyusup ke kanan dan menyelinap ke kiri
namun sampai beberapa saat lamanya, tetap masih berputar-putar dalam lingkaran dua
tiga meter saja.
Melihat itu, Han Ping merasa cemas buru-buru ia meneriaki, “Saudara Ca, maju terus ke
muka tentu dapat keluar!”
Dengan tenaga dalam yang tinggi, teriakan Han Ping itu menggeledek, berkumandang
ke selurub pelosok penjuru. Tetapi anehnya, Ca Giok seperti tuli. Dia tetap membawa Ting
Yan San berputar-putar hilir mudik….
Saat itu si dara baju ungu sudah tiba di samping kedua orang itu. Dengan mencekal
batang bambu, ia tenang-tenang mengawasi kedua orang itu.
Makin lama Ca Giok makin terburu-buru. Dan Ting Yan Sanpun mengikuti gerakan
pemuda itu, berputar melingkar-lingkar dengan cepat.
Lebih kurang sepenanak nasi lamanya, Ca Giok mandi keringat. Ia letih sekali. Tiba-tiba
sebelah kakinya menginjak sebuah batu dan rubuhlah ia terkapar di tanah!
Tetapi karena jatuh itu, pikirannyapun mulai sadar kembali. Ia menggeliat dan duduk di
tanah. Tak mau ia berlari-lari seperti orang kemasukan setan lagi.
Si dara baju ungu tundukkan kepala merenung, Kemudian perlahan-lahan ia melangkah
maju dua tindak lalu ulurkan batang bambu pada Ca Giok, “Lepaskan dirimu dari
cengkeraman Imam busuk itu. Kubantu kau keluar dari barisan!” serunya perlahan.
Pada waktu Ca Giok terkapar jatuh, Ting Yan Sanpun ikut jatuh. Tetapi tangannya kiri
tetap mencekal erat-erat lengan pemuda itu.
Memang mengherankan sekali. Teriakan Han Ping yang sekeras halilintar memecah
bumi tadi, Ca Giok tak mendengar. Kebalikannya, kata-kata si dara yang diucapkan
dengan bisik-bisik itu, dapat didengarnya jelas. Diam-diam pemuda itu kerahkan tenaga
dalam. Tangan kiri nyambuti batang bambu si dara, sekali loncat bangun dengan secara
tiba-tiba, tangan kanannya serempak meronta dari cengkeraman Ting Yan San.
Betapapun hebat pengalaman Ting Yan San, tetapi benar-benar ia tak menduga sama
sekali bahwa Ca Giok yang jatuh ke tanah itu akan berontak. Gerakan tak terduga-duga
itu, menyebabkan cengkeramannya lepas.
Tetapi betapapun, Ting Yan San memang seorang jago tua yang berilmu tinggi. Dia
dapat memberi reaksi secara cepat. Begitu cengkeramannya lepas ia teruskan tangannya
mencengkeram ke muka.
Brat….Baju Ca Giok bagian bawah, robek sampai setengah meter panjangnya. Tetapi
pemuda itu secepat kilat sudah ditarik oleh bambu si dara. Dia melompati tiga gunduk
batu dan empat batang bambu. Sesaat keluar dari lingkaran tadi, mata Ca Giok seperti
terang kembali, pikirannyapun jernih.
Ia berpaling ke arah barisan. Dilihatnya Ting Yan San tengah duduk bersemedhi
menyalurkan napas. Sebagai seorang tokoh yang banyak pengalaman ia menyadari
keadaan yang dihadapi saat itu. Karena tak mampu menerobos keluar dari barisan, ia
terpaksa duduk bersemedhi memulangkan semangat. Setelah nanti pikiran dan
semangatnya segar kembali, barulah ia akan mencari jalan untuk keluar.
Dalam pada itu, Ca Giok yang kenal lihai, tetap mencekal erat-erat batang bambu si
dara itu dan mengikutinya berjalan di belakang. Setelah keluar dari barisan, barulah ia
lepaskan bambu itu.
Setelah menolong Ca Giok, tanpa menghiraukan pemuda itu lagi, si dara terus
melangkah ke karang gunung, duduk bersandar pada karang itu dan pejamkan kedua
mata….
Ca Giok memandang ke arah Han Ping yang berdiri di muka barisan. Jaraknya dengan
pemuda itu antara empat tombak.
“Bagus saudara Ca. Kuhaturkan selamat atas keluar dari barisan itu dengan selamat,”
seru Han Ping dengan nyaring. “Aku bersama nona Ting Hong hendak mencari si wanita
baju hijau yang melukai nona Ting Ling. Akan kuminta wanita itu menyerahkan obat untuk
nona Ting Ling. Setelah selesai, aku akan kembali kemari menemui saudara!”
Tiba-tiba dara baju ungu itu membuka mata dan bertanya kepada Ca Giok, “Apakah
nona itu menderita luka?”
Sesungguhnya Ca Giok bermaksud hendak memaksa dara itu menyerahkan kitab
pusaka. Tetapi ketika beradu pandang dengan mata dara itu, entah bagaimana luluhlah
keinginannya yang rakus itu. Dan diluar kesadarannya, ia menjawab dengan hormat,
“Benar, nona itu telah dilukai dengan pukulan lwekang ganas dari seseorang!”
Melihat tingkah laku Ca Giok yang begitu sopan santun, tertawalah dara itu, tegurnya,
“Waktu bersama dengan imam busuk itu, engkau tampak bernyala-nyala. Mengapa
sekarang engkau berubah begini menghormat kepadaku?”
Ca Giok seorang pemuda yang pintar dan banyak akal. Tetapi entah bagaimana, di
hadapan dara itu, dia berubah jinak seperti domba. Ketika mendengar sindiran tajam dari
si dara, merahlah selembar wajahnya. Dengan tersendat-sendat ia menyahut, “Ini…. ini….”
“Jangan meng ini-ini saja! Suruh dia membawa nona itu masuk ke dalam barisan sini.
Asal belum mati saja, aku tentu dapat mengobatinya!” seru dara itu dengan nada yakin.
Ca Giok berpikir sejenak lalu berseru menyuruh Han Ping berhenti. Saat itu Han Ping
sudah ayunkan langkah. Terpaksa ia berhenti dan menyahut, “Nona Ting sedang terancam
maut, maaf, lain kali saja kita bicara lagi!”
“Nona itu mengatakan dapat mengobati Ting Ling. Harap saudara Ji membawa nona
Ting masuk kesini!” Ca Giok berseru gugup.
Han Ping berpaling memandang Ting Ling. Dilihatnya wajah nona itu sudah pucat
seperti mayat. Kaki tangannyapun sudah mulai kaku. Setiap saat, malaikat Elmaut akan
merenggut jiwanya….
Jilid 10 : Perjalanan di Makam kuno
Bagian 16
Makam aneh.
“Aku tak tahu tempat tinggal nona itu. Kalau dia berani buka suara dapat mengobati,
tiada jeleknya kita beri kesempatan”, timang Han Ping.
“Karena nona itu hendak mengobati, tak apalah kita coba,” serunya nyaring lalu
membawa Ting Hong dan tacinya ke arah barisan.
Si dara baju ungu mencabut bambu, lalu perlahan-lahan melangkah ke dalam barisan.
Han Ping tetap ingin mencoba keanehan barisan dara itu. Dia tak mau mengikuti di
belakang si dara, terus lari mendahului hendak masuk.
“Jangan terburu-buru masuk ke dalam barisan!” teriak Ting Hong mencegahnya.
Agaknya dara baju ungu itu sudah mengerti isi hati Han Ping. Ia sengaja lambatkan
jalannya.
Mendengar teriakan Ting Hong, Han Ping berpaling. Dilihatnya dara itu tengah
memandangnya dengan pandang mata meratap kasihan. Diam ia tergerak hatinya.
Pikirnya, jika ia tak menghiraukan tentulah Ting Hong makin gelisah. Dia tak mau
menyakiti hati seorang gadis. Akhirnya ia hentikan langkahnya.
Melihat pemuda itu mau mendengar katanya, Ting Hong girang sekali. Wajahnya
berseri-seri pula dan cepat ia loncat ke samping Han Ping.
“Apakah engkau marah kepadaku?” tanyanya tertawa.
“Mengapa aku marah?” Han Ping heran. Tetapi pada lain saat ia tersadar, lalu
menyusuli kata-kata, “Ah, tidak….”
“Bagus”, kata Ting Hong.
Pada saat itu si dara baju ungu sudah tepi di tepi barisan. Ia ulurkan bambunya dan
berseru kepada Han Ping, “Peganglah ujung bambu ini, dan suruhlah anak perempuan itu
memegang bajunya ikut masuk ke dalam barisan!”
Han Ping menurut, ia memegang ujung bambu dan Ting Hong memegang bajunya.
Mereka melangkah masuk. Di bawah tuntunan si dara, memang barisan itu mudah sekali
dimasuki. Dalam sekejap saja, mereka sudah melintasi barisan itu.
Sambil memondong tacinya, Ting Hong berdiri di samping Han Ping dan memandang
lekat-lekat pada dara itu. Entah bagaimana, walaupun ia seorang gadis tetapi ia tertarik
juga melihat kecantikan dara itu.
Si dara membuang batang bambu, memandang Ting Hong dan Ting Ling lalu berkata
seorang diri, “Dia memang parah sekali lukanya!”
Ca Giok yang berdiri di samping dara itu ketika mendengar kata-kata si dara, ia
berputar tubuh dan tanyanya, “Kalau begitu, apakah tiada harapan ditolong lagi?”
Tanpa berpaling, dara itu tersenyum, “Bukankah sudah kukatakan kepadamu, asal dia
belum putus napasnya saja, aku tentu dapat menolongnya”.
“Kalau begitu silahkan memeriksa lukanya”, kata Han Ping
Dara itu mengangguk dan suruh meletakkan Ting Ling di tanah. Ting Hongpun segera
melakukan perintah itu. Sedang Han Ping dan Ca Giok berdiri di belakang Ting Hong,
memandang lekat ke arah dara baju ungu.
Si dara segera memeriksa pergelangan tangan Ting Ling. Beberapa saat kemudian ia
tertawa, “Dia dilukai oleh pukulan lwekang yang ganas . . .”
Han Ping mengiakan, “Benar. dia memang terkena pukulan Sam-yang-khi-kang!”
“Sam-yang-khi-kang….” dara itu mengulang dan merenung beberapa jenak. Kemudian
berkata, “Benar, dalam ilmu silat memang terdapat ilmu semacam itu. Masih untung orang
yang melukainya itu belum sempurna kepandaiannya. Jika kepandaian orang itu sudah
mencapai tingkat tinggi, orang yang dihantamnya tentu dalam dua jam saja sudah mati”.
Legalah hati Ting Hong mendengar keterangan itu, serunya agak gugup, “Sejak
menderita pukulan itu, sampai saat ini sudah lewat empat jam lamanya. Bukankah sukar
ditolong lagi?”
“Tak apa”, sahut dara itu, “orang yang melukainya, masih belum sempurna
kepandaiannya. Sekalipun beberapa jam lagi, tetap masih dapat ditolong. Tetapi….”
“Apakah kesulitan nona?” buru-buru Han Ping berseru.
“Dalam hutan pegunungan yang sesunyi ini, tiada terdapat obat. Terpaksa harus
menggunakan jarum dulu untuk mengusir racun panas. Nanti kutulis resep dan bawalah
dia ke kota membeli obat. Setelah meminumkan dan beristirahat 3 hari, tentu akan
sembuh!”- habis berkata dara itu mengeluarkan sebatang jarum perak. Sebelumnya ia
menanyakan, siapakah di antara rombongan Han Ping itu yang mengerti jalan darah tubuh
manusia.
“Aneh, kalau benar dia pandai dalam ilmu pengobatan, mengapa tak mau turun tangan
sendiri. Sekalipun sudah mendapat pelajaran dari Hui Gong taysu tentang menutuk jalan
darah, tetapi aku tak mengerti ilmu tusuk jarum. Sekali menusuk salah, tentu akan
membahayakan jiwa nona Ting”, – diam-diam Han Ping membatin.
Melihat Han Ping meragu, Ca Giokpun tertawa, katanya, “Sedikit-sedikit aku mengerti
tentang jalan darah manusia. Tetapi dalam hal ilmu tusuk jarum, sama sekali aku tak
mengerti ….”
Dara itu segera angsurkan jarumnya kepada Ca Giok, “Sudah, jangan banyak cakap!
Asal mengerti jalan darah, tak mungkin akan keliru”.
Ca Giok menyambuti jarum lalu berjongkok. Diam-diam ia menentukan jalan darah di
tubuh Ting Ling.
“Pertama, tusuklah jalan darah Giok-tong di dadanya”, tiba-tiba dara itu berseru.
“Kalau jarum tak masuk yang dalam, tentu racun itu tak dapat dikeluarkan” seru si dara
pula.
Ca Giok terpaksa susupkan jarum lebih dalam lagi.
“Engkau pintar” dara itu tertawa, “nah, jarum kedua tusukkan pada jalan darah Siangjiok
di atas pusarnya!”
Ca Giok menurut.
“Jarum ketiga tusukkan pada jalan darah Ngo-ki dan jarum ke empat pada jalan darah
Ho-ciat di perut. Lalu jarum ke lima tusukkan pada jalan darah Thian-tho di lehernya!”
Ca Giok melakukan semua yang diperintah dara itu. Setelah selesai jarum itu diminta
lagi si dara,
“Bagus, sekarang kalian boleh salurkan lwekang untuk melancarkan darah yang
membeku di tubuhnya, Setelah racun panasnya keluar, dia tentu sadar!” habis berkata
dara itu berputar tubuh terus melangkah pergi menuju ke sebuah batu di pinggir karang.
Ia duduk lagi di batu itu.
Ca Giok meminta supaya Ting Hong mengangkat tubuh Ting Ling karena ia hendak
memberikan saluran tenaga murni.
Han Ping cepat menghampiri dan mencegah, “Ah, jangan saudara yang melakukan.
Biarlah aku saja!”
Ca Giok tersenyum. Ia mundur tiga langkah. Berpaling ke arah dara baju ungu
dilihatnya dara itu tengah memandang dengan terlongong-longong ke arah barisan. Ca
Giok menurut arah pandang dara itu. Tiba-tiba berkobarlah amarahnya, “Cara yang ganas
sekali!” serunya.
Saat itu Han Ping sudah duduk bersila dan kerahkan tenaga dalamnya. Demi
mendengar seruan Ca Giok, terpaksa ia ikut memandang ke arah barisan.
Kiranya Cin An Ki, kepala dari 36 kelompok telaga Tong-thing-ou sedang sibuk
mencegah anak buah Ih Seng, tetapi memberi perintah anak buahnya sendiri untuk
mengambil dahan kayu kering dan disuruh menumpuk di luar barisan
Karena tadi mencurahkan perhatian untuk mengikuti pengobatan terhadap Ting Ling.
Han Ping tak sempat melihat keadaan di sekelilingnya. Kini ternyata di luar barisan itu
sudah penuh dengan tumpukan dahan kayu kering dan pekerjaan itu masih terus
berlangsung.
Tiba-tiba dara baju ungu itu berbangkit, serunya, “Barisanku memang dapat menahan
musuh tetapi tak berdaya untuk menghadapi api. Sekarang masih belum terlambat
silahkan kalian tinggalkan tempat ini!”
Ca Giok tertarik oleh kata-kata dara itu. Diam-diam ia menyeringai dalam hati,
“Memang tiada lain cara untuk menghancurkan barisanmu yang istimewa ini kecuali
dengan api….”
Rupanya si dara tahu apa yang terkandung dalam batin Ca Giok. Ia tertawa mengejek,
“Lekas lakukan perintahku tadi agar kalian jangan mendapat kesulitan. Jika terlambat,
tentu celaka….”
Perubahan itu tak memungkinkan Han Ping untuk memberi saluran tenaga dalam
kepada Ting Ling. Ia berbangkit, serunya, “Kalau benar barisan ini tak tahan api, mengapa
nona tak mau keluar bersama-sama kami!”
“Aku sih tak mengapa, lekas kalian berangkat”, sahut dara itu.
Han Ping masih akan bicara tetapi dara itu sudah menghampiri dan memberi perintah,
“Setelah memasuki barisan, menyisih ke kiri tiga langkah dan berjalan lurus ke muka.
Dengarkan lagi petunjukku tentu kalian takkan tersesat dalam barisan!”
Nadanya angkuh dan dingin. Macam orang memerintah kepada anak buahnya. Sudah
tentu Han Ping tak senan. Setelah mengajak Ting Hong, ia terus mendahului berjalan
menuju barisan.
Ting Hong memberi hormat kepada dara itu, “Terima kasih atas pertolongan nona
kepada taciku!” – ia memanggul Ting Ling lagi dan mengikuti Han Ping.
Demikianpun Ca Giok. Setelah merenung sejenak, ia memberi hormat, “Karena nona
dapat mengatasi serangan api, akupun hendak minta diri”.
Sejak kecil, ia diasuh dengan penuh kesayangan dan digembleng dengan kekerasan
oleh ayahnya. Maka belum berumur 20 tahun saja, ia sudah mengangkat nama di dunia
persilatan. Selama itu, ia tak gemar akan wanita cantik. Kini walaupun hatinya terpikat
oleh kecantikan dara itu, tetapi mulutnya sukar untuk menyatakan. Dalam perpisahan itu
sesungguhnya ia tak puas kalau meninggalkan begitu saja. Setelah memutar otak, barulah
ia menemukan dua buah kata yang akan dikemukakan kepada dara itu. Ia anggap ucapan
itu tentu dapat dimengerti tetapi tanpa menyinggung perasaan halus si dara.
Habis berkata, ia terus ayunkan langkah mengikuti Han Ping.
Dara itu tersenyum dan berseru nyaring, “Harap kalian berempat berhenti sebentar….”
Tiba-tiba terdengar ledakan. Dari dalam barisan, keping-keping batu berhamburan ke
empat penjuru.
Tetapi Han Ping tetap penasaran terhadap barisan itu. Dia tak mau mendengarkan
seruan si dara, terus menyerbu ke dalam barisan itu. Tetapi baru dua langkah masuk ke
lingkaran barisan, tiba-tiba matanya berpudar-pudar. Ia merasa berhadapan dengan hutan
bambu dan batu-batu yang besar-besar.
“Jelas hanya beberapa batang bambu, mengapa tiba-tiba berubah menjadi hutan
bambu! Entah dara itu gunakan ilmu setan apa saja!”- ia menggeram dalam hati dan terus
menendang sebuah batu.
Karena mengetahui bahwa batu besar itu hanya suatu khayalan saja karena sebetulaya
hanya berasal dari batu-batu kecil, maka ia hanya gunakan sedikit tenaga. Pikirnya, sekali
tendang, batu-batu itu tentu berhamburan.
Uh…. demikian mulutnya mendesis kejut ketika batu itu lenyap secara tiba-tiba. Karena
tendangannya mengenai angin kosong, tubuhnyapun menjorok ke muka dan jatuhlah ia ke
tanah.
Ketika memandang ke muka, ternyata hutan bambu dan batu besar itu masih
merentang di hadapannya. Amarahnya makin berkobar. Dengan bernapsu, ia menghantam
batu itu….
Han Ping yang sekarang, merupakan seorang tokoh yang memiliki tenaga sakti hebat.
Apalagi diburu kemarahan. Pukulannya dahsyat bukan kepalang. Batu dan debu
berhamburan ke udara.
Tetapi setelah debu itu lenyap, hutan bambu dan batu besar tampak kembali.
Tetapi dia seorang pemuda yang angkuh dan keras hati. Walanpun tendangan dan
pukulannya itu tiada berhasil, dia malah semakin marah. Tengah ia hendak menerjang ke
muka, tiba-tiba lengan bajunya dicengkeram orang. Kuatir kalau bajunya robek, ia
menurut saja tarikan orang itu dan menyisih ke samping dua langkah.
Kiranya yang menarik lengan bajunya itu adalah Ting Hong. Saat itu Ting Hong masih
memanggul tacinya.
“Harap saudara Ji jangan mengumbar kemarahan. Barisan itu merupakan ilmu Ngoheng
campur Pat-kwa. Sebuah barisan yang berdasarkan ilmu perhitungan gaib.
Betapapun cerdiknya, tetapi orang tentu sukar untuk membobolkan. Misalnya aku sendiri,
walaupun mengerti sedikit tentang perubahan Ngo-heng-seng-khik (lima unsur bumi)
tetapi aku benar-benar bingung terdapatnya batu-batu dalam barisan itu. Aku terpaksa
menyerah….”
Tiba-tiba terdengar lengking suara si dara, “Maju lima langkah lalu belok ke kiri tiga
langkah….”
Karena kuatir Han Ping tak mau menurut, Ting Hong tetap mencengkeram lengan baju
pemuda itu dan setengah menyeretnya diajak jalan.
Kembali dara itu melengking bagai suara kelinting, “Ke sebelah kanan dua langkah lalu
maju ke muka empat langkah, Belok ke kiri selangkah lalu lurus ke muka….”
Demikian atas petunjuk si dara, Han Ping dan kawan-kawannya dapat keluar dari
barisan.
Pada saat itu Cin An Ki dan rombongan anak buahnya telah melukai dua orang anak
buah Ih Seng. Terpaksa anak buah Ih Seng mundur beberapa tombak dari barisan itu.
Mereka takut kepada Cin An Ki, tetapi merekapun tak mau meninggalkan pemimpinnya
yang masih terkurung dalam barisan itu. Mereka hanya dapat mengawasi dengan gelisah,
gerak gerik anak buah Cin An Ki yang masih sibuk menumpuki ranting dan dahan kering di
tepi barisan.
Pada saat Han Ping keluar dari barisan, Cin An Ki tengah memerintahkan anak buahnya
untuk siap menyulut api.
Selekas keluar dari barisan, Han Ping terus loncat dan lepaskan hantaman ke arah anak
buah Cin An Ki yang hendak melakukan perintah pemimpinnya.
Angin pukulan Han Ping itu dahsyat sekali. Belum api menyentuh tumpukan kayu
kering, orang dan kayu-kayu kering itu berhamburan kemana-mana. Anak buah Cin An Ki
terlempar setombak jauhnya dan rumput serta ranting dan dahan kering berterbangan ke
udara….
Peristiwa itu benar-benar mengejutkan sekalian orang. Sekalipun si Naga sakti Cin An Ki
yang mengepalai 36 kelompok telaga Tong-thing-ou, diam-diampun terkejut.
Setelah melayang turun ke bumi, Han Ping menghampiri Cin An Ki. Kepala telaga Tongthing-
ou itu diam-diam siap sedia. Ia duga pemuda itu tentu akan menyerangnya. Tetapi
diluar dugaan, tiba-tiba Han Ping berhenti pada jarak 2 meter dari tempat Cin An Ki.
“Engkau seorang pemimpin, mengapa engkau hendak mencelakai orang yang sedang
terancam bahaya? Apakah engkau tak malu jika perbuatanmu itu tersiar di dunia
persilatan?” seru Han Ping,
Kata-kata itu membuat wajah Cin An Ki merah padam. Setelah merenung beberapa
jenak, ia berkata, “Engkau benar! Tetapi mereka adalah benggolan-benggolan besar di
dunia persilatan. Ganasnya bukan kepalang. Terhadap orang-orang semacam itu, kiranya
tak perlu memakai segala pertimbangan yang layak….”
Han Ping menukas dengan tertawa dingin, “Aku paling benci dengan manusia yang
pura-pura berbuat baik untuk menutupi kejahatannya dan perbuatan yang mencelakai
orang secara curang!”
“Sekalipun dalam dunia persilatan terdapat dua aliran Hitam dan Putih, tetapi perbuatan
mencelakai orang yang sedang berada dalam kesulitan, bukanlah laku seorang jantan”,
tiba-tiba Ca Giok menyelutuk. Ia memang gelisah kalau anak buah Cin An Ki sampai
membakar barisan itu sehingga mencelakai si dara jelita, “apalagi barisan Bambu-batu itu,
bukanlah engkau yang membentuk. Meminjam tenaga orang lain untuk mencelakai orang,
tentu akan menjadi buah tertawa orang persilatan!”
Cin An Ki mendengus, sahutnya, “Jarum beracun Hong-wi-ciam sudah termahsyur
sebagai senjata rahasia yang ganas sekali. Hal itu sudah menjadi cemoohan orang, apakah
tak kuatir akan ditertawakan juga?”
Ca Giok tertawa, “Sekalipun jarum Hong-wi-ciam itu ganas sekali tetapi melepaskannya
harus menggunakan kepandaian yang ahli benar-benar. Dan lagi orang yang benar-benar
sakti, tak perlu takut akan jarum itu!”
“Oh, kalau begitu, jarum marga Ca itu tergolong senjata yang terhormat….” ejek Cin An
Ki.
“Mengapa ribut-ribut saja!” teriak Han Ping marah, “lekas suruh anak buahmu
menyingkirkan tumpukan rumput dan kayu-kayu kering itu!”
“Jika tak kupindahkan?” Cin An Ki tertawa dingin.
“Engkau harus masuk ke dalam barisan itu untuk merasakannya!” seru Han Ping terus
loncat ke belakang Cin An Ki dan menghantamnya.
Kepala telaga Tong-thing-ou itu menangkis dengan songsongkan kedua tangannya.
Ketika kedua tenaga saling berhantam, seketika Cin An Ki rasakan darahnya melanda
keras dan tubuhnyapun tersurut ke belakang sampai tiga langkah.
“Terimalah pukulanku ini lagi!” seru Han Ping seraya menyusuli sebuah pukulan.
Benar-benar Cin An Ki tak mengira bahwa seorang pemuda yang masih begitu hijau,
ternyata memiliki tenaga dalam yang begitu sakti. Adu pukulan yang pertama tadi sudah
cukup membuatnya meringis. Maka tak berani ia menyambut pukulan kedua dari si
pemuda. Buru-buru ia menghindar ke samping.
Pikiran Han Ping tetap terpancang pada keadaan luka Ting Ling. ia hendak
menyelesaikan pertempuran itu secepat mungkin. Begitu Cin An Ki menyingkir ke samping,
secepat kilat ia maju dan ayunkan tangannya.
Cin An Kipun sudah siap. Begitu menghindar ke samping ia segera menghantam
dengan jurus Menjolok naga kuning.
Sejak bertempur dengan Pengemis sakti Cong To, Han Ping telah mendapat
pengalaman yang berharga. Begitu Cin An Ki menghantam, ia pura-pura seperti tak dapat
menghindar. Tubuhnya menelentang ke belakang sehingga bagian kakinya tak terjaga
lagi.
Sudah tentu Cin An Ki tak mau melepaskan kesempatan itu. Serempak mengendapkan
tangan, dari pukulan yang lurus, ia turunkan untuk menghantam perut pemuda itu.
Tempi alangkah kejutnya ketika mendadak tubuh Han Ping berputar dengan tiba-tiba
dan tangannya kanan secepat kilat mencengkeram. Jurus itu disebut Tali emas mengikat
naga. salah sebuah jurus istimewa dari ilmu tangan kosong Kin-na-liong-chiu yang terdiri
dari 12 jurus. Selain gerakan luar biasa cepatnya, pun tak terduga sama sekali.
Seketika Cin An Ki rasakan pergelangan tangannya yang kanan kesemutan. Tahu-tahu
urat nadi pergelangan tangannya itu sudah tercengkeram oleh Han Ping.
Han Ping diam-diam kerahkan tenaga dalam. Cin An Kipun segera rasakan darahnya
menyungsang balik ke arah jantung. Separuh tubuh mati rasa dan tenaganyapun lenyap.
Sekalian jago-jago telaga Tong-thing-ou yang menyaksikan pemimpin mereka dalam
tiga jurus saja sudah dibuat tak berdaya oleh pemuda itu, diam-diam terperanjat. Wajah
mereka pucat seketika.
Naga sakti laut Gun-hay Cin An Ki itu, di dalam kalangan Hitam daerah Tionggoan,
namanya termahsyur. Dia sejajar dengan Kipas besi pedang perak Ih Seng, walaupun
keduanya berlainan aliran.
Di wilayah telaga Tong-thing-ou terdapat 36 kelompok. Setiap kelompok mempunyai
pemimpin yang berkepandaian tinggi. Dan Cin An Ki adalah ketua dari ke 36 kelompok itu.
Orang persilatan daerah Tionggoan, kebanyakan tak berani cari perkara dengan dia.
Maka peristiwa yang disaksikan saat itu, benar-benar membuat sekalian pemimpin
kelompok-kelompok itu tercengang-cengang.
Han Ping tak menghiraukan mereka. Diseretnya Cin An Ki ke arah barisan. Begitu tiba di
pinggir barisan, ia mendorong tubuh orang itu ke dalam barisan.
Delapan anak buah Tong-thing-ou yang menyaksikan hal itu, hanya mengikuti dari
belakang tetapi tak berani berbuat apa-apa. Begitu Han Ping berputar tubuh, barulah ke
delapan jago itu serempak menyerangnya.
“Berhenti!” bentak Ca Giok seraya maju menghadang ke delapan orang itu, “siapa yang
hendak mencoba jarum Hong-wi-ciam dari keluarga Ca, silahkan maju!”
Ke delapan orang itu merupakan orang-orang persilatan yang berpengalaman. Tahu
juga mereka akan kemahsyuran jarum itu. Merekapun tak berani maju dan hanya saling
berpandangan.
“Minggir!” teriak Ca Giok sambil acungkan tangannya kiri yang menggenggam jarum.
Ke delapan orang itu tak berani membantah. Setelah mereka menyisih, Ca Giok segera
minta Han Ping berjalan lebih dulu dan ia yang akan melindungi.
“Kemahsyuran nama saudara Ca, sungguh bukan nama kosong”, Han Ping memuji
seraya melangkah ke arah kawanan orang itu, Ting Hong sambil memondong tacinya, pun
mengikuti. Sedang Ca Giok mengawal di belakang dengan jarum di tangan.
Ke delapan tokoh itu memang jeri akan kemahsyuran jarum Hong-wi-ciam. Mereka
membiarkan saja rombongan anak muda itu lewat.
Sekeluarnya dari hutan, Han Ping berhenti. Ia kuatir keadaan Ting Ling makin payah.
Lebih baik segera memberi pengobatan saat itu juga.
Ting Hongpun duduk sambil menyangga tubuh tacinya. Kemudian Han Ping minta Ca
Giok melindungi, sedang ia memberi penyaluran tenaga dalam pada Ting Ling.
Setelah mendapat kesanggupan Ca Giok, Han Ping segera duduk bersila. Setelah
berhasil mengerahkan tenaga, barulah ia lekatkan tangannya ke punggung si nona.
Berkat tenaga dalamnya yang tinggi, dalam waktu yang singkat, Ting Ling segera
menjerit kesakitan, “Aduh, bisa mati kepanasan aku….”
Perlahan-lahan ia membuka mata. Rambutnya bertebaran dihembus angin
pegunungan.
“Ci Ling….!” saking girangnya Ting Hong menubruk tacinya. Tetapi saat itu Ting Ling
masih lemas sehingga ia rubuh terjerembab ke belakang. Untung saat itu Han Ping masih
berada di belakang sehingga dapatlah pemuda itu menyambuti tubuh kedua nona itu.
Ting Hong tersipu-sipu malu ia dan tacinya merebah ke pangkuan Han Ping. Buru-buru
ia menggeliat bangun dan menarik tubuh tacinya. Tetapi ia terkejut ketika melihat Ting
Ling pejamkan mata dan merebah di haribaan Han Ping. Wajahnya tampak lunglai sekali.
Buru-buru ia berjongkok dan menanyanya, “Ci Ling, apakah engkau kaget? Karena girang
melihat engkau sadarkan diri, aku lupa kalau engkau masih lemah. Ah, aku salah,
maafkanlah ci!”
Ting Ling membuka mata tertawa, “Tak apa, jangan kuatir.”- lalu ia suruh Ting Hong
menariknya bangun.
Setelah berdiri, Ting Hong memberitahukan kepada tacinya itu bahwa sam-siok
merekapun juga muncul.
“Dimanakah beliau sekarang?” Ting Ling tersenyum lunglai, semangatnya masih lemah.
“Sam-siok dikurung dalam barisan Tiok-sik-tin….”
Tiok-sik-tin artinya barisan Bambu-batu.
”Apa? Tumpukan bambu dan batu itu mampu mengurung paman?” Ting Ling terkesiap
kaget.
Ia seorang nona yang berotak cerdas. Selalu ia dapat memperhitungkan setiap hal
dengan cermat dan tepat. Adalah karena baru saja sadarkan diri dari pingsan, ia merasa
telah kelepasan bicara. Buru-buru ia menyusuli pula kata-katanya, “Benar, tentulah barisan
itu istimewa sekali!”
“Benar, nona”, Ca Giok tertawa, “barisan itu memang menggunakan batu-batu dan
bambu”,
“Dalam dunia persilatan siapakah yang tak mengetahui kemahsyuran nama marga Ca
tentang ilmu kepandaiannya dalam soal barisan. Dalam hal ini terpaksa kumohon saudara
Ca sudi menolong paman kami”, kata Ting Ling.
Ca Giok tergagap menyahut, “Ah, pengetahuanku dalam ilmu barisan hanya sekelumit
saja. Tadipun telah terkurung hampir tak dapat keluar dari barisan itu….”
“Celaka!” tiba-tiba Han Ping memekik, “kita terpaksa harus kembali lagi mencarinya!”
“Siapa?” seru Ting Ling,
“Dara baju ungu yang membentuk barisan itu” sahut Han Ping.
Entah bagaimana perasaan hati Ting Hong ketika melihat kebingungan Han Ping saat
itu. buru-buru ia melengking, “Dia kan sudah mengusir kita keluar dari barisan, perlu apa
mencarinya lagi?”
“Resep yang diberikan untuk nona Ting Ling aku lupa meminta kepadanya”, kata Han
Ping.
Ting Hong tertegun, sesaat kemudian ia menyetujui, “Benar, memang kita harus
kembali. Sekalian tolonglah engkau minta kepadanya supaya suka membebaskan paman
kami!”
Han Ping agak tergugu tetapi ia tak mau menyatakan apa-apa.
“Adik Hong, apakah itu? Tolong engkau ceritakan yang jelas”, karena tak dapat
mengikuti pembicaraan kedua anak muda itu, Ting Ling menyelutuk.
Ting Hong segera menuturkan semua peristiwa yang telah terjadi selama tacinya
pingsan.
Ting Ling merenung, kemudian berkata, “Cobalah engkau ingat-ingat lagi apakah masih
ada hal yang kelewatan belum engkau ceritakan”
“Ah, tidak ada!”
Ting Ling tertawa, “kalau begitu marilah kita lekas pulang sajalah! Bukankah dia telah
mengusir kalian keluar dari barisan? Bukankah ia maksudkan supaya kita membantunya
untuk mengusir orang yang hendak membakar barisannya itu. Dengan melemparkan Cin
An Ki ke dalam barisan, dia tentu gembira sekali!”
Diam-diam Ca Giok terkejut dan memuji Ting Ling yang disohorkan orang sebagai
seorang nona yang cerdik.
“Harap nona berdua tunggu di dalam hutan, aku hendak kesana meminta resepnya”,
kata Han Ping terus menuju ke arah barisan lagi.
Rupanya Ting Ling ingin sekali melihat dara baju ungu itu. Sambil berpegangan pada
pundak Ting Hong, ia paksakan diri berjalan mengikuti Han Ping.
Han Ping berpaling. Ketika melihat kedua nona itu mengikutinya, ia kerutkan kening.
Tetapi tak leluasa melarang mereka. Terpaksa ia berjalan dengan perlahan.
Tiba di luar barisan, ternyata dara itu sudah menanti di tepi barisan. Ting Ling dan Ting
Hong memberi hormat serta menghaturkan terima kasih atas pertolongan dara itu.
“Tak perlu”, sahut dara itu, “aku sudah mendapat upah berharga dari kawanmu . . .”- ia
mengeluarkan bungkusan sutra putih, “lnilah resepnya”, – habis berkata, terus kembali
masuk ke dalam barisan….
Melihat kecongkakan dara itu, Han Ping mendengus ia tak mau membungkuk untuk
mengambil resep yang jatuh di tanah itu. Adalah Ca Giok yang mewakili memungut sutra
putih itu, Ketika mengangkat muka memandang ke muka ternyata dara itupun tengah
berpaling. Mata keduanya saling beradu pandang dan mulut tersenyum hambar.
Kiranya mendengar dengus kegeraman dari Han Ping tadi, dara itu berpaling ke
belakang. Saat itu dilihatnya Ca Giok sedang membungkuk untuk menjemput sutra putih di
tanah. Tertawalah dara itu dengan nada menggemerincing.
Ting Ling dan Ting Hong juga seorang gadis.
Tetapi entah bagaimana mereka terpikat juga mendengar nada tertawa dara itu.
Seolah-olah nada tertawa itu mengandung suatu daya pesona yang luar biasa sehingga
hati kedua nona itu berdebar keras. Hanya Han Ping sendiri yang tak kena pengaruh
tertawa itu. Ia tetap menengadahkan kepala tak mau memandang si dara.
Sedang Ca Giok, walaupun si dara sudah berputar tubuh dan masuk ke dalam barisan,
masih tetap tegak terlongong-longong memandangnya….
Ketika memandang ke sekeliling, Ting Ling dapatkan ke delapan tokoh-tokoh tadipun
serupa keadaannya dengan Ca Giok.
“Suara tertawa dara itu rasanya seperti mengandung tenaga gaib. Mungkin bukan
tertawa biasa, melainkan suatu ilmu tenaga dalam golongan Hitam”, katanya kepada Ting
Hong.
Yang diperhatikan Ting Hong hanya Han Ping. Melihat pemuda itu tenang-tenang saja,
ia menyahut kata-kata Ting Ling tadi, “Aneh, mengapa dia tak takut? Orang-orang pada
kesima seperti patung, dia tetap biasa saja, sedikitpun tak kena pengaruh!”
Jawab Ting Ling, “Oleh karena dia tak mau melihat dara itu. Coba kalau melihatnya . .
.”
“Saudara Ca, apakah sutra putih benar resep untuk nona Ting Ling”, pembicaraan Ting
Ling terputus oleh seruan Han Ping secara tiba-tiba itu. Sesungguhnya Han Ping tadi
sudah bertanya dengan perlahan tetapi Ca Giok tak mendengarnya dan masih terlongong
seperti patung, Terpaksa Han Ping berseru dengan keras.
Ca Giok seperti dibangunkan dari mimpi. Dengan gelagapan ia berpaling, sahutnya,
“Benar, benar, Sutra putih ini memang resep untuk nona Ting Ling”
Tatkala mendengar seruan nyaring dari Han Ping, kembali dara baju ungu itu terhenti
dan berpaling ke arah mereka. Tetapi kali ini ia tidak tertawa. Wajahnya tidak secerah tadi
lagi melainkan mengerut dengan serius sehingga mengunjuk gaya dan sikap yang angkuh
dan dingin. Hebat! Sikap galak itu telah menimbulkan perbawa yang hebat sehingga
sekalian orang yang terlongong-longong memandangnya tadi, serempak sama tundukkan
kepala.
Ting Ling menghela napas perlahan, ujarnya, “Dalam sekejap mata, dara itu dapat
mengunjuk sikap yang berlainan sama sekali. Dan dapat pula menggetarkan hati orang.
Jika bukan suatu ilmu Hitam, tak mungkin bisa mempunyai pengaruh yang sedemikian
hebatnya. Hayo, kita lekas pergi jangan melihatnya lagi! Jika terlambat, siapa tahu dia
tentu akan mengeluarkan tingkah laku yang aneh lagi!”
Dengan masih memegang pundak Ting Hong, Ting Ling segera mengajak adiknya
tinggalkan tempat itu.
Juga Han Ping tak senang akan sikap dan tingkah dara baju ungu yang angkuh dan
congkak itu. Ia tetap tak sudi melihatnya. Dengan demikian dialah yang paling tenang
sendiri.
Segala yang berlangsung di luar barisan itu tak lepas dari perhatian si dara, Dengan
tertawa dan memberingas, ia mampu membuat tokoh-tokoh itu serasa terbang semangat
dan runtuh nyalinya. Satu-satunya yang tak terpengaruh hanyalah Han Ping seorang.
Diam-diam marahlah dara itu. Ia mendengus dingin lalu berputar tubuh dan berkata
seorang diri, “Hm, aku tak percaya hatimu terbuat dari baja, panca indramu sudah peka.
Nanti tentu pada suatu hari akan kubuatmu meratap-ratap di telapak kakiku!”
Sesungguhnya kata-kata itu adalah isi hatinya. Tetapi karena marah, tanpa disadari ia
telah meluncurkannya keluar.
Pada lain saat ia berhenti lagi untuk melihat mereka. Ah, mereka sudah melangkah
pergi dari barisan itu. Ca Giok tak henti-hentinya berpaling ke belakang demikianpun
kedua nona Ting. Hanya Han Ping seorang yang tak mau berpaling sama sekali.
Setelah melintasi hutan dan tiba di jalan besar, Han Ping berhenti. Katanya kepada
kedua nona Ting, “Menilik dara itu paham pengobatan dengan ilmu tusuk jarum tentulah
resep yang diberikannya itu takkan salah. Setelah masuk kota, harap nona belikan resep
itu di toko obat lalu beristirahat selama 3 hari….”
“Hai, engkau tak ikut bersama kami?” Ting Hong terkejut.
Han Ping tertawa hambar, “Aku masih mempunyai suatu urusan penting yang harus
kukerjakan, Maka terpaksa hendak minta diri.
“Mau kemana engkau?” tanya Ting Hong.
Han Ping tundukkan kepala beberapa saat.
Berselang beberapa jenak baru ia mengangkat muka dan menyahut, “Maaf, aku tak
dapat memberitahukan”. – Berpaling kepada Ca Giok ia berkata lebih lanjut, “Aku
mempunyai sebuah permintaan, entah apakah saudara sudi meluluskan?”
Ca Giok mengiakan.
“Luka nona Ting Ling masih belum sembuh sama sekali. Setelah minum obat, harus
beristirahat beberapa hari….”
“Bukankah engkau hendak minta aku supaya menjaga nona Ting sampai sembuh baru
boleh meninggalkannya?” tukas Ca Giok tertawa.
Sahut Han Ping, “Sesungguhnya hal itu memang kurang leluasa, tetapi….”
Belum Han Ping menyelesaikan ucapannya, Ting Ling melirik ke arah Ca Giok lalu
menukas, “Sau pohcu sendiri tentu masih mempunyai urusan penting, masakan kami
berani mengganggu waktunya yang berharga. Berikan resep itu kepadaku, biarlah adik
Hong yang menjaga diriku saja!”
Ca Giok menebarkan sutra putih, membaca bunyi tulisan resep, baru menyerahkan
kepada Ting Ling, “Jika begitu kehendak nona, akupun menurut saja”.
Ting Ling menyambut sutera itu dan tanpa membaca isinya, ia terus memasukkan ke
dalam baju. Kemudian ia menatap Han Ping, tanyanya, “Apakah engkau hendak pergi
begini saja tanpa menghendaki barangmu yang hilang itu?”
Han Ping tertegun sejenak, ujarnya, “Dalam waktu singkat, bagaimana mungkin untuk
mencarinya, tetapi aku….”
“Kalau engkau memang mempunyai lain urusan yang penting, kita tetapkan saja kapan
akan bertemu lagi. Jika aku berhasil merebut kembali barangmu yang hilang itu, kelak
tentu akan kukembalikan kepadamu. Jika tak berhasil, sekurang-kurangnya aku tentu
dapat mengetahui jejak pencurinya itu!”
“Baiklah, nanti tiga bulan lagi kita bertemu lagi di biara dimana kita pernah berjumpa
dengan pengemis sakti Cong To!” kata Kan Ping,
“Bagaimanapun juga, pada saatnya kita harus menepati janji bertemu itu!” sahut Ting
Ling serentak.
“Ucapan seorang lelaki, bagaikan gunung kokohnya. Asal hayat masih dikandung
badan, aku tentu memenuhi janji!” habis berkata Han Ping memberi hormat lalu
melangkah pergi.
Sambil memandang bayangan si pemuda dengan gundah hati, bertanyalah Ting Hong
kepada tacinya, “Ci, urusan apakah yang menyebabkan dia begitu tergesa-gesa pergi?”
Ting Ling tertawa, “Bagaimana, mana aku tahu! Tetapi tentulah suatu urusan yang
penting….”
Ca Giokpun tertawa memberi hormat, “Harap nona Hong suka merawat luka nona Ling
dengan baik. Akupun hendak mengundurkan diri dulu. Mungkin tiga empat hari lagi kita
akan berjumpa lagi.”
Setelah pemuda itu pergi, Ting Ling mencoba menyalurkan pernapasannya. Beberapa
jalan darah dalam tubuhnya serasa masih tersumbat, belum dapat lancar, Juga dadanya
masih terasa agak sakit. Ia hentikan penyaluran itu lalu berpaling. Dilihatnya Ting Hong
masih terlongong-longong memandang bayangan Han Ping.
Ting Ling menghela napas panjang, “Ah, ji-ahtau….”
Ting Hong berpaling tertawa, “Taci memanggil aku?”- Sekalipun sudah tahu bahwa
dirinya biasa dipanggil dengan sebutan ji-ahtau, namun karena tiada menemukan lain
kata, ia terpaksa pura-pura menegas lagi.
Memandang ke langit, berkatalah Ting Ling, “Paman masih terkurung dalam barisan,
sedang tenaga murniku masih belum pulih. Bagaimana tindakan kita sekarang ini?”
“Aku mempunyai sebuah rencana entah sesuai atau tidak,” kata Ting Hong.
Setelah Ting Ling menyuruhkan mengatakan, Ting Hong berkata pula, “Pemuda Han
Ping itu selalu pegang kata-kata. Kita minta kepadanya untuk menolong paman lalu
kutemani taci untuk merawat luka….”
“Tidak bisa”, Ting Ling gelengkan kepala, “dia tak tahan melihat sikap angkuh dari
paman. Dan pamanpun geram melihat sikapnya yang congkak. Jangankan dia mau
meluluskan, bahkan kalau mau meluluskan untuk menolong pamanpun juga akan
menemui kesulitan.”
“Habis bagaimana sekarang ini?”
“Saat ini hanya ada sebuah jalan”, kata Ting Ling, “pergilah engkau ke kota membeli
obat, Kutunggu engkau di sebuah tempat yang sukar diketahui orang. Setelah minum
obat, aku akan beristirahat disitu dan engkau kembali ke barisan menolong paman”.
“Ah, tetapi luka taci masih belum sembuh. Jika berada disini tentu berbahaya, Lebih
baik kuantar taci ke kota mencari rumah penginapan. Setelah itu baru aku pergi menolong
paman”.
“Luka dalam yang kuderita amat parah sekali,” kata Ting Ling, “Jika menuju ke kota
tentu makan waktu lama sekali. Lekaslah engkau pergi sendiri membeli obat itu!”
Ting Ling berpaling memandang sebuah pohon siong yang tumbuh di tepi jalan,
katanya pula, “Pohon siong itu rindang sekali daunnya. Tepat untuk dijadikan tempat
bersembunyi. Lekas antarkanlah aku kesana”.
“Apa?” Ting Hong terbeliak kaget. Tetapi Ting Ling sudah melangkah maju. Terpaksa ia
menyusul untuk memapahnya.
Wajah Ting Ling tampak mengerut serius. Ia berjalan dengan kepala menunduk.
Berulang kali ia kerutkan alis. Suatu pertanda bahwa ia sedang memecah suatu persoalan
yang amat pelik.
Tiba di bawah pohon siong itu, Ting Ling menunjuk ke atas sebuah dahan yang penuh
silang bersilang, katanya, “Naikkan aku ke atas dahan itu”
Ting Hong kenal watak tacinya. Sebelum dapat memecah suatu persoalan, selalu tak
mau menceritakan soal itu kepada lain orang. Bahwa tacinya itu hendak bersembunyi di
atas dahan pohon, tentulah mempunyai tujuan tertentu.
Karena percuma saja jika hendak membantah, Ting Hong segera melakukan perintah
tacinya. Lebih dulu ia loncat ke atas dahan itu. Setelah mengaitkan kedua kakinya pada
dahan, tubuhnya meluncur ke bawah, memegang tubuh Ting Ling. Sekali angkat, dapatlah
ia menaikkan Ting Ling ke atas pohon.
Setelah menempatkan diri di sebuah persilangan dahan yang terlindung baik, Ting Ling
segera suruh adiknya ke kota membeli resep.
Ting Hongpun segera loncat turun dan lari menuju ke kota, Sedang Ting Ling berusaha
menggeliat untuk mencari tiang sandaran pada sebuah dahan besar. Setelah itu ia
pejamkan mata bersemedhi.
Tetapi saat itu benaknya masih tercengkam oleh berbagai peristiwa. Sekalipun tahu
bahwa bersemedhi itu pantang memikirkan segala urusan, namun ia gagal untuk
mengosongkan pikirannya.
Ia menginsyafi bahwa peristiwa yang dihadapi saat itu, benar-benar gawat sekali.
Berkumpulnya tokoh-tokoh dari segala partai persilatan itu, entah kelak apakah akan
mempengaruhi kedudukan Lembah Raja setan dalam dunia persilatan.
Pula apakah mempunyai akibat dalam dunia persilatan umumnya. Sekali salah hitung,
akibatnya tentu hebat.
Diam-diam nona itu menghela napas dan berkata seorang diri, “Ting Ling, ah, Ting
Ling…. selama ini engkau membanggakan dirimu sebagai seorang nona yang berotak
cerdas. Dunia persilatanpun memuji kecerdasanmu. Sekarang kalau engkau tak mampu
memecahkan persoalan ini, menundukkan tokoh-tokoh persilatan dan merebut kitab
pusaka dari partai Lam-hay-bun, bukankah engkau akan ditertawakan orang”.
Demikian nona itu tenggelam dalam renungan yang dalam….
Dalam pada itu baiklah kita tinggalkan dulu Ting Ling yang sedang berjuang keras
untuk mencari daya upaya mengatasi situasi gawat yang dihadapinya saat ini. Kita ikuti
lagi perjalanan Han Ping.
Setelah berjalan beberapa lama, tiba-tiba Han Ping merasa gelisah, katanya, “Seorang
lelaki harus dapat menyelesaikan pekerjaan yang dipertanggung jawabkan kepadanya.
Bekerja tak boleh kepalang tanggung, ada mulanya tetapi tak ada penyelesaiannya. Soal
meyakinkan ilmu silat, tak mungkin selesai dalam waktu tiga empat hari. Saat ini luka Ting
Ling belum sembuh sama sekali. Sedang dara baju ungu itu masih terkurung dalam
barisan. Tinggalkan mereka begitu saja, apakah sesuai dengan prilaku seorang jantan . .
.?”
Pikiran melayang tetapi kakinya masih tetap berjalan. Angin pegunungan berhembus
menampar mukanya dan ia agak terkejut. Saat itu ternyata dia berada di atas sebuah
puncak. Ia terlongong-longong memikirkan peristiwa yang telah dialami selama ini.
Kembali berbagai kenangan melintas dalam benaknya. Peristiwa pembunuhan ngeri dari
mendiang suhunya, menimbulkan bara kemarahan untuk menuntut balas. Seketika
dadanya terasa sesak dan tiba-tiba bersuitlah ia senyaring-nyaringnya.
Penghamburan isi hati itu dengan bersuit itu, dapat juga melonggarkan kesesakan
napasnya. Tanpa disadari ia sudah termangu-mangu di tempat itu sejam lamanya.
Sejak pertempuran sengit dengan Pengemis-sakti Cong To, ia telah menarik banyak
pengalaman. Bukan saja pengalaman berhadapan dengan musuh, pun banyak hal dalam
pelajaran dari Hui Gong siansu yang diberikan secara lisan saat itu dapat dipraktekkan.
Sejak itu makin menggeloranya nafsunya untuk memperdalam peyakinannya. Banyak
pelajaran lisan dari mendiang Hui Gong yang harus ia praktekkan dalam latihan.
Tetapi karena timbulnya peristiwa Ting Ling menderita luka parah, Han Pingpun tak
sempat lagi untuk berlatih, Karena ia harus mencari si wanita baju hijau itu.
Kemudian setelah dara baju ungu dapat mengobati luka Ting Ling, barulah hatinya
longgar dan timbullah kembali seleranya untuk berlatih.
Dalam ilmu pelajaran silat, uraian dan keterangan tentang cara dan penggunaan setiap
gerakan, memang penting sekali. Setelah jelas akan artinya, barulah dapat menggunakan
dengan lebih mantap.
Karena waktunya tak mengizinkan maka Hui Gong hanya memberikan pelajaran secara
lisan. Berkat ketajaman otak dan kuatnya daya ingatannya, dapatlah Han Ping menerima
pelajaran itu. Setiap hari tak jemu-jemunya ia selalu menghafalkan pelajaran lisan itu.
Dengan begitu dapatlah ia mengingat setiap patah kata pelajaran itu. Tetapi ia belum
dapat menyelami makna dari kata-kata pelajaran itu.
Pada saat bertempur dengan tokoh sakti Cong To, dalam keadaan terdesak, ia
kerahkan seluruh daya pikirannya untuk memecahkan arti kata pelajaran itu. Dan
memang, dalam saat-saat yang genting, biasanya pikiran kita tentu bertambah tajam.
Demikianpun yang terjadi dengan Han Ping. Pertempuran itu telah membangkitkan daya
pikirannya secara hebat sekali. Banyak kata-kata dalam pelajaran itu mendadak dapat
dimaklumi artinya. Setelah mengerti maksudnya, lalu ia gunakan dengan serentak.
Hasilnya, benar-benar mengejutkan sekali. Ia dapat memainkan beberapa jurus ilmu silat
yang penuh variasi dan luar biasa anehnya.
Penemuan itu makin membangkitkan seleranya untuk memperdalam dengan latihan.
Seketika larilah ia mencari tempat sepi untuk berlatih.
Tetapi ia tak tahu arah. Pikirannya hanya tertuju mencari tempat sunyi. Sepuluh li
jauhnya, tibalah ia di sebuah gerumbul pohon jati yang rindang daunnya. Dan sesaat
tersadarlah pikirannya. Ternyata tempat itu sebuah tanah kuburan yang terpencil. Luasnya
tak kurang dari 20an bahu. Empat penjuru dikelilingi pohon jati, sehingga menambah
keseraman suasana.
Sebuah makam besar menggunduk di tengah. Di depan makam besar itu penuh dengan
arca kuda dan orang-orangan. Tetapi patung-patung itu sudah rusak keadaannya.
Han Ping anggap tempat itu sesuai untuk melaksanakan latihannya. Kuburan itu tentu
jarang dikunjungi orang. Maka segera ia menghampiri.
Biarlah kita tinggalkan dulu Han Ping yang sudah mendapat tempat untuk meyakinkan
ilmu silat ajaran mendiang Hui Gong taysu itu. Kita jenguk lagi keadaan Ting Ling.
Setelah merenung beberapa saat, tiba-tiba nona itu rasakan darahnya bergolak keras
sehingga hampir ia tak kuat bertahan duduk. Terpaksa ia lepaskan pikirannya dan
beristirahat. Dan benarlah, Setelah dapat mengosongkan pikiran dan beristirahat,
semangatnyapun makin segar lagi. Ia menghela napas longgar lalu merangkak ke sebuah
silang dahan yang lebat. Dari tempat itu dapatlah ia melongok sampai beberapa li
jauhnya.
Ternyata empat penjuru pegunungan tetap sunyi senyap. Barisan Batu-bambu tak
tampak karena teraling sebuah hutan.
“Ah, apakah dugaanku salah?” katanya seorang diri. Tetapi alangkah kejutnya ketika
saat itu ia melihat segumpal asap tebal membumbung ke udara. Arahnya jelas berasal dari
Barisan Batu-bambu itu.
Gemetar seketika Ting Ling menyaksikan perubahan yang tak diduga-duganya itu
sehingga hampir saja ia tergelincir jatuh ke bawah.
Pamannya yang masih terkurung dalam barisan itu tentu akan mati terbakar…. tetapi
ah, saat itu ia masih belum sembuh. Jangankan hendak menolong sedang hendak loncat
turun ke bawah saja, ia masih kuatir akan parah lukanya. Hatinya bukan kepalang
gelisahnya, tetapi apa daya. Satu-satunya harapan hanyalah agar adiknya lekas kembali
membawa obat. Maka tak henti-hentinya ia melongok ke arah jalan.
Sesaat ia memandang ke arah berkobarnya api itu, tiba-tiba tampak 5 orang lelaki
berpakaian seperti orang persilatan, tengah berlarian pesat. Karena jaraknya jauh, ia tak
dapat melihat wajah mereka. Tetapi ia seorang nona yang memiliki ingatan tajam. Samarsamar
seperti mengenal kelima orang itu sebagai tokoh-tokoh yang mengepung di luar
barisan.
Setelah merenung beberapa saat, segera ia menyadari apa yang telah terjadi. Diamdiam
ia memaki, “Orang menyohorkan Ca Giok itu seorang pemuda licik yang ganas.
Kiranya memang benar. Pemimpin Rimba Hijau (golongan penyamun/bajak) dari darat dan
air di wilayah Tionggoan, antara lain si Kipas besi pedang perak Ih Seng, Naga sakti laut
Gun-hay Cin An Ki, Leng Kong Siau dari lembah Seribu racun serta pamannya sendiri
Imam pencabut nyawa Ting Yan San. Mereka adalah jago-jago ternama. Tetapi saat ini
mereka itu akan binasa di bawah api yang disulut Ca Giok….”
Tengah merenungkan hal itu, tiba-tiba ia terbeliak kaget ketika melihat Ca Giok
bersama si dara baju ungu, muncul dari hutan. Hal itu makin menguatkan dugaannya
bahwa api itu jelas Ca Giok yang melepas.
Kedua anak muda itu berjalan perlahan menuju ke arah pohon siong tempat
persembunyian Ting Ling. Sudah tentu nona itu terkejut. Diam-diam ia menimang, “Jika
persembunyianku itu sampai diketahui Ca Giok, ah, habislah sudah riwayatku. Sekalipun
adik Hong datang, tetapi tentu tak dapat mengalahkan Ca Giok . . .”
Saat itu Ting Ling benar-benar gelisah sekali. Di satu pihak ia mengharapkan adiknya
segera datang agar dapat ia suruh menolong pamannya. Tetapi ia kuatir adiknya akan
bentrok dengan Ca Giok.
Tak berapa lama, kedua anak muda itupun tiba di bawah pohon tempat Ting Ling
bersembunyi. Dari celah-celah daun yang rimbun, ia dapat mengintai gerak-gerik kedua
pemuda itu. Tampak wajah si dara baju ungu mengerut serius. Seolah-olah tak
menghiraukan Ca Giok. Dara itu berjalan sambil menengadahkan kepala.
Sedang Ca Giok tak menentu sikapnya. Sesaat ia kerutkan alis mengerut dahi. Sesaat
wajahnya berseri dan mengulum senyum. Entah apa yang sedang dipikirkannya.
Tiba di bawah pohon siong itu, tiba-tiba si dara berhenti. Sambil membelakangi Ca
Giok, ia bertanya, “Apakah maksudmu meminta aku datang kesini? Bilanglah….” –
nadanya dingin sekali.
Ca Giok menengadahkan kepala dan menghela napas panjang. Setelah berbatuk-batuk
sejenak, ia membuka mulut, “Sepuluh tahun berselang Lam-hay Ki-soh membawa seorang
dara kecil, datang ke pertemuan besar para tokoh-tokoh persilatan yang berlangsung di
gunung Heng-san. Di hadapan seluruh tokoh persilatan Tionggoan, dia telah memberi
kecaman tajam terhadap ilmu silat Tionggoan. Nona kecil itu, apakah….”
“Benar, memang aku, lalu bagaimana maksudmu?” tukas dara itu dengan tertawa
dingin.
“Ah, kalau begitu aku telah berlaku kurang hormat”, kata Ca Giok.
“Kawan-kawanmu itu, kemana perginya semua?” seru si dara.
“Ini…. akupun tak tahu….” ia berhenti sejenak lalu tiba-tiba berseru nyaring, “Karena
nona orang Lam-hay-bun, tentulah nona tahu tentang kitab pusaka itu?”
Serentak nona itu berbalik tubuh dengan seketika. Menatap lekat-lekat kepada Ca Giok,
ia tersenyum katanya perlahan, “Eh, engkau berani sedemikian bengis kepadaku?”
Dara itu mengulum senyum yang luar biasa manisnya, Lebih manis dari sari madunya
madu.
Jantung Ca Giok berdebar keras seperti hendak copot dari tempatnya. Seketika lupalah
ia akan segala persoalan. Persetan dengan Kitab pusaka Lam-hay-bun, apa itu segala
macam urusan tetek-bengek. Ia memandang terlongong-longong wajah si dara.
Semangatnya melayang-layang di nirwana.
Karena sampai sekian saat tak mendengar kedua muda mudi itu bicara, Ting Ling tak
sabar lagi. Ia menyingkap daun dengan hati-hati sekali dan melongok ke bawah. Ai….
tampak Ca Giok tegak mematung memandang si dara. Heran ia dibuatnya. Ia
memberanikan diri menyingkap selembar daun lagi agar dapat melihat keadaan si dara.
Tetapi secepat itu juga ia menyurut dan palingkan muka lagi!
Sekalipun ia juga seorang anak perempuan tetapi benar-benar ia tak berani
memandang senyum dara itu.
Sepasang bibir merah delima dari dara itu merekah dan memancarkan tawa
menggerincing, “Apakah engkau ingin melihat kitab pusaka Lam-hay-bun itu?”
Aneh, benar-benar aneh. Ca Giok geleng-geleng kepala tanpa mampu berkata apa-apa.
Hatinya serasa hampa tak tahu apa yang harus dikatakan.
Tiba-tiba dara itu mengerut wajah. Senyumnyapun lenyap seketika. Ca Giok gelagapan
seperti dibangunkan dari mimpi. Plak. plak, ia menampar kepalanya sendiri seraya berkata,
“Sudah lama kudengar tentang kitab pusaka dari perguruan Lam-hay-bun itu….”
“Oleh karena itu engkau ingin mengetahui ilmu silat apakah yang tercatat di dalamnya,
benar tidak?” tukas dara itu.
Ca Giok tertegun, “Nona cerdik sekali. Dapat menebak jitu!”
“Tak perlu engkau melihat kitab itu”, kata si dara, “Jika ada hal-hal yang belum jelas,
silahkan tanya kepadaku!”
Diam-diam Ca Giok mendamprat dara itu bermulut besar. Pikirnya, ia hendak
mengajukan pertanyaan yang sulit agar dara itu kelabakan.
Rupanya dara itu dapat membaca isi hati Ca Giok, serunya, “Silahkan engkau mencari
pertanyaan yang sesulit-sulitnya supaya aku terdesak! Ketahuilah, kitab pusaka Lam-haybun
itu memakai sastra Arab, India dan Tionghoa. Engkau lihatpun percuma saja!”
“Tetapi nona dapat mengerti semua?” tanya Ca Giok.
“Ilmu perbintangan dan ilmu bumi, pengobatan dan ramalan, sedikit-sedikit aku tahu.
Silahkan engkau mengajukan pertanyaan yang sulit!”
Mendengar nada dara itu makin lama makin sombong, timbullah rangsangan ingin
menundukkan dalam hati Ca Giok. Pikirnya, “Ah, aku tak percaya seorang anak perempuan
berumur 18an tahun, memiliki pengetahuan yang sedemikian hebatnya”.
Dengan tersenyum ia berkata, “Bagaimana kalau kita bertaruh?”
“Tak perlu begitu!” sambut si dara, “kalau aku kalah, akan kuberikan kitab pusaka itu
kepadamu, Tetapi kalau engkau kalah, katakan sendiri engkau akan bertindak
bagaimana?”
Diam-diam Ca Giok terkejut dalam hati. Ia heran mengapa dara itu seperti mengerti
semua isi hatinya,
“Kalau aku kalah, aku takkan menginginkan kitab pusaka itu lagi!” sahutnya.
Si dara tertawa dingin, “Apakah engkau tak menyesal menyatakan sumpah begitu
berat?”
Merahlah wajah Ca Giok, ia tergugu tak dapat bicara. Tetapi ia malu hati. Mengapa
harus menyesal bertaruh dengan seorang dara saja?
Kata si dara pula, “Kitab pusaka itu, setelah nanti seluruh tokoh persilatan daerah
Kanglam-Kangpak hadir semua, baru akan kupertunjukkan. Agar kalian dapat melihatnya.
Jika sekarang engkau sudah mengangkat sumpah begitu, engkau tentu menyesal nanti!”
Melihat kesungguhan dara itu berkata, diam-diam Ca Giok mengakui bahwa apa yang
dikatakan dara itu memang benar.
Tetapi baru ia hendak membuka mulut, dara itu sudah mendahului, “Ah, sekarangpun
engkau sudah menyesal, bukan? Tetapi tak apalah. Bukankah disini hanya ada aku dan
engkau dua orang? Asal aku tak bilang, masakan lain orang tahu apa yang engkau
katakan tadi!”
Sejenak merenung, berkatalah Ca Giok, “Karena kita sudah sepakat bertaruh, jika aku
tidak….”
Dara itu menukas tertawa, “Biarlah kuwakili mencarikan suatu cara bertaruh yang enak
untukmu. Jika menang engkau bakal memperoleh kitab pusaka itu tetapi jika kalah
engkaupun tak menderita kerugian suatu apa!”
Ca Giok tertegun, ujarnya, “Silahkan nona mengatakan agar dapat kupertimbangkan”.
Rupanya Ca Giok sudah kewalahan benar-benar menghadapi dara yang luar biasa
cerdasnya itu, ia tak berani omong sembarangan lagi.
“Cara itu mudah saja. Jika engkau kalau setiap kali bertemu aku, engkau harus
menemani aku dan mengucapkan beberapa patah kata yang mesra….”
Ca Giok melongo.
“Apa?” ujarnya sesaat kemudian. Mimpipun tidak kalau ia bakal memperoleh pertaruhan
yang sedemikian enaknya. Hampir ia tak percaya pada pendengaran telinganya.
“Bagaimana? Apakah usulku itu masih terlalu berat bagimu?” dara itu tertawa.
Diam-diam Ca Giok menimang dalam hati, “Jika ucapanmu keluar dari hatimu yang
tulus, lebih baik aku kalah saja.”
Tiba-tiba dara itu tertawa, “Jangan bergirang dulu! Kemungkinan engkau tak mampu
mengalahkan aku!”
Ucapan itu membangkitkan nafsu harus menang pada hati Ca Giok. Diam-diam ia yakin,
tak mungkin dara itu tahu segalanya. Tetapi iapun menginsyafi bahwa dara itu memang
cerdik dan luas sekali pengetahuannya. Jika mengajukan soal yang mudah dijawab,
malulah ia. Karena hatinya kesusu, malah sampai beberapa saat belum juga ia
menemukan persoalan yang patut diajukan.
Dara itu duduk, katanya tertawa, “Pikirlah dulu perlahan-lahan, Aku akan beristirahat
dulu!”-habis berkata ia sandarkan kepala pada pohon siong dan pejamkan mata.
Kita tinggalkan dulu Ca Giok yang tengah sibuk mencari soal untuk diajukan kepada si
dara. Mari kita ikuti Han Ping lagi.
Melihat keadaan kuburan yang sudah rusak dan tak terawat itu, diam-diam Han Ping
menghela napas. Nama, kegagahan, pangkat dan segala kemewahan dunia, akhirnya
hanya berakhir dengan gunduk tanah yang terlantar saja….
Ia dapatkan dirinya saat itu berada di samping sebuah makam dari batu marmer hijau
yang besar. Di belakangnya terdapat beberapa patung malaikat penjaga yang sudah
rusak. Sedang di sebelah muka terdapat sebuah papan nama dari batu marmer. Tetapi
tulisannya sudah tak dapat dibaca jelas. Samar-samar seperti terdapat dua baris kata-kata.
Yang satu berbunyi, “Di dalam laut tiada yang tahu”. Dan tulisan yang lain berbunyi, “Di
ujung langit hanya terdapat seorang”.
Di tengahnya terdapat 3 buah huruf berbunyi “Makam tunggal”. Karena bagian atas
batu nisan itu rompal, maka tak diketahui tulisannya.
Han Ping mendapat kesan bahwa dalam tulisan yang agak bernada congkak itu,
mengandung suatu jeritan hati yang merawankan.
“Ah, masakan dalam dunia yang seluas ini, dia tak mendapatkan seorang sahabat karib.
Walaupun nasibku juga jelek, sejak kecil ditinggal mati oleh kedua orang tuaku tetapi aku
masih mempunyai seorang guru yang merawat dan mendidik aku sampai besar. Begitu
pula terdapat beberapa orang yang mau memperhatikan diriku. Misalnya, mendiang Hui
Gong siansu, kedua nona Ting dan Ca Giok. Mereka baik sekali kepadaku. Agaknya orang
yang terkubur dalam makam ini lebih jelek lagi nasibnya”.
Karena kasihan kepada orang itu, diam-diam Han Ping berdoa di hadapan makam,
“Sungguh menyedihkan sekali nasib locianpwe yang selama hidup tak mendapatkan
sahabat karib. Sayang pula, kita tak berjumpa. Andaikata aku sudah lahir pada masa itu,
aku tentu senang sekali bersahabat dengan locianpwe….”
Tiba-tiba ia memperoleh pikiran. Kalau semasa hidupnya orang itu tiada mempunyai
sahabat, biarlah setelah mati ia akan berada disitu untuk menemaninya.
Setelah mendapat pikiran begitu, ia segera menghampiri ke muka makam. Di atas
persada makam itu, terdapat sebuah perapian warna hitam yang masih utuh. Entah
terbuat dari bahan apa. Walaupun persada sudah rusak, tetapi perapian itu tak kurang
suatu apa.
Han Ping berjalan mengitari makam itu. Sebuah makam yang luar biasa besarnya.
Diam-diam ia heran mengapa semasa hidupnya tidak mempunyai kawan, tetapi setelah
mati dikubur dalam makam yang begitu besar.
“Adakah sebelum mati dia sudah mempersiapkan makam ini lebih dulu?” pikirnya, atau
mungkin kemenakan atau salah seorang keluarganya yang membuatkan. Dan menilik
megahnya makam ini, tentulah orang ini seorang kaya!”
Ia memeriksa tempat pendupaan. Ternyata berisi teh dari daun jati. Airnya bening. Han
Ping heran. Ketika ia gunakan jari menyusup ke air, ternyata airnya dingin sekali karena
sudah membeku jadi es.
Sejak kecil ia hidup dalam kemiskinan. Jarang ia melihat permata dan barang-barang
berharga. Maka terhadap tempat pendupaan yang dingin itu, ia tak menghiraukan.
Saat itu matahari sedang berada di tengah. Anehnya air dalam pendupaan itu tetap
membeku walaupun tertimpa sinar matahari sehari-harian.
Memikir sampai disitu, barulah timbul rasa herannya dan kembali dia menjamah
pendupaan itu lagi. Seketika lengannya terasa dingin sekali. Ia kaget dan mundur dua
langkah. Dipandangnya tempat pendupaan itu dengan kesima….
Pada saat itu, Ca Giok yang sedang mencari soal untuk diajukan dalam pertaruhan
dengan si dara baju ungu, belum juga berhasil menemukan suatu bahan pertanyaan.
Soalnya, karena ia bingung. Dia takut kalah tetapipun takut menang. Kalau pertanyaannya
kelewat sukar ia kuatir si dara tak dapat menjawab. Walaupun beruntung mendapat kitab
pusaka Lam-hay-bun, tetapi ia tentu gagal mendapatkan dara ayu yang tiada
tandingannya di dunia itu. Namun kalau mengajukan pertanyaan yang mudah iapun kuatir
dipandang hina oleh dara itu. Maka sampai sekian lama belum juga ia berhasil
menemukan suatu bahan pertanyaan yang sesuai.
Tampaknya dara itu tak sabar menunggu lagi. Ia melangkah ke samping Ca Giok dan
duduk di atas sebuah batu yang berada di muka pemuda itu.
Tiba-tiba mukanya terasa dingin. Setitik air menetes jatuh mengenai mukanya. Ia
segera mengusapnya. Ia mengira tentu butir keringat kepalanya. Dan hal itu bisa saja
terjadi apabila orang tengah memikir keras.
Ca Giok sama sekali tak memperhatikan gerak gerik si dara.
Sesungguhnya dara itu amat cerdik sekali. Ia dapat membau air yang dipesut Ca Giok
itu memang keringat orang yang menitik dari atas. Tetapi ia tak mau segera memandang
ke atas pohon. Ia berbangkit dan berjalan ke belakang Ca Giok kemudian barulah ia
melirik ke atas. Tampak seorang nona baju hitam tengah merebah pada sebuah dahan,
rambutnya terurai lepas. Tampaknya sedang menderita kesakitan. Ketika memandang
teliti, barulah ia mengetahui bahwa nona itu bukan lain Ting Ling yang tadi ditolongnya.
Dara itu tak mau membuat ribut, dengan tenang ia berseru menegur Ca Giok, “Sudah
begini lama, mengapa masih juga belum dapat menemukan pertanyaanmu?”
Ca Giok tertawa, “Kepandaian nona dalam hal ilmu silat, sastra, perbintangan dan lainlain
pengetahuan, benar-benar lebih tinggi dari diriku. Tetapi apakah nona juga faham
tentang gunung, sungai dan ilmu bumi serta keanehan-keanehan dalam dunia persilatan?”
Karena menginsyafi bahwa kepandaiannya kalah dengan dara itu, maka ia sengaja
beralih ke lain soal.
Agak terkesiap dara itu seketika. Katanya kemudian, “Katakanlah! Kalau aku kalah,
tentu segera kuserahkan kitab pusaka itu kepadamu!”
Ca Giok tersenyum kecil, “Dalam dunia persilatan Tionggoan terdapat sebuah peristiwa
aneh. Tujuh puluh tahun berselang, hidup seorang pendekar wanita yang cantik jelita dan
berilmu tinggi. Apabila ia tertawa, orang pasti terpesona seperti orang linglung. Setiap
lawan yang berhadapan dengan si jelita, pasti membuang senjata dan rela menyerah.
Tetapi jelita itu ganas luar biasa. Setiap lelaki yang menyerah dan menyembah di bawah
kakinya, tentu akan ditusuk dadanya dengan pedang pendek yang amat tajam sekali….”
Tiba-tiba Ca Giok berhenti. Ia teringat bahwa cerita itu menyangkut dunia persilatan
Tionggoan. Kemungkinan si dara baju ungu tentu tak tahu. Ah, bagaimana kalau dara itu
sampai tak dapat menjawab? Bukankah ia akan memenangkan pertaruhan itu?
Aneh, benar-benar aneh. Orang bertaruh tentu menginginkan menang. Tetapi
sebaliknya Ca Giok malah takut kalau menang.
Dara itu tersenyum bertanya, “Engkau hendak menanyakan tentang asal usul pedang
Pemutus Asmara atau menanyakan tentang orang yang memiliki pedang itu? Harus pilih
salah satu saja, jangan dua-duanya!”
Ucapan itu membuat Ca Giok terperanjat sehingga terlongong-longong. Dia tak
menyangka sama sekali bahwa dara yang masih semuda itu ternyata mengetahui juga
tentang peristiwa itu. Suatu peristiwa yang orang persilatan daerah Tionggoan sendiri
banyak yang tak mengetahui.
“Hai mengapa engkau diam saja?” tegur si dara.
Ca Giok mendengus dalam hati dan mendamprat dara itu terlalu sombong. Diam-diam
ia akan mencari daya agar dara itu tetap menjawab kedua peristiwa itu.
“Pedang pemutus asmara dengan orang yang menggunakan pedang itu, sesungguhnya
tak dapat dipisah-pisahkan. Kedua – duanya mempunyai riwayat yang sama. Semisal,
Sebab dan Akibat, keduanya mempunyai tali temali yang erat. Jika memang mampu
menjawab, engkau harus menuturkan riwayat pedang dengan orangnya sekali. Jika hanya
dapat menerangkan satu, berarti belum lengkap….”
Dara itu menukas dengan tertawa mengikik, “Hi, hik, kiranya engkau ini seorang yang
berpikiran seperti setan. Tadi baru saja engkau merasa takut menang tetapipun takut
kalah, sekarang mendadak hendak mendesak aku begitu rupa!”
Ca Giok terkesiap. Pikirnya, “Benar-benar seperti siluman. Mengapa yang kukandung
dalam hati, dia tahu semua? Rasanya kecerdasan gadis ini jauh berlipat ganda dengan
kedua nona Ting itu….”
“Jangan membikin sulit kepadakulah”, kata si dara seraya menatap wajah Ca Giok, “Ya,
ya, akan kututurkan semua pertanyaanmu itu.”
Dengan mengulum senyum yang menawan, dara itu segera hendak membuka mulut,
tetapi buru-buru Ca Giok mencegah, “Tunggu dulu, di tempat yang begini sepi, hanya
terdapat kita berdua. Siapa kalah siapa menang, tiada yang menjadi saksi. Ini….”
“Jangan kuatir kalau aku menyangkal”, dara itu tertawa, “sebenarnya saksinya sudah
ada!”
Sudah tentu Ca Giok bingung. Pada saat ia hendak meminta penjelasan, tiba-tiba ia
mendengar suara berkeresekan dari atas pohon. Dan menyusul sesosok tubuh berpakaian
hitam meluncur ke bawah. Dengan sigap Ca Giok segera menyongsong dengan tangan
kanan. Ia kira tentu musuh. Tetapi ketika mengetahui bahwa orang itu ternyata Ting Ling,
buru-buru ia merubah tusukan jarinya menjadi gerak menyambut. Dan dengan tepat
dapatlah ia menyambuti tubuh nona itu.
Ketika memandang ke muka, tampak si dara baju ungu tengah menutup mulutnya yang
tengah tertawa mengikik. Ca Giok terkejut heran, ia duga dara itu tentu sudah mengetahui
bahwa Ting Ling bersembunyi di atas pohon.
Belum ia sempat berkata apa-apa, tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara teriakan
kaget dan menyusul, Ting Hongpun muncul. Dara itu menjinjing sebuah bungkusan besar
dan berlari mendatangi. Begitu tiba, dara itu terus berjongkok lalu membopong tacinya,
“Ci, apakah engkau jatuh dari pohon?”
Dua kali ia bertanya, tetapi Ting Ling tetap diam saja.
Ternyata ketika mendengar Ca Giok dan si dara baju ungu tengah membicarakan
tentang Pedang Pemutus asmara, teganglah pikiran Ting Ling. Karena pikiran tegang,
matanya berkunang-kunang dan terperosoklah ia ke bawah, Walaupun dapat disanggapi
Ca Giok, tetapi nona itu tetap pingsan.
Melihat tacinya tak sadarkan diri, Ting Hong bingung. Cepat ia berkata kepada si dara
baju ungu, “Resep yang engkau buatkan itu sudah kubelikan. Tetapi bagaimana dapat
kuminumkan karena dia pingsan lagi begini….”
Si dara menyahut dengan tertawa dingin, “Tak perlu engkau bingung. Dan siapakah
yang suruh dia tak menurut nasehatku? Mengapa dia memanjat pohon yang begitu
tinggi?”
“Ya, sudahlah, dia pingsan, harap engkau suka lekas menolongnya!” Ting Hong makin
gelisah.
Si darapun membungkuk untuk melihat keadaan Ting Ling. Ujarnya, “Dia sendiri yang
cari penyakit. Karena terlalu banyak menggunakan pikiran, hawa racun dalam hati,
meluap. Ai, sebenarnya sudah hampir sembuh tetapi karena peristiwa ini dia harus
menunggu sampai beberapa hari lagi….”
Dara itu bertopang dagu memandang ke arah dahan pohon yang sempal dengan
terlongong-longong . . .
* * *
Bagian 17
Rahasia sebuah makam
Setelah termangu – mangu beberapa waktu memandang tempat pendupaan,
tersadarlah Han Ping. Bahwa dalam sinar matahari yang cukup terik, tetapi tempat
pendupaan itu dapat membuat air membeku dingin, jelas tentu barang mustika yang
jarang terdapat di dunia.
Kembali ia memegang tempat pendupaan itu. Ah, airnya memang sedingin es sehingga
ia lepaskan lagi. Pikirnya, tempat pendupaan yang aneh itu, biasanya tentu menjadi milik
orang kaya, Karena benda mustika itu berada di makam yang terasing, ia anggap biarlah
benda itu tetap berada disitu untuk menemani jenazah pemiliknya.
Katanya seorang diri kepada makam itu, “Baiklah, karena kita seperti berjodoh, maka
akan kukorbankan waktuku sehari untuk menemani engkau disini. Mudah-mudahan
arwahmu di alam baka dapat terhibur….”
Ia segera duduk di samping makam itu. Memandang ke sekeliling penjuru, tampak
gunduk-gunduk tanah kuburan bertebaran di sana sini, menimbulkan suatu pemandangan
yang indah rawan di saat hari menjelang senja.
Kerawanan itu mempengaruhi jiwa Han Ping juga. Ia segera bersemedhi,
mengosongkan pikirannya.
Entah berapa lama ia berada dalam kehampaan itu, tiba-tiba ia mendengar serupa
bunyi berdering tajam. Ia terkejut dan mengira kalau persemedhiannya telah tersesat
jalan atau yang disebut jip-mo (aliran darah keliru jalannya). Keadaan itu tentu akan
membuatnya cacad bahkan bisa mati.
Dirabanya kening dan pipinya, Ah, basah dengan embun musim rontok. Ia menengadah
memandang ke langit. Bulan dan bintang-bintang sudah menghias cakrawala. Ternyata
hari sudah malam.
“Aneh, mengapa dalam pekuburan yang begini terpencil, terdengar suara macam
tetabuhan!” ia heran dan memandang ke sekeliling penjuru. Tetapi tak menjumpai apaapa.
Akhirnya ia pusatkan perhatian lagi untuk menangkap bebunyian yang aneh itu.
Dan berhasillah ia mengetahui asal bebunyian itu. Ya, tak salah lagi. Bebunyian itu
berasal dari dalam makam besar itu.
Keheranannya makin bertambah besar. Ia lekatkan telinga ke makam itu. Ah, bunyi itu
menyerupai air mengalir. Setelah bersemedhi, telinganya tajam sekali. Ia dapatkan bunyi
gemercik air itu mengalir di dasar makam.
Segera ia berbangkit dan berjalan mengitari makam itu untuk memeriksa. Tetapi
makam itu tertutup oleh rumput yang lebat sehingga tak dapat diketemukan suatu lubang
yang mencurigakan.
Serentak ia terkesiap, pikirnya, “Bukankah sekarang sedang dalam musim rontok.
Pohon dan tanaman tentu sama rontok daunnya, Tetapi mengapa rumput yang tumbuh di
makam itu tetap menghijau sendiri!”
Karena heran timbullah hasratnya untuk masuk ke dalam makam itu. Tetapi ia belum
mendapat jalan.
Tiba-tiba angin malam berhembus keras. Daun-daun pohon jati di tanah kuburan itu
berderak-derak. Menyusul terdengar suara burung kukuk beluk bersahut-sahutan.
Sekalipun memiliki ilmu silat tinggi, tetapi Han Ping merasa seram juga.
Begitu seekor burung hantu atau kukuk beluk berbunyi maka disambutlah oleh kawankawannya.
Riuh rendah suara burung hantu yang menyeramkan itu menusuk telinga.
“Ah, kiranya memang benar, Orang mengatakan bahwa bunyi burung hantu itu seperti
orang merintih-rintih….” pikirnya.
Tiba-tiba kawanan burung hantu itu terbang ke udara lalu melayang-layang mengitari
makam besar. Sesungguhnya Han Ping ngeri juga. Tetapi karena ia ingin tahu apa yang
akan terjadi, ia segera menyurut mundur dan bersembunyi di balik batu nisan.
Sekonyong-konyong salah seekor burung hantu yang besar, melayang ke bawah dan
hinggap di atas tempat pendupaan hitam tadi. Burung itu mengangkat kepala, berbunyi
aneh lalu terbang.
Selekas burung itu pergi, maka datanglah burung hantu yang kedua. Juga burung itu
hinggap di atas tempat pendupaan hitam, berbunyi sekali lalu terbang. Kemudian burung
hantu yang ketiga, ke empat, kelima dan satu demi satu kawanan burung hantu itu
terbang dan hinggap di atas tempat pendupaan, setelah mengeluarkan bunyi yang aneh
lalu terbang lagi….
Saat itu rembulan bersinar terang. Han Ping memang tak punya pengalaman. Tak habis
herannya, mengapa kawanan burung hantu itu berbuat seaneh itu.
Setelah kawanan burung itu pergi, suasana kembali sunyi lagi. Tiba-tiba Han Ping
teringat bahwa tujuannya datang kesitu adalah hendak mencari tempat yang sepi guna
berlatih silat. Ah, mengapa ia menyia-nyiakan waktu?
Segera ia tenangkan semangat, kerahkan tenaga dalam lalu menghantam ke arah
sebatang pohon jati yang besar. Tetapi sebelum tenaga pukulan itu melancar, mendadak
ia tarik pulang kembali. Ia dapat memukul dengan cepat tetapi pun mendadak dapat
menariknya kembali.
Latihan yang berhasil itu makin menggembirakan hatinya. Sekarang ia mulai lagi
dengan menghantam daun pohon jati yang jauh jaraknya. Dan kali ini tak ditariknya lagi.
Daun pohon jati itu berhamburan jatuh ke bumi.
Ia memungut sebatang ranting dan diam-diam menghafalkan bunyi pelajaran dalam
kitab Tat-mo-ih-kin-keng:
“Jika Sari menjadi Hawa, Hawa menjadi Semangat dan Semangatpun akan kembali ke
dalam Kehampaan. Kehampaan itu memancar ketiga arah pemusatan puncak dan jadilah
suatu kekuatan dahsyat yang dapat dipancarkan menurut sekehendak hati kita….”
Walaupun berkali-kali diulang Hui Gong taysu dan diberikan juga cara latihannya, tetapi
selama ini Han Ping belum mengerti. Adalah setelah ia bertempur dengan Pengemis sakti
Cong To, barulah ia menyadari arti ilmu pelajaran itu. Maka dalam kesempatan saat ini, ia
berlatih lagi menurut ajaran mendiang Hui Gong. Dan berhasillah ia menguasai tenaga
dalamnya….
Han Ping kesima sendiri atas hasil yang dicapainya saat itu. Benar-benar ia tak mengira
sama sekali. Ia tak percaya bahwa secepat itu ia telah berhasil menempatkan dirinya
sebagai orang yang paling cepat memahami isi kitab Tat-mo-ih-kin-keng. Adakah ia benarbenar
seorang yang berbakat dan paling cerdas di dunia? Ah, tidak….
Berbagai kenangan, lalu lalang di benaknya. Berkecamuk bagaikan gelombang di laut.
Tetapi setelah memikirkan dengan tenang, kesemuanya itu tiadalah seperti
kenyataannya….
Teringat ia akan kebaikan Hui Gong taysu. Beberapa butir airmata, menitik turun.
Bulatlah tekadnya untuk membalas budi padri itu.
Hembusan angin gunung, menyadarkan lamunannya. Malam makin gelap. Rembulan
tertutup gumpalan awan. Ketika memandang ke arah persada makam besar, ia agak
heran. Tempat pendupaan yang tertimpa sinar rembulan tadi hanya hitam berkilat-kilat.
Tetapi setelah cuaca gelap, benda itu memancarkan cahaya mengkilap. Segera ia
menghampiri dan terus hendak mengangkat benda itu. Ah, ternyata benda itu tak berkisar
sedikitpun juga. Han Ping terkejut sekali. Tanpa disadari ia memutar benda itu ke kanan.
Terdengar bunyi berderak-derak dan mendadak persada batu itu merekah dan
terbukalah sebuah pintu. Melihat itu, tanpa banyak pikir lagi, ia terus menerobos masuk.
Ketika memandang seksama, ternyata ia sedang menghadapi sebuah lorong di bawah
tanah, terbuat dari batu marmer hijau dan berliku-liku menjurus ke dalam.
Setelah merenung sejenak, ia segera melangkah masuk. Kira-kira tujuh delapan meter,
lorong itu membelok ke kiri. Dan serempak pada saat itu, terdengar bunyi berderak-derak.
Ketika berpaling dilihatnya pintu batu itu tertutup lagi. Namun ia tak gentar dan tetap
teruskan langkahnya.
Terowongan itu gelap dan menyeramkan. Untung tak lembab. Setelah melintasi
beberapa tikungan tiba-tiba ia mendengar suara gemercik air mengalir. Kira-kira dua tiga
meter jauhnya, terdapat sebuah aliran air yang deras. Jelas berasal dari luar makam.
Ia memeriksa lebih lanjut. Saluran air itu dalamnya antara satu meter, tetapi airnya
hanya sedalam tigapuluhan centi. Siang malam air mengalir deras, entah menjurus
kemana. Serupa dengan lorong terowongan, pun saluran air itu terbuat daripada marmer
hijau.
Diam-diam ia mengagumi cara pembuatannya yang indah serta megah. Ia lanjutkan
langkahnya. Memang ia harus melalui beberapa tikungan yang membingungkan. Untung
lorong terowongan itu hanya sebuah saja.
Setelah melintasi dua buah tikungan, tiba-tiba di sebelah muka tampak cahaya
penerangan. Dan mulai saat itu lorong terowonganpun makin melebar. Selebar dua buah
kamar. Dindingnya mengkilap seperti kaca dan putih bersih. Entah terbuat dari bahan apa.
Penerangan itu ternyata berasal dari 4 butir mutiara mustika yang dipasang di empat
penjuru.
Lorong terowongan itu habis sampai disitu. Kini ia berada dalam suatu ruangan. Pada
pintu ruangan situ, terdapat tulisan berbunyi:
“Para tetamu harap berhenti.
- Ko Tok lojin.”
Tulisan itu ditanda tangani oleh Ko Tok lojin atau si Orang tua Seorang diri.
Ruang itu penuh berisi mutiara dan benda-benda kuno yang berharga. Secarik kertas,
ditindihi sebuah batu pualam hijau.
Surat itu berbunyi:
“Siapa yang datang kesini, berarti berjodoh. Silahkan mengambil benda berharga yang
dikehendaki. Tetapi jangan berhati temaha. Hanya boleh mengambil sebuah.”
Memeriksa benda-benda berharga itu, Han Ping terpesona kagum. Benda-benda itu
belum pernah dilihatnya seumur hidup. Diam-diam ia anggap pemilik makam itu benarbenar
seorang diri. Karena matipun ia membawa seluruh harta kekayaan ke liang kubur….
Tiba-tiba Han Ping teringat akan sebuah pelajaran ilmu silat. Buru-buru ia duduk bersila
melakukan pernapasan.
Ia tak tahu bahwa saat itu di atas makam, Kipas besi pedang perak Ih Seng sedang
membawa dua orang anak buahnya memandang keadaan makam itu dengan terlongonglongong.
Tetapi mereka tak dapat masuk ke dalam makam.
Adalah karena tak sengaja maka Han Ping dapat menggerakkan tempat pendupaan dan
masuk ke dalam makam itu. Tetapi tak tahu bagaimana akan keluar nanti.
Makam itu dibuat oleh 12 tukang yang termahsyur. Dan mereka kini sudah meninggal
semua.
Kipas besi pedang perak Ih Seng memang sering berkelana di dunia persilatan. Setelah
berhasil menawan si dara baju ungu, rencana hendak dibawa ke makam situ dan d’paksa
untuk menyerahkan kitab pusaka Lam-hay-bun. Apabila dara itu memang tak membawa,
pun akan dijadikan sandera dan akan memaksa pihak Lam-hay-bun untuk mengadakan
tukar menukar kitab dengan orang.
Tetapi ternyata di tengah perjalanan menuju ke tempat rombongan Lam-hay-bun
bermukim, dia berpapasan dengan Naga sakti laut Gun-hay Cin An Ki yang membawa
belasan anak buahnya. Rombongan kelompok telaga Tong-thing-ou itu menghadang di
tengah jalan dan berkeras hendak ikut serta dalam perebutan kitab pusaka itu. Hampir
saja kedua pihak akan bertempur. Untunglah saat itu Leng Kong siau dari lembah Seribu
racun dan Tiga jago dari Kimleng, tiba di tempat itu. Mereka bahkan menambah minyak di
dalam api, agar kedua pihak itu bertempur mat-matian. Dengan demikian akan
berkuranglah jumlah orang yang ikut dalam perebutan kitab Lam-hay-bun.
Tetapi pada saat itu, Imam pencabut nyawa Ting Yan san dari lembah Raja setan
muncul. Kemudian Han Ping dan Ca Giokpun tiba. Kedatangan orang-orang itu telah
menyebabkan suasana pertempuran berubah….
Si dara baju ungu meminjam kesediaan Han Ping dan Ca Giok mengawalnya dari
serbuan tokoh-tokoh itu, untuk mengatur barisan Bambu-batu. Hasilnya Leng Kong siau
dan Ih Seng terkurung dalam barisan aneh itu….
Demikian peristiwa yang terjadi mengapa si dara baju ungu dikepung tokoh-tokoh
persilatan.
Setelah lolos dari barisan, Ih Seng membawa dua orang anak buahnya lari ke tanah
kuburan. Di tempat yang sunyi itulah ia hendak beristirahat dan merancang siasat lagi.
Dia terkejut melihat tempat pendupaan yang berkaki tiga dan berwarna hitam di atas
persada makam besar itu dapat bergerak-gerak sendiri. Dipandangnya dengan seksama.
Ah, memang benar. Benda berkaki tiga itu memang berputar-putar perlahan.
Sebagai seorang persilatan yang banyak pengalaman, ia tak mau bertindak tergesagesa.
Setelah menunggu beberapa saat tiada suatu perubahan apa-apa, baru ia maju
menghampiri. Kedua anak buahnya terpaksa mengikuti.
Tiba di depan persada, Ih Seng segera ulurkan tangan hendak memegang benda hitam
itu. Tetapi sebelum tangan menjamah, tiba-tiba terdengar bunyi berderak-derak. Sebuah
arca batu besar yang melukiskan seorang penjaga makam, bergerak menerjang Ih Seng
bertiga. Arca itu lontarkan papan batu yang dipegangnya.
Telinga Ih Seng amat tajam. Begitu mendengar kesiur angin, ia cepat berpaling. Bukan
kepalang kejutnya ketika melihat sebuah patung batu dapat bergerak bahkan melontarkan
papan batu ke arahnya. Cepat ia menghindar ke samping.
Tetepi salah seorang anak buahnya menjerit ngeri. Papan batu itu tepat menghantam
kepala orang itu hingga remuk….
Ih Seng yang loncat setombak jauhnya, ketika berpaling dan mengetahui anak buahnya
menjadi korban, kejutnya bukan kepalang. Lebih kaget pula ketika menyaksikan gerak
gerik patung batu itu. Setelah melemparkan papan batu, patung itu tetap menerjang
dengan deras. Baru setelah tiba di depan persada, patung itu berhenti.
“Ah, terlambat sedikit saja menghindar, aku pasti celaka!”- diam-diam Ih Seng
mengeluh. Ia mencari anak buahnya yang lain. Astaga! anak buah itu pun sudah terkapar
kaku di tanah. Tentulah karena ketakutan setengah mati, orang itu rubuh pingsan.
Ih Seng sendiri sebenarnya juga takut. Diam-diam ia kerahkan seluruh tenaga dalam,
bersiap-siap menghadapi sesuatu kemungkinan lain. Tetapi sampai beberapa jenak, tak
terjadi sesuatu apa.
Baru hatinya mulai tenang, tiba-tiba terdengar bunyi berderak lagi. Ia tersirap kaget
dan memandang dengan seksama. Ah, ternyata patung penjaga makam yang berada di
depan persada tadi, bergerak mundur kembali ke tempatnya semula….
Hanya bedanya, kalau di waktu menerjang tadi amat deras sekali tetapi waktu mundur
dengan perlahan-lahan. Anehnya, papan batu yang dilemparkan mengenai kepala sal ah
seorang anak buah Ih Seng itupun bergerak-gerak mengikuti patung itu lalu kembali
melekat ke tangan patung itu lagi.
Ih Seng benar-benar kesima melihat keanehan itu. Pada lain saat ia teringat akan cerita
orang tentang 18 buah patung orang yang berada di paseban Lo-han-tong gereja Siau-
Lim-si. Kabarnya patung-patung itupun dapat bergerak dan menyerang orang. Kiranya hal
seaneh itu memang bukan kabar bohong. Buktinya, ia telah menyaksikan dengan mata
kepala sendiri patung-patung batu yang dapat bergerak menyerang tadi.
Setelah memandang persada makam dengan tempat pendupaan kaki tiga itu, timbullah
suatu dugaan. Jika makam besar itu dijaga oleh barisan patung batu yang dapat
menyerang, tentulah makam itu mengandung sesuatu yang berharga. Kalau tidak harta
benda yang berlimpah-limpah tentu senjata pusaka atau kitab pusaka yang tiada
taranya.Tempat pendupaan yang terus bergerak-gerak itu, tentulah alat penggerak dari
rahasia makam itu.
Segera ia memperhatikan keadaan makam itu dengan cermat. Pikirnya, “Patung batu
itu hanya dapat menyerbu sampai di muka persada makam. Jika aku loncat ke tengah
persada itu, tentu terluput dari serangan patung!”
Saat itu anak buahnya yang pingsan tadi telah siuman. Tergopoh-gopoh orang itu
menghampiri Ih Seng dan berkata dengan tergagap, “Tuan, maafkan….”
Ih Seng tengah mencurahkan seluruh perhatian ke arah tempat pendupaan. Sudah
tentu ia tak menggubris anak buahnya itu.
“Menyingkirlah!” bentaknya seraya loncat ke tengah batu persada.
Karena sudah mendapat pengalaman pahit, maka kali ini Ih Seng berlaku hati-hati
sekali. Begitu berada di batu persada ia cepat mencabut pedangnya lalu menusuknusukkan
pada tanah di sekelilingnya. Setelah mengetahui tak berbahaya, barulah ia
sarungkan pedangnya lagi. Ia membungkuk dan memegang benda hitam yang berputarputar
itu.
Ternyata kuat sekali tenaga putaran tempat pendupaan itu. Walaupun sudah
menggunakan separuh bagian tenaganya, tetapi ia tak mampu menghentikan benda yang
berputar itu.
Waktu menghentikan tempat pendupaan, matanya tak lepas memperhatikan gerak
gerik patung penjaga yang berada setombak jauhnya dari makam itu. Ia kuatir patung
batu itu akan menerjang lagi.
Sepeminum teh lamanya, tetap patung itu tak bergerak. Serentak ia tersadar, “Benar,
alat penggerak patung batu itu kalau bukan terletak di persada tempat sembahyangan ini
tentulah berada di halaman tanah makam itu. Asal orang hendak mendekati batu persada,
sekali menyentuh alat penggerak itu, tentulah patung itu akan menerjangnya. Dengan
begitu, benda hitam yang berputar-putar ini bukan alat penggerak!”
Kesan itu makin menambah besar nyalinya. Ia tetap hendak menghentikan perputaran
benda hitam itu. Tiba-tiba terdengar bunyi berderak-derak, dari bawah tanah merangsang
naik. Buru-buru ia lepaskan benda hitam itu dan siap-siap.
“Hai….” tiba-tiba ia berteriak kaget ketika tahu-tahu tubuhnya terperosok. Seketika ia
tak dapat melihat apa-apa kecuali kegelapan yang amat pekat.
Kejutnya bukan main! Buru-buru ia empos semangatnya dan menggeliat ke atas. Tetapi
tubuhnya malah meluncur ke bawah lebih deras….
Untunglah ia seorang tokoh yang banyak pengalaman. Walaupun berada dalam bahaya,
tetapi ia tak lekas gugup. Ia rentangkan kedua tangannya untuk menghambat tubuhnya
yang meluncur ke bawah lalu ia berusaha menggeliat ke samping.
Ah, sebuah dinding yang landai dan rata sehingga tak dapat dibuat pegangan. Terpaksa
ia menekan dinding itu. Dengan meminjam tenaga tekanan itu, ia melesat ke belakang
sambil berjumpalitan menuju ke lain dinding. Tetapi serupa juga keadaannya. Tak dapat
dibuat pegangan.
“Celaka, matilah aku!” ia mengeluh. Karena kecewa dan putus asa, buyarlah
pengerahan tenaga murninya. Dengan demikian tubuhnya makin meluncur lebih deras ke
bawah.
“Uh….” ia terkejut ketika kakinya menyentuh tanah. Ketika melihat ke sekeliling,
ternyata ia berada di sebuah tempat yang terdiri dari dua buah kamar. Satu besar satu
kecil. Dinding kamar itu terbuat dari batu yang halus dan licin. Di atas kamar itu diterangi
oleh semacam benda yang memancarkan sinar penerangan.
Setelah termangu – mangu beberapa saat, mulailah ia menyelidiki keadaan ruangan itu.
Ia akan mencari jalan untuk keluar dari tempat itu.
Tiba-tiba ia merasakan hawa dalam ruangan itu berubah. Memang bagi orang biasa,
perubahan itu sukar diketahui. Tetapi sebagai seorang tokoh silat yang tinggi tenaga
dalamnya, ia mempunyai panca indra yang lebih tajam.
Ia memandang dengan seksama ke sekeliling, begitu pula iapun mencoba untuk
melakukan pernapasan. Tetapi kesemuanya itu tiada terdapat perubahan apa-apa. Adakah
ketika memandang ke atas, baru ia terkejut bukan kepalang. Kiranya langit-langit ruangan
yang terbuat dari batu itu, mengendap perlahan-lahan ke bawah.
Saat itu barulah ia kelabakan. Betapapun pengalamannya sebagai tokoh persilatan,
tetapi saat itu benar-benar ia gelisah. Dengan kerahkan seluruh tenaga, ia menghantam
dinding ruangan. Tetapi dinding itu sedikitpun tak bergeming. Bahkan tangannya sendiri
yang sakit.
Dalam pada itu langit-langit ruangan makin menurun ke bawah. Dalam waktu singkat
tentu akan menindih dirinya.
“Ah, tak kira aku bakal mati dalam keadaan begini mengenaskan,” diam-diam ia
mengeluh.
Sekalipun begitu ia tetap berusaha untuk melawan bahaya maut itu. Dengan kerahkan
seluruh tenaga, ia songsongkan kedua tangan untuk menahan langit-langit batu yang
menghimpit turun itu. Tetapi langit-langit batu itu teramat dahsyatnya. Ih Seng tak
mampu menahannya. Dan akhirnya kakinya melentuk, tubuhnyapun ikut tertekuk ke
bawah….
Sepeminum teh lamanya, Ih Seng sudah telentang rebah di lantai. Dia sudah kehabisan
tenaga dan tak mau menahan lagi. Dengan pejamkan mata, ia pasrah nasib menunggu
ajal.
Tetapi sampai beberapa saat, belum juga ia merasa langit-langit batu itu menindih
dirinya. Ketika membuka mata ternyata langit-langit batu itu, berhenti bergerak. Jaraknya
hanya beberapa senti dari tubuhnya.
Pada papan batu yang merupakan langit-langit ruangan itu, terdapat tulisan yang
berbunyi:
“Sungguh tak terduga sama sekali tuan akan berkunjung kemari. Kami sambut
sehangat-hangatnya. Jangan takut, takkan tertindih mati. Tetapi hati-hatilah bisa mati
kelaparan.
- Ko Tok lojin.”
Diam-diam Ih Seng memaki, “Jahanam benar Ko Tok lojin itu. Perlu apa dia memasang
alat jebakan begini kalau tak mau menghimpit korbannya sampai mati. Rebah disini,
berarti akan mati kelaparan juga. Bagi orang biasa, dalam waktu seminggu tentu sudah
mati. Tetapi bagi orang persilatan juga hanya dapat bertahan sampai setengah bulan. Ah,
betapa hebatnya siksaan selama setengah bulan itu!”
Tetapi ia hanya dapat melampiaskan kemarahannya dengan menghambur makian. Lain
dari itu ia tak dapat berbuat apa-apa lagi. Papan batu itu hanya terpisah satu dim dari
ujung hidungnya. Jangankan akan menggerakkan tangan, sedang untuk menekuk kakinya
saja, ia tak dapat.
Pada lain saat ia menertawakan dirinya sendiri. Bukankah pemilik makam itu sudah
mati dulu-dulu. Apa perlunya ia memaki orang yang sudah mati. Bukankah percuma saja?
Tiba-tiba dari sebuah ruangan lain, ia mendengar suara orang membentak, “Hai,
siapakah yang memaki-maki itu….!”
Ih Seng terkejut bukan kepalang. Jelas makam itu sebuah bangunan kuno. Masakan di
dalamnya terdapat orang yang menghuni. Ih Seng kucurkan keringat dingin.
Dari dinding ruangan itu terdengar bunyi berdebuk-debuk dan suara orang bertanya
lagi, “Apakah engkau keliru menginjak alat rahasia makam ini dan jatuh ke dalam
perangkap? Mengapa engkau membisu saja?”
Dengan teliti Ih Seng menyelidiki arah suara orang itu jelas berasal dari seorang
manusia. Ia duga orang itulah yang menggerakkan alat rahasia sehingga ia tersiksa
begitu. Kemarahannya meluap-luap. Serentak ia hendak bangun. Duk…. kepalanya
membentur papan batu, hidungnya berdarah dan mata berkunang-kunang! Kesakitan itu
menyadarkan kedudukannya. Ia tenang lagi.
Buru-buru ia kerahkan napas untuk menghentikan darah di hidungnya, “Benar, aku
memang keliru masuk ke dalam perangkap. Apakah saudara begitu pula?”
Karena dinding ruangan itu tebal sekali, tak mudah mendengar suara orang. Walaupun
masing-masing bicara keras tetapi kedengarannya lembut sekali.
Kembali orang di ruang sebelah berkata dengan suara lembut, “Karena selama hidup
hanya seorang diri, tiada sanak dan tiada kawan, maka waktu mati dia telah membuat
makam besar yang diperlengkapi dengan alat rahasia. Untuk menjaga orang yang hendak
mencuri barang-barang peninggalannya….”
Ih Seng hanya melongo. Gila benar orang itu. Masakan dirinya sudah terjebak dalam
ruang rahasia, masih membela pada pemilik makam itu. Pikirnya.
“Barang apa sajakah yang berada di ruang saudara situ. Di tempatku sini memang
penuh dengan permata ratna mutiara manikam yang tak ternilai harganya,” kata orang di
ruang sebelah.
“Apa?” Ih Seng terkejut.
“Jika saudara menginginkan, asal mengambil sebutir saja, tentulah boleh. Ah, sungguh
sayang sekali mengapa sekian banyak permata yang ternilai harganya, terpendam dalam
makam di sini….”
“Keparat, mengapa engkau mengoceh tak keruan!” tiba-tiba Ih Seng mendampratnya.
Ia marah.
“Hai, mengapa engkau memaki aku? Nanti apabila bertemu, tentu paling sedikit akan
kutampar mukamu sampai 4 kali!” orang itu berteriak seraya menghantam dinding
ruangan beberapa kali. Bum, bum….
Ih Seng terkejut. Hantaman orang itu dapat menggetarkan dinding. Jelas seorang yang
berilmu tinggi. Bahkan lebih tinggi dari dirinya.
“Ha, ha, ha,” Ih Seng tertawa mendongkol, “lebih baik jangan bertemu dengan aku.
Karena kalau ketemu paling tidak tentu akan kutampar mukamu sampai 8 kali!”
“Hai, jangan lari dulu! Segera akan kucarimu” teriak orang itu makin marah.
Ih Sengpun makin keras tertawa, “Silahkan, kutunggu. Kalau tak mampu mencari aku,
engkau benar-benar seorang bangsat tengik”
Ia duga orang itupun tentu dalam keadaan serupa dengan dirinya. Tak mungkin
keluar….
Jilid 11 : Strategi Manipulasi
Bagian 18
Senasib.
Lama sekali orang di ruang sebelah itu tak kedengaran suaranya. Diam-diam Ih Seng
berdebar hatinya. Benarkah orang itu sungguh-sungguh hendak mencarinya?
Entah berapa lama, tiba-tiba kamar sebelah itu berdeburan keras sekali dan orang itu
dengan marah berseru, “Hai, dimana engkau! Inilah orang yang hendak menampar
mukamu!”
Ih Seng terperanjat. Pikirannya, “Uh, orang ini benar-benar seperti setan. Masakan dia
mampu menerobos dari perkakas rahasia makam ini….”
Pada lain kilas ia memperoleh pikiran, “Hm, kalau dia memang mampu menerobos
keluar tentu diapun mampu menolong diriku. Baiklah kubikin panas dulu hatinya, kusuruh
dia membebaskan aku dulu. Sekalipun mukaku ditamparnya, masih jauh lebih baik
daripada terkubur hidup-hidupan disini….”
“Jangan omong besar dulu, bung. Belum tahu siapa yang harus menerima tamparan.
Ayo, masuklah!” serunya kemudian.
Bum, bum…. dinding ruang bergetar keras. Rupanya orang itu tengah mencari
pintunya. Setengah jam kemudian, suara berdeburan itu baru berhenti.
“Celaka, kalau dia tak jadi masuk kemari aku tentu mati….” keluh Ih Seng. Dan
serentak iapun meregang tegang. Ya, jika orang itu sampai keliru menggerakkan alat
rahasia, bukankah papan langit-langit batu itu akan mengendap ke bawah lagi dan
menindih tubuhnya?
Membayangkan kematian yang ngeri itu, Ih Seng mengucurkan keringat dingin….
Sekonyong-konyong terdengar bunyi berderak-derak dan papan langit-langit batu itu
perlahan-lahan terangkat ke atas dan ruangan di sebelah kiri merekah menjadi dua. Ih
Seng mendengar suara gemercik air dari celah-celah dinding yang merekah itu.
Buru-buru Ih Seng menggeliat bangun. Dan tepat pada saat itu, sesosok tubuh orang
melesat masuk.
Ketika mengetahui bahwa pendatang itu ternyata pemuda yang melindungi si dara baju
ungu, Ih Seng terlongong-longong.
Begitupun pemuda itu atau Han Ping, juga terkesiap ketika melihat Ih Seng, “Hm,
kukira siapa, ternyata engkau!”
Kipas besi pedang perak Ih Seng sudah berpuluh tahun malang melintang di dunia
persilatan. Sudah tentu tak dapat menerima diperlakukan sedemikian oleh seorang
pemuda.
“Benar, memang, mau apa engkau!” serunya melonjak maju.
Han Ping lihat ruangan itu sempit sekali tak leluasa kalau sampai terjadi perkelahian. Ia
menyurut mundur seraya bertanya, “Apakah yang memaki aku tadi juga engkau….”
Melihat pemuda itu mundur, Ih Seng salah duga. Ia kira pemuda itu tentu akan
menggerakkan alat perkakasnya untuk menggerakkan papan langit-langit batu. Serentak
ia loncat mengejar, “Hai, hendak lari kemana engkau!”
Melihat tindakan Ih Seng hendak menyerangnya marahlah Han Ping. Segera ia
songsongkan tangannya.
Memang dalam lorong terowongan sesempit itu tiada lain jalan kecuali harus adu
kekerasan.
Ih Seng seorang yang berpengalaman. Melihat kedahsyatan pukulan pemuda itu, ia
cepat loncat mundur seraya dorongkan kedua tangannya. Tetapi karena jaraknya terlalu
dekat, ia kalah cepat. Angin pukulan Han Ping sudah tiba di dadanya lebih dulu sehingga
ia hilang keseimbangan tubuhnya. Bum…. tubuhnya terdorong ke belakang dan
membentur dinding batu. Seketika darahnya bergolak keras, mata berbinar-binar, kepala
pening dan rubuhlah ia. Karena sewaktu hendak terjerembab ke belakang ia gunakan ilmu
cian-kin-tui (memberatkan tubuh) untuk menahan tubuhnya, maka ketika rubuh ia masih
sadar.
Plak, plak…. tiba-tiba sesosok tubuh melesat dan menampar pipi Ih Seng empat kali.
Cepat dan keras sekali tamparan itu hingga mulut Ih Seng, si Kipas besi pedang perak
yang termahsyur itu, mengucurkan darah….
Jago pedang perak itu menampar ubun-ubun kepalanya sendiri lalu menyalurkan
tenaga dalam untuk menghentikan rasa sakit. Setelah pandangan matanya terang, ia
memandang ke muka. Ah…. ternyata Han Ping berdiri gagah di hadapannya. Seketika
deraslah darah kemarahannya. Sambil membereskan rambutnya yang kusut, diam-diam ia
mencabut kipas besi nya. Secepat ditebarkan terus dihantamkan kepada Han Ping dengan
jurus Hian-niau-hua-sat atau Burung dewa membelah pasir.
Ia yakin bahwa serangan yang dilakukan dengan tiba-tiba dan dahsyat itu tentu akan
merubuhkan Han Ping
Uh…. tiba-tiba Ih Seng berteriak kaget karena tahu-tahu tangannya telah dicengkeram
oleh Han Ping dan pada lain kejap, kipasnyapun sudah pindah ke tangan pemuda itu.
Ih Seng kesima. Belum pernah selama ia mengembara di dunia persilatan, menyaksikan
ilmu merampas senjata lawan yang sedemikian anehnya.
“Ilmu apakah yang engkau gunakan itu?” tanyanya sesaat kemudian.
Han Ping tertawa bangga. Setelah menutup kipas, ia serahkan lagi kepada Ih Seng
seraya menantangnya, “Jika engkau belum puas, silahkan mencoba lagi!”
Sambil menyambuti kipas, Ih Seng mengisar dua langkah ke samping kiri lalu berputar
tubuh dan tiba-tiba tusukkan kipas besi ke dada Han Ping. Ilmu tutukan itu merupakan
jurus yang paling ganas dari ilmu permainan si Kipas besi pedang perak. Mengandung
gerak serangan dan sekaligus menjaga diri. Sukar untuk diduga musuh. Sekalipun hanya
satu kipas dan satu jurus, tetapi mengandung tiga macam perubahan yang hebat.
Dengan ilmu yang diandalkan itu, entah sudah berapa banyak jago-jago persilatan yang
dapat dirubuhkannya. Selama malang melintang berpuluh tahun, belum pernah ia
menemukan orang yang mampu menghadapi kipasnya itu,
Melihat ujung kerangka kipas besi itu menusuk cepat tetapi tak terdapat pancaran
tenaga penggerak atau penyaluran tenaga dalam, diam-diam Han Ping menyadari apa inti
permainan lawan itu. Memang setelah mengalami banyak kali bertempur dan makin giat
meyakinkan ilmu ajaran Hui Gong taysu, Han Ping bertambah maju pesat sekali. Ia
percaya bahwa gerakan Ih Seng itu tentu mengandung lain perubahan lagi. Maka sambil
gerakkan tangan kanan dengan jurus lima gunung menutup naga, ia ayunkan kakinya kiri
selangkah ke muka, secepat kilat ia rentangkan lima jarinya untuk menyambar
pergelangan tangan Ih Seng, sedang siku lengannyapun bergerak menghantam dada
orang.
Gerakan itu benar-benar mengejutkan Ih Seng. Cepat ia menyurut mundur untuk
menjaga diri. Tetapi sekali serangannya gagal, berantakanlah seluruh jurus permainannya.
Tahu-tahu ia rasakan pergelangan tangannya kesemutan dan kipasnya pindah tangan.
Dadanyapun tersentuh sedikit oleh siku Han Ping. Apabila Han Ping mau menggunakan
kekerasan sedikit saja, Ih Seng pasti terluka.
Entah berapa puluh kali Ih Seng menghadapi pertempuran dengan tokoh-tokoh yang
terkenal. Tetapi belum pernah ia menderita kekalahan yang mengenaskan seperti saat itu.
Kipasnya dirampas dan dadanya disikut.
Kipas besi pedang perak terlongong-longong….
“Kalau masih tidak tunduk kita coba lagi barang dua tiga jurus!” seru Han Ping seraya
mundur dua langkah dan mengembalikan kipas kepada pemiliknya.
Sambil menyambuti kipas. Ih Seng memandang lekat kepada Han Ping, “Ilmu
kepandaian apakah yang engkau mainkan itu?”
“Kuberitahupun mungkin engkau tak tahu. Gerakan itu dinamakan Kin-liong-chiu yang
terdiri dari 12 jurus!”
“12 jurus Kin-liong-chiu?” Ih Seng mengulang lalu merenung diam. Tetapi sampai
beberapa lama belum juga ia mengetahui apa itu 12 jurus gerakan menangkap naga. Ia
gelengkan kepala dan menghela napas, “Benar, memang aku tak tahu!”
“Jangankan engkau, sedang di dunia persilatan, hanya beberapa gelintir orang yang
tahu akan ilmu Kin-liong-chiu itu!” Han Ping tertawa.
“Jenis ilmu silat yang terdapat di dunia persilatan Tionggoan, bukan aku
membanggakan diri tahu semua, tetapi sebagian besar memang pernah kudengar dari
orang. Namun ilmu Kin-liong-chiu yang anda mainkan tadi. benar-benar belum pernah
kulihat dan mendengarnya!” kata Ih Seng.
“Kalau begitu engkau sudah tunduk?”
Ih Seng merenung sejenak. tiba-tiba ia berseru marah, “Cukuplah kalau orang sudah
mengagumi seseorang. Tetapi dengan bertanya menegas begitu, apakah maksudmu.
Ketahuilah seorang ksatria rela dibunuh daripada dihina. Aku Kipas besi pedang perak
bukan manusia yang takut mati temaha hidup!”
Diam-diam Han Ping menaruh perindahan kepada Ih Seng. Walaupun dari golongan
Lok-lim (begal) tetapi berjiwa ksatria juga.
“Aku tak mengandung maksud apa-apa, harap saudara Ih jangan marah!” katanya
memberi hormat.
Kemarahan yang meluap-luap di dada Ih Seng, sirna seketika. Dengan tersipu-sipu ia
balas memberi hormat . “Kepandaian anda benar-benar sakti, aku tunduk setulus hati.”
Buru-buru Han Ping mengangkatnya bangun seraya mengucap kata-kata merendah,
“Ah, jika saudara sungguh-sungguh menyerang, tak mungkin aku menang.”
Ih Seng menghela napas, “Berpuluh tahun aku berkelana di dunia persilatan dan telah
berjumpa dengan banyak tokoh-tokoh sakti. Tetapi belum pernah aku berhadapan dengan
seorang pemuda seperti anda yang dalam sekali gebrak dapat merampas kipasku. Hal itu
benar-benar sukar dipercaya….”- ia berhenti sebentar lalu menanyakan nama Han Ping.
Han Pingpun memberitahukan namanya.
“Seumur hidup belum pernah aku tunduk benar-benar terhadap orang. Tetapi kepada
saudara Ji, aku sungguh tunduk lahir batin. Jika saudara menghendaki bantuanku, aku
dapat menggerakkan kawan-kawan dari empat propinsi yang bersedia menyerahkan jiwa
untukmu,” kata Ih Seng.
“Ah, aku hanya seorang pemuda yang tak terkenal, mana berani mengharap
penghargaan semacam itu,” sahut Han Ping.
Ih Seng tertawa gelak-gelak, “Walaupun aku berasal dari golongan Loklim, tetapi aku
dapat menjunjung budi dan kepercayaan Saudara Ji, adalah tunas cemerlang. Jika
kuserahkan kedudukan pimpinan ke empat propinsi itu kepadamu….”
“Jangan jangan, aku tak berhak mendapat kepercayaan itu,” cepat-cepat Han Ping
menolak.
Ih Seng tertawa gelak-gelak, “Kutahu kalau saudara tentu enggan menerima pimpinan
kaum Loklim….”
“Ah, bukan begitu,” kata Han Ping. “kaum Loklim memang gemar menyamun dan
merampas harta orang. Sekalipun perbuatan itu melanggar undang-undang, tetapi masih
jauh lebih ksatria daripada mereka yang membanggakan diri sebagai orang gagah
budiman tetapi sebenarnya seekor harimau yang berselimut domba!”
“Kata-katamu tepat sekali saudara Ji!” seru Ih Seng. “Sejak menerima kedudukan
sebagai pemimpin kaum Loklim dari 4 propinsi, aku telah mengeluarkan undang-undang
kepada para markas gerombolan dalam ke empat wilayah itu. Kuberi dua macam
larangan. Tak boleh merampas harta benda dari pembesar dan orang yang jujur. Yang
boleh dirampas hanya harta benda pembesar-pembesar korupsi dan hartawan-hartawan
kejam. Tak boleh sembarang membunuh orang kecuali orang itu memang manusiamanusia
yang jahat dan banyak dosanya. Maka belasan tahun dalam peristiwa-peristiwa
yang menggemparkan daerah Tionggoan selama ini, tak sampai terjadi pembunuhan jiwa
yang salah sasarannya!”
“Ah, sungguh hebat sekali tindakan perwira saudara Ih itu,” Han Ping memuji.
“Ah, jangan kelewat memuji….” tiba-tiba Ih Seng rasakan kakinya dingin. Ketika
memandang ke bawah, ternyata ruangan itu sudah tergenang air. Entah kapan air itu
mulai mengalir kesitu.
Melihat itu Han Ping segera mengajaknya pergi. Tetapi serempak pada saat itu, air
menumpah cepat ke dalam ruang.
Dengan menggembor keras, Han Ping ayunkan tangannya. Gelombang air yang hendak
melanda masuk itu, pecah tersurut mundur lagi. Han Ping segera menerobos keluar. Ih
Seng pun mengikuti di belakangnya.
Gelombang air itu merangsang dan melanda ke dalam ruangan lagi. Han Ping
menyadari bahwa tenaganya tentu tak mampu mengundurkan air itu. Ia harus lekas-lekas
mencari tempat yang aman dulu baru kemudian mencari daya keluar dari makam itu.
Ia tak mau melepas pukulan lagi tetapi mulai mendaki naik dari samping terowongan.
Tetapi air itu cepat kali datangnya. Dalam sekejap saja sudah mencapai sebatas perut.
“Mengapa saudara Ji dapat terjerumus dalam makam ini?” tanya Ih Seng sambil
berjalan.
Dengan singkat Han Ping menuturkan apa yang dialaminya hingga sampai masuk ke
dalam terowongan situ. Demikian Ih Seng juga menceritakan pengalamannya.
Saat itu mereka tiba di sebuah lorong terowongan bersilang. Air bah tadi entah
mengalir kemana saja.
Ih Seng berhenti dan memberi peringatan kepada Han Ping agar berhati-hati jangan
sampai keliru masuk ke dalam ruang yang penuh air.
Memandang ke puncak ruang, Ih Seng menghela napas. “Jika air itu naik lagi sedikit,
terowongan ini tentu akan terbenam. Jangankan engkau yang jarang hidup di daerah
perairan, sekalipun Cin An Ki, kepala Tong-thing-ou itu berada disini, tak mungkin juga
dapat lolos dari bahaya maut semacam ini….”- tiba-tiba ia tertawa keras. Serunya,
“Sayang , sayang kalau dia berada disini ingin kulihat bagaimana dia hendak
menanggulangi keadaan ini!”
“Menyusup laut selulup ke kali, tidak sukar. Yang sukar adalah menerobos keluar dari
makam rahasia sini!”
Ih Seng tertawa lebar, “Kalau aku beruntung bisa keluar dari sini, kelak akan
kuusahakan supaya Cin An Ki juga masuk kemari!”
Dalam pada bicara itu, airpun sudah naik lagi setinggi dada. Hanya saat itu aliran air tak
sederas tadi. Rupanya seluruh terowongan di bawah makam itu sudah tergenangi semua.
Han Ping anggap bahwa jika air tak surut, tak mungkin dia dapat keluar, Sedang Ih
Sengpun memeras otak untuk mencari jalan keluar. Ia heran mengapa tadi air mengalir
begitu deras sekali. Jelas tentu bukan berasal dari sumber air tetapi pasti dari luar. Jika
dapat menemukan lubang asal air itu, kemungkinan tentu dapat meloloskan diri.
Ia segera menyatakan pendapatnya kepada Han Ping, “Daripada tinggal disini
menunggu maut, lebih baik kita berusaha maju ke muka menempuh air untuk mencari
darimana air itu masuk. Kemungkinan kita akan terlepas dari bahaya ini!”
Han Ping setuju.
Walaupun air tak deras, tetapi karena harus berjalan di terowongan yang licin dan
menempuh air sebatas pundak, mereka merasa sukar sekali. Untung keduanya memiliki
tenaga dalam yang hebat sehingga langkah kakinya kokoh sekali.
Air tetap mengalir semakin naik. Dalam beberapa waktu lagi tentu mereka akan
terendam sampai ke kepala. Dan celakanya, air mulai mengalir makin deras lagi.
Setelah dapat melintasi beberapa tikungan lorong, mereka disambut oleh gelombang
yang deras sekali, Ketika memandang ke atas dinding, ternyata mereka telah mencapai
uyung terakhir dari terowongan itu.
Ternyata dinding batu yang melintang itu, merusakkan sumber asalnya air. Tetapi kita
tak berdaya menghadapi air yang begitu deras!” kata Ih Seng.
Han Ping menyatakan hendak mencoba. Dengan miringkan tubuh ia maju ke muka.
Walaupun hanya beberapa tombak jauhnya, tetapi sukarnya bukan kepalang. Napas
mereka terengah-engah.
“Tunggu disini, aku hendak memeriksa dinding batu itu,” kata Han Ping seraya nekad
menyelam ke dalam air. Setelah beberapa saat meraba-raba ia menjamah dua utas rantai
besi sebesar lengan orang. Dengan kerahkan tenaga, ia menariknya sekuat tenaga. Tetapi
rantai itu kerasnya bukan main. Dan pada lain saat malah tubuhnya terangkat air ke atas
lagi.
Karena tak pandai berenang, ia terminum air, dan ia makin kalang kabut, menyambar
kian kemari. Apa saja yang dapat dicekalnya, asal bisa untuk pegangan. Ia lupa bahwa
dinding terowongan itu licin dan rata sekali.
Tiba-tiba tangannya terperosok ke sebuah liang cekungan. Tangannya menjamah
sebuah benda mirip pedang. Dengan sekuat tenaganya ia memegang benda itu sehingga
tubuhnya tenang dari hanyutan air, ia menghela napas lalu berpaling ke arah Ih Seng.
Ih Seng tetap tegak berdiri bersandar dinding. Air sudah membenam lehernya. Sekejap
lagi dia tentu mati terbenam. Buru-buru Han Ping meneriakinya supaya berenang ke
tempatnya. Tetapi Ih Seng gerakkan tangannya menolak. Sebenarnya dia sudah
terhuyung-huyung mau rubuh. Karena menyandar dinding, ia masih dapat berdiri tegak.
Maka tak berani ia mengisarkan kakinya sedikitpun juga.
Tiba-tiba Han Ping terkejut girang. Air yang merendam Ih Seng itu makin menyurut.
Kini kedua bahu orang itu sudah mulai tampak lagi dan dengan cepat sekali air menyurut
lenyap.
Setelah tinggal lututnya yang terendam air, Ih Seng loncat ke tempat Han Ping.
Ternyata Han Ping telah berhasil menemukan alat penggerak air yang berada dalam liang
cekung dinding itu.
“Ah, kalau saudara Ji tak menemukan perkakas rahasia tepat pada waktunya kita tentu
sudah mati. Ah, kematian itu memang sudah nasib!”
Setelah air surut, Han Ping mengharapkan akan melihat rantai yang melintang pintu
masuk ke terowongan. Tetapi ternyata ia tak mendapat yang diharapkan. Kini baru ia
menyadari bahwa rantai pintu masuk itu tentu masih terpisah dengan selapis dinding batu
lagi.
Ketika mengamati cekung, selain yang dipegangnya, masih terdapat dua batang benda
semacam pedang lagi. Ia lepaskan cekalannya, “Ketiga benda ini tentu mempunyai
kegunaan masing-masing. Mari kita gerakkan,”- tiba-tiba kata-katanya terputus oleh
sebuah papan batu di sebelah kanan yang menerjang ke arahnya, terus menutup cekung
liang.
Ih Seng menghela napas, “Ah, makam ini benar-benar luar biar sekali. Belum pernah
kusaksikan peristiwa semacam ini. Rasanya di dunia ini hanya Nyo Bun Giau ketua marga
Nyo, yang mengerti rahasia alat perkakas disini.”
Han Ping diam merenung. Beberapa saat kemudian ia berseru, “Mengapa takut?”
Ih Seng terbeliak, “Setengah umurku telah kulewatkan dalam hujan senjata. Aku sudah
tak menghiraukan soal mati lagi!”
Han Ping tak mau menggubris. Ia memberi keterangan tentang ketiga alat putaran
macam pedang itu, “Yang sebelah kiri, untuk menggerakkan air. Dan yang kedua akan
kucoba dulu, entah untuk apa….”- cepat ia dorongkan tangan kanan ke langit terowongan.
Langit merekah dan segera tarik alat putaran yang di tengah. Terdengar bunyi dinding
batu bergemuruh. Sesaat kemudian, dinding ruang batu di sebelah muka merekah sebuah
pintu. Han Ping ajak kawannya masuk.
Lima belas tombak jauhnya, membelok sebuah tikungan mereka terkejut melihat
beberapa tulisan hitam menghadang jalan, Bunyinya:
“Berani masuk selangkah saja, akan terjeblos dalam Neraka.”
Huruf-huruf itu dibentuk dengan jajaran mutiara sebesar buah kelengkeng. Ih Seng
makin heran. Dilihatnya Han Ping tundukkan kepala merenung. Beberapa saat kemudian
baru pemuda itu membuka mulut, “Ko Tok lojin itu tentu luar biasa cerdiknya. Peringatan
yang ditampilkan dengan huruf-huruf mutiara itu, tentu menyeramkan sekali!”
Ih Seng menyatakan, lebih baik menerjang masuk. Han Ping setuju. Ia lepaskan
hantaman dahsyat. Dinding hitam bertulis mutiara itu mendengung-dengung tetapi
sedikitpun tak berkisar.
“Tak perlu membuang tenaga, sia-sia sajalah karena dinding hitam itu terbuat dari besi
baja….”- tiba-tiba Ih Seng hentikan kata-katanya. Ia memperhatikan sebuah mutiara
tulisan itu seperti bergerak bergoncangan. Segera ia maju memeriksa. Begitu menjamah,
mutiara itu melesak ke dalam dinding semua. Dinding baja berderak menyingsing ke
samping dan di tengahnya terbukalah sebuah lubang pintu.
Begitu Han Ping melangkah masuk, ia tercengang-cengang di ambang pintu.
Di dalam ruang itu berjajar 9 buah peti mati yang penuh debu dan sarang gelagasi. Han
Ping dan Ih Seng maju menghampiri. Baru lima langkah, terdengar letupan dan
berhamburanlah debu serta sarang gelagasi yang melumuri peti-peti mati itu. Ketika
berpaling, Han Ping dapati pintu tadipun sudah mengatup rapat lagi.
Mencabut kipas besinya, Ih Seng tertawa gelak-gelak, “Di dalam 9 buah peti mati itu
tentu terdapat jenazah Ko Tok lojin. Karena dia mengurung kita disini. kitapun hancurkan
saja mayatnya!”
“Nanti dulu, saudara Ih, jangan buru-buru turun tangan,” cegah Han Ping ketika jago Ih
itu hendak bergerak.
Pada saat itu Ih Seng sudah ulurkan tangan hendak menarik salah sebuah peti. Tetapi
diam-diam ia terkejut sekali, dan buru-buru lepaskan tangannya,
“Peti mati ini bukan terbuat dari kayu!” serunya,
Ketika memeriksa Han Pingpun terkejut. Peti mati itu terbuat dari papan batu yang
diukir dan luarnya dilumuri minyak politur.
“Menilik kehebatannya Ko Tok lojin mengatur makam ini dengan berbagai alat-alat
rahasia, ke 9 peti mati ini tentu mempunyai kegunaan yang istimewa,” – kata pemuda itu.
Ih Seng memuji ketajaman anak muda itu.
“Terkurung dalam makam dengan alat-alat rahasia yang begini hebat, sukar kiranya
kita bisa lolos dari kematian….”
“Kalau begitu lebih baik kita mengamuk saja dulu agar matipun puas!” kata Ih Seng
Han Ping meminta agar jago she Ih itu tenang dan jangan sampai kacau menghadapi
ruangan berisi 9 buah peti mati itu. Makin kacau, makin merangsang kalang kabut dan
makin tak dapat menemukan jalan keluar.
Ih Seng memuji ketabahan anak muda itu. Kemudian Han Ping mengatakan pula bahwa
karena ruangan disitu amat gelap sekali, maka ia mengajak kawannya untuk duduk
bersemedhi mengumpulkan semangat.
Setelah beberapa saat bersemedhi, keduanya berbangkit dan rasakan semangatnya
bertambah, pandang matanyapun makin tajam. Tetapi mengerlingkan mata ke seluruh
ruangan, mereka tak melihat sesuatu. Akhirnya Han Ping ayunkan pukulan ke sebuah peti
mati yang berada di sebelah kanan. Terdengar bunyi mendengung-dengung.
“Menilik bunyinya, peti itu tiada berisi. Tolong saudara jagakan, hendak kubuka peti
itu.” kata Han Ping seraya maju menghampiri. Krak! tutup peti terangkat dan keduanya
melongok ke dalam. Kedua serentak terbeliak.
Ternyata di dalam peti itu terdapat sebuah lubang yang menjurus ke bawah. Selain itu,
tiada terdapat suatu apa lagi. Han Ping mendorong peti itu ke samping dan memeriksa
liang. Tetapi sampai sekian lama tak tampak suatu perubahan. Dia makin heran, “Hm,
entah permainan apakah yang dihidangkan Ko Tok lojin itu….”
“Hayo, kita buka lagi yang satunya!” seru Ih Seng. Han Pingpun segera menghampiri
peti yang kedua. Dengan kerahkan tenaga, ia mengangkat tutup peti itu. Tetapi belum
sempat melongok isinya, tiba-tiba Ih Seng berteriak menyuruhnya lepaskan lagi.
Han Ping buru-buru lepaskan tangannya. Tetapi pada saat penutup sedang turun
mengatup, dari dalam peti itu menyembur semacam air dingin sehingga kedua orang itu
basah kuyup.
“Ko Tok lojin hanya pandai menyerang orang dengan air,” belum selesai Ih Seng
memaki sekonyong-konyong ia membau hawa anyir.
Cepat keduanya berpaling ke arah peti mati yang pertama tadi. Terlihat seekor ular
sebesar mangkuk tengah ngangakan mulut dan merayap ke tempat mereka.
Han Ping terkejut sekali dan menyurut mundur. Ih Seng yang banyak pengalaman
segera mengetahui bahwa ular yang sisiknya berkilau-kilauan itu tentulah jenis ular yang
luar biasa racunnya. Cepat ia mencabut pedang peraknya dan melangkah di hadapan Han
Ping. Kipas besinyapun ditebarkan untuk melindungi diri, “hati-hati, saudara Ji, itulah ular
sisik emas yang luar biasa racunnya. Apabila digigitnya, dalam 3 jam saja tentu sudah tak
tertolong….”
Saat itu ular sisik emas makin mendekati. Lidahnya yang merah menjulur buas. Cepat
Ih Seng kebutkan kipas besi untuk melindungi diri lalu menabas dengan pedangnya.
Crek…. ular emas itu mendesis keras dan menggeliat ke samping.
“Hai, pedangku ini tajam sekali. Dapat menabas segala logam. Tetapi ternyata tak
mempan menabas ular itu,” Ih Seng terbeliak kaget.
Ular itupun menyurut mundur dan masuk ke dalam peti batu. Kepalanya menjulur
keluar, memandang kedua orang itu.
“Ular itu sekujur badannya berbisa semua. Ilmu silat yang sakti tak dapat digunakan
kepadanya. Aku pakai kipas dan saudara boleh gunakan pedangku ini!”
Tetapi Han Ping menolak, tiba-tiba ia lepaskan hantaman lagi. Dan untuk yang kedua
kalinya ular sisik emas itu terpental balik, membentur dinding batu dan jatuh berhamburan
ke tanah.
Pukulan itu tak kurang dari delapan ratus kilo beratnya. Tetapi tetap tak dapat
menghancurkan ular itu. Ular itu kembali ke dalam peti lagi dan menunggu serangan
kedua orang.
Diam-diam Han Ping memutuskan akan membasmi ular yang berbahaya itu lebih dulu.
Ia membisiki Ih Seng, “Saudara Ih, dalam 9 peti mati ini tentu masing-masing
diperlengkapi dengan alat atau binatang maut. Sekalipun tak kita buka, peti-peti mati itu
tentu akan membuka sendiri. Hayo, kita lenyapkan dulu ular itu!”
“Ular itu tak mempan senjata tajam, tak mudah membunuhnya,” kata Ih Seng.
“Aku mempunyai akal. Akan kupancing supaya dia ngangakan mulut lalu saudara
menaburnya dengan senjata rahasia,” kata Han Ping.
Ih Seng tertawa memuji kecerdikan pemuda itu. Ia terus serahkan pedang perak
kepada Han Ping, “Ular itu luar biasa beracun, kurang tepat kalau ditangkap dengan
tangan. Harap pakai pedangku ini!”
Setelah Han Ping menyambuti dan menghampiri ular. Ih Sengpun siapkan dua batang
gin-soh.
Pada saat itu haripun sudah terang tanah. Diluar makam, tampak seorang lelaki
berpakaian kaum persilatan, tengah memandang terlongong ke arah makam itu. Ternyata
orang itu adalah anak buah Ih Seng. Ia tak dapat berbuat suatu apa. Sampai terang tanah
belum juga kedua orang itu muncul lagi.
Akhirnya ia memutuskan. Daripada menunggu disitu tiada gunanya lebih baik ia pulang
mengundang tokoh-tokoh Rimba Hijau yang sakti dari 4 propinsi untuk menghancurkan
makam ini dan menolong ketuanya.
Segera ia mencabut golok untuk membuat liang pengubur kawannya yang binasa tadi.
Selesai mengubur sang kawan, ia hendak berlalu. Tetapi tiba-tiba terdengar suara orang
tertawa gelak-gelak. Ia terkejut dan buru-buru bersembunyi di balik pohon besar.
Seorang tua bersanggul pedang muncul dengan dua kawan. Tiba di muka makam,
orang tua yang menyanggul pedang itu memandang ke sekeliling penjuru. Sambil
menunjuk ke arah sebuah patung, ia tertawa, “Hati-hati saudara Kim, mungkin patung itu
diberi alat rahasia!”
Walaupun dari jarak jauh tetapi sekali pandang sudah dapat mengetahui patung itu
berisi alat rahasia atau tidak, membuat lelaki yang mengiring di belakang, terkejut.
Demikianpun orang yang dipanggil sebagai saudara Kim.
“Kemahsyuran nama saudara Nyo sebagai ahli alat-alat rahasia, memang bukan nama
kosong!” seru kawannya yang dipanggil Kim itu.
Tiba-tiba orang tua bersanggul pedang itu tertawa gelak-gelak dan berseru nyaring,
“Ha, siapakah yang bersembunyi itu? Mengapa tak tampil keluar unjuk diri? Apakah itu
laku seorang ksatria?”
Secepat kilat orangtua itu berputar tubuh dan memandang ke atas pohon besar.
Anak buah Ih Seng yang sudah ketahuan jejaknya itu terpaksa turun dari pohon.
“Dari perguruan manakah saudara ini?” tegur orang tua itu sambil tertawa.
Anak buah Ih Seng itu menerangkan siapa dirinya.
“Engkau kenal padaku?” tiba-tiba orang tua itu kerutkan alis.
Sejenak merenung, anak buah Ih Seng menyahut, “Kalau tak salah loenghiong (jago
tua) ini tentulah ketua marga Nyo yakni Perancang sakti Nyo.”
Orang tua itu tertawa mengangguk, “Benar, ah tak kira kalau di Tionggoan, ada orang
yang kenal diriku.”
Kemudian ia menanyakan dimana saat itu Ih Seng berada.
“Ini…. aku tak berani mengatakan….” kata orang itu tersekat-sekat.
Secepat kilat orang she Kim sudah berputar, tubuh dan tahu-tahu berada di belakang
anak buah Ih Seng, terus memukul. Huak…. anak buah Ih Seng tak sempat menghindar.
Ia muntah darah terus rubuh ke tanah.
“Tangkas sekali saudara Kim bergerak,” – ketua marga Nyo yang lengkapnya bernama
Nyo Bun Giau memuji.
Jawab orang tua bertangan kosong, “Kipas besi pedang perak Ih Seng amat
berpengaruh sekali di 4 propinsi. Lebih baik anak buahnya ini dilenyapkan!”
“Benar,” kata Nyo Bun Giau, “tetapi karena anak buahnya disini, Ih Seng tentu berada
di tempat ini juga!”
“Ya, akan kuselidiki di sekeliling tempat ini. Kalau berjumpa dengan Ih Seng atau anak
buahnya yang lain, akan kubasmi sama sekali!”
Setelah merenung sejenak, berkatalah Nyo Bun Giau, “Apakah saudara Kim benar yakin
bahwa tempat yang dimaksudkan oleh kotak pedang Pemutus Asmara itu benar di
kuburan ini?”
Orang tua yang tangannya merah tidak segera menyahut. Setelah memandang
sekeliling penjuru, baru ia berkata dengan berbisik, “Dua puluh tahun lamanya kuhabiskan
waktu untuk hal itu. Percayalah saudara Nyo!”
Nyo Bun Giau tersenyum, “Baiklah, saudara yang menyelidiki arah barat dan utara. Aku
yang memeriksa arah timur dan selatan. Satu jam lagi kita bertemu disini.” Dalam berkata
itu Nyo Bun Giau sudah melesat ke timur.
Kedua orang itu menyelidiki dengan cermat sekali. Setiap gunduk, gerumbul bahkan
rumput yang dianggap dapat digunakan tempat bersembunyi orang, tentu diperiksa.
Sejam kemudian mereka kembali ke kuburan besar lagi.
Nyo Bun Giau membuat liang kubur untuk menanam anak buah Ih Seng yang terbunuh
tadi. Setelah itu baru ia menghampiri si Tangan merah dan menanyakan hasil
penyelidikannya, “Saudara mendapatkan apa yang aneh di tempat ini?”
Orang tua bertangan merah itu menyatakan tidak menemukan sesuatu yang
mencurigakan.
“Tadi telah kubongkar dua buah kuburan. Ternyata di dalamnya tak terdapat tulangtulang
mayat, jika tak salah, gunduk-gunduk kuburan disini, mungkin merupakan alat-alat
rahasia….” ia berhenti sejenak lalu, “ah, bangunan besar yang luar biasa ini, bukan
sembarang orang mampu mengerjakan. Empat puluh tahun lamanya kusempurnakan
bangunan Nyo ke poh. Tetapi tetap masih tak berarti jika dibanding dengan bangunan
disini!”
Orangtua tangan merah itu mengeluarkan sebuah kotak pedang, katanya, “Hampir
seluruh hidupku kuhabiskan untuk mencari tempat yang tertera pada kotak pedang ini.
Jika benar Allah lalu mengabulkan permohonan manusia yang dihaturkan sungguhsungguh,
tentulah jerih payahku akan terbalas.”
Nyo Bun Giau hanya memandang kotak itu.
Sambil serahkan kotak itu, orang tua tangan merah itu berkata, “Aku selalu bekerja
dengan terang-terangan, tak suka plin-plan. Jika saudara Nyo dapat memecahkan alat
rahasia makam ini, apa saja yang tersimpan dalam makam ini, kita nanti bagi separuh….”
“Ah, bagaimana aku berani mengharap bagian yang sedemikian besar. Bukankah
saudara yang telah berjerih payah puluhan tahun?” Nyo Bun Giau tertawa.
“Ah, janganlah saudara merendah diri. Aku yang menemukan rahasia kotak pedang itu
tetapi saudara yang mampu membongkar rahasia makam ini. Sudah selayaknya kita bagi
separuh,” kata orang tua tangan merah itu seraya angsurkan kotak kepada Nyo Bun Giau.
Berhadapan dengan kotak pedang yang sangat diidam-idamkan oleh setiap orang
persilatan, Nyo Bun Giau tenang-tenang saja menyambuti, “Bagaimana saudara
memastikan bahwa tempat penyimpanan harta pusaka itu berada di makam sini?”
Sejenak merenung, orang tua tangan merah itu menjawab, “Mengenai soal itu, bukan
aku hendak membanggakan diri. Tetapi memang di seluruh dunia, sukar mencari orang
yang mengetahuinya.”
“Apakah saudara tak keberatan untuk memberitahukan tentang rahasia itu agar
menambahkan pengalamanku?” tanya Nyo Bun Giau.
Rupanya orang tua bertangan merah itu tak mau memberitahukan rahasia tersebut.
Beberapa saat kemudian ia berkata, “Rahasia itu menyangkut luas sekali. Sukar diduga
oleh orang-orang yang tak tersangkut. Banyak padri-padri sakti dari Siau-lim-si yang
tersangkut dalam perisliwa itu….”- tiba-tiba ia berhenti karena merasa telah kelepasan
omong.
Diam-diam Nyo Bun Giau terkejut. Tetapi ia tetap bersikap tenang dan tertawa hambar,
“Ah walaupun berpuluh tahun berkecimpung dalam dunia persilatan, aku belum pernah
mendengar orang membicarakan hal itu. Pengalaman saudara Kim sungguh luas sekali.”
Dengan ucapan itu, secara halus ia mendesak supaya si tangan merah itu menceritakan
lebih lanjut. Tetapi orang tua bertangan merah itupun juga berpengalaman. Sambil
tersenyum ia berkata, “Atas kesediaan saudara untuk membantu usahaku memecahkan
alat rahasia makam tua ini, aku Kim loji sungguh merasa berterima kasih sekali. Tetapi….”-
ia hentikan kata-kata dan berdiam diri.
Nyo Bun Giau yang berpengalaman tahu bahwa kalau ia mendesak. Kim loji itu tentu
akan menolak. Maka ia tak mau berkata apa-apa dan hanya menunggu orang membuka
mulut lagi.
Diam-diam Kim loji mendamprat dalam hati. Ia menengadahkan kepala, menghela
napas panjang, “Atas bantuan saudara, memang aku amat berterima kasih sekali. Tetapi
tentang rahasia dari kotak pedang Pemutus Asmara itu, sungguh aku mempunyai kesulitan
untuk menuturkannya!”
“Memang kuduga tentu begitu. Tetapi jika saudara mempunyai kesulitan, aku bersedia
mendengarkannya. Mungkin aku dapat membantu.”
“Peristiwa itu terjadi berpuluh-puluh tahun yang lalu. Sekalipun menimpa diriku, pun
sudah usang. Apalagi aku hanya orang luar. Tetapi soalnya aku sudah berjanji pada orang.
Selama masih hidup, aku takkan membocorkan rahasia itu kepada lain orang,” kata Kim
loji.
Tahu bahwa orang berkeras tak mau mengatakan, Nyo Bun Giaupun segera
mengalihkan pembicaraan. Ujarnya, “Menilik bangunan makam yang sedemikian hebatnya,
tentu di dalamnya juga dilengkapi dengan alat-alat rahasia yang bermacam-macam.
Walaupun orang menyohorkan diri sebagai seorang ahli alat-alat rahasia, tetapi
sesungguhnya kepandaianku tak berapa tinggi. Kukuatir kemampuanku tak dapat
memecahkan rahasia makam tua ini….”
“Ah, janganlah saudara Nyo kelewat merendah diri,” buru-buru Kim loji berkata, “kalau
saudara Nyo tak bisa, kiranya di dalam dunia ini tiada lagi seorangpun yang mampu
memecahkan rahasia makam tua ini….” ia berhenti menghela napas, lalu melanjutkan
berkata lagi, “apalagi orang yang mengetahui rahasia makam tua ini tentu sudah
meninggal. Dengan demikian makam tua ini akan tertutup rahasianya selama-lamanya….”
“Ah, saudara kelewat menyanjung diriku,” kata Nyo Bun Giau, “sekalipun tanpa
menghiraukan bahaya aku beruntung dapat memecahkan rahasia makam tua ini….”
“Ah, apakah saudara Nyo kuatir akan bekerja secara sia-sia?” seru Kim loji.
“Dunia persilatan penuh dengan orang-orang yang licik dan jahat. Maka kemungkinan
menyadari keadaan itu, Ko Tok lojin lalu sengaja membuat makamnya dengan dilengkapi
bermacam-macam alat rahasia. Sebenarnya dalam hal harta karun, aku tak menaruh
minat. Karena Nyo-ke-poh sudah cukup dengan harta permata. Adalah karena tak enak
menolak permintaan saudara Kim, maka aku ikut kemari. Ah, siapa tahu ternyata
bangunan makam tua ini begini luar biasa! Terus terang, aku tak mempunyai keyakinan
lagi untuk dapat memecahkan rahasia makam tua ini. Kalau di dalam makam itu memang
terdapat benda pusaka yang jarang terdapat di dunia, itu masih mending. Tetapi kalau
hanya harta benda saja, rasanya tidak sepadan dengan pengorbanan kita”
Mendengar ucapan itu, diam-diam tergetarlah hati Kim loji. Tetapi dia seorang yang
berpengalaman, tahulah ia apa yang terkandung dalam hati Nyo Bun Giau.
“Hm, si keparat ini benar-benar licin sekali,” memaki dalam hati. Namun ia pura-pura
tak mengerti dan berkata, “Kupercaya sekalipun tanpa petunjuk dalam kotak pedang itu,
saudara Nyo tentu mampu memecahkan rahasia makam tua ini. Apalagi kita sudah
memiliki denah pada kotak pedang itu. Dengan mudah saudara Nyo tentu dapat. Tentang
apa yang aksn terdapat dalam makam ini, selain harta karun yang tak ternilai jumlahnya,
sebagai contoh akan kusebutkan dua macam benda pusaka yang kiranya saudara Nyo
tentu mengagumi!”
“Silahkan saudara mengatakan!”
“Tahukah saudara dua macam benda pusaka yang disebut Tenggoret Kumala dan Kupu
Emas?”
Seketika itu Nyo Bun Giau rasakan dadanya seperti dihantam palu sehingga tubuhnya
menggigil. Serunya tegang, “Apa? Tenggoret Kumala dan Kupu Emas juga berada dalam
makam ini?”
Betapapun kuat iman orang she Nyo itu dalam mengendalikan perasaannya, tetapi
ketika mendengar nama kedua macam benda itu, ia kehilangan ketenangannya lagi.
Kim loji tertawa, “Benar, Tenggoret Kumala dan Kupu Emas, semua berada dalam
makam ini!”
Nyo Bun Giau memperoleh ketenangannya lagi, ujarnya menegas, “Benarkah itu?”
“Seumur hidup belum pernah aku berdusta. Harap saudara Nyo jangan bimbang.”
“Cukup kedua benda itu saja, sudah berharga untuk kita tempuh bahaya,” kata Nyo
Bun Giau lalu duduk bersila di tanah. Kotak pedang Pemutus Asmara diletakkan di
lututnya. Sambil memeriksa, tangannya membuat guratan di tanah. Beberapa saat
kemudian, ia tenggelam dalam mempelajari denah pada kotak pedang itu hingga lupa
pada Kim loji.
Diam-diam Kim loji memperhatikan gurat-gurat di tanah itu. Tetapi yang dilihatnya
hanya dua tiga angka saja. Entah apa sebabnya. Diam-diam ia membenarkan apa yang
disohorkan orang terhadap diri Nyo Bun Giau itu. Orang persilatan memberinya gelar
Perancang sakti.
Sepeminum teh lamanya, Nyo Bun Giau berhenti menggurat tanah ia memandang ke
langit. Dahinya mengeriput seperti menghadapi soal yang sulit.
Karena sudah sekian lama akhirnya Kim loji tak sabar lagi. Segera ia menanyakan
tentang hasilnya.
Nyo Bun Giau berpaling ke belakang menyahut dingin, “Ilmu bangunan apa saja, tentu
takkan terlepas dari perhitunganku. Tak mudah untuk mengelabui mataku. Tetapi kalau
kotak pedang ini bukan disengaja oleh Ko Tok lojin untuk menyesatkan orang, tentulah
saudara Kim belum berhasil memperoleh denah peta yang asli dari makam ini.”
“Pedang Asmara tajamnya bukan kepalang. Di dunia hanya terdapat sebatang. Dengan
mata kepala sendiri kusaksikan pedang itu dilolos dari kotak ini. Bagaimanakah kotak itu
dikata palsu?” sahut Kim loji.
Tiba-tiba Nyo Bun giau tertawa meloroh. Sambil berbangkit ia berkata, “Sekalipun tanpa
peta rahasia makam tua ini juga tak mungkin dapat membingungkan aku!” ia terus
melangkah menghampiri persada makam.
Begitu tiba di dekat persada, ia berpaling ke arah Kim loji, serunya, “Harap saudara
jangan kuatir. Jika makam ini benar seperti yang engkau katakan tadi ialah penuh dengan
alat-alat rahasia, maka alat yang pertama ialah patung penyangga makam itu….” ia terus
ulurkan tangan memegang batu hitam di atas persada. Tetapi cepat-cepat ia menarik
tangannya kembali karena menyentuh air dingin. Ketika memeriksa benda itu, ia berseru
kaget, “Ah sebuah batu dingin dari ribuan tahun usianya….”
Kim loji cepat menghampiri dan memegang batu hitam itu. Diam-diam ia memuji mata
Nyo Bun Giau yang dapat mengenali batu itu sebagai batu Kumala dingin yang berumur
ribuan tahun….
Tetapi karena sudah mendengar keterangan Nyo Bun Giau, ia tak mau lekas-lekas
menarik tangannya bahkan malah memutarnya. Terdengar bunyi berdetak-detak dan
mulailah batu itu berputar….
“Lekas menyingkir!” teriak Nyo Bun Giau mendahului loncat ke samping.
Tetapi agaknya Kim loji tak begitu percaya. Tengah dia masih tertegun, tiba-tiba
serangkum angin meniup dan patung penyangga makam itu bergerak.
Kim loji loncat ke tempat Nyo Bun Giau. Di tengah udara ia rentangkan kedua
tangannya dan meluncur ke tanah. Pada saat ia menginjak tanah, Nyo Bun Giau malah
menyerbu ke persada makam.
Duk…. patung penyaga makam itu menghantamkan papan batu yang dipegangnya ke
atas makam. Batu dan rumput berhamburan. Diam-diam Kim loji terkejut. Tempat yang
dihantam patung penyangga itu, adalah tempat yang ditempatinya tadi.
Nyo Bun Giau mencekal papan batu hitam dan digoyang-goyangkan. Terdengar bunyi
menderak-derak dan persada makam itu tiba-tiba merekah, terbuka sebuah pintu.
Kuatir kalau ditinggal masuk, Kim loji buru-buru loncat ke pintu batu itu. Nyo Bun Giau
tahu maksud orang. Ia menyisih ke samping dan mempersilahkan Kim loji masuk lebih
dulu.
Kim loji tertegun, “Ah, masakan aku berani melancangi saudara Nyo?”- Ia tak berani
masuk lebih dulu karena kuatir akan celaka oleh alat-alat rahasia dalam makam itu.
Nyo Bun Giau segera melangkah masuk dan Kim loji mengikutinya lekat-lekat. Rupanya
Nyo Bun Giau tahu isi hati orang. Namun ia pura-pura tertawa. Sambil berjalan perlahanlahan,
tak henti-hentinya ia berpaling ke kanan kiri untuk mengingat-ingat keadaan tempat
itu.
Kira-kira dua tiga meter jauhnya, tiba-tiba terdengar bunyi berderak-derak. Pintu batu
tadi menutup lagi. Terowongan gelap gulita.
Kim loji tertegun dan bertanya dengan perlahan, “Saudara Nyo, apakah peta di atas
kotak pedang itu juga terdapat petunjuk tentang pintu batu ini? – diam-diam ia curiga,
jangan-jangan Nyo Bun Giau hendak main gila.
Orang she Nyo itu menyahut dingin, “Saudara begitu banyak curiga kepadaku, benarbenar
membuat hatiku tawar saja. Kalau begitu silahkan saudara sendiri saja yang masuk
ke dalam makam ini!”
Ternyata pada saat keadaan gelap karena pintu batu tertutup itu, Nyo Bun Giau sudah
melesat ke muka beberapa meter jauhnya.
Diam-diam Kim loji terkejut, pikirnya, “Hm, orang ini memang mencurigakan sekali. Aku
harus mengawasinya.”
Iapun segera melesat ke samping orang she Nyo itu seraya berseru, “Jangan salah
paham, saudara. Jika aku mencurigai, masakan aku meminta bantuan saudara?”
Tiba-tiba keadaan berkilat terang, Ternyata Nyo Bun Giau telah menyulut sebatang
korek, “Harap saudara Kim berkata dengan sungguh hati. Saat ini kita berada dalam
keadaan yang berbahaya. Jika tak mau saling membantu, dikuatirkan….”
“Jangankan memang tak punya pikiran begitu, andaikata mengandung kecurigaan
begitupun sama halnya dengan mencari mati sendiri. Dalam dunia persilatan siapakah
yang mampu menandingi keahlian saudara Nyo dalam ilmu alat-alat jebakan? Sekali
saudara mau jail gerakkan sebuah alat, tentulah aku akan mampus disini!”
Habis berkata, diam-diam Kim loji kerahkan tenaganya bersiap-siap. Asal tampak wajah
orang she Nyo itu mengunjukkan pancaran hatinya yang jahat, ia segera hendak
mendahului turun tangan membunuhnya.
Nyo Bun Giau tertawa gelak-gelak, “Ah, janganlah saudara Kim memandang diriku
semacam orang begitu! Nyo-ke-poh termasuk salah satu dari Tiga Marga besar. Aku tak
berani membanggakan diriku sebagai seorang ksatria, tetapi selama ini aku benci terhadap
perbuatan yang mencelakai orang secara pengecut, jika memang aku tak puas terhadap
saudara, tentu segera kuajak saudara bertanding secara terang-terangan….”
“Ah, aku hanya bergurau saja. Harap saudara Nyo jangan marah,” kata Kim loji.
Dalam pada bercakap-cakap itu, mereka sudah berjalan beberapa tombak jauhnya.
Tiba-tiba mereka mendengar gemercik air mengalir, Nyo Bun Giau segera memadamkan
koreknya dan tertawa, “Harap saudara Kim pejamkan mata beristirahat. Sebentar lagi kita
akan memasuki tempat yang berbahaya.”
Kim loji menurut. Setelah melakukan penyaluran napas beberapa saat, ia membuka
mata lagi. Saat itu ia dapat melihat keadaan lebih jelas.
“Bagaimana ilmu berenang saudara?” tegur Nyo Bun Giau.
“Dalam hal ini, terus terang saja, aku seorang binatang darat. Kebalikannya, kupercaya
saudara Nyo tentu mahir dalam ilmu berenang,” kata Kim loji. Kemudian ia menatap
perubahan air muka Nyo Bun Giau.
Orang she Nyo itu hanya tertawa hambar, “Karena terdengar bunyi gemercik air, di
dalam makam ini tentu terdapat alat-alat rahasia untuk menguasai air. Jika tak hati-hati
dan sampai menyentuh alat itu, tentu kita akan terendam air. Karena saudara Kim tak
pandai berenang, silahkan mengikuti di belakangku saja. Sesungguhnya aku belum yakin
sekali akan dapat memecahkan alat-alat rahasia disini. Maka terpaksa, sambil berjalan
akan kukatakan setiap perubahan yang kita hadapi.”
Memang sekalipun pada kotak pedang pemutus Asmara itu telah tertera gambargambar
mengenai perlengkapan alat-alat rahasia dalam makam itu, tetapi karena ke 12
ahli bangunan yang menggarap makam itu, masing-masing mempunyai rancangan sendirisendiri,
maka Nyo Bun Giau agak bingung dan mengatakan bahwa kota pedang itu
dipalsukan.
Mereka berjalan lagi beberapa tombak. Di sebelah muka terdapat saluran air selebar
satu meter. Airnya deras sekali dan jelas berasal dari aliran luar makam.
“Hai, orang telah mendahului kita masuk kesini!” tiba-tiba Nyo Bun Giau berseru kaget.
“Apa? Apakah dalam dunia persilatan dewasa ini masih terdapat tokoh lain yang paham
tentang alat rahasia?” Kim lojipun terkejut.
“Jangan kuatir, mungkin orang itu sudah mati kelelap,” kata Nyo Bun Giau.
Atas pertanyaan Kim loji, Nyo Bun Giau menerangkan sambil menunjuk dinding batu,
“Lihatlah dinding itu nanti saudara tentu percaya omonganku.”
Tetapi walaupun sudah memandang dengan seksama, Kim loji menyatakan tak melihat
apa-apa.
Nyo Bun Giau tersenyum, “Ah, aku lupa kalau saudara tak pandai berenang….” ia
menunjuk batu di atas kepalanya, “Lihatlah batu di atas ini banyak debu kotorannya.
Tetapi kedua belah dinding ini bersih sekali, jelas tentu terendam air banjir.”
Kim loji memuji ketelitian orang she Nyo itu.
Dinding yang terendam air itu masih belum kering seluruhnya. Pertanda bahwa air itu
belum lama menyurutnya. Dari pengalaman selama berpuluh tahun mempelajari ilmu
bangunan, kuduga tentu ada orang yang lebih dulu telah masuk ke makam ini. Dan secara
tak sengaja orang itu telah menyentuh alat-alat penggerak air sehingga membanjiri
terowongan. Menilik sempitnya terowongan ini, betapapun pandai ia berenang, orang itu
tentu tetap mati terbenam air.”
“Kalau begitu orang yang masuk kesini itu, tentu sudah mati!” Kim loji menegas.
“Kecuali dia beruntung mendapat alat penggerak air itu….”
Tetapi rupanya Kim loji masih gelisah. Ia masih menanyakan apakah orang itu sudah
positip mati atau belum.
“Ah, itu soal kecil. Anggap saja tipis kemungkinannya mereka dapat hidup,” sahut Nyo
Bun Giau.
Mereka melanjutkan perjalanan lagi. Sambil berjalan tak henti-hentinya perhatian Nyo
Bun Giau meneliti keadaan di sekelilingnya. Setelah membelok dua buah tikungan, tibatiba
di sebelah muka tampak terang benderang. Lorong yang sempit dan gelap tadi, saat
itu berubah merupakan dua buah ruangan batu besar kecil yang terang seperti kaca.
Penerangan itu berasal dari 4 butir mutiara yang dipasang di empat sudut.
Ruangan itulah yang didatangi Han Ping. Penuh dengan ratna mutu manikam yang tak
ternilai harganya. Juga tulisan yang memberi peringatan agar orang jangan temaha harta
dan hanya diperbolehkan mengambil sebuah saja, tetap masih terdapat disitu.
“Menilik isi ruangan ini, kabar yang didesas-desuskan orang itu memang benar,” kata
Kim loji.
Tetapi Nyo Bun giau tawar-tawar saja terhadap harta karun itu. Tetapi dalam batin,
diam-diam ia kagum sekali. Permata mustika yang terdapat disitu, jauh lebih hebat dari
simpanannya di rumah.
“Saudara Nyo,” tiba-tiba Kim loji berkata, “rumitnya larangan dari Ko Tok lojin tidak
boleh memasuki ruangan ini, menandakan bahwa disitu tentu terdapat perkakas
rahasianya….”
Nyo Bun Giau mengatakan bahwa ia memang sedang memikirkan hal itu. Ia memeriksa
ke empat dinding tetapi tiada menemukan suatu apa. Kim loji menganjurkan supaya Nyo
Bun Giau memeriksa kotak pedang lagi. Sementara ia sendiri lalu kerahkan tenaga untuk
mendorong pintu kamar. Tetapi sedikitpun tak bergeming malah ia sendiri tersurut
mundur.
Nyo Bun Giau mengambil kotak pedang dan meneliti kamarnya. Kemudian ia
menghampiri pintu batu itu dan mengukurnya. Beberapa saat kemudian, ia menyimpan
kotak lagi lalu menekan sebuah huruf Khek (tamu ) dari papan peringatan tadi sekuatkuatnya.
Seketika terdengar bunyi berderak-derak dan terbukalah pintu itu lebar-lebar.
Kim loji cepat loncat ke ambang pintu dan berpaling, “Marilah saudara Nyo!”
Nyo Bun Giau tertawa, “Ah, saudara begitu curiga kepadaku, sungguh tak enak
hatiku….”
“Jangan salah paham, aku sungguh-sungguh tak mencurigai saudara. Tetapi hanya
kuatir pinyu ini akan menutup lagi maka terpaksa mendahului loncat kesini,” kata Kim loji.
Nyo Bun Giaupun segera melangkah masuk. Begitu berada di dalam, ternyata keadaan
jauh berbeda sekali. Sebuah bangunan besar terdiri dari 6 atau 7 ruangan. Di tengahtengah
ruangan besar terdapat sebuah Ting atau bejana kaki tiga setinggi dua meter yang
masih mengepulkan asap warna hitam.
Ternyata dinding ruangan besar itu terbuat dari batu hitam sehingga keadaannya gelap.
Tiba-tiba pintu itu mengatup lagi. Ruangan makin gelap gulita. Walaupun kedua tokoh itu
berilmu sakti tetapi tak urung mereka berdebar tegang juga.
“Saudara Nyo, tolong periksa lagi kotak pedang itu, apakah terdapat keterangan
tentang kamar gelap ini,” akhirnya Kim loji tak tahan.
Terdapat Nyo Bun Giau tertawa meloroh dari sudut ruangan, serunya, “Silahkan kemari,
saudara Kim. Kemungkinan ruangan ini akan terjadi sesuatu.”
Walaupun dalam hati memaki, namun terpaksa Kim loji perlahan-lahan menghampiri
sudut ruangan. Dia memang seorang yang banyak curiga. Ia kuatir Nyo Bun Giau akan
main gila, pun takut kalau alat-alat rahasia ruangan itu akan bergerak. Terpaksa ia
berjalan setengah merangkak.
Tiba-tiba tampak api berkilat dan ruangan gelap itu mendadak terang. Tampak jenggot
Nyo Bun Giau yang memanjang ke dada itu menyungging senyum kepada Kim loji. Dalam
pandangan Kim loji senyum orang she Nyo itu terasa seram seperti iblis. Seketika ia
teringat bahwa Nyo Bun Giau itu memang seorang tokoh yang ganas seram. Diam-diam
menggigillah hati Kim loji.
Nyo Bun Giau duduk bersila di sudut ruang itu. Ia menyulut korek dan menanyakan
apakah Kim loji juga membawa korek.
“Ah, sayang aku tidak membekal….” – belum habis Kim loji berkata, tiba-tiba Bejana
kaki tiga itu berbunyi berderak-derak.
“Saudara Kim, lekas menyingkir kemari….!” buru-buru Nyo Bun Giau meneriaki. Kim
lojipun cepat loncat ke samping orang.
Pada saat itu Nyo Bun Giaupun lontarkan koreknya ke arah bejana raksasa itu.
Berbareng itu iapun serentak berbangkit terus loncat ke arah bejana itu, Kim loji
mendengus dan terpaksa mengikuti jejaknya.
Wut, wut, wut…. terdengar angin mendesir tajam. Ternyata bejana raksana itu
menghamburkan hujan anak panah ke empat penjuru.
Pada saat itu Nyo Bun Giau masih mengapung di atas. Cepat ia kerutkan sepasang
kakinya untuk menahan diri lalu menggeliat ke atas lagi seraya lepaskan hantaman. Hujan
anak panah itu berhamburan jatuh ke tanah dan berhenti.
Celaka adalah Kim loji. Karena terhalang oleh tubuh Nyo Bun Giau, ia tak dapat
melambung lebih tinggi sehingga bajunya kena terlubang dua batang anak panah. Ia
marah sekali tetapi karena sedang melambung di udara, ia tak dapat berbuat apa-apa.
Selekas turun ke lantai, ia siapkan tinju dan menegur keras, “Mengapa engkau
memanggil aku datang sebaliknya engkau sendiri terus loncat ke udara menghindari hujan
anak panah itu?”
Nyo Bun Giau hanya menyahut dingin, “Jika tak kupanggilmu kemari, kemungkinan
engkau sudah mati di bawah hujan anak panah beracun…. dan apabila tak kulemparkan
korek itu ke arah bejana, engkau tentu tidak tahu akan hujan panah itu!”
Diam-diam Kim loji memaki orang itu. Kini baru ia tahu bagaimana pribadi Nyo Bun
Giau sebenarnya. Orang mengatakan orang she Nyo itu peramah dan baik budi, tetapi
ternyata seorang iblis yang ganas. Diam-diam ia berjanji, apabila kelak keluar dari makam
itu, ia hendak menyiarkan kebusukan Nyo Bun Giau ke seluruh dunia persilatan.
“Apapun penilaian saudara Kim, tetapi saat ini, kita berdua harus bahu membahu kerja
sama. Kalau tidak, dikuatirkan kita takkan dapat keluar dari makam ini” tiba-tiba Nyo Bun
Giau berkata.
“Aku Kim loji, bukan manusia yang mudah ditekan, hm, janganlah saudara Nyo kelewat
memandang rendah kepadaku!” sahut Kim loji marah.
“Jika saudara tak percaya, mari kita coba,” kata Nyo Bun Giau berpaling seraya tertawa.
Mendadak Kim loji lekatkan kedua tangannya ke punggung Nyo Bun Giau, “Asal aku
benar-benar mau melancarkan tenaga dalam, tentulah organ dalam tubuhmu hancur
berantakan….”
Tawar-tawar saja Nyo Bun Giau menyahut tertawa, “Ho, jangan harap tinju saudara
mampu meremukkan tubuhku. Tetapi andaikata orang she Nyo ini mati karena
pukulanmu, kaupun jangan harap mampu keluar dari makam ini!”
Kim loji tertegun. Ia menarik pulang tangannya, “Sekalipun sudah lama mendengar
nama saudara, tetapi baru ini hari aku benar-benar mengenal saudara.”
“Ah, jangan memuji….” baru Nyo Bun Giau menyahut begitu tiba-tiba bejana besar itu
berderak-derak lagi dan berputar deras. Buru-buru Kim loji menyelinap bersembunyi di
belakang Nyo Bun Giau.
Sejenak memandang ke arah bejana itu, Nyo Bun Giau segera suruh Kim loji mundur ke
sudut ruang lagi. Habis berkata, jago she Nyo itu loncat ke atas bejana,
Gerakan Nyo Bun Giau cepat sekali dan tepat pada saat Kim loji terkejut mendengar
perintah mundur tadi. Ia tak sempat lagi menghantam punggung orang. Dalam tertegun,
diam-diam ia menyadari bahwa pukulannya tak mengenai tepat pada jalan darah she Nyo
itu, tak mungkin dapat merubuhkannya.
Sebagai seorang pengalaman, ia tahu gelagat dan menyurut untuk mundur kesudut
ruang, seraya berkata, “Harap saudara Nyo berhati-hati….”
“Jangan kuatir saudara!” sahut Nyo Bun Giau sambil tertawa. Ia segera menekan
bagian bawah dari bejana itu.
Terdengar bunyi berderak-derak nyaring dan bejana yang berputar-putar itupun
berhenti.
Bagian 19
Kisah Putus kasih.
Kim loji memandang lekat-lekat kepada gerak gerik Nyo Bun Giau. Selekas bejana
berhenti berputar, cepat ia loncat menghampiri.
Tetapi Nyo Bun Giau mencegah, “Harap saudara Kim tetap berada di sudut situ dulu.
Dikuatirkan bejana ini masih akan menaburkan….” – belum habis berkata bejana besar itu
tiba-tiba menyemburkan air yang amis sekali baunya.
Kim loji rebahkan punggungnya ke lantai lalu berguling-guling kembali ke sudut
ruangan lagi.
Air itu beracun dan menghamburkan hawa racun yang keras sekali. Dalam sekejap saja,
seluruh ruang telah berselubung bau amis. Untunglah air itu segera berhenti menyembur.
Tetapi bau busuk-busuk amis itu masih bertebaran. Sekalipun memiliki kepandaian sakti
tetapi kedua tokoh itu tak dapat bertahan diri juga. Mereka rasakan kepala pening, isi
perutnya mulai meliuk-liuk hendak muntah keluar.
Nyo Bun Giau segera mengeluarkan dua butir pil. Yang sebutir dikumurnya dalam mulut
dan yang sebutir diserahkan kepada Kim loji seraya menyuruhnya mengumur.
Kim loji tak segera menelan pil itu melainkan memandang Nyo Bun Giau lekat-lekat.
Nyo Bun Giau tertawa, “Jangan kuatir, harap segera mengumurnya untuk menahan
serangan bau. Jika pil itu mematikan orang, tentu aku yang akan mati lebih dulu!”
“Baiklah,” sahut Kim loji terus mengumurnya. Seketika ia rasakan perut dan dadanya
nyaman. Rasa muak hendak muntahpun lenyap.
“Harap saudara Kim kemari membantuku menghentikan bejana ini!” seru Nyo Bun Giau.
Kim loji perlahan-lahan menghampiri. Tetapi masih kurang 7-8 langkah, tiba-tiba ia
berhenti.
Nyo Bun Giau loncat turun dari atas bejana, serunya, “Jika perhitunganku tak salah, tak
sampai seperempat jam lagi, bejana ini tentu akan menyingkir sendiri.”
Kim loji mengiakan saja. Ia menyadari bahwa jiwanya saat itu berada di tangan Nyo
Bun Giau. Setiap saat jika mau, orang she Nyo itu dapat mencelakainya.
Nyo Bun Giaupun tahu isi hati orang. Diam-diam ia geli karena telah menaklukkan
kecongkakan Kim loji. Kembali ia mengingatkan orang itu bahwa menghadapi tempat yang
begitu berbahaya, harus kerja sama bantu membantu.
“Sudah tentu aku hanya menggantung tenaga saudara Nyo,” kata Kim loji.
Diam-diam Nyo Bun Giau menimang dalam hati, “Orang menyohorkan bahwa Kim loji
itu luas sekali pergaulannya. Dengan pihak It-kiong, Ji-koh dan Sam-toa-poh, dia
mempunyai hubungan baik. Kiranya kabar itu memang benar. Dia seorang manusia yang
licin dapat merubah sikap menurut gelagat keadaan, Hm, jika orang macam begitu tak
kulenyapkan dalam makam ini, kelak tentu merupakan bahaya besar!”
“Saudara benar,” katanya sambil tertawa, “memang kepandaian di dunia ini tiada
batasnya. Dalam hal kepandaian ilmu silat, aku kalah dengan saudara. Tetapi dalam ilmu
alat-alat rahasia, aku paling banyak mempelajarinya. Dalam menghadapi keadaan yang
penuh bahaya seperti makam ini, kita harus mengembangkan kepandaian kita masingmasing
dan saling bantu membantu. Hanya dengan cara itulah kita akan dapat keluar dari
tempat ini.”
Kim loji mengiakan.
Tiba-tiba bejana besar itu bergerak melambung ke atas. Sampai dua tiga meter
tingginya baru berhenti. Ternyata di bawah bejana itu merupakan sebuah lubang yang
dalam. Ketika Kim loji hendak menjenguk keadaan lubang itu, tiba-tiba korek yang melekat
pada bejana itu padam.
Nyo Bun Giau menghela napas, “Ah, ahli yang menciptakan bagunan makam itu,
memang lebih dari aku. Kalau menurut perhitungan, seharusnya bejana bergerak ke
samping, tidak ke atas.”
Nyo Bun Giau mengambil korek lagi. Setelah menyulut, ia ajak Kim loji maju ke bawah
bejana. Saat itu Kim loji seperti kerbau tercocok hidungnya, kemana orang menariknya
terpaksa harus ikut, jika berani membangkang, setiap saat dapat dicelakai Nyo Bun Giau.
Dengan sikap patuh sekali, ia segera mengikuti di belakang orang.
Begitu tiba di bawah bejana, mengamati sebentar, tiba-tiba Nyo Bun Giau loncat masuk
ke bawah lubang. Selekas jago she Nyo itu menginjak tanah. segera Kim loji berseru
dengan lantang dan hormat, “Saudara Nyo, apakah aku boleh ikut turun ke bawah?”
“Hm, sekalipun engkau jual lagak menghormat seperti seorang hamba sahaya, toh
tetap harus mati dalam makam ini,” kata Nyo Bun Giau dalam hati.
“Ah, jangtn begitu menghormat padaku. Silahkan turun,” serunya sambil tertawa.
Ketika berada di bawah, dari penerangan korek yang dibawa Nyo Bun Giau, Kim loji
melihat sebuah pintu berwarna hitam berada beberapa meter di sebelah muka.
“Harap saudara memutar rantai besi pintu itu sampai 12 kali, pintu itu tentu akan
terbuka,” kata Nyo Bun Giau.
Sejenak bersangsi, akhirnya Kim loji melakukan perintah juga. Ia putar rantai pintu
sampai 12 kali. Pada saat ia hendak mundur, tiba-tiba matanya silau oleh selintas sinar
gemerlap. Buru-buru ia menyurut mundur dengan cepat. Tetapi ah…. sederet pagar besi
meluncur turun dari atas hendak menutup jalannya. Cepat ia songsongkan kedua
tangannya untuk menahan. Cret…. aduh….ia menjerit tertahan. Sebatang golok tajam
yang tiba-tiba menabas dari atas pintu, telah membabat putus lengannya sampai sebatas
bahu. Tetapi ia seorang jago yang tinggi lwekangnya. Sekalipun kehilangan sebelah
lengan, namun ia dapat menahan golok itu meluncur turun membabat tubuh.
Berpaling ke belakang, dilihat tembokpun telah muncul dua batang tongkat besi. Satu
di atas. satu di bawah, tepat menyambut orang yang hendak mundur. Dengan demikian
Kim loji telah terkurung rapat, maju mundur tak dapat.
Rupanya pencipta dari alat rahasia dalam ruang itu telah memperhitungkan bahwa
orang yang masuk kesitu tentulah mereka yang memiliki kepandaian tinggi. Maka pada
tembokpun telah disediakan dua batang tongkat besi untuk menghadang jalan mundur.
Kim loji kerahkan tenaga dalam untuk menutuk jalan darah tubuhnya. Setelah
menghentikan darahnya yang keluar, ia menatap Nyo Bun Giau dan berkata dengan
tersenyum, “Ah, tak kira kalau pintu itu telah diperlengkapi dengan alat-alat rahasia yang
begitu hebat, Untung hanya kehilangan sebelah lengan saja, masih tak apa!”
Sebelumnya diam-diam Nyo Bun Giau sudah siapkan pengerahan tenaga dalam. Jika
Kim loji mengucapkan kata-kata yang tak enak, segera ia hendak menghabiskan jiwanya.
Diluar dugaan, Kim loji ternyata bersenyum-senyum dengan ramahnya. Bahkan
mengakui bahwa kecelakaan itu adalah kesalahannya sendiri. Sedikitpun tak marah
kepada Nyo Bun Giau. Sudah tentu ketua marga Nyo itu terkesiap.
“Hm, rase tua ini benar-benar licin bukan kepalang. Jika kali ini tak dilenyapkan disini,
tentu dia akan memusuhi aku terus menerus,” diam-diam Nyo Bun Giau membatin. Dan
bulatlah keputusannya untuk membunuh orang she Kim itu.
Walaupun hatinya mengandung dendam kebencian namun mulut ketua marga Nyo itu
tetap mengulum senyum. Dan ia pura-pura menghela napas menyesal atas terjadinya
peristiwa itu. “Akulah yang salah sehingga mencelakai saudara Kim. Ah, hatiku sungguh
tak enak.”
“Ah, mana dapat menyalahkan saudara. Memang aku sendiri yang salah karena
kepandaianku begitu rendah….” kata Kim loji seraya loncat keluar dari jeruji besi itu.
Nyo Bun Giau memberi sebungkus obat, melumurkan pada lengan Kim loji dan
membalutkannya. Kim loji menghaturkan terima kasih.
Tiba-tiba terdengar bunyi berderak-derak dan golok serta tongkat besi itupun menyurut
kembali ke tempatnya masing-masing.
Pada saat Nyo Bun Giau berputar tubuh, saat itu juga Kim loji sudah mengangkat
tangan hendak menghantamnya. Tetapi entah bagaimana, pada lain saat, ia batalkan
niatnya.
Sesungguhnya Kim loji memang seorang yang banyak kecurigaan. Ia kuatir kalau Nyo
Bun Giau sudah bersiap. Apalagi iapun menyadari bahwa pada saat itu ia sedang
menderita kesakitan hebat akibatnya lengannya kutung. Jika hantamannya itu tak berhasil
mematikan lawan, tentulah orang she Nyo itu akan membalasnya. Dalam keadaan seperti
saat itu, jelas ia tak berdaya menghadapi Nyo Bun Giau. Dengan pertimbangan itulah
maka ia tak jadi menghantam.
Di belakang kedua pintu hitam itu, terdapat sebuah ruangan batu warna hitam juga.
Tetapi bentuknya berbeda. Sempit tetapi memanjang mirip dengan peti mati. Pada ujung
dinding terdapat 4 buah peti besi yang besar.
Sambil menyuluhkan korek ke atas, Nyo Bun Giau menghampiri peti itu lalu
menghantam kunci sebuah peti. Brak…. peti itupun terbuka.
“Hebat sekali kiranya pukulan saudara!” dengan menahan sakit. Kim loji memberi
pujian.
“Ah, jangan memuji saudara Kim. Aku hanya menggunakan pukulan Toa-lat-kim-kong
ciang yang masih rendah mutunya” kata Nyo Bun Giau.
Diam-diam Kim loji terkejut. Toa-lat-kim-kong-ciang merupakan salah sebuah pukulan
istimewa dari ke 72 ilmu pusaka gereja Siau-lim-si. Heran ia dibuatnya mengapa Nyo Bun
Giau dapat mempelajari ilmu yang sakti itu.
Rupanya Nyo Bun Giau dapat mengetahui isi hati Kim loji. Ia tertawa menyeringai,
ujarnya, “Apakah saudara Kim heran atas kata-kataku tadi? Toa-lat-kim-kong-ciang
merupakan salah satu dari ke 72 ilmu pusaka Siau-lim-si. Karena aku bukan murid Siaulim-
si tentulah aku tak mampu mempelajari ilmu pukulan itu, bukankah begitu?”
“Ah, masakan aku berani menyangsikan….”
“Kalau saudara Kim tak percaya, cobalah saudara terima sebuah pukulanku,” dengan
wajah seram ketua marga Nyo itu segera mengangkat tangannya kanan.
Kim loji menyurut mundur dua langkah dan tertawa, “Ke 72 ilmu pusaka Siau-lim-si itu
memang tersiar luas di dunia persilatan. Apalagi ilmu pukulan Toa-lat-kim-kong-ciang itu.
Sepanjang pengetahuanku, sudah ada lima macam….”
Keterangan Kim loji itu benar-benar dapat menimbulkan keheranan Nyo Bun Giau. Ia
turunkan tangannya ke samping, menghampiri sebuah peti besi lagi, Bum…. peti terbuka
dan memancarlah sinar kemilau yang gilang gemilang.
Ternyata dalam peti itu tersimpan permata ratna mutu manikam yang tak ternilai
jumlahnya. Ketika berpaling melirik peti itu, agak tergeraklah hati Nyo Bun Giau. Pikirnya,
“Jika tak menyaksikan sendiri, orang tentu tak percaya bahwa dalam makam tua sini
terdapat sekian banyak harta karun. Sekalipun istana raja, belum tentu lebih banyak dari
sini. Ah, hampir separuh hidupku kuhabiskan untuk mengumpul harta permata, tetapi
tetap belum seperseratus dari harta dalam peti ini….”
Serentak ia berpaling kepada Kim loji, “Sudah lama kudengar bahwa saudara
berpengalaman luas sekali. Maukah saudara memberitahukan tentang tersiarnya ilmu
pusaka Siau-lim-si diluaran itu?”
Kim loji tertawa, “Mengapa tidak….”- sejenak berhenti, ia berkata pula, “Bukan aku
hendak membanggakan diri. Tetapi aku tak menghiraukan seluruh ilmu pusaka Siau-lim-si
itu tersiar di dunia persilatan….”
“Harap saudara suka bicara yang genah. Sekalipun pengetahuanku sempit tetapi
kutahu juga tentang pengaruh Siau-lim-si. Turut apa yang kuketahui, dewasa ini belum
terdapat tokoh persilatan yang berani cari perkara dengan Siau-lim-si. Tetapi karena
terpancang oleh peraturan gereja yang keras maka murid-murid Siau-lim-si jarang muncul
diluar. Oleh karena itu maka kelompok It-kiong dan ji-kohlah yang lebih termahsyur di
dunia persilatan….”
Kim loji tertawa gelak-gelak, “Saudara Nyo benar. Jangankan It-kiong dan ji-koh,
sedangkan tokoh Sin-ciu-it-kun Ih Thian-heng yang paling ditakuti oleh seluruh kaum
persilatan dari Kanglam-Kangpak, pun tak berani menyalahi Siau-lim-si. Tetapi anehnya,
manusia seperti aku ini, berani menantang padri sakti dari Siau-lim-si….”
Nyo Bun Giau mendengus, “Jika saudara tetap menepuk dada, maaf, aku tiada minat
mendengarkan lagi!”
“Jika saudara masih ingat akan kata-kataku ketika berada diluar makam tadi tentang
sebuah rahasia yang menyangkut gereja Siau-lim-si. Tentulah saudara menganggap aku
bukan jual omong kosong!” kata Kim loji.
Diam-diam Nyo Bun Giau mengakui tentang kemungkinan hal itu.
Kim loji tertawa, ujarnya, “Memang dalam hal ilmu kesaktian, aku tak menang dengan
padri-padri Siau-lim-si. Tetapi dengan rahasia itu sebagai pegangan aku mampu membuat
Goan Thong taysu, ketua Siau-lim-si, menurut perintahku. Kalau tak percaya, kelak kalau
keluar dari sini, akan kubawa saudara ke Siau-lim-si dan membuktikan benar tidaknya
omonganku ini!”
Nyo Bun Giau tersenyum, “Kalau begitu, jika seumur hidup kita dapat keluar dari sini,
rahasia itu tak mungkin kudengar?”
Diam-diam Kim loji tergetar hatinya. Ia merasa kata-kata Nyo Bun Giau itu makin jelas
mengunjukkan maksud hendak membunuhnya. Ah, untuk lolos dari orang she Nyo ini,
sukar sekali.
Namun Kim loji tetap bersikap tenang. Ia tertawa hambar, “Bukan begitu maksudnya.
Tetapi benar-benar cerita itu panjang sekali, sedang saat ini kita masih terancam bahaya.
Entah mati entah hidup. Andaikata aku melanggar janji orang dan memberitahukan
rahasia itu kepada saudara, bagi saudara tiada banyak gunanya tetapi bagiku merupakan
suatu kecemaran. Bukankah merelakan aku, dalam detik-detik terakhir dari hidupku ini,
dapat mati tanpa dicela orang karena tak pegang janji….?”
Ia berhenti sejenak menghela napas, katanya pula, “Jika saudara Nyo benar-benar
mempunyai kemampuan untuk keluar dari neraka ini, aku pasti takkan ingkar janji untuk
memberitahukan rahasia itu kepada saudara. Dengan berpegang rahasia itu, saudara pasti
dapat memaksa ketua Siau-lim-si untuk menyerahkan kitab pusaka yang berisi pelajaran
ke 72 ilmu pusaka mereka. Hal itu pasti akan membawa manfaat besar bagi saudara!”
“Hm, biarpun engkau putar lidah sampai kering ludahmu, jangan harap dapat
menghapus keputusanku untuk membunuhmu,” kata Nyo Bun Giau dalam hati.
Namun dengan tersenyum ia berkata .”Turut pengetahuanku, selama beratus-ratus
tahun ini, tiada seorang padri Siau-lim-sipun yang dapat menguasai ke 72 ilmu pusaka
gereja itu. Biarpun mendapat kitab pusaka itu, tetapi mengingat umurku sudah lebih dari
50 tahun. Sukar bagiku untuk mempelajari ilmu itu.”
Kim loji makin berdebar hatinya. Diam-diam ia sudah merasa bahwa orang she Nyo itu
pasti akan membunuhnya. Ah, daripada mati konyol, lebih baik ia adu kekuatan saja.
Diam-diam ia kerahkan tenaga dalam bersiap-siap.
Kedua orang itu sama-sama seorang tokoh yang licin. Walaupun dalam hati akan saling
membunuh, tetapi lahirnya mereka tetap ramah. Sejenak bertukar pandang, Nyo Bun Giau
segera mengbampiri peti kedua dan menghantam tutupnya. Diam-diam Kim loji
memperhatikan gerak pukulan orang she Nyo itu. Ternyata memang tidak mirip dengan
pukulan Thiat-sat-ciang (pukulan Pasir besi). Diam-diam ia terkejut, pikirnya, “Ah, kalau
dia benar-benar memiliki pukulan Toa-lat-kim-kong-ciang, sukarlah dilawan …..”
Sambil berpaling ke arah Kim loji, Nyo Bun Giau tertawa, “Kalau peti ini juga berisi
harta pusaka, kita bagi rata satu orang satu peti….”
“Aku sudah sebatang kara dan hidup merana dalam pengembaraan. Bagiku permata itu
tidak berguna, Dengan rela hati kuserahkan semua itu kepada saudara saja,” tukas Kim
loji.
“Ah saudara Kim hanya menginginkan Tenggoret kumala dan kupu-kupu kumala itu
saja?”
“Ah, tidak. Cukup salah satu sajalah,” Kim loji tertawa.
Nyo Bun Giau tersenyum. Diam-diam ia mendengus dalam hati, “Hm, kemungkinan
satupun jangan harap engkau akan memperolehnya….”
Ketua marga Nyo itu segera membuka peti. Ah, ternyata peti itu juga penuh dengan
ratna mutu manikam yang tak ternilai harganya.
Di tengah-tengah dipalang oleh dua batang Giok-ci atau garisan kumala sebesar lengan
bayi. Yang satu diukir lukisan Naga dan yang satu ukiran burung cendrawasih.
Nyo Bun Giau mengambil Giok ci yang berukir naga. Ketika mengangkat hendak
memeriksanya, tiba-tiba diletakkan lagi lalu cepat-cepat menyurut mundur….
Kim loji selalu mengikuti gerak gerik orang dengan penuh perhatian. Ia terkejut ketika
Nyo Bun Giau menyurut mundur. Dengan kerahkan tenaga dalam, ia miringkan tubuh dan
gunakan bahunya sebelah kiri untuk membentur punggung Nyo Bun Giau.
Karena tak menduga, benturan itu membuat Nyo Bun Giau terjorok ke muka. Untuk
menjaga keseimbangan tubuh, ia ulurkan tangannya menjamah peti besi itu. Wut, wut,
wut…. tiba-tiba dari dalam peti itu berhamburan serangkum jarum beracun! Nyo Bun Giau
mendengus dingin seraya loncat ke samping, namun tak urung, lengannya yang kiri
termakan dua batang jarum beracun itu. Seketika ia rasakan lengannya kesemutan. Buruburu
ia kerahkan tenaga dalam untuk menutup jalan darahnya. Kemudian berpaling ke
arah Kim loji dan tersenyum, “Apakah saudara Kim menghendaki supaya aku mati tertabur
jarum lalu saudara dapat memiliki semua harta pusaka ini?”
Melihat sikap Nyo Bun Giau agak berubah dari biasanya, diam-diam Kim loji menduga
bahwa jarum beracun itu tentu luar biasa ganasnya. Tidak mudah untuk mengobati luka
itu, Serentak timbullah nyali Kim loji.
Ia tertawa gelak-gelak, serunya, “Ah, tidak, tidak. Aku tak sengaja membentur saudara.
Sungguh mati, memang tak sengaja.”
Perlahan-lahan Nyo Bun Giau mengangkat lengannya kanan, menggulung lengan
bajunya dan berkata, “Ah, kali ini tepat sekali saudara cara membentur sehingga lenganku
termakan 2 batang jarum beracun!”
Ketika mengawasi, Kim loji melihat pada jalan darah di siku orang she Nyo itu tertancap
dua batang jarum perak yang sehalus rambut besarnya. Entah berapa panjang nya jarum
itu tetapi bagian tangkai yang masih menonjol diluar itu, kira-kira masih beberapa centi.
“Ah, dengan demikian, kita benar-benar akan sehidup semati. Aku kehilangan sebuah
lengan kiri dan saudara termakan jarum. Tetapi itupun masih kurang adil. Karena lengan
saudara itu hanya luka kecil saja!” seru Kim loji,
Nyo Bun Giau tertawa, “Biarlah kuberitahu kepadamu. Jarum itu berlumur racun yang
ganas sekali. Untung yang kena itu aku. Jika terjadi pada diri saudara, tentu saudara tak
dapat hidup lebih lama dari 12 jam….”
Kim loji tertegun serunya, “Kalau begitu, saudara tak jeri terhadap jarum beracun?”
Nyo Bun Giau mengeluarkan 2 butir pil terus ditelannya. Kim loji hendak mencegahnya
tetapi sudah tak keburu lagi.
“Ha, ha,” Nyo Bun Giau tertawa gelak-gelak, “saudara telah menyia-nyiakan
kesempatan bagus untuk membunuh diriku….” ia berhenti mengurut-urut jenggotnya lalu
tertawa pula, “Pada saat terkena jarum tadi, aku harus menyalurkan tenaga dalam untuk
menutup jalan darah supaya racun itu jangan sampai merembes ke dalam tubuh. Apabila
pada saat itu saudara terus menyerang sehingga aku tak sempat menutup jalan darah,
sekalipun aku tak melayani serangan itu, tetapi apabila waktunya terlalu lama, racun itu
tentu menjalar ke tubuhku dan pasti jiwaku melayang!”
“Ah, belum tentu,” sambut Kim loji, “sekalipun saudara mempunyai pil mukjizat yang
dapat menghidupkan orang yang mati, tetapi sebelum daya pil itu bekerja, tentu sukar
juga saudara untuk mencegah racun itu merembes ke tubuh.”
Nyo Bun Giau tersenyum, “Dalam dunia persilatan siapakah yang tak tahu tentang
kemahiranku dalam ilmu bangunan dan ilmu obat-obatan. Selekas pil itu kutelan, selekas
itu juga racun tentu terhenti!”
Diam-diam Kim loji membatin bahwa kemungkinan yang dikatakan orang she Nyo itu
memang benar. Ia merasa luka pada lengannya masih belum sembuh sama sekali. Jika
harus bertempur, dikuatirkan luka itu akan mengucurkan darah lagi. Memang sebelum Nyo
Bun Giau menelan pil, kemungkinan ada harapan. Sekalipun luka lengannya akan kambuh
dan ia rubuh karena kehabisan darah, tetapi pada saat itu Nyo Bun Giaupun tentu akan
mati juga. Ia puas kalau bisa mati berbareng.
Akhirnya ia memutuskan untuk menunda rencananya pada lain kesempatan lagi.
“Ah, kalau saudara Nyo begitu mencurigai, aku sungguh tak enak hati. Masakan aku
mengandung hati busuk seperti itu? Bukankah jelas kalau aku tak nanti mampu keluar dari
makam ini tanpa petunjuk saudara?”
Nyo Bun Giau tersenyum memandang orang. Tetapi bagi Kim loji, senyum orang she
Nyo itu penuh memancarkan kebengisan yang menyeramkan.
Keduanya saling berpandangan sampai beberapa saat. Tiba-tiba Nyo Bun Giau
mencabut jarum beracun dari lengannya dan berkata, “Saudara Kim telah dua kali
kehilangan kesempatan untuk membunuh aku,” tiba-tiba ia tertawa nyaring, “ketahuilah
bahwa obat yang bagaimana mukjizatnya, tak mungkin sekali telan terus dapat mencegah
racun. Tadi meskipun saudara telah menduga tepat tetapi saudara tak mempunyai
kepercayaan pada diri sendiri sehingga tak berani bertindak. Inilah yang kumaksud bahwa
saudara telah kehilangan kesempatan yang kedua kali. Kugunakan saat-saat saudara
termenung diam dan mengajak saudara bicara tadi, untuk mengerahkan tenaga dalam
mencegah racun itu. Aku telah berhasil mengumpulkan racun itu ke ujung jari
kelingkingku. Asal kubelah ujung kelingkingku, racun tentu akan mengalir keluar!”
“Terserah saudara Nyo hendak menduga apa saja, aku takkan membantah,” sahut Kim
loji.
Nyo Bun Giau tertawa dingin, “Kalau aku bermaksud hendak membunuhmu dan
mengangkangi harta karun dalam makam ini, bagaimanakah tindakan saudara.”
Bahwa orang she Nyo itu secara blak-blakan mengutarakan isi hatinya, benar-benar
mengejutkan Kim loji. Tetapi sebagai seorang persilatan yang kenyang pengalaman, cepat
Kim loji dapat menekan ketenangannya.
“Sukar bagiku untuk mengatakan apa-apa. Bagaimana tindakan saudara Nyo terhadap
diriku, kuserahkan saja,” sahut Kim loji dengan tertawa hambar.
Kali ini Nyo Bun Giau tertegun mendengar penyahutan yang tak disangka-sangkanya
itu, ujarnya, “Tetapi jangan kuatir, akupun tak mengandung hati sekejam itu. Namun
saudara sendirilah yang sesungguhnya mengandung maksud melakukan pembunuhan
terhadap diriku itu. Sejak memasuki makam ini, saudara sudah bersiap siap untuk turun
tangan. Oleh karena itu, terpaksa akupun mengambil langkah. Daripada dibunuh, lebih
baik kuturun tangan lebih dulu!”
Kim loji tertawa, “Baru saja aku kehilangan sebelah lengan, sudah tentu tiada berdaya
melawan saudara. Bagi alamat saudara Nyo yang sudah termahsyur di dunia persilatan,
apakah takkan ditertawakan orang apabila membunuh orang yang sudah tak berdaya?”
Nyo Bun Giau tertawa tawar, “Di dalam makam ini hanya terdapat kita berdua. Asal
setelah membunuh, aku tak memberitahukan kepada orang, siapakah yang akan tahu?”
Melihat orang she Nyo itu bersikap benar-benar hendak membunuhnya, terkejutlah Kim
loji, ia kuatir ketua marga Nyo itu segera akan melaksanakan ucapannya. Tiba-tiba ia
teringat sesuatu.
“Ah, mungkin tidak begitu,” ia tertawa dingin, “bukankah saudara masih ingat pada
waktu kita hendak masuk ke dalam makam ini, saudara mengatakan bahwa sudah ada lain
orang yang telah mendahului masuk kesini? Menilik alat-alat rahasia di makam ini begini
hebatnya, jika tak pandai tentang ilmu alat-alat rahasia, tentulah orang itu sukar keluar
dari sini!”
Nyo Bun Giau termenung sejenak, lalu tiba-tiba tertawa, “Dalam dunia persilatan,
kiranya tiada seorangpun yang mampu mengungguli diriku dalam ilmu bangunan dan alatalat
rahasia. Apabila orang itu dapat masuk ke dalam makam ini, tak boleh tidak dia pasti
mati tenggelam air!”
Kim loji memeras otak untuk mencari jalan hidup. Mendengar keterangan Nyo Bun
Giau, ia segera membantah, “Yang tahu tentang makam ini, bukanlah aku seorang.
Sekalipun aku tak pandai tentang ilmu bangunan dan alat-alat rahasia, tetapi sebelamnya
memang telah kuduga bahwa makam ini tentu penuh dengan alat-alat yang berbahaya,
Kuingatkan akan pernyataan saudara sendiri tadi. Bahwa orang itu tentu belum mati
karena dilanda air….”
Sejenak berhenti, ia melanjutkan kata-katanya lagi, “Bagi seorang yang pandai
berenang, asal masih bisa bernapas, tentu tahan dua tiga hari terbenam dalam air.
Dengan kesimpulan itu, kemungkinan besar orang itu tentu masih hidup!”
Nyo Bun Giau tak membantah melainkan memandang Kim loji dengan berkilat-kilat dan
tersenyum.
Kim loji merasa kikuk sendiri lalu melanjutkan kata-katanya, “Jika benar dalam makam
ini masih terdapat lain orang, begitu berjumpa pasti akan terjadi pertempuran jika saat ini
kita saling bunuh membunuh sendiri, merekalah yang akan mendapat keuntungan!”
Nyo Bun Giau hanya tersenyum simpul, ujarnya, “Silahkan saudara mengemukakan
dalih panjang lebar. tetapi rasanya sukar terhindar dari maut!”- dengan perlahan-lahan ia
maju menghampiri.
Kim loji mendengus dingin, “Jika saudara benar hendak mendesak, terpaksa akupun
hendak mempertahankan jiwa dengan mati-matian!”- diam-diam ia kerahkan tenaga
dalam bersiap-siap.
Nyo Bun Giau tertawa, “Jika saudara mampu menerima 10 jurus seranganku, akan
kubebaskan saudara dari kematian!”- ia menutup kata-katanya dengan sebuah hantaman.
Di tempat yang sedemikian sempit bertempur, sukar untuk menghindar dan tak leluasa
untuk mengeluarkan kepandaian. Apalagi pukulan Nyo Bun Giau itu dahsyatnya bukan
kepalang. Apa boleh buat, Kim loji terpaksa menangkis dengan sebuah Biat-gong-ciang
atau Pukulan membelah angkasa.
Ketika kedua pukulan itu saling beradu, segera dapat diketahui siapa yang lebih unggul.
Nyo Bun Giau tetap berdiri di tempatnya sedang Kim loji terhuyung mundur sampai empat
lima langkah baru dapat berdiri tegak lagi. Luka pada lengannya yang kutung itupun
mengucurkan darah lagi dengan derasnya….
Nyo Bun Giau tersenyum, “Ini baru pukulan pertama. Jurus kedua, silahkan saudara
menikmati pukulanku Toa-lat-kim-kong-ciang. Harap membuktikan sendiri sesuai tidak
dengan namanya!”
Sekalipun tahu bahwa dengan menderita luka parah itu, tak nanti mampu menghadapi
Nyo Bun Giau, tetapi sedikitpun Kim loji tak menyangka bahwa tenaga dalam orang she
Nyo itu ternyata lebih unggul setingkat dari dirinya. Sekalipun ia tak menderita luka
kehilangan lengan, pun juga tak dapat menandingi lawan.
Tetapi walaupuu sudah mengangkat tinjunya, Nyo Bun Giau tak segera menghantam.
Dipandangnya wajah orang. Ingin ia melihat bagaimana kerut wajah Kim loji kalau sedang
menderita kesakitan itu. Dengan tersenyum-senyum, ketua marga Nyo itu mengisar maju.
Sadar bahwa tak mungkin menang, daripada menderita pukulan orang, lebih baik Kim
loji menyerah saja. Sambil busungkan dada, ia pejamkan mata menunggu kematian….
Dengan dua buah jari, Nyo Bun Giau menggurat perlahan dada Kim loji, serunya
tertawa, “Ah, mengapa saudara Kim tak mau melihat? Apakah diriku tak berharga saudara
pandang?”
“Kalau mau bunuh, bunuhlah segera. Jika terus menerus bicara menghina aku, jangan
menyesal kalau kumaki maki!” sahut Kim loji,
“Ah, sayang aku tak dapat menyetujui keinginan saudara untuk mati dengan cepat.
Biarlah saudara memaki-maki diriku habis-habisan tetapi ingin kuminta saudara menikmati
bermacam-macam rasa….”
Ia berhenti sejenak lalu tertawa lepas, katanya pula “Sekarang hendak kuhancurkan
kedua tulang sambungan bahu saudara lebih dulu. Agar kedua lengan saudara itu tak
dapat digunakan lagi. Kemudian baru kuremukkan tulang kedua kakimu, agar saudara tak
perlu jalan lagi….”
Serentak gemetarlah Kim loji mendengar siksaan itu. Tetapi Nyo Bun Giau malah
tertawa makin keras, serunya pula, “Setelah itu akan kujalankan Hun-kin-jo-kut (memisah
urat melepas tulang). Akan kulepaskan 365 tulang belulang dalam tubuh saudara….”
Tiba-tiba dari atas dinding ruang itu, terdengar suara getaran halus. Namun itu hal itu
cukup menggetarkan perasaan Nyo Bun Giau. Cepat dia merubah pikirannya. Sengaja ia
berseru lantang sekali, “Agar saudara menjaga tempat ini selama-lamanya….”
Kim loji membuka mata, “Saudara Nyo tak mempunyai dendam permusuhan kepadaku.
Mengapa menyiksa diriku begini rupa….”
Sekonyong-konyong Nyo Bun Giau lekatkan tangannya ke dada Kim loji, “Harap
saudara lekas menjalankan pernapasan, hendak kuberimu penyaluran tenaga murni!”
“Hai, apakah artinya ini….” Kim loji terbelalak kaget.
“Kata kataku tadi hanya sekedar bergurau saja, masakan akan kulakukan sungguhsunguh.
Bahwa dengan memiliki kotak pusaka pedang Pemutus Asmara, saudara tak
mencari lain orang tetapi mengajak aku, menandakan kepercayaan saudara kepada
diriku!” Nyo Bun Giau tertawa.
Kim loji seperti orang bermimpi. Buru-buru ia berkata, “Apa yang dimahsyurkan dunia
persilatan mengenai It kiong, ji-koh dan Sam-koh, saudara Nyolah yang paling ramah dan
lapang hati. Tidak kecewa sebagai seorang sastrawan”
“Ah, kabar itu sering melampau dari kenyataan….” Nyo Bun Giau tertawa menukas.
Kemudian ia segera suruh orang she Kim itu menyalurkan darah dalam tubuhnya.
Kim lojipun segera bersemedhi menjalankan pernapasan. Ternyata Nyo Bun Giau
memang benar-benar menyalurkan tenaga murni ke tubuh Kim loji. Dia memang memiliki
tenaga dalam yang hebat. Sambil menyalurkan tenaga murninya, ia memperhatikan suara
dari atas ruangan itu. Kira-kira sepeminum teh lamanya, atas dinding rungan itu terdengar
getaran halus lagi. Begitu halus lagi. Begitu halus sehingga orang yang tak memiliki tenaga
dalam sakti tentu tak dapat menangkapnya.
Sesungguhnya Nyo Bun Giau sendiri tak dapat memastikan apakah gataran itu.
Mungkin alat rahasia yang bergerak. Mungkin juga berasal dari luar makam.
Berkat tenaga dalamnya yang kokoh, walaupun pukulan Nyo Bun Giau tadi telah
menggoncangkan peredaran darahnya, namun setelah mendapat saluran tenaga murni,
dapatlah Kim loji mengembalikan jalannya darah dalam tubuhnya lagi. Ia terkejut ketika
telapak tangan orang she Nyo itu memancarkan hawa hangat yang tak henti-hentinya ke
dalam tubuhnya. Kabar-kabar yang tersiar dalam dunia persilatan bahwa di antara ketiga
Poh ( marga ) marga Nyo lah yang paling lemah tenaga dalamnya. Hanya karena
kepandaiannya dalam ilmu bangunan dan alat-alat rahasia, maka marga Nyo dapat
disejajarkan dalam deretan Tiga marga besar. Dunia persilatan tak pernah mengetahui
jelas sampai dimana kesaktian marga Nyo itu.
Apa yang dirasakan Kim loji saat itu, telah membuka matanya benar-benar. Kesaktian
tenaga dalam Nyo Bun Giau, bukan hanya melebihi marga Ca dan marga Siang Kwan, pun
mempunyai corak yang istimewa. Oleh karena berpuluh tahun Nyo Bun Giau tak mau
keluar ke dunia persilatan dan hidup tenang di rumah, bukanlah karena ia merasa
berkepandaian rendah….
Brek….tiba-tiba langit ruangan itu bergetar keras sehingga Kim loji terkejut dari
lamunannya.
Nyo Bun Giaupun menarik tangannya dan menanyakan keadaan Kim Loji.
“Terima kasih atas bantuan saudara. Sekarang tenaga murniku sudah kembali ke
pusatnya,” kata Kim loji.
Nyo Bun Giau berbangkit, katanya, “Dugaan saudara tepat. Di dalam makam ini
memang sudah ada orang yang masuk lebih dulu dari kita. Dan orang itu berada di
ruangan sebelah!”
Dari getaran yang ketiga itu, dapatlah Nyo Bun Giau memastikan bahwa getaran itu
berasal dari pukulan atau senjata yang menghantam dinding.
Kim loji menghela napas longgar, ujarnya, “Apakah kita akan ke sana? Mungkin
Tenggoret Kumala dan Kupu-kupu Emas itu berada disitu….”
Setelah mengalami penderitaan beberapa kali, kecongkakan Kim loji menurun seratus
derajat. Kata-katanya itu bernada meminta persetujuan.
Diam-diam terkesiaplah hati Nyo Bun Giau. Ia anggap pernyataan Kim loji tak salah.
Jika kedua benda pusaka itu sampai jatuh ke tangan orang, ah, kecewalah hatinya.
Sekalipun ruangan itu penuh dengan ratna mutu manikam yang tak ternilai harganya,
tetapi baginya tiada berguna.
“Pendapat saudara sama dengan pendapatku,” katanya setelah merenung sejenak,
“kita harus menyelidiki ke sana. Siapakah orang yang tanpa penunjuk kotak pedang
pemutus asmara, mampu masuk ke dalam makam ini!”
Saat itu Nyo Bun Giau sudah mempunyai kepercayaan penuh atas kemampuannya
mengatasi alat-alat rahasia dalam makam itu. Ia mengeluarkan kotak pedang, memeriksa
sejenak lalu menghampiri ke tempat peti besi. Kim loji tak berani berbuat apa-apa. Ia
hanya mengikuti di belakang orang she Nyo itu.
Setelah menutup peti besi, ia berpaling memandang Kim loji lalu tiba-tiba ia lari ke
sudut ruang. Setelah beberapa saat meraba-raba, tiba-tiba terdengar bunyi berderakderak
dan dinding merekah sebuah pintu.
Cepat Kim loji loncat ke pintu itu, katanya, “Biarlah aku yang mempelopori masuk!” ia
terus menerobos ke dalam. Nyo Bun Giau mengikutinya.
Ruangan disitu penuh berhamburan hawa dingin dari sambaran pedang. Sambil
lekatkan tubuh ke dinding, Kim loji bertanya bisik-bisik kepada Nyo Bun Giau, “Apakah
saudara Nyo kenal kedua orang itu?”
Ketika mengamati ke muka, Nyo Bun Giau melihat seorang pemuda berumur 19an
tahun sedang menabaskan pedangnya ke sebuah pintu. Sedang kawannya, seorang lelaki
pertengahan umur, berdiri di samping dengan mencekal pedang dan kipas besi.
Keringatnya bercucuran ke lantai….
Jilid 12 : Keluar dari makam Ko Tok Lojin
Tonggeret dan kupu-kupu.
Karena Nyo Bun-giau diam saja, Kim Loji melanjutkan kata-katanya, “Yang mencekal
pedang Perak itu adalah kepala dari golongan Rimba Hijau (penyamun) dari empat
propinsi, ialah Kipas-besi-pedang-perak Ih Seng. Tetapi anakmuda yang sedang mainkan
pedang itu, aku tak kenal hanya pernah bertemu. Dan pedang panjang yang dibawanya
itu adalah pedang Pemutus-asmara yang termasyhur didunia persilatan.”
“O pedang Pemutus Asmara ….” dengus Nyo Bun-giau.
“Benar, dan sarung pedang ini memang kurampas dari tangan pemuda itu,” kata Kim
Loji.
Melihat Han Ping mainkan pedang pusakanya dengan perkasa, legalah hati Ih Seng. Ia
mengusap keringat di kepalanya. Setelah batinnya tenang kembali, pendengarannya tajam
lagi. Segera ia merasa bahwa dalam ruangan situ terdapat orang lain. Dengan tebarkan
kipas untuk melindungi dadanya, ia berputar tubuh dengan mendadak. Cepat ia dapat
mengenali kedua pendatang itu, Tertawalah ia gelak2, “O, kukira siapa, ternyata saudara
Kim…”
Kemudian is menatap Nyo Bun-giau, tegurnya, “Kalau tak salah bukankah saudara ini
saudara Nyo, kepala marga Nyo dari Kim-leng?”
“Ah, saudara terlalu sungkan….” buru-buru Nyo Bun-giau menyahut.
Tiba-tiba Han Ping menarik pulang pedangnya. Sambil memandang kepada kedua
pendatang itu, ia bertanya dengan bisik2 kepada Ih Seng, “Yang manakah orang she Kim
itu?”
“Yang lengannya terbungkus kain biru itu,” Ih Seng menerangkan.
“Bukankah dia yang disebut sebagai Kim Loji? tanya Han Ping pula.
Ih Seng mengiakan.
Seketika panaslah darah Han Ping. Sekali loncat ia menerjang Kim Loji. Tetapi Nyo Bungiau
cepat menyongsongnya dengan hantaman “Di luar langit-muncul-awan” seraya
membentak, “Anak masih muda mengapa tak tahu aturan!”
Melibat pukulan orang she Nyo itu amat dahsyat, Han Ping segera empos semangat
dan melambung ke udara, melayang ke samping beberapa meter jauhnya.
Nyo Bun-giau diam-diam terkejut. Yang dilakukan anak muda itu tergolong ilmu
ginkang tataran tinggi.
Ih Seng pun cepat loncat ke samping Han Ping lalu menudingkan pedangnya ke arah
Nyo Bun-giau, “Saudara ini adalah salah satu dari ketiga marga yang termasyhur, yakni
saudara Nyo Bun-giau kepala Nyo-ke-poh. Orang menggelarinya sebagai Perancang-sakti
karena mahir sekali dalam ilmu bangunan dan alat2 rahasia!”
Dengan mata ber-kilat2 Han Ping mengawasi Nyo Bun-giau lalu bertanya dengan nada
dingin, “Aku merasa belum pernah kenal dengan Nyo pohcu. Tetapi mengapa tuan
menghantam aku?”
Nyo Bun-giau tersenyum, “Tadi engkau menyerang keras sekali. Sebelum bicara, sukar
untuk terhindar dari salah sangka. Hantamanku tadi hanya sekedar untuk menjaga diri
saja!”
Licin benar orang she Nyo itu. Tetapi Han Ping yang jujur menganggap keterangan itu
benar, karena Nyo Bun-giau berdiri dekat dengan Kim Loji. Serangannya tadi tentu
disangka hendak menyerang Nyo Bun-giau.
“Nyo poh-cu benar, karena salah faham, aku pun takkan menarik panjang urusan ini,”
kata Han Ping lalu berpaling menghadap Kim Loji, tegurnya nyaring, “Bukankah saudara
ini yang dipanggil Kim Loji?”
Diam-diam Kim Loji memaki Nyo Bun-giau yang dianggapnya manusia licik. Setelah
mengetahui pemuda itu tak dapat dibuat main2, Nyo Bun-giau berganti nada seolah-olah
tak mau ikut campur dalam urusan itu.
Saat itu lengan Kim Loji yang kutung satu itu belum sembuh lukanya. Jika bertempur
dengan Han Ping, jelas tentu ia akan menderita kekalahan. Maka ia memutuskan untuk
mencari akal untuk meloloskan diri.
“Sikap membisu seperti kura2 menyembunyikan kepala itu, bukanlah laku seorang
lelaki….” seru Han Ping yang tak sabar menunggu.
Seumur hidup belum pernah Kim Loji menerima dampratan setajam itu. Merah
padamlah mukanya. Tetapi dia seorang rubah tua yang licin. Dalam keadaan dan saat
seperti itu, terpaksa ia harus tebalkan kulit menelan hinaan.
“Benar, apa maksud saudara hendak mengetahui namaku?” sahutnya balas bertanya.
Han Ping tertawa dingin “Kalau begitu, engkau tak kenal padaku lagi?”
“Ini… ahh…. aku benar-benar tak ingat!”
Mengacungkan pedang pandak, Han Ping berteriak geram, “Kalau tak ingat aku,
seharusnya engkau tentu masih ingat akan pedang ini!”
“Pedang Pemutus Asmara, merupakan pusaka yang jarang terdapat didunia persilatan.
Dapat membelah logam seperti memotong tanah liat. Setiap orang persilatan tentu ngiler
akan pusaka itu. Sudah setengah umur aku berkecimpung dalam dunia persilatan,
masakan tak kenal pedang itu?”
Mendengar ocehan orang yang begitu berbelitbelit memanjang, Han Ping melangkah
maju dan acungkan ujung pedang ke dada Kim Loji, bentaknya, “Dimanakah kotak tempat
pedang ini? Lekas bilang! Jika berani bohong, jangan sesalkan aku bertindak kejam.”
Kim Loji rasakan pedang di muka dadanya itu menguarkan hawa dingin, Diam-diam ia
menimang, “Anak ini masih berdarah panas. Berbahaya sekali kali kalau kubiarkan dia
melekatkan pedang di muka dadaku. Sekali dia marah, habislah riwayatku…..”
Dengan tenang Kim Loji menjawab, “Memang aku yang mengambil kotak pedang
Pemutus Asmara itu. Tetapi pengambilan itu bukanlah berasal dari maksudku. Aku hanya
melakukan permintaan orang, Yang penting supaya merampas kotak pedang, bukan
orangnya!”
“Tak banyak yang tahu bahwa pedang ini berada padaku. Siapakah yang
memberitahukan kepadamu?”
“Dari mana engkau peroleh pedang itu?” Kim Loji balas bertanya,
“Perlu apa engkau tanyakan hal itu? Jadi engkau hendak mengulur waktu?” tiba-tiba
Han Ping tak dapat melanjutkan kata-katanya karena mendadak Nyo Bun-giau lepaskan
sebuah hantaman
Biat-gong-ciang atau Pukulan-membelah-angkasa.
Han Ping terkejut berpaling. Tampak seekor binatang aneh bersisik mirip ular, merayap
keluar dari pintu batu. Pukulan dahsyat dari Nyo Bun-giau tak diacuhkan binatang itu.
Sejenak kibaskan kepalanya, tiba-tiba binatang itu melengking keras dan merayap makin
cepat.
Ih Seng menggembor keras seraya loncat ke samping. Ia tak berani menyerang dari
muka tetapi dari samping. Dengan tangan kiri mencekal kipas besi untuk melindungi
muka, pedang perak di tangan kanan segera menusuk dengan jurus menyolok-naga
kuning.
Bum…….. pedang perak tepat menusuk kepala binatang. Binatang aneh itu meringkik,
berputar kepala terus ngangakan mulut hendak menggigit Ih Seng. Ih Seng buru-buru
menyurut mundur.
Dalam kesempatan itu, Kim Loji segera membisiki Han Ping, “Jika binatang sampai
masuk ke-mari, kita tentu ce1aka. Yang penting enyahkan dulu binatang itu, baru nanti
kita bicarakan soal kotak pedang itu!”
Sebenarnya saat itu ia dapat menghantam punggung Han Ping yang tengah
menghadap ke belakang. Tetapi walaupun sakti, Han Ping rnasih hijau. Baginya, Nyo Bungiau
itu jauh lebih berbahaya. Ia memperoleh pikiran untuk mengadu domba Han Ping
dengan Nyo Bun-giau. Apabila kedua orang itu sama-sama remuk, mudahlah untuk
membereskan mereka.
Han Ping berpaling, sahutnya, “Baik, akan kuusir binatang itu dulu, baru nanti membuat
perhitungan lagi dengan engkau!”
Habis berkata, Han Ping terus melesat ke muka, menyerbu mahluk aneh itu. Rupanya
mahluk itu takut akan pedang pusaka di tangan Han Ping. Cepat-cepat ia menyurut
mundur ke dalam pintu batu lagi. Waktu merayap keluar, binatang itu bergerak pelahan
sekali tetapi waktu menyurut mundur, gesitnya bukan alang kepalang.
Han Ping menghampiri ke pintu. Dia menyadari bahwa setiap waktu binatang itu tentu
keluar lagi. Tetapi kalau terus menerus menunggu di situ, juga berabe.
Tiba-tiba Nyo Bun-giau loncat menghampiri. Ia menampar tembok dan terdengarlah
bunyi berderak-derak. Tiba-tiba dari tembok itu meluncur keluar sebilah papas batu yang
tepat melintang di pintu.
“Jangan kuatir, binatang itu telah kututup dalam ruangan ini,” katanya.
Nyo Bun-giau seorang rubah yang licin. Setelah mengetahui Kim Loji lepaskan
kesempatan membunuh Han Ping, tahulah ketua marga Nyo ke-poh itu akan maksud Kim
Loji. Diam-diam ia memutuskan untuk membasmi orang-orang itu semua. Harta karun dan
pedang pusaka dapat dimiliki, orangpun tak kan tahu mayat orang-orang yang dibunuhnya
itu.
Tetapi ia menyadari bahwa tenaganya tak mungkin dapat melaksanakan hal itu.
Betapapun sakti-nya, tak mungkin ia dapat menghadapi ketiga la wan itu. Akhirnya ia
memutuskan untuk menggunakan siasat mengadu domba mereka. Setelah ada
kesempatan baru ia akan turun tangan.
Han Ping berotak cerdas tetapi ia tak punya pengalaman di dunia persilatan. Sudah
tentu ia tak menyadari bahwa dirinya menjadi ‘barang hidangan’ Nyo Bun-giau dan Kim
Loji. Terutama terhadap Nyo Bun-giau yang sikapnya seperti seorang sasterawan itu, ia
benar-benar tak dapat meraba. Ia heran mengapa orang she Nyo itu, tanpa diminta, terus
saja mengulurkan bantuan.
Han Ping segera menuding Kim Loji pula, “Kini ular naga itu sudah tertutup di dalam
ruangan. Sekarang kita selesaikan soal kotak pedang itu!”
Kim Loji terbeliak. Diam-diam ia memaki Nyo Bun-giau. “Bangsat she Nyo itu benarbenar
licin seperti belut. Hendak kugunakan tenaga pemuda itu untuk menghadapinya,
ternyata dia telah mendahului memanfaatkan kesempatan itu. Ah, kalau tidak nekad
mengadu jiwa, tentu sukar menghadapi pemuda ini!”
Setelah menetapkan keputusan, Kim Loji tersenyum, “Aku tak kenal padamu. Tetapi
mengapa pedang pusaka Pemutus-asmara yang tersohor di dunia persilatan itu bisa
berada di tanganmu?”
Han Ping diam-diam menganggap kata-kata Kim Loji itu memang benar. Tanpa disadari
ia mengangguk.
Kim Loji tertawa gelak2, serunya pula,, “Pedang Pemutus- asmara itu tentu hanya
beberapa hari berada di tanganmu. Tetapi entah sudah berapa banyak orang persilatan
yang mengetahui peristiwa itu. Maksudku, tentulah engkau dapat mengira-ngira siapakah
yang telah menyuruh aku mengambil pedang itu dari tanganmu…”
Sejenak merenung, Han Ping menyahut, “Apakah yang menyuruh engkau itu bukan Hui
Koh taysu?”
Mendengar itu pucatlah wajah Nyo Bun-giau seketika. Cepat ia berpaling ke arah Kim
Loji untuk melihat bagaimana reaksi orang itu. Tampak orang she Kim itu kebingungan.
“Dalam hal ini maaf kalau aku tak dapat mengatakan nama orang itu. Sekali sudah
berjanji kepadanya, tak nanti aku mau memberitahukan kepada orang lain,” sahut Kim Loji
sesaat kemudian.
“Hmm, Hui In taysu seorang paderi yang sahid dan luhur. Yang mengetahui tentang
pedang itu berada padaku hanyalah kedua paderi dari Siaulim-si itu. Karena Hui In taysu
tak mungkin mau menyiarkan peristiwa itu, kiranya hanya Hui Koh taysulah yang berbuat
itu!”
Dengan nada tidak membenarkan dan tidak menyangkal, Kim Loji menyahut, “Dengan
membawa pedang pusaka Pemutus-asmara itu, tentulah engkau juga diberitahu tentang
rahasia penyimpanan harta pusaka disini, bukan?”
Han Ping mendapat kesan bahwa orang yang mencuri pedang dari tangannya itu
tentulah bukan manusia baik-baik. Jika memberitahukan peristiwa itu dengan terus terang,
tentulah Kim Loji akan menipunya. Maka ia memutuskan untuk menjawab secara samar
saja. Setelah mengetahui bagaimana tanggapan Kim Loji nanti, baru ia akan
mempertimbangkan tindakan lebih lanjut.
“Kalau ilmu pedang saja dia mau memberikan kepadaku, masakan tidak mau
memberitahu rahasia kotak pedang itu?” sahutnya seraya tertawa dingin.
Kim Loji dan Nyo Bun-giau percaya apa yang dikatakan anak muda itu. Kalau tidak,
masakan pemuda itu dapat masuk ke guha situ.
Kim Loji merancang siasat. Ia hendak membocorkan tentang harta pusaka yang berada
dalam guha di situ. Untuk mengadu domba dengan Nyo Bun-giau.
“Walaupun kehilangan kotak pedang tetapi engkau masih dapat masuk ke makam yang
penuh dengan alat rahasia ini, sungguh kuat sekali daya ingatmu!” serunya memuji.
“Ah, itu bukan suatu hal yang luar biasa. Asal mau berhati-hati saja, tentu takkan
mengalami bahaya,” sahut Han Ping.
Kim Loji lanjutkan kata-katanya, ia mulai menyindir, “Walaupun dengan saudara Nyo
Bun-giau yang termasyhur sebagai ahli bangunan dan perkakas rahasia, namun aku tetap
kehilangan sebuah lengan tangan. Tetapi hanya mengandalkan daya ingatan saja, engkau
mampu masuk kemari dengan selamat!”
Mendengar sindiran itu Nyo Bun-giau melengking dingin, “Itu kan salahmu sendiri
mengapa kepandaianmu masih rendah tetapi tak mau menurut petunjukku. Masih untung
hanya hilang sebuah lengan, bukan nyawamu!”
Kim Loji tertawa gelak2, “Jika setiap patah aku menurut saudara Nyo, saat ini aku tentu
sudah menjadi bangkai!”
“Eh, apakah saudara Kim masih mempunyai harapan untuk keluar dari sini dengan
selamat?” Nyo Bun-giau tersenyum menyeringai.
Diam-diam Kim Loji memaki orang she Nyo itu. Ia memutuskan untuk membuka rahasia
makam itu kepada Han Ping agar kedua orang itu dapat diadu domba.
“Dari dulu sampai sekarang, hanya sedikit sekali orang yang tahu rahasia makam ini,”
katanya menatap Han Ping. “Beruntunglah pada 30 tahun yang lalu, aku telah mengetahui
rahasia itu. Peristiwa itu mengandung suatu peristiwa pembunuhan ngeri dalam dunia
persilatan. Menyangkut kalangan luas dan berliku-liku sehingga melibatkan juga tokohtokoh
paderi,” tiba-tiba ia merasa telah kelepasan omong maka buru-buru hentikan katakatanya.
Tergeraklah hati Han Ping. Tiba-tiba ia teringat akan pengalamannya selama tinggal
tiga hari bersama Hui Gong taysu. Tiga hari yang menjadikan dia seorang pemuda biasa
menjadi pemuda sakti tetapi pun kebalikannya telah merenggut pengorbanan jiwa paderi
sakti itu.
Terbayang kembali segala ingatannya selama dalam ruang batu dengan Hui Gong
taysu. Walaupun paderi itu tak mengatakan apa-apa tetapi ia dapat juga menangkap
beberapa pembicaraan yang bernada pertentangan antara Hui Gong taysu dengan kedua
sutenya Hui In dan Hui Koh.
Han Ping benar-benar terbenam dalam kenangan lama sehingga ia lalai akan keadaan
berbahaya yang berada di sekelilingnya.
Se-konyong2 serangan angin pukulan melandanya dari samping. Kejut Han Ping bukan
kepalang. serempak ia ayunkan tangan menampar ke samping.
Des… ketika kedua pukulan itu saling beradu, timbullah angin kisaran yang keras dan
tubuh Han Ping tersurut mundur selangkah.
Cepat pemuda itu berpaling. Tampak wajah Nyo Bun-giau memancarkan sinar
pembunuhan yang menyala-nyala. Diam-diam Han Ping terkejut atas kesaktian pukulan
orang she Nyo itu.
Kiranya begitu mendengar Kim Loji hendak membocorkan rahasia makam itu, timbullah
kekuatiran hati Nyo Bun-giau. Jika ketiga orang itu sam-pai bersatu-padu untuk
menghadapinya, tentulah sukar ia mengatasi. Diam-diam ia kerahkan tenaga dalam. Dan
tanpa berkata apa-apa, segera ia lepaskan sebuah pukulan dari jauh kepada Kim Loji. Ia
hendak melenyapkan mulut Kim Loji maka ia telah gunakan tenaga penuh. Tak terdugaduga,
Han Ping ikut campur menghalanginya,
Memang pada pertama kali melihat Han Ping menerjang Kim Loji, Nyo Bun-giau sudah
mengetahui bahwa pemuda itu memang hebat kepandaiannya. Tetapi sama sekali ia tak
mengira bahwa se-orang pemuda yang baru berumur 19-20 tahun ternyata memiliki
tenaga-dalam yang begitu hebat.
Namun dia seorang rubah yang licin, Walaupun dalam hati terkejut tetapi sikapnya
tetap tenang2 saja.
Kebalikannya Kim Loji diam-diam gembira sekali melihat kesaktian pemuda itu. Ia
makin mempunyai harapan untuk menghadapi Nyo Bun-giau. Serentak ia tertawa gelak2
dan berseru, “Saudara Nyo sungguh kejam sekali. Apakah saudara hendak membu-nuh
aku lebih dulu baru kemudian membasmi saudara Ih dan jago muda ini? Apakah benarbenar
saudara Nyo hendak mengangkangi sendiri semua harta pusaka dalam makam ini?
Ah, tetapi harta pusaka di sini luar biasa banyaknya, mungkin dapat di-pergunakan untuk
membeli sebuah negara. Apakah saudara Nyo merasa tidak terlalu banyak….”
Tergetarlah hati Ih Seng mendengar kata-kata siasat dari Kim Loji itu. Sambil kebutkan
kipasnya ia berseru, “Menurut peraturan dunia persilatan, barangsiapa tahu, tentu
mendapat bagian. Entah berapa banyaknya harta pusaka dalam makam ini tetapi harus
dibagi empat. Siapa yang rnempunyai pikiran untuk mengangkangi sendiri, akan kita
gempur bersama-sama!”
Han Ping tertawa hambar, “Sedikitpun aku tak mempunyai pikiran untuk menerima
bagian dari harta pusaka makam ini….”
Kuatir pemuda itu akan lepas tangan, buru-buru Kim Loji menyelutuk, “Kedatangan
saudara kemari tentulah hendak menginginkan pusaka Tonggeret-Kumala dan Kupu2-
Emas itu!”
“Apakah Tonggeret Kumala dan Kupu2 Emas itu? Aku sama sekali …..”
“Hai, apakah pusaka Tonggeret Kumala dan Kupu2 Emas itu juga berada dalam makam
ini?” tiba-tiba Ih Seng melengking kaget.
Han Ping heran mengapa suara Ih Seng begitu bergetar. Segera is berpaling dan
bertanya tentang kedua benda ini.
Tetapi sebelum Ih Seng menyahut, Kim lo-ji sudah mendahului, “Memang benar-benar
pusaka Tenggoret Kumala dan Kupu2 Emas itu berada di makam ini!
Rupanya Ih Seng menginsyafi kalau dirinya tak dapat mengendalikan perasaan. Ia
menghela napas panjang, ujarnya, “saudara Ji tak tahu. Kedua pusaka Tenggoret-Kumala
dan Kupu2 Emas itu memang disohorkan sebagai pusaka yang tiada tandingannya dalam
dunia persilatan. Tenggoret Kumala itu dapat digunakan untuk mengobati segala macam
racun. Dan Kupu2 Emas itu. , „ ..”
Rupanya ia hanya mendengar saja kata orang tentang kedua wasiat itu. Tetapi
bagaimana khasiat yang sesungguhnya dari kedua pusaka itu, sesungguhnya ia kurang
jelas. Maka tak dapatlah ia melanjutkan keterangannya lagi.
“Bukan aku hendak membanggakan diri tetapi rasanya aku tahu juga tentang
kemujijadan kedua benda pusaka itu….” tiba-tiba Kim Loji menghela napas dan berseru.
Tetapi secepat itu Nyo Bun-giaupun sudah menyeletuk, “Ah, bukan hendak memandang
rendah saudara Kim. Tetapi kukuatir pengetahuanmu tentang kedua pusaka itu hanya
terbatas saja!”
Celetuk Nyo Bun-giau. “Bukan aku hendak memandang rendah saudara Kim. Tetapi
kukuatir pengetahuan saudara Kim tentang kedua pusaka itu tentu terbatas!”
“Kalau begitu saudara Nyo tentu tahu khasiat kedua pusaka itu?” Kim Loji tertawa
dingin.
Nyo Bun-giau memandang ke atas wuwungan ruang, katanya pe-lahan2. “Tonggeret
Kumala dan Kupu2 Emas itu hanyalah benda mati, buatan dari ahli2 yang pandai. Tetapi
apabila orang tahu sifat2- nya yang istimewa, tentu dapat menggunakan khasiat pusaka
itu. Yang tidak tahu, benda itu tetap merupakan benda mati. Ha… ha.. tetapi siapakah
orang di dunia yang sekarang mengetahui sifat2 istimewa dari kedua benda pusaka itu!”
“Janganlah saudara Nyo terlalu keras menepuk dada. Memang dalam soal bangunan2,
aku kalah. Tetapi kalau mengenai benda2 pusaka dalam dunia persilatan, kemungkinan
saudara tak dapat mengalahkan aku…. . “ kata Kim Loji.
“Soal itu aku tak mempunyai selera mendengarkan,” tiba-tiba Han Ping menukas, “yang
penting sekarang ini harap saudara Kim lekas menyerahkan kembali kotak pedang pusaka
yang engkau curi itu!”
Kim Loji sapukan mata ke arah Nyo Bun-giau, sahutnya, “Kotak pedang itu sekarang
berada pada saudara Nyo Bun-giau ini…..”
Cepat Han Ping berputar tubuh ke arah Nyo Bun-giau. “Harap Nyo pohcu suka segera
menyerahkan kembali kotak pedang itu. Pedang Pemutus Asmara itu luar biasa tajamnya.
Tanpa sarung, sukar dibawa kemana-mana.”
Nyo Bun-giau tersenyum. “Pada kotak pedang itu terdapat peta bangunan makam ini.
Karena saat ini kita berada dalam makam ini dan belum mengetahui bagaimana nasib kita
nanti, biarlah kotak itu untuk sementara kusimpan. Nanti setelah keluar dari makam ini
tentu akan kukembalikan padamu.”
Teringat bagaimana tadi dengan menekan pintu batu, orang she Nyo itu dapat
menutup palang batu pada ular besar itu, diam-diam Han Ping meragu. Adakah ia harus
memaksa orang itu untuk mengembalikan kotak atau biarkan dulu.
Tiba-tiba Kim Loji tertawa dingin, “Dengan memegang kotak pedang yang berisi
gambar bangunan makam ini, jika saudara Nyo hendak menutup aku dan saudara lh di
dalam makam ini, tentulah semudah orang membalikkan telapak tangannya!”
Mendengar Kim Loji telah menelanjangi rencananya, sekonyong-konyong Nyo Bun-giau
loncat ke dinding tembok di samping.
Wuutt…. secepat itu Kim Loji lepaskan pukulan seraya berseru, “Hai, apakah saudara
benar-benar hendak menutup kami bertiga disini…?”
Nyo Bun-giau menangkis dengan tangan kiri sehingga Kim Loji tersurut mundur dua
langkah, Selekas Kim Loji tersurut mundur dua langkah. Selekas tiba di bawah dinding
tembok itu, Nyo Bungiau terus ayunkan tangannya kanan menampar dinding itu.
Pada saat ia dan Kim Loji masuk ke dalam ruang, dinding tembok itu segera mengatup
rapat. Kini setelah dihantam Nyo Bun-giau, dinding itu merekah terbuka lagi.
Kipas-besi Ih Seng menggembor keras dan memburu. Saat itu separoh tubuh Nyo Bungiau
sudah menyusup ke dalam pintu batu. Ketika mendengar teriakan Ih Seng, ia tertawa
dingin, “Harap kalian bertiga tunggu saja dalam makam ini untuk menemani Ko Tok lojin.
Setahun lagi, aku tentu akan datang kemari untuk menyambangi hari setahun dari
kematianmu!”
Ia menutup kata-katanya dengan sebuah pukulan Biat-gong-ciang atau pukulan
Pembelah-angkasa, Tenaga-dalam dari kepala rnarga Nyo itu memang bukan olah-olah
hebatnya. Tubuh Ih Seng mencelat kendara dan terkapar di tanah.
Tetapi secepat kilat, Han Ping sudah melesat ke tepi pintu dan mencengkeram siku kiri
Nyo Bungiau.
Melihat gerakan pemuda itu, diam-diam Nyo Bungiau kagum. Cepat iapun ulurkan
tangan kanan untuk balas mencengkeram siku kiri pemuda itu, Sebagai tokoh kawakan, ia
menyadari bahwa apabila siku lengannya tercengkeram musuh, pasti ia akan dikuasai
orang. Maka sebelumnya ia hendak mendahului untuk mencengkeram dan menguasai Han
Ping.
Tetapi setitikpun is tak menduga bahwa Han Ping terlampau cepat sekali gerakannya.
Tahu-tahu siku lengan kirinya dapat dicengkeram pemuda itu. Untuk menggerakkan alat
rahasia menutup pintu itu, sudah tak keburu lagi. Mungkin jika meronta ia mampu
menghempaskan pemuda itu. Tetapi resikonyapun besar juga. Pemuda itu memegang
pedang Pemutus Asmara yang luar biasa tajamnya. Jika ia gagal meronta, pemuda itu
tentu akan menusukkan pedang pusakanya.
Satu-satunya jalan, ia harus cepat balas mencengkeram siku lengan pemuda itu. Dan
hal itu dilakukannya serempak dengan gerakan yang cepat sekali.
Walaupun menang mencengkeram dulu, tetapi Han Ping kalah pengalaman dengan Nyo
Bun-giaau Begitu mencengkerarn, Nyo Bun-giau terus kerahkan tenaganya untuk
meremas siku pemuda itu. Seketika itu Han Ping rasakan lengannya seperti dijepit oleh
jepitan baja yang luar biasa kerasnya. Buru-buru ia kerahkan tenaga-dalam untuk
melawan cengkeraman orang dan untuk memperkeras cengkeramannya pada siku lengan
Nyo Bun-giau.
Saat itu keduanya saling mencengkeram sekeras-kerasnya..
Setelah merangkak bangun, Ih Seng terus tusukkan pedangnya ke dada Nyo Bun-giau.
Di pintu yang sempit dan hanya cukup dimasuki dua orang itu, sukarlah bagi Nyo Bun-giau
untuk menghindar. Tetapi dia bukan Nyo Bun-giau ketua marga Nyo yang termasyhur
sebagai Perancang-sakti apabila ia tak mampu mengatasi bahaya itu.
Melinat tusukan pedang Ih Seng dahsyat sekali, tiba-tiba orang she Nyo itu
menggembor sekeras-kerasnya dan serempak mengangkat lengan kiri Han Ping terus
disongsongkan ke ujung pedang!
Han Ping terkejut sekali. Tak mungkin ia hendak meronta lagi. Untunglah Ih Seng ahli
pedang yang jempol. Serangan dahsyat itu dapat dibentikan secara mendadak, lalu diganti
dengan tutukan kipas besinya ke arah Nyo Bun-giau.
Nyo Bun-giau mendengus. Cepat ia menghantam kipas lawan lalu menutuk dengan
sebuah jari.
Nyo Bun-giau dan lh Seng saling serang menyerang dengan Han Ping sebagai perisai di
tengah. Ih Seng tiga kali menyerang dengan kipas besi dan Nyo Bun-giau juga balas
menutuk dua kali.
Saat itu Kim Lojipun maju mendekati. Tetapi karena pintu telah dipenuhi Han Ping dan
Ih Seng, ia tak dapat berbuat apa-apa. Terpaksa ia tegak beberapa langkah dekat ambang
pintu seraya berteriak nyaring: “Dinding tembok sebelah, merupakan tempat penyimpanan
harta pusaka. Jika dia dapat mengancing kita disini, harta pusaka itu tentu dikangkangi
sendiri dan kita tak dapat keluar dari sini.”
Seruan itu membawa pengaruh pada ketiga orang yang sedang bertempur itu. Nyo
Bun-giau gentar akan kesaktian Han Ping dan takut akan tipu muslihat Kim Loji. Apabila ia
sampai terluka oleh Han Ping, jerih payahnya selama ini tentu sia2 saja. Maka begitu
mendengar teriakan Kim Loji ia segera menyerang gencar. Ia harus dapat merebut
kemenangan dengan cepat.
Sedang Ih Seng karena sayang akan harta pusaka dan takut tertutup dalam ruang situ,
pun terus menyerang hebat.
Sedangkan Han Ping tak memikirkan soal harta pusaka melainkan tentang tindakan Nyo
Bun-giau yang hendak menutup hidup2 mereka bertiga. Dia tak mau terus-menerus
terkurung dalam makam itu. Pemuda itu memang berwatak ksatrya. Jika Nyo Bun-giau
masih dicengkeram dan diserang Ih Seng, tentu kurang leluasa. Maka ia pikir hendak
mele-paskan cengkeramannya agar pertempuran itu berlangsung bebas. Ia percaya pada
kekuatannya sendiri. Dengan gin-kang atau ilmu meringankan tubuh yang telah mencapai
tataran tinggi, ia tentu dapat mencegah orang she Nyo itu meloloskan diri.
Pada saat ia hendak melaksanakan pikirannya itu, tiba-tiba Ih Seng melancarkan
serangan yang hebat. Pedang di tangan kanan menyusup dari celah Han Ping dan Nyo
Bun-giau, menusuk lambung orang she Nyo. Sedang kipas-besipun ditusukkan ke bahu
Nyo Bun-giau yang sebelah kiri.
Karena siku kirinya dicengkeram Han Ping, Nyo Bun-giau tak leluasa geraknya. Ia harus
memilih di antara lambung tertusuk pedang atau bahunya yang tertutuk kipas. Akhirnya ia
memilih berkorban bahu daripada lambung.
Orang she Nyo itu mengempos semangat. Dengan kerahkan seluruh tenaga, ia
melonjak ke samping untuk menghindari tusukan pedang.
Pedang Ih Seng tak mengenai sasarannya dan kipas-besinyapun mengendap ke bawah.
Tetapi karena Nyo Bun-giau menarik lengan Han Ping ke atas, maka kedudukan tubuh
pemuda itupun berkisar sedikit. Dan terkejutlah lh Seng karena kipas besinya akan
mengenai Han Ping. Terpaksa ia menarik kipasnya cepat-cepat.
Han Ping tak ingin melanjutkan saling mencengkeram dengan Nyo Bun-giau. Pada saat
Nyo Bun-giau melonjak ke atas tadi, Han Ping kibaskan lengan kirinya. Saat itu Nyo Bungiau
tengah kerahkan seluruh tenaga-dalam ke tubuh bagian bawah. Begitu Han Ping
kibaskan bahu, orang she Nyo itu rasakan jari tangan kirinya seperti patah. Buru-buru ia
hendak kerahkan tenaga dalam tetapi sudah tak keburu lagi. Tangan kirinya mengulai,
lengannya kesemutan dan orangnyapun terlempar membentur tembok ruang sebelah dan
jatuh terkapar.
“Celaka!” tiba-tiba Kim Loji memekik dan terus ayunkan tubuh terus memburu Nyo Bungiau.
Han Ping berpaling. Dilihatnya Nyo Bun-giau menggeliat bangun dan terus menampar
dinding ruang, plak….. pintu batu tiba-tiba bergerak menutup.
“Ha, ha, ha, silahkan kalian bertiga menemani Ko Tok lojin selama-lamanya! “ Nyo Bungiau
tertawa gelak2.
Han Ping sadar seketika. Cepat ia menahan pintu batu itu dengan kedua tangannya.
Kim Loji dan Ih Seng cepat-cepat menyusup masuk keluar pintu seraya berteriak, “Hai,
hendak lari kemanakah engkau orang she Nyo?”
Nyo Bun-giau tanpa berpaling kepala kebutkan lengan bajunya ke belakang. Kim Loji
yang kenal akan kesaktian tenaga-dalam orang she Nyo itu buru-buru loncat menghindar
ke samping. Juga Ih Seng tak berani gegabah mengadu kekerasan. Ia menghindar ke
sebelah kanan.
Karena keduanya menghindar ke kanan dan ke kiri, angin pukulan Nyo Bun-giau itu
terus meluncur ke arah Han Ping. Saat itu Han Ping sedang kerahkan tenaga untuk
mencegah pintu batu menutup. Ketika merasa angin pukulan Nyo Bun-giau menyambar, ia
mengeluh, “Celaka! Aku pasti mati sekarang!”
Tetapi manusia tentu akan berdaya sekuat tenaga apabila menghadapi bahaya maut,
Demikian pun Han Ping. Ia tak mau mati konyol. Sekali mengempos semangat, ia
mendorong pintu batu itu. Seteiah pintu batu menyurut mundur beberapa inci, ia berkisar
ke samping untuk menyongsong pukulan Nyo Bun-giau.
Dess….terjadilah benturan dahsyat. Tubuh Han Ping agak gemetar sedikit tetapi tetap
tegak di tempat. Saat itu terdengar bunyi menggerodak keras. Pintu batu telah menutup.
Memandang ke muka, Han Ping melihat Nyo Bun-giau terdorong mundur beberapa
langkah.
Saat keduanya saling berpandangan dengan wajah mengerut keheranan.
Ih Seng dan Kim Loji yang hendak menyerang, pun ikut tertegun melihat peristiwa itu.
Mereka heran mengapa Han Ping dan Nyo Bun-giau saling berpandangan Kemudian Han
ping mamandang ke wuwungan ruang dan kerutkau alis, seperti orang yang sedang
merenung.
“Saudara Ji tentu sedang memikirkan sesuatu hal yang penting. Jangan
mengganggunya. Lebih baik kita beresi orang she Nyo itu dulu….” seru Kim Loji.
Kim Loji memang seorang persilatan yang sudah kenyang makan asam garam dunia
persilatan. Ia percaya bahwa saat itu bukanlah karena mengagumi kesaktian lawan maka
Han Ping tegak termenung seperti itu. Melainkan tentu sedang mencari-cari alat rahasia
dari makam itu. Ia kuatir mengganggu ketenangan pemuda itu maka ia segera mengajak
Ih Seng melakukan serbuan kepada Nyo bun-giau agar orang she Nyo itu jangan
mengacau pikiran Han Ping juga.
Ih Seng juga seorang tokoh yang kenyang pengalaman. Cepat ia dapat menanggapi
maksud Kim Loji. Tanpa menyahut, ia segera loncat menusuk dada Nyo Bun-giau.
Sesungguhnya Nyo Bun-giau memang sedang memikirkan sebuah soal yang rumit.
Tampaknya ia tak mengacuhkan serangan Ih Seng itu. Tetapi pada saat ujung pedang
hampir mengenai dadanya, barulah ia menampar dengan tangan kiri dan menendang
perut Ih Seng.
Karena pedangnya tertampar ke sisi, Ih Seng segera menutuk dengan kipas-besi tetapi
terpaksa menarik diri mundur untuk menghindari tendangan Nyo Bun-giau.
Tetapi begitu mengundurkan Ih Seng, Nyo Bun-giau merasa terlanda oleh angin keras.
In tahu tentulah Kim Loji yang memukulnya. Marahlah ia. Serentak ia balikkan tangan
menyongsong pukulan orang.
Kim Loji terkejut. Ia tahu bagaimana kesaktian Nyo Bun-giau. Melihat orang memukul
ke belakang, tahulah ia kalau pakulan itu tentu hebat sekali. Cepat-cepat ia
mengendapkan tubuh lalu loncat ke samping.
Melihat Nyo Bun-giau tengah menghantam Kim Loji, Ih Seng gunakan kesempatan itu
untuk secepat kilat menutuk lagi. Tetapi dengan tertawa dingin, Nyo Bun-giau segera
tamparkan tangan kiri untuk menindih pedang Ih Seng.
Serangan Ih Seng itu dilakukan secara mendadak. Ia kira karena musuh tak menerka
tentulah serangan itu akan berhasil. Tetapi alangkah kejutnya ketika tanpa menghindar
Nyo Bun-giau malah menampar pedang dan menindihkan tangannya. Seketika ia rasakan
tubuhnya tergetar, pedang mengendap ke bawah dan hampir terlepas jatuh ….. .
Sudah berpuluh tahun Ih Seng mengangkat nama dalam dunia persilatan dengan gelar
Pedangperak Kipas besi. Jika pedangnya sampai dijatuhkan orang hanya dengan tangan
kosong, ia merasa malu sekali. Kelak tentu tak mungkin ia dapat berdiri di dunia persilatan
lagi. Memikir sampai di situ, ia nekad. Dengan mengempos semangat, ia tak mau menarik
pedangnya tetapi malah melangkah maju terus menutuk pelipis Nyo Bun-giau.
Pelipis memang bukan jalan darah maut, tetapi merupakan salah satu jalan darah yang
membawa kepingsanan. Sudah tentu Nyo Bun-giau tak mau menghadapi resiko itu. Tetapi
baru ia hendak berkisar menghindar, tiba-tiba Kim Loji menyerangnya dari samping.
Dalam keadaan begitu tak mungkin lagi Nyo Bun giau hendak menghindar. Karena
terdesak begitu rupa, marahlah Nyo Bun- giau. Dengan tertawa sinis, sekonyong-konyong
ia mengendap ke bawah. Dengan tangan kanan ia menahan pukulan Kim Loji. Kemudian
tangan kirinya menebar terus menjepit batang pedang lalu menggentakkan ke atas.
Terdengar dengus tertahan dari mulut Ih Seng ketika pedangnya berpindah ke tangan Nyo
Bun giau.
Setelah merebut pedang, secepat kilat Nyo Bun-giau terus menyerang Kim Loji dan Ih
seng.
Bukan kepalang malu dan marah Ih Seng.
ketika pedangnya direbut musuh itu Kipas dipindah ke tangan kanan, lalu ia menampar
Nyo Bun-giau dengan kipas dan pukulan tangan kiri. Kim Lojipun juga menyerang dari
samping.
Tetapi Nyo Bun giau tak gentar. Sambil melayani serangan dari muka dan samping itu
ia masib dapat mencuri kesempatan untuk melirik ke arah Han Ping. Ia heran mengapa
pemuda itu masih tampak termangu-mangu. Melihat itu timbullah pikirannya. Kalau tidak
menggunakan kesempatan selagi pemuda itu masih termenung-menung, tentu sukar
untuk membasmi Kim Loji dam Ih Seng.
Dengan tertawa dingin ia taburkan pedang dan seketika itu juga lengan baju Ih Seng
segera terpapas kutung. Buru-buru Ih Seng menyurut mundur. Tetapi belum ia berdiri
tegak, pedang Nyo Bungiau sudah mengejarnya, menusuk ke dada.
Ih Seng hendak menangkis dengan kipasnya tetapi se-konyong2 pedang, Nyo Bun-giau
tergetar oleh serangan angin yang bertenaga dabsyat. Orang she Nyo itu berpaling. Ah….
ternyata Han Ping sudah loncat ke sampingnya.
Sudah banyak tokoh-tokoh sakti yang Nyo Bun-giau hadapi selama berkecimpung
dalam dunia persilatan. Walaupun ia menyadari bahwa pemuda memang sakti, tetapi
sedikit pun ia tak menduga kalau gerakan pemuda itu sedemikian cepat sekali sehingga ia
tak mampu mengetahui lebih dahulu.
Buru-buru orang she Nyo itu loncat ke samping tiga langkah lalu tegak berdiri sambil
melintangkan pedang ke dada dan menatap dingin ke arah Han Ping.
Tetapi setetah dapat menampar pedang Nyo Bun-giau, Han Ping tak mau mengejar. Ia
berdiri di tempat dan berseru hamhar, “Nyo lo-pohcu, engkau sudah tua tetapi mengapa
hatimu begitu ganas hendak membunuh orang?”
Nyo Bun-giau mendengus dingin. “Bukan aku seorang ganas tetapi karena saudara
jarang keluar di dunia persilatan maka tak tahu bahwa kedua orang itu…..”
Kim Lojipun kuatir rencananya terbongkar, buru-buru ia menyelutuk, “Walaupun kami
berdua bukan tokoh yang hebat, tetapi tidaklah seganas dan selicin saudara Nyo. Masakan
hendak menutup kami berdua dan saudara Ji di dalam makam ini. Bukankah itu suatu
tindakan yang sangat kejam sekali…..!”
Kemudian Kim Loji berpaling ke arah Han Ping dan berkata lagi, “Jika tidak karena takut
akan pedang Pemutus Asmara di tangan saudara, kemungkinan dia tentu tak memandang
mata padamu lagi…..”
Han Ping seorang muda yang masih mudah terangsang darahnya. Mendengar ucapan
Kim Loji, segera ia tertawa nyaring dan menantang.
“Kalau Nyo pohcu memang menginginkan, aku sebagai angkatan muda takkan
mengandalkan senjata pusaka untuk menekan orang.”
Tetapi secepat itu Nyo Bun-giau sudah mendamprat Kim Loji. “Tak usah saudara Kim
bermain lidah tajam. Karena bagaimanapun juga jangan harap engkau dapat keluar dari
makam ini!”
Ia menutup kata-katanya dengan sebuah tusukan kepada Kim Loji. Ia menyadari bahwa
kedudukannya saat itu memang kurang menguntungkan. Lebih baik ia mendahului turun
tangan lebih dulu….
Kim Loji terkejut tetapi sudah tak keburu menghindar lagi. Untunglah pada saat
berbahaya itu Han Ping loncat dan menghantam pedang Nyo Bun-giau sehingga menyisih
ke samping.
Duakali serangannya digagalkan pemuda itu, marahlah Nyo Bun-giau. Cepat ia berputar
tubuh dan lintangkan pedang. Ditatapnya pemuda itu dengan murka tetapi ia tak segera
menyerangnya.
Han Ping pindahkan pedang pusakanya ke tangan kiri lalu tertawa. “Harap jangan
kuatir, tak nanti aku mencari kemenangan dengan mengandalkan pedang pusaka ini.”
Betapapun sabarnya tetapi kali ini Nyo Bun-giau benar-benar tersinggung mendengar
tantangan itu. Sekali gerak, pedang-perak bertabur menjadi lingkaran sinar perak dan
pada lain saat terus menusuk kepada Han Ping. “Ahh… saudara benar-benar seorang
pemuda gagah. Ingin aku mendapat pelajaranmu!”
Ia memang seorang jago tua yang licin. Dengan kata-kata merendah itu, ia menjunjung
tinggi Han Ping. Tetapi sesungguhnya suatu kata-kata untuk menghadang agar Han Ping
benar-benar tak menggunakan pedang pusakanya.
Han Ping sedikit miringkan tubuh ke samping lalu balas menghantam pedang. Karena
tahu pukulan pemuda itu hebat sekali, Nyo Bun giau tak berani mengadu kekuatan. Ia
mengendap terus menyelinap ke samping.
“Saudara Ji, jangan kena diselomoti omongan……” tiba-tiba Kim Loji berteriak tetapi
seketika itu juga ia menjerit ngeri dan tubuhnya muncratkan darah segar.
Kiranya saat itu Nyo Bun-giau sudah kemasukan iblis pembunuh. Menggunakan
kesempatan Kim Loji sedang berseru, tanpa berkisar langkah ia miringkan tubuh dan
menusuk, Kim Loji terkejut dan hendak menghindar ke samping tetapi bahunya terkena
pedang. Padang menyusup sampai tembus. Maka begitu Nyo Bun-giau menarik kembali
pedangnya, bahu Kim Loji memancurkan darah sejauh beberapa meter…
“saudara Nyo sungguh ganas sekali!” Han Ping mendengus dingin lalu maju
menyerang.
Dengan napas ter-engah2, Kim Loji paksakan diri berseru, “Saudara Ji, desak dia….
menyerahkan kotak.. pedang.”
Dia seorang julig dan ganas. “Kotak pedang itu merupakan peta bangunan makam tua
ini. Jika berada padanya, sungguh tak menguntungkan pada kalian berdua …..” habis
berkata orang she Kim itu terus terkulai rubuh.
Pada saat itu Han Ping sedang menyerang maju.
Mendengar kata-kata Kim Loji, ia mundur lagi. Saat itu digunakan oleh Nyo Bun-giau
untuk menyurut mundur juga. Dan pada saat Kim Loji rubuh, Nyo Bun-giaupun sudah
berada di samping dinding tembok terus hendak gerakkan alat rahasia. Tetapi Han Ping
yang menyadari tindakan orang she Nyo itu, dengan menggembor keras lompat menyerbu
lagi seraya lepaskan sebuah hantaman.
Pukulan itu memancarkan gulombang tenaga yang dahsyat sekali sehingga Nyo Bungiau
terpaksa loncat menghindar ke samping. Tetapi sambil menghindar, tangannya kiri
sempat mengebut pada alat rahasia, Seketika terdengar bunyi barderak2 dari dinding yang
merekah. Sebuah pintu terpentang.
Cepat Han Ping melangkah ke samping pintu baru itu dan memandang Nyo Bun-giau
dengan dingin. “Jika engkau tak mau mengembalikan kotak pedang itu, jangan harap kita
bisa keluar dari makam ini!”
Berpaling ke belakang, Nyo Bun-giau dapatkan Ih Seng membalut luka Kim Loji lalu
memapahnya ke sudut ruangan. Mereka agak jauh jaraknya. Diam-diam orang she Nyo itu
menimang dalam hati, “Pemuda ini sakti sekali kepandaiannya. Dibantu oleh Kim Loji yang
luas pengalaman serta Ih Seng. Baik adu kecerdikan maupun kesaktian, belum tentu aku
dapat menang. Baiklah kugunakan siasat untuk mengadu domba mereka saja, agar
kekuatan mereka terpecah telah. Asal kedua orang orang itu kuhancurkan dulu, tentu
mudah untuk menutup mereka dalam makam ini. Kalau aku kembali kemari lagi dan
mengambil pedang Pemutus Asmara dari mayat mereka ……”
Setelah menetapkan rencana, ia lintangkan pedang den tersenyum, “Kata-kat Kim Loji
memang benar. Kotak pedang itu memang merupakan peta dari bangunan ini. Tetapi
lukisan peta itu tidak semua sama dengan kenyataannya. Demikianpun tentang
ukurannya. Ahli bangunan siapapun tentu sukar untuk memperhitungkan peta dengan bermacam2
alat rahasia dalam makam ini. Hampir separuh hidup, kuabdikan dalam ilmu
bangunan. Walaupun tak termasuk ahli, tetapi aku mempunyai pengetahuan juga tentang
ilmu lain. Tetapi jika tak membuktikan sandiri keadaan makam ini dan hanya menurut
lukisan peta pada kotak pedang itu, tentu sukar untuk menemukan alat2 rahasia makam
ini!”
Han Ping tertawa dingin, “Kalau begitu, hanya Nyo lo- pohcu sendiri saja yang mampu
mengetahui rahasia peta pada kotak pedang itu? “
Nyo Bun-giau tertawa, “Ini sukar dikata. Jika aku tak mampu, mungkin di dunia sukar
dicari ahli yang dapat menerangkan rahasia peta itu!”
Sejenak bethenti, ia melanjutkan pula, “Walau pun sukar memperhitungkan keadaan
peta itu, tetapi kalau bisa membuktikan dengan penyelidikan sendiri, tentu akhirnya dapat
juga menemukan letak alat rahasia di makam ini….” tiba-tiba ia hentikan kata-katanya.
Tertegun sesaat, Han Ping berkata, “Betapa pun halnya, tetapi kotak pedang itu adalah
milikku. Sekalipun tak dapat keluar dari makam ini, kotak itu tetap kuminta!”
Nyo Bun-giau tersenyum, “Makam ini penuh dengan alat’ dan pekakas rahasia yang
berbahaya. Sekali kita tak hati-hati, alat rahasia itu tentu akan mencelakai kita. Pikirku,
begitu keluar dari makam ini baru akan kukembalikan kotak pedang itu kepadamu!”
“Apa bedanya kalau menyarahkan kembali kotak pedang itu lebih dulu??? “ seru
Pedang-perak Ih Seng dengan tertawa sinis.
“Benar, harap Nyo lo-pohcu suka mengembalikan kotak itu dulu,” seru Han Ping.
Nyo Bun-giau memang seorang rubah yang licin. Melihat galagat, ia tak mau ngotot.
Diambilnya kotak pedang. Diam-diam ia kerahkan tenaga- dalam untuk melekatkan
permukaan kotak yang berlukiskan peta itu ke kulitnya. Kemudian ia menekan kotak itu
untuk merusakkan sebagian lukisannya, lalu berkata dengan ramah, “Kalau saudara
menghendaki kotak peang ini, akupun dengan senang akan menyerahkan!”
Setelah menerima kotak, Han Ping segera menyarungkan pedang pusakanya. Lalu ia
menyisih ke pinggir pintu, ujarnya, “Aku bertindak menurut garis yang terang. Karena tak
mengetahui pertikaian antara Nyo lo-pohcu dengan saudara Kim, maka aku tak suka ikut
campur….”
Ia berpaling kepada Kim Loji, “Tindakanmu mencuri kotak pedangku ini, untuk
sementara hanya kucatat saja. Kelak kita perhitungkan lagi. Saudara Ih, mari kita pergi!”
“Tunggu!” tiba-tiba Kim Loji menggeliat duduk. “Apa maksudmu?”
“Makam ini penuh dengan alat-alat rahasia. Kecuali Nyo Bun-giau yang menunjuk jalan,
tak mungkin kita bisa keluar dari sini….” seru Kim Loji seraya memandang ke arah 4 buah
peti yang terisi harta karun itu.
Kuatir Kim Loji membocorkan isi peti itu, buru-buru Nyo Bun-giau berseru, “Bertemu
berarti berjodoh. Kalau masih percaya padaku, aku tentu senang sekali untuk
menunjukkan jalan. Tetapi tampaknya makam ini penuh dengan alat rahasia, terpaksa
akan mohon pinjam kotak pedang saudara Ji lagi!”
Han Ping menyadari memang makam itu penuh dengan rintangan yang berbahaya.
Kecuali alat-alat rahasia yang membawa maut, pun terdapat ular dan binatang yang
beracun lainnya.
“Kalau begitu kotak pedangku ini harus kuserahkan kembali kepada saudara Nyo?” kata
Han ping.
“Ahhh, tak perlu,” Nyo Bun-giau tertawa, “Nanti saja apabila menghadapi kesulitan baru
aku pinjam sebentar…. “ habis berkata ia terus melangkah dulu. Dia kuatir Kim Loji akan
membuka rahasia peti harta itu maka cepat-cepat ia melangkah keluar.
Han Ping segera mengikuti, lalu Ih Seng sambil memapah Kim Loji.
Diam-diam Nyo Bun-giau telah mencatat dalam hati keadaan jalan2 di makam itu.
Tetapi ia pura-pura seperti menghadapi kesulitan. Setiap kali berjalan beberapa saat, ia
tentu meminjam kotak pedang dari Han Ping. Setelah memeriksa sebentar baru dia
mencari alat rahasia dan berhasil membuka pintunya. Hingga sepertanak nasi lamanya,
baru mereka dapat melintasi 5 buah ruang batu dan tiba di terowongan.
Saat itu teganglah hati Nyo Bun-giau. Karena setelah menyusuri terowongan itu,
lenyaplah harapannya untuk menutup ketiga orang itu dalam makam.
Ia menghadapi dua kemungkinan yang penuh resiko. Jika sampai salah
memperhitungkan alat rahasia dalam terowongan itu, atau kalau alat rahasia macet, ia
tentu akan dikeroyok ketiga orang itu. Walaupun belum tentu kalah tetapi sekurangkurangnya
tentu menghambat waktunya untuk menerobos keluar dari makam. Dan kalau
perhitungannya benar, maka rahasia dalam terowongan itu pasti akan bekerja. Ah, ia dan
ketiga orang yang handak disingkirkan itu, tentu akan tertutup dalam makam itu untuk
selama-lamanya.
Tetapi dia seorang jago tua yang masak perhitungannya. Sebelum yakin berhasil, ia tak
mau sembarangan bertindak. Maka sampai hampir men-dekati ujung terowongan, belum
juga ia turun tangan.
Setelah melalui dua buah tikungan, mereka menghadapi tiga buah ruang batu. Han
Ping kerutkan alis, katanya, “Ujung terowongan sudah habis, mengapa belum tampak….”
Nyo Ban-giau batuk-batuk, sahutnya, “Setelah keluar dari pintu terowongan ini, di atas
tiga buah ruang batu. Ah, tetapi di sebelah mana, perlu kuperiksa lagi baru dapat
menentukan!”
“Tak perlu memeriksa lagi. Jika pada ketiga ruang batu itu benar ada pintunya, tentu di
tembok sebelah muka!” kara Ih Seng.
“Belum tentu itu,” jawab Nyo Bun-giau yang se-konyong-konyong meluncur ke tembok
sebelah kiri dan menampar. Karena lengan bajunya agak gerombyongan dan dilakukan
dengan cepat, tamparan itu tak diketahui orang. Apalagi setelah menampar ia cepat
mundur lagi beberapa langkah. Dan cepat mengalingi pandangan mata Han Ping.
Seketika terdengar bunyi berderak-derak dan tempat yang mereka tempati itu mulai
bergerak. Buru-buru Kim Loji membisiki Han Ping, “Harap saudara Ji memperhatikan dia….
“
Tiba-tiba Han Ping maju selangkah dan secepat kilat melekatkan pedang Pemutus
Asmara di leher Nyo Bun-giau. Nyo Bun-giau menggigil tetapi ia tetap bersikap tenang.
Tampa berpaling ia menegur, “Apakah maksud saudara?”
“Harap Nyo lo-pohcu jangan mengandung pikiran yang jahat. Kalau ada seorangpun
yang tak dapat keluar dari sini, jangan harap Nyo lopohcu dapat keluar dari sini juga!”
Nyo Bun-giau batuk-batuk kecil, sahutnya, “Kalau aku mempunyai pikiran untuk
mencelakai kalian, masakah kalian dapat mancapai terowongan ini? “
“Kalau saudara Nyo tiada kotak pedang itu, mungkin saudara tak dapat menemukan
terowongan itu,” seru Ih Seng.
Nyo Bun-giau tersenyum, “Benar…. “ tetapi diam-diam ia memaki orang she Ih itu,
“Huh, bangsat, engkau menganggap aku ini orang apa? Hm, gambar peta pada kotak
pedang itu telah kurusakkan, jangan harap kalian dapat menggunakan peta itu lagi!”
Bunyi derak berhenti dan terbukalah sebuah pintu yang lebarnya hampir satu meter.
“Kalau masuk ke pintu itu, harap cepat-cepat saja. Terowongan di belakang pintu itu
mempunyai batas waktu tertentu. Kalau terlambat, terowongan itu akan menutup lagi!”
Habis berkata ia terus mendahului masuk.
Dengan menghunus pedang Pemutus Asmara, Han Ping tetap mengikati di belakang
Nyo Bun-giau. Sedang Ih Seng dan Kim Loji berada dua meter di belakang Han Ping.
Teroworgan gelap sekali tetapi datar dan rata. Dinding terowongan terbuat dari batu
hitam yang lembab dan mengeluarkan hawa memuakkan. Suatu pertanda bahwa lorong
terowongan itu tak pernah dijelajahi manusia.
Kira-kira belasan tombak jauhnya, mereka mulai mendaki sebuah titian tingkat tujuh.
Ketika tiba di ujung terakhir, Nyo Bun-giau mendorongkan tangannya. Terdengar suara
berderak dan sebuah papan batu terangkat naik. Dengan cepat Nyo Bun-giau terus
menerobos masuk Han Ping pun cepat-cepat mengikuti.
Ternyata mereka berada di sebuah peti mati batu yang istimewa buatannya. Tingginya
seperti orang, lebar kira-kira setengah meter. Dindingnya mengkilap halus, penuh dengan
ukiran setan.
Diam-diam Han Ping menghela napas. Ia merasa, kalau sebelumnya dapat menemukan
tempat sepelik itu, tentulah ia sudah dapat menyelesaikan beberapa pelajaran dari kitab
Tat-mo ih kin-keng.
Ketika Nyo Bun-giau mendorong peti batu itu, dinding peti berputar dan merekah
sebuah pintu miring.
Ketika memasuki pintu itu kembali mereka menyusur terowongan. Bebarapa tombak
jauhnya, terowongan itu naik kaatas, kira-kira menanjak lagi sampai dua tiga meter. Di
sebelah alas tampak sebuah peti baru lagi. Dan sekali mendorong, Nyo Bun-giau dapat
membuka peti itu. Kini mereka merasa silau oleh sinar matahari.
Dengan menghubungkan peti-mati kayu pada batu nisan, diperolehlah sebuah pintu
rahasia yang sukar diketahui orang. Sungguh hebat sekali Ko Tok lojin itu.” Nyo Bun-giau
memuji.
Han Ping loncat ke atas lalu membuka peti-mati kayu dan berseru kepada kawan2nya,
“Lekas keluar!”
Nyo Bun-giau loncat keluar. Ih Seng dengan mendukung Kim Lojipun segera
mengakuti. Brak, begitu dilepaskan, peti-mati itu menutup pula. Sedikitpun orang tak
mengira bahwa peti mati dan batu nisan itu merupakan sebuah pintu rahasia yang
istimewa.
Angin musim gugur berhembus. Daun kuning berhamburan memasuki kuburan. Kini
mereka berada baberapa puluh tombak jauhnya dari makam Ko Tok Lojin.
Tiba-tiba Kim Loji mendengus. lalu memaki-maki, “Paderi bisa melarikan diri tetapi
gerejanya tetap dapat lari. Kim Loji jika tak dapat mengobrak-abrik sarang Nyo ke poh,
bersumpah tak mau jadi manusia lagi.”
Kiranya setelah keluar dari makam seram itu, selagi sekalian orang tengah memandang
dengan penuh rasa seram pada sekeliling tanah kuburan itu, diam-diam Nyo Bun-giau
telah menyelinap. Ketika Kim Loji berpaling, ternyata orang she Nyo itu sudah jauh
berpuluh-puluh tombak.
“Hm, di antara Sam koh dan Sam poh, memang tiada manusia yang baik,” Ih Seng
memberi tanggapan.
Kim Loji masih menyumpahi panjang pendek. Sejak apa yang disebut It-kiong (sebuah
istana), Ji-koh (Dua Lembah) dan Sam-poh (Tiga marga) muncul, rusaklah kepercayaan
dunia persilatan. Padahal orang persilatan paling memegang teguh Kepercayaan.
Kemudian sambil memandang lengannya yang kutung sebelah, Kim Loji menyatakan,
“Jika tiada mendapat bantuan kalian, saat ini aku tentu sudah menjadi setan penunggu
makam ini. Bukannya aku takut mati tetapi yang penting, rahasia makam itu tentu akan
terpendam selama-lamanya…..”
“Saudara Kim luas pengalaman dan luas pergaulan. Tetapi mengapa saudara memilih
mengajak Nyo Bun-giau?” tanya Ih Seng.
“Dalam kalangan Sam-poh dia terkenal sebagai seorang ahli bangunan yang jempol.
Pula biasanya jujur dan setia. Siapa tahu ternyata dia seekor harimau berselimut domba .
…. .” tiba-tiba ia teringat akan semua pengalaman getir yang dialaminya selama masuk ke
dalam makam. Karena malu ia hentikan kata-katanya.
Mengingat hari masih pagi sekali maka Ih Seng mengajak beristirahat di daerah
kuburan situ. Karena lukanya masih nyeri sekali, Kim Loji setuju. Ia mendahului menuju ke
bawah sebatang pohon Pek-yang. Di situ ia duduk bersemedhi menjalankan pernapasan
dan tenaga-dalam.
Sesungguhnya Han Ping tak senang terhadap Kim Loji. Tetapi karena Ih Seng
tampaknya cocok dengan orang itu, terpaksa ia ikut duduk di belakang mereka.
Selama berada dalam makam tadi, ia telah kerahkan seluruh tenaga-murni untuk
menahan lukanya, Tetapi kini setelah beristirahat, hawa-murni yang menyalur ke seluruh
uratnadinya tenang kembali. Seketika segumpal darah panas meluap keluar dari mulut.
Huak…. ia muntah darah lalu rubuh tak ingat diri lagi.
Buru-buru Ih Seng menolongnya, “Saudara Kim, engkau…..”
Kim Loji tertawa getir, sahutnya, “Pukulan maut dari Nyo Bun-giau telah
menghancurkan urat2 jantungku. Dikuatirkan aku tak dapat meninggalkan tempat ini
dengan selamat…….”
Ia memandang sekeliling penjuru kuburan, katanya pula, “Jika kalian mempunyai
urusan, silahkan. Aku mungkin tak kuat bertahan lagi!”
Karena tergerak mendengar kata-kata Kim Loji yang merawankan itu, Han Ping segera
menghampiri, katanya, “Harap saudara Kim duduk yang baik biarlah kusalurkan hawa
murniku ke dalam tubuhmu. Asal engkau mampu mengumpul hawamurni yang terpencar
itu, engkau tentu selamat!”
Tiba-tiba Kim Loji menengadahkan kepala memandang cakrawala lalu tertawa nyaring.
Tetapi karena napasnya tak cukup, setengah jalan ia berhenti tertawa.
Han Ping segera duduk di belakang Kim Loji dan membisiki Ih Seng, “Orang itu
menderita luka dalam yang parah sekali. Hanya berkat tenaga-dalamnya yang kokoh ia
masih kuat bertahan. Tetapi ia telah melanggar peraturan sehingga hawa-nurninya
terpencar. Jika tak lekas diusahakan untuk mengumpulkan hawa-murni itu lagi, jiwanya
pasti terancam. ..” habis berkata ia terus menyanggah tubuh Kim Loji.
Kedengaran Kim Loji mengigau seorang diri, “Arwah saudara Ing di alam baka…… tentu
mengetahui…. maafkan aku tak mampu membalaskan sakit hatimu…
Han Ping tertegun dan tak jadi menyalurkan tenaga-murninya. Tetapi setelah berkata
itu, napas Kim Loji terengah-engah dan tak sanggup melanjutkan kata-katanya dengan
jelas, Han Ping tersadar. Cepat ia lekatkan tangannya ke punggung Kim Loji dan mulai
menyalurkan tenaga-dalamnya.
Berkat bantuan pemuda itu, dapatlah hawa-murni dalam tubuh Kim Loji yang terpencar
itu mulai berpusat jadi satu lagi. Segera ia dapat sadarkan diri dan terus duduk
menyalurkan napas. Setelah muntahkan darah lagi, ia menghela napas longgar dan
membuka mata lalu menghaturkan terima kasih kepada Han Ping.
“Adakala yang engkau sebut sebagai saudara tadi orang she Ji?” serentak Han Ping
bertanya.
“Kapankah aku mengatakan begitu……” tiba-tiba wajah Kim Loji berobah.
“Benar, memang tadi saudara Kim telah mengatakan begitu. Aku juga mendengar
sendiri!” seru Ih Seng.
Han Ping suruh Kim Loji beristirahat dulu dan jangan banyak bicara, Kim Loji menurut.
Diam-diam ia menimang. Baik memberitahukan kandungan hatinya selama ini atau tidak.
Tak berapa lama mataharipun muncul dan menyinari ketiga orang itu. Sikap ketiga orang
itu berbeda-beda. Han Ping tampak gelisah seperti menunggu sesuatu.
Kim Loji kerutkan dahi seperti merenungkan sesuatu hal yang sulit. Sedang Kipas-besipedang-
perak Ih Sang keliarkan pandang matanya ke sekeliling penjuru.
Kira-kira sepertanak nasi lamanya, barulah Kim Loji membuka mata dan memandang
Han Ping, ujarnya. “Walaupun saudara telah melepaskan budi besar kepadaku, tetapi soal
itu adalah suatu rahasia besar dalam hidupku. Sungguh sukar untuk memberitahukan
pada lain orang.”
Ia berhenti sejenak lalu, “Namun demi membalas budi saudara ini, hendak kuceritakan
tentang sebuah peristiwa besar yang menggetarkan dunia persilatan.”
Han Ping gelengkan kepala, “Samasekali aku takkan mendasarkan pembalasan budi
untuk mendesak lo-cianpwe. Hanya karena tadi lo-cianpwe omong sendiri…..” tiba-tiba
pemuda itu menghela napas dan berkata lagi, “Kalau lo-cianpwe tak suka mengatakan, tak
perlulah. Pertemuan kita kali ini juga termasuk jodoh. Berdasarkan atas hal-hal ini, aku tak
mau menarik panjang lagi soal kotak pedang itu!”
Kim Loji tertawa lepas, “Tigapuluh tahun yang lalu, watakkupun serupa dengan siauenghiong
sekarang ini. Penuh dengan sifat gagah perwira, selalu memegang kata-kata.
Tetapi duapuluk tahun belakangan ini, aku telah berobah. Kulihat Prilaku jujur dalam dunia
persilatan sudah lenyap, Kepercayaan rusak. Masing2 orang main siasat. Selain mengadu
kesaktian juga menggunakan tipu mauslihat. Tanpa terasa akupun telah terhinggap
penyakit itu dan perangaiku menjadi buruk. Tetapi saat ini setelah berhadapan dengan
saudara, hatiku malu sendiri ….”
“Ah, janganlah lo-cianpwe keliwat menyanjung sedemikian rupa. Aku sungguh tak
berani menerima pujian semacam itu. Maaf, aku hendak mobon diri,” habis berkata Han
Ping memberi hormat terus berputar diri melangkah pergi.
Cepat-cepat Ih Seng loncat seraya berteriak, “Hai, hendak kemana saudara Ji ini? Aku
yang telah menerima budimu, belum….”
Han Ping berpaling tertawa, “Dalam dunia persilatan sudah jamak apabila saling tolong
menolong. Tak perlu menganggap hal itu suatu budi.”
“Aku kagum sekali akan pribadimu. Aku bersedia menjadi pelayanmu……..”
oooo000oooooo
Tiga pendekar Lam-gak.
“Ah, mana bisa,” Han Ping tertawa nyaring, “saudara Ih adalah pemimpin dari dunia
Rimba Hijau empat propinsi. Masakan Han Ping pemuda yang tak ternama berani berlaku
kurang ajar kepadanamu….”
“Jika engkau mau menerima aku sebagai pengikutmu, sekalipun diangkat menjadi
pemimpin Rimba Hijau dunia, aku tak mau menerima!”
“Aku seorang kelana sebatang kara. Tiada mempunyai tempat meneduh tertentu.
Maksud saudara Ih yang mulia, kuhaturkan terima kasih.”
Ih Seng tertawa gelak2, “Hampir separo hidupku berkecimpung dalam dunia persilatan,
aku tak mendapat hasil apa-apa. Tetapi aku faham tentang keadaan setiap tempat dan
gunung. Jika tak menolak, aku bersedia menjadi penunjuk jalan saudara. Akan kuantar
saudara untuk pesiar ke seluruh tempat yang indah alamnya.”
Han Ping menghela napas hambar, ujarnya, “Terima kasih atas budi kecintaan saudara
Ih. Tetapi sesungguhnya aku mempunyai kesulitan untuk menceritakan. Kelak apabila soal
budi dan dendam itu sudah selesai, aku tentu akan menerima ajakan saudara untuk pesiar
ke seluruh penjuru negeri .. . Habis berkata ia terus berputar diri dan ayunkan langkah.
“Saudara Ji, harap suka berhenti dulu,” tiba-tiba Kim Loji berseru, “Aku hendak mohon
tanya sebuah hal…..!”
Ia terus lari memburu. Han Ping terpaksa berpaling den menanyakan maksud orang she
Kim itu.
“Bukankah saudara orang the Ji?” sepasang mata Kim Loji melekat pada wajah pemuda
itu. Han Ping mengiakan.
Setelah beberapa saat meneliti wajah Han Ping, Kim Loji berkata, “Apakah ayah dan
ibumu masih hidup?”
Pertanyaan itu bagaikan sembilu menyayat ulu hati Han Ping. Seketika bercucuranlah
airmatanya, “Terus terang, ayahku sudah meninggal sedang ibu belum ketahuan
nasibnya.”
Kim Loji termenung sejenak, lalu bertanya pula, “Apakah ayahmu bernama Ji Ing?”
“Benar,” sahut Han Ping, “ketika tak sadar tadi, Lo-cianpwe memang mengingau nama
ayahku.”
“Di dunia banyak orang yang bernama Ji Ing. Mengapa engkau berani menentukan
bahwa yang kuigaukan tadi ayahmu?”
Han Ping tertegun tak dapat menjawab. Beberapa saat kemudian baru ia berkata,
“Memang aku tak berani menetapkan. Tetapi pernah kudengar guruku menuturkan sedikit
tentang diri ayah. Walaupun ketika itu aku masih kecil dan tak mengerti jelas, tetapi
sebagian besar aku masih dapat mengingat ……”
“Siapakah gurumu?”
“Guruku bernama Nio Siu, bersahabat baik dengan ayah. Jika tiada ditolong guru,
mungkin aku sudah mati dulu2. Ah, tetapi karena menolong diriku itu, guruku telah
dibunuh prang. Yang paling menyakitkan hatiku, putera satu2nya dari gurukupun dibunuh
karena dikira diriku.”
Mendengar sampai disitu, bercucuranlah air-mata Kim Loji. Katanya dengan nada
rawan, “Ka.. lau begitu engkau bernar-benar tetesan darah Ih-heng…. Ah, nak….
ketahuilah bahwa di dunia ini masih terdapat seorang manusia yang berusaha hendak
membalas sakit hati orangtuamu. Tak peduli dihina orang dan segala penderitaan, dia
telah mengembara di dunia persilatan. Demi melaksanakan tugas itu, dia telah melakukan
hal-hal yang sesungguhnya bertentangan dengan hati nuraninya. Oleh karena itu dia
dicemooh dan dihina oleh tokoh-tokoh partai persilatan …….”
Walaupun sudah berusia setengah abad, tetapi di kala bercerita peristiwa yang sedih,
suara Kim Lojipun terisak-isak.
Han Ping tak tahu bagaimana harus berkata. la hanya tertegun diam.
Setelah menangis beberapa saat, tampaknya perasaan Kim Loji sudah longgar.
Sikapnyapun tenang kembali. Dipandangnya wajah Han Ping lekat-lekat dan berkata
seorang diri, “Belasan tahun tak berjumpa dengan Ih-heng suami isteri, hari ini aku seolah2
melihat bayangan mereka di wajahmu….”
Kim Loji mengangkat kepala memandang ke langit dan komat kamit berdoa, “Oh, Allah,
terima kasih. Ih-heng mempunyai seorang putera yang begini gagah. Percayalah, sakithati
toako tentu dapat terhimpas. Harap Ih-heng mengaso di alam baka dengan tenang.
Melihat sikap Kim Loji yang begitu mesra kepadanya, tergeraklah hati Han Ping. Ia
melangkah maju dua tindak dan memeluk Kim Loji, “Bagaimana lo-cianpwe dengan
ayahku itu?”
Kim Loji ulurkan tangannya yang tinggal sebelah itu untuk membelai kepala Han Ping,
ujarnya, “Aku dengan suhumu Nio Siu itu pada waktu itu telah mengangkat saudara
dengan ayah mu di gunung Lam-gak. Duapuluh tahun berselang, durna persilatan
menggelari kami bertiga sebagai Tiga Pendekar Lam-gak. Ayahmu yang paling tua, lalu
aku dan terakhir Nio Siu….”
Tanpa ragu2 lagi Han Ping segera berlutut memberi hormat kepada Kim Loji, “Harap
paman maafkau kekurang-ajaranku yang telah menghina paman dalam taman tadi.”
Airmata Kim Loji bercucuran pula. Diangkatnya Han Ping bangun, katanya, “Nak,
apakah pamanmu ketiga Nio Siu itu pernah memberi tahu padamu tentang kematian
orangtuamu?”
Han Ping menghela napas, sahutnya, “Belum pernah. Beliau hanya mengatakan bahwa
kedua orangtuaku sudah meninggal. Dia berjanji hendak mengasuhku dengan segenap
tenaga. Dan mengatakan, kelak apabila aku sudah menyelesaikan ilmu pelajaran silat,
suhu akan mengantarkan aku kepada seorang sakti untuk menuntut ilmu kesaktian yang
lebih tinggi ….”
“Kasihan Sam-te. Walaupun telah mencurahkan segenap tenaganya tetapi akhirnya tak
dapat membalas budi kebaikan toako. Entah apakah gurumu pernah membicarakan
tentang diriku juga.”
Han Ping mengatakan belum pernah.
“Sam-te memang seorang yang berhati emas. Walaupun membenci aku tetapi dia tak
mau mencemarkan namaku di hadapan orang ….”
“Sekalipun guru belum pernah menceritakan tentang kematian ayahbundaku tetapi dari
ucapannya setiap hari, dapatlah kuraba sedikit jejaknya,” kata Han Ping, “sudah beberapa
kali kuberusaha untuk mendesak suhu tetapi setiap kali dia tentu menasehati aku supaya
tak memikir hal itu dulu dan melarang aku bertanya lebih lanjut ……….”
“Apakah yang membunuh orangtuaku itu Sin-ciu-it-kun Ih Thian Heng?” tanya Han
Ping.
Mendengar itu menggigillah Ih Seng. Buru-buru ia menyelutuk, “Apa? Ih Thian-heng
pendekar dari bumi Sin-ciu itu seorang yang terhormat, masakan dia akan melakukan
perbuatan sehina itu?”
Tetapi serentak ia hentikan kata-katanya karena menganggap persoalan itu amat
gawat.
Han Ping berpaling ke arah Ih Seng, katanya, “Ih Thian-seng seorang durjana yang
berkedok ksatrya. Dengan mata kepala sendiri kulihat dia membunuh guru dan suhengku.
Masakan dia bukan Ih Thian-seng yang aseli!”
Sekalipun Ih Seng tak ingin berdebat dengan Han Ping tetapi karena ia merasa bahwa
Ih Thianheng itu memang seorang tokoh yang sangat diindahkan oleh kaum persilatan,
tanpa disadari Ih Seng gelengkan kepala, “Sudah tigapuluh tahun lebih Ih tayhiap telah
termasyhur di seluruh Kanglam-Kangpak, Kwan-gwa (luar perbatasan) dan Pian-hong
(daerah negeri tetangga). Baik golongan Putih maupun Hitam semua mengindahkan
padanya. Berpuluh-puluh tahun ini, tak pernah terdengar ia melakukan sesuatu yang
cemar….”
“Tetapi saudara Ih hanya mengukur dari lahiriyah dan tak mengetahui batinnya yang
sebenarnya . .. “ sahut Kim Loji.
“Sekalipun aku kena dikelabuhi oleh perilaku Ih Thian-heng yang pura2 baik, tetapi
masakan seluruh kaum persilatan juga tak punya telinga dan mata?”
Mendengar Ih Seng ngotot membela Ih Thian-seng, marahlah Han Ping, bentaknya,
“Karena saudara begitu mati-matian menjunjung tinggi Ih Thian-seng, akupun tak berani
menerima persahahatan saudara. Silakan saja!”
Sesungguhnya Ih Seng tak mau berbantah dengan anak muda itu. Tetapi dalam hati ia
memang tak puas karena Ih Thian-seng dihina. Setelah merenung beberapa saat,
berkatalah ia, “Budi pertolongan saudara Ji, walaupun mati belum himpas kubalas. Aku
rela mengorbanka jiwa raga dan kedudukan sebagai pemimpin Rimba Hijau dari empat
propinsi agar dapat mengikuti saudara. Itu sudah menjadi tekadku. Tetapi terhadap diri Ih
Thian-seng, betapapun aku tak berani mengatakan apa-apa. Karena dengan mata kepala
sendiri kutahu watak dan pribadinya yang lurus dan jujur. Jika hal itu bukan suatu fitnah
tentulah karena kesalah fahaman yang sengaja ditimbulkan orang!”
Dengan agak gentar Kim Loji berkata, “Thian-seng seorang yang luar biasa cerdiknya.
Dalam melakukan segala tindakan tentu dipikir dan direncanakan semasak-masakaya.
Atau meminjam tangan orang atau bertindak sendiri, selalu dilakukan dengan cermat
sekali. Tak mungkin meninggalkan bekas yang dapat menimbulkan kecurigaan orang.
Jangankan saudara Ih, sekalipun dalam dunia persilatan, sukar mencari orang yang dapat
mengetahui rahasianya. Sudah bertahun-tahun aku sebagai anak buahnya. Banyak hal
yang telah kulakukan untuknya. Jika tidak mengalami dan mengetahui sendiri, memang
tak mungkin mempercayai hal itu.”
“Bicara tiada buktinya, Apakah saudara Kim mempunyai cara agar aku dapat
mempercayai?” selutuk Ih Seng.
“Kita sedang bicara sendiri, siapa suruh engkau banyak mulut?” tegur Han Ping,
“silahkan pergi sebelum aku kehilangan kesabaran!”
“Saudara Ji telah menolong jiwaku, jika saudara hendak membunuh lagi, itu memang
sudah selayaknya,” sahut Ih Seng.
Han Ping loncat dengan marah. Sambil mengangkat tinju ia membentak, “Hmmm,
engkau kira aku takut membunuhmu?”
Kipas-besi-pedang-perak Ih Seng tertawa, “Aku tetap mengagumi dan mengindahkan
saudara Ji. Matipun aku tak menyesal. Tetapi kuharap hendaknya saudara jangan
mengikat permusuhan dengan Ih tayhiap…..”
Heran Han Ping dibuatnya melihat sikap Ih Seng yang walaupun mati tetap membela
Sin-ciuit-kun, Ih Thian-heng.
“Apakah saudara Ih pernah menerima budi dari Ih Thian-heng?” seru Kim Loji.
Ih Seng gelengkan kepala, “Walaupun hanya satu kali saja bertemu dengan Ih tayhiap,
tetapi tak pernah menerima budi apa-apa, namun….”
“Namun bagaimana, silahkan bilang,” desak Kim Loji.
Ih Seng tertawa, “Namun dengan mata kepala sendiri aku pernah menyaksikan
bagaimana telah melerai sebuah perselisihan. Bukan saja lapang dan ramah tamah
tetapipun juga berpijak di atas Kebenaran dan Keadilan. Tidak condong kesana, tidak
cenderung kesini. Selurult hadirin sama tunduk dengan puas dan patuh mendengar
perintahnya….” ia berhenti sejenak lalu melanjutkan pula, “Walaupun memiliki kepandaian
sakti tetapi dia tak menggunakan kekerasan untuk menundukkan orang. Melainkan
dengan kebijaksanaan dan kata-kata yang tegas sehingga menimbulkan rasa kagum
sekalian orang. Jika kelak saudara Ji dapat berternu dengannya tentu mengakui bahwa
kata-kataku ini bukanlah omong kosong!”
Kim Loji tiba-tiba menghela napas pelahan, serunya, “Nak, jangan memukulnya.
Omongannya memang bukan bualan kosong….”
Han Ping agak tertegun Ia menurunkan kembali tinjunya. “Dengan kepala sendiri
kulihat Sin-ciu-it-kun Ih Thian-heng telah membunuh guruku. Apakah hal itu terdapat
pemalsuan…??”
Kim Loji gelengkan kepala tertawa, “Kepandaian Sam-te tidak rendah. Tidak mudah
bagi seorang tokoh persilatan untuk membunuhnya.”
Ia berhenti lalu melanjutkan, “Yang dilihat saudara Ih hanya lahirnya saja maka tak
dapat disesalkan kalau dia begitu mati2an membelanya. Memang aku, Ing-heng dan Samte
pada pertama kali bertemu dengannya juga mempunyai perasaan kagum sehingga
bersedia diperalat. Kemudian setelah bergaul beberapa tahun, barulah menyadari bahwa
dia seorang julig yang amat berbahaya. Ah, di dunia memang banyak sekali manusia2
durjana, tetapi tak mungkin dapat menyamai kelihayan Ih Thian-heng. Dia cerdas dan
cermat sekali. Setiap bertindak tentu berhasil karena sebelumnya tentu dirancang
secermat-cermatnya dan sama sekali tak meninggalkan jejak….”
Ih Seng kerutkan dahi, ujarnya, “Ah, ucapan saudara Kim, benar-benar sukar
meyakinkan orang. Maaf, aku terpaksa mohon diri saja.”
Karena tak suka mendengar pembicaraan semacam itu lagi, ia terus berputar diri
hendak pergi.
“Nanti dulu, saudara Ih. Aku masih hendak bicara sedikit,” seru Kim Loji.
“Watakku lebih baik mati daripada menyerah. Kalau saudara Kim hendak membunuh
aku, aku tetap tak mau mendukung saudara,” sahut Ih Seng.
Kim Loji menghela napas lagi, “Kalau menuruti perbuatanku selama beberapa tahun
terakhir ini, memang hal itu pasti kulakukan. Tetapi ini aku sudah menjadi seorang
manusia baru maka aku hanya akan membeberkan perbuatan2 jahat dari Ih Thian-heng
saja agar saudara Ih suka mendengarkan…..”
Kemudian Kim Loji memandang sejenak ke arah Han Ping lalu beralih memandang ke
langit baru melanjutkan kata-katanya, “Hari ini berantung dapat bertemu dengan anak
Ping. Tugas untuk membalas dendam itu, seluruhnya terletak di bahu anak Ping. Sekalipun
kelak apabila mendengar, Sin-ciu-it-kun Ih Thian-heng akan mencincang tubuhku, aku
tetap puas!”
Kata-kata itu seperti ditujukan kepada Han Ping pun kepada Ih Seng dan seperti juga ia
sedang berkata seorang diri. Sikap Kim Loji memancarkan rasa rawan dan ketakutan. Seolah2
setelah membocorkan rahasia itu, Sin-ciu-it-kun pasti akan mencarinya.
Melihat sikap Kim Loji yang gelisah itu, Ih Seng merasa heran. Pikirnya, “Orang
menyohorkan Kim Loji itu pandai bersilat lidah dan luas pergaulannya. Maka pada setiap
tempat dan saat, banyak orang yang suka mengalah kepadanya. Tetapi mengapa saat ini
dia tampak begitu ketakutan sekali?”
“Saudara Ih dan anak Ping, mari kita cari tempat yang sepi untuk bicara. Akan
kuceritakan dengan jelas semua peristiwa yang menyangkut pembunuhan Ih-heng
kepadamu!” ia terus berputar diri dan mendahului berjalan ke muka.
Han Ping dan Ih Seng segera mengikutinya. Tetapi diam-diam Ih Seng memaki orang
she Kim yang dianggapnya banyak petingkah karena bukankah tanah pekuburan itu sudah
cukup sunyi?
Setelah mencapai puncak, buru-buru Kim Loji duduk bersemedhi memulangkan tenaga.
Ia baru saja sembuh, berjalan tak berapa lama ia sudah merasa letih sekali.
Han Ping dan Ih Seng pun duduk di samping Kim Loji. Memandang ke sekeliling
penjuru, dapatlah ia menikmati pemandangan alam sampai beberapa li jauhnya. Ternyata
puncak di situ. merupakan puncak tunggal yang tidak berhuhungan dengan puncak
pegunungan lain.
Diam-diam Han Ping heran, “Gunung ini jarang pepohonan sehingga dapat melihat
keadaan empat-penjuru. Mengapa paman mengatakan tempat ini sunyi.”
Beberapa saat kemudian Kim Loji membuka mata, ujarnya, “Saudara Ih dan anak Ping.
Kalian tentu heran mengapa aku memilih tempat ini. Dari empat penjuru orang mudah
mengetahui kehadiran kita di sini.”
“Maaf, paman, pandanganku picik hingga tak mengerti maksud paman. Harap paman
suka memberi keterangan,” kata Han Ping.
Kim Loji menghela napas, katanya, “Lahiriyah Sin-ciu-it-kun Ih Thian-heng memang
berlapang dada. Tetapi diam-diam ia mempersiapkan anakbuahnya untuk mendengardengar
berita. Maka walaupun jarang keluar ke dunia persilatan, ia tetap dapat
mengetahui tentang gerak gerik dunia persilatan. Diam-diam ia mengirim anakbuahnya
kemana-mana. Dan anakhuah itu dipilihnya dengan cermat sekali serta secara rahasia.
Kecuali dia sendiri, tak mungkin terdapat orang kedua yang tahu. Memang yang tak kenal
tentu menganggap Ih Thian-heng itu seorang ramah tamah dan berbudi luhur. Tetapi
orang yang tahu, menganggap dia seorang durjana yang ganas sekali sehingga orang
tentu ketakutan ….”
Kembali Ih Seng kerutkan alis menyahut, “Saudara Kim hendaknya jangan memfitnah
orang . . tiba-tiba ia hentikan kata-katanya karena melihat wajah Han Ping membengis
marah.
“Karena sudah lama berkecimpung dalam dunia persilatan, saudara Ih tentu tahu siapa
pendekar dari gunung Lam-gak itu,” tanya Kim Loji.
Sejenak merenung, menyahutlah Ih Seng, “Mengenai ketiga tokoh dari gunung Lamgak
itu, aku hanya mendengar dari orang. Sayang belum beruntung untuk menemui
mereka bertiga!”
“Dikuatirkan saudara tak mungkin berjumpa lagi. Ketiga pendekar Lam-gak itu sudah
dua orang yang meninggal. Hanya aku seorang yang masih hidup…. “ kata Kim Loji
dengan mengucurkan beberapa tetes airmata.
Melihat sikap yang ber-sungguh-sungguh dari Kim Loji itu, diam-diam mulailah Ih Seng
menaruh kepercayaan.
“Harap saudara Kim suka menuturkan apa sebabnya ketiga Pendekar gunung Lam-gak
itu sampai dibunuh Ih Thian-heng. Jika benar dengan kenyataannya, akan kusiarkan
perbuatannya jahat itu ke dunia persilatan ….”
Kim Loji gelengkan kepala, “Bukan hendak merendahkan saudara. Tetapi orang-orang
sebagai kita ini, jika hendak menyiarkan kebusukan Ih Thian-heng, tentu takkan dipercaya
oleh orang. Karena Ih Thian-heng sudah berakar dalam hati orang persilatan sebagai
seorang tokoh yang bersih….”
“Bukan begitu,” bantah Ih Seng, “memang kalau diukur kepandaian, walaupun tambah
lagi beberapa orang, tetap kita bukan tandingan Sin-ciu it kun. Tetapi dengan menyiarkan
tentang perbuatannya di dunia persilatan, sekurang-kurangnya kaum persilatan…..”
“Ih Thian-heng boleh dikata menguasai dunia persilatan. Setiap gerak-gerik dalam
dunia persilatan tentu tak lepas dari pendengarannya. Bukan membesar2kan kemampuan
orang. Sekalipun fihak It kiong, Ji-koh dan Sam-poh mengirim jago2 simpanannya, tentu
diketahuinya juga. Adanya kupilih puncak gunung ini, tujuanku untuk menghindari
pendengarannya. Dengan berada di tempat yang bebas melibat empat penjuru ini,
dapatlah kita melihat kedatangan seseorang!” tukas Kim Loji.
Ih Seng memuji kecerdikan Kim Loji.
Karena sampai begitu lama belum juga menuturkan tentang kematian orangtuanya,
Han Ping segera mendesak.
Kim Loji menengadah memandang ke langit dan menghela napas panjang. Rupanya ia
tengah mengenangkan peristiwa yang lampau. Beberapa saat kemudian, baru ia mulai
berkata dengan rawan, “Peristiwa itu terjadi pada 20 tahun yang lalu. Pada masa itu
kiong, Ji-koh dan Sam-poh, baru saja muncul di dunia persilatan. Aku dan toako sudah
mengangkat nama di daerah Kang-lam. Kita sudah mendengar nama, tetapi sampai sejauh
itu belum bertemu muka…..”
Ia berhenti sejenak lalu melanjutkan pula, “Peristiwa puluhan tahun itu, meskipun
sadah lewat tetapi kalau hendak diceritakan, memang sukar. Harap anak Ping jangan
menyesali.”
“Silahkan paman menutur, aku tentu akan mendengarkan dengan khidmat,” kata Han
Ping.
“Kira-kira dua puluh tahun berselang, di Heng-yang muncul seorang busu (ahli) yang
mengangkat dirinya dengan gelar Golok-menggetarkan tiga-propinsi Pek Ih-thian. Dia
telah mengundang seluruh kaum persilatan untuk ikut serta dalam sayembara mencari
menantu untuk puterinya Pek Bang-cu. Seorang gadis yang cantik jelita sekali. Bermula
yang datang memang tidak banyak. Namun sebulan kemudian, mulai membanjirlah
pendatang2 yang hendak ikut dalam sayembara itu. Dalam sayembara pilih-menantu
acaranya ialah bertanding kepandaian siapa yang dapat memenangkan jelita itu akan
dijadikan suaminya. Dua bulan lamanya, tiada seorangpun mampu mengalahkan jelita itu.
Kala itu akupun kebetulan berkelana. Mendengar berita itu, timbullah kegairahanku. Buruburu
aku menuju ke Heng-yang. Ketika tiba di panggung sayembara, hari sudah
menjelang sore. Saat itu Ing-heng tampil ke panggung berhadapan dengan Pek Bang-cu.
Mereka telah bertempur sampai 300 jurus tetapi belum ada yang kalah dan menang.
Sorenya pertandingan itu akan dilanjutkan lagi….”
Kim Loji berbenti sejenak untuk memandang wajah Han Ping. Tetapi anakmuda itu
tenang2 saja. Kim Loji melanjutkan ceritanya pula, “Ketika pertandingan dibuka kembali,
entah bagaimana Ing-heng datang terlambat. Aku segera tampil ke atas panggung. Tetapi
Pek Bang-cu menolak karena sudah terikat janji dengan Ing-heng. Aku tak puas. Kubakar
hatinya dengan kata-kata yang membuatnya marah dan akhirnya mau juga bertempur.
Tetapi sampai petang hari, tiada yang kalah dan menang ….”
Saat itu. Han Ping bendak bertanya tetapi entah bagaimana ia batalkan maksudnya dan
hanya batuk-batuk saja.
Dengan bersemangat, Kim Loji melanjutkan, “Kutantang Pek Beng-cu untuk
melanjutkan pertandingan itu besok pagi hingga sampai ada yang kalah. Tetapi tanpa
menyahut, ia terus turun panggung. Keesokan harinya, pagi-pagi sekali aku sudah datang
ke gelanggang untuk menantangnya. Tetapi begitu dia muncul, belum sempat aku naik ke
atas panggung, seseorang sudah mendahului naik….”
“Bukankah orang itu guruku?” tanya Han Ping.
“Kala itu kami bertiga belum kenal mengenal. Orang yang naik ke panggung itu meniru
siasatku. Dia menggunakan kata-kata yang membangkitkan amarah si jelita. Dan akhirnya
mereka pun bertempur. Ah, memang aneh sekali peristiwa itu. Merekapun bertempur
dengan berimbang …..”
“Akupun mendengar tentang sayembara pilih menantu di Heng-yang itu,” tiba-tiba Ih
Seng menyeletuk, “tetapi karena ada urusan maka tak dapat mengunjungi …..”
Kim Loji keliarkan pandang matanya ke empat penjuru lalu menyambung lagi, “Sore
harinya, aku sudah menunggu di bawah panggung. Tetapi begitu Pek Bang-cu muncul,
tiga sosok bayangan segera serempak loncat ke atas panggung ……”
“Di antara ketiga orang itu salah seorang tentulah saudara Kim sendiri, bukan?” Ih Seng
tertawa.
Wajah Kim Loji tampak serius. Ia tak memghiraukan omongan Ih Seng dan
melanjutkan. “Selain aku, kedua orang itu adalah toako Ji Ing dan sam-te Nio Siu. Itulah
pertama kali Tiga Pendekar gunung Lam-gak bertemu muka!”
“Bagaimana sikap Pek Bang-cu menghadapi ketiga penantang itu?” tanya Ih Seng.
“Kami bertiga tidak saling kenal tetapi serempak loncat ke atas dan serempak pula tiba
di atas panggung. Akhirnya kita berhantam sendiri.”
Melihat Han Ping tartarik hati, Ih Seng cepat menyelutuk, “Kalian bertiga belum saling
kenal, tantu tak mau mengalah. Lalu bagaimana cara kalian bertempur?”
Jawab Kim Loji, “Kami berkelahi menurut kepentingan masing2 sendiri. Engkau
menjotos aku, aku menendang dia, dia menghantam engkau. Pendek kata kami bertiga
berkelahi secara acak2an!”
“Ho, benar-benar suatu peristiwa yang jarang terjadi,” seru Ih Seng, “sayang saat itu
aku tak dapat hadir.”
“Melihat cara berkelahi acak2an tanpa aturan itu, sekalian hadirin marah. Entah siapa
yang segera memaki di bawah panggung, “Kalau kalian hendak bertempur sampai mati,
mengapa tak mencari tempat yang sepi saja tetapi mengacau di pangung sayembara sini?”
Walaupun mendengar dan mengakui makian itu memang tepat, tetapi karena sedang
terlibat dalam pertempuran sengit, kami tak dapat berhenti lagi. Toako Ji Ing tiba-tiba
lepaskan dua buah pukulan hebat untuk mendesak mundur aku dan Sam-te. Kemudian ia
pun menyurut mundur seraya berkata, “Kalau mau bertempur baiklah kite cari tempat
agar dapat bertempur mati2an. Siapa menang nanti berhak untuk naik ke panggung sini
lagi!”
“Aku dan Sam-te menerima tantangannya itu. Kami bertiga segera turun panggung dan
menuju ke sebuah tempat sunyi di luar kota. Di situ kami tetapkan acara. Akan diadakan
undian. Undian ini akan menghasilkan dua orang yang akan bertempur dulu sampai 300
jurus. Kalau ada yang menang, pemenangnya akan diadu dengan orang ketiga. Tetapi
kalau dalam 300 jurus tiada yang kalah dam menang, pertandingan dihentikan dan
diadakan undian lagi. Hasilnya, dua orang akan bertempur tagi. Siapa menang akan diadu
dengan orang ketiga……….”
“Ah, tidakadil,” seru Ih Seng, “kalau dalam babak pertama tak ada yang menang lalu
diundi lagi dan kebetulan jatuh pada kedua orang itu lagi, bukankah mereka akan tele-tele
kehabisan tenaga? Bukankah enak saja orang ketiga itu nanti akan menempurnya?”
“Sekalipun kurang adil, tetapi rasanya tiada lain cara yang lebih baik,” jawab Kim Loji,
“harus diketahui bahwa kepandaian kita bertiga hampir berimbang. Jika mencari cara yang
adil, kemungkinanan takkan ada penyelesaiannya. Entah sampai kapan pertandingan itu
akan habis. Dengan cara undian ini kecuali mengadu kesaktian juga mengadu
peruntungan nasib. Siapa yang menarik undian harus bertempur dulu, memang harus
menerima nasib.”
“Lalu siapapakah yang beruntung menarik undian kosong itu? “ tanya Ih Seng.
Kim Loji termenung beberapa saat seolah-olah mengenangkan peristiwa itu. Kemudian
baru ia berkata pula, “Pertama adalah toako dan sam-te yang kena undian itu. Mereka
segera bertempur. Bermula mereka melancarkan serangan secepat mungkin untuk
merebut kemenangan. Tetapi lewat 200 jurus kemudian, Sam-te terdesak. Hanya dapat
membela diri tak mampu balas menyerang. Kebalikannya serangannya toako makin gencar
dan seru. Setelah 300 jurus, Sam-te sudah kehabisan tenaga. Jika harus berkelahi lagi
dalam 30 jurus saja, tentu sudah rubuh di tangan toako.”
Ih Seng tersenyum, “Benar, ketika toako-mu bertempur dengan Pek Bang-cu…. “
Sebenarnya ia hendak mengatakan bahwa toako itu memang sengaja mengalah pada
Pek Bang-cu. Tetapi karena teringat bahwa toako itu adalah ayah Han Ping, Ih Seng tak
mau melanjutkan kata-katanya.
Kim Loji memandang Ih Seng, serunya, “Bukankah engkau bendak mengatakan bahwa
toakoku itu menang sengaja tak mau mengeluarkan kepandaian sesungguhnya di atas
panggung sayembara?”
“Benar, aku .. . “
Di luar dugaan Kim Loji gelengkan kepala, katanya, “Toako seorang yang lapang dada,
tak mungkin dia mau menggunakan siasat semacam itu. Sesungguhnya kepandaian nona
Pek itu lebih unggul dari aku dan Sam- te. Hanya dengan toako, Baru dia bertanding
berimbang. Adalah karena kurang pengalaman bertempur dan kuatir akan melukai aku
dan sam-te, maka nona Pek tak mau menyerang secara gegabah. Dia hanya mendesak
supaya kami berdua mengaku kalah sendiri dan mundur.”
“Benar juga,” kata Ih Seng, “lalu bagaimana hasilnya undian yang kedua itu?”
“Dalam undian kedua itu ternyata jatuh pada aku dan toako yang harus bertempur.
Kami berduapun menetapi perjanjian. Setelah 300 jurus baru berhenti. Dalam
pertempuran itu toako tetap unggul. Walaupun sudah diperas tenaganya dalam babak
pertama tadi, tetapi dia tetap mampu menghadapi aku dengan berimbang. Dengan begitu
jelas kepandaian toako itu lebih unggul dari aku dan sam-te.”
“Pertandingan kedua itu, berkesan dalam hatiku dan sam-te. Walaupun sam-te tak
mangatakan apa-apa kepadaku, tetapi kami diam-diam mengakui bahwa toakolah yang
lebih unggul. Sekalipun begitu, pertandingan tetap dilanjutkan. Karena diam-diam timbul
kesatuan pendapat padaku dan sam-te, bahwa kita berdua harus bersatu untuk
mengerubut toako. Caranya dengan bergilir menempurnya. Pertempuran berlangsung
mulai sore hingga sampai keesokan harinya. Toako terus menerus berkelahi sedang aku
dan sam-te dapat bergiliran mengaso. Dengan begitu toako menderita kerugian sekali.”
“Rupanya toakomu itu memang lebih unggul berlipat ganda dari kalian. Kalau tidak
tentu sudah jatuh,” kata Ih Seng.
“Persekutuan secara diam-diam di antara aku dan Sam-te itu telah diketahui toako,”
kata Kim Loji, “tetapi dia diam saja. Baru pada keesokan hari menjelang fajar, maka ia
berkata kepada kami berdua, “Kepandaian nona Pek itu lebih hebat dari kita. Adalah
karena kurang pengalaman dan hatinya baik, nona Pek tak mau melukai kita dan memberi
kesempatan sampai 300 jurus. Kemarin cara kita bertempur acak-acakan di atas panggung
itu, sesungguhnya telah menimbulkan kemarahan nona Pek. Jika sekarang kita tak tahu
diri dan masih nekad hendak maju dalam sayembara itu, tentulah akan rubuh di tangan
nona itu…. “
“Hai, ada yang mendatangi kemari,” tiba-tiba Han Ping berseru.
Kim Loji dan Ih Seng berpaling. Ah, benar, memang dari jauh tampak dua sosok
bayangan tengah berlari-lari menuju ke puncak situ. Rupanya kedua orang itu tahu
tentang hadirnya Kim Loji bertiga di puncak gunung.
Tiba-tiba Kim Loji mempercepat ceritanya, “Se-telah memberi peringatan itu, toako
segera berputar diri dan pergi. Tetapi aku dan Sam-te tak mau mendengarkan nasehat
toako. Kami berdua balik ke panggung. Sam-te terus loncat ke atas panggung. Tanpa
banyak bicara, nona Pek segera menyambut dengan serangan. Kira-kira 70-an jurus
kemudian, nona Pek gunakan ilmu tutukan jari Pi-peh-ci, melukai Sam-te. Sejak
mendirikan panggung pertandingan pilih jodoh, baru pertama kali itu nona Pek melukai
orang dengan sungguh-sungguh. Samte terluka parah. Ia muntah darah dan terkapar di
papan panggung. Karena sudah mempunyai ikatan batin dalam persekutuan menghadapi
toako tadi, entah bagaimana, aku merasa wajib menolong sam-te…. “
“Cepat aku loncat ke atas panggung untuk menolong sam-te. Tetapi secepat itu nona
Pek sudah menyongsong dengan serangan yang ganas. Tampaknya ia marah sekali
kepadaku. Aku tak sempat bertanya lagi kepadanya. Terpaksa akupun mengeluarkan
seluruh tenaga untuk menghadapinya. Aku dan nona Pek segera terlibat dalam
pertempuran maut. Duaratus jurus kemudian, aku pun rubuh terkena jari sakti Pi-peh-ci….
“
Jilid 13 : Rahasia Dunia Persilatan
Tonggeret dan kupu-kupu.
Karena Nyo Bun-giau diam saja, Kim Loji melanjutkan kata-katanya, “Yang mencekal
pedang Perak itu adalah kepala dari golongan Rimba Hijau (penyamun) dari empat
propinsi, ialah Kipas-besi-pedang-perak Ih Seng. Tetapi anakmuda yang sedang mainkan
pedang itu, aku tak kenal hanya pernah bertemu. Dan pedang panjang yang dibawanya
itu adalah pedang Pemutus-asmara yang termasyhur didunia persilatan.”
“O pedang Pemutus Asmara ….” dengus Nyo Bun-giau.
“Benar, dan sarung pedang ini memang kurampas dari tangan pemuda itu,” kata Kim
Loji.
Melihat Han Ping mainkan pedang pusakanya dengan perkasa, legalah hati Ih Seng. Ia
mengusap keringat di kepalanya. Setelah batinnya tenang kembali, pendengarannya tajam
lagi. Segera ia merasa bahwa dalam ruangan situ terdapat orang lain. Dengan tebarkan
kipas untuk melindungi dadanya, ia berputar tubuh dengan mendadak. Cepat ia dapat
mengenali kedua pendatang itu, Tertawalah ia gelak2, “O, kukira siapa, ternyata saudara
Kim…”
Kemudian is menatap Nyo Bun-giau, tegurnya, “Kalau tak salah bukankah saudara ini
saudara Nyo, kepala marga Nyo dari Kim-leng?”
“Ah, saudara terlalu sungkan….” buru-buru Nyo Bun-giau menyahut.
Tiba-tiba Han Ping menarik pulang pedangnya. Sambil memandang kepada kedua
pendatang itu, ia bertanya dengan bisik2 kepada Ih Seng, “Yang manakah orang she Kim
itu?”
“Yang lengannya terbungkus kain biru itu,” Ih Seng menerangkan.
“Bukankah dia yang disebut sebagai Kim Loji? tanya Han Ping pula.
Ih Seng mengiakan.
Seketika panaslah darah Han Ping. Sekali loncat ia menerjang Kim Loji. Tetapi Nyo Bungiau
cepat menyongsongnya dengan hantaman “Di luar langit-muncul-awan” seraya
membentak, “Anak masih muda mengapa tak tahu aturan!”
Melibat pukulan orang she Nyo itu amat dahsyat, Han Ping segera empos semangat
dan melambung ke udara, melayang ke samping beberapa meter jauhnya.
Nyo Bun-giau diam-diam terkejut. Yang dilakukan anak muda itu tergolong ilmu
ginkang tataran tinggi.
Ih Seng pun cepat loncat ke samping Han Ping lalu menudingkan pedangnya ke arah
Nyo Bun-giau, “Saudara ini adalah salah satu dari ketiga marga yang termasyhur, yakni
saudara Nyo Bun-giau kepala Nyo-ke-poh. Orang menggelarinya sebagai Perancang-sakti
karena mahir sekali dalam ilmu bangunan dan alat2 rahasia!”
Dengan mata ber-kilat2 Han Ping mengawasi Nyo Bun-giau lalu bertanya dengan nada
dingin, “Aku merasa belum pernah kenal dengan Nyo pohcu. Tetapi mengapa tuan
menghantam aku?”
Nyo Bun-giau tersenyum, “Tadi engkau menyerang keras sekali. Sebelum bicara, sukar
untuk terhindar dari salah sangka. Hantamanku tadi hanya sekedar untuk menjaga diri
saja!”
Licin benar orang she Nyo itu. Tetapi Han Ping yang jujur menganggap keterangan itu
benar, karena Nyo Bun-giau berdiri dekat dengan Kim Loji. Serangannya tadi tentu
disangka hendak menyerang Nyo Bun-giau.
“Nyo poh-cu benar, karena salah faham, aku pun takkan menarik panjang urusan ini,”
kata Han Ping lalu berpaling menghadap Kim Loji, tegurnya nyaring, “Bukankah saudara
ini yang dipanggil Kim Loji?”
Diam-diam Kim Loji memaki Nyo Bun-giau yang dianggapnya manusia licik. Setelah
mengetahui pemuda itu tak dapat dibuat main2, Nyo Bun-giau berganti nada seolah-olah
tak mau ikut campur dalam urusan itu.
Saat itu lengan Kim Loji yang kutung satu itu belum sembuh lukanya. Jika bertempur
dengan Han Ping, jelas tentu ia akan menderita kekalahan. Maka ia memutuskan untuk
mencari akal untuk meloloskan diri.
“Sikap membisu seperti kura2 menyembunyikan kepala itu, bukanlah laku seorang
lelaki….” seru Han Ping yang tak sabar menunggu.
Seumur hidup belum pernah Kim Loji menerima dampratan setajam itu. Merah
padamlah mukanya. Tetapi dia seorang rubah tua yang licin. Dalam keadaan dan saat
seperti itu, terpaksa ia harus tebalkan kulit menelan hinaan.
“Benar, apa maksud saudara hendak mengetahui namaku?” sahutnya balas bertanya.
Han Ping tertawa dingin “Kalau begitu, engkau tak kenal padaku lagi?”
“Ini… ahh…. aku benar-benar tak ingat!”
Mengacungkan pedang pandak, Han Ping berteriak geram, “Kalau tak ingat aku,
seharusnya engkau tentu masih ingat akan pedang ini!”
“Pedang Pemutus Asmara, merupakan pusaka yang jarang terdapat didunia persilatan.
Dapat membelah logam seperti memotong tanah liat. Setiap orang persilatan tentu ngiler
akan pusaka itu. Sudah setengah umur aku berkecimpung dalam dunia persilatan,
masakan tak kenal pedang itu?”
Mendengar ocehan orang yang begitu berbelitbelit memanjang, Han Ping melangkah
maju dan acungkan ujung pedang ke dada Kim Loji, bentaknya, “Dimanakah kotak tempat
pedang ini? Lekas bilang! Jika berani bohong, jangan sesalkan aku bertindak kejam.”
Kim Loji rasakan pedang di muka dadanya itu menguarkan hawa dingin, Diam-diam ia
menimang, “Anak ini masih berdarah panas. Berbahaya sekali kali kalau kubiarkan dia
melekatkan pedang di muka dadaku. Sekali dia marah, habislah riwayatku…..”
Dengan tenang Kim Loji menjawab, “Memang aku yang mengambil kotak pedang
Pemutus Asmara itu. Tetapi pengambilan itu bukanlah berasal dari maksudku. Aku hanya
melakukan permintaan orang, Yang penting supaya merampas kotak pedang, bukan
orangnya!”
“Tak banyak yang tahu bahwa pedang ini berada padaku. Siapakah yang
memberitahukan kepadamu?”
“Dari mana engkau peroleh pedang itu?” Kim Loji balas bertanya,
“Perlu apa engkau tanyakan hal itu? Jadi engkau hendak mengulur waktu?” tiba-tiba
Han Ping tak dapat melanjutkan kata-katanya karena mendadak Nyo Bun-giau lepaskan
sebuah hantaman
Biat-gong-ciang atau Pukulan-membelah-angkasa.
Han Ping terkejut berpaling. Tampak seekor binatang aneh bersisik mirip ular, merayap
keluar dari pintu batu. Pukulan dahsyat dari Nyo Bun-giau tak diacuhkan binatang itu.
Sejenak kibaskan kepalanya, tiba-tiba binatang itu melengking keras dan merayap makin
cepat.
Ih Seng menggembor keras seraya loncat ke samping. Ia tak berani menyerang dari
muka tetapi dari samping. Dengan tangan kiri mencekal kipas besi untuk melindungi
muka, pedang perak di tangan kanan segera menusuk dengan jurus menyolok-naga
kuning.
Bum…….. pedang perak tepat menusuk kepala binatang. Binatang aneh itu meringkik,
berputar kepala terus ngangakan mulut hendak menggigit Ih Seng. Ih Seng buru-buru
menyurut mundur.
Dalam kesempatan itu, Kim Loji segera membisiki Han Ping, “Jika binatang sampai
masuk ke-mari, kita tentu ce1aka. Yang penting enyahkan dulu binatang itu, baru nanti
kita bicarakan soal kotak pedang itu!”
Sebenarnya saat itu ia dapat menghantam punggung Han Ping yang tengah
menghadap ke belakang. Tetapi walaupun sakti, Han Ping rnasih hijau. Baginya, Nyo BunTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
giau itu jauh lebih berbahaya. Ia memperoleh pikiran untuk mengadu domba Han Ping
dengan Nyo Bun-giau. Apabila kedua orang itu sama-sama remuk, mudahlah untuk
membereskan mereka.
Han Ping berpaling, sahutnya, “Baik, akan kuusir binatang itu dulu, baru nanti membuat
perhitungan lagi dengan engkau!”
Habis berkata, Han Ping terus melesat ke muka, menyerbu mahluk aneh itu. Rupanya
mahluk itu takut akan pedang pusaka di tangan Han Ping. Cepat-cepat ia menyurut
mundur ke dalam pintu batu lagi. Waktu merayap keluar, binatang itu bergerak pelahan
sekali tetapi waktu menyurut mundur, gesitnya bukan alang kepalang.
Han Ping menghampiri ke pintu. Dia menyadari bahwa setiap waktu binatang itu tentu
keluar lagi. Tetapi kalau terus menerus menunggu di situ, juga berabe.
Tiba-tiba Nyo Bun-giau loncat menghampiri. Ia menampar tembok dan terdengarlah
bunyi berderak-derak. Tiba-tiba dari tembok itu meluncur keluar sebilah papas batu yang
tepat melintang di pintu.
“Jangan kuatir, binatang itu telah kututup dalam ruangan ini,” katanya.
Nyo Bun-giau seorang rubah yang licin. Setelah mengetahui Kim Loji lepaskan
kesempatan membunuh Han Ping, tahulah ketua marga Nyo ke-poh itu akan maksud Kim
Loji. Diam-diam ia memutuskan untuk membasmi orang-orang itu semua. Harta karun dan
pedang pusaka dapat dimiliki, orangpun tak kan tahu mayat orang-orang yang dibunuhnya
itu.
Tetapi ia menyadari bahwa tenaganya tak mungkin dapat melaksanakan hal itu.
Betapapun sakti-nya, tak mungkin ia dapat menghadapi ketiga la wan itu. Akhirnya ia
memutuskan untuk menggunakan siasat mengadu domba mereka. Setelah ada
kesempatan baru ia akan turun tangan.
Han Ping berotak cerdas tetapi ia tak punya pengalaman di dunia persilatan. Sudah
tentu ia tak menyadari bahwa dirinya menjadi ‘barang hidangan’ Nyo Bun-giau dan Kim
Loji. Terutama terhadap Nyo Bun-giau yang sikapnya seperti seorang sasterawan itu, ia
benar-benar tak dapat meraba. Ia heran mengapa orang she Nyo itu, tanpa diminta, terus
saja mengulurkan bantuan.
Han Ping segera menuding Kim Loji pula, “Kini ular naga itu sudah tertutup di dalam
ruangan. Sekarang kita selesaikan soal kotak pedang itu!”
Kim Loji terbeliak. Diam-diam ia memaki Nyo Bun-giau. “Bangsat she Nyo itu benarbenar
licin seperti belut. Hendak kugunakan tenaga pemuda itu untuk menghadapinya,
ternyata dia telah mendahului memanfaatkan kesempatan itu. Ah, kalau tidak nekad
mengadu jiwa, tentu sukar menghadapi pemuda ini!”
Setelah menetapkan keputusan, Kim Loji tersenyum, “Aku tak kenal padamu. Tetapi
mengapa pedang pusaka Pemutus-asmara yang tersohor di dunia persilatan itu bisa
berada di tanganmu?”
Han Ping diam-diam menganggap kata-kata Kim Loji itu memang benar. Tanpa disadari
ia mengangguk.
Kim Loji tertawa gelak2, serunya pula,, “Pedang Pemutus- asmara itu tentu hanya
beberapa hari berada di tanganmu. Tetapi entah sudah berapa banyak orang persilatan
yang mengetahui peristiwa itu. Maksudku, tentulah engkau dapat mengira-ngira siapakah
yang telah menyuruh aku mengambil pedang itu dari tanganmu…”
Sejenak merenung, Han Ping menyahut, “Apakah yang menyuruh engkau itu bukan Hui
Koh taysu?”
Mendengar itu pucatlah wajah Nyo Bun-giau seketika. Cepat ia berpaling ke arah Kim
Loji untuk melihat bagaimana reaksi orang itu. Tampak orang she Kim itu kebingungan.
“Dalam hal ini maaf kalau aku tak dapat mengatakan nama orang itu. Sekali sudah
berjanji kepadanya, tak nanti aku mau memberitahukan kepada orang lain,” sahut Kim Loji
sesaat kemudian.
“Hmm, Hui In taysu seorang paderi yang sahid dan luhur. Yang mengetahui tentang
pedang itu berada padaku hanyalah kedua paderi dari Siaulim-si itu. Karena Hui In taysu
tak mungkin mau menyiarkan peristiwa itu, kiranya hanya Hui Koh taysulah yang berbuat
itu!”
Dengan nada tidak membenarkan dan tidak menyangkal, Kim Loji menyahut, “Dengan
membawa pedang pusaka Pemutus-asmara itu, tentulah engkau juga diberitahu tentang
rahasia penyimpanan harta pusaka disini, bukan?”
Han Ping mendapat kesan bahwa orang yang mencuri pedang dari tangannya itu
tentulah bukan manusia baik-baik. Jika memberitahukan peristiwa itu dengan terus terang,
tentulah Kim Loji akan menipunya. Maka ia memutuskan untuk menjawab secara samar
saja. Setelah mengetahui bagaimana tanggapan Kim Loji nanti, baru ia akan
mempertimbangkan tindakan lebih lanjut.
“Kalau ilmu pedang saja dia mau memberikan kepadaku, masakan tidak mau
memberitahu rahasia kotak pedang itu?” sahutnya seraya tertawa dingin.
Kim Loji dan Nyo Bun-giau percaya apa yang dikatakan anak muda itu. Kalau tidak,
masakan pemuda itu dapat masuk ke guha situ.
Kim Loji merancang siasat. Ia hendak membocorkan tentang harta pusaka yang berada
dalam guha di situ. Untuk mengadu domba dengan Nyo Bun-giau.
“Walaupun kehilangan kotak pedang tetapi engkau masih dapat masuk ke makam yang
penuh dengan alat rahasia ini, sungguh kuat sekali daya ingatmu!” serunya memuji.
“Ah, itu bukan suatu hal yang luar biasa. Asal mau berhati-hati saja, tentu takkan
mengalami bahaya,” sahut Han Ping.
Kim Loji lanjutkan kata-katanya, ia mulai menyindir, “Walaupun dengan saudara Nyo
Bun-giau yang termasyhur sebagai ahli bangunan dan perkakas rahasia, namun aku tetap
kehilangan sebuah lengan tangan. Tetapi hanya mengandalkan daya ingatan saja, engkau
mampu masuk kemari dengan selamat!”
Mendengar sindiran itu Nyo Bun-giau melengking dingin, “Itu kan salahmu sendiri
mengapa kepandaianmu masih rendah tetapi tak mau menurut petunjukku. Masih untung
hanya hilang sebuah lengan, bukan nyawamu!”
Kim Loji tertawa gelak2, “Jika setiap patah aku menurut saudara Nyo, saat ini aku tentu
sudah menjadi bangkai!”
“Eh, apakah saudara Kim masih mempunyai harapan untuk keluar dari sini dengan
selamat?” Nyo Bun-giau tersenyum menyeringai.
Diam-diam Kim Loji memaki orang she Nyo itu. Ia memutuskan untuk membuka rahasia
makam itu kepada Han Ping agar kedua orang itu dapat diadu domba.
“Dari dulu sampai sekarang, hanya sedikit sekali orang yang tahu rahasia makam ini,”
katanya menatap Han Ping. “Beruntunglah pada 30 tahun yang lalu, aku telah mengetahui
rahasia itu. Peristiwa itu mengandung suatu peristiwa pembunuhan ngeri dalam dunia
persilatan. Menyangkut kalangan luas dan berliku-liku sehingga melibatkan juga tokohtokoh
paderi,” tiba-tiba ia merasa telah kelepasan omong maka buru-buru hentikan katakatanya.
Tergeraklah hati Han Ping. Tiba-tiba ia teringat akan pengalamannya selama tinggal
tiga hari bersama Hui Gong taysu. Tiga hari yang menjadikan dia seorang pemuda biasa
menjadi pemuda sakti tetapi pun kebalikannya telah merenggut pengorbanan jiwa paderi
sakti itu.
Terbayang kembali segala ingatannya selama dalam ruang batu dengan Hui Gong
taysu. Walaupun paderi itu tak mengatakan apa-apa tetapi ia dapat juga menangkap
beberapa pembicaraan yang bernada pertentangan antara Hui Gong taysu dengan kedua
sutenya Hui In dan Hui Koh.
Han Ping benar-benar terbenam dalam kenangan lama sehingga ia lalai akan keadaan
berbahaya yang berada di sekelilingnya.
Se-konyong2 serangan angin pukulan melandanya dari samping. Kejut Han Ping bukan
kepalang. serempak ia ayunkan tangan menampar ke samping.
Des… ketika kedua pukulan itu saling beradu, timbullah angin kisaran yang keras dan
tubuh Han Ping tersurut mundur selangkah.
Cepat pemuda itu berpaling. Tampak wajah Nyo Bun-giau memancarkan sinar
pembunuhan yang menyala-nyala. Diam-diam Han Ping terkejut atas kesaktian pukulan
orang she Nyo itu.
Kiranya begitu mendengar Kim Loji hendak membocorkan rahasia makam itu, timbullah
kekuatiran hati Nyo Bun-giau. Jika ketiga orang itu sam-pai bersatu-padu untuk
menghadapinya, tentulah sukar ia mengatasi. Diam-diam ia kerahkan tenaga dalam. Dan
tanpa berkata apa-apa, segera ia lepaskan sebuah pukulan dari jauh kepada Kim Loji. Ia
hendak melenyapkan mulut Kim Loji maka ia telah gunakan tenaga penuh. Tak terdugaduga,
Han Ping ikut campur menghalanginya,
Memang pada pertama kali melihat Han Ping menerjang Kim Loji, Nyo Bun-giau sudah
mengetahui bahwa pemuda itu memang hebat kepandaiannya. Tetapi sama sekali ia tak
mengira bahwa se-orang pemuda yang baru berumur 19-20 tahun ternyata memiliki
tenaga-dalam yang begitu hebat.
Namun dia seorang rubah yang licin, Walaupun dalam hati terkejut tetapi sikapnya
tetap tenang2 saja.
Kebalikannya Kim Loji diam-diam gembira sekali melihat kesaktian pemuda itu. Ia
makin mempunyai harapan untuk menghadapi Nyo Bun-giau. Serentak ia tertawa gelak2
dan berseru, “Saudara Nyo sungguh kejam sekali. Apakah saudara hendak membu-nuh
aku lebih dulu baru kemudian membasmi saudara Ih dan jago muda ini? Apakah benarbenar
saudara Nyo hendak mengangkangi sendiri semua harta pusaka dalam makam ini?
Ah, tetapi harta pusaka di sini luar biasa banyaknya, mungkin dapat di-pergunakan untuk
membeli sebuah negara. Apakah saudara Nyo merasa tidak terlalu banyak….”
Tergetarlah hati Ih Seng mendengar kata-kata siasat dari Kim Loji itu. Sambil kebutkan
kipasnya ia berseru, “Menurut peraturan dunia persilatan, barangsiapa tahu, tentu
mendapat bagian. Entah berapa banyaknya harta pusaka dalam makam ini tetapi harus
dibagi empat. Siapa yang rnempunyai pikiran untuk mengangkangi sendiri, akan kita
gempur bersama-sama!”
Han Ping tertawa hambar, “Sedikitpun aku tak mempunyai pikiran untuk menerima
bagian dari harta pusaka makam ini….”
Kuatir pemuda itu akan lepas tangan, buru-buru Kim Loji menyelutuk, “Kedatangan
saudara kemari tentulah hendak menginginkan pusaka Tonggeret-Kumala dan Kupu2-
Emas itu!”
“Apakah Tonggeret Kumala dan Kupu2 Emas itu? Aku sama sekali …..”
“Hai, apakah pusaka Tonggeret Kumala dan Kupu2 Emas itu juga berada dalam makam
ini?” tiba-tiba Ih Seng melengking kaget.
Han Ping heran mengapa suara Ih Seng begitu bergetar. Segera is berpaling dan
bertanya tentang kedua benda ini.
Tetapi sebelum Ih Seng menyahut, Kim lo-ji sudah mendahului, “Memang benar-benar
pusaka Tenggoret Kumala dan Kupu2 Emas itu berada di makam ini!
Rupanya Ih Seng menginsyafi kalau dirinya tak dapat mengendalikan perasaan. Ia
menghela napas panjang, ujarnya, “saudara Ji tak tahu. Kedua pusaka Tenggoret-Kumala
dan Kupu2 Emas itu memang disohorkan sebagai pusaka yang tiada tandingannya dalam
dunia persilatan. Tenggoret Kumala itu dapat digunakan untuk mengobati segala macam
racun. Dan Kupu2 Emas itu. , „ ..”
Rupanya ia hanya mendengar saja kata orang tentang kedua wasiat itu. Tetapi
bagaimana khasiat yang sesungguhnya dari kedua pusaka itu, sesungguhnya ia kurang
jelas. Maka tak dapatlah ia melanjutkan keterangannya lagi.
“Bukan aku hendak membanggakan diri tetapi rasanya aku tahu juga tentang
kemujijadan kedua benda pusaka itu….” tiba-tiba Kim Loji menghela napas dan berseru.
Tetapi secepat itu Nyo Bun-giaupun sudah menyeletuk, “Ah, bukan hendak memandang
rendah saudara Kim. Tetapi kukuatir pengetahuanmu tentang kedua pusaka itu hanya
terbatas saja!”
Celetuk Nyo Bun-giau. “Bukan aku hendak memandang rendah saudara Kim. Tetapi
kukuatir pengetahuan saudara Kim tentang kedua pusaka itu tentu terbatas!”
“Kalau begitu saudara Nyo tentu tahu khasiat kedua pusaka itu?” Kim Loji tertawa
dingin.
Nyo Bun-giau memandang ke atas wuwungan ruang, katanya pe-lahan2. “Tonggeret
Kumala dan Kupu2 Emas itu hanyalah benda mati, buatan dari ahli2 yang pandai. Tetapi
apabila orang tahu sifat2- nya yang istimewa, tentu dapat menggunakan khasiat pusaka
itu. Yang tidak tahu, benda itu tetap merupakan benda mati. Ha… ha.. tetapi siapakah
orang di dunia yang sekarang mengetahui sifat2 istimewa dari kedua benda pusaka itu!”
“Janganlah saudara Nyo terlalu keras menepuk dada. Memang dalam soal bangunan2,
aku kalah. Tetapi kalau mengenai benda2 pusaka dalam dunia persilatan, kemungkinan
saudara tak dapat mengalahkan aku…. . “ kata Kim Loji.
“Soal itu aku tak mempunyai selera mendengarkan,” tiba-tiba Han Ping menukas, “yang
penting sekarang ini harap saudara Kim lekas menyerahkan kembali kotak pedang pusaka
yang engkau curi itu!”
Kim Loji sapukan mata ke arah Nyo Bun-giau, sahutnya, “Kotak pedang itu sekarang
berada pada saudara Nyo Bun-giau ini…..”
Cepat Han Ping berputar tubuh ke arah Nyo Bun-giau. “Harap Nyo pohcu suka segera
menyerahkan kembali kotak pedang itu. Pedang Pemutus Asmara itu luar biasa tajamnya.
Tanpa sarung, sukar dibawa kemana-mana.”
Nyo Bun-giau tersenyum. “Pada kotak pedang itu terdapat peta bangunan makam ini.
Karena saat ini kita berada dalam makam ini dan belum mengetahui bagaimana nasib kita
nanti, biarlah kotak itu untuk sementara kusimpan. Nanti setelah keluar dari makam ini
tentu akan kukembalikan padamu.”
Teringat bagaimana tadi dengan menekan pintu batu, orang she Nyo itu dapat
menutup palang batu pada ular besar itu, diam-diam Han Ping meragu. Adakah ia harus
memaksa orang itu untuk mengembalikan kotak atau biarkan dulu.
Tiba-tiba Kim Loji tertawa dingin, “Dengan memegang kotak pedang yang berisi
gambar bangunan makam ini, jika saudara Nyo hendak menutup aku dan saudara lh di
dalam makam ini, tentulah semudah orang membalikkan telapak tangannya!”
Mendengar Kim Loji telah menelanjangi rencananya, sekonyong-konyong Nyo Bun-giau
loncat ke dinding tembok di samping.
Wuutt…. secepat itu Kim Loji lepaskan pukulan seraya berseru, “Hai, apakah saudara
benar-benar hendak menutup kami bertiga disini…?”
Nyo Bun-giau menangkis dengan tangan kiri sehingga Kim Loji tersurut mundur dua
langkah, Selekas Kim Loji tersurut mundur dua langkah. Selekas tiba di bawah dinding
tembok itu, Nyo Bungiau terus ayunkan tangannya kanan menampar dinding itu.
Pada saat ia dan Kim Loji masuk ke dalam ruang, dinding tembok itu segera mengatup
rapat. Kini setelah dihantam Nyo Bun-giau, dinding itu merekah terbuka lagi.
Kipas-besi Ih Seng menggembor keras dan memburu. Saat itu separoh tubuh Nyo Bungiau
sudah menyusup ke dalam pintu batu. Ketika mendengar teriakan Ih Seng, ia tertawa
dingin, “Harap kalian bertiga tunggu saja dalam makam ini untuk menemani Ko Tok lojin.
Setahun lagi, aku tentu akan datang kemari untuk menyambangi hari setahun dari
kematianmu!”
Ia menutup kata-katanya dengan sebuah pukulan Biat-gong-ciang atau pukulan
Pembelah-angkasa, Tenaga-dalam dari kepala rnarga Nyo itu memang bukan olah-olah
hebatnya. Tubuh Ih Seng mencelat kendara dan terkapar di tanah.
Tetapi secepat kilat, Han Ping sudah melesat ke tepi pintu dan mencengkeram siku kiri
Nyo Bungiau.
Melihat gerakan pemuda itu, diam-diam Nyo Bungiau kagum. Cepat iapun ulurkan
tangan kanan untuk balas mencengkeram siku kiri pemuda itu, Sebagai tokoh kawakan, ia
menyadari bahwa apabila siku lengannya tercengkeram musuh, pasti ia akan dikuasai
orang. Maka sebelumnya ia hendak mendahului untuk mencengkeram dan menguasai Han
Ping.
Tetapi setitikpun is tak menduga bahwa Han Ping terlampau cepat sekali gerakannya.
Tahu-tahu siku lengan kirinya dapat dicengkeram pemuda itu. Untuk menggerakkan alat
rahasia menutup pintu itu, sudah tak keburu lagi. Mungkin jika meronta ia mampu
menghempaskan pemuda itu. Tetapi resikonyapun besar juga. Pemuda itu memegang
pedang Pemutus Asmara yang luar biasa tajamnya. Jika ia gagal meronta, pemuda itu
tentu akan menusukkan pedang pusakanya.
Satu-satunya jalan, ia harus cepat balas mencengkeram siku lengan pemuda itu. Dan
hal itu dilakukannya serempak dengan gerakan yang cepat sekali.
Walaupun menang mencengkeram dulu, tetapi Han Ping kalah pengalaman dengan Nyo
Bun-giaau Begitu mencengkerarn, Nyo Bun-giau terus kerahkan tenaganya untuk
meremas siku pemuda itu. Seketika itu Han Ping rasakan lengannya seperti dijepit oleh
jepitan baja yang luar biasa kerasnya. Buru-buru ia kerahkan tenaga-dalam untuk
melawan cengkeraman orang dan untuk memperkeras cengkeramannya pada siku lengan
Nyo Bun-giau.
Saat itu keduanya saling mencengkeram sekeras-kerasnya..
Setelah merangkak bangun, Ih Seng terus tusukkan pedangnya ke dada Nyo Bun-giau.
Di pintu yang sempit dan hanya cukup dimasuki dua orang itu, sukarlah bagi Nyo Bun-giau
untuk menghindar. Tetapi dia bukan Nyo Bun-giau ketua marga Nyo yang termasyhur
sebagai Perancang-sakti apabila ia tak mampu mengatasi bahaya itu.
Melinat tusukan pedang Ih Seng dahsyat sekali, tiba-tiba orang she Nyo itu
menggembor sekeras-kerasnya dan serempak mengangkat lengan kiri Han Ping terus
disongsongkan ke ujung pedang!
Han Ping terkejut sekali. Tak mungkin ia hendak meronta lagi. Untunglah Ih Seng ahli
pedang yang jempol. Serangan dahsyat itu dapat dibentikan secara mendadak, lalu diganti
dengan tutukan kipas besinya ke arah Nyo Bun-giau.
Nyo Bun-giau mendengus. Cepat ia menghantam kipas lawan lalu menutuk dengan
sebuah jari.
Nyo Bun-giau dan lh Seng saling serang menyerang dengan Han Ping sebagai perisai di
tengah. Ih Seng tiga kali menyerang dengan kipas besi dan Nyo Bun-giau juga balas
menutuk dua kali.
Saat itu Kim Lojipun maju mendekati. Tetapi karena pintu telah dipenuhi Han Ping dan
Ih Seng, ia tak dapat berbuat apa-apa. Terpaksa ia tegak beberapa langkah dekat ambang
pintu seraya berteriak nyaring: “Dinding tembok sebelah, merupakan tempat penyimpanan
harta pusaka. Jika dia dapat mengancing kita disini, harta pusaka itu tentu dikangkangi
sendiri dan kita tak dapat keluar dari sini.”
Seruan itu membawa pengaruh pada ketiga orang yang sedang bertempur itu. Nyo
Bun-giau gentar akan kesaktian Han Ping dan takut akan tipu muslihat Kim Loji. Apabila ia
sampai terluka oleh Han Ping, jerih payahnya selama ini tentu sia2 saja. Maka begitu
mendengar teriakan Kim Loji ia segera menyerang gencar. Ia harus dapat merebut
kemenangan dengan cepat.
Sedang Ih Seng karena sayang akan harta pusaka dan takut tertutup dalam ruang situ,
pun terus menyerang hebat.
Sedangkan Han Ping tak memikirkan soal harta pusaka melainkan tentang tindakan Nyo
Bun-giau yang hendak menutup hidup2 mereka bertiga. Dia tak mau terus-menerus
terkurung dalam makam itu. Pemuda itu memang berwatak ksatrya. Jika Nyo Bun-giau
masih dicengkeram dan diserang Ih Seng, tentu kurang leluasa. Maka ia pikir hendak
mele-paskan cengkeramannya agar pertempuran itu berlangsung bebas. Ia percaya pada
kekuatannya sendiri. Dengan gin-kang atau ilmu meringankan tubuh yang telah mencapai
tataran tinggi, ia tentu dapat mencegah orang she Nyo itu meloloskan diri.
Pada saat ia hendak melaksanakan pikirannya itu, tiba-tiba Ih Seng melancarkan
serangan yang hebat. Pedang di tangan kanan menyusup dari celah Han Ping dan Nyo
Bun-giau, menusuk lambung orang she Nyo. Sedang kipas-besipun ditusukkan ke bahu
Nyo Bun-giau yang sebelah kiri.
Karena siku kirinya dicengkeram Han Ping, Nyo Bun-giau tak leluasa geraknya. Ia harus
memilih di antara lambung tertusuk pedang atau bahunya yang tertutuk kipas. Akhirnya ia
memilih berkorban bahu daripada lambung.
Orang she Nyo itu mengempos semangat. Dengan kerahkan seluruh tenaga, ia
melonjak ke samping untuk menghindari tusukan pedang.
Pedang Ih Seng tak mengenai sasarannya dan kipas-besinyapun mengendap ke bawah.
Tetapi karena Nyo Bun-giau menarik lengan Han Ping ke atas, maka kedudukan tubuh
pemuda itupun berkisar sedikit. Dan terkejutlah lh Seng karena kipas besinya akan
mengenai Han Ping. Terpaksa ia menarik kipasnya cepat-cepat.
Han Ping tak ingin melanjutkan saling mencengkeram dengan Nyo Bun-giau. Pada saat
Nyo Bun-giau melonjak ke atas tadi, Han Ping kibaskan lengan kirinya. Saat itu Nyo Bungiau
tengah kerahkan seluruh tenaga-dalam ke tubuh bagian bawah. Begitu Han Ping
kibaskan bahu, orang she Nyo itu rasakan jari tangan kirinya seperti patah. Buru-buru ia
hendak kerahkan tenaga dalam tetapi sudah tak keburu lagi. Tangan kirinya mengulai,
lengannya kesemutan dan orangnyapun terlempar membentur tembok ruang sebelah dan
jatuh terkapar.
“Celaka!” tiba-tiba Kim Loji memekik dan terus ayunkan tubuh terus memburu Nyo Bungiau.
Han Ping berpaling. Dilihatnya Nyo Bun-giau menggeliat bangun dan terus menampar
dinding ruang, plak….. pintu batu tiba-tiba bergerak menutup.
“Ha, ha, ha, silahkan kalian bertiga menemani Ko Tok lojin selama-lamanya! “ Nyo Bungiau
tertawa gelak2.
Han Ping sadar seketika. Cepat ia menahan pintu batu itu dengan kedua tangannya.
Kim Loji dan Ih Seng cepat-cepat menyusup masuk keluar pintu seraya berteriak, “Hai,
hendak lari kemanakah engkau orang she Nyo?”
Nyo Bun-giau tanpa berpaling kepala kebutkan lengan bajunya ke belakang. Kim Loji
yang kenal akan kesaktian tenaga-dalam orang she Nyo itu buru-buru loncat menghindar
ke samping. Juga Ih Seng tak berani gegabah mengadu kekerasan. Ia menghindar ke
sebelah kanan.
Karena keduanya menghindar ke kanan dan ke kiri, angin pukulan Nyo Bun-giau itu
terus meluncur ke arah Han Ping. Saat itu Han Ping sedang kerahkan tenaga untuk
mencegah pintu batu menutup. Ketika merasa angin pukulan Nyo Bun-giau menyambar, ia
mengeluh, “Celaka! Aku pasti mati sekarang!”
Tetapi manusia tentu akan berdaya sekuat tenaga apabila menghadapi bahaya maut,
Demikian pun Han Ping. Ia tak mau mati konyol. Sekali mengempos semangat, ia
mendorong pintu batu itu. Seteiah pintu batu menyurut mundur beberapa inci, ia berkisar
ke samping untuk menyongsong pukulan Nyo Bun-giau.
Dess….terjadilah benturan dahsyat. Tubuh Han Ping agak gemetar sedikit tetapi tetap
tegak di tempat. Saat itu terdengar bunyi menggerodak keras. Pintu batu telah menutup.
Memandang ke muka, Han Ping melihat Nyo Bun-giau terdorong mundur beberapa
langkah.
Saat keduanya saling berpandangan dengan wajah mengerut keheranan.
Ih Seng dan Kim Loji yang hendak menyerang, pun ikut tertegun melihat peristiwa itu.
Mereka heran mengapa Han Ping dan Nyo Bun-giau saling berpandangan Kemudian Han
ping mamandang ke wuwungan ruang dan kerutkau alis, seperti orang yang sedang
merenung.
“Saudara Ji tentu sedang memikirkan sesuatu hal yang penting. Jangan
mengganggunya. Lebih baik kita beresi orang she Nyo itu dulu….” seru Kim Loji.
Kim Loji memang seorang persilatan yang sudah kenyang makan asam garam dunia
persilatan. Ia percaya bahwa saat itu bukanlah karena mengagumi kesaktian lawan maka
Han Ping tegak termenung seperti itu. Melainkan tentu sedang mencari-cari alat rahasia
dari makam itu. Ia kuatir mengganggu ketenangan pemuda itu maka ia segera mengajak
Ih Seng melakukan serbuan kepada Nyo bun-giau agar orang she Nyo itu jangan
mengacau pikiran Han Ping juga.
Ih Seng juga seorang tokoh yang kenyang pengalaman. Cepat ia dapat menanggapi
maksud Kim Loji. Tanpa menyahut, ia segera loncat menusuk dada Nyo Bun-giau.
Sesungguhnya Nyo Bun-giau memang sedang memikirkan sebuah soal yang rumit.
Tampaknya ia tak mengacuhkan serangan Ih Seng itu. Tetapi pada saat ujung pedang
hampir mengenai dadanya, barulah ia menampar dengan tangan kiri dan menendang
perut Ih Seng.
Karena pedangnya tertampar ke sisi, Ih Seng segera menutuk dengan kipas-besi tetapi
terpaksa menarik diri mundur untuk menghindari tendangan Nyo Bun-giau.
Tetapi begitu mengundurkan Ih Seng, Nyo Bun-giau merasa terlanda oleh angin keras.
In tahu tentulah Kim Loji yang memukulnya. Marahlah ia. Serentak ia balikkan tangan
menyongsong pukulan orang.
Kim Loji terkejut. Ia tahu bagaimana kesaktian Nyo Bun-giau. Melihat orang memukul
ke belakang, tahulah ia kalau pakulan itu tentu hebat sekali. Cepat-cepat ia
mengendapkan tubuh lalu loncat ke samping.
Melihat Nyo Bun-giau tengah menghantam Kim Loji, Ih Seng gunakan kesempatan itu
untuk secepat kilat menutuk lagi. Tetapi dengan tertawa dingin, Nyo Bun-giau segera
tamparkan tangan kiri untuk menindih pedang Ih Seng.
Serangan Ih Seng itu dilakukan secara mendadak. Ia kira karena musuh tak menerka
tentulah serangan itu akan berhasil. Tetapi alangkah kejutnya ketika tanpa menghindar
Nyo Bun-giau malah menampar pedang dan menindihkan tangannya. Seketika ia rasakan
tubuhnya tergetar, pedang mengendap ke bawah dan hampir terlepas jatuh ….. .
Sudah berpuluh tahun Ih Seng mengangkat nama dalam dunia persilatan dengan gelar
Pedangperak Kipas besi. Jika pedangnya sampai dijatuhkan orang hanya dengan tangan
kosong, ia merasa malu sekali. Kelak tentu tak mungkin ia dapat berdiri di dunia persilatan
lagi. Memikir sampai di situ, ia nekad. Dengan mengempos semangat, ia tak mau menarik
pedangnya tetapi malah melangkah maju terus menutuk pelipis Nyo Bun-giau.
Pelipis memang bukan jalan darah maut, tetapi merupakan salah satu jalan darah yang
membawa kepingsanan. Sudah tentu Nyo Bun-giau tak mau menghadapi resiko itu. Tetapi
baru ia hendak berkisar menghindar, tiba-tiba Kim Loji menyerangnya dari samping.
Dalam keadaan begitu tak mungkin lagi Nyo Bun giau hendak menghindar. Karena
terdesak begitu rupa, marahlah Nyo Bun- giau. Dengan tertawa sinis, sekonyong-konyong
ia mengendap ke bawah. Dengan tangan kanan ia menahan pukulan Kim Loji. Kemudian
tangan kirinya menebar terus menjepit batang pedang lalu menggentakkan ke atas.
Terdengar dengus tertahan dari mulut Ih Seng ketika pedangnya berpindah ke tangan Nyo
Bun giau.
Setelah merebut pedang, secepat kilat Nyo Bun-giau terus menyerang Kim Loji dan Ih
seng.
Bukan kepalang malu dan marah Ih Seng.
ketika pedangnya direbut musuh itu Kipas dipindah ke tangan kanan, lalu ia menampar
Nyo Bun-giau dengan kipas dan pukulan tangan kiri. Kim Lojipun juga menyerang dari
samping.
Tetapi Nyo Bun giau tak gentar. Sambil melayani serangan dari muka dan samping itu
ia masib dapat mencuri kesempatan untuk melirik ke arah Han Ping. Ia heran mengapa
pemuda itu masih tampak termangu-mangu. Melihat itu timbullah pikirannya. Kalau tidak
menggunakan kesempatan selagi pemuda itu masih termenung-menung, tentu sukar
untuk membasmi Kim Loji dam Ih Seng.
Dengan tertawa dingin ia taburkan pedang dan seketika itu juga lengan baju Ih Seng
segera terpapas kutung. Buru-buru Ih Seng menyurut mundur. Tetapi belum ia berdiri
tegak, pedang Nyo Bungiau sudah mengejarnya, menusuk ke dada.
Ih Seng hendak menangkis dengan kipasnya tetapi se-konyong2 pedang, Nyo Bun-giau
tergetar oleh serangan angin yang bertenaga dabsyat. Orang she Nyo itu berpaling. Ah….
ternyata Han Ping sudah loncat ke sampingnya.
Sudah banyak tokoh-tokoh sakti yang Nyo Bun-giau hadapi selama berkecimpung
dalam dunia persilatan. Walaupun ia menyadari bahwa pemuda memang sakti, tetapi
sedikit pun ia tak menduga kalau gerakan pemuda itu sedemikian cepat sekali sehingga ia
tak mampu mengetahui lebih dahulu.
Buru-buru orang she Nyo itu loncat ke samping tiga langkah lalu tegak berdiri sambil
melintangkan pedang ke dada dan menatap dingin ke arah Han Ping.
Tetapi setetah dapat menampar pedang Nyo Bun-giau, Han Ping tak mau mengejar. Ia
berdiri di tempat dan berseru hamhar, “Nyo lo-pohcu, engkau sudah tua tetapi mengapa
hatimu begitu ganas hendak membunuh orang?”
Nyo Bun-giau mendengus dingin. “Bukan aku seorang ganas tetapi karena saudara
jarang keluar di dunia persilatan maka tak tahu bahwa kedua orang itu…..”
Kim Lojipun kuatir rencananya terbongkar, buru-buru ia menyelutuk, “Walaupun kami
berdua bukan tokoh yang hebat, tetapi tidaklah seganas dan selicin saudara Nyo. Masakan
hendak menutup kami berdua dan saudara Ji di dalam makam ini. Bukankah itu suatu
tindakan yang sangat kejam sekali…..!”
Kemudian Kim Loji berpaling ke arah Han Ping dan berkata lagi, “Jika tidak karena takut
akan pedang Pemutus Asmara di tangan saudara, kemungkinan dia tentu tak memandang
mata padamu lagi…..”
Han Ping seorang muda yang masih mudah terangsang darahnya. Mendengar ucapan
Kim Loji, segera ia tertawa nyaring dan menantang.
“Kalau Nyo pohcu memang menginginkan, aku sebagai angkatan muda takkan
mengandalkan senjata pusaka untuk menekan orang.”
Tetapi secepat itu Nyo Bun-giau sudah mendamprat Kim Loji. “Tak usah saudara Kim
bermain lidah tajam. Karena bagaimanapun juga jangan harap engkau dapat keluar dari
makam ini!”
Ia menutup kata-katanya dengan sebuah tusukan kepada Kim Loji. Ia menyadari bahwa
kedudukannya saat itu memang kurang menguntungkan. Lebih baik ia mendahului turun
tangan lebih dulu….
Kim Loji terkejut tetapi sudah tak keburu menghindar lagi. Untunglah pada saat
berbahaya itu Han Ping loncat dan menghantam pedang Nyo Bun-giau sehingga menyisih
ke samping.
Duakali serangannya digagalkan pemuda itu, marahlah Nyo Bun-giau. Cepat ia berputar
tubuh dan lintangkan pedang. Ditatapnya pemuda itu dengan murka tetapi ia tak segera
menyerangnya.
Han Ping pindahkan pedang pusakanya ke tangan kiri lalu tertawa. “Harap jangan
kuatir, tak nanti aku mencari kemenangan dengan mengandalkan pedang pusaka ini.”
Betapapun sabarnya tetapi kali ini Nyo Bun-giau benar-benar tersinggung mendengar
tantangan itu. Sekali gerak, pedang-perak bertabur menjadi lingkaran sinar perak dan
pada lain saat terus menusuk kepada Han Ping. “Ahh… saudara benar-benar seorang
pemuda gagah. Ingin aku mendapat pelajaranmu!”
Ia memang seorang jago tua yang licin. Dengan kata-kata merendah itu, ia menjunjung
tinggi Han Ping. Tetapi sesungguhnya suatu kata-kata untuk menghadang agar Han Ping
benar-benar tak menggunakan pedang pusakanya.
Han Ping sedikit miringkan tubuh ke samping lalu balas menghantam pedang. Karena
tahu pukulan pemuda itu hebat sekali, Nyo Bun giau tak berani mengadu kekuatan. Ia
mengendap terus menyelinap ke samping.
“Saudara Ji, jangan kena diselomoti omongan……” tiba-tiba Kim Loji berteriak tetapi
seketika itu juga ia menjerit ngeri dan tubuhnya muncratkan darah segar.
Kiranya saat itu Nyo Bun-giau sudah kemasukan iblis pembunuh. Menggunakan
kesempatan Kim Loji sedang berseru, tanpa berkisar langkah ia miringkan tubuh dan
menusuk, Kim Loji terkejut dan hendak menghindar ke samping tetapi bahunya terkena
pedang. Padang menyusup sampai tembus. Maka begitu Nyo Bun-giau menarik kembali
pedangnya, bahu Kim Loji memancurkan darah sejauh beberapa meter…
“saudara Nyo sungguh ganas sekali!” Han Ping mendengus dingin lalu maju
menyerang.
Dengan napas ter-engah2, Kim Loji paksakan diri berseru, “Saudara Ji, desak dia….
menyerahkan kotak.. pedang.”
Dia seorang julig dan ganas. “Kotak pedang itu merupakan peta bangunan makam tua
ini. Jika berada padanya, sungguh tak menguntungkan pada kalian berdua …..” habis
berkata orang she Kim itu terus terkulai rubuh.
Pada saat itu Han Ping sedang menyerang maju.
Mendengar kata-kata Kim Loji, ia mundur lagi. Saat itu digunakan oleh Nyo Bun-giau
untuk menyurut mundur juga. Dan pada saat Kim Loji rubuh, Nyo Bun-giaupun sudah
berada di samping dinding tembok terus hendak gerakkan alat rahasia. Tetapi Han Ping
yang menyadari tindakan orang she Nyo itu, dengan menggembor keras lompat menyerbu
lagi seraya lepaskan sebuah hantaman.
Pukulan itu memancarkan gulombang tenaga yang dahsyat sekali sehingga Nyo Bungiau
terpaksa loncat menghindar ke samping. Tetapi sambil menghindar, tangannya kiri
sempat mengebut pada alat rahasia, Seketika terdengar bunyi barderak2 dari dinding yang
merekah. Sebuah pintu terpentang.
Cepat Han Ping melangkah ke samping pintu baru itu dan memandang Nyo Bun-giau
dengan dingin. “Jika engkau tak mau mengembalikan kotak pedang itu, jangan harap kita
bisa keluar dari makam ini!”
Berpaling ke belakang, Nyo Bun-giau dapatkan Ih Seng membalut luka Kim Loji lalu
memapahnya ke sudut ruangan. Mereka agak jauh jaraknya. Diam-diam orang she Nyo itu
menimang dalam hati, “Pemuda ini sakti sekali kepandaiannya. Dibantu oleh Kim Loji yang
luas pengalaman serta Ih Seng. Baik adu kecerdikan maupun kesaktian, belum tentu aku
dapat menang. Baiklah kugunakan siasat untuk mengadu domba mereka saja, agar
kekuatan mereka terpecah telah. Asal kedua orang orang itu kuhancurkan dulu, tentu
mudah untuk menutup mereka dalam makam ini. Kalau aku kembali kemari lagi dan
mengambil pedang Pemutus Asmara dari mayat mereka ……”
Setelah menetapkan rencana, ia lintangkan pedang den tersenyum, “Kata-kat Kim Loji
memang benar. Kotak pedang itu memang merupakan peta dari bangunan ini. Tetapi
lukisan peta itu tidak semua sama dengan kenyataannya. Demikianpun tentang
ukurannya. Ahli bangunan siapapun tentu sukar untuk memperhitungkan peta dengan bermacam2
alat rahasia dalam makam ini. Hampir separuh hidup, kuabdikan dalam ilmu
bangunan. Walaupun tak termasuk ahli, tetapi aku mempunyai pengetahuan juga tentang
ilmu lain. Tetapi jika tak membuktikan sandiri keadaan makam ini dan hanya menurut
lukisan peta pada kotak pedang itu, tentu sukar untuk menemukan alat2 rahasia makam
ini!”
Han Ping tertawa dingin, “Kalau begitu, hanya Nyo lo- pohcu sendiri saja yang mampu
mengetahui rahasia peta pada kotak pedang itu? “
Nyo Bun-giau tertawa, “Ini sukar dikata. Jika aku tak mampu, mungkin di dunia sukar
dicari ahli yang dapat menerangkan rahasia peta itu!”
Sejenak bethenti, ia melanjutkan pula, “Walau pun sukar memperhitungkan keadaan
peta itu, tetapi kalau bisa membuktikan dengan penyelidikan sendiri, tentu akhirnya dapat
juga menemukan letak alat rahasia di makam ini….” tiba-tiba ia hentikan kata-katanya.
Tertegun sesaat, Han Ping berkata, “Betapa pun halnya, tetapi kotak pedang itu adalah
milikku. Sekalipun tak dapat keluar dari makam ini, kotak itu tetap kuminta!”
Nyo Bun-giau tersenyum, “Makam ini penuh dengan alat’ dan pekakas rahasia yang
berbahaya. Sekali kita tak hati-hati, alat rahasia itu tentu akan mencelakai kita. Pikirku,
begitu keluar dari makam ini baru akan kukembalikan kotak pedang itu kepadamu!”
“Apa bedanya kalau menyarahkan kembali kotak pedang itu lebih dulu??? “ seru
Pedang-perak Ih Seng dengan tertawa sinis.
“Benar, harap Nyo lo-pohcu suka mengembalikan kotak itu dulu,” seru Han Ping.
Nyo Bun-giau memang seorang rubah yang licin. Melihat galagat, ia tak mau ngotot.
Diambilnya kotak pedang. Diam-diam ia kerahkan tenaga- dalam untuk melekatkan
permukaan kotak yang berlukiskan peta itu ke kulitnya. Kemudian ia menekan kotak itu
untuk merusakkan sebagian lukisannya, lalu berkata dengan ramah, “Kalau saudara
menghendaki kotak peang ini, akupun dengan senang akan menyerahkan!”
Setelah menerima kotak, Han Ping segera menyarungkan pedang pusakanya. Lalu ia
menyisih ke pinggir pintu, ujarnya, “Aku bertindak menurut garis yang terang. Karena tak
mengetahui pertikaian antara Nyo lo-pohcu dengan saudara Kim, maka aku tak suka ikut
campur….”
Ia berpaling kepada Kim Loji, “Tindakanmu mencuri kotak pedangku ini, untuk
sementara hanya kucatat saja. Kelak kita perhitungkan lagi. Saudara Ih, mari kita pergi!”
“Tunggu!” tiba-tiba Kim Loji menggeliat duduk. “Apa maksudmu?”
“Makam ini penuh dengan alat-alat rahasia. Kecuali Nyo Bun-giau yang menunjuk jalan,
tak mungkin kita bisa keluar dari sini….” seru Kim Loji seraya memandang ke arah 4 buah
peti yang terisi harta karun itu.
Kuatir Kim Loji membocorkan isi peti itu, buru-buru Nyo Bun-giau berseru, “Bertemu
berarti berjodoh. Kalau masih percaya padaku, aku tentu senang sekali untuk
menunjukkan jalan. Tetapi tampaknya makam ini penuh dengan alat rahasia, terpaksa
akan mohon pinjam kotak pedang saudara Ji lagi!”
Han Ping menyadari memang makam itu penuh dengan rintangan yang berbahaya.
Kecuali alat-alat rahasia yang membawa maut, pun terdapat ular dan binatang yang
beracun lainnya.
“Kalau begitu kotak pedangku ini harus kuserahkan kembali kepada saudara Nyo?” kata
Han ping.
“Ahhh, tak perlu,” Nyo Bun-giau tertawa, “Nanti saja apabila menghadapi kesulitan baru
aku pinjam sebentar…. “ habis berkata ia terus melangkah dulu. Dia kuatir Kim Loji akan
membuka rahasia peti harta itu maka cepat-cepat ia melangkah keluar.
Han Ping segera mengikuti, lalu Ih Seng sambil memapah Kim Loji.
Diam-diam Nyo Bun-giau telah mencatat dalam hati keadaan jalan2 di makam itu.
Tetapi ia pura-pura seperti menghadapi kesulitan. Setiap kali berjalan beberapa saat, ia
tentu meminjam kotak pedang dari Han Ping. Setelah memeriksa sebentar baru dia
mencari alat rahasia dan berhasil membuka pintunya. Hingga sepertanak nasi lamanya,
baru mereka dapat melintasi 5 buah ruang batu dan tiba di terowongan.
Saat itu teganglah hati Nyo Bun-giau. Karena setelah menyusuri terowongan itu,
lenyaplah harapannya untuk menutup ketiga orang itu dalam makam.
Ia menghadapi dua kemungkinan yang penuh resiko. Jika sampai salah
memperhitungkan alat rahasia dalam terowongan itu, atau kalau alat rahasia macet, ia
tentu akan dikeroyok ketiga orang itu. Walaupun belum tentu kalah tetapi sekurangkurangnya
tentu menghambat waktunya untuk menerobos keluar dari makam. Dan kalau
perhitungannya benar, maka rahasia dalam terowongan itu pasti akan bekerja. Ah, ia dan
ketiga orang yang handak disingkirkan itu, tentu akan tertutup dalam makam itu untuk
selama-lamanya.
Tetapi dia seorang jago tua yang masak perhitungannya. Sebelum yakin berhasil, ia tak
mau sembarangan bertindak. Maka sampai hampir men-dekati ujung terowongan, belum
juga ia turun tangan.
Setelah melalui dua buah tikungan, mereka menghadapi tiga buah ruang batu. Han
Ping kerutkan alis, katanya, “Ujung terowongan sudah habis, mengapa belum tampak….”
Nyo Ban-giau batuk-batuk, sahutnya, “Setelah keluar dari pintu terowongan ini, di atas
tiga buah ruang batu. Ah, tetapi di sebelah mana, perlu kuperiksa lagi baru dapat
menentukan!”
“Tak perlu memeriksa lagi. Jika pada ketiga ruang batu itu benar ada pintunya, tentu di
tembok sebelah muka!” kara Ih Seng.
“Belum tentu itu,” jawab Nyo Bun-giau yang se-konyong-konyong meluncur ke tembok
sebelah kiri dan menampar. Karena lengan bajunya agak gerombyongan dan dilakukan
dengan cepat, tamparan itu tak diketahui orang. Apalagi setelah menampar ia cepat
mundur lagi beberapa langkah. Dan cepat mengalingi pandangan mata Han Ping.
Seketika terdengar bunyi berderak-derak dan tempat yang mereka tempati itu mulai
bergerak. Buru-buru Kim Loji membisiki Han Ping, “Harap saudara Ji memperhatikan dia….
“
Tiba-tiba Han Ping maju selangkah dan secepat kilat melekatkan pedang Pemutus
Asmara di leher Nyo Bun-giau. Nyo Bun-giau menggigil tetapi ia tetap bersikap tenang.
Tampa berpaling ia menegur, “Apakah maksud saudara?”
“Harap Nyo lo-pohcu jangan mengandung pikiran yang jahat. Kalau ada seorangpun
yang tak dapat keluar dari sini, jangan harap Nyo lopohcu dapat keluar dari sini juga!”
Nyo Bun-giau batuk-batuk kecil, sahutnya, “Kalau aku mempunyai pikiran untuk
mencelakai kalian, masakah kalian dapat mancapai terowongan ini? “
“Kalau saudara Nyo tiada kotak pedang itu, mungkin saudara tak dapat menemukan
terowongan itu,” seru Ih Seng.
Nyo Bun-giau tersenyum, “Benar…. “ tetapi diam-diam ia memaki orang she Ih itu,
“Huh, bangsat, engkau menganggap aku ini orang apa? Hm, gambar peta pada kotak
pedang itu telah kurusakkan, jangan harap kalian dapat menggunakan peta itu lagi!”
Bunyi derak berhenti dan terbukalah sebuah pintu yang lebarnya hampir satu meter.
“Kalau masuk ke pintu itu, harap cepat-cepat saja. Terowongan di belakang pintu itu
mempunyai batas waktu tertentu. Kalau terlambat, terowongan itu akan menutup lagi!”
Habis berkata ia terus mendahului masuk.
Dengan menghunus pedang Pemutus Asmara, Han Ping tetap mengikati di belakang
Nyo Bun-giau. Sedang Ih Seng dan Kim Loji berada dua meter di belakang Han Ping.
Teroworgan gelap sekali tetapi datar dan rata. Dinding terowongan terbuat dari batu
hitam yang lembab dan mengeluarkan hawa memuakkan. Suatu pertanda bahwa lorong
terowongan itu tak pernah dijelajahi manusia.
Kira-kira belasan tombak jauhnya, mereka mulai mendaki sebuah titian tingkat tujuh.
Ketika tiba di ujung terakhir, Nyo Bun-giau mendorongkan tangannya. Terdengar suara
berderak dan sebuah papan batu terangkat naik. Dengan cepat Nyo Bun-giau terus
menerobos masuk Han Ping pun cepat-cepat mengikuti.
Ternyata mereka berada di sebuah peti mati batu yang istimewa buatannya. Tingginya
seperti orang, lebar kira-kira setengah meter. Dindingnya mengkilap halus, penuh dengan
ukiran setan.
Diam-diam Han Ping menghela napas. Ia merasa, kalau sebelumnya dapat menemukan
tempat sepelik itu, tentulah ia sudah dapat menyelesaikan beberapa pelajaran dari kitab
Tat-mo ih kin-keng.
Ketika Nyo Bun-giau mendorong peti batu itu, dinding peti berputar dan merekah
sebuah pintu miring.
Ketika memasuki pintu itu kembali mereka menyusur terowongan. Bebarapa tombak
jauhnya, terowongan itu naik kaatas, kira-kira menanjak lagi sampai dua tiga meter. Di
sebelah alas tampak sebuah peti baru lagi. Dan sekali mendorong, Nyo Bun-giau dapat
membuka peti itu. Kini mereka merasa silau oleh sinar matahari.
Dengan menghubungkan peti-mati kayu pada batu nisan, diperolehlah sebuah pintu
rahasia yang sukar diketahui orang. Sungguh hebat sekali Ko Tok lojin itu.” Nyo Bun-giau
memuji.
Han Ping loncat ke atas lalu membuka peti-mati kayu dan berseru kepada kawan2nya,
“Lekas keluar!”
Nyo Bun-giau loncat keluar. Ih Seng dengan mendukung Kim Lojipun segera
mengakuti. Brak, begitu dilepaskan, peti-mati itu menutup pula. Sedikitpun orang tak
mengira bahwa peti mati dan batu nisan itu merupakan sebuah pintu rahasia yang
istimewa.
Angin musim gugur berhembus. Daun kuning berhamburan memasuki kuburan. Kini
mereka berada baberapa puluh tombak jauhnya dari makam Ko Tok Lojin.
Tiba-tiba Kim Loji mendengus. lalu memaki-maki, “Paderi bisa melarikan diri tetapi
gerejanya tetap dapat lari. Kim Loji jika tak dapat mengobrak-abrik sarang Nyo ke poh,
bersumpah tak mau jadi manusia lagi.”
Kiranya setelah keluar dari makam seram itu, selagi sekalian orang tengah memandang
dengan penuh rasa seram pada sekeliling tanah kuburan itu, diam-diam Nyo Bun-giau
telah menyelinap. Ketika Kim Loji berpaling, ternyata orang she Nyo itu sudah jauh
berpuluh-puluh tombak.
“Hm, di antara Sam koh dan Sam poh, memang tiada manusia yang baik,” Ih Seng
memberi tanggapan.
Kim Loji masih menyumpahi panjang pendek. Sejak apa yang disebut It-kiong (sebuah
istana), Ji-koh (Dua Lembah) dan Sam-poh (Tiga marga) muncul, rusaklah kepercayaan
dunia persilatan. Padahal orang persilatan paling memegang teguh Kepercayaan.
Kemudian sambil memandang lengannya yang kutung sebelah, Kim Loji menyatakan,
“Jika tiada mendapat bantuan kalian, saat ini aku tentu sudah menjadi setan penunggu
makam ini. Bukannya aku takut mati tetapi yang penting, rahasia makam itu tentu akan
terpendam selama-lamanya…..”
“Saudara Kim luas pengalaman dan luas pergaulan. Tetapi mengapa saudara memilih
mengajak Nyo Bun-giau?” tanya Ih Seng.
“Dalam kalangan Sam-poh dia terkenal sebagai seorang ahli bangunan yang jempol.
Pula biasanya jujur dan setia. Siapa tahu ternyata dia seekor harimau berselimut domba .
…. .” tiba-tiba ia teringat akan semua pengalaman getir yang dialaminya selama masuk ke
dalam makam. Karena malu ia hentikan kata-katanya.
Mengingat hari masih pagi sekali maka Ih Seng mengajak beristirahat di daerah
kuburan situ. Karena lukanya masih nyeri sekali, Kim Loji setuju. Ia mendahului menuju ke
bawah sebatang pohon Pek-yang. Di situ ia duduk bersemedhi menjalankan pernapasan
dan tenaga-dalam.
Sesungguhnya Han Ping tak senang terhadap Kim Loji. Tetapi karena Ih Seng
tampaknya cocok dengan orang itu, terpaksa ia ikut duduk di belakang mereka.
Selama berada dalam makam tadi, ia telah kerahkan seluruh tenaga-murni untuk
menahan lukanya, Tetapi kini setelah beristirahat, hawa-murni yang menyalur ke seluruh
uratnadinya tenang kembali. Seketika segumpal darah panas meluap keluar dari mulut.
Huak…. ia muntah darah lalu rubuh tak ingat diri lagi.
Buru-buru Ih Seng menolongnya, “Saudara Kim, engkau…..”
Kim Loji tertawa getir, sahutnya, “Pukulan maut dari Nyo Bun-giau telah
menghancurkan urat2 jantungku. Dikuatirkan aku tak dapat meninggalkan tempat ini
dengan selamat…….”
Ia memandang sekeliling penjuru kuburan, katanya pula, “Jika kalian mempunyai
urusan, silahkan. Aku mungkin tak kuat bertahan lagi!”
Karena tergerak mendengar kata-kata Kim Loji yang merawankan itu, Han Ping segera
menghampiri, katanya, “Harap saudara Kim duduk yang baik biarlah kusalurkan hawa
murniku ke dalam tubuhmu. Asal engkau mampu mengumpul hawamurni yang terpencar
itu, engkau tentu selamat!”
Tiba-tiba Kim Loji menengadahkan kepala memandang cakrawala lalu tertawa nyaring.
Tetapi karena napasnya tak cukup, setengah jalan ia berhenti tertawa.
Han Ping segera duduk di belakang Kim Loji dan membisiki Ih Seng, “Orang itu
menderita luka dalam yang parah sekali. Hanya berkat tenaga-dalamnya yang kokoh ia
masih kuat bertahan. Tetapi ia telah melanggar peraturan sehingga hawa-nurninya
terpencar. Jika tak lekas diusahakan untuk mengumpulkan hawa-murni itu lagi, jiwanya
pasti terancam. ..” habis berkata ia terus menyanggah tubuh Kim Loji.
Kedengaran Kim Loji mengigau seorang diri, “Arwah saudara Ing di alam baka…… tentu
mengetahui…. maafkan aku tak mampu membalaskan sakit hatimu…
Han Ping tertegun dan tak jadi menyalurkan tenaga-murninya. Tetapi setelah berkata
itu, napas Kim Loji terengah-engah dan tak sanggup melanjutkan kata-katanya dengan
jelas, Han Ping tersadar. Cepat ia lekatkan tangannya ke punggung Kim Loji dan mulai
menyalurkan tenaga-dalamnya.
Berkat bantuan pemuda itu, dapatlah hawa-murni dalam tubuh Kim Loji yang terpencar
itu mulai berpusat jadi satu lagi. Segera ia dapat sadarkan diri dan terus duduk
menyalurkan napas. Setelah muntahkan darah lagi, ia menghela napas longgar dan
membuka mata lalu menghaturkan terima kasih kepada Han Ping.
“Adakala yang engkau sebut sebagai saudara tadi orang she Ji?” serentak Han Ping
bertanya.
“Kapankah aku mengatakan begitu……” tiba-tiba wajah Kim Loji berobah.
“Benar, memang tadi saudara Kim telah mengatakan begitu. Aku juga mendengar
sendiri!” seru Ih Seng.
Han Ping suruh Kim Loji beristirahat dulu dan jangan banyak bicara, Kim Loji menurut.
Diam-diam ia menimang. Baik memberitahukan kandungan hatinya selama ini atau tidak.
Tak berapa lama mataharipun muncul dan menyinari ketiga orang itu. Sikap ketiga orang
itu berbeda-beda. Han Ping tampak gelisah seperti menunggu sesuatu.
Kim Loji kerutkan dahi seperti merenungkan sesuatu hal yang sulit. Sedang Kipas-besipedang-
perak Ih Sang keliarkan pandang matanya ke sekeliling penjuru.
Kira-kira sepertanak nasi lamanya, barulah Kim Loji membuka mata dan memandang
Han Ping, ujarnya. “Walaupun saudara telah melepaskan budi besar kepadaku, tetapi soal
itu adalah suatu rahasia besar dalam hidupku. Sungguh sukar untuk memberitahukan
pada lain orang.”
Ia berhenti sejenak lalu, “Namun demi membalas budi saudara ini, hendak kuceritakan
tentang sebuah peristiwa besar yang menggetarkan dunia persilatan.”
Han Ping gelengkan kepala, “Samasekali aku takkan mendasarkan pembalasan budi
untuk mendesak lo-cianpwe. Hanya karena tadi lo-cianpwe omong sendiri…..” tiba-tiba
pemuda itu menghela napas dan berkata lagi, “Kalau lo-cianpwe tak suka mengatakan, tak
perlulah. Pertemuan kita kali ini juga termasuk jodoh. Berdasarkan atas hal-hal ini, aku tak
mau menarik panjang lagi soal kotak pedang itu!”
Kim Loji tertawa lepas, “Tigapuluh tahun yang lalu, watakkupun serupa dengan siauenghiong
sekarang ini. Penuh dengan sifat gagah perwira, selalu memegang kata-kata.
Tetapi duapuluk tahun belakangan ini, aku telah berobah. Kulihat Prilaku jujur dalam dunia
persilatan sudah lenyap, Kepercayaan rusak. Masing2 orang main siasat. Selain mengadu
kesaktian juga menggunakan tipu mauslihat. Tanpa terasa akupun telah terhinggap
penyakit itu dan perangaiku menjadi buruk. Tetapi saat ini setelah berhadapan dengan
saudara, hatiku malu sendiri ….”
“Ah, janganlah lo-cianpwe keliwat menyanjung sedemikian rupa. Aku sungguh tak
berani menerima pujian semacam itu. Maaf, aku hendak mobon diri,” habis berkata Han
Ping memberi hormat terus berputar diri melangkah pergi.
Cepat-cepat Ih Seng loncat seraya berteriak, “Hai, hendak kemana saudara Ji ini? Aku
yang telah menerima budimu, belum….”
Han Ping berpaling tertawa, “Dalam dunia persilatan sudah jamak apabila saling tolong
menolong. Tak perlu menganggap hal itu suatu budi.”
“Aku kagum sekali akan pribadimu. Aku bersedia menjadi pelayanmu……..”
oooo000oooooo
Tiga pendekar Lam-gak.
“Ah, mana bisa,” Han Ping tertawa nyaring, “saudara Ih adalah pemimpin dari dunia
Rimba Hijau empat propinsi. Masakan Han Ping pemuda yang tak ternama berani berlaku
kurang ajar kepadanamu….”
“Jika engkau mau menerima aku sebagai pengikutmu, sekalipun diangkat menjadi
pemimpin Rimba Hijau dunia, aku tak mau menerima!”
“Aku seorang kelana sebatang kara. Tiada mempunyai tempat meneduh tertentu.
Maksud saudara Ih yang mulia, kuhaturkan terima kasih.”
Ih Seng tertawa gelak2, “Hampir separo hidupku berkecimpung dalam dunia persilatan,
aku tak mendapat hasil apa-apa. Tetapi aku faham tentang keadaan setiap tempat dan
gunung. Jika tak menolak, aku bersedia menjadi penunjuk jalan saudara. Akan kuantar
saudara untuk pesiar ke seluruh tempat yang indah alamnya.”
Han Ping menghela napas hambar, ujarnya, “Terima kasih atas budi kecintaan saudara
Ih. Tetapi sesungguhnya aku mempunyai kesulitan untuk menceritakan. Kelak apabila soal
budi dan dendam itu sudah selesai, aku tentu akan menerima ajakan saudara untuk pesiar
ke seluruh penjuru negeri .. . Habis berkata ia terus berputar diri dan ayunkan langkah.
“Saudara Ji, harap suka berhenti dulu,” tiba-tiba Kim Loji berseru, “Aku hendak mohon
tanya sebuah hal…..!”
Ia terus lari memburu. Han Ping terpaksa berpaling den menanyakan maksud orang she
Kim itu.
“Bukankah saudara orang the Ji?” sepasang mata Kim Loji melekat pada wajah pemuda
itu. Han Ping mengiakan.
Setelah beberapa saat meneliti wajah Han Ping, Kim Loji berkata, “Apakah ayah dan
ibumu masih hidup?”
Pertanyaan itu bagaikan sembilu menyayat ulu hati Han Ping. Seketika bercucuranlah
airmatanya, “Terus terang, ayahku sudah meninggal sedang ibu belum ketahuan
nasibnya.”
Kim Loji termenung sejenak, lalu bertanya pula, “Apakah ayahmu bernama Ji Ing?”
“Benar,” sahut Han Ping, “ketika tak sadar tadi, Lo-cianpwe memang mengingau nama
ayahku.”
“Di dunia banyak orang yang bernama Ji Ing. Mengapa engkau berani menentukan
bahwa yang kuigaukan tadi ayahmu?”
Han Ping tertegun tak dapat menjawab. Beberapa saat kemudian baru ia berkata,
“Memang aku tak berani menetapkan. Tetapi pernah kudengar guruku menuturkan sedikit
tentang diri ayah. Walaupun ketika itu aku masih kecil dan tak mengerti jelas, tetapi
sebagian besar aku masih dapat mengingat ……”
“Siapakah gurumu?”
“Guruku bernama Nio Siu, bersahabat baik dengan ayah. Jika tiada ditolong guru,
mungkin aku sudah mati dulu2. Ah, tetapi karena menolong diriku itu, guruku telah
dibunuh prang. Yang paling menyakitkan hatiku, putera satu2nya dari gurukupun dibunuh
karena dikira diriku.”
Mendengar sampai disitu, bercucuranlah air-mata Kim Loji. Katanya dengan nada
rawan, “Ka.. lau begitu engkau bernar-benar tetesan darah Ih-heng…. Ah, nak….
ketahuilah bahwa di dunia ini masih terdapat seorang manusia yang berusaha hendak
membalas sakit hati orangtuamu. Tak peduli dihina orang dan segala penderitaan, dia
telah mengembara di dunia persilatan. Demi melaksanakan tugas itu, dia telah melakukan
hal-hal yang sesungguhnya bertentangan dengan hati nuraninya. Oleh karena itu dia
dicemooh dan dihina oleh tokoh-tokoh partai persilatan …….”
Walaupun sudah berusia setengah abad, tetapi di kala bercerita peristiwa yang sedih,
suara Kim Lojipun terisak-isak.
Han Ping tak tahu bagaimana harus berkata. la hanya tertegun diam.
Setelah menangis beberapa saat, tampaknya perasaan Kim Loji sudah longgar.
Sikapnyapun tenang kembali. Dipandangnya wajah Han Ping lekat-lekat dan berkata
seorang diri, “Belasan tahun tak berjumpa dengan Ih-heng suami isteri, hari ini aku seolah2
melihat bayangan mereka di wajahmu….”
Kim Loji mengangkat kepala memandang ke langit dan komat kamit berdoa, “Oh, Allah,
terima kasih. Ih-heng mempunyai seorang putera yang begini gagah. Percayalah, sakithati
toako tentu dapat terhimpas. Harap Ih-heng mengaso di alam baka dengan tenang.
Melihat sikap Kim Loji yang begitu mesra kepadanya, tergeraklah hati Han Ping. Ia
melangkah maju dua tindak dan memeluk Kim Loji, “Bagaimana lo-cianpwe dengan
ayahku itu?”
Kim Loji ulurkan tangannya yang tinggal sebelah itu untuk membelai kepala Han Ping,
ujarnya, “Aku dengan suhumu Nio Siu itu pada waktu itu telah mengangkat saudara
dengan ayah mu di gunung Lam-gak. Duapuluh tahun berselang, durna persilatan
menggelari kami bertiga sebagai Tiga Pendekar Lam-gak. Ayahmu yang paling tua, lalu
aku dan terakhir Nio Siu….”
Tanpa ragu2 lagi Han Ping segera berlutut memberi hormat kepada Kim Loji, “Harap
paman maafkau kekurang-ajaranku yang telah menghina paman dalam taman tadi.”
Airmata Kim Loji bercucuran pula. Diangkatnya Han Ping bangun, katanya, “Nak,
apakah pamanmu ketiga Nio Siu itu pernah memberi tahu padamu tentang kematian
orangtuamu?”
Han Ping menghela napas, sahutnya, “Belum pernah. Beliau hanya mengatakan bahwa
kedua orangtuaku sudah meninggal. Dia berjanji hendak mengasuhku dengan segenap
tenaga. Dan mengatakan, kelak apabila aku sudah menyelesaikan ilmu pelajaran silat,
suhu akan mengantarkan aku kepada seorang sakti untuk menuntut ilmu kesaktian yang
lebih tinggi ….”
“Kasihan Sam-te. Walaupun telah mencurahkan segenap tenaganya tetapi akhirnya tak
dapat membalas budi kebaikan toako. Entah apakah gurumu pernah membicarakan
tentang diriku juga.”
Han Ping mengatakan belum pernah.
“Sam-te memang seorang yang berhati emas. Walaupun membenci aku tetapi dia tak
mau mencemarkan namaku di hadapan orang ….”
“Sekalipun guru belum pernah menceritakan tentang kematian ayahbundaku tetapi dari
ucapannya setiap hari, dapatlah kuraba sedikit jejaknya,” kata Han Ping, “sudah beberapa
kali kuberusaha untuk mendesak suhu tetapi setiap kali dia tentu menasehati aku supaya
tak memikir hal itu dulu dan melarang aku bertanya lebih lanjut ……….”
“Apakah yang membunuh orangtuaku itu Sin-ciu-it-kun Ih Thian Heng?” tanya Han
Ping.
Mendengar itu menggigillah Ih Seng. Buru-buru ia menyelutuk, “Apa? Ih Thian-heng
pendekar dari bumi Sin-ciu itu seorang yang terhormat, masakan dia akan melakukan
perbuatan sehina itu?”
Tetapi serentak ia hentikan kata-katanya karena menganggap persoalan itu amat
gawat.
Han Ping berpaling ke arah Ih Seng, katanya, “Ih Thian-seng seorang durjana yang
berkedok ksatrya. Dengan mata kepala sendiri kulihat dia membunuh guru dan suhengku.
Masakan dia bukan Ih Thian-seng yang aseli!”
Sekalipun Ih Seng tak ingin berdebat dengan Han Ping tetapi karena ia merasa bahwa
Ih Thianheng itu memang seorang tokoh yang sangat diindahkan oleh kaum persilatan,
tanpa disadari Ih Seng gelengkan kepala, “Sudah tigapuluh tahun lebih Ih tayhiap telah
termasyhur di seluruh Kanglam-Kangpak, Kwan-gwa (luar perbatasan) dan Pian-hong
(daerah negeri tetangga). Baik golongan Putih maupun Hitam semua mengindahkan
padanya. Berpuluh-puluh tahun ini, tak pernah terdengar ia melakukan sesuatu yang
cemar….”
“Tetapi saudara Ih hanya mengukur dari lahiriyah dan tak mengetahui batinnya yang
sebenarnya . .. “ sahut Kim Loji.
“Sekalipun aku kena dikelabuhi oleh perilaku Ih Thian-heng yang pura2 baik, tetapi
masakan seluruh kaum persilatan juga tak punya telinga dan mata?”
Mendengar Ih Seng ngotot membela Ih Thian-seng, marahlah Han Ping, bentaknya,
“Karena saudara begitu mati-matian menjunjung tinggi Ih Thian-seng, akupun tak berani
menerima persahahatan saudara. Silakan saja!”
Sesungguhnya Ih Seng tak mau berbantah dengan anak muda itu. Tetapi dalam hati ia
memang tak puas karena Ih Thian-seng dihina. Setelah merenung beberapa saat,
berkatalah ia, “Budi pertolongan saudara Ji, walaupun mati belum himpas kubalas. Aku
rela mengorbanka jiwa raga dan kedudukan sebagai pemimpin Rimba Hijau dari empat
propinsi agar dapat mengikuti saudara. Itu sudah menjadi tekadku. Tetapi terhadap diri Ih
Thian-seng, betapapun aku tak berani mengatakan apa-apa. Karena dengan mata kepala
sendiri kutahu watak dan pribadinya yang lurus dan jujur. Jika hal itu bukan suatu fitnah
tentulah karena kesalah fahaman yang sengaja ditimbulkan orang!”
Dengan agak gentar Kim Loji berkata, “Thian-seng seorang yang luar biasa cerdiknya.
Dalam melakukan segala tindakan tentu dipikir dan direncanakan semasak-masakaya.
Atau meminjam tangan orang atau bertindak sendiri, selalu dilakukan dengan cermat
sekali. Tak mungkin meninggalkan bekas yang dapat menimbulkan kecurigaan orang.
Jangankan saudara Ih, sekalipun dalam dunia persilatan, sukar mencari orang yang dapat
mengetahui rahasianya. Sudah bertahun-tahun aku sebagai anak buahnya. Banyak hal
yang telah kulakukan untuknya. Jika tidak mengalami dan mengetahui sendiri, memang
tak mungkin mempercayai hal itu.”
“Bicara tiada buktinya, Apakah saudara Kim mempunyai cara agar aku dapat
mempercayai?” selutuk Ih Seng.
“Kita sedang bicara sendiri, siapa suruh engkau banyak mulut?” tegur Han Ping,
“silahkan pergi sebelum aku kehilangan kesabaran!”
“Saudara Ji telah menolong jiwaku, jika saudara hendak membunuh lagi, itu memang
sudah selayaknya,” sahut Ih Seng.
Han Ping loncat dengan marah. Sambil mengangkat tinju ia membentak, “Hmmm,
engkau kira aku takut membunuhmu?”
Kipas-besi-pedang-perak Ih Seng tertawa, “Aku tetap mengagumi dan mengindahkan
saudara Ji. Matipun aku tak menyesal. Tetapi kuharap hendaknya saudara jangan
mengikat permusuhan dengan Ih tayhiap…..”
Heran Han Ping dibuatnya melihat sikap Ih Seng yang walaupun mati tetap membela
Sin-ciuit-kun, Ih Thian-heng.
“Apakah saudara Ih pernah menerima budi dari Ih Thian-heng?” seru Kim Loji.
Ih Seng gelengkan kepala, “Walaupun hanya satu kali saja bertemu dengan Ih tayhiap,
tetapi tak pernah menerima budi apa-apa, namun….”
“Namun bagaimana, silahkan bilang,” desak Kim Loji.
Ih Seng tertawa, “Namun dengan mata kepala sendiri aku pernah menyaksikan
bagaimana telah melerai sebuah perselisihan. Bukan saja lapang dan ramah tamah
tetapipun juga berpijak di atas Kebenaran dan Keadilan. Tidak condong kesana, tidak
cenderung kesini. Selurult hadirin sama tunduk dengan puas dan patuh mendengar
perintahnya….” ia berhenti sejenak lalu melanjutkan pula, “Walaupun memiliki kepandaian
sakti tetapi dia tak menggunakan kekerasan untuk menundukkan orang. Melainkan
dengan kebijaksanaan dan kata-kata yang tegas sehingga menimbulkan rasa kagum
sekalian orang. Jika kelak saudara Ji dapat berternu dengannya tentu mengakui bahwa
kata-kataku ini bukanlah omong kosong!”
Kim Loji tiba-tiba menghela napas pelahan, serunya, “Nak, jangan memukulnya.
Omongannya memang bukan bualan kosong….”
Han Ping agak tertegun Ia menurunkan kembali tinjunya. “Dengan kepala sendiri
kulihat Sin-ciu-it-kun Ih Thian-heng telah membunuh guruku. Apakah hal itu terdapat
pemalsuan…??”
Kim Loji gelengkan kepala tertawa, “Kepandaian Sam-te tidak rendah. Tidak mudah
bagi seorang tokoh persilatan untuk membunuhnya.”
Ia berhenti lalu melanjutkan, “Yang dilihat saudara Ih hanya lahirnya saja maka tak
dapat disesalkan kalau dia begitu mati2an membelanya. Memang aku, Ing-heng dan Samte
pada pertama kali bertemu dengannya juga mempunyai perasaan kagum sehingga
bersedia diperalat. Kemudian setelah bergaul beberapa tahun, barulah menyadari bahwa
dia seorang julig yang amat berbahaya. Ah, di dunia memang banyak sekali manusia2
durjana, tetapi tak mungkin dapat menyamai kelihayan Ih Thian-heng. Dia cerdas dan
cermat sekali. Setiap bertindak tentu berhasil karena sebelumnya tentu dirancang
secermat-cermatnya dan sama sekali tak meninggalkan jejak….”
Ih Seng kerutkan dahi, ujarnya, “Ah, ucapan saudara Kim, benar-benar sukar
meyakinkan orang. Maaf, aku terpaksa mohon diri saja.”
Karena tak suka mendengar pembicaraan semacam itu lagi, ia terus berputar diri
hendak pergi.
“Nanti dulu, saudara Ih. Aku masih hendak bicara sedikit,” seru Kim Loji.
“Watakku lebih baik mati daripada menyerah. Kalau saudara Kim hendak membunuh
aku, aku tetap tak mau mendukung saudara,” sahut Ih Seng.
Kim Loji menghela napas lagi, “Kalau menuruti perbuatanku selama beberapa tahun
terakhir ini, memang hal itu pasti kulakukan. Tetapi ini aku sudah menjadi seorang
manusia baru maka aku hanya akan membeberkan perbuatan2 jahat dari Ih Thian-heng
saja agar saudara Ih suka mendengarkan…..”
Kemudian Kim Loji memandang sejenak ke arah Han Ping lalu beralih memandang ke
langit baru melanjutkan kata-katanya, “Hari ini berantung dapat bertemu dengan anak
Ping. Tugas untuk membalas dendam itu, seluruhnya terletak di bahu anak Ping. Sekalipun
kelak apabila mendengar, Sin-ciu-it-kun Ih Thian-heng akan mencincang tubuhku, aku
tetap puas!”
Kata-kata itu seperti ditujukan kepada Han Ping pun kepada Ih Seng dan seperti juga ia
sedang berkata seorang diri. Sikap Kim Loji memancarkan rasa rawan dan ketakutan. Seolah2
setelah membocorkan rahasia itu, Sin-ciu-it-kun pasti akan mencarinya.
Melihat sikap Kim Loji yang gelisah itu, Ih Seng merasa heran. Pikirnya, “Orang
menyohorkan Kim Loji itu pandai bersilat lidah dan luas pergaulannya. Maka pada setiap
tempat dan saat, banyak orang yang suka mengalah kepadanya. Tetapi mengapa saat ini
dia tampak begitu ketakutan sekali?”
“Saudara Ih dan anak Ping, mari kita cari tempat yang sepi untuk bicara. Akan
kuceritakan dengan jelas semua peristiwa yang menyangkut pembunuhan Ih-heng
kepadamu!” ia terus berputar diri dan mendahului berjalan ke muka.
Han Ping dan Ih Seng segera mengikutinya. Tetapi diam-diam Ih Seng memaki orang
she Kim yang dianggapnya banyak petingkah karena bukankah tanah pekuburan itu sudah
cukup sunyi?
Setelah mencapai puncak, buru-buru Kim Loji duduk bersemedhi memulangkan tenaga.
Ia baru saja sembuh, berjalan tak berapa lama ia sudah merasa letih sekali.
Han Ping dan Ih Seng pun duduk di samping Kim Loji. Memandang ke sekeliling
penjuru, dapatlah ia menikmati pemandangan alam sampai beberapa li jauhnya. Ternyata
puncak di situ. merupakan puncak tunggal yang tidak berhuhungan dengan puncak
pegunungan lain.
Diam-diam Han Ping heran, “Gunung ini jarang pepohonan sehingga dapat melihat
keadaan empat-penjuru. Mengapa paman mengatakan tempat ini sunyi.”
Beberapa saat kemudian Kim Loji membuka mata, ujarnya, “Saudara Ih dan anak Ping.
Kalian tentu heran mengapa aku memilih tempat ini. Dari empat penjuru orang mudah
mengetahui kehadiran kita di sini.”
“Maaf, paman, pandanganku picik hingga tak mengerti maksud paman. Harap paman
suka memberi keterangan,” kata Han Ping.
Kim Loji menghela napas, katanya, “Lahiriyah Sin-ciu-it-kun Ih Thian-heng memang
berlapang dada. Tetapi diam-diam ia mempersiapkan anakbuahnya untuk mendengardengar
berita. Maka walaupun jarang keluar ke dunia persilatan, ia tetap dapat
mengetahui tentang gerak gerik dunia persilatan. Diam-diam ia mengirim anakbuahnya
kemana-mana. Dan anakhuah itu dipilihnya dengan cermat sekali serta secara rahasia.
Kecuali dia sendiri, tak mungkin terdapat orang kedua yang tahu. Memang yang tak kenal
tentu menganggap Ih Thian-heng itu seorang ramah tamah dan berbudi luhur. Tetapi
orang yang tahu, menganggap dia seorang durjana yang ganas sekali sehingga orang
tentu ketakutan ….”
Kembali Ih Seng kerutkan alis menyahut, “Saudara Kim hendaknya jangan memfitnah
orang . . tiba-tiba ia hentikan kata-katanya karena melihat wajah Han Ping membengis
marah.
“Karena sudah lama berkecimpung dalam dunia persilatan, saudara Ih tentu tahu siapa
pendekar dari gunung Lam-gak itu,” tanya Kim Loji.
Sejenak merenung, menyahutlah Ih Seng, “Mengenai ketiga tokoh dari gunung Lamgak
itu, aku hanya mendengar dari orang. Sayang belum beruntung untuk menemui
mereka bertiga!”
“Dikuatirkan saudara tak mungkin berjumpa lagi. Ketiga pendekar Lam-gak itu sudah
dua orang yang meninggal. Hanya aku seorang yang masih hidup…. “ kata Kim Loji
dengan mengucurkan beberapa tetes airmata.
Melihat sikap yang ber-sungguh-sungguh dari Kim Loji itu, diam-diam mulailah Ih Seng
menaruh kepercayaan.
“Harap saudara Kim suka menuturkan apa sebabnya ketiga Pendekar gunung Lam-gak
itu sampai dibunuh Ih Thian-heng. Jika benar dengan kenyataannya, akan kusiarkan
perbuatannya jahat itu ke dunia persilatan ….”
Kim Loji gelengkan kepala, “Bukan hendak merendahkan saudara. Tetapi orang-orang
sebagai kita ini, jika hendak menyiarkan kebusukan Ih Thian-heng, tentu takkan dipercaya
oleh orang. Karena Ih Thian-heng sudah berakar dalam hati orang persilatan sebagai
seorang tokoh yang bersih….”
“Bukan begitu,” bantah Ih Seng, “memang kalau diukur kepandaian, walaupun tambah
lagi beberapa orang, tetap kita bukan tandingan Sin-ciu it kun. Tetapi dengan menyiarkan
tentang perbuatannya di dunia persilatan, sekurang-kurangnya kaum persilatan…..”
“Ih Thian-heng boleh dikata menguasai dunia persilatan. Setiap gerak-gerik dalam
dunia persilatan tentu tak lepas dari pendengarannya. Bukan membesar2kan kemampuan
orang. Sekalipun fihak It kiong, Ji-koh dan Sam-poh mengirim jago2 simpanannya, tentu
diketahuinya juga. Adanya kupilih puncak gunung ini, tujuanku untuk menghindari
pendengarannya. Dengan berada di tempat yang bebas melibat empat penjuru ini,
dapatlah kita melihat kedatangan seseorang!” tukas Kim Loji.
Ih Seng memuji kecerdikan Kim Loji.
Karena sampai begitu lama belum juga menuturkan tentang kematian orangtuanya,
Han Ping segera mendesak.
Kim Loji menengadah memandang ke langit dan menghela napas panjang. Rupanya ia
tengah mengenangkan peristiwa yang lampau. Beberapa saat kemudian, baru ia mulai
berkata dengan rawan, “Peristiwa itu terjadi pada 20 tahun yang lalu. Pada masa itu
kiong, Ji-koh dan Sam-poh, baru saja muncul di dunia persilatan. Aku dan toako sudah
mengangkat nama di daerah Kang-lam. Kita sudah mendengar nama, tetapi sampai sejauh
itu belum bertemu muka…..”
Ia berhenti sejenak lalu melanjutkan pula, “Peristiwa puluhan tahun itu, meskipun
sadah lewat tetapi kalau hendak diceritakan, memang sukar. Harap anak Ping jangan
menyesali.”
“Silahkan paman menutur, aku tentu akan mendengarkan dengan khidmat,” kata Han
Ping.
“Kira-kira dua puluh tahun berselang, di Heng-yang muncul seorang busu (ahli) yang
mengangkat dirinya dengan gelar Golok-menggetarkan tiga-propinsi Pek Ih-thian. Dia
telah mengundang seluruh kaum persilatan untuk ikut serta dalam sayembara mencari
menantu untuk puterinya Pek Bang-cu. Seorang gadis yang cantik jelita sekali. Bermula
yang datang memang tidak banyak. Namun sebulan kemudian, mulai membanjirlah
pendatang2 yang hendak ikut dalam sayembara itu. Dalam sayembara pilih-menantu
acaranya ialah bertanding kepandaian siapa yang dapat memenangkan jelita itu akan
dijadikan suaminya. Dua bulan lamanya, tiada seorangpun mampu mengalahkan jelita itu.
Kala itu akupun kebetulan berkelana. Mendengar berita itu, timbullah kegairahanku. Buruburu
aku menuju ke Heng-yang. Ketika tiba di panggung sayembara, hari sudah
menjelang sore. Saat itu Ing-heng tampil ke panggung berhadapan dengan Pek Bang-cu.
Mereka telah bertempur sampai 300 jurus tetapi belum ada yang kalah dan menang.
Sorenya pertandingan itu akan dilanjutkan lagi….”
Kim Loji berbenti sejenak untuk memandang wajah Han Ping. Tetapi anakmuda itu
tenang2 saja. Kim Loji melanjutkan ceritanya pula, “Ketika pertandingan dibuka kembali,
entah bagaimana Ing-heng datang terlambat. Aku segera tampil ke atas panggung. Tetapi
Pek Bang-cu menolak karena sudah terikat janji dengan Ing-heng. Aku tak puas. Kubakar
hatinya dengan kata-kata yang membuatnya marah dan akhirnya mau juga bertempur.
Tetapi sampai petang hari, tiada yang kalah dan menang ….”
Saat itu. Han Ping bendak bertanya tetapi entah bagaimana ia batalkan maksudnya dan
hanya batuk-batuk saja.
Dengan bersemangat, Kim Loji melanjutkan, “Kutantang Pek Beng-cu untuk
melanjutkan pertandingan itu besok pagi hingga sampai ada yang kalah. Tetapi tanpa
menyahut, ia terus turun panggung. Keesokan harinya, pagi-pagi sekali aku sudah datang
ke gelanggang untuk menantangnya. Tetapi begitu dia muncul, belum sempat aku naik ke
atas panggung, seseorang sudah mendahului naik….”
“Bukankah orang itu guruku?” tanya Han Ping.
“Kala itu kami bertiga belum kenal mengenal. Orang yang naik ke panggung itu meniru
siasatku. Dia menggunakan kata-kata yang membangkitkan amarah si jelita. Dan akhirnya
mereka pun bertempur. Ah, memang aneh sekali peristiwa itu. Merekapun bertempur
dengan berimbang …..”
“Akupun mendengar tentang sayembara pilih menantu di Heng-yang itu,” tiba-tiba Ih
Seng menyeletuk, “tetapi karena ada urusan maka tak dapat mengunjungi …..”
Kim Loji keliarkan pandang matanya ke empat penjuru lalu menyambung lagi, “Sore
harinya, aku sudah menunggu di bawah panggung. Tetapi begitu Pek Bang-cu muncul,
tiga sosok bayangan segera serempak loncat ke atas panggung ……”
“Di antara ketiga orang itu salah seorang tentulah saudara Kim sendiri, bukan?” Ih Seng
tertawa.
Wajah Kim Loji tampak serius. Ia tak memghiraukan omongan Ih Seng dan
melanjutkan. “Selain aku, kedua orang itu adalah toako Ji Ing dan sam-te Nio Siu. Itulah
pertama kali Tiga Pendekar gunung Lam-gak bertemu muka!”
“Bagaimana sikap Pek Bang-cu menghadapi ketiga penantang itu?” tanya Ih Seng.
“Kami bertiga tidak saling kenal tetapi serempak loncat ke atas dan serempak pula tiba
di atas panggung. Akhirnya kita berhantam sendiri.”
Melihat Han Ping tartarik hati, Ih Seng cepat menyelutuk, “Kalian bertiga belum saling
kenal, tantu tak mau mengalah. Lalu bagaimana cara kalian bertempur?”
Jawab Kim Loji, “Kami berkelahi menurut kepentingan masing2 sendiri. Engkau
menjotos aku, aku menendang dia, dia menghantam engkau. Pendek kata kami bertiga
berkelahi secara acak2an!”
“Ho, benar-benar suatu peristiwa yang jarang terjadi,” seru Ih Seng, “sayang saat itu
aku tak dapat hadir.”
“Melihat cara berkelahi acak2an tanpa aturan itu, sekalian hadirin marah. Entah siapa
yang segera memaki di bawah panggung, “Kalau kalian hendak bertempur sampai mati,
mengapa tak mencari tempat yang sepi saja tetapi mengacau di pangung sayembara sini?”
Walaupun mendengar dan mengakui makian itu memang tepat, tetapi karena sedang
terlibat dalam pertempuran sengit, kami tak dapat berhenti lagi. Toako Ji Ing tiba-tiba
lepaskan dua buah pukulan hebat untuk mendesak mundur aku dan Sam-te. Kemudian ia
pun menyurut mundur seraya berkata, “Kalau mau bertempur baiklah kite cari tempat
agar dapat bertempur mati2an. Siapa menang nanti berhak untuk naik ke panggung sini
lagi!”
“Aku dan Sam-te menerima tantangannya itu. Kami bertiga segera turun panggung dan
menuju ke sebuah tempat sunyi di luar kota. Di situ kami tetapkan acara. Akan diadakan
undian. Undian ini akan menghasilkan dua orang yang akan bertempur dulu sampai 300
jurus. Kalau ada yang menang, pemenangnya akan diadu dengan orang ketiga. Tetapi
kalau dalam 300 jurus tiada yang kalah dam menang, pertandingan dihentikan dan
diadakan undian lagi. Hasilnya, dua orang akan bertempur tagi. Siapa menang akan diadu
dengan orang ketiga……….”
“Ah, tidakadil,” seru Ih Seng, “kalau dalam babak pertama tak ada yang menang lalu
diundi lagi dan kebetulan jatuh pada kedua orang itu lagi, bukankah mereka akan tele-tele
kehabisan tenaga? Bukankah enak saja orang ketiga itu nanti akan menempurnya?”
“Sekalipun kurang adil, tetapi rasanya tiada lain cara yang lebih baik,” jawab Kim Loji,
“harus diketahui bahwa kepandaian kita bertiga hampir berimbang. Jika mencari cara yang
adil, kemungkinanan takkan ada penyelesaiannya. Entah sampai kapan pertandingan itu
akan habis. Dengan cara undian ini kecuali mengadu kesaktian juga mengadu
peruntungan nasib. Siapa yang menarik undian harus bertempur dulu, memang harus
menerima nasib.”
“Lalu siapapakah yang beruntung menarik undian kosong itu? “ tanya Ih Seng.
Kim Loji termenung beberapa saat seolah-olah mengenangkan peristiwa itu. Kemudian
baru ia berkata pula, “Pertama adalah toako dan sam-te yang kena undian itu. Mereka
segera bertempur. Bermula mereka melancarkan serangan secepat mungkin untuk
merebut kemenangan. Tetapi lewat 200 jurus kemudian, Sam-te terdesak. Hanya dapat
membela diri tak mampu balas menyerang. Kebalikannya serangannya toako makin gencar
dan seru. Setelah 300 jurus, Sam-te sudah kehabisan tenaga. Jika harus berkelahi lagi
dalam 30 jurus saja, tentu sudah rubuh di tangan toako.”
Ih Seng tersenyum, “Benar, ketika toako-mu bertempur dengan Pek Bang-cu…. “
Sebenarnya ia hendak mengatakan bahwa toako itu memang sengaja mengalah pada
Pek Bang-cu. Tetapi karena teringat bahwa toako itu adalah ayah Han Ping, Ih Seng tak
mau melanjutkan kata-katanya.
Kim Loji memandang Ih Seng, serunya, “Bukankah engkau bendak mengatakan bahwa
toakoku itu menang sengaja tak mau mengeluarkan kepandaian sesungguhnya di atas
panggung sayembara?”
“Benar, aku .. . “
Di luar dugaan Kim Loji gelengkan kepala, katanya, “Toako seorang yang lapang dada,
tak mungkin dia mau menggunakan siasat semacam itu. Sesungguhnya kepandaian nona
Pek itu lebih unggul dari aku dan Sam- te. Hanya dengan toako, Baru dia bertanding
berimbang. Adalah karena kurang pengalaman bertempur dan kuatir akan melukai aku
dan sam-te, maka nona Pek tak mau menyerang secara gegabah. Dia hanya mendesak
supaya kami berdua mengaku kalah sendiri dan mundur.”
“Benar juga,” kata Ih Seng, “lalu bagaimana hasilnya undian yang kedua itu?”
“Dalam undian kedua itu ternyata jatuh pada aku dan toako yang harus bertempur.
Kami berduapun menetapi perjanjian. Setelah 300 jurus baru berhenti. Dalam
pertempuran itu toako tetap unggul. Walaupun sudah diperas tenaganya dalam babak
pertama tadi, tetapi dia tetap mampu menghadapi aku dengan berimbang. Dengan begitu
jelas kepandaian toako itu lebih unggul dari aku dan sam-te.”
“Pertandingan kedua itu, berkesan dalam hatiku dan sam-te. Walaupun sam-te tak
mangatakan apa-apa kepadaku, tetapi kami diam-diam mengakui bahwa toakolah yang
lebih unggul. Sekalipun begitu, pertandingan tetap dilanjutkan. Karena diam-diam timbul
kesatuan pendapat padaku dan sam-te, bahwa kita berdua harus bersatu untuk
mengerubut toako. Caranya dengan bergilir menempurnya. Pertempuran berlangsung
mulai sore hingga sampai keesokan harinya. Toako terus menerus berkelahi sedang aku
dan sam-te dapat bergiliran mengaso. Dengan begitu toako menderita kerugian sekali.”
“Rupanya toakomu itu memang lebih unggul berlipat ganda dari kalian. Kalau tidak
tentu sudah jatuh,” kata Ih Seng.
“Persekutuan secara diam-diam di antara aku dan Sam-te itu telah diketahui toako,”
kata Kim Loji, “tetapi dia diam saja. Baru pada keesokan hari menjelang fajar, maka ia
berkata kepada kami berdua, “Kepandaian nona Pek itu lebih hebat dari kita. Adalah
karena kurang pengalaman dan hatinya baik, nona Pek tak mau melukai kita dan memberi
kesempatan sampai 300 jurus. Kemarin cara kita bertempur acak-acakan di atas panggung
itu, sesungguhnya telah menimbulkan kemarahan nona Pek. Jika sekarang kita tak tahu
diri dan masih nekad hendak maju dalam sayembara itu, tentulah akan rubuh di tangan
nona itu…. “
“Hai, ada yang mendatangi kemari,” tiba-tiba Han Ping berseru.
Kim Loji dan Ih Seng berpaling. Ah, benar, memang dari jauh tampak dua sosok
bayangan tengah berlari-lari menuju ke puncak situ. Rupanya kedua orang itu tahu
tentang hadirnya Kim Loji bertiga di puncak gunung.
Tiba-tiba Kim Loji mempercepat ceritanya, “Se-telah memberi peringatan itu, toako
segera berputar diri dan pergi. Tetapi aku dan Sam-te tak mau mendengarkan nasehat
toako. Kami berdua balik ke panggung. Sam-te terus loncat ke atas panggung. Tanpa
banyak bicara, nona Pek segera menyambut dengan serangan. Kira-kira 70-an jurus
kemudian, nona Pek gunakan ilmu tutukan jari Pi-peh-ci, melukai Sam-te. Sejak
mendirikan panggung pertandingan pilih jodoh, baru pertama kali itu nona Pek melukai
orang dengan sungguh-sungguh. Samte terluka parah. Ia muntah darah dan terkapar di
papan panggung. Karena sudah mempunyai ikatan batin dalam persekutuan menghadapi
toako tadi, entah bagaimana, aku merasa wajib menolong sam-te…. “
“Cepat aku loncat ke atas panggung untuk menolong sam-te. Tetapi secepat itu nona
Pek sudah menyongsong dengan serangan yang ganas. Tampaknya ia marah sekali
kepadaku. Aku tak sempat bertanya lagi kepadanya. Terpaksa akupun mengeluarkan
seluruh tenaga untuk menghadapinya. Aku dan nona Pek segera terlibat dalam
pertempuran maut. Duaratus jurus kemudian, aku pun rubuh terkena jari sakti Pi-pehci….“
Jilid 14 : Terluka bersamaan
Nonton adu harimau
Han Ping loncat menghindar. Demikian pun Ih Seng dan Kim Loji. Sambil kerahkan
tenaga-dalam, Han Ping siap menghantam, Tetapi ketika memandang kemuka, ternyata
hanya seekor anjing hitam yang besar, mulutnya menggondol sehelai kertas putih.
Seekor anjing yang luar biasa besar dan tegapnya. Sepintas pandang menyerupai
seekor harimau.
“Ah, Pengemis-sakti Cong To suruh anjingnya menyampaikan surat,” Kim Loji
tersenyum.
Anjing itu tiba-tiba ngangakan mulutnya dan kertas itupun jatuh ke tanah. Han Ping
memungutnya.
“Lekas datang kemari, lihat keramaian!” tertanda Pengemis tua.
Demikian bunyi surat itu.
Ih Seng berpaling, tertawa, “Pengemis sakti Cong To angkuh sekali. Kaum persilatan
yang dipandang mata olehnya, hanya beberapa gelintir orang saja, Sungguh tak kira kalau
ia bersahabat dengan saudara!”
Han Ping tertegun, serunya, “Apa katamu?”
“Eh, bukankah saudara sudah meluluskan aku mengikuti saudara sebagai pelayan…..”
“Kapan aku mengatakan begitu?” Han Ping terbeliak.
Tiba-tiba wajah Ih Seng berobah seketika, serunya, “Ih Seng sudah berulang kali
menerima budi pertolongan saudara. Agar dalam hidupku dapat membalas budi maka aku
rela menjadi pelayan saudara. Jika saudara menolak, Ih Seng benar-benar tak ada muka
lagi hidup dalam dunia persilatan. Saudara Ji, saudara Kim, harap menjaga diri baik-baik,
Ih Seng mohon diri……” mencabut kipas besi dan pedang peraknya, ia buang ke tanah lalu
ngeloyor pergi.
Han Ping buru-buru memungut senjata itu lalu berseru nyaring-nyaring, “Saudara Ih,
mengapa tak engkau bawa senjatamu ini?”
Ih Seng berpaling, tertawa gelak2. Sikapnya amat jantan. Setelah puas tertawa, baru ia
berseru dingin, “Sejak saat ini aku hendak membuang pedang dan tinggalkan dunia
persilatan. Aku akan melewatkan sisa hari tuaku di sebuah tempat yang sunyi. Perlu apa
kubawa senjata lagi?”
“Ping-ji, janganlah terlalu kukuh,” tiba-tiba Kim Loji menyelutuk, “saudara Ih seorang
yang keras hati. Apa yang diucapkan tentu dilakukan. Kalau berniat hendak ikut, tentu
akan melayanimu dengan sungguh. Jika engkau masih terikat dengan pandangan2 umum,
berarti engkau mengecewakan kesungguhan hati saudara Ih!”
Terharu Han Ping mendengar nasihat itu. Dengan berlinang-linang airmata, ia
membawa kipas dan pedang ke tempat Ih Seng. Katanya dengan nada serius, “Ji Han-Ping
baru pertama kali keluar dari kandang dengan membawa dendam kesumat. Dan musuhku
adalah tokoh Sin-ciu-it-kun yang termasyhur. Dendam itu entah dapat atau tidak kubalas,
tetapi, betapapun halnya, aku tetap berusaha untuk menunaikan kewajibanku, Jika
saudara Ih ikut aku, tentu lebih banyak bahayanya daripada selamat.”
Ih Seng tertawa nyaring, “Seumur hidup, belum pernah aku menaruh rasa hormat
kepada orang. Tetapi sekali aku kagum, biarpun mati aku ikhlas ikut padanya. Jika tiada
saudara yang menolong, Ih Seng tentu sudah jadi mayat dalam makam tua itu.”
“Ping-ji,” seru Kim Loji dengan bersungguh, “kcsungguhan hati saudara Ih, jika engkau
tetap menampik, tentu akan mengecewakan hatinya. Lekaslah engkau terima saja!”
Sambil menyerahkan pedang dan kipas, berkatalah Han Ping, “Atas budi kecintaan
saudara, kuhaturken terima kasih sekali. Tetapi kita harus bersahabat saja dengan sebutan
saudara barulah aku meluluskan!”
“Ini……” baru Ih Seng hendak membantah, Kim Loji sudah menyelutuk, “Ah, bagi kaum
persilatan, sebutan itu tidaklah menjadi soal. Saudara Ih pun jangan terlalu kukuh!”
Sambil menyambuti kipas dan pedang, berkatalah Ih Seng dengan serius, “Begini
sajalah! Aku tetap memanggil Kongcu, untuk membedakan kedudukan kita. Dan kongcu
hendak memanggil apa kepadaku, terserah saja.”
Kim Loji tertawa gelak2, “Ya, ya, begitupun baik. Hal itu tergantung dari keinginan
masing2. Tetapi aku tetap berbahasa saudara dengan engkau!”
Tiba-tiba anjing besar itu menyalak lalu berputar diri dan lari. Beberapa tombak
jauhnya, binatang itu berhenti.
Kim Loji kerutkan alis, memandang Han Ping, ujarnya: Dalam dunia persilatan, yang
berani memusuhi Sin-ciu-it-kun, hanyalah pengemis sakti Cong To seorang. Dia seorang
yang angkuh sekali. Sungguh mengherankan dia mau bersahabat dengan engkau. Kalau
dia khusus mengirim surat panggilan, tentulah terjadi suatu urusan penting. Hayo kita ke
sana!”
Demikianlah ketiga orang itu segera mengikuti anjing besar itu. Setelah melintasi tiga
buah puncak gunung, tibalah mereka di sebuah lembah yang sunyi. Di bawah penerangan
api, tampak si Pengemis-sakti Cong To tengah duduk menghadapi tembok. Tangannya
mencekal sekerat paha ayam. Sedang anjing hitam yang besar itu tengah mengibaskibaskan
ekor dan memutarinya. Mulutnya menganga, ludahnya nyerocos keluar.
Walau Han Ping bertiga tiba di belakangnya, tetap pengemis itu seperti tak mengetahui.
Terpaksa Han Ping melangkah ke muka pengemis itu. Ternyata pengemis itu sedang
masak gulai ayam dalam wajan yang ditaruh di atas sebuah api tungku. Bau gulai ayam
yang harum bertebaran menyambar hidung.
Seketika Han Ping terasa lapar. Tetapi dia sungkan untuk meminta. Sambil menelan air
liur, ia memberi hormat kepada pengemis sakti itu, “Lo-cianpwe mengirim surat
memanggil aku, entah hendak memberi petunjuk apa kepadaku?”
Sambil menggerogoti paha ayam dan mengunyahnya dengan lahap, Cong To
menyahut, “Bukankah telah kutulis jelas supaya engkau kemari menyaksikan keramaian?”
Karena mulutnya penuh dengan daging ayam, maka bicaranyapun tak lampias dan lucu
sekali.
Han Ping tersenyum, “Entah keramaian apakah yang lo-cianpwe hendak suruh aku
melihatnya?”
Sambil nyamuk2 mengunyah daging, Cong To menyahut, “Panjang sekali kalau
diceritakan. Tetapi pendeknya tentu menariklah!”
Han Ping berputar tubuh dan memanggil kedua kawannya yang duduk di bawah
karang. Kemudian setelah Cong To selesai makan dan memadamkan api tungku, barulah
Han Ping menghampiri lagi, tanyanya, “Harap lo-cianpwe suka memberitahukan
pertunjukan apakah yang lo-cianpwe suruh aku menyaksikan itu…..”
Cong To memandang langit, sahutnya, “Sekarang sudah waktunya, mari kita
berangkat!”
Ia berbangkit dan menuju ke arah utara. Han Ping masih hendak bertanya tetapi
dicegah Kim Loji.
Setelah melintasi sebuah puncak gunung, Cong To mempercepat langkahnya. Yang
dilaluinya adalah hutan belantara yang jarang dijelajahi orang, Mereka gunakan ilmu lari
cepat.
Cong To yang berjalan paling depan, makin pesat larinya dan akhirnya seperti terbang
saja ia lari. Karena kepandaiannya sudah bertambah maju pesat, Han Ping tak menemui
kesukaran untuk mengimbangi pengemis itu. Tetapi Kim Loji yang belum sembuh lukanya,
tampak mandi keringat dan terengah-engah napasnya.
Sambil berpaling ke arah kedua kawannya itu, Han Ping kasihan dan minta supaya
Cong To suka kendorkan larinya.
Cong To tiba-tiba berhenti memandang ke langit, sahutnya, “Sekarang masih ada
waktu, kita dapat beristirahat di sini dulu.”
Ia terus duduk bersila di tanah dan pejamkan mata bersemedhi.
Kim Loji dan Ih Seng yang tiba beberapa saat kemudian, sibuk mengeringkan keringat
yang membasahi sekujur tubuh mereka. Kemudiau duduk beristirahat.
Sambil duduk berhadapan dengan Cong To, Han Ping bertanya pula, “Keramaian
apakah yang sesunggubnya lo-cianpwe hendak suruh aku menyaksikan itu?”
Cong To membuka mata dan tersenyum. “Pertunjukan itu hanya kita berdua saja yang
dapat menyaksikan. Kedua orang itu lebih baik jangan ikut.”
Mendadak Kim Loji membuka mata dan memandang ke sekeliling, lain menghela napas,
“Apakah Cong lo-cianpwe hendak melihat Sin-ciu-itkun?”
Mendengar nama itu seketika mendeburlah darah Han Ping, “Apa?” serunya tanpa
dapat menguasai diri lagi.
Melihat pemuda itu tegang, heranlah Cong To dibuatnya, serunya, “Eh, bagaimana
budak ini? Apakah engkau kenal dengan Sin-ciu- it-kun?”
Dengan menggigit gigi, Han Ping menyahut tandas, “Dia adalah musuh besarku!”
Wajah Cong To berobah serius. Ia mengambil buli2 arak yang tergantung di
punggungnya dan meneguknya tiga kali. Katanya perlahan, “Seumur hidup, pengemis tua
ini tak suka bertanya tentang urusan orang. Tetapi melihat keadaanmu begitu tegang,
hatiku tertarik. Bukan hendak membesarkan keunggulan orang. Tetapi dengan
kepandaianmu sekarang ini, sukar kiranya menghadapi dia. Apalagi dia amat cerdik dan
pandai sekali. Dengan licin ia dapat mengelabuhi mata seluruh dunia persilatan…….”
Menutur sampai di sini, pengemis termasyhur itu berhenti menghela napas. Kemudian
dengan rawan berkata, “Sungguh menggelikan sekali kaum persilatan itu. Mereka
menyanjung- nyanjungnya setinggi langit dan menghaturkan gelar Sin-ciu Itkun
kepadanya. Baik partai2 persilatan besar maupun kecil, golongan Putih maupun Hitam,
semua mengindahkan kepadanya. Perselisihan apapun juga, apabila Sin-ciu It–kun
mengatakan sepatah kata tentu beres. Pengemis-tua ini walaupun tahu bahwa dia seorang
yang licin, tetapi belum dapat menemukan jejaknya dan belum dapat bukti untuk
kusiarkan kepada dunia persilatan. Ah, mungkin dalam dunia ini hanya pengemis tua ini
yang menentangnya! Oleh karena hanya seorang diri, maka terpaksa membiarkan dia
bersimarajalela di dunia persilatan. Tigapuluh tahun bukanlah waktu yang singkat, dia
sudah dapat membentuk kaki tangan di dunia persilatan.”
Tiba-tiba ia mengangkat buli2 merah dan meneguknya pula, “Sayang beribu-ribu kaum
persilatan, tiada seorangpun yang tahu urusan ini!”
“Dengan kewibawaan lo-cianpwe dalam dunia persilatan, jika lo-cianpwe mau
mencanangkan bantuan untuk menyingkap keburukan Ih Thian-heng…..”
Pengemis-sakti Cong To tertawa panjang dan memotong kata-kata Han Ping, “Seumur
hidup pengemis tua ini tak pernah merugikan orang. Tak pernah mau membunuh orang
baik. Tetapi karena menentang Sin-ciu It-kun, maka sampai putus hubungan dengan
beberapa orang sahabat. Pengemis tua ini pun memikirkan kepentingan orang lain. Tak ku
hiraukan soal itu. Tetapi ah, rupanya alam telah membekali watak kepadaku untuk
mengurus orang. Dan watak itu tak dapat kurobah lagi. Oleh karena hal itu, maka ikatan
permusuhanku dengan Ih Thian-heng makin mendalam sehingga sampai memuncak pada
tarap ‘tidak dapat hidup bersama’. Menurut peribadinya, seharusnya dia tentu sudah
melenyapkan diriku, Tetapi rupanya dia memang sengaja memperlambat hal itu sehingga
mencelakai diri pengemis tua ini.”
Han Ping memang amat mengindahkan kepada pengemis sakti itu. Mendengar
ucapannya yang begitu perwira, ia menatap pengemis itu, ujarnya, “Walaupun dunia
persilatan penuh dengan bahaya, tetapi Kebenaran tetap abadi. Salah atau Benar, pada
suatu saat tentu akan tersingkap. Lo-cianpwe menjadi pelopor dari Kebenaran, adalah
suatu tindakan yang perwira. Adalah para sahabat dapat mengerti atau tidak, tetapi untuk
mengindahkan ucapan lo-cianpwe, bukanlah suatu hal yang hina!”
Kembali pengemis sakti itu meneguk buli2 araknya dan menghela napas pelahan. Pada
saat hendak membuka mulut, Kim Loji sudah mendahului, “Kiranya tak perlu Cong locianpwo
menyesal dan penasaran. Tigapulah tahun lamanya Sin-ciu-It-kun telah
mengelabuhi mata sekalian kaum persilatan dengan perbuatan yang perwira, sudah tentu
dalam waktu yang singkat sukar untuk merobah pandangan dunia persilatan. Tetapi….”
Kim Loji tertawa mengekeh lalu memandang ke arah Han Ping, ujarnya, “Jika tak ingin
diketahui orang, selain tidak berbuat apa-apa dan membiarkan Ih Thian-heng bertindak
merajai dunia persilatan, rasanya tak ada lain jalan. Tetapi aku Kim Loji, selama masih
mempunyai napas, tentu akan mempersembahkan tulang2 tua ini untuk berusaha
mengungkap kejahatannya dan menyiarkan ke seluruh dunia. Pada saat itu, ingin
kuketahui bagaimana reaksi kaum persilatan. Percayalah, bahwa semua apa tak mungkin
lari dari Kebenaran dan Keadilan!”
Pengemis-sakti Cong To mengusapkan jarinya ke mulut yang basah dengan arak,
kemudian berseru, “Baik, tak kusangka engkau Kim Loji juga manusia yang punya hati.
Dengan begitu pengemis tua ini tak seorang diri!”
Ia tertawa gelak2.
Kim Loji menghela napas pelahan, “Sekalipun mempunyai kemauan untuk membongkar
kejahatan ini, tetapi tenagaku amat terbatas. Bertahun-tahun, kutelan hinaan dan kuderita
segala derita batin, adalah karena hendak mengintai segala sepak terjang Ih Tnian-hang
yang busuk. Pada saatnya, hendak kubongkar segala kejahatannya kepada dunia
persilatan. Kalau dapat membuka kedoknya, biarpun hancur lebur aku rela menerima
kematian!”
Oleh karena berhadapan dengan beberapa cianpwe, Ih Seng terpaksa menguasai diri.
Setelah mendengar ucapan Kim Loji yang jantan, timbullah semangatnya. Setelah
berbatuk-batuk, ia berkata, “Tempo hari ketika saudara Kim menceritakan tentang
kepalsuan tingkah laku Ih Thian-heng, kuanggap saudara Kim memfitnah. Aku tak percaya
dan masih membela Ih Thian-heng. Tetapi setelah mengetahui keadaan yang sebenarnya,
aku pun penasaran. Apalagi setelah mendengar penjelasan dari Cong lo-cianpwe, makin
teguhlah hatiku. Walaupun kepandaianku masih rendah, tetapi aku bersedia mati apabila
tenagaku diperlukan!”
Pengemis-sakti Cong To meneguk araknya lagi lalu tunjukkan jempolnya, “Bagus,
engkau hebat saudara Ih. Sahabat semacam engkau, kuterima dengan sepuluh jari ……”
Tiba-tiba anjing hitam menggonggong pelahan dan pengemis saktipun segera
berbangkit, “Ah, sudah waktunya, jangan sampai terlambat menyaksikan pertunjukan itu!”
Dia terus mengajak berangkat lagi. Tetapi kali ini ia berjalan lambat, seolah-olah takut
jejaknya diketahui orang.
Setelah melintasi beberapa gerumbul hutan kecil, dalam keremangan malam mereka
melihat sebuah gedung besar yang menjulang tinggi.
Han Ping tertegun. Ia pernah datang ke rumah itu bersama kedua nona Ting. Waktu ia
hendak mengatakan, pengemis sakti buru-buru mencegahnya. Kemudian berpaling kepada
Kim Loji dan Ih Seng, “Walaupun malam ini kita akan menyaksikan pertunjukan, tetapi
acara yang utama akan dihidangkan nanti tengah malam. Engkau dan saudara Ih
sebaiknya mencari tempat bersembunyi dulu. Aku bersama budak ini akan masuk melihatlihat!”
Rupanya Kim Loji dan Ih Seng menyadari kepandaiannya kalah dengan kedua orang
itu. Mereka mengangguk dan bersembunyi dalam semak.
Tiba-tiba Cong To berpaling ke arah semak dan menghampiri. “Apa saja yang terjadi
dalam gedung itu, harapan kalian jangan masuk. Jika sampai tengah malam aku belum
kembali, pergilah kalian 10 li jauhnya ke sebelah utara dan tunggu di sebuah kuil di situ.”
Tanpa menunggu jawaban, tiba-tiba Pengemis-sakti melenting 3 tombak tingginya dan
melayang ke arah gedung besar itu. Baru beberapa loncatan, dia sudah berada 5 tombak
jauhnya. Sedikitpun gerakannya tak mengeluarkan angin suara apa-apa.
Ih Seng menghela napas, “Hari ini baru kusaksikan kesaktian pengemis yang
termasyhur itu. Cukup dengan ilmu meringankan tubuh itu saja, sudah menggetarkan
dunia persilatan….”
Kata-kata itu terputus ketika ia melihat Han Ping beraksi. Dengan sebuah loncatan ke
udara, pemuda itu beberapa kali berjungkir balik dan melayang meluncur turun 4-5
tombak jauhnya. Beberapa kejapan mata, keduanya sudah lenyap dalam kegelapan
malam.
Kim Loji membisiki Ih Seng, “Ih Thian-heng luar biasa cermatnya. Siapa tahu di sekitar
tempat ini sudah dijaga ketat.”
Baru ia berkata sampai disitu, tiba-tiba terdengar suara angin mendesing. Dari sebatang
pohon yang terpisah tiga empat meter di samping mereka, meluncur sebatang anakpanah
dan menjurus ke arah gedung besar.
Ih Seng memandang tajam ke pohon itu. Tampak di atas dahan pohon itu, teraling oleh
gerumbul daun yang lebat, samar2 seperti bersembunyi seseorang.
“Sin-ciu It-kun benar-benar licin sekali. Sungguh tak terduga bahwa di atas pohon tua
itu, dia memasang orang!” bisik Ih Seng kepada Kim Loji.
“Kita gempur dulu pos yang telah mengetahui tempat persembunyian kita,” sahut Kim
Loji.
“Tetapi pohon itu empat tombak tingginya. Jika memanjat, musuh tentu mengetahui.
Sukar kita laksanakan. Hanya dengan gunakan senjata gelap kita dapat merubuhkannya!”
kata Ih Seng.
Pada saat keduanya sedang berunding, tiba-tiba dari atas pohon itu meluncar sesosok
tubuh. Sabelum orang itu jatuh ke tanah, muncullah seseorang yang cepat menyanggapi
tubuh orang itu. Setelah diletakkan ke tanah, Orang itu terus loncat menyerbu ke dalam
gedung.
Orang itu mengenakan jubah panjang, punggung menyanggul sebatang senjata
bengkok, gerakannya tak kalah gesit dengan Pengemis-sakti Cong To.
Ih Seng kerutkan dahi dan menanyakan kepada Kim Loji apakah tahu orang itu. Kim
Loji gelengkan kepala, “Dia luar biasa cepatnya. Dalam malam yang gelap begini, sukar
melihat wajahnya yang jelas.”
Sejenak berhenti, ia berkata pula, “Tokoh yang memiliki kepandaian sakti serupa itu,
dewasa ini hanya terbatas jumlahnya Kemungkinan tak lepas dari…..”
Tiba-tiba ia hentikan kata-katanya karena saat itu terdengar suara angin mendesir. Ah,
ternyata dua orang lelaki berpakaian ringkas dan bersenjata golok tawto, lari ke bawah
pohon besar itu, lalu berseru, “Hai mengapa lepaskan panah pertandaan? Apakah terjadi
sesuatu?”
Sudah tentu tiada jawaban karena penjaga di atas pohon itu sudah ditembak mati
dengan senjata gelap oleh orang yang berkepandaian tinggi tadi.
Kawannya segera menarik orang yang berseru itu diajak menuju ke gedung besar.
Serentak Ih Seng mencabut kipas besinya dan membisiki Kim Loji, “Jika kedua orang itu
sampai melapor ke dalam gedung, tentu berbahaya. Mari kita totok jalan darah mereka!”
Tetapi Kim Loji menolak, “Jangan buru-buru. Tak perlu kita turun taagan, mereka tak
mungkin dapat melintasi tiga tombak jauhnya.”
Ih Seng tahu bahwa Kim Loji itu memang luas sekali pengalamannya. Walaupun agak
bersangsi tetapi dia tak mau mendesak dan hanya ingin melihat apakah dugaan Kim Loji
itu benar.
Baru ia merenung demikian, tiba-tiba kedua orang itu rubuh ke tanah! Ih Seng
terkesiap dan memuji Kim Loji, “Ah, perhitungan saudara Kim benar-benar tepat sekali!”
Kim Loji hanya tersenyum tak menyahut.
Mendadak sesosok bayangan melesat datang. Samar2 Ih Seng melihat pendatang itu
bertubuh pendek kecil. Tetapi karena gerakannya secepat kilat, ia tak dapat melihat jelas.
Ih Seng hanya bersungut, “Sungguh senjata rahasia yang ganas sekali. Tiada
mengeluarkan suara apa-apa, tahu-tahu korbannya mati. Sudah belasan tahun
berkecimpung di dunia persilatan tetapi belum pernah kusaksikan senjata seganas itu….”
Berhenti sejenak, tiba-tiba ia berseru lagi, “Ah benar, tentulah jarum Hong-wi-ciam dari
marga Ca…..”
Tetapi Kim Loji gelengkan kepala, “Jarum Hong-wi-ciam dari marga Ca itu, walaupun
amat beracun sekali, tetapi tak dapat membuat mati dengan seketika. Dan lagi kecuali
ketua marga Ca, yakni Ca-Cu-jing itu, tiada seorangpun yang memiliki kepandaian ilmu
meringankan tubuh yang hebat.
“Apakah pendatang tadi seorang wanita?” tanya Ih Seng.
“Benar, orang lelaki tak mungkin sekecil itu tubuhnya,” sahut Kim Loji.
Demikianlah pada saat Kim Loji dan Ih Seng sedang mempercakapkan orang aneh yang
muncul dan membunuh keempat anak buah dari gedung besar itu, adalah Han Ping dan
Pengemis saktipun sudah menghampiri ke dekat rumah gedung itu. Mereka berhenti di
luar gedung dan sembunyi di tempat yang gelap.
“Kepandaian Ih Thian-heng itu memang sukar diukur tingginya,” kata Pengemis-Sakti,
“dan juga merupunyai anak buah yang banyak sekali. jika menyadari bahwa jejak kita
telah diketahui mereka, lebih baik kita muncul secara terang-terangan saja, Sin-ciu It-kun
suka berpura-pura. Asal bukan dia yang turun tangan, tentulah tak membahayakan.”
Diam-diam Han Ping heran, “Mengapa Pengemis-sakti yang biasanya angkuh ini begitu
berhati2 sekali memuji kepandaian Sin-ciu It-kun. 1a duga Sin-ciu It kun itu memang luar
biasa saktinya.
Melihat Han Ping diam saja, Cong To berkata pula, “Jika tak terpaksa, lebih baik
menghindarkan pertempuran dengan Sin-ciu It-kun…..”
Dalam pada berkata itu Cong To dekatkan punggung ke tembok dan membubung naik
lalu meluncur turun ke halaman dalam.
Han Ping empos semangat, loncat melampui pagar tembok itu. Tetapi Cong To pun
sudah lenyap. Setelah sejenak mengawasi ke sekeliling penjuru, Han Ping terus loncat ke
dalam halaman. Pada halaman gedung yang luas itu, kecuali beberapa bangunan rumah
dan gedung bertingkat, hanya ditumbuhi dengan pohon2 jambu dan lain2 pohon yang
besar dan rindang daunnya.
Han Ping tak berpengalaman memnsuki rumah orang pada waktu malam. Maka ia agak
gelisah. Ia bersembunyi di bawah pohon besar dan tak tahu apa yang harus dilakukan.
Angin di malam musim rontok, menghambur berguguran daun kering. Menambah
keseraman suasana gedung.
Beberapa waktu kemudian tiba-tiba Han Ping teringat ketika Ting hong membawanya
masuk ke sebuah halaman gedung. Di situ penuh dengan pot bunga. Begitu pula
kamarnya amat indah sekali. Kesan itu tak mudah dilupakan Han Ping, hingga saat itu ia
pun terbayang lagi.
Setelah pejamkan mata dan diam-diam kerahkan hawa murni, ia meraba tubuh pedang
Pemutus-Asmara. Setelah mengamati keempat penjuru lagi serta menentukan jalanjalannya,
ia se:era gunakan ilmu Pat-poh-teng-gong atau Delapan-langkah-mendaki-udara,
melesat masuk. Setelah melalui sebuah halaman yang luas. tibalah ia di atas sebuah
rumah. Dilihatnya tiap2 pintu kamarnya terkunci. Diam-diam ia heran, pikirnya, “Menilik
keadaannya, gedung ini kosong. Lalu hendak melihat keramaian apakah pengemis sakti
itu?”
Tetapi pada lain kilas ia teringat bahwa tokoh semacam Pengemis-sakti Cong To tak
mungkin sembarangan berkata. Dengan kesimpulan itu, ia meninjau letak setiap jalan dan
arah di sekeliling penjuru. Setelah itu ia loncat ke arah timur.
Kembali ia melintasi sebuah halaman dan ah kini ia menemukan halaman kecil yang
penuh dengan pot bunga. Keadaan di situ, masih seindah dahulu. Bunga beraneka warna
menyiarkan bau yang harum, Tetapi pintu kamar, tetap tertutup rapat.
Diam-diam Han Ping menimang, “Kalau tiada didiami orang, tak mungkin keadaan
tempat ini sedemikian bersih dan rapi. Tentulah tempat ini sering didatangi orang.”
Cepat ia ayunkan tubuh melayang terus ke muka pintu itu. Sakali dorong, pintu itu
terbuka. Seketika hidungnya terbaur oleh serangkum bedak yang harum baunya.
“Ah, kamar ini tentu milik seorang gadis. Tempo hari bersama Kedua nona Ting itu,
tetapi sekarang ia hanya seorang diri memasukinya. Ah, tak boleh sembarangan masuk
….” ia berdiri tegak di muka pintu dan termenung-menung.
Tiba-tiba terdengar suara napas yang halus dan bunyi selimut tersingkap.
“Siapa itu?” karena terkejut, tanpa tersadar Han Ping menegur.
Tiada jawaban kecuali suara napas halus, macam orang yang tidur nyenyak. Han Ping
sadar kelepasan bicara, buru-buru ia bersembunyi lagi.
Ia merasa, dalam suasana yang begitu sunyi senyap, sedikit suara saja tentu terdengar.
Jika dalam gedung itu terdapat barisan penjagaan rahasia tentu akan keluar
menyerbunya. Ia siap2.
Tetapi sampai beberapa waktu, tak tampak suatu perobahan apapun. Hanya suara
napas orang yang tidur itu masih tetap terdengar pelahan.
Saat itu Han Ping dapat memperhatikan bahwa suara napas itu berasal dari orang
perempuan. Tetapi ia tak berani memastikan apakah orang itu benar-benar tidur nyenyak.
Tiba-tiba terdengar suara orang itu mengeluh. Seperti seorang yang sedang bermimpi
buruk. Kini Han Ping makin yakin kalau orang itu tentu seorang wanita. Pikirnya, “Ah,
kalau kamar ini milik wanita, aku tak boleh tinggal disini!”
Waktu ia hendak melangkah pergi, dari tengah ruangan terdengar suara batuk-batuk
dan derap langkah orang. Terpaksa Han Ping menyurut ke dalam kamar lagi. Dalam
kegelapan, ia memandang ke muka dan melihat sesosok tubuh rebah di atas sebuah
ranjang yang terletak di ujung kamar. Ah ia masih ingat ranjang itu sebuah ranjang kayu
yang dihias dengan ukir-ukiran bunga.
Pendatang itu ternyata menghampiri ke muka kamar. Han Ping gugup. Cepat ia empos
semangat dan melambung ke atas, bersembunyi di atas tiang penglari.
Tepat pada saat ia bersembunyi, pintu pun terbuka dan dua lelaki muncul. Seorang
berpakaian serba ringkas dan yang seorang berjubah panjang. “Apakah budak perempuan
itu ditaruh di kamar ini?” kata orang berjubah panjang.
Orang berpakaian ringkas dan menyanggul pedang itu rupanya takut kepada orang
berjubah panjang. Sambil mengacungkan api, ia menyahut hormat, “Benar, benar. dan
parasnya amat cantik sekali ….”
Orang berjubah itu mendengus: Perlu apa banyak bicara. Lekas antar aku kesana!”
Orang berpedang itu segera melangkah masuk dan berhenti di muka ranjang. Sambil
menyuluhi dengan korek ia menyingkap kelambu.
Di atas penglari itu, asal mau berpaling saja Han Ping tentu dapat melihat wajah wanita
di dalam ranjang itu. Tetapi ia tak mau.
Terdengar orang berjubah itu menghela papas dan memuji, “Ah, benar-benar sekuntum
bunga yang cantik jelita bagai bidadari turun ke bumi …..”
Orang berpedang itupun juga menghela napas, sahutnya, “Menghadapi seorang
bidadari begini, sekalipun lelaki yang berhati bajapun tentu akan luluh imannya…”
“Siapa suruh angkau banyak mulut? Apakah engkau sudah bosan hidup!” bentak orang
berjubah itu dengan marah.
Mendengar kedua orang itu memuji-muji, tergeraklah hati Han Ping. Ah, benarkah di
dunia ini terdapat seorang wanita yang sedemikian cantiknya? Tanpa disadari ia
memalingkan muka dib awah sinar penerangan korek api, tampak seorang dara berbaja
ungu tengah rebah di dalam ranjang. Rambutnya terurai, wajahnya seperti bunga tho-hun,
alis melengkung seperti bulan tanggal muda. Hidung mancung menaungi mulut yang
mungil berlapis sepasang bibir merekah delima. Ah benar-benar seorang dara yang luar
biasa cantiknya.
Han Ping terlongong-longong.
Tetapi pada lain kilas ia terkejut. Rasanya ia pernah melihat dara itu. Tetapi ia tak
berani memastikan.
‘Dara ini tentu akan membuat Thung-cu kesengsam,” kata orang berjubah panjang,
“jika dapat memperoleh kitab pusaka Lam-hay-bun darinya, Cungcu tentu akan memberi
hadiah besar. Engkau harus menjaganya baik-baik.”
“Ah, benar dia,” diam-diam Han Ping mendesuh dalam hati, “sungguh tak nyana, di
dunia ini terdapat seorang manusia yang menyerupai bidadari!”
Memang walaupun sudah kenal, tetapi Han Ping tak pernah mengamati wajah dara itu
dengan seksama. Maka ia tak mampunyai kesan mendalam tentang kecantikan dara itu.
Kecantikannya jauh melebihi kedua nona Ting.
Saat itu korekpun padam. Orang yang memegang korek itu menjerit kesakitan. Karena
kesengsem melihat kecantikan dara itu, api sampai membakar jarinya.
Tak berapa lama, kedua orang itu keluar.
Setelah kedua orang itu pergi, barulah Han Ping melayang turun ke muka ranjang. Ia
hendak mengangkat dara baju ungu itu tetapi pada lain kilas ia teringat tata kesopanan
antara lelaki dan wanita. Ia belum kenal dengan gadis itu, walaupun tujuannya hendak
menolong tetapi tak boleh ia melanggar kesopanan.
Sesaat Han Ping tertegun tak tahu apa yang harus dilakukan. Tiba-tiba terdengar gadis
itu mendamprat, “Hmm, pria dan wanita tak boleh bergaul bebas. Seorang ksatrya takkan
masuk ke dalam kamar gelap. Tengah malam menyelundup ke kamar yang dihuni seorang
gadis, berdiri di samping ranjang dengan mata mendelik memandang diriku uh … tak tahu
malu…..”
Meluaplah seketika darah Han Ping mendengar makian itu. Tubuhnya terhuyunghuyung
mundur dua langkah, serunya “Harap nona jangan salah paham. Setitikpun aku
tak mengandung hati yang hina!”
Kembali gadis itu berseru, “Menemukan semangka di bawah pohon, sekalipun bukan
jahat tetapi juga telah melanggar hak yang bukan haknya. Menilik tindakanmu, jelas
engkau ini bukan orang terpelajar yang kenal aturan.”
Tajam sekali lidah dara itu. Han Ping merasa seperti disayat dengan puluhan golok.
Gemetarlah tubuhnya, Darahnya bergolak-golak namun orangnya tetap tegak membisu.
Pikirnya, “Aku seorang jantan, masakah mandah dihina begitu rupa.”
Tetapi pada lain kilas ia mengakui bahwa makian dara itu memang tepat sekali. Setelah
termenung beberapa lama, barulah ia dapat menyahut dengan rendah hati, “Peristiwa ini,
memang sukar dijelaskan. Apa yang terkandung dalam hatiku. hanya Allah yang tahu.
Tetapi nonapun tak salah kalau menduga begitu. Atas ketidak sopanku, harap nona suka
memberi maaf.”
Ia tak dapat melanjutkan kata-katanya karena saat itu terdengar derap langkah kaki
orang mendatangi.
Dan kembali dara itu berseru, “Melihat kesulitan harus mengulurkan bantuan. Engkau
membanggakan diri sebagai seorang jantan tetapi begitu melihat bahaya terus hendak
melarikan diri.. Apakah engkau tak malu bertemu dengan kaum pendekar dalam dunia?”
Han Ping terbeliak.
“Aneh,” pikirnya, “bukankah dia telah memaki aku habis-habisan sehingga aku tak
dapat membantah sama sekali? Mengapa sekarang berkata begini?”
Sebenarnya saat itu ia sudah melangkah sampai ambang pintu. Mendengar kata-kata
dara itu, ia berhenti. Berpaling ke belakang. tampak dara itu duduk di atas ranjang. Han
Ping bingung untuk mencari kata-kata. Akhirnya ia dapat juga memperoleh kata-kata itu,
“Nona telah terjeblus dalam sarang harimau. Sebaiknya lekas tinggalkan tempat ini. Nona
mau percaya omongan ini atau tidak, terserah pada nona!”
Ia berputar diri terus melangkah keluar.
“Berhenti!” gadis itu tertawa dingin dan berseru.
Saat itu Han Ping sudah di luar pintu. Mendengar seruan si dara, ia terpaksa berhenti
lagi. Sambil berdiri di ambang pintu ia berseru, “Jika nona masih ada lain perintah,
silahkan bilang. Aku masih mempunyai lain urusan yang penting…”
Dara itu marah. Ia mendengus lalu berpaling muka. Berkat kepandaiannya yang telah
maju pesat, dapatlah Han Ping melihat keadaan dalam kamar yang gelap itu. Melihat dara
itu palingkan muka tak mengacuhkan dirinya, Han Ping menyengir kuda. Pergi salah,
tinggalpun tak benar. Karena tak tahu apa yang hendak dilakukan, ia tegak
terlongonglongong.
“Jika nona tak perlu memberi pesan, aku hendak pergi,” akhirnya ia dapat berseru juga.
Bukan menyahut, kebalikannya dara itu malah rebahkan diri di atas ranjang lagi.
Walaupun merasa bahwa dara itu bukan kepalang angkuhnya, tetapi Han Ping
menyadari babwa keadaan dara itu amat berbahaya sekali. Harus lekas2 dibawa pergi dari
tempat situ.
Tanpa berpaling memandang Han Ping, dara itu melengking, “Matipun aku tak sudi
mengurus urusanmu, manusia usil!”
Han Ping menghela napas, katanya seorang diri, “Hm, anak perempuan memang
sukar….”
Serentak ia apungkan tubuh loncat ke atas rumah. Sementara si dara yang masih rebah
di atas ranjang, cepat-cepat berpaling muka. Demi melihat Han Ping lenyap, dara yang
rupanya tengah menderita luka berat itu, bercucuran airmata. Tetapi ia berusaha sekuat
tenaga menahan isaknya.
Selekas di atas wuwungan rumah, Han Ping longgarkan kesesakan dadanya dengan
menghela napas panjang. Kemudian ia memandang ke sekeliling penjuru. Tetapi gedung
itu sunyi senyap. Diam-diam ia merasa heran. Jelas gedung itu terdapat penghuninya
tetapi mangapa tak tampak barang seorang pun yang keluar?
Hampir sepeminuman teh lamanya Han Ping tegak di atas atap rumab tetapi tak terjadi
suatu peristiwa apa-apa. Dia masih hijau dan tak punya pengalaman dalam dunia
persilatan. Menghadapi keadaan seperti saat itu, ia kehilangan faham.
Angin malam berembus mengantar bau bunga yang harum semerbak. Han Ping
menampar kepalanya sendiri sampai dua kali. Ia menyadati bahwa suasana gedung itu
penuh dengan ketegangan. Namun tak tahu ia bagaimana harus menghadapi. Ia anggap
berdiri terus di atas rumah, juga kurang tepat.
Tengah ia berada dalam kebingungan, tiba-tiba sesosok bayangan melesat dan lenyap.
Melihat itu, segera ia mengejarnya. Sejak berbulan-bulan meyakinkan ilmu bersemedhi,
hampir separoh dari penyaluran tenaga-murni dari mendiang Hui Gong tay-su, dapat
digunakan. Dengan demikian tenaga-dalamnya memperoleh kamajuan pesat. Sekali loncat
ke udara ia gunakan ilmu Delapan-langkah-naik-ke-udara. Setelah melintasi dua buah
rumah, tibalah ia di atas sebuah pohon jambu. Setelah meraih dahan, ia ayunkan tubuh
melayang ke muka sampai dua tombak dan tiba lagi di atas wuwungan rumah.
Tetapi ah, orang itu sudah tak tampak lagi bayangannya. Tiba-tiba terdengar suara
menggedebuk seperti benda berat jatuh ke tanah, Begitu berpaling ke belakang, ia melihat
di bawah pohon jambu tadi, sesosok bayangan hitam. Han Ping terus menyerbunya.
Ia memang agak bingung menghadapi suasana gedung besar yang sunyi senyap itu.
Pikirnya, begitu ia dapat membekuk seorang penghuni dapatlah ia mengorek keterangan
dari orang itu. Maka cepat ia mencengkeram tubuh orang itu dan melayang turun. Ketika
mengamati, ah… ternyata orang itu sudah tak bernyawa lagi. Orang itu bukan lain adalah
lelaki berpakaian ringkas yang menyanggul pedang tadi. Menilik tubuhnya masih hangat,
jelas dia belum berapa lama yang mati. Tetapi Han Ping tak menemukan barang sebuah
luka pun pada tubuh orang itu. Aneh, apakah yang menyebabkan kematian orang itu?
Tiba-tiba ia tersadat. Pikirnya, “Ah, segala sepak terjang Sin-ciu-It-kun dalam gedung
ini tentu telah diketahui Pengemis-sakti Cong To. Dan jelas pula bahwa selain dirinya,
masih terdapat orang lain juga dapat menyelidiki gedung itu. Bayangan yang luar biasa
cepatnya tadi, kalau salah seorang penjaga gedung itu tentulah dapat mengetahui
jejaknya. Tetapi jelas orang itu tak menghiraukan dirinya dan terus melesat pergi. Jelas
tentu orang lain. Ah, ternyata malam itu tak sedikit jumlahnya orang luar yang menyelidiki
gedung besar itu. Demikian pikir Han Ping.
Tiba-tiba Han Ping terkejut ketika merasa belakangnya disambar angin lembut. Buruburu
ia berputar tubuh dan memandang ke muka. Ah, seorang dara berpakaian hitam
yang tubuhnya kecil dan pada punggungnya menyanggul dua batang pedang, tampak
berdiri pada jarak dua tiga meter. Matanya berkilat-kilat memandang ke arahnya.
Keduanya saling beradu pandang. Sampai beberapa saat, mereka tak berkata apa-apa.
Han Ping meletakkan mayat yang masih dipegangnya lalu pelahan-lahan mundur. Sejak
didamprat si dara baju ungu, ia agak jeri terhadap orang perempuan. Tetapi karana kuatir
diserang, maka iapun hanya mundur tanpa berputar tubuh.
“Berhenti!” bentak dara baju hitam itu dengan nada dingin.
Han Ping hampir melonjak kaget tetapi iapun berhenti juga. Dara haju hitam itu
pelahan-lahan maju menghampiri. Pada jarak satu dua meter di hadapan Han Ping, ia
berhenti dan berseru dingin, “Apakah engkau orang gedung ini?”
“Bukau!” sahut Han Ping.
Tiba-tiba dara itu tersenyum, “Bagaimana engkau dapat membuktikan keteranganmu
itu?”
“Mangapa harus membuktikan?” Han Ping berseru heran, “kita tak saling kenal dan tak
dendam mendendam. Tak ada hubungan apa-apa ….”
“Hm, jika engkau tak dapat membuktikan ucapanmu tadi….” dara baju hitam itu melirik
ke arah mayat, “engkau tentu akan mengalami kesudahan seperti dia…”
Diam-diam Han Ping menimang, “Malam ini yang datang ke gedung sini, kemungkinan
tentu orang yang memusuhi Sin-ciu It-kun. Ah, lebih baik aku mengalah saja.”
Ia segera menjawab, “Harus bagaimana caraku membuktikan?”
Gadis itu tertegun. Rupanya ia tak mengira kalau menerima pertanyaan begitu.
Sahutnya, “Mudah saja. Jika engkau memang bukan gedung ini, lekas keluar dari sini dan
jangan mengurusi apa pun yang terjadi dalam gedung ini!”
Han Ping tersenyum, “Memang amat mudah sekali. Tetapi ijinkanlah aku bertanya
kepada nona. Apakah maksud nona menyuruh aku keluar dari gedung ini? Tengah malam
nona berkunjung kemari tentu bukan tak ada sebabnya. Karena aku sendiri, jika tak ada
urusan tentu tak mungkin tengah malam buta begini datang kemari. Sekali lagi kukatakan
kepada nona, bahwa aku bukan penghuni gedung ini. Jika nona tak percaya, memang
amat sukar!”
Dara baju hitam itu tertawa dingin. “Sepanjang hidupku, tak pernah aku bicara
sebanyak saat ini. Biarlah malam ini kuberi pengecualian kepadamu. Hm, jika engkau tak
mau keluar dari gedung ini, bagimu tiada gunanya malah membahayakan. Apa yang akan
terjadi malam ini sangat berbahaya sekali. Menilik umurmu masih begini muda dan
rupanya bukan orang persilatan, maka kunasehati….”
Han Ping tersenyum, “Terima kasih atas nasehat nona. Tetapi mati hidup seseorang itu
tiada yang dapat mengetahui. Ia berputar diri lalu loncat ke atas rumah.
“Berhenti!” tiba-tiba dara baju hitam itu membentaknya,”apakah engkau bisa lari?”
Sekali tangan mengayun, selarik sinar putih meluncur ke arah pemuda itu.
Setelah berada di atas rumah, Han Ping loncat pula ke bawah, di tempat yang gelap.
Kalau loncat ke atas, ia kuatir nona itu tentu tetap tak mau melepaskannya.
Tindakan Han Ping itu, membuat geram si dara baju hitam. Cepat ia susuli lagi dengan
dua lontaran senjata rahasia. Tetapi Han Ping sudah loncat turun ke bawah. Dara itu
memandang kian kemari tetapi tak dapat melihat bayangan Han Ping yang sudah
melenyapkan diri.
Dara itu mendengus “Huh, manusia licin!” ia lantas melayang ke atas rumah. Tetapi di
empat penjuru, ia tak dapat melihat Han Ping. Diam-diam ia terkejut atas kegesitan Han
Ping.
Di tempat persembunyiannya, Han Ping tak berani melongok keluar. Ia tahu
kepandaian dara itu hebat sekali. Setelah dara itu pergi barulah ia berani keluar.
Memandang ke langit, ia menghela papas panjang. Ia terus hendak loncat ke atas rumah
untuk mencari Cong To. Tetapi tiba-tiba ia teringat untuk memungut senjata rahasia yang
dilontarkan si dara baju hitam tadi untuk ditunjukkan Cong To. Pengemis-sakti itu tentu
dapat mengenal nama si dara.
Segera ia melangkah ke bawah pohon jambu. Pada batang pohon itu menancap
sebatang jarum perak dengan panjang 3 dim. Tetapi ketika mencabut dan memeriksa,
ternyata jarum itu tidak sama dengan jarum biasa. Ujungnya pecah dua, merupakan
bentuk daun yang amat kecil sekali.
Karena pengalamannya amat terbatas, Han Ping tak tahu nama jarum rahasia itu.
Setelah menyimpannya. ia terus hendak melangkah pergi. Tetapi tiba-tiba dari belakang
terdengar dengus tertawa dingin, “Kukira engkau memiliki ilmu naik ke langit, kiranya
hanya bersembunyi di tempat gelap saja. Hm, sungguh memalukan engkau mengaku
dirimu sebagai seorang anak laki-laki!”
Dampratan itu benar-benar telah menyinggung perasaan Han Ping. Seketika meluaplah
darah panasnya. Serentak ia berputar tubuh. Si dara baju hitam berada pada jarak tiga
empat meter.
“Janganlah nona berkata seenak hati sendiri. Aku tak kenal padamu maka akupun
mengalah saja. Tetapi jangan mengira kalau aku sungguh-sungguh takut kepadamu! “
serunya.
Dara itu tertegun. Rupanya ia tak menyangka kalau mendapat penyahutan demikian.
Katanya, “Apakah engkau berkata kepadaku? “
“Di sini selain engkau dan aku, tiada orang lain lagi. Sudah barang tentu berkata
kepadamu!”
Bukan kepalang marah dara itu. Tiba-tiba ia menggeliat, “Engkau berani memaki
aku….”
Han Ping juga masih berdarah panas. Melihat sikap dara itu makin sombong, ia cepat
menukas, “Mengapa tak berani?”
Dara itu memandang lekat2 kepada Han Ping.
Beberapa saat kemudian ia tersenyum, “Engkau berani memaki karena engkau tak tahu
aku ini siapa. Jika sudah tahu, tentu engkau takkan berani memaki aku!”
“Sikapmu terhadap orang yang begitu memandang rendah, sudah pantas kalau
didamprat. Hai, Jika tak ingat engkau ini seorang perempuan tentu dari tadi sudah kuberi
hajaran! “
———————————————–
Trims to: axd002, edisaputra…..
http://ecersildejavu.wordpress.com/
—————————————————
Dara itu gelengkan kepala menghela napas, “Seingatku, belum pernah aku berhadanan
dengan orang yang sekurang ajar engkau. Boleh dikata engkaulah manusia di dunia yang
pertama berani memaki aku ….. “
Han Ping tertawa dingin, “Sebagai seorang lelaki, sesungguhnya aku malu untuk
bertengkar dengan anak perempuan. Tetapi karena engkau terus menerus menghina,
terpaksa aku tak tahan…….”
Tiba-tiba ia sadar bahwa kalau terus menerus ribut mulut dengan dara itu, entah kapan
nanti baru selesai. Maka ia tak mau melanjutkan pembicaraan lagi. Berputar tubuh terus
loncat ke atas rumah dan lari.
Dara itu masih ter-longong2. Ia Lantas tertegun mendengar makian Han Ping. Seumur
hidup baru pertama kali itu ia didamprat tajam oleh orang. Ketika sadar, ia hendak
mengejar Han Ping. Tetapi pemuda itu sudah tak tampak lagi bayanganaya. Ia banting2
kaki dan memaki seorang diri, “Jangan harap engkau ketemu aku lagi. Sekali bertemu
tentu akan kuhajar sampai rontok gigimu!”
Makian itu bernada cukup keras sehingga Han Ping masih dapat mendengarnya. Tetapi
ia anggap tak perlu melayani. Setelah melintasi beberapa bangunan rumah, tibalah ia di
sebuah halaman yang indah. Penuh dengan tanaman bunga seruni dan Dahlia yang
tengah mekar.
Walaupun saat itu dalam pertengahan musim rontok tetapi bunga2 itu tetap segar.
Diam-diam ia merasa heran juga.
“Halaman ini sunyi senyap, jarang dikunjungi orang. Tetapi mengapa dihias dengan
aneka bunga yang begitu indah….” pikirnya.
Tiba-tiba gerumbul bunga yang di tengah halaman itu bergoyang2 dan menyusul
terdengar suara teriakan perlahan, “Budak, lekas engkau beristirahat. Malam ini kita sia2
saja kemari!”
Itulah suara si Pengemis-sakti Cang To. Han Ping cepat loncat turun. Tampak pengemis
tua itu sedang duduk bersandar pada gerumbul pohon bunga. Hawa arak menyelubungi
bau bunga yang harum.
Banyak sekali pertanyaan yang Han Ping hendak ajukan. Tetapi sebelum ia sempat
membuka mulut, si Pengemis-sakti sudah mendahului, “Pengemis tua mengira kalau dia
sendiri memperoleh berita rahasia itu. Siapa tahu ternyata telah tersiar di luar. Budak,jika
engkau berayal lagi beberapa saat engkau tentu akan menjumpai banyak kesulitan! “
Habis berkata pengemis itu segera mengambil buli2 arak dari punggungnya lalu
meneguknya.
“Rupanya banyak sekali jago2 sakti yang datang ke tempat ini,” kata Han Ping.
Pengemis sakti itu tersenyum, “Bukankah engkau telah kesomplokan dengan seorang
dara baju hitam yang tingkahnya berandalan? Jika tak salah, engkau pasti menerima
dampratannya! “
“Hai, lo-cianpwe tahu semua? “ Han Ping kaget.
“Jika tahu dan mengatakan hal itu, bukanlah suatu kepandaian namanya,” sahut Cong
To.
Han Ping menghela napas pelahan, serunya, “Malam ini aku dimaki-maki dua orang.
Yang Satu membuatku diam tak mampu menjawab. Yang satu, membuat aku naik darah!
“
Cong To tertawa, “Dara baju hitam itu memang terkanal berandalan di daerah Se-pak.
Tidak mengherankan kalau dia memakimu.”
Melihat pengemis itu tenang2 saja mendengar diri Han Ping dimaki orang dan bahkan
mengatakan memang sudah selayaknya, Han Ping mendongkol juga, “Jika tak mengingat
dia itu seorang anak perempuan, tentu sudah kuhajarnya!”
“Uh, budak perempuan itu tak boleh dibuat main2. Lebih baik engkau jangan cari
perkara dengan dia,” kata si Pengemis-sakti seraya meneguk araknya lagi.
“Kalau begitu lo-cianpwe tentu kenal padanya? “
Sahut Pengemis-sakti, “Pengemis tua ini tak takut setan belang tetapi terhadap budak
perempuan itu agak gentar juga. Aku tak mampu menghajarnya, apalagi engkau ….” tibatiba
ia hentikan kata-katanya karena teringat waktu di biara tempo hari, Han Ping pernah
menyaksikan bagaimana ia telah dihina oleh seorang jelita baju hijau.
Han Ping seorang pemuda yang berwatak keras. Meluaplah darah panasnya mendengar
kata-kata pengemis sakti itu, serunya, “Kalau begitu, apabila bartemu dengan dia lagi, aku
tentu hendak minta pelajaran kepadanya!”
Pengemis-sakti tartawa gelak2, “Ho, darahmu mudah panas, budak!”
Han Ping heran mengapa pengemis itu malah tertawa begitu bebas, “Mengapa locianpwe
tertawa begitu lepas? Apakah tak takut didengar penghuni gedung ini? “
Sin ciu It kun memang licin sekali. Sebenarnya malam ini dia hendak mengadakan rapat
dengan semua anakbuahnya. Tetapi mendadak dibatalkan, sehingga kita mendapat hidung
panjang….”
Tiba-tiba Han Ping teringat ketika keliru masuk ke dalam kamar tawanan sidara baju
ungu. Lelaki berjubah panjang itu mengatakan bahwa Chungcu (majikan), akan datang, Ia
duga yang dimaksud dengan sebutan Chungcu itu, tentulah Sin-ciu It-kun sendiri. Tetapi
mengapa mendadak dia tak jadi datang?
Karena tak mempunyai pengalaman, apa yang terkandung dalam hati tentu serentak
ditanyakan. “Apakah kedatangan kita ke gedung ini, sudah diketahuinya? Tetapi gedung
ini penuh dijaga dengan penjaga2 yang bersembunyi!”
“Sekalipun belum tentu dia tahu tentang kedatangan kita tetapi ternyata yang datang
kesini, bukanlah hanya kita berdua saja,” tiba-tiba Pengemis-sakti itu teringat sesuatu
maka ia tak melanjutkan kata-katanya lagi. Ia serentak berbangkit.
Melihat pengemis itu bersikap tegang, Han Pingpun ikut berdiri dan bertanya,
“Kenapa?”
Sambil gelengkan kepala Cong To menyahut pelahan, “Ih Thian-heng memang luar
biasa lihainya. Kalau dia sampai tak datang, tentulah sudah memasang jerat. Mungkin juga
dia sebenarnya sudab berada dalam gedung ini tetapi bersembunyi.”
Han Ping tertegun. Sejanak ia memandang sekeliling penjuru. katanya “Ah, tak
mungkin. Para penjaga banyak yang kulukai. Jika Ih Thian-heng sudah berada disini, tak
mungkin ia hanya berpeluk tangan saja.”
Cong To menghela napas. “Dia seorang manusia yang berhati dingin. Jangan cepatcepat
menilai dia dengan ukuran orang biasa!”
Berhenti sejenak, ia berkata pula, “Dara baju hitam itu, apabila turun tangan tentu
amat ganas sekali. Olah karena itu setiap tokoh di kalangan Rimba Hijau (penyamun)
daerah Sepak, jeri kepadanya. Untung dia jarang keluar sehingga sulit untuk orang hendak
menemuinya. Kalau dia sering keluar ke dunia persilatan, mungkin sudah terjadi geger.
Sebagian besar penjaga2 gedung ini tentu rubuh di tangannya.”
Han Ping hendak mencela dara baja hitam yang ganas itu tetapi teringat bahwa yang
dihajar itu anakbuah Sin-ciu It-kun, diam-diam ia tak jadi mencela.
Tampak Pengemis-sakti memandang ke langit. Rupanya dia tengah menghadapi suatu
persoalan sulit. Han Ping pun tak mau menggangunya. Ia melontarkan pandangan
menyelidik ke arah gedung di sebelah depan. Luasnya hampir setengah bahu. Kecuali
dihias dengan aneka bunga, pun terdapat juga sebuah gunung-gunungan palsu yang
dibuat orang. Di bawah gunung-gunungan itu, terdapat sebuah empang air seluas satu
tombak. Empat buah rumah berderet-deret jadi satu. Setiap rumah menghadap ke kebun
bunga, Kedua jendelanya besar yang tertutup, asal terbuka tentu dapat melihat keluar.
Setelah meninjau keadaan di sekeliling halaman itu, kembali ia berpaling kepada
Pengemis-sakti. Tampak pengemis itu tengah memandang sebatang pohon bunga dengan
tak berkedip, Han Ping tahu pengemis tua itu cerdas dan banyak pengalaman. la tak
berani mengganggunya. Dalam pada itu diam-diam perhatiannya tertumpah kepada si
dara baju hitam. Mengapa seorang dara yang begitu muda belia, mempunyai kewibawaan
yang sedemikian hebat. Bahkan seorang tokoh macam Pengemis-sakti pun juga jeri
kepadanya.
Darah muda Han Ping kembali meluap. Makin keras keinginannya untuk mengadu
kepandaian dengan dara itu apabila kelak bertemu lagi.
Karena memikirkan hal itu, hatinya terasa gelisah, ia segera berjalan menurutkan jalan
kecil yang terbuat daripada batu2 kecil yang bundar, menuju ke rumah di sebelah kanan.
Naik ke atas titian, terdapat serambi yang mangalingi kebun bunga itu. Titian dipagari
oleh pagar merah yang membatas kolam dengan kebun.
Juga jendela rumah itu indah sekali buatannya. Berbentuk bundar dan dihiasi dengan
huruf2 doa puji Kebahagiaan dan Keselamatan.
Makin heran Han Ping dibuatnya. Masakan di dalam sebuah pedesaan yang terpencil
sunyi, terdapat sebuah gedung yang begitu indah. Seketika timbullah rasa ingin tahu dari
pemuda itu. Ia tak peduli segala apa, pokoknya hendak mengetahui apakah yang berada
dalam ruangan rumah. itu Segera ia melangkah maju dan hendak mendorong daun
jendela.
Tepat pada saat itu dari belakang terdengar suara gelak tertawa dari Pengemis-sakti
Cong To. Buru-buru Han Ping tarik pulang tangannya dan berpaling ke belakang,
menghampiri ke tempat Cong To.
heran mengapa pengemis tua itu tertawa seorang diri.
Begitu melihat wajah pengemis itu berseri gembira meneguk buli-buli araknya, Han
Ping tak berani mengganggu dan hanya berdiri di sampingnya.
Setelah dua kali meneguk, pengemis itu letakkan buli-bulinya, mengusap mulut lalu
melirik ke arah pemuda itu, menyengir seperti kucing tertawa. Sudah tentu Han Ping geli
melihatnya.
Han Ping hendak bertanya tetapi kembali didahului Pengemis-sakti lagi, “Budak, engkau
tentu makin heran melihat keadaan gedung ini. bukan..??”
Mendengar pertanyaan yang tak diinginkan itu Han Ping menyahut enggan, “Memang
istimewa sekali pembuatan rumah ini.”
Pengemus tua inimasih menganggap dunia kosong belaaka. Selamanya tak perduli
rumah orang bagus atau tidak. Bagiku hanya merasa gedung ini memang luar biasa dari
biasanya. Turut pendapat pengemis tua, gedung ini tentu mempunyai keistimewaan yang
hebat!”
Mendengar pernyataan itu, kembali Han Ping keliarkan matanya ke sekeliling penjuru.
Dalam hati ingin menjawab pernyataan si pengemis tetapi mulutnya tak tahu bagaimana
harus mengucap.
Sekali lagi Pengemis-sakti melirik Han Ping. Melihat pemuda itu diam saja, ia berkata
pula, “Tak kira mereka begitu cermat dan hati2 sekali. Setiap langkah direncanakan
dengan teliti. Budak, mungkin engkau masih hijau sehingga tak mampu melihat rahasia
dari perangkap mereka!”
Anak muda memang mudah tersinggung. Demikian pula dengan Han Ping. Ia merasa
tersinggung mendengar kata-kata Pengemis sakti itu. Sambil mendenguskan hidung, ia
menyahut, “Kedatanganku kemari, pun juga atas perintah lo cianpwe. Tetapi mengapa locianpwe
mengatakan hal2 yang tak kumengerti? Adakah lo cianpwe merasa takut?”
Pengemis-sakti tertawa gelak2, “Seumur hidup pengemis-tua berkelana di dunia
persilatan, pernah basah kuyup dalam air. Pernah terbakar dalam api, pernah menerjang
gunung golok hutan pedang. Tetapi selama itu belum pernah pengemis tua ini merasa
gentar. Masakan setelah menjelang liang kubur, pengemis tua masih temaha hidup takut
mati?”
Kalau biasanya, Han Ping tentu tak dapat menjawab. Tetapi entah bagaimana pada
saat itu setelah mengetahui bahwa gedung itu milik Ih Thian-heng, ia benar tak mau
melepaskan kesempatan itu. Segera ia berseru dingin, “Jika lo-cianpwe memang sudah
niat datang kemari dan tak takut apa-apa, maka sekalipun gedung ini penuh dengan
keanehan apa saja, kita harus tetap menerjangnya!”
Diam-diam Pengemis-sakti Cong To menganggap watak Han Ping itu lebih tak sabaran
dari dirinya. Diam-diam ia hendak menghajar adat pada anak muda itu.
“Bagi pengemis tua ini, bukan soal takut atau tidak takut. Melainkan aku tengah
berpikir apakah yang tersembunyi dalam ruang kamar itu.”
Ia melihat ke arah gunung2an palsu katanya pula, “Menilik gelagatnya, bukan hanya
kamar itu yang ada apa-apanya, pun gunung2an palsu itu juga tidak sewajarnya.
Didirikannya di tempat ini tentu bukan tak ada sebabnya!”
Habis berkata kembali Pengemis-sakti itu memandang Han Ping untuk menunggu
reaksinya.
Benar seperti yang diduga Pengemis-sakti, seketika menggeloralah hati Han Ping. Ia
anggap pernyataan pengemis itu memang benar. Berpaling ke arah Pengemis sakti,
segera ia berseru dengan bersemangat, “Menurut pandangan lo-cian-pwe, tempat ini tentu
ada apa-apa yang patut dicurigai. Mumpung Ih Thian-heng tak muncul, bukankah kita
dapat menyelidikinya.?”
Han Ping duga, Pengemis-sakti itu tentu akan menyetujui sarannya. Tetapi di luar
dugaan, malah berkata dengan wajah serius, “Jangan, jangan! Sekalipun dia tak muncul
tetapi menurut pernitungan pengemis tua, hal itu memang mencurigakan sekali. Jika tak
salah, sesungguhnya Ih Thian-heng sudah datang tepat pada waktunya. Dan yang datang
kesini tak sedikit jumlahnya. Semisal dengan dara baju hitam yang engkau jumpai tadi,
juga datang kemari. Dengan begitu, nanti malam tentu akan terjadi keramaian yang
hebat. Jangan engkau terburu nafsu dulu. Jika kita bertindak secara gagabah, siapa tahu
kitalah yang akan terbentur dengan kesulitan. Tak perlu mengatakan yang lain2, cukup
dara haju hitam itu saja sudah cukup untuk menyulitkan kita. Bukan karena pengemis tua
takut urusan, tetapi sesungguhnya budak perempuan itu memang bisa membikin kepala
orang pusing….”
Baru Pengemis-sakti berkata sampai disitu, tiba-tiba dari balik gustung-gunungan palsu
terdengar suara melengking, “Hai, sebagai seorang cianpwe, ternyata engkau tak segan
merangkai cerita panjang lebar tentang ketidak benarnya kedatanganku. Sungguh tidak
tepat sekali!”
Pengemis sakti memandang Han Ping, kerutkan dahi. Dan Han Pingpun juga
memandangnya. Keduanya bertukar pandang beberapa jenak lalu sama-sama berpaling ke
arah gunung2-an palsu itu.
Dari balik gunung-guuungan muncul si dara baju hitam yang punggungnya menyanggul
sepasang pedang. Memandang si pengemis tua, berkatalah dara itu seolah-olah kepada
dirinya sendiri, “Orang yang sudah berumur begitu tua tetapi di belakang mash suka
mengomongkan seorang muda. Hm, benar-benar orang bisa geli.”
Enak sekali ia mengucap tetapi bagi telinga orang, seperti ditusuki jarum. Han Ping
berpaling ke arah Cong To tetapi pengemis tua itu malah memandang ke lain jurusan.
Seakan-akan tak mendengarkan kata-kata si dara tadi. Melihat itu tahulah Han Ping bahwa
Cong To tak mau bentrok dengan dara itu.
Jelas kata-kata dara itu ditujukan pada Pengemis-sakti Cong To, tetapi mengapa
pangemis itu diam saja? Diam-diam Han Ping penasaran sendiri. Masakan seorang
cianpwe yang ternama, mandate saja didamprat seorang dara?
Kali ini Han Ping tak mau mengalah lagi. Ia tersenyum tawar, serunya, “Seoraag anak
perempuan tetapi bicara begitu tak mengindahkan terhadap seorang cianpwe!”
Di luar dugaan dara baju hitam itu tak ma rah didamprat Han Ping. Ia hanya
memandang pemuda itu dengan dingin, “Bukan urusanmu, Lebih baik jangan ikut campur!
Jika tak mengingat engkau pendatang baru dalam dunia persilatan, tak mungkin kubiarkan
angkau bersikap begitu kepadaku ……”
Jawab Han Ping, “Engkau bilang urusan ini tak menyangkut diriku? Tetapi Cong locianpwe
sedang bicara padaku. Dan lagi mataku tak dapat membiarkan engkau bersikap
begitu….. “
Belum Han Ping selesai bicara, dara itu sudah menukas, “Sudah beberapa kali aku telah
melanggar pantangan memberi kelonggaran kepadamu. Tetapi rupanya engkau tak kenal
gelagat, semakin dapat hati semakin melonjak. Apakah karena engkau merasa punya
sandaran muka berani menghina aku?”
Han Ping tertawa nyaring, “Terima kasih atas kebaikan nona memberi kelonggaran
kepadaku. Tetapi segala tindakanku ini, sama sekali bukan karena mengandalkan bantuan
orang. Aku yang berbuat, aku sendiri yang tanggung akibatnya. Ah. untung engkau
seorang anak perempuan, coba seorang lelaki, hm, hm. tentu lainlah tindakanku.”
Dara baju hitam itu tertawa menyeringai. “Lalu apa tindakanmu kepadaku? Ingin benar
kudengar pernyataanmu!”
Setelah beberapa saat bicara dengan dara itu, kemarahan Han Pingpun agak reda.
Apalagi dara itu tidak marah dan marah selalu tersenyum, Han Ping merasa sungkan juga.
Ia menghela napas panjang, ujarnya, “Engkau datang kemari karena Ih thian-hang,
begitupun aku. Karena Ih Thian-heng tak ada, mengapa aku harus bertengkar dengan
nona? Aku takkan mencampuri urusanmu, engkau pun jangan peduli urusanku!’
Tiba-tiba dara itu mengerutkan kening dan berseru dengan dingin, “Engkau tak mau
marah kepadaku. tetapi akulah yang akan marah kepadamu!”
Han Ping maju dua langkah. katanya, “Jika nona menghendaki begitu. terpaksa akupun
akan melayani!”
Data itu menggeliat maju ke muka seraya tertawa, “Ih, engkau mau mengajak
berkelahi?”
Marahlah Han Ping. Ia anggap dara itu keliwat congkak dan perlu dihajar. Serunya,
“Aku seorang anak laki, jika nona hendak berkelahi, aku bersedia mengalah tiga jurus.”
Kata-kata itu bagai minyak yang menyiram api kemarahan si dara. Seketika wajahnya
memancarkan hawa pembunuhan. Tanpa banyak bicara, ia maju mendekat dan lepaskan
tiga buah pukulan ke udara, “Aku malas banyak bicara dengan engkau. Seperti yang
engkau kehendaki, aku sudah memukul tiga kali, nah, sekarang giliranmu yang turun
tangan!”
Han Ping pasang kuda-kuda seraya mempersilahkan orang, “Silahkan nona
menyerang!”
“Huh, segala tata cara brengsek!” ujar dara itu seraya melangkah kanan Han Ping.
Tangannya kiri menghantam dada orang. Han Ping menyurut ke belakang tiga langkah
tetapi dara itu mendesak maju sambari ayunkan kedua tangannya. Dalam sekejab mata
saja, duabelas pukulan teloh mencurah dari tangan dara itu.
Serangan itu benar-benar mirip dengan hujan mencurah. Duabelas pukulan susul
menyusul tak memberi kesempatan pada lawan. Han Ping terpaksa harus mundur sampai
6 langkah. Diam-diam ia terkejut heran melihat serangan berantai yang menabur laksana
kilat menyambar cepatnya itu.
Setelah keduabelas pukulan dara itu selesai, barulah Han Ping dapat berdiri tegak.
Mengempos semangat, ia balas menghantam seraya menerjang.
Dara itu tertawa dingin. Tangan kanan menarik ke belakang sehingga tenaga pukulan
Han Ping terseret ke samping. Kemudian tangan kiri dara itu bergerak dengan jurus
Menutup-pintu-mendorongrembulan untuk merangsek bahu Han Ping.
Han Ping terkejut karena gerakan tangan dara itu mempunyai daya sedot yang hebat.
Han Pingpun tak mau kalah hati. Ia kokohkan kedua kakinya, sambil bertegak dada dan
menarik kembali tangannya serta tangan kiri mencengkeram pergelangan si dara dengan
jurus Kin-liong chiu!
Tangan kiri dara itu bergerak cepat sekali. Pada saat ujung jarinya menyentuh bahu
Han Ping, tangan kiri pemuda itupun sudah menyentuh pergelangan tangan si dara juga.
Huh …. keduanya menyurut mundur untuk menghindari serangan masing-masing.
Sejak beradu pandang, keduanya maju saling menyerang lagi.
Kali ini Han Pirg tak berani memandang rendah Mereka bertempur cepat dan saling
dahulu-mendahului untuk merebut kesempatan. Yang tampak hanya dua sosok bayangan
yang bergamburan macam orang menari cepat. Sepuluh jurus kemudian, sukar dibedakan
mana si dara mana Han Ping.
Pengemis-sakti Cong To enak2 saja melihat pertempuran seru itu. Ia mengambil buli –
buli araknya. Sambil minum sambil menikmati pertempuran.
Ia pernah berkelahi dengan Han Ping dan tahu bahwa pemuda itu memiliki kepandaian
sakti. Ia percaya dara baju hitam itu tentu tak mampu melayani sampai limapuluh jurus.
Tetapi di luar dugaan, makin lama pertempuran itu makin berjalan seru. Limapuluh
jurus cepat berlalu dan ternyata si dara bukannya kalah, malah makin hebat serangannya.
Jurus yang digunakan makin aneh dan jarang tampak di dunia persilatan. Selain luar biasa
cepatnya, pun setiap seranganya selalu tepat mengarah pada bagian yang berbahaya.
Tetapi gerakan Han Pingpun makin lama makin dahsyat. Pukulannya sekeras palu besi
yang mampu menghancurkan batu karang. Gerak perubahannya sukar diduga.
Tanpa disadari, pengemis tua itu makin tertarik perhatiannya. Diam-diam ia menimang,
“Kedua anak muda itu saling mengeluarkan ilmu kepandaian yang luar biasa. Yang satu
pukulannya keras. Gerakannya terang-terangan tetapi mengandung perobahan yang sukar
diduga. Yang lain, gerakannya cepat sekali dan ganas. Jika dapat menggabungkan kedua
ilmu itu menjadi satu, rasanya di dunia ini tentu tak ada yang dapat menandinginya!.”
Han Ping memang beradat tinggi. Mendengar gerutu si pengemis tua dalam menilai
pertempuran itu, seketika meluaplah kemarahannya. Dengan menggembor keras, ia
lontarkan dua buah pukulan. Tampaknya tiada bertenaga, tetapi waktunya tepat sekali.
Seketika dara baju hitam itu dipaksa mundur tiga langkah.
Dara itu tampaknya menderita luka-dalam yang parah. Tubuhnya menggigil dan tibatiba
ia muntah darah lalu pejamkan mata. Pada saat itu jika Han Ping mau menghantam
lagi, dara itu pasti binasa. Tetapi pemuda itu tak mau menyerang lagi. Ia tegak sambil
menengadah ke langit, seperti merenungkan sesuatu.
Berselang beberapa jenak setelah tegak berdiam diri, dara baju hitam itu tiba-tiba
melengking dan menyerang lagi dengan kedua tangannya. Han Ping terpaksa menangkis.
Tetapi tiba-tiba ia mendengus tertahan dan mundur sampai lima langkah lalu rubuh.
Pada saat ia rubuh, tiba-tiba ia menggembor keras da menghantam. Tidak keras
tampaknya gerak pukulan itu. Tetapi tiba-tiba dara baju hitam itu melengking kaget ketika
dirinya terdorong oleh suatu tenaga dahsyat sehingga terlempar ke udara dan jatuh
terkapar di tanah….
Seketika suasana hening lelap. Di bawah sinar bintang di langit kelam tampak dua
sosok tubuh anak muda, menggeletak di tanah. Keduanya samasama menderita lukadalam
yang parah sekali sehingga tak mampu duduk.
Seorang tokoh persilatan termasyhur macam Cong To, tetap tak mengerti apa sebab
kedua anak muda itu terluka. Matanya si pengemis yang jeli dapat melihat ketidak-wajaran
wajah Han Ping. Diam-diam ia terkejut. Ia tahu pemuda itu terkena pukulan yang amat
beracun. Meraba dahi pemuda itu, ia makin percaya bahwa pemuda itu terluka-dalam
yang parah.
Cong To tertegun. Ia tundukkan kepala merenung. Tetapi tetap tak dapat mengetahui
ilmu pukulan yang digunakan dara baju hitam itu.
Beberapa waktu kemudian, tiba-tiba dari arah belakang terdengar derap langkah orang
mendatangi. Ketika berpaling, is melihat seorang tua berjubah biru dan berjenggot
panjang, tengah muncul dengan langkah pelahan. Wajahnya keren sekali, langkahnya
sarat. Tanah yang dilalui, meninggalkan bekas telapak kaki yang cukup dalam. Matanya
memandang ke arah si dara baju hitam yang masih menggeletak di tanah.
Pengemis-sakti Cong To cepat dapat mengenal orangtua itu dan secepat itu ia pun
segera siap2.
Setelah dekat, orangtua jubah biru tiba-tiba berhenti lalu tertawa dingin, “kukira siapa,
kiranya engkau pengemis tua ……”
Sejenak berhenti tiba-tiba ia berseru pula degan nada keras, “Siapakah yang telah
melukai anak perempuanku ini? Lekas bilang!”
Cong To menengadahkan muka dan tertawa panjang, “Apakah kata-kata saudara
Siangkwan yang keras itu ditujukan kepadaku si pengemis tua ini?”
“Di sini hanya engkau dan aku. Jika tidak kepadamu, apakah aku bertanya pada diriku
sendiri?”
“Tetapi telinga si pengemis tua ini masih belum tuli, harap saudara Siangkwan jangan
berteriak begitu keras!”
“Pengemis busuk!” bentak orangtua jubah biru itu, “lain orang memang takut
kepadamu, tetapi aku Siangkwan Ko tak takut!”
Pengemis-sakti Cong To tertawa dingin, “Kalau engkau tak takut kepada pengemis tua,
masakan pengemis tua takut kepadamu?”
Dengan menggembor keras, Siangkwan Ko terus menghantam. Angin keras mendesir
ke arah sipengemis sakti. Tetapi dengan tertawa dingin Cong To gerakkan tangan kanan
menangkis.
Desss . .. dua tenaga sakti saling berbentur. Dan tubuh kedua jago tua sama-sama
berguncang.
Siangkwan Ko tarik pulang tangannya lalu berseru, “Ahh, nama Pengemis-sakti benarbenar
tak kosong. Silahkan terima lagi sebuah pukulanku!”
Pengemis-sakti Cong To bersiap dan menjawab, “Silahkan, pengemis tua siap
melayani.”
Pada saat Siangkwan Ko hendak dorongkan kedua tangannya, tiba-tiba ia teringat
sesuatu dan batalkan gerakannya, “Dalam adu tenaga ini, salah satu tentu akan menderita
luka….”
Pengemis-sakti Cong To tertawa gelak2, “Hmm. kau benar tetapi entah siapa yang akan
menderita luka itu. Jiwa pengemis tua ini sih tak berguna, tetapi saudara Siangkwan
sebagai pemimpin kaum persilatan daerah Utara, seharusnya meninggalkan pesan.”
Sahut Siangkwan Ko, “Ah. saudara Cong terlalu membikin kecil hati orang. Sebelum
bertempur, aku ingin meminta penjelasan pada saudara!”
Cong To tertawa, “Dalam hati pengemis tua, juga mempunyai sebuah hal yang hendak
mohon petunjuk saudara. Tetapi karena saudara telah mendahului, silahkan mengatakan
lebih dulu!”
Siangkwan Ko mendengus dingin. “Dengan kepandaian yang engkau miliki, tak
mungkin engkau mampu melukai anakku. Ingin kutahu, siapakah yang telah melukai
anakku itu?”
Melihat jago tua itu menggigil, Cong To dapat menduga tentu hatinya sedih sekali.
Diam-diam pengemis tua itu menimang dalam hati, “Hm, dia sedang sedih dan marah
sekali. Jika jadi bertempur dia tentu akan bertempur sampai mati. Orang-orang dari kedua
Lembah dan ketiga Marga, menyohorkan orang tua ini sakti sekali dan peribadinya
termasuk golongan Putih. Jika kulayani dia bertempur, yang untung tentulah Ih Thianheng….”
Karena sampai beberapa saat pengemis tua itu diam saja. Siangkwan Ko tak sabar lagi.
Berserulah ia dengan keras, “Pengemis tua, orang persilatan mengatakan namamu
sebagai pendekar perwira. Tetapi ternyata hanya seorang manusia yang berani unjuk ekor
tak berani memperlihatkan kepalanya!”
Rupanya jago tua Siangkwan itu marah sekali sehingga ia tak mau menggunakan
panggilan ’saudara’ lagi.
Berpaling memandang ke arah Han Ping yang masih rebah. Cong To berseru tawar,
“Singkwan Ko, agaknya jiwa dari anakmu itu amat berharga sekali. Tetapi masakan jiwa
orang lain juga tak berharga?”
Menurutkan arah pandang Cong To yang menumpah kepada Han Ping, Singkwan Ko
tertawa nyaring serunya, “Sekalipun seribu jiwa tokoh-tokoh persilatan yang Sakti, bagiku
tetap tak lebih berharga dari selembar jiwa puteriku .”
Dua butir airmata menitik turun dari pelapuk jago tua itu.
Cong To tergetar hatinya.Ia tahu bahwa kesadaran pikiran orang she Siangkwan itu
sudah kacau, Lebih baik ia mengalah.
“Wan-ji, kata Siangkwan Ko seorang diri,” matilah engkau dengan tenteram, Ayahmu
hendak membunuh seribu tokoh persilatan untuk menjadi hambamu di alam baka .. .”
Makin terkejutlah Cong To mendengar ocehan Siangkwan Ko yang sudah kacau
pikirannya itu. Cepat-cepat ia mencari akal. Tiba-tiba ia berjongkok dan meraba dada Han
Ping. Jantung pemuda itu masih berdetak dan napasnyaoun masih berhembus sekalipun
lemah. Serentak is berseru keras2, “Saudara Siangkwan, lekas periksa apakah puterimu
benar-benar sudah meninggarl”
oooo0000oooooooo
Antara Putih dan Hitam.
Siangkwan Ko tertegun. Sampai sekian lama baru saat itu ia tersadar. Buru-buru iapun
berjongkok dan lekatkan telinganya ke dada puterinya. Tiba-tiba is mengangkat kepala
dan menghela napas longgar. Segala kesedihan, kedukaan, keputus-asaan telah lenyap
keluar. Sikapnya tenang kembali.
Ia berpating ke arah pengemis-Sakti dan bertanya, “Saudara Cong, bagaimanakah
persoalan ini. Siapakah yang rebah di hadapanmu itu?”
“Kedua budak itu, sama-sama saling ngotot. Dari berbantah mulut sampai adu pukulan.
Sampai lebih dari 100 jurus, tak ada yang kalah dan menang. Akhirnya masing2
mengeluarkan ilmu tenaga-dalam yang hebat dengan akibat keduanya sama-sama
menderita luka!”
“Apa? Hanya dua orang yang bertempur?” seru Siangkwan Ko sambil melongok ke arah
Han Ping.
“Apa? Masakan pengemis tua ini sudi ikut campur dalam pertempuran mereka?” balas
Cong To.
Siangkwan Ko gelengkan kepala tertawa dingin. “Bagaimana pendapat saudara Cong
tentang tenaga pukulanku?”
Cong To mengambil buli-buli araknya dan meneguk kemudian menyahut seenaknya,
“Tak lebih keras dari kepunyaan pengemis tua!”
“Hm, mungkin tak lebih lemah dari engkau!” dengas Siangkwan Ko.
Cong To tertawa gelak2, “Jika saudara Siang-kwan tak percaya, nanti setelah kite
tolong kedua budak ini, kita cari tempat yang sepi untuk adu jotosan!”
“Kalau saudara Cong mempunyai selera sudah tentu akupun senang melayani,” sahut
Siangkwan Ko.
“Yang penting kita tolong dulu kedua budak ini. Soal adu kepalan itu kelak kita
rundingkan lagi,” kata Cong To.
Siangkwan Ko mengangguk. Setelah kerahkan tenaga-dalam ia segera mengurut tubuh
si dara baju hitam.
Sebenarnya Cong To agak bingung bagaimana harus meuolong Han Ping. Ia benarbenar
tak mengerti ilmu kepandaian apa yang digunakan dalam pertempuran tadi. Tetapi
serta melihat Siangkwan Ko mengurut2 tubuh puterinya, timbullah pikirannya untuk
meniru. Segera ia mengurut-urut jalan darah penting pada tubuh Han Ping. Namun sampai
sekian lama belum tampak hasilnya. Melirik ke arah Siangkwan Ko, juga jago tua itu belum
dapat menolong puterinya.
Terdengar Siangkwan Ko menghela napas dan hentikan peng-urutannya Kemudian
berkata, “Saudara Cong, ilmu apakah yang digunakan budak itu sehingga menyebabkan
anakku tak dapat sadarken diri?”
Balas Cong To, “Ilmu apakah yang digunakan anakmu sehingga budak laki ini tak dapat
kutolong .. …”
Belum selesai mengucap, tiba-tiba dari belakang terdengar suara tertawa pelahan lalu
suara yang penuh keramahan. “Tak perlu kalian berdua gelisah dan sibuk2. Kedua anak
muda itu telah menderita luka-dalam yang berat. Harus beristirahat cukup lama baru
mereka dapat sadarkan diri.”
Siangkwan Ko dan Pengemis-sakti Cong To cepat berpaling ke belakang. Tampak
seorang lelaki pertengahan umur yang sikapnya seperti seorang terpelajar, berdiri pada
jarak setombak jauhnya sambil memandang ke arah kedua jago tua itu.
Cong To serentak berbangkit: Ih Thian-heng.”
Sekali tubuh menggeliat sasterawan pertengah dan umur itu sudah meluncur ke
hadapan pengemis-sakti, ujarnya, “Benar, memang aku Ih Thian-heng. Adakah saudara
Cong selama ini tak kurang suatu apa?”
Ia segera memberi hormat.
Sesungguhnya walaupun sudah mendengarnya. tetapi Siangkwan Ko belum pernah
melihat Ih Thian-heng. Kini, dengan sedikit gerak meluncur itu, cukup mengejutkan
perasaan hati Siangkwan Ko, “Pengemis tua memang telah menduga engkau ten
Tetapi Ih Thian-heng tak mengunjuk reaksi apa-apa, kecuali tersenyum. “Ah, memang
aku amat mengagumi perhitungan saudara yang selalu tepat!”
“Jangan menyanjung-nyanjung, pengemis tua tak senang dipuji-puji!” seru Cong To.
Ternyata Ih Thian-heng memang mempunyai peribadi yang kuat. Dia tak ambil pusing
ucapan Cong To, Kemudian ia berpaling ke arah Siangkwan Ko: Saudara tentulah
Siangkwan pohcu yang termasyhur dalam dunia persilatan di daerah Sepak!”
Dengan sungkan, Siangkwan Ko mengiakan.
Kembali Ih Thian-heng memberi hormat, katanya, “Ah, sudah lama mendengar
kemasyhuran namanya, tetapi baru saat ini aku beruntung dapat bertemu.”
“Tetapi kebesaran nama saudara, menggema di seluruh dunia. Atu lah yang merasa
beruntung sekali bertemu.”
Ih Thian-heng tersenyum, “Saudara Siangkwan dan saudara Cong, harap membawa
kedua anak yang terluka itu ke dalam kamar. Hendak kuperiksa dengan ilmu pukulan apa
meraka sampai terluka itu. Mudah-mudahan aku dapat memberi obat!”
Sejenak Siangkwan Ko memandang ke arah Cong To lalu mengangkat tubuh puterinya,
“jika saudara benar-benar dapat menolong anakku ini, aku tentu akan membalas budi
yang setimpal.”
“Dapat atau tidak aku membari pertolongan, sekarang ini belam dapat dipastikan,” kata
Ih Thian-heng. “Harus parlu kuperiksa dulu baru dapat kupastikan. Jangan bicarakan soal
budi!”
Dalam pada bicara itu. diam-diam Pengemis-sakti sudah mengambil keputusan. Bahwa
ia sudah tak mampu menyembuhkan Han Ping. Daripada membiarkan anak itu mati,
biarlah ia meluluskan Sinciu It-kun untuk mengobati.
Cepat ia mengangkat tubuh Han Ping. Tanpa bicara apa-apa, ia melangkah ke belakang
Siangkwan Ko. Dengan segala keramahan budi, Sin-ciu Itkun mempersilahkan kedua
orang itu mengkutinya menuju ke sebuah kamar di sebelah kiri.
Begitu tiba di muka kamar, pintu segera terbuka sendiri. Dalam kamar diterangi
beberapa batang lilin besar. Ih Thian-heng mempersilahkan Siangkwan Ko dan Cong To
masuk. Tepat bocah lelaki berumur tiga empatbelas tahun, siap menunggu di empat
sudut. Di sampingnya masing2 terdapat meja dengan sebatang lilin merah.
Cong To sejenak memandang ke sekeliling lalu berpaling kebelakang. Tampak dua anak
lelaki berdiri di belakang pintu. Selain keenam budak lelaki itu, tiada lain orang lagi. Di
tengah kamar diberi sebuah ranjang kayu.
Ih Thian-heng minta Cong To menunggu. Ia hendak memeriksa puteri dari Siangkwan
Ko lebih dahulu: ‘Setelah itu Baru nanti kuperiksa murid saudara….!”
Cong To membiarkan saja orang menganggap Han Ping itu muridnya. Ia duduk di kursi
dekat dinding.
Setelah membaringkan si dara di atas ranjang. Siangkwan Ko berpaling ke arah Cong
To, “O, kiranya dia murid saudara Cong …..”
Pengemis-sakti hanya tertawa dingin. “Sayang pergemis tua tak punya rejeki
mengambilnya sebagai murid, hanya dapat menerima si pengemis kecil.
“Kalau bukan murid saudara Cong, lalu dari perguruan manakah dia?” tanya Siangkwan
Ko.
“Bagaimana aku tahu?” Cong To marah.
Karena mengingat anaknya yang sedang rebah di atas ranjang, Siangkwan Ko tahankan
kemarahannya.
Ih Thian-heng mulai memeriksa denyut nadi si dara. Beberapa waktu lamanya, baru ia
lepaskan tangan dan berbangkit. Dengan wajah serius ia berkata kepada Cong To,
“Saudara Cong. aku hendak minta tanya kepadamu apakah boleh?”
“Pengemis tua tidak buta tidak tuli, silahkan bertanya kalau ada persoalan!” sahut Cong
To.
“Apakah pemuda itu benar-benar bukan murid pewaris saudara?” tanya Ih Thian-heng.
“Pengemis tua tak mungkin mampu menghasilkan seorang murid seperti ini. Jika tak
percaya, terserah sajalah!” sahut Cong To.
“Ai, ai, dunia persilatan siapakah yang tak tahu kebesaran nama saudara Cong?” kata
Ih Thian-heng
“saudara Ih, bagaimana dengan luka anak itu? Apakah masih ada harapan ditolong?”
seru Siangkwan Ko agak gugup.
“Turut pemeriksaan tadi. puterimu telah terkena pukulan Lwekang tinggi,” kata Ih
Thianheng, “untuk sementara ini belum dapat kuketahui jenis lwekang itu, Jika saudara
Cong dapat memberi tahu tentu segera dapat kucari daya pengobatannya.”
Cong To tertawa dingin “Jika saudara Ih dapat memberitahu tentang pukulan lwekang
yang diderita puteri saudara Siangkwan itu, mungkin pengemis tua ini juga dapat
menolongnya!”
Sepasang mata Ih Thian-heng agak merentang, ujarnya, “Sekalipun tidak tahu lwekang
itu, akupun tetap dapat menolongnya.
“Kalau begitu harap saudara Ih segera berusaha menolong jiwa puteriku itu. Seumur
hidup Siang-kwan Ko pasti takkan melupakan budi saudara! eepat2 jago tua itu berseru.
Ih Thian-heng tersenyum simpul, “Ah, jangan lah saudara Siangkwan mengucap begitu.
Sekalipun aku harus kehilangan sedikit tenaga-dalam, tetapi karena sudah meluluskan,
tentu tak nanti akan membuat saudara bersedih kehilangan anak!”
Ia segera memegang tubuh dan baju hitam itu lalu berkata, “Dalam waktu memberi
pertolongan kepada puterimu, janganlah aku sampai diganggu orang. Oleh karena itu
kuharap saudara Siangkwan suka menjaga.”
Tanpa menunggu jawaban, Ih Thian-heng terus loncat ke dalam ranjang dan duduk
bersila. Dia lekatkan kedua tangannya kepunggung dan pinggang si dara. Ia hendak
menyalurkan tenaga-murni untuk mengobati luka si dara.
Melihat itu diam-diam Pengemis-sakti menimang2, “Jelas Siangkwan Ko itu amat
mencintai puterinya. Jika Thian-heng sampai berhasil menyembuhkan dara itu ia tentu
dapat menguasai Siangkwan Ko. Dengan demikian aku tentu terpencil seorang diri.”
Tiba-tiba terdongar derap langkah orang yang berjalan cepat. Ketika berpaling, ia
melihat seorang lelaki gagah berdiri di ambang pintu. Dia mengenakan pakalan Kim-ih
(sutera warna kuning emas), jenggotnya memanjang sampai ke dada.
Di belakangnya tampak dua orang lelaki. Yang satu bungkuk dan yang satu bertubuh
pendek.
“Ah, mengapa mereka juga kemari? Malam ini benar-benar akan terjadi pertunjukan
yang ramai sekali,” diam-diam Cong To membatin.
Kiranya ketiga pendatang itu adalah ketua gunung Bik-lo-san dan kedua pengawalnya si
Bungkuk dan si Pendek.
Karena sedãng menumpahkan perhatiannya mengobati sidara, Ih Thian-heng tak
mengetahui kedatangan ketiga tetamu itu. Tetapi keempat bocah laki baju putih yang
berdiri di samping meja, segera loncat ke pintu dan berjajar-jajar menghadang jalan. Juga
kedua bocah baju putih yang semula menjaga di ambang pintu, pun berputar tubuh.
Keenam bocah laki itu serentak mencabut badik yang terselip di pinggang masing2.
Pengemis-sakti yang luas pengalaman, terkejut melihat keenam batang badik atau
pedang pandak yang dihunus keenam bocah itu. Karena jelaslah bahwa enam batang
badik itu adalah Thiansan-liok-kiam atau Enam-pedang dari gunung Thiansan yang
termasyhur di dunia persilatan.
“Ah, memang hehat benar Ih Thian-heng itu,” kata Cong To dalam hati, “dia telah
berhasil mendapatkan keenam pedang pusaka dari Thian-san yang termasyhur!”
Seratus tahun berselang, seorang sakti yang bergelar Thian-san Kiam-soh telah
menerima enam orang murid. Menurut bakat pembawaan keenam muridnya masing2,
Thian-san Kiam-soh telah membuat enam batang pedang dan diberikan kepada mereka.
Dengan mengandalkan kepandaian ilmu-pedang itu, keenam murid Thian-san Kiam-soh
masuk ke daerah Tiong goan untuk mengadu kepandaian dengan tokoh-tokoh persilatan
daerah Tiong-goan.
Keenam murid itu bukan saja tinggi kepandaiannya, pun mereka telah herhasil
membentuk sebuah Liok hap-kiam-tin atau barisan Gabungan–enam-pedang. Pedang
mereka amat tajam sekali. Dapat memapas kutung logam seperti memapas tanah liat saja.
Dengan senjata yang ampuh dan barisan yang tangguh, nama Thian-san-liok-kiam segera
menggegerkan dunia persilatan Tiong-goan. Tiga tahun lamanya Thian-san-liok-kiam
malang melintang di dunia persilatan Tiong-goan.
Melihat sepak terjang mereka yang sombong, marahlah keempat partai Kiam-pay
(partai yang termashur ilmu pedangnya) Bu-tong-pay, Go-bi-pay, Cengsia-pay dan Kun
lun-pay. Mereka bersatu, untuk mengusir keenam jago pedang dari Thian-san itu.
Demikian telah disetujui untuk mengadakan pertandingan ilmu pedang. Dalam
pertempuran yang berlangsung sengit sekali, akhirnya Thian-san-liokkiam berenam tadi
menderita luka parah. Tetapi mereka masih berhasil lolos dari kepungan keempat partai
Kiam-pay itu.
Sejak menderita kekalahan itu, Thian-san-liokkiam tak pernah muncul di daerah Tionggoan
lagi. Demikianpun dengan keenam pedang pandak yang ampuh itu. Tak pernah lagi
orang mengetahui tentang senjata itu.
Maka benar-benar mengejutkan bahwa pada malam itu keenam pedang pusaka Thiansan
telah muncul kembali. Dan yang lebih mengherankan, keenam pedang pusaka itu
berada di tangan keenam bocah lelaki.
Rupanya Siangkwan Ko tahu juga akan keenam pedang pandak itu. Diam-diam
timbullah kecurigaannya. Tetapi karena perhatian terikat akan diri puterinya, ia kuatir akan
membuat tak senang hati Sin-ciu It-kun Ih Thian-heng, Maka ia diam saja.
Tampaknya ketua Bik-lo-san dan kedua pengawalnya sedang menunggu sesuatu.
Mereka tak mau segera menerobos ke dalam kamar. Sampai beberapa waktu tiada
seorangpun yang berkata-kata.
Tiba-tiba si dara baju hitam mengerang pelahan dan menggeliatkan tubuhnya. Melihat
itu bukan kepalang girang Siangkwan Ko, serunya pelahan, “Ah, anakku, engkau sudah
sadar?”
Tetapi setelah bergeliatan, si dara tak bergerak lagi. Sin-ciu It kun Ih Thian-heng
membuka mata dan melirik ke arah pintu. Setelah melihat lelaki baju sutera mas dan
kedua Bungkuk dan Pendek, ia mengangguk pelahan lalu pejamkan mata lagi untuk
melanjutkan penyaluran tenaga-murninya kepada si dara.
Suasana dalam kamar itu sunyi senyap tetapi penuh dengan ketegangan. Wajah setiap
orang berobah tegang. Keenam bocah baju putih itupun merentang mata, siap sedia.
Hanya Ih Thian-seng yang masih melanjutkan pengobatannya kepada si dara, tampak
menyungging senyum.
Siangkwan Ko yang berdiri di samping, memandang lekat2 ke wajah Ih Thian-heng.
Demi melihat It-kun bersenyum, diapun berdebar-debar diamuk luapan rasa girang.
Sepeminum teh lamanya, kepada Ih Thianseng mulai basah dengan keringat. Dan tak
berapa lama ujung hidungnyapun menitikkan keringat.
Siangkwan Ko tahu bahwa It-kun saat itu sedang menggunakan tenaga murni yang
hebat mengobati luka puterinya. Walaupun ia tak mempunyai hubungan suatu apa dengan
Sin-ciu Itkun, tetapi melihat kesungguhan orang memberi pertolongan, mau tak mau jago
tua Siangkwan itu merasa berterima kasih sekali.
“Ah, saudara Ih terlalu banyak menghabiskan tenaga. Menurut pendapatku, baiklah
kiranya saudara berhenti dan beristirahat dulu,” serunya.
Namun Sin-ciu It-kun yang tengah mengerahkan penyaluran tenaga-murni kepada si
dara, tak mengacuhkan permintaan Siangkwan Ko itu. Siang-kwan tidak marah,
kebalikannya ia makin merasa berhutang budi kepada Ih Thian-heng.
Tak berapa lama, dara baju hitam itu menggeliat lagi sambil julurkan kedua tangannya.
Napasnyapun makin mengangsur berat.
Mata Ih Thian-heng yang berkilat tajam, memandang ke arah wajah si dara yang sudah
mulai memerah lalu meraba pernapasan hidung dara itu.
Kemudian ia mempesut keringat di dahi sidara. Setelah itu ia kembali pejamkan mata
lalu menghela napas longgar dan mengangguk kepala, “Saudara Siangkwan, kuhaturkan
selamat kepadamu. Luka puterimu ini sudah tak berbahaya lagi. Asal beristirahat dan
minum pil buatanku, dia tentu….”
Karena amat berterima kasih sekali atas pertolongan orang, maka cepat-cepat
Siangkwan Ko berseru, “Saudara telah merelakan pertolongan besar kepada puteriku. Budi
saudara Ih itu, Siangkwan Ku kelak akan membalasnya.”
“Janganlah saudara Siangkwan mengucap begini,” cegah Thian-heng, “jangankan nona
itu adalah puteri kesayangan saudara, sekalipun aku belum kenal aku juga akan
menolongnya. Sudah menjadi kewajiban kita kaum persilatan untuk memberi pertolongan
kepada orang yang sedang menderita.
Ia beristirahat sejenak lalu melanjutkan berkata lagi, “Aku Ih Thian-heng, selama
berkecimpung dalam dunia persilatan, setiap saat dan tempat tentu bersedia menolong
orang. Dan sama sekali aku tak mengharap balas apa-apa….”
Ia menutup kata-katanya dengan tertawa nyaring.
Mendengar itu Pengamis-sakti Cong To deliki mata, menyeringai dan mendengus
dingin.
Sin ciu It-kun rupanya tahu juga tanggapan sinis dari si pengemis. Ia berbangkit dan
turun dari ranjang lalu berjalan mondar mandir di dalam kamar sambil memanggul kedua
tangannya.
Sikapnya bebas sekali. Seolah-olah tak mengacuhkan si Pengemis-sakti dan suasana di
luar pintu yang penuh dengan ketegangan itu.
Jilid 15 : Putri lembah raja setan dikurung di gedung Nyo-ke-poh
Kereta misterius.
Terdengar suara erangan dan dara baju hitam itu tampak menjamah tiang ranjang.
Rupanya ia hendak duduk.
Melihat itu Siangkwan Ko buru-buru memapahnya, “Ceng, apakah engkau sudah
enakan?”
Dara itu sedikit membuka mata dan memandang ke sekeliling. Tiba-tiba ia bertanya
heran, “Yah, dimanakah kita sekarang…? ia memandang ke ranjang yang ditidurinya itu
dan berkata:”Ih…. mengapa aku tidur di sini?”
Siangkwan Ko mencekal nadi pergelangan tangan puterinya, “Ceng-ji, engkau terluka
parah. Untunglah Ih lo-cianpwe telah berhasil menolongmu. Bagaimana engkau rasakan
seka?ang? Cobalah engkau lakukan pernapasan, apakah masih ada yang sakit?”
Dara baju hitam itu ternyata bernama Siangkwan Ceng. Ia memandang ayahnya
dengan senyum hambar kemudian melakukan perintahnya. Setelah melakukan pernapasan
beberapa saat, ia berkata, “Ah, baik2 saja, tak kurang sesuatu apa!”
Bukan kepalang senang hati orang tua itu melihat puterinya tak kurang suatu. Segera ia
memapah dara itu turun dari pembaringan, “Ceng, lekas engkau haturkan terima kasih
kepada Ih lo-cianpwe!”
Sin-ciu It-kun cepat melangkah maju. Ia memegang tangan dara itu dan tertawa, “Ah,
sudahlah, sudah. Tak perlu menurut perintah ayahmu. Aku adalah sahabat lamanya,
masakan harus diberi penghormatan yang berlebih-lebihan begitu. Eh, bagaimana
keadaanmu sekarang?” Sambil berkata ia membelaibelai rambut dara itu.
Siangkwan Ceng mengangguk, “Baik, sudah tak merasakan sakit lagi.”
Kata It-ciu Sin-kun::Jalan darahmu sudah tak mengalami kesulitan lagi. Asal engkau
giat melakakan pernapasan dan jangan terlalu banyak menggunakan tenaga, dalam waktu
singkat engkau tentu sudah pulih seperti sedia kala. Mari, kubantumu kalau engkau
hendak berjalan.”
Siangkwan Kwan terharu sekali melihat kebaikan budi It-ciu Sin-kun. Segera ia
menghaturkan terima kasih.
Sambil mencegah supaya Siangkwan Ko jangan banyak peradatan, It-ciu Sin-kun
memapah dara itu turun dari ranjang. Saat itu kaki si dara lemas lunglai tak dapat berjalan
sendiri. Siangkwan Ko dan Ih Thian-heng memapahnya di sebelah kanan kiri. Setelah
berlatih sepeminuman teh lamanya barulah dara itu dapat berjalan sendiri tetapi harus
mandi keringat.
Sin-ciu It-kun Ih Thian-heng menerangkan bahwa peredaran darah dara itu sudah
normal tetapi tak boleh keliwat lelah. Ia minta dara itu beristirahat lagi untuk minum obat.
Melihat Ih Thian-heng sudah membuktikan telah dapat menolong puterinya, Siangkwan
Ko silau dengan rasa terima kasih sehingga apa yang dikatakan Ih Thian-heng ia menurut
saja.
Ih Thian-heng segera tinggalkan tetapat itu untuk mengambil obat. Saat itu Pengemissakti
Cong To masih memondong Han Ping. Tetapi pengemis itu tak mempedulikan
kemunculan Ih
Thian-heng yang lewat di sampingnya.
Adalah Ih Thian-heng sendiri yang mulai berkata dan meminta Cong To supaya
meletakkan pemuda itu dil antai untuk diperiksanya.
“Apakah engkau sungguh-sungguh hendak menolongnya?” sahut Pengemis-sakti
dengan dingin.
Ih Thian-heng, tertawa meloroh, “Saudara Cong, mengapa engkau mengucap begitu?
Apakah ada dua macam menolong, yang sungguh dan yang pura2? Apakah Ih Thian-heng
mempunyai cacad pernah mencelakai orang?”
Pengemis-sakti Cong To deliki mata memotong kata-kata orang, “Sudahlah, sudah! Aku
sipengemis tua tak suka membenci orang yang merengek-rengek di telingaku. Kalau
engkau tahu cara menolongnya, harap jangan menunda waktu lagi!”
Mendengar itu diam-diam Siangkwan Ko memaki si pengemis tua yang dikatakan tak
tahu gelagat.
Tetapi kebalikannya Sin-ciu It-kun Ih Thianheng tak marah. Dengan tenang ia
berjongkok memeriksa luka Han Ping seraya menjawab kepada si pengemis tua, “Ah,
dalam usia yang begitu lanjut saudara Cong masih begitu perangsang sekali!”
Sekonyong-konyong terdengar gemerincing gelang dan membawa hawa yang wangi.
Karena terkejut sekalian orang serempak memandang keluar pintu. Sesosok tubuh
berkelebat muncul dan tampaklah seorang dara baju ungu yang berwajah cantik berseri
laksana kuntum bunga sedang mekar.
Di belakang dara baju ungu itu mengikut seorang nenek tua berambut putih seperti
salju dan mencekal sebatang tongkat bambu.
Begitu melihat kemunculan dara baju ungu itu lelaki berpakaian kuning emas dan kedua
pengawal si Bungkuk dan si Pendek, dengan sikap menghormat segera menyisih ke
samping memberi jalan. Dara baju ungu itu tersenyum.
Beberapa bocah laki berpakaian putih yang menghadang di pintu tadi. Melihat si dara
baju ungu dan nenek berambut putih hendak masuk, mereka saling bertukar pandang
mata dan hendak maju menghadang.
Tetapi lelaki baju kuning emas itu selalu memperhatikan mereka. Cepat ia hendak maju
melindungi si dara. Tetapi tiba-tiba ke empat bocah baju putih menundukkan kepala dan
sama mundur dua langkah.
Kiranya karena melihat yang hendak masuk itu seorang dara, surutlah kekerasan hati
mereka, Dan ketika mereka memandang si dara, si dara tengah bersenyum. Senyumnya
laksana bunga2 mekar di musim semi.
Sekalipun ke empat bocah lelaki itu baru berumur tiga empat betas tahun, tetapi
mereka tetap terpesona juga menyaksikan kecantikan si dara baju ungu yang sedemikian
gilang gemilang. Jantung mendebur keras, darah melancar deras dan tanpa disadari
merekapun menyurut mundur.
Dara baju ungu itu berdiri tegak seperti hendak masuk ke dalam ruangan. Sedang si
nenek rambut putih berada di belakangnya.
Sin-ciu It-kun Ih Thian-heng, Pengemis-sakti Cong To dan Siangkwan Ko, tergetar
hatinya ketika melihat dara baju ungu itu masuk. Tetapi tiada seorangpun yang berani
bergerak. Siangkwan Ko masih tetap merawat puterinya. Ih Thian-heng pun tetap
mengobati Han Ping. Sedang Pengemissakti Cong To mengawasi gerak gerik Ih Thianheng
dengan merentang mata lebar-lebar.
Begitu melangkah masuk, dara baju ungu itu pun tak mau bicara apa-apa, maelainkan
memandang ke arah Ih Thian-heng yang sedang mengohati Han Ping.
Suasana dalam kamar itu sunyi senyap seperti kamar kosong.
Kira-kira sepenanak nasi lamanya barulah terdengar Han Ping mendengus napas.
“Murid saudara sudah lancar darahnya, harap saudara suka membantu juga untuk
menyalurkan tenaga-murni agar darahnya lekas normal kembali,” kata Ih Thian-heng.
Cong To tak mengacuhkan omongan Ih Thian-heng. Melihat Ih Thian-heng benar-benar
mencekal pergelangan tangan kanan Han Ping dan menyalurkan tenaga-murni, diapun
segera duduk mencekal pergelangan tangan kiri pemuda itu dan bantu menyalurkan
tenaga-murninya.
Sepeminum teh lamanya, Ih Thian-heng menarik kembali tangannya. Tiba-tiba Han
Ping menguak keras dan muntahkan segumpal darah segar.
Ih Thian-heng minta Cong To memapah pemuda itu bangun dan melakukan gerakan
jalan pelahan-lahan. Setelah itu ia akan memberi obat.
Pengemis-sakti Cong To hanya meliriknya sejenak lalu memapah Han Ping dan diajak
berlatih jalan pelahan-lahan.
Ih Thian-heng mengeluarkan sebuah botol kecil Sambil tertawa ia menuang dua butir
pil warna merah tua, lalu menyimpan botol itu ke dalam bajunya lagi.
Dara baju ungu memandang gerak gerik Ih Thian-heng dengan mengulum senyum
hambar.
Dalam pada itu setelah berjalan-jalan sebentar, darahnyapun mulai lancar, napas
longgar. Ketika membuka mata dan melihat si dara baju ungu tengah memandang ke
arahnya. Han Ping pun terkesiap heran.
Dengan menjepit sebutir pil pada kedua jari kanan, Ih Thian-heng melangkah ke muka
Siangkwan Ko, serunya, “Saudara Siangkwan, pil ini obat buatanku sendiri. Amat manjur
sekali harap harap diminumkan kepada puteri saudara!”
Tanpa ragu2 Siangkwan Ko menyambuti pil terus mengangkat bangun Siangkwan
Ceng.
Kemudian Ih Thian-heng berputar diri menghampiri pengemis sakti.
“Minumlah pil ini….” terdengar Siangkwan
Ko berkata kepada si dara baju hitam.
Melihat Siangkwan Ceng begitu menurut saja disuruh minum pil, tiba-tiba dara baju
ungu itu julurkan kaki dan mendesis, “Ai…..”
Belum suara desisan itu habis dan pada saat Siangkwan Ceng ngangakan mulut hendak
menelan pil, tiba-tiba serangkum angin meniup ke dalam ruangan dan menyusul terdengar
bunyi menggedebuk dari benda yang jatuh.
Kiranya Pengemis-sakti Cong To selalu memperhatikan gerak gerik Ih Thian-heng. Ia
sudah hendak berseru memberi peringatan ketika Ih Thian-heng menyerahkan pil kepada
Siangkwan Ko. Tetapi ia tahu bahwa Ih Thian-heng bukan tokoh yang gampang
dipermainkan. Terpaksa ia tahan nafsu.
Tetapi ketika melihat si dara baju kita ngangakan mulut hendak menelan pil itu,
Pengemis-sakti tak dapat mengendalikan diri lagi. Ia lepaskan
ia melesat ke muka ranjang dan membentak, “Tahan dulu!” secepat kilat ia sudah
menyambar pil dari tangan Siangkwan Ko, “saudara Siangkwan jagalah kemungkinan pil
itu mengandung bahaya.
“
Gerakan melesat dan menyambar pil itu dilakukan Pengemis-sakti dengan kecepatan
yang luar biasa, Tetapi ternyata Sin-ciu It-kun lebih cepat lagi. Pada saat Pengemis-sakti
bergerak, ia pun sudah bergerak juga. Begitu Pengemis sakti berhasil merebut pil,
sekonyong-konyong tangan kanannya bergetar dan tahu-tahu pil itu sudah pindah ke
tangan Ih Thian-heng lagi.
Setelah merampas pil, Ih Thian-heng menyingkir lima langkah ke samping. Ujarnya
pelahan-lahan, “Rupanya saudara Cong tak percaya kepadaku. Kebaikan hatiku ternyata
meninmulkan kecurigaan saudara Cong. Kalau tak percaya, tak apalah. Akupun tak berani
memaksa orang harus menelan obat buatanku itu!”
Dalam pada berkata-kata itu, Ih Thian-heng sudah berjalan keluar kamar.
Pengemis-sakti Cong To mendengus geram karena pil yang dirampasnya itu dapat
direbut kembali oleh Ih Thian-heng. Belum ia sempat berpikir apa yang, harus dilakukan
tiba-tiba ia terkejut mendengar bunyi menggedebuk dari sosok tubuh yang jatuh. Kiranya
karena tak dipapah si pengentis, Han Ping yang masih lemas tenaganya, jatuh terduduk di
lantai.
Cong To cepat loncat ke muka Han Ping.
“Aih….” melihat Han Ping rubuh ke lantai, dara baju ungu itu mendesis kaget.
Sedang Siangkwan Ko yang telah menyadari apa yang telah terjadi segera melesat
maju dan menegur. “Apakah maksud saudara Cong bertindak begitu tadi?”
Cong To tertawa: “Ih Thian-heng hanya berkedok saja sebagai manusia baik. Pengemis
tua duga obat itu tentu mengandung apa-apa!”
“Apakah buktinya saudara Cong tahu hal itu. Aku tak percaya!” kata Singkwan Ko.
Pengemis sakti Cong To menghela napas, ujarnya, “Sayang pengemis tua ini agak
lengah sehingga ular yang sudah kutangkap itu dapat menggigit lagi. Kalau tidak, tentu
dapat mencoba pil tadi dan saudara Singkwan tentu tak menyangsikan keteranganku ini!”
Tiba-tiba si dara baju ungu melengking, “Lebih baik kalau tidak makan obat itu.”
Ucapannya amat pelahan, seolah-olah berkata kepada dirinya sendiri.
“Sesungguhnya Siangkwan Ko hendak mendebat pengemis Cong To. Tetapi demi
mendengar kata-kata si dara baju ungu, ia berpaling. Wajah si dara yang memantulkan
sinar kecantikan gemilang suci, telah menurunkan rasa kesangsian jago tua itu. Ia tak mau
bicara apa-apa lagi.
Pengemis-salkti Cong To sejanak memandang Han Ping lalu menghela napas. Kemudian
ia mengambil buli-buli arak dan meneguknya. Setelah itu ia memandang keluar pintu dan
berkata, “Jika tidak memikirkan kepentingan budak itu, pengemis tua tentu takkan
membiarkan dia pergi!”
Kemudian matanya direntang mendelik dan berkata pula, “Asal si paderi masih
bernyawa, gereja tentu tak lari dikejar. Untuk sementara rekening ini kita catat dulu,
besok pengemis tua pelahan-lahan akan membuat perhitungan dengan engkau!”
Habis berkata ia menunduk dan mengurut-urut Han Ping.
Melihat tingkah laku dan kata-kata Pengemis-sakti Cong To yang lucu, tertawalah gadis
baju ungu itu dengan gelinya.
Melihat dara itu tertawa dengan nada yang menyengsamkan, Pengemis-sakti Cong To
pun tertarik. Ia ikut tertawa gelak-gelak.
Sekarang marilah kita tinggalkan dulu si Pengemis-sakti Cong To yang sibuk merawat
Han Ping. Kita jenguk lagi kedua nona Ting.
Setelah berpisah dengan Han Ping, kedua nona itu berjalan menyusur sepanjang jalan
pegunungan. Beberapa waktu kemudian, barulah Ting Hong bertanya, “Ci Ling,
kemanakah tujuan kita ini?”
Ping Ling gelengkan kepala dan menghela napas, “Ah, aku sendiripun tak tahu hendak
kemana. Asalkan langit masih membiru, kemana saja langkah kita akan membawa, kita
turut saja.”
“Tetapi sebaiknya kita harus mempunyai tetapat tujuan tertentu. Jika terus berjalan
begini, kiranya kurang tepat!”
Ting Ling tertawa, “Dunia memang penuh keajaiban. Siapakah yang mampu
memastikan segala apa? Bukankah enak juga kita saat ini dapat berjalan dengan bebas?”
Ting Hong memandang wajah tacinya. Melihat wajah tacinya itu mengerut sunyi, diamdiam
ia heran. Biasanya, tacinya itu cerdas dan tangkas. Tetapi mengapa pada saat itu
seperti orang longong?
Setelah berjalan beberapa saat lagi, tiba-tiba Ting Hong berseru, “Ai, sekarang aku
mengerti…..”
Ia melirik tacinja lalu menghela napas, ujarnya pula, “Ah, tak heran kalau taci begitu
gundah. Aku sendiripun gelisah ….”
Diam-diam pandang matanya terbayang wajah pemuda Han Ping. Seketika merahlah
selembar wajah dara itu.
“Adik Hong, apakah engkau juga terkenang pada Han Ping?” tiba-tiba Ting Ling
menegur.
Ting Hong mengangguk, “Pemuda semacam dia, sudah tentu patut dikenang!”
Wajah Ting Ling yang sunyi mereka senyum hambar. “Apakah engkau merasa Han Ping
itu dengan Ca Giok….”
Ting Hong cepat menukas dengan dengusan pelahan dan muka menyeringai,
“Bagaimana Ca Giok dapat dibanding dengan Han Ping? Han Ping lapang dada, selalu
bekerja dengan terang. Seorang pemuda yang berwatak ksatrya dan berbudi perwira. Ca
Giok? Hm, dia sih berlainan. Wataknya licin dan licik dan sikapnya seperti orang banci.
Entah mengapa Han Ping mau berkenalan dengan dia?”
Kata Ting Ling, “Han Ping mengukur orang menurut ukuran seorang ksatrya. Dan pula
dia kurang pengalaman dalam dunia persilatan. Tentulah tidak mempunyai kecurigaan
terhadap orang!”
Ting Hong merenung beberapa saat, ujarnya, “Benar, aku memang kuatir Ji siangkong
(Han Ping) akan menderita kerugian dari hubungan itu. Misalnya ketika di atas puncak
bukit itu. Ca Giok pura menderita luka berat dan membiarkan Ji siangkong yang
menghadapi lain orang. Uh, bukankah itu menandakan betapa kelicinan Ca Giok?”
Melihat adiknya sangat ngotot menelanjangi keburukan Ca Giok, tertawalah Ting Ling,
“Kalau begitu, engkau membenci Ca Giok?”
Ting Hong jebikan bibir, “Hm, nanti pada suatu hari tentu akan kuberinya sedikit
pelajaran pahit!”
Ting Ling hanya ganda tertawa tetapi tak mengucap apa-apa. Rupanya ia tengah
memikirkan sesuatu.
Ting Hong menarik-narik ujung baju cicinya, “Ci Ling, apa yang sedang engkau
pikirkan? Engkau masih belum sembuh, janganlah terlalu banyak menggunakan pikiran.”
Kata Ting Ling, “Aku sedang merenungkan tentang ilmu kesaktian Ji siangkong yang
maju pesat dalam waktu yang begitu singkat itu. Benar-benar suatu peristiwa yang belum
pernah kuketahui. Jika saat si setan tua Long Kong-siau menangkapmu dan paman kita
tak muncul, kukira Ji siangkong tentu akan bertindak membebaskan engkau. Jika setan
tua itu menerima sedikit pelajaran, hm, alangkah baiknya….”
“Memang setan tua Leng itu memuakkan sekali. Begitu melihat paman muncul, dia
terus ngacir pergi seolah-olah hanya bergurau saja kepada kita. Dia benar-benar setan tua
yang licin!” Ting Hong bersungut.
Ting Ling mengangguk, “Engkau hanya menduga dia jeri terhadap paman sehingga tak
berani membikin susah kita. Tetapi sebenarnya dia hendak mengambil muka paman, ingin
bersekutu dengan paman untuk menghadapi Ji siangkong. Jika sudah berhasil dia tentu
turun tangan untuk mencelakai kita dan paman. Setan tua itu memang amat ganas, lebih
ganas dari harimau!”
“Mengapa Ji siangkong selalu bersua dengan manusia2 begitu? Ci Ling, apakah
kemungkinan Ji siangkong akan menderita?
“
Ting Ling tertawa, “Jangan kuatir. Jangankan dia bersama Kim Loji, sekali pun tanpa
Kim Loji, dengan kepandaiannya yang hebat, rasanya dewasa ini jarang orang mampu
menandinginya. Apakah engkau tak memperhatikan bahwa sekali pun paman dan setan
tua Leng Kong-siau juga gentar menghadapinya.”
Ting Hong tak berkata apa-apa lagi, Wajahnya menampak kelonggaran hati.
“Ji siangkong memang luar biasa. Bahkan Pengemis-sakti Cong To yang begitu
dipandang tinggi oleh dunia persilatan, juga sungkan terhadapnya. Kurasa kelak dia tentu
akan melakukan suatu peristiwa besar dalam dunia persilatan,” kata Ting Ling pula.
Kedua nona itu memang berasal dari keluarga tokoh Rimba Hijau. Sekalipun masih
gadis remaja tetapi dunia persilatan sudah kenal akan kemasyuran nama kedua nona itu.
Tetapi betapapun ganas dan gagahnya, mereka adalah anak gadis yang tak mampu
terhindar dari rasa getaran asmara.
Selama ini mereka hanya bergaul dengan tetamu Rimba Hijau dan tokoh-tokoh
persilatan yang biasanya berwatak licik dan banyak muslihat. Maka sekali berjumpa
dengan Han Ping, segera mereka merasa jatuh hati dan mengagumi peribadi luhur dari
pemuda itu. Diam-diam dalam hati mereka berkesan sekali bayang2 pemuda itu.
Kemudian setelah bersama melakukan pengejaran pada hilangnya kotak pedang
pusaka, pemuda itu tak segan menyaru jadi kusir kereta untuk bersama-sama menuju ke
kota tua Lok-yang. Begitu pula ketika Ting Ling menderita luka akibat pukulan tenaga-sakti
Sam-yang-khi, Han Ping pun berdaya untuk mengejar sidara baju ungu sampai menerobos
ke dalam barisan Batu-bambu. Peristiwa itu meninggalkan kesan mendalam di lubuk hati
mereka, makin lama makin dalam. Oleh karenanya, pada waktu berpisah dengan pemuda
itu, mereka seperti kehilangan semangat.
Selama berjalan dalam keadaan gundah kelana itu tak tahulah sudah berapa jauh
mereka telah menempuh perjalanan. Hanya ketika berpaling, mereka melihat jalur2
jalanan di padang belantara itu, sudah hampir habis ditetapuhnya.
Sedangkan memandang ke sebelah muka, mereka melihat sebuah hutan yang rawan.
Saat itu dalam pertengahan musim rontok. Pohon2 dalam hutan itu hampir telanjang dari
hiasan daunnya. Apalagi hutan itu hanya terdiri dari dua macam tanaman, pohon randu
dan pohon jati.
Ketika melintasi hutan itu dan tiba di ujung terakhir, mereka harus menghadapi gunduk
karang. Di bawah gunduk karang itu tampak sesosok bayangan orang yang berpotongan
tinggi, tengah bergerak kian kemari.
Ting Hong segera menarik ujung baju tacinya, “Lihatlah, ci Ling. Di sebelah muka sana
ada orang berjalan. Pertanda sudah akan mendapat sebuah desa.”
Ketika melongok ke muka, Ting Ling melihat orang itu mengenakan baju panjang,
punggung menyelip sebatang pedang. Jalannya tidak cepat dan tidak lambat.
Mamang Ting Ling amat cermat. Setelah mengawasi orang itu sampai beberapa saat,
kedengaran ia berkata seorang diri, “Aneh, mengapa di tetapat yang begini sunyinya,
masakan terdapat orang yang berkunjung. Kemungkinan besar dia tentu kaum persilatan.”
“Kalau begitu kita susul dia atau tidak?” cepat Ting Hong menanggapi.
Setelah merenung beberapa saat, Ting Ling gelengkan kepala, “Jangan, aku belum
sembuh betul dan perlu engkau rawat. Lebih baik kita jangan cari perkara.”
Ting Hong cibirkan bibir menyahut, “Aku hanya minta persetujuan ci Ling. Sekali-kali
bukan hendak cari perkara.”
Ia tertawa lalu berkata pula, “Bukankah ci Ling sendiri dulu gemar menimbulkan onar
dan suka mengumbar kemarahan? Mengapa setelah berjumpa dengan Ji siangkong,
perangai cici berobah banyak sekali
.”
Diam-diam Ting Ling memaki adiknya, yang makin nakal itu. Tiba-tiba ia kerutkan
wajahnya lebih gelap dan membentak, “Ting Hong ….”
Si dara julurkan lidahnya, tertawa, “Karena engkau masih belum sembuh akupun tak
mau menimbulkan kemarahanmu. Ci Ling, apakah engkau suka masakan aku?”
Mendengar itu Ting Lingpun tertawa. Ia memandang ke arah orang yang berada di
sebelah muka itu, katanya, “Adik Hong, rasanya aku kenal dengan orang di sebelah muka
itu
.”
“Bagus, kalau begitu kita ikuti saja secara diam-diam,” kata Ting Hong.
Ting Ling menganggak. Keduanya segera cepatkan langkah. Orang itu menyusur jalan
kecil lalu menyusup ke dalam cekung karang.
“Kenal atau tidak kenal, jangan kita sampal diketahui orang itu! Kita ambil jalan
melingkari bukit ini agar dapat melihat gerak-geriknya dari samping,” kata Ting Hong. Ting
Ling memuji adiknya, “Eh. tak kira dalam beberapa hari ini saja, cara berpikirmu sudah
jauh lebih tinggi.”
Sepeminuman teh lamanya, Ting Ling memperhitungkan kalau sudah dapat menyusul
orang tak dikenal itu, Karena kuatir. Ting Hong buka suara. segera Ting Ling mengarahkan
telunjuk jari ke mulut, melarang Ting Hong jangan bicara apa-apa, Kemudian tangannya
yang lain menunjuk ke arah sebuah batu gunung yang menonjol.
Sebagai seorang adik yang sejak kecil menjadi kawan sepermainan, sudah tentu Ting
Hong dapat menangkap isyarat tacinya itu. Tacinya hendak mengatakan bahwa mereka
sudah dapat mengejar orang itu dan mengajaknya bersembunyt di balik segunduk batu
yang besar. Dari situ mereka akan mengawasi siapakah sesungguhnya orang itu.
Memang Ting Hong kalah cerdas dengan tacinya, tetapi kemasyhuran nama Hun-bongji-
kiau bukanlah gelar kosong. Gelar itu telah ditetapuh dengan darah dan keringat. Dara
itu segera mengeluarkan sehelai kedok dari kulit manusia lalu
dipasang ada mukanya.
Tetapi Ting Ling menggeleng kepala, tanda tak menyetujui tindakan adiknya. terpaksa
Ting Hong menyimpannya lagi. Dengan gesit kedua nona itu berloncatan beberapa kali
lalu bersembunyi di balik batu besar.
Ting Hong melongok ke bawah lalu berpaling memandang Ting Ting lalu gelengkan
kepala. Isyarat itu berarti bahwa Ting Hong tak kenal siapa orang itu.
Ting Ling melongok ke bawah juga. Tetapi baru julurkan kepala, baru2 ia menariknya
kembali.
“Ci Ling, siapakah orang itu?” tanya Ting Hong. “Apakah engkau kenal padanya?”
Ting Ling mengangguk.
“Siapa?” desak Ting Hong.
Ting Ling segera membisiki ke dekat telinga adiknya, “Hm. seorang tokoh tua yang
aneh ialah ketua dari marga Nyo. NYo Bun-giau.”
Mendengar nama Nyo Bun-giau, Ting Hong pun mengangkat bagu dan julurkan
lidahnya.
Mengira Nyo Bun-giau tentu sudah lewat, Ting Ling melongok pula ke bawah. Ia amat
terkejut sekali. Nyo Bun-giau tampak berdiri di tepi jalan kedua matanya menyinarkan
pandangan penuh kecurigaan. Ia memijat hidungnya, memandang ke atas langit lalu
tundukkan kepala lagi.
“Celaka!” tiba-tiba Ting Ling mengeluh dalam hati lalu membaui sekujur tubuhnya,
Setelah itu membaui pada tubuh Ting Hong.
“Ci Ling, apa gunanya engkau membaui tubuhku?” tegur Ting Hong.
Ting Ling menghela napas pelahan, ujarnya, “Setan tua itu telah mencium jejak kita,”
Ting Ling menghela napas.
Ting Hong juga tergetar hatinya, “Lalu bagaimana?”
Tetapi saat itu Ting Ling malah lebih tenang dari beberapa saat yang lalu, ujarnya,
“Urusan sudah jadi begini. Mau menyingkir pun tak dapat. Dan lagi kita berdua Hun-bongji-
kiau belum pernah takut kepada siapa pun juga.”
Pada saat kedua saudara itu bercakap-cakap, tiba-tiba kedengaran Nyo Bun-giau
berseru, “Puteri dari keluarga mana atau nyonya terhormat dari siapa….”
Ting Ling berpaling dan deliki mata kepada adiknya lalu berteriak kaget, “Ai, mengapa
nyasar kemari hingga mengejutkan orang?”
Nyo Bun-giau tertawa sinis. “Kalau memang orang, mengapa mengumpatkan diri?
Apakah tak dapat bertemu manusia?”
Ting Hong mengerti bahwa tacinya pura2 tak tahu orang itu. Memandang Ting Ling,
sambil mencibirkan bibir iapun pura2 menyahut dengan marah, “Siapa bilang kami takut
bertemu orang. Siapakah engkau, hai, mengapa berani bicara begitu kurang sopan?”
Sambil berkata, Ting Hong melangkah keluar. Nyo Bun-giau memandang nona itu
cermat2 lalu menegurnya, “Mengapa engkau seorang nona, datang ke tetapat yang begini
sunyi?”
Ting Hong mendengus, “Karena engkau bertanya, akupun hendak bertanya juga.
Apakah tetapat ini hanya engkau sendiri yang boleh datang?”
Nyo Bun-giau tertawa mengekeh, “Heh, heh, anak perempuan. kecil2 sudah bermulut
tajam!”
Saat itu Ting Ling tak dapat tinggal diam lagi, membiarkan adiknya terdesak. Sambil
melangkah keluar ia berseru, “Hai. ji-ahtau (anak perempuan yang kedua), dengan siapa
engkau ribut2 itu? Di luar tak boleh engkau bikin onar!”
Nyo Bun-giau digelari orang sebagai Perancang sakti, bukan saja dia pandai dalam ilmu
bangunan dan alat2 rahasia, pun juga pintar menghitung hati orang. Seorang yang licin
dan licik.
Begitu mendengar suara Ting Ling. belum melihat orangnya, dia sudah dapat menduga.
Sambil batuk-batuk, ia tertawa meloroh.
Setelah keluar, Ting Ling memandang sejenak kepada Nyo Bun-giau lalu berpaling ke
arah adiknya dan menegurnya, “Ji-ahtau, engkau memang liar, inilah dari marga Nyo di
Kimleng. Tak boleh engkau kurang ajar terhadap orang yang lebih tua. Uh, makin besar,
engkau makin meliar.”
Ting Hong menyeringai dan menyahut tak puas, “Dia tak bilang apa-apa, bagaimana
kutahu dia kepala dari marga Nyo?”
Ting Ling cepat menarik tangan adiknya dan suruh minta maaf kepada Nyo Bun-giau.
“Lekas haturkan maaf kepada Nyo lo-cianpwe! Kalau tidak. jika sampai lain orang tahu,
kita kaum marga Ting tentu dianggap tak mendapat pendidikan.”
Memandang ke arah kedua Dona itu, sambil mengurut jenggot, Nyo Bun-giau tertawa
hambar. “Sudahlah. sudah… karena Ji-siocia tak kenal padaku, tak dapat
menyalahkannya.”
Kembali Nyo Bun-giau menelitikan pandang matanya ke sekeliling, kemudian bertanya
pula, “Eh. mengapa kalian datang ke tetapat begini?”
Sahut Ting Ling dengan tangkas, “Ayah suruh aku membawa adikku ini pesiar keluar
mencari pengalaman agar jangan selalu mendekam di rumah dan tak tahu apa-apa ….”
Ia memandang Ting Hong dan tertawa.
Sedang dalam hati Nyo Bun-giau memaki kedua nona yang bermulut tajam. Segera ia
berkata dengan sikap serius, “Apakah ayah dan pamanmu baik2 saja selama ini? Kami
jarang sekali bertemu!”
Diam-diam Ting Lingpun menertawakan orang she Nyo itu yang merasa takut kepada
ayahnya.
“Terima kasih, lo-cianpwe,” sahutnya, “berkat pengestu lo-cianpwe, ayah dan paman
sehat2 saja selama ini. Paman kami ketiga menemani kami. Tadi belum lama lewat di sini.
Jika lo-cianpwe datang kemari dua jam yang lalu, tentu bisa berjumpa dengan paman.”
Tergetar hati Nyo Bun-giau mendengar keterangan itu. Namun sikapnya pura2 tenang,
serunya, “ Ah, sayang, sayang, terlambat sedikit….”
Ting Ling cepat balas bertanya, “Mengapa lo-cianpwe berkunjung kemari? Apakah
pemandangan alam di daerah Kimleng kalah indah dengan sini?”
Nyo Bun-giau tampak gelagapan. Ia batuk-batuk sebentar lalu menjawab, “Aku
memenuhi undangan seorang sahabat dan lewat di sini. Sungguh tak nyana kalau bersua
dengan kalian.”
Ting Ling saling bertukar pandang dengan Ting Hong. Keduanya cibirkan mulut,
tertawa. Nyo Bun-giau bingung, tak tahu apa yang ditertawakan kedua anak perempuan
itu. Namun pada lain kilas, ia menghibur dirinya sendiri. Masakan seorang tua seperti dia,
takut kepada kedua anak perempuan saja!
Ting Ling dan Ting Hong tertawa, Nyo Bungiau pun ikut tertawa meloroh.
Peristiwa dalam makam kuno, amat berkesan sekali dalam hati Nyo Bun-giau. Ia tak
nyana kalau Han Ping seorang pemuda yang tak terkenal, ternyata memiliki tenaga-sakti
yang begitu hebat. Berhadapan satu lawan satu dengan pemuda itu, ia merasa tak
mempunyai harapan menang, Apalagi Han Ping masih didampingi dua tokoh yang hebat,
Kim Loji dan Ih Seng yang termasyhur dengan kipas-besi dan pedang-peraknya.
Dan yang paling memalukan adalah kotak tetapat pedang pusaka yang sudah berada di
tangannya, jatuh ke tangan pemuda itu. Belum pernah seumur hidup ia menderita hinaan
seperti itu.
Ia ngiler sekali akan isi makam tua yang penuh ratna mutu manikam yang tak ternilai
harganya. Lebih2 pula, menurut keterangan Kim Loji, makam itupun menyimpan dua buah
pusaka Tonggeret-kumala dan Kupu2-emas.
Dia tetap menginginkan harta pusaka dalam makam itu maka ketika menyerahkan
kotak pedang, ia sengaja menekan kotak itu pada telapak tangannya agar meninggalkan
bekas. Tak lari gunung dikejar, pikirnya. Selain dia, tak mungkin lain orang mampu keluar
masuk ke dalam makam kuno itu. Sekalipun orang lain berhasil mendapatkan kotak
pedang itu, tetapi bagian yang penting telah ia rusakkan sehingga tak mungkin orang itu
mampu masuk ke dalam makam.
Memikir sampai disitu. terhiburlah hati Nyo Bun-giau.
Ketika Han Ping dan rombongannya keluar dari makam, Nyo Bun-giau terus melarikan
diri. Ia menyadari bahwa jika bersama mereka, besarlah bahayanya.
Tetapi ketika tiba di cekungan gunung, tiba-tiba ia mencium bau harum dari tubuh
wanita. Karena heran ia berhenti dan bertemulah ia dengan kedua nona Ting itu.
Ia tahu bahwa kedua nona itu termasyhur menyusahkan orang. Tetapi ia sudah
mempunyai rencana sendiri. Maka dengan tahankan kemarahan, ia layani mereka berputar
lidah. Tetapi ketika kedua nona itu menertawakannya, ia amat malu. Tetapi pada lain
kilas, ia tetap bersabar dulu.
Dengan wajah serius, berkatalah ia, “Ah, paman kalian begitu longgar membebaskan
kalian pergi sendiri. Maafkan aku si orang ini hendak menyebut kalian sebagai ‘hian-titli’
(kemenakan perempuan). Ah, sekali pun kalian pintar dan tangkas, tetapi lebih baik kalau
ada orang yang memberi petunjuk. Dan kalau percaya padaku, lebih baik kita bersamasama
saja. Bukankah tujuan kalian hendak mencari pengalaman dalam dunia persilatan?
Dalam hal itu, kiranya aku dapat memberi petunjuk2. Nah bagaimana hian-titli berdua….”
Habis berkata ia tertawa gelak2.
Ting Ling tersenyum, sahutnya, “Memang baik sekali. Tetapi bukankah hal itu akan
merepotkan lo-ciapwe saja?”
“Ah sama sekali tidak. Bahkan dengan mempunyai kawan dalam perjalanan, kita lebih
gembira dan bisa saling membantu. Mari, kita lanjutkan perjalanan sekarang!”
Ting Hong tak senang melihat tacinya begitu gampang meluluskan ajakan orang.
Pikirnya, “Huh engkau yang mengaku pintar, akhirnya akan terjeblos juga. Walaupun Nyo
Bun-giau mempunyai kedudukan yang terpandang dalam dunia persilatan tetapi dia tak
mempunyai hubungan erat dengan kita. Pun di luaran orang mengatakan Nyo Bun giau itu
hanya lahirnya baik tetapi sesungguhnya seorang yang julig dan banyak muslihat.
Mengapa engkau tak mempertimbangkan masak2 tetapi cepat-cepat meluluskan saja?”
Tetapi nasi sudah menjadi bubur. Karena tacinya sudah meluluskan, ia terpaksa
memapah Ting ling dan berjalan di belakang Nyo Bun-giau selama dalam perjalanan,
beberapa kali Ting Hong hendak menegur tacinya tetapi selalu diawasi Nyo Bun-giau
sehingga ia tak jadi bicara.
Tampak Ting Ling tenang2 saja. Melihat wajah adiknya mengunjuk karang puas, ia
hanya ganda tertawa saja.
“Huh, engkau masih tertawa? Kulihat rasa sakit karena terluka itulah yang
menyebabkan engkau linglung,” diam-diam Ting Hong memaki tacinya.
Demikian mereka bertiga jalan tanpa bicara apa-apa. Masing2 mempunyai soal sendiri2
dalam hati.
Tak berapa lama haripun mulai gelap. Saat itu mereka sudah keluar dari lembah.
Tampak jauh di sebelah muka, api penerangan yang menunjukkan adanya sebuah kota.
Begitu masuk kota itu, Nyo Bun-giau segera mencari rumah penginapan dan memesan
dua buah kamar.
Malamnya Ting Hong tak dapat menahan hati lagi dan bertanya, “Ci Ling, mengapa
engkau mau mengikuti orang itu? Aku sungguh tak mengerti apa yang engkau
rencanakan.”
“Engkau takut kepadanya?” Ting Ling tertawa.
Ting Hong mendengus pelahan “Tidak. aku tak takut. Masakan dia mau memakan kita!”
Ia berhenti sejenak lalu berkata, “Tetapi apa perlunya kita ikut kepadanya. Bukankah
berarti akan mencari kesulitan?”
“Adik Hong, pada akhir2 ini tampaknya engkau sudah tambah banyak pengalaman.
Tetapi engkau tetap tak mengerti isi hatiku. Jika setan tua itu sungguh-sungguh hendak
memusuhi kita. walaupun aku sudah sembuh, tetapi kita berdua tetap bukan
tandingannya. Benar atau tidak?”
“Benar,” Ting Hong mengiakan, “tetapi apakah rencanamu mengikuti dia!”
“Karena tak dapat mengelak lagi, lebih baik kita pura2 turut. Tampaknya dia amat
membanggakan diri sebagai orang tua maka kitapun harus mentaati. Dengan begitu dia
tentu sungkan untuk mempersulitkan kita. Dan pula, belum tentu dalam perjalanan ini
aman. Menilik sikap Leng KOng-siau terhadap kita, lebih baik kita berhati-hati. Dengan ikut
padanya, rintangan pertama dia tentu mau melindungi kita….”
Ting Hong mengangguk. “Ah, engkau memang hebat Ci Ling. Aku tak dapat berpikir
panjang sampai di situ. Tetapi kita harus siapkau rencana jangan terus menerus
mengikutinya.”
Ting Ling mergangguk, “Soal itu memang sudah kupikirkan. Lihat saja bagaimana
sikapnya besok pagi kepada kita. Jika dia tak baik, kita harus tinggalkan tanda sandi
sepanjang perjalanan. Kupercaya sepanjang jalan dalam kota ini tentu tak luput pengaruh
dari anak buah kita: Asal melibat tanda sandi yang kita tinggalkan, masakan mereka tak
dapat mencari kita.”
Penjelasan itu telah melonggarkan kecemasan Kati Ting Hong,
Saat itu Nyo Bun-giau yang rebah di atas ranjang juga gelisah. Dengan membawa
kedua nona itu berarti dia harus berjaga-jaga diri. Ia tahu dalam dunia persilatan dewasa
itu, kecuali beberapa partai persilatan yang besar, yang mempunyai pengaruh adalah Itkiong,
Ji-koh dan Sampoh. Orang luar menganggap It-kiong, Ji-koh dan Sam-poh itu
sebagai satu kesatuan. Tetapi kenyataannya, mereka mempunyai pendirian sendiri2.
Mengingat pada masa itu timbul banyak pergolakan, jika tetap mengukuhi pendirian yang
lalu, tentu akan terpencil. Dan ini amat berbahaya.
Demikian Nyo Bun-giau menimang dalam hati. Ia menyadari kedudukan Nyo-ke-poh
sebagai salah satu Sam-poh atau Tiga marga. Dan teringatlah ia akan pengalaman dalam
makam kuno itu.
Makin merenung makin tetaplah keputusan Nyo Bun-giau. “Benar! Aku harus memiliki
pembantu yang dapat dipercaya.”
Kemudian ia mulai mengadakan analisa. Fihak yang kiranya dapat dijadikan pembantu
yang boleh diandalkan, kecuali fihak Ji-koh dan Sam-koh, kiranya tak ada lainnya lagi. Dan
di antara kelompok2 itu, setelah ditinjau dari segala segi kebaikan dan keburukan,
keuntungan dan kerugiannya, kiranya tidak ada yang mencocoki juga.
Nyo Bun-giau berpaling memandang dinding sebelah. Sekilas timbullah pikirannya. Ya,
untuk mencapai tujuannya mencari pembantu tadi, tiada lain jalan kecuali menggunakan
kedua nona ke Nyo-ke-poh. Di sana ia dapat menggunakan bujukan halus sampai tekanan
kasar. Asal salah satu dari kedua nona itu sudah dijadikan anak menantunya, dengan
ikatan keluarga itu, tentulah fihak Lembah Raja-setan akan membantunya.
Memikir sampai disitu. Nyo Bun-giau gembira sekali hatinya. Tetapi teringat bahwa
kedua nona itu tak mudah ditipu, mulailah ia prihatin. Hampir semalam suntuk ia memeras
otak untuk mencari daya.
Keesokan harinya, Nyo Bun-giau suruh pelayar menyewakan sebuah kereta berkuda
dua. Kemudian katanya kepada kedua nona Ting, “Kulihat toa-siocia agak sakit, tentulah
kena angin dingin. Bagaimana kalau kita beristirahat dulu di sini barang dua hari lagi?”
Ting Ling yang cerdik segera tahu kemana tujuan kata-kata Nyo Bun-giau. Ketua marga
Nyo itu, jelas hendak memancing keterangan. Ting Liug tertawa menyahut, “Kami berdua
bukan baru sekali ini pesiar ke luar. Hanya sedikit hawa dingin saja kami tentu tahan.
Harap lo-pohcu jangan kuatir.”
Nyo Bun-giau tertawa, “Kalau begitu silahkan naik ke atas kereta. Nona boleh kasih
tahu hendak menuju kemana, aku tentu akan membawa kalian kesana.”
“Apakah lo-pohcu akan meluluskan ikut dalam perjalanan kami?’ tanya Ting Hong.
Nyo Bun-giau gelagapan mendapat pertanyaan yang tak diduga-duga itu. Sesaat ia tak
dapat menjawab.
Ting Ling yang naik ke atas kereta segera berkata, “Permintaan kami kepada lo-pohcu
hanyalah terbatas untuk menjaga keselamatan selama dalam perjalanan. Tetapi bukan
berarti menghendaki lo-pochu supaya menghapus semua rencana pekerjaan lo-pohcu dan
ikut menemani kami. Atas budi kebaikan lo-pohcu kami menghaturkan terima kasih dan
apabila pulang tentu akan kututurkan kepada ayah.”
Sedap sekali kata-kata itu kedengarannya tetapi bagi Nyo Bun-giau hal itu cukup
disadari. Diam-diam ia mengagumi kecerdikan nona itu. Segera ia tertawa menyeringai,
“Harap nona jangan kuatir. Aku si orang tua ini sudah dapat mengatur semua
keperluanku!”
Ia terus naik juga ke atas kereta.
Sekali cambuk menggeletar, kereta itupun segera meluncur ke muka. Ting Ling duduk
bertopang dagu sambil sebelah tangannya menjamah tepian jendela kereta. Ting Hong
hendak bicara tetapi melihat tacinya tengah merenung, ia tak berani membuka mulut dan
hanya memandang lekat2 kepada saudaranya itu.
Angin pagi berembus. Jalan penuh dengan guguran daun. Tiba-tiba di jalan tampak
seorang pemuda berumur 25 tahun tengah berjalan bergegas-gegas. Dari sinar mentari
pagi yang menimpa wajahnya, pemuda itu tampak gagah sekali.
Tiba-tiba ia membusungkan dada, dan menghela napas panjang lalu berkata seorang
diri, “Ho, Leng loji, kali ini sudah jelaslah tali permusuhan antara aku Ca Giok dengan
kalian dari Lembah Seribu-racun. Jika tak kuberi kalian sedikit hajaran, tentu takkan
redalah kemarahanku sau-pohcu ini ….”
Ia memandang cakrawala pagi lalu bersuit nyaring. Suatu suitan untuk melonggarkan
kesesakan dada dan untuk membangkitkan semangat kejantanannya. Habis bersuit, ia
lanjutkan berjalan lagi.
Beberapa saat berjalan, ia melihat di sebelah muka terdapat sederet pohon jati yang
tinggi. Ca Giok menyadari bahwa saat itu ia sudah berada di jalan besar. Cepat-cepat ia
pesatkan langkah.
Pada saat ia hendak mencapai jalan besar, tiba-tiba ia mendengar suara berderak-derak
dari roda kereta yang lari cepat. Buru-buru ia bersembunyi di balik sebuah gerumbul
pohon.
Tak berapa lama, tampak sebuah kereta meluncur datang. Sepasang kuda menarik
kereta itu.
Di samping kusir yang mengendalikan kuda, tampak seorang tua berambut putih.
Tetapi karena teraling kusir, tak dapatlah Ca Giok melihat roman muka orang tua itu.
Begitu pula karena kain tenda di jendela kereta tertutup, ia tak dapat mengetahui siapa
penumpangnya.
Ca Giok tak mau menghiraukan lagi karena tak ada kepentingan dengan dirinya. Ia
terus hendak keluar dari tetapat persembunyiannya. Tetapi sekonyong-konyong matanya
terbeliak ketika tertumbuk sulaman kembang warna kuning yang menghias pada lengan
baju penumpung dalam kereta itu. Rasanya ia pernah melihat baju macam itu tetapi ia
lupa entah dimana.
Ca Giok seorang cermat. Sekali timbul kecurigaan, tentu tak mau melepaskan
penyelidikannya. Begitu kereta meluncur tujuh delapan tombak jauhnya, iapun cepat
loncat keluar dan mengikutinya. Dalam pada mengikuti itu tak henti2nya ia memeras otak
untuk mengingat-ingat siapakah pemakai baju berlengan sulaman kembang warna kuning
itu.
Beberapa saat kemudian, ia menampar dahinya dan mendesus, “Hai, apakah
penumpang itu benar kedua nona taci beradik itu?”
Ia menimang. Kalau benar kedua nona Ting, lalu siapakah orangtua berjenggot putih
yang duduk di sebelah kusir itu? Namun kalau bukan kedua saudara Ting, mengapa
mengenakan baju yang biasa dipakai Ting Ling .
Walaupun Ca Giok itu seorang yang licin dan banyak muslihat. Tetapi karena selama ini
ia telah mengalami berbagai bahaya bersama Han Ping dan kedua nona Ting, maka
terhadap kedua nona itu ia mempunyai rasa hubungan yang lain.
Tangan kilat Ca Giok adalah sau-pohcu atau majikan muda dari marga Ca, sejak kecil
sering ikut ayahnya berkelana di dunia persilatan. Maka ia banyak pengalaman dan lebih
tinggi kewaspadaannya. Apalagi dia memiliki kepandaian yang hebat. Maka walaupun
masih muda, ia sudah termasyhur lihai.
Walaupun sudah dapat dipastikan bahwa yang berada dalam kereta itu tentu kedua
saudara Ting, tetapi karena ia belum kenal akan orangtua berjenggot putih itu, maka ia
tak mau unjuk diri dan mengikuti secara diam-diam saja. Bahkan untuk lebih aman, ia
mengambil lilin kuning untuk melumuri mukanya sehingga kelihatan lebih tua.
Hampir dua jam lamanya ia mengikuti kereta itu dari belakang, mataharipun sudah
menjulang di tengah langit. Saat itu kereta memasuki sebuah desa, Di tepi jalan terdapat
beberapa warung dan tokoh kecil.
“Nah, sampai di tetapat ini kalian tentu berhenti dan dapatlah kulihat apakah benar
kedua nona Ting itu atau bukan,” pikir Ca Giok.
Ternyata kereta memang berjalan lebih lambat. Buru-buru Ca Giok bersembunyi di tepi
jalan. Ia tetap mengawasi gerak gerik orangtua berjenggot putih itu.
Kusir menggentakkan kendali dan berhentilah kereta itu. Apa yang disaksikan Ca Giok,
benar-benar mengejutkan dan hampir tak dapat dipercaya. Pikirnya, “Ho, sejak kapankah
kepala marga
dari Kim-leng itu berkenalan dengan kedua nona dari Lembah Raja-Setan?”
Ia terus mengikuti gerak-gerik Nyo Bun-giau. Begitu turun dari kereta, orang she Nyo
itu tentu akan membantu penumpangnya turun.
Tetapi ternyata Nyo Bun-giau tidak bertindak begitu. Selekas turun dari kereta terus
masuk ke sebuah warung, membeli dua poci teh, beberapa kuweh dan sayur dalam
bungkusan, lalu bergegas naik ke kereta lagi. Ia memberi pesan kepada kusir dan kusir itu
segera melarikan kudanya lagi.
Terpaksa Ca Giok juga membeli beberapa kuweh lalu mengikuti kereta itu lagi.
Ketika matahari tenggelam di barat dan memasuki sebuah desa. barulah kereta itu
berhenti di sebuah rumah penginapan.
“Huh, mau lari kemanapun tetap kukejar,” diam-diam Ca Giok menertawakan. Tetapi ia
tak berani terang-terangan unjuk diri, menginap di sebuah warung, sebelah penginapan
tersebut.
Dia memang cermat. Begitu masuk ke kamar, tak mau ia keluar2 lagi. Ia terus tak
henti2nya memikirkan diri kedua nona. Tetapi tetap tak dapat memecahkan rahasia
mereka. Akhirnya ia menghela napas dan memutuskan bahwa nanti tentu mengetahui
juga.
Setelah memadamkan lampu, ia menutup jendela lalu naik ke atas ranjang. Tengah
malam setelah suasana sunyi senyap, barulah ia bangun dan membuka jendela. Setelah
melongok keadaan sekeliling, barulah ia loncat keluar dan melenting ke atas wuwungan
rumah.
Dilihatnya rumah penginapan itu cukup besar juga. Terdiri dari empat gunduk
bangunan. Kamar2nya banyak, karena gelap maka sukar juga untuk mencari kamar Nyo
Bun-giau dan kedua nona Ting itu.
Ia mendekam di atas wuwungan rumah. Tetapi sampai beberapa lama, belum juga ia
melihat suatu perobahan. Segera ia enjot tubuhnya melambung ke arah wuwungan
gunduk bangunan ketiga. Tetapi tetap tak melihat sesuatu. Jendela kamar2 sama tertutup.
Setengah jam kemudian, ia tak sabar lagi. Ia mengambil selembar genteng terus
hendak dilontarkan ke arah thian-keng atau halaman serambi tengah. Tetapi tiba-tiba ia
mendapat pikiran lain. Diam-diam ia memaki diri sendiri mengapa begitu gegabah. Jika
sampai Nyo Bun-giau keluar, bukankah ia akan langsung bentrok dengan dia? Suatu hal
yang tak perlu. Akhirnya ia letakkan kembali genteng itu.
Ia hendak menuju ke lain kamar. Tetapi tiba-tiba dari sebelah bawah terdengar suara
gemeretak macam bunyi papan ranjang. Cepat ia loncat ke atas wuwungan kamar itu.
Mengaitkan kedua kakinya pada tiang belandar, lalu menjulaikan tubuhnya ke bawah,
kepalanya melekat di atas jendela kamar.
Serentak ia mendengar suara halus berkata dengan bisik2, “Cici, kita sudah ikut sehari
dengannya, adakah….”
Angin malam berhembus dan pohon2 bunga di halaman berkeresekan sehingga suara
itu tak kedengaran jelas.
Namun hal itu sudah cukup menggirangkan Ca Giok. Ia tahu jelas itulah suara Ting
Hong.
Selekas angin berlalu berdengarlah suara Ting Ling berkata, “Kukira tentu ada orang
yang sudah mengetahui tentang kita naik kereta itu.”
“Bagaimana orang bisa tahu?” tanya Ting Hong.
“Dengarlah Ji-ahtau, hari ini sengaja kutunjukkan lengan bajuku di luar jendela kereta.
Asal ada anak buah Lembah Raja-setan yang melihat, tentu tahu kalau kita. Mereka tentu
akan memperhatikan, asal….”
Kata-kata Ting Ling kembali hilang tertiup angin malam.
Diam-diam Ca Giok geli dalam hati. Bukan anak-buah Lembah Raja-setan melainkan dia
yang melihatnya. Tiba-tiba ia tersadar, “Hai, jelas mereka tak suka bersama Nyo Bun-giau.
Kalau suka masakan dia sengaja memberi tanda sandi untuk memberi tahu kepada anak
buah Lembah Raja-setan? Tetapi mereka berdua bukan nona yang lemah, mengapa
sampai dapat dibawa Nyo Bun-giau?”
Serasa penuh benak Ca Giok memikirkan hal itu. Ia tak tahu bagaimana harus
bertindak. Namun bagaimanapun juga, ia merasa lebih dekat dengan kedua nona itu
daripada dengan Nyo Bungiau. Dan ia harus menolong mereka.
Baru ia memikir sampai di situ, tiba-tiba sinar cahaya melintas di muka. Diam-diam ia
mengeluh dan secepat kilat ia ayunkan tubuh ke atas lalu mendekam di atas genteng. Ia
kira jejaknya telah ketahuan orang.
Tetapi karena sampai beberapa lama tak ada kejadian apa-apa, ia mengangkat kepala
memandang ke empat penjuru. Tiba-tiba dilihatnya pada kamar sebelah kanan yang ujung
pertama sendiri memancarkan sinar lilin. Dan di bawah jendela memantul sesosok
bayangan.
Ca Giok girang dan tegang hatinya. Buru-buru ia melayang ke atas kamar itu.
Mengaitkan kaki ke tiang belandar lalu tubuh berayun ke bawah, kepalanya
bergelantungan pada jendela. Dengan gunakan ujung lidah, ia melubangi kertas jendela.
Mengintai ke dalam, kejutnya bukan kepalang.
Di dalam kamar yang remang2 penerangannya itu, tampak Nyo Bun-giau sedang berdiri
di samping meja. Di atas meja terletak seperangkat alat tulis.
Yang mengherankan Ca Giok ialah, mengapa pada waktu tengah malam yang hawanya
tak panas, Nyo Bun-giau berdiri di samping meja dengan telanjang badan?
Tetapi sebagai seorang pemuda yang banyak pengalaman, Ca Giok cepat berpikir. Tak
mungkin tanpa sebab, Nyo Bun-giau berbuat begitu. Walaupun jeli, Ca Giok terpaksa
menahan dan tetap mengawasi gerik-gerik orang she Nyo itu.
Tampak Nyo Bun-giau sedang memandang pahanya sendiri sebelah kiri. Lalu
mengambil pit dan melukis di atas kertas. Memandang ke pahanya lalu mencorat-coret lagi
di atas kertas.
Walaupun cerdik dan banyak pengalaman, namun sesaat Ca Giok tak dapat juga
mengerti maksud tingkah laku Nyo Bun-giau itu. Ketika memandang secara seksama,
barulah Ca Giok mengetahui bahwa pada paha kiri Nyo Bun-giau itu terdapat segumpal
daging yang berwarna ungu. Oh dia terluka yang mengandung racun. Dan ketika
mengawasi dengan seksama, Ca Giok melihat jelas bahwa di atas gumpal daging yang
berwarna ungu itu terdapat noda guratan seperti benang. Rupanya Nyo Bungiau tengah
meniru guratan2 untuk dilukis di atas kertas.
Tertariklah hati Ca Giok, pikirnya, “Huh, apakah yang sedang dilakukan setan tua itu?”
Kiranya Nyo Bun-giau sedang menyalin lukisan peta makam kuno dari pahanya ke atas
kertas. Ketika menyerahkan kembali kotak pedang pusaka kepada Han Ping, sengaja Nyo
Bun-giau mengecapkan kotak itu ke pahanya. Dengan menutup peredaran darah pahanya,
ia dapat menekankan kotak itu sekuat-kuatnya hingga meninggalkan gambar yang jelas di
atas pahanya. Dan saat itu barulah ia mengambil alih peta itu dari pahanya ke atas kertas.
Sekalipun mengetahui gerak-gerik Nyo Bun-giau tetapi Ca Giok tak mengerti apa yang
sedang dilakukan orangtua itu. Tetapi ia tahu jelas bahwa ketua marga Nyo itu memang
ahli dalam bangunan. Maka ia duga orang itu tentu sedang membuat denah sebuah
rencana.
Ca Giok anggap tak perlu lama-lama berada2 disitu.
Ia tak mengerti apa yang dilakukan Nyo Bun-giau, di samping itu amatlah berbahaya
kalau sampai ketahuan orang she Nyo itu. Nyo Bun-giau berilmu tinggi. Andaikaia tidak
sedang menumpahkan perhatiaannya melukis, kemungkinan besar tentu sudah mencium
jejak kedatangan Ca Giok. Lebih baik ia lekas2 tinggalkan tetapat itu.
Cepat ia ayunkan tubuh ke atas genteng lalu melayang ke atas wuwungan rumah.
Malam makin larut dan bergegaslah ia kembali ke tetapat penginapannya lagi.
Rebah di pembaringan, pikirannya masih merana. Jika seorang diri, sukarlah ia
menghadapi Nyo Bun-giau. Asal ia dapat memanggil anak buah Ca-ke-poh untuk
membuntuti Nyo Bun-giau masakan akhirnya mereka tak dapat diketahui tujuannya.
Keesokan hari pagi2 sekali, Nyo Bun-giau sudah berangkat. Ca Giokpun buru-buru
menyiapkan sandi rahasia untuk menyampaikan berita ke Ca-kepoh. Anakbuah Ca-ke-poh
yang mengetahui sandi pertandaan itu harus menurutkan petunjuk2 dalam sandi untuk
menyusulnya.
Setelah selesai, barulah ia berangkat untuk mengejar kereta. Pada jendela kereta yang
sudah jauh jaraknya itu tampak Ting Ling tetap lekatkan lengan bajunya pada jendela
kereta.
Menjelang petang, mereka masuk ke sebuah kota besar. Setelah Nyo Bun-giau mencari
hotel, Ca Giokpun tinggal dalam hotel itu juga. Ia memberi tanda rahasia pada daun
jendeladan pintu kamarnya.
Dua jam kemudian, pintu kamarnya terdengar diketuk orang, “Tuk, tuk, tuk” dua kali
ketukan panjang dan sekali ketukan cepat, Ca Giok gembira sekali. Ia duga tentulah
anakbuah Ca-ke-poh telah melihat sandi rahasia yang ditinggalkan dalam rumah
penginapan. Setelah mengenakan baju ia mengambil lilin, membolang-balingkan tiga kali
lalu memutar satu kali dalam bentuk lingkaran. Kemudian membuka pintu dan duduk di
sisi meja.
Dua orang lelaki melangkah masuk. Begitu melihat Ca Giok, mereka berdiri tegak
dengan sikap hormat lalu berkata, “Kami telah melihat sandi yang sau-pohcu tinggalkan di
pintu kamar penginapan. Lalu kami bergegas-gegas menyusul. Pesan apakah yang saupohcu
hendak berikan kapada kami?”
“Ada sebuah pekerjaan yang hendak kuberikan kepada kalian. Entah apakah kalian
berani melakukan atau tidak?”
Kedua orang itu menyurut, sahutnya, “Asal saupohcu memberi perintah, sekalipun
masuk ke dalam lautan api, kami pasti takkan mundur!”
Ca Giok tertawa dingin, “Bagus, sebenarnya kedatanganku kemari ini karena sedang
membututi seseorang. Tetapi aku masih ada lain urusan dan orang itu tak dapat
dilepaskan. Karelia tak dapat memecah diri sekaligus melakukan dua macam pekerjaan,
terpaksa kupanggil bala bantuan kemari!”
Dengan hormat kedua orang itu meminta Ca Giok segera memberi titah.
“Terus terang saja aku sedang membututi Nyo Bun giau, kepada marga Nyo-ke-poh
dari Kimleng. Aku menaruh kecurigaan pada gerak-geriknya. Tetapi aku masih mempunyai
lain urusan yang harus kukerjakan sendiri. Maka kuminta kalian yang mengikuti kereta Nyo
Bun-giau itu. Cukup kalian ikuti saja sampai dimana mereka hendak menuju. Tetapi jangan
lupa, sepanjang jalan kalian harus tinggalkan sandi pertandaan. Selekas urusanku selesai,
aku tentu segera menyusul kalian. Tak sampai dua tiga hari saja tentu sudah dapat
menyusul!”
Salah seorang yang lebih tua, berkata, “Kami akan berusaha sedapat mungkin agar dia
jangan sampai tahu. Tetapi apabila sampai terjadi hal2 yang di luar dugaan, apakah kami
harus….”
Ca Giok gelengkan kepala. “Asal kalian berhati-hati saja, kiranya tak sampai bentrok
dengan dia!”
Kemudian ia memberi isyarat tangan, “Silahkan kalian kembali ke tetapat kalian. Besuk
pagi tak usah kalian kemari mengunjungi aku. Kita segera melakukan tugas masing2.”
Ca-ke-poh amat keras sekali peraturannya. Kedua orang itu tak berani banyak bicara
lagi. Mereka memberi hormat lalu melangkah keluar. Tiba-tiba Ca Giok berseru suruh
mereka berhenti dulu.
“Masih ada dua buah hal yang hendak kupesan. Pertama, kalian tak boleh ketahuan
agar jangan mengejutkan dia. Kedua, di sepanjang jalan kalian harus memperhatikan
orang-orang yang mencurigakan, terutama orang-orang dari kedua Lembah , .. “ kata Ca
Giok. Kemudian dengan berganti nada bengis, ia berkata pula, “Urusan ini amat penting
sekali. Kalau sampai dia lolos, hm, awas!”
Setelah suruh kedua anakbuah pergi, Ca Giok rebahkan diri lagi di pembaringan. Diamdiam
ia menimang, “Untuk membebaskan kedua nona itu dari tangan Nyo Bun-giau,
tenagaku tak sanggup. Sekalipun mampu berbuat begitu, pun lebih baik jangan mengikut
permusuhan dengan iIhak Nyo-kepoh. Satu-satunya jalan, aku harus mencari orang
Lembah Raja-setan untuk menolong nona itu. Biar mereka sendiri yang menolong puteri
dari ketua Lembah Raja-setan.”
Memikir sampai disitu, teringatlah ia akan Ting Yan-san, paman dari kedua nona itu.
Asal bisa berjumpa dengan orang itu, tentu akan terjadi pertetapuran hebat dengan Nyo
Bun-giau.
Tetapi ah, untuk mencari si Paderi-pencabut-nyawa Ting Yan-san, bukanlah mudah.
Demikian Ca Giok tak henti2-nya memutar otak. Tiba-tiba ia teringat, ia rasa Ting Yan-san
tentu juga ikut datang memperebutkan kitab pusaka dari Lam-hay-bun. Dengan begitu
jelas din tentu berada di sekitar pedesaan Bik-lo-san.
“Benar,” katanya seorang diri, “besok pagi aku harus balik mencari setan tua Ting
itu….”
Keesokan harinya, ia segera kembali menuju ke gunung Bik-lo-san lagi.
Pada waktu tengah hari, ia merasa lapar sekali dan berhenti makan di sebuah kota.
Tengah ia enak2 menikmati hidangan, tiba-tiba terdengar suara orang tertawa dingin. “Ho,
kukira engkau kabur ke langit. Tak kira kalau dapat kuketemukan disini. Perhitungan itu
dapat kita selesaikan dengan sebaik-baiknya….”
Setiap angin berhembus dan orang itupun sudah berada di muka meja Ca Giok.
Ca Giok tergetar hatinya. Ketika mengawasi ke muka, ah, ternyata Leng Kong-siau
manusia beracun dari Lembah Seribu-racun.
Karena Ca Giok membakar barisan Bambu-batu dari si dara baju ungu, hampir saja
Leng Kong-siau yang terkurung dalam barisan itu, mati terbakar. Itulah sebabnya maka ia
amat benci setengah mati kepada Ca Giok. tetapo hari ketika di puncak gunung, ia tentu
sudah dapat menghajar pemuda itu andaikata Han Ping tak ikut campur menghalangi.
Kini tak terduga-duga ia telah menemukan pemuda itu di rumah makan. Kesempatan
itu tak disia-siakan Leng Kong-siau.
Tetapi Ca Giokpun amat lincah. Begitu melihat Leng Kong-siau berada di mukanya,
cepat ia lemparkan meja lalu loncat mundur.
Tetapi Leng Kong-siau hanya tertawa gelak2, “Kalau hari ini sampai melepaskan
engkau, percuma Baja Leng Kong-siau hidup sampai setua ini….”
Ia menutup kata-katanya dengan loncat sambil ulurkan tangan untuk menyambar
tangan Ca Giok.
Ca Giok menyadari bahwa dirinya sukar lolos. Tetapi ia tetap berusaha mencari daya.
Akhirnya ia memperoleh akal, serunya karas, “Leng loji, engkau sungguh-sungguh
menganggap aku takut kepadamu?”
Leng Kong-siau tertegun. Ia terkejut mendengar ucapan Ca Giok yang begitu gagah.
Ca Giok memandang Leng Kong-siau dan berseru pula: Leng loji, engkau juga seorang
tokoh persilatan yang ternama. Kalau mau mencari aku, marilah kita selesaikan di lain
tetapat yang lebih sesuai. Di sini bukan tetapat yang layak untuk kita berkelahi.
Bagaimana pendapatmu, hai?”
Mendapat gertakan itu, Leng Kong-siau batuk-batuk, sahutnya, “Baik, pokok engkau
jangan harap bisa lolos!”
Ca Giok lemparkan sekeping perak kepada pelayan lalu berpaling ke arah Leng Kongsiau
dan tertawa dingin, “Leng loji tak jauh di sebelah muka sana terdapat sebuah dataran
gunung. Aku akan menunggumu di sana!”
Habis berkata ia terus loncat keluar. Sebagai tokoh yang diberi gelar si Tangan Kilat
memang Ca Giok mempunyai kelebihan dalam ilmu ginkang. Gerakannya itu mirip dengan
bintang jatuh di angkasa.
Leng Kong siau juga seorang tokoh yang menonjol namanya. Dalam ilmu ginkang, ia
pun mempunyai keistimewaan tersendiri. Sekali enjot tubuh. ia cepat menyusul Ca Giok.
Sambil berlari, diam-diam Ca Giok memeras otak. Baginya hanya ada dua jalan.
Pertama, berusaha meloloskan diri. Kedua, mencari akal untuk membakar setan tua itu
agar mau bertetapur melawan Nyo Bun-giau. Jalan kedua ini, kecuali dapat menolong
kedua nona Ting, pun suatu keuntungan baginya, “Apabila kedua harimau itu sudah samasama
terluka, mudahlah dibereskan.”
Setelah menetapkan rencana, diam-diam ia tertawa puas. Berputar tubuh, ia loncat ke
atas lereng gunung di sebelah kanan.
Dalam saat mengejar tadi, diam-diam Leng Kongsiau memuji kecepatan lari pemuda
itu. Begitu melihat Ca Giok loncat ke atas lereng, ia segera membentak, “Ho, jangan kira
engkau mampu meloloskan diri!”
Leng Kong-siaupun loncat ke atas lereng gunung. Saat itu Ca Giok tengah memandang
ke sekeliliag tetapat. Ternyata di sekeliling tetapat itu penuh dengan batu2 berserakan dan
duri anak yang tajam. Jauh dari jalan besar sehingga tak mungkin orang datang ke situ.
Setelah menyedot napas, ia berhenti dan berdiri tegak.
Leng Kong-siau tahu bahwa Ca Giok itu seorang pemuda licin, banyak akal muslihat.
Melihat pemuda itu berhenti, ia tak berani gegabah bertindak. Setelah menggeliat sambil
condongkan tubuh, ia melesat ke samping Ca Giok.
Tiba-tiba Ca Giok tertawa, “Ah, Leng lo-cianpwe, mengapa engkau begitu ngotot
hendak membikin susah diriku?”
Leng Kong-siau tertawa sinis. “Masakan engkau sendiri belum mengetahui?”
Berkata Ca Giok dengan serius, “Ca-ke poh dengan Lembah Seribu-racun, terpisah di
utara dan selatan. Masing2 mempunyai daerah sendiri2. Dan selama ini tak pernah
mempunyai dendam bentrokan apa-apa. Masing2 mengerjakan usahanya sendiri. Tetapi
sekarang dengan mengandalkan kepandaian kuat sebagai seorang cianpwe berkeras
hendak membunuh aku. Benar-benar aku tak mengerti apakah maksudmu yang
sebenarnya?”
Leng Kong-siau batuk-batuk, sahutnya, “Ucapannya sepintas kedengarannya memang
beralasan. Tetapi apakah engkau lupa akan tindakanmu melepas api itu? Mengapa saat itu
sama sekali engkau tak ingat akan hubungan Ca-ke-poh dengan Lembah Seribu-racun
yang tak mempunyai dendam permusuhan suatu apa?”
Ca Giok tertawa. “0, kiranya lo-cianpwe mendendam peristiwa itu. Tetapi sesungguhnya
tak dapat menyalahkan tindakanku itu. Dalarapeparangan, tak ada lagi hubungan antara
ayah dan anak. Dalam keadaan yang kuderita pada saat itu, terpaksa aku bertindak
lepaskan api, demi untuk menyelamatkan diriku. Sama sekali tak sengaja hendak
mencelakai lo-cianpwe…”
“Ca Giok, jangan jual kepandaian bermulut-tajam di hadapanku!” bentak Leng Kongsiau.
“karena percuma saja, Leng Kong-siau tak sudi percaya ocehanmu lagi!”
Ca Giok geiengkan kepala menghela napas, ujarnya, “Kalau tak percaya, akupun tak
dapat berbuat apa-apa. Sekarang engkau hendak bertindak begitu. Terserah engkau
hendak bagaimana, aku hanya menurut saja….”
Ia menghela napas lagi dan berkata lebih lanjut, “Hanya menilik seorang Leng Kongsiau
lo-cianpwe bertindak begitu membabi-buta, benar-benar Ca Giok harus tertawa geli!”
Habis berkata ia terus tertawa gelak2 dengan nyaring sekali.
eang Kong-siau sendiri juga seorang rubah yang licin. Tetapi ditertawakan sedemikian
rupa oleh Ca Giok, ia merasa bingung juga. Cepat ia membentaknya, “Jangan banyak
mulut! Masakan tindakanku harus meminta penilaianmu, huh!”
Melihat hati Leng Kong-siau mulai goyah, cepat Ca Giok berkata, “Bukan aku hendak
menilai tindakan lo-cianpwe. Tetapi yang jelas lo-cianpwe telah menelantarkan tujuan lo
ciaupwe datang kemari. Hal yang penting, lo-cianpwe tak mau mengerjakan, sebaliknya
lo-cianpwe ngotot begitu rupa untuk memusuhi diriku!”
Wajah Leng Kong-siau berobah seketika. Diam-diam ia mengakui kebenaran ucapan
pemuda itu. Namun lahirnya ia tetap tenang. “Jembatan lain dengan jalanan. Tindakanku
kepadamu saat ini, adalah untuk menghimpaskan dendam kemarahanku atas
perbuatanmu membakar barisan. Hal itu tak ada hubungannya dengan kedatanganku
kemari. Jadi tak benar kalau aku menelantarkan tujuan. Saat ini aku hendak menghajarmu
sampai taubat. Jika hendak bicara apa-apa, asal beralasan, aku tentu akan meluluskan
agar engkau benar-benar tunduk sampai di hati!”
Ca Giok sejenak melirik ke arah orang itu dan diam-diam menertawakannya, “Huh,
setan tua, jangan jual mulut besar di hadapanku! Apa engkau kira aku tak tahu isi hatimu,
heh?”
Kemudian ia menjawab, “Kudengar lo-cianpwe seorang yang cermat sekali. Tetapi
menurut pandanganku, lo-cianpwe tak ubah seperti ‘tupai yang pandai melompat, tetapi
sekali jatuh terpeleset juga’. Cobalah kutanya, apakah lo-cianpwe tahu siapa saja yang
datang ke tetapat ini?”
Leng Kong-siau tertawa meloroh, “Ho, masakan hal itu perlu kujawab!”
Dengan wajah serius, Ca Giok berkata, “Bukan hendak mengatakan lo-cianpwe tak
tahu. Tetapi aku berani memastikan bahwa lo-cianpwe tentu tak mengetahui
keseluruhannya dengan jelas!”
Leng Kong-siau mendesus dan balikkan gundu matanya, “Ho, kalau aku Leng loji tak
tahu. apakah engkau lebih tahu dari aku? Hm, Leng loji tak mudah dikelabuhi orang ..”
Makin jelas Ca Giok akan isi hati Leng Kongsiau. Dengan sikap yang yakin, berserulah ia
dengan lantang, “Akh, bukan begitu maksudku. Sudah tentu aku kalah jauh dengan
pandangan lo-cianpwe. Tetapi banyak hal justru kujumpai secara tak terduga-duga.
Misalnya seperti kali ini…..”
Tiba-tiba ia berhenti berkata.
Leng Kong-siau juga seekor rubah yang licin.
Melihat Ca Giok beberapa kali jual gertak, timbullah kecurigaannya, jangan2 pemuda itu
memang tahu sesuatu rahasia penting. Seketika kerut-wajahnya berobah tenang dan
berkatalah ia dengan nada yang agak ramah, “Seorang pahlawan, memang sudah
kelihatan sejak masih muda. Kalian anak2 muda, tentulah lebih cerdas….”
Berhenti sejenak ia melanjutkan pula, “Selain kita beberapa orang itu, adakah engkau
menemukan lain orang yang mencurigakan?”
Melihat nada orang sudah berobah ramah, tahulah Ca Giok bahwa setan tua itu sudah
mulai masuk dalam perangkapnya. Dengan tingkah yang dibuat-buat, ia berkata, “Boleh
dianta dewasa ini seluruh kaum persilatan telah datang untuk memperebutkan kitab
pusaka dari partai Lam-hay-bun. Tetapi soal itu, bukanlah soal yang mudah diatasi sendiri.
Harus mengerahkan persatuan dan kekuatan baru ada harapan berhasil. Maka ketika
diutus ayah kemari, ayah telah memberi pesan agar aku jangan membanggakan diri,
lebih2 jangan memiliki hati temaha mau menang sendiri. Harus bersekutu dengan sebuah
dua buah partai untuk mengatur rencana. Kemudian ayahpun menekankan hendaknya aku
selalu mendengar pendapat para cianpwe dan melaksanakan perintahnya. Sekali-kali tak
boleh bertindak sendiri….”
Rangkaian kata-kata indah yang diucapkan Ca Giok itu benar-benar membuat Leng
Kong-siau limbung. Tak tahu apa yang sesungguhnya terkandung dalam ucapan itu. Ia
hanya dapat tertawa meriagis lalu berkata, “Pandangan ayahmu itu, benar-benar tepat
sekali ……”
Ca Giok tak menghiraukan pujian itu, lalu berkata lagi, “Kedatangan kali ini, dalam
setiap langkah dan tepat, aku selalu berpegang pada nasehat ayah. Bahwa tetapi hari
karena salah faham sehingga membuat lo-cianpwe marah, aku benar-benar sangat
menyesal. Kali ini memang telah kudapatkan suatu hal yang lain orang tak tahu. Maka
sengaja kucari lo-cianpwe untuk merundingkan hal itu. Dengan begitu dapatlah kutebus
kesalahan yang telah kulakukan tetapi hari itu ..”
Leng Kong-sian tergetar hatinya dan cepat-cepat meminta Ca Giok mengatakan hal itu.
Ca Giok menghela napas, ujarnya, “Sesungguhnya karena hal itulah maka aku sengaja
kemhali kesini mencari lo-cianpwe. Tetapi menilik lo-cianpwe begitu murka kepadaku,
kukuatir keteranganku itu tentu takkan lo-cianpwe percayai!”
Habis berkata, ia menghela napas lagi.
Sesungguhnya Leng Kong-siau mendongkol karena Ca Giok bersikap jual mahal. Ia tahu
dirinya hendak dipancing. Tetapi apa boleh buat, terpaksa ia mendesak, “Hubungan antara
Ca-ke-poh dengan Lembah Seribu-racun selama ini cukup baik. Apalagi ayahmu selama ini
bersikap baik kepada fihak kami. Mengingat hal itu, sudah selayaknya kita harus saling
membantu. Tetapi ucapanmu tadi, sungguh tak sesuai dengan hubungan kita itu!”
Ca Giok tersenyum.
oooo000oooo
Setan bertemu Iblis
“Apakah sebenarnya yang engkau dapatkan itu. Disini tiada lain orang lagi, kita dapat
merundingkan hal itu,” desak Leng Kong-siau.
Ca Giok memandang ke sekeliling, kemudian berkata dengan setengah berbisik,
“Menurut pengetahuan lo-cianpwe, siapa-apa sajakah yang datang di tetapat ini?”
“Kecuali fihak kita berdua, juga kedua anak perempuan dari Lembah Raja-setan itu,
Ting Yan-san, Kim Loji, si Kipas-besi-pedang-Perak Ih Seng, Naga-laut-Gunhay Cin An-ki,
Kim lokoay….”
Ia menengadah kepala merenung sejenak, lalu berkata pula: “Dan masih terdapat juga
pengemis tua yang memuakkan itu….”
“Lo-cianpwe tak berjumpa dengan lain orang lagi?” tanya Ca Giok.
“Kedua manusia aneh Bungkuk dan Pendek yang tak dapat kita masukkan sebagai
tetamu….”
Ca Giok cepat menyanggapi, “Dan masih ada seorang lagi yang lo-cianpwe tak
menduga… .”
Sambil mengangguk kepala, Leng Kong-siau mendesus, “Yang engkau maksudkan
apakah bukan pemuda she Ji itu….”
“Bukan, bukan dia,” bantah Ca Giok. “Lo-cianpwe, di kalangan kedua Lembah dan
ketiga Marga itu, siapakah kiranya yang tampak tak ikut campur dalam urusan ini?”
Mendapat pertanyaan itu, Leng Kong-siau termangu tak dapat menjawab.
“Aku hendak bertanya sedikit lagi,” kata Ca Giok, “bagaimanakah pandangan locianpwe
tentang hubungan antara marga Nyo-ke poh dengan Lembah raja-setan selama
ini?”
Tergetar hati Leng Kong-siau serunya, “Kepala marga Nyo-ke-poh di Kimleng, Nyo Bungiau,
biasanya membanggakan diri akan alat2 rahasia dalam gedungnya. Dia yakin gedung
Nyo-ke-poh itu berdinding baja yang kokoh sehingga ia jarang bergaul dengan orang luar.
Turut pengetahuanku selama ini, sekalipun hubungan Nyo-ke-poh itu tidak begitu erat
dengan Lembah Raja-setan, tetapipun juga tak mempunyai dendam permusuhan suatu
apa.”
Ca Giok tertawa, “Memang begitulah. Sekalipun aku masih hijau dan kurang
pengalaman, tetapi sering kudengar ayah mengatakan bahwa hubungan antara Nyo-kepoh
dengan Lembah Raja setan itu memang tak erat tetapipun tak bermusuhan.”
“Adakah Nyo Bun-giau juga datang kemari?” tanya Leng Kong-siau.
Ca Giok mengangguk.
“Apakah engkau melihat setan tua Nyo itu bersama-sama Ting loji?” desak Leng Kongsiau.
“Jika dengan Ting Yan-san, aku sih tak heran,” kata Ca Giok. Ia herhenti bicara lalu
tertawa aneh.
Leng Kong-siau maju selangkah, menegas, “Apakah fihak Lembah Raja-setan kerahkan
orangnya kemari semua?”
“Huh, sekarang baru engkau bingung sendiri,” diam-diam Ca Giok menyumpahi. Ia
girang karena Leng Kong-siau sudah mulai terpikat. Namun sebagai seorang pemuda yang
licin, tak mau ia mengunjuk perobahan muka.
“Apakah fihak Lembah Raja-setan kerahkan selurah orangnya atau tidak, aku tak begitu
jelas. Tetapi yarg kulihat dengan mata kepala sendiri ialah kedua nona dari Lembah Rajasetan
itu pergi bersama Nyo Bun-giau,” katanya dengan serius.
Seketika berobahlah wajah Leng Kong-siau, serunya menegas, “Apa katamu? Nyo Bungiau
pergi bersama dengan kedua budak perempuan itu? Apakah engkau tidak keliru?”
Ca Giok tertawa. “Harap lo-cianpwe jangan meragukan. Ca Giok yakin tak salah lihat
lagi!”
Ia segera menuturkan tentang kereta yang membawa Nyo Bun giau dan kedua nona
itu. Karena curiga, ia segera mengikuti secara diam-diam. Semua yang telah terjadi,
diceritakan kepada Leng KOng-siau. Hanya satu hal yang tak dikatakan ialah tentang di
sepanjang ia meninggalkan sandi rahasia marga Ca-ke-poh.
Leng Kong-siau mementangkan kedua matanya lebar2 menatap Ca Giok, katanya, “Ca
Giok, adakah omonganmu boleh dipercaya? Jangan merangkai cerita bohong di
hadapanku!”
Tergetar hati Ca Giok seketika. Namun ia tetap tenang2 saja menjawab. “Dalam urusan
besar seperti ini, masakan aku berani membohong!”
Tiba-tiba Leng Kong-siau tertawa mengekeh, ujarnya penuh selidik, “Kalau tahu hal itu
mengapa bukannya terus mengikuti mereka tetapi sebaliknya engkau malah datang
kemari? Dan mengapa pula engkau yakin bahwa aku tentu berada disini?”
Makin terbanglah serasa semangat Ca Giok menerima pertanyaan itu. Namun ia cepat
menutupi getar perasaannya dengan sebuah tertawa keras. Lalu menjawab, “Kereta
berkuda-dua tak lebih tak kurang hanya seperti sebatang jarum sulaman saja. Apakah
susahnya untuk menyusul mereka? Tentang mengapa aku kembali kemari dan mengapa
yakin kalau lo-cianpwe tentu berada di sekitar tetapat ini, mudahlah untuk menjawabnya.
Sekalipun masih bodoh, tetapi selama ini sudah lama aku berkelana di dunia persilatan.
Rasanya tak perlulah kuterangkan jawaban itu sejelas-jelasnya. Yang penting, harap locianpwe
suka percaya pada keteranganku yang sesungguhnya ini.”
Ia menutup kata-katanya dengan sebuah tertawa nyaring. Ia tak memberi jawaban
secara langsung melainkan secara samar2 saja. Sebagai tokoh yang banyak makan asam
garam dunia persilatan, Leng Kong-siaupun tak mau mengeduk keterangan sampai di
dasarnya. Ia pun terpaksa ikut tertawa juga.
Beberapa saat kemudian, kembali Leng Kong-siau bertanya, “Turut wawasanmu,
permainan apakah yang sedang dilakukan Nyo Bun-giau itu? Dan kemanakah kiranya
tujuan mereka?”
Ca Giok berdiam diri beberapa jenak, lalu berkata, “Apa maksud Nyo Bun-giau, aku tak
berani memastikan. Hanya menurut nada perkataan kedua nona itu rupanya mereka tak
senang. Dan kalau menurut arah yang hendak ditujunya itu, kemungkinan besar tentu ke
Kimleng.”
Leng Kong-siau mendesus. Tiba-tiba wajahnya berobah gelap, katanya, “Ca Giok,
tentang persoalan kita berdua, baiklah kita kesampingkan dulu. Tindakanmu untuk
mencari aku itu dapat diartikan sebagai kesungguhan hatimu. Sekarang jangan buang
waktu, hayolah engkau tunjukkan tetapat mereka itu. Selama dalam perjalanan kita harus
saling bantu. Dan ingat, jangan
sekali2 engkau secara diam-diam merancang tipu muslihat.”
Tiba-tiba ia menyambar pergelangan tangan pemuda Ca itu dan tertawa dingin. “Aku
Leng loji, senang berbuat secara blak-blakan. Sekarang kutegaskan. Jika engkau coba2
hendak main siasat, jangan engkau sesalkan aku seorang ganas. Engkau seorang cerdik,
tentu dapat mempertimbangkan mana yang menguntungkan dan mana yang merugikan
engkau!”
Habis berkata ia lepaskan cengkeramannya.
Ca Giok tahu bahwa dirinya hendak ditekan tetapi apa boleh buat, terpaksa ia
mengiakan saja. Namun diam-diam ia telah merancang dalam hati. Bila nanti berjumpa
Nyo Bun-giau, ia hendak berusaha untuk mengadu domba. Dan apabila kedua setan tua
itu sudah saling berhantam, mudahlah ia untuk meloloskan diri.
Setelah menetapkan keputusan, berkatalah ia, dengan mantap, “Kepergian Ca Giok
bersama locianpwe kali ini, untung atau rugi, sudah menjadi tanggung jawab Ca-ke-poh
dan Lembah Seribu-racun. Harap lo-cianpwe percaya penuh. Tak nanti aku Ca Giok berani
mengandung pikiran yang tidak-tidak!”
Disanjung begitu rupa, diam-diam tersentuh juga hati Leng Kong-siau. Ia tertawa
dingin, “Asal engkau sudah menginsyafi, itulah sudah cukup!”
Kemudian ia ajak pemuda itu segera berangkat. Ca Giak mengiakan. Berputar tubuh ia
terus melangkah cepat. Leng Kong-siaupun segera mengikutinya.
Dalam perjalanan, masing2 mempunyai rencana sendiri2. Pikiran Ca Giok
membayangkan, dengan akal bagaimana ia dapat mengadu domba kedua setan tua itu
agar ia dapat menolong kedua nona Ting itu.
Sedang Leng Kong-siau pun tak tinggal diam. Diam-diam dia pun menimang dalam hati.
Jika tidak ada urusan penting tak mungkin Nyo Bun-giau mau keluar ke dunia persilatan.
Ia tahu bahwa Nyo Bun-giau itu seorang ‘harimau berselimut domba’. Lahirnya bersikap
ramah tetapi hatinya ganas sekali. Kali ini pasti ada sesuatu yang penting sekali maka
orang she Nyo itu sampai membawa kedua nona Hun-bong-ji-kiau itu. Dengan ikut
campur dalam urusan itu, jelas ia pasti bentrok dengan Nyo Bun-giau. Kemungkinan akan
menimbulkan dendam permusuhan, bukanlah suatu hal yang mustahil. Untuk menghadapi
orang she Nyo itu, ia merasa tak berat. Tetapi ia meragukan, apakah Nyo Bun-giau itu
hanya seorang diri saja atau mempunyai kawan lain yang sakti.
Dalam pada itu ia harus memperhitungkan juga diri Ca Giok. Pemuda itu tak kalah licin
dan ganas dengan Nyo Bun-giau. Walaupun saat ini Ca Giok bermulut manis, namun
apabila menghadapi saat2 yang genting siapa tahu pemuda itu akan berbalik haluan. Dan
apabila hal itu sampai terjadi, berarti ia akan menghadapi kesulitan. Sudah bentrok
dengan Nyo Bun-giau, masih diaduk-aduk Ca Giok. Betapa pun halnya, sukarlah baginya
untuk menghadapi empat buah tangan. Ditambah pula dengan hadirnya kedua nona Ting
itu….
Sesungguhnya Leng Kong-siau itu seorang yang cermat. Maka dalam perjalanan itu,
diam-diam ia telah meninggalkan sandi pertandaan dari Lembah Seribu-racun. Agar
anakbuahnya segera menyusul.
Ca Giok tak tahu kalau diam-diam Leng Kong-siau memanggil anakbuahnya. Tetapi
sebagai seorang pemuda yang cerdik, ia tahu bahwa rupanya Leng Kong siau tetap
mencurigai dirinya. Maka diam-diam iapun tingkatkan kewaspadaan.
Pada malam itu ketika menginap di sebuah rumah penginapan, kira-kira pada waktu
tengah malam waktu Ca Giok tidur nyenyak, tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara ketukan
pelahan pada daun jendela kamarnya.
Ca Giok terkejut. Cepat ia mengetahui bahwa ketukan itu jelas bukan ketukan rahasia
dari kaum Ca-ke-poh. Tetapi karena seseorang hendak menemuinya, iapun tak dapat
tinggal diam. Setelah turun dari pembaringan, ia membentak pelahan, “Hai, siapakah yang
pada waktu tengah malam buta, hendak menemui aku?”
Dari luar terdengar suara penyahutan dingin, “Jika tiada urusan, masakan aku
mencarimu…”
Jendela terbuka, sesosok tubuh loncat masuk dan di dalam kamar muncul seorang
imam yang bertubuh kurus. Punggung menyanggul pedang, tangan kanannya mencekal
sebatang hudtim atau kebut pertapa!
Waktu mendengar nada suara orang itu, Ca Giok sudah terkejut. Dan ketika melihat
siapa tetamu yang tak diundang itu, ia makin terperanjat. Kiranya pendatang itu bukan
lain adalah Ting Yan-san si Imam-pencabut-nyawa, paman ketiga dari kedua nona Ting.
Ca Giok kejut2 girang melihat tokoh dari Lembah Raja-setan itu. Girang karena Ting
Yan-san tentu akan membantu usahanya untuk menolong kedua nona kemenakannya itu.
Dengan adanya imam itu, sekurang-kurangnya Leng Kong-siau harus berpikir panjang
kalau seandainya mempunyai rencana hendak mencelakai dirinya. Maka diam-diam Ca
Giok merasa lega hatinya.
Tetapi iapun tak lepas dari rasa cemas juga. Baik Nyo Bun-giau, Leng Kong siau
maupun Ting Yan-san ini, adalah tiga setan tua yang terkenal sebagai tokoh-tokoh aneh.
Gerak-gerik mereka serba sukar diduga, sikapnya amat dingin. Mudah berobah pendirian,
berbalik haluan. Dengan terjepit di antara ketiga iblis tua itu, Ca Giok merasa amat tak
leluasa sekali bergerak dan bicara.
“Berpisah beberapa hari saja, mengapa sekarang engkau galang-gulung bersama Leng
loji?” sekonyong-konyong ia dikejutkan oleh teguran Ting Yan-san.
Ca Giok tertegun. Ia menyadari bahwa hal itu memerlukan penjelasan yang panjang.
Maka ia pura2 terkejut, “Apakah lo-cianpwe bertanya kepadaku?”
“Adakah di sini terdapat lain orang lagi?”
“Kalau tidak kepadamu, habis kepada siapa kubertanya?”
Ca Giok gelagapan dan menegas pula, “Apakah yang lo-cianpwe hendak tanyakan?”
“Mengapa engkau bersama-sama dengan Leng loji?” seru Ting Yan-san pula.
Ca Giok kerutkan alis mengunjuk wajah cemas, sahutnya, “Harap lo-cianpwe suka
maafkan, tak dapat kuberitahukan soal ini….”
Sambil kibaskan kebutnya, berserulah Ting Yan-san menegas, “Adakah engkau benarbenar
tak mau memberi tahukan?”
Saat itu Ca Giok sudah mempunyai rencana. Pelahan-lahan ia hendak memikatnya ke
dalam perangkap. Maka tertawalah ia dengan hambar, “Bukannya aku tak mau
memberitahu tetapi memang aku mempunyai kesulitan….”
“Dalam soal apa maka engkau begitu sulit memberitahukan?” desak Ting Yan-san.
Ca Giok menghela napas, “Mengingat hubungan antara lembah Raja-setan dengan
fihak kami Ca ke-poh, seharusnya kuberitahukan hal itu kepada lo-ciaupwe. Apalagi tetapo
hari di puncak bukit, lo-cianpwepun tak terpengaruh oleh kata-kata Leng loji. Ca Giok
sungguh takkan melupakan peristiwa itu dan seharusnya nada hal yang harus dirahasiakan
kepada lo-cianpwe….”
Ia berhenti sejenak lalu merenung. Beberapa saat kemudian baru berkata pula, “Dalam
hal ini, aku sungguh tak bebas karena seseorang….”
“Ca Giok bukan pemuda tetape. Sekalipun Leng loji lihay tetapi tak seharusnya engkau
begitu ketakutan kepadanya. Kalau engkau mengatakan kebebasanmu terikat orang,
apakah itu tidak bohong?”
“Ah, lo-cianpwe hanya tahu satu tetapi tak tahu yang kedua,” Ca Giok menghela napas.
“Demi mengatakan kesungguhan hati, kumohon locianpwe meluluskan permintaanku dan
nanti tentu kuberitahukan soal itu.”
“Baiklah, asal aku mampu saja, tentu akan kululuskan,” kata Ting Yan-san.
“Hal itu sebenarnya bukan hal yang sukar. Asal lo-cianpwe meluluskan saja. Cukup asal
lo-cianpwe jangan memberitahukan bahwa aku telah memberitahukan hal itu kepada locianpwe.
Itulah sudah cukup.”
Sambil mengusap jenggotnya, berkatalah Ting Yan-san, “Dalam segala tindakan, aku
selalu menjunjung janji Karena engkau sudah mempercai aku, sudah tentu takkan
kubocorkan hal itu kepada orang lain. Harap engkau jangan kuatir….”
“Apakah ucapan lo-cianpwe itu dapat kupe.. gang?” masih Ca Giok menegas.
“Kapankah aku pernah menipumu?”
Ca Giok mengisar maju selangkah. Dengan wajah bersungguh ia berkata, “Kalau begitu,
aku hendak memberitahukan…. “
Ia berhenti sejenak lalu, “Tahukah lo-cianpwe apa sebab aku rela menerima tekanan
Leng loji itu?”
Ting Yan-san kicupkan mata, menyahut, “Justeru itulah yang hendak kuketahui!”
“Terus terang, kesemuanya itu hanyalah untuk kepentingan fihak Lembah Rajasetan….”
Ting Yan san mendengus panjang.
“Hubungan Lembah Raja-setan cukup baik dengan Ca-ke-poh dan mengingat kebaikan
lo-cianpwe kepadaku tetapo hari, sudah tentu aku harus membantu kesulitan Lembah
Raja-setan….”
“Eh, kesulitan apakah yang menimpah lembahku? Cobalah engkau jelaskan!”
“Maaf, aku hendak mengajukan pertanyaan. Bagaimanakah hubungan antara Lembah
Raja-setan dengan Nyo-ke-poh di Kimleng itu?”
“Tak ada hubungannya sama sekali. Tetapi juga tak bermusuhan!”
“Adakah lo-cianpwe mengetahui bahwa kedua nona kemenakan lo-cianpwe itu
sekarang bersama-sama dengan Nyo Bun-giau?”
Di luar dugaan Ting Yan-san tak terkejut mendengar hal itu, tanyanya, “Aku bertanya
tentang urusanmu dengan Leng loji, bukan menanyakan soal Nyo Bun-giau!”
Tergetar hati Ca Giok mendapat sambutan itu. Terpaksa ia menjawab, “Soal itu timbul
karena Nyo Bun-giau. Dengan mata kepala sendiri kusaksikan Nyo Bun-giau membawa
kedua nona Ting dalam sebuah kereta yang menuju ke Kimleng….”
“O….” desus Ting Yan-san, “memang kedua budak perempuan itu suka menimbulkan
hal-hal yang tak dimengerti orang!”
Mengkal juga hati Ca Giok karena Ting Yan-san tak dapat dibakar hatinya. Tetapi ia tak
putus asa. Katanya lebih lanjut, “Tetapi jelas bahwa kedua nona itu, tak suka hati. Dengan
begitu, kepergian mereka itu, tentulah karena terpaksa.”
“Bagaimana engkau tahu itu?” desak Ting Yan-san.
Ca Giok segera menuturkan semua pengalamannya ketika mengikuti jejak Nyo Bungiau.
Hanya tentang Sandi pernyataan Ca-ke-poh yang ditinggalkan di sepanjang jalan, tak
diberitahukannya.
Kini terpengaruh juga Ting Yan-san.
“Adalah demi menolong kedua nona Ting, maka aku terpaksa menderita tekanan dari
Leng loji tetapi dengan timbal balik, ia bersedia ikut aku menuju ke Nyo-ke-poh.”
“Mengapa engkau tak mencari tokoh-tokoh lembah Raja-setan?” tegur Ting Yan san.
“Dalam hal ini harap lo-cianpwe suka maafkan. Pertama aku tak yakin bahwa locianpwe
masih berada disini. Dan kedua mengingat bahwa menolong orang itu ibarat
menolong kebakaran, maka aku terpaksa minta bantuan Leng Kong-siau yang dapat
kujumpai disini,” Ca Giok memberi jawaban yang beralasan. Untuk itu Ting Yan-san
rupanya dapat menerima.
“Lalu bagaimana kehendakmu sekarang?” tanya Ting Yan-san.
Ca Giok merenung sejenak lalu menyatakan bahwa karena ia telah terlanjur meminta
bantuan Leng loji maka sebaiknya janganlah sampai Leng Kong-siau mengetahui
pertemuan saat itu.
“Besok pagi apabila aku dan Leng loji berangkat, baiklah lo-cianpwe pura2 bergegas
muncul dan menegur kami berdua, kemana kami hendak pergi. Terus terang saja locianpwe
nanti menyatakan telah mendapat laporan dari anak buah Lembah Raja-setan
yang menemukan sandi pertandaan dari kedua nona Ting,” kata Ca Giok.
Ting Yan-san menyetujui usul itu. Setelah itu ia tinggalkan kamar penginapan.
Keesokan harinya Leng Kong-siau dan Ca Giok segera berangkat ke Kimleng. Di tengah
jalan mereka dikejutkan sesosok bayangan yang berlari pesat mendatangi.
“Aha, kiranya engkau saudara Ting,” tegur Leng Kong-siau, “apakah keperluan saudara
mengejar kami?”
“Ho, bukankah jalan besar ini diperuntukkan setiap orang?” sahut Ting Yan-san agak
kurang senang, “adakah saudara Leng merasa melakukan sesuatu hingga kedatanganku
ini engkau duga tentu hendak mengejarmu?”
Leng Kong-siau tertegun mendapat jawaban yang cukup tajam itu. Sebelum ia
menemukan kata-kata untuk menjawab, Ting Yan-sanpun sudah berkata pula, “Eh,
mengapa saudara Leng bersama dengan anak itu? Bukankah saudara amat
mendendamnya?”
Kuatir kalau Leng Kong-siau salah jawab hingga menimbulkan hal2 yang tak diinginkan,
buru-buru Ca Giok mendahului, “Ah, nama seorang cianpwe seperti Leng lo-cianpwe
sungguh-sungguh mendendam terhadap orang yang lebih muda? Apalagi soal tersebut
hanyalah soal salah faham yang tak berarti, sudah tentu Leng lo-cianpwe berlapang dada
maafkan aku. Eh, hendak kemanakah Leng lo-cianpwe ini? Mengapa begitu ter-buru-buru
sekali tampaknya?”
Diam-diam Leng Kong-siau dan Ting Yan-san memuji kecerdikan pemuda itu. Leng
Kong-siau merasa telah dihindarkan dari kesulitan menjawab pertanyaan Ting Yan-san
Sedang Ting Yan-san merasa telah diberi jalan untuk segera menyatakan tujuannya.
“Ho, ini bukan urusanmu, tak perlu engkau tahu,” sahut Ting Yan-san dengan nada
keras.
“Ah, mengapa lo-cianpwe mempunyai pikiran begitu? Bukankah kita yang datang ke
gunung ini mempunyai tujuan sama? Bukankah hubungan antara Lembah Raja-setan
dengan marga Ca-ke-poh selama ini baik2 saja? Dengan berdasar dua pegangan itu,
kiranya kita wajib sating bantu. Bukankah demikian, Leng lo-cianpwe?” Ca Giok melirik ke
arah Leng Kong-siau.
Leng Kong-siau hanya mendengus tak jelas.
“Hm, pintar benar sau-pohcu Ca-ke-poh itu bermain lidah,” sahut Ting Yan-san, “tetapi
kurasa hal itu tak perlu kuberitahukan, karena menyangkut kepentingan Lembah Rajasetan
sendiri.”
“Kecuali bagaimana, harap lo-cianpwe sudi mengatakan,” cepat Ca Giok mendesak.
“Kecuali kalian memang ingin membantu, barulah dapat ku beritahukan!”
“Ah, mengapa lo-cianpwe mengatakan begitu? Bukankah sudah kunyatakan dalam
perantauan, kita harus saling bantu membantu dengan sahabat. Silahkan lo-cianpwe
memberitahukan, asal kami mampu, tentu dengan senang hati akan membantu locianpwe,”
kata Ca Giok.
“Seorang anakbuah Lembah Raja-setan telah menemukan sandi pertandaan yang
ditinggalkan oleh kedua budak perempuan kemenakanku itu. Mengatakan, bahwa kedua
budak itu telah ditawan oleh Nyo Bun-giau ke Kimleng….”
“Hai! Benarkah itu?” Ca Giok pura2 menukas kaget, “benarkah itu? Adakah laporan
anak buah Lembah Raja-setan itu dapat dipercaya?”
“Ehm, peraturan Lembah kami amat keras. Barang siapa berani hohong, matilah
hukumannya!” jawab Ting Yan-san.
“Leng lo-cianpwe,” cepat Ca Giok berpaling ke arah Leng Kong-siau, “karena Ting locianpwe
telah mempercayai kita, sudah pada tetapatnya kita pun harus membantu Ting
lo-cianpwe.”
Leng Kong-siau hanya mengangguk saja. Sesungguhnya ia tak senang dengan
tambabnya seorang Ting Yan-san. Tetapi karena orang she Ting itu memang hendak ke
Kimleng, apa boleh buat. Terpaksa ia tak keberatan.
Demikianlah, ketiga orang itu segera melanjutkan perjalanan ke Kimleng. Singkatnya
saja mereka telah mencapai tujuan.
Tengah mereka terpesona memandang sebuah bangunan gedung yang besar dan
mewah, sekonyong-konyong seorang pemuda baju biru muncul dan menanyakan
keperluan ketiga orang itu.
Ketika ketiga orang itu memperkenalkan diri, pemuda baju biru itu tersipu-sipu
memberi hormat dan menyatakan hendak mengantar mereka menemui kepala marga Nyoke-
poh.
Pertama-tama, mereka berhadapan dengan 12 buah pagar kayu setinggi dua tombak.
Baik bahan maupun bentuknya, sama semua. Di atas pagar itu tercantum 6 buah huruf
yang dirangkai dari dahan pohon, berbunyi: Kim-leng Nyo-ke-poh.
Kata pemuda itu dengan bangga, “Ke-12 buah pagar itu dibentuk menurut 12 waktu.
Tampaknya serupa tetapi letaknya tak sama. Hanya dua buah pagar yang dapat mencapai
ke gedung. Barang siapa yang gegabah masuk kemari, tentu tersesat dan akan terancam
bahaya maut .. .. “
Jilid 16 : Perangkap berlapis-lapis
Tunas-tunas muda.
Habis memberi keterangan, pemuda itu mengajak ketiga tetamunya kembali masuk ke
dalam padang bunga. Setelah berbalik kian kemari, sekonyong-konyong pemuda itu
meloncat sambil berteriak nyaring, “Harap tuan2 berhati-hati ikut aku masuk ke dalam
gedung!”
Ting Yan-san bertiga pusing juga diajak berputar-putar dalam padang bunga itu. Pada
saat mendengar teriakan pemuda itu, tanpa sadar merekapun ikut gerakan pemuda itu
loncat masuk ke dalam sebuah pagar.
Sesungguhnya Ting Yan-san bertiga sudah mengerahkan kewaspadaannya. Setiap
langkah dan setiap tanah yang dilalui, selalu diperhatikan. Tetapi setelah memasuki pager
itu, pandang mata seperti tertutup oleh gerumbul semak dan kabut sehingga tak dapat
memperhatikan sesuatu apa lagi.
Ting Yan-san, Leng Kong-siau dan Ca Giok saling bertukar pandang. Diam-diam mereka
malu dalam hati. Bertahun-tahun mereka berkelana dalam dunia persilatan dan
menghadapi berbagai pengalaman. Tetapi tak terduga-duga, saat itu mereka dapat
digembala oleh seorang pemuda, seperti kerbau tercocok hidungnya.
Pemuda baju biru yang berada dibelakang Ca Giok, saat itu tiba-tiba loncat ke muka
dan tegak berjajar dengan seorang pemuda baju biru yang lain. Sejenak memandang ke
arah ketiga tetamunya, tanpa bilang suatu apa, kedua pemuda itu lanjutkan langkahnya
lagi.
Oleh karena sudah memasuki Nyo-ke-poh, terpaksa Ting Yan-san bertiga mengikuti
kedua pemuda itu.
Beberapa saat kemudian, tampak sebatang gala menancap pada gerumbul pohon.
Puncak galah terpancang sehelai bendera bertuliskan tiga buah huruf “Nyo-ke-poh”.
Bendera itu berkibar-kibar tertiup angin. Dari celah2 gerumbul pohon sayup2 tampak
genteng merah dari sebuah gedung.
Pemuda baju biru lambatkan langkahnya dan menunjuk ke muka, “Di sebelah depan
itulah gedung Nyo-ke-poh kami!”
Kira-kira tiga empat li lagi, barulah mereka tiba di luar gedung. Pemuda itu merentang
sehelai panji segitiga lalu berjalan lagi. Setelah melintasi sebuah jalanan dari batu marmar
hijau, barulah mereka memasuki halaman.
Tiba di sebuah pintu bundar, pemuda itu berkata, “Pohcu berada di belakang, harap
tuan2 suka menanti sebentar.”
Ting Yan-san mendongkol. Jelas Nyo Bun-giau sudah mengetahui kedatangan mereka
tetapi masih jual tingkah seperti tuan besar.
Pemuda itu menekan tombol pintu dan tak berapa lama pintupun terbuka. Empat
pemuda baju biru mungil, masing-masing mencekal sebatang pedang berbentuk ular
hitam. Setelah bicara beberapa jenak, pemuda penunjuk jalan tadi berkata, “Lo-pohcu
menunggu tuan2 di dalam.”
Ia memberi hormat lalu keluar.
Sekonyong-konyong bau bedak wangi membaur. Dari balik pintu bundar itu muncul 4
orang dara berumur 17-an tahun. Tiba di muka Ting Yan-san, mereka memberi hormat
dan mempersilahkan masuk.
Tepat pada saat itu terdengarlah suara tertawa panjang dan muncullah pemilik marga
Nyo-ke-poh yakni si Perancang-sakti Nyo Bun-giau.
Begitu melihat ketiga tetamunya, Nyo Bun-giau segera mengangkat tangan memberi
hormat, “Sungguh suatu kehormatan yang tak pernah kusangka bahwa saudara-saudara
bersama-sama berkunjung ke pondokku yang jelek ini….”
Ting Yan-san bertiga tersenyum menyambut pernyataan tuan rumah. Tetapi diam-diam
mereka meningkatkan kewaspadaan.
“Habis menempuh perjalanan jauh, saudara-saudara tentu letih. Silahkan, mari kita
beristirahat di dalam…..” kata Nyo Bun-giau.
Ketiga orang itu dibawa ke dalam sebuah pagoda hunga. Tiga penjuru dari pagoda
bunga itu merupakan air empang. Pada permukaan air, tampak bunga2 teratai
berguguran. Beberapa ekor angsa putih berenang-renang kian kemari.
Setelah menuangkan minuman teh, Nyo Bun-giau berkata pula dengan nada hambar.
“Kedua Lembah dan Ketiga Marga, sudah terkenal di dunia persilatan. Entah apakah Nyoke-
poh ini dalam pandangan saudara bertiga masih dapat dianggap sesuai dengan
kenyataan di dunia persilatan itu?
“Ah, saudara Nyo keliwat merendah. Bangunan dan perlengkapan dalam Nyo-ke poh
ini, benar-benar mengagumkan sekali. Sekalipun kedua Lembah dan ketiga Marga itu
sama-sama termasyhur, tetapi sesungguhnya tak dapat disejajarkan dengan Nyo ke-poh.
“Ah, saudara terlalu menyanjung,” kata Nyo Bun-giau.
Ting Yan-san tertawa tawar. “Lembah Raja-setan hanya sebuah gerombolan penyamun
yang merupakan sampah. Tidak seperti Nyo-ke-poh yang diindahkan dunia persilatan.”
“Saudara Ting keliwat memuji.” Nyo Bun-giau tertawa menyeringai, “siapakah di dunia
persilatan yang tak kenal akan kebesaran nama Lembah Raja-setan? terus terang Lembah
Raja-setan itulah yang paling hebat bangunannya. Konon kabarnya barang siapa
memasuki Lembah Raja-setan, tentu takkan melihat sebuah rumahpun juga. Ciptaan
bangunan yang tak dapat dilihat prang itu, benar-benar mengagumkan sekali. Bagaimana
Nyo-ke-poh dapat dibandingkan dengan Lembah Raja-setan….”
Diam-diam Ting Yan-san girang mendengar pujian itu. Tetapi lahirnya ia tetap tenang.
“Ah, itu hanya secara kebetulan saja berkat keadaan tanahnya. Kurasa tetap Nyo-ke-poh
yang lebih unggul karena dibangun menurut ciptaan saudara!”
Nyo Bun-giau tertawa, “Kedua lembah Seriburacun dan Raja-setan sama-sama
mempunyai keistimewaan. Lembah Raja-setan termasyhur dengan ciptaan bangunan
lembah dan akal muslihatnya yang lihay. Sedang Lembah Seribu-racun termasyhur karena
dapat menjinakkan ular yang berbisa. Dengan mengumpulkan beribu-ribu ular dalant
lembah, jelas musuh tak mungkin dapat membobolkan pertahanan lembah itu! Ah,
saudara Leng, lembah saudara itu benar-benar tiada taranya dalam dunia.”
Leng Kong siau hendak menjawab tetapi Nyo Bun-giau mendahului lagi, “Juga marga
Ca-ke-poh dari wilayah Hopak, tak kurang termasyhurnya. Apalagi ayah saudara Ca ini,
benar-benar seorang tokoh yang kaya akan ilmu kepandaian dan merupakan tokoh
pertama pada dewasa ini.”
Ca Giok gelagapan karena dirinya mendapat giliran. Buru-buru ia berkata, “Ah, Nyo
pohcu terlalu memuji. Masakan Ca-ke-poh sepadan disejajarkan dengan kemasyhuran
marga Nyo?”
“Lembah Seribu-racun berbahagia sekali menunggu kunjungan saudara Nyo,” Leng
Kong-siau menyelutuk,”Akh, memang sesungguhnya diantara Dua Lembah dan Tiga Marga
itu, Lembah Raja-setanlah yang paling hebat. Teristimewa kedua gadis kemanakan
saudara Tang itu, merupakan sepasang bunga yang amat menyemarakkan nama Lembah
Raja-setan!”
Dengan memuji kedua nona Ting itu, Leng Kong-siau memberi bisikan halus agar Ting
Yan-san segera bertindak. Dan rupanya Ting Yan-sanpun dapat menangkap maksud Leng
Kong-siau.
“Saudara Nyo, aku …. baru Ting Yan-san hendak berkata. Nyo Bun-giau cepat
menukas, “Tatkala musim rontok amat sejuk dan nyaman. Mari kita nikmati keindahan
alam sambil minum arak wangi!”
Nyo Bun-giau memang licin. Tahu bahwa apabila Ting Yan-san bicara tentu akan
menimbulkan pertengkaran maka ia cepat-cepat mendahului. Dan habis berkata orang she
Nyo itu terus berseru, “Hai, mana para pelayan cantik!”
Empat gadis cantik yang siap menunggu di luar pagoda bunga, segera masuk dengan
langkah lemah gemulai.
“Suruh orang mengeluarkan 40 jambangan bunga Seruni yang mekar2 dan 2 guci arak
Sian hin yang lama!” seru Nyo Bun-giau. Kemudian ia berpaling kepada ketiga tetamunya,
“Ah, kunjungan saudara bertiga sungguh kebenaran. Di daerah kami seang musim
kepiting. Biarlah kusuruh orang merebuskan kepiting yang gemuk2 dan bertelur untuk
teman arak!”
Tak berapa lama hidangan arak dan kepiting segera keluar. Keempat gadis cantik itu
melayani ketiga tetamu dengan gerak gerik yang menyengsamkan.
Sambil mengangkat cawan arak, Nyo Bun-giau mempersilahkan tetamunya, “Mari,
saudara-saudara, jangan sungkan2. Kita harus minum sepuas-puasnya. Bukankah kita tak
dapat hidup sampai 100 tahun?”
“Hm, manusia licik,” diam-diam Leng Kong-siau memaki dalam hati, “begitu mendengar
nama kedua nona Ting disinggung, segera engkau alihkan perhatian kepada hidangan
arak. Tetapi. tunggulah saja Nyo Bun-giau!”
“Saudara Nyo,” walaupun hati mengutuk tetapi mulut Leng Kong-siau tetap tertawa,
“engkau benar-benar pandai menikmati hidup. Hidupmu engkau nikmati dengan arak dan
wanita. Oh, pantas engkau jarang keluar di dunia persilatan. Kukira engkau seorang alim
yang saleh, ternyata ha, ha, ha, engkau memelihara harem yang hebat!”
“Ah, simpananmu di Lembah Seribu-racun tentu lebih hebat lagi saudara Leng. Jangan
berpurapura suci,” jawab Nyo Bun-giau,” sesungguhnya aku muak dengan kehidupan
dunia persilatan yang isinya hanya main menang sendiri, sedikit2 bicara dengan pedang.
Aku lebih suka tinggal di kandang saja, mengecap kehidupan yang tenang. Bukan aku
seorang bandot tua. Tetapi memang falsafah hidupku ialah: Hidup itu Indah maka kita
harus bersenang-senang menikmati keindahan Hidup. Mengapa kita harus bersusah hati
dan bermuram durja. Telah kusiapkan beberapa gadis penyanyi untuk menghibur saudarasaudara!”
Nyo Bun-giau memberi isyarat kepada seorang pelayan dan pelayan itu segera mundur
dengan tersenyum simpul.
Tak berapa lama dari gerumbul pohon bambu di seberang, terdengar bunyi bambu
diketuk-ketuk. Dan Nyo Bun-giaupun segera menghampiri pagar lalu mendorongnya. Bum
… terdengar bunyi bergemuruh ketika pagar itu jatuh ke dalam kolam.
Leng Kong-siau bertiga terkejut dan cepat loncat ke tetapat Nyo Bun-giau. Mereka siap
menerjang apabila tuan rumah berani main gila.
Tak berapa saat air kolam berombak-ombak dari dasar air bergerak-gerak sebilah
papan yang terangkat dan menjulang ke permukaan air lalu papan itu menjulur
memanjang keseberang sebelah muka dan terbentuklah sebuah jembatan yang
melengkung seperti busur.
Nyo Bun-giau berpaling seraya tertawa riang. Tiba-tiba ia bersuit nyaring dan dari ujung
jembatan bertebaran bergumpal-gumpal awan berwarna.
Leng Kong-siau, Ting Yan-san dan Ca Giok terkesiap. Ketika memandang dengan
seksama ah, ternyata gumpalan awan berwarna itu ternyata merupakan pakaian yang
berkilau-kilauan dari rombongan dara2 cantik. Dengan langkah yang lemah gemulai
mereka menari-nari sambil menyanyi.
Ting Yan-san, Leng Kong-siau dan Ca Giok kenyang berkelana dalam dunia persilatan.
Tetapi selama itu juga pernah mereka menyaksikan pemandangan yang begitu
menakjubkan seperti saat itu. Ketiga tokoh itu terlongong-longong.
Rombongan dara cantik itu sambil merekah senyum, menari-nari menurut irama lagu.
Sepintas pandang benar-benar menyerupai bidadari2 yang turun dari kahyangan . .
Sambil memandang ke arah ketiga tetamunya, Nyo Bun-giau mengurut-urut jenggot
seraya tertawa, “Ah, sesungguhnya aku hanya menyuguhkan sedikit pertunjukan yang tak
berharga itu kepada saudara-saudara.”
Ia tertawa gelak-gelak ketika melihat ketiga tetamunya terpesona.
Ketiga orang itupun terkejut dan Ting Yan-san tersipu-sipu berkata, “Adakah saudara
Nyo bicara pada kami?”
“Entah apakah nyanyian den tarian sekasar itu dapat menyenangkan saudara?” kata
Nyo Bun-giau.
“Hidangan saudara Nyo itu sungguh hebat sekali ..”
“Memang nyanyian semacam itu hanya terdapat di Nirwana. Di alam dunia, mana
terdapat musik semacam itu….” Leng Kong-siau menyeletuk.
Nyo Bun-giau menunjuk ke arah kolam. “Harap saudara-saudara lihat itu!”
Ketika ketiga tokoh itu memandang ke arah yang dimaksud, tampak seorang bidadari
dalam pakaian warna merah yang tipis bersulam bunga
emas, tengah menghampiri dengan berjalan di atas air. Ah kiranya bidadari itu bukan
menggunakan ilmu kepandaian ginkang berjalan di udara, tetapi berdiri di atas sekuntum
bunga teratai sebesar meja.
Dibawa oleh aliran air, teratai itu meluncur ke bawah jembatan. Tiba-tiba teratai itu
menghambur asap tebal dan dengan membawa sang dara bidadari, bunga itu membubung
ke atas jembatan.
Selusin dara penari tadi segera berhamburan menyongsong kedatangan dara bidadari
itu. Sekilas pandang tampak seperti kawanan kupu2 yang mengerumuni sekuntum bunga.
Sekalipun tokoh-tokoh tua seperti Ting Yan-san dan Leng Kong-siau itu tak suka akan
paras cantik, namun menyaksikan pemandangan yang sedemikian itu, terguncang juga
hati mereka.
“Nona itu benar-benar menyerupai bidadari yang turun dari kahyangan,” Ting Yan-san
memuji.
Nyo Bun-giau tertawa, “Dia adalah seorang sri-panggung yang termasyhur. Entah
berapa banyak pemuda hartawan yang telah jatuh di bawah kakinya , .”
Ia berhenti sejenak untuk tertawa gelak-gelak, “dan akulah yang.beruntung dapat
mengundangnya kemari. Suatu pertanda betapa besar rejeki saudara bertiga ini …..”
Diam-diam Leng Kong-siau terkejut dalam hati.
Pikirnya, “Celaka, jelas orang she Nyo ini hendak menggunakan paras cantik untuk
menjebak kita.”
Dia seorang tokoh tua yang berpengalaman. Setelah menyadari hal itu, buru-buru ia
berlaku senang lagi. Diam-diam ia sudah membuat rencana. Sambil menepuk Ting Yansan
ia bertanya, “Saudara Ting, bagaimana pendapatmu tentang nona itu?”
Karena tak tahu maksud orang, maka Ting Yan san agak merah mukanya dan tersipusipu
menyahut, “Menilai kecantikannya, memang nona itu laksana seorang bidadari
menjelma. Seumur hidup belum pernah aku melihat nona secantik itu….”
Tiba-tiba Leng Kong-siau kerutkan wajahnya dan menyanggah, “Ah, ucapan saudara
Ting itu salah!”
“Apanya yang salah?” Ting Yan-san terkejut.
Leng Kong-siau tertawa, “Kedua nona kemenakanmu itu sesungguhnya jelita2 yang
jarang terdapat di dunia. Mana nona itu dapat dibandingkan dengan kedua kemenakan
saudara!”
Mendengar Leng Kong-siau mengungkat kedua nona Ting itu lagi, buru-buru
menyelutuk, “Untuk menyatakan terima kasih atas pujian saudara bertiga, biarlah
kupanggilnya kemari untuk menghaturkan arak!”
Habis berkata Nyo Bun-giau melambai dara baju merah kemilau itu. Jelita itupun segera
ayunkan langkahnya yang semampai. Tak berapa lama sudah melangkah masuk ke dalam
pagodabunga. Setelah mengendap tubuh memberi hormat, berserulah ia dengan nada
bagaikan buluh perindu, “Pohcu memanggil diriku, entah hendak perintah apakah?”
Sambil mengurut jenggot, Nyo Bun-giau tersenyum, “Ketiga tetamu kita ini adalah
tokoh-tokoh persilatan ternama yang menjadi sahabatku. Layanilah dengan hidangan arak
agar jangan mengecewakan kegembirakan mereka!”
“Baik tuanku!” sahut jelita itu dengan nada gemetar lalu perlahan2 menghampiri ke
tetapat Ca Giok.
Di antara ketiga tetamu itu, Ca Gioklah yang paling muda dan paling cakap. Sejak
diundang Nyo Bun-giau dengan pikatan intan permata yang berlimpah-limpah, jelita itu
terus disekap dalam sangkar mas sehingga jarang bertemu dengan kaum pria lainnya.
Dan Nyo Bun-giau telah mengadakan peraturan yang sangat keras. Sebelum mendapat
ijin, tiada seorangpun yang diperbolehkan masuk ke dalam tetapat para rombongan gadisgadis
penari itu.
Maka taklah mengherankan ketika melihat wajah pemuda Ca Giok yang tampan, hati
jelita itu mendebur keras. Dan pertama-tama yang dihampiri adalah tetapat pemuda itu.
Sambil menjulurkan sepasang tangannya yang putih seperti salju, jelita itu mengangkat
paci arak dan menuangkannya di cawan Ca Giok, disertai ucapan yang merdu, “Sekiranya
tuan tak muak melihat diriku, sudilah tuan mencicipi arak yang kusuguhkan ini.”
Walaupun Ca Giok itu seorang pemuda yang baru berumur 20 an tahun, tetapi ia
beradat tinggi. Biasanya ia tak memandang mata kepada para gadis. Memang dari
kejauhan tadi, gadis itu tampaknya secantik bidadari. Tetapi setelah dekat ternyata
kecantikan dara itu hanya karena di make-up dengan bedak yang tebal. Dalam
kecantikannya yang dibuat itu, Ca Giok tak menemukan suatu keagungan dari seorang
wanita jelita. Diam-diam timbullah rasa muaknya. Dan untuk menghindari agar nona itu
lekas2 menyingkir, ia segera menyambar cawan araknya dan sekali teguk terus
menghabiskannya.
Tetapi rupanya nona itu tetap tak mengetahui sikap Ca Giok yang dingin. Melihat
pemuda itu begitu serta merta menyambut arak yang dihidangkannya, ia tertawa riang,
ALWAYS Link cerita silat : Cerita silat Terbaru , cersil terbaru, Cerita Dewasa, cerita mandarin,Cerita Dewasa terbaru,Cerita Dewasa Terbaru, Cerita Dewasa Pemerkosaan Terbaru
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar