Si KangKung Pendekar LUgu 1 [Soh Sim Kiam]

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Jumat, 09 September 2011

Soh Sim Kiam
Karya : Chin Yung
Saduran Gan KL







Tok .... Tak-tok... tok trok tok ... taaak!
Begitulah bunyi serentetan beradunya dua batang kayu, terkadang berhenti agak lama, menyusul lantas berbunyi pula dengan cepat.
Tempat itu adalah sebuah kampung Moa-keh-po diluar kota Wan-ling di wilayah propinsi Ouw-lam barat. Didepan tiga buah gubuk yang berderetan itu ada seorang kakek sedang menganyam sepatu rumput. Terkadang dia mendongak mengikuti pertarungan antara sepasang muda-mudi dilapangan jemuran padi sana.
Usia kakek itu kira kira setengah abad namun mukanya sudah penuh keriput, rambutnya lebih separuh sudah ubanan, suatu tanda banyak penderitaan pejuangan hidup. Tapi waktu itu tampak dia mengulum senyum, ia puas terhadap pertandingan pedang sepasang muda-mudi itu.
Pemudi yang sedang bertanding itu berumur antara 17-18 tahun berwajah bundar, bermata jeli. Keringatnya sudah membasahi keningnya dan mengucur pula kepipinya. Ketika ia mengusap keringat dengan lengan bajunya, makin cantiklah tampaknya gadis itu.
Adapun usia pemuda itu lebih tua dua-tiga tahun daripada si gadis. Berperawakan jangkung, kulitnya hitam, tulang pipinya agak menonyol, tangan kasar, kaki besar, itulah ciri ciri khas anak petani.Pedang kayu yang dimainkannya itu tampil sangat cepat dan lincah.
Sekonyong-konyong pedang kayu pemuda itu menabas dari atas pundak kiri miring kebawah. Menyusul tanpa menoleh pedangnya berputar dan menusuk kebelakang. Namun si gadis sempat menghindar dengan mendekan kepalanya, habis itu iapun membalas menusuk beberapa kali.
Mendadak pemuda itu mundur dua tindak, habis itu ia bersuit panyang sekali, pedangnya berputar, cepat ia menebas ke kanan dan kekiri beruntun-runtun tiga kali.
Karena kewalahan, tiba tiba si gadis itu menarik pedangnya dan berdiri tegak tanpa menangkis, bahkan omelnya: "Baiklah anggap kau lihay, sudah boleh engkau membacok mati aku!"
Sama sekali pemuda itu tak menduga bahwa sigadis bisa mendadak berhenti dan tidak menangkis, padahal tabasan ketiga itu sedang dilontarkan kepinggang lawan.
Dalam kejutnya, lekas lekas pemuda itu hendak menarik kembali serangannya, namun tenaga yang dikeluarkan itu sudah kadung terlalu kuat, "plek", sekuatnya ia kesampingkan pedangnya, tapi tidak urung lengan kiri sendiri terketok oleh senjata sendiri. Dalam kaget dan sakitnya tanpa merasa ia menjerit sekali.
Gadis itu tertawa geli, katanya: "Huh, malu tidak kau? Coba kalau senjatamu itu adalah pedang sungguhan, bukankah lenganmu itu sudah terkutung?"
Wajah si pemuda yang kehitam-hitaman itu menjadi merah, sahutnya: "Aku kuatir tabasanku tadi mengenai badanmu, karena itu tanganku sendiri yang terkena. Kalau benar2 mau bertempur dengan musuh, masakan orang mau mengalah padamu? Suhu, haraplah engkau memberi pendapat yang adil? Apa betul tidak kataku ini?"
Kata terachir ini ia tujukan pada si kakek yang masih asyik menyelesaikan sepatu rumputnya itu.
Sambil memegangi sepatu rumputnya yang setengah selesai itu, sikakek berbangkit dan berkata: "Di antara 50-an jurus permulaan kalian itu masih boleh juga, tapi jurus2 belakangan makin lama semakin tak keruan."
Ia ambil pedang kayu dari sigadis, ia pasang kuda2 dan melontarkan suatu serangan bergaya miring lalu katanya pula: "Ini adalah jurus "Koh-hong-han-siang-lay" (banjir datang ber-teriak2), menyusul ini adalah "Si-heng-put-kan-ko" (ketemu lintang tidak berani lewat). Karena melintang maka harus menabas dan tidak boleh menusuk kedepan ...."
Sedang kakek itu asyik mencerocos dengan teori ilmu pedangnya, se-konyong2 terdengar suara ketawa orang ter-bahak2 dibalik timbunan yerami sana.
Untuk sejenak sikakek melengak, tapi secepat panah ia terus melompat kesana. jangan menyangka sikakek sudah ubanan gerak-geriknya ternyata sangat gesit dan cekatan, sedikitpun tidak kalah daripada anak muda.
Ia mengira suara orang terbahak itu tentu lagi mentertawai caranya dia memberi pelajaran ilmu pedang pada muridnya tadi. Tapi demi melihat siapa orang itu ia menyadi tahu duduknya perkara. Kiranya dibalik timbunan jerami itu berduduk seorang pengemis tua yang lagi sibuk mencari tuma dari bajunya yang rombeng dan berbau itu lantaran tidak pernah dicuci.
Sembari mencari tuma, pengemis itu beryemur diri dibawah sinar sang surya. Ketika dapat menangkap seekor tuma, cepat-cepat ia masukkan kemulutnya terus dikeletak lalu ia tertawa ter-bahak2 dan berkata:"Huh, lari kemana kau sekali ini. Ha-ha, kembali seekor lagi!"
Kakek itu tersenyum dan putar balik ketempatnya tadi, ia mengulangi pula permainan beberapa jurus Kiam-hoat tadi. Nyata permainannya jauh berbeda daripada kedua anak muda, gerakannya cepat dan gayanya indah, keruan kedua anak muda-mudi itu merasa kagum tak terhingga hingga bertepuk tangan memuji.
Kakek itu kembalikan pedangnya kepada sigadis, katanya:"Kalian boleh melatih sekali lagi. A Hong jangan main kelakar, tadi kalau bukan Suko sengaja mengalah, tentu jiwamu sudah melayang!"
Gadis itu meleset lidah sekali, mendadak pedangnya terus menusuk dengan cepat luar biasa.
Pemuda itu belum lagi ber-siap2, dalam keadaan kelabakan ia masih sempat menangkis. Tapi karena telah didahului sigadis ia menyadi kececar hingga untuk semenatar tak mapu melancarkan serangan balasan.
Ketika dia sudah terdesak dan tampaknya segera akan kalah, tiba2 dari arah timur sana ada suara derapan kuda yang ber-detak2. Seorang penunggang kuda tampak mendatang dengan cepat sekali.
"Siapakah itu yang datang?" kata sipemuda.
"Sudah kalah jangan main belit! Siapapun yang datang tiada sangkut-pautnya dengan engkau!" bentak sigadis dan be-runtun2 ia menyerang tiga kali pula.
Sekuatnya pemuda itu menangkis sambil menjawab dengan gusar: "Memangnya apa kau sangka aku jeri padamu?"
"Mulutmu yang tidak jeri, tapi hatimu takut!" sahut sigadis sambil menusuk kekanan dan kekiri, dua serangan yang cepat dan indah.
Tatkala itu sipenunggang kuda tadi sudah dekat dan memberhentikan kudanya, melihat serangan sigadis itu, tak tertahan lagi ia berseru: "Bagus! Serangan hebat! Thian-hoa-loh-put-cin, Kau-ju-niu-ham-hui!" (bunga dilangit bertebaran, di-mana2 burung terbang mencari makan)."
Mendengar itu, sigadis bersuara heran sekali dan mendadak melompat mundur untuk mengamat-amati pendatang asing itu. Ia lihat orang berusia antara 23-24 tahun, berdandan perlente sebagai lazimnya putera hartawan dikota.
Tanpa merasa wajah sigadis menjadi merah jengah, serunya kepada sikakek: "Tia (ayah), ken............ kenapa dia tahu?"
Memangnya sikakek juga sedang heran demi mendengar sipenunggang kuda itu dapat menyebut nama2 tipu serangan gadisnya tadi, maka ia bermaksud menegurnya.
Sementara itu, sipenunggang kuda sudah lantas melompat turun dan mendekati sikakek, ia memberi hormat dan berkata: "Numpang tanya, Lo-tiang, di Moa-keh-po sini ada seorang ahli pedang, namanya Jik Tiang-hoat, Jik-loyacu, dimanakah tempat tinggalnya?"
"Aku sendirilah Jik Tiang-hoat," sahut sikakek itu. "Untuk apakah Toaya (tuan) mencarinya?"
Segera pemuda gagah itu menjura ketanah, katanya: "Wanpwe bernama Bok Heng, dengan ini memberi hormat kepada Susiok. Wanpwe diperintahkan Suhu untuk mencari Jik-susiok."
"Haha, jangan sungkan2, tak usah banyak adat!" sahut Jik Tiang-hoat dengan tertawa sambil membangunkan pemuda itu.
Ketika tangan memegang tangan, ia sengaja kerahkan sedikit tenaga dalam hingga separoh tubuh pemuda itu menjadi kaku linu.
Dengan muka merah Bok Heng berbangkit, katanya: "Wah, Jik-susiok telah menguji Wanpwe, sekali ketemu Wanpwe sudah memalukan."
"Lwekangmu memang masih kurang kuat," ujar Tiang-hoat dengan tertawa. "Kau adalah murid keberapa dari Ban-suko?"
Kembali muka Bok Heng merah jengah, sahutnya: "Wanpwe adalah murid Suhu yang kelima. Biasanya Suhu suka memuji Lwekang Jik-susiok sangat tinggi, mengapa baru ketemu sudah gunakan Wanpwe sebagai percobaan?"
Jik Tiang-hoat ter-bahak2, katanya: "Apakah Ban-suko baik2 saja? Sudah belasan tahun kami tidak bertemu."
"Berkat puji Susiok, beliau sangat baik," sahut Bok Heng. "Kedua Suko dan Suci ini tentunya murid2 pilihan Susiok bukan?"
Segera Jik Tiang-hoat memanggil sipemuda dan sigadis tadi: "A Hun, A Hong, hayo lekas kemari menemui Bok-suko. Nah, ini adalah muridku satu2nya Tik Hun, dan ini adalah puteriku A Hong. Ala, dasar gadis desa, pakai malu2 segala, Bok-suko adalah orang sendiri, kenapa mesti malu?"
Kiranya Jik Hong lagi mengumpet dibelakangnya Tik Hun, dengan likat ia sedang tersenyum sambil mengangguk saja.
Sebaliknya Tik Hun lantas menyapa: "Bok-suheng, Kiam-hoat yang kau pelajari serupa dengan kami punya bukan? Kalau tidak, masakah sekali lihat engkau lantas dapat menyebutkan tipu serangan Sumoay tadi?"
"Cuh!" tiba2 Jik Tiang-hoat meludah keras2 ketanah. "Gurumu dan Suhunya adalah saudara seperguruan, Kiam-hoat yang dipelajari dengan sendirinya adalah sama, masakah perlu tanya lagi?" demikian serunya dengan dongkol oleh ke-tolol2an muridnya itu.
Kemudian Bok Heng mengeluarkan empat macam hadiah dari dalam rangsal yang tergantung diatas kuda dan dipersembahkan kepada Tiang Hoat, katanya: "Jik-susiok, Suhu mengirim sedikit hadiah ini, harap Susiok sudi menerimanya."
Tiang-hoat mengucapkan terima kasih, lalu suruh puterinya Jik Hong menerima barang2 itu.
Waktu Jik Hong membawa barang2 hadiah itu kedalam kamar dan memeriksanya, ia lihat isinya adalah sepotong baju kulit domba rangkap kain sutera, sebuah gelang kemala hijau, sebuah kopiah beluderu dan sepotong jas tutup laken hitam.
Dengan ketawa2 segera Jik Hong membawa barang2 itu keluar sambil berseru: "Tia, tia! Selamanya engkau tidak pernah memakai baju sebagus ini, kalau dipakai, wah, engkau bukan lagi pak tani, tapi mirip kaum hartawan dan orang berpangkat!"
Melihat barang2 itu, Jik Tiang Hoat juga terpesona.........
Malamnya diadakan perjamuan sederhana, empat orang mengelilingi sebuah meja. Sebelumnya Tik Hun pergi membeli tiga kati arak diwarung kampung sana, Jik Hong menyembelih seekor ayam gemuk dan memetik pula sayur tanamannya sendiri diladang, ia masak senampan Pek-cam-khe (ayam masak dipotong2), sepiring Cay-sim-keh-kiu (ayam goreng sawi). Kecuali itu ada pula satu mangkok acar cabe merah yang besar2.
Waktu Jik Tiang-hoat menanyakan maksud kedatangan Bok Heng.
Segera pemuda itu berkata: "Suhu menyatakan sudah belasan tahun tidak berjumpa dengan Susiok, beliau sangat kangen dan sebenarnya susah lama ingin bisa mengunjungi tempat tinggal Susiok sini, cuma Suhu setiap hari harus melatih 'Soh-sim-kiam-hoat' hingga tak dapat tinggal pergi ......."
Waktu itu Tiang-hoat sedang angkat mangkok araknya, baru saja dihirupnya sekali, se-konyong2 ia mendengar ucapan Bok Heng itu, seketika arak yang sudah dihirup kedalam mulut itu dimuntahkan kedalam mangkok lagi dan cepat menanya: "Apa katamu? Gurumu sedang melatih 'Soh-sim-kiam'?"
Wajah Bok Heng ber-seri2, sahutnya: "Ya, tanggal lima bulan yang lalu Suhu telah berhasil menyelesaikan Soh-sim-kiam yang hebat itu."
Karuan Tiang-hoat bertambah kaget, ia gabrukan mangkok araknya kemeja hingga sebagian isinya muncrat keluar dan membsahi meja dan lengan bajunya. Ia ter-mangu2 sejenak, tapi lantas ter-bahak2. Mendadak ia tepuk keras2 diatas pundak Bok Heng sambil berseru: "Ha-ha-ha, dasar Suhumu itu memang sejak kecil sudah suka membual. 'Soh-sim-kiam' itu bukan saja kakek-gurumu tidak berhasil melatihnya, bahkan buyut-gurumu juga tidak bisa, apalagi kepandaian gurumu juga cuma begitu saja, hahaha, jangan kau coba menipu Susiokmu, haha! Marilah minum!"
Segera ia angkat mangkoknya tadi dan dituang kedalam kerongkongannya. Menyusul ia comot sebuah cabe merah yang besar terus diganyang mentah2.

Namun Bok Heng tidak terpengaruh oleh kata2 sang Susiok, katanya pula: "Ya, memang Suhu sudah menduga pasti Susiok, takkan percaya, makanya tanggal 16 bulan yang akan datang kebetulan adalah ulang tahun Suhu yang ke-50, beliau mengundang Susiok bersama Sute dan Sumoay sudilah datang ke Heng-ciu untuk menghadiri perjamuan sederhana. Pesan Suhu kepada Wanpwe agar Susiok betapapun harus berkunjung kesana. Kata Suhu, beliau kuatir 'Soh-sim-kiam' yang baru jadi dilatihnya itu mungkin masih ada kekurangannya, maka Susiok diminta suka memberi petunjuk dimana perlu."
Wajah Jik Tiang-hoat agak berubah, tanyanya kemudian: "Jika begitu, apakah Ji-susiok Gian Tat-peng juga sudah kau undang kesana?"
"Jejak Gian-jisusiok tidak tertentu, maka Suhu sudah mengirim Jisuko, Samsuko dan Sisuko untuk mencarinya keberbagai penjuru. Apakah Jik-susiok sendiri pernah mendengar kabarnya Gian-jisusiok?"
Tiang-hoat tidak menjawab, ia hanya menghela napas, kemudian katanya:" Diantara saudara seperguruan kami bertiga, ilmu silat Jisuhengku yang paling tinggi. Kalau dia yang berhasil meyakinkan 'Soh-sim-kiam-hoat' mungkin masih dapat kupercayai. Tetapi sekarang kau mengatakan Suhumu sudah berhasil meyakinkannya, hehe, aku tidak percaya, aku tidak percaya!"
Terus saja ia samber poci arak dan menuang penuh mangkoknya, sambil mengangkat mangkok arak itu, ia tidak lantas meminumnya, tapi mendadak ia berseru: "Baik, tanggal 16 bulan depan aku pasti datang ke Heng-ciu untuk memberi selamat ulang tahun kepada gurumu sekalian aku ingin lihat macam apakah tentang 'Soh-sim-kiam' yang katanya telah berhasil diyakinkannya itu!"
Habis berkata, kembali ia gabrukan mangkok araknya hingga isinya muncrat keluar, kembali meja itu banjir arak lagi.
**********
Tiga hari kemudian sesudah Bok Heng mohon diri pulang ke Heng-ciu. Pagi itu dengan cemas Jik Hong membuntuti seekor sampi yang sedang dituntun sang ayah menuju keluar kampung.
"Tia," demikian kata sigadis dengan suara murung, "kalau Tay Hong (si kuning) engkau jual, tahun depan cara bagaimana kita harus meluku sawah?"
"Tahun depan adalah urusan tahun depan, tak usah dipikirkan!" sahut Jik Tiang-hoat.
"Tia-tia, bukankah baik2 kita tinggal disini? Biarpun desa, hidup kita aman tenteram. Untuk apakah mesti pergi kekota Heng-ciu segala? Peduli apa Ban-supek berulang tahun, masakah mesti menjual Tay Hong guna sangu perjalanan, kukira tidak perlu kita berbuat begitu."
"A Hong, ayah sudah berjanji pada Bok Heng, maka harus berangkat kesana. Seorang laki2 sejati sekali sudah omong, mana boleh dijilat kembali? Biarlah kubawa kau dan A Hun kesana untuk menambah pengalaman, jangan selama hidup menjadi gadis desa saja!"
"Apa jeleknya menjadi orang desa? Aku justeru tidak pingin pengalaman apa segala. Sejak kecil aku yang mengangon Tay Hong hingga besar, Tay Hong adalah satu2nya kawan kita yang paling setia. Lihatlah, Tia-tia, Tay Hong sedang menangis, ia tidak mau digiring pergi!"
"Nona bodoh! Sampi adalah binatang, dia tahu apa? Hayolah tinggal dirumah saja kau!"
"Tidak, Tia, Tay Hong jangan kau jual, tentu dia akan disembelih yang membeli, aku tidak tega."
"Tidak, orang takkan menyembelihnya, tapi orang membelinya untuk meluku sawah."
"Tia-tia berdusta! Apa yang dibicarakan sijagal Ong dengan engkau kemarin? Tentu Tay Hong dibeli olehnya untuk disembelih. Tia, lihatlah itu, Tay Hong sedang menangis. O, Tay Hong, aku tak mau ditinggalkan olehmu. Hun-ko, Hun-ko! Kemarilah lekas, Tia-tia hendak menjual Tay Hong........"
"A Hong, sebenarnya ayah juga tidak tega menjual Tay Hong. Akan tetapi kita sudah menyanggupi Supekmu untuk datang kesana memberi selamat ulang tahun padanya, dengan sendirinya kita takbisa pergi dengan tangan kosong. Pula engkau dan A Hun juga perlu menjahit beberapa potong baju baru agar tidak dipandang hina orang. Supekmu omong besar katanya sudah berhasil meyakinkan 'Soh-sim-kiam-hoat', aku justeru tidak percaya dan ingin menyaksikannya dengan mata kepala sendiri. Nah, anak baik, tinggallah engkau dirumah!"
"Tay........ Tay Hong!" ratap Jik Hong dengan ter-guguk2. "Kalau kau hendak disembelih orang melawanlah dengan tandukmu, lalu lari...... lari kembali sini. Ti........ tidak! Orang tentu akan mengejar kemari, lebih baik kau lari se-jauh2nya, ya, lari saja kegunung........"
**********
Setengah bulan kemudian, "Tiat-so-heng-kang" Jik Tiang-hoat, sirantai baja melintang disungai, bersama muridnya, Tik Hun dan puterinya, Jik Hong, telah sampai dikota Heng-ciu.
Waktu ia tanya dimana rumahnya "Ngo-in-jiu" Ban Cin-san, sitangan pancawarna, orang yang ditanya menjawab: "Masakah rumahnya Ban-lo-enghiong yang termasyhur masih perlu tanya? Itu dia gedung yang paling besar, yang pintu gerbangnya bercat merah!"
Tiang-hoat mengucapkan terima kasih dan segera menuju kearah yang ditunjuk.
Ia memakai baju kulit baru hadiah dari Ban Cin-san itu. Tik Hun dan Jik Hong juga memakai baju baru. Namun demikian ketiga orang itu tidak terlepas dari lagak-lagu orang desa yang ke-tolol2an.
Ketika sampai didepan gedung keluarga Ban itu, tertampaklah gedung itu penuh dihias lampion yang berwarna-warni, tetamu hilir mudik tak ter-putus2. Mereka menjadi ragu2 untuk memasuki gedung yang mentereng itu.
Selagi Jik Tiang-hoat hendak menanya penjaga, tiba2 dilihatnya Bok Heng lagi berlari keluar, karuan ia sangat girang, cepat ia berseru: "Bok-hiantit, aku sudah datang!"
Dengan gembira Bok Heng lantas menyambut kedatangan mereka sambil menyapa: "Hai, Ji-susiok telah tiba! Selamat datang, selamat datang! Memangnya Suhu sedang memikirkan Susiok yang belum juga kelihatan. Marilah masuk!"
Dan begitu Jik Tiang-hoat melangkah masuk, rombongan musik lantas membunyikan lagu penyambutan. Ketika mendadak terompet ditiup, Tik Hun menjadi kaget, hampir2 ia berlari keluar lagi. Maklum anak desa!
Sampai diruangan pendopo, tertampaklah seorang tua bertubuh kekar tegap sedang asyik beramah-tamah dengan para tamu.
"Toasuko, aku sudah datang!" segera Jik Tiang-hoat menyapa.
Orang tua tadi tercengang sekejap se-akan2 tidak mengenalnya lagi. Tapi segera iapun menyongsong kedatangan sang Sute itu dengan ber-seri2, serunya sambil ter-bahak2: "Ha-ha-ha-ha! Lo-sam, mengapa engkau sudah begini tua nampaknya, hampir2 aku pangling!"
Dan selagi kedua saudara seperguruan itu hendak berjabatan tangan untuk menyatakan kegembiraan masing2, tiba2 hidung mereka mengendus bau busuk kotoran. Menyusul terdengarlah suara seorang yang mirip gembreng pecah sedang membentak: "Ban Cin-san, utangmu sepicis padaku belasan tahun yang lalu, sekarang akan kau bayar kembali tidak?"
Cepat Jik Tiang-hoat menoleh, maka tertampaklah ada seorang menjingjing satu ember kayu yang berisi air kotoran manusia sedang digebyurkan kearah Ban Cin-san.
Gerak-gerik Jik Tiang-hoat sangat cepat, segera ia tarik baju kulitnya yang panjang itu hingga kancing baju putus semua, menyusul baju itu lantas dicopot dan secepat kilat terus dipentang hingga mirip layar dan dialangkan untuk menahan kotoran yang menghambur tiba itu. Bahkan ia terus dorongkan layar baju itu kedepan hingga air kotoran itu berbalik hendak menyiram tuannya.
Cepat orang itu lemparkan ember kotoran yang dilawannya sambil melompat kesamping. Maka terdengarlah suara gemerantang dan gedebukan, ember kayu itu bersama bajunya Tiang-hoat yang penuh kotoran itu jatuh kelantai semua hingga lantai pendopo itu berlumuran kotoran yang berbau bacin. Saking tak tahan, banyak tamu yang terpaksa mesti menekan hidung.
Ternyata orang itu penuh berewok yang pendek kaku, badannya tinggi besar, dengan gagah ia berdiri tegak sedang ter-bahak2 mengejek: "Hahaha! Ban Cin-san, jauh2 aku datang kemari untuk memberi selamat ulang tahunmu, karena tidak membawa kado apa2, hanya emas murni berlaksa tahil inilah yang bisa kupersembahkan!" Ia berkata sambil menuding "pisang goreng" dan "leleh kuning" yang penuh berserakan dilantai itu.
Karuan murid2 Ban Cin-san yang berjumlah delapan orang itu menjadi murka. Masakah ruangan perjamuan yang sudah dipajang indah itu mendadak dikacau orang hingga berbau busuk sedemikian rupa. Seketika mereka merubung maju hendak membekuk pengacau itu untuk dihajar setengah mati.
Namun Ban Cin-san keburu membentak: "Berhenti semua!"
Mendengar perintah sang guru itu, kedelapan murid itu tidak berani membangkang. Terpaksa mereka berdiri ditempat masing2 dengan mengepal tangan. Murid kedua, Ciu Kin, wataknya paling kasar, terus saja ia memaki kalang kabut dari anaknya sampai kakek-moyang delapanbelas keturunan orang itu dicacinya habis2an.
Namun Ban Cin-san telah dapat mengenali asal-usul siberewok itu, katanya: "E-eh, kukira siapa, tak tahunya adalah Lu-toa-cecu dari Thay-heng-san yang telah sudi berkunjung kemari. Agaknya paling achir ini Lu-toa-cecu telah menjadi orang kaya mendadak, emas intan dirumah sudah ber-lebih2an, maka selalu membawa pula untuk sangu setiap kali bepergian."
Mendengar bahwa siberewok itu adalah Lu-toa-cecu dari Thay-heng-san, para tamu yang hadir itu menjadi gempar dan ramai membicarakannya.
Kiranya siberewok itu bernama Lu Thong, seorang begal besar sangat lihay di Thay-heng-san, terutama kepandaiannya Liok-hap-to dan Liok-hap-kun sangat disegani kaum Kangouw di sekitar lembah Hongho.
Maka terdengarlah Lu Thong sedang berkata sambil menjengek: "Hm, 10 tahun yang lalu, tatkala kami bersaudara sedang melakukan pekerjaan biasa di kota Thay-goan, tapi ada orang yang diam2 telah melapor kepada yang berwajib hingga usaha kami gagal. Bahkan saudaraku Lu Ho tertangkap dan jiwanya melayang. Dan barulah tiga tahun yang lalu aku dapat mengetahui bahwa pelapor yang budiman itu tak-lain-tak-bukan adalah engkau orang she Ban ini. Nah, bicaralah betul tidak?"
"Betul! Memang akulah yang telah melaporkan perbuatan kalian itu," sahut Cin-san dengan tenang. "Kita orang Kangouw mencari sesuap nasi dengan jalan merampok dan membegal masih dapat dimengerti. Tetapi saudaramu Lu Ho telah memperkosa anak gadis orang dan sekaligus membunuh empat orang tak berdosa. Hal ini biarpun siapa juga akan murka, maka aku orang she Ban tidak bisa tinggal diam."
Kembali para tamu gempar pula oleh keterangan itu. Be-ramai2 mereka memaki: "Bangsat yang terkutuk!" ~ "Perampok anjing, tangkap saja dia!" ~ "Maling cabul, berani kau berlagak kerumah Ban-loenghiong sini?"
Namun Lu Thong tidak menghiraukan makian orang banyak itu, mendadak ia melompat kedepan ruangan, ia ayun sebelah tangannya terus memotong keatas pilar, maka terdengarlah suara gemuruh, pilar kayu yang bulat tengahnya belasan senti itu telah dipatahkan olehnya hingga atap rumah itu ambruk sebagian, seketika debu pasir bertebaran diruangan itu.
"Ban Cin-san, jika engkau benar2 laki2 sejati, hayolah maju, mari kita tentukan siapa yang akan mati dan hidup!" terdengar Lu Thong berteriak menantang.
Melihat Lu Thong pamerkan kepandaiannya "Tiat-pi-kang" atau ilmu tangan baja, semua orang terkesiap. Mereka terbayang bagaimana jadinya kalau orang kena dihantam oleh pukulan sakti itu.
Namun Ban Cin-san telah menjawab dengan tertawa dingin: "Wah, sepuluh tahun tidak bertemu, ternyata kepandaian Lu-toa-cecu sudah jauh lebih maju. Cuma sayang manusia macam kau ini, semakin tinggi kepandaianmu, semakin banyak kejahatan yang kau lakukan. Meskipun orang she Ban sudah tua bangka juga ingin minta pelajaran padamu." ~ sembari berkata, dengan kalem terus saja ia melangkah maju.
Tapi tiba2 diantara orang banyak itu menerobos keluar seorang pemuda bermata besar dan beralis tebal, diam2 pemuda itu mendekati belakangnya Lu Thong, sekali kedua tangannya bergerak, cepat sekali ia gantol kedua tangan lawan sambil tangannya menyikap tengkuk orang. Bahkan pemuda itu terus berteriak: "Kau telah bikin kotor baju baru guruku, lekas kau memberi ganti!"
Ternyata pemuda itu adalah Tik Hun, murid tunggal Jik Tiang-hoat.
Segera Lu Thong pentang lengannya dengan maksud hendak mementalkan pemuda yang menyingkapnya dari belakang itu, namun sia2 saja usahanya, tak terduga olehnya bahwa dasar tenaga pembawaan Tik Hun teramat hebat, apalagi dengan mati2an pemuda itu menyikap sekuatnya.
Untuk menyerang pemuda itu dengan Tiat-pi-kang yang lihay itu terang tidak dapat, sebab pukulan itu harus dilontarkan kedepan atau kesamping, tapi Tik Hun kini menyikapnya dari belakang. Dalam keadaan kepepet dan gusar, mendadak tangan kanan Lu Thong merogoh keselangkangan Tik Hun sambil membentak: "Lepaskan tidak!"
Karuan Tik Hun kaget, kalau serangan musuh kena sasarannya, kan bisa kelengar dia. Terpaksa ia melepaskan musuh.
Lu Thong ternyata sangat cekatan, begitu terlepas dari sikapan lawan, sekali putar tubuh, kontan ia menghantam dengan tipu "Oh-liong-tam-hay" atau naga hitam masuk kelaut, dada Tik Hun yang diincar.
Namun Tik Hun sempat melompat mundur sambil berseru: "Aku tidak ingin berkelahi dengan kau. Tapi baju guruku yang baru itu telah kau bikin kotor, baju itu baru pertama kali ini dipakai, kau harus ganti.........."
"Anak dogol mengoceh apa2an?" bentak Lu Thong dengan gusar.
Tapi Tik Hun tetap tidak mau terima, ia menubruk maju pula sambil berteriak lagi: "Kau mau ganti atau tidak?"
Sebagai anak tani umumnya, ia paling sayang terhadap setiap harta-benda berasal dari hasil keringatnya sendiri itu. Ia lihat baju baru sang guru yang diperolehnya dengan menjual sampi piaraannya, tapi kini telah dibikin kotor begitu rupa, karuan saja ia sangat gegetun. Iapun tidak peduli ada perselisihan apa diantara Lu Thong dan Ban Cin-san, yang dia pikir cuma baju baru sang guru itu harus mendapat ganti.
"Harap mundur, Tik-hiantit, baju gurumu itu biar nanti aku yang ganti!" segera Cin-san membujukinya.
"Tidak, dia yang harus mengganti, kalau dia nanti menggeloyor pergi dan engkau juga tidak mengaku utang, kan rugi Suhu," demikian kata Tik Hun. Sambil berkata, kembali ia hendak menjambret dada Lu Thong.
Sudah tentu Lu Thong tidak gampang lagi dipegang, "blang", kontan Tik Hun malah kena digenjot sekali didadanya hingga pemuda itu ter-huyung2 hampir roboh.
"Hiantit mundur saja!" seru Cin-san pula, nadanya sudah agak keras.
Namun Tik Hun sudah kadung kesakitan, matanya menjadi merah, bentaknya kepada Lu Thong: "Kau tak mau ganti baju orang, sekarang malah menghantam orang pula, kau tahu aturan tidak?"
"Huh, mau apa kalau kuhajar anak dogol macammu?" sahut Lu Thong tertawa.
"Akupun balas hajar kau!" bentak Tik Hun sambil doyongkan tubuhnya kedepan sedikit, tapak tangan kiri pura2 memotong miring, tahu2 tapak tangan kanan yang menyodok kedepan dari bawah.
Lu Thong rada heran juga, pikirnya: "Ilmu pukulan anak dogol ini masih boleh juga." ~ Segera iapun keluarkan silatnya untuk balas menyerang.
Serang-menyerang kedua orang dilakukan cepat lawan cepat, maka dalam sekejap saja sudah berlangsung belasan jurus.
Sejak kecil Tik Hun mendapat didikan Jik Tiang-hoat, setiap hari selalu berlatih dengan sang Sumoay, yaitu Jik Hong, maka pengalamannya dalam hal bertempur sudah banyak baginya. Karena itu, meski Lu Thong adalah seorang tokoh kalangan bandit yang lihay, untuk sesaat juga takbisa mengalahkan pemuda itu.
Beberapa kali Lu Thong mengeluarkan Tiat-pi-kang untuk memukul, namun selalu dapat dihindarkan Tik Hun dengan gesit, dua kali pundak pemuda itu kena digebuk olehnya, namun dasar kekar kuat dan keras tulang Tik Hun, maka dianggap sepi saja hantaman2 itu.
Setelah beberapa jurus pula, Lu Thong menjadi gopoh, ia pikir jauh2 dirinya datang kemari hendak membalas sakit hati, tapi seorang muda keroco pihak lawan saja tak mampu merobohkannya, kalau kejadian ini tersiar, kemana mukanya harus disembunyikan? Segera Lu Thong ganti ilmu pukulannya, tiba2 ia campurkan Kau-kun dan lain2 gaya pukulan kedalam Liok-hap-kun kebanggaannya itu. Ia mencakar, meraup, meraih, menarik dan menendang; lalu ditambah lagi dengan gaya kucing anjlok, anjing lari, kelinci mencolot, elang mabur, kuda mendepak dan gaya lain2nya yang serba aneh dan lucu perubahannya.
Karuan Tik Hun bingung karena tidak pernah menyaksikan permainan silat aneh itu, ber-ulang2 ia kena didepak dua kali dipahanya.
Melihat pemuda itu sudah pasti bukan tandingan musuh, kembali Ban Cin-san membentak lagi: "Mundurlah Tik-hiantit, engkau tak dapat menangkan dia!"
Namun watak Tik Hun sangat bandel, teriaknya: "Tak bisa menang juga mesti lawan dia!"
Tapi "blang", kembali dadanya kena digenjot sekali lagi.
Menyaksikan sang Suko berulang kali dihajar musuh, Jik Hong menjadi ikut kuatir, segera iapun berseru: "Suko, berhentilah kau, biar Ban-supek yang bereskan keparat itu!"
Akan tetapi Tik Hun masih terus menyeruduk maju dengan mati2an sambil mem-bentak2: "Aku tidak takut, aku tidak takut!"
"Crot", batang hidung Tik Hun tepat kena ditoyor musuh, karuan saja terus keluar kecapnya.
Ban Cin-san mengkerut kening melihat kebandelan pemuda itu, katanya kepada Jik Tiang-hoat: "Sute, dia tidak mau menurut perintahku, harap engkau suruh dia mundur."
"Biar, dia tahu rasa dulu, sebentar aku yang maju untuk melayani Jay-hoat-toa-cat (bajingan perusak wanita) itu!" sahut Tiang-hoat.
Pada saat itulah tiba2 dari luar berjalan masuk seorang pengemis tua yang bermuka kotor, baju dekil dan rambut kusut, sebelah tangannya membawa sebuah mangkok butut, tangan lain memegang tongkat bambu dengan suaranya yang serak2 lemah sedang me-minta2: "Kasihan, tuan! Hari ini tuan besar ada hajat, sudilah memberi sedekah barang sesuap nasi!"
Tapi karena perhatian semua orang sedang dicurahkan untuk mengikuti pertarungan Tik Hun yang mati2an sedang melawan Lu Thong, maka tiada seorangpun yang gubris pada pengemis tua itu
"Kasihlah, tuan! Hamba sudah kelaparan. Kasihlah tuan!" demikian pengemis itu me-rintih2 pula sambil maju lebih dekat.
Se-konyong2 pengemis itu terpeleset oleh kotoran yang berlumuran dilantai itu, ia menjerit dan jatuh kedepan, tangannya kelabakan se-akan2 dipakai menahan kelantai, dan karena itu mangkok dan tongkat bambu yang dipegangnya itu ikut mencelat dari cekalannya.
Aneh juga dan secara sangat kebetulan, mangkok itu dengan tepat kena timpuk di "Ci-sit-hiat" ditengkuk Lu Thong, sedangkan tongkat bambu itu juga menutuk "Kiok-coan-hiat" dibalik lutut.
Seketika Lu Thong merasa kakinya menjadi lemas dan tekuk lutut kelantai, berbareng antero tubuhnya terasa linu pegal se-akan2 kehabisan tenaga.
Kesempatan itu tidak di-sia2kan oleh Tik Hun, kedua kepalannya bekerja susul-menyusul, "blang-bleng" dua kali, badan Lu Thong segede kerbau itu kena dihantam mencelat dan tepat jatuh tengkurap ketengah pecomberan yang dibawanya sendiri tadi.
Perubahan itu sungguh diluar dugaan siapapun juga hingga semua orang ternganga heran.
Sementara itu Lu Thong telah merangkak bangun dengan malu, tanpa menghiraukan lagi badannya yang bersemir "emas" itu, dengan sipat kuping ia berlari pergi.
Semua tetamu ter-bahak2 geli, be-ramai2 merekapun mem-bentak2: "Tangkap dia. Jangan lepaskan!"
"Cegat bajingan itu, tangkap!"
Sudah tentu gemboran orang2 itu hanya sebagai gertakan belaka, tapi Tik Hun sangka sungguh2, iapun ikut berteriak: "Bangsat, ganti dulu baju guruku!"
Sembari berteriak, terus saja ia hendak mengejar benar2. Tapi baru dua langkah, tiba2 lengannya terasa dipegang orang dengan kuat hingga takbisa berkutik. Waktu berpaling, ia lihat orang yang memegangnya itu adalah sang guru.
"Kemenanganmu hanya secara kebetulan, masih kau hendak mengejar apa?" kata Jik Tiang-hoat.
Jik Hong lantas keluarkan saputangannya untuk mengusap darah dimuka Tik Hun. Ketika melihat baju baru sendiri juga penuh berlepotan darah, Tik Hun menjadi kuatir, serunya: "Wah, cialat, bajuku juga kotor!"
Dalam pada itu sipengemis tua tadi tampak sedang berjalan keluar sambil mengomel: "Minta nasi tidak dapat, malahan kehilangan mangkok!"
Tik Hun tahu sebabnya bisa menangkan Lu Thong tadi adalah berkat jatuhnya pengemis itu. Maka cepat ia merogoh keluar segenggam mata uang, ia lari mendekati pengemis itu dan taruh uangnya ditangan sipengemis.
"Terima kasih, terima kasih!" kata pengemis itu sambil berjalan pergi.
Malamnya Ban Cin-san mengadakan perjamuan makan besar2an untuk menghormati tamu yang datang dari berbagai tempat.
Ditengah perjamuan sudah tentu banyak orang membicarakan kejadian lucu disiang hati itu. Semuanya menyatakan rejeki Tik Hun sangat baik, sudah terang akan kalah, kebetulan datang seorang pengemis dan jatuh terpeleset hingga perhatian Lu Thong terkacau dan kena dirobohkan Tik Hun.
Ada pula yang memuji nyali Tik Hun sangat besar, meski semuda itu, namun sudah berani menempur berpuluh jurus melawan seorang tokoh terkemuka seperti Lu Thong itu. Sudah tentu ada juga yang menyatakan kemenangan siang tadi adalah berkat Ho-ki tuan rumah yang panjang umur, kalau tidak, masakah begitu kebetulan datang seorang pengemis dan terpeleset jatuh, lalu musuh dapat dienyahkan.
Dan karena semua orang ramai membicarakan kemenangan Tik Hun itu, dengan sendirinya membikin kedelapan muridnya Ban Cin-san merasa risih. Kedatangan Lu Thong itu sebenarnya hendak menuntut balas kepada Ban Cin-san, tapi anak murid keluarga Ban tidak maju, sebaliknya seorang murid Susiok yang ke-tolol2an model anak desa itu telah maju dan melabrak musuh. Diam2 hati kedelapan murid Ban Cin-san itu sangat mendongkol, tapi toh tidak terlampiaskan.
Kedelapan murid Ban Cin-san itu menurut urut2an masing2 bernama Loh Kun, Ciu Kin, Ban Ka, Sun Kin, Bok Heng, Go Him, Pang Tan dan Sim Sia. Maka sesudah Ban Cin-san sendiri menyuguhkan arak kepada para tetamu, kemudian bergiliran anak muridnya yang menyuguhkan arak kepada tetamu2 itu semeja demi semeja.
Murid ketiga yang bernama Ban Ka itu adalah puteranya Ban Cin-san sendiri. Ia berperawakan jangkung, mukanya agak kurus, tapi cakap hingga mirip seorang pemuda hartawan, berbeda seperti Toasuheng dan Jisuhengnya yang lebih gagah dan kekar.
Setiba kedelapan murid Ban Cin-san itu dimejanya Jik Tiang-hoat, habis mereka menyuguhkan arak kepada sang Susiok, kemudian gilirannya Tik Hun menerima suguhan mereka.
Kata Ban-ka: "Hari ini Tik-suheng telah banyak berjasa bagi ayahku, maka sebagai penghormatan, Tik-suheng harus menerima suguhan kami berdelapan masing2 secawan!"
Dasarnya Tik Hun memang tidak biasa minum arak, jangankan delapan cawan, biarpun secawanpun sudah cukup membuatnya sinting. Cepatan saja ia goyang2 kedua tangannya sambil berseru: "Tidak, tidak, aku tidak biasa minum!"
"Siang tadi ayahku berulang tiga kali suruh Tik-suheng mundur. Tapi Tik-suheng sama sekali tidak gubris, anggap suara ayahku seperti angin lalu saja, sekarang Tik-suheng tidak sudi pula menerima arak suguhan kami, bukankah engkau terlalu memandang hina kepada keluarga Ban?"
Tik Hun menjadi bingung, sahutnya gelagapan: "Aku...... aku ti....... tidak ...."
Mendengar nada ucapan Ban Ka itu rada tidak benar, cepat Tiang-hoat menyela: "Hun-ji, minumlah arak mereka!"
"Tapi..........tapi aku tidak biasa," sahut Tik Hun.
"Minum!" kata Tiang-hoat pula dengan suara tertahan.
Terpaksa Tik Hun menerima suguhan mereka, seorang secawan hingga genap delapan cawan. Karuan mukanya menjadi merah seketika bagai kepiting rebus, telinganya men-denging2 dan pikiran kabur...............
Malam itu dalam keadaan layap2 diatas tempat tidurnya, Tik Hun merasa dada, pundak, paha, tempat2 yang terkena pukulan dan tendangan Lu Thong itu, semuanya terasa bengkak kesakitan.
Sampai tengah malam, tiba2 terdengar suara orang mengetok daun jendela dan suara orang memanggil: "Tik-suheng, Tik-suheng!"
"Siapa?" cepat Tik Hun terjaga bangun.
"Siaute adalah Ban Ka, ada sesuatu ingin kubicarakan dengan Tik-suheng, harap keluar," demikian sahut orang diluar jendela.
Tik Hun tertegun sejenak, lalu iapun bangkit dari tempat tidurnya dan mengenahkan baju serta sepatu. Waktu ia membuka jendela, tertampaklah diluar sudah berdiri delapan orang berjajar, setiap orangnya menghunus pedang. Itulah kedelapan muridnya Ban Cin-san.
"Ada apakah memanggil aku?" tanya Tik Hun dengan heran.
"Sebab kami ingin belajar kenal dengan ilmu pedang Tik-suheng," sahut Ban Ka dengan jemawa.
"Tapi aku sudah dipesan Suhu agar jangan bertanding dengan anak muridnya Ban-supek," kata Tik Hun.
"Ha, rupanya Jik-susiok tahu diri juga," jengek Ban Ka.
"Tahu diri, apa maksudmu?" tanya Tik Hun dengan gusar.
"Sret-sret-sret", se-konyong2 Ban Ka melontarkan tiga kali tusukan, ujung pedangnya selalu menyambar lewat ditepi pipi Tik Hun, selisihnya tiada satu senti jauhnya.
Tik Hun merasakan pipinya dingin2 silir, ia terkejut dan sikapnya agak lucu.
Karuan anak murid Ban Cin-san yang lain ter-kekeh2 geli.
Tik Hun naik darah juga achirnya. Tanpa pikir lagi ia samber pedang yang tergantung didinding dan melompat keluar jendela.
Ia lihat kedelapan murid paman gurunya itu berwajah jahat semua, diam2 ia menjadi ragu2 lagi, teringat pula pesan Suhunya agar jangan sekali2 cecok dengan anak murid Supek.
Maka dengan heran iapun menegur: "Sebenarnya kalian mau apa?"
"Tik-suheng," kata Ban Ka sambil sabetkan pedangnya keudara hingga mengeluarkan suara mendengung, "hari ini kau sengaja menonjolkan diri, apa barangkali kau sangka keluarga Ban kami sudah kehabisan orang atau kau anggap tiada seorang pun diantara keluarga Ban yang lebih pandai daripada engkau?"
"Hayo, majulah anak desa!" ejek Ban Ka.
Tanpa bicara lagi pedang Tik Hun terus menusuk.
Tik Hun menggeleng kepala, sahutnya: "Aku hanya minta ganti kerugian kepada bangsat yang telah bikin kotor baju baru Suhuku itu, ada sangkut-paut apa dengan kau?"
"Hm, dihadapan para tamu kau telah junjung tinggi namamu dan memperoleh pujian hingga kami berdelapan saudara kehilangan muka, jangankan lagi hendak mencari makan dikangouw, sekalipun dikota Hengciu ini juga nama kami sudah rusak. Coba, perbuatanmu harini itu tidakkah keterlaluan?"
Tik Hun menjadi heran, sahutnya bingung: "Mengapa bisa begitu? Aku.......... aku tidak tahu." ~ Pemuda tani seperti dia sudah tentu ia tidak mengarti seluk-beluk alasan orang.
Loh Kun, itu murid tertua dari Ban Cin-san, menjadi tidak sabar, katanya: "Samsute, bocah ini pura2 dungu, buat apa banyak bicara dengan dia? Berikan saja hajaran padanya!"
Terus Ban Ka menusukan pedangnya kearah pundak kirinya Tik Hun. Namun Tik Hun tahu serangan itu cuma pura2 saja, maka diantapi saja tanpa bergerak dan tidak menangkis.
Benar juga Ban Ka lantas menarik kembali pedangnya. Tapi ia menjadi gusar karena maksudnya diketahui lawan, bentaknya: "Bagus, jadi engkau tidak sudi bergebrak dengan aku ya?"
"Suhu telah pesan agar jangan cekcok dengan anak muridnya Supek," sahut Tik Hun.
"Bret", se-konyong2 Ban Ka menusuk pula dan sekali ini telah kena lengan baju Tik Hun hingga sobek satu lubang panjang.
Sebagai pemuda tani yang hidupnya sederhana dan hemat, maka terhadap setiap harta bendanya Tik Hun selalu menjaganya dengan baik, terutama baju barunya yang baru dibikin dan baru pertama kali ini dipakai, tapi kini telah dirobek orang.
Karuan ia menjadi naik darah juga. "Kau berani merusak bajuku? Hayo, kau harus ganti!" bentaknya tak tahan lagi.
Namun Ban Ka menjawabnya dengan tertawa dingin sambil menusuk pula dengan pedangnya kelengan baju yang lain.
Cepat Tik Hun menangkis dengan pedangnya. "Trang", ia sampok tusukan lawan, menyusul iapun balas menyerang.
Dan sekali kedua pemuda itu sudah mulai bergebrak, segera tercadilah cepat lawan cepat. Ilmu pedang yang dipelajari kedua orang itu berasal dari satu sumber yang sama, setelah belasan jurus lagi, semangat tempur Tik Hun semakin kuat, setiap serangannya selalu mengincar tempat bahaya ditubuh Ban Ka.
Melihat itu, Ciu Kin menjadi kuatir, serunya: "Hai! Apa kau benar2 hendak mengadu jiwa? Samsute, tidak perlu lagi kau sungkan2!"
Tik Hun terkesiap oleh teguran itu, pikirnya: "Ya, pabila ketelanjur aku membunuh dia, kan bisa runyam!" ~ Karena pikiran itu, daya serangannya menjadi kendor.
Sebaliknya Ban Ka mendapat hati malah, disangkanya Tik Hun mulai kewalahan, ia mencecar semakin cepat dengan serangan2 bagus dan lihay.
Ber-ulang2 Tik Hun terdesak mundur, bentaknya: "Hai, aku tidak berkelahi sungguh2 dengan kau, tapi mengapa engkau begini?"
"Begini apa? Aku ingin melubangi dadamu, tahu?" sahut Ban Ka, tiba2 pedangnya menusuk pula dengan cepat.
Sambil mengegos, Tik Hun melihat kesempatan baik, cepat pedangnya membalik terus menabas. Kalau tabasan itu benar2 diteruskan, pundak Ban Ka pasti akan terkupas, namun Tik Hun telah ayun pedangnya dengan membujur, "plak", pundak Ban Ka hanya digeblak saja sekali dengan batang pedang.
Dengan kejadian itu Tik Hun anggap kalah-menang sudah terang, tentu Ban Ka akan mundur teratur, sebab biasanya kalau dia sedang latihan dengan Sumoay, Jik Hong,
Asal salah seorang kena tersenggol senjata lawan, selesailah sudah pertandingan itu.
Tapi Ban Ka tidak mau peduli, dari malu ia menjadi kalap malah, mendadak ia menusuk pula. Karena tidak ber-jaga2, "crat", Tik Hun merasa pahanya kesakitan sekali.
Maka bersoraklah Loh Kun, Ciu Kin dan lain2, mereka meng-olok2: "Nah, robohlah sekarang anak desa!"
"Hayo, minta ampun tidak?"
"Huh, murid anak kampung ajaran Jik-susiok tidak lebih cuma beberapa jurus cakar-kucing seperti ini saja !"
Memangnya Tik Hun sudah gusar karena dilukai, mendengar nama Suhunya dihina pula, karuan seperti api disiram minyak, dengan murka ia putar pedangnya menyerang serabutan.
Melihat Tik Hun mengamuk seperti banteng ketaton, Ban Ka menjadi jeri malah. Sejak kecil ia sangat dimajakan orang tua, meski ilmu pedangnya terlatih dengan bagus, namun menghadapi pertarungan sengit begitu, betapapun belum pernah dialaminya. Dan karena bingungnya itu, permainan pedangnya menjadi kacau.
Diantara murid2 Ban Cin-san itu, Bok Heng adalah yang paling cerdik. Melihat Samsuhengnya kececar, segera ia jemput sepotong batu dan menimpukan sekuatnya kepunggung Tik Hun.
"Plok", Tik Hun yang lagi pusatkan perhatiannya untuk merangsak Ban Ka, punggungnya menjadi kesakitan tertimpuk batu itu.
Ia menoleh sambil memaki: "Tidak tahu malu! Main membokong, huh!"
"Ada apa? Kau bilang apa?" Bok Heng berlagak pilon.
Namun Tik Hun sudah nekad, ia pikir biarpun mereka berdelapan maju semua juga ia akan lawan mati2an untuk menjaga nama baik gurunya. Saking kalapnya permainan Tik Hun menjadi tak karuan.
Namun kesempatan itu tidak berani digunakan Ban Ka untuk menyerang.
Tiba2 Bok Heng mengedipi Laksute Go Him, katanya: "Ilmu pedang Samsuheng terlalu hebat, anak desa ini sudah kewalahan, kalau jiwanya sampai melayang, tentu kita akan dimarahi Jik-susiok, marilah kita berdua maju untuk menjaga segala kemungkinan!"
Go Him paham maksud Gosuhengnya itu, sahutnya: "Benar, kita harus hati2, jangan sampai pedang Samsuheng mencelakai anak kampung itu."
Berbareng mereka terus melompat maju, tapi pedang mereka terus menusuk Tik Hun dari kanan-kiri
Memangnya ilmu pedang Tik Hun tidak banyak lebih unggul daripada Ban Ka, cuma ia merangsak dengan mati2an, maka Ban Ka terdesak.
Tapi kini dikeroyok Bok Heng dan Go Him pula, dengan satu lawan tiga, tentu saja ia kerepotan, segera paha yang lain tertusuk lagi. Luka sekali ini sangat berat, ia takbisa berdiri tegak lagi dan jatuh terduduk, namun pedangnya masih terus dilancarkan.

Tiba2 Lok Kun mendengus, sekali kakinya melayang, pedang Tik Hun kontan terpental dari cekalan. Terus saja Ban Ka ancam tenggorokan Tik Hun dengan ujung pedangnya, sedang Bok Heng dan Go Him ter-bahak2 sambil melompat mundur.
"Sekarang aku takluk tidak, anak desa?" tanya Ban Ka dengan senang.
"Takluk kentutmu!" semprot Tik Hun. "Kalian berempat mengeroyok aku, terhitung orang gagah macam apa?"
"Kau masih berani mengoceh?" teriak Ban Ka dengan gusar sambil surung sedikit pedangnya hingga ujungnya masuk beberapa mili didaging leher Tik Hun. "Hm asal sedikit kutusukkan lagi, tenggorokanmu seketika akan putus!"
"Tusuklah, tusuklah lekas, kalau tidak berani, kau sendiri adalah anak kura2," seru Tik Hun.
Karuan Ban Ka semakin murka, mendadak ia tendang perut Tik Hun sambil memaki: "Mulutmu masih berani kotor tidak?"
Tendangan itu membuat isi perut Tik Hun se-akan2 terjungkir balik, hampir2 ia menjerit, namun ia bertahan sedapat mungkin dan tetap memaki: "Haram jadah, anak kura2!"
Kembali Ban Ka menendang pula, sekali ini kena pilingan Tik Hun hingga matanya ber-kunang-kunag, hampir2 jatuh kelengar. Ia hendak memaki lagi, namun mulutnya sudah tak kuasa lagi.
"Biarlah harini kuampuni kau, bolehlah kau pergi lapor kepada gurumu, katakanlah kami mengeroyok dan menghajar kau! Hm, macammu pasti juga akan pakai menangis segala!" kata Ban Ka.
Memang Ban Ka sangat mengharapkan ucapan seperti itu dari Tik Hun, kembali ia memancing: "Atau kutambahi sedikit tanda dimukamu, biar gurumu yang akan tanya padamu."
Berbareng ia ayun kakinya lagi menendang mukanya Tik Hun, kontan saja mukanya matang-biru dan air mata hampir menetes.
"Haha, katanya laki2 segala, begitu saja sudah menangis! Laki2 telah berubah menjadi wanita!" sindir Bok Heng dengan tertawa.
Hampir meledak dada Tik Hun saking gusarnya. Tempo hari waktu Bok Heng bertamu kerumah gurunya, Tik Hun telah membelikan arak dan sembelihkan ayam, tapi pembalasannya sekarang ternyata begitu keji.
"Nah, kau takbisa menangkan aku, boleh juga kau laporkan kepada ayahku agar ayah memarahi aku untuk melampiaskan rasa dendammu ini," kata Ban Ka.
"Huh, kau sangka semua orang pengecut seperti kau hingga mesti mengadu-biru kepada orang tua?" sahut Tik Hun.
Ban Ka saling pandang dengan Loh Kun dan Bok Heng, mereka merasa sudah cukup melampiaskan dongkol mereka harini, segera Ban Ka masukan pedangnya dan berkata pula: "Anak desa, kalau kulitmu cukup tebal dan ingin dihajar pula, boleh kau datang kesini lagi besok malam. Sekarang tuan muda ingin pulang tidur dulu!"
Sambil memandangi bayangan kedelapan orang itu, hati Tik Hun menjadi gusar dan gemas, tapi tidak mengarti pula sebab apakah mereka telah menghajarnya begitu rupa? Apa barangkali semua orang kota memang jahat begini?
Ia coba merangkak bangun, tapi terasa puyeng kepalanya, kembali ia terduduk.
"Ai, kalau tidak bisa melawan orang, seharusnya lekas menjura dan minta ampun, tapi kalau dihajar mentah2 seperti ini, bukankah sangat penasaran?" tiba2 suara seorang menggerundel dibelakangnya.
Tik Hun menjadi gusar, teriaknya: "Biarpun dipukul mati orang, tidak nanti aku menjura dan minta ampun!"
Waktu ia menoleh, ia lihat seorang tua sedang mendekatinya sambil mem-bungkuk2. Segera dapat dikenalnya sebagai pengemis tua siang tadi.
"Ai, kalau sudah tua, encok dipunggung selalu kumat saja," demikian pengemis itu mengomel pula. "Eh, anak muda, maukah kau memijat punggungku ini?"
Memangnya rasa dongkol Tik Hun lagi belum terlampiaskan, masakah kini disuruh memijat seorang pengemis tua yang kotor? Namun karena wataknya peramah, maka permintaan pengemis itu tak digubrisnya.
"Ai, dasar orang tidak punya anak-cucu, sesudah tua, tiada seorangpun yang sudi memperhatikan aku, oh........uh........" sambil me-rengek2 pengemis itupun bertindak pergi.
Watak Tik Hun memang polos dan welas asih, ia lihat pengemis itu menggigil sangat menderita. Apalagi orang desa sangat mengutamakan gotong-royong, saling bantu-membantu kalau ada kesukaran, ditambah lagi barusan dirinya habis dihajar orang, maka timbul juga rasa senasib dan sependerita.
Segera serunya: "Oi, aku masih punya beberapa picis, ambillah ini untuk membeli nasi!"
Dengan ber-ingsut2 pengemis itu mengesak kembali untuk menerima pemberian Tik Hun itu, tiba2 katanya pula: "Anak muda, punggungku benar2 encok, sudilah engkau meng-ketuk2nya?"
"Kurangajar", pikir Tik Hun, "sudah dikasih hati, ingin merogoh rempela pula".
Tapi dasarnya dia memang ramah, segera katanya: "Baiklah, tunggu dulu aku membalut luka dikakiku ini."
"Huh, kau cuma pikirkan kepentingan sendiri dan tidak peduli urusan orang lain, terhitung orang gagah macam apa?" jengek pengemis itu.
Karena pancingan kata2 itu, terus saja Tik Hun berseru: "Baiklah, sekarang juga aku ketuk punggungmu."
"Ehm, enaknya, hayolah keras sedikit!" kata pengemis itu.
Tik Hun menurut, ia memukul sedikit keras. Tapi pengemis itu merasa kurang keras pula, segera Tik Hun tambahi tenaganya.
Namun pengemis itu masih belum puas, katanya: "Ai, anak yang tak berguna. Baru saja dihajar orang begitu sudah kehilangan tenaga, cuma mengetuk punggung orang tua saja tidak kuat. Huh, orang begini buat apa lagi hidup dunia ini?"
Tik Hun menjadi gusar, katanya: "Kalau kukeluarkan tenaga, mungkin beberapa kerat tulangmu yang sudah lapuk ini bakal berantakan!"
"Kalau engkau beanr2 mampu meremukan tulangku yang lapuk ini, tentu kau takkan kena dihajar orang seperti tadi," ujar sipengemis dengan tertawa.
Dengan mendongkol benar2 Tik Hun mengetuk se-keras2nya.
"Nah, beginilah baru mendingan! Tapi toh masih kurang!"
"Blang", mendadak Tik Hun menghantam keras2.
"Ah, masih kurang, masih kurang keras, percuma!" kata sipengemis dengan tertawa.
"Jangan engkau bergurau, Laupek, aku tidak ingin melukai engkau," ujar Tik Hun.
"Hm, macammu juga mampu melukai aku?" jengek sipengemis. "Kenapa kau tidak coba2 hantam aku sepenuh tenagamu...."
Dengan dongkol segera Tik Hun kerahkan tenaga ditangan kanan terus hendak menggebuk kepunggung orang, tapi demi nampak keadaan pengemis itu sudah loyo, ia menjadi tidak tega, katanya: "Ah, buat apa main2 dengan kau."
Lalu perlahan pula ia mengetuk punggung orang.
Diluar dugaan, entah mengapa mendadak tubuhnya terpental, "bluk", ia terbanting ke-semak2 rumput sana hingga kepala puyeng dan mata ber-kunang2, sampai lama baru ia sanggup merangkak bangun. Namun Tik Hun tidak marah, sebaliknya ia ter-heran2, ia pandang si pengemis itu dengan tercengang. Tanyanya kemudian: "Apakah........apakah engkau yang membanting aku?"

"Disini toh tiada orang ketiga, kalau bukan aku, siapa lagi?" sahut pengemis itu.
"Dengan cara bagaimana engkau membanting aku?"
"Dengan jurus 'Ki-thau-bong-beng-goat, keh-thau-su-ko-hiang' (mendongak memandang rembulan, menunduk merindukan kampung halaman)!" sahut sipengemis.
"Aneh, bukankah itu adalah jurus ilmu pedang yang diajarkan Suhu kepadaku, dari.........darimana engkau tahu?"
"Ilmu pukulan atau ilmu pedang semuanya sama. Lagipula cara mengajar gurumu itu hakikatnya salah,"
Tik Hun menjadi gusar: "Manabisa guruku salah? Hm, pengemis tua seperti kau juga berani mencela guruku?"
"Habis, bila memang benar ajaran gurumu, mengapa kau dihajar orang?"
"Aku dikeroyok, dengan sendirinya kewalahan. Coba kalau satu-lawan-satu, masakan aku kalah?"
"Hahaha!" sipengemis tertawa. "Berkelahi masakah pakai aturan segala? Biar kau ingin 'main single', kalau musuh tidak mau, kau bisa berbuat apa? Achirnya kau tentu dihajar setengah mati hingga minta ampun. Tapi kalau seorang diri dapat mengalahkan sepuluh atau duapuluh orang, itulah baru gagah."
Benar juga, pikir Tik Hun, tapi katanya pula: "Mereka adalah anak murid Supek, kepandaian Kiam-hoat mereka tidak banyak selisih daripada aku, aku dikeroyok delapan orang, sudah tentu aku kalah."
"Umpama aku ajarkan beberapa jurus agar engkau seorang dapat mengalahkan mereka berdelapan, kau mau belajar tidak?"
"Mau, mau!" seru Tik Hun kegirangan. Tapi lantas terpikir olehnya didunia ini masakah ada kepandaian sehebat itu, apalagi pengemis ini sudah tua dan kotor, tidak mirip seorang berilmu.
Tengah ia ragu2, se-konyong2 tubuhnya terpental lagi, sekali ini sampai berjumpalitan dua kali diudara hingga mencelat lebih tinggi barulah kemudian terbanting kebawah terlebih keras. Masih Tik Hun berusaha hendak menahan dengan tangannya, hampir2 ruas tulangnya keseleo.
Ketika merangkak bangun, sakitnya tak terkatakan. Tapi girangnya dalam hatipun tak terhingga, serunya: "Lau-pekpek, aku.......... aku ikut belajar padamu."
"Harini biar kuajarkan beberapa jurus padamu, besok malam kau berkelahi lagi dengan mereka disini, kau berani tidak?" tanya pengemis itu.
Tik Hun ragu-ragu, hanya belajar beberapa jurus dalam waktu singkat apa cukup berguna? Tapi demi terpikir akan berkelahi lagi dengan Ban Ka dan kawan2nya, semangatnya menjadi ber-kobar2, kontan jawabnya: "Berani, mengapa tidak berani? Paling banyak aku akan dihajar lagi oleh mereka, kenapa mesti takut?"
Se-konyong2 sipengemis tua mencengkeram tengkuk Tik Hun dan membantingnya ketanah sambil memaki: "Anak geblek! Sesudah kuajarkan ilmu silat padamu, masakan engkau akan kena dihajar mereka lagi? Jadi kau tidak percaya pada kemampuanku, ya?"
Meski sangat kesakitan karena dibanting, namun Tik Hun bertambah girang, sahutnya cepat: "Ya, ya, memang salahku. Hayolah lekas engkau ajarkan padaku!"
"Kau pernah belajar Kiam-hoat, coba pertunjukkan dulu kepadaku, sebutkan sekalian nama jurus2nya."
"Baik," sahut Tik Hun. Ia menemukan kembali pedangnya yang terpental tadi, lalu memainkan jurus2 ajaran Jik Tiang-hoat sambil mengucapkan kalimat2 setiap jurus ilmu pedangnya.
Sedang Tik Hun asyik memutar pedangnya, tiba2 terdengar pengemis tua itu ketawa ter-bahak2.
Tik Hun menjadi heran dan berhenti, tanyanya: "Ada apa? Barangkali permainanku salah?"
Namun pengemis itu tidak menjawab, sebaliknya ia masih tertawa sambil pegang perutnya hingga menungging saking gelinya.
Mau-tak-mau Tik Hun menjadi dongkol, katanya: "Seumpama permainanku salah, toh juga tidak perlu ditertawai."
Mendadak pengemis itu berhenti ketawanya, katanya dengan gegetun: "Ai, Jik Tiang-hoat, jerih-payahmu ini memang baik juga maksudnya, cuma sayang terlalu cetek sekolahmu, maka telah salah tampa."
"Suhuku adalah petani, memangnya tidak banyak huruf yang dikenal, apanya yang mesti ditertawai?" ujar Tik Hun.
"Coba pinjamkan pedangmu," pinta sipengemis.
Tik Hun sodorkan pedangnya. Dan sesudah memegang pedang, pelahan2 pengemis itu menyebut: 'Koh-hong-hay-siang-lay, Ti-heng-put-kam-koh!"
Berbareng iapun putar pedangnya dengan gesit, hanya sekejap saja se-akan2 sudah berubah seorang lain, bukan lagi seorang pengemis tua dan loyo.
Setelah menyaksikan beberapa jurus, tiba2 Tik Hun seperti tersadar, katanya: "Lau-pek, waktu aku menempur si Lu Thong tadi, apakah engkau sengaja menimpukan mangkokmu untuk membantu aku?"
"Masakah perlu menanya lagi?" semprot sipengemis dengan gusar. "Liok-hap-kun Lu Thong itu lebih lihay sepuluh kali daripada bocah tolol macammu ini, kalau melulu sedikit kepandaianmu masakan mampu mengenyahkan dia?"
Sembari berkata, ia lalu mainkan pedangnya dengan cepat.
Tik Hun mendengar istilah2 setiap jurus ilmu pedang sipengemis toh sama saja dengan ajaran gurunya, hanya lafalnya saja agak sedikit berbeda, tapi gerak pedangnya mirip benar. Makin dilihat makin heranlah ia.
Tiba2 tangan kiri sipengemis menjulur kedepan dengan gerakan pedang, menyusul pedang ditangan kanan mendadak disodorkan ke tangan kiri itu, saat lain tangan kanan membalik "plak" ia tampar pipi Tik Hun sekali.
Karuan Tik Hun kaget, sambil memegangi pipinya yang kesakitan itu ia tanya dengan marah: "Ken.........kenapa engkau memukul orang?"
"Habis, aku sedang mengajarkan ilmu pedang padamu, sebaliknya engkau mengelamun, bukankah harus dihajar?"
Tik Hun cukup bijaksana, ia bisa terima alasan itu, sahutnya: "Baik, memang salahku. Memang aku sangat heran melihat cermat2 setiap jurus yang kau sebut itu mirip dengan ajaran guruku, cuma perubahan permainan pedangnya yang sangat berbeda."
"Ajaran gurumu lebih bagus atau ajaranku ini lebih bagus?" tanya sipengemis.
"Aku tidak tahu," sahut Tik Hun menggeleng kepala.
Tiba2 pengemis itu melemparkan kembali pedangnya kepada Tik Hun, katanya: "Mari kita boleh coba2 bertanding."
"Keuletanku terlalu jauh dibandingkan engkau, mana-bisa aku melawan engkau," sahut Tik Hun.
"Huh, belum keliwat geblek juga engkau ini. Begini saja kita cuma bertanding tentang gerak serangan dan tidak bertanding tentang kekuatan."
Habis berkata, terus saja ia ayun tongkatnya sebagai pedang dan menusuk kearah Tik Hun. Otomatis pemuda itu angkat pedangnya menangkis. Tapi mendadak tongkat si pengemis berhenti ditengah jalan, karena itu, Tik Hun lantas tarik pedangnya untuk balas menusuk.
Tak tersangka baru saja pedangnya bergerak, tahu2 tongkat sipengemis sudah seperti pagutan ular cepatnya menusuk kedepan dan tepat kena tutuk dibahunya.
Sungguh kagum Tik Hun tak terhingga, serunya memuji: "Bagus!" Menyusul pedangnya lantas menabas lagi.
Namun pengemis itu sempat putar tongkatnya dan tepat menahan dibatang pedang Tik Hun, sekuatnya Tik Hun mendorong senjatanya kedepan, tapi tongkat sipengemis selalu berputar hingga tenaga dorongannya itu kena dikesampingkan kearah yang berlawanan. Karena itu, cekalan Tik Hun menjadi kendor dan tahu-tahu pedangnya mencelat ke udara.
Tik Hun terkesima, katanya kemudian: "Laupek, ilmu pedangmu memang sangat tinggi."
Waktu tongkat pengemis itu menjulur, pedang yang jatuh dari udara itu tepat kena diraihnya kembali. Lalu katanya: "Sebenarnya gurumu sangat giat melatih silat, salahnya cuma terlalu sedikit ia bersekolah. Justru ilmu pedang dari perguruanmu ini sangat berlainan dengan ilmu pedang umumnya di dunia persilatan, yaitu sangat mengutamakan pemikiran. Sama2 mempelajari satu macam Kiam-Hoat, ada yang berlatih puluhan tahun, hasilnya cuma biasa saja. Sebaliknya ada yang dapat memahami intisarinya, dalam waktu satu dua tahun sudah menjadi ahli pedang terkemuka."
Seperti paham seperti tidak Tik Hun oleh uraian itu, namun ia suka mendengarkannya.
"Kiam-hoat dari perguruanmu ini, setiap jurusnya adalah perubahan dari sesuatu bait syair kuno," demikian sipengemis menerangkan pula. "Umpamanya jurus 'Koh-hong-hay-siang-lay, Ti-heng-put-kam-koh' tadi, artinya mengatakan ada seekor burung terbang sendiri dari lautan, terhadap telaga atau rawa2 di daratan tak dihinggapinya. Syair ini adalah ciptaan Thio Kiu-ling, itu perdana mentri di jaman ahala Tong. Dari bait-bait syairnya itu telah diciptakan menjadi jurus ilmu pedang. Tapi gurumu telah ajarkan kau dengan 'Koh-hong-han-siang-lay, Si-heng-put-kam-koh'. Bait pertama artinya berubah menjadi orang berteriak2 dan bait berikut berarti orang ketakutan. Sudah tentu arti sebenarnya dari ilmu pedang yang tinggi itu lantas menyeleweng 180 derajat."
Dengan kikuk Tik Hun mendengarkan uraian itu, ia tahu penjelasan orang tua itu sangat jitu, tapi biasanya ia sangat hormat dan cinta pada gurunya, kini mendengar sang guru dicela habis2an, betapapun ia tersinggung juga.
Tiba2 ia berbangkit, katanya: "Sudahlah, aku hendak pergi tidur, tidak mau belajar lagi!"
"Lho, kenapa? Apakah uraianku tidak betul?" tanya sipengemis dengan heran.
"Mungkin benar juga uraianmu itu," sahut Tik Hun dengan marah2. "Tapi engkau mencela kesalahan guruku, maka lebih baik aku tidak belajar."
"Hahaha!" sipengemis ter-bahak2 sambil mengusap kepala Tik Hun. "Bagus, bagus! Hatimu ternyata sangat jujur, aku paling suka orang macam kau. Baiklah aku mengaku salah padamu, selanjutnya aku takkan meyinggung lagi nama gurumu, puas tidak?"
Dari marah Tik Hun berubah girang, sahutnya: "Baiklah, asal engkau tidak menyebut guruku, biarpun aku menjura padamu juga boleh." Habis berkata, benar juga ia terus menjura beberapa kali.
Dengan tersenyum simpul sipengemis terima penghormatan itu, lalu ia mengulangi lagi sejurus demi sejurus untuk memberi penjelasan kepada Tik Hun. Ia benar2 tidak menyinggung lagi namanya Jik Tiang-hoat, tapi hanya membetulkan kesalahan Tik Hun saja. Begitulah yang satu mengajar dan yang lain mendengarkan, tanpa terasa suara ayam jago berkokok sudah terdengar, fajar sudah hampir menyingsing.
Maka berkatalah pengemis itu akhirnya: "Sekarang akan kuajarkan tiga jurus kepandaian istimewa kepadamu, besok kau ajak berkelahi lagi dengan kedelapan anak tak genah itu. Nah, ingatlah baik2!"
Semangat Tik Hun terbangkit, dengan cermat ia mengikuti gerak tongkat pengemis itu. jurus pertama adalah "Ji-koh-sik" atau gaya menusuk bahu, yaitu seperti sipengemis menusuk bahunya Tik Hun tadi dengan tongkat. Kalau musuh tidak menyerang dan melainkan berjaga diri saja, tusukan itu takkan berguna. Tetapi bila musuh bergerak, maka tusukan kilat itu pasti akan mengenai bahu musuh lebih dulu.
Jurus kedua adalah "Ni-kong-sik", gaya menampar pipi, caranya persis seperti apa yang telah dirasakan juga oleh Tik Hun tadi, yaitu pedang berpindah ketangan kiri, tangan kanan terus membalik dan menampar.
Jurus ketiga bernama "Gi-kiam-sik" atau gaya menanggalkan pedang lawan, sekali pedang menempel pedang lawan, diputir terus dicukit, caranya juga sudah dialami Tik Hun tadi.
Sebenarnya ketiga jurus itu masing2 mempunyai nama yang indah berasal dari bait2 syair kuno. Tapi pengemis tua itu tahu Tik Hun tidak banyak makan sekolahan, maka sengaja diberinya nama2 sederhana yang mudah diingat.
Biarpun Tik Hun bukan anak cerdas, tapi mempunyai tekad yang teguh. Ketiga jurus itu berulang kali dilatihnya selama lebih satu jam barulah paham benar2.
"Baiklah sekarang," kata sipengemis dengan tertawa. "Dan kau harus berjanji sesuatu padaku, yaitu kejadian malam ini aku mengajarkan Kiam-hoat padamu tidak boleh engkau katakan kepada siapapun juga, sekalipun gurumu juga tidak boleh."

Tik Hun menjadi serba sulit untuk menjawab. Biasanya ia sangat menghormati sang guru, terhadap sang Sumoay yang cantik itupun sudah lama dicintainya, segala apa biasanya pasti dikatakan kepadanya. Kini disuruh tutup mulut kepada kedua orang itu, keraguan ia ragu2.
"Tentang sebab musababnya seketika susah kuterangkan," kata si pengemis pula. "cuma rahasia malam ini kalau kau bocorkan, jiwaku tentu berbahaya, pasti aku akan mati dibawah tangannya Ban Cin-san."
Tik Hun terkejut, tanyanya heran: "Lau-pek, ilmu silatmu setinggi ini, mengapa jeri pada Supekku?"
Namun pengemis itu tidak menjawab dan bertindak pergi sambil berkata: "Kau akan bikin celaka aku atau tidak terserahlah kepada dirimu sendiri."
"Tidak," seru Tik Hun sambil lari menyusul sipengemis, "aku Tik Hun pasti takkan melupakan budimu, kalau aku membocorkan rahasia ini sekecap saja, biarlah aku dikutuk langit dan bumi."
Pengemis tua itu tidak berhenti, hanya sekejap saja sudah menghilang dalam kegelapan.
Tik Hun ter-mangu2 sejenak ditempatnya, kemudian ia menjadi teringat belum lagi menanya siapa nama pengemis tua itu. Namun orang tua itu sudah tak kelihatan lagi...........
Besok paginya, ketika Jik Tiang-hoat melihat muka sang murid itu matang-biru, ia menjadi heran, ia tanya: "Engkau berkelahi dengan siapa, mengapa abuh begitu rupa?"
Dasar Tik Hun memang tidak biasa berdusta, maka ia menjadi gelagapan.
Syukur Jik Hong keburu menyela: "Ha, tentu karena kena pukulan bangsat Lu Thong itu kemarin."
Sudah tentu Jik Tiang-hoat tidak pernah menduga apa yang terjadi semalam, maka iapun tidak menanya lebih jauh.
Kemudian Jik Hong menarik Tik Hun kesamping rumah, setiba dipelataran, dimana terdapat sebuah sumur, karena tiada orang lain lagi di sekitar situ. Jik Hong ajak sang Suheng berduduk di tepi perigi itu, lalu tanyanya: "Suko, semalam engkau berkelahi dengan siapa?"
Sudah tentu Tik Hun gelagapan pula, dan belum ia bersuara Jik Hong sudah berkata lagi: "Kau tidak perlu membohongi aku. Kemarin waktu kau menempur Lu Thong, dengan jelas aku menyaksikan pukulan dan tendangannya mengenai badanmu semua, tapi tiada yang mengenai mukamu."
Tahu kalau tak bisa membohongi sang Sumoay, terpaksa Tik Hun menerangkan duduknya perkara, ia pikir asal tidak bicara tentang pengemis tua itu kan tidak apa2. Maka ia pun menjelaskan cara bagaimana ia telah dikeroyok semalam.
Jik Hong menjadi gusar juga mendengar cerita itu, serunya murka: "Jadi mereka berdelapan mengeroyok engkau seorang? Huh, orang gagah macam apa itu? Marilah kita mengadu kepada ayah untuk minta keadilan kepada Ban Cin-san"
Saking marahnya sampai sebutan Supek tak digunakan olehnya lagi, melainkan langsung menyebut namanya.
"Tidak, jangan!" cepat Tik Hun mencegah. "Kalau aku mengadu kepada Suhu, bukankah malah akan dipandang hina oleh mereka?"
Jik Hong mendengus sekali dan tidak berkata lagi. Ia lihat baju sang Suheng banyak sobek, ia ikut merasa sayang, segera dikeluarkannya bungkusan benang dan jarum, terus saja ia menjahitkan baju Tik Hun yang robek itu.
Rambutnya yang meng-gesek2 dipipi Tik Hun itu menjangkitkan rasa risih pemuda itu, terendus pula bau harumnya badan sigadis, mau tak mau terguncang juga hati Tik Hun.
Malam itu, karena para tamu sudah pulang semua, Ban Cin-san mengadakan satu meja perjamuan untuk menjamu sang Sute, kedelapan muridnya ikut hadir.
Sesudah saling mengadu cawan, ketika Cin-san melihat bibir Tik Hun bengkak merah, tidak leluasa untuk makan, segera katanya, "Tik-hiantit, kemarin telah bikin susah padamu. Marilah ini makanlah yang banyak."
Sembari berkata, ia terus menyumpit sepotong paha ayam ke mangkoknya Tik Hun.
Tiba-tiba Ciu Kin mendengus hina sekali.
Memangnya rasa gusar Jik Hong sudah memuncak, ia menjadi tidak tahan lagi, segera ia berteriak: "Ban-supek, luka Tik-suko ini bukan karena dipukul Lu Thong, tapi adalah perbuatan kedelapan muridmu yang terpuji itu."
"Apa katamu?" tanya Ban Cin-san dan Jik Tiang-hoat berbareng dengan kejut.
Sim Sia, itu murid Cin-san kedelapan, usianya paling muda tapi mulutnya paling tajam, cepat ia mendahului buka suara, "Sesudah Tik-suko menangkan Lu Thong, ia bilang Suhu pengecut, tidak berani bergebrak dengan musuh, untung ada Tik-suko yang maju. Mendengar itu, saking tak tahan, kami....."
Wajah Ban Cin-san seketika berubah, tapi ia cukup sabar, dengan tertawa ia memotong: "Benar, memang berkat bantuan Tik-hiantit hingga kita tidak sampai dibikin malu musuh."
"Tapi Ban-suheng tidak tahan oleh kesombongan Tik-suko itu, maka lantas ajak bertanding padanya, dan agaknya seperti Ban-suheng mendahului sedikit," kata Sim Sia.
Sungguh gusar Tik Hun tak terkatakan. "Kau....kau ngaco-belo! Kapan aku....." dasarnya memang tidak pandai bicara, dalam gusarnya ia menjadi lebih gelagapan lagi.
"Ka-ji mendahului sedikit bagaimana?" tanya Cin-san.
Maka berkatalah Sim Sia: "Cara bagaimana semalam Sam-suheng bertanding dengan Tik-suko kami tidak mengetahui semua. Cuma pagi tadi Ban-suheng menceritakan kepada kami, katanya Ban-suheng seperti menggunakan jurus.... jurus...."
Ia sengaja menoleh kepada Ban Ka dan menanya: "Ban-suko, jurus apa yang kau gunakan hingga Tik-suko dikalahkan olehmu?"
Begitulah kedua orang itu sengaja main sandiwara, hingga tentang mereka berdelapan mengeroyok Tik Hun, mereka cuci tangan dengan bersih. Padahal cara bagaimana Ban Ka menangkan Tik Hun, orang lain tiada yang menyaksikan, sebenarnya susah untuk dipercaya. Namun karena yang bicara itu adalah Sim Sia yang masih ke-kanak2-an dengan sendirinya tiada yang menjangka bocah itu berdusta.
"Kiranya begitu!" Cin-san angguk2 juga oleh keterangan murid2nya itu.
Sebaliknya muka Jik Tiang-hoat merah padam bahna marahnya. Ia gebrak meja sambil membentak: "Hun-ji, bukanlah sudah kupesan agar jangan cekcok dengan para Suhengte, kenapa kau telah berkelahi malah?"
Melihat sang guru juga mempercayai ocehan Sim Sia, saking gusarnya sampai Tik Hun menggigil, katanya dengan tak lampias: "Su.....suhu, aku ti......tidak...."
"Sudah berbuat, masih mungkir?" damperat Tiang-hoat, kontan iapun persen sang murid sekali tamparan.
Seketika pipi Tik Hun merah begap. cepat Jik Hong pun berseru: "Tia, kenapa engkau tidak tanya lebih jelas duduknya perkara?"
Saking murka, watak dogol Tik Kun lantas kumat, tanpa pikir lagi ia meloncat bangun, ia samber pedang yang ditaruh dimeja belakangnya dan melompat ketengah ruangan, teriaknya keras2: "Suhu, Ban Ka itu mengatakan aku ...... aku kalah, biarlah suruh dia maju lagi sekarang!"
Tiang-hoat menjadi gusar, bentaknya: "Kau mau kembali tempatmu tidak?" Segera iapun berbangkit hendak menghajar dan meyeret kembali muridnya itu.
Namun Tik Hun sudah kadung kalap, segera ia berteriak-teriak, "Hayolah kalian delapan orang maju lagi semua. Kalau tidak berani, kalian adalah anak kura2, haram jadah, anak anjing!" Sebagai anak tani, dalam gusarnya, ia tidak peduli lagi, semua makian kotor dikeluarkannya semua.
Karuan Ban cin-san mengkerut kening. Katanya kemudian, "Jika begitu, bolehlah kalian maju untuk mencoba ilmu pedang Tik-suko."
Memangnya kata2 sang guru ini sedang di-tunggu2, tanpa disuruh lagi, segera Loh Kun berdelapan melolos pedang masing2 dan melompat maju semua hingga Tik Hun terkurung ditengah.
"Bagus!" teriak Tik Hun. "Tadi malam delapan anak anjing mengeroyok aku seorang, sekarang kembali kedelapan anak anjing lagi...."
"Hun-ji, kau mengoceh apa? Kalau bertanding ya bertanding, apa bertanding memaki?" bentak Tiang-hoat.
Gusar Ban Cin-san juga tak terkatakan. Ban Ka diantara kedelapan muridnya itu adalah putra tunggalnya. Kini Tik Hun memaki kalang kabut anak anjing segala, itu berarti iapun kena dimaki.
Ia lihat kedelapan muridnya mengambil kedudukan mengepung, maka bentaknya: "Tik-suheng memandang rendah pada kita dan berani satu lawan delapan, apakah kita sendiri juga mesti memandang rendah dirinya sendiri?"
"Ya, para Sute harap mundur dulu, biar aku yang belajar kenal dengan kepandaian Tik-suheng yang tinggi," kata Loh Kun, murid yang tertua.
Diantara sesama saudara perguruan itu, Bok Heng paling pintar berpikir. Ia tahu diantara mereka berdelapan, bicara tentang ilmu pedang adalah Sisuheng Sun Kin yang paling kuat. Semalam ia sudah menyaksikan pertandingan Ban Ka dan Tik Hun, kepandaian anak desa itu ternyata tidak lemah, apalagi kini dalam keadaan murka, belum tentu Toasuheng mampu menangkan dia. Maka lebih baik kalau Sun Kin yang maju, sekali tempur anak desa itu dikalahkan, tentu mulut anak desa itu tidak berani lagi omong gede.
Maka berkatalah Bok Heng: "Toa-suko adalah pemimpin diantara saudara perguruan kita, buat apa mesti maju sendiri? Biarkan saja Si-suko yang memberi hajaran kepada bocah itu."
Segera Loh Kun dapat memahami maksudnya, sahutnya dengan tersenyum: "Baiklah, Si-sute, penuhilah tugasmu!"
Berbareng iapun memberi tanda, ketujuh orang lantas melompat mundur, hanya ketinggalan Sun Kin yang menghadapi Tik Hun.
Sun Kin itu memang pendiam, terkadang sehari suntuk tidak bicara sepatah-katapun, makanya tekun melatih diri dan ilmu pedangnya terhitung nomor satu diantara para Suhengte.
Melihat dirinya dijagoi oleh para Suhengte, segera iapun angkat pedangnya keatas sambil membungkuk memberi hormat. Gaya ini disebut "Ban-kok-yang-cong-ciu, Ih-koan-pay-bak-liu", yaitu satu jurus pembukaan dengan laku sangat hormat kepada lawan.
Tapi dikala Jik Tiang-hoat memberi penjelasan kepada Tik Hun dulu, seperti juga jurus2 lainnya, jurus pembukaan inipun telah salah diartikan. Maklum sekolahnya terbatas. Maka syair yang indah maknanya itu salah dibaca menjadi, "Hoan-kak-liang-cong-cau, Ih-koan-pay-ma-liu", artinya aku adalah pihak yang baik dan engkau adalah orang busuk, kalau lahirnya aku memberi hormat padamu apa artinya? Aku adalah manusia dan engkau adalah monyet, manusia menghormat pada monyet, sama seperti menghormat pada binatang. jadi artinya menyimpang 180 derajat.
Karuan Tik Hun menjadi gusar karena dirinya dianggap sebagai monyet. Segera iapun membungkuk membalas hormat dengan jurus yang sama sebagai tanda bayar kontan hinaan orang itu. Bahkan sebelum tubuhnya menegak kembali, terus saja pedangnya menusuk ke perut lawan.
Para murid Ban cin-san yang lain sama menjerit kegat, namun Sun Kin sempat menangkis juga, "trang", kedua pedang saling bentur dan tangan masing-masing sama-sama kesemutan.
"Lihatlah Suhu, bocah itu keji atau tidak?" seru Loh Kun.
Diam2 Ban Cin-san heran juga mengapa anak desa itu begitu murka dan bertempur dengan mati2an?
Maka terdengarlah suara gemerincing yang riuh. Tik Hun dan Sun Kin saling gebrak dengan cepat, setelah belasan jurus, sekali pedang Sun Kin tersampok kesamping, perutnya menjadi luang tak terjaga. Tanpa ayal lagi Tik Hun menusukkan pedangnya sambil menggertak.
Tiba2 Sun Kin tarik pedangnya dan menangkis kebawah, berbareng tapak tangannya terus menghantam, "plak", dada Tik Hun tepat kena digenjot.
Berbareng anak murid Ban cin-san yang lain bersorak-sorai, ada yang berteriak2: "Huh, satu lawan satu saja tak mampu, masih omong gede hendak melawan delapan orang sekaligus!"
Karena pukulan itu, Tik Hun terhuyung sedikit, cepat ia tarik pedangnya dan balas menyerang secepat kilat, se-konyong2 pedangnya menyendal, "crat", tepat pundak Sun Kin kena tertusuk. Itulah "Ji-koh-sik" atau gaya menusuk bahu, ajaran sipengemis tua itu.
Serangan "Ji-koh-sik" itu datangnya terlalu mendadak sehingga siapapun tidak menduga sebelumnya. Seketika anak murid Cin-san yang lain mem-bentak2, Loh Kun dan Ciu Kin terus melompat maju berbareng dan mengerubut Tik Hun. Akan tetapi pedang Tik Hun kembali menusuk pula kekanan dan menikam kekiri, "crat - crat", bahu Loh Kun dan Ciu Kin berdua juga tertusuk semua, pedang mereka terjatuh kelantai.
"Bagus!" teriak Ban Cin-san dengan menarik muka.
Dengan menghunus pedangnya, pelahan2 Ban Ka maju ketengah, ia pandang Tik Hun dengan melotot, se-konyong2 ia membentak dan sekaligus melontarkan tiga tusukan. Namun semuanya dapat ditangkis Tik Hun dengan baik, tiba2 ia operkan pedang ketangan kiri, tangan kanan terus membalik dan menampar, "plok", tepat sekali Ban Ka kena ditempiling.
Tamparan Tik Hun ini lebih2 tak terduga oleh siapapun. Dalam kagetnya Ban Ka, menyusul Tik Hun sudah ayun kakinya pula menjejak dada lawan. Maka Ban Ka tak tahan lagi, ia jatuh terduduk.
Cepat Bok Heng berlari maju hendak membangunkan sang Suheng. Namun Tik Hun tidak memberi kesempatan padanya, kontan ia menusuk hingga terpaksa Bok Heng mesti menangkis.
Melihat Tik Hun begitu perkasa, sedangkan Ban Ka sampai muntah darah dan terduduk dilantai tak sanggup berdiri lagi. Seketika Go Him, Pang Tan dan Sim Sia bertiga ikut menyerbu maju.
Dalam pada itu demi mendengar suara ribut2 itu, banyak diantara pelayan keluarga Ban juga berlari keluar untuk melihat apa yang teryadi.
Jik Tiang-hoat sendiri menjadi bingung dan tidak tahu tindakan apa yang harus diambilnya. Sebaliknya Jik Hong ber-teriak2: "Tia-tia, mereka mengeroyok Tik-suko, lekas, lekas engkau menolong dia!"
Sementara itu terdengarlah suara "crang-creng" yang ramai, sinar tajam berkilauan, ber-batang2 pedang tampak mencelat jatuh ketengah pelayan2 yang merubung asyik menonton itu, karuan keadaan kacau-balau, kawanan pelayan itu berlari kian kemari untuk menghindar.
Hanya sekejap saja senjatanya Bok Heng, Go Him, Pang Tau dan Sim Sia sudah terlepas dari cekalan oleh "Gi-kiam-Sik" atau gaya melepaskan pedang, yang digunakan Tik Hun itu.
"Bagus, bagus!" tiba2 Ban Cin-san tepuk tangan sambil tertawa, "Wah, Jik-sute, ternyata engkau sudah berhasil meyakinkan 'Soh-sim-kiam-hoat', Kiong-hi, Kiong-hi!"
Tiang-hoat tertegun, sahutnya kemudian: "Soh-sim-kiam apa katamu?"
"Beberapa jurus yang dikeluarkan Tik-hiantit itu kalau bukan 'Soh-sim-kiam-hoat' lantas apa lagi?" kata Cin-san. "Kun-ji, Kin-ji, Ka-ji, mundurlah semua. Tik-suheng kalian sudah diajarkan 'Soh-sim-kiam-hoat' oleh Jik-susiok, mana mampu kalian melawan dia?" Lalu ia katakan pula kepada Jik Tiang-hoat: "Sute, kiranya engkau cuma pura2 dungu saja, tapi sebenarnya maha pintar!"
Dengan tiga jurus yang dipelajarinya dari pengemis tua itu, dalam sekejap saja Tik Hun sudah mengalahkan kedelapan lawannya, sudah tentu ia sangat senang. Tapi karena kemenangannya begitu mudah diperoleh, ia menjadi bingung malah dan kikuk. Ia pandang Suhu, pandang sang Sumoay dan lain saat pandang2 lagi kepada sang Supek dengan melongo.
Tiba2 Jik Tiang-hoat mendekati Tik Hun, ia ambil pedang dari tangan pemuda itu, mendadak ujung senjata itu terus diarahkan ketenggorokan sang murid sambil membentak: "Beberapa jurus tadi engkau dapat mempelajari dari siapa?"
Karuan Tik Hun kaget, sebenarnya ia tidak pernah berdusta, tapi dengan tegas sipengemis tua itu telah pesan bahwa rahasianya kalau dibocorkan, tentu akan membahayakan jiwa pengemis itu. Sebab itu pula dirinya sudah bersumpah tidak akan membocorkannya. Maka sahutnya dengan lancar: "Su.........Suhu, itu adalah pemi ............. pemikiran Teecu sendiri."
"Kau dapat menciptakan jurus ilmu pedang sebagus itu?" bentak Tiang-hoat pula. "Kau......... kau berani omong sembarangan padaku? Pabila kau tidak mengaku, sekali tusuk segera kuhabiskan nyawamu!"
Berbareng ujung pedang lantas disurung maju sedikit hingga nancap beberapa mili kedalam daging leher Tik Hun, seketika darah merembes keluar.
Cepat Jik Hong lari maju untuk menarik tangan sang ayah, serunya: "Tia, sejengkalpun Suko tidak pernah berpisah dari kita, darimana dia mendapat ajaran silat orang lain? Beberapa jurus itu bukankah engkau orang tua yang mengajarkan padanya?"
"Memangnya buat apa kau masih berlagak pilon, Sute," demikian jengek Ban-Cin-san. "Puterimu sendiri sudah cukup jelas mengatakan, apa perlu aku menanya lagi. Marilah, marilah aku memberi selamat tiga cawan padamu!"
Ia menuang penuh dua cawan arak, ia sendiri meneguk habis dulu secawan, lalu katanya pula, "Nah, Suhengmu ini sudah mengeringkan cawan lebih dulu, engkau harus memberi muka padaku."
Jik Tiang-hoat mendengus sekali dan membanting pedang kelantai, lalu menerima suguhan tiga cawan itu. Ia ter-menung2 ragu2 dan tidak habis mengerti, pikirnya: "Dikala kepepet, setiap orang memang bisa berlaku nekad dan menjadi lebih tangkas daripada biasanya. Tapi Hun-ji tadi bukan lagi kekalapan, tapi jurus2 serangannya itu sangat indah dan bagus. Aneh, sungguh aneh."
Ban Cin-san lantas berbangkit, katanya: "Jik-sute, ada suatu urusan ingin kurundingkan dengan engkau. Marilah kita kekamar baca untuk bicara?"
Tiang-hoat hanya mengangguk dan ikut berbangkit, lalu kedua saudara seperguruan itu berjalan kekamar baca.
Tinggal diruangan itu kedelapan murid Ban Cin-san masih melototi Tik Hun, namun Jik Hong lantas tarik sang Suheng duduk kembali ketempatnya tadi.
"Aku hendak buang air! Wah, aku sampai ter-kencing2 oleh kelihayan Tik-suko," kata Sim Sia tiba2.
"Pat-sute," bentak Loh Kun, "apa belum cukup engkau membikin malu?"
Sim Sia me-melet2 lidah dan meninggalkan ruangan itu. Tapi ia hanya pura2 menuju kekamar kecil, lalu ia memutar keluar kamar baca dengan ber-jengket2.
Ia dengar suara gurunya sedang berkata: "Jik-sute, rahasia yang sudah terpendam selama 20 tahun itu barulah hari ini terbongkar."
"Siaute tidak paham, apa artinya terbongkar itu?" terdengar Jik Tiang-hoat menyahut.
"Masakah masih perlu kujelaskan lagi? Coba jawablah, cara bagaimana Suhu meninggalnya?"
"Suhu kehilangan sejilid buku latihan silat, karena di-cari2 tetap tidak ketemu, beliau menjadi sedih dan achirnya meninggal. Hal ini toh kau sendiri cukup tahu, mengapa tanya kepadaku?"
"Baik. Lalu tentang kitab yang hilang itu, apakah namanya?"
"Aku justeru pernah mendengar dari Suhu, kitab itu bernama 'Soh-sim-kiam-boh'."
"Soh-sim apa segala, aku tidak paham."
"Hehehe, haha, hehahaha!"
"Apanya yang menggelikan?"
"Jik-sute, lagakmu benar2 sangat pintar. Sudah terang engkau mahir Soh-sim-kiam itu, tapi kau pura2 dungu".
"Apakah engkau hendak menguji aku?"
"Serahkan sini!"
"Serahkan apa?"
"Kau tahu sendiri, masih pura2 bodoh?"
"Hm, aku Jik Tiang-hoat justeru tidak pernah takut padamu."
Sim Sia menjadi takut mendengar pertengkaran sang Suhu dan Susiok itu, cepat ia berlari kembali keruangan depan dan membisiki Loh Kun: "Toasuheng, Suhu sedang bertengkar dengan Susiok, boleh jadi bakal berkelahi."
Loh Kun terkesiap, ia berbangkit dan berkata: "Marilah kita coba pergi melihatnya!"
Maka ber-bondong2 pergilah murid2 Ban Cin-san itu kekamar baca.
"Mari kitapun kesana!" ajak Jik Hong sambil menarik Tik Hun.
Tik Hun mengangguk. Dan baru dia berjalan beberapa tindak, Jik Hong sudah sodorkan sebatang pedang kepadanya. Waktu menoleh, ia lihat gadis itu membawa pula dia batang pedang.
"Buat apa sampai dua batang?" tanya Tik Hun.
"Ayah tidak membawa senjata!" sahut Jik Hong.
Setiba diluar kamar baca sana, kedelapan muridnya Ban Cin-san tampak sedang pasang kuping mengikuti apa yang terjadi didalam kamar itu. Jik Hong dan Tik Hun berdiri agar jauh dan ikut mendengar suara pertengkaran itu.
"Sudah terang sekarang bahwa jiwa Suhu adalah engkau yang membunuhnya," demikian Ban Cin-san sedang berkata.
"Kentut, kentut busuk! Darimana kau berani sembarangan menuduh aku?" sahut Jik Tiang-hoat dengan gusar, suaranya kedengarannya sampai serak.
"Habis, Soh-sim-kiam-boh milik Suhu itu bukankah dicuri oleh kau?"
"Aku peduli apa Soh-sim-kiam-boh segala? Kau bermaksud mempitnah aku ya? Huh, jangan harap!"
"Tapi beberapa jurus yang dimainkan muridmu itu bukankah Soh-sim-kiam-hoat? Kau masih berani membantah?"
"Bakat pembawaan muridku memang pintar, itu adalah hasil pemikirannya sendiri, bahkan aku sendiripun tidak bisa. Masakah itulah Soh-sim-kiam-hoat segala? Kau menyuruh Bok Heng pergi mengundang aku, katanya engkau sendiri yang sudah berhasil meyakinkan Soh-sim-kiam-hoat, benar tidak hal ini? Apa perlu panggil Bok Heng untuk dijadikan saksi?"
Maka berpalinglah semua orang diluar kamar itu kearah Bok Heng, wajah pemuda itu tampak merengut, terang apa yang dikatakan Jik Tiang-hoat itu memang tidak salah.
Tik Hun pun saling pandang sekejap dengan Jik Hong dan meng-angguk2, pikirnya: "Apa yang dikatakan Bok Heng tempo hari akupun ikut mendengar, tidak mungkin ia bisa menyangkal."
Maka terdengar Ban Cin-san telah menjawab dengan ter-bahak2: "Sudah tentu aku yang suruh Bok Heng menyampaikan kata2 itu kepadamu. Kalau tidak demikian, masakah aku dapat memancing engkau kesini. Jik Tiang-hoat, ingin kutanya padamu, kau bilang tidak pernah mendengar nama 'Soh-sim-kiam' segala, tapi mengapa waktu Bok Heng mengatakan aku sudah berhasil meyakinkan ilmu pedang itu, buru2 engkau lantas datang kemari? Nah, apa kau masih berani mungkir?"
"Aha, jadi kau sengaja memancing aku disini?"
"Benar, maka lekas kau serahkan Kiam-boh dan menjura pula kekuburannya Suhu untuk minta maaf."
"Kenapa mesti diserahkan padamu?"
"Hm, aku Toasuhengmu atau bukan!"
Keadaan sunyi sejenak didalam kamar itu, kemudian terdengar suara Jik Tiang-hoat berkata: "Baik, kuserahkan padamu."
Mendengar itu, semua orang yang mengintip diluar kamar itu tergetar. Tik Hun dan Jik Hong malu sekali. Loh Kun berdelapan melirik hina pula kearah mereka. Sungguh gemas dan penasaran sekali Jik Hong, sama sekali tak terpikir olehnya bahwa sang ayah terima menyerah secara begitu memalukan.
Tapi mendadak terdengarlah suara jeritan ngeri sekali, itulah suaranya Ban Cin-san.
"Ayah!" teriak Ban Ka, cepat iapun dobrak pintu kamar dan berlari kedalam.
Maka tertampaklah diatas dada Ban Cin-san tertancap sebilah belati yang mengkilap, dan orangnya menggeletak bermandikan darah.
Jendela kamar tampak terpentang, namun bayangan Jik Tiang-hoat sudah tidak kelihatan.
"Tia, Tia!" seru Ban Ka dengan menangis sambil menubruk kesamping tubuh sang ayah.
Denagn pelahan Jik Hong pun memanggil: "Tia, Tia!"
Sebaliknya Loh Kun terus berseru: "Lekas, lekas tangkap pembunuh!"
Be-ramai2 para murid Ban Cin-san lantas mengudak keluar sambil ber-teriak2 hendak menangkap pembunuh.
Tik Hun sendiri bingung juga oleh kejadian itu. Ia lihat tubuh Jik Hong agak sempoyongan, lekas2 dipayangnya.
Waktu menunduk, tertampak wajah Ban Cin-san sangat beringas menakutkan, mungkin sebelum ajalnya telah menderita kesakitan sekali.
Tik Hun tidak berani memandang lagi, ia mengajak pelahan: "Marilah kita pergi saja, Sumoay!"
Tapi belum lagi Jik Hong menjawab, tiba2 suara orang telah berkata dibelakang mereka: "Kalian adalah komplotan pembunuh guruku, jangan coba lari!"
Waktu Tik Hun menoleh, ia lihat ujung pedang Bok Heng sudah mengancam di belakang punggungnya Jik Hong.
Tik Hun menjadi gusar dan hendak menjawab dengan kata2 lebih pedas, tapi demi mengingat gurunya memang nyata telah membunuh Suheng sendiri, perbuatan durhaka seperti itu benar2 sangat rendah dan jahat, maka ia tidak berani buka suara lagi dan menunduk.

"Kalian lekas berdiam didalam kamar saja dan janga coba melarikan diri, nanti kalau kami sudah dapat menangkap Jik Tiang-hoat, sekalian akan kami adukan pada pembesar negeri," kata Bok Heng.
"Urusan ini adalah gara2ku, biarlah aku yang bertanggung jawab, hendak dikorek atau disembelih, boleh silahkan, tapi jangan mengganggu Sumoayku yang tak berdosa," sahut Tik Hun.
"Tak perlu banyak bicara, lekas jalan!" bentak Bok Heng sambil mendorongnya.
Tik Hun dengar diluar sana masih ribut dengan suara teriakan2 menangkap pembunuh, menyusul dijalan kota sana juga riuh ramai dengan suara gembreng. Malu dan sesal rasa hati Tik Hun, dengan menahan perasaannya itu segera iapun melangkah kekamarnya sendiri.
"Suko, lan......lantas bagaimana baiknya ini?" seru Jik Hong dengan menangis menyaksikan sang Suheng digiring pergi.
"Aku.......aku tidak tahu," sahut Tik Hun tergagap. "Biarlah aku yang menanggung dosanya Suhu."
"Tia-tia!" seru Jik Hong pula. "Ke......kemanakah beliau telah pergi?"
***********
Seorang diri Tik Hun duduk termenung didalam kamarnya, waktu itu sudah dua-tiga jam sesudah terjadi pembunuhan Ban Cin-san. Sambil memandang api lilin diatas mejanya, pikiran Tik Hun sangat kusut.
Diatas meja situ masih terdapat sisa setengah botol arak, walaupun tidak biasa, namun ia terus meneguk secawan demi secawan hingga kepalanya serasa puyeng se-akan2 pecah.
Sementara itu suara2 ribut diluar sudah sirap, tapi telinga Tik Hun masih mengngiang2 kata2 orang banyak: "Pembunuh sudah menghilang, biarlah besok kita kejar ke Ouw-lam, betapapun kita harus menangkapnya untuk membalas sakit hati Suhu."
"Ya, biarpun dia lari keujung langit juga akan kita tangkap kembali untuk dicincang!"
"Besok juga kita lantas undang tokoh2 Bu-lim untuk dimintai keadilan dan pembunuh pengecut itu harus diuber sampai ketemu."
"Benar, mari kita bunuh dulu kedua anjing kecil puteri dan muridnya itu untuk dibuat sesajen arwah Suhu."
"Sabarlah, biar besok Koam-thayya (tuan besar Bupati) memeriksa mayat dulu!"
Begitulah Tik Hun terus tenggelam dalam lamunannya. Ia pikir sang Sumoay dapat disuruh melarikan diri saja, tapi seorang gadis, kalau terluntang-lantung dikangouw, kemana dia harus meneduh? Pikirnya pula: "Biarlah kubawa lari dia! Ah, tidak, tidak! Awal perkara ini adalah gara2ku, kalau aku tidak berkelahi dengan para Suheng dari keluarga Ban, masakah Supek bisa mencurigai Suhu telah mencuri 'Soh-sim-kiam-boh' segala? Padahal Suhu adalah seorang paling jujur, tidak mungkin beliau sudi mencuri. Yang benar ketiga jurus itu adalah ajaran sipengemis padaku. Tapi Suhu sudah kadung membunuh orang, kalau kukatakan sekarang, tentu juga tiada yang mau percaya. Ya, memang aku yang salah, dosaku terlalu besar, besok aku harus menerangkan duduknya perkara dihadapan orang banyak untuk mencuci kesalahan Suhu. Akan tetapi, toh sudah terang Suhu yang membunuh Ban-supek, apakah dapat dosanya dicuci bersih? Tidak, aku tak boleh melarikan diri, aku harus tinggal disini untuk memikul dosa Suhu, biar mereka menghajar dan membunuh aku saja!"
Begitulah sedang Tik Hun dibuai oleh pikiran2 yang ruwet itu, tiba2 terdengar suara keletak sekali diatas atap rumah. Waktu Tik Hun mendongak, ia lihat sesosok bayang melayang lewat dari rumah kanan sana kerumah sebelah kiri. Hampir2 ia berseru memanggil "Suhu", tapi demi diperhatikan, ia lihat perawakan orang itu tinggi dan kurus, terang bukan gurunya. Menyusul mana kembali suatu bayangan orang melompat lewat lagi, malahan sekali itu tampak jelas orang itu menghunus golok.
"Apakah mereka sedang mencari Suhu? Mungkinkah Suhu masih berada disekitar sini dan belum lari pergi?" demikian Tik Hun men-duga2.
Tengah Tik Hun bersangsi, tiba2 didengarnya suara jeritan kaum wanita dari rumah sebelah kiri sana. Ia terkejut, tanpa pikir lagi ia samber pedangnya terus melompat keluar. Yang terpikir olehnya yalah: "Mereka sedang menganiaya Sumoay?"
Dalam pada itu terdengar pula jeritan seorang wanita sedang minta tolong! Suara itu seperti bukan suaranya Jik Hong, tapi Tik Hun terlalu menguatirkan keselamatan sang Sumoay, ia tidak sempat mem-beda2kan apakah itu suaranya Jik Hong atau bukan, sekali lompat, ia berdiri tegak diemper rumah, sementara itu suara minta tolong terdengar lagi.
"Serahkan nyawamu, bangsat!" bentak Tik Hun sambil melompat masuk kedalam kamar dan menerjang kedua bajingan itu.
Segera Tik Hun melompat kearah datangnya suara, ia lihat diatas loteng gedung itu ada sinar pelita, daun jendela kamar tampak terbuka. Cepat ia melayang kepinggir jendela dan melongok kedalam kamar. Kebetulan ia melihat seorang wanita dalam keadaan terikat sedang ditelentangkan diatas ranjang, dua laki2 yang punggungnya menggemblok golok sedang hendak berbuat tidak senonoh.
Tik Hun tidak kenal siapakah wanita itu, tapi terang wanita itu sangat ketakutan, wajahnya pucat dan sedang me-ronta2 diatas ranjang sambil ber-teriak2 minta tolong.
Tik Hun berjiwa kesatria, meski ia sendiri dalam kesulitan, tapi melihat keselamatan orang lain terancam, ia tidak dapat tinggal diam. Terus saja ia melompat masuk kedalam kamar, kontan pedangnya menusuk salah seorang laki2 itu.
Namun laki2 itu cukup gesit, cepat ia berkelit, menyusul ia samber sebuah kursi disampingnya untuk menangkis. Disebelah sana laki2 yang lain sudah lantas lolos senjata terus membacok.
Tik Hun melihat kedua laki2 itu memakai kedok kain hitam, hanya sepasang mata mereka yang kelihatan. Segera ia membentak: "Bangsat, serahkan jiwamu!" Berbareng ia menusuk pula tiga kali be-runtun2.
Tanpa bersuara kedua laki2 itu menangkis dan balas menyerang. Tiba2 satu diantaranya berseru: "Lu-hiantit, mari pergi!"
"Ya, anggap keparat Ban Cin-san itu masih untung, lain kali kita datang lagi menuntut balas," sahut laki2 yang lain. Berbareng goloknya lantas membacok pula keatas kepala Tik Hun.
Karena serangan itu cukup ganas, terpaksa Tik Hun mengegos, kesempatan itu telah digunakan oleh laki2 yang satunya untuk mendepak meja hingga tatakan lilin diatas meja itu jatuh kelantai dan sirap, seketika kamar itu menjadi gelap gelita. Menyusul mana kedua laki2 itu lantas melesat keluar melalui jendela, saat lain terdengarlah suara gemertakan, beberapa potong genting telah ditimpukan kedalam kamar.
Dalam kegelapan Tik Hun kurang celi, pula ilmu Ginkang bukan menjadi kemahirannya, maka iapun tidak berani mengejar. Ia pikir salah seorang tadi she Lu, tentu adalah begundalnya Lu Thong yang hendak membalas dendam, tapi mereka tidak tahu kalau Ban-supek sudah tewas.
Pada saat itu, tiba2 wanita diatas ranjang itu menjerit lagi: "Aduh, sakitnya, matilah aku, dadaku tertancap belati!"
Tik Hun terkejut, cepat tanyanya: "He, apa kau telah ditikam maling itu?"
"Aduh, kena! Dadaku kena!" rintih wanita itu.
"Biar kunyalakan lilin untuk memeriksa lukamu," ujar Tik Hun.
"O.......tolong! Tolonglah aku, lekas!" rintih pula siwanita.
Mendengar suara orang sangat menderita, segera Tik Hun mendekatinya.
Diluar dugaan, mendadak wanita itu terus merangkul erat2 tubuhnya Tik Hun sambil ber-teriak2: "Tolong, tolong! Ada maling! Tolong!"
Sungguh kejut Tik Hun tak terkira. Sudah terang tadi ia melihat wanita itu terikat kaki-tangannya, mengapa sekarang dapat menyikapnya? Lekas2 ia hendak mendorong pergi orang, siapa tahu tenaga wanita itu ternyata tidak lemah, bahkan menyikap lebih kencang hingga seketika Tik Hun susah melepaskan diri.
Tiba2 keadaan menjadi terang, dari luar jendela menyelonong masuk dua obor hingga kamar itu terang-benderang. Berbareng suara beberapa orang sedang menanya: "Ada apa? Ada apa?"
"Tolong! Ada Jay-hoa-cat (maling cabul)! Tolong!" masih wanita itu ber-teriak2.
Tik Hun menjadi gusar, serunya: "Ken.......kenapa kau sembarangan omong!"
Berbareng iapun men-dorong2 hendak melepaskan diri. Kalau tadi wanita itu menyikap kencang2 pinggangnya Tik Hun, adalah sekarang ia malah menolak dorongan Tik Hun itu sambil berseru: "Jangan pegang2, jangan pegang2 aku!"
Dan selagi Tik Hun hendak berlari menyingkir, "nyes" tahu2 tengkuknya terasa dingin, sebatang pedang telah mengancam lehernya. Dan sedang Tik Hun hendak membela diri, se-konyong2 sinar putih berkelebat, ia merasa tangan kanan kesakitan, "trang" pedangnya sudah jatuh kelantai.
Waktu ia memandang kebawah, hampir2 ia jatuh kelengar. Ternyata kelima jari tangan kanannya telah dipapas orang hingga habis, darah memancur keluar bagai mata air.
Waktu Tik Hun melirik, ia lihat Go Him berdiri disampingnya sambil menghunus pedang yang bernoda darah.
"Kau!" hanya ini saja tercetus dari mulutnya Tik Hun, berbareng kakinya terus mendepak.
Tapi mendadak punggungnya terasa digebuk orang sekali hingga ia ter-huyung2 dan jatuh menindih diatas badan wanita tadi.
Kembali wanita itu ber-teriak2 pula: "Aduh! Tolong! Tolong! Ada maling!"
"Ringkus bangsat kecil ini!" terdengar Loh Kun berkata.
Tik Hun sudah nekad dan akan mengadu jiwa dengan mereka. Meski dia cuma seorang anak desa yang tidak berpengalaman, tapi kini iapun insyaf dirinya telah terjebak oleh tipu muslihat orang. Maka begitu melompat bangun, terus saja Loh Kun hendak dirangsangnya. Tapi sekilas dilihatnya satu wajah yang cantik dan pucat. Itulah Jik Hong.
Tik Hun tertegun, ia lihat mimik wajah Jik Hong penuh mengunjuk rasa duka, marah, dan hina pula. "Sumoay!" serunya.
Muka Jik Hong merah padam, sahutnya: "Ken........kenapa kau berbuat begini?"
Meski rasa Tik Hun penuh penasaran, namun dalam saat demikian ia menjadi tidak sanggup buka suara.
Maka menangislah Jik Hong, katanya pula sambil terguguk sedih: "Oh, le........ lebih baik aku mati saja!"
Dan demi nampak kelima jari tangan Tik Hun terkutung, ia ikut sedih. Tanpa pikir ia robek ujung bajunya dan mendekati sang Suheng untuk membalut lukanya.
Saking kesakitan, beberapa kali hampir2 Tik Hun pingsan, namun ia bertahan sekuat-kuatnya sambil mengertak gigi hingga bibir sendiri tergigit pecah.
"Siau-sunio (ibu guru kecil), bangsat ini berani berbuat kurang ajar padamu, tentu kami akan cincang dia," demikian kata Loh Kun kemudian.
Kiranya wanita itu adalah gundiknya Ban Cin-san, namanya si Mirah. Dengan aksi ia menutupi mukanya sendiri sambil menangis pula: "O, macam2 bujukan yang dia katakan padaku. Ia bilang gurumu su........sudah mati dan suruh aku mengikut dia. Ia bilang ayahnya nona Jik telah membunuh orang hingga dia ikut tersangkut urusan. Ia mengatakan telah banyak mengumpulkan harta benda, sudah kaya-raya mendadak, aku diajak ikut minggat........"
Dalam keadaan bingung Tik Hun tidak sanggup lagi membela diri, ia cuma bisa menggumam: "Bohong, bohong!"
"Hayo pergi menggeledah kamar bangsat kecil ini!" teriak Ciu Kin.
Maka be-ramai2 Tik Hun lantas digusur kekamarnya. Dengan bingung Jik Hong ikut juga dari belakang. Sebaliknya Ban Ka lantas berkata: "Kalian jangan bikin susah Tik-suko, belum terang perkaranya, jangan sampai mempitenah orang baik2."
"Huh, masakah perkaranya masih kurang jelas?" ujar Ciu Kin dengan gusar.
"Apakah tadi engkau tidak mendengar dan menyaksikan sendiri?" kata Ciu Kin.
"Ya, tapi boleh jadi karena dia terlalu banyak minum, dalam keadaan mabuk menjadi silap," sahut Ban Ka.
Datangnya kejadian2 itu sangat cepat hingga Jik Hong sudah tidak bisa berpikir pula. Diam2 ia sangat berterima kasih mendengar Ban Ka membela Tik Hun. Dengan pelahan iapun berkata padanya: "Ban-suko, memang Tik-suheng bukanlah orang semacam itu."
"Ya, makanya aku kira dia terlalu banyak minum, soal mencuri tentu tak nanti diperbuatnya," sahut Ban Ka.
Tengah bicara, Tik Hun sudah digusur kedalam kamarnya. Sepasang mata Sim Sia berjelilatan kian kemari, tiba2 ia mendekati tempat tidur, ia tarik keluar satu bungkusan yang antap dan bersuara gemerincingnya logam.
Karuan Tik Hun bertambah kaget, ia lihat Sim Sia membuka bungkusan itu dan menuang keluar isinya. Ternyata semuanya adalah perkakas2 rumah tangga dari emas dan perak.
Kembali Jik Hong menjerit sambil memegangi meja. Segera Ban Ka menghiburnya: "Jangan kuatir, Jik-sumoay, pelahan2 kita mencari daya lain."
Menyusul Pang Tan menyingkap kasur dan tertampak pula dua bungkusan lain, waktu dibuka, isinya adalah emas intan dan perhiasan permata.
Kini Jik Hong tidak ragu2 lagi, menyesalnya tidak kepalang, sungguh kalau bisa ia ingin membunuh diri saja. Sejak kecil ia dibesarkan bersama Tik Hun, dalam pandangannya pemuda itu adalah calon suaminya kelak. Siapa duga kekasih yang sangat dihormat dan dicintainya itu dikala dirinya sedang dirundung malang lantas akan minggat bersama wanita lain. Apa benar2 wanita yang genit ini telah berhasil menggodanya atau dia kuatir tersangkut perkaranya ayah, maka ingin melarikan diri? Demikian pikirnya.
Dalam pada itu Loh Kun telah memaki: "Bangsat, bukti2 sudah nyata, apakah kau masih berani menyangkal?"
Berbareng itu, "plak-plok", kontan ia tempiling Tik Hun dua kali.
Karena kedua tangannya dipegangi Sun Kin dan Go Him, Tik Hun tidak dapat menangkis, karuan pipinya terus merah abuh. Bahkan Loh Kun belum puas, kembali ia jotos sekali pula didadanya Tik Hun.
"Jangan, jangan memukulnya! Ada apa bisa dibicarakan secara baik2," seru Jik Hong melerai.
"Mampuskan dulu bangsat kecil ini baru diseret kepengadilan negeri," seru Ciu Kin. Berbareng iapun menghantam sekali. Tak tahan lagi Tik Hun menyemburkan darah. Segera Pang Tan pun maju dengan pedang terhunus, katanya: "Potong sekalian tangan kirinya, biar dia buntung!"
Terus saja Sun Kin angkat lengan kiri Tik Hun dan Pang Tan ayun pedangnya hendak menabas. Saking kuatirnya sampai Jik Hong menjerit sekali.
Maka berkatalah Ban Ka: "Sudahlah, jangan bikin susah dia lagi, biar kita serahkan dia kepada yang berwajib saja."
Melihat Pang Tan sudah menarik kembali pedangnya, barulah Jik Hong merasa lega, dengan air mata ber-linang2 ia pandang sekejap kepada Ban Ka dengan penuh rasa terima kasih.
**********
Sudah tentu didepan pembesar negeri juga Tik Hun tak bisa memberi pengakuan yang memuaskan. Sama sekali tak tersangka olehnya bahwa sang Sumoay yang dicintainya itupun percaya dirinya menjadi maling dan bermaksud membawa minggat perempuan lain..............
"Satu, dua, tiga, empat............" begitulah rangketan petugas yang menghujani bebokong Tik Hun. Walaupun rangketan itu sangat keras, namun kalau dibandingkan hatinya yang sakit waktu itu, rangketan itu boleh dikata tiada artinya, bahkan rasa sakit luka tangan kanannyapun takada artinya lagi.
"........sepuluh........limabelas............duapuluh........." demikian Tik Hun terus dihujani rangketan hingga kulit dagingnya melocot sampai achirnya iapun tak sadarkan diri.
Ketika Tik Hun siuman didalam penjara, ia merasa kepalanya sangat berat, ia tidak tahu dimana dirinya berada saat itu dan sudah lewat berapa lamanya. Pelahan2 ia merasakan kesakitan luka jari tangannya itu, kemudian merasakan punggung, paha dan bokong juga kesakitan sekali. Ia ingin membalik tubuh supaya tempat yang kesakitan itu tidak tertindih dibawah, tapi mendadak pundaknya juga kesakitan luar biasa, kembali ia jatuh pingsan.
Ketika untuk kedua kalinya ia siuman, pertama yang terdengar olehnya adalah suara rintihannya sendiri, menyusul terasalah kesakitan diantero tubuhnya. Ia tidak tahu mengapa pundaknya sedemikian sakitnya? Apakah disebabkan kedua pundaknya juga dipapas orang? Sungguh ia tidak berani memandang lagi.
Mendadak ia mendengar suara gemerincingnya benturan besi, waktu ia menunduk, ia lihat ada dua utas rantai menjulur turun dari pundaknya sendiri. Karuan ia kaget dan takut. Ketika ia melirik kepundak, seketika gemetarlah tubuhnya. Dan karena gemetar, pundaknya menjadi lebih kesakitan lagi. Kiranya kedua rantai itu telah menerobos "Pi-pe-kut" (tulang pundak) dipundaknya dan ujungnya digembok bersatu dengan rantai belenggu kaki dan tangannya.
Bahwa tulang pundak dilubangi, ia pernah mendengar cerita gurunya, cara itu katanya cuma dilakukan oleh pembesar negeri terhadap penjahat kaliber besar. Sekali Pi-pe-kut ditembus, sekalipun kepandaianmu setinggi langit juga tak berguna lagi.
Sesaat itu timbul macam2 pertanyaan dalam benaknya Tik Hun. "Kenapa aku diperlakukan begini? Aku terpitenah, apa pembesar negeri tak tahu?"
Ketika diperiksa Ti-koan (Bupati), pernah juga ia menuturkan apa yang terjadi sebenarnya. Akan tetapi ia kalah bukti dan saksi. Si Mirah, itu gundiknya Ban Cin-san tegas2 menuduh dia bermaksud memperkosanya. Kedelapan muridnya Ban Cin-san juga menyatakan menemukan bukti2 harta curiannya dikamarnya Tik Hun. Opas2 kota Heng-ciu juga mengatakan tidak mungkin ada penjahat yang berani menggerayangi keluarga Ban yang disegani itu.
Tik Hun masih ingat wajah Tikoan itu cukup welas-asih tampaknya, usianya kira2 setengah umur. Ia yakin tuan besar Tikoan itu cuma sementara ini percaya pada aduan orang tapi achirnya pasti dapat menyelidiki duduk perkara yang sebenarnya. Akan tetapi kelima jari tangannya telah dipapas orang, kelak mana dapat menggunakan pedang lagi?
Begitulah dengan penuh rasa gusar, sesal dan sedih, tanpa hiraukan rasa sakit ia terus berbangkit dan ber-teriak2: "Penasaran! Penasaran!"
Tapi mendadak kakinya terasa lemas, ia terbanting jatuh lagi.
Watak Tik Hun memang sangat keras kepala, segera ia meronta hendak bangun pula. Tapi baru saja berdiri, kembali kakinya lemas, lagi2 ia roboh telungkup.
Namun sambil me-rangkak2 ia masih ber-teriak2: "Aku tidak bersalah, aku tidak bersalah!"
"Hehe, otot tulangmu telah dirusak orang, kepandaianmu telah punah semua, he-he, modal yang kau tanam ini sungguh tidak kecil!" demikian tiba2 suara seorang berkata dengan dingin dipojok kamar penjara itu.
Namun Tik Hun tidak gubris pada siapa yang berbicara itu dan apa artinya kata2 itu, ia masih terus berteriak: "Aku tidak bersalah, aku tidak bersalah!"
Mendengar suara ribut itu, seorang sipir bui mendatanginya dan membentak: "Ada apa kau gembar-gembor, lekas tutup bacotmu!"
Tapi teriakan Tik Hun semakin keras: "Aku tidak bersalah!"
"Kau tutup mulut tidak?" bentak sipir bui itu dengan gusar.

Namun Tik Hun berteriak terlebih keras lagi. Sipir bui itu menyengir ejek sekali, ia putar pergi dan datang pula dengan membawa seember air. Dari luar ruji kamar bui itu, terus saja ia siramkan air itu kebadan Tik Hun.
Seketika Tik Hun mengendus bau pesing, hendak menghindar sudah tak keburu lagi, karuan seluruh tubuhnya basah kuyup. Kiranya air yang disiramkan sipir bui itu adalah air kencing.
Air kencing mengandung kadar garam, maka rasa sakit luka2 Tik Hun itu bertambah perih oleh karena tersiram air kencing yang asin itu. Matanya menjadi ber-kunang2 dan gelap, kembali ia pingsan lagi.
Tik Hun tak tahan lagi oleh siksaan itu, ia jatuh sakit panas, dalam keadaan tak sadar ia selalu mengigau memanggil Suhu dan Sumoay.
Ber-turut2 tiga hari ia sama sekali tidak makan nasi yang dihantarkan sipir bui.
Sampai hari keempat, panas badannya sudah mulai hilang. Luka2nya juga sudah mulai kaku hingga tidak terlalu sakit seperti tempo hari.
Dan begitu ingat pada penasarannya, kembali ia berteriak: "Aku tidak bersalah!"
Tapi suaranya sekarang sudah terlalu lemah, ia cuma bisa me-rintih2 saja.
Setelah duduk sebentar dan agak tenang, ia coba memeriksa keadaan kamar bui yang terbuat dari batu itu, luasnya kira2 tiga meter persegi, lantainya batu, dindingnya juga batu.
Dipojok sana terdapat sebuah tong kotoran, bau yang tercium olehnya adalah bau apek dan bacin melulu.
Waktu ia berpaling, ia lihat diujung sana ada sepasang mata yang bengis sedang melotot kepadanya.
Ia terkejut. Tak tersangka olehnya didalam bui itu masih ada seorang lain lagi. Ia lihat orang itu penuh berewok, rambutnya panjang terurai sampai diatas pundak, bajunya compang-camping tak keruan hingga lebih mirip orang hutan. Ada juga persamaannya dengan dirinya, yaitu kaki-tangan orang itupun diborgol, bahkan Pi-pe-kut dipundaknya juga ditembusi dua utas rantai.
Melihat itu, perasaan yang per-tama2 timbul padanya adalah senang, sebab didunia ini ternyata masih ada seorang lagi yang tidaak beruntung dan senasib seperti dirinya. Tapi lantas pikirnya pula: "Orang ini begini bengis, tentu seorang penjahat kaliber besar. Ia dihukum karena setimpal dengan dosanya, tapi aku dihukum tanpa salah. Tak dapat aku dipersamakan dia."
Berpikir sampai disini, tanpa merasa air matanya terus bercucuran.
Waktu ia dirangket dan dipenjarakan, meski sudah banyak derita yang dirasakan, tapi selama itu ia mengertak gigi bertahan sebisanya dan tidak pernah meneteskan air mata. Tapi kini mendadak menangis, ia menjadi tak tahan lagi, achirnya ia menangis ter-gerung2 dengan keras.
"Hm, permainanmu sungguh hidup benar, pandai sekali kau! Apa engkau bekas pemain sandiwara, ya?" ejek si hukuman berewok itu.
Namun Tik Hun tidak menggubrisnya, ia tetap menangis se-keras2nya. Maka terdengarlah suara sipir bui itu mendatangi lagi dengan membawa seember air kencing pula.
Melihat itu, betapa pun Tik Hun kepala batu juga sudah kapok, kuatir kalau disiram air kencing lagi, terpaksa ia berhentikan tangisannya.
Tiba2 sipir itu mengamat-amatinya sejenak, lalu katanya: "Bajingan cilik, itulah ada orang datang menjenguk kau!"
Girang tercampur kejut Tik Hun, cepat tanyanya: "Sia..........siapa?"
Sipir itu memandangnya sejenak pula, lalu mengeluarkan kunci untuk membuka gembok pintu. Kemudian iapun keluar untuk membuka pintu besi diujung lorong sana, ketika pintu besi diluar itu dikunci lagi, maka terdengarlah suara tindakan tiga orang mendatangi.
Saking girangnya Tik Hun terus melompat bangun, tapi kakinya masih lemas, ia terguling pula, terpaksa bersandar didinding sambil memandang keluar. Karena bergeraknya itu, pundaknya menjadi sangat kesakitan, tapi untuk sementara sudah dilupakan olehnya, sebab dia yakin orang yang datang itu tentu Suhu dan Sumoaynya.
Mendadak seruan "Suhu" yang diucapkan separoh itu ditelannya kembali hingga mulutnya masih ternganga. Ternyata ketiga orang yang datang itu per-tama2 memang betul sipir bui itu, orang kedua juga benar adalah sang Sumoay, Jik Hong, tapi orang ketiga ternyata seorang pemuda ganteng berdandan perlente, itulah Ban Ka adanya.
"Suko, Suko!" seru Jik Hong segera sambil menubruk kepinggir langkan besi.
Tik Hun mendekatinya, ia lihat pakaian gadis itu terdiri dari bahan sutera, terang bukan lagi baju baru yang dipakainya dari desa itu.
Karena itu ia melangkah mundur lagi. Ia lihat kedua mata sigadis merah bendul dan masih berseru: "Suko, Suko, kau......... kau..........."
"Dimana Suhu?" sela Tik Hun. "Apakah beliau sudah diketemukan?"
Jik Hong menggeleng kepala dan air matanya ber-linang2 tanpa menjawab.
"Baikkah engkau? Tinggal dimana kau?" tanya Tik Hun pula.
"Aku tidak punya tempat meneduh, maka sementara tinggal di rumah Ban-suko........"
"Tempat itu adalah tempat celaka, jangan engkau tinggal disana, le........lekas pindah keluar!" seru Tik Hun.
Jik Hong menunduk, sahutnya dengan pelahan: "Tapi ke.......kemana aku harus pergi? Aku tidak punya uang pula. Ban-suko juga sang.........sangat baik padaku. Selama beberapa harini ia selalu..........selalu mendatangi kantor kabupaten, ia sudah banyak mengeluarkan uangnya untuk meno........menolong engkau."
Tik Hun semakin gusar, teriaknya: "Aku toh tidak bersalah, perlu apa dia membuang uang? Dan cara bagaimana kita harus membayar kembali padanya kelak? Nanti kalau Tikoan Tay-loya sudah terang menyelidiki perkaraku, tentu aku akan dibebaskan."
"O, ken.......kenapa engkau berbuat begitu? Mengapa hen........hendak meninggalkan aku?" demikian tiba-tiba Jik Hong menangis pula setengah meratap.
Tik Hun tercengang sejenak, tapi segera iapun paham. Ternyata sampai sekarang sang Sumoay masih percaya dia telah perlip-perlipan dengan wanita lain serta mencuri harta milik orang. Sesaat itu rasa sakit hatinya itu jauh lebih menderita daripada sakit segala siksaan badan. Rasanya be-ribu2 kata hendak dijelaskannya kepada Jik Hong, tapi toh sekecappun tak sanggup diucapkannya se-akan2 mulutnya sudah tak berkuasa lagi.
Melihat sikap Tik Hun yang luar biasa itu, Jik Hong menjadi takut, ia berpaling tidak berani memandangnya lagi.
Melihat sang Sumoay mendadak melengos, sungguh hancur luluh hati Tik Hun. Ia sangka sigadis sudah sedemikian benci dan dendam padanya karena ia telah main serong dengan wanita lain dan mencuri milik orang.
"Oh, Sumoay, jika engkau sudah tidak mempercayai diriku lagi, kenapa engkau datang pula menjenguk aku?" demikian keluhnya dalam hati.
Maka ia tidak berani pandang sigadis pula, pelahan2 iapun berputar menghadap dinding.
Jik Hong menoleh pula, katanya: "Suko, apa yang sudah lalu, tak perlu kita bicarakan lagi sekarang, yang kuharap semoga selekasnya dapat memperoleh beritanya ayah. Ban-suko juga .....juga akan berdaya untuk menjamin kau keluar........"
Sebenarnya hati Tik Hun ingin mengatakan tidak sudi dijamin dan ingin bilang engkau jangan tinggal dirumahnya, tapi meski mulutnya sudah terpentang, rasanya toh sangat berat mengeluarkan suara. Saking terguncang perasaannya hingga badannya gemetar, rantai belenggunya ikut bersuara gemerincing.
"Temponya sudah habis, lekas" desak sipir bui. "Disini adalah penjara kusus untuk hukuman berat, sebenarnya dilarang orang menjenguk, kalau diketahui atasan, tentu kami celaka. Nona, meski orang ini dapat keluar dengan hidup juga bakal menjadi cacad, maka lebih baik engkau melupakan dia saja dan kawinlah dengan seorang pemuda yang ganteng lagi kaya!"
Habis berkata, ia pandang Ban Ka sekejap dengan senyum berarti.
"Toasiok sebentar lagi," mohon Jik Hong.
Lalu ia ulurkan tangannya untuk menarik baju Tik Hun, katanya pula: "Suko, janganlah kau kuatir, aku pasti minta Ban-suko menolong keluar kau, lalu kita bersama akan pergi mencari ayah."
Ia angsurkan sebuah keranjang kecil kedalam kamar dan katanya: "Didalam keranjang ada sedikit Siobak, ikan pindang, telur ayam dan ada lagi dua tahil uang perak. Suko........."
Sipir bui sudah tidak sabar lagi, bentaknya: "Nona, jangan omong terus, aku takbisa menunggu lagi!"
Dan baru sekarang Ban Ka ikut buka suara: "Tik-suheng, jagalah dirimu baik2, perkaramu adalah perkaraku. Siaute pasti akan berusaha sebisanya untuk minta keringanan pada Koan-thayya dan lain hari kami akan menengok kau lagi."
Dalam pada itu sipir bui sedang men-desak2 lagi, terpaksa Jik Hong bertindak keluar sambil menoleh2 memandang Tik Hun, ia lihat pemuda itu menegak bagai patung, sedikitpun tidak bergerak dan tetap menghadap dinding.
Yang terllihat oleh Tik Hun waktu itu melulu dekat-dekuk dinding batu yang kasap itu, sungguh ia ingin menoleh dan ingin memanggil Sumoay, tapi mulutnya serasa gagu dan lehernya juga se-akan2 kaku.
Ia dengar tindakan tiga orang semakin menjauh, mendengar suara pintu besi dibuka dan ditutup kembali, lalu tindakan sipir bui yang berjalan kembali.
Ia pikir: "Ia mengatakan akan menjenguk aku lagi, apakah esok dia akan datang?"
Tik Hun merasa lapar juga, segera ia hendak mengambil penganan dari keranjang yang ditinggalkan Jik Hong itu. Tapi tiba2 sebuah tangan yang lebat dengan bulu2 hitam menyamber yang dipegangnya itu. Itulah dia sihukuman yang bengis itu. Setelah merebut penganan itu, terus saja orang itu mencomot sepotong daging dan diganyang dengan lahap.
"Itu milikku!" teriak Tik Hun terus hendak merebut kembali.
Tapi sekali perantaian itu mendorongnya, Tik Hun tak sanggup berdiri tegak lagi, ia jatuh terjengkang hingga kepalanya membentur dinding batu.
Baru sekarang Tik Hun menjadi jelas bahwa dirinya benar2 telah berubah seorang cacat sesudah Pi-pe-kut dipundak ditembus dan otot kaki dipotong orang..........
Besoknya Jik Hong tidak kelihatan, hari ketiga juga tidak muncul, begitu pula hari keempat dan selanjutnya. Se-hari2 Tik Hun ber-harap2 bisa melihat sang Sumoay lagi, tapi selalu kecewa, dari kecewa menjadi putus asa.
Sampai belasan hari, Tik Hun benar2 seperti orang gila. Ia ber-teriak2 dan gembar-gembor, ia bentur2kan kepalanya kedinding hingga benjut, tapi Jik Hong tetap tidak kunjung tiba, yang datang adalah siraman air kencing sipir bui dan hadiah bogem mentah siperantaian yang ganas itu.
Selang setengah bulan lebih, pelahan2 Tik Hun menjadi tenang, tapi sepatah katapun sekarang tak diucapkan lagi.
Suatu malam, tiba2 datang empat petugas penjara dengan membawa golok, mereka menyeret keluar siberewok yang ganas itu.
Diam2 Tik Hun pikir: "Apakah dia akan dihukum penggal kepala? Jika begitu malahan lebih baik baginya daripada tersiksa hidup didalam penjara. Dan akupun takkan dianiaya lagi olehnya."
Tengah malam, selagi Tik Hun tidur, tiba2 terdengar suara gemerincingnya rantai, keempat petugas bui itu telah menggusur kembali siganas itu.
Dari sinar bulan yang menembus masuk melalui lankan besi Tik Hun dapat melihat muka, tangan dan pundak siberewok itu penuh darah, terang habis dihajar orang hingga babak-belur.
Dan begitu merebah dilantai, siganas itu lantas tak sadarkan diri. Sesudah petugas2 penjara pergi, Tik Hun coba mengamat-amati orang, ia lihat muka, lengan, kaki dan pundaknya penuh luka bekas cambukan.
Dasar hati Tik Hun memang welas-asih, meski selama ini ia sendiri sering dihajar orang itu, namun melihat keadaannya yang mengenaskan itu, ia menjadi tidak tega. Ia menuang sedikit air dari kendi dan diminumkan padanya.
Pelahan2 perantaian itu siuman, dan ketika melihat Tik Hun, mendadak ia angkat belenggu tangannya dan mengepruk keatas kepala pemuda itu. Meski Tik Hun sudah kehilangan tenaga, tapi kegesitannya masih ada, cepat ia mengegos. Diluar dugaan serangan perantaiannya itu tidak jadi dilontarkan terus, tapi ditengah jalan mendadak membiluk kesamping, lalu menghantam kepinggang Tik Hun. Inilah semacam gaya serangan yang lihay dari ilmu silat.
Tanpa ampun lagi Tik Hun terpental jatuh, karena gesekan diantara rantai yang menembus tulang pundak dan belenggunya itu, Tik Hun sampai meringis kesakitan. Saking kejut dan gusar ia terus memaki: "Orang gila!"
"Hm, kau memakai akal menyiksa diri, kau kira mudah mengelabui aku? Huh, jangan kau mimpi!" demikian jengek siganas itu sambil ter-bahak2.
Tik Hun merasa tulang iganya se-akan2 patah, saking sakitnya sampai takbisa bicara. Selang agak lama barulah ia sanggup berkata: "Orang gila! Kau sendiri dalam penjara, apanya yang kuatir diakali orang?"
Tiba2 perantaian itu melompat maju, ia depak punggung Tik Hun, menyusul menendang pula beberapa kali dibagian tubuh Tik Hun yang lain sambil membentak: "Kulihat usia kau bangsat kecil ini masih muda, belum banyak kejahatan yang kau lakukan dan tentu kau diperintah orang lain kesini, kalau tidak, hm, sekali tendang sudah kumampuskan engkau!"
Sungguh gusar Tik Hun tak terkatakan hingga lupa rasa sakit dibadannya. Ia pikir dipenjarakan dan disiksa tanpa bersalah sudah sangat penasaran, kini mesti dikurung lagi sekamar dengan seorang gila seperti ini, benar2 sial dangkalan.
*********
Ketika malam purnama bulan kedua tiba, perantaian ganas itu digiring keluar lagi oleh petugas penjara, setelah dihajar pula kemudian digusur kembali. Sekali ini Tik Hun sudah kapok, ia tidak peduli lagi biarpun luka perantaian itu sangat parah.
Siapa duga sikapnya inipun salah lagi. Karena habis dihajar orang, amarah perantaian itu tak terlampiaskan, meski dalam keadaan babak-belur, kembali Tik Hun yang dijadikan sasaran pelampias gusarnya, ia menghantam dan menendang serabutan sambil mencaci maki hingga jauh malam.
Begitulah maka selanjutnya tiap2 menjelang malam purnama, tentu Tik Hun bermuram durja, sebab ia tahu hari naas baginya pun sudah mendekat.
Dan memang benar juga, setiap tanggal 15, yaitu di waktu bulan purnama, tentu perantaian itu diseret keluar untuk dihajar, dan kembalinya lagi2 Tik Hun menjadi giliran dihajar olehnya. Untunglah usia Tik Hun masih muda, badan kuat tenaga besar, meski setiap bulan sekali menderita hajaran, namun ia masih dapat bertahan.
Cuma terkadang ia suka heran sendiri: "Tulang pundakku ditembusi rantai dan tenagaku lenyap semua. Sama halnya Pi-pe-kut orang gila inipun ditembus rantai, mengapa dia masih begini kuat?"
Beberapa kali Tik Hun bermaksud menanya, tapi asal mulutnya mengap sedikit saja, segera ia dipersen pukulan dan tendangan oleh orang gila itu. Karena itu, selanjutnya sekecappun ia tidak ajak bicara lagi padanya.
Dengan begitu beberapa bulan telah lalu dengan cepat, musim dingin berganti musim semi, Tik Hun dipenjarakan sudah hampir setahun lamanya. Lambat laun Tik Hun menjadi biasa oleh penghidupan dalam penjara itu, rasa dendam dan gusar serta penderitaan badan baginya sudah kebal.
Selama itu, untuk menghindarkan aniaya perantaian gila itu, selalu ia tidak berani memandangnya. Asal jangan mengajak bicara dan sorot mata tidak kebentrok dengan pandangannya, kecuali dimalam bulan purnama, di-hari2 biasa orang gila itupun tidak meng-utik2 padanya.
Suatu pagi, belum lagi Tik Hun mendusin, tiba2 ia terjaga oleh suara men-cit2nya burung layang2 diluar kamar penjara.
Teringat olehnya dimasa kanak2 ia suka mengintai cara burung layang2 membangun sarang. Se-konyong2 pilu hatinya, ia memandang kearah burung itu, ia lihat sepasang burung layang2 itu sudah terbang menjauh melayang lewat dibawah jendela sebuah loteng yang belasan meter tingginya.
Dalam isengnya sering Tik Hun memandangi gorden jendela dikejauhan itu sambil men-duga2 siapakah gerangan orang yang tinggal dibalik jendela itu. Tapi jendela itu selalu tertutup, hanya didepan jendela itu setahun suntuk selalu terhias sebuah pot bunga, dimusim semi yang semarak itu bunga melati dipot bunga itu sedang mekar.
Tengah Tik Hun mengelamun, tiba2 didengarnya suara menghela napas sigila itu.
Hal ini benar2 sangat mengherankan Tik Hun.
Selama setahun itu, orang gila itu kalau tidak tertawa keras, tentu mencaci-maki orang, tapi selamanya tidak pernah mendengar dia menghela napas, apalagi diantara helaan napasnya itu kedengaran membawa rasa sedih dan lemah-lembut pula.
Tik Hun coba memandangnya, ia lihat sigila itu lagi ter-senyum2, wajahnya memantulkan rasa melekat, tidak lagi macam sigila yang bengis itu, dan pandangannya lagi menatap pot bunga melati itu. Kuatir kalau diketahui orang, lekas2 Tik Hun berpaling tak berani memandangnya lagi.
Sejak mengetahui rahasia itu, setiap pagi Tik Hun tentu mengintip sikap sigila itu. Ia lihat sigila itu selalu memandangi pot bunga itu dengan rasa lemah-lembut, ia memandang terus meski bunga didalam pot itu sudah ber-ganti menurut musimnya.
Dalam setengah tahun berikutnya itu, mereka berdua hampir tidak pernah bicara. Hajaran dimalam purnama pun sudah merupakan acara biasa bagi mereka. Tik Hun mengetahui asal dirinya tidak membuka suara, maka rasa gusar sigila itu akan agak reda, pukulan dan tendangannya pun lebih ringan. Tik Hun pikir kalau lewat beberapa tahun lagi tersekap dalam penjara itu, mungkin cara bagaimana harus bicarapun akan terlupa semua olehnya."
Dan meski sigila itu sangat kasar dan tidak kenal aturan, namun ada juga paedahnya, yaitu petugas2 bui sangat takut padanya dan tidak berani sembarangan datang kekamar penjara itu. Sigila itu benar2 seorang yang tidak gentar pada langit dan bumi, setiap orang dimakinya habis2an. Bila sipir bui mogok tak menghantar daharan padanya, sebagai gantinya ia lantas rebut bagiannya Tik Hun. Dan kalau ke-dua2nya tak diberi makanan, biarpun kelaparan beberapa hari juga sigila itu anggap biasa.
Sampai tanggal 15 bulan sebelas tahun kedua ini, sesudah sigila itu kembali dihajar, tiba2 ia sakit panas, dalam keadaan tak sadar ia mengigau tak keruan.
Sampai2 Tik Hun mendengar dia sering menyebut nama entah "Momo" atau "Maumau".
Semula Tik Hun tidak berani mengutiknya, tapi sampai besok siangnya, ia dengar sigila me-rintih2 minta air.
Karena tidak tega, Tik Hun menuangkan air yang diminta dan diminumkan kepadanya sambil ber-jaga2 kalau bogem mentah sigila itu melayang pula. Baiknya sekali ini ia minum dengan lancar, setelah menyebut lagi entah "Momo" atau "Maumau", lalu ia tertidur. Malamnya, ternyata datang lagi keempat petugas bui dan menyeret keluar sigila untuk dihajar pula. Kembalinya suara rintihan sigila itu sudah sangat lemah.
Terdengar salah seorang petugas bui itu membentak dengan gemas: "Kau kepala batu dan tidak mau mengaku, biarlah besok kami hajar pula lebih hebat."
Sudah dua tahun Tik Hun hidup sekamar dengan perantaian itu, meski selama itu ia kenyang dianiaya olehnya, namun iapun tidak ingin orang mati disiksa oleh petugas2 bui itu. Besoknya, ada beberapa kali Tik Hun minumkan air padanya, sigila itu meng-angguk2 tanda terima kasih.
Malamnya, benar juga keempat petugas bui itu datang lagi. Tik Hun pikir kalau sekali ini sigila disiksa pula, tentu jiwanya akan melayang. Mendadak Tik Hun menjadi nekad, ia melompat maju dan merintangi diambang pintu penjara sambil membentak: "Dilarang kalian masuk!"
"Minggir, bangsat!" maki salah seorang petugas yang berbadan tinggi besar sambil melangkah masuk dan hendak mendorong Tik Hun.
Karena tak bertenaga, se-konyong2 Tik Hun menunduk terus menggigit hingga kedua jari telunjuk dan manis petugas itu berdarah dan hampir patah. Keruan petugas itu menjerit kesakitan dan cepat melompat keluar kamar penjara. Saking gugupnya sampai golok petugas itupun jatuh kelantai.
Cepat Tik Hun samber golok orang, menyusul ia membabat kian kemari tiga kali, meski dia tak bertenaga, namun mana berani petugas2 itu sembarangan maju? Pada lain saat, ketika seorang petugas yang gemuk ayun goloknya hendak menerjang maju, tiba2 Tik Hun miringkan tubuh kesamping, dengan cepat goloknya membacok kekaki lawan, "crot", tepat paha petugas itu kena dilukai.
Dengan ketakutan lekas2 petugas itu menjatuhkan diri dan lari keluar. Dengan tekad banjir darah dikamar penjara itu, apalagi nampak Tik Hun mengamuk bagai banteng ketaton, keempat petugas bui itu menjadi jeri dan tidak berani sembarangan maju lagi.

Mereka terus mencaci-maki Tik Hun habis2an dengan segala macam kata2 kotor. Tik Hun tidak menggubrisnya, bagai malaikat penjaga pintu, ia jaga pintu kamar penjara itu dengan kuat.
Ternyata keempat petugas bui itupun tidak pergi minta bala bantuan, melihat gelagat menyerbu kedalam takkan berhasil, akhirnya merekapun tinggal pergi. Ber-turut2 empat hari sipir bui sama sekali tidak kelihatan, tidak hantar nasi juga tidak kasih air. Sampai hari kelima, rasa dahaga Tik Hun sudah tidak tahan, lebih2 sigila itu, bibirnya sampai pecah2 saking keringnya.
Tiba2 katanya: "Kau boleh pura2 hendak membacok mati aku, tentu anak anjing itu akan segera membawakan air!"
Tik Hun tidak mengarti apa2an itu, tapi achirnya toh tiada jeleknya, boleh juga dicoba. Maka segera ia ber-teriak2: "Lekas kasih air, kalau tidak, biar kumampuskan dulu orang gila ini!"
Habis berkata, ia meng-gosok2 punggung goloknya diruji besi pintu hingga mengeluarkan suara nyaring mirip orang sedang mengasah senjata. Eh, benar juga sipir bui itu buru2 mendatangi sambil mem-bentak2: "Kau berani mengganggu seujung rambutnya, segera kutikam seratus ribu kali ditubuhmu!"
Tapi kemudian ia lantas membawakan air minum dan nasi. Selesai Tik Hun menyuap sigila itu, kemudian ia menanya: "Sungguh aneh, mereka menyiksa engkau, tapi kuatir pula kalau aku membunuh engkau, apakah sebabnya ini?"
Mendadak sigila mendelik, ia angkat kendi wadah air dan mengepruk kepalanya Tik Hun sambil memaki: "Hm, kau pura2 mengambil hatiku, apa kau sangka aku mudah tertipu?"
"Prak", kendi pecah dan jidat Tik Hun pun melocot dan darah mengucur.
Dengan bingung ia melompat mundur, pikirnya: "Penyakit gila orang ini angot lagi!"
Tapi sejak itu, meski setiap malam purnama sigila itu masih tetap diseret keluar untuk dihajar, namun kembalinya ia tidak membalas hajar Tik Hun lagi.
Cuma kedua orang tetap tidak pasang omong, bila Tik Hun banyak memandang padanya, tak terhindarlah dari pukulan2 sigila lagi..........
**********
Sampai musim dingin tahun ketiga, harapan keluar penjara Tik Hun sudah lenyap. Meski dalam mimpi masih sering terbayang Suhu dan Sumoaynya, namun bayangan sang Suhu sudah mulai samar2, hanya bentuk tubuh Sumoay yang montok menggiurkan, raut mukanya yang manis dan matanya yang jeli, selalu masih terbayang olehnya dengan jelas.
Ia tidak berani mengharap lagi untuk keluar penjara dan bertemu dengan sang Sumoay, namun setiap hari ia tidak lupa selalu berdoa semoga Sumoay akan datang menjenguknya pula, untuk mana biarpun setiap hari ia akan dihajar oleh sigila itu juga rela. Namun Jik Hong tetap tidak pernah muncul.
Tapi pada suatu hari telah datang seorang hendak menengoknya. Itulah seorang pemuda ganteng cakap dengan baju sutera yang mentereng. Hampir Tik Hun tidak kenal pemuda itu.
Ia dengar pemuda itu lagi berkata dengan suara tertawa: "Tik-suheng, apakah engkau masih kenal padaku? Akulah Sim Sia adanya!"
Hati Tik Hun ber-debar2 keras, yang dia harap yalah dapat memperoleh sedikit kabarnya Jik Hong. Maka cepat tanyanya: "Dimanakah Sumoayku?"
Sebelum menjawab Sim Sia menyodorkan sebuah keranjang kecil dari luar lankan penjara, lalu katanya dengan tertawa: "Ini adalah pemberian dari Ban-suso kami kepadamu. Orang masih belum melupakan perhubungan dimasa dulu, maka dihari bahagianya sengaja minta aku menghantarkan dua ekor ayam, empat potong Ti-tee (kaki babi) dan 16 iris kueku kepadamu."
"Ban-suso (ipar perempuan) yang mana? Hari bahagia apa?" tanya Tik Hun dengan bingung.
"Ban-suso itu tak-lain-tak-bukan adalah nona Jik, Sumoaymu itu," sahut Sim Sia sambil terbahak dengan mimik wajah yang memuakkan. "Hari ini adalah hari pernikahannya dengan Ban-suko kami. Ia suruh aku menghantar ikan ayam dan kue-ku padamu, bukankah itu menandakan dia masih ingat pada kebaikanmu dahulu?"
Tubuh Tik Hun sempoyongan, ia pegang kencang2 lankan penjara dan teriaknya dengan suara gemetar: "Kau ......kau mengaco-belo! Sumoay......Sumoayku mana dapat menikah dengan orang she Ban itu?"
"Haha," kembali Sim Sia tertawa. "Guruku dahulu telah ditikam oleh gurumu, beruntung beliau tidak jadi meninggal, lukanya telah dapat disembuhkan, maka apa yang terjadi dahulu tak diusut lebih jauh. Sumoaymu tinggal dirumah kami, selama tiga tahun ini, wah alangkah mesranya, boleh jadi .......boleh jadi, haha, lain tahun tanggung akan melahirkan seorang orok yang gemuk dan mungil."
Tiga tahun tidak berjumpa, Sim Sia ternyata sudah meningkat dewasa, bicaranya juga bertambah bangor. Sesaat itu telinga Tik Hun se-akan2 mendenging, dan seperti mendengar ia sendiri sedang bertanya: "Dan dimanakah Suhuku?"
"Siapa tahu? Mungkin dia sangka telah membunuh orang, maka melarikan diri sejauh mungkin, masakah dia masih berani pulang?" demikian seperti didengarnya Sim Sia menjawab.
Dan seperti didengarnya pemuda itu berkata pula dengan tertawa: "Kata Ban-suso: Hendaklah kau lapangkan hatimu dan tinggal didalam penjara, kelak kalau dia sudah punya beberapa anak, boleh jadi dia kan datang menjenguk engkau."
"Bohong kau! Bohong kau!" teriak Tik Hun mendadak dengan murka, berbareng ia lemparkan keranjang penganan tadi hingga isinya berantakan memenuhi lantai.
Ia lihat diatas setiap potong kue-ku itu tercetak huruf2 merah tanda selamat pernikahan keluarga Ban dan Jik. Hendak Tik Hun tidak percaya kepada omongan Sim Sia itu, namun bukti itu membuatnya mau-tak-mau harus percaya.
Dalam keadaan samar2 ia mendengar Sim Sia berkata lagi dengan tertawa: "Kata Ban-suso, sayang engkau tidak dapat hadir dalam upacara pernikahannya........"
Belum habis ucapannya, tiba2 kedua tangan Tik Hun yang terbelenggu itu menjulur keluar lankan penjara dan tahu2 leher Sim Sia tercekek.
Dalam kagetnya Sim Sia terus me-ronta2 ingin melepaskan diri. Namun entah darimana datangnya tenaga Tik Hun, cekekannya ternyata semakin kencang.
Sim Sia ber-kaok2 minta tolong, wajahnya dari merah mulai berubah gelap, suaranya mulai serak, kedua tangannya me-ronta2, tapi tetap takbisa melepaskan diri.
Mendengar suara ribut2 itu, datanglah sipir bui, cepat ia pegang tubuh Sim Sia dan dibetot sekuatnya, dengan susah payah, achirnya dapatlah jiwa Sim Sia diselamatkan dan buru2 ngacir.
Tik Hun mendoprok kelantai dengan lemas. Dengan ketawa2 seperti putus lotre sipir bui sedang menjemputi ikan ayam, kaki babi dan kue-ku yang berserakan itu. Namun Tik Hun hanya mendelik doang se-akan2 tidak melihatnya.
Tengah malam, Tik Hun melepaskan bajunya dan merobeknya dalam potongan kecil2, ia jadikan seutas tambang yang panjang, ia buat sebuah jiratan dan kedua ujung tambang diikatkannya diatas lankan penjara, ia masukan leher sendiri kedalam jiratan itu.

Ia tidak merasakan sedih, juga tidak merasakan gusar. Arti orang hidup baginya sudah tamat dan cara inilah jalan paling cepat untuk mengakhirinya. Ia merasa jiratan tali dileher semakin kencang, napasnya juga main lama makin tipis. Selang sebentar, segala apa tak diketahuinya lagi.
Tapi akhirnya ia dapat merasakan lagi pelahan2, ia merasa seperti ada sebuah tangan menahan didadanya, tangan itu mengendor dan mengencang terus mengusap dadanya, hidungnya lantas dihembus pula hawa segar. Dan entah sudah berapa lamanya, pelahan2 barulah ia membuka matanya. Dan yang tertampak olehnya per-tama2 adalah sebuah wajah yang penuh berewok sedang memandangnya dengan tertawa lebar.
Melihat muka siberewok gila itu. Tik Hun menjadi sangat mendongkol. "Kurangajar, selalu kau musuhi aku, sampai aku mencari mati juga kau menggangguku," demikian pikirnya. Niatnya hendak bangun untuk adu jiwa dengan orang gila itu, tapi Tik Hun merasa badannya terlalu lemah, semangat ada, tenaga kurang!
Maka berkatalah sigila itu dengan tertawa: "Napasmu sudah putus hampir setengahan jam, kalau aku tidak menolong engkau dengan ilmu tunggalku, didunia ini tiada orang kedua lagi yang mampu menghidupkan kau kembali."
"Siapa pingin ditolong oleh kau? Aku justeru tidak ingin hidup lagi," sahut Tik Hun dengan gusar.

"Tapi kalau aku melarang engkau mati, engkau lantas takkan mati," ujar sigila itu dengan senang2. Tiba2 ia mepet kesamping Tik Hun dan membisikinya: "Ilmu tunggal ini namanya 'Sin-ciau-keng', kau pernah dengar tidak?"
"Yang pasti aku hanya tahu kau punya Sin-keng-peh (penyakit otak miring), peduli apa kau Sin-ciau-keng segala? Selamanya aku tidak pernah mendengar!" demikian sahut Tik Hun dengan marah2.
Aneh juga, sekali ini digila itu ternyata tidak mengamuk pula, sebaliknya malah ber-nyanyi2 kecil sambil tangannya kendor-kencang mengusap dadanya Tik Hun mirip pompa angin yang menyalurkan hawa kedalam paru2 pemuda itu.
Lalu bisiknya pula: "Terhitung untung juga kau ini. Sudah 12 tahun aku melatih 'Sin-ciau-keng' dan baru berhasil menyelesaikan pada dua bulan yang lalu. Coba kalau sebelum dua bulan ini kau mencari mati, tentu aku tak dapat menolong engkau."
Tik Hun merasa sangat kesal, teringat olehnya Jik Hong sudah kawin pada Ban Ka dan tidak menggubris lagi padanya. Sungguh rasanya ia lebih suka mati saja. Karena itu ia melototi sigila itu dan berkata dengan gemas: "Entah dalam jelmaan hidup yang lalu aku berbuat dosa apa padamu, makanya sekarang aku mesti kebentur orang jahat sebagai kau."
"Aku sangat senang, adik cilik, selama tiga tahun ini aku telah salah sangka padamu," kata sigila itu dengan tertawa. "Maka terimalah permintaan maafku Ting Tian ini."
Habis berkata, sigila itu terus berlutut kelantai dan menjura tiga kali kepada Tik Hun.
"Orang gila!" kata Tik Hun sambil menghela napas dan tidak menggubriskan lagi.
Tapi tiba2 teringat olehnya sigila itu mengaku bernama Ting Tian. Selama tiga tahun meringkuk bersama dalam penjara baru sekarang ia mengetahui namanya. Karena ketarik, ia coba menegas pula: "Siapa namamu?"
"Ting Tian, she Ting bernama Tian!" demikian sigila mengulangi. "Prasangkaku terlalu besar dan selalu pandang engkau sebagai orang jahat, selama tiga tahun ini benar2 aku telah banyak membikin susah padamu, sungguh aku merasa menyesal."

[Lanyutan cerita..]
Mendengar ucapan orang sangat teratur dan ramah tamah, sedikitpun tiada tanda2 orang miring otaknya, maka Tik Hun menanya lagi: "Sebenarnya engkau gila atau tidak?"
Ting Tian terdiam dengan muram, selang agak lama barulah ia menghela napas panjang, lalu katanya: "Sebenarnya gila atau tidak, aku sendiri tak tahu. Yang kuharapkan adalah tenteramnya pikiran, tapi bagi penglihatan orang lain, mungkin aku dianggapnya berotak miring."
Lewat sejenak pula, kembali ia menghibur Tik Hun: "Adik cilik, rasa penasaranmu aku sudah dapat meraba sebagian besar. Jikalau orang toh sudah tidak setia lagi padamu, buat apa engkau mesti memikirkan wanita itu? Seorang laki2 sejati mengapa takut tidak bakal mendapat isteri? Apa sulitnya bila kelak engkau ingin mencari seorang isteri yang ber-kali2 lebih baik daripada Sumoaymu itu?"
Mendengar uraian itu, rasa susah selama beberapa tahun tersekam dalam hati Tik Hun itu seketika meletuslah bagai air bah membanjir. Ia merasa pedih sekali, air matanya bercucuran, sampai akhirnya, ia terus menangis sambil jatuhkan diri dipangkuan Ting Tian.
Ting Tian merangkul pemuda itu sambil pelahan2 mengusap rambutnya, ia tahu sesudah menangis barulah rasa hati pemuda itu bisa berkurang dari kesedihan dan melenyapkan keinginnya mencari mati.
Tiga hari kemudian, semangat Tik Hun sudah banyak pulih.
Ting Tian mulai banyak bercakap dan bergurau bersama dia dengan suara lirih, terkadang iapun menceritakan kejadian2 menarik di kalangan Kangouw untuk menghilangkan rasa kesal Tik Hun. Tapi bila sipir bui menghantarkan daharan, tetap Ting Tian bersikap galak terhadap Tik Hun dan mencaci maki sebagaimana sebelumnya.
Seorang musuh yang tadinya selalu menyiksa kini mendadak berubah menjadi seorang kawan karib, pabila perasaan Tik Hun tidak tertekan oleh karena soal Jik Hong menikah dengan orang lain, tentu penghidupan didalam penjara sekarang boleh dikata merupakan sorga baginya kalau dibanding selama tiga tahun yang sudah lalu itu.
Pernah juga Tik Hun menanya Ting Tian mengapa dahulu dirinya disangka orang jahat dan mengapa mendadak mengetahui hal yang sebenarnya.
Maka Ting Tian menjawab: "Sebab kalau engkau benar2 orang jahat, pasti tidak menggantung diri mencari mati. Aku telah membiarkan napasmu sudah putus hingga tubuhnu sudah hampir kaku, baru turun tangan menolong engkau. Dijagat ini kecuali aku sendiri, tiada seorang lagi yang tahu bahwa aku sudah berhasil meyakinkan ilmu "Sin-ciau-keng" yang hebat itu. Dan kalau aku tidak memiliki ilmu sakti itu, betapapun tak dapat menolong engkau. Oleh karena kau benar2 membunuh diri, dengan sendirinya bukanlah orang jahat yang hendak mengakali diriku sebagaimana kusangka semula".
"Kau menyangka aku hendak mengakali engkau? Sebab apakah itu?" tanya Tik Hun heran.
Namun Ting Tian hanya tersenyum tanpa menjawab Tik Hun, untuk kedua kalinya Tik Hun menanya lagi dan tetap tidak mendapat jawaban, maka iapun tidak menanya lebih jauh.
Setiap hari Ting Tian hanya memijat dan mengurut Tik Hun, hingga kesehatan pemuda itu kembali dengan sangat cepat.
Satu malam, dengan bisik2 Ting Tian berkata kepada Tik Hun: "Ilmu 'Sin-ciau-keng' yang kumiliki ini adalah ilmu yang sangat bagus dan paling kuat Lwekangnya didunia ini. Biarlah mulai hari ini juga aku mengajarkan padamu, engkau harus mengingatnya dengan baik2."
"Tidak, aku tak mau belajar," sahut Tik Hun menggeleng kepala.
Ting Tian menjadi heran: "Kesempatan baik yang susah dicari ini mengapa tak mau engkau gunakan?"
Kata Tik Hun: "Penghidupan seperti ini adalah lebih baik mati. Pula selama hidup kita rasanya juga tiada harapan bisa keluar dari sini, biarpun memiliki ilmu silat setinggi langit juga tiada gunanya."
"Haha, ingin keluar penjara, apa susahnya?" ujar Ting Tian dengan tertawa. "Marilah aku mulai mengajarkan kunci dasarnya kepadamu, kau harus mengingatnya baik2?"
Akan tetapi watak Tik Hun sangat kepala batu, keinginannya mencari matipun belum lenyap, sekali bilang tidak mau belajar, tetap ia tidak mau. Ketika Ting Tian menguraikan kunci pelajarannya, Tik Hun terus menutup telinganya dan meringkuk tidur.
Sungguh geli dan dongkol pula Ting Tian, tapi tidak berdaya juga, saking geregetannya ia menjadi ingin menghajar lagi pemuda itu seperti dulu.
Selang beberapa hari kemudian, malam bulan purnama sudah mendekati lagi. Perasaan Tik Hun kepada Tiang Tian sekarang sudah seperti sobat baik, maka diam2 ia berkuatir baginya.
Rupanya Ting Tian dapat menerka perasaan pemuda itu, katanya: "Tik-hiantit, setiap bulan aku akan disiksa seperti biasa, sekembalinya aku disini, akupun akan tetap membalas hajar engkau, jangan sekali2 kita kelihatan bersahabat, sebab hal mana akan tidak menguntungkan kita berdua."
"Sebab apakah?" tanya Tik Hun.
"Pabila mereka curiga engkau sudah menjadi kawanku, pasti kau akan disiksa dengan cara2 keji untuk memaksa engkau menanyakan sesuatu rahasia padaku. Tapi kalau aku tetap memukul dan memaki engkau, tentu kau akan terhindar dari siksaan badan yang kejam."
"Benar," sahut Tik Hun mengangguk. "Jika begitu penting perkaramu ini, janganlah sekali2 engkau mengatakan padaku, sebab kalau aku kurang waspada hingga membocorkan rahasiamu, kan malah akan membikin celaka padamu. Ting-toako, aku adalah seorang anak desa yang bodoh, pabila sampai aku membikin susah padamu karena ketololanku, bagaimana aku mempertanggung-jawabkannya padamu?"
"Mereka mengurung engkau bersama aku didalam sekamar, semula aku menyangka engkau dikirim mereka untuk menjadi mata2, pura2 mengambil hatiku, lalu memancing pengakuanku. Sebab itulah dahulu aku sangat gusar padamu dan banyak menyiksa engkau. Tapi kini aku sudah tahu engkau bukan mata2 mereka, namun sudah sekian tahun kau tetap dikurung bersama aku, maksud mereka terang masih mengharap engkau akan menjadi mata2 dengan harapan mendapatkan kepercayaanku dan aku akan mengaku kepadamu, habis itu mereka dapat menyiksa engkau agar mengaku apa yang kau dapat dengar dariku. Mereka insaf sulit melayani aku, tapi terhadap pemuda seperti engkau akan jauh lebih mudah."
Malam tanggal 15, empat petugas bui bersenjata datang pula menggiring pergi Ting Tian. Tik Hun menjadi tidak tenteram menantikan kembalinya.
Menjelang fajar, dengan babak-belur dan penuh darah Ting Tian digusur balik kepenjara.
Sesudah keempat petugas itu pergi, dengan wajah sungguh2 Ting Tian berkata dengan suara tertahan kepada Tik Hun: "Tik-hiantit, urusan harini runyam. Secara kebetulan aku telah dikenali musuh."
"Sebab apa?" tanya Tik Hun.
"Seperti biasa, setiap tanggal 15 aku pasti digusur pergi untuk dihajar, hal ini sudah merupakan perkerjaan dinas biasa bagi Tihu-tayjin," demikian tutur Ting Tian. "Tapi harini kebetulan ada orang hendak melakukan pembunuhan kepada Tihu, melihat keselamatan pembesar itu terancam, aku telah turun tangan menolongnya. Cuma sayang aku terbelenggu hingga gerak-gerikku kurang bebas, maka diantara empat pembunuh gelap itu hanya tiga orang kutewaskan, sisa seorang lagi sempat melarikan diri, hal itu berarti suatu bibit bencana bagiku."
Tik Hun ter-heran2 oleh cerita itu, tanyanya cepat: "Sebenarnya untuk apa Tihu menghajar dan menyiksa engkau? Tihu itu begitu kejam padamu, ketika dia akan dibunuh orang, mengapa engkau malah menolongnya? Dan siapakah sisa pembunuh yang sempat lolos itu?"
Ting Tian menggeleng kepala, sahutnya sambil menghela napas: "Urusanku ini seketika juga susah dijelaskan. Tik-hiantit, oleh karena ilmu silatmu kurang tinggi, selanjutnya menyaksikan kejadian apa saja, jangan sekali2 engkau turun tangan membantu aku."
Tik Hun tidak menjawab, tapi batinnya berkata: "Huh, masakah aku Tik Hun ini seorang manusia yang takut mati?"
Untuk beberapa hari selanjutnya selalu Ting Tian ter-menung2 saja sambil memandangi pot bunga dijendela diatas loteng di kejauhan itu. Terkadang wajahnya menampilkan senyuman kecil dan sepanjang hari ia cuma menengadah sambil ter-mangu2.
Tengah malam tanggal 19, jadi tiga hari kemudian, tengah Tik Hun tidur nyenyak, tiba2 ia terjaga bangun oleh suara "krak-krak" dua kali. Dibawah sinar bulan yang terang Tik Hun melihat dua laki2 berpakaian singsat sedang mematahkan lankan kamar penjara itu, sambil menghunus golok mereka terus menyerbu kedalam. Tapi Ting Tian bersikap acuh-tak-acuh saja, ia berdiri bersandar dinding sambil ketawa dingin.
"Orang she Ting," tiba2 salah satu laki2 yang berperawakan lebih pendek itu membentak: "Kami bersaudara sudah menjelajahi jagat ini untuk mencari kau, sungguh tidak nyana bahwa engkau justeru mengkeret seperti kura2 bersembunyi didalam penjara sini. Tapi dasar ajalmu sudah sampai, achirnya dapat juga kami menemukan engkau."
Segera yang seorang lagi ikut bicara: "Marilah kita bicara secara blak2an saja, lekas kau keluarkan halaman kertas itu, kita bertiga membaginya sama-rata, dan kami bersaudara pasti takkan merecoki engkau lagi."
"Kertas apa?" sahun Ting Tian menggeleng kepala. "Barangnya tiada berada padaku. Sejak 13 tahun yang lalu sudah dicuri oleh Gian Tat-peng."
Tik Hun terperanjat mendengar nama "Gian Tat-peng" itu. "Bukankah dia itu adalah aku punya Jisupek? Mengapa dia tersangkut dalam urusan mereka?" demikian pikirnya.
Sementara itu silelaki pendek telah membentak pula: "Kau sengaja main muslihat, hm, jangan harap dapat mengelabui kami. Mampuslah kau!" Habis berkata, terus saja ia ayun goloknya dan menusuk ketenggorokan Ting Tian.
Namun Ting Tian tidak menghindar atau berkelit, ia membiarkan ujung golok orang sudah dekat, se-konyong2 ia mendak kebawah dan tahu2 melesa kesamping laki2 lain yang bertubuh lebih tinggi itu, sekali sikutnya bekerja, tepat perut orang itu kena disikutnya.
Kontan saja tanpa menjengek sekalipun laki2 itu terus roboh terguling.
Dalam kaget dan gusarnya, laki2 pendek itu menjadi nekat. "Ser-ser," goloknya menabas dua kali dengan cepat.
Namun sekali Ting Tian angkat kedua tangannya keatas, ia gunakan rantai belenggunya untuk menyampok senjata lawan, berbareng secepat kilat ia angkat lututnya dan tepat dengkulnya kena tumbuk diperut laki2 itu. Seperti nasib kawannya, laki2 pendek itu pun menggeletak mampus dengan muntah darah.
Melihat betapa perkasanya Ting Tian, hanya sekejap saja sudah membinasakan dua musuh, Tik Hun menjadi terkesima malah. Meski ilmu silat Tik Hun sudah punah, tapi pandangannya tetap tajam, ia tahu sekalipun ilmu silat sendiri tetap utuh seperti dulu dan bersenjata, namun juga takkan mampu menandingi silelaki pendek tadi. Mengenai laki2 yang lebih jangkung itu, meski ilmu silatnya belum sempat dikeluarkan sudah keburu dibinasakan lebih dulu oleh Ting Tian, tapi mengingat dia datang bersama silelaki pendek, dapat ditaksir kepandaiannya tentu juga tidak rendah. Namun demikian, dengan terbelenggu dan tulang pundak ditembus rantai toh Ting Tian dalam sekejap dan sekali-dua gerakan sudah dapat membinasakan dua musuh, sungguh Tik Hun merasa tidak habis mengarti akan kepandaian Ting Tian itu.
Ia lihat Ting Tian melemparkan kedua mayat itu keluar kamar penjara, lalu duduk menyandar dinding terus tidur.
Dalam keadaan kamar penjara yang sudah bobol itu, kalau Ting Tian dan Tik Hun mau melarikan diri sebenarnya terlalu mudah. Tapi aneh, Ting Tian diam saja terus tidur. Tik Hun juga merasa didunia luar sana belum tentu lebih baik daripada didalam penjara itu.
Besok paginya, ketika sipir bui melihat kedua rangka mayat itu, ia menjadi kaget dan geger. Waktu Ting Tian ditanya, ia cuma mendelik doang. Tanya Tik Hun, pemuda inipun pura2 tuli. Karena tidak memperoleh sesuatu keterangan apa2, terpaksa sipir bui menyeret pergi kedua mayat itu.
Selang dua hari pula, malamnya Tik Hun terjaga bangun pula oleh suara2 gemerisik yang aneh. Dibawah sinar bulan yang remang2 ia melihat kedua tangan Ting Tian terangkat lurus sedang beradu tangan dengan seorang Tojin. Telapak tangan kedua orang saling menempel dan keduanya sama2 berdiri tak bergerak. Sejak kapan Tojin itu masuk kesitu dan cara bagaimana mengadu tenaga dalam dengan Ting Tian, ternyata sama sekali Tik Hun tidak tahu.
Pernah Tik Hun mendengar dari Suhunya bahwa dalam pertandingan silat, mengadu tenaga dalam adalah yang paling berbahaya, bukan saja tak mungkin menghindar atau berkelit, bahkan pasti akan terjadi ketentuan mati atau hidup.
Tatkala itu sudah jauh malam, meski ada cahaya bulan dan bintang, tapi sudah remang2 hingga ada yang kelihatan cuma samar2. Tik Hun melihat Tojin itu melangkah setindak kedepan dengan lambat sekali, berbareng Ting Tian juga mundur selangkah. Selang agak lama, kembali Tojin itu maju lagi setindak, begitu pula Ting Tian mundur lagi satu langkah.
Melihat Tojin itu terus mendesak maju dan Ting Tian terus mundur, terang Tojin itu sudah lebih unggul, diam2 Tik Hun merasa kuatir. Tanpa pikir lagi ia berlari maju, ia angkat belenggu tangannya terus mengepruk keatas kepala Tojin itu. Tapi belum lagi belenggu besi itu mengenai sasarannya, entah darimana datangnya, se-konyong2 menyambar tiba serangkum tenaga tak kelihatan dan menumbuk keras dibadan Tik Hun.
Karena tak menyangka, Tik Hun menjadi ter-huyung2 dan terlempar pergi, "bluk", ia tertumbuk didinding dan jatuh terduduk. Dengan tangannya menahan kelantai, maksud Tik Hun hendak berbangkit. Tapi dalam kegelapan tiba2 tangannya menyentuh sebuah mangkok wadah wedang, "prak", mangkok itu pecah gempil tertahan oleh tangannya dan basah kuyup oleh wedang yang tercecer. Tanpa pikir lagi Tik Hun terus samber mangkok itu, ia siramkan sisa wedang didalamnya kebelakang kepala si Tojin.
Tenaga dalam Tojin itu sebenarnya jauh bukan tandingan Ting Tian. Sebabnya Ting Tian mengadu tangan dengan Tojin itu yalah karena ia ingin menjajal "Sin-ciau-keng" yang baru berhasil diyakinkan itu sampai betapa daya tempurnya, makanya Tojin itu dipakainya sebagai barang percobaan.
Sebenarnya tenaga Tojin itu sudah diperas oleh "Sin-ciau-keng" hingga keadaannya sudah sangat payah bagai pelita yang kehabisan minyak, tinggal saat padamnya saja. Kini ditambah lagi disiram wedang oleh Tik Hun dari belakang, dalam kagetnya ia merasa tekanan tenaga Ting Tian semakin membanjir. Maka terdengarlah suara peletak-pelatok yang berulang2, tulang iganya, tulang lengan, tulang kaki dan lain2 se-akan2 patah semua ber-potong2. Dengan cemas ia pandang Ting Tian dan berkata dengan suara ter-putus2 dan tak lampias: "Jadi..... jadi engkau sudah berhasil meyakinkan "Sin-ciau-keng" yang hebat dan ..... dan itu ber ..... berarti engkau tiada ..... tiada tandingannya lagi di ..... didunia ini ......" bicara sampai disini, mendadak tubuhnya melingkar bagai cacing terus roboh terbinasa.
Hati Tik Hun ber-debar2 menyaksikan itu, serunya: "Ting-toako kiranya ilmu "Sin-ciau-keng" itu sedemikian ..... sedemikian lihaynya. Apa benar2 engkau tiada tandingannya lagi dunia itu?"
Namun dengan wajah sungguh2 Ting Tian menjawab: "Kalau bergebrak satu-lawan-satu, memang cukup untuk menjagoi Kangouw. Tapi kalau musuh main keroyok, mungkin seorang diri susah melawan orang banyak. Tojin jahat ini sudah tertekan oleh tenaga dalamku, tapi masih sanggup membuka suara, hal mana menandakan latihanku masih belum mencapai tingkatan yang sempurna betul2. Tik-hiantit, dalam tiga hari ini pasti akan datang pula musuh yang benar2 tangguh. Untuk mana sudikah engkau membantu pakaku?"
Dengan penuh semangat Tik Hun terus menjawab: "Tentu saja aku akan membantu. Cuma ........ cuma ilmu silatku sudah punah semua, andaikan belum punah juga kepandaianku yang dangkal ini tidak berguna untuk membantu engkau."
Ting Tian tersenyum tanpa berkata, tiba2 ia melolos keluar sebilah golok dari bawah jerami yang merupakan kasurnya itu. Golok itu adalah tinggalan kedua laki2 yang dibinasakan oleh Ting Tian tempo hari itu. Lalu katanya: "Tik-hiantit, harap engkau mencukur berewokku ini. Marilah kita bertipu muslihat sedikit."
Tanpa pikir lagi Tik Hun terus sambuti golok itu dan mulai mencukur kumis dan berewok Ting Tian.
Ternyata golok itu sangat tajam melebihi pisau cukur, maka dengan cepat saja berewok Ting Tian yang kaku bagai lidi itu telah rontok semua. Anehnya Ting Tian menadah semua berewok yang tercukur itu ditangannya.
"Ting-toako," kata Tik Hun dengan tertawa, "apa kau merasa berat mesti membuang jenggotmu yang sudah berkawan setia dengan engkau selama beberapa tahun ini?"
"Bukan begitu," sahut Ting Tian. "Tapi maksudku, Tik-hiantit, aku ingin engkau menyaru sebagai diriku."
"Menyaru sebagai engkau?" tanya Tik Hun heran.
"Ya," sahut Tian. "Dalam waktu tiga harini pasti akan datang musuh2 yang lebih tangguh, mereka berlima takkan mampu melawan aku kalau satu-lawan-satu, tapi kalau mengerubut sekaligus, tentu kekuatan mereka menjadi sangat lihay. Makanya aku ingin engkau menyaru sebagai diriku untuk memancing mereka agar salah sangka, dan disaat mereka meleng, aku lantas menyerang diluar dugaan mereka, tentu mereka akan kelabakan dan tak mampu melawan."
Dasar Tik Hun memang jujur dan bajik, ia merasa rencana Ting Tian itu kurang pantas, maka dengan ragu2 ia berkata: "Rasanya ren.......... rencanamu ini agak.......... agak kurang jujur."
"Juyur? Hahahaha!" Ting Tian ter-gelak2. "Betapa keji dan palsunya orang Kangouw, semuanya berlaku licik dan menipu engkau, tapi engkau masih jujur pada orang, bukankah berarti engkau mencari mati sendiri?"
"Meskipun begitu, namun........... namun........"
"Namun apa?" sela Ting Tian sebelum Tik Hun melanjutkan. "Ingin kutanya padamu: Engkau adalah seorang baik2 tanpa berdosa sesuatu, tapi sebab apa engkau dipenjarakan selama tiga tahun disini dan selama ini tidak dapat mencuci bersih pitenahan orang itu?"
"Ya, dalam hal ini memang......... memang aku merasa tidak mengarti sampai sekarang," sahut Tik Hun.
"Dan siapakah yang menjebloskan engkau kepenjara ini? Sudah tentu perbuatan seseorang pula agar selamanya engkau tidak bisa keluar dari sini," ujar Ting Tian dengan tersenyum.
"Memang sampai saat ini aku tetap tidak mengarti duduk perkaranya," kata Tik Hun. "Gundik Ban Cin-san si Mirah itu selamanya tidak kenal padaku, tidak bermusuhan dan tiada sakit hati, mengapa dia telah mempitenah diriku hingga namaku rusak dan hidupku merana oleh penderitaan2 didalam penjara sini?"
"Cara bagaimana engkau telah dipitenah mereka, coba ceritakan padaku," pinta Ting Tian.
Sembari mencukur berewoknya, maka berceritalah Tik Hun sejak dia ikut sang Suhu datang di Hengciu untuk memberi selamat ulang tahun kepada Ban Cin-san, dimana dia telah mengacirkan begal besar - Lu Thong. Kemudian dia telah ditantang dan dikeroyok oleh murid2nya Ban Cin-san, lalu apa yang didengarnya tentang pertengkaran sang guru dengan Supek hingga sesudah melukai Supek, sang Suhu lantas melarikan diri. Kemudian dilihatnya ada penjahat hendak memperkosa gundiknya Ban Cin-san dan dia telah turun tangan menolong, tapi malah dipitenah dan dijebloskan kedalam penjara.
Begitulah Tik Hun menceritakan semua pengalamannya itu, hanya tentang pengemis tua telah mengajar ilmu pedang padanya itu sengaja tak diuraikan. Pertama karena dia telah bersumpah pada pengemis tua itu bahwa rahasia pertemuan mereka pasti takkan dibocorkan, kedua ia merasa urusan yang tidak penting itu juga tida perlu diceritakan.
"Kruk, kruk", sambil menceritakan pengalamannya, Tik Hun mencukur berewok Ting Tian yang kaku bagai lidi itu dengan golok rampasan yang tajam itu.
Dan sesudah Tik Hun bercerita, berewok dimukanya Ting Tian juga hampir tercukur bersih.
"Ting-toako," kata Tik Hun sambil menghela napas, "malapetaka yang menimpa diriku ini bukankan membikin aku sangat penasaran? Tentu disebabkan mereka dendam Suhuku telah membunuh Ban-supek, akan tetapi Ban-supek toh tidak jadi mati, kinipun sudah sembuh dari lukanya, sebaliknya aku sudah dipenjarakan selama beberapa tahun masih belum juga dibebaskan. Apakah mereka sudah melupakan diriku? Rasanya toh tidak, buktinya tempo hari Sim-sute itu juga datang menyambangi aku?"
Ting Tian diam saja, dengan lagak lucu ia miringkan kepalanya untuk memandang Tik Hun dari sebelah sini kesebelah sana, lalu ia tertawa dingin.
"Ting-toako, apa yang kukatakan ini apakah ada yang salah?" tanya Tik Hun dengan bingung sambil garuk2 kepala sendiri.
"Benar, benar, semuanya benar, masakah ada yang salah?" jengek Ting Tian. "Justeru kalau jalannya tidak begini, itulah baru salah."
"Ap............ apa maksudmu, Ting-toako?" tanya Tik Hun semakin bingung.
"Begini! Seumpama ada seorang anak tolol telah membawa gadisnya yang cantik kerumahku, aku menjadi sir pada gadisnya, akan tetapi sigadis memang mencintai sitolol itu. Agar aku bisa mengangkangi sicantik, sudah tentu aku harus melenyapkan sitolol itu lebih dulu. Coba katakan, kalau kau, akal apa yang engkau gunakan?"
"Akal apa?" sahut Tik Hun agak linglung. Diam2 iapun merasa seram sendiri.
"Banyak jalannya," kata Ting Tian. "Kalau menggunakan racun atau memakai senjata untuk membunuh sitolol itu, boleh jadi sicantik itu seorang wanita yang setia dan mungkin akan membunuh diri atau menuntut balas bagi sitolol, tentu urusan akan menjadi runyam malah, maka jalan2 itu takbisa ditempuh. Maka kurasa jalan paling baik yalah seret sitolol itu dan dijebloskan kedalam penjara. Untuk membikin sicantik benci pada sitolol, jalan pertama harus membikin se-akan2 sitolol itu telah mencintai wanita lain; kedua, harus menunjukkan sitolol itu sebenarnya seorang yang jahat, suka mencuri dan merampok, agar perbuatan2 demikian akan memuakan sicantik."
Tik Hun menjadi gemetar oleh uraian Ting Tian itu, tanyanya dengan suara tak lancar: "Apa yang kau........... kau katakan ini apakah........ apakah memang sengaja telah diatur oleh si ............. si Ban Ka itu?"
"Aku tidak menyaksikan sendiri, darimana aku tahu?" sahut Ting Tian tertawa. "Tapi Sumoaymu itu sangat ayu, bukan?"
Pikiran Tik Hun menjadi butek, ia hanya memanggut.
Lalu Ting Tian berkata pula: "Ehm, untuk mengambil hati sinona, dengan sendirinya aku harus kerja keras, aku akan keluarkan uang untuk menyogok pembesar disini, kataku untuk menolong engkau agar lekas dibebaskan. Usahaku itu sengaja kuperlihatkan sendiri kepada sicantik agar dia merasa berterima kasih padaku. Dan uang sogokku itu memang benar2 telah kuserahkan kepada pembesar disini dan petugas2 lain."
"Dan sesudah membuang uang sebanyak itu, tentu akan berhasil sedikit bukan?" tanya Tik Hun.
"Sudah tentu, setan pun doyan duit, mengapa tak berhasil?" sahut Ting Tian.
"Habis, meng............. mengapa aku masih tetap dikerangkeng disini dan belum dibebaskan?" tanya Tik Hun.
"Hahahaha!" tiba2 Ting Tian ber-bahak2. "Kau berbuat salah apa? Tuduhan yang mereka jatuhkan padamu paling2 juga cuma hendak memperkosa wanita dan mencuri, toh bukan perbuatan masiat, juga bukan membunuh orang. Dosamu apa hingga mesti dikurung sampai ber-tahun2 tanpa diputus perkaranya? Pula juga tidak perlu tulang pundakmu ditembusi rantai segala? Dan ketahuilah, kesemuanya ini adalah hasil dari uang sogok itu. Ya, akal ini memang sangat bagus dan licin, sinona tinggal dirumahku, cintanya pada sitolol itu dengan sendirinya belum terlupakan, tetapi sesudah ditunggu setahun demu setahun, masakah achirnya sicantik takkan menikah?"
"Trang," mendadak Tik Hun membacok goloknya kelantai. Serunya: "Ting-toako, jadi aku dikerangkeng selama ini, semuanya adalah perbuatan si Ban Ka itu?"
Ting Tian tidak menjawab, tapi ia menengadah untuk memikir hingga agak lama, tiba2 ia berkata pula: "Ah, salah, salah, didalam muslihat it masih terdapat suatu kekurangan, salah, salah besar!"
"Masih kurang apa lagi?" kata Tik Hun dengan gusar. "Sumoayku achirnya juga sudah menjadi isterinya, dan aku, kalau tidak ditolong olehmu, sudah lama akupun menggantung diri, bukankah semuanya itu telah memenuhi cita2nya?"
Namun Ting Tian terus mondar-mandir didalam kamar penjara itu sambil geleng2 kepala, katanya: "Didalamnya masih terdapat satu kepincangan besar. Mereka begitu licik dan pintar mengatur, masakah tidak tahu?"
"Sebenarnya kepincangan apa maksudmu?" tanya Tik Hun.
"Suhumu!" sahut Ting Tian tiba2. "Suhumu telah melarikan diri sehabis melukai Supehmu. Ngo-in-jiu Ban Cin-san dari Heng-ciu cukup tenar didalam Bu-lim, tentang dia cuma terluka dan tidak binasa, kabar ini dalam waktu singkat saja tentu tersiar, seumpama Suhumu malu untuk menjumpai Suhengnya lagi, paling tidak dia toh dapat mengirim orang untuk memapak Sumoaymu pulang kerumah? Dan bila Sumoaymu sudah pulang, bukankah antero tipu muslihat keji Ban Ka itu akan bangkrut seluruhnya?"
"Benar, benar!" ber-ulang2 Tik Hun menggablok pahanya sendiri. Oleh karena tangannya dibelenggu, maka terbitlah suara gemerincing dari rantai belenggunya itu. Sungguh tak tersangka olehnya bahwa seorang yang tampaknya kasar seperti Ting Tian itu ternyata cara berpikirnya bisa begitu jauh dan teliti. Tik Hun menjadi kagum tak terhingga.
"Dan sebab apa Suhumu tidak memapak pulang puterinya itu, didalam situlah pasti ada sesuatu yang mencurigakan," tutur Ting Tian pula dengan suara pelahan. "Kuyakin sebelumnya Ban Ka dan komplotannya pasti juga sudah dapat menduga akan hal ini, keganjilan ini untuk sementara inipun aku merasa tidak mengerti."
Begitulah Ting Tian terus memeras otak untuk memikirkan hal itu. Sebaliknya Tik Hun sama sekali tidak ambil pusing. Baru sekarang ia paham dimana letak persoalannya mengapa dirinya dijebloskan penjara oleh orang. Ber-ulang2 ia ketok2 kepalanya sendiri sambil memaki dirinya sendiri terlalu tolol, urusan yang sederhana bagi orang lain itu ia sendiri justeru tidak tahu sama sekali selama ber-tahun2.
Padahal harus dimaklumi juga, sejak kecil Tik Hun hidup dipedesaan yang suasana masyarakatnya sederhana dan jujur, ia tidak kenal betapa licik dan kejamnya orang Kangouw. Sebaliknya Ting Tian biasa berterobosan ditengah rimba senjata, banyak pengalaman dan pahit-getir yang telah dirasakannya, dengan sendiri ia lantas tahu duduknya perkara begitu mendengar ceritanya Tik Hun. Hal itu bukan soal pintar atau bodoh seseorang, tapi karena perbedaan pengalaman hidup kedua orang itu selisih terlalu jauh. Begitulah sesudah Tik Hun mengomel dan memaki dirinya sendiri, ketika dilihatnya Ting Tian masih terus memeras otak, ia lantas berkata: "Sudahlah, Ting-toako, tidak perlu kau memikirnya lagi. Suhuku adalah seorang desa yang jujur, tentu saking takutnya sehabis melukai Ban-supek, ia telah lari jauh2 entah kemana, maka ia tidak mendengar berita masih hidupnya Ban-supek itu."
"Apa katamu? Suhumu hanya seorang desa yang jujur?" Ting Tian menegas dengan mata membelalak heran. "Sehabis membunuh orang dia bisa ketakutan dan melarikan diri?"
"Ya, memang Suhuku benar2 seorang yang sangat jujur," sahut Tik Hun. "Ban-supek mempitenah dia mencuri sesuatu Kiam-boh (kitab ilmu pedang) apa dari Thaysuhu (kakek guru), dalam gusarnya ia menjadi kalap hingga melukai Supek, padahal hatinya benar2 sangat baik."
Ting Tian hanya mendengus sekali saja dan tidak berkata pula, ia duduk kepojok kamar sana sambil pelahan2 bernyanyi kecil.
"Sebab apa engkau mendengus?" tanya Tik Hun heran.
"Tidak apa2," sahut Ting Tian.
"Tentu ada sebabnya, Ting-toako, haraplah engkau suka bicara terus terang saja," pinta Tik Hun.
"Baiklah," kata Ting Hun achirnya, "Coba terangkan dulu, siapakah julukan gurumu itu?"
"Ehm, dia berjuluk 'Tiat-so-heng-kang'," sahut Tik Hun.
"Apa maksudnya julukan itu?" tanya Ting Tian.
Tik Hun menjadi gelagapan, maklum kurang makan sekolahan. Tapi jawabnya juga kemudian: "Aku tidak paham arti daripada kata2 sastra tinggi itu. Tapi dugaanku mungkin maksudnya menggambarkan ilmu silat beliau sangat hebat, mahir dalam hal bertahan, musuh sekali2 tak mampu membobol pertahanannya."
"Hahahaha!" Ting Tian terbahak. "Tik-hiantit, engkau sendirilah sebenarnya yang terlalu jujur dan polos. Tiat-so-heng-kang (rantai besi melintang disungai), supaya orang takbisa turun juga tak dapat naik, bagi tokoh kalangan Bu-lim angkatan lebih tua siapa orangnya yang tidak tahu arti daripada julukan itu? Gurumu itu justeru pintar dan cerdik, lihaynya tidak kepalang, pabila ada orang menyakiti hatinya, pasti dia akan memeras otak mencari akal untuk membalasnya, supaya orang serba sulit, turun tak bisa, naik tak dapat, jadi ter-katung2 seperti sebuah kapal yang mengoleng2 ditengah sungai oleh pusaran air. Jika kau tidak percaya ucapanku ini, kelak kalau kau sudah keluar penjara, boleh kau coba mencari tahu betul tidak ramalanku ini."
Namun Tik Hun masih tidak percaya, pikirnya: "Sedangkan Kiam-hoat yang diajarkan Suhu padaku juga banyak yang salah. Sebenarnya jurus: 'seekor burung terbang dari lautan tidak sudi menghinggap di-rawa2', tapi dia telah salah mengartikan: 'ada banjir orang ber-teriak2, ketemu rintangan tidak berani lewat', dan lain2 jurus lagi. Ya, maklumlah, memangnya dia juga tidak banyak bersekolah, mana dapat dikatakan dia sangat pintar dan cerdik!" ~ maka katanya segera: "Tapi suhu benar2 seorang jujur, seorang petani yang dangkal sekolahnya."
"Mana bisa?" sahut Ting Tian dengan gegetun. "Ia justeru sangat tinggi sekolahnya dan banyak kepandaiannya, ia sabar dan pendiam, tentu ada maksud2 tertentu. Tapi mengapa sampai muridnya sendiri juga dibohongi, inilah susah dimengerti orang luar. Sudahlah, jangan kita membicarakan urusan ini saja, marilah, biar kutempelkan berewokku ini kejanggutmu!"
Habis berkata, Ting Tian angkat golok membacok kemayat siTojin. Karena belum lama matinya Tojin jahat itu, maka darahnya masih segar dan terus mengucur keluar dari luka bacokan itu. Ting Tian mencelup secomot demi secomot bulu berewoknya sendiri yang tercukur tadi untuk ditempelkan dijanggutnya Tik Hun dan kedua belah pipinya.
Sebenarnya Tik Hun menjadi muak dan ngeri ketika mencium bau anyirnya darah, tapi demi mengingat betapa akal kejinya Ban Ka, betapa maksud tertentu sang guru yang tak diketahui orang itu serta masih banyak lagi hal2 yang tak diketahuinya, ia merasa tempat yang paling aman didunia ini sebenarnya adalah didalam penjara malah.
Dengan Ting Tian bahwa didalam tiga hari pasti akan kedatangan musuh tangguh, ternyata baru saing hari kedua, didalam penjara itu sudah ber-turut2 dijebloskan pula pesakitan2 baru yang beraneka macam orangnya, ada yang tinggi, ada yang pendek, ada yang kurus, ada yang gemuk, tua, muda, semuanya ada. Tapi sekali melihat bentuk mereka segera orang akan tahu bahwa pesakitan2 baru itu pastilah tokoh2 Kangouw, kalau bukan golongan bandit, tentu adalah pimpinan sesuatu gerombolan.
Melihat jumlah orang yang dimasukan kekamar penjara tu semakin banyak, diam2 Tik Hun mulai kuatir. Ia tahu orang2 ini pasti musuh2 yang hendak mencari Ting Tian. Bahkan bukan cuma lima musuh tangguh seperti kata Ting Tian itu, tapi sekaligus telah datang 17 orang hingga kamar penjara itu ber-jubel2, sampai merebahpun susah, terpaksa semua orang cuma berduduk saja sambil berpeluk dengkul.
Sebaliknya Ting Tian tetap berbaring dipojok kamar itu sambil menghadap dinding, ia tidak ambil pusing terhadap dinding, ia tidak ambil pusing terhadap orang2 itu.
Pesakitan2 itu tiada hentinya bergembar-gembor, bercanda dan ber-olok2, hanya sebentar saja sudah ada yang bertengkar segala.
Dari suara2 mereka itu Tik Hun dapat mengetahui bahwa ke-17 orang itu ternyata terdiri dari tiga golongan dan sama2 lagi mengincar sesuatu benda mestika apa.

Ketika tanpa sengaja sinar mata Tik Hun kebentrok dengan sorot mata orang2 yang bengis itu, ia menjadi kaget dan cepat berpaling kearah lain. Pikirnya: "Aku telah menyaru sebagai Ting-toako, tapi ilmu silatku sudah punah semua, kalau sebentar mesti bergebrak, bagaimana aku harus bertindak? Betapapun tingginya ilmu silat Ting-toako rasanya juga tidak sanggup sekaligus membinasakan orang2 sebanyak ini."
Lambat-laun haripun sudah gelap. Tiba2 seorang laki2 yang bertubuh tegap berteriak: "Marilah kita bicara terang2an sebelumnya, sasaran pokok ini nanti harus menjadi milik Tong-ting-pang kami, pabila ada yang tidak terima, hayolah lekas kita tentukan dengan kepandaian masing2, agar nanti tidak perlu banyak rewel lagi."
Rupanya orang Tong-ting-pang yang ikut datang disitu ada sembilan orang, 9 daripada 17 orang, itu berarti lebih dari separoh, dengan sendirinya kekuatannya jauh lebih kuat.
Segera seorang setengah umur dan rambut sudah ubanan menanggapi dengan suaranya yang banci: "Diputuskan dengan kepandaian masing2, itu bagus! Hayolah apa kita mesti main kerubut didalam sini atau bertarung dipelataran luar situ?"
"Dipelataran juga boleh, siapa yang jeri padamu?" sahut laki2 tegap itu.
Habis berkata, segera ia pegang dua ruji lankan besi terus dipentang sekuatnya, kontan saja jadilah sebuah lubang yang cukup dibuat keluar-masuk orang dengan bebas. Tenaga orang itu kuat mementang besi hingga bengkok, betapa hebat Gwakangnya dapatlah dibayangkan.
Dan selagi laki2 itu hendak menerobos keluar melalui lubang ruji besi yang telah melengkung itu, se-konyong2 sesosok bayangan berkelebat, seorang telah mengadang ditempat lubang itu. Itulah dia Ting Tian adanya.
Tanpa berkata lagi Ting Tian terus jamberet dada orang itu. Aneh juga, perawakan laki2 itu sebenarnya lebih tinggi satu kepala daripada Ting Tian, tapi sekali kena dipegang olehnya, seketika lemas lunglai takbisa berkutik. Terus saja Ting Tian jejalkan tubuh laki2 itu keluar kamar penjara dan dilemparkan kepelataran. Laki2 itu cuma meringkuk saja ditanah tanpa bergerak sedikit, terang sudah binasa.
Melihat kejadian yang luar biasa itu, semua orang yang berada didalam penjara itu menjadi kesima ketakutan. Menyusul Ting Tian mencengkeram lagi seorang terus dilemparkan pula keluar. Begitulah ia terus menyambar dan melempar hingga seluruhnya telah tujuh orang terlempar keluar. Setiap orang yang kena dipegang olehnya itu semuanya mati seketika tanpa bersuara sedikitpun.
Sisa 10 orang yang lain menjadi lebih ketakutan lagi, tiga diantaranya mengkeret kepojok dinding, sebaliknya tujuh orang lainnya menjadi nekat. Berbareng mereka mengerubut maju dan menyerang serabutan kepada Ting Tian. Namun sama sekali Ting Tian tidak berkelit juga tidak menangkis, ia tetap ulur tangannya menyambar dan sekali tangannya bekerja pasti ada seorang yang kena dipegangnya dan setiap orang yang terpegang itu pasti mati seketika. Tentang dimana letaknya kematian mereka tiada seorangpun yang jelas.
Habis ketujuh orang itupun terbinasa semua, tiba2 ketiga orang yang meringkuk ketakutan dipojok itu lantas berlutut minta ampun. Namun Ting Tian anggap sepi saja, kembali ia mencengkeram dan melemparkan mereka keluar.
Saking kesima menyaksikan Ting Tian mengamuk itu, Tik Hun sampai terkesiap melongo seperti orang mimpi.
Habis itu, Ting Tian tepuk2 kedua tangannya dan tertawa dingin: "Huh, cuma begini saja kepandaian mereka juga berani datang kesini hendak mengincar Soh-sim-kiam-hoat!"
Tik Hun melengak mendengar "Soh-sim-kiam-hoat" disinggung. Tanyanya segera: "Apa katamu, Ting-toako, Soh-sim-kiam-hoat?"
Ting Tian seperti menyesal telah ketelanjur omong, tapi iapun tidak ingin membohongi Tik Hun, maka ia cuma tertawa dingin beberapa kali tanpa menjawab.
Sungguh selama hidup Tik Hun belum pernah menyaksikan orang setangkas Ting Tian, hanya sekejap saja 17 orang yang tegap kuat itu sudah menggeletak semua menjadi mayat. Dengan gegetun ia berkata kepada Ting Tian: "Ting-toako, kepandaian apakah yang engkau gunakan hingga begitu lihay? Apakah orang ini semuanya pantas diganjar kematian?"
"Pantas diganjar kematian rasanya juga tidak semuanya," sahut Ting Tian. "Yang terang orang2 ini tidak bermaksud baik kepadaku. Pabila aku belum berhasil meyakinkan 'Sin-ciau-keng' hingga kena ditawan oleh mereka malah, pastilah susah dibayangkan siksaan apa yang akan kuderita."
Tik Hun tahu apa yang dikatakan Ting Tian itu bukanlah omong-kosong, katanya pula: "Sekenanya engkau memegang mereka, seketika mereka terbinasa ditanganmu, sungguh ilmu kepandaian ini mendengar saja aku belum pernah. Pabila kuceritakan kepada Sumoay, tentu diapun takkan percaya……" ~ teringat kepada sang Sumoay, hatinya menjadi pilu dan dadanya se-akan2 kena dipukul orang sekali.
Namun Ting Tian tidak mentertawainya, bahkan ia menghela napas panjang dan menggumam sendiri: "Padahal, sekalipun sudah berhasil meyakinkan imu silat maha tinggi juga belum tentu segala cita2 orang dapat tercapai…….."
Belum habis ucapannya, tiba2 Tik Hun bersuara heran dan menuding kearah serangka mayat dipelataran sana.
"Ada apa?" tanya Ting Tian.
"Orang itu belum mati sama sekali, kakinya barusan tampak bergerak," kata Tik Hun.
Sungguh kejut Ting Tian bukan kepalang, serunya: "Apa benar?" ~ bahkan suaranya sampai gemetar.
"Ya, barusan aku melihat kakinya bergerak dua kali," sahut Tik Hun sambil memikir juga: "Seorang yang terluka parah dan tidak lantas mati, mengapa mesti dikuatirkan, masakan masih mampu berbangkit untuk bertempur?"
Sudah tentu ia tidak tahu bahwa Sin-ciau-kang yang sudah berhasil diyakinkan Ting Tian itu, siapa saja asal kena dicengkeram olehnya, seketika orang itu akan binasa. Kini kalau ada musuh yang dicengkeram dan ternyata tidak mati, hal itu menandakan ilmu saktinya itu masih ada kekurangannya.
Begitulah karena itu, Ting Tian menjadi heran dan cemas, segera ia menerobos keluar dari lubang lankan itu untuk memeriksa orang yang masih bisa bergerak itu.
Diluar dugaan, tiba2 terdengarlah suara mencicit dua kali, dua senjata gelap yang sangat kecil telah menyambar kearah mukanya. Namun Ting Tian sudah ber-jaga2 sebelumnya, cepat sekali ia mendongak kebelakang hingga dua batang panah kecil menyambar lewat dimukanya, bahkan hidungnya mengendus bau amis yang busuk, terang diatas panah2 kecil itu terdapat racun jahat.
Dan begitu membidikan panahnya, orang itu terus melesat keatas emper rumah. Melihat Ginkang orang itu sangat hebat, sebaliknya dirinya sendiri terbelengu, gerak-gerik kurang leluasa, untuk mengejar belum tentu mampu mencandaknya, terpaksa Ting Tian menyamber serangka mayat sekenanya terus ditimpukan kearah pelarian itu.
Timpukan Ting Tian itu sangat keras dan cepat, "bluk", tepat sekali kepala mayat itu menumbuk dipinggang sipelarian selagi orang itu baru saja sebelah kakinya menginjak emper rumah. Kontan saja ia terjungkal kembali kebawah, segera Ting Tian memburu kesana dan mencengkeram tengkuknya untuk diseret kembali kedalam kamar penjara, ketika diperiksa napasnya, sekali ini orang itu benar2 sudah putus nyawanya.
Ting Tian buang mayat itu, ia berduduk dilantai dan bertopang dagu untuk memikirkan: "Sebab apakah cengkeramanku tadi tidak membinasakan orang itu? Apakah ilmu yang kulatih itu masih ada sesuatu yang kurang sempurna?"
Tapi sampai lama sekali tetap ia tidak memperoleh sesuatu gagasan yang tepat. Saking mendongkol, kembali tangannya mencengkeram pula kedada mayat disampingnya itu. Mendadak ia merasakan ada sesuatu tenaga yang lunak tapi ulet telah mementalkan kembali jarinya. Ting Tian terkejut tercampur girang, serunya: "Ya, ya, tahulah aku sekarang!"
Cepat ia terus mempelototi pakaian mayat itu, maka terlihatlah dibadan mayat itu memakai sebuah baju kutang yang berwarna hitam gilap. Maka Ting Tian berkata pula: "Pantas saja, sampai aku dibikin terkejut sekali!"
Tik Hun heran, tanyanya: "Ada apakah, Ting-toako?"
Ting Tian tidak menjawab, ia melucuti pakaian mayat itu dan mencopot baju kutang didalamnya itu, habis itu ia lemparkan mayat itu keluar kamar penjara, lalu katanya kepada Tik Hun dengan tertawa: "Tik-hiantit, ini, pakailah baju ini."
Tik Hun dapat menduga baju kutang warna hitam itu pasti barang mestika, maka sahutnya: "Baju ini adalah milik Toako, aku tidak berani mengambilnya."
"Jadi kalau bukan milikmu, lantas kau tidak sudi?" tanya Ting Tian dengan nada agak keras.
Tik Hun terkesiap, kuatir orang menjadi marah, segera sahutnya: "Tapi kalau Toako mengharuskan aku memakainya, biarlah aku memakainya."
"Kutanya padamu: Jika bukan milikmu, engkau mau tidak?" tanya Ting Tian dengan sungguh2.
"Kecuali kalau sipemilik berkeras memberikannya kepadaku, terpaksa aku menerimanya, bila tidak........... bila tidak, karena bukan milikku, dengan sendirinya aku tidak mau," sahut Tik Hun. "Sebab kalau sembarangan mengambil milik orang, bukankah perbuatan itu mirip perampok dan pencuri?" ~ Berkata lebih lanjut, sikapnya menjadi penuh semangat, sambungnya: "Ting-toako, engkau tahu bahwa sebabnya aku dijebloskan kedalam penjara ini adalah karena dipitenah orang. Selama hidupku suci bersih, selamanya aku tidak pernah berbuat sesuatu kejahatan."
Ting Tian meng-angguk2, katanya: "Ya, bagus, bagus! Tidak percumalah aku mempunyai seorang kawan seperti engkau. Nah, pakailah baju ini dibagian dalam."
Tik Hun tidak enak untuk menolaknya, terpaksa ia membuka baju luarnya dan memakai baju kutang hitam itu dibagian dalam, lalu dirangkap pula dengan baju luarnya sendiri yang berbau apek lantaran sudah tiga tahun tidak pernah dicuci.
Karena tangannya terbelenggu, dengan sendirinya sulitlah untuk berpakaian. Tapi berkat bantuan Ting Tian yang merobek dulu lengan bajunya yang lama itu, baju kutang hitam itu menjadi tidak susahlah untuk dipakainya.
Selesai membantu memakaikan baju kutang itu, kemudian Ting Tian berkata: "Tik-hiantit, baju ini adalah baju mestika yang kebal senjata, yaitu dibuat dari sutera ulat hitam yang cuma terdapat di Tay-swat-san. Terang keparat itu adalah tokoh penting dari Swat-san-pay, makanya dia memakai baju kutang Oh-jan-kah pusaka ini. Hahahaha, dia mengincar mestika kesini, tak tahunya malah mengantarkan mestikanya."
Mendengar baju hitam itu adalah baju mestika, cepat Tik Hun berkata: "Toako, musuhmu sangat banyak, seharusnya baju ini engkau pakai sendiri untuk melindungi badanmu. Pula setiap tanggal 15............."
Namun Ting Tian lantas goyang2 tangannya, katanya: "Aku mempunyai ilmu pelindung badan Sin-ciau-kang, tidak membutuhkan 'Oh-jan-kah' ini. Tentang siksaan setiap tanggal 15, ha, memang aku sukarela menerimanya, kalau mesti memakai baju pusaka ini malah akan menunjukan ketidak tulusnya hatiku. Cuma sedikit penderitaan kulit-daging saja kenapa mesti dipikirkan, toh tidak sampai merusak otot-tulang."
Tik Hun ter-heran2 oleh jawaban itu. Selagi ia ingin tanya, tiba2 Ting Tian berkata pula: "Meski aku minta engkau menyaru sebagai aku yang penuh berewok, tapi aku masih kuatir tidak sempurna melindungi engkau dari samping. Namun sekarang sudahlah baik, engkau sudah pakai baju pusaka, aku tidak kuatir lagi. Marilah mulai sekarang juga aku akan mengajarkan kunci dasar Lwekang padamu, harap engkau belajar baik2."
Dahulu bila Ting Tian hendak mengajarkan ilmu kepandaiannya kepada Tik Hun, dalam keadaan putus asa, pemuda itu berkeras tidak mau belajar silat apa2 lagi. Tapi kini sesudah tahu seluk-beluk dirinya sendiri telah dipitenah orang, seketika tekadnya ingin membalas dendam itu ber-kobar2 didalam dadanya, sungguh kalau bisa detik itu juga ia ingin terus keluar penjara untuk membikin perhitungan dengan si Ban Ka. Dengan mata kepala sendiri Tik Hun telah menyaksikan Ting Tian membinasakan jago2 silat sebanyak itu dengan begitu mudah, ia pikir asal dirinya mampu belajar 3 atau 4 bagian dari kepandaian Ting-toako itu sudahlah cukup untuk melolos dari penjara dan membalas sakit hati.
Saking kusut pikirannya waktu itu, Tik Hun menjadi se-akan2 tersumbat mulutnya, ia berdiri termangu dengan muka merah membara dan darah bergolak.
Ting Tian menyangka pemuda itu tetap tidak ingin belajar Lwekang yang akan diajarkan olehnya itu, selagi dia hendak memberi nasehat lebih jauh, tiba2 Tik Hun terus berlutut kehadapannya sambil menangis ter-gerung2, katanya: "Ting-toako, baiklah engkau mengajarkan kepandaianmu padaku, aku akan menuntut balas, aku pasti akan membalas sakit hatiku!"
Maka ter-bahak2lah Ting Tian hingga suaranya menggetarkan atap rumah, katanya: "Hendak membalas dalam, apa susahnya?"
Dan sesudah perasaan Tik Hun tenang kembali, barulah Ting Tian mulai mengajarkan pengantar ilmu Lwekang yang hebat itu.
Tik Hun sangat giat belajar, sekali diberi petunjuk, segera ia melatihnya tanpa mengenal capek.
Melihat ketekunan pemuda itu, Ting Tian menjadi geli, katanya dengan tertawa: "Untuk meyakinkan Sin-ciau-keng yang tiada tandingannya itu masakan kau sangka begitu gampang? Aku sendiri kebetulan ada jodoh serta dasar Lwekangku memang sudah kuat, makanya dapat meyakinkannya dalam 12 tahun. Orang belajar memang perlu giat, Tik-hiantit, tapi terlalu cepat menjadi jelek malah, maka harus maju setindak-demi-setindak dengan teratur. Hendaklah camkan ucapanku ini."
Walaupun sebegitu jauh Tik Hun masih memanggil "Toako" kepada Ting Tian, tapi dalam hatinya kini sebenarnya sudah menganggapnya sebagai "Suhu", apa yang dikatakannya pasti diturutnya. Tapi rasa dendam dalam hatinya bergolak bagai ombak mendampar, mana dapat suruh dia tenang begitu saja?
Besok paginya kembali geger pula ketika petugas2 bui melihat ke-17 rangka mayat dipelataran penjara itu, segera hal itu dilaporkan kepada atasannya dan baru sore harinya mayat2 itu digotong pergi. Ting Tian dan Tik Hun mengaku bahwa orang2 itu saling bunuh-membunuh sendiri, sipir bui percaya penuh pengakuan itu karena mereka berdua tetap terbelenggu kaki dan tangannya, tidak mungkin orang terbelenggu dapat membunuh 17 orang sekaligus.
Petangnya, kembali Tik Hun melatih diri menurut ajaran Ting Tian. Pengantar dasar "Sin-ciau-kang" itu ternyata sangat mudah, tapi makin lama menjadi makin sulit. Meski Tik Hun bukan anak pintar, tapi juga tidak terlalu bodoh. Setelah melatih satu-dua jam, lambat-laun perutnya sudah merasa ada reaksi. Sedang tegang perasaannya, mendadak dada dan punggungnya berbareng se-akan2 kena dihantam sekali dengan sangat keras.
Begitu keras kedua hantaman dari muka dan belakang itu hingga mirip gencetan dua batang godam besi, seketika Tik Hun merasa matanya ber-kunang2 dan napas sesak, hampir2 ia jatuh kelenger.
Setelah rasa sakitnya agak reda, waktu ia mementang matanya, ia lihat dikanan-kirinya sudah berdiri seorang Hwesio, waktu menoleh, ternyata dibelakangnya dan disamping juga terdapat pula tiga Hwesio lain, jadi seluruhnya lima Hwesio telah mengepungnya di-tengah2.
Diam2 Tik Hun membatin: "Ya, inilah lima musuh tangguh yang dimaksudkan Ting-toako itu, aku harus bertahan sekuatnya, jangan sampai penyamaranku diketahui."
Segera iapun ter-bahak2 dan berkata: "Hahahaha, kelima Tay-su ini memangnya ada kepentingan apa mencari aku orang she Ting?"
Tengah Tik Hun merasakan perutnya mulai timbul reaksi dari latihan Lweekang "Sin-ciau-kang" yang sakti itu, se-konyong2 terasa dada dan punggungnya dihantam dari muka dan belakang dengan sangat keras. Begitu hebat hantaman itu hingga matanya ber-kunang2, dadanya sesak dan hampir2 semaput. Waktu sakitnya sudah mereda dan membuka mata, Tik Hun melihat lima Hwesio sudah mengelilingi dirinya.
Hwesio sebelah kiri itu lantas menjawab: "Dimana Soh-sim-kiam-boh itu, lekas serahkan! He, kau........... kau................"
Belum selesai ucapannya, tiba2 Hwesio itu sempoyongan dan hampir2 terjatuh. Menyusul Hwesio kedua juga memuntahkan darah segar. Keruan Tik Hun sangat heran, ia coba memandang kearah Ting Tian dipojok sana, tertampak Ting Tian sedang melontarkan pukulannya dari jauh, pukulannya itu tanpa suara tanpa wujut, tapi Hwesio ketiga lantas menjerit juga dan terpental menumbuk dinding.
Kedua Hwesio yang lain cukup cerdik, cepat merekapun menurutkan arah pandangan Tik Hun dan dapat melihat Ting Tian yang meringkuk dipojok kamar yang gelap itu, berbareng mereka menjerit kaget: "He, Sin-ciau-kang! Bu-eng-sin-kun!"
Segera Hwesio yang bertubuh paling tinggi diantaranya lantas menyeret kedua kawannya yang terluka tadi dan berlari keluar melalui lubang lankan. Sedang Hwesio satunya lagi terus merangkul kawannya yang muntah darah, berbareng tangannya membalik menghantam kearah Ting Tian yang saat itu telah berbangkit dan sedang melontarkan pukulannya yang sakti dan tanpa wujut itu.
Karena beradunya pukulan, Hwesio itu lantas tergetar mundur setindak, menyusul pukulan kedua orang saling bentur lagi dan dia mundur pula setindak, sampai pukulan ketiga, Hwesio itupun sudah mundur sampai diluar lankan besi.

Ting Tian tidak mengejarnya, maka Hwesio itu tampak mulai ter-huyung2, cuma beberapa langkah ia sanggup bergerak, habis itu tangannya lantas lemas hingga Hwesio yang dirangkulnya itu terjatuh ketanah, lalu maksudnya seperti ingin melarikan diri sendiri, tapi setiap tindak, kakinya terasa semakin berat bagai diganduli benda beribu kati. Sesudah melangkah 6 atau 7 tindak dengan susah payah, achirnya ia tidak tahan lagi, ia terbanting ketanah dan tidak pernah berbangkit pula.
"Sayang, sayang!" ujar Ting Tian. "Kalau engkau tidak memandang kearahku, pasti ketiga Hwesio itu takkan dapat melarikan diri."
Melihat kedua Hwesio itu sangat mengerikan matinya, Tik Hun menjadi tidak tega, pikirnya: "Biarlah ketiga Hwesio yang lain itu lari, sesungguhnya orang yang dibunuh Ting-toako juga sudah terlalu banyak."
Melihat Tik Hun diam saja, Ting Tian menanya pula: "Kau anggap cara turun tanganku terlalu kejam bukan?"
"Aku.......... aku.........." mendadak Tik Hun merasa tenggorokannya se-akan2 tersumbat, ia jatuh mendoprok kelantai dan tidak sanggup berkata lagi.
Cepat Ting Tian mengurut dada Tik Hun untuk menjalankan pernapasannya, setelah diurut agak lama, barulah rasa sesak didada pemuda itu terasa longgar.
"Kau anggap aku terlalu kejam, tapi begitu datang mereka lantas menghantam engkau dari muka dan belakang, pabila badanmu tidak memakai baju kutang pusaka, mungkin jiwamu sekarang sudah melayang," demikian kata Ting Tian kemudian. "Ai, hal ini adalah salahku sendiri terlalu gegabah dan tidak menduga bahwa begitu datang mereka terus menyerang. Aku cuma menduga mereka pasti akan menanya dulu padaku. Ya, tahulah aku, sesungguhnya mereka juga sangat jeri padaku, maka maksud mereka aku hendak dihantam hingga luka parah, habis itu barulah aku akan dipaksa mengaku."
Ia mengusap bersih berewok dimukanya Tik Hun, lalu berkata pula dengan tertawa: "Sisa ketiga keledai gundul itu sudah pecah nyalinya, pasti mereka tidak berani datang merecoki kita lagi." ~ Kemudian dengan sungguh2 ia berkata: "Tik-hiantit, Hwesio yang paling tinggi itu bernama Po-siang dan yang gemuk itu bergelar Sian-yong. Yang pertama kali kena dipukul roboh itu paling lihay, namanya Seng-te. Kelima Hwesio itu berjuluk 'Bit-cong-ngo-hiong' (lima jago dari sekte Bit-cong), ilmu silat mereka sangat tinggi, bila aku tidak menyergap mereka dari samping, belum tentu aku mampu melawan mereka. Kelak bila engkau ketemukan mereka di Kang-ouw, engkau harus hati2. Ya, tapi Ngo-hiong kini sudah tinggal Sam-hiong, untuk melayani mereka menjadi jauh lebih gampang."
Oleh karena tadi Ting Tian banyak mengeluarkan tenaga murninya untuk menyerang musuh2 tangguh itu, untuk mana ia perlu bersemadi hingga belasan hari barulah tenaganya pulih kembali.
Sang waktu lewat secepat anak panah, tanpa berasa dua tahun sudah lalu pula. Selama itu keadaan aman tenteram, terkadang ada juga satu-dua orang Kangouw yang bikin rusuh kekamar penjara situ, tapi asal sekali dicengkeram atau dipegang Ting Tian, dalam sekejap saja jiwa mereka lantas melayang.
***********
Selama beberapa bulan paling achir ini Sin-ciau-kang yang dilatih Tik Hun itu se-akan2 macet, ia bertambah giat melatihnya, tapi ternyata tiada kemajuan apa2, rasanya masih tetap seperti beberapa bulan yang lalu. Biar otak Tik Hun kurang tajam, namun dia mempunyai kemauan yang keras, ia tahu ilmu sakti yang tiada tandingannya dijagat itu tidak mungkin berhasil dilatihnya secara mudah, maka ia melatihnya lebih tekun dan lebih sabar agar pada suatu waktu cita2nya pasti akan tercapai.
Pagi hari itu, sedang Tik Hun menjalankan napas sambil berbaring seperti apa yang dilakukannya setiap bangun pagi, tiba-tiba didengarnya Ting Tian bersuara heran sekali, nadanya kedengaran rada kuatir pula. Selang sejenak, terdengar ia menggumam sendiri: "Hari ini agaknya tidak sampai layu, boleh juga diganti besok pagi."
Tik Hun heran, ia menoleh dan melihat Ting Tian sedang ter-mangu2 memandang jauh kepada pot bunga yang berada diambang jendela diatas loteng sana.
Sejak Tik Hun mulai melatih Sin-ciau-kang, indera penglihatan dan pendengarannya telah banyak lebih tajam. Maka begitu memandang segera ia melihat diantara tiga tangkai bunga mawar kuning yang mekar dipot bunga itu, satu diantaranya telah rontok satu sayap daun bunganya. Sudah biasa ia melihat Ting Tian ter-mangu2 memandangi bunga yang mekar dipot itu selama beberapa tahun itu, ia pikir mungkin karena terlalu kesal terkurung didalam penjara, hanya bunga yang elok dipot bunga itu dapat sekadar menghibur hati Ting Tian nan lara.
Namun juga diperhatikan oleh Tik Hun bahwa bunga yang tumbuh dipot itu selalu mekar dengan segar dan senantiasa berganti, tidak sampai layu sudah diganti bunga lain jenis lagi. Dimusim semi adalah bunga melati, musim rontok berganti bunga mawar dan begitu seterusnya, pendek kata siang-malam pasti ada satu pot bunga yang segar tertaruh diambang jendela itu.
Tik Hun ingat ketiga tangkai mawar itu sudah mekar dipot bunga itu selama enam atau tujuh hari, biasanya selama itu pasti sudah diganti bunga yang lebih segar, tapi sekali ini ternyata tidak pernah diganti.
Hari itu dari pagi sampai malam Ting Tian tampak sangat kesal dan jengkel. Sampai esok paginya, bunga mawar dipot itu masih tetap belum diganti, sedangkan daun bunganya sudah hampir habis rontok tertiup angin. Lapat2 Tik Hun merasakan firasat yang kurang baik, ketika melihat pikiran Ting Tian semakin tidak tenteram, ia lantas berkata: "Sekali ini orang itu telah lupa mengganti bunganya, mungkin sore nanti dia akan menggantinya."
"Manabisa lupa?" seru Ting Tian. "Pasti tidak, pasti tidak lupa! Ya, apa barangkali ia.......... ia sakit? Tapi seumpamanya sakit, toh dia dapat suruhan orang mengganti bunga itu!"
Begitulah Ting Tian terus berjalan mondar-mandir dikamar penjara itu dengan wajah yang muram dan perasaan tidak tenteram.
Tik Hun tidak berani banyak menanya, terpaksa ia duduk bersila untuk memusatkan pikiran dan melatih diri.
Petangnya tiba2 turun hujan rincik2, tertiup angin, kembali daun bunga mawar itu rontok beberapa sayap pula. Selama beberapa jam itu Ting Tian terus memandangi bunga itu tanpa berkesip. Setiap daun bunga itu rontok, rasanya se-akan2 menyayat hatinya.
Tik Hun tidak tahan lagi, segera ia menanya: "Ting-toako, sebab apakah engkau tidak tenteram?"
"Peduli apa?" bentak Ting Tian dengan gusar. "Tidak perlu usil!"
Sejak dia mengajarkan ilmu silat kepada Tik Hun, belum pernah dia bersikap sekasar itu. Tik Hun menjadi menyesal telah bertanya, maksudnya hendak berkata sesuatu pula untuk memberi penjelasan, tapi demi nampak wajah Ting Tian pe-lahan2 mengunjuk rasa pedih dan sangat berduka, ia urung buka suara pula.
Malam itu sedetikpun Ting Tian tidak pernah mengaso, Tik Hun mendengar dia mondar-mandir terus, rantai belenggunya tiada hentinya mengeluarkan suara gemerincing, karena itu Tik Hun ikut tidak bisa tidur.
Esok paginya, angin meniup sayup2, hujan masih rincik2, dibawah cuaca yang remang2 itu tertampak ketiga tangkai bunga mawar dipot bunga sana sudah rontok semua, tinggal ranting bunganya yang gundul se-akan2 menggigil kedinginan didampar angin dan air hujan.
"Sudah meninggal? Sudah meninggal? Benarkah engkau sudah meninggal?" tiba2 Ting Tian ber-teriak2, ia pegang lankan besi dan di-goyang2kan terus.
Saking tak tega, Tik Hun berkata pula: "Toako, pabila kau kuatir kepada seseorang, marilah kita pergi menjenguknya."
"Menjenguk apa?" teriak Ting Tian mendadak. "Kalau dapat pergi, sudah lama aku telah pergi, buat apa mesti menderita dalam penjara berbau bacin ini?"
Karena tidak tahu seluk-beluknya perkara, Tik Hun hanya membelalak bingung, terpaksa ia bungkam saja.
Sehari penuh hingga malam Ting Tian terus mendekap kepalanya sambil duduk termenung2 dilantai, tidak makan dan tidak minum.
Hari sudah malam dan malam semakin larut.
Kira2 tengah malam, pelahan2 berbangkitlah Ting Tian, katanya dengan suara tenang: "Marilah sekarang kita coba pergi melihatnya, Tik-hiantit."
Tik Hun mengia sambil berbangkit. Ia lihat Ting Tian telah pegang dua ruji lankan terus dipentang pelahan, maka melengkunglah ruji besi itu hingga cukup untuk dibuat keluar-masuk.
"Angkatlah rantai belenggumu, supaya tidak mengeluarkan suara," demikian pesan Ting Tian.
Tik Hun menurut dan gulung rantai belenggunya terus ikut keluar.
Sampai ditepi pagar tembok, sekali enjot, dengan enteng Ting Tian sudah meloncat keatas pagar itu. "Melompat keatas sini!" serunya kepada Tik Hun dengan suara tertahan.
Tik Hun menirukan cara orang dan melompat keatas. Tak terduga sejak otot kakinya dipotong dan tulang pundaknya tertembus, seluruh tenaganya sudah takbisa dikerahkan lagi. Maka loncatannya itu kurang lebih cuma satu meter tingginya. Untung Ting Tian cepat meraup tangannya terus ditarik keatas pagar tembok, lalu mereka melompat kesebelah luar sana bersama.
Sesudah melintas pagar tembok itu, diluar penjara terdapat pula selarik pagar tembok yang lebih tinggi, Ting Tian dapat meloncat keatasnya, tapi Tik Hun tidak sanggup lagi betapapun. Karena tiada jalan lain, Ting Tian melompat turun kembali, ia tempelkan punggungnya memepet tembok, sekali ia mendengar dan mengerahkan tenaga, maka terdengarlah suara keresak-keresek yang pelahan, debu pasir bertebaran, menyusul batu batapun berjatuhan. Pandangan Tik Hun serasa kabur, tahu2 dinding pagar itu telah amblong berwujut satu lubang bentuk manusia dan Ting Tian sudah menghilang. Kiranya Ting Tian telah menggunakan Sin-ciau-kang yang maha sakti itu untuk membobol tembok dan orangnya sudah melesat keluar.
Kejut dan girang Tik Hun, cepat iapun menerobos keluar melalui lubang dinding itu. Diluar ternyata adalah sebuah gang.
Dari jauh Ting Tian sedang menggape padanya. Lekas2 Tik Hun berlari keujung gang sana.
Agaknya Ting Tian sangat apal terhadap jalanan didalam kota Heng-ciu itu, setelah melintas sebuah jalan dan membiluk dua gang lain, sampailah mereka didepan sebuah bengkel pandai besi. Ting Tian tempelkan tangannya kepintu dan mendorongnya sekali, "pletak", palang pintu didalam telah patah dan pintupun terpentang.
Pandai besi rupanya sedang tidur didalam, ia menjadi kaget dan melompat bangun sambil menjerit: "Maling!"
Namun Ting Tian keburu mencekek lehernya sambil membentak tertahan: "Diam! Lekas menyalakan api!"
Pandai besi itu tidak berani membangkang, segera ia menyalakan pelita. Ketika melihat Ting Tian dan Tik Hun berambut panjang dan penuh berewok, rupanya menakutkan, keruan lebih ketakutan dan tidak berani berkutik lagi.
"Tatah putus belenggu kami ini!" perintah Ting Tian pula.
Sipandai besi tahu kedua tamu tak diundang ini pasti adalah pelarian penjara Tihu, kalau membantunya memahat belenggu mereka, bila kelak diusut dan diketahui oleh alat negara, tentu dirinya akan tersangkut. Maka ia menjadi ragu2.
Tiba2 Ting Tian menyambar sepotong besi, sekali ia remas, besi itu terus mengepal menjadi satu bola. Lalu bentaknya: "Kau berani membangkang, apakah kepalamu lebih keras dari besi ini?"
Sungguh kejut pandai besi itu bukan kepalang, disangkanya telah ketemukan malaikat dewasa, sebab dia tidak percaya manusia dapat meremas besi sekeras itu. Dan kalau kepala sendiri benar2 diremas begitu rupa, wah, runyam. Cepatan saja ia mengiakan terus mengeluarkan tatah dan palu. Lebih dulu ia membuka belenggunya Ting Tian, kemudian Tik Hun.
Waktu Ting Tian melorot keluar rantai besi yang menembusi tulang pundak Tik Hun itu, saking sakitnya hampir2 pemuda itu jatuh kelengar. Paling achir ia menjadi ter-mangu2 sambil memegangi rantai putus yang bersejarah itu, terkenang olehnya masa lima tahun kebebasannya terkekang dan baru sekarang rantai itu meninggalkan tubuhnya, ia menjadi girang dan berduka pula hingga mengalirkan air mata.
Tik Hun simpan rantai putus itu kedalam bajunya, lalu ikut Ting Tian keluar dari bengkel besi itu. Ia masih sempat melihat sipandai besi terus melemparkan kedua potong belenggu mereka yang ditatah itu kedalam tungku untuk digembleng, tentunya takut kalau meninggalkan bukti yang bisa bikin celaka padanya.
Terlepas dari kekangan belenggu berantai itu, Tik Hun merasa tubuhnya enteng sekali dan kurang biasa, beberapa kali hampir2 ia terjungkal karena merasa kepalanya lebih antap daripada kakinya. Tapi demi nampak Ting Tian berjalan dengan kuat, bahkan makin lama makin cepat, segera Tik Hun menyusulnya, ia kuatir ketinggalan terlalu jauh dalam kegelapan.
Tidak lama, sampailah mereka dibawah jendela dimana selalu tertaruh pot bunga itu, Ting Tian mendongak keatas dengan ragu2 hingga lama.
Tik Hun melihat daun jendelanya tertutup rapat, diatas loteng juga sunyi senyap. Segera katanya: "Bolehkah kucoba melihatnya keatas situ?"
Ting Tian meng-angguk2 tanda setuju.
Segera Tik Hun memutar kepintu samping rumah bersusun itu, ia coba mendorong pintunya, tapi terpantek dari dalam. Syukurlah pagar tembok disitu sangat pendek, satu dahan pohon Liu kebetulan menjulur keluar dari sebelah dalam sana, sedikit Tik Hun meloncat, dapatlah ia menggandul diatas dahan itu terus melompat kedalam pagar tembok.
Pintu masuk kedalam rumah itu ternyata tidak dikancing dari dalam, maka dapatlah Tik Hun masuk dengan leluasa, pelahan2 ia menaiki tangga loteng, dalam kegelapan terdengarlah suara tindakannya ditangga loteng itu. Ia merasa kakinya se-akan2 terapung dan tidak leluasa. Maklum selama lima tahun hidupnya cuma boleh bergerak didalam sebuah kamar, selama itu tidak pernah menginjak tangga.
Sampai di atas loteng, keadaan masih sepi nyenyak, dibawah sinar bintang yang remang2, Tik Hun melihat disisi kiri ada sebuah pintu pula, pelahan2 ia masuk kesana. Tiada sesuatu suara didalam kamar itu, yang terdengar hanya suara napas sendiri yang agak memburu. Lapat2 ia melihat diatas meja ada sebuah tatakan lilin, ia me-raba2 diatas meja dan dapat menemukan batu ketipan api, dengan alat itu ia dapat menyalakan lilin.
Entah mengapa, dibawah cahaya lilin yang terang itu, mendadak Tik Hun merasakan keadaan yang sunyi dan hampa.
Ternyata didalam kamar itu memang hampa alias kosong melompong, kecuali sebuah meja, sebuah kursi, dan sebuah ranyang, benda lain tak tertampak lagi. Hanya diranjang itu tergantung kelambu putih, diatas ranjang terdapat sebuah selimut dan sebuah bantal, diujung ranjang ada pula sepasang sepatu kain wanita. Dari sepatu inilah baru bisa diketahui bahwa kamar ini adalah tempat tinggal seorang wanita.
Tik Hun tertegun sejanak, kemudian ia memeriksa pula kamar kedua, disana lebih hampa lagi, bahkan meja-kursipun tidak ada. Melihat gelagatnya perabot dalam kamar toh bukan baru saja dikosongkan, tetapi memang sudah sejak lama keadaan telah hampa begitu.
Tik Hun turun kembali kebawah dan coba periksa tempat2 lain, namun bayangan seorangpun tidak kelihatan. Diam2 ia merasa keadaan demikian agak ganjil, segera ia keluar untuk memberitahukan kepada Ting Tian apa yang telah dilihatnya itu.
"Jadi keadaan sudah kosong, tidak sesuatu barang apa2?" Ting Tian menegas.
Tik Hun mengangguk membenarkan. Agaknya keadaan demikian memang sudah dalam dugaan Ting Tian, maka sama sekali ia tidak kaget atau heran. Segera katanya:"Marilah kita coba melihat kesuatu tempat lain lagi."
Suatu tempat lain yang dikatakn itu ternyata adalah sebuah gedung besar dengan pintu gerabang cat merah, diluar pintu tergantung dua tenglong besar, yang satu jelas tertulis "Kantor Kang-leng-hu" dan yang lain tertulis "Kediaman keluarga Leng."
Tik Hun menjadi kaget, pikirnya" "Ini adalah kediaman Tihu kota Kang-leng, Leng Dwe-su, untuk apakah Ting-toako datang kesini? Apakah hendak membunuhnya?"
Sambil meng-gosok2 tangan sendiri, tanpa bersuara Ting Tian terus melintasi pagar tembok gedung itu dan masuk kedalam. Terhadap seluk-beluk rumah keluarga Leng itu Ting Tian seperti sudah sangat apal, ia menyusur kesana dan menerobos kesini seperti berjalan didalam rumahnya sendiri saja.
Setelah menyusur dua serambi panjang, achirnya sampailah mereka didepan sebuah ruangan tertutup, mendadak Ting Tian rada gemetar, katanya kepada Tik Hun: "Tik-hiantit, cobalah engkau masuk melihatnya dulu."
Tik Hun terus mendorong pintu ruangan itu, yang tertampak olehnya per-tama2 yalah api lilin yang terang benderang menyilaukan, diatas meja tersulut dua batang lilin sembahyangan, ternyata ruangan ini adalah tempat abu orang mati.

Sejak mula Tik Hun memang sudah kuatir akan melihat ruangan abu, peti mati atau mayat, achirnya benar2 telah dilihatnya sekarang. Walaupun sudah dalam dugaannya, tidak urung ia merinding juga. Ketika diperhatikannya, ia lihat dimeja sembayang itu sebuah papan kayu tertulis: "Tempat abu puteri kesayangan Leng Siang-hoa."
Dan pada saat itulah, tiba2 terasa angin berkesiur disampingnya, Ting Tian sudah memburu kedalam situ. Terlihat ia kesima sejenak didepan meja abu itu, kemudian ia terus menubruk keatas meja sambil meng-gerung2 menangis, teriaknya: "Siang-hoa, O, Siang-hoa, engkau ternyata sudah mendahului aku."
Sesaat itu dalam benak Tik Hun timbul macam2 pikiran, tindak-tanduk Ting-toako yang aneh dan menyendiri itu dengan tangisannya mendekap diatas meja itu telah membuat Tik Hun menjadi paham duduknya perkara. Tapi bila dipikir lebih teliti, ia merasa banyak juga segi2 yang ruwet dan susah dimengerti.
Sama sekali Ting Tian tidak pikirkan bahwa dirinya adalah pelarian dari penjara, iapun tidak peduli tempat itu adalah kediamannya tuan besar Tihu. Tapi suara tangisannya makin lama semakin keras dan bertambah duka.
Tik Hun tahu percuma saja menghibur sang Toako itu, maka dibiarkannya Ting Tian menangis se-puas2nya.
Lambat-laun Ting Tian menghentikan tangisannya, pelahan2 ia berbangkit dan membuka tirai dibelakang meja perabuan itu, maka tertampaklah sebuah peti mati yang masih baru, tanpa pikir lagi ia menubruk maju dan merangkul peti mati itu dengan kencang, ia tempelkan pipinya keatas peti mati dan katanya dengan ter-guguk2: "O, Siang-hoa, Siang-hoa! Mengapa engkau begitu tega meninggalkan daku? Sebelumnya mengapa engkau tidak memberi kesempatan padaku untuk melihat engkau sekali lagi?"
Tiba2 Tik Hun mendengar ada suara orang berjalan mendatangi, beberapa orang sudah sampai diluar pintu ruangan itu, cepat serunya: "Toako, ada orang yang datang!"
Namun Ting Tian asyik tempelkan bibirnya untuk mencium peti mati itu, sama sekali tak dipedulinya apa ada orang yang datang atau tidak.
Didahului oleh cahaya obor yang sangat terang, masuklah dua orang sambil membentak: "Siapakah yang bikin ribut disini?"
Menyusul kedua orang itu, masuk pula seorang laki2 setengah umur berdandan sangat mentereng, sikapnya sangat cekatan.
Ia memandang sekejap kepada Tik Hun, lalu menanya: "Siapakah engkau? Ada keperluan apa datang kesini?"
"Dan engkau sendiri siapa serta untuk apa datang kemari?" demikian Tik Hun balas menanya dengan penuh dongkol.
"Bangsat, barangkali matamu sudah buta, ya?" bentak kedua orang yang membawa obor tadi.
"Ini adalah Leng-tayjin dari Kang-leng-hu, tengah malam buta kau berani sembarang masuk kesini, tentu kau tidak bermaksud baik. Hayo lekas berlutut!"
Namun Tik Hun hanya mendengusnya sekali dan tidak menggubris lagi.
Tiba2 Ting Tian mengusap air matanya, lalu menanya: "Hari apakah wafatnya Siang-hoa? Ia menderita sakit apa?"
Tik Hun ter-heran2 mendengar suara pertanyaan sang Toako itu diucapkan dengan nada yang tenang dan ramah.
Leng-tihu memandangnya sekejap, lalu katanya: "Aha, kukira siapa, tak tahunya adalah Ting-tayhiap. Tidak beruntung Siauli (putriku) meninggal dunia, penyakit apa yang dideritanya tabib pun takbisa menerangkan, hanya dikatakan Siauli terlalu menanggung rasa sedih yang tak terhapus."
"Dan dengan demikian tercapailah cita2mu bukan?" kata Ting Tian dengan mendongkol.
"Ai, Ting-tayhiap, engkau sendiripun terlalu kepala batu," sahut Leng-tihu dengan gegetun.
"Coba kalau sejak dulu engkau mengatakan padaku, pastilah Siauli takkan meninggal gara2 kebandelanmu dan kitapun akan terikat menjadi menantu dan mertua, bukankah hal itu akan sama2 baiknya?"
Mendadak sorot mata Ting Tian memancarkan sinar kebencian, teriaknya. "Jadi kau anggap aku yang mengakibatkan matinya Siang-hoa dan bukan engkau sendiri yang mencelakainya?" ~ Sembari berkata ia terus mendesak maju selangkah.
Namun Leng-tihu sebaliknya sangat tenang, sahutnya dengan menggoyang kepala: "Urusan sudah ketelanjur begini, apa yang bisa kukatakan lagi? Siang-hoa, O, Siang-hoa, dialam baka tentu juga engkau akan menyalahkan ayahmu ini tidak dapat memahami isi hatimu." ~ sambil berkata ia terus mendekati meja perabuan serta mengusap air matanya.
"Hm, kalau hari ini aku membunuh kau, di alam baka tentu juga Siang-hoa akan benci padaku," demikian kata Ting Tian dengan gemas. "Leng Dwe-su, mengingat kebaikan puterimu, biarlah derita selama tujuh tahun yang kau siksa atas diriku, sekaligus kuhapuskan sekarang juga. Tapi kelak kalau engkau kebentur lagi tanganku, janganlah engkau menyalahkan orang she Ting tidak kenal budi. Marilah, Tik-hiantit, kita pergi!"
"Ting-tayhiap," sahut Leng-tihu tiba2 menghela napas, "sudah begini akibat perbuatan kita, apakah manfaatnya sampai sekarang?".
"Kau boleh tanya pada dirimu sendiri, apakah engkau juga merasa menyesal?" kata Ting Tian. "Hm, engkau serakah dan senantiasa mengincar Soh-sim-kiam-boh, hingga tidak sayang membikin celaka puterinya sendiri."
"Ting-tayhiap," kata Leng-tihu pula, "engkau jangan buru2 pergi, lebih baik engkau katakan lebih dulu tentang rahasia ilmu pedang itu dan segera kuberi obat penawarnya, supaya jiwamu tidak melayang percuma."
"Apa katamu? Obat penawar?" seru Ting Tian terkejut. Dan pada saat itulah tiba2 terasa pipi, bibir dan tangannya makin lama makin kaku dan lumpuh. Sadarlah ia telah keracunan, tapi mengapa sampai keracunan, seketika iapun tidak tahu.
"Aku kuatir ada kaum penjahat mungkin akan membongkar peti mati untuk menodai layon puteriku yang suci bersih itu, maka........."
Belum selesai ucapan Leng-tihu itu, maka tahulah Ting Tian duduknya perkara, serunya dengan gusar: "Jadi engkau telah memoles racun diatas peti mati? Sungguh keji amat engkau Leng Dwe-su!" ~ Berbareng ia terus menubruk maju dan mencengkeram kearah Leng-tihu.
Tak tersangka kasiat racun itu benar2 lihay luar biasa, seketika telah memunahkan tenaga orang dan menyesap ketulang. Sin-ciau-kang yang sakti itu tak dapat dikerahkan lagi oleh Ting Tian.
Sambil berkelit, Leng-tihu lantas berseru memberi tanda, segera menerobos masuk pula empat laki2 bersenjata dan berbareng mengerubut Ting Tian.
Sekali lihat saja Tik Hun lantas tahu bahwa kepandaian empat orang itu adalah pilihan semua. Terlihat Ting Tian angkat sebelah kakinya hendak menendang pergelangan lawan yang sebelah kiri, sebenarnya tendangan itu sangat jitu dan cepat, pasti senjata golok orang itu akan terpental dari cekalannya. Siapa tahu tenaga tendangannya itu mendadak lenyap sampai ditengah jalan, kedua kakinya tidak mau mendengar perintah lagi. Ternyata racun sudah menyerang sampai dikakinya.
Kesempatan itu tidak di-sia2kan orang itu, goloknya membalik, "tak", punggung golok tepat mengetok dibetis Ting Tian hingga tulang remuk dan orangnya roboh.
Tik Hun terkejut, dalam kuatirnya ia tidak sempat lagi memikir, mendadak ia menubruk kearah Leng-tihu. Ia pikir jalan satu2nya harus menawan Leng-tihu sebagai barang jaminan, dengan begitu barulah jiwa Ting Tian dapat diselamatkan.
Tak terduga ilmu silat Leng-tihu itu ternyata bukan kaum lemah, mendadak tangan kirinya memapak kedada Tik Hun, baik tenaganya maupun ilmu pukulannya terang golongan kelas tinggi.
Namun Tik Hun sudah nekat, ia tidak menangkis juga tidak berkelit, tapi tetap menubruk maju. "Plak", terang gamblang pukulan Leng-tihu itu mengenai dada sasarannya. Tapi aneh bin heran, Tik Hun sama sekali tidak bergeming dan tetap menerjang maju.
Sudah tentu Leng-tihu tidak tahu bahwa Tik Hun memakai "Oh-jan-kah" atau baju kutang dari sutera ulat hitam yang tidak mempan senjata. Karena itu, ia malah menyangka ilmu silat Tik Hun tingginya susah diukur. Dalam kagetnya, tahu2 "Tan-tiong-hiat" didadanya telah kena dipegang oleh Tik Hun. Dan karena majikan mereka tertawan musuh, orang2 tadi menjadi mati kutu dan tidak berani sembarangan bertindak.
Sekali berhasil serangannya, terus saja Tik Hun menggendong Ting Tian sambil mencengkeram kencang2 Hiat-to berbahaya didada Leng-tihu itu. Melihat majikan hendak diculik, laki2 tadi menjadi jeri dan serba susah, mereka mem-bentak2, tapi tidak berani sembarangan maju.
"Buang obor kalian dan padamkan api lilin!" bentak Ting Tian.
Terpaksa laki2 itu menurut, maka seketika ruang layon itu menjadi gelap gelita.
Sambil sebelah tangannya tetap mencengkeram Leng-tihu dan diseret keluar, Tik Hun menggunakan tangan lain untuk menggendong Ting Tian, dengan cepat ia lari keluar dari gedung pembesar itu. Ting Tian yang memberi petunjuk jalannya, maka sebentar saja sudah sampai dipintu taman.
Segera Tik Hun depak pintu itu hingga terpentang, entah darimana pula datangnya tenaga, terus saja ia genjot sekali se-keras2nya di "Tan-tiong-hiat" didada Leng-tihu, lalu ditinggalkannya untuk lari sambil menggendong Ting Tian. Ia terus lari se-cepat2nya dalam kegelapan.
Sebenarnya sebelumnya Leng Dwe-su sudah menduga Ting Tian pasti akan datang berziarah kepada layon puterinya, maka sudah disiapkannya jago2 pilihan untuk menangkap Ting Tian.
Tak tersangka perhitungannya telah meleset satu tindak, yaitu tak terduga olehnya bahwasanya Ting Tian telah membawa serta seorang pembantu.
Selama dua tahun Tik Hun giat melatih Sin-ciau-kang, walaupun belum dapat dikatakan ada sesuatu hasil yang hebat, tapi dalam hal tenaga dalam sudah jauh lebih maju dan kuat daripada dahulu. Apalagi hantamannya ke Tan-tiong-hiat didada Leng Dwe-su itu dilakukan dalam keadaan kepepet, maka tenaganya menjadi keras luar biasa.
Keruan tanpa berkutik Leng Dwe-su terus roboh menggeletak. Ketika kemudian begundalnya memburu datang dan buru2 berusaha menolong majikan mereka, maka tiada seorangpun yang sempat memikir pengejarannya kepada Ting Tian dan Tik Hun.
Berada diatas gendongan Tik Hun, Ting Tian merasa anggota badannya makin lama makin kaku, tapi pikirannya masih tetap sangat jernih. Terhadap jalanan didalam kota ia sudah sangat apal, maka ia yang menunjukan jalannya kepada Tik Hun membiluk kekanan dan menikung kekiri, achirnya dapatlah mereka meninggalkan pusat kota yang ramai dan sampai disuatu kebun luas yang tak terawat.
"Leng-tihu pasti akan memberi perintah penjagaan rapat dipintu gerbang kota dan diadakan pemeriksaan keras, keadaanku sudah sangat payah keracunan, untuk keluar kota secara paksa terang tidak dapat lagi," demikian kata Ting Tian. "Kebun besar ini katanya ada setannya hingga tiada berani dikunjungi orang, biarlah kita bersembunyi sementara disini saja."
Tik Hun menurut, ia meletakan Ting Tian dengan pelahan kebawah sebuah pohon Bwe (plum), lalu katanya: "Ting-toako, racun apakah yang telah mengenai badanmu? Cara bagaimana harus mengadakan pertolongan?"
Ting Tian menghela napas, sahutnya dengan tertawa getir: "Jangan dipikir lagi, percumalah! Racun ini sangat jahat, namanya 'Hud-co-kim-lian' (teratai emas tempat duduk Budha), tiada obat penawar didunia ini yang dapat menyembuhkannya. Biarlah aku bertahan sebisanya, dapat hidup sejam lebih lama akan kupertahankan sejam."
Kejut Tik Hun tak terhingga, serunya dengan gemetar: "Apa ka …….. katamu? Tiada obat penawarnya? Engkau …….. engkau cuma bergurau saja bukan?" ~ Namun demikian, iapun tahu sekali2 Ting Tian tidak sedang berkelakar dengan dia.
Ting Tian lantas ter-bahak2, katanya: "Racun 'Hud-co-kim-lian' milik Leng Dwe-su ini terkenal sebagai racun nomor tiga jahatnya didunia ini. Nyatanya memang tidak omong kosong! Hahaha, dia benar2 cukup sabar, sudah menunggu selama tujuh tahun dan baru hari ini dia berhasil."
"Ting ……..Ting-toako, jangan …….. jangan engkau berduka," ujar Tik Hun kuatir. "Ya, selama masih ada kesempatan, masakah ……… masakah …….. ai, kembali gara2 wanita lagi, aku ………. aku juga begitu, rupanya kita memang ……. memang senasib …… tapi engkau harus mencari daya-upaya untuk menghilangkan racunmu ini ……… biarlah kupergi mencari air untuk mencuci badanmu yang terkena racun." ~ oleh karena pikirannya kacau, susunan kata2nya menjadi tak keruan dan tak teratur.

Ting Tian menggeleng kepala, katanya: "Sudahlah, usahamu akan sia2 saja. 'Hud-co-kim-lian' ini kalau dicuci dengan air, seketika kulit daging yang keracunan akan membengkak dan membusuk, matinya akan lebih mengerikan. Tik-hiantit, banyak sekali ingin kukatakan padamu, hendaklah engkau jangan sibuk dan bingung, sebab kalau kau bingung, mungkin akan mengacaukan pikiranku hingga kata2 penting yang hendak kuberitahukan padamu ada yang terlupa. Waktunya sekarang sudah mendesak, aku harus lekas menceritakan padamu, maka lekas engkau duduklah yang tenang dan jangan mengganggu ceritaku?"
Terpaksa Tik Hun menurut dan duduk disamping Ting Tian, akan tetapi betapapun hatinya susah ditenangkan.
"Aku berasal kota Heng-bun, keturunan keluarga Bu-lim," demikian Ting Tian mulai menutur dengan sangat tenang, ya, tenang dan wajar, se-akan2 yang diceritakan itu adalah urusan orang lain yang tiada sangkut-paut apa2 dengan dirinya. "Ayahku juga seorang tokoh persilatan yang rada terkenal disekitar Ouw-lam dan Ouw-pak. Dasar ilmu silatku masih lumayan juga, kecuali ajaran dari orang tua, aku pernah mendapat didikan pula dari dua orang guru lain. Diwaktu mudaku, aku suka membela keadilan dan membasmi kejahatan. Karena itu namaku lambat-launpun sedikit terkenal.
"Kira2 delapanbelas tahun yang lalu aku menumpang kapal dari Su-cwan menuju kemuara, sesudah lewat Sam-kiap (tiga selat dimuara sungai Tiangkang), kemudian perahu kami berlabuh ditepi Sam-tau-peng. Malamnya tiba2 kudengar ditepi pantai ada suara ribut orang berkelahi. Dasar watakku memang gemar silat, tentu saja aku tertarik oleh perkelahian yang ramai itu dan melongok kepantai melalui jendela perahu.
"Malam itu bulan sedang memancarkan sinarnya yang terang benderang hingga aku dapat melihat jelas pertarungan dipantai itu. Kiranya ada tiga orang sedang mengeroyok seorang tua. Ternyata ketiga pengeroyok itu sudah kukenal semua, mereka adalah tokoh Bu-lim yang terkenal didaerah Liang-ouw (dua propinsi Ouw, yaitu Ouw-lam dan Ouw-pak). Yang pertama bernama Ngo-in-jiu Ban-Cing-san..........."
"He, itulah Supekku!" seru Tik Hun tanpa merasa, walaupun tadi ia telah dipesan jangan mengganggu cerita Ting Tian.
Ting Tian hanya melototinya sekejap, lalu meneruskan ceritanya: ......... dan yang kedua adalah Liok-te-sin-liong (naga sakti di daratan) Gian Tat-peng........"
"Ehm, dia adalah Jisupekku!" kembali Tik Hun menyela.
Ting Tian tak menggubrisnya lagi dan tetap meneruskan: "Dan yang ketiga memakai senjata pedang, gerak-geriknya sangat gesit, itulah Tiat-so-heng-kang Jik Tiang-hoat."
"Ha, Suhuku!" seru Tik Hun sambil meloncat kaget.
"Ya, memang benar ialah gurumu," kata Ting Tian dan menyambung pula: "Aku sudah pernah beberapa kali bertemu dengan Ban Cin-san, maka cukup tahu ilmu silatnya sangat hebat. Melihat mereka bertiga saudara perguruan mengeroyok seorang musuh, kuyakin mereka pasti akan menang.
"Waktu aku perhatikan pula sikakek yang dikerubut itu, kulihat punggungnya sudah terluka, darah mengucur terus dari lukanya itu. Ia tak bersenjata pula hingga cuma menempur ketiga pengeroyoknya itu dengan bertangan kosong. Akan tetapi ilmu silatnya ternyata jauh lebih tinggi daripada Ban Cin-san bertiga. Bagaimanapun juga mereka bertiga tidak berani mendekati sikakek.
"Makin lama aku melihat, makin penasaran hatiku, Ban Cin-san bertiga selalu melontarkan serangan2 yang mematikan, se-akan2 sikakek itu harus mereka bunuh. Perbuatan mereka bertiga sesungguhnya tidak pantas, masakah tiga orang muda mengerubut seorang tua. Tapi sedikitpun aku tidak berani bersuara, kuatir kalau diketahui mereka hingga akan merugikan diriku sendiri. Sebab dalam urusan bunuh-membunuh dikalangan Kangouw seperti itu bila dilihat orang luar, bukan mustahil yang melihat itu akan dibunuhnya juga agar rahasianya tidak tersiar.
"Setelah lama sekali pertarungan sengit itu berlangsung, darah yang mengucur dari punggung kakek itu semakin banyak, tenaganya lambat-laut menjadi habis. Se-konyong2 orang tua itu berseru: "Baiklah, ini kuserahkan pada kalian!" ~ berbareng ia mengulur tangannya kedalam baju seperti sedang mengambil sesuatu. Buru2 Ban Cin-san bertiga merubung maju, satu-sama-lain se-akan2 kuatir ketinggalan rejeki.
"Diluar dugaan sikakek mendadak memukul kedepan dengan kedua telapak tangannya, karena terancam oleh serangan itu, terpaksa Ban Cin-san bertiga melompat mundur. Kesempatan itu telah digunakan oleh sikakek untuk berlari ketepi sungai, plung, ia menerjun kedalam sungai, Ban Cin-san bertiga tampak menjerit terkejut, cepat mereka memburu ketepi sungai.
"Akan tetapi arus air yang mendampar dari arah Sam-kiap itu sangat derasnya, betapa kerasnya arus sungai dimuara Sam-tau-peng itu, hanya sekejap saja bayangan sikakek itu sudah lenyap. Tapi Suhumu masih belum putus asa, ia melompat keatas perahuku, ia sambar galah situkang perahu terus digunakan untuk mengaduk ketengah sungai. Sudah tentu hasilnya nihil alias nol besar!
"Lazimnya sesudah mematikan kakek itu, seharusnya Suhumu bertiga akan kegirangan. Tapi aneh, wajah mereka justeru muram dan sangat menakutkan. Aku tidak berani mengintip lebih jauh, cepat aku merebahkan diri ditempat tidurku sambil berkerudung selimut. Sampai lama sekali lapat2 aku mendengar mereka bertiga ribut mulut ditepi pantai, satu-sama-lain saling menyalahkan karena lolosnya musuh.
"Sesudah suara ribut ditepi pantai lenyap dan menunggu mereka bertiga sudah pergi jauh, kemudian barulah aku berbangkit. Pada saat itulah tiba2 kudengar situkang perahu diburitan sedang berseru kaget: "Tolong, ada setan!" ~ Cepat aku memburu keburitan dan melihat ada seorang yang basah kuyup sedang merangkak, lalu menggeletak digeladak perahu. Itulah dia sikakek yang menerjunkan diri kedalam sungai tadi. Rupanya setelah ceburkan diri kedalam sungai, kakek itu lantas selulup kebawah perahu dan memegang kencang dasar perahu dengan Tay-lik-eng-jiau-kang yang lihay, setelah musuh pergi, barulah dia keluar dari bawah air.
"Lekas2 aku memayang orang tua itu kedalam perahu, kulihat keadaannya sudah sangat payah, napasnya kempas-kempis, bicarapun takbisa lagi. Kupikir Ban Cin-san bertiga boleh jadi masih belum putus asa dan akan datang kembali, atau mungkin juga akan mencari mayat orang tua ini kemuara sungai sana. Terpengaruh oleh jiwaku yang suka menolong sesamanya dan membela keadilan, kupikir jiwa orang tua ini harus diselamatkan, dan agar jangan sampai dipergoki Ban Cin-san bertiga segera aku minta situkang perahu menjalankan perahunya kehulu sungai, menuju kearah Sam-kiap. Menjalankan perahu menyongsong arus air yang deras, sudah tentu situkang perahu keberatan dan menolak, pula ditengah malam buta susah mencari pandu kapal, menyusur kehulu Sam-kiap bukanlah suatu pekerjaan mudah. Akan tetapi, hahaha, uang memang berkuasa. Setanpun doyan duit. Pendek kata, achirnya situkang perahupun menurut keinginanku.
"Aku membawa obat luka, aku lantas mengobati luka orang tua itu. Luka dipunggungnya ternyata sangat parah, bekas tusukan itu menembus paru2nya, teranglah luka separah itu tidak mungkin disembuhkan. Namun aku berusaha sekuat tenagaku untuk mengobatinya, segala apa aku tidak tanya padanya, sepanjang jalan aku membelikan arak dan makanan2 yang enak untuknya. Aku sudah menyaksikan ilmu silatnya dan dengan mata kepala sendiri melihat dia ceburkan diri kedalam Tiangkang serta selulup dibawah air begitu lama, dari nilai kepandaiannya serta keperkasaannya itu sudah cukup berharga bagiku unuk berkorban jiwa baginya.
"Setelah kurawat orang tua itu tiga hari, ia telah tanya namaku, lalu katanya dengan tertawa getir: "Bagus, bagus!" ~ kemudian dikeluarkannya sebungkus kertas minyak dari bajunya dan diserahkan padaku. Tanpa pikir kukatakan padanya: 'Silahkan Lotiang (bapak) beritahu dimana tempat tinggal sanak keluargamu, barang Lotiang ini pasti akan kuhantarkan padanya, jangan engkau kuatir" ~ Orang tua itu tidak menjawab, sebaliknya tanya padaku: "Tahukah kau siapa diriku?" ~ Aku menjawab tidak tahu. Maka katanya pula: 'Aku adalah Bwe Liam-seng.' ~ Sungguh kejutku tak terkatakan demi mengetahui siapa gerangan sikakek itu."
Dan ketika melihat Tik Hun mendengarkan ceritanya itu dengan melongo tanpa mengunjuk sesuatu perasaan apa2, segera ia menegurnya: "He, engkau tidak heran oleh nama orang tua itu? Siapakah Bwe Liam-seng itu, apakah engkau tidak tahu? Ialah Tiat-kut-bek-gok Bwe Liam-seng. Engkau benar2 tidak kenal nama itu?"
Tik Hun menggeleng kepala, sahutnya: "Selamanya aku tidak pernah mendengar nama orang itu."
"Hehe, pantas saja, sudah tentu Suhumu tak mungkin mengatakan padamu," jengek Tiang Tian dengan tertawa dingin. "Tiat-kut-bek-gok Bwe Liam-seng adalah tokoh Bu-lim terkemuka dipropinsi Ouwlam. Dia mempunyai tiga orang murid, yang tertua bernama Ban Cin-san, murid kedua bernama Gian Tat-peng dan murid ketiga bernama........."
"Apa katamu Ting........ Ting-taoko? Jadi orang tua itu kakek-guruku?" seru Tik Hun.
"Ya, murid ketiganya memang Jik Tiang-hoat adanya," sahut Ting Tian. "Kagetku waktu mendengar dia mengaku sebagai Bwe Liam-seng juga kurang kagetnya seperti engkau sekarang ini. Aku sendiri menyaksikan pertarungan sengit ditepi pantai dibawah sinar bulan purnama itu dan melihat betapa ganasnya Ban Cin-san bertiga hendak mematikan guru mereka, maka tidak heran kagetku jauh diatas kagetmu sekarang.
"Dengan tersenyum getir lalu Bwee-losiansing berkata kepadaku, 'Muridku yang ketiga itu paling lihay, lebih dulu punggungku telah ditusuk olehnya secara mendadak, terpaksa aku menyeburkan diri kesungai untuk menyelamatkan diri.' ~ Aku diam saja, aku tidak tahu cara bagaimana harus menghiburnya. Kupikir mereka guru dan murid berempat saling gebrak dengan mati2an, tentulah disebabkan oleh sesuatu urusan yang maha penting, aku adalah orang luar, tidak enak untuk ikut tahu urusan dalam mereka, maka akupun tidak tanya lebih banyak.
Tapi Bwe-losiansing lantas berkata pula: 'Didunia ini aku cuma mempunyai tiga orang murid yang kuanggap sebagai anak sendiri. Siapa duga demi untuk mengincar sejilid Kiam-boh, mereka tidak segan2 untuk membunuh guru. Hehe, sungguh murid baik, murid pintar! Kini Kiam-boh yang diincar itu memang sudah kena mereka rebut, tapi apa gunanya kalau tidak ada Kiam-koat (tanda2 rahasia, kunci daripada ilmu pedang) yang lebih penting itu? Betapapun bagusnya Soh-sim-kiam-hoat masakah dapat menandingi Sin-ciau-kang? Biarlah sekarang juga kukatakan Kiam-koat dari Soh-sim-kiam-hoat dan kuberikan juga Sin-ciau-keng (kitab ilmu pancaran sukma) padamu, harap engkau melatihnya dengan baik2. Pabila Sin-ciau-kang berhasil engkau yakinkan, pastilah engkau tiada tandingannya didunia ini, maka jangan sekali2 salah mengajarkan lagi kepada orang jahat, ~ demikianlah asal-usul aku mendapatkan Sin-ciau-keng hingga berhasil kuyakinkan seperti sekarang ini.
"Selesai Bwe-losiansing berkata, tiada dua jam kemudian iapun meninggal. Aku telah menguburnya ditepi pantai Bu-kiap (selat Bu diantara Sam-kiap). Waktu itu aku tidak sadar bahwa Kiam-boh dan Kiam-koat dari Soh-sim-kiam yang diperebutkan itu mempunyai latar belakang yang begitu penting, kusangka cuma perebutan sejilid kitab ilmu pedang diantara perguruan mereka, makanya tidak pikir harus menjaga rahasia menginggalnya Bwe-losiansing, tapi aku telah mendirikan batu nisan diatas kuburannya dengan tulisan: 'Disinilah kuburan Liang-ouw-tayhiap Bwe Liam-seng'. Dan justeru karena batu nisan itulah telah mengakibatkan aku kebentur banyak kesukaran2 yang tiada habis2nya. Segera ada orang mencari keterangan mulai dari batu nisan itu, melalui situkang batu, tukang perahu dan achirnya dapat diketahui akulah yang mendirikan batu nisan itu, diketahui pula akulah yang mengebumikan Bwe-losiansing, dan dengan sendirinya mereka yakin barang tinggalan Bwe-losiansing pasti telah jatuh kedalam tanganku semua.
"Benar juga, tiga bulan kemudian rumahku lantas kedatangan seorang Kangouw. Pendatang itu sangat sopan, tapi bicaranya melantur dan ber-tele2 tak keruan ujung pangkalnya. Tapi sampai achirnya ketahuan juga maksud tujuan kunjungannya itu. Ia mengatakan ada sebuah peta tentang suatu harta karun berada dalam simpanan Bwe-losiansing, tentunya peta itu kini sudah berada padaku, maka aku diminta suka mengunjukkan peta itu untuk dipelajari bersama dengan dia, pabila harta karun itu dapat diketemukan, aku akan diberi tujuh bagian dan dia cukup tiga bagian saja.
"Kupikir apa yang diberikan Bwe-losiansing padaku cuma semacam kunci rahasia melatih Lwekang yang tinggi serta beberapa kalimat rahasia dari Soh-sim-kiam yang hanya terdiri dari beberapa angka saja, kecuali itu tiada apa2 lagi, masakan ada peta harta karun segala seperti apa yang dikatakan. Karena itu aku lantas mengatakan terus terang, tapi orang itu tetap tidak percaya dan minta aku unjukan kunci rahasia ilmu silat itu padanya. Padahal waktu Bwe-losiansing menyerahkan warisannya itu kepadaku telah memberi pesan agar jangan sekali2 salah diajarkan lagi kepada orang jahat. Dengan sendirinya akupun menolak permintaan orang itu. Maka dengan tidak senang pergilah orang itu. Tapi tiga hari kemudian ia telah menggerayangi rumahku ditengah malam hingga bergebrak dengan aku, achirnya pundaknya kulukai dan melarikan diri.
"Dan sekali beritanya tersiar, orang yang datang mencari aku menjadi semakin banyak, keruan aku kewalahan melayani mereka. Sampai achirnya Ban Cin-san sendiri juga datang menyelidiki diriku. Untuk menetap terus dirumah sendiri terang tidak aman, terpaksa aku harus menyingkir jauh2 dengan berganti nama dan tukar she. Aku menyingkir keluar perbatasan dan mengusahakan peternakan disana. Setelah lewat 7-8 tahun, setelah suasana agak reda, pula sudah sangat merindukan kampung halaman, maka diam2 aku menyamar dan pulang ke Heng-bun. Siapa duga rumah tinggalku sudah lama dibakar orang menjadi puing, baiknya aku memang tidak punya sanak-kadang apa2, dengan demikian aku menjadi bebas malah dan tidak perlu memikirkan apa2 lagi.........."
Dengan bingung dan kusut pikirannya Tik Hun mengikuti cerita Ting Tian tentang asal-usulnya Sin-ciau-keng itu. Hendak tidak percaya kepada apa yang dikatakan sang Toako itu, namun selama ini Ting-toako itu tidak pernah sekalipun bohong padanya, apalagi hubungan mereka sekarang sudah bagai saudara sekandung, untuk apa sang Toako mendustainya dengan sengaja mengarang dongengan2 bohong itu? Tapi kalau percaya, masakah Suhu yang sangat dihormati dan dikenalnya sangat jujur dan sederhana itu ternyata adalah seorang manusia yang begitu keji dan culas?
Ia lihat muka Ting Tian ber-kerut2, agaknya racun sedang menjalar dengan hebatnya, maka cepat katanya: "Ting-toako, tentang perselisihan antara Suhuku dan Thaysuhu itu tidak perlu kupusingkan. Yang penting sekarang hendaklah engkau coba pikirkan apakah........... apakah ada sesuatu akal untuk menyembuhkan racun ditubuhmu?"
"Sudahlah, aku telah minta engkau jangan menyela ceritaku hendaklah engkau mendengarkan dengan diam," sahut Ting Tian dan melanjutkan ceritanya: "Sampai achirnya kira2 didalam bulan sembilan pada delapan tahun yang lalu, waktu itu aku berada dikota Hankau untuk menjual sedikit Jinsom dan bahan obat lainnya yang kubawa dari Kwangwa.(Kwangwa = diluar Kwan atau diluar perbatasan Yang diartikan Kwan adalah tembok besar yang merupakan perbatasan dijaman itu).
"Pemilik toko obat yang suka membeli barang daganganku itu adalah seorang yang suka keindahan, selesai mengadakan transaksi dagang dengan aku, Ia lantas mengajak aku pergi melihat 'Kiok-hoa-hwe' (Kiok-hoa-hwe = pameran bunga Seruni. Kegemaran bunga Seruni di Tiongkok sama halnya dengan kegemaran bunga Anggrek di negeri lain.) yang terkenal dikota itu. Bunga seruni yang dipamerkan didalam Kiok-hoa-hwe itu ternyata sangat banyak dan terdiri dan jenis2 pilihan. Yang berwarna kuning antara lain terdapat jenis Ui-ho-ek, Kim-khong-jiok, Eng-uh-wi dan lain2; Yang berwarna merah antara lain adalah Bi-jin-hong, Cui-kui-hui dan lain2, yang berwarna putih ada: Gwe-boh-tan, Tiau-Sian-pay-gwe dan macam2 lagi; yang ungu terdapat: Ci-giok-lian, Ci-lo-lan, Ci-he-siau, dan lain2 dan yang jambon terdapat: Ang-hun-wan, Se-si-hun, dan banyak lagi lainnya........"
Begitulah Ting Tian menguraikan nama2 bunga seruni dengan lancar dan tanpa pikir se-akan2 jauh lebih apal baginya daripada nama2 gerak tipu ilmu silatnya.
Semula Tik Hun heran oleh pengetahuan Ting Tian yang luar dalam hal bunga seruni itu, tapi segera ia menjadi teringat bahwa Ting-toako itu memang seorang penggemar bunga. Ia hubungkan pula dengan bunga segar yang selalu menghias didalam pot bunga yang tertaruh diambang jendela gedung bersusun itu, maka tahulah Tik Hun duduknya perkara, tentu Ting-toako ini dengan Leng-siocia itu mempunyai kesukaan yang sama dan sama2 pula merupakan ahli bunga.
Waktu bercerita tentang pameran bunga itu, tertampak Ting Tian selalu mengulum senyuman bahagia, sikapnya sangat ramah dan lemah lembut. Terdengar ia melanjutkan ceritanya: "Sungguh menawan hati pameran bunga Seruni itu sembari menikmati akupun tidak habis2nya memuji dan menyebut nama2 bunga yang dipamerkan itu. Tapi dimana ada yang jelek, akupun lantas memberi penilaian yang tegas. Habis menikmati bunga2 itu, ketika hampir keluar dari taman pameran, aku telah berkata kepadaku kawanku sipemilik toko obat itu: "Pameran ini boleh dikatakan sudahlah berhasil, cuma sayang tidak terdapat Seruni warna hijau.' ~ Tiba2 kudengar suara seorang nona kecil menanggapi ucapanku itu dibelakang: 'Siocia, orang ini tahu juga kalau Seruni ada yang berwarna hijau. Memangnya 'Jun-sui-pek-poh' dan 'Lik-giok-ji-ih' dirumah kita itu masakah dapat sembarangan dinikmati orang biasa?'
"Cepat aku menoleh, kulihat dibelakangku ada seorang gadis jelita sedang menikmati bunga Seruni yang dipamerkan itu. Gadis itu memakai baju kuning muda, cantik dan sederhana seperti Seruni dalam pameran itu. Sungguh selama hidupku belum pernah kulihat seorang nona secantik seperti itu. Disampingnya tampak mengiring seorang pelayan kecil berumur belasan. Melihat aku berpaling dan memandangnya, Siocia itu menjadi merah mukanya, dengan pelahan ia berkata kepadaku: 'Maaf tuan, harap jangan marah karena ocehan budak cilik yang tidak tahu aturan ini'. ~ Seketika aku terkesima hingga sepatah katapun aku tidak sanggup bersuara.
"Dengan ter-mangu2 aku mengikuti jejak Siocia itu hingga dia meninggalkan taman pameran itu. Melihat aku terkesima begitu rupa, kawanku sipemilik toko obat lantas berkata kepadaku: 'Siocia ini adalah anak gadis keluarga Leng-hanlim dikota Bu-han (Bu-jiang dan Han-kauw) kita ini. Tentu saja lain daripada yang lain bunga yang terdapat dirumahnya itu.'
"Sekeluarnya dari taman pameran dan berpisah dengan kawanku, sepanjang jalan hingga sampai dikamar hotelku, dalam benakku waktu itu melulu terbayang kepada Siocia yang cantik itu saja. Lewat lohor, aku lantas menyeberang ke Bu-jiang, setelah tanya tempatnya, aku lantas menuju kerumah Leng-hanlim (han-lim = gelar ujian sastra jaman khala Beng dan Cing). Sudah tentu aku menjadi ragu2, tidak mungkin aku masuk kerumah orang begitu saja, padahal masing2 tidak kenal mengenal. Maka aku cuma mondar-mandir saja didepan rumah, kulihat ada beberapa anak kecil sedang memain dipelataran situ. Hatiku dak-dik-duk ber-debar2 dengan macam2 perasaan, aku merasa girang dan merasa takut2 pula. Aku memaki diriku sendiri yang semberono itu. Tatkala itu usiaku sudah cukup dewasa, tapi kelakuanku waktu itu mirip seperti pemuda remaja yang baru saja untuk pertama kalinya jatuh kedalam jaring2 asmara!"
Terkenang kepada masa pertemuannya dengan puteri Leng-hanlim dipameran bunga Seruni dahulu, wajah Ting Tian menampilkan semacam cahaya yang aneh, sorot matanya juga terang penuh semangat.
Tapi Tik Hun justeru merasa kuatir kalau2 sang Toako itu mendadak kehabisan tenaga, maka katanya: "Ting-toako, lebih baik engkau berbaringlah mengaso dengan tenang. Biarlah kupergi mencari seorang tabib, aku tidak percaya bahwa engkau benar2 tak dapat disembuhkan." ~ sembari berkata, terus saja ia berbangkit hendak pergi.
Tapi cepat Ting Tian telah menarik lengannya dan berkata: "Begini dandananmu engkau hendak pergi mencari tabib, apa engkau mencari kematian sendiri?" ~ dan setelah merandek sejenak, lalu katanya pula sambil menghela napas: "Tik-hiantit, tempo hari waktu engkau mengetahui Sumoaymu sudah menikah dengan orang lain, saking menyesalnya sampai engkau hendak menggantung diri. Sumoaymu itu tak berbudi dan menghianati kau, tiada harganya engkau mesti mati baginya."
"Benar, selama beberapa tahun ini akupun sudah insaf," sahut Tik Hun.
"Akan tetapi bila Sumoaymu benar2 cinta padamu dan achirnya rela mati bagimu, maka engkaupun harus mati juga baginya," ujar Ting Tian.
Mendengar itu, tiba2 Tik Hun menjadi sadar, tanyanya segera: "Jadi kematian Leng-siocia itu adalah demi engkau?"
"Ya," sahut Ting Tian tegas. "Dia mati bagiku, maka sekarang akupun rela mati untuknya. Hatiku kini sangat senang. Cintanya padaku sangat mendalam, aku ........ akupun sangat mencintainya. Tik-hiantit, jangankan racun yang mengenai tubuhku ini memang tiada obat yang dapat menyembuhkannya, sekalipun dapat disembuhkan juga aku tidak mau diobati."
Se-konyong2 perasaan Tik Hun menjadi hampa, timbul semacam rasa duka yang sulit dilukiskan. Yang utama sudah tentu disebabkan sedih menghadapi ajal sang Toako itu, namun dalam lubuk hatinya sebaliknya malah rada mengagumi keberuntungannya, sebab paling tidak didunia ini terdapat seorang gadis yang benar2 telah mencintainya dengan hatinya yang suci murni dan rela mati baginya, sebaliknya sang Toako itupun membalas cinta murni kekasihnya dengan sama sucinya. Tetapi bagaimana dengan dirinya? Ya, bagaimana dengan dirinya sendiri?
Melihat pemuda itu tepekur, pelahan2 Ting Tian memegang tangannya dan tenggelam pula dalam lamunannya pada masa yang lampau. Kemudian tuturnya pula: "Begitulah aku terus mondar-mandir selama beberapa jam didepan gedung Leng-hanlim itu hingga magrib sudah tiba masih tidak merasa lelah dan lupa lapar. Aku sendiripun tidak tahu sebenarnya apakah yang kuharapkan disitu?"
"Hari sudah mulai gelap, tapi aku tetap belum pikir untuk pergi dari situ. Tiba2 saja dari pintu kecil disamping gedung itu keluar seorang gadis kecil dan menghampiri aku pelahan2, lalu bisiknya kepadaku dengan lirih: 'Tolol, kenapa berada disini terus? Siocia mengharapkan engkau pulang sajalah!' ~ Ketika kuperhatikan, eh kiranya adalah pelayan kecil yang mengiringi Leng-siocia waktu menonton pameran Seruni itu. Hatiku menjadi ber-debar2, dengan ter-gagap2 aku menjawab: 'Ap....... Apa katamu?' ~ Dengan tertawa pelayan kecil itu berkata pula: 'Siocia telah bertaruhan dengan aku mengenai kapan engkau akan pergi dari sini. Sampai sekarang aku sudah menangkan dua cincin perak dan engkau masih belum mau pergi?'
"Aku bergirang tercampur gugup, tanyaku cepat: 'Jadi..... jadi Siociamu sejak tadi sudah tahu bahwa aku berada disini?' ~ Pelayan cilik itu tertawa, sahutnya: 'Malahan sudah beberapa kali aku melongok keluar, tapi engkau tetap tidak mengetahui aku, rupanya semangatmu sudah terbang ke-awang2 bukan?' ~ Habis itu, ia lantas putar tubuh hendak masuk lagi. Cepat kuberseru: 'Nanti dulu, Cici!' ~ Ia berpaling dan menanya: 'Ada apa lagi?' ~ Maka berkatalah aku: 'Kata Cici, didalam gedung kalian ini terpelihara beberapa jenis Lik-kiok-hoa (seruni hijau), maka aku sangat ingin melihatnya.' ~ Gadis itu angguk2, ia tuding sebuah loteng berlabur merah diujung belakang gedung itu dan berkata: 'Baiklah, akan kusampaikan permintaanmu kepada Siocia, pabila beliau meluluskan, tentu akan taruh bunga2 itu diatas ambang jendela diatas loteng berlabur merah itu!'
Anda sedang membaca artikel tentang Si KangKung Pendekar LUgu 1 [Soh Sim Kiam] dan anda bisa menemukan artikel Si KangKung Pendekar LUgu 1 [Soh Sim Kiam] ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/09/si-kangkung-pendekar-lugu-1-soh-sim.html,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Si KangKung Pendekar LUgu 1 [Soh Sim Kiam] ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Si KangKung Pendekar LUgu 1 [Soh Sim Kiam] sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Si KangKung Pendekar LUgu 1 [Soh Sim Kiam] with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/09/si-kangkung-pendekar-lugu-1-soh-sim.html. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar