Pedang Hati Suci 2

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Jumat, 09 September 2011

Tanpa pikir lagi Tik Hun terus pondong majat Ting Tian itu dan dibawa lari keluar dari taman
bobrok itu melalui pintu samping. Dan begitu dia melangkah keluar lantas terdengarlah suara
orang mendjerit kaget didalam taman itu oleh karena mengetahui Ma Thay-beng bertiga sudah
menggeletak terbinasa disitu.

Tik Hun ber-lari2 terus didalam kota Kanglenghu itu, iapun tahu tjaranja melarikan diri sambil
membawa majat sang Toako itu sangat berbahaja, sudah larinja takbisa tjepat, setiap saat
mungkin akan dipergoki orang pula. Namun ia lebih suka ditawan dan didjebloskan lagi
kedalam pendjara dan menerima siksaan atau boleh djuga dihukum mati dengan segera,
sebaliknja tidak nanti ia mau meninggalkan djenazah Ting Tian begitu sadja.

Setelah beberapa ratus meter ia berlari, tiba2 dilihatnja disuatu pagar tembok dipinggir djalan
ada sebuah daun pintu ketjil jang terpentang, tanpa pikir lagi ia terus menjelinap masuk
kedalam rumah itu, lalu pintu itu didepaknja dari dalam hingga tertutup.

Kiranja pintu itu adalah pintu sebuah kebun sajur jang sangat luas dan penuh tertanam
matjam2 djenis sajur seperti sawi putih, lobak, labu, tomat, ketimun dan lain2 lagi.

Sedjak ketjil kerdja Tik Hun jalah bertani bertjotjok tanam. Tapi sudah lima tahun lamanja ia
meninggalkan kebun sajurnja. Kini melihat suasana kebun itu, seketika timbul rasanja seperti
berada dikampung halamannja sendiri.

Ia tjoba mengamat-amati sekitarnja, ia melihat diarah timur-laut sana ada sebuah gudang kaju
bakar, dari djendela gudang itu tampak djelas penuh tertumpuk kaju bakar dan onggok
djerami. Tik Hun mendjadi girang, sekenanja ia bubut beberapa buah lobak sambil
memondong majatnja Ting Tian, segera ia menjusup kedalam gudang kaju itu.

Hlm 35: Gambar:

Dengan penuh rasa duka nestapa dan air mata meleleh Tik Hun pondong majatnja Ting Tian
untuk meninggalkan taman itu dengan tjepat.







SERIALSILAT.COM © 2005







120


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



Ia tjoba dengarkan sekeliling gudang itu dan tidak kedengaran ada suara orang. Segera ia
menjingkirkan kaju dan djerami hingga lantainja terluang sedikit, ia taruh djenazah sang Toako
disitu dan menutupinja dengan djerami dengan pelahan2. Diwaktu menguruk djenazah Toako
dengan rumput djerami itu, Tik Hun merasa se-akan2 Ting Tian masih mempunjai daja rasa,
maka tidak berani membikin sakit badannja. Dalam benak Tik Hun timbul sematjam sugesti:
“Boleh djadi Ting-toako mendadak bisa mendusin kembali.”

Ia duduk disamping majat sang Toako, ia mengupas kulit lobak dan menggeragotinja mentah2.
Air lobak jang manis2 masam itu pelahan2 mengalir kedalam kerongkongannja. Ja, maklum
sudah lima tahun lamanja ia tidak pernah merasakan makanan segar seperti itu. Teringat
kampung halamannja di Ouwlam, disana entah sudah beberapa kali ia membubut lobak dan
makan bersama sang Sumoay ~ Djik Hong, mereka bersenda gurau dengan gembira di sawah-
ladang kampung halamannja itu sambil menggeragot lobak mentah ...........

Sebuah lobak mentah itu sudah habis dimakan olehnja dan mulai ia menggeragoti lobak jang
kedua, kelopak matanjapun agak basah mengenangkan masa dahulu jang indah itu. Se-
konjong2 didengarnja suatu suara. Seketika badannja bergemetar, separoh lobak jang terpegang
ditangannja djatuh kelantai tanpa terasa, lobak jang putih bersih itu berlepotan tanah pasir dan
debu djerami.

Ia mendengar suara seorang jang halus dan merdu sedang memanggil: “Khong-sim-djay! Khong-
sim-djay! Dimanakah engkau?”

Saking terguntjangnja perasaan, segera Tik Hun bermaksud berteriak mendjawabnja: “Aku
berada disini!” ~ Tapi belum lagi kata2 “aku” itu mentjetus dari mulutnja, ia merasa
tenggorokannja seperti tersumbat, tjepat ia menutup mulutnja sendiri dengan badan gemetar.

Sebab apakah Tik Hun terguntjang perasaannja oleh suara itu?

Kiranja “Khong-sim-djay” atau sayur tak berhati alias kubis adalah nama djulukan Tik Hun.
Didunia ini hanja ada dua orang jang tahu nama djulukannja itu, jakni Tik Hun sendiri dan
Djik Hong. Bahkan gurunja sendiri djuga tidak tahu.

Djulukan itu adalah pemberian Djik Hong, sebab sang Sumoay itu berpendapat Tik Hun tidak
punya otak, terlalu polos, terlalu lugu, sedikitpun tidak bisa berpikir, selain beladjar silat, segala
apa tak dipikir olehnja dan segala apa tak dipahaminja, maka pemuda itu diibaratkan Khong-
sim-djay atau kubis jang tidak punya hati.

Dikatakan orang tidak punya otak djuga Tik Hun tidak marah, sebaliknja ia ganda tertawa
sadja. Ia malah senang kalau Djik Hong suka memanggilnja: “Khong-sim-djay!” ~ biar pun
sehari penuh dipanggil begitu djuga dia tidak marah, asalkan sadja sigadis itu betah.

Dan setiap kali kalau Tik Hun mendengar panggilan “Khong-sin-djay” atau si Kubis, selalu
hatinja merasakan sematjam kenikmatan manisnja madu. Sebab kalau ada orang ketiga diantara





SERIALSILAT.COM © 2005





121


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



mereka pasti sekali2 Djik Hong takkan memanggil nama djulukannja itu. Dan kalau dia
dipanggil si Kubis, maka saat itu tentu tjuma mereka berada berduaan sadja.

Pabila Tik Hun berada berduaan sadja bersama Djik Hong, baik sigadis sedang gembira
maupun sinona lagi marah, jang terasa oleh Tik Hum hanja rasa bahagia jang tak terkatakan. Ia
adalah seorang botjah ke-tolol2an jang tidak pandai bitjara, terkadang kedogolannja itu
membikin Djik Hong mendjadi marah, tapi asal terdengar panggilan “Khong-sim-djay, Kong-
sim-djay”, maka tertawalah keduanja dengan ter-kakah2

Tik Hun masih ingat pada waktu Bok Heng membawakan surat undangan kepada Suhunja
dahulu, malam itu sang Sumoay telah memasak untuk mendjamu tamu, diantara lauk-pauk
dan sajur-majur itu djuga terdapat semangkok gorengan Kubis. Tengah sang Suhu asjik
berbitjara dengan Bok Heng mengenai kedjadian2 didunia persilatan, Tik Hun sendiri
mendengarkan dengan ter-mangu2, tiba2 tanpa sengadja sinar matanja telah kebentrok dengan
sinar mata Djik Hong, ia melihat sang Sumoay telah menjumpit setjomot kubis goreng dan
akan dimakan, tapi kubis itu tidak latas dimasukkan kedalam mulut, melainkan dengan
bibirnja jang merah tipis sedang mendjilati kubis itu dengan pelahan2, sorot matanja penuh
mengandung maksud tertawa. Terang gadis itu bukan lagi hendak makan sajur, tapi sedang
mentjiumi kubis itu.

Tatkala itu Tik Hun tjuma mengira: “Ah, Sumoay sedang mentertawai aku lagi sebagai Khong-
sim-djay!” ~ Tapi kini setelah dikenangkan kembali didalam gudang kaju ini, tiba2 ia dapat
menangkap maksud jang mendalam dari kelakuan sang Sumoay itu, njata itulah tanda tjiuman
mesra seorang kekasih.

Kini suara panggilan “Khong-sim-djay” itu terdengar pula, terang gamblang suara itu adalah
suaranja Djik Hong, hal mana sedikitpun tak bisa keliru lagi. Suara panggilan itu penuh
mengandung rasa tjinta kasih jang mesra, lemah-lembut dan meresap.

Dahulu, panggilan Djik Hong itu tjuma dirasakannja sebagai tanda persahabatan, suara
panggilan jang penuh perhatian dan terkadang bermaksud sebagai tanda marah dan
mengomelnja. Namun suara panggilan jang didengarnja sekarang hanja penuh rasa tjinta kasih
jang mendalam. “Apakah karena dia telah mengetahui penderitaanku selama ini setjara
penasaran makanja dia bertambah baik kepadaku?” demikian Tik Hun bertanja pada diri
sendiri.

Sesungguhnja Tik Hun tidak berani pertjaja kepada pendengarannja sendiri itu. “Apa aku
sedang mimpi? Sebab tidak mungkin Sumoay datang kekebun sayur ini? Bukankah sudah lama
ia mendjadi isterinja Ban Ka, masakah dia dapat datang kesini untuk mentjari aku?”

Namun demikian suara panggilan tadi berdjangkit pula, bahkan sekali ini semakin mendekat
lagi. “Khong-sim-djay, dimanakah engkau bersembunji?” demikian suara itu dengan rasa senang
dan penuh kasih-sajang.






SERIALSILAT.COM © 2005






122


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



Pelahan2 Tik Hun berdiri dan mengintip dari belakang tumpukan djerami. Ia melihat seorang
wanita berdiri membelakangi dirinja sedang mentjari sesuatu. Ja, itulah dia, memang tidak
salah lagi, pinggangnja jang ramping, perawakannja jang langsing, siapa lagi dia kalau bukan
Djik Hong?

Terdengar ia sedang memanggil pula dengan tertawa: “Hajolah Khong-sim-djay, masih engkau
tidak mau keluar?” ~ dan mendadak wanita itu membalik tubuhnja kebelakang.

Seketika pandangan Tik Hun mendjadi kabur dan kepalanja mendjadi pujeng. Memang
benarlah gadis itu adalah Djik Hong. Bidji matanja jang bundar besar dan hitam pekat,
hidungnja jang mantjung, hanja kelihatan agak kurus sedikit hingga tidak semontok dan segar
seperti waktu masih berada dipedusunan didaerah Oulam dahulu. Akan tetapi gadis itu njata2
adalah Djik Hong, benar2 adalah sang Sumoay jang ditjintainja dan dirindukannja senantiasa
itu.

Dengan wadjah jang masih ber-seri2 tawa, Djik Hong sedang me-manggil2 pula: Khong-sim-
djay, hajolah, tidak lekas engkau keluar sadja?”

Saking tak tahan segera Tik Hun bermaksud menjahut dan menemui Sumoay jang senantiasa
dirindukannja itu. Tapi belum lagi ia bertindak, mendadak teringat olehnja: “Ting-toako sering
mengatakan aku terlalu djudjur, terlalu lugu dan gampang ditipu orang. Kini Djik-sumoay
sudah menikah dengan Ban Ka, harini Tjiu Kin terbinasa pula ditanganku, siapa berani
mendjamin bahwa Sumoay bukan lagi sengadja memantjing aku keluar?” ~ Berpikir demikian,
hatinja mendjadi dingin dan urung undjuk diri.

Ia dengar Djik Hong sedang me-manggil2 si Kubis pula. Kembali pendirian Tik Hun gojah.
Pikirnja: “Suara panggilannja sedemikian mesra penuh kasih-sajang, tentu bukanlah pura2. Lagi-
pula, djika dia benar2 inginkan djiwaku, biarlah kumati dibawah tangannja sadja!” ~ Sekali
hatinja terasa pedih, ia mendjadi nekat lagi.

Tapi belum lagi ia berbuat apa2, tiba2 terdengar suara ketawa seorang anak perempuan ketjil,
menjusul anak itu telah berkata: “Mak, mak, aku berada disini!”

Ketika Tik Hun mengintai keluar djendela, ia lihat seorang anak perempuan berbadju merah
sedang ber-lari2 mendatangi dari sebelah sana. Tjuma umur botjah itu masih sangat muda,
maka larinja masih belum kuat dan agak sempojongan.

“Khong-sim-djay, kau bersembunji dimana barusan?” terdengar Djik Hong menanja dengan
suaranja jang lemah lembut. “Dari tadi ibu mentjari kau tak ketemu.”

“Khong-sim-djay berada dikebun sajur sana melihat semut,” sahut botjah itu dengan senang.

Seketika telinga Tik Hun serasa mendengung dan dadanja se-akan2 digodam orang sekali.
Sungguh ia tidak pertjaja pada pendengarannja sendiri. Apa mungkin Sumoay sudah punja
anak? Apakah puterinja inilah jang bernama “Khong-sim-djay”? Djadi panggilannja tadi




SERIALSILAT.COM © 2005




123


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



ditudjukan kepada puterinja jang ketjil itu dan bukan memanggil aku? Djadi setjara tidak
sengadja dirinja sekarang telah masuk sarang harimau pula, jaitu rumahnja Ban Tjin-san jang
bikin tjelaka dirinja itu?

Begitulah Tik Hun mendjadi bingung seketika. Selama beberapa tahun ini lapat2 dalam hati
Tik Hun terdapat suatu harapan, ia mengharap semoga kelak dapat melihat sang Sumoay itu
toh tidak menikah dengan Ban Ka dan apa jang dikatakan Sim Sia adalah bohong belaka.
Pikirannja ini tidak berani dikatakannja kepada Ting Tian, tapi hanja terkeram dilubuk hatinja
sendiri. Terkadang bila ia bertemu dengan Djik Hong didalam mimpi, sering ia melontjat
bangun saking girangnja. Tapi sekarang ia sendiri menjaksikan dan mendengar sendiri pula ada
seorang dara tjilik sedang memanggil ibu kepada Djik Hong. Dari selah2 djendela dapat
dilihatnja Djik Hong sedang mengangsurkan kedua tangannja dan anak dara itu terus
menubruk kedalam pelukannja. Berulang kali Djik Hong telah mentjiumi pipi botjah itu dan
berkata dengan suara lembut: “Khong-sim-djay pintar main sendiri, sungguh anak jang manis!”

Hanja dari sisi Tik Hun dapat melihat keadaan Djik Hong dengan alisnja jang masih tetap
lentik dan udjung mulutnja jang mungil, mukanja tampak sedikit lebih montok daripada dulu,
lebih putih halus dan lebih tjantik. Kembali hati Tik Hun pedih: “Selama ini engkau sudah
mendjadi njonja Ban, engkau tidak perlu bertjotjok-tanam lagi dibawah terik matahari dan
kehudjanan, dengan sendirinja badanmu lebih terawat.

Ia dengar Djik Hong sedang berkata pula: “Marilah Khong-sim-djay ikut ibu kembali
kekamar!”

Disini sangat menjenangkan, Khong-sim-djay akan melihat semut lagi,” demikian sahut sidara
tjilik.

“Djangan,” kata Djik Hong. “Harini diluar ada orang djahat akan mentjulik anak ketjil. Lebih
baik Khong-sim-djay ikut ibu pulang kekamar.”

“Orang djahat apa? Kenapa mengganggu anak ketjil?” tanja botjah itu.

“Dua orang djahat jang buas telah lolos dari pendjara, maka ajah sedang pergi menangkap orang
djahat itu,” kata Djik Hong sambil menarik tangan sianak. “Dan kalau orang djahat itu lari
kesini, Khong-sim-djay akan ditangkap olehnja. Maka, marilah anak manis, marilah pulang
kekamar, nanti ibu buatkan boneka kain, ja?”

“Tidak, Khong-sim-djay tidak suka boneka, tapi akan bantu ajah tangkap orang djahat,” sahut
sibotjah dengan bandel.

Mendengar dirinja dikatakan djahat dan buas, hati Tik Hun semakin lama semakin mentjelos.
Dan pada saat itu, diluar kebun sana terdengar suara derapan kuda jang riuh, beberapa
penunggang kuda berlari lewat kesana. “Sret”, tiba2 Djik Hong melolos pedang jang terselip
dipinggangnja dan berlari kepintu kebun.





SERIALSILAT.COM © 2005





124


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



Karena ditinggal sang ibu, anak perempuan tadi tjelingukan kian-kemari dan pelahan2
mendekati pintu gudang kaju. Tik Hun tetap berdiri dipinggir djendela dan tidak berani
menggeser, kuatir kalau menerbitkan suara hingga mengagetkan Djik Hong. Ja, maklum,
sampai disini betapapun ia tidak sudi bertemu lagi dengan sang Sumoay. Hal ini bukanlah
karena dia merasa rendah diri atau menjesalkan hubungan baik dimasa lalu, tapi disebabkan
rasa duka dan penasaran jang susah ditahan didalam dadanja. Dirinja sedikitpun tidak pernah
berbuat djahat, tapi sudah disiksa semikian rupa, sampai achirnja orang jang senantiasa
dirindukannja itu setjara terang2an mengatakan dirinja adalah “orang djahat”.

Ia melihat anak itu mendekati pintu gudang, ia mengharap botjah itu djangan masuk, tapi
entah apa jang diinginkan anak dara itu, achirnja ia melangkah masuk djuga kedalam gudang.
Tjepat Tik Hun berdjongkok dibalik onggok djerami dan dalam hati berharap botjah itu lekas
keluar!

Tapi mendadak anak itu mempergoki Tik Hun, saking kagetnja ia mendjadi melongo ketika
melihat keadaan Tik Hun jang tjompang-tjamping badjunja dengan berewok dimukanja jang
tak keruan matjamnja itu. Botjah itu mewek2 dan hendak menangis, tapi tidak berani karena
ketakutan.

Tik Hun insaf urusan bakal runjam, asal botjah itu menguwak sekali, pasti djedjaknja akan
diketahui Djik Hong. Tjepat ia melompat madju untuk membopong anak itu sambil sebelah
tangannja menekap mulutnja. Tapi toh sudah terlambat sedikit, anak itu keburu menangis
dulu sekali. Tjuma suara tangisannja lantas berhenti karena mulutnja tertutup oleh tangan Tik
Hun.

Namun begitu Djik Hong jang selalu ingat kepada anaknja, begitu mendengar suara sibotjah
jang agak aneh itu segera ia menoleh, tapi puterinja sudah tidak kelihatan, menjusul
didengarnja didalam gudang kaju ada suara berkeresekan, tjepat ia memburu kedepan pintu
gudang. Maka tertampak olehnja puterinja telah dibopong oleh seorang laki2 jang rambutnja
kusut masai tak keruan, muka dan tangannja penuh noda darah, bahkan sebelah tangan orang
itu sedang menekap kentjang2 dimulut sang puteri. Karuan kedjut Djik Hong tak terkatakan,
sekali pedangnja bergerak, terus sadja ia menusuk kearah Tik Hun sambil membentak:
“Lepaskan anakku!”

Hati Tik Hun mendjadi pedih, timbul lagi kenekatannja: “Kau hendak membunuh aku,
bolehlah kau bunuh sadja!” ~ Karena itu, ia hanja tinggal diam sadja tanpa berkelit atas
serangan Djik Hong itu.

Namun Djik Hong mendjadi tertegun karena kuatir melukai puteri sendiri, tjepat ia tarik
kembali pedangnja dan membentak pula: “Lekas lepaskan puteriku!”

Mendengar Djik Hong melulu minta melepaskan puterinja, tapi sama sekali tiada ingat
hubungan baik dimasa lalu, Tik Hun mendjadi tambah mendongkol dan sengadja tidak mau
melepaskan botjah itu.





SERIALSILAT.COM © 2005





125


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



Melihat laki2 bengis itu masih belum mau melepaskan puterinja, Djik Hong semakin kuatir,
djangan2 anaknja akan ditjulik. Segera pedangnja bergerak pula menusuk kebahu kanan Tik
Hun.

Tjepat Tik Hun mengegos, menjusul ia sambar sepotong kaju bakar itu, ia menangkis dan balas
menusuk. Djik Hong terkesiap oleh gerakan serangan Tik Hun itu, ia merasa tipu serangan ini
sudah dikenalnja, jaitu gerakan Kiam-hoat ‘Ko-hong-han-siang-lay’ (seharusnja Koh-hong-hay-
siang-lay). Maka tanpa pikir lagi ia mendakan tubuh untuk menghindar, menjusul iapun balas
menjerang dengan tipu timpalannja ‘Si-heng-put-kam-koh’ (seharusnja Ti-heng-put-kam-koh).

Sebenarnja gudang kaju itu sangat sempit dan penuh kaju dan rumput djerami, tempat jang
luang itu hanja tiba tjukup untuk dibuat putar dua orang sadja. Maka pertarungan mereka
sesungguhnja kurang bebas dan sangat terganggu. Tapi karena sedjak ketjil Tik Hun satu guru
dengan Djik Hong serta selalu latihan bersama, setiap hari mereka mesti saling gebrak untuk
melatih ilmu pedang, maka terhadap setiap gerak serangan masing2 sudah saling diapalkan.

Kini melihat Djik Hong mengeluarkan tipu serangan seperti biasanja diwaktu mereka latihan
dahulu, segera ia putar pedangnja kesamping untuk kemudian dibuat menangkis. Akan tetapi
“plak” tahu2 kaju jang dipakai sebagai pedang itu kesampluk djatuh kelantai, seketika ia
tertjengang, tapi segera iapun sadar: “Ah, djariku sebagian sudah terpapas, selama hidup ini aku
takkan dapat menggunakan pedang lagi!”

Untuk sedjenak ia ter-mangu2 memandangi djari tangan sendiri jang sudah hilang sebagian itu.
Ketika ia mendongak pula, ia lihat udjung pedang Djik Hong sudah mengantjam diulu hatinja
dengan agak gemetar, wadjah sang Sumoay itu tampak kaget tak terhingga. Untuk beberapa
lama mereka tjuma saling pandang belaka dan sama2 tidak sanggup buka suara.

“Eng ....... engkau?” sampai agak lama baru dapat tertjetus sepatahkata ini dari mulut Djik Hong
dengan suara jang serak dan hampir2 tak terdengar.

Tik Hun mengangguk dan mengangsurkan dara tjilik jang dibopongnja itu, Djik Hong
membuang pedangnja dan tjepat menerima puteri kesajangannja, untuk sesaat ia tidak tahu
tjara bagaimana harus bitjara. Rupanja saking ketakutan, dara tjilik itu menjisipkan kepalanja
dipelukan sang ibu dan tidak memandang lagi kepada Tik Hun jang menakutkan itu.

“Aku .......... aku tidak tahu adalah engkau,” kata Djik Hong kemudian. “Selama be ....... beberapa
tahun ini ........”

Belum selesai utjapannja tiba2 terdengar suara seorang lelaki sedang me-manggil2 diluar sana:
“Hong-moay, Hong-moay! Dimanakah dikau?” ~ suara itu semakin dekat dan kedengaran
menudju kedalam kebun sajur.

Seketika air muka Djik Hong berubah hebat, segera ia membisiki puteri dalam pelukannja itu:
“Khong-sim-djay, Pepek (paman) ini bukan orang djahat, djangan kau katakana kepada ajah ja,
manis?”




SERIALSILAT.COM © 2005




126


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E




Tanpa merasa dara tjilik itu memandang sekedjap lagi kepada Tik Hun dan melihat tjoraknja
jang menjeramkan itu, kembali ia mewek dan menangis lagi.

Mendengar suara tangisan anak perempuan itu segera laki-laki diluar itu memburu datang
kearah suara dan berseru: “Khong-sim-djay! Djangan menangis, djangan menangis! Ajah berada
disini!”

Djik Hong memandang sekedjap kepada Tik Hun, lalu putar tubuh bertindak keluar, sekalian
ia tarik daun pintunja dan dirapatkan. Ia bawa puterinja memapak kearah datangnja sang
suami.

Dengan ter-mangu2 Tik Hun terpaku ditempatnja, aneka-matjam perasaan mentjengkam
hatinja. Ditepi telinganja se-akan2 mendenging sesuatu suara: “Aku ingin mati sadja, biarlah aku
mati sadja!’

Ia dengar suara lelaki tadi sedang berkata diluar sana dengan tertawa: “Kenapa Khong-sim-djay
menangis? O, manis, kau terkedjut barangkali?”

Tik Hun kenali suara itu adalah suaranja Ban Ka, suami Djik Hong sekarang. Ia sangat ingin
mengintip keluar untuk melihat bagaimana tjetjongor orang itu, tapi kakinja serasa takmau
turut perintahnja dan tetap terpaku dilantai. Sebaliknja terdengar Djik Hong sedang berkata
dengan tertawa: “Aku sedang memain dibelakang dengan Khong-sim-djay dan mendadak
mendengar dua penunggang kuda lewat dengan tjepat, penunggang2 kuda itu bersendjata dan
tampaknja sangat buas, Khong-sim-djay mendjadi ketakutan dan menangis,”

“O, mereka bukan orang djahat, tapi mereka adalah petugas pemerintah jang sedang menguber
pendjahat,” udjar Ban Ka. “O, manis, marilah ajah membopong. Nanti ajah hadjar pendjahat.
Khong-sim-djay djangan takut, pendjahat2 itu tentu ajah bunuh semua.”

Diam2 Tik Hun terperandjat, sungguh tak terpikir olehnja bahwa kepandaian berdusta kaum
wanita ternjata begitu hebat. Setelah begitu tjerita Djik Hong, tentu suaminja tidak akan
tjuriga lagi biarpun nanti sianak berkata apapun. Namun lantas terpikir oleh Tik Hun: “Hm,
aku toh tidak perlu perlindungannja. Kau hendak menangkap aku, hendak membunuh aku,
hajolah kemari!”

Segera ia melangkah kepinggir djendela dan mengintip keluar, ia lihat seorang pemuda
berpakaian sangat perlente sedang berdjalan kesana sambil membopong anak perempuan tadi.
Djik Hong tampak berdjalan berendeng dengan pemuda itu sambil menggelendot dibahunja,
sikapnja sangat mesra sekali.

Tentang Djik Hong diperisterikan oleh Ban Ka, dahulu meski sering dipikirkan oleh Tik Hun,
tapi baru sekarang untuk pertama kalinja ia menjaksikan dengan mata kepala sendiri. Dahulu
bila timbul chajalannja, selalu tinggal suatu harapan baginja, jaitu mengharap agar tjerita
tentang Djik Hong telah menikah dengan Ban Ka itu adalah bualan Sim Sia belaka. Akan tetapi




SERIALSILAT.COM © 2005




127


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



kini bukti mendjadi saksi, keadaan jang kelihatan didepan matanja pastilah bukan omong
kosong. Seketika darahnja mendidih dan mata gelap. Teringat olehnja sebab musababnja dia
dipendjarakan dan menderita sebagai dineraka, semuanja berkat ketjulasan orang didepan
matanja itu. Bahkan kekasih jang ditjintainja dengan segenap djiwa raganja itu kini telah
dipersunting oleh musuh besar itu.

Dalam keadaan pikiran pepet, tiada djalan lain baginja daripada membunuh Ban Ka atau mesti
dibunuh olehnja. Tanpa ajal lagi terus sadja ia sember pedang jang ditinggalkan Djik Hong itu
sambil berteriak: “Aku ..............”

Namun mulutnja mendjadi mengap tak meneruskan teriakannja, maksudnja menerdjang
keluar untuk mengadu djiwa dengan Ban Ka diurungkan ketika diwaktu berdjongkok sekilas
dilihatnja majat Ting Tian jang diuruknja dengan rumput djerami itu, wadjah sang Toako jang
sudah tak bernjawa itu tampak tenang2 dengan kedua matanja tertutup rapat. Tiba2 mendjadi
teringat olehnja pesan Ting Tian sebelum menghembuskan napasnja jang penghabisan, dengan
sangat sang Toako minta agar majatnja dikubur mendjadi satu liang bersama Leng-siotjia. Dan
kini kalau dirinja menerdjang keluar untuk melabrak Ban Ka, djika dirinja mati itu tidaklah
mendjadi soal, tapi tjita2 Ting-toako itulah mendjadi tak terlaksana.

Segera timbul pula pikirannja: “Ah, mengenai hal ini aku dapat minta bantuan Sumoay,
mungkin ia takkan keberatan untuk menjelesaikannja bagiku.” ~ Tapi ia lantas memaki pula
dirinja sendiri. “Fui, fui! Kau Tik Hun anak jang tak berguna! Engkau sendiri tidak mau
bertanggung djawab atas tugas sutji itu, mengapa kau pasrahkan kepada orang lain? Djika kau
sudah mati, apa kau ada muka untuk bertemu dengan Ting-toako dialam baka? Apalagi
perempuan jang tipis budi dan tidak teguh imannja seperti Djik Hong itu masakah masih
dapat dipertjaja? Apa jang dia bisa lakukan bagimu?”

Karena pikirannja itu, pelahan2 dapatlah ia mengatasi bergolaknja perasaan. Tapi suara
teriakannja jang urung tadi sudah lantas mengedjutkan Ban Ka. Terdengar orang she Ban itu
sedang berkata: “He, aku seperti mendengar digudang kaju sana ada suara orang?”

“Apa ja?” sahut Djik Hong tertawa. “Ah, tentu sikoki Lau Ong, tadi kulihat dia masuk kesana
untuk mengambil kaju. Eh, engkoh Ka, Yan-oh-theng (sop sarang burung) jang kubuatkan itu
mungkin sudah dingin, lekaslah engkau pergi memakannja. Khong-sim-djay sedari tadi hanja
ribut sadja, biarlah aku membawanja kekamar biar tidur.”

Ban ka mengiakan keterangan sang isteri itu. Sambil membopong puterinja, suami-isteri itupun
pergilah dari situ.

Seketika itu otak Tik Hun se-akan2 kosong blong, ia takdapat memikirkan apa2 lagi. Selang
agak lama, ia ketok2 kepalanja sendiri dengan kepalan dan membatin: “Betapapun gudang kaju
ini bukan tempat sembunyi jang sempurna, kalau benar2 apa jang dikatakan sikoki Lau Ong itu
datang kemari hendak mengambil kaju, lantas bagaimana? Rasanja lebih baik kusembunjikan
djenazah Ting-toako disini, lalu aku sendiri menggelojor keluar dari sini, malam nanti aku akan





SERIALSILAT.COM © 2005





128


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



kembali lagi untuk mengusung djenazah Ting-toako. Ja, djalan ini sangat bagus!” Ia pukul
tangan sendiri dengan keputusannja itu.

Akan tetapi toh dia merasa berat untuk melangkah keluar dari gudang itu. Baru ia melangkah
setindak, mendadak suatu suara se-akan2 sedang membisiki telinganja. “Djangan, djangan pergi
dari sini! Djik-sumoay pasti akan datang kembali untuk mendjenguk aku. Pabila aku pergi dari
sini, untuk selandjutnja takkan dapat berdjumpa lagi dengan dia.”

Kemudian timbul pula pikiran2 lain: “Ah, andaikan aku berdjumpa lagi dengan dia, apa
paedahnja? Dia toh sudah bersuami, punja anak, sekeluarga mereka hidup bahagia dan riang
gembira, masakah dia masih ingat kepada seorang buronan seperti aku ini? Sekalipun aku
berdjumpa lagi dengan dia djuga akan menjusahkan diri sendiri?” ~ “Ai, sudah sekian tahun
aku menunggu didalam pendjara, jang kuharap jalah dapat bersua pula dengan Sumoay, kini
orangnja sudah disini, masakah kesempatan ini ku-sia2kan? Aku toh tidak punja maksud apa2,
aku hanja ingin bertanja bagaimana dengan Suhu selama ini, apakah ada kabar berita tentang
beliau? Aku ingin tanja Sumoay mengapa suka jang baru dan bosan jang lama, mengetahui aku
masuk pendjara, lantas sama sekali tak ingin lagi padaku.” ~ “Tapi ai, apa gunanja bertanja
padanja? Hanja ada dua kemungkinan dari djawabannja. Kalau dia tidak berdusta, tentu
mengaku terus terang, mungkin malah akan menambah rasa dukaku sadja.”

Begitulah Tik Hun mendjadi ragu2, sebentar ambil keputusan akan pergi dari situ, lain saat
timbul pula pikirannja jang lain. Sebenarnja tabiat Tik Hun sangat lugu dan tegas, tidak pernah
sangsi2 untuk mengambil sesuatu tindakan. Tapi menghadapi persoalan maha besar selama
hidupnja ini, ia mendjadi bingung apa jang dia harus lakukan. Tinggal disitu rasanja kurang
aman, kalau tinggal pergi, rasanja berat.

Sedang Tik Hun ditjengkam rasa bimbang, tiba2 didengarnja ada suara tindakan orang dikebun
sajur itu. Terdengar seorang mendatangi dengan berdjalan ber-djindjit2. Berdjalan beberapa
langkah, orang itu lantas berhenti seperti sangat ber-hati2, kuatir kalau dipergoki orang.

Makin lama orang itu makin mendekat. Hati Tik Hun mendjadi ber-debar2. “Achirnja Djik-
sumoay datang djuga mentjari aku. Apakah jang hendak dia bitjarakan padaku? Apa ingin
minta ma’af padaku? Masihkah dia ingat pada hubungan baik dimasa silam?”

Tapi ia mendjadi ragu2 pula: “Apakah jang harus kubitjarakan dengan Sumoay? Ai, sudahlah,
sudahlah! Mereka suami-isteri hidup bahagia, lebih baik aku djangan menemuinja lagi untuk
selamanja.”

Begitulah hatinja jang penuh rasa dendam itu seketika mendjadi tjair sebagai es. Ia pikir dirinja
asalnja tjuma seorang pemuda desa, andaikan tidak menderita dipitenah seperti ini dan Sumoay
dapat mendjadi isterinja, benar dirinja akan merasa bahagia, tapi sang Sumoay mesti memeras
tenaga berdjerih-pajah selama hidup disawah-ladang, hidup seperti itu tentu takkan
membahagiakan sang kekasih. Kini apakah aku harus menuntut balas dan membunuh Ban Ka?
Sumoay tentu akan mendjadi djanda dan apakah mungkin masih akan menikah padaku,
menikah kepada pembunuh suaminja? Ai, permusuhan ini biarlah kita hapuskan sampai disini




SERIALSILAT.COM © 2005




129


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



sadja, biarkan mereka suami-isteri, ibu dan anak hidup beruntung untuk hari2 selandjutnja.
Demikian keputusan Tik Hun achirnja.

Karena itu, ia sudah ambil ketetapan takkan banjak bitjara dengan Djik Hong lagi. Segera ia
hendak mengangkat keluar djenazah Ting Tian dari dalam timbunan djerami.

Mendadak terdengar suara “blang” jang keras, pintu gudang itu telah didepak orang dari luar.
Keruan Tik Hun kaget, tjepat ia berpaling dan terlihatlah seorang laki2 djangkung dengan
pedang terhunus telah berdiri diambang pintu. Ternjata orang itu bukanlah Djik Hong seperti
apa jang disangkanja, tapi adalah Ban Ka.

Tik Hun bersuara heran pelahan, tanpa pikir lagi ia djumput kembali pedang jang ditinggalkan
Djik Hong tadi.

Wadjah Ban Ka tampak sangat beringas, apalagi melihat pedang jang dipegang Tik Hun itu
adalah milik Djik Hong, keruan ia tambah tjemburu dan bentji, segera katanja dengan dingin:
“Bagus! Mengadakan pertemuan gelap digudang kaju ini, bahkan sendjatanja djuga ditinggalkan
untukmu, apakah merentjanakan pembunuhan suami ja? Hm, mungkin tidak sedemikian
mudah!”

Tik Hun sendiri sedang bingung pikirannja hingga seketika tidak tahu apa jang sedang
dikatakan Ban Ka. Jang terpikir olehnja hanja: “Mengapa ia bisa datang kemari? Dari siapa ia
mengetahui aku bersembunji disini? Ja, ja, tentu dia jang mengatakan dan suruh suaminja
menangkap aku untuk mendapatkan hadiah jang disediakan Leng-tihu itu. Ai, mengapa dia
sedemikian tak berbudi dan tidak ingat kebaikan dahulu?”

Melihat Tik Hun bungkam sadja, Ban Ka menjangka pemuda itu merasa salah hingga
ketakutan, tanpa bitjara lagi pedangnja terus menusuk tjepat kedada Tik Hun.

Tapi sekali putar pedangnja, dengan sendirinja Tik Hun menangkis dengan sedjurus Kiam-hoat
adjaran sipengemis tua dahulu, berbareng udjung pedangnja memuntir dan balas mengintjar
tenggorokan lawan.

Djurus ilmu pedang Tik Hun ini sangat aneh, dahulu Ban Ka tak mampu menangkis, selang
lima tahun kemudian, tetap ia tidak sanggup menangkis, walaupun sebenarnja selama ini ilmu
pedangnja sudah banjak lebih madju. Sebab tahu2 udjung pedang Tik Hun sudah mengantjam
dilehernja, dalam kagetnja Ban Ka mendjadi bingung tjara bagaimana harus mengelakan diri.
Untuk menangkis terang tidak keburu lagi, hendak balas menjerang djuga sudah ketinggalan.
Dan karena sedikit ragu2 itu, djiwanja boleh dikata sudah tergantung diudjung pedangnja Tik
Hun. Ia mendjadi penasaran dan murka, tapi toh takbisa berkutik.

Melihat wadjah Tik Hun penuh berewok jang tak teratur dan kotor, rasa murka Ban Ka
pelahan2 berubah mendjadi djeri. Teringat olehnja dirinja jang mendjebloskan pemuda itu
kedalam pendjara dengan tipu akal jang litjik untuk kemudian merebut kekasihnja sebagai
isteri sendiri, siapa duga sampai achirnja toh Djik Hong djuga membohongi dirinja. Masih




SERIALSILAT.COM © 2005




130


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



terhitung dirinja tjukup tjerdik, ketika melihat ada bekas darah jang mengarah kegudang kaju,
ditambah lagi sikap Djik Hong dan puterinja jang masih ketjil itu agak aneh, makanja timbul
tjuriganja. Akan tetapi, ilmu pedang buronan ini ternjata sangat aneh, sedjurus sadja dirinja
sudah tak berdaja. Apakah aku akan mati dibawah tangannja sekarang?

Namun tusukan Tik Hun ternjata tidak diteruskan, ber-ulang2 timbul pertanjaan dalam
hatinja: “Aku membunuh dia atau tidak? Aku membunuh dia atau tidak?”

Dasar watak Ban Ka memang sangat tjerdik dan tjulas, pada detik berbahaja itu tiba2 dilihatnja
sinar mata Tik Hun mengundjuk rasa ragu2, tangan jang memegang pedang itu djuga rada
gemetar, terus sadja ia berseru: “Djik Hong, kemarilah kau!”

Tik Hun mendjadi kaget mendengar Djik Hong disebut, ia berpaling sedikit hendak melihat
Sumoay itu. Tak terduga itu tjuma akal bulus si Ban Ka belaka, sedikit Tik Hun lengah, tanpa
ajal Ban Ka sampukan pedangnja keatas sekuatnja.

Karena djari tangannja sudah terpapas sebagian, dengan sendirinja genggaman Tik Hun kurang
kentjang, kena dibentur pedang Ban Ka jang kuat itu, kontan pedangnja terlepas dari tjekalan
dan mentjelat keluar djendela.

Sekali serang membawa hasil, Ban Ka tidak mau berbuat kepalang tanggung; menjusul
pedangnja menusuk pula. Terpaksa Tik Hun mesti berkelit kian kemari dan mengumpet
dibelakang onggokan kaju. Sekenanja ia sambar sebatang kaju sebagai pedang dan balas
menjerang dengan tjepat.

Tapi ketika kedua sendjata saling beradu, pedang Ban Ka jang tadjam telah papas kutung
batang kaju Tik Hun itu. Tjepat Tik Hun timpukan sisa kajunja itu kearah Ban Ka, dan dikala
Ban Ka terpaksa melompat berkelit, segera Tik Hun melolos lagi sebatang kaju jang lain untuk
menjerang pula.

Melihat lawannja sudah kehilangan sendjata tadjam, kemenangan sudah pasti berada ditangan
dirinja, Ban Ka mendjadi girang. Ia pikir meski badan sendiri terkena sekali dua oleh pedang
kaju musuh djuga tiada halangannja. Maka sesudah tenangkan diri, ia ganti siasat, ia mainkan
ilmu pedangnja dengan kalem dan menjerang setjara beraaturan.

Taktik Ban Ka itu ternjata berhasil djuga, hanja sebentar sadja lantas terdengar suara gerengan
Tik Hun jang murka, rupanja tangan kanannja terluka, entah otot-tulangnja tjatjat tidak, jang
terang darah lantas mengutjur keluar, karena itu, tangannja mendjadi lemas dan melepaskan
batang kaju jang dipakai sebagai sendjata itu.

Tanpa ampun lagi Ban Ka lantas menambahi sekali lagi hingga paha Tik Hun tertusuk,
menjusul kakinja mendepak, kontan Tik Hun terdjungkal. Ia me-ronta2 hendak merangkak
bangun, tapi lagi2 Ban Ka menendang kerahangnja, seketika Tik Hun kelengar.






SERIALSILAT.COM © 2005






131


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



“Hm, pura2 mati?” damperat Ban Ka, kembali pedangnja membatjok sekali dibahu kanan Tik
Hun. Ketika melihat pemuda itu tak berkutik, baru ia pertjaja orang sudah pingsan sungguh2.
Ia pikir: “Leng-tihu telah mendjandjikan lima ribu tahil emas sebagai hadiah kepada siapa jang
dapat menawan kembali kedua buronannja, dengan sendirinja ada lebih baik aku
menangkapnja hidup2. Toh sekali ini kalau didjebloskan lagi kedalam pendjara, sitolol ini pasti
akan melajang djiwanja, buat apa aku mesti membunuhnja dengan tanganku sendiri?”

Lain saat, sekilas tiba2 dilihatnja dibawah onggokan djerami sana mendjulur keluar sebelah
kaki orang. Ia terkedjut dan bergirang pula. “He, disini masih ada seorang lagi!” serunja didalam
hati. Ia tidak tahu kalau Ting Tian sudah mati, maka pedangnja terus membatjok kekaki majat
Ting Tian itu.

Ber-ulang2 ia membatjok dua kali dan melihat orang itu tidak bergerak, baru sekarang ia tahu
orang sudah mati. Segera ia hendak menariknja keluar.

Dalam pada itu meski Tik Hun djatuh semaput karena tendangan Ban Ka tadi, namun dalam
benaknja se-akan2 ada satu suara telah berteriak padanja: “Aku tidak boleh mati! Aku tidak
boleh mati! Aku sudah berdjandji kepada Ting-toako untuk menguburnja bersama dengan
Leng-siotjia.

Entah disebabkan pikiran jang kuat itu atau bukan, jang terang segera ia dapat siuman kembali,
pelahan2 ia membuka matanja, samar2 ia melihat pedang Ban Ka sedang membatjok keatas
djenazahnja Ting Tian.

Semula Tik Hun masih belum djernih pikirannja dan tidak tahu apa artinja kedjadian didepan
matanja itu. Tapi segera dilihatnja Ban Ka hendak menjeret keluar djenazah Ting Tian dari
dalam onggokan rumput djerami. Terus sadja Tik Hun berteriak.

“Djangan mengganggu Ting-toakoku!” ~ dan entah tenaga mendadak timbul dari mana,
seketika ia melontjat bangun terus menubruk kebelakang Ban Ka, sekuat tenaga ia mentjekik
leher lawan itu.

Dalam kagetnja segera Ban Ka tusukan pedangnja kebelakang. Tak tersangka olehnja bahwa
Tik Hun memakai Oh-djan-kah jang kebal, meski pedangnja kena menusuk diperut Tik Hun,
tapi toh tidak dapat masuk kedalam perut. Sebaliknja tjekikan Tik Hun dilehernja itu makin
lama semakin kentjang.

Karena melihat djenazah Ting Tian dirusak Ban Ka, Tik Hun mendjadi murka seperti orang
kalap. Sakit hati tentang dirinja dipitenah dan disiksa selama ini, sang kekasih direbut,
semuanja ini masih dapat dia hapuskan seperti keputusannja tadi. Tapi kini djenazah Ting Tian
ditjatjat pula sedemikian rupa, hal ini betapapun ia tidak terima. Seketika itu tiada pikiran lain
lagi dalam benaknja selain ingin tjepat2 mentjekik mati musuhnja itu.

Tapi karena ia terluka beberapa tempat, darah mengutjur terus dari lukanja, ia merasa lambat-
laun Ban Ka tidak kuat meronta lagi, sebaliknja tenaga tjekikannja sendiri djuga lantas lenjap




SERIALSILAT.COM © 2005




132


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



dengan tjepat. Ia tjoba kuatkan diri: “Tahanlah sebentar lagi! Tahanlah sebentar lagi! Supaja
dapat mentjekik mati dia!” ~ dan sampai achirnja matanja mendjadi ber-kunang2 dan
pikirannja gelap, achirnja segala apa tidak dapat dirasakan lagi.

Meski Tik Hun sudah pingsan, tapi tangannja jang mentjekik dileher Ban Ka itu masih belum
dilepaskan, namun dengan sendirinja sudah tidak bertenaga pula. Ban Ka djatuh pingsan karena
takdapat bernapas, berbareng Tik Hun djuga tak sadarkan diri.

Maka menggeletaklah kedua pemuda musuh bebujutan itu diatas rumput djerami. Keduanja
seperti sudah mati semua, tapi dada mereka masih berkempas-kempis, napas mereka masih
bekerdja.

Keadaan mereka mendjadi untung2an, siapa lebih dulu siuman, siapa akan menang. Kalau Tik
Hun siuman lebih dulu, dengan sendirinja Ban Ka akan dibunuh olehnja, sebaliknja kalau Ban
Ka sadar dulu, djiwa Tik Hun pasti melajang, tidak nanti ia berani mengambil risiko menawan
Tik Hun hidup2 seperti rentjana semula.

Segala apa mungkin terdjadi didunia jang fana ini. Orang baik belum tentu bernasib baik dan
orang djahat belum tentu bernasib buruk. Begitu pula sebaliknja. Setiap orangpun pasti akan
mati, orang jang mati kemudian djuga belum tentu hidup beruntung, tapi bagi orang jang
masih hidup, seperti mengenai Djik Hong dan puterinja jang masih ketjil, soal siapa jang mati
lebih dulu diatara Tik Hun dan Ban Ka terdapat suatu perbedaan jang sangat besar. Pabila
dalam keadaan seperti itu Djik Hong disuruh pilih salah satu diantara mereka agar bisa siuman
lebih dulu, entah siapa jang akan dipilih oleh Djik Hong?

Begitulah kedua orang jang menggeletak didalam gudang kaju itu masih tetap belum sadarkan
diri, sementara itu terdengar suara tindakan seorang jang pelahan2 mendatangi.

Siapakah gerangannja jang datang itu...........?

***

Sebelum djernih pikiran Tik Hun lebih dulu ia mendengar suara mendeburnja air, mukanja
terasa dingin2 perih oleh tetesan2 benda tjair, lalu badannja terasa kedinginan dan sangat lemah.
Dan begitu pulih daja perasaannja, segera kedua tangannja mentjengkeram keras2 sambil
berteriak: “Kutjekik mampus kau, kutjekik mampus kau!” ~ Namun benda jang terpegang
ditangannja itu adalah benda keras dan bukan leher Ban Ka lagi. Menjusul ia merasa badannja
terombang-ambing kekanan dan kekiri.

Ia terkedjut dan tjepat membuka mata, tapi suasana didepannja gelap gelita, air ber-ketes2
diatas kepalanja, didadanja dan diseluruh badannja. Kiranja air hudjan.

Badan Tik Hun masih terus terombang-ambing, dadanja terasa enek dan ingin muntah. Tiba2
dilihatnja sebuah perahu meluntjur lewat disampingnja, perahu itu berlajar. Ja, terang





SERIALSILAT.COM © 2005





133


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



gamblang itulah benar2 sebuah perahu lajar. Ia mendjadi heran, mengapa disampingnja bisa ada
perahu lewat?

Ia ingin bangun untuk melihat apa jang sebenarnja? Tapi antero tubuhnja terasa lemah tanpa
tenaga sedikitpun. Pendek kata, tempat dimana dia berada sekarang terang bukan didalam
gudang kaju lagi.

Mendadak timbul ingatan padanja: “He, dimanakah Ting-toako?” ~ Teringat pada Ting-toako,
mendadak timbul sematjam tenaga padanja, segera ia gunakan tangannja untuk menahan dan
dapatlah ia berduduk, walaupun badannja tergeliat beberapa kali.

Maka dapatlah Tik Hun mengetahui keadaan sekitarnja. Kiranja dia berada didalam sebuah
sampan jang sedang meluntjur kemuara sungai mengikuti arus air. Saat itu adalah malam, langit
gelap gelita dengan awan mendung jang tebal dan sedang hudjan lebat. Ia tjelingukan kesana
dan kesini, tapi keadaan kelam-lebam, ia mendjadi kuatir dan ber-teriak2: “Ting-toako! Ting-
toako!”

Ia tahu sang Toako sudah meninggal, tapi djenazahnja sekali2 tidak boleh hilang. Se-konjong2
sebelah kakinja menjenggol suatu benda jang agak lunak, waktu ia periksa, ia mendjadi girang
tertjampur kedjut. “He, engkau disini, Ting-toako!” serunja tak tertahan. Terus sadja ia rangkul
erat2 djenazah sang Toako jang ternjata berada disamping kakinja didalam perahu.

Sebenarnja keadaan Tik Hun sudah sangat pajah dan tiada punja tenaga, untuk memikirpun
takbisa, tapi ia masih merangkul djenazahnja Ting Tian. Ia merasa kerongkongannja kering,
segera ia mendongak dan pentang mulutnja membiarkan air hudjan membasahi
tenggorokannja. Dalam keadaan sadar-tak-sadar seperti itu, sampai achirnja tjuatja sudah terang
dan hudjanpun sudah reda.

Tiba2 ia melihat paha sendiri diperban sepotong kain. Ia tjoba pusatkan perhatian, ia melihat
kain itu membalut ditempat lukanja. Menjusul ia dapatkan luka2 dilengan dan dipundak djuga
sudah dibalut oleh kain, bahkan sajup2 hidungnja mengendus pula bau obat jang diibubuhkan
diatas luka2 itu. Oleh karena air hudjan, maka kain pembalut itu sudah basah kujup, tapi darah
sudah tidak mengutjur keluar lagi.

“Siapakah jang membalut lukaku? Djika lukaku ini tak dibalut tak usah aku dibunuh orang,
asal darah mengutjur keluar terus djuga pasti djiwaku akan melajang. Lantas siapakah
gerangannja jang membalut lukaku ini?” demikian ia tidak habis mengerti.

Mendadak hatinja merasa berduka dan penuh kesunjian, pikirnja: “Siapa lagi didunia ini jang
sudi memperhatikan diriku dan membantu aku? Ting-toako sudah meninggal, masakah masih
ada orang lain jang mengharapkan hidupku dan membuang temponja jang berharga untuk
membalut lukaku?”

Ia tjoba perhatikan kain2 pembalut itu, ia lihat tjara membalutnja dilakukan sangat ter-gesa2.
Kain pembalutnja bukan kain kasaran, sebaliknja adalah kain sutera pilihan, dipinggir kain itu




SERIALSILAT.COM © 2005




134


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



terdapat pula wiru sulaman jang radjin dan tepi kain jang lain adalah bekas sobekan. Terang
kain sutera itu disobek dari badju kaum wanita jang dilakukan dengan ter-gesa2.

Apakah perbuatan Djik-sumoay? Demikian hati Tik Hun berdebar pula dan dadanja ikut
panas kembali. Ia tersenjum getir dengan sikap mengedjek pada diri sendiri: “Huh, dia telah
suruh suaminja membunuh aku, masakah dapat pula membalut lukaku? Pabila bukan dia jang
memberitahukan kepada suaminja, darimana Ban Ka mendapat tahu aku bersembunji didalam
gudang kaju itu?”

Akan tetapi terang dirinja sekarang berada didalam perahu jang terombang-ambing ditengah
sungai Tiangkang dan entah sudah berapa djauhnja meninggalkan kota Kangleng? Betapapun
djuga, paling tidak sementara ini ia sudah meninggalkan tempat berbahaja dan takkan di-uber2
lagi oleh Leng-tihu.

“Siapakah gerangannja jang membalut lukaku dan siapakah jang menaruh aku didalam perahu
ini? Bahkan Ting-toako djuga diikut-sertakan bersama aku,” demikian ia tidak habis mengerti.
Ia tidak begitu peduli lagi kepada mati atau hidupnja sendiri, tapi djenazah Ting Tian ternjata
tidak lupa disertakan kepadanja, hal inilah jang membuat Tik Hun mau-tidak-mau harus
merasa berterima kasih.

Ia terus peras otak memikirkan hal itu, tapi biarpun sampai kepalanja pening djuga tetap tak
terdjawab. Ia tjoba meng-ingat2 kembali apa jang terdjadi selama sehari penuh kemarin. Tapi
terpikir sampai kedjadian Ban Ka membatjok djenazahnja Ting Tian dan dirinja mendjadi
murka serta mentjekik lehernja, dan apa jang terdjadi selandjutnja ia sama sekali tidak tahu
lagi.

Ketika tanpa sengadja ia berpaling, tiba2 sikutnja menjentuh sesuatu benda jang keras. Segera ia
melihat disampingnja terdapat satu bungkusan dari kain sutera. Ia mendjadi girang, ia pikir
didalam bungkusan ini pasti akan diperoleh tanda2 jang dapat mendjawab pertanjaannja itu.
Dengan tangan jang gemetar segera ia membuka bungkusan itu. Ia lihat didalamnja adalah
beberapa rentjeng uang perak, seluruhnja kurang-lebih ada 30 tahil, Ketjuali itu ada empat
bentuk perhiasan wanita: sebuah Tju-hoa (tusuk konde dari mutiara jang dibingkai seperti
bunga), sebuah gelang emas, sebuah kalung emas dan sebentuk tjintjin bermata batu mestika.
Selain itu adalah seuntai kalung emas berbandul jang biasa dipakai anak ketjil. Rantai kalung
bandul itu putus seperti ditarik orang dalam keadaan buru2, dan diudjung rantai jang putus itu
masih terkait sepotong ketjil kain sobek, terang bekas ditarik setjara buru2 dari leher anak
ketjil hingga mirip barang tjopetan jang dirampas setjara kasar.

Pada bandul kalung jang berbentuk Kim-so atau gembok emas, jaitu sematjam tabung, bagian
tengah dapat ditjopot dan ditutupkan. Diatas bandul itu terukir empat huruf ‘Tek Yong Siang
Bo’.

Tik Hun tidak banjak makan sekolahan, maka ia tidak paham apa artinja empat huruf itu. Ia
pikir mungkin itu adalah nama anak jang memakai kalung bandul itu.





SERIALSILAT.COM © 2005





135


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



Sambil memainkan keempat matjam perhiasan itu, ia mendjadi tambah bingung daripada
sebelum membuka bungkusan itu tadi. Ia pikir: “Uang perak dan perhiasan ini dengan
sendirinja adalah pemberian orang jang menolong aku itu agar aku mempunjai sangu dalam
pelajaran ini. Akan tetapi, siapakah gerangannja? Perhiasan ini bukanlah milik Djik-sumoay,
sebab aku tidak pernah melihat dipakai olehnja.”




Siapakah gerangan penolong Tik Hun itu, apakah benar Djik Hong atau bukan?

Pengalaman apa lagi jang diketemukan Tik Hun sesudah lolos dari bahaja?

~Batjalah djilid ke-4~











































SERIALSILAT.COM © 2005











































136


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E

Djilid
4

Begitulah ditengah air sungai jang bergelombang, sampan ketjil itu terbawa arus menudju
kehilir.

Sehari suntuk Tik Hun tidak merasa lapar dan djuga tidak merasa lelah, tapi terus memutar
otak memikir: “Siapakah gerangan jang membalut lukaku ini? Siapakah gerangan jang
memberikan uang dan perhiasan dalam buntalan ini?”

Tiang-kang atau sungai Pandjang (Yangtjekiang) jang menghilir ketimur Hengtjiu dan
menjusuri propinsi2 Oulam dan Oupak itu djalannja ber-liku2, arusnja tidak santar, maka
sampan ketjil itupun lambat sekali djalannja. Tertampak djelas satu persatu kota dan desa
dikedua tepi sungai berlalu disamping perahu, kapal2 datang dari hulu sungai, baik jang berlajar
maupun jang didajung, banjak pula sudah berlalu-lalang. Setiap kapal jang lewat disamping
perahu Tik Hun dan melihat keadaan pemuda itu tak keruan matjamnja, rambut dan
berewoknja gondrong tak terawat, mereka memandangnja dengan ter-heran2 dan tjuriga.

Mendjelang magrib, achirnja Tik Hun merasa lapar, perutnja mulai kerontjongan. Ia berbangkit
dan duduk, ia ambil sepotong papan perahu dan mendajung kendaraan air itu ketepi utara
dengan pelahan dengan maksud akan beli sedikit nasi atau djadjan seadanja. Tapi sial baginja,
sekitar situ ternjata melulu ladang belukar belaka, sudah hampir setengah djam sampan itu
terhanjut kehilir menjusur tepi pantai, tetap tiada sebuah rumahpun jang terlihat olehnja.

Setelah perahunja membiluk mengikuti tikungan sungai, tiba-tiba Tik Hun melihat dibawah
pohon Liu jang rindang ditepi sungai situ tertambat tiga perahu nelajan. Diatas perahu itu
tampak asap mengepul. Waktu sampan Tik Hun dekat dengan perahu2 nelajan itu, segera
terdengarlah suara minjak mendidih disertai bau sedap gorengan ikan. Mengendus bau sedap
itu, perut Tik Hun mendjadi tambah lapar. Terus sadja ia rapatkan sampannja keperahu
nelajan itu dan katanja kepada seorang nelajan tua jang berduduk di haluan perahu: “Paman
tukang tangkap ikan, dapatkah aku membeli sepotong ikan gorengmu?”

Melihat muka Tik Hun jang menakutkan itu, nelajan itu mendjadi djeri, mestinja tidak boleh,
terpaksa ia tidak berani menolak, sahutnja: “Ja, baiklah!”

Lalu ia memilihkan seekor ikan goreng jang masih hangat2 ia wadahi didalam mangkok terus
diangsurkan kepada Tik Hun.

“Djika ada nasi, tolong beli pula semangkok,” mohon Tik Hun.





SERIALSILAT.COM © 2005





137


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



Terpaksa nelajan itu mengia pula dan kembali menjerahkan satu mangkok penuh nasi pada
Tik Hun. Penghidupan kaum nelajan miskin, maka nasi jang dimakannja itu adalah beras
murahan ditjampur dengan ubi dan Kaoliang (Kaoliang, sematjam tanaman bahan pangan,
Djawawut?).

Tik Hun sendiri berasal dari keluarga melarat, apa jang dia makan didalam pendjara djauh
lebih buruk lagi, kini dalam keadaan lapar, nasi jang diterimanja dari nelajan tua itu boleh
dikata seperti nasi liwet, apalagi saking laparnja, maka isi mangkok itu hanja beberapa kali sapu
sadja sudah dilangsir masuk semua kedalam perutnja.

Karena merasa belum tjukup, selagi Tik Hun bermaksud membuka mulut untuk minta
ditambahi semangkok nasi lagi, tiba2 didengarnja suara orang jang serak sedang berseru ditepi
pantai: “Hai, nelajan! Ada ikan besar tidak? Berikan padaku beberapa ekor jang segar!”

Waktu Tik Hun menoleh, ia lihat seorang Hwesio tinggi kurus matanja besar bersinar, sedang
menanja sinelajan dengan bertolak pinggang, sikapnja kasar.

Hati Tik Hun tergetar seketika. Teringat olehnja Hwesio itu adalah satu diantara kelima paderi
jang pernah meretjoki Ting Tian didalam pendjara dahulu itu. Setelah memikir sedjenak,
segera ia pun ingat tjeritanja Ting Tian bahwa Hwesio tingggi kurus ini bergelar Po-siang.
Malam itu, dengan Sin-tjiau-kang jang lihay Ting Tian telah berhasil membinasakan dua
diantaranja, sisa ketiga paderi jang lain sempat melarikan diri. Dan Po-siang ini adalah satu
diantara ketiga orang itu.

Demi mengenali Po-siang, maka Tik Hun tidak berani memandang lagi padanja. Pernah
didengarnja dari Ting Tian, katanja ilmu silat Hwesio ini sangat hebat, sampai Ting Tian
sendiri waktu itu tidak berani jakin dirinja pasti menang. Sekarang Tik Hun insaf pabila Po-
siang melihat djenazahnja Ting Tian, pasti Tik Hun sendiri djuga akan mendjadi korban
keganasan paderi itu.

Begitulah dengan kebat-kebit Tik Hun memegangi mangkok nasi jang sudah kosong itu, saking
kuatirnja sampai tangannja rada gemetar djuga. Dalam hati diam2 ia berdoa: “Djangan gemetar,
djangan gugup, kalau sampai diketahui musuh, tentu tjelaka!” ~ Tapi semakin ia ingin
tenangkan diri, semakin takdapat menguasai diri.

Maka didengarnja sinelajan tua tadi sedang mendjawab: “Maaf Toahwesio, ikan jang kutangkap
harini sudah terdjual habis, sudah tidak ada lagi.”

“Siapa bilang tidak ada?” bentak Po-siang dengan gusar. “Aku sudah kelaparan, aku tak peduli,
lekas kau adakan beberapa ekor.”

“Tapi benar2 sudah habis, Thaysuhu,” sahut sinelajan. “Kalau masih ada, siapa jang tidak dojan
duit, masakah tidak didjual?”






SERIALSILAT.COM © 2005






138


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



Habis berkata, ia angkat kerandjang ikannja dan dituang terbalik, benar djuga, memang
kerandjang itu kosong melompong tanpa isi.

Namun Po-siang sedang kelaparan sekali, tiba2 dilihatnja Tik Hun sedang menghadapi seekor
ikan goreng didalam mangkoknja ikan itu baru termakan sebagian ketjil. Terus sadja ia berseru:
“Hai, orang itu, disitu ada ikan atau tidak?”

Tik Hun sendiri lagi bingung, mendengar orang bitjara padanja, ia salah sangka orang telah
mengenali dirinja. Keruan ia tambah kuatir, tanpa mendjawab lagi ia terus angkat papan
perahu dan sekali ia tolak kebatang pohon Liu ditepi sungai, segera mendajung sampannja
ketengah sungai.

Po-siang mendjadi gusar, kontan ia memaki: “Badjingan, aku tanja engkau punja ikan tidak,
mengapa engkau seperti maling jang ketakutan terus melarikan diri?”

Padahal Tik Hun bukan maling, tapi memang benar ketakutan mendengar tjatji-maki paderi
itu, ia semakin takut. Ia mendajung lebih tjepat hingga sampannja meluntjur ketengah sungai.

Dengan gusar Po-siang terus djemput sepotong batu, segera ia sambitkan kearah Tik Hun
dengan sekuatnja.

Walaupun tenaga dalam Tik Hun sudah lenjap, tapi ilmu silatnja belum terlupa. Melihat
sambaran batu jang ditimpukan Po-siang itu sangat keras, kalau kena, pasti djiwanja akan
melajang. Maka tjepat ia mendakan tubuh hingga batu jang ditimpukan Po-siang itu
menjambar lewat diatas kepalanja dengan membawa sambaran angin jang keras. “Plung”, batu
itu mentjemplung kedasar sungai hingga air memuntjrat tinggi. Njata tenaga sambitan Po-siang
itu benar2 sangat kuat.

Melihat tjara Tik Hun menghindarkan timpukan batunja, gerak-geriknja tjukup gesit, terang
seorang jang pernah melatih silat dan sekali2 bukan kaum nelajan biasa, maka Po-siang
mendjadi tjuriga. Bentaknja segera: “Hajo engkau lekas balik kemari, kalau tidak, segera
kutjabut njawamu!”

Sudah tentu Tik Hun tak gubris pada teriakannja, ia mendajung lebih keras malah. Po-siang
mendjadi murka, tjepat ia djemput lagi sepotong batu jang lebih besar terus menimpuk,
menjusul tangan jang lain sambar sepotong batu lagi dan segera disambitkan pula.

Tik Hun sendiripun sedang tjurahkan antero perhatiannja terhadap batu sambitan paderi itu
sambil tetap mendajung se-kuat2nja. Batu pertama dengan mudah dapat dihindarkannja
dengan mendakan tubuh, tapi batu kedua menjambar datang dengan sangat rendah, serendah
badan perahunja, terpaksa Tik Hun merebahkan diri kelantai perahu hingga batu itu persis
menjambar lewat didepan hidungnja, selisihnja tjuma beberapa senti sadja. Dan baru sadja ia
berbangkit, se-konjong2 batu lain menjambar tiba pula, “plok”. Dengan tepat batu itu kena
dihaluan perahu hingga kaju bubuk bertebaran, papan haluan perahu telah sempal sebagian.





SERIALSILAT.COM © 2005





139


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E




Melihat tjara Tik Hun menghindari batu itu sangat tjekatan, sedangkan sampan ketjil itu
semakin terhanjut oleh arus, diam2 Po-siang memikir: “Kata pribahasa: Memanah orang
sebaiknja memanah kudanja lebih dulu.” ~ Maka tjepat ia djemput pula dua potong batu dan
disambitkan, tapi jang diintjar sekarang hanja perahunja sadja.

Tindakannja menjambit perahu ini kalau sedjak mula dilakukan, mungkin sedjak tadi Tik Hun
sudah karam kedasar sungai bersama sampannja. Tapi kini djaraknja sudah makin djauh, ber-
turut2 batu sambitan Po-siang itu mesti tepat mengenai sasarannja, namun tjuma
menghantjurkan sedikit papan dan dinding perahu sadja.

Keruan Po-siang bertambah gopoh ingin lekas2 dapat membekuk Tik Hun. Ia semakin
mendongkol ketika melihat pemuda itu dapat menghindarkan setiap timpukannja. Dari djauh
dilihat rambut Tik Hun jang gondrong itu menjiak tertiup angin, mendadak teringatlah satu
orang olehnja: “Eh, orang ini mirip pelarian dari pendjara itu. katanja Ting Tian telah melarikan
diri dari pendjara Hengtjiu, berita ini ramai dibitjarakan orang Kangouw, boleh djadi dari
buronan ini dapat diperoleh sedikit kabarnja Ting Tian.”

Berpikir demikian, napsu serakahnja lantas timbul, jaitu ingin mendapatkan hadiah besar jang
dijanjikan Leng-tihu bila dapat menangkap kembali pelarian pendjara itu. Segera ia ber-teriak2:
“Hai, nelajan! Lekas kemari, bawalah aku memburu orang itu!”

Tak terduga ketiga perahu nelajan jang tadi berlabuh dibawah pohon Liu itu kini sudah
meluntjur pergi karena para nelajan itu mendjadi ketakutan waktu melihat Po-siang
menimpuk orang dengan batu, perbuatannja sangat kasar dan djahat. Maka sekalipun Po-siang
ber-kaok2 hingga tenggorokannja bedjat djuga tiada seorangpun jang sudi kembali untuk
mengangkutnja.



Hlm. 7: Gambar:

Sambil menghudjani sampan jang didajung Tik Hun itu dengan batu, Po-siang masih terus
mengedjar menjusur sepandjang pantai.




Dengan sendirinja Po-siang semakin kalap. Ia djemput pula beberapa potong batu dan
menimpukan serabutan kepada nelajan2 itu. “Plok”, batu kedua telah mengenai batok kepala
salah seorang nelajan itu hingga kepala petjah dan otak berantakan terus terdjungkal kedalam
sungai. Keruan nelajan2 jang lain ketakutan setengah mati, mereka mendajung lebih tjepat
untuk menjelamatkan diri.







SERIALSILAT.COM © 2005







140


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



Po-siang masih tidak rela melepaskan Tik Hun begitu sadja, ia harus mengedjar menjusur tepi
sungai. Begitu tjepat larinja hingga sampan Tik Hun kalah tjepat meluntjurnja. Tjuma Po-siang
mengedjar dipantai utara, sebaliknja Tik Hun mendajung perahunja menjorong ketepi selatan.
Meski kedjaran Po-siang dapat melampaui perahunja Tik Hun, tapi djaraknja djuga bertambah
djauh.

Diam2 Tik Hun memikir bila sampai Po-siang dapat memperoleh sebuah perahu dipantai sana
serta memaksa tukang perahu mengangkutnja untuk mengedjar, maka dirinja pasti akan susah
meloloskan diri. Dalam kuatirnja, djalan satu2nja baginja adalah berdoa: “Ting-toako, Ting-
toako, undjukanlah kesaktian arwahmu, bikinlah supaja paderi djahat itu tidak mendapatkan
perahu untuk mengedjar.”

Biasanja lalu lintas kapal2 dan perahu2 disungai Tiang-kang itu sangat banjak, untunglah
sepandjang beberapa li dipantai utara sana tiada sebuah kapalpun jang berlabuh disana. Maka
selama itu Po-siang takdapat berbuat apa2.

Sekuatnja Tik Hun mendajung perahunja ketepi selatan, meski lebar sungai didaerah sini tidak
terlalu luas, tapi banjak tumbuh2an air jang dapat dipakai sebagai aling2 hingga Po-siang susah
memandang kearahnja. Setelah menepi, Tik Hun lantas panggul buntalan kain itu
dipunggungnja, ia pondong majatnja Ting Tian dan mendarat. Tapi mendadak terpikir suatu
akal olehnja. Ia balik ketepi sungai dan mendorong perahunja tadi ketengah sungai dengan
harapan akan membilukan perhatian Po-siang bila memandang dari djauh tentu akan
menjangka pemuda itu masih terus mendajung perahunja kehilir sungai.

Begitulah Tik Hun lantas melarikan diri tjepat2 tanpa pilih djalanan pula, jang dia harapkan
jalah sedjauh mungkin meninggalkan sungai itu. Akan tetapi siapa duga, belum seberapa
djauhnja tiba2 ia melihat didepan ombak mendebur, kembali ia diadang sungai itu lagi. Kiranja
didaerah situ Tiang-kang djuga membiluk kearah selatan, djadi merupakan sebuah delta ketjil,
maka Tik Hun telah sia2 berlari sedjauh itu.

Lekas2 ia putar balik kekanan, tidak djauh, tiba2 dilihatnja didepan sana ada sebuah kelenteng
bobrok. Segera ia menudju kekelenteng itu sambil pondong majatnja Ting Tian. Setiba didepan
pintu, selagi dia hendak mendorong pintu kelenteng, tiba2 kakinja terasa lemas, ia terdjatuh
mendoprok ketanah dan tidak sanggup berbangkit pula.

Kiranja sesudah terluka, Tik Hun terlalu banjak mengeluarkan darah, badannja sebenarnja
sudah sangat lemah, se-kuat2nja ia telah mendajung perahu pula, ditambah lagi ber-lari2 kuatir
dibekuk Po-siang, maka sampai didepan kelenteng itu ia benar2 sudah kehabisan tenaga.

Ia tjoba me-ronta2 untuk berdiri, tapi tetap lemas, terpaksa ia hanja duduk bersandarkan
dinding pintu dengan napas megap2. Ia mendjadi agak lega ketika melihat tjuatja sudah
remang2, hari sudah mulai gelap. Pikirnja: “Asal menunggu hari sudah malam, paderi djahat itu
tentu takkan dapat menemukan kami lagi,”






SERIALSILAT.COM © 2005






141


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



Meski Ting Tian sudah mati, tapi dalam batinnja ia masih tetap anggap sang Toako sebagai
kawan karibnja jang masih hidup berada disampingnja.

Begitulah sesudah merebah tjukup lama diluar kelenteng lambat-laun tenaganja mulai pulih
dan barulah ia dapat berbangkit. Ia pondong pula majatnja Ting Tian dan membawanja
kedalam kelenteng.

Kelenteng itu adalah sebuah “Tho-te-bio”, jaitu Toapekong malaikat bumi. Artja Toapekong
itu terbuat dari tanah, potongannja pendek ketjil dan lutju bentuknja.

Pada umumnja, manusia jang kepepet dan sedang menghadapi djalan buntu, sering kali lalu
pasrah nasib kepada jang berkuasa. Begitu pula halnja dengan Tik Hun sekarang, dalam
keadaan merana, timbul djuga rasa hormatnja kepada patung malaikat bumi jang lutju itu,
dengan penuh chidmat iapun berlutut memberi hormat beberapa kali kepada Toapekong itu,
dengan demikian sedikit banjak penderitaan bathinnja mendjadi agak terhibur.

Sambil berduduk didepan altar Toapekong, Tik Hun memandangi djenazah Ting Tian dengan
ter-menung2 sambil bertopang dagu. Keadaan Tik Hun sekarang dapat diibaratkan anjing jang
tak punja rumah madjikan lagi. Mungkin nasib andjing begitu masih lebih baik daripadanja.
Hanja suatu hal jang membuatnja semakin lega jalah tjuatja sudah semakin gelap, hari sudah
malam.

Begitulah Tik Hun lalu merebah disamping djenazahnja Ting Tian tiada ubahnja seperti
hidupnja se-hari2 selama beberapa tahun dahulu didalam pendjara jang sempit itu.

Mendjelang tengah malam, tiba2 turun hudjan pula. Hujan itu mula2 rintik2, kemudian sangat
deras, lalu rintik2 pula tiada ber-henti2.

Karena dingin, badan Tik Hun meringkuk hingga mirip babi. Ia tjoba mendesak mendekati
Ting Tian. Tapi mendadak ia menjentuh majat Ting Tian jang sudah kaku dan dingin itu, ia
mendjadi ingat sang Toako sudah meninggal dan tidak dapat bitjara lagi dengan dirinja. Tiba2 ia
berduka dan pilu tak terlukiskan.

Dibawah hudjan rintik2 itu, tiba terdengar ada suara orang berdjalan menudju kekelenteng
bobrok ini. Suara tindakan orang ditanah betjek karena hudjan itu ternjata sangat tjepat.

Tik Hun terkedjut, ia dengar orang itu sudah makin dekat. Lekas2 ia sembunjikan djenazah
Ting Tian itu kebawah medja sembahjang, ia sendiri lantas mengumpet kebelakang altar
Toapekong.

Semakin dekat suara tindakan orang itu, semakin berdebar djantung Tung Tik Hun. Kemudian
terdengarlah pintu kelenteng berkeriut dan didorong orang dari luar. Menjusul suara orang itu
lantas memaki: “Keparat, bangsat tua itu entah telah lari kemana hingga antero badan Lotju
basah-kujup kehudjanan!”





SERIALSILAT.COM © 2005





142


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E




Njata, memang tidak salah, itulah suaranja Po-siang. Sungguh tidak pantas sekali tjatji-makinja
itu, masakan seorang paderi bermulut sekotor itu, demikian diam2 Tik Hun membatin.

Meski Tik Hun tidak banjak pengetahuannja tentang kehidupan manusia, tapi selama
beberapa tahun ini, setiap hari ia telah digembleng oleh Ting Tian dan saban2 mendengar
tjerita sang Toako tentang kedjadian2 dikalangan Kangouw, maka Tik Hun sekarang sudah
bukan Tik Hun pemuda desa jang bodoh lagi. Diam2 ia memikir pula: “Meski Po-siang ini
berdandan sebagai paderi, tapi ia tidak pantang makan dan suka membunuh orang, besar
kemungkinan dia adalah seorang bandit jang maha djahat.

Dalam pada itu terdengar tjatji-maki Po-siang itu semakin kotor, sesudah puas memaki, Po-
siang terus duduk didepan altar malaikat bumi, menjusul terdengar suara membuka badju,
kiranja Hwesio itu telah mentjopot antero pakaiannja jang basah kujup itu, lalu diperasnja
hingga kering ketepi emper, kemudian pakaiannja digelar diatas altar, ia sendiri lantas
menggeletak dilantai, tidak lama terdengarlah suara menggeros, kiranja sudah tertidur pulas.

“Sungguh berdosa Hwesio djahat ini, masakah tanpa risih sedikitpun tidur telandjang bulat
didepan malaikat bumi?” demikian pikir Tik Hun. Lalu terpikir olehnja: “Dalam keadaan dia
tidak ber-djaga2, biarlah kudjemput sepotong batu dan kepruk kepalanja hingga mampus,
besok tentu aku tidak perlu takut lagi padanja.”

Tapi dasar djiwa Tik Hun sangat baik budi, ia tidak suka sembarangan membunuh orang, pula
tjukup tahu ilmu silat Po-siang berpuluh kali lebih tinggi dari dirinja, kalau sekali kepruk
takdapat mampuskan paderi itu, asal dia masih ada tenaga untuk balas menjerang, tentu dirinja
sendiri jang akan mati modar.

Dalam keadaan begitu kalau Tik Hun mau melarikan diri setjara diam2 melalui djalan belakang
kelenteng itu, tentu Po-siang takkan mengetahui.Tapi djenazah Ting Tian masih berada
dibawah medja sembahjang, meski insaf besok djuga akan mati terbunuh musuh, namun Tik
Hun tidak nanti meninggalkan pergi.

Ia dengar hudjan rintik2 masih tiada hentinja, sama seperti kebat-kebit hatinja jang djuga tiada
henti2nja. Ia berharap hudjan lekas terang, dengan demikian Po-siang dapat meninggalkan
kelenteng itu. Tapi melihat gelagatnja, hudjan rintik2 seperti itu biarpun semalam suntuk djuga
belum tentu berhenti. Dan bila hari sudah pagi serta Po-siang tidak mau berangkat dibawah
hujan, tentu dia akan memeriksa keadaan kelenteng itu untuk mentjari barang makanan
umpamanja, dengan demikian pasti dirinja akan dipergokinja.

Namun demikian, timbul djuga harapan untung2an dalam hati Tik Hun, pikirnja: “Boleh djadi
sebelum terang tanah hudjan akan berhenti dan paderi djahat ini karena buru2 ingin mengedjar
aku, mungkin dia terus berangkat dengan ter-gesa2 dan selamatlah aku.”







SERIALSILAT.COM © 2005







143


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



Tiba2 teringat sesuatu olehnja: “Waktu datang tadi ia telah mentjatji-maki, katanja ‘bangsat tua’
itu entah telah lari kemana. Usiaku toh belum landjut, mengapa aku dimaki sebagai ‘bangsat
tua’? Apakah mungkin dia sedang menguber seorang lain lagi jang tua?” ~ Dan pada saat lain
tanpa sengadja ia telah meraba berewoknja sendiri jang tak terawat itu, mendadak ia mengarti
duduknja perkara: “Ah, tahulah aku. Disebabkan rambut dan berewokku ini gondrong tak
terawat hingga bagi pandangan orang lain dengan sendirinja disangka seorang tua. Djadi dia
memaki aku sebagai ‘bangsat tua’? Hehe, ‘bangsat tua’?”

“Bluk”, mendadak Po-siang membalik tubuh dalam tidurnja. Tjara tidur paderi itu ternjata
sangat rusuh, maka kakinja telah menjampar kebawah altar dan tepat mengenai djenazah Ting
Tian.

Djago silat setinggi Po-siang, begitu merasa ada sesuatu jang mentjurigakan, seketika akan
terdjaga dari tidurnja. Maka ia menjangka dibawah altar Toapekong itu bersembunji musuh,
terus sadja ia melompat bangun sambil sambar golok jang terletak disampingnja, dalam
kegelapan iapun tidak tahu ada berapa orang musuh jang bersembunji disitu, maka terus sadja
ia membabat dan membatjok serabutan kekanan dan kekiri agar musuh tidak berani
mendekatinja.

“Siapa? Djahanam! Keparat!” demikian Po-siang membentak dan memaki. Tapi meski sudah
dibentak dan dimaki toh masih tiada suara sahutan orang. Tjepat ia berdiam sambil menahan
napas untuk mendengarkan apakah ada suara orang.

Dalam keadaan begitu, sudah tentu Tik Hun harus lebih hati2 bahkan bernapaspun tidak
berani keras2, kuatir kalau diketahui paderi djahat itu.

Karena masih kuatir, kembali Po-siang ajun goloknja membatjok kian kemari hingga belasan
kali, menjusul kakinja ikut mendepak, “blang”, medja sembahjang kena ditendang roboh, segera
goloknja membatjok pula, “tjret”, goloknja kena membatjok sesuatu benda dan terdengar ada
suara tulang remuk. Kiranja majat Ting Tian telah kena dibatjok.

Dengan djelas Tik Hun dapat mendengar suara terbatjoknja majat Ting Tian itu oleh
sendjatanja Po-siang. Meski Ting Tian sudah meninggal dan pada hakikatnja tiada punja daja
rasa lagi, tapi bagi Tik Hun masih tetap menganggapnja sebagai kaka angkat jang terhormat
dan tertjinta. Kini paderi djahat itu berani merusak djenazah sang Giheng, keruan Tik Hun
sangat murka.

Dalam pada itu sesudah membatjok sekali serta tidak mendengar sesuatu suara reaksi apa2, Po-
siang mendjadi ragu2. Tjelakanja dalam kegelapan, tiada sesuatu jang dapat dilihatnja.
Sedangkan alat ketikan api jang dibawanja sudah takdapat digunakan lagi karena basah oleh air
hudjan. Terpaksa ia main mundur kebelakang dengan pelahan2, ia pepetkan punggungnja
kedinding untuk mendjaga kalau disergap musuh dari belakang. Kemudian ia berdiam pula
untuk mendengarkan kalau2 ada sesuatu suara apa2.






SERIALSILAT.COM © 2005






144


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



Begitulah, djikalau Po-siang berada didalam keadaan siap siaga dan penuh tjuriga, adalah
sebaliknja Tik Hun dalam keadaan takut tertjampur gusar pula.

Ketika mendengar majat Ting Tian dibatjok Po-siang tadi, sebenarnja Tik Hun segera ingin
menerdjang keluar untuk mengadu djiwa dengan paderi djahat itu. Tjuma sesudah digembleng
selama lima tahun didalam pendjara, pemuda Tik Hun jang ke-tolol2an dahulu itu telah
berubah mendjadi seorang pemuda jang dapat berpikir. Baru dia hendak melangkah keluar,
segera teringat olehnja: “Djika aku menerdjang dan mengadu djiwa padanja, ketjuali jiwaku
akan melajang pertjuma, terang tiada manfaat lain. Sebaliknja tjita2 Ting-toako jang minta
dikubur bersama Leng-siotjia itu mendjadi gagal dan tak terlaksana, padahal aku sudah
berdjandji padanja, maka sedapat mungkin aku harus bersabar.”

Kedudukan kedua orang waktu itu hanja terpisah oleh sebuah dinding aling2 sadja, ketjuali
suara hudjan jang rintik2, suara lain sama sekali tiada terdengar.

Tik Hun insaf apabila suara napas sendiri sedikit keras, seketika djiwanja pasti akan melajang.
Terpaksa ia bernapas dengan sangat pelahan, sedangkan benaknja tiada henti2nja berpikir:
Beberapa djam lagi hari sudah akan terang tanah. Dan kalau paderi djahat itu melihat djenazah
Ting-toako, pasti dia akan merusaknja untuk melampiaskan rasa gusarnja. Lantas apa dajaku
agar djenazah Ting-toako dapat diselamatkan?

Dasar otak Tik Hun memang puntul, sedangkan usaha untuk menjelamatkan djenazah Ting
Tian dari keganasan Po-siang adalah sesuatu tugas jang maha sulit, sekalipun seorang jang
tjerdas djuga pasti akan bingung, apalagi seorang Tik Hun jang bodoh.

Begitulah meski sampai lama ia pikir, sampai kepalanja petjah djuga tetap tiada sesuatu akal
jang dapat diperolehnja. Karuan ia tambah gopoh dan sesalkan diri sendiri: “Wahai Tik Hun,
dasar engkau ini memang pemuda jang goblok, dengan sendirinja engkau takdapat memikirkan
sesuatu akal bagus. Tjoba kalau engkau pintar, tidak mungkin kelabakan seperti sekarang ini.”
~ Dan karena saking gelisahnja, ia djambat2 rambut sendiri, tanpa sengadja ia mendjambat
terlalu keras hingga setjomot rambutnja ikut terbubut.


Se-konjong2 benaknja terkilas suatu pikiran: “He, paderi djahat ini menjebut aku sebagai
‘bangsat tua’, rupanja karena melihat rambut dan berewokku gondrong tak keruan, maka
menjangka aku adalah seorang tua. Pabila sekarang aku mentjukur bersih ...... bukankah dia
akan pangling dan takdapat mengenali diriku? Tjuma sajang, aku tidak membawa pisau tjukur,
tjara bagaimana membersihkan berewok jang kaku ini? Hm, mati djuga aku tidak takut,
kenapa mesti takut sakit? Biarlah aku tjabut sadja dengan tangan satu-persatu.

Apa jang dipikir Tik Hun, segera dilakukannja djuga. Maka seudjung demi seudjung ia
mentjabuti djenggotnja jang kaku2 itu. Sambil mentjabut ia sembari memikir: “Seumpama
paderi djahat ini takdapat mengenali aku lagi, paling2 aku takkan dibunuhnja. Tapi tjara
bagaimana pula harus menjelamatkan Ting-toako? Ah, sudahlah, dapat madju selangkah,





SERIALSILAT.COM © 2005





145


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



biarlah kumadju terus, asal djiwaku sendiri dapat dipertahankan sementara, tentu aku dapat
mendekati paderi djahat itu dan dikala dia tidak ber-djaga2, aku akan mentjari akal untuk
membunuhnja.”

Maka satu persatu ia membubuti djenggotnja itu. Pabila hal itu dilakukan dengan pelahan2 dan
hati2, tentu takkan terlalu sakit rasanja. Tapi Tik Hun kuatir kalau hari keburu terang tanah
dan djenggotnja belum lagi tertjabut bersih hingga diketahui oleh Po-siang. Dari itu, tjara
tjabutnja mendjadi buru2 dan sekenanja, dan penderitaannja dapat dibajangkan.

Serta sudah sebagian besar djenggotnja terbubut, tiba2 terpikir pula olehnja: “Seandainja
djanggutku sudah bersih tanpa djenggot, namun rambutku jang gondrong ini tentu djuga akan
dikenali olehnja. Ia telah mengedjar aku sepandjang pantai, tentu keadaan rambut dan
djenggotku jang gondrong ini sudah dilihatnja dengan djelas.”

Berpikir begitu, ia mendjadi nekat. Tanpa ragu2 lagi iapun mentjabuti rambutnja.

Mentjabut djenggot masih mending dan tidak terlalu sakit, tapi mentjabut rambut, bahkan
sampai habis kelimis, sungguh rasa sakitnja tak terkatakan.

Tapi dasar watak Tik Hun memang keras dan tidak gampang menjerah, sangat setia pula
kepada Ting Tian, djangankan tjuma mentjabut rambut dan djenggot jang sepele, sekalipun
demi Ting Tian ia mesti korbankan anggota badannja djuga dia takkan mengkerut kening
sedikitpun. Sebetulnja karena usianja masih sangat muda, pula berasal dari desa dan masih
hidjau, maka setjara tolol2an ia telah melakukan akalnja jang aneh dan lutju itu, pabila seorang
Kangouw jang sudah berpengalaman dan lebih tua umpamanja, tentu takkan melakukan usaha
jang bodoh itu.

Tik Hun kuatir kalau Po-siang mendengar suaranja, maka setiap mentjabut sedikit rambut dan
djenggotnja, pelahan2 iapun menggeremet mundur setindak, setelah hampir satu djam lamanja,
barulah ia dapat mundur sampai di Tjimtjhe (karas dalam rumah). Dan setengah djam pula,
achirnja dapatlah ia mentjapai pintu belakang kelenteng itu. Ketika mukanja merasa tertetes
air hudjan, barulah pelahan2 ia menghela napas lega.

Tjepat tapi hati2 Tik Hun pendam rambut dan djenggot jang dia tjabut itu kedalam lumpur
untuk mendjaga kalau dilihat Po-siang hingga menimbulkan tjuriganja. Lalu ia raba2 dan gosok2
djanggut dan kepala sendiri, ia merasa dirinja sekarang bukan lagi seorang “bangsat tua”, tapi
lebih tepat dikatakan “bangsat gundul”. Dalam sedih dan dongkolnja ia mendjadi geli sendiri
pula. Pikirnja: “Setelah kutjabut setjara ngawur begini, tentu kepala dan djanggutku babak-
belur penuh darah. Aku harus mentjutjinja hingga bersih, supaja tidak diketahui musuh.”

Segera ia djulurkan kepalanja kebawah emper dan membiarkan air hudjan menjirami kepala
dan mukanja jang berlepotan darah itu. Ia mendjadi meringis perih karena luka2 tjabutan itu
kena air.






SERIALSILAT.COM © 2005






146


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



Kemudian ia pikir pula: “Wadjahku sekarang susah dikenali lagi. Tapi pakaianku ini kalau
dikenali paderi djahat itu, bukankah usahaku ini akan sia2 belaka? Sedangkan disini tiada jang
dapat kuganti, eh, kenapa aku tidak meniru tjara paderi djahat itu, biarpun telandjang, kenapa
sih?”

Maka tjepat ia melepaskan badju dan tjelananja. Badju sudah terbuka, kini tinggal Oh-djan-ih
jang tidak mungkin djuga ditjopot, terpaksa ia hanja mengenakan badju dalam itu dan tanpa
bertjelana. Segera ia robek badju luar serta digubat dipinggangnja hingga mirip bergaun. Ia
kuatir kalau Oh-djan-ih jang dipakainja itu dapat dikenali Po-siang, tanpa pikir lagi ia terus
ber-guling2 ditanah lumpur hingga badju pusaka itu penuh lumpur jang kotor.

Dengan dandanan Tik Hun sekarang jang memper Tarzan, sekalipun Ting Tian hidup kembali
djuga rasanja akan pangling padanja.

Diam2 Tik Hun geli sendiri, pikirnja: “Entah berubah mendjadi matjam apa diriku sekarang
ini? Nanti kalau sudah terang tanah, biarlah aku mengatja dulu dimuka air empang.”

Pelahan2 ia menggerumut kebawah sebatang pohon rindang, dengan tangan ia menggali sebuah
liang untuk memendam buntalan ketjil jang dibawanja itu. Pikirnja diam2: “Pabila aku dapat
lolos dari antjaman paderi djahat itu dan dapat menjelamatkan Ting-toako, kelak aku pasti
akan membalas budi pertolongan orang jang telah mengobati lukaku serta memberi sangu dan
perhiasan ini.”

Setelah selesai ia pendam buntalannja, sementara itu hari sudah remang2. Pelahan2 Tik Hun
berdjalan menudju keselatan, lalu membiluk kebarat, tiada beberapa li djauhnja, hari sudah
terang tanah, tapi hudjan masih belum lagi reda. Ia menaksir Po-siang pasti tidak meninggalkan
kelenteng itu, ia pikir harus mendapatkan sesuatu gaman untuk menghadapi segala
kemungkinan, tapi dihutan belukar demikian, kemana mesti mentjari sendjata? Terpaksa ia
djemput sepotong batu jang tadjam dan lantjip, ia selipkan batu itu dipinggang, ia pikir kalau
dapat menikam sekali sadja ditempat jang mematikan dibadan Po-siang boleh djadi paderi itu
akan dapat dimampuskan. Sebaliknja kalau sekali serang tidak berhasil, maka tjelakalah dirinja,
untuk mana terpaksa ia menjerah nasib.

Dan karena teringat pada sang Toako, iapun tidak sabar menanti sampai mendapatkan sesuatu
sendjata jang tjotjok, terus sadja ia kembali menudju kekelenteng Toapekong itu. Ia pikir
bagaimana nanti harus menghadapi musuh jang djahat itu. “Eh, aku harus pura2 tolol dan
seperti orang sinting, biar aku berlagak sebagai seorang pengemis gelandangan ditempat ini.”
demikian pikirnja.

Maka waktu mendekati kelenteng itu, segera ia pentang batjot dan tarik suara, ia menjanjikan
“San-ko” (njanjian rakjat didaerah pegunungan) dengan se-keras2nja, begini lagunja:









SERIALSILAT.COM © 2005









147


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



Oiii, adik manis diseberang bukit!

Dengarkan aku menjanji,

kalau engkau mentjari suami,

djangan tjari orang sekolah,

orang sekolah moralnja bedjat,

tjarilah suami kepala botak seperti aku si A Sam,

Oi, kepalaku kelimis!



Dahulu waktu tinggal dipedesaan di Oulam, Tik Hun memang djagoan njanji, dikala
bertjotjok-tanam disawah ladang atau diwaktu ber-djalan2 dilereng bukit jang indah bersama
Djik Hong, sering mereka sahut-menjahut menjanjikan San-ko jang sangat digemari rakjat
setempat itu.

Menurut kebiasaan adat istiadat pedesaan Oulam, lagu San-ko itu dinjanjikan setjara spontan
menurut keadaan setempat dimana sipenjanji berada. Lagunja sering2 kasar dan umum, tiada
ubahnja seperti kata2 se-hari2, hanja tjara menjanjikannja berirama dan pakai tekukan suara
hingga kedengarannja merdu mentakdjubkan.

Dan habis menjanji, tiba2 Tik Hun merasa pilu, teringat penghabisan kalinja memain bersama
Djik Hong, njanjian itu sudah lima tahun tidak pernah membasahi tenggorokannja lagi. Kini
dapat menjanji pula, tapi pemandangan keadaan disekelilingnja ternjata sangat aneh dan
berlainan, kalau dulu sipendengarnja adalah sang Sumoay jang tjantik molek, adalah sekarang
pendengarnja adalah seorang Hwesio gede jang djahat dan........ telandjang bulat.

Begitulah ia sengadja lewat dikelenteng itu dengan pelahan2 lalu ia tjekik lehernja sendiri dan
menjanji pula dengan menirukan suara wanita:




Oi, engkau A Sam sibotak apanja jang menarik?

Berani mimpi beristerikan aku sitjantik?

Emangnja aku kepintjuk kepalamu jang kelimis?

Atau terpikat karena .......





SERIALSILAT.COM © 2005





148


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E







Belum lagi njanjiannja selesai, se-konjong2 Po-siang sudah berlari keluar dengan hanja
menutupi badannja dengan badju luar. Rupanja ia ingin tahu siapakah gerangan jang menjanji
itu. Dan ketika melihat kepala Tik Hun gundul pelontos, ia sangka pemuda itu memang
benar2 seorang desa dan botak, ia merasa geli pula mendengar lagu Tik Hun jang meng-olok2
kepala sendiri jang botak serta tjaranja menirukan suara wanita jang lutju itu.

“Hai, gundul, kemari!” seru Po-siang segera.

Tik Hun mendjawabnja dengan menjanji pula:



“Ada keperluan apa Toasuhu memanggil daku?

Apa mau persen emas dan perak?

Harini sibotak A Sam lagi ketumplek redjeki,

Makanja Toasuhu hendak mengundang aku makan babi.”




Begitulah sambil menjanji dengan lagak jang di-buat2 djenaka, mau-tak-mau Tik Hun
mendekati Po-siang. Meski sedapat mungkin ia berlagak sebagai pemuda desa jang ke-tolol2an,
tapi hatinja ber-debar2 hebat, wadjahnja djuga berubah.

Untung Po-siang tidak dapat mengenalnja. Dengan tertawa paderi itu berkata: “Hai, A Sam
sibotak, lekaslah engkau mentjarikan makanan untukku dan Toasuhu pasti akan memberi
persen padamu. Ada babi gemuk tidak disini?”



“Ditanah pegunungan sunji tidak ada babi ......”




“Hus,” bentak Po-siang sebelum Tik Hun melandjutkan njanjianja. “Bitjaralah jang betul,
djangan pakai njanji2 segala ......

Maka Tik Hun melelet lidah sekali dan pura2 mengundjuk lagak djenaka, lalu menjahut
dengan suaranja jang di-bikin2: “A Sam sudah biasa menjanji, kalau bitjara biasa malah kaku





SERIALSILAT.COM © 2005





149


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



rasanja. Toasuhu, disekitar sini seluas belasan li tiada kampung djuga tiada desa, djangankan
engkau hendak makan babi, sekalipun mentjari sajur dan bubur djuga susah. Tapi dari sini
kira2 sedjauh 15 li kebarat ada sebuah kota ketjil, disana dapat membeli daging dan arak, ada
ikan ada ajam, apa jang Toasuhu ingin, segala apa djuga dapat dibeli disana, boleh tjoba
Toasuhu pergi kesana sadja.”

Tik Hun insaf waktu ini masih belum mampu membunuh Po-siang untuk membalas sakit hati
batjokannja kepada majat Ting Tian itu. Maka jang dia harap tjuma moga2 paderi djahat itu
mau pertjaja pada obrolannja dan mentjari makanan ketempat jang dikatakan itu, dengan
demikian ia ada kesempatan untuk melarikan diri dengan membawa majat Ting Tian.

Akan tetapi hudjan djustreru tidak mau ber-henti2, sedangkan Po-siang tidak mau kehudjanan
lagi, maka mendadak Po-siang telah membentak: “Baiklah lekas kau pergi mentjarikan sedikit
makanan kalau ada arak dan daging lebih baik, kalau tidak, boleh djuga sembelih seekor ajam
atau bebek.”

Tapi Tik Hun sedang memikirkan bagaimana keadaan majat sang Toako itu, maka sambil
berkata tadi ia terus melangkah masuk djuga kedalam kelenteng. Ia lihat djenazah Ting Tian
sudah diseret keluar oleh Po-siang, pakaian djenazah itu tampak kumal dan tjompang-tjamping
tak keruan, terang sudah pernah digeledah oleh Po-siang. Dalam gemas dan dukanja,
betapapun Tik Hun ingin menahan perasaan djuga takbisa, maka dengan putus2 ia berkata: “Di
..... disini ada orang mati, apakah ....... Toasuhu jang membunuhnja?”

Melihat perubahan wadjah Tik Hun itu, Po-siang menjangka sigundul itu mendjadi ketakutan
melihat orang mati. Maka dengan menjengir ia mendjawab: “Bukan aku jang membunuhnja.
Boleh tjoba kau periksa dia, siapakah orang ini? Apa kau kenal dia?”

Tik Hun terkedjut, ia mendjadi takut karena menjangka dirinja dikenali. Tjoba kalau bukan
bertekad hendak melindungi djenazah Ting Tian, boleh djadi ia sudah angkat langkah seribu.
Maka sedapat mungkin ia tjoba tenangkan diri dan mendjawab: “Potongan orang ini sangat
aneh, bukan orang kampung sini.”

“Sudah tentu ia bukan orang kampung sini,” udjar Po-siang dengan tertawa. Dan mendadak ia
membentak: “Ajo, lekas pergi mentjarikan sedikit makanan. Kau tidak turut perintahku, apa
minta kugetjek kepalamu?”

Melihat keadaan Ting Tian toh baik2 sadja, Tik Hun merasa lega, maka ber-ulang2 ia
mengiakan sambil putar tubuh hendak keluar kelenteng, pikirnja: “Sementara ini biar aku
menjingkir pergi sadja, asal setengah hari aku tidak datang kembali, karena kelaparan, tentu dia
akan pergi mentjari makanan sendiri, tidak mungkin ia akan membawa serta Ting-toako.
Apalagi dia geledah badan Ting-toako dengan hasil nihil, tentu dia akan putus harapannja.”

Tak terduga, baru beberapa langkah ia berdjalan, mendadak Po-siang membentak pula:
“Berhenti! Kau hendak kemana?”





SERIALSILAT.COM © 2005





150


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E




“Bukankah Toasuhu minta ditjarikan barang makanan?” sahut Tik Hun.

“Ehm, bagus, bagus!” kata Po-siang. “Dan berapa lama baru engkau dapat kembali?”

“Hanja sebentar sadja, selekasnja tentu aku akan kembali,” sahut Tik Hun pula.

“Baiklah, boleh kau pergi lekas!” udjar Po-siang.

Sebelum melangkah keluar, Tik Hun menoleh pula untuk memandang sekedjap kepada
djenazah Ting Tian, habis itu baru ia bertindak pergi. Tapi baru dua tindak ia berdjalan, tiba-
tiba terasa ada angin menjambar dari belakang, menjusul “plak-plok” dua kali, kedua belah
pipinja masing2 telah kena ditampar sekali.

Untung Po-siang menjangka sibotak itu pasti seorang desa jang tidak paham ilmu silat, maka
tjara tempilingnja tidak tidak terlalu keras; Dan untung djuga gerak serangan Po-siang teramat
tjepat, sekali pukul sudah kena sasarannja hingga Tik Hun sama sekali tidak sempat berkelit.
Kalau tidak, tentu rahasia Tik Hun akan ketahuan, sebab otomatis pemuda itu pasti akan
berusaha menghindar dan lupa bahwa dirinja harus berlagak bodoh.

Begitulah Tik Hun mendjadi kaget. “Kenapa kau ...... kau ....” tanjanja dengan tergagap.
Sedangkan dalam hati telah ambil keputusan: “Pabila engkau telah mengetahui rahasiaku,
terpaksa aku mengadu djiwa dengan kau.”

Tapi didengarnja Po-siang telah membentak: “Kau membawa uang berapa banjak? Tjoba
keluarkan ingin kulihat!”

Tik Hun melengak sekedjap oleh pertanjaan itu, sahutnja gugup “Aku ..... aku ....”

“Hm, badanmu telandjang begini, orang rudin matjammu masakan punja uang. Potongan
seperti kau ini apa djuga mungkin dapat memindjam atau utang pada orang lain? Hm, kau
bilang akan mentjari makanan, tapi sebenarnja kau hendak menggelojor pergi bukan?”

Mendengar itu, Tik Hun mendjadi lega malah. Njata paderi djahat itu tjuma menjangka dia
hendak melarikan diri sadja.

Maka Po-siang telah berkata pula: “Kau sigundul ini tadi mengatakan bahwa sekeliling sini
tiada sesuatu kampung dan tempat tinggal orang, lalu kemana engkau hendak membeli
makanan serta dapat kembali dalam waktu sebentar. Hm, hm, bukankah kau sengadja
membohong? Ajo, mengaku terus terang sebenarnja apa tudjuanmu.”

“Sebab ...... sebab aku takut pada Toasuhu dan ... dan ingin lari pulang,” sahut Tik Hun dengan
sengadja gelagapan.






SERIALSILAT.COM © 2005






151


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



Po-siang ter-bahak2 senang, ia tepuk2 simbar dadanja jang berbulu hitam ketat itu sambil
berkata: “Takut apa? Takut aku akan makan dirimu?”

Dan karena menjebut soal “makan”, seketika perut Po-siang berkerontjongan hingga laparnja
susah ditahan. Padahal sesudah terang tanah, lebih dulu antero pelosok kelenteng itu sudah
digeledahnja, tapi tiada setitik makanan apapun jang diperolehnja. Maka komat-kamit ia telah
menggumam sendiri: “Takut aku makan dirimu? Takut kumakan dirimu?” ~ sambil
menggumam, tiba2 sorot matanja mendjadi bengis sambil mengintjar diri Tik Hun.

Keruan Tik Hun mengkirik, ia dapat membade apa jang sedang dipikir oleh paderi djahat itu.

Dan memang saat itu Po-siang sedang memikir: “Ehm, daging manusia memangnja enak djuga,
hati manusia lebih2 lezat. Ha, kebetulan didepan mata ini ada seekor ‘babi’, mengapa aku tidak
menjembelihnja sekarang djuga?”

Sebaliknja diam2 Tik Hun sedang mengeluh: “Wah, tjelaka! Kalau aku dibunuh olehnja tidak
mendjadi soal, tapi melihat gelagatnja, paderi djahat ini agaknja hendak menjembelih aku
untuk dimakan. Wah inilah sangat penasaran, bagaimanapun aku harus melawannja.”

Akan tetapi sekali melawan tentu akan terbunuh, dan sesudah dibunuh tetap ia akan mendjadi
isi perut paderi itu. Apa bedanja melawan dan tidak?

Dalam pada itu setindak demi setindak Po-siang sudah mendekati Tik Hun dengan wadjah
jang menakutkan, dan pemuda itupun setindak demi setindak main mundur kebelakang.

“Hehe, kau terlalu kurus, tinggal tulang belaka, kalau dimakan tentu tidak enak rasanja,”
demikian Po-siang ketawa ter-kekeh2. “Tetapi terpaksa, babi gemuk tidak ada, babi kurus
djuga bolehlah!” ~ dan begitu tangannja mendjulur, segera lengan kiri Tik Hun kena
dipegangnja.

Se-kuat2nja Tik Hun meronta, namun tidak mungkin terlepas lagi. Sesaat itu ia mendjadi
kuatir dan takut tak terkatakan. Sesudah menderita siksaan lahir-batin selama beberapa tahun
ini, baginja kematian sendiri bukan soal lagi, tapi bila membajangkan bakal dimakan mentah2
oleh paderi djahat itu, halini benar2 membuatnja mengkirik.

Dasar watak Po-siang itu ternjata sangat djahat dan kedjam, tapi djuga malas. Ia lihat Tik Hun
sudah pasti takdapat melarikan diri dan merupakan daging jang tinggal ditjaplok sadja, ia pikir
lebih baik suruh pemuda itu memasak air dulu, habis itu barulah menjembelihnja. Ia merasa
sajang pemuda itu tidak dapat menjembelih diri sendiri, lalu mengolah pula satu porsi Ang-sio-
lang-bak (bistik daging manusia) dan dihaturkan kepadanja untuk dimakan tanpa repot2
sendiri.

Maka katanja kemudian: “Tjara aku menjembelih dirimu dua djalan. Pertama kuiris daging
pahamu sepotong demi sepotong untuk dibuat daging panggang sambil memakannja, hal ini





SERIALSILAT.COM © 2005





152


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



tentu akan membuat kau banjak lebih menderita kesakitan. Tjara kedua jalah sekaligus
membunuh kau untuk dimasak dan dan dibuat sop daging. Nah, menurut kau, tjara mana jang
lebih enak?”

“Sudah tentu daging panggang lebih enak,” djawab Tik Hun tanpa pikir. Tapi segera ia tekap
mulutnja sendiri ketika teringat jang akan didjadikan daging panggang adalah dirinja sendiri.
Achirnja ia terus ber-teriak2: “Lebih baik kau lekas……lekas bunuh aku sadja, kau …. kau …..
paderi djahat ……” ~ dengan gusar sebenarnja ia terus ingin mentjatji maki, tapi kuatir pula
kalau2 paderi itu mendjadi murka hingga dirinja akan disiksa lebih berat, maka achirnja ia
mengurungkan maksudnja.

Dalam pada itu Po-siang sudah lantas berkata dengan tertawa: “Benar, benar! Pintar benar
engkau ini, segala apa tahu. Memang daging panggang lebih enak. He, A Sam, pergilah kedapur
sana dan ambil kuali besi itu kemari, isi pula kuali itu dengan air.”

Sudah terang Tik Hun tahu kuali itu akan digunakan untuk memasak dirinja, tapi ia toh masih
tanja: “Untuk apa kuali itu?”

“Hehe, hal ini tak perlu kau tanja,” sahut Po-siang dengan tertawa. “Nah lekas pergi sana,
lekas!”

“Hendak masak air, biarlah kumasak didapur sadja, kuali itu terlalu berat, dibawa kesini djuga
tidak leluasa,” udjar Tik Hun.

“Keparat! Apa jang kuperintahkan harus segera kau kerdjakan tahu? Kau berani
membangkang?” bentak Po-siang dengan gusar. Berbareng ia tempiling Tik Hun sekali.

Sambil memegangi pipinja jang merah begap itu, belum lagi Tik Hun sempat memikir,
menjusul Po-siang telah mendepaknja pula hingga pemuda itu terguling.

Tapi sesudah dihadjar, otak Tik Hun mendjadi tadjam mendadak, pikirnja: “Daripada mati
konjol, biarlah aku melabrak dia mati2an. Dia suruh aku masak air, inilah kesempatan baik
malah, nanti kalau air dalam kuali sudah mendidih, diluar dugaannja segera kusiram badannja.
Dia telandjang bulat, mustahil takkan melotjot dan mati terbakar?”

Dengan keputusan itu, ia mendjadi bersemangat dan tidak takut2 pula. Dengan menunduk ia
lantas menudju kedapur dan membawa keluar sebuah kuali butut. Kemana dia pergi, selalu
Po-siang mengintil dibelakangnja, rupanja paderi itu kuatir kalau2 Tik Hun melarikan diri.

Kuali butut itu bagian atas sudah gempil, maka hanja setengah kuali sadja dapat diisi air.
Dengan sendirinja kekuatan setengah kuali air mendidih kurang lihay daripada air mendidih
sekuali penuh, boleh djadi Po-siang takkan mati tersiram, tapi umpama paderi itu tidak lantas
mati, kalau bisa membuatnja melotjot dan kedjat2 djuga bolehlah. Kemudian bila perlu biarlah
aku membunuh diri dengan membenturkan kepalaku kedinding, walaupun harus disesalkan





SERIALSILAT.COM © 2005





153


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



kewadjibanku untuk melaksanakan tjita2 Ting-toako agar dikubur bersama Leng-siotjia tak
terlaksana, tapi keadaan tidak mengidinkan lagi, apa mau dikata? Demikian pikir Tik Hun.

Dengan kuali besi itu Tik Hun menadahi air hudjan diemperan, sampai air sudah luber keluar
melalui lubang gempil kuali itu, barulah Tik Hun membawanja kembali kedalam ruangan.

“Ehm, bagus!” tiba2 Po-siang memudji. “Botak A Sam, sebenarnja aku merasa sajang untuk
makan dirimu. Tjara kerdjamu ini tjepat dan tjekatan, sungguh seorang pekerdja jang baik.”

“Terima kasih atas pudjian Toasuhu,” sahut Tik Hun dengan senjum pahit.

Lalu ia kumpulkan beberapa potong bata dan ditumpuk sebagai tungku. Ia tumpangkan
kualinja keatas tungku darurat itu. Didalam kelenteng bobrok itu banjak terdapat medja kursi
rusak, karena buru2 ingin menjiram Po-siang dengan air mendidih, maka kerdja Tik Hun
mendjadi sangat tjepat, ia djemput potongan kaki kursi dan medja dan didjedjalkan kedalam
tungku.

Tapi ia lantas kebentur kesulitan, jaitu tiada api. Didalam kelenteng bobrok seperti itu sudah
tentu susah diperoleh bibit api, sedangkan alat ketikan api jang dibawa Po-siang sudah basah-
kujup oleh air hudjan. Waktu buru2 melarikan diri dari pendjara, Tik Hun sendiri djuga tidak
membawa apa2.

Karena tak berdaja, terpaksa Tik Hun angkat bahu sambil pentang kedua tangan kearah Po-
siang sebagai tanda tanja?

“Kenapa? Tidak ada api? Eh, ja aku ingat dibadannja ada,” seru Po-siang sambil menundjuk
majat Ting Tian.

Dan baru sekarang Tik Hun dapat melihat djelas paha Ting Tian ternjata hantjur bekas kena
batjokan Po-siang, seketika ia naik darah, ia menoleh dan pandang paderi itu dengan melotot
penuh kebentjian, kalau bisa, sungguh ia ingin menubruk madju terus gigit paderi djahat itu
se-puas2nja.

Tapi mirip kutjing mempermainkan tikus. Po-siang djusteru ingin menggoda dulu pemuda itu,
habis itu baru akan memakannja. Maka terhadap kegusaran Tik Hun itu, sama sekali ia tidak
ambil pusing, katanja dengan ketawa2: “Hajolah, kenapa engkau tidak tjoba mentjarinja? Kalau
tiada api, terpaksa Toahwesio boleh djuga makan daging mentah.”

Tik Hun tjoba berdjongkok dan menggagapi badjunja Ting Tian, benar djuga diperolehnja dua
potong benda ketjil. Jang satu ternjata adalah besi ketikan dan jang lain batu api. Diam2 ia
heran: “Waktu kami berada bersama didalam pendjara, Ting-toako toh tidak punja benda2
seperti in, lantas dari manakah diperolehnja?”







SERIALSILAT.COM © 2005







154


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



Waktu ia membalik besi ketikan itu tiba2 terlihat sebaris huruf ukiran, jalah nama dari
pembuat besi ketikan api itu: Lo-hap-hin-ki Hengtju.

Tik Hun ingat nama itu adalah merek bengkel besi jang pernah dimasukinja bersama Ting
Tian waktu malam2 mereka melarikan diri dari pendjara, disana mereka telah minta sipandai
besi memotong belenggu. Kiranja sesudah keluar pendjara, Ting Tian tahu setiap saat sangat
membutuhkan bibit api, maka sekalian ia telah sambar besi ketikan dan batu api didalam
bengkel itu.

Begitulah Tik Hun memandangi besi ketikan itu sambil mengelamun: “Pikiran Ting-toaku
benar2 sangat tjermat. Alat ketikan api ini sebenarnja dimaksudkannja untuk dipakai waktu
mengembara Kangouw bersama aku, siapa duga belum pernah sekali terpakai, Ting-toako
sendiri sudah keburu meninggal.” ~ Dan karena terkenang kepada Ting Tian, tak tertahan lagi
air mata Tik Hun meleleh keluar.

Po-siang sama sekali tidak mentjurigai pemuda itu adalah saudara angkat Ting Tian, ia mengira
pemuda itu mendjadi sedih karena insaf sebentar lagi djiwanja akan melajang, makanja
menangis.

“Hahahaa!” Po-siang ter-bahak2. “Toahwesio ini berbadan emas, mungkin redjekimu teramat
besar, makanja dapat memakai usus Toahwesio sebagai peti mati dan mendjadikan perut
Toahwesio sebagai tempat kuburmu. Sebenarnja kau harus bersjukur redjeki jang besar ini,
kenapa malah menangis! Nah, lekasan menjalakan apinja!”

Tanpa bitjara Tik Hun men-tjari2 bahan penjulut lagi. Achirnja dapat diperolehnja segebung
sisa kertas Tjiam-si jang sudah kuning tua. Segera ia mengetik api untuk menjulut kertas
Tjiam-si itu, pelahan2 kaju dibawah kuali ikut terbakar djuga. Ketika kertas2 Tjiam-si itu
terdjilat api, samar2 huruf2 Tjiam-si jang tadinja tertutup debu itu lantas kelihatan, Tik Hun
melihat matjam2 ramalan jang tertulis diatas Tjiam-si itu. Akan tetapi Tik Hun lagi bingung
sebentar tjara bagaimana harus menjiram Po-siang dengan air panas. Biarpun diatas Tjiam-si
waktu itu timbul ramalan “nomor buntut” jang bakal keluar djuga takkan menarik baginja.

Lambat laun air dalam kuali mulai membuih, Tik Hun tahu tidak lama lagi air godok itu pasti
akan mendidih. Ia mendjadi tegang, sebentar2 ia pandang air panas itu dan lain saat pandang2
perut Po-siang jang telandjang itu. Ia pikir mati-hidupnja tergantung sekedjap lagi, tanpa
merasa kedua tangannja mendjadi gemetar.

Benar djuga, tidak lama kemudian, asap putih mulai mengepul, air kuali sudah bergolak
dengan mendidih. Tanpa ajal lagi

Tik Hun terus berbangkit, begitu kedua tangannja memegang kuali, segera isi kuali akan
digebjurkan keatas kepala Po-siang.







SERIALSILAT.COM © 2005







155


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



Tak terduga, baru sadja badannja bergerak, seketika lantas diketahui djuga oleh Po-siang,
setjepat kilat paderi itu masih keburu memegangi tangan Tik Hun sambil membentak dengan
bengis: “Apa jang hendak kau lakukan?”

Tik Hun tidak dapat berbohong, maka sekuatnja ia masih berusaha menjiramkan air mendidih
itu kebadan Po-siang. Akan tetapi tangannja terasa seperti didjepit tanggam karena dipentjet
oleh tangan Po-siang, hingga sedikitpun takbisa berkutik. Pabila Po-siang mau gebjurkan air
panas itu keatas kepala Tik Hun, tjukup ia betot sekali sadja pasti akan djadi, tapi ia merasa
sajang pada air masak itu, bila Tik Hun tersiram mati, tentu dia harus memasak air lagi, hal ini
jang mendjadi keberatannja.

Maka sekuatnja ia tahan tangan Tik Hun kebawah hingga kuali itu tertaruh ketempat semula,
ia membentak: “Lepaskan tanganmu!”

Akan tetapi Tik Hun tetap tidak mau melepaskan kuali itu, sekuatnja ia hendak merebut lagi.
Tapi, ketika kepalan Po-siang menjambar, “blang”, kontan Tik Hun terpental dan tersungkur
masuk kebawah altar Toapekong dengan kepala lebih dulu.

“Hajo, lekas keluar!” bentak Po-siang. “Lotju akan menjembelih kau, lekasan kau tjopot
pakaianmu sendiri, supaja Lotju tidak usah repot.”

Tapi Tik Hun masih tjelingukan kian kemari dengan maksud hendak mentjari sesuatu alat
untuk gaman, dengan begitu dapat mengadu djiwa dengan Po-siang. Mendadak dilihatnja
dibawah altar itu terdapat dua ekor tikus jang menggeletak dengan perut membalik keatas,
tampaknja binatang2 itu masih bergerak dengan kedjat2, djadi belum mati benar2.

Seketika Tik Hun seperti melihat sinar didalam kegelapan, terus sadja ia berteriak: “Toasuhu,
djangan membunuh aku dulu. Aku telah berhasil menangkap dua ekor tikus, biar kumasak sop
tikus untukmu, mau tidak?”

“Apa katamu? Tikus? Hidup atau mati?” tanja Po-siang.

Siapapun sudah pasti tidak sudi makan tikus mati, maka Tik Hun tjepat mendjawab: “Sudah
tentu tikus hidup, lihatlah ini, masih bergerak dia, tjuna sudah sekarat karena kupentjet,” ~
sembari berkata ia lantas pegang tikus2 itu.

Dahulu Po-siang sudah pernah makan tikus, ia kenal daging tikus tjukup lezat tiada ubahnja
seperti daging babi. Ia lihat dua ekor tikus itu tidak gemuk, mungkin disebabkan kurang
makanan didalam kelenteng itu. Untuk sedjenak Po-siang mendjadi ragu2.

“Toasuhu,” tjepat Tik Hun menjusuli, “biarkan aku menjembelih tikus2 ini dan masak sop jang
enak bagimu. Habis makan, tanggung engkau akan minta tambah lagi.”







SERIALSILAT.COM © 2005







156


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



Dasar Po-siang seorang pemalas, suruh dia masak makanan sendiri, mungkin dia lebih suka
menderita lapar. Kini mendengar Tik Hun hendak masak sop tikus untuknja, tentu sadja
kebetulan baginja. Maka sahutnja: “Tapi tjuma dua ekor, tidak tjukup, hajolah kau tangkap lagi
beberapa ekor.”

Tik Hun pikir ilmu silatnja sekarang sudah musnah, tjara bagaimana sanggup menangkap tikus
hidup lagi? Tapi betapapun sekarang ada kesempatan hidup baginja, hal ini tidak boleh di-
sia2kan, maka tjepat sahutnja: “Toasuhu, biar kumasak dulu kedua ekor ini, habis itu akan
kutangkap lagi beberapa ekor jang lain.”

Po-siang mengangguk, katanja: “Boleh djuga, dan kalau aku dapat makan kenjang, untuk
mengampuni djiwamu djuga tidak mendjadi soal.”

Terus sadja Tik Hun merajap keluar dari bawah altar, katanja kemudian: “Tolong pindjam
golok Toasuhu itu untuk memotong tikus2 ini.”

Sudah tentu Po-siang tidak memandang sebelah mata terhadap sigundul desa jang ke-tolol2an
ini, ia lihat kedua ekor tikus jang dibawa keluar Tik Hun itu meamang betul masih dapat
kedjat2, terang bukan tikus mati, maka sahutnja sambil menuding goloknja: “Ja, boleh
pakailah!” ~ Tapi segera ia tambahkan lagi: ”Dan kalau kau berani, boleh tjoba seranglah pada
Lotju.

Dalam pikiran Tik Hun memang ada maksud setelah memegang golok terus akan menjerang
paderi djahat itu, tapi karena kena ditondjok lebih dulu, ia mendjadi tidak berani sembarangan
berkutik lagi. Segera ia gunakan golok itu untuk memotng kepala tikus, membelih perut dan
mengeluarkan isinja serta membeset bersih kulit tikus itu, setelah ditjutji pula dengan air
hudjan, lalu ia masukan kedalam kuali.

“Ehm, bagus, bagus!” demikian Po-siang mengangguk dan memudji: “Kau sibotak ini memang
pandai masak sop tikus. Nah, lekas pergi menangkap lagi beberapa ekor.”

Tjepat Tik Hun mengia terus bertindak keruangan belakang. Dalam hati ia pikir selama
gunung masih menghidjau, takkan kuatir tiada kaju bakar. Asal masih hidup, tentu masih bisa
berdaja untuk menjelamatkan djenazah Ting-toako dan mentjari kesempatan untuk
membunuh paderi djahat itu.

Tiba2 Po-siang menteriakinja lagi: “Dan awas ja! Kalau kau berani lari, sebentar akan kusajat
dagingmu sepotong demi sepotong untuk makananku.”

“Djangan kuatir, Toasuhu,” sahut Tik Hun sambil menoleh, “kalau tiada tikus, akan
kutangkapkan kodok, kalau tiada kodok, didalam sungai masih banjak ikan dan udang, di-
mana2 masih banjak makanan, pasti aku akan melajani engkau dengan baik2, kenapa mesti
makan diriku?”






SERIALSILAT.COM © 2005






157


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



“Hm,” djengek Po-siang. “”Tapi harus tjepat! Eh, kau dilarang keluar kelenteng, tahu?”

Dengan suara keras Tik Hun mengiakan pula, lalu berdjongkok dilantai pura2 mentjari tikus,
tapi pelahan2 ia mengendap kebelakang kelenteng. Ia lihat hudjan masih belum reda, untuk
melarikan diri dari tangan djahat paderi itu terang suatu usaha jang sulit.

Untuk sedjenak ia tjelingukan kesana dan kesini untuk mentjari sesuatu tempat sembunji.
Tiba2 dilihatnja tidak djauh disebelah kiri sana ada sebuah empang ketjil. Tanpa pikir lagi Tik
Hun terus berlari kesana dan pelahan2 merosot kedalam empang, tinggal hidung dan mulutnja
jang masih mengapung diatas permukaan air untuk bernapas. Ia raup pula kapu2 dan rumput
air untuk mengalingi hidungnja agar tidak kelihatan dari atas.

Sedjak ketjil Tik Hun hidup dipedesaan jang banjak sungai, maka ia sangat mahir berenang.
Tjuma sajang kelenteng itu agak djauh dari Tiang-kang, kalau dekat, sekali ia terdjun kedalam
sungai dan menghanjutkan diri menurut arus, tentu Po-siang takkan mampu mengedjarnja.

Begitulah Tik Hun bersembunji didalam empang itu. Agak lama kemudian, tiba2 terdengar
suara panggilan Po-siang: “Hai A Sam! Dimana kau A Sam? Sudah dapat menangkap tikus
belum?”

Tapi karena tiada sahutan apa2, achirnja paderi itu mentjatji maki. Tik Hun tjoba miringkan
telinga kanan kepermukaan air untuk mendengarkan gerak-gerik musuh, ia dengar Po-siang
sedang memaki dengan kata2 kotor, bahkan 18 keturunannja djuga ditjatjinja habis2an. Habis
itu, terdengar suara tindakannja, njata paderi itu telah keluar kelenteng untuk mentjarinja.

Hanja sebentar sadja terdengar Po-siang sudah dekat dengan empang itu. Keruan Tik Hun
tidak berani menongolkan kepalanja lagi, tjepat ia pentjet hidung sendiri dan selulup kedalam
air. Untung empang itu tidak terawat dan penuh tumbuh kapu2 dan alang2, dari atas tidak
mudah untuk melihatnja.



Hlm 27: Gambar:

Sesudah didalam empang Tik Hun berbalik dapat menjeret Po-siang dan menahan kepala
paderi itu kebawah air hingga Po-siang kerupukan.




Namun demikian, achirnja Tik Hun tidak tahan djuga dan terpaksa harus menongol kepala
untuk bernapas. Siapa duga, baru sadja hidungnja menghirup hawa sekali, se-konjong2
tengkuknja sudah kena ditjengkeram oleh sebuah tangan. Lalu terdengarlah suara dampratan
Po-siang dengan gusar: “Setan, sekarang engkau akan lari kemana? Kalau aku belum tjintjang
kau mendjadi baso rasaku tidak puas. Nah, masih kau berani lari?”





SERIALSILAT.COM © 2005





158


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E




Tapi Tik Hun tidak menjerah mentah2, tangannja membalik terus balas membetot lengan Po-
siang dengan se-kuat2nja sambil menariknja kedalam empang.

Sudah tentu Po-siang tak menduga bahwa Tik Hun akan nekat dan berani menggelutnja
malah. Apalagi ditepi empang itu banjak lumpur dan litjin, sekali terpeleset, tanpa ampun lagi
iapun terseret njemplung kedalam empang.

Tik Hun sangat girang, ia pikir bila sudah sama2 berada didalam air, itu berarti ada harapan
untuk gugur bersama. Maka se-kuat2nja ia tahan kepala Po-siang dan berusaha di-djeblos2kan
kedalam air. Tjuma sajang air empang itu agak tjetek, sedang perawakan Po-siang tinggi-besar,
air empang tidaak sampai menggenangi kepalanja. Maka begitu terperosot kedalam empang,
terus sadja paderi itu pegang tangan Tik Hun, menjusul tangan kiri membalik keatas hingga
kepala Tik Hun jang terpegang dan disilamkan kedalam air malah.

Tapi Tik Hun memangnja sudah nekat. Meski kepalanja terendam air, se-kuat2nja ia tetap
pegang kentjang2 tubuh Po-siang, biarpun mati djuga takkan dilepaskannja.

Karena itu, Po-siang mendjadi kewalahan hingga seketikapun takbisa berbuat apa2. Saking
gusarnja ia terus memaki, tapi begitu mulutnja mengap, sedikit Tik Hun meronta, mau-tak-
mau Po-siang kena ditjekoki air empang jang kotor. Dalam murkanja terus sadja Po-siang
menghantam serabutan kepunggung Tik Hun.

Walaupun pukulan Po-siang itu terhalang dulu oleh air empang, tapi Tik Hun masih merasa
sangat kesakitan. Ia taksir bila kena digebuk lagi beberapa kali, tentu dirinja akan kelengar.
Sedangkan sama sekali ia takdapat balas menghantam, terpaksa ia gunakan kepalanja untuk
menumbuk perut Po-siang.

Begitulah sedang kedua orang itu bergulat didalam empang, se-konjong2 Po-siang mendjerit
sekali, tangannja jang mentjengkeram Tik Hun lambat-launpun kendor, kepalan jang sudah
terangkat hendak menggebuk itupun pelahan2 menurun kebawah, menjusul tubuhnja
berkedjat sekali terus roboh kedasar empang.

Tik Hun mendjadi heran, tjepat ia merajap bangun, ia lihat Po-siang sudah tidak bergerak
sedikitpun, terang sudah mati. Dalam keadaan masih ragu2 ia tidak berani menjentuh tubuh
Po-siang itu, tapi ia berdiri agak djauh untuk melihat gelagat dulu.

Tapi sampai lama tetap Po-siang tidak bergerak melainkan telentang kaku didalam empang,
terang paderi djahat itu benar2 sudah mati. Namun Tik Hun masih belum lega, segera ia
djemput sepotong batu dan disambitkan keatas tubuh Po-siang, melihat tiada reaksi apa2,
barulah ia jakin paderi itu sudah binasa.

Lalu Tik Hun merangkak ketepi, ia tidak mengerti sebab apakah Po-siang mendadak mati.
Tiba2 terkilas suatu pikiran dalam benaknja: “He, apakah barangkali Sin-tjiau-kang jang kulatih





SERIALSILAT.COM © 2005





159


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



telah mulai mengundjukan kesaktiannja diluar tahuku? ~ Apakah karena kepalaku
menumbuk beberapa kali diperutnja, lalu ia terbinasa?”

Begitulah Tik Hun berdiri ter-mangu2 ditepi empang, ia hampir tidak pertjaja kepada matanja
sendiri terhadap apa jang dilihatnja waktu itu. Ia tjoba djalankan tenaga murni sendiri, ia
merasa tenaga dari Siau-yang-keng-meh dibagian betis itu dapat berdjalan sampai di “Ngo-li-
hiat” bagian paha, lalu tidak mampu mengalir keatas lagi. Sedangkan Hiat-to bagian tangan
djuga begitu, djuga terhalang. Bahkan rasanja lebih mundur tenaga dalam itu daripada waktu
masih didalam pendjara. Ia pikir mungkin disebabkan paling achir ini hidup dalam keadaan
merana dan ilmu itu terlantar tak terlatih. Akan tetapi suatu hal adalah pasti, jalah untuk
mejakinkan Sin-tjiau-kang hingga sempurna, tempo jang diperlukan masih selisih terlalu djauh.

Setelah ter-menung2 agak lama, achirnja Tik Hun kembali kekelenteng bobrok itu. Ia lihat api
unggun dibawah kuali itu sudah sirap, disamping kuali ternjata ada dua ekor tikus mati lain,
kedua tikus itupun menggeletak terbalik dengan perut diatas, kaki dan telinganja tampak
masih kedjat2. Pikir Tik Hun: “Eh, kiranja Po-siang sendiri telah berhasil menangkap dua ekor
tikus lagi, tapi belum sempat menikmati sudah keburu kubinasakan.”

Ia lihat didalam kuali itu masih ada sisa sedikit kuah, jaitu sop tikus jang tadi dimasaknja
sendiri itu. Memangnja ia sendiridjuga sudah kelaparan, segera ia angkat kuali itu terus hendak
diminumnja. Tapi baru kuali itu mendekat mulutnja, mendadak hidungnja terendus sematjam
bau harum jang aneh.

Untuk sesaat Tik Hun tertegun sambil memegangi kuali itu, ia merasa heran: “Bau harum
apakah ini? Rasanja aku sudah pernah mengendusnja pasti ini bukan bau harum jang baik.”

Dan pada saat itu djuga, se-konjong2 sinar kilat berkilauan, menjusul beledek menggelegar
dengan sangat keras. Tik Hun terkaget dan seketika otaknja mendjadi terang, serunja: “Ai,
masih untung!” ~ dan begitu tangannja mengipatkan, segera kuali butut itu bersama sisa sop
tikus itu dibuangnja ke Tjimtjhe.

Lalu ia putar tubuh kehadapan djenazah Ting Tian, katanja sambil mengembeng air mata:
“Banjak terima kasih, Ting-toako meski engkau sudah pulang kealam baka, tapi kembali
engkau telah menolong djiwa Siaute pula.”

Kiranja pada sedetik kilas itu Tik Hun mendjadi paham sebab musabab matinja Po-siang.

Setelah Ting Tian keratjunan “Hud-tjo-kim-lian” jang lihay itu antero tubuhnja mendjadi
berbisa. Maka setelah djenazahnja kena dibatjok oleh Po-siang, tikus2 itu telah menggeragoti
hantjuran daging dari luka batjokan itu. Habis makan daging manusia, tikus itu mendjadi ikut
keratjunan, ketika Po-siang masak sop tikus, menjusul iapun keratjunan. Makanja waktu
mereka bergulat didalam empang, mendadak Po-siang terbinasa. Kini didepan kuali itu
terdapat pula menggeletak dua ekor tikus, terang binatang2 itupun disebabkan keratjunan.






SERIALSILAT.COM © 2005






160


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



Diam2 Tik Hun sangat bersyukur, pikirnja: “Tjoba kalau terlambat sedikit datangnja
kesadaranku, pasti sop ratjun itu sudah habis kuminum.”

Sudah beberapa kali Tik Hun telah putus asa dan bosan hidup tapi kini njaris modar dari sop
ratjun itu, ia mendjadi bersyukur dapat selamat. Waktu itu udara masih diselimuti awan
mendung jang pekat disertai hudjan jang mentjurah bagai dituang, tapi hati Tik Hun djusteru
merasa menemukan sinar harapan, ia merasa asal dapat mempertahankan hidupnja, tentu akan
datang kebahagiaan jang tak terbatas.

Begitulah sesudah menenangkan diri, lalu Tik Hun membenarkan djenazah Ting Tian
kepodjok ruangan kelenteng, ia keluar dengan kehudjanan untuk menggali sebuah liang untuk
mengubur Po-siang.

Setiba kembali didalam kelenteng, ia lihat pakaian Po-siang masih mentjantel dimedja
sembajang, diatas medja tertaruh sebuah bungkusan kain minjak serta ada belasan tahil uang
perak pula.

Karena ketarik, Tik Hun tjoba membuka bungkusan kain minjak itu, ia lihat bungkusan itu
berlapis dua kali, setelah dibuka pula, ia lihat isinja adalah sedjilid buku ketjil jang sudah
kekuning2an sampul buku itu tertulis beberapa baris huruf jang aneh, entah huruf negeri
mana, jang terang bukan tulisan Han.

Ia tjoba mem-balik2 buku itu, ia lihat halaman pertama terlukis sebuah gambar seorang laki2
kurus dan telandjang, sebelah tangannja menuding kelangit dan sebelah tangan lain menuding
tanah, sikapnja sangat aneh, disamping gambar tertjatat djuga matjam2 tulisan jang berwarna-
warni, bentuknja seperti tjebong (berudu).

Hlm. 31: Gambar:
Setiba kembali didalam kelenteng bobrok itu, tiba2 Tik Hun melihat ditepi kuali ada
menggeletak pula dua ekor tikus jang tertampak masih ber-kedjat2.

Tik Hun melihat potongan laki2 dalam gambar itu djauh berbeda daripada orang Tionghoa,
tapi laki2 telandjang dalam gambar berhidung besar dan bermata tjekung, berambut keriting.
Bentuknja jang luar biasa itu makin dilihat makin aneh, bahkan seakan-akan membawa
sematjam daja tarik bagi jang membatjanja. Maka hanja sebentar sadja Tik Hun memandang
lalu tidak berani melihat terus.

Waktu ia membalik halaman kedua, ia lihat tetap terlukis laki2 telandjang itu, hanja dalam gaja
jang berbeda. Kini berdiri dengan kaki kiri dalam gaja “Kim-keh-tok-lip” atau djago emas
berdiri dengan kaki tunggal, sedang kaki lain terangkat dan mendjulur kedepan. Kedua tangan
mendjulur kebelakang kepala, tangan kiri memegang telinga kanan dan tangan kanan
memegang telinga kiri.







SERIALSILAT.COM © 2005







161


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



Ia terus balik2 halaman jang lain, ia lihat gaja lukisan laki2 telandjang itu makin aneh2 dan
banjak matjamnja. Terkadang kedua tangannja menahan ditanah dengan mendjungkir,
terkadang seperti mengapung diudara, dan matjam2 gaja lainnja. Semakin aneh gambar laki2
itu, semakin sedikit pula tjatatan tulisan disampingnja.

Waktu ia balik buku itu dan membuka halaman pertama dari belakang, ia lihat gambar laki2
itu agak menggelikan. Sekali ini lidahnja tampak sedikit melelet keluar, berbareng mata kanan
membelalak lebar, sebaliknja mata kiri menjipit, dari itulah maka tampaknja mimik wadjahnja
rada lutju.

Karena geli dan ketarik, tanpa merasa Tik Hun menirukan mimik wadjah gambar itu, iapun
melelet lidah sedikit, mata kanan terbuka lebar dan mata kiri sedikit menjipit. Dan sekali
menirukan perbuatan itu, aneh djuga, rasa mukanja mendjadi segar enak. Waktu ia periksa
gambar itu lebih teliti, lapat2 terlihat diatas tubuh gambar itu terdapat garis2 ketjil warna abu-
abu jang melukiskan Keng-meh (urat nadi) didalam badan manusia.

Maka tahulah Tik Hun sekarang: “O, sebabnja laki2 ini dilukiskan telandjang, tudjuannja
sengadja hendak mengundjukkan Keng-meh dalam tubuh setjara lebih terang.”

Waktu Ting Tian mengadjar Sin-tjiau-kang kepada Tik Hun didalam pendjara dahulu, pernah
djuga ia mendjelaskan kedudukan tiap2 Hiat-to dan Keng-meh dengan terang, sebab
pengetahuan ini djusteru adalah kuntji pertama untuk melatih Lwekang jang paling tinggi.
Maka sambil memandangi garis2 Keng-meh pada gambar laki2 itu, tanpa merasa iapun mulai
mendjalankan tenaga dalamnja hingga terasa satu arus hawa murni jang lembut telah mengalir
keatas melalui Keng-meh2 jang dilihatnja itu.

Diam2 ia heran mengapa tjara mendjalankan Keng-meh ini tempatnja djusteru berlawanan
dengan adjaran Ting-toako, mungkin tidak benar ini. Tapi segera terpikir pula olehnja: “Biarlah
ku-tjoba2 sadja sekali rasanja tiada halangan apa-apa?”

Maka terus sadja mengerahkan tenaga dalamnja lebih teratur menuruti garis2 Keng-meh
didalam lukisan. Aneh bin adjaib, hanja sebentar sadja antero tubuhnja sudah terasa hangat,
segar dan bersemangat.

Dahulu bila dia sedang melatih Sin-tjiau-kang, pikirannja selalu terpusatkan untuk
menghimpun tenaga dalam dan mengerahkannja, djalannja sangat lambat dan kurang lantjar,
tapi sekarang ia mengerahkan tenaga dalam dengan menurut djalan garis2 Keng-meh diatas
gambar, hanja sekedjap sadja djalannja ternjata sangat lantjar bagai air bah jang tak terbendung,
sedikitpun tidak susah2 dan hawa murni itu terus djalan sendiri.

Terkedjut dan girang pula Tik Hun, pikirnja: “Mengapa didalam badanku djuga ada Keng-meh
seperti didalam lukisan? Djangan2 Ting-toako sendiri djuga tidak tahu?” ~ Segera terpikir pula
olehnja: “Buku ketjil ini adalah milik Po-siang, lukisan dan tulisan didalam buku ini djuga






SERIALSILAT.COM © 2005






162


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



sangat aneh dan tidak beres, mungkin bukan sesuatu barang jang baik, ada lebih baik djangan
aku mendjamahnja.”

Akan tetapi hawa jang sedang berdjalan didalam tubuhnja itu sekarang sudah sangat lantjar dan
sajang kalau terus dihentikan begitu sadja. Maka lantas terpikir pula olehnja: “Ja, dah, aku hanja
main2 sekali ini sadja, lain kali tidak mau lagi.”

Sementara itu dada terasa lapang, semangat penuh, darah seluruh tubuh mendjadi hangat.
Selang sedjenak lagi, badannja mendjadi enteng rasanja mirip orang habis minum arak, tanpa
merasa tangan dan kakinja ber-gerak2, mulut mengeluarkan suara “uh-uh-uh” jang pelahan2.
Tiba2 kepalanja terasa berat, sekali kabur pandangannja, robohlah Tik Hun kelantai dan segala
apa tak diketahuinja lagi........

Sampai lama dan lama sekali, lambat laun barulah ia sadar kembali. Waktu ia membuka mata,
seketika terasa silau. Kiranja hudjan sudah lama berhenti, sang surya sedang memantjarkan
sinarnja jang gilang-gemilang.

Tjepat Tik Hun melompat bangun, ia merasa semangat penuh, antero tubuhnja penuh tenaga
baru. Meski sudah dua hari tidak makan apa-apa, tapi ternjata tidak merasa lapar. Ia pikir:
“Apa mungkin ilmu jang tertjatat didalam buku ini sedemikian bagus paedahnja? Ah, tidak,
tidak! Lebih baik aku tetap melatih menurut adjaran Ting-toako sadja, ilmu dari kalangan
djahat seperti ini bila sampai mendarah daging pada diriku, boleh djadi akibatnja akan tjelaka.”

Karena itu, buku ketjil itu diambilnja terus hendak dirobeknja. Tapi setelah terpikir lagi
olehnja bahwa didalam buku itu terdapat banjak sekali ilmu jang aneh2 dan susah didjadjaki,
kalau dirusak begitu sadja rasanja djuga sajang.

Lalu ia bebenah seperlunja. Ia lihat badju sendiri sudah terlalu rombeng, tidak mungkin
digunakan sebagai penutup badan lagi. Ia lihat badju paderi Po-siang itu masih tergelar
dipinggir medja sembajang dan tampaknja masih baik, segera ia mengambilnja dan dipakai.
Tjuma rambutnja sudah terbubut kelimis, ditambah lagi berbadju paderi, maka miriplah dia
seorang Hwesio. Dari itu ia lantas robek bagian bawah badju paderi jang pandjang itu, lalu
disambung mendjadi seutas ikat pinggang untuk menggubat pinggang. Ia tjoba periksa
dandanannja itu, meski lutju kelihatannja, tapi tidak sampai telandjang lagi.

Selesai berdandan, Tik Hun masukan buku ketjil itu dan belasan tahil perak kedalam badjunja.
Ia memeriksa pula buntalan perhiasan pemberian orang jang belum diketahui siapa itu dan
ternjata masih baik2. Lalu ia pondong djenazah Ting Tian keluar kelenteng.

Dan baru sadja belasan meter ia meninggalkan kelenteng itu, dari depan telah mendatangi
seorang petani. Melihat Tik Hun memondong majat, petani itu mendjadi kaget dan terpeleset
djatuh kesawah ditepi djalan. Karena habis hudjan, sawah itu penuh air lumpur, seketika
petani itu seperti kerbau jang bermandi dikubangan lumpur, tjepat ia meronta bangun terus
lari pergi dengan terbirit-birit.





SERIALSILAT.COM © 2005





163


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E




Tik Hun insaf bila meneruskan perdjalanan dengan membawa djenazah sang Toako tentu akan
terdjadi keonaran jang susah dibajangkan. Ada maksudnja memusnahkan djenazah Ting Tian,
tapi betapapun ia tidak tega. Untung disekitar situ adalah sawah ladang belaka dan sepi, dalam
perdjalanan selandjutnja tiada ditemui orang lalu lagi.

Tapi tidak lama kemudian, tiba2 terdengar suara njanji orang jang ramai, dari djauh tampak ada
7-8 petani sedang mendatangi dengan memanggul patjul. Tjepat Tik Hun melompat ketepi
djalan dan sembunji dibalik alang2 jang lebat. Setelah petani2 itu lewat, barulah ia berani
melandjutkan perdjalanan. Pikir punja pikir, achirnja ia ambil keputusan: “Kalau aku tidak
membakar djenazah Ting-toako, tentu akan sulit kembali ke Hengtjiu dan tjita2 Ting-toako
ingin dikubur bersama Leng-siotjia akan sulit terlaksana pula.”

Segera ia membiluk kelereng bukit disebelah kanan sana, ia kumpulkan daun2 kering dan kaju
bakar, ia tumpuk bahan2 bakar itu diatas djenazah Ting Tian, lalu membakarnja. Ketika api
mulai mendjilat rambut dan pakaian Ting Tian, Tik Hun merasa se-akan2 badan sendiri jang
terbakar. Tak tahan lagi ia mendekam ketanah dan menangis sedih............

Setelah djenazah Ting Tian sudah terbakar mendjadi abu, dengan chidmat lalu Tik Hun
bungkus abu djenazah itu dengan kain minjak, jaitu bekas pembungkus kitab ketjil
tinggalannja Po-siang itu. Ia robek kain badju pula untuk didjadikan tali pengikat, setelah
bungkusan abu tulang itu terbungkus rapi, ia ikat bungkusan itu dipunggungnja. Kemudian ia
menggali pula sebuah liang ketjil untuk mengubur sisa abu dan diuruk dengan tanah, ia
menjembah beberapa kali kepada liang kubur itu, habis itu barulah ia tinggal pergi.

Untuk sedjenak ia merasa bingung kemana harus pergi. Kalau sang guru, jaitu Djik Tiang-hoat,
masih hidup umpamanja, maka sanak keluarga satu2nja didunia ini adalah beliau itulah.

Ia pikir sesudah sang guru melukai Ban Tjin-san, tentu beliau takkan pulang lagi kekampung
halamannja di Wanling, tapi pasti akan ganti nama dan tukar she serta mengasingkan diri
djauh2. Tapi kini ketjuali pulang mendjenguk kampung halaman Wanling itu, Tik Hun merasa
tiada tempat tudjuan lain jang tepat.

Segera ia balik kedjalan raja, waktu tanja penduduk setempat, kiranja tempat situ bernama
Thia-keh-tjip, termasuk wilajah Oupak. Kalau hendak menudju ke Oulam, lebih dulu harus
menjeberangi Tiang-kang.

Sampai dikota, Tik Hun membeli makanan sekedarnja untuk tangsal perut, kemudian ia
menudju ketempat penjeberangan. Terkenang olehnja waktu menjeberang sungai kemarin, ia
mesti berusaha menghindarkan penguberan Po-siang dengan penuh ketakutan. Tapi sekarang
menjeberang kembali dengan tenang dan aman, hanja dalam tempo satu hari sadja ternjata
suasana berbeda seperti langit dan bumi.







SERIALSILAT.COM © 2005







164


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



Setiba kapal tambangan ditepi selatan, baru sadja Tik Hun mendarat, tiba2 didengarnja suara
ramai2 orang bertengkar. Menjusul terdengar pula suara gedebukan orang telah saling
berhantam.

Sebagai seorang persilatan, sudah tentu Tik Hun tertarik oleh perkelahian itu. Segera ia
mendekatinja untuk melihat apa jang terdjadi.

Ia lihat diantara orang2 jang berkerumun itu ada 7-8 orang sedang mengerubut seorang tua.
Kakek itu berpakaian hidjau dan kopiah tipis, jaitu dandanan kaum pelajan jang lazim.
Sedangkan 7-8 laki2 jang mengerojok itu berbadju tjekak dan bertelandjang kaki, disamping
situ terdapat kerandjang ikan dan timbangan datjin pendek, njata mereka adalah pendjual ikan.

Tik Hun pikir perkelahian biasa seperti itu tiada sesuatu jang menarik, dan selagi ia hendak
tinggal pergi, mendadak dilihatnja kakek itu mendepak sekali, kontan seorang laki2 pendjual
ikan jang kekar kena ditendang terdjungkal. Kiranja kakek itu bukan sembarangan kakek, tapi
mahir ilmu silat.

Karena itu Tik Hun urung pergi, ia ingin melihat bagaimana kesudahan perkelahian itu. Ia lihat
hamba tua itu meski dikerojok, tapi sebentar sadja ada tiga pendjual ikan jang lain kena
dirobohkan pula olehnja. Meski diantara penonton itu masih banjak pendjual2 ikan jang lain,
tapi tiada jang berni ikut mengerubut madju lagi.

“Itu dia, kepala sudah datang, kepala sudah datang!” tiba2 ada orang bersorak.

Maka tertampak dari tepi sungai sana sedang mendatangi dua pendjual ikan dengan berlari,
dibelakang mereka ada pula tiga orang. Langkah ketiga orang belakangan itu tampaknja enteng
tapi kuat, begitu lihat segera Tik Hun tahu mereka itu mahir ilmu silat.

Sesudah dekat, ternjata ketiga orang itu dikepalai seorang setengah umur dan berwadjah ke-
kuning2an dengan berkumis tikus. Setelah memandang beberapa kedjap kepada pendjual2 ikan
jang terguling ditanah dan masih me-rintih2 itu, lalu ia berkata: “Siapakah saudara?
Mengandalkan pengaruh siapa, maka engkau berani menganiaja orang di Hoa-yong-koan sini?”

Utjapan kepala pendjual ikan itu ditudjukan kepada sihamba tua, tapi matanja djusteru
memandang kearah lain.

Kiranja sesudah menjeberang sungai, kini Tik Hun sudah masuk diwilajah Hoa-yong-koan.

Maka terdengar kakek itu sedang mendjawab: “Siapa jang menganiaja orang? Aku datang hanja
untuk membeli ikan, membeli dengan kontan!”

“Sebab apa berkelahi?” tanja kepala itu kepada salah satu pendjual ikan.







SERIALSILAT.COM © 2005







165


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



“Tua bangka ini memaksa akan membeli kedua ekor Lehi (ikan kantjra) warna emas ini, kami
mengatakan kedua ekor ikan ini susah memperolehnja dan akan dipakai sendiri untuk
dipersembahkan kepada Kepala, tapi tua bangka ini sangat kasar, ia berkeras ingin beli, kami
tetap tidak mau djual dan dia lantas hendak merebut setjara kasar,” demikian tutur pendjual
ikan itu.

Si Kepala menoleh dan mengamat-amati sedjenak hamba tua itu, lalu tanjanja: “Apakah kawan
saudara itu terkena Lam-sah-tjiang, bukan?”

Kakek itu tampak terkedjut dengan wadjah berubah hebat, sahutnja kemudian: “Aku tidak
tahu Lam-sah-tjiang (pukulan tangan biru) atau Ang-sah-tjiang (pukulan tangan merah). Aku
tjuma tahu madjikan suka makan Lehi dan aku disuruh membeli. Aku sudah mendjeladjah
dunia ini dan selamanja tidak pernah dengar bahwa ikan didasaran pendjualnja dikatakan tidak
didjual, ini aturan darimanakah?”

“Hehe, untuk apa saudara mesti bitjara setjara ber-liku2? Siapakah nama saudara jang
terhormat, dapatkah memberitahu?” kata Kepala itu dengan tertawa dingin. “Djika tjukup
bersahabat, djangankan tjuma dua ekor Lehi warna emas ini, bahkan Tjayhe akan
menjumbangkan sebutir “Giok-ki-wan’ jang chusus dapat menjembuhkan luka Lam-sah-
tjiang.”

Kakek itu tambah terkedjut, selang sedjenak, dengan ragu2 ia menanja: “Siapakah tuan?
Darimana kenal Lam-sah-tjiang dan mengapa punja Giok-ki-wan? Apa barangkali.........
barangkali ........”

“Memang benar, Tjayhe ada sedikit hubungannja dengan sipemakai Lam-sah-tjian itu,” sahut si
Kepala sebelum utjapan sikakek berachir.

Tanpa bitjara lagi, se-konjong2 kakek itu melompat kesamping, begitu tangan mengulur, segera
kerandjang ikan jang berisi Lehi warna emas itu lantas disambarnja, gerak-geriknja ternjata
sangat gesit dan tjekatan sekali.

“Hm, begitu gampang?” djengek si Kepala. Berbareng pukulannja lantas dilontarkan
kepunggung sikakek.

Tapi sekali kakek itu membalik tangannja untuk menangkis pukulan, dengan memindjam
tenaga benturan itu, terus sadja ia melesat tjepat kedepan sedjauh beberapa meter, segera ia
berlari pergi sambil mendjindjing kerandjang ikan.

Sama sekali si Kepala tidak menduga akan tindakan kakek itu, ia menaksir tidak keburu
mengedjar lagi, segera tangannja mengajun, sebuah Am-gi atau sendjata gelap terus menjambar
kepunggung hamba tua itu dengan membawa suara mendesis.







SERIALSILAT.COM © 2005







166


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



Dengan penuh girang sikakek jang berhasil merebut Lehi itu sedang berlari setjepatnja
kedepan, tak ia duga bahwa Am-gi jang ditimpukan kepala pendjual ikan adalah sebuah Piau
badja jang berbentuk segi tiga. Timpukannja keras dan menjambarnja djuga sangat pesat.
Tampaknja hamba tua itu sudah pati takkan dapat menghindar dari kematian.

Melihat itu, seketika timbul djiwa kesatria Tik Hun ingin menolongnja, sekenanja ia sambar
sebuah kerandjang ikan jang berada disampingnja terus dilemparkan kearah Piau badja itu.

Meski ilmu silat Tik Hun sudah hilang, tenaganja djuga tidak besar lagi, tapi karena berdirinja
persis ditempat jang harus dilalui Piau itu, maka kerandjang jang dilemparkan dari samping itu
dengan tepat sekali mengenai sasarannja. “Brak”, Piau badja itu menantjap masuk kedalam
kerandjang ikan, begitu keras tenaga Kepala pendjual ikan itu hingga sesudah Piau itu masuk
kerandjang toch masih menjelonong kedepan beberapa meter djauhnja baru kemudian djatuh
ketanah.

Mendengar dibelakangnja ada suara benda djatuh, hamba tua itu lantas menoleh, ia lihat si
Kepala pendjual ikan sedang menuding satu pemuda gundul sambil memaki: “Hai, kau bangsat
gundul tjilik, kau adalah Hwesio liar dari kelenteng mana, berani ikut tjampur urusan Tiat-
bong-pang dilembah Tiangkang sini?”

Tik Hun melengak, ia bingung mengapa orang memaki dirinja “bangsat gundul tjilik”? Ia lihat
si Kepala pendjual ikan itu sedang marah2 dan menjebut pula “Tiangkang Tiat-bong-pang”
segala. Ia mendjadi teringat kepada nasihat Ting Tian dahulu bahwa banjak pantangan2 dalam
matjam2 Pang-hwe dikalangan Kangouw, bila sampai tersangkut urusan, tentu selamanja akan
tiada habis2 menghadapi kesulitan. Dan karena Tik Hun tidak suka banjak urusan lagi, maka ia
lantas memberi hormat dan berkata: “Ja, Siaute jang bersalah, mohon Lauheng suka memberi
maaf.”

“Kau ini kutu matjam apa? Siapa sudi meng-aku2 saudara dengan kau?” bentak Kepala
pendjual ikan itu. Menjusul ia memberi tanda sekali dan memerintahkan anak buahnja:
“Tangkap kedua orang ini!”

Rupanja karena merandek tadi, maka ada dua orang pendjual ikan telah mendahului mentjegat
kedepan sikakek jang belum sempat melarikan diri itu.

Tapi pada saat itulah tiba2 terdengar suara kelintang-kelinting jang njaring, ada dua penunggang
kuda sedang mendatangi menjusur tepi sungai sana. Seketika bergiranglah hamba tua itu,
katanja: “Itu dia madjikanku sendiri sudah datang, sekarang boleh kalian bitjara pada mereka.”

Air muka Kepala pendjual ikan itu tampak berubah, katanja: “Kau maksudkan “Leng-kiam-
siang-hiap’?” ~ tapi segera iapun berlagak angkuh dan menambahkan: “Hm, kalau Leng-kiam-
siang-hiap (sepasang pedang dan kelintingan) lantas mau apa?

Masih belum waktunja mereka main garang kelembah Tiangkang sini!”





SERIALSILAT.COM © 2005





167


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E




Belum lenjap suaranja, kedua penunggang kuda itu sudah sampai dihadapannja. Seketika Tik
Hun merasa silau. Ia lihat kedua ekor kuda tunggangan itu masing2 berwarna kuning dan putih
mulus, tinggi-besar dan gagah, pelananja putih gilap. Diatas kuda kuning berduduk seorang
pemuda berusia antara 25-26 tahun, berbadju kuning dan bertubuh djangkung. Sedang
penunggang kuda putih adalah seorang gadis berumur 20-an tahun, badjunja putih mulus,
dibahu kiri tertjantel sebuah bunga merah buatan kain sutera. Muka sigadis itu hitam2 manis
dan sangat tjantik. Kedua muda-mudi itu memegang petjut kuda semua, dipinggang mereka
tergantung pedang. Kuda2 mereka sama tingginja, jang luar biasa adalah sama2 mulus pula,
kuning mulus dan putih mulus, tanpa seudjung bulu warna lain.

Pada leher kuda kuning tergantung serentjeng kelenengan buatan emas dan kelenengan di leher
kuda putih adalah buatan dari perak. Sedikit kepala kuda2 itu bergerak, seketika terbitlah
suara kelintang-kelinting jang njaring dengan suara jang berbeda, karena kelintingan2 itu
berbeda pula bahan pembuatannja.

Sungguh gagah sekali kuda2 itu dan penunggangnja djuga ganteng2 dan tjantik, selama hidup
Tik Hun tidak pernah melihat orang setjakap itu. Mau-tak-mau, diam2 iapun memudji
didalam hati.

“Tjui Hok,” terdengar pemuda ganteng itu lagi menanja sikakek tadi. “Lehi sudah didapatkan
belum? Ada apa engkau berada disini?”

Tjui Hok adalah nama hamba tua itu, maka djawabnja: “Toa-kongtju, Lehi warna emas
memang sudah berhasil mendapatkan dua ekor, tetapi.........tetapi mereka djusteru tidak mau
djual, bahkan memukul orang malah.”

Mata pemuda itu ternjata sangat tadjam, sekilas sadja telah dapat dilihatnja piau badja jang
menantjap dikerandjang ikan itu. Segera serunja: “He, siapakah jang menggunakan Am-gi
berbisa jang kedji ini?” ~ dan sekali petjutnja bekerdja, tahu2 kain sutera embel2 piau itu telah
kena dililit oleh udjung petjut terus diangkatnja keatas sambil berkata pula kepada sigadis:
“Lihatlah, Sing-moay, ini adalah ‘Kat-sin-piau’ jang djahat!’

Dengan garang gadis itu lantas membentak: “Siapakah jang menggunakan piau ini?Lekas
katakan, lekas!” ~ sebagai seorang gadis, dengan sendirinja suaranja njaring dan merdu, tapi
sikapnja itu terang rada berangasan.

Si Kepala pendjual ikan tadi hanja tersenjum dingin sadja sambil menggenggam goloknja, ia
menjahut: “Nama kebesaran Leng-kiam-siang-hiap dalam beberapa tahun paling achir ini
tjukup diketahui oleh Tiat-bong-pang di Tiangkang sini. Tapi tanpa sebab kalian akan main
menang2kan atas diri kami, mungkin hal inipun tidaklah mudah.” ~ nada utjapannja ini keras2
lembek, agaknja sedapat mungkin iapun ingin menghindari pertjetjokan dengan Leng-kiam-
siang-hiap itu.






SERIALSILAT.COM © 2005






168


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



“Tapi Kat-sin-piau ini terlalu kedji, sekali kena, seketika daging busuk dan tulang hantjur,
ajahku sudah lama menjatakan dilarang memakainja lagi, apakah engkau tidak tahu?” demikian
kata sigadis. “Baiknja sendjata ini tidak kau gunakan menjambit orang, kalau untuk latihan
dengan kerandjang ikan sebagai sasaran masih boleh djugalah.”

“Djisiotjia, djusteru bukan begitulah urusannja,” kata Tjui Hok. “Orang itu telah menggunakan
piau itu untuk menjambit diriku dan hampir2 hamba tjelaka, untung Siausuhu ini telah
menolong dan mendadak menimpukan kerandjang ikan itu dari samping hingga djiwa hamba
tertolong. Kalau tidak, saat ini mungkin hamba tidak dapat lagi bertemu dengan Kongtju dan
Siotjia.” ~ waktu mengatakan Siausuhu atau si Suhu tjilik, Tjui Hok telah menuding kearah
Tik Hun.

Keruan Tik Hun bertambah bingung, pikirnja: “Aneh, mengapa dia menjebut aku sebagai
Siausuhu, sedangkan tadi aku telah dimaki sebagai Bangsat gundul tjilik, emangnja sedjak
kapan sih aku mulai mendjadi Hwesio?”

Lalu tampak gadis djelita itu angguk2 kepada Tik Hun dengan tersenjum sebagai terima kasih.
Melihat senjuman sigadis jang menggiurkan itu, seketika Tik Hun lemas rasanja seperti kontak
kena aliran listrik.

Dalam pada itu sipemuda mendjadi marah mendengar pengaduan Tjui Hok, tanjanja kepada
Kepala pendjual ikan itu: “Apa betul begitu?” ~ dan tanpa menunggu djawaban orang lagi,
terus sadja petjutnja bergerak hingga Kat-sin-piau jang terlilit diudjungpetjut itu menjambar
setjepat kilat kedepan, ‘plok”, piau itu menantjap dibatang pohon Liu jang belasan meter
djauhnja. Betapa hebat tenaganja sungguh tjukup mengedjutkan.

Tapi si Kepala pendjual ikan itu masih keras dimulut: “Hm, berlagak apa?”

“Aku djusteru mau berlagak!” bentak pemuda Kongtju itu, berbareng petjutnja terus menjabat
serabutan keatas kepala orang.

Tjepat Kepala pendjual ikan mengangkat golok untuk menangkis sambil menabas. Tak terduga
petjut sipemuda mendadak menjambar lurus kebawah, dan begitu menjentuh tanah, petjut itu
terus melingkar dengan tjepat luar biasa, tahu2 kedua kaki si Kepala pendjual ikan itu jang
diarah.

Dengan sendirinja Kepala pendjual ikan itu tjepat2 melontjat keatas untuk menghindar. Tapi
petjut sipemuda se-akan ular hidup sadja, “siut”, tiba2 udjung petjut menjendal kembali untuk
melilit kaki kanan lawan. Berbareng Kongtju itu keprak kudanja pelahan hingga kuda kuning
itu mendadak membedal kedepan.

Sebenarnja bhesi atau kuda2, jaitu kepandaian bagian kaki si Kepala pendjual ikan sangat kuat,
biarpun kakinja tergubat petjut belum tentu si Kongtju mampu menariknja roboh.






SERIALSILAT.COM © 2005






169


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



Diluar dugaan, pemuda itu pandai mengukur kepandaian sendiri dan pihak lawan, begitu
menjerang ia sudah memakai perhitungan jang tepat, lebih dulu ia pantjing si Kepala pendjual
ikan itu melontjat keatas, dengan demikian, karena tubuhnja terapung diudara dan tiada
tempat berpidjak, dengan sendirinja lenjaplah daja guna kuda2 si Kepala pendjual ikan jang
kuat itu. Apalagi kakinja lantas terlilit petjut ditambah tarikan kuda kuning jang mendadak
membedal, betapapun kuat tenaga pendjual ikan itupun tidak mampu bertahan. Tanpa ampun
lagi maka tubuh Kepala pendjual ikan itu terseret kedepan oleh bedalan kuda kuning itu
hingga tubuhnja se-akan2 terbang diudara.

Seketika ramailah djerit kaget pendjual2 ikan jang lain, sambil mem-bentak2 segera ada
beberapa orang memburu madju hendak menolong sang pemimpin.

Tapi sesudah berpuluh meter djauhnja sikuda kuning membedal hingga tubuh Kepala
pendjual ikan tertarik kentjang, mendadak si Kongtju ajun petjut se-kuat2nja, seketika
mentjelatlah tubuh Kepala pendjual ikan itu melambung keudara. Pertjuma sadja ia memiliki
ilmu silat jang tinggi, diatas udara ilmu silat betapapun tingginja djuga tiada berguna, maka
tanpa kuasa tubuhnja me-lajang2 keatas untuk kemudian menjelonong ketengah sungai.

Keruan begundal pendjual2 ikan itu sama berteriak kuatir. Maka terdengarlah suara
mendeburnja air disertai tjipratan air sungai jang tinggi, Kepala pendjual ikan itu telah ketjebur
kedalam sungai, hanja sekedjap sadja orangnja lantas menghilang kedasar sungai.

Sigadis tampak bersorak senang, menjusul ia putar petjutnja terus terdjang ke-tengah2
gerombolan pendjual2 ikan jang masih berkerumun disitu, petjutnja menjabat kesini dan
mentjambuk kesana hingga pendjual2 ikan itu dihadjar sungsang sumbel dan tunggang-langgang
serta lari ter-birit2. Seketika kerandjang ikan bergelimpangan dan terserak di-mana2 berikut
djala ikan, begitu pula ikan dan udang jang masih segar djuga berledjitan memenuhi tanah.

Hidup kaum penangkap ikan adalah disungai, dengan sendirinja si Kepala pendjual ikan itupun
sangat mahir berenang. Maka begitu ia selulup kedasar sungai, sedjenak kemudian ia sudah
menongol kembali kepermukaan air. Ia mentjatji-maki dengan kata2 kotor, tapi sudah tidak
berani mendarat untuk bertempur lagi.

Sambil mendjindjing kerandjang jang terisi ikan Lehi tadi, dengan girang Tjui Hok mendekati
sipemuda sambil membuka tutup kerandjang dan berkata: “Lihatlah, Kongtju, mulutnja merah
dan sisiknja emas, besar2 dan gemuk2 pula.”

“Baiklah, sekarang lekas kau pulang kehotel dan serahkan ikan2 itu kepada Tje-toaya untuk
dipakai,” kata sipemuda.

Tjui Hok mengia, lalu ia mendekati Tik Hun, ia memberi hormat dan berkata: “Banjak terima
kasih atas pertolongan Siausuhu tadi. Entah bagaimanakah gelar sutji Siausuhu?”







SERIALSILAT.COM © 2005







170


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



Mendengar dirinja dipanggil Siausuhu terus menerus, Tik Hun mendjadi risih hingga seketika
takdapat mendjawab.

“Sudahlah, lekas pulang sana, lekas!” sipemuda telah mendesak pula.

Terpaksa Tjui Hok mengiakan, lalu bertindak pergi dengan tjepat tanpa menunggu djawaban
Tik Hun lagi.

Diam2 Tik Hun kagum dan senang bila dapat berkawan dengan sepasang muda-mudi jang
tjantik dan ganteng dan berilmu silat tinggi pula. Tjuma sedjak tadi kedua muda-mudi itu
tetap diatas kuda mereka dan tidak turun, Tik Hun mendjadi kurang leluasa untuk
menanjakan nama orang.

Tengah Tik Hun ragu2, tiba2 si Kongtju telah mengeluarkan sepotong uang emas dan
diangsurkan kepada Tik Hun sambil berkata: “Siausuhu, banjak terima kasih engkau telah
menjelamatkan djiwa hamba tua kami itu. Sedikit tanda mata ini harap Siausuhu suka terima
sekadar uang dupa dan minjak untuk keperluan kelenteng.” ~ Lalu ia lemparkan uang emas itu
kearah Tik Hun dengan pelahan2.

Sekali raup, dengan gampang Tik Hun sudah dapat menangkap uang emas jang dilemparkan
kepadanja itu, menjusul ia terus melemparkan kembali kepada pemuda itu dan berkata:
“Tidak perlulah. Numpang tanja siapakah nama kalian jang terhormat?”

Melihat gerak tangan Tik Hun waktu menangkap dan melemparkan kembali uang emas tadi
tjukup tjekatan, terang seorang jang dapat bersilat. Maka sebelum uang emas itu menjambar
tiba, segera petjut Kongtju itu mengajun hingga uang emas itu kena tergubat. Lalu katanja:
“Djikalau Siausuhu djuga sesama orang Bu-lim, tentunja djuga pernah mendengar nama kami
Leng-kiam-siang-hiap jang tak berarti.”

Melihat orang memainkan petjutnja hingga uang emas jang terlilit itu naik-turun seperti anak
ketjil, sikapnja atjuh-tak-atjuh dan seperti tidak pandang sebelah mata kepada siapapun djuga,
diam2 Tik Hun rada mendongkol. Segera iapun berkata: “Ja, tadi kudengar pendjual ikan itu
menjebut kalian sebagai Leng-kiam-siang-hiap. Tapi entah apa nama saudara jang terhormat.”

Pemuda Kongtju itu mendjadi kurang senang, ia pikir kalau kenal djulukan mereka, masakah
tidak kenal namanja? Dari itu ia tjuma mendengus sekali dan tidak mendjawab lagi.

Dan pada saat itu djuga tiba2 angin sungai meniup hingga udjung badju paderi jang dipakai Tik
Hun itu tersingkap sedikit. Mendadak gadis djelita itu bersuara kaget sekali sambil berkata:
“He, dia.........dia adalah Hiat-to-ok-tjeng (paderi djahat bergolok darah) dari Bit-tjong di Tibet.”

“Ja, betul,” kata si pemuda dengan wadjah gusar. “Nah, enjahlah kau!”







SERIALSILAT.COM © 2005







171


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



Keruan Tik Hun heran mendadak diperlakukan sekasar itu. “Aku ... aku......?” katanja sambil
melangkah kehadapan sigadis: “Aku kenapa; nona?”

Wadjah sigadis kembali mengundjuk rasa kuatir dan gusar, sahutnja: “Engkau... engkau djangan
.....djangan mendekati aku. Enjahlah!”

Tentu sadja Tik Hun bertambah bingung. “Apa katamu?” tanjanja sambil madju setindak lagi
malah.

“Tarrrr”, mendadak gadis itu mengajun petjutnja terus menjabat.

Sama sekali Tik Hun tidak menduga bahwa kontan keras gadis itu terus menjerang begitu
sadja tanpa tawar2. Tjepat ia berusaha menghindar, tapi sudah kasip. Hilang bunji petjut itu,
mukanja dengan tepat sudah kena tertjambuk, seketika mukanja berhias suatu garis merah
dimulai dari udjung djidat kanan melintang keatas hidung dan menurun keudjung mulut kiri.
Sungguh tidak ringan tjambukan itu hingga Tik Hun meringis kesakitan.

“Ken.......kenapa engkau memukul aku?” seru Tik Hun dalam kaget dan gusarnja.

Tapi bukannja minta maaf, sebaliknja gadis itu hendak menjabatnja pula. Segera Tik Hun
merangsang madju hendak merebut petjut sigadis. Tak terduga permainan petjut sigadis itu
sangat lihay, baru Tik Hun ulur tangannja, tahu2 leher sendiri sudah tergubat oleh petjutnja.
Menjusul punggungnja terasa kesakitan mendadak, njata Kongtju muda tadi telah memberi
persen sekali tendangan padanja.

Tanpa ampun lagi Tik Hun terdjungkal. Lebih tjelaka lagi mendadak Kongtju muda itu terus
keprak kudanja hendak mengindjak keatas tubuh Tik Hun. Sjukur dalam seribu kerepotannja
itu Tik Hun masih sempat menggulingkan tubuhnja kesamping. Tapi dalam keadaan sibuk itu
terdengar lagi suara kelintingan kuda berbunji, sebelah kaki kuda jang putih mulus tahu2
mengindjak lagi kearah dadanja, Tik Hun insaf bila indjakan itu tepat kena didadanja, pasti
melajanglah djiwanja. Tanpa pikir lagi itu mengkeretkan tubuhnja keatas, maka terdengarlah
suara “krak” sekali, entah apa jang telah patah. Jang terang mata Tik Hun mendjadi ber-
kunang2 dan pandangan kabur, achirnja segala apa tak diketahuinja lagi..........

Waktu pikiran Tik Hun pelahan2 djernih kembali, sementara itu entah sudah berapa lamanja
telah lalu. Dalam keadaan masih setengah sadar, ia berusaha hendak berbangkit. Tapi
mendadak kakinja terasa kesakitan, hampir2 ia djatuh kelengar lagi. Menjusul darah segar lantas
menguak keluar dari mulutnja. Waktu kemudian sinar matanja tertatap diatas kakinja, ia
melihat tjelananja penuh berlepotan darah, kaki sendiri tampak melintir berbalik arah. Semula
ia merasa heran mengapa kakinja bisa main gila begitu? Tapi sedjenak kemudian barulah ia
ingat: “Ja, kakiku telah patah terindjak kuda jang dikeprak oleh nona itu.”









SERIALSILAT.COM © 2005









172


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



Antero tubuh Tik Hun terasa lemas dan linu, lebih2 kaki dan punggungnja tak terkatakan
sakitnja. Sesaat itu timbul kembali putus asanja: “Aku tidak ingin hidup lagi. Biarkan aku
merebah begini dan lekaslah mati sadja.”

Maka iapun tidak merintih dan bertobat, tapi mengharap supaja lekas mati. Namun orang
ingin mati djusteru tidak gampang. Bahkan ingin pingsan sadja djuga tak dapat. Padahal hati
Tik Hun terus-menerus berharap: “Hajolah lekas mati! Kenapa belum lagi mati?”

Selang agak lama, karena tetap belum juga mati, achirnja Tik Hun memikir: “Aku toh tiada
salah apa2 kepada mereka, mengapa mendadak aku dianiaja sekedji ini?”

Ia tjoba memikirkan apa sebabnja, tapi tetap bingung dan tiada sesuatu jang dapat
diketemukan. Ia menggumam sendiri: “Dasar aku memang bodoh, tjoba bila Ting-toako masih
hidup, pasti beliau dapat mendjawab pertanjaanku ini.”

Dan karena teringat kepada Ting Tian, seketika pikirannja berganti: “Eh, ja. Aku telah
berdjandji akan mengubur Ting-toako bersama Leng-siotjia. Tjita2 ini belum terlaksana, mana
boleh aku mati begini sadja.”

Ia tjoba meraba punggung sendiri dan merasa abu tulang sang Toako masih baik2 terikat disitu,
ia merasa lega dan sekuatnja bangun berduduk. Tapi kembali darah segar tersembur keluar dari
mulutnja. Ia tahu semakin banjak mengeluarkan darah, semakin lemah pula badannja. Maka
sedapat mungkin ia mengatur napasnja dengan maksud menahan darah jang akan dimuntahkan
itu. Tapi darah jang sudah meng-kili2 tenggorokannja itu ternjata susah ditahan, kembali ia
menguak dan darah membasahi tanah lagi.

Jang paling menderita adalah kaki patah itu, sakitnja sebagai di-sajat2 oleh beratus pisau.
Namun dengan me-rangkak2 achirnja dapat Tik Hun menjeret dirinja kebawah pohon Liu jang
rindang itu. Pikirnja: “Aku tidak boleh mati, tapi harus tetap hidup. Dan untuk hidup aku
harus makan.” ~ teringat pada makan, baru sekarang ia merasa kelaparan. Ia lihat banjak ikan
dan udang berserakan ditanah dan sudah lama mati. Iapun tidak pikir lagi apakah mentah atau
masak, apakah masih segar atau sudah busuk, tapi terus sadja ia tjomot beberapa ekor udang
terus didjedjalkan kedalam mulut sekadar menangsal perut. Ia pikir kaki patah itu harus
dibalut lebih dulu, habis itu barulah berdaja untuk meninggalkan tempat tjelaka ini.

Ia tjoba memandang sekelilingnja, ia lihat matjam2 peralatan tukang tangkap ikan masih
tersebar disitu. Segera ia merajap madju untuk mengambil sebatang dajung sampan jang
pendek beserta sebuah djala ikan. Pelahan2 ia djereng djala ikan itu, lalu kaki sendiri jang patah
dan sudah mengisar arah itu dibetulkannja dengan menahan sakit, ia gunakan kaju dajung itu
sebagai pengapit, kemudian mengikatnja dengan menggunakan tali djala ikan itu.

Kerdjanja itu memakan waktu satu djam penuh sambil sebentar2 mengaso. Pabila merasa
kesakitan, ia lantas berhenti sambil meringis kemudian melandjutkan pula bila sakitnja
mereda. Bila kemudian kaki patah itu selesai dibalut, sementara itu sang surya sudah meninggi





SERIALSILAT.COM © 2005





173


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



di-tengah2 tjakrawala. Pikirnja: “Untuk merawat kakiku jang patah ini hingga sembuh betul2,
paling sedikit djuga diperlukan waktu dua bulan lebih. Dan selama dua bulan ini kemanakah
aku harus meneduh dan hidup?”

Sekilas dilihatnja ditepi sungai ber-deret2 perahu2 nelajan, tiba2 timbul pikirannja: “Ja, biarlah
aku tinggal sadja didalam perahu, disana aku tidak perlu berdjalan.”

Ia kuatir kawanan pendjual ikan itu datang kembali hingga menimbulkan kerewelan lain,
meski badannja masih lemas dan kaki kesakitan, tapi terpaksa ia mesti merajap ketepi sungai,
ia merangkak kedalam sebuah perahu nelajan. Ia tanggalkan tali tambatan perahu dan mulai
mendajung, pelahan2 ia luntjurkan perahunja ketengah sungai.

Waktu tanpa sengadja ia menunduk, tiba2 dilihatnja udjung badju paderi jang dipakainja itu
menjingkap keatas hingga tertampak diudjung badju itu tersulam sebilah golok pendek jang
berwarna merah tua, udjung golok itu tersulam pula tiga titik darah, sulaman itu sangat hidup,
tapi menjeramkan pula.

Tiba2 tersadarlah Tik Hun: “Ah, tahulah aku sekarang! Badju ini adalah tinggalan sipaderi
djahat Po-siang. Makanja kedua orang itu salah sangka aku sebagai begundal paderi djahat itu.”

Kemudian tanpa sengadja ia dapat meraba kepala sendiri sudah kelimis, ia mendjadi lebih
paham lagi duduknja perkara. Pantas aku dipanggil Siausuhu oleh mereka, sebab rambutku
sudah kububut semua hingga pelontos seperti Hwesio.




Mengapa Leng-kiam-siang-hiap begitu bentji kepada Hiat-to-ok-tjeng (paderi
djahat bergolok darah) hingga tanpa sengadja Tik Hun jang kena hadjaran
mereka?

Sesudah gelap, terbitlah terang! Apakah Tik Hun akan tetap tertimpa malang?
Tidak, suatu ketika pasti djuga akan datang hari depannja jang gilang-gemilang!
Lalu apa jang dialaminja lagi?

Batjalah djilid ke-5.















SERIALSILAT.COM © 2005















174


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E

Djilid
5

Dan baru sekarang Tik Hun sadar mengapa ber-ulang2 hamba tua itu menjebut dirinja sebagai
“Siausuhu”, pula kawanan pedagang ikan dari Tiat-bong-pang memaki dirinja sebagai “Keledai
gundul ketjil”, sebab dirinja sekarang memang sudah mirip seorang Hwesio. Lalu terpikir pula
olehnja: Waktu udjung badjuku tersingkap, lantas gadis itu mengatakan aku adalah Hiat-to-ok-
tjeng dari Tibet. Bentuk golok berdarah dalam sulaman ini memang sangat menjeramkan,
tentang bagaimana perbuatan kawanan paderi2 itu melulu melihat tjontoh seperti Po-siang
sadja sudah dapat dibajangkan sendiri.”

Sebenarnja Tik Hun sangat gusar dan penasaran, tapi demi mengetahui duduknja perkara,
seketika rasa permusuhannja kepada “Leng-kiam-siang-hiap” lantas lenjap, bahkan merasa
perbuatan sepasang muda-mudi jang gagah perwira itu djusteru sepaham dengan dirinja.
Tjuma sajang ilmu silat kedua orang itu terlalu tinggi, pribadi mereka agung pula, andaikan
kesalah-pahaman ini kelak dapat dibikin terang djuga rasanja susah untuk bersahabat dengan
mereka.

Begitulah pelahan2 ia mendajung terus perahu itu hingga belasan li djauhnja, ia melihat ditepi
pantai ada sebuah kota ketjil, dipandang dari djauh, tampaknja tjukup ramai orang jang
berlalu-lalang. Pikirnja: “Badju paderi jang kupakai ini tentu akan menimbulkan bentjana
bagiku, aku harus tjepat mentjari gantinja.”

Segera ia merapatkan perahunja ketepi, ia gunakan sebatang dajung pendek sebagai tongkat,
lalu dengan berintjang-intjuk ia mendarat sekuat tenaga.

Orang2 dikota itu merasa ter-heran2 melihat seorang Hwesio muda dengan kaki pintjang dan
badjunja penuh noda darah. Namun Tik Hun tidak ambil pusing, selama beberapa tahun ini ia
sudah kenjang menghadapi sikap dingin dan kedjam dari pihak umum. Pelahan2 ia
melandjutkan djalannja kepusat kota, ia melihat sebuah toko pakaian bekas, segera ia masuk
ketoko itu dan membeli sepotong badju hidjau pandjang dan seperangkat pakaian dalam
dengan tjelananja. Kalau saat itu djuga ia mengganti pakaian, tentu harus telandjang dulu,
terpaksa Tik Hun memakai badju pandjang jang baru dibeli itu diluar badju paderi. Lalu ia
membeli sebuah topi laken untuk menutupi kepalanja jang gundul.

Kemudian ia mentjari suatu kedai nasi untuk mengisi perut. Ketika ia dapat mentjapai bangku
pandjang dari kedai nasi itu, saking letihnja hampir2 ia djatuh pingsan lagi dan kembali ia
muntahkan dua kumur darah.

Tidak usah pesan, pelajan kedai sudah lantas menghantarkan daharan jang biasa tersedia disitu,
jaitu semangkok tahu masak ikan, semangkok daging masak tautjo.



SERIALSILAT.COM © 2005



175


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



Tik Hun sudah sangat kelaparan, demi mengendus bau daging dan ikan, seketika semangatnja
terbangkit, terus sadja ia angkat mangkok nasi dan ambil sumpit, segera ia sapu kedalam
mulutnja, lalu menjumpit sepotong daging.

Dan baru sadja ia masukan daging itu kedalam mulutnja, tiba2 terdengar suara kelintang-
kelinting dari djauh dan makin lama semakin dekat.

Mendengar itu, seketika daging jang sudah masuk mulut itu takdapat ditelannja, sebaliknja
hatinja memukul keras. Diam2 pikirnja: “Kembali Leng-kiam-siang-hiap datang lagi. Apakah
aku akan memapak kedatangan mereka untuk memberi pendjelasan kesalah pahaman tadi?
Tanpa berdosa aku telah di-indjak2 kuda mereka hingga terluka separah ini, kalau tidak
dibitjarakan setjara djelas, bukankah sangat penasaran?”

Namun selama ini Tik Hun sudah terlalu banjak menderita, setiap kali dihina atau dianiaja
orang tanpa sebab, selalu ia menjesalkan dirinja sendiri jang sial dan pasrah nasib. Maka
kembali pikirannja berubah: “Ah, selama hidupku ini penderitaan apa jang tidak pernah
kurasakan? Kalau tjuma sedikit penasaran sadja apa artinja bagiku?”

Dalam pada itu suara keleningan tadi semakin dekat. Segera Tik Hun memutar tubuh
menghadap kedinding, ia tidak ingin bertemu muka dengan sepasang pendekar muda itu.

Dan pada saat lain, tiba2 ada orang menepuk pundaknja sambil menegur dengan tertawa: “Aha,
Siausuhu, perbuatanmu jang bagus itu telah ketahuan, maka Koanthayya mengundang kau
menghadap padanja.”

Keruan Tik Hun terkedjut, tjepat ia berpaling, ia lihat empat opas sudah berdiri didepannja.
Dua diantaranja membawa borgol dan dua lainnja menghunus golok dengan sikap2 bersiap
siaga mendjaga segala kemungkinan.

Mendadak Tik Hun berteriak sekali sambil berbangkit, berbareng ia sambar mangkok jang
berisi tahu-bak tadi terus disambitkan kearah opas sisi kiri. Menjusul ia angkat medja dan
digabrukan kearah kawanan opas itu hingga mereka gebes2 tersiram daharan diatas medja itu.

Menurut dugaan Tik Hun, tentu kawanan hamba wet itu adalah petugas dari Keng-leng-hu,
bila dirinja sampai ditawan Leng Dwesu lagi, tentu tiada harapan hidup pula.

Dalam pada itu kedua opas jang digujur kuah panas itu mendjadi kelabakan dan lekas2
melompat mundur. Kesempatan itu segera digunakan Tik Hun untuk melarikan diri. Tapi
baru satu langkah, ia sudah sempojongan dan hampir2 terbanting roboh. Rupanja dalam
keadaan gugup, Tik Hun lupa bahwa tulang kakinja sudah patah.

Melihat ada kesempatan bagus, opas ketiga tidak tinggal diam, terus sadja ia ajun goloknja
membatjok.






SERIALSILAT.COM © 2005






176


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



Ilmu silat Tik Hun meski sudah punah, tapi untuk melawan seorang opas kerotjo seperti itu
sudah tentu masih berlebihan. Maka sekali ia pegang tangan opas itu terus disengkelit, kontan
opas itu terdjungkal dan goloknja terampas.

Melihat Tik Hun kini bersendjata, opas2 itu mendjadi djeri, mereka tidak berani sembarangan
mendekat lagi, mereka hanja bergembar-gembor: “Wah, paderi tjabul telah melawan petugas
negara dan hendak mengganas lagi!” ~ “Awas, Hiat-to-ok-tjeng telah melakukan kedjahatan
lagi!” ~ “Ini dia Tjay-hoa-in-tjeng jang telah memperkosa dan membunuh puteri hartawan!”

Mendengar teriakan2 itu, diam2 Tik Hun memikir djangan2 dugaannja tadi salah, opas2 ini
bukan kiriman Kang-leng-hu jang hendak menangkapnja. Maka segera ia membentak: “Kalian
sembarangan mengatjo-belo apa? Siapa adalah Tjay-hoa-in-tjeng?”

“Tjay-hoa-in-tjeng” artinja paderi tjabul pemetik bunga, jaitu paderi jang suka memperkosa
wanita baik2.

Dalam pada itu suara kelenengan tadi sudah dekat, tahu2 seekor kuda kuning dan seekor kuda
putih telah berhenti didepan mereka. Dari atas kuda segera “Leng-kiam-siang-hiap” dapat
melihat segala apa jang sedang terdjadi. Mereka agak melengak demi melihat Tik Hun, sebab
merasa muka orang seperti sudah mereka kenal, dan segera merekapun ingat itulah samaran si
Hiat-to-ok-tjeng.

“Toasuhu, tidak apalah djika engkau djuga ingin pelesir, tapi mengapa sehabis itu engkau
membunuh orangnja pula?” demikian seru salah seorang opas itu. “Seorang laki2 berani berbuat
berani bertanggung-djawab, marilah engkau ikut kami melaporkan diri sadja kepada
Koanthayya.”

Dan opas jang lain ikut berseru djuga: “Engkau tjoba menjamar segala, tapi sajang telah dapat
kami pergoki. Harini sudah pasti engkau takkan dapat lolos, lebih baik menjerahkan diri sadja.

“Kalian sembarangan mengotjeh, suka mempitenah orang baik!” sahut Tik Hun dengan gusar.

“Ini bukan pitenah, tapi dengan mata kepala aku melihat sendiri malam itu engkau telah
menjusup kerumah Li-kidjin, tidak salah lagi, biarpun kau terbakar mendjadi abu djuga aku
kenal kau,” sahut opas itu.

Kiranja kawanan Ok-tjeng atau paderi djahat sebangsa Po-siang itu, selama beberapa hari
paling achir ini telah mengganas disekitar lembah Tiangkang, sesudah memperkosa,
membunuh pula korbannja. Karena mengandalkan ilmu silat mereka sangat tinggi, maka
kawanan paderi djahat itu sedikitpun tidak takut2 diwaktu melakukan kedjahatan, bahkan
berani meninggalkan tanda, “Hiat-to”, jaitu gambar golok bertetes darah diatas dinding. Dan
sasaran jang mendjadi korban mereka kalau bukan rumah kaum hartawan dan pembesar, tentu
adalah tokoh terkenal pula dalam Bu-lim. Maka beberapa kabupaten diselatan Tiangkang itu
bila membitjarakan “Hiat-to-ok-tjeng”, seketika pasti setiap orang akan merinding ketakutan.





SERIALSILAT.COM © 2005





177


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



Tatkala itu pembesar2 negeri setempat sudah sibuk menjebarkan petugas untuk menguber,
begitu pula kaum pendekar dan tokoh persilatan daerah Liang-ou djuga turun tangan semua
untuk mentjari kawanan paderi djahat itu.

Tentang opas itu bilang menjaksikan sendiri Tik Hun masuk kerumah Li-kidjin dan sebagainja,
sudah tentu adalah bualan belaka. Soalnja mereka melihat Tik Hun terluka parah, untuk
melarikan diri terang tidak dapat, maka mereka sudah ambil keputusan akan menguruk segala
dosa atas diri Tik Hun, dengan demikian, pertama dapat memenuhi kewadjiban mereka;
kedua, dengan sendirinja djasa mereka akan bertambah besar.

Nama sebenarnja dari “Leng-kiam-siang-hiap” itu ada Ong Siau-hong dan sigadis she Tjui,
namanja tjuma satu, Sing. Kedua muda-mudi itu adalah saudara misan. Ajah Tjui Sing bernama
Tjui Tay, seorang tokoh besar sangat terkenal dimasa dahulu dengan djulukan: “Sam-tjoat-kiam
(Sipedang triguna).

Ong Siau-hong sendiri sedjak ketjil sudah kehilangan kedua orang tua, maka ikut tinggal
dirumah sang paman, jaitu adik ibunja, Tjui Tay, serta mendapat peladjaran ilmu silat.

Karena pembawaan Ong Siau-hong memang gagah dan tampan, maka sedjak ketjil Tjui Tay
sudah mengandung maksud akan mendjodohkan puterinja kepada kemenakannja itu.

Oleh karena kedua orang sedjak ketjil sama2 beladjar silat, sesudah dewasa sama2 mengembara
diluaran untuk mengamalkan kepandaian mereka kepada kaum lemah, maka diam2 benih
tjinta djuga sudah tumbuh diantara mereka, meski tidak bitjara setjara terang2an, tapi mereka
sama2 tahu kelak sudah pasti akan mendjadi suami-isteri, sebab itulah dalam segala tindak-
tanduk merekapun tidak tjanggung2.


Hlm. 7: Gambar:
“Paderi tjabul, engkau sudah berlumuran dosa, apakah engkau masih ingin hidup lagi?” bentak
Ong Siau-hong sambil angkat pedangnja hendak memenggal kepala Tik Hun.
“Tahan dulu!” se-konjong2 muntjul seorang Hwesio tua hingga djiwa Tik Hun tertolong.


Kedua muda-mudi itu telah memperoleh adjaran silat andalan Tjui Tay, paling achir ini nama
mereka sangat terkenal. Setiap orang didaerah Liang-ou sangat kagum terhadap mereka dan
memudji tidak habis2 bila ada orang menjebut tentang “Leng-kiam-siang-hiap”.

Tentang Hiat-to-ok-tjeng mengganas itu memang djuga telah didengar mereka. Tjuma
kebetulan Tik Hun pernah menolong djiwa hamba tua mereka, jaitu si Tjui Hok jang
bertengkar dengan penangkap ikan Tiat-bong-pang itu, makanja Leng-kiam-siang-hiap berlaku
murah dan tidak membunuhnja, tapi tjuma mengeprak kuda menjepak dua kali hingga
pemuda itu terluka parah. Siapa duga dikota ketjil ini kembali mempergoki Tik Hun
menimbulkan gara2 lagi dan mendengar kawanan opas itu sedang membentangkan segala dosa





SERIALSILAT.COM © 2005





178


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



jang katanja diperbuat Tik Hun itu. Dasar djiwa Leng-kiam-siang-hiap itu memang luhur dan
paling bentji pada kedjahatan, maka semakin didengar semakin gusar mereka.

Melihat penonton jang merubung semakin banjak, untuk meloloskan diri tentu akan lebih
susah, segera Tik Hun mengajun goloknja sambil membentak: “Minggir semua!” ~ Lalu dengan
bantuan dajung pendek jang menjanggah dibawah ketiaknja, segera ia menerdjang keluar sana.

Dengan ber-teriak2 takut, penonton2 jang merubung itu lantas berlari menjingkir. Keempat
opas itupun ber-teriak2 sambil menjusul dari belakang: “Tjay-hoa-in-tjeng, djangan lari kau!”

Tapi mendadak Tik Hun memutar balik goloknja hingga lengan salah seorang opas itu tergurat
luka. “Hai, paderi tjabul ini mengganas lagi, berani melukai petugas!” demikian opas itu terus
berteriak.

Ong Siau-hong mendjadi gusar, ia keprak kudanja memburu madju, sekali tjambuknja
bekerdja, “tarrrr”, golok ditangan Tik Hun itu sudah tergubat udjung tjambuk dan terus dia
tarik dengan keras.

Tenaga Tik Hun memang sudah habis, seketika golok terlepas dari tjekalannja. Bahkan Ong
Siau-hong mendesak madju pula, sekali tangan kirinja mendjulur, dari atas ia mentjengkeram
kebawah dan tepat badju leher Tik Hun kena didjambret terus diangkat keatas sambil
membentak: “Paderi tjabul, sudah sekian banjak kedjahatan jang kau lakukan, apakah kau
masih ingin hidup lagi?” ~ berbareng itu tangan lain terus meraba garan pedangnja, sekali sinar
tadjam berkilauan, segera pedangnja terlolos dan hendak memenggal keleher Tik Hun.

“Bagus! Bunuh sadja paderi tjabul itu!” ~ “Ja, tjintjang sadja biar tamat riwajatnja!” ~ begitulah
para penonton itu ber-teriak2.

Dalam keadaan tubuh terapung lantaran ditjengkeram orang, sama sekali Tik Hun tidak
mempunyai tenaga untuk meronta, sekilas ia melihat wadjah Tjui Sing jang aju itupun
mengundjuk rasa hina dan senang. Tentunja hina karena bentji kepada perbuatan tjabul jang
dituduhkan kepadanja itu, dan senang lantaran melihat sang Piauko akan melenjapkan
djiwanja. Diam2 Tik Hun menghela napas penjesalan: “Ai, apa mau dikata lagi, rupanja sudah
suratan nasibku harus selalu dipetenah orang!”

Dalam pada itu ia lihat pedang Ong Siau-hong sudah terangkat tinggi2 tinggal memanggal
kebawah, ia hanja dapat bersenjum getir belaka, katanja didalam hati: “Ting-toako, harap
maafkan aku tidak dapat memenuhi djandji, soalnja bukan Siaute tidak berusaha sedapat
mungkin, tapi sesungguhnja nasibku ini terlalu buruk.”

Dan pada saat pedang Ong Siau-hong itu hampir2 ditabaskan kebawah itulah, tiba2 terdengar
suara teriakan seorang tua: “Nanti dulu, djangan mengganggu djiwanja!”

Tanpa merasa Siau-hong menoleh, ia lihat pendatang itu adalah seorang Hwesio berdjubah
kuning. Usia paderi itu sudah sangat tua, kepala lantjip, telinga ketjil, mukanja penuh keriput.




SERIALSILAT.COM © 2005




179


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



Dan bahan djubah jang dipakainja itu ternjata serupa dan sewarna dengan apa jang dipakai Tik
Hun itu.

Seketika air muka Siau-hong berubah, ia tahu Hwesio itu adalah kaum Hiat-to-tjeng dari Bit-
tjong di Tibet. Tjepat ia memperingatkan Tjui Sing: “Awas, Sing-moay, hati2lah!” ~ Dan tanpa
ajal lagi segera ia ajun pedangnja kebawah, ia pikir paderi tjabul muda ini kubunuh dulu,
kemudian membunuh paderi tjabul jang tua itu.

Waktu pedangnja sudah tinggal belasan senti akan mengenai leher Tik Hun, mendadak Siau-
hong merasa sikunja kesemutan sekali, terang Hiat-to dibagian siku itu telah terkena sesuatu
Amgi. Kontan sadja pedangnja lantas melambai kebawah dengan tidak berkekuatan lagi,
namun karena tadjamnja sendjata itu, tidak urung pipi kiri Tik Hun djuga tergurat suatu luka
jang sangat pandjang.

Gerakan paderi tua itu sangat tjepat, dimana tubuhnja sampai, lebih dulu ia sodok Ong Siau-
hong hingga terdjungkal kebawah kuda, berbareng ia sambar tubuh Tik Hun dan ditaruh
keatas kuda putih tunggangan Tjui Sing jang berada disamping. Dengan gugup Tjui Sing lolos
pedang terus membatjok.

“Wah, alangkah tjantiknja!” seru paderi tua itu ketika ia agak melengak melihat paras Tjui Sing
jang manis itu. Dan belum lagi pedang orang tiba, lebih dulu ia sudah ulur djarinja dan tepat
kena tutuk dipinggang sigadis.

Keruan Tjui Sing kaget dan takut, baru pedangnja hendak dibatjokan, mendadak tenaganja
lenjap, pedang djatuh ketanah hingga mengeluarkan suara njaring. Segera ia bermaksud
melompat turun, namun pinggangnja tiba2 terasa kesemutan dan kakinja ikut kaku serta tidak
mau menurut perintah lagi.

Paderi tua itu ter-kekeh2 beberapa kali, sedikit ia angkat sebelah kakinja, tahu2 orangnja sudah
mentjemplak keatas kuda kuning.

Umumnja orang menaik kuda tentu sebelah kaki mengindjak sanggurdi lebih dulu, kemudian
kaki jang lain melangkah keatas pelana kuda. Tapi paderi tua ini ternjata lain daripada jang lain
tjaranja mentjemplak kuda, ia tidak melompat djuga tidak pakai mengindjak dulu keatas
sanggurdi, tapi sedikit angkat sebelah kakinja, tubuhnja lantas menaik keatas pelana.

Tjuma dalam keadaan katjau dan geger, maka semua orang tiada jang perhatikan gerak-geriknja
jang hebat dan aneh itu.

Sementara sesudah mentjemplak diatas kuda, begitu kedua kaki paderi tua itu mengempit
kentjang, segera kuda kuning itu membedal kedepan diikuti kuda putih dengan suara
kelenengan jang berbunji kelintang-kelinting.

“Sing-moay! Sing-moay!” demikian Siau-hong ber-teriak2 sambil masih menggeletak ditanah,
sungguh ia sangat tjemas daan tidak berani membajangkan apa djadinja sesudah sang Piaumoay




SERIALSILAT.COM © 2005




180


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



alias tunangannja itu ditjulik oleh paderi2 tjabul itu. Ada maksudnja hendak bangun untuk
mengedjar, tapi apa daja, entah tjara bagaimana paderi tua itu telah menutuknja, biarpun ia
meronta sekuatnja tetap tidak dapat berkutik.

Dalam pada itu hanja terdengar suara teriakan2 kawanan opas tadi: “Tangkap paderi tjabul itu!”
~ “Wah, Hiat-to-ok-tjeng dapat lolos!” ~ “Tjelaka, ada gadis tjantik jang ditjulik lagi!”

***

Sudah sekian lamanja Tik Hun terombang-ambing diatas pelana kuda, karena guntjangannja
jang keras itu, hampir2 pemuda itu terbanting djatuh. Dalam gugupnja dengan sendirinja ia
mendjamah sekenanja. Tapi mendadak ia merasa tangannja memegangi sesuatu jang empuk
dan lemas, waktu ia memperhatikan, kiranja apa jang terpegang tangannja itu adalah pinggang
belakang Tjui Sing.

Keruan Tjui Sing ketakutan dan men-djerit2: “Auuuh, Hwesio djahat, lepas tanganmu!” ~ Ia
sangka paderi tjabul itu hendak berlaku tidak senonoh atas dirinja.

Sebaliknja Tik Hun mendjadi kaget djuga dan tjepat ia melepas tangan untuk memegangi
pelana kuda.

Namun betapapun djuga karena mereka berdua menunggang seekor kuda, mau-tak-mau badan
mereka mesti bersentuhan. Saking takutnja hingga air mata Tjui Sing bertjutjuran, dengan
gemetar ia berteriak: “Le………lepaskan aku! Lepaskan aku!”

Rupanja sepaderi tua merasa sebal oleh teriakan2 Tjui Sing jang tiada berhenti itu, tiba2 ia
menutuk Ah-hiat, jaitu djalan darah jang membuat bisu gadis itu. Dengan demikian untuk
bitjara sadja Tjui Sing sekarang djuga tidak dapat.

Diatas kudanja paderi tua itu ber-ulang2 menoleh pula untuk mengamat-amati paras muka dan
potongan tubuh Tjui Sing jang tjantik menggiurkan sambil mulutnja tiada hentinja ber-ketjak2
dan memudji: “Tjk, tjk, tjk, alangkah tjantiknja! Harini Lohwesio benar2 lagi ketomplok
redjeki.”

Meski mulut Tjui Sing sementara itu takdapat bitjara, tapi telinganja toh tidak mendjadi tuli.
Keruan semangatnja se-akan2 terbang ke-awang2 saking takutnja demi mendengar utjapan
paderi tua itu, bahkan hampir2 ia kelengar.

Begitulah paderi tua itu terus keprak kudanja menudju kearah barat, selalu tempat sunji jang
dipilih. Setelah sekian lamanja, ia merasa suara keleningan kedua ekor kuda itu terlalu berisik,
suara kelintang-kelinting itu hanja akan memantjing pengedjaran musuh sadja. Maka segera ia
mengulur tangannja kedepan, ia betot kedua kelenengan emas dan perak kuda2 itu.

Kelenengan2 itu sebenarnja terikat dileher kuda dengan untiran rantai emas dan perak, tapi
tenaga paderi tua itu benar2 susah dibajangkan orang, hanja sekali puntir dan betot sadja, segera




SERIALSILAT.COM © 2005




181


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



kelenengan2 itu kena dibetot putus terus diremaskan hingga mendjadi lantakan emas dan
perak, lalu dimasukkannja kedalam badju.

Sebentarpun paderi tua itu tidak memberi kesempatan mengaso kepada kuda2 itu, ia terus
berdjalan hingga magrib, achirnja sampailah ditepi sebuah tebing jang tjuram dan dibawahnja
adalah sebuah sungai. Ia lihat sekitar situ tiada orang berlalu, pula tiada rumah penduduk,
segera ia menurunkan Tik Hun ketanah, lalu Tjui Sing dipondongnja turun pula. Achirnja
kedua ekor kuda itu ditambatnja dibawah sebuah pohon besar dan membiarkan binatang2 itu
makan rumput dan mengaso.

Kemudian paderi tua itu memondong Tjui Sing pula dan dimasukan ke-tengah2 semak2
rumput, ia sendiri lalu duduk bersila menghadapi sungai dengan mata terpedjam untuk
bersemadi.

Tik Hun duduk didepan sipaderi tua itu dengan pikiran jang timbul-tenggelam tak keruan,
pikirnja: “Pengalamanku harini benar2 teramat aneh sekali. Ada dua orang baik2 hendak
membunuh aku, sebaliknja seorang Hwesio tua malah menolong djiwaku. Melihat kelakuan
Hwesio tua ini, terang dia adalah sebangsanja Po-siang jang djahat itu, kalau dia
memperlakukan nona itu dengan tidak senonoh, lantas apa dajaku?”

Begitulah dengan bingung Tik Hun hanja berduduk ter-menung2 diatas tebing. Angin malam
men-deru2 diseling suara burung malam jang menjeramkan. Tik Hun bergidik demi melihat
pula muka sipaderi tua jang mirip majat hidup itu. Waktu ia menoleh, ia melihat di-semak2
rumput sana menondjol sebagian badju wanita, itulah Tjui Sing jang menggeletak disitu.

Beberapa kali Tik Hun bermaksud menanja sipaderi tua, tapi melihat sikap orang jang kereng
itu, betapapun ia tidak berani membuka suara.

Selang agak lama, mendadak paderi tua itu berbangkit dengan pelahan2, kaki kirinja tampak
diangkat hingga tapak kakinja tertekuk keatas, dengan hanja berdiri dengan kaki kanan, lalu
paderi itu pentang kedua tangannja menghadap kebulan.

Se-konjong2 Tik Hun ingat: “He, gajanja ini aku seperti sudah pernah melihat? Ah, ingatlah
aku, didalam buku ketjil tinggalan Po-siang terdapatlah gambar dengan gaja jang aneh ini.”

Ia lihat paderi tua itu masih terus berdiri dengan sebelah kaki sebagai patung, sedikitpun tidak
bergojang. Lewat sebentar, mendadak paderi itu melompat keatas sambil mendjungkir,
sesudah turun, kini kepalanja jang menahan ditanah, kedua kakinja terangkat rapat lurus
keatas.

Tik Hun merasa ketarik, ia tjoba mengeluarkan buku ketjil jang ditemukan dari dalam
badjunja Po-siang itu, ia mem-balik2 halaman buku itu, pada suatu halaman, ia lihat gambarnja
persisi seperti gaja jang dilakukan sipaderi tua sekarang ini. Tik Hun seperti paham sesuatu,
pikirnja dalam hati: “Ehm, tentu inilah kuntji melatih ilmu dari golongan Bit-tjong mereka.”





SERIALSILAT.COM © 2005





182


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



Kemudian ia melihat paderi tua itu ber-ulang2 berganti tjara dan gaja latihannja, melihat
gelagatnja, tidak mungkin dapat selesai dalam waktu singkat, bahkan paderi itu semakin
tenggelam dalam keasjikan latihannja sambil mata terpedjam.

Tik Hun berpikir: “Meski paderi ini telah menolong djiwaku, tapi terang dia adalah seorang
djahat dan tjabul. Ia mentjulik nona tjantik ini, terang tidak bermaksud baik. Selagi dia asjik
melatih diri, biarlah nona itu akan kutolong, lalu mealrikan diri ber-sama2 dengan menunggang
kuda.”

Biarpun ber-ulang2 Tik Hun tertimpa nasib malang, namun djiwanja jang luhur budi toh tidak
mendjadi berkurang. Meski tahu tindakannja ini berarti “menjerempet bahaja”, namun ia tidak
tega menjaksikan seorang nona baik2 mesti dinodai oleh seorang paderi tjabul. Maka diam2 ia
menggeser tubuh, dengan pelahan2 ia merangkak kearah semak2 rumput.

Dahulu, ia sering melatih Lwekang bersama Ting Tian didalam pendjara, maka ia tahu dikala
orang sedang asjik semadi begitu, tentang daja pantjaindera untuk sementara kehilangan daja-
gunanja, telinga tuli dan mata se-akan2 buta. Dalam keadaan demikian asal paderi itu masih
terus berlatih, tentu takkan mengetahui kalau dirinja telah menolongi sinona.

Lantaran tulang kakinja patah, maka setiap kali Tik Hun bergerak, tentu menimbulkan rasa
sakit tidak kepalang, tapi ia tahan sedapat mungkin, ia letakan titik berat tubuhnja dibagian
siku dan dengan setengah menjeret, pelahan2 ia menggerumut ketengah2 semak rumput itu
dan untunglah sama sekali tidak diketahui oleh sipaderi tua.

Waktu Tik Hun menunduk, dibawah sinar bulan, paras muka Tjui Sing dapat terlihat dengan
djelas. Kedua mata nona tampak membelalak lebar2 dengan air muka jang mengundjuk rasa
ketakutan setengah mati.

Kuatir diketahui sipaderi tua, maka Tik Hun tidak berani membuka suara, tapi hanja meng-
gerak2an tangan untuk memberi tanda djangan kuatir sebab datangnja itu bermaksud
menolong gadis itu serta akan melarikan diri ber-sama2 dengan menunggang kuda.

Tjui Sing sendiri sedjak digondol lari sipaderi tua, diam2 ia sudah putus asa akan nasibnja
sendiri jang tertjengkeram ditangan iblis kedua paderi tjabul itu, ia tidak berani membajangkan
penderitaan apa jang akan dialaminja nanti.

Tjelakanja ia tertutuk, djangankan bergerak, sedangkan untuk bitjarapun tidak dapat. Ia
ditaruh begitu sadja ditengah semak2 rumput, semut dan belalang selalu merajap kian kemari
dikepala dan lehernja hingga gatal dan risih rasanja. Kini melihat Tik Hun menggerumut pula
mendekati dirinja, ia sangka pemuda itu pasti tidak bermaksud baik dan tentu akan berbuat
tidak senonoh kepadanja, keruan takut Tjui Sing tidak kepalang.

Ber-ulang2 Tik Hun masih menggeraki tangannja untuk memberi tanda bahwa maksudnja
hendak menolong padanja. Tapi saking takutnja Tjui Sing mendjadi salah tampa, salah terima,
hingga semakin menambah rasa takutnja.




SERIALSILAT.COM © 2005




183


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E




Segera Tik Hun menarik bangun sigadis dan menuding kearah kuda jang tertambat disebelah
sana itu, maksudnja mengadjak gadis itu melarikan diri bersama dengan menunggang kuda.
Tapi meski Tjui Sing sudah berduduk, sekudjur badannja tetap lemas lunglai tidak bertenaga.

Kalau kedua kaki Tik Hun dalam keadaan sehat dan kuat tentu ia dapat memondong sigadis.
Tapi kini kakinja patah, untuk berdjalan sendiri sadja susah, apalagi hendak memondong orang
lain? Djalan satu2nja ia pikir harus membuka dulu Hiat-to sigadis jang tertutuk itu dan biar
gadis itu berdjalan sendiri.

Namun Tik Hun tidak paham tjara menutuk dan membuka Hiat-to, terpaksa ia memberi
tanda pula dengan tangannja sambil men-tuding2 bagian2 tubuh sigadis dengan harapan
dapatlah gadis itu membalas memberi tanda djawaban dengan lirikan matanja tempat mana
dapat membuka Hiat-to jang tertutuk itu.

Sebaliknja Tjui Sing salah tampa lagi. Ia lihat pemuda itu tuding2 kesegala pelosok badannja,
karuan malunja tak terkatakan dan gemasnja djuga tidak kepalang. Pikirnja: “Kurangadjar benar
paderi muda ini, entah dengan tjara aneh apa aku akan diperlakukan setjara tidak senonoh
olehnja. Kuharap asal badanku dapat bergerak sedikit sadja, segera aku akan tumbukan
kepalaku diatas batu, lebih baik mati daripada menerima hinaan.”

Melihat air muka sinona mengundjuk rasa bingung dan aneh, diam2 Tik Hun heran. Ia
menduga mungkin gadis itu tidak tahu apa jang dimaksudkan dengan gerakan tangannja tadi.
Padahal selain membuka Hiat-to jang tertutuk itu, rasanja tiada djalan lain lagi untuk bisa
meloloskan diri. Katanja didalam hati: “Maksudku hanja ingin membantu nona melarikan diri
dari antjaman bahaja, maka harap memaafkan tindakanku ini.” ~ Habis itu, terus sadja ia ulur
tangan dan memidjat beberapa kali dipunggung sigadis.

Sudah tentu pidjitan2 itu tiada membawa hasil apa2 dalam hal membuka Hiat-to jang tertutuk.
Sebaliknja rasa takut Tjui Sing semakin bertambah hingga hampir2 ia djatuh kelengar. Sebagai
seorang gadis, biarpun dia sering mengembara di Kangouw bersama sang Piauko, jaitu Ong
Siau-hong, tapi setiap tindak-tanduk mereka selalu sopan-santun, bahkan tangan menjentuh
tangan djuga tidak pernah, apalagi main pegang2 segala. Ketjuali tadi waktu dia diturunkan dari
kuda oleh sipaderi tua, boleh dikata selama hidup belum pernah ada tangan kaum prija jang
menjentuh tubuhnja. Kini Tik Hun bukan lagi menjentuh tubuhnja, bahkan pidjit2
dipunggung, keruan saking takut dan malunja sampai air matanja bertjutjuran.

Sebaliknja Tik Hun mendjadi heran dan kedjut. “Mengapa dia menangis? Ah, tentu karena
habis tertutuk, Hiat-to dipunggungnja itu mendjadi sangat kesakitan bila terpegang oleh
tanganku hingga saking tak tahan dia lantas menangis. Biarlah kutjoba membuka Hiat-to
dipinggangnja sadja?” demikian pikir Tik Hun.

Maka kembali ia ulur tangan kepinggang sigadis bagian belakang dan memidjat beberapa kali
pula.





SERIALSILAT.COM © 2005





184


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



Tapi tjelaka, bukannja gadis itu ketawa geli, sebaliknja air matanja semakin deras sebagai
bandjir. Keruan Tik Hun bertambah heran dan bingung pula. “Wah, kiranja bagian pinggang
djuga sakit, lantas apa dajaku?” demikian pikirnja.

Namun se-bodoh2nja Tik Hun djuga tahu bahwa bagian2 dada, leher, paha, perut, dan lain2
adalah tempat2 jang merupakan keagungan kaum wanita. Djangankan dipegang segala, sedang
dipandang sadja dilarang keras. Maka ia memikir pula: “Aku tidak dapat membuka Hiat-tonja,
djika aku mentjoba lagi setjara sembarangan, itu berarti aku berbuat kasar. Terpaksa aku mesti
menggendong dia dan melarikan diri dengan menjerempet segala bahaja.” ~ Berpikir demikian,
terus sadja ia pegang kedua tangan sigadis dengan memaksud untuk menggendongnja.

Tjui Sing sendiri lagi ketakutan dan susah tak terkatakan, saking tjemasnja sudah beberapa kali
hampir2 ia kelengar. Kini melihat “paderi tjabul” itu mulai memegang tangannja, ia sangka
orang mulai akan main paksa. Ia ingin berteriak minta tolong, tapi napasnja tertahan didada
dan susah dikeluarkan. Ketika Tik Hun mulai tarik tangannja dan hendak mengangkat
tubuhnja, seketika hawa jang merongkol didadanja itu lantas menerdjang hingga Ah-hiat jang
tertutuk tadi terbuka mendadak ia dapat ber-teriak2 dengan suara tadjam melengking: “Bangsat
gundul, lepaskan aku, lepaskan aku!”

Keruan Tik Hun kaget, pegangannja mendjadi kendor hingga Tjui Sing terbanting djatuh
ketanah. Bahkan ia sendiripun ter-hujung2 dan achirnja terguling djuga dan setjara sangat
kebetulan djatuhnja itu tepat menindih diatas badan Tjui Sing.

Dan karena djeritan Tjui Sing itu, sipaderi tua lantas sadar, ia membuka mata dan melihat Tik
Hun sedang “bergumul” dengan Tjjui Sing, bahkan gadis itu lagi ber-teriak2 pula: “Bangsat
gundul, lekas lepaskan aku atau bunuhlah aku sadja!”

“Hahahaha!” sipaderi tua ter-bahak2 menjaksikan itu. “Haha, setan tjilik, kenapa kau begitu ter-
buru2? Kau hendak mentjuri nona milik kakek gurumu, ja? Hahahaha!” ~ Segera iapun
mendekati mereka, sekali djamberet, ia tarik Tik Hun keatas dan dibawa menjingkir, lalu
dilepaskan ketanah sambil berkata pula dengan tertawa: “Haha, bagus, bagus! Aku paling suka
kepada pemuda pemberani seperti kau ini. Biarpun kakimu patah, tapi melihat ada wanita,
engkau lantas lupa sakit. Ehm, bagus, bagus! Engkau sangat mentjotjoki seleraku!”

Keruan Tik Hun garuk2 kepala sendiri dengan serba runjam karena kesalah-pahaman kedua
orang itu. Sinona salah tampa, mengira dirinja hendak berbuat tidak senonoh kepadanja,
sebaliknja sipaderi tua salah sangka dia hendak merebut ‘hak milik’ sang ‘kakek guru’ itu.
Diam2 Tik Hun memikir: “Kalau aku bitjara terus terang padanja, mungkin sekali hantam
paderi itu bisa membikin tamat riwajatku. Terpaksa aku harus mengikuti arah angin untuk
berusaha meloloskan diri, berbareng mentjari akal untuk menolong nona itu.”

“Apakah engkau adalah murid jang baru diterima Po-siang?” demikian terdengar sipaderi tua
sedang menanja. Dan belum lagi Tik Hun mendjawab, tiba2 paderi itu tertawa lebar dan
menjambung pula: “Ehm, tentu Po-siang sangat suka padamu, bukan sadja dia telah
menghadiahkan ‘Hiat-to-tjeng-ih’ (djubah paderi bersulam gambar golok berdaarah)




SERIALSILAT.COM © 2005




185


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



kepadamu, bahkan djilid ‘Hiat-to-pit-kip’ (kitab pusaka golok berdarah) djuga sudah diberikan
padamu.”

Habis berkata, sekali ia mengulur tangannja, tahu2 buku ketjil jang berada didalam badju Tik
Hun itu dirogoh keluar olehnja, ia mem-balik2 halaman kitab itu, lalu mengusap kepala Tik
Hun dengan pelahan2 sambil berkata: “Ehm, bagus, sangat bagus! Siapakah namamu?”

“Tik Hun!” sahut sipemuda.

“Tik Hun? Ehm, bagus, sangat bagus!” demikian pudji sipaderi tua sambil mengembalikan
kitab ketjil itu kedalam badju Tik Hun. ”Dan gurumu sudah mengadjarkan padamu kuntji
melatih ilmu silat kita belum?”

“Belum,” sahut Tik Hun.

“O, tapi tak apalah, tidak lama tentu dia akan mengadjarkan padamu,” udjar paderi tua itu.
“Dan dimanakah Suhumu telah pergi?”

Sudah tentu Tik Hun tidak berani mengatakan Po-siang sudah mampus, terpaksa ia menjahut
sekenanja: “Dia......dia berada dikapal ditengah Tiangkang.”

“Suhumu pernah memberitahukan kepadamu tentang gelar agung Sutjomu (kakek gurumu)
tidak?” tanja sipaderi tua pula.

“Belum,” sahut Tik Hun.

“Baiklah, dengarkan sekarang, kakek-gurumu ini bergelar ‘Hiat-to-Lotjo’,” kata paderi tua.
“Aneh djuga, entah mengapa engkau sisetan tjilik ini sangat menjenangkan aku. Bolehlah kau
ikut pada kakek-gurumu ini, tanggung kau akan mendapat redjeki tiada taranja, setiap wanita
tjantik dan gadis aju didunia ini, siapa jang kau penudjui, tentu pula akan kau peroleh dengan
mudah.”

“Kiranja dia adalah gurunja Po-siang,” demikian pikir Tik Hun. Tapi ia lantas tanja djuga:
“Mengapa......mengapa orang memaki kita sebagai ........sebagai ‘Hiat-to-ok-tjeng’? Apakah
Su......Sutjo adalah Tjiangkau (pedjabat ketua dari golongan kita ini?”

“Hehe, Po-siang si bedebah ini benar2 terlalu, masakah tentang asal-usul golongannja sendiri
djuga tidak dikatakan kepada murid kesajangannja,” demikian Hiat-to Lotjo atau si Ejang golok
berdarah, mengomel dengan mengekeh tawa. “Tapi biar kuterangkan padamu. Golongan kita
ini adalah suatu tjabang dari Bit-tjong di Tibet, namanja disebut ‘Hiat-to-bun’. Aku adalah
pedjabat ketua angkatan keempat daripada keluarga golok berdarah kita ini. Maka engkau
harus beladjar dengan baik2 dan giat, kemudian bukan mustahil djabatan ketua angkatan
keenam akan dapat djatuh atas dirimu. Eh, tulang kakimu telah patah terindjak kuda, ja?
Djangan kuatir, marilah biar kuberi obat.”





SERIALSILAT.COM © 2005





186


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



Segera ia membuka balutan kaki Tik Hun jang patah itu, ia sambung tulang patah tepat pada
tempatnja satu sama lain, lalu mengeluarkan sebuah botol porselen dan menuang sedikit obat
bubuk dan dibubuhkan ditempat luka itu. Katanja: “Ini adalah obat mudjarab menjambung
tulang dari golongan kita, tanggung tjes-pleng, tiada sebulan, tentu kakimu akan pulih seperti
sediakala.”

Setelah membalut kembali luka Tik Hun itu, sipaderi berpaling kepada Tjui Sing, lalu katanja
pula dengan tertawa: “Setan ketjil, rupa anak dara ini memang lumajan dan potongan badannja
boleh djuga, bukan? Ia mengaku sebagai ‘Leng-kiam-siang-hiap’ apa segala, bapaknja bernama
Tjui Tay, katanja adalah tokoh terkemuka dikalangan Bu-lim didaerah Tionggoan sini, biasanja
suka mengagulkan diri sebagai kaum Beng-bun-tjing-pay (keluarga baik2 dan golongan
ternama), siapa duga anak dara ini telah kena ditjulik oleh Hiat-to Lotjo. Hehehe, kita harus
membikin malu habis2an kepada bapaknja itu, kita beletjeti badju anak dara ini dan ikat dia
diatas kuda, lalu kita arak dia sepandjang djalan dikota Pakkhia (Peking), biar setiap orang ikut
menjaksikan dengan djelas beginilah matjamnja anak perawan Tjui-tayhiap jang mereka pudja
itu.”

Keruan hati Tjui Sing ber-debar2 mendengar utjapan paderi tua itu, saking takutnja hampir2 ia
kelengar lagi. Pikirnja diam2: “Paderi muda itu sudah djahat, tapi paderi tua bangka ini terlebih
djahat dan kedji. Aku harus lekas mentjari djalan untuk membunuh diri demi badanku jang
sutji bersih ini serta nama baik ajah.”

“Aha, baru dibitjarakan, tahu2 orang jang hendak menolongnja sudah tiba!” tiba2 Hiat-to Lotjo
berseru sambil tertawa.

Tik Hun mendjadi girang malah, tjepat ia tanja: “Dimana?”

“Sekarang masih djauh, paling sedikit ada lima li dari sini,” sahut Hiat-to Lotjo. “Hehe, banjak
djuga djumlahnja, ehm, seluruhnja ada 17 penunggang kuda.”

Waktu Tik Hun mendengarkan dengan tjermat, benar djuga sajup2 didjalan pegunungan
disebelah tenggara sana ada suara derapan kuda, tjuma djaraknja masih sangat djauh, maka
suara derapan itu terkadang terdengar dan terkadang lenjap, untuk membade berapa djumlah
orangnja sudah tentu sangat sulit, tapi sedikit mendengarkan sadja Hiat-to Lotjo sudah lantas
tahu dengan pasti djumlahnja ada 17 orang, sungguh daja pendengarannja jang tadjam itu sangat
mengedjutkan orang.

Kemudian Hiat-to Lotjo berkata pula: “Tulang kakimu baru sadja dibubuhi obat, dalam waktu
tiga djam engkau tidak boleh sembarangan bergerak, kalau tidak, untuk selamanja kau akan
mendjadi pintjang. Didaerah sini aku tidak pernah mendengar ada djago2 jang berkepandaian
tinggi, meskipun mereka berdjumlah 17 orang, biarlah nanti kubunuh semua sadja.”

Sesungguhnja Tik Hun tidak ingin Hwesio djahat itu terlalu banjak mentjelakai djago2 silat
jang baik dikalangan Bu-lim, maka tjepat ia berkata: “Kita sembunji disini sadja tanpa bersuara,





SERIALSILAT.COM © 2005





187


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



mereka tentu takkan mampu menemukan kita. Djumlah musuh terlalu banjak, sebaliknja kita
tjuma berdua, maka sebaiknja Su.....Sutjo berlaku hati2 sadja.”

Hiat-to Lotjo mendjadi senang, katanja: “Ehm, setan tjilik berhati luhur, dapat memperhatikan
keselamatan kakek-gurumu. Hehe, Sutjo sangat suka padamu.”

Habis berkata, sekali ia mengagap kebagian pinggang, tahu2 sebatang Bian-to (golok badja jang
tipis dan lemas) terpegang ditangannja, batang golok itu tampak bergemetar terus mirip ular
hidup. Dibawah sinar bulan mata golok itu kelihatan berwarna merah padam, lapat2 bersemu
warna darah dan sangat menjeramkan.

Tanpa merasa Tik Hun bergidik, tanjanja dengan gemetar: “Apakah........apakah inilah jang
disebut Hiat-to (golok berdarah)?”

“Ja,” sahut Hiat-to Lotjo. “Golok pusaka ini setiap malam bulan purnama mesti diberi sesadjen
kepala manusia, kalau tidak, tadjamnja akan berkurang dan tidak menguntungkan sipemiliknja.
Lihatlah malam ini bulan lagi purnama, kebetulan ada 17 orang menghantarkan kepala mereka
sendiri untuk sesadjen golokku. Wahai, golok-pusaka, malam ini engkau pasti akan kenjang
makan darah manusia, lebih kenjang daripada apa jang pernah kau rasakan.”

Dilain pihak, diam2 Tjui Sing sedang bergirang demi mendengar suara derapan kuda jang ramai
itu semakin mendekat, tapi sesudah mendengar utjapan Hiat-to Lotjo jang sangat sombong itu
se-akan2 setiap orang jang datang itu sudah pasti akan terbunuh olehnja. Hal ini meski
membuatnja ragu2, tapi diam2 iapun berpikir: “Apakah ajahku sendiri ikut datang? Dan apakah
Piauko djuga datang kemari?”

Selang tak lama pula, dibawah sinar bulan jang terang itu, tertampaklah dari djalan lereng bukit
sana sebarisan penunggang kuda sedang mendatangi dengan tjepat. Waktu Tik Hun tjoba
menghitungnja, benar djuga, tidak lebih dan tak kurang, djumlahnja memang tepat adalah 17
orang.


Hlm. 19 Gambar:

“Engkau tentu adalah murid baru si Po-siang, bukan? Siapakah namamu?” tanja Hiat-to Lotjo.
“Tik Hun!”
“Tik Hun? Ehm, bagus, bagus! Djika engkau menurut pada Sutjo, tentu setiap wanita aju dan
gadis tjantik didunia ini dapat kau peroleh dengan mudah!”


Susul menjusul ke-17 penunggang kuda itu tertampak mengeprak kuda dengan tjepat, setiba
didekat tebing situ, penunggang2 kuda itu lantas membiluk kedjalan dibawah tebing itu,
ternjata tiada terpikir oleh mereka untuk menjelidiki keadaan diatas tebing.

“Aku berada disini, aku berada disini!” segera Tjui Sing berteriak2.




SERIALSILAT.COM © 2005




188


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E




Mendengar itu, seketika ke-17 orang itu memberhentikan kuda mereka dan memutar kembali.

“Piaumoay! Dimanakah engkau, Piaumoay?” segera seorang laki2 balas berseru. Itulah suaranja
Ong Siau-hong.

Dan selagi Tjui Sing hendak berteriak pula, mendadak Hiat-to Lotjo mendjulur djarinja dan
menjelentik sekali, sebutir batu ketjil terus menjambar kearah sigadis dan tepat mengenai pula
Ah-hiat hingga Tjui Sing tidak dapat bersuara lagi.

Sementara itu ke-17 orang itu sudah melompat turun semua dari binatang tunggangan mereka
dan sedang berunding dengan suara pelahan2.

Mendadak Hiat-to Lotjo pegang bahu Tik Hun terus mengangkatnja tinggi2 keatas sambil
berseru: “Inilah Hiat-to Lotjo. Tjiangbundjin angkatan keempat dari Hiat-to-bun Bit Tjong di
Tibet bersama murid angkatan keenam Tik Hun berada disini!” ~ Menjusul ia berdjongkok
dan mentjengkeram pula leher badju Tjui Sing serta diangkatnja keatas djuga sambil berteriak:
“Lihatlah ini, anak perawannja Tjui Tay kini sudah mendjadi gundik ke-18 daripada tjutju
muridku Tik Hun. Siapakah diantara kalian ada jang kepingin minum arak bahagianja, silakan
lekas madju kemari! Ahahahahaha!”

Ia sengadja hendak pamerkan betapa tinggi Lwekangnja, maka suara ketawanja itu dibikin
pandjang hingga antero lembah pegunungan itu se-akan2 terguntjang oleh suaranja jang
berkumandang djauh itu.

Keruan ke-17 orang itu saling pandang dengan terperandjat sekali.

Namun demikian, bagi Ong Siau-hong, oleh karena sang Piaumoay berada dibawah
tjengkeraman paderi djahat dan tampaknja sedikitpun tidak mampu melawan, malahan
mendengar pula teriakan paderi tua itu tadi jang mengatakan sang Piaumoay sudah mendjadi
gundik ke-18 dari tjutju muridnja jang bernama Tik Hun, ia mendjadi tambah kuatir djangan2
sang Piaumoay telah dinodai, saking gusar dan kuatirnja, sekali menggereng, terus sadja ia
mendahului menjerbu keatas tebing dengan pedang terhunus.

Segera pula ke-16 orang jang lain ikut menerdjang keatas sambil ber-teriak2: “Bunuh dulu Hiat-
to-ok-tjeng itu!” ~ “Basmilah penjakit orang Kangouw ini!” ~ “Ja, paderi tjabul seperti itu
djangan sekali2 diberi hak hidup!”

Menghadapi keadaan demikian, Tik Hun mendjadi serbasalah. Orang2 itu telah sangka dirinja
sebagai Hwesio djahat dari Hiat-to-bun, biar bagaimanapun rasanja sulit untuk membela diri
dan memberi pendjelasan. Paling baik dalam pertarungan nanti mereka dapat membunuh
Hiat-to Lotjo dan nona Tjui Sing dapat diselamatkan. Tetapi kalau Hiat-to Lotjo terbinasa,
tentu dirinja djuga susah lolos dibawah sendjata orang2 itu. Begitulah Tik Hun mendjadi
bingung dan serba sulit, sebentar berharap kaum pendekar Tionggoan itu bisa menang, lain saat
mengharapkan Hiat-to Lotjo jang menang pula.




SERIALSILAT.COM © 2005




189


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E




Sebaliknja Hiat-to Lotjo bersikap sangat tenang, djumlah musuh jang sangat banjak itu
dianggapnja urusan sepele sadja. Kedua tangannja masih terus mendjindjing Tik Hun dan Tjui
Sing sambil mulutnja menggigit Hiat-to hingga semakin menambah tjoraknja jang seram dan
menakutkan.

Setelah para pendekar Tionggoan itu kira2 tinggal berpuluh meter hampir mendekat, pelahan2
Hiat-to Lotjo meletakkan Tik Hun ketanah, ia taruh dengan hati2 sekali supaja tidak
mengganggu tulang kaki “tjutju-murid” jang patah itu. Dan sesudah rombongan lawan tingggal
belasan meter djauhnja, barulah ia letakan pula Tjui Sing disampingnja Tik Hun. Goloknja
masih tetap tergigit dimulut, kedua tangannja lantas bertolak pinggang, lengan badjunja ber-
kibar2 tertiup angin malam jang kentjang.

“Piaumoay! Baik2kah engkau?” segera Ong Siau-hong berseru dari djauh.

Sudah tentu Tjui Sing djuga bermaksud menjahut, tapi apa daja, ia takdapat bersuara. Tjuma
kedatangan sang Piauko jang semakin dekat itu dapat diikutinja dengan djelas. Ia lihat air muka
sang Piauko jang tampan itu mengandung rasa penuh kuatir dan sedang berlari mendatangi.
Sungguh girang Tjui Sing tak terkatakan, alangkah terima kasih dan tjintanja kepada sang
Piauko itu, kalau dapat ia ingin segera menubruk kedalam pelukan pemuda itu untuk
menangis serta mengadukan penderitaan dan penghinaan apa jang telah dialaminja selama
beberapa djam ini.

Sementara itu Ong Siau-hong lagi tjelingukan kian kemari, perhatiannja melulu ditjurahkan
untuk mentjari Piaumoay seorang, karena itu langkahnja mendjadi agak lambat, maka diantara
para pendekar itu sudah ada 7-8 orang melampauinja kedepan.

Dibawah sinar bulan purnama, sikap Hiat-to Lotjo jang gagah berwibawa dengan berdiri
sambil menggigit golok itu membuat para pendekar serentak berhenti ketika lima-enam meter
berada didepan paderi tua itu.

Setelah kedua pihak saling pandang sedjenak, mendadak terdengar suara bentakan, dua laki2
berbareng terus menerdjang keatas. Jang satu bersendjatakan Kim-pian (rujung emas) dan jang
lain bersendjatakan Siang-to (sepasang golok). Mereka adalah dua saudara seperguruan dari
keluarga Hek di Soasay Tay-tong-hu jang terkenal. Walaupun sesama perguruan, tapi sendjata
mereka berlainan, jang memakai Kim-pian bertenaga sangat besar, sebaliknja jang bersendjata
Siangto sangat lintjah dan gesit.

Kira2 beberapa meter mereka menjerbu madju, karena langkah pemakai Siang-to itu lebih
gesit dan tjepat, segera ia mengisar kebelakang Hiat-to Lotji, dengan demikian mereka lantas
menggentjet paderi itu dari muka dan belakang sambil mem-bentak2.

Tapi sedikit Hiat-to Lotjo mengegos, batjokan Siang-to lawan sudah terhindar. Setelah berkelit
pula beberapa kali dari serangan lawan sambil goloknja tetap tergigit dimulut, suatu ketika, se-





SERIALSILAT.COM © 2005





190


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



konjong2 dengan tangan kiri ia memegang garan goloknja jang tipis dan lemas itu, sekali ia
mengajun, kontan kepala lawan jang memakai Kim-pian itu terpapas separoh.

Habis membunuh seorang, segera paderi tua itu menggigit goloknja dengan mulut.

Keruan lawan jang memakai Siang-to itu terperandjat dan berduka pula, ia mendjadi nekat
djuga, ia putar sepasang goloknja sekentjang kitiran dan merangsang madju.

Tapi Hiat-to Lotjo dengan seenaknja dapat menjusur kian kemari dibawah sinar golok lawan
itu. Se-konjong2 ia memegang goloknja lagi, sekali ini dengan tangan kanan, dan sekali tabas,
tahu2 lawan telah terbatjok mati.

Serentak para pendekar mendjerit takut dan mundur kebelakang. Tertampak paderi tua itu
menggigit golok jang berlumuran darah, mulutnja berlepotan darah pula, sikapnja beringas
menjeramkan.

Walaupun djeri, namun para pendekar itu sudah bertekad sehidup-semati, maka betapa pun
mereka pantang lari. Dengan mem-bentak2, kembali ada empat orang menerdjang madju lagi
terbagi dari empat djurusan.

Mendadak Hiat-to Lotjo lari kearah barat. Dengan sendirinja keempat lawannja serentak
mengedjar, begitu pula pendekar2 jang lainpun ikut mengudak sambil mem-bentak2.

Hanja dalam beberapa meter djauhnja, tertampaklah tjepat dan lambat keempat pengedjar itu,
jang dua dapat mendahului didepan dan dua orang lainnja ketinggalan dibelakang.

Rupanja itulah jang diinginkan Hiat-to Lotjo, mendadak ia berhenti lari kedepan, sebaliknja
terus menjerbu kembali. Dimana sinar merah berkelebat, tahu2 kedua lawan didepan itu sudah
terbinasa dibawah goloknja. Dan sedikit tertegun kedua orang jang menjusul dari belakang itu,
tahu2 leher mereka djuga sudah berkenalan dengan golok sipaderi tua, tanpa ampun lagi kepala
mereka berpisah dengan tuannja.

Dengan merebah ditengah semak2 rumput, Tik Hun dapat menjaksikan hanja dalam sekedjap
sadja Hiat-to Lotjo sudah berhasil membinasakan enam lawannja, betapa hebat ilmu silatnja
dan betapa ganas tjaranja, sungguh susah untuk dibajangkan. Sekilas terpikir olehnja: “Djika
tjara demikian dia membunuh musuh, sisa ke-11 orang lagi mungkin hanja sekedjap sadja
sudah akan bersih terbinasa olehnja.”

Tiba2 terdengar suara teriakan seorang: “Piaumoay, Piaumoay! Dimanakah engkau?” ~ Itulah
suaranja Kim-tong-kiam Ong Siau-hong, sipedang djedjaka emas, satu diantara Leng-kiam-
siang-hiap.

Tjui Sing sendiri berdjuluk Gin-koh-kiam atau sipedang dara perak. Ia sedang menggeletak
disamping Tik Hun, karena Ah-hiat, jaitu Hiat-to pembisu, telah ditutuk oleh Hiat-to Lotjo,
maka ia takdapat bersuara, hanja didalam hati sadja ia ber-teriak2: “Piauko, aku berada disini!”




SERIALSILAT.COM © 2005




191


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E




Dilain pihak Ong Siau-hong masih terus mentjari sang Piaumoay dengan menjingkap semak2
rumput jang lebat itu. Tiba2 angin meniup hingga udjung badju Tjui Sing tersiur keatas, hal
mana segera dapat dilihat oleh Siau-hong, dengan girang pemuda itu berseru; “Inilah dia,
disini!” ~ Segera iapun menubruk madju untuk merangkul bangun Tjui Sing.

Saking girangnja sampai Tjui Sing meneteskan air mata hampir2 ia djatuh pingsan didalam
pelukan sang kekasih.

“Piaumoay, Piaumoay! Aku telah ketemukan engkau!” demikian seru Siau-hong kegirangan
sambil memeluk se-kentjang2nja.

Dalam keadaan begitu, segala tata-tertib dan sopan-santun antara kedua orang jang berlainan
djenis itu sudah dilupakan oleh pemuda itu.

“Piaumoay, bagaimana kau, tidak apa2 bukan?” demikian Siau-hong menanja pula.

Dan sudah tentu Tjui Sing takdapat mendjawab. Siau-hong mendjadi tjuriga, tjepat ia letakkan
sigadis ketanah. Tapi baru kaki Tjui Sing berdiri, tubuhnja terus mendojong roboh kebelakang.
Dan baru sekarang Siau-hong tahu apa jang terdjadi atas diri sang Piaumoay, iapun seorang jang
mahir Tiam-hiat, segera ia memidjit beberapa kali dibagian pinggang dan bahu untuk
membuka Hiat-to jang tertutuk itu.

“Piauko-piauko!” segera Tjui Sing berteriak terharu sesudah merdeka kembali.

Dalam pada itu Tik Hun menginsafi keadaan berbahaja bagi dirinja ketika Ong Siau-hong
mendekat kesitu. Dikala pemuda itu asjik membuka Hiat-to sang Piaumoay, diam2 Tik Hun
Tik merangkak pergi.

Namun Tjui Sing adalah satu gadis jang sangat tjermat, begitu mendengar ada suara semak
rumput berkeresakan, segera teringat olehnja hinaan jang diterimanja dari Tik Hun, terus sadja
ia menuding kearah Tik Hun dan berseru kepada sang Piauko: “Itu dia, lekas bunuh paderi
djahat itu!”

Mendengar itu, tanpa pikir lagi Siau Hong terus lolos pedangnja pula, setjepat kilat ia menusuk
kearah Tik Hun.

Untunglah Tik Hun sebelumnja sudah tahu gelagat bakal tjelaka. Demi mendengar teriakan
Tjui Sing itu, maka sebelum pedang orang tiba, dengan tjepat ia terus menggulingkan diri
kedepan. Dan ternjata disisi situ adalah tanah tandjakan jang miring, maka seperti tong gentong
sadja ia menggelindingkan diri kebawah.

Dalam pada itu Ong Siau-hong telah menjusulkan tusukan kedua kalinja dengan tjepat dan
tampaknja sudah hampir mengenai Tik Hun, se-konjong2 terdengar “trang” sekali, tangannja
terasa kesemutan, tusukannja telah tertangkis oleh berkelebatnja sinar merah kemilau.




SERIALSILAT.COM © 2005




192


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E




Tapi ilmu silat Siau-hong memang lebih tinggi daripada Tjui Sing, kalau tjuma sekali gebrak
sadja masih belum dapat menundukannja. Dalam segala kerepotannja itu, tanpa pikir lagi ia
terus putar pedangnja sedemikian kentjangnja hingga berwudjut sebuah bola sinar putih untuk
melindungi tubuh sendiri. Maka terdengarlah serentetan suara gemerintjing beradunja pedang
dan golok, hanja sekedjap sadja sudah lebih 20-30 kali kedua sendjata saling berbenturan.

Kiranja ilmu pedang Siau-hong itu sudah hampir memperoleh seluruh kepandaian sang guru,
jaitu Tjui Tay, ajahnja Tjui Sing. Ilmu pedang jang dimainkan itu disebut “Khong-djiok-khay-
peng” (burung merak pentang sajap), gaja ilmu pedang itu seluruhnja ada sembilan rupa
permainan pedang itu sudah dilatihnja dengan sangat masak, dalam keadaan djiwanja terantjam
bahaja oleh serangan golok musuh jang tjepat luar biasa itu, ia tidak dapat memikirkan apakah
mesti menangkisnja dengan satu djurus demi satu djurus, tapi ia terus memainkan “Khong-
djiok-khay-peng” dengan sendirinja. Dan lantaran itu, meski Hiat-to Lotjo ber-ulang2
melantjarkan serangan sampai 36 kali dan semakin lama semakin tjepat namun toh seluruhnja
kena ditangkis oleh Siau-hong.

Semua orang sampai terkesima menjaksikan pertarungan sengit dan tjepat itu. Sementara itu
diantara 17 orang pengedjar itu sudah ada tiga orang pula jang terbinasa dibawah golok
berdarah sipaderi tua, sisanja termasuk Tjui Sing tinggal sembilan orang sadja. Diam2 mereka
menahan napas mengikuti pertempuran jang berlangsung itu, pikir mereka: “Betapapun Leng-
kiam-siang-hiap memang tidak bernama kosong, hanja dia sendiri jang mampu menangkis
serangan kilat dari golok paderi djahat itu.”

Padahal bila Hiat-to Lotjo mengendorkan serangannja, menjusul saling gebrak lagi setjara biasa,
dalam belasan djurus sadja tentu djiwa Ong Siau-hong akan melajang dibawah golok berdarah
Hiat-to Lotjo itu. Untunglah seketika itu sipaderi tua tidak memikirkan kemungkinan itu, ia
masih terus merangsak dan menjerang setjepat kilat dan setjara ber-tubi2.

Sebenarnja ada maksud para pendekar lain hendak ikut menerdjang madju untuk membantu
mampuskan paderi tua jang djahat itu, tapi karena pertarungan kedua orang itu dilakukan
dengan terlalu tjepat hingga tiada tempat luang jang dapat mereka masuki.

Sudah tentu diantara semua orang itu jang paling memperhatikan keselamatan Siau-hong
adalah Tjui Sing. Meski kaki-tangannja masih terasa lemas dan linu, tapi iapun tidak berani
menunggu terlalu lama, segera ia djemput sebatang pedang dari tangan sesatu majat jang
menggeletak ditanah itu, terus sadja ia ikut menjerbu madju untuk membantu sang Piauko.

Sigadis sudah biasa bekerdja sama dengan sang Piauko dalam menghadapi musuh, tjara
bertempurnja mendjadi tidak tjanggung2 segera Ong Siau-hong menahan semua serangan Hiat-
to Lotjo dan Tjui Sing jang melakukan serangan dengan mati2an.

Hiat-to Lotjo mulai gopoh karena sudah puluhan djurus masih takdapat membereskan Ong
Siau-hong. Mendadak ia menggerang sekali, sambil tangan kanan tetap memainkan goloknja,
tangan kiri terus dipakai untuk merebut pedang pemuda itu.




SERIALSILAT.COM © 2005




193


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E




Siau-hong terkedjut, segera ia putar pedangnja lebih kentjang, harapannja dapatlah memapas
beberapa djari tangan musuh jang berani tjoba2 merebut sendjatanja itu. Tak terduga tangan
paderi tua ini seperti tidak takut kepada tadjamnja pedang, tangan itu mendjentik atau
menjampok dengan tjepat hingga ada lebih dari separoh dari tipu serangan Siau-hong kena
dipatahkan. Dan sebab itu keadaan Siau-hong dan Tjui Sing mendjadi berbahaja.

Gelagat tidak menguntungkan itu segera dapat dilihat oleh salah seorang pendekar tua
diantaranja, ia insaf bila sebentar Leng-kiam-siang-hiap sampai terbinasa dibawah golok musuh,
maka sisa kawan2nja djuga tiada seorangpun jang dapat lolos dengan hidup.

Maka ia lantas berseru: “Hajo, kawan2, marilah kita menerdjang madju semua! Biarlah kita
melabrak paderi tjabul itu dengan mati2an.”

Dan pada saat itulah, tiba2 dari djurusan barat-laut sana terdengar suara teriakan seseorang jang
ditarik pandjang: “Lok-hoa-liu-tjui!”

Menjusul arah barat-daya djuga ada suara sahutan seorang lain: ”Lok-hoaaa-liu-tjui!” ~ Bahkan
belum lenjap suara itu, kembali dari arah barat ada suara seorang lagi jang bergema diangkasa:
“Lok-hoa-liuuuuu-tjui?”

Begitulah suara ketiga orang itu berkumandang datang dari tiga djurusan pula, suara mereka
ada jang keras melantang, ada jang njaring melengking, tapi semuanja bertenaga dalam jang
sangat kuat.

Hiat-to Lotjo terkesiap demi mendengar suara teriakan ketiga orang itu, pikirnja:
“Darimanakah muntjulnja tiga tokoh kosen seperti itu? Dari suaranja sadja mungkin ilmu silat
mereka masing2 tidak berada dibawahku. Pabila mereka bertiga mengerubut madju sekaligus,
pasti aku akan susah melawan mereka.”

Begitulah sambil memikirkan tjara menghadapi musuh, gerak serangannja sedikitpun tidak
mendjadi kendor.

Se-konjong2 dari arah selatan lagi2 ada suara seruan seorang ”Lok-hoa-liu-tjuiiiiii!”

Kalau tadi suara ketiga orang itu menarik pandjang seruan mereka mulai dari Lok-hoa-liu,
maka orang keempat ini menarik pandjang huruf keempat “tjui” hingga njaring dan
berkumandang sampai djauh.

Dalam pada itu Tjui Sing mendjadi girang, segera iapun berteriak2: “Ajah, ajah! Lekas tolong,
ajah!”

Segera salah seorang pendekar itupun ada jang berseru girang: ”Itulah dia Kanglam-su-lo telah
datang semua, Lok-hoa-liu-tjui! Haha..............” ~ Tapi baru dia mulai tertawa, se-konjong2 darah
muntjrat dari dadanja, golok Hiat-to Lotjo telah mampir didadanja hingga seketika ia terbinasa.




SERIALSILAT.COM © 2005




194


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E




Mendengar bahwa keempat orang jang datang lagi itu ternjata adalah ajahnja Tjui Sing, tiba2
Hiat-to Lotjo ingat sesuatu: “Aku pernah mendengar tjerita muridku si Sian-yong, katanja
didalam Bulim didaerah Tionggoan, tokoh jang paling lihay selain Ting Tian masih terdapat
pula apa jang disebut Pak-su-koay dan Lam-su-lo (empat tokoh aneh diutara dan empat kakek
sakti diselatan). Pak-su-koay itu katanja berdjuluk ‘Hong-hou-in-liong’(angin, harimau, mega,
naga), dan Lam-su-lo katanja berdjuluk ‘Lok-hoa-liu-tjui (gugur bunga air mengalir alias kotjar-
katjir). Waktu mendengar tjerita itu, aku tjuma mengedjeknja dengan mendengus, kupikir
kalau mereka berdjuluk ‘Lok-hoa-liu-tjui’, masakah mereka memiliki kepandaian jang berarti?
Tapi kini dari suara seruan mereka jang sahut-menjahut ini, njata mereka memang bukan
tokoh sembarangan.”

Selagi paderi tua itu memikir, tiba2 terdengar pula suara keempat orang itu serentak bergema
diangkasa, teriakan “Lok-hoa-liu-tjui” itu berkumandang datang dari empat djurusan jang
begitu keras hingga lembah pegunungan itu se-akan2 terguntjang.

Dari suara itu Hiat-to Lotjo tahu djarak keempat orang masih tjukup djauh, paling tidak masih
5-6 li djauhnja. Tapi bila dia mesti membunuh habis sisa kesembilan lawan jang masih terus
mengerubut dengan nekat itu, dan sementara itu keempat tokoh mengepung tiba, tentu
susahlah untuk meloloskan diri.

Tiba2 ia bersuit, lalu berteriak keras2: “Lok-hoa-liu-tjui, biar kulabrak kalian hingga kotjar-
katjir!”

Berbareng itu djarinja terus menjelentik, “tjreng”, pedang ditangan Tjui Sing sampai mentjelat
keudara oleh selentikan itu.

“Tik Hun, siapkan kuda, kita tinggal pergi sadja!” seru Hiat-to Lotjo tiba2.

Tik Hun tidak mendjawab karena merasa serba sulit, djikalau lari bersama paderi tua itu,
mungkin dirinja akan semakin mendalam kedjeblos kedalam lumpur hingga tidak dapat
menarik diri lagi. Tapi kalau tinggal disitu, bukan mustahil segera akan ditjintjang mendjadi
baso oleh orang banjak, tidak mungkin dia diberi kesempatan untuk bitjara dan membela diri.

Dalam pada itu terdengar Hiat-to Lotjo telah mendesak pula: ”Tjutju murid, lekas tuntun kuda
kesini!”

Dan segera Tik Hun dapat mengambil keputusan: “Paling penting sekarang jalah
menjelamatkan djiwa dahulu, apakah orang lain akan salah paham atau tidak, biarlah itu
urusan belakang?”

Maka waktu untuk ketiga kalinja Hiat-to Lotjo mendesak pula, segera ia menjahut sekali, lalu
mendjemput sebatang tumbak sekedar dipakai tongkat, dengan berintjang-intjuk ia terus
ketempat kuda.





SERIALSILAT.COM © 2005





195


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



“Tjelaka, paderi djahat itu akan lari, biar aku mentjegat dia!” seru seorang gendut jang
bersendjata toja. Segera iapun tarik tojanja serta memburu kearah Tik Hun.

“Hehe, kau hendak mentjegat dia, biar aku mentjegat kau!” demikian Hiat-to Lotjo
mendjengek, berbareng goloknja berkelebat, sebelum sigendut sempat berkelit, tahu2 orangnja
berikut tojanja sudah tertabas kutung mendjadi empat potong.

Melihat kawannja mati setjara mengenaskan, semua orang sama mendjerit ngeri. Memang
tudjuan Hiat-to Lotjo jalah untuk menggertak mundur pengerojok itu, maka pada saat lawan2
itu tertegun sedjenak, tanpa ajal lagi ia mengulur tangan hingga pinggang Tjui Sing kena
dirangkulnja, segera ia berlari kearah Tik Hun jang sementara itu sudah menjiapkan kuda
tunggangannja.

“Lepaskan aku, lepaskan aku, Hwesio djahanam!” demikian Tjui Sing ber-teriak2, berbareng
kepalannja terus menghantam serabutan kepunggung Hiat-to Lotjo.

Biarpun ilmu pedang sigadis tidak lemah, tapi kepalan jang dihudjankan kepunggung musuh
itu ternjata tiada bertenaga, apa lagi kulit-daging Hiat-to Lotjo tjukup kasap dan tebal,
beberapa kali gebukan itu hampir2 tidak terasa olehnja, bahkan paderi tua itu melangkah
dengan sangat tjepat, hanja beberapa kali lompatan sadja ia sudah berada disamping Tik Hun.

Saat itu Ong Siau-hong masih terus putar pedangnja dengan mati2an, ia masih terus
melontarkan djurus2 “Khong-djiok-khay-peng” jang mirip burung merak beraksi itu. Ketika
sang Piaumoay kembali ditjulik musuh lagi, dengan kalap ia lantas memburu sambil tetap
memutar pedangnja tanpa berhenti, tjuma permainannja sudah katjau tak keruan.

Sesudah mendekat, lebih dulu Hiat-to Lotjo menaikan Tik Hun keatas kuda kuning, lalu
menaruh Tjui Sing didepan pemuda itu sambil memberi pesan dengan pelahan: “Orang2 jang
berteriak seperti setan meringkik itu adalah musuh2 tangguh jang tidak sembarangan. Anak
dara ini adalah barang sandera (djaminan), jangan sampai dia melarikan diri.”

Sembari berkata ia terus mentjemplak keatas kuda putih dan dikeprak kearah timur dengan
diikut oleh Tik Hun dengan kuda kuning.

Dalam pada itu suara teriakan “Lok-hoa-liu-tjui” itu semakin mendekat, terkadang suara itu
tuma seorang sadja, tempo2 dua orang, tapi sering djuga tiga-empat orang berseru berbareng.

“Piauko, Piauko! Ajah, ajah! Lekas tolong aku!” demikian Tjui Sing djuga ber-teriak2 ketakutan.
Tapi djelas dilihatnja sang Piauko makin djauh ketinggalan dibelakang kuda.

Kedua ekor kuda kuning dan putih milik Leng-kiam-siang-hiap itu memangnja adalah kuda2
pilihan jang susah didapat. Biasanja mereka sangat bangga atas binatang tunggangan mereka itu.
Siapa duga sekarang sendjata makan tuan, kuda2 itu berbalik diperalat oleh musuh untuk
melarikan Tjui Sing. Sudah tentu binatang2 itu tidak kenal kawan atau lawan, mereka hanja





SERIALSILAT.COM © 2005





196


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



menurut perintah sipenunggang sadja, semakin dikeprak, semakin kentjang larinja, dan Ong
Siau-hong djuga ketinggalan semakin djauh.

Walaupun takdapat menjusul musuh, namun Siau-hong tidak putus asa, ia masih memburu
terus sambil ber-teriak2 dari djauh: “Piaumoay! Piaumoay!”

Begitulah jang satu berteriak “Piauko” dan jang lain berseru “Piaumoay”, suara mereka sedih
memilukan, bagi pendengaran Tik Hun, rasanja mendjadi tidak tega, beberapa kali ia hendak
mendorong Tjui Sing kebawah kuda biar berkumpul kembali dengan kekasihnja. Tapi selalu
teringat olehnja pesan Hiat-to Lotjo jang mengatakan musuh jang datang itu sangat tangguh,
anak dara ini adalah barang sandera dan harus didjaganja djangan sampai lari. Maka ia mendjadi
ragu2, bila Tjui Sing dilepaskan tentu Hiat-to Lotjo akan gusar, paderi jang djahat luar biasa itu,
bukan mustahil akan membunuh dirinja bagai menjembelih seekor ajam sadja. Apalagi bila
sampai disusul oleh ajah Tjui Sing berempat djago tangguh itu, besar kemungkinan dirinja
djuga akan terbunuh setjara sia2 tanpa berdosa.

Seketika Tik Hun mendjadi bingung apa jang harus dilakukannja, ia dengar suara teriakan Tjui
Sing sudah mulai serak. Mendadak hati Tik Hun terharu: “Ai, betapa tjinta-kasih antara
mereka itu, tapi dengan paksa telah dipisahkan orang. Aku sendiri bukankah djuga demikian
dengan Djik-sumoay? Mestinja kami dapat hidup aman tenteram berduaan, tapi ada pihak
ketiga jang telah menghantjurkan tjita2 kami. Namun ....namun, bilakah Djik-sumoay pernah
memperhatikan diriku seperti nona Tjui ini terhadap Piaukonja itu?”

Berpikir sampai disini Tik Hun mendjadi berduka, katanja didalam hati: “Bolehlah kau kembali
sadja!” ~ dan sekali mendorong Tjui Sing didorongnja kebawah kuda.

Tak terduga meski Hiat-to Lotjo berdjalan didepan, namun setiap saat ia memperhatikan
gerak-gerik kuda dibelakangnja. Ketika suara teriakan Tjui Sing mendadak berhenti, menjusul
terdengar suara kaget sigadis dan suara djatuhnja ketanah, ia mengira Tik Hun jang patah kaki
itu tidak kuat menahan terperosotnja Tjui Sing ketanah, maka tjepat ia memutar balik
kudanja.

Dilain pihak, begitu tubuh Tjui Sing djatuh ketanah, tjepat ia sudah melompat bangun pula,
segera iapun angkat langkah seribu berlari kearah Ong Siau-hong.

Djarak kedua muda-mudi tatkala itu kira2 ada seratusan meter, jang satu berlari dari sini, jang
lain memapak dari sana, jang satu berteriak: “Piauko!” dan jang lain berseru; “Piaumoay!” ~
Djarak mereka semakin dekat, rasa girang mereka tak terkatakan dan rasa kuatir merekapun
susah dilukiskan.

“Hehe, biarlah mereka gembira dulu!” demikian djengek Hiat-to Lotjo. Ia sengadja menahan
kudanja, ia membiarkan kedua muda-mudi semakin mendekat satu-sama-lain, waktu djarak
mereka tinggal 20-30 meter djauhnja, mendadak ia kempit kudanja kentjang2 sambil bersuit,
setjepat angin ia membedal kuda putih itu kebelakang Tjui Sing.





SERIALSILAT.COM © 2005





197


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



Keruan Tik Hun ikut kuatir bagi sigadis, dalam hati ia ber-teriak2: “Lekas lari, tjepat sedikit,
lekas!”

Begitu pula beberapa pendekar jagn tidak terbunuh tadi ketika melihat Hiat-to Lotjo
menggeprak kudanja kembali sambil mulut menggigit golok berdarahnja, merekapun ber-
teriak2 kuatir: ”Tjepat lari, lekas!”

Tjui Sing mendengar suara derapan kuda dari belakang semakin mendekat, tapi lari mereka
djuga semakin tjepat dan djarak kedua muda-mudi itupun semakin dekat. Saking napsu dan
gugupnja ingin lekas2 mentjapai sang kekasih, sampai dadanja se-akan2 meledak dan
dengkulnja terasa lemas, setiap saat pasti dia akan terbanting roboh. Tapi sedapat mungkin ia
masih bertahan sekuatnja

Lambat laun ia merasa hawa napas kuda putih seperti sudah menjembur sampai
dipunggungnja, terdengar Hiat-to Lotjo sedang berkata dengan tertawa iblis: “Hehe, masakah
kau dapat lolos?”

Dengan mati2an Tjui Sing angkat langkahnja selebar mungkin sambil mengulur kedua
tangannja kedepan, namun sang Piauko masih dua-tiga meter djauhnja, sedangkan tangan kiri
Hiat-to Lotjo sudah terasa merangsang keatas kepalanja.

Sekali Tjui Sing mendjerit dan selagi hendak menangis, tiba2 terdengarlah suara seruan seorang
jang penuh welas-asih serta sangat dikenalnja: “Djangan takut, Sing-dji, ajah datang untuk
menolong kau!”

Mendengar suara itu tak-lain-tak-bukan adalah sang ajah ~ Tjui Tay ~ jang telah datang, dalam
girangnja semangat Tjui Sing tiba2 terbangkit, entah darimana datangnja kekuatan, se-konjong2
kakinja meledjit sekuatnja kedepan hingga lebih satu meter djauhnja, meski saat itu lengan atas
sigadis sudah terdjamah oleh tangan Hiat-to Lotjo, tapi achirnja gadis itu dapat terlepas djuga.

Ketika Ong Siau-hong sekuatnja melompat madju djuga, tangan kiri kedua muda-mudi itu
sudah dapat saling memegang. Tjepat tangan kanan Siau-hong memutar pedangnja pula,
pikirnja: “Alhamdulillah, sjukur Suhu dapat tiba tepat pada waktunja untuk menolong, maka
sekarang tidak perlu takut kepada iblis paderi djahat itu lagi.”

Sebaliknja Hiat-to Lotjo ter-kekeh2 edjek melihat pemuda itu berani main kaju padanja lagi,
tiba2 goloknja menjabat kedepan.

Melihat berkelebatnja sinar merah, tjepat Ong Siau-hong ajun pedangnja menangkis. Diluar
dugaan, tiba2 golok bersinar merah darah itu dapat melengkung kebawah hingga mirip tali jang
lemas udjung golok terus memotong kedjari tangannja. Bila Ong Siau-hong tidak lepaskan
pedangnja, pasti tangannja jang akan terkutung.

Didalam seribu kerepotannja itu, perubahan gerakan pemuda itupun sangat tjepat, ia kerahkan
tenaga pada tangannja, pedang terus ditimpukan kearah musuh.




SERIALSILAT.COM © 2005




198


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E




Tapi sekali djari kiri Hiat-to Lotjo mendjentik, kontan pedang itu terpental dan menjambar
kearah seorang kakek jang sedang berlari setjepat terbang dari arah barat sana. Menjusul golok
ditangan kanan paderi itu terus mengulur kedepan pula mengantjam muka Ong Siau-hong.

Untuk mendojongkan tubuhnja kebelakang guna menghindar serangan itu, terpaksa Siau-hong
harus melepaskan tangan jang memegang tangan Tjui Sing itu. Dan kesempatan itu tidak di-
sia2kan Hiat-to Lotjo, sekali tangannja merangkul, kembali Tjui Sing tertawan olehnja terus
ditaruh diatas pelana kudanja. Bahkan paderi itu tidak memutar kudanja dengan segera, tapi
malah keprak kuda mentjongklang kedepan, menerdjang kearah rombongan djago2 silat
Tionggoan tadi.

Melihat musuh menerdjang dengan kudanja, pendekar2 Tiongoan jang menghadang ditengah
djalan itu terpaksa melompat minggir sambil ber-teriak2. Sedangkan Hiat-to Lotjo lantas
memutar kudanja, mengitar kembali kearah Tik Hun sambil mulutnja mengeluarkan suara
gerangan aneh.

Namun sebelum dia mendekat dengan Tik Hun, se-konjong2 sesosok bajangan kelabu
berkelebat, sinar pedang jang gemerdep menjilaukan mata karena tertimpa tjahaja sinar bulan,
tahu2 menjambar kearah dadanja. Tanpa pikir lagi Hiat-to Lotjo ajun goloknja menjampok,
“trang”, golok membentur pedang hingga tjekalannja terasa kesemutan. “Hebat benar tenaga
dalamnja!” diam2 paderi tua itu membatin.

Dan pada saat itulah kembali dari sebelah kanan sebatang pedang djuga menusuk kearahnja.
Gaja serangan pedang ini datangnja sangat aneh, udjung pedang tampak gemerdep hingga
berwudjut beberapa lingkaran2 besar dan ketjil, hingga seketika tidak djelas kemana tusukan
pedang itu hendak diteruskan.

Kembali Hiat-to Lotjo terkedjut: “Ah, kiranja tokoh ahli Thay-kek-kiam djuga datang!”

Segera ia himpun tenaga ketangan kanan, iapun ajun goloknja hingga berupa beberapa
lingkaran, begitu lingkaran2 golok dan pedang beradu, terdengarlah “trang-trang-trang”
beberapa kali disertai muntjratnja lelatu api.

“Ilmu golok bagus!” terdengar pihak lawan membentak. Berbareng orangnja terus melompat
kesamping. Waktu dipandang, kiranja adalah seorang Todjin (imam agama Tao) jang
berdjubah kuning djingga.

“Dan ilmu pedangmu djuga bagus!” demikian Hiat-to Lotjo balas memudji.

Tapi orang jang disisi kiri tadi lantas membentak djuga: “Lepaskan puteriku!” ~ Segera
pedangnja menusuk dan tangannja memukul sekaligus.

Disebebelah sana, dari djauh Tik Hun dapat menjaksikan Tjui Sing kembali telah ditawan
Hiat-to Lotjo pula, tapi akibatnja kini telah dikerubut dua lawan tangguh. Sikakek sebelah kiri




SERIALSILAT.COM © 2005




199


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



itu berdjenggot putih sebagai perak, wadjahnja putih bersih, ber-ulang2 terdengar dia berteriak:
“Lepaskan puteriku!” ~ Terang ialah ajahnja Tjui Sing. ~ Tjui Tay.

Tertampak setiap kali Hiat-to Lotjo menangkis pedang Tjui Tay selalu paderi tua itu tergeliat
sedikit, teranglah tenaga dalam djago she Tjui itu masih lebih kuat daripada lawannja.

Dalam pada itu dari lereng bukit sebelah barat sana tertampak mendatangi lagi dua orang lain
dengan setjepat angin, terang merekapun djago jang lihay.

Pikir Tik Hun: “Bila kedua orang itupun tiba dan empat orang mengerojok madju semua, tentu
Hiat-to Lotjo takkan sanggup melawan mereka, kalau tidak terbinasa djuga akan terluka parah.
Maka lebih baik sekarang djuga aku melarikan diri dahulu!” ~ Tetapi segera terpikir lagi
olehnja: “Kalau bukan paderi itu jang menolong djiwaku, mungkin sedjak tadi2 aku sudah
dibunuh oleh Ong Siau-hong. Djika sekarang aku lupa budi dan mementingkan diri sendiri,
terang ini bukan perbuatan seorang laki2 sedjati.”

Begitulah ia mendjadi ragu2 apa mesti menjelamatkan diri sendiri atau tidak. Se-konjong2
terdengar teriakan Hiat-to Lotjo: “Ini, kukembalikan puterimu.” ~ tahu2 tubuh Tjui Sing
dilemparkan hingga melampaui atas kepala Tjui Tay terus tertudju kearah Tik Hun.

Kedjadian ini benar2 diluar dugaan siapapun djuga, sudah tentu Tjui Sing jang tubuhnja me-
lajang2 diudara itu men-djerit2 ketakutan, bahkan orang lain djuga berteriak kaget semua.

Tik Hun mendjadi bingung djuga ketika melihat tubuh sigadis itu melajang kearahnja. Kalau
tak ditangkap olehnja, tentu gadis itu akan terbanting, kalau ditangkap, datangnja tubuh sigadis
teramat kentjang, boleh djadi ke-dua2nja akan terguling semua ketanah. Namun Tik Hun tidak
sempat banjak memikir lagi, tubuh Tjui Sing sudah melajang tiba, terpaksa ia pentang
tangannja terus merangkul tubuh gadis itu.

Sebenarnja lemparan Hiat-to Lotjo itu tjukup keras, untung Tik Hun berada diatas kuda,
tenaga timpahan itu sebagian besar dapat dipikul oleh kuda. Pula waktu Hiat-to Lotjo
melemparkan Tjui Sing, berbareng ia sudah menutuk djalan darah gadis itu hingga tidak dapat
berkutik apa2, maka Tik Hun dapat menangkap tubuhnja dengan bebas.

“Hwesio djahat, lepaskan aku!” demikian Tjui Sing hanja dapat ber-teriak2.

Di sebelah sana mendadak Hiat-to Lotjo membatjok dua kali kearah Tjui Tay, menjusul
dengan tjepat luar biasa ia membatjok djuga dua kali kepada imam tua tadi, serangan2nja itu
lihay sekali hingga mau-tak-mau lawan2nja harus menghindar dan berkelit. Berbareng Hiat-to
Lotjo berseru pula: “Tik Hun, anak baik, lekas lari, lekas lari dulu, tak perlu menunggu aku!”

Tik Hun masih bingung, tapi segera dilihatnja Ong Siau-hong dan beberapa kawannja telah
memburu kearahnja sambil ber-teriak2: “Bunuh dulu bangsat tjabul tjilik itu!” ~ Dilain pihak
Hiat-to Lotjo masih terus mendesak agar dia lekas melarikan diri. Achirnja Tik Hun pikir





SERIALSILAT.COM © 2005





200


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



memang harus menjelamatkan diri lebih penting. Maka segera ia keprak kudanja menerdjang
kesana.

Tadinja Tik Hun dan Hiat-to Lotjo sebenarnja berlari kearah timur, tapi dalam keadaan gugup
sekarang ia berbalik lari kearah barat.

Dalam pada itu Hiat-to Lotjo memutar golok merahnja itu semakin tjepat, seluruh tubuhnja
se-akan2 terbungkus oleh sinar merah, dengan ketawa2 ia masih berkata: “Lebih baik aku akan
mengawani puterimu jang tjantik molek itu daripada menemani tua bangka seperti kau ini!”

Habis berkata, ia pura2 membatjok sekali, selagi lawan berkelit, terus sadja ia kempit kudanja
hingga binatang itu mendadak melompat kedepan.

Karena kuatir atas diri puterinja jang telah dilarikan Tik Hun itu, Tjui Tay tidak ingin terlibat
lebih lama dengan Hiat-to Lotjo, segera ia mengeluarkan Ginkang “Ting-ping-toh-tjui”
(menumpang kapu2 meluntjur diatas air) jang hebat, segera ia mengedjar kearah Tik Hun
setjepat orang meluntjur diatas air.

Tapi kuda tunggangan Tik Hun djusteru adalah kuda pilihan djenis Tay-wan (sedjenis kuda
patju Mongol) jang dibeli Tjui Tay sendiri dengan harga 500 tahil perak, betapa tjepat larinja
ketjuali kuda putih tunggangan Hiat-to Lotjo itu, boleh dikata djarang ada tandingannja. Maka
sekarang meski diatas kuda kuning itu dibebani dua orang, jaitu Tik Hun dan Tjui Sing, tapi
larinja masih sangat tjepat dan Tjui Tay tetap takdapat menjusulnja.

“Berhenti, berhenti!” demikian Tjui Tay ber-teriak2. “Bangsat gundul, djika kau tidak berhenti,
sebentar kutjintjang kau hingga mendjadi bergedel!”

Sudah tentu tidak nanti Tik Hun mau berhenti, sebaliknja ia mengeprak kudanja semakin
kentjang.

“Ajah, ajah!” Tjui Sing ber-teriak2 djuga dengan ketakutan.

Sungguh hati Tjui Tay seperti di-sajat2, sahutnja: “Djangan kuatir, nak!”

Dan hanja sekedjap sadja kedjar mengedjar itu sudah dua ~ tiga li djauhnja. Meski Ginkang
Tjui Tay sangat hebat, tapi lama-kelamaan iapun mulai lemas, maklum, usianja sudah landjut
napasnja djadi kempas-kempis dan megap2, djaraknja dengan kuda kuning itupun semakin
mendjauh. Bahkan mendadak dari belakang terdengar ada sambaran sendjata tadjam. Tanpa
pikir ia putar pedangnja menangkis kebelakang, “trang”, batjokan Hiat-to Lotjo jang sudah
dapat menjusulnja itu kena tertangkis, segera tertampak angin berkesiur lewat diampingnja,
paderi tua itu sudah keprak kuda putihnja sambil ter-bahak2 dan menjusul kearah Tik Hun
dengan tjepat sekali..............

***





SERIALSILAT.COM © 2005





201


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



Hiat-to Lotjo dan Tik Hun masih terus melarikan kuda mereka dengan tjepat hingga musuh
sudah ketinggalan sangat djauh dibelakang, setelah jakin musuh pasti takkan mampu menjusul
lagi, kuatir kalau kuda2 itu terlalu tjapek, mereka lantas mengendorkan kendali dan
membiarkan binatang2 itu berdjalan pelahan2.

Sepandjang djalan tiada henti2nja Hiat-to Lotjo memudji kebaikan hati Tik Hun, katanja
pemuda itu mempunjai Liangsim (hati nurani badjik), biarpun tahu gelagat sangat berbahaja
toh tidak mau melarikan diri meninggalkan sang “Sutjo” (kakek guru).

Tik Hun hanja tersenjum getir sadja oleh “pudjian” setinggi langit itu. waktu ia melirik Tjui
Sing, ia lihat paras muka sigadis mengundjuk rasa ketakutan tertjampur hina padanja, ia tahu
gadis itu pasti sangat bentji, bahkan geregetan padanja. Ia pikir urusan toh sudah ketelandjur
begini, untuk memberi pendjelasan djuga gadis itu belum tentu mau pertjaja, ia pikir masa-
bodohlah, bagaimana engkau hendak memaki dan mentjatji aku sebagai bangsat gundul atau
paderi tjabul dan apa lagi, silakan makilah sesukamu.

“Hei anak dara,” tiba2 Hiat-to Lotjo bersuara, “ilmu silat ajahmu boleh djuga, ja? Tapi, hehe,
toh masih kalah setingkat daripada Tjosuya-mu ini, biarpun dia peras antero tenaganja djuga
tidak mampu menahan diriku.”

Tjui Sing tidak mendjawab, tapi hanja melototnja sekali.

“Dan siimam tua jang bersendjata pedang itu, siapakah dia? Termasuk jang mana diantara ‘Lok-
hoa-liu-tjui’ itu?”demikian Hiat-to Lotjo menanja pula.

Namun Tjui Sing sudah ambil keputusan takkan mendjawab, biar pun orang menanja terus,
tetap ia tidak gubris padanja.

Achirnja Hiat-to Lotjo mendjadi djengkel, tiba2 ia tanja Tik Hun dengan tertawa: “Eh, tjutju
muridku, tahukah engkau tempat manakah jang paling berharga bagi kaum wanita?’

Tik Hun terperandjat oleh pertanjaan itu. “Tjelaka!” pikirnja. “Apakah paderi terkutuk ini akan
menodai kesutjian nona Tjui? Tjara bagaimana baiknja agar aku dapat menolong gadis itu?”

Tapi terpaksa iapun mendjawab: “Entahlah, aku tidak tahu!”

“Ah, masih hidjau, kau,” udjar Hiat-to Lotjo dengan tertawa. “Ini, dengarlah baik2 biar kau
tambah pengalaman.Tempat jang paling berharga bagi kaum wanita adalah terletak pada ........
paras mukanja! Nah, sekarang kau sudah tahu bukan? Makanja bila dia masih tidak
mendjawab pertanjaanku, haha, asal golokku ini kusajat begini dan kuiris begitu, seketika
mukanja akan berwudjut peta djalan simpang, nah, tjantik tidak kalau begitu, ha?” ~ Habis
berkata, sret, segera iapun lolos goloknja jang terselip dipinggang itu.

Namun Tjui Sing adalah satu gadis jang berwatak sangat keras, setelah djatuh ditangan kedua
“paderi tjabul” itu, memangnja ia sudah bertekad pati, lebih baik gugur sebagai ratna daripada




SERIALSILAT.COM © 2005




202


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



hidup menanggung hina. Meski suka kepada paras tjantik adalah mendjadi watak asli kaum
wanita, bila terpikir muka sendiri jang tjantik molek itu bakal di-sajat2 sedemikian rupa oleh
paderi djahanam itu, betapapun ia merasa merinding djuga. Tapi bila terpikir pula sesudah
paras muka sendiri terusak, boleh djadi kesutjian badannja malah dapat dipertahankan, hal ini
masih mending djuga daripada mati konjol.

Sementara itu Hiat-to Lotjo telah abat-abitkan udjung goloknja dimuka hidungnja sambil
mengantjam: “Nah, djawablah! Kutanja siapakah imam tua itu? Djika kau tidak mendjawab
lagi, sajatan pertama segera kulakukan. Katakan, lekas!”

“Fui!” semprot Tjui Sing. “Katakan apa? Katakan kau paderi keparat! Lekas kau bunuh sadja
nonamu ini!”

“Sret”, mendadak tangan Hiat-to Lotjo bekerdja, dimana sinar merah berkelebat, muka Tjui
Sing telah disajatnja sekali.

Tik Hun mendjerit tertahan sekali dan tidak tega untuk memandang. Sebaliknja Tjui Sing
sudah lantas pingsan.

Hiat-to Lotjo ter-bahak2 sambil melarikan kudanja lebih tjepat.

Tanpa tertahan Tik Hun memandang djuga kepada Tjui Sing , tapi ia mendjadi melongo sebab
muka sinona ternjata tiada apa2, bahkan luka sedikitpun tidak ada. Keruan ia sangat girang.

Kiranja ilmu permainan golok Hiat-to Lotjo itu benar2 sudah mentjapai tingkatan jang paling
sempurna dan dapat menurut setiap keinginannja tanpa selisih satu milipun. Tabasannja tadi
memang telah menjambar lewat dipipi Tjui Sing, tapi hanja kena sajat setjomot rambut
dipelipis gadis itu, sedangkan pipinja sedikitpun tidak terluka.

Saat itu pelahan2 Tjui Sing djuga mulai siuman, tanpa tertahan lagi air matanja bertjutjuran.
Ketika dilihatnja Tik Hun lagi memandangnja dengan tersenjum-simpul girang, ia mendjadi
gusar dan mendongkol, damperatnja: “Kau ........ kau ..........paderi djahat.” ~ Sebenarnja ia
bermaksud mentjatji maki pemuda itu dengan kata2 jang paling pedas dan kedji, tapi dasar dia
seorang gadis sopan dan lembut, selamanja tidak pernah mengutjapkan kata2 jang kasar dan
kotor, maka seketika itu iapun tidak tahu apa jang harus dimakinja selain kata2 “paderi djahat”
itu.

Melihat Tjui Sing sudah siuman, segera Hiat-to Lotjo menggeraki pula goloknja jang
melengkung itu kemuka sigadis sambil membentak: “Nah, sekarang kau mau mendjawab
tidak? Kalau tidak, segera kusajat pula mukamu!”

Tapi Tjui Sing tetap membandel, ia pikir toh sudah disajat sekali, biarpun di-sajat2 lagi
mukaku djuga serupa sadja, maka sahutnja dengan mendjerit: “Lekas kau bunuh aku sadja,
Hwesio djahanam!”





SERIALSILAT.COM © 2005





203


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



“Huh, masakah begitu enak?” edjek Hiat-to Lotjo sambil menabas pula, kembali goloknja
menjerempet lewat dipipi sigadis.

Tapi sekali ini Tjui Sing tidak pingsan lagi, ia merasa pipinja njes dingin, namun tidak terasa
sakit, pula tiada darah menetes. Baru sekarang ia tahu Hwesio tua itu tjuma main gertak sadja,
hakikatnja pipi sendiri tidak terluka apa2, tanpa merasa ia menghela napas lega.

“Eh, tjutju murid jang baik, kedua kali batjokan Tjosuya barusan ini bagaimana menurut
pendapatmu?” tiba2 Hiat-to Lotjo menanja Tik Hun.

“Wah, ilmu sakti, hebat sekali!” sahut Tik Hun, tanpa ragu2, memang pudjiannja ini bukan
pura2 belaka, tapi timbul dari hati nuraninja, sebab ilmu golok Hwesio tua itu memang luar
biasa.

“Kau ingin beladjar tidak?” tanja Hiat-to Lotjo pula.

Tik Hun tidak lantas mendjawab, tapi mendadak timbul suatu pikirannja: “Aku djusteru lagi
bingung bagaimana untuk melindungi kesutjian nona Tjui, bila aku mengalihkan perhatiannja
dengan meretjoki sipaderi tua agar mengadjarkan ilmu silatnja kepadaku, tentu pikiran
menjelewengnja untuk sementara ini dapat ditjegah, lalu aku dapat mentjari akal untuk
menolong sinona. Dan aku harus membuat sipaderi tua benar2 mentjurahkan antero
perhatiannja untuk mengadjar padaku, untuk mana aku harus berusaha menjenangkan hatinja
serta beladjar sungguh2.”

Dengan keputusan itu, maka ia menjahut: “Tjosuyaya, kepandaianmu memainkan Hiat-to itu,
sungguh tjutju-murid kerandjingan benar2 untuk mempeladjarinja, maka sukalah Tjosuya
mengadjarkan beberapa djurus padaku, agar kelak bila aku bertemu dengan lawan sebangsa
kerotjo seperti Piauko nona ini, paling tidak aku dapat balas melabraknja.”

Habis berkata, pikir punja pikir Tik Hun mendjadi mengkirik sendiri dan merah djengah
mukanja. Maklum, dasar watak Tik Hun sangat djudjur, selamanja tidak suka pura2, tapi kini
demi untuk menolong sinona, mau-tak-mau ia mesti memanggil “Tjosuya” kepada musuh jang
sebenarnja dibentji itu.

Bahkan Tjui Sing jang mendengar utjapan Tik Hun jang mendjilat pantat itupun merasa muak,
ber-ulang2 ia meludah tanda bentji.

Sebaliknja Hiat-to Lotjo merasa sangat senang, katanja: “Ilmu permainan Hiat-to ini tidak
mungkin dapat dipeladjari dalam waktu singkat. Tapi bolehlah aku mengadjarkan djurus ‘Pi-
tjoa-sia-hu’ (mengupas kertas dan mengiris tahu). Tjara melatihnja begini: taruhlah setumpuk
kertas kira2 seratus helai diatas medja, sekali golokmu menabas harus tepat mengupas kertas
helai pertama, helai kedua sekali2 tidak boleh ikut terkupas. Habis itu memotong helai kedua,
ketiga dan seterusnja, sekali tabas satu helai, hingga habis seratus helai.”






SERIALSILAT.COM © 2005






204


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



“Huh membual seperti tukang obat!” edjek Tjui Sing. Dasar sifat anak muda, ia tidak pertjaja
ilmu golok orang bisa sedemikian lihaynja, makanja ia mengedjek.

“O, djadi kau tidak pertjaja, baiklah sekarang djuga aku mentjobanja dihadapanmu,” udjar
Hiat-to Lotjo dengan tertawa. Dan mendadak ia bubut seutas rambut sigadis.

Keruan Tjui Sing kaget, “Hai, mau apa kau?” teriaknja kuatir.

Namun Hiat-to Lotjo tidak mendjawab, ia taruh utas rambut itu diatas batang hidung Tjui
Sing, lalu melarikan kudanja kedepan sana.

Waktu itu tubuh Tjui Sing meringkuk dan tertaruh diatas kuda, didepannja Tik Hun, ketika
merasa udjung hidungnja ditaruhi seutas rambut, dengan sendirinja merasa ter-kilik2 geli, ia
tidak tahu sipaderi tua itu akan main gila apa, sedianja terus hendak meniup rambut diatas
hidung itu agar djatuh.

Tapi mendadak terdengar Hiat-to Lotjo berseru; “Eh, djangan bergerak, lihatlah jang djelas!” ~
Lalu ia memutar kudanja berlari kembali, dengan tjepat sekali kedua kuda lantas saling
bersimpangan.

Seketika Tjui Sing merasa pandangannja silau oleh berkelebatnja sinar merah, udjung
hidungnja terasa silir2 dan rambut diatas hidung itu tahu2 sudah lenjap. Menjusul lantas
terdengar Tik Hun ber-teriak2: “Bagus! Bagus!”

Ketika Hiat-to Lotjo menjodorkan goloknja kedepan Tjui Sing, maka tertampaklah diatas
batang golok itu terdapat seutas rambut pandjang. Hiat-to Lotjo dan Tik Hun berkepala
gundul semua, dengan sendirinja rambut itu adalah milik Tjui Sing jang takdapat dipalsukan.
Keruan sigadis tidak kepalang kedjut dan kagumnja, pikirnja: “Hwesio tua ini benar2 sangat
lihay. Tabasannja barusan ini kalau satu mili lebih tinggi, tentu rambut itu takkan dapat
terkupas oleh goloknja, sebaliknja kalau rendah sedikit, pasti hidungku sekarang sudah
gerumpung, paling tidak djuga mendjadi pesek. Apalagi dia menabas sambil menaik kuda,
namun toh begitu tepat dan djitu, sungguh kepandaian jang hebat.”

Karena sengadja hendak merebut hati Hiat-to Lotjo, maka tidak habis2 Tik Hun mengumpak
dan memberi pudjian2 setinggi langit atas ilmu golok sang “kakek guru” itu.

Kini Tjui Sing sendiri sudah menjaksikan betapa sakti ilmu goloknja orang, maka iapun anggap
pudjian2 Tik Hun itu memang tidak terlalu berlebihan. Tjuma ia merasa pemuda itu benar2
terlalu rendah djiwanja, masakah sedemikian pendjilat pantat untuk merebut hati sang kakek
guru.

Begitulah kemudian Hiat-to Lotjo melandjutkan perdjalanannja dengan mendjadjarkan kudanja
dengan Tik Hun, katanja: “Dan tjara ‘mengiris tahu’ itu jalah taruh sepotong tahu diatas papan,
lalu mengirisnja tipis2, sepotong tahu itu harus disajat mendjadi seratus irisan ketjil, setiap iris
harus utuh dan pipih. Djika hasilnja memuaskan, itu berarti djurus pertama sudah lulus.”




SERIALSILAT.COM © 2005




205


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E




“Itupun baru merupakan djurus pertama?” Tik Hun menegas.

“Sudah tentu,” sahut Hiat-to Lotjo. “Memangnja kau anggap ilmu golok Tjosuyamu ini seperti
memotong ajam gampangnja? Nah, tjobalah kau pikir, lebih sulit mengiris tahu sambil berdiri
tegak atau lebih sulit mengupas rambut diatas udjung hidung anak dara itu? Hahahahaha!”

Dengan sangat kagum Tik Hun mengumpak pula: “Ilmu sakti Tjosuya sudah tentu tidak
mungkin ditjapai oleh sembarangan orang. Asalkan tjutju-murid dapat mempeladjari
sepersepuluh dari kepandaian Tjosuya sadja rasanja sudah tjukup puas!”

Hiat-to Lotjo ter-bahak2 senang oleh pudjian itu. Sebaliknja Tjui Sing me-ludah2 hina pula.

Biasanja orang mendjilat itu paling sulit terletak pada utjapannja jang pertama. Orang djudjur
seperti Tik Hun itu memangnja tidak tjotjok disuruh mengutjapkan kata2 jang penuh pudjian
belaka itu, tapi sesudah banjak diutjapkan, otomatis mendjadi biasa baginja untuk mentjari
kata2 jang enak didengar. Padahal pudjian2 Tik Hun bagi ilmu golok Hiat-to Lotjo jang sakti
itu boleh dikata tidak berlebihan, tjuma kalau menurut watak asli Tik Hun, seharusnja tidak
nanti sudi diutjapkannja.

Begitulah maka Hiat-to Lotjo telah mendjawab: “Ehm, bakatmu tjukup baik, asal kau mau giat
beladjar, pasti kepandaianku ini dapat kau peladjari. Baiklah, sekarang djuga boleh kau tjoba2!”

Habis berkata, mendadak ia bubut pula seutas rambutnja Tjui Sing dan meletakannja diatas
udjung hidungnja.

Tentu sadja Tjui Sing ketakutan, sekali sebul terus sadja ia tiup djatuh rambut itu sambil ber-
teriak2: “He, he, Hwesio tjilik ini tidak bisa, mana boleh suruh dia sembarangan tjoba!”

“Tidak bisa harus dilatih sampai bisa, segala kepandaian mesti dilatih dulu baru bisa,” demikian
Hiat-to Lotjo berkata. “Sekali tidak djadi, ulangi sekali lagi, dua kali gagal, ulangi tiga kali, tiga
kali gagal, ulangi sepuluh kali atau duatiga puluh kali, achirnja pasti djadi!” Habis itu, kembali
ia bubut lagi seutas rambut sigadis dan ditaruh pula diudjung hidungnja, lalu ia serahkan
goloknja kepada Tik Hun dan berkata: “Nah, tjoba kau!”

Sambil menerima golok dari tangan Hiat-to Lotjo itu, Tik Hun tjoba memandang sekedjap
kepada Tjui Sing jang menggeletak didepan sendiri itu. Ia lihat wadjah sigadis penuh rasa gusar,
tapi dari sinar matanja tetampak pula rasa takutnja. Rupanja gadis itu tahu kalau Tik Hun
tidak pernah melatih ilmu silat jang hebat itu, pabila setjara semberono menirukan tjara
tabasan Hiat-to Lotjo, mungkin kepalanja akan terbelah mendjadi 2, paling tidak djuga hidung
akan terkupas. Dan masih mending bila kepala terpetjah belah dan seketika mati daripada
menerima hinaan kedua “paderi tjabul” itu, tjelakanja kalau hidungnja jang terkupas mendjadi
pesek, kan bisa runjam untuk selamanja.






SERIALSILAT.COM © 2005






206


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



Tiba2 pikiran tjerdik Tik Hun tergugah, ia menanja Hiat-to Lotjo: “Tjosuya, tjara tabasan ini,
bagaimana dengan tenaga tangan jang harus dipakai?”

“Harus pinggang menggerakan bahu, bahu menembus kelengan, lengan harus tidak bertenaga,
dan pergelangan tangan harus tidak berkekuatan,” demikian sahut Hiat-to Lotjo. Lalu iapun
memberi pendjelasan tentang apa jang dimaksudkan “pinggang menggerakkan bahu” dan “bahu
menembus kelengan” dan apa2 lagi jang kedengarannja susah dimengarti, tapi sebenarnja
mengandung kebenaran jang tepat.

Ber-ulang2 Tik Hun meng-angguk2 atas petundjuk sang “kakek guru”, kemudian ia berkata:
“Tjuma sajang tjutju murid telah dianiaja orang, Pi-pe-kut dipundak sudah dilubangi, otot
tangan djuga terpotong putus, sudah takdapat mengeluarkan tenaga lagi.”

“Mengapa Pi-pe-kutmu dilubangi orang? Dan otot tanganmu djuga dipotong?” tanja Hiat-to
Lotjo.

“Ja, tjutju murid telah banjak menderita akibat didjebloskan kedalam pendjara oleh orang,”
sahut Tik Hun.

Mendadak Hiat-to Lotjo ter-bahak2 tawa. Sambil larikan kuda berendeng dengan Tik Hun, ia
suruh pemuda itu memperlihatkan pundaknja. Benar djuga ia lihat tulang pundak Tik Hun
mendekuk kebawah, malahan luka tulang pundak jang dilubangi dengan rantai itu masih
belum rapat benar2. Pula djari tangan kanan pemuda itupun terpapas putus sebagian, otot
lengan djuga terpotong, untuk melatih ilmu silat boleh dikata sudah tiada harapan lagi.

Diam2 Tik Hun mendongkol oleh ketawa paderi itu, masakah orang tersiksa seberat itu malah
ditertawai.

“Haha, anak muda, tjoba katakan sudah berapa banjak engkau telah merusak anak perawan
orang?” demikian tiba2 Hiat-to Lotjo menanja. “Hehe, orang muda hanja menuruti napsu
belaka hingga lupa daratan, achirnja kau ketangkap basah dan didjebloskan kebui bukan?”

“Bukan,” sahut Tik Hun.

“Ala, pakai malu2 segala! Nagkulah terus terang, engkau dibui oleh orang adalah disebabkan
gara2 kaum wanita bukan?” Hiat-to Lotjo mendesak pula dengan tertawa.

Untuk sedjenak Tik Hun melengak. Memang benar ia dibui adalah disebabkan pitenahan
gundiknja Ban Tjin-san, hal ini berarti gara2 kaum wanita djuga. Maka dengan gergetan ia
mendjawab: “Ja, memang gara2 perempuan hina itu hingga aku menderita seperti ini. Pada
suatu hari aku pasti akan membalas sakit hati ini.”

“Huh, engkau sendiri berbuat djahat, tapi malah menjalahkan orang lain, “ tiba2 Tjui Sing
mendamperat. “Hm, manusia jang paling tidak kenal malu didunia ini mungkin adalah bangsat
gundul seperti kau ini.”




SERIALSILAT.COM © 2005




207


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E




“Haha, anak dara ini benar2 terlalu bandel,” kata Hiat-to Lotjo dengan tertawa. “Eh, tjutju
murid, tjobalah kau lutjuti pakaiannja hingga telandjang bulat, tjoba nanti dia masih berani
memaki orang atau tidak.”

“Baik,” sahut Tik Hun tanpa pikir.

“Bangsat! Kau berani?” maki Tjui Sing dengan gusar.

Padahal dalam keadaan takdapat berkutik, bila Tik Hun benar2 mau membuka pakaiannja
seperti apa jang dikatakan Hiat-to Lotjo itu, betapapun Tjui Sing takdapat melawan. Maka
damperatannja: “Kau berani?” itu hakikatnja tjuma gertakan belaka.

Dan sudah tentu tiada niat sungguh2 Tik Hun hendak melutjuti pakaian Tjui Sing, ketika
dilihatnja sipaderi tua tiada hentinja mengintjar tubuh sigadis dengan ketawa2 tak beres, segera
Tik Hun memikirkan tjara bagaimna agar dapat mengalihkan perhatian paderi tua itu atas diri
sinona. Maka sekenanja ia lantas tanja: “Tjosuya, menurut pendapatmu, bahan apkiran seperti
tjutju murid ini apakah masih dapat melatih ilmu silat?”

“Mengapa tidak?” sahut Hiat-to Lotjo. ‘Sekalipun kedua tangan dan kedua kakimu buntung
semua djuga masih dapat melatih ilmu dari Hiat-to-bun kita ini.”

“Ai, bagus sekali kalau begitu!” teriak Tik Hun dengan girang.

Begitulah sambil bitjara sembari berdjalan, tanpa merasa mereka telah sampai disuatu djalan
besar. Tiba2 terdengar suara gembreng dan terompet jang ramai didepan sana, menjusul
tertampaklah serombongan iring2an pengantin dengan sebuah djoli kembang. Dibelakang djoli
adalah seorang penunggang kuda putih jang berdjubah merah dan berkopiah emas, pakaiannja
mentereng, tentu dia, inilah pengantin laki2nja. Djumlah pengiring itu ada 40-50 orang
banjaknja.

Melihat itu, Tik Hun membilukan kudanja ketepi djalan dengan hati berkebat-kebit sebab
kuatir kalau dikenali orang2 itu. Sebaliknja Hiat-to Lotjo malah keprak kudanja memampak
kearah iring-iringan pengantin itu.

Maka terdengarlah suara bentakan orang: “Hai! Minggir, mau apa kau?” ~ “Hwesio busuk, ada
iring2an pengantin, mengapa kau tidak menjingkir?”

Tapi sesudah didepan iring2an itu, Hiat-to Lotjo lantas berhentikan kudanja, segera ia berseru
dengan tertawa sambil bertolak pinggang: “He, tjoba perlihatkan pengantin wanitanja, tjantik
atau tidak?”

Dari rombongan pengiring itu lantas madju seorang laki2 kekar tegap dengan membawa
sebatang pikulan bambu, segera laki2 itu membentak dengan galak. “Bangsat gundul, apa kau





SERIALSILAT.COM © 2005





208


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



sudah bosan hidup, ja?” ~ Sembari menggertak ia terus antjam dengan pikulan bambu jang
bulat tengahnja lebih besar dari lengan manusia dan pandjangnja hampir dua meter.

“Tjutju murid, lihatlah jang djelas, ini adalah sedjurus ilmu tunggal dari kaum kita,” kata Hiat-
to Lotjo kepada Tik Hun. Mendadak ia sedikit mendojong kedepan, golok merah
bergemetaran se-akan2 seekor Djik-lian-tjoa (ular rantai merah) jang berkelogetan dan dengan
tjepat luar biasa seperti merajap naik-turun diatas pikulan bambu orang. Ketika ia menarik
kembali goloknja, ia ter-bahak2 senang.

Karena itu pengiring2 pengantin itu be-ramai2 mentjatji maki pula, tapi mendadak laki2 jang
membawa pikulan bambu itu berteriak kaget, ternjata pikulan bambu jang dipegangi itu kini
tinggal sebatang bambu jang pandjangnja tjuma setengah meter sadja, selebihnja telah
terkutung ber-potong2 dan djatuh ketanah hingga mengeluarkan suara peletak-peletok.

Ternjata hanja dalam sekedjap sadja sebatang pikulan bambu telah ditabas oleh golok Hiat-to
Lotjo hingga mendjadi berpuluh potongan ketjil2, betapa tjepat dan hebat ilmu golok paderi
tua itu benar2 mirip pemain sunglap sadja, sekalipun djago silat djuga akan terkesiap
menjaksikan itu, djangankan orang2 desa itu, keruan mereka melongo dan ter-longong2.

Bahkan habis ter-bahak2, tahu2 Hiat-to Lotjo ajun goloknja pula kekanan dan membalik dari
atas kebawah, seketika laki2 tadi tertabas mendjadi empat potong. Tambahan paderi itu lantas
membentak pula: “Aku tjuma ingin melihat bagaimana matjamnja pengantin perempuan,
mengapa kalian mesti geger2 segala?”

Melihat disiang hari bolong sipaderi berani mengganas, keruan orang2 itu ketakutan setengah
mati, ada jang bernjali besar masih kuat melarikan diri, tapi sebagian besar mendjadi gemetar
ketakutan, bahkan banjak jang ter-kentjing2 tidak berani bergerak.

Ketika Hiat-to Lotjo mendekati pula djoli pengantin, sekali goloknja berkelebat, tahu2 tirai
djoli sudah tertabas putus. Menjusul tangan kiri paderi itu lantas mendjambret dada
sipengantin perempuan dan menjeretnja keluar.

Keruan pengantin wanita itu ber-kaok2 ketakutan dan me-ronta2 mati2an. Tapi sekali golok
Hiat-to Lotjo bekerdja lagi, segera kerudung muka sipengantin tertabas djatuh hingga
tertampaklah wadjah pengntin wanita jang penuh ketakutan itu.

Pengantin wanita itu berusia 16-17 tahun sadja, boleh dikata masih kanak2, paras mukanja
djuga sangat djelek. “Tjuh”, mendadak Hiat-to Lotjo meludahi pengantin wanita itu sambil
memaki: “Matjam genderuwo begini djuga djadi pengantin apa segala?” ~ dan sekali goloknja
memotong, tiba2 hidung pengantin wanita itu diirisnja. Saking takut dan sakitnja pengantin
wanita itu sudah lantas semaput.

Sipengantin laki2 saat itu masih terpaku diatas kudanja sambil bergemetaran.






SERIALSILAT.COM © 2005






209


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



“Tjutju murid, lihatlah sedjurus ilmu kita jang lain, ini namanja ‘Au-sim-lik-hwe’ (menembus
hati memantjarkan darah)!” seru Hiat-to Lotjo pula kepada Tik Hun. Berbareng golok merah
terus ditimpukan kearah sipengantin laki2.

Dan begitu menimpukan golok, seketika djuga Hiat-to Lotjo melarikan kudanja kedepan,
setjepat kilat ia telah melalui kuda pengantin laki2 dan mendadak ia melompat, sekali
tangannja meraup, golok merah itu sudah kena disambarnja kembali.

Waktu Tik Hun dan Tjui Sing memperhatikan sipengantin laki2, tertampaklah dadanja sudah
berlubang dan sedang menjemburkan darah bagai air mantjur, tubuhnja pelahan2 mendojong
dan achirnja terguling kebawah kuda. Ternjata tubuh pengantin laki2 itu telah ditembus oleh
golok Hiat-to Lotjo, bahkan golok jang masih terus menjambar kedepan itu segera dapat
ditangkap kembali oleh sipaderi.

Sepandjang djalan Tik Hun suka menjandjung Hiat-to Lotjo, pertama memang djeri padanja,
kedua, paderi itu telah menolong djiwanja, betapapun Tik Hun merasa utang budi walaupun
tahu bahwa sekali2 paderi itu bukan manusia baik2, tapi sebelum menjaksikan sendiri
keganasan orang, dengan sendirinja tidak begitu terasa. Tapi kini ia menjaksikan, paderi tua itu
memotong hidung pengantin wanita, bahkan membinasakan pula sipengantin laki2, malahan
membunuh tiga orang jang tak berdosa, bahkan kenalpun tidak. Sebagai orang jang berbudi
luhur, Tik Hun tidak tahan lagi, dengan gusar ia berteriak: “Ken.........kenapa engkau membunuh
orang tak berdosa? Apa halangannja orang2 itu kepadamu?”

Hiat-to Lotjo melengak, tapi lantas djawabnja dengan tertawa: “Haha, memang sudah mendjadi
kebiasaanku suka membunuh orang tak berdosa. Djika membunuh sadja mesti memilih orang,
kemana aku harus memilih?” ~ Habis berkata, sekali goloknja berputar, kembali kepala
seorang pengiring pengantin itu berpisah dengan tuannja.

Sungguh gusar Tik Hun bukan buatan, segera ia melarikan kudanja kedepan sambil ber-teriak2:
“Kau........kau tidak boleh membunuh orang lagi!”

“Setan tjilik, apakah kau mendjadi takut melihat darah mantjur? Huh, tidak berguna!” omel
Hiat-to Lotjo dengan tertawa.

Dan pada saat itu djuga dari djauh terdengar suara derapan kuda jang ramai, ada berpuluh
orang sedang mengedjar dari timur sana. Bahkan terdengar seruan njaring seorang diantaranja:
“Hiat-to Lotjo, lepaskan puteriku dan kita boleh sudahi urusan ini sampai disini, kalau tidak,
biar kau lari keudjung langit djuga akan ku-uber sampai kepodjok langit!”

Itulah suaranja Tjui Tay, meski derapan kuda itu kedengaran masih sangat djauh, tapi seruan
Tjui Tay itu dapat terdengar dengan sangat djelas, suatu tanda betapa hebat Lwekang djago tua
itu.







SERIALSILAT.COM © 2005







210


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



Diam2 Tjui Sing bergirang djuga mendengar suara sang ajah. Lalu terdengar pula suara tembang
dari paduan suara empat orang: “Lok-hoa-liu-tjui........Tjui-liu-hoa-lok........Lok-hoa-liu-
tjui.........Tjui-liu-hoa-lok!”

Nada suara keempat orang itu ber-beda2, ada jang rendah kuat, ada jang tinggi melengking, ada
jang serak tua, ada jang keras kumandang. Tapi betapa tinggi Lwekang masing2 terang
mempunjai keistimewaannja sendiri2.

“Huh, matjam2 sadja lagak bangsat2 dari Tionghoa itu,” demikian Hiat-to Lotjo memaki.

Lalu terdengar seruan Tjui Tay pula dari djauh: “Hiat-to Lotjo, biarpun ilmu silatmu tinggi,
masakah kau mampu melawan “Lam-su-lo” kami berempat? Lepaskanlah puteriku dan urusan
akan beres, seorang laki2 berani berkata berani pegang djandji, pasti aku takkan mengedjar kau
lebih djauh!”

Diam2 Hiat-to Lotjo memikir djuga: “Aku sudah berkenalan dengan kepandaian Tjui Tay dan
imam tua itu, kalau satu-lawan-satu, tidak nanti aku takut, bila aku melawan mereka berdua,
lebih banjak kalahnja daripada menangnja, terpaksa harus lari. Dan djika aku dikerojok tiga,
sudah pasti aku akan kalah habis2an, untuk laripun mungkin susah. Lebih2 kalau aku
dikerubut empat orang, pasti matipun Hiat-to Lotjo takkan terkubur. Hehe, apa jang
dikatakan orang persilatan Tionggoan itu dapatkah dipertjaja? Lebih baik aku tetap membawa
lari anak dara ini, paling tidak aku masih dapat memakainja sebagai barang sandera, bila
kulepaskan dia, itu berarti lebih menguntungkan mereka malah!”

Dengan keputusan itu, mendadak ia membentak sekali sambil mentjambuk bokong kuda
putih tunggangan Tik Hun, terus sadja ia mendahului berlari kearah barat sambil mulutnja
berkomat-kamit. Apa jang diutjapkan itu tak didengar oleh Tik Hun dan Tjui Sing, tapi
rombongan Tjui Tay lantas mendengar kumandangnja sesuatu suara aneh jang berkata: “Tju-
loyatju, Tjiangbundjin dari Hiat-to-bun telah mendjadi anak menantumu. Tjiangbundjin
angkatan keempat sudah mendjadi menantumu. Tjiangbundjin angkatan ke-enam djuga
menantumu, sungguh redjekimu bukan main besarnja, dua Tjiangbundjin dari kedua angkatan
Hiat-to-bun kami telah diborong semua oleh puterimu ini, tapi mengapa engkau masih terus
mengedjar, masakah bapak mertua mengedjar anak menantu, sungguh lutju, sungguh aneh!”

Kiranja komat-kamit mulut Hiat-to Lotjo itu adalah sematjam Lwekang djahat dari kaum
Hiat-to-bun, suaranja dapat tersiar djauh hingga sangat mengatjaukan pikiran orang bahkan
membuat kalap pendengarnja, dengan begitu bila nanti saling gebrak, kekuatan lawan
mendjadi banjak terganggu. Apalagi utjapannja membikin Tjui Tay semakin berdjingkrak dan
hampir2 meledak dadanja saking murkanja.

Tjui Tay tahu betapa djahatnja perbuatan paderi2 dari Hiat-to-bun itu, membunuh dan
memperkosa bagi paderi2 itu sudah pekerdjaan biasa, segala kedjahatanpun dapat mereka
lakukan. Bahwasanja antara kakek-guru dan tjutju-murid berkongsi memiliki puterinja bukan
mustahil pula akan terdjadi. Alangkah gemasnja Tjui Tay, masakah seorang tokoh Bu-lim
terkemuka jang telah mendjagoi daerah Tionggoan selama berpuluh tahun harini mesti




SERIALSILAT.COM © 2005




211


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



mengalami hinaan sebesar ini? Sungguh kalau bisa ia ingin segera mentjingtjang paderi
djahanam itu hingga hantjur luluh.

Maka dengan hilap ia petjut kudanja semakin kentjang. Tjuma sajang kuda tunggangan mereka
tiada satupun jang dapat menandingi kuda-kuda kuning dan putih bekas milik Leng-kiam-
siang-hiap itu, walaupun mereka mengedjar mati2an, tetap tidak dapat menjusul musuh.

Dalam pada itu diantara rombongan pengedjar bersama Tjui Tay itu, selain tokoh2 she Liok,
Hoa dan Lau bertiga kakek jang namanja sedjadjar dengan Tjiu Tay dengan djulukan ‘Lok-hoa-
liu-tjui’ itu, masih ada pula lebih 30 djago Tionggoan jang lain.

Mereka terdiri dari berbagai golongan dan aliran, ada Piausu ternama, ada ketua sesuatu
golongan, ada pula pimpinan organisasi dan tokoh2 silat jang sudah lama mengasingkan diri.
Tapi karena gusar terhadap perbuatan paderi2 Hiat-to-bun jang telah bikin rusuh didaerah
Liang-ou setjara serampangan dan tidak pilih bulu, maka djago2 Tionggoan baik dari Pek-to
(kalangan baik2) maupun Hek-to (kalangan djahat), semuanja lantas ikut menguber serentak
untuk membekuk paderi2 djahat itu.

Tjara mengedjar rombongan djago2 silat itu agak pajah djuga, tapi setiap ada kesempatan, tentu
mereka berganti kuda. Mereka tidak pernah berhenti, tapi makan rangsum dan minum air
sekadarnja diatas kuda sambil terus mengedjar.

Sebaliknja rombongan Hiat-to Lotjo berkat kuda2 tunggangan mereka lebih bagus, maka setiap
ketemu kedai nasi dan warung wedang, sering mereka berhenti menangsal perut dan mengaso
pula. Tjuma tidak berani bermalam dipenginapan. Dan djusteru oleh karena adanja
pengedjaran terus-menerus dari djago2 silat Tionggoan itulah, maka kesutjian Tjui Sing selama
beberapa hari itu masih dapat dipertahankan.

Kedjar mengedjar itu sudah berlangsung beberapa hari, dari wilajah Oupak kini sudah masuk
kewilajah Sutjwan. Sebagai sama2 orang persilatan, begitu mendengar berita pengedjaran itu,
segera tokoh2 dan djago2 Sutjwan lantas be-ramai2 ikut serta dalam rombongan pengedjar itu.
Maka sesudah melalui Sutjwan tengah, rombongan pengedjar itu sudah lebih seratus orang
djumlahnja.

Djago silat didaerah Sutjwan banjak jang berharta, banjak diantara mereka membawa serep
kuda-keledai dengan rangsum dan badju selimut setjara lengkap. Tjuma sajang bila berita
diterima mereka, Hiat-to Lotjo dan rombongannja sudah ketelandjur lalu hingga tidak sempat
untuk mentjegat sebelumnja. Karena itu, djago2 silat Sutjwan hanja dapat menghibur Tjui Tay
agar djangan tjemas dan menjatakan penjesalan mereka sebab tidak dapat mentjegah pada
waktu paderi2 tjabul itu masuk kewilajah mereka.

Sudah tentu Tjui Tay menjatakan terima kasih atas perhatian kawan2 persilatan itu, tapi dalam
hatipun mendongkol: “Huh, urusan sudah lewat baru dibitjarakan. Apalagi kepandaian seperti
kalian ini masakah mampu mentjegat kedua paderi tua dan muda itu?”





SERIALSILAT.COM © 2005





212


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



Begitulah udak-mengudak itu dengan tjepat telah berlangsung hampir 20 hari. Beberapa kali
Hiat-to Lotjo mengambil djalan simpang untuk menjesatkan pengedjarnja, tapi diantara
rombongan pengejar itu adalah seorang Be-tjat (begal kuda) dari Kwantang (diluar tembok
besar timur laut) jang mahir ilmu mentjari djedjak. Tak peduli Hiat-to Lotjo berputar kajun
kemanapun selalu dapat diikutinja dari belakang. Dan oleh karena itu djuga rombongan
merekapun makin djauh makin memasuki lereng pegunungan Sutjwan barat jang terkenal
tinggi dan tjuram itu.

Para djago silat Tionggoan itu tahu tudjuan Hiat-to Lotjo jalah ingin lari pulang kesarangnja di
Tibet. Dan bila masuk kewilajah kekuasaan paderi djahat itu, tentu akan terdjadilah
pertarungan sengit menghadapi begundal Hiat-to-bun, untuk mana tentu akan lebih susah
menjelamatkan Tjui Sing dan entah pihak mana jang bakal menang.

Karena itu, para djago Tionggoan mengedjar semakin kentjang. Pada lohor hari itu, rombongan
mereka telah memasuki sebuah djalanan lembah gunung jang terdjal. Tiba2 tertampak seekor
kuda menggeletak mati ditepi djalan. Njata itu kuda kuning miliknja Ong Siau-hong.

Dengan girang segera Tjui Tay dan Siau-hong berseru: “Musuh telah kehilangan seekor kuda,
marilah kita menguber lebih tjepat, pasti paderi tjabul itu takkan dapat lolos!”

Tempat dimana rombongan djago2 Tionggoan itu berada sudah termasuk wilajah Sutjwan
paling udjung barat, kalau kebarat lagi akan masuk keperbatasan Tibet. Tempat itu termasuk
lereng gunung Tay-swat-san (gunung besar bersaldju), tanahnja tinggi terdjal, dinginnja tidak
kepalang hingga bagi orang jang Lwekangnja rendah, tentu akan sesak napas dan tenaga lemas.
Lebih2 djago2 silat Sutjwan itu kebanjakan adalah kaum hartawan jang biasanja hidup adem-
ajem didalam rumah, mereka itulah jang paling menderita kedinginan.

Tjuma djago2 jang ikut serta dalam pengedjaran ini adalah orang2 jang ternama semua, dengan
sendirinja tiada jang sudi mengundjuk kelemahan hingga memalukan nama baiknja sendiri.

Kini demi melihat kuda kuning tunggangan Hiat-to Lotjo itu mati ditepi djalan, terang paderi
itu tidak mampu lari djauh, seketika semangat semua orang terbangkit dan siap2 untuk
menguber lebih djauh.

Diluar dugaan, perubahan tjuatja dipegunungan itu ternjata sangat tjepat. Tiba2 tertampak
diatas puntjak diseberang selat jang dalam sana, segumpal saldju mendadak longsor kebawah.

“Tjelaka!” tjepat seorang kakek dari Sutjwan barat berteriak: “Akan terdjadi gugur saldju,
hajolah lekas mundur!”

Belum lenjap suaranja, mendadak terdengarlah suara gemuruh, saldju jang longsor dari puntjak
gunung itu semakin hebat.

Djago2 Tionggoan jang tidak pernah melihat saldju itu seketika masih belum tahu duduknja
perkara, banjak diantara mereka malah tanja: “Apakah itu?” ~ “Tjuma saldju longsor sadja




SERIALSILAT.COM © 2005




213


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



kenapa mesti kuatir, hajolah kedjar terus!” ~ “Tjepat uber lagi, lintas dulu puntjak sebelah sana
itu!”

Namun hanja sebentar sadja suara gemuruh jang menggelegar itu sudah bertambah hebat dan
memekak telinga. Dan baru sekarang orang2 itu merasa takut.

Gugur saldju itu djaraknja semula memang sangat djauh, tapi saldju jang longsor dari atas itu,
setiap djatuh disesuatu tempat, selalu menggondol timbunan saldju ditempat itu dan longsor
pula kebawah, dari itu, suaranja semakin lama semakin gemuruh, dan setiba ditengah gunung,
suasana boleh dikata se-akan2 gugur gunung benar2, bagaikan ombak samudera dahsjatnja,
sungguh sangat mengerikan keadaannja.

Maka sekali berteriak, beberapa djago2 Tionggoan itu lantas putar kuda dan mendahului lari.
Dari belakang suara gemuruh itu semakin hebat hingga mirip dunia sudah kiamat, se-akan2
langit telah ambruk dan menindih kebawah. Saking ketakutan mereka keprak kuda melarikan
diri mati2an. Ada beberapa kuda jang djuga ketakutan hingga kaki mendjadi lemas dan tidak
mau djalan, terpaksa penunggangnja melompat turun dan menjelamatkan diri dengan Ginkang.

Namun gugur saldju itu tjepatnja melebihi kuda dan orang lari, hanja sekedjap sadja lautan
saldju itu sudah membandjir kekaki gunung. Ada 7-8 orang jang terlambat larinja terus sadja
terkubur hidup2 ditengah saldju. Dalam keadaan begitu, betapapun gagah perkasa seseorang
djuga takkan mampu melawan bentjana alam jang dahsjat itu.

Dan sesudah melintasi sebuah bukit, barulah bandjir saldju itu tertahan oleh lereng bukit itu.
Dengan demikian barulah pendekar2 itu dapat bernapas lega. Namun saldju longsor itu masih
terus membandjir bagai air bah dahsjatnja, hanja sekedjap sadja antero lembah djalan
pegunungan itu sudah tertutup buntu semua hingga berwudjut bukit saldju jang ber-puluh2
meter tingginja, kalau bukan burung, betapapun tidak dapat melintasinja.

Begitulah kemudian semua orang sama ramai membitjarakan nasib Hiat-to Lotjo bersama
tjutju muridnja itu, tentu kedua paderi itu telah menerima gandjaran atas kedjahatan mereka
dan terkubur dibawah saldju. Merekapun menjesalkan Tjui Sing jang tjantik molek itupun ikut
berkorban tanpa berdosa. Dan sudah tentu banjak pula jang berduka karena ada kawan2
mereka jang telah terkubur ditengah saldju, tapi betapapun mereka bersjkur djuga bagi diri
sendiri jang terhindar dari malapetaka.

Setelah keadaan tenteram kembali, lalu mereka memeriksa kawan2 jang hilang itu. Ternjata
seluruhnja ada 12 orang jang hilang, diantaranja termasuk Ong Siau-hong dan keempat kakek
sakti “Lok-hoa-liu-tjui” itu. Sungguh tidak njana bahwa “Lam-su-lo” jang ilmu silatnja tiada
tandingannja itu kini terpendam semua dibawah saldju pegunungan Tay-swat-san. Begitulah
semua orang menghela napas gegetun, kemudian lantas mentjari djalan untuk keluar dari
kepungan dinding saldju itu. Mereka beranggapan saldju jang membukit itu tidak nanti
mentjair sebelum musim panas tahun depan, untuk bisa mentjari majat jang terpendam saldju
itu, keluarga si-korban paling tidak djuga harus menunggu setengah tahun lagi. Tapi diam2
didalam hati semua orang djuga mempunjai suatu pikiran jang tak terkatakan, jaitu: “Nama




SERIALSILAT.COM © 2005




214


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



kebesaran Lam-su-lo dan Leng-kiam-siang-hiap paling achir ini sangat terkenal, djika sekarang
mereka sudah mati semua, itu berarti lebih menguntungkan bagiku, maka biarkanlah mereka
mati sadja!” ..........

***

Lantas kemanakah perginja Hiat-to Lotjo bersama Tik Hun dan Tjui Sing itu? Apa benar
mereka terkubur didalam saldju longsor? ~ Tidak!

Bahkan waktu itu Hiat-to Lotjo sangat senang sebab makin lama semakin dekat dengan
sarangnja di Tibet, walaupun djumlah pengedjar waktu itupun semakin bertambah. Tjuma
saking lelahnja karena berlari tidak pernah berhenti, achirnja kuda kuning tunggangan Hiat-to
Lotjo itu terbinasa ditepi djalan. Sedangkan kuda putih djuga sangat pajah keadaannja,
mungkin dalam waktu singkatpun akan menjusul kawannja keachirat.

Hlm. 49 Gambar:
Waktu Tjui Sing siuman kembali, segera ia mengendus bau sedap daging panggang, ketika ia
perhatikan ternjata kuda putih kesajangannja sudah disembelih oleh Hiat-to Lotjo dan telah
dipanggang dan sedang dilalap mereka.

Diam2 Hiat-to Lotjo memikir sambil mengkerut kening: “Kalau aku sendiri hendak melarikan
diri adalah terlalu mudah, namun tjutju-murid kakinja pintjang, anak dara jang tjantik-molek
ini djuga sajang kalau ditinggalkan.” ~ Berpikir sampai disini, mendadak ia mendjadi beringas,
begitu ia putar tubuh, terus sadja Tjui Sing dipeluknja dan hendak mentjopot badjunja.

Keruan Tjui Sing ketakutan sambil ber-teriak2: “Hai, kau.......kau mau apa?”

“Lotju tidak mau membawa lari kau lagi, masakah kau tidak tahu maksudku?” sahut Hiat-to
Lotjo dengan menjeringai.

Tik Hun ikut kuatir djuga melihat sang “kakek-guru” berubah liar, tjepat iapun berteriak:
“Sutjo, sebentar musuh tentu akan memburu tiba!”

“Setan alas, kau djuga ikut tjerewet?” bentak sipaderi tua.

Dan pada saat itu djuga, tiba2 terdengar suara gemerasak jang aneh diatas udara. Hiat-to Lotjo
sudah lama tinggal didaerah Tibet, sudah banjak bentjana gugur saldju jang telah dilihatnja,
dalam keadaan demikian, betapapun nekat napsu binatangnja djuga tidak berani tjoba
menantang bentjana alam itu. Tjepat ia berseru: “Wah, tjelaka! Lekas lari, lekas!”

Ia lihat arah membandjirnja saldju itu mungkin akan tertahan oleh sebuah bukit disebelah
selatan sana, maka tjepat ia menarik kuda putih dan berlari kedjurusan selatan. Biarpun paderi
itu biasanja sangat ganas dan kedjam, menghadapi saldju longsor itupun wadjahnja berubah
putjat. Ia tahu diatas puntjak gunung sekitar mereka berdiri itupun penuh tertimbun saldju,





SERIALSILAT.COM © 2005





215


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



bila suara getaran saldju longsor itu melampaui batas, tentu timbunan saldju di-puntjak2 lain
djuga akan ikut gugur dan tentu mereka akan terkubur didasar lembah situ.

Dengan pajah kuda putih itu dibebani Tik Hun dan Tjui Sing, setiba ditengah lembah,
mendadak binatang itu keserimpet, hampir Tik Hun terbanting kebawah. Sementara itu suara
gemuruh saldju longsor itu makin menghebat, sambil memandangi puntjak gunung disisi
mereka, Hiat-to Lotjo tampak sangat kuatir, pabila saldju diatas puntjak itupun ikut gugur,
pasti tjelakalah mereka.

Gugur saldju itu sebenarnja tidak berlangsung terlalu lama, paling2 djuga tjuma belasan menit.
Tapi dalam waktu sesingkat itu Hiat-to Lotjo, Tik Hun dan Tjui Sing sudah dihinggapi rasa
takut jang tak kepalang. Tjui Sing sendiri mendjadi lupa barusan ia sendiri mengharap bisa
segera mati sadja agar terhindar dari hinaan kedua paderi tjabul itu. Tapi kini berbalik timbul
rasa ketergantung hidupnja kepada kedua orang itu, ia berharap kedua orang laki2 itu dapat
mentjari djalan untuk membantunja terhindar dari bentjana alam itu.

Se-konjong2 dari atas puntjak disisi mereka terdjatuh sepotong batu, saking kagetnja sampai
Tjui Sing mendjerit. Tjepat Hiat-to Lotjo mendekap mulut sigadis, sedang tangan lain terus
memberi persen dua kali tamparan dipipinja hingga seketika muka Tjui Sing merah bengap.
Untung timbunan saldju diatas puntjak itu rupanja tidak terlalu tebal, maka tidak mudah
untuk longsor.

Selang tak lama, suara gemuruh gugur saldju itu mulai mereda lalu Hiat-to Lotjo melepaskan
tangannja dari mulut Tjui Sing. Gadis itu menutupi mukanja dengan kedua tangannja, entah
karena merasa lega, entah merasa gusar atau takut.

Kemudian Hiat-to Lotjo tjoba meronda kemulut lembah sana, kembalinja tertampak air muka
paderi itu mengundjuk rasa sedih dan gusar. Ia terus duduk mendjublek diatas sebuah batu
padas dengan muka muram.

“Tjosuya, bagaimanakah keadaaan diluar sana?” tanja Tik Hun.

“Bagaimana? Hm, semuanja gara2mu setan tjilik ini!” damperat sipaderi mendadak.

Maka Tik Hun tidak berani menanja lagi, ia tahu tentu gelagat tidak menguntungkan, makanja
paderi tua itu marah2. Tapi achirnja ia mendjadi tidaktahan lagi, kembali ia tanja: “Tjosuya,
apakah karena ada musuh mendjaga dimulut lembah sana? Djika demikian, silakan engkau
menjelamatkan sendiri sadja dan tidak perlu lagi memikirkan diriku.”

Selama hidup Hiat-to Lotjo hanja bergaul dengan manusia2 tjulas dan djahat, bukan sadja
semua sobat-andainja begitu, bahkan anak muridnja seperti Po-siang, Siang-yong dan lain2
djuga manusia2 litjik dan tjulas, hanja mementingkan diri sendiri tanpa memikirkan orang lain.
Tapi kini Tik Hun telah menjuruhnja menjelamatkan diri sendiri sadja, tanpa merasa timbul
rasa senangnja, wadjahnja menampilkan senjuman, katanja kemudian: “Anak baik, kau
memang mempunjai Liangsim jang terpudji! Tapi bukan karena ada musuh mendjaga dimulut




SERIALSILAT.COM © 2005




216


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



lembah sana, melainkan lembah ini telah buntu tertutup oleh timbunan saldju jang berpuluh
meter tingginja dan beribu meter luasnja. Sebelum musim semi, saldju tetap akan membeku,
dan kitapun takdapat keluar dari sini. Padahal ditengah lembah sunji ini, segala makanan tidak
ada, masakah kita dapat tahan sampai tahun depan?”

Mendengar pendjelasan itu, Tik Hun merasa keadaan memang berbahaja, tetapi karena saat
jang paling gawat tadi sudah lalu, maka ia tidak terlalu kuatir lagi. Katanja: “Tjosuya djangan
kuatir, asal mau berusaha, tentu ada djalannja. Seumpama kita akan mati kelaparan disini djuga
lebih baik daripada kita mati tersiksa ditangan musuh.”

“Benar djuga utjapanmu, anak baik,” pudji sipaderi dengan tertawa lebar. Lalu ia berbangkit,
tiba2 ia lolos goloknja dan mendekati kuda putih itu.

“Hai, hai! Engkau mau apa?” teriak Tjui Sing dengan kuatir.

“Mau apa? Boleh tjoba engkau terka,” sahut sipaderi.

Padahal tidak usah diterka djuga Tjui Sing sudah tahu kalau paderi itu hendak menjembelih
kuda putih itu untuk dimakan. Kuda itu dibesarkan bersama dia, sudah tentu ia pandang kuda
putih itu sebagai kawan-baiknja, dan dengan sendirinja ia mendjadi kautir dan gusar pula
melihat paderi djahat itu hendak mendjagal kuda kesajangannja itu. Kembali ia ber-teriak2:
“Tidak, tidak! Itu adalah kudaku, kau tidak boleh memotongnja.”

“Haha, malahan kalau habis makan daging kuda, tentu akan bergilir makan dagingmu,” sahut
sipaderi dengan tertawa. “Sedangkan daging manusia sadja kumakan, apalagi daging kuda?”

“Mohon belas-kasihanmu, djanganlah membunuh kudaku,” pinta Tjui Sing dengan sangat. Dan
pada saat terpaksa itu, iapun berpaling kepada Tik Hun: “Harap engkau mohon padanja,
djanganlah membunuh kudaku.”

Melihat wadjah sigadis jang penuh kuatir dan kasihan itu, sebenarnja Tik Hun tidak tega, tapi
mengingat keadaan sudah terpaksa, kalau tidak makan daging kuda, apa jang dapat dimakan,
malahan boleh djadi kalau sudah kehabisan makanan, mungkin pelana kuda terbuat dari kulit
itupun akan digodok untuk dimakan. Tapi karena tidak tega melihat wadjah sigadis jang sedih
itu, terpaksa ia berpaling kedjurusan lain.

Dalam pada itu Tjui Sing sedang memohon pula: “Djangan..........djanganlah membunuh
kudaku.”

“Baiklah, aku takkan membunuh kudamu,” demikian kata Hiat-to Lotjo tiba2.

Keruan Tjui Sing kegirangan, ber-ulang2 ia mengutjapkan terima kasih. Tapi mendadak
terdengar suara “sret” sekali, ditengah gelak ketawa sipaderi tua, tahu2 kepala kuda sudah
menggelinding ketanah, darahpun menjembur keluar sebagai air mantjur. Saking kaget dan
sesalnja hingga Tjui Sing seketika pingsan.




SERIALSILAT.COM © 2005




217


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E




Waktu pelahan2 Tjui Sing siuman kembali, lebih dulu ia lantas mengendus bau sedap,
memangnja perutnja sangat kelaparan, ia mendjadi girang mengendus bau lezat daging itu. Tapi
begitu pikirannja djernih kembali, segera ia ingat bau sedap itu adalah bau panggang daging
kuda kesajangannja itu. Ketika ia membuka mata, ia lihat Hiat-to Lotjo dan Tik Hun sedang
berduduk diatas batu padas dan lagi asjik melalap daging kuda, ditepi batu terdapat segunduk
api unggun, diatas sebatang kaju jang melintang diatas api itu tergantung sepotong paha kuda.

Hlm. 53 Gambar:
Ketika Tik Hun dan Tjui Sing mendongak dan memandang kearah datangnja suara njaring itu,
maka tertampaklah diatas sebuah tebing jang tjuram ada dua orang sedang bertempur.

Saking dukanja Tjui Sing lantas menangis.

“Kau mau makan tidak?” tanja Hiat-to Lotjo dengan tertawa.

“Kalian terlalu djahat, sampai kudaku djuga dibunuh, kelak aku pasti.........pasti membalas sakit
hati ini!” demikian seru Tjui Sing sambil tersedu-sedan.

Tik Hun merasa menjesal djuga, katanja: “Nona Tjui, ditengah lembah bersaldju ini, kita tiada
punja makanan apa2, terpaksa kami menjembelih kudamu. Bila engkau suka pada kuda bagus,
kelak kalau kita dapat keluar dari lembah ini tentu masih dapat membeli pula.”

“Kau paderi tjilik ini pura2 berhati badjik, padahal kau lebih2 djahat daripada paderi tua
djahanam itu, aku bentji padamu, kubentji padamu!” seru Tjui Sing.

Tik Hun tidak dapat mendjawab lagi. Pikirnja: “Agar tidak mati kelaparan, meski kau bentji
padaku djuga terpaksa aku harus makan daging kudamu ini.” ~ Maka kembali ia sebret
sepotong daging kuda lagi terus dimakan pula.

Sambil menggeragoti daging kuda, Hiat-to Lotjo melirik2 pula mengintjar Tjui sing, dengan
samar2 ia menggumam sendiri: “Ehm, rasa daging kuda ini sangat lezat. Ha, lewat beberapa hari
lagi kalau anak dara ini mesti dipanggang djuga untuk dimakan, rasanja belum tentu selezat
daging kuda ini.” ~ dan didalam hati diam2 ia pikir pula: “Dan habis makan anak dara itu,
terpaksa achirnja mesti makan djuga tjutju muridku jang tersajang itu.”

Sesudah kenjang makan daging kuda, lalu Tik Hun menambahi sedikit kaju bakar diunggun
api, kemudian merekapun tertidur sambil bersandar dibatu padas itu. Dalam keadaan lajap2
Tik Hun mendengar suara sesenggukan Tjui Sing jang masih menangis tiada henti2nja, tiba2
timbul rasa duka padanja: “Nona ini hanja kehilangan seekor kuda dan dia sudah menangis
sesedih itu. Sebaliknja hidupku didunia ini ternjata tiada seorangpun jang menangis bagiku,
sungguh malang nasibku ini, lebih tjelaka daripada seekor binatang.”

Sampai tengah malam, tiba2 Tik Hun merasa pundaknja di-dorong2 orang, segera ia terdjaga
bangun, ia dengar Hiat-to Lotjo sedang membisikinja: “Diam! Ada orang datang!”




SERIALSILAT.COM © 2005




218


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E




Tik Hun terkesiap, tapi lantas bergirang pula, pikirnja: “Djika ada orang datang, tentu kitapun
dapat keluar.” ~ Maka dengan secara bisik2 tjepat ia menanja: “Dimana?”

Hiat-to Lotjo menuding kearah barat dan berkata: “Disana, kau merebah sadja dan djangan
bersuara, kepandaian musuh sangat tangguh.”

Tik Hun tjoba mendengarkan dengan tjermat, tapi tiada terdengar sesuatu apapun.

Sambil menghunus golok Hiat-to Lotjo berdjongkok untuk sekian lamanja ditempatnja, se-
konjong2 ia melesat pergi setjepat anak panah terlepas dari busurnja. Hanja sekedjap sadja
bajangannja sudah menghilang dibalik lereng bukit sana.

Sungguh kagum tidak kepalang Tik Hun: “Ilmu silat paderi ini benar2 djarang ada
bandingannja. Djikalau Ting-toako masih hidup dan bertanding dengan dia, entah siapa lebih
unggul?” ~ Demi ingat kepada sang Toako itu, tanpa merasa iapun meraba punggungnja, njata
buntalan abu tulang Ting Tian itu masih tergembol baik2 disitu.

Ditengah malam sunji senjap itu, tiba2 terdengar suara “trang-trang” dua kali, terang itulah
suara beradunja sendjata. Dan sesudah bunji njaring itu, keadaan kembali sepi njenjak. Lewat
agak lama, lagi2 terdengar suara njaring dua kali pula.

Tik Hun menduga pasti sipaderi tidak berhasil menjergap musuh dan kini sudah saling gebrak.
Dari suara beradunja sendjata itu, njata ilmu silat musuh tidak berada dibawahnja.

Sedjenak kemudian, tiba2 suara njaring itu mendering sampai empat-lima kali hingga Tjui Sing
djuga terdjaga bangun.

Waktu itu dataran dilembah pegunungan itu hanja saldju belaka, dibawah tjahaja bulan,
terpantjarlah sinar repleksi dari saldju hingga tjuatja mirip fadjar menjingsing.

Tjui Sing memandang sekedjap kearah Tik Hun, bibirnja ber-gerak2 seperti ingin menanja, tapi
karena ia masih bentji dan muak kepada pemuda itu, pula pertanjaannja belum tentu
didjawab, maka utjapannja jang sudah diambang mulut itu ditelannja kembali mentah2.

Tiba2 terdengar suara “trang-trang” jang riuh pula, bunjinja semakin keras dan semakin tinggi.
Waktu Tjui Sing dan Tik Hun mendongak berbareng kearah datangnja suara, maka
tertampaklah dibawah sinar bulan, didinding suatu tebing jang tjuram disebelah timur-laut
sana ada dua bajangan orang jang sedang berputar kian kemari. Tebing itu sangat terdjal, pula
penuh timbunan saldju, kalau dipandang, tidak mungkin orang sanggup memandjat keatas.
Tetapi sambil bergebrak kedua orang itu ternjata tidak pernah berhenti, mereka terus merajap
keatas tebing.

Tik Hun tjoba memandang dengan tjermat, ia lihat lawan Hiat-to Lotjo itu adalah seorang
berdjubah imam dan bersendjata pedang. Itulah imam tua jang tempo hari sudah pernah




SERIALSILAT.COM © 2005




219


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



bergebrak dengan sipaderi itu. Ia masih ingat Hiat-to Lotjo telah memudji kebagusan ilmu
pedang imam tua itu, katanja adalah djago dari Thay-kek-bun. Entah tjara bagaimana imam tua
itu dapat menerobos masuk ketengah lembah jang dikelilingi dinding saldju ini?

Segera Tjui Sing djuga dapat mengenali imam tua itu, saking girangnja ia terus berseru: “Itu dia
Lau Seng-hong Totiang! He, ada Lau-pepek, tentu ajah djuga ada. Hai, ajah, ajah! Anak berada
disini!”




Apa benar Tjui Tay berada bersama serombongan dengan imam tua itu ~ Lau Seng-
hong? Apakah mereka tidak mati teruruk saldju longsor? Dapatkah Tjui Sing
diselamatkan?

Dapatkah Hiat-to Lotjo mengalahkan lawannja jang tangguh itu dan tjara
bagaimana mereka bisa keluar dari kurungan dinding saldju?

Bagaimana nasib Tik Hun selandjutnja?

Batjalah djilid ke-6.


































SERIALSILAT.COM © 2005


































220


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E

Djilid
6

Tik Hun kaget demi mendengar Tjui Sing ber-teriak2 memanggil ajahnja. Pikirnja: “Hiat-to
Lotjo sedang bertempur dengan imam tua itu, melihat gelagatnja susah untuk terdjadi kalah
menang dalam waktu singkat. Dan bila ajahnja mendengar suaranja serta memburu kemari,
bukankah aku akan dibunuh olehnja?”

Maka tjepat ia mentjegah teriakan Tjui Sing: “Hei, djangan engkau ber-teriak2, bila saldju
mendjadi longsor lagi, djiwa kita pasti akan melajang bersama?”

“Aku djusteru ingin mati bersama Hwesio djahanam seperti kau ini,” damperat Tjui Sing
dengan gemas. Dan kembali ia ber-teriak2: “Ajah, ajah! Aku berada disini!”

“Tutup mulutmu!” bentak Tik Hun. “Djika saldju longsor lagi, bukankah djiwa kita melajang,
bahkan ajahmu djuga akan mampus. Apakah kau hendak membunuh ajahmu? Kau benar2
puteri djahat jang Put-hau (tak berbakti).”

Rupanja tjertjaan Tik Hun itu kena dihati sigadis, sebab Tjui Sing lantas berpikir: “Ja, betul
djuga. Bila ajahpun sampai berkorban, aku jang berdosa.” ~ Tapi segera terpikir pula olehnja:
“Ah, betapa hebat kepandaian ajah? Saldju longsor tadi telah menakutkan orang lain hingga lari
ter-birit2, sebaliknja Lau-pepek toh mampu melintasi lautan saldju setinggi itu, dan kalau Lu-
pepek dapat kemari, dengan sendirinja ajahpun dapat. Andaikan teriakanku akan membikin
saldju longsor lagi, paling2 djuga aku jang akan teruruk mati, ajah pasti takkan berhalangan
apa2. Paderi tua itu terlalu lihay, bila Lau-pepek terbunuh olehnja, pasti jang paling tjelaka
adalah diriku karena tertjengkeram ditangan kedua paderi djahat ini.”

Berpikir begitu, maka kembali ia ber-teriak2 lagi: “Ajah, ajah! Aku berada disini, lekas datang
menolong aku!”

Semula ketika gadis itu sudah diam, Tik Hun mengira ia takkan bersuara lagi. Siapa duga
mendadak ia berteriak pula, bahkan semakin keras, seketika Tik Hun mendjadi tidak tahu tjara
bagaimana harus menjetopnja. Waktu menengadah, ia lihat Hiat-to Lotjo masih menempur
imam tua itu denan sengit. Golok merah jang diputar dengan tjepat itu berwudjut selingkar
sinar merah jang bertebaran diatas saldju jang memutih perak. Gerak-gerik imam tua Lau
Seng-hong itu tampaknja tidak terlalu tjepat, tapi pendjagaannja rapat sekali, meski Hiat-to
Lotjo tampaknja takkan kalah, tapi untuk menang djuga susah terdjadi dalam waktu singkat.

Dalam pada itu didengarnja Tjui Sing masih terus ber-teriak2 pada sang ajah, kemudian tiba2
berganti memanggil: “Piauko, Piauko! Lekas kemari!”




SERIALSILAT.COM © 2005




221


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



Lama-kelamaan Tik Hun mendjadi sebal dibuatnja, bentaknja pula: “Budak bawel, lekas tutup
mulutmu bila engkau tidak ingin kupotong lidahmu!”

“Aku djusteru ingin berteriak, aku djusteru akan berteriak!” demikian sahut Tjui Sing. Dan
kembali ia berteriak lebih keras: “Ajah, ajah! Aku berada disini!”

Karena kuatir Tik Hun benar2 mendekatinja, maka ia lantas berbangkit sambil memegang
sepotong batu. Selang sedjenak, ia lihat Tik Hun masih menggeletak ditanah tanpa berkutik,
mendadak teringat olehnja: “Ja, Hwesio djahat ini telah patah kakinja, kalau tiada ditolong oleh
paderi tua itu, sudah lama ia dibunuh oleh Piauko. Gerak-geriknja terang tidak leluasa,
mengapa aku takut padanja?” ~ Demi dapat membedakan kedudukan masing2, segera Tjui
Sing membatin pula: “Hwesio tua itu terang takkan datang kesini, kenapa aku tidak lantas
membunuh Hwesio muda ini sekarang djuga?” ~ Dengan mata mendelik segera ia angkat batu
jang dipegang itu dan mendekati Tik Hun terus sadja ia keprukan batu itu keatas kepala
pemuda itu.

Sudah sedjak tadi Tik Hun mengikuti gerak-gerik Tjui Sing, ketika tiba2 dilihat sikap sigadis
mendjadi beringas, diam2 ia sudah mengeluh. Maka ketika gadis itu mendekati dirinja, segera ia
tahu gelagat tidak menguntungkan. Dan ketika batu itu menimpa keatas kepalanja, terpaksa ia
berguling kesamping. “Bluk”, batu itu menghantam ditanah saldju, selisih dari mukanja tjuma
beberapa senti sadja.

Sekali menimpuk tidak kena, kembali Tjui Sing djemput batu jang lain dan menjambit pula,
sekali ini mengarah keperut Tik Hun.

Terpaksa Tik Hun mengkerut tubuh dan berguling pula. Tapi karena tulang kaki patah, gerak-
gerik tidak leluasa, achirnja tulang betis kena tertimpuk pula oleh batu itu, “krak”, kembali
tulang betis petjah tertimpuk batu, saking kesakitan sampai Tik Hun mendjerit.

Sudah tentu Tjui Sing sangat girang, lagi2 ia angkat sepotong batu hendak menimpuk pula.

Tik Hun insaf dirinja sudah merupakan makanan empuk bagi orang, kalau be-runtun2 kena
ditimpuk beberapa kali lagi, pasti tamatlah riwajatnja. Dalam kehilangan akalnja, mendadak
iapun sambar sepotong batu dan balas menggertak: “Budak setan, kau berani menimpuk batu
pula, biar kukepruk mampus kau dahulu!”

Meski kaki Tik Hun patah, tapi tenaga tangannja masih kuat, ketika Tjui Sing benar2
menimpuknja lagi, dengan kelabakan ia mengegos lagi sambil berguling, lalu kontan balas
menjambitkan batu jang disambarnja tadi.

Lekas2 Tjui Sing melompat kesamping, tapi batu itupun menjerempet lewat disisi telinga
membuatnja kaget. Ia tidak berani main timpuk batu lagi, tapi segera ia djemput sebatang
ranting kaju, dengan gerakan “Sun-tjui-tui-tjiu” (mendorong perahu menurut arus) ia terus
tusuk pundak Tik Hun.





SERIALSILAT.COM © 2005





222


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



Ilmu pedang keturunan keluarga Tjui memang sangat hebat, meski sendjata jang digunakan
hanja sebatang kaju, tapi tjara menusuknja sangat tjepat, sekalipun Tik Hun dalam keadaan
sehat walafiat djuga bukan tandingannja, apalagi sekarang. Maka begitu tusukan itu tiba,
sedapat mungkin ia miringkan pundak untuk menghindar. Namun mendadak Tjui Sing ganti
tipu serangan, dengan “Oh-liong-tam-djiau” (naga hitam mendjulur tjakar), “plok”, dengan
tepat udjung kaju kena “tjakar” dikening Tik Hun.

Pabila sendjata jang dipakai Tjui Sing adalah pedang benar2, maka djiwa Tik Hun

pasti sudah melajang. Namun demikian, biarpun tjuma sebatang kaju sadja toh djuga sudah
membikin Tik Hun kesakitan setengah mati hingga mata ber-kunang2.

“Sepandjang djalan kau Hwesio djahanam ini telah menjiksa nonamu, kini dapatkah kau
menjiksa aku lagi? Katanja kau hendak memotong lidahku, hajolah, mengapa tidak tjoba2
potong?” demikian damperat Tjui Sing.

Habis itu, kembali ia angkat ranting kaju itu menghantam dan menjabat keatas kepala, pundak
dan pinggang Tik Hun, setiap kali kena dihadjar, kontan tubuh Tik Hun bertambah babak
belur,

“Hajolah, mengapa kau tidak minta tolong Tjosuyamu? Hm, biarlah kuhadjar mampus dulu
kau Hwesio djahat ini!” begitulah sambil memaki Tjui Sing terus menghudjani Tik Hun
dengan hadjaran ranting kaju itu.

Karena takdapat melawan, terpaksa Tik Hun hanja tutupi kepala dan mukanja dengan kedua
tangan. Namun begitu tangan dan lengannja mendjadi ikut babak-belur djuga hingga darah
bertjetjeran. Saking sakitnja Tik Hun mendjadi nekat. Mendadak ia pegang ranting kaju orang
waktu Tjui Sing menjabatnja lagi, lalu dibetot se-kuat2nja. Kalau Tjui Sing tidak lepas tangan,
bukan mustahil ia akan dipeluk oleh Tik Hun. Terpaksa ia lepas tangan, dan mendadak Tik
Hun lantas balas menjabatkan ranting kaju itu.

Tjui Sing terkedjut dan tjepat2 melompat mundur. Kemudian ia djemput sebatang kaju jang
lain dan madju pula hendak melabrak Tik Hun.

Dalam bahaja mendadak timbul suatu akal Tik Hun, tiba2 teringat suatu akal badjingan
olehnja, ia berteriak: “Djangan madju lagi! Selangkah kau berani madju, segera aku membuka
tjelana! ~ Dan sambil berteriak, kedua tangannja lantas me-raba2 pinggang dengan lagak
hendak membuka tjelana.

Keruan Tjui Sing kaget, lekas2 ia berpaling kearah lain dengan muka merah djengah. Pikirnja:
“Segala kedjahatan djuga dapat dilakukan Hwesio djahat ini, bukan mustahil dia akan
menggunakan kelakuan rendah ini untuk menghina diriku.”

“Hajolah, lekas kau melangkah kesana, lebih djauh lebih baik!” segera Tik Hun ber-teriak2
pula.




SERIALSILAT.COM © 2005




223


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E




Hati Tjui Sing berdebaran, ia tidak berani membangkang, benar-benar ia melangkah madju
kesana.

Tik Hun sangat girang karena akal badjingannja berhasil menakutkan sigadis. Segera ia
menggembor lagi: “Nah, sudahlah, aku sudah tjopot tjelanaku sekarang, djika kau masih ingin
menghadjar aku, silakan datang kemari!”

Keruan Tjui Sing bertambah kaget. Masakan pantas seorang gadis disuruh hadjar orang
telandjang. Tanpa pikir lagi ia terus melompat kesana, djangankan mendekat, sekalipun
menoleh djuga tidak berani. Ia menjingkir djauh2 kebalik gundukan saldju sana.

Padahal Tik Hun sebenarnja tidak melepas tjelana segala. Apa jang dikatakan itu hanja untuk
menggertak sadja. Pikir punja pikir ia mendjadi geli sendiri dan gegetun pula akan nasibnja jang
apes. Hadjaran jang kenjang dirasakan tadi paling sedikit ada 50 kali banjaknja dan antero
badannja hampir2 rata penuh babak-belur, tulang betis jang petjah ditimpuk batu itu, lebih2
kesakitan pula. Pikirnja: “Tjoba kalau aku tidak gunakan akal badjingan, mungkin saat ini
riwajatku sudah tamat. Ha, aku Tik Hun adalah seorang laki2 sedjati, tapi sekarang telah
berlaku serendah dan sekotor ini, biarpun djiwaku ini selamat, tjara bagaimana aku harus
berhadapan dengan orang kelak?”

Waktu ia memperhatikan suasana ditebing karang sana, ia lihat pertarungan Hiat-to Lotjo dan
Lau Seng-hong masih berlangsung dengan sengit.

Puntjak karang jang dipakai gelanggang pertarungan itu menondjol keluar dari sebuah dinding
tebing jang terdjal. Tingginja dari tanah paling sedikit ada ratusan meter tingginja. Diatas karang
jang luasnja tjuma beberapa meter itu penuh tertimbun saldju, asal salah seorang terpeleset
sedikit sadja hingga tergelintjir djatuh kebawah, biarpun setinggi langit ilmu silatnja djuga akan
terbanting hantjur lebur.

Dipandang dari bawah, Tik Hun merasa perawakan kedua orang itupun banjak lebih ketjil
daripada tubuh mereka jang sebenarnja. Lengan badju kedua orang itu tampak berkibaran
hingga mirip dua dewa sedang me-lajang2 ditengah awang2, sungguh indah pemandangan itu.
Meski Tik Hun tidak terlalu djelas menjaksikan djalannja pertarungan mereka, tapi dapat
diduga setiap djurusnja pasti menjangkut mati atau hidup masing2.

Dalam pada itu tiba2 terdengar Tjui Sing ber-teriak2 pula dibalik gundukan saldju sana: “Ajah,
ajah! Lekas kemari!”

Setelah berteriak beberapa kali, mendadak dari arah timur-laut ada suara seorang tua
mendjawabnja: “Apakah Tjui-titli disitu? Ajahmu mengalami sedikit tjidera, sebentar lagipun
akan menjusul tiba!”







SERIALSILAT.COM © 2005







224


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



Dari suara itu Tjui Sing dapat mengenali orang itu adalah Hoa Tiat-kan, jaitu tokoh kedua
daripada empat kakek “Lok-hoa-liu-tjui”. Dengan girang segera ia berseru menanja: “Apakah
Hoa-pepek disitu? Dimanakah ajah? Bagaimana lukanja?”

“Wah, tjelaka, sekali ini benar2 tjelaka!” demikian diam2 Tik Hun mengeluh. “Dia kedatangan
bala bantuan, tamatlah riwajatku tentu!”

Dan hanja sekedjap sadja sikakek she Hoa itu sudah berlari sampai ditempat Tjui Sing,
terdengar katanja: “Tadi mendadak sepotong batu jang djatuh dari atas pntjak gunung telah
menindih keatas kepala Liok-pepek, karena ajahmu hendak menjelamatkan Liok-pepek, ia
telah hantam batu itu. Tapi karena batu itu terlalu besar dan berat, maka tangan ajahmu
mengalami sedikit tjidera, tapi tiada berhalangan apa2.”

“Eh, Hoa-pepek, ada seorang Hwesio djahat disana, lekas .......lekas Hoa-pepek pergi kesana dan
membunuhnja, tapi dia .....dia telah buka......” begitulah Tjui Sing mendjadi malu untuk
mendjelaskan Tik Hun telah membuka tjelananja.

“Baiklah, akan kubunuh dia, dimana tempatnja?” terdengar Hoa Tiat-kan menjahut.

Tjui Sing lantas menundjukkan tempat beradanja Tik Hun, tapi kuatir kalau mendadak
melihat pemuda itu dalam keadaan telandjang, sambil djarinja menuding kebelakang, kakinja
berbalik melangkah kesana.

Dan selagi Hoa Tiat-kan mendekati Tik Hun untuk membunuhnja, tiba2 terdengar suara
njaring “tring-ting-ting-ting” empat kali, suara njaring beradunja sendjata dari atas tebing tjuram
itu. Waktu ia menengadah, ia melihat golok dan pedang Hiat-to Lotjo dan Lau Seng-hong
saling bertahan mendjadi satu, kedua orang sedikitpun tidak bergerak se-olah2 sudah mati
beku oleh dinginnja saldju.

Kiranja ilmu golok dan ilmu pedang kedua orang itu ada keunggulannja sendiri2, saking seru
pertempuran itu, sampai achirnja terpaksa kedua orang mesti mengadu Lwekang dengan mati-
matian.

Sudah tentu Hoa Tiat-kan tahu tjara mengadu Lwekang begitu adalah tjara jang paling bahaja.
Sekali sudah terdjadi kalah dan menang, jang kalah tentu akan terluka parah bila tidak mati.

Tiba2 tergerak pikirannja: “Hiat-to Ok-tjeng itu sedemikian tangkas dan ganasnja, belum tentu
Lau-hiante dapat mendjatuhkan dia. Dalam keadaan demikian bila aku tidak lantas
mengerojoknja, mau menunggu kapan lagi?”

Meski kedudukan dan nama baiknja di Bu-lim sangat tinggi, sebenarnja ia tidak sudi mendapat
nama djelek karena main kerojok. Tapi kedjadian para kesatria Tionggoan menguber dua
paderi Hiat-to-bun itu sudah menggemparkan antero dunia persilatan, djikalau sekarang ia
dapat membunuh Hiat-to-tjeng itu dengan tangan sendiri, nama harumnja tentu tjukup untuk
menutupi nama djeleknja karena telah main kerojok.




SERIALSILAT.COM © 2005




225


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E




Karena pikiran itu, mendadak ia putar tubuh dan berlari kebalik tebing tjuram itu. Dengan
demikian selamatlah djiwa Tik Hun.

Sebaliknja Tjui Sing mendjadi heran dan kuatir. “Hai, Hoa-pepek, apa jang hendak kau
lakukan?” serunja. Dan begitu tertjetus pertanjaannja itu, segera iapun tahu sendiri akan
djawabannja.

Ia lihat setjara diam2 Hoa Tiat-kan sedang merajap keatas tebing jang terdjal itu. Tangan djago
she Hoa itu memegang sebatang tumbak pendek dari badja murni, sekali udjung tumbak
digunakan menutul didinding karang, segera tubuhnja melompat keatas dua-tiga meter
tingginja. Waktu tubuh menurun, tumbak pendek itu lantas menutul dinding karang lagi
untuk menahan, lalu mentjelat naik keatas lagi. Tjara mandjatnja itu djauh lebih tjepat
daripada Hiat-to-tjeng dan Lau Seng-hong tadi.

Dipihak lain demi mendengar tindakan orang sudah makin mendjauh, dirinja tidak djadi akan
dibunuhnja, maka legalah hati Tik Hun.

Tapi rasa lega itu hanja terdjadi sekedjap sadja, sebab lantas dilihatnja djuga Hoa Tiat-kan
sedang melompat dan merajap keatas karang jang terdjal itu. Sudah tentu ia mendjadi kuatir.
Harapan satu2nja baginja sekarang jalah semoga sebelum Hoa Tiat-kan mentjapai puntjak
karang itu, lebih dulu dapatlah Hiat-to-tjeng membunuh Lau Seng-hong, habis itu dapat segera
bertempur melawan Hoa Tiat-kan. Kalau tidak, bila nanti dikerojok oleh Hoa Tiat-kan
berdua, pasti paderi tua itu akan dirobohkan.

Tapi kemudian lantas terpikir pula olehnja: “Lau Seng-hong dan Hoa Tiat-kan itu adalah
kesatria jang berbudi luhur, sedangkan Hiat-to-tjeng itu sudah terang gamblang adalah seorang
jang maha djahat, namun aku malah mengharapkan orang djahat membunuh orang baik. Ai,
Tik Hun, wahai, Tik Hun, ternjata sudah sedemikian bedjatnja moralmu! ~ Begitulah
disamping kuatir bagi keselamatan sendiri, ia mentjela pula dirinja sendiri, perasaannja
mendjadi kusut sekali. Dan pada saat itulah dilihatnja Hoa Tiat-kan sudah melompat naik
keatas karang itu.

Tatkala itu Hiat-to-tjeng sedang mengadu tenaga dalam dengan mati2an kepada Lau Seng-
hong, setjara ber-gelombang2 tenaga dalamnja sedang dikerahkan bagaikan ombak jang men-
dampar2 hebatnja. Sebaliknja Lau Seng-hong adalah tokoh terkemuka dari Thay-kek-bun,
selama hidupnja jang dilatih jalah tjara menggunakan kelunakan untuk melawan kekerasan.
Maka walaupun tenaga dalam Hiat-to-tjeng terus membandjir, namun dengan tenang iapun
gunakan tenaga dalamnja jang lunak itu untuk mematahkan setiap desakan lawan. Lebih dulu
ia bertahan, habis itu akan terus balas menjerang bila musuh sudah lelah.

Dengan demikian, biarpun tenaga dalam Hiat-to Lotjo sangat kuat, titik serangannja jang diarah
djuga ber-ubah2, namun sesudah saling ngotot sekian lamanja, tetap ia takdapat meng-apa2kan
Lau Seng-hong. Dengan memusatkan semangat dalam mengadu Lwekang itu, kedua orang itu
sudah melupakan apa jang terdjadi disekitarnja. Maklum, kalah-menang dalam keadaan




SERIALSILAT.COM © 2005




226


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



demikian tergantung sedetik sadja, siapa lengah sedikit, seketika akan memberi kesempatan
kepada lawan untuk melantjarkan tenaga dalamnja lebih kuat.

Waktu Hoa Tiat-kan melompat keatas karang itu, kedua orang itu tiada satupun jang tahu. Ia
lihat Hiat-to-tjeng dan Lau Seng-hong masih sendjata mengadu sendjata dan tangan
mendempel tangan, diatas kepala mereka mengepulkan hawa, pertanda tenaga dalam mereka
sudah penuh dikerahkan. Diam2 Hoa Tiat-kan memudji djuga ketangkasan kedua orang itu.

Dengan diam2 ia menggermet kebelakang Hiat-to Lotjo, ia angkat tumbak badjanja jang
pendek itu, ia himpun segenap tenaga kelengan jang memegang sendjata itu, sekali sinar
tumbak berkelebat, dengan tjepat dan keras ia terus menusuk kepunggung Hiat-to Lotjo.

Pada waktu Hoa Tiat-kan mulai mengangkat tumbaknja tadi, sinar tumbak jang kemilauan
telah menimbulkan tjahaja repleksi pada tanah saldju jang putih bersih itu hingga menjilaukan
Tik Hun. Ia terkedjut dan tjepat berteriak sepenuh tenaganja: “Awas, dibelakang ada orang!”

Mendengar djeritan jang mengguntjangkan kalbu itu, mendadak Hiat-to Lotjo tersadar, tiba2 ia
merasa serangkum angin tadjam telah menjambar dari belakang. Padahal saat itu ia sedang
mengadu tenaga dalam dengan Lau Seng-hong, untuk berkelit atau mengganti tempat terang
sangat sulit, djangankan hendak menarik sendjata untuk menangkis serangan dari belakang itu.

Tapi paderi tua itu dapat berpikir tjepat: “Daripada mati konjol, lebih baik aku mati terbanting
sadja. Aku tidak boleh mati ditangan musuh!”

Karena pikiran itu, mendadak ia mendakan tubuh dan melesat kesamping, ia sengadja terdjun
kebawah djurang.

Dalam pada itu tusukan tumbak Hoa Tiat-kan itu sudah bertekad harus membinasakan Hiat-
to-tjeng itu. Maka tusukan itu luar biasa kerasnja dan tak tertahankan lagi. Siapa tahu
mendadak ada perubahan jang tak terduga oleh siapapun djuga. Pada detik menentukan itu
mendadak Hiat-to-tjeng terdjun kebawah djurang. Maka terdengarlah “tjrat” sekali, udjung
tumbak menantjap ditubuh kawan sendiri, jaitu diatas dada Lau Seng-hong. Begitu kuat
tusukan itu hingga udjung tumbak menembus dari dada kepunggung. Sudah tentu kedjadian
itupun se-kali2 tidak tersangka oleh Lau Seng-hong hingga iapun tidak sempat menghindar.

Dalam pada itu Hiat-to Lotjo jang menerdjun kedalam djurang itu semakin dekat dengan
tanah. Se-konjong2 ia menggertak sekali sambil ajun goloknja membatjok kebawah. Dasar
djiwanja mungkin belum ditakdirkan mampus, batjokan itu tepat mengenai batu karang jang
menondjol hingga lelatu api bertjipratan dan daja turunnja mendjadi tertahan sedikit. Menjusul
sebelah tangannja terus memukul pula kebawah, “brak”, saldju bertebaran kena tenaga
pukulannja itu, sedjenak kemudian Hiat-to Lotjo dapat pula menantjapkan kakinja ketanah
dengan enteng dan tak kurang sesuatu apapun.

“Ehm, tjutju murid jang baik, untunglah engkau telah mendjerit hingga djiwa kakek gurumu
ini tertolong!” demikian ia mengangguk kepada Tik Hun sebagai tanda pudjian.




SERIALSILAT.COM © 2005




227


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E




“Rasakan golokku!” tiba2 seorang membentak dibelakangnja.

Dengan ilmu “Thing-hong-pian-gi” atau mendengarkan suara membedakan arah sendjata,
dengan tjepat dan tanpa balik tubuh paderi itu terus putar golok kebelakang untuk menangkis.
“Trang”, dua golok saling bentur dengan keras. Kontan Hiat-to Lotjo merasakan dadanja sesak,
hampir2 golok terlepas dari tjekalan. Keruan kedjutnja tak terkatakan.

Waktu ia menoleh, ia lihat penjerang itu adalah seorang kakek jang bertubuh tegap kekar,
berdjenggot pandjang dan sudah putih semua. Tangan memegang sebatang “Kui-thau-to”, jaitu
golok tebal jang berudjung dalam bentuk kepala setan. Sikapnja sangat gagah.

Hanja sekali gebrak itu sadja, maka Hiat-to Lotjo mendjadi djeri. Sama sekali tak tersangka
olehnja bahwa tenaga dalamnja sudah banjak terbuang ketika mengadu Lwekang dengan Lau
Seng-hong tadi, ditambah lagi menerdjun dari atas, ia mesti menggunakan tenaga pukulannja
untuk menahan daja turunnja tubuh hingga tidak terbanting mati. Tjoba kalau orang lain,
andaikata tidak terbanting mampus, paling sedikit djuga akan tangan patah atau remuk isi
perutnja dan terluka parah.

Ia tjoba mendjalankan tenaga murninja, ia merasa didalam perut agak sakit, tenaga susah
dikerahkan.

“Liok-toako, paderi tjabul itu telah membunuh Lau-hiante, kalau kita tidak mentjingtjang dia
hingga mendjadi baso, sungguh tak terlampias dendam kita,” demikian tiba2 seorang berseru
dari sisi kiri sana.

Pembitjara itu bukan lain daripada Hoa Tiat-kan. Sesudah dia salah membunuh kawan sendiri,
jaitu imam tua Lau Seng-hong, sudah tentu ia sangat berduka dan murka pula kepada musuh
jang litjik itu. Setjepat terbang iapun memburu kebawah djurang dengan maksud hendak
mengadu djiwa dengan Hiat-to Lotjo. Kebetulan saat itu Liok Thian-dju, jaitu sikakek pertama
dari “Lam-su-lo”, djuga telah menjusul tiba. Maka kedudukan Hiat-to Lotjo kembali terdjepit
lagi dari dua djurusan.

Mau-tak-mau Hiat-to Lotjo mendjadi kuatir djuga. Ia insaf tenaga dalam sendiri sudah terkuras
sebagian besar, melawan seorang Liok Thian-dju sadja belum tentu menang, apalagi kini
ditambah Hoa Tiat-kan jang tampak sudah mendekat dengan mata membara se-akan2 hendak
menelannja mentah2. Kalau sebentar sampai terlibat lagi dalam kerojokan mereka, pasti
djiwanja akan melajang. Ia pikir tenaga dalam sendiri sudah lemas, untuk laripun tentu susah,
djalan satu2nja sekarang jalah menggunakan Tjui Sing sebagai sandera agar musuh tidak berani
terlalu mendesak padanja. Dan sesudah awak sendiri dapat mengaso barang sedjam dua djam,
tentu akan kuat untuk bertempur lagi.

Keputusan itu ditetapkannja dalam sekilas pikir sadja, dalam pada itu dilihatnja golok tebal
Liok Thian-dju sudah terangkat dan hendak membatjok pula. Tjepat Hiat-to Lotjo mendakan
tubuh, be-runtun2 ia menjerang tiga kali kebagian bawah musuh.




SERIALSILAT.COM © 2005




228


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E




Perawakan Liok Thian-dju tinggi besar, terpaksa ia mesti mengajun goloknja untuk menangkis
kebawah. Padahal serangan2 Hiat-to-tjeng itu tjuma pantjingan belaka. Tapi djuga bukan
sembarangan serangan kosong, sebab kalau sedikit salah tangkisan Liok Thian-dju itu, pasti
djiwanja akan segera melajang. Namun tangkisan2 itu ternjata sangat rapat hingga tiada lubang
kesempatan bagi Hiat-to-tjeng untuk menjerang lebih djauh.

Mendadak paderi tua itu mendesak madju selangkah, tapi baru setengah djalan, tahu2 ia
menarik diri dan melompat kebelakang malah. Dengan tjara “Seng-tang-kek-se” (bersuara
ketimur, tapi menjerang kebarat), barulah Hiat-to-tjeng dapat melepaskan diri dari kurungan
sinar golok Liok Thian-dju jang lihay itu.

Dan sekali sudah melompat mundur, hanja beberapa kali naik turun sadja ia sudah sampai
disamping Tik Hun. Ketika Tjui Sing tak kelihatan, segera ia menanja: “Dimanakah anak dara
itu?”

“Disana!” sahut Tik Hun sambil menuding.

Keruan Hiat-to lotjo mendjadi gusar. “Kenapa kau tak tawan dia dan membiarkan dia lari?”
damperatnja dengan beringas.

“Aku......... aku tak kuat........ tak kuat menangkapnja,” sahut Tik Hun gelagapan.

Hiat-to Lotjo semakin murka, dasarnja memang seorang jang kedjam, pada saat menentukan
bagi mati-hidupnja itu ia mendjadi lebih buas lagi. Sekali kakinja bergerak, terus sadja ia
tendang kepinggang Tik Hun. Pemuda itu mendjerit tertahan dan badannja mentjelat dan
terguling kedepan.

Tempat dimana mereka berada itu memangnja djurang jang dikelilingi puntjak2 gunung jang
tinggi, siapa duga dibawah djurang masih ada djurang lagi. Dan karena tergulingnja Tik Hun
itu, tubuhnja terus tergelintjir kebawah djurang jang lebih dalam itu.

Ketika mendengar suara Tik Hun tadi, segera Tjui Sing menoleh. Demi dilihatnja Tik Hun
sedang terdjerumus kebawah djurang, dalam kagetnja dilihatnja Hiat-to Lotjo lagi memburu
kearahnja pula. Dan pada saat itu djuga tiba2 dari samping kanan sana ada suara seruan orang:
“Sing-dji! Sing-dji!”

Itulah suara ajahnja, Tjui Tay. Keruan Tjui Sing sangat girang, segera iapun balas berteriak:
“Ajah!”

Sungguh sajang perbuatan Tjui Sing ini. Padahal waktu itu djaraknja dengan sang ajah terlalu
djauh, sebaliknja djaraknja dengan Hiat-to Lotjo lebih dekat, selisih djarak kedua pihak itu ada
beberapa meter djauhnja. Pabila Tjui Sing tidak berteriak misalnja, sekali melihat ajahnja
muntjul, segera ia berlari kearahnja, dengan demikian djaraknja dengan sang ajah akan





SERIALSILAT.COM © 2005





229


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



mendjadi lebih dekat daripada djaraknja dengan Hiat-to Lotjo. Tapi karena teriakannja itu,
nasib hidupnja mendjadi banjak perubahannja.

Begitulah saking girangnja ia berteriak ajah, seketika ia mendjadi lupa Hiat-to Lotjo djuga
sedang memburu kearahnja.

Dalam pada itu lingkaran kepungan Tjui Tay, Liok Thian-dju dan Hoa Tiat-kan dari tiga
djurusan djuga semakin sempit, tampaknja dalam waktu singkat Hiat-to Lotjo pasti akan
tergentjet. Tapi kalau lebih dulu Tjui sing kena ditangkap oleh paderi tua itu, kedudukan
masing2 tentu akan berubah, dengan mempunjai sandera tawanannja itu, tentu sipaderi akan
dapat angin lagi.

Karena itu tjepat Tjui Tay lantas ber-teriak2 djuga: “Sing-dji, lekas kemari, lekas!”

Maka tersadarlah Tjui Sing, tjepat ia berlari kedepan bagaikan orang keselurupan.

Diam2 Hiat-to Lotjo gegetun, tjepat ia sambar setjomot saldju, ia kepal mendjadi sepotong
batu saldju terus disambitkan lebih dulu kearah Tjui Tay, menjusul sepotong lagi ia timpuk
“Leng-tay-hiat” dipunggung Tjui Sing. Tanpa ampun lagi gadis itu roboh tak berkutik lagi.
Sedangkan lari Hiat-to Lotjo tidak pernah berhenti, begitu mendekat, terus sadja ia pegang
gadis itu. Hampir berbareng dengan itu, terdengarlah suara angin menjambar dari samping,
udjung tumbak Hoa Tiat-kan sudah menusuk tiba.

Djago she Hoa itu sudah terlalu gemas karena paderi tua itu telah mengakibatkan dia menusuk
mati saudara angkat sendiri, jaitu Lau Seng-hong, maka ia mendjadi kalap tanpa menghiraukan
mati hidupnja Tjui Sing jang tertawan musuh itu, tapi begitu tiba terus sadja ia menusuk
dengan tumbak.

Tjepat Hiat-to-tjeng menangkis, “trang”, tahu2 goloknja mendal kembali. Kiranja tumbak Hoa
Tiat-kan itupun bukan sembarangan tumbak, tapi adalah buatan badja murni hingga tak
terkutung oleh sembarangan golok atau pedang mestika.

Dengan memaki segera Hiat-to Lotjo melangkah mundur sambil menggondol Tjui Sing. Tapi
dari sana tampak Liok Thian-dju telah membatjoknja djuga dengan Kui-thau-to. Oleh karena
terkepung, untuk mundur lagi tentu djuga akan terdjerumus kedjurang.

Ttapi sekilas Hiat-to-tjeng melihat Tik Hun jang didepaknja kedalam djurang tadi bukannja
terbanting mampus, tapi pemuda itu sedang berduduk dibawah situ sambil menengadah
menjaksikan pertarungan mereka. Tergerak pikiran Hiat-to-tjeng: “Ternjata timbunan saldju
dibawah djurang itu sangat tebal, makanja botjah itu tidak terbanting mati.” ~ Tanpa pikir lagi
iapun menerdjun kebawah sambil merangkul Tjui Sing.

Ditengah djeritan Tjui Sing jang ketakutan, kedua orang itu sudah terdjerumus kebawah
djurang. Tinggi djurang itu ada ratusan meter tapi timbunan saldju ada berpuluh meter





SERIALSILAT.COM © 2005





230


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



tebalnja. Saldju jang bawah sudah membeku, tapi lapisan atas saldju masih tjerna dan empuk
laksana kasur, maka kedua orang itu sedikitpun tidak terluka apa2.

Tjepat Hiat-to Lotjo terus merangkak bangun dari gundukan saldju, ia sudah pilih tempat jang
baik dan berdiri diatas sebuah batu karang dimulut djurang itu sambil menghunus golok. Ia
ter-bahak2 dan berseru: “Hajolah, kalau berani, turun kemarilah dan kita boleh bertempur
lagi!”

Kebetulan batu karang itu sangat strategis tempatnja. Kalau Tjui Tay dan lain2 melompat
turun, tubuh mereka pasti akan melajang lewat batu karang itu. Dalam keadaan begitu tjukup
Hiat-to-tjeng ajun goloknja sekali dan kontan tubuh sipenerdjun itu pasti akan terkutung
mendjadi dua.

Dengan susah pajah Liok Thian-dju berempat achirnja dapat menjusul Hiat-to Lotjo, tapi
sesudah ketjandak, seorang saudara angkat mereka mendjadi korban, sekarang paderi djahat itu
lolos lagi. Keruan mereka mendjadi gemas dan geregetan. Lebih2 Tjui Tay jang puterinja masih
berada dibawah tjengkeram tangan paderi iblis itu, sedang Hoa Tiat-kan djuga salah
membunuh saudara angkat sendiri, mereka berdua inilah paling pedih hatinja. Segera mereka
bertiga bisik2 untuk berunding tjara bagaimana harus membunuh musuh.

Liok Thian-dju itu berdjuluk “Djin-gi Liok Toa-to” atau sigolok besar she Liok jang berbudi
luhur. Sedangkan Hoa Tiat-kan bergelar “Tjong-peng-bu-tik” atau situmbak badja tanpa
tandingan, Tiong-peng-djiang adalah nama tumbaknja itu.

Tjui Tay sendiri berdjuluk “Leng-goat-kiam”, sipedang bulan purnama. Ditambah lagi imam
tua Lau Seng-hong, mereka disebut “Lok-hoa-liu-tjui”. Apa jang disebut “Lok-hoa-liu-tjui”
sebenarnja adalah “Liok-hoa-lau-tjui”, jaitu diambil dari suara she mereka.

Bitjara tentang ilmu silat belum pasti Liok Thian-dju jang paling tinggi, namun pertama karena
usianja paling tua, kedua, hubungannja dengan kawan Kangouw sangat luas, maka namanja
adalah urutan pertama dalam “Lam su-lo” atau empat kakek dari selatan.

Hlm. 15 Gambar:
“Tolong! Tolong! Lepaskan aku, Hwesio djahanam!” demikian Tjui Sing ber-teriak2 dengan
ketakutan sebab mengira dirinja hendak dipaksa setjara tidak senonoh oleh Tik Hun jang
mengempitnja dan menjeretnja kedalam gua dengan mengesot.

Watak Liok Thian-dju paling keras, dia paling bentji kepada perbuatan rendah dan
memalukan, apalagi mengenai perbuatan melanggar kehormatan kaum wanita segala. Kini
melihat tingkah pola Hiat-to Lotjo jang mentang2 diatas batu karang se-akan2 dunia ini aku
punja, sedangkan tubuh Tjui Sing lemas lunglai menjandar badan Tik Hun. Ia tidak tahu
bahwa Hiat-to gadis itu telah tertutuk dan takbisa berkutik, sebaliknja ia sangka djiwa Tjui
Sing itupun rendah, tak kuat mempertahankan imannja, berada dibawah tjengkeraman paderi2
tjabul itu ternjata tidak melawan sedikitpun. Saking gemasnja ia terus djemput beberapa
potong batu dan ditimpukan kebawah.




SERIALSILAT.COM © 2005




231


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E




Dasar tenaganja memang besar, dari atas menimpuk kebawah pula, keruan hudjan batu itu
sangat hebat. Maka terdengarlah suara gemuruh disana-sini, lembah pegunungan sekeliling
situpun menggemakan suara kumandang jang memekak telinga.

Dibawah hudjan batu dengan saldju berhamburan, tjepat Hiat-to Lotjo mendakan tubuh dan
menjeret Tik Hun dan Tjui Sing bersembunji kebalik sebuah batu karang jang besar.
Sementara ini ia sudah lolos dari bahaja, rasa gusarnja kepada Tik Hun tadi mendjadi reda
djuga, maka ia tidak ingin “tjutju murid” itu mati tertimpuk batu.

Habis itu, ia sendiri kembali melontjat keatas batu karang, ia tuding Liok Thian-dju bertiga dan
mentjatji-maki. Bila ditimpuk dengan batu, ia lantas berkelit atau menjampok dengan goloknja.

Dalam pada itu Tik Hun dan Tjui Sing jang diseret Hiat-to Lotjo dan disembunjikan dibalik
batu karang itu, setelah rasa takut mereka agak tenang, ketika mereka melihat sekitar situ,
ternjata dinding dibelakang batu karang itu mendekuk masuk kedalam hingga berwudjut
sebuah gua jang besar. Karena tertahan oleh batu karang itu, maka saldju jang tertimbun
didalam gua itu sangat tipis hingga merupakan sebuah tempat meneduh jang sangat bagus.

Oleh karena dari atas masih dihudjani batu oleh Liok Thian-dju, Tik Hun kuatir ada batu
njasar hingga melukai Tjui Sing, segera ia rangkul sigadis dan menjeretnja lebih djauh kedalam
gua.

Keruan Tjui Sing ketakutan, ia men-djerit2: “Djangan sentuh aku, lepaskan aku!”

“Ha-hahaha!” Hiat-to Lotjo ter-bahak2. “Tjutju murid jang baik. Tjosuya sendiri lagi mati2an
menghadapi musuh diluar sini, kau sendiri malah mendahului senang2 didalam situ! Hahaha,
kurang-adjar!”

Sungguh dada Tjui Tay bertiga hampir2 meledak saking gusarnja mendengar otjehan itu.

Sebaliknja Tjui Sing djuga menjangka Tik Hun hendak berbuat tidak senonoh setjara paksa
padanja, keruan ia bertambah takut. Tapi demi kemudian melihat pakaian “Hwesio” itu dalam
keadaan radjin, meski bukan pakaian baru, tapi terpakai dengan betul ditubuhnja, barulah
sekarang ia tahu orang mengantjam hendak melepas tjelana tadi sebenarnja tjuma untuk
menipu sadja. Mukanja mendjadi merah teringat kedjadian tadi, segera ia mendamperat:
“Hwesio djahat penipu, hajo, lekas menjingkir kesana!”

Memangnja Tik Hun tiada punja maksud djahat, sebaliknja bermaksud baik menjelamatkan
gadis itu, maka segera ia berdjalan menjingkir. Dalam keadaan tulang paha patah dan tulang
betis petjah, hakikatnja takbisa dikatakan “berdjalan” lagi, paling2 hanja dapat disebut
“mengesot”.

Begitulah kedua pihak saling bertahan dengan ngotot, tiga diatas dan satu dibawah, tanpa terasa
fadjar sudah menjingsing, hari sudah terang tanah. Pelahan2 tenaga Hiat-to Lotjo djuga sudah




SERIALSILAT.COM © 2005




232


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



pulih kembali. Sedangkan hatinja tiada hentinja merantjang rentjana: “Tjara bagaimana aku
harus menghadapi mereka? Tjara bagaimana supaja aku dapat menjelamatkan diri?”

Padahal ketiga lawan didepan mata itu ilmu silat setiap orangnja adalah sepadan dengan dia,
djangankan hendak menangkan mereka, untuk lolos dari kedjaran merekapun maha sulit.
Bahkan asal dirinja meninggalkan batu karang itu hingga kehilangan tempat pendjagaan jang
menguntungkan, seketika djuga musuh pasti akan memburu turun dan akan dikerubut lagi.

Oleh karena tiada djalan lain, terpaksa ia terus menunggui batu karang itu. Tapi ia sengadja
ber-djingkrak2 dan me-nari2 dengan matjam2 lagak dan aksi jang di-buat2 untuk menggoda dan
mengedjek musuh sekadar untuk menghibur diri pula.

Melihat tingkah-pola musuh jang memualkan itu, semakin ditonton semakin menggemaskan,
tiba2 Liok Thian-dju mendapat satu akal. Bisiknja segera kepada Tjui Tay: “Tjui-hiante, tjoba
engkau berdjalan kearah timur pura2 hendak merosot kebawah. Dan Hoa-hiante, engkau pura2
hendak menjerang dari sebelah barat untuk memantjing Hwesio djahat itu, aku sendiri
mendjadi ada kesempatan untuk menerdjang kebawah.”

“Akal bagus,” sahut Tjui Tay. “Bila musuh tidak pusingkan kita, segera kita menerdjang
kebawah sungguh2.”

Habis berkata, ia saling memberi tanda dengan Hoa Tiat-kan, lalu berlari kedjurusannja
masing2.

Berpuluh meter disekitar situ adalah dinding karang jang tjuram, kalau ingin meluntjur saldju
kebawah djurang harus memutar djauh kesana untuk kemudian melingkar kembali.

Rupanja akal itu telah membingungkan Hiat-totjeng djuga. Demi melihat kedua lawan
mementjarkan diri kedua djurusan, terang orang bermaksud memutar djalan untuk mendekati
tempatnja. Tjara bagaimana harus merintanginja, seketika ia mendjadi mati kutu. Pikirnja:
“Wah, tjelaka! Djika mereka benar2 memutar kemari, meski makan tempo agak lama, tapi
achirnja tentu akan tertjapai maksud mereka. Dalam keadaan demikian, kalau aku tidak
menggelojor pergi mau tunggu kapan lagi? Mereka bermaksud memutar djalan untuk
menjerang, aku lantas memutar djuga untuk angkat langkah seribu.”

Ia lihat Liok Thian-dju sedang menjaksikan kepergian kedua kawannja, diam2 Hiat-to Lotjo
lantas memberosot kebawah batu karang dan merat kearah barat-laut tanpa memberitahukan
Tik Hun.

Ketika mendadak tidak mendengar suara otjehan Hiat-to-tjeng lagi, segera Liok Thian-dju
melongok kebawah, tapi tahu2 paderi tersebut sudah menghilang. Ia lihat diatas tanah saldju
itu ada segaris bekas tapak kaki jang menudju kearah barat. Ia pikir bila paderi djahanam itu
sampai lolos, maka runtuhlah nama baik djago silat Tionggoan. Segera ia ber-teriak2: “Hoa-
hiante, Tjui-hiante, lekas kembali. Ok-tjeng (hweshio djahat) itu telah merat!”





SERIALSILAT.COM © 2005





233


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



Mendengar seruan itu, segera Tjui Tay dan Hoa Tiat-kan berlari kembali. Dalam pada itu
tanpa pikir lagi Liok Thian-dju terus terdjun kebawah djurang menirukan tjara musuh tadi,
seketika iapun menghilang, ambles kedalam lautan saldju.

Diwaktu menerdjun Liok Thian-dju sudah tutup napasnja. Ia merasa badannja terus ambles
kebawah, menjusul kakinja lantas menjentuh tempat keras, jaitu lapisan saldju jang sudah
beku. Segera ia tutul kakinja sekuatnja hingga badannja mumbul keatas. Pengalaman demikian
djuga telah dialami Tik Hun dan Hiat-to Lotjo tadi, sesudah kepala menongol keluar, lalu
mereka merangkak naik.

Diluar dugaan, baru sadja kepala Thian-dju hendak menongol, se-konjong2 dadanja terasa
kesakitan, njata ia sudah kena sergapan musuh. Oleh karena kepala belum berada diluar saldju,
dengan sendirinja ia takdapat mendjerit. Tapi kontan setjepat kilat iapun balas membabat
dengan goloknja.

Rupanja serangan balasan jang teramat tjepat itupun diluar perhitungan musuh hingga terasa
djuga kena sasarannja. Namun menjusul musuh jang bersembunji dibawah saldju itu lantas
menjerang pula.

Waktu Tjui Tay dan Hoa Tiat-kan kembali diatas puntjak karang tadi, mereka menjaksikan
timbunan saldju dibawah djurang itu bergolak dengan hebat, tapi tiada menampak bajangan
seorangpun. Hanja sekedjap sadja dari dalam saldju tampak merembes keluar air darah

“Tjelaka, Liok-toako telah bertempur dengan Ok-tjeng itu dibawah saldju!” seru Tjui Tay
dengan kuatir.

“Ja, benar! Sekali ini Ok-tjeng itu harus kita binasakan!” sahut Hoa Tiat-kan.

Mengapa mendadak Hiat-to Lotjo bisa berada dibawah saldju dan bertempur dengan Liok
Thian-dju? Kiranja tadi waktu mendengar seruan Thian-dju kepada kedua kawannja, paderi itu
menaksir segera lawan itupun akan menerdjun kebawah untuk mengedjarnja. Tiba2 ia
mendapat satu akal, tjepat ia putar balik dan menjusup kedalam saldju disekitar batu karang
itu.

Terhadap djago silat jang lihay dengan pengalaman luas seperti Liok Thian-dju itu, hendak
melakukan penjergapan padanja boleh dikata adalah tidak mungkin berhasil. Tapi kini ia
menerdjun kedalam saldju dari tempat yang tinggi, pengalaman itu selama hidupnja belum
pernah ada, dengan sendirinja jang ia pikirkan jalah tjara bagaimana harus menahan napas dan
mengerahkan tenaga selama ambles kedalam saldju serta timbul kembali keatas. Apalagi
dengan terang diketahui Hiat-to-tjeng sudah merat, sudah tentu mimpipun tak tersangka
bahwa didalam saldju ada sembunji seorang musuh. Dari itulah baru kepala Liok Thian-dju
hendak menongol kepermukaan saldju, tahu2 dadanja sudah kena serangan golok Hiat-to-tjeng.

Tapi betapapun Liok Thian-dju adalah kepala dari “Lam-su-lo”, terhitung djago kelas wahid
diantara djago silat Tionggoan. Meski dadanja sudah terluka, menjusul iapun dapat balas




SERIALSILAT.COM © 2005




234


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



melukai musuh. Ia tahu gerak-gerik Hiat-to-tjeng itu laksana hantu tjepatnja, ia tidak boleh
meleng barang sekedjappun, kalau mesti menunggu kepala menongol keatas saldju lalu balas
menjerang, tentu serangan musuh jang lain segera akan tiba pula lebih dulu.

Benar djuga baru Hiat-to Lotjo hendak menjerang pula, tak terduga serangan balasan Liok
Thian-dju sudah dilontarkan dengan tjepat luar biasa hingga iapun terluka. Sekuat tenaga ia
menangkis tiga kali serangan Kui-thau-to lawan sambil melangkah mundur. Diluar dugaan
mendadak kakinja mengindjak tempat kosong, saldju dimana kakinja berpidjak itu tidak beku
hingga badannja terdjeblos kebawah lagi.

Dalam pada itu serangan Thian-dju masih terus dilantjarkan tanpa memberi kesempatan
bernapas bagi lawan, tiga kali serangan disusul tiga kali serangan lain lagi. Ia tahu musuh pasti
akan terdesak mundur, maka iapun merangsak madju. Tak terduga mendadak kakinja merasa
“blong”, tubuhnja lantas andjlok kebawah.

Hiat-to Lotjo dan Liok Thian-dju adalah djago2 silat kelas atas pada djaman itu, meski
terdjerumus dalam keadaan jang benar-benar maha sulit itu, namun pikiran mereka sama
sekali tidak katjau. Mereka sama2 tidak dapat memandang dan mendengar, tapi mereka
mempunjai pendapat jang serupa, begitu kaki mengindjak tanah, segera masing2 memainkan
ilmu golok sendiri dengan kentjang. Tatkala itu tebal saldju diatas kepala mereka ada belasan
meter tingginja, ketjuali musuh dapat dibinasakan, kalau tidak, siapapun tiada berani menongol
dulu keatas, sebab bila timbul maksud hendak menjelamatkan diri, tentu akan segera dibatjok
mati oleh lawan……….

Sementara itu Tik Hun mendjadi heran karena mendadak diluar gua mendjadi sunji, padahal
baru sadja Hiat-to Lotjo masih mentjak2 dan mengotjeh. Waktu ia melongok keluar ternjata
Hiat-to Lotjo sudah tidak kelihatan lagi, sebaliknja saldju disekitar batu karang tadi tampak
bergolak dengan hebat bagai ombak samudera. Keruan ia ter-heran2.

Setelah menjaksikan sedjenak, achirnja tahulah dia bahwa dibawah saldju itu ada orang sedang
bertempur. Waktu ia mendongak, ia lihat Tjui Tay dan Hoa Tiat-kan berdiri ditepi karang dan
sedang memperhatikan keadaan didasar djurang, sikap mereka tampaknja sangat tegang. Maka
dapatlah Tik Hun menduga jang bertempur dibawah saldju itu pasti adalah Hiat-to Lotjo
melawan sikakek berdjenggot, jaitu Liok Thian-dju. Ia lihat Tjui Tay dan Hoa Tiat-kan
bernapsu sekali hendak membantu tapi agak bingung karena tidak tahu tjara bagaimana harus
turun tangan.

“Hoa-djiko, biarlah aku terdjun kebawah,” demikian Tjui Tay berkata kepada Hoa Tiat-kan.

“Djangan,” tjepat Tiat-kan mentjegah. “Djika engkau djuga terdjun kedalam saldju, lantas tjara
bagaimana kau akan membantu? Didalam saldju dengan sendirinja tidak kelihatan apa2,
djangan2 tragedi tadi akan terulang hingga Liok-toako akan salah ditjelakai engkau.” ~ Njata
karena tumbaknja tadi salah membinasakan saudara angkatnja sendiri, maka rasa duka dan
sesalnja tak terkatakan hebatnja.





SERIALSILAT.COM © 2005





235


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



Tjiu Tay pikir peringatan itu memang beanr, djika dirinja djuga terdjun kedalam saldju selain
sendjatanja memotong dan menjabat serabutan, masakah dapat membedakan siapa kawan dan
siapa lawan? Kemungkinan Hiat-to-tjeng atau Liok Thian-dju akan dibunuh olehnja adalah
sama besarnja, sebaliknja kemungkinan dirinja akan terbinasa dibawah sendjata mereka djuga
tidak berkurang kesempatannja.

Akan tetapi bila tidak turun tangan membantu, hal inipun sangat keterlaluan. Sudah terang
dipihak sendiri ada dua djago jang menganggur, tapi sedikitpun takdapat berbuat apa2.
Sungguh mereka mendjadi tak sabar hingga mirip semut ditengah wadjan panas, mereka hanja
kelabakan sendiri tanpa berdaja sedikitpun.

Apabila nekat menerdjun kebawah, namun didasar djurang itu saldju masih bergolak dengan
hebat, siapa tahu terdjun itu takkan menindih diatas kepala Liok Thian-dju.

Sjukurlah tidak seberapa lama, pergolakan saldju itu lambat-laun mulai reda, Tjui Tay dan Hoa
Tiat-kan jang diatas tebing serta Tik Hun dan Tjui Sing jang berada didalam gua djadi makin
kuatir, sebab tidak tahu bagaimana hasil pertarungan dibawah saldju itu. Maka dengan penuh
perhatian dan menahan napas mereka menantikan gerangan siapa jang muntjul dari bawah
saldju?

Benar djuga, selang sedjenak, gumpalan saldju disuatu tempat itu tampak tersundul keatas,
makin lama makin tinggi hingga achirnja satu kepala menausia kelihatan menongol. Tapi diatas
kepala itu penuh saldju, maka seketika susah dibedakan apakah kepala gundul Hweshio atau
kepala jang berambut?

Makin lama makin tinggi kepala jang menjundul saldju itu. Achirnja dapatlah kelihatan dengan
djelas diatas kepala itu penuh tumbuh rambut putih. Njata itulah kepalanja Liok Thian-dju.

Saking girangnja Tjui Sing terus bersorak sekali.

Sebaliknja Tik Hun mendjadi gusar. “Sorak2 apa?” damperatnja.

“Sorak apa? Sorak karena kakek-gurumu itu sudah mampus, tahu? Dan djiwamu sebentar
tentu djuga akan tamat!” sahut Tjui Sing dengan sengit.

Tidak usah diberitahu djuga Tik Hun mengarti akan hal itu. Selama ini setiap hari ia
berkumpul dengan Hiat-to-tjeng, seperti kata pribahasa “dekat merah akan mendjadi merah,
dekat hitam mendjadi hitam”, maka tanpa merasa Tik Hun ketularan sedikit watak kasar
seperti paderi Tibet itu. Apalagi dilihatnja Liok Thian-dju mendapat kemenangan, akibatnja ia
sendiri pasti djuga akan tjelaka ditangan ketiga kakek itu nanti. Dalam kuatirnja ia mendjadi
aseran, maka bentaknja segera: “Djika kau berani tjerewet lagi, segera kubunuh kau lebih dulu.”

Tjui Sing mendjadi takut dan tidak berani buka suara lagi. Ia masih tertutuk oleh Hiat-to-tjeng
tadi dan takbisa berkutik. Meski Tik Hun patah kakinja, tapi kalau mau bunuh dia boleh
dikata tidaklah susah.




SERIALSILAT.COM © 2005




236


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E




Dalam pada itu sesudah kepala menongol dipermukaan saldju, napas Liok Thian-dju tampak
megap2 sambil me-ronta2 sekuatnja dengan hendak merajap keluar dari dalam saldju.

“Liok-heng kami akan membantu kau!” seru Tjui Tay dan Hoa Tiat-kan bersama. Berbareng
mereka lantas terdjun kedalam saldju itu, menjusul terus melontjat keatas pula dan menjingkir
kesamping batu karang tadi.

Dan pada saat itulah tiba2 nampak Liok Thian-dju ambles pula kedalam saldju, tahu2
kepalanja sudah menghilang lagi kebawah seperti kakinja mendadak ditarik sekuatnja oleh
orang. Dan sesudah ambles kebawah, lalu tidak muntjul lagi. Sedangkan Hiat-to-tjeng sama
sekali tidak kelihatan batang-hidungnja.

Tjui Tay dan Hoa Tiat-kan saling pandang dengan penuh pertanjaan. Mereka menjaksikan
menghilangnja Liok Thian-dju kedalam saldju itu tjepatnja luar biasa, tampaknja seperti tak
berkuasa karena ditarik orang dari bawah, mereka menduga besar kemungkinan sang Toako itu
sudah kena disergap oleh Hiat-to-tjeng.

“Pluk”, mendadak sebuah kepala menongol pula dari bawah saldju. Waktu diperhatikan,
kepala itu gundul, kiranja adalah Hiat-to Lotjo. Paderi itu mengakah tawa sekali, lalu
menghilang lagi kebawah saldju.

“Paderi keparat!” maki Tjui Tay.

Dan baru ia hunus pedangnja hendak menubruk madju, se-konjong2 dari dalam saldju
mentjelat keluar pula sebuah kepala.

Tapi kepala itu melulu kepala belaka, kepala jang sudah berpisah dengan badannja. Kepala itu
berdjenggot, itulah kepalanja Liok Thian-dju.

Buah kepala itu terbang keudara setinggi beberapa meter, kemudian djatuh kebawah dan
ambles menghilang kedalam saldju.

Menjaksikan pemandangan jang seram dan aneh itu, saking ketakutan sampai Tjui Sing
hampir2 semaput. Pikirnja mau mendjerit, tapi tenggorokan se-akan2 tersumbat dan takdapat
bersuara.

Tjui Tay djuga sangat pedih dan gusar pula, teriaknja keras2: “Wahai, Liok-toako! Engkau telah
berkorban bagiku, biarlah Siaute membalaskan sakit hatimu.”

Tapi sebelum ia melangkah, tjepat Hoa Tiat-kan mentjegahnja: “Nanti dulu! Paderi setan itu
bersembunji didalam saldju, dia terang, kita gelap, kalau kita menerdjang setjara serampangan,
djangan2 akan masuk perangkapnja lagi.






SERIALSILAT.COM © 2005






237


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



Benar djuga pikir Tjui Tay, maka ia menahan bergolaknja perasaan sedapat mungkin dan
menanja: “Habis, apa tindakan kita sekarang?”

“Kita tunggu sadja disini,” udjar Tiat-kan. “Paderi itu dapat tahan berapa lama berada didalam
saldju? Achirnja tentu dia akan muntjul keatas. Tatkala mana kita lantas mengerubutinja,
betapapun kita harus membedah dadanja dan mengkorek hatinja untuk sesadjen kedua saudara
kita.”

Terpaksa Tjui Tay menuruti saran sang kawan. Dengan air mata ber-linang2 ia bersabar sedapat
mungkin dan menahan pedihnja perasaan. Namun dua kawan karib selama berpuluh tahun itu
kini terbinasa begitu mengenaskan, betapapun ia tetap sangat berduka.




Hlm. 23 Gambar:

Mendadak dari bawah saldju jang bergolak itu menongol keluar sebuah kepala manusia jang
berdjenggot. Njata itulah Liok Thian-dju. Napas djago tua itu tampak ter-engah2, rupanja
saking tidak tahan dikotjok didalam saldju oleh Hiat-to Lotjo, maka terpaksa ia mesti
menongol kepermukaan saldju untuk ganti napas.



Dengan mengintjar tempat dimana kepala Hiat-to-tjeng menongol tadi, pelahan2 Tjui Tay dan
Hoa Tiat-kan melompat dari batu karang satu kebatu jang lain, tanpa merasa mereka semakin
mendekat dengan gua tempat sembunji Tik Hun dan Tjui Sing.

Ber-ulang2 Tjui Sing melirik Tik Hun, diam2 ia ambil keputusan bila sang ajah sudah dekat
segera ia akan berteriak minta tolong. Tapi kalau terlalu buru2 teriaknja hingga djarak sang ajah
terlalu djauh, tentu dirinja akan dibunuh dulu oleh “Hweshio tjabul” itu sebelum tertolong
ajahnja.

Dari sikap sigadis jang tidak tenteram serta sinar matanja jang berkerlingan, Tik Hun sudah
lantas tahu djuga maksudnja. Tiba2 ia sengadja bikin napasnja ter-engah2 seperti orang jang
kepajahan, pelahan2 ia mengesot kemulut gua seperti hendak mengambil saldju untuk
dimakan sekadar menghilangkan rasa dahaga.

Dengan sendirinja Tjui Sing tidak tjuriga, jang diperhatikan ialah ajahnja. Se-konjong2 Tik Hun
menahan badannja dengan tangan kiri, sekali endjot, mendadak tubuhnja melompat bangun,
dengan tjepat sekali lengan kanannja terus menjikap dari belakang hingga leher Tjui Sing
terdjepit.

Keruan Tjui Sing kaget, segera ia hendak berteriak, tapi sudah telat. Ia merasa lengan Tik Hun
itu sekeras besi hingga lehernja kesakitan dan bernapaspun susah. Memangnja badannja
tertutuk dan takbisa berkutik, ditambah lagi leher tertjekik, sebentar lagi pasti djiwanja




SERIALSILAT.COM © 2005




238


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



melajang. Tapi tiba2 terdengar Tik Hun membisikinja: “Asal kau berdjandji takkan bersuara,
aku lantas tak djadi mentjekik mampus kau.” ~ Habis itu, sedikit ia kendurkan lengannja agar
Tjui Sing dapat bernapas sedikit. Tapi lengannja jang kasar dan kuat itu tetap menjilang dileher
sigadis jang putih halus itu.

Sudah tentu Tjui Sing gemas tidak kepalang, tapi apa daja? Hanja dalam hati ia mentjutji maki
habis2an.

Diluar sana Tjui Tay dan Hoa Tiat-kan sedang mendekam diatas sebuah batu karang, mereka
ter-heran2 karena tiada melihat sesuatu gerak-gerik lagi dari bawah saldju. Mereka tidak tahu
permainan apa jang sedang dilakukan Hiat-to-tjeng jang sekian lamanja terpendam didasar
saldju itu.

Sudah tentu mereka tidak tahu bahwa sedjak ketjil Hiat-to Lotjo hidup ditanah bersaldju
sebagai Tibet itu, maka tentang tjiri2 chas dari saldju itu tjukup dipahaminja. Waktu djatuh
ketengah saldju tadi, segera ia menggunakan goloknja untuk mengkorek sebuah liang, ia tepuk2
pinggir liang itu dengan tangan hingga keras, dan liang saldju itu lantas tersimpan sedikit hawa.
Dalam hal ilmu silat sedjati, sebenarnja kepandaian Hiat-to-tjeng dengan Liok Thian-dju adalah
sepadan. Tapi sebelumnja paderi itu sudah lama menempur Lau Seng-hong, tenaga murninja
sudah banjak terbuang, maka ia mendjadi kalah kuat daripada Liok Thian-dju. Tapi berkat
simpanan hawa dilubang saldju itu, setiap kali kalau ia merasa pajah dan napas sesak, segera ia
melongok kelubang saldju itu untuk menghirup hawa segar.

Dengan sedirinja Liok Thian-dju tidak paham rahasia saldju itu. Ia terus main hantam-kromo
dengan mati2an. Dengan demikian biarpun dia sanggup menahan napas dengan lama djuga
takbisa menangkan Hiat-to-tjeng jang sering2 dapat mengganti napas. Teori ini sama seperti
dua orang berkelahi didalam air, jang satu sering2 mumbul kepermukaan air untuk mengganti
napas, sebaliknja jang lain terus silam didasar air, dengan sendirinja mudah ditentukan siapa
akan unggul dan siapa asor.

Pada achirnja, oleh karena Liok Thian-dju sudah tidak tahan lagi, terpaksa ia mesti menempuh
bahaja dan menongol kepermukaan saldju untuk bernapas. Dan karena itu badan bagian bawah
lantas kena dibatjok tiga kali oleh Hiat-to-tjeng hingga tewas didasar saldju.

Begitulah Tjui Tay dan Hoa Tiat-kan masih terus menunggu, tapi sudah lebih satu djam, tetap
tidak nampak bajangan Hiat-to-tjeng. “Besar kemungkinan Ok-tjeng itu terluka parah dan
terbinasa djuga didasar saldju,” udjar Tjui Tay.

“Kukira memang begitulah,” sahut Tiat-kan. “Betapa hebat kepandaian Liok-toako, masakah ia
begitu gampang dibunuh musuh tanpa melukai musuh lebih dulu? Apalagi tadi paderi iblis itu
sudah bertempur sekian lamanja melawan Lau-hiante, mestinja ia bukan lagi tandingan Liok-
toako.”







SERIALSILAT.COM © 2005







239


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



“Ja, pasti dia menggunakan tipu kedji hingga Liok-toako masuk perangkapnja,” kata Tjui Tay.
Berkata sampai disini ia tidak tahan lagi rasa duka dan murkanja. Teriaknja segera: “Biar
kuturun kebawah sana untuk melihatnja.”

“Baiklah, tapi hendaklah hati2, aku akan mengawasi kau disini,” sahut Tiat-kan

Tjui Tay terkesiap, katanja didalam hati: “Aneh, sebagai seorang ksatria sedjati mengapa kau
tidak menjatakan hendak pergi bersama?”

Namun saat itu ia sudah bertekad hendak menemukan majat Hiat-to-tjeng, lalu akan
ditjintjangnja hingga hantjur luluh untuk melampiaskan dendamnja. Paling baik kalau napas
paderi djahat itu belum lagi putus, dengan demikian ia dapat menjiksanja se-puas2nja sebelum
paderi itu dibunuhnja.

Begitulah segera ia menghunus pedangnja, ia menarik napas pandjang2 sekali, dengan
Ginkangnja jang tinggi ia terus meluntjur kesana, tapi baru meluntjur beberapa meter
djauhnja, mendadak “pluk”, dari bawah saldju disebelahnja melontjar keluar seorang jang
bukan lain adalah Hiat-to Lotjo, tapi bertangan kosong, goloknja entah kemana perginja.

Begitu muntjul diatas saldju, segera paderi itu melajang kesamping hingga beberapa meter
djauhnja sambil ber-teriak2: “Seorang laki2 sedjati harus mengutamakan keadilan. Kau
bersendjata dan aku bertangan kosong, tjara bagaimana kita harus berkelahi?”

Dan belum lagi Tjui Tay mendjawab, dikedjauhan sana Hoa Tiat-kan sudah menjahut: “Untuk
membunuh paderi djahat ini masakah perlu bitjara tentang keadilan apa segala?”

Habis berkata, ia terus memburu madju djuga untuk menggentjet musuh.

Tjui Tay menaksir golok merah paderi itu tentu sudah hilang ditengah saldju waktu
menempur Liok-toako tadi, untuk mentjari kembali tentu tidak mudah. Ia mendjadi lega demi
nampak musuh tak bersendjata, ia jakin sekarang pasti akan menang, jang harus didjaga
sekarang jalah paderi itu sekali2 djangan sampai lolos lagi untuk kemudian menjusup pula
kedalam saldju. Segera serunja: “Hai, Hweshio djahanam, dimanakah puteriku? Asal kau
katakan terus terang, segera akan kubunuh kau dengan sekali tabas, supaja kau takkan
merasakan siksaan lebih djauh.”

“Tempat sembunji anak dara itu sangat sulit untuk kau ketemukan, asal kau berikan djalan lari
padaku, segera akan kukatakan padamu,” udjar Hiat-to Lotjo sambil terus berlari, kuatir kalau
disusul oleh Tjui Tay.

Diam2 Tjui Tay pikir: “Biarlah kutipu dia agar mengaku lebih dulu.” ~ Maka ia lantas berkata:
“Disekitar sini djuga melulu tebing tjuram belaka, meski kau diberi djalan djuga takbisa pergi?”

“Itulah gampang,” sahut Hiat-to-tjeng. “Bila engkau memberi djalan hidup padaku, segera kita
dapat berunding untuk mentjari akal bersama. Bila kau bunuh aku, tetap kau akan susah




SERIALSILAT.COM © 2005




240


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



keluar dari djurang kurung ini. Maka lebih baik kita mendjadi kawan sadja dan aku akan
berdaja menolong kalian keluar dari lembah ini?”

“Huh, paderi djahat seperti kau ini masakah dapat dipertjaja?” damperat Hoa Tiat-kan dengan
gusar. “Hajo, lekas kau berlutut dan menjerah, tjara bagaimana kau akan diadili tergantung
kami, kau barani banjak tjerewet?” ~ Sembari berkata ia terus mendesak main dekat.

“Djika begitu maafkan aku takdapat menemani kalian lagi,” seru Hiat-to-tjeng. Segera ia angkat
kaki dan berlari kearah timur laut sana.

“Lari kemana, Hweshio djahanam!” damperat Tjui Tay sambil mengudak.

Tapi lari Hiat-to Lotjo semakin kentjang. Ketika sampai dipodjok sana, karena terhalang oleh
tebing jang tinggi, mendadak ia putar kembali dan menjelinap lewat disamping Tjui Tay.
Kontan pedang Tjui Tay menabas sekali, namun selisih satu-dua senti dari sasarannja hingga
tidak kena. Kembali Hiat-to-tjeng itu berlari ketempat tadi.

Melihat itu, diam2 Tjui Tay membatin: “Djika terus udak2an ditengah djurang ini, susah djuga
untuk menangkap djahanam jang punja Ginkang lihay itu. Pula Sing-dji entah disembunjikan
dimana?” ~ Karena gopohnja itu, ia mengudak terlebih kentjang lagi.

Se-konjong2 terdengar Hiat-to-tjeng mendjerit sekali, kakinja lemas dan orangnja terus djatuh
tengkurap kedepan, kedua tangannja tampak men-tjakar2 saldju seperti ingin merangkak
bangun, tapi terang sekali tenaganja sudah habis, sesduah merangkak dua kali, lalu terbanting
pula dan tak sanggup bangun lagi.

Tentu sadja Tjui Tay tidak sia2kan kesempatan bagus itu, setjepat terbang ia memburu madju
terus menikam dengan pedangnja. Karena dia ingin menjiksa paderi itu lebih dulu sebelum
membinasakannja, maka tusukannja itu diarahkan kebagian bokong, asal paderi itu takbisa lari
lagi, kemudian akan disiksa untuk ditanja tempat sembunji Tjui Sing.

Tak terduga, baru pedangnja diangkat, se-konjong2 kakinja merasa “blong”, indjak tempat
kosong, berbareng tubuhnja terus kedjeblos kebawah.

Dalam pada itu Tik Hun dan Tjui Sing djuga sedang mengikuti kedjadian diluar gua itu dengan
perasaan jang ber-beda2, jang satu kuatir dan jang lain senang. Siapa tahu mendadak Tjui Tay
menghilang dari tanah saldju itu. Menjusul mana lantas terdengar pula suara djeritan jang
mengerikan dibawah tanah itulah suaranja Tjui Tay jang sangat ketakutan se-olah2 ketemukan
sesuatu jang mengerikan.

Keruan kedjadian itu membuat Tjui Sing terperandjat tak terhingga, begitu pula Tik Hun pun
ter-heran2. Ia tidak ingin Hiat-to-tjeng pada saat itu terbunuh, sebab hal mana berarti dia
sendiripun akan terbinasa. Tapi iapun tidak ingin Tjui Tay dan kawannja mendjadi korban,
sebab ia tahu djago2 tua itu adalah tokoh-tokoh “Hiap-gi” (kaum kesatria) jang terpudja di





SERIALSILAT.COM © 2005





241


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



Tionggoan, jaitu sealiran dengan Ting Tian. Maka demi mendengar djeritan Tjui Tay itu, sama
sekali tiada rasa sjukur atau gembira pada hatinja.

Sementara itu Hiat-to-tjeng tampak sudah melompat bangun lagi dengan tjepat dan gesit
sekali, suatu bukti bahwa kelakuannja tadi hanja pura2 belaka. Dan begitu melompat bangun,
begitu kakinja mengandjlok, tahu2 tubuhnja lantas menghilang kedalam saldju. Ketika sedjenak
lagi ia muntjul kembali keatas, tangannja tampak mengempit sesosok badan manusia jang
bermandikan darah. Siapa lagi manusia berdarah itu kalau bukan Tjui Tay jang kedua kakinja
tampak kutung sebatas lutut.

Melihat keadaan sang ajah jang mengerikan itu, Tjui Sing ber-teriak2 sambil menangis: “Ajah,
ajah! O, ajah!”

Tik Hun merasa tidak tega djuga, dalam kedjut dan ngerinja, ia mendjadi lupa mentjekik leher
sigadis lagi, bahkan ia melepas tangan dan menghiburnja malah: “Nona Tjui, ajahmu belum
meninggal, djanganlah menangis!”

Ketika tangan Hiat-to Lotjo bergerak, tahu2 selarik sinar merah berkemilauan, ternjata golok
merah itu sudah kembali berada ditangannja lagi.

Kiranja tadi ia sembunji dibawah saldju hingga sekian lamanja, diam2 ia telah menggali sebuah
lubang djebakan, ia taruh goloknja jang tadjam itu melintang dimulut lubang dengan mata
golok menghadap keatas. Lalu ia menjusup keluar dengan pura2 kehilangan sendjata. Ketika
musuh mengedjar, ia lantas memantjingnja ketempat lubang perangkap itu.

Biarpun Tjui Tay tergolong tokoh Kangouw jang ulung, namun djebakan dibawah saldju itu
sekali2 tak terduga olehnja hingga achirnja dia terdjebak. Ketika ia kedjeblos kebawah maka
kontan kedua kakinja tertabas kutung oleh golok jang sangat tadjam itu.

Begitulah dengan tipu muslihatnja itu, ber-runtun2 Hiat-to Lotjo telah membinasakan dua
lawan dan meluka-parahkan satu. Sisa Hoa Tiat-kan seorang sudah tentu tak dipandang berat
olehnja. Ia lemparkan tubuh Tjui Tay ketanah saldju, lalu angkat goloknja mendesak madju
kehadapan Hoa Tiat-kan sambil berteriak: “Hajolah, djika kau berani, marilah kita bertempur
tiga ratus djurus lagi!”

Melihat Tjui Tay ter-guling2 ditanah saldju karena kedua kakinja sudah buntung,
pemandangan ngeri itu benar2 telah memetjahkan njalinja, mana ia berani bertempur lagi?
Sambil memegang tumbaknja jang pendek itu ia mengkeret mundur kebelakang. Tumbak itu
tampak gemetar, suatu tanda betapa takutnja Hoa Tiat-kan.

Mendadak Hiat-to Lotjo mengertak sekali sambil mendesak madju dua langkah. Dengan kaget
Hoa Tiat-kan melompat mundur dua langkah, saking gemetarnja hingga tangannja terasa lemas,
tumbaknja djatuh ketanah, tjepat ia djemput kembali dan main mundur pula.






SERIALSILAT.COM © 2005






242


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



Padahal Hiat-to Lotjo sesudah ber-turut2 menempur tiga djago kelas wahid, keadaannja djuga
sudah pajah, tenaga habis dan badan lemas. Kalau benar2 Hoa Tiat-kan bergebrak dengan dia,
tak mungkin dia mampu menang. Apalagi kepandaian Hoa Tiat-kan sesungguhnja djuga tidak
dibawah Hiat-to-tjeng, djikalau dia mempunjai rasa senasib dan setanggungan dengan para
kawan, dengan penuh semangat menerdjang madju, pasti paderi Tibet itu akan mati dibawah
tumbaknja.

Sajangnja sesudah Hoa Tiat-kan salah membunuh kawan sendiri, jaitu imam tua Lau Seng-
hong, pikirannja mendjadi katjau dan semangat lesu, apalagi dilihatnja kedua kawan jang lain
djuga djatuh mendjadi korban. Liok Thian-dju terpenggal kepalanja dan kedua kaki Tjui Tay
terkutung. Kesemuanja itu benar2 telah bikin petjah njalinja, semangat tempurnja boleh dikata
sudah lenjap sama sekali.

Dengan sendirinja Hiat-to Lotjo sangat senang melihat Hoa Tiat-kan sangat ketakutan. Segera
katanja: “Tipu akalku seluruhnja ada 72 matjam, harini hanja tiga matjam tipu jang kugunakan
dan tiga kawanmu sudah mendjadi korban, masih sisa lagi 69 matjam tipu akalku, kesemuanja
itu akan kulaksanakan atas dirimu.”

Sebagai seorang tokoh Bu-lim jang terkemuka, pengalaman Hoa Tiat-kan sudah tentu sangat
luas, gertakan Hiat-to-tjeng itu sebenarnja tidak mempan baginja. Tapi kini ia sudah petjah
njalinja, setiap gerak dan setiap kata Hiat-to-tjeng penuh membawa rasa seram dan ngeri
baginja. Ketika mendengar paderi itu menjatakan masih ada 69 matjam tipu kedji jang akan
dilaksanakan atas dirinja, segera telinganja meng-ngiang2 dengan kata2 “69 tipu kedji”, dan
karena itu tangannja semakin bergemetar.

Padahal waktu itu Hiat-to Lotjo djuga sudah pajah benar2, kalau dapat ia ingin bisa lantas
merebah ditanah saldju itu untuk tidur se-puas2nja. Tapi ia insaf saat itu iapun sedang
menghadapi suatu pertarungan mati2an jang menentukan, dahsjatnja hakikatnja tidak kalah
serunja daripada pertempurannja melawan Lau Seng-hong dan Liok Thian-dju. Maka tjelakalah
dia, sekali djago she Hoa itu menjerang pasti orang akan segera tahu keadaannja jang pajah itu,
dan untuk selandjutnja pasti dia akan mati dibawah tumbak musuh itu. Oleh karena itu,
sekuat mungkin ia kerahkan semangatnja sambil memainkan golok jang dipegangnja itu dengan
lagak seorang jang masih tangkas.

Dan ketika melihat Hoa Tiat-kan tjuma main undur2 sadja dan tidak mau lari, diam2 dia men-
desak2 didalam hati: “Hajolah lari! Hajolah lari! Keparat, kenapa kau tidak lari!”

Tapi waktu itu ternjata keberanian melarikan diripun sudah tidak dimiliki lagi oleh Hoa Tiat-
kan.

Di sebelah sana Tjui Tay jang sudah buntung kedua kakinja itu masih menggeletak di tanah
saldju dalam keadaan senen-kemis. Ia mendjadi lebih2 tjemas demi menjaksikan begitu rupa
ketakutannja Hoa Tiat-kan.






SERIALSILAT.COM © 2005






243


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



Meski dalam keadaan terluka parah, namun Tjui Tay masih dapat melihat djelas bahwa tenaga
Hiat-to-tjeng itu sebenarnja sudah habis seperti pelita jang kehabisan minjak, asal sang kawan
berani madju melabraknja, sekali gebrak pasti dapat membinasakan musuh djahanam itu.
Maka sekuat tenaga ia tjoba menteriakinja: “Hoa-djiko, hajolah madju labrak dia, tenaga paderi
djahat itu sudah ludes, terlalu mudah bagimu untuk membunuhnja……….”

Hiat-to Lotjo terperandjat mendengar seruan Tjui Tay itu. Pikirnja: “Tua bangka ini benar2
lihay, mungkin aku bisa tjelaka.”

Tapi ia sengadja busungkan dada dan mendesak madju malah sambil berkata kepada Hoa Tiat-
kan: “Ja, ja, memang benar! Tenagaku sudah habis, hajolah kita pergi keatas tebing sana untuk
bertempur 300 djurus lagi! Hajolah, siapa jang tidak berani anggaplah dia anak haram tjutju
kura2.”

Pada saat itulah mendadak dari gua terdengar suara Tjui Sing sedang berteriak: “Ajah, ajah!”

Tiba2 pikiran Hiat-to-tjeng tergerak: “Djika saat ini aku membunuh Tjui Tay, tentu akan
menimbulkan tjuriga Hoa Tiat-kan akan kebenaran seruan kawannja itu. Biarlah kuseret keluar
anak dara itu untuk mementjarkan perhatian Tjui Tay. Kalau melulu melawan orang she Hoa
itu sadja tentu akan djauh lebih mudah.”

Karena itu, ia sengadja mengedjek Hoa Tiat-kan lagi: “Hajo, kau berani tidak, marilah kita
bertempur lagi 300 djurus!”

Namun Hoa Tiat-kan telah mendjawabnja dengan geleng kepala.

“Lawanlah dia, lawanlah dia! Apakah kau tidak ingin membalas sakit hati Liok-toako dan Lau-
samko?” seru Tjui Tay pula.

“Hahahaha! Hajo lawanlah, lawanlah!” Hiat-to Lotjo ter-bahak2 lagi. “Aku djusteru sedang
menunggu untuk melaksanakan 69 matjam tipuku jang kedjam atas dirimu! Hajolah madju!” ~
Dan ketika dilihatnja Hoa Tiat-kan malah mengkeret mundur, segera iapun putar tubuh dan
masuk kedalam gua, ia djambak rambut Tjui Sing dan menjeretnja keluar.

Ia tahu ilmu silat Hoa Tiat-kan sangat lihay, djalan satu2nja sekarang harus menggunakan segala
tjara siksaan kedjam atas diri Tjui Tay dan puterinja itu agar lawan tangguh itu selalu dalam
keadaan ketakutan hingga tidak berani berkutik. Maka segera ia menjeret Tjui Sing kehadapan
Tjui Tay, bentaknja: “Nah, kau bilang tenagaku sudah habis, baiklah sekarang akan
kupertontonkan padamu apakah tenagaku sudah habis atau belum?”

Habis berkata, “bret”, mendadak ia tarik sekuatnja hingga lengan badju kanan Tjui Sing terobek
sebagian besar, maka tertampaklah lengan sigadis jang putih halus laksana saldju itu.

Keruan Tjui Sing mendjerit ketakutan, tapi karena djalan darahnja tertutuk, hanja mulut jang
bisa bersuara untuk melawan sama sekali tak bisa.




SERIALSILAT.COM © 2005




244


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E




Dalam pada itu Tik Hun djuga sudah ikut merajap keluar dari gua, ketika menjaksikan adegan
mengerikan itu, ia mendjadi tak tega, terus sadja ia berteriak: “Djang ..……. djangan kau
menghina nona itu!”

“Hahahaha!” Hiat-to Lotjo ter-bahak2 malah: “Djangan kuatir, tjutju-muridku jang baik, pasti
Tjosuya takkan mentjelakai njawanja.”

Habis itu, ia putar tubuh sedikit, sekali goloknja berkelebat, tahu2 bahu kiri Tjui Tay telah
dipapasnja sebagian, lalu tanjanja: “Nah, katakanlah, tenagaku sudah habis atau belum?”

Keruan darah segar seketika muntjrat keluar dari bahu Tjui Tay, sebaliknja Hoa Tiat-kan dan
Tjui Sing berbareng mendjerit kaget.

Dan ketika Hiat-to Lotjo membetot sekali pula, kembali badju Tjui Sing terobek sebagian lagi.
Kemudian katanja kepada Tjui Tay: “Asal kau panggil Tjosuyaya tiga kali kepadaku, segera
puterimu akan kuampuni. Nah, kau mau panggil tidak?”

“Tjuh”, mendadak Tjiu Tay meludahi paderi itu sepenuh tenaga. Tapi sedikit mengegos,
dapatlah Hiat-to-tjeng menghindar, dan karena gerakannja itu, tanpa kuasa tubuhnja mendjadi
sempojongan, kepala pening dan mata ber-kunang2, hampir2 ia roboh terdjungkal.


Keadaan itu dapat dilihat dengan djelas oleh Tjui Tay, terus sadja ia ber-teriak2: “Hoa-djiko,
hajolah lekas turun tangan, lekas serang dia!”

Tentang keadaan Hiat-to-tjeng jang sempojongan itu dengan sendirinja djuga dilihat oleh Hoa
Tiat-kan. Tapi ia djusteru berpikir: “Djangan2 paderi djahat itu tjuma pura2 sadja untuk
memantjing aku. Ok-tjeng itu banjak tipu muslihatnja, betapapun aku harus waspada.”

Dan sesudah tenangkan diri, kembali Hiat-to-tjeng membatjok pula dengan goloknja hingga
lengan kanan Tjui Tay tergurat suatu luka dalam. “Kau mau panggil Tjosuyaya padaku atau
tidak?” demikian bentaknja pula.

Saking kesakitan, hampir2 Tjui Tay kelengar. Tapi ia sangat perwira, matipun ia tidak sudi
takluk. Kembali ia memaki: “Hwesio bangsat, biar mati orang she Tjui tidak nanti menjerah
padamu! Lekas kau bunuh aku sadja!”

“Huh, enak?” djengek Hiat-to-tjeng. “Aku djusteru hendak menjajat lenganmu, aku akan
potong dagingmu selapis demi selapis. Tapi asal kau panggil Tjosuyaya tiga kali dan minta
ampun padaku, djiwamu lantas kuampuni.”

“Tjuh”, kembali Tjui Tay meludahi musuh, damperatnja: “Djangan kau mimpi disiang bolong,
Hwesio durdjana!”





SERIALSILAT.COM © 2005





245


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



Hiat-to-tjeng tahu watak situa itu sangat bandel, sekalipun mentjatjah badannja hingga hantjur
luluh djuga tidak mungkin membuatnja takluk. Maka katanja segera: “Baiklah, aku akan
kerdjakan puterimu ini, tjoba nanti kau akan memanggil Tjosuyaya padaku tidak?”

Habis berkata, kembali tangannja menarik, “bret”, lagi2 sebagian badju Tjui Sing kena
disobeknja. Kali ini adalah sebagian gaunnja.

Sudah tentu Tjui Tay sangat murka. Sebagai seorang kesatria sedjati, biarpun musuh
menghudjani batjokan atas badannja djuga takkan menaklukannja. Tapi paderi djahat itu
sengadja menghina puterinja didepan orang banjak, perbuatan ini benar2 tak bisa dibiarkan
olehnja. Tapi apa daja, kakinja sudah buntung, bahkan djiwa sendiri djuga tergantung ditangan
musuh. Melihat gelagatnja, terang paderi djahat itu hendak melutjuti pakaian Tjui Sing
sepotong demi sepotong hingga telandjang bulat, bahkan bukan mustahil akan diperlakukan
setjara tidak senonoh pula dihadapannja dan dihadapan Hoa Tiat-kan.

Maka terdengar Hiat-to-tjeng berkata pula dengan tertawa iblis. “Segera orang she Hoa ini akan
tekuk lutut dan minta ampun padaku, segera aku akan melepaskan dia, biar dia menjiarkan
kedjadian ini kekalangan Kangouw bahwa puterimu telandjang bulat dihadapanmu. Hahahah!
Bagus, bagus! Hoa Tiat-kan, kau akan berlutut minta ampun? Ja, ja boleh, boleh, tentu aku
akan mengampuni djiwamu!”

Mendengar otjehan itu, semangat tempur Hoa Tiat-kan lebih2 bujar lagi. Memangnja maksud
tudjuannja tiada lain jalah mentjari hidup. Meski berlutut minta ampun adalah perbuatan jang
memalukan, tapi toh djauh lebih enak daripada badan di-sajat2 oleh golok musuh. Sama sekali
tak terlintas pikirannja akan bertempur pula dengan sepenuh tenaga, hal mana sebenarnja tidak
susah baginja untuk membunuh musuh, tapi jang terbajang olehnja sekarang jalah Hiat-to-
tjeng dihadapannja itu terlalu seram, terlalu menakutkan.


Ia dengar Hiat-to-tjeng sedang berkata pula: “Kau djangan kuatir, djangan takut, asal kau sudah
berlutut dan minta ampun, pasti djiwamu takkan kuganggu.”

Utjapan jang membesarkan hati itu bagi pendengaran Hoa Tiat-kan rasanja sangat enak dan
sedap.

Sudah tentu kesempatan baik itu tak di-sia2kan Hiat-to-tjeng melihat air muka Hoa Tiat-kan
mengundjuk rasa terhibur, segera ia tinggalkan Tjui Sing dan mendekati Tiat-kan dengan golok
terhunus, katanja: “Bagus, bagus! Kau hendak berlutut dan minta ampun, nah, buanglah
tumbakmu dulu. Ja, ja, aku pasti takkan mengganggu djiwamu, nah, nah, taruhlah tumbakmu
ketanah, nah, begitulah!”

Begitulah nada suara Hiat-to-tjeng itu sangat lemah lembut dan menimbulkan daja pengaruh
jang takdapat dilawan. Benar djuga, sekali tjekalan Hoa Tiat-kan kendur, tumbaknya lantas
terlempar ketanah saldju. Dan sekali sendjatanja sudah terlepas dari tangan, dengan hati bulat
ia benar2 sudah takluk pada musuh.




SERIALSILAT.COM © 2005




246


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E




Dengan wadjah tersenjum simpul Hiat-to-tjeng berkata: “Bagus, bagus! Engkau sangat penurut,
aku sangat suka padamu. Eh, tumbakmu itu boleh djuga, tjoba kulihat! Kau mundur dulu
kesana tiga tindak, nah, nah, begitulah, ja mundur lagi tiga tindak!”

Begitulah seperti orang jang sudah kehilangan sukma, Hoa Tiat-kan hanja menurut belaka apa
jang dikehendaki musuh.

Maka pelahan2 Hiat-to Lotjo mendjemput tumbak jang ditinggalkan Hoa Tiat-kan itu. Sambil
memegangi tumbak pendek itu, ia merasa tenaga murninja setitik demi setitik djuga sedang
menghilang lagi, beruntun ia tjoba kerahkan tenaganja dua kali, tapi hasilnja nihil, tenaga murni
itu takdapat dihimpun kembali lagi. Diam2 ia terkedjut: “Djadi sesudah bertempur melawan
tiga djago tangguh tadi, tenagaku sudah habis terkuras benar2, untuk dapat memulihkan
tenagaku ini mungkin perlu mengaso setengah atau satu bulan lamanja.” ~ Dari itu, meski ia
sudah memegang sedjata Hoa Tiat-kan, tapi ia masih kuatir bila lawan itu mendadak tabahkan
diri dan menjerangnja, sekali gontok sadja pasti dirinja akan dirobohkan.

Sementara itu ketika Tjui Tay melihat Hiat-to-tjeng lagi berusaha menaklukkan Hoa Tiat-kan,
segera ia membisiki sang puteri: “Sing-dji, lekaslah kau bunuh aku sadja!”

“Aj …….ajah! Aku ……. Aku tak dapat!” sahut Tjui Sing dengan ter-guguk2.

Tiba2 Tjui Tay melirik sekedjap pada Tik Hun, lalu katanja: “Siausuhu, sudilah kau berbuat
badjik, lekas kau membunuh aku sadja!”

Tik Hun tahu maksud djago tua itu, daripada hidup tersiksa dan dihina, lebih baik lekas2
terbinasa sadja.

Sesungguhnja Tik Hun memang tidak tega dan sangat ingin membantu tamatkan riwajat Tjui
Tay. Tapi bila dirinja turun tangan, hal mana pasti akan menimbulkan kemurkaan Hiat-to
Lotjo. Padahal ia sudah saksikan dengan mata kepala sendiri betapa akan buas dan kedjamnja
paderi Tibet itu. Makanja iapun tidak berani sembarangan membikin marah padanja.

“Sing-dji, boleh kau mohonlah belas kasihan Siausuhu ini agar suka lekasan membunuh aku
sadja, kalau terlambat sebentar lagi tentu akan kasip.” Pinta Tjui Tay kepada puterinja.

Tapi pikiran Tjui Sing sedang kusut dan bingung, sahutnja: “Ajah, engkau tak boleh meninggal,
engkau tak boleh meninggal!”

“Dalam keadaan demikian, aku lebih baik mati daripada hidup, masakah kau tidak melihat
penderitaanku ini?” kata Tjui Tay dengan gusar.

Dan baru sekarang Tjui Sing tersadar, sahutnja: “Ja, benar! Ajah, biarlah kumati bersama
engkau!”





SERIALSILAT.COM © 2005





247


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



“Siausuhu,” segera Tjui Tay meminta lagi kepada Tik Hun, “mohon belas kasihanmu, sudilah
lekas membunuh aku. Suruh aku takluk dan minta ampun pada paderi tua bangka itu,
masakah orang she Tjui ini sudi buka mulut? Pula aku takdapat menjaksikan puteriku dihina
olehnja!”

Meski selama ini Tik Hun menjelamatkan diri dengan membontjeng Hiat-to Lotjo serta
bermusuhan dengan para djago silat dari Tionggoan, namun hati ketjilnja sebenarnja tidak suka
kepada paderi djahat itu. Dasar djiwanja memang luhur dan bersemangat kesatria, kini
mendadak timbul djuga djiwa kepahlawanannja, dengan suara tertahan segera ia terima baik
permintaan Tjui Tay. “Baiklah, akan kubunuh kau, meski nanti akan diamuk oleh paderi tua
djuga aku tidak peduli lagi!”

Tjui Tay bergirang, memangnja ia seorang jang banjak tipu akalnja, meski dalam keadaan
terluka parah, namun ia masih bisa mengatur siasat, bisiknja kepada Tik Hun: “Aku akan pura2
memaki kau dengan suara keras, lalu sekali kemplang boleh kau binasakan aku, paderi tua
bangka itu pasti tidak mentjurigai kau lagi!” ~ Dan tanpa menunggu djawaban Tik Hun, terus
sadja ia memaki kalang kabut: “Hwesio tjabul ketjil, Hwesio keparat! Djika kau tidak mau
sadar dan tetap meniru perbuatan Hwesio tua bangka jang terkutuk itu, kelak kau psti akan
mendapatkan gandjaran jang setimpal. Bila hati nuranimu masih baik, seharusnja lekas2 kau
tinggalkan Hiat-to-bun! Hwesio tjabul ketjil, kau anak djadah, tjutju kura2!”

Diantara tjatji-maki itu dapat didengar Tik Hun bahwa ada bagian2 jang menasihatkan dirinja
agar menudju kedjalan jang baik. Diam2 ia merasa berterima kasih, segera ia angkat sepotong
kaju, tapi toh tidak tega dikemplangkan begitu sadja.

Keruan Tjui Tay mendjadi gopoh, dengan tak sabar ia memaki lebih kedji lagi.

Disebelah sana tertampak Hoa Tiat-kan sudah tak berdaja, mendadak kakinja lemas terus
bertekuk lutut dan menjembah kepada Hiat-to Lotjo.

Dengan ter-bahak2 Hiat-to Lotjo tidak sia2kan kesempatan bagus itu, sekali tutuk “Leng-tay-
hiat” dipunggung Hoa Tiat-kan jang sedang menjembah itu kena ditutuknja. Dan karena
tutukan itu adalah sisa antero tenaganja jang masih tinggal setitik itu, maka habis itu, iapun
lemas benar2. Hoa Tiat-kan tertutuk roboh, Hiat-to-tjeng sendiri djuga lemas lunglai sampai
dengkulnja hampir tak kuat menahan sang tubuh.

Melihat Hoa Tiat-kan bertekuk lutut, hati Tjui Tay mendjadi pedih, kawan itu sudah takluk
pada musuh, kalau dirinja mati pula, maka tiada seorangpun jang dapat melindungi sang puteri
lagi, diam2 ia sesalkan nasib puterinja jang buruk itu. Mendadak ia membentak; “Hwesio tjilik
keparat! Mengapa kau tidak berani hantam aku?”

Tik Hun sendiri djuga menjaksikan Hoa Tiat-kan menjerah tanpa sjarat kepada Hiat-to-tjeng,
ia pikir sedjenak lagi paderi tua itu pasti akan putar balik, maka dengan mengkertak gigi, terus
sadja ia ajun alu kayu tadi keatas kepala Tjui Tay.





SERIALSILAT.COM © 2005





248


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



“Prak”, kontan batok kepala pendekar besar itu petjah dan binasa seketika.

“Ajah!” Tjui Sing mendjerit sekali, lalu iapun djatuh pingsan.

Hiat-to Lotjo djuga mendengar suara tjatji-maki Tjui Tay tadi, maka ia sangka Tik Hun tidak
tahan makian itu, maka telah membunuh djago tua itu. Ia pikir sekarang toh Hoa Tiat-kan
sudah takbisa berkutik, mati-hidupnja Tjui Tay sudah tidak mendjadi soal lagi baginja. Dan
karena rasa lega dan saking gembiranja; terus sadja ia ter-bahak2 keras.

Namun ia lantas merasa suara tertawa sendiri itu tidak beres, suara itu tjuma “hoh-hoh-hoh”
belaka, suara parau jang lemah, suara itu lebih tepat dikatakan merintih daripada disebut
tertawa.

Ia tjoba berdjalan dengan sempojongan, tapi hanja dua-tiga langkah sadja, tiba2 terasa pinggang
pegal linu, achirnja ia terdjatuh mendoprok lagi ketanah saldju.

Melihat kedjadian begitu, baru sekarang Hoa Tiat-kan sangat menjesal: “Ja, apa jang dikatakan
Tjui-hiante memang tidak salah, paderi djahat itu ternjata benar sudah kehabisan tenaga. Tahu
begitu, tadi kuhantam sekali tentu dapat membinasakan dia, tapi mengapa aku mendjadi
begini pengetjut serta berlutut dan minta ampun padanja?” ~ Sungguh ia mendjadi malu tak
terhingga mengingat nama baiknja sebagai seorang pendekar besar jang tersohor selama
berpuluh tahun, kini ternjata mandah bertekuk lutut menjerah pada musuh, noda dan hina
perbuatannja ini betapapun susah dihapus lagi. Kini ia sudah tertutuk, untuk bisa bergerak lagi
harus tunggu 12 djam kemudian. Sebagai seorang Kangouw ulung, ia tahu selama Hiat-to-tjeng
masih berlagak perkasa, djiwanja mungkin masih dapat diselamatkan, tapi kini kelemahan
Hiat-to-tjeng sudah ketahuan, terhadap padanja tentu djuga tiada kenal ampun lagi. Sebab
kalau masih bitjara tentang ampun segala, bila 12 djam kemudian hingga dirinja dapat bergerak,
mustahil takkan balas turun tangan kepada paderi itu.

Dan benar djuga, segera terdengar Hiat-to-tjeng berkata kepada Tik Hun: “Tjutju murid jang
baik, hajolah lekas kau kemplang mampus orang itu. Orang itu teramat litjik dan kedji, djangan
dibiarkan hidup.”

“Bukankah kau sudah berdjandji akan mengampuni djiwaku, mengapa kau ingkar djandji?”
seru Hoa Tiat-kan. Sudah terang diketahui protesnja itu takkan berguna, tapi sebelum adjal ia
pantang mati, sedapat mungkin ia ingin hidup.

“Hm, paderi keluaran Hiat-to-bun kami masakah bitjara tentang kepertjajaan apa segala?”
djengek Hiat-to Lotjo dengan tertawa iblis. “Kau tekuk lutut dan minta ampun padaku adalah
karena kau telah tertipu olehku. Haha, hahaha! Nah, tjutju-murid jang baik, lekas sekali
kemplang mampuskan dia sadja. Kalau dibiarkan hidup, akibatnja sangat berbahaja bagi kita.”

Sesungguhnja Hat-to-tjeng djuga sangat djeri kepada Hoa Tiat-kan, ia tahu tutukan jang
dilakukannja tadi karena kurang kuat tenaganja, belum tentu tutukan itu dapat mengenai
tempat jang paling dalam, bukan mustahil setiap saat akan dapat ditembus oleh tenaga dalam




SERIALSILAT.COM © 2005




249


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



Hoa Tiat-kan, tatkala itu keadaan akan berbalik mendjadi dirinja jang merupakan makanan
empuk bagi djago she Hoa itu.

Namun Tik Hun tidak tahu kalau tenaga dalam Hiat-to Lotjo sudah kering benar2,, ia sangka
sesudah sekian lamanja mengalahkan lawan2 tangguh, maka paderi tua itu perlu mengaso
sebentar. Diam2 ia pikir: “Sebabnja aku membunuh Tjui-tayhiap tadi adalah karena aku ingin
membantu dia terhindar dari siksaan lebih djauh. Sedangkan Hoa-tayhiap itu toh tidak kurang
apa2, mengapa aku mesti membunuh dia?”

Karena pikiran itu, ia lantas berkata: “Tjosuya, dia toh sudah menjerah dan tertutuk olehmu,
kukira boleh mengampuni djiwanja sadja!”

“Benar! Benar utjapan Siausuhu itu!” seru Hoa Tiat-kan segera. “Memang tepat perkataan
Siausuhu, aku sudah ditaklukan kalian, sedikitpun tiada maksud melawan lagi, mengapa kalian
akan membunuh aku pula?”

Tatkala itu Tjui Sing mulai siuman sambil menangis dan me-rintih2 nama sang ajah. Ketika
mendengar permintaan ampun Hoa Tiat-kan setjara tidak kenal malu itu, sungguh bentjinja
setengah mati, kontan ia memaki: “Hoa-pepek, engkau sendiri terhitung satu djago kelas satu
jang gilang-gemilang di Tionggoan, mengapa engkau begitu rendah dan tanpa malu2 minta
ampun kepada musuh? Se-mata2 engkau melihat ajahku tersiksa, tapi kau ………. kau malah
…………” ~ Sampai disini ia tidak sanggup meneruskan lagi karena tangisnja jang teramat
pilu.

“Tapi………..tapi ilmu silat kedua Toasuhu itu terlalu tinggi, kita tak mampu menangkan
mereka, maka lebih …………. lebih baik kita menjerah sadja dan ikut pada mereka, kita akan
tunduk pada perintah mereka,” demikian kata Hoa Tiat-kan dengan tidak malu2 lagi.

Hiat-to-tjeng pikir makin lama menunggu makin berbahaja baginja. Tapi tjelaka, sedikitpun ia
tidak bertenaga. Maksudnja hendak berdiri djuga tidak sanggup lagi. Maka katanja pula: “Anak
baik, turutlah pada Tjosuya, lekaslah bunuh manusia rendah itu!”

Akan tetapi sambil memegangi alu jang telah digunakan mengemplang Tjui Tay tadi, Tik Hun
hanja bergemetar sadja dengan ragu2.

Ketika Tjui Sing menoleh dan melihat kepala sang ajah petjah penuh darah, tewasnja sangat
mengenaskan, teringat betapa kasih sajang sang ajah kepadanja dimasa hisupnja, sungguh
hantjurlah hatinja dan hampir2 kelengar lagi.

Tentang Tjui Tay minta pertolongan pada Tik Hun agar suka membunuhnja, hal itu telah
didengar djuga oleh Tjui Sing. Tapi saking dukanja sekarang ia tidak dapat membedakan salah
atau benar lagi, jang diketahui olehnja adalah kepala sang ajah jang petjah itu lantaran
dikemplang oleh Tik Hun. Rasa duka dan murkanja tak tertahan lagi, se-konjong2 satu arus
hawa panas menerdjang naik dari bagian perut.





SERIALSILAT.COM © 2005





250


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



Seorang djago silat jang Lwekangnja sudah terlatih sempurna, biasanja memang mampu
mengunakan hawa murni sendiri untuk membuka Hiat-to jang tertutuk. Tapi untuk mentjapai
tingkatan jang hebat itu bukanlah suatu tjara jang mudah. Sedangkan Hoa Tiat-kan sadja
takbisa, apalagi Tjui Sing?

Tapi setiap orang dalam saat menghadapi mara bahaja, pada waktu mengalami suatu
pergolakan perasaan jang luar biasa, maka sering2 akan dapat timbul suatu kemampuam jang
tak terduga, kemampuan jang dapat melakukan sesuatu jang biasanja sangat sulit dilaksanakan.
Jaitu misalnja waktu terdjadi kebakaran, tanpa merasa seorang dapat mengangkat benda berat
jang biasanja tidak kuat diangkatnja atau melompat tempat tinggi jang biasanja tidak mungkin
dilampauinja.

Dan begitulah kira2 keadaan Tjui Sing pada saat itu. Oleh karena bergolaknja sang perasaan,
Hiat-to jang tertutuk itu mendadak lantjar kembali oleh tenaga jang timbul mendadak dari
pusarnja itu. Enatah darimana datangnja tenaga lagi, se-konjong2 ia melompat bangun, ia
rampas kaju jang dipegang Tik Hun terus menghantam dan menjabat serabutan kearah
pemuda itu.

Meski Tik Hun sudah berkelit kesana dan mengegos kesini, tapi mukanja, kepalanja, telinga
dan pundaknja toh be-runtun2 kena digebuk hingga belasan kali dan sakitnja tidak kepalang.
Sembari tangannja dipakai menangkis, mulutnja sibuk berteriak pula: “Hei, hei! Mengapa kau
memukul padaku? Ajahmu sendiri jang suruh aku membunuhnja!”

Tjui Sing terkesiap mendengar seruan itu. Benar djuga pikirnja, memang tadi ia sendiri djuga
mendengar ajahnja sendiri jang meminta pemuda itu suka membunuhnja. Dan sesudah
tertegun sedjenak, seketika ia lemas seperti balon gembos. Ia terkulai disamping Tik Hun dan
menangis ter-gerung2.

Mendengar utjapan Tik Hun jang mengatakan Tjui Tay jang minta pemuda itu membunuhnja,
sekilas pikir sadja segera Hiat-to Lotjo paham duduknja perkara, keruan ia sangat gusar: “Botjah
ini berani membangkang pada perguruan dan malah membantu musuh, benar2 murid durhaka
jang kudu dibasmi.”

Dalam gusarnja segera ia bermaksud menjambar goloknja untuk membunuh Tik Hun. Tapi
sedikit tangannja bergerak, segera teringat tenaga sendiri terlalu lemah, keselamatan sendiri
sebenarnja sangat berabhaja. Namun Hiat-to-tjeng itu memang seorang manusia litjin,
sedikitpun ia tidak perlihatkan rasa gusarnja itu, bahkan dengan tersenjum ia berkata: “Eh,
tjutju murid jang baik, kau harus mengawasi anak dara itu dan djangan membiarkan dia main
gila. Dia sudah mendjadi milikmu, bagaimana kau akan perlakukan dia, Tjosuya terserah
kepadamu.”

Tapi disebelah sana Hoa Tiat-kan telah mengetahui ketidak beresan itu, segera ia berseru:
“Tjui-titli, kemarilah sini, aku ingin bitjara padamu.”






SERIALSILAT.COM © 2005






251


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



Ia tahu waktu itu Hiat-to Lotjo sudah tak bertenaga sedikitpun dan tidak menguatirkan lagi.
Tik Hun kakinja patah, diantara mereka berempat sebaliknja Tjui Sing sekarang terhitung
paling kuat, maka ia ingin membisiki gadis itu agar segera menggunakan kesempatan bagus itu
untuk membunuh kedua paderi.

Tak terduga Tjui Sing sudah terlalu bentji kepada djiwanja jang rendah dan tidak kenal malu
itu, ia pikir kalau kau tidak takluk pada musuh, tentu djiwa ajahku takkan melajang. Maka
pangilan Hoa Tiat-kan itu sama sekali tak digubris olehnja.

“Tjui-titli,” demikian Tiat-kan berseru pula, “Djikalau kau ingin melepaskan diri dari kesulitan,
sekarang adalah saat jang paling baik. Kemarilah kau, akan kukatakan padamu.”

Hiat-to Lotjo mendjadi gusar, damperatnja: “Tutup batjotmu! Kau berani tjerewet lagi, segera
kupenggal kepalamu!”

Betapapun Hoa Tiat-kan ternjata tidak berani kepada paderi Tibet itu, maka ia tidak berani
bersuara lagi, hanja ber-ulang2 ia main mata kepada Tjui Sing.

Tjui Sing mendjadi sebal dan mual terhadap kelakuan manusia rendah itu, damperatnja dengan
gusar: “Ada soal apa, katakan7 sadja, mengapa mesti main kasak-kusuk segala?”

Gemas rasa Hoa Tiat-kan terhadap sigadis jang tidak menurut itu. Pikirnja: “Tampaknja paderi
tua itu sedang mengerahkan tenaga dalamnja. Sedikit tenaganja pulih kembali, asal kuat
mengangkat goloknja, pasti aku jang akan dibunuh paling dulu. Waktu sudah mendesak,
terpaksa aku harus lekas beberkan rahasianja.” ~ Maka tjepat ia berseru: “Tjui-titli, tjoba lihat
Hwesio tua itu, setelah pertarungan sengit tadi, tenaganja sudah terkuras habis, sedjak tadi ia
mendoprok ditanah dan tidak kuat berdiri lagi.”

Tjui Sing tjoba melirik sipaderi tua, benar djuga dilihatnja paderi itu menggeletak diatas saldju,
keadaannja sangat pajah. Teringat kepada sakit hati sang ajah, seketika ia mendjadi kalap, tanpa
pikir lagi apakah perkataan Hoa Tiat-kan itu benar atau tidak, terus sadja ia angkat batang kaju
dan menghantam kearah Hiat-to tjeng.

Namun Hiat-to Lotjo itiu benar2 manusia jang litjin, ketika mendengar Hoa Tiat-kan ber-
ulang2 memanggil Tjui Sing, diam2 iapun tahu maksud musuh itu, dalam kuatirnja iapun peras
otak mentjari bagaimana harus menghadapi sigadis bila sebentar lagi datang menjerang padanja.
Sedapat mungkin ia menarik napas pandjang dua kali, tapi perutnja terasa kosong blong tanpa
tenaga sedikitpun, bahkan bertambah lemah daripada tadi. Seketika ia mendjadi tak berdaja
dan sementara itu batang kaju Tjui Sing sudah melajang keatas kepalanja.

Oleh karena saking duka atas kematian ajahnja, maka serangan Tjui Sing itu hakikatnja
sekenanja belaka tanpa sesuatu gerak tipu. Biasanja sendjata kemahirannja adalah pedang,
sebenarnja ia tidak paham ilmu pentung. Sebab itulah sekali ia menggebuk, segera tertampak
banjak lubang kelemahannja. Kesempatan itu segera dipergunakan Hiat-to Lotjo dengan baik,





SERIALSILAT.COM © 2005





252


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



sedikit ia miringkan tubuh, diam2 ia djulurkan tumbak Hoa Tiat-kan jang dipegangnja dengan
miring keatas.

Tjuma keadaannja terlalu lemah, untuk angkat udjung tumbak keatas sesungguhnja tidak kuat
baginja. Maka jang dapat diatjungkan miring keatas itu adalah garan tumbak, ia intjar “Toa-
pau-hiat” dibawah ketiak Tjui Sing.

Saking pilunja perasaan, sudah tentu Tjui Sing tidak menduga akan akal litjik orang, sekali
hantam, tepat sekali pentungnja mengenai muka Hiat-to-tjeng hingga bonjok dan keluar
darahnja. Tapi pada saat jang sama pula ketiaknja terasa kesemutan, kaki-tangannja mendjadi
lemas, badannja tergeliat dan achirnja roboh terguling disamping Hiat-to-tjeng.

Meski mukanja kena dihandjut sekali oleh pentung sigadis hingga sangat kesakitan, namun
Hiat-to Lotjo djuga melihat tipu dajanja telah berhasil, Tjui Sing telah membenturkan “Toa-
pau-hiat” diketiak sendiri keudjung tumbak jang dipasangnja, djadi Hiat-to sendiri ditutuk
sigadis sendiri. Saking senangnja Hiat-to Lotjo ter-bahak2 dan berkata: “Nah, bangsat tua she
Hoa, kau bilang tenagaku sudah habis, kenapa dengan gampang sadja aku dapat merobohkan
dia?”

Bahwasanja Tjui Sing tersodok sendiri djalan darahnja oleh udjung tumbak jang sengadja
dipasangi Hiat-to Lotjo, karena ter-aling2 badan sigadis, maka apa jang terdjadi itu tak dilihat
oleh Hoa Tiat-kan dan Tik Hun, maka mereka mendjadi kaget dan per tjaja penuh bahwa
gadis itu telah ditutuk roboh oleh Hiat-to Lotjo.




Hlm. 41 Gambar:

Ketika didekati Hiat-to Lotjo, saking ketakutannja Hoa Tiat-kan terus bertekuk lutut dan
menjembah kepada paderi djahat itu serta minta ampun.



Keruan jang paling kaget dan takut adalah Hoa Tiat-kan, dengan tidak kenal malu2 lagi ia
memudji setinggi langit: “Ja, ja, memang ilmu sakti Lotjianpwe sudah tiada taranja, dengan
sendirinja manusia biasa seperti diriku jang berpandangan pitjik ini tidak kenal akan ilmu sakti
Lotjianpwe. Betapa hebat tenaga dalam Lotjianpwe itu boleh dikata tiada bandingannja
didjagat ini, bahkan mungkin tidak pernah ada dari djaman dulu hingga sekarang.”

Begitulah tiada habis2nja dia memudji Hiat-to Lotjo. Dari suaranja jang gemetar itu, terang
hatinja ketakutan setengah mati.

Padahal bisanja Hiat-to Lotjo merobohkan Tjui Sing itu hanja dilakukan setjara untung2an
sadja. Sesudah berhasil, diam2 ia sangat bersjukur dirinja sudah bebas dari antjaman maut. Tapi
djalan darah Tjui Sing jang tersodok itu hanja terkena tenaga luaran dari sesuatu benda keras,




SERIALSILAT.COM © 2005




253


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



djadi bukan ditutuk dengan tenaga dalam jang dapat menjusup hingga titik Hiat-to jang paling
mendalam. Setelah lewat beberapa lamanja Hiat-to jang tersodok itu akan lantjar kembali. Dan
bila hal mana terdjadi, tidak mungkin tutukan setjara kebetulan itu dapat terulang, tak usah
disangsikan lagi djiwanja pasti akan melajang ditangan sigadis.

Sebab itulah, Hiat-to-tjeng berusaha sedapat mungkin didalam waktu singkat itu harus
memulihkan sedikit tenaga, pada sebelum Tjui Sing dapat bergerak, ia sendiri sudah harus
dapat berdiri.

Maka dengan diam2 Hiat-to-tjeng melakukan semadi walaupun dengan tjara jang tidak
sewadjarnja, jaitu dengan mendoprok. Habis, untuk duduk bersila sadja ia tidak mampu.

Tempat menggeletak Tjui Sing itu djaraknja tjuma satu-dua meter disebelah Hiat-to-tjeng.
Semula ia sangat kuatir entah perlakuan apa lagi jang hendak dilaksanakan atas dirinja oleh
paderi djahat itu. Tapi sesudah sekian lamanja sedikitpun tiada sesuatu gerak-gerik dari paderi
itu, barulah hatinja merasa lega.

Ditanah bersaldju saat itu mendjadi menggeletak empat orang dengan perasaan2 jang ber-
beda2.

Tik Hun antero tubuhnja, dari kepala, pundak, tangan, sampai kaki, semuanja babak belur dan
sakit tak terkatakan, dengan mengkertak gigi ia bertahan sedapat mungkin supaja tidak
merintih, suruh dia memeras otak terang tidak sempat lagi.

Hiat-to-tjeng tjukup tahu tenaga dalam sendiri sudah kering, djangankan hendak memulihkan
dua-tiga bagian tenaga itu, sekalipun untuk berdjalan sadja paling sedikit diperlukan waktu
dua-tiga djam lagi. Sedangkan keadaan Hoa Tiat-kan djuga tidak lebih baik, ia tertutuk dan
paling sedikit harus esok paginja baru bisa bergerak dengan sendirinja.

Djadi bahaja jang terbesar tetap terletak pada diri Tjui Sing.

Siapa duga gadis tu sudah terlalu duka dan murka hingga semangatnja lesu dan tenaga letih, ia
menggeletak sekian lamanja dan achirnja terpulas malah.

Tentu sadja Hiat-to Lotjo bergirang, pikirnja: “Paling baik kau terus tertidur hingga beberapa
djam lamanja, maka aku tidak perlu kuatir apa2 lagi.”

Hal mana rupanja djuga diketahui oleh Hoa Tiat-kan, ia sadar mati hidup sendiri sangat
tergantung kepada Tjui Sing jang diharapkan bisa bergerak lebih dulu daripada sipaderi tua.
Tapi demi nampak gadis itu mendjadi pulas, ia terperandjat, tjepat ia berseru: “Hai, Tjui-titli,
djangan sekali2 kau tidur, sekali kau pulas, segera kau akan dibunuh oleh kedua paderi tjabul
itu!”

Namun Tjui Sing benar2 sudah terlalu letih, hanja terdengar mulutnja mengigau beberapa kali,
lalu menggeros sebagai babi mati.




SERIALSILAT.COM © 2005




254


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E




Dengan kuatir Hoa Tiat-kan ber-teriak2 lebih keras: “Tjui-titli, wah tjelaka! Lekas mendusin,
kau hendak dibunuh oleh Ok-tjeng itu!” ~ Namun sigadis tetap tak bergeming.

Diam2 Hiat-to-tjeng mendjadi gusar: “Kurang adjar! Gembar-gembornja ini benar2
membahajakan!” ~ Maka katanja segera kepada Tik Hun: “Tjutju murid jang pintar, tjoba
madjulah kau dan sekali batjok mampuskan tua bangka itu !”

“Tapi orang itu sudah takluk, bolehlah ampuni djiwanja,” udjar Tik Hun.

“Mana dia mau takluk?” kata Hiat-to Lotjo. “Bukankah kau mendengar dia sedang ber-teriak2
dengan maksud membikin tjelaka kita.”

“Siausuhu,” tiba2 Hoa Tiat-kan menjela, “kakek-gurumu itu sangat kedjam, sementara ini dia
sudah kehabisan tenaga murni, ia tidak dapat bergerak sedikitpun, makanja kau disuruh
membunuh aku. Tapi sebentar kalau tenaga dalamnja sudah pulih, karena marah pada
pembangkanganmu tadi, tentu kau akan dibunuhnja lebih dulu. Maka ada lebih baik sekarang
djuga engkau mendahului turun tangan bunuhlah dia.”

“Tidak, ia bukan kakek-guruku,” sahut Tik Hun sambil menggeleng. “Tjuma dia ada budi
padaku, dia telah menjelamatkan djiwaku, mana boleh aku membalas air susu dengan air tuba
dan membunuhnja?”

“O, djadi dia bukan kakek-gurumu?” Hoa Tiat-kan menegas. “Itulah lebih2 baik lagi, lekas kau
bunuh dia, sedetikpun djangan ajal. Paderi2 dari Hiat-to-bun terkenal maha kedjam, djiwamu
sendiri kau sajangkan atau tidak?”

Tik Hun mendjadi ragu2, ia tahu apa jang dikatakan Hoa Tiat-kan itu bukan tak beralasan, tapi
kalau suruh dia membunuh Hiat-to Lotjo, perbuatan itu betapa ia tidak sanggup. Namun Hoa
Tiat-kan masih terus mendesaknja tanpa berhenti, sampai achirnja Tik Hun mendjadi tidak
sabar, bentaknja: “Tutup mulutmu, djika kau tjerewet lagi, segera aku mampuskan kau
dahulu!”

Melihat gelagat tidak menguntungkan, Tiat-kan tidak berani membatjot lagi, jang dia harap
adalah semoga Tjui Sing lekas2 mendusin.

Selang tak lama, saking tak sabar, kembali ia ber-teriak2: “Tjui-titli, lekas bangun, lihatlah
ajahmu telah hidup kembali!”

Teriakannja ini ternjata sangat mandjur, dalam tidurnja lajap2 Tjui Sing mendengar suara orang
menjebut ajahnja telah hidup kembali. Saking girangnja seketika ia mendusin sambil berseru:
“Ajah, ajah!”







SERIALSILAT.COM © 2005







255


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



Tjepat Hoa Tiat-kan menanggapi: “Tjui-titli, Hiat-to dibagian mana kau ditutuknja tadi?
Tjobalah katakan, paderi djahat itu sudah kehabisan tenaga, tutukannja tentu djuga tidak keras,
biarlah kuadjarkan satu tjara menarik napas untuk melantjarkan Hiat-to jang tertutuk itu.”

Ketika ketiakku terasa kesemutan tadi, aku lantas takbisa berkutik lagi.” Kata Tjui Sing.

“Ha, itulah Toa-pau-hiat jang tertutuk, gampang djika begitu lekas ia tarik napas pandjang2,
lalu pusatkan keperut dan pelahan2 menggunakan hawa itu untuk menggempur Toa-pau-hiat
dibagian ketiak itu, setelah kau dapat bergerak segera sakit hati ajahmu dapat kau balas,”
demikian Hoa Tiat-kan mengadjarkan.

Tjui Sing mengangguk dan mengiakan. Meski dia masih sangat bentji pada Hoa Tiat-kan jang
rendah itu, namun apapun djuga dia adalah kawan dan bukan lawan, sedangkan adjarannja
itupun memang menguntungkan dirinja, maka ia lantas menurut petundjuk itu, ia menarik
napas pandjang2 dan dikerahkan kebagian perut ……….

Diam2 Hiat-to-tjeng djuga mengikuti gerak-gerik sigadis itu. Ketika dilihatnja Tjui Sing
menurut petundjuk Hoa Tiat-kan, diam2 ia mengeluh dan gelisah: “Anak dara itu sudah dapat
mengangguk, hakikatnja ia tidak perlu menarik napas dan menghimpun hawa didalam perut
segala, tapi sebentar lagi djuga djalan darahnja akan lantjar kembali dan dapat bergerak segera.”

Karena itu ia sendiripun lantas pusatkan pikiran, ia berharap bisa mengumpulkan sedikit
tenaga untuk kemudian dipupuk lebih kuat, maka terhadap gerak-gerik Tjui Sing apakah
sudah dapat berdjalan atau tidak sama sekali tak dipikirkan lagi.

Mengenai ilmu mengerahkan hawa murni untuk menggempur Hiat-to jang tertutuk, ilmu
maha gaib itu Hoa Tiat-kan sendiri tidak betjus, djangankan Tjui Sing. Tapi djalan darahnja
jang tertutuk itu hakikatnja sangat enteng, sesudah darah berdjalan lantjar, otomatis tutukan
itu mendjadi bujar dengan sendirinja. Maka tidak antara lama, pundaknja tampak sudah dapat
bergerak.

“Bagus, Tjui-titli,” seru Hoa Tiat-kan dengan girang. “Teruskanlah tjara petundjukku itu,
sebentar lagi pasti engkau sudah bisa berdjalan. Tindakan pertama hendaklah kau djemput
golok merah itu, engkau harus menurut kata2ku dan djangan membangkang, bila tidak, sakit
hati ajahmu tentu tak terbalas!”

Tjui Sing mengangguk, ia merasa anggota badannja sudah tidak kaku lagi, ia tjoba tarik napas
pandjang2 sekali dan pelahan2 dapatlah berduduk.

“Bagus, bagus! Tjui-titli, setiap gerak-gerikmu harus kau turut pesanku, djangan kau salah
bertindak, sebab didalam tindakanmu ini nanti terletak kuntji utama apakah engkau akan
dapat membalas sakit hati atau tidak,” demikian seru Tiat-kan pula. “Nah, tindakan pertama
sekarang djemputlah golok merah melengkung itu.”






SERIALSILAT.COM © 2005






256


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



Tjui Sing menurut, pelahan2 ia mendekati Hiat-to Lotjo dan mendjemput golok milik paderi
itu.

Melihat tindakan sigadis itu, Tik Hun tahu tindakan selandjutnja tentu goloknja akan
membatjok hingga kepala Hiat-to-tjeng terpenggal. Tapi paderi tua itu ternjata adem-ajem
sadja, kedua matanja seperti terpedjam dan seperti melek, terhadap bahaja jang sedang
mengantjam itu ternjata tidak digubrisnja.

Kiranja waktu itu Hiat-to Lotjo merasa tenaga pada kaki dan tangannja mulai tumbuh, asal
tahan lagi setengah djam, meski belum kuat benar, tapi untuk berdjalan tentu dapat. Dan
djusteru pada saat genting itulah Tjui Sing sudah mendahului menjambar goloknja. Walaupun
dalam keadaan tak bergerak, tapi pertarungan batinnja sebenarnja tidak kalah seru daripada
pertempurannja melawan Lau Seng-hong dan Liok Thian-dju tadi.

Dalam pada itu tampaknja Tjui Sing sudah akan segera menjerang padanja, diam2 Hiat-to-tjeng
menghimpun setitik tenaga jang sangat lemah dari seluruh tubuhnja itu kelengan kanan.

Diluar dugaan terdengar Hoa Tiat-kan berseru: “Dan tindakan kedua, bunuhkah lebih dulu
Hwesio muda itu. Lekas, lebih tjepat lebih baik, bunuh dulu Hwesio muda itu.”

Seruan itu benar2 tak tersangka oleh Tjui Sing, Hiat-to-tjeng dan Tik Hun sendiri. Dan karena
melihat sigadis masih tertegun, segera Tiat-kan berteriak lagi: “Hajolah lekas! Hwesio tua itu
tak bisa bergerak, maka lebih penting bunuhlah Hwesio muda itu dahulu. Djika kau
membunuh paderi tua dulu, tentu sipaderi muda akan mengadu djiwa dengan kau!”

Benar djuga pikir Tjui Sing, segera ia menghunus goloknja kedepan Tik Hun. Tapi mendadak
ia mendjadi ragu2. “Dia pernah membantu ajahku dengan membunuhnja sehingga terhindar
dari siksaan dan hinaan sipaderi tua jang djahat itu. Apakah sekarang aku harus membunuhnja
atau tidak?”

Rasa ragu2 itu hanja timbul sekilas lintas, sebab ia lantas ambil keputusan harus membunuhnja.
Dan sekali angkat goloknja, terus sadja ia membatjok keleher Tik Hun.

Tjepat pemuda itu berguling menjingkir, ketika batjokan kedua kalinja tiba pula, kembali Tik
Hun menggelundung pergi lagi. Menjusul ia lantas sambar sebatang kaju dan dibuat menangkis.
Namun beruntun Tjui Sing menabas dan memotong hingga batang kaju itu terpapas dua
bagian. Ketika untuk sekali lagi Tjui Sing hendak membatjok, se-konjong2 pergelangan
tangannja terasa kentjang, golok merah itu tahu2 telah dirampas oleh seorang dari belakang.

Jang merebut golok itu tak-lain-tak-bukan adalah Hiat-to Lotjo. Oleh karena tenaganja baru
tumbuh setitik dan terbatas, sebaliknja keadaan mendesak ia harus bertindak, maka ia tidak
boleh meleset bertindak, dengan mengintjar djitu benar2, sekali rebut segera golok pusakanja
kena dirampas kembali. Dan begitu memegang sendjata, tanpa pikir lagi ia terus membatjok
kepunggung Tjui Sing.





SERIALSILAT.COM © 2005





257


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



Kedjadian jang luar biasa tjepat dan mendadak itu membikin Tjui Sing terkesiap bingung
hingga tidak sempat menghindar serangan Hiat-to-tjeng itu.

Kebetulan Tik Hun berada disebelah situ, melihat sipaderi tua hendak mengganas lagi, segera
ia berteriak: “Hai, djangan membunuh orang lagi!” ~ Berbareng ia terus menubruk madju
sekuatnja meski dengan setengah mengesot, batang kaju ditangannja terus dipakai mengetok
kepergelangan tangan sipaderi tua.

Djika dalam keadaan biasa, tidak nanti tangan Hiat-to-tjeng kena diketok. Tapi kini tenaganja
hanja setitik sadja, mungkin tiada satu bagian daripada tenaganja semula. Maka tjekalannja
mendjadi kendur dan golok djatuh ketanah. Berbareng kedua orang lantas berebut
mendjemput golok itu. Karena badan Tik Hun mengesot ditanah, tangannja dapat mendjamah
dulu garan golok itu, tapi segera lehernja terasa kentjang dan napas sesak, tahu2 Hiat-to-tjeng
telah mentjekiknja.

Untuk tidak mati tertjekik, terpaksa Tik Hun melepaskan golok itu dan menggunakan
tangannja untuk membentang tjekikan Hiat-to-tjeng. Namun paderi tua itu sudah bertekad
sekali ini pemuda itu harus ditjekik mampus mumpung tenaga sendiri masih ada setitik, kalau
tidak dirinja sendiri nanti jang akan dibunuh olehnja. Sudah tentu ia tidak tahu bahwa
sebenarnja tiada maksud Tik Hun hendak membunuhnja, soalnja tadi pemuda itu tidak tega
kalau Tjui Sing terbinasa lagi dibawah golok sipaderi, maka tanpa pikir terus turun tangan
menolong.

Begitulah Tik Hun merasa napasnja semakin sesak dan dada se-akan2 meledak. Ia tjoba tarik2
tangan sipaderi jang mentjekiknja itu, tapi tidak berhasil. Mendadak ia mendjadi nekat dan
balas mentjekik leher Hiat-to-tjeng dengan mati2an. Maka terdjadilah pergumulan hebat.

Hiat-to-tjeng insaf setitik tenaganja itu sangat terbatas, mati-hidupnja hanja tergantung pada
seudjung rambut sadja. Sekali Hwesio tjilik itu sudah timbul maksud hianatnja, menurut
undang2 Hiat-to-bun, pengchianat harus dibasmi dulu baru kemudian membunuh musuh luar.
Maklum, musuh luar gampang dihadapi, sebaliknja musuh dalam, kaum penghianat, lebih
susah didjaga. Pula ia menduga sebelum esok pagi Hoa Tiat-kan takkan dapat bergerak,
sedangkan ilmu silat Tjui Sing sangat tjetek, mudah dihadapi. Maka usahanja sekarang melulu
ditjurahkan untuk mentjekik mati Tik Hun. Semakin lama semakin kentjang tjekikannja.

Ketika napas Tik Hun takbisa lantjar lagi, mukanja mendjadi merah padam, tangannja mulai
lemas dan tak kuat balas mentjekik, pelahan2 tangannja mengendur, dalam benak sekilas:
“Matilah aku, matilah aku!”

Waktu melihat kedua paderi itu saling bergumul ditanah saldju, Tjui Sing djuga tahu duduknja
perkara disebabkan Tik Hun hendak menolong djiwanja. Tapi ia merasa kedua paderi djahat
itu saling membunuh, kenapa aku tidak membiarkan mereka kepajahan dahulu atau mungkin
keduanja nanti akan gugur bersama.






SERIALSILAT.COM © 2005






258


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



Tapi sesudah mengikuti pergumulan itu sebentar, lambat laun tertampak tangan Tik Hun
mulai lemas dan tidak kuat balas menjerang lagi. Mau-tak-mau Tjui Sing mendjadi kuatir,
sebab kalau paderi muda itu terbunuh, tentu mendjadi giliran dirinja jang akan dibunuh lagi
oleh paderi tua itu.

“Tjui-titli,” tiba2 Hoa Tiat-kan berseru pula, “saat inilah kesempatan paling bagus untuk turun
tangan! Hajolah, lekas djemput kembali golok itu.”

Tjui Sing menurut, golok merah itu didjemputnja lagi.

“Nah, sekarang bunuhlah kedua paderi djahat itu, lebih tjepat lebih baik,” seru Tiat-kan pula.

Dengan menghunus golok Tjui Sing melangkah madju dengan maksud membunuh Hiat-to
Lotjo dulu. Tapi demi melihat kedua orang masih bergumul mendjadi satu, padahal golok itu
tadjamnja tidak kepalang, sekali tabas, bukan mustahil ke-dua2nja akan mati semua. Ia pikir
Tik Hun tadi telah menjelamatkan djiwanja sendiri biarpun Hwesio muda itu djahat toh
terhitung pula tuan penolongnja, mana boleh ia membalas susu dengan tuba? Tapi kalau mesti
menanti lubang baik untuk melulu bunuh Hiat-to Lotjo seorang, ia merasa tangan sendiri djuga
sangat lemas, sedikitpun ia tidak jakin serangannja nanti akan dapat mengenai sasarannja
dengan tepat.

Tengah Tjui Sing merasa ragu2 dan serba susah, tiba2 Hoa Tiat-kan mendesaknja pula: “Tjui-
titli, hajolah lekas turun tangan, apa jang kau tunggu lagi? Djangan kau lewatkan kesempatan
bagus ini, untuk membalas sakit hati ajahmu, inilah saatnja!”

“Tapi …….. tapi mereka berdua bergumul mendjadi satu dan …… dan tak terpisahkan,” udjar
Tjui Sing.

“Geblek kau, bukankah aku suruh kau membunuh mereka berdua?” omel Tiat-kan dengan
gusar. Sebagai seorang tokoh terkemuka, ia adalah ketua dari Tiat-djiang-bun di Kangsay, sudah
biasa ia memerintah dirumah dan apa jang dikatakan tiada jang berani membangkang, maka ia
mendjadi djengkel waktu Tjui Sing tidak lantas turut perintahnja. Njata ia lupa dirinja sendiri
dalam keadaan tak berkutik, sedang Tjui Sing sebenarnja djuga sudah bentji dan pandang hina
padanja. Keruan utjapannja jang kasar itu sangat menusuk perasaan Tjui Sing dan membuatnja
naik darah.

“Ja, ja, aku anak geblek, dan kau kesatria jang gagah,” demikian kontan sigadis balas
mendamperat. “Tapi mengapa kau sendiri tadi tidak berani bertempur mati2an dengan dia?
Djika kau mampu, hajolah kau sendiri membunuh mereka sadja. Hm, pengetjut.”

Dasar Hoa Tiat-kan djuga sangat litjik, ia dapat melihat gelagat dan menuruti arah angin, lekas2
ia menjambut dengan tersenyum: “Ja, ja, memang Hoa-pepek jang salah, harap Tjui-titli
djangan marah. Nah, pergilah membunuh kedua paderi djahat itu untuk membalas sakit hati
ajahmu. Pendjahat besar sebagai Hiat-to-tjeng itu dapat mati ditanganmu, kelak dunia
Kangouw pasti akan sangat kagum kepada seorang Tjui-lihiap jang perkasa dan berbakti pula.”




SERIALSILAT.COM © 2005




259


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E




Tapi semakin tjerewet ia mengumpak, semakin membikin Tjui Sing merasa mual dan bentji.
Ia melototi manusia hina itu sekali, lalu melangkah madju, ia intjar punggung Hiat-to Lotjo
dan bermaksud menjajatnja dua-tiga kali dengan golok agar paderi tua itu terluka dan
mengalirkan darah, sebaliknja Tik Hun tidak terluka apa2.

Namun disamping bergumul dengan Tik Hun, senantiasa Hiat-to Lotjo djuga memperhatikan
gerak-gerik Tjui Sing. Ketika melihat gadis itu mendesak madju dengan golok terhunus, segera
iapun dapat menaksir maksudnja, sebelum orang bertindak, ia sudah mendahului menegur
dengan suara tertahan: “Baiklah, boleh kau potong punggungku dengan perlahan, tapi hati2,
djangan sampai Hwesio tjilik ini ikut terluka.”

Tjui Sing kaget. Sudah banjak ia merasakan siksaan Hiat-to-tjeng itu, memangnja ia sangat djeri
padanja, maka demi mendengar maksudnja kena ditebak, ia mendjadi ragu2. Dan karena sedikit
tertegun itu, ia urung menjerang pula. Padahal Hiat-to Lotjo hanja main gertak belaka.

Dalam pada itu Tik Hun jang ditjekik Hiat-to Lotjo itu semakin pajah keadaannja. Ia merasa
dadanja se-akan2 melembung karena takdapat mengeluarkan napas. Segera hawa jang
terhimpun didalam paru2 itu menerdjang keatas, tapi karena djalan napas ditenggorokan
tertjekik dan buntu, hawa itu lantas membalik kebawah.

Begitulah hawa dada itu lantas mengamuk dengan menerdjang kesini dan menumbuk kesana
untuk mentjari djalan keluar, tapi tetap buntu. Dalam keadaan begitu, bila orang biasa, achirnja
tentu akan pingsan dan mati sesak napas. Tapi Tik Hun djusteru tidak mau pingsan, sebaliknja
ia merasakan penderitaan jang tak terkatakan pada seluruh tubuhnja, jang terkilas dalam
pikirannja jalah: “Matilah aku! Matilah aku!”

Se-konjong2 Tik Hun merasa perutnja sangat kesakitan, hawa didalam itu makin lama semakin
melembung dan bertambah panas, djadi mirip uap panas jang takbisa keluar dari dalam kuali,
perut serasa akan meledak. Pada saat lain, tiba2 “Hwe-im-hiat” pada bagian bawah perut se-
akan2 tertembus suatu lubang oleh hawa panas itu, ia merasa hawa panas itu mengalir sedikit
demi sedikit menudju ke “Tiang-kian-hiat” dibagian bokong, rasanja sangat njaman sekali
badannja sekarang. Sebenarnja kedua Hiat-to didalam tubuhnja itu satu sama lain tiada
berhubungan, tapi karena hawa panas jang bergolak didalam tubuhnja menghadapi djalan
buntu, setjara tak disengadja hawa itu menerdjang kian kemari dan achirnja telah
menembuskan djalan darahnja antara urat nadi Im-meh dan Tok-meh itu.

Dan sekali hawa dalam itu masuk ke “Tiang-kiang-hiat”, terus sadja hawa itu menjusur naik
melalui tulang punggung, jaitu melalui titik2 hawa jang tertjakup dalam lingkungan Tok-meh
hingga achirnja mentjapai “Pek-hwe-hiat” dibagian ubun2 kepala.

Biasanja biarpun dilatih setjara giat dan radjin selama berpuluh tahun oleh seorang ahli
Lwekang jang paling pandai djuga belum tentu dapat menembus urat2 nadi Im-meh dan Tok-
meh. Tapi Tik Hun sedjak mendapat adjaran intisari Lwekang maha hebat dari “Sin-tjiau-keng”
ketika sama2 berada didalam pendjara dengan Ting Tian dulu, kendati Lwekang itu sangat




SERIALSILAT.COM © 2005




260


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



bagus, untuk melatihnja dengan baik djuga tidak gampang, maka sampai kapan Tik Hun baru
dapat mejakinkan ilmu Lwekang itu sesungguhnja djuga masih merupakan suatu tanda tanja,
apalagi bakat pembawaan pemuda itu bukan tergolong pilihan, pula tiada petundjuk lagi dari
Ting Tian.

Siapa duga disaat djiwanja tergantung pada udjung rambut ditengah djurang bersaldju itu, se-
konjong2 djalan darah kedua urat nadi Im-meh dan Tok-meh jang penting itu dapat
ditembusnja.

Begitulah maka ia mendjadi segar merasakan hawa dalam itu menerdjang ke “Pek-hwe-hiat”
diatas kepala. Hawa njaman itu kemudian menurun kebagian djidat, hidung, bibir hingga
sampai di “Seng-tjiang-hiat” dibawah bibir. “Seng-tjiang-hiat” itu sudah termasuk urat nadi “Im-
meh” jang meliputi Hiat-to disebelah depan tubuh manusia. Maka dari situ hawa segar itu
terus mengalir melalui Liat-tjoan-hiat, Thian-tut-hiat, Soan-ki-hiat dan lain2 hingga achirnja
sampai “Hwe-im-hiat” lagi.

Djadi hawa segar itu telah memutar satu kali diantara titik2 Hiat-to ditubuh Tik Hun hingga
seketika rasa sesak tadi hilang sama sekali, bahkan kini merasa nikmat dan segar luar biasa.

Untuk pertama kali djalannja hawa murni itu agak sulit, tapi sekali sudah lantjar, untuk kedua
dan ketiga kalinja mendjadi sangat gampang dan tjepat djalannja, maka hanja dalam waktu
singkat sadja be-runtun2 hawa murni itu sudah berputar sampai belasan kali.

Sebenarnja setiap djenis ilmu Lwekang djuga mempunjai tjara2 menembus urat nadi Im-meh
dan Tok-meh itu, namun manfaatnja sesudah berhasil melatihnja satu sama lain ber-beda2.
Mirip seperti orang jang melatih Gwakang, daja pukulan atau tendangan masing2 mempunjai
kekuatannja sendiri2.

Sedangkan Lwekang dari “Sin-tjiau-keng” itu adalah sematjam ilmu paling gaib dalam ilmu
silat. Sudah tjukup lama Tik Hun menjakinkan Sin-tjiau-kang, jaitu sedjak dia mengeram
didalam pendjara, djadi dasarnja sebenarnja sudah terpupuk kuat. Maka sekali dia sudah lantjar
mendjalankan hawa murni itu, setiap kali hawa itu memutar titik2 Hiat-to dalam tubuhnja,
setiap kali bertambah pula tenaga dalamnja. Ia merasa anggota badannja seka rang se-akan2
penuh tenaga, semangat me-njala2, bahkan setiap udjung rambut djuga se-akan2 penuh
mengandung tenaga.




Hlm. 51Gambar:

Dalam pergumulan itu, ketika mendadak sebelah kaki Tik Hun mendepak, tahu2 Hiat-to
Lotjo tertendang hingga mentjelat keudara dan sesudah berdjungkir balik beberapa kali diudara
kemudian paderi tua itu djatuh terdjungkir kebawah hingga badannja menantjap kedalam
saldju.





SERIALSILAT.COM © 2005





261


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E





Dengan sendirinja hal mana tak diketahui oleh siapapundjuga, Hiat-to Lotjo tidak menduga
bahwa orang jang sedang ditjekiknja itu sudah terdjadi perubahan jang maha besar. Maka ia
tidak perhatikan keadaan Tik Hun, sebaliknja sambil mentjekik, jang dia perhatikan adalah
golok jang dihunus oleh Tjui Sing itu.

Dalam pada itu tenaga murni didalam tubuh Tik Hun makin lama bertumbuh makin kuat,
mendadak sebelah kakinja mendepak, “bluk”, tepat sekali perut Hiat-to Lotjo kena ditendang.
Tenaga tendangan itu ternjata tidak alang kepalang kuatnja, tanpa ampun lagi tubuh paderi tua
itu mentjelat dan me-lajang2 keudara.

Keruan Tjui Sing dan Hoa Tiat-kan mendjerit kaget berbareng, mereka tidak tahu apakah jang
terdjadi sebenarnja? Jang sudah terang jalah tubuh Hiat-to-tjeng mentjelat dan berdjungkir-
balik diudara, habis itu lantas menantjap kedalam saldju dengan kaki diatas. Begitu keras
djatuhnja itu hingga badan paderi tua itu ambles semua kedalam saldju, hanja sepasang kakinja
jang menongol dipermukaan saldju, dan malahan sudah takbisa bergerak lagi sedikitpun.

Tjui Sing dan Hoa Tiat-kan sampai terkesima menjaksikan itu. Begitu pula Tik Hun djuga
tidak pertjaja kepada matanja sendiri, ia lebih2 tidak pertjaja pada saat sudah dekat adjalnja itu
mendadak sekali depak bisa membikin Hiat-to Lotjo mentjelat keudara?

Namun iapun tidak mau banjak pikir lagi, segera ia melompat nbangun, tapi baru ia berdiri,
mendadak kakinja kesakitan, ia mendjerit sekali dan djatuh lagi. Njata ia lupa bahwa sebelah
kakinja sudah patah.

Tapi sekarang tenaga dalamnja sudah sangat kuat, gerak perubahannja dengan sendirinja sangat
tjepat, begitu djatuh, segera tangan kanan dipakai menahan, lalu melontjat bangun lagi dan
berdiri dengan sebelah kaki. Waktu ia pandang Hiat-to Lotjo, paderi tua itu tampak masih
menantjap didalam saldju dengan kaki diatas tanpa bergerak sedikitpun. Girang dan kedjut Tik
Hun, ia kutjak2 mata sendiri, ia ragu2 akan dirinja bukan dialam mimpi? Namun sesudah ia
tegaskan, memang beanr2 Hiat-to Lotjo itu menantjap setjara terdjungkir didalam saldju.

Waktu Tik Hun melompat bangun tadi, karena kuatir dirinja diserang, maka Tjui Sing telah
menggeser mundur sambil siapkan golok didepan dada untuk mendjaga segala kemungkinan.
Tapi ia melihat Tik Hun bersikap kebingungan sambil meng-garuk2 kepala sendiri jang gundul
itu, agaknja kedjadian didepan matanja itu telah membuatnja ter-heran2.

Pada saat itulah tiba2 terdengar Hoat Tiat-kan berseru: “Wah ilmu sakti Siausuhu ini benar2
tiada tandingannja didjagat ini, sekali depak paderi tua itu sudah terbunuh olehnja, tenaga
tendangannja itu bukan mustahil ada ribuan kati kerasnja. Tindakan Siausuhu itu benar2
bidjaksana dan tanpa pandang bulu. Manusia djahat dan kedjam sebagai Hiat-to-tjeng itu
memang setiap orang pantas membunuhnja.”






SERIALSILAT.COM © 2005






262


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



“Huh,” djengek Tjui Sing saking tidak tahan mendengar otjehan jang tidak kenal malu itu.
“Masih kau berani mengatjo-belo segala, apakah kau tidak kuatir orang merasa mual?
Pengetjut!”

“Ah, kau tahu apa?” balas Hoa Tiat-kan. “Dalam keadaan bahaja Siausuhu itu berhasil
mejakinkan ilmu saktinja, badannja sekarang sudah memiliki tenaga dalam jang maha kuat,
bahkan diwaktu paderi tua itu masih hidup djuga kalah kuat daripadanja. Itulah tanda orang
baik tentu mempunjai redjeki besar. Selamat bahagialah, Siausuhu!”

Njata, biarpun Hoa Tiat-kan itu seorang rendah djiwanja, tapi pandangannja memang sangat
tadjam. Sekali melihat air muka Tik Hun bertjahaja dan penuh semangat, dibandingkan
keadaan pemuda itu tadi, perbedaannja boleh dikata seperti langit dan bumi. Maka ia dapat
menduga pasti pada saat menentukan tadi mendadak pemuda itu telah berhasil mejakinkan
sematjam Lwekang jang maha lihay, dari tenaga tendangannja kepada Hiat-to Lotjo jang luar
biasa kerasnja itu, ia menaksir sekalipun dirinja dalam keadaan bebas dan sehat djuga tiada
separoh dari kekuatan tendangan itu.

Dan Tik Hun sendiri ternjata masih bingung, ia tanja dengan ter-gagap2: “Kau …… kau bilang
aku ……. aku telah menendang mati dia?”

“Ja, ja, itulah tidak usah disangsikan lagi,” sahut Hoa Tiat-kan. “Djikalau Siausuhu tidak
pertjaja, boleh tjoba kau tabas dulu kedua kakinja, lalu menariknja keluar dari saldju untuk
diperiksa. Dan nanti tentu Siausuhu akan pertjaja pada omonganku.”

Dasar dia memang litjin, maka setiap tipu jang dia rentjanakan selalu sangat kedji. Ia suruh Tik
Hun tabas dulu kedua kaki Hiat-to Lotjo, tudjuannja kalau2 dugaannja meleset dan paderi tua
itu masih hidup, namun toh takbisa berkutik lagi karena kakinja sudah terkutung.

Namun Tik Hu tidak mau turut sarannja itu, ia pandang Tjui Sing hingga gadis itu mundur
ketakutan sebab mengira pemuda itu hendak merebut goloknja.

Tik Hun menggojang kepala dan katanja: “Djangan takut, aku takkan bikin susah padamu. Tadi
engkau tidak membunuh aku bersama Hwesio tua itu, terimalah kasihku ini.”

Tjui Sing hanja mendengus sekali dan tidak mendjawab.

“Tjui-titli, salah kau kalau begitu,” timbrung Hoa Tiat-kan tiba2. “Siausuhu dengan djudjur
mengutjapkan terima kasih padamu, seharusnja kaupun balas terima kasih padanja. Tadi
sewaktu paderi tua jang djahat itu membatjok kepunggungmu, bila Siausuhu ini tidak ‘lin-
hiang-sik-giok’ dan menolong padamu, saat ini djiwamu tentu melajang.”

Mendengar utjapan “Lin-hiang-sik-giok” (kasih wangi dan sajang pada giok, kiasan kesukaan
orang kepada kaum wanita) itu, Tik Hun dan Tjui Sing mendelik bersama kepada manusia
rendah itu.





SERIALSILAT.COM © 2005





263


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



Padahal biarpun Tjui Sing terhitung satu gadis djelita, tapi maksud Tik Hun menolongnja tadi
hanja timbul setjara spontan karena tidak ingin melihat orang baik2 dibunuh sipaderi djahat.
Tapi dengan utjapan Hoa Tiat-kan itu mendjadi se-akan2 maksud tudjuannja menolong itu
tidak sehat.

Sebaliknja Tjui Sing memang sangsi dan sirik kepada Tik Hun, maka utjapan Hoa Tiat-kan itu
djadi menambah rasa bentjinja kepada pemuda itu. Ia merasa kedua orang itu sama2 djahat dan
rendah. Sekilas dilihatnja djenazah sang ajah, terus sadja ia berlari mendekati dan mendekap
diatas majat itu sembari menangis ter-gerung2.

“Siausuhu, siapakah gelaranmu jang mulia?” demikian Hoa Tiat-kan menanja dengan tjengar-
tjengir.

Tik Hun mendjadi mual dibuatnja. Sahutnja ketus: “Aku bukan Hwesio, maka djangan
panggil2 Suhu padaku. Aku memakai djubah paderi adalah terpaksa karena harus menjamar
untuk menjelamatkan diri.”

“Aha, bagus djika begitu,” seru Hoa Tiat-kan. “Kiranja Siausuhu, eh salah, tolol benar aku ini!
Eh, numpang tanja siapakah nama jang mulia dari Tayhiap?”

Meski sedang menangis, tapi tanja-djawab kedua orang itu samar2 djuga didengar oleh Tjui
Sing. Demi mendengar Tik Hun menjatakan dirinja bukan Hwesio ia mendjadi heran dan
sangsi.

Maka terdengar Tik Hun telah mendjawab: “Aku she Tik, aku hanja seorang ‘Bu-beng-siau-
tjut’ (pradjurit tak bernama alias kerotjo), seorang tjatjat jang beruntung lolos dari
tjengkeraman elmaut, masakah kau sebut Tayhiap segala?”

“Bagus, bagus!” demikian Hoa Tiat-kan masih mengumpak setinggi langit. “Begitu tangkasnja
Tik-tayhiap, dengan Tjui-titli jang djelita itu benar2 merupakan suatu pasangan jang tjotjok.
Pak tjomblang djuga tidak perlu ditjari lagi, aku inilah sudah siap sedia. Hahaha, bagus, bagus,
kiranja Tik-tayhiap memangnja bukan Tjutkehlang (kaum paderi), maka tjukup menunggu
tumbuhnja rambut lalu salin pakaian, dengan demikian djadilah engkau seorang biasa,
hakikatnja tidak perlu pakai upatjara kembali kemasjarakat ramai apa segala.”

Rupanja Hoa Tiat-kan jakin benar2 Tik Hun pasti paderi dari Hiat-to-bun, tapi karena
kesemsem pada ketjantikan Tjui Sing, maka sengadja tidak mau mengaku asal-usulnja.

Lapat2 Tjui Sing djuga mempunjai pikiran seperti itu, maka ia bertambah kuatir demi
mendengar perkataan Hoa Tiat-kan itu. Ia berbangkit dan siapkan goloknja, pabila gerak-gerik
Tik Hun mengundjuk kekurangadjaran, segera ia akan melabraknja dengan mati2an.


Namun Tik Hun hanja geleng2 kepala dan menjahut dengan kurang senang: “Rupanja
mulutmu perlu dikosek supaja lebih bersih. Mengapa selalu bitjara tentang hal2 kotor itu?




SERIALSILAT.COM © 2005




264


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



Djikalau kita dapat keluar djurang ini dengan selamat, selamanja aku tidak sudi melihat
tjetjongormu lagi dan selamanja takkan melihat muka nona Tjui pula.”

Hoa Tiat-kan melengak karena tidak djelas kemana perkataan Tik Hun itu hendak menudju.
Tapi sesudah memikir sedjenak, segera ia sadar, katanja: “Aha, tahulah aku, tahulah aku!”

“Kau tahu apa?” damperat Tik Hun dengan melotot.

Maka berbisiklah Tiat-kan dengan lagak seorang detektip: “Ja, ja, tahulah aku. Tentu didalam
kuil Tik-tayhiap masih ada sitjantik jang mendjadi pilihanmu dan nona Tjui ini tidak dapat kau
bawa pulang untuk mendjadi suami-isteri abadi. Djika demikian, haha, boleh djuga djadilah
suami-isteri sambilan barang beberapa hari, apa halangannja sih?”

Biarpun bisik2, namun Tjui Sing dapat mendengarnja djuga. Keruan gusarnja tidak kepalang,
terus sadja ia memburu madju, ‘plak-plok, plak-plok’, kontan ia persen kedua pipi manusia
rendah itu dengan empat kali gamparan.

Dengan atjuh-tak-atjuh Tik Hun mengikuti kedjadian itu se-akan2 segala itu sama sekali tiada
sangkut-paut dengan dirinja…..

Begitulah sedjam demi sedjam telah lalu dan Hiat-to Lotjo tetap terdjungkir menantjap
didalam saldju tanpa bergerak. Meski batin ketiga orang jang berada ditengah djurang itu
masing2 mempunjai pikirannja sendiri2, tapi rasa sangsi terhadap Hiat-to-tjeng itu lambat-laun
sudah banjak berkurang. Namun begitu, beberapa kali Tjui Sing bermaksud menabas kedua
kaki paderi djahat itu toh tetap tak berani melakukannja.

Sesudah mengalami peristiwa hebat itu, Tjui Sing mendjadi lapar sekali. Ia melihat restan
daging kuda panggang tadi masih terserak disitu. Kini ajahnja sudah tewas, djiwa dan kesutjian
sendiri djuga masih terantjam, dengan sendirinja tak terpikir lagi olehnja apakah daging kuda
itu berasal dari kuda kesajangannja atau bukan? Segera ia mengeluarkan ketikan api, ia
menjalakan kaju kering jang berada disitu dan mulai memanggang daging kuda lagi.

Hoa Tiat-kan sendiri belum bisa berkutik, maka tanpa bosan2 ia masih terus mengumpak dan
mendjilat. Tapi Tik Hun tidak ambil pusing lagi padanja, ia rebah ditanah saldju itu untuk
memulihkan semangat. Sedang Tjui Sing ter-mangu2 memandang api unggun jang me-njala2
itu dengan air mata bertjutjuran. Air matanja menetes kesaldju hingga saldju mentjair, tapi
pelahan2 air saldju itu lantas membeku lagi.














SERIALSILAT.COM © 2005














265


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E






Habis gelap terbitlah terang?
Begitulah bintang Tik Hun sekarang sudah mulai terang gemilang!
Dengan “Sin-tjiau-kang” jang telah berhasil dijakinkan tanpa sengadja itu, dapatlah
dia malang melintang di Kangouw dan membalas sakit hatinja jang dulu2 serta
melaksanakan tjita2 Ting Tian?
Bagaimana nasib mereka bertiga, terutama Hoa Tiat-kan jang bermoral rendah dan
Tjui Sing jang masih tjuriga kepada Tik Hun itu? Tjara bagaimana Tik Hun akan
keluar dari djurang kurung bersaldju itu?

~ Batjalah djilid ke-7 ~













































SERIALSILAT.COM © 2005

































































266

P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E

Djilid
7

Setelah urat nadi Im-meh dan Tok-meh ditubuh Tik Hun mulai terhubung, semangatnja terasa
menjala2, satu arus hangat terasa mengalir mulai dari dada sampai kepunggung dan dari
punggung kembali kedada setjara ber-ulang2 dan terus mengalir tanpa berhenti. Setiap kali
hawa hangat itu memutar satu kali, setiap bagian tubuh lantas merasa penuh tenaga, meski
kaki jang patah dan tempat2 bekas kena digebuk Tjui Sing masih kesakitan, tapi dengan
timbulnja tenaga dalam itu, rasa sakit itu mendjadi mudah ditahan.

Kuatir keadaan jang aneh dan adjaib sekali itu mungkin akan segera hilang, maka Tik Hun
tidak berani bergerak, ia merebah dan membiarkan hawa dalam itu mengalir kian kemari
diantara urat2 nadi Im-meh dan Tok-meh itu.

Begitulah mereka bertiga tiada seorangpun jang membuka suara. Sesudah lebih dua djam, Tjui
Sing jang per-tama2 berbangkit, ia djemput golok merah dari dalam saldju dan tjoba mendekati
Hiat-to-tjeng jang selama itu masih tetap terdjungkir menantjap didalam saldju tanpa bergerak
sedikitpun. Dengan beranikan hati, segera ia membatjok kaki kiri paderi itu, “tjrat”, kontan
sebelah kaki paderi itu tertabas kutung.

Tapi aneh bin heran, kaki kutung itu ternjata tidak berdarah. Waktu ditegaskan, kiranja darah
didalam tubuh Hiat-to Lotjo itu sudah membeku, ternjata paderi durdjana itu sudah sedjak
tadi tak bernjawa lagi.

Tjui Sing bergirang dan bersedih pula. Segera ia angkat goloknja dan membatjok serabutan
ketubuh paderi djahat itu. Pikirnja: “Paderi durdjana tua ini sudah mampus, tinggal paderi
djahat jang muda itu entah tjara bagaimana akan menjiksa aku? Ajah sudah meninggal, sungguh
akupun tidak ingin hidup lagi. Asal sedikit aku akan diperlakukan dengan djahat, segera aku
akan membunuh diri dengan golok ini.”

Bahwasanja manusia itu betapapun tetap ingin hidup daripada mati, maka begitu pula halnja
dengan Tjui Sing. Padahal djika dia benar2 hendak membunuh diri, saat itu adalah kesempatan
jang paling bagus. Tapi sebelum tiba saat jang paling achir, dengan sendirinja ia tidak mau mati
begitu sadja.

Disebelah sana meski badan Hoa Tiat-kan tak dapat bergeruk, tapi segala apa dapat dilihatnja
dengan djelas. Namun iapun tidak djelas tjara bagaimana Tik Hun telah membinasakan Hiat-
to-tjeng itu, ia sangka mungkin tenaga murni paderi Tibet itu sudah terkuras habis, keadaannja
sudah pajah, maka sekenanja Tik Hun menghantam dan telah membinasakan dia. Diam2 iapun
bergirang, pikirnja: “Hwesio djahat ketjil ini meski bengis, tapi sangat gampang untuk dihadapi.
Sebentar djuga aku sudah dapat bergerak, sekali tondjok sadja tentu akan kutamatkan
riwajatnja.”

SERIALSILAT.COM © 2005

267


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E




Dan sesudah hampir satu djam pula, Tik Hun merasa hawa hangat jang mengalir didalam
tubuhnja itu masih terus berputar tanpa hilang. Ia tjoba mendjalankan ilmu mengatur tenaga
dalam dari Lwekang “Sin-tjiau-keng” adjaran Ting Tian dahulu, maka timbullah sesuatu jang
diluar dugaan. Hawa dalam jang tadinja susah dikuasai itu kini ternjata dapat dikendalikan
sesuka hatinja, kemana ia ingin mengalirkan hawa murni itu, segera dapat dilaksanakannja
dengan baik.

Keruan TIk Hun sangat girang segera ia djemput sebatang kaju untuk dipakai tongkat
penjanggah ketiak dan mendekai Hiat-to-tjeng setjara ber-ingsut2. Ia melihat majat paderi itu
masih terdjungkir ambles didalam saldju, kedua kakinja sudah hantjur luluh dibatjok oleh Tjui
Sing tadi, terang sekali paderi itu memang sudah mati. Ia pikir kedjahatan paderi itu sudah
melampaui takaran dan pantas mendapatkan gandjaran setimpal itu. Tapi sesungguhnja djuga
paderi djahat itu pernah menolongnja pula.

Sebagai seorang jang djudjur dan kenal budi, Tik Hun lantas seret majat Hiat-to-tjeng dan
ditaruh baik2 ditanah saldju, ia menguruknja dengan gundukan saldju sekadar sebagai tanda
kuburan paderi djahat itu.

Melihat perbuatan Tik Hun itu, timbul djuga rasa ingin meniru Tjui Sing. Iapun mengubur
djenazah sang ajah dengan tjara seperti Tik Hun itu. Sebenarnja ia bermaksud mengubur djuga
djenazahnja Lau Seng-hong dan Liok Thian-dju. Tapi jang seorang itu mati diatas puntjak
karang sana dan jang lain terpendam didasar saldju, terpaksa ia batalkan niatannja itu.

Tik Hun merasa lapar, ia ambil dua potong daging kuda panggang dan dimakan.

“Siausuhu, aku sangat kelaparan, tolong kau suapi aku sepotong daging kuda itu,” pinta Hoa
Tiat-kan tiba2.

Tapi Tik Hun hanja mendjengek sekali, ia bentji pada martabat orang she Hoa jang rendah itu,
maka tak menggubrisnja.

Namun Hoa Tiat-kan masih terus memohon tanpa berhenti. Karena tidak tega, selagi Tik Hun
hendak djedjalkan sepotong daging kuda kemulutnja agar manusia pengetjut itu tidak tjerewet
terus, tiba2 Tjui Sing mentjegahnja: “Daging ini berasal dari kudaku, djangan berikan pada
manusia tak kenal malu itu.”

Tik Hun mengangguk tanda setudju, sebagai gantinja ia melotot sekali pada Hoat Tiat-kan.

Tapi Hoa Tiat-kan tidak putus asa, ia memohon pula: “Siausuhu....................”

“Sudah kukatakan tadi bahwa aku bukan Hwesio, kenapa kau masih memanggil setjara
ngawur?” bentak Tik Hun dengan mendongkol.






SERIALSILAT.COM © 2005






268


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



“Eh, ja, memang tolol benar aku ini,” tjepat Hoa Tiat-kan merendah diri. “Wah, tadi sekali
hantam Tik-tayhiap telah binasakan Hiat-to-ok-tjeng itu, kelak namamu pasti akan tersohor
diseluruh djagat. Pabila aku sudah keluar dari lembah ini, pekerdjaanku jang pertama jalah
menjiarkan keperkasaan Tik-tayhiap ini, bahwa Tik-tayhiap telah berusaha menolong nona
Tjui tanpa menghiraukan keselamatan sendiri dan achirnja dapat mampuskan Hiat-to-ok-tjeng,
sungguh kedjadian ini merupakan berita paling penting didunia persilatan.”

“Aku adalah seorang bekas perantaian jang tak terhormat, siapa jang mau pertjaja pada
obrolanmu? Lebih baik tutup mulutmu sadja,” djengek Tik Hun.

“Djangan kuatir, Tik-tayhiap,” masih Hoa Tiat-kan mengotjeh. “Berdasarkan sedikit namaku
dikalangan Kangouw, apa jang kukatakan pasti akan dipertjaja oleh siapapun djuga. Eh, Tik-
tay-hiap, kasihlah sepotong dagingmu itu.”

Tik Hun mendjadi sebal diretjoki terus, bentaknja: “Sudah kukatakan tidak kasih, ja tetap tidak
kasih. Kelak boleh kau siarkan pada orang Kangouw tentang nama djelekku, emangnja aku ini
orang apa? Masakah ada harganja dibuat tjerita?” ~ Sampai disini, ia mendjadi terkenang pada
kisah derita jang telah dialaminja dengan matjam2 hinaan dan siksaan setjara penasaran itu.
Saking gusar dan dongkolnja hampir2 ia tak tahan lagi.

Padahal sebenarnja Hoa Tiat-kan tidak sungguh2 ingin makan daging kuda, biarpun lapar djuga,
tapi kelaparan sehari dua hari baginja sudah tentu bukan soal. Ia kuatir Tik Hun itu
“mewariskan” sifat djahat Hiat-to Lotjo dan mendadak mengamuk serta membunuhnja, dari
itu ia pura2 minta daging kuda sebagai siasat, ia pikir Tik Hun tidak sudi memberi daging jang
diminta, tentu dalam hati akan timbul rasa gegetun, dan pikiran membunuh itu dengan
sendirinja pula akan mendjadi tawar dan achirnja lenjap.

Melihat tjuatja mulai gelap, angin meniup dengan keras, segera Tik Hun berkata pada Tjui
Sing: “Nona, boleh kau mengaso didalam gua itu!”

Tjui Sing mendjadi kuatir, ia sangka pemuda itu bermaksud djahat lagi, maka bukannja
menurut, sebaliknja ia mundur ketakutan, ia siapkan golok didepan dada dan membentak:
“Kau paderi djahat ini, asal kau berani mendekati aku selangkah, segera nonamu ini akan
membunuh diri.”

Tik Hun melengak, tjepat sahutnja: “Hei, djangan nona salah paham, sekali2 aku tiada punja
maksud djahat!”

“Huh, kau Hwesio tjilik ini bermuka manusia, tapi hatinja binatang,” damperat Tjui Sing
mendadak. “Tertawamu itu berbisa, djauh lebih djahat dan litjik daripada Hwesio tua
djahanam itu. Huh, djangan harap aku dapat kau tipu.”

“Tik Hun tidak ingin banjak berdebat lagi, pikirnja: “Besok pagi begitu terang tanah segera aku
akan mentjari djalan keluar untuk meninggalkan lembah ini. Apakah dia Tjui-kohnio dan Hoa-
tayhiap apa segala, selama hidupku ini aku takkan melihat tjetjongor mereka lagi.” ~ Maka




SERIALSILAT.COM © 2005




269


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



tanpa bitjara ia lantas menjingkir djauh2 kesana, ia merebah dan bersandar disuatu batu padas
dan tidur.

Sebaliknja Tjui Sing telah pandang Tik Hun sebagai seorang paderi tjabul tulen, semakin djauh
ia menjingkir, semakin kedji dan tjulas pula muslihatnja, bukan mustahil nanti tengah malam
mendadak dirinja akan disergap olehnja.

Karena itu, Tjui Sing tidak berani masuk kedalam gua itu, ia kuatir kalau tengah malam
digerajangi Tik Hun, kan bisa tjelaka? Maka dengan hati tidak aman iapun duduk bersandar
sebuah batu, matanja makin lama makin sepat, kantuk sekali rasanja, tapi selalu ia
memperingatkan dirinja sendiri: “Awas, djangan tidur! Djangan tidur! Djika tidur, kau akan
digerajangi paderi djahat itu!”

Tapi setelah mengalami kedjadian2 selama beberapa hari ini, sesungguhnja ia sudah sangat
lelah, lahir maupun batin. Walaupun ia bertahan sedapat mungkin agar tidak terpulas, tapi
lama kelamaan, tanpa merasa iapun tertidur achirnja.

Dan tidurnja itu njenjak benar2 hingga esok paginja. Ia merasa sinar sang surja gilang gemilang,
ia terdjaga bangun. Tjepat ia melompat bangun sambil sambar golok merah jang semula
terletak disampingnja. Tapi tangannja memegang tempat kosong, keruan ia tambah gugup.
Waktu ditegaskan, kiranja Hiat-to itu masih baik2 berada disitu, tjuma sedikit djauh dari
tempatnja tadi. Rupanja dalam tidurnja tanpa merasa ia membalik tubuh dan menggeser
tempat. Ia djemput kembali sendjata tadjam itu, waktu ia pandang kedepan, ia melihat TIk
Hun sedang djalan berintjang-intjut keluar lembah sana dengan kakinja jang pintjang. Ia
mendjadi girang, ia pikir “Hwesio” djahat itu tentu bermaksud pergi dari lembah bersaldju itu.

Memang benar djuga Tik Hun ingin mentjari djalan keluar dari lembah itu. Tapi sudah
beberapa kali ia mentjari djalan kedjurusan timur dan udjung timur laut sana, namun semuanja
djalan buntu. Arah barat, utara dan selatan djuga dilingkungi tebing karang jang tjuram, terang
djuga djalan buntu. Ia lihat djurusan tenggara mungkin ada harapan, tapi disitu saldju
bertimbun ber-puluh2 meter tingginja, sebelum hawa panas dan saldju tjair, terang tak
mungkin bisa keluar, apalagi sekarang ia adalah seorang pintjang, kakinja patah.

Setelah mentjari djalan kian kemari selama setengah hari, achirnja ia putar balik dengan hasil
nihil dan badan letih. Dengan ter-mangu2 ia memandangi puntjak gunung diatas sana, air
mukanja muram durdja.

“Bagaimana, Tik-tayhiap?” tanja Hoa Tiat-kan tiba2.

Tik Hun menggeleng kepala, sahutnja: “Pertjuma, djalan buntu semua!”

Diam2 Hoa Tiat-kan memikir: “Kakimu patah, dengan sendirinja susah untuk keluar dari
lembah kurung ini. Tapi aku Hoa Tiat-kan masakah sudi dikeram terus disini? Sampai sore
hari nanti, asal djalan darahku sudah lantjar, segera aku akan angkat langkah seribu.” ~ Hati





SERIALSILAT.COM © 2005





270


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



berpikir begitu, tapi lahirnja ia pura2 tidak terdjadi apa2, katanja malah: “Kalian djangan kuatir,
nanti bila djalan darahku sudah lantjar, pasti aku akan dapat menjelamatkan kalian dari sini.”

Melihat selama itu TIk Hun tidak mengganggu padanja, mau-tak-mau rasa takut dan kuatir
Tjui Sing mendjadi berkurang. Tapi sedikitpun ia tidak lengah, ia masih tetap was-was. Selalu
ia mendjauhi pemuda itu dan sepatah-katapun tidak mau bitjara padanja.

Memangnja TIk Hun djuga tidak sudi minta gadis itu memahami apa jang sebenarnja, jang dia
harap adalah selekas mungkin dapat meninggalkan lembah maut itu. Tapi sekitar lembah
terkurung saldju tebal dan tinggi, ia mendjadi sedih tjara bagaimanakah untuk dapat keluar dari
situ?

Setelah lewat lohor kira2 djam dua sore, mendadak Hoa Tiat-kan bergelak tertawa, katanja:
“Tjui-titli, daging kudamu itu Hoa-pepek akan pindjam beberapa kati, sesudah makan dan
keluar dari lembah ini, tentu akan kubajar kembali.”

Dan belum lagi Tjui Sing mendjawab, se-konjong2 Hoa Tiat-kan sudah melompat bangun dan
mendekati tempat daging kuda panggang itu. Terus sadja ia sambar sepotong daging dan
dimakan dengan lahapnja. Njata djangka waktu tertutuk djalan darahnja itu sudah berachir dan
telah terbuka dengan sendirinja.

Tjui Sing tahu pertjuma djuga hendak merintangi, terpaksa ia tidak gubris padanja.

Sebaliknja demi Hiat-to sudah lantjar kembali, sikap Hoa Tiat-kan mendjadi berubah aneh. Ia
pikir Hiat-to-tjeng sudah mati, sekarang, biarpun Tik Hun dan Tjui Sing bersatu
mengerojoknja djuga pasti bukan tandingan dirinja. Dan tjara bagaimana dirinja akan
perlakukan kedua muda-mudi itu boleh dikatakan tiada mungkin mereka bisa melawan. Tapi
tiada gunanja djuga tinggal dilembah bersaldju itu terlalu lama, paling penting sekarang harus
mentjari djalan keluar dahulu.

Ia gunakan Ginkang untuk memeriksa sekitar lembah itu, ia melihat saldju longsor jang luar
biasa ini telah menutup rapat lembah gunung itu. Djalan keluar satu-satunja dari lembah
itupun tertimbun saldju berpuluh meter tingginja. Ada djuga akalnja, jaitu dengan tjara
menggangsir, menerobos dinding saldju itu. Tapi ja kalau tebal saldju itu tjuma beberapa atau
belasan meter sadja, sebaliknja kalau be-ratus2 meter, apakah dia mampu menggangsir sedjauh
itu? Apalagi sesudah berada dibawah saldju, arah djurusannja mendjadi susah dibedakan,
bukan mustahil sebelum berhasil menembus tanah saldju itu lebih dulu orangnja sudah mati
kaku didalam situ.

Sedangkan waktu itu baru permulaan bulan sebelas, kalau mesti menunggu sampai musim
panas tahun depan, sedikitnja harus menunggu lima bulan lagi. Padahal seluruh lembah
pegunungan itu hanja saldju belaka, selama lima bulan itu harus makan apa untuk bisa terus
hidup?






SERIALSILAT.COM © 2005






271


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



Begitulah Hoa Tiat-kan memutar kembali sampai diluar gua batu itu, air mukanja tampak
muram dan berkerut. Sesudah duduk termenung sedjenak, ia sambar sepotong daging kuda
panggang dan dimakan, selesai makan daging kuda itu, barulah ia berkata dengan pelahan:
“Untuk bisa keluar harus tunggu sampai hari Toan-ngo-tje (perajaan Pek-tjun) tahun depan.”

Waktu itu Tik Hun berada disebelah kiri dan Tjui Sing berada disisi kanan, djarak mereka
dengan Hoa Tiat-kan kira2 belasan meter djauhnja. Meski apa jang digerundel Hoa Tiat-kan itu
sangat pelahan, tapi bagi pendengaran kedua muda-mudi itu se-olah2 bunji geledek kerasnja.
Tanpa merasa kedua orang sama2 memandang kearah bangkai kuda jang terletak disamping api
unggun itu, hati mereka sama2 memikir: “Apakah dapat bertahan sampai Toan-ngo-tje tahun
depan?”

Meski kuda tunggangan Tjui Sing itu gemuk lagi besar, tapi dimakan tiga orang, tidak sampai
sebulan, achirnja habis djuga daging kuda itu.

Lewat 7-8 hari pula, bahkan kepala kuda, kaki dan djerohan kuda djuga termakan ludes.

Selama itu, Hoa Tiat-kan, Tik Hun dan Tjui Sing sama2 tidak mengadjak bitjara, terkadang
sinar mata masing2 suka kebentrok, tapi segera saling melengos.

Sesudah sekian lamanja, rasa sirik dan tjuriga Tjui Sing kepada Tik Hun sudah banjak
berkurang. Achirnja ia berani tidur didalam gua.

Akan tetapi dengan habisnja daging kuda, timbul pula sematjam rasa waswas kepada pemuda
itu. Bukan kuatir pemuda itu akan berbuat hal2 jang tidak senonoh atas dirinja, tapi takut
kalau2 dirinja akan.......... dimakan oleh “Hwesio” djahat itu.

Sampai bilan ke-12, hawa dilembah kurung itu semakin dingin, angin men-deru2 sepandjang
malam. Biarpun Tik Hun sudah berhasil mejakinkan “Sin-tjiau-kang”, tenaga dalamnja
bertambah penuh, tapi badjunja tipis dan tjompang-tjamping, ditengah tanah bersaldju
sedingin itu, mau-tak-mau ia tersiksa djuga.

Melihat orang kedinginan, tapi toh tidak pernah melangkah masuk kedalam gua untuk
menolak hawa dingin, mau-tak-mau Tjui Sing merasa lega djuga. Ia merasa paderi djahat itu
memang “djahat”, tapi tjukup sopan.

Selama lebih sebulan itu, luka diatas tubuh Tik Hun sudah sembuh seluruhnja, kaki jang patah
djuga sudah tersambung kembali dan telah bisa berdjalan seperti biasa. Tenaga dalamnja makin
hari djuga makin tambah kuat. Sebaliknja hawa djuga makin dingin, tapi toh tidak begitu
dirasakan olehnja.

Habisnja daging kuda sungguh merupakan suatu persoalan jang maha pelik. Sebenarnja
beberapa hari terachir itu sedapat mungkin Tik Hun telah mengurangi makannja, boleh dikata
asal sekadar mengisi perut sadja. Tapi apa jang dia hemat segera disapu habis oleh Hoa Tiat-
kan jang tidak kenal sungkan2 itu.




SERIALSILAT.COM © 2005




272


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E




Menjasikan itu, diam2 Tjui Sing membatin: “Hm, seorang pendekar besar jang tersohor di
Tionggoan, disaat menghadapi kesulitan ternjata kalah daripada seorang paderi tjabul tjilik dari
Hiat-to-bun!”

Begitulah Tjui Sing masih tetap pandang Tik Hun sebagai “paderi tjabul”. Padahal saat itu
rambut Tik Hun sudah tumbuh kembali, dengan sendirinja bukan kepala gundul lagi.
Sedangkan dikatakan tjabul djuga tidak betul, selama itu toh tiada sesuatu perbuatannja jang
membuktikan dia “tjabul”?

Tengah malam itu, tiba2 Tjui Sing terdjaga dari tidurnja, ia mendengar Tik Hun sedang
membentak: “Djenazah Tjui-tayhiap itu tidak boleh kau kutik2!”

Lalu terdengar Hoa Tiat-kan mendjawab dengan dingin: “Hm, lewat beberapa hari lagi,
djangankan orang mati, bahkan orang hidup djuga akan kumakan. Sekarang aku makan orang
mati dulu, supaja kau bisa hidup lebih lama beberapa hari lagi!”

“Kita lebih baik makan rumput atau akar pohon, tapi sekali2 tidak boleh makan daging
manusia!” sahut Tik Hun.

“Enjah kau!” bentak Hoa Tiat-kan mendadak.

Tanpa pikir lagi segera Tjui Sing berlari keluar gua, ia melihat disamping kuburan sang ajah
jang berada disana itu berdiri dua orang jang sedang bertjektjok, jaitu Tik Hun dan Hoa Tiat-
kan. Segera Tjui Sing ber-teriak2 sambil memburu kesana: “Djangan mengutik-ngutik ajahku!”

Dan sesudah dekat, Tjui Sing melihat saldju jang tadinja menguruk diatas djenazah sang ajah
itu telah dibongkar, bahkan tangan kiri Hoa Tiat-kan sudah memegangi djenazah sang ajah.

Selagi Tjui Sing hendak berteriak pula, tiba2 Tik Hun sudah membentak pada Hoa Tiat-kan:
“Taruh kembali!”

“Baiklah, taruh kembali ja taruh kembali!” sahut Hoa Tiat-kan. Habis berkata, benar djuga ia
lantas letakan majatnja Tjui Tay.

Melihat itu, Tjui Sing rada lega, bentaknja: “Hoa Tiat-kan, kau sesungguhnja bukanlah
manusia!”

Tapi belum habis ia memaki, se-konjong2 sinar tadjam berkelebat, tahu2 Hoa Tiat-kan melolos
keluar sebatang tumbak pendek dari badjunja, sekali bergerak, setjepat kilat ia tusuk kedada
Tik Hun.

Serangan itu teramat tjepat, biarpun Lwekang Tik Hun sekarang sudah sangat tinggi, tapi ilmu
silatnja hanja biasa sadja, tidak lebih tjuma sedikit ilmu pukulan dan permainan pedang jang
pernah diperolehnja dari Djik Tiang-hoat, dengan sendiri ia tidak mampu melawan serangan




SERIALSILAT.COM © 2005




273


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



kilat diluar dugaan dari Hoa Tiat-kan jang tergolong tokoh kelas satu itu. Ketika Tik Hun insaf
apa jang terdjadi, sementara itu udjung tumbak musuh sudah sampai didadanja.

Keruan Tjui Sing ikut kaget dan mendjerit dengan kuatir.

Dengan berhasilnja serangan kilat setjara mendadak itu, Hoa Tiat-kan jakin tumbaknja pasti
akan menembus dada lawan dan seketika lawan itu akan terbinasa. Siapa duga, begitu udjung
tumbaknja mentjapai dada Tik Hun, tiba2 seperti terhalang oleh sesuatu dan takbisa masuk.

Karena tusukan dan dorongan tumbak itu, Tik Hun terperosot djatuh dan duduk, tapi tangan
kirinja sempat diangkat dan menghantam ke-kuat2nja kebatang tumbak lawan. “Krak”, tahu2
garan tumbak terhantam patah mendjadi dua, bahkan tenaga pukulan itu sedemikian kerasnja
hingga Hoa Tiat-kan ikut terpental dan djatuh terdjengkang.

Keruan kedjut Hoa Tiat-kan tak terkatakan, sungguh tak terduga olehnja bahwa ilmu silat
Hwesio tjilik itu ternjata sedemikian aneh dan sakti, bahkan tidak dibawah Hwesio tua jang
sudah mati itu. Tjepat ia menggelundung pergi hingga beberapa kali, lalu melompat bangun
dan lari djauh2 kesana.

Ia tidak tahu bahwa tusukan tumbak itu tidak menembus badan Tik Hun, tapi saking kerasnja
sodokan itu hingga dada Tik Hun terasa sesak dan napas se-akan2 berhenti. Kontan iapun
djatuh pingsan.........

***

Sang dewi malam sudah menghias ditengah tjakrawala jang luas, dua ekor elang besar tampak
ber-putar2 diangkasa karena melihat sesosok tubuh menggeletak ditanah saldju, jaitu Tik Hun.

Melihat Tik Hun menggeletak dan tak berkutik lagi, Tjui Sing menjangka pemuda itu sudah
ditusuk mampus oleh tumbak Hoa Tiat-kan itu, ia mendjadi girang “Siau-ok-tjeng” (paderi
djahat ketjil) jang ditakuti itu achirnja telah mati, selandjutnja ia tidak perlu takut diganggu
orang lagi. Tapi segera terpikir pula olehnja: “Hoa Tiat-kan bermaksud makan daging djenazah
ajahku, sjukur Siau-ok-tjeng itu jang telah merintangi sepenuh tenaga, tapi ia berbalik
terbunuh oleh Hoa Tiat-kan. Padahal dia toh tidak perlu merintangi perbuatan Hoa Tiat-kan
itu. Apa barangkali dia sengadja hendak menipu supaja aku pertjaja padanja, tapi kemudian
aku akan di..... hm, tidak nanti aku dapat tertipu. Akan tetapi sesudah dia mati, pabila
djahanam Hoa Tiat-kan itu hendak mengganggu djenazah ajah lagi, lantas bagaimana? Ai,
sebaiknja Siau-ok-tjeng itu djangan mati dulu.”

Begitulah pertentangan pikiran Tjui Sing pada saat itu, sebentar ia bersjukur Siau-ok-tjeng atau
sipaderi djahat ketjil jang ditakuti itu telah mati, tapi lain saat ia berharap Tik Hun djangan
mati agar dirinja mempunjai sandaran untuk melawan Hoa Tiat-kan.

Sambil memegangi golok merah, achirnja ia mendekati Tik Hun, ia melihat pemuda itu
menggeletak terlentang dan tidak bergerak sedikitpun, daging mukanja tampak ber-kerut2




SERIALSILAT.COM © 2005




274


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



pelahan, njata orangnja belum mati. Tjui Sing mendjadi girang, tjepat ia berdjongkok untuk
memeriksa napas Tik Hun. Tapi waktu tangannja mendjulur sampai didepan hidung Tik Hun,
ia merasa dua rangkum hawa panas dari lubang hidung itu menjembur ketangannja. Ia
terkedjut dan tjepat menarik tangan. Semula ia menjangka napas Tik Hun tentu kempas-
kempis andaikan orangnja belum mati, siapa duga napas jang keluar-masuk dihidung “Siau-ok-
tjeng” itu ternjata begitu keras lagi panas.

Sebab apakah Tik Hun tidak mempan ditusuk tumbak? Kiranja Tik Hun mengenakan “Oh-
djan-kah” pemberian Ting Tian dahulu, maka tumbak Hoa Tiat-kan itu tidak dapat
menembus tubuhnja. Namun sebagai salah satu tokoh “Lam-su-lo” jang tersohor, ilmu silatnja
dan tenaga dalamnja Hoa Tiat-kan dengan sendirinja luar biasa, meski tusukannja tidak
mempan atas Tik Hun, tapi tusukan itu tepat menjodok didada pemuda itu hingga seketika
Tik Hun lantas kelengar saking tak tahan. Untung sekarang ia sudah berhasil mejakinkan “Sin-
tjiau-kang” hingga djiwanja tidak sampai melajang oleh tusukan tumbak itu.

Begitulah Tjui Sing baru tahu bahwa pemuda itu tjuma pingsan sadja, ia merasa rikuh bila
sebentar pemuda itu siuman kembali dan melihat dia berdiri disitu. Dan selagi ia hendak
mendjauhi Tik Hun, baru ia menoleh, ia melihat Hoa Tiat-kan djuga berdiri tidak djauh dari
situ dan sedang memperhatikan gerak-gerik mereka.

Hendaklah diketahui bahwa Hoa Tiat-kan djuga tidak kurang kagetnja ketika tumbaknja tidak
mempan mengenai sasarannja, bahkan ia sendiri sampai terpental. Tapi demi dilihatnja Tik
Hun menggeletak tak bangun lagi, dengan sendirinja tjepat2 ia ingin mengetahui pemuda itu
sudah mati atau masih hidup.

Selang sebentar, ketika dilihatnja Tik Hun tetap tidak bergerak, ia menduga kalau tidak mati
tentu pemuda itupun terluka parah. Maka tanpa takut2 lagi segera ia mendekati Tik Hun.

Keruan jang ketakutan adalah Tjui Sing, tjepat ia membentak: “Pergi kau, pergi!”

“Kenapa aku mesti pergi?” sahut Hoa Tiat-kan dengan menjeringai. “Orang hidup tentu lebih
lezat daripada orang mati. Kita sembelih dia dan memakannja bersama, bukankah sama2
baiknja?” ~ Sembari berkata, ia terus melangkah madju.

Tjui Sing mendjadi sibuk, sekuatnja ia meng-guntjang2 Tik Hun sambil berteriak: “Bangunlah
lekas, dia telah datang, dia telah datang!”

Dan demi nampak Hoa Tiat-kan sudah angkat sebelah tangannja hendak menghantam
ketubuh Tik Hun, tanpa pikir lagi Tjui Sing putar goloknja, dengan djurus “Kim-tjiam-toh-
djiat” (djarum emas penolong maut), segera ia menusuk dulu keulu hati Hoa Tiat-kan.

Sendjata Hoa Tiat-kan, jaitu tumbak pendek, sudah dipatahkan oleh hantaman Tik Hun tadi,
kini ia hanja bertangan kosong, walaupun kepandaian Tjui Sing tak dipandang sebelah mata
olehnja, tapi gadis itu bersendjatakan golok merah jang maha tadjam itu, terpaksa ia tidak
berani ajal, segera ia mengeluarkan kepandaian “Khong-djiu-djip-peh-jim” atau merebut




SERIALSILAT.COM © 2005




275


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



sendjata lawan dengan bertangan kosong. Ia pusatkan perhatian untuk menempur Tjui Sing
dengan tudjuan merebut dulu sendjata jang lihay itu.

Dalam pingsannja itu, lapat2 Tik Hun mendengar teriakan Tjui Sing tadi jang menjuruhnja
bangun, sesaat itu ia masih samar2 belum sadar dan tidak tahu apa maksud gadis itu. Tapi
menjusul ia lantas dengar suara bentakan2. Waktu ia membuka mata, dibawah sinar bulan ia
melihat Tjui Sing sedang putar goloknja menempur Hoa Tiat-kan dengan sengit. Meski gadis
itu bersendjata, tapi pertama ia tidak biasa memakai golok, kedua, ilmu silatnja selisih terlalu
djauh dibanding Hoa Tiat-kan, maka kelihatan gadis itu sudah pajah dan terdesak mundur
terus, sampai achirnja, jang diharapkan gadis itu adalah goloknja tidak dirampas musuh,
sedangkan untuk balas menjerang sudah tidak mampu lagi. Dan setiap beberapa djurus, selalu
Tjui Sing menoleh dan berteriak pada Tik Hun: “Lekas bangun, dia hendak membunuh kau,
lekas bangun!”

Mendengar itu, hati Tik Hun terkesiap, pikirnja: “Wah, hampir sadja aku mati! Djadi tadi dia
telah menjelamatkan djiwaku. Bila dia tidak merintangi Hoa Tiat-kan, tentu aku sudah
dibunuh oleh Hoa Tiat-kan.”

Dalam pada itu dilihatnja Tjui Sing sedang terdesak dan terantjam bahaja, tanpa pikir lagi Tik
Hun lantas melompat bangun, kontan ia menghantam sekali kearah Hoa Tiat-kan.

Ketika Hoa Tiat-kan memapak pukulan itu dengan telapak tangannja, “plak”, dua arus tenaga
pukulan saling beradu, “bluk”, tahu2 kedua orang sama2 tergentak djatuh duduk.

Kiranja tenaga dalam Tik Hun sudah sangat kuat, sebaliknja ilmu pukulan Hoa Tiat-kan lebih
lihay, maka gebrakan itu mendjadi sama kuatnja.

Ilmu silat Hoa Tiat-kan lebih tinggi, gerak perubahannja mendjadi lebih tjepat. Begitu ia djatuh
terpental, tjepat ia melompat bangun lagi dan pukulan kedua segera dilontarkan pula. Tik Hun
belum sempat berdiri kembali, terpaksa ia sambut pukulan itu dengan berduduk.

Diluar dugaan, dalam keadaan berduduk itu tenaga Tik Hun ternjata tidak berkurang
sedikitpun, maka “blang”, kembali kedua pukulan saling bentur, Tik Hun terpental hingga
berdjumpalitan sekali, sebaliknja Hoa Tiat-kan djuga ter-hujung2 dan hampir2 terdjungkal lagi,
darah dirongga dadanja djuga bergolak hebat dan hampir2 muntah darah. Diam2 ia terkedjut:
“Tenaga dalam Siau-ok-tjeng ini ternjata sedemikian hebatnja!”

Tapi sesudah dua kali gebrak itu Hoa Tiat-kan tahu ilmu pukulan Tik Hun itu hanja biasa
sadja dan tak berarti, maka tanpa takut2 lagi kembali ia menerdjang madju dari samping,
pukulan ketiga segera dilontarkan pula.

Terpaksa Tik Hun menjambut pula serangan itu. Tapi sekali ini ia ketjele, ternjata Hoa Tiat-
kan sangat litjik, pukulan ketiga ini tidak dihantamkan dengan keras, tapi bergerak naik-turun
dan menjambar lewat didepan muka Tik Hun, dengan sendirinja pukulan sambutan Tik Hun





SERIALSILAT.COM © 2005





276


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



memapak angin, menjusul mana tahu2 “plak”, dadanja telah kena digendjot sekali oleh Hoa
Tiat-kan.

Untung Tik Hun memakai badju Oh-djan-kah hingga tidak terluka apa2, tapi toh tidak tahan
djuga oleh tenaga pukulan jang hebat itu, maka baru sadja ia berdiri, kembali ia djatuh
terduduk pula.

Sekali pukulannja mengenai sasaran, Hoa Tiat-kan mendapat hati, pukulan lain segera
disusulkan lagi.

Sebenarnja Hoa Tiat-kan disegani orang Bu-lim karena ilmu tumbaknja jang lihay, tapi dalam
hal ilmu pukulan toh dia djuga sangat hebat, kini ia telah mainkan “Gak-keh-san-djiu”, ilmu
pukulan warisan Gak Hui, kedua tangannja menjambar kian kemari, maka terdengarlah “plak-
plok” ber-ulang2, Tik Hun kenjang digampar dan dihantam.

Beberapa kali Tik Hun ingin balas menghantam djuga, tapi setiap kali ia balas menjerang, selalu
dapat dihindarkan Hoa Tiat-kan dengan mudah. Ja maklum, selisih ilmu silat mereka
sesungguhnja terlalu djauh, Tik Hun hanja menang Lwekang sadja sekarang, dalam hal ilmu
silat dan taktik pukulan sama sekali ia tak berdaja.

Sampai achirnja, sesudah kenjang dihadjar tanpa mampu membalas apa2, terpaksa Tik Hun
tjuma dapat melindungi muka dan kepalanja dengan kedua tangan, sedang bagian badan
membiarkan dihandjut musuh, sekali2 ia djuga berdiri, tapi segera “knock-out” lagi kena
pukulan Hoa Tiat-kan.

Saat itu Hoa Tiat-kan sudah bertekad harus mampuskan pemuda itu agar tidak menimbulkan
bahaja dibelakang hari, maka ia masih terus menghadjar dengan kedjam tanpa kenal ampun.
Ber-ulang2 Tik Hun sudah muntah darah tiga kali, gerak-geriknja djuga sudah susah.

Dalam keadaan begitu, Tjui Sing takbisa tinggal diam lagi, semula ia tidak berani sembarangan
menjela dalam pertarungan kedua orang itu, kini melihat Tik Hun melulu terima digebuk
belaka dan terantjam bahaja, tanpa pikir lagi ia ajun goloknja terus membatjok kepunggung
Hoa Tiat-kan.

Tjepat Hoa Tiat-kan mengegos kesamping, berbareng tangannja meraup kebelakang untuk
merebut sendjata sigadis. Namun kesempatan itu segera digunakan Tik Hun untuk
menghantam sekuatnja, seketika Hoa Tiat-kan terkurung ditengah pukulan pemuda itu.

Karena takbisa berkelit lagi, terpaksa Hoa Tiat-kan memapak pukulan Tik Hun itu dengan
pukulan djuga. “Plak”, seketika Hoa Tiat-kan kepala pusing dan mata ber-kunang2, sebagian
tubuhnja serasa kaku. Njata kalau bitjara mengadu tenaga dalam, pasti Hoa Tiat-kan bukan
tandingan Tik Hun sekarang.







SERIALSILAT.COM © 2005







277


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



“Lekas lari, lekas lari!” demikian Tjui Sing lantas berseru sambil menarik Tik Hun untuk berlari
kedalam gua. Dengan tjepat mereka mengangkat beberapa potong batu besar untuk ditumpuk
dimulut gua, dengan golok terhunus Tjui Sing berdjaga disitu.

Mulut gua itu agak sempit, meski beberapa potong batu besar itu tidak dapat menutup rapat
mulut gua itu, tapi untuk bisa masuk kesitu terpaksa Hoa Tiat-kan harus membongkar dulu
batu2 itu. Dan bila ia berani mendjamah batu2 itu, segera Tjui Sing akan menabas tangannja
dengan golok.

Selang sedjenak, diluar gua ternjata tenang2 sadja.

“Siau......... bagaimana keadaan lukamu?” tanja Tjui Sing tiba2. Sebenarnja ia hendak memanggil
“Siau-ok-tjeng” kepada Tik Hun seperti biasanja, tapi kini mereka sudah mendjadi kawan dan
bukan lawan lagi, ia merasa rikuh dan urung memanggil pojokan jang tidak sedap didengar itu.

“Tidak berbahaja,” demikian Tik Hun telah menjahut.

Tiba2 terdengar Hoa Tiat-kan sedang bergelak ketawa diluar gua dan berteriak: “Ha-hahaha!
Dua ekor binatang tjilik itu main sembunji2 didalam gua, apakah sedang berbuat sesuatu jang
tidak boleh dilihat orang?”

Keruan wadjah Tjui Sing merah padam, dalam hati ia mendjadi rada takut djuga. Ia telah
pandang Tik Hun sebagai “In-tjeng” (paderi tjabul) jang tidak baik kelakuannja, kini dirinja
malah berada bersama didalam gua, bukankah sangat berbahaja? Karena itu, tanpa merasa ia
menggeser kesamping, ia merasa lebih djauh djaraknja dengan “paderi tjabul” itu tentu akan
lebih aman.

Dalam pada itu terdengar Hoa Tiat-kan sedang mengotjeh lagi diluar: “Hahaha, sepasang
andjing laki2 dan perempuan itu enak2 bersembunji disitu, ja? Tapi aku mendjadi kedinginan
diluar sini! Hahaha! Biarlah kumakan daging panggang sadja!”

Tjui Sing kaget, keluhnja didalam hati: “Wah tjelaka! Dia hendak makan daging ajahku! Apa
dajaku sekarang?”

Sebaliknja darah Tik Hun djuga sedang bergolak. Selama beberapa tahun ini ia telah kenjang
dihina dan dianiaja orang, kini mendengar otjehan Hoa Tiat-kan jang mendjidjikan itu, keruan
ia tidakbisa tahan lagi. Mendadak ia mendorong tumpukan batu jang menutupi mulut gua itu
dan menerdjang keluar bagaikan banteng ketaton, kedua tangannja menghantam ber-ulang2,
sekuatnja ia serang Hoa Tiat-kan setjara kalap.

Tapi dengan gampang Hoa Tiat-kan dapat menghindarkan beberapa kali serangan Tik Hun itu,
menjusul tangan kirinja berputar sebagai pantjingan, sebaliknja tangan kanan tahu2
menghantam dari belakang, menghantam dari arah jang sama sekali tak terduga oleh Tik Hun.
“Bluk”, tanpa ampun lagi punggung Tik Hun kena digebuk sekali dengan keras.





SERIALSILAT.COM © 2005





278


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



Kontan Tik Hun muntah darah lagi, kepala terasa pusing dan mata se-akan2 lamur, ia melihat
Hoa Tiat-kan dihadapannja itu seperti telah berubah mendjadi Ban Tjin-san, Ban Ka, Leng
Dwe-su, Po-siang dan orang2 djahat lain jang pernah menghina dan menganiaja dirinja itu.
Mendadak ia pentang kedua tangan dan menjeruduk madju, tahu2 Hoa Tiat-kan didekapnja
dengan kentjang sekali.

Dengan gugup Hoa Tiat-kan lantas mendjotos hingga tepat mengenai batang hidung Tik Hun,
“tjrot”, kontan keras hidung pemuda itu botjor dan keluar ketjapnja.

Namun Tik Hun sudah tidak merasa sakit lagi, ia mendekap se-kentjang2nja, makin lama
makin kentjang.

Napas Hoa Tiat-kan mendjadi sesak karena pinggangnja didekap sedemikian kuatnja oleh
lawan jang kalap itu, mau-tak-mau ia rada kuatir djuga. Malahan pada saat itu djuga tertampak
Tjui Sing sedang memburu madju dengan golok terhunus.

Keruan Hoa Tiat-kan ketakutan, tanpa pikir lagi kedua tindjunja menghantam perut Tik Hun
sekuatnja. Karena kesakitan, lengan Tik Hun mendjadi lemas, pelukannja mendjadi kendur.
Kesempatan itu segera digunakan Hoa Tiat-kan untuk meronta dan melepaskan diri, ia
mendjadi kapok dan tidak berani bertempur pula dengan orang kalap, beberapa kali lompatan
tjepat, ia meninggalkan Tik Hun hingga belasan meter djauhnja, disitulah baru ia berhenti
dengan napas megap2.

Melihat Tik Hun ter-hujung2 dengan muka penuh darah, ada maksud Tjui Sing hendak
memajang pemuda itu, tapi toh agak takut djuga kalau2 mendadak “Siau-ok-tjeng” itu
mengamuk. Maka dengan rasa waswas ia melangkah madju.

“Djangan mendekati aku!” se-konjong2 Tik Hun membentak. “Aku adalah Siau-ok-tjeng,
adalah paderi tjabul, djangan kau mendekati aku, agar aku tidak menodai nama baik puteri
seorang pendekar besar sebagai kau ini! Lekas enjah! Enjahlah!”

Melihat sikap Tik Hun jang beringas dengan sinar matanja jang buas itu, Tjui Sing mendjadi
ketakutan dan melangkah mundur.

Dengan napas ter-sengal2 Tik Hun terus berdjalan kearah Hoa Tiat-kan dengan sempojongan,
serunja: “Kalian manusia2 durdjana ini! Ban Tjin-san dan Ban Ka, kalian tidak berhasil
membunuh aku, tidak dapat mematikan aku. Hajolah madju, marilah madju! Tikoan Taydjin,
Tihu Taydjin, kalian hanja pintar menindas jang lemah dan merampas hak rakjat djelata,
hajolah, djika berani, madjulah, hajolah kita bertempur mati2an..........”

“Wah, orang ini sudah gila!” demikian Hoat Tiat-kan membatin.

Maka ia melompat pergi lebih djauh lagi dan tidak berani mendekati Tik Hun.






SERIALSILAT.COM © 2005






279


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



Tik Hun masih ber-teriak sambil mendongak: “Kalian manusia2 djahat semua! Hajolah boleh
kalian madju semua padaku, aku Tik Hun tidak gentar! Kalian telah pendjarakan aku, telah
memotong djari tanganku, telah merebut Sumoayku, telah mengindjak patah kakiku, tapi,
semuanja itu aku tidak takut, hajolah madju, biarpun aku ditjintjang hantjur luluh djuga aku
tidak gentar!”

Mendengar teriakan dan gemboran Tik Hun itu, diantara rasa takutnja, mau-tak-mau timbul
djuga rasa kasihannja Tjui Sing. Terutama demi mendengar seruan pemuda itu tentang: “telah
merebut Sumoayku, telah mengindjak patah kakiku”, hati Tjui Sing semakin terguntjang,
pikirnja: “Kiranja batin Siau-ok-tjeng ini penuh siksa derita, sedangkan tulang kakinja itu
djusteru aku jang mengkeprak kudaku untuk mengindjaknja hingga patah.”

Begitulah Tik Hun masih ber-teriak2 terus hingga suaranja mendjadi serak, achirnja ia
terdjungkal roboh ditanah saldju dan tidak bergerak lagi.

Sudah tentu Hoa Tiat-kan tidak berani mendekati, begitu pula Tjui Sing djuga tidak berani
mendekat.....



* * *




Melihat sesosok tubuh manusia jang menggeletak ditanah tanpa bergerak itu, elang jang
terbang mengitar diangkasa itu mengira Tik Hun sudah mati. Se-konjong2 seekor elang itu
menjambar kebawah dan mematuk djidat Tik Hun.

Saat itu Tik Hun masih dalam keadaan tak sadar, karena patukan elang itu, seketika ia siuman
kembali.

Melihat badan mangsanja bergerak, elang itu mendjadi ketakutan dan tjepat terbang keatas.

Tik Hun mendjadi gusar, bentaknja: “Kau binatang inipun berani padaku?” ~ Terus sadja
sebelah tangannja dipukulkan.

Tenaga pukulan Tik Hun ini sangat lihay, djarak elang itu sudah ada tiga-empat meter dari dia,
tapi kena tenaga pukulan itu, seketika bulu sajapnja rontok bertebaran, bahkan elang itu terus
djatuh kebawah.

Tjepat Tik Hun sambar binatang itu, dengan ketawa ter-bahak2, segera ia gigit perut elang itu.
Sudah tentu binatang itu kerupukan dan me-ronta2 berusaha melepaskan diri. Namun Tik
Hun sudah kadung gemas, ia pentjet elang itu se-keras2nja, ia merasa darah elang jang asin2
amis menetes terus kedalam mulutnja hingga dia mirip diberi tambah darah. Sebentar
kemudian, setelah kenjang menghirup darah elang, ia abat-abitkan binatang jang sudah tak




SERIALSILAT.COM © 2005




280


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



bernjawa itu tinggi2 sambil berseru: “Nah, apa abamu sekarang? Hm, kau ingin makan aku?
Tapi aku sudah makan kau lebih dulu!”

Melihat tjara bagaimana Tik Hun ganjang mentah2 elang jang ditangkapnja itu, Hoa Tiat-kan
dan Tjui Sing sampai ternganga kesima. Hoa Tiat-kan mendjadi takut sigila itu sebentar akan
mengamuk dan menerdjang kearahnja, djalan paling selamat rasanja menghindar pergi sadja
sedjauh mungkin. Maka tjepat ia mengitar keudjung timur lembah itu, ia pikir tjara sigila itu
menangkap elang sangat praktis djuga, maka ia lantas menirukan, ia merebah ditanah, ia pura2
mati untuk menantikan sambaran elang.

Memang ada djuga elang jang tertipu olehnja dan menerdjun kebawah hendak memaruhnja,
tapi ketika Hoa Tiat-kan menghantam, hasilnja ternjata nihil, elang itu tidak kena dihantam.
Kiranja tenaga dalamnja selisih terlalu djauh dibandingkan Tik Hun sekarang, benar ilmu
pukulannja sangat bagus, tapi tjara berkelit elang itupun sangat gesit dan tjepat, andaikan kena
tenaga pukulannja djuga tidak djatuh kebawah, paling2 berkaok kesakitan terus terbang
keangkasa lagi.

Sementara itu setelah Tik Hun hirup darah elang, namun saking parahnja kena dihadjar Hoa
Tiat-kan tadi, achirnja ia djatuh pingsan pula.

Ketika mendusin, sementara itu hari sudah terang tanah. Ia merasa kelaparan, segera ia ambil
elang mati jang berada disampingnja itu terus digeragoti. Tapi sekali menggeragot, ia tidak
merasakan amisnja daging mentah lagi, sebaliknja daging elang itu terasa sangat lezat dan gurih.
Waktu ia perhatikan daging elang itu, ia mendjadi melongo.

Kiranja elang itu sekarang sudah bukan elang kemarin lagi, bulu elang itu kini sudah terbubut
bersih, bahkan sudah terpanggang mateng. Padahal masih djelas teringat olehnja elang itu tjuma
dihisap darahnja sadja, lalu ia terpulas. Lantas siapakah gerangannja jang memanggang elang itu?
Djika bukan Tjui Sing, masakah mungkin adalah sidjahanam Hoa Tiat-kan? Tapi ia jakin pasti
sigadis itulah jang melakukannja.

Sesudah ber-teriak2 seperti orang gila semalam, rasa sumpak dan kesalnja Tik Hun sudah
banjak terlampias. Kini sesudah sadar, ia merasa dadanja lega, semangat penuh. Waktu ia
memandang kedalam gua, ia melihat Tjui Sing masih tidur sambil mendekap diatas batu.
Pikirnja: “Gadis itupun sudah kelaparan selama beberapa hari, sesudah panggang elang ini,
semuanja ia berikan padaku tanpa mengambil sedikitpun bagi dirinja sendiri, betapapun hal ini
harus dipudji. Tapi, hm, ia anggap dirinja adalah puteri seorang pendekar besar dan pandang
rendah padaku, sebaliknja aku djuga pandang hina padamu? Apanja sih jang kuharapkan
darimu?”

Tapi selang tak lama, kembali terpikir pula olehnja: “Namun dia telah memanggangkan elang
bagiku, suatu tanda dia toh tidak terlalu memandang rendah padaku. Maka tidak pantas djika
dia dibiarkan mati kelaparan.”






SERIALSILAT.COM © 2005






281


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



Kira dua djam kemudian, kembali ia berhasil mendapatkan empat ekor elang dengan tenaga
pukulannja. Sementara itu Tjui Sing sudah mendusin, maka ia melemparkan dua ekor elang
hasil buruannja itu kepada gadis itu.

Tapi Tjui Sing lantas mendekatinja dan mengambil sekalian kedua ekor elang jang lain, ia
sembelih semua elang itu serta dipanggang pula. Lalu tanpa bitjara apa2 kedua ekor elang
panggang jang sudah masak itu dikembalikan kepada Tik Hun.

Dilembah pegunungan itu ternjata banjak djuga burung elang, tapi binatang2 itu djusteru
sangat tolol. Biarpun banjak kawannja telah mendjadi korban pukulan Tik Hun dan didjadikan
isi perut, tapi burung2 itu masih terus-menerus menghantarkan diri sendiri untuk didjadikan
makanan.

Dalam pada itu tenaga dalam Tik Hun djuga semakin tambah kuat, dengan sendirinja tenaga
pukulannja djuga makin hebat. Sampai achirnja, ia tidak perlu pura2 mati untuk memantjing
elang lagi, tapi asal ada burung jang menghinggap dipohon atau terbang lewat disampingnja,
sekali dia hantam, tentu dapatlah ditangkapnja.

Dengan tjepat sang waktu telah lalu tanpa terasa, sementara itu bulan ke-12 sudah habis.
Tjuatja sudah banjak berubah, saldju jang turun dilembah pegunungan itu kini sudah sangat
djarang, siang-malam hanja tiupan angin jang masih merasuk tulang dinginnja.


Ketjuali kalau mentjari kaju bakar dan memanggang burung, selalu Tjui Sing bernaung didalam
gua. Selama itu Tik Hun tidak pernah mengadjak bitjara padanja dan tidak pernah masuk
selangkahpun kedalam gua.

Suatu malam, saldju turun terus-menerus dengan bertebaran. Esok paginja waktu Tik Hun
mendusin, ia merasa badannja hangat2 njaman, waktu ia membuka mata, ia melihat tubuh
sendiri tertutup oleh sesuatu benda jang tjoklat ke-hitam2an. Ia terkedjut dan tjepat
memegangnja, tapi ia mendjadi heran ketika diketahui barang itu adalah sepotong badju jang
aneh.

Badju itu seluruhnja terbuat dari bulu burung, hampir sebagian




Hlm. 21 Gambar:

Waktu Tik Hun mendusin, ia merasa badannja hangat2 seperti tertutup selapis benda apa2.
Tjepat ia bangun dan memeriksa, ia mendjadi heran ketika diketahui barang itu adalah sehelai
mantel buatan dari bulu burung …







SERIALSILAT.COM © 2005







282


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



besar adalah bulu elang. Pandjang badju itu sebatas lutut hingga lebih tepat dikatakan mantel.
Badju buatan dari bulu itu entah memerlukan betapa banjak, mungkin berpuluh ribu helai
bulu burung.

Sambil memegangi badju bulu burung itu, mendadak wadjahnja mendjadi merah, ia tahu pasti
badju itu adalah buah tangan Tjui Sing. Untuk membuat badju itu, terang tidak sedikit djerih-
pajah jang telah ditjurahkan sigadis. Apalagi dilembah pegunungan itu tiada peralatan
mendjahit seperti gunting, djarum, benang dan sebagainja, entah tjara bagaimana gadis itu telah
menjelesaikan badju bulu burung itu.

Waktu Tik Hun tjoba memeriksa badju itu, ia melihat pada pangkal tulang setiap helai bulu
itu terdapat sebuah lubang ketjil, tentu lubang itu ditusuk dengan tusuk-konde Tjui Sing, lalu
lubang itu ditembus dengan benang sutera warna kuning, terang benang itu diloloskan dari
badju sutera kuning jang dipakai Tjui Sing sendiri. Diam2 Tik Hun heran, pekerdjaan jang
sukar dan rumit itu mengapa djusteru sangat disukai oleh kaum wanita?

Tiba2 terkenang olehnja apa jang terdjadi pada beberapa tahun jang lalu ditempat tinggal Ban
Tjin-san dikota Hengtjiu dahulu. Pada malam itu, ia telah dikerubut oleh delapan murid orang
she Ban itu, ia dihadjar mereka hingga babak-belur, mata biru dan hidung botjor, bahkan
sehelai badju baru jang sangat disajanginja itu djuga mendjadi korban dan te-robek2. Sjukur
waktu itu Djik-sumoay jang telah menambal dan mendjahitkan badju baru jang sobek itu.

Tanpa merasa terbajang olehnja keadaan pada waktu itu: Djik Hong menggelendot
disampingnja untuk menambal badjunja. Rambut sigadis jang pandjang itu meng-gosok2
pipinja hingga menimbulkan rasa geli, malahan ia mengendus bau harum anak perawan jang
selama hidup baru pertama kali itu dialaminja, dengan perasaan terguntjang ia telah
memanggil: “Sumoay!” ~ Lalu Djik Hong telah menjahut: “Sssst, djangan bersuara, djangan2 kau
akan dipitenah mendjadi maling!”

Terpikir sampai disini, tenggorokan Tik Hun serasa tersumbat sesuatu, air matanja ber-linang2
dikelopak matanja hingga segala apa jang berada didepannja mendjadi samar2 kelihatannja.
Pikirnja: “Benar djuga. Kemudian aku telah dipitenah orang sebagai maling. Apa barangkali
karena aku telah bersuara waktu Sumoay menambal badjuku seperti apa jang dikatakan
Sumoay itu?”

Tapi sesudah mengalami godokan dan gemblengan segala penderitaan selama beberapa tahun
ini, ia sudah tidak pertjaja lagi kepada segala kiasan jang chajal itu. Pikirnja: “Hehe, bila orang
memang bermaksud bikin tjelaka padaku, biarpun aku tidak bersuara atau gagu sekalipun
djuga tetap akan ditjelekai mereka. Tatkala itu Sumoay benar2 sangat baik padaku, tapi wanita
didunia ini semuanja memang takbisa dipertjaja, habis manis sepah dibuang. Ketika melihat
keluarga Ban jang kaja-raja itu, sidjahanam Ban Ka itu muda lagi lebih ganteng daripadaku,
mata Sumoay mendjadi silau dan balik pikiran. Jang paling tidak pantas jalah aku telah ditipu
agar sembunji digudang kaju, tapi diam2 ia memberitahukan pada suaminja untuk menangkap
aku. Hahaha! Haha-hahahaha!”





SERIALSILAT.COM © 2005





283


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



Begitulah mendadak ia ter-bahak2 seperti orang gila. Sambil memegangi badju bulu itu ia
menudju kedepan gua, ia lempar badju itu ketanah dan mengindjaknja beberapa kali dengan
berteriak: “Aku adalah paderi tjabul dan Hwesio djahat, mana aku ada harganja memakai badju
buatan puteri terhormat ini?” ~ dan sekali ia depak, badju bulu itu ditendangnja kedalam gua.
Lalu ia putar tubuh dan tinggal pergi dengan ter-bahak2.

Dengan susah pajah dan memakan tempo lebih sebulan barulah Tjui Sing selesai membuatkan
badju bulu itu. Ia pikir “Siau-ok-tjeng” telah berdjasa menjelamatkan djenazah ajah, tapi
sedikitpun djasa itu tidak di-tondjol2kan padanja. Selama ini hidupnja djuga tergantung dari
daging burung buruan “Siau-ok-tjeng” itu. Sebaliknja tingkah-laku “Siau-ok-tjeng” itu ternjata
tjukup “sopan”, biarpun menderita kedinginan diluar gua toh tidak pernah melangkah kedalam
gua setindakpun, maka sudah sepantasnja badju bulu jang kubikin ini kuhadiahkan dia sekadar
membalas kebaikannja selama ini.

Siapa duga maksud baiknja telah dibahas dengan djelek, badju bulu itu di-indjak2 dan terus
disepak kembali kedalam gua, bahkan ditjatji maki dan dihina. Saking gusarnja, terus sadja Tjui
Sing djemput kembali badju bulu itu dan di-betot2 dan di-puntir2, dan saking terguntjang
perasaannja, air matanja lantas bertjutjuran.

Sama sekali tak tersangka olehnja bahwa diwaktu Tik Hun berputar pergi sambil terbahak2
tadi, badju didadanja itu djuga sudah basah lepek oleh tetesan air mata..........




* * *



Mendjelang lohor, kembali Tik Hun berhasil memburu empat ekor burung, seperti biasa, ia
taruh hasil buruan itu di depan gua. Maka Tjui Sing lantas menjembelih burung2 itu pula dan
dipanggang, lalu membagi separoh pada Tik Hun seperti biasa.

Kedua orang sama sekali tidak bitjara, bahkan sinar mata masing2 djuga tidak berani kebentrok.

Keduanja duduk ditempat masing2 dari djarak agak djauh, mereka makan daging burung
panggang bagian sendiri2. Tiba2 dari arah timur laut sana terdengar suara tindakan orang.
Waktu mereka memandang kearah suara itu, tertampaklah Hoa Tiat-kan sedang mendatangi
dengan tjengar-tjengir. Kedua tangan manusia hina itu bersendjata semua, tangan jang satu
membawa golok Kui-thau-to dan tangan lain sebatang pedang.

Seketika Tik Hun dan Tjui Sing sama melondjak bangun, tjepat Tjui Sing berlari masuk
kedalam gua, waktu keluar lagi tangannja sudah memegangi golok merah tinggalan Hiat-to
Lotjo itu. Setelah ragu2 sedjenak, tiba2 ia lemparkan golok itu kearah Tik Hun sambil berseru:
“Sambutlah ini!”





SERIALSILAT.COM © 2005





284


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



Dengan sendirinja Tik Hun tangkap golok jang dilemparkan padanja itu. Ia terkesiap:
“Mengapa ia dapat mempertjajai aku dan menjerahkan golok mestika pelindung djiwanja ini
padaku? Ehm, tentu maksudnja agar supaja aku menjabung djiwa baginja, jaitu dengan
membantu dia melawan Hoa Tiat-kan. Hm, hm, aku toch bukan budakmu?!”

Dan pada saat itulah dengan langkah lebar Hoa Tiat-kan sudah mendekat. Segera orang she
Hoa itu bergelak ketawa dan berkata: “Kionghi! Kionghi!”

“Kionghi apa?” semprot Tik Hun dengan melotot.

“Kionghi pada kalian berdua jang telah djadi suami-isteri,” sahut Hoa Tiat-kan. “Habis, golok
mestika pembela diri sepenting itu djuga sudah diberikan padamu, apalagi barang2 lain jang
dimiliki gadis itu, tentu sadja tanpa tawar2 lagi dipersembahkan padamu. Betul tidak? Haha-
haha!”

“Djahanam,” damperat Tik Hun dengan gusar, “pertjuma kau mengaku sebagai pendekar besar
dari Tionggoan, njatanja adalah manusia rendah dan kotor!”

“Soal rendah dan kotor, rasanja orang dari Hiat-to-bun kalian takkan kalah daripada diriku,”
udjar Hoa Tiat-kan dengan tjengar-tjengir. Sambil bitjara iapun melangkah madju lebih dekat.
Tiba2 ia mengendus se-keras2nja dengan hidung hingga mengingatkan orang pada andjing
waktu mengendus sesuatu, lalu katanja: “Ehmmm, alangkah wanginja, alangkah sedapnja! Bau
apakah ini? Eh, kiranja burung panggang! Berikan seekor padaku, ja?”

Djika dia meminta setjara baik2, mungkin tanpa banjak bitjara akan diberi oleh Tik Hun. Tapi
kini pemuda itu sudah kadung geram terhadap sikap orang she Hoa jang mendjidjikkan itu,
dengan sendirinja ia tidak sudi memberi makan padanja. Segera djawabnja: “Ilmu silatmu djauh
lebih tinggi dariku, kau toh dapat mentjari burung sendiri.”

“Aku djusteru lagi malas mengeluarkan tenaga,” sahut Tiat-kan dengan menjengir.

Tengah mereka bitjara, sementara itu Tjui Sing sudah berada dibelakang Tik Hun, mendadak
ia berseru kaget: “He, Lau-pepek, Liok-pepek!”

Kiranja ia telah melihat djelas sendjata2 jang dibawa Hoa Tiat-kan itu tak-lain-tak-bukan
adalah pedangnja Lau Seng-hong dan Kui-thau-to milik Liok Thian-dju. Pula waktu angin
meniup hingga udjung badju Hoa Tiat-kan tersingkap, djelas Tjui Sing melihat didalam badju
Hoa Tiat-kan sendiri itu terangkap pula badjunja Liok Thian-dju dan djubahnja Lau Seng-
hong.

“Ada apa?” sahut Hoa Tiat-kan dengan menarik muka.

“Djadi kau................. kau telah........... telah makan mereka?” seru Tjui Sing pula dengan suara
gemetar. Ia menduga Hoa Tiat-kan tentu sudah mendapatkan djenazah kedua paman angkat
itu dan besar kemungkinan sudah didjadikan isi perut manusia binatang she Hoa itu.




SERIALSILAT.COM © 2005




285


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E




“Makan atau tidak, peduli apa dengan kau?” sahut Tiat-kan atjuh-tak-atjuh.

“Lau-pepek dan Liok-pepek mereka kan sau.................... saudara angkatmu?” seru Tjui Sing
tergagap2.

Namun Hoa Tiat-kan tidak gubris padanja lagi, sebaliknja ia berpaling dan berkata pada Tik
Hun: “Hwesio tjilik, selama ini aku tidak mengutik-ngutik djenazah bapak mertuamu, itu
berarti aku tjukup menghargai kau. Tapi Hwesio tua itu telah kau bunuh sendiri, kini aku
hendak menggunakannja, tentunja kau tiada perlu banjak bitjara, bukan?”

Tik Hun mendjadi gusar, sahutnja: “Dilembah ini tjukup banjak elang dan burung jang dapat
kau djadikan sebagai makanan, mengapa kau.................. kau begini kedjam dan mesti makan
daging manusia?”

Padahal kalau Hoa Tiat-kan mampu memburu burung, dengan sendirinja iapun tidak tega
makan daging saudara angkat sendiri jang sudah mati itu. Ia sudah berusaha sebisa mungkin
untuk menangkap burung sebagai makanan, semula dapat djuga ditangkapnja satu-dua ekor,
tapi kemudian burung2 itupun mendjadi kapok dan tidak mau masuk perangkapnja lagi.
Sedangkan Hoa Tiat-kan tidak memiliki tenaga pukulan sehebat Tik Hun jang sudah berhasil
mejakinkan tenaga dalam Sin-tjiau-kang jang hebat itu, dengan sendirinja ia tidak mampu
menghantam burung terbang dari djarak djauh seperti Tik Hun itu.

Kini ia membawa sendjata golok dan pedang, ia sudah bertekad akan menempur Tik Hun dan
Tjui Sing, ia pikir kedua orang itu harus dibunuh semua, dengan demikian, ditambah lagi
dengan majat Tjui Tay dan Hiat-to Lotjo jang terpendam dibawah saldju itu tentu akan
merupakan rangsum simpanan baginja untuk bertahan sampai musim panas jang akan datang,
lalu dapatlah ia keluar dari lembah maut itu sesudah saldju mentjair.

Begitulah Hoa Tiat-kan mendjadi ngiler demi mengendus bau daging burung panggang jang
lezat itu. Se-konjong2 ia angkat Kui-thau-to terus membatjok kearah Tik Hun sambil
membentak.

Tjepat Tik Hun ajun golok merah jang diterimanja dari Tjui Sing itu untuk menangkis.
“Trang”, Kui-thau-to jang dipakai Hoa Tiat-kan itu sampai mendal kembali, tapi tidak patah.

Kiranja Kui-thau-to itupun merupakan sebuah sendjata pusaka, walaupun tidak setadjam
Hiat-to jang digunakan Tik Hun itu, tapi badan golok itu tjukup tebal, maka golok merah itu
tidak dapat menabas kutung padanja. Tempo hari waktu Liok Thian-dju menggunakan golok
tebal itu untuk menempur Hiat-to Lotjo, pernah djuga Kui-thau-to itu tergempil beberapa
tempat ketika mesti beradu dengan golok merah itu, maka kini setelah saling bentur lagi,
paling2 Kui-thau-to itu bertambah suatu gempilan baru sadja.

Meski Hoa Tiat-kan tidak terlalu mahir menggunakan golok, tapi sebagai seorang tokoh
persilatan, segala matjam ilmu silat tentu diketahuinja, dengan dasar ilmu silat jang dimiliki,




SERIALSILAT.COM © 2005




286


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



betapapun Tik Hun tidak sanggup melawan permainan goloknja itu. Maka hanja beberapa
djurus sadja Tik Hun sudah terdesak mundur.

Sebaliknja Hoa Tiat-kan ternjata tidak mendesak lebih djauh, tiba2 ia berdjongkok dan
mendjemput sepotong burung panggang sisa makanan Tik Hun tadi terus digeragotinja dengan
lahap, lalu pudjinja tak habis2: “Ehm, lezat benar burung panggang ini, sungguh lezat sekali!”

Tik Hun menoleh dan saling pandang sekedjap dengan Tjui Sing. Kedua orang sama2 merasa
ngeri. Mereka insaf kedatangan Hoa Tiat-kan sekali ini dengan sendjata lengkap, terang
keadaannja tidak seperti tempo hari lagi jang bertempur dengan tangan kosong.

Waktu bergebrak dengan tangan kosong, djika Tik Hun kena digebuk umpamanja, paling2 ia
tjuma muntah darah dan terluka dalam, untuk membinasakannja dengan pukulan atau
tendangan sudah tentu tidak mudah.

Tapi sekarang Tiat-kan bersendjata, bahkan dua sendjata sekaligus, jaitu golok dan pedang,
maka keadaan mendjadi berbeda djauh, sebab, sedikit Tik Hun meleng sadja, seketika djiwanja
bisa melajang. Malahan tempo hari Tik Hun berkat bantuan Tjui Sing jang memindjamkan
golok merah itu padanja hingga dia masih sanggup bertahan sebisanja, tapi kini sendjata Hoa
Tiat-kan lebih banjak, dengan sendirinja Tik Hun tidak mungkin dapat melawannja.

Begitulah, selesai makan setengah ekor burung panggang restan Tik Hun tadi, selera Hoa Tiat-
kan ternjata belum terpenuhi, ketika dilihatnja didekat gua sana masih ada seekor lagi, segera ia
mendekati dan dimakan pula.

Habis melalap burung panggang itu, Hoa Tiat-kan meng-usap2 mulutnja jang berlepotan
minjak itu, lalu katanja: “Ehm, sangat lezat, kepandaian sikoki jang memanggang burung ini
harus diberi piala.”

Kemudian dengan ke-malas2an ia memutar tubuh. Mendadak ia melompat madju, tanpa
bitjara lagi goloknja membatjok pula kearah Tik Hun.

Serangan itu dilakukan dengan sangat tjepat dan diluar dugaan, karena tidak menjangka sama
sekali, hampir2 kepala Tik Hun terbelah mendjadi dua, untung ia tjukup sigap, tjepat ia
menangkis dengan golok merah.

Sjukurlah Tiat-kan agak djeri pada tenaga dalam Tik Hun jang kuat, bila kedua sendjata saling
bentur, tentu lengannja terasa linu pegal, maka lebih baik ia menghindari beradunja kedua
sendjata. Segera ia miringkan goloknja kearah lain, menjusul ia membabat dan membatjok pula
setjara ber-tubi2. Keruan Tik Hun kewalahan dan kelabakan. “Tjret”, tanpa ampun lagi lengan
kiri kena tergurat oleh Kui-thau-to musuh hingga berwudjut suatu luka pandjang.

“Sudahlah, djangan bertempur lagi! Hoa-pepek, djangan bertempur lagi, aku akan membagi
daging burung padamu!” demikian Tjui Sing ber-teriak2 dengan kuatir.





SERIALSILAT.COM © 2005





287


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



Tapi Hoa Tiat-kan sedang mendapat angin, mana dia mau berhenti. Ia melihat ilmu silat Tik
Hun paling2 tjuma tergolong kelas tiga dalam dunia persilatan, kalau kesempatan baik ini tidak
membunuhnja, kelak tentu akan menimbulkan bahaja besar. Dari itu, bukannja ia berhenti
seperti seruan Tjui Sing itu, sebaliknja ia menjerang lebih kentjang, bahkan mulutnja ikut
menggoda: “He, Tjui-titli, kau sajang pada Siau-ok-tjeng ini ja? Apa kau sudah lupa pada
Piaukomu jang pernah berpatjaran dengan kau itu?”

Sambil berkata, tjepat goloknja menjerang pula tiga kali beruntun hingga pundak kanan Tik
Hun kembali terbatjok sekali. Untung tempat batjokan itu terlindung oleh Oh-djan-kah jang
dipakainja, kalau tidak, tentu sebelah bahunja sudah tertabas kutung.

“Hoa-pepek, sudahlah, djangan bertempur lagi!” demikian Tjui Sing ber-teriak2 pula.

Tapi Tik Hun mendjadi gusar, bentaknja: “Apa jang kau gembar-gemborkan? Kalau aku
takbisa menangkan dia, biarlah aku dibunuh olehnja!”

Dalam murkanja, terus sadja ia membatjok dan menabas serabutan. Tiba2 golok jang dipegang
tangan kanan itu dipindahkannja ketangan kiri, menjusul tangan kanan itu terus menampar
hingga pipi Hoa Tiat-kan kena ditempeleng sekali dengan keras.

Sudah tentu mimpipun Hoa Tiat-kan tidak menjangka pemuda jang ilmu silatnja rendah tak
berarti itu masih mempunjai djurus “simpanan” jang bagus itu, ia mendjadi tidak sempat
menghindar dan kena digampar mentah2.

Sebaliknja Tik Hun melengak djuga oleh hasil pukulannja itu, pikirnja: “Ha, inilah ‘Ni-kong-
sik’ (gaja menempeleng) adjaran pengemis tua tempo dulu itu!”

Dan sekali ingat, be-runtun2 ia lantas mengeluarkan djurus2 lain adjaran sipengemis tua waktu
ia bertamu dirumah Ban Tjin-san dahulu. Kembali ia memainkan “Dji-koh-sik” (gaja menusuk
pundak) dan “Gi-kiam-sik” (gaja mementalkan pedang).

Keruan Hoa Tiat-kan kaget, ia ber-kaok2: “He, Soh-sim-kiam-hoat! Soh-sim-kiam-hoat!”

Kembali Tik Hun melengak oleh teriakan Hoa Tiat-kan itu. Teringat olehnja tempo dulu
waktu ia bertempur melawan Ban Ka dan kawan2nja dirumah keluarga Ban itu, ia telah
mainkan ketiga djurus adjaran sipengemis tua untuk menghadjar Ban Ka dan ketudjuh saudara
perguruannja, tatkala itu Ban Tjin-san djuga menjatakan djurus2 serangan itu adalah “Soh-sim-
kiam-hoat”. Tapi hal mana dianggapnja omong kosong dan otjehan Ban Tjin-san belaka.
Namun sekarang Hoa Tiat-kan djuga menjatakan djurus2 serangannja itu adalah Soh-sim-kiam-
hoat. Sebagai seorang tokoh terkemuka didunia persilatan Tionggoan, pengalaman dan
pengetahuan Hoa Tiat-kan sudah tentu sangat luas, masakah iapun sembarangan mengotjeh?
Begitulah Tik Hun mendjadi ragu2 apakah ketiga djurus adjaran pengemis tua itu djangan2
memang benar adalah Soh-sim-kiam-hoat?






SERIALSILAT.COM © 2005






288


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



Ber-ulang2 Tik Hun memainkan ketiga djurus itu pula, ia gunakan golok sebagai gantinja
pedang. Tapi ilmu silat Hoa Tiat-kan sudah tentu takdapat disamakan dengan Ban Ka dan
kawan2nja itu. Ketiga djurus serangan itu sudah tentu tidak dapat diulangi atas diri Hoa Tiat-
kan dan tidak mandjur. Waktu Tik Hun hendak mengulangi djurus “Gi-kiam-sik”, dengan
golok merah ia mentjungkit Kui-thau-to jang dipegang Hoa Tiat-kan itu, namun Hoa Tiat-kan
sudah siap sebelumnja, mendadak sebelah kakinja melajang hingga urat nadi tangan Tik Hun
tepat kena tertendang.

Keruan tjekalan Tik Hun mendjadi kendur, golok merah terlepas dari tangan. Bahkan Hoa
Tiat-kan terus menambahi pula dengan djurus “Sun-tjui-tui-tjiu” (mendorong perahu menurut
arus), golok dan pedang jang dipegang kedua tangannja berbareng menusuk kedada Tik Hun
sekaligus “Tjrat-tjret”, tanpa ampun lagi dada Tik Hun terkena tusukan golok dan pedang Hoa
Tiat-kan itu, tapi udjung kedua sendjata itu lantas tertahan semua oleh Oh-djan-kah hingga
tidak dapat menembus.

Saat itu Tjui Sing djuga sudah siap sedia disamping dengan sepotong batu, ia menunggu bila
Tik Hun terantjam bahaja, segera ia akan madju membantu. Kini melihat Hoa Tiat-kan telah
menjerang dengan golok dan pedang sekaligus, tanpa pikir lagi ia angkat batunja terus
mengepruk kebelakang kepala Hoa Tiat-kan.

Dari pengalaman jang sudah lalu dimana tumbak Hoa Tiat-kan tidak mempan menembus dada
Tik Hun, memangnja Hoa Tiat-kan sudah ter-heran2 dan tidak habis mengarti apa sebabnja? Ia
menduga didalam badju pemuda itu mungkin terdapat sesuatu benda keras sebangsa tameng,
dan udjung tumbaknja tepat menusuk diatas benda keras itu, makanja tidak mempan. Tapi
sekali ini ia menusuk dengan golok dan pedang berbareng, rasanja tidak mungkin begitu
kebetulan pula akan mengenai benda keras itu. Siapa duga hal jang tak diharapkan itu djusteru
berulang pula. Dan tengah ia tertegun bingung itu, tiba2 Tik Hun sudah balas menghantamnja
sekali, bahkan dari belakang Tjui Sing mengepruknja pula dengan batu.

Tanpa pikir lagi segera ia berkelit, lalu melompat pergi hingga djauh sambil berseru: “Ada
setan! Ada setan!” ~ Ia mendjadi mengkirik sendiri demi terpikir olehnja mungkin arwah Liok-
toako dan Lau-hiante jang penasaran itu hendak menuntut balas padanja karena ia telah makan
majat mereka. Tanpa terasa keringat dingin membasahi tubuhnja.

Dalam pada itu kelonggaran itu lantas digunakan oleh Tik Hun dan Tjui Sing untuk lari
kedalam gua, lalu menjumbat pula mulut gua dengan batu2 besar.

Kemudian terdengarlah Hoa Tiat-kan telah ber-kaok2 diluar gua: “Hai keluarlah anak kura2,
apakah kalian mampu sembunji selama hidup didalam gua? Dapatkan kalian menangkap
burung didalam gua? Haha-hahaha!”

Meski Hoa Tiat-kan bergelak ketawa dan mengedjek dengan tjongkak, tapi sebenarnja hatinja
djuga sangat takut, maka tidak berani sembarangan membongkar majat Tjui Tay lagi untuk
dimakan.





SERIALSILAT.COM © 2005





289


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



Mendengar edjekan Hoa Tiat-kan itu, mau-tak-mau Tik Hun saling pandang sekedjap dengan
Tjui Sing. Pikir mereka: “Benar djuga apa jang dikatakan keparat itu. Selama sembunji digua,
apa jang harus kami makan? Tapi kalau keluar tentu akan dibunuh olehnja, lantas apa daja
sekarang?”

Padahal kalau benar2 Hoa Tiat-kan hendak menjerbu kedalam gua, betapapun Tik Hun berdua
tidak mampu merintanginja. Tjuma sesudah dua kali Tik Hun tidak mempan ditusuk olehnja,
Tiat-kan mendjadi djeri dan menjangka benar2 ada arwah halus jang diam2 lagi
mempermainkannja, maka ia tidak berani sembarangan bertindak lagi.

Sesudah berdjaga sekian lamanja dipintu gua dan Hoa Tiat-kan tidak menjerbu, barulah Tik
Hun dan Tjui Sing agak lega. Waktu Tik Hun periksa luka lengan kiri, ia melihat darah masih
mengutjur terus.

Segera Tjui Sing sobek sepotong kain badjunja untuk membalut luka pemuda itu.

Ketika Tik Hun mengeluarkan bungkusan abu tulang Ting Tian, tanpa sengadja dari badjunja
itu ikut terdjatuh sedjilid buku ketjil. Itulah “Hiat-to-keng” (kitab golok berdarah) jang
diperolehnja dari Po-siang dahulu.

Meski pertarungan Tik Hun melawan Hoa Tiat-kan tadi memakan waktu singkat sadja, tenaga
jang dikeluarkannja djuga tidak banjak, tapi semangatnja ternjata masih tegang sekali. Kini
sesudah mengaso, barulah ia merasa sangat lelah. Teringat olehnja tempo dulu waktu pertama
kalinja membatja Hiat-to-keng itu, pernah ia bertingkah menurutkan gambar jang terlukis
didalam kitab, lalu semangatnja lantas pulih dan tenaga bertambah. Segera ia membalik2
halaman kitab itu pula dengan tudjuan akan menirukan gaja jang terlukis didalam kitab itu
untuk memulihkan semangat agar sebentar dapat dipakai menghadapi musuh kuat jang masih
mengintai diluar gua itu.

Ketika ia membuka halaman pertama kitab itu, ia melihat gambar jang terlukis disitu adalah
bentuk manusia jang berdjungkir balik, kepala menahan ditanah, kaki terangkat keatas, sikap
kedua tangannja djuga sangat aneh. Tanpa pikir lagi segera Tik Hun menirukan gambar itu,
iapun mendjungkir dengan kepala bawah dan kaki diatas.

Melihat pemuda itu mendadak bertingkah aneh. Tjui Sing menjangka penjakit gila orang telah
angot lagi. Diam2 ia mengeluh, diluar gua ada musuh, didalam gua ada orang gila pula,
bagaimana dirinja harus bertindak? Dalam kuatirnja, kembali ia mewek2 ingin menangis.

Dalam pada itu Tik Hun masih terus berlatih, tidak sampai setengah djam, antero tubuhnja
terasa panas bagai dibakar. Tapi nikmat sekali rasanja.



Hlm. 31 Gambar:





SERIALSILAT.COM © 2005





290


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



Melihat Tik Hun melatih ilmu dengan berdiri mendjungkir, Tjui Sing mendjadi heran dan
kaget terutama sesudah mengetahui jang ditiru Tik Hun adalah gambar didalam kitab Hiat-to-
keng jang melukiskan seorang laki2 telandjang, djangan2 nanti pemuda itu djuga akan
menirukannja dengan telandjang …..



Kemudian ia tjoba membalik halaman berikutnja, ia melihat gambar ini melukiskan seorang
laki2 telandjang tengkurap ditanah, hanja tangan kirinja jang menahan ditanah, sedangkan
kedua kakinja membalik keatas dan menggantol dibagian leher sendiri.

Gaja menurut gambar itu sebenarnja sangat susah dilakukan. Tapi sedjak Tik Hun berhasil
mejakinkan Sin-tjiau-kang, ia merasa antero tubuh dan segenap bagian badannja dapat
digerakan dengan bebas, bagaimana keinginannja tentu dapat dilakukannja, sedikitpun tidak
susah2. Maka ia lantas berlatih pula menurut petundjuk gambar dalam kitab itu, hawa dalam
tubuh lantas ikut berdjalan djuga kian kemari antara urat-nadi satu keurat nadi jang lain sesuai
dengan garis2 merah dan hidjau jang terdapat dalam gambar.

Kiranja “Hiat-to-keng” itu memuat ichtisar komplit dari ilmu Lwekang dan Gwakang adjaran
Hiat-to-bun. Setiap gambar jang terlukis pada tiap2 halaman itu biasanja harus dilatih selama
setahun atau setengah tahun baru dapat djadi. Tapi sekarang Tik Hun sudah lantjarkan
hubungan antara urat nadi Tok-meh dan Im-meh, ia mempunjai alas dasar Sin-tjiau-kang jang
tiada bandingannja dalam hal tenaga dalam. Maka ilmu jang betapapun sulitnja baginja boleh
dikata tiada artinja lagi, dengan mudah tentu akan dapat dilatihnja dengan sempurna. Ibaratkan
seorang beladjar membatja, semula memang sulit mengapalkan setiap huruf, tapi bila antero
huruf “Kamus besar” telah dibatja dan diapalkannja dengan baik, dengan sendirinja tiada
sesuatu istilahpun jang sulit baginja untuk dipahaminja.

Begitulah Tik Hun terus berlatih sedjurus demi sedjurus, makin melatih makin bersamangat.

Semula Tjui Sing sangat kuatir, sebab mengira penjakit gila pemuda itu kumat lagi, tapi
kemudian demi mengetahui pemuda itu sedah melatih ilmu menurut gambar dalam kitab,
barulah hilang rasa kuatir dan takutnja. Bahkan ketika melihat gaja latihan Tik Hun jang aneh
dan lutju itu, Tjui Sing mendjadi geli dan heran pula. Pikirnja: “Masakah didunia ini ada orang
melatih ilmu setjara begini?”

Achirnja Tjui Sing mendjadi kepingin tahu djuga, ia tjoba mendekati kitab jang terletak
ditanah itu dan melongoknja, tapi sekali pandang sadja ia mendjadi merah djengah, hatinja ber-
debar2. Kiranja gambar jang terlihat didalam kitab itu melukiskan seorang laki2 jang telandjang
bulat. Keruan ia malu dan takut pula, pikirnja: “Djika tjara begini Siau-ok-tjeng itu berlatih
terus menerus menurut gambar, djangan2 sampai achirnja nanti ia djuga akan menanggalkan
pakaiannja hingga telandjang bulat seperti gambar? Wah, kan tjelaka kalau begitu!”

Sjukurlah adegan jang dikuatirkan Tjui Sing itu sebegitu djauh tidak muntjul. Sesudah melatih
Lwekang itu sebentar, ketika Tik Hun membalik halaman lain dari kitab itu, ia melihat




SERIALSILAT.COM © 2005




291


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



gambarnja sekarang melukiskan laki2 itu memegangi sebatang golok melengkung sedang
membatjok miring dan menabas kesamping.

Girang Tik Hun tidak kepalang, tak tertahan lagi ia berseru: “Hei, inilah Hiat-to-to-hoat (ilmu
permainan golok berdarah)!”

Segera ia menudju kedepan gua, ia mendjemput sebatang ranting kaju sisa kaju bakar jang
dipakai panggang burung itu. Ia menurutkan gaja gambar dalam kitab dan menirukan untuk
melatih ilmu golok itu.

Ilmu golok permainan Hiat-to itu benar2 sangat aneh djuga, setiap djurus selalu membatjok
dari arah jang tidak mungkin terpikir menurut akal sehat.

Hanja tiga djurus sadja Tik Hun berlatih dan segera ia paham duduknja perkara. Kiranja setiap
ilmu permainan golok itu adalah perubahan dari gaja aneh menurut gambar dihalaman depan
tadi. Gambar dihalam depan itu ada jang berdjungkir balik, ada jang miring, ada jang mendjulur
kaki menggantol dileher, ada jang membalik tangan kebelakang untuk mendjewer telinga
sendiri dan matjam2 gaja jang aneh dan lutju. Dan ilmu permainan Hiat-to itu djuga mentjakup
gaja2 serangan jang aneh dan susah dibajangkan orang itu.

Segera Tik Hun pilih empat djurus ilmu permainan golok itu dan melatihnja bolak-balik
sampai beberapa kali, ia pikir harus tjepat2 mengapalkan beberapa puluh djurus agar beberapa
hari lagi dapat dipakai modal pertempuran mati2an dengan manusia she Hoa itu.

Tak terduga olehnja bahwa setengah haripun Hoa Tiat-kan tidak memberi kelonggaran
padanja. Baru Tik Hun tekun mempeladjari djurus kelima, tiba2 Hoa Tiat-kan sudah berseru
diluar gua: “Hai, Hwesio tjilik, kau mau makan hati bapak-mertuamu atau tidak? Tentu sangat
lezat rasanja!”

Keruan Tjui Sing terkedjut. Tanpa pikir lagi ia dorong batu penutup gua terus menjerobot
keluar. Ia melihat Hoa Tiat-kan sedang menggali kuburan sang ajah dengan Kui-thau-to, bukan
mustahil sekedjap lagi majat sang ajah pasti akan dibongkar olehnja.

“Hoa-pepek, apakah kau ti........ tidak ingat pada kebaikan sesama sau........ saudara angkat lagi?”
demikian Tjui Sing ber-teriak2 dengan kuatir sembari menerdjang madju.

Memangnja tudjuan Hoa Tiat-kan djusteru ingin memantjing Tjui Sing keluar lebih dulu, lalu
ia akan robohkan gadis itu, kemudian barulah Tik Hun akan dibereskan olehnja agar gadis itu
tidak mengganggu maksudnja. Maka demi melihat Tjui Sing menjerbu kearahnja, ia pura2
tidak tahu dan tetap asjik menggali. Setelah Tjui Sing mendekat dan hendak menghantam
punggung, saat itulah Hoa Tiat-kan lantas membaliki tangannja, setjepat kilat ia pegang sigadis.

Menjusul sebelah tangan Tjui Sing jang lain menghantam pula, tapi sedikit Hoat Tiat-kan
miringkan tubuh, ia membiarkan bahunja kena digendjot sigadis, pada saat hampir berbareng





SERIALSILAT.COM © 2005





292


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



itu tiba2 Tjui Sing djuga mendjerit tertahan, ternjata pinggangnja telah kena ditutuk Hoa Tiat-
kan hingga djatuh tersungkur dan tak terkutik lagi.

Selesai merobohkan Tjui Sing, sementara itu Tik Hun tertampak sedang menerdjang pula
kearahnja sambil membawa ranting kaju.

Hoa Tiat-kan ter-bahak2, katanja: “Hahaha! Apa barangkali kau sudah bosan hidup? Masakan
akan melawan aku dengan sebatang kaju? Baiklah, kau adalah paderi djahat dari Hiat-to-bun,
aku akan menggunakan golok mestika dari Hiat-to-bun kalian ini untuk menghantar kau
pulang keachirat!”

Habis berkata, mendadak ia lolos golok merah dari pinggang, ia simpan kembali Kui-thau-to,
menjusul goloknja lantas membatjok tiga kali kearah Tik Hun.

Hiat-to itu sangat tipis lagi enteng, waktu membatjok lantas mengeluarkan suara mendesing
jang njaring. Diam2 Hoa Tiat-kan memudji golok mestika jang bagus itu.

Melihat serangan musuh jang tjepat dan hebat itu, Tik Hun mendjadi ngeri hingga tjara
berkelitnja mendjadi kelabakan pula. Tapi ia mendjadi nekat djuga, pikirnja: “Biarlah aku gugur
bersama dengan kau!” ~ Dan sekali ia balas menjerang, mendadak ia ajun ranting kaju jang
dipegangnja itu dan menjabet dari belakang “plok”, tahu2 tengkuk Hoa Tiat-kan tepat kena
digebuk sekali olehnja.

Tipu serangan ini benar2 aneh dan bagus sekali, pabila sendjata jang dipakai Tik Hun itu bukan
sebatang kaju, tapi adalah sebatang golok atau pedang, maka tidak perlu disangsikan lagi pasti
kepala Hoa Tiat-kan sudah berpisah dengan tuannja.

Padahal ilmu silat Hoa Tiat-kan tidak lebih rendah daripada Hiat-to Lotjo, andaikan Hiat-to
Lotjo hidup kembali djuga tidak mampu membunuhnja dengan sedjurus sadja. Soalnja tadi
Hoa Tiat-kan terlalu memandang enteng pada Tik Hun jang dianggapnja tjuma sebangsa
kerotjo jang tiada artinja, dari itu ia telah kena batunja.

Ia tertegun sedjenak, lalu bermaksud ajun goloknja untuk membatjok pula. Namun batang
kaju Tik Hun itu sudah menjabet dan menghantam setjara membadai kearahnja. “Plok”,
kembali Hoa Tiat-kan kena digebuk lagi, sekali ini kena dibatok kepala belakang.

Keruan hampir2 Hoa Tiat-kan kelengar, untung ia masih dapat bertahan walaupun dengan
kepala pusing tudjuh keliling. Ia ber-teriak2: “Ada setan! Ada setan!” ~ Tanpa merasa ia
menoleh kebelakang, saking ketakutan sampai tangannja mendjadi lemas, tjekalannja mendjadi
kendur, golok merah jang dipegang itu djatuh ketanah, tanpa memikir untuk mendjemput
kembali sendjata itu terus sadja ia lari pergi dengan ter-birit2.

Kiranja setelah Hoa Tiat-kan memakan majat kedua saudara angkat sendiri, betapapun
perasaannja tidak tenteram dan menjesal, senantiasa ia kuatir kalau arwah halus Liok Thian-dju
dan Lau Seng-hong menggoda padanja. Tadi waktu Tik Hun tidak mempan ditusuk olehnja,




SERIALSILAT.COM © 2005




293


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



memangnja ia sudah sangsi djangan2 ada arwah halus jang telah membantu musuh itu, kini Tik
Hun hanja melawannja dengan sebatang kaju, sudah terang gamblang lawan itu berdiri
didepannja, pula Tjui Sing sudah ditutuk roboh olehnja, tapi tahu2 tengkuk dan batok kepala
belakang be-runtun2 telah kena dihandjut oleh sesuatu benda keras. Padahal dilembah itu
selain mereka bertiga sudah tiada manusia lain lagi. Lalu mengapa ada jang mampu
menjerangnja dari belakang tanpa kelihatan wudjutnja, habis kalau bukan setan iblis lantas
apa? Dan begitulah ia mendjadi ketakutan setengah mati dan lari sipat-kuping.

Sebaliknja Tik Hun meski berhasil menggebuk Hoa Tiat-kan dua kali, tapi musuh toh tidak
terluka apa2, mengapa mendadak orang she Hoa itu lari pergi dengan ketakutan? Sungguh hal
inipun diluar dugaannja dan membingungkan dia.

Segera Tik Hun mendjemput Hiat-to jang ditinggalkan Hoa Tiat-kan itu, ia melihat Tjui Sing
masih menggeletak ditanah takbisa berkutik, tanjanja: “Kenapa kau? Apa tertutuk oleh keparat
itu?”

“Ja,” sahut Tjui Sing.

“Sajang aku tidak paham ilmu Tiam-hiat dan tjara membukanja, maka takbisa menolong kau,”
udjar Tik Hun.

“Asal pinggang dan pahaku di...........” sebenarnja Tjui Sing hendak memberitahukan Tik Hun
tempat djalan darah jang harus dipidjat untuk melantjarkannja kembali, lalu ia akan dapat
bergerak lagi. Tapi demi berkata tentang pinggang dan paha, ia lantas ingat djangan2 “Siau-ok-
tjeng” itu akan kumat penjakit buasnja dan mendadak memperlakukan dirinja setjara tidak
senonoh dikala dirinja takbisa bergerak, wah, kan bisa tjelaka?

Ketika mendadak melihat sinar mata sigadis mengundjuk rasa ketakutan dan bitjara setengah2,
Tik Hun mendjadi heran, pikirnja: “Hoa Tiat-kan toh sudah lari, apa jang kau takuti lagi?” ~
Tapi setelah dipikir pula, segera iapun mengarti dirinja sendirilah djusteru jang ditakuti gadis
itu. Sesaat itu ia mendjadi gusar, teriaknja mendadak: “Djadi kau takut aku akan menodai kau?
Hm, hm, biarlah sedjak kini aku takkan melihat tampanmu lagi!” ~ Saking gusarnja ia lantas
mengamuk, ia menendang dan menjepak tanah saldju hingga bunga saldju berhamburan bagai
hudjan.

Ia kembali kedalam gua, sesudah mengambil kitab Hiat-to-keng, dengan langkah lebar ia
tinggal pergi dan tidak memandang lagi pada Tjui Sing, bahkan melirikpun tidak.

Diam2 Tjui Sing merasa malu sendiri, pikirnja: “ Djangan2 aku jang suka tjuriga tak keruan dan
telah salah sangka padanja?”

Begitulah Tjui Sing menggeletak tak berkutik disitu. Selang lebih satu djam, mendadak seekor
elang menjambar kebawah dan mematuk kemukanja. Keruan Tjui Sing mendjerit kaget. Se-
konjong2 tertampak sinar merah berkelebat, golok merah itu tahu2 menjambar tiba dari
samping sana hingga elang itu terpapas mendjadi dua dan djatuh dipinggir Tjui Sing.




SERIALSILAT.COM © 2005




294


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E




Meski Tik Hun sangat gusar karena dirinja ditjurigai gadis itu, tapi ia djuga kuatir Hoa Tiat-kan
akan datang kembali untuk membikin tjelaka mereka, maka ia tidak pergi djauh, tapi
mendjaga disekitar situ sambil meneruskan peladjaran ilmu golok menurut kitab pusaka Hiat-
to-keng itu. Ia tidak menjangka sekali menimpukan golok merah itu, kontan elang itu tertabas
mendjadi dua belah, bahkan golok itu tidak terhalang oleh elang dan masih terus melajang
kedepan hingga sedjauh belasan meter baru djatuh ketanah. Dengan demikian Tik Hun telah
berhasil pula mejakinkan satu djurus “Liu-sing-keng-thian” atau bintang kemukus melajang
diudara.

Mendadak Tjui Sing ber-teriak2: “Tik-toako, Tik-toako! Ja, aku mengaku salah sudah, seribu
kali aku minta maaf padamu!”

Tapi Tik Hun berlagak tuli sadja dan tidak gubris. Maka Tjui Sing ber-teriak2 lagi: “Tik-toako,
sudilah kau memaafkan kesemberoanku. Sesudah ajahku meninggal, aku mendjadi
sebatangkara, tjara berpikirku mendjadi agak kurang sehat, harap engkau djangan marah lagi
padaku, ja?”

Namun Tik Hun masih tidak gubris padanja. Tapi pelahan2 rasa gusarnja mendjadi lenjap
djuga.

Dengan menggeletak ditanah, sampai besok paginja djalan darah Tjui Sing baru lantjar kembali
dengan sendirinja dan dapat bergerak pula. Ia tahu meski Tik Hun sepatah-katapun tidak
bitjara, tapi sepandjang malam toh senantiasa mendjaga disitu tanpa tidur, sungguh rasa terima
kasihnja tak terhingga. Maka begitu badannja bisa bergerak, segera ia pergi memanggang elang
lagi, ia membagi separoh kepada Tik Hun.

Tapi ketika dia sudah mendekat, Tik Hun sengadja pedjamkan



Hlm. 37 Gambar:

Sesudah berhasil melatih beberapa djurus ilmu permainan golok menurut kitab Hiat-to-keng,
segera Tik Hun menggunakannja untuk menempur Hoa Tiat-kan dengan tjuma memakai
sebatang kaju sebagai sendjata.




mata untuk mentaati sesumbarnja sendiri bahwa selandjutnja ia tidak mau melihat tampan
gadis itu lagi.

Tjui Sing djuga tidak bitjara padanja, ia taruh elang panggang itu didepan Tik Hun, lalu
menjingkir pergi.





SERIALSILAT.COM © 2005





295


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



Maksud Tik Hun akan menunggu sesudah gadis itu pergi agak djauh barulah ia akan membuka
mata. Diluar dugaan, mendadak didengarnja Tjui Sing mendjerit kaget sekali, menjusul gadis
itu mengaduh pula dan terguling ketanah.

Tik Hun terperandjat, tjepat ia melompat bangun dan memburu ketempat Tjui Sing. Tapi
tahu2 gadis itu telah berbangkit dengan tertawa, katanja: “Aku tjuma menipu kau sadja. Kau
menjatakan selandjutnja takkan melihat aku, tapi sekarang kau sudah melihat lagi, bukan?
Maka pernjataanmu itu sekarang sudah batal!”

Tik Hun tidak mendjawab, dengan mendongkol ia melotot sekali pada gadis itu. Pikirnja:
“Wanita didunia ini memang litjik semua. Ketjuali nona Leng kekasih Ting-toako itu,
selebihnja suka menipu orang sadja. Sedjak kini tidak nanti aku dapat kau tipu lagi.”

Sebaliknja Tjui Sing masih mengikik tawa, katanja: “Tik-toako, buru2 kau hendak menolong
aku, bukan? Terima kasih, ja!”

Kembali Tik Hun melototi sigadis sekali, lalu memutar tubuh dan menjingkir........

Sementara itu rupanja Hoa Tiat-kan sudah ketakutan pada setan iblis, maka ia tidak berani
mengatjau lagi ketempat gua. Terpaksa ia mentjari kulit pohon dan akar rumput sekadar
mengisi perut agar tidak mati kelaparan. Sudah tentu penghidupan begitu sangat menderita
baginja.

Dalam pada itu setiap hari Tik Hun asjik melatih sedjurus-dua ilmu permainan golok, baik
tenaga dalam, maupun tenaga luar, setiap hari ia mentjapai kemadjuan jang menondjol.

***

Sang tempo silih berganti dengan tjepat, tanpa merasa musim dingin sudah lalu dan musim
semi telah tiba. Hawa udara lambat-laun mulai menghangat, saldju tidak turun lagi, sebaliknja
timbunan saldju mulai susut, jaitu mulai tjair.

Selama itu Tik Hun sudah lengkap mempeladjari Lwekang dan ilmu golok jang terlukis
didalam Hiat-to-keng itu. Kepandaiannja kini sudah mentjakup dua aliran Tjing dan Sia jang
paling tinggi, meski pengalamannja tjetek dan kurang pengetahuan, sedang diantara sari ilmu2
silat aliran Tjing dan Sia itupun belum ada pembauran jang sempurna, tapi kalau melulu
bitjara tentang ilmu silat sedjati, saat itu djangankan tjuma Hoa Tiat-kan, bahkan kepandaian
Tik Hun sekarangpun sudah lebih tinggi daripada Ting Tian dulu.


Hal ini adalah berkat Sin-tjiau-kang jang telah berhasil dijakinkan dengan baik serta
terhubungnja urat2 nadi Tok-meh dan Im-meh.

Selama itu, bila Tjui Sing mengadjak bitjara padanja, selalu Tik Hun berlagak gagu tanpa
mendjawab sepatahpun. Ketjuali waktu makan, terpaksa mereka berkumpul sebentar, habis




SERIALSILAT.COM © 2005




296


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



itu, selalu Tik Hun mendjauhi Tjui Sing lagi dan tekun melatih diri. Pada benaknja tjuma ada
tiga harapan: Bila sudah keluar dari lebih saldju ini, tugas pertama jalah mentjari Suhu
ketempat kediaman lama di Hengtjiu; Kedua, mengubur abu tulang Ting-toako bersama nona
Leng sebagaimana ia sendiri telah djandji pada Ting Tian dahulu dan ketiga jalah menuntut
balas.

Maka sangat dia harapkan agar saldju dilembah itu dapat mentjair selekas mungkin. Ia melihat
air saldju sudah meluber sebagai air kali dan mengalir terus keluar lembah, saldju jang
menutupi djalan keluar lembah itu makin hari makin susut. Ia tidak tahu masih kurang berapa
hari lagi baru akan tiba hari Toan-ngo-tje, jang terang, hari keluarnja dari lembah itu sudah
tidak terlalu lama lagi.

Satu petang, ia menerima dua ekor burung panggang dari Tjui Sing, selagi ia hendak putar
tubuh dan menjingkir, tiba2 gadis itu berkata: “Tik-toako, lewat beberapa hari lagi kita sudah
dapat keluar dari lembah ini, bukan?”

“Ehm,” sahut Tik Hun tak atjuh.

“Terima kasih padamu jang telah mendjaga keselamatanku selama ini, tanpa perlindunganmu,
tentu sudah lama aku dibunuh oleh djahanam Hoa Tiat-kan itu.”

“Tidak apa2,” sahut Tik Hun sambil menggeleng. Lalu ia bertindak pergi.

Tapi baru beberapa langkah, tiba2 didengarnja suara sesenggukan dibelakang, waktu menoleh,
ia melihat Tjui Sing mendekap diatas sebuah batu dan sedang menangis. Ia mendjadi heran:
“Sudah hampir bisa pulang, seharusnja merasa senang, mengapa malah menangis? Sungguh
perasaan wanita memang aneh dan susah diraba.”

Malam itu, setelah melatih sebentar, Tik Hun merebah diatas batu besar jang biasanja dipakai
sebagai balai2.

Djarak batu itu tidak djauh dari gua untuk mendjaga kalau2 tengah malam mereka disergap
Hoa Tiat-kan. Tapi selama masa terachir ini Hoa Tiat-kan ternjata tidak muntjul lagi. Ia
menduga takkan terdjadi apa2 lagi, maka tidurnja mendjadi sangat njenjak.

Tengah Tik Hun terpulas, tiba2 dari djauh samar2 seperti ada suara tindakan orang. Lwekang
Tik Hun sekarang sudah sangat tinggi, mata-telinganja djuga sangat tadjam, meski suara
tindakan orang itu masih sangat djauh, tapi sudah membuatnja terdjaga bangun.


Tjepat Tik Hun berduduk dan mendengarkan dengan tjermat, ia merasa djumlah orang jang
datang itu tjukup banjak, paling sedikit ada 50-60 orang dan sedang menudju kearah lembah
ini. Ia terkedjut dan heran: “Mengapa mereka mampu masuk kelembah saldju ini?”






SERIALSILAT.COM © 2005






297


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



Ia tidak tahu bahwa ditengah lembah jang dikelilingi puntjak2 gunung jang tinggi itu, tjuatja
disitu mendjadi lebih dingin dan berbeda daripada diluar lembah sana. Timbunan saldju diluar
lembah sudah mulai lumer, tapi saldju didalam lembah belum apa2 dan paling sedikit harus 13
hari atau setengah bulan lagi baru mentjair.

Segera terpikir pula oleh Tik Hun: “Orang2 itu pasti adalah djago2 silat Tionggoan jang dahulu
ikut meng-uber2 itu, kini Hiat-to Lotjo sudah mati, segala permusuhan tentu akan berachir
djuga. Dan, ja, Piaukonja nona Tjui tentu djuga ikut datang untuk membawanja pulang, itulah
paling baik. Tapi mereka telah anggap aku sebagai paderi tjabul dari Hiat-to-bun, untuk
memberi pendjelasan rasanja tidaklah mudah, maka lebih baik aku tidak bertemu dengan
mereka, biarkan nona Tjui dibawa mereka pergi mereka, lalu aku sendiri baru meninggalkan
tempat ini.”

Segera ia mengitar kesamping gua sana dan mengumpet dibelakang sepotong batu karang, ia
ingin tahu matjam apakah orang2 jang datang itu.

Suara tindakan orang banjak itu makin lama makin dekat. Tiba2 pandangan mata terbeliak,
ternjata rombongan orang2 itu sudah muntjul dari balik bukit sana. Tangan mereka membawa
obor semua.

Djumlah seluruhnja memang betul kurang lebih 50 orang, semuanja membawa obor dengan
tangan kiri dan tangan kanan bersendjata. Orang jang mengepalai didepan itu tampak
berdjenggot putih, tangannja tidak membawa obor, sebaliknja bersendjata semua, tangan jang
satu membawa golok dan tangan jang lain memegang pedang. Siapa lagi dia kalau bukan Hoa
Tiat-kan adanja.




Mengapa mendadak Hoa Tiat-kan bisa muntjul bersama orang banjak itu dan
dengan tjara apa Tik Hun akan menghadapi mereka?
Dapatkah Tik Hun melaksanakan tiga tugas jang di-tjita2kannja, jaitu mentjari
Suhu, mengubur abu tulang Ting Tian dengan Leng-siotjia dan menuntut balas?

Batjalah djilid ke-8.

















SERIALSILAT.COM © 2005

















298


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E

Djilid
8

Semula Tik Hun agak heran mengapa Hoa Tiat-kan bisa berada bersama dengan orang2
sebanjak itu. Tapi segera ia mendjadi sadar: “Ah, orang2 itu adalah pengedjar2 dari Oupak dan
Sutjwan jang pernah ikut meng-uber2 kami dahulu itu dan Hoa Tiat-kan adalah satu diantara
pemimpin mereka, dengan sendirinja mereka lantas menggabungkan diri ketika saling bertemu
kembali. Tapi entah hasutan apa sadja jang telah Hoa Tiat-kan katakan kepada mereka itu?”

Sementara itu rombongan Hoa Tiat-kan sudah masuk kedalam gua. Segera ia merajap madju
lebih dekat, ia bertiarap di-semak2 rumput jang saldjunja masih belum tjair agar tak dipergoki
pendatang2 itu. Meski djaraknja dengan rombongan Hoa Tiat-kan itu masih tjukup djauh; tapi
dengan kemadjuan Lwekang jang ditjapainja dengan pesat selama ini, kini mata-telinganja
sudah sangat tadjam, apa jang dipertjakapkan orang2 didalam gua itu dapat didengarnja dengan
djelas. Maka terdengar suara seorang jang kasar serak sedang berkata: “Hiat-to Lotjo itu
terbinasa ditangan Hoa-heng sendiri, sungguh djasa ini harus dipudji dan dikagumi.
Selandjutnja Hoa-heng adalah pemimpin dunia persilatan kita di Tionggoan, kami siap sedia
dibawah pimpinan Hoa-heng.”

“Sungguh sajang Liok-tayhiap, Lau-totiang dan Tjui-tayhiap bertiga telah mengalami nasib
malang, hal ini benar2 sangat menjedihkan,” kata seorang lain.

“Meski Ok-tjeng tua itu sudah mampus, tapi Ok-tjeng tjilik itu masih hidup, kita harus segera
mentjarinja, membabat rumput harus sampai ke-akar2nja, agar kelak tidak menimbulkan
bentjana pula, betul tidak menurut pendapatmu, Hoa-tayhiap?” demikian sambung seorang
lagi.

“Benar,” sahut Hoa Tiat-kan. “Siau-ok-tjeng itu tinggi djuga ilmu silatnja jang djahat,
keganasannja tidak dibawah gurunja jang sudah mampus itu bahkan djauh melebihinja. Tadi
demi melihat kedatangan kita, tentu tjepat2 dia berusaha hendak meloloskan diri. Marilah
saudara2, djanganlah kenal lelah kita harus mentjari dan binasakan pula Siau-ok-tjeng itu.”

Diam2 Tik Hun terkesiap mendengar hasutan Hoa Tiat-kan itu, pikirnja: “Orang she Hoa ini
benar2 manusia kedji, untung tadi aku tidak sembarangan undjukkan diri, kalau tidak, pasti
aku akan dikerubut dan susahlah untuk melawan mereka jang berdjumlah sangat banjak itu.”

Dalam pada itu tiba2 terdengar suara seorang wanita telah mendjawab” “Dia …… dia bukan
Siau-ok-tjeng, tapi adalah seorang laki2 sedjati, Hoa Tiat-kan sendirilah seorang jang maha
djahat.”

Itulah suaranja Tjui Sing. Sungguh hati Tik Hun sangat terhibur, untuk pertama kalinja inilah
ia mendengar gadis itu menjatakan: “Dia bukan Siau-ok-tjeng, tapi dia adalah seorang laki2

SERIALSILAT.COM © 2005

299


P E D A N G H A T I S U C I / L I A N C H E N G Q U E



sedjati,” ~ Sungguh tak tersangka olehnja bahwa gadis jang selama ini bersikap takut dan dingin
padanja ini, meski paling achir ini tidak lagi mengundjuk sikap bentji padanja, tapi berani
terang2an membela kebaikannja dihadapan orang banjak, sungguh hal ini tak diduganja sama
sekali. Saking terharunja sampai air mata meleleh, pelahan2 ia menggumam sendiri: “Dia
mengatakan aku adalah laki2 sedjati!”

Setelah Tjui Sing bitjara tadi, keadaan didalam gua mendjadi sepi, agaknja orang2 itu sedang
saling pandang dengan bingung.

Tik Hun tjoba mengintip, dibawah sinar obor jang terang Tik Hun melihat air muka orang2 itu
penuh mengundjuk sikap djidjik dan hina.

Selang sedjenak, lalu suara seorang tua berbitjara lagi: “Tjui-titli, aku adalah sobat lama ajahmu,
mau-tidak-mau aku harus mengatai kau, Siau-ok-tjeng itu telah membunuh ajahmu, tapi kau
…….”

“Tidak, tidak …….” Seru Tjui Sing tak lantjar.

“Apa kau maksudkan ajahmu tidak dibunuh oleh Siau-ok-tjeng itu?” orang tua itu menjela.
“Djika demikian, lalu ajahmu dibunuh oleh siapa?”

“Dia ……. dia……..” demikian Tjui Sing ingin mendjelaskan, tapi susah rasanja untuk
mengutjapkan.

“Menurut tjerita Hoa-tayhiap, katanja dalam pertempuran sengit dahulu ajahmu telah
kehabisan tenaga hingga tertawan musuh, kemudian Siau-ok-tjeng itu telah membunuhnja
dengan mengepruk kepalanja dengan sepotong kaju, betul tidak?” tanja orang tua tadi.

“Betul, tapi …… tapi ……” sahut Tjui Sing.

“Tapi apa lagi?” potong orang tua itu.

“Ajahku sendiri jang mohon dia suka membunuhnja!” sahut Tjui Sing.

Maka ramailah seketika suara gelak tertawa didalam gua. Ditengah suara ketawa itu terseling
pula kata2 jang mengedjek seperti: “Mohon dirinja dibunuh?” Hahahaha! Dusta ini benar2
terlalu menggelikan!” ~ “O, djadi Tjui-tayhiap itu sudah bosan hidup, makanja minta tjalon
menantunja itu membinasakan dia sadja!” ~ “Tjalon menantu apa? Bahkan sebelum Tjui-
tayhiap meninggal, Siau-ok-tjeng itu katanja sudah mengadakan hubungan dengan nona tjilik
ini, hahahaha!”

Malahan diantara suara tertawa dan edjekan itu, banjak pula suara orang jang memaki kalang
kabut kealamat Tjui Sing jang dianggapnja perawan hina, gadis tjabul dan matjam-matjam lagi.
Orang itu adalah golongan orang Kangouw jang kasar, keruan segala kata2 kotor tidak segan2
mereka utjapkan.




SERIALSILAT.COM © 2005




300
Anda sedang membaca artikel tentang Pedang Hati Suci 2 dan anda bisa menemukan artikel Pedang Hati Suci 2 ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/09/pedang-hati-suci-2.html,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Pedang Hati Suci 2 ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Pedang Hati Suci 2 sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Pedang Hati Suci 2 with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/09/pedang-hati-suci-2.html. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar